Pencarian

Taiko 25

Taiko Karya Eiji Yoshikawa Bagian 25


sini! Suruh dia datang sekarang juga!"
Suara langkah berlari terdengar menggema di kuil. Yoshida Yaso menerima perintah Katsuie dan
segera memacu kudanya ke Gunung Oiwa.
Hari yang panjang itu akhirnya menjadi gelap, dan cahaya api unggun mulai menari-nari pada
bayangan daun-daun muda. Lidah api itu mencerminkan perasaan di hati Katsuie.
Perjalanan pulang-pergi sejauh enam mil dapat ditempuh dalam sekejap dengan kuda yang berlari
kencang, dan dalam tempo singkat Yaso telah kembali.
"Hamba memberitahunya bahwa ini merupakan peringatan terakhir, dan menegurnya dengan keras.
Tapi Yang Mulia Genba tidak bersedia mundur."
Dengan demikian, utusan keenam pun kembali tanpa membawa hasil. Katsuie tak sanggup lagi
marah-marah, dan seandainya tidak di medan tempur, ia akan berurai air mata. la tenggelam dalam
kesedihan dan menyalahkan dirinya sendiri.
menyesali kasih sayang buta yang selama ini ia berikan pada Genba.
7 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Akulah yang bersalah." ia berkeluh kesah.
Di medan perang, tempat seseorang harus bertindak berdasarkan disiplin militer yang ketat, Genba
telah menyalahgunakan hubungan dekatnya dengan pamannya. la telah mengambil keputusan
yang dapat menentukan nasib seluruh marga, dan berkeras mempertahankan sikapnya tanpa
pertimbangan matang. Namun siapakah yang membiarkan anak muda tersebut terbiasa dengan sepak terjang seperti itu"
Bukankah kekacauan ini akibat sikap Katsuie sendiri" Berkat kasih sayangnya yang buta pada
Genba, Katsuie telah kehilangan putra sangkatnya, Katsutoyo, serta Benteng Nagahama. Sekarang
ia terancam kehilangan kesempatan luar biasa yang takkan terulang, yang akan menentukan nasib
seluruh marga Shibata. Ketika pikiran-pikiran itu melintas dalam benaknya, Katsuie merasakan penyesalan mendalam, dan
ia sadar bahwa kesalahan tak dapat ditimpakan pada orang lain.
Masih ada lagi yang dilaporkan Yaso - kata-kata yang diucapkan Genba.
Menanggapi saran Yaso, Genba hanya tertawa dan bahkan mencemooh pamannya.
"Dahulu kala, jika orang-orang menyinggung nama Yang Mulia Katsuie, mereka menyebutnya Iblis
Shibata, dan berkata bahwa dia jendral yang penuh siasat-siasat misterius - paling tidak, itulah
yang kudengar. Tapi kini taktik-taktiknya berasal dari kepala uzur yang tidak mengikuti
perkembangan. Peperangan sekarang ini tak bisa dimenangkan dengan strategi-strategi yang telah
ketinggalan zaman. Lihatlah penyusupan kami ke wilayah musuh. Mula-mula pamanku bahkan tidak
memberi izin untuk menjalankan rencana tersebut. Seharusnya dia menyerahkan semuanya
padaku, dan menunggu hasilnya dalam satu-dua hari ini."
Kemurungan dan kesedihan Katsuie menimbulkan rasa iba. Ia, lebih dari siapa pun, sepenuhnya
menyadari kemampuan Hideyoshi sebagai pang-lima. Komentar-komentar yang diberikannya pada
Genba dan para pengikutnya yang lain sesungguhnya hanya dimaksudkan untuk melenyapkan rasa
takut mereka terhadap musuh. Dalam hati, Katsuie mengakui Hideyoshi sebagai lawan tangguh,
terutama setelah Hideyoshi kembali dari provinsi-provinsi Barat dan memenangkan Pertempuran
Yamazaki dan tampil mengesankan pada penemuan di Kiyosu. Kini musuh yang hebat itu telah
berada di hadapannya, dan di awal pertempuran yang menentukan, ia menyadari bahwa sekutunya
sendiri merupakan batu sandungan.
"Kelakuan Genba sungguh keterlaluan. Belum pernah aku merasakan pahitnya kekalahan atau
membelakangi musuh. Ah, ini memang tak terelakkan."
Malam semakin gelap, dan penderitaan Katsuie berubah menjadi kepasrahan.
Tak ada utusan lagi. Muslihat Genba 8 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pada hari yang sama - hari kedua puluh bulan itu, pada Jam Kuda - Hidenaga mengirim laporan
pertamanya ke perkemahan Hideyoshi di Ogaki.
Pagi ini pasukan Sakuma yang berkekuatan delapan ribu orang menyusuri jalan gunung dan
menyusup jauh ke wilayah kita.
Ogaki berjarak sekitar tiga puluh sembilan mil dari Kinomoto, dan untuk kurir berkuda pun, utusan
yang membawa laporan itu luar biasa cepat.
Hideyoshi baru saja kembali dari tepi Sungai Roku, yang didatanginya untuk mengamati kenaikan
permukaan air. Mino diguyur hujan deras selama beberapa hari terakhir, dan Sungai Goto maupun
Roku, yang mengalir antara Ogaki dan Gifu, kini tengah meluap.
Menurut rencana semula, serangan umum ke Benteng Gifu dijadwalkan untuk hari kesembilan
belas, tapi hujan lebat serta banjirnya Sungai Roku telah menghalangi Hideyoshi, dan hari itu pun
tak ada harapan untuk menyeberangi sungai tersebut. Sudah dua hari ia menanti kesempatan untuk
bergerak maju. Hideyoshi menerima pesan penting dari kurir di luar perkemahan, dan membaca suratnya sambil
duduk di atas kudanya. Setelah mengucapkan terima kasih pada si kurir, ia memasuki per-
kemahan tanpa memperlihatkan emosi.
"Bagaimana kalau kau membuatkan secawan teh, Yuko?" ia bertanya. Kira-kira pada waktu ia
sedang menghabiskan tehnya, kurir kedua tiba:
Pasukan berkekuatan dua belas ribu orang di bawah komando Yang Mulia Katsuie telah mengambil
posisi. Mereka bertolak dari Kitsunezaka, ke arah Gunung Higashino.
Hideyoshi telah pindah ke kursinya di dalam markas bertirai, dan kini ia memanggi sejumlah
anggota stafnya dan berkata pada mereka. "Aku baru saja menerima pesan penting dari Hidenaga."
Dengan tenang ia membacakan surat itu. Para jendral tampak terkejut mendengarnya. Pesan ketiga
dikirim oleh Hori Kyutaro, yang memerinci perjuangan gagah serta kematian Nakagawa. Ia juga
menjelaskan keberhasilan musuh merebut Gunung Iwasaki akibat gerak mundur Takayama.
Hideyoshi memejamkan mata sejenak ketika mendengar Nakagawa gugur dalam pertempuran.
Sejenak roman muka para jendralnya tampak putus asa, dan mereka menyemburkan
pertanyaan-pertanyaan menyedihkan. Semuanya menatap Hideyoshi, seakan-akan hendak
membaca dari wajahnya bagaimana mereka akan menangani situasi berbahaya ini.
"Kematian Sebei merupakan kehilangan besar." ujar Hideyoshi, "tapi dia tidak gugur sia-sia." Ia
mengeraskan suaranya sedikit. Tunjukkanlah semangat kalian, dan dengan demikian kalian
menghormati arwah Sebei. Semakin banyak tanda bahwa kita akan meraih kemenangan besar.
Semula Katsuie terkunci di bentengnya, terputus dari dunia dan tak sanggup mencari jalan keluar.
Kini dia telah meninggalkan benteng yang merupakan penjara baginya, dan dengan angkuh
melebarkan formasinya ke segala penjuru. Ini membuktikan bahwa keberuntungannya telah
menipis. Kurasa kita dapat menghancurkan bajingan itu sebelum dia sempat mengistirahatkan
pasukannya, waktunya sudah tiba untuk mewujudkan hasrat kita dan melakukan pertempuran
menentukan bagi negeri ini! Waktunya sudah tiba, dan jangan sampai satu orang pun dari kalian
9 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tertinggal!" Dengan beberapa patah kata saja Hideyoshi mengubah berita buruk itu menjadi alasan untuk
bersukacita. "Kemenangan milik kita!" Hideyoshi menyatakan. Kemudian, tanpa membuang-buang waktu, ia
mulai memberikan perintah-perintah. Para jendral segera pergi dan semuanya bagaikan terbang
ketika kembali ke perkemahan masing-masing.
Orang-orang itu, yang semula diliputi perasaan terancam bahaya besar, kini merasa tak sabar dan
tegang, menunggu-nunggu nama mereka dipanggil ketika Hideyoshi memberikan perintah-perintah
nya. Selain para pelayan dan pembantu Hideyoshi, hampir semua jendral telah pergi untuk bersiap-siap.
Tapi dua orang setempat, Ujiie Hiroyuki dan Inaba Ittetsu, juga Horio Mosuke, yang berada
langsung di bawah komando Hideyoshi, belum menerima perintah apa pun.
Dengan tampang seakan-akan tak sanggup menahan diri lebih lama, Ujiie maju dan berkata,
"Tuanku, hamba ingin mengajukan permohonan. Perkenankanlah hamba membawa pasukan
hamba untuk menyertai tuanku."
"Tidak, aku ingin kau tetap di Ogaki. Aku butuh kau untuk mengawasi Gifu." Kemudian Hideyoshi
berpaling pada Mosuke. "Aku ingin kau juga tinggal di sini Dengan perintah terakhir ini, Hideyoshi
meninggalkan markas, la memanggil salah satu pelayannya dan bertanya. "Bagaimana dengan
kurir-kurir yang kuminta tadi" Sudah siapkah mereka?"
"Sudah, tuanku. Mereka menunggu perintah tuanku."
Pelayan itu segera pergi dan kembali dengan lima puluh orang.
Hideyoshi berdiri di hadapan mereka dan memberikan wejangan. "Hari ini merupakan hari istimewa
dalam hidup kita. Kalian mendapat ke-hormatan karena terpilih untuk mewartakannya."
Ia memerinci perintahnya, "Dua puluh orang akan pergi ke desa-desa di sepanjang jalan raya
antara Tarui dan Nagahama, dan beritahu para penduduk agar memasang obor di tepi jalan,
menjelang malam. Selain itu, jangan sampai masih ada gerobak atau tumpukan kayu yang
menghalangi jalan. Anak-anak kecil harus tetap di dalam rumah dan semua jembatan harus
diperkokoh." Kedua puluh orang di sebelah kanannya mengangguk serempak. Kepada ketiga puluh kurir lainnya,
ia memberikan perintah sebagai berikut, "Berlarilah sekencang mungkin ke Nagahama. Beritahu
pasukan penjaga kota agar bersiap siaga, dan pesankan kepada para kepala desa untuk
menyiapkan perbekalan militer di sepanjang jalan yang akan kita lalui."
Kelima puluh orang itu langsung berangkat. Hideyoshi segera memberikan perintah kepada para
pengikut yang mengelilinginya, lalu menunggangi kudanya yang berwarna hitam.
Tiba-tiba ia dihampiri Ujiie. Tuanku! Tunggu sebentar. Sambil ber-pegangan pada pelana Hideyoshi,
pejuang itu menangis tanpa suara.
10 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Meninggalkan Ujiie dan Gifu, dengan kemungkinan ia akan bergabung dengan Nobutaka dan
memberontak, memang merupakan sumber kecemasan bagi Hideyoshi. Untuk mencegah
pengkhianatan, ia telah memerintahkan Horio Mosuke tinggal bersama Ujiie.
Hati Ujiie serasa disayat-sayat; bukan hanya karena kesetiaannya diragukan, tapi juga karena
menyadari bahwa gara-gara dirinyalah Mosuke tak dapat mengikuti pertempuran terpenting dalam
hidupnya. Perasaan-perasaan inilah yang menyebabkan Ujiie memegang kekang kuda Hideyoshi dengan
erat. "Biarpun hamba dianggap tidak pantas menyertai tuanku, hamba mohon agar Jendral Mosuke
diperkenankan mendampingi Yang Mulia. Dengan senang hati hamba akan membelah perut
hamba, untuk menghilangkan kecemasan tuanku!"
