Pencarian

Briliance Of Moon 4

Briliance Of The Moon Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn Bagian 4


Kaede tak menjawab selain makin tersedu-sedu. Pelayan kembali dengan ramuan dan
ketel teh, lalu Ishida menyeduh ramuan.
"Minumlah," pintanya pada Kaede. "Ini akan membuat Anda tenang."
"Andai aku menolak?" sahut Kaede, tiba-tiba duduk dan merenggut mangkuk tehnya dari
Ishida. Kaede memegang dengan tangan terentang seakan hendak menuangnya ke tikar.
"Andai aku menolak makan dan minum" Akankah dia mau menikahi mayatku?"
"Itu berarti kedua adik Anda akan mati-atau mungkin lebih buruk lagi," sahutnya. "Maaf,
aku tidak senang maupun bangga menjalani situasi seperti ini. Yang dapat kulakukan hanyalah
bersikap jujur pada Anda. Jika Anda patuh pada keinginan Yang Mulia, Anda dapat mempertahankan kehormatan dan nyawa kedua adik Anda."
Kaede menatap tabib itu lama sekali. Perlahan ia mendekatkan mangkuk teh ke bibir.
"Aku tidak hamil," sahutnya, lalu meneguk teh itu sampai habis.
Ishida duduk di dekat Kaede yang mulai mati rasa, dan ketika ia sudah tenang, Ishida
menyuruh pelayan mengantar ke rumah mandi untuk membersihkan darah dari tubuhnya.
Sewaktu Kaede selesai mandi dan berpakaian, ramuan obatnya telah mengurangi
kesedihannya, dan kejadian pembantaian yang terjadi sebelumnya kini terasa seperti mimpi.
Sore harinya dia bahkan sempat tertidur sebentar, sambil mendengarkan lantunan doa rahib
yang sedang menyingkirkan pencemaran akibat kematian dan untuk mengembalikan
kedamaian serta keharmonisan rumah. Ketika terbangun dan sadar dirinya berada di kamar
yang tidak asing baginya, ia berpikir, aku berada di rumah Fujiwara. Sudah berapa lama aku di
LIAN HEARN BUKU KETIGA 143 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON sini" Aku harus memanggil Shizuka dan bertanya padanya.
Kemudian ia teringat, tanpa perlu berusaha, apa yang telah terjadi.
Waktu beranjak senja, akhir yang tenang dari hari yang panjang dan berat. la bisa
mendengar langkah ringan para pelayan dan bisikan mereka. Seorang pelayan datang ke kamar
membawa sebaki makanan. Kaede mengambilnya dengan lesu, tapi aroma makanan membuat
ia mual dan segera menyuruh agar makanan itu disingkirkan.
Si pelayan kembali dengan membawa teh. Dia datang bersama seorang perempuan
setengah baya dengan mata yang sipit dan tatapan yang keji. Bila dilihat dari pakaian dan
perilakunya yang sopan, perempuan itu tidak mirip pelayan. Perempuan itu memberi hormat,
lalu berkata, "Namaku Ono Rieko, sepupu mendiang istri Lord Fujiwara. Aku yang mengurus
rumah ini. Yang Mulia Lord Fujiwara menyuruhku menyiapkan upacara pernikahan. Dengan
kebaikan hati Anda, sudilah kiranya menerimaku." Dia menunduk lagi sampai ke lantai
dengan sikap formal. Secara naluriah Kaede merasa tidak suka pada perempuan di depannya itu.
Penampilannya tidak menyenangkan"ia membayangkan Fujiwara membuat orang-orang di
sekitarnya menderita"dan Kaede merasakan kebanggaan diri maupun ketidaksimpatikan
karakter perempuan itu. "Boleh aku memilih?" tanya Kaede dingin.
Rieko tertawa hingga badannya agak bergetar saat dia duduk tegak. "Aku yakin Lady
Shirakawa akan berubah pendapat tentang diriku. Aku hanyalah orang biasa tapi ada banyak
hal yang dapat kusarankan." Dia menuangkan teh sambil berkata, "Tabib Ishida ingin kau
minum teh ini. Dan karena sekarang adalah malam pertama bulan ini, Lord Fujiwara akan
menemuimu untuk melihat bulan. Minumlah dan akan kupastikan penampilanmu rapi."
Kaede meminum tehnya sedikit-sedikit, berusaha agar tidak meneguknya sampai habis
meskipun ia sangat haus. Ia bersikap tenang; merasakan denyut aliran darah di balik
pelipisnya. Ia takut bertemu dengan bangsawan itu, takut pada kekuasaan orang itu atas
dirinya. Kekuasaan yang digenggam laki-laki terhadap perempuan, di semua aspek kehidupan
perempuan. Ia merasa tak akan sanggup melawan kekuasaan itu. Ia ingat dengan sangat jelas
ucapan Lady Naomi: Aku harus terlihat sebagai perempuan yang tak berdaya, bila tidak ingin
dihancurkan para ksatria.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 144 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Kini mereka sedang menghancurkan dirinya. Shizuka pernah memperingatkan kalau
pernikahannya akan membangkitkan kemarahan para tetua di kalangannya"bila pernikahan
itu tak mendapat restu. Tapi jika ia mengikuti anjuran itu, berarti ia tak bisa bersama Takeo.
Terasa sangat menyakitkan saat memikirkan Takeo, meskipun dengan teh yang semestinya
dapat membuat ia tenang. Perasaan itu ia sembunyikan jauh di lubuk hatinya, seperti
tersembunyinya catatan Tribe di Gua Suci.
Ia mulai sadar kalau Rieko sedang mengamati dari dekat. Ia memalingkan wajah dan
menghirup teh lagi. "Ayolah, ayolah, Lady Shirakawa," ujar Rieko tajam. "Jangan memikirkan hal-hal yang
bisa membuat Anda bersedih. Sebentar lagi Anda akan melangsungkan pernikahan yang
meriah." Rieko bergeser lebih dekat, beringsut ke depan dengan berlutut. 'Anda memang
secantik yang orang-orang bicarakan, meskipun terlalu tinggi. Warna kulit yang cenderung
pucat, dan tatapan mata yang berat seperti itu tidak baik buat Anda. Kecantikan adalah harta
terbesar yang Anda miliki: kita harus melakukan apa saja untuk dapat mempertahankannya."
Rieko menuangkan teh lalu dia letakkan di nampan. Setelah itu dia menggerai rambut
Kaede dari gelungan lalu mulai menyisirnya.
"Berapa umur Anda?"
"Enam belas," sahut Kaede.
"Kupikir Anda lebih tua, setidaknya dua puluh tahun. Anda pasti jenis orang yang cepat
tua. Kita harus berhati-hati dengan hal itu." Sisirnya menggaruk kulit kepala, membuat air
mata Kaede mengambang di pelupuk matanya karena kesakitan.
Rieko berkata, "Sulit menata rambut Anda; rambut Anda sangat lembut."
"Aku biasanya mengikatnya," sahut Kaede.
"Mode penataan rambut di ibukota sekarang bergaya tinggi di atas kepala," tutur Rieko
sambil dengan sengaja menyentak rambut Kaede hingga terasa sakit. "Rambut tebal dan kesat
yang lebih diinginkan."
Simpati dan pengertian mungkin dapat mengurangi kesedihan Kaede, sebaliknya sikap
kasar Rieko justru membuat ia menguatkan hati, membuatnya mantap untuk tidak menangis,
tak akan memperlihatkan perasaannya. Aku pernah tidur es, pikirnya. Sang Dewi berbicara
denganku. Aku akan menemukan kekuatan lalu menggunakannya sampai Takeo datang menjemput.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 145 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Kaede yakin Takeo akan datang atau mati dalam upayanya untuk menjemputku, dan bila ia
melihat tubuh tak bernyawa suaminya, maka ia terbebas dari janji dan akan segera menyusul
suaminya ke alam baka. Di kejauhan, anjing-anjing menyalak, dan tidak lama kemudian, rumah bergoyang
diguncang gempa, lebih lama dan lebih keras dibandingkan sebelumnya.
Kaede merasakan apa yang selalu ia rasakan: kaget, kagum karena bumi bisa bergetar
layaknya air mendidih, dan juga kegembiraan karena tak ada satu pun yang tetap atau pasti.
Talc ada yang abadi, bahkan tidak bagi Fujiwara beserta kediamannya yang penuh dengan
benda berharga. Rieko menjatuhkan sisir dan berusaha bangkit. Para pelayan berhamburan keluar.
"Ayo keluar," pekik Rieko, panik.
"Mengapa?" sahut Kaede. "Gempa susulan tidak akan lebih kencang."
Rieko sudah keluar kamar. Kaede bisa mendengar dia memerintahkan pelayan mematikan
semua lampu, hampir menjerit karena panik. Kaede tetap di tempatnya, mendengarkan bunyi
kaki berlarian, teriakan, dan gonggongan anjing. Setelah beberapa saat, ia memungut sisir dan
meneruskan menyisir. Karena kepalanya terasa sakit, maka ia membiarkan rambutnya tergerai.
Kimono yang mereka kenakan pada Kaede nampak sesuai untuk melihat bulan: warnanya
kelabu lembut, berhiaskan bordiran bunga dan burung yang berwarna kuning pucat. Kaede
ingin menatap bulan yang memancarkan cahaya keperakan, dan diingatkan bagaimana bulan
muncul lalu pergi ke surga, menghilang selama tiga hari kemudian muncul lagi.
Para pelayan membiarkan pintu-pintu ke beranda terbuka. Kaede melangkah keluar dan
berlutut di lantai kayu, menatap pegunungan, mengingat saat-saat ia duduk di sini bersama
Fujiwara, berselimutkan kulit beruang di saat salju mulai turun.
Getaran kecil gempa terjadi lagi, namun ia tidak takut. Kaede memandang gunung yang
menjulang ke langit yang berwarna ungu pucat. Bayang gelap pepohonan taman bergoyang,
meskipun tak berangin, dan burung-burung yang merasa terganggu mencicit seolah fajar telah
tiba. Perlahan kicau burung mulai berkurang dan gonggongan anjing berhenti. Lengkung tipis
bulan sabit menggelantung di sisi bintang malam yang tepat berada di puncak gunung. Kaede
memejamkan mata. LIAN HEARN BUKU KETIGA 146 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Tercium wewangian Fujiwara sebelum Kaede sempat mendengar kedatangannya. Lalu
telinganya menangkap bunyi langkah kaki, gemerisik kain sutra. Kaede membuka mata.
Lord Fujiwara berdiri beberapa kaki jauhnya, menatap dengan penuh perhatian, tatapan
mata penuh ketamakan yang Kaede tahu dengan baik.
"Lady Shirakawa."
"Lord Fujiwara." Kaede balas menatap, lebih lama dari yang seharusnya, sebelum
perlahan-lahan menunduk hingga alisnya menyentuh lantai.
Lord Fujiwara melangkah masuk ke beranda, diikuti Mamoru yang membawa karpet dan
bantal. Setelah Fujiwara duduk, dia lalu meminta Kaede bangkit. Fujiwara meraih lalu
menyentuh jubah sutra. "Memang sudah sepantasnya. Aku sudah menduga hal itu akan terjadi. Kau membuat
Murita cukup kaget waktu kau tiba dengan menunggang kuda. Dia hampir saja, tanpa sengaja,
menombakmu." Kaede merasa seperti hendak pingsan karena amarah yang tiba-tiba meledak. Haruskah
Fujiwara menyinggung hal itu dengan santai, menganggap pembunuhan terhadap pasukannya,
juga Amano yang ia kenal sejak kecil, hanyalah lelucon....
"Beraninya kau lakukan itu padaku?" sahut Kaede, dan mendengar Mamoru menarik
napas karena kaget. "Tiga bulan lalu aku telah menikah dengan Otori Takeo di Terayama.
Suamiku akan menghukummu?" Kaede berhenti bicara, berusaha mengendalikan diri.
"Kupikir kita akan menikmati indahnya bulan sebelum berbincang-bincang," sahut
Fujiwara, tanpa menunjukkan reaksi atas ucapan Kaede yang menghina. "Di mana pelayan
perempuanmu" Mengapa kau kemari sendirian?"
"Mereka semua lari ketakutan di saat gempa," sahut Kaede pendek.
"Tidakkah kau takut?"
"Aku tidak takut pada apa pun. Anda telah melakukan hal terburuk yang bisa orang lain
lakukan padaku." "Tampaknya kita sudah berbincang-bincang sekarang," sahutnya. "Mamoru, bawakan
sake lalu pastikan kami tidak diganggu."
Fujiwara menatap bulan dengan tenang tanpa bicara sepatah kata pun sampai Mamoru
datang lagi. Saat anak muda itu menghilang di kegelapan, Fujiwara memberi tanda pada
LIAN HEARN BUKU KETIGA 147 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Kaede untuk menuangkan sake. Dia minum lalu berkata, "Pernikahanmu dengan orang yang
menyebut dirinya Otori telah diabaikan. Pernikahan itu tidak direstui sehingga dinyatakan
tidak sah." "Tidak sah menurut siapa?"
"Lord Arai, pengawal seniormu, Shoji, dan aku. Klan Otori tidak lagi mengakui Takeo
dan telah mengumumkan kalau pengakuannya tidak sah. Sesuai pandangan yang berlaku,
seharusnya kau dihukum mati atas ketidakpatuhan dirimu pada Arai dan ketidaksetiaanmu
padaku, terutama atas keterlibatanmu dalam kematian Iida yang sudah tersebar luas."
"Kau telah berjanji untuk tidak mengatakan rahasiaku pada orang lain," ujar Kaede.
"Kupikir perjanjiannya adalah kita akan menikah."
Kaede tak menjawab, perkataan Fujiwara membuat ia takut. Kaede sadar sepenuhnya bila
ia bertingkah, Fujiwara bisa langsung memberi perintah hukuman mati. Tak akan ada yang
punya nyali untuk tidak mematuhi perintah, atau mengkritiknya setelah melakukannya.
Fujiwara melanjutkan, "Kau menyadari rasa hormatku padamu. Aku telah membuat
semacam transaksi dengan Arai. Dia setuju membiarkanmu hidup, jika aku menikahi serta
mengasingkanmu. Aku akan mendukung tujuannya pada kaisar suatu saat. Sebagai
balasannya, adik-adikmu aku kirim kepadanya."
"Anda menyerahkan mereka pada Arai" Mereka ada di Inuyama?"
"Kurasa sudah biasa menyerahkan perempuan sebagai tawanan," sahutnya. "Lagipula Arai
sangat gusar saat kau menahan keponakan Akita sebagai sandera. Sebenarnya itu bisa menjadi
langkah yang bagus, tapi kau telah menghancurkan semuanya ketika bertindak gegabah di
musim semi. Akhirnya yang kau dapatkan hanyalah kemarahan Arai dan para pengawal
seniornya. Arai adalah junjunganmu. Sungguh tindakan yang bodoh dengan memperlakukan
dia sedemikian buruk."
"Kini aku yakin Shoji telah berkhianat," ujar Kaede sengit. "Keponakan Akita seharusnya
tidak boleh pulang."
"Kau tidak boleh kasar pada Shoji." suara Fujiwara kedengaran halus dan lembut. "Dia
hanya melakukan apa yang benar untukmu dan keluargamu. Sama seperti kami semua. Aku
ingin pernikahan kita segera dilangsungkan: mungkin sebelum akhir minggu ini. Rieko akan
mengajarimu cara berpakaian dan juga tata krama."
LIAN HEARN BUKU KETIGA 148 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Rasa putus asa menyelimuti Kaede seperti jaring pemburu yang berhasil menjaring bebek
liar. "Semua laki-laki yang menginginkan diriku sudah mati kecuali suamiku yang sah, Lord
Otori Takeo. Tidakkah kau takut?"
