Pencarian

A Child Called 2

A Child Called It Karya Dave Pelzer Bagian 2


perkakas itu harus kutaruh di lemari dapur, padahal letak
lemari dapur itu di atas kepalaku. Rasa sakit yang sangat
pasti akan timbul kalau aku mencoba meraih lemari itu.
Sambil memegang sebuah piring kecil di satu tangan,
kujinjitkan kakiku setinggi mungkin dan tanganku
berusaha mencapai lemari itu untuk menaruh piring kecil
tadi. Hampir saja berhasil. Tapi rasa sakit yang ditimbulkan
oleh usahaku itu sedemikian hebat, sehingga aku ambruk.
Pada saat itu baju yang kukenakan sudah penuh darah.
Waktu aku berusaha berdiri, aku merasakan tangan Ayah
yang kuat membantuku. Aku menepiskannya. "Berikan
piring itu kepadaku", katanya. "Biar aku yang
membereskannya. Lebih baik kau ganti baju saja".
Kutinggalkan dapur tanpa sepatah kata p
un. Kulirik jam di dinding-hampir satu setengah jam waktu yang kugunakan
untuk menyelesaikan tugasku itu. Waktu tertatih-tatih
menuruni tangga menuju basement, tanganku
mencengkeram erat pegangan tangga. Bisa kulihat dengan
jelas darah merembesi baju yang kukenakan, bersama
setiap langkahku. Ibu menyusulku turun. Di bawah tangga ia menyobek
bajuku. Ia melakukan itu selembut mungkin, tetapi selain
itu ia tetap bersikap dingin. Bagi Ibu, yang saat itu ia
lakukan bagiku semata-mata "tugas" yang harus ia
kerjakan. Dulu, aku pemah melihat Ibu merawat binatang dengan
sikap yang jauh lebih hangat daripada sikapnya terhadapku
saat itu. Karena badanku lemah, aku rebah ke badan Ibu saat ia
mengenakan aku T-shirt tua dan longgar. Bagaimanapun
aku tetap mengira lbu pasti memukulku. Temyata tidak. Ia
malah membiarkan aku beristirahat sejenak di pundaknya.
Setelah itu Ibu mengatur posisiku di bawah tangga itu, lalu
meninggalkan aku. Tak lama kemudian ia kembali,
membawakan aku segelas air. Cepat-cepat kuteguk air itu.
Setelah kuhabiskan air di gelas itu, Ibu berkata bahwa ia
belum bisa memberi aku makan saat itu juga. Ia akan
memberiku makan beberapa jam lagi, setelah keadaanku
membaik. Sekali lagi, Ibu mengucapkan semua itu secara
monoton, sama sekali tanpa emosi.
Kulihat sekilas langit California beranjak malam. Ibu
berkata aku boleh bermain di luar, di depan garasi,
bersama kedua saudaraku. Pikiranku sedang tidak jemih.
Perlu waktu agak lama bagiku untuk memahami apa yang
baru saja dikatakan Ibu. "Ayo, David. Ikutlah bermain bersama mereka", desaknya.
Dengan bantuan Ibu, aku berjalan tertatih-tatih ke
halaman luar di depan garasi.
Kedua saudaraku memandang ke arahku, tetapi mereka
lebih tertarik dengan kembang api yang mereka nyalakan
untuk memperingati Fourth of July, hari kemerdekaan
Amerika. Beberapa saat kemudian kurasakan sikap Ibu
terhadapku semakin lembut. Ia memegang bahuku,
sementara kami melihat kedua saudaraku sedang
membentuk angka delapan dengan kembang api mereka.
"Kau mau kembang api juga"" tanya Ibu. Aku
mengangguk: ya. Ia memegang tanganku sambil berlutut
untuk menyalakan kembang api yang kupegang. Sejenak
sempat aku mengingat wangi parfum yang dulu dipakai
Ibu. Tetapi Ibu sudah lama juga tidak lagi memakai parfum
atau mengenakan make up. Meskipun sedang bermain bersama kedua saudaraku, aku
tak bisa menepis pertanyaan yang muncul dalam benakku
tentang Ibu. "Mengapa sikapnya terhadapku berubah""
"Apakah ia mencoba berbaikan denganku""
"Apakah hari-hariku di basement sudah berakhir""
"Apakah aku sudah boleh bergabung lagi sebagai keluarga
ini"" Aku tak peduli. Kedua saudaraku menerima kehadiranku,
dan ada rasa persahabatan serta kehangatan bersama
mereka-suatu perasaan yang kukira sudah hilang
selamanya. Kembang apiku mati. Kualihkan pandanganku ke matahari
musim panas yang semakin terbenam. Lama sekali
rasanya aku tidak melihat matahari terbenam. Kupejamkan
mataku. Kucoba menikmati dan menyerap kehangatan
sinarnya sepuas mungkin. Untuk sesaat rasa sakit, rasa
lapar, dan rasa sedih menjalani kehidupan yang pahit
hilang. Aku merasa begitu hangat. Aku merasa hidup.
Kubuka mataku. Aku berharap bisa mengecap seluruh
keindahan saat itu, di situ, yang tak mungkin kualami dua
kali. Sebelum tidur, Ibu memberiku minum dan menyuapi aku
makan. Aku merasa seperti hewan lumpuh yang sedang
dirawat agar sembuh. Tapi aku tak peduli.
Di basement aku berbaring di dipan tuaku. Aku mencoba
tidak memikirkan rasa sakitku. Tidak bisa. Rasa sakit itu
menjalari seluruh tubuhku. Akhirnya, rasa amat lelah
mengalahkan rasa sakit. Aku tertidur juga. Beberapa kali
aku bermimpi malam itu. Aku terbangun, berkeringat
dingin. Kudengar suara yang menakutkan di belakangku.
Itu Ibu. Ia membungkuk, mengompres dahiku dengan
secarik kain dingin. Ia berkata bahwa aku demam tinggi.
Aku tidak menanggapi perkataannya karena aku merasa
lelah dan lemah sekali. Yang terpikirkan olehku cuma rasa
sakitku. Ibu kemudian masuk ke kamar tidur saudara-saudaraku yang berada di bawah, letaknya dekat
basement. Aku merasa aman karena aku tahu Ibu di
dekatku, menjagai aku. Aku tertidur lagi. Bersama tidur yang melelahkan itu
muncul mimpi yang menakutkan. Turun hujan lebat yang
aimya panas dan berwama merah. Aku basah kuyup oleh
hujan itu. Kucoba membersihkan darah dari badanku,
tetapi dengan cepat badanku jadi merah lagi oleh darah.
Paginya, saat terbangun, kulihat tanganku berlepotan
darah kering. Kaus yang kukenakan menjadi merah di
bagian dada. Di beberapa bagian wajahku kurasakan juga
ada darah kering menempel. Lalu kudengar pintu kamar
tidur di belakangku terbuka. Aku menoleh, kulihat Ibu
berjalan ke arahku. Aku berharap mendapat simpati dari
Ibu seperti yang kurasakan semalam. Tetapi harapanku itu
kosong belaka. Ibu tak memberiku apa-apa. Dengan nada
suara datar, Ibu menyuruhku untuk membersihkan diri dan
mulai melakukan semua pekerjaan rumah tangga yang
biasa kulakukan. Saat kudengar langkah-langkahnya
menapaki tangga, aku sadar tak ada yang berubah. Aku
tetap anak badung di keluarga ini.
Tiga hari setelah "kecelakaan" itu badanku masih saja
demam. Bahkan minta sebutir aspirin kepada Ibu pun aku
takut, apalagi Ayah sedang di tempat kerjanya. Aku tahu,
Ibu sudah kembali ke dirinya yang sebenarnya. Aku
menduga demamku itu karena luka yang kuderita. Waktu
itu luka terbuka di bagian atas perutku semakin lebar
dibandingkan keadaannya di malam kejadian. Agar tidak
ketahuan Ibu, pelan-pelan aku pergi ke tempat cucian di
garasi. Kuambil kain paling bersih dari tumpukan pakaian
rombengku. Kain itu kubasahi secukupnya dengan air dari
keran di situ. Kemudian aku duduk. Kemejaku yang merah,
basah, dan lengket karena darah kugulung ke atas.
Perlahan kuraba lukaku, dan aku tersentak ke belakang
karena kesakitan. Kutarik napas panjang, lalu pelan-pelan
sekali kupencet luka terbuka itu. Sakit sekali rasanya,
sampai-sampai aku terjatuh ke belakang, hampir pingsan.
Ketika kuperhatikan lagi lukaku, ada bagiannya yang
berwama kuning-keputihan. Aku tidak tahu banyak
mengenai hal-hal seperti itu, tetapi aku tahu bahwa lukaku
mengalami infeksi. Aku berdiri, bermaksud naik ke atas
untuk minta tolong Ibu membersihkan lukaku. Ketika
sudah setengah berdiri, aku berhenti. "Tidak!" kataku pada
diri sendiri. "Aku tidak butuh pertolongan perempuan jahat
itu". Pengetahuanku lumayan soal pertolongan pertama
untuk membersihkan luka, jadi aku merasa percaya diri
untuk melakukannya sendiri. Aku mau jadi penguasa atas
diriku sendiri. Aku tak mau mengandalkan Ibu atau
memberinya peluang lebih besar lagi untuk menguami
diriku. Kubasahi lagi kain yang tadi kupakai lalu kudekatkan ke
lukaku. Aku berhenti sejenak sebelum menyentuhnya,
ragu-ragu. Tanganku gemetar karena takut
membayangkan rasa sakit yang bakal kurasakan. Aku
menangis. Aku merasa seperti bayi, dan aku tidak suka
bersikap seperti bayi. Lalu aku berkata pada diriku sendiri,
"Menangis berarti mati. Nah, rawat lukamu sendiri". Aku
tahu lukaku tidak akan membuatku mati, jadi kupaksa
diriku untuk mengalahkan rasa sakitnya.
Aku cepat-cepat bertindak sebelum niatku lenyap.
Kusambar selembar kain lagi, menggulungnya, dan
menggigitnya. Perhatianku kuarahkan sepenuhnya ke
jempol dan telunjuk tangan kiriku yang kugunakan untuk
memencet serta membuka lukaku. Lalu kubersihkan nanah
dengan kain di tangan kananku. Proses itu kuulangi
beberapa kali sampai sebagian besar nanah bersih dari
luka itu dan darah mengalir deras. Aku tak kuat menahan
rasa sakitnya. Karena mulutku sudah kusumbat kain,
jeritanku jadi teredam. Aku merasa seolah-olah sedang
bergelantungan pada sebuah tebing. Saat semuanya
selesai, air mata mengalir deras sampai membasahi kerah
bajuku. Aku khawatir Ibu memergoki aku tidak duduk di bawah
tangga seperti perintahnya, maka kubereskan segala
sesuatunya, lalu berjalan tertatih-tatih sambil sesekali
merangkak ke kaki tangga-ke tempat di mana seharusnya
aku berada. Sebelum mengambil posisi duduk di atas
tangan, kuperiksa bajuku; cuma sedikit darah yang
menodai kain rombeng pembalut lukaku. Aku meniatkan
diri untuk menyembuhkan luka itu. Entah bagaimana, aku
merasa yakin luka itu pasti sembuh. Sungguh bangga aku
terhadap diriku sendiri. Kubayangkan diriku sepe
rti jagoan dalam cerita komik, yang berhasil mengatasi banyak
situasi yang tidak masuk akal dan tetap hidup. Beberapa
saat kemudian, sambil duduk di atas tangan, kepalaku
lunglai ke depan-aku tertidur. Aku bermimpi terbang
menggantang udara. Mimpi itu berwama indah dan
sedemikian hidup. Aku mengenakan mantel tak berlengan
berwama merah... akulah Superman.
******** 6 SAAT AYAH TIDAK DI RUMAH Setelah kejadian dengan pisau itu, Ayah semakin jarang di
rumah, dia lebih sering di tempat kerjanya. Banyak alasan
diutarakan Ayah untuk menjelaskan kesibukannya itu,
tetapi aku tidak mempercayainya. Sambil duduk di
basement sering aku menggigil ketakutan. Aku berharap
ada alasan cukup kuat yang bisa menahan kepergian Ayah.
Bagaimanapun, berbagai peristiwa yang telah terjadi sama
sekali tidak mematikan perasaanku bahwa Ayah adalah
pelindungku. Kalau Ayah di rumah, Ibu cuma melakukan
separo saja perlakuannya terhadapku dibandingkan kalau
Ayah sedang tidak di rumah.
Saat di rumah, Ayah punya kebiasaan membantuku
mencuci peralatan makan malam. Ayah mencuci, aku
mengeringkan. Sambil bekerja, kami ngobrol pelan-pelan
supaya tidak kedengaran siapa pun di rumah itu. Kadang
kala untuk beberapa waktu kami tak bicara apa-apa. Kami
ingin keadaan betul-betul aman.
Selalu Ayah yang memulai pembicaraan.
"Bagaimana kabarmu, Tiger"" begitu biasanya ia memulai.
Aku selalu tersenyum setiap kali Ayah menyapaku dengan
sebutan yang sering ia gunakan ketika aku masih kecil.
"Aku baik-baik saja", begitu biasanya aku menjawab.
Ayah sering juga bertanya,
"Kau sudah makan sesuatu hari ini"".
Pertanyaan itu lebih sering kujawab dengan gelengan
kepala. "Jangan khawatir", katanya. "Suatu hari kita berdua harus
pergi dari rumah gila ini".
Aku tahu Ayah tidak betah tinggal di rumah, dan itu karena
salahku. Aku berjanji padanya bahwa aku akan jadi anak
baik dan tidak akan mencuri makanan lagi. Aku juga
berjanji padanya akan berusaha lebih keras lagi dan
menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga dengan
lebih baik lagi. Setiap kali aku mengatakan semua itu Ayah
selalu tersenyum dan berusaha meyakinkan diriku bahwa
semua itu bukan salahku. Kadang kala, sambil mengeringkan piring, aku merasakan
harapan baru timbul. Aku tahu Ayah boleh dikatakan tidak
akan menentang Ibu dalam bentuk apa pun, namun aku
tetap merasa aman setiap kali berdiri di sampingnya.
Semua hal baik yang terjadi padaku tidak berlangsung
lama. Ibu melarang Ayah membantuku mencuci piring. Ia
bersikeras bahwa anak itu tidak butuh bantuan. Ia berkata
bahwa Ayah memberikan perhatian berlebihan kepadaku
dibandingkan kepada orang-orang lain dalam keluarga itu.
Ayah mengalah begitu saja. Maka, Ibu mengendalikan
semua orang yang ada di rumah itu.
Tak lama setelah keluar larangan Ibu itu, Ayah semakin
jarang lagi ada di rumah, bahkan ketika ia sedang tidak
bekerja sekalipun. Hanya beberapa menit Ayah ada di
rumah. Setelah bertemu saudara-saudaraku, ia akan
mencariku di mana pun aku sedang mengerjakan tugasku,
mengatakan beberapa kalimat kepadaku, lalu
meninggalkan rumah. Tidak lebih dari sepuluh menit Ayah
di rumah, sesudah itu ia kembali ke tempatnya
menyendiri-biasanya di bar. Saat bercakap-cakap
sebentar denganku, Ayah mengatakan bahwa ia sedang
merancang cara bagi kami berdua agar bisa pergi dari
rumah itu. Aku selalu tersenyum mendengarkan ucapan


A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ayah itu. Namun dalam hati aku tahu itu khayalan belaka.
Pada suatu hari Ayah berlutut di depanku, dan mengatakan
penyesalannya. Kuperhatikan wajahnya. Perubahan yang
kulihat di situ membuatku takut. Ada lingkaran di sekeliling
kedua matanya. Wajah dan lehernya merah-merah.
Bahunya yang dulu tegap kini tampak lunglai. Uban
merusak wama rambutnya yang dulu hitam pekat.
Sebelum Ayah meninggalkan rumah hari itu, kupeluk
pinggangnya. Tak tahu kapan aku bisa bertemu dengannya
lagi. Hari itu, setelah menyelesaikan semua tugas, aku bergegas
ke basement. Aku disuruh mencuci pakaian rombengku
dan setumpuk lagi pakaian rombeng yang bau. Kepergian
Ayah hari itu membuatku sangat sedih. Aku menangis di
atas tumpukan pakaian kotor, memohon Ayah tidak pergi
dan mengajak aku bersamanya. Beberapa menit kemudian
setelah menenangkan diri, aku tegar kembali, lalu mulai
mengucek pakaian-pakaianku yang mirip "keju Swis". Aku
mengucek sedemikian rupa sampai buku-buku jariku
berdarah. Aku tak peduli lagi apakah aku dianggap ada
atau tidak ada. Rumah Ibu jadi tempat yang mengerikan.