Dan tangannya langsung menggenggam belati. "Jangan konyol, Ujiie!" Hideyoshi berseru sambil
memukul tangan orang itu dengan cambuknya. "Mosuke boleh ikut denganku kalau dia memang
begitu mengharapkannya. Dan kau pun tak bisa ditinggalkan begitu saja. Bersiaplah."
Dengan kegembiraan meluap-luap, Ujiie menghadap ke markas dan memanggi!-manggil dengan
lantang. "Tuan Mosuke! Tuan Mosuke! Kita diperkenankan ikut! Keluarlah untuk menghaturkan
terima kasih." Kedua orang iru bersujud di tanah, tapi yang tertinggal hanyalah bunyi cambuk yang terbawa angin.
Kuda Hideyoshi telah melesat menjauh.
Para pembantunya pun terkesima, dan harus berusaha keras menyusulnya.
Orang-orang yang berjalan kaki, maupun mereka yang kini cepat-cepat menaiki kuda, segera
mengejar junjungan mereka tanpa sempat membentuk barisan teratur.
Ketika itu Jam Kambing. Belum dua jam berlalu antara kedatangan kurir pertama dan
keberangkatan Hideyoshi. Dalam waktu singkat itu Hideyoshi berhasil mengubah kekalahan di Omi
bagian utara menjadi peluang untuk meraih kemenangan. Dalam sekejap saja ia telah menyusun
strategi baru untuk seluruh pasukannya. la telah menugaskan barisan kurir untuk menyampaikan
perintah-perintahnya di sepanjang jalan raya ke Kinomoto - jalan raya yang akan membawa
kejayaan atau kehancuran baginya.
la telah membulatkan tekad lahir-batin. Terdorong oleh tekad tersebut, ia dan kelima belas
prajuritnya bergegas maju, sementara lima ribu orang sengaja ditinggalkan di Ogaki.
Sore itu Hideyoshi beserta barisan depannya memasuki Nagahama pada Jam Monyet. Korps demi
korps menyusul, dan rombongan terakhir meninggalkan Ogaki kira-kira bersamaan dengan
kedatangan barisan depan di Nagahama.
Hideyoshi tidak berpangku tangan setelah tiba di Nagahama, melainkan segera melakukan
persiapan untuk mengambil inisiatif melawan musuh. Ia bahkan tidak turun dari kudanya. Setelah
makan dan memuaskan dahaga, ia langsung bertolak dari Nagahama dan melanjutkan perjalanan
melalui Sone dan Hayami. la mencapai Kinomoto pada Jam Anjing.
Mereka hanya memerlukan lima jam untuk menempuh perjalanan dari Ogake, sebab mereka terus
maju tanpa berhenti. 11 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pasukan Hidenaga yang berkekuatan lima belas ribu orang berada di Gunung Tagami. Kinomoto
sesungguhnya merupakan stasiun pos di tepi jalan raya yang menyusuri lereng timur gunung itu.
Satu divisi ditempatkan di sini. Tepat di luar Desa Jizo, orang-orang itu telah membangun menara
intai. "Di mana kita" Apa nama tempat ini?" tanya Hideyoshi sambil menghentikan kudanya yang sedang
berlari kencang. Ia terpaksa berpegangan erat, agar tidak terlempar.
"Ini Jizo." "Kita sudah dekat ke perkemahan di Kinomoto."
Jawaban-jawaban itu diberikan oleh beberapa pengikut yang mengelilingi-nya. Hideyoshi tetap
duduk di pelana. "Ambilkan air untukku." ia memerintahkan. Setelah meraih pencedok yang disodorkan kepadanya,
ia menghabiskan airnya dalam satu tegukan, dan meregangkan tubuhnya untuk pertama kali sejak
berangkat dari Ogaki. Kemudian ia turun dari kuda, menghampiri kaki menara intai, dan
memandang ke langit. Menara itu tidak beratap dan tidak dilengkapi tangga. Para prajurit yang
hendak memanjat ke atasnya hanya mengandalkan pijakan kaki yang terbuat dari kayu dan
dipasang dalam jarak tidak teratur.
Tiba-tiba Hideyoshi rupanya mengenang masa mudanya sebagai prajurit bawahan. Setelah
mengikat tali kipas komandan di pedang yang menggantung di pinggangnya, ia mulai memanjat ke
puncak menara. Para pelayannya mendorongnya dari bawah, dan dalam sekejap sebuah tangga
manusia telah terbentuk. "Ini berbahaya, tuanku."
"Sebaiknya Yang Mulia memakai tangga saja." Orang-orang di bawah memanggil-manggil, tapi
Hideyoshi sudah berada tujuh meter di atas tanah.
Badai hebat yang sempat menerjang dataran Mino dan Owari telah mereda. Langit tampak cerah
bertaburan bintang, dan Danau Biwa serta Danau Yogo menyerupai dua cermin.
Ketika Hideyoshi, yang semula kelihatan lelah akibat perjalanan berat, berdiri di atas menara, ia
merasa lebih bahagia daripada letih. Semakin berbahaya suatu situasi dan semakin hebat
penderitaannya, semakin senang hatinya. Kebahagiaannya adalah kebahagiaan orang yang
berhasil mengatasi rintangan, lalu berbalik untuk melihat bahwa rintangan itu sudah di belakangnya.
Kebahagiaan itu sudah sering ia rasakan sejak masa muda. Ia sendiri percaya bahwa kebahagiaan
terbesar dalam hidup adalah berdiri di perbatasan antara keberhasilan dan kegagalan.
Tapi sekarang, ketika memandang ke arah Shizugatake dan Gunung Oiwa, ia kelihatan yakin
bahwa ia akan meraih kemenangan.
Di pihak lain, Hideyoshi jauh lebih hati-hati daripada kebanyakan orang. Sesuai kebiasaannya, ia
kini memejamkan mata dengan tenteram dan menempatkan diri di suatu posisi tempat dunia bukan
musuh maupun sekutu. Setelah melepaskan diri dari segala kebimbangan duniawi, ia menjadi pusat
alam semesta dan mendengarkan bisikan dewa-dewa.
12 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Ah. sudah hampir rampung." ia bergumam. sambil akhirnya menyunggingkan senyum. "Sakuma
Genba masih begitu segar dan hijau. Mimpi apa dia?"
Setelah turun dari menara, ia mendaki Gunung Tagami. Di tengah jalan, ia disambut Hidenaga.
Begitu selesai memberi perintah pada Hidenaga. Hideyoshi kembali menuruni gunung, melewati
Kuroda, melintasi Kannonzaka, meneruskan perjalanan di sebelah timur Yogo, dan tiba di Gunung
Chausu, tempat ia beristirahat untuk pertama kali sejak bertolak dari Ogaki.
Ia disertai dua ribu prajurit. Mantel tempurnya yang terbuat dari sutra sudah penuh keringat dan
debu. Tapi dengan penampilan lusuh itulah, dan sambil menggerak-gerakkan kipas komandan, ia
memberi perintah untuk menghadapi per-
tempuran. Waktu itu malam telah larut, antara pertengahan kedua Jam Babi dan pertengahan pertama Jam
Tikus. Hachigamine terletak di sebelah timur Shizugatake. Menjelang malam, Genba telah menempatkan
satu korps di tempat itu. Ia berniat menyerang Shizugatake esok pagi, bersama-sama barisan
depan di Liurazaka dan Shimizudani di arah barat laut, dan mengepung benteng-benteng musuh.
Bintang-bintang memenuhi langit. Namun gunung-gunung yang ditumbuhi pepohonan dan semak
belukar tampak hitam bagaikan tinta, dan jalan yang meliuk-liuk di pegunungan itu sesungguhnya
tak lebih dari jalan setapak sempit yang biasa digunakan para penebang pohon.
Salah satu penjaga menggeram. "Ada apa?" penjaga lain bertanya.
"Coba ke sini dan lihat ini," satu orang lagi berseru dari tempat yang agak lebih jauh. Suara orang
menerobos semak-semak terdengar, dan kemudian ketiga sosok penjaga muncul di punggung
gunung. "Seperti ada cahaya di langit." ujar salah satu dari mereka. sambil menunjuk ke tenggara.
"Mana?" "Dari sebelah kanan pohon besar itu ke selatan.-"Apa itu, menurutmu?"
Mereka tertawa. "Para petani di dekat Otsu atau Kuroda pasti sedang membakar sesuatu."
"Seharusnya tak ada petani lagi di desa-desa. Mereka semua sudah lari ke gunung."
"Hmm, kalau begitu, mungkin cahaya dari api unggun musuh di Kinomoto."
"Kurasa bukan, Kalau langit tertutup awan, memang ada kemungkinan. Tapi janggal kalau langit
berwarna seperti ini pada malam cerah. Hmm, di sini terlalu banyak pohon menghalangi
pandangan. Mungkin kita bisa melihat jelas kalau kita naik ke bibir tebing itu."
13 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Jangan! Itu berbahaya!"
"Kalau terpeleset. kau akan terempas ke dasar jurang!"
Mereka berusaha mencegahnya, tapi ia mulai memanjat dinding batu karang dengan berpegangan
pada tumbuhan rambat. Sosoknya tampak seperti monyet di atas gunung.
"Oh. mengerikan!" tiba-tiba ia berseru. Teriakannya mengejutkan rekan-rekannya di bawah.
"Ada apa" Apa yang kau lihat?"
Orang di atas tebing itu berdiri tak bergerak. seperti linglung. Satu per satu rekan-rekannya


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyusul. Ketika tiba di atas, mereka gemetar. Dari atas tebing, mereka tidak hanya melihat Danau
Biwa dan Danau Yogo, tapi juga jalan raya ke provinsi-provinsi Utara yang menyusuri tepi danau ke
arah selatan. Bahkan kaki Gunung Ibuki pun kelihatan.
Hari telah gelap, sehingga sukar untuk melihat dengan jelas, namun tampaknya ada garis merah
yang mengalir bagaikan sungai dari Nagahama ke Kinomoto, di dekat kaki gunung tempat mereka
berdiri. Lidah api terlihat sambung-menyambung sejauh mata memandang.
"Apa itu?" Setelah bingung sejenak, mereka tiba-tiba sadar kembali. "Ayo, kita harus kembali! Cepat!"
Para penjaga menuruni tebing tanpa mengindahkan keselamatan mereka, dan berlari untuk
melapor ke perkemahan utama.
Dengan harapan besar untuk hari esok, Genba tidur lebih cepat daripada biasa. Prajurit-prajuritnya
pun sudah terlelap. Menjelang Jam Babi, ia tiba-tiba terbangun dan langsung duduk.
"Tsushima!" ia memanggil.
Osaki Tsushima tidur tak jauh dari Genba. Ketika ia terjaga. Genba sudah berdiri di hadapannya
sambil menggenggam tombak yang direbutnya dari tangan salah satu pelayan.
"Aku baru saja mendengar kuda meringkik. Coba kauperiksa."
"Baik!" Ketika menyingkap tirai, ia hampir bertabrakan dengan seseorang yang berteriak-teriak sekuat
tenaga. "Berita penting! Hamba membawa berita penting!" orang itu berkata sambil terengah-engah.
Genba angkat bicara dan bertanya. "Apa yang hendak kaulaporkan?"
Dalam keadaan panik, orang itu tak sanggup melaporkan situasi yang genting secara jelas.
14 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Ada obor dan api unggun di sepanjang jalan antara Mino dan Kinomoto, dan semuanya bergerak
bagaikan sungai merah yang mengerikan. Menurut Yang Mulia Katsumasa, itu musuh yang sedang
bergerak." "Apa" Barisan api di jalan raya Mino?"
Genba seolah-olah belum mengerti. Tapi laporan dari Shimizudani itu segera diikuti berita serupa
dari Hara Fusachika yang berkemah di Hachigamine.
Para prajurit di perkemahan Genba mulai terbangun dalam suasana gempar. Gelombang
kebingungan segera menyebar.
Di luar dugaan, Hideyoshi telah kembali dari Mino. Tapi Genba belum mau percaya; ia seperti
bersikeras mempertahankan keyakinannya sendiri. Tsushima! Selidiki kebenaran berita ini!"
Kemudian ia minta diambilkan kursi, dan sengaja memperlihatkan sikap tenang. Ia memahami
perasaan para pengikut yang berusaha membaca apa yang terlihat pada wajahnya.