"Menurut kabar yang tersiar, hanya laki-laki yang berhasrat padamu yang mati; sedangkan
aku tidak memiliki hasrat pada dirimu. Aku tidak ingin punya anak lagi. Pernikahan ini hanya
untuk menyelamatkanmu. Pernikahan ini hanya sebatas status." Fujiwara minum lagi lalu
menaruh mangkuknya di lantai. "Sudah sepantasnya kau berterima kasih padaku."
"Aku hanya akan menjadi benda berharga seperti yang Anda miliki?"
"Lady Shirakawa, kau salah satu dari sedikit orang yang telah kuperlihatkan harta
bendaku"satu-satunya perempuan. Kau tahu bagaimana aku ingin menjauhkan hartaku yang
berharga dari mata dunia, disimpan, disembunyikan."
Hati Kaede bergetar. Ia terdiam seribu bahasa.
"Dan jangan pikir Takeo akan datang menyelamatkanmu. Arai memutuskan untuk
menghukumnya. Dia sedang melancarkan operasi militer untuk menentang suamimu saat ini.
Wilayah Maruyama dan Shirakawa akan diambil alih atas namamu kemudian diberikan
kepadaku sebagai suamimu." Fujiwara menatap lekat seakan ingin meneguk setiap tetes
penderitaan Kaede. "Hasratnya padamu telah menghancurkan dirinya. Takeo bisa dipastikan
mati sebelum musim dingin tiba."
Kaede telah mengamati Lord Fujiwara selama musim dingin lalu dan mengenal ekspresi
di wajahnya. Fujiwara selalu berpikir kalau dia orang yang selalu tenang, selalu bisa
mengendalikan diri dengan sempurna, tapi Kaede dapat membaca ekspresi bangsawan itu.
Kaede mendengar nada bengis dalam suaranya, serta merasakan betapa Iidah bangsawan itu
menikmati setiap ucapan menghina yang keluar dari mulutnya. Ia dengar itu saat Fujiwara
menyebut nama Takeo. Kaede telah menduga Fujiwara hampir gila karena Takeo saat ia
memberitahukan rahasianya di saat gundukan salju meninggi. Kaede pernah melihat pancaran
hasrat di mata orang ini, bibirnya yang mengendur, bagaimana Iidahnya naik ketika menyebut
nama itu. Kini Kaede sadar kalau Fujiwara menginginkan kematian Takeo, kematian yang
akan membuat dia gembira dan terbebas dari obsesinya selama ini. Kaede tidak ragu kalau
penderitaan dirinya semakin menambah kepuasan Fujiwara.
Saat itu Kaede menyimpulkan dua hal: Ia tak akan memperlihatkan perasaannya, dan
LIAN HEARN BUKU KETIGA 149 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON akan tetap hidup. la akan tunduk pada keinginan Fujiwara agar orang itu tidak punya alasan
untuk membunuhnya sebelum Takeo datang, tapi ia tak akan membiarkan Fujiwara dan
perempuan yang ditugaskannya, puas melihat ia menderita.
Kaede membiarkan tatapan matanya dipenuhi dengan rasa jijik saat memandang
Fujiwara, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah bulan.
Pernikahan dilangsungkan beberapa hari kemudian. Kaede minum obat ramuan buatan
Ishida, bersyukur tidak dapat merasakan apa-apa karena ramuan itu. la memutuskan untuk
mematikan perasaannya, layaknya es, mengingat berapa lama waktu berlalu sejak tatapan


Briliance Of The Moon Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Takeo membuat ia tertidur pulas. Ia tidak menyalahkan Ishida atau Mamoru karena turut
ambil bagian dalam penculikannya, sebab ia mengerti mereka terikat oleh aturan yang sama
kakunya seperti dirinya. Tapi ia bersumpah, Murita harus membayar karena telah membunuh
anak buahnya dan Raku. Ia pun mulai membenci Rieko.
Kaede memperhatikan dirinya menjalani semua ritual seakan dirinya hanyalah boneka
yang dikendalikan dari balik panggung. Keluarganya diwakilkan Shoji dan dua pengawal
senior: salah satunya ia kenal sebagai saudara Hirogawa, orang yang telah Kondo bunuh atas
perintahnya karena menolak memberi janji setia di hari kematian ayahnya. Seharusnya aku
bunuh seluruh keluarganya, pikir Kaede getir. Ternyata aku membiarkan mereka hidup hanya
untuk menambah jumlah musuhku. Juga hadir beberapa bangsawan lain yang menurut
perkiraannya pasti utusan Arai. Mereka tidak mengenalnya dan ia juga tidak diberitahu nama
mereka. Hal itu membuat Kaede menyadari posisinya: bukan lagi pemimpin klan, sekutu dan
memiliki kedudukan yang sama seperti suaminya, tapi hanya istri kedua dari seorang
bangsawan, tanpa kehidupan yang dapat ia jalani sesuai keinginannya, hanya menuruti apa
yang diatur suaminya. Upacara berlangsung jauh lebih mewah dibandingkan pernikahannya di Terayama. Doa
serta puji-pujian seperti tak berkesudahan. Aroma dupa dan gema lonceng membuatnya
pusing dan saat harus menjalani ritual menukar tiga mangkuk sake dengan suaminya, Kaede
takut tak sadarkan diri. Ia hanya makan sedikit seminggu ini, dan merasa seperti hantu.
Hari terasa menyesakkan dada, tapi tenang. Menjelang malam tiba, hujan turun deras.
Kaede dibawa dari biara dengan tandu. Rieko dan pelayan lainnya lalu melepaskan
pakaian Kaede kemudian memandikannya. Mereka membalurkan krim di sekujur tubuhnya
LIAN HEARN BUKU KETIGA 150 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON dan memberi wewangian di rambutnya. Kaede mengenakan kimono malam, lebih mewah dari
yang biasa ia kenakan di siang hari. Kemudian ia diantar ke bangunan baru, bagian rumah
yang belum pernah dilihatnya, bahkan tidak tahu kalau bangunan itu pernah ada. Bangunan
itu baru didekorasi. Tiang dan langit-langitnya rumah bercahaya karena dilapisi emas, kasa
dipenuhi lukisan burung dan bunga, dan aroma tikar jerami yang masih segar dan harum.
Hujan lebat membuat ruangan itu menjadi remang-remang, tapi lusinan lampu menyala di
tiang besi yang diukir begitu indah.
"Semua ini untuk Anda," ujar Rieko dengan nada iri.
Kaede tak menjawab. Ia ingin mengatakan, Untuk apa, untuk melihat kalau dia tidak
akan berada di sini" Tapi apa hubungannya semua ini dengan Rieko" Lalu pikiran itu mampir
di benaknya: mungkin Fujiwara memang bermaksud tidur dengannya, seperti yang dia
lakukan dengan istri pertamanya untuk mendapatkan anak. Kaede mulai gemetar dengan rasa
benci dan takut. "Tidak perlu takut," cemooh Rieko. "Jangan berpura-pura tidak tahu apa yang diharapkan
dari suatu pernikahan. Sekarang, jika kau masih perawan...."
Kaede tak percaya kalau perempuan itu berani bicara padanya dengan nada mencemooh
seperti itu, apalagi di depan para pelayan.
"Suruh pelayan pergi," ujar Kaede, dan kemudian melanjutkan saat hanya berdua: "Jika
kau menghinaku lagi, akan kuminta kau diusir dari sini."
Rieko tertawa terbahak-bahak. "Kurasa kau tidak tahu posisimu. Lord Fujiwara tak akan
memecatku. Jika aku menjadi dirimu, aku lebih mencemaskan masa depanku. Jika kau
melampaui batas jika kau bertingkah kurang baik seperti yang diharapkan dari seorang istri
Lord Fujiwara"kau yang akan melihat dirimu dipecat. Mungkin kau merasa berani bunuh
diri. Biar kujelaskan, hal itu lebih sulit dari yang dibayangkan. Saat hendak bunuh diri,
kebanyakan perempuan gagal melakukannya. Kita, perempuan, memang makhluk yang
lemah." Rieko mengambil dan mengangkat lampu sehingga cahayanya jatuh tepat di wajah
Kaede. "Mungkin kau selalu dipuji cantik, tapi kau tidaklah secantik minggu lalu, dan
kecantikanmu akan terus berkurang. Kau telah mencapai masa kejayaan; sejak saat ini
kecantikanmu akan memudar."
Rieko lebih mendekatkan lagi lampu yang dipegangiiya. Kaede bisa merasakan panasnya
LIAN HEARN BUKU KETIGA 151 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON lampu di pipinya. "Aku bisa saja mencakar wajahmu sekarang," desis Rieko. "Dan kau akan dilempar dari
rumah ini. Lord Fujiwara hanya akan mempertahankanmu jika kau indah dipandang. Setelah
itu, satu-satunya tempat untuk perempuan sepertimu hanyalah rumah bordil."
Kaede balas menatap Rieko tanpa menjauhkan wajahnya. Sinar lampu berkedap-kedip di
antara wajah mereka. Di luar angin semakin kencang sehingga mengguncangkan bangunan.
Di kejauhan, seakan berasal dari negeri lain, seekor anjing melolong.
Rieko tertawa lagi dan meletakkan lampu di lantai. "Kau tidak bisa memecatku. Tapi
kurasa kau mengatakan itu hanya karena kau sedang tegang. Kau kumaafkan. Kita harus
berteman baik seperti keinginan Yang Mulia. Beliau akan segera menemui Anda. Aku ada di
ruang sebelah." Kaede duduk dengan tenang mendengarkan desiran angin yang semakin kencang. Ia tak
dapat menahan diri untuk mengenang saat-saat yang indah bersama Takeo, saat malam
pernikahannya. Kaede berusaha membuang kenangan itu, tapi hasrat telah menguasai
sehingga meluluhkan perasaannya yang sedang membeku.
Mendengar ada langkah kaki di luar, Kaede mengatur sikapnya agar nampak kaku. Ia
bersumpah tidak akan menyerah pada perasaannya, tapi yakin gerakan tubuhnya bisa saja
mengkhianatinya. Setelah menyuruh pelayan tetap di luar, Fujiwara lalu masuk ke kamar. Kaede langsung
membungkuk hingga menyentuh lantai, tidak ingin wajahnya terlihat, namun sikap menyerah
seperti itu malah membuat dirinya makin gemetar.
Mamoru mengikuti di belakang bangsawan itu sambil membawa satu kotak ukiran kecil
yang terbuat dari kayu pawlonia. Setelah meletakkan di lantai dan membungkuk dalam-dalam,
dia lalu merangkak mundur ke pintu penghubung ke kamar sebelah.
"Duduklah, istriku sayang," ujar Lord Fujiwara, dan saat menegakkan badan, Kaede
melihat Rieko menyodorkan sake melalui pintu kepada Mamoru. Perempuan itu
membungkuk hormat lagi lalu beringsut menghilang dari pandangan, tapi Kaede tahu dia
hanya sejauh jarak pendengaran.
Mamoru menuangkan sake dan Fujiwara minum, memandang Kaede dengan penuh
perhatian. Pemuda itu menyodorlcan semangkuk sake yang Kaede terima lalu ia dekatkan ke
LIAN HEARN BUKU KETIGA 152 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON bibirnya. Rasanya manis dan kuat. Kaede minum dengan perlahan. Nampak jelas semua telah
diatur untuk membuat ia terbakar gairah.
"Tak kusangka dia akan terlihat secantik ini," kata Lord Fujiwara pada Mamoru.
"Perhatikan betapa penderitaan telah memperjelas bentuk wajahnya yang sempurna. Ekspresi
matanya lebih dalam dan kini bentuk bibirnya seperti bibir perempuan. Pastinya akan menjadi
suatu tantangan untuk dapat menangkapnya."
Mamoru membungkuk hormat tanpa bicara.
Setelah diam sejenak, Fujiwara lalu berkata, "Tinggalkan kami," dan ketika pemuda itu
pergi, dia mengambil kotak tadi lalu bangkit dari duduknya.
"Mari," ajaknya pada Kaede.
Kaede mengikuti seperti orang yang berjalan dalam tidur. Beberapa pelayan yang tidak
terlihat menggeser layar kasa di balik kamar lalu mereka pindah ke ruangan lain. Di dalam ada
ranjang yang berlapiskan sutra dan bantal kayu. Aroma kuat wewangian tercium di kamar itu.
Layar kasa ditutup dan kini hanya mereka berdua.
"Jangan panik," ujar Fujiwara. "Atau mungkin aku salah menilaimu dan kau justru akan
kecewa." Untuk pertama kalinya Kaede merasakan sengatan hinaan Fujiwara. Hawa panas menjalar
ke sekujur tubuhnya. "Duduklah," ujarnya.
Kaede membenamkan dirinya di lantai, tetap menunduk. Fujiwara duduk, meletakkan
kotak di antara mereka. "Kita harus menghabiskan waktu sebentar bersama. Hanya untuk formalitas."
Kaede tidak menyahut, tidak tahu apa yang harus ia katakan.
"Bicaralah," perintah Fujiwara. "Katakan sesuatu yang menarik atau yang menyenangkan."
Hal itu nampak sangat mustahil. Akhirnya Kaede berkata, "Bolehkah kuajukan satu
pertanyaan?" "Ya, boleh." "Apa yang harus kulakukan di sini" Bagaimana aku menghabiskan waktuku?"
"Melakukan apa yang biasa dilakukan para perempuan. Rieko akan memberitahu."
"Bolehkah aku melanjutkan belajarku?"
LIAN HEARN BUKU KETIGA 153 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON "Kurasa mendidik perempuan adalah kesalahan. Sepertinya itu tidak memperbaiki
sifatmu. Kau boleh membaca sedikit"Kung Fu Tzu, saranku."
Angin berhembus semakin kencang. Di bagian dalam kediaman ini mereka terlindungi
dari kuatnya hembusan angin, meskipun begitu, tetap saja tiang dan pilar bergetar sedangkan
atap terdengar berkeriut-keriut.
"Bolehkah aku bertemu adik-adikku?"
"Saat Lord Arai berhasil mengalahkan Otori, kita bisa pergi ke Inuyama."
"Bolehkah aku menulis surat kepada mereka?" tanya Kaede, merasakan kemarahan dalam
dirinya karena harus memohon untuk hal sepele seperti itu.
"Jika kau perlihatkan lebih dulu surat itu pada Rieko."
Lampu berkelap-kelip terkena angin, dan hembusan angin mengerang mirip suara
manusia. Tiba-tiba Kaede teringat para pelayan yang tidur bersamanya saat di Kastil Noguchi.
Di malam saat badai semua orang akan terjaga, dan mereka saling menakut-nakuti dengan
cerita hantu. Kini Kaede seperti mendengar suara dan bayangan menakutkan dalam hembusan
angin yang seolah bicara. Semua cerita para pelayan adalah tentang para gadis seperti mereka
yang dibunuh secara tidak adil atau mati karena cinta. Gadis-gadis yang ditinggalkan kekasih,
dikhianati suami maupun yang dibunuh tuan mereka. Roh mereka yang gentayangan marah
dan cemburu, menangis memohon keadilan dari dunia lain. Kaede agak gemetar.
"Kau kedinginan?"
"Tidak, aku memikirkan tentang hantu. Mungkin salah satunya menyentuhku. Angin
semakin kencang. Apakah itu badai?"
"Kurasa begitu," sahut Fujiwara.
Takeo, di mana kau" pikir Kaede. Apakah kau sedang di luar sana dalam cuaca seperti ini"
Apakah kau sedang memikirkanku" Apakah tadi itu rohmu yang bergelayut di belakangku,
membuatku gemetar" Fujiwara memperhatikan. "Salah satu dari banyak hal yang kukagumi pada dirimu adalah
kau tak pernah memperlihatkan rasa takut. Tidak pada gempa dan badai. Sebagian besar
perempuan biasanya langsung panik karena hal-hal seperti itu. Tentu saja, akan terlihat lebih
feminin, dan keberanianmu telah membawamu terlalu jauh. Kau harus dilindungi dari hal-hal
tersebut." LIAN HEARN BUKU KETIGA 154 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Dia tidak boleh tahu betapa takutnya aku mendengar berita kematian, pikir Kaede. Bukan
hanya takut mendengar berita kematian Takeo, tapi juga Ai dan Hana. Aku tak boleh
memperlihatkan rasa takut.
Fujiwara agak membungkuk dan dengan satu jarinya yang panjang dan pucat memberi
isyarat kalau Kaede harus melihat isi kotaknya.
"Ini hadiah pernikahan dariku," ujarnya, membuka penutupnya lalu mengangkat benda
yang terbungkus kain sutra. "Kurasa kau tidak terbiasa dengan benda antik seperti ini.
Beberapa di antaranya benar-benar antik. Aku telah mengoleksinya selama bertahun-tahun."
Fujiwara meletakkan benda itu di lantai, di hadapan Kaede. "Kau boleh melihatnya
setelah aku pergi." Kaede memperhatikan bungkusan itu dengan hati-hati. Nada bicara Fujiwara
memperingatkannya kalau orang itu menikmati saat dia menggoda Kaede dengan kata-kata
yang tajam. Kaede tak bisa menduga benda apa itu: apakah patung kecil, atau mungkin,
parfum. Kaede menaikkan pandangannya ke wajah Fujiwara dan melihat senyum tipis menari-nari
di bibir bangsawan itu. Kaede tak memiliki senjata atau pertahanan apa pun selain kecantikan
dan keberanian. Pandangannya tenang, tak berkedip.
Orang itu bangkit dan mengucapkan selamat malam. Kaede membungkuk hingga
dahinya menyentuh lantai saat Fujiwara pergi. Angin mengguncang atap, hujan memukulmukul wuwungan. Kaede tak mendengar langkah Fujiwara pergi; seolah hilang ditelan badai.
Kaede sendirian, meskipun tahu kalau Rieko dan para pelayan menunggu di ruang
sebelah. Ia melayangkan pandangannya pada kain sutra ungu tua dan setelah beberapa saat,
Kaede mengambil lalu membuka bungkusan itu.
Ternyata isinya sebuah ukiran berbentuk alat vital laki-laki. Ukira kayu yang halus dan
berwarna kemerahan, mungkin kayu ceri. Kaede merasa jijik sekaligus terpesona oleh benda
itu. Bangsawan itu tak akan pernah menyentuh tubuhnya, tak akan pernah tidur dengannya.
Dan dengan hadiah yang keji ini, Fujiwara menghina sekaligus menyiksanya.
Air mata mengambang di matanya. Kaede bungkus kembali ukiran itu dan menaruhnya
ke dalam kotak. Lalu berbaring di kamar pengantinnya dan menangisi tanpa bersuara pada
laki-laki yang ia cintai, laki-laki yang ia rindukan.*
LIAN HEARN BUKU KETIGA 155 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON "AKU takut harus melaporkan pada istrimu tentang menghilangnya dirimu," ujar Makoto saat
kami berjalan melewati kegelapan ke biara. "Aku lebih takut dibanding semua pertempuran
yang pernah kuhadapi."
"Aku takut kau meninggalkanku," sahutku.
"Kuharap kau mengenalku lebih baik dari itu! Sudah menjadi kewajibanku untuk
menyampaikannya pada Lady Otori. Semula aku akan meninggalkan Jiro untuk menyampaikan hal ini, lalu kembali lagi secepatnya." Makoto menambahkan dengan suara pelan, "Aku
tak akan meninggalkanmu, Takeo; kau harus tahu itu."
Aku malu dengan keraguanku dan tidak ingin mengatakannya pada Makoto.
Makoto memanggil anggota pasukan yang sedang berjaga dan mereka berteriak
membalas. "Kalian masih terjaga?" tanyaku, karena biasanya kami bergantian jaga.
"Kami semua tidak bisa tidur," sahutnya. "Malam ini terlalu hening. Badai yang membuat
kau terlambat datang terjadi dengan tiba-tiba. Dan selama beberapa hari kami merasa seperti
ada orang yang mengawasi. Kemarin Jiro pergi mencari ubi liar di hutan, dia melihat ada
orang yang mengintip di balik pepohonan. Kurasa para bandit yang si nelayan katakan sudah
mengetahui kedatangan kita dan sedang menyelidiki kekuatan kita."
Saat menyusuri jalanan yang tertutup tumbuhan menjalar, suara kami lebih berisik
dibanding serombongan lembu. Kalaupun ada yang sedang mengawasi kami, tak diragukan
lagi mereka pasti tahu aku sudah kembali.
"Mungkin mereka takut kita akan menjadi pesaing," ujarku. "Segera setelah kembali
dengan lebih banyak pasukan, kita langsung menyingkirkan mereka, tapi kita berenam tidak
akan sanggup mengalahkan mereka. Kita pergi besok pagi saat matahari terbit dan berharap
mereka tidak menyergap kita di perjalanan."
LIAN HEARN BUKU KETIGA 156 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Mustahil rasanya mengetahui waktu sekarang atau berapa lama lagi hingga fajar.
Bangunan bekas biara dipenuhi bunyi-bunyian aneh, keriat-keriut kayu, gemerisik atap jerami.
Seruan burung hantu terdengar sepanjang malam, dan sekali aku mendengar langkah kaki:
mungkin anjing liar atau serigala. Aku mencoba tidur tapi benakku dipenuhi orang-orang
yang ingin membunuhku. Si nelayan"bahkan Ryoma"mungkin tanpa sengaja mengatakan
tentang kepergianku ke Oshima, dan aku tahu betul kalau mata-mata Tribe ada di manamana. Terlepas dari hukuman mati yang mereka jatuhkan padaku, banyak dari mereka yang
saat ini hendak membalas dendam atas kematian kerabat mereka.
Meskipun di siang hari aku mempercayai kebenaran ramalan itu, namun di malam hari
aku gelisah. Tak lama lagi tujuanku akan tercapai; aku tidak tahan berpikir akan mati sebelum
berhasil mewujudkan cita-cita. Tapi dengan begitu banyak orang yang memusuhiku, apakah
aku sama gilanya dengan Jo-An yang percaya kalau aku mampu mengalahkan mereka semua"
Pasti aku tertidur, karena saat membuka mata, langit sudah kelabu cerah dan burungburung mulai berkicau. Jiro masih tertidur di sampingku, bernapas panjang dan teratur seperti
anak-anak. Aku menyentuh bahunya untuk membangunkan dan dia membuka mata,
tersenyum. Lalu seolah kembali dari dunia lain, aku melihat kekecewaan dan kesedihan


Briliance Of The Moon Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpancar di wajahnya. "Tadi kau bermimpi?" tanyaku.
"Ya, aku bertemu kakakku. Aku senang dia masih hidup. Dia memintaku mengikutinya,
lalu dia berjalan menjauh ke hutan di belakang rumah kami." Jelas terlihat kalau dia berusaha
menguasai perasaannya, lalu bangkit. "Kita segera pergi, kan" Aku akan menyiapkan kuda."
Aku memikirkan mimpi tentang ibuku dan ingin tahu apa yang ingin para mendiang
sampaikan kepada kami. Di bawah sinar pada saat fajar menyingsing, biara itu nampak jauh
lebih menakutkan. Tempat ini begitu dingin dan menyeramkan sehingga aku tak sabar untuk
segera pergi. Kuda-kuda sudah segar karena telah beberapa hari beristirahat, ini membuat kami bisa
melakukan perjalanan dengan cepat. Cuaca masih pangs menyengat, dengan awan kelabu serta
tak berangin. Aku menoleh ke pantai scat kami melewati jalan menanjak, ingin tahu tentang si
nelayan dan anaknya, tapi tak ada tanda-tanda kehidupan dari kumpulan gubuk itu. Kami
semua gugup. Kupasang telingaku tajam-tajam pada tiap suara, tegang mendengarkan derap
LIAN HEARN BUKU KETIGA 157 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON kaki kuda dan bunyi keriat-keriut serta gemerincing tali kekang, sama halnya dengan bunyi
deburan ombak di laut. Di atas bukit aku berhenti sejenak lalu memandang lepas ke arah Oshima. Tempat itu
tersembunyi di balik kabut, namun sekumpulan awan tebal menunjukkan di mana tempat itu
berada. Jiro berhenti di sampingku sedangkan yang lainnya terus berjalan ke arah hutan di depan
kami. Untuk sesaat keheningan melanda, dan di saat itu aku mendengar suara yang tak
diragukan lagi, di antara helaan napas, tarikan tali busur.
Aku berteriak memperingatkan Jiro dan berusaha mendorongnya turun dari kuda, namun
Shun melompat ke samping, hampir melontarkanku, lalu aku bergelantung di lehernya. Jiro
memalingkan kepala dan melihat ke arah hutan. Anak panah melesat melewati kepalaku dan
langsung menghujam mata Jiro.
Jiro berteriak kaget dan kesakitan; tangannya menutup wajahnya dan dia terkulai di atas
leher kuda. Kudanya meringkik panik, menendang-nendang, dan berusaha mengejar
kawannya yang ada di depan, Jiro terayun-ayun tak berdaya ke sana-kemari.
Shun meregangkan leher dan menjulurkan kepala ke tanah mengarah ke bawah
pepohonan. Di depan, Makoto dan para pengawal berbalik. Salah seorang prajurit maju dan
berhasil menangkap tali kekang kuda tunggangan Jiro yang panik.
Makoto mengangkat Jiro dari pelana, namun saat aku tiba di tempat mereka, bocah itu
sudah tak bernyawa. Anak panah itu menembus tepat di kepalanya, menghancurkan bagian
belakang tengkorak kepalanya. Aku turun dari kuda, mematahkan ujung anak panah, lalu
menarik batangnya. Anak panahnya besar dan dihiasi bulu elang. Busur untuk melesatkannya
pastilah sangat besar, jenis yang dipakai pemanah jarak jauh.
Aku diselimuti kesedihan yang tak tertahankan. Anak panah itu sebenarnya ditujukan
padaku. Seandainya aku tak mendengar dan menghindarinya, Jiro pasti tak akan mati. Rasa
geram dalam diriku meledak. Akan kubunuh orang itu atau lebih baik aku yang mati.
Makoto berbisik, "Ini pasti penyergapan. Ayo cari tempat berlindung dan kita lihat ada
berapa banyak jumlah mereka."
"Bukan, anak panah ini dibidikkan padaku," bisikku. "Ini perbuatan Tribe. Tetap di sini;
berlindunglah. Aku akan mengejar pelakunya. Hanya ada satu"paling banyak dua orang."
LIAN HEARN BUKU KETIGA 158 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Aku tak ingin pasukan ikut denganku. Hanya aku yang dapat bergerak tanpa terlihat, hanya
aku yang mampu mendekati si pembunuh. "Datanglah saat aku memanggil; aku ingin
menangkapnya hidup-hidup."
Makoto berkata, "Jika hanya satu orang, lebih baik kami melanjutkan perjalanan. Berikan
topi bajamu; aku akan menunggang Shun. Mungkin kita bisa mengecohnya. Dia akan
mengikuti kami sehingga kau bisa menyergapnya."
Aku tak tahu sampai seberapa jauh tipuan ini akan berhasil atau seberapa dekat pemanah
itu berada. Dia pasti melihat kalau anak panahnya luput. Dia pasti menduga kalau aku
mengejarnya. Tapi, bila pasukanku tetap berjalan, setidaknya mereka tak akan menghalangiku.
Saat ini si pemanah bisa berada di mana saja di hutan, tapi aku bisa bergerak lebih cepat
darinya. Sementara kuda berderap dengan beban di punggung, aku menghilangkan diri lalu
berlari menuruni lereng, menyusup di antara pepohonan. Kurasa si pemanah tak akan diam di
tempat, dia melesatkan anak panah yang mematikan itu; kurasa dia ke barat daya untuk
memotong jalur perjalanan kami, tempat di mana jalannya berbelok kembali ke selatan.
Kecuali dia memiliki kemampuan Tribe tingkat tinggi, dia talc akan tahu di mana aku berada.
Tak lama kemudian aku mendengar napas orang dan pijakan kaki ringan di tanah yang
basah. Aku berhenti dan menahan napas. Dia melewatiku sejauh sepuluh langkah tanpa
menyadari kehadiranku. Ternyata orang itu adalah Kikuta Hajime, pesumo muda dari Matsue yang pernah
berlatih bersamaku. Terakhir kali aku melihatnya di padepokan sumo saat aku pergi ke Hagi
bersama Akio. Saat itu dia merasa tak akan bertemu denganku lagi. Tapi karena Akio gagal
membunuhku sesuai rencana, maka Hajime dikirim untuk membunuhku. Busur raksasa
menggantung di bahunya; dia bergerak, seperti kebanyakan orang bertubuh besar, tetap
seimbang berjalan dengan sisi luar telapak kakinya, meskipun dengan berat badan yang
melebihi rata-rata orang, gerakannya sigap dan tanpa suara. Hanya aku yang dapat mendengar
gerakannya. Kuikuti dia yang menuju ke jalan di mana aku mendengar kuda-kuda berjalan di depan
kami, bergerak sigap seolah terbang. Aku bahkan bisa mendengar salah seorang pengawal
berteriak pada Makoto untuk berjalan lebih cepat, memanggilnya dengan sebutan Lord Otori,
membuat aku menyeringai getir pada tipuan yang kami. Aku berlari secepat kilat menyusuri
LIAN HEARN BUKU KETIGA 159 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON lereng lalu turun lagi dan muncul di atas bongkahan batu yang merupakan tempat yang berada
lebih tinggi. Hajime menjejakkan kaki dengan mantap di bebatuan dan meraih busur dari bahunya.
Menaruh anak panah di tali busurnya; aku mendengar dia menghela napas saat menarik tali
busur: otot lengannya menonjol. Bisa saja kutebas dia dari belakang, tapi aku harus yakin
dapat membunuhnya dengan sekali tebas, tapi aku juga ingin menangkapnya hidup-hidup.
Hajime berdiri diam laksana patung, menunggu sasarannya muncul dari balik pepohonan.
Sekarang aku hampir tak bisa mendengar napasnya. Aku tahu teknik konsentrasi yang sedang
dia gunakan. Dia bersatu dengan busur dan anak panahnya. Itu bisa menjadi pemandangan
yang menakjubkan, tapi aku sepenuhnya sadar kalau aku ingin melihat dia menderita, lalu
mati. Aku hanya punya waktu beberapa saat untuk berpikir.
Aku masih membawa senjata khas Tribe, di antaranya ada pisau lempar. Aku kurang
mahir menggunakannya, namun barangkali senjata ini bisa menjawab kebutuhanku saat ini.
Pisau-pisau ini sudah kujemur dan kuminyaki setelah mencucinya di pelabuhan bajak laut;
pisau-pisau itu aku cabut dari sarungnya tanpa berbunyi. Saat kuda-kuda bermunculan di
bawah, aku berlari, masih kasat mata, keluar dari persembunyian sambil melemparkan pisaupisauku.
