Tragedi Tiga Babak 1
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie Bagian 1
THREE ACT TRAGEDY by Agatha Christie TRAGEDI TIGA BABAK Alihbahasa: Mareta Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan kedua: Agustus 1995
BABAK PERTAMA KECURIGAAN BAB I MR. SATTERTHWAITE duduk di teras Crow's Nest dan memandang pemilik rumah, Sir
Charles Cartwright, yang sedang mendaki jalan setapak dari arah laut. Crow's
Nest adalah sebuah bungalo modern. Bangunan itu tidak mempunyai ciri-ciri kuno,
misalnya atap kayu, gable, dan lengkungan-lengkungan yang disukai pembuat-
pembuat rumah, tapi merupakan sebuah bangunan sederhana, kokoh, putih, dengan
ukuran menyesatkan karena jauh lebih besar dari yang kelihatan. Namanya
disesuaikan dengan letaknya yang ada di ketinggian, menghadap Pelabuhan
Loomouth. Salah satu sudut teras terlindung pagar kuat, berbatasan langsung
dengan laut yang jauh di bawah. Lewat jalan darat, Crow's Nest hanya satu mil
dari kota. Jalan itu menjorok ke daratan, lalu berkelok-kelok naik sampai ke
bukit yang tinggi di atas laut. Dengan berjalan kaki, bungalo itu bisa dicapai
dalam waktu tujuh menit lewat jalan setapak curam yang sedang dilalui Sir
Charles Cartwright saat itu.
Sir Charles adalah laki-laki setengah baya dengan tubuh tegap dan kulit
kecokelatan. Ia memakai celana flanel tua berwarna abu-abu dan sweater putih.
Gayanya berjalan seperti menggelinding dan tangannya setengah terkepal pada
waktu berjalan. Sembilan dari sepuluh orang akan mengatakan, "Pasti pensiunan
angkatan laut." Orang kesepuluh dari mereka yang lebih cermat pasti ragu-ragu,
sebab ada yang tidak sesuai dengan pernyataan itu. Lalu mungkin akan timbul
suatu gambaran - dek sebuah kapal, tapi bukan kapal sungguhan - sebuah kapal yang
terkait pada tirai tebal dan seorang lelaki, Charles Cartwright, berdiri di atas
dek itu, dengan cahaya menyinari dirinya, tapi bukan cahaya matahari, dan tangan
yang setengah tergenggam, sikap yang luwes dan suara - suara pelaut Inggris dan
suara orang baik-baik yang enak - dengan nada agak dibesarkan.
"Tidak," kata Charles Cartwright. "Rasanya aku tak bisa memberi jawaban untuk
pertanyaan itu." Dan tirai tebal itu pun diturunkan, lampu-lampu menyorot terang, orkestra
memainkan lagu terakhir, gadis-gadis dengan pita besar menghias rambut mereka,
berkata, "Cokelat" Limun?" Babak pertama Panggilan Laut dengan Charles
Cartwright sebagai Komandan Vanstone pun berakhir.
Dari tempat duduknya, Mr. Satterthwaite memandang ke bawah dan tersenyum.
Mr. Satterthwaite seorang ahli seni drama bertubuh kecil, seorang snob yang
menyenangkan dan suka bersikap tegas, sering terlibat dalam pesta-pesta dan
kegiatan sosial kalangan atas. Kata-kata "dan Mr. Satterthwaite" selalu menjadi
ujung daftar tamu banyak undangan. Mr. Satterthwaite pengamat yang tajam dan
cerdas. Ia bergumam sekarang, sambil menggelengkan kepala, "Kurasa tidak. Kukira tidak."
Di teras terdengar suara langkah kaki, dan ia pun menoleh. Laki-laki bertubuh
besar dan berambut abu-abu yang menarik kursi lalu duduk itu seolah-olah
mempunyai cap profesi yang tertera jelas di wajahnya yang cerdas dan ramah.
"Dokter" dan "Harley Street". Sir Bartholomew Strange adalah orang yang sangat
sukses dalam profesinya. Ia spesialis penyakit saraf yang terkenal dan baru-baru
ini menerima anugerah gelar bangsawan.
Ia menarik kursinya ke dekat Mr. Satterthwaite dan berkata, "Apa yang kaukira
tidak, eh" Coba ceritakan."
Sambil tersenyum, Mr. Satterthwaite mengalihkan pandangan ke bawah, pada sosok
yang sedang mendaki jalan setapak itu dengan cepat.
"Kurasa Sir Charles tidak akan selamanya puas dalam... eh... pembuangan."
"Ya Tuhan, tentu saja!" sahut kawan bicaranya sambil tertawa dan melemparkan
kepalanya ke belakang. "Aku sudah kenal dia sejak kecil. Kami sama-sama sekolah
di Oxford dulu. Dan dia tetap saja begitu. Dia aktor yang lebih baik dalam
kehidupan pribadinya daripada di atas panggung! Charles selalu bersandiwara.
Memang begitu - sudah mendarah daging. Istilahnya, dia tak pernah keluar dari
sebuah ruangan; dia 'mengakhiri satu babak', dan biasanya dia harus punya peran
baik. Dia juga suka ganti-ganti peran. Dua tahun lalu dia pensiun dari panggung -
katanya ingin menikmati hidup sederhana di desa, jauh dari keramaian kota, dan
mewujudkan impiannya tinggal di dekat laut. Dia datang ke sini dan mendirikan
tempat ini. Beginilah idenya tentang sebuah pondok desa sederhana. Dengan tiga
kamar mandi dan perlengkapan mutakhir! Aku pun punya pikiran sama,
Satterthwaite. Kurasa ini tak akan lama. Bagaimanapun, Charles manusia. Dia
memerlukan penonton. Dua atau tiga pensiunan kapten, segerombol wanita tua, dan
seorang pendeta - itu tidak cukup. Kurasa 'laki-laki sederhana dengan cintanya
pada laut' akan habis dalam enam bulan. Terus terang, kurasa dia akan bosan
dengan peran itu. Mungkin selanjutnya dia akan menjadi seorang laki-laki capek
di Monte Carlo atau seorang tuan tanah di pegunungan - dia sangat pandai memainkan
perannya itu. Ya, itu."
Dokter itu berhenti. Bicaranya memang panjang. Matanya memancarkan rasa sayang
dan perasaan setengah geli ketika memandang lelaki di bawah sana. Dua menit lagi
lelaki itu pasti sudah sampai di depan mereka.
"Tapi," Sir Bartholomew melanjutkan, "kelihatannya kita keliru. Ada sesuatu yang
menarik. Sesuatu yang sederhana dalam hidup ini."
"Orang yang suka bersandiwara biasanya sulit diterka," kata Mr. Satterthwaite.
"Walaupun jujur, orang sulit menerimanya dengan serius."
Dokter itu mengangguk. "Ya. Betul," katanya sambil merenung.
Sambil menyapa riang, Charles Cartwright muncul di tangga teras.
"Mirabelle luar biasa," katanya. "Seharusnya kau ikut, Satterthwaite."
Mr. Satterthwaite menggelengkan kepala. Ia sudah terlalu sering menderita ketika
menyeberangi Channel - Selat Inggris - dan tahu kekuatan perutnya di laut. Ia telah
memperhatikan Mirabelle dari jendela kamarnya pagi itu. Angin cukup baik untuk
berlayar, dan Mr. Satterthwaite bersyukur tetap berpijak di daratan yang kering.
Sir Charles minta minum. "Kau seharusnya ikut, Tollie," katanya pada temannya. "Bukankah separo umurmu
kaupakai untuk duduk di Harley Street, menasihati para pasienmu bahwa ombak laut
baik untuk kesehatan mereka?"
"Keuntungan dokter," sahut Sir Bartholomew, "adalah tak perlu mengikuti
nasihatnya sendiri."
Sir Charles tertawa. Tanpa sadar ia masih memainkan peran seorang pelaut yang
bebas. Ia memang pria tampan, dengan proporsi tubuh indah dan wajah penuh humor.
Rambut yang mulai memutih di pelipisnya membuatnya tambah menarik. Ia memang
kelihatan seperti dulu - pertama, pria terhormat, kemudian aktor.
"Kau pergi sendiri?" tanya si Dokter.
"Tidak." Sir Charles berpaling untuk mengambil minuman dari seorang pelayan
berpakaian rapi yang mengulurkan nampan. "Aku punya pembantu. Si Egg."
Ada sesuatu, sebuah tekanan pada suaranya, yang membuat Mr. Satterthwaite
menatapnya dengan tajam. "Miss Lytton Gore" Dia tahu cukup banyak tentang pelayaran, ya, kan?"
Sir Charles tertawa agak sedih.
"Dia berhasil membuatku merasa seperti orang darat, tapi aku mampu juga karena
bantuannya." Bermacam-macam pikiran berkelebat dalam kepala Mr. Satterthwaite:
"Apa benar... Egg Lytton Gore... Barangkali itu sebabnya Charles masih belum
bosan dengan tempat ini. Gadis itu memang menarik."
Sir Charles melanjutkan, "Laut - ah, begitu indah. Tak ada duanya. Matahari,
angin, dan laut. Dan sebuah gubuk sederhana untuk pulang."
Ia memandang senang pada bangunan putih di belakangnya yang dilengkapi dengan
tiga kamar mandi, air dingin dan panas di semua kamar tidur, sistem pemanasan
sentral yang mutakhir, peralatan listrik terbaru, dan staf rumah tangga yang
terdiri atas pelayan kamar, pelayan rumah, koki, dan pelayan dapur. Interpretasi
Sir Charles tentang hidup sederhana barangkali terlalu berlebihan.
Seorang wanita jangkung dan tidak menarik muncul dari dalam rumah dan mendekati
mereka. "Selamat pagi, Miss Milray."
"Selamat pagi, Sir Charles. Selamat pagi." Ia menoleh dan menganggukkan kepala
sedikit pada kedua laki-laki lainnya. "Ini menu untuk makan malam. Barangkali
ada yang perlu diganti?"
Sir Charles mengambilnya dan bergumam,
"Coba lihat. Melon cantaloupe, borsch soup, mackerel segar, grouse, souffl?
Surprise, canap? Diane... Tidak, sudah bagus, Miss Milray. Semua akan datang
dengan kereta pukul 16.30."
"Saya sudah memberi instruksi pada Holgate. Oh ya, Sir Charles, kalau Anda tidak
keberatan, saya juga ingin ikut makan malam nanti."
Sir Charles kelihatan terkejut, tapi ia berkata dengan sopan,
"Tentu saja, Miss Milray. Saya akan senang, tapi, eh..."
Miss Milray dengan tenang menjelaskan, "Kalau tidak, semuanya akan berjumlah
tiga belas di meja makan. Dan banyak orang yang masih percaya takhayul."
Dari nada suaranya, bisa disimpulkan bahwa Miss Milray tidak akan peduli apabila
harus makan bertiga belas di satu meja makan setiap malam. Ia melanjutkan,
"Saya kira semuanya sudah diatur. Saya telah memberitahu Holgate bahwa mobilnya
untuk menjemput Lady Mary serta Mr. dan Mrs. Babbington. Betul begitu?"
"Persis. Itulah yang ingin saya katakan pada Anda."
Dengan senyum tipis yang agak angkuh di wajah buruknya, Miss Milray meninggalkan
mereka. "Dia memang wanita luar biasa," kata Sir Charles penuh tekanan. "Aku takut suatu
kali nanti dia akan datang dan menggosokkan gigiku."
"Efisiensi dalam wujud manusia," kata Strange.
"Dia sudah enam tahun bekerja padaku," kata Sir Charles. "Pertama-tama sebagai
sekretarisku di London, dan di sini, dia menjadi semacam pimpinan rumah tangga
yang dihormati. Dia mengatur segalanya. Dia melakukan tugas-tugasnya dengan
tepat, seperti jam. Dan sekarang dia akan pergi."
"Kenapa?" "Dia bilang," Sir Charles menggosok hidungnya dengan sikap ragu-ragu, "katanya
dia punya ibu yang invalid. Aku sendiri tak percaya. Wanita seperti dia pasti
tak punya ibu. Dia bisa tiba-tiba muncul dari sebuah dinamo. Pasti ada hal
lain." "Bisa jadi," kata Sir Bartholomew. "Aku dengar omongan orang."
"Omongan?" sang aktor bertanya penuh rasa ingin tahu. "Omongan apa?"
"Charles, kau kan tahu apa artinya omongan."
"Maksudmu omongan tentang dia - dan aku" Dengan wajah seperti itu" Dan seumur
dia?" "Barangkali dia belum lima puluh."
"Ya, barangkali." Sir Charles mempertimbangkan pernyataan itu. "Tapi ini serius,
Tollie. Apa kau pernah memperhatikan wajahnya" Memang matanya dua, hidungnya
satu, dan mulutnya juga, tapi itu bukan seraut wajah - wajah wanita. Orang yang
paling suka gosip pun tak akan menghubungkan suatu skandal dengan wajah seperti
itu." "Kau menganggap enteng imajinasi perawan tua Inggris."
Sir Charles menggelengkan kepalanya.
"Aku tak percaya. Ada sesuatu yang membuat Miss Milray disegani orang, yang
pasti diketahui perawan tua Inggris. Dia baik, terhormat, dan berguna. Aku
selalu memilih sekretaris yang berpenampilan biasa."
"Kau bijaksana."
Sir Charles diam beberapa menit. Untuk mengalihkannya, Sir Bartholomew bertanya,
"Siapa yang datang nanti sore?"
"Angie." "Angela Sutcliffe" Bagus."
Mr. Satterthwaite mencondongkan badan ke depan, penuh rasa ingin tahu, siapa
saja tamu yang diundang. Angela Sutcliffe adalah aktris terkenal, tidak lagi
muda, tapi masih populer dan dikagumi orang. Mereka menyukainya karena
kemampuannya bicara dan daya tariknya. Orang menganggapnya pengganti Ellen
Terry. "Lalu suami-istri Dacres."
Mr. Satterthwaite mengangguk lagi. Mrs. Dacres adalah Ambrosine, Ltd. - sebuah
perusahaan garmen yang sukses. Di dalam program-program akan terlihat: "Pakaian
Miss Blank dalam babak pertama adalah kreasi Ambrosine, Ltd., Brook Street."
Suaminya, Kapten Dacres, adalah penjudi berat yang gemar bertaruh di arena balap
kuda. Ia menghabiskan banyak waktu di tempat-tempat seperti itu. Bertahun-tahun
yang lalu ia ikut babak Grand National. Pernah terjadi keributan - tak seorang pun
benar-benar tahu - tapi beritanya sudah tersebar ke mana-mana. Tak ada pemeriksaan
atau penjelasan, tapi begitu nama Freddie Dacres disebut, orang-orang akan
menaikkan alis mereka sedikit.
"Lalu Anthony Astor, si penulis naskah drama."
"Tentu," kata Mr. Satterthwaite. "Dia menulis One Way Traffic. Aku melihatnya
dua kali. Benar-benar sukses."
Ia agak senang menunjukkan pada temannya bahwa ia tahu, Anthony Astor adalah
wanita. "Ya," kata Sir Charles. "Aku lupa namanya yang sebenarnya - Wills, barangkali. Aku
cuma pernah bertemu sekali dengannya. Aku mengundangnya untuk menyenangkan
Angela. Itu orang-orang yang kuundang malam nanti."
"Dan orang sini?" tanya Dokter.
"Oh, orang sini" Suami-istri Babbington; dia pendeta, orangnya baik. Tidak
terlalu kaku, dan istrinya sangat baik. Dia mengajari aku berkebun. Mereka akan
datang kemari - serta Lady Mary dan Egg. Sudah... Oh ya, ada seorang pemuda.
Namanya Manders. Seorang wartawan atau apa. Ganteng. Itu saja undangannya."
Mr. Satterthwaite memang orang yang praktis. Ia segera menghitung.
"Miss Sutcliffe, satu; suami-istri Dacres, tiga; Anthony Astor, empat; Lady Mary
dan putrinya, enam; Pak Pendeta dan istrinya, delapan; pemuda itu, sembilan;
kita, dua belas. Kalau bukan kau, pasti Miss Milray yang salah hitung, Charles."
"Pasti bukan Miss Milray," kata Sir Charles yakin. "Dia tak pernah salah.
Sebentar. Ya, wah - kau benar. Terlewat satu tamu. Namanya lolos dari ingatanku."
Ia tertawa geli. "Orang yang sulit dipuaskan. Dia orang paling angkuh yang
pernah kukenal." Mata Mr. Satterthwaite berkedip. Ia berpendapat orang yang paling sombong adalah
aktor. Dan ia pun tak mengecualikan Sir Charles Cartwright. Apa yang baru saja
dikatakan Sir Charles sangat menarik baginya.
"Siapa orang egois ini?" tanyanya.
"Orang aneh," kata Sir Charles. "Tapi terkenal. Barangkali kau pernah dengar
namanya. Hercule Poirot. Orang Belgia."
"Si detektif," kata Mr. Satterthwaite. "Aku pernah bertemu dengannya. Pribadinya
luar biasa." "Dia memang unik," kata Sir Charles.
"Aku belum pernah bertemu dia," kata Sir Bartholomew, "tapi cukup banyak dengar
tentang dia. Dia sudah pensiun, kan" Barangkali cerita-cerita yang banyak
kudengar itu sebagian hanya legenda. Hm, moga-moga tak ada tindak kriminal akhir
pekan ini." "Kenapa" Karena ada detektif di antara kita" Jangan memasang kereta di depan
kuda, Tollie!" "Ya - karena itu adalah salah satu teoriku."
"Apa teorimu, Dok?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Kejadian mendatangi manusia, bukan sebaliknya. Kenapa ada orang yang hidupnya
mengasyikkan dan ada yang membosankan" Karena lingkungannya" Sama sekali tidak.
Orang bisa saja pergi ke ujung dunia dan tidak terjadi apa-apa atas dirinya.
Padahal terjadi pembunuhan massal satu minggu sebelum dia datang dan gempa bumi
sehari setelah dia pergi, dan kapal yang tadinya akan dinaikinya ternyata
tenggelam. Orang lain yang tinggal di Balham dan pergi ke kota setiap hari
mengalami sesuatu. Dia terlibat dalam komplotan pemeras, gadis-gadis cantik, dan
bandit-bandit bersepeda motor. Ada orang-orang yang punya tendensi tenggelam
dalam kapal karam walaupun mereka hanya berada di danau buatan. Ada saja yang
terjadi pada mereka. Begitu juga dengan orang-orang seperti Hercule Poirot.
Mereka tak perlu pergi mencari tindak kriminal. Kejahatan itu sendiri yang
datang pada mereka."
"Kalau begitu," kata Mr. Satterthwaite, "barangkali baik juga kalau Miss Milray
makan dengan kita, supaya jumlahnya tidak tiga belas."
"Hm," kata Sir Charles ramah, "kau boleh mengalaminya kalau suka, Tollie. Aku
hanya ingin mengajukan satu syarat - aku tak ingin jadi mayat."
Sambil tertawa, mereka bertiga masuk ke dalam rumah.
BAB II YANG paling menarik perhatian Mr. Satterthwaite adalah manusia. Tapi ia lebih
tertarik pada wanita daripada pria. Sebagai laki-laki jantan, Mr. Satterthwaite
sangat paham soal wanita. Ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatnya bisa
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengerti seorang wanita dengan baik. Banyak wanita sering membuka hati padanya,
tapi tidak menerimanya dengan serius. Kadang-kadang ia sedih karena hal itu. Ia
selalu merasa berada di kursi penonton dan melihat pertunjukan, tapi tak pernah
berada di panggung dan ikut main. Tapi sebenarnya peran penonton memang cocok
untuknya. Malam ini ia duduk di ruangan besar yang menghadap teras. Dekornya dibuat oleh
sebuah perusahaan modern, menjadi seperti sebuah kabin kapal yang mewah. Ia
sangat tertarik dan memperhatikan warna cat rambut Cynthia Dacres. Kelihatannya
warna baru - baru datang dari Paris, ia menebak-nebak - warna bronze kehijauan yang
aneh tapi enak dilihat. Sulit mengatakan bagaimana penampilan Mrs. Dacres malam
itu. Wanita itu tinggi, dengan bentuk tubuh yang memang cocok untuk saat-saat
seperti itu. Leher dan lengannya terlihat cokelat. Sulit mengatakan apakah warna
cokelat itu asli didapat dari sinar matahari yang tercurah di musim panas di
pedesaan itu. Rambut bronze kehijauan itu jelas ditata oleh penata rambut
terbaik di London. Alis matanya dicabut, bulu matanya dihitamkan, wajahnya
dipoles makeup halus dan indah, dan bibirnya dihiasi lipstik yang melengkung
tidak mengikuti garis bibirnya - semua menambah kesempurnaan gaun malamnya yang
berwarna biru gelap berpotongan sederhana, tapi kelihatannya - walaupun sebenarnya
tidak - dari bahan luar biasa, yaitu bahan yang tampak kusam sekaligus menampilkan
kilau-kilau tersembunyi. "Wanita cerdik," kata Mr. Satterthwaite sambil memandang wanita itu dengan
kagum. "Bagaimana ya orangnya?"
Kali ini yang ia maksud adalah pikirannya, bukan tubuhnya.
Kata-kata Cynthia Dacres bernada lamban. Pada saat itu ia berkata,
"Ah, kurasa itu tak mungkin. Maksudku, sesuatu itu bisa mungkin atau tidak. Yang
ini tidak mungkin. Hanya merasuk."
Kata itu memang tepat. Segalanya kelihatan "merasuk" saat itu.
Sir Charles mengguncang-guncang koktail sambil bicara pada Angela Sutcliffe,
wanita jangkung berambut abu-abu dengan mulut nakal dan mata indah.
Dacres sedang bicara dengan Bartholomew Strange.
"Setiap orang tahu apa yang terjadi pada Ladisbourne. Semua tahu."
Laki-laki kecil berkulit kemerahan dan berwajah licik itu bicara dengan suara
tinggi. Kumisnya pendek dan matanya agak kecil.
Di samping Mr. Satterthwaite duduk Miss Wills, pengarang One Way Traffic yang
dianggap sebagai drama paling berani dan bagus di London. Miss Wills bertubuh
jangkung dan kurus, dagunya tertarik ke belakang, dan rambutnya yang berombak
kelihatan sangat jelek. Ia memakai kacamata tanpa gagang dan bajunya dari bahan
sifon hijau yang kelihatan kedodoran. Suaranya tinggi dan tidak mengesankan.
"Saya ke Prancis Selatan," katanya. "Tapi sebenarnya saya tidak terlalu
menikmati. Sama sekali tidak ramah. Tapi tentu saja berguna untuk pekerjaan
saya. Saya perlu tahu apa-apa yang terjadi."
Mr. Satterthwaite berpikir, "Kasihan. Karena sukses, dia terpisah dari rumahnya -
sebutan untuk pondokan di Bournemouth. Itulah sebenarnya tempat yang dia sukai."
Laki-laki itu kemudian berpikir tentang perbedaan antara karya-karya tulis dan
penulisnya. Kesan jantan yang mewarnai drama-drama Anthony Astor - di mana itu
bisa didapat pada pribadi Miss Wills" Akhirnya ia melihat mata biru pucat di
balik kacamata tanpa gagang itu memang sangat cerdas. Mata itu sekarang terarah
padanya dan memberikan penilaian yang membuatnya bingung. Kelihatannya Miss
Wills sedang mempelajari dirinya baik-baik.
Sir Charles sedang menuang koktail.
"Saya ambilkan Anda koktail," kata Mr. Satterthwaite sambil berdiri.
Miss Wills tertawa. "Saya tidak keberatan kalau diberi," katanya.
Pintu terbuka dan Temple mengumumkan kedatangan Lady Mary Lytton Gore, Mr. dan
Mrs. Babbington, serta Miss Lytton Gore.
Mr. Satterthwaite memberikan koktail pada Miss Wills, lalu menyelinap mendekati
Lady Mary Lytton Gore. Ia memang pengagum gelar bangsawan.
Selain snob, Mr. Satterthwaite menyukai wanita-wanita lembut, dan Lady Mary
memang termasuk golongan itu.
Sebagai janda yang tidak terlalu kaya dengan seorang anak berumur tiga tahun, ia
datang ke Loomouth dan menempati sebuah pondok kecil, ditemani seorang pelayan
setia. Wanita itu tinggi kurus, kelihatan lebih tua dari umurnya yang lima puluh
tahun. Ekspresi wajahnya manis dan agak malu-malu. Ia sangat menyayangi anak
perempuannya, tapi agak khawatir dengannya.
Hermione Lytton Gore, yang entah kenapa dipanggil Egg, amat berbeda dari ibunya.
Ia sangat penuh vitalitas. Dalam penilaian Mr. Satterthwaite, gadis itu tidak
cantik, tapi jelas sangat menarik. Dan menurutnya, hal yang membuatnya menarik
adalah vitalitasnya. Ia kelihatan dua kali lebih hidup daripada orang-orang lain
di ruangan itu. Rambutnya hitam, matanya abu-abu, dan tinggi tubuhnya sedang.
Ada sesuatu pada rambutnya yang digelung di tengkuk, pada pandangan matanya yang
lurus, pada lekukan pipinya dan cara tertawanya yang menimbulkan kesan muda dan
penuh vitalitas. Ia berdiri dan bicara pada Oliver Manders yang baru saja datang.
"Aku tidak mengerti kenapa kau bosan berlayar. Kau dulu kan suka sekali."
"Egg, orang kan tumbuh dewasa."
Ia menaikkan alis matanya.
Oliver Manders adalah pemuda tampan berumur kira-kira 25 tahun. Ada yang sedikit
aneh pada wajah tampannya. Sesuatu yang... bukan Inggris... sesuatu yang asing"
Ada orang lain yang memperhatikan Oliver Manders. Seorang laki-laki berkepala
seperti telur dengan kumis yang kelihatan asing. Mr. Satterthwaite mengenalinya
sebagai Mr. Hercule Poirot. Laki-laki kecil itu amat ramah, dan Mr.
Satterthwaite menilai ia terlalu melebih-lebihkan sikap asingnya. Matanya yang
kecil dan bersinar seolah-olah berkata, "Anda ingin saya membantu" Melawak untuk
Anda" Bien, silakan!"
Tapi saat ini tak ada sinar pada mata Hercule Poirot. Ia kelihatan murung dan
agak sedih. Mr. Stephen Babbington, pendeta di Loomouth, datang mendekati Lady Mary dan Mr.
Satterthwaite. Umurnya sekitar enam puluh, matanya ramah dan baik, sikapnya agak
malu. Ia berkata pada Mr. Satterthwaite, "Kami beruntung punya warga seperti Sir
Charles. Dia sangat baik dan murah hati. Tetangga yang menyenangkan. Pasti Lady
Mary setuju." Lady Mary tersenyum. "Saya menyukainya. Sukses hidupnya tidak membuatnya manja, walaupun" - senyumnya
bertambah lebar - "dalam banyak hal dia masih kekanak-kanakan."
Seorang pelayan mendekat dengan nampan berisi koktail. Mr. Satterthwaite
berpikir, wanita memang tak bisa berhenti bersikap keibuan. Karena masih
merupakan generasi Victoria, ia sangat menyetujui sikap seperti itu.
"Ibu boleh minum koktail," kata Egg tiba-tiba, dengan gelas di tangan. "Satu
gelas saja." "Terima kasih, Sayang," kata Lady Mary menurut.
"Saya rasa," kata Mr. Babbington, "istri saya membolehkan saya minum satu gelas
juga." Ia tertawa perlahan dan sopan.
Mr. Satterthwaite melirik Mrs. Babbington yang sedang bicara serius dengan Sir
Charles mengenai soal memupuk.
Matanya bagus, pikirnya. Mrs. Babbington bertubuh besar dan tidak rapi. Ia kelihatan kuat dan tak
berpikiran picik. Charles Cartwright memang benar. Ia wanita yang baik.
"Maaf," kata Lady Mary sambil mencondongkan tubuhnya ke depan. "Siapa wanita
yang Anda ajak bicara ketika kami datang tadi" Itu, yang berbaju hijau."
"Dia Anthony Astor - penulis naskah drama."
"Apa" Wanita pucat itu" Oh," ia kemudian sadar, "ah, saya memang keterlaluan!
Tapi ini benar-benar kejutan. Dia tidak kelihatan... maksud saya, dia kelihatan
seperti pengasuh anak yang tidak cekatan."
Deskripsi penampilan Miss Wills memang cocok, sehingga Mr. Satterthwaite
tertawa. Mr. Babbington memperhatikan sekelilingnya dengan mata ramah yang tidak
terlalu awas. Ia mencicipi koktailnya dan batuk-batuk sedikit. Dia tidak biasa
minum koktail, pikir Mr. Satterthwaite geli. Mungkin koktail agak berbau modern
baginya, tapi dia tak suka. Mr. Babbington memaksa minum sekali lagi. Ia meneguk
dengan ekspresi aneh dan berkata,
"Apakah wanita itu" ...Oh..." Tangannya memegangi lehernya.
Suara Egg Lytton Gore terdengar nyaring, "Oliver, kau memang keterlaluan..."
"Tentu saja. Itu rupanya. Bukan asing - Yahudi!" pikir Mr. Satterthwaite.
Cocok sekali mereka berdua. Sama-sama muda dan menarik, serta suka ribut. Suatu
tanda yang sehat. Perhatiannya beralih karena suara di dekatnya. Mr. Babbington berdiri, badannya
bergoyang ke kiri ke kanan. Wajahnya aneh.
Suara Egg yang nyaringlah yang menarik perhatian orang-orang di ruangan itu,
walaupun pada saat itu Lady Mary sudah berdiri dan mengulurkan tangannya dengan
sikap khawatir. "Lihat," kata Egg. "Mr. Babbington sakit."
Sir Bartholomew Strange melangkah mendekat dengan cepat, disangganya Mr.
Babbington dan dipapahnya pria itu ke sofa di sisi ruangan. Yang lain
mengelilingi dan ingin membantu, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Dua menit kemudian Strange menegakkan diri dan menggelengkan kepala. Ia bicara
terus terang, karena tahu tak ada gunanya bertele-tele.
"Kasihan. Dia meninggal."
BAB III "BISA ke sini sebentar, Satterthwaite?"
Sir Charles menjulurkan kepalanya ke luar pintu.
Satu setengah jam telah lewat. Keributan telah usai, diganti ketenangan. Lady
Mary membawa Mrs. Babbington yang menangis ke luar ruangan dan akhirnya
mengantarnya pulang. Miss Milray sangat efisien dengan teleponnya. Dokter
setempat datang dan memeriksa. Makan malam sederhana disajikan. Setelah itu,
dengan persetujuan bersama, para tamu masuk ke kamar masing-masing untuk
beristirahat. Mr. Satterthwaite baru akan kembali ke kamarnya ketika Sir Charles
memanggilnya dari pintu ruang kapal, tempat terjadinya peristiwa kematian itu.
Mr. Satterthwaite masuk sambil menekan rasa takutnya. Ia tak suka melihat
kematian. Karena tak lama lagi ia pun mungkin dapat giliran. Tapi kenapa ia
berpikir tentang hal itu"
"Aku masih kuat hidup dua puluh tahun lagi," kata Mr. Satterthwaite pada dirinya
sendiri dengan gagah. Satu-satunya orang lain di ruangan itu adalah Bartholomew
Strange. Ia mengangguk lega melihat kedatangan Mr. Satterthwaite.
"Orang yang baik," katanya. "Kita bisa melakukannya dengan Satterthwaite. Dia
mengerti hidup." Dengan heran Mr. Satterthwaite duduk di sebuah kursi dekat si Dokter. Sir
Charles berjalan mondar-mandir. Ia lupa sikap tangan yang setengah mengepal dan
tidak kelihatan seperti pelaut lagi.
"Charles tidak suka," kata Sir Bartholomew. "Maksudku, tentang kematian
Babbington yang malang."
Mr. Satterthwaite berpendapat bahwa pernyataan itu tidak tepat. Tentu saja tak
seorang pun "suka" pada kejadian yang baru saja terjadi. Tapi ia tahu Strange
punya maksud lain. "Sangat menyedihkan," kata Mr. Satterthwaite dengan hati-hati. "Betul-betul
menyedihkan," katanya, bulu kuduknya meremang.
"Hm - ya, agak menyakitkan," kata Dokter. Aksen profesinya muncul dalam suaranya.
Cartwright berhenti mondar-mandir.
"Pernah lihat orang meninggal seperti itu, Tollie?"
"Tidak," kata Sir Bartholomew. "Belum pernah. Tapi," ia menambahkan beberapa
saat kemudian, "aku memang tak pernah melihat kematian sebanyak yang kauduga.
Seorang spesialis saraf tidak membunuh banyak pasien. Dia menjaga agar pasien
tetap hidup dan mendapat uang dari mereka. Aku yakin MacDougal lebih sering
melihat orang mati daripada aku."
Dokter MacDougal adalah dokter di Loomouth yang dipanggil Miss Milray.
"Dia tidak melihat Babbington meninggal. Babbington sudah mati waktu dia datang.
Kitalah yang bercerita padanya. Dia bilang Babbington kena serangan mendadak.
Dia sudah tua dan kesehatannya kurang baik. Aku tidak puas."
"Barangkali dia juga tidak puas," lawan bicaranya mengomel. "Tapi seorang dokter
harus mengatakan sesuatu. 'Serangan' memang kata yang bagus - tak ada artinya,
tapi memuaskan pikiran awam. Babbington sendiri memang sudah tua dan
kesehatannya belakangan ini memang terganggu. Istrinya pernah cerita begitu.
Barangkali ada suatu kelemahan yang tidak diketahui."
"Apakah itu serangan khas?"
"Khas apa?" "Khas untuk penyakit tertentu?"
"Kalau kau pernah belajar ilmu kedokteran," kata Sir Bartholomew, "kau akan tahu
kasus tipikal seperti itu tak pernah ada."
"Apa sebenarnya yang ingin kaukatakan?" tanya Mr. Satterthwaite pada Sir
Charles. Cartwright tidak menjawab. Ia membuat isyarat samar dengan tangannya. Strange
geli dan tertawa kecil. "Charles tidak tahu apa yang akan dikatakannya," katanya. "Pikirannya sedang
berbelok pada kemungkinan-kemungkinan dramatis."
Sir Charles membuat isyarat kesal. Wajahnya serius, penuh pikiran. Ia
menggelengkan kepalanya sedikit dengan sikap linglung.
Sebuah gambar muncul di kepala Mr. Satterthwaite. Gambar itu menjadi jelas.
Aristide Duval, kepala agen rahasia, membongkar jaringan ruwet Kabel Bawah
Tanah. Pada menit berikutnya ia jadi yakin. Sir Charles berjalan pincang tanpa
ia sadari. Aristide Duval memang dikenal sebagai si Pincang.
Sir Bartholomew melanjutkan komentarnya dengan terus terang, mengomentari
kecurigaan Sir Charles, "Ya, apa yang kaucurigai, Charles" Bunuh diri" Pembunuhan" Siapa mau membunuh
seorang pendeta tua yang begitu baik" Fantastis sekali. Bunuh diri" Hm,
barangkali ada alasannya. Mungkin kita bisa membayangkan alasan kenapa dia bunuh
diri." "Alasan apa?" Sir Bartholomew menggelengkan kepalanya perlahan.