Tak lama setdah itu, Osaki kembali. la telah memacu kudanya ke Shimizudaru, lalu ke
Hachigamine, kemudian melintas dari Gunung Chausu ke Kannonzaka untuk memastikan apa yang
terjadi. Dan inilah yang ditemukannya.
"Kita bukan saja melihat obor dan api unggun. tapi dengan memasang telinga, kita juga bisa
mendengar kuda meringkik. Ini tak bisa dianggap enteng. Tuanku perlu menyusun strategi balasan
secepat mungkin." "Hmm, bagaimana dengan Hideyoshi?" "Kabarnya Hideyoshi berada di tengah iring-
iringan itu." Genba begitu terkejut, sehingga nyaris tak sanggup berkata apa-apa. Sambil menggigit bibir, ia
memandang berkeliling tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Wajahnya tampak pucat.
Setelah beberapa saat, ia berkata, "Kita mundur. Tak ada pilihan lain, bukan" Pasukan musuh
berkekuatan besar sedang mendekat, sedangkan pasukan kita terisolasi di sini."
Pada malam sebelumnya, Genba dengan keras kepala menolak mematuhi perintah Katsuie. Kini ia
sendiri yang memberi perintah membongkar kemah kepada pasukannya yang dilanda kebingungan,
dan mendesak-desak para pengikut dan pelayannya.
"Apakah kurir dari Hachigamine masih di sini?"
Genba bertanya pada pengikut-pengikut yang mengelilinginya ketika ia menaiki kuda. Setelah
diberitahu bahwa orang itu belum berangkat lagi. ia segera menyuruhnya menghadap.
"Kembalilah dengan segera, dan beritahu Hikojiro bahwa korps utama akan mulai bergerak mundur.
Kami akan melewati Shimizudani. Liurazaka, Kawanami, dan Moyama. Pasukan Hikojiro akan
mengikuti kami sebagai barisan belakang."
Begitu selesai memberikan perintah itu, Genba bergabung dengan para pengikutnya dan mulai
15 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menuruni jalan setapak yang gelap gulita.
Dengan demikian, pasukan utama Genba mulai mundur pada pertengahan kedua Jam Babi. Bulan
tidak kelihatan ketika mereka berangkat. Selama setengah jam mereka tidak menyalakan obor, agar
musuh tidak mengetahui posisi mereka. Dituntun hanya oleh sumbu senapan yang membara dan
cahaya bintang-bintang,. mereka menyusuri jalan setapak yang sempit.
Jika gerakan mereka dibandingkan dari segi waktu, Genba rupanya mulai membongkar
perkemahan pada waktu Hideyoshi telah mendaki Gunung Chausu dari Desa Kuroda dan sedang
beristirahat. Di sanalah Hideyoshi berbicara dengan Niwa Nagahide yang terburu-buru datang dari Shizugatake
untuk menghadap. Nagahide merupakan tamu terhormat, dan perlakuan Hideyoshi terhadapnya
sungguh santun. "Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan." ujarnya. "Tuan tentu repot sekali sejak pagi tadi."
Dengan beberapa patah kata itu, ia berbagi tempat duduk komandan bersama Nagahide. Baru
kemudian ia menanyakan hal-hal seperti situasi musuh dan kondisi medan. Dari waktu ke wakiu.
tawa kedua orang itu terbawa angin malam yang melintasi puncak gunung.
Selama itu, pasukan yang menyusul Hideyoshi terus berdatangan. Mereka memasuki perkemahan
dalam kelompok-kelompok berjumlah dua ratus sampai tiga ratus orang.
"Pasukan Genba sudah mulai mundur ke arah Shimizudani dan meninggalkan barisan belakang di
sekitar Hachigamine," seorang pengintai melaporkan.
Hideyoshi lalu menyuruh Nagahide menyampaikan informasi dan perintah berikut kepada semua
sekutu mereka: Pada jam Banteng, aku akan melancarkan serangan mendadak terhadap Genba. Kumpulkan
penduduk setempat dan suruh mereka melepaskan teriakan-teriakan perang dari puncak-puncak
gunung pada waktu fajar. Tepat sebelum matahari terbit, kalian akan mendengar suara tembakan
yang merupakan isyarat bahwa kesempatan untuk menyambar musuh telah tiba. Perhatikan bahwa
tembakan sebelum fajar akan berasal dari senapan-senapan musuh. Tiupan sangkakala akan
merupakan tanda untuk serangan umum. Peluang ini tak boleh disia-siakan.
Begitu Nagahide berangkat, Hideyoshi menyuruh kursi disingkirkan. "Kabarnya Genba berusaha
melarikan diri. Ikuti jalan yang dilaluinya dan kejar dia tanpa ampun." katanya, lalu ia berpesan agar
para prajurit di sekelilingnya menyampaikan perintah itu ke seluruh pasukan. "Dan ingat, jangan
lepaskan tembakan sebelum langit mulai terang."
Jalan yang mereka lalui bukan jalan datar. melainkan jalan setapak di pegunungan, dengan
tempat-tempat berbahaya yang tak sedikit jumlahnya. Serangan dimulai dengan keberangkatan
korps demi korps, namun mereka tak sanggup maju secepat yang mereka kehendaki.
Dalam perjalanan, para penunggang kuda terpaksa turun dan menuntun kuda masing-masing
melalui paya-paya, atau menyusuri dinding-dinding karang di mana tak ada jalan sama sekali.
Selepas tengah malam, bulan menampakkan diri di langit dan membantu pasukan Sakuma mencari
16 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
jalan. Tapi cahayanya juga merupakan berkah bagi pengejaran Hideyoshi terhadap mereka.
Waktu yang memisahkan kedua pasukan itu tak lebih dari tiga jam. Hideyoshi telah mengerahkan
pasukan yang luar biasa besar, dan semangat para prajuritnya meluap-luap. Hasil akhirnya sudah
dapat diramalkan, bahkan sebelum pertempuran dimulai.
Matahari telah tinggi di langit. Jam Naga sudah hampir tiba. Pertempuran sempat meletus di tepi
Danau Yogo, tapi pasukan Shibata sekali lagi melarikan diri, lalu berkumpul kembali di daerah
Moyama dan Celah Sokkai. Di sinilah terletak perkemahan Maeda Inuchiyo dan putranya. Panji-panji mereka berkibar tenang.
Sangat tenang. Sambil duduk di kursinya, Inuchiyo tentu memperhatikan tembakan dan bunga api
yang meliputi Shizugatake, Oiwa, dan Shimizudani sejak fajar.
Ia membawahi sebuah satuan dari pasukan Katsuie yang menempatkannya dalam posisi pelik.
karena perasaannya dan kewajibannya terhadap Katsuie saling bertentangan. Satu kesalahan saja,
dan provinsi beserta seluruh keluarganya akan musnah. Situasinya sangat jelas. Jika melawan
Katsuie, ia akan dihancurkan. Tapi jika mengabaikan persahabatannya dengan Hideyoshi. berarti ia
mengkhianati bisikan hati nuraninya.
Katsuie... Hideyoshi... Membandingkan kedua orang itu. Inuchiyo tentu takkan melakukan kesalahan dalam memilih salah
satu dari mereka. Ketika ia hendak meninggalkan bentengnya di Fuchu untuk menuju medan laga,
istrinya sempat cemas mengenai niat suaminya dan menanyakannya dengan teliti.
"Jika kau tidak memerangi Yang Mulia Hideyoshi, kau tidak memenuhi kewajibanmu sebagai
samurai." istrinya berkata.
"Kaupikir begitu?"
"Tapi kukira kau tidak perlu berpegang pada janjimu kepada Yang Mulia Katsuie."
"Jangan konyol. Kaupikir aku bisa melanggar janji yang telah kuberikan sebagai samurai?"
"Kalau begitu, siapa yang akan kaudukung?"
"Itu kuserahkan kepada para dewa. Aku tak tahu apa lagi yang dapat kulakukan. Kearifan manusia
terlalu terbatas untuk hal seperti ini."
Pasukan Sakuma yang menjerit-jerit dan berlumuran darah melarikan diri menuju posisi-posisi
Maeda. "Jangan panik! Jangan permalukan diri kalian!" Genba, yang juga mengarah ke sana beserta
sekelompok pengikut berkuda, melompat dari pelananya yang merah tua dan membentak-beniak
pasukannya dengan teriakan-teriakan parau. "Ada apa dengan kalian" Pertempuran baru saja
dimulai, tapi kalian sudah melarikan diri?"
Sambil memarahi prajurit-prajuritnya, Genba sekaligus berusaha membesarkan hatinya sendiri. Ia
duduk di sebuah batu, menghela napas panjang, lalu mengembuskannya bagaikan menyemburkan
17 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
api. Rasa pahit menjilat lidahnya. Usahanya untuk tidak kehilangan wibawa sebagai jendral di
tengah kekacauan dan bencana sungguh luar biasa. mengingat usianya yang masih muda.
Baru sekarang ia diberitahu bahwa adiknya telah tewas. Sambil tercengang-cengang ia menerima
laporan bahwa banyak di antara komandan-komandannya sudah gugur.
"Bagaimana dengan saudara-saudaraku yang lain?"
Menanggapi pertanyaan mendadak itu, seorang pengikut menunjuk ke belakangnya. "Dua saudara
tuanku ada di sebelah sana."
Genba, dengan mata merah, menemukan kedua orang itu. Yasumasa terbaring di tanah dan
memandang langit sambil melamun. Adik bungsunya tidur dengan kepala terkulai, sementara darah
dari sebuah luka membasahi pangkuannya.
Genba menyayangi adik-adiknya, dan ia merasa lega bahwa mereka masih hidup. Tapi kehadiran
mereka - darah dagingnya sendiri - juga menyulut kemarahan dalam dirinya.
"Berdiri, Yasumasa!" serunya. "Dan mana semangatmu, Shichiroemon" Belum waktunya kau
berbaring di tanah. Sedang apa kau ini"!"
Genba memaksakan diri untuk bangkit. Rupanya ia pun terluka.
"Di mana perkemahan Tuan lnuchiyo" Di atas bukit itu?" Ia mulai melangkah menjauh,
menyeret-nyeret sebelah kaki, tapi kemudian berbalik dan menatap kedua adiknya yang sedang
menyusul. "Kalian tidak perlu ikut. Kumpulkan beberapa orang dan bersiap-siaplah menghadapi
gempuran musuh. Hideyoshi takkan membuang-buang waktu."
Genba duduk di kursi komandan, di dalam petak bertirai, dan menunggu. lnuchiyo muncul tak lama
setelah itu. "Hamba turut menyesal." ia bersimpati.
"Jangan." Genba memaksakan senyum getir. "Dengan pemikiran sedangkal itu, sudah sewajarnya
aku kalah." Jawaban yang begitu lesu membuat lnuchiyo menatap sekali lagi ke arah Genba. Sepertinya Genba
bermaksud mengemban seluruh tanggung jawab atas kekalahan yang dideritanya. Genba tidak
mengeluh bahwa lnuchiyo tidak mengerahkan pasukannya.
"Untuk sementara, bersediakah Tuan membantu kami menangkal serangan Hideyoshi dengan
pasukan yang masih segar bugar?"
"Tentu saja. Tapi korps mana yang dikehendaki Yang Mulia" Korps tombak atau korps senapan?"
"Aku minta korps senapan menyergap musuh di depan. Mereka bisa menembak para penyerbu,
setelah itu kami dapat bertindak sebagai barisan kedua, mengacung-acungkan tombak yang
berlumuran darah dan bertempur seperti orang yang siap menyambut mati. Berangkatlah segera!
Aku mohon dengan sangat!"
18 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pada kesempatan lain, Genba takkan memohon apa pun dari lnuchiyo. Dan mau tak mau lnuchiyo
merasa iba pada orang itu. la sadar bahwa kerendahan hati Genba disebabkan oleh perasaan tak
berdaya akibat kekalahan yang dideritanya. Namun mungkin juga Genba telah memahami niat
lnuchiyo sesungguhnya. "Sepertinya musuh sudah mendekat." ujar Genba tanpa mengaso sejenak pun. Sambil
mengucapkan kata-kata itu, ia berdiri. "Baiklah," katanya. "Sampai jumpa." Ia menyingkap tirai dan
melangkah ke luar, tapi kemudian berbalik ke arah Inuchiyo, yang menyusul untuk mengantarnya.
