Petualangan Di Dua Dunia 2
Animorphs - 11 Petualangan Di Dua Dunia Bagian 2
teriakku.
kata Tobias.
Mata manusiaku baru saja kembali muncul ketika Tobias terbang menerobos
masuk pintu Bug Fighter. Aku melihat ke kiri.
Sebuah makhluk mengerikan berekor kalajengking dan berkaki lalat, berwajah
semi-manusia dengan probosis raksasa, sedang mencoba menjalankan kendali
pesawat dengan kaki-kaki kurus lalat yang tampak canggung. Itu Ax, separo
berubah wujud. Tiba-tiba pintu menutup. Atau lebih tepatnya, lubang pintu lenyap.
"Mereka ada di dalam Bug Fighter!" kudengar Chapman meraung murka. "Mereka di
dalam Bug Fighter! Tangkap mereka!"
Kini sebagian besar bentukku sudah manusia, tapi masih pada tahap di mana aku
tidak akan mau melihat pantulanku sendiri di cermin. Yang lain juga sedang
berubah wujud. Cassie yang paling cepat, seperti biasa. Ia sudah memeriksa tubuh
Tobias, melihat apakah ia terluka.
Bentuk Ax kini hampir sepenuhnya Andalite lagi.
"Ax, keluarkan kita dari sini!" teriakku, ketika mulut manusiaku kembali.
Aku tidak membuang waktu memberitahunya supaya jangan memanggilku
"Pangeran." Ax mengakui.
BLAR!BLAR!BLAR!BLAR!BLAR!
Peluru menghantam kulit luar Bug Fighter.
Lalu aku mendengar suara derum mesin. Melalui jendela kokpit, aku melihat para
Pengendali menjalankan buldoser besar ke arah kami.
"Mereka akan menghantam kita!" Marco memperingatkan.
"Ax?" panggilku tegang.
berhasil.> "Lakukan saja!" teriakku.
Terdengar bunyi mendenging. Lampu menyala di seluruh kokpit. Suaranya seperti
sirene pelan. kata Ax.
"Bagus," kata Marco. "Sekarang cari sakelar keluarkan-kami-dari-sini!"
Aku merasakan pesawat terangkat dari atas lantai Safeway. Pesawat mengapung di
udara setinggi sekitar tiga puluh sentimeter dan agak oleng. Mesin berat di
bawah masih menyerbu ke arah kami.
Ax memutar pesawat tempur itu, menghadapkannya ke arah tembok yang lubang.
tanya Ax.
"Ayo kita coba," kataku.
Lalu... WEEESSSSS! Rasanya seperti ada yang menendang dada kami. Kami semua terpental ke
belakang - semua kecuali Ax, yang berkaki empat.
Akselerasi pesawat itu luar biasa. Bug Fighter menerjang ke depan. Kami melesat
menembus lapisan plastik itu.
Kami melesat di atas tempat parkir.
Kami melesat naik ke arah langit malam yang gelap.
"Kita berhasil!" teriak Rachel.
kata Ax.
"Yang penting bawa kita keluar dari sini, Ax," kata Marco. "Kita akan pergi ke
Washington, D.C., bertemu Presiden."
Chapter 9 20.42 DI DALAM Bug Fighter terasa penuh sesak. Apalagi Ax banyak makan tempat.
Tapi kami berimpitan dan melihat dari atas bahu Ax ketika ia menjalankan
kendali. Dan kami melihat ke luar, menembus panel transparan di bagian depan Bug
Fighter. kata Ax. kendalinya psikotronik. Tapi yang lain harus dijalankan secara manual. Sayangnya
kendali ini dirancang untuk bangsa Taxxon. Mereka punya lebih banyak tangan
daripada aku.> "Apa bisa kami bantu?" tanyaku.
kata Ax.
"Keren," Marco menanggapi. Ia melompat maju, tapi aku lebih dekat. Aku menyelip
duduk di area di sebelah Ax. "Kursi" pilot Ax tentu saja sama sekali bukan
kursi. Tubuh Taxxon seperti lipan raksasa, jadi mereka tidak bisa benar-benar
duduk. Untunglah, karena Ax juga tidak bisa duduk.
Tapi stasiun senjata itu dirancang untuk Hork-Bajir. Makhluk itu tingginya dua
meter dan punya ekor tebal berduri, tapi mereka bisa duduk.
"Tidak mungkin kau yang menangani senjata," kata Marco, membungkuk ke atas
bahuku. "Aku mengalahkanmu di video game."
"Yeah, benar," kataku. "Mungkin di dunia lain."
"Pegang joystick itu," usul Marco.
Meskipun tampak aneh, di sana memang ada joystick. Tuas itu dirancang untuk
ukuran tangan yang jauh lebih besar daripada tanganku, dan kedua tombolnya sulit
diraih. Tapi itu memang joystick.
"Mungkin aku harus mencoba senjatanya," kataku pada Ax.
< Ya,> jawabnya tegang, sibuk.
Kami mengangkasa menuju atmosfer. Kami sudah berada di atas awan. Aku dapat
melihat pendar-pendar lampu kota di bawah, tapi sebagian besar yang terlihat
hanya awan, awan, dan awan.
Tapi kami tidak mengudara secepat yang kuharapkan. Ax benar-benar harus
berjuang mengendalikan pesawat itu.
Aku memandang ke depan, tidak melihat ada rintangan, dan menekan salah satu
tombol di joystick. Tidak terjadi apa-apa. Ax melirik. terisi. Lihat layar di depanmu" Lingkaran merah itu caramu menargetkan sasaran.
Gunakan kombinasi gerakan joystick, tapi pakai juga pikiranmu.>
Marco meletakkan sebelah tangan di atas bahuku. "Phaser kekuatan penuh!"
katanya dengan aksen Inggris Kapten Picard. "Isi torpedo photon! Jika bangsa
Borg menginginkan perang, kita akan memberi mereka perang! Lakukanlah!"
Aku menggerakkan joystick dan melihat lingkaran target, mencari sasaran di
layar. Yang terlihat hanya langit berbintang. Pasti cukup aman.
Aku menekan tombol kedua.
SIUUTTT! SIUUTTT! Dua pancaran sinar merah ditembakkan ke depan, bertemu di satu titik yang
terlalu jauh untuk dapat kulihat.
"Ya! Sempurna sekali!" teriak Marco.
"Oke, benar-benar keren," aku mengakui, mencoba tidak terkekeh-kekeh seperti
orang idiot yang baru pertama kali memainkan video game.
"Anak laki-laki dengan mainannya," goda Cassie pelan.
kata Ax.
"Kenapa?"
Baru beberapa detik kemudian aku mengerti. "Maksudmu... orang dapat melihat
kita?"
jawab Ax. melihat kita.> "Wah-wah. Mungkin sebaiknya kita terbang lebih tinggi," usulku.
mendekati kita.> "Mungkin hanya pesawat komersial," kata Rachel.
kata Ax.
"Oke, itu bukan pesawat penumpang," kata Marco.
Aku mengerang. "Jet militer. Oh, man, kita dikejar Angkatan Udara. Mereka 'orang
baik.' Mereka di pihak kita. Kita tidak boleh menembak mereka."
Tiba-tiba... WEEESSSSS! WEEESSSSS! Dua jet abu-abu pucat melesat melewati kami. Gesekan udaranya mengguncang
Bug Fighter. kata Ax. Dan sedetik kemudian kami
mendengar suara salah seorang pilot.
"Ehm... Kontrol Pusat, saya... ehm... Pesawat asing tidak diketahui jenisnya.
Ulangi, tidak diketahui jenisnya."
"Mutlak tidak tahu," kata pilot yang satu lagi. "Sama sekali tidak tahu."
"Kami akan berputar sekali lagi."
Aku memandang Ax. "Kita benar-benar tidak mau ditembak jatuh sepasang F-
enam belas." meningkatkan...> BRUUUMMMMM! Tiba-tiba kami sudah keluar dari sana. Keluar awan. Keluar atmosfer.
"Yes! Benda ini benar-benar bisa ngebut!" sorak Marco. "Kita harus membeli game
ini." Kami mendengar suara derak yang lebih samar di radio. "Kau lihat tadi" Kau lihat
gerakan benda itu, Kolonel" Kau lihat" Apa..."
Lalu kami sudah keluar radius, masih melesat lurus ke ruang angkasa hitam. Di
belakang kami terlihat kurvatur bumi. Persis seperti salah satu foto yang
diambil para astronaut dari orbit.
"Indah sekali," kata Cassie. "Lihat itu! Kita dapat melihat fajar menyingsing di
atas Laut Merah." kata Tobias, Washington, D.C.> "Yeah, kurasa kau benar," kataku. Meskipun pemandangan itu begitu indah sehingga
aku hampir tidak mau mengkhawatirkan ke mana kami akan pergi. "Ax, mungkin kita
sebaiknya mengurangi kecepatan, memastikan di mana arah
Washington dan..." sentak Ax.
Aku terkejut. Ax biasanya selalu sopan.
katanya, agak lebih tenang. mengurangi kecepatan.>
"Kenapa?" tanya Cassie.
Ax menunjuk ke salah satu layar tayangan di depannya. Di layar terlihat bintang-
bintang. Lalu tampak bulan, bohlam kelabu-putih raksasa.
Dan berlatar belakang bulan yang berkilauan tampak sebuah siluet. Bentuknya
seperti kapak perang abad pertengahan. Bagian belakangnya berbentuk belati
berkepala dua. Dari bagian tengah, seperti gagang kapak, menjulur sebuah tongkat
panjang. Di ujung tongkat itu ada sebuah kepala segitiga, mirip ujung panah.
Warnanya hitam berlatar hitam. Dan bahkan jika belum pernah melihatnya pun,
dan tidak tahu apa itu, orang akan langsung tahu benda itu membawa kematian.
Aku pernah melihatnya. Aku tahu itu benda apa.
"Pesawat Blade," bisikku.
Pesawat Blade milik Visser Three.
Chapter 10 20.54 VISSER THREE, pemimpin penyerbuan Yeerk ke Bumi.
Visser Three, satu-satunya Yeerk dalam sejarah yang bisa menguasai tubuh
Andalite. Visser Three, satu-satunya Yeerk yang mempunyai kemampuan morf.
"Apa kita bisa mengalahkan kecepatannya?" tanyaku pada Ax.
"Apa kita bisa mengalahkannya dalam pertempuran?" tanyaku.
Suaraku berupa bisikan. Mulutku terlalu kering untuk bicara normal.
Ax menatapku dengan mata tanduknya. mungkin bisa beruntung mengenai pesawat mereka. Tapi pesawat Blade itu sangat
kuat. Ini pesawat Blade yang menghancurkan pesawat Dome kami.>
"Ini dia datang!" teriak Rachel memperingatkan. Sebuah kilau merah menerangi
pesawat Blade ketika Visser menyalakan mesinnya dan mengejar kami.
kata Ax. Ia menatapku. Mereka semua menatapku. Kuraih joystick. Tanganku gemetar.
"Aku merasa beruntung," kataku.
Tentu saja aku bohong besar. Aku bahkan sedikit pun tidak merasa beruntung.
Tapi kebohonganku kedengarannya bagus.
Aku melihat senyum sinis Marco. Ia tahu aku berpura-pura. Aku merasa tangan
Cassie menyentuh bahuku, memberikan semangat.
Ax memperingatkan.
Ia membalik arah Bug Fighter dengan gerakan cepat dan efisien. Ax benar. Aku
hampir terguling sebelum posisi Bug Fighter kembali seimbang.
Lalu Ax menyalakan mesin dengan kekuatan penuh dan kami melesat ke depan,
langsung ke arah pesawat Blade.
kata Ax. Itu bukan pertanyaan. Tunggu sampai... SEKARANG!>
Kuayunkan lingkaran target merah ke arah kepala berlian hitam pesawat Blade.
Kutekan picu. Dan terus kutekan.
Sinar Dracon menyilaukan menghunjam ke arah pesawat Blade.
Tapi pada saat bersamaan, Visser menembak!
Sinar Dracon menghantam sinar Dracon.
BEEEZZZZZ! Terjadi ledakan sinar yang begitu menyilaukan hingga aku bahkan bisa melihat
menembus tanganku sendiri. Aku dapat melihat gigi Cassie di dalam kepalanya!
DEEERRRRR! Aku terlempar menghantam langit-langit.
Aku jatuh ke lantai dan berguling-guling, lepas kendali.
Rachel mendarat di atasku, membuat dadaku sesak tidak bisa bernapas.
Bug Fighter berputar-putar. Mataku penuh bola-bola sinar, seperti ada matahari
di dalam kepalaku sendiri. Berputar... berputar... berputar...
Dan pada tiap putaran, aku terpental keras. Menabrak Ax. Menghantam Marco.
Tobias mengepakkan sayap panik, mencoba mengendalikan terbangnya. Seolah
kami semua dilontarkan ke dalam mesin cuci yang berputar-putar.
Lalu dengan gerakan tiba-tiba yang membuat mual, Bug Fighter berdiri tegak.
Lantai jungkir balik. Lalu langit-langit.
Dan di luar jendela tampak sebuah planet.
Bumi. Besar, biru, dan mendekat dengan sangat, sangat cepat.
"Kita jatuh!" teriak Rachel. "Ax! Ax! Kita jatuh!"
Ax bergegas berdiri dan berjalan kembali ke panel kendali.
teriaknya.
teriak Tobias. Jatuh
terguling-guling di samping kami, hanya sejauh satu setengah kilometer,
tampak pesawat Blade. Pesawat itu berputar-putar dan terpilin dan jatuh, persis
seperti kami. "Tunggu...," kata Cassie, lebih terdengar bingung daripada takut. "Di belahan
bumi barat sedang siang hari."
"Apa aku peduli"!" teriak Marco. "Kita jatuh!"
"Tadi di Timur Tengah sedang fajar," Cassie bersikeras. "Sekarang di belahan
bumi barat sudah terang."
Tiba-tiba percik api gesekan mulai menyala dari hidung Bug Fighter. Kami
kembali memasuki atmosfer.
"Ax, apa kau bisa mengeluarkan kita dari sini?" tanyaku khawatir.
katanya.
"Hebat," erang Marco.
"Setidaknya pesawat Blade akan ikut jatuh bersama kita," kata Rachel.
"Apa hal itu membuat perasaanmu lebih enak, Xena?" tanya Marco geram.
Rachel bahkan tersenyum. Senyum kecil yang tampak sedih.
"Tidak terlalu enak," ia mengakui.
teriak Ax.
SETTT! Kami tidak lagi berada di dalam Bug Fighter.
Aku sedang berdansa koboi.
Aku melemparkan pandangan kesal pada Rachel ketika membungkuk padanya
seirama musik.
Animorphs - 11 Petualangan Di Dua Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ada a... SETTT!
Aku melihat warna hijau. Hijau di atas hijau, melesat ke arahku.
Dan kemudian kami terbanting.
Dan sejenak, aku sama sekali tidak melihat apa-apa.
Chapter 11 Waktu: Tidak Tahu. NGUUK! NGUUK! NGUUK! NGUUK! NGUUK! NGUK!
NGUK! NGUK! NGUK! NGUK! NGAK! NGAK!
KAAKAAKAAK! KAAKAAKAAK! KAAKAAKAAK!Aku bangun.
Aku dengan sangat tiba-tiba bangun.
KAAKAAKAAK! KAAKAAKAAK! KAAKAAKAAK!
NGAKNGAKNGAKNGAK! Kepalaku sakit, dan suara menjerit-jerit itu membuat sakitnya tambah parah.
Punggungku juga nyeri. Aku sedang terbaring di tanah. Di atas dedaunan busuk berjamur. Pepohonan
menjulang di atasku. Tingginya tak masuk akal.
Tanaman pakis menggelayut menggelitik wajahku. Di bawah punggungku ada akar
atau sesuatu mengganjal, yang menjelaskan mengapa punggungku sakit.
Tapi aku masih hidup. KuWAW! KuWAW! KuWAW! CIPCIPCIP! CIPCIPCIP! CIPCIPCIP!
