Pencarian

Mushasi 8

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 8


koneksi." "Kapan aku mendapat jawaban?"
"Kita lihat nanti. Anda bisa menanti saya, tapi tentunya Anda tak hendak berdiri
berangin-angin di sini, kan" Nanti orang-orang bisa curiga Anda akan melakukan sesuatu
yang buruk. Mari kita ketemu lagi besok."
"Di mana?" "Datanglah ke tempat kosong, tempat orang mengadakan pertunjukan-pertunjukan tambahan
itu." "Baik." "Yang paling baik kalau Anda menanti di warung sake tempat kita pertama kali bertemu."
Sesudah menetapkan waktu pertemuan, Yasoma melambaikan tangan dan berjalan gagah
melintasi gerbang rumah persemayaman itu sambil mengayunkan bahunya, tanpa menunjukkan
sedikit pun keraguan. Karena sudah terkesan, Matahachi merasa Yasoma tentunya sudah
mengenal Kanesuke semenjak zaman ia kurang makmur. Keyakinan betul-betul sudah
melingkupinya. Malam itu ia bermimpi tentang masa depannya yang menyenangkan.
Pada waktu yang ditentukan, Matahachi berjalan melintasi udara beku yang sedang mencair
di tempat terbuka itu. Seperti hari sebelumnya, angin terasa dingin dan banyak orang di
sana. Ia menanti sampai matahari terbenam, tapi tak melihat tanda-tanda Akakabe Yasoma.
Hari sesudahnya Matahachi pergi lagi ke sana. "Tentunya ada yang menahannya," pikirnya
bermurah hati, sambil menatap wajah orang banyak berlalu. "Dia pasti datang hari ini."
Tapi sekali lagi matahari tenggelam. Yasoma tetap tak tampak.
Hari ketiga, Matahachi mengatakan pada si penjual sake dengan agak malu, "Saya di sini
lagi." 'Anda menanti seseorang?"
"Ya, saya berjanji bertemu dengan orang yang namanya Akakabe Yasoma. Saya jumpa dengan
dia hari itu." Matahachi lalu menjelaskan keadaannya sejelas-jelasnya.
"Si bajingan itu?" sengal penjual sake. "Jadi, dia mengatakan pada Anda akan mencarikan
kedudukan yang baik dan kemudian mencuri uang Anda?"
"Dia bukan mencurinya. Saya berikan uang kepadanya untuk diberikan kepada orang yang
namanya Susukida Kanesuke. Saya menunggu dia di sini untuk mengetahui hasilnya."
"Sungguh malang Anda! Anda bisa menunggu seratus tahun, tapi saya berani mengatakan,
Anda tak akan melihatnya lagi."
"A-apa" Kenapa Anda berkata begitu?"
"Oh, dia itu bajingan yang terkenal jahat! Daerah ini penuh benalu macam dia. Kalau
mereka melihat orang yang tampak sedikit polos, mereka pun menerkamnya. Tadinya saya
mau memperingatkan Anda, tapi tak ingin saya ikut campur. Saya pikir Anda akan tahu
dari cara dia memandang dan bertindak, macam apa wataknya. Sekarang Anda sudah telanjur
kehilangan uang. Sayang sekali!"
Orang itu bersimpati sekali pada Matahachi. Ia mencoba meyakinkan Matahachi bahwa tidak
memalukan ditipu pencuri-pencuri yang beroperasi di sana. Namun sesungguhnya bukan rasa
malu itu yang mengganggu Matahachi, melainkan kenyataan bahwa uangnya hilang, dan
beserta uang itu hilang pula harapan-harapannya yang besar; itulah yang membuat
darahnya mendidih. Ia memandang putus asa kepada orang banyak yang bergerak di
sekitarnya. "Saya sangsi apakah akan ada gunanya," kata penjual sake, "tapi Anda bisa mencoba
bertanya di sana, di kios tukang sulap. Orang-orang jembel di tempat ini sering
berkumpul di belakang sana untuk berjudi. Kalau Yasoma mendapat uang, kemungkinan dia
akan mencoba menggandakannya."
"Terima kasih," kata Matahachi sambil melompat bersemangat. "Yang mana kios tukang
sulap itu?" Rumah yang dituding orang itu dikelilingi pagar bambu runcing. Di depan, orang berkaokkaok untuk menarik pengunjung, dan bendera-bendera yang terpasang di dekat gerbang kayu
mengumumkan nama-nama beberapa artis sulap terkenal. Dari balik tirai dan lembar-lembar
tikar jerami yang mengitari pagar terdengar bunyi musik aneh bercampur suara para
tukang sulap yang keras dan cepat, serta tepuk tangan para penonton.
Matahachi berjalan menikung ke belakang, dan di sana menemukan gerbang lain. Ketika ia
melongok ke dalam, seorang pengintai bertanya kepadanya, "Anda kemari mau berjudi?"
Ia mengangguk, dan orang itu membiarkannya masuk. Ia mendapati dirinya berada di sebuah
ruangan yang dikelilingi tenda, tapi terbuka atapnya.
Sekitar dua puluh orang yang semuanya dari jenis tak pernah puas, duduk melingkar
bermain. Semua mata menoleh kepada Matahachi, dan satu orang diam-diam menyedia-kan
ruang kepadanya untuk duduk.
"Apa Akakabe Yasoma ada di sini?" tanya Matahachi.
"Yasoma?" ulang seorang penjudi dengan nada heran. "Aku jadi sadar, dia tidak di sini
akhir-akhir ini. Kenapa?"
"Apa menurut Anda dia akan datang?"
"Mana aku tahu" Silakan duduk, dan main."
"Saya datang bukan untuk main."
"Apa kerjamu di sini kalau tak mau main?"
"Aku mencari Yasoma. Maaf mengganggu."
"Kenapa tak mau cari di tempat lain lagi?"
"Aku sudah minta maaf tadi," kata Matahachi sambil lekas-lekas keluar.
"Berhenti!" perintah seorang dari para penjudi seraya berdiri dan meng-ikutinya. "Tak
bisa kamu pergi hanya dengan bilang minta maaf. Biar kamu tidak main, kamu mesti bayar
buat tempat duduk." "Aku tak punya uang."
"Tak ada uang! Begitu, ya" Jadi, cuma tunggu kesempatan menyikat uang, ya" Pencuri
terkutuk." "Aku bukan pencuri! Tak boleh kamu menyebut begitu!" Matahachi mendorongkan gagang
pedangnya ke depan, tapi perbuatan itu hanya membuat girang si penjudi.
"Goblok!" salaknya. "Kalau ancaman dari orang-orang macam kau bisa bikin aku takut, tak
mungkin aku tinggal hidup di Osaka sehari saja. Gunakan pedangmu kalau kau berani!"
"Kuperingatkan kau, aku bicara sungguh-sungguh!"
"Oh, kau bicara sungguh-sungguh, ya?"
"Apa kau tahu siapa aku?"
"Kenapa pula mesti tahu?"
"Aku Sasaki Kojiro, pengganti Toda Seigen dari Kampung Jokyoji di Echizen. Dia yang
menciptakan Gaya Tomita." Matahachi menyatakan hal itu dengan penuh kebanggaan, dan
menduga bahwa pengumuman itu saja akan membuat orang melarikan diri. Tapi ternyata
tidak. Penjudi itu meludah dan kembali masuk kalangan.
"Hei, dengar kalian semua! Orang ini baru saja menyebut dirinya dengan nama yang hebat.
Kelihatannya mau mencabut pedang lawan kita. Mari kita lihat kecakapannya main pedang.
Mestinya menyenangkan juga."
Melihat orang itu sedang lengah, Matahachi tiba-tiba menarik pedangnya, menyabetkannya
melintang pantatnya. Orang itu melompat tegak ke udara. "Anak anjing!" jeritnya.
Matahachi menyelam ke tengah orang banyak. Dengan jalan menyuruk aari kawanan orang
satu ke kawanan lain ia bisa bersembunyi, tapi setiap muka yang dilihatnya tampak
sebagai muka salah seorang penjudi. Karena menurut pendapatnya ia tidak dapat
menyembunyikan diri selamanya seperti itu, maka ia menoleh ke sekitar untuk mencari
tempat berlindung yang lebih mantap.
Tepat di depannya tergantung tirai bergambar macan besar pada pagar aambunya. Pada
pintu gerbang terdapat juga panji-panji dengan gambar acmbing bercabang dua dan kepala
bermata ular, dan seorang tukang teriak berdiri di atas kotak kosong sambil berseruseru parau, "Saksikan macan! Silakan masuk dan saksikan macan! Adakan perjalanan sejauh
seribu mil! Macan ini, saudara-saudara, ditangkap sendiri oleh jenderal besar Kato
Kiyomasa di Korea. Jangan lewatkan macan ini!" Seruan yang diucapkannya itu terdengar
ingar-bingar, berirama. Matahachi melontarkan sebentuk mata uang dan langsung menerobos pintu masuk. Karena
merasa relatif aman, ia melihat ke sana kemari, mencari binatang itu. Di ujung tenda
itu terpentang kulit macan besar, seperti cucian yang sedang dikeringkan pada papan
kayu. Para penonton menatapnya dengan rasa ingin tahu yang besar. Mereka tidak merasa
kecewa bahwa makhluk itu ternyata tidak utuh dan tidak pula hidup.
"Jadi, inilah yang dinamakan macan itu," kata satu orang.
"Besar, ya?" kagum yang lain.
Matahachi berdiri agak di sisi kulit macan itu, dan tiba-tiba terpandang olehnya
seorang lelaki tua dan seorang perempuan. Mendengar suara percakapan mereka, telinganya
pun tegak tak percaya. "Paman Gon," kata perempuan itu, "macan itu mati, kan?"
Samurai tua itu menjulurkan tangan ke atas pagar bambu dan meraba kulit itu, lalu
jawabnya murung, "Tentu saja mati. Ini cuma kulitnya."
"Tapi orang di luar itu bicaranya seolah-olah macan itu masih hidup."
"Itulah barangkali yang namanya tukang bual," kata lelaki itu sambil tertawa kecil.
Osugi tidak gampang saja menerima hal itu. Sambil memonyongkan mulutnya ia memprotes,
"Jangan seperti orang tolol! Kalau macan ini bukan macan betulan, tanda di luar mesti
mengatakan begitu juga. Kalau yang akan kulihat cuma kulit macan, lebih baik aku
melihat gambar. Ayo kita ambil uang kita kembali."
"Jangan bikin ribut, Nek. Orang menertawakan kamu nanti."
"Biar. Aku tak senang. Kalau kau tak mau pergi, aku akan pergi sendiri." Ketika ia
mulai berjalan kembali melalui para penonton lain, Matahachi merunduk, tapi terlambat.
Paman Gon sudah melihatnya.
"Hei, Matahachi! Kamu, ya?" serunya.
Osugi yang sudah tidak begitu awas matanya itu menggagap, "A-apa katamu, Paman Gon?"
"Apa kau tidak lihat" Matahachi berdiri di belakangmu itu!"
"Tak mungkin!" "Dia di sana tadi, tapi dia lari."
"Di mana" Ke mana?"
Keduanya berlari keluar dari gerbang kayu, ke tengah orang banyak yang sudah
bermandikan cahaya petang berwarna-warni. Matahachi terus bertumbuk-tumbuk orang, tapi
selalu dapat membebaskan diri kembali dan berlari terus.
"Tunggu, Nak, tunggu!" teriak Osugi.
Matahachi menoleh ke belakang dan melihat ibunya mengejarnya seperti perempuan gila.
Paman Gon pun melambai-lambaikan tangan dengan hebatnya.
"Matahachi!" teriaknya. "Kenapa kau lari" Kau kenapa" Matahachi! Matahachi!"
Karena merasa tak dapat lagi menangkapnya, Osugi menjulurkan lehernya yang keriput itu
ke depan, dan dengan sekuat paru-paru ia pun menjerit, "Berhenti, pencuri! Perampok!
Tangkap dia!" Seketika itu juga orang-orang di sekitarnya mengambil alih pengejaran, dan orang-orang
yang di depan segera menyerang Matahachi dengan tongkat bambu.
"Tahan dia di sana!"
"Bajingan!" "Hajar dulu!" Orang banyak berhasil mengepung Matahachi, dan beberapa orang malahan sudah
meludahinya. Osugi tiba bersama Paman Gon, cepat menguasai keadaan dan balik mendamprat
para penyerang Matahachi. Sambil mengusir mereka, ia pegang gagang pedang pendeknya
serta menyeringaikan giginya.
"Apa yang kalian lakukan ini?" teriaknya. "Kenapa kalian serang orang ini?"
"Dia pencuri!" "Dia bukan pencuri! Dia anakku."
"Anakmu?" "Ya, dia anakku, anak seorang samurai, dan kalian tak punya hak memukulnya. Kalian
hanya orang kota kebanyakan. Kalau kalian sentuh dia lagi, akan ku... akan kuhadapi
kalian semua!" "Kau berkelakar, ya" Siapa yang teriak 'pencuri' semenit lalu?"
"Memang aku, itu tak kusangkal. Aku seorang ibu yang setia, dan kupikir, kalau aku
berteriak 'pencuri', anakku akan berhenti lari. Tapi siapa yang menyuruh kalian, orangorang bebal, memukulnya" Itu tak patut!"
Heran melihat perubahan haluan yang sekonyong-konyong ini, orang banvak itu pelan-pelan
bubar. Mereka kagum akan keberanian perempuan itu. Osugi mencekal kerah anaknya yang
tak patut itu dan menyeretnya ke pekarangan kuil tak jauh dari sana.
Beberapa menit lamanya Paman Gon hanya berdiri memandang dari gerbang kuil itu, tapi
kemudian ia mendekati mereka dan katanya, "Nek, jangan perlakukan Matahachi seperti
kanak-kanak lagi." Ia mencoba menarik tangan Osugi dari kerah Matahachi, tapi perempuan
tua itu menepiskannya dengan kasar.
"Jangan kamu ikut campur! Dia anakku, dan aku akan menghukumnya dengan hukuman yang
menurutku cocok, tanpa bantuanmu. Kau diam saja dan urusi urusanmu sendiri!...
Matahachi, anak yang tak tahu diuntung... Akan kuperlihatkan padamu!"
Orang mengatakan makin tua seseorang makin sederhana dan makin langsung sikapnya.
Melihat tindakan Osugi itu, orang tak bisa berbuat lain daripada menyetujui pendapat
itu. Kalau ibu-ibu lain tentunya sudah menangis karena gembira, maka Osugi mendidih
darahnya karena berang. Ia membanting Matahachi ke tanah dan membenturkan kepalanya ke sana. "Gagasan apa itu!
Lari dari ibu sendiri! Kau bukan lahir dari selangkangan pohon, orang kampung! Kau
anakku!" Dan mulailah ia menampar anaknya, seakan-akan Matahachi masih anak-anak. "Tak
terpikir olehku bahwa kau masih hidup, tapi ternyata di Osaka ini kau bergelandangan!
Memalukan! Manusia tak tahu malu, manusia sampah.... Kenapa kau tidak pulang menyatakan
hormat kepada leluhur sebagaimana mestinya" Kenapa kau tak mau menunjukkan muka, biar
cuma sekali, kepada ibumu yang sudah tua" Apa kau tidak tahu, semua sanak keluarga
kuatir dengan dirimu?"
"Ibu," mohon Matahachi seperti bayi. "Maafkan aku. Maafkan aku, Bu! Aku minta maaf. Aku
tahu yang kulakukan ini salah. Justru karena tahu sudah menelantarkan Ibu, maka tak
dapat aku pulang. Aku bukan bermaksud lari dari Ibu. Aku begitu kaget melihat Ibu, dan
tanpa pikir lagi aku lari. Aku malu dengan cara hidupku, sampai aku tak dapat
menghadapi Ibu dan Paman Gon." Ia menutup wajahnya dengan tangan.