"Ada kemungkinan kita takkan berjumpa lagi di dunia ini, tapi aku tidak berniat mati secara
memalukan." Inuchiyo menyertainya sampai ke tempat ia berdiri beberapa waktu sebelumnya. Genba mohon diri
dan menuruni lereng dengan langkah cepat. Pemandangan di bawah telah berubah sama sekali
dibandingkan beberapa menit yang lalu.
Pasukan Sakuma semula berkekuatan delapan ribu orang, namun sepertinya hanya sekitar
sepertiga yang masih tersisa. Yang lainnya mati atau cedera atau telah melarikan diri. Mereka yang
tertinggal adalah prajurit-prajurit yang kalah atau komandan-komandan yang kalang kabut, dan
seruan-seruan mereka menyebabkan situasi kelihatan semakin buruk.
Tampak jelas bahwa adik-adik Genba tak sanggup mengendalikan kekacauan. Sebagian besar
perwira senior telah gugur. Banyak korps telah kehilangan pemimpin, dan para prajurit dilanda
kebingungan, sementara pasukan Hideyoshi sudah mulai terlihat di kejauhan. Seandainya pun
kakak-beradik Sakuma sanggup menangkal kekalahan saat itu, mereka tetap tak bisa berbuat
banyak untuk mengatasi ketakutan pasukan mereka.
Tapi para penembak Maeda berlari dengan tenang di tengah hiruk-pikuk, dan setelah menyebar
agak jauh dari perkemahan, langsung tiarap. Melihat gerakan mereka, Genba menyerukan perintah
dengan suara lanrang, dan akhirnya kekacauan itu sedikit mereda.
Kenyataan bahwa pasukan Maeda yang masih segar bugar terjun ke medan laga merupakan
sumber kekuatan yang luar biasa bagi para prajurit Genba, juga bagi Genba sendiri dan para
perwiranya yang masih hidup.
"Jangan mundur sebelum kita melihat kepala monyet keparat itu tertancap di ujung salah satu
tombak kita! Jangan biarkan orang-orang Maeda menertawakan kita! Jangan permalukan diri
kalian!" Sambil memacu mereka, Genba berjalan di tengah-tengah perwira dan anak buahnya. Seperti bisa
diduga, para prajurit yang mengikutinya sejauh itu belum menutup mata terhadap perasaan harga
diri. Noda-noda darah yang masih kering akibat matahari yang bersinar cerah sejak pagi terlihat
pada baju tempur dan tombak sebagian besar dari mereka. Debu dan rumput bercampur aduk
dengan kotoran. Wajah setiap orang menunjukkan bahwa ia sangat mendambakan air, biarpun hanya seteguk.
Namun tak ada waktu untuk itu. Awan-awan debu berwarna kumng serta bunyi kuda-kuda musuh
sudah mulai mendekat dan kejauhan.
Namun Hideyoshi, yang telah bergerak maju dari Shizugatake dengan kekuatan yang menyapu
segala sesuatu, berhenti tepat sebelum mencapai Moyama.
19 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Perkemahan ini berada di bawah komando Maeda lnuchiyo dan putranya, Toshinaga." Hideyoshi
mengumumkan. Seielah menyadari hal itu, ia tiba-tiba menghentikan barisan depannya yang menerjang bagaikan air
bah. Kemudian ia mengubah susunan tempur dan membentuk formasi baru.
Saat itu kedua pasukan berada di luar jarak tembak. Genba terus mendesak para penembak Maeda
agar menempati posisi untuk mencegat musuh, namun pasukan Hideyoshi diselubungi awan debu,
dan mereka tetap tidak memasuki daerah yang terjangkau peluru lawan.
Setelah berpisah dengan Genba, lnuchiyo berdiri di tepi gunung dan mengamati situasi dari atas.
Niatnya merupakan teka-teki, bahkan bagi para jendral yang mengelilinginya. Tapi dua samurai
membawakan kudanya. Tiba-tiba terdengar suara ingar-bingar dari kaki gunung. Ketika lnuchiyo dan yang lainnya
memandang ke arah itu, mereka melihat bahwa seekor kuda dari barisan belakang telah terlepas
dan berlari tak terkendali ditengah perkemahan.
Kejadian itu bukan masalah serius dalam keadaan biasa, tapi pada titik waktu itu, gangguan seperti
itu menimbulkan kekacauan baru dan mengakibatkan kegemparan.
lnuchiyo menoleh pada kedua samurai tadi dan memberikan isyarat dengan matanya.
"Ayo, semuanya." ia berkata kepada para pengikut di sekelilingnya, lalu memacu kudanya.
Secara bersamaan, berondongan senapan terdengar menggema. Tembakan-tembakan itu berasal
dari korps penembak mereka sendiri, dan rupanya pasukan Hideyoshi melepaskan tembakan
secara bersamaan. Dengan pikiran itu, lnuchiyo melesat menuruni lereng, sambil menatap
awan-awan debu dan asap mesiu yang menggumpal.
"Sekarang! Sekarang!" ia bergumam, sambil tak henti-hentinya memukul pelana.
Gong dan genderang perang dibunyikan di salah satu bagian perkemahan di Moyama, semakin
menambah kekacauan. Pasukan Hideyoshi rupanya telah melangkahi korban-korban dari pihak
mereka yang berjatuhan di barisan penembak, dan sudah menembus jauh ke jantung korps
Sakuma dan Maeda. Dan, semudah mereka menggulung pasukan utama sebelumnya, mereka kini
maju sedemikian ganas, sehingga tak ada yang dapat membendung mereka.
Melihat penempuran dahsyat itu, lnuchiyo menghindari jalan, bergabung dengan putranya,
Toshinaga, lalu segera mulai mundur.
Beberapa perwiranya marah dan curiga, tapi lnuchiyo sekadar menjalankan keputusan yang telah ia
ambil sebelumnya. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Inuchiyo tak pernah merasa terikat, dan
sesungguhnya ia enggan mendukung pihak mana pun. Mengingat posisi provinsinya, ia telah dicari
oleh Katsuie dan terpaksa mendampingi orang itu. Tapi sekarang, mengingat persahabatannya
dengan Hideyoshi, ia mundur diam-diam.
Tapi prajurit-prajurit Hideyoshi terus menggempur pasukan Maeda, dan sebagian barisan belakang


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibantai tanpa ampun. 20 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sementara itu, Inuchiyo dan putranya membawa keluar pasukan mereka dari perkemahan; dari
Shiotsu mereka melewati jalan memutar melalui Hikida dan Imajo, dan akhirnya memasuki Benteng
Fuchu. Selama pertempuran sengit yang berlangsung dua hari, kubu Maeda menyerupai hutan
sunyi yang tenteram di tengah-tengah amukan badai.
*** Bagaimanakah keadaan di perkemahan Katsuie sejak malam sebelumnya"
Katsuie telah mengirim enam utusan untuk menemui Genba, dan setiap utusan kembali tanpa hasil.
Katsuie lalu berkeluh kesah bahwa tak ada yang dapat dilakukan, dan beranjak tidur dengan
penyesalan mendalam. Sebenarnya ia malah tidak bisa tidur sama sekali. Kini ia menuai benih yang
ditaburkannya sendiri - pilih kasihnya terhadap Genba telah menghasilkan racun berupa kasih
sayang buta. la telah melakukan kesalahan besar dengan membiarkan perasaannya
mencampur-adukkan hubungan darah antara paman dan keponakan dengan ikatan antara
komandan dan bawahan. Kini Katsuie paham sepenuhnya. Genba pulalah penyebab pemberontakan putra angkat Katsuie,
Katsutoyo, di Nagahama. Dan ia juga telah menerima kabar mengenai perlakuan Genba yang
congkak terhadap Maeda Inuchiyo di medan tempur di Noto.
Meski mengakui kekurangan-kekurangan itu, Katsuie tetap yakin bahwa akhlak Genba jauh di atas
rata-rata. "Ah, tapi sekarang justru sifat-sifat itulah yang mungkin telah berakibat fatal," ia bergumam sambil
membalik badan di tempat tidur.
Ketika cahaya lentera-lentera mulai berkedap-kedip, sejumlah prajurit bergegas menyusuri selasar.
Di ruang sebelah dan sebelahnya lagi, Menju Shosuke dan yang lain mendadak terbangun.
Setelah mendengar suara-suara menanggapi bunyi langkah itu, orang-orang yang menjaga
ruangan Katsuie segera keluar ke selasar.
"Ada apa?" Sikap prajurit yang maju sebagai juru bicara tidak seperti biasa. la bicara begitu cepat, sehingga
ucapannya sukar dipahami.
"Sudah beberapa waktu langit di atas Kinomoto tampak merah. Pengintai-pengintai kita baru saja
kembali dari Gunung Higashino..."
"Jangan bertele-tele! Laporkan yang penting-penting saja!" Menju tiba-tiba menghardik orang itu.
"Hideyoshi telah tiba dari Ogaki. Pasukan nya membuat kerusuhan besar di daerah sekitar
Kinomoto." prajurit itu berkata tanpa menarik napas. "Apa" Hideyoshi?"
Orang-orang yang bingung itu datang secepat mungkin untuk melaporkan situasi kepada para
pembantu dekat junjungan mereka, tapi rupanya Katsuie telah mendengar ucapan mereka dan ia
sendiri keluar ke selasar.
21 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tuanku sudah mendengar yang mereka katakan?"
"Sudah," balas Katsuie. Wajahnya tampak lebih pucat dibandingkan sebelum ia beranjak tidur.
"Mengenai itu, Hideyoshi melakukan hal yang sama selama operasi di provinsi-provinsi Barai."
Seperti bisa diduga, Katsuie tetap tenang dan berusaha mengendalikan orang-orang di
sekelilingnya, tapi ia tak dapat menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di hatinya. Ia telah
memperingatkan Genba, dan mendengar ucapannya sekarang, ia rupanya merasa bangga bahwa
peringatannya ternyara tepat. Namun ini juga suara jendral gagah yang pernah dijuluki Iblis Shibata.
Mereka yang kini mendengarnya mau tak mau merasa kasihan.
"Aku tak bisa lagi mengandalkan Genba. Mulai sekarang aku harus berjuang sendiri, agar kita dapat
bertempur sepuas hati, jangan goyah dan jangan panik. Seharusnya kita gembira bahwa Hideyoshi
akhirnya datang." Setelah mengumpulkan jendral-jendralnya, Katsuie duduk di kursinya dan memberikan
perintah-perintah untuk penyusunan pasukan. Tindak-tanduknya memperlihatkan semangat anak
muda. Ia telah menilai bahwa kedatangan Hideyoshi hanya merupakan kemungkinan kecil; begitu
kemungkinan tersebut berubah menjadi ancaman nyata, perkemahannya dilanda kekacauan. Tak
sedikit yang meninggalkan pos masing-masing dengan alasan sakit, yang lain tidak mematuhi
perintah, dan banyak prajurit melarikan diri dalam keadaan bingung dan panik. Keadaannya
sungguh menyedihkan; dari tujuh ribu prajurit, yang tersisa tak sampai tiga ribu.
lnilah pasukan yang bertolak dari Echizen dengan tekad bulat untuk memerangi Hideyoshi.
Orang-orang itu tidak seharusnya melarikan diri pada ancaman pertama darinya.
Apa yang mendorong mereka untuk bertindak demikian - sebuah pasukan berkekuatan lebih dari
tujuh ribu orang" Penyebabnya hanya satu: tak ada kepemimpinan yang berwibawa. Selain itu,
Hideyoshi pun bertindak lebih cepat dari yang diduga, dan ini membuat mereka semakin ternganga.
Desas-desus serta laporan-laporan palsu berkembang tak terkendali, dengan demikian menyulut
sikap pengecut. Ketika Katsuie mengamati kekacauan yang melanda pasukannya, ia tidak sekadar
berkecil hati, melainkan marah sekali. Sambil mengertakkan gigi, ia seakan-akan tak sanggup untuk
tidak melampiaskan kejengkelannya kepada para perwira di sekitarnya. Mula-mula duduk, berdiri,
lalu berjalan mondar-mandir, para samurai di sekeliling Katsuie tak mampu menenangkan diri.
Perintah-perintahnya telah disampaikan dua-tiga kali, tapi ia hanya menerima jawaban-jawaban
yang tidak jelas. "Kenapa kalian semua begitu bingung?" ia benanya, memarahi mereka yang berada di sekitarnya.