Dua pisau pertama luput, tapi cukup untuk membuyarkan konsentrasi Hajime dan
membuat dia berpaling ke arahku. Dia menengok ke arahku dengan ekspresi wajah bingung
yang sama seperti saat melihatku menghilang di aula pelatihan. Ekspresinya itu membuatku
ingin tertawa sekaligus sedih. Pisau ketiga kena pipinya, ujung pisau yang bergerigi membuat
darahnya memancar deras. Tanpa sadar dia mundur dan aku melihatnya berdiri tepat di tepi
bebatuan. Aku lempar dua pisau lagi tepat di wajahnya, lalu aku menampakkan diri di
depannya. Jato melompat ke tanganku. Hajime meloncat ke belakang untuk menghindari
serangan Jato sehingga dia tergelincir di pinggiran batu, lalu terjatuh di dekat rombongan
Makoto. Hajime berguling-guling karena jatuh, darah mengucur dari pipi dan matanya. Tapi tetap
dibutuhkan lima orang untuk dapat menaklukkannya. Dia diam membisu, sorot matanya
penuh kemarahan dan kebencian. Aku memutuskan untuk membawanya ke Maruyama,
tempat di mana aku akan mencari cara untuk membunuhnya secara perlahan agar dapat
LIAN HEARN BUKU KETIGA 160 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON meringankan kesedihanku atas kematian Jiro.
Begitu Hajime diikat dan tak dapat bergerak, aku lalu meminta saran Makoto. Aku tak
mampu menyingkirkan kenangan bagaimana aku dan Hajime berlatih bersama; kami hampir
seperti teman, dan dia lakukan ini atas perintah Tribe. Meskipun aku telah belajar dari pengalaman, dari pengkhianatan Kenji pada Shigeru, aku masih terguncang atas masalah itu.
Hajime berseru, "Hei, Anjing!"
Seorang pengawal menendangnya. "Berani benar kau panggil Lord Otori begitu."
"Kemarilah, Lord Otori," pesumo itu menyeringai. "Aku ingin mengatakan sesuatu
padamu." Aku menghampiri. "Putramu ada di tangan Kikuta," ujarnya. "Dan ibunya sudah mati."
"Yuki mati?" "Begitu anaknya lahir, mereka memaksa dia minum racun. Akio yang akan membesarkan
anakmu. Kikuta akan menangkapmu. Kau telah berkhianat; mereka tak akan membiarkan kau
hidup. Dan putramu ada di tangan mereka."
Hajime menggeram mirip suara binatang lalu, menjulurkan Iidah sepanjang mungkin,
menjepitnya dengan gigi, menggigitnya sampai putus. Matanya memancarkan kesakitan juga
kemarahan; tapi dia tak juga bicara. Dia meludahkan potongan Iidahnya lalu darah
menyembur. Darah memenuhi tenggorokannya, membuatnya tercekik. Tubuh kuatnya
melengkung dan meronta-ronta, bertarung melawan kematian yang dipaksakan saat dia
tenggelam dalam genangan darahnya sendiri.
Aku membalikkan badan, muak dan sedih yang tak terperi. Kemarahanku telah
berkurang. Di tempat ini beban terasa sangat berat, seolah langit runtuh menimpa jiwaku.
Aku perintahkan pasukan menyeret tubuhnya ke hutan, memenggal kepalanya, lalu
meninggalkan tubuhnya untuk santapan serigala dan rubah.
Kami membawa jenazah Jiro. Berhenti di kota kecil di pesisir, Ohama, tempat kami
menguburkannya di biara setempat dan membayar biaya pemasangan lampion batu untuk Jiro
di bawah pepohonan cedar. Kami menyumbangkan busur beserta anak panahnya untuk biara,
dan kurasa benda-benda itu masih tergantung di sana, tempat di bawah kaso bersama lukisanlukisan kuda, karena tempat itu adalah tempat suci bagi dewi kuda.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 161 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Di antara lukisan itu ada lukisan kudaku. Hampir dua minggu kami menginap di kota itu,
pertama untuk melakukan upacara pernakaman dan membersihkan diri dari polusi kematian,
dan yang kedua untuk Festival of the Death. Aku meminjam tinta batu serta kuas dari rahib
dan melukis Shun di selembar papan. Dalam lukisan itu, aku percaya, aku bukan hanya
memasukkan rasa hormat dan terima kasihku pada kuda yang telah menyelamatkanku, tetapi
juga dukacitaku untuk Jiro, untuk Yuki, untuk hidupku yang hanya menjadi saksi atas
kematian orangorang yang dekat denganku. Dan mungkin keinginanku bertemu Kaede, yang
teramat kurindukan hingga tubuhku terasa nyeri kala kesedihan menyalakan hasratku padanya.
Aku melukis tiada henti: Shun, Raku, Kyu, Aoi. Sudah lama sekali aku tidak melukis, dan
sapuan dingin tinta menenangkan diriku. Selagi duduk sendiri di kuil yang tenang, kubiarkan
diriku membayangkan bahwa inilah hidupku. Aku menarik diri dari dunia dan menghabiskan
waktuku melukis. Teringat pada perkataan Kepala Biara di Terayama saat pertama kali aku ke
sana bersama Shigeru: Datanglah lagi bila semuanya berakhir. Akan ada tempat bagimu di
sini. Kapan semua ini akan berakhir" tanyaku, pertanyaan yang sama kuajukan padanya saat itu.
Air mata sering mengambang di pelupuk mataku. Berduka atas kematian Jiro dan Yuki,
atas hidup mereka yang begitu singkat, atas kesetiaan mereka padaku yang tak pantas
kudapatkan, karena mereka dibunuh akibat diriku. Ingin sekali kubalaskan dendam mereka,
tapi cara Hajime bunuh diri membuatku jijik. Lingkaran kematian dan balas dendam tanpa
akhir macam apa yang aku ciptakan" Aku terkenang apa yang telah kulakukan bersama Yuki
dan aku menyesalinya... apa" Apakah karena aku tidak mencintainya" Mungkin aku tidak
mencintainya seperti aku mencintai Kaede, tapi aku pernah menginginkan dirinya, dan
kenangan itu sekali lagi membuatku nyeri karena menahan hasrat dan berderai air mata karena
tubuh rampingnya yang kini kaku untuk selamanya.
Aku senang karena khidmatnya Festival of the Death memberiku kesempatan untuk
mengucapkan selamat tinggal pada arwahnya. Aku menyalakan lilin untuk semua orang yang
telah pergi mendahuluiku, memohon bimbingan dan ampunan mereka. Satu tahun telah
berlalu sejak aku berdiri di tepi sungai di Yamagata bersama Shigeru dan kami
menghanyutkan perahu kecil menyala di arus sungai; sudah satu tahun sejak aku menyebut
nama Kaede, melihat wajahnya bercahaya dan tahu kalau dia mencintaiku.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 162 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Hasrat menyiksa diriku. Aku bisa saja tidur dengan Makoto dan menikmatinya, dan juga
untuk menghiburnya. Meskipun sering tergoda, sesuatu menahanku untuk melakukannya. Di
siang hari, di saat melukis, aku merenungi semua yang pernah kulakukan dalam kurun waktu
setahun lalu, berbagai kesalahan dan kesedihan serta.penderitaan orang-orang di sekitarku.
Selain kesalahanku karena bergabung dengan Tribe, kini kusadari kalau semua kesalahanku
muncul karena hasrat yang tidak terkendali. Andai aku tidak tidur dengan Kaede, dia tak akan
keguguran yang hampir merenggut nyawanya. Andai aku tidak tidur dengan Yuki, dia pasti
masih hidup dan anak lakilaki yang kelak akan membunuhku tak akan lahir. Lalu aku teringat
pada Shigeru yang menolak untuk menikah karena dia telah bersumpah setia kepada Lady
Maruyama. Belum pernah aku mendengar ada orang yang bersumpah seperti itu, dan semakin
aku memikirkannya, semakin kuat tekadku untuk bersumpah seperti Shigeru, melakukan apa
yang dia lakukan. Berlutut di hadapan arca Kannon berkepala kuda, aku bersumpah di
hadapan sang dewi kalau seluruh cintaku, lahir dan batin, sejak saat ini, hanya akan kuberikan
pada Kaede, istriku. Perpisahan kami membuatku kian sadar betapa aku sangat membutuhkannya, betapa dia
telah menjadi penenang dan membuat aku kuat menjalani hidup ini. Cintaku padanya adalah
penawar atas kemarahan dan kesedihan yang menimpaku; layaknya semua penawar racun, aku
sembunyikan dan akan kujaga itu dengan baik.
Makoto, yang sama berdukanya sepertiku, menghabiskan waktu dengan bermeditasi.
Kami hampir tidak berbincang di siang hari, tapi setelah makan malam kami kerap berbincang
hingga larut malam. Dia tentu mendengar perkataan Hajime dan berusaha bertanya padaku
tentang Yuki, tentang putraku, tapi aku tak mampu membicarakannya. Di malam pertama
Festival of the Death ,setelah kembali dari lepas pantai, kami minum sake bersama. Merasa lega
karena kebekuan di antara kami telah mencair, aku merasa sudah seharusnya mengatakan
katakata kata yang ada dalam ramalan.
Makoto mendengarkan dengan seksama selagi aku menceritakan tentang perempuan tua
buta, si peramal, penampilannya yang mirip orang suci, gua, kincir doa, dan lambang Hidden.
"Aku pernah mendengar tentang perempuan itu," ujar Makoto. "Banyak orang yang ingin
meraih kesucian pergi mencarinya, tapi belum pernah aku mendengar ada orang yang berhasil
bertemu dengannya." LIAN HEARN BUKU KETIGA 163 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON "Si gelandangan, Jo-An, yang mengantarku."
Makoto tidak bicara. Malam itu hangat, tenang, dan semua jendela terbuka. Bulan
purnama menyirami biara dan pepohonan keramat dengan cahayanya. Ombak di laut
terdengar meraung di bebatuan pantai. Seekor tokek melintas di langit-langit, kaki-kakinya
yang kecil menempel di tiang penyangga. Nyamuk berdengung dan laron beterbangan
mengibaskan sayapnya di sekitar tiang penyangga. Aku matikan lampu agar sayap laron-laron
tak terbakar: cahaya rembulan sudah cukup terang menyinari ruangan.
Akhirnya Makoto berkata, "Itu berarti dia disayang oleh Sang Pencerah, seperti halnya
kau." "Perempuan suci itu mengatakan bahwa semua itu satu," kataku. "Saat itu aku belum
mengerti, tapi kemudian di Terayama aku teringat kata-kata Shigeru tepat sebelum
kematiannya, lalu kebenaran yang dikatakan perempuan itu nampak jelas di depan mataku."
"Bisakah kau menguraikannya dengan kata-kata?"
"Tidak, tapi kurasa itu benar, dan aku menjalani hidup dengan ramalan itu. Tak ada
perbedaan di antara manusia: kasta kami, sama halnya seperti kepercayaan kami, hanyalah ilusi
yang datang antara kami dan kebenaran. Begitulah cara Surga mengatur seluruh umat
manusia, dan begitu pula seharusnya apa yang kulakukan."


Briliance Of The Moon Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mengikutimu karena rasa sayangku padamu dan karena aku percaya pada keadilan
yang kau perjuangkan," ujarnya sambil tersenyum. "Tanpa kusadari ternyata kau juga menjadi
penasihat spiritualku!"
"Aku tak tahu apa-apa soal spiritual," kataku, curiga kalau dia sedang menertawaiku. "Aku
telah mengabaikan kepercayaan masa kecilku dan aku tak bisa menggantinya dengan
kepercayaan lain. Di balik semua ajaran itu, ada satu tempat kebenaran di mana semuanya
menjadi satu." Makoto tertawa. "Nampaknya kau memiliki pengetahuan yang lebih mendalam di balik
sikap tidak acuhmu dibanding aku yang telah belajar dan berdebat selama bertahun-tahun.
Apa lagi yang orang suci itu katakan?"
Aku mengulangi kata-kata dalam ramalan itu. "Tiga darah bercampur dalam dirimu. Kau
terlahir di Hidden, tapi hidupmu dibawa ke alam keterbukaan dan tak lagi menjadi milikmu
sendiri. Bumi akan menghantarkan apa yang menjadi keinginan Surga. Wilayah kekuasaanmu
LIAN HEARN BUKU KETIGA 164 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON akan terbentang dari laut hingga laut," akhirnya dia berkata. "Tapi damai akan terwujud
melalui pertumpahan darah. Lima peperangan akan membayar perdamaian, empat kali
menang dan satu kali kalah...."
Aku berhenti di situ, tak yakin apakah akan meneruskan atau tidak.
"Lima peperangan?" tanya Makoto. "Sudah berapa banyak yang kita jalani?"
"Dua, bila termasuk Jin-emon dan bandit-banditnya."
"Jadi itu sebabnya kau tanya apakah itu bisa disebut perang! Kau mempercayai ramalan
itu?" "Seringkali ya. Semestinya begitu, kan?"
"Aku akan mempercayai semua yang kudengar dari perempuan itu jika aku beruntung bisa
berlutut di kakinya," ujar Makoto pelan. "Apakah ada yang lain lagi?"
"Banyak yang mati," aku mengutip, "tapi kau akan selamat, kecuali di tangan anak lakilakimu sendiri."
"Aku turut prihatin," ujar Makoto dengan nada iba. "Itu beban teramat berat yang harus
ditanggung laki-laki mana pun, apalagi kau yang memiliki ikatan kuat dengan anak-anak.
Kurasa kau sudah lama menginginkan anak laki-laki, darah dagingmu sendiri."
Aku terharu karena ternyata Makoto sangat mengenal diriku. "Di saat aku merasa telah
kehilangan Kaede untuk selamanya, saat pertama kali ke perkampungan Tribe, aku tidur
dengan gadis yang membantuku membawa Shigeru keluar dari Inuyama. Namanya Yuki.
Dialah yang membawa kepala Shigeru ke kuil."
"Aku ingat dia," sahut Makoto pelan. "Pastinya aku tak akan lupa saat dia datang dan
betapa mengejutkannya kabar yang dibawanya."
"Yuki adalah putri Kenji Muto," kataku, rasa kehilangan itu muncul. 'Aku tidak percaya
Tribe memanfaatkannya sampai sejauh itu. Mereka ingin mendapatkan seorang anak, dan
begitu Yuki melahirkan mereka langsung membunuhnya. Aku sangat menyesal dan seharusnya aku tidak melakukannya, karena itu menjadi penyebab kematian Yuki. Jika memang hanya
putraku yang dapat membunuhku, aku memang pantas mendapatkannya."
"Semua anak muda pasti pernah berbuat salah," kata Makoto. "Sudah menjadi takdir
kalau kita harus menjalani hidup dengan konsekuensinya." Dia meraih lalu menggenggam
tanganku. "Aku senang kau mengatakan semua ini padaku. Ini menegaskan banyak hal yang
LIAN HEARN BUKU KETIGA 165 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON kurasakan padamu, bila kau memang pilihan Surga, maka kau akan dilindungi hingga citacitamu terwujud."
"Aku berharap akan terlindungi dari kesedihan," sahutku.
"Bila itu terjadi, maka kau pasti bisa mendapatkan pencerahan," sahutnya acuh tak acuh.
Bulan purnama membawa perubahan cuaca. Hawa panas berkurang dan udara terasa
bersih. Bahkan tanda-tanda akan datangnya musim gugur di dinginnya pagi. Begitu festival
berakhir, semangatku agak terpompa. Perkataan Kepala Biara yang lain terlintas di benakku,
mengingatkan kalau para pengikutku, semua orang yang mendukungku, melakukannya atas
kemauan mereka sendiri. Aku harus membuang kesedihanku dan kembali lagi pada cita-citaku
agar mereka tak mati sia-sia. Dan ucapan Shigeru padaku di desa kecil bernama Hinode, di
pelosok Tiga Negara, juga kembali terngiang di benakku.
Hanya anak-anak yang menangis. Orang dewasa dapat menahannya. Kami berencana
pergi keesokan harinya, namun sore itu terjadi gempa kecil, cukup kuat untuk membunyikan
genta angin dan membuat anjing melolong panjang. Sore harinya terjadi lagi, lebih kuat lagi.
Sebuah lampu jatuh di rumah di ujung jalan tempat kami menginap dan kami menghabiskan
hampir semalaman membantu penduduk kota memadamkan kebakaran yang terjadi setelah
gempa. Akibatnya, perjalanan kami tertunda lagi beberapa hari.
Saat kami meninggalkan kota itu, aku hampir gila karena tidak sabar lagi ingin bertemu
Kaede. Perasaan itu membuatku bergegas menuju Maruyama, bangun sebelum fajar
menyingsing dan berkuda hingga larut malam dengan ditemani pudarnya sinar rembulan.
Kami jarang berbincang; ketidakhadiran Jiro membuat semua orang merindukan canda tawa
yang biasa kami lakukan, dan aku merasakan firasat kuat yang tak bisa kusingkirkan dari
dalam diriku. Tepat memasuki Waktu Anjing* ketika kami tiba di kota. Lampu di sebagian besar
rumah sudah dimatikan dan gerbang kastil telah dipasangi palang. Para penjaga menyapa kami
dengan hangat, tapi itu semua tak mampu melenyapkan kecemasanku. Aku meyakinkan diriku
kalau kecemasanku itu hanya karena letih karena perjalanan yang melelahkan. Aku ingin
mandi air panas, makan enak, dan tidur dengan istriku. Tapi, begitu melihat raut wajah
pelayan istriku, Manami, di pintu rumah, aku langsung tahu kalau ada yang tidak beres.
Saat aku memintanya mengatakan pada Kaede kalau aku sudah pulang, dia langsung
LIAN HEARN BUKU KETIGA 166 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON berlutut. "Tuan...Lord Otori...." suara Manami terputus-putus, "Lady pergi ke Shirakawa untuk
menjemput adik-adiknya."
"Apa?" aku tidak mempercayai apa yang kudengar. Kaede pergi sendirian, tanpa
mengatakan atau meminta ijinku" "Sudah berapa lama" Kapan seharusnya dia kembali?"
"Lady Kaede pergi tidak lama setelah Festival of the Death." Tangis Manami nampaknya
akan segera meledak. "Aku tak ingin membuat tuan panik, tapi seharusnya lady sudah
kembali." "Mengapa kau tidak ikut dengannya?"
"Beliau tidak mengijinkannya. Lady ingin menunggang kuda, pergi dengan cepat agar
bisa kembali sebelum Anda pulang."
"Nyalakan lampu dan minta orang memanggil Lord Sugita," perintahku, tapi sepertinya
Sugita telah mendengar kedatanganku dan sedang ke arah kami.
Aku berjalan memasuki rumah. Aku seakan masih mencium wewangian Kaede di udara.
Ruangan yang indah dengan hiasan menggantung dan layar kasa yang dilukis membuat
kehadirannya masih terasa di mana-mana.
Manami menyuruh pelayan membawakan lampu, dan bayangan tubuh mereka bergerak
tanpa suara melewati kamar-kamar. Salah seorang dari mereka menghampiriku dan
membisikkan kalau air mandi telah disiapkan, tapi aku katakan padanya kalau aku akan bicara
dengan Sugita lebih dulu.
Aku masuk ke ruangan kesukaan Kaede dan pandanganku jatuh ke meja tulis tempat ia
seringkali berlutut untuk menyalin catatan Tribe. Kotak kayu tempat menyimpan catatan itu
biasanya selalu ada di sisi meja; tapi kotak itu kini tidak ada. Saat aku mengira-ngira apakah
Kaede menyembunyikan atau membawanya, seorang pelayan memberitahukan kedatangan
Sugita. "Aku mempercayakan istriku padamu," ujarku. Kemarahanku tak terbendung. "Mengapa
kau ijinkan dia pergi?"
Sugita tampak terkejut pada pertanyaanku. "Maaf," sahutnya. "Lady Otori memaksa pergi
dengan membawa pengawal yang dipimpin Amano Tenzo. Keponakanku, Hiroshi, juga ikut.
Itu hanya perjalanan santai, untuk mengunjungi rumahnya dan menjemput adik-adiknya."
LIAN HEARN BUKU KETIGA 167 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON "Lalu mengapa dia belum juga kembali?" Sepertinya tidak berbahaya: mungkin sikapku
terlalu berlebihan. "Aku yakin dia akan kembali besok," ujar Sugita. "Lady Naomi sering bepergian seperti
itu; kamu sudah terbiasa dengan penguasa perempuan yang bepergian dengan cara seperti itu."
Pelayan masuk membawa teh dan makanan, dan kami membicarakan tentang
perjalananku dengan singkat selagi makan. Aku tidak mengatakan semuanya, khawatir kalau
semua itu tidak terlaksana, tapi hanya mengatakan sekilas kalau aku sedang merencanakan
strategi jangka panjang. Tidak ada kabar dari Miyoshi bersaudara dan tidak ada laporan mengenai apa yang
sedang Arai maupun Otori lakukan. Semua itu membuatku merasa seolah berjalan tanpa
tujuan dalam keadaan separuh gelap. Aku ingin bicara dengan Kaede dan aku sangat
membenci keadaan tanpa informasi yang seperti ini. Andaikan aku punya jaringan matamata... aku sadar sedang berandai-andai seperti yang kulakukan sebelumnya, andai aku
mendapatkan anak-anak yang berbakat, anak-anak yatim-piatu Tribe, jika anak-anak seperti
itu memang ada, lalu membesarkan mereka demi kepentinganku sendiri. Aku memikirkan putraku dengan kerinduan yang ganjil. Akankah dia memiliki kemampuan Yuki dan diriku" Bila
memang begitu, mereka akan memanfaatkannya untuk melawanku.
Sugita berkata, "Kudengar Jiro tewas."
"Ya, menyedihkan. Dia tertembus anak panah yang ditujukan padaku."
"Tuan sangat diberkati bisa selamat!" serunya. "Apa yang terjadi pada pembunuhnya?"
"Mati. Dan itu bukanlah usaha pembunuhan yang terakhir. Itu pekerjaan Tribe." Aku
ingin tahu seberapa banyak yang Sugita tahu tentang hubunganku dengan Tribe, gunjingan
apa yang beredar tentang diriku. "Oh ya, istriku sedang menyalin sesuatu. Apa yang terjadi
dengan kotak beserta gulungan kertasnya?"
"Benda itu tidak pernah lepas dari pandangannya," sahut Sugita. "Jika kedua benda itu tak
ada di sini, pasti beliau membawanya."
Agar tidak terlihat cemas, aku tak bertanya apa-apa lagi. Saat Sugita keluar, aku pergi
mandi, memanggil pelayan agar datang dan menggosok punggungku, sambil berharap Kaede
tiba-tiba muncul seperti yang dia lakukan di kediaman Niwa, lalu aku teringat, hampir tidak
bisa kutahan, Yuki. Ketika pelayan pergi, aku berendam dalam air panas sambil memikirkan
LIAN HEARN BUKU KETIGA 168 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON apa yang akan kukatakan pada Kaede, karena aku sadar harus mengatakan ramalan tentang
putraku padanya, tapi aku tak bisa membayangkan bagaimana merangkainya dalam kata-kata.
Manami menggelar alas tidur dan sedang menunggu untuk mematikan lampu. Aku
bertanya tentang kotak catatan dan jawabannya sama seperti jawaban Sugita.
Lama sekali sebelum aku bisa tidur. Aku mendengar kokok ayam di pagi hari, kemudian
tertidur pulas tepat saat fajar menyingsing. Saat terbangun, matahari sudah tinggi dan aku
mendengar suara-suara penghuni rumah.
Manami masuk membawa sarapan. Dia memintaku beristirahat setelah perjalanan
panjang dan melelahkan saat aku mendengar suara Makoto di luar. Aku suruh Manami
memanggilnya masuk, tapi Makoto sudah memanggilku dari arah taman, tanpa membuka
sandal. "Cepat kemari. Bocah itu, Hiroshi, sudah kembali."
Begitu cepatnya aku berdiri sampai tanpa sengaja menyenggol nampan makanan hingga
terlempar. Manami memekik kaget, lalu memunguti tumpahan makanan. Dengan kasar aku
menyuruhnya membiarkan tumpahan itu. Aku menyuruhnya mengambilkan pakaianku.
Selesai berpakaian, aku menghampiri Makoto di luar.
"Di mana dia?" "Di rumah pamannya. Keadaannya sangat tidak baik."
Makoto mencengkram bahuku. "Maaf, berita yang dia bawa sangat buruk."
Pikiranku langsung tertuju pada gempa. Terlintas di benakku api yang kami padamkan
dengan penuh perjuangan dan membayangkan Kaede terjebak di dalamnya, terperangkap di
rumah yang sedang terbakar. Aku menatap Makoto, melihat derita di matanya, dan sedang
berusaha merangkai kata-kata yang tidak mampu dia ucapkan.
"Dia belum mati," sahutnya cepat. "Tapi Amano dan seluruh pasukan, sepertinya habis
dibantai. Hanya Hiroshi yang lolos."
Aku tak bisa membayangkan apa yang telah terjadi. Tak seorang pun bernyali untuk
menyakiti Kaede, baik di Maruyama maupun di Shirakawa. Apakah Tribe menculiknya untuk
melawanku" "Lord Fujiwara yang melakukannya," urai Makoto. "Kaede ada di rumahnya."
Kami berlari melintasi bailey* di halaman luar kastil, melewati gerbang kastil, menuruni
LIAN HEARN BUKU KETIGA 169 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON lereng, dan melewati jembatan ke arah kota. Rumah Sugita tepat di seberang sungai. Orangorang berkumpul di luar rumah, menatap rumah tanpa berbicara. Kami berdesakan melewati
mereka dan masuk ke taman. Dua pelayan laki-laki berusaha agar seekor kuda yang kelelahan
untuk tetap berdiri. Warna kelabu kuda itu cantik, warna punggungnya gelap karena keringat.
Bola matanya berputar-putar, mulutnya berbusa. Kurasa hewan itu tak akan bangun lagi.
"Bocah itu berkuda siang malam tiada henti untuk bisa sampai ke sini," ujar Makoto, tapi
aku hampir tak mendengarnya. Bahkan lebih dari biasanya, aku begitu waspada pada setiap
detil di sekelilingku: pantulan sinar lantai kayu dari dalam rumah, wangi bunga yang ditaruh di
sudut ruangan, kicau burung di semak taman. Di benakku terngiang samar-samar suara
berulang-ulang Fujiwara"
Sugita menghampiri kami, wajahnya pucat pasi. Tak ada kata-kata yang keluar dari
mulutnya. Dia terlihat seperti orang yang telah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
"Lord Otori...." ujarnya, tergagap.
`Anak itu terluka" Dia bisa bicara?"
"Sebaiknya Anda masuk dan bicara dengannya."
Hiroshi berbaring di kamar yang terletak di belakang rumah. Kamar itu menghadap ke
taman kecil yang menghijau; aku mendengar bunyi aliran sungai yang melewati taman itu.
Lebih sejuk di sini dibandingkan di ruang utama, dan cerahnya mentari pagi agak terhalang
oleh pepohonan besar. Dua perempuan berlutut di samping anak itu, salah seorang mengelap
wajah, tangan dan kakinya dengan kain basah. Sedangkan seorang lagi memegang mangkuk
teh dan berusaha membujuk Hiroshi meminumnya.
Mereka berdua berhenti dan membungkuk hormat saat kami masuk. Hiroshi menoleh,
melihatku dan berusaha duduk.
"Lord Otori," bisiknya, berusaha keras bicara meskipun air mata mengambang di
matanya. Berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis, dia berkata, "Maafkan aku. Maafkan
aku. Ampuni aku." Aku merasa iba. Dia berusaha menjadi seorang ksatria, berusaha menjalani hidup sesuai
dengan cara ksatria yang keras. Aku berlutut di sampingnya dan menaruh tanganku di
rambutnya dengan penuh kasih sayang. Rambutnya masih ditata seperti anak-anak; usianya
masih jauh dari usia akil balik, tapi dia berusaha bersikap seperti lakilaki dewasa.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 170 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON "Ceritakan apa yang terjadi."
Pandangannya terpaku ke wajahku, aku tak membalas tatapannya. Hiroshi berbicara
dengan tenang, mantap, seolah dia sudah berlatih mengucapkan apa yang telah terjadi selama
di perjalanan. "Ketika sampai di kediaman Lady Otori, pengawalnya, Lord Shoji jangan percaya
padanya, dia mengkhianati kami! Mengatakan kalau adik-adik lady sedang berkunjung ke
tempat Lord Fujiwara. Lady menyuruh dia jemput, tapi pengawal itu kembali dengan
mengatakan bahwa kedua adik lady tidak ada lagi di sana, tapi Lord Fujiwara berpesan bahwa
dia akan mengatakannya"beliau hanya akan mengatakan di mana kedua adiknya berada jika
Lady mengunjunginya. Kami berangkat keesokan harinya. Seorang laki-laki bernama Murita
menyambut kami. Begitu melewati gerbang, Lady Otori langsung diserang. Amano yang
waktu itu ada di sampingnya langsung dibunuh. Setelah itu, aku tak melihat apa-apa lagi."
Suaranya terputus dan dia menarik napas panjang. "Kudaku melompat. Aku tak mampu
mengendalikannya. Mestinya aku membawa kuda yang lebih tenang, tapi aku menyukai kuda
itu karena sangat gagah. Amano mengkritikku karena memilih kuda itu; katanya kuda itu
terlalu kuat untukku. Aku tidak menggubrisnya. Aku tak bisa membela lady."
Air mata mulai berlinang di pipinya. Salah seorang perempuan yang ada di situ
membungkuk dan menyeka air matanya.
Makoto berkata dengan lembut, "Kita sangat berterima kasih pada kuda itu. Seandainya
kau tidak berhasil lari, kami tak akan pernah tahu apa yang telah terjadi."
Kucoba memikirkan sesuatu yang dapat menenangkan Hiroshi, tapi keadaannya sama


Briliance Of The Moon Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali tidak tenang. "Lord Otori," tandas Hiroshi, sambil mencoba bangkit. "Akan kutunjukkan jalan ke sana.
Kita bisa ke sana untuk menjemput lady pulang!"
Anak itu terlalu keras berusaha. Dapat kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Kuraih
bahunya dan menariknya agar berbaring. Peluh dan air matanya bercampur, dan sekujur
tubuhnya gemetar. "Dia perlu istirahat, tapi dia tidak bisa diam, selalu berusaha bangun," ujar Sugita.
"Lihat aku, Hiroshi." Aku membungkuk di atas badannya dan membiarkan mataku
menatap matanya. Dia segera tertidur. Tubuhnya melemas dan napasnya teratur.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 171 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Kedua perempuan itu kaget, menarik napas, dan aku melihat mereka saling berpandangan
dengan takjub. Mereka agak beringsut menjauhiku, memalingkan wajah dan berhati-hati agar
tidak menyentuh pakaianku.
"Dia akan tertidur lama," kataku. "Itu yang dia butuhkan. Katakan padaku saat dia
bangun nanti." Aku bangkit. Makoto dan Sugita juga, sambil menatapku dengan penuh harap. Aku
terhuyung-huyung karena geram, tapi ketenangan yang mematikan rasa akibat kekagetan
menghampiriku diriku. "Ikut denganku," kataku pada Sugita. Aku ingin bicara berdua dengan Makoto, tapi aku
tak ingin ambil resiko meninggalkan Sugita sendirian. Takut dia bunuh diri, dan aku tak mau
kehilangan dia. Kesetiaan utama Klan Maruyama adalah pada Kaede, bukan padaku; aku tidak
tahu bagaimana reaksi mereka atas berita ini. Aku mempercayai Sug-ita lebih dari yang
lainnya dan yakin bila dia tetap setia, maka begitu pula yang lainnya.
Kami berjalan kembali menyeberangi jembatan dan menanjak ke bukit menuju kastil.
Kerumunan orang di luar semakin banyak, dan para laki-laki bersenjata bermunculan di
jalanan. Suasana kacau-tidak terlalu panik atau bahkan terkejut, hanya segerombolan orang
yang sulit diatur yang berdesakan, saling bertukar kabar, menyiapkan diri untuk tindakan yang
tidak diharapkan. Aku harus segera mengambil keputusan sebelum situasinya semakin
memanas dan tak terkendali.
Begitu sampai di dalam gerbang, aku berkata pada Makoto, "Siapkan pasukan. Siapkan
separuh prajurit kita untuk menghadapi Fujiwara. Sugita, kau harus tetap di sini dan
mempertahankan kota. Dua ribu pasukan akan tetap di sini dalam komandomu. Timbun
bahan makanan di kastil untuk bertahan dari pengepungan. Aku akan pergi saat fajar
menyingsing." Wajah Makoto berkerut dan suaranya terdengar cemas. "Jangan terburu-buru. Kita tidak
tahu di mana Arai berada. Mungkin ini perangkap. Untuk menyerang Lord Fujiwara, orang
dengan derajat dan status setinggi dia, hanya akan membuat orang-orang menentangmu.
Mungkin yang terbaik adalah jangan tergesa-gesa?"
Aku menyela, "Tidak mungkin aku menunggu. Akan kulakukan apa pun untuk
mendapatkan istriku kembali. Mulai sekarang juga."
LIAN HEARN BUKU KETIGA 172 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Kami menghabiskan sehari penuh untuk melakukan persiapan dengan perasaan kalut.
Aku tahu kalau aku benar dengan bertindak secepatnya. Reaksi pertama dari orang-orang
Maruyama adalah marah dan merasa terhina. Aku ingin memanfaatkan itu. Bila serangan
ditunda, aku akan terlihat setengah hati, membuat mereka meragukan legitimasiku. Aku
menyadari resiko yang kuambil, dan tahu kalau aku bertindak terlalu terburu-buru, tapi aku
tak tahu cara yang lain. Saat menjelang malam, aku memerintahkan Sugita memanggil semua tetua. Dalam waktu
singkat mereka semua telah berkumpul. Aku memberitahukan maksud dan tujuanku,
mengingatkan tentang konsekuensinya, dan juga mengatakan kalau aku mengharapkan
kesetiaan penuh mereka padaku dan pada istriku. Tak seorang pun keberatan"kurasa
kemarahanku terlalu kuat untuk itu"tapi tetap saja aku cemas. Mereka berasal dari generasi
yang sama dengan Fujiwara dan Arai, dan besar dengan cara yang sama. Aku mempercayai
Sugita, tapi dengan perginya Kaede, dapatkah dia mempertahankan kesetiaan para tetua selagi
aku tak berada di sini"
Aku minta dibawakan Shun, lalu aku menungganginya untuk menjernihkan pikiran,
melemaskan kaki-kakinya sebelum mengajaknya melakukan satu perjalanan berat lagi, dan
juga untuk melihat keadaan wilayah ini.
Sebagian besar padi telah dipanen, para petani bekerja siang dan malam memotong padi
sebelum cuaca berubah. Petani yang kuajak bicara merasa cemas, memperkirakan badai yang
akan datang: melihat dari lingkaran cahaya bulan purnama terakhir, angsa-angsa yang bermigrasi. Aku mengatur prajurit Sugita untuk membantu memperkuat bendungan dan
bantaran sungai agar dapat menahan banjir; tidak diragukan lagi, mereka pasti akan mengeluh,
tapi kuharap kesadaran akan adanya krisis bisa mengalahkan kesombongan mereka.
Akhirnya tersadar kalau aku sudah berada di dekat dusun kecil tempat para gelandangan
bermukim. Bau kulit yang dijemur dan darah segar seperti biasa merebak di sekitarnya.
Beberapa laki-laki, Jo-An di antaranya, sedang menguliti seekor kuda mati. Aku mengenali
warna kelabu cerah binatang itu; itu kuda milik Hiroshi yang kulihat sekarat pagi itu.
Kupanggil Jo-An lalu turun dari kuda, sambil memberikan tali kekang pada pelayan laki-laki
yang menemaniku. Aku berjalan lalu berdiri di tepi sungai dan Jo-An menghampiri,
membasuh darah di lengan sampai telapak tangannya di sungai.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 173 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON "Kau sudah dengar beritanya?"
Dia mengangguk, menatapku, lalu berkata, `Apa yang akan kau lakukan?"
"Apa yang seharusnya kulakukan" Aku ingin mendengar kata-kata dari Tuhan. Aku ingin
mendengar ramalan lagi, ramalan yang memasukkan Kaede di dalamnya, yang mengikat masa
depan kami bersama. Akan kuikuti itu tanpa pikir panjang."
"Masih tersisa tiga pertempuran lagi," ujar Jo-An. "Sekali kalah dan dua menang.
Kemudian kau akan berkuasa dalam damai, sejauh laut membentang."
"Bersama istriku?"
Jo-An memalingkan wajah ke arah sungai. Dua burung bangau putih sedang mencari ikan
di dekat bendungan. Terlihat kelebatan warna jingga dan biru burung pekakak menukik dari
pohon willow. "Jika memang harus kalah satu kali, seharusnya kau kalah sekarang ini,"
tandasnya. "Jika aku kehilangan istriku, tak satu pun dari kemenangan itu berarti bagiku," sahutku.
"Aku akan mengakhiri liidupku."
"Itu dosa," sahutnya cepat. "Tuhan mempunyai rencana padamu. Yang harus kau lakukan
hanyalah mengikutinya."
Saat aku tak menjawab, dia menambahlcan, "Sangat berarti bagi kami yang telah
meninggalkan segalanya demi dirimu. Juga sangat berarti bagi mereka yang menderita di tanah
Otori saat ini. Kami bisa bertahan dalam peperangan jika memang kedamaian datang dari situ.
Jangan tinggalkan kami."
Aku berdiri di tepi sungai yang tenang diterangi matahari sore, sambil berpikir bila aku
tak bisa mendapatkan Kaede kembali, maka hatiku akan hancur. Seekor bangau abu-abu
terbang rendah di permukaan air, tepat di atas bayangannya sendiri. Burung itu melipat sayap
besarnya dan mendarat dengan mulus tanpa mencipratkan banyak air. Kemudian bangau itu
berpaling ke arah kami, memandangi kami, lalu setelah menyadari kalau kami tak berbahaya
baginya, hewan itu mulai mencari ikan di tempat yang dangkal.
Tujuanku yang sebenarnya adalah membalaskan dendam Shigeru hingga tuntas dan
mengambil warisanku. Ini artinya ramalan itu akan terpenuhi. Tapi mustahil aku membiarkan
ada yang merebut Kaede tanpa perlawanan. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain
mengejarnya, meskipun itu berarti melepas semua yang telah aku perjuangkan selama ini.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 174 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Kuucapkan selamat tinggal pada Jo-An dan kembali ke kastil. Aku mendapat kabar kalau
Hiroshi sudah sadar dan kondisinya mulai membaik. Aku menyuruh orang memanggilnya
untuk menghadap padaku. Selagi menunggu, aku mencari kotak catatan di seluruh penjuru
rumah, tapi tidak juga menemukannya. Hal itu juga menjadi sumber kekhawatiranku yang
lainnya. Aku takut kotak itu dicuri, yang bisa diartikan kalau Tribe telah menembus kastil ini
satu kali, berarti mereka bisa melakukannya lagi.
Hiroshi datang tepat sebelum matahari terbenam. Wajahnya pucat, dengan lingkaran
hitam di bawah matanya, tapi selain itu, anak itu pulih sangat cepat. Secara fisik dan mental
Hiroshi memang tangguh seperti laki-laki dewasa. Aku bertanya tentang setiap detil
perjalanan itu dan memintanya menggambarkan daerah di sekitar kediaman Shirakawa dan
Fujiwara. Dia mengatakan bagaimana Raku dibunuh, dan kabar itu membawa kesedihan yang
dalam bagiku. Kuda abu-abu bersurai hitam itu adalah kuda pertama yang kulatih, suatu mata
rantai dengan Shigeru dan hidup singkatku sebagai putranya di Hagi. Raku adalah
pemberianku untuk Kaede ketika tak ada yang dapat kuberikan padanya, dan kuda itulah yang
membawa Kaede ke Terayama.
Aku menyuruh orang lain keluar agar aku dapat bicara berdua dengannya, dan aku
meminta dia lebih mendekat.
"Berjanjilah bahwa kau tak akan mengatakan pada siapa pun tentang apa yang akan kita
bicarakan." "Aku bersumpah," sahutnya, menambahkan tanpa berpikir lagi, "Lord Otori, aku
berhutang nyawa pada Anda. Akan kulakukan apa pun untuk membantu menyelamatkan
Lady Otori." "Kita akan menyelamatkannya," sahutku. "Aku akan berrangkat besok."
"Ajak aku bersamamu," pintanya.
Aku tergoda dengan permohonannya, tapi kupikir dia masih belum pulih benar. "Tidak,
kau harus tetap di sini."
Wajahnya terlihat seolah hendak mengajukan keberatan, tapi dia diam dengan menggigit
bibirnya. "Catatan yang disalin istriku"apakah dia membawanya?"
Hiroshi berbisik, "Kami membawa catatan yang asli dan salinannya. Kami
LIAN HEARN BUKU KETIGA 175 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON menyembunyikannya di Shirakawa, di Gua Suci."
Aku memberkati Kaede atas kearifannya. "Ada orang lain yang tahu hal ini?"
Hiroshi menggeleng. "Kau bisa menemukannya lagi?"
"Tentu saja." "Jangan pernah mengatakan pada siapa pun tempat penyimpanannya. Kelak kita akan
mengambilnya." "Lalu kita hukum Shoji," sahutnya dengan penuh kemenangan. Beberapa saat kemudian,
dia menambahkan, "Lord Otori, bolehkah aku bertanya sesuatu?"
"Pasti." "Pada hari kematian ayahku, orang-orang yang membunuh para penjaga membuat diri
mereka tak terlihat. Bisakah Anda melakukannya?"
"Mengapa kau menanyakannya" Kau pikir aku bisa melakukannya?"
"Kedua pelayan perempuan di kamarku mengatakan Anda penyihir"maaf. Anda bisa
melakukan banyak hal aneh, seperti membuatku tertidur." Wajahnya berkerut saat menatapku.
"Itu bukan sekadar tidur biasa; aku melihat mimpi yang nyata dan mengerti hal-hal yang
tadinya tidak kumengerti. Jika Anda bisa menghilang, bisakah Anda mengajariku caranya?"
"Ada beberapa hal yang tak bisa diajarkan," sahutku. "Semua kemampuan itu terlahir
dalam dirimu. Kau sudah punya banyak keahlian, dan juga telah dibesarkan dengan cara yang
terbaik." Sesuatu yang kukatakan tiba-tiba membuat matanya dipenuhi liangan air mata. "Mereka
bilang Jiro mati." "Ya, dia dibunuh oleh pembunuh bayaran yang sedang membidikku."
"Anda mencabut nyawa pembunuh bayaran itu?"
"Aku membunuhnya, tapi sebenarnya dia sudah sekarat. Dia menggigit Iidahnya sendiri."
Mata Hiroshi berkaca-kaca. Aku ingin menjelaskan rasa kehilangan atas kematian Hajime
dan Jiro, perubahan perasaanku tentang siklus tanpa akhir dari pertumpahan darah dan balas
dendam, namun kurasa anak ini tak akan mampu memahaminya, meskipun setelah tertidur
oleh kekuatan tidur Kikuta, dan aku juga ingin menanyakan hal lain padanya.
"Banyakkah orang percaya aku penyihir?"
LIAN HEARN BUKU KETIGA 176 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON "Sebagian orang bergunjing tentang hal itu," akunya. "Kebanyakan perempuan dan orang
bodoh." "Aku mengkhawatirkan ketidaksetiaan di kastil ini. Itulah sebabnya aku ingin kau tetap di
sini. Bila menurutmu ada bahaya mengancam, atau Maruyama akan berpihak pada Arai selagi
aku pergi, kabari aku secepatnya."
Hiroshi menatapku. "Tak seorang pun di sini akan mengkhianati Lord Otori."
"Seandainya aku bisa seyakin dirimu."
"Aku yang akan mencari Anda," janjinya.
"Pastikan kau menunggang kuda yang lebih tenang," perintahku padanya.
Aku menyuruhnya untuk kembali ke rumah pamannya dengan membawa makanan.
Makoto kembali dengan laporan tentang persiapan; segalanya sudah siap untuk keberangkatan
kami di pagi hari. Meskipun begitu, selesai makan, dia mencoba membujukku lagi.
"Ini sungguh gila," ujarnya. `Aku tak akan mengatakan apa-apa lagi setelah malam ini dan
aku akan tetap ikut denganmu, namun menyerang bangsawan yang tunangannya telah kau
rebut...." "Kami menikah secara sah," sahutku. "Dialah yang bertindak keterlaluan."
"Bukankah sudah kuperingatkan sewaktu di Terayama, bagaimana orang memandang
penikahanmu" Inilah hasil dari tindakanmu yang gegabah, jika kau tetap berkeras hendak
menyerang, maka inilah kehancuranmu."
"Kau yakin ucapanmu ini bukan karena cemburu" Kau selalu menentang rasa cintaku pada
Kaede." "Hanya bila itu dapat menghancurkan kalian berdua," sahutnya tenang. "Hasrat telah
membuatmu buta. Kau di pihak yang salah. Sebaiknya kau tunduk saja pada keadaan ini dan
mencoba berdamai dengan Arai. Jangan lupa kalau kemungkinan dia menahan Miyoshi
bersaudara sebagai sandera. Menyerang Lord Fujiwara hanya akan membuat dia marah...."
"Jangan memberi saran seperti itu!" sahutku geram. "Menyerah pada keadaan kalau istriku
direbut" Seluruh dunia akan mengejekku. Lebih baik aku mati!"
"Mungkin kita semua akan mati," sahutnya. "Maaf kalau aku harus mengatakan semua
ini, Takeo, tapi itu sudah menjadi kewajibanku. Bagaimanapun juga, sudah kukatakan
berulangkali bahwa cita-citamu adalah cita-citaku juga dan aku akan tetap mengikuti apa pun
LIAN HEARN BUKU KETIGA 177 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON keputusanmu." Aku terlalu marah untuk meneruskan perbincangan. Aku mengatakan ingin beristirahat
dan memanggil Manami. Pelayan itu masuk, matanya merah karena menangis, dan
menyingkirkan nampan makanan lalu menghamparkan kasur. Aku harus mandi sekarang, jika
tidak, akan lama lagi baru aku bisa mandi. Aku tidak ingin berhenti merasa marah, karena jika
marahku reda, kesedihan dan sesuatu yang lebih buruk lagi"ketakutan"akan datang
menggantikan perasaan itu. Ingin aku menjaga agar suasana hatiku tetap kelam, mengeluarkan
sisi gelap Kikuta yang membuat rasa takutku lenyap. Satu ajaran Matsuda muncul di benakku:
Jika orang menyerang sungguh-sungguh, maka dia akan menang. Jika mencoba bertahan, dia
akan mati. Kini saatnya menyerang sungguh-sungguh, karena bila aku kehilangan Kaede, berarti
alcu'kehilangan segalanya. Manami bahkan lebih gelisah lagi keesokan paginya. Dia menangis
tersedu-sedu tanpa bisa mengendalikan diri saat mengucapkan selamat jalan. Sedangkan saat
di jalan, pasukan dan penduduk kota yang bergembira berkerumun di luar untuk berteriak dan
melambaikan tangan saat kami lewat. Aku hanya membawa prajurit berpengalaman, terutama
ksatria Otori dan ksatria lainnya yang sudah ikut denganku sejak dari Terayama,
meninggalkan para petani untuk memanen, melindungi rumah serta kota. Sebagian besar
prajurit Maruyama tetap tinggal untuk mempertahankan kastil, namun beberapa di antaranya
turut serta bersama kami sebagai penunjuk jalan dan pengintai.
Aku membawa sekitar lima ratus prajurit berkuda dan lima ratus pemanah yang berkuda


Briliance Of The Moon Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan berjalan kaki. Sisanya adalah prajurit pejalan kaki yang bersenjatakan tongkat dan tombak.
Juga ada iring-iringan kuda beban, dan pengangkut barang yang membawa perbekalan. Aku
bangga melihat betapa cepatnya pasukanku berkumpul dan mempersenjatai diri.
Kami belum berjalan jauh dan hampir menyeberangi sungai Asagawa, tempat kami
pernah mengalami kemenangan besar atas Iida Nariaki, saat aku menyadari kalau Jo-An dan
kelompoknya mengikuti kami. Setelah menyeberangi sungai, kami ke selatan menuju
Shirakawa. Belum pernah aku melewati jalan itu, tapi aku tahu setidaknya akan perlu waktu
dua hari untuk sampai ke rumah Kaede. Makoto mengatakan kalau kediaman Fujiwara agak
ke selatan. Saat berhenti makan siang, aku menghampiri Jo-An, sepenuhnya sadar pada tatapan para
LIAN HEARN BUKU KETIGA 178 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON prajurit ke arahku. Kupasang telingaku untuk mendengarkan. Aku memutuskan untuk
menghukum siapa pun yang berkomentar buruk, namun tak seorang pun berani
melakukannya. Jo-An menyembah, namun aku menyuruhnya dudulc.
"Mengapa kau ikut?"
Dia tersenyum, lebih mirip menyeringai, memperlihatkan ompongnya. "Untuk
menguburkan orang mati."
Jawaban yang dingin, jawaban yang tidak ingin kudengar.
"Cuacanya berubah," sambung Jo-An, sambil menatap sekumpulan awan yang berarak di
langit dari arah barat seperti ekor kuda. "Akan ada badai."
"Ada kabar baik untukku?"
"Tuhan selalu mempunyai kabar baik untukmu," sahutnya. "Akulah yang memperingatkanmu setelah itu."
"Setelah itu?" "Setelah kalah dalam pertempuran."
"Mungkin aku tidak kalah!" Tentunya aku tak bisa membayangkan akan kalah karena
pasukanku sedang bersemangat dan segar serta kemarahanku yang membara.
Jo-An tak bicara lagi, tapi bibirnya berkomat-kamit, dan aku tahu dia sedang berdoa.
Makoto juga tampak berdoa saat diperjalanan, atau sedang berada dalam tingkatan
meditasi yang dicapai rahib. Dia nampak begitu tenang dan menyendiri, seakan hubungannya
dengan dunia telah terputus. Aku hampir tidak bicara dengannya karena aku masih marah,
tapi kami berjalan berdampingan seperti yang sering kami lakukan. Betapa pun Makoto ragu
pada penyerangan ini, aku tahu dia tak akan meninggalkanku, dan sedikit demi sedikit, aku
ditenangkan oleh irama derap kuda, kemarahanku padanya mereda.
Langit perlahan dipayungi warna gelap di kaki langit. Cuaca tenang namun terasa tidak
alami. Malam itu kami mendirikan kemah di luar suatu kota kecil; saat dini hari hujan mulai
turun. Saat tengah hari, hujan semakin deras, melambatkan perjalanan serta mengurangi
semangat kami. Tetap saja, aku terus mengatakan pada diriku, belum ada badai. Kami bisa
hadapi sedikit hujan. Makoto tidak terlalu optimis, takut kalau kami akan tertahan di Shirakawa yang sering dilanda banjir dalam cuaca seperti ini.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 179 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Namun kami tidak pernah sampai ke Shirakawa. Saat di dekat perbatasan Maruyama, aku
mengirim pengintai ke baris depan. Mereka kembali pada sore hari dengan berita bahwa ada
sepasukan berkekuatan sedang, mungkin berjumlah seribu dua ratus atau seribu lima ratus
orang mendirikan tenda di tanah lapang di depan. Ada umbul-umbul Seishuu, tapi mereka
juga melihat hiasan lambang Lord Fujiwara.
"Dia hendak menghadang kita," ujarku pada Makoto.
"Dia sudah mengetahui reaksiku."
"Hampir dipastikan Fujiwara tak ada di sini," sahut Makoto. "Tapi dia mampu
mengerahkan sekutu-sekutunya. Seperti yang kutakutkan, kita telah terperangkap. Tak sulit
untuk menerka reaksimu."
"Kita serang mereka saat subuh." Aku lega karena pasukannya tak besar. Aku tidak merasa
terintimidasi oleh Fujiwara; yang kutakutkan adalah bentrokan dengan Arai dan sebagian dari
tiga puluh ribu pasukan di bawah perintahnya. Kabar terakhir yang kudengar, Arai berada di
Inuyama. Tapi aku tak mendengar kabar tentang kegiatannya selama musim panas ini;
mungkin dia telah kembali ke Kumamoto yang kutahu hanya berjarak satu hari perjalanan dari
Shirakawa. Aku menanyai secara detail kepada para pengintai tentang daerah ini. Salah satu dari
mereka, Sakai, sangat mengenal wilayah ini. Dia menganggap tempat ini sebagai medan
perang yang bagus, dan akan lebih baik lagi jika cuacanya cerah. Tanah datar itu tidak luas,
diapit barisan pegunungan di bagian selatan dan timur, tapi terbuka di bagian lainnya. Ada
jalan kecil ke selatan, kemungkinan yang dilalui musuh saat mereka datang, dan lembah yang
luas mengarah ke utara, dan berujung di jalan ke pantai. Jalan yang kami lalui dari Maruyama
mengarah ke lembah ini beberapa mil sebelum tiba di bagian tanah berbatu.
Hanya ada sedikit air di dataran tinggi ini sehingga tanahnya tidak digarap. Kuda
memakan rumput yang disiangi sekali setahun pada saat musim gugur. Pada awal musim semi,
rerumputan dibakar. Sakai mengatakan kalau Lady Maruyama sering ke sini saat masih muda
untuk melihat beberapa burung dang berburu makanan sebelum matahari tenggelam.
Lembah di belakang kami bisa menjadi jalan untuk mundur, jika terpaksa, meskipun aku
tak berniat mundur. Tujuanku hanya maju, melumatkan siapa pun yang menghalangi jalan
untuk mengambil istriku, dan menghapus hinaan keji pada penculikannya. Aku teringat pada
LIAN HEARN BUKU KETIGA 180 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON pesan Matsuda yang mengatakan agar jangan maju berperang bila tidak tahu jalan mundur.
Meskipun kemarahanku masih memuncak, aku tak akan mengorbankan pasukanku dengan
sia-sia. Malam itu mentari seakan segan untuk menampakkan diri meskipun hujan tidak lagi
deras. Rintik hujan masih ada saat fajar menyingsing, dan ini membangkitkan semangatku.
Kami bangun di kegelapan dan mulai berjalan begitu langit terang. Umbul-umbul Otori
dibentangkan walaupun terompet belum dibunyikan.
Sebelum tiba di ujung lembah, aku memerintahkan pasukan berhenti. Aku dan Sakai
berjalan kaki menuju ke pinggiran tanah lapang itu. Hamparan terbentang sampai ke tenggara
dalam rangkaian bukit kecil bundar yang ditutupi rumput tinggi dan bunga-bunga liar,
terputus oleh tonjolan bebatuan abu-abu keputihan berbentuk aneh yang banyak di antaranya
ditumbuhi lumut kuning dan jingga.
Hujan membuat tanah di kaki kami berlumpur dan licin, kabut menggantung di
rerumputan di atas tanah lapang itu. Jarak pandang tak lebih dari beberapa ratus langkah; tapi,
aku bisa mendengar musuh dengan jelas: ringkik kuda, teriakan pasukan, dan gemerincing
pelana. "Seberapa jauh kau pergi semalam?" aku berbisik pada Sakai.
"Hanya sampai di punggung bukit yang pertama; kirakira sejauh ini. Pengintai mereka
juga berkeliaran." "Mereka pastinya tahu kalau kita di sini. Mengapa mereka belum juga menyerang?" Aku
menduga mereka akan menyerang kami di depan lembah; bunyi dan suara yang kudengar
adalah pasukan yang sedang siaga, tapi belum bergerak.
"Mungkin mereka tak ingin melewatkan keuntungan lereng," usulnya.
Lereng itu memang menguntungkan mereka, namun lereng itu tidak terlalu curam dan
tidak terlalu menguntungkan. Kabut semakin mengganggu, aku tidak dapat melihat berapa
banyak pasukan di depan kami. Aku mendekatkan telinga ke tanah dengan hening selama
beberapa saat, memasang telinga. Di bawah tetesan air hujan dan desau pepohonan bisa
kudengar jumlah pasukan musuh yang sama banyaknya dengan pasukan kami... benarkah
perkiraanku" Dari kebisingan pihak musuh, jumlah mereka sepertinya semakin banyak
layaknya, gelombang di laut.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 181 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON "Kau melihat sekitar seribu lima ratus orang?"
"Lebih mendekati seribu dua ratus," sahut Sakai. "Aku berani taruhan."
Aku mengangguk. Mungkin karena cuaca, kegelisahan dan ketakutan yang membuatku
salah menduga. Mungkin pendengaranku telah menipuku. Tapi, selagi kami kembali ke
pasukan utama, aku memanggil Makoto dan para kepala pasukan lalu menyatakan
kekhawatiranku bahwa jumlah pasukan kami kalah banyak, dan jika memang begitu, maka
kami akan segera mundur saat terompet kerang dibunyikan sebagai aba-aba.
"Kita akan mundur ke Maruyama?" tanya Makoto.
Itulah rencanaku, tapi aku memerlukan alternatif lain karena tindakan itu pasti telah
diperkirakan musuh, dan dugaanku mereka telah menyerang kastil sehingga kami akan
terperangkap. Aku menarik Makoto dan berkata, "Jika Arai juga menentang kita, maka kita
tak bisa bertahan. Satu-satunya harapan kita yaitu mundur ke pesisir dan meminta Terada
membawa kita ke Oshima. Saat kita mulai mundur, kuingin kau berjalan lebih dulu untuk
menemui Ryoma. Dia harus mengaturnya dengan Terada Fumio."
"Orang-orang akan mengatakan aku pengecut," protesnya. "Aku lebih memilih tetap di
sampingmu." "Tak ada lagi orang yang bisa kukirim ke sana. Kau mengenal Ryoma dan tahu jalan ke
sana. Lagi pula, kemungkinan kami semua akan mundur perlahan."
Dia memandangku dengan rasa ingin tahu. "Apakah kau punya firasat buruk mengenai
pertempuran ini" Inikah pertempuran di mana kita akan kalah?"
"Hanya untuk berjaga-jaga. Bila memang itu terjadi, aku ingin melindungi pasukanku,"
sahutku. "Aku sudah kehilangan begitu banyak orang, aku tak ingin kehilangan mereka juga.
Lagi pula masih ada dua pertempuran untuk dimenangkan!"
Makoto tersenyum; sesaat kami saling berpegangan tangan. Aku menaiki kuda berjalan ke
depan pasukan dan memberi aba-aba untuk maju.
Pasukan pemanah berjalan di depan, diikuti prajurit pejalan kaki, dengan pasukan berkuda
di sisi lainnya. Saat kami keluar dari bukit, dengan aba-aba dariku, pasukan pemanah
memisahkan diri menjadi dua kelompok lalu bergerak kedua sisi. Aku memerintahkan
pasukan pejalan kaki untuk berhenti sebelum mereka masuk dalam jangkauan panah musuh.
Kekuatan musuh muncul dari balik kabut. Kukirim salah seorang ksatria Otori ke garis
LIAN HEARN BUKU KETIGA 182 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON depan. Dia berteriak sekeras-kerasnya. "Lord Otori Takeo sedang bergerak melewati wilayah
ini! Biarkan beliau lewat atau bersiaplah untuk mati!"
Salah satu anggota pasukan musuh berteriak menyahut, "Kami diperintahkan Lord
Fujiwara untuk menghukum orang yang bernama Otori itu! Kami akan memenggal kepalanya
dan kepalamu sebelum siang!"
Kekuatan kami pasti terlihat menyedihkan di hadapan mereka. Prajurit pejalan kaki
mereka dengan sangat percaya diri mulai mengaliri lereng dengan tombak terhunus. Pemanah
kami segera melepaskan anak panah dan musuh berlarian di bawah hujan anak panah.
Pemanah mereka membalas serangan, namun kami masih di luar jangkauan mereka, dan
prajurit berkuda kami menyapu bersih prajurit pejalan kaki dan melawan pemanah sebelum
mereka sempat memasang anak panah ke busur.
Kemudian prajurit pejalan kaki kami merangsek maju dan memaksa musuh mundur ke
lereng. Aku tahu kalau pasukanku terlatih dengan baik, tapi kekejaman mereka masih
membuatku terkejut. Mereka tampak tak terbendung saat merangsek maju. Musuh nampak
mulai mundur, lebih cepat dari yang kuperkirakan, dan kami mengejar mereka, pedangpedang terhunus, menyabet dan menebas pasukan yang terdesak.
Makoto berada di sebelah kananku, peniup terompet kerang ada di sebelah kiriku saat
kami berdiri di puncak bukit. Tanah datar itu terbentang menuju ke Timur. Tapi di belakang
pasukan kecil yang sedang mundur, kami dihadapkan dengan pemandangan yang
menakutkan. Di lereng antara bukit-bukit kecil ada pasukan dalam jumlah besar, pasukan
Arai, panji-panjinya berkibaran, dan pasukannya dalam keadaan siaga.
"Tiup terompetnya!" perintahku. Seharusnya aku lebih mempercayai pendengaranku. Si
peniup menaruh terompet di mulutnya dan suara penuh kedukaan nyaring terdengar ke
seluruh penjuru tanah lapang, gemanya memantul dari pebukitan.
"Pergi!" teriakku pada Makoto, dan dia membelokkan kuda dengan susah-payah dan
memaksanya berlari kencang. Kuda Makoto agak melawan, tak ingin meninggalkan temantemannya, dan Shun meringkik padanya. Namun selama beberapa saat kami semua berbalik
arah dan menyusul Makoto kembali ke lembah.
Aku bangga pada pasukanku yang bertempur dengan gagah berani, tapi aku lebih bangga
lagi saat ini, pagi di musim gugur yang berkabut, ketika mereka langsung mematuhi
LIAN HEARN BUKU KETIGA 183 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON perintahku dan mulai bergerak mundur.
Kecepatan kami berbalik arah membuat musuh kaget. Mereka berharap kami maju ke
lereng untuk mengejar, tempat mereka dan pasukan Arai akan menghabisi kami. Dalam
serangan pertama, lebih banyak korban di pihak musuh, dan selama beberapa saat keuntungan
mereka terhalang oleh korban yang tewas, dan kebingungan yang melanda kedua pasukan
musuh. Saat itu hujan makin deras sehingga mengubah tanah di bawah kaki menjadi lumpur
yang licin, dan ini memberi kami keuntungan karena kami hampir sampai di lembah dengan
permukaan yang berbatu. Aku berada di belakang, menyuruh pasukan maju dan sesekali berbalik untuk
menjatuhkan musuh terdekat yang mengejar. Saat mencapai bagian lembah yang menyempit,
aku memerintahkan dua ratus prajurit yang terbaik untuk menahan musuh selama mungkin,
memberi waktu bagi pasukan utama mundur.
Hari itu kami berkuda seharian, dan saat malam tiba kami telah jauh meninggalkan
musuh yang mengejar, tapi dengan korban luka dan penjaga baris belakang yang tertinggal,
jumlah kami tersisa separuh. Aku membiarkan pasukan beristirahat sejenak, tapi cuacanya
memburuk, dan seperti yang kutakutkan, angin mulai bertiup kencang. Maka kami
meneruskan perjalanan semalam suntuk: tidak makan, tidak beristirahat, sesekali melawan
pasukan berkuda musuh yang kebetulan berpapasan dengan kami di jalan. Kami bergerak maju
dengan susah payah menuju pantai.
Malam itu kami berada tak jauh dari Maruyama, dan aku mengirim Sakai berjalan lebih
dulu ke depan untuk melihat situasi kota. Karena cuaca memburuk, Sakai berpendapat kalau
sebaiknya kami mundur ke sana, tapi aku masih belum yakin kota akan berpihak pada siapa.
Kami berhenti sejenak, makan sedikit, dan mengistirahatkan kuda. Kelelahanku tidak
terkatakan lagi, dan ingatanku pun samar-samar. Aku sadar telah mengalami kekalahankalah
total. Sebagian dari diriku menyesal mengapa tak mati saat bertempur untuk menyelamatkan
Kaede; sebagian lagi berpegang pada ramalan itu, percaya kalau ramalan itu masih bisa
dipenuhi; dan sebagian lagi hanya memikirkan apa yang sedang kulakukan, duduk laksana
hantu di kuil tempat kami berlindung, kelopak mataku terasa sakit dan seluruh tubuhku
menjerit minta tidur. Hembusan angin meraung di antara pilar, dan sesekali atap terangkat seolah hendak
LIAN HEARN BUKU KETIGA 184 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON terlepas. Tak seorang pun bicara; suasana kekalahan menghantui: kami belum sepenuhnya
menyeberangi pulau kematian, namun sedang menuju ke sana. Selain pasukan yang berjaga,
anggota pasukan lainnya tidur, tapi tidak begitu denganku. Aku tak akan tidur hingga yakin
mereka semua aman. Menyadari kalau kami akan meneruskan perjalanan-harus kembali
berjalan semalaman-tapi aku enggan membangunkan sebelum mereka beristirahat.
Kukatakan pada diriku berulang kali, "Sebentar lagi Sakai akan kembali," lalu aku
mendengar langkah kuda dalam hembusan angin dan siraman hujan: bukan satu, tapi dua ekor
kuda. Aku berjalan ke beranda untuk mengintai dalam kegelapan dan hujan, dan aku melihat
Sakai dan Hiroshi turun dari kuda yang tua dan kurus.
Sakai berseru, "Aku bertemu dengannya di jalan tepat di luar kota. Dia sedang memacu
kudanya untuk mencari Anda! Dalam cuaca seperti ini!" Mereka berdua masih kerabat,
sepupu, dan bisa kudengar nada bangga dalam suaranya.


Briliance Of The Moon Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hiroshi!" seruku, dan dia berlari ke beranda, melepas sandalnya yang basah lalu berlutut.
"Lord Otori." Kutarik bocah itu ke dalam agar tidak kehujanan, menatapnya keheranan.
"Pamanku tewas dan kota telah menyerah pada Arai," ujarnya dengan penuh kemarahan.
"Aku tak percaya! Tak lama setelah Anda pergi, para tetua memutuskan untuk menyerah pada
Arai, tapi pamanku lebih memilih bunuh diri ketimbang setuju dengan mereka. Pasukan Arai
tiba dini hari tadi."
Meskipun sudah menduga berita ini, tetap saja aku terpukul, dan diperburuk dengan
berita kematian Sugita, orang yang begitu setia. Tapi aku juga lega karena telah mengikuti
instingku dan tetap mempertahankan jalur mundur pasukanlcu ke pesisir. Kini kami harus
segera berangkat. Aku menyuruh pasukan yang berjaga untuk membangunkan seluruh
pasukan. "Kau berkuda jauh-jauh hanya untuk mengatakan ini?" tanyaku pada Hiroshi.
"Meskipun seluruh Maruyama meninggalkan Anda, aku tak akan melakukan hal yang
sama," sahutnya. "Aku telah berjanji pada Anda untuk memberi kabar; aku pun telah memilih
kuda yang paling tua di istal!"
"Seharusnya kau tetap di rumah. Masa depanku kini menjadi suram."
LIAN HEARN BUKU KETIGA 185 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Sakai berkata pelan, `Aku juga malu. Kupikir mereka akan berpihak pada Anda."
"Aku tak bisa menyalahkan mereka," kataku. "Arai jauh lebih kuat dan kita sudah tahu
kalau Maruyama tak bisa bertahan lama bila dikepung. Lebih baik menyerahkan diri;
membiarkan rakyat hidup, dan menyelamatkan panen."
"Mereka menduga Anda akan mundur ke kota," ujar Hiroshi. "Sebagian besar pasukan
Arai sedang menunggu Anda di Asagawa."
"Berarti hanya sedikit pasukan yang mengejar kita," ujarku. "Mereka tak menduga kita
akan bergerak ke pantai. Bila kita berjalan siang dan malam, kita bisa sampai di sana dalam
beberapa hari." Aku berpaling pada Sakai. "Tak ada untungnya anak seperti Hiroshi
mengingkari klannya dan menjerumuskan dirinya pada tujuan yang tak jelas. Ajak dia kembali
ke Maruyama. Kubebaskan kalian berdua dari kewajiban apa pun padaku."
Mereka berdua hendak menolak, tapi tak ada waktu untuk berdebat. Pasukan sudah
bangun dan siap. Hujan masih deras, meskipun angin tak lagi kencang, membangkitkan
harapan kalau badai terburuk telah lewat. Jarak pandang kami tidak lebih dari langkah seekor
lembu. Pasukan di depan membawa obor untuk menerangi jalan, meskipun sering padam
karena diterpa hujan. Kami mengikuti bak orang buta.
Ada banyak cerita dan balada tentang orang Otori yang gagah berani, namun tak satu pun
yang menggambarkan pelarian yang penuh keputusasaan dan penderitaan saat melintasi negeri
ini. Kami semua masih muda, dengan energi dan kegilaan laksana orang muda. Kami bergerak
lebih cepat dari yang bisa dibayangkan, tapi ternyata masih kurang cepat. Aku selalu berjalan
di belakang, mendesak pasukan agar terus maju, tak membiarkan seorang pun tertinggal. Di
hari pertama kami mematahkan dua serangan dari arah belakang, memaanfaatkan waktu yang
berharga bagi pasukan utama untuk terus maju. Kemudian pengejaran makin berkurang. Aku
membayangkan tak seorang pun menduga kami akan terus berjalan karena sudah jelas kami
sedang menuju ke pusat badai.
Badai menghalangi perjalanan, dan aku sadar bila badainya kian memburuk, maka
pupuslah harapan kami untuk melarikan diri dengan kapal laut. Di malam kedua, Shun begitu
kelelahan sampai nyaris tak mampu mengangkat kaki lagi. Selagi Shun berjalan dengan susah
payah, aku tertidur di punggungnya, sesekali bermimpi ada roh berjalan di sampingku. Aku
mendengar Amano memanggil Jiro dan terdengar sahutan bocah itu, tertawa riang. Kemudian
LIAN HEARN BUKU KETIGA 186 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON aku merasa kalau Shigeru menunggang kuda di sampingku dan aku sedang menunggangi
Raku. Kami sedang berjalan ke kastil di Hagi, seperti yang kami lakukan di hari dia
mengangkatku sebagai anaknya. Aku melihat musuh Shigeru, orang bertangan satu, Ando,
ada di kerumunan dan mendengar percakapan para pengkhianat, kedua pemimpin Otori. Aku
berpaling dan berseru pada Shigeru untuk memperingatkannya dan aku melihat dia seperti
terakhir kali aku melihatnya di tepi sungai Inuyama. Sinar matanya redup kesakitan, dan darah
mengalir dari mulutnya. "Jato ada padamu?" dia bertanya, seperti yang dia tanyakan padaku waktu itu.
Aku tersentak bangun. Tubuhku basah kuyup, hingga aku merasa seperti roh sungai yang
menghirup air, bukan udara. Pasukan di depanku bergerak seperti segerombolan hantu. Tapi
bisa kudengar deburan ombak, dan saat fajar menyingsing, pantai terbentang di depan kami,
angin berhembus tiada henti.
Pulau-pulau di tepi pantai seakan hilang ditelan derasnya air hujan, hembusan angin
semakin kencang. Hembusan angin terdengar menyerupai raungan setan yang tersiksa saat
kami tiba di tebing tempat Hajime pernah menungguku. Dua pohon pinus roboh dan
tergeletak merintangi jalan. Kami terpaksa menyingkirkannya sebelum kuda-kuda kami bisa
lewat. Aku lalu berjalan ke depan dan memimpin pasukan ke kuil Katte Jinja. Salah satu
bangunan telah kehilangan atapnya, dan jerami beterbangan di taman. Tapi di situ ada kuda
milik Makoto diikat di bangunan yang membelakangi arah angin. Di sampingnya ada kuda
hitam lain yang tidak kukenal. Makoto berada di aula utama bersama Ryoma.
Aku sudah dapat menebak kalau memang tak ada harapan bahkan sebelum mereka bicara.
Makoto bisa sampai di sini saja sudah membuatku heran, apalagi dia telah bertemu Ryoma.
Ini seperti keajaiban. Aku peluk mereka, bersyukur atas kesetiaan mereka. Kemudian aku
diberitahu kalau Fumio meminta Ryoma menyampaikan pesan kalau dia akan menemuiku
begitu cuacanya membaik. Kami belum gagal bila dilihat rencana, keberanian, atau daya tahan. Namun kami
dikalahkan oleh cuaca, oleh kekuatan alam, oleh takdir.
"Jo-An juga ada di sini," ujar Makoto. "Dia mengambil seekor kuda tanpa penunggang
lalu mengikutiku." LIAN HEARN BUKU KETIGA 187 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Aku tidak memikirkan Jo-An selama pelarian, tapi aku tak kaget ketika tahu dia ada di
sini. Seolah aku memang mengharapkan kemunculannya dengan cara yang hampir tidak
masuk akal, seperti dia muncul dalam hidupku. Aku terlalu lelah untuk berpikir selain
mengumpulkan pasukan di dalam kuil, sedapat mungkin melindungi kuda, serta
menyelamatkan persediaan makanan yang basah kuyup. Setelah itu, tak ada satu pun yang
dapat dilakukan, selain menunggu badai reda.
Perlu waktu dua hari sebelum badai reda. Aku terbangun di malam hari kedua dan
menyadari kalau aku terjaga dari tidurku oleh kesunyian. Angin tidak lagi bertiup. Meskipun
masih ada tetesan air dari atap, tapi hujan telah reda. Di sekelilingku pasukan tertidur seperti
orang mati. Aku bangkit dan berjalan ke luar. Bintang bersinar seterang lampu, dan udara
terasa bersih dan dingin. Aku berjalan untuk melihat kuda. Para penjaga menyapa dengan
suara pelan. "Cuaca membaik," seorang penjaga berkata dengan ceria, tapi aku tahu sudah terlambat
bagi kami. Aku terus berjalan ke pemakaman tua. Jo-An muncul seperti hantu di reruntuhan
bangunan. Dia mengamati waj ahku.
"Kau baik-baik saja, tuan?"
"Kini aku harus memutuskan apakah mesti bertindak layaknya ksatria atau tidak," ujarku.
"Seharusnya kau bersyukur pada Tuhan," sahutnya. "Sekarang peperangan di mana Anda
harus kalah telah terjadi, peperangan yang tersisa akan kau menangkan."
Aku mengatakan hal yang sama pada Makoto, namun itu sebelum badai dan hujan.
"Seorang ksatria sejati pasti akan bunuh diri," sahutku, menyuarakan pikiranku.
"Bukan Anda yang memutuskan kapan akan mati. Tuhan masih mempunyai rencana
untuk Anda." "Bila tidak bunuh diri, berarti aku harus menyerah pada Arai. Pasukannya sudah begitu
dekat, dan mustahil Terada bisa sampai ke sini lebih dulu."
Malam ini begitu indah. Terdengar kepakan sayap burung hantu, dan katak menguak dari
kolam tua. Deburan ombak di bebatuan mulai berkurang.
"Apa yang akan kau lakukan, Jo-An" Kau akan kembali ke Maruyama?" Aku berharap
para gelandangan akan diperlakukan dengan baik saat aku tidak ada di sana untuk melindungi
LIAN HEARN BUKU KETIGA 188 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON mereka. Di negara yang kacau, mereka pastinya lebih rapuh dari sebelumnya, mereka akan
menjadi korban: dicela penduduk desa, dianiaya prajurit.
Dia berkata, "Aku merasa sudah begitu dekat dengan Tuhan. Kurasa dia akan segera
memanggilku." Aku tak tahu bagaimana menanggapi ucapannya.
Jo-An berkata, "Kau telah membebaskan kakakku dari penderitaan di Kastil Yamagata.
Bila tiba waktunya, maukah kau melakukan hal yang sama padaku?"
"Jangan bicara seperti itu," sahutku. "Kau telah menyelamatkan aku; bagaimana mungkin
kau memintaku mencabut nyawamu?"
"Maukah kau melakukannya" Aku tidak takut mati, tapi aku takut pada siksaan."
"Kembalilah ke Maruyama," desakku. "Bawalah kuda yang kau tunggangi. Menjauhlah
dari jalan utama. Aku ingin mengantarmu. Tapi, kau tahu, kemungkinan besar Arai akan
membunuhku. Mungkin kita tak akan bertemu lagi."
Dia memberi senyumnya yang khas itu.
"Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan untukku," ujarku.
"Semua yang pernah terjadi di antara kita adalah bagian dari rencana Tuhan. Kau
seharusnya berterima kasih pada dia."
Aku berjalan bersamanya ke barisan kuda dan berbicara pada para penjaga. Mereka
memperhatikan dengan tidak percaya selagi aku melonggarkan tali kuda hitam dan Jo-An
melompat naik ke punggung kuda.
Setelah kudanya berlari di kegelapan, aku berbaring tanpa bisa tidur. Aku memikirkan
Kaede dan kerinduanku padanya. Memikirkan tentang hidupku yang tidak wajar.
Aku bahagia telah menjalani hidup seperti ini, meskipun aku melakukan beberapa
kesalahan. Aku tak menyesalinya kecuali bagi orang-orang yang telah pergi mendahuluiku.
Belim pernah aku melihat fajar menyingsing secerah dan sesempurna pagi ini. Aku membasuh
badan sebersihbersihnya dan menata rambutku, dan saat pasukanku yang compang-camping
bangun, aku perintahkan mereka melakukan hal serupa. Aku memanggil Ryoma, berterima
kasih atas bantuannya, dan memintanya untuk menunggu sampai dia mendengar berita
kematianku untuk dikabarkan kepada Fumio di Oshima. Aku lalu mengumpulkan semua
pasukan dan berbicara pada mereka.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 189 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON "Aku akan menyerah pada Lord Arai. Sebagai balasannya, aku yakin dia akan
membiarkan kalian tetap hidup dan mau menerima pelayanan kalian. Aku berterima kasih atas
kesetiaan kalian. Tak seorang pun pernah mendapatkan pelayanan yang lebih baik daripada
aku." Aku perintahkan mereka menunggu di dalam kuil di bawah perintah pimpinan mereka
masing-masing dan meminta Makoto, Sakai dan Hiroshi ikut bersamaku. Makoto membawa
panji Otori dan Sakai membawa panji Maruyama. Kedua panji itu sobek dan berlumpur. Kuda
Bukit Pemakan Manusia 19 Gokil Sebuah Kompilasi Kedodolan Karya Miund Rahasia 180 Patung Mas 3
^