Pencarian

Taiko 1

Taiko Karya Eiji Yoshikawa Bagian 1


Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian | http://cerita-silat.mywapblog.com | Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian pdf created by Saiful Bahri (Seletreng - Situbondo) pd 23-04-2016 08:23:37
TAIKO Eiji Yoshikawa Thanks to: Tiraikasih Hanaoki Otoy Dimhad BBSC And many other people for ebook source....
Special Thanks to: Pengarang buku ini yang telah menghasilkan karya yang hebat
<<<<<<<<<<<<<<>>>>>>>>>>>>>
eBook ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan dan arsip digital untuk pendidikan serta
membiasakan budaya membaca untuk generasi penerus...
DILARANG MENGKOMERSIALKAN EBOOK INI!!
Belilah buku aslinya di toko terdekat
>>AXRA<< (2012) 1 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
CATATAN UNTUK PEMBACA Menjelang pertengahan abad keenam belas, ketika keshogunan Ashikaga ambruk, Jepang
menyerupai medan pertempuran raksasa. Panglima-panglima perang memperebutkan kekuasaan,
tapi dari tengah-tengah mereka tiga sosok besar muncul, seperti meteor melintas di langit malam.
Ketiga lakilaki itu sama-sama bercita-cita untuk menguasai dan mempersatukan Jepang, namun
sifat mereka berbeda secara mencolok satu sama lain: Nobunaga, gegabah, tegas, brutal;
Hideyoshi, sederhana, halus, cerdik, kompleks; Ieyasu, tenang, sabar, penuh perhitungan.
Falsafah-falsafah mereka yang berlainan itu sejak dulu diabadikan oleh orang Jepang dalam
sebuah sajak yang diketahui oleh setiap anak sekolah:
Bagaimana jika seekor burung tak mau berkicau" Nobunaga menjawab, "Bunuh saja!"
Hideyoshi menjawab, "Buat burung itu ingin berkicau."
Ieyasu menjawab, "Tunggu."
Buku ini, Taiko (sampai kini, di Jepang, Hideyoshi masih dikenal dengan gelar tersebut), merupakan
kisah tentang laki-laki yang membuat burung itu ingin berkicau.
BUKU SATU TAHUN TEMMON KELIMA 1536 TOKOH dan TEMPAT HIYOSHI, nama kanak-kanak Toyotomi Hideyoshi, sang Taiko
OFUKU, anak angkat Sutejiro
ONAKA, ibu Hiyoshi OTSUMI, kakak perempuan Hiyoshi
KINOSHITA YAEMON, ayah Hiyoshi
CHIKUAMI, ayah tiri Hiyoshi
KATO DANJO, paman Hiyoshi
2 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
WATANABE TENZO, pemimpin gerombolan samurai tak bertuan
SUTEJIRO, saudagar barang-barang tembikar HACHISUKA KOROKU, pemimpin marga Hachisuka
SAITO DOSAN, penguasa Mino
SAITO YOSHITATSU, putra Dosan
AKECHI MITSUHIDE, pengikut Saito MATSUSHITA KAHEI, pengikut Imagawa
ODA NOBUNAGA, penguasa Owari
KINOSHITA TOKICHIRO, nama yang diberikan kepada Hiyoshi ketika menjadi samurai
SHIBATA KATSUIE, pemimpin marga Shibata dan pengikut senior marga Oda
HAYASHI SADO, pengikut senior marga Oda
OWARI, tempat kelahiran Toyotomi Hideyoshi dan provinsi marga Oda
KIYOSU, ibu kota Owari MINO, provinsi marga Saito
INABAYAMA, ibu kota Mino SURUGA, provinsi marga Imagawa
"MONYET! MONYET!"
"ITU tawonku!" "Bukan, punyaku!" "Pembohong!"
Bagai angin puyuh, tujuh atau delapan bocah laki-laki berlari melintasi ladang. Mereka
mengayun-ayunkan tongkat ke hamparan kembang sesawi berwarna kuning dan kembang lobak
berwarna putih bersih untuk mencari tawon-tawon dengan kantong madu, yang biasa disebut tawon
Korea. Anak Yaemon, Hiyoshi, baru berusia enam tahun, tapi wajahnya yang berkerut-kerut tampak
seperti buah prem yang diasamkan. Ia lebih kecil dibandingkan anak-anak lainnya, namun sifatnya
yang ugal-ugalan dan liar tak tertandingi.
"Bodoh!" ia berseru ketika jatuh terdorong oleh anak yang lebih besar, saat mereka memperebutkan
seekor tawon. Sebelum sempat bangun, ia terinjak oleh anak lain. Hiyoshi menjegal kaki anak itu.
"Tawon itu milik siapa saja yang bisa menangkapnya! Kalau kau bisa menangkapnya, tawon itu jadi
milikmu!" katanya sambil melompat berdiri dan menangkap seekor tawon yang sedang terbang.
"Yow! Yang ini milikku!"
3 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Dengan tangan terkepal, Hiyoshi maju sepuluh langkah, kemudian membuka kepalannya. Ia mem-
buang kepala dan kedua sayap tawon yang ditangkapnya, lalu memasukkannya ke dalam mulut.
Perut tawon itu penuh madu manis. Anak-anak itu, yang tak pernah mengenal gula, betul-betul
takjub bahwa ada sesuatu yang begitu manis. Sambil setengah memejamkan mata, Hiyoshi
membiarkan madu itu mengalir ke kerongkongannya, lalu mengecap-ngecapkan bibir. Anak-anak
lain hanya bisa menonton.
"Monyet!" seru seorang bocah besar yang dijuluki Ni'o, satu-satunya yang tak dapat diimbangi oleh
Hiyoshi. Karena mengetahui hal ini, yang lainnya ikut-ikutan.
"Babon!" "Monyet!"
"Monyet, monyet, monyet!" mereka mengejek.
Bahkan Ofuku, bocah yang bertubuh paling kecil, ikut bergabung. Meski usianya sekitar delapan
tahun, ia hanya sedikit lebih besar dari Hiyoshi yang berumur enam tahun.
Tapi penampilannya berbeda jauh; kulitnya putih, dan mata serta hidungnya menempati posisi yang
pantas di wajahnya. Sebagai putra warga desa yang kaya, Ofuku-lah satu-satunya yang
mengenakan kimono sutra. Nama sebenarnya mungkin Fukutaro atau Fukumatsu, namun namanya
telah disingkat dan diberi awalan o, seperti kebiasaan di antara putra-putra orang berada.
"Kau selalu ikut-ikutan!" ujar Hiyoshi sambil melotot ke arah Ofuku. Ia tak peduli dipanggil monyet
oleh yang lain, tapi dengan Ofuku masalahnya sedikit berbeda. "Kau sudah lupa bahwa akulah yang
selalu membelamu, dasar pengecut!"
Diingatkan seperti itu, Ofuku tak bisa berkata apa-apa. Keberaniannya mendadak lenyap, dan ia
menggigit-gigit kukunya. Meski masih kanakkanak, dituduh tidak tahu terima kasih membuatnya
lebih malu daripada dimaki sebagai pengecut. Yang lainnya mengalihkan pandangan, perhatian
mereka berpindah dari tawon madu ke awan debu kuning yang terlihat di seberang ladang-ladang.
"Lihat, ada pasukan!" salah seorang bocah berteriak. "Samurai!" anak lain berkata. "Mereka baru
pulang perang." Semua anak melambaikan tangan dan bersorak-sorai.
Penguasa Owari, Oda Nobuhide, dan tetangganya, Imagawa Yoshimoto, merupakan musuh
bebuyutan. Situasi ini menimbulkan pertempuran-pertempuran kecil yang tak ada habisnya di
sepanjang perbatasan. Suatu ketika, pasukan Imagawa menyeberangi perbatasan, membakar
desa-desa, dan menghancurkan hasil panen. Pasukan Oda keluar dari benteng-benteng di Nagoya
dan Kiyosu, menyergap pasukan musuh dan membantai mereka sampai ke orang terakhir. Pada
musim dingin berikutnya, baik pangan maupun tempat berteduh tidak tersedia dalam jumlah
mencukupi, tapi rakyat tidak menyalahkan penguasa mereka. Kalau mereka harus kelaparan,
mereka menanggungnya; kalau mereka harus kedinginan, mereka menanggungnya juga.
Berlawanan dengan perkiraan Yoshimoto, penderitaan mereka justru mempertebal kebencian
mereka terhadapnya. Anak-anak itu telah melihat dan mendengar hal-hal seperti itu sejak mereka lahir. Ketika melihat
pasukan penguasa mereka, mereka seperti melihat diri sendiri. Tak ada yang lebih mengasyikkan
4 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
bagi mereka daripada melihat prajurit-prajurit bersenjata lengkap.
"Ayo, kita tonton mereka!"
Anak-anak itu bergegas ke arah para serdadu, kecuali Ofuku dan Hiyoshi yang masih saling
memelototi. Ofuku, si pengecut, sebenarnya ingin ikut dengan yang lain, namun tatapan Hiyoshi
memaksanya untuk tetap di tempat.
"Aku menyesal." Dengan takut-takut Ofuku menghampiri Hiyoshi, lalu melingkarkan lengannya pada
bahu anak itu. "Maafkan aku, ya?"
Wajah Hiyoshi menjadi merah karena marah, dan ia menyentakkan bahunya. Tapi, melihat Ofuku
sudah hampir menangis, ia berusaha menahan diri. "Kenapa kau harus ikut-ikutan
mengata-ngataiku?" ia menyalahkan Ofuku. "Yang lain selalu mengejekmu dengan memanggilmu
'si anak Cina'. Tapi pernahkah aku mengolok-olokmu?"
"Tidak." "Anak Cina pun, kalau sudah jadi anggota kelompok kita, adalah salah satu dari kita. Itulah yang
selalu kukatakan, bukan?"
"Ya." Ofuku menggosok-gosok mata. Lumpur larut oleh air matanya, menimbulkan bintik-bintik di
sekitar mata. "Bodoh! Justru karena kau cengeng kau dipanggil 'si anak Cina. Ayo, kita lihat para prajurit itu.
Kalau kita tidak cepat-cepat, mereka keburu lewat." Sambil menggandeng tangan Ofuku, Hiyoshi
berlari menyusul yang lain.
Pejuang-pejuang kawakan dan panji-panji kebesaran menyembul di atas awan debu. Pasukan itu
terdiri atas sekitar dua puluh samurai berkuda dan dua ratus prajurit infanteri. Di belakang mereka
menyusul gerombolan pembawa tombak, lembing, dan busur. Setelah melintasi Dataran Inaba dari
Jalan Atsuta, mereka mulai mendaki tanggul Sungai Shonai. Anak-anak itu melewati kuda-kuda dan
menaiki pematang dengan tergesa-gesa. Dengan mata berbinar-binar Hiyoshi, Ofuku, Ni'o, dan
semua teman mereka memetik bunga mawar, bunga violet, dan bunga-bunga liar lainnya dan
melemparkannya ke udara, sambil terus berseru-seru sekuat tenaga, "Hachiman! Hachiman!"
memanggil-manggil dewa perang, dan, "Kemenangan untuk prajurit-prajurit kita yang gagah berani!"
Baik di desa-desa maupun di jalan-jalan, anak-anak selalu berseru seperti ini jika melihat
prajurit-prajurit. Sang jendral, para samurai berkuda, dan para prajurit biasa yang berjalan dengan langkah berat,
semuanya membisu. Wajah-wajah mereka yang keras menyerupai topeng. Mereka tidak
memperingatkan anak-anak agar tidak terlalu mendekati kuda-kuda, mereka juga tidak
melemparkan senyuman. Pasukan ini rupanya bagian dari bala tentara yang dipukul mundur dari Mikawa, dan penampilan
mereka membuktikan bahwa pertempuran berlangsung sengit. Baik kuda-kuda maupun para prajurit
tampak lelah. Orang-orang yang terluka dan berlumuran darah bersandar pada bahu rekan-rekan mereka. Darah
kering tampak berkilauan, hitam seperti pernis, pada baju tempur dan gagang-gagang tombak.
5 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Wajah para prajurit tertutup debu bercampur keringat, sehingga hanya mata mereka yang masih
tampak. "Beri air untuk kuda-kuda," seorang perwira memberi perintah. Para samurai di atas kuda
meneruskan perintah itu dengan suara lantang.
Perintah pertama itu disusul oleh perintah untuk beristirahat. Para penunggang kuda turun dari kuda
masing-masing, sedangkan para prajurit infanteri segera berhenti di tempat. Sambil menarik napas
lega, mereka menjatuhkan diri ke rumput tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Di seberang sungai, Benteng Kiyosu tampak kecil. Salah seorang samurai adalah adik laki-laki Oda
Nobuhide, Yosaburo. Ia duduk di sebuah kursi Oda Nobuhide dan menatap langit, dikelilingi oleh
setengah lusin pembantunya yang membisu.
Orang-orang membalut luka-luka di kaki dan tangan. Dari raut wajah mereka terlihat jelas bahwa
mereka mengalami kekalahan yang menyesakkan.
Tapi ini tidak penting bagi anak-anak. Waktu melihat darah, mereka membayangkan diri sebagai
pahlawan-pahlawan bermandikan darah; waktu melihat kilauan lembing dan tombak, mereka yakin
bahwa musuh berhasil dihancurkan. Karena itu, mereka tampak besar hati dan berseri-seri.
"Hachiman! Hachiman! Kemenangan!"
Setelah kuda-kuda selesai minum, anak-anak juga melempar bunga ke arah binatang-binatang itu
sambil bersorak-sorak memberi semangat.
Seorang samurai yang berdiri di samping kudanya melihat Hiyoshi dan memanggil, "Anak Yaemon!
Bagaimana kabar ibumu?"
"Siapa" Aku?"
Hiyoshi menghampiri pria itu dan menatap lurus ke wajahnya yang kotor. Sambil mengangguk, si
samurai meletakkan satu tangannya ke kepala Hiyoshi yang basah oleh keringat. Usia samurai itu
tidak lebih dari dua puluh tahun. Karena kepalanya dipegang oleh orang yang baru kembali dari
medan pertempuran, Hiyoshi dihinggapi rasa bangga yang meluap-luap.
Apa betul keluargaku mengenal samurai seperti ini"
ia bertanya-tanya. Teman-temannya, yang menyaksikan adegan itu dari dekat, melihat betapa bangganya Hiyoshi.
"Kau Hiyoshi, bukan?" "Ya."
"Nama yang bagus. Ya, nama yang bagus."
Si samurai muda sekali lagi menepuk kepala Hiyoshi, lalu bertolak pinggang, menegakkan tubuh
sambil terus mengamati wajah anak itu.
Sesuatu membuatnya tertawa.
6 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Hiyoshi selalu cepat berteman, bahkan dengan orang-orang dewasa. Kenyataan bahwa kepalanya
ditepuk-tepuk oleh orang asing - seorang samurai pula - membuat kedua matanya berbinar-binar.
Dalam sekejap segala rasa canggungnya menguap.
"Tapi asal tahu saja, tak ada yang memanggilku Hiyoshi. Nama itu hanya dipakai oleh ayah dan
ibuku." "Mungkin karena tampangmu mirip..." "Mirip monyet?"
"Hmm, untung saja kau sadar." "Semua orang memanggilku begitu."
"Ha, ha!" Si samurai memiliki suara keras dan tawa yang sepadan.
Orang-orang di sekitar mereka ikut tertawa, sementara Hiyoshi, sambil berlagak tak peduli,
mengeluarkan potongan batang padi-padian dari jaketnya dan mulai mengunyahnya. Sari tanaman
yang berbau rumput itu terasa manis.
Dengan acuh tak acuh ia meludahkan sisa batang yang telah terkunyah habis.