"jangan gugup! Meninggalkan pos serta menyebarkan desas-desus dan gosip hanya membuat
orang-orang kita semakin bingung. Setiap orang yang melakukan tindakan seperti itu akan dijatuhi
hukuman berat," ia berkata dengan geram.
Sejumlah bawahannya menghambur ke luar untuk kedua kalinya, untuk mengumumkan perintahnya
yang tegas. Tapi setelah itu pun Katsuie terdengar berseru-seru dengan nada tinggi. "jangan
gelisah! jangan bingung!" Tapi usahanya untuk meredakan kekacauan hanya membuat suasana
ber-tambah hiruk-pikuk. Fajar sudah di ambang pintu.
22 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Teriakan-teriakan perang serta letusan-letusan senapan yang telah berpindah dari daerah
Shizugatake ke tepi barat Danau Yogo menggema melintasi air.
"Kalau begini terus, Hideyoshi pasti segera tiba di sini!"
"Paling tidak pada tengah hari."
"Apa" Kaupikir mereka akan menunggu selama itu?"
Perasaan kecut menular dari hati ke hati, dan akhirnya menyelubungi seluruh perkemahan.
"Pasti ada sepuluh ribu musuh!" "Bukan, kurasa ada dua puluh ribu!"
"Apa" Dengan serangan begitu dahsyat, mereka pasti berkekuatan tiga puluh ribu orang!"
Para prajurit dikuasai oleh ketakutan mereka sendiri dan tak seorang pun merasa tenang tanpa
memperoleh dukungan dari rekan-rekannya. Kemudian desas-desus yang sangat menggelisahkan
mulai beredar. "Maeda Inuchiyo membelot ke kuhu Hideyoshi!"
Pada saat itu, para perwira Shibata tak sanggup lagi mengendalikan anak buah mereka. Katsuie
akhirnya menaiki kudanya. Sambil berkeliling di daerah Kitsunezaka, ia sendiri mencaci maki para
prajurit di perkemahan-perkemahan yang terpisah-pisah. Rupanya ia telah sampai pada kesimpulan
bahwa para jendralnya tak mampu menyampaikan perintah-perintah dari markas besar secara
efektif. "Setiap orang yang meninggalkan perkemahan tanpa alasan akan dihabisi seketika." ia berteriak.
"Kejar dan tembak setiap pengecut yang melarikan diri! Siapa saja yang menyebarkan gosip atau
meredam semangat tempur pasukan harus dibunuh di tempat!"
Tapi situasi telah berkembang terlalu jauh, dan kebangkitan semangat tempur Katsuie tidak
membawa hasil. Lebih dari setengah dari ketujuh ribu prajuritnya telah kabur, sedangkan
orang-orang yang tersisa tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Selain itu mereka telah
kehilangan kepercayaan pada panglima tertinggi mereka. Dalam keadaan tanpa wibawa,
perintah-perintah sang Iblis Shibata pun terdengar bagaikan auman singa ompong.
Ia kembali ke perkemahan utamanya yang sudah mulai diserang.
Ah, katanya dalam hati, rupanya aku pun tidak luput dari incaran maut. Melihat pasukannya telah
patah semangat, Katsuie menyadari kesia-siaan situasi yang dihadapinya. Namun kegarangannya
tak henti-henti mendorongnya menuju kematian. Ketika fajar mulai menyingsing, hanya sedikit kuda
dan prajurit yang masih bertahan di perkemahan.
"Tuanku, ke sinilah. Sebentar saja." Dua samurai memegang baju tempur Katsuie dari kirikanan,
seakan-akan menopang badannya yang besar. "Tidak biasanya tuanku lekas marah seperti ini."
Sambil menuntunnya dengan paksa melewati kerumunan kuda dan orang, lalu keluar dari gerbang
kuil, mereka berseru-seru pada yang lain, "Cepat, bawakan kuda Yang Mulia. Mana kuda junjungan
kita?" 23 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sementara itu, Katsuie pun membentak-bentak, "Aku takkan mundur! Kalian pikir, siapa aku ini"
Aku takkan meninggalkan tempat ini!" Nada suaranya semakin berapi-api. Sekali lagi ia memelototi
dan menghardik para perwira stafnya yang tak mau beranjak dari sampingnya. "Kenapa kalian
melakukan ini" Kenapa kalian menghalang-halangi aku untuk keluar dan menyerang" Kenapa
kalian menahan aku, bukannya menggempur musuh?"
Seekor kuda dibawa ke hadapan Katsuie. Seorang prajurit menggenggam panji komandan yang
dihiasi dengan lambang emas dan berdiri di sebelah kuda itu.
"Kita tidak bisa membendung terjangan musuh di sini. Yang Mulia. Jika tuanku gugur di sini,
kematian tuanku sia-sia belaka. Mengapa tuanku tidak mundur ke Kitanosho, lalu menyusun
rencana untuk serangan berikut?"
Katsuie menggelengkan kepala dan berseru-seru. tapi orang-orang di sekitarnya segera
memaksanya naik ke pelana. Situasinya sungguh genting. Tiba-tiba si kepala pelayan, Menju
Shosuke, yang tak pernah menonjol dalam pertempuran, bergegas maju dan bersujud di hadapan
kuda Katsuie. "Tuanku, perkenankanlah hamba membawa panji komandan."
Memohon izin untuk membawa panji komandan berarti seseorang menawarkan diri untuk
menggantikan tempat. Shosuke tidak mengatakan apa-apa lagi, namun tetap berlutut di depan Katsuie. Ia tidak
memperlihatkan kesiapan menyambut maut, perasaan putus asa, maupun kegarangan;
penampilannya seperti biasa, kalau ia menghadap Katsuie sebagai kepala pelayan, "Apa"
Kauminta aku memberikan panji komandan padamu?"
Dari atas kudanya, Katsuie menatap punggung Shosuke dengan heran. Para jendral di
sekelilingnya juga terkesima, dan pandangan mereka pun melekat pada Shosuke. Di antara sekian
banyak pembantu pribadi, hanya sedikit yang diperlakukan lebih dingin daripada Shosuke.
Katsuie, yang bersikap demikian terhadap Shosuke, tentu menyadari betapa pedihnya hati Shosuke
selama ini. Namun bukankah Shosuke yang sama kini bersujud di hadapan Katsuie, menawarkan
diri untuk menggantikan tempat Katsuie"
Angin kekalahan menyapu perkemahan, dan Katsuie tak tahan lagi melihat kekalutan yang melanda
para prajuritnya. Para pengecut yang cepat-cepat meletakkan senjata dan melarikan diri tak sedikit
jumlahnya; banyak di antara mereka merupakan orang yang disukai Katsuie, dan telah
diistimewakan selama bertahun-tahun. Ketika pikiran-pikiran itu melintas dalam benaknya, Katsuie
tak sanggup menahan air mata.
Tapi apa pun yang berkecamuk dalam hati Katsuie, kini ia menendang perut kudanya dengan
sanggurdi, dan mengusir kesan pedih di wajahnya dengan teriakan menggemuruh.
~Apa maksudmu, Shosuke" Kalau kau mati, saatku pun sudah tiba! Ayo, menyingkirlah!" Shosuke
mundur untuk menghindari kuda Katsuie yang mendadak memberontak, tapi segera menangkap tali
kekangnya. 24 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kalau begitu, perkenankanlah hamba menyertai tuanku."
Tanpa menunggu persetujuan Katsui, Menju membelakangi medan laga dan bergegas ke arah
Yanagase, baik prajurit yang menjaga panji komandan maupun para pengikut Katsuie mengelilingi
kudanya, dan cepar-cepat menggiringnya pergi di tengah-tengah mereka.
Namun barisan depan Hideyoshi telah berhasil menerobos di Kitsunezaka, dan tanpa
mengindahkan prajurit-prajurit Shibata yang mempertahankan tempat itu, mereka mengincar panji
emas yang tampak di kejauhan.
"Itu Katsuie! Jangan biarkan dia lolos!" Sekelompok prajurit bertombak berkumpul dan segera
mengejar Katsuie. "Kita akan berpisah di sini. Yang Mulia!" Sambil mengucapkan kata-kata itu sebagai salam
perpisahan, para jendral yang menyertai Katsuie tiba-tiba beranjak dari sisinya, berbalik, dan
menerjang ke tengah-tengah tombak pasukan pengejar. Tak lama kemudian mayat-mayat mereka
telah bergelimpangan. Menju Shosuke juga telah berbalik dan menghadapi serbuan musuh, tapi kini ia sekali lagi menyusul
kuda junjungannya dan berseru dari belakang. "Panji komandan... hamba mohon... perkenankanlah
hamba membawanya!" Mereka berada di perbatasan Yanagase Katsuie menghentikan kudanya dan mengambil panji
komandan berwarna emas dari orang di sebelahnya. Betapa banyak kenangan melekat pada panji
itu - ia telah mengibarkannya dalam setiap kesempatan perang bersama reputasinya sebagai Iblis
Shibata. "Ini, Shosuke. Bawalah ke tengah-tengah pasukanku!"
Dengan beberapa patah kata itu, ia mendadak melemparkan panji itu pada Shosuke Shosuke
membungkuk ke depan dan dengan gesit menangkap gagangnya.
Kegembiraannya meluap-luap. Sambil mengibarkan panji itu, ia menunjukkan ucapan terakhirnya ke
arah punggung Katsuie. "Selamat jalan, tuanku!"
Katsuie berbalik, tapi kudanya tetap berpacu ke daerah pegunungan di sekitar Yanagase. Hanya
sepuluh orang berkuda menyertainya.
Panji komandan telah diserahkan ke tangan Shosuke seperti yang diimbaunya, tapi Katsuie
berpesan. "Bawalah ke tengah-tengah pasukanku!"
Itulah permintaannya, dan permintaan tersebut tak pelak diajukan mengingat orang-orang yang
akan menemui ajal bersama Shosuke.
Seketika sekitar tiga puluh orang berkumpul di bawah panji. Hanya merekalah yang menjunjung
tinggi kehormatan dan bersedia mengorbankan nyawa demi pimpinan mereka.
Ah, ternyata masih ada prajurit Shibata yang memiliki harga diri, pikir Shosuke sambil memandang
25 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
wajah-wajah di sekelilingnya dengan gembira. "Mari! Kita tunjukkan pada mereka, bagaimana
caranya mati dengan bahagia!"
Setelah memberikan panji kepada salah satu prajurit, ia segera melangkah maju, bergegas dari
sebelah barat Desa Yanagase, ke arah lereng utara Gunung Tochinoki. Ketika kelompok kecil
beranggotakan kurang dari empat puluh orang itu membulatkan tekad untuk maju, mereka
memperlihatkan semangat yang jauh lebih tegar dibandingkan ribuan orang di Kitsunezaka pagi itu.
"Katsuie telah mundur ke pegunungan!" "Rupanya dia sudah pasrah dan siap mati." Seperti bisa
diduga. pasukan Hideyoshi yang mengejar Katsuie saling mendesak untuk terus maju.
"Kepala Katsuie sudah di tangan kita!"
Semuanya berlomba-lomba untuk menjadi orang pertama yang mendaki Gunung Tochinoki. Sambil
mengibarkan panji emas di puncak gunung, para prajurit Shibata menahan napas ketika jumlah
musuh - yang bahkan melewati tempat-tempat yang tak ada jalan pun - membesar dari menit ke
menit. "Masih ada waktu untuk mengedarkan secawan air sebagai tanda perpisahan." ujar Shosuke.
Dalam detik-detik yang masih tersisa, Shosuke dan rekan-rekannya meraup dan saling berbagi air
yang mengalir dari celah-celah di puncak gunung, lalu dengan tenang mempersiapkan diri untuk
menghadapi ajal. Shosuke mendadak berpaling pada kedua saudara kandungnya, Mozaemon dan
Shobei. "Saudara-saudaraku, tinggalkanlah tempat ini dan pulanglah ke desa kita. Kalau kita bertiga gugur
sekaligus dalam penempuran, tak ada yang dapat meneruskan nama keluarga atau menjaga ibu
kita. Mozaemon, anak sulunglah yang wajib meneruskan nama keluarga, jadi kenapa kau tidak
pergi saja sekarang?"
"Kalau kedua adiknya dibantai musuh." balas Mozaemon. "mungkinkah si sulung menghadapi
ibunya sambil berkata, 'Aku sudah pulang'" Tidak, aku tetap di sini. Shobei, kau saja yang pergi."
"Kalian terlampau kejam." "Kenapa?"