Aku cepat-cepat duduk. Tapi gerakan itu membuat sengatan rasa sakit menjalar ke
kepalaku. "Oh, man," erangku.
Lalu aku melihat serangga itu. Serangga di pangkuanku.
Serangga MONSTER raksasa. Kurasa itu sejenis kumbang. Tubuhnya bergaris
kuning-hitam dan bersungut. Aku yakin panjangnya lima belas sentimeter. Atau
sedikitnya tujuh sentimeter. Bentuknya sebenarnya indah, kalau tidak menempel di
tubuhku. "AAAAAHHH!" aku menjerit dan mengibaskan kumbang itu.
Lalu aku merasa ada sesuatu yang merayap dan gatal di kakiku.
Semut! Ada selusin semut merayap naik di tulang kering kaki kananku.
Aku pernah jadi semut. Jadi kalian akan berpikir mungkin aku bersimpati pada
mereka. Salah. Aku menepuk-nepuk kakiku sampai yakin binatang itu sudah tidak
ada. Aku merangkak berdiri. Kepalaku berputar-putar dan aku merasa bingung. Di
mana aku" Di mana yang lain"
Aku melihat ke sekeliling. Hijau. Hijau di mana-mana.
Maksudku, di mana-mana. "Halusinasi itu," kataku pada diri sendiri.
Aku berada dalam rimba. Aku yakin. Aku tidak pernah ke rimba, tapi aku sama
sekali tidak ragu. Mungkin karena pekikan monyet dan burung yang menggila di
sekitarku. Mungkin karena sulur-sulur pohon dan tanaman merambat. Mungkin
karena burung merah-biru memesona yang berkelebat dari dahan ke dahan.
Mungkin karena kumbang seharusnya tidak boleh sebesar binatang yang
menempel di tubuhku tadi.
Aku sudah pasti berada dalam rimba.
Persis seperti kelebat halusinasi aneh yang kurasakan sejak siang hari saat
berdansa koboi itu. "Itu sebabnya," gumamku. "Dansa koboi itu yang membuatku gila." Aku memutuskan
berteriak memanggil yang lain. "Hei! Hei! Cassie! Marco!"
Tapi suaraku seolah tak bertenaga. Bunyinya langsung ditelan pepohonan dan
dedaunan pakis serta semak-semak.
"Oke, tenanglah, Jake. Coba ingat-ingat. Kau sedang berada di dalam Bug Fighter.
Rupanya pesawat itu jatuh. Jadi carilah Bug Fighter. Pasti tidak jauh."
Aku melihat ke sekeliling, menatap dinding hijau padat di semua arah. Udara
beruap lembap. Dan aroma menusuk bunga-bunga, serta tanaman tropis yang
membusuk, membuatku merasa seperti sedang melewati gerai parfum di
department store. Lalu aku melihat pohon yang separo bagian atasnya sudah patah. Aku mulai
berjalan, mencoba melihat dari sudut yang lebih baik di atas pohon patah itu.
Aku melihat pohon kedua, hancur berkeping-keping. Aku mulai menyadari ada jalur
yang menyerupai terowongan, digali menembus kerimbunan tanaman yang padat.
Sebuah terowongan yang digali menembus pepohonan dan kerimbunan tanaman
akan membawaku ke Bug Fighter.
"Atau pesawat Blade," aku mengingatkan diriku sendiri.
NGUK! NGUK! NGUK! NGUKNGUKNGUKNGUK! NGAK! NGAK! NGAK!
Suasana rimba kini agak tenang, tapi masih ada pekikan yang cukup bising dari
pucuk tinggi pepohonan. Binatang-binatang rimba kedengarannya terganggu.
Mungkin mereka tidak suka ada yang menjatuhkan Bug Fighter ke dalam rumah
mereka. Dan mereka juga tidak menyukai rupaku.
Anehnya lantai rimba tampak kosong. Pada ketinggian kaki tidak ada banyak
tanaman, hanya dedaunan mati. Tapi pada ketinggian wajah terdapat sulur tanaman
dan semak-semak serta dedaunan pakis, menghalangi gerakan majuku menerobos
kerimbunan. Tiba-tiba aku sampai di area terbuka. Sebuah lubang di tengah kerimbunan hijau,
tempat sebuah pohon tumbang. Terang matahari menyinari celah itu. Dan seolah
semua spesies tanaman berdesakan tumbuh di area terang itu.
Aku berhadapan dengan dinding tanaman yang mengagumkan: selusin jenis bunga
cerah, lumut yang begitu hijau hingga tampak seperti tidak asli, sulur-sulur
kecil melibat sulur-sulur yang lebih besar di sekeliling batang pohon.
Itu tempat terhijau di Bumi. Bahkan ada tanaman tumbuh di batang licin
pepohonan tinggi. Aku terus menerobos maju, kembali memasuki bayangan rimba, dan ketika
menengadah, aku tidak lagi bisa melihat terowongan di antara kerimbunan
tanaman. Saat itulah aku mulai merasa benar-benar takut.
Aku berada di tengah rimba. Dan rimba tidak sama dengan hutan, di mana aku
biasanya dapat melihat sejauh ratusan meter ke segala penjuru. Tanaman rimba
sangat rimbun. Seperti terkubur dalam kehijauan.
Ker-AK! Ker-AK! AKAKAKAK!
"Marco! Cassie! Rachel!" teriakku, mulai merasa panik.
sebuah suara berkata di kepalaku.
Aku menengadah dan tak melihat apa pun. Lalu aku melihatnya menukik ke
arahku dari dahan tinggi sebuah pohon.
"Tobias!" teriakku. Aku melambaikan tangan. Tentu saja ia sudah melihatku. Tapi
aku sangat lega. Jadi aku kembali melambai.
Tubuh elang ekor merah itu tampak biasa, membosankan dibandingkan
keanekaragaman hayati rimba ini. Ia mendarat di atas gelondong kayu busuk yang
terselubung lumut. "Tobias! Yang lain?"
katanya. Fighter pasti berputar-putar beberapa kali mengobrak-abrik pepohonan di sini.
Cassie mendarat di atas seekor ular. Ular yang sangat besar.>
"Di mana kita?"
kata Tobias. lain. Ayo ikuti aku. Tidak jauh.>
Aku mengikuti Tobias, mendorong dan menyibak serta berjuang menembus rimba
yang tampaknya bertekad menghentikanku. Aku basah oleh keringat dan terengah-
engah menghirup udara di antara kerimbunan pepohonan.
Lalu aku sampai di area terbuka. Bukan area terbuka alami, tapi yang disebabkan
jatuhnya Bug Fighter. "Jake!" Cassie berteriak dan berlari mendekat untuk memelukku. Sebelah tangannya
tergores luka dalam, dan sudah ia balut dengan cabikan T-shirt-nya.
"Kau masih hidup," kata Marco. "Untuk saat ini," tambahnya muram.
"Sudah kubilang dia pasti selamat," kata Rachel.
Bug Fighter dalam posisi berdiri tegak, tapi satu sisinya tampak seolah telah
dikelupas. Kami dapat melihat bagian dalamnya. Tangki mesin kirinya terpilin
miring. Ax berada di dalam. Ia menunduk melihat ke arahku melalui lubang di sisi
pesawat.
"Aku juga senang," kataku. "Sekarang... di mana kita?"
"Di mana sih gampang," celetuk Cassie. "Hutan hujan. Bukan di Afrika, karena aku
tadi lihat ada monyet berekor prehensile. Kalian tahu kan, ekor yang bisa
dipakai berayun. Sepertinya kita ada di Amerika Tengah atau Selatan. Mungkin di
hutan hujan Kosta Rika, atau di hutan hujan Amazon."
"Taruhan kita ada di Amazon," kata Marco ceria. "Masalahnya apakah aku akan
hidup cukup lama untuk mengambil hasil taruhanku"Siapa berani bertaruh?"
Aku tertawa. "Kau memang selalu optimis, Marco."
Aku berbalik menatap Cassie. "Jadi. Hutan hujan Amazon, eh?"
"Kan tadi aku sudah bilang, pertanyaan di mana kita cukup gampang dijawab."
"Cassie, mengapa aku merasa ada sesuatu yang tidak kaukatakan padaku?" tanyaku
padanya. "Ingat waktu kita di orbit" Ingat saat itu di Amerika Utara sedang malam hari,
tapi matahari baru akan terbit di atas Laut Merah?"
Aku mengangkat bahu. "Memang kenapa?"
"Nah, setelah kita menembak pesawat Blade, ketika pesawat kita jatuh, di sini
sedang fajar. Di atas Amerika Selatan."
Baru beberapa detik kemudian aku mengerti maksudnya.
Ax berjalan berderap ke luar Bug Fighter. Ia menyeka tangannya di lap kotor.
pesawat Blade saling tembak pada saat bersamaan dan sinar Dracon bersilangan,
kita telah menciptakan sesuatu yang kami sebut Koyakan Sario.>
"Apa" Koyakan Sario" Apa itu?"
terisap ke dalam lubang itu.>
"Tolong pakai bahasa Inggris," aku memperingatkan. "Tolong, bahasa Inggris
biasa." "Kita meledak menembus waktu, Jake," kata Cassie. "Kita tidak berada di tempat
yang kita inginkan. Dan kita tidak berada pada waktu yang kita inginkan."
Aku terpaku menatapnya. "Kita maju atau mundur" Kita ada di masa lalu atau masa
depan?" kata Ax. Chapter 12
13.22. Lagi. "JADI mari kita simpulkan. Kita mungkin ada di hutan hujan Amazon. Dan kita
mungkin ada di masa lalu, atau di masa depan. Kita tidak bisa menerbangkan Bug
Fighter keluar dari sini. Kita tidak bisa tahu apakah di dekat sini ada kota
besar atau kota kecil atau bahkan jalan raya." Aku menatap teman-temanku. "Ada
yang mau menambahkan?"
kata Ax. hari apa, atau tahun berapa sekarang.>
Andalite punya kemampuan alami mengetahui waktu tanpa melihat jam. Seperti
semacam jam internal. Kemampuan yang berguna. Tentu saja akan lebih berguna
kalau kami tahu sekarang ada di abad ke berapa.
Cassie mengacungkan sebelah tangan, seperti dalam ruang kelas. "Hutan hujan
penuh ular beracun, serangga beracun, tanaman beracun, dan katak beracun."
"Maaf?" tanya Marco. "Katak beracun" Kau bilang katak beracun?"
"Ditambah lagi, sedikitnya ada satu pemangsa besar: jaguar."
"Aku suka mobil merek itu," celetuk Marco.
"Sekarang kita tidak punya makanan dan minuman," Rachel menambahkan. "Juga,
tidak punya senjata."
tanya Tobias. terbang meninggalkan tempat ini.>
"Kita tidak bisa tetap dalam bentuk morf selama lebih dari dua jam," Cassie
menjelaskan. "Sebenarnya kita tidak bisa terbang lebih cepat dari tiga puluh
lima atau lima puluh kilometer per jam. Itu berarti sekitar seratus kilometer
per morf. Dan kita mungkin berada seribu lima ratus kilometer di pedalaman."
"Lagi pula," kata Marco muram. "Apa yang akan kita lakukan" Cari sebuah kota,
telepon keluarga kita dan memberitahukan kita ada di Amerika Selatan" 'Hei, Dad,
coba tebak. Aku ada di Brasil. Atau mungkin di Kosta Rika. Apa Dad bisa
menjemputku"'" "Itu pun kalau ada kota," kata Rachel. "Kalau ada telepon. Kalau orangtua kita
sudah dilahirkan, atau masih hidup. Kau lupa sesuatu - kita mungkin ada di tahun
dua ribu sebelum Masehi. Atau... mungkin di tahun sepuluh ribu sesudah Masehi."
"Ax, bagaimana sebenarnya Koyakan Sario ini?" tanyaku pada si Andalite.
"Maksudku, apakah ada penangkalnya?"
Ax tidak menjawab. Aku melihat mata tanduknya perlahan bergerak ke kanan.
kata Ax.
Aku melemparkan pandangan ke arah yang sedang dilihat Ax.
Sesuatu bergerak! Aku melihat sekelebat sosok bahu, lengan, dan kepala.
kata Ax.
"Bagus," kataku. "Tobias?"
kata Tobias, membentangkan sayap serta berkepak terbang di
antara pepohonan. zona waktu ruang angkasa.>
"Yeah, kau sudah mengatakannya," kata Marco.
Ax menunduk. di sekolah. Tapi waktu itu akan ada pertandingan. Dan aku lebih memikirkan
pertandingan itu daripada pelajaran. Lagi pula ada makhluk perempuan yang
mengganggu konsentrasiku.>
Marco tertawa. "Ax, maksudmu kau terlalu sibuk menggoda seorang gadis hingga
tidak memperhatikan pelajaran?"
Ax tidak menjawab. Ia hanya berkata, Sario bisa dibalik. Aku ingat beberapa hal, tapi tidak semua.>
"Aku haus," kata Rachel. "Apa pun yang akan kita lakukan, kita harus mencari
air. Dan makanan. Ax, apa kita bisa memperbaiki Bug Fighter?"
kata Ax. sobek tak penting selama kita ada di dalam atmosfer dan terbang pelan. Tapi efek
Koyakan Sario telah memusnahkan semua perangkat lunak pesawat. Semua
sudah terhapus.> "Apa kau bisa memprogram ulang perangkat lunaknya?" tanya Rachel.
"Dari tadi kabar baik terus," gumamku. "Hei. Tunggu. Apa yang terjadi pada
pesawat Blade?" Ax tampak tidak tahu. "Aku melihat pesawat itu terguling-guling jatuh bersama kita," kata Cassie.
"Tapi aku tidak melihatnya menghantam bumi."
"Jadi mungkin, sebagai tambahan, kita juga harus mengkhawatirkan Visser Three
dan sepesawat pejuang Hork-Bajir," kataku. "Tolong beri aku kabar baik."
"Yah, sekarang masih siang," kata Marco, menyeringai lebar dibuat-buat. "Kalau
sudah malam, kita akan..."
teriak Tobias.
Sekali ini aku tidak berpikir lagi. Aku membungkuk. Dan bahkan saat
membungkuk, aku melihat wajah itu. Aku melihat lengan itu. Aku melihat tombak
itu. Melesat lurus ke arahku. Tepat ke wajahku. Bayangan itu! Ini halusinasi itu!
Aku membungkuk. Tombak melesat di atas kepalaku dan terbenam di dalam
semak-semak. Tobias berkepak panik ke udara.
katanya menyesali diri sendiri. seharusnya terbang.> Aku terlalu bingung untuk mengkhawatirkan Tobias.
"Aku tahu itu akan terjadi," kataku. "Tombak itu. Anak yang melemparnya. Aku
tahu!" Cassie menatapku aneh. "Jake, apa mak..."
Tobias memotong. Mereka melarikan diri dari sini. Yang mungkin sebaiknya juga kita lakukan.>
"Mengapa?" tuntut Rachel terhina. "Kita bisa menangani anak kecil bertombak."
puluh... atau tiga puluh. Mereka mengobrak-abrik rimba dan menuju ke sini!>
"Kita tidak bisa meninggalkan Bug Fighter!" protes Rachel. "Dengan cara apa lagi
kita bisa pergi dari tempat ini?"
"Kita juga tidak bisa bertahan dan bertempur melawan dua puluh pejuang Hork-
Animorphs - 11 Petualangan Di Dua Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bajir," kataku. "Kita harus mundur."
Aku melirik dan melihat Cassie. Ia telah mengambil tombak di semak-semak.
Senjata itu berupa tongkat kayu tipis yang panjang.
Tidak ada mata tombaknya. Hanya sebuah tongkat tajam yang berujung hitam.
"Kelihatannya tidak terlalu mematikan," kataku. Cassie menggeleng. "Tidak.
Mungkin tongkat ini memang tidak bisa dipakai membunuh. Kecuali ujungnya
direndam racun. Dan kita berada di pusat racun alami."