"Bagaimana mungkin kita menebak rahasia pikiran manusia" Satu ide - seandainya
Babbington diberitahu dia menderita penyakit yang tak bisa disembuhkan, kanker
misalnya. Itu bisa jadi motif. Barangkali dia tak ingin istrinya menyaksikan
penderitaannya yang berkepanjangan. Ini cuma gagasan, tentu saja. Setahu kita,
tak ada alasan bagi Babbington untuk menghabisi dirinya."
"Aku tidak berpikir tentang bunuh diri," kata Sir Charles.
Sekali lagi Bartholomew Strange tertawa pelan.
"Benar, Charles. Idemu bukan sesuatu yang ada di luar kemungkinan. Kau
menginginkan sensasi - racun baru yang tak bisa dilacak dalam koktail."
Sir Charles menyeringai. "Rasanya aku tidak menginginkan itu. Kau ingat, akulah yang mencampur koktail
itu, Tollie." "Serangan tiba-tiba seorang maniak" Untuk kita, barangkali tanda-tandanya
tertunda. Tapi kita semua akan mati sebelum fajar menyingsing besok."
"Leluconmu tak lucu, tapi...," Sir Charles menyela marah.
"Aku sebenarnya tidak sedang melucu," kata si Dokter.
Suaranya berubah, sedih dan simpatik.
"Aku tidak bercanda dengan kematian Babbington. Aku cuma mencemooh idemu,
Charles, karena... ya, karena aku tak ingin kau menyakiti orang tanpa sadar."
"Menyakiti?" tanya Sir Charles.
"Kau mengerti maksudku, Satterthwaite?"
"Kurasa aku bisa menebak," kata Mr. Satterthwaite.
"Begini, Charles," lanjut Sir Bartholomew, "kecurigaanmu yang tak berdasar itu
gampang beredar. Suatu ide samar sekalipun tentang adanya ketidakberesan atau
penyelewengan bisa menyakitkan Mrs. Babbington. Aku tahu hal semacam itu pernah
satu atau dua kali terjadi. Kematian yang tiba-tiba, lalu beberapa lidah asal
bicara, dan akhirnya gosip menyebar ke mana-mana. Gosip-gosip itu terus
berkembang dan tak seorang pun bisa menyetopnya. Kau lihat kan, Charles, betapa
kejam dan tak perlu hal seperti itu" Kau terlalu memanjakan imajinasimu dan
membuatnya berkembang ke arah hal-hal yang spekulatif."
Sebuah kesadaran baru muncul di wajah sang aktor.
"Aku memang tidak berpikir sejauh itu," katanya.
"Kau memang baik, Charles, tapi kau suka membiarkan imajinasimu lari ke mana-
mana. Coba pikir sekarang. Apa kau percaya ada orang - siapa pun dia - yang ingin
membunuh laki-laki tua tak berdosa itu?"
"Kurasa tidak," kata Charles. "Ya, seperti yang kaukatakan, itu aneh. Maaf,
Tollie, tapi ini bukannya berimajinasi. Aku punya perasaan kuat bahwa ada
sesuatu yang tidak beres."
Mr. Satterthwaite batuk-batuk kecil.
"Boleh aku menambahkan" Mr. Babbington tiba-tiba sakit beberapa saat setelah
masuk ruangan dan tepat setelah minum koktail. Kebetulan aku melihat mukanya
yang kesakitan ketika dia minum. Kupikir itu karena dia tidak biasa dengan
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
minuman itu. Tapi seandainya dugaan Sir Bartholomew benar - bahwa Mr. Babbington
barangkali sengaja bunuh diri - kurasa itu masih mungkin. Tapi ide tentang
pembunuhan... rasanya tak masuk akal."
"Aku merasa hal itu bisa terjadi, walaupun tak mungkin - bahwa Mr. Babbington
memasukkan sesuatu ke dalam gelasnya tanpa kita ketahui. Rasanya tak ada barang-
barang yang disentuh dalam ruangan ini. Gelas-gelas koktail itu masih di
tempatnya. Ini gelas Mr. Babbington. Kurasa sebaiknya Sir Bartholomew membawa
gelas itu untuk dianalisis isinya. Itu bisa dilakukan diam-diam, tanpa
menyebabkan keributan."
Sir Bartholomew berdiri dan mengambil gelas itu.
"Benar," katanya. "Aku akan bercanda denganmu, Charles, dan aku akan bertaruh
sepuluh pound bahwa tak ada apa-apa dalam gelas itu kecuali gin dan vermouth."
"Oke," kata Sir Charles. Lalu ia menambahkan sambil tersenyum sedih, "Sebenarnya
kau juga ikut bertanggung jawab atas imajinasiku kali ini."
"Aku?" "Ya. Tadi pagi kau bicara tentang kriminalitas. Kau bilang si Hercule Poirot
adalah orang yang selalu dicari oleh kriminalitas. Tak lama setelah dia datang,
ada kematian yang mencurigakan. Tentu saja pikiranku segera melayang ke
pembunuhan." "Hm, bagaimana kalau...," kata Mr. Satterthwaite, lalu berhenti.
"Ya," kata Charles Cartwright. "Aku tadi juga berpikir tentang itu. Apa
pendapatmu, Tollie" Bisakah kita bertanya padanya bagaimana pendapatnya tentang
ini" Maksudku, apakah itu etis?"
"Alasan yang bagus," gumam Mr. Satterthwaite.
"Aku tahu etika medis, tapi aku tak tahu tentang etika detektif."
"Kita tak bisa menyuruh seorang penyanyi profesional untuk bernyanyi," gumam Mr.
Satterthwaite. "Bisakah kita meminta seorang detektif profesional untuk
menyelidiki" Ya. Ini bagus."
"Hanya pendapat," kata Sir Charles.
Terdengar ketukan halus di pintu, dan wajah Hercule Poirot muncul dengan
ekspresi minta maaf. "Eh, masuklah!" seru Sir Charles sambil meloncat berdiri. "Kami baru saja bicara
tentang Anda." "Saya takut kalau-kalau mengganggu."
"Sama sekali tidak. Ayo minum."
"Terima kasih, tidak usah. Saya jarang minum wiski. Kalau ada sirop..."
Tapi sirop tidak termasuk daftar Sir Charles tentang cairan yang bisa diminum.
Setelah tamunya duduk, sang aktor langsung bicara ke pokok persoalannya.
"Saya tidak perlu bertele-tele," katanya. "Kami baru saja bicara tentang Anda,
M. Poirot, dan... dan apa yang terjadi malam ini. Apakah ada yang tidak beres
tentang hal itu?" Alis mata Poirot naik. Ia berkata,
"Tidak beres" Apa maksud Anda - tidak beres?"
Bartholomew Strange berkata, "Teman saya ini punya ide, jangan-jangan Babbington
dibunuh orang." "Padahal Anda tidak berpikir begitu?"
"Kami ingin tahu pendapat Anda."
Poirot berkata sambil berpikir,
"Dia memang sakit, dengan sangat tiba-tiba - sangat mendadak."
"Ya, begitu." Mr. Satterthwaite menerangkan teori bunuh diri dan pendapatnya sendiri agar
gelas koktail itu dianalisis.
Poirot mengangguk setuju.
"Ya, itu tak ada salahnya. Sebagai orang yang tahu banyak soal-soal kemanusiaan,
sulit rasanya percaya ada orang yang ingin menyingkirkan seorang laki-laki yang
baik dan ramah. Juga motivasi bunuh diri itu rasanya masih sulit diterima. Tapi
gelas koktail itu akan menunjukkan pada kita nanti."
"Dan hasil analisis itu kira-kira apa?"
Poirot mengangkat bahu. "Saya" Saya hanya bisa menebak. Anda ingin saya menebak hasil analisis itu?"
"Ya." "Saya kira mereka akan menemukan sisa dry Martini yang enak." Ia membungkuk pada
Sir Charles. "Untuk meracuni orang dengan koktail - salah satu dari begitu banyak
gelas yang diedarkan - yah, ini merupakan teknik yang amat sangat sulit. Dan kalau
pendeta yang baik itu ingin bunuh diri, saya rasa dia tak akan melakukannya
dalam sebuah pesta. Itu akan menunjukkan dia tidak memikirkan orang lain.
Padahal setahu saya, Mr. Babbington orang yang penuh perhatian pada orang lain."
Ia diam. "Karena Anda bertanya, itulah pendapat saya."
Mereka semua diam sesaat. Lalu Sir Charles menarik napas panjang. Ia membuka
sebuah jendela dan memandang ke luar.
"Angin telah bertiup ke satu arah," katanya.
Si pelaut muncul kembali, dan detektif agen rahasia lenyap.
Tapi dalam pengamatan Mr. Satterthwaite yang cermat, Sir Charles berdiam sejenak
setelah meninggalkan peran yang tak dimainkannya itu.
BAB IV "YA, tapi apa pendapat Anda, Mr. Satterthwaite" Pendapat Anda sendiri?"
Mr. Satterthwaite menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia tak bisa menghindar. Egg
Lytton Gore memojokkannya di sudut dermaga pemancingan. Wanita-wanita muda ini
memang tak kenal ampun dan menakutkan.
"Rupanya Sir Charles yang menyebabkan Anda berpikir begitu," katanya.
"Tidak. Ide itu memang sudah ada. Sudah ada sejak awal. Sungguh mengerikan,
sangat tiba-tiba." "Dia sudah tua. Dan kesehatannya buruk..."
Egg memotong dengan cepat,
"Omong kosong. Dia sakit saraf dan rematik. Itu tidak menyebabkan orang jatuh
dan mendapat stroke tiba-tiba. Dia tak pernah dapat stroke. Dia tipe orang yang
lembut dan lemah, tapi akan hidup sampai umur sembilan puluhan. Apa pendapat
Anda tentang pemeriksaan itu?"
"Kelihatannya semua... normal."
"Apa pendapat Anda tentang bukti-bukti Dokter MacDougal" Semua serba teknis,
deskripsi tentang organ tubuh, tapi apa Anda tidak merasa dia menyembunyikan
sesuatu di balik keterangannya yang bertubi-tubi" Yang dia katakan kurang-lebih
begini - tak ada yang menunjukkan kematian itu bukan disebabkan oleh hal yang
wajar. Dia tidak mengatakan kematian itu disebabkan oleh sesuatu yang wajar."
"Kau ingin memerinci secara detail?"
"Dialah sebenarnya yang melakukannya. Dia bingung, tapi dia tak tahu mesti
bagaimana meneruskannya. Jadi, dia berpaling pada keterangan yang sangat medis.
Apa pendapat Sir Bartholomew Strange?"
Mr. Satterthwaite mengulangi sebagian dari apa yang pernah dikatakan dokter dari
London itu. "Hanya melecehkan?" tanya Egg dengan kening berkerut. "Tentu saja. Dia sangat
hati-hati. Saya rasa dokter top dari Harley Street harus begitu."
"Tak ada apa-apa dalam gelas koktail kecuali gin dan vermouth," Mr.
Satterthwaite mengingatkannya.
"Kelihatannya itu sudah bisa membereskan persoalan. Tapi sesuatu yang terjadi
setelah pemeriksaan membuat saya bertanya."
"Sesuatu yang dia katakan pada Anda?"
Mr. Satterthwaite mulai menikmati rasa ingin tahu gadis ini.
"Bukan pada saya - pada Oliver - Oliver Manders. Dia datang malam itu, tapi Anda
barangkali lupa." "Ah, saya ingat dia. Teman baik Anda?"
"Dulu. Sekarang kami bertengkar terus. Dia sudah bekerja, ikut pamannya di kota,
dan dia menjadi... agak besar kepala. Selalu bilang ingin jadi wartawan. Dia
memang bisa menulis cukup baik. Tapi sekarang ini, itu tak lebih dari omongan.
Dia ingin kaya. Rasanya semua orang jadi menjijikkan kalau sudah bicara soal
uang. Bukankah begitu, Mr. Satterthwaite?"
Kemudaan gadis itu muncul sekarang - kasar, congkak, dan kekanak-kanakan.
"Nak," kata Mr. Satterthwaite, "banyak orang menjijikkan karena banyak hal."
"Pada umumnya manusia memang bejat," kata Egg, menyetujui dengan riang. "Karena
itu, saya benar-benar sedih karena kasus Mr. Babbington. Sebab dia begitu baik.
Dia menyiapkan saya untuk sidi.* (* penerimaan menjadi anggota resmi Gereja
Protestan) Walaupun urusan itu agak tidak masuk akal, dia sangat baik. Mr.
Satterthwaite, saya percaya pada kekristenan - bukan seperti ibu yang selalu
membawa-bawa buku kecil dan ikut kebaktian pagi dan sebagainya, tapi secara
logis saja dan dari sudut sejarah. Gereja memang sibuk dengan tradisi Pauline -
bisa dibilang gereja itu berantakan. Tapi kekristenan sendiri tidak apa-apa.
Karena itu, saya tak bisa jadi komunis seperti Oliver. Dalam prakteknya,
kepercayaan kami akan searah - semua untuk semua, kepemilikan, dan sebagainya.
Tapi perbedaannya... saya tak perlu menjelaskannya. Tapi keluarga Babbington itu
benar-benar Kristen, mereka tidak curiga, tidak menyumpahi, dan tak pernah jahat
pada orang lain atau makhluk lain. Mereka baik, dan Robin..."
"Robin?" "Anak mereka. Dia dulu pergi ke India dan terbunuh di sana. Saya... saya
menyukainya." Egg mengejap-ngejapkan matanya. Pandangannya terarah ke laut. Lalu perhatiannya
kembali ke Mr. Satterthwaite dan keadaan saat itu.
"Jadi, saya memang merasa sangat terpukul dengan kejadian ini. Seandainya ini
bukan kematian yang wajar..."
"Anakku!" "Saya menganggapnya aneh. Dan Anda harus mengakuinya!"
"Tapi Anda sendiri mengakui keluarga Babbington tak punya musuh di dunia ini."
"Itulah anehnya. Saya tak bisa menemukan motif yang masuk akal."
"Fantastis! Dan tak ada apa-apa di dalam koktail."
"Barangkali ada orang yang menusuknya dengan jarum suntik."
"Barangkali racun panah orang Indian Amerika Selatan," kata Mr. Satterthwaite
berolok-olok. Egg menyeringai. "Itulah. Barang bagus yang tak bisa diketahui jejaknya. Oh, sudahlah. Anda tahu
lebih baik tentang hal itu. Barangkali suatu hari nanti Anda menemukan kami
benar." "Kami?" "Sir Charles dan saya." Wajah gadis itu agak merah.
Mr. Satterthwaite berpikir dengan kata-kata dan ukuran generasinya, ketika buku
Kutipan untuk Segala Kesempatan bisa ditemukan dalam setiap rak buku:
Lebih dari dua kali usianya.
Dijahit dengan luka lama di pipi,
Penuh memar dan kulit cokelat, gadis itu mengangkat matanya.
Dan mencintai pria itu dengan cinta yang membawa petaka.
Ia agak malu pada dirinya sendiri karena memikirkan kutipan itu. Tak banyak yang
mendalami Tennyson sekarang ini. Dan lagi, walaupun Sir Charles berkulit gelap,
ia tidak punya bekas luka, dan Egg Lytton Gore, walaupun gadis yang sehat, sama
sekali tidak kelihatan bisa hancur karena cinta dan hanyut dalam sampan,
mengikuti aliran sungai. Tak ada tanda-tanda kepribadian seperti Lily Maid dari
Astolat - seperti yang digubah Tennyson. Yang seperti itu tak ada padanya.
"Kecuali," pikir Mr. Satterthwaite, "kemudaannya."
Gadis-gadis selalu tertarik pada laki-laki setengah baya yang punya masa lalu
menarik. Egg pun tak terkecuali.
"Kenapa dia menikah?" tanya Egg tiba-tiba.
"Hm," kata Mr. Satterthwaite, lalu diam. Jawabannya kalau dikeluarkan secara
kasar akan berbunyi, "Waspada." Tapi ia tahu bahwa kata itu tak bisa diterima
oleh Egg Lytton Gore. Sir Charles telah mempunyai banyak affair dengan wanita, aktris, dan lainnya,
tapi ia selalu bisa membebaskan diri dari ikatan perkawinan. Dan Egg jelas
menginginkan penjelasan yang lebih romantis.
"Gadis yang meninggal karena paru-paru itu - seorang aktris yang namanya diawali
huruf R - dia kan amat sayang padanya?"
Mr. Satterthwaite teringat pada wanita yang disebutkan itu. Memang ada gosip
yang mengaitkan Charles Cartwright dengan namanya, tapi hanya sekilas, dan Mr.
Satterthwaite tidak yakin Sir Charles tetap sendirian hanya karena ingin setia
pada kenangan akan wanita itu. Mr. Satterthwaite diam saja.
"Saya rasa dia punya banyak affair," kata Egg.
"Hm... barangkali," kata Mr. Satterthwaite yang berpandangan kuno.
"Saya senang dengan laki-laki yang begitu," kata Egg. "Itu menunjukkan mereka
tidak aneh." Mr. Satterthwaite yang berpandangan kuno merasa terpukul. Ia tak bisa berkata
apa-apa. Egg tidak melihat pria itu merasa tak enak. Ia melanjutkan bicaranya
dengan santai, "Sir Charles itu lebih pintar dari yang Anda kira. Dia memainkan macam-macam
peran, mendramatisasi diri sendiri, tapi di balik itu otaknya sangat cerdas. Dia
bisa mengemudikan perahu lebih baik dari yang dia ceritakan atau yang Anda
dengar. Kalau mendengar dia bicara, Anda mengira dia sedang memainkan suatu
peran, tapi sebenarnya tidak. Sama juga dengan urusan ini. Anda pikir semua ini
terjadi untuk menimbulkan efek tertentu, sehingga dia bisa memerankan dirinya
sebagai detektif yang hebat. Saya rasa dia memainkannya dengan baik."
"Bisa jadi," Mr. Satterthwaite sependapat.
Nada suaranya menunjukkan perasaannya dengan jelas. Egg langsung menghantam dan
mengekspresikannya dengan kata-kata,
"Tapi menurut Anda Kematian Seorang Pendeta tidak terlalu seru. Hanya sebuah
Insiden yang Tak Seharusnya Terjadi di Pesta Makan Malam. Sebuah kecelakaan
biasa dalam suatu kegiatan sosial. Apa pendapat M. Poirot" Dia seharusnya tahu."
"M. Poirot menasihatkan agar kami menunggu hasil analisis koktail, tapi dia
berpendapat segalanya baik-baik saja."
"Oh, baiklah," kata Egg. "Dia sudah tua. Sudah harus istirahat." Mr.
Satterthwaite mengedipkan matanya. Egg melanjutkan bicaranya tanpa menyadari
kekasarannya, "Ayo ikut saya pulang. Anda bisa minum teh dengan Ibu. Dia bilang
suka pada Anda." Mr. Satterthwaite menerima undangan itu. Diam-diam ia merasa tersanjung.
Setelah tiba, Egg langsung menelepon Sir Charles dan memamitkan tamunya.
Mr. Satterthwaite duduk di sebuah ruang tamu kecil dengan perabot bersih dan
terawat, walaupun tua. Ruangan itu ruangan zaman Victoria, seperti yang
dibayangkan Mr. Satterthwaite tentang ruangan seorang wanita.
Percakapannya dengan Lady Mary menyenangkan. Bukan percakapan berat, tapi mereka
menyukainya. Mereka bicara tentang Sir Charles. Apakah Mr. Satterthwaite kenal
baik dengan Sir Charles" Tidak terlalu dekat, jawab Mr. Satterthwaite. Ia pernah
punya bisnis dengan salah satu pertunjukan Sir Charles beberapa tahun yang lalu.
Sejak itu mereka berteman.
"Dia punya daya tarik yang kuat," kata Lady Mary sambil tersenyum. "Saya maupun
Egg merasakannya. Saya rasa Anda juga tahu, saat ini Egg sedang menderita hero
worship."* (* tergila-gila pada tokoh idola)
Mr. Satterthwaite ingin tahu, apakah sebagai ibu, Lady Mary tak merasa kerepotan
dengan hero worship itu. Tapi kelihatannya tidak.
"Egg hanya melihat sebagian kecil dunia ini," katanya sambil menarik napas.
"Kami begitu miskin. Salah seorang sepupu saya pernah mengajaknya ke kota dan
menunjukkan serta membelikan beberapa barang. Tapi sejak itu dia tak pernah
pergi jauh dari tempat ini, kecuali untuk beberapa kunjungan. Saya merasa orang
muda seharusnya banyak keluar, melihat, serta bertemu banyak orang dan tempat -
terutama orang. Kalau tidak, hm, kurang pergaulan kadang-kadang sangat
berbahaya." Mr. Satterthwaite sependapat. Ia berpikir tentang Sir Charles dan pergi
berlayar, tapi rupanya bukan itu yang ada dalam pikiran Lady Mary, sebagaimana
diungkapkannya kemudian. "Kedatangan Sir Charles sangat berpengaruh pada Egg. Dia memperluas
cakrawalanya. Di sini tidak banyak orang muda, terutama pemuda. Saya khawatir
Egg nanti menikah dengan seseorang hanya karena dia tak mengenal orang lain."
Mr. Satterthwaite mempunyai intuisi tajam.
"Maksud Anda Oliver Manders?"
Wajah Lady Mary menjadi merah dan heran.
"Oh, Mr. Satterthwaite. Anda begitu cepat tanggap! Saya memang berpikir tentang
dia. Dia dan Egg sering bersama-sama. Saya memang kuno, tapi saya tidak suka
beberapa pendapatnya."
"Pemuda harus menentukan pandangan mereka," kata Mr. Satterthwaite.
Lady Mary menggelengkan kepala.
"Saya sangat khawatir. Tentu saja mereka serasi; saya kenal dia dengan baik,
pamannya yang mengajaknya bekerja amat kaya. Tapi bukan itu. Saya memang tolol,
tapi..." Ia menggelengkan kepala dan tak kuasa menjelaskan lebih lanjut.
Mr. Satterthwaite jadi merasa dekat. Ia berkata dengan tenang dan santai,
"Tapi Anda pasti juga tak suka kalau anak Anda menikah dengan orang yang umurnya
dua kali lipat." Jawaban Lady Mary membuatnya terkejut.
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin itu lebih aman. Kalau Anda melakukan hal itu, setidaknya Anda tahu
posisi Anda. Laki-laki seumur itu biasanya tidak lagi gila-gilaan, dan tidak
akan melakukannya kemudian."
Sebelum Mr. Satterthwaite sempat menanggapi, Egg sudah datang.
"Kenapa lama sekali?" tanya ibunya.
"Aku bicara dengan Sir Charles. Dia sedang sendiri." Ia berpaling dan merajuk
pada Mr. Satterthwaite. "Anda tidak cerita tamu-tamu itu sudah pulang."
"Mereka pulang kemarin - semuanya, kecuali Sir Bartholomew Strange. Dia akan
pulang besok, tapi dia mendapat telegram tadi pagi. Salah seorang pasiennya
dalam keadaan kritis."
"Sayang," kata Egg. "Sebenarnya saya ingin menyelidiki tamu-tamu itu. Barangkali
ada petunjuk." "Petunjuk tentang apa, Sayang?"
"Mr. Satterthwaite tahu. Oh, sudahlah, tak apa-apa. Oliver masih ada di sini.
Kita ajak dia. Dia punya otak kalau lagi mau."
Ketika Mr. Satterthwaite sampai di Crow's Nest, tuan rumahnya sedang duduk di
teras sambil memandangi laut.
"Halo, Satterthwaite. Baru minum teh dengan keluarga Lytton Gore, ya?"
"Ya. Kau tidak keberatan, kan?"
"Tentu saja tidak. Egg telepon. Aneh gadis itu."
"Menarik," kata Mr. Satterthwaite.
"Hm, ya, kurasa begitu."
Ia berdiri dan berjalan mondar-mandir.
"Kalau saja aku tidak datang ke tempat terkutuk ini," katanya tiba-tiba dengan
nada pahit. BAB V Mr. SATTERHWAITE berpikir. "Dia kena batunya."
Tiba-tiba saja ia merasa kasihan pada tuan rumahnya. Pada umur 52, Charles
Cartwright si periang, si tampan yang membuat banyak orang patah hati, telah
jatuh cinta. Dan rupanya ia sendiri menyadari akan menemui kekecewaan. Anak muda
suka pada anak muda. "Gadis-gadis tidak akan suka pada orang tua," pikir Mr. Satterthwaite. "Egg
memang mendemonstrasikan perasaannya pada Sir Charles. Tapi dia pasti tak akan
berbuat begitu kalau benar-benar cinta padanya. Yang dituju pasti si Manders
yang masih muda itu."
Mr. Satterthwaite biasanya punya pandangan tajam dalam asumsi-asumsinya.
Tapi barangkali ada satu hal yang lepas dari perhitungannya, karena ia sendiri
tidak menyadarinya. Yaitu nilai tambah yang diberikan karena usia. Bagi Mr.
Satterthwaite yang sudah tua, kenyataan bahwa Egg lebih memilih seorang laki-
laki setengah baya daripada seorang pemuda sangat tidak masuk akal. Baginya usia
muda merupakan anugerah yang sangat berarti.
Ia bertambah yakin ketika Egg menelepon sehabis makan malam dan minta izin untuk
"berkonsultasi" sambil membawa Oliver.
Tentu saja ia membolehkan gadis itu mengajak seorang pemuda tampan bermata gelap
dan berbulu mata lentik, yang gaya berjalannya ringan namun penuh keyakinan.
Pemuda itu memang serasi dengan Egg, tapi sikapnya secara keseluruhan skeptis.
"Bisakah Anda bercerita?" katanya pada Sir Charles. "Egg terbiasa dengan hidup
sehat di desa, dan itu membuatnya menjadi gadis yang energik. Tahu tidak, Egg,
seleramu kekanak-kanakan - kriminalitas, sensasi, dan sebagainya."
"Anda skeptis, Manders?"
"Hm, begini, Sir. Bagi saya memang fantastis kalau ada ide yang menyatakan
kematian pak tua yang baik hati itu disebabkan hal yang tidak wajar."
"Kurasa Anda benar," kata Sir Charles.
Mr. Satterthwaite menolehkan kepalanya. Peran apa yang sedang dimainkan Charles
Cartwright malam ini" Bukan bekas pelaut, bukan detektif internasional. Peran
baru yang belum diketahuinya.
Dan Mr. Satterthwaite terkejut sendiri ketika mengetahui peran itu. Sir Charles
sedang memainkan peran yang kurang penting. Kurang penting dibanding dengan
peran Oliver Manders. Ia duduk dengan kepala dalam bayang-bayang, memperhatikan kedua anak muda itu,
Egg dan Oliver, ketika mereka berdebat - Egg dengan sikap berapi-api, sedangkan
Oliver kalem-kalem saja. Sir Charles kelihatan lebih tua dari biasanya - tua dan letih.
Kadang-kadang Egg menarik dia ke dalam pembicaraan, tapi responsnya tidak ada.
Mereka pulang pukul sebelas. Sir Charles keluar ke teras bersama mereka dan
menawarkan senter untuk menuruni jalanan kecil berbatu.
Tapi senter itu tak diperlukan. Cahaya bulan yang terang membantu mereka malam
itu. Mereka pergi, dan suara mereka terdengar semakin samar.
Terang bulan atau tidak, Mr. Satterthwaite tak akan ambil risiko kedinginan. Ia
kembali ke ruang kapal. Sir Charles masih ada di teras.
Ketika masuk, ia mengunci jendela di belakangnya, berjalan ke meja samping,
serta menuang wiski dan soda.
"Satterthwaite," katanya, "aku besok mau pergi dari sini - untuk selama-lamanya."
"Apa?" seru Mr. Satterthwaite kaget.
Suatu kegembiraan samar muncul di wajah Charles Cartwright ketika ia tahu akibat
perkataannya. "Itu Satu-satunya Hal yang Bisa Dilakukan," katanya, jelas berbicara dalam
huruf-huruf besar. "Aku akan jual tempat ini. Apa artinya ini bagiku, tak
seorang pun akan tahu." Suaranya jatuh, berdengung dengan efektif.
Setelah mengalah menjadi orang kedua, ego Sir Charles muncul kembali.
Ini merupakan adegan penolakan besar yang sering kali dimainkannya dalam drama
serba-serbi. Mengembalikan istri laki-laki lain, menolak gadis yang dicintainya.
Terdengar nada sembrono dalam ucapannya berikut,
"Hentikan kerugian; itu satu-satunya jalan. Yang muda untuk yang muda. Mereka
memang diciptakan, yang satu untuk yang lain. Aku akan mundur."
"Ke mana?" tanya Mr. Satterthwaite.
Aktor itu memberikan jawaban tak pasti.
"Ke mana saja. Aku tak peduli." Lalu ia menambahkan dengan suara berbeda,
"Barangkali Monte Carlo." Dan menambahkan lagi untuk membuat antiklimaks, "Di
jantung padang pasir atau di tengah kematian, semua sama saja. Bagian terdalam
seorang manusia ialah kesendirian, kesepian. Aku selalu kesepian."
Ini jelas baris terakhir sebelum pemain keluar dari panggung.
Ia mengangguk pada Satterthwaite, lalu pergi meninggalkan ruangan.
Mr. Satterthwaite berdiri, siap mengikuti sang tuan rumah pergi tidur.
"Tapi pasti bukan jantung padang pasir," pikirnya geli.
Paginya Sir Charles minta maaf pada Mr. Satterthwaite karena ia harus ke kota.
"Jangan buru-buru pergi. Kau akan tinggal sampai besok, kan" Kau akan ke
Harbertons di Tavistock. Mobilku akan mengantarmu ke sana. Karena telah membuat
keputusan, aku tak akan menoleh kembali. Aku tak akan menoleh kembali."
Sir Charles menegakkan kedua bahunya dengan gagah, menjabat tangan Mr.
Satterthwaite dengan penuh semangat, dan menyerahkannya pada Miss Milray yang
cekatan. Miss Milray kelihatannya siap menghadapi situasi, seperti biasanya. Ia tidak
menunjukkan rasa heran atau emosi terhadap keputusan Sir Charles yang mendadak.
Mr. Satterthwaite juga tidak ditanggapinya secara luar biasa. Baik kematian yang
tiba-tiba ataupun perubahan rencana yang mendadak tak bisa mengguncangkan Miss
Milray. Ia menerima apa pun yang terjadi sebagai suatu fakta dan akan menghadapi
persoalan itu dengan cara efisien. Ia menelepon agen rumah, mengirim telegram ke
luar negeri, dan sibuk mengetik. Mr. Satterthwaite melarikan diri dari situasi
yang begitu efisien dengan berjalan-jalan ke dermaga. Ia sedang berjalan mondar-
mandir tanpa tujuan ketika tiba-tiba tangannya dipegang seseorang. Ketika
berbalik, ia berhadapan dengan seorang gadis berwajah pucat.
"Apa maksudnya semua ini?" tanya Egg menuntut jawab.
"Semua apa?" jawab Mr. Satterthwaite.
"Semua orang di desa sudah tahu Sir Charles akan pergi - dia akan menjual Crow's
Nest." "O ya, benar." "Apa dia akan pergi?"
"Dia sudah pergi."
"Oh!" Egg melepaskan tangannya. Tiba-tiba ia kelihatan seperti anak kecil yang
disakiti hatinya. Mr. Satterthwaite tak tahu harus berkata apa.
"Dia pergi ke mana?"
"Ke luar negeri. Prancis Selatan."
"Oh!" Ia masih tetap tak tahu apa yang harus dikatakan. Sebab jelas ia melihat lebih
dari sekadar hero worship.
Dengan kasihan ia mencoba mengingat-ingat kata-kata penghibur yang sesuai, tapi
ketika gadis itu bicara, ia jadi terkejut.
"Wanita sialan mana yang menyebabkannya?" tanya Egg dengan galak.
Mr. Satterthwaite memandangnya, mulutnya ternganga heran. Egg menggandeng
lengannya lagi dan mengguncangkannya keras-keras.
"Anda pasti tahu!" serunya. "Yang mana" Yang rambut abu-abu atau satunya?"
"Oh, saya tak tahu apa maksudmu."
"Anda tahu! Pasti tahu! Pasti karena wanita. Dia menyukai saya - itu saya tahu.
Salah satu dari kedua wanita yang hadir malam itu pasti tahu dan berniat merebut
dia dari saya. Saya benci wanita. Kucing licik. Anda perhatikan gaunnya" Yang
rambutnya hijau" Mereka membuat saya geram karena iri. Wanita dengan gaun
seperti itu punya daya pikat - Anda pasti tidak membantah hal ini. Dia sudah tua
dan jelek, tapi peduli apa" Dia membuat orang lain jadi seperti perempuan
kampung. Apa dia orangnya" Atau yang berambut abu-abu" Dia menarik - itu bisa
dilihat. Dia memanggilnya Angie. Pasti bukan wanita yang seperti kol layu itu.
Yang menor atau si Angie?"
"Ah, rupanya ide-ide luar biasa telah memasuki kepalamu. Dia... eh... Charles
Cartwright sama sekali tidak tertarik pada kedua wanita itu."
"Saya tak percaya. Tapi mereka pasti tertarik padanya."
"Tidak... tidak. Kau keliru. Semua itu hanya imajinasi. Kau pasti salah
mengerti." "Kalau begitu, kenapa dia pergi seperti itu?"
Mr. Satterthwaite berdehem.
"Barangkali... dia berpikir... eh... itu yang terbaik?"
Egg memandangnya dengan tajam.
"Maksud Anda sayalah yang menyebabkannya?"
"Hm, barangkali begitu."
"Hm, barangkali saya agak terlalu demonstratif, ya" Laki-laki tidak suka
dikejar-kejar, kan" Ibu benar rupanya. Anda pasti tak bisa membayangkan betapa
manisnya dia kalau bicara soal laki-laki. Selalu disebut dengan sebutan pihak
ketiga - begitu kuno dan sopan. 'Laki-laki tidak dikejar-kejar, seorang gadis
harus memberi kesempatan pada laki-laki untuk mengejarnya.' Bukankah ini
ekspresi yang manis - 'memberi kesempatan pada laki-laki untuk mengejarnya'"
Kedengarannya seperti kebalikan dari artinya. Sebetulnya itulah yang dikerjakan
Charles - mengejar. Dia pergi menjauhi saya. Dia takut. Tapi sialnya saya tak bisa
mengejarnya. Kalau saya mengejar, dia pasti lari ke Afrika atau ke tempat lain."
"Hermione," kata Mr. Satterthwaite, "apa kau serius dengan Sir Charles?"
Gadis itu memandangnya dengan mata tak sabar.
"Tentu saja." "Bagaimana dengan Oliver Manders?"
Egg mengusir Oliver Manders dengan gelengan kepala. Ia melamun.
"Bagaimana kalau saya menulis surat padanya" Tak usah yang menakutkan. Hanya
hal-hal yang biasa diobrolkan gadis. Supaya dia tenang, tidak ketakutan."
Gadis itu mengerutkan kening.
"Tolol benar saya. Ibu pasti bisa menangani soal ini dengan lebih baik. Orang-
orang kuno itu tahu trik-triknya. Saya keliru selama ini. Saya pikir dia perlu
didorong. Dia kelihatan... hm... kelihatan perlu bantuan. Anda tahu," ia tiba-
tiba berpaling pada Mr. Satterthwaite, "apa dia melihat saya mencium Oliver tadi
malam?" "Saya tak tahu. Kapan?"
"Di terang bulan. Ketika kami menuruni jalanan kecil itu. Saya pikir dia masih
ada di teras, melihat saya dan Oliver - hm, saya pikir itu akan membuatnya
penasaran. Karena dia menyukai saya. Saya yakin itu."