"Berapa umurmu?" "Enam."
"Betul?" "Tuan, dari mana Tuan berasal?" "Aku kenal baik dengan ibumu." "Hah?"
"Adik perempuan ibumu sering datang ke rumahku. Kalau kau sampai di rumah nanti, sampaikan
salamku pada ibumu. Katakan padanya, Kato Danjo berharap dia selalu dalam keadaan sehat."
Seusai istirahat, para prajurit dan kuda kembali berbaris, lalu menyeberangi Sungai Shonai di suatu
tempat dangkal. Sambil melirik ke belakang, Danjo cepat-cepat menaiki kudanya. Dengan pedang
dan baju tempur yang dikenakannya, ia memancarkan kesan agung dan penuh kuasa.
"Katakan padanya bahwa seusai perang aku akan berkunjung ke rumah Yaemon." Danjo
melepaskan seruan, memacu kudanya, dan memasuki air sungai yang dangkal untuk bergabung
dengan pasukannya. Hiyoshi, dengan sisa sari padi-padian tadi masih terasa di mulut, menatapnya seperti sedang
bermimpi. *** Setiap kunjungan ke gudang penyimpanan membuat ibu Hiyoshi bertambah sedih dan tertekan. Ia
pergi ke sana untuk mengambil acar, beras, atau kayu bakar, dan setiap kali ke sana, ia jadi
diingatkan bahwa persediaan mereka semakin menipis. Bayangan tentang masa depan
menyebabkan tenggorokannya bagai tersumbat. Ia hanya mempunyai dua anak, Hiyoshi, enam
tahun, dan kakak perempuan Hiyoshi yang berumur sembilan tahun, Otsumi - namun keduanya
belum cukup besar untuk melakukan pekerjaan berarti. Suaminya, yang terluka dalam suatu
pertempuran, tak dapat melakukan apa-apa selain duduk di depan perapian, menatap ketel teh
yang tergantung pada sebuah kait besi dengan pandangan kosong, sekalipun di musim panas,
7 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
pada waktu api tidak menyala.
Barang-barang itu... aku akan merasa lebih baik kalau semuanya dibakar saja, perempuan itu
berkata dalam hati. Pada salah satu dinding gudang tersandar sebatang tombak dengan gagang dari kayu ek hitam. Di
atasnya ada helm prajurit infanteri dan beberapa benda yang sepertinya merupakan bagian dari
sebuah baju tempur tua. Waktu suaminya masih berangkat ke medan perang, inilah perlengkapan
terbaik yang dimilikinya. Tapi sekarang semuanya telah tertutup jelaga dan tak berguna lagi, sama
seperti suaminya. Setiap kali melihat barang-barang itu, ia merasa muak. Bayangan akan perang
membuatnya merihding. Tak peduli apa kata suamiku, Hiyoshi takkan kuizinkan jadi samurai, ia memutuskan.
Ketika menikah dengan Kinoshita Yaemon, ia menganggap paling baik memilih seorang samurai
sebagai suami. Meski kecil, rumah tempat ia lahir di Gokiso merupakan rumah samurai, dan
walaupun Yaemon hanya prajurit infanteri, ia pengikut Oda Nobuhide. Ketika mereka menjadi
suami-istri, dengan bersumpah bahwa "di masa depan kita akan memperoleh seribu ikat padi", baju
tempur itu merupakan lambang harapan mereka, dan lebih penting artinya daripada peralatan
rumah tangga yang diinginkannya. Tak dapat disangkal bahwa baju itu menyimpan banyak
kenangan indah. Namun membandingkan impian masa muda mereka dengan kenyataan yang kini
mereka hadapi hanyalah membuang-buang waktu. Suaminya keburu cacat sebelum sempat
mencatat prestasi di medan perang. Karena ia hanya prajurit biasa, ia terpaksa mengakhiri
pengabdiannya pada Oda Nobuhide.


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mencari nafkah terasa berat selama enam bulan pertama, dan akhirnya ia menjadi petani. Tapi
sekarang pekerjaan itu pun tak sanggup ia tekuni.
Terpaksalah istrinya turun tangan. Dengan membawa kedua anak mereka, istri Yaemon memetik
daun mulberry, membajak ladang-ladang, menggiling padi, dan menangkal kemiskinan selama
bertahun-tahun. Namun bagaimana dengan masa depan" Dalam hati ia bertanya-tanya, seberapa
lama tenaga di kedua lengannya masih dapat bertahan, dan hatinya terasa sedingin dan sesuram
gudang penyimpanan mereka. Akhirnya ia memasukkan bahan-bahan untuk makan malam -
padi-padian, beberapa irisan lobak yang dikeringkan - ke dalam keranjang bambu dan
meninggalkan gudang. Usianya belum mencapai tiga puluh tahun, tapi kelahiran Hiyoshi bukan
kelahiran yang mudah, dan sejak itu warna kulitnya pucat bagaikan buah persik yang belum
matang. "Ibu." Itu suara Hiyoshi. Anak itu muncul dari bagian samping rumah, mencari ibunya. Ibunya
tertawa lembut. Ia masih menyimpan satu harapan - membesarkan Hiyoshi dan menjadikannya
putra dan pewaris yang cepat dewasa, sehingga sanggup menyediakan sedikit sake bagi suaminya,
setiap hari. Pikiran itu membuatnya terhibur.
"Hiyoshi, Ibu di sebelah sini."
Hiyoshi berlari ke arah suara ibunya, lalu menggenggam lengan yang memegang keranjang itu.
"Tadi, di tepi sungai, aku ketemu seseorang yang kenal Ibu."
"Siapa?" 8 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Seorang samurai! Kato... siapa begitu. Dia bilang dia kenal Ibu, dan dia kirim salam. Dia
menepuk-nepuk kepalaku dan menanyaiku macam-macam."
"Hmm, itu pasti Kato Danjo."
"Dia ikut pasukan besar yang baru pulang perang. Dan dia naik kuda yang bagus! Siapa dia?"
"Hmm, Danjo tinggal di dekat Kuil Komyoji." "Terus?"
"Dia bertunangan dengan adik Ibu." "Bertunangan?"
"Ya ampun, kenapa kau terus bertanya?" "Tapi aku tidak mengerti."
"Mereka akan menikah."
"Hah" Maksud Ibu, dia akan menjadi suami adik perempuan ibuku?"
Hiyoshi tampak puas, dan tertawa.
Meskipun berhadapan dengan anaknya sendiri, ketika melihat senyum Hiyoshi yang kurang ajar
dan seakan-akan memamerkan semua gigi, ibunya pun langsung mendapat kesan bahwa Hiyoshi
bocah nakal yang terlalu cepat dewasa.
"Ibu, di gudang ada pedang yang kira-kira sepanjang ini, bukan?"
"Ya. Kenapa memangnya?"
"Boleh aku minta" Pedang itu kan sudah tua, dan Ayah tidak memakainya lagi."
"Kau main perang-perangan lagi?" "Boleh, kan?"
"Sama sekali tidak!"
"Kenapa tidak?"
"Apa jadinya kalau anak petani terbiasa membawa pedang?"
"Hmm, suatu hari nanti aku bakal jadi samurai." Hiyoshi mengentakkan kakinya seperti anak manja,
dan menganggap pembicaraan mereka sudah selesai. Ibunya memelototinya, matanya mulai
berkaca-kaca. "Bodoh!" ia memarahi Hiyoshi, dan sambil menghapus air matanya dengan kikuk, ia menarik tangan
anak itu. "Lebih baik kau membantu kakakmu mengambil air." Ia kembali ke rumah sambil menyeret
anaknya. "Tidak! Tidak!" Hiyoshi melawan sekuat tenaga. "Tidak! Aku benci Ibu! Ibu bodoh! Tidak!"
Tapi ibunya terus menarik. Tiba-tiba suara batuk, bercampur asap dari perapian, keluar dari jendela
yang ditutupi anyaman bambu. Mendengar suara ayahnya, Hiyoshi langsung terdiam. Usia Yaemon
9 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
baru sekitar empat puluh tahun, namun karena mesti melewatkan hari-harinya sebagai orang cacat,
suara batuknya yang parau lebih kedengaran seperti suara laki-laki yang umurnya sudah lebih dari
lima puluh tahun. "Ibu akan memberitahu ayahmu bahwa kau selalu membuat masalah," ibunya berkata sambil
mengendurkan genggaman tangannya. Hiyoshi menutupi wajah dengan kedua tangannya, dan
mengusap matanya sambil menangis tertahan.
Ketika menatap bocah yang sukar diatur ini, ibunya bertanya-tanya bagaimana masa depannya
kelak. "Onaka! Kenapa kau membentak-bentak Hiyoshi lagi" Tidak seharusnya kau berbuat begitu. Untuk
apa kau bertengkar sampai menangis dengan anakmu sendiri?" Yaemon bertanya dari balik
jendela. "Kalau begitu, kau saja yang memarahinya," ujar Onaka dengan nada menyalahkan.
Yaemon tertawa. "Kenapa" Karena dia mau bermain dengan pedang tuaku?"
"Ya." "Dia hanya ingin bermain." "Justru karena itu."
"Dia anak laki-laki, dan dia anakku. Apa salahnya" Berikan pedang itu padanya."
Terheran-heran Onaka menatap ke arah jendela, dan menggigit bibirnya dengan geram.
Aku menang! Hiyoshi bersuka ria, menikmati kemenangannya, tapi hanya untuk sesaat. Begitu ia
melihat ibunya berurai air mata, kemenangannya men-
dadak terasa hambar. "Oh, jangan menangis! Aku sudah tidak menginginkan pedang itu. Aku akan membantu kakakku." Ia
bergegas ke dapur. Kakaknya sedang membungkuk sambil meniupkan udara lewat potongan
bambu, untuk menyalakan api di dalam tungku yang terbuat dari tanah liat.
Hiyoshi melompat masuk dan berkata, "Hei, apa aku perlu ambil air?"
"Tidak, terima kasih," jawab Otsumi. Ia menatap adiknya dengan heran, lalu menggelengkan kepala
sambil bertanya-tanya apa gerangan maksudnya.
Hiyoshi menyingkap tutup tempat air dan mengintip ke dalam. "Oh, sudah penuh. Kalau begitu, aku
akan merendam kedelai."
"Jangan, kau tidak perlu merendam apa-apa. Jangan mengganggu."
"Mengganggu" Aku hanya mau membantumu. Aku ambilkan acar, ya?"
"Ibu kan baru saja pergi ke gudang untuk mengambil acar."
10 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Hmm, kalau begitu, apa yang bisa kulakukan?"
"Kalau saja kau mau berkelakuan baik, Ibu pasti senang."
"Bukankah aku sedang berkelakuan baik sekarang"
Api di tungku sudah menyala" Biar kuhidupkan untukmu. Coba geser sedikit."
"Aku tidak perlu bantuan!" "Ayo, geser sedikit...."
"Lihat apa yang kaulakukan! Kau membuat apinya mati!"
"Bohong! Kau yang membuatnya mati!" "Bukan!"
"Banyak omong!"
Hiyoshi, kesal karena kayu bakar tidak mau menyala, menampar pipi kakaknya. Otsumi menangis
dan mengadu pada ayahnya. Karena mereka berada di sebelah ruang keluarga, dalam sekejap
suara ayah mereka sudah menggemuruh di telinga Hiyoshi.
"Jangan pukul kakakmu. Laki-laki tidak pantas memukul perempuan! Hiyoshi, kemari sekarang
juga!" Di balik dinding pemisah, Hiyoshi menelan ludah dan memelototi Otsumi. Ibunya masuk dan
berdiri di ambang pintu. Ia cemas karena kejadian ini sudah terulang untuk kesekian kali.
Yaemon memang menakutkan. Dia ayah yang paling menakutkan di seluruh dunia. Hiyoshi tidak
berani membantah. Ia duduk tegak dan menatap ayahnya.
Kinoshita Yaemon sedang duduk di depan perapian. Di belakangnya terlihat tongkat yang ia
perlukan untuk berjalan. Tanpa tongkat itu, ia tidak sanggup pergi ke mana-mana, bahkan ke kamar
mandi pun. Sikunya bersandar pada sebuah peti kayu yang dipergunakannya untuk memintal dan
mengumpulkan rami, sebuah pekerjaan sampingan yang kadang-kadang ditekuninya. Meski cacat,
ia bisa berbuat sedikit untuk membantu keuangan keluarga.
"Hiyoshi!" "Ya, Ayah?"
"Jangan menyusahkan ibumu." "Ya."
"Dan jangan bertengkar dengan kakakmu. Pikirkan apa kata orang. Bagaimana seharusnya
sikapmu sebagai laki-laki, dan bagaimana kau harus memperlakukan perempuan yang mesti
dilindungi?" "Ehm... aku... aku tidak..."
"Diam! Aku punya telinga. Aku tahu di mana kau berada dan apa yang kaukerjakan, biarpun aku
tidak pernah keluar dari ruangan ini."
Hiyoshi gemetar. Ia percaya pada apa yang dikatakan ayahnya.
Namun Yaemon tidak dapat menutupi kasih sayangnya pada putra satu-satunya ini. Lengan dan
tangannya sendiri tak mungkin kembali ke keadaan semula, tapi ia percaya bahwa melalui putranya,
11 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
darahnya akan terus mengalir selama seratus tahun. Kemudian ia kembali menatap Hiyoshi, dan
suasana hatinya berubah. Seorang ayah merupakan penilai terbaik untuk putranya, tapi dalam
angan-angannya yang paling muluk pun, Yaemon tak dapat membayangkan bagaimana bocah
ingusan bertampang aneh ini akan mengangkat harkat keluarga dan menghapus aib dari nama
mereka. Meski demikian, Hiyoshi tetap satu-satunya putra yang ia miliki, dan Yaemon menaruh
harapan besar pada anak itu.
"Pedang di dalam gudang... kau menginginkannya, Hiyoshi?"
"Ehm..." Hiyoshi menggelengkan kepala. "Kau tidak berminat?"
"Aku menginginkannya, tapi..."
"Kalau begitu, kenapa kau tidak berterus terang?" "Ibu melarangku."
"Itu karena perempuan benci pedang. Tunggu di sini."
Yaemon meraih tongkatnya, lalu berjalan pincang ke ruang sebelah.
Berbeda dengan rumah petani miskin, rumahnya terdiri atas beberapa ruangan. Keluatga ibu
Hiyoshi pernah tinggal di sini. Kerabat Yaemon tidak banyak, tapi istrinya mempunyai saudara di
sekitar situ. Meski tidak dimarahi, Hiyoshi tetap merasa tidak enak. Yaemon kembali, membawa pedang pendek
terbungkus kain. Pedang ini bukan pedang berkarat dari gudang.
"Hiyoshi, ini milikmu. Pakailah kapan saja kau suka."
"Milikku" Betul?"
"Tapi, mengingat umurmu, aku lebih suka kau tidak memakainya di tempat umum. Bisa-bisa kau
ditertawakan orang-orang. Kau harus cepat besar, supaya bisa memakai pedang ini tanpa jadi
bahan tertawaan. Pedang ini dibuat atas pesanan kakekmu...." Setelah terdiam sejenak, Yaemon
kembali angkat bicara. Sorot matanya sayu dan lidahnya terasa kaku.
"Kakekmu petani. Waktu dia mencoba mengangkat derajatnya, dia memesan pedang ini pada
seorang pandai besi. Keluarga besar Kinoshita pernah memiliki gambar silsilah, tapi gambar itu
musnah dalam suatu kebakaran.
Dan jauh sebelum kakekmu sempat berbuat sesuatu, dia sudah mati terbunuh. Zaman itu penuh
keguncangan, dan banyak orang mengalami nasib sama."