"Penduduk lokal.....kurasa mereka tidak akan buang waktu menggunakan senjata yang
tidak mempan, ya kan?" tanyaku.
"Benar," jawab Cassie tandas. "Kemungkinan besar tombak ini berujung racun. Di
sini ada katak dan tanaman beracun yang digunakan membuat panah dan tombak
beracun. Sangat mematikan. Sangat, sangat mematikan. Jelas Hork-Bajir bukan
satu-satunya masalah kita."
Tobias memperingatkan. Ia kembali ada di atas.
Aku tidak dapat melihatnya, tapi aku tahu ia ada di atas kanopi rimba. tidak bisa melihat jelas dari balik dedaunan. Tapi menurutku ada sekelompok
Hork-Bajir yang sedang mendekati kalian.>
Waktu membuat keputusan. Bertahan dan bertempur" Kami akan kalah. Melarikan
diri" Berarti kami menyerahkan Bug Fighter, satu-satunya alat yang bisa membawa
kami pulang. "Ax" Apa ada sesuatu... apa pun... yang dapat kauambil dari dalam Bug Fighter
supaya Yeerk tidak bisa menerbangkannya?"
Ax menatapku dengan mata utamanya, saat mata tanduknya mengamati hutan di
sekeliling kami.
"Kalau begitu ambillah," kataku.
Tobias memanggil dari atas. Ia rupanya cukup dekat
hingga bisa mendengar suaraku. Tapi tanaman di sana sangat rimbun hingga tak
jelas di mana posisinya. Ax ragu, tidak yakin harus melakukan apa.
Yang lain menatapku. "Lakukan, Ax," kataku. Ia berlari ke arah Bug Fighter. "Yang lain, tinggalkan
tempat ini." "Aku tinggal bersamamu," protes Rachel.
"Aku tidak akan tinggal di sini. Jangan ambil terlalu banyak risiko," bentakku.
"Kita hanya perlu Ax untuk melakukan hal ini. Tidak ada gunanya
mempertaruhkan keselamatan yang lain."
Aku menerobos kerimbunan tanaman. Aku menyabet lengan Rachel dan
menariknya pergi. Cassie dan Marco mengikutiku.
kata Tobias dari atas. menit, dia tidak akan selamat.>
Aku tidak menjawab. Inilah tidak enaknya jadi pemimpin - saat aku
mempertaruhkan nyawa orang lain. Jika Ax akhirnya tewas, aku akan sangat sulit
menjelaskannya pada teman-temanku. Dan pada diriku sendiri.
Chapter 13 13.48 AKU bahkan tidak dapat menjelaskan hutan hujan itu seperti apa. Untuk
menjelaskannya aku harus menjadi seorang pujangga dan ilmuwan sekaligus
penulis horor. Aku hanya bisa mengatakan seperti apa rasanya. Aku merasa kecil. Kerdil.
Sendirian. Lemah tak berdaya. Takut.
Aku merasakan panas dan kelembapan yang menyesakkan napas. Seolah tidak ada
cukup udara. Setiap tarikan napas seperti bernapas dari sedotan. Aku menghirup
dan mengembuskan udara mengandung uap dan parfum bercampur bau benda-benda
busuk. Rimba mengelilingiku. Mengimpitku dari semua sisi. Dedaunan basah menempel
di wajahku; tanaman merambat seolah sengaja terjulur untuk menjegalku; batang-
batang tajam menorehku. Ditambah dua ancaman mengerikan: serangga dan rasa haus.
Nyamuk, ngengat, lalat besar, dan serangga terbang lain yang bahkan namanya pun
tidak kuketahui, merubung kami dalam bentuk awan yang berputar-putar.
Mereka menukik dan menyerang, lalu tiba-tiba menghilang, dan kemudian
menyerang lagi. Kalau aku berhenti berjalan, meski hanya beberapa detik, kakiku
sudah tertutup semut atau lipan atau kumbang atau serangga yang tidak bisa
dideskripsikan. Dan keadaan itu terasa tambah parah karena kami tidak bersepatu.
Udara panas menyedot ke luar semua cairan dari dalam tubuh kami. Keadaannya
seburuk di padang pasir. Orang mungkin berpikir karena di hutan hujan banyak
tanaman maka di sana juga ada banyak air. Ternyata tidak. Permukaan tanah di
bawah kaki kami dalam keadaan kering. Semua air diserap tanaman.
Sepanjang perjalanan menerobos belukar sulur tanaman dan tumbuhan pakis serta
semak dan ngengat serta lalat dan nyamuk, kami diikuti serenade kotekan,
erangan, jeritan, salakan, kekeh binatang yang memekakkan telinga, bunyi detak,
suara garukan, dan kadang auman ketika setiap spesies mengomentari kebodohan
segerombol anak pinggiran yang berkeliaran di hutan hujan. Siapa tahu mereka
mungkin sedang bertaruh berapa lama manusia-manusia tolol ini akan bertahan
hidup. Kami telah menerobos masuk sekitar dua ratus meter meninggalkan Bug Fighter
ketika mendengar kekacauan di belakang kami.
"Andalite!" raung makhluk Hork-Bajir. "Andalite!"
Tobias berteriak di atas. Kau senang sekarang, Jake! Ax-man! Hati-hati! Di belakangmu!>
Aku menggigit bibir sampai terasa darahku keluar.
"Kita harus berubah wujud dan kembali menyelamatkannya," kata Rachel.
Matanya menyala-nyala. Aku bisa mengatakan tidak. Aku punya alasan mengatakan tidak. Kami berada di
tempat asing, menghadapi risiko besar. Lagi pula, di antara kami, Ax-lah yang
paling cepat dan paling mampu melarikan diri. Tapi Rachel pasti akan tetap
pergi. "Hanya kita berdua," sentakku. "Aku dan kau, Rachel. Marco dan Cassie, tinggal
di sini." "Kenapa kami mesti tinggal di sini?" tanya Marco, marah.
"Karena kita butuh pasukan cadangan, Marco," kataku tegang.
Aku tidak tahu apakah ia mengerti atau tidak. Rachel mengerti. Ia mulai berubah
wujud. Aku berubah wujud jadi harimau secepat mungkin. Rachel sudah hampir sempurna
jadi beruang Grizli - bahu besar dan bulu cokelat kasar, serta cakar melengkung
panjang. SIIINGGGGG! SIIINGGGGG! Suara sinar Dracon mencapai pendengaran kami. Binatang rimba di atas
pepohonan kembali bising berkomentar.
Ku-WWWWAAAAAWWWW! NGUK! NGUKNGUKNGUKNGUK! Aku dapat mendengar sesuatu berukuran besar menerobos belukar, tapi aku tidak
bisa melihat apa-apa. Di hutan hujan bisa melihat sejauh satu setengah meter
saja ke segala arah sudah beruntung.
kata Rachel.
kataku padanya.
bentak Rachel. Ia melangkah pergi, kembali ke
arah Bug Fighter, dalam bentuk segumpal besar bulu dan otot.
Aku memakinya dalam hati. Tubuhku sudah terselubung bulu bergaris oranye-
hitam. Aku bertumpu pada keempat kakiku. Taring kuning panjang tumbuh di
mulutku. Cakar tajam panjang muncul di tempat bekas kuku jariku.
Aku merasakan benak harimau.
Aku melihat melalui mata harimau.
Aku merasakan gelombang tenaga, energi harimau. Binatang ini berada di
habitatnya di hutan tropis. Ini tempat yang cocok buatnya.
Harimau adalah raja di daerah kekuasaannya sendiri. Tapi tentu saja di hutan
asal harimau tidak ada Hork-Bajir. Dan tidak ada Visser Three.
Aku melompat ke depan, mengikuti jejak Rachel menerobos semak belukar. Aku
dengan mudah mengejarnya. Aku memang hidup di hutan. Beruang Grizli tidak.
Napas Rachel tersengal. tapi mereka terus bergerak.>
Aku mendengarkan dengan telinga harimau. Kubiarkan insting binatang
memanduku. Harimau tahu cara mengikuti suara-suara di hutan hujan.
kataku. Aku melesat maju, ke arah asal suara yang terdengar
paling keras di antara belukar. Tapi tak lama kemudian aku sadar Rachel tidak
bisa mengimbangiku. Saat itu aku benar-benar marah.. Pada Rachel, karena ia begitu menuruti dorongan
hatinya. Pada Tobias yang bersikap seolah aku ingin mempertaruhkan nyawa Ax.
Pada Yeerk yang menyebabkan semua ini. Pada rimba itu sendiri. Dan paling
parah, pada diriku sendiri.
Aku telah melakukan kesalahan. Terlalu banyak kesalahan.
Sekarang aku harus memilih. Tinggal bersama Rachel, atau bergegas maju dan
mencoba mencari Ax. Pertolongan datang dari langit. kata
Tobias dari atas. Aku marah pada Tobias. Tapi tidak terlalu marah hingga mengabaikannya. Aku
menyerbu ke kiri, menyelinap gesit di antara semak.
"Yaahhhhh!" Hork-Bajir itu berteriak penuh kemenangan. Ia mengayunkan sebuah
lengan berbelati tajam ke arahku, mengoyak dedaunan pakis serta semak belukar
seperti mesin pemotong rumput.
Belati di sikunya nyaris mengenaiku. Aku merasakan angin pukulannya.
Aku tahu apa yang kemudian harus kulakukan. Aku mengerahkan otot kaki
belakangku dan menjejak permukaan tanah, lalu melesat melayang. Di tengah
udara aku mengembangkan telapak kakiku, masing-masing selebar penggorengan.
Lalu keluarlah cakarku. Kemudian aku mengaum. AUUUNGNGNGNGN Berani sumpah, suara itu benar-benar membuat kera dan burung terdiam.
Aku menghantam Hork-Bajir itu. Ia membungkuk, berayun cepat, tapi terlalu
lambat. Hork-Bajir memang cepat. Tapi dalam pertempuran jarak pendek,
menyabet dan menangkis serta menggigit, harimau lebih cepat dan buas.
Ia menyabet. Aku merasakan sakit menyengat bahu kananku.
Aku menyabet dan mendengar Hork-Bajir itu menjerit kesakitan.
Kepala ularnya memagut cepat, mengarahkan belati di dahinya ke wajahku.
Aku membungkuk dan menerkam, membenamkan gigiku ke dalam lehernya.
Dari suatu tempat terdengar raung kesakitan beruang. Aku mendengar debam tapak
kaki dan gemeresak semak belukar terinjak.
Aku melepas gigitanku, meninggalkan Hork-Bajir berbelati mematikan setinggi
dua meter itu tergeletak di lantai rimba, mengerang kesakitan.
Sesaat aku benar-benar merasa kasihan. Suku Hork-Bajir telah diperbudak Yeerk.
Pejuang Hork-Bajir ini tidak ingin ada di sini, berdarah-darah karena selusin
luka, di dalam rimba asing miliaran kilometer dari rumahnya.
Tapi aku juga tidak ingin ada di sini.
Aku memasang telinga, mendengarkan suara Ax. Tidak ada. Aku mendengarkan
suara Hork-Bajir. Tidak ada. Aku mendengarkan suara Rachel. Tidak ada.
Seolah mereka semua menghilang begitu saja di dalam kehijauan. Hijau, ke mana
pun aku melihat. Lalu... Kaki kiriku tersengat nyeri. Aku memandang Hork-Bajir itu, tapi tidak, ia tak
bergerak. Aku sadar tubuhku terguling.
Terguling begitu saja. Dari sudut mataku, aku melihat ular yang melata pergi. Warnanya kuning terang.
kataku pada diri sendiri. Tapi kepalaku berputar-putar.
Dan kehijauan mengimpitku. Menguburku dalam kehijauan.
Seekor burung mendarat di sisiku. Aku bisa melihatnya.
Aku mencobanya. Aku mencoba mengingat-ingat morf apa yang telah kulakukan.
Lalu... SETTTTT! Aku sedang berjalan pulang dari sekolah. Aku dan Marco. Kami sedang berbicara,
menduga-duga apa yang diinginkan Tobias.
Bahasa-pikiran Tobias sedang berbicara di dalam kepala kami mengatakan...
SETTTTT! Suara Tobias berulang-ulang berkata, Aku
bisa melihat lagi! Aku bisa melihat tanganku membentang di depanku di atas
tanah. Separo manusia, separo harimau.
Apa aku bisa menghindari bisa ular dengan berubah wujud" Apa dengan
melakukan morf racun itu akan hilang" Seharusnya tanya Ax, aku menyesali diri
sendiri. Tapi aku sudah tahu jawabannya. Ketika tubuhku semakin berwujud manusia, aku
merasakan bisa itu melemah.
kata Tobias.
"Kenapa... ada apa" Hork-Bajir lagi?" aku bertanya ketika mulutku sudah muncul
lagi. Aku merasa jantungku berhenti berdetak. Aku merayap bangun, sempoyongan
akibat perubahan wujud yang terlalu cepat. Rasanya mau muntah. Mungkin efek
racun itu. Mungkin karena terlalu banyak yang terjadi pada saat bersamaan. "Di
mana dia?" tanyaku. terbang dan melihat apa yang sedang terjadi.>
Ia mengepak pergi, meninggalkanku sendirian bertelanjang kaki, rapuh dalam
hutan hujan. Aku menemukan Rachel dengan mengikuti kerusakan yang telah ia timbulkan: tiga
Hork-Bajir terbaring tak sadarkan diri atau mungkin lebih parah. Aku tidak punya
waktu untuk mengkhawatirkan mereka.
Karena tepat saat itu aku melihat Rachel.
Ia pingsan, masih berbentuk beruang Grizli. Tubuhnya luka parah tersayat belati
Hork-Bajir. Ia terbaring miring, berdarah. Tapi bukan itu yang membuatku ingin menjerit.
Bulunya bergerak-gerak. Bergerak-gerak karena sejuta semut telah mengoyak sejuta lubang kecil dari
lukanya. Chapter 14 14.30 "RACHEL," teriakku. "Ayo bangun!"
Tobias memperingatkan dari atas. masih ada di sekitar sini! Aku tidak bisa melihat menembus pepohonan.> Aku
bergegas jongkok di sebelah Rachel dan mulai memukuli semut-semut itu.
Tapi bukannya pergi, mereka malah merubung di tanganku.
Pasti ada sekitar sepuluh ribu semut. Rachel rupanya terjatuh hampir persis di
atas sarang mereka. Aku bisa melihat semut-semut menggotong cabikan kecil daging
beruang yang berlumur darah.
"Apa di dekat sini ada air?" tanyaku pada Tobias.
akan kaulakukan, menggendongnya ke air">
Aku dapat melihat dada beruang Rachel bergerak turun-naik. Ia bernapas. Masih
hidup. Aku menendangnya. Aku menendangnya keras-keras.
"Bangun!" desisku. "Ayo, Rachel, bangun!"
Semut-semut itu sekarang mulai memasuki telinganya. Mereka merubung matanya
yang terpejam. Aku ingin menjerit. Aku ingin menangis.
Rasanya aku tidak pernah merasa begitu tak berdaya.
Rachel pingsan. Ribuan semut yang merubungnya akan membuatnya tidak pernah
sadarkan diri. Mereka akan membunuh beruang itu sebelum Rachel sempat
berubah wujud. Mereka akan menggerogoti matanya dan merayap masuk ke dalam
kepalanya, dan tidak ada yang bisa kulakukan.
"Tobias! Semut lagi! Cari semut lagi!"
"Lakukan!" teriakku, bahkan tidak peduli suaraku terdengar seseorang. "Aku butuh
satu koloni semut lagi!"
Tobias mengerti. Aku dapat melihat matanya yang buas membesar. Ia mengepak
pergi, terbang serendah mungkin. Ia berputar-putar membuat lingkaran kecil, dan
kemudian mengerem lajunya.
teriaknya.
Saat itu aku mendengar gerakan di semak-semak. Aku menoleh dan melihat dua
serigala. Dua serigala yang tidak selayaknya berada di sana. Wajah cerdik mereka
Animorphs - 11 Petualangan Di Dua Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyembul ke luar semak. "Cassie! Marco! Itu kalian, kan?"
Setelah kuamati lebih dekat, terlihat mereka habis berkelahi.
Ada luka sayatan. Ada darah. Mereka mulai berubah wujud.
< Oh, Tuhan,> erang Cassie ketika melihat Rachel dan menyadari apa yang sedang
terjadi. Aku tidak punya waktu menjelaskan. Aku membungkuk dan mulai mencabuti
gumpalan bulu beruang Grizli yang berlumur darah.
teriak Marco.
Aku merenggut beberapa genggam bulu berdarah. Lalu aku berlari ke tempat
Tobias menunggu. Ia sedang bertengger di atas dahan pakis yang kokoh,
menunduk menatap sebuah bukit sarang semut.
Aku mengambil sejumput bulu beruang dan menaruhnya tepat di sebelah lubang
gundukan sarang semut. Reaksinya langsung. Ratusan semut merubung gumpalan bulu berdarah itu.
Aku menggunakan sejumput bulu lagi untuk mengangkat segenggam semut, lalu
berjalan beberapa meter ke arah Rachel dan menjatuhkan bulu itu. Aku mengulang
proses itu, semakin mendekati Rachel. Aku khawatir semut-semut itu akan
kehilangan jejak aroma darah. Tapi mereka terus mengikutiku, dan bahkan
bergegas mendahului. Dengan pelan dan pasti aku memandu semut-semut itu ke Rachel.
Cassie dan Marco kini sudah kembali ke wujud manusia. Mimik mereka mungkin
seperti mimikku: takut, ngeri, rapuh.
"Kita harus menyingkirkan semut-semut itu dari badannya!" teriak Cassie ketika
melihatku. "Mereka ada di kupingnya! Mereka ada di mulutnya! Mereka akan
membunuhnya!" "Aku tahu." Aku menjatuhkan sejumput terakhir bulu berlumur darah. Jika cara ini
tidak berhasil, riwayat Rachel akan berakhir.
Aku melangkah ke samping dan memeluk bahu Cassie.
Koloni semut kedua mengikuti jejak yang kutinggalkan. Sesaat mereka tampak
ragu, seolah seluruh koloni semut yang berderap maju berhenti ketika melihat
beruang itu. Tapi kemudian mereka menyerang seperti layaknya pasukan yang telah terlatih
baik. Sepuluh ribu semut baru merubung tubuh Rachel yang tak sadarkan diri.
Mereka membentur dinding semut dari koloni pertama.
Aku pernah jadi semut. Aku sudah pernah melihat sikap dua koloni semut yang
berbeda. Aku harap sekarang mereka melakukan hal yang sama.
Harapanku terkabul. Pertempuran mereka seperti Perang Saudara zaman dulu.
Kedua pasukan saling serang. Makhluk otomat yang sangat patuh, hanya bereaksi
pada bau dan insting. Mereka saling serang. Semut berhamburan ke luar telinga dan mulut Rachel, siap
bertempur. "Ide bagus, Jake," kata Cassie. "Tapi cepat atau lambat, salah satu koloni akan
menang." "Kita harus berharap Rachel sudah sadar sebelumnya," kataku.
Pasukan semut yang saling bermusuhan itu bertempur hebat. Bagi kebanyakan
orang memang tampaknya biasa-biasa saja. Tapi karena pernah jadi semut, aku
bisa membayangkan pembantaian dahsyat yang sedang terjadi di bulu beruang itu.
Di sana, semut saling koyak. Sampai tercabik-cabik. Kaki dikoyak lepas. Kepala
digigit putus. Racun menyengat disemprotkan.
Pertempuran itu mulai berbalik arah. Sarang para penantang terlalu jauh. Mereka
tidak bisa meminta cukup bantuan. Beberapa menit lagi pertempuran dahsyat antar
semut itu akan berakhir. Tapi ketika sedang bertempur, mereka tidak mencabik daging Rachel. Dan
kemudian...
"Rachel! Rachel! Ini aku, Jake. Berubahlah. Berubah dan siap-siap lari!"
Rachel tidak perlu diberitahu dua kali. Ia mulai berubah wujud. Tubuhnya
menyusut. Kulit manusia menggantikan bulu. Bahu besar dan tapak kaki raksasa
menjadi sosok manusia yang lebih kecil.
"Oh!" Rachel menjerit begitu mulut manusianya terbentuk. "Aduuuhhhhh!"
"Rachel, berdiri! Ikuti aku!" kataku padanya. "Tobias" Di mana sungainya?"
Tobias berdiri dan dengan cepat terbang menembus pepohonan.
Aku mengikuti, menerobos semak belukar, kaki telanjangku terkoyak, tersandung.
Jaraknya tak lebih dari tiga puluh meter. Rasanya seperti satu setengah
kilometer. Rachel kini menjerit-jerit. Rachel orang paling berani yang aku kenal. Tapi
ribuan semut buas itu mulai menyerangnya, setelah kini mereka tak lagi saling
serang sendiri. Tidak akan ada orang yang tahan.
Tidak akan ada orang yang tahan.
"Pergi! Oh, tidak! Oh! Mereka masuk ke..."
Tiba-tiba tidak ada lagi warna hijau. Sebuah anak sungai keruh... aku melompat
ke dalam air. PLUUUNGNGNGNGNG!
Aku dengar tubuh Rachel mencebur ke dalam air di sebelahku.
PLUUUNGNGNGNGNG! Aku berenang ke arahnya. Ia masih berada di bawah permukaan air. Airnya sangat
keruh sehingga aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Yang terlihat hanya kaki
dan tangan yang bergerak-gerak.
Semut mengapung ke permukaan air dan hanyut terbawa arus.
Lalu... BRUUUSSSSS! Rachel muncul ke permukaan, terengah menghirup udara.
"Kau tak apa-apa?" tanyaku.
Ia melihat ke sekeliling, sesaat bingung. Lalu ia mengenaliku. Dan ia melihat
Marco serta Cassie di tepi sungai.
"Keluar dari air!" teriak Cassie panik.
Aku meraih lengan Rachel dan menyeretnya ke tepian.
Kudorong ia ke depanku, kami berulang kali tergelincir saat memanjat rumput
yang berlumpur. Aku baru saja menarik kaki ke luar air ket ika melihat permukaan
sungai yang bergolak - penyebab teriakan panik Cassie.
Kutarik kakiku ke atas, beberapa sentimeter di atas kepala sekelompok Piranha
pemakan daging. "Ini yang disebut hutan hujan?" cecar Rachel marah, menyemburkan air dan
menggaruk rambutnya, membersihkan sisa semut. "Ini hutan hujan yang ingin
diselamatkan semua orang" Semut dan Piranha dan ular dan serangga sebesar
tikus" Nah, menurutku mereka boleh membakarnya sampai habis, menyemennya,
dan membangun mall serta toko serba ada!"
Aku duduk terpana menatap Piranha di sungai. Orang bilang sekelompok Piranha
bisa menggerogoti sapi hingga tinggal tulangnya hanya dalam beberapa menit.
Saat itu, membayangkan apa yang nyaris terjadi, gemetar dan tersengal-sengal dan
ingin menangis, aku setuju dengan Rachel.
Chapter 15 15.09 "SEKARANG kita harus menemukan Ax," kataku. "Tapi kita harus hati-hati.
Rimba ini saja sudah cukup berbahaya. Dan sekarang ditambah Yeerk."
sebuah bahasa-pikiran berkata.
"Ax!" teriakku.
kata Ax. Setelah selesai
bicara, ia meloncat turun dari pohon di atas kami dan mendarat di tanah.
"Nah," komentar Marco dengan sangat puas. "Akhirnya ada juga yang jadi kera."
Ax kini bertubuh kecil, tertutup bulu cokelat, dan jelas seekor kera. Tapi ia
hidup. Rasanya tidak pernah aku merasa selega itu. Aku telah melakukan banyak
kesalahan. Pertama memutuskan masuk ke dalam Safeway, lalu mempertaruhkan
keselamatan Tobias, kemudian keselamatan Ax, setelah itu meninggalkan Rachel
sendirian hingga hampir tewas. Tapi setidaknya tak ada yang terbunuh.
Belum. "Kurasa kau kera labah-labah," kata Cassie, mengernyit. "Tapi aku tidak yakin.
Aku tidak begitu hafal binatang hutan hujan."
Kera itu - Ax - sedang memegang sesuatu di tangannya. Warnanya kuning terang
dan sebesar disket komputer, hanya saja benda itu berbentuk bulat dan agak lebih
tebal. "Apa itu?" tanyaku.
jawab Ax. inti komputer. Tidak ada yang bisa menerbangkan Bug Fighter tanpa alat ini.>
tanya Tobias.
ini.> "Yah, aku lega kau baik-baik saja, Ax," kataku. "Nasib kita tidak terlalu
bagus." kata Ax pelan. menyisir hutan, mencari kita. Kurasa sekarang mereka dibagi ke dalam kelompok
lima orang, masing-masing didampingi seorang Pengendali Manusia. Aku belum
melihat Visser, tapi dia juga pasti ada di dekat sini. Dan seperti kalian tahu,
Visser Three punya kemampuan morf, jadi mungkin dia salah satu binatang yang
kita lihat.> "Bagus," kata Rachel. "Jadi kita juga harus waspada terhadap binatang, bukan
hanya pada Hork-Bajir dan penduduk asli."
"Pengendali Manusia," kata Marco berpikir keras. "Kurasa aku tahu kenapa mereka
ada bersama Hork-Bajir. Begini, Pengendali Manusia akan tahu binatang
mana yang hidup di hutan hujan, dan mana yang tidak. Kalau melihat beruang
Grizli atau harimau atau serigala, mereka akan tahu habitat binatang itu bukan
di sini. Penyamaran kita akan terbongkar."
"Kau benar, Marco. Kita memerlukan morf lokal," kataku.
usul Ax. dekat kalian.> "Marco sepupu kera," kata Rachel.
Aku lega melihat ia sudah menggoda Marco lagi. Itu berarti ia sudah pulih. Tapi
di matanya masih ada sorot gelap. Bahkan Rachel pun tidak akan bisa begitu saja
melupakan apa yang telah dialaminya.
Dan dari apa yang kutahu tentang Rachel, ia akan bereaksi dengan bersikap lebih
agresif. Mungkin terlalu agresif.
"Morf kera cocok buat kita," kata Cassie. "Kita akan bisa naik ke pohon."
"Oke, Ax, bawa kami ke sana. Tobias" Aku sebenarnya tidak ingin meminta
bantuanmu, tapi kami butuh pengamatan udara."
kata Tobias.
Ia terbang ke tengah kerimbunan pohon. Aku tahu ia letih. Dan aku tahu ia lapar.
Terbang memakan banyak energi, dan metabolisme burung cepat. Mereka tidak
bisa menahan lapar selama manusia. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan"
Ax tidak membawa kami pergi terlalu jauh. Dalam sepuluh menit kami telah
berdiri di bawah sekelompok kera yang asyik mengoceh dan mengomel di
pepohonan tinggi di atas kami.
Kami tidak bisa menyadap orang yang telah melakukan morf.
Dengan kata lain, kami tidak bisa begitu saja menyadap morf kera Ax.
Kami harus melakukannya dengan kera asli.
kata Ax.
"Caranya?" tanya Marco.
Ax ragu. Sulit mengetahui apakah kera merasa malu, apalagi kera yang
mempunyai benak Andalite. Tapi aku berani sumpah Ax malu.
kera jantan tadi tampak tertarik padaku.>
"Wah, komplet," kata Marco tandas. "Kita benar-benar sudah pindah ke dunia aneh.
Kita telah melakukan perjalanan waktu, kita berada dalam rimba bertempur melawan
makhluk angkasa luar pencuri otak dan sepuluh ribu spesies rayap yang
menjengkelkan, dan kadet ruang angkasa kita seekor monyet berwajah keren.
Tolong..." "... bangunkan aku kalau kita sudah kembali ke dunia nyata."
"... bangunkan aku kalau kita sudah kembali ke dunia nyata."
Marco dan aku mengucapkannya bersamaan. Ia tercengang menatapku. Aku
tercengang menatapnya. Yang lain tercengang menatap kami.
Aku menghela napas. "Rasanya ada sesuatu yang akan kukatakan pada kalian, guys.
Seharusnya kukatakan tadi, mungkin. Tapi tadi kupikir aku sudah gila.
Begini, aku beberapa kali mengalami peristiwa aneh. Benar-benar nyata. Aku
sedang di sekolah dan tiba-tiba ada di sini. Dan sejak sampai di sini, aku
beberapa kali merasa seperti ada di rumah."
Rachel memutar bola matanya seolah berkata, "Apa lagi nih?"
Cassie tampak prihatin. Marco terlihat seperti ingin membuat lelucon tapi
terlalu lelah untuk berpikir.
"Aku tahu apa yang akan dikatakan Marco karena aku sudah pernah
mendengarnya," kataku.
Ax menatapku dengan mata keranya yang besar. mengalami kilas balik ini" >
Aku mengangkat bahu. "Baru sejak tadi siang. Kemarin, atau hari ini, apa pun
istilahmu. Aku sedang berdansa koboi ketika yang pertama terjadi. Kenapa?"
"Kau sedang dansa koboi?" ulang Marco. "Aku rela bayar nonton kau dansa koboi."
Ax menggaruk-garuk lehernya, lalu dengan tekun mengamati apa yang telah ia
garuk. Ia melempar benda itu ke dalam mulutnya.
Rupanya ia membiarkan otak monyet mengendalikannya. sudah kubilang, aku bukan ahli Koyakan Sario. Tapi menurutku apa yang sedang
terjadi adalah kilas balik itu merupakan fluktuasi di mana dua kesadaran identik
secara bersamaan saling-silang di luar zona waktu ruang angkasa.>
"Aku sudah menduganya," kata Marco. "Fluktuasi... apalah."
Ax mulai menjelaskan.
"Aku tidak punya apa-apa."
"Teori apa?" bersamaan ada di sini dan di rumah. Sekarang ada dua Marco, dua Cassie, masing-
masing dua. Satu di sini, satu di sana. Pada saat bersamaan. Kilas balik itu
baru mulai hari ini. Jadi kurasa kita telah mundur satu hari, atau kurang
sedikit.> "Bagus," kata Marco.
kata Ax serius. < Tidak bagus. Kita berada di dua tempat pada saat
bersamaan. Ini tidak mungkin terjadi. Ini penyimpangan ruang dan waktu. Ini
kondisi yang tidak stabil.>
"Berarti...?" desakku.
akan saling memusnahkan. Seperti zat dan antizat, tidak mungkin kita ada di dua
tempat pada saat bersamaan.>
"Jadi kenapa kita belum memusnahkan diri sendiri?" tanya Rachel.
kata Ax. kurasa kita akan baik-baik saja sampai tiba saat koyakan itu terjadi. Saat itu,
koyakan akan berakhir, dan kita akan berada pada situasi yang mustahil: dua
kelompok orang yang identik berada di dua tempat pada saat bersamaan. Kurasa
guruku berkata hal itu akan menimbulkan pemusnahan bersama. Keberadaan kita
akan berakhir. Keduanya. Di sini dan di rumah. Koyakan Sario terjadi tepat pukul
delapan lima puluh empat.>
"Dengan kata lain, jika mau kembali ke zona waktu kita sendiri, kita harus
melakukannya sebelum Koyakan Sario terjadi pada pukul delapan lima puluh
empat," kataku. terjadi. Waktu kita kurang dari enam jam.>
"Bagaimana cara kita melakukannya?"
Aku mengangguk. "Yah, kalau kita terperangkap, Visser Three juga, kan" Dia juga
pasti tahu tentang Koyakan Sario. Jika dia pulang, kita bisa pulang bersamanya.
Yang harus kita lakukan hanya masuk ke dalam pesawat Blade, bersembunyi di
dalamnya, dan membiarkan Visser Three membawa kita pulang. Maksudku, itu
satu-satunya jalan, ya kan?"
Ax mulai bicara. Lalu ia berhenti.