"Bukankah itu menyakitkan Oliver?"
Egg menggelengkan kepala penuh keyakinan.
"Sama sekali tidak. Oliver berpikir seorang gadis pasti merasa beruntung kalau
dia cium. Memang tak baik buat kesombongannya. Tapi orang kan tak bisa mau
semuanya. Saya cuma ingin memanas-manasi Charles. Akhir-akhir ini dia agak lain -
lebih banyak diam." "Nak," kata Mr. Satterthwaite, "saya rasa engkau tak mengerti kenapa Sir Charles
pergi begitu mendadak. Dia pikir kau suka pada Oliver. Dia pergi karena tak
ingin sakit hati." Egg menoleh dan memutar badannya. Ia memegang bahu pria itu dan memandangnya
dengan tajam. "Benarkah" Apa benar begitu" Oh, bodohnya saya!"
Tiba-tiba ia melepaskan Mr. Satterthwaite dan berjalan di sampingnya dengan
gerakan meloncat-loncat. "Kalau begitu, dia akan kembali," katanya. "Dia akan kembali. Kalau tidak..."
"Kalau tidak, bagaimana?"
Egg tertawa. "Saya akan membuatnya kembali. Lihat saja nanti."
Rasanya memang ada perbedaan dalam kata-kata. Egg dan lily maid dari Astolat
punya banyak kesamaan, tapi Mr. Satterthwaite merasa cara Egg akan lebih praktis
dari cara yang dipakai Elaine, dan kematian karena patah hati tak akan terjadi.
BABAK KEDUA KEPASTIAN BAB VI Mr. SATTERHWAITE datang ke Monte Carlo. Pesta-pesta yang banyak didatangi sudah
lewat. Riviera pada bulan September merupakan tempat yang menyenangkan baginya.
Ia duduk di taman, menikmati matahari sambil membaca koran Daily Mail dua hari
lalu. Tiba-tiba sebuah nama menarik perhatiannya: "Strange". "Kematian Sir Bartholomew
Strange". Ia membaca artikel itu:
Dengan rasa duka kami umumkan kepergian Sir Bartholomew Strange, spesialis saraf
terkenal. Sir Bartholomew mengadakan suatu pesta untuk menjamu teman-teman di
tempat tinggalnya, di Yorkshire. Sir Bartholomew kelihatan sehat dan kematiannya
terjadi dengan tiba-tiba setelah makan malam. Ia sedang bercakap-cakap dengan
teman-temannya dan minum segelas anggur ketika mendapat stroke dan meninggal
sebelum memperoleh pertolongan medis. Sir Bartholomew akan selalu dikenang. Ia
adalah... Kalimat itu diikuti dengan deskripsi karier Sir Bartholomew.
Mr. Satterthwaite membiarkan koran itu meluncur dari tangannya. Ia sangat
terkesan. Bayangan dokter itu melintas di benaknya - besar, riang, dan sangat
sehat. Dan sekarang mati. Ada kata-kata tertentu dalam koran itu yang terpisah
dari konteksnya dan melayang-layang di benak Mr. Satterthwaite. "Minum segelas
anggur... stroke... meninggal sebelum memperoleh pertolongan medis...."
Anggur, bukan koktail, tapi anehnya mengingatkannya akan peristiwa kematian di
Cornwall. Mr. Satterthwaite seolah-olah melihat lagi wajah pendeta tua yang
kesakitan itu. Seandainya itu... Ia mengangkat kepalanya dan melihat Sir Charles berjalan melintasi rerumputan ke
arahnya. "Satterthwaite, wah, luar biasa! Kau memang orang yang paling ingin kutemui saat
ini. Sudah lihat berita tentang Tollie yang malang?"
"Aku baru saja membacanya."
Sir Charles duduk di sampingnya. Ia masih memakai pakaian pelayarnya. Ia tak
lagi mengenakan celana flanel abu-abu dan sweater tuanya. Kini ia kapten sebuah
yacht yang berpengalaman dari Prancis Selatan.
"Satterthwaite, Tollie dalam keadaan sehat. Dia tidak sakit dan tak punya
penyakit. Apakah aku orang bodoh yang suka berimajinasi" Urusan ini apa tidak
mengingatkanmu pada... pada..."
"Pada urusan di Loomouth" Ya, memang. Tapi bisa saja kita keliru. Persamaannya
barangkali cuma di kulit. Bagaimanapun, kematian mendadak memang bisa terjadi
karena bermacam-macam sebab."
Sir Charles mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata,
"Aku baru dapat surat dari Egg Lytton Gore."
Mr. Satterthwaite tersenyum tertahan.
"Yang pertama dari dia?"
Sir Charles tidak curiga.
"Tidak. Aku dapat surat tak lama setelah sampai di sini. Isinya biasa, sekadar
berita. Aku tidak membalasnya. Aku tak berani. Gadis itu pasti tak tahu apa-apa,
tapi aku tak mau jadi orang tolol."
Mr. Satterthwaite menutup mulutnya yang masih tersenyum.
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan yang ini?" tanyanya.
"Ini lain. Imbauan minta tolong."
"Imbauan minta tolong?" Alis mata Mr. Satterthwaite tertarik ke atas.
"Dia ada di sana - di rumah itu - ketika ada kejadian itu."
"Maksudmu dia menginap di rumah Sir Bartholomew Strange ketika tuan rumahnya
meninggal?" "Ya." "Apa yang dia katakan?"
Sir Charles mengeluarkan sepucuk surat dari sakunya. Ia ragu-ragu sejenak, lalu
memberikannya pada Mr. Satterthwaite.
"Sebaiknya kaubaca sendiri."
Mr. Satterthwaite membukanya dengan penuh rasa ingin tahu.
Sir Charles, Saya tak tahu kapan surat ini akan sampai. Mudah-mudahan dapat cepat sampai.
Saya begitu khawatir dan tak tahu harus berbuat apa. Saya rasa Anda pasti
membaca berita itu di koran - bahwa Sir Bartholomew Strange sudah meninggal. Dan
ia meninggal dengan cara yang sama seperti Mr. Babbington. Ini pasti bukan
kebetulan - pasti bukan. Saya sangat khawatir.
Apakah Anda tidak dapat pulang dan melakukan sesuatu" Rasanya kasar saya
mengucapkan hal ini - tapi Anda dulu pernah curiga dan tak seorang pun mau
mendengar Anda. Dan sekarang, kawan Anda yang terbunuh. Kalau Anda tidak pulang,
tak seorang pun akan menemukan hal yang sebenarnya. Saya percaya Anda bisa
melakukannya. Saya sangat yakin.
Dan ada satu hal lagi. Saya sangat mengkhawatirkan seseorang. Dia tak ada
hubungannya dengan soal itu, tapi barangkali ada juga. Oh, saya tak bisa
menjelaskannya di surat. Anda bisa pulang, kan" Anda bisa menemukan kebenaran
itu. Saya percaya. Yang terburu-buru, EGG. "Hm," kata Sir Charles tak sabar. "Agak acak-acakan. Tapi bisa dimaklumi. Dia
menulis terburu-buru. Bagaimana?"
Mr. Satterthwaite melipat surat itu pelan-pelan dan berpikir sejenak sebelum
menjawab. Ia setuju bahwa surat itu acak-acakan, tapi pasti tidak ditulis dalam keadaan
terburu-buru. Ia berpendapat surat itu justru merupakan hasil pemikiran yang
hati-hati. Surat itu dibuat untuk memancing keangkuhan, sikap ksatria, dan
sportivitas Sir Charles. Karena mengenal Sir Charles dengan baik, Mr. Satterthwaite tahu surat itu
merupakan pancingan yang berhasil.
"Siapa kira-kira yang dia maksud dengan 'seseorang' dan 'dia'?" tanyanya.
"Kurasa Manders."
"Kalau begitu, dia juga ada di pesta itu?"
"Tentunya. Aku tak tahu kenapa. Tollie tak pernah bertemu dengannya, kecuali di
pestaku dulu. Kenapa dia memintanya datang, aku tak tahu."
"Apa dia sering mengadakan pesta-pesta seperti itu?"
"Tiga atau empat kali setahun. Selalu mengadakan pesta pada peringatan St.
Leger." "Dia sering menghabiskan waktunya di Yorkshire?"
"Punya sanatorium besar atau rumah perawatan, atau apalah namanya. Dia membeli
Melfort Abbey - sebuah bangunan kuno yang kemudian dipugarnya dan diubahnya
menjadi sanatorium."
"Hm." Mr. Satterthwaite diam sejenak, lalu berkata,
"Siapa saja ya yang datang di pesta itu?"
Sir Charles menjawab, barangkali tentang itu ada beritanya di koran lainnya.
Mereka kemudian mencari-cari koran lain.
"Ini dia," kata Sir Charles.
Ia membaca keras-keras, "Sir Bartholomew Strange mengadakan pesta di rumahnya seperti biasa, untuk
memperingati St. Leger. Di antara para tamu ada Lord dan Lady Eden, Lady Mary
Lytton Gore, Sir Jocelyn dan Lady Cambell, Kapten dan Mrs. Dacres, serta Miss
Angela Sutcliffe, aktris terkenal."
Sir Charles dan Mr. Satterthwaite berpandangan.
"Suami-istri Dacres dan Angela Sutcliffe," kata Sir Charles. "Tidak ada Oliver
Manders." "Coba kita baca Continental Daily Mail hari ini," kata Mr. Satterthwaite.
"Barangkali ada berita tambahan."
Sir Charles memandang koran itu sekilas. Tiba-tiba ia menjadi tegang. "Dengar
ini, Satterthwaite."
"Kematian Sir Bartholomew Strange. Dalam pemeriksaan atas kematian Sir
Bartholomew Strange hari ini diputuskan bahwa penyebab kematian adalah keracunan
nikotin. Belum ada bukti yang menunjukkan bagaimana atau siapa yang melakukan
peracunan itu." Ia mengernyitkan dahi. "Keracunan nikotin. Kedengarannya agak terlalu halus - bukan hal yang biasa
dilakukan untuk membuat orang stroke. Aku tak mengerti."
"Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku lakukan" Aku akan memesan tempat di Blue Train malam ini."
"Hm, aku juga akan pesan tempat kalau begitu," kata Mr. Satterthwaite.
"Kau?" Sir Charles memutar badannya dan kelihatan heran.
"Aku menyukai hal-hal seperti ini," kata Mr. Satterthwaite merendah. "Aku pernah
punya... eh... sedikit pengalaman. Di samping itu, aku juga kenal kepala polisi
daerah itu - Kolonel Johnson. Itu akan membantu."
"Bagus!" seru Sir Charles. "Kita pesan tempat sekarang."
Mr. Satterthwaite berpikir,
"Gadis itu berhasil. Dia membuat Sir Charles kembali. Dia sudah mengatakan itu.
Aku tak tahu apa semua suratnya benar."
Yang jelas, Egg Lytton Gore seorang oportunis.
Ketika Sir Charles pergi memesan tempat, Mr. Satterthwaite berjalan-jalan di
taman. Pikirannya masih penuh dengan persoalan Egg Lytton Gore. Ia mengagumi
akal dan semangat gadis itu, tapi sikap kunonya tak bisa menerima kenyataan
bahwa seorang wanita bisa mengambil langkah-langkah inisiatif dalam urusan
cinta. Mr. Satterthwaite seorang pengamat yang cermat. Di tengah renungannya tentang
wanita secara umum dan Egg Lytton Gore secara khusus, ia tak bisa menahan untuk
berkata pada diri sendiri,
"Hm, di mana aku pernah melihat bentuk kepala yang khas seperti itu?"
Pemilik kepala itu sedang duduk di kursi sambil melamun. Ia seorang laki-laki
kecil dengan kumis terlalu besar untuk ukuran tubuhnya.
Seorang anak Inggris yang tampak kesal sedang berdiri di dekatnya. Mula-mula ia
berdiri dengan kaki sebelah. Lalu dengan kaki yang lain, dan akhirnya menyepak-
nyepakkan kakinya ke tanaman bunga di dekat situ.
"Jangan begitu, Sayang," kata ibunya yang sedang asyik membaca majalah mode.
"Aku tidak ada kegiatan," kata si anak.
Laki-laki kecil itu menolehkan kepalanya ke arah si wanita, dan Mr.
Satterthwaite pun mengenalinya.
"M. Poirot," katanya, "senang sekali berjumpa dengan Anda."
M. Poirot berdiri dan membungkuk.
"Enchant?, Monsieur."
Mereka bersalaman dan Mr. Satterthwaite duduk.
"Kelihatannya semua orang ada di Monte Carlo. Belum setengah jam yang lalu saya
bertemu Sir Charles Cartwright. Sekarang Anda."
"Sir Charles" Dia juga ada di sini?"
"Dia berpesiar terus dengan perahu. Anda tahu dia telah menjual rumahnya yang di
Loomouth, kan?" "Ah, tidak. Saya tidak tahu. Kenapa, ya?"
"Saya tak tahu. Dia bekerja keras, lalu sakit sebentar dan harus istirahat. Tapi
saya rasa dia bukan tipe orang yang suka tinggal di tempat sepi dan mengucilkan
diri terus-menerus."
"Ah, benar. Saya sependapat dengan Anda dalam hal ini. Saya heran karena hal
lain. Kelihatannya Sir Charles punya alasan khusus untuk tinggal di Loomouth -
alasan yang menyenangkan. Apakah saya benar" Demoiselle mungil yang namanya lucu
itu?" Matanya bersinar lembut. "Oh, jadi Anda tahu?"
"Tentu saja. Saya tahu. Hati saya sangat sensitif untuk hal-hal seperti itu - saya
kira Anda juga. Dan la jeunesse selalu mengharukan."
Ia menarik napas panjang.
"Saya kira," kata Mr. Satterthwaite, "Anda benar tentang Sir Charles. Itu yang
menyebabkan dia pergi dari Loomouth. Dia melarikan diri."
"Dari Mademoiselle Egg" Tapi kan jelas gadis itu mencintainya" Kenapa dia lari?"
"Ah," kata Mr. Satterthwaite, "Anda tidak mengerti keruwetan orang-orang Anglo-
Saxon rupanya." M. Poirot mengikuti cara berpikirnya sendiri.
"Tentu saja," katanya, "memburu memang tindakan bagus. Lari dari seorang wanita.
Nanti dia akan mengejar. Dengan pengalamannya yang banyak, Sir Charles pasti
tahu itu." Mr. Satterthwaite agak heran.
"Saya rasa tidak begitu," katanya. "Kenapa Anda berada di sini" Liburan?"
"Setiap hari saya liburan sekarang. Saya sudah sukses. Saya kaya. Saya pensiun.
Sekarang saya jalan-jalan, melihat dunia."
"Bagus," kata Mr. Satterthwaite.
"N'est-ce pas?"
"Mama," kata anak kecil Inggris itu, "apa tak ada yang bisa kulakukan?"
"Sayang," jawab ibunya dengan agak kesal, "bukankah menyenangkan pergi ke luar
negeri dan menikmati sinar matahari?"
"Ya. Tapi tak ada yang bisa kukerjakan."
"Kau bisa lari-lari dan main sendiri. Pergi dan main sana ke laut."
"Maman," kata seorang anak Prancis yang tiba-tiba muncul, "joue avec moi."
Seorang ibu Prancis memandang anaknya dari balik buku.
"Amuse-toi avec ta balle, Marcelle."
Anak itu menurut. Ia memainkan bolanya sambil merengut.
"Je m'amuse," kata Hercule Poirot dengan ekspresi aneh di wajahnya.
Lalu, seolah-olah menjawab pertanyaan yang dibacanya di wajah Mr. Satterthwaite,
ia berkata, "Ah, ya. Anda punya persepsi yang tajam. Memang seperti yang Anda pikirkan."
Ia diam satu atau dua menit, lalu berkata,
"Waktu kecil, saya amat miskin. Kami bersaudara banyak. Kami harus berjuang
untuk hidup. Saya masuk kesatuan polisi. Saya bekerja keras. Pelan-pelan saya
naik. Nama saya mulai dikenal. Saya mulai mempunyai reputasi internasional.
Akhirnya saya pensiun. Lalu perang pecah. Saya terluka. Saya sampai di Inggris
dalam keadaan lemah dan menyedihkan sebagai pengungsi. Seorang wanita yang baik
hati dengan ramah menerima saya. Dia meninggal; secara tak wajar; bukan, dia
dibunuh. Eh bien, saya mengerahkan segala kemampuan untuk menyelidiki. Saya
gunakan sel-sel kelabu saya sebaik mungkin. Saya menemukan pembunuhnya. Ternyata
itu belum selesai. Saya bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Lalu mulailah karier
kedua saya - yaitu agen penyelidik swasta di Inggris. Saya berhasil memecahkan
persoalan-persoalan yang sulit dan luar biasa. Ah, saya jadi hidup! Psikologi
manusia memang luar biasa. Saya menjadi kaya. 'Suatu hari nanti,' begitu saya
berkata pada diri sendiri, 'aku akan punya uang yang kuperlukan. Semua mimpiku
akan menjadi kenyataan.'"
Ia meletakkan tangannya pada lutut Mr. Satterthwaite.
"Kawan, hati-hatilah apabila mimpi-mimpi Anda jadi kenyataan. Anak itu juga
punya mimpi pergi ke luar negeri. Dia merasa penuh gairah karena akan melihat
segala sesuatu yang lain. Anda mengerti?"
"Saya mengerti," kata Mr. Satterthwaite, "Anda tidak sedang bersenang-senang."
Poirot mengangguk. "Persis." Ada saat-saat Mr. Satterthwaite kelihatan seperti Puck. Seperti saat ini
misalnya. Wajahnya yang kecil dan keriput bergetar tak terkendali. Ia ragu-ragu.
Haruskah" Atau tak usah"
Pelan-pelan ia membuka koran yang masih dipegangnya.
"Anda sudah baca ini, M. Poirot?"
Ia menunjukkan paragraf yang dimaksudnya dengan jari telunjuknya.
Laki-laki Belgia kecil itu mengambil koran tersebut. Mr. Satterthwaite
memperhatikannya membaca. Tak ada perubahan pada wajahnya, tapi ia merasa badan
laki-laki itu menegang seperti anjing terrier yang mengendus lubang tikus.
Hercule Poirot membaca artikel itu dua kali, lalu melipat koran tersebut dan
mengembalikannya pada Mr. Satterthwaite.
"Menarik," katanya.
"Ya. Kelihatannya Sir Charles Cartwright yang benar dan kita keliru."
"Ya," kata Poirot. "Ya, kelihatannya kita salah. Saya menyukainya, kawan. Saya
tak bisa percaya seorang laki-laki tua yang begitu baik dan ramah dibunuh orang.
Hm, barangkali saya memang salah. Walaupun kematian yang ini mungkin kebetulan.
Kebetulan memang ada dan terjadi - juga yang paling luar biasa. Saya, Hercule
Poirot, telah melihat dan mengalami kebetulan-kebetulan yang mencengangkan."
Ia diam, lalu melanjutkan,
"Insting Sir Charles mungkin benar. Dia seniman - sensitif, mudah dipengaruhi. Dia
lebih bisa merasakan daripada berpikir logis. Cara seperti itu dalam kehidupan
memang sering membuat semua jadi berantakan, tapi kadang-kadang bisa dibenarkan.
Di mana Sir Charles sekarang?"
Mr. Satterthwaite tersenyum.
"Saya bisa menjawab pertanyaan itu. Dia ada di kantor Wagons-Lits. Dia dan saya
akan kembali ke Inggris malam ini."
"Aha!" Poirot sengaja memberi tekanan khusus pada seruannya. Matanya yang cerah,
cerdas, nakal, dan ingin tahu bertanya. "Alangkah bersemangatnya Sir Charles
kita. Kalau begitu, dia benar-benar mau memainkan peran itu - peran polisi amatir"
Atau ada alasan lain?"
Mr. Satterthwaite tidak menjawab. Tetapi Poirot menarik kesimpulan dari sikap
pria itu. "Hm," katanya. "Mata gadis yang bercahaya itu rupanya. Bukan hanya peristiwa
kriminal ini rupanya yang memanggil dia."
"Gadis itu menyuratinya," kata Mr. Satterthwaite, "meminta dia kembali."
Poirot mengangguk. "Hm, saya tak mengerti sekarang..."
Mr. Satterthwaite menyela,
"Anda tak mengerti gadis Inggris modern" Itu tidak aneh. Saya sendiri tidak
selalu bisa memahami mereka. Gadis seperti Miss Lytton Gore..."
Kali ini Poirot yang menyela,
"Maaf. Anda salah mengerti. Saya bisa memahami Miss Lytton Gore dengan baik.
Saya pernah bertemu yang seperti itu - banyak. Anda menganggapnya bertipe modern,
tapi bagaimana saya mengatakannya" Sudah kuno."
Mr. Satterthwaite agak tersinggung. Ia merasa hanya dirinya yang bisa memahami
Egg. Orang asing gila ini tak tahu apa-apa tentang wanita Inggris.
Poirot masih bicara. Nada suaranya seperti orang melamun.
"Pengetahuan tentang sifat manusia bisa berbahaya."
"Berguna," Mr. Satterthwaite membetulkan.
"Barangkali. Tergantung dari mana sudut pandangnya."
"Hm," kata Mr. Satterthwaite ragu-ragu sambil berdiri. Ia agak kecewa. Ia telah
melempar umpan, tapi ikan itu belum muncul. Ia merasa pengetahuannya akan sifat
manusia keliru. "Selamat berlibur, kalau begitu."
"Terima kasih."
"Kalau Anda ke London kapan-kapan, saya harap Anda bisa singgah di tempat saya."
Ia mengeluarkan kartunya. "Ini alamat saya."
"Anda sangat baik, Mr. Satterthwaite. Saya akan senang."
"Selamat berpisah, kalau begitu."
"Selamat berpisah dan... bon voyage."
Mr. Satterthwaite berjalan pergi. Poirot memandangnya sesaat, lalu menatap lurus
ke depan, ke Laut Tengah yang biru.
Ia duduk begitu kira-kira sepuluh menit.
Anak Inggris itu datang lagi.
"Aku sudah melihat laut, Ma. Apa yang akan kulakukan sekarang?"
"Pertanyaan yang mengagumkan," kata Hercule Poirot.
Ia berdiri dan berjalan pergi perlahan - ke arah kantor Wagons-Lits.
BAB VII Sir CHARLES dan Mr. Satterthwaite duduk di kamar kerja Kolonel Johnson. Kepala
polisi itu seorang laki-laki besar berwajah merah dengan suara keras dan sikap
ramah. Ia menyambut Mr. Satterthwaite dengan gembira dan jelas tampak senang bisa
berkenalan dengan Charles Cartwright yang terkenal.
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Istri saya senang melihat drama. Dia salah seorang - bagaimana orang Amerika
menyebutnya" - fans Anda. Ya, fans. Saya sendiri suka nonton drama. Pertunjukan
yang bagus. Ada juga pertunjukan-pertunjukan panggung yang... huh!"
Sir Charles sadar akan kebenaran kata-kata itu. Ia sendiri tak pernah memainkan
peran yang terlalu berani, tapi hanya mengikuti sikapnya yang luwes dan menarik.
Ketika akhirnya mereka mengatakan tujuan kedatangan mereka, Kolonel Johnson pun
segera menyampaikan apa yang diketahuinya dan menyanggupi untuk membantu
sebisanya. "Kawan Anda, ya" Kasihan... kasihan. Ya, dia memang populer di sini.
Sanatoriumnya sangat dikenal. Kecuali itu, Sir Bartholomew warga masyarakat
terhormat dan ahli top yang sedang ada di puncak karier. Dia baik, murah hati,
populer. Sulit percaya ada orang yang tega membunuhnya. Tapi kelihatannya memang
itulah yang terjadi - pembunuhan. Tak ada petunjuk adanya maksud bunuh diri.
Kecelakaan juga tidak mungkin."
"Satterthwaite dan saya baru saja pulang dari luar negeri," kata Sir Charles.
"Kami hanya membaca secuil berita di sana-sini dari koran."
"Dan tentunya Anda ingin tahu yang sebenarnya. Hm, saya akan menceritakan
kejadian itu secara keseluruhan. Saya kira tak perlu diragukan lagi kepala
pelayan itu harus kita cari. Dia orang baru. Dia bekerja pada Sir Bartholomew
baru dua minggu. Setelah kejadian itu dia hilang - lenyap begitu saja.
Kelihatannya aneh, kan" Eh, apa?"
"Anda tak tahu ke mana dia pergi?"
Wajah Kolonel Johnson yang memang merah itu bertambah merah.
"Anda pasti menganggap itu kelalaian kami. Memang kelihatannya seperti itu.
Orang ini tentunya juga diperiksa, sama seperti yang lain. Dia menjawab
pertanyaan kami dengan memuaskan, memberi nama agen di London yang
menempatkannya. Majikannya yang terakhir Sir Horace Bird. Sangat sopan dan tidak
gugup. Kemudian dia pergi, dan kami memeriksa rumah itu. Orang-orang saya sudah
mencari di semua sudut, tapi mereka tak menemukannya."
"Luar biasa," kata Satterthwaite.
"Tapi lucu juga," kata Sir Charles sambil berpikir-pikir. "Rasanya yang dia
lakukan itu sangat tolol. Sebetulnya dia kan tidak dicurigai. Tapi dengan
menghilang, orang malah curiga padanya."
"Benar. Dan tak ada harapan untuk lari. Deskripsi orang itu telah diedarkan.
Kita tunggu waktunya saja."
"Aneh," kata Sir Charles. "Saya tidak mengerti."
"Oh, sebabnya sudah jelas. Dia takut. Tiba-tiba bingung."
"Biasanya orang yang berani membunuh juga punya kemampuan duduk tenang
sesudahnya." "Tergantung, tergantung. Saya tahu para kriminal. Banyak yang kecil nyalinya.
Dia pikir dia dicurigai, lalu lari."
"Apa Anda sudah mengecek cerita tentang dirinya?"
"Tentu saja, Sir Charles. Itu memang pekerjaan rutin. Agen London itu
membenarkannya. Dia punya referensi tertulis dari Sir Horace Bird yang
memberinya rekomendasi bagus. Sir Horace sendiri sekarang di Afrika Barat."
"Jadi, referensi itu mungkin palsu?"
"Benar," kata Kolonel Johnson dengan senang pada Sir Charles, seperti kepala
sekolah memberi selamat pada muridnya yang pandai. "Tentu saja kami telah
mengirim telegram pada Sir Horace, tapi mungkin perlu sedikit waktu untuk
mendapat jawaban. Dia sedang bersafari."
"Kapan orang itu menghilang?"
"Pagi hari setelah kematian. Ada seorang dokter yang hadir dalam pesta itu - Sir
Jocelyn Cambell - saya dengar dia ahli racun. Dia dan Davis - ahli di daerah ini -
memang memastikan kasus itu, dan kami segera diberitahu. Malam itu kami
mewawancarai setiap orang. Dan Ellis - nama kepala pelayan itu - masuk ke kamarnya
malam itu. Paginya dia tak ada lagi. Tempat tidurnya belum dipakai."
"Dia menyelinap pergi malam itu?"
"Kelihatannya begitu. Salah seorang tamu yang tinggal di situ - Miss Sutcliffe,
aktris itu - Anda tahu dia barangkali?"
"Tentu saja." "Miss Sutcliffe memberitahu kami. Dia bilang orang itu keluar lewat jalan
rahasia." Ia bersin sebentar. "Kedengarannya seperti cerita Edgar Wallace, tapi
rupanya memang ada lorong rahasia. Sir Bartholomew bangga dengan lorong itu. Dia
menunjukkannya pada Miss Sutcliffe. Ujung lorong itu tembus di sebuah rumah
rusak yang jaraknya kira-kira setengah mil."
"Itu merupakan kemungkinan," Sir Charles setuju. "Tapi, apakah kepala pelayan
itu tahu?" "Ya, itulah persoalannya. Istri saya selalu bilang, pelayan biasanya tahu
segalanya. Kelihatannya dia benar."
"Saya dengar racunnya adalah nikotin," kata Mr. Satterthwaite.
"Benar. Tidak biasa, jarang sekali terjadi. Saya dengar, pada perokok berat
seperti dokter itu, memang bisa timbul komplikasi berbahaya. Maksud saya, dokter
itu mungkin saja meninggal karena keracunan nikotin, tapi kematiannya wajar.
Tapi kejadiannya begitu mendadak."
"Bagaimana peracunan itu dilakukan?"
"Kami tidak tahu," kata Kolonel Johnson. "Itulah hal paling lemah dalam kasus
ini. Menurut bukti-bukti medis, racun itu pasti ditelan beberapa menit sebelum
dokter itu meninggal."
"Saya dengar mereka minum anggur?"
"Ya, betul. Kelihatannya racun itu ada di dalam anggur. Tapi ternyata tidak.
Kami menganalisis gelasnya. Isinya hanya anggur. Gelas-gelas anggur lainnya
tentu juga diperiksa. Tapi semua ada di sebuah nampan di dapur, belum dicuci,
dan tak sebuah pun berisi sesuatu yang mencurigakan. Apa yang dia makan juga
sama dengan yang dimakan para tamu. Sup, ikan bakar, kentang, cokelat souffl?,
telur ikan. Kokinya sudah bekerja selama lima belas tahun padanya. Kelihatannya
tak mungkin dia meminum racun itu, tapi barang itu ada di dalam perutnya.
Sulit." Sir Charles berpaling pada Mr. Satterthwaite.
"Hal yang sama," katanya penuh semangat, "sama seperti yang itu."
Ia berpaling lagi pada kepala polisi itu.
"Saya harus cerita. Pernah terjadi kematian di rumah saya di Cornwall..."
Kolonel Johnson kelihatan tertarik.
"Saya kira saya pernah mendengar cerita itu. Dari seorang gadis - Miss Lytton
Gore." "Ya, waktu itu dia hadir di sana. Dia bercerita pada Anda?"
"Ya. Dia yakin pada teorinya. Tapi, Sir Charles, saya tak percaya pada teori
itu. Karena tidak menjelaskan kepergian pelayan itu. Apa pelayan Anda juga
menghilang?" "Oh, tidak. Dia pelayan wanita."
"Bagaimana kalau dia laki-laki yang menyamar?"
Sir Charles tersenyum ketika membayangkan Temple yang rapi dan feminin itu.
Kolonel Johnson juga tersenyum minta maaf.
"Hanya gagasan ngawur saja," katanya. "Itu karena saya tak bisa yakin dengan
teori Miss Lytton Gore. Saya dengar yang meninggal itu pendeta tua. Siapa yang
ingin membunuh pendeta seperti itu?"
"Justru itulah yang membuat bingung," kata Sir Charles.
"Saya kira ini cuma kebetulan. Tapi kepala pelayan yang menghilang itu harus
dicurigai. Bisa jadi dia memang pembunuh. Sayang kami tak bisa menemukan sidik
jarinya. Ada ahli sidik jari yang melihat-lihat kamar dan dapurnya, tapi tak
bisa menemukannya." "Kalau pembunuh itu benar si pelayan, motif apa yang mendorongnya berbuat
begitu?" "Itulah salah satu kesulitan kami," kata Kolonel Johnson. "Orang itu barangkali
ada di sini dengan maksud mencuri, dan Sir Bartholomew mungkin menangkap basah."
Baik Sir Charles maupun Mr. Satterthwaite dengan sopan tidak berkomentar.
Kolonel Johnson sendiri kemudian merasa alasan yang dikemukakannya tidak kuat.
"Kenyataannya, kita hanya bisa berteori. Kalau kita sudah bisa menangkap John
Ellis dan tahu siapa dia sebenarnya serta apakah dia pernah dipenjara
sebelumnya, barangkali motifnya akan menjadi jelas."
"Tentunya Anda telah memeriksa surat-surat dan dokumen-dokumen Sir Bartholomew,
ya?" "Tentu saja, Sir Charles. Kami telah memberi perhatian penuh pada sisi itu dalam
kasus ini. Saya harus mengenalkan Anda pada Inspektur Crossfield yang menangani
kasus ini. Dia bisa dipercaya. Saya menunjukkan padanya, dan dia langsung
setuju, bahwa profesi Sir Bartholomew barangkali ada hubungannya dengan kematian
itu. Seorang dokter tahu banyak rahasia profesional. Dokumen-dokumen Sir
Bartholomew ternyata disimpan rapi. Miss Lyndon, sekretarisnya, bersama-sama
Crossfield memeriksa dokumen-dokumen itu."
"Dan tak ada apa-apa?"
"Tak ada yang mencurigakan, Sir Charles."
"Apa ada barang yang hilang dari rumah - perhiasan, perak - barang-barang seperti
itu?" "Tidak, sama sekali tidak."
"Siapa-siapa saja yang tinggal di rumah itu?"
"Saya punya daftar... eh, mana, ya" Ah, saya rasa ada di Crossfield. Anda harus
bertemu dengan Crossfield. Sebenarnya sekarang ini saya sedang menunggu-nunggu
dia untuk melapor..." Terdengar suara bel. "Ah, itu dia barangkali."
Inspektur Crossfield berbadan besar dan tegap. Bicaranya pelan, tapi matanya
yang biru kelihatan tajam.
Ia memberi hormat pada atasannya, lalu diperkenalkan pada kedua tamu itu.
Seandainya Mr. Satterthwaite datang sendiri, barangkali ia akan kesulitan
menghadapi Crossfield. Ia tidak terlalu acuh pada seorang tamu dari London yang
datang sebagai amatir yang punya "ide". Tapi Sir Charles lain. Inspektur
Crossfield mempunyai rasa hormat yang kekanak-kanakan pada daya tarik panggung.
Ia pernah melihat Sir Charles dalam dua pertunjukan. Tapi sekarang ia berhadapan
langsung dengan pemain pujaannya - dan itu membuatnya ramah dan terbuka.
"Saya pernah melihat Anda di London, sungguh, dengan istri saya. Kami nonton
Lord Aintree's Dilemma - itu dramanya. Orang penuh sesak, dan kami dapat tempat di
bawah. Sebelumnya kami harus antre dua jam. Tapi istri saya bersikeras. Dia
bilang, 'Aku harus melihat Sir Charles Cartwright dalam Lord Aintree's Dilemma.'
Waktu itu di Pall Mall Theatre."
"Ah," kata Sir Charles, "saya sudah pensiun dari panggung sekarang. Saya bekerja
terlalu keras dan akhirnya sakit dua tahun yang lalu. Tapi orang-orang Pall Mall
masih ingat nama saya." Ia mengeluarkan sebuah kartu dan menulis beberapa kata
di atasnya. "Ini bisa Anda berikan pada orang di loket, kalau Anda dan istri
Anda ke kota. Mereka akan memberikan dua tempat duduk terbaik."
"Oh, terima kasih sekali, Sir Charles. Anda begitu baik. Terima kasih."
Setelah itu, Inspektur Crossfield seperti sebuah lilin di tangan sang aktor.
"Kasus ini aneh. Belum pernah saya menangani keracunan nikotin. Juga Dokter
Davis." "Saya selalu berpikir ini akibat penyakit yang disebabkan karena terlalu banyak
merokok." "Terus terang, saya juga berpikir begitu. Tapi dokter bilang alkaloid murni
merupakan cairan tak berbau dan beberapa tetes saja bisa membunuh orang."
Sir Charles bersiul. "Barang poten."
"Benar. Padahal barang itu dipakai sehari-hari. Misalnya untuk pencampur obat
penyemprot mawar. Dan tentu saja bisa disaring dari tembakau biasa."
"Mawar," kata Sir Charles. "Hm, di mana saya dengar..."