Sebuah lampu dihidupkan di ruang sebelah, namun ruang tempat mereka berada diterangi oleh api
di dalam tungku. Hiyoshi mendengarkan ayahnya sambil menatap lidah api yang merah. Entah
Hiyoshi memahaminya atau tidak, Yaemon merasa ia tidak dapat membicarakan hal-hal seperti ini
dengan istri atau anak perempuannya.
"Kalau saja gambar silsilah Kinoshita masih utuh, aku bisa bercerita mengenai para leluhur kita.
Tapi masih ada silsilah lain, dan silsilah itu sudah diteruskan padamu. Ini." Yaemon mengusap
pembuluh biru di pergelangan tangannya. Darah.
12 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Hiyoshi mengangguk, lalu menggenggam pergelangan tangannya sendiri.
Ia pun mempunyai darah seperti itu dalam tubuhnya. Semuanya sudah jelas! Tak ada silsilah
keluarga yang lebih hidup dari ini.
"Aku tidak tahu siapa leluhur kita sebelum zaman kakekmu, tapi aku yakin di antara mereka ada
orang-orang besar. Kurasa ada yang menjadi samurai, mungkin juga orang-orang terpelajar. Darah
mereka terus mengalir, dan sekarang sudah diteruskan kepadamu."
"Ya." Hiyoshi kembali mengangguk.
"Tapi aku bukan orang besar. Aku hanya orang cacat. Karena itu, Hiyoshi, kau harus menjadi orang
besar!" "Ayah," ujar Hiyoshi sambil membuka mata lebar-lebar, "aku harus jadi orang seperti apa, supaya
bisa disebut orang besar?"
"Hmm, sebenarnya kau bisa melakukan apa saja. Tapi paling tidak kau bisa menjadi prajurit yang
gagah berani dan memakai warisan dari kakekmu ini. Jadi, kalau saatnya tiba nanti, Ayah bisa mati
dengan tenang." Hiyoshi tidak berkata apa-apa. Ia tampak bingung. Ia kurang percaya diri dan tidak berani menatap
mata ayahnya. Dia masih kanak-kanak, Yaemon menanggapi reaksi putranya yang kurang memuaskan. Barangkali
bukan garis darah yang menentukan, melainkan lingkungan. Dan hatinya diliputi perasaan gundah
gulana. Istri Yaemon telah menyiapkan makan malam, dan kini menunggu sambil membisu sampai
suaminya selesai bicara. Jalan pikirannya dan jalan pikiran suaminya sama sekali bertentangan. Ia
menyesalkan bahwa suaminya mendorong anak mereka untuk menjadi samurai. Dalam hati ia
berdoa untuk masa depan Hiyoshi. Tidak seharusnya ayahmu berkata seperti ini. Hiyoshi, ucapan
ayahmu merupakan cermin kekecewaannya. Jangan ikuti jejak ayahmu, ia ingin berpesan. Tak apa
kalau kau memang bodoh, tapi jadilah petani, biarpun kau hanya memiliki sejengkal tanah. Namun
akhirnya ia berkata, "Mari makan. Hiyoshi dan Otsumi, duduk lebih dekat ke tungku." Dimulai
dengan ayah anak-anak, ia membagikan sumpit dan mangkuk.
Meski hidangan yang tersaji merupakan hidangan yang biasa mereka makan - semangkuk sup
bening setiap kali Yaemon melihatnya, ia merasa sedikit lebih sedih, sebab ia laki-laki yang tidak
sanggup memenuhi kebutuhan anak dan istri. Hiyoshi dan Otsumi meraih mangkuk masing-masing.
Pipi dan hidung mereka tampak memerah, dan mereka menghabiskan makanan itu dengan lahap.
Tak terbayang oleh mereka bahwa yang mereka santap itu adalah makanan orang miskin. Bagi
mereka, tak ada yang lebih mewah daripada makanan ini.
"Masih ada tahu yang kita dapat dari saudagar tembikar di Shinkawa, dan masih ada sayur-mayur
di gudang, jadi Otsumi dan Hiyoshi harus makan banyak," ujar Onaka untuk meyakinkan suaminya
mengenai keadaan keuangan mereka. Ia sendiri tidak mengangkat sumpit sampai kedua anaknya
kenyang dan suaminya selesai makan. Seusai makan malam, mereka beranjak ke tempat tidur.
13 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Keadaan kurang-lebih sama di hampir semua rumah. Tak ada lampu menyala di Nakamura setelah
malam tiba. Begitu hari menjadi gelap, suara langkah-langkah kaki terdengar melintasi ladang-ladang dan
menyusuri jalan - suara pertempuran di sekitar. Ronin, para pengungsi, dan kurir-kurir yang sedang
menjalankan misi rahasia, semua lebih suka bepergian pada malam hari.
Hiyoshi sering diganggu mimpi buruk. Apakah karena ia mendengar suara langkah di tengah malam
buta, ataukah perebutan kekuasaan yang memenuhi mimpi-mimpinya" Malam itu ia menendang
Otsumi yang berbaring di sebelahnya, di tikar mereka, dan ketika kakaknya berseru kaget, ia
berteriak, "Hachiman! Hachiman! Hachiman!"
Ia melompat berdiri dan terjaga seketika. Walaupun ditenangkan oleh ibunya, ia tetap setengah
terjaga dan terbawa luapan perasaan untuk waktu lama.
"Dia demam. Bakar sedikit bubuk moxa di tengkuknya," Yaemon menasihati.
Ibu Hiyoshi menjawab, "Mestinya kau tidak menunjukkan pedang itu, atau bercerita mengenai
leluhurnya." *** Tahun berikutnya terjadi perubahan besar di rumah mereka. Yaemon jatuh sakit dan meninggal.
Ketika menatap wajah ayahnya yang telah meninggal, Hiyoshi tidak menangis. Pada waktu
penguburan, ia melompat-lompat riang.
Di musim gugur, di usia Hiyoshi yang kedelapan, rombongan tamu kembali mengunjungi rumah
mereka. Sepanjang malam mereka menyiapkan makanan, minum sake, dan menyanyi. Salah
seorang saudara memberitahu Hiyoshi, "Si pengantin pria akan menjadi ayahmu yang baru. Dia
dulu berteman dengan Yaemon, dan juga mengabdi pada keluarga Oda. Namanya Chikuami. Kau
harus menjadi anak yang patuh."
Sambil makan kue beras, Hiyoshi masuk dan mengintip ke dalam.
Ibunya telah mendandani wajahnya dan kelihatan sangat cantik. Ia duduk dengan mata tertunduk,
di sebelah laki-laki setengah baya yang tak dikenal Hiyoshi. Melihat itu, Hiyoshi jadi gembira.
"Hachiman! Hachiman! Lemparkan bunga!" ia berseru, dan malam itu ia lebih gembira dari siapa
pun. Musim panas tiba. Padi tumbuh subur. Setiap hari Hiyoshi dan anak-anak desa yang lain berenang
telanjang di sungai, menangkap dan menyantap kodok-kodok kecil berwarna merah di
ladang-ladang. Daging kodok merah bahkan lebih lezat daripada kantong madu tawon Korea. Ibu
Hiyoshi yang mengajarkan bahwa kodok bisa dimakan. Menurut ibunya, daging kodok merupakan
obat bagi penyakit anak-anak, dan sejak itu daging kodok menjadi makanan kesukaannya.
Sepertinya, setiap kali Hiyoshi sedang bermain, Chikuami datang mencarinya.
"Monyet! Monyet!" ayah tirinya memanggil. Chikuami pekerja keras. Dalam waktu kurang dari
setahun ia telah berhasil membenahi keuangan keluarga, dan hari-hari kelaparan pun berlalu.
14 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Jika Hiyoshi ada di rumah, ia terus diberi tugas dari pagi sampai tengah malam. Kalau ia malas atau
nakal, tangan Chikuami yang besar akan melayang ke kepalanya. Hiyoshi sangat membenci
perlakuan ini. Ia tidak keberatan bekerja keras, tapi ia berusaha untuk tidak menarik perhatian ayah
tirinya, walau hanya sejenak. Setiap hari, tanpa kecuali, Chikuami tidur siang. Dan begitu ada
kesempatan, Hiyoshi menyelinap ke luar rumah. Namun tak lama kemudian Chikuami sudah
mencarinya sambil memanggil-manggil, "Monyet! Ke mana monyet kita?"
Kalau ayah tirinya sudah mulai mencari, Hiyoshi langsung menghentikan kegiatan yang sedang
dilakukannya, lalu menyusup di antara tanaman millet. Chikuami akan bosan mencari, dan kembali
ke rumah. Kemudian Hiyoshi akan melompat keluar dari tempat persembunyiannya sambil
melepaskan teriakan kemenangan. Ia tak pernah memedulikan bahwa setelah pulang ke rumah ia
tidak boleh ikut makan malam dan akan dihukum.
Baginya permainan itu terlalu mengasyikkan untuk dilewatkan begitu saja.
Hari itu Chikuami mencari-cari Hiyoshi di tengah tanaman millet. Ia tampak gelisah, matanya
bergerak ke kiri-kanan. "Mana setan cilik itu?"
Hiyoshi bergegas menaiki tanggul ke arah sungai. Ketika Chikuami sampai di bantaran sungai,
tampak Ofuku sedang berdiri sendirian di sana. Hanya anak itulah yang mengenakan pakaian di
musim panas, dan ia tak pernah ikut berenang ataupun makan kodok merah.


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, kau anak dari toko tembikar, bukan" Kau tahu di mana monyet kami bersembunyi?" tanya
Chikuami. "Aku tidak tahu," jawab Ofuku sambil menggelengkan kepala beberapa kali. Ia agak ngeri
menghadapi Chikuami. "Kalau kau bohong, aku akan pergi ke rumahmu dan memberitahu ayahmu."
Ofuku si pengecut langsung pucat. "Dia bersembunyi di perahu itu." Ia menunjuk sebuah perahu
kecil yang ditarik ke pinggir sungai. Ketika ayah tirinya menghampiri perahu itu, Hiyoshi meloncat
keluar seperti hantu sungai.
Chikuami melompat dan memukulnya sampai jatuh. Hiyoshi terdorong ke depan, mulutnya
membentur sebuah batu. Darah mengalir di antara giginya.
"Aduh! Sakit sekali!"
"Salahmu sendiri!" "Aku minta maaf!"
Setelah menampar Hiyoshi dua-tiga kali, Chikuami mengangkat bocah itu dan bergegas pulang.
Meski Chikuami selalu memanggil Hiyoshi dengan julukan "monyet", ia bukannya tidak menyukai
anak tirinya. Tapi, karena begitu bersemangat ingin menghapus kemiskinan mereka, ia merasa
harus bersikap tegas terhadap semua orang, dan ia juga ingin memperbaiki watak Hiyoshi - kalau
perlu dengan kekerasan. "Kau sudah sembilan tahun, dasar anak tak berguna," Chikuami marahmarah.
Begitu tiba di rumah, ia mencengkeram lengan anak itu dan memukulnya beberapa kali lagi dengan
tangan terkepal. Ibu Hiyoshi mencoba mencegahnya.
15 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Anak ini tidak boleh dimanja!" Chikuami membentak.
Waktu Onaka mulai menangis, Hiyoshi dipukul sekali lagi.
"Kenapa kau menangis" Aku memukul monyet kecil brengsek ini untuk kebaikannya sendiri. Dia
hanya bikin masalah saja!"
Mula-mula, setiap kali dipukul, Hiyoshi membenamkan wajah ke kedua tangannya dan memohon
ampun. Sekarang ia hanya meraung-raung - hampir seperti orang kesurupan - sambil melontarkan
kata-kata kasar. "Kenapa" Katakan kenapa" Kau muncul entah dari mana, berlagak jadi ayahku dan
petantang-petenteng ke sana kemari. Tapi... tapi ayah kandungku..." "Bagaimana kau bisa berkata
begitu!" Ibunya men-
dadak pucat, megap-megap, dan menutupi mulutnya dengan satu tangan. Chikuami semakin gusar.
"Bocah tak tahu diri!" Ia melemparkan Hiyoshi ke gudang, dan memerintahkan Onaka untuk tidak
memberinya makan malam. Mulai saat itu sampai gelap, teriakan-teriakan Hiyoshi terdengar dari
gudang. "Biarkan aku keluar! Bodoh! Kepala batu! Apa semuanya sudah tuli" Kalau kalian tidak
membiarkanku keluar, akan kubakar tempat ini sampai rata dengan tanah!"
Ia terus meraung-raung. Suaranya mirip lolongan anjing. Tapi menjelang tengah malam ia akhirnya
tertidur. Kemudian ia mendengar sebuah suara memanggil-manggil namanya, "Hiyoshi, Hiyoshi!"
Ia sedang bermimpi tentang ayahnya yang telah tiada. Dalam keadaan setengah sadar, ia
memanggil, "Ayah!" Kemudian ia mengenali sosok yang berdiri di hadapannya itu. Ternyata ibunya.
Ibunya diam-diam menyelinap keluar dari rumah untuk membawakan sedikit makanan.
"Makan ini dan tenangkan dirimu. Besok pagi aku akan minta maaf pada ayahmu."
Hiyoshi menggelengkan kepala dan menggenggam baju ibunya. "Bohong. Dia bukan ayahku.
Ayahku sudah mati, kan?"
"Aduh, kenapa kau berkata begitu" Kenapa kau sangat keras kepala" Aku kan selalu berpesan
agar kau menjadi anak baik."
Hati ibunya serasa disayat-sayat. Tapi Hiyoshi tidak mengerti mengapa ibunya menangis sampai
tubuhnya terguncang-guncang.
Keesokan paginya, Chikuami mulai membentak-bentak Onaka dari waktu matahari terbit. "Semalam
kau pergi ke gudang dan memberinya makan, ya" Karena kau terlalu memanjakan dia, wataknya
takkan pernah bertambah baik. Otsumi juga tidak boleh pergi ke gudang hari ini."
Pertengkaran antara suami-istri itu berlangsung sepanjang pagi, sampai ibu Hiyoshi akhirnya pergi
sambil menangis. Ia baru kembali menjelang matahari tenggelam, ditemani seorang biksu dari Kuil
Komyoji. Chikuami tidak bertanya ke mana istrinya pergi tadi. Ia sedang duduk di luar bersama
Otsumi, menganyam tikar. Keningnya berkerut-kerut.
16 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Chikuami," si biksu berkata, "istrimu mendatangi kuil untuk menanyakan apakah anakmu bisa
diterima sebagai pembantu pelaksana upacara. Apakah kau keberatan?"
Tanpa berkata apa-apa, Chikuami menatap Onaka yang berdiri di luar gerbang belakang sambil
terisak-isak. "Hmm, mungkin ada baiknya. Tapi bukankah dia perlu penyokong?"
"Kebetulan istri Kato Danjo, yang tinggal di kaki Bukit Yabuyama, bersedia. Dia dan istrimu ber-
saudara, bukan?" "Ah, jadi dia pergi ke rumah Kato?" Chikuami tampak getir, meskipun ia tidak keberatan Hiyoshi
pindah ke kuil. Ia menerima tawaran itu tanpa banyak komentar, dan setiap pertanyaan dijawabnya
pendek-pendek saja. Sambil menyuruh Otsumi melakukan sesuatu, Chikuami menyimpan peralatan taninya, lalu mulai
bekerja dengan giat. Setelah diizinkan keluar dari gudang, Hiyoshi berulang kali mendapat peringatan dari ibunya.
Sepanjang malam ia digigiti nyamuk, dan wajahnya tampak bengkak. Ketika diberitahu bahwa ia
akan pindah ke kuil, ia langsung berlinangan air mata. Namun dalam sekejap ia sudah tenang
kembali. "Tinggal di kuil lebih baik," katanya.