Aku berharap, entah bagaimana caranya, suatu saat bisa
melarikan diri dari rumah yang sejak saat itu kusebut
"rumah gila". Pernah pada suatu masa ketika Ayah tidak di rumah, Ibu
tidak memberiku makan sekitar sepuluh hari berturut-turut. Bagaimanapun kerasnya aku berusaha memenuhi
batas waktu yang ditetapkan Ibu untuk menyelesaikan
semua pekerjaanku, aku tetap tak mampu memenuhinya.
Dan itu berarti tidak makan. Ibu sangat cermat dalam
memastikan bahwa aku tidak punya kemungkinan sedikit
pun untuk mencuri makanan. Ia sendiri yang
membereskan meja makan, membuang sisa makanan ke
tempat sampah. Setiap hari ia memeriksa untuk
memastikan tidak ada sisa makanan di tempat sampah,
sebelum aku membuangnya ke bawah. Freezer di dekat
garasi ia kunci, dan kuncinya ia simpan. Aku sudah
terbiasa tidak makan tiga hari beruturut-turut, namun
tidak makan lebih dari tiga hari seperti kali ini sungguh tak
tertahankan. Air menjadi satu-satunya penyambung hidup.
Setiap kali mengisi cetakan es batu dari lemari es, aku
biasa meminum aimya yang dingin dari pinggiran cetakan
itu. Aku juga biasa merangkak ke bawah keran di dekat
garasi, membuka keran pelan-pelan agar Ibu tidak
mendengamya, kemudian memasukkan mulut keran ke
dalam mulutku, dan meminum air keran sebanyak
mungkin sampai perutku terasa akan meletus.
Pada hari keenam tubuhku terasa amat lemah. Aku hampir
tak bisa bangun dari dipan tuaku. Kukerjakan tugas-tugasku dengan amat lambat. Aku mati rasa. Kerja otakku
pun jadi lamban. Aku merasa perlu waktu cukup lama
untuk memahami kalimat-kalimat yang diteriakkan Ibu
kepadaku. Ketika kutegakkan kepalaku perlahan-lahan
untuk memandang Ibu, aku tahu Ibu menganggap semua
ini permainan-sebuah permainan yang sangat ia nikmati.
"Oh, anak kecilku yang malang", kata Ibu sambil
bertingkah laku yang dibuat-buat. Lalu ia bertanya apa
yang kurasakan, dan ia tertawa ketika aku minta makanan.
Di akhir hari keenam itu, dan hari-hari sesudahnya, aku
betul-betul berharap Ibu memberiku sesuatu yang bisa
kumakan, apa pun itu aku tak peduli.
Pada suatu malam, menjelang akhir "permainan"-nya,
setelah aku menyelesaikan semua tugasku, Ibu
membanting sepiring makanan di hadapanku. Sisa
makanan dingin di piring itu tampak begitu mewah bagiku.
Tetapi aku ragu-ragu; rasanya itu tidak mungkin terjadi.
"Dua menit!" teriak Ibu. "Kau cuma punya waktu dua
menit untuk menghabiskannya". Secepat kilat kusambar
garpu, tapi belum lagi sisa makanan itu sampai ke
mulutku, Ibu sudah menyambar piringnya lalu membuang
isinya ke tempat sampah. "Terlambat!" desisnya.
Aku berdiri saja di depan Ibu, bengong. Tak tahu aku harus
bagaimana atau mengatakan apa. Yang sempat terpikir
olehku cuma "Kenapa"" Aku tak mengerti mengapa ia
memperlakukan aku seperti itu. Sisa makanan itu begitu
dekat sampai-sampai aku bisa mencium baunya. Aku tahu
ia berharap aku akan mengais-ngais tempat sampah itu,
tetapi aku berdiri tegak sambil menahan diri untuk tidak
menangis. Sendirian lagi di basement, aku merasa tidak punya apa-apa lagi. Aku sangat menginginkan makanan. Aku
menginginkan ayahku. Tetapi yang paling kuinginkan
adalah sedikit saja rasa hormat; sedikit saja harga diri.
Sambil duduk di atas tanganku, aku bisa mendengar
saudara-saudaraku membuka lemari es untuk mengambil
hidangan penutup makan, dan aku membenci semua itu.
Kupandangi diriku sendiri. Wama kulitku pucat kekuningan,
otot-ototku kecil seperti serabut. Setiap kali kudengar
salah seorang saudaraku menertawai adegan acara televisi
yang ia tonton, aku menyumpahi namanya. "Dasar
kampret bernasib baik! Mengapa Ibu tidak menggilir
mereka dan sekali-sekali memukuli salah satu dari
mereka"" Dengan berteriak kuungkapkan segala perasaan
benciku itu, dalam hati. Sudah hampir sepuluh hari aku tidak makan. Baru saja aku
menyelesaikan tugas mencuci pi
ring makan malam ketika Ibu mengulangi permainannya: "kau punya dua menit
untuk makan". Kali itu hanya sedikit sisa makanan yang
ada di pi-ring yang ditawarkannya. Aku menduga ia akan
menyambar lagi piringnya seperti yang terjadi sebelumnya,
jadi kuubah gerakanku. Tak kuberi Ibu kesempatan untuk
menyambar piringnya seperti yang terjadi tiga malam
sebelumnya. Lang-sung kurebut piringnya dan cepat-cepat
menelan sisa makanan yang ada di piring itu, tanpa
mengunyahnya. Hanya dalam hitungan detik kuhabiskan
semua yang ada di piring itu, lalu menjilatinya hingga
tandas. "Kau makan seperti babi!" kata Ibu dengan rasa
marah yang tertahan. Kutundukkan kepalaku, seakan-akan
aku peduli. Tetapi, di dalam hati, aku menertawainya
sambil berkata, "Rasain lu! Yang penting kan gua makan!"
Ibu juga punya permainan lain untuk aku yang menjadi
kegemarannya pada saat Ayah tidak di rumah. Ia
menyuruhku membersihkan kamar mandi dengan batas
waktu seperti biasanya. Tetapi kali itu ia membawa sebuah
ember berisi campuran amonia dan Clorox. Di kamar
mandi ada aku dan ember tadi, pintu kamar mandi ditutup.
Saat pertama kali permainan itu dilakukannya, Ibu berkata
bahwa ia tahu permainan seperti itu dari koran, dan ia
ingin mencoba. Aku bersikap pura-pura ketakutan, padahal
tidak sama sekali. Aku tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika
Ibu menutup pintu kamar mandi dan melarang aku
membukanya, barulah aku mulai cemas. Karena pintu
ditutup, udara di dalam kamar mandi cepat berubah. Aku
merangkak ke pojok kamar mandi untuk melihat isi ember
tadi. Uap tipis berwama abu-abu melayang ke langit-langit
kamar mandi. Ketika kuhirup udara di dekat situ, aku
merasa pusing dan mual. Tenggorokanku terasa seperti
terbakar. Beberapa menit kemudian tenggorokanku
menjadi sangat sakit. Gas yang dihasilkan oleh campuran
amonia dan Clorox membuat mataku berair. Aku jadi
panik, jangan-jangan aku tidak bisa memenuhi batas
waktu yang ditetapkan Ibu untuk membersihkan kamar
mandi. Beberapa menit kemudian aku mulai merasakan mual,
seperti mau muntah. Aku tahu Ibu tidak akan
menghentikan permainannya di tengah jalan, lalu
membuka pintu kamar mandi. Aku harus berpikir agar
selamat dari permainan barunya. Aku berbaring di lantai
kamar mandi, kuregangkan badanku, lalu dengan kaki
kugeser ember itu sampai ke dekat pintu kamar mandi. Itu
kulakukan dengan dua alasan: aku mau menyingkirkan
ember itu sejauh mungkin dari diriku, dan aku berharap
kalau Ibu masuk ke kamar mandi dia sendiri akan
menghirup uap ciptaannya sendiri. Aku berguling ke sisi
lain kamar mandi sambil menutupi mulut, hidung, dan
mataku dengan kain lap. Sebelum kupakai untuk menutupi
wajahku, kain lap itu kubasahi dulu dengan air dari toilet.
Aku tidak berani menggelontorkan air sebab takut Ibu bisa
mendengamya. Dari kain lap yang menutupi wajahku
kuintip uap dari ember itu sedikit demi sedikit melayang ke
bawah, ke arah lantai. Rasanya aku sedang berada di
kamar gas. Lalu aku ingat ada ventilasi kecil untuk
menyalurkan udara panas ke kamar mandi di dekat kakiku.
Aku tahu alat pemanasnya bekerja mati dan menyala silih
berganti secara teratur setiap beberapa menit. Kudekatkan
wajahku ke ventilasi itu lalu menghirup udara sebanyak
mungkin. Setelah setengah jam, Ibu membuka pintu
kamar mandi dan menyuruhku membuang cairan di ember
itu ke saluran air di garasi sebelum aku memenuhi rumah-nya dengan uap di ember itu. Di bawah, selama lebih dari
satu jam, aku batuk-batuk darah. Dari semua bentuk
hukuman Ibu, permainan kamar gas paling aku benci.
Sampai menjelang akhir musim panas tahun itu tampaknya
Ibu sudah bosan dengan cara-cara penyiksaannya
terhadap diriku yang selama itu dilakukan di sekitar
rumah. Pada suatu hari, setelah aku menyelesaikan semua
tugasku di pagi hari, ia menyuruhku bekerja memotong
rumput di rumah tetangga. Sebetulnya itu bukan pertama
kalinya Ibu menyuruhku memotong rumput. Pada musim
semi tahun sebelumnya, ketika sekolah libur merayakan
Paskah, Ibu juga menyuruhku bekerja memotong rumput.
Ia menetapkan target sejumlah uang yang harus
kubayarkan kepadanya dari hasil kerjaku. Tentu s
aja target yang ditetapkan Ibu tidak mungkin bisa kupenuhi. Maka,
karena putus asa, pemah aku mencuri sembilan dolar dari
celengan seorang anak tetangga. Beberapa jam kemudian,
ayah anak itu mendatangi rumah Ibu. Sudah pasti Ibu
mengembalikan uangnya dan berkata kepada ayah anak
itu bahwa itu memang salahku. Setelah orang itu pergi,
Ibu menghajarku habis-habisan. Aku mencuri uang itu
semata-mata untuk memenuhi target yang ia tetapkan.
Bagiku, rencana untuk bekerja memotong rumput pada
musim panas tahun itu ternyata tidak lebih baik daripada
pada liburan Paskah sebelumnya. Aku menawarkan jasa
memotong rumput dari rumah yang satu ke rumah yang
lain. Tidak ada yang mau. Pakaianku yang rombeng dan
tanganku yang kurus pasti menjadi pemandangan yang
menyedihkan. Karena kasihan, seorang ibu memberiku
makanan dalam kantong cokelat agar bisa kumakan di
jalan. Setengah blok berjalan dari situ sepasang suami istri
menerima tawaranku untuk memotong rumputnya. Setelah
selesai, aku berlari pulang ke rumah Ibu, sambil membawa
kantong cokelat berisi makanan tadi. Maksudku, kantong
itu nanti akan kusembunyikan begitu aku berbelok ke arah
rumah Ibu. Tapi itu tak sempat kulakukan. Aku berpapasan
dengan Ibu yang sedang bermobil. Ibu berhenti, bergegas
keluar dari mobil, dan menangkapku bersama kantong
cokelat tadi. Sebelum Ibu menghentikan station wagon-nya
dengan mendadak sehingga bannya berdecit-decit, aku
sudah mengangkat tanganku tinggi-tinggi, persis seperti
yang dilakukan penjahat. Aku ingat, pada saat itu aku
berharap nasib baik dengan seorang ibu yang memberiku
makan tidak meninggalkan aku sekali itu saja.
Ibu bergegas turun dari mobil. Dengan tangannya yang
satu ia menyambar kantong cokelat dan dengan tangannya
yang lain ia memukulku. Ia mendorongku masuk mobil,
lalu menjalankan mobilnya menuju rumah ibu baik hati
yang tadi memberiku makan siang dalam kantung cokelat.
Ibu tadi sedang tidak di rumah. Ibu yakin bahwa aku
menyelinap masuk rumah itu lalu mencuri makan siang.
Aku tahu memiliki makanan merupakan tindakan kriminal
berat. Dalam hati aku berteriak kepada diri sendiri karena
tidak sejak awal menghabiskan atau menyembunyikan
atau membuang makanan itu.
Begitu sampai di rumah, hukuman Ibu membuatku
terkapar di lantai. Kemudian Ibu menyuruhku duduk di
halaman belakang, sementara ia mengajak "anak-anak
lelakinya" ke kebun binatang. Aku diharuskan duduk di
atas batu-batu kecil yang tajam dengan posisi duduk
seperti "tawanan perang". Peredaran ke seluruh tubuhku
terganggu. Aku tak bisa lagi mengharapkan pertolongan
Tuhan. Menurutku, Tuhan pasti membenciku. Adakah
cukup alasan yang membuat hidupku seperti ini" Segala
usahaku untuk sekadar bertahan hidup tampaknya sia-sia.
Semua usahaku untuk mengalahkan Ibu, untuk
menghindarinya, gagal. Tampaknya bayangan hitam selalu
mengikutiku. Matahari pun tampaknya menghindari aku, dengan
bersembunyi di balik awan tebal yang melayang di atas
kepalaku. Aku melemaskan pundakku, mencoba menikmati
kesendirian dalam khayalan-khayalanku. Aku tak
memperhatikan waktu, namun akhirnya bisa kudengar
suara station wagon Ibu memasuki garasi. Hukuman duduk
di atas kerikil tajam sebentar lagi selesai. Aku mencoba
menduga rencana Ibu selanjutnya untukku. Semoga bukan
hukuman kamar gas. Dari garasi Ibu berteriak menyuruhku
mengikutinya ke atas. Ia menyuruhku ke kamar mandi.
Aku takut. Aku merasa terkutuk. Menarik napas panjang-panjang mulai kulakukan, sebab pasti aku akan butuh
udara segar sebanyak mungkin.
Sama sekali di luar dugaanku, tak ada satu ember atau
botol pun di kamar mandi. "Apakah aku sudah lepas dari
ujung tanduk"" Begitu saja" Takut-takut, kuperhatikan Ibu
sewaktu ia membuka lebar-lebar keran air dingin di bak
mandi. Kupikir aneh juga Ibu sampai lupa membuka keran
air panas. Ketika air dingin di bak mandi hampir penuh, Ibu
membuka paksa pakaianku, lalu menyuruhku masuk ke
bak mandi. Aku menurut, dan berbaring di dalamnya.
Badanku menggigil ketakutan.
"Lebih masuk lagi!" bentak Ibu. "Taruh mukamu di air


A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti ini!" Ia membungkuk, mencekal tengkuk dan leherku dengan
kedua tangannya, menenggelam
kan kepalaku. Dengan sendirinya aku meronta, sekuat tenaga berusaha menjaga
kepalaku tetap di atas permukaan air agar bisa bemapas.
Cengkeraman Ibu kuat sekali. Di dalam air kubuka mataku.
Bisa kulihat gelembung-gelembung udara keluar dari
mulutku dan naik ke permukaan air ketika aku mencoba
berteriak. Kugerakkan keras-keras kepalaku ke kiri ke
kanan ketika kulihat gelembung-gelembung udaranya
semakin kecil. Aku mulai merasa lemah. Dalam kepanikan,
aku menggapai tanganku ke atas dan kucengkeram bahu
Ibu. Jari-jari tanganku pasti mencengkeram bahunya
sedemikian kuat sehingga Ibu melepaskan aku. Ia
memandang ke bawah ke arahku sambil terengah-engah.
"Sekarang tenggelamkan kepalamu di bawah air, atau
nanti aku memaksamu lebih lama lagi begitu!"
Kutenggelamkan kepalaku, tetapi kuusahakan hidungku
tetap berada di atas permukaan air. Aku merasa seperti
buaya di rawa. Sewaktu Ibu keluar dari kamar mandi, aku
semakin tahu rencananya. Saat berendam seperti itu,
airnya kurasakan sangat dingin, seakan-akan aku ada di
dalam lemari es. Aku takut sekali terhadap Ibu, maka
kutenggelamkan kepalaku seperti yang ia perintahkan, dan
tak bergerak. Berjam-jam kemudian kulitku jadi berkeriput. Aku tidak
berani menyentuh badanku sendiri untuk membuat:nya
agak hangat. Tetapi kepalaku kuangkat sehingga cukup
bagiku untuk bisa mendengar suara-suara. Setiap kali
kudengar ada yang berjalan di dekat kamar mandi, pelan-pelan kutenggelamkan kembali kepalaku ke air yang dingin
itu. Yang kudengar biasanya langkah-langkah saudara
saudaraku yang berjalan ke kamar tidurnya. Kadang kala
salah seorang di antara mereka masuk ke kamar mandi
untuk memakai toilet. Mereka cuma melihat sepintas ke
arahku, menolehkan kepala, lalu pergi. Kucoba
membayangkan diriku berada di tempat lain, tetapi aku
tidak bisa merasa rileks supaya bisa berkhayal.