Ia mengernyitkan dahi, lalu menggelengkan kepala.
"Ada yang baru yang perlu dilaporkan, Crossfield?" tanya Kolonel Johnson.
"Tak ada yang pasti, Sir. Ada laporan bahwa buron kita, Ellis, terlihat di
Durham, Ipswich, Balham, Land's End, dan beberapa tempat lainnya. Tapi semua itu
harus disaring." Ia kembali menghadap ke kedua tamunya. "Pada waktu deskripsi
seorang buron diumumkan, orang itu seolah-olah kelihatan di semua tempat di
Inggris." "Bagaimana deskripsinya?" tanya Sir Charles.
Johnson mengambil selembar kertas.
"John Ellis, tinggi sedang, agak bungkuk, rambut abu-abu, cambang kecil, mata
hitam, suara serak, gigi atas patah dan kelihatan bila dia tersenyum, tak ada
tanda-tanda atau karakteristik khusus."
"Hm," kata Sir Charles. "Sangat biasa, kecuali cambang dan giginya. Cambang itu
pasti sudah hilang sekarang, dan sulit menyuruhnya tersenyum."
"Persoalannya," kata Crossfield, "tak seorang pun memperhatikan sesuatu.
Kesulitan saya adalah bagaimana cara mendapat deskripsi yang amat samar dari
pembantu-pembantu. Selalu begitu. Saya punya deskripsi tentang satu orang yang
sama, dan orang menyebutnya tinggi, kurus, pendek, gemuk, sedang, tegap,
ramping. Tak seorang pun dalam umur lima puluhan menggunakan matanya sebaik-
baiknya." "Anda yakin benar, Inspektur, Ellis-lah pelakunya?"
"Kalau tidak, kenapa dia lari" Tak ada penjelasan lain rasanya."
"Memang sulit," kata Sir Charles sambil berpikir.
Mr. Satterthwaite mengulangi pertanyaan tentang dokumen Bartholomew Strange yang
telah ditanyakan Sir Charles.
"Tak ada apa-apa, Sir. Semua kelihatannya bersih dan tak perlu dicurigai."
"Ya, betul," kata Johnson. "Saya sendiri juga memeriksanya. Tapi tak ada apa-
apa." "Rasanya saya pernah melihat sekretaris Tollie," kata Sir Charles. "Gadis itu
biasa, tapi sangat efisien."
"Betul. Seorang gadis yang baik dan sangat efisien. O ya, kami juga memeriksa
agenda Sir Bartholomew. Sebetulnya catatan biasa. Saya simpan di sini."
"Oh." Sir Charles mengulurkan tangannya dengan cepat.
Inspektur itu memberinya sebuah buku hijau kecil yang agak kumal.
Mr. Satterthwaite mengintip dari balik bahu Sir Charles ketika pria itu membuka-
buka halaman buku tersebut.
Tulisannya dengan pensil, seperti ini:
Sale Mr. Lathom. Anggur bagus. Harus pergi.
Beritahu L supaya beli alas meja.
Rasanya semua bersih. Istirahat segera.
Catatan - pecat si tukang kebun bodoh. Kenapa dia tidak menanam tulip rapat-rapat"
Tulisan terakhir bertanggal sehari sebelum ia meninggal. Begini bunyinya:
Aku khawatir tentang M - ada yang tidak beres.
Beritahu L per sofa lepas.
"L ialah Miss Lyndon," kata Inspektur.
"Dan M?" "Kami tidak tahu. Barangkali salah seorang pasiennya."
Sir Charles kemudian minta daftar orang-orang yang ada di tempat pesta malam
itu. Daftarnya seperti berikut:
Martha Leckie, juru masak.
Beatrice Church, pelayan utama.
Doris Cocker, pelayan biasa.
Victoria Ball, pelayan kamar.
Violet Bassington, pelayan dapur.
Semuanya sudah lama bekerja pada almarhum dan mempunyai karakter-karakter yang
baik. Mrs. Leckie sudah bekerja lima belas tahun.
Gladys Lyndon, sekretarisnya yang berumur 33, telah bekerja selama tiga tahun
pada Sir Bartholomew Strange. Ia tak bisa memberikan informasi tentang motif
pembunuhan itu. Tamu: Lord dan Lady Eden, Cadogan Square, London.
Sir Jocelyn dan Lady Cambell, Harley Street, London.
Miss Angela Sutcliffe, Cantrell Mansions, London, S. W. 3.
Kapten dan Mrs. Dacres, St. John's House, London, W. 1. Mrs. Dacres mempunyai
usaha di Ambrosine, Ltd., Bruton Street, London.
Lady Mary dan Miss Hermione Lytton Gore.
Rose Cottage, Loomouth. Miss Muriel Wills, Upper Cathcart Road, Tooting.
Mr. Oliver Manders, Messrs. Speir & Ross, Old Broad Street, E. C.
"Hm," kata Sir Charles. "Yang ada di Tooting ini tidak masuk koran. Si Manders
ada di sini juga." "Itu karena kebetulan saja," kata Inspektur Crossfield. "Sepeda motor pemuda ini
menabrak sebuah dinding dekat rumah itu. Dan Sir Bartholomew yang kenal dia
memintanya tinggal malam itu."
"Ah. Sembrono amat," kata Sir Charles ringan.
"Memang begitu kejadiannya," kata Inspektur. "Dia pasti minum terlalu banyak - itu
membuatnya menabrak dinding. Saya tidak tahu, apa dia sadar waktu itu."
"Terlalu banyak alkohol, kelihatannya," kata Sir Charles.
"Ya, saya pikir juga alkohol."
"Hm, terima kasih, Inspektur. Apa kami bisa melihat-lihat rumah itu, Kolonel
Johnson?"
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja. Tapi rasanya takkan banyak yang dapat Anda pelajari lagi."
"Ada orang di sana?"
"Hanya para pelayan. Tamu-tamu pulang segera setelah pemeriksaan, dan Miss
Lyndon telah kembali ke Harley Street."
"Kami boleh juga bertemu Dr. Davis?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Bagus." Mereka memperoleh alamat dokter itu, dan setelah mengucapkan terima kasih pada
Kolonel Johnson, mereka pergi.
BAB VIII KETIKA mereka sedang di jalan, Sir Charles berkata, "Apa pendapatmu,
Satterthwaite?" "Bagaimana dengan kau sendiri?" tanya Mr. Satterthwaite. Ia senang menyimpan
pendapatnya sampai saat terakhir.
Tapi Sir Charles tidak begitu. Ia berkata dengan simpati,
"Mereka keliru, Satterthwaite. Mereka cuma memikirkan pelayan itu. Pelayan itu
berbuat sesuatu - ergo, pelayan itu adalah pembunuh. Tidak cocok. Tidak cocok.
Kita tak bisa mengesampingkan kematian satunya - yang terjadi di rumahku."
"Kau masih menganggap keduanya berhubungan?"
Mr. Satterthwaite menanyakan hal itu, walaupun jawabannya telah ada dalam
hatinya. "Ah, jelas ada hubungannya. Semua menunjuk ke arah itu. Kita harus menemukan
faktor yang sama - orang yang berada di kedua pesta itu."
"Ya," kata Mr. Satterthwaite. "Dan itu bukan hal sederhana seperti yang
diperkirakan orang. Ada cukup banyak faktor yang sama. Hampir semua orang yang
datang ke pestamu ada di tempat ini."
Sir Charles mengangguk. "Tentu saja aku tahu itu. Tapi kau tahu deduksi apa yang bisa diambil dari hal
itu?" "Aku kurang mengerti, Cartwright."
"Ah, kan jelas sekali. Kauanggap itu kebetulan" Tidak. Memang disengaja. Kenapa
semua orang yang ada di kematian pertama ada pula di kematian kedua" Kebetulan"
Pasti tidak. Itu direncanakan - rencana Tollie."
"Oh!" kata Mr. Satterthwaite. "Ya, bisa jadi."
"Itu pasti. Kau tidak mengenal Tollie sebaik aku, Satterthwaite. Dia suka
merahasiakan rencananya dan juga amat sabar. Selama aku mengenalnya, dia tak
pernah memberikan pendapat serampangan.
"Babbington dibunuh seseorang - ya, dibunuh, aku tak mau memperluas istilah - dia
dibunuh di rumahku pada suatu malam. Tollie mengejekku, karena aku curiga. Tapi
sebetulnya dia sendiri juga curiga. Dia tak mengatakan hal itu, itu bukan
caranya. Tapi diam-diam dia membentuk sebuah kasus. Aku tak tahu kasus apa itu.
Tapi kurasa bukanlah kasus yang ditujukan pada satu orang saja. Dia yakin salah
satu dari orang-orang itu bertanggung jawab atas tindak kriminal itu, dan dia
membuat rencana. Boleh dikatakan suatu tes, untuk mengetahui siapa orangnya."
"Bagaimana dengan tamu-tamu lain" Suami-istri Eden atau Cambell?"
"Kamuflase. Itu membuat tujuan sebenarnya jadi tersamar."
"Dan apa kira-kira rencana itu?"
Sir Charles mengangkat bahu - isyarat asing yang dibesar-besarkan. Ia menjadi
Aristide Duval, otak agen rahasia itu. Kaki kirinya tiba-tiba timpang.
"Bagaimana aku tahu" Aku bukan tukang sulap. Aku tak bisa menebak. Tapi jelas
ada rencana. Rencana itu tidak jalan karena si pembunuh satu tingkat lebih
pandai dari yang diperkirakan Tollie. Dia memukul lebih dulu."
"Laki-laki?" "Bisa juga wanita. Yang lebih suka memakai senjata racun biasanya wanita."
Mr. Satterthwaite diam. Sir Charles berkata,
"Ayolah, kau tak setuju" Atau kau lebih setuju dengan opini publik. 'Pelayan itu
orangnya. Dia yang membunuh.'"
"Apa penjelasanmu tentang pelayan itu?"
"Aku belum berpikir. Kurasa dia tak berarti. Aku bisa membuat cerita tentang
dia." "Misalnya?" "Seandainya polisi memang benar; Ellis seorang kriminal profesional, bekerja
sama dengan - misalnya saja - komplotan perampok. Ellis mendapat posisi itu dengan
surat-surat keterangan palsu. Lalu Tollie dibunuh. Bagaimana posisi Ellis"
Seseorang dibunuh, dan di rumah itu ada orang yang sidik jarinya disimpan
Scotland Yard dan dikenal mereka. Tentu saja dia takut dan lari."
"Tapi lorong rahasia itu?"
"Peduli amat dengan lorong rahasia. Dia kabur dari rumah itu ketika salah
seorang polisi penjaga itu ngantuk."
"Itu memang lebih bisa diterima."
"Jadi, apa pendapatmu?"
"Pendapatku?" kata Mr. Satterthwaite. "Oh, sama dengan pendapatmu. Sejak awal
sudah sama. Menurut pendapatku, pelayan itu hanya kambing hitam untuk
mengalihkan perhatian. Aku yakin Sir Bartholomew dan Babbington yang malang itu
dibunuh orang yang sama."
"Salah seorang tamu?"
"Salah seorang tamu."
Mereka diam sejenak. Lalu Mr. Satterthwaite bertanya sambil lalu,
"Yang mana menurut pendapatmu?"
"Ya Tuhan. Bagaimana aku tahu?"
"Tentu saja engkau tidak tahu," kata Mr. Satterthwaite pelan. "Kupikir kau punya
ide - tak perlu yang muluk-muluk atau ilmiah. Sekadar tebakan."
"Wah, aku tak tahu." Ia diam sebentar, lalu berkata, "Kalau kita pikir-pikir,
rasanya tak mungkin salah seorang dari mereka yang melakukannya."
"Kurasa teorimu benar," kata Mr. Satterthwaite. "Maksudku, tentang orang-orang
yang tak punya faktor sama. Kau, aku, dan Mrs. Babbington, misalnya. Juga si
Manders. Dia tak perlu diperhitungkan."
"Manders?" "Ya. Kedatangannya ke situ kan kebetulan saja. Dia tidak diminta atau diundang
ke situ. Jadi, dia bebas dari kecurigaan."
"Juga penulis naskah drama itu - Anthony Astor."
"Tidak. Dia juga datang. Miss Muriel Wills dari Tooting."
"Oh, dia. Aku lupa nama aslinya Wills."
Ia mengernyitkan dahi. Mr. Satterthwaite memang pandai membaca pikiran orang. Ia
memperkirakan dengan cukup tepat apa yang melintas di benak sang aktor. Ketika
temannya bicara, Mr. Satterthwaite diam-diam memuji dirinya sendiri.
"Kau benar, Satterthwaite. Kurasa yang diundangnya bukan hanya orang-orang yang
dicurigai, sebab Lady Mary dan Egg kan juga di sana. Kurasa dia ingin membuat
reproduksi kasus yang pertama. Dia mencurigai seseorang, tapi juga memerlukan
saksi-saksi untuk meyakinkan hal itu. Begitulah kira-kira."
"Ya. Begitu kira-kira," kata Tuan Satterthwaite setuju. "Pada saat ini, orang
baru bisa melihat patokan-patokan umum saja. Baiklah. Keluarga Lytton Gore
keluar dari grup itu; juga kau, aku, Mrs. Babbington, serta Oliver Manders.
Tinggal siapa" Angela Sutcliffe?"
"Angie" Ya Tuhan. Dia kawan lama Tollie."
"Kalau begitu, suami-istri Dacres. Sebenarnya kau kan curiga pada mereka. Terus
terang sajalah." Sir Charles memandangnya. Mr. Satterthwaite kelihatan seperti orang yang menang
bertaruh. "Aku memang mencurigai mereka," kata Sir Charles pelan-pelan, "karena mereka
lebih masuk akal daripada yang lain. Sebenarnya aku tidak terlalu kenal mereka.
Tapi rasanya aku juga tak bisa mengerti kenapa Freddie Dacres yang dedengkot
taruhan pacuan kuda itu, atau Cynthia, yang terkenal dengan desain baju-baju
mahalnya ingin membunuh seorang pendeta tua yang tak berdosa."
Ia menggelengkan kepala, kemudian wajahnya berubah cerah.
"Oh ya, si Wills. Aku hampir lupa. Apa sih yang membuat orang cenderung
melupakannya" Dia memang orang yang paling sulit dijelaskan."
Mr. Satterthwaite tersenyum.
"Kupikir dia seperti yang dikatakan Burns, 'Seorang anak di antaramu menulis.'
Kurasa Miss Wills seperti itu. Dia orang yang sibuk mencatat. Ada mata tajam di
balik kacamatanya. Kurasa hal-hal yang perlu diketahui dalam urusan ini telah
diketahui Miss Wills."
"Benarkah?" kata Sir Charles ragu-ragu.
"Pokoknya sekarang kita makan siang. Setelah itu, kita ke sana untuk melihat-
lihat atau mencari sesuatu di situ."
"Kau kelihatannya senang dengan urusan ini, Satterthwaite," kata Sir Charles
sambil mengedipkan matanya.
"Penyelidikan kasus kejahatan bukan barang baru bagiku," kata Mr. Satterthwaite.
"Suatu kali, ketika mobilku rusak dan aku terpaksa menginap di penginapan
terpencil..." Ia tak melanjutkan ceritanya.
"Aku ingat," kata Sir Charles dengan suara tinggi dan jelas, membawakan suara
seorang aktor, "ketika aku keliling pada tahun 1921..."
Sir Charles menang. BAB IX TAK ada yang lebih tenang dan damai dari halaman dan gedung Melfort Abbey
seperti terlihat oleh kedua laki-laki itu pada suatu sore di bulan September
yang cerah. Sebagian dari biara itu merupakan bangunan abad kelima belas. Bangunan itu
dipugar dan ditambah dengan satu sayap baru. Sanatorium yang baru tidak
kelihatan dari rumah itu, karena punya halaman sendiri.
Sir Charles dan Mr. Satterthwaite diterima oleh Mrs. Leckie, juru masak yang
berbaju hitam dan menangis tersedu-sedu. Ia sudah kenal Sir Charles, dan
kepadanyalah sebagian besar ceritanya ditujukan.
"Anda pasti tahu apa artinya bagi saya, Sir. Kematian Dokter. Polisi di mana-
mana, menyelinap di sana-sini. Mereka juga memeriksa tempat-tempat sampah. Dan
pertanyaan-pertanyaan - mereka tak berhenti bertanya-tanya. Oh, saya tak tahan
lagi rasanya. Tuan Dokter - beliau pendiam dan tenang seperti biasa. Beatrice dan
saya pasti ingat benar, walau saya dua tahun lebih dulu bekerja di sini
dibandingkan dia. Dan polisi itu - dia begitu ribut dan kasar. Saya tak tahu apa
dia inspektur polisi atau bukan."
Mrs. Leckie diam, menarik napas, dan melepaskan diri dari pembicaraan konyol
itu. "Pertanyaan tentang para pelayan yang ada di rumah ini - padahal mereka semua
baik-baik, walaupun Doris suka bandel dan saya harus mengingatkannya paling
tidak sekali seminggu; dan Vickie yang suka tidak sopan - tapi anak-anak muda itu
memang begitu. Apa yang bisa diharapkan dari mereka" Ibu mereka tidak memberikan
pendidikan cukup. Tapi mereka gadis baik-baik, dan tak seorang polisi pun bisa
membuat saya mengatakan yang sebaliknya. 'Ya,' kata saya padanya, 'jangan dikira
saya mau mengatakan hal yang memberatkan gadis-gadis itu. Mereka gadis baik-
baik, dan kalau Anda mencurigai mereka melakukan pembunuhan, itu jahat
namanya.'" Mrs. Leckie diam. "Mr. Ellis itu lain. Saya tak tahu apa-apa tentang dia dan tak bisa menjawab
pertanyaan tentang dia. Dia datang dari London dan masih asing di tempat ini.
Dia datang ketika Mr. Baker berlibur."
"Baker?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Mr. Baker dulu kepala pelayan Sir Bartholomew. Dia sudah tujuh tahun bekerja di
sini. Dia sering ada di London, di Harley Street. Anda ingat dia?" tanyanya pada
Sir Charles yang kemudian mengangguk. "Sir Bartholomew biasa membawanya ke sini
kalau ada pesta. Tapi dia sakit-sakitan belakangan ini. Jadi, Sir Bartholomew
memberinya libur, membayari liburannya di suatu tempat dekat Brighton. Dokter
sungguh baik hati. Dan beliau untuk sementara menyewa tenaga Mr. Ellis. Jadi,
saya tak bisa cerita apa-apa, walaupun seperti ceritanya, Mr. Ellis selalu
bekerja pada keluarga baik-baik. Dia sendiri juga kelihatan berpendidikan."
"Tak ada yang aneh tentang dia?" tanya Sir Charles berharap.
"Ah, aneh rasanya yang Anda katakan tadi, sebab saya merasa ya dan tidak."
Sir Charles memberi semangat dan Mrs. Leckie melanjutkan,
"Saya tak tahu persis apa itu, tapi ada sesuatu..."
"Biasanya begitu setelah ada kejadian," pikir Mr. Satterthwaite. Walaupun tak
suka polisi, Mrs. Leckie tidak menolak ide-ide. Kalau Ellis ternyata kriminal,
Mrs. Leckie pasti telah melihat sesuatu.
"Pertama-tama, dia suka menyendiri, tidak terbuka. Oh, sangat sopan - amat sangat
sopan - karena dia sudah biasa dengan keluarga-keluarga baik-baik. Tapi dia selalu
menyendiri, lebih banyak tinggal di kamarnya. Tapi dia... ah, saya tak tahu
bagaimana mengatakannya, saya yakin... dia... dia, ada sesuatu..."
"Anda tak curiga dia bukan kepala pelayan betulan?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Oh, dia kelihatan berpengalaman, Sir. Dia banyak tahu - juga tentang orang-orang
terkenal di masyarakat."
"Misalnya?" tanya Sir Charles halus.
Tapi Mrs. Leckie jadi lupa dan bingung. Ia tak akan bergosip tentang soal-soal
pelayan, tidak baik. Supaya Mrs. Leckie tidak kagok, Mr. Satterthwaite berkata,
"Barangkali Anda bisa menjelaskan seperti apa dia."
Wajah Mrs. Leckie menjadi cerah.
"Ya, tentu, Sir. Dia kelihatan terhormat - bercambang, agak bungkuk, rambut abu-
abu. Dia juga mulai gemuk - itu yang membuatnya khawatir. Tangannya juga agak
gemetar, tapi bukan karena hal yang Anda bayangkan. Dia tidak suka minum - tidak
seperti kebanyakan orang yang saya tahu. Matanya sedikit lemah, saya rasa. Sinar
terang membuat matanya sakit, mengeluarkan air. Kalau keluar dengan kami, dia
memakai kacamata, tapi kalau sedang bertugas, tidak."
"Tak ada tanda-tanda khas?" tanya Sir Charles. "Bekas luka" Jari yang putus"
Atau tanda-tanda bawaan?"
"Oh, tidak, Sir, tak ada."
"Hm, cerita-cerita detektif itu begitu luar biasa," kata Sir Charles, menarik
napas. "Dalam fiksi selalu ada ciri-ciri yang menonjol."
"Ada giginya yang hilang," kata Mr. Satterthwaite.
"Saya rasa begitu. Tapi saya tak pernah melihatnya."
"Bagaimana sikapnya pada malam itu?" tanya Mr. Satterthwaite dengan agak kaku.
"Wah, saya tidak bisa cerita, Sir. Saya sibuk di dapur waktu itu. Saya tak punya
waktu untuk memperhatikan macam-macam hal."
"Ya, ya, tentu saja."
"Ketika mendengar Tuan meninggal, kami kaget sekali dan menangis. Saya menangis
tak berhenti. Juga Beatrice. Para pelayan yang masih muda, walaupun merasa seru,
juga bingung. Tentu saja Mr. Ellis yang masih baru itu tidak bingung seperti
kami. Tapi dia sangat baik. Dia menyuruh saya dan Beatrice minum anggur untuk
mengurangi kekagetan kami. Tak tahunya dia sendirilah yang ternyata buronan
itu..." Mrs. Leckie tak kuasa meneruskan kata-katanya. Matanya bersinar marah.
"Dia menghilang malam itu juga, saya dengar."
"Ya, Sir. Dia masuk kamarnya seperti kami semua, dan pagi harinya dia sudah tak
ada. Itulah sebabnya polisi memburunya."
"Ya, ya, memang tolol. Anda tahu kira-kira bagaimana dia meninggalkan rumah?"
"Sama sekali tidak. Rasanya polisi mengawasi rumah ini sepanjang malam dan
mereka tidak melihatnya pergi - tapi namanya juga orang. Biarpun polisi, ya sama
saja, walaupun tampangnya seram."
"Saya dengar ada lorong rahasia," kata Sir Charles.
Mrs. Leckie mendengus. "Itu yang dikatakan polisi."
"Apa memang ada?"
"Saya memang pernah dengar," kata Mrs. Leckie hati-hati.
"Anda tahu dari mana awalnya?"
"Tidak tahu, Sir. Lorong rahasia sendiri tidak apa-apa, tapi bukan hal yang baik
untuk dibicarakan di antara pelayan. Mereka akan berpikir untuk menyelinap
keluar lewat jalan itu. Gadis-gadis pelayan keluar-masuk lewat pintu belakang."
"Bagus, Mrs. Leckie. Saya rasa Anda bijaksana."
Wajah Mrs. Leckie cerah mendengar pujian Sir Charles.
"Apa kami bisa bertanya-tanya pada pembantu-pembantu lainnya?"
"Tentu saja, Sir. Tapi mereka tak bisa cerita lebih banyak daripada saya."
"Oh, saya tahu. Maksud saya, kami tak ingin tanya-tanya tentang Ellis. Lebih
penting tentang Sir Bartholomew sendiri - sikapnya malam itu, dan sebagainya. Anda
tahu, kan dia teman saya."
"Ya, saya tahu. Saya mengerti, Sir. Ada Beatrice dan Doris. Dia melayani di meja
makan." "Ya, saya ingin bicara dengan Doris."
Tapi Mrs. Leckie mengutamakan senioritas. Yang muncul pertama adalah Beatrice
Church, pelayan rumah yang lebih senior.
Ia seorang wanita tinggi kurus dengan mulut menciut, serta kelihatannya agresif
dan terhormat. Setelah menanyakan beberapa hal yang tak penting, Sir Charles menanyakan sikap
para tamu pada malam naas itu. Apa mereka sangat bingung dan sedih" Apa yang
mereka katakan atau lakukan"
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beatrice jadi bersemangat. Ia senang menceritakan tragedi itu.
"Miss Sutcliffe sangat terpukul. Dia wanita yang hangat. Pernah menginap di sini
sebelumnya. Saya menanyakan apa dia mau minum sedikit brendi atau secangkir teh,
tapi dia tak mau. Dia minum aspirin. Katanya dia yakin takkan bisa tidur. Tapi
esok paginya, ketika saya mengantarkan sarapannya, dia tidur seperti anak
kecil." "Dan Mrs. Dacres?"
"Saya rasa tak ada hal yang bisa membuatnya bingung."
Dari nada suaranya, sepertinya Beatrice tak suka pada Cynthia Dacres.
"Dia cuma ingin segera pergi. Katanya usahanya bisa berantakan. Kata Mr. Ellis,
dia pembuat baju terkenal di London."
Bagi Beatrice, pembuat baju berarti "dagang", dan ia menganggap rendah hal itu.
"Dan suaminya?"
Beatrice mendengus. "Menenangkan dirinya dengan brendi. Atau barangkali justru tidak menenangkan."
"Bagaimana dengan Lady Mary Lytton Gore?"
"Sangat baik," suaranya melembut. "Nenek saya pernah bekerja pada ayahnya di
istana. Kata orang, semasa mudanya dia cantik. Walaupun tidak kaya, dia
kelihatan terhormat, dia sangat baik. Tak pernah membuat susah dan bicaranya
selalu manis. Putrinya juga baik. Mereka tidak terlalu kenal Mr. Bartholomew,
tapi mereka sedih dengan kejadian itu."
"Miss Wills?" Beatrice menjadi kaku lagi.
"Rasanya saya tak bisa mengatakan bagaimana perasaan Miss Wills tentang kejadian
itu." "Bagaimana pendapat Anda tentang dia?" tanya Sir Charles. "Ayolah, Beatrice.
Masa Anda tak bisa cerita. Biasa sajalah."
Tanpa diduga, senyum merekah di wajah Beatrice. Sikap Sir Charles yang kekanak-
kanakan itu terasa lucu. Beatrice pun tidak kebal terhadap daya tarik yang
dirasakan penonton penggemar Sir Charles setiap malam.
"Saya tak tahu apa yang Anda ingin saya katakan."
"Bagaimana pendapat dan perasaan Anda tentang Miss Wills?"
"Tak ada... tak ada, Sir. Tentu saja dia tidak..."
Beatrice ragu-ragu. "Teruskan, Beatrice."
"Hm, dia memang tidak sekelas dengan yang lain, Sir. Saya tahu dia memang begitu
- dari sananya," kata Beatrice dengan sopan. "Tapi dia melakukan hal-hal yang
tidak seharusnya dilakukan wanita-wanita terhormat. Dia mengintip, ingin tahu,
dan suka ikut campur."
Sir Charles berusaha keras mendapat penjelasan atas pernyataan itu, tapi
Beatrice tetap bicara samar-samar. Miss Wills suka mengintip, mengintai. Tapi
ketika disuruh memberi contoh, ia tak bisa. Ia hanya mengulang-ulang, mengatakan
Miss Wills mengintip dan menyelidiki hal-hal yang bukan urusannya.
Akhirnya mereka menyerah dan Mr. Satterthwaite berkata,
"Mr. Manders katanya tiba-tiba datang?"
"Ya, benar. Dia mengalami kecelakaan dengan sepeda motornya - dekat pintu gerbang
luar sana. Dia bilang beruntung karena terjadinya di sini. Kamar-kamar memang
sudah penuh semua, tapi Miss Lyndon menyediakan tempat tidur di ruang kerja."
"Apa orang-orang lain heran melihat dia?"
"Oh ya. Tentu saja, Sir."
Ketika ditanya pendapatnya tentang Ellis, Beatrice tak bisa berkata apa-apa. Ia
tak banyak berhubungan dengan Ellis. Caranya lari dari rumah itu memang jelek.
Ia pun tak tahu kenapa Ellis mencelakakan tuannya. Tak seorang pun tahu.
"Bagaimana Tuan Dokter" Apa dia senang merencanakan pesta itu" Apa ada rencana
tertentu?" "Tuan sangat gembira. Tersenyum-senyum sendiri, seolah-olah punya rahasia lucu.
Saya bahkan mendengar Tuan bercanda dengan - atau mencemooh - Mr. Ellis, padahal
Tuan tak pernah begitu dengan Mr. Baker. Tuan biasanya sedikit keras pada
pelayan-pelayan. Dia baik, tapi tidak banyak bicara."
"Apa yang mereka bicarakan?" tanya Mr. Satterthwaite ingin tahu.
"Saya sudah lupa, Sir. Mr. Ellis datang pada Tuan dengan membawa pesan telepon,
dan Tuan bertanya apa nama-namanya sudah betul. Mr. Ellis menjawab dengan yakin -
tentu saja dengan sikap hormat. Tuan Dokter tertawa sambil berkata, 'Kau memang
baik, Ellis, kepala pelayan kelas satu. Eh, Beatrice, apa pendapatmu"' Saya
terkejut karena Tuan bicara seperti itu - tidak seperti biasanya - saya tak tahu mau
bilang apa." "Dan Ellis?" "Dia kelihatan tidak begitu suka. Seolah-olah dia tidak biasa dengan hal seperti
itu. Dia sepertinya kaku."
"Pesan telepon itu apa isinya?" tanya Sir Charles.
"Pesan itu" Oh, itu dari sanatorium. Tentang seorang pasien yang datang ke sana
dan berhasil melewati perjalanan dengan baik."
"Ingat nama pasien itu?"
"Namanya aneh, Sir," kata Beatrice ragu-ragu. "Kalau tidak salah, Mrs. de
Rushbridger - seperti itu kira-kira."
"Ah, ya," kata Sir Charles penuh pengertian. "Pasti sulit menerima nama seperti
itu lewat telepon. Baik, terima kasih, Beatrice. Bolehkah kami bicara dengan
Doris sekarang?" Ketika Beatrice sudah keluar, Sir Charles dan Mr. Satterthwaite berpandangan.
"Miss Wills mengintip dan menyelidik. Kapten Dacres mabuk. Mrs. Dacres tidak
menunjukkan emosi. Ada sesuatu di sini" Sedikit sekali."
"Ya, cuma begitu," kata Mr. Satterthwaite sependapat.
"Kita harap Doris bisa memberi lebih banyak."
Doris seorang wanita berumur tiga puluh, sopan, dan bermata hitam. Ia senang
bicara. Ia sendiri tak yakin Mr. Ellis terlibat dalam peristiwa itu. Ia terlalu
terhormat. Polisi mengatakan ia penjahat biasa. Tapi Doris yakin ia bukan orang
jahat. "Anda yakin dia kepala pelayan biasa yang jujur?" tanya Sir Charles.
"Bukan biasa, Sir. Dia tidak seperti kepala-kepala pelayan lain yang pernah saya
kenal. Caranya mengatur pekerjaannya lain."
"Tapi Anda beranggapan bukan dia yang meracuni Tuan?"
"Oh, Sir, saya tak tahu bagaimana dia bisa melakukan hal itu. Saya melayani di
meja dengan dia. Dan dia tak akan bisa menaruh sesuatu dalam makanan Tuan tanpa
saya lihat." "Dan minumannya?"
"Dia berkeliling mengedarkan anggur. Pertama-tama sherry dengan sup, lalu hock
dan claret. Tapi apa yang bisa dia lakukan" Kalau ada sesuatu dalam anggur itu,
pasti semua tamu akan keracunan - atau setidaknya tamu-tamu yang minum anggur.
Rasanya Tuan tidak makan atau minum sesuatu yang lain dari apa yang dimakan dan
diminum tamu. Juga anggur. Semua tamu pria minum anggur. Dan beberapa tamu
wanita." "Gelas-gelas anggur itu disingkirkan dengan satu nampan?"
"Ya, Sir. Saya memegangi nampannya dan Mr. Ellis meletakkan gelas-gelas di
atasnya, lalu saya membawa nampan ke belakang. Gelas-gelas itu masih ada ketika
polisi datang memeriksa. Gelas-gelas anggur masih ada di meja. Dan polisi tidak
menemukan apa-apa." "Anda yakin Tuan tidak minum atau makan sesuatu yang tidak dimakan atau diminum
tamu-tamu lainnya?" "Setahu saya tidak, Sir. Ya, saya tahu itu."
"Tak ada tamu yang memberinya sesuatu untuk dimakan?"
"Oh, tidak, Sir."
"Anda tahu tentang adanya lorong rahasia, Doris?"
"Salah seorang tukang kebun pernah memberitahu saya. Ujungnya ada di hutan,
dekat bangunan tua yang sudah bobrok. Tapi saya belum pernah melihat apa-apa di
rumah ini." "Ellis tak pernah bicara tentang soal itu?"
"Oh, tidak, Sir. Saya yakin dia tak tahu tentang hal itu."
"Menurut pendapat Anda, siapa yang membunuh Tuan Dokter, Doris?"
"Saya tak tahu, Sir. Rasanya sulit dipercaya ada orang yang tega membunuh Tuan.
Saya kira kecelakaan."
"Hm, terima kasih, Doris."
"Seandainya tak ada kasus kematian Babbington," kata Sir Charles setelah Doris
keluar, "kita bisa mencurigai gadis itu. Dia cukup cantik. Dan melayani di
meja.... Tidak, tidak cocok. Babbington dibunuh. Dan lagi, Tollie tak pernah
memperhatikan gadis-gadis cantik. Dia memang begitu."
"Tapi umurnya 55," kata Mr. Satterthwaite sambil merenung.
"Kenapa kau bilang begitu?"
"Itu umur saat seorang lelaki bisa lupa daratan karena seorang gadis, walaupun
sebelumnya dia tak pernah begitu."
"Omong kosong, Satterthwaite. Aku... eh... juga mau 55."
"Ya, ya," kata Mr. Satterthwaite.
Dipandangnya Sir Charles dengan mata berkedip nakal. Sir Charles tertunduk.
Ia kelihatan bingung. BAB X "BAGAIMANA kalau kita lihat kamar Ellis?" tanya Mr. Satterthwaite, setelah
memuaskan diri melihat wajah Sir Charles menjadi merah karena malu.
Aktor itu langsung menyambar ide yang membelokkan persoalan itu.
"Bagus, bagus. Aku baru saja mau usul."
"Tentu saja polisi telah memeriksanya dengan saksama."
"Polisi..." Aristide Duval mengenyahkan pikiran tentang polisi dengan sebal. Karena ingin
melupakan rasa malunya, ia menyebut peran barunya dengan bersemangat.
"Polisi-polisi itu bodoh," katanya kasar. "Apa yang mereka cari di kamar Ellis"
Bukti-bukti kesalahan. Kita akan mencari bukti-buktinya dengan mengamati Ellis
yang tampaknya tak berdosa itu. Suatu hal yang sama sekali lain."
"Kau yakin Ellis tidak bersalah dalam hal ini?"
"Kalau kita benar tentang Babbington, Ellis pasti tak bersalah."
"Ya, di samping itu..."
Mr. Satterthwaite tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia akan mengatakan bahwa
Kaki Tiga Menjangan 47 Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo Setan Pantai Timur 2
THREE ACT TRAGEDY by Agatha Christie TRAGEDI TIGA BABAK Alihbahasa: Mareta Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan kedua: Agustus 1995
BABAK PERTAMA KECURIGAAN BAB I MR. SATTERTHWAITE duduk di teras Crow's Nest dan memandang pemilik rumah, Sir
Charles Cartwright, yang sedang mendaki jalan setapak dari arah laut. Crow's
Nest adalah sebuah bungalo modern. Bangunan itu tidak mempunyai ciri-ciri kuno,
misalnya atap kayu, gable, dan lengkungan-lengkungan yang disukai pembuat-
pembuat rumah, tapi merupakan sebuah bangunan sederhana, kokoh, putih, dengan
ukuran menyesatkan karena jauh lebih besar dari yang kelihatan. Namanya
disesuaikan dengan letaknya yang ada di ketinggian, menghadap Pelabuhan
Loomouth. Salah satu sudut teras terlindung pagar kuat, berbatasan langsung
dengan laut yang jauh di bawah. Lewat jalan darat, Crow's Nest hanya satu mil
dari kota. Jalan itu menjorok ke daratan, lalu berkelok-kelok naik sampai ke
bukit yang tinggi di atas laut. Dengan berjalan kaki, bungalo itu bisa dicapai
dalam waktu tujuh menit lewat jalan setapak curam yang sedang dilalui Sir
Charles Cartwright saat itu.
Sir Charles adalah laki-laki setengah baya dengan tubuh tegap dan kulit
kecokelatan. Ia memakai celana flanel tua berwarna abu-abu dan sweater putih.
Gayanya berjalan seperti menggelinding dan tangannya setengah terkepal pada
waktu berjalan. Sembilan dari sepuluh orang akan mengatakan, "Pasti pensiunan
angkatan laut." Orang kesepuluh dari mereka yang lebih cermat pasti ragu-ragu,
sebab ada yang tidak sesuai dengan pernyataan itu. Lalu mungkin akan timbul
suatu gambaran - dek sebuah kapal, tapi bukan kapal sungguhan - sebuah kapal yang
terkait pada tirai tebal dan seorang lelaki, Charles Cartwright, berdiri di atas
dek itu, dengan cahaya menyinari dirinya, tapi bukan cahaya matahari, dan tangan
yang setengah tergenggam, sikap yang luwes dan suara - suara pelaut Inggris dan
suara orang baik-baik yang enak - dengan nada agak dibesarkan.
"Tidak," kata Charles Cartwright. "Rasanya aku tak bisa memberi jawaban untuk
pertanyaan itu." Dan tirai tebal itu pun diturunkan, lampu-lampu menyorot terang, orkestra
memainkan lagu terakhir, gadis-gadis dengan pita besar menghias rambut mereka,
berkata, "Cokelat" Limun?" Babak pertama Panggilan Laut dengan Charles
Cartwright sebagai Komandan Vanstone pun berakhir.
Dari tempat duduknya, Mr. Satterthwaite memandang ke bawah dan tersenyum.
Mr. Satterthwaite seorang ahli seni drama bertubuh kecil, seorang snob yang
menyenangkan dan suka bersikap tegas, sering terlibat dalam pesta-pesta dan
kegiatan sosial kalangan atas. Kata-kata "dan Mr. Satterthwaite" selalu menjadi
ujung daftar tamu banyak undangan. Mr. Satterthwaite pengamat yang tajam dan
cerdas. Ia bergumam sekarang, sambil menggelengkan kepala, "Kurasa tidak. Kukira tidak."
Di teras terdengar suara langkah kaki, dan ia pun menoleh. Laki-laki bertubuh
besar dan berambut abu-abu yang menarik kursi lalu duduk itu seolah-olah
mempunyai cap profesi yang tertera jelas di wajahnya yang cerdas dan ramah.
"Dokter" dan "Harley Street". Sir Bartholomew Strange adalah orang yang sangat
sukses dalam profesinya. Ia spesialis penyakit saraf yang terkenal dan baru-baru
ini menerima anugerah gelar bangsawan.
Ia menarik kursinya ke dekat Mr. Satterthwaite dan berkata, "Apa yang kaukira
tidak, eh" Coba ceritakan."
Sambil tersenyum, Mr. Satterthwaite mengalihkan pandangan ke bawah, pada sosok
yang sedang mendaki jalan setapak itu dengan cepat.
"Kurasa Sir Charles tidak akan selamanya puas dalam... eh... pembuangan."
"Ya Tuhan, tentu saja!" sahut kawan bicaranya sambil tertawa dan melemparkan
kepalanya ke belakang. "Aku sudah kenal dia sejak kecil. Kami sama-sama sekolah
di Oxford dulu. Dan dia tetap saja begitu. Dia aktor yang lebih baik dalam
kehidupan pribadinya daripada di atas panggung! Charles selalu bersandiwara.
Memang begitu - sudah mendarah daging. Istilahnya, dia tak pernah keluar dari
sebuah ruangan; dia 'mengakhiri satu babak', dan biasanya dia harus punya peran
baik. Dia juga suka ganti-ganti peran. Dua tahun lalu dia pensiun dari panggung -
katanya ingin menikmati hidup sederhana di desa, jauh dari keramaian kota, dan
mewujudkan impiannya tinggal di dekat laut. Dia datang ke sini dan mendirikan
tempat ini. Beginilah idenya tentang sebuah pondok desa sederhana. Dengan tiga
kamar mandi dan perlengkapan mutakhir! Aku pun punya pikiran sama,
Satterthwaite. Kurasa ini tak akan lama. Bagaimanapun, Charles manusia. Dia
memerlukan penonton. Dua atau tiga pensiunan kapten, segerombol wanita tua, dan
seorang pendeta - itu tidak cukup. Kurasa 'laki-laki sederhana dengan cintanya
pada laut' akan habis dalam enam bulan. Terus terang, kurasa dia akan bosan
dengan peran itu. Mungkin selanjutnya dia akan menjadi seorang laki-laki capek
di Monte Carlo atau seorang tuan tanah di pegunungan - dia sangat pandai memainkan
perannya itu. Ya, itu."
Dokter itu berhenti. Bicaranya memang panjang. Matanya memancarkan rasa sayang
dan perasaan setengah geli ketika memandang lelaki di bawah sana. Dua menit lagi
lelaki itu pasti sudah sampai di depan mereka.
"Tapi," Sir Bartholomew melanjutkan, "kelihatannya kita keliru. Ada sesuatu yang
menarik. Sesuatu yang sederhana dalam hidup ini."
"Orang yang suka bersandiwara biasanya sulit diterka," kata Mr. Satterthwaite.
"Walaupun jujur, orang sulit menerimanya dengan serius."
Dokter itu mengangguk. "Ya. Betul," katanya sambil merenung.
Sambil menyapa riang, Charles Cartwright muncul di tangga teras.
"Mirabelle luar biasa," katanya. "Seharusnya kau ikut, Satterthwaite."
Mr. Satterthwaite menggelengkan kepala. Ia sudah terlalu sering menderita ketika
menyeberangi Channel - Selat Inggris - dan tahu kekuatan perutnya di laut. Ia telah
memperhatikan Mirabelle dari jendela kamarnya pagi itu. Angin cukup baik untuk
berlayar, dan Mr. Satterthwaite bersyukur tetap berpijak di daratan yang kering.
Sir Charles minta minum. "Kau seharusnya ikut, Tollie," katanya pada temannya. "Bukankah separo umurmu
kaupakai untuk duduk di Harley Street, menasihati para pasienmu bahwa ombak laut
baik untuk kesehatan mereka?"
"Keuntungan dokter," sahut Sir Bartholomew, "adalah tak perlu mengikuti
nasihatnya sendiri."
Sir Charles tertawa. Tanpa sadar ia masih memainkan peran seorang pelaut yang
bebas. Ia memang pria tampan, dengan proporsi tubuh indah dan wajah penuh humor.
Rambut yang mulai memutih di pelipisnya membuatnya tambah menarik. Ia memang
kelihatan seperti dulu - pertama, pria terhormat, kemudian aktor.
"Kau pergi sendiri?" tanya si Dokter.
"Tidak." Sir Charles berpaling untuk mengambil minuman dari seorang pelayan
berpakaian rapi yang mengulurkan nampan. "Aku punya pembantu. Si Egg."
Ada sesuatu, sebuah tekanan pada suaranya, yang membuat Mr. Satterthwaite
menatapnya dengan tajam. "Miss Lytton Gore" Dia tahu cukup banyak tentang pelayaran, ya, kan?"
Sir Charles tertawa agak sedih.
"Dia berhasil membuatku merasa seperti orang darat, tapi aku mampu juga karena
bantuannya." Bermacam-macam pikiran berkelebat dalam kepala Mr. Satterthwaite:
"Apa benar... Egg Lytton Gore... Barangkali itu sebabnya Charles masih belum
bosan dengan tempat ini. Gadis itu memang menarik."
Sir Charles melanjutkan, "Laut - ah, begitu indah. Tak ada duanya. Matahari,
angin, dan laut. Dan sebuah gubuk sederhana untuk pulang."
Ia memandang senang pada bangunan putih di belakangnya yang dilengkapi dengan
tiga kamar mandi, air dingin dan panas di semua kamar tidur, sistem pemanasan
sentral yang mutakhir, peralatan listrik terbaru, dan staf rumah tangga yang
terdiri atas pelayan kamar, pelayan rumah, koki, dan pelayan dapur. Interpretasi
Sir Charles tentang hidup sederhana barangkali terlalu berlebihan.
Seorang wanita jangkung dan tidak menarik muncul dari dalam rumah dan mendekati
mereka. "Selamat pagi, Miss Milray."
"Selamat pagi, Sir Charles. Selamat pagi." Ia menoleh dan menganggukkan kepala
sedikit pada kedua laki-laki lainnya. "Ini menu untuk makan malam. Barangkali
ada yang perlu diganti?"
Sir Charles mengambilnya dan bergumam,
"Coba lihat. Melon cantaloupe, borsch soup, mackerel segar, grouse, souffl?
Surprise, canap? Diane... Tidak, sudah bagus, Miss Milray. Semua akan datang
dengan kereta pukul 16.30."
"Saya sudah memberi instruksi pada Holgate. Oh ya, Sir Charles, kalau Anda tidak
keberatan, saya juga ingin ikut makan malam nanti."
Sir Charles kelihatan terkejut, tapi ia berkata dengan sopan,
"Tentu saja, Miss Milray. Saya akan senang, tapi, eh..."
Miss Milray dengan tenang menjelaskan, "Kalau tidak, semuanya akan berjumlah
tiga belas di meja makan. Dan banyak orang yang masih percaya takhayul."
Dari nada suaranya, bisa disimpulkan bahwa Miss Milray tidak akan peduli apabila
harus makan bertiga belas di satu meja makan setiap malam. Ia melanjutkan,
"Saya kira semuanya sudah diatur. Saya telah memberitahu Holgate bahwa mobilnya
untuk menjemput Lady Mary serta Mr. dan Mrs. Babbington. Betul begitu?"
"Persis. Itulah yang ingin saya katakan pada Anda."
Dengan senyum tipis yang agak angkuh di wajah buruknya, Miss Milray meninggalkan
mereka. "Dia memang wanita luar biasa," kata Sir Charles penuh tekanan. "Aku takut suatu
kali nanti dia akan datang dan menggosokkan gigiku."
"Efisiensi dalam wujud manusia," kata Strange.
"Dia sudah enam tahun bekerja padaku," kata Sir Charles. "Pertama-tama sebagai
sekretarisku di London, dan di sini, dia menjadi semacam pimpinan rumah tangga
yang dihormati. Dia mengatur segalanya. Dia melakukan tugas-tugasnya dengan
tepat, seperti jam. Dan sekarang dia akan pergi."
"Kenapa?" "Dia bilang," Sir Charles menggosok hidungnya dengan sikap ragu-ragu, "katanya
dia punya ibu yang invalid. Aku sendiri tak percaya. Wanita seperti dia pasti
tak punya ibu. Dia bisa tiba-tiba muncul dari sebuah dinamo. Pasti ada hal
lain." "Bisa jadi," kata Sir Bartholomew. "Aku dengar omongan orang."
"Omongan?" sang aktor bertanya penuh rasa ingin tahu. "Omongan apa?"
"Charles, kau kan tahu apa artinya omongan."
"Maksudmu omongan tentang dia - dan aku" Dengan wajah seperti itu" Dan seumur
dia?" "Barangkali dia belum lima puluh."
"Ya, barangkali." Sir Charles mempertimbangkan pernyataan itu. "Tapi ini serius,
Tollie. Apa kau pernah memperhatikan wajahnya" Memang matanya dua, hidungnya
satu, dan mulutnya juga, tapi itu bukan seraut wajah - wajah wanita. Orang yang
paling suka gosip pun tak akan menghubungkan suatu skandal dengan wajah seperti
itu." "Kau menganggap enteng imajinasi perawan tua Inggris."
Sir Charles menggelengkan kepalanya.
"Aku tak percaya. Ada sesuatu yang membuat Miss Milray disegani orang, yang
pasti diketahui perawan tua Inggris. Dia baik, terhormat, dan berguna. Aku
selalu memilih sekretaris yang berpenampilan biasa."
"Kau bijaksana."
Sir Charles diam beberapa menit. Untuk mengalihkannya, Sir Bartholomew bertanya,
"Siapa yang datang nanti sore?"
"Angie." "Angela Sutcliffe" Bagus."
Mr. Satterthwaite mencondongkan badan ke depan, penuh rasa ingin tahu, siapa
saja tamu yang diundang. Angela Sutcliffe adalah aktris terkenal, tidak lagi
muda, tapi masih populer dan dikagumi orang. Mereka menyukainya karena
kemampuannya bicara dan daya tariknya. Orang menganggapnya pengganti Ellen
Terry. "Lalu suami-istri Dacres."
Mr. Satterthwaite mengangguk lagi. Mrs. Dacres adalah Ambrosine, Ltd. - sebuah
perusahaan garmen yang sukses. Di dalam program-program akan terlihat: "Pakaian
Miss Blank dalam babak pertama adalah kreasi Ambrosine, Ltd., Brook Street."
Suaminya, Kapten Dacres, adalah penjudi berat yang gemar bertaruh di arena balap
kuda. Ia menghabiskan banyak waktu di tempat-tempat seperti itu. Bertahun-tahun
yang lalu ia ikut babak Grand National. Pernah terjadi keributan - tak seorang pun
benar-benar tahu - tapi beritanya sudah tersebar ke mana-mana. Tak ada pemeriksaan
atau penjelasan, tapi begitu nama Freddie Dacres disebut, orang-orang akan
menaikkan alis mereka sedikit.
"Lalu Anthony Astor, si penulis naskah drama."
"Tentu," kata Mr. Satterthwaite. "Dia menulis One Way Traffic. Aku melihatnya
dua kali. Benar-benar sukses."
Ia agak senang menunjukkan pada temannya bahwa ia tahu, Anthony Astor adalah
wanita. "Ya," kata Sir Charles. "Aku lupa namanya yang sebenarnya - Wills, barangkali. Aku
cuma pernah bertemu sekali dengannya. Aku mengundangnya untuk menyenangkan
Angela. Itu orang-orang yang kuundang malam nanti."
"Dan orang sini?" tanya Dokter.
"Oh, orang sini" Suami-istri Babbington; dia pendeta, orangnya baik. Tidak
terlalu kaku, dan istrinya sangat baik. Dia mengajari aku berkebun. Mereka akan
datang kemari - serta Lady Mary dan Egg. Sudah... Oh ya, ada seorang pemuda.
Namanya Manders. Seorang wartawan atau apa. Ganteng. Itu saja undangannya."
Mr. Satterthwaite memang orang yang praktis. Ia segera menghitung.
"Miss Sutcliffe, satu; suami-istri Dacres, tiga; Anthony Astor, empat; Lady Mary
dan putrinya, enam; Pak Pendeta dan istrinya, delapan; pemuda itu, sembilan;
kita, dua belas. Kalau bukan kau, pasti Miss Milray yang salah hitung, Charles."
"Pasti bukan Miss Milray," kata Sir Charles yakin. "Dia tak pernah salah.
Sebentar. Ya, wah - kau benar. Terlewat satu tamu. Namanya lolos dari ingatanku."
Ia tertawa geli. "Orang yang sulit dipuaskan. Dia orang paling angkuh yang
pernah kukenal." Mata Mr. Satterthwaite berkedip. Ia berpendapat orang yang paling sombong adalah
aktor. Dan ia pun tak mengecualikan Sir Charles Cartwright. Apa yang baru saja
dikatakan Sir Charles sangat menarik baginya.
"Siapa orang egois ini?" tanyanya.
"Orang aneh," kata Sir Charles. "Tapi terkenal. Barangkali kau pernah dengar
namanya. Hercule Poirot. Orang Belgia."
"Si detektif," kata Mr. Satterthwaite. "Aku pernah bertemu dengannya. Pribadinya
luar biasa." "Dia memang unik," kata Sir Charles.
"Aku belum pernah bertemu dia," kata Sir Bartholomew, "tapi cukup banyak dengar
tentang dia. Dia sudah pensiun, kan" Barangkali cerita-cerita yang banyak
kudengar itu sebagian hanya legenda. Hm, moga-moga tak ada tindak kriminal akhir
pekan ini." "Kenapa" Karena ada detektif di antara kita" Jangan memasang kereta di depan
kuda, Tollie!" "Ya - karena itu adalah salah satu teoriku."
"Apa teorimu, Dok?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Kejadian mendatangi manusia, bukan sebaliknya. Kenapa ada orang yang hidupnya
mengasyikkan dan ada yang membosankan" Karena lingkungannya" Sama sekali tidak.
Orang bisa saja pergi ke ujung dunia dan tidak terjadi apa-apa atas dirinya.
Padahal terjadi pembunuhan massal satu minggu sebelum dia datang dan gempa bumi
sehari setelah dia pergi, dan kapal yang tadinya akan dinaikinya ternyata
tenggelam. Orang lain yang tinggal di Balham dan pergi ke kota setiap hari
mengalami sesuatu. Dia terlibat dalam komplotan pemeras, gadis-gadis cantik, dan
bandit-bandit bersepeda motor. Ada orang-orang yang punya tendensi tenggelam
dalam kapal karam walaupun mereka hanya berada di danau buatan. Ada saja yang
terjadi pada mereka. Begitu juga dengan orang-orang seperti Hercule Poirot.
Mereka tak perlu pergi mencari tindak kriminal. Kejahatan itu sendiri yang
datang pada mereka."
"Kalau begitu," kata Mr. Satterthwaite, "barangkali baik juga kalau Miss Milray
makan dengan kita, supaya jumlahnya tidak tiga belas."
"Hm," kata Sir Charles ramah, "kau boleh mengalaminya kalau suka, Tollie. Aku
hanya ingin mengajukan satu syarat - aku tak ingin jadi mayat."
Sambil tertawa, mereka bertiga masuk ke dalam rumah.
BAB II YANG paling menarik perhatian Mr. Satterthwaite adalah manusia. Tapi ia lebih
tertarik pada wanita daripada pria. Sebagai laki-laki jantan, Mr. Satterthwaite
sangat paham soal wanita. Ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatnya bisa
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengerti seorang wanita dengan baik. Banyak wanita sering membuka hati padanya,
tapi tidak menerimanya dengan serius. Kadang-kadang ia sedih karena hal itu. Ia
selalu merasa berada di kursi penonton dan melihat pertunjukan, tapi tak pernah
berada di panggung dan ikut main. Tapi sebenarnya peran penonton memang cocok
untuknya. Malam ini ia duduk di ruangan besar yang menghadap teras. Dekornya dibuat oleh
sebuah perusahaan modern, menjadi seperti sebuah kabin kapal yang mewah. Ia
sangat tertarik dan memperhatikan warna cat rambut Cynthia Dacres. Kelihatannya
warna baru - baru datang dari Paris, ia menebak-nebak - warna bronze kehijauan yang
aneh tapi enak dilihat. Sulit mengatakan bagaimana penampilan Mrs. Dacres malam
itu. Wanita itu tinggi, dengan bentuk tubuh yang memang cocok untuk saat-saat
seperti itu. Leher dan lengannya terlihat cokelat. Sulit mengatakan apakah warna
cokelat itu asli didapat dari sinar matahari yang tercurah di musim panas di
pedesaan itu. Rambut bronze kehijauan itu jelas ditata oleh penata rambut
terbaik di London. Alis matanya dicabut, bulu matanya dihitamkan, wajahnya
dipoles makeup halus dan indah, dan bibirnya dihiasi lipstik yang melengkung
tidak mengikuti garis bibirnya - semua menambah kesempurnaan gaun malamnya yang
berwarna biru gelap berpotongan sederhana, tapi kelihatannya - walaupun sebenarnya
tidak - dari bahan luar biasa, yaitu bahan yang tampak kusam sekaligus menampilkan
kilau-kilau tersembunyi. "Wanita cerdik," kata Mr. Satterthwaite sambil memandang wanita itu dengan
kagum. "Bagaimana ya orangnya?"
Kali ini yang ia maksud adalah pikirannya, bukan tubuhnya.
Kata-kata Cynthia Dacres bernada lamban. Pada saat itu ia berkata,
"Ah, kurasa itu tak mungkin. Maksudku, sesuatu itu bisa mungkin atau tidak. Yang
ini tidak mungkin. Hanya merasuk."
Kata itu memang tepat. Segalanya kelihatan "merasuk" saat itu.
Sir Charles mengguncang-guncang koktail sambil bicara pada Angela Sutcliffe,
wanita jangkung berambut abu-abu dengan mulut nakal dan mata indah.
Dacres sedang bicara dengan Bartholomew Strange.
"Setiap orang tahu apa yang terjadi pada Ladisbourne. Semua tahu."
Laki-laki kecil berkulit kemerahan dan berwajah licik itu bicara dengan suara
tinggi. Kumisnya pendek dan matanya agak kecil.
Di samping Mr. Satterthwaite duduk Miss Wills, pengarang One Way Traffic yang
dianggap sebagai drama paling berani dan bagus di London. Miss Wills bertubuh
jangkung dan kurus, dagunya tertarik ke belakang, dan rambutnya yang berombak
kelihatan sangat jelek. Ia memakai kacamata tanpa gagang dan bajunya dari bahan
sifon hijau yang kelihatan kedodoran. Suaranya tinggi dan tidak mengesankan.
"Saya ke Prancis Selatan," katanya. "Tapi sebenarnya saya tidak terlalu
menikmati. Sama sekali tidak ramah. Tapi tentu saja berguna untuk pekerjaan
saya. Saya perlu tahu apa-apa yang terjadi."
Mr. Satterthwaite berpikir, "Kasihan. Karena sukses, dia terpisah dari rumahnya -
sebutan untuk pondokan di Bournemouth. Itulah sebenarnya tempat yang dia sukai."
Laki-laki itu kemudian berpikir tentang perbedaan antara karya-karya tulis dan
penulisnya. Kesan jantan yang mewarnai drama-drama Anthony Astor - di mana itu
bisa didapat pada pribadi Miss Wills" Akhirnya ia melihat mata biru pucat di
balik kacamata tanpa gagang itu memang sangat cerdas. Mata itu sekarang terarah
padanya dan memberikan penilaian yang membuatnya bingung. Kelihatannya Miss
Wills sedang mempelajari dirinya baik-baik.
Sir Charles sedang menuang koktail.
"Saya ambilkan Anda koktail," kata Mr. Satterthwaite sambil berdiri.
Miss Wills tertawa. "Saya tidak keberatan kalau diberi," katanya.
Pintu terbuka dan Temple mengumumkan kedatangan Lady Mary Lytton Gore, Mr. dan
Mrs. Babbington, serta Miss Lytton Gore.
Mr. Satterthwaite memberikan koktail pada Miss Wills, lalu menyelinap mendekati
Lady Mary Lytton Gore. Ia memang pengagum gelar bangsawan.
Selain snob, Mr. Satterthwaite menyukai wanita-wanita lembut, dan Lady Mary
memang termasuk golongan itu.
Sebagai janda yang tidak terlalu kaya dengan seorang anak berumur tiga tahun, ia
datang ke Loomouth dan menempati sebuah pondok kecil, ditemani seorang pelayan
setia. Wanita itu tinggi kurus, kelihatan lebih tua dari umurnya yang lima puluh
tahun. Ekspresi wajahnya manis dan agak malu-malu. Ia sangat menyayangi anak
perempuannya, tapi agak khawatir dengannya.
Hermione Lytton Gore, yang entah kenapa dipanggil Egg, amat berbeda dari ibunya.
Ia sangat penuh vitalitas. Dalam penilaian Mr. Satterthwaite, gadis itu tidak
cantik, tapi jelas sangat menarik. Dan menurutnya, hal yang membuatnya menarik
adalah vitalitasnya. Ia kelihatan dua kali lebih hidup daripada orang-orang lain
di ruangan itu. Rambutnya hitam, matanya abu-abu, dan tinggi tubuhnya sedang.
Ada sesuatu pada rambutnya yang digelung di tengkuk, pada pandangan matanya yang
lurus, pada lekukan pipinya dan cara tertawanya yang menimbulkan kesan muda dan
penuh vitalitas. Ia berdiri dan bicara pada Oliver Manders yang baru saja datang.
"Aku tidak mengerti kenapa kau bosan berlayar. Kau dulu kan suka sekali."
"Egg, orang kan tumbuh dewasa."
Ia menaikkan alis matanya.
Oliver Manders adalah pemuda tampan berumur kira-kira 25 tahun. Ada yang sedikit
aneh pada wajah tampannya. Sesuatu yang... bukan Inggris... sesuatu yang asing"
Ada orang lain yang memperhatikan Oliver Manders. Seorang laki-laki berkepala
seperti telur dengan kumis yang kelihatan asing. Mr. Satterthwaite mengenalinya
sebagai Mr. Hercule Poirot. Laki-laki kecil itu amat ramah, dan Mr.
Satterthwaite menilai ia terlalu melebih-lebihkan sikap asingnya. Matanya yang
kecil dan bersinar seolah-olah berkata, "Anda ingin saya membantu" Melawak untuk
Anda" Bien, silakan!"
Tapi saat ini tak ada sinar pada mata Hercule Poirot. Ia kelihatan murung dan
agak sedih. Mr. Stephen Babbington, pendeta di Loomouth, datang mendekati Lady Mary dan Mr.
Satterthwaite. Umurnya sekitar enam puluh, matanya ramah dan baik, sikapnya agak
malu. Ia berkata pada Mr. Satterthwaite, "Kami beruntung punya warga seperti Sir
Charles. Dia sangat baik dan murah hati. Tetangga yang menyenangkan. Pasti Lady
Mary setuju." Lady Mary tersenyum. "Saya menyukainya. Sukses hidupnya tidak membuatnya manja, walaupun" - senyumnya
bertambah lebar - "dalam banyak hal dia masih kekanak-kanakan."
Seorang pelayan mendekat dengan nampan berisi koktail. Mr. Satterthwaite
berpikir, wanita memang tak bisa berhenti bersikap keibuan. Karena masih
merupakan generasi Victoria, ia sangat menyetujui sikap seperti itu.
"Ibu boleh minum koktail," kata Egg tiba-tiba, dengan gelas di tangan. "Satu
gelas saja." "Terima kasih, Sayang," kata Lady Mary menurut.
"Saya rasa," kata Mr. Babbington, "istri saya membolehkan saya minum satu gelas
juga." Ia tertawa perlahan dan sopan.
Mr. Satterthwaite melirik Mrs. Babbington yang sedang bicara serius dengan Sir
Charles mengenai soal memupuk.
Matanya bagus, pikirnya. Mrs. Babbington bertubuh besar dan tidak rapi. Ia kelihatan kuat dan tak
berpikiran picik. Charles Cartwright memang benar. Ia wanita yang baik.
"Maaf," kata Lady Mary sambil mencondongkan tubuhnya ke depan. "Siapa wanita
yang Anda ajak bicara ketika kami datang tadi" Itu, yang berbaju hijau."
"Dia Anthony Astor - penulis naskah drama."
"Apa" Wanita pucat itu" Oh," ia kemudian sadar, "ah, saya memang keterlaluan!
Tapi ini benar-benar kejutan. Dia tidak kelihatan... maksud saya, dia kelihatan
seperti pengasuh anak yang tidak cekatan."
Deskripsi penampilan Miss Wills memang cocok, sehingga Mr. Satterthwaite
tertawa. Mr. Babbington memperhatikan sekelilingnya dengan mata ramah yang tidak
terlalu awas. Ia mencicipi koktailnya dan batuk-batuk sedikit. Dia tidak biasa
minum koktail, pikir Mr. Satterthwaite geli. Mungkin koktail agak berbau modern
baginya, tapi dia tak suka. Mr. Babbington memaksa minum sekali lagi. Ia meneguk
dengan ekspresi aneh dan berkata,
"Apakah wanita itu" ...Oh..." Tangannya memegangi lehernya.
Suara Egg Lytton Gore terdengar nyaring, "Oliver, kau memang keterlaluan..."
"Tentu saja. Itu rupanya. Bukan asing - Yahudi!" pikir Mr. Satterthwaite.
Cocok sekali mereka berdua. Sama-sama muda dan menarik, serta suka ribut. Suatu
tanda yang sehat. Perhatiannya beralih karena suara di dekatnya. Mr. Babbington berdiri, badannya
bergoyang ke kiri ke kanan. Wajahnya aneh.
Suara Egg yang nyaringlah yang menarik perhatian orang-orang di ruangan itu,
walaupun pada saat itu Lady Mary sudah berdiri dan mengulurkan tangannya dengan
sikap khawatir. "Lihat," kata Egg. "Mr. Babbington sakit."
Sir Bartholomew Strange melangkah mendekat dengan cepat, disangganya Mr.
Babbington dan dipapahnya pria itu ke sofa di sisi ruangan. Yang lain
mengelilingi dan ingin membantu, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Dua menit kemudian Strange menegakkan diri dan menggelengkan kepala. Ia bicara
terus terang, karena tahu tak ada gunanya bertele-tele.
"Kasihan. Dia meninggal."
BAB III "BISA ke sini sebentar, Satterthwaite?"
Sir Charles menjulurkan kepalanya ke luar pintu.
Satu setengah jam telah lewat. Keributan telah usai, diganti ketenangan. Lady
Mary membawa Mrs. Babbington yang menangis ke luar ruangan dan akhirnya
mengantarnya pulang. Miss Milray sangat efisien dengan teleponnya. Dokter
setempat datang dan memeriksa. Makan malam sederhana disajikan. Setelah itu,
dengan persetujuan bersama, para tamu masuk ke kamar masing-masing untuk
beristirahat. Mr. Satterthwaite baru akan kembali ke kamarnya ketika Sir Charles
memanggilnya dari pintu ruang kapal, tempat terjadinya peristiwa kematian itu.
Mr. Satterthwaite masuk sambil menekan rasa takutnya. Ia tak suka melihat
kematian. Karena tak lama lagi ia pun mungkin dapat giliran. Tapi kenapa ia
berpikir tentang hal itu"
"Aku masih kuat hidup dua puluh tahun lagi," kata Mr. Satterthwaite pada dirinya
sendiri dengan gagah. Satu-satunya orang lain di ruangan itu adalah Bartholomew
Strange. Ia mengangguk lega melihat kedatangan Mr. Satterthwaite.
"Orang yang baik," katanya. "Kita bisa melakukannya dengan Satterthwaite. Dia
mengerti hidup." Dengan heran Mr. Satterthwaite duduk di sebuah kursi dekat si Dokter. Sir
Charles berjalan mondar-mandir. Ia lupa sikap tangan yang setengah mengepal dan
tidak kelihatan seperti pelaut lagi.
"Charles tidak suka," kata Sir Bartholomew. "Maksudku, tentang kematian
Babbington yang malang."
Mr. Satterthwaite berpendapat bahwa pernyataan itu tidak tepat. Tentu saja tak
seorang pun "suka" pada kejadian yang baru saja terjadi. Tapi ia tahu Strange
punya maksud lain. "Sangat menyedihkan," kata Mr. Satterthwaite dengan hati-hati. "Betul-betul
menyedihkan," katanya, bulu kuduknya meremang.
"Hm - ya, agak menyakitkan," kata Dokter. Aksen profesinya muncul dalam suaranya.
Cartwright berhenti mondar-mandir.
"Pernah lihat orang meninggal seperti itu, Tollie?"
"Tidak," kata Sir Bartholomew. "Belum pernah. Tapi," ia menambahkan beberapa
saat kemudian, "aku memang tak pernah melihat kematian sebanyak yang kauduga.
Seorang spesialis saraf tidak membunuh banyak pasien. Dia menjaga agar pasien
tetap hidup dan mendapat uang dari mereka. Aku yakin MacDougal lebih sering
melihat orang mati daripada aku."
Dokter MacDougal adalah dokter di Loomouth yang dipanggil Miss Milray.
"Dia tidak melihat Babbington meninggal. Babbington sudah mati waktu dia datang.
Kitalah yang bercerita padanya. Dia bilang Babbington kena serangan mendadak.
Dia sudah tua dan kesehatannya kurang baik. Aku tidak puas."
"Barangkali dia juga tidak puas," lawan bicaranya mengomel. "Tapi seorang dokter
harus mengatakan sesuatu. 'Serangan' memang kata yang bagus - tak ada artinya,
tapi memuaskan pikiran awam. Babbington sendiri memang sudah tua dan
kesehatannya belakangan ini memang terganggu. Istrinya pernah cerita begitu.
Barangkali ada suatu kelemahan yang tidak diketahui."
"Apakah itu serangan khas?"
"Khas apa?" "Khas untuk penyakit tertentu?"
"Kalau kau pernah belajar ilmu kedokteran," kata Sir Bartholomew, "kau akan tahu
kasus tipikal seperti itu tak pernah ada."
"Apa sebenarnya yang ingin kaukatakan?" tanya Mr. Satterthwaite pada Sir
Charles. Cartwright tidak menjawab. Ia membuat isyarat samar dengan tangannya. Strange
geli dan tertawa kecil. "Charles tidak tahu apa yang akan dikatakannya," katanya. "Pikirannya sedang
berbelok pada kemungkinan-kemungkinan dramatis."
Sir Charles membuat isyarat kesal. Wajahnya serius, penuh pikiran. Ia
menggelengkan kepalanya sedikit dengan sikap linglung.
Sebuah gambar muncul di kepala Mr. Satterthwaite. Gambar itu menjadi jelas.
Aristide Duval, kepala agen rahasia, membongkar jaringan ruwet Kabel Bawah
Tanah. Pada menit berikutnya ia jadi yakin. Sir Charles berjalan pincang tanpa
ia sadari. Aristide Duval memang dikenal sebagai si Pincang.
Sir Bartholomew melanjutkan komentarnya dengan terus terang, mengomentari
kecurigaan Sir Charles, "Ya, apa yang kaucurigai, Charles" Bunuh diri" Pembunuhan" Siapa mau membunuh
seorang pendeta tua yang begitu baik" Fantastis sekali. Bunuh diri" Hm,
barangkali ada alasannya. Mungkin kita bisa membayangkan alasan kenapa dia bunuh
diri." "Alasan apa?" Sir Bartholomew menggelengkan kepalanya perlahan.
"Bagaimana mungkin kita menebak rahasia pikiran manusia" Satu ide - seandainya
Babbington diberitahu dia menderita penyakit yang tak bisa disembuhkan, kanker
misalnya. Itu bisa jadi motif. Barangkali dia tak ingin istrinya menyaksikan
penderitaannya yang berkepanjangan. Ini cuma gagasan, tentu saja. Setahu kita,
tak ada alasan bagi Babbington untuk menghabisi dirinya."
"Aku tidak berpikir tentang bunuh diri," kata Sir Charles.
Sekali lagi Bartholomew Strange tertawa pelan.
"Benar, Charles. Idemu bukan sesuatu yang ada di luar kemungkinan. Kau
menginginkan sensasi - racun baru yang tak bisa dilacak dalam koktail."
Sir Charles menyeringai. "Rasanya aku tidak menginginkan itu. Kau ingat, akulah yang mencampur koktail
itu, Tollie." "Serangan tiba-tiba seorang maniak" Untuk kita, barangkali tanda-tandanya
tertunda. Tapi kita semua akan mati sebelum fajar menyingsing besok."
"Leluconmu tak lucu, tapi...," Sir Charles menyela marah.
"Aku sebenarnya tidak sedang melucu," kata si Dokter.
Suaranya berubah, sedih dan simpatik.
"Aku tidak bercanda dengan kematian Babbington. Aku cuma mencemooh idemu,
Charles, karena... ya, karena aku tak ingin kau menyakiti orang tanpa sadar."
"Menyakiti?" tanya Sir Charles.
"Kau mengerti maksudku, Satterthwaite?"
"Kurasa aku bisa menebak," kata Mr. Satterthwaite.
"Begini, Charles," lanjut Sir Bartholomew, "kecurigaanmu yang tak berdasar itu
gampang beredar. Suatu ide samar sekalipun tentang adanya ketidakberesan atau
penyelewengan bisa menyakitkan Mrs. Babbington. Aku tahu hal semacam itu pernah
satu atau dua kali terjadi. Kematian yang tiba-tiba, lalu beberapa lidah asal
bicara, dan akhirnya gosip menyebar ke mana-mana. Gosip-gosip itu terus
berkembang dan tak seorang pun bisa menyetopnya. Kau lihat kan, Charles, betapa
kejam dan tak perlu hal seperti itu" Kau terlalu memanjakan imajinasimu dan
membuatnya berkembang ke arah hal-hal yang spekulatif."
Sebuah kesadaran baru muncul di wajah sang aktor.
"Aku memang tidak berpikir sejauh itu," katanya.
"Kau memang baik, Charles, tapi kau suka membiarkan imajinasimu lari ke mana-
mana. Coba pikir sekarang. Apa kau percaya ada orang - siapa pun dia - yang ingin
membunuh laki-laki tua tak berdosa itu?"
"Kurasa tidak," kata Charles. "Ya, seperti yang kaukatakan, itu aneh. Maaf,
Tollie, tapi ini bukannya berimajinasi. Aku punya perasaan kuat bahwa ada
sesuatu yang tidak beres."
Mr. Satterthwaite batuk-batuk kecil.
"Boleh aku menambahkan" Mr. Babbington tiba-tiba sakit beberapa saat setelah
masuk ruangan dan tepat setelah minum koktail. Kebetulan aku melihat mukanya
yang kesakitan ketika dia minum. Kupikir itu karena dia tidak biasa dengan
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
minuman itu. Tapi seandainya dugaan Sir Bartholomew benar - bahwa Mr. Babbington
barangkali sengaja bunuh diri - kurasa itu masih mungkin. Tapi ide tentang
pembunuhan... rasanya tak masuk akal."
"Aku merasa hal itu bisa terjadi, walaupun tak mungkin - bahwa Mr. Babbington
memasukkan sesuatu ke dalam gelasnya tanpa kita ketahui. Rasanya tak ada barang-
barang yang disentuh dalam ruangan ini. Gelas-gelas koktail itu masih di
tempatnya. Ini gelas Mr. Babbington. Kurasa sebaiknya Sir Bartholomew membawa
gelas itu untuk dianalisis isinya. Itu bisa dilakukan diam-diam, tanpa
menyebabkan keributan."
Sir Bartholomew berdiri dan mengambil gelas itu.
"Benar," katanya. "Aku akan bercanda denganmu, Charles, dan aku akan bertaruh
sepuluh pound bahwa tak ada apa-apa dalam gelas itu kecuali gin dan vermouth."
"Oke," kata Sir Charles. Lalu ia menambahkan sambil tersenyum sedih, "Sebenarnya
kau juga ikut bertanggung jawab atas imajinasiku kali ini."
"Aku?" "Ya. Tadi pagi kau bicara tentang kriminalitas. Kau bilang si Hercule Poirot
adalah orang yang selalu dicari oleh kriminalitas. Tak lama setelah dia datang,
ada kematian yang mencurigakan. Tentu saja pikiranku segera melayang ke
pembunuhan." "Hm, bagaimana kalau...," kata Mr. Satterthwaite, lalu berhenti.
"Ya," kata Charles Cartwright. "Aku tadi juga berpikir tentang itu. Apa
pendapatmu, Tollie" Bisakah kita bertanya padanya bagaimana pendapatnya tentang
ini" Maksudku, apakah itu etis?"
"Alasan yang bagus," gumam Mr. Satterthwaite.
"Aku tahu etika medis, tapi aku tak tahu tentang etika detektif."
"Kita tak bisa menyuruh seorang penyanyi profesional untuk bernyanyi," gumam Mr.
Satterthwaite. "Bisakah kita meminta seorang detektif profesional untuk
menyelidiki" Ya. Ini bagus."
"Hanya pendapat," kata Sir Charles.
Terdengar ketukan halus di pintu, dan wajah Hercule Poirot muncul dengan
ekspresi minta maaf. "Eh, masuklah!" seru Sir Charles sambil meloncat berdiri. "Kami baru saja bicara
tentang Anda." "Saya takut kalau-kalau mengganggu."
"Sama sekali tidak. Ayo minum."
"Terima kasih, tidak usah. Saya jarang minum wiski. Kalau ada sirop..."
Tapi sirop tidak termasuk daftar Sir Charles tentang cairan yang bisa diminum.
Setelah tamunya duduk, sang aktor langsung bicara ke pokok persoalannya.
"Saya tidak perlu bertele-tele," katanya. "Kami baru saja bicara tentang Anda,
M. Poirot, dan... dan apa yang terjadi malam ini. Apakah ada yang tidak beres
tentang hal itu?" Alis mata Poirot naik. Ia berkata,
"Tidak beres" Apa maksud Anda - tidak beres?"
Bartholomew Strange berkata, "Teman saya ini punya ide, jangan-jangan Babbington
dibunuh orang." "Padahal Anda tidak berpikir begitu?"
"Kami ingin tahu pendapat Anda."
Poirot berkata sambil berpikir,
"Dia memang sakit, dengan sangat tiba-tiba - sangat mendadak."
"Ya, begitu." Mr. Satterthwaite menerangkan teori bunuh diri dan pendapatnya sendiri agar
gelas koktail itu dianalisis.
Poirot mengangguk setuju.
"Ya, itu tak ada salahnya. Sebagai orang yang tahu banyak soal-soal kemanusiaan,
sulit rasanya percaya ada orang yang ingin menyingkirkan seorang laki-laki yang
baik dan ramah. Juga motivasi bunuh diri itu rasanya masih sulit diterima. Tapi
gelas koktail itu akan menunjukkan pada kita nanti."
"Dan hasil analisis itu kira-kira apa?"
Poirot mengangkat bahu. "Saya" Saya hanya bisa menebak. Anda ingin saya menebak hasil analisis itu?"
"Ya." "Saya kira mereka akan menemukan sisa dry Martini yang enak." Ia membungkuk pada
Sir Charles. "Untuk meracuni orang dengan koktail - salah satu dari begitu banyak
gelas yang diedarkan - yah, ini merupakan teknik yang amat sangat sulit. Dan kalau
pendeta yang baik itu ingin bunuh diri, saya rasa dia tak akan melakukannya
dalam sebuah pesta. Itu akan menunjukkan dia tidak memikirkan orang lain.
Padahal setahu saya, Mr. Babbington orang yang penuh perhatian pada orang lain."
Ia diam. "Karena Anda bertanya, itulah pendapat saya."
Mereka semua diam sesaat. Lalu Sir Charles menarik napas panjang. Ia membuka
sebuah jendela dan memandang ke luar.
"Angin telah bertiup ke satu arah," katanya.
Si pelaut muncul kembali, dan detektif agen rahasia lenyap.
Tapi dalam pengamatan Mr. Satterthwaite yang cermat, Sir Charles berdiam sejenak
setelah meninggalkan peran yang tak dimainkannya itu.
BAB IV "YA, tapi apa pendapat Anda, Mr. Satterthwaite" Pendapat Anda sendiri?"
Mr. Satterthwaite menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia tak bisa menghindar. Egg
Lytton Gore memojokkannya di sudut dermaga pemancingan. Wanita-wanita muda ini
memang tak kenal ampun dan menakutkan.
"Rupanya Sir Charles yang menyebabkan Anda berpikir begitu," katanya.
"Tidak. Ide itu memang sudah ada. Sudah ada sejak awal. Sungguh mengerikan,
sangat tiba-tiba." "Dia sudah tua. Dan kesehatannya buruk..."
Egg memotong dengan cepat,
"Omong kosong. Dia sakit saraf dan rematik. Itu tidak menyebabkan orang jatuh
dan mendapat stroke tiba-tiba. Dia tak pernah dapat stroke. Dia tipe orang yang
lembut dan lemah, tapi akan hidup sampai umur sembilan puluhan. Apa pendapat
Anda tentang pemeriksaan itu?"
"Kelihatannya semua... normal."
"Apa pendapat Anda tentang bukti-bukti Dokter MacDougal" Semua serba teknis,
deskripsi tentang organ tubuh, tapi apa Anda tidak merasa dia menyembunyikan
sesuatu di balik keterangannya yang bertubi-tubi" Yang dia katakan kurang-lebih
begini - tak ada yang menunjukkan kematian itu bukan disebabkan oleh hal yang
wajar. Dia tidak mengatakan kematian itu disebabkan oleh sesuatu yang wajar."
"Kau ingin memerinci secara detail?"
"Dialah sebenarnya yang melakukannya. Dia bingung, tapi dia tak tahu mesti
bagaimana meneruskannya. Jadi, dia berpaling pada keterangan yang sangat medis.
Apa pendapat Sir Bartholomew Strange?"
Mr. Satterthwaite mengulangi sebagian dari apa yang pernah dikatakan dokter dari
London itu. "Hanya melecehkan?" tanya Egg dengan kening berkerut. "Tentu saja. Dia sangat
hati-hati. Saya rasa dokter top dari Harley Street harus begitu."
"Tak ada apa-apa dalam gelas koktail kecuali gin dan vermouth," Mr.
Satterthwaite mengingatkannya.
"Kelihatannya itu sudah bisa membereskan persoalan. Tapi sesuatu yang terjadi
setelah pemeriksaan membuat saya bertanya."
"Sesuatu yang dia katakan pada Anda?"
Mr. Satterthwaite mulai menikmati rasa ingin tahu gadis ini.
"Bukan pada saya - pada Oliver - Oliver Manders. Dia datang malam itu, tapi Anda
barangkali lupa." "Ah, saya ingat dia. Teman baik Anda?"
"Dulu. Sekarang kami bertengkar terus. Dia sudah bekerja, ikut pamannya di kota,
dan dia menjadi... agak besar kepala. Selalu bilang ingin jadi wartawan. Dia
memang bisa menulis cukup baik. Tapi sekarang ini, itu tak lebih dari omongan.
Dia ingin kaya. Rasanya semua orang jadi menjijikkan kalau sudah bicara soal
uang. Bukankah begitu, Mr. Satterthwaite?"
Kemudaan gadis itu muncul sekarang - kasar, congkak, dan kekanak-kanakan.
"Nak," kata Mr. Satterthwaite, "banyak orang menjijikkan karena banyak hal."
"Pada umumnya manusia memang bejat," kata Egg, menyetujui dengan riang. "Karena
itu, saya benar-benar sedih karena kasus Mr. Babbington. Sebab dia begitu baik.
Dia menyiapkan saya untuk sidi.* (* penerimaan menjadi anggota resmi Gereja
Protestan) Walaupun urusan itu agak tidak masuk akal, dia sangat baik. Mr.
Satterthwaite, saya percaya pada kekristenan - bukan seperti ibu yang selalu
membawa-bawa buku kecil dan ikut kebaktian pagi dan sebagainya, tapi secara
logis saja dan dari sudut sejarah. Gereja memang sibuk dengan tradisi Pauline -
bisa dibilang gereja itu berantakan. Tapi kekristenan sendiri tidak apa-apa.
Karena itu, saya tak bisa jadi komunis seperti Oliver. Dalam prakteknya,
kepercayaan kami akan searah - semua untuk semua, kepemilikan, dan sebagainya.
Tapi perbedaannya... saya tak perlu menjelaskannya. Tapi keluarga Babbington itu
benar-benar Kristen, mereka tidak curiga, tidak menyumpahi, dan tak pernah jahat
pada orang lain atau makhluk lain. Mereka baik, dan Robin..."
"Robin?" "Anak mereka. Dia dulu pergi ke India dan terbunuh di sana. Saya... saya
menyukainya." Egg mengejap-ngejapkan matanya. Pandangannya terarah ke laut. Lalu perhatiannya
kembali ke Mr. Satterthwaite dan keadaan saat itu.
"Jadi, saya memang merasa sangat terpukul dengan kejadian ini. Seandainya ini
bukan kematian yang wajar..."
"Anakku!" "Saya menganggapnya aneh. Dan Anda harus mengakuinya!"
"Tapi Anda sendiri mengakui keluarga Babbington tak punya musuh di dunia ini."
"Itulah anehnya. Saya tak bisa menemukan motif yang masuk akal."
"Fantastis! Dan tak ada apa-apa di dalam koktail."
"Barangkali ada orang yang menusuknya dengan jarum suntik."
"Barangkali racun panah orang Indian Amerika Selatan," kata Mr. Satterthwaite
berolok-olok. Egg menyeringai. "Itulah. Barang bagus yang tak bisa diketahui jejaknya. Oh, sudahlah. Anda tahu
lebih baik tentang hal itu. Barangkali suatu hari nanti Anda menemukan kami
benar." "Kami?" "Sir Charles dan saya." Wajah gadis itu agak merah.
Mr. Satterthwaite berpikir dengan kata-kata dan ukuran generasinya, ketika buku
Kutipan untuk Segala Kesempatan bisa ditemukan dalam setiap rak buku:
Lebih dari dua kali usianya.
Dijahit dengan luka lama di pipi,
Penuh memar dan kulit cokelat, gadis itu mengangkat matanya.
Dan mencintai pria itu dengan cinta yang membawa petaka.
Ia agak malu pada dirinya sendiri karena memikirkan kutipan itu. Tak banyak yang
mendalami Tennyson sekarang ini. Dan lagi, walaupun Sir Charles berkulit gelap,
ia tidak punya bekas luka, dan Egg Lytton Gore, walaupun gadis yang sehat, sama
sekali tidak kelihatan bisa hancur karena cinta dan hanyut dalam sampan,
mengikuti aliran sungai. Tak ada tanda-tanda kepribadian seperti Lily Maid dari
Astolat - seperti yang digubah Tennyson. Yang seperti itu tak ada padanya.
"Kecuali," pikir Mr. Satterthwaite, "kemudaannya."
Gadis-gadis selalu tertarik pada laki-laki setengah baya yang punya masa lalu
menarik. Egg pun tak terkecuali.
"Kenapa dia menikah?" tanya Egg tiba-tiba.
"Hm," kata Mr. Satterthwaite, lalu diam. Jawabannya kalau dikeluarkan secara
kasar akan berbunyi, "Waspada." Tapi ia tahu bahwa kata itu tak bisa diterima
oleh Egg Lytton Gore. Sir Charles telah mempunyai banyak affair dengan wanita, aktris, dan lainnya,
tapi ia selalu bisa membebaskan diri dari ikatan perkawinan. Dan Egg jelas
menginginkan penjelasan yang lebih romantis.
"Gadis yang meninggal karena paru-paru itu - seorang aktris yang namanya diawali
huruf R - dia kan amat sayang padanya?"
Mr. Satterthwaite teringat pada wanita yang disebutkan itu. Memang ada gosip
yang mengaitkan Charles Cartwright dengan namanya, tapi hanya sekilas, dan Mr.
Satterthwaite tidak yakin Sir Charles tetap sendirian hanya karena ingin setia
pada kenangan akan wanita itu. Mr. Satterthwaite diam saja.
"Saya rasa dia punya banyak affair," kata Egg.
"Hm... barangkali," kata Mr. Satterthwaite yang berpandangan kuno.
"Saya senang dengan laki-laki yang begitu," kata Egg. "Itu menunjukkan mereka
tidak aneh." Mr. Satterthwaite yang berpandangan kuno merasa terpukul. Ia tak bisa berkata
apa-apa. Egg tidak melihat pria itu merasa tak enak. Ia melanjutkan bicaranya
dengan santai, "Sir Charles itu lebih pintar dari yang Anda kira. Dia memainkan macam-macam
peran, mendramatisasi diri sendiri, tapi di balik itu otaknya sangat cerdas. Dia
bisa mengemudikan perahu lebih baik dari yang dia ceritakan atau yang Anda
dengar. Kalau mendengar dia bicara, Anda mengira dia sedang memainkan suatu
peran, tapi sebenarnya tidak. Sama juga dengan urusan ini. Anda pikir semua ini
terjadi untuk menimbulkan efek tertentu, sehingga dia bisa memerankan dirinya
sebagai detektif yang hebat. Saya rasa dia memainkannya dengan baik."
"Bisa jadi," Mr. Satterthwaite sependapat.
Nada suaranya menunjukkan perasaannya dengan jelas. Egg langsung menghantam dan
mengekspresikannya dengan kata-kata,
"Tapi menurut Anda Kematian Seorang Pendeta tidak terlalu seru. Hanya sebuah
Insiden yang Tak Seharusnya Terjadi di Pesta Makan Malam. Sebuah kecelakaan
biasa dalam suatu kegiatan sosial. Apa pendapat M. Poirot" Dia seharusnya tahu."
"M. Poirot menasihatkan agar kami menunggu hasil analisis koktail, tapi dia
berpendapat segalanya baik-baik saja."
"Oh, baiklah," kata Egg. "Dia sudah tua. Sudah harus istirahat." Mr.
Satterthwaite mengedipkan matanya. Egg melanjutkan bicaranya tanpa menyadari
kekasarannya, "Ayo ikut saya pulang. Anda bisa minum teh dengan Ibu. Dia bilang
suka pada Anda." Mr. Satterthwaite menerima undangan itu. Diam-diam ia merasa tersanjung.
Setelah tiba, Egg langsung menelepon Sir Charles dan memamitkan tamunya.
Mr. Satterthwaite duduk di sebuah ruang tamu kecil dengan perabot bersih dan
terawat, walaupun tua. Ruangan itu ruangan zaman Victoria, seperti yang
dibayangkan Mr. Satterthwaite tentang ruangan seorang wanita.
Percakapannya dengan Lady Mary menyenangkan. Bukan percakapan berat, tapi mereka
menyukainya. Mereka bicara tentang Sir Charles. Apakah Mr. Satterthwaite kenal
baik dengan Sir Charles" Tidak terlalu dekat, jawab Mr. Satterthwaite. Ia pernah
punya bisnis dengan salah satu pertunjukan Sir Charles beberapa tahun yang lalu.
Sejak itu mereka berteman.
"Dia punya daya tarik yang kuat," kata Lady Mary sambil tersenyum. "Saya maupun
Egg merasakannya. Saya rasa Anda juga tahu, saat ini Egg sedang menderita hero
worship."* (* tergila-gila pada tokoh idola)
Mr. Satterthwaite ingin tahu, apakah sebagai ibu, Lady Mary tak merasa kerepotan
dengan hero worship itu. Tapi kelihatannya tidak.
"Egg hanya melihat sebagian kecil dunia ini," katanya sambil menarik napas.
"Kami begitu miskin. Salah seorang sepupu saya pernah mengajaknya ke kota dan
menunjukkan serta membelikan beberapa barang. Tapi sejak itu dia tak pernah
pergi jauh dari tempat ini, kecuali untuk beberapa kunjungan. Saya merasa orang
muda seharusnya banyak keluar, melihat, serta bertemu banyak orang dan tempat -
terutama orang. Kalau tidak, hm, kurang pergaulan kadang-kadang sangat
berbahaya." Mr. Satterthwaite sependapat. Ia berpikir tentang Sir Charles dan pergi
berlayar, tapi rupanya bukan itu yang ada dalam pikiran Lady Mary, sebagaimana
diungkapkannya kemudian. "Kedatangan Sir Charles sangat berpengaruh pada Egg. Dia memperluas
cakrawalanya. Di sini tidak banyak orang muda, terutama pemuda. Saya khawatir
Egg nanti menikah dengan seseorang hanya karena dia tak mengenal orang lain."
Mr. Satterthwaite mempunyai intuisi tajam.
"Maksud Anda Oliver Manders?"
Wajah Lady Mary menjadi merah dan heran.
"Oh, Mr. Satterthwaite. Anda begitu cepat tanggap! Saya memang berpikir tentang
dia. Dia dan Egg sering bersama-sama. Saya memang kuno, tapi saya tidak suka
beberapa pendapatnya."
"Pemuda harus menentukan pandangan mereka," kata Mr. Satterthwaite.
Lady Mary menggelengkan kepala.
"Saya sangat khawatir. Tentu saja mereka serasi; saya kenal dia dengan baik,
pamannya yang mengajaknya bekerja amat kaya. Tapi bukan itu. Saya memang tolol,
tapi..." Ia menggelengkan kepala dan tak kuasa menjelaskan lebih lanjut.
Mr. Satterthwaite jadi merasa dekat. Ia berkata dengan tenang dan santai,
"Tapi Anda pasti juga tak suka kalau anak Anda menikah dengan orang yang umurnya
dua kali lipat." Jawaban Lady Mary membuatnya terkejut.
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin itu lebih aman. Kalau Anda melakukan hal itu, setidaknya Anda tahu
posisi Anda. Laki-laki seumur itu biasanya tidak lagi gila-gilaan, dan tidak
akan melakukannya kemudian."
Sebelum Mr. Satterthwaite sempat menanggapi, Egg sudah datang.
"Kenapa lama sekali?" tanya ibunya.
"Aku bicara dengan Sir Charles. Dia sedang sendiri." Ia berpaling dan merajuk
pada Mr. Satterthwaite. "Anda tidak cerita tamu-tamu itu sudah pulang."
"Mereka pulang kemarin - semuanya, kecuali Sir Bartholomew Strange. Dia akan
pulang besok, tapi dia mendapat telegram tadi pagi. Salah seorang pasiennya
dalam keadaan kritis."
"Sayang," kata Egg. "Sebenarnya saya ingin menyelidiki tamu-tamu itu. Barangkali
ada petunjuk." "Petunjuk tentang apa, Sayang?"
"Mr. Satterthwaite tahu. Oh, sudahlah, tak apa-apa. Oliver masih ada di sini.
Kita ajak dia. Dia punya otak kalau lagi mau."
Ketika Mr. Satterthwaite sampai di Crow's Nest, tuan rumahnya sedang duduk di
teras sambil memandangi laut.
"Halo, Satterthwaite. Baru minum teh dengan keluarga Lytton Gore, ya?"
"Ya. Kau tidak keberatan, kan?"
"Tentu saja tidak. Egg telepon. Aneh gadis itu."
"Menarik," kata Mr. Satterthwaite.
"Hm, ya, kurasa begitu."
Ia berdiri dan berjalan mondar-mandir.
"Kalau saja aku tidak datang ke tempat terkutuk ini," katanya tiba-tiba dengan
nada pahit. BAB V Mr. SATTERHWAITE berpikir. "Dia kena batunya."
Tiba-tiba saja ia merasa kasihan pada tuan rumahnya. Pada umur 52, Charles
Cartwright si periang, si tampan yang membuat banyak orang patah hati, telah
jatuh cinta. Dan rupanya ia sendiri menyadari akan menemui kekecewaan. Anak muda
suka pada anak muda. "Gadis-gadis tidak akan suka pada orang tua," pikir Mr. Satterthwaite. "Egg
memang mendemonstrasikan perasaannya pada Sir Charles. Tapi dia pasti tak akan
berbuat begitu kalau benar-benar cinta padanya. Yang dituju pasti si Manders
yang masih muda itu."
Mr. Satterthwaite biasanya punya pandangan tajam dalam asumsi-asumsinya.
Tapi barangkali ada satu hal yang lepas dari perhitungannya, karena ia sendiri
tidak menyadarinya. Yaitu nilai tambah yang diberikan karena usia. Bagi Mr.
Satterthwaite yang sudah tua, kenyataan bahwa Egg lebih memilih seorang laki-
laki setengah baya daripada seorang pemuda sangat tidak masuk akal. Baginya usia
muda merupakan anugerah yang sangat berarti.
Ia bertambah yakin ketika Egg menelepon sehabis makan malam dan minta izin untuk
"berkonsultasi" sambil membawa Oliver.
Tentu saja ia membolehkan gadis itu mengajak seorang pemuda tampan bermata gelap
dan berbulu mata lentik, yang gaya berjalannya ringan namun penuh keyakinan.
Pemuda itu memang serasi dengan Egg, tapi sikapnya secara keseluruhan skeptis.
"Bisakah Anda bercerita?" katanya pada Sir Charles. "Egg terbiasa dengan hidup
sehat di desa, dan itu membuatnya menjadi gadis yang energik. Tahu tidak, Egg,
seleramu kekanak-kanakan - kriminalitas, sensasi, dan sebagainya."
"Anda skeptis, Manders?"
"Hm, begini, Sir. Bagi saya memang fantastis kalau ada ide yang menyatakan
kematian pak tua yang baik hati itu disebabkan hal yang tidak wajar."
"Kurasa Anda benar," kata Sir Charles.
Mr. Satterthwaite menolehkan kepalanya. Peran apa yang sedang dimainkan Charles
Cartwright malam ini" Bukan bekas pelaut, bukan detektif internasional. Peran
baru yang belum diketahuinya.
Dan Mr. Satterthwaite terkejut sendiri ketika mengetahui peran itu. Sir Charles
sedang memainkan peran yang kurang penting. Kurang penting dibanding dengan
peran Oliver Manders. Ia duduk dengan kepala dalam bayang-bayang, memperhatikan kedua anak muda itu,
Egg dan Oliver, ketika mereka berdebat - Egg dengan sikap berapi-api, sedangkan
Oliver kalem-kalem saja. Sir Charles kelihatan lebih tua dari biasanya - tua dan letih.
Kadang-kadang Egg menarik dia ke dalam pembicaraan, tapi responsnya tidak ada.
Mereka pulang pukul sebelas. Sir Charles keluar ke teras bersama mereka dan
menawarkan senter untuk menuruni jalanan kecil berbatu.
Tapi senter itu tak diperlukan. Cahaya bulan yang terang membantu mereka malam
itu. Mereka pergi, dan suara mereka terdengar semakin samar.
Terang bulan atau tidak, Mr. Satterthwaite tak akan ambil risiko kedinginan. Ia
kembali ke ruang kapal. Sir Charles masih ada di teras.
Ketika masuk, ia mengunci jendela di belakangnya, berjalan ke meja samping,
serta menuang wiski dan soda.
"Satterthwaite," katanya, "aku besok mau pergi dari sini - untuk selama-lamanya."
"Apa?" seru Mr. Satterthwaite kaget.
Suatu kegembiraan samar muncul di wajah Charles Cartwright ketika ia tahu akibat
perkataannya. "Itu Satu-satunya Hal yang Bisa Dilakukan," katanya, jelas berbicara dalam
huruf-huruf besar. "Aku akan jual tempat ini. Apa artinya ini bagiku, tak
seorang pun akan tahu." Suaranya jatuh, berdengung dengan efektif.
Setelah mengalah menjadi orang kedua, ego Sir Charles muncul kembali.
Ini merupakan adegan penolakan besar yang sering kali dimainkannya dalam drama
serba-serbi. Mengembalikan istri laki-laki lain, menolak gadis yang dicintainya.
Terdengar nada sembrono dalam ucapannya berikut,
"Hentikan kerugian; itu satu-satunya jalan. Yang muda untuk yang muda. Mereka
memang diciptakan, yang satu untuk yang lain. Aku akan mundur."
"Ke mana?" tanya Mr. Satterthwaite.
Aktor itu memberikan jawaban tak pasti.
"Ke mana saja. Aku tak peduli." Lalu ia menambahkan dengan suara berbeda,
"Barangkali Monte Carlo." Dan menambahkan lagi untuk membuat antiklimaks, "Di
jantung padang pasir atau di tengah kematian, semua sama saja. Bagian terdalam
seorang manusia ialah kesendirian, kesepian. Aku selalu kesepian."
Ini jelas baris terakhir sebelum pemain keluar dari panggung.
Ia mengangguk pada Satterthwaite, lalu pergi meninggalkan ruangan.
Mr. Satterthwaite berdiri, siap mengikuti sang tuan rumah pergi tidur.
"Tapi pasti bukan jantung padang pasir," pikirnya geli.
Paginya Sir Charles minta maaf pada Mr. Satterthwaite karena ia harus ke kota.
"Jangan buru-buru pergi. Kau akan tinggal sampai besok, kan" Kau akan ke
Harbertons di Tavistock. Mobilku akan mengantarmu ke sana. Karena telah membuat
keputusan, aku tak akan menoleh kembali. Aku tak akan menoleh kembali."
Sir Charles menegakkan kedua bahunya dengan gagah, menjabat tangan Mr.
Satterthwaite dengan penuh semangat, dan menyerahkannya pada Miss Milray yang
cekatan. Miss Milray kelihatannya siap menghadapi situasi, seperti biasanya. Ia tidak
menunjukkan rasa heran atau emosi terhadap keputusan Sir Charles yang mendadak.
Mr. Satterthwaite juga tidak ditanggapinya secara luar biasa. Baik kematian yang
tiba-tiba ataupun perubahan rencana yang mendadak tak bisa mengguncangkan Miss
Milray. Ia menerima apa pun yang terjadi sebagai suatu fakta dan akan menghadapi
persoalan itu dengan cara efisien. Ia menelepon agen rumah, mengirim telegram ke
luar negeri, dan sibuk mengetik. Mr. Satterthwaite melarikan diri dari situasi
yang begitu efisien dengan berjalan-jalan ke dermaga. Ia sedang berjalan mondar-
mandir tanpa tujuan ketika tiba-tiba tangannya dipegang seseorang. Ketika
berbalik, ia berhadapan dengan seorang gadis berwajah pucat.
"Apa maksudnya semua ini?" tanya Egg menuntut jawab.
"Semua apa?" jawab Mr. Satterthwaite.
"Semua orang di desa sudah tahu Sir Charles akan pergi - dia akan menjual Crow's
Nest." "O ya, benar." "Apa dia akan pergi?"
"Dia sudah pergi."
"Oh!" Egg melepaskan tangannya. Tiba-tiba ia kelihatan seperti anak kecil yang
disakiti hatinya. Mr. Satterthwaite tak tahu harus berkata apa.
"Dia pergi ke mana?"
"Ke luar negeri. Prancis Selatan."
"Oh!" Ia masih tetap tak tahu apa yang harus dikatakan. Sebab jelas ia melihat lebih
dari sekadar hero worship.
Dengan kasihan ia mencoba mengingat-ingat kata-kata penghibur yang sesuai, tapi
ketika gadis itu bicara, ia jadi terkejut.
"Wanita sialan mana yang menyebabkannya?" tanya Egg dengan galak.
Mr. Satterthwaite memandangnya, mulutnya ternganga heran. Egg menggandeng
lengannya lagi dan mengguncangkannya keras-keras.
"Anda pasti tahu!" serunya. "Yang mana" Yang rambut abu-abu atau satunya?"
"Oh, saya tak tahu apa maksudmu."
"Anda tahu! Pasti tahu! Pasti karena wanita. Dia menyukai saya - itu saya tahu.
Salah satu dari kedua wanita yang hadir malam itu pasti tahu dan berniat merebut
dia dari saya. Saya benci wanita. Kucing licik. Anda perhatikan gaunnya" Yang
rambutnya hijau" Mereka membuat saya geram karena iri. Wanita dengan gaun
seperti itu punya daya pikat - Anda pasti tidak membantah hal ini. Dia sudah tua
dan jelek, tapi peduli apa" Dia membuat orang lain jadi seperti perempuan
kampung. Apa dia orangnya" Atau yang berambut abu-abu" Dia menarik - itu bisa
dilihat. Dia memanggilnya Angie. Pasti bukan wanita yang seperti kol layu itu.
Yang menor atau si Angie?"
"Ah, rupanya ide-ide luar biasa telah memasuki kepalamu. Dia... eh... Charles
Cartwright sama sekali tidak tertarik pada kedua wanita itu."
"Saya tak percaya. Tapi mereka pasti tertarik padanya."
"Tidak... tidak. Kau keliru. Semua itu hanya imajinasi. Kau pasti salah
mengerti." "Kalau begitu, kenapa dia pergi seperti itu?"
Mr. Satterthwaite berdehem.
"Barangkali... dia berpikir... eh... itu yang terbaik?"
Egg memandangnya dengan tajam.
"Maksud Anda sayalah yang menyebabkannya?"
"Hm, barangkali begitu."
"Hm, barangkali saya agak terlalu demonstratif, ya" Laki-laki tidak suka
dikejar-kejar, kan" Ibu benar rupanya. Anda pasti tak bisa membayangkan betapa
manisnya dia kalau bicara soal laki-laki. Selalu disebut dengan sebutan pihak
ketiga - begitu kuno dan sopan. 'Laki-laki tidak dikejar-kejar, seorang gadis
harus memberi kesempatan pada laki-laki untuk mengejarnya.' Bukankah ini
ekspresi yang manis - 'memberi kesempatan pada laki-laki untuk mengejarnya'"
Kedengarannya seperti kebalikan dari artinya. Sebetulnya itulah yang dikerjakan
Charles - mengejar. Dia pergi menjauhi saya. Dia takut. Tapi sialnya saya tak bisa
mengejarnya. Kalau saya mengejar, dia pasti lari ke Afrika atau ke tempat lain."
"Hermione," kata Mr. Satterthwaite, "apa kau serius dengan Sir Charles?"
Gadis itu memandangnya dengan mata tak sabar.
"Tentu saja." "Bagaimana dengan Oliver Manders?"
Egg mengusir Oliver Manders dengan gelengan kepala. Ia melamun.
"Bagaimana kalau saya menulis surat padanya" Tak usah yang menakutkan. Hanya
hal-hal yang biasa diobrolkan gadis. Supaya dia tenang, tidak ketakutan."
Gadis itu mengerutkan kening.
"Tolol benar saya. Ibu pasti bisa menangani soal ini dengan lebih baik. Orang-
orang kuno itu tahu trik-triknya. Saya keliru selama ini. Saya pikir dia perlu
didorong. Dia kelihatan... hm... kelihatan perlu bantuan. Anda tahu," ia tiba-
tiba berpaling pada Mr. Satterthwaite, "apa dia melihat saya mencium Oliver tadi
malam?" "Saya tak tahu. Kapan?"
"Di terang bulan. Ketika kami menuruni jalanan kecil itu. Saya pikir dia masih
ada di teras, melihat saya dan Oliver - hm, saya pikir itu akan membuatnya
penasaran. Karena dia menyukai saya. Saya yakin itu."
"Bukankah itu menyakitkan Oliver?"