"Kalau aku disuruh pulang di saat seperti ini, ibu kita takkan gembira. Dan mendiang ayah kita pun
tentu sedang mengamati putra-putranya dari dunia lain. Kakiku takkan menempuh perjalanan ke
Echizen hari ini." "Baiklah, kalau begitu kita mati bersama-sama." Setelah menyatukan tekad dalam ikrar kematian,
ketiga saudara itu berdiri tak tergoyahkan di bawah panji komandan.
Shosuke tidak menyinggung lagi bahwa ia menghendaki saudara-saudaranya pulang ke rumah.
Ketiga kakak-beradik itu minum air bening dari mata air sebagai tanda perpisahan, dan ketika
semangat baru menggelora dalam dada masing-masing, ketiga-tiganya menghadap ke arah rumah
ibu mereka. Tidak sukar untuk membayangkan doa yang mereka ucapkan dalam hati. Musuh menyerbu dari
segala arah, dan mereka sudah begitu dekat, sehingga suara para prajurit terdengar jelas, "Jaga
26 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
panji komandan, Shobei," Shosuke berkata kepada adiknya sambil mengenakan pdindung wajah. la
menyamar sebagai Katsuie, dan tak ingin dikenali musuh.
Lima atau enam peluru melesat di dekat kepalanya. Dengan menganggap tembakan-tembakan itu
sebagai aba-aba. ketiga puluh orang itu menyerukan nama Hachiman. sang Dewa Perang, lalu
menghadang musuh. Mereka membagi diri menjadi tiga unit dan menyerang pasukan musuh yang sedang mendekat.
Orang-orang yang datang dari bawah telah tersengal-sengal dan tak dapat membendung lawan-
lawan yang dengan nekat menerjang dari puncak gunung. Pedang-pedang panjang menghujani
helm-helm pasukan Hideyoshi, tombak-tombak menu-suk dada mereka, dan dalam sekejap
mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana.
"Jangan terlalu bersemangat menyambut maut!" Shosuke berseru tiba-tiba, sambil mundur ke balik
pagar kayu runcing. Melihat panji komandan mengikutinya, anak buahnya yang masih hidup pun menyusul.
"Kata orang, tamparan lima jari tak sekuat pukulan dengan tangan terkepal. Kalau kita
tercerai-berai, kita takkan dapat berbuat banyak. Tetaplah di bawah panji, baik saat maju maupun
mundur." Setelah mendapat mengarahan, mereka sekali lagi menghambur ke luar. Berpaling ke satu arah,
mereka membantai musuh dengan ganas; berpaling ke arah lain, mereka mencabut nyawa dengan


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rombak-tombak. Kemudian, bagaikan angin, mereka mundur ke kubu pertahanan mereka.
Dengan cara itu, mereka mendesak maju lima atau enam kali untuk bertempur.
Pasukan penyerang telah kehilangan lebih dari dua ratus orang. Hari sudah menjelang siang, dan
marahari mulai bersinar terik. Darah segar yang membasahi baju tempur dan helm segera
mengering, meninggalkan lapisan hitam yang berkilau seperti pernis.
Tak sampai sepuluh orang yang masih bertahan di bawah panji komandan, dan mata mereka yang
menyala-nyala nyaris tak sanggup melihat lagi. Tak satu orang pun yang tidak terluka, Anak panah
telah menembus baju Shosuke. Sambil memandang darah segar yang mengalir pada lengan
bajunya, ia mencabut anak panah itu dengan tangannya sendiri. Kemudian ia berpaling ke arah
anak panah itu berasal. Sejumlah besar helm tampak mendekat, menerobos ilalang bagai
sekawanan babi hutan. Shosuke memanfaatkan waktu yang masih tersisa untuk berbicara dengan rekan-rekannya, "Kita
telah bertempur sekuat tenaga, dan tak ada yang perlu kita sesalkan. Pilihlah lawan yang hebat,
dan ukirlah nama harum untuk diri kalian. Biarkan aku mendului kalian, gugur sebagai pengganti
junjungan kita. Jangan biarkan panji komandan terjatuh. Acungkan tinggi-tinggi, sam-pai orang
terakhir!" Prajurit-prajurit berlumuran darah yang telah siap menyambut maut itu mengacungkan panji ke arah
musuh yang sedang menerobos ilalang. Prajurit-prajurit yang menghampiri mereka rupanya luar
biasa garang. Mereka maju tanpa berkedip, berpegang teguh pada ikrar yang telah mereka
ucapkan. Shosuke menghadapi orang-orang itu dan berseru-seru untuk menggertak mereka.
27 Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Lancing benar kalian ini! jembel-jembel hina! Kalian pikir kalian bisa menancapkan tombak-tombak
kalian ke tubuh Shibata Katsuie?"
Shosuke tampil bagaikan iblis, dan tak seorang pun sanggup bertahan di hadapannya. Sejumlah
orang mati di tombak, hampir di depan kakinya.
Ketika melihat keganasan orang itu dan kehausan bertempur mati-matian melawan orang-orang
yang rela mempertahankan panji komandan mereka sampai titik darah penghabisan, para prajurit
pasukan penyerang - bahkan yang paling besar mulut pun - menghentikan peng
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
28Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah | http://cerita-silat.mywapblog.com | Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah pdf created by Saiful Bahri (Seletreng - Situbondo) pd 23-04-2016 08:27:05
epungan dan membuka jalan ke kaki gunung.
"Inilah aku! Katsuie sendiri datang! Kalau Hideyoshi ada di sini, suruh dia menemuiku seorang diri di
atas kuda! Keluarlah, Muka Monyet!" Shosuke berseru-seru ketika menuruni lereng.
Di situ juga ia menikam prajurit berbaju tempur yang menghadangnya. Kakaknya, Mozaemon, telah
gugur; adiknya, Shobei, terlibat pertempuran pedang panjang dengan seorang prajurit musuh,
sampai keduanya tumbang tak bernyawa, dan Shobei terempas ke dasar sebuah jurang.
Di sampingnya tergeletak panji komandan yang telah berubah warna menjadi merah.
Baik dari atas maupun bawah, tombak-tombak yang tak terhitung jumlahnya menembus tubuh
Shosuke; setiap prajurit ingin merebut panji komandan dan memenggal kepala orang yang mereka
sangka sebagai Katsuie. Semuanya berlomba-lomba meraih kejayaan. Di tengah-tengah tusukan tombak, Menju Shosuke
menemui ajal di medan laga.
Ia prajurit tampan yang baru berusia dua puluh lima tahun, dan selama ini dianggap rendah oleh
orang-orang seperti Katsuie dan Genba karena ia lebih banyak diam, bersikap lembut dan anggun,
serta gemar belajar - wajah Shosuke masih tersembunyi di balik pelindung mukanya.
"Aku membunuh Shibata Katsuie!" seorang samurai berseru.
"Panji komandannya di rebut oleh tangan ini!"
prajurit lain bersorak. Kemudian semua orang angkat suara, yang satu mengaku begini, yang satu begitu, sampai seluruh
gunung terguncang-guncang.
Dan anak buah Hideyoshi belum juga mengetahui bahwa kepala itu bukan kepala Shibata Katsuie,
melainkan kepala Menju Shosuke, si kepala pelayan.
"Kita membunuh Katsuie!
"Aku sempat memegang kepala si Penguasa Kitanosho!" Sambil saling dorong dan desak. mereka
bersorak-sorak tanpa henti. "Panjinya! Panji emas! Dan kepalanya! Kita mendapatkan kepalanya!"
Sahabat Sejati DENGAN susah payah Katsuie berhasil meloloskan diri, tapi pasukannya telah binasa. Sampai pagi
itu, panji Shibata dengan lambang emas masih berkibar di daerah Yanagase, tapi kini hanya panji
1 Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Hideyoshi yang terlihat. Panji itu tampak berkilau dalam cahaya matahari cerah, memukau semua
yang melihatnya, dan melambangkan kenyataan yang melampaui kearifan dan kekuatan biasa.
Bendera-bendera dan pataka-pataka pasukan Hideyoshi, yang membentang di sepanjang
jalan-jalan dan memadati ladang-ladang, menampilkan adegan kemenangan yang megah.
Semuanya sedemikian rapat, hingga menyerupai kabut tebal berwarna emas.
Semua prajurit mulai menyantap ransum masing-masing. Pertempuran meletus dini hari dan
berlangsung selama sekitar delapan jam. Seusai makan, seluruh pasukan diperintahkan untuk
segera menuju utara. Ketika mendekati Celah Tochinoki, mereka bisa melihat Laut Tsuruga di sebelah timur, sementara
Pegunungan Echizen di sebelah utara seakan-akan sudah berada di bawah kaki kuda mereka.
Matahari sudah mulai terbenam, langit dan bumi memantulkan cahaya senja yang mengalahkan
warna-warna pelangi. Wajah Hideyoshi tampak merah. Namun ia tidak kelihatan seperti orang yang belum tidur
berhari-hari. Sepertinya ia lupa bahwa manusia harus memejamkan mata untuk beristirahat. la terus
mendesak maju, dan belum memberi perintah berhenti. Pada musim panas seperti ini, malam paling
singkat. Pada waktu hari masih terang, pasukan utama mengaso di Imajo di Echizen. Namun
barisan depan tetap melanjutkan perjalanan sampai ke Wakimoto - yang berjarak lura-kira enam
mil - sementara barisan belakang berhenti di Itadori, kira-kira sama jauhnya di belakang pasukan
utama. Dengan demikian, perkemahan malam itu mem bentang sejauh dua belas mil dari depan ke
belakang. Malam itu Hideyoshi tertidur pulas, dan bahkan tidak terganggu oleh kicauan burung tekukur.
Besok kita tiba di Benteng Fuchu, Hideyoshi berkata dalam hati sebelum beranjak tidur. Tapi
bagaimana Inuchiyo akan menyambut kita"
Apa yang sedang dilakukan Inuchiyo saat itu" Ia telah melintasi daerah tersebut pada siang hari
yang sama, dan sementara matahari masih tinggi di langit, menarik mundur pasukannya ke Fuchu.
benteng putranya. "Puji syukur kau selamat." ujar istrinya ketika keluar untuk menyambutnya.
"Urus mereka yang luka-luka. Nanti saja kita bicara."
Inuchiyo tidak melepaskan sandal maupun membuka baju tempur, ia hanya berdiri di muka
benteng. Pelayan-pelayannya juga ada di sana, berbaris di belakangnya, menunggu dengan
khidmat. Akhirnya korps demi korps melewati gerbang, menggotong mayat rekan-rekan mereka yang gugur,
yang ditutupi panji-panji. Setelah itu, orang-orang yang cedera dalam penempuran digotong atau
dipapah. Korban di pihak Maeda yang jatuh saat bergerak mundur berjumlah tiga puluhan orang, tapi angka
2 Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
ini tidak berarti apa-apa dibandingkan jumlah korban di pihak Shibata dan Sakuma. Genta di kuil
dibunyikan, dan pada waktu matahari terbenam, asap dari api untuk memasak mulai mengepul di
semua bagian benteng. Perintah untuk menyantap ransum diberikan, tapi pasukan tidak
dibubarkan, dan para prajurit tetap dalam unit masing-masing, seakan-akan mereka masih di
medan tempur. Seorang penjaga di gerbang utama berseru, "Sang Penguasa Kitanosho telah tiba di gerbang
benteng." "Apa" Yang Mulia Katsuie di sini?" Inuchiyo bergumam heran. Ini merupakan perkembangan tak
terduga, dan Inuchiyo seakan-akan tidak tega menemui orang itu, yang kini telah menjadi pelarian.
Sejenak ia tampak merenung, tapi kemudian ia berkata. "Mari kita keluar untuk menyambut beliau."
Inuchiyo mengikuti putranya keluar dari benteng. Setelah menuruni tangga terakhir, ia melangkah
ke selasar penghubung yang gelap. Salah satu pembantunya, Murai Nagayori. menyertainya.
"Tuanku," Murai berbisik.
Inuchiyo menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya.
Si pengikut berbisik ke telinga junjungannya. "Kedatangan Yang Mulia Katsuie di sini merupakan
kesempatan menguntungkan yang tiada banding. Jika tuanku membunuh beliau dan mengirim
kepala beliau kepada Yang Mulia Hideyoshi, hubungan antara tuanku dan Yang Mulia Hideyoshi
tentu langsung membaik kembali."