"Apa?" tanyaku padanya. "Apa ada cara lain untuk pulang?"
Ax lama menatapku. Seolah ia tidak pasti harus mengatakan apa. Atau apakah ia
sebaiknya mengatakan sesuatu. Ia sedang dalam morf kera, jadi aku tidak bisa
membaca mimiknya dengan jelas.
mereka mengajarkannya di sekolah.>
Aku tahu ia menyembunyikan sesuatu. Aku seharusnya mendesaknya. Tapi tidak
kulakukan. Satu lagi kesalahan "pemimpin pemberani" Animorphs.
Animorphs - 11 Petualangan Di Dua Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Chapter 16 15.40 "MENYADAP" kera ternyata mudah. Beberapa berayun turun dari pohon untuk
mengendus-endus Ax. Dan mereka tampaknya tidak terlalu takut, karena kami
semua berdiri diam tak bersuara.
Aku mengulurkan tangan ke arah salah satu kera, pelan dan lembut. Ia memandang
tanganku, mengamatinya. Lalu ia memunggungiku, seolah minta aku
menggaruknya. "Oke," kataku. "Dengan senang hati."
Kugaruk punggung kera kecil itu. Dan sambil melakukannya, aku memejamkan
mata serta memusatkan pikiran pada binatang itu. Ia jadi diam, seolah dalam
keadaan trans. Itulah yang selalu terjadi saat kami sedang menyadap seekor
binatang. Kusadap DNA kera itu ke dalam tubuhku.
"Morf ini pasti gampang sekali," komentar Cassie setelah selesai menyadap kera
lain. "Kera-kera ini bukan kerabat langsung Homo Sapiens, tapi sebagian besar
DNA kita identik. DNA simpanse sekitar sembilan puluh tujuh persen identik
dengan DNA manusia."
"Atau dalam kasus Marco, sembilan puluh sembilan persen," celetuk Rachel.
"Ya, seperti kenyataan DNA Rachel sebenarnya sembilan puluh sembilan persen
identik dengan boneka Barbie Malibu," balas Marco.
"Tolong perhatikan," kataku galak. Sebenarnya aku lega melihat semua orang
bersikap normal. Aku justru akan khawatir kalau Cassie tidak berkhotbah tentang
binatang dan Marco serta Rachel tidak saling menggoda.
"Ax" Apa kau dapat kesulitan ketika berubah wujud jadi kera?" tanya Cassie.
bersemangat. Lagi pula mereka tidak gampang jatuh seperti manusia.>
Ax tak hentinya terheran-heran mengetahui manusia hanya jalan di atas dua kaki,
bahkan tanpa ditopang ekor.
"Oke, ayo kita lakukan," kataku. "Kita tidak punya banyak waktu, dan kita
Datuk Pulau Ular 1 Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong Serigala Berbulu Domba 2
Mata manusiaku baru saja kembali muncul ketika Tobias terbang menerobos
masuk pintu Bug Fighter. Aku melihat ke kiri.
Sebuah makhluk mengerikan berekor kalajengking dan berkaki lalat, berwajah
semi-manusia dengan probosis raksasa, sedang mencoba menjalankan kendali
pesawat dengan kaki-kaki kurus lalat yang tampak canggung. Itu Ax, separo
berubah wujud. Tiba-tiba pintu menutup. Atau lebih tepatnya, lubang pintu lenyap.
"Mereka ada di dalam Bug Fighter!" kudengar Chapman meraung murka. "Mereka di
dalam Bug Fighter! Tangkap mereka!"
Kini sebagian besar bentukku sudah manusia, tapi masih pada tahap di mana aku
tidak akan mau melihat pantulanku sendiri di cermin. Yang lain juga sedang
berubah wujud. Cassie yang paling cepat, seperti biasa. Ia sudah memeriksa tubuh
Tobias, melihat apakah ia terluka.
Bentuk Ax kini hampir sepenuhnya Andalite lagi.
"Ax, keluarkan kita dari sini!" teriakku, ketika mulut manusiaku kembali.
Aku tidak membuang waktu memberitahunya supaya jangan memanggilku
"Pangeran."
BLAR!BLAR!BLAR!BLAR!BLAR!
Peluru menghantam kulit luar Bug Fighter.
Lalu aku mendengar suara derum mesin. Melalui jendela kokpit, aku melihat para
Pengendali menjalankan buldoser besar ke arah kami.
"Mereka akan menghantam kita!" Marco memperingatkan.
"Ax?" panggilku tegang.
Terdengar bunyi mendenging. Lampu menyala di seluruh kokpit. Suaranya seperti
sirene pelan.
"Bagus," kata Marco. "Sekarang cari sakelar keluarkan-kami-dari-sini!"
Aku merasakan pesawat terangkat dari atas lantai Safeway. Pesawat mengapung di
udara setinggi sekitar tiga puluh sentimeter dan agak oleng. Mesin berat di
bawah masih menyerbu ke arah kami.
Ax memutar pesawat tempur itu, menghadapkannya ke arah tembok yang lubang.
"Ayo kita coba," kataku.
Lalu... WEEESSSSS! Rasanya seperti ada yang menendang dada kami. Kami semua terpental ke
belakang - semua kecuali Ax, yang berkaki empat.
Akselerasi pesawat itu luar biasa. Bug Fighter menerjang ke depan. Kami melesat
menembus lapisan plastik itu.
Kami melesat di atas tempat parkir.
Kami melesat naik ke arah langit malam yang gelap.
"Kita berhasil!" teriak Rachel.
"Yang penting bawa kita keluar dari sini, Ax," kata Marco. "Kita akan pergi ke
Washington, D.C., bertemu Presiden."
Chapter 9 20.42 DI DALAM Bug Fighter terasa penuh sesak. Apalagi Ax banyak makan tempat.
Tapi kami berimpitan dan melihat dari atas bahu Ax ketika ia menjalankan
kendali. Dan kami melihat ke luar, menembus panel transparan di bagian depan Bug
Fighter.
kendali ini dirancang untuk bangsa Taxxon. Mereka punya lebih banyak tangan
daripada aku.> "Apa bisa kami bantu?" tanyaku.
"Keren," Marco menanggapi. Ia melompat maju, tapi aku lebih dekat. Aku menyelip
duduk di area di sebelah Ax. "Kursi" pilot Ax tentu saja sama sekali bukan
kursi. Tubuh Taxxon seperti lipan raksasa, jadi mereka tidak bisa benar-benar
duduk. Untunglah, karena Ax juga tidak bisa duduk.
Tapi stasiun senjata itu dirancang untuk Hork-Bajir. Makhluk itu tingginya dua
meter dan punya ekor tebal berduri, tapi mereka bisa duduk.
"Tidak mungkin kau yang menangani senjata," kata Marco, membungkuk ke atas
bahuku. "Aku mengalahkanmu di video game."
"Yeah, benar," kataku. "Mungkin di dunia lain."
"Pegang joystick itu," usul Marco.
Meskipun tampak aneh, di sana memang ada joystick. Tuas itu dirancang untuk
ukuran tangan yang jauh lebih besar daripada tanganku, dan kedua tombolnya sulit
diraih. Tapi itu memang joystick.
"Mungkin aku harus mencoba senjatanya," kataku pada Ax.
< Ya,> jawabnya tegang, sibuk.
Kami mengangkasa menuju atmosfer. Kami sudah berada di atas awan. Aku dapat
melihat pendar-pendar lampu kota di bawah, tapi sebagian besar yang terlihat
hanya awan, awan, dan awan.
Tapi kami tidak mengudara secepat yang kuharapkan. Ax benar-benar harus
berjuang mengendalikan pesawat itu.
Aku memandang ke depan, tidak melihat ada rintangan, dan menekan salah satu
tombol di joystick. Tidak terjadi apa-apa. Ax melirik.
Gunakan kombinasi gerakan joystick, tapi pakai juga pikiranmu.>
Marco meletakkan sebelah tangan di atas bahuku. "Phaser kekuatan penuh!"
katanya dengan aksen Inggris Kapten Picard. "Isi torpedo photon! Jika bangsa
Borg menginginkan perang, kita akan memberi mereka perang! Lakukanlah!"
Aku menggerakkan joystick dan melihat lingkaran target, mencari sasaran di
layar. Yang terlihat hanya langit berbintang. Pasti cukup aman.
Aku menekan tombol kedua.
SIUUTTT! SIUUTTT! Dua pancaran sinar merah ditembakkan ke depan, bertemu di satu titik yang
terlalu jauh untuk dapat kulihat.
"Ya! Sempurna sekali!" teriak Marco.
"Oke, benar-benar keren," aku mengakui, mencoba tidak terkekeh-kekeh seperti
orang idiot yang baru pertama kali memainkan video game.
"Anak laki-laki dengan mainannya," goda Cassie pelan.
"Kenapa?"
Baru beberapa detik kemudian aku mengerti. "Maksudmu... orang dapat melihat
kita?"
jawab Ax.
"Oke, itu bukan pesawat penumpang," kata Marco.
Aku mengerang. "Jet militer. Oh, man, kita dikejar Angkatan Udara. Mereka 'orang
baik.' Mereka di pihak kita. Kita tidak boleh menembak mereka."
Tiba-tiba... WEEESSSSS! WEEESSSSS! Dua jet abu-abu pucat melesat melewati kami. Gesekan udaranya mengguncang
Bug Fighter.
mendengar suara salah seorang pilot.
"Ehm... Kontrol Pusat, saya... ehm... Pesawat asing tidak diketahui jenisnya.
Ulangi, tidak diketahui jenisnya."
"Mutlak tidak tahu," kata pilot yang satu lagi. "Sama sekali tidak tahu."
"Kami akan berputar sekali lagi."
Aku memandang Ax. "Kita benar-benar tidak mau ditembak jatuh sepasang F-
enam belas."
"Yes! Benda ini benar-benar bisa ngebut!" sorak Marco. "Kita harus membeli game
ini." Kami mendengar suara derak yang lebih samar di radio. "Kau lihat tadi" Kau lihat
gerakan benda itu, Kolonel" Kau lihat" Apa..."
Lalu kami sudah keluar radius, masih melesat lurus ke ruang angkasa hitam. Di
belakang kami terlihat kurvatur bumi. Persis seperti salah satu foto yang
diambil para astronaut dari orbit.
"Indah sekali," kata Cassie. "Lihat itu! Kita dapat melihat fajar menyingsing di
atas Laut Merah."
aku hampir tidak mau mengkhawatirkan ke mana kami akan pergi. "Ax, mungkin kita
sebaiknya mengurangi kecepatan, memastikan di mana arah
Washington dan..."
Aku terkejut. Ax biasanya selalu sopan.
"Kenapa?" tanya Cassie.
Ax menunjuk ke salah satu layar tayangan di depannya. Di layar terlihat bintang-
bintang. Lalu tampak bulan, bohlam kelabu-putih raksasa.
Dan berlatar belakang bulan yang berkilauan tampak sebuah siluet. Bentuknya
seperti kapak perang abad pertengahan. Bagian belakangnya berbentuk belati
berkepala dua. Dari bagian tengah, seperti gagang kapak, menjulur sebuah tongkat
panjang. Di ujung tongkat itu ada sebuah kepala segitiga, mirip ujung panah.
Warnanya hitam berlatar hitam. Dan bahkan jika belum pernah melihatnya pun,
dan tidak tahu apa itu, orang akan langsung tahu benda itu membawa kematian.
Aku pernah melihatnya. Aku tahu itu benda apa.
"Pesawat Blade," bisikku.
Pesawat Blade milik Visser Three.
Chapter 10 20.54 VISSER THREE, pemimpin penyerbuan Yeerk ke Bumi.
Visser Three, satu-satunya Yeerk dalam sejarah yang bisa menguasai tubuh
Andalite. Visser Three, satu-satunya Yeerk yang mempunyai kemampuan morf.
"Apa kita bisa mengalahkan kecepatannya?" tanyaku pada Ax.
Suaraku berupa bisikan. Mulutku terlalu kering untuk bicara normal.
Ax menatapku dengan mata tanduknya.
kuat. Ini pesawat Blade yang menghancurkan pesawat Dome kami.>
"Ini dia datang!" teriak Rachel memperingatkan. Sebuah kilau merah menerangi
pesawat Blade ketika Visser menyalakan mesinnya dan mengejar kami.
kata Ax. Ia menatapku. Mereka semua menatapku. Kuraih joystick. Tanganku gemetar.
"Aku merasa beruntung," kataku.
Tentu saja aku bohong besar. Aku bahkan sedikit pun tidak merasa beruntung.
Tapi kebohonganku kedengarannya bagus.
Aku melihat senyum sinis Marco. Ia tahu aku berpura-pura. Aku merasa tangan
Cassie menyentuh bahuku, memberikan semangat.
Ia membalik arah Bug Fighter dengan gerakan cepat dan efisien. Ax benar. Aku
hampir terguling sebelum posisi Bug Fighter kembali seimbang.
Lalu Ax menyalakan mesin dengan kekuatan penuh dan kami melesat ke depan,
langsung ke arah pesawat Blade.
Kuayunkan lingkaran target merah ke arah kepala berlian hitam pesawat Blade.
Kutekan picu. Dan terus kutekan.
Sinar Dracon menyilaukan menghunjam ke arah pesawat Blade.
Tapi pada saat bersamaan, Visser menembak!
Sinar Dracon menghantam sinar Dracon.
BEEEZZZZZ! Terjadi ledakan sinar yang begitu menyilaukan hingga aku bahkan bisa melihat
menembus tanganku sendiri. Aku dapat melihat gigi Cassie di dalam kepalanya!
DEEERRRRR! Aku terlempar menghantam langit-langit.
Aku jatuh ke lantai dan berguling-guling, lepas kendali.
Rachel mendarat di atasku, membuat dadaku sesak tidak bisa bernapas.
Bug Fighter berputar-putar. Mataku penuh bola-bola sinar, seperti ada matahari
di dalam kepalaku sendiri. Berputar... berputar... berputar...
Dan pada tiap putaran, aku terpental keras. Menabrak Ax. Menghantam Marco.
Tobias mengepakkan sayap panik, mencoba mengendalikan terbangnya. Seolah
kami semua dilontarkan ke dalam mesin cuci yang berputar-putar.
Lalu dengan gerakan tiba-tiba yang membuat mual, Bug Fighter berdiri tegak.
Lantai jungkir balik. Lalu langit-langit.
Dan di luar jendela tampak sebuah planet.
Bumi. Besar, biru, dan mendekat dengan sangat, sangat cepat.
"Kita jatuh!" teriak Rachel. "Ax! Ax! Kita jatuh!"
Ax bergegas berdiri dan berjalan kembali ke panel kendali.
terguling-guling di samping kami, hanya sejauh satu setengah kilometer,
tampak pesawat Blade. Pesawat itu berputar-putar dan terpilin dan jatuh, persis
seperti kami. "Tunggu...," kata Cassie, lebih terdengar bingung daripada takut. "Di belahan
bumi barat sedang siang hari."
"Apa aku peduli"!" teriak Marco. "Kita jatuh!"
"Tadi di Timur Tengah sedang fajar," Cassie bersikeras. "Sekarang di belahan
bumi barat sudah terang."
Tiba-tiba percik api gesekan mulai menyala dari hidung Bug Fighter. Kami
kembali memasuki atmosfer.
"Ax, apa kau bisa mengeluarkan kita dari sini?" tanyaku khawatir.
"Hebat," erang Marco.
"Setidaknya pesawat Blade akan ikut jatuh bersama kita," kata Rachel.
"Apa hal itu membuat perasaanmu lebih enak, Xena?" tanya Marco geram.
Rachel bahkan tersenyum. Senyum kecil yang tampak sedih.
"Tidak terlalu enak," ia mengakui.
SETTT! Kami tidak lagi berada di dalam Bug Fighter.
Aku sedang berdansa koboi.
Aku melemparkan pandangan kesal pada Rachel ketika membungkuk padanya
seirama musik.
Animorphs - 11 Petualangan Di Dua Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ada a... SETTT!
Aku melihat warna hijau. Hijau di atas hijau, melesat ke arahku.
Dan kemudian kami terbanting.
Dan sejenak, aku sama sekali tidak melihat apa-apa.
Chapter 11 Waktu: Tidak Tahu. NGUUK! NGUUK! NGUUK! NGUUK! NGUUK! NGUK!
NGUK! NGUK! NGUK! NGUK! NGAK! NGAK!
KAAKAAKAAK! KAAKAAKAAK! KAAKAAKAAK!Aku bangun.
Aku dengan sangat tiba-tiba bangun.
KAAKAAKAAK! KAAKAAKAAK! KAAKAAKAAK!
NGAKNGAKNGAKNGAK! Kepalaku sakit, dan suara menjerit-jerit itu membuat sakitnya tambah parah.
Punggungku juga nyeri. Aku sedang terbaring di tanah. Di atas dedaunan busuk berjamur. Pepohonan
menjulang di atasku. Tingginya tak masuk akal.
Tanaman pakis menggelayut menggelitik wajahku. Di bawah punggungku ada akar
atau sesuatu mengganjal, yang menjelaskan mengapa punggungku sakit.
Tapi aku masih hidup. KuWAW! KuWAW! KuWAW! CIPCIPCIP! CIPCIPCIP! CIPCIPCIP!
Aku cepat-cepat duduk. Tapi gerakan itu membuat sengatan rasa sakit menjalar ke
kepalaku. "Oh, man," erangku.
Lalu aku melihat serangga itu. Serangga di pangkuanku.
Serangga MONSTER raksasa. Kurasa itu sejenis kumbang. Tubuhnya bergaris
kuning-hitam dan bersungut. Aku yakin panjangnya lima belas sentimeter. Atau
sedikitnya tujuh sentimeter. Bentuknya sebenarnya indah, kalau tidak menempel di
tubuhku. "AAAAAHHH!" aku menjerit dan mengibaskan kumbang itu.
Lalu aku merasa ada sesuatu yang merayap dan gatal di kakiku.
Semut! Ada selusin semut merayap naik di tulang kering kaki kananku.
Aku pernah jadi semut. Jadi kalian akan berpikir mungkin aku bersimpati pada
mereka. Salah. Aku menepuk-nepuk kakiku sampai yakin binatang itu sudah tidak
ada. Aku merangkak berdiri. Kepalaku berputar-putar dan aku merasa bingung. Di
mana aku" Di mana yang lain"
Aku melihat ke sekeliling. Hijau. Hijau di mana-mana.
Maksudku, di mana-mana. "Halusinasi itu," kataku pada diri sendiri.
Aku berada dalam rimba. Aku yakin. Aku tidak pernah ke rimba, tapi aku sama
sekali tidak ragu. Mungkin karena pekikan monyet dan burung yang menggila di
sekitarku. Mungkin karena sulur-sulur pohon dan tanaman merambat. Mungkin
karena burung merah-biru memesona yang berkelebat dari dahan ke dahan.
Mungkin karena kumbang seharusnya tidak boleh sebesar binatang yang
menempel di tubuhku tadi.
Aku sudah pasti berada dalam rimba.
Persis seperti kelebat halusinasi aneh yang kurasakan sejak siang hari saat
berdansa koboi itu. "Itu sebabnya," gumamku. "Dansa koboi itu yang membuatku gila." Aku memutuskan
berteriak memanggil yang lain. "Hei! Hei! Cassie! Marco!"
Tapi suaraku seolah tak bertenaga. Bunyinya langsung ditelan pepohonan dan
dedaunan pakis serta semak-semak.
"Oke, tenanglah, Jake. Coba ingat-ingat. Kau sedang berada di dalam Bug Fighter.
Rupanya pesawat itu jatuh. Jadi carilah Bug Fighter. Pasti tidak jauh."
Aku melihat ke sekeliling, menatap dinding hijau padat di semua arah. Udara
beruap lembap. Dan aroma menusuk bunga-bunga, serta tanaman tropis yang
membusuk, membuatku merasa seperti sedang melewati gerai parfum di
department store. Lalu aku melihat pohon yang separo bagian atasnya sudah patah. Aku mulai
berjalan, mencoba melihat dari sudut yang lebih baik di atas pohon patah itu.
Aku melihat pohon kedua, hancur berkeping-keping. Aku mulai menyadari ada jalur
yang menyerupai terowongan, digali menembus kerimbunan tanaman yang padat.
Sebuah terowongan yang digali menembus pepohonan dan kerimbunan tanaman
akan membawaku ke Bug Fighter.
"Atau pesawat Blade," aku mengingatkan diriku sendiri.
NGUK! NGUK! NGUK! NGUKNGUKNGUKNGUK! NGAK! NGAK! NGAK!
Suasana rimba kini agak tenang, tapi masih ada pekikan yang cukup bising dari
pucuk tinggi pepohonan. Binatang-binatang rimba kedengarannya terganggu.
Mungkin mereka tidak suka ada yang menjatuhkan Bug Fighter ke dalam rumah
mereka. Dan mereka juga tidak menyukai rupaku.
Anehnya lantai rimba tampak kosong. Pada ketinggian kaki tidak ada banyak
tanaman, hanya dedaunan mati. Tapi pada ketinggian wajah terdapat sulur tanaman
dan semak-semak serta dedaunan pakis, menghalangi gerakan majuku menerobos
kerimbunan. Tiba-tiba aku sampai di area terbuka. Sebuah lubang di tengah kerimbunan hijau,
tempat sebuah pohon tumbang. Terang matahari menyinari celah itu. Dan seolah
semua spesies tanaman berdesakan tumbuh di area terang itu.
Aku berhadapan dengan dinding tanaman yang mengagumkan: selusin jenis bunga
cerah, lumut yang begitu hijau hingga tampak seperti tidak asli, sulur-sulur
kecil melibat sulur-sulur yang lebih besar di sekeliling batang pohon.
Itu tempat terhijau di Bumi. Bahkan ada tanaman tumbuh di batang licin
pepohonan tinggi. Aku terus menerobos maju, kembali memasuki bayangan rimba, dan ketika
menengadah, aku tidak lagi bisa melihat terowongan di antara kerimbunan
tanaman. Saat itulah aku mulai merasa benar-benar takut.
Aku berada di tengah rimba. Dan rimba tidak sama dengan hutan, di mana aku
biasanya dapat melihat sejauh ratusan meter ke segala penjuru. Tanaman rimba
sangat rimbun. Seperti terkubur dalam kehijauan.
Ker-AK! Ker-AK! AKAKAKAK!
"Marco! Cassie! Rachel!" teriakku, mulai merasa panik.
Aku menengadah dan tak melihat apa pun. Lalu aku melihatnya menukik ke
arahku dari dahan tinggi sebuah pohon.
"Tobias!" teriakku. Aku melambaikan tangan. Tentu saja ia sudah melihatku. Tapi
aku sangat lega. Jadi aku kembali melambai.
Tubuh elang ekor merah itu tampak biasa, membosankan dibandingkan
keanekaragaman hayati rimba ini. Ia mendarat di atas gelondong kayu busuk yang
terselubung lumut. "Tobias! Yang lain?"
Cassie mendarat di atas seekor ular. Ular yang sangat besar.>
"Di mana kita?"
Aku mengikuti Tobias, mendorong dan menyibak serta berjuang menembus rimba
yang tampaknya bertekad menghentikanku. Aku basah oleh keringat dan terengah-
engah menghirup udara di antara kerimbunan pepohonan.
Lalu aku sampai di area terbuka. Bukan area terbuka alami, tapi yang disebabkan
jatuhnya Bug Fighter. "Jake!" Cassie berteriak dan berlari mendekat untuk memelukku. Sebelah tangannya
tergores luka dalam, dan sudah ia balut dengan cabikan T-shirt-nya.
"Kau masih hidup," kata Marco. "Untuk saat ini," tambahnya muram.
"Sudah kubilang dia pasti selamat," kata Rachel.
Bug Fighter dalam posisi berdiri tegak, tapi satu sisinya tampak seolah telah
dikelupas. Kami dapat melihat bagian dalamnya. Tangki mesin kirinya terpilin
miring. Ax berada di dalam. Ia menunduk melihat ke arahku melalui lubang di sisi
pesawat.
"Aku juga senang," kataku. "Sekarang... di mana kita?"
"Di mana sih gampang," celetuk Cassie. "Hutan hujan. Bukan di Afrika, karena aku
tadi lihat ada monyet berekor prehensile. Kalian tahu kan, ekor yang bisa
dipakai berayun. Sepertinya kita ada di Amerika Tengah atau Selatan. Mungkin di
hutan hujan Kosta Rika, atau di hutan hujan Amazon."
"Taruhan kita ada di Amazon," kata Marco ceria. "Masalahnya apakah aku akan
hidup cukup lama untuk mengambil hasil taruhanku"Siapa berani bertaruh?"
Aku tertawa. "Kau memang selalu optimis, Marco."
Aku berbalik menatap Cassie. "Jadi. Hutan hujan Amazon, eh?"
"Kan tadi aku sudah bilang, pertanyaan di mana kita cukup gampang dijawab."
"Cassie, mengapa aku merasa ada sesuatu yang tidak kaukatakan padaku?" tanyaku
padanya. "Ingat waktu kita di orbit" Ingat saat itu di Amerika Utara sedang malam hari,
tapi matahari baru akan terbit di atas Laut Merah?"
Aku mengangkat bahu. "Memang kenapa?"
"Nah, setelah kita menembak pesawat Blade, ketika pesawat kita jatuh, di sini
sedang fajar. Di atas Amerika Selatan."
Baru beberapa detik kemudian aku mengerti maksudnya.
Ax berjalan berderap ke luar Bug Fighter. Ia menyeka tangannya di lap kotor.
kita telah menciptakan sesuatu yang kami sebut Koyakan Sario.>
"Apa" Koyakan Sario" Apa itu?"
"Tolong pakai bahasa Inggris," aku memperingatkan. "Tolong, bahasa Inggris
biasa." "Kita meledak menembus waktu, Jake," kata Cassie. "Kita tidak berada di tempat
yang kita inginkan. Dan kita tidak berada pada waktu yang kita inginkan."
Aku terpaku menatapnya. "Kita maju atau mundur" Kita ada di masa lalu atau masa
depan?"
13.22. Lagi. "JADI mari kita simpulkan. Kita mungkin ada di hutan hujan Amazon. Dan kita
mungkin ada di masa lalu, atau di masa depan. Kita tidak bisa menerbangkan Bug
Fighter keluar dari sini. Kita tidak bisa tahu apakah di dekat sini ada kota
besar atau kota kecil atau bahkan jalan raya." Aku menatap teman-temanku. "Ada
yang mau menambahkan?"
Andalite punya kemampuan alami mengetahui waktu tanpa melihat jam. Seperti
semacam jam internal. Kemampuan yang berguna. Tentu saja akan lebih berguna
kalau kami tahu sekarang ada di abad ke berapa.
Cassie mengacungkan sebelah tangan, seperti dalam ruang kelas. "Hutan hujan
penuh ular beracun, serangga beracun, tanaman beracun, dan katak beracun."
"Maaf?" tanya Marco. "Katak beracun" Kau bilang katak beracun?"
"Ditambah lagi, sedikitnya ada satu pemangsa besar: jaguar."
"Aku suka mobil merek itu," celetuk Marco.
"Sekarang kita tidak punya makanan dan minuman," Rachel menambahkan. "Juga,
tidak punya senjata."
"Kita tidak bisa tetap dalam bentuk morf selama lebih dari dua jam," Cassie
menjelaskan. "Sebenarnya kita tidak bisa terbang lebih cepat dari tiga puluh
lima atau lima puluh kilometer per jam. Itu berarti sekitar seratus kilometer
per morf. Dan kita mungkin berada seribu lima ratus kilometer di pedalaman."
"Lagi pula," kata Marco muram. "Apa yang akan kita lakukan" Cari sebuah kota,
telepon keluarga kita dan memberitahukan kita ada di Amerika Selatan" 'Hei, Dad,
coba tebak. Aku ada di Brasil. Atau mungkin di Kosta Rika. Apa Dad bisa
menjemputku"'" "Itu pun kalau ada kota," kata Rachel. "Kalau ada telepon. Kalau orangtua kita
sudah dilahirkan, atau masih hidup. Kau lupa sesuatu - kita mungkin ada di tahun
dua ribu sebelum Masehi. Atau... mungkin di tahun sepuluh ribu sesudah Masehi."
"Ax, bagaimana sebenarnya Koyakan Sario ini?" tanyaku pada si Andalite.
"Maksudku, apakah ada penangkalnya?"
Ax tidak menjawab. Aku melihat mata tanduknya perlahan bergerak ke kanan.
Aku melemparkan pandangan ke arah yang sedang dilihat Ax.
Sesuatu bergerak! Aku melihat sekelebat sosok bahu, lengan, dan kepala.
"Bagus," kataku. "Tobias?"
antara pepohonan.
"Yeah, kau sudah mengatakannya," kata Marco.
pertandingan itu daripada pelajaran. Lagi pula ada makhluk perempuan yang
mengganggu konsentrasiku.>
Marco tertawa. "Ax, maksudmu kau terlalu sibuk menggoda seorang gadis hingga
tidak memperhatikan pelajaran?"
Ax tidak menjawab. Ia hanya berkata,
"Aku haus," kata Rachel. "Apa pun yang akan kita lakukan, kita harus mencari
air. Dan makanan. Ax, apa kita bisa memperbaiki Bug Fighter?"
Koyakan Sario telah memusnahkan semua perangkat lunak pesawat. Semua
sudah terhapus.> "Apa kau bisa memprogram ulang perangkat lunaknya?" tanya Rachel.
"Dari tadi kabar baik terus," gumamku. "Hei. Tunggu. Apa yang terjadi pada
pesawat Blade?" Ax tampak tidak tahu. "Aku melihat pesawat itu terguling-guling jatuh bersama kita," kata Cassie.
"Tapi aku tidak melihatnya menghantam bumi."
"Jadi mungkin, sebagai tambahan, kita juga harus mengkhawatirkan Visser Three
dan sepesawat pejuang Hork-Bajir," kataku. "Tolong beri aku kabar baik."
"Yah, sekarang masih siang," kata Marco, menyeringai lebar dibuat-buat. "Kalau
sudah malam, kita akan..."
Sekali ini aku tidak berpikir lagi. Aku membungkuk. Dan bahkan saat
membungkuk, aku melihat wajah itu. Aku melihat lengan itu. Aku melihat tombak
itu. Melesat lurus ke arahku. Tepat ke wajahku. Bayangan itu! Ini halusinasi itu!
Aku membungkuk. Tombak melesat di atas kepalaku dan terbenam di dalam
semak-semak. Tobias berkepak panik ke udara.
"Aku tahu itu akan terjadi," kataku. "Tombak itu. Anak yang melemparnya. Aku
tahu!" Cassie menatapku aneh. "Jake, apa mak..."
"Mengapa?" tuntut Rachel terhina. "Kita bisa menangani anak kecil bertombak."
"Kita tidak bisa meninggalkan Bug Fighter!" protes Rachel. "Dengan cara apa lagi
kita bisa pergi dari tempat ini?"
"Kita juga tidak bisa bertahan dan bertempur melawan dua puluh pejuang Hork-
Animorphs - 11 Petualangan Di Dua Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bajir," kataku. "Kita harus mundur."
Aku melirik dan melihat Cassie. Ia telah mengambil tombak di semak-semak.
Senjata itu berupa tongkat kayu tipis yang panjang.
Tidak ada mata tombaknya. Hanya sebuah tongkat tajam yang berujung hitam.
"Kelihatannya tidak terlalu mematikan," kataku. Cassie menggeleng. "Tidak.
Mungkin tongkat ini memang tidak bisa dipakai membunuh. Kecuali ujungnya
direndam racun. Dan kita berada di pusat racun alami."
"Penduduk lokal.....kurasa mereka tidak akan buang waktu menggunakan senjata yang
tidak mempan, ya kan?" tanyaku.
"Benar," jawab Cassie tandas. "Kemungkinan besar tombak ini berujung racun. Di
sini ada katak dan tanaman beracun yang digunakan membuat panah dan tombak
beracun. Sangat mematikan. Sangat, sangat mematikan. Jelas Hork-Bajir bukan
satu-satunya masalah kita."
Aku tidak dapat melihatnya, tapi aku tahu ia ada di atas kanopi rimba.
Hork-Bajir yang sedang mendekati kalian.>
Waktu membuat keputusan. Bertahan dan bertempur" Kami akan kalah. Melarikan
diri" Berarti kami menyerahkan Bug Fighter, satu-satunya alat yang bisa membawa
kami pulang. "Ax" Apa ada sesuatu... apa pun... yang dapat kauambil dari dalam Bug Fighter
supaya Yeerk tidak bisa menerbangkannya?"
Ax menatapku dengan mata utamanya, saat mata tanduknya mengamati hutan di
sekeliling kami.
"Kalau begitu ambillah," kataku.
hingga bisa mendengar suaraku. Tapi tanaman di sana sangat rimbun hingga tak
jelas di mana posisinya. Ax ragu, tidak yakin harus melakukan apa.
Yang lain menatapku. "Lakukan, Ax," kataku. Ia berlari ke arah Bug Fighter. "Yang lain, tinggalkan
tempat ini." "Aku tinggal bersamamu," protes Rachel.
"Aku tidak akan tinggal di sini. Jangan ambil terlalu banyak risiko," bentakku.
"Kita hanya perlu Ax untuk melakukan hal ini. Tidak ada gunanya
mempertaruhkan keselamatan yang lain."
Aku menerobos kerimbunan tanaman. Aku menyabet lengan Rachel dan
menariknya pergi. Cassie dan Marco mengikutiku.
Aku tidak menjawab. Inilah tidak enaknya jadi pemimpin - saat aku
mempertaruhkan nyawa orang lain. Jika Ax akhirnya tewas, aku akan sangat sulit
menjelaskannya pada teman-temanku. Dan pada diriku sendiri.
Chapter 13 13.48 AKU bahkan tidak dapat menjelaskan hutan hujan itu seperti apa. Untuk
menjelaskannya aku harus menjadi seorang pujangga dan ilmuwan sekaligus
penulis horor. Aku hanya bisa mengatakan seperti apa rasanya. Aku merasa kecil. Kerdil.
Sendirian. Lemah tak berdaya. Takut.
Aku merasakan panas dan kelembapan yang menyesakkan napas. Seolah tidak ada
cukup udara. Setiap tarikan napas seperti bernapas dari sedotan. Aku menghirup
dan mengembuskan udara mengandung uap dan parfum bercampur bau benda-benda
busuk. Rimba mengelilingiku. Mengimpitku dari semua sisi. Dedaunan basah menempel
di wajahku; tanaman merambat seolah sengaja terjulur untuk menjegalku; batang-
batang tajam menorehku. Ditambah dua ancaman mengerikan: serangga dan rasa haus.
Nyamuk, ngengat, lalat besar, dan serangga terbang lain yang bahkan namanya pun
tidak kuketahui, merubung kami dalam bentuk awan yang berputar-putar.
Mereka menukik dan menyerang, lalu tiba-tiba menghilang, dan kemudian
menyerang lagi. Kalau aku berhenti berjalan, meski hanya beberapa detik, kakiku
sudah tertutup semut atau lipan atau kumbang atau serangga yang tidak bisa
dideskripsikan. Dan keadaan itu terasa tambah parah karena kami tidak bersepatu.
Udara panas menyedot ke luar semua cairan dari dalam tubuh kami. Keadaannya
seburuk di padang pasir. Orang mungkin berpikir karena di hutan hujan banyak
tanaman maka di sana juga ada banyak air. Ternyata tidak. Permukaan tanah di
bawah kaki kami dalam keadaan kering. Semua air diserap tanaman.
Sepanjang perjalanan menerobos belukar sulur tanaman dan tumbuhan pakis serta
semak dan ngengat serta lalat dan nyamuk, kami diikuti serenade kotekan,
erangan, jeritan, salakan, kekeh binatang yang memekakkan telinga, bunyi detak,
suara garukan, dan kadang auman ketika setiap spesies mengomentari kebodohan
segerombol anak pinggiran yang berkeliaran di hutan hujan. Siapa tahu mereka
mungkin sedang bertaruh berapa lama manusia-manusia tolol ini akan bertahan
hidup. Kami telah menerobos masuk sekitar dua ratus meter meninggalkan Bug Fighter
ketika mendengar kekacauan di belakang kami.
"Andalite!" raung makhluk Hork-Bajir. "Andalite!"
Aku menggigit bibir sampai terasa darahku keluar.
"Kita harus berubah wujud dan kembali menyelamatkannya," kata Rachel.
Matanya menyala-nyala. Aku bisa mengatakan tidak. Aku punya alasan mengatakan tidak. Kami berada di
tempat asing, menghadapi risiko besar. Lagi pula, di antara kami, Ax-lah yang
paling cepat dan paling mampu melarikan diri. Tapi Rachel pasti akan tetap
pergi. "Hanya kita berdua," sentakku. "Aku dan kau, Rachel. Marco dan Cassie, tinggal
di sini." "Kenapa kami mesti tinggal di sini?" tanya Marco, marah.
"Karena kita butuh pasukan cadangan, Marco," kataku tegang.
Aku tidak tahu apakah ia mengerti atau tidak. Rachel mengerti. Ia mulai berubah
wujud. Aku berubah wujud jadi harimau secepat mungkin. Rachel sudah hampir sempurna
jadi beruang Grizli - bahu besar dan bulu cokelat kasar, serta cakar melengkung
panjang. SIIINGGGGG! SIIINGGGGG! Suara sinar Dracon mencapai pendengaran kami. Binatang rimba di atas
pepohonan kembali bising berkomentar.
Ku-WWWWAAAAAWWWW! NGUK! NGUKNGUKNGUKNGUK! Aku dapat mendengar sesuatu berukuran besar menerobos belukar, tapi aku tidak
bisa melihat apa-apa. Di hutan hujan bisa melihat sejauh satu setengah meter
saja ke segala arah sudah beruntung.
arah Bug Fighter, dalam bentuk segumpal besar bulu dan otot.
Aku memakinya dalam hati. Tubuhku sudah terselubung bulu bergaris oranye-
hitam. Aku bertumpu pada keempat kakiku. Taring kuning panjang tumbuh di
mulutku. Cakar tajam panjang muncul di tempat bekas kuku jariku.
Aku merasakan benak harimau.
Aku melihat melalui mata harimau.
Aku merasakan gelombang tenaga, energi harimau. Binatang ini berada di
habitatnya di hutan tropis. Ini tempat yang cocok buatnya.
Harimau adalah raja di daerah kekuasaannya sendiri. Tapi tentu saja di hutan
asal harimau tidak ada Hork-Bajir. Dan tidak ada Visser Three.
Aku melompat ke depan, mengikuti jejak Rachel menerobos semak belukar. Aku
dengan mudah mengejarnya. Aku memang hidup di hutan. Beruang Grizli tidak.
Napas Rachel tersengal.
Aku mendengarkan dengan telinga harimau. Kubiarkan insting binatang
memanduku. Harimau tahu cara mengikuti suara-suara di hutan hujan.
paling keras di antara belukar. Tapi tak lama kemudian aku sadar Rachel tidak
bisa mengimbangiku. Saat itu aku benar-benar marah.. Pada Rachel, karena ia begitu menuruti dorongan
hatinya. Pada Tobias yang bersikap seolah aku ingin mempertaruhkan nyawa Ax.
Pada Yeerk yang menyebabkan semua ini. Pada rimba itu sendiri. Dan paling
parah, pada diriku sendiri.
Aku telah melakukan kesalahan. Terlalu banyak kesalahan.
Sekarang aku harus memilih. Tinggal bersama Rachel, atau bergegas maju dan
mencoba mencari Ax. Pertolongan datang dari langit.
Tobias dari atas. Aku marah pada Tobias. Tapi tidak terlalu marah hingga mengabaikannya. Aku
menyerbu ke kiri, menyelinap gesit di antara semak.
"Yaahhhhh!" Hork-Bajir itu berteriak penuh kemenangan. Ia mengayunkan sebuah
lengan berbelati tajam ke arahku, mengoyak dedaunan pakis serta semak belukar
seperti mesin pemotong rumput.
Belati di sikunya nyaris mengenaiku. Aku merasakan angin pukulannya.
Aku tahu apa yang kemudian harus kulakukan. Aku mengerahkan otot kaki
belakangku dan menjejak permukaan tanah, lalu melesat melayang. Di tengah
udara aku mengembangkan telapak kakiku, masing-masing selebar penggorengan.
Lalu keluarlah cakarku. Kemudian aku mengaum. AUUUNGNGNGNGN Berani sumpah, suara itu benar-benar membuat kera dan burung terdiam.
Aku menghantam Hork-Bajir itu. Ia membungkuk, berayun cepat, tapi terlalu
lambat. Hork-Bajir memang cepat. Tapi dalam pertempuran jarak pendek,
menyabet dan menangkis serta menggigit, harimau lebih cepat dan buas.
Ia menyabet. Aku merasakan sakit menyengat bahu kananku.
Aku menyabet dan mendengar Hork-Bajir itu menjerit kesakitan.
Kepala ularnya memagut cepat, mengarahkan belati di dahinya ke wajahku.
Aku membungkuk dan menerkam, membenamkan gigiku ke dalam lehernya.
Dari suatu tempat terdengar raung kesakitan beruang. Aku mendengar debam tapak
kaki dan gemeresak semak belukar terinjak.
Aku melepas gigitanku, meninggalkan Hork-Bajir berbelati mematikan setinggi
dua meter itu tergeletak di lantai rimba, mengerang kesakitan.
Sesaat aku benar-benar merasa kasihan. Suku Hork-Bajir telah diperbudak Yeerk.
Pejuang Hork-Bajir ini tidak ingin ada di sini, berdarah-darah karena selusin
luka, di dalam rimba asing miliaran kilometer dari rumahnya.
Tapi aku juga tidak ingin ada di sini.
Aku memasang telinga, mendengarkan suara Ax. Tidak ada. Aku mendengarkan
suara Hork-Bajir. Tidak ada. Aku mendengarkan suara Rachel. Tidak ada.
Seolah mereka semua menghilang begitu saja di dalam kehijauan. Hijau, ke mana
pun aku melihat. Lalu... Kaki kiriku tersengat nyeri. Aku memandang Hork-Bajir itu, tapi tidak, ia tak
bergerak. Aku sadar tubuhku terguling.
Terguling begitu saja. Dari sudut mataku, aku melihat ular yang melata pergi. Warnanya kuning terang.
Dan kehijauan mengimpitku. Menguburku dalam kehijauan.
Seekor burung mendarat di sisiku. Aku bisa melihatnya.
Aku mencobanya. Aku mencoba mengingat-ingat morf apa yang telah kulakukan.
Lalu... SETTTTT! Aku sedang berjalan pulang dari sekolah. Aku dan Marco. Kami sedang berbicara,
menduga-duga apa yang diinginkan Tobias.
Bahasa-pikiran Tobias sedang berbicara di dalam kepala kami mengatakan...
SETTTTT! Suara Tobias berulang-ulang berkata,
bisa melihat lagi! Aku bisa melihat tanganku membentang di depanku di atas
tanah. Separo manusia, separo harimau.
Apa aku bisa menghindari bisa ular dengan berubah wujud" Apa dengan
melakukan morf racun itu akan hilang" Seharusnya tanya Ax, aku menyesali diri
sendiri. Tapi aku sudah tahu jawabannya. Ketika tubuhku semakin berwujud manusia, aku
merasakan bisa itu melemah.
"Kenapa... ada apa" Hork-Bajir lagi?" aku bertanya ketika mulutku sudah muncul
lagi.
akibat perubahan wujud yang terlalu cepat. Rasanya mau muntah. Mungkin efek
racun itu. Mungkin karena terlalu banyak yang terjadi pada saat bersamaan. "Di
mana dia?" tanyaku.
Ia mengepak pergi, meninggalkanku sendirian bertelanjang kaki, rapuh dalam
hutan hujan. Aku menemukan Rachel dengan mengikuti kerusakan yang telah ia timbulkan: tiga
Hork-Bajir terbaring tak sadarkan diri atau mungkin lebih parah. Aku tidak punya
waktu untuk mengkhawatirkan mereka.
Karena tepat saat itu aku melihat Rachel.
Ia pingsan, masih berbentuk beruang Grizli. Tubuhnya luka parah tersayat belati
Hork-Bajir. Ia terbaring miring, berdarah. Tapi bukan itu yang membuatku ingin menjerit.
Bulunya bergerak-gerak. Bergerak-gerak karena sejuta semut telah mengoyak sejuta lubang kecil dari
lukanya. Chapter 14 14.30 "RACHEL," teriakku. "Ayo bangun!"
bergegas jongkok di sebelah Rachel dan mulai memukuli semut-semut itu.
Tapi bukannya pergi, mereka malah merubung di tanganku.
Pasti ada sekitar sepuluh ribu semut. Rachel rupanya terjatuh hampir persis di
atas sarang mereka. Aku bisa melihat semut-semut menggotong cabikan kecil daging
beruang yang berlumur darah.
"Apa di dekat sini ada air?" tanyaku pada Tobias.
Aku dapat melihat dada beruang Rachel bergerak turun-naik. Ia bernapas. Masih
hidup. Aku menendangnya. Aku menendangnya keras-keras.
"Bangun!" desisku. "Ayo, Rachel, bangun!"
Semut-semut itu sekarang mulai memasuki telinganya. Mereka merubung matanya
yang terpejam. Aku ingin menjerit. Aku ingin menangis.
Rasanya aku tidak pernah merasa begitu tak berdaya.
Rachel pingsan. Ribuan semut yang merubungnya akan membuatnya tidak pernah
sadarkan diri. Mereka akan membunuh beruang itu sebelum Rachel sempat
berubah wujud. Mereka akan menggerogoti matanya dan merayap masuk ke dalam
kepalanya, dan tidak ada yang bisa kulakukan.
"Tobias! Semut lagi! Cari semut lagi!"
satu koloni semut lagi!"
Tobias mengerti. Aku dapat melihat matanya yang buas membesar. Ia mengepak
pergi, terbang serendah mungkin. Ia berputar-putar membuat lingkaran kecil, dan
kemudian mengerem lajunya.
Saat itu aku mendengar gerakan di semak-semak. Aku menoleh dan melihat dua
serigala. Dua serigala yang tidak selayaknya berada di sana. Wajah cerdik mereka
Animorphs - 11 Petualangan Di Dua Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyembul ke luar semak. "Cassie! Marco! Itu kalian, kan?"
Setelah kuamati lebih dekat, terlihat mereka habis berkelahi.
Ada luka sayatan. Ada darah. Mereka mulai berubah wujud.
< Oh, Tuhan,> erang Cassie ketika melihat Rachel dan menyadari apa yang sedang
terjadi. Aku tidak punya waktu menjelaskan. Aku membungkuk dan mulai mencabuti
gumpalan bulu beruang Grizli yang berlumur darah.
Aku merenggut beberapa genggam bulu berdarah. Lalu aku berlari ke tempat
Tobias menunggu. Ia sedang bertengger di atas dahan pakis yang kokoh,
menunduk menatap sebuah bukit sarang semut.
Aku mengambil sejumput bulu beruang dan menaruhnya tepat di sebelah lubang
gundukan sarang semut. Reaksinya langsung. Ratusan semut merubung gumpalan bulu berdarah itu.
Aku menggunakan sejumput bulu lagi untuk mengangkat segenggam semut, lalu
berjalan beberapa meter ke arah Rachel dan menjatuhkan bulu itu. Aku mengulang
proses itu, semakin mendekati Rachel. Aku khawatir semut-semut itu akan
kehilangan jejak aroma darah. Tapi mereka terus mengikutiku, dan bahkan
bergegas mendahului. Dengan pelan dan pasti aku memandu semut-semut itu ke Rachel.