Egg menggelengkan kepala penuh keyakinan.
"Sama sekali tidak. Oliver berpikir seorang gadis pasti merasa beruntung kalau
dia cium. Memang tak baik buat kesombongannya. Tapi orang kan tak bisa mau
semuanya. Saya cuma ingin memanas-manasi Charles. Akhir-akhir ini dia agak lain -
lebih banyak diam." "Nak," kata Mr. Satterthwaite, "saya rasa engkau tak mengerti kenapa Sir Charles
pergi begitu mendadak. Dia pikir kau suka pada Oliver. Dia pergi karena tak
ingin sakit hati." Egg menoleh dan memutar badannya. Ia memegang bahu pria itu dan memandangnya
dengan tajam. "Benarkah" Apa benar begitu" Oh, bodohnya saya!"
Tiba-tiba ia melepaskan Mr. Satterthwaite dan berjalan di sampingnya dengan
gerakan meloncat-loncat. "Kalau begitu, dia akan kembali," katanya. "Dia akan kembali. Kalau tidak..."
"Kalau tidak, bagaimana?"
Egg tertawa. "Saya akan membuatnya kembali. Lihat saja nanti."
Rasanya memang ada perbedaan dalam kata-kata. Egg dan lily maid dari Astolat
punya banyak kesamaan, tapi Mr. Satterthwaite merasa cara Egg akan lebih praktis
dari cara yang dipakai Elaine, dan kematian karena patah hati tak akan terjadi.
BABAK KEDUA KEPASTIAN BAB VI Mr. SATTERHWAITE datang ke Monte Carlo. Pesta-pesta yang banyak didatangi sudah
lewat. Riviera pada bulan September merupakan tempat yang menyenangkan baginya.
Ia duduk di taman, menikmati matahari sambil membaca koran Daily Mail dua hari
lalu. Tiba-tiba sebuah nama menarik perhatiannya: "Strange". "Kematian Sir Bartholomew
Strange". Ia membaca artikel itu:
Dengan rasa duka kami umumkan kepergian Sir Bartholomew Strange, spesialis saraf
terkenal. Sir Bartholomew mengadakan suatu pesta untuk menjamu teman-teman di
tempat tinggalnya, di Yorkshire. Sir Bartholomew kelihatan sehat dan kematiannya
terjadi dengan tiba-tiba setelah makan malam. Ia sedang bercakap-cakap dengan
teman-temannya dan minum segelas anggur ketika mendapat stroke dan meninggal
sebelum memperoleh pertolongan medis. Sir Bartholomew akan selalu dikenang. Ia
adalah... Kalimat itu diikuti dengan deskripsi karier Sir Bartholomew.
Mr. Satterthwaite membiarkan koran itu meluncur dari tangannya. Ia sangat
terkesan. Bayangan dokter itu melintas di benaknya - besar, riang, dan sangat
sehat. Dan sekarang mati. Ada kata-kata tertentu dalam koran itu yang terpisah
dari konteksnya dan melayang-layang di benak Mr. Satterthwaite. "Minum segelas
anggur... stroke... meninggal sebelum memperoleh pertolongan medis...."
Anggur, bukan koktail, tapi anehnya mengingatkannya akan peristiwa kematian di
Cornwall. Mr. Satterthwaite seolah-olah melihat lagi wajah pendeta tua yang
kesakitan itu. Seandainya itu... Ia mengangkat kepalanya dan melihat Sir Charles berjalan melintasi rerumputan ke
arahnya. "Satterthwaite, wah, luar biasa! Kau memang orang yang paling ingin kutemui saat
ini. Sudah lihat berita tentang Tollie yang malang?"
"Aku baru saja membacanya."
Sir Charles duduk di sampingnya. Ia masih memakai pakaian pelayarnya. Ia tak
lagi mengenakan celana flanel abu-abu dan sweater tuanya. Kini ia kapten sebuah
yacht yang berpengalaman dari Prancis Selatan.
"Satterthwaite, Tollie dalam keadaan sehat. Dia tidak sakit dan tak punya
penyakit. Apakah aku orang bodoh yang suka berimajinasi" Urusan ini apa tidak
mengingatkanmu pada... pada..."
"Pada urusan di Loomouth" Ya, memang. Tapi bisa saja kita keliru. Persamaannya
barangkali cuma di kulit. Bagaimanapun, kematian mendadak memang bisa terjadi
karena bermacam-macam sebab."
Sir Charles mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata,
"Aku baru dapat surat dari Egg Lytton Gore."
Mr. Satterthwaite tersenyum tertahan.
"Yang pertama dari dia?"
Sir Charles tidak curiga.
"Tidak. Aku dapat surat tak lama setelah sampai di sini. Isinya biasa, sekadar
berita. Aku tidak membalasnya. Aku tak berani. Gadis itu pasti tak tahu apa-apa,
tapi aku tak mau jadi orang tolol."
Mr. Satterthwaite menutup mulutnya yang masih tersenyum.
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan yang ini?" tanyanya.
"Ini lain. Imbauan minta tolong."
"Imbauan minta tolong?" Alis mata Mr. Satterthwaite tertarik ke atas.
"Dia ada di sana - di rumah itu - ketika ada kejadian itu."
"Maksudmu dia menginap di rumah Sir Bartholomew Strange ketika tuan rumahnya
meninggal?" "Ya." "Apa yang dia katakan?"
Sir Charles mengeluarkan sepucuk surat dari sakunya. Ia ragu-ragu sejenak, lalu
memberikannya pada Mr. Satterthwaite.
"Sebaiknya kaubaca sendiri."
Mr. Satterthwaite membukanya dengan penuh rasa ingin tahu.
Sir Charles, Saya tak tahu kapan surat ini akan sampai. Mudah-mudahan dapat cepat sampai.
Saya begitu khawatir dan tak tahu harus berbuat apa. Saya rasa Anda pasti
membaca berita itu di koran - bahwa Sir Bartholomew Strange sudah meninggal. Dan
ia meninggal dengan cara yang sama seperti Mr. Babbington. Ini pasti bukan
kebetulan - pasti bukan. Saya sangat khawatir.
Apakah Anda tidak dapat pulang dan melakukan sesuatu" Rasanya kasar saya
mengucapkan hal ini - tapi Anda dulu pernah curiga dan tak seorang pun mau
mendengar Anda. Dan sekarang, kawan Anda yang terbunuh. Kalau Anda tidak pulang,
tak seorang pun akan menemukan hal yang sebenarnya. Saya percaya Anda bisa
melakukannya. Saya sangat yakin.
Dan ada satu hal lagi. Saya sangat mengkhawatirkan seseorang. Dia tak ada
hubungannya dengan soal itu, tapi barangkali ada juga. Oh, saya tak bisa
menjelaskannya di surat. Anda bisa pulang, kan" Anda bisa menemukan kebenaran
itu. Saya percaya. Yang terburu-buru, EGG. "Hm," kata Sir Charles tak sabar. "Agak acak-acakan. Tapi bisa dimaklumi. Dia
menulis terburu-buru. Bagaimana?"
Mr. Satterthwaite melipat surat itu pelan-pelan dan berpikir sejenak sebelum
menjawab. Ia setuju bahwa surat itu acak-acakan, tapi pasti tidak ditulis dalam keadaan
terburu-buru. Ia berpendapat surat itu justru merupakan hasil pemikiran yang
hati-hati. Surat itu dibuat untuk memancing keangkuhan, sikap ksatria, dan
sportivitas Sir Charles. Karena mengenal Sir Charles dengan baik, Mr. Satterthwaite tahu surat itu
merupakan pancingan yang berhasil.
"Siapa kira-kira yang dia maksud dengan 'seseorang' dan 'dia'?" tanyanya.
"Kurasa Manders."
"Kalau begitu, dia juga ada di pesta itu?"
"Tentunya. Aku tak tahu kenapa. Tollie tak pernah bertemu dengannya, kecuali di
pestaku dulu. Kenapa dia memintanya datang, aku tak tahu."
"Apa dia sering mengadakan pesta-pesta seperti itu?"
"Tiga atau empat kali setahun. Selalu mengadakan pesta pada peringatan St.
Leger." "Dia sering menghabiskan waktunya di Yorkshire?"
"Punya sanatorium besar atau rumah perawatan, atau apalah namanya. Dia membeli
Melfort Abbey - sebuah bangunan kuno yang kemudian dipugarnya dan diubahnya
menjadi sanatorium."
"Hm." Mr. Satterthwaite diam sejenak, lalu berkata,
"Siapa saja ya yang datang di pesta itu?"
Sir Charles menjawab, barangkali tentang itu ada beritanya di koran lainnya.
Mereka kemudian mencari-cari koran lain.
"Ini dia," kata Sir Charles.
Ia membaca keras-keras, "Sir Bartholomew Strange mengadakan pesta di rumahnya seperti biasa, untuk
memperingati St. Leger. Di antara para tamu ada Lord dan Lady Eden, Lady Mary
Lytton Gore, Sir Jocelyn dan Lady Cambell, Kapten dan Mrs. Dacres, serta Miss
Angela Sutcliffe, aktris terkenal."
Sir Charles dan Mr. Satterthwaite berpandangan.
"Suami-istri Dacres dan Angela Sutcliffe," kata Sir Charles. "Tidak ada Oliver
Manders." "Coba kita baca Continental Daily Mail hari ini," kata Mr. Satterthwaite.
"Barangkali ada berita tambahan."
Sir Charles memandang koran itu sekilas. Tiba-tiba ia menjadi tegang. "Dengar
ini, Satterthwaite."
"Kematian Sir Bartholomew Strange. Dalam pemeriksaan atas kematian Sir
Bartholomew Strange hari ini diputuskan bahwa penyebab kematian adalah keracunan
nikotin. Belum ada bukti yang menunjukkan bagaimana atau siapa yang melakukan
peracunan itu." Ia mengernyitkan dahi. "Keracunan nikotin. Kedengarannya agak terlalu halus - bukan hal yang biasa
dilakukan untuk membuat orang stroke. Aku tak mengerti."
"Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku lakukan" Aku akan memesan tempat di Blue Train malam ini."
"Hm, aku juga akan pesan tempat kalau begitu," kata Mr. Satterthwaite.
"Kau?" Sir Charles memutar badannya dan kelihatan heran.
"Aku menyukai hal-hal seperti ini," kata Mr. Satterthwaite merendah. "Aku pernah
punya... eh... sedikit pengalaman. Di samping itu, aku juga kenal kepala polisi
daerah itu - Kolonel Johnson. Itu akan membantu."
"Bagus!" seru Sir Charles. "Kita pesan tempat sekarang."
Mr. Satterthwaite berpikir,
"Gadis itu berhasil. Dia membuat Sir Charles kembali. Dia sudah mengatakan itu.
Aku tak tahu apa semua suratnya benar."
Yang jelas, Egg Lytton Gore seorang oportunis.
Ketika Sir Charles pergi memesan tempat, Mr. Satterthwaite berjalan-jalan di
taman. Pikirannya masih penuh dengan persoalan Egg Lytton Gore. Ia mengagumi
akal dan semangat gadis itu, tapi sikap kunonya tak bisa menerima kenyataan
bahwa seorang wanita bisa mengambil langkah-langkah inisiatif dalam urusan
cinta. Mr. Satterthwaite seorang pengamat yang cermat. Di tengah renungannya tentang
wanita secara umum dan Egg Lytton Gore secara khusus, ia tak bisa menahan untuk
berkata pada diri sendiri,
"Hm, di mana aku pernah melihat bentuk kepala yang khas seperti itu?"
Pemilik kepala itu sedang duduk di kursi sambil melamun. Ia seorang laki-laki
kecil dengan kumis terlalu besar untuk ukuran tubuhnya.
Seorang anak Inggris yang tampak kesal sedang berdiri di dekatnya. Mula-mula ia
berdiri dengan kaki sebelah. Lalu dengan kaki yang lain, dan akhirnya menyepak-
nyepakkan kakinya ke tanaman bunga di dekat situ.
"Jangan begitu, Sayang," kata ibunya yang sedang asyik membaca majalah mode.
"Aku tidak ada kegiatan," kata si anak.
Laki-laki kecil itu menolehkan kepalanya ke arah si wanita, dan Mr.
Satterthwaite pun mengenalinya.
"M. Poirot," katanya, "senang sekali berjumpa dengan Anda."
M. Poirot berdiri dan membungkuk.
"Enchant?, Monsieur."
Mereka bersalaman dan Mr. Satterthwaite duduk.
"Kelihatannya semua orang ada di Monte Carlo. Belum setengah jam yang lalu saya
bertemu Sir Charles Cartwright. Sekarang Anda."
"Sir Charles" Dia juga ada di sini?"
"Dia berpesiar terus dengan perahu. Anda tahu dia telah menjual rumahnya yang di
Loomouth, kan?" "Ah, tidak. Saya tidak tahu. Kenapa, ya?"
"Saya tak tahu. Dia bekerja keras, lalu sakit sebentar dan harus istirahat. Tapi
saya rasa dia bukan tipe orang yang suka tinggal di tempat sepi dan mengucilkan
diri terus-menerus."
"Ah, benar. Saya sependapat dengan Anda dalam hal ini. Saya heran karena hal
lain. Kelihatannya Sir Charles punya alasan khusus untuk tinggal di Loomouth -
alasan yang menyenangkan. Apakah saya benar" Demoiselle mungil yang namanya lucu
itu?" Matanya bersinar lembut. "Oh, jadi Anda tahu?"
"Tentu saja. Saya tahu. Hati saya sangat sensitif untuk hal-hal seperti itu - saya
kira Anda juga. Dan la jeunesse selalu mengharukan."
Ia menarik napas panjang.
"Saya kira," kata Mr. Satterthwaite, "Anda benar tentang Sir Charles. Itu yang
menyebabkan dia pergi dari Loomouth. Dia melarikan diri."
"Dari Mademoiselle Egg" Tapi kan jelas gadis itu mencintainya" Kenapa dia lari?"
"Ah," kata Mr. Satterthwaite, "Anda tidak mengerti keruwetan orang-orang Anglo-
Saxon rupanya." M. Poirot mengikuti cara berpikirnya sendiri.
"Tentu saja," katanya, "memburu memang tindakan bagus. Lari dari seorang wanita.
Nanti dia akan mengejar. Dengan pengalamannya yang banyak, Sir Charles pasti
tahu itu." Mr. Satterthwaite agak heran.
"Saya rasa tidak begitu," katanya. "Kenapa Anda berada di sini" Liburan?"
"Setiap hari saya liburan sekarang. Saya sudah sukses. Saya kaya. Saya pensiun.
Sekarang saya jalan-jalan, melihat dunia."
"Bagus," kata Mr. Satterthwaite.
"N'est-ce pas?"
"Mama," kata anak kecil Inggris itu, "apa tak ada yang bisa kulakukan?"
"Sayang," jawab ibunya dengan agak kesal, "bukankah menyenangkan pergi ke luar
negeri dan menikmati sinar matahari?"
"Ya. Tapi tak ada yang bisa kukerjakan."
"Kau bisa lari-lari dan main sendiri. Pergi dan main sana ke laut."
"Maman," kata seorang anak Prancis yang tiba-tiba muncul, "joue avec moi."
Seorang ibu Prancis memandang anaknya dari balik buku.
"Amuse-toi avec ta balle, Marcelle."
Anak itu menurut. Ia memainkan bolanya sambil merengut.
"Je m'amuse," kata Hercule Poirot dengan ekspresi aneh di wajahnya.
Lalu, seolah-olah menjawab pertanyaan yang dibacanya di wajah Mr. Satterthwaite,
ia berkata, "Ah, ya. Anda punya persepsi yang tajam. Memang seperti yang Anda pikirkan."
Ia diam satu atau dua menit, lalu berkata,
"Waktu kecil, saya amat miskin. Kami bersaudara banyak. Kami harus berjuang
untuk hidup. Saya masuk kesatuan polisi. Saya bekerja keras. Pelan-pelan saya
naik. Nama saya mulai dikenal. Saya mulai mempunyai reputasi internasional.
Akhirnya saya pensiun. Lalu perang pecah. Saya terluka. Saya sampai di Inggris
dalam keadaan lemah dan menyedihkan sebagai pengungsi. Seorang wanita yang baik
hati dengan ramah menerima saya. Dia meninggal; secara tak wajar; bukan, dia
dibunuh. Eh bien, saya mengerahkan segala kemampuan untuk menyelidiki. Saya
gunakan sel-sel kelabu saya sebaik mungkin. Saya menemukan pembunuhnya. Ternyata
itu belum selesai. Saya bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Lalu mulailah karier
kedua saya - yaitu agen penyelidik swasta di Inggris. Saya berhasil memecahkan
persoalan-persoalan yang sulit dan luar biasa. Ah, saya jadi hidup! Psikologi
manusia memang luar biasa. Saya menjadi kaya. 'Suatu hari nanti,' begitu saya
berkata pada diri sendiri, 'aku akan punya uang yang kuperlukan. Semua mimpiku
akan menjadi kenyataan.'"
Ia meletakkan tangannya pada lutut Mr. Satterthwaite.
"Kawan, hati-hatilah apabila mimpi-mimpi Anda jadi kenyataan. Anak itu juga
punya mimpi pergi ke luar negeri. Dia merasa penuh gairah karena akan melihat
segala sesuatu yang lain. Anda mengerti?"
"Saya mengerti," kata Mr. Satterthwaite, "Anda tidak sedang bersenang-senang."
Poirot mengangguk. "Persis." Ada saat-saat Mr. Satterthwaite kelihatan seperti Puck. Seperti saat ini
misalnya. Wajahnya yang kecil dan keriput bergetar tak terkendali. Ia ragu-ragu.
Haruskah" Atau tak usah"
Pelan-pelan ia membuka koran yang masih dipegangnya.
"Anda sudah baca ini, M. Poirot?"
Ia menunjukkan paragraf yang dimaksudnya dengan jari telunjuknya.
Laki-laki Belgia kecil itu mengambil koran tersebut. Mr. Satterthwaite
memperhatikannya membaca. Tak ada perubahan pada wajahnya, tapi ia merasa badan
laki-laki itu menegang seperti anjing terrier yang mengendus lubang tikus.
Hercule Poirot membaca artikel itu dua kali, lalu melipat koran tersebut dan
mengembalikannya pada Mr. Satterthwaite.
"Menarik," katanya.
"Ya. Kelihatannya Sir Charles Cartwright yang benar dan kita keliru."
"Ya," kata Poirot. "Ya, kelihatannya kita salah. Saya menyukainya, kawan. Saya
tak bisa percaya seorang laki-laki tua yang begitu baik dan ramah dibunuh orang.
Hm, barangkali saya memang salah. Walaupun kematian yang ini mungkin kebetulan.
Kebetulan memang ada dan terjadi - juga yang paling luar biasa. Saya, Hercule
Poirot, telah melihat dan mengalami kebetulan-kebetulan yang mencengangkan."
Ia diam, lalu melanjutkan,
"Insting Sir Charles mungkin benar. Dia seniman - sensitif, mudah dipengaruhi. Dia
lebih bisa merasakan daripada berpikir logis. Cara seperti itu dalam kehidupan
memang sering membuat semua jadi berantakan, tapi kadang-kadang bisa dibenarkan.
Di mana Sir Charles sekarang?"
Mr. Satterthwaite tersenyum.
"Saya bisa menjawab pertanyaan itu. Dia ada di kantor Wagons-Lits. Dia dan saya
akan kembali ke Inggris malam ini."
"Aha!" Poirot sengaja memberi tekanan khusus pada seruannya. Matanya yang cerah,
cerdas, nakal, dan ingin tahu bertanya. "Alangkah bersemangatnya Sir Charles
kita. Kalau begitu, dia benar-benar mau memainkan peran itu - peran polisi amatir"
Atau ada alasan lain?"
Mr. Satterthwaite tidak menjawab. Tetapi Poirot menarik kesimpulan dari sikap
pria itu. "Hm," katanya. "Mata gadis yang bercahaya itu rupanya. Bukan hanya peristiwa
kriminal ini rupanya yang memanggil dia."
"Gadis itu menyuratinya," kata Mr. Satterthwaite, "meminta dia kembali."
Poirot mengangguk. "Hm, saya tak mengerti sekarang..."
Mr. Satterthwaite menyela,
"Anda tak mengerti gadis Inggris modern" Itu tidak aneh. Saya sendiri tidak
selalu bisa memahami mereka. Gadis seperti Miss Lytton Gore..."
Kali ini Poirot yang menyela,
"Maaf. Anda salah mengerti. Saya bisa memahami Miss Lytton Gore dengan baik.
Saya pernah bertemu yang seperti itu - banyak. Anda menganggapnya bertipe modern,
tapi bagaimana saya mengatakannya" Sudah kuno."
Mr. Satterthwaite agak tersinggung. Ia merasa hanya dirinya yang bisa memahami
Egg. Orang asing gila ini tak tahu apa-apa tentang wanita Inggris.
Poirot masih bicara. Nada suaranya seperti orang melamun.
"Pengetahuan tentang sifat manusia bisa berbahaya."
"Berguna," Mr. Satterthwaite membetulkan.
"Barangkali. Tergantung dari mana sudut pandangnya."
"Hm," kata Mr. Satterthwaite ragu-ragu sambil berdiri. Ia agak kecewa. Ia telah
melempar umpan, tapi ikan itu belum muncul. Ia merasa pengetahuannya akan sifat
manusia keliru. "Selamat berlibur, kalau begitu."
"Terima kasih."
"Kalau Anda ke London kapan-kapan, saya harap Anda bisa singgah di tempat saya."
Ia mengeluarkan kartunya. "Ini alamat saya."
"Anda sangat baik, Mr. Satterthwaite. Saya akan senang."
"Selamat berpisah, kalau begitu."
"Selamat berpisah dan... bon voyage."
Mr. Satterthwaite berjalan pergi. Poirot memandangnya sesaat, lalu menatap lurus
ke depan, ke Laut Tengah yang biru.
Ia duduk begitu kira-kira sepuluh menit.
Anak Inggris itu datang lagi.
"Aku sudah melihat laut, Ma. Apa yang akan kulakukan sekarang?"
"Pertanyaan yang mengagumkan," kata Hercule Poirot.
Ia berdiri dan berjalan pergi perlahan - ke arah kantor Wagons-Lits.
BAB VII Sir CHARLES dan Mr. Satterthwaite duduk di kamar kerja Kolonel Johnson. Kepala
polisi itu seorang laki-laki besar berwajah merah dengan suara keras dan sikap
ramah. Ia menyambut Mr. Satterthwaite dengan gembira dan jelas tampak senang bisa
berkenalan dengan Charles Cartwright yang terkenal.
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Istri saya senang melihat drama. Dia salah seorang - bagaimana orang Amerika
menyebutnya" - fans Anda. Ya, fans. Saya sendiri suka nonton drama. Pertunjukan
yang bagus. Ada juga pertunjukan-pertunjukan panggung yang... huh!"
Sir Charles sadar akan kebenaran kata-kata itu. Ia sendiri tak pernah memainkan
peran yang terlalu berani, tapi hanya mengikuti sikapnya yang luwes dan menarik.
Ketika akhirnya mereka mengatakan tujuan kedatangan mereka, Kolonel Johnson pun
segera menyampaikan apa yang diketahuinya dan menyanggupi untuk membantu
sebisanya. "Kawan Anda, ya" Kasihan... kasihan. Ya, dia memang populer di sini.
Sanatoriumnya sangat dikenal. Kecuali itu, Sir Bartholomew warga masyarakat
terhormat dan ahli top yang sedang ada di puncak karier. Dia baik, murah hati,
populer. Sulit percaya ada orang yang tega membunuhnya. Tapi kelihatannya memang
itulah yang terjadi - pembunuhan. Tak ada petunjuk adanya maksud bunuh diri.
Kecelakaan juga tidak mungkin."
"Satterthwaite dan saya baru saja pulang dari luar negeri," kata Sir Charles.
"Kami hanya membaca secuil berita di sana-sini dari koran."
"Dan tentunya Anda ingin tahu yang sebenarnya. Hm, saya akan menceritakan
kejadian itu secara keseluruhan. Saya kira tak perlu diragukan lagi kepala
pelayan itu harus kita cari. Dia orang baru. Dia bekerja pada Sir Bartholomew
baru dua minggu. Setelah kejadian itu dia hilang - lenyap begitu saja.
Kelihatannya aneh, kan" Eh, apa?"
"Anda tak tahu ke mana dia pergi?"
Wajah Kolonel Johnson yang memang merah itu bertambah merah.
"Anda pasti menganggap itu kelalaian kami. Memang kelihatannya seperti itu.
Orang ini tentunya juga diperiksa, sama seperti yang lain. Dia menjawab
pertanyaan kami dengan memuaskan, memberi nama agen di London yang
menempatkannya. Majikannya yang terakhir Sir Horace Bird. Sangat sopan dan tidak
gugup. Kemudian dia pergi, dan kami memeriksa rumah itu. Orang-orang saya sudah
mencari di semua sudut, tapi mereka tak menemukannya."
"Luar biasa," kata Satterthwaite.
"Tapi lucu juga," kata Sir Charles sambil berpikir-pikir. "Rasanya yang dia
lakukan itu sangat tolol. Sebetulnya dia kan tidak dicurigai. Tapi dengan
menghilang, orang malah curiga padanya."
"Benar. Dan tak ada harapan untuk lari. Deskripsi orang itu telah diedarkan.
Kita tunggu waktunya saja."
"Aneh," kata Sir Charles. "Saya tidak mengerti."
"Oh, sebabnya sudah jelas. Dia takut. Tiba-tiba bingung."
"Biasanya orang yang berani membunuh juga punya kemampuan duduk tenang
sesudahnya." "Tergantung, tergantung. Saya tahu para kriminal. Banyak yang kecil nyalinya.
Dia pikir dia dicurigai, lalu lari."
"Apa Anda sudah mengecek cerita tentang dirinya?"
"Tentu saja, Sir Charles. Itu memang pekerjaan rutin. Agen London itu
membenarkannya. Dia punya referensi tertulis dari Sir Horace Bird yang
memberinya rekomendasi bagus. Sir Horace sendiri sekarang di Afrika Barat."
"Jadi, referensi itu mungkin palsu?"
"Benar," kata Kolonel Johnson dengan senang pada Sir Charles, seperti kepala
sekolah memberi selamat pada muridnya yang pandai. "Tentu saja kami telah
mengirim telegram pada Sir Horace, tapi mungkin perlu sedikit waktu untuk
mendapat jawaban. Dia sedang bersafari."
"Kapan orang itu menghilang?"
"Pagi hari setelah kematian. Ada seorang dokter yang hadir dalam pesta itu - Sir
Jocelyn Cambell - saya dengar dia ahli racun. Dia dan Davis - ahli di daerah ini -
memang memastikan kasus itu, dan kami segera diberitahu. Malam itu kami
mewawancarai setiap orang. Dan Ellis - nama kepala pelayan itu - masuk ke kamarnya
malam itu. Paginya dia tak ada lagi. Tempat tidurnya belum dipakai."
"Dia menyelinap pergi malam itu?"
"Kelihatannya begitu. Salah seorang tamu yang tinggal di situ - Miss Sutcliffe,
aktris itu - Anda tahu dia barangkali?"
"Tentu saja." "Miss Sutcliffe memberitahu kami. Dia bilang orang itu keluar lewat jalan
rahasia." Ia bersin sebentar. "Kedengarannya seperti cerita Edgar Wallace, tapi
rupanya memang ada lorong rahasia. Sir Bartholomew bangga dengan lorong itu. Dia
menunjukkannya pada Miss Sutcliffe. Ujung lorong itu tembus di sebuah rumah
rusak yang jaraknya kira-kira setengah mil."
"Itu merupakan kemungkinan," Sir Charles setuju. "Tapi, apakah kepala pelayan
itu tahu?" "Ya, itulah persoalannya. Istri saya selalu bilang, pelayan biasanya tahu
segalanya. Kelihatannya dia benar."
"Saya dengar racunnya adalah nikotin," kata Mr. Satterthwaite.
"Benar. Tidak biasa, jarang sekali terjadi. Saya dengar, pada perokok berat
seperti dokter itu, memang bisa timbul komplikasi berbahaya. Maksud saya, dokter
itu mungkin saja meninggal karena keracunan nikotin, tapi kematiannya wajar.
Tapi kejadiannya begitu mendadak."
"Bagaimana peracunan itu dilakukan?"
"Kami tidak tahu," kata Kolonel Johnson. "Itulah hal paling lemah dalam kasus
ini. Menurut bukti-bukti medis, racun itu pasti ditelan beberapa menit sebelum
dokter itu meninggal."
"Saya dengar mereka minum anggur?"
"Ya, betul. Kelihatannya racun itu ada di dalam anggur. Tapi ternyata tidak.
Kami menganalisis gelasnya. Isinya hanya anggur. Gelas-gelas anggur lainnya
tentu juga diperiksa. Tapi semua ada di sebuah nampan di dapur, belum dicuci,
dan tak sebuah pun berisi sesuatu yang mencurigakan. Apa yang dia makan juga
sama dengan yang dimakan para tamu. Sup, ikan bakar, kentang, cokelat souffl?,
telur ikan. Kokinya sudah bekerja selama lima belas tahun padanya. Kelihatannya
tak mungkin dia meminum racun itu, tapi barang itu ada di dalam perutnya.
Sulit." Sir Charles berpaling pada Mr. Satterthwaite.
"Hal yang sama," katanya penuh semangat, "sama seperti yang itu."
Ia berpaling lagi pada kepala polisi itu.
"Saya harus cerita. Pernah terjadi kematian di rumah saya di Cornwall..."
Kolonel Johnson kelihatan tertarik.
"Saya kira saya pernah mendengar cerita itu. Dari seorang gadis - Miss Lytton
Gore." "Ya, waktu itu dia hadir di sana. Dia bercerita pada Anda?"
"Ya. Dia yakin pada teorinya. Tapi, Sir Charles, saya tak percaya pada teori
itu. Karena tidak menjelaskan kepergian pelayan itu. Apa pelayan Anda juga
menghilang?" "Oh, tidak. Dia pelayan wanita."
"Bagaimana kalau dia laki-laki yang menyamar?"
Sir Charles tersenyum ketika membayangkan Temple yang rapi dan feminin itu.
Kolonel Johnson juga tersenyum minta maaf.
"Hanya gagasan ngawur saja," katanya. "Itu karena saya tak bisa yakin dengan
teori Miss Lytton Gore. Saya dengar yang meninggal itu pendeta tua. Siapa yang
ingin membunuh pendeta seperti itu?"
"Justru itulah yang membuat bingung," kata Sir Charles.
"Saya kira ini cuma kebetulan. Tapi kepala pelayan yang menghilang itu harus
dicurigai. Bisa jadi dia memang pembunuh. Sayang kami tak bisa menemukan sidik
jarinya. Ada ahli sidik jari yang melihat-lihat kamar dan dapurnya, tapi tak
bisa menemukannya." "Kalau pembunuh itu benar si pelayan, motif apa yang mendorongnya berbuat
begitu?" "Itulah salah satu kesulitan kami," kata Kolonel Johnson. "Orang itu barangkali
ada di sini dengan maksud mencuri, dan Sir Bartholomew mungkin menangkap basah."
Baik Sir Charles maupun Mr. Satterthwaite dengan sopan tidak berkomentar.
Kolonel Johnson sendiri kemudian merasa alasan yang dikemukakannya tidak kuat.
"Kenyataannya, kita hanya bisa berteori. Kalau kita sudah bisa menangkap John
Ellis dan tahu siapa dia sebenarnya serta apakah dia pernah dipenjara
sebelumnya, barangkali motifnya akan menjadi jelas."
"Tentunya Anda telah memeriksa surat-surat dan dokumen-dokumen Sir Bartholomew,
ya?" "Tentu saja, Sir Charles. Kami telah memberi perhatian penuh pada sisi itu dalam
kasus ini. Saya harus mengenalkan Anda pada Inspektur Crossfield yang menangani
kasus ini. Dia bisa dipercaya. Saya menunjukkan padanya, dan dia langsung
setuju, bahwa profesi Sir Bartholomew barangkali ada hubungannya dengan kematian
itu. Seorang dokter tahu banyak rahasia profesional. Dokumen-dokumen Sir
Bartholomew ternyata disimpan rapi. Miss Lyndon, sekretarisnya, bersama-sama
Crossfield memeriksa dokumen-dokumen itu."
"Dan tak ada apa-apa?"
"Tak ada yang mencurigakan, Sir Charles."
"Apa ada barang yang hilang dari rumah - perhiasan, perak - barang-barang seperti
itu?" "Tidak, sama sekali tidak."
"Siapa-siapa saja yang tinggal di rumah itu?"
"Saya punya daftar... eh, mana, ya" Ah, saya rasa ada di Crossfield. Anda harus
bertemu dengan Crossfield. Sebenarnya sekarang ini saya sedang menunggu-nunggu
dia untuk melapor..." Terdengar suara bel. "Ah, itu dia barangkali."
Inspektur Crossfield berbadan besar dan tegap. Bicaranya pelan, tapi matanya
yang biru kelihatan tajam.
Ia memberi hormat pada atasannya, lalu diperkenalkan pada kedua tamu itu.
Seandainya Mr. Satterthwaite datang sendiri, barangkali ia akan kesulitan
menghadapi Crossfield. Ia tidak terlalu acuh pada seorang tamu dari London yang
datang sebagai amatir yang punya "ide". Tapi Sir Charles lain. Inspektur
Crossfield mempunyai rasa hormat yang kekanak-kanakan pada daya tarik panggung.
Ia pernah melihat Sir Charles dalam dua pertunjukan. Tapi sekarang ia berhadapan
langsung dengan pemain pujaannya - dan itu membuatnya ramah dan terbuka.
"Saya pernah melihat Anda di London, sungguh, dengan istri saya. Kami nonton
Lord Aintree's Dilemma - itu dramanya. Orang penuh sesak, dan kami dapat tempat di
bawah. Sebelumnya kami harus antre dua jam. Tapi istri saya bersikeras. Dia
bilang, 'Aku harus melihat Sir Charles Cartwright dalam Lord Aintree's Dilemma.'
Waktu itu di Pall Mall Theatre."
"Ah," kata Sir Charles, "saya sudah pensiun dari panggung sekarang. Saya bekerja
terlalu keras dan akhirnya sakit dua tahun yang lalu. Tapi orang-orang Pall Mall
masih ingat nama saya." Ia mengeluarkan sebuah kartu dan menulis beberapa kata
di atasnya. "Ini bisa Anda berikan pada orang di loket, kalau Anda dan istri
Anda ke kota. Mereka akan memberikan dua tempat duduk terbaik."
"Oh, terima kasih sekali, Sir Charles. Anda begitu baik. Terima kasih."
Setelah itu, Inspektur Crossfield seperti sebuah lilin di tangan sang aktor.
"Kasus ini aneh. Belum pernah saya menangani keracunan nikotin. Juga Dokter
Davis." "Saya selalu berpikir ini akibat penyakit yang disebabkan karena terlalu banyak
merokok." "Terus terang, saya juga berpikir begitu. Tapi dokter bilang alkaloid murni
merupakan cairan tak berbau dan beberapa tetes saja bisa membunuh orang."
Sir Charles bersiul. "Barang poten."
"Benar. Padahal barang itu dipakai sehari-hari. Misalnya untuk pencampur obat
penyemprot mawar. Dan tentu saja bisa disaring dari tembakau biasa."
"Mawar," kata Sir Charles. "Hm, di mana saya dengar..."
Ia mengernyitkan dahi, lalu menggelengkan kepala.
"Ada yang baru yang perlu dilaporkan, Crossfield?" tanya Kolonel Johnson.
"Tak ada yang pasti, Sir. Ada laporan bahwa buron kita, Ellis, terlihat di
Durham, Ipswich, Balham, Land's End, dan beberapa tempat lainnya. Tapi semua itu
harus disaring." Ia kembali menghadap ke kedua tamunya. "Pada waktu deskripsi
seorang buron diumumkan, orang itu seolah-olah kelihatan di semua tempat di
Inggris." "Bagaimana deskripsinya?" tanya Sir Charles.
Johnson mengambil selembar kertas.
"John Ellis, tinggi sedang, agak bungkuk, rambut abu-abu, cambang kecil, mata
hitam, suara serak, gigi atas patah dan kelihatan bila dia tersenyum, tak ada
tanda-tanda atau karakteristik khusus."
"Hm," kata Sir Charles. "Sangat biasa, kecuali cambang dan giginya. Cambang itu
pasti sudah hilang sekarang, dan sulit menyuruhnya tersenyum."
"Persoalannya," kata Crossfield, "tak seorang pun memperhatikan sesuatu.
Kesulitan saya adalah bagaimana cara mendapat deskripsi yang amat samar dari
pembantu-pembantu. Selalu begitu. Saya punya deskripsi tentang satu orang yang
sama, dan orang menyebutnya tinggi, kurus, pendek, gemuk, sedang, tegap,
ramping. Tak seorang pun dalam umur lima puluhan menggunakan matanya sebaik-
baiknya." "Anda yakin benar, Inspektur, Ellis-lah pelakunya?"
"Kalau tidak, kenapa dia lari" Tak ada penjelasan lain rasanya."
"Memang sulit," kata Sir Charles sambil berpikir.
Mr. Satterthwaite mengulangi pertanyaan tentang dokumen Bartholomew Strange yang
telah ditanyakan Sir Charles.
"Tak ada apa-apa, Sir. Semua kelihatannya bersih dan tak perlu dicurigai."
"Ya, betul," kata Johnson. "Saya sendiri juga memeriksanya. Tapi tak ada apa-
apa." "Rasanya saya pernah melihat sekretaris Tollie," kata Sir Charles. "Gadis itu
biasa, tapi sangat efisien."
"Betul. Seorang gadis yang baik dan sangat efisien. O ya, kami juga memeriksa
agenda Sir Bartholomew. Sebetulnya catatan biasa. Saya simpan di sini."
"Oh." Sir Charles mengulurkan tangannya dengan cepat.
Inspektur itu memberinya sebuah buku hijau kecil yang agak kumal.
Mr. Satterthwaite mengintip dari balik bahu Sir Charles ketika pria itu membuka-
buka halaman buku tersebut.
Tulisannya dengan pensil, seperti ini:
Sale Mr. Lathom. Anggur bagus. Harus pergi.
Beritahu L supaya beli alas meja.
Rasanya semua bersih. Istirahat segera.
Catatan - pecat si tukang kebun bodoh. Kenapa dia tidak menanam tulip rapat-rapat"
Tulisan terakhir bertanggal sehari sebelum ia meninggal. Begini bunyinya:
Aku khawatir tentang M - ada yang tidak beres.
Beritahu L per sofa lepas.
"L ialah Miss Lyndon," kata Inspektur.
"Dan M?" "Kami tidak tahu. Barangkali salah seorang pasiennya."
Sir Charles kemudian minta daftar orang-orang yang ada di tempat pesta malam
itu. Daftarnya seperti berikut:
Martha Leckie, juru masak.
Beatrice Church, pelayan utama.
Doris Cocker, pelayan biasa.
Victoria Ball, pelayan kamar.
Violet Bassington, pelayan dapur.
Semuanya sudah lama bekerja pada almarhum dan mempunyai karakter-karakter yang
baik. Mrs. Leckie sudah bekerja lima belas tahun.
Gladys Lyndon, sekretarisnya yang berumur 33, telah bekerja selama tiga tahun
pada Sir Bartholomew Strange. Ia tak bisa memberikan informasi tentang motif
pembunuhan itu. Tamu: Lord dan Lady Eden, Cadogan Square, London.
Sir Jocelyn dan Lady Cambell, Harley Street, London.
Miss Angela Sutcliffe, Cantrell Mansions, London, S. W. 3.
Kapten dan Mrs. Dacres, St. John's House, London, W. 1. Mrs. Dacres mempunyai
usaha di Ambrosine, Ltd., Bruton Street, London.
Lady Mary dan Miss Hermione Lytton Gore.
Rose Cottage, Loomouth. Miss Muriel Wills, Upper Cathcart Road, Tooting.
Mr. Oliver Manders, Messrs. Speir & Ross, Old Broad Street, E. C.
"Hm," kata Sir Charles. "Yang ada di Tooting ini tidak masuk koran. Si Manders
ada di sini juga." "Itu karena kebetulan saja," kata Inspektur Crossfield. "Sepeda motor pemuda ini
menabrak sebuah dinding dekat rumah itu. Dan Sir Bartholomew yang kenal dia
memintanya tinggal malam itu."
"Ah. Sembrono amat," kata Sir Charles ringan.
"Memang begitu kejadiannya," kata Inspektur. "Dia pasti minum terlalu banyak - itu
membuatnya menabrak dinding. Saya tidak tahu, apa dia sadar waktu itu."
"Terlalu banyak alkohol, kelihatannya," kata Sir Charles.
"Ya, saya pikir juga alkohol."
"Hm, terima kasih, Inspektur. Apa kami bisa melihat-lihat rumah itu, Kolonel
Johnson?"
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja. Tapi rasanya takkan banyak yang dapat Anda pelajari lagi."
"Ada orang di sana?"
"Hanya para pelayan. Tamu-tamu pulang segera setelah pemeriksaan, dan Miss
Lyndon telah kembali ke Harley Street."
"Kami boleh juga bertemu Dr. Davis?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Bagus." Mereka memperoleh alamat dokter itu, dan setelah mengucapkan terima kasih pada
Kolonel Johnson, mereka pergi.
BAB VIII KETIKA mereka sedang di jalan, Sir Charles berkata, "Apa pendapatmu,
Satterthwaite?" "Bagaimana dengan kau sendiri?" tanya Mr. Satterthwaite. Ia senang menyimpan
pendapatnya sampai saat terakhir.
Tapi Sir Charles tidak begitu. Ia berkata dengan simpati,
"Mereka keliru, Satterthwaite. Mereka cuma memikirkan pelayan itu. Pelayan itu
berbuat sesuatu - ergo, pelayan itu adalah pembunuh. Tidak cocok. Tidak cocok.
Kita tak bisa mengesampingkan kematian satunya - yang terjadi di rumahku."
"Kau masih menganggap keduanya berhubungan?"
Mr. Satterthwaite menanyakan hal itu, walaupun jawabannya telah ada dalam
hatinya. "Ah, jelas ada hubungannya. Semua menunjuk ke arah itu. Kita harus menemukan
faktor yang sama - orang yang berada di kedua pesta itu."
"Ya," kata Mr. Satterthwaite. "Dan itu bukan hal sederhana seperti yang
diperkirakan orang. Ada cukup banyak faktor yang sama. Hampir semua orang yang
datang ke pestamu ada di tempat ini."
Sir Charles mengangguk. "Tentu saja aku tahu itu. Tapi kau tahu deduksi apa yang bisa diambil dari hal
itu?" "Aku kurang mengerti, Cartwright."
"Ah, kan jelas sekali. Kauanggap itu kebetulan" Tidak. Memang disengaja. Kenapa
semua orang yang ada di kematian pertama ada pula di kematian kedua" Kebetulan"
Pasti tidak. Itu direncanakan - rencana Tollie."
"Oh!" kata Mr. Satterthwaite. "Ya, bisa jadi."
"Itu pasti. Kau tidak mengenal Tollie sebaik aku, Satterthwaite. Dia suka
merahasiakan rencananya dan juga amat sabar. Selama aku mengenalnya, dia tak
pernah memberikan pendapat serampangan.
"Babbington dibunuh seseorang - ya, dibunuh, aku tak mau memperluas istilah - dia
dibunuh di rumahku pada suatu malam. Tollie mengejekku, karena aku curiga. Tapi
sebetulnya dia sendiri juga curiga. Dia tak mengatakan hal itu, itu bukan
caranya. Tapi diam-diam dia membentuk sebuah kasus. Aku tak tahu kasus apa itu.
Tapi kurasa bukanlah kasus yang ditujukan pada satu orang saja. Dia yakin salah
satu dari orang-orang itu bertanggung jawab atas tindak kriminal itu, dan dia
membuat rencana. Boleh dikatakan suatu tes, untuk mengetahui siapa orangnya."
"Bagaimana dengan tamu-tamu lain" Suami-istri Eden atau Cambell?"
"Kamuflase. Itu membuat tujuan sebenarnya jadi tersamar."
"Dan apa kira-kira rencana itu?"
Sir Charles mengangkat bahu - isyarat asing yang dibesar-besarkan. Ia menjadi
Aristide Duval, otak agen rahasia itu. Kaki kirinya tiba-tiba timpang.
"Bagaimana aku tahu" Aku bukan tukang sulap. Aku tak bisa menebak. Tapi jelas
ada rencana. Rencana itu tidak jalan karena si pembunuh satu tingkat lebih
pandai dari yang diperkirakan Tollie. Dia memukul lebih dulu."
"Laki-laki?" "Bisa juga wanita. Yang lebih suka memakai senjata racun biasanya wanita."
Mr. Satterthwaite diam. Sir Charles berkata,
"Ayolah, kau tak setuju" Atau kau lebih setuju dengan opini publik. 'Pelayan itu
orangnya. Dia yang membunuh.'"
"Apa penjelasanmu tentang pelayan itu?"
"Aku belum berpikir. Kurasa dia tak berarti. Aku bisa membuat cerita tentang
dia." "Misalnya?" "Seandainya polisi memang benar; Ellis seorang kriminal profesional, bekerja
sama dengan - misalnya saja - komplotan perampok. Ellis mendapat posisi itu dengan
surat-surat keterangan palsu. Lalu Tollie dibunuh. Bagaimana posisi Ellis"
Seseorang dibunuh, dan di rumah itu ada orang yang sidik jarinya disimpan
Scotland Yard dan dikenal mereka. Tentu saja dia takut dan lari."
"Tapi lorong rahasia itu?"
"Peduli amat dengan lorong rahasia. Dia kabur dari rumah itu ketika salah
seorang polisi penjaga itu ngantuk."
"Itu memang lebih bisa diterima."
"Jadi, apa pendapatmu?"
"Pendapatku?" kata Mr. Satterthwaite. "Oh, sama dengan pendapatmu. Sejak awal
sudah sama. Menurut pendapatku, pelayan itu hanya kambing hitam untuk
mengalihkan perhatian. Aku yakin Sir Bartholomew dan Babbington yang malang itu
dibunuh orang yang sama."
"Salah seorang tamu?"
"Salah seorang tamu."
Mereka diam sejenak. Lalu Mr. Satterthwaite bertanya sambil lalu,
"Yang mana menurut pendapatmu?"
"Ya Tuhan. Bagaimana aku tahu?"
"Tentu saja engkau tidak tahu," kata Mr. Satterthwaite pelan. "Kupikir kau punya
ide - tak perlu yang muluk-muluk atau ilmiah. Sekadar tebakan."
"Wah, aku tak tahu." Ia diam sebentar, lalu berkata, "Kalau kita pikir-pikir,
rasanya tak mungkin salah seorang dari mereka yang melakukannya."
"Kurasa teorimu benar," kata Mr. Satterthwaite. "Maksudku, tentang orang-orang
yang tak punya faktor sama. Kau, aku, dan Mrs. Babbington, misalnya. Juga si
Manders. Dia tak perlu diperhitungkan."
"Manders?" "Ya. Kedatangannya ke situ kan kebetulan saja. Dia tidak diminta atau diundang
ke situ. Jadi, dia bebas dari kecurigaan."
"Juga penulis naskah drama itu - Anthony Astor."
"Tidak. Dia juga datang. Miss Muriel Wills dari Tooting."
"Oh, dia. Aku lupa nama aslinya Wills."
Ia mengernyitkan dahi. Mr. Satterthwaite memang pandai membaca pikiran orang. Ia
memperkirakan dengan cukup tepat apa yang melintas di benak sang aktor. Ketika
temannya bicara, Mr. Satterthwaite diam-diam memuji dirinya sendiri.
"Kau benar, Satterthwaite. Kurasa yang diundangnya bukan hanya orang-orang yang
dicurigai, sebab Lady Mary dan Egg kan juga di sana. Kurasa dia ingin membuat
reproduksi kasus yang pertama. Dia mencurigai seseorang, tapi juga memerlukan
saksi-saksi untuk meyakinkan hal itu. Begitulah kira-kira."
"Ya. Begitu kira-kira," kata Tuan Satterthwaite setuju. "Pada saat ini, orang
baru bisa melihat patokan-patokan umum saja. Baiklah. Keluarga Lytton Gore
keluar dari grup itu; juga kau, aku, Mrs. Babbington, serta Oliver Manders.
Tinggal siapa" Angela Sutcliffe?"
"Angie" Ya Tuhan. Dia kawan lama Tollie."
"Kalau begitu, suami-istri Dacres. Sebenarnya kau kan curiga pada mereka. Terus
terang sajalah." Sir Charles memandangnya. Mr. Satterthwaite kelihatan seperti orang yang menang
bertaruh. "Aku memang mencurigai mereka," kata Sir Charles pelan-pelan, "karena mereka
lebih masuk akal daripada yang lain. Sebenarnya aku tidak terlalu kenal mereka.
Tapi rasanya aku juga tak bisa mengerti kenapa Freddie Dacres yang dedengkot
taruhan pacuan kuda itu, atau Cynthia, yang terkenal dengan desain baju-baju
mahalnya ingin membunuh seorang pendeta tua yang tak berdosa."
Ia menggelengkan kepala, kemudian wajahnya berubah cerah.
"Oh ya, si Wills. Aku hampir lupa. Apa sih yang membuat orang cenderung
melupakannya" Dia memang orang yang paling sulit dijelaskan."
Mr. Satterthwaite tersenyum.
"Kupikir dia seperti yang dikatakan Burns, 'Seorang anak di antaramu menulis.'
Kurasa Miss Wills seperti itu. Dia orang yang sibuk mencatat. Ada mata tajam di
balik kacamatanya. Kurasa hal-hal yang perlu diketahui dalam urusan ini telah
diketahui Miss Wills."
"Benarkah?" kata Sir Charles ragu-ragu.
"Pokoknya sekarang kita makan siang. Setelah itu, kita ke sana untuk melihat-
lihat atau mencari sesuatu di situ."
"Kau kelihatannya senang dengan urusan ini, Satterthwaite," kata Sir Charles
sambil mengedipkan matanya.
"Penyelidikan kasus kejahatan bukan barang baru bagiku," kata Mr. Satterthwaite.
"Suatu kali, ketika mobilku rusak dan aku terpaksa menginap di penginapan
terpencil..." Ia tak melanjutkan ceritanya.
"Aku ingat," kata Sir Charles dengan suara tinggi dan jelas, membawakan suara
seorang aktor, "ketika aku keliling pada tahun 1921..."
Sir Charles menang. BAB IX TAK ada yang lebih tenang dan damai dari halaman dan gedung Melfort Abbey
seperti terlihat oleh kedua laki-laki itu pada suatu sore di bulan September
yang cerah. Sebagian dari biara itu merupakan bangunan abad kelima belas. Bangunan itu
dipugar dan ditambah dengan satu sayap baru. Sanatorium yang baru tidak
kelihatan dari rumah itu, karena punya halaman sendiri.
Sir Charles dan Mr. Satterthwaite diterima oleh Mrs. Leckie, juru masak yang
berbaju hitam dan menangis tersedu-sedu. Ia sudah kenal Sir Charles, dan
kepadanyalah sebagian besar ceritanya ditujukan.
"Anda pasti tahu apa artinya bagi saya, Sir. Kematian Dokter. Polisi di mana-
mana, menyelinap di sana-sini. Mereka juga memeriksa tempat-tempat sampah. Dan
pertanyaan-pertanyaan - mereka tak berhenti bertanya-tanya. Oh, saya tak tahan
lagi rasanya. Tuan Dokter - beliau pendiam dan tenang seperti biasa. Beatrice dan
saya pasti ingat benar, walau saya dua tahun lebih dulu bekerja di sini
dibandingkan dia. Dan polisi itu - dia begitu ribut dan kasar. Saya tak tahu apa
dia inspektur polisi atau bukan."
Mrs. Leckie diam, menarik napas, dan melepaskan diri dari pembicaraan konyol
itu. "Pertanyaan tentang para pelayan yang ada di rumah ini - padahal mereka semua
baik-baik, walaupun Doris suka bandel dan saya harus mengingatkannya paling
tidak sekali seminggu; dan Vickie yang suka tidak sopan - tapi anak-anak muda itu
memang begitu. Apa yang bisa diharapkan dari mereka" Ibu mereka tidak memberikan
pendidikan cukup. Tapi mereka gadis baik-baik, dan tak seorang polisi pun bisa
membuat saya mengatakan yang sebaliknya. 'Ya,' kata saya padanya, 'jangan dikira
saya mau mengatakan hal yang memberatkan gadis-gadis itu. Mereka gadis baik-
baik, dan kalau Anda mencurigai mereka melakukan pembunuhan, itu jahat
namanya.'" Mrs. Leckie diam. "Mr. Ellis itu lain. Saya tak tahu apa-apa tentang dia dan tak bisa menjawab
pertanyaan tentang dia. Dia datang dari London dan masih asing di tempat ini.
Dia datang ketika Mr. Baker berlibur."
"Baker?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Mr. Baker dulu kepala pelayan Sir Bartholomew. Dia sudah tujuh tahun bekerja di
sini. Dia sering ada di London, di Harley Street. Anda ingat dia?" tanyanya pada
Sir Charles yang kemudian mengangguk. "Sir Bartholomew biasa membawanya ke sini
kalau ada pesta. Tapi dia sakit-sakitan belakangan ini. Jadi, Sir Bartholomew
memberinya libur, membayari liburannya di suatu tempat dekat Brighton. Dokter
sungguh baik hati. Dan beliau untuk sementara menyewa tenaga Mr. Ellis. Jadi,
saya tak bisa cerita apa-apa, walaupun seperti ceritanya, Mr. Ellis selalu
bekerja pada keluarga baik-baik. Dia sendiri juga kelihatan berpendidikan."
"Tak ada yang aneh tentang dia?" tanya Sir Charles berharap.
"Ah, aneh rasanya yang Anda katakan tadi, sebab saya merasa ya dan tidak."
Sir Charles memberi semangat dan Mrs. Leckie melanjutkan,
"Saya tak tahu persis apa itu, tapi ada sesuatu..."
"Biasanya begitu setelah ada kejadian," pikir Mr. Satterthwaite. Walaupun tak
suka polisi, Mrs. Leckie tidak menolak ide-ide. Kalau Ellis ternyata kriminal,
Mrs. Leckie pasti telah melihat sesuatu.
"Pertama-tama, dia suka menyendiri, tidak terbuka. Oh, sangat sopan - amat sangat
sopan - karena dia sudah biasa dengan keluarga-keluarga baik-baik. Tapi dia selalu
menyendiri, lebih banyak tinggal di kamarnya. Tapi dia... ah, saya tak tahu
bagaimana mengatakannya, saya yakin... dia... dia, ada sesuatu..."
"Anda tak curiga dia bukan kepala pelayan betulan?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Oh, dia kelihatan berpengalaman, Sir. Dia banyak tahu - juga tentang orang-orang
terkenal di masyarakat."
"Misalnya?" tanya Sir Charles halus.
Tapi Mrs. Leckie jadi lupa dan bingung. Ia tak akan bergosip tentang soal-soal
pelayan, tidak baik. Supaya Mrs. Leckie tidak kagok, Mr. Satterthwaite berkata,
"Barangkali Anda bisa menjelaskan seperti apa dia."
Wajah Mrs. Leckie menjadi cerah.
"Ya, tentu, Sir. Dia kelihatan terhormat - bercambang, agak bungkuk, rambut abu-
abu. Dia juga mulai gemuk - itu yang membuatnya khawatir. Tangannya juga agak
gemetar, tapi bukan karena hal yang Anda bayangkan. Dia tidak suka minum - tidak
seperti kebanyakan orang yang saya tahu. Matanya sedikit lemah, saya rasa. Sinar
terang membuat matanya sakit, mengeluarkan air. Kalau keluar dengan kami, dia
memakai kacamata, tapi kalau sedang bertugas, tidak."
"Tak ada tanda-tanda khas?" tanya Sir Charles. "Bekas luka" Jari yang putus"
Atau tanda-tanda bawaan?"
"Oh, tidak, Sir, tak ada."
"Hm, cerita-cerita detektif itu begitu luar biasa," kata Sir Charles, menarik
napas. "Dalam fiksi selalu ada ciri-ciri yang menonjol."
"Ada giginya yang hilang," kata Mr. Satterthwaite.
"Saya rasa begitu. Tapi saya tak pernah melihatnya."
"Bagaimana sikapnya pada malam itu?" tanya Mr. Satterthwaite dengan agak kaku.
"Wah, saya tidak bisa cerita, Sir. Saya sibuk di dapur waktu itu. Saya tak punya
waktu untuk memperhatikan macam-macam hal."
"Ya, ya, tentu saja."
"Ketika mendengar Tuan meninggal, kami kaget sekali dan menangis. Saya menangis
tak berhenti. Juga Beatrice. Para pelayan yang masih muda, walaupun merasa seru,
juga bingung. Tentu saja Mr. Ellis yang masih baru itu tidak bingung seperti
kami. Tapi dia sangat baik. Dia menyuruh saya dan Beatrice minum anggur untuk
mengurangi kekagetan kami. Tak tahunya dia sendirilah yang ternyata buronan
itu..." Mrs. Leckie tak kuasa meneruskan kata-katanya. Matanya bersinar marah.
"Dia menghilang malam itu juga, saya dengar."
"Ya, Sir. Dia masuk kamarnya seperti kami semua, dan pagi harinya dia sudah tak
ada. Itulah sebabnya polisi memburunya."
"Ya, ya, memang tolol. Anda tahu kira-kira bagaimana dia meninggalkan rumah?"
"Sama sekali tidak. Rasanya polisi mengawasi rumah ini sepanjang malam dan
mereka tidak melihatnya pergi - tapi namanya juga orang. Biarpun polisi, ya sama
saja, walaupun tampangnya seram."
"Saya dengar ada lorong rahasia," kata Sir Charles.
Mrs. Leckie mendengus. "Itu yang dikatakan polisi."
"Apa memang ada?"
"Saya memang pernah dengar," kata Mrs. Leckie hati-hati.
"Anda tahu dari mana awalnya?"
"Tidak tahu, Sir. Lorong rahasia sendiri tidak apa-apa, tapi bukan hal yang baik
untuk dibicarakan di antara pelayan. Mereka akan berpikir untuk menyelinap
keluar lewat jalan itu. Gadis-gadis pelayan keluar-masuk lewat pintu belakang."
"Bagus, Mrs. Leckie. Saya rasa Anda bijaksana."
Wajah Mrs. Leckie cerah mendengar pujian Sir Charles.
"Apa kami bisa bertanya-tanya pada pembantu-pembantu lainnya?"
"Tentu saja, Sir. Tapi mereka tak bisa cerita lebih banyak daripada saya."
"Oh, saya tahu. Maksud saya, kami tak ingin tanya-tanya tentang Ellis. Lebih
penting tentang Sir Bartholomew sendiri - sikapnya malam itu, dan sebagainya. Anda
tahu, kan dia teman saya."
"Ya, saya tahu. Saya mengerti, Sir. Ada Beatrice dan Doris. Dia melayani di meja
makan." "Ya, saya ingin bicara dengan Doris."
Tapi Mrs. Leckie mengutamakan senioritas. Yang muncul pertama adalah Beatrice
Church, pelayan rumah yang lebih senior.
Ia seorang wanita tinggi kurus dengan mulut menciut, serta kelihatannya agresif
dan terhormat. Setelah menanyakan beberapa hal yang tak penting, Sir Charles menanyakan sikap
para tamu pada malam naas itu. Apa mereka sangat bingung dan sedih" Apa yang
mereka katakan atau lakukan"
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beatrice jadi bersemangat. Ia senang menceritakan tragedi itu.
"Miss Sutcliffe sangat terpukul. Dia wanita yang hangat. Pernah menginap di sini
sebelumnya. Saya menanyakan apa dia mau minum sedikit brendi atau secangkir teh,
tapi dia tak mau. Dia minum aspirin. Katanya dia yakin takkan bisa tidur. Tapi
esok paginya, ketika saya mengantarkan sarapannya, dia tidur seperti anak
kecil." "Dan Mrs. Dacres?"
"Saya rasa tak ada hal yang bisa membuatnya bingung."
Dari nada suaranya, sepertinya Beatrice tak suka pada Cynthia Dacres.
"Dia cuma ingin segera pergi. Katanya usahanya bisa berantakan. Kata Mr. Ellis,
dia pembuat baju terkenal di London."
Bagi Beatrice, pembuat baju berarti "dagang", dan ia menganggap rendah hal itu.
"Dan suaminya?"
Beatrice mendengus. "Menenangkan dirinya dengan brendi. Atau barangkali justru tidak menenangkan."
"Bagaimana dengan Lady Mary Lytton Gore?"
"Sangat baik," suaranya melembut. "Nenek saya pernah bekerja pada ayahnya di
istana. Kata orang, semasa mudanya dia cantik. Walaupun tidak kaya, dia
kelihatan terhormat, dia sangat baik. Tak pernah membuat susah dan bicaranya
selalu manis. Putrinya juga baik. Mereka tidak terlalu kenal Mr. Bartholomew,
tapi mereka sedih dengan kejadian itu."
"Miss Wills?" Beatrice menjadi kaku lagi.
"Rasanya saya tak bisa mengatakan bagaimana perasaan Miss Wills tentang kejadian
itu." "Bagaimana pendapat Anda tentang dia?" tanya Sir Charles. "Ayolah, Beatrice.
Masa Anda tak bisa cerita. Biasa sajalah."
Tanpa diduga, senyum merekah di wajah Beatrice. Sikap Sir Charles yang kekanak-
kanakan itu terasa lucu. Beatrice pun tidak kebal terhadap daya tarik yang
dirasakan penonton penggemar Sir Charles setiap malam.
"Saya tak tahu apa yang Anda ingin saya katakan."
"Bagaimana pendapat dan perasaan Anda tentang Miss Wills?"
"Tak ada... tak ada, Sir. Tentu saja dia tidak..."
Beatrice ragu-ragu. "Teruskan, Beatrice."
"Hm, dia memang tidak sekelas dengan yang lain, Sir. Saya tahu dia memang begitu
- dari sananya," kata Beatrice dengan sopan. "Tapi dia melakukan hal-hal yang
tidak seharusnya dilakukan wanita-wanita terhormat. Dia mengintip, ingin tahu,
dan suka ikut campur."
Sir Charles berusaha keras mendapat penjelasan atas pernyataan itu, tapi
Beatrice tetap bicara samar-samar. Miss Wills suka mengintip, mengintai. Tapi
ketika disuruh memberi contoh, ia tak bisa. Ia hanya mengulang-ulang, mengatakan
Miss Wills mengintip dan menyelidiki hal-hal yang bukan urusannya.
Akhirnya mereka menyerah dan Mr. Satterthwaite berkata,
"Mr. Manders katanya tiba-tiba datang?"
"Ya, benar. Dia mengalami kecelakaan dengan sepeda motornya - dekat pintu gerbang
luar sana. Dia bilang beruntung karena terjadinya di sini. Kamar-kamar memang
sudah penuh semua, tapi Miss Lyndon menyediakan tempat tidur di ruang kerja."
"Apa orang-orang lain heran melihat dia?"
"Oh ya. Tentu saja, Sir."
Ketika ditanya pendapatnya tentang Ellis, Beatrice tak bisa berkata apa-apa. Ia
tak banyak berhubungan dengan Ellis. Caranya lari dari rumah itu memang jelek.
Ia pun tak tahu kenapa Ellis mencelakakan tuannya. Tak seorang pun tahu.
"Bagaimana Tuan Dokter" Apa dia senang merencanakan pesta itu" Apa ada rencana
tertentu?" "Tuan sangat gembira. Tersenyum-senyum sendiri, seolah-olah punya rahasia lucu.
Saya bahkan mendengar Tuan bercanda dengan - atau mencemooh - Mr. Ellis, padahal
Tuan tak pernah begitu dengan Mr. Baker. Tuan biasanya sedikit keras pada
pelayan-pelayan. Dia baik, tapi tidak banyak bicara."
"Apa yang mereka bicarakan?" tanya Mr. Satterthwaite ingin tahu.
"Saya sudah lupa, Sir. Mr. Ellis datang pada Tuan dengan membawa pesan telepon,
dan Tuan bertanya apa nama-namanya sudah betul. Mr. Ellis menjawab dengan yakin -
tentu saja dengan sikap hormat. Tuan Dokter tertawa sambil berkata, 'Kau memang
baik, Ellis, kepala pelayan kelas satu. Eh, Beatrice, apa pendapatmu"' Saya
terkejut karena Tuan bicara seperti itu - tidak seperti biasanya - saya tak tahu mau
bilang apa." "Dan Ellis?" "Dia kelihatan tidak begitu suka. Seolah-olah dia tidak biasa dengan hal seperti
itu. Dia sepertinya kaku."
"Pesan telepon itu apa isinya?" tanya Sir Charles.
"Pesan itu" Oh, itu dari sanatorium. Tentang seorang pasien yang datang ke sana
dan berhasil melewati perjalanan dengan baik."
"Ingat nama pasien itu?"
"Namanya aneh, Sir," kata Beatrice ragu-ragu. "Kalau tidak salah, Mrs. de
Rushbridger - seperti itu kira-kira."
"Ah, ya," kata Sir Charles penuh pengertian. "Pasti sulit menerima nama seperti
itu lewat telepon. Baik, terima kasih, Beatrice. Bolehkah kami bicara dengan
Doris sekarang?" Ketika Beatrice sudah keluar, Sir Charles dan Mr. Satterthwaite berpandangan.
"Miss Wills mengintip dan menyelidik. Kapten Dacres mabuk. Mrs. Dacres tidak
menunjukkan emosi. Ada sesuatu di sini" Sedikit sekali."
"Ya, cuma begitu," kata Mr. Satterthwaite sependapat.
"Kita harap Doris bisa memberi lebih banyak."
Doris seorang wanita berumur tiga puluh, sopan, dan bermata hitam. Ia senang
bicara. Ia sendiri tak yakin Mr. Ellis terlibat dalam peristiwa itu. Ia terlalu
terhormat. Polisi mengatakan ia penjahat biasa. Tapi Doris yakin ia bukan orang
jahat. "Anda yakin dia kepala pelayan biasa yang jujur?" tanya Sir Charles.
"Bukan biasa, Sir. Dia tidak seperti kepala-kepala pelayan lain yang pernah saya
kenal. Caranya mengatur pekerjaannya lain."
"Tapi Anda beranggapan bukan dia yang meracuni Tuan?"
"Oh, Sir, saya tak tahu bagaimana dia bisa melakukan hal itu. Saya melayani di
meja dengan dia. Dan dia tak akan bisa menaruh sesuatu dalam makanan Tuan tanpa
saya lihat." "Dan minumannya?"
"Dia berkeliling mengedarkan anggur. Pertama-tama sherry dengan sup, lalu hock
dan claret. Tapi apa yang bisa dia lakukan" Kalau ada sesuatu dalam anggur itu,
pasti semua tamu akan keracunan - atau setidaknya tamu-tamu yang minum anggur.
Rasanya Tuan tidak makan atau minum sesuatu yang lain dari apa yang dimakan dan
diminum tamu. Juga anggur. Semua tamu pria minum anggur. Dan beberapa tamu
wanita." "Gelas-gelas anggur itu disingkirkan dengan satu nampan?"
"Ya, Sir. Saya memegangi nampannya dan Mr. Ellis meletakkan gelas-gelas di
atasnya, lalu saya membawa nampan ke belakang. Gelas-gelas itu masih ada ketika
polisi datang memeriksa. Gelas-gelas anggur masih ada di meja. Dan polisi tidak
menemukan apa-apa." "Anda yakin Tuan tidak minum atau makan sesuatu yang tidak dimakan atau diminum
tamu-tamu lainnya?" "Setahu saya tidak, Sir. Ya, saya tahu itu."
"Tak ada tamu yang memberinya sesuatu untuk dimakan?"
"Oh, tidak, Sir."
"Anda tahu tentang adanya lorong rahasia, Doris?"
"Salah seorang tukang kebun pernah memberitahu saya. Ujungnya ada di hutan,
dekat bangunan tua yang sudah bobrok. Tapi saya belum pernah melihat apa-apa di
rumah ini." "Ellis tak pernah bicara tentang soal itu?"
"Oh, tidak, Sir. Saya yakin dia tak tahu tentang hal itu."
"Menurut pendapat Anda, siapa yang membunuh Tuan Dokter, Doris?"
"Saya tak tahu, Sir. Rasanya sulit dipercaya ada orang yang tega membunuh Tuan.
Saya kira kecelakaan."
"Hm, terima kasih, Doris."
"Seandainya tak ada kasus kematian Babbington," kata Sir Charles setelah Doris
keluar, "kita bisa mencurigai gadis itu. Dia cukup cantik. Dan melayani di
meja.... Tidak, tidak cocok. Babbington dibunuh. Dan lagi, Tollie tak pernah
memperhatikan gadis-gadis cantik. Dia memang begitu."
"Tapi umurnya 55," kata Mr. Satterthwaite sambil merenung.
"Kenapa kau bilang begitu?"
"Itu umur saat seorang lelaki bisa lupa daratan karena seorang gadis, walaupun
sebelumnya dia tak pernah begitu."
"Omong kosong, Satterthwaite. Aku... eh... juga mau 55."
"Ya, ya," kata Mr. Satterthwaite.
Dipandangnya Sir Charles dengan mata berkedip nakal. Sir Charles tertunduk.
Ia kelihatan bingung. BAB X "BAGAIMANA kalau kita lihat kamar Ellis?" tanya Mr. Satterthwaite, setelah
memuaskan diri melihat wajah Sir Charles menjadi merah karena malu.
Aktor itu langsung menyambar ide yang membelokkan persoalan itu.
"Bagus, bagus. Aku baru saja mau usul."
"Tentu saja polisi telah memeriksanya dengan saksama."
"Polisi..." Aristide Duval mengenyahkan pikiran tentang polisi dengan sebal. Karena ingin
melupakan rasa malunya, ia menyebut peran barunya dengan bersemangat.
"Polisi-polisi itu bodoh," katanya kasar. "Apa yang mereka cari di kamar Ellis"
Bukti-bukti kesalahan. Kita akan mencari bukti-buktinya dengan mengamati Ellis
yang tampaknya tak berdosa itu. Suatu hal yang sama sekali lain."
"Kau yakin Ellis tidak bersalah dalam hal ini?"
"Kalau kita benar tentang Babbington, Ellis pasti tak bersalah."
"Ya, di samping itu..."
Mr. Satterthwaite tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia akan mengatakan bahwa
Kaki Tiga Menjangan 47 Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo Setan Pantai Timur 2