Sebelum keluarga ini duduk untuk makan malam, Ibu
masuk ke kamar mandi. Dengan berteriak, ia menyuruhku
keluar dari bak mandi dan memakai kembali pakaianku.
Aku langsung melaksanakan perintahnya, dan menyambar
handuk untuk mengeringkan badanku. "Eh, jangan!"
bentaknya. "Pakai pakaianmu begitu saja!" Perintah yang
ini juga langsung kuturuti. Pakaianku basah kuyup saat
aku mengenakannya sambil berlari kembali ke halaman
belakang sesuai perintah Ibu. Aku harus duduk lagi di situ.
Matahari mulai terbenam, tetapi separo halaman masih
terkena sinarnya langsung. Aku duduk di bagian yang
masih terkena sinar matahari, tetapi Ibu menyuruhku
duduk di tempat yang terlindung. Di pojok halaman
belakang itu, sambil duduk seperti tawanan perang, aku
menggigil kedinginan. Aku kepingin sebentar saja kena
panas, tetap keinginanku untuk mengeringkan badan itu
semakin lama semakin tidak mungkin. Dari jendela ruang
makan di atas kepalaku terdengar suara "keluarga ini"
sedang saling mengoper piring yang penuh makanan.
Sesekali terdengar juga tawa. Karena Ayah sedang di
rumah, aku tahu masakan apa pun yang dibuat Ibu pasti
lezat. Ingin rasanya aku mendongakkan kepala dan
melihat mereka makan, tapi aku tidak berani. Aku hidup di
dunia lain. Sepintas melihat kepada kehidupan yang baik
pun aku tak pantas. Hukuman di bak mandi dan di halaman belakang lalu biasa
dilakukan Ibu terhadapku. Kadang kala, ketika aku
direndam di bak mandi, saudara-saudaraku mengajak
teman-temannya untuk menonton saudara mereka yang
telanjang bulat. Sering kali mereka mencemoohkan aku.
"Apa yang ia lakukan kali ini"" mereka bertanya. Biasanya
saudara-saudaraku menjawab pertanyaan itu dengan
"Nggak tau". Bersamaan dengan kegiatan sekolah di musim gugur,
muncul harapan untuk sesekali keluar dari hidupku yang
menyedihkan. Selama dua minggu pertama itu kelas
tempat kami murid-murid kelas empat melaporkan
kehadiran kami setiap harinya memiliki seorang ibu guru
pengganti. Menurut berita yang kudengar, guru kami yang
biasanya sedang sakit. Ibu guru pengganti ini lebih muda
dibandingkan dengan kebanyakan guru di sekolah itu, dan
tampaknya ia lebih lembut. Di akhir minggu pertama, ia
memberi hadiah es krim kepada murid-murid yang selama
satu minggu itu berkelakuan baik. Saat itu aku
tidak mendapat hadiah. Aku berusaha lebih keras lagi untuk berkelakuan baik, dan
akhimya kuperoleh juga hadiahku pada akhir minggu
kedua. Ibu guru baru itu memutar sebuah lagu, dan
bemyanyi bersama semua murid di kelas itu. Kami sangat
menyukai ibu guru baru itu. Pada hari Jumat sore itu aku
tidak mau pulang. Setelah semua murid meninggalkan
kelas, ia membungkuk ke arahku dan berkata kepadaku
bahwa aku harus pulang. Ia tahu aku anak bermasalah.
Kukatakan padanya, aku mau bersamanya saja. Ia
memegangku sebentar, lalu berdiri dan memutarkan lagu
yang paling kusukai. Setelah itu baru aku pulang. Karena
terlambat pulang, aku berlari sekencang mungkin, lalu
langsung mengerjakan tugas-tugasku. Setelah semua
tugas kuselesaikan, Ibu menyuruhku duduk di halaman
belakang, di atas lantai semen yang dingin.
Pada hari Jumat itu kulihat kabut menutupi matahari di
langit, dan aku menangis dalam hati. Ibu guru pengganti
itu baik sekali terhadapku. Ia memperlakukan diriku seperti
manusia pada umumnya. Ia tidak menganggapku seperti
kotoran di comberan. Sambil duduk di luar merasakan
kesedihan, aku mencoba membayangkan sedang berada di
mana ibu guru yang baik itu, dan apa yang kira-kira
sedang ia lakukan. Pada saat itu aku tak mampu
memahami perasaanku, tetapi aku mengaguminya.
Aku tahu aku tidak akan mendapat makan malam itu atau
malam berikutnya. Karena Ayah tidak di rumah, aku pasti
mengalami akhir minggu yang buruk. Duduk di halaman
belakang pada anak tangga semen yang dingin, di udara
terbuka yang dingin, aku bisa mendengar suara Ibu sedang
makan bersama saudara-saudaraku. Aku tak peduli.
Kupejamkan mata. Aku bisa melihat wajah ibu guru baruku
yang penuh senyum. Malam itu, ketika aku duduk di luar
dan menggigil kedinginan, kecantikan serta kelembutannya
membuatku merasa hangat. Memasuki bulan Oktober, hidupku yang tak wajar itu betul-betul habis-habisan. Di sekolah jarang ada makanan. Aku
sering dijadikan mangsa empuk oleh murid-murid nakal
yang badannya jauh lebih besar daripada badanku-
mereka memukuli aku setiap saat, sesuka mereka. Begitu
sekolah usai, aku harus berlari ke rumah dan harus
memuntahkan isi perutku untuk diperiksa oleh Ibu. Kadang
kala ia langsung menyuruhku mengerjakan semua
tugasku. Kadang kala ia mengisi bak mandi dengan air.
Kalau sedang betul-betul dalam suasana hati yang enak, ia
mencampur kedua bahan kimia itu untuk kuhirup
campuran gasnya di kamar mandi. Kalau ia tidak ingin aku
berada di rumahnya, ia menyuruhku bekerja memotong
rumput di rumah tetangga yang menginginkannya-itu pun
sesudah ia memukuli aku. Beberapa kali ia mencambukku dengan rantai anjing.
Kugertakkan saja gigiku untuk menahan rasa sakit yang
sangat, dan menerima semua itu. Yang paling sakit adalah
akibat pukulan dengan tangkai sapu lidi ke bagian
belakang kaki. Kadang kala pukulan-pukulan dengan
gagang sapu lidi ke bagian itu membuatku terkapar di
lantai, nyaris tak bisa bergerak. Lebih dari satu kali aku
berjalan terpincang-pincang sambil mendorong alat
pemotong rumput berkeliling rumah tetangga, herusaha
mencari uang yang harus kuserahkan kepada-nya.
Akhirnya tiba juga saat ketika keberadaan Ayah di rumah
pun tidak mampu meringankan penderitaanku, sebab Ibu
melarangnya bertemu denganku. Harapanku pupus, dan
aku mulai yakin bahwa hidupku tak akan pernah berubah.
Aku pikir aku akan tetap menjadi budak Ibu selama
hidupku. Hari demi hari semangat hidupku semakin lemah.
Aku tidak lagi mengkhayalkan Superman atau seorang
pahlawan atau jagoan yang akan datang menyelamatkan
diriku. Aku tahu, janji Ayah untuk mengajakku pergi dari
rumah itu sekadar janji belaka. Aku tidak lagi berdoa. Aku
hanya ingin hidup sehari itu saja, pada hari itu, dan begitu
seterusnya. Pada suatu pagi di sekolah, aku disuruh menghadap
perawat sekolah. Wanita perawat itu menanyai aku soal
pakaianku dan berbagai luka maupun memar yang
kelihatan di sepanjang permukaan kedua lenganku. Pada
mulanya jawabanku kepadanya adalah jawaban buatan Ibu
yang harus kukatakan kepada perawat itu. Tetapi aku
semakin menaruh kepercayaan pada perawat itu, maka
kuceritakan kepadanya semakin ba
nyak hal mengenai Ibu. Ia membuat catatan mengenai apa saja yang kukatakan,
dan berpesan padaku untuk datang menghadapnya kapan
saja aku membutuhkan seseorang untuk mengobrol. Baru
kemudian aku tahu bahwa perawat itu menjadi tertarik
akan diriku berdasarkan sejumlah laporan yang ia terima
dari ibu guru pengganti, dulu pada awal tahun kegiatan
sekolah. Selama minggu terakhir di bulan Oktober berlangsung
tradisi di rumah Ibu bagi anak-anak lelaki membuat ukiran
pada buah labu. Hak istimewa itu sudah tidak aku lakukan
sejak umurku tujuh atau delapan tahun. Saat malam untuk
membuat ukiran itu tiba, Ibu mengisi bak mandi begitu aku
selesai mengerjakan tugas-tugasku. Seperti biasanya, ia
mengancam aku untuk tetap membenamkan kepalaku di
bawah permukaan air. Sebagai tanda bahwa ia tidak main-main dengan ancamannya itu, dicekalnya leherku, lalu
membenamkan kepalaku. Kemudian ia bergegas keluar
dari kamar mandi dan mematikan lampunya. Aku menoleh
ke kiri. Dari kaca jendela kecil di kamar mandi aku bisa
melihat malam mulai turun. Aku mengisi waktu dengan
menghitung angka dalam hati. Aku mulai dari angka satu
dan berhenti di angka seribu. Kemudian kuulangi hitungan
itu. Begitu seterusnya. Jam demi jam berlalu, sampai
kurasakan air di bak mandi itu menyusut. Semakin air itu
menyusut, semakin kedinginan aku. Kujepitkan kedua
tanganku di antara kakiku dan menempelkan tubuhku ke
sisi kanan bak mandi. Bisa kudengar kaset Halloween yang
dibeli Ibu untuk Stan beberapa tahun sebelumnya. Hantu-hantu dan setan-setan mengeluarkan suara yang
menakutkan, sementara pintu-pintu berderit terbuka
sendiri. Setelah anak-anak lelaki itu selesai mengukir buah-buah
labu mereka, kudengar Ibu dengan suaranya yang lembut
mulai menceritakan cerita yang menakutkan. Semakin
kudengarkan cerita itu, semakin aku membenci mereka.
Sungguh tidak enak menunggu seperti anjing yang duduk
di atas batu-batu kerikil di halaman belakang sementara
mereka menikmati makan malam, tetapi berbaring di bak
mandi yang dingin dan menggigil karena berusaha tetap
hangat sementara mereka menikmati popcorn sambil
mendengarkan cerita Ibu membuat aku mau berteriak
saja. Nada suara Ibu malam itu mengingatkan aku pada Mommy
yang sangat aku cintai bertahun-tahun sebelumnya. Tetapi
sekarang, semua anak lelaki itu bahkan tidak mengakui
keberadaanku di rumah itu. Bagi mereka, aku tidak lebih
berarti dibandingkan dengan hantu-hantu bersuara
menakutkan di kaset milik Stan itu. Setelah semua anak
lelaki itu naik ke tempat tidur, Ibu masuk ke kamar mandi.
Ia tampak tertegun sejenak melihat aku masih berbaring di
bak mandi. "Kau kedinginan"" desisnya. Aku menggigil
sambil menganggukkan kepala, menunjukkan bahwa aku
betul-betul kedinginan. "Nah, mengapa anak lelaki
kesayanganku tidak keluar dari bak mandi dan
menghangatkan badannya yang telanjang di ranjang
ayahnya"" Agak terhuyung, aku keluar dari bak mandi, mengenakan
pakaian dalamku, lalu naik ke ranjang Ayah yang jadi
basah karena badanku basah. Apa pun alasannya, aku tak
mengerti mengapa Ibu menyuruh aku tidur di kamar tidur
utama, tanpa peduli apakah Ayah sedang di rumah atau
tidak. Ibu sendiri tidur di kamar atas bersama saudara-saudara lelakiku. Aku tak memedulikannya sama sekali,
asalkan aku tidak tidur di dipan kain tua di basement yang
dingin. Malam itu Ayah pulang, tetapi sebelum aku sempat
mengatakan sesuatu kepadanya, aku sudah terlelap.
Menjelang Natal, semangat hidupku terkuras. Aku tidak
diajak berlibur selama dua minggu. Aku jadi tidak sabar
menunggu saat masuk sekolah lagi. Pada hari Natal aku
memperoleh roller skate. Aku selalu senang mendapat
hadiah Natal. Tetapi hadiah roller skate itu temyata tidak
diberikan dalam semangat Natal. Hadiah itu justru menjadi
alat lain bagi Ibu untuk memaksa aku berada di luar rumah
dan membuat aku menderita. Pada setiap akhir minggu Ibu
menyuruhku bermain roller skate di luar rumah, padahal
anak-anak lain justru berdiam di dalam rumah karena
udara di luar sangat dingin.
Dengan roller skate itu aku berputar-putar di sekitar
wilayah tempat tinggalku, tanpa jaket untuk menahan
dingin. Aku satu-sa tunya anak di wilayah itu yang bermain
di luar rumah. Lebih dari sekali, Tony, salah seorang
tetangga kami, keluar rumah untuk mengambil koran
sorenya, dan melihat aku bermain skating. Ia tersenyum
lebar kepadaku, lalu cepat-cepat masuk kembali ke dalam
rumah untuk menghindari dinginnya udara di luar. Sebagai
usaha agar badanku tetap hangat, aku meluncur
sekencang-kencangnya. Bisa kulihat asap mengepul dari
cerobong asap di rumah-rumah yang memiliki perapian.


A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku ingin sekali berada di dalam rumah, duduk-duduk
dekat perapian. Biasanya Ibu menyuruhku ber-main
skating selama berjam-jam. Ia memanggil aku hanya jika
ia menginginkan aku menyelesaikan beberapa tugas rumah
tangga. Pada akhir bulan Maret tahun itu, ketika kami berada di
rumah karena liburan Paskah, Ibu melahirkan. Ketika Ayah
mengantar Ibu ke sebuah rumah sakit di San Francisco,
aku berdoa agar semua itu nyata, bukan berita bohong.
Aku ingin sekali Ibu tidak ada di rumah. Aku tahu kalau Ibu
tidak di rumah, Ayah akan memberiku makan. Selain itu,
aku juga senang karena terbebas dari pukulan-pukulan.
Ketika Ibu sedang di rumah sakit, Ayah membolehkan aku
bermain bersama saudara-saudaraku. Aku langsung saja
diterima kembali oleh mereka. Kami bermain "Star Trek",
dan Ron memberiku kehormatan untuk memerankan tokoh
Kapten Kirk. Hari pertama Ibu di rumah sakit, Ayah
menyajikan roti lapis isi, dan ia mengizinkan aku memakan
roti isi yang kedua. Saat Ayah menjenguk Ibu di rumah sakit, kami berempat
bermain di rumah tetangga di seberang jalan. Nama
tetangga itu Shirley. la baik terhadap kami semua dan
memperlakukan kami layaknya anak-anaknya sendiri. Ia
terus-menerus mengajak kami bermain, misalnya ber-main
ping-pong, atau sekadar membiarkan kami bermain sepuas
mungkin di halaman luar. Dalam beberapa hal, Shirley
mengingatkan aku pada Ibu yang dulu, sebelum ia mulai
memukuli aku. Setelah beberapa hari di rumah sakit, Ibu pulang. Ia
melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Kevin.
Beberapa minggu kemudian suasana rumah normal
kembali. Ayah jarang sekali ada di rumah, sedangkan aku
sendiri kembali menjadi pelampiasan segala rasa frustrasi
Ibu. Ibu jarang sekali bertetangga, maka aneh juga ketika ia
berteman dekat dengan Shirley. Setiap hari mereka sating
mengunjungi. Kalau Shirley berkunjung ke rumah, Ibu
memainkan peran orangtua yang mencintai dan
memperhatikan keluarganya-persis seperti ketika ia
menjadi ibu pembimbing Pramuka Siaga.
Setelah persahabatan Ibu dan Shirley berjalan beberapa
bulan, Shirley bertanya kepada Ibu mengapa David tidak
boleh main bersama saudara-saudara yang lain atau
adiknya. Shirley juga penasaran mengapa David sering
sekali dihukum. Banyak alasan yang dikemukakan Ibu-
David sedang terserang flu-lah, David sedang mengerjakan
tugas khusus dari sekolah-lah, dan sebagainya. Tapi pada
akhimya, Ibu berkata kepada Shirley bahwa David adalah
anak nakal, sehingga ia pantas dihukum untuk waktu yang
lama. Lalu datanglah saat ketika persahabatan antara Ibu dan
Shirley renggang. Pada suatu hari, tanpa alasan yang jelas,
Ibu memutuskan segala bentuk hubungannya dengan
Shirley. Anak lelaki Shirley dilarang Ibu bermain dengan
anak-anak lelakinya, dan Ibu berlari-lari sekeliling rumah
sambil berseru-seru menyebut Shirley "perempuan jalang".
Sekalipun aku dilarang bermain dengan semua anak lelaki
itu, aku merasa lebih aman kalau Shirley dan Ibu
berteman. Pada suatu hari Minggu dalam bulan terakhir di musim
panas, Ibu masuk ke ruang tidur utama. Aku sudah ada
ruang tidur itu, sebab sebelumnya Ibu sudah menyuruhku
masuk ke situ. Seperti biasa, aku duduk dalam posisi
tawanan perang. Ibu menyuruh aku berdiri dan duduk
pojok tempat tidur. Kemudian ia berkata kepadaku bahwa
ia sudah lelah menjalani hubungan seperti yang terjadi
antara dia dan aku. Ibu juga berkata bahwa ia menyesal
dan berniat membayar saat-saat yang hilang bersamaku.
Aku tersenyum lebar dan langsung memeluknya erat-erat.
Aku menangis ketika ia mulai mengusap-usap rambutku.
Ibu juga menangis. Pada saat itu aku mulai merasa bahwa
masa sengsaraku selesai. Kulepaskan pelukanku, lalu
kutatap mat a Ibu. Aku merasa perlu meyakinkan diri. Aku
merasa perlu mendengar Ibu mengulangi ucapannya.
"Benar-benar sudah selesai"" tanyaku takut-takut.
"Sudah selesai, Sayang. Sejak saat ini aku berharap kau
sama sekali melupakan bahwa pemah terjadi hubungan
yang buruk di antara kita. Kau mau mencoba menjadi anak
baik, bukan"" Aku mengangguk. "Kalau begitu, aku akan mencoba jadi ibu yang baik."
Setelah berbaikan, Ibu membolehkan aku mandi air hangat
dan memakai pakaian baru yang kuperoleh sebagai hadiah
Natal tahun sebelumnya. Tadinya aku tidak boleh memakai
pakaian itu. Setelah itu Ibu mengajak aku dan saudara-saudaraku bermain boling, sementara Ayah di rumah
menunggui Kevin. Dalam perjalanan pulang sehabis main
boling, Ibu mampir ke sebuah toko kelontong dan
membelikan kami masing-masing sebuah mainan. Sampai
di rumah, Ibu berkata bahwa aku boleh main di luar
bersama anak-anak lainnya, tapi pada waktu itu aku lebih
suka bermain sendiri, maka kubawa mainanku ke tempat
tidur utama dan bermain sendirian di situ.
Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun ini, kecuali
pada hari-hari libur ketika rumah kami kedatangan tamu,
aku makan bersama keluarga di meja makan. Sepertinya
keadaan begitu bertolak belakang, terlalu cepat berubah,
dan entah mengapa sulit bagiku untuk menerima semua ini
begitu saja too good to be true . Betapapun senangnya rasa
hatiku, aku tetap merasa seakan-akan berjalan di atas kulit
telur. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa sebentar lagi
Ibu akan terbangun dan kembali kepada jati dirinya.
Temyata tidak. Malam itu aku makan sekenyangku. Aku
pun diizinkan nonton acara televisi bersama saudara-saudaraku sebelum kami berangkat tidur. Yang juga ganjil
adalah bahwa aku didesak untuk tetap tidur bersama Ayah.
Ibu sendiri berkata bahwa ia ingin tidur bersama bayinya.
Pada siang esok harinya, saat Ayah sedang di tempat
kerjanya, seorang wanita dari dinas sosial datang ke
rumah. Ibu menyuruhku bermain di luar bersama saudara-saudaraku, sementara ia bercakap-cakap dengan wanita
tadi. Mereka berdua bercakap-cakap lebih dari satu jam
lamanya. Sebelum wanita itu pulang, Ibu memanggilku
masuk rumah. Wanita itu ingin ngobrol sebentar denganku.
Wanita itu ingin tahu apakah aku bahagia. Kujawab ya. Ia
ingin tahu apakah hubunganku dengan Ibu baik-baik saja.
Kujawab ya. Akhimya ia bertanya apakah Ibu pernah
memukul aku. Sebelum menjawab pertanyaan itu, aku
memandang Ibu, yang memperlihatkan senyum ramah.
Rasanya seperti ada bom yang meledak dalam sekali di
perutku. Rasanya seperti mau muntah. Tiba-tiba aku
tersadar mengapa Ibu kembali sikap seratus delapan puluh
derajat terhadapku sehari sebelumnya-secara tiba-tiba ia
jadi begitu baik terhadapku. Aku merasa seperti orang
dungu karena aku mudah terkelabui oleh sikap baiknya itu.
Aku sangat mendambakan cinta, sampai-sampai kutelan
begitu saja perubahan sikapnya.
Sentuhan tangan Ibu pada bahuku mengembalikan aku
pada kenyataan. "Ayo, Sayang, jawab pertanyaannya",
kata Ibu, lagi-lagi sambil tersenyum. "Katakan padanya
aku tidak memberimu makan dan memukulimu seperti
anjing", kata Ibu dengan suara pelan, dan dengan sikapnya
itu Ibu juga berharap wanita itu ikut tertawa.
Kupandang wanita itu. Kurasakan wajahku memerah, dan
bisa kurasakan keringat mulai keluar di keningku. Tidak
berani aku mengatakan yang sebenamya kepada wanita
itu. "Tidak, sama sekali tidak seperti itu", kataku.
"Ibu memperlakukan aku sangat baik".
"Jadi, ia tidak pernah memukulimu"" tanya wanita itu.
"Tidak... emm... maksudku, hanya ketika aku dihukum...
ketika aku jadi anak nakal", kataku, mencoba menutupi
yang sebenamya. Dari raut wajah Ibu ketika ia mendengar
jawabanku, aku tahu bahwa jawabanku itu salah.
Bertahun-tahun ia "mencuci otakku" untuk mengatakan
apa yang harus kukatakan, dan pada saat itu aku
melakukannya dengan buruk sekali. Di lain pihak, aku juga
tahu bahwa wanita itu berhasil menangkap sesuatu dari
komunikasi antara Ibu dan aku.
"Baiklah", kata wanita itu. "Saya cuma mampir dan ingin
tahu keadaan di sini."
Setelah mengucapkan selamat tinggal, Ibu mengantar
tamunya keluar. Ketika wanita itu benar-be
nar sudah pergi, Ibu menutup pintu dengan murka.
"Anak sialan!" teriaknya. Begitu Ibu mengangkat dan
mengayunkan tangannya, aku langsung melindungi
wajahku. Ibu memukuliku beberapa kali, lalu mengusir aku
ke basement. Setelah memberi makan anak-anaknya, Ibu
memanggilku ke atas untuk mengerjakan tugas-tugasku
siang itu. Saat mencuci peralatan makan, aku merasakan
perlakuan Ibu kali itu belum seberapa.
Aku jadi tahu bahwa perlakuan baik Ibu terhadapku sekitar
dua hari sebelumnya bukan karena alasan dia mencintaiku
melainkan karena alasan lain. Seharusnya aku tahu itu,
sebab setiap kali ada yang berkunjung ke rumah ini pada
musim liburan, Nenek misalnya, sikap Ibu terhadapku jadi
baik. Bagaimanapun, aku sudah menikmati dua hari yang
menyenangkan. Sudah bertahun-tahun aku tidak
menikmati saat menyenangkan selama dua hari berturut-
turut, jadi aku pantas menikmatinya. Aku kembali
menjalani segala sesuatu yang biasanya kujalani, dan
mengandalkan diriku sendiri untuk bertahan hidup. Paling
tidak, aku tidak lagi harus merasa seperti berjalan di atas
telur yang sewaktu-waktu kulitnya yang tipis amblas
terinjak. Segala sesuatu kembali normal. Aku berfungsi
sebagai pembantu rumah tangga untuk keluarga ini.
Sekalipun mulai bisa menerima nasibku, aku tak pemah
merasa benar-benar sendirian seperti pada beberapa pagi
hari saat Ayah berangkat ke tempat kerja. Pada hari kerja,
Ayah bangun jam lima pagi. Ia pasti tak menyadari bahwa
aku pun terbangun pada saat itu. Aku mendengar Ayah
berjalan ke kamar mandi dan bercukur di sana. Aku
mendengar Ayah berjalan ke dapur untuk mencari
makanan. Aku tahu kalau Ayah sudah memakai sepatunya,
itu berarti ia sudah siap meninggalkan rumah. Ada kalanya
aku membalikkan badanku persis pada saat Ayah
mengangkat tas biru tuanya yang bertuliskan Pan Am dan
berisi pakaian untuk menginap. Ayah pasti mencium
keningku, lalu berbisik, "Berusahalah membuat Ibu senang
dan tak usahlah menghalanginya".
Aku pasti menangis, walaupun sudah berusaha untuk tidak
menangis. Aku tak ingin Ayah pergi. Itu tak pemah
kukatakan padanya, tetapi aku yakin ia tahu. Setelah
kudengar Ayah menutup pintu depan, kuhitung langkahnya
dan aku tahu sampai hitungan ke berapa ia akan sampai
ke trotoar. Aku masih bisa mendengar langkah-langkahnya
yang semakin jauh. Dalam anganku, aku melihat Ayah
berbelok ke kiri, lalu menunggu bus yang akan
membawanya ke San Francisco. Ada kalanya, kalau sedang
merasa cukup berani, aku turun cepat-cepat dari tempat
tidur, berlari ke jendela kamar, dan dari kaca jendela aku
masih sempat melihat sosok Ayah. Tapi biasanya aku
berbaring saja di tempat tidur, berguling ke bagian yang
ditiduri Ayah yang masih terasa hangat. Aku
membayangkan masih bisa mendengar suara Ayah
meskipun ia sudah lama pergi. Dan ketika aku menyadari
bahwa Ayah benar-benar sudah pergi, aku mulai
kedinginan, terasa ada kekosongan dalam jiwaku. Aku
sangat mencintai Ayah. Aku ingin bersama dia selamanya,
dan aku menangis dalam hati sebab aku tak pemah tahu
kapan aku akan bertemu Ayah lagi.
******** 7 "...DAN BEBASKANLAH AKU DARI YANG JAHAT"
Kira-kira satu bulan sebelum aku masuk ke kelas lima, aku
semakin yakin, bahwa bagiku Tuhan tak ada.
Saat sedang duduk sendirian di basement atau membaca
sendirian dengan bantuan cahaya matahari sore di tempat
tidur orangtuaku, aku semakin yakin bahwa hidupku tidak
akan berubah sampai aku mati. Tak ada Tuhan yang adil
yang membiarkan aku hidup seperti ini. Aku percaya
bahwa aku sendirian dalam perjuanganku dan bahwa
perjuanganku adalah perjuangan mempertahankan hidup.
Ketika aku meyakini bahwa Tuhan tidak ada, rasa sakit
fisik tidak kurasakan. Setiap kali Ibu menghantamku,
rasanya seakan-akan ia sedang melampiaskan rasa
berangnya pada sebuah boneka rombeng. Di dalam,
emosiku berpusar antara rasa takut dan rasa marah yang
amat sangat. Di luar, aku adalah robot yang jarang
mengungkapkan emosi kecuali kalau itu akan
menyenangkan Si Perempuan Jalang dan menguntungkan
diriku. Aku menahan air mata, tak sudi aku menangis
sebab aku tak ingin memberi dia kepuasan karena aku
kalah. Pada malam hari, aku tidak lag
i bermimpi. Pada siang hari,
aku tak membiarkan diriku berangan-angan. Khayalan
khayalanku menjadi Superman yang dulu begitu hidup,
sekarang tak ada lagi. Saat tertidur, jiwaku bagai masuk
ke sebuah lubang hitam. Pada pagi hari aku tak lagi
terbangun dalam keadaan segar; aku selalu merasa lelah
dan berkata pada diri sendiri bahwa hidupku di dunia ini
berkurang satu hari lagi.
Kuselesaikan tugasku yang satu, kemudian mengerjakan
yang lainnya, lalu mengerjakan yang lainnya lagi, selalu
dengan perasaan takut, setiap hari. Tanpa satu pun mimpi,
kata-kata seperti harapan dan iman bagiku hanya
rangkaian huruf yang tersusun begitu saja menjadi sesuatu
yang tak punya artikata-kata seperti itu cuma ada dalam
dongeng. Saat mendapat makanan, aku seperti sedang berpesta.


A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kulahap makanan itu seperti seekor anjing yang tak punya
tuan-menggeram, siap menerkam, bersamaan dengan
perintah Ibu. Tak lagi aku peduli bahwa Ibu melihat
sikapku itu sebagai hal yang memuaskan dirinya-yang
penting bagiku adalah melahap secepat kilat makanan
yang diberikan kepadaku sampai tandas. Tak ada lagi yang
lebih rendah daripada diriku.
Pada suatu hari Sabtu, saat aku sedang mencuci peralatan
sarapan, kulihat Ibu menaruh sisa-sisa pancake dari
sebuah piring ke tempat makan anjing peliharaannya.
Binatang peliharaannya yang terawat baik itu memakan
sisa-sisa pancake tadi sampai puas, lalu pergi mencari
tempat untuk tidur. Masih ada sisa pancake di tempat
makan anjing itu. Beberapa saat kemudian, setelah
menaruh teko dan panci di laci bawah, aku merangkak
menuju tempat makan anjing tadi, lalu memakan sisa
pancake yang tersisa di tempat makan itu. Saat
mengunyah, aku bisa mencium bau anjing pada pancake
itu, tapi tetap kumakan juga. Aku tak peduli. Aku
menyadari betul kalau perempuan jalang itu memergoki
aku memakan makanan yang menjadi hak anjingnya, aku
harus menanggung risikonya. Bagaimanapun, mendapat
makanan-entah bagaimana caranya-adalah satu-satunya
cara bertahan hidup bagiku.
Jiwaku menjadi sangat dingin. Aku membenci segala
sesuatu. Bahkan matahari kucemooh dengan marah, sebab
aku tahu aku tak bakal bisa bermain pada saat sinamya
memancar hangat. Aku diselimuti oleh kemarahan setiap
kali mendengar tawa riang anak-anak lain yang sedang
bermain di halaman luar. Setiap saat mencium bau
makanan yang akan dihidangkan kepada orang lain,
perutku serasa dipilin karena aku tahu makanan itu pasti
bukan untukku. Setiap kali dipanggil untuk menjalankan
fungsi budak bagi keluarga ini, aku selalu ingin
melampiaskan kemarahan dengan menghantam apa saja.
Ibulah yang paling kubenci. Aku berharap dia mati saja.
Tetapi sebelum dia mati, aku ingin dia merasakan berlipat
kali rasa sakit dan kesepian yang kurasakan selama
bertahun-tahun. Ketika aku masih biasa berdoa kepada
Tuhan, hanya sekali doaku dikabulkan. Pada suatu hari,
ketika usiaku lima atau enam tahun, Ibu memukuliku di
mana pun aku berada di rumah itu. Malam harinya,
sebelum tidur, aku berlutut dan berdoa. Aku meminta
Tuhan untuk membuat Ibu sakit supaya dia tidak
memukuliku lagi. Aku berdoa dengan sangat khusyuk dan
lama sekali, sampai-sampai kepalaku pening.
Esok paginya aku sangat terkejut karena Ibu benar-benar
sakit. Seharian dia berbaring saja di kursi panjang, hampir
tidak bergerak-gerak. Karena Ayah di tempat kerjanya,
aku dan saudara-saudaraku merawat Ibu seakan-akan dia
pasien kami. Seiring berlalunya tahun dan hukuman-hukuman Ibu yang
semakin intens, aku mulai berpikir tentang usia Ibu kira-kira pada umur berapa dia akan mati. Aku mendambakan
saat ketika jiwa-nya diambil dan dibuang ke neraka yang
paling dalam, dan baru pada saat itulah aku bisa terbebas
darinya. Aku juga membenci Ayah. Ia tahu persis bahwa aku hidup
dalam neraka, tetapi ia tak punya cukup keberanian untuk
membebaskan aku dari neraka itu seperti yang berkali-kali
ia janjikan pada tahun-tahun sebelumnya. Kalau aku
pikirkan hubunganku dengan Ayah, aku sampai pada
kesimpulan bahwa ia menganggap aku sebagai bagian dari
masalah. Aku yakin Ayah menganggap aku bersikap
membangkang. Hampir pada setiap percekcokan antara
Ibu dan Ayah, perem puan jalang itu melibatkan diriku. Ibu
akan menyeretku dari mana pun aku sedang berada, lalu
menyuruh aku mengulangi setiap perkataan kasar yang
pernah dilontarkan Ayah dalam banyak cekcok mereka
sebelumnya. Aku tahu persis tujuan permainan Ibu, tetapi ketika aku
harus memilih siapa yang harus kuturuti dalam keadaan
seperti itu tidaklah sulit. Kemurkaan Ibu jauh lebih buruk
bagiku. Maka, aku selalu mengangguk sambil dengan
takut-takut mengucapkan kata yang Ibu ingin dengar. Di
depan Ayah, Ibu meneriakkan kata-kata kasar yang pernah
aku ucapkan di depan Ibu, padahal kata-kata itu aku
ucapkan atas perintah Ibu.