Tanpa peringatan, Inuchiyo memukul dada orang itu. "Diam!" ia membentak.
Murai terhuyung-huyung sampai menabrak dinding kayu di belakangnya, dan masih untung tidak
terjatuh. Wajahnya mendadak pucat, dan ia tetap dalam posisi antara berdiri dan duduk.
lnuchiyo memelototinya dan berkata gusar. "Be rani-beraninya kau membisikkan rencana busuk
yang seharusnya malu kau ucapkan. Kauanggap dirimu samurai, tapi kau tidak tahu apa-apa
mengenai Jalan Samurai! Orang macam apa yang mau menjual kepala seorang jendral yang
mengetuk pintunya, sekadar untuk mencari keuntungan bagi marganya sendiri" Apalagi kalau dia
telah berjuang selama bertahun-tahun di bawah komando jendral tersebut!"
Setelah meninggalkan Murai yang gemetaran, lnuchiyo pergi ke gerbang utama untuk menyambut
Katsuie. Panglima tertinggi pasukan Shibata itu masih duduk di atas kudanya. Ia menggenggam
tombak yang telah patah dengan sa-tu tangan, dan sepertinya tidak terluka, tapi selu-ruh
wajahnya - seluruh dirinya - diliputi kesedihan.
Tali kekang kudanya dipegang oleh Toshinaga yang telah berlari keluar untuk menyambutnya.
Kedelapan orang yang menyertai Katsuie menunggu di luar gerbang utama. Dengan demikian,
Katsuie seorang diri. "Aku berutang budi." Dengan ucapan santun ini, Katsuie turun dari kudanya. Ia menatap lnuchiyo
dan berkata keras-keras dengan nada menyalahkan diri sendiri, "Kita kalah! Kita kalah!"
Di luar dugaan, semangarnya masih tinggi. Mungkin ia hanya berpura-pura, tapi kelihatan lebih
tenang daripada yang dibayangkan lnuchiyo. lnuchiyo bersikap lebih ramah daripada biasanya
3 Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
ketika menyapa jendral yang baru saja menelan kekalahan itu. Toshinaga tak kalah prihatin dari
ayahnya, dan membantu Katsuie melepaskan sandal yang berlumuran darah.
"Aku merasa seperti pulang ke rumah sendiri." Keramahan memberi kesan mendalam pada diri
seseorang yang berada di jurang kehancuran, dan membuat ia melupakan segala kecurigaan dan
kegetiran. Keramahan merupakan satu-satunya hal yang membuatnya sadar bahwa masih ada
harapan di dunia. Kini Katsuie tampak cukup gembira, dan ia mengucapkan selamat kepada ayah dan anak yang
berhasil meloloskan diri. "Kekalahan itu sepenuhnya akibat kelalaianku. Aku juga telah merepotkan
kalian, dan aku berharap kalian dapat memaafkanku." katanya. "Aku akan mundur sampai ke
Kitanosho dan menyelesaikan urusanku tanpa penyesalan. Bolehkah aku minta semangkuk nasi
dan teh?" Si lblis Shibata rupanya telah menjelma menjadi Buddha Shibata. lnuchiyo pun tak sanggup
menahan air mara. "Cepat bawakan nasi dan teh. Dan sake," lnuchiyo memerintahkan. Ia tak tahu apa yang bisa
dikatakannya untuk menghibur Katsuie. Meski demikian, ia merasa harus mengatakan sesuatu.
"Kemenangan dan kekalahan konon merupakan santapan utama seorang prajurit. Jika Yang Mulia
memandang bencana hari ini sebagai takdir. Yang Mulia akan sadar bahwa membanggakan
kemenangan merupakan langkah pertama menuju hari kehancuran, sedangkan kekalahan total
adalah langkah pertama menuju hari kemenangan. Kejayaan dan kemalangan seseorang
membentuk perputaran abadi yang tak ada sangkut-pautnya dengan kegembiraan dan kesedihan
sesaat. "Karena itu, yang kusesali bukanlah kehancuran diriku atau arus perubahan yang tak pernah
berhenti." ujar Katsuie. "Yang kusesali hanyalah kehancuran reputasiku. Tapi jangan khawatir.
Inuchiyo. Semuanya telah ditakdirkan."
Katsuie yang dulu takkan pernah mengucapkan hal seperti itu. Tapi ia tidak tampak menderita
maupun bingung. Ketika sake tiba. Katsuie segera mengisi satu cawan, dan sambil berkata bahwa saat
perpisahannya sudah dekat, juga menuangkan sake untuk Inuchiyo dan putranya. Hidangan
sederhana yang dipesan Inuchiyo dihabiskannya dengan lahap.
"Belum pernah kucicipi apa pun yang menyamai nasi yang kumakan hari ini. Kebaikanmu takkan
pernah kulupakan." Setelah itu ia mohon diri.
Inuchiyo, yang menyertainya keluar, segera melihat bahwa kuda Katsuie sudah lelah. Setelah
menyuruh seorang pelayan mengambil kuda kesayangannya yang berbintik-bintik kelabu, ia
menawarkannya pada Katsuie. "Yang Mulia tak perlu cemas." kata Inuchiyo. "Kami akan
mempertahankan tempat ini sampai Yang Mulia tiba di Kitanosho."
Katsuie mulai menjauh, tapi kemudian memutar kudanya dan menghampiri Inuchiyo. seakan-akan
mendadak teringat sesuatu. "Inuchiyo. kau dan Hideyoshi telah bersahabat sejak muda. Berhubung
pertempuran berakhir seperti ini, aku membebaskanmu dari segala kewajibanmu sebagai
pengikutku." 4 Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Itulah ucapan terakhirya pada Inuchiyo. Ketika ia menaiki kuda, wajahnya tidak mencerminkan
kepalsuan. Dihadapkan pada perasaan seperti itu, Inuchiyo membungkuk dengan sepenuh hati.
Sosok Katsuie saat meninggalkan gerbang benteng tampak hitam di hadapan matahari sore yang
merah. Pasukan Shibata yang hanya tersisa delapan penunggang kuda dan sekitar sepuluh prajurit
infanteri melarikan diri ke Kitanosho.
Dua atu tiga penunggang kuda berpacu memasuki Benteng Fuchu. Berita yang mereka bawa
segera menyebar ke semua sudut. "Musuh berkemah di Wakimoto. Yang Mulia Hideyoshi
mendirikan perkemahan di Imajo, jadi kemungkinan kecil terjadi serangan malam ini."
Hideyoshi tidur nyenyak sepanjang malam - atau lebih tepat, selama setengah malam - di Imajo,
dan keesokan harinya berangkat pagi-pagi ke Wakimoto.
Kyutaro keluar untuk menyambutnya. Ia menegakkan panji komandan, dan dengan demikian
menunjukkan kehadiran sang Panglima Tertinggi.
"Apa yang terjadi di Benteng Fuchu semalam?" tanya Hideyoshi.
"Mereka kelihatan sibuk sekali."
"Apakah mereka memperkuat pertahanan" Barangkali orang-orang Maeda ingin bertempur." Sambil
menjawab penanyaannya sendiri. ia memandang ke Fuchu. Tiba-riba ia berpaling pada Kyutaro dan
memerintahkan agar pasukan Kyutaro disiagakan.
"Yang Mulia hendak terjun langsung ke penempuran?" tanya Kyutaro.
"Tentu saja." Hideyoshi mengangguk, seakan-akan melihat jalan lebar yang datar terbentang di
hadapannya. Kyutaro segera menyampaikan rencana Hideyoshi pada semua jendral dan
membunyikan sangkakala untuk mengumpulkan barisan depan. Tak lama kemudian para
prajuritnya telah berbaris, siap maju.
Waktu untuk menempuh perjalanan ke Fuchu tak sampai dua jam. Kyutaro berada di depan,
sementara Hideyoshi berkuda di rengah-tengah pasukan. Dalam tempo singkat, tembok-tembok
benteng sudah kelihatan. Orang-orang di dalam benteng tentu saja merasa gelisah. Dilihat dari atas
menara pertahanan, barisan prajurit dan panji Hideyoshi yang berlambang labu emas seakan-akan
sudah bisa dijangkau dengan tangan.
Perintah untuk berhenti belum diberikan, dan berhubung Hideyoshi berada di tengah-rengah
mereka, para prajurit barisan depan merasa yakin bahwa mereka akan segera mengepung benteng
itu. Sambil menuju gerbang utama Benteng Fuchu, pasukan Hideyoshi - yang kini menyerupai sungai
berarus deras - menampilkan formasi sayap bangau. Sejenak hanya panji komandan yang tidak
bergerak. Tepat pada saat itu, seluruh benteng menyemburkan asap mesiu.
"Mundur sedikit, Kyutaro! Mundur!" Hideyoshi memerintahkan. "Para prajurit jangan menyebar dulu,
dan jangan bentuk susunan tempur. Bubarkan formasi dan suruh mereka berkumpul kembali."
5 Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Para prajurit barisan depan bergerak mundur, dan senapan-senapan di dalam benteng segera
terdiam. Namun semangat tempur kedua pihak bisa meledak setiap waktu.
"Hei. salah satu dari kalian! Bawa panji komandan dan maju dua puluh meter ke depanku."
Hideyoshi memerintahkan. "Kudaku tak perlu digiring; aku akan memasuki benteng seorang diri."
Ia belum menceritakan rencananya pada siapa pun, dan kini ia mengumumkannya secara
mendadak sambil tetap duduk di atas kuda. Tanpa mengindahkan kesan kaget pada wajah para
jendralnya, ia langsung memacu kudanya menuju gerhang utama benteng.
Tunggu sebentar! Tunggu sebentar agar hamba dapat mendului Yang Mulia."
Seorang samurai mengejarnya sambil tergopoh-gopoh, tapi ketika ia baru berada sepuluh meter di
depan Hideyoshi - sambil membawa panji koman-dan seperti yang diperintahkan
kepadanya - bebe-rapa lerusan senapan terdengar. Peluru-peluru itu ditujukan ke arah lambang
labu emas. "Jangan tembak! Jangan tembak!"
Sambil berseru-seru lantang, kuda Hideyoshi melintas ke arah benteng, bagaikan panah yang
melesat dari busur. "Ini aku! Hideyoshi! Kalian tidak mengenali aku?" Ketika mendekati benteng, ia mencabut tongkat
komando yang terbuat dari emas dan melambai-lambaikannya ke arah para prajurit di dalam
benteng. "Ini aku! Hideyoshi! Jangan tembak!"
Terperanjat, dua orang melompat dari ruang senjata di samping gerbang utama dan segera
membuka gerbang. "Yang Mulia Hideyoshi?"
Perkembangan ini benar-benar di luar dugaan, dan mereka menyapanya sambil tersipu-sipu
menahan malu. Hideyoshi mengenali kedua orang itu. Ia sudah turun dari kudanya dan berjalan
menghampiri mereka. "Sudah kembalikah Tuan Inuchiyo?" tanyanya, lalu menambahkan. "Apakah dia dan putranya
baik-baik saja?" "Ya, Yang Mulia." salah satu dari kedua orang itu menjawab. "Mereka pulang dengan selamat."
"Bagus, Bagus. Sungguh lega rasanya. Tolong bawakan kudaku."
Sambil menyerahkan tali kekang pada kedua orang itu, Hideyoshi memasuki benteng itu seperti
memasuki rumahnya sendiri, disertai para pengiringnya.
Para prajurit yang memadati benteng tampak tercengang, bahkan hampir bingung, melihat sikap
Hideyoshi. Pada saat itulah Inuchiyo dan putranya bergegas ke arah Hideyoshi. Ketika saling


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendekat, keduanya angkat bicara bersamaan, seperti layaknya dua sahabat lama.
"Wah. wah!" 6 Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Inuchiyo! Ada apa ini?" tanya Hideyoshi.
"Tidak ada apa-apa," Inuchiyo membalas sambil tenawa. "Mari masuk dan duduklah."
Disertai putranya, Inuchiyo mengajak Hideyoshi ke benteng dalam. Sengaja menghindari pintu
masuk resmi, mereka membuka gerbang ke pekarangan dan membawa tamu mereka langsung ke
daerah hunian, dan hanya berhenti sejenak untuk mengagumi bunga-bunga yang sedang mekar di
kebun. Hideyoshi disambut seperti anggota keluarga dekat, dan Inuchiyo bersikap seperti dulu, ketika ia
dan Hideyoshi tinggal di dua rumah yang dipisahkan oleh pagar tanaman.