Hidung Osugi mengerut dan ia mulai menangis, tapi hampir seketika itu juga ia
menghentikan tangisnya. Terlalu bangga ia akan dirinya untuk memperlihatkan
kelemahannya dan ia memperbaharui serangannya. Katanya mengejek, "Kalau kau begitu malu
dengan dirimu sendiri dan merasa sudah mempermalukan leluhurmu, tentunya kau sudah
berbuat tak baik selama im.
Karena tak dapat lagi menahan diri, Paman Gon memohon, "Cukuplah itu. Kalau kauteruskan
juga, pasti akan rusak tabiat anak ini."
"Sudah kubilang simpan nasihatmu itu untuk diri sendiri. Kau ini lelaki; tak boleh kau
bersikap begitu lunak. Sebagai ibunya, aku harus sekeras ayahnya, seandainya dia masih
hidup. Aku akan menghukumnya, dan aku belum lagi selesai!... Matahachi! Duduk kamu yang
tegak! Pandang mukaku."
Ia duduk resmi di tanah dan menunjuk tempat yang harus diduduki Matahachi.
"Baik, Bu," kata Matahachi menurut. la mengangkat bahunya yang terkena kotoran, dan
berlutut. Ia memang takut kepada ibunya. Ibunya dapat kadang-kadang memanjakan, tapi
sikapnya yang selalu siap mengungkit persoalan tentang kewajiban terhadap leluhur itu
membuat Matahachi tak betah.
"Betul-betul kularang kamu menyembunyikan apa pun," kata Osugi. "Sekarang apa persisnya
yang telah kaukerjakan sejak lari ke Sekigahara" Jelaskan dan jangan berhenti sampai
aku sudah mendengar semua yang ingin kudengarkan."
"Jangan kuatir, aku takkan menyembunyikan apa pun," Matahachi memulai. Ia sudah
kehilangan keinginan untuk melawan. Tepat seperti yang dikatakannya, ia muntahkan
seluruh ceritanya sampai sekecil-kecilnya: tentang bagaimana ia meloloskan diri dari
Sekigahara, bersembunyi di Ibuki, tersangkut dengan Oko, dan hidup darinya"sekalipun ia
membencinya beberapa tahun lamanya. Juga tentang bagai-mana ia kini menyesali dengan
setulus-tulusnya apa yang telah ia lakukan. Semua itu meringankan dirinya, seperti
melepas empedu dari dalam perut, dan ia merasa jauh lebih ringan sesudah melakukan
pengakuan itu. "Hmm...," gumam Paman Gon berkali-kali.
Osugi mendecapkan lidahnya, katanya, "Sungguh aku terguncang oleh kelakuan-mu. Dan apa
yang kaulakukan sekarang" Kelihatannya kau dapat pakaian bagus. Apa kau sudah mendapat
kedudukan yang cukup upahnya?"
"Ya," kata Matahachi. Jawaban itu meluncur begitu saja tanpa dipikirkan lebih dahulu,
kemudian ia terburu-buru membetulkannya. "Maksudku, tidak, aku tak punya kedudukan."
"Kalau begitu, dari mana kau mendapat uang buat hidup?"
"Pedangku"aku mengajar main pedang." Ada nada kebenaran dalam cara ia mengatakannya dan
hal itu menimbulkan akibat yang memang dikehendaki.
"Betul begitu?" tanya Osugi penuh minat. Untuk pertama kali, cahaya kegembiraan muncul
pada wajah Osugi. "Main pedang, ya" Tidak heran kalau anakku menyediakan waktu buat
menyempurnakan kecakapannya main pedang"meskipun menempuh hidup seperti sekarang ini.
Kaudengar, Paman Gon! Biar bagaimana, dia anakku."
Paman Gon mengangguk bersemangat. Ia merasa bersyukur melihat semangat perempuan tua
itu naik lagi. "Sudah sewajarnya kalau kita mengetahui ini," katanya. "Itu menunjukkan
bahwa dia memang menyimpan darah leluhur Hon'iden dalam nadinya. Tak ada salahnya dia
tersesat sebentar. Jelas sekarang, dia punya semangat yang benar!"
"Matahachi," kata Osugi.
"Ya, Bu." "Di daerah ini, di bawah pimpinan siapa kau belajar ilmu pedang?"
"Kanemaki Jisai."
"Betul" Dia termasyhur." Osugi memperlihatkan wajah bahagia. Karena ingin lebih
menggembirakan ibunya lagi, Matahachi mengeluarkan sertifikat dan membuka gulungannya,
tapi ia menutup nama Sasaki itu dengan jempolnya.
"Bu, lihat ini," katanya.
"Coba kulihat," kata Osugi. Ia hendak mengambil gulungan itu, tapi Matahachi
mencekamnya. "Bu, lihat, tak perlu Ibu kuatir denganku."
Osugi mengangguk. "Ya, ini betul-betul bagus. Lihat ini, Paman Gon. Apa ini tidak
hebat" Aku selamanya berpendapat, juga waktu dia masih bayi, dia lebih cerdas dan lebih


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu daripada Takezo dan anak-anak lelaki lain." Demikian gembira perempuan itu,
hingga sementara berbicara ia mulai meludah-ludah.
Tapi justru pada waktu itu tangan Matahachi terpeleset, dan nama pada gulungan itu jadi
kelihatan. "Tunggu sebentar," kata Osugi. "Kenapa 'Sasaki Kojiro'?"
"Oh, itu" Itu nama perang."
"Nama perang" Buat apa kamu memerlukan itu" Apa Hon'iden Matahachi tidak cukup
untukmu?" "Ya, bagus!" jawab Matahachi sesudah berpikir cepat. "Tapi sesudah kutimbang-timbang,
kuputuskan untuk tidak menggunakan nama sendiri. Karena masa laluku memalukan, aku
takut mengaibkan leluhurku."
"Oh, begitu. Kukira jalan pikiran yang baik. Kau tidak tahu apa pun tentang apa yang
sudah terjadi di kampung, karena itu aku akan bercerita. Sekarang perhatikan. Ini
penting." Osugi dengan bersemangat mulai memberikan uraian tentang peristiwa yang telah terjadi
di Miyamoto. Ia memilih kata-kata yang diperhitungkannya dapat memacu Matahachi untuk
beraksi. Ia menjelaskan bagaimana Keluarga Hon'iden dihinakan, bagaimana ia dan Paman
Gon bertahun-tahun lamanya mencari Otsu dan Takezo. Ia coba untuk bersikap tidak
emosional, tapi bagaimanapun terbawa juga ia oleh ceritanya sendiri. Matanya basah dan
suaranya menjadi berat. Matahachi mendengarkan dengan kepala tertunduk, dan ia terpukau oleh gamblangnya cerita
ibunya. Pada waktu-waktu seperti ini, ia merasa mudah menjadi anak yang baik dan
penurut. Tapi kalau yang menjadi perhatian utama ibunya adalah kehormatan keluarga dan
semangat samurai, Matahachi sendiri tergerak sedalam-dalamnya oleh hal lain: kalau
benar yang dikatakan oleh ibunya, Otsu tidak mencintainya lagi. Inilah untuk pertama
kalinya ia mendengarnya. "Apa benar begitu?" tanyanya.
Melihat warna wajah Matahachi berubah, Osugi mengambil kesimpulan yang keliru bahwa
kuliahnya tentang kehormatan dan semangat itu sudah mencapai hasil. "Kalau kaupikir itu
bohong," katanya, "tanya Paman Gon. Perempuan jalang itu sudah meninggalkanmu dan lari
bersama Takezo. Dengan kata lain, kau bisa mengatakan, karena tahu kau tak akan kembali
beberapa lama, maka Takezo memikat Otsu untuk pergi dengannya. Apa tidak betul begitu,
Paman Gon?" "Ya. Ketika Takezo diikat di atas pohon itu, dia mendapat pertolongan dari Otsu untuk
melarikan diri, dan keduanya lalu lari sama-sama. Semua orang mengatakan antara mereka
sudah terjadi sesuatu."
Kata-kata itu menimbulkan akibat paling buruk pada Matahachi, dan timbul reaksi baru
terhadap kawan masa kecilnya itu.
Menyadari hal tersebut, ibunya mengipasi bunga api itu, "Kaulihat sekarang, Matahachi!
Kau mengerti, kenapa Paman Gon dan Ibu meninggalkan kampung" Kami mau membalas dendam
pada mereka. Sebelum aku membunuh mereka, aku tak dapat memperlihatkan muka lagi di
kampung atau berdiri di depan tanda peringatan leluhur kita."
"Aku mengerti."
"Jadi, kau mengerti. Kecuali kita sudah membalas dendam, kau pun tak dapat kembali ke
Miyamoto?" "Aku tak akan kembali. Aku tak akan pernah kembali."
"Bukan itu soalnya. Kau mesti membunuh kedua orang itu. Mereka musuh bebuyutan kita."
"Ya, kukira begitu."
"Kedengarannya kau tidak begitu bersemangat. Ada apa" Apa kau tidak merasa cukup kuat
untuk membunuh Takezo?"
"Tentu saja cukup kuat," protes Matahachi.
Paman Gon buka suara. "Jangan kuatir, Matahachi. Aku akan selalu di samping-mu."
"Dan ibumu yang sudah tua ini pun demikian," tambah Osugi. "Mari kita bawa kepala
mereka pulang ke kampung sebagai tanda mata buat orang banyak. Apa itu bukan gagasan
yang baik, Nak" Kalau itu kita lakukan, kau dapat jalan terus dan mencari istri, dan
menetap. Kau membersihkan dirimu sebagai seorang samurai, dan juga mendapat nama baik.
Tak ada nama yang lebih baik di seluruh daerah Yoshino daripada Hon' iden, dan kau akan
membuktikan itu pada setiap orang, tak sangsi lagi. Bisa kau melakukan itu, Matahachi"
Mau kau melakukannya?"
"Ya, Bu." "Itu namanya anak baik. Paman Gon, jangan berdiri saja di situ, ucapkan selamat pada
anak ini. Dia sudah bersumpah akan membalas dendam kepada Takezo dan Otsu." Begitulah,
akhirnya ia kelihatan puas, dan mulailah ia bangkit dari tanah dengan susah payah. "Oh,
sakit rasanya!" teriaknya.
"Ada apa?" tanya Paman Gon.
"Tanah ini dingin sekali. Perut dan pinggulku sakit."
"Wah, kurang baik itu. Apa wasirmu kumat lagi?"
Untuk menunjukkan bakti seorang anak, Matahachi mengatakan, "Naiklah ke punggungku,
Ibu." "Oh, kau mau menggendongku" Senang sekali aku!" Sambil memegang bahu anaknya, Osugi
menangis karena gembira. "Sudah berapa tahun lewat, ya" Lihat, Paman Gon, Matahachi
menggendongku." Ketika air mata jatuh ke leher Matahachi, Matahachi merasakan kegembiraan yang aneh.
"Paman Gon, di mana kalian tinggal?" tanyanya.
"Kita mesti mencari rumah penginapan sekarang. Di mana saja bisa. Man kita mencarinya."
"Baik." Sementara berjalan, Matahachi melambung-lambungkan sedikit ibunya di
punggungnya. "Ringan, Bu! Ringan sekali! Jauh lebih ringan daripada batu!"
*** 22. Pemuda Tampan PULAU Awaji yang bermandikan matahari menghilang di kejauhan, berangsur-angsur
digelapkan oleh kabut sore musim dingin. Kepak-kepak layar besar di tengah angin
menenggelamkan bunyi ombak. Kapal yang beberapa kali sebulan berlayar antara Osaka dan
Provinsi Awa di Shikoku itu sedang menyeberangi Laut Pedalaman dalam perjalanan ke
Osaka. Sekalipun muatannya sebagian besar terdiri atas kertas dan bahan celup indigo,
baunya yang khas menunjukkan bahwa ia membawa barang selundupan berupa tembakau.
Pemerintah Tokugawa melarang rakyat mengisap, mencium, atau menguyahnya. Terdapat juga
sejumlah penumpang di kapal itu. Sebagian besar pedagang yang sedang pulang atau untuk
berdagang akhir tahun di Osaka.
"Bagaimana kabarnya" Saya berani bertaruh, banyak juga untungnya."
"Sama sekali tidak! Tiap orang bilang semua sedang menanjak di Sakai, tapi saya tak
melihat buktinya." "Saya dengar kurang tenaga kerja di sana. Saya dengar mereka butuh pandai meriam."
Percakapan di tengah kelompok lain adalah tentang bidang serupa.
"Saya sendiri mensuplai perlengkapan perang-tiang bendera, pakaian zirah, macam itulah.
Tapi jumlahnya tak seberapa sekarang."
"Begitu, ya?" "Ya, saya kira sekarang samurai-samurai itu tahu bagaimana berhitung."
"Ha, ha!" "Dulu kalau penjarah pulang membawa rampasan, kita celup kembali atau cetak kembali
barang-barang itu dan kita jual kembali kepada tentara. Kemudian, habis pertempuran
berikutnya, barang itu akan kembali lagi, dan kita dapat mendandaninya dan menjualnya
lagi." Seorang lelaki memandang ke arah samudera dan memuji-muji kekayaan negeri-negeri di
seberang. "Tak dapat lagi kita mendapat uang di dalam negeri. Kalau ingin benar-benar
untung, kita mesti melakukan apa yang dilakukan oleh Naya 'Luzon' Sukezaemon atau Chaya
Sukejiro. Masukilah perdagangan luar negeri. Memang riskan, tapi kalau kita beruntung,
betul-betul tidak percuma."
"Ah," kata orang yang lain, "biarpun keadaan kita tidak begitu baik hari-hari inii,
dari pandangan samurai, kita masih beruntung. Kebanyakan mereka tidak kenal makanan
yang baik. Kita bicara tentang kemewahan yang dapat dinikmati para daimyo, tapi cepat
atau lambat mereka terpaksa mengenakan perlengkapan kulit dan bajanya, lalu terbunuh.
Saya kasihan pada mereka. Begitu sibuk mereka memikirkan kehormatan dan tata krama
prajurit, sampai tidak dapat lagi bersantai dan menikmati hidup."
"Apa tidak benar begitu" Kita mengeluh tentang masa yang buruk dan semua yang lain,
padahal satu-satunya kemungkinan sekarang ini adalah menjadi saudagar."
"Anda benar. Setidaknya kita masih dapat melakukan apa yang kita inginkan."
"Yang mesti kita lakukan cuma berpura-pura membungkuk kepada samurai, dan sedikit uang
cukuplah buat sebagian besar mereka itu."
"Kalau kita mau hidup di dunia ini, perlu juga kita bersenang-senang."
"Memang begitu juga pendapat saya. Kadang-kadang ingin saya bertanya kepada samurai,
apa yang mereka peroleh dari hidup ini."
Permadani wol yang dihamparkan untuk duduk kelompok orang ini barang impor. Ini bukti
bahwa mereka lebih kaya daripada penduduk lain. Sesudah kematian Hideyoshi, kemewahan
zaman Momoyama sebagian besar telah beralih ke tangan para saudagar, bukan ke tangan
samurai. Dan pada waktu waktu itu orang-orang kota yang kaya itu kota yang kaya adalah
orang-orang yang memiliki perangkat minum sake yang anggun dan peralatan perjalanan
yang indah dan mahal. Bahkan seorang pedagang kecil pun biasanya lebih kaya daripada
seorang samurai yang upahnya lima ribu gantang padi setahun, padahal jumlah itu sudah
dianggap pendapatan besar oleh kebanyakan samurai.