Hari masih terang, dan si biksu melakukan persiapan yang diperlukan bagi Hiyoshi. Ketika saat
perpisahan makin mendekat, bahkan Chikuami pun kelihatan agak sedih.
"Monyet, kalau kau sudah tinggal di kuil, kau harus mengubah sikapmu dan belajar disiplin," ia
berpesan pada anak tirinya. "Kau harus belajar membaca dan menulis. Kami ingin melihatmu
menjadi pendeta dalam waktu singkat."
Hiyoshi bergumam sedikit dan membungkuk. Dari balik pagar, ia berkali-kali menoleh dan menatap
sosok ibunya yang menyaksikannya menghilang di kejauhan.
Kuil kecil itu berdiri di puncak bukit bernama Yabuyama, agak terpencil dari desa. Biksu kepala di
kuil Buddha aliran Nichiren itu telah berusia lanjut dan sakit-sakitan. Dua pendeta muda bertugas
merawat semua bangunan dan pekarangan. Akibat perang saudara yang telah berlangsung
bertahun-tahun, desa itu dilanda kemiskinan, dan jemaat kuil itu tinggal sedikit. Hiyoshi, yang
segera menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, bekerja keras, seakan-akan ia telah menjadi
orang lain. Ia cerdas dan penuh energi. Para biksu memperlakukannya dengan penuh kasih
sayang, dan berjanji untuk mendidiknya dengan baik. Setiap malam ia diberi latihan kaligrafi serta
pendidikan dasar, dan Hiyoshi memperlihatkan daya ingat yang luar biasa.
Suatu hari seorang biksu berkata padanya, "Saya bertemu ibumu di jalan kemarin. Saya
memberitahunya bahwa kau baik-baik saja."
Hiyoshi belum bisa memahami kesedihan ibunya, tapi kalau ibunya gembira, ia ikut gembira.
17 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ketika musim gugur di usianya yang kesepuluh tiba, ia mulai merasakan bahwa lingkungan kuil
terlalu membatasi gerak-geriknya. Kedua pendeta muda telah pergi ke desa-desa tetangga untuk
memohon sedekah. Di tengah kepergian mereka, Hiyoshi mengambil sebilah pedang kayu yang
disembunyikannya, serta sebatang tongkat buatan tangan. Kemudian ia berdiri di puncak bukit dan
berseru pada teman-temannya yang sedang bersiap-siap main perang-perangan.
"Hai, pasukan musuh, kalian bodoh semua! Ayo, kalian boleh serang aku dari segala penjuru!"
Meskipun waktunya tidak tepat, lonceng besar di menara lonceng tiba-tiba berbunyi. Orang-orang di
kaki bukit terheran-heran dan bertanya-tanya apa yang terjadi. Sebongkah batu melayang ke
bawah, kemudian sebuah tegel, yang mengenai dan mencederai anak perempuan yang sedang
bekerja di ladang sayur. "Ini ulah anak di kuil itu. Dia mengumpulkan anak-anak desa dan mereka main perang-perangan
lagi." Tiga atau empat orang mendaki bukit dan berdiri di depan ruang utama kuil. Pintunya terbuka lebar
dan bagian dalamnya penuh abu. Baik ruangan melintang maupun tempat suci tampak
porak-poranda. Pedupaan pun pecah. Panji-panji kelihatannya telah digunakan untuk tujuan tidak
semestinya. Tirai-tirai yang terbuat dari kain brokat berwarna emas telah terkoyak dan dilemparkan begitu saja,
dan kulit gendang tampak sobek.
"Shobo!" "Yosaku!" para orangtua memanggil anak-anak mereka.
Hiyoshi tidak menampakkan batang hidungnya;
anak-anak yang lain pun tiba-tiba menghilang.
Ketika para orangtua telah kembali ke kaki bukit, kuil itu seakan-akan dilanda gempa. Semak
belukar berdesir, batu-batu melayang, dan lonceng kembali berdentang. Matahari akhirnya
tenggelam, dan anak- anak, biru lebam dan berdarah, terpincang-pincang menuruni bukit.
Setiap malam, pada waktu para pendeta kembali dari memohon sedekah, penduduk desa
mendatangi kuil dan mengeluh. Tapi, ketika para pendeta kembali malam itu, mereka hanya dapat
saling menatap dengan terkejut.
Pedupaan di muka altar telah terbelah dua. Penyumbang benda berharga itu seorang laki-laki
bernama Sutejiro, saudagar tembikar dari desa Shinkawa, salah seorang dari sedikit jemaah kuil
yang masih bertahan. Pada waktu menyerahkan sumbangannya, tiga atau empat tahun
sebelumnya, ia berpesan, "Pedupaan ini dibuat oleh guruku, mendiang Gorodayu. Aku
menyimpannya sebagai tanda mata. Beliau menghiasinya berdasarkan ingatan, dan beliau
berhati-hati sekali ketika membubuhkan pigmen warna biru. Aku menyumbangkannya pada kuil ini
dengan harapan agar pedupaan ini dijaga sebaik-baiknya sampai akhir zaman."
18 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Biasanya pedupaan itu disimpan di dalam peti, tapi seminggu sebelumnya istri Sutejiro telah
berkunjung ke kuil. Pedupaan dikeluarkan dari kotak penyimpanannya dan digunakan dalam
upacara, namun tidak dikembalikan lagi.
Para biksu tampak pucat. Mereka semakin cemas ketika membayangkan kemungkinan pimpinan
mereka bertambah sakit jika mendengar kabar buruk itu.
"Ini pasti ulah si Monyet," salah seorang biksu menduga-duga.
"Betul," rekannya sependapat. "Setan-setan cilik yang lain tak mungkin membuat kekacauan seperti
ini." "Apa yang bisa kita lakukan?"
Mereka menyeret Hiyoshi ke dalam, dan melemparkan pecahan pedupaan ke wajahnya. Meski tak
ingat bahwa ia memecahkan pedupaan, Hiyoshi berkata, "Mohon ampun."
Permintaan maafnya membuat para biksu semakin berang, sebab Hiyoshi berbicara dengan
tenang, tanpa menunjukkan tanda penyesalan.
"Kafir!" mereka memaki anak itu, lalu mengikatnya ke sebuah pilar besar, dengan kedua tangan di
balik punggung. "Kami akan membiarkanmu di sini selama beberapa hari. Barangkali kau akan dimakan tikus," para
biksu mengancam. Hal-hal seperti itu sering menimpa diri Hiyoshi. Kalau teman-temannya datang, ia takkan bisa
bermain dengan mereka. Dan ketika mereka datang keesokan harinya, mereka melihat ia sedang
dihukum, lalu segera kabur.
"Lepaskan aku!" ia berseru pada mereka. "Kalau tidak, akan kuhajar kalian!"
Peziarah-peziarah setengah baya dan seorang perempuan desa yang mengunjungi kuil
mengejeknya, "Hei, bukankah itu monyet?"
Saat itu Hiyoshi sudah cukup tenang untuk bergumam, "Awas, nanti kubalas." Tubuhnya yang kecil,
terikat pada pilar kuil yang besar, tiba-tiba dipenuhi oleh rasa berkuasa yang amat besar. Namun ia
tetap merapatkan bibir, dan walaupun sadar akan bahayanya, ia memasang wajah menantang
sambil mengutuki nasib. Ia tertidur, dan akhirnya terbangun oleh air liurnya sendiri. Hari itu seakan-akan tak ada akhirnya.
Dengan bosan ia menatap pedupaan yang telah pecah. Pembuatnya telah membubuhkan tulisan
dengan huruf-huruf kecil di dasar bejana itu: Dibuat dengan pertanda baik. Gorodayu.
Seto, sebuah desa yang berdekatan, dan sebenarnya seluruh provinsi itu, terkenal karena
barang-barang tembikarnya. Sebelum ini Hiyoshi tidak merasa tertarik, tapi kini, setelah melihat
gambar pemandangan pada pedupaan, daya khayalnya mulai bekerja.
Pemandangan di manakah itu"
19 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Gunung-gunung dan jembatan-jembatan batu, menara-menara dan orang-orang, pakaian-pakaian
dan perahu-perahu yang semuanya belum pernah ia lihat, rergambar dengan warna biru di atas
porselen putih. Semua itu mengusik rasa ingin tahunya.
Negeri manakah itu" ia bertanya-tanya.
Ia tak bisa menebaknya. Ia memiliki kecerdasan seorang bocah dan selalu haus akan pengetahuan,
dan dengan semangat menggebu-gebu untuk mendapatkan jawaban, ia memaksa daya khayalnya
untuk menemukan jawaban yang dapat mengisi kekosongan itu.
Mungkinkah ada negeri seperti itu"
Sementara ia berpikir keras, sesuatu terlintas di benaknya sesuatu yang pernah diajarkan padanya
atau pernah didengarnya, tapi telah terlupakan.
Ia memeras otak. Negeri Cina! Itu dia! Gambar itu gambar Negeri Cina! Ia merasa puas dengan dirinya. Ia menatap
porselen berglasur itu, dan pikirannya melayang sampai ke Cina.
Akhirnya hari berganti malam. Para biksu kembali dari meminta-minta sedekah. Di luar dugaan
mereka, Hiyoshi tidak berurai air mata. Mereka menemukannya sedang tersenyum lebar.
"Hukuman pun tak mempan. Dia tak bisa ditolong lagi. Lebih baik dia kita kembalikan ke
orangtuanya." Malam itu, salah seorang biksu memberi Hiyoshi makan malam, lalu membawanya ke rumah Kato
Danjo di kaki bukit. Kato Danjo sedang berbaring di dekat pintu. Ia seorang samurai, terbiasa menghadapi pagi dan
malam di medan pertempuran. Jarang-jarang ia memiliki waktu untuk bersantai, dan pada
kesempatan-kesempatan langka seperti itu, ia merasa tinggal di rumah terlalu damai baginya.
Ketenangan dan istirahat merupakan dua hal yang patut ditakuti ia mungkin ketagihan.
"Oetsu!" "Ya?" Suara istrinya datang dari arah dapur. "Ada yang mengetuk pintu gerbang."
"Paling-paling tupai." "Bukan, ada orang di luar."
Sambil mengelap tangan, Oetsu pergi ke gerbang dan langsung kembali.
"Ada pendeta dari Komyoji," ia melaporkan. "Dia membawa Hiyoshi."
Wajahnya yang muda tampak kesal.
"Aha!" Danjo, yang telah menduga bahwa ini bakal terjadi, berkata sambil tertawa, "Rupanya si
Monyet dapat cuti." Danjo mendengarkan cerita si biksu mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi
baru-baru ini. 20 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sebagai orang yang menyokong penerimaan Hiyoshi di kuil, ia minta maaf pada semua pihak yang
terlibat, dan mengambil alih tanggung jawab atas anak itu.
"Kalau dia memang tidak cocok sebagai biksu, tak ada yang dapat dilakukan. Kami akan
mengirimnya pulang ke Nakamura. Saya minta maaf atas segala masalah yang ditimbulkannya."
"Tolong jelaskan semuanya pada orangtua anak itu," si biksu memohon, dan ketika ia berbalik,
langkahnya mendadak lebih ringan, seakan-akan bahunya telah terbebas dari beban berat. Hiyoshi
tampak bingung. Penuh curiga ia menatap berkeliling. Dalam hati ia bertanya-tanya, rumah
siapakah yang didatanginya. Ia tidak mampir ke sini waktu pergi ke kuil, dan ia pun tidak diberitahu
bahwa ia memiliki saudara yang tinggal di dekat situ.
"Hmm, bocah cilik, kau sudah makan malam?" tanya Danjo. Ia tersenyum.
Hiyoshi menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, makan saja kue-kue ini."
Sambil mengunyah, Hiyoshi mengamati tombak yang tergantung di atas pintu, dan lambang pada
dada baju tempur, lalu menatap tajam ke arah Danjo.
Betulkah ada yang tidak beres dengan anak ini" Danjo bertanya pada dirinya sendiri. Ia merasa
ragu-ragu. Ia membalas tatapan Hiyoshi, namun Hiyoshi tidak mengalihkan mata ataupun
menundukkan kepala. Tak ada tanda-tanda kelainan jiwa. Ia malah tersenyum ramah.
Danjo mengalah dan tertawa. "Kau sudah besar sekarang, ya" Hiyoshi, kau masih ingat aku?"
Ucapan ini mengusik kenangan samar-samar dalam ingatan Hiyoshi, mengenai seorang laki-laki
yang pernah menepuk-nepuk kepalanya ketika ia berusia enam tahun.
Sesuai dengan kebiasaan para samurai, Danjo hampir selalu bermalam di benteng di Kiyosu atau di
medan laga. Hari-hari saat ia tinggal di rumah bersama istrinya bisa dihitung. Kemarin ia pulang
secara tak terduga, dan besok ia sudah harus kembali ke Kiyosu. Dalam hati Oetsu bertanya-tanya,
berapa bulan akan berlalu sebelum mereka bisa bersama-sama lagi"
Anak itu menyusahkan saja! pikir Oetsu. Kedatangan Hiyoshi tidak menguntungkan. Ia mengangkat
wajahnya sambil tersipu malu. Bagaimana pandangan keluarga suaminya" Apakah ini betul-betul
anak saudara perempuannya"
Ia bisa mendengar suara Hiyoshi yang melengking dari ruang duduk suaminya, "Tuan ini yang
menunggang kuda dengan samurai-samurai lain waktu itu."
"Kau masih ingat, ya?"
"Tentu." Hiyoshi melanjutkan dengan nada akrab, "Kalau begitu, Tuan bersaudara denganku. Tuan
bertunangan dengan adik perempuan ibuku."
Oetsu dan seorang pelayan pergi ke ruang keluarga untuk mengambil baki. Mendengar bahasa
yang digunakan Hiyoshi serta suaranya yang keras, Oetsu merasa malu. la membuka pintu geser
21 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dan memanggil suaminya. "Makan malam sudah siap."
la melihat suaminya sedang adu panco dengan Hiyoshi. Wajah anak itu tampak merah, pantatnya
terangkat seperti ekor tawon. Danjo pun bertingkah seperti anak kecil.
"Makan malam?" ia bertanya. "Nanti supnya dingin."
"Kau makan duluan saja. Anak ini lawan tangguh. Kami lagi asyik. Ha-ha! Dia memang ajaib!"
Danjo tampak senang dengan sikap Hiyoshi yang apa adanya. Bocah itu, yang memang selalu
cepat berteman dengan siapa pun, hampir sepenuhnya menguasai pamannya. Setelah adu panco,
mereka melanjutkan dengan boneka jari. Mereka terus melakukan permainan anak-anak, sampai
Danjo tertawa terpingkal-pingkal.
Keesokan harinya, menjelang keberangkatannya, Danjo berkata pada istrinya yang tampak murung,


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau orangtuanya tidak keberatan, bagaimana kalau kita membiarkannya di sini" Aku sangsi dia
bakal berguna, tapi kurasa masih lebih baik daripada memelihara monyet sungguhan."
Gagasan itu kurang berkenan di hati Oetsu. Ia menemani suaminya sampai ke pintu gerbang, lalu
berkata, "Jangan. Dia akan mengganggu ibumu. Itu tidak boleh terjadi."
"Terserah kau saja."
Oetsu tahu bahwa setiap kali Danjo pergi dari rumah, pikiran suaminya terpusat pada majikannya
dan pada pertempuran-pertempuran. Apakah dia akan pulang dalam keadaan hidup" Ia
bertanya-tanya. Apakah begitu penting bagi seorang laki-laki untuk mengukir nama bagi dirinya"
Oetsu memperhatikan sosok suaminya menjauh, dan membayangkan bulan-bulan penuh kesepian
yang menunggunya. Kemudian ia menyelesaikan semua pekerjaan di rumah, dan berangkat
bersama Hiyoshi, menuju Nakamura.
"Selamat pagi, Nyonya," sapa seorang laki-laki yang datang dari arah berlawanan. Ia tampak seperti
pedagang, mungkin pemilik sebuah usaha besar. Ia mengenakan mantel gemerlapan, sebilah
pedang pendek, dan di kakinya, kaus kaki kulit berhiaskan gambar bunga ceri. Usianya sekitar
empat puluh tahun, dan penampilannya ramah-tamah.
"Bukankah Nyonya istri Tuan Danjo" Hendak ke manakah Nyonya?"
"Ke rumah saudara perempuanku di Nakamura, untuk mengantar anak ini pulang." Oetsu
mengangkat tangan Hiyoshi sedikit lebih tinggi.
"Ah, tuan cilik ini. Inilah bocah yang diusir dari Komyoji."
"Tuan sudah mendengar beritanya?"
"Oh, ya. Sebenarnya aku baru kembali dari kuil itu." Dengan gelisah Hiyoshi menatap berkeliling.
Belum pernah ia dipanggil tuan cilik. Ia tersipu-sipu karena malu.
"Ya ampun, Tuan mengunjungi kuil karena anak ini?"
22 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Ya, para biksu datang ke rumahku untuk minta maaf. Aku diberitahu bahwa pedupaan yang
kusumbangkan pada mereka telah terbelah dua."
"Setan kecil ini yang bertanggung jawab!" ujar Oetsu.
"Nyonya tidak boleh berkata begitu. Hal-hal semacam ini mungkin saja terjadi."
"Aku mendengar bahwa pedupaan itu merupakan karya langka dan terkenal."
"Betul, hasil karya Gorodayu. Aku mengabdi kepada beliau selama perjalanannya ke Negeri Ming."
"Bukankah dia juga menggunakan nama Shonzui?" "Ya, tapi beliau jatuh sakit dan meninggal
beberapa waktu lalu. Beberapa tahun belakangan ini, banyak barang porselen berwarna putih-biru
dibuat dengan tulisan 'Karya Shonzui Gorodayu', tapi semuanya palsu. Satu-satunya orang yang
pernah mengunjungi Negeri Ming dan membawa kembali teknik pembuatan tembikar mereka kini
telah berada di alam baka."
"Aku juga diberitahu bahwa Tuan mengadopsi anak Tuan Shonzui yang bernama Ofuku."
"Itu betul. Anak-anak mengejeknya dengan julukan 'si Anak Cina." Si saudagar menatap Hiyoshi.
Mendengar nama Ofuku disebut-sebut, ia bertanya-tanya, siapa gerangan laki-laki di hadapannya
ini. "Rupanya," si saudagar melanjutkan, "Hiyoshi ini satu-satunya yang mau membela Ofuku. Jadi,
ketika Ofuku mendapat kabar tentang kejadian terakhir itu, dia minta padaku untuk menengahinya.
Ternyata banyak hal lain telah terjadi. Para biksu menceritakan kelakuan Hiyoshi yang buruk, dan
aku tidak berhasil membujuk mereka untuk menerimanya kembali."
Dada si saudagar bergerak naik-turun karena tertawa.
"Orangtuanya pasti sudah memiliki rencana untuknya," laki-laki itu berkata, "tapi seandainya dia
hendak dikirim ke tempat lain, jika orangtuanya menganggap usaha seperti usahaku cocok
untuknya, aku ingin membantu. Entah kenapa, kurasa dia cukup menjanjikan."
Setelah mohon diri dengan sopan, ia meneruskan perjalanannya. Beberapa kali Hiyoshi menoleh ke
arahnya, sambil terus berpegangan pada lengan baju Oetsu.
"Bibi, siapakah orang itu?"
"Namanya Sutejiro. Dia saudagar besar yang berdagang barang tembikar dari mancanegara."
Selama beberapa saat Hiyoshi berjalan sambil membisu.
"Negeri Ming, di manakah itu?" ia tiba-tiba menanyakan apa yang baru didengarnya.
"Itu sebutan lain untuk Cina."
"Di mana itu" Seberapa besar negerinya" Apakah mereka juga punya benteng dan samurai dan
pertempuran di sana?"
23 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Jangan rewel. Lebih baik kau diam saja, mengerti?" Oetsu mengguncang lengannya dengan kesal,
tapi omelan bibinya dianggap angin lalu saja oleh Hiyoshi. Ia mendongakkan kepala dan menatap
langit biru. Langit itu sungguh menakjubkan. Kenapa warnanya begitu biru" Kenapa manusia harus
terpaku di tanah" Kalau saja manusia bisa terbang seperti burung, barangkali ia sendiri juga bisa
mengunjungi Negeri Ming. Sebenarnya burung-burung yang tergambar di pedupaan sama saja
dengan burung-burung di Owari.
Hiyoshi ingat bahwa pakaian yang dikenakan orang-orang di lukisan itu tampak berbeda, begitu
juga bentuk kapal-kapal mereka, namun burung-burungnya sama. Mungkin karena burung tidak
mengenai batas negara. Langit dan bumi merupakan satu negara besar bagi mereka.
Aku ingin berkunjung ke negara-negara lain, pikir Hiyoshi.
Hiyoshi belum pernah memperhatikan betapa kecil dan miskinnya rumah orangtuanya. Tapi, ketika
ia dan Oetsu mengintip ke dalam, untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa rumah itu gelap
bagaikan ruang bawah tanah, biarpun di siang hari bolong. Chikuami tidak kelihatan. Barangkali ia
sedang pergi untuk menyelesaikan suatu urusan.
"Selalu saja membuat onar," Onaka berkata setelah mendengar laporan mengenai perbuatan
terakhir Hiyoshi. Ia mendesah panjang. Raut wajah anak itu acuh tak acuh. Tapi mata Onaka tidak
menyorotkan tatapan menyalahkan ketika menatap Hiyoshi. Ia justru terkejut betapa anaknya itu
bertambah besar dalam waktu dua tahun. Dengan curiga Hiyoshi menatap bayi yang sedang
menyusu pada ibunya. Entah kapan, anggota keluarganya telah bertambah satu. Dengan
sekonyong-konyong ia meraih kepala si bayi, menariknya dari puting ibunya, dan mengamatinya.
"Kapan bayi ini lahir?" ia bertanya.
Ibunya tidak menjawab, melainkan berkata, "Kau telah jadi kakak. Karena itu, kau harus bersikap
seperti seorang kakak."
"Siapa namanya?" "Kochiku."
"Namanya aneh," ia berkomentar, sambil merasa amat berkuasa atas anak kecil itu. Seorang kakak
bisa memaksakan kehendaknya pada seorang adik.
"Mulai besok, aku akan menggendongmu di punggungku, Kochiku," ia berjanji. Tetapi pegangannya
terlalu keras, dan Kochiku mulai menangis.
Ayah tirinya muncul ketika Oetsu tengah bersiap-siap pergi. Onaka telah memberitahu adiknya
bahwa Chikuami sudah bosan berusaha menghapus kemiskinan mereka. Kini ia hanya
duduk-duduk sambil minum sake, dan wajahnya tampak merah ketika ia memasuki rumah.
Begitu melihat Hiyoshi, ia langsung berteriak. "Bajingan! Kau diusir dari kuil dan berani datang ke
sini?" 24 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
TENZO SI BANDIT LEBIH dari setahun telah berlalu sejak Hiyoshi kembali ke rumah. Kini usianya sebelas tahun.
Setiap kali ia menghilang dari pandangan Chikuami, walau hanya sejenak, ayah tirinya itu akan
mencarinya sambil berteriak sekuat tenaga, "Monyet! Kau sudah selesai potong kayu bakar"
Kenapa belum" Kenapa kautinggalkan ember di sawah?" Jika Hiyoshi berani membantah, telapak
tangan ayah tirinya yang keras dan kasar segera melayang ke pelipis anak itu. Pada saat seperti
itu, ibunya, dengan bayi terikat di punggung sementara ia menginjak-injak gandum atau memasak,
memaksakan diri untuk membuang muka dan tetap membisu. Meski demikian, wajahnya tampak
kesakitan, seakan-akan ia sendiri yang kena tampar.
"Sudah seharusnya bocah umur sebelas tahun meringankan pekerjaan orangtuanya. Kalau kaupikir
kau bisa menyelinap ke luar untuk bermain-main terus, aku akan memberi pelajaran padamu!"
Chikuami yang suka berbicara kotor memaksa Hiyoshi bekerja keras. Tapi, setelah dipulangkan dari
kuil, Hiyoshi bekerja membanting tulang, seakan-akan telah menjadi orang lain. Pada
kesempatan-kesempatan saat ibunya secara tidak bijaksana berusaha melindungi Hiyoshi, tangan
dan suara Chikuami yang kasar semakin menjadi-jadi. Kini Chikuami jarang pergi ke sawah, tapi ia
sering tidak berada di rumah. Biasanya ia pergi ke desa, lalu pulang dalam keadaan mabuk dan
membentak-bentak anak-istrinya.
"Sekeras apa pun aku bekerja, rumah ini tetap saja dilanda kemiskinan," ia mengeluh. "Di sini
terlalu banyak parasit, dan pajak tanah juga naik terus. Kalau bukan karena anak-anak ini, aku lebih
baik jadi samurai tak bertuan - jadi ronin! Aku akan minum sake yang lezat. Ah, kalau saja tangan
dan kakiku tidak terbelenggu."
Setelah ledakan amarah seperri itu, ia akan memaksa istrinya menghitung uang yang mereka miliki,
lalu menyuruh Otsumi atau Hiyoshi membeli sake, bahkan di tengah malam buta sekalipun.
Kadang-kadang, jika ayah tirinya kebetulan tidak kelihatan, Hiyoshi mengungkapkan perasaannya.
Onaka memeluknya dengan erat, dan berusaha menghiburnya.
"Ibu, aku ingin pergi dan bekerja lagi," ia berkata suatu hari.
"Tolong, jangan pergi. Kalau bukan karena kau ada di sini..." Kata-kata selanjurnya tak dapat
dipahami karena isak tangisnya. Onaka memalingkan wajah dan mengusap mata. Melihat ibunya
berurai air mata, Hiyoshi tak bisa berkata apa-apa. Ia ingin lari dari rumah, tapi ia tahu ia harus tetap
di tempat dan menanggung segala kesedihan dan kegetiran. Kalau ia merasa kasihan pada ibunya,
keinginan-keinginan alami di masa muda - keinginan untuk bermain, makan, belajar,
kabur - semakin mekar dalam dirinya.
Semuanya itu beradu dengan kata-kata kasar yang dilontarkan Chikuami pada Onaka dan kepalan
tinju yang menghujani kepalanya.
"Sialan!" ia bergumam. Darahnya serasa mendidih di tubuhnya yang kecil. Akhirnya ia membulatkan
tekad untuk menghadapi ayah tirinya yang menakutkan itu.
25 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Aku ingin pergi dan bekerja lagi," katanya. "Aku lebih suka jadi pelayan daripada tinggal di rumah
ini." Chikuami tidak keberatan. "Baik," ia menanggapi permintaan Hiyoshi.
"Pergilah ke mana pun kau suka, dan makanlah nasi orang lain. Tapi kalau kau diusir lagi, jangan
kembali ke rumah ini." Ia bersungguh-sungguh.
Meskipun sadar bahwa Hiyoshi baru berusia sebelas tahun, ia merasa berhadapan dengan orang
yang sebaya, dan ini membuatnya makin berang.
Majikan Hiyoshi berikutnya adalah tukang celup di desa.
"Dia banyak omong dan malas bekerja. Dia cuma cari tempat yang nyaman untuk mengorek-ngorek
kotoran dari pusarnya," ujar salah seorang pekerja.
Tak lama setelah itu, datang kabar dari si perantara, "Rasanya dia tidak berguna." Dan sekali lagi
Hiyoshi dipulangkan. Chikuami memelototinya. "Nah, bagaimana, Monyet" Apakah masyarakat mau memberi makan
pada pemalas seperti kau" Apa kau belum paham juga, betapa berharganya orangtuamu?"
Hiyoshi ingin menjawab, "Aku tidak malas!" Namun yang terucap olehnya adalah, "Kaulah yang
tidak lagi bertani, dan akan lebih baik kalau kau tidak cuma berjudi dan mabuk-mabukan di pasar
kuda. Semua orang kasihan pada Ibu."
"Beraninya kau berkata begitu pada ayahmu!" Suara Chikuami yang menggelegar membuat Hiyoshi
terdiam, tapi kini Chikuami mulai melihat anak itu dari sudut lain. Sedikit demi sedikit dia bertambah
dewasa, ia berkata dalam hati. Setiap kali Hiyoshi merantau lalu kembali lagi, ia kelihatan lebih
besar. Matanya yang menilai orangtua dan rumahnya menjadi matang dengan cepat. Kenyataan
bahwa Hiyoshi memandangnya dengan mata orang dewasa terasa sangat mengganggu,
menakutkan, dan tidak menyenangkan bagi ayah tirinya.
"Cepat, cepat cari kerja lain!" ia memerintah. Keesokan harinya, Hiyoshi mendatangi majikan
berikutnya, tukang kandang ayam di desa. Dalam waktu sebulan ia sudah kembali lagi. Istri si
pemilik toko mengeluh, "Aku tidak bisa menerima anak yang begitu mengganggu di rumahku."
Ibu Hiyoshi tak mengerti apa yang ia maksud dengan "mengganggu".
Tempat lain di mana Hiyoshi sempat magang adalah bengkel tukang plester, warung makan di
pasar kuda, dan bengkel pandai besi. Setiap kali ia tidak bertahan lebih lama dari tiga sampai enam
bulan. Lama-lama reputasinya begitu buruk, sehingga tak ada lagi yang bersedia menjadi perantara
baginya. "Ah, anak di rumah Chikuami itu. Dia pemalas dan tak berguna."
Tentu saja ibu Hiyoshi merasa malu. Anaknya membuatnya serbasalah, dan sebagai tanggapan
terhadap gunjingan orang-orang, ia langsung mencela Hiyoshi, seakan-akan kenakalan Hiyoshi tak
bisa diatasi lagi. "Aku tidak tahu apa lagi yang harus kulakukan," ia sering berkata. "Dia benci
bertani, dan dia tidak mau tinggal di rumah."
26 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Di musim semi, di usianya yang keempat belas, Hiyoshi dinasihati oleh ibunya, "Kali ini kau harus
bertahan. Kalau kejadian yang sama terulang kembali, adik perempuanku takkan berani menatap
wajah Tuan Kato, dan semua orang bakal tertawa dan berkata, 'Lagi"' Ingat, kalau kau gagal kali ini,
aku takkan pernah memaafkanmu."
Keesokan harinya bibinya membawanya ke Shinkawa untuk diwawancarai. Rumah besar dan
megah yang mereka datangi milik Sutejiro, si saudagar tembikar. Ofuku kini telah menjadi remaja
pucat berusia enam belas tahun.
Dengan membantu ayah angkatnya, ia telah mempelajari seluk-beluk bisnis tembikar.
Di toko tembikar, pembedaan antara atasan dan bawahan ditegakkan dengan ketat. Pada
wawancaranya yang pertama, Hiyoshi berlutut penuh hormat di serambi kayu, sementara Ofuku
duduk di dalam, mengunyah kue, dan berbincang-bincang dengan orangtuanya.
"Hmm, rupanya si Monyet anak Yaemon. Ayahmu meninggal, dan Chikuami dari desa menjadi ayah
tirimu. Dan sekarang kau mau mengabdi di rumah ini" Kau harus bekerja keras." Kata-kata itu
diucapkan dengan nada begitu congkak, sehingga tak seorang pun yang sempat mengenal Ofuku
kecil akan percaya bahwa yang mengucapkannya adalah orang yang sama.
"Ya, Juragan," balas Hiyoshi.
Ia dibawa ke tempat para pelayan. Dari sana ia bisa mendengar suara tawa keluarga majikannya di
ruang duduk. Ia semakin kesepian, karena temannya sama sekali tidak menunjukkan sikap
bersahabat. "Hei, Monyet!" Ofuku tidak memilih-milih kata-katanya. "Besok kau harus bangun pagi-pagi dan
pergi ke Kiyosu. Karena kau akan mengantarkan barang untuk seorang pejabat, naikkan semua
paket ke gerobak biasa. Dan sebelum pulang, kau harus mampir di tempat agen kapal untuk
menanyakan, apakah barang-barang tembikar dari Hizen sudah datang. Kalau kau terlambat
pulang, seperti waktu itu, kau tidak boleh masuk."
Jawaban Hiyoshi tidak berupa "ya" atau "tidak". Seperti para pegawai yang sudah jauh lebih lama
bekerja di toko itu, ia berkata, "Tentu, Juragan, dan dengan segala hormat, Juragan."
Hiyoshi sering disuruh ke Nagoya dan Kiyosu. Pada hari itu ia memperhatikan dinding-dinding putih
dan tembok-tembok pertahanan yang tinggi di Benteng Kiyosu dan bertanya-tanya dalam hati,
orang-orang macam apa yang tinggal di dalam" Bagaimana caranya supaya aku bisa tinggal di
sana" Ia merasa kecil dan tak berdaya, seperti seekor cacing. Ketika menyusuri jalan-jalan di kota, sambil
mendorong gerobak yang penuh barang tembikar terbungkus jerami, ia mendengar kata-kata yang
kini telah akrab di telinganya, "Hei, lihat! Ada Monyet!" "Monyet mendorong gerobak!"
Pelacur-pelacur bercadar, perempuan-perempuan kota berpakaian bagus, dan istri-istri muda
berwajah cantik dari keluarga baik-baik, semuanya berbisik-bisik, menuding, dan melotot ketika
Hiyoshi lewat. Hiyoshi sendiri sudah pandai mengenali yang paling cantik. Yang paling
mengganggunya adalah tatapan orang-orang, seakan-akan ia merupakan tontonan aneh.
27 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Penguasa Benteng Kiyosu bernama Shiba Yoshimune, dan salah satu pembantu utamanya adalah
Oda Nobutomo. Di tempat parit yang mengelilingi benteng bertemu dengan Sungai Gojo,
kemegahan Keshogunan Ashikaga yang kini sudah mulai memudar masih terasa, dan kemakmuran
yang masih tersisa, biarpun di tengah-tengah kekacauan yang melanda dunia, menegakkan
reputasi Kiyosu sebagai kota paling memesona di semua provinsi.
Untuk sake, pergilah ke toko sake.
Untuk teh yang nikmat, pergilah ke kedai teh.
Tapi untuk pelacur, Sugaguchi di Kiyosu-lah tempatnya.
Di pusat hiburan Sugaguchi, bordil-bordil dan kedai-kedai teh berderet-deret di sepanjang jalan.
Pada siang hari, gadis-gadis muda yang bekerja di bordil-bordil bernyanyi sambil bermain. Hiyoshi
mendorong gerobaknya di antara mereka. Pikirannya menerawang, "Bagaimana aku bisa jadi orang
besar?" Ia terus merenung, tanpa menemukan jawabannya. Suatu hari... suatu hari... Sambil
berjalan ia melamun tanpa henti. Kota itu penuh dengan hal-hal yang berada di luar jangkauannya:
makanan lezat, rumah mewah, perlengkapan militer yang mencolok, pakaian bagus, dan batu mulia.
Sambil teringat kakak perempuannya yang kurus dan berwajah pucat di Nakamura, ia mengamati
uap yang keluar dari pengukus kue apel di sebuah toko kue, dan berharap ia bisa membelikan
beberapa potong untuk kakaknya. Ketika melewati sebuah toko obat, ia menatap kantong-kantong
berisi ramuan obat, dan berkata pada dirinya sendiri, "Ibu, kalau saja aku bisa memberimu obat
seperti itu, aku yakin kau akan sehat dalam sekejap."
Keinginan untuk memperbaiki kehidupan Otsumi dan ibunya selalu hadir dalam angan-angannya.
Satu-satunya orang yang tak pernah ia pikirkan adalah Chikuami.
Pada waktu ia mendekati kota itu, benaknya dipenuhi angan-angan. Suatu hari... suatu hari... tapi
bagaimana" Hanya itu yang terus dipikirkannya. "Dungu!"
Ketika melewati persimpangan jalan yang ramai, ia tiba-tiba berada di tengah-tengah kerumunan
orang yang berisik. Gerobaknya telah menabrak seorang samurai berkuda yang diikuti oleh sepuluh
pembantu yang membawa tombak dan menuntun seekor kuda. Mangkuk-mangkuk dan piring-piring
yang terbungkus jerami jatuh ke jalan dan pecah berantakan. Hiyoshi memandang
pecahan-pecahan itu dengan perasaan galau.
"Apa kau buta?" "Dasar tolol!"
Sambil memaki-maki Hiyoshi, para pembantu samurai itu menginjak-injak barang-barang
bawaannya. Tak seorang pun dari orang-orang yang lewat menawarkan bantuan. Hiyoshi
memunguti semua pecahan, melemparkan semuanya ke dalam gerobak, lalu kembali mendorong.
Darahnya mendidih karena penghinaan yang diterimanya di depan umum. Di tengah
angan-angannya yang kekanak-kanakan, sebuah pikiran serius menyembul, "Bagaimana caranya
agar aku bisa membuat orang-orang seperti itu tak berdaya di hadapanku?"
Beberapa saat kemudian, ia memikirkan kemurkaan yang menunggunya pada saat ia kembali ke
rumah majikannya, dan wajah Ofuku yang dingin terus terbayang-bayang. Impian besarnya lenyap
ditelan kecemasan, seakan-akan terselubung oleh awan benih pohon opium.
28 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malam pun tiba. Hiyoshi telah menyimpan gerobak di gudang, dan sedang mencuci kaki di sumur.
Kediaman Sutejiro, yang dinamai Wisma Tembikar, menyerupai tempat tinggal sebuah marga
samurai. Rumah induk yang megah berhubungan dengan sejumlah bangunan tambahan, dan
beberapa gudang berderet di dekatnya.
"Monyet Kecil! Monyet Kecil!"
Ofuku menghampirinya, dan Hiyoshi berdiri. "Apa?"
Ofuku memukul bahu Hiyoshi dengan tongkat bambu yang selalu dibawanya jika ia memeriksa
tempat para pegawai atau memberi perintah kepada para kuli di gudang. Ini bukan pertama kalinya
ia memukul Hiyoshi. Hiyoshi tersandung, dan langsung berlepotan lumpur lagi.
"Kalau berbicara dengan majikanmu, pantaskah kau bilang 'apa'" Biar sudah diperingatkan
berulang kali, sikapmu tidak bertambah baik. Ini bukan rumah petani!"
Hiyoshi tidak menjawab. "Kenapa kau diam saja" Kau tidak mengerti" Bilang, Ya, Juragan.'"
Karena takut dipukul lagi, Hiyoshi berkata, "Ya, Juragan."
"Kapan kau kembali dari Kiyosu?" "Baru saja."
"Bohong. Aku tanya orang-orang di dapur, dan mereka bilang kau sudah makan."
"Kepala hamba pusing. Hamba takut jatuh pingsan." "Kenapa?"
"Karena hamba lapar setelah berjalan begitu jauh." "Lapar! Waktu kau kembali, kenapa kau tidak
menemui Tuan Besar dan langsung memberi laporan?" "Hamba ingin cuci kaki dulu."
"Alasan, alasan! Orang-orang di dapur bilang, sebagian besar barang yang seharusnya kauantar ke
Kiyosu pecah di jalan. Betul itu?"
"Ya." "Kelihatannya kau tidak merasa bersalah karena tidak langsung minta maaf padaku. Kaupikir kau
bisa membohongiku, menganggapnya sebagai kejadian biasa, atau minta orang-orang di dapur
untuk menutup-nutupi kesalahanmu. Kali ini aku takkan tinggal diam." Ofuku meraih telinga Hiyoshi
dan menariknya. "Ayo, jangan diam saja."
"Hamba mohon dimaafkan."
"Ini mulai jadi kebiasaan. Ini harus diusut sampai tuntas. Ayo, kita menghadap ayahku."
"Maafkan hamba." Suara Hiyoshi mirip teriakan seekor monyet. Ofuku tidak mengendurkan
cengkeramannya. Ia berjalan mengelilingi rumah. Jalan setapak yang menghubungkan gudang
dengan gerbang pekarangan dilindungi oleh rumpun-rumpun bambu Cina.
Secara mendadak, Hiyoshi menghentikan langkahnya. "Dengar," katanya sambil memelototi Ofuku
29 Pendekar Bloon Bayang Bayang Kematian m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dan menepiskan tangannya, "ada yang ingin kukatakan padamu."
"Apa maumu" Ingat, aku yang berkuasa di sini," ujar Ofuku. Wajahnya pucat, dan tubuhnya mulai
gemetaran. "Itu sebabnya aku selalu menurut, tapi ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Ofuku, kau
sudah lupa masa kecil kita" Dulu kau dan aku berteman, bukan?"
"Masa itu sudah berlalu."
"Baiklah, masa itu memang sudah berlalu, tapi seharusnya kau tidak boleh melupakannya. Waktu
mereka mengejekmu dan memanggilmu 'si Anak Cina, ingatkah kau siapa yang selalu
membelamu?" "Aku ingat." "Kau tidak merasa berutang padaku?" tanya Hiyoshi sambil cemberut. Ia jauh lebih kecil dari Ofuku,
tapi sikapnya begitu berwibawa, sehingga tak mungkin untuk menentukan siapa yang lebih tua.
"Para pekerja yang lain juga mengeluh," Hiyoshi melanjutkan. "Mereka bilang Tuan Besar sangat
baik, tapi Tuan Muda terlalu angkuh dan tidak punya perasaan. Anak seperti kau, yang tidak pernah
melarat maupun susah, mestinya mencoba bekerja di rumah orang. Kalau kau masih terus
mengganggu aku atau para pegawai yang lain, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan. Tapi ingat,
aku punya saudara ronin di Mikuriya. Dia punya lebih dari seribu anak buah. Kalau dia datang ke
sini atas permintaanku, dia bisa menghancurkan rumah seperti ini dalam satu malam saja."
Ancaman Hiyoshi yang asal bunyi, serta sorot matanya yang menyala-nyala, membuat Ofuku ngeri.
"Tuan Ofuku!" "Tuan Ofuku! Di mana Tuan Ofuku?"
Para pelayan dari rumah induk telah mencari Ofuku untuk beberapa saat. Ofuku, tercekam oleh
tatapan Hiyoshi, tidak berani menyahut.
"Mereka memanggilmu," Hiyoshi bergumam. Dan dengan nada memerintah ia menambahkan, "Kau
boleh pergi sekarang, tapi jangan lupa apa yang kukatakan padamu." Ia berbalik dan berjalan
menuju pintu belakang rumah. Belakangan, dengan jantung berdebar-debar, ia bertanya-tanya
apakah mereka akan menghukumnya. Tapi ternyata tidak terjadi apa-apa.
Peristiwa itu terlupakan bagitu saja.
*** Penghujung tahun sudah dekat. Di kalangan petani dan penduduk kota, ulang tahun kelima belas
seorang anak laki-laki dirayakan dengan upacara akil balig. Tapi dalam kasus Hiyoshi tak ada yang
memberinya satu kipas upacara pun, apalagi sebuah pesta. Berhubung Tahun Baru, ia duduk di
salah satu pojok serambi kayu bersama pegawai
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
30Pendekar Bloon Pemikat Iblis m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pendekar Bloon Pemikat Iblis | http://cerita-silat.mywapblog.com | Pendekar Bloon Pemikat Iblis pdf created by Saiful Bahri (Seletreng - Situbondo) pd 23-04-2016 08:23:45
-pegawai lainnya, mengendus-endus dan menikmati kue beras yang dikukus dengan
sayur-mayur - suatu kemewahan yang jarang diperolehnya.
Dalam hati ia bertanya-tanya, "Apakah ibuku dan Otsumi bisa menikmati kue beras Tahun Baru
ini?" Walau berasal dari keluarga petani, Hiyoshi ingat banyak perayaan Tahun Baru mereka lalui
tanpa kue-kue. Orang-orang di sekelilingnya pun menggerutu.
"Nanti malam Tuan Besar bakal terima tamu, jadi kita harus duduk tegak dan mendengarkan
cerita-ceritanya." "Aku akan berlagak sakit perut dan berbaring di tempat tidur."
"Aku benci itu. Terutama di Tahun Baru."
Setiap tahun ada dua atau tiga kesempatan serupa, pada waktu Tahun Baru dan pada waktu
Festival Dewa Kemakmuran. Apa pun perayaannya, Sutejiro selalu mengundang banyak tamu: para
pembuat tembikar dari Seto, keluarga para pelanggan istimewa di Nagoya dan Kiyosu,
anggota-anggota marga samurai, dan bahkan kenalan-kenalan sanak saudaranya.
Mulai malam itu, rumahnya akan penuh orang. Hari itu Sutejiro tampak lebih gembira daripada
biasa. Sambil membungkuk rendah-rendah, ia sendiri menyambut para tamu, sekaligus minta maaf
atas segala kelalaiannya selama tahun yang baru berlalu. Di ruang minum teh, yang dihiasi
sekuntum bunga sangat indah yang dipilih dengan saksama, istri Sutejiro yang cantik
menghidangkan teh untuk tamu-tamunya.
Perlengkapan yang digunakannya termasuk barang langka dan bernilai tinggi.
Shogun Ashikaga Yoshimasa-lah yang menjelang akhir abad lalu pertama-tama memperkenalkan
upacara minum teh sebagai cara mengasah cita rasa.
Kebiasaan itu menyebar ke kalangan rakyat biasa, dan dalam waktu singkat, tanpa ada yang
menyadarinya, minum teh telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Di dalam ruang
minum teh yang kecil, ditemani sekuntum bunga dan secawan teh, orang bisa melupakan
kekacauan dunia dan penderitaan manusia. Di tengah-tengah dunia yang penuh borok pun upacara
minum teh tetap merupakan latihan mengolah jiwa.
"Apakah aku mendapat kehormatan berhadapan dengan istri tuan rumah?" tanya seorang samurai
berbadan kekar yang datang bersama tamu-tamu lainnya. "Namaku Watanabe Tenzo. Aku teman
saudara tuan rumah, Shichirobei. Dia berjanji untuk mengajakku, tapi sayangnya dia jatuh sakit,
sehingga aku datang seorang diri." Ia membungkuk sopan. Sikapnya lemah lembut, dan meski
penampilannya seperti samurai pedesaan, ia minta secawan teh. Istri Sutejiro menghidangkannya
dalam cawan Seto berwarna kuning.
"Aku tidak terbiasa dengan tata cara upacara minum teh," Tenzo mengakui.
Ia menatap berkeliling sambil menghirup tehnya dengan puas. "Perlengkapan yang digunakan di
rumah ini sungguh indah. Sebenarnya tak pantas aku bertanya, tapi bukankah kendi porselen yang
dipakai itu termasuk barang akae?"
1 Pendekar Bloon Pemikat Iblis m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tuan mengetahuinya?"
"Ya." Tenzo menatap kendi itu sambil terkagum-kagum. "Kalau kendi itu jatuh ke tangan pedagang
Sakai, aku berani jamin harganya akan mencapai seribu keping emas. Terlepas dari nilainya, benda
ini indah sekali." Ketika sedang asyik mengobrol, mereka dipanggil ke dalam untuk makan malam. Istri Sutejiro
berjalan di depan, dan bersama-sama mereka masuk ke hall. Tempat duduk telah diatur dalam
bentuk lingkaran yang mengelilingi ruangan. Sebagai man rumah, Sutejiro duduk di tengah-tengah
dan menyambut tamu-tamunya. Setelah istri dan para pelayannya selesai menghidangkan sake, ia
mengambil tempat di salah satu meja. Ia mengangkat cawannya dan mulai menceritakan
kisah-kisah di Negeri Ming, tempat ia pernah tinggal selama beberapa tahun. Ia sengaja
mengundang tamu-tamunya agar mendapat kesempatan untuk bercerita mengenai petualangan di
Negeri Cina, sebuah negeri yang dikenalnya dengan baik, tapi masih mengandung banyak rahasia
bagi orang-orang Jepang pada umumnya.
"Wah, pesta ini sungguh menyenangkan. Dan malam ini kami beruntung karena mendengar banyak
cerita menarik," ujar salah seorang tamu.
"Kami puas sekali. Tapi malam sudah larut. Rasanya kami tak bisa lama-lama lagi," kata tamu lain.
"Kami juga. Sudah waktunya kembali ke rumah." Para tamu pulang satu per satu, dan pesta pun
berakhir. "Ah, selesai!" ujar seorang pelayan. "Kisah-kisah ini mungkin menarik untuk para tamu, tapi kita
sepanjang tahun mendengar cerita mengenai orang Cina."
Tanpa berusaha menyembunyikan rasa kantuk, para pelayan, termasuk Hiyoshi, cepat-cepat
membereskan semuanya. Lampu-lampu di dapur yang besar, di hall, dan di kamar Sutejiro serta
Ofuku akhirnya dipadamkan, dan palang kayu di gerbang tembok yang terbuat dari tanah pun
dipasang. Kediaman para samurai, dan juga rumah para saudagar - kalau pemiliknya tergolong
berada - selalu dibatasi tembok yang terbuat dari tanah atau dikelilingi parit yang diperkuat dengan
dua atau tiga lapis kubu pertahanan.
Pada malam hari, orang-orang di kota-kota maupun di pedesaan tak pernah merasa tenang.
Keadaan ini telah berlangsung sejak perang saudara pada abad sebelumnya, dan kini tak ada lagi
yang menganggapnya ganjil.
Begitu matahari tenggelam, orang-orang beranjak ke tempat tidur. Satu-satunya kesenangan bagi
para pekerja adalah tidur, dan kalau mereka sudah naik ke ranjang, mereka tidur seperti kerbau.
Berselimutkan sehelai tikar jerami tipis, Hiyoshi meringkuk di salah satu sudut ruang pelayan
laki-laki, kepalanya terganjal bantal kayu. Bersama pelayan-pelayan yang lain, ia mendengarkan
kisah majikannya mengenai Negeri Ming yang tersohor.
Namun berbeda dengan mereka, ia mendengarkan cerita-cerita itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Dan karena imajinasinya begitu hebat, ia terlalu sibuk berkhayal hingga tak bisa tidur, hampir seperti
orang menderita demam. 2 Pendekar Bloon Pemikat Iblis m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Apa itu" Ia terheran-heran, lalu duduk. Ia pasang telinga. Ia yakin bahwa ia baru saja mendengar
bunyi ranting patah, dan persis sebelumnya, suara langkah.
Ia berdiri, melintasi dapur, dan diam-diam mengintip ke luar. Di malam dingin dan cerah ini, air di
gentong besar telah menjadi es, dan untaian tetes air yang membeku tergantung seperti pedang
pada teritisan atap. Ketika mengangkat kepala, ia melihat seorang laki-laki memanjat pohon besar
di belakang. Hiyoshi menyimpulkan bahwa bunyi yang ia dengar sebelumnya adalah bunyi ranting
patah yang terinjak oleh laki-laki itu. Ia mengamati tindak-tanduk aneh dari sosok di atas pohon.
Laki-laki itu mengayun-ayunkan sebuah lampu yang tidak lebih besar dari kunang-kunang.
Tali sumbu" Hiyoshi bertanya-tanya dalam hati. Garis merah itu memercikkan bunga api yang
segera terbawa angin. Sepertinya laki-laki itu sedang memberi isyarat pada seseorang di luar
tembok. Dia turun, pikir Hiyoshi sambil bersembunyi di keremangan bayang-bayang.
Laki-laki itu merosot ke bawah, kemudian berjalan dengan langkah-langkah panjang ke bagian
belakang pekarangan. Hiyoshi membiarkannya lewat, lalu mengikutinya.
"Ah! Dia salah satu tamu yang hadir tadi," Hiyoshi bergumam seakan tak percaya. Orang itulah
yang memperkenalkan diri sebagai Watanabe Tenzo, laki-laki yang dilayani sendiri oleh istri
majikannya, yang mendengarkan cerita-cerita Sutejiro dengan sungguh-sungguh dari awal sampai
akhir. Semua tamu lain sudah pulang, jadi ke manakah Tenzo menghilang dari tadi" Dan kenapa" Ia
sudah berganti pakaian. Kakinya terbungkus sandal jerami, keliman celananya yang gombrong
digulung dan diikat ke belakang, dan di pinggangnya ada sebilah pedang besar. Matanya
mengamati sekeliling dengan liar, persis seekor elang. Setiap orang yang melihatnya langsung tahu
bahwa ia menginginkan darah seseorang.
Tenzo menghampiri gerbang, dan pada saat yang sama, orang-orang yang menunggu di luar
berusaha mendobraknya. "Tunggu! Biar kubuka dulu palangnya. Jangan ribut!"
Serangan penjahat! Ternyata pemimpin mereka memang memberi isyarat kepada para anak
buahnya untuk menjarah rumah ini seperti kawanan belalang. Di tempat persembunyiannya, Hiyoshi
menyadari: mereka perampok!
Seketika darahnya menggelora, dan ia lupa diri. Ia tidak berpikir panjang, tidak lagi memedulikan
keselamatannya sendiri. Yang dipikirkannya hanyalah rumah majikannya. Namun tindakannya
berikutnya hanya dapat disebut membabi buta.
"Hei, kau!" ia berseru. Langsung saja ia keluar dari bayang-bayang. Entah apa yang terlintas di
kepalanya. Ia berdiri di belakang Tenzo yang baru hendak membuka gerbang. Laki-laki itu tersentak
kaget. Bagaimana ia bisa tahu bahwa ia ditegur oleh pemuda berusia lima belas tahun yang bekerja
di toko tembikar" Apa yang dilihatnya ketika ia menoleh membuatnya terbengong-bengong.
Seorang pemuda bertampang mirip monyet menatapnya dengan pandangan aneh. Sejenak Tenzo
membalas tatapannya dengan tajam.
3 Pendekar Bloon Pemikat Iblis m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Siapa kau?" ia lalu bertanya, bingung.
Hiyoshi sama sekali lupa pada bahaya yang mengancamnya. Air mukanya keras. "Hei, kau, ada
apa ini?" ia balik bertanya.
"Apa?" ujar Tenzo. Kini ia betul-betul bingung. Gilakah anak itu" ia bertanya-tanya dalam hati.
Ekspresi Hiyoshi yang tak kenal ampun dan berbeda sekali dengan ekspresi anak-anak,
membuatnya kewalahan. Ia seakan-akan terpaksa beradu mata dengan pemuda itu.
"Kami ronin dari Mikuriya. Kalau kau bersuara, akan kutebas lehermu. Kedatangan kami bukan
untuk mencabut nyawa anak kecil. Ayo, pergi dari sini.
Masuk ke gudang kayu bakar." Sambil berharap Hiyoshi bisa digertak, ia menepuk pangkal
pedangnya. Hiyoshi tersenyum, memperlihatkan giginya yang putih.
"Jadi kau perampok, heh" Kalau kau perampok, kau tentu mau pergi dari sini dengan membawa
barang yang kauincar, bukan begitu?"
"Jangan macam-macam. Pergi!"
"Aku akan pergi. Tapi kalau kau membuka gerbang itu, tak seorang pun dari gerombolanmu akan
meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup."
"Apa maksudmu?"
"Kau tidak tahu, kan" Tak ada yang tahu selain aku." "Kau agak sinting, ya?"
"Jangan sembarangan. Kaulah yang kurang waras -
berani-beranian merampok rumah seperti ini."
Anak buah Tenzo, bosan menunggu, menggedor-gedor gerbang dan memanggil, "Ada apa?"
"Tunggu sebentar," ujar Tenzo. Kemudian ia berkata pada Hiyoshi, "Kaubilang kalau kami masuk ke
rumah ini, kami takkan pulang dalam keadaan hidup. Kenapa aku harus percaya padamu?"
"Karena memang begitu."
"Awas, kalau kau ternyata cuma main-main, kupenggal kepalamu."
"Aku takkan membuka rahasia tanpa imbalan. Kau harus memberikan sesuatu sebagai gantinya."
"Hah?" Tenzo merasa curiga pada pemuda tanggung di hadapannya. Di atas mereka, langit malam
mulai bertambah cerah, tapi rumah Sutejiro, dikelilingi tembok, masih diselimuti kegelapan total.
"Apa yang kauminta?" Tenzo bertanya dengan hati-hati.
"Aku tidak minta apa-apa. Aku cuma mau bergabung dalam kelompokmu."
4 Pendekar Bloon Pemikat Iblis m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kau mau bergabung dengan kami?" "Ya, betul."
"Kau mau jadi pencuri?" "Ya."
"Berapa umurmu?" "Lima belas."
"Kenapa kau mau jadi pencuri?"
"Tuan Besar memaksaku bekerja seperti kuda. Orang-orang di sini selalu mengejekku. Mereka
terus memanggilku 'monyet'. Karena itu aku mau jadi pencuri, supaya aku bisa membalas mereka."
"Baiklah, kau boleh bergabung dengan kami, tapi baru setelah kau membuktikan kemampuanmu.
Nah, sekarang jelaskan apa maksudmu."
"Bahwa kalian semua akan mati?" "Ya."
"Rencanamu takkan berhasil. Tadi kau menyamar sebagai tamu dan berbaur dengan orang-orang
lain." "Ya." "Ada yang mengenalimu." "Tak mungkin."
"Terserah, tapi nyatanya majikanku tahu siapa kau sebenarnya. Jadi, sebelum ini, atas perintah dia,
aku berlari ke rumah Kato di Yabuyama dan memberitahunya bahwa kami akan diserang perampok
di tengah malam, dan bahwa kami memerlukan bantuannya."
"Kato di Yabuyama... itu pasti Kato Danjo, si pengikut Oda."
"Karena Danjo dan majikanku bersaudara, dia mengumpulkan selusin samurai yang tinggal di
sekitar sini, dan mereka semua datang dengan menyamar sebagai tamu. Sekarang ini mereka
sedang menunggumu di dalam, dan aku tidak bohong."
Dari wajahnya yang pucat, Hiyoshi langsung tahu bahwa Tenzo mempercayainya.
"Betul itu?" ia bertanya. "Di mana mereka" Apa yang sedang mereka kerjakan?"
"Tadinya mereka duduk melingkar sambil minum sake dan menunggu. Kemudian mereka
memutuskan bahwa kau takkan menyerang selarut ini, sehingga mereka pergi tidur. Akulah yang
disuruh berjaga di luar."
Tenzo menarik Hiyoshi dan mengancam, "Nyawamu akan melayang kalau kau berteriak." Ia
menutup mulut Hiyoshi dengan telapak tangannya yang besar.
Sambil meronta-ronta, Hiyoshi berhasil berkata, "Hei, ini tidak sesuai dengan janjimu tadi. Aku
takkan ribut." Ia mencakar tangan perampok itu dengan kukunya.
Tenzo menggelengkan kepala.
"Percuma. Bagaimanapun, kau berhadapan dengan Watanabe Tenzo dari Mikuriya. Kau ingin


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

5 Pendekar Bloon Pemikat Iblis m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
meyakinkan aku bahwa penghuni rumah ini sudah bersiap-siap. Kalaupun itu benar, aku takkan
bisa menghadapi anak buahku kalau aku keluar dengan tangan kosong."
"Tapi..." "Apa yang bisa kaulakukan?"
"Aku akan membawa keluar apa saja yang kauminta."
"Kau akan membawanya keluar?"
"Ya. Itu yang paling baik. Dengan cara itu, kau bisa menyelesaikan urusan ini tanpa perlu
membantai orang. Dan kau sendiri juga takkan mati di ujung pedang."
"Kaujamin itu?" Cengkeraman Tenzo pada leher Hiyoshi semakin keras.
Gerbang masih tertutup rapat. Ketakutan dan penuh curiga, anak-anak buahnya terus
memanggil-manggil dengan setengah berbisik sambil mendorong-dorong gerbang.
"Hei, Bos, kau di dalam?" "Ada apa?"
"Kenapa gerbangnya belum dibuka?"
Tenzo membuka palang itu sedikit dan berbisik lewat celah pintu, "Ada yang tidak beres, jadi jangan
ribut. Dan jangan bergerombol. Ayo berpencar dan cari tempat sembunyi."
Untuk memenuhi permintaan Tenzo, tanpa bersuara Hiyoshi merayap dari pintu masuk ke tempat
pelayan laki-laki menuju rumah induk. Begitu sampai, ia melihat sebuah lampu menyala di kamar
Sutejiro. "Tuan?" Hiyoshi memanggil sambil duduk penuh hormat di serambi. Tak ada jawaban, tapi ia
merasa bahwa Sutejiro dan istrinya terjaga.
"Nyonya?" "Siapa itu?" tanya istri Sutejiro. Suaranya bergetar. Entah ia atau suaminya yang bangun lebih dulu,
lalu membangunkan yang lain, sebab baru saja terdengar bunyi gemeresik dan orang berbisik-bisik.
Karena menduga bahwa mereka diserang perampok, kedua-duanya memejamkan mata dengan
ngeri. Hiyoshi membuka pintu geser dan maju sambil tetap berlutut. Baik Sutejiro maupun istrinya
membuka mata lebar-lebar.
"Di luar ada perampok. Banyak sekali," ujar Hiyoshi.
Suami-istri itu menelah ludah, namun tidak mengatakan apa-apa. Sepertinya mereka tak sanggup
bersuara. "Mengerikan sekali kalau mereka sampai masuk. Mereka akan mengikat Tuan dan Nyonya, dan
pasti ada lima atau enam orang yang mati atau cedera. Hamba menyusun sebuah rencana, dan
6 Pendekar Bloon Pemikat Iblis m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sekarang pemimpin mereka sedang menunggu jawaban."
Hiyoshi melaporkan percakapannya dengan Tenzo, dan mengakhirinya dengan berkata, "Tuan,
biarkan para perampok membawa apa saja yang mereka inginkan. Hamba akan menyerahkannya
pada Tenzo, dan setelah itu dia akan pergi."
Sesaat suasana hening. Kemudian si saudagar berkata, "Hiyoshi, apa yang diinginkannya?"
"Dia bilang dia datang untuk mengambil kendi akae." "Apa?"
"Dia bilang, dia akan pergi segera setelah hamba menyerahkan kendi itu. Nilainya tidak seberapa,
jadi kenapa Tuan tidak memberikannya saja" Ini semua ide hamba," Hiyoshi menjelaskan dengan
bangga. "Hamba pura-pura akan mencurikan barang itu untuknya." Keputusasaan dan ketakutan
tampak jelas di wajah Sutejiro dan istrinya.
"Kendi akae diambil dari gudang untuk upacara minum teh tadi, bukan" Orang itu bodoh sekali
karena minta hamba mengambil barang yang begitu tak berharga!" ujar Hiyoshi. Raut wajahnya
menunjukkan seakan-akan seluruh kejadian ini menggelikan.
Istri Sutejiro diam, seolah-olah telah berubah menjadi batu. Sambil mendesah panjang, Sutejiro
berkata, "Celakalah kita." Pandangannya menerawang jauh, dan ia pun membisu.
"Tuan, kenapa Tuan begitu gundah" Satu kendi saja bisa menyelesaikan ini tanpa perlu terjadi
pertumpahan darah." "Kendi itu bukan barang tembikar biasa. Di Negeri Ming pun hanya sedikit karya serupa. Aku mem-
bawanya pulang dari Cina dengan penderitaan yang tidak kecil. Lagi pula, kendi itu merupakan
kenang-kenangan dari Tuan Shonzui."
"Di toko-toko tembikar di Sakai," ujar istrinya, "kendi itu bisa dijual seharga lebih dari seribu keping
emas." Tapi para perampok lebih menakutkan. Kalau mereka menolak, pasti terjadi pembantaian, dan
sudah sering ada rumah yang dibakar sampai rata dengan tanah. Kejadian semacam itu bukan hal
aneh di masa yang tidak tenang.
Dalam situasi seperti itu, tak banyak waktu untuk mengambil keputusan.
Sesaat Sutejiro seakan-akan tak sanggup membebaskan diri dari keterikatannya dengan kendi itu.
Tapi akhirnya ia berkata, "Apa boleh buat." Ia merasa agak lebih enak setelah itu. Ia mengambil
kunci gudang dari sebuah laci kecil.
"Berikan padanya." Ia melemparkan kunci itu ke hadapan Hiyoshi.
Karena terbayang-bayang akan kehilangan kendinya yang amat berharga, Sutejiro tidak
menemukan kata pujian untuk Hiyoshi, meski dalam hati ia mengakui bahwa rencana itu cukup lihai
untuk anak seusianya. Hiyoshi pergi seorang diri ke gudang. Ia keluar sambil menggotong kotak kayu. Ketika
7 Pendekar Bloon Pemikat Iblis m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mengembalikan kunci pada majikannya, ia berkata, "Sebaiknya Tuan padamkan lampu dan tidur
lagi. Tuan tidak perlu cemas."
Pada waktu ia membawa kotak itu ke hadapan Tenzo, si bandit yang masih agak curiga langsung
membukanya dan memeriksa isinya dengan saksama. "Hmm, memang ini yang kucari," ujarnya.
Garis-garis wajahnya tampak mengendur.
"Sebaiknya kau dan anak buahmu cepat menyingkir dari sini. Waktu aku mencari barang ini di
gudang, aku menyalakan sebatang lilin. Sebentar lagi Kato dan para samurainya akan bangun, dan
setelah itu mereka akan segera berpatroli."
Terburu-buru Tenzo menghampiri gerbang. "Kau boleh mendatangi aku di Mikuriya kapan saja. Kau
diterima sebagai anggota." Dan kemudian ia menghilang dalam kegelapan malam.
Malam yang mencemaskan telah berlalu.
Besok adalah hari pertama di Tahun Baru, dan iring-iringan tamu yang tak terputus, berdua atau
bertiga, mendatangi rumah saudagar kaya itu.
Meski demikian, suasana di toko tembikar terasa tegang. Sutejiro tampak murung dan cemberut,
dan istrinya, yang biasanya ceria, malah tidak kelihatan sama sekali.
Perlahan-lahan Ofuku pergi ke kamar ibunya, lalu duduk di tepi ranjang.
Ibunya belum pulih betul dari mimpi buruk di malam sebelumnya, dan masih berbaring di tempat
tidur. Wajahnya pucat seperti orang sakit.
"Ibu, aku baru saja bicara dengan Ayah. Semuanya akan beres."
"O ya" Apa yang dikatakannya?"
"Mula-mula Ayah memang sangsi, tapi waktu aku bercerita mengenai sikap Hiyoshi dan bagaimana
dia menangkapku di belakang rumah dan mengancamku, Ayah terkejut dan kelihatan berpikir lagi."
"Apakah ayahmu bilang bahwa dia akan segera dikeluarkan?"
"Tidak. Dia bilang, dia tetap menganggap bahwa Hiyoshi menjanjikan sesuatu, jadi aku tanya,
apakah Ayah mau mengurus kaki tangan pencuri."
"Dari pertama Ibu sudah tidak suka sorot mata anak itu."
"Aku juga menyinggung itu, dan akhirnya Ayah bilang bahwa kalau tak ada yang bisa cocok
dengannya, tak ada pilihan lain selain mengeluarkannya. Ayah pikir lebih baik kalau Ayah sendiri
yang menanganinya, agar bisa mencari alasan yang tidak menyakitkan untuk memulangkan
Hiyoshi." "Bagus. Ibu sudah tidak tahan kalau anak bermuka monyet itu masih bekerja di sini, biarpun hanya
untuk setengah hari lagi. Sedang apa dia sekarang?"
"Dia sedang membungkus barang di gudang. Perlu kuberitahu dia bahwa Ibu memanggilnya?"
8 Pendekar Bloon Pemikat Iblis m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Jangan. Ibu tidak sudi melihat dia. Nah, karena ayahmu sudah setuju, bukankah sama saja kalau
kau yang memberitahunya bahwa dia dipecat mulai hari ini, lalu menyuruhnya pulang?"
"Baiklah," kata Ofuku, tapi dalam hati ia agak ngeri.
"Bagaimana dengan upahnya?"
"Dari awal kita tidak terikat oleh janji untuk mengupahnya. Dan walaupun dia bukan pekerja yang
giat, kita sudah memberinya makan dan pakaian. Itu saja sudah lebih dari yang pantas diterimanya.
Ya sudah, biarkan dia membawa pakaian yang dia kenakan, dan tambahkan dua takar garam."
Ofuku terlalu takut untuk menyampaikan semuanya itu seorang diri pada Hiyoshi, sehingga ia
mengajak orang lain untuk menemaninya ke gudang. Ia mengintip ke dalam dan melihat Hiyoshi
sedang bekerja sendirian, tertutup jerami dari kepala sampai kaki.
"Ya" Ada apa?" suara Hiyoshi terdengar lebih bersemangat daripada biasa. Ia langsung
menghampiri Ofuku. Karena menganggap bahwa bercerita mengenai kejadian semalam tidaklah
bijaksana, ia tidak memberitahu siapa-siapa, tapi dalam hati ia merasa sangat bangga - begitu
bangga, sehingga diam-diam ia mengharapkan pujian majikannya.
Ofuku, ditemani oleh pegawai yang paling kuat dan paling ditakuti Hiyoshi, berkata, "Monyet, kau
boleh pergi hari ini."
"Pergi ke mana?" Hiyoshi bertanya dengan heran. "Pulang. Kau masih punya rumah, bukan?"
"Masih, tapi..."
"Mulai hari ini kau diberhentikan. Kau boleh membawa pakaianmu."
"Pemberian ini atas kebaikan Nyonya," ujar si pegawai. Ia menyodorkan dua takar garam serta
pakaian Hiyoshi. "Kau tidak perlu berpamitan, kau boleh pergi sekarang juga."
Terkejut, Hiyoshi merasa darahnya naik ke kepala. Kemarahan di matanya seakan-akan menerkam
Ofuku. Sambil melangkah mundur, Ofuku mengambil garam dan pakaian dari tangan si pegawai,
meletakkan semuanya di lantai, lalu berbalik dan menjauh terburu-buru. Melihat sorot mata Hiyoshi,
anak itu seperti hendak mengejar Ofuku, tapi sebenarnya ia tak bisa melihat apa-apa,
pandangannya terhalang oleh air mata. Ia teringat wajah ibunya yang berurai air mata ketika
mengingatkannya bahwa ia akan malu menghadapi orang-orang, dan bahwa adik iparnya akan
kehilangan muka jika Hiyoshi dipulangkan sekali lagi. Bayangan wajah dan tubuh ibunya, kurus
kering karena melarat dan melahirkan, membuatnya terisak-isak menahan tangis. Ingusnya berhenti
mengalir, tapi untuk sesaat ia berdiri tak bergerak, tak tahu apa yang harus ia perbuat selanjutnya.
Darahnya serasa mendidih.
"Monyet!" salah seorang pekerja memanggil. "Ada apa" Kau bikin masalah lagi, ya" Dia
menyuruhmu pulang, ya" Kau sudah lima belas tahun, dan ke mana pun kau pergi, kau pasti akan
diberi makan. Jadi, bersiaplah seperti laki-laki, dan jangan merengek."
Tanpa berhenti bekerja, pegawai-pegawai yang lain mencemoohkannya.
Tawa dan sorak-sorai mereka terngiang-ngiang di telinganya, dan ia memutuskan untuk tidak
9 Pendekar Bloon Pemikat Iblis m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menangis di hadapan mereka. Ia malah berbalik untuk menghadapi orang-orang itu, sambil
memperlihatkan giginya yang putih.
"Siapa yang merengek" Aku memang sudah muak bekerja di tempat membosankan ini. Kali ini aku
akan bekerja untuk seorang samurai!"
Sambil menyandang buntalan pakaiannya, ia mengikat kantong garamnya pada sepotong bambu,
lalu memikulnya penuh gaya.
"Bekerja untuk samurai!" seru seorang pegawai. "Cara baru untuk mengatakan selamat tinggal!"
Semuanya tertawa. Tak ada yang membenci Hiyoshi, tapi tak seorang pun merasa kasihan padanya. Hiyoshi sendiri
tidak terlalu ambil pusing. Begitu melangkah melewati tembok tanah, hatinya menyerap langit yang
biru cerah. Ia merasa seperti dibebaskan.
*** Kato Danjo ikut berlaga dalam pertempuran di Azukizaka pada musim gugur tahun sebelumnya.
Tak sabar untuk mengukir prestasi, ia menyerbu ke tengah-tengah pasukan Imagawa dan
mengalami cedera begitu parah, sehingga ia terpaksa pulang untuk selama-lamanya. Sekarang ia
selalu tidur di rumahnya di Yabuyama. Ketika hari-hari semakin dingin menjelang akhir tahun, luka
tombak di perutnya terasa sangat menyiksa. Ia selalu mengerang kesakitan.
Oetsu merawatnya dengan telaten, dan hari itu ia sedang mencuci pakaian dalam suaminya yang
berlumuran nanah di sungai kecil yang membelah pekarangan mereka. Ia mendengar seseorang
bernyanyi riang, dan bertanya-tanya siapa gerangan orang itu. Merasa terganggu, ia berdiri dan
melihat berkeliling. Meski rumah mereka bukan di puncak Bukit Komyoji, dari balik tembok tanah ia
bisa melihat jalan di kaki bukit, dan di belakangnya tanah ladang di Nakamura, Sungai Shonai, dan
Dataran Owari yang luas. Suara si penyanyi terdengar lantang, seakan-akan tidak mengenal kekerasan dunia maupun
penderitaan. Lagu yang disenandungkannya adalah sebuah tembang yang populer pada akhir abad
lalu, tetapi di Owari, anak-anak perempuan para petani telah mengubahnya menjadi lagu pengiring
untuk menenun. Wah, jangan-jangan itu Hiyoshi" Ia bertanya-tanya sendiri ketika sosok itu mencapai kaki bukit.
Orang itu menyandang buntalan baju di punggungnya, dan sebuah kantong tergantung pada
tongkat bambu yang ia pikul.
Oetsu terkejut ketika menyadari betapa Hiyoshi telah bertambah besar dalam waktu singkat, dan
meski tubuhnya tumbuh pesat, sikapnya masih saja seperti orang yang tak pernah susah.
"Bibi! Kenapa Bibi berdiri di luar?" Hiyoshi mengangguk dengan hormat.
Lagunya membuat langkahnya berirama, dan suaranya sama sekali bebas dari kesan sok, memberi
nada menggelikan pada ucapannya. Raut wajah bibinya tampak muram, seperti orang yang telah
lupa cara tertawa. "Kenapa kau datang ke sini" Kau membawa pesan untuk para biksu di Komyoji?"
10 Pendekar Bloon Pemikat Iblis m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Terdesak untuk menjawab, Hiyoshi menggaruk-garuk kepala.
"Aku diberhentikan dari toko tembikar. Aku datang ke sini karena merasa Paman perlu diberitahu."
"Apa" Lagi?" balas Oetsu. Keningnya berkerut. "Kau datang ke sini setelah diusir lagi?"
Hiyoshi mempertimbangkan untuk menceritakan alasannya, tapi entah kenapa ia merasa tak ada
gunanya. Dengan nada lebih manis ia bertanya, "Pamanku ada di rumah" Kalau Paman di rumah,
bolehkah aku bicara dengannya?"
"Sama sekali tidak! Suamiku terluka parah dalam pertempuran. Kami tidak tahu apakah hari ini atau
besok merupakan harinya yang terakhir. Kau tidak boleh dekat-dekat dia." Ia bicara terus terang,
nadanya ketus. "Aku kasihan pada kakakku karena punya anak seperti kau."
Mendengar berita buruk itu, Hiyoshi langsung patah arang. "Hmm, sebenarnya aku ingin minta
tolong pada Paman, tapi kelihatannya percuma saja."
"Kau mau apa?" "Karena dia seorang samurai, kupikir dia bisa mencarikan tempat di rumah samurai untukku."
"Astaga! Berapa umurmu sekarang?" "Lima belas."
"Anak berumur lima belas tahun seharusnya sudah tahu sedikit mengenai dunia."
"Justru karena itu aku tidak mau lagi bekerja di sembarang tempat. Bibi, mungkinkah ada lowongan
untukku di suatu tempat?"
"Mana aku tahu?" Oetsu memelototi Hiyoshi, sorot matanya menyalahkan anak itu. "Rumah tangga
samurai tidak menerima orang yang tidak cocok dengan tradisi keluarga. Apa untungnya mereka
menerima bocah liar dan tidak bertanggung jawab seperti kau?"
Tiba-tiba seorang pelayan perempuan menghampiri mereka dan berkata, "Nyonya, cepat kembali.
Suami Nyonya kesakitan lagi."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Oetsu berlari ke rumahnya. Ditinggalkan seorang diri, Hiyoshi menatap
langit mendung di atas Owari dan Mino.
Setelah beberapa saat, ia melewati gerbang dan menunggu di sekitar dapur.
Yang paling diinginkannya adalah pulang ke Nakamura untuk menjenguk ibunya, tapi ia ditahan
oleh bayangan ayah tirinya, yang membuatnya merasa seakan-akan pagar di sekeliling rumah
mereka terbuat dari onak duri. Ia memutuskan bahwa tugas yang paling mendesak adalah mencari
majikan baru. Ia datang ke Yabuyama karena menganggap sudah sepatutnya orang yang pernah
menolongnya diberitahu, tapi menghadapi kondisi Danjo yang serius, ia tidak tahu harus berbuat
apa - selain itu, ia pun lapar.
11 Pendekar Bloon Pemikat Iblis m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ketika ia memikirkan di mana akan tidur mulai malam ini, sesuatu yang empuk bergesekan dengan
kakinya yang dingin. Ia menundukkan kepala dan melihat seekor anak kucing. Hiyoshi
mengangkatnya, lalu duduk di samping pintu dapur. Matahari yang semakin rendah membanjiri
Di Gua Kelelawar 1 Pendekar Rajawali Sakti 142 Istana Ratu Sihir A Child Called 2
^