Sering kali aku lupa kata-kata yang harus kuucapkan, dan
pada saat-saat seperti itu Ibu memaksaku untuk mencari-cari kata lain. Situasi seperti itu membuat aku merasa
sangat tidak enak, sebab itu berarti aku menghindari
pukulan-pukulan dengan cara menggigit tangan yang
selama masa itu paling sering memberiku makanan.
Mulanya aku mencoba menjelaskan kepada Ayah mengapa
aku berbohong dan memusuhinya. Waktu itu Ayah
mengaku bahwa ia mempercayai aku, namun akhimya aku
tahu bahwa ia tidak lagi bisa mempercayai aku. Sikapnya
itu bukannya membuat aku menyesal atau sedih. Aku
malah semakin membenci ayah.
Anak-anak lelaki yang tinggal di lantai atas itu bukan lagi
saudara-saudara kandungku. Pada awal-awal
penderitaanku mereka memang pernah sesekali mencoba
menguatkan diriku. Tetapi pada musim panas tahun 1972
mereka mulai bergantian memukuli aku dan tampaknya
senang sekali memerintah aku untuk melakukan sesuatu
bagi mereka. Jelas bahwa mereka merasa lebih berkuasa
dibandingkan seorang budak di keluarga itu. Setiap kali
mereka mendekati aku, hatiku mengeras seperti batu, dan
aku tahu persis mereka bisa melihat rasa benci yang
tergambar pada raut wajahku. Sekalipun amat jarang dan
selalu dengan perasaan kosong, aku pemah merasa
menang terhadap mereka. Pada saat seperti itu, dengan
geram dan suara tertahan supaya tidak terdengar oleh
mereka, kulontarkan kata "asshole". Aku pun jadi
membenci para tetangga, para saudara, dan siapa pun
yang mengenal aku dan tahu apa yang kualami. Rasa
benci, tinggal itulah satu-satunya yang kumiliki.
Tetapi yang paling aku benci sebetulnya adalah diriku
sendiri. Semakin hari aku semakin percaya bahwa segala
sesuatu yang menimpa diriku atau terjadi di sekitarku
adalah akibat kesalahanku sendiri karena aku membiarkan
semua itu berlangsung sekian lama. Aku menginginkan apa
yang dimiliki orang lain, tetapi aku tak bisa memilikinya,
maka aku membenci semua orang yang memiliki apa saja
yang tak bisa kumiliki. Aku ingin menjadi kuat, tetapi dalam hati aku tahu aku
orang yang rapuh. Aku tak pemah punya keberanian untuk
melawan perempuan jalang itu, maka aku tahu
sepantasnyalah aku menerima segala sesuatu yang
menimpa diriku. Bertahun-tahun Ibu mencuci otakku
dengan menyuruhku berteriak sekeras-kerasnya, "Aku
benci diriku! Aku benci diriku!" Usahanya itu berhasil.
Beberapa minggu sebelum aku masuk ke kelas lima, aku
merasa sangat membenci diriku sendiri sampai-sampai aku
merasa ingin mati saja. Bagiku, sekolah tidak lagi menarik seperti tahun-tahun
sebelumnya. Aku berjuang keras memusatkan perhatian
pada pelajaran, tetapi rasa marah yang kupendam sering
kali menggelegak di saat-saat yang tidak tepat.
Pada suatu hari Jumat siang di musim dingin tahun 1973,
tanpa alasan yang jelas, aku menghambur keluar kelas,
berteriak kepada siapa pun yang berpapasan denganku.
Pintu kelas kubanting keras-keras sampai-sampai aku
sempat berpikir kacanya pasti pecah berantakan. Aku
berlari ke kamar kecil, dan seperti kesetanan kuhantam
dinding berkeramik di kamar kecil itu berkali-kali dengan
tinjuku yang kecil sampai tenagaku terkuras. Sesudah itu
aku terkapar, berdoa memohon ada mukjizat. Dan
mukjizat itu tidak pemah datang.
Bagaimanapun, waktu-waktu di luar ruang kelas masih
lebih mendingan daripada di dalam "rumah neraka" Ibu.
Karena aku ini murid yang dikucilkan oleh semua murid
lain, teman-teman sekelasku sering menggantikan peran
Ibu memukuli aku. Salah seorang dari mereka bernama
Clifford. Clifford senang berkelahi
di sekolah, dan pada waktu-waktu tertentu ia menghadangku pada saat aku
sedang berlari pulang dari sekolah. Dengan memukuli aku,
Clifford ingin menunjukkan kehebatannya di hadapan
teman-temannya. Kalau sudah begitu, paling-paling aku
menjatuhkan diri ke tanah sambil melindungi kepalaku,
sementara Clifford dan gengnya menendang aku silih
berganti. Lain lagi dengan Aggie. Teman perempuan sekelasku ini
sama-sama sering "menyiksa" aku, tetapi caranya
berbeda. Ia selalu bisa menemukan cara baru untuk
mengatakan betapa ia menginginkan aku "mati mendadak"
dan lenyap begitu saja. Aggie selalu berpamer diri. Ia
selalu ingin memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin
sekelompok kecil teman-teman perempuannya. Selain
mencemooh dan menyakiti aku, Aggie dan kelompoknya
terlihat puas memamerkan pakaian mereka yang bagus-bagus.
Aku sendiri tahu bahwa sejak semula Aggie tidak pemah
menyukaiku, namun aku tidak tahu sampai sejauh apa ia
tidak menyukai aku. Dan aku mengetahui hal itu baru pada
hari terakhir kami di kelas empat. Ibu Aggie mengajar aku
di kelas pagi, dan pada hari terakhirku di kelas empat itu
Aggie masuk kelas, bergaya seperti orang mau muntah,
sambil berkata, "David Pelzer Smellzer tahun depan akan menjadi muridku
di kelas ini". Tiada hari yang ia lewati tanpa mengeluarkan cemoohan
terhadap diriku di hadapan teman-temannya. Aku tidak
terlalu memedulikan Aggie, sampai ketika kami murid-murid kelas lima melakukan studi wisata ke salah satu
Clipper Ship di San Francisco. Ketika aku sedang sendirian
berdiri di bagian lambung kapal memandangi air laut,
Aggie mendekati aku dengan senyumnya yang licik dan
berkata dengan suara pelan, "Loncat!" Ia membuatku
terkejut. Kuperhatikan raut wajahnya, mencoba
memahami apa yang ia inginkan. Sekali lagi ia berkata,
pelan dan tenang, "Aku bilang, jangan ragu-ragu, ayo meloncatlah. Aku tahu
segala sesuatu mengenai dirimu, Pelzer, dan meloncat ke
laut adalah satu-satunya cara bagimu untuk keluar dari
masalahmu". Terdengar suara lain dari belakang Aggie, "Ya, betul itu".
Itu suara John, teman kelasku juga, salah satu "pengawal"
Aggie yang bertubuh kekar. Kualihkan pandanganku dari
mereka ke air laut berwama hijau yang mengempas-empas
lambung kayu kapal. Sejenak kubayangkan diriku terjun ke
air laut, dan aku tahu aku pasti tenggelam. Nyaman sekali
rasanya punya pikiran seperti itu, sebab kalau aku mati
tenggelam berarti aku terbebas dari Aggie, teman-temannya, dan semua saja yang kubenci di dunia ini.
Tetapi aku tersadar kembali, lalu aku menengadah dan
kutatap langsung mata John. Kucoba untuk tidak
mengalihkan tatapanku pada John. Beberapa saat
kemudian, John pasti bisa merasakan kemarahanku sebab
ia beranjak pergi sambil mengajak Aggie.
Pada awal tahun ajaran kelas lima, Mr. Ziegler, guruku di
kelas pagi, tidak mengerti mengapa aku menjadi murid
yang bermasalah. Baru kemudian perawat sekolah
memberitahu Mr. Ziegler mengapa aku mencuri makanan
dan mengapa pakaian yang kukenakan begitu lusuh.
Berdasarkan informasi itu, Mr. Ziegler berusaha keras
memperlakukan aku sebagaimana murid normal lainnya.
Salah satu tugas Mr. Ziegler sebagai sponsor koran sekolah
adalah membentuk sebuah komite yang terdiri dari murid-murid sekolah untuk mencari sebuah nama bagi koran
sekolah itu. Aku mengajukan usul sebuah nama yang
menarik, dan seminggu kemudian usulanku itu masuk
dalam daftar usulan yang akan dipilih melalui pemilihan
yang diikuti seluruh murid dan staf sekolah. Usulan nama
yang kuajukan menang telak. Beberapa jam setelah
pemilihan itu selesai, Mr. Ziegler memanggilku dan
mengatakan betapa bangganya ia bahwa nama yang
kuusulkan memenangkan pemilihan.
Aku menikmati pujian itu seperti busa kering menyerap air.
Nyaris aku menangis karena sudah sedemikian lama tak
ada yang mengatakan sesuatu yang positif mengenai
diriku. Usai sekolah pada hari itu, setelah menjamin bahwa
aku tak akan mendapat masalah, Mr. Ziegler memberiku
surat yang harus kuserahkan kepada Ibu.
Dengan perasaan bangga bercampur gembira, aku berlari
kencang penuh semangat pulang ke rumah Ibu.
Seharusnya aku sudah bisa menduga bahwa
kegembira anku tak akan berumur panjang.
Perempuan jalang itu dengan kasar membuka surat yang
kuberikan, membacanya cepat-cepat, dan berkata dengan
sikap mencemooh, "Jadi, Mr. Ziegler berkata bahwa aku sepantasnya bangga
terhadapmu karena kau berhasil memberi nama yang
paling menarik untuk koran sekolah. Ia juga menyatakan
bahwa kau adalah salah satu murid terpandai di kelasnya.
Wah, bukankah itu berarti kau istimewa""
Tiba-tiba suaranya berubah jadi sedingin es dan ia
menuding-nudingkan telunjuknya ke wajahku dan berkata
tajam, "Terus terang kukatakan padamu, bangsat kecil! Kau tak
bisa melakukan apa pun yang membuat aku terkesan!
Paham" Kau bukan siapa-siapa, nobody! Kau adalah
sesuatu, it! Kau tak pernah ada! Kau anak brengsek! Aku
membencimu dan aku berharap kau mati! Mati! Kau
dengar" Mati!" Setelah merobek-robek surat itu menjadi potongan
potongan amat kecil, Ibu meninggalkan aku, kembali asyik
menikmati acara televisi. Aku berdiri tak bergerak,
memandangi surat yang terserak menjadi potongan-potongan kecil seperti butiran salju di kakiku. Sekalipun
aku sudah berkali-kali mendengar semua perkataan yang
tadi diucapkan Ibu, kali ini kata "It" membuat diriku
tertegun tidak seperti biasanya. Ibu telah menghilangkan


A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seluruh keberadaanku. Segala sesuatu telah kulakukan
sebaik mungkin untuk mendapat pengakuan dari-nya.
Tetapi, sekali lagi, aku gagal. Hatiku semakin kecil dan
kecil. Ibu mengatakan semua itu bukan karena sedang
mabuk; semua perkataan itu keluar dari hatinya.
Aku berlutut, mencoba menyatukan kembali surat yang
sudah menjadi potongan-potongan kecil itu. Tidak
mungkin. Kubuang potongan-potongan surat itu ke tempat
sampah, sambil berharap hidupku cepat berakhir saja.
Pada saat itu aku yakin bahwa bagiku kematian akan lebih
baik daripada kemungkinan memperoleh kebahagiaan. Aku
bukan siapasiapa, bukan apa-apa. Aku sekadar "sesuatu",
"It". Semangat hidupku menjadi sedemikian rendah, sampai
sampai aku berharap Ibu benar-benar membunuhku, dan
kupikir pada akhirnya itu akan ia lakukan juga. Menurut
perkiraanku semua itu sekadar menunggu saat kapan ia
mau melakukannya. Maka aku pun mulai sengaja
bertingkah yang membuatnya marah, dengan harapan ia
akan terpancing untuk segera mengakhiri kesengsaraanku.
Aku mulai sembarangan mengerjakan tugas-tugasku. Aku
sengaja "lupa" tidak menyikat lantai kamar mandi, dengan
harapan Ibu atau salah satu pangeran kecilnya terpeleset
dan jatuh, kesakitan karena membentur lantai yang keras.
Aku sengaja membiarkan peralatan makan malam yang
kucuci sedikit kotor. Aku berharap perempuan jalang itu
tahu bahwa aku tak lagi peduli akan apa pun.
Sikapku berubah, aku jadi semakin memberontak. Sebuah
peristiwa terjadi di sebuah toko swalayan pada suatu hari.
Biasanya, setiap kali berbelanja di toko itu, aku disuruh
tinggal di mobil. Tetapi pada hari itu, tanpa alasan yang
jelas, lbu memutuskan mengajak aku masuk ke toko. la
menyuruhku meletakkan salah satu tanganku pada kereta
belanja dan menundukkan kepala ke arah lantai. Dengan
terang-terangan aku menolak semua perintahnya. Aku
tahu ia tidak akan menarik perhatian pembeli lain di toko
itu, maka aku berjalan tidak terlalu jauh di depan kereta
belanja. Kalau saudara-saudaraku menegur kelakuanku,
aku balik membentak mereka. Aku sekadar mau
mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tak lagi sudi
menjadi budak orang lain.
Ibu tahu bahwa pembeli lain di toko itu sedang
memperhatikan kami dan bisa mendengar keributan yang
kami buat, maka beberapa kali ia memegang tanganku dan
berkata padaku dengan suara lembut agar aku tenang. Aku
merasa sangat senang berada di atas angin selama berada
di toko itu, tetapi aku juga sadar bahwa begitu kami
berada di luar toko, aku harus membayar risikonya.
Persis seperti dugaanku, Ibu membentak-bentak aku
bahkan sebelum kami masuk mobil. Begitu kami masuk
mobil, Ibu menyuruh anak-anak lelakinya untuk
menginjak-injak aku. Kemudian begitu kami masuk rumah,
Ibu langsung membuatkan aku campuran amoniak dan
Clorox. Ia pasti bisa menduga bahwa aku menggunakan
kain lap untuk menutupi hidung dan wajahku sebab ia
menceburkan kain lap it u ke dalam ember. Begitu ia
menutup pintu kamar mandi, aku langsung ke ventilasi
tempat keluar masuk udara dari mesin pemanas.
Mesinnya tidak menyala. Tak udara segar yang masuk dari
ventilasi itu. Aku pasti sudah berada di kamar mandi lebih
dari satu jam, sebab uap berwama abu-abu sudah
memenuhi ruangan sampai ke lantai. Mataku berair
banyak, yang tampaknya menambah daya kerja uap
beracun itu. Aku mengeluarkan ingus dan megap-megap
sampai rasanya mau pingsan. Begitu Ibu akhimya
membuka pintu kamar mandi, aku langsung menghambur
ke luar, tetapi tangannya mencengkeram leherku. la
mendorong wajahku ke ember, tapi aku melawan. Ibu
gagal melakukan kehendaknya.
Rencanaku untuk bersikap memberontak pun gagal.
Setelah kejadian di "kamar gas" yang memakan waktu
lebih lama daripada biasanya itu, aku kembali menjadi
pribadi yang rapuh. Tetapi jauh dalam jiwaku aku masih
bisa merasakan dorongan naik yang semakin menguat
seperti sebuah gunung berapi yang menunggu saatnya
untuk meletus. Satu-satunya yang membuat aku tetap waras adalah
adikku yang masih bayi, Kevin. Ia adalah bayi yang manis
dan aku mencintainya. Sekitar tiga setengah bulan
sebelum ia dilahirkan, Ibu mengizinkan aku menonton
acara kartun spesial Natal. Setelah acara itu selesai, tanpa
alasan yang jelas bagiku, Ibu menyuruh aku duduk di
kamar saudaraku. Beberapa menit kemudian ia masuk ke
kamar itu dengan begitu tiba-tiba, memiting leherku
dengan tangannya, dan mencekik aku. Aku meronta tak
karuan, mencoba membebaskan diri dari pitingannya. Pada
saat aku merasa ingin pingsan, kudepakkan kakiku tanpa
arah yang jelas, yang temyata tepat mengenai bagian
tubuh di antara kedua kakinya, dan itu membuatnya
melepaskan pitingannya. Di kemudian hari, aku menyesali
kejadian itu. Sekitar satu bulan setelah kejadian Ibu berusaha mencekik
aku itu, ia berkata padaku bahwa aku menendang
perutnya keras sekali yang bisa-bisa menyebabkan bayi
dalam kandungannya menderita cacat lahir permanen. Aku
merasa seperti seorang pembunuh. Tidak cuma kepadaku
Ibu menceritakan kejadian itu. Ia punya beberapa versi
mengenai kejadian itu, yang ia ceritakan kepada siapa saja
yang mendengarkan omongannya. Ibu bilang, ia mencoba
memeluk aku, tetapi aku berkali-kali menendang dan
memukul perutnya. Kata Ibu, itu aku lakukan karena aku
iri terhadap bayi yang akan ia lahirkan. Ibu bilang, aku
takut bayi itu kelak mendapat perhatian yang lebih besar
dari Ibu. Aku betul-betul mencintai Kevin, tetapi karena aku tak
diizinkan bahkan untuk melihat-nya atau melihat saudara-saudaraku yang lain, aku tak punya kesempatan untuk
menunjukkan perasaanku. Aku ingat betul akan suatu hari
Sabtu, ketika Ibu mengajak anak-anak lelakinya yang lain
nonton baseball di Oakland, sementara Ayah tinggal di
rumah untuk mengasuh Kevin, sedangkan aku sendiri
mengerjakan tugas-tugasku.
Setelah kuselesaikan semua tugasku, Ayah mengeluarkan
Kevin dari tempat tidur bayinya. Aku senang
memperhatikan dia merangkak berputar-putar dalam
pakaiannya yang membuat dia makin menggemaskan.
Menurutku, dia manis. Kalau Kevin mengangkat kepalanya
dan tersenyum padaku, hatiku luluh. Ia bisa membuatku
melupakan segala penderitaanku untuk sementara waktu.
Kepolosannya seakan-akan menghipnotis aku, sebab aku
mengikutinya terus ke mana pun ia merangkak; aku
membersihkan liur yang membasahi sekitar mulutnya dan
selalu berada dekat dengannya untuk menjagainya.
Sebelum Ibu pulang, aku sempat bermain kue pastel
dengan Kevin. Tawa Kevin membuat hatiku hangat. Sejak
saat itu, setiap kali aku merasa tertekan, aku ingat Kevin.
Jiwaku tersenyum setiap kali kudengar Kevin berteriak
atau tertawa gembira. Perasaan hangat karena pertemuan singkatku dengan
Kevin tidak bertahan lama, sebab rasa benci dalam hatiku
muncul kembali. Aku berusaha keras memendam
perasaanku itu, tapi tak bisa. Aku tahu aku tidak pernah
ditakdirkan untuk dicintai. Aku tahu aku tak pemah
menikmati kehidupan seperti yang dinikmati saudara-saudara lelakiku. Yang paling buruk, aku tahu bahwa pada
saatnya nanti Kevin juga akan membenciku, seperti
saudara-saudara kandungku yang lain.
Menjelang akhir musim gugur tahun itu, Ibu mulai
melampiaskan rasa frustrasinya ke lebih banyak lagi
sasaran. Ia sangat membenciku seperti dulu, namun ia
mulai memusuhi teman-temannya, suaminya, saudara
kandungnya, ibunya. Sekalipun masih anak kecil, aku bisa merasakan bahwa
hubungan Ibu dengan keluarganya tidak sehat. Ibu merasa
semua orang berusaha menasihatinya. Ibu tidak pemah
merasa nyaman, apalagi bersama ibunya sendiri yang juga
berkepribadian kuat. Biasanya Nenek mengajak Ibu
membeli baju baru atau pergi ke salon kecantikan. Ibu
tidak sekadar menolak semua tawaran itu. Ia berteriak-teriak dan menjerit-jerit kepada Nenek, sampai akhimya
Nenek meninggalkan rumah-nya.
Kadang kala Nenek mencoba membantuku, tetapi itu
malah membuat keadaan lebih buruk lagi. Ibu menegaskan
bahwa penampilannya dan caranya mengasuh keluarganya
"sama sekali bukan urusan orang lain". Setelah beberapa
kali cekcok seperti itu, Nenek jadi jarang berkunjung ke
rumah Ibu. Mendekati musim liburan, Ibu dan Nenek semakin sering
bertengkar di telepon. Ia menyebut ibunya sendiri dengan
sejumlah nama jahat yang bisa ia bayangkan.
Pertengkaran antara Ibu dan Nenek berakibat buruk
bagiku, sebab di akhir pertengkaran itu aku sering jadi
sasaran kemarahan Ibu. Pemah aku dengar dari basement,
Ibu memanggil semua saudara kandungku ke dapur, lalu
berkata kepada mereka bahwa mereka tidak lagi punya
Nenek, tidak ada lagi Paman Dan.
Dalam hubungannya dengan Ayah pun, Ibu bersikap
kejam. Pada saat Ayah pulang, entah itu sekadar untuk
berkunjung atau bermalam satu hari, Ibu langsung
berteriak-teriak kepada Ayah padahal Ayah baru saja
masuk rumah. Akibatnya, Ayah sering pulang dalam
keadaan mabuk. Agar tidak berurusan dengan Ibu, Ayah
sering mengerjakan hal-hal yang ganjil di luar rumah.
Kemurkaan Ibu bahkan mengejar Ayah sampai ke tempat
kerjanya. Ibu sering menelepon Ayah ke tempat kerjanya
dan mengatainya dengan berbagai sebutan. "Orang yang
tidak berguna" dan "Pemabuk" adalah dua sebutan yang
paling sering digunakan Ibu untuk mengatai Ayah. Setelah
beberapa kali mendapat telepon seperti itu, seorang
anggota pemadam kebakaran teman sekerja Ayah yang
menerima telepon-telepon Ibu menggantungkan gagang
teleponnya begitu saja dan tidak memanggil Ayah. Itu
membuat Ibu murka dan, lagi-lagi, akulah sasaran
kemurkaannya itu. Untuk sementara waktu Ibu melarang Ayah pulang. Kami
cuma bertemu dengannya saat pergi ke San Francisco
untuk mengambil bukti pembayaran gajinya. Suatu kali,
dalam perjalanan mengambil bukti pembayaran gaji Ayah,
kami melewati Golden Gate Park. Sekalipun diriku selalu
dipenuhi kemarahan, aku sempat terkenang akan hari-hari
bahagia saat taman itu memiliki arti besar bagi seluruh
keluarga ini. Ketika kami melewati taman itu dalam
perjalanan mengambil bukti pembayaran gaji Ayah, semua
saudaraku pun terdiam. Tampaknya kami semua
merasakan bahwa taman itu sudah kehilangan daya
tariknya, dan bahwa hari-hari bahagia kami di taman itu
tak akan pemah kembali lagi. Aku menduga saudara-saudara kandungku pun merasa bahwa hari-hari bahagia
itu tidak akan pemah kembali bagi mereka juga.
Sikap Ibu terhadap Ayah berubah, tetapi untuk waktu yang
tidak lama. Pada suatu hari Minggu, Ibu menyuruh semua
anaknya naik ke mobil. Kami diajak masuk ke toko yang
satu ke toko yang lain untuk mencari rekaman lagu-lagu
Jerman. Ibu ingin menciptakan suasana istimewa untuk
Ayah pada saat ia pulang nanti. Sepanjang siang harinya
Ibu sibuk menyiapkan sebuah pesta, dengan gairah seperti
tahun-tahun sebelumnya. Berjam-jam ia membenahi
rambutnya dan mengenakan make-up. Ibu bahkan
mengenakan gaun yang mengingatkan orang akan pribadi
Ibu dulu. Aku yakin Tuhan mengabulkan doaku. Saat Ibu
sibuk menata ini itu di seluruh penjuru rumah, aku
memikirkan hidangan yang dimasak Ibu. Aku pikir
tentunya Ibu melunakkan hatinya untuk mengizinkan aku
makan bersama keluarga. Itu harapan kosong.
Waktu terus berlalu. Ayah diperkirakan sampai di rumah
jam satu siang. Setiap kali mendengar suara mobil
mendekati rumah, Ibu berlari ke pintu depan untuk
menyambut Ayah dengan hangat. Sekitar jam empat sore
Ayah sampai di rumah, sempoyongan, bersama seorang
teman kerjanya. Suasana pesta di rumah membuatnya terkejut. Dari kamar
tidur aku bisa mendengar suara Ibu yang tertahan saat ia
berusaha keras untuk bersabar menghadapi Ayah.
Beberapa menit kemudian Ayah masuk kamar tidur, masih
sempoyongan. Aku memandanginya dengan heran. Belum
pemah kulihat Ayah semabuk itu. Bisa kucium bau
minuman keras, bahkan tanpa Ayah perlu membuka
mulutnya. Sorot matanya lebih memancarkan rasa putus
asa yang membuatnya tidak lagi mampu berdiri tegar.
Bahkan sebelum Ayah membuka pintu lemari pakaian, aku
sudah tahu apa yang akan ia lakukan. Aku tahu kenapa ia
pulang. Begitu ia menyiapkan tas biru gelap-nya, aku mulai
menangis dalam hati. Ingin rasanya tubuhku mengecil lalu
melompat masuk ke dalam tasnya itu, dan ikut pergi
bersamanya. Setelah selesai berkemas, Ayah berlutut dan
menggumamkan sesuatu kepadaku. Semakin kuamati
Ayah, semakin kakiku terasa lemas. Otakku jadi buntu oleh
berbagai pertanyaan. Di manakah pahlawanku" Apa yang
terjadi padanya" Ketika Ayah membuka pintu untuk keluar
dari kamar tidur, teman kerjanya yang mabuk menabrak
Ayah, hampir membuat Ayah jatuh. Ayah menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata dengan suara sedih,
"Aku tak sanggup lagi menanggung semua ini. Semuanya.
Ibumu, rumah ini, dirimu. Aku betul-betul tak sanggup
lagi". Sebelum ia menutup pintu kamar, aku masih sempat
mendengar ia bergumam, "Ma... Ma... Maafkan aku".
Makan malam Thanksgiving tahun itu berantakan. Demi
menunjukkan sikap baik sebagai orang beriman, Ibu
mengizinkan aku makan di meja bersama keluarga. Aku
tenggelam di kursiku. Aku mencoba tenang, berusaha


A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keras untuk tidak mengatakan atau melakukan sesuatu
yang bisa membuat Ibu marah. Aku bisa merasakan
ketegangan di antara kedua orangtuaku. Mereka hampir
tidak berbicara sama sekali, sementara kakak-kakak dan
adikku mengunyah makanan mereka dengan diam. Hampir
saja makan malam itu berakhir ketika kata-kata kasar
mulai saling dilontarkan.
Setelah cekcok itu selesai, Ayah pergi. Ibu mengambil
botol minumannya, lalu duduk sendirian di sofa, dan
menikmati gelas demi gelas minuman ber-alkoholnya. Aku
membereskan meja makan dan mencuci semua
peralatannya. Pada saat itu aku berpikir bahwa kelakuan
Ibu pada malam itu tidak hanya mempengaruhi diriku.
Tampaknya saudara-saudara kandungku pun merasakan
rasa takut yang sama seperti yang selama bertahun-tahun
ini kurasakan. Selama beberapa waktu, Ibu dan Ayah sama-sama
berusaha menahan diri. Namun menjelang Natal, kedua
orangtuaku itu merasa sudah tidak bisa lagi
mempertahankan sikap di antara mereka. Menahan diri,
mencoba bersikap baik satu sama lain tak lagi bisa mereka
pertahankan. Saat duduk di anak tangga atas, sementara
saudara-saudara kandungku membukai bungkusan-bungkusan hadiah Natal mereka, bisa kudengar Ibu dan
Ayah cekcok lagi. Aku berdoa, memohon agar mereka
berbaikan, meskipun untuk satu hari yang istimewa itu
saja. Pada pagi Hari Natal itu aku sadar bahwa kalau Tuhan
menginginkan Ibu dan Ayah bahagia, maka aku harus
mati. Beberapa hari kemudian, Ibu mengepak semua pakaian
Ayah ke dalam beberapa kardus, lalu bermobil bersama
semua anaknya, termasuk aku, menuju suatu tempat
beberapa blok setelah tempat kerja Ayah. Di sana, di
depan sebuah motel yang kumuh, Ayah berdiri menunggu
kami. Raut wajahnya memperlihatkan rasa lega. Hatiku
menciut. Setelah bertahun-tahun berdoa tanpa hasil,
akhimya aku tahu bahwa hal itu terjadi juga-kedua
orangtuaku berpisah. Kukepalkan tanganku kuat-kuat, sampai aku merasa
seakan-akan jari-jariku akan merobek telapak tanganku.
Pada saat Ibu dan saudara-saudara kandungku masuk ke
kamar Ayah di motel itu, aku duduk saja di mobil sambil
mengutuki Ayah berulang kali. Aku benci sekali padanya
karena melarikan diri dari keluarganya. Tetapi mungkin
juga bukan rasa benci. Mungkin aku lebih merasa iri pada
Ayah karena ia berhasil menyelamatkan diri, sedangkan
aku tidak. Aku masih harus hidup bersama Ibu. Sebelum
Ibu menjalankan mobilnya, Ayah membungkukkan
badannya pada jendela yang terbuka di samping tempatku
duduk, kemudian ia memberiku sebuah bun
gkusan. Katanya, bungkusan itu berisi informasi yang ia janjikan
kepadaku, untuk bahan pembuatan laporan yang sedang
kukerjakan di sekolah. Aku tahu Ayah lega bisa
melepaskan diri dari Ibu, tetapi sekaligus bisa kulihat
kesedihan pada sorot matanya ketika mobil Ibu beranjak
pergi. Perjalanan pulang ke Daly City hening. Kalau saudara
saudaraku berbicara, mereka melakukan itu dengan suara
setengah berbisik dan seadanya saja, supaya tidak
membuat Ibu marah. Ketika sampai di batas kota, Ibu
mencoba membuat suasana riang dengan mentraktir anak-anaknya makan di McDonald's.
Seperti biasa, aku duduk menunggu di mobil sementara
mereka masuk ke dalam rumah makan itu. Kupandangi
langit melalui kaca jendela mobil yang terbuka. Selimut
awan abu-abu rata menutupi seluruh permukaan langit,
dan bisa kurasakan titik-titik kecil air dingin dari kabut
jatuh ke wajahku. Kuamati kabut itu, dan aku merasa
takut. Aku tahu, tidak ada lagi yang bisa menahan Ibu.
Sedikit harapan yang pemah kumiliki, pergi sudah. Tak lagi
aku punya kemauan untuk melanjutkan hidupku. Aku
merasa seperti terhukum yang menanti saat hukuman
mati, entah kapan itu akan terjadi.
Rasanya ingin aku melarikan diri dari mobil itu, namun
untuk bergerak sedikit saja aku takut. Aku membenci
diriku sendiri karena kelemahan itu. Bukannya melarikan
diri, aku malah mendekap bungkusan yang diberikan Ayah
kepadaku sambil berusaha mencium cologne yang dipakai
Ayah. Tak ada sedikit pun aroma Ayah yang bisa kucium pada
bungkusan itu, maka aku pun terisak pelan. Pada saat itu,
Tuhanlah yang paling aku benci dari segala sesuatu yang
ada di dunia ini maupun di dunia lain. Tuhan tahu segala
perjuanganku selama bertahun-tahun, namun Ia berdiam
diri saja, membiarkan keadaan berubah semakin buruk. Ia
bahkan tidak memberiku sedikit pun aroma Old Spice After
Shave yang biasa dipakai Ayah. Tuhan merampas satu-satunya harapan terbesarku. Dalam hati, aku mengutuk
nama-Nya, dan berharap aku tak pemah dilahirkan.
Di luar, bisa kudengar suara Ibu dan anak-anak lelakinya
berjalan mendekati mobil. Cepat-cepat kuhapus air mataku
dan kembali kepada kekerasan hatiku yang membuat aku
merasa terlindung. Sambil menjalankan mobilnya keluar
dari pelataran parkir McDonald's, Ibu menoleh sebentar ke
belakang, ke arahku, dan berkata,
"Sekarang kau sepenuhnya jadi milikku. Sayang sekali
ayahmu tidak bisa melindungimu."
Aku tahu, segala pertahananku akan sia-sia. Aku tak
mungkin bertahan hidup. Aku tahu Ibu akan membunuhku,
kalau bukan hari ini, besok. Bila saat itu tiba, aku berharap
Ibu mengasihani aku, dan membunuhku secepat mungkin.
Sementara kakak-kakak dan adikku menikmati hamburger
mereka, tanpa mereka sadari aku mengatupkan kedua
tanganku, kutundukkan kepalaku, kupejamkan mataku,
dan aku berdoa dengan sepenuh hatiku. Ketika station
wagon Ibu masuk pekarangan rumah, aku merasa waktuku
sudah tiba. Sebelum kubuka pintu mobil, kutundukkan
kepalaku lebih dalam lagi, dan dengan perasaan damai
dalam hatiku, aku berbisik,
"...dan Bebaskanlah aku dari yang jahat".
"Amin." ******** EPILOG SONOMA COUNTY, CALIFORNIA Aku merasa begitu hidup. Aku berdiri, berhadapan dengan keindahan Lautan Pasifik
yang membentang tanpa batas. Udara sejuk sore hari
berembus dari perbukitan di belakangku. Selalu hari yang
indah. Matahari semakin turun. Sebuah pesona akan
segera mulai. Langit mulai berubah warna jadi semburat
terang, dari biru lembut menjadi jingga tua terang. Ke arah
barat, aku memandang dengan takjub kedahsyatan
ombak. Sebuah gulungan ombak semakin membesar, lalu
menghantam pantai dengan suara berdebur. Udara basah
yang tak terlihat mengusap wajahku, beberapa saat
sebelum air berbuih putih nyaris membenam seluruh
bagian kakiku. Riak putihnya dengan cepat surut kembali.
Tiba-tiba sepotong kayu yang terapung mendarat di pasir
pantai. Bentuknya berpilin aneh. Potongan kayu itu
berlubang, halus, dan warnanya kusam akibat lama
terpapar sinar matahari. Aku membungkuk untuk
memungutnya. Sebelum jariku sempat menyentuhnya,
lidah air lebih dulu menangkap potongan kayu itu dan
menariknya kembali ke laut. Selama beberapa saat,
poto ngan kayu itu tampaknya berusaha keras untuk tetap
bisa berada di pantai. Ia meninggalkan bekas-bekasnya di
pasir pantai, sebelum akhirnya masuk kembali ke air, di
mana ia terombang-ambing hebat untuk kemudian
menyerah pada kekuatan laut.
Pandanganku terpaku pada potongan kayu itu-betapa
kayu itu mengingatkan aku pada kehidupanku sebelumnya.
Awal kehidupanku sedemikian kejam, penuh dengan
tarikan dan dorongan ke segala arah. Semakin menyiksa
situasi yang kualami, semakin kurasakan seakan-akan ada
kekuatan sedemikian besar yang menarikku masuk ke
pusaran arus bawah air. Aku berjuang membebaskan diri
sekuat tenaga, namun putaran itu rasanya tak pernah
berakhir. Lalu, secara tiba-tiba saja tanpa peringatan lebih
dulu, aku terbebas. Aku merasa sangat beruntung. Masa laluku yang hitam
sudah kutinggalkan. Seburuk apa pun masa laluku itu, aku
jadi tahu bahwa hidupku sepenuhnya terserah padaku.
Dulu aku berjanji pada diriku sendiri bahwa bila aku bisa
keluar hidup-hidup dari situasi yang menimpaku, aku harus
berhasil melakukan sesuatu. Aku harus menjadi yang
terbaik sesuai kemampuanku. Begitulah aku hari ini. Aku
memastikan bahwa masa laluku sudah kulepaskan, dengan
menerima fakta bahwa bagian dari kehidupanku itu
hanyalah sebagian kecil saja dari seluruh kehidupanku. Aku
sadar bahwa lubang hitam itu ada di sana, senantiasa
menunggu untuk mengisap aku dan mengendalikan
nasibku selamanya-tetapi itu kalau aku membiarkannya.
Aku melakukan kontrol positif atas hidupku.
Aku merasa diberi anugerah. Segala tantangan yang biasa
kuhadapi di masa lalu membentuk kekuatan yang sangat
besar di dalam diriku. Aku beradaptasi dengan cepat,
dengan belajar bagaimana bertahan hidup di dalam situasi
yang buruk. Aku tahu bagaimana membangun motivasi di
dalam diri sendiri. Pengalamanku memberi aku
kemampuan untuk melihat hidup ini secara berbeda, yang
mungkin tidak dilihat oleh orang pada umumnya. Aku
memiliki penghargaan yang sangat besar terhadap
berbagai hal yang mungkin oleh orang lain dianggap biasa
saja. Tentu saja aku membuat beberapa kesalahan, tetapi
untunglah aku menjadi semakin baik lagi setelah kukoreksi
kesalahan itu. Aku tidak berdiam di masa lalu, tetapi aku
mempertahankan fokus yang sama yang kuajarkan pada
diriku sendiri bertahun-tahun sebelumnya ketika aku hidup
di basement, bahwa Allah yang baik selalu melindungi,
diam-diam memberiku keberanian dan kekuatan pada
saat-saat aku paling membutuhkannya.
Anugerah yang kuterima termasuk pertemuanku dengan
begitu banyak orang yang memiliki pengaruh positif
terhadap hidupku. Begitu banyak wajah yang mendorong
aku, mengajari aku untuk membuat pilihan-pilihan yang
benar, serta membantu aku dalam usahaku mengejar
keberhasilan. Mereka mendukung niatku untuk
mengembangkan diri. Dalam usahaku memperkaya wawasan, aku mendaftarkan
diri ke United States Air Force. Di situ aku menemukan
nilai-nilai historis dan menanamkan dalam diriku rasa
bangga dan rasa memiliki yang baru pada saat itulah aku
menyadarinya. Setelah berjuang bertahun-tahun lamanya,
tujuanku semakin nyata di situ; di atas segalanya, aku
menyadari bahwa Amerika benar-benar menjadi tempat di
mana seseorang dengan bekal awal yang sangat minim
dapat menjadi pemenang berkat dirinya sendiri.
Terpaan tiba-tiba riak ombak membuyarkan lamunanku.
Potongan kayu yang sejak tadi kuperhatikan, tenggelam
ditelan gerakan air laut. Aku berbalik, dan segera menuju
mobilku. Beberapa saat kemudian aku sudah memacu truk
Toyota-ku melalui banyak tikungan berkelok-kelok seperti
tubuh ular. Aku bergegas menuju tempat idamanku yang selama ini
tak kuberitahukan kepada siapa pun. Bertahun-tahun yang
lalu, ketika aku hidup dalam kegelapan, aku selalu
mendambakan tempat rahasia itu. Kini, setiap kali ada
kesempatan, aku selalu mengunjungi sungai itu. Setelah
berhenti untuk mengambil bawaanku yang tak temilai
harganya di Rio Villa, dekat Monte Rio, aku kembali
memacu kendaraanku. Bagiku, aku berpacu dengan waktu,
karena matahari hampir terbenam dan salah satu impian
seumur hidupku tak lama lagi menjadi kenyataan.
Begitu memasuki kota Guerneville yang tenang, aku
harus menjalankan Toyota-ku perlahan-lahan. Sampai pada
sebuah persimpangan, aku berbelok ke kanan, menapaki
jalan menuju Riverside. Dari jendela mobil yang kacanya
kuturunkan, kuhirup dalam-dalam udara beraroma manis
dan bersih dari pepohonan redwood, yang daunnya
melambai-lambai. Kuhentikan mobil di depan rumah yang sama, yang dulu
sekali dipakai kami sekeluarga menginap selama liburan
musim panas-17426 Riverside Drive. Sama seperti banyak
hal lainnya, rumah itu pun sudah berubah. Bertahun-tahun
yang lalu, dua kamar tidur kecil ada di belakang perapian.
Terlihat ada bekas upaya yang asal-asalan untuk
melebarkan dapur yang sempit sebelum terjadi banjir pada
tahun 1986. Bahkan pohon besar dan kokoh, yang
bertahun-tahun lalu kami, aku dan saudara-saudaraku-
panjati selama berjam-jam, kini membusuk. Yang tak
berubah tinggal langit-langit cabin dari kayu pohon cedar
berwarna gelap dan perapian yang terbuat dari batu kali.
Ada rasa sedih muncul dalam diriku ketika aku hendak
menapaki jalan setapak berpasir dan berkerikil. Kemudian,
sambil berusaha untuk tidak mengganggu siapa pun di
situ, ku-tuntun anak lelakiku, Stephen, melalui jalan
sempit di samping rumah yang sama. Di jalan itulah dulu,
bertahun-tahun yang lalu, orangtuaku menuntun aku dan
saudara-saudaraku. Aku kenal pemiliknya, dan aku yakin ia
tidak keberatan aku dan anakku lewat situ. Tanpa sepatah
kata pun, aku dan anakku memandang ke arah barat.
Russian River tak pernah berubah, hijau gelap dan selicin
kaca, airnya tiada henti mengalir lembut ke Samudra
Pasifik yang maha besar. Burung-burung blue jay
bersahut-sahutan saat mereka menari di udara, untuk
kemudian menghilang di antara pepohonan redwood.
Langit di atas kami sudah bermandikan alur-alur warna
jingga tua dan biru. Sekali lagi kuhirup napas panjang dan


A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kupejamkan mata, sepuas mungkin kunikmati saat-saat itu
seperti dulu, bertahun-tahun yang lalu.
Setetes air mata mengalir di pipiku ketika aku membuka
mataku. Aku berlutut, kurengkuh Stephen ke dalam
pelukanku. Ia memberiku ciuman.
"Aku menyayangimu, Ayah."
"Aku juga menyayangimu," jawabku.
Anak lelakiku menengadah, memandangi langit yang
beranjak gelap. Matanya membelalak saat ia tersentak oleh
pesona pemandangan yang mengiringi terbenamnya
matahari. "Inilah tempat yang paling kusukai di seluruh dunia!"
Stephen berkata mantap. Tenggorokanku tercekat. Air mata mengambang di pelupuk
mataku. "Aku juga," jawabku.
"Aku juga." Stephen masih dalam usia seorang anak kecil yang polos,
namun sifat bijaksananya melampaui usianya. Bahkan saat
itu, ketika air mata yang asin membasahi wajahku,
Stephen tersenyum, memberiku kesempatan untuk
mempertahankan harga diriku. Dan ia tahu mengapa aku
menangis. Stephen tahu air mataku adalah air mata
bahagia. "Aku menyayangimu, Ayah."
"Aku juga menyayangimu, Nak."
Aku bebas. CHILD ABUSE BEBERAPA SUDUT PANDANG DAVE PELZER KORBAN SELAMAT Sebagai anak yang hidup dalam kegelapan, saya merasa
takut seumur hidup dan saya kira hanya saya seorang diri
yang hidup seperti itu. Kini, setelah dewasa, saya tahu
bahwa saya bukan satu-satunya anak yang mengalami
kehidupan seperti itu, ada ribuan anak lain korban
penyiksaan. Ada beragam sumber informasi, tetapi diperkirakan satu
dari lima anak mengalami penyiksaan fisik, emosional, dan
seksual di negara kami (Amerika Serikat). Sayangnya,
sebagian masyarakat yang tidak memperoleh cukup
informasi beranggapan bahwa kebanyakan tindakan
penyiksaan tidak lebih daripada sekadar tindakan agak
berlebihan orangtua dalam menjalankan "hak" mereka
untuk mendisiplinkan anak-anaknya. Boleh jadi mereka
juga beranggapan bahwa penegakan disiplin yang
berlebihan pada masa kanak-kanak tidak mempengaruhi
sikap mereka setelah dewasa. Informasi seperti itu sangat
menyesatkan, bahkan bisa berakibat tragis.
Pada setiap saat, seorang dewasa yang pernah menjadi
korban penyiksaan di masa kecilnya mungkin saja
melampiaskan rasa frustrasinya kepada lingkungan sosial-nya atau kepada orang-orang yang ia cintai. Menyangkut
kasus-kasus yang luar biasa, masyarakat luas biasanya
cepat mengetahuinya. Peristiwa-peristiwa yang
meng hebohkan menjadi santapan media, yang pada
gilirannya menaikkan peringkat media bersangkutan. Kita
mendengar kejadian tentang seorang ayah yang pengacara
yang meninju anaknya sampai pingsan lalu meninggalkan
si anak tergeletak begitu saja di lantai, sementara ia
sendiri kemudian pergi tidur. Kita mendengar kejadian
tentang seorang ayah yang membenamkan kepala
anaknya yang masih kecil ke toilet. Kedua anak itu tewas.
Bahkan ada kasus yang lebih menghebohkan lagi, yakni
ibu dan ayah masing-masing membunuh seorang anaknya
lalu menyembunyikan mayat kedua anak itu selama empat
tahun. Ada kisah-kisah lain yang juga menggemparkan,
seperti seorang anak korban penyiksaan yang tumbuh
menjadi seorang pria pembantai dengan menembaki
orang-orang tak berdaya di McDonald's, sehingga polisi
terpaksa menembaknya mati.
Yang lebih umum terjadi adalah anak-anak yang tak
dikenal yang menghilang begitu saja, seperti anak
tunawisma yang tinggal di bawah jembatan layang dan
menggunakan kardus sebagai rumahnya. Setiap tahun
ribuan anak perempuan korban penyiksaan kabur dari
rumah mereka lalu menjual diri untuk bertahan hidup. Ada
juga mereka yang memberontak, lalu menjadi anggota
geng-geng dan sepenuhnya melibatkan diri dalam tindakan
kejam serta merusak. Banyak anak korban penyiksaan menyembunyikan masa
lalu mereka dalam-dalam di dalam dirinya, sedemikian
dalam sampai-sampai kemungkinan mereka sendiri
menjadi orang dewasa penyiksa sangat tak terduga.
Mereka hidup normal, menjadi suami atau istri,
membangun rumah-tangga, dan membangun karier.
Namun persoalan sehari-hari sering memaksa mereka yang
dulunya adalah anak korban penyiksaan bertingkah laku
seperti tingkah laku yang mereka terima saat kanak-kanak. Pasangan dan anak-anaknya sendiri kemudian
menjadi sasaran rasa frustrasinya, dan tanpa disadari
terbentuklah suatu lingkaran kemarahan yang sempuma,
tak ada habisnya. Beberapa anak korban penyiksaan berdiam diri dalam
tempurung mereka, tak berbuat apa-apa. Mereka melihat
ke arah lain, karena mereka percaya bahwa dengan tidak
mengakui masa lalu mereka maka semua peristiwa masa
lalu itu akan hilang dengan sendirinya. Tampaknya mereka
percaya bahwa yang terpenting adalah menjaga Kotak
Pandora tetap tertutup rapat.
Di Amerika Serikat, setiap tahun jutaan dolar
disumbangkan kepada badan-badan perlindungan anak.
Seluruh dana tersebut disalurkan ke berbagai fasilitas
seperti asrama yatim piatu (foster homes) dan
penampungan remaja (juvenile halls). Ada juga dana yang
disalurkan ke ribuan badan swasta yang mempunyai misi
antara lain upaya pencegahan dini penyiksaan terhadap
anak, konseling bagi orangtua yang abusive dan anak-anak
mereka yang menjadi korbannya. Setiap tahun jumlah
kasus penyiksaan anak terus meningkat. Pada tahun 1990,
di Amerika Serikat, ada 2,5 juta kasus penyiksaan anak
yang dilaporkan. Pada tahun 1991 angka itu meningkat
jadi lebih dari 2,7 juta kasus. Dan ketika artikel ini saya
tulis, angka itu sudah melebihi 3 juta kasus.
Mengapa" Apa yang menyebabkan tragedi penyiksaan
anak terjadi" Apakah kasusnya seburuk yang dilaporkan"
Dapatkah tragedi itu dihentikan" Dan mungkin pertanyaan
yang paling penting diajukan adalah, seperti apakah
penyiksaan itu dari sudut pandang anak kecil"
Yang baru saja selesai Anda baca adalah kisah tentang
sebuah keluarga biasa yang menjadi berantakan akibat
rahasia yang tersembunyi di antara mereka. Kisah itu
dipaparkan dengan dua tujuan: pertama, memberikan
informasi kepada pembacanya bagaimana orangtua yang
penuh cinta dan penuh perhatian bisa berubah menjadi
monster tanpa belas kasihan dan abusive, yang
melampiaskan segala rasa frustrasi kepada seorang anak
kecil yang tak berdaya; kedua, menunjukkan keberhasilan
untuk tetap bertahan hidup serta kemenangan semangat
hidup manusia dalam mengalahkan berbagai perlakuan
ganjil yang seakan-akan tak terkalahkan.
Ada pembaca yang akan merasakan bahwa kisah ini tidak
nyata dan membuat perasaan tidak nyaman, tetapi
penyiksaan terhadap anak-anak atau child abuse adalah
sebuah gejala yang memang menimbulkan rasa tidak
nyaman dan itu sungguh terjadi di masyarakat
kita. Penyiksaan anak memiliki efek domino, saling terkait, yang
menyentuh semua pihak yang berhubungan dengan
keluarga bersangkutan. Yang menanggung penderitaan
terbesar adalah si anak sendiri, baru kemudian terbagi di
antara para anggota keluarga langsung sampai pasangan
hidup, yang sering kali merasa tercabik dalam memihak
antara si anak dan pasangan hidupnya. Dari situ,
penderitaan menyebar kepada anak-anak lain dalam
keluarga bersangkutan yang tidak tahu-menahu tetapi juga
merasakan ketakutan yang diakibatkannya. Yang juga
terlibat dalam efek domino itu adalah para tetangga yang
mendengar teriakan atau jeritan namun tidak berbuat apa-apa, para guru yang melihat luka-luka atau memar-memar
dan harus berurusan dengan murid yang mengalami
kesulitan menangkap pelajaran, lalu para sanak keluarga
yang berniat membantu namun tidak ingin kehilangan tali
persaudaraan. Kisah ini lebih daripada sebuah kisah mempertahankan
kelangsungan hidup. Kisah ini merupakan sebuah cerita
kemenangan. Bahkan dalam saat-saat yang paling kelam
pun, kemauan hiduplah yang berusaha tak kunjung padam.
Perjuangan fisik mempertahankan kelangsungan hidup
memang penting, tetapi yang lebih penting dan bermakna
lagi adalah mempertahankan semangat agar tetap hidup.
Kisah ini merupakan kisah hidup saya dan saya sendirilah
yang mengalaminya. Selama bertahun-tahun saya
dikurung dalam kegelapan, dikucilkan dari pikiran dan
perasaan saya sendiri, merasa sendirian, serta menjadi
anak yang selalu dikalahkan. Pada mulanya saya sekadar
ingin menjadi seperti orang-orang lain pada umumnya,
namun motivasi saya berkembang terus. Saya ingin
menjadi "pemenang". Selama lebih dari 13 tahun saya
mengabdikan diri bagi negara sebagai anggota militer.
Sekarang saya mengabdi negara dengan cara memberikan
berbagai seminar dan workshop kepada mereka yang
membutuhkan, untuk membantu mereka memutuskan
mata rantai yang mengekang mereka. Sebagai salah satu
korban child abuse yang mampu bertahan, saya membawa
pesan bagi anak-anak yang mengalami penyiksaan dan
bagi mereka yang mendampinginya. Saya membawa
sebuah perspektif yang saya peroleh melalui kenyataan
brutal sebagai korban dan berharap bahwa perspektif itu
memupuk harapan bagi masa depan yang lebih baik. Yang
lebih penting lagi, saya berhasil memutus lingkaran setan
kemarahan dan menjadi seorang ayah yang membuat
satu-satunya kesalahan, yaitu memberikan terlalu banyak
kasih sayang dan dukungan bagi anak lelakinya.
Dewasa ini di Amerika Serikat terdapat jutaan orang yang
sangat membutuhkan bantuan. Menjadi tugas saya
mendampingi mereka yang membutuhkan bantuan itu.
Saya yakin kita perlu tahu bahwa apa pun yang pernah kita
alami di masa lalu, kita pasti mampu mengalahkan sisi
gelapnya dan menuju dunia yang lebih terang. Memang
kedengaran seperti sebuah paradoks bahwa tanpa
pengalaman sebagai anak yang mengalami penyiksaan,
saya mungkin tidak pernah menjadi diri saya sekarang ini.
Masa gelap yang saya alami ketika masih kanak-kanak
memberi saya kemampuan yang sangat baik untuk
menghargai hidup. Saya beruntung memiliki kemampuan
mengubah tragedi menjadi sebuah kemenangan. Itulah
kisah saya. Mungkin belum pernah terjadi dalam sejarah Amerika
sebuah keluarga mengalami tekanan seperti saat ini.
Berbagai perubahan di bidang ekonomi dan sosial telah
mendesak keluarga sampai ke batasnya, dan situasi itu
membuat penyiksaan terhadap anak lebih mungkin terjadi.
Jika masyarakat memiliki pengaruh langsung terhadap
persoalan child abuse, itu harus diungkapkan. Dan jika
berhasil diungkapkan, berbagai penyebab terjadinya child
abuse dapat dipahami dan barulah dukungan benar-benar
bisa diberikan. Masa kanak-kanak seharusnya penuh
keceriaan, bermain dalam terang sinar matahari; bukannya
hidup dalam mimpi menakutkan yang bersumber dalam
kegelapan jiwa. STEVEN E. ZIEGLER GURU Bulan September 1992 bagi saya adalah bulan dimulainya
lagi kegiatan belajar di sekolah. Dengan pengalaman 22
tahun mengajar sampai pada tahun itu, saya selalu bisa
merasakan suasana hiruk-pikuk yang melelahkan dan
sedikit kebingungan yang menjadi wama khas saat-saat
sepert i itu. Ada hampir 200 siswa baru yang nama-namanya dan catatan-catatan mengenai diri mereka harus
saya pelajari; belum lagi beberapa anggota staf pengajar
baru yang harus diperkenalkan pada segala sesuatu yang
harus mereka ketahui. Saat itu juga berarti selamat tinggal
liburan musim panas, selamat datang tambahan beban
tugas yang harus dikerjakan, dan berbagai laporan dari
Sacramento menyangkut dana bagi sekolah-sekolah.
Tampaknya tidak ada yang berbeda pada setiap awal
dimulainya kegiatan sekolah, sampai akhimya saya
menerima sebuah pesan telepon tanggal 21 September,
yang membuat saya merasakan kembali rasa sedih 20
tahun sebelumnya: "Seseorang bemama David Pelzer berharap Anda sudi
menghubungi agennya untuk membicarakan laporan
mengenai child abuse yang pemah Anda tangani 20 tahun
yang lalu". Masa lalu berputar balik terlalu cepat.
Ya, saya tidak akan lupa David Pelzer. Waktu itu saya baru
lulus perguruan tinggi, menjadi guru baru, dan kalau saya
tengok ke belakang, sebetulnya tidak banyak yang saya
ketahui tentang kenyataan sesungguhnya dari karier yang
saya pilih itu. Dan di situlah, hal yang paling tidak saya
ketahui adalah mengenai child abuse.
Pada awal tahun 1970-an saya tidak tahu bahwa child
abuse sungguh-sungguh terjadi. Dan kalaupun itu benar-benar terjadi, semuanya akan tersimpan di dalam "lemari
pakaian" seperti halnya gaya hidup atau kelakuan
masyarakat kita pada saat itu. Banyak yang sudah kita
ketahui, tetapi baru sedikit yang kita perbuat.
Kenangan saya kembali ke Thomas Edison School di Daly
City, California, pada bulan September 1972. David Pelzer
adalah salah satu murid saya di kelas lima. Temyata, dulu
itu saya memang naif. Bagaimanapun, tampaknya saya dianugerahi kepekaan
yang membisiki saya bahwa ada yang sangat tidak beres


A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam hidup David. Makanan yang hilang dari bekal
makan siang murid-murid lain bila ditelusuri mengarah
pada anak yang kurus dan berwajah sedih itu. Luka-luka
dan memar-memar yang mengundang tanda tanya tampak
jelas pada beberapa bagian anggota tubuhnya yang tak
tertutup pakaian. Semua itu menjadi jelas mengarah pada
satu hal: anak ini dipukuli dan dihukum sedemikian rupa,
jauh melampaui batas praktek pengasuhan anak oleh
orangtua. Baru beberapa tahun kemudian saya tahu bahwa yang
saya saksikan di kelas saya sebelumnya itu adalah kasus
child abuse nomor tiga terparah yang tercatat di seluruh
negara bagian California.
Saya sama sekali tidak punya hak untuk memaparkan
kembali rincian data mengenai apa yang kami lihat dengan
mata kepala sendiri, yang kemudian saya susun bersama
sejumlah guru lain sebagai laporan yang kami serahkan
kepada pihak berwenang bertahun-tahun yang lalu. Bagian
itu akan tetap menjadi hak istimewa David dan peluang
baginya untuk ditulis dalam buku ini. Sungguh menjadi
peluang yang tak temilai bahwa orang muda ini berani
tampil dan memaparkan kisahnya kepada kita sehingga
masyarakat dapat mencegah penderitaan yang tidak
semestinya bagi anak-anak lain. Saya sungguh mengagumi
keberaniannya melakukan itu.
Saya selalu mengharapkan yang terbaik bagimu, David.
Tak ada sedikit pun keraguan dalam diri saya bahwa kau
sungguh menjadi yang terbaik.
******** VALERIE BIVENS PEKERJA SOSIAL Sebagai anggota Social Worker for Child Protective
Services, California, dengan sendirinya saya memantau
frekuensi dan situasi yang mengenaskan akibat tindak
kriminal terhadap anak-anak. Buku ini merupakan laporan
tertulis mengenai kisah penyiksaan di luar batas yang
menimpa diri seorang anak. Kita bisa mengetahui persepsi
si anak selama ia berada dalam situasi menakutkan yang
terus-menerus, dari kehidupan di sebuah keluarga ideal
menjadi seorang "tawanan perang" di rumahnya sendiri.
Kisah ini dipaparkan kepada pembacanya oleh seorang
survivor, korban yang selamat, dari penyiksaan oleh ibu
kandungnya sendiri, berkat keberanian serta keteguhan
hati yang luar biasa. Sayang sekali bahwa masyarakat pada umumnya tidak
menyadari luasnya pengaruh child abuse ini. Sangat jarang
anak-anak korban tindakan kriminal berani menceritakan
kisahnya atau melawan mereka yang menyiksanya. Rasa
marah d an sakit yang diderita anak-anak ini dan yang tidak
berani mereka ungkapkan, pada akhirnya merugikan diri
mereka sendiri atau orang-orang lain yang dekat dengan
mereka. Maka, lingkaran kemarahan yang menciptakan
peluang bagi terjadinya child abuse terus berlanjut dan
berulang. Dewasa ini semakin sering kita mendengar peristiwa child
abuse. Film-film dan artikel-artikel di majalah-majalah
yang mengupas persoalan itu semakin banyak beredar,
namun kasus-kasus di situ sering dipaparkan secara
sensasional sehingga kita semakin tidak paham apa dan
bagaimana sesungguhnya child abuse itu, apa yang
sesungguhnya dialami dan diderita oleh anak yang menjadi
korbannya. Buku ini membuka wawasan kita, mencerahkan, dan
mendidik. David mengajak kita ikut mengalami rasa
takutnya, rasa kekalahannya, rasa kesendiriannya, rasa
sakitnya, dan rasa marahnya, sampai pada harapan
terakhimya. Dengan masuk ke dalam alur itu, menjadi
jelas bagi kita betapa menyakitkannya dunia gelap yang
diderita anak-anak korban child abuse. Bahkan secara lebih
detil, kita bisa merasakan tangisan anak-anak itu melalui
mata, telinga, dan badan David Pelzer. Juga dengan
membaca buku ini kita bahkan bisa merasakan keteguhan
hati David untuk keluar dari siksaan yang tak kunjung
henti menuju kemenangan. ******** GLENN A. GOLDBERG MANTAN EXECUTIVE DIRECTOR OF THE
CALIFORNIA CONSORTIUM FOR THE
PREVENTION OF CHILD ABUSE
Pengalaman David Pelzer pantas diungkapkan agar kita
dapat menggerakkan rakyat Amerika untuk menciptakan
sebuah negara yang tidak akan menyakiti anak-anak kecil.
Jutaan anak-anak kita, sumber daya alam kita yang paling
berharga, menjadi korban wabah child abuse dan
penolakan orangtua yang tragis dan sulit diterima akal
sehat. Baik tingkat maupun intensitas pola pengasuhan
anak secara keliru meningkat tajam dalam kurun sepuluh
tahun terakhir. Kisah David Pelzer dapat membantu siapa saja untuk
memahami bahwa krisis child abuse menjalar sedemikian
cepat dan sudah jauh melampaui batasnya. Setiap tahun
ratusan ribu anak yang tak berdaya diperlakukan kasar dan
mengalami penyiksaan fisik, emosional, dan seksual.
Setiap tindakan penyiksaan anak berpengaruh jauh sampai
ke masa yang akan datang; kalau seorang anak menderita,
holeh jadi kita semua akan menanggung akibatnya. David
Pelzer adalah korban yang mampu membebaskan diri dari
perlakuan kasar yang ia terima ketika masih kanak-kanak,
dan kisahnya menjadi inspirasi bagi kita semua.
Bagaimanapun, kita tidak pemah boleh melupakan puluhan
ribu anak lain yang tidak mampu bertahan mengalami
perlakuan buruk, dan jutaan anak lainnya yang sampai
saat ini masih menderita. Satu-satunya obat bagi wabah
child abuse ini adalah mencegahnya agar tidak terjadi.
Maka, menjadi harapan besar bagi saya bahwa buku ini
bisa membantu mengarahkan prakarsa yang dilakukan
oleh semakin banyak pihak untuk mencegah terjadinya
segala bentuk child abuse.
Tak Pernah Kutahu Tak pernah kutahu seburuk apa;
Tapi kudengar itu ada. Kelakuan kriminal yang membuatku ngeri dan marah
Karena merampas perkembangan
Pada bagiannya yang paling bemas.
Tak pernah kutahu seberapa sakit;
Memar dan luka tak tampak.
Dan mengapa di situ titik pada garis kehidupan,
Penyiksaan brutal harus kau tanggung
Tak pernah kutahu seperti apa perasaanmu;
Kau seperti tak punya kehendak.
Yang kutahu kau tak ke mana-mana,
Tak pernah sempat kau ungkapkan perasaanmu.
Tak pemah kutahu sesuatu yang bisa kulakukan; Yang
mungkin bisa membantu barang sedikit. Sebab yang
kaubutuhkan cuma seorang sahabat;
Siapa pun yang mau menjadikanmu sahabat.
Tetapi sekarang aku tahu Bahwa aku bisa berbuat sesuatu;
Bahkan membuat sesuatu jadi lain.
Aku akan tegak bersamamu;
Aku akan berteriak bersamamu,
Maka orang-orang lain tak mungkin lagi berkata.
"Tak pemah kutahu."
Cindy M. Adams TENTANG PENULIS Dave adalah pensiunan Angkatan Udara Amerika Serikat,
yang pemah ambil bagian dalam operasi Just Cause,
Desert Shield, dan Desert Storm. Saat masih aktif di
Angkatan Udara itu ia terlibat dalam aktivitas di Juvenile
Hall dan dalam berbagai program lain seputar "Remaja
yang Terancam" di seluruh pelosok neg
ara bagian California. Sebagai pengakuan atas prestasi-prestasi istimewanya,
Dave dianugerahi berbagai bentuk penghargaan, termasuk
pujian secara pribadi dari dua mantan presiden Amerika
Serikat, Ronald Reagan dan George Bush. Tahun 1990 ia
menerima J.C. Penney Golden Rule Award. Pada Januari
1993 ia mendapat penghargaan sebagai salah satu dari
Ten Outstanding Young Americans. Ia bergabung dalam
sebuah kelompok alumni terkemuka yang antara lain
beranggotakan John F. Kennedy, Richard Nixon, Anne
Bancroft, Orson Welles, Elvis Presley, Walt Disney, dan
Nelson Rockefeller. Pada November 1994 ia menjadi satu-satunya warga
Amerika yang dianugerahi penghargaan sebagai salah satu
dari Outstanding Young Persons of the World, di Kobe,
Jepang, atas upayanya meningkatkan kewaspadaan akan
perlakuan kasar terhadap anak-anak dan pencegahannya,
juga atas kegigihannya yang tanpa kenal henti dalam
menanamkan pentingnya bersikap tabah. Dave
memperoleh penghargaan membawa api Olimpiade, yang
mencerminkan kegigihan semangat dalam pawai arak-arakan membawa api Olimpiade 1996.
Dave adalah penulis buku The Lost Boy, buku yang kedua
dari rangkaian tiga-buku atau trilogi, dan buku penutupnya
yang berjudul A Man Named Dave.
Di waktu luang, Dave sering melakukan perjalanan
bersama anaknya, Stephen, atau tinggal di rumahnya yang
bersuasana tenang bersama istri dan seekor kura-kura
bernama Chuck, di Rancho Mirage, California.
PERTANYAAN Bagi kebanyakan orang, membaca buku ini A Child Called
"It"-bisa mengusik emosi, juga memunculkan banyak
pertanyaan. Mungkin banyak pertanyaan tersebut bisa
terjawab dalam dua buku selanjutnya dalam trilogi ini,
yakni The Lost Boy dan A Man Named Dave.
Bila Anda masih mempunyai pertanyaan atau komentar,
silakan mengirimkan surat Anda ke alamat di bawah ini.
Jangan lupa menyertakan dalam surat Anda tersebut
amplop yang sudah berperangko dan mencantumkan
alamat Anda. Bila tidak, surat Anda tidak akan kami balas,
mengingat begitu banyaknya surat yang kami terima.
D-ESPRIT P.O. Box 1846 Rancho Mirage, CA 92270 Terima kasih. tamat Rahasia Pulau Biru 2 Gento Guyon 14 Kemelut Iblis Siluman Bukit Tengger 2
^