"Tak banyak yang bisa dilakukan dalam perjalanan-perjalanan begini, ya?"
"Memang tak banyak. Mari kita main kartu kecil-kecilan buat menghabiskan waktu."
"Boleh." Tirai pun digantungkan, nyonya-nyonya dan pembantunya membawakan sake, dan orang-orang
mulai main umsummo, sebuah permainan yang belum lama diperkenalkan oleh pedagangpedagang Portugis, dengan taruhan yang sukar dipercaya. Emas yang ada di meja
sesungguhnya dapat menyelamatkan banyak desa dari bencana kelaparan, tetapi oleh para
penjudi dilemparkan saja ke sana kemari seperti kerikil.
Di antara para penumpang terdapat beberapa orang yang bisa saja ditanya oleh para
saudagar kaya itu, apa yang mereka peroleh dari hidup ini"seorang pendeta pengembara,
beberapa ronin, seorang pendeta Kong Hu Cu, dan beberapa prajurit profesional.
Kebanyakan mereka duduk di samping barang bawaan mereka dan memandang laut dengan sikap
tak senang, menyaksikan awal permainan kartu yang penuh lagak itu.
Seorang pemuda memangku sesuatu yang bulat bentuknya, berbulu lebat, dan berkali-kali
menyuruhnya, "Duduk yang tenang!"
"Bagus sekali monyet kecil Anda itu. Apa dia terlatih?" tanya penumpang lain.
"Ya." "Kalau begitu, sudah lama juga Anda miliki?"
"Tidak, saya menemukannya belum lama ini di pegunungan antara Tosa dan Awa."
"Jadi, Anda menangkapnya sendiri?"
"Ya, tapi monyet-monyet yang lebih tua hampir saja merobek-robek saya, sebelum saya
berhasil lari." Sambil berbicara, pemuda itu terus sibuk menangkapi kutu binatang itu. Kalaupun tidak
membawa monyet, pemuda itu pasti memikat perhatian orang, karena baik kimono maupun
jubah merah pendek di atas kimononya itu betul-betul menarik perhatian. Rambut bagian
depannya tidak bercukur, dan gelung rambutnya terikat pita ungu yang lain dari yang
lain. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia masih kanak-kanak, tapi sekarang ini tak semudah
dulu menyebut umur seseorang dari pakaiannya. Dengan naiknya Hideyoshi, pakaian pada
umumnya telah lebih berwarna-warni. Tidak aneh lagi bahwa lelaki yang sudah berumur
sekitar dua puluh lima tahun terus mengenakan pakaian seperti anak-anak umur lima belas
atau enam belas tahun, dan membiarkan rambut di ubun-ubunnya tidak dipotong.
Kulit pemuda itu bercahaya penuh kebeliaan, bibirnya merah sehat, dan matanya terang.
Di lain pihak, tubuhnya kokoh kekar dan kekerasan yang dewasa memancar dari alisnya
yang lebat dan lengkungan ke atas di kedua sudut matanya.
"Kenapa pula kau ini menggeliat-geliat saja?" katanya tak sabaran sambil mengetukngetuk tajam kepala monyet itu. Sikap polos yang diperlihatkannya waktu la mencari kutu
binatang itu menambah kesan umur mudanya.
Status sosial pemuda itu juga sukar dipastikan. Karena sedang dalam perjalanan, ia
mengenakan sandal jerami dan kaus kulit seperti yang dipakai semua orang. Jadi, dari
situ tak dapat diambil sesuatu kesimpulan, dan ia kelihatan betul-betul kerasan di
tengah pendeta pengembara, pemain boneka, para samurai compang-camping, dan para petani
yang tak bercukur di kapal itu. Dengan mudah ia dapat diduga sebagai seorang ronin,
namun ada sesuatu yang mengisyaratkan bahwa ia memiliki status lebih tinggi, yaitu
senjata yang disandangnya di punggung dengan tali kulit. Senjata itu berupa pedang
pertempuran yang panjang lurus, besar, dan buatannya amat indah. Hampir tiap orang yang
berbicara dengan pemuda itu memuji bagusnya buatan pedang tersebut.
Gion Toji yang berdiri beberapa jauh dari situ pun terkesan oleh senjata itu. Sementara
menguap dan berpikir bahwa di Kyoto pun tidak sering terlihat pedang yang demikian
tinggi mutunya, ia semakin ingin tahu latar belakang pemiliknya.
Toji merasa bosan. Perjalanan yang telah empat belas hari itu sungguh menjengkelkan,
melelahkan, dan lagi tak ada buahnya. Ia sudah rindu sekali berada lagi di tengah
orang-orang yang dikenalnya. "Ingin tahu juga aku, apa pembawa surat itu tiba pada
waktunya," renungnya. "Kalau tiba pada waktunya, dia pasti menjemputku di dermaga
Osaka." Ia mencoba mengingat-ingat wajah Oko, untuk meringankan beban kebosanan yang
dialaminya. Alasan di balik perjalanannya itu adalah keadaan keuangan Keluarga Yoshioka yang goyah,
akibat cara hidup Seijuro yang melebihi kemampuan. Keuarga itu tidak lagi kaya. Rumah
di Jalan Shijo sudah digadaikan, dan sudah dalam bahaya disita oleh para saudagar
kreditor. Yang lebih memburukkan keadaan adalah tunggakan-tunggakan akhir tahun yang
sudah tak terhitung jumlahnya. Biarpun semua milik keluarga dijual, tidak akan tersedia
cukup dana untuk menutup rekening yang sudah menimbun. Menghadapi keadaan ini, satusatunya komentar Seijuro hanyalah, "Bagaimana ini bisa terjadi?"
Karena merasa dialah yang mendorong keroyalan tuan muda itu, Toji mengatakan bahwa
persoalan itu mesti ia yang menangani. Ia berjanji, entah dengan cara bagaimana akan
membereskan soal-soal itu.
Dengan mengerahkan otaknya, sampailah ia pada gagasan untuk membangun sekolah baru dan
lebih besar di tanah kosong dekat Nishinotoin. Di situ jumlah siswa yang jauh lebih
besar akan dapat ditampung. Menurutnya, sekarang ini bukan zamannya lagi untuk bersikap
eksklusif. Dengan adanya segala macam orang yang berhasrat belajar seni perang dan para
daimyo yang menginginkan sekali prajurit terlatih, maka sekolah yang lebih besar dan
menghasilkan sejumlah besar pemain pedang terlatih akan memuaskan kepentingan semua
pihak. Makin lama memikirkan hal itu, makin hanyut ia dalam pemikiran bahwa kewajiban
suci sekolah itulah untuk mengajarkan Gaya Kempo kepada sebanyak mungkin orang.
Seijuro menulis surat edaran untuk maksud itu, dan dengan senjata itu Toji berangkat
mengusahakan bantuan dari bekas-bekas siswa sekolah di daerah barat Honshu, Kyushu, dan
Shikoku. Memang di berbagai wilayah feodal banyak orang pernah belajar di bawah
pimpinan Kempo, dan sebagian besar dari mereka sekarang menjadi samurai dengan
kedudukan yang membuat orang iri. Namun ternyata, walaupun Toji sungguh tulus dalam
permohonannya, tidak banyak di antara mereka yang bersedia memberikan sokongan berarti
atau berjanji akan memberikan uang sesuai dengan maklumat pendek itu. Sering benar
jawabannya berbunyi, "Akan saya tulis nanti pada Anda soal ini", "Akan kita tinjau hal
ini nanti, kalau saya berada di Kyoto lagi", atau lain lagi, yang bersifat sama juga,
menghindar. Sokongan yang dibawa pulang Toji hanya sebagian kecil saja dari jumlah yang
sebelumnya dibayangkannya.
Sebenarnya rumah tangga yang dalam bahaya itu bukanlah rumah tangga Toji sendiri, dan
wajah yang muncul dalam pikirannya sekarang pun bukan wajah Seijuro, melainkan wajah
Oko. Namun bahkan wajah Oko pun hanya dapat sekilas saja mengalihkan perhatiannya.
Segera kemudian ia sudah seperti duduk di bara hangat kembali. Ia iri pada pemuda yang
sedang mencari kutu monyetnya itu. Ia harus melakukan sesuatu untuk menghabis-kan
waktu. Toji mendekat dan mencoba membuka percakapan.
"Halo, orang muda. Ke Osaka, ya?"
Tanpa mengangkat kepala, pemuda itu membuka matanya sedikit dan katanya, "Ya."
"Apa keluargamu tinggal di sana?"
"Tidak." "Kalau begitu, tentunya kau dari Awa."
"Tidak, tidak juga dari sana." Kata-kata itu diucapkannya dengan sikap pasti.
Toji jadi terdiam untuk beberapa waktu, tapi kemudian mencoba lagi. "Pedangmu luar
biasa kelihatannya," katanya.
Agaknya, karena senang senjatanya dipuji, si pemuda memperbaiki posisi duduknya
menghadapi Toji dan menjawab ramah, "Ya, pedang ini sudah lama menjadi milik keluarga
saya. Ini pedang pertempuran, tapi saya bermaksud mencari pandai pedang yang baik di
Osaka untuk menyetelnya kembali, supaya mudah saya menariknya dari pinggang."
"Terlalu panjang, ya?"
"Tak tahulah. Panjangnya cuma semeter."
"Panjang sekali."
Sambil senyum si pemuda menjawab yakin, "Siapa saja harus dapat menggunakan pedang
sepanjang ini." "Memang pedang dapat dipakai, biar panjangnya semeter atau bahkan lebih," kata Toji
mencela. "Tapi cuma orang ahli yang dapat memakainya dengan mudah. Saya lihat sekarang
banyak orang terhuyung-huyung memakai pedang yang amat besar. Memang tampak
mengesankan, tapi kalau sudah terdesak, mereka balik kanan dan lari. Gaya apa yang
kaupelajari?" Dalam hal yang berkenaan dengan permainan pedang, Toji tak dapat
menyembunyikan perasaannya bahwa ia lebih unggul daripada anak ini.
Pemuda itu melontarkan pandangan penuh tanya ke wajah Toji yang tampak puas diri, dan
jawabnya, "Gaya Tomita."
"Tapi Gaya Tomita itu untuk pedang yang lebih pendek daripada pedang itu," kata Toji
dengan gaya berwibawa. "Oh, kalau saya mempelajari Gaya Tomita, tidak berarti saya harus mengguna-kan pedang
pendek. Saya tak suka meniru. Guru saya menggunakan pedang pendek, jadi saya putuskan
menggunakan pedang panjang. Dan itu menyebabkan saya dikeluarkan dari sekolah."
"Orang-orang muda seperti kalian rupanya bangga dengan sifat memberontak. Apa yang
terjadi sesudah itu?"
"Saya tinggalkan Desa Jokyoji di Echizen, dan pergi menemui Kanemaki Jisai. Dia juga
sudah meninggalkan Gaya Tomita, dan mengembangkan Gaya Chujo. Dia bersimpati pada saya,
menerima saya sebagai muridnya, dan sesudah empat tahun saya belajar di bawah


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pimpinannya, dia mengatakan saya bisa jalan sendiri."
"Guru-guru desa memang semuanya gampang saja mengeluarkan sertifikat."
"Oh, Jisai tidak. Dia tidak seperti itu. Nyatanya, satu-satunya orang yang pernah
diberinya sertifikat cuma Ito Yagoro Ittosai. Setelah saya memutuskan untuk jadi orang
kedua yang secara resmi diberi sertifikat, saya betul-betul kerja keras. Tapi belum
saya berhasil, tiba-tiba saya dipanggil pulang karena ibu saya akan meninggal."
"Di mana rumahmu?"
"Iwakuni, di Provinsi Suo. Sesudah pulang itu, tiap hari saya latihan di sekitar
Jembatan Kintai dengan menebasi sayap burung layang-layang dan menetaki cabang pohon
liu. Dengan itu saya mengembangkan teknik sendiri. Sebelum ibu saya meninggal, beliau
memberikan pedang ini dan minta saya menjaganya betul, karena pedang ini buatan
Nagamitsu." "Nagamitsu" Ah, masa?"
"Memang tak ada tanda tangannya pada ujungnya, tapi selamanya pedang ini dianggap
buatannya. Di tempat asal saya, ini pedang terkenal. Orang menamakannya Galah
Pengering." Walaupun sebelumnya pemuda itu pendiam, namun dalam masalah yang disukainya
ia dapat berbicara berpanjang-panjang, bahkan dengan sukarela ia memberikan keterangan.
Sekali mulai, ia terus mengoceh, dengan sedikit saja memperhatikan reaksi pendengarnya.
Dari situ, dan dari ceritanya tentang pengalaman-pengalamannya di masa lalu, tampak
bahwa wataknya lebih kuat daripada yang bisa disimpulkan melalui seleranya berpakaian.
Pada suatu ketika, pemuda itu berhenti bicara sesaat lamanya. Matanya mendung dan
merenung. "Ketika saya berada di Suo itu," gumamnya, "Jisai jatuh sakit. Ketika
mendengar kabar itu dari Kusanagi Tenki, saya betul-betul sedih dan menangis. Tenki
sudah belajar di sekolah itu lama sebelum saya, dan dia masih di sana ketika guru
terbaring sakit di tempat tidur. Tenki kemenakannya, tapi Jisai mempertimbangkan pun
tidak untuk memberikan sertifikat kepadanya. Sebaliknya, dia mengatakan pada
kemenakannya itu akan memberikan sertifikat pada saya bersama buku metoda-metoda
rahasia yang dimilikinya. Dia tidak hanya menginginkan saya menerimanya, melainkan juga
berharap bertemu dengan saya dan memberikannya langsung pada saya." Mata orang muda itu
pun basah oleh kenangannya.
Toji sama sekali tidak terkesan oleh pemuda tampan yang emosional itu, tapi berbicara
dengannya lebih baik daripada sendirian dan merasa bosan. "Oh, begitu," katanya,
berpura-pura menaruh minat besar. "Jadi, dia meninggal waktu engkau tak ada di tempat?"
"Ingin sekali saya pergi mendapatkannya begitu saya mendengar tentang sakitnya, tapi
dia ada di Kozuke, beratus mil jauhnya dari Suo. Lagi pula. akhirnya ibu saya meninggal
kira-kira pada waktu yang bersamaan, jadi tak mungkin saya berada di sampingnya sampai
akhir hayatnya." Awan-awan menyembunyikan matahari, membuat seluruh langit berwarna keabu-abuan. Kapal
mulai oleng, dan buih air terbang ke kapal lewat bibir kapal.
Pemuda itu melanjutkan cerita sentimentalnya, yang intinya adalah bahwa ia telah
menutup tempat semayam keluarganya di Suo, dan melalui suratmenyurat ia mempersiapkan
diri bertemu dengan temannya Tenki pada musim semi, ketika siang dan malam sama
lamanya. Kurang kemungkinannya bahwa Jisai yang tidak memiliki sanak dekat itu
meninggalkan banyak kekayaan, tapi ia mempercayakan kepada Tenki sejumlah uang untuk
orang muda itu, bersama sertifikat dan buku rahasia tersebut. Sebelum mereka berjumpa
pada hari yang telah ditentukan di Gunung Horaiji di Provinsi Mikawa, di tengah jalan
antara Kozuke dan Awa, Tenki diperkirakan sedang mengadakan perjalanan keliling untuk
belajar. Orang muda itu sendiri berencana menghabiskan waktu di Kyoto untuk belajar dan
melihat-lihat. Selesai dengan ceritanya, ia menoleh kepada Toji dan tanyanya, "Anda dari Osaka?"
"Tidak, saya dari Kyoto."
Sejenak mereka berdua terdiam, terbawa oleh bunyi ombak dan layar.
"Jadi, kau punya rencana memasuki dunia ini lewat seni bela diri?" kata Toji.
Pertanyaan itu sendiri cukup polos, namun pandangan mata Toji memperlihat-kan sikap
meninggikan diri, mendekati sikap merendahkan. Sudah lama ia muak dengan pemain-pemain
pedang muda sesat yang berkeliaran ke sana kemari membualkan sertifikat dan buku-buku
rahasianya. Ia berpendapat tak mungkin ada sedemikian banyak ahli pedang yang
mengembara berkeliling. Bukanlah ia sendiri hampir dua puluh tahun lamanya di Perguruan
Yoshioka, dan bukankah ia masih seorang murid, sekalipun murid yang mempunyai banyak
hak istimewa" Pemuda itu beralih tempat duduk dan memandang dengan saksama ke arah air yang kelabu.
"Kyoto?" gumamnya, kemudian menoleh lagi pada Toji, dan katanya, "Saya dengar ada orang
yang namanya Yoshioka Seijuro di sana, anak tertua Yoshioka Kempo. Apakah dia masih
aktif?" Toji jadi ingin sedikit mempermainkannya. "Ya," jawabnya singkat. "Perguruan Yoshioka
kelihatannya sekarang berkembang pesat. Sudah pernah engkau mengunjungi tempat itu?"
"Tidak, tapi kalau nanti sampai Kyoto, saya ingin bertanding dengan Seijuro, untuk
melihat sampai seberapa kebolehannya."
Toji batuk-batuk untuk menekan tawanya. Cepat sekali ia membenci keyakinan diri orang
muda yang kurang ajar itu. Tentu saja orang muda itu tidak mengetahui kedudukannya di
perguruan tersebut. Kalau ia tahu, tak sangsi lagi ia pasti menyesali apa yang baru
dikatakannya. Dengan wajah memerot dan nada menghinakan, Toji bertanya, "Dan kukira
engkau menduga dapat pergi tanpa cedera?"
"Kenapa tidak?" tukas balik pemuda itu. Sekarang dialah yang ingin tertawa, dan
tertawalah ia. "Yoshioka memiliki rumah besar dan banyak nama baik, jadi menurut
bayangan saya Kempo tentunya seorang pemain pedang besar. Tapi kata orang tak seorang
pun dari anak-anaknya bisa menyamai tarafnya."
"Bagaimana kau bisa demikian yakin, sebelum kau betul-betul berjumpa dengan mereka?"
"Itulah yang dikatakan oleh samurai dari provinsi-provinsi lain. Saya tak percaya
dengan segala yang saya dengar, tapi hampir setiap orang rupanya menduga Keluarga
Yoshioka akan berakhir dengan Seijuro dan Denshichiro."
Toji ingin sekali menyuruh pemuda itu menjaga lidahnya. Untuk sesaat bahkan terpikir
olehnya akan membuka identitasnya, tapi menggawatkan keadaan pada taraf itu akan
membuatnya tampak sebagai pihak yang kalah. Maka dengan seboleh-bolehnya menahan diri
ia menjawab, "Rupanya sekarang provinsi-provinsi penuh orang yang serbatahu, maka aku
tak heran kalau Keluarga Yoshioka disepelekan. Tapi cobalah engkau bercerita lebih
banyak tentang dirimu. Tadi kau mengatakan sudah menemukan cara membunuh burung layanglayang pada sayapnya?"
"Ya, saya tadi mengatakannya."
"Dan kau melakukannya dengan pedang panjang besar itu?"
"Betul." "Nah, kalau kau dapat melakukan itu, tentunya tak sukar bagimu menetak salah seekor
camar laut yang menukik ke kapal ini."
Pemuda itu tidak segera memberikan jawaban. Mendadak sontak terpikir olehnya bahwa Toji
punya maksud tak baik terhadapnya. Sambil menatap bibir Toji yang cemberut, katanya,
"Saya dapat melakukannya, tapi saya pikir itu perbuatan bodoh."
"Nah," kata Toji dengan nada bergaya, "jika kau demikian hebat hingga dapat meremehkan
Keluarga Yoshioka sebelum kau sendiri ke sana..."
"Oh, jadi saya sudah bikin kesal Anda, ya?"
"Tidak, sama sekali tidak," kata Toji. "Tapi tak seorang pun di Kyoto suka mendengar
Perguruan Yoshioka disepelekan."
"Ha! Tapi saya bukannya menyampaikan pikiran saya sendiri tadi itu. Saya hanya
mengulangi apa yang saya dengar."
"Orang muda!" kata Toji tajam.
"Apa?" "Apa kau tahu artinya 'samurai setengah matang'" Demi masa depanmu, kuperingatkan kau.
Kalau kau meremehkan orang lain, tidak bakal engkau sampai ke mana-mana. Kau membual
tentang menetak burung layang-layang dan bicara tentang sertifikat Gaya Chujo, tapi
lebih baik kau ingat bahwa tidak semua orang itu bodoh. Lebih baik kau melihat dulu
baik-baik siapa yang kauajak bicara, sebelum kau membanggakan diri."
"Anda pikir kata-kata saya itu cuma bualan?"
"Ya, betul." Toji mendekat sambil membusungkan dadanya. "Tak seorang pun keberatan
mendengar seorang muda membanggakan kemampuannya, tapi jangan-lah sampai keterlaluan."
Dan ketika orang muda itu tidak mengatakan sesuatu, Toji melanjutkan, "Dari permulaan
tadi aku sudah mendengar kau membangga-banggakan diri, dan aku tidak keberatan. Tapi
masalahnya adalah aku Gion Toji, murid utama Yoshioka Seijuro. Kalau sekali lagi kau
mengeluarkan ucapan yang menghina Keluarga Yoshioka, terpaksa aku bertindak!"
Waktu itu mereka sudah menarik perhatian penumpang-penumpang lain. Toji yang telah
menyatakan namanya dan mengagungkan statusnya berjalan dengan gayanya ke buritan kapal,
menggeram tentang kekurangajaran para pemuda zaman sekarang. Pemuda itu mengikutinya
tanpa mengatakan sesuatu, sedangkan para penumpang ternganga dari jarak yang aman.
Toji sama sekali tidak merasa senang dengan keadaan itu. Oko menantinya apabila kapal
masuk dermaga nanti, dan jika sekarang ia terlibat dalam perkelahian, ia akan mengalami
kesulitan dengan para pejabat kemudian. Maka dengan menampakkan diri sesantai mungkin
ia menelekan sikunya ke susuran kapal dan memandang penuh perhatian ke pusaran biru
hitam yang terbentuk di bawah kemudi.
Pemuda itu menepuk punggungnya pelan. "Tuan," katanya dengan suara tenang yang tidak
mengungkapkan kemarahan ataupun kebencian. Toji tidak menjawab.
"Tuan," ulang orang muda itu.
Tak dapat lagi menahan sikap masa bodohnya, Toji bertanya, "Apa maumu?"
"Tuan sudah menyebut saya seorang pembual di depan banyak orang yang tak dikenal,
sedangkan saya punya kehormatan yang harus saya junjung. Saya merasa terpaksa melakukan
apa yang sudah Tuan tantangkan pada saya untuk saya lakukan beberapa menit lalu, dan
saya ingin Tuan menjadi saksinya."
"Apa yang kutantangkan untuk kaulakukan?"
"Tidak mungkin Tuan sudah lupa. Tuan tertawa ketika saya katakan saya dapat menetak
sayap burung layang-layang, dan mendesak saya menebas burung camar."
"Hmm, jadi aku tadi usul begitu, ya?"
"Jika saya tebas seekor, apa itu akan meyakinkan Tuan bahwa saya tidak hanya omong?"
"Ya... ya, pasti."
"Baiklah, akan saya lakukan."
"Bagus sekali!" Toji tertawa mengejek. "Tapi jangan lupa, jika kau melakukan ini cuma
demi kebanggaan dan kau gagal, kau akan benar-benar menjadi tertawaan."
"Akan saya terima kemungkinan itu."
"Aku tak punya maksud mencegahmu."
"Tapi Tuan mau jadi saksi?"
"Oh, dengan senang hati."
Pemuda itu mengambil posisi di atas lempeng timah di tengah dek belakang dan
menggerakkan tangan ke pedangnya. Sambil melakukan itu, ia memanggil nama Toji. Toji
menatap ingin tahu, dan bertanya apa yang dikehendaki pemuda itu. Dengan sikap sangat
sungguh-sungguh pemuda itu berkata, "Suruh burung camar terbang turun di depan saya.
Saya siap menebas burung-burung itu, berapa saja jumlahnya."
Toil tiba-tiba menyadari persamaan antara apa yang sedang terjadi itu dengan jalan
cerita sebuah cerita lucu yang menurut kata orang diciptakan oleh pendeta Ikkyu. Pemuda
itu berhasil menganggapnya seekor keledai. Dengan marah ia berseru, "Omong kosong apa
pula ini" Kalau orang bisa membuat camar terbang di depannya, tentu saja dapat dia
menebasnya." "Laut menghampar beratus mil jauhnya, sedangkan pedang saya hanya satu meter
panjangnya. Kalau burung-burung itu tidak mendekat, mana bisa sava menebasnya?"
Sambil maju beberapa langkah, Toji berkata senang, "Itu namanya Cuma mau mencoba
menyelamatkan diri. Kalau tak bisa membunuh camar laut lewat sayap-sayapnya, katakan
saja tak bisa, dan mintalah maaf."
"Oh, kalau saya bermaksud melakukan itu, tak akan saya berdiri menanti di sini. Kalau
burung-burung itu tidak mendekat, akan saya tebas yang lain buat Tuan."
"Seperti misalnya...?"
"Cobalah maju lima langkah lagi. Akan saya tunjukkan pada Tuan."
Toji datang mendekat sambil menggeram, "Apa maksudmu sekarang?"
"Saya cuma ingin Tuan mengizinkan saya memanfaatkan kepala Tuan"kepala yang sudah Tuan
pakai mendesak saya membuktikan bahwa saya bukan hanya membanggakan diri. Kalau Tuan
pikir lebih masuk akal saya memenggal kepala itu daripada membunuh camar laut yang tak
bersalah." "Apa kau sudah gila?" teriak Toji. Secara refleks kepala Toji merunduk, karena justru
pada saat itu pemuda itu mencabut pedang dari sarungnya dan mengayunkannya. Gerakan itu
demikian cepat, hingga pedang yang panjangnya satu meter itu rasanya tak lebih besar
dari sebuah jarum. "A-a-apa?" teriak Toji sambil terhuyung ke belakang dan memegang kerahnya. Untunglah
kepalanya masih ada, dan sejauh yang ia ketahui, ia sama sekali tidak cedera.
"Mengerti sekarang?" tanya pemuda itu sambil membalik, dan pergi di antara tumpukan
bagasi. Toji jadi merah padam karena malu. Ketika ia memandang ke bawah, ke arah bagian dek
yang diterangi matahari, ia lihat sebuah benda yang tampak aneh, seperti sebuah sikat
kecil. Suatu pikiran mengerikan bersarang di kepalanya, dan ia meletakkan tangan ke
atas kepalanya. Gelungan rambutnya sudah hilang! Gelungan yang sangat dibanggakannyakebanggaan tiap samurai! Dengan wajah mengerikan ia menyapukan tangan ke atas
kepalanya, dan ternyata pita yang mengikat rambutnya di belakang kepala sudah lepas.
Rambut yang tadi terikat pita itu memburai di seluruh permukaan kepalanya.
"Bajingan!" Kemarahan yang tidak tanggung-tanggung melanda hatinya. Tahulah ia
sekarang, pemuda itu tidak berbohong atau menyuarakan bualan kosong. Ia memang masih
muda, tapi ia pemain pedang menakjubkan. Toji kagum bahwa orang yang masih begitu muda
dapat begitu hebat, tapi hormat yang dirasakannya itu satu hal, sedangkan kemarahan
dalam hatinya hal lain lagi.
Ketika mengangkat kepala dan melihat ke arah haluan, ia lihat pemuda itu sudah kembali
ke tempat duduknya semula dan sedang mencari-cari sesuatu di dek. Jelas ia sedang
lengah, dan Toji merasa bahwa kesempatan untuk membalas dendam tiba. Sambil meludahi
gagang pedang ia cengkeram gagang itu erat-erat, dan ia menyelinap ke belakang
penyiksanya. Ia tidak yakin apakah sasarannya cukup baik untuk memotong gelung rambut
orang itu saja tanpa mesh mengikutsertakan kepalanya, tapi ia tak peduli. Dengan tubuh
membengkak merah dan napas berat ia menabahkan diri untuk menyerang.
Tapi justru pada waktu itu timbul keributan di antara para saudagar yang sedang bermain
kartu. "Apa pula ini" Kartunya tak cukup!"
"Ke mana perginya?"
"Lihat sana!" "Aku sudah lihat."
Ketika mereka sedang berteriak-teriak dan mengibas-ngibaskan permadani, seorang di
antaranya kebetulan memandang ke atas.
"Di atas itu! Monyet itu yang mengambilnya!"
Senang dengan hiburan yang lain daripada yang lain itu, para penumpang lain semuanya
memandang monyet yang waktu itu bertengger di puncak bang yang tingginya sepuluh meter.
"Ha, ha!" tawa seseorang. "Bukan main monyet itu"mencuri kartu, ya, mencuri kartu."
"Nah, dia menguyahnya sekarang."
"Bukan, sepertinya dia sedang membagikannya."
Selembar kartu melayang turun. Salah seorang saudagar mengambilnya, dan katanya,
"Mestinya dia masih menyimpan tiga atau empat lembar lagi."
"Mesti ada yang naik mengambil kartu itu! Tak bisa kita main tanpa yang itu."
"Tak seorang pun mau memanjat."
"Bagaimana kalau Kapten sendiri?"
"Saya pikir dia dapat, kalau dia memang mau."
"Mari kita tawarkan uang kepadanya. Pasti dia mau."
Kapten mendengar usul itu, setuju menerimanya, dan mengambil uang itu, tapi agaknya ia
merasa bahwa sebagai pemimpin di kapal itu pertamatama ia harus menentukan tanggung
jawab atas kejadian tersebut. Berdiri di atas tumpukan muatan, ia berseru kepada para
penumpang. "Milik siapa monyet itu" Saya persilakan pemiliknya maju ke muka."
Tak seorang pun menjawab, tapi sejumlah orang yang mengetahui bahwa monyet itu milik si
pemuda tampan menjeling penuh harap kepadanya. Kapten sendiri mengetahui, maka naiklah
darahnya melihat pemuda itu tidak menjawab. Sambil meninggikan lagi suaranya, katanya,
"Apa pemiliknya tak ada di sini" Kalau tak ada yang memiliki monyet itu, saya akan
mengambilnya, tapi saya tak ingin ada keluhan nantinya."
Pemilik monyet bersandar pada sebuah muatan dan sedang berpikir keras. Beberapa
penumpang mulai berbisik-bisik dengan sikap tak senang. Kapten memandang benci pada
pemuda itu. Para pemain kartu menggerutu dengki, dan sebagian lagi mulai bertanya
apakah orang itu bisu-tuli atau sekadar kurang ajar. Namun pemuda itu hanya sedikit
mengubah kedudukannva ke sisi dan berbuat seolah-olah tak suatu pun terjadi.
Kapten berbicara lagi. "Rupanya monyet hidup di laut dan di darat. Seperti kita lihat,
seekor di antaranya sudah datang ke tempat kita. Karena dia tak bertuan, saya kira kita
dapat melakukan apa saja yang kita kehendaki. Para penumpang, jadilah saksi saya!
Sebagai kapten, saya sudah mengimbau pemiliknya untuk menyatakan diri, tapi dia tak
mau. Kalau nanti dia mengeluh menyatakan tidak mendengar saya, saya minta saudarasaudara berdiri di pihak saya!"
"Kami menjadi saksi Kapten!" teriak para saudagar yang waktu itu sudah hampir naik
pitam. Kapten menghilang turun dan masuk palka. Ketika muncul kembali, ia sudah memegang
senapan dengan sumbu lambat yang sudah dinyalakan. Tapi ada keraguan dalam hati siapa
pun bahwa Kapten siap menggunakanmya. Wajah orang-orang dialihkan dari Kapten ke
pemilik monyet. Monyet itu sedang menyenang-nyenangkan diri sepenuhnya. Di atas sana ia bermain dengan
kartu itu dan melakukan segala yang dapat dilakukannya untuk menjengkelkan orang-orang
di atas dek. Tiba-tiba ia memperlihatkan giginya, berceloteh, dan berlari ke ujung
palang tiang, tapi sesudah sampai di sana rupanya tak tahu ia apa yang hendak
dilakukannya. Kapten mengangkat senapan dan membidik. Tapi, sementara salah seorang saudagar menarik
lengan baju Kapten dan mendesaknya untuk menembak, pemilik monyet berseru, "Stop,
Kapten!"

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kali ini giliran Kapten berpura-pura tidak mendengar. Ia menekan pelatuk, para
penumpang menunduk sambil menutup telinga dengan tangan, dan senapan meletus dengan
suara berdentam. Tetapi tembakan itu melenceng jauh. Pada detik terakhir, orang muda
itu mendorong laras senapan dari kedudukannya.
Sambil memekik berang, Kapten mencekal dada orang muda itu. Untuk sesaat ia seperti
hampir tergantung-gantung, karena sekalipun bertubuh kuat, ia pendek dibandingkan
dengan pemuda tampan itu.
"Apa pula Tuan ini?" pekik si orang muda. "Tuan mau menembak monyet yang tak bersalah
dengan mainan Tuan itu?"
"Betul." "Tapi perbuatan itu tidak begitu baik, kan?"
"Saya sudah memberikan peringatan yang perlu!"
"Bagaimana Tuan melakukannya?"
"Apa kau tak punya mata dan telinga?"
"Diam! Saya penumpang di kapal ini. Dan lagi saya seorang samurai. Apa Tuan kira saya
mau menjawab kalau cuma seorang kapten kapal berdiri di depan para penumpang kapal,
lalu melenguh-lenguh seakan-akan dia majikan atau guru mereka?"
"Jangan kurang ajar kamu! Aku sudah mengulang peringatan tiga kali. Kau pasti
mendengar. Biarpun kau tak suka dengan caraku bicara, kau toh dapat memperlihatkan
iktikad baik pada orang-orang yang merasa terganggu oleh monyetmu?"
"Orang-orang mana" Yang Tuan maksud gerombolan pedagang yang sedang berjudi di belakang
tirai itu?" "Jangan omong besar kamu! Mereka membayar tiga kali lipat dari yang lain." '
"Itu sama sekali tak mengubah diri mereka-saudagar-saudagar yang rendah kelasnya dan
tak kenal tanggung jawab, yang melempar-lemparkan emas di depan semua orang, minum
sake, dan berbuat seolah-olah pemilik kapal. Saya sudah memperhatikan mereka, dan saya
tak suka sama sekali pada mereka. Bagaimana kalau monyet itu betul-betul lari membawa
kartu mereka" Saya tidak menyuruh berbuat demikian. Dia cuma menirukan apa yang mereka
lakukan. Tak ada alasan saya untuk minta maaf!"
Orang muda itu memandang tajam-tajam kepada para saudagar kaya dan menujukan tawanya
yang keras mencemooh ke arah mereka.
*** 23. Kerang Pelipur Lara PETANG hari, waktu kapal memasuki pelabuhan Kizugawa, disambut bau ikan yang meliputi
segalanya. Lampu-lampu kemerahan berkelap-kelip di pantai dan ombak berdebur terusmenerus di latar belakang. Sedikit demi sedikit jarak antara suara-suara yang datang
dari kapal dan suara-suara dari pantai memadu. Disertai kecipak air berwarna putih,
jangkar pun dijatuhkan; tali-tali dilontarkan dan tangga diturunkan pada tempatnya.
Teriakan-teriakan bersemangat riuh bunyinya memenuhi udara.
"Apa putra pendeta Biara Sumiyoshi ada di kapal?"
"Apa ada pembawasurat?"
"Guru! Kami ada di sini, di sini!"
Seperti ombak, lentera-lentera kertas bertuliskan nama-nama berbagai penginapan
melintasi dermaga menuju kapal, sementara para pencari pelanggan berlomba-lomba
melakukan pekerjaannya. "Siapa ke penginapan Kashiwaya!"
Orang muda tadi menerobos orang banyak dengan monyet bertengger di bahunya.
"Ke tempat kami, Tuan-tanpa bayar buat monyet."
"Tempat kami tepat di depan Biara Sumiyoshi yang cukup besar untuk peziarah. Tuan bisa
dapat kamar yang indah, dengan pemandangan yang indah juga!"
Tak seorang pun datang menjemput pemuda itu. Ia berjalan langsung dari dermaga, tanpa
memperhatikan para pencari pelanggan ataupun yang lainnya.
"Dia pikir siapa dirinya?" geram seorang penumpang. "Cuma karena tahu sedikit main
pedang!" "Oh, kalau aku bukan cuma rakyat biasa, tak bakal bisa dia pergi tanpa perkelahian."
"Tenanglah! Biar saja prajurit-prajurit itu menyangka mereka lebih baik daripada siapa
pun. Selama dapat bergaya seperti raja, mereka bahagia. Tugas kita sebagai rakyat
adalah membiarkan mereka mengambil bunga, sedangkan kita mengambil buahnya. Buat apa
uring-uringan karena kejadian kecil hari ini?" Sambil bercakap-cakap seperti ini, para
saudagar tetap mengurus agar barang mereka yang bergunung-gunung dihimpun dengan
tertib, kemudian diturunkan, untuk akhirnya dijemput oleh kelompok manusia, lentera,
dan kendaraan. Tak seorang pun dari mereka yang tidak segera dikelilingi beberapa
perempuan yang penuh hasrat membantu.
Orang terakhir yang meninggalkan kapal adalah Gion Toji. Wajahnya mengungkapkan
perasaan yang betul-betul tak enak. Tak pernah dalam hidupnya ia mengalami hari yang
lebih tidak menyenangkan daripada hari itu. Kepalanya terbungkus kerudung untuk
menyembunyikan gelungan yang hilang dengan cara sangat memalukan itu, tapi kain itu tak
dapat menyembunyikan alisnya yang turun dan bibirnya yang cemberut.
"Toji! Aku di sini!" seru Oko. Sekalipun kepalanya juga terbungkus kerudung, wajah Oko
terkena tiupan angin dingin selama menanti tadi, dan kerut-merutnya menampakkan diri
dari balik pupur yang dimaksud untuk menyembunyikannya.
"Oko! Jadi, kau datang juga."
"Itu yang kauharapkan, bukan" Kau menulis, minta aku menunggumu di sini, kan?"
"Ya, tapi kupikir surat itu tidak sampai pada waktunya."
"Ada yang tidak beres" Kau tampak bingung."
"Tak apa-apa. Cuma sedikit mabuk laut. Ayo kita pergi ke Sumiyoshi, mencari penginapan
yang baik." "Jalan sini. Ada joliku menunggu."
"Terima kasih. Apa kau sudah pesan kamar buat kita?"
"Ya. Semua orang menunggu di penginapan."
Pandangan cemas melintasi wajah Toji. "Semua orang" Apa maksudmu" Kupikir cuma kita
berdua yang akan menghabiskan hari-hari menyenangkan di satu tempat yang tenang. Kalau
banyak orang di sana, aku tidak pergi."
Ia menolak naik joli, dan berjalan marah lebih dulu. Ketika Oko mencoba menjelaskan, ia
menukasnya telak dan menyebutnya goblok. Segala kemarahan yang telah bertumpuk dalam
dirinya di kapal kini meledak.
"Aku akan tinggal sendiri di mana saja!" lenguhnya. "Suruh joli itu pergi! Bagaimana
mungkin kau begitu bodoh" Kau ini sama sekali tak mengerti diriku." Ia merenggutkan
lengan kimononya dari Oko dan bergegas pergi.
Waktu itu mereka berada di pasar ikan, di samping daerah pelabuhan. Semua toko sudah
tutup, dan sisik-sisik ikan yang bertebaran di jalan berkelipan seperti kerang-kerangan
perak kecil. Karena di sana betul-betul tidak ada orang, maka Oko memeluk Toji, mencoba
meredakar. kemarahannya. "Lepaskan!" pekik Toji.
"Kalau kau pergi sendiri, orang-orang akan mengira ada sesuatu."
"Biar mereka mengira semaunya!"
"Oh, jangan bicara seperti itu!" mohon Oko. Pipinya yang sejuk menempel pada pipi Toji.
Bau pupur dan rambutnya yang manis menyusupi diri Toji, dan berangsur-angsur kemarahan
dan rasa frustrasinya mereda.
"Aku mohon," pinta Oko.
"Ini cuma karena aku begitu kecewa," kata Toji.
"Aku tahu, tapi kita masih akan punya kesempatan lain untuk bersama-sama."
"Tapi dua-tiga hari ini"aku betul-betul mengharapkannya."
"Aku mengerti."
"Kalau kau mengerti, kenapa kauseret ikut orang-orang itu" Itu karena perasaanmu
terhadapku lain dengan perasaanku terhadapmu!"
"Sekarang kau mulai soal itu lagi," kata Oko mencela sambil menatap ke depan, dan
tampak seakan air matanya akan mengalir. Tapi ia bukannya menangis, melainkan mencoba
sekali lagi memaksa Toji mendengarkan penjelasannya. Ketika pembawa surat datang
membawa surat Toji, tentu saja ia berencana untuk datang ke Osaka sendirian, tapi dasar
nasib, malam itu juga Seijuro datang di Yomogi bersama enam atau tujuh orang muridnya,
dan Akemi membocorkan pada mereka bahwa Toji akan datang. Seketika itu juga orang-orang
itu memutuskan akan mengantar Oko ke Osaka dan minta Akemi datang bersama mereka.
Akhirnya rombongan yang menginap di penginapan Sumiyoshi itu berjumlah sepuluh orang.
Toji terpaksa membenarkan bahwa dalam keadaan seperti itu tak banyak yang dapat
diperbuat Oko, namun perasaan murungnya tidak juga membaik. Hari itu jelas bukan hari
baik baginya, dan ia yakin bakal datang yang lebih buruk lagi. Satu hal, pertanyaan
pertama yang akan dilontarkan kepadanya adalah tentang hasil kampanye keliling yang
telah dilakukannya, dan ia merasa benci karena harus menyampaikan berita buruk pada
mereka. Tapi yang jauh lebih ia takuti adalah bahwa ia terpaksa melepaskan kerudung
dari kepalanya. Bagaimana mungkin ia memberikan penjelasan tentang hilangnya gelungan
itu" Akhirnya ia menyadari bahwa tak ada jalan keluar, dan menyerahlah ia kepada nasib.
"Baiklah, baiklah," katanya, "aku pergi denganmu. Suruh joli itu kemari."
"Oh, aku sungguh bahagia!" seru Oko, lalu kembali ke dermaga.
Di rumah penginapan, Seijuro dan lain-lainnya sudah mandi, mengenakan kimono berlapis
katun nyaman yang disediakan rumah penginapan, dan duduk menanti kembalinya Toji dan
Oko. Beberapa waktu kemudian, ketika kedua orang itu tidak juga muncul, satu orang
berkata, "Cepat atau lambat mereka berdua akan datang. Tak ada alasan untuk duduk di
sini berpangku tangan."
Konsekuensi wajar dari pernyataan ini adalah pesanan sake. Semula mereka minum hanya
untuk menghabiskan waktu, tapi segera kemudian kaki mereka mulai membujur dengan
nikmatnya, dan mangkuk-mangkuk sake bergerak mondar-mandir lebih cepat. Tak lama
kemudian, mereka semua sudah kurang-lebih melupakan Toji dan Oko.
"Apa tak ada gadis-gadis penyanyi di Sumiyoshi ini?"
"Ide bagus! Apa salahnya kalau kita panggil tiga atau empat gadis manis?"
Seijuro tampak ragu-ragu, tapi kemudian satu orang menyarankan agar ia dan Akemi
mengundurkan diri ke kamar lain, di mana suasananya lebih tenang. Tindakan yang tidak
terlalu halus untuk menyingkirkannya itu mendatangkan senyum sayu di wajahnya, tapi
bagaimanapun ia senang juga meninggalkan tempat itu. Akan jauh lebih menyenangkan
berada sendirian dalam kamar dengan Akemi dan kotatsu hangat, daripada minum dengan
gerombolan orang kasar ini.
Segera sesudah ia keluar dari ruangan, pesta pun dimulai dengan sesungguhnya, dan tak
lama kemudian beberapa gadis penyanyi dari kelas yang oleh penduduk setempat dikenal
sebagai "kebanggaan Tosamagawa" muncul di kebun di luar kamar. Suling dan shamisen yang
mereka bawa sudah tua, bermutu rendah, dan sudah aus karena sering dipakai.
"Kenapa Tuan-tuan begini ribut?" tanya seorang di antara perempuan itu lancang. "Tuantuan datang kemari untuk minum atau bercekcok?"
Orang yang menganggap dirinya pimpinan menyahut, "Jangan mengajukan pertanyaanpertanyaan tolol. Tak ada orang mengeluarkan uang untuk berkelahi! Kami panggil kalian
kemari supaya kami dapat minum dan bersenang-senang."
"Nah," kata gadis itu dengan bijaksana, "saya senang mendengar itu, tapi saya harap
betul Tuan-Tuan sedikit tenang."
"Oh, kalau itu yang kaukehendaki, bagus! Mari kita nyanyikan lagu-lagu."
Untuk menghormati hadirnya wanita di tempat itu, beberapa tulang kering yang berambut
pun ditarik masuk ke balik ujung kimono, dan beberapa tubuh yang menggeletak menegakkan
diri. Musik dimulai, semangat meningkat, dan pesta berkembang pesat. Pesta sedang
berjalan sehebat-hebatnya ketika seorang gadis muda masuk memberitahukan bahwa orang
lelaki yang tiba dengan kapal dari Shikoku itu telah datang dengan temannya.
"Apa katanya" Ada orang datang?"
"Ya, dia bilang orang yang namanya Toji datang."
"Hebat! Bagus sekali! Toji tua yang baik itu datang... Siapa itu Toji?"
Masuknya Toji dengan Oko sama sekali tidak mengganggu acara itu, bahkan sesungguhnya
mereka berdua diabaikan. Setelah dibuat berpikir bahwa mereka semua berkumpul demi
meyakinkan Toji bahwa semua itu diadakan untuk dia, Toji jadi muak.
Ia panggil kembali gadis yang mengantar mereka dan minta dibawa ke kamar Seijuro. Tapi
ketika mereka sedang masuk ke gang, si biang keladi vang berbau sake datang terhuyunghuyung dan merangkulkan tangannya ke leher Toji.
"Hei, Toji!" katanya dengan nada malas. "Baru kembali" Kau tentunya bersenang-senang
dengan Oko entah di mana, selagi kami duduk menunggu di sini. Itu mestinya tak boleh
kamu lakukan!" Toji mencoba melepaskan orang itu dari dirinya, tapi sia-sia. Orang itu menariknya ke
dalam kamar, dan Toji meronta-ronta. Dalam perjalanan, orang itu menginjak sebuah-dua
buah baki, menendang beberapa guci sake, kemudian jatuh ke lantai bersama Toji pula.
"Kerudungku!" sengal Toji. Tangannya cepat memegang kepalanya, tapi terlambat. Sambil
jatuh, si biang keladi telah menyambar kerudung itu dan kini ia menggenggamnya. Semua
mata memandang langsung ke tempat bekas gelungan Toji, diiringi napas tersengal
bersama. "Apa yang terjadi dengan kepalamu?"
"Ha, ha, ha! Cukuran baru rupanya!"
"Di mana kaudapatkan itu?"
Wajah Toji menjadi merah padam. Sambil memungut kerudungnya dan mengembalikannya ke
tempatnya, ia menggagap, "Ah, tak apa-apa. Aku punya bisul."
Tanpa kecuali, semua orang tertawa terbahak-bahak.
"Dia bawa pulang bisul untuk oleh-oleh!"
"Tutup tempat yang busuk itu!"
"Jangan cuma bicara. Tunjukkan pada kami!"
Dari lelucon ringan itu jelaslah bahwa tak seorang pun percaya pada Toji, tapi pesta
berjalan terus, dan tak seorang pun bicara lagi tentang gelungan itu.
Pagi berikutnya persoalan sudah lain sama sekali. Pukul sepuluh, kelompok yang sama
sudah berkumpul di pantai di belakang rumah penginapan, dalam keadaan sudah tidak mabuk
dan tenggelam dalam pembicaraan yang sangat serius. Mereka duduk melingkar, sebagian
dengan dada dibidangkan, sebagian lagi dengan tangan disilangkan, tapi semuanya tampak
muram. "Dari segi mana pun, buruk keadaannya."
"Tapi persoalannya, apakah benar begitu?"
"Aku mendengar dengan telingaku sendiri. Apa kau mau menyebutku pembohong?"
"Kita tak dapat membiarkan hal itu berlalu tanpa melakukan sesuatu. Kehormatan
Perguruan Yoshioka sedang dipertaruhkan. Kita harus bertindak!"
"Tentu saja, tapi apa tindakan kita?"
"Nah, sekarang ini masih belum terlambat. Kita harus menemukan orang yang membawa
monyet itu dan memotong gelungannya. Kita harus menunjukkan kepadanya bahwa bukan hanya
kebanggaan Gion Toji yang tersangkut di sini. Ini persoalan yang menyangkut martabat
seluruh Perguruan Yoshioka! Ada yang keberatan?" Biang keladi yang mabuk semalam itu
kini menjadi letnan yang gagah berani, yang mendorong orang-orangnya memasuki
pertempuran. Ketika terbangun pagi itu, mereka memesan air hangat untuk mandi, untuk menghilangkan
sisa mabuk mereka. Dan ketika mereka berada di tempat mandi, seorang saudagar masuk.
Tanpa mengetahui siapa mereka, ia bercerita tentang apa yang telah terjadi di kapal. Ia
sampaikan pada mereka cerita lucu tentang pemotongan gelungan itu dan ia akhiri
ceritanya dengan mengatakan, "Samurai yang kehilangan rambutnya itu menyatakan diri
sebagai murid terkemuka Keluarga Yoshioka di Kyoto. Pendapat saya, kalau memang benar
demikian, keadaan Keluarga Yoshioka itu tentunya lebih buruk lagi dari yang dapat
dibayangkan orang." Murid-murid Yoshioka cepat bebas dari mabuknya dan pergi mencari murid senior yang
sulit diatur itu, untuk ditanyai tentang kejadian tersebut. Tapi segera mereka temukan
bahwa Toji sudah bangun lebih pagi, berbicara sepatah dua patah kata dengan Seijuro,
kemudian langsung berangkat dengan Oko ke Kyoto sesudah makan pagi. Hal ini membenarkan
tepatnya cerita itu, namun daripada mengejar Toji si pengecut, mereka memutuskan lebih
masuk akal menemukan pemuda tak dikenal yang membawa monyet itu dan membersihkan nama
baik Yoshioka. Dalam sidang perang di tepi pantai itu mereka menyepakati sebuah rencana, lalu bangkit
berdiri, mengibaskan pasir yang menempel di kimono, dan mulai beraksi.
Tidak jauh dari sana, Akemi yang bertelanjang kaki bermain di tepi air, memunguti
kerang laut satu demi satu, tapi langsung membuangnya kembali. Sekalipun waktu itu
musim dingin, matahari bersinar hangat dan bau laut memancar dari built ombak yang
menghampar seperti rantai bunga mawar putih sejauh-jauh mata memandang.
Dengan mata terbuka lebar karena heran, Akemi memandang orangorang Yoshioka berlari ke
arah yang berbeda-beda itu, sementara ujung sarung pedang mereka mendongak-dongak ke
udara. Ketika orang terakhir melewatinya, ia berseru, "Ke mana kalian semua ini pergi?"
"Oh, kamu?" kata orang itu. "Bagaimana kalau kau ikut mencari denganku" Setiap orang
mendapat bagian wilayah untuk diliput."
"Apa yang kalian cari?"
"Seorang samurai muda dengan jambul panjang. Dia membawa monyet."
"Apa yang dilakukannya?"
"Sesuatu yang akan membikin malu nama Tuan Muda, kecuali kalau kami bertindak cepat."
Ia menyampaikan pada Akemi apa yang telah terjadi. Namun ia gagal membangkitkan minat
Akemi setitik pun. "Kalian ini selalu saja mencari perkelahian!" kata Akemi dengan nada tidak sependapat.
"Bukannya kami suka berkelahi, tapi kalau kita biarkan dia lolos, dia dapat
mendatangkan aib bagi perguruan yang menjadi pusat terbesar seni bela diri di negeri
ini." "Dan bagaimana kalau benar begitu?"
"Kamu gila, ya?"
"Kalian orang-orang lelaki ini menghabiskan waktu dengan mengejar hal-hal paling
tolol." "Hah?" Dan dengan mata menyipit ia memandang Akemi curiga. "Dan apa yang kamu lakukan
di sini selama ini?"
"Aku?" Akemi menjatuhkan pandangan matanya ke pasir indah di sekitar kakinya, dan
katanya, "Aku mencari kerang laut."
"Buat apa mencarinya" Ada berjuta-juta kerang di seluruh tempat ini. Contoh yang tepat
buatmu. Perempuan biasa menghamburkan waktu dengan cara-cara yang lebih gila daripada
lelaki." "Tapi aku mencari jenis kerang yang sangat khusus. Namanya pelipur lara."
"Oh" Dan apa betul ada kerang macam itu?"


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada! Tapi orang bilang kita hanya dapat menemukannya di sini, di pantai Sumiyoshi."
"Aku berani bertaruh tak ada barang macam itu!"
"Ada! Kalau kamu tak percaya, ayo pergi denganku. Akan kutunjukkan nanti."
Ditariknya pemuda yang enggan itu ke barisan pohon pinus, dan ia tunjuk sebuah batu
berukiran sebuah sajak kuno.
Sekiranya kupunya waktu, Akan kutemukan ia di pantai Sumiyosbi.
Orang bilang akan sampai ke sana
Kerang penyebabnya Lupa akan cinta Dengan bangga Akemi berkata, "Lihat! Bukti apa lagi yang kamu perlukan?"
"Ah, itu kan cuma dongeng, salah satu kebohongan tak berguna yang disampaikan dengan
puisi." -Tapi di Sumiyoshi ada juga bunga yang bikin kita lupa, dan juga air."
"Nah, jika misalnya memang ada, keajaiban apa yang akan kaudapat?"
"Mudah sekali. Kalau kita masukkan satu ke dalam obi atau lengan baju kita, kita dapat
melupakan segalanya."
Samurai itu tertawa. "Jadi, maksudmu kamu mau lebih lalai daripada sekarang"
"Ya. Aku ingin melupakan semuanya. Ada beberapa hal yang tak dapat kulupakan, karena
itu aku merasa tidak bahagia siang hari dan berbaring dengan mata melotot malam hari.
Karena itulah aku mencarinya. Bagaimana kalau kamu tinggal saja di sini, membantu
mencari?" "Ah, ini bukan waktu untuk mainan anak-anak!" kata samurai itu mencela, kemudian tibatiba ia ingat akan kewajibannya, dan ia pun melesat sekencang-kencangnya.
Apabila sedang sedih, Akemi sering mengira bahwa persoalan yang dihadapinya akan
terpecahkan jika saja ia dapat melupakan masa lalu dan menikmati masa kini. Pada waktu
ini ia sedang merangkul lutut, dan merasa bimbang apakah akan berpegang teguh pada
sejumlah kenangan yang didambakannya, ataukah pada keinginan untuk melontarkan kenangan
itu ke laut. Jika sekiranya memang ada yang namanya kerang pelipur lara itu, demikian
diputuskannya, bukan ia yang akan membawanya, melainkan akan diselipkannya ke dalam
lengan baju Seijuro. Ia mengeluh, dan membayangkan alangkah baiknya hidup ini, kalau
saja Seijuro melupakan segala yang menyangkut dirinya.
Ingatan akan Seijuro itu saja membuat hatinya dingin. Ia cenderung yakin bahwa Seijuro
ada di dunia ini semata-mata untuk meruntuhkan masa mudanya. Ketika Seijuro mendesaknya
dengan pertanyaan-pertanyaan cinta bercampur bujukan, ia menghibur diri dengan
memikirkan Musashi. Tapi kenangan tentang Musashi yang sekali-sekali menjadi
pelariannya sering juga menjadi sumber kesengsaraannya, karena kenangan itu membuatnya
ingin lari dan meloloskan diri ke dunia impian. Ia ragu-ragu akan menyerahkan diri
seluruhnya kepada khayal, karena tahu besar kemungkinan Musashi telah sama sekali
melupakannya. "Oh, alangkah baiknya kalau ada cara yang dapat kupakai untuk menghapus wajahnya itu
dari pikiranku!" pikirnya.
Air Laut Pedalaman yang biru tiba-tiba tampak begitu memikat. Dan memandang laut itu,
ia jadi ketakutan. Alangkah mudahnya berlari langsung masuk ke dalamnya, dan
menghilang. Ibu Akemi sama sekali tak mengira bahwa Akemi menyimpan pikiranpikiran putus asa
semacam itu, apalagi Seijuro. Semua orang di sekitarnya menganggap Akemi sangat
bahagia, barangkali sedikit sembrono, tapi bagaimanapun masih kuncup yang belum
berkembang, hingga belum dapat barangkali ia menerima cinta seorang lelaki.
Bagi Akemi, ibunya dan orang-orang lelaki yang datang ke warung teh itu sesuatu yang
berada di luar dirinya. Pada waktu mereka hadir, ia tertawa berkelakar,
menggemerincingkan giring-giringnya, dan mencibir bila perlu. Tapi bila sendirian,
desah-desahnya muram dan gelap.
Pikiran-pikiran Akemi terganggu oleh datangnya seorang pembantu rumah penginapan.
Melihat ia berada di dekat prasasti batu, pembantu datang berlari, dan katanya, "Oh, di
mana Nona tadi" Tuan Muda memanggil-manggil Nona, dan beliau kuatir sekali."
Di rumah penginapan, Akemi menjumpai Seijuro sendirian menghangatkan kedua tangannya di
bawah selimut merah yang menutup kotatsu. Kamar dalam keadaan tenang. Di halaman, angin
lembut gemeresik lewat pohon-pohon pinus yang layu.
"Kau keluar dalam udara dingin begini?" tanya Seijuro.
"Apa maksudmu" Rasanya tidak dingin. Di pantai matahari terang."
"Apa yang kaulakukan di sana?"
"Mencari kerang laut."
"Kau ini macam anak kecil."
"Aku memang anak kecil."
"Berapa kaukira umurmu pada hari ulang tahun yang akan datang?"
"Tak ada artinya. Aku masih anak kecil. Apa salahnya?"
"Banyak salahnya. Kau mesti memikirkan rencana-rencana ibumu untukm u.."
"Ibuku" Dia tidak memikirkan aku. Dia sendiri yakin, dia masih muda."
"Coba duduk sini."
"Aku tak mau. Nanti aku kepanasan. Ingat tidak, aku masih muda."
"Akemi!" Seijuro menangkap pergelangan tangannya dan menariknya ke dirinya. "Tak ada
orang lain di sini hari ini. Ibumu cukup bijaksana dengan kembali ke Kyoto."
Akemi memandang mata Seijuro yang menyala, dan tubuhnya pun menegang. Secara tak sadar
ia mundur, tapi Seijuro memegang pergelangan tangannya erat-erat.
"Kenapa mau lari?" tanya Seijuro menuduh.
"Aku tak mau lari."
"Tak ada orang lain sekarang di sim. Ini kesempatan baik, bukan, Akemi?"
"Kesempatan apa?"
"Jangan keras kepala begitu! Sudah hampir setahun kita saling bertemu. Kau tahu
perasaanku padamu. Oko sudah lama memberi izin. Dia bilang, kau tak mau menyerah karena
caraku yang salah. Jadi, hari ini mari kita..."
"Berhenti! Lepaskan tanganku! Lepaskan, kataku!" Tiba-tiba Akemi membung-kuk dan
merendahkan kepala dengan malunya.
"Jadi, biar bagaimana kamu tak mau?"
"Berhenti! Lepaskan!"
Sekalipun tangan Akemi sudah merah oleh cengkeramannya, Seijuro tetap tak mau
melepaskannya. Tak mungkin gadis itu cukup kuat melawan teknik-teknik militer Delapan
Perguruan Kyoto. Hari ini Seijuro lain dari biasanya. Sering ia mencari kesenangan dan hiburan dengan
sake, tapi hari ini ia tak minum apa pun. "Kenapa kauperlakukan aku seperti ini, Akemi"
Kau mau menghina aku?"
"Tak mau aku bicara tentang itu! Kalau tidak kaulepaskan, aku menjerit!"
"Menjeritlah. Tak ada yang akan mendengarmu. Rumah besar terlalu jauh dari sini, dan
lagi, aku sudah bilang pada mereka supaya kita jangan diganggu."
"Aku mau pergi dari sini."
"Takkan kubiarkan."
"Tubuhku bukan milikmu!"
"Oh, jadi begitu perasaanmu" Lebih baik kautanyakan soal itu pada ibumu! Sudah cukup
banyak aku membayar."
"Oh, ibuku mungkin sudah menjualku, tapi aku belum menjual diriku! Lebih-lebih pada
lelaki yang kupandang rendah, lebih dari maut sendiri!"
"Apa?" pekik Seijuro sambil melontarkan selimut merah ke atas kepala Akemi.
Akemi menjerit sekuat paru-parunya.
"Menjeritlah, anak anjing! Jeritkan semua yang kaumau! Tak seorang pun akan datang."
Di atas shoji, sinar matahari pucat berbaur dengan bayangan resah pohon-pohon pinus,
seakan-akan tak sesuatu pun terjadi. Di luar, segalanya tenang kecuali pukulan ombak di
kejauhan dan cicit burung-burung.
Diam yang dalam mengiringi raungan Akemi yang teredam. Beberapa waktu kemudian, dengan
wajah pucat seperti mayat, Seijuro muncul di lorong luar, tangan kanannya memegang
tangan kiri yang baret-baret berdarah.
Tak lama sesudah itu pintu terbuka lagi dengan suara berdentam, dan Akemi muncul.
Seijuro yang tangannya kini berbungkus handuk berseru kaget dan bergerak seakan hendak
menghentikannya, tapi tidak cukup cepat. Gadis yang sudah setengah gila itu melarikan
diri secepat kilat. Wajah Seijuro mengerut gundah, tapi ia tidak mengejar Akemi, sementara Akemi
menyeberang halaman dan masuk bagian lain rumah penginapan. Tak lama kemudian senyuman
tipis jahat tersungging di bibirnya. Senyuman kepuasan yang amat sangat.
*** 24. Berlalunya Seorang Pahlawan
"PAMAN GON!" " Apa" " "Paman capek?" "Ya, sedikit." "Kupikir begitu. Aku sendiri hampir mogok, tapi biara ini bagus sekali gedunggedungnya, ya" Hei, apa ini bukan pohon jeruk yang disebut pohon rahasia Wakamiya
Hachiman itu?" "Rupanya." Barangkali inilah barang pertama dari delapan puluh kapal upeti yang disampaikan Raja
Silla kepada Maharani Jingu, ketika maharani itu menaklukkanKorea."
"Lihat kandang kuda-kuda suci itu! Apa bukan binatang yang elok itu" Pasti dia dapat
nomor satu dalam pacuan kuda tahunan di Kamo."
"Maksudmu yang putih itu?"
"Ya. Hmm, apa bunyi papan nama itu?"
"Katanya, air rebusan kacang yang dicampur makanan kuda kalau diminum bisa menghentikan
teriakan dan kerotan gigi malam hari. Apa kau mau sedikit?"
Paman Gon tertawa. "Jangan berbuat tolol macam itu!" Dan sambil menoleh ia bertanya,
"Apa yang terjadi dengan Matahachi?"
"Rupanya ngeluyur."
"Oh, itu dia, istirahat dekat panggung tarian suci."
Wanita tua itu mengangkat tangan memanggil anaknya. "Kalau kita lewat jalan itu, kita
dapat melihat Tori Agung yang asli, tapi mari kita pergi ke Lentera Tinggi."
Matahachi mengikuti dari belakang dengan malasnya. Semenjak ibunya menangkapnya di
Osaka, ia selalu bersama mereka-jalan, jalan, dan sekali lagi jalan. Kesabarannya mulai
menipis. Lima atau sepuluh hari melihat-lihat pemandangan mungkin bagus dan baik-baik
saja, tapi ia takut memikirkan harus menyertai mereka membalas dendam. Sudah dicobanya
meyakinkan mereka, bahwa berjalan bersama-sama seperti itu merupakan cara yang buruk.
Lebih baik ia pergi mencari Musashi sendirian. Tapi ibunya tak hendak mendengarkan.
"Sebentar lagi Tahun baru," ujarnya. "Dan Ibu ingin kau menyambutnya bersama Ibu. Sudah
lama kita tidak bersama-sama merayakan Tahun Baru, dan ini barangkali kesempatan kita
yang terakhir." Walaupun Matahachi tahu tak dapat menolak ibunya, ia telah membulatkan hati untuk
meninggalkan mereka beberapa hari sesudah hari pertama Tahun Baru. Osugi dan Paman Gon
barangkali kuatir takkan lama lagi hidup, karena itu mereka demikian tenggelam dalam
agama, dan sedapat-dapatnya berhenti di setiap biara dan kuil dengan meninggalkan
persembahan dan mengajukan permohonan panjang-panjang kepada para dewa dan Budha.
Hampir seluruh hari ini mereka habiskan di Biara Sumiyoshi.
Matahachi sudah kalut oleh rasa bosan, ia berjalan menyeret kaki dan cemberut.
"Apa kamu tak bisa jalan lebih cepat?" tanya Osugi marah.
Langkah Matahachi tidak berubah. Ia jengkel sekali pada ibunya, sama seperti jengkel
ibunya kepadanya, dan gerutunya, "Ibu ini terus saja menyuruhku cepat dan tunggu! Cepat
dan tunggu, cepat dan tunggu!"
"Apa yang mesti Ibu lakukan pada anak lelaki macam kamu" Orang datang ke biara, sudah
sewajarnya kalau dia berhenti dan berdoa kepada dewa-dewa. Belum pernah Ibu lihat kamu
membungkuk kepada satu dewa atau Budha pun. Ingat-ingatlah kata-kata Ibu ini, kamu akan
menyesal nanti. Kecuali itu, kalau kamu mau berdoa bersama kami, takkan lama kamu
menunggu." "Menjengkelkan!" geram Matahachi.
"Siapa yang menjengkelkan?" teriak Osugi berang.
Dua-tiga hari pertama segalanya semanis madu antara mereka, tapi begitu Matahachi sudah
terbiasa dengan ibunya lagi, mulailah ia tersinggung oleh segala yang dilakukan dan
dikatakan ibunya. Ia memperolok-olok Osugi setiap kali ada kesempatan. Apabila malam
tiba dan mereka kembali ke rumah penginapan, Osugi menyuruh Matahachi duduk di depannya
dan kemudian mengkhotbahinya, yang membuat Matahachi jadi lebih murung lagi.
"Bukan main pasangan ini!" keluh Paman Gon sendiri, sambil mencari-cari cara untuk
meredakan kekesalan perempuan tua itu dan mengembalikan sedikit ketenangan pada wajah
kemenakannya yang cemberut. Karena dirasanya akan terdengar khotbah lagi, ia bergerak
memintasinya. "Oh," serunya riang. "Rasanya aku mencium bau enak! Orang menjual remis
panggang di warung teh tepi pantai itu. Mari kita ke sana makan remis."
Baik ibu maupun anak tidak memperlihatkan kegairahan, tapi Paman Gon berhasil membawa
mereka ke warung tepi laut yang dipasangi kerai gelagah tipis itu. Sementara kedua
orang itu duduk seenak-enaknya di bangku luar, Paman Gon masuk dan keluar lagi membawa
sake. Sambil menawarkan mangkuk pada Osugi, katanya ramah, "Ini akan membikin Matahachi riang
sedikit. Barangkali kau sedikit terlalu keras kepadanya."
Osugi memalingkan muka, tukasnya, "Aku tak ingin minum apa-apa."
Terjerat oleh sarang labah-labahnya sendiri, Paman Gon menawarkan mangkuk pada
Matahachi. Matahachi masih marah-marah, dan segera mengosongkan tiga guci sake secepatcepatnya, karena tahu benar hal itu akan membuat ibunya pucat kelabu. Ketika ia meminta
guci keempat kepada Paman Gon, Osugi sampai pada batas kesabarannya.
"Sudah cukup kamu minum!" omelnya. "Ini bukan piknik, dan kita rancang kemari bukan
untuk mabuk! Kamu juga jaga dirimu, Paman Gon! kamu lebih tua daripada Matahachi,
mestinya tahu." Paman Gon menjadi malu, seolah-olah ia sendiri yang minum, dan mencoba menyembunyikan
wajahnya dengan menggosokkan tangan ke wajah itu. "Ya, kau benar," katanya menurut. Ia
bangkit berdiri, lalu berjalan pergi beberapa langkah jauhnya.
Lalu semuanya terjadi dengan sangat seru. Matahachi sudah menyinggung sedalam-dalamnya
cinta dan keprihatinan ibunya, rasa cinta yang dahsyat, walau rapuh. Osugi tak peduli
lagi apakah harus menanti sampai mereka kembali ke rumah penginapan. Dimarahinya
Matahachi dengan garang, tak peduli apakah orang lain mendengar atau tidak. Matahachi
menatapnya dengan pandangan ingkar yang muram, sampai ibunya selesai.
"Baik," katanya. "Jadi, Ibu sudah menyimpulkan, aku orang dusun yang tak tahu terima
kasih dan tak punya rasa hormat diri, kan" Betul?"
"Betul! Apa yang sudah kamu lakukan sampai sekarang, yang menunjukkan kamu punya rasa
bangga atau hormat diri?"
"Ibu, aku bukan orang tak berharga seperti yang Ibu pikir, tapi Ibu takkan tahu soal
itu." "Oh, jadi Ibu tak bisa tahu" Coba dengar, Matahachi, tak seorang pun yang lebih
mengenal anak daripada orangtuanya, dan kupikir hari kelahiranmu itulah hari buruk buat
Keluarga Hon'iden!" "Lebih baik Ibu tunggu dan lihat! Aku masih muda. Suatu hari nanti, kalau Ibu sudah
mati dan dikubur, Ibu akan menyesal sudah mengatakan itu."
"Ha! Kuharap memang demikian, tapi aku sangsi apa akan bisa terjadi meski seratus tahun
lagi. Sungguh menyedihkan, kalau dipikir-pikir."
"Kalau Ibu sedih sekali punya anak seperti aku, tak banyak lagi gunanya aku ada di
sini. Aku pergi!" Mendidih karena marah, ia bangkit berdiri dan berjalan pergi dengan
langkah-langkah panjang dan mantap.
Karena terkejut, perempuan tua itu mencoba memanggilnya kembali dengan suara bergetar
memilukan. Tapi Matahachi tak menghiraukannya.
Paman Gon yang sebetulnya dapat berlari dan mencoba menghentikannya hanya berdiri
memandang tajam ke laut, agaknya kepalanya disibukkan oleh pikiran-pikiran lain.
Osugi berdiri, kemudian duduk kembali. "Jangan mencoba menghentikannya," katanya siasia kepada Paman Gon. "Tak ada gunanya."
Paman Gon menoleh kepadanya, tapi bukan menjawab, melainkan mengatakan, "Gadis di sana
itu aneh sekali gerak-geriknya. Tunggu di sini sebentar!" Belum habis kata-kata itu
diucapkan, ia sudah melemparkan capingnya ke bawah tepi atap warung dan berlari secepat
anak panah ke air. "Goblok!!" teriak Osugi. "Ke mana kamu pergi" Matahachi..." Ia mengejar Paman Gon, tapi
sekitar dua puluh meter dari warung itu kakinya terantuk gumpalan rumput laut dan ia
jatuh tertelungkup. Sambil menggerutu marah ia bangun, wajah dan bahunya penuh dengan
pasir. Ketika terlihat kembali Paman Gon, kedua matanya melotot seperti cermin.
"Hei, orang tua goblok! Ke mana kamu pergi" Sudah kehilangan akal, ya?" jeritnya. Ia
begitu kalang kabut, hingga tampaknya ia sendiri
sudah gila. Ia lari kencang-kencang
mengikuti Paman Gon, namun terlambat. Paman Gon sudah masuk air sampai setinggi lutut,
dan terus ke tengah. Kelihatan la sudah hampir kesurupan, terselimut buih putih. Lebih jauh lagi di tengah
laut kelihatan seorang gadis muda yang mati-matian berusaha masuk ke air dalam. Ketika
Paman Gon pertama kali melihatnya, gadis itu masih berdiri dalam bayangan pohon-pohon
pinus, memandang kosong ke laut, tapi kemudian tiba-tiba ia berlari menyeberang pasir
dan masuk air, sementara rambutnya yang hitam berkibar di belakangnya. Air kini sudah
sampai pinggangnya, dan dengan cepat ia mendekati titik terjal di dasar laut.
Sambil mendekatinya, Paman Gon berseru-seru kalut, tapi gadis itu terus dengan
tekadnya. Tiba-tiba tubuhnya menghilang diiringi bunyi aneh, meninggal-kan pusaran di
permukaan. "Anak gila!" teriak Paman Gon. "Sudah nekat bunuh diri, ya?" Ia sendiri tenggelam ke
bawah permukaan air, gelagapan.
Osugi berlari ke sana kemari di tepian. Ketika dilihatnya kedua orang itu tenggelam,
jeritannya berubah menjadi seruan-seruan lantang minta tolong.
Sambil melambai-lambaikan tangan, berlari, dan jatuh-bangun ia memerintahkan orangorang di pantai untuk menolong, seakan-akan merekalah penyebab terjadinya kecelakaan.
"Selamatkan mereka, goblok! Cepat, kalau tidak mereka tenggelam."
Beberapa menit kemudian, beberapa nelayan membawa tubuh mereka dan meletakkannya di
atas pasir. "Bunuh diri karena cinta?" tanya seorang.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau berkelakar?" kata yang lain tertawa.
Paman Gon berhasil mencekal obi gadis itu dan masih menggenggamnya, tapi baik ia maupun
gadis itu sudah tidak bernapas lagi. Gadis itu menampilkan wajah aneh, karena sekalipun
rambutnya kusut dan kacau, pupur dan lipstiknya tidak terhapus, dan ia tampak seakan
masih hidup. Bahkan dengan giginya yang masih menggigit bibir bawah itu, mulutnya yang
ungu seperti menampakan gerak tawa.
"Saya pernah melihat gadis ini," seseorang berkata.
"Apa bukan dia yang cari kerang di pantai belum lama ini?"
"Ya, betul! Dia tinggal di penginapan sana itu."
Dari arah rumah penginapan ada empat atau lima orang yang datang mendekat. Di antara
mereka Seijuro yang dengan napas sesak menerobos kerumunan orang banyak itu.
"Akemi!" teriaknya. Wajahnya menjadi pucat, tapi ia berdiri saja.
"Apa bisa kita selamatkan dia?"
"Tidak bisa, kalau Tuan cuma berdiri melongo."
Para nelayan melepaskan cekalan Paman Gon, meletakkan kedua tubuh itu berdampingan.
Mereka mulai menampar-nampar punggung kedua orang itu dan menekan-nekan perutnya. Akemi
cepat sekali kembali bernapas. Karena ingin sekali menghindari tatapan mata para
penonton, Seijuro menyuruh orang-orang dari rumah penginapan membawa Akemi pulang.
"Paman Gon! Paman Gon!" panggil Osugi dengan mulut di telinga orang tua itu, berurai
air mata. Akemi dapat kembali hidup karena ia masih muda, tapi Paman Gon... Ia tidak
hanya tua, tapi ia pun telah minum sake cukup banyak sebelum menyelamatkan gadis itu.
Napasnya terhenti untuk selamanya. Seberapa banyak pun usaha Osugi tak akan dapat
membukakan matanya kembali.
Para nelayan menyerah, "Orang tua itu telah pergi."
Osugi berhenti menangis cukup lama untuk berpaling kepada mereka, seakan-akan mereka
musuh, bukan orang-orang yang telah membantu. "Apa maksud kalian" Kenapa dia mesti
mati, sedangkan gadis muda itu dapat selamat?" Sikapnya menunjukkan seakan ia siap
menyerang mereka secara fisik. Ditepiskannya orang-orang itu, dan katanya mantap, "Akan
kuhidupkan dia kembali! Akan kutunjukkan pada kalian."
Dan mulailah ia mencoba membangunkan Paman Gon dengan segala cara yang dapat
dipergunakannya. Tekadnya itu menimbulkan air mata orang-orang yang menyaksikannya.
Beberapa orang itu tinggal membantunya. Namun ia bukannya menghargai bantuan mereka,
malahan memerintah mereka melakukan ini-itu seperti tenaga sewaan. Ia mengeluh bahwa
mereka tidak menekan dengan cara yang benar, bahwa yang mereka lakukan takkkan ada
hasilnya, ia memerintah mereka membuat api, dan ia menyuruh mereka pergi mencari obat.
Apa pun yang ia lakukan, ia kerjakan dengan air muka semasam-masamnya.
Bagi orang-orang di pantai itu, ia bukan sanak ataupun teman, melainkan sekadar orang
asing, karena itu akhirnya orang yang paling bersimpati kepadanya pun menjadi marah.
"Siapa sih perempuan tua jelek ini?" geram satu orang.
"Hm! Tak tahu bedanya orang pingsan dan orang mati. Kalau dia bisa menghidupkannya
lagi, biar saja." Tak lama kemudian, tinggallah Osugi sendirian dengan mayat itu. Di tengah kegelapan
yang mulai menyelimuti, kabut bangkit dari laut, dan yang tertinggal dari hari itu
hanyalah barisan awan jingga di dekat kaki langit. Osugi membuat api dan duduk di
dekatnya, memeluk tubuh Paman Gon erat-erat.
"Paman Gon. Oh, Paman Gon!" lolongnya.
Ombak laut menggelap. Ia mencoba dan mencoba lagi mengembalikan kehangatan tubuh yang
telah mati itu. Pandangan wajahnya menunjukkan betapa ia berharap sebentar lagi Paman
Gon membuka mulut dan bicara dengannya. Ia kunyah beberapa pil dari kotak obat dalam
obi-nya dan ia pindahkan kunyahan itu ke mulut Paman Gon. Ia peluk Paman Gon dan ia
guncang-guncangkan. "Buka matamu, Paman Gon!" mohonnya. "Katakan sesuatu! Tak bisa kau pergi meninggalkan
aku sendirian. Kita masih belum membunuh Musashi atau menghukum Otsu yang bejat itu."
Di dalam rumah penginapan, Akemi terbaring dalam tidur yang resah. Ketika Seijuro
mencoba membetulkan letak kepalanya yang demam itu di atas bantal, ia menggumam
mengigau. Untuk sesaat Seijuro duduk di sampingnya, diam seribu bahasa, wajahnya lebih
pucat daripada wajah Akemi. Ketika mengetahui penderitaan yang telah ditimpakannya
kepada gadis itu, ia pun menderita.
Ia sendiri yang dengan nafsu binatangnya memangsa gadis itu dan memuaskan birahinya.
Sekarang ia duduk murung dan kaku, prihatin dengan denyut nadi dan napas gadis itu, dan
berdoa semoga hidup yang untuk beberapa waktu lamanya meninggalkan gadis itu bisa
dipulihkan kembali. Dalam satu hari yang singkat saja ia sekaligus menjadi binatang dan
manusia yang berperasaan belas kasihan. Tetapi bagi Seijuro yang cenderung kepada
ekstremitas, tingkah lakunya itu tidak terasa tidak konsisten.
Matanya sedih dan sikap mulutnya rendah hati. Ia menatap Akemi dan berbisik, "Cobalah
tenang, Akemi. Bukan cuma diriku seorang. Kebanyakan lelaki memang begitu.... Kau
segera akan mengerti, walaupun kau tentunya dikejutkan oleh kekerasan cintaku."
Sukarlah ditentukan, apakah kata-kata ini benar-benar ditujukan kepada gadis itu
ataukah dimaksudkan untuk menenang-kan dirinya sendiri. Tapi ia terus juga menyuarakan
perasaan itu berulang-ulang.
Kegelapan dalam kamar itu pekat seperti tinta. Shoji yang tertutup kertas meredam bunyi
angin dan ombak. Akemi bergerak, kedua tangannya yang putih menyelinap keluar dari bawah selimut. Ketika
Seijuro mencoba membetulkan letak selimut itu, Akemi meng-gumam, "Tanggal berapa ini?"
"Apa?" "Berapa... berapa hari lagi... Tahun Baru?"
"Tinggal tujuh hari lagi. Kau pasti sembuh sebelum waktu itu, dan kita akan kembali ke
Kyoto." Direndahkannya wajahnya ke Akemi, tapi Akemi menolak-nya dengan telapak tangan.
"Berhenti! Pergi! Aku tak suka padamu."
Seijuro menarik diri, tapi kata-kata setengah gila menyembur dari bibir Akemi.
"Orang tolol! Binatang!"
Seijuro tinggal diam. "Kau binatang. Aku tak... aku tak ingin melihatmu."
"Maafkan aku, Akemi, maafkan!"
"Pergi dari sini! Jangan bicara padaku." Tangan Akemi melambai-lambai kacau dalam
kegelapan. Seijuro menelan ludah dengan sedih, tapi terus juga me-mandanginya.
"Tanggal... tanggal berapa?"
Kali ini Seijuro tak menjawab.
"Apa ini belum Tahun Baru"... Antara Tahun Baru dan tanggal tujuh.... Tiap hari.... Dia
bilang akan ada di jembatan.... Kabar dari Musashi.... Tiap hari.... Jembatan Jalan
Gojo.... Tak lama lagi Tahun Baru.... Aku mesti kembali ke Kyoto.... Kalau aku pergi ke
jembatan itu, dia akan ada di sana."
"Musashi?" tanya Seijuro heran.
Gadis yang sedang mengigau itu terdiam.
"Apa Musashi ini ... Miyamoto Musashi?"
Seijuro menatap wajah Akemi, tapi Akemi tidak mengatakan apa-apa lagi. Kelopak matanya
yang biru menutup. Ia tidur lelap.
Daun-daun pinus kering mengetuk-ngetuk shoji. Seekor kuda meringkik. Cahaya muncul di
seberang penyekat, dan suara seorang pelayan terdengar mengatakan, "Tuan Muda ada di
sini." Buru-buru Seijuro masuk kamar sebelah, dengan hati-hati menutup pintu di belakangnya.
"Siapa?" tanyanya. "Aku di sini."
"Ueda Ryohei," terdengar jawabannya. Ryohei masuk dan duduk, masih dalam pakaian
perjalanan lengkap dan penuh debu.
Selagi mereka bertukar salam, Seijuro bertanya dalam hati, apa gerangan yang
menyebabkan orang itu datang. Karena seperti halnya Toji, Ryohei salah seorang siswa
senior yang diperlukan di rumah, maka Seijuro takkan membawanya dalam perjalanan
mendadak. "Kenapa datang kemari" Ada yang terjadi sepeninggalku?" tanya Seijuro.
"Ya, dan saya harus minta Anda segera kembali."
"Ada apa?" Ketika Ryohei memasukkan kedua tangannya ke dalam kimono dan meraba-raba, suara Akemi
terdengar dari kamar sebelah. "Aku tak suka padamu!... Binatang!... Pergi!" Kata-kata
yang diucapkan dengan jelas itu penuh nada takut. Siapa pun akan mengira ia sedang
terjaga dan dalam bahaya besar.
Dengan terkejut Ryohei bertanya, "Siapa itu?"
"Oh, itu" Akemi jatuh sakit ketika pulang. Dia demam, sekali-sekali dia sedikit
mengigau." "Itu Akemi?" "Ya, tapi tak apalah. Aku ingin mendengar kenapa kau datang."
Dari kantong perut di bawah kimononya akhirnya Ryohei mengeluarkan sepucuk surat dan
menyerahkannya kepada Seijuro. "Ini," katanya tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut,
kemudian mendekatkan lampu yang telah ditinggalkan oleh pelayan itu ke sisi Seijuro.
"Hmm. Dari Miyamoto Musashi."
"Ya!" kata Ryohei tegas.
"Kau sudah membukanya?"
"Ya. Saya sudah membicarakannya dengan yang lain-lain, dan kami memutus-kan bahwa
kemungkinan surat ini penting, karena itu kami membuka dan mem-bacanya."
Seijuro bukannya membaca sendiri isi surat itu, melainkan bertanya sedikit ragu, "Apa
katanya?" Walau tak seorang pun berani menyebutkan persoalan kepadanya, namun di balik
pikiran Seijuro sudah lama bersarang wujud Musashi. Walau demikian, ia sudah hampir
meyakinkan dirinya bahwa ia tak akan bertemu lagi dengan orang itu. Surat yang tibatiba datang, tepat sesudah Akemi menyebut nama Musashi itu, membuat tulang punggung
Seijuro panas dingin. Ryohei menggigit bibir, marah. "Akhirnya datang juga dia. Ketika dia pergi dengan
omongan besar musim semi lalu, saya yakin dia takkan menjejakkan kaki lagi di Kyoto,
tapi... coba Tuan bayangkan kesombongannya! Teruslah baca surat itu! Isinya tantangan,
dan dia punya nyali pula menunjukkan tantangan pada seluruh Keluarga Yoshioka, dan
menandatanganinya hanya dengan namanya sendiri. Dia pikir dia dapat menghadapi kita
semua sendirian!" Musashi tidak menuliskan alamat untuk balasan surat, dan dalam surat pun tak ada
isyarat tentang tempat ia berada. Tapi ia tidak melupakan janji yang telah ia tulis
kepada Seijuro dan murid-muridnya, dan dengan surat kedua ini dadu telah dilemparkan.
Ia mengumumkan perang pada Keluarga Yoshioka. Pertempuran akan terjadi, dan ini akan
merupakan pertempuran habis-habisan-pertempuran di mana para samurai akan bertarung
sampai mati untuk menjaga kehormatan dan memurnikan keterampilan mereka dengan pedang.
Musashi mempertaruhkan hidupnya dan menantang Perguruan Yoshioka untuk melakukan hal
yang sama. Apabila tiba waktunya, kata-kata dan keterampilan teknik yang mahir pun akan
sedikit saja artinya. Sumber bahaya terbesar adalah bahwa Seijuro masih belum memahami kenyataan ini. Ia
tidak melihat bahwa hari perhitungan sudah tiba, dan bahwa sekarang bukanlah saat untuk
membuang-buang waktu dengan kesenangan-kesenangan kosong.
Ketika surat itu tiba di Kyoto, di antara murid yang lebih teguh ada perasaan muak
terhadap cara hidup Tuan Muda yang tidak berdisiplin itu. Mereka menggerutu marah
karena ia tidak hadir justru pada saat yang demikian menentukan. Mereka gusar oleh
penghinaan yang dilontarkan oleh ronin tunggal ini, dan menyesal bahwa Kempo tidak lagi
hidup. Sesudah banyak membincang-kannya, mereka sepakat untuk menyampaikan keadaan itu
kepada Seijuro dan memutuskan bahwa Seijuro mesti segera kembali ke Kyoto. Namun ketika
surat sudah disampaikan sekarang, ternyata Seijuro hanya meletakkannya di pangkuan dan
tak bergerak membukanya. Dengan perasaan jengkel yang tampak jelas, Ryohei bertanya, "Apa Anda tak merasa perlu
membacanya?" "Apa" Oh, ini?" tanya Seijuro kosong. Ia membuka gulungan surat itu dan membacanya.
Jari-jarinya mulai menggeletar tak terkendalikan lagi, suatu tanda ketidakmantapan yang
disebabkan bukan oleh bahasa dan nada keras tantangan Musashi, melainkan oleh perasaan
lemah dan perasaan rendah pada dirinya sendiri. Kata-kata penolakan kasar Akemi
menghancurkan harga dirinya sebagai samurai. Belum pernah ia merasa demikian tanpa
daya. Surat Musashi sederhana dan langsung,
Apakah Anda dalam keadaan baik semenjak terakhir kali saya menyurati Anda. Sesuai
dengan janji saya terdahulu, kini saya menulis untuk menanyakan di mana, pada hari apa,
dan pada jam berapa kita akan bertemu. Saya tak punya pilihan khusus, dan saya bersedia
melaksanakan pertandingan yang telah kita janjikan pada waktu dan tempat yang Anda
tentukan. Saya mohon Anda memancangkan jawaban Anda di jembatan Jalan Gojo, sebelum
hari ketujuh Tahun Baru. Saya percaya Anda telah menggosok ilmu pedang Anda sebagaimana biasa. Saya sendiri
merasa bahwa sampai batas-batas tertentu telah mencapai perbaikan.
Shimmen Miyamota Musashi.
Seijuro menjejalkan surat itu ke dalam kimononya, dan berdirl.
"Aku akan kembali ke Kyoto sekarang," katanya.
Kata-kata ini diucapkannya lebih karena perasaan sudah demikian kalut, hingga ia tidak
dapat lagi tinggal di tempat itu lebih lama; jadi, bukan karena ketabahan. Ia harus
pergi dan segera mungkin melupakan seluruh hari mengerikan itu.
Disertai suasana hiruk-pikuk, pemilik rumah penginapan dipanggil dan diminta mengurus
Akemi, suatu tugas yang diterimanya dengan perasaan enggan, sekalipun menerima uang
Seijuro. "Akan kupakai kudamu," kata Seijuro pada Ryohei. Dan seperti seorang bandit yang sedang
melarikan diri, ia melompat ke pelana dan melarikan kuda itu kencang-kencang melintasi
baris-baris pohon gelap, meninggalkan Ryohei yang mengikutinya dengan berlari setengah
mati. *** 25. Galah Pengering "PEMUDA yang membawa monyet" Ya, dia memang kemari belum lama ini."
"Apa Anda lihat, ke mana perginya?"
"Kesana, ke arah Jembatan Nojin. Tapi dia tidak menyeberangi jembatan-sepertinya dia
masuk bengkel pandai pedang."
Setelah berunding sebentar, murid-murid Yoshioka berangkat beramai-ramai, membuat orang
yang memberikan keterangan itu menganga heran menyaksikan segala keributan tersebut.
Walaupun waktu itu sudah lewat saat tutup bagi toko-toko sepanjang Parit Timur, toko
pedang masih buka. Seorang dari orang-orang itu masuk, mengadakan pembicaraan dengan
magang toko, kemudian keluar sambil berseru, "Temma! Dia menuju Temma!" Dan ke sanalah
mereka berduyun-duyun. Magang mengatakan bahwa ketika ia baru akan menutup daun jendela menjelang malam,
seorang samurai berjambul panjang menurunkan monyet di dekat pintu depan, duduk di
bangku dan minta bertemu dengan pandai pedang. Ketika kepadanya disampaikan bahwa
pandai pedang sedang pergi, samurai itu mengatakan ingin menajamkan pedangnya, tapi
pedang itu terlampau berharga untuk dipercayakan kepada orang lain di luar ahli pedang
sendiri. Ia lalu mendesak minta melihat contoh-contoh karya pedang.
Magang dengan sopan memperlihatkan kepadanya beberapa bilah pedang, tapi sesudah
mengamati, yang diperlihatkan samurai itu tak lebih dari sikap muak. "Rupanya Anda
sekalian di sini cuma mengerjakan senjata-senjata biasa," katanya kering. "Saya tidak
yakin apakah akan menyerahkan pedang saya pada Anda. Pedang saya terlampau bagus, karya
seorang pandai pedang Bizen. Namanya Galah Pengering. Lihat" Sempurna sekali." Ia
mengangkat pedangnya, dan jelas dengan perasaan bangga.
Tertarik akan bualan orang muda itu, si magang bergumam mengatakan bahwa satu-satunya
ciri menonjol pedang itu adalah bentuknya yang panjang dan lurus. Samurai itu jelas
sekali tersinggung karenanya, dan mendadak berdiri dan minta keterangan tentang
bagaimana pergi ke pangkalan kapal tambangan Temma Kyoto.
"Akan saya rawatkan pedang saya di Kyoto," tukasnya. "Semua pandai pedang Osaka yang
sudah saya kunjungi rupanya hanya mengurusi barang rombengan prajurit biasa. Maaf,
telah mengganggu." Ia berangkat dengan pandangan dingin.
Cerita magang itu semakin membikin berang mereka. Itu bukti baru mengenai apa yang
mereka anggap kecongkakan luar biasa orang muda itu. Jelas bagi mereka, pengalaman
Sayap Sayap Terkembang 14 Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur Misteri Naga Laut 1
^