Cassie dan Marco kini sudah kembali ke wujud manusia. Mimik mereka mungkin
seperti mimikku: takut, ngeri, rapuh.
"Kita harus menyingkirkan semut-semut itu dari badannya!" teriak Cassie ketika
melihatku. "Mereka ada di kupingnya! Mereka ada di mulutnya! Mereka akan
membunuhnya!" "Aku tahu." Aku menjatuhkan sejumput terakhir bulu berlumur darah. Jika cara ini
tidak berhasil, riwayat Rachel akan berakhir.
Aku melangkah ke samping dan memeluk bahu Cassie.
Koloni semut kedua mengikuti jejak yang kutinggalkan. Sesaat mereka tampak
ragu, seolah seluruh koloni semut yang berderap maju berhenti ketika melihat
beruang itu. Tapi kemudian mereka menyerang seperti layaknya pasukan yang telah terlatih
baik. Sepuluh ribu semut baru merubung tubuh Rachel yang tak sadarkan diri.
Mereka membentur dinding semut dari koloni pertama.
Aku pernah jadi semut. Aku sudah pernah melihat sikap dua koloni semut yang
berbeda. Aku harap sekarang mereka melakukan hal yang sama.
Harapanku terkabul. Pertempuran mereka seperti Perang Saudara zaman dulu.
Kedua pasukan saling serang. Makhluk otomat yang sangat patuh, hanya bereaksi
pada bau dan insting. Mereka saling serang. Semut berhamburan ke luar telinga dan mulut Rachel, siap
bertempur. "Ide bagus, Jake," kata Cassie. "Tapi cepat atau lambat, salah satu koloni akan
menang." "Kita harus berharap Rachel sudah sadar sebelumnya," kataku.
Pasukan semut yang saling bermusuhan itu bertempur hebat. Bagi kebanyakan
orang memang tampaknya biasa-biasa saja. Tapi karena pernah jadi semut, aku
bisa membayangkan pembantaian dahsyat yang sedang terjadi di bulu beruang itu.
Di sana, semut saling koyak. Sampai tercabik-cabik. Kaki dikoyak lepas. Kepala
digigit putus. Racun menyengat disemprotkan.
Pertempuran itu mulai berbalik arah. Sarang para penantang terlalu jauh. Mereka
tidak bisa meminta cukup bantuan. Beberapa menit lagi pertempuran dahsyat antar
semut itu akan berakhir. Tapi ketika sedang bertempur, mereka tidak mencabik daging Rachel. Dan
kemudian...
"Rachel! Rachel! Ini aku, Jake. Berubahlah. Berubah dan siap-siap lari!"
Rachel tidak perlu diberitahu dua kali. Ia mulai berubah wujud. Tubuhnya
menyusut. Kulit manusia menggantikan bulu. Bahu besar dan tapak kaki raksasa
menjadi sosok manusia yang lebih kecil.
"Oh!" Rachel menjerit begitu mulut manusianya terbentuk. "Aduuuhhhhh!"
"Rachel, berdiri! Ikuti aku!" kataku padanya. "Tobias" Di mana sungainya?"
Tobias berdiri dan dengan cepat terbang menembus pepohonan.
Aku mengikuti, menerobos semak belukar, kaki telanjangku terkoyak, tersandung.
Jaraknya tak lebih dari tiga puluh meter. Rasanya seperti satu setengah
kilometer. Rachel kini menjerit-jerit. Rachel orang paling berani yang aku kenal. Tapi
ribuan semut buas itu mulai menyerangnya, setelah kini mereka tak lagi saling
serang sendiri. Tidak akan ada orang yang tahan.
Tidak akan ada orang yang tahan.
"Pergi! Oh, tidak! Oh! Mereka masuk ke..."
Tiba-tiba tidak ada lagi warna hijau. Sebuah anak sungai keruh... aku melompat
ke dalam air. PLUUUNGNGNGNGNG!
Aku dengar tubuh Rachel mencebur ke dalam air di sebelahku.
PLUUUNGNGNGNGNG! Aku berenang ke arahnya. Ia masih berada di bawah permukaan air. Airnya sangat
keruh sehingga aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Yang terlihat hanya kaki
dan tangan yang bergerak-gerak.
Semut mengapung ke permukaan air dan hanyut terbawa arus.
Lalu... BRUUUSSSSS! Rachel muncul ke permukaan, terengah menghirup udara.
"Kau tak apa-apa?" tanyaku.
Ia melihat ke sekeliling, sesaat bingung. Lalu ia mengenaliku. Dan ia melihat
Marco serta Cassie di tepi sungai.
"Keluar dari air!" teriak Cassie panik.
Aku meraih lengan Rachel dan menyeretnya ke tepian.
Kudorong ia ke depanku, kami berulang kali tergelincir saat memanjat rumput
yang berlumpur. Aku baru saja menarik kaki ke luar air ket ika melihat permukaan
sungai yang bergolak - penyebab teriakan panik Cassie.
Kutarik kakiku ke atas, beberapa sentimeter di atas kepala sekelompok Piranha
pemakan daging. "Ini yang disebut hutan hujan?" cecar Rachel marah, menyemburkan air dan
menggaruk rambutnya, membersihkan sisa semut. "Ini hutan hujan yang ingin
diselamatkan semua orang" Semut dan Piranha dan ular dan serangga sebesar
tikus" Nah, menurutku mereka boleh membakarnya sampai habis, menyemennya,
dan membangun mall serta toko serba ada!"
Aku duduk terpana menatap Piranha di sungai. Orang bilang sekelompok Piranha
bisa menggerogoti sapi hingga tinggal tulangnya hanya dalam beberapa menit.
Saat itu, membayangkan apa yang nyaris terjadi, gemetar dan tersengal-sengal dan
ingin menangis, aku setuju dengan Rachel.
Chapter 15 15.09 "SEKARANG kita harus menemukan Ax," kataku. "Tapi kita harus hati-hati.
Rimba ini saja sudah cukup berbahaya. Dan sekarang ditambah Yeerk."
"Ax!" teriakku.
bicara, ia meloncat turun dari pohon di atas kami dan mendarat di tanah.
"Nah," komentar Marco dengan sangat puas. "Akhirnya ada juga yang jadi kera."
Ax kini bertubuh kecil, tertutup bulu cokelat, dan jelas seekor kera. Tapi ia
hidup. Rasanya tidak pernah aku merasa selega itu. Aku telah melakukan banyak
kesalahan. Pertama memutuskan masuk ke dalam Safeway, lalu mempertaruhkan
keselamatan Tobias, kemudian keselamatan Ax, setelah itu meninggalkan Rachel
sendirian hingga hampir tewas. Tapi setidaknya tak ada yang terbunuh.
Belum. "Kurasa kau kera labah-labah," kata Cassie, mengernyit. "Tapi aku tidak yakin.
Aku tidak begitu hafal binatang hutan hujan."
Kera itu - Ax - sedang memegang sesuatu di tangannya. Warnanya kuning terang
dan sebesar disket komputer, hanya saja benda itu berbentuk bulat dan agak lebih
tebal. "Apa itu?" tanyaku.
bagus."
lima orang, masing-masing didampingi seorang Pengendali Manusia. Aku belum
melihat Visser, tapi dia juga pasti ada di dekat sini. Dan seperti kalian tahu,
Visser Three punya kemampuan morf, jadi mungkin dia salah satu binatang yang
kita lihat.> "Bagus," kata Rachel. "Jadi kita juga harus waspada terhadap binatang, bukan
hanya pada Hork-Bajir dan penduduk asli."
"Pengendali Manusia," kata Marco berpikir keras. "Kurasa aku tahu kenapa mereka
ada bersama Hork-Bajir. Begini, Pengendali Manusia akan tahu binatang
mana yang hidup di hutan hujan, dan mana yang tidak. Kalau melihat beruang
Grizli atau harimau atau serigala, mereka akan tahu habitat binatang itu bukan
di sini. Penyamaran kita akan terbongkar."
"Kau benar, Marco. Kita memerlukan morf lokal," kataku.
Aku lega melihat ia sudah menggoda Marco lagi. Itu berarti ia sudah pulih. Tapi
di matanya masih ada sorot gelap. Bahkan Rachel pun tidak akan bisa begitu saja
melupakan apa yang telah dialaminya.
Dan dari apa yang kutahu tentang Rachel, ia akan bereaksi dengan bersikap lebih
agresif. Mungkin terlalu agresif.
"Morf kera cocok buat kita," kata Cassie. "Kita akan bisa naik ke pohon."
"Oke, Ax, bawa kami ke sana. Tobias" Aku sebenarnya tidak ingin meminta
bantuanmu, tapi kami butuh pengamatan udara."
Ia terbang ke tengah kerimbunan pohon. Aku tahu ia letih. Dan aku tahu ia lapar.
Terbang memakan banyak energi, dan metabolisme burung cepat. Mereka tidak
bisa menahan lapar selama manusia. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan"
Ax tidak membawa kami pergi terlalu jauh. Dalam sepuluh menit kami telah
berdiri di bawah sekelompok kera yang asyik mengoceh dan mengomel di
pepohonan tinggi di atas kami.
Kami tidak bisa menyadap orang yang telah melakukan morf.
Dengan kata lain, kami tidak bisa begitu saja menyadap morf kera Ax.
Kami harus melakukannya dengan kera asli.
"Caranya?" tanya Marco.
Ax ragu. Sulit mengetahui apakah kera merasa malu, apalagi kera yang
mempunyai benak Andalite. Tapi aku berani sumpah Ax malu.
"Wah, komplet," kata Marco tandas. "Kita benar-benar sudah pindah ke dunia aneh.
Kita telah melakukan perjalanan waktu, kita berada dalam rimba bertempur melawan
makhluk angkasa luar pencuri otak dan sepuluh ribu spesies rayap yang
menjengkelkan, dan kadet ruang angkasa kita seekor monyet berwajah keren.
Tolong..." "... bangunkan aku kalau kita sudah kembali ke dunia nyata."
"... bangunkan aku kalau kita sudah kembali ke dunia nyata."
Marco dan aku mengucapkannya bersamaan. Ia tercengang menatapku. Aku
tercengang menatapnya. Yang lain tercengang menatap kami.
Aku menghela napas. "Rasanya ada sesuatu yang akan kukatakan pada kalian, guys.
Seharusnya kukatakan tadi, mungkin. Tapi tadi kupikir aku sudah gila.
Begini, aku beberapa kali mengalami peristiwa aneh. Benar-benar nyata. Aku
sedang di sekolah dan tiba-tiba ada di sini. Dan sejak sampai di sini, aku
beberapa kali merasa seperti ada di rumah."
Rachel memutar bola matanya seolah berkata, "Apa lagi nih?"
Cassie tampak prihatin. Marco terlihat seperti ingin membuat lelucon tapi
terlalu lelah untuk berpikir.
"Aku tahu apa yang akan dikatakan Marco karena aku sudah pernah
mendengarnya," kataku.
Ax menatapku dengan mata keranya yang besar.
Aku mengangkat bahu. "Baru sejak tadi siang. Kemarin, atau hari ini, apa pun
istilahmu. Aku sedang berdansa koboi ketika yang pertama terjadi. Kenapa?"
"Kau sedang dansa koboi?" ulang Marco. "Aku rela bayar nonton kau dansa koboi."
Ax menggaruk-garuk lehernya, lalu dengan tekun mengamati apa yang telah ia
garuk. Ia melempar benda itu ke dalam mulutnya.
Rupanya ia membiarkan otak monyet mengendalikannya.
terjadi adalah kilas balik itu merupakan fluktuasi di mana dua kesadaran identik
secara bersamaan saling-silang di luar zona waktu ruang angkasa.>
"Aku sudah menduganya," kata Marco. "Fluktuasi... apalah."
"Aku tidak punya apa-apa."
"Teori apa?"
masing dua. Satu di sini, satu di sana. Pada saat bersamaan. Kilas balik itu
baru mulai hari ini. Jadi kurasa kita telah mundur satu hari, atau kurang
sedikit.> "Bagus," kata Marco.
bersamaan. Ini tidak mungkin terjadi. Ini penyimpangan ruang dan waktu. Ini
kondisi yang tidak stabil.>
"Berarti...?" desakku.
tempat pada saat bersamaan.>
"Jadi kenapa kita belum memusnahkan diri sendiri?" tanya Rachel.
koyakan akan berakhir, dan kita akan berada pada situasi yang mustahil: dua
kelompok orang yang identik berada di dua tempat pada saat bersamaan. Kurasa
guruku berkata hal itu akan menimbulkan pemusnahan bersama. Keberadaan kita
akan berakhir. Keduanya. Di sini dan di rumah. Koyakan Sario terjadi tepat pukul
delapan lima puluh empat.>
"Dengan kata lain, jika mau kembali ke zona waktu kita sendiri, kita harus
melakukannya sebelum Koyakan Sario terjadi pada pukul delapan lima puluh
empat," kataku.
"Bagaimana cara kita melakukannya?"
pasti tahu tentang Koyakan Sario. Jika dia pulang, kita bisa pulang bersamanya.
Yang harus kita lakukan hanya masuk ke dalam pesawat Blade, bersembunyi di
dalamnya, dan membiarkan Visser Three membawa kita pulang. Maksudku, itu
satu-satunya jalan, ya kan?"
"Apa?" tanyaku padanya. "Apa ada cara lain untuk pulang?"
Ax lama menatapku. Seolah ia tidak pasti harus mengatakan apa. Atau apakah ia
sebaiknya mengatakan sesuatu. Ia sedang dalam morf kera, jadi aku tidak bisa
membaca mimiknya dengan jelas.
Aku tahu ia menyembunyikan sesuatu. Aku seharusnya mendesaknya. Tapi tidak
kulakukan. Satu lagi kesalahan "pemimpin pemberani" Animorphs.
Animorphs - 11 Petualangan Di Dua Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Chapter 16 15.40 "MENYADAP" kera ternyata mudah. Beberapa berayun turun dari pohon untuk
mengendus-endus Ax. Dan mereka tampaknya tidak terlalu takut, karena kami
semua berdiri diam tak bersuara.
Aku mengulurkan tangan ke arah salah satu kera, pelan dan lembut. Ia memandang
tanganku, mengamatinya. Lalu ia memunggungiku, seolah minta aku
menggaruknya. "Oke," kataku. "Dengan senang hati."
Kugaruk punggung kera kecil itu. Dan sambil melakukannya, aku memejamkan
mata serta memusatkan pikiran pada binatang itu. Ia jadi diam, seolah dalam
keadaan trans. Itulah yang selalu terjadi saat kami sedang menyadap seekor
binatang. Kusadap DNA kera itu ke dalam tubuhku.
"Morf ini pasti gampang sekali," komentar Cassie setelah selesai menyadap kera
lain. "Kera-kera ini bukan kerabat langsung Homo Sapiens, tapi sebagian besar
DNA kita identik. DNA simpanse sekitar sembilan puluh tujuh persen identik
dengan DNA manusia."
"Atau dalam kasus Marco, sembilan puluh sembilan persen," celetuk Rachel.
"Ya, seperti kenyataan DNA Rachel sebenarnya sembilan puluh sembilan persen
identik dengan boneka Barbie Malibu," balas Marco.
"Tolong perhatikan," kataku galak. Sebenarnya aku lega melihat semua orang
bersikap normal. Aku justru akan khawatir kalau Cassie tidak berkhotbah tentang
binatang dan Marco serta Rachel tidak saling menggoda.
"Ax" Apa kau dapat kesulitan ketika berubah wujud jadi kera?" tanya Cassie.
Ax tak hentinya terheran-heran mengetahui manusia hanya jalan di atas dua kaki,
bahkan tanpa ditopang ekor.
"Oke, ayo kita lakukan," kataku. "Kita tidak punya banyak waktu, dan kita
Datuk Pulau Ular 1 Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong Serigala Berbulu Domba 2