Akhirnya Inuchiyo mempersilahkan Hideyoshi masuk.
Namun Hideyoshi malah memandang berkeliling, tanpa tanda-tanda akan melepas sandal
jeraminya. "Bangunan sebelah sana - dapurkah itu?" tanyanya. Ketika Inuchiyo membenarkannya,
Hideyoshi mulai melangkah ke sana. "Aku ingin bertemu istrimu. Apakah dia di sini?"
Inuchiyo benar-benar terkejut. Ia baru hendak mengatakan bahwa ia akan memanggil istrinya jika
Hideyoshi ingin menemuinya, tapi tak sempat lagi. Terburu-buru ia memberi tahu Toshinaga agar
mengantar tamu mereka ke dapur.
Setelah menyuruh putranya mengejar Hideyoshi, ia sendiri bergegas menyusuri selasar untuk
memperingatkan istrinya. Yang paling kaget adalah para juru masak dan pelayan. Tiba-tiba saja seorang samurai bertubuh
pendek - jelas-jelas seorang Jendral - muncul di dapur dan memanggil-manggil, seakan-akan ia
merupakan anggota keluarga junjungan mereka.
"Hei! Putri Maeda ada di sini" Di mana dia?"
Tak seorang pun tahu di mana istri lnuchiyo. Semuanya tampak bingung, tapi setelah melihat
tongkat komando yang terbuat dari emas serta pedang kebesaran, mereka segera berlutut dan
membungkuk. Ia pasti Jendral berkedudukan tinggi, tapi tak seorang pun pernah melihatnya di
antara orang-orang Maeda sebelum ini.
"Hei. Putri Maeda, di mana Tuan Putri" Ini aku, Hideyoshi. Keluarlah, aku ingin bertemu!"
Istri lnuchiyo sedang menyiapkan makanan bersama beberapa pelayan ketika ia mendengar
hiruk-pikuk itu. Ia muncul sambil mengenakan celemek, dengan lengan baju tergulung. Sejenak ia
hanya berdiri memandang Hideyoshi. "Aku pasti bermimpi," gumamnya.
Ketika Hideyoshi melangkah maju, istri lnuchiyo segera menyadarkan diri, dan setelah melepas
ikatan lengan bajunya, cepat-cepat menyembah di pelataran kayu.
Hideyoshi langsung duduk. "Yang pertama-tama ingin kuberitahukan pada Tuan Putri adalah bahwa
anak-anak perempuan Tuan Putri tampak kerasan di Himeji. Tuan Putri tak perlu khawatir mengenai
ini. Selain itu, meskipun suami Tuan Putri menghadapi saat-saat penuh cobaan dalam operasi
militer terakhir, dia tidak memperlihatkan kebimbangan apakah harus maju atau mundur, dan bisa
7 Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dibilang bahwa pihak Maeda meninggalkan medan laga tanpa terkalahkan."
Istri lnuchiyo meletakkan kedua telapak tangan di bawah kepalanya yang membungkuk.
Saat itulah lnuchiyo masuk untuk mencari istrinya, dan melihat Hideyoshi.
Tempat ini tak pantas untuk menerima Tuan. Paling tidak, lepaskanlah sandal Tuan dan beranjaklah
dari lantai tanah." Pasangan suami-istri itu melakukan segala upaya untuk membujuk Hideyoshi agar pindah ke
pelataran kayu, tapi Hideyoshi menolak, dan tetap bicara dengan nada akrab seperti sebelumnya.
"Aku ingin cepat-cepat sampai di Kitanosho dan tak bisa meluangkan waktu banyak sekarang. Tapi
kalau tidak merepotkan, bolehkah aku minta semangkuk nasi?"
"Permintaan Tuan mudah dipenuhi. Tapi mengapa Tuan tidak masuk dulu, biarpun hanya sejenak?"
Hideyoshi tidak menunjukkan tanda-randa akan melepas sandal jeraminya dan bersantai. "Lain kali
saja. Hari ini aku harus bergerak cepat."
Suami-istri itu telah mengetahui kelebihan dan kekurangan pada watak Hideyoshi. Persahabatan
mereka tak pernah mementingkan kewajiban dan kepura-puraan. Istri Inuchiyo kembali menggulung
lengan bajunya. Lalu menuju meja racik di dapur.
Dapur itu melayani seluruh benteng, dan banyak pelayan, juru masak, bahkan pejabat bekerja di
tempat itu. Tapi Putri Maeda bukan perempuan yang tidak tahu cara menyiapkan hidangan lezat
dalam waktu singkat. Baik pada hari itu maupun hari sebelumnya, ia ikut mengurus orang-orang yang terluka dan
membantu menyiapkan makanan mereka. Tapi pada hari-hari tanpa banyak kesibukan pun ia biasa
masuk dapur untuk menyiapkan sesuatu bagi suaminya. Kini marga Maeda telah memimpin sebuah
provinsi besar. Tapi di masa susah di Kiyosu dulu, ketika keadaan tetangga mereka yang bernama
Tokichiro tak lebih baik dari mereka, kedua keluarga itu sering saling mendatangi untuk meminjam
setakar beras, segenggam garam, atau minyak lentera untuk satu malam. Kala itu mereka bisa
menilai kesejahteraan tetangga mereka berdasarkan cahaya lentera yang memancar dari jendela
pada malam hari. Perempuan ini tak kalah baiknya sebagai istri dibandingkan Nene-ku, pikir Hideyoshi. Dalam
kesempatan merenung yang singkat itu, istri Inuchiyo tdah selesai menyiapkan dua atau tiga
hidangan. Sambil membawa baki, ia mengajak tamu mereka keluar dari dapur.
Di daerah berbukit-bukit yang membentang ke arah benteng sebelah barat, sebuah pondok kecil
berdiri di tengah rumpun pohon cemara. Para pengiring segera menggelar tikar di samping
bangunan itu dan meletakkan dua baki berisi makanan dan beberapa botol sake.
"Biarpun Tuan sedang terburu-buru, perkenankanlah aku menghidangkan sesuatu yang lebih baik."
kata istri Inuchiyo. "Jangan, jangan. Tapi bagaimana kalau suami dan putra tuan Putri menemuiku?"
Inuchiyo duduk berhadapan dengan Hideyoshi. dan Toshinaga memegang botol sake. Di tempat itu
8 Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
ada bangunan, tapi sang tamu dan para tuan rumah tidak menggunakannya. Angin bertiup di antara
pohon-pohon cemara, tapi mereka hampir tidak mendengar suaranya.
Hideyoshi hanya minum secawan sake, tapi segera menghabiskan kedua mangkuk nasi yang
disiapkan istri Inuchiyo untuknya.
"Ah, aku kenyang. Maaf kalau aku tidak tahu diri, tapi bolehkah aku minta secawan teh?"
Berbagai persiapan telah dilakukan di dalam pondok. Istri Inuchiyo langsung masuk dan mengambil
secawan teh untuk Hideyoshi.
"Hmm, Tuan Putri," ujar Hideyoshi sambil minum. Lalu memandang istri Inuchiyo, seakan-akan
hendak minta nasihatnya. "Aku tahu bahwa kedatanganku merepotkan, tapi sekarang aku juga ingin
meminjam suami Tuan Putri sejenak."
Isrri lnuchiyo tertawa riang. "Meminjam suamiku" Sudah lama Tuan tidak menggunakan ungkapan
itu." Hideyoshi dan lnuchiyo ikut tertawa, dan Hideyoshi berkata, "Dengar itu, lnuchiyo. Rupanya kaum
perempuan tidak mudah melupakan kedongkolan di masa silam, Sampai hari ini pun istrimu masih
ingat bahwa kau sering 'kupinjam' untuk minum-minum bersama." Sambil mengembalikan cawan
teh, ia tertawa sekali lagi. Tapi hari ini sedikit berbeda dari masa lalu, dan jika Tuan Putri tidak
keberatan, aku yakin suami Tuan Putri juga demikian. Aku berharap dia bisa menemaniku ke
Kitanosho. Kurasa Toshinaga sanggup menjaga Tuan Putri di sini."
Menyadari bahwa persoalannya telah terpecahkan sambil bersenda gurau. Hideyoshi sendiri yang
langsung mengambil keputusan. "Aku berharap Toshinaga tinggal di sini, dan suami Tuan Putri
menyertaiku. Tak ada yang bisa menandingi lnuchiyo di medan tempur, Nanti, setelah kami kembali,
aku ingin mampir lagi dan menginap beberapa hari. Kami berangkat besok pagi. Dan sekarang aku
mohon diri dulu." Seluruh keluarga mengantarnya sampai ke pintu dapur. Ketika menuju ke sana, istri lnuchiyo
berkata, Tuan Hideyoshi, Tuan menginginkan Toshinaga tinggal di sini untuk menjaga ibunya, tapi
kurasa aku belum sebegitu tua atau kesepian. Masih banyak samurai yang akan menjaga benteng,
dan tak seorang pun perlu mencemaskan pertahanannya."
lnuchiyo pun sependapat. Ketika mereka bergegas ke pintu, Hideyoshi dan keluarga Maeda
memastikan jam keberangkatan untuk hari berikutnya dan memutuskan hal-hal kecil lainnya.
"Kunjungan Tuan yang berikut akan ku tunggu-tunggu," istri lnuchiyo berkata ketika mereka
berpisah di pintu dapur; suami dan putranya menemani Hideyoshi sampai ke gerbang benteng.
Pada malam Hideyoshi mohon diri pada keluarga Maeda dan kembali ke perkemahannya, dua
anggota terkemuka marga Shibata digiring sebagai tawanan. Yang pertama Sakuma Genba. Yang
satu lagi putra angkat Katsuie, Katsutoshi. Kedua-duanya tertangkap saat melarikan diri melintasi
pegunungan di Kitanosho. Genba terluka. Akibat panasnya musim kemarau, lukanya terkena infeksi
dan segera mulai bernanah. Pengobatan darurat yang sering digunakan oleh kaum prajurit adalah
pengobatan dengan moxa, dan Genba mampir di rumah seorang petani di pegunungan, minta
sedikit moxa, lalu mengoleskannya di sekeliling luka.
9 Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sementara Genba sibuk mengobati lukanya, para petani diam-diam berunding dan sampai pada
kesimpulan bahwa mereka akan memperoleh hadiah jika mereka menyerahkan Katsutoshi dan
Genba pada Hideyoshi. Malamnya para petani mengepung pondok tempat keduanya tidur,
mengikat mereka seperti babi, lalu menggotong mereka ke perkemahan Hideyoshi.
Keiika Hideyoshi menerima kabar mengenai kejadian ini, ia tampak tak senang. Berlawanan dengan
harapan para petani, mereka malah dihukum berat.
Keesokan harinya Hideyoshi beserta lnuchiyo dan putranya memacu kuda masing-masing ke
benteng Katsuie di Kitanosho. Dan sebelum malam tiba, ibu kota Echizen telah dipadati pasukan
Hideyoshi. Ketika ia dalam perjalanan, marga Tokuyama dan Fuwa telah membaca gelagat, dan banyak dari
mereka menyerahkan diri di gerbang perkemahan Hideyoshi.
Hideyoshi berkemah di Gunung Ashiba, dan ia memerintahkan agar benteng di Kitanosho dikepung
sedemikian ketat, sehingga setetes air pun takkan bisa lolos. Setelah itu korps Kyutaro ditugaskan
membobol sebagian pagar pertahanan, kemudian Genba dan Katsutoshi dibawa ke dekat tembok
benteng. Sambil menabuh genderang perang, para prajurit berseru-seru pada Katsuie yang berada di dalam
benteng. "Jika ada ucapan terakhir untuk putra angkatmu dan Genba, sebaiknya kau keluar dan
mengatakannya sekarang!"
Pesan itu disampaikan dua atau tiga kali, tapi tak ada jawaban dari benteng. Katsuie tidak
menampakkan diri, mungkin karena tidak tega melihat kedua orang itu. Selain itu, sudah jelas
bahwa strategi Hideyoshi adalah menghancurkan semangat orang-orang di dalam benteng.
Sepanjang malam anggota pasukan Kaisuie yang tercecer masih terus berdatangan, dan kini
ben-tengnya menampung sekirar tiga ribu orang, termasuk warga sipil.
Kecuali itu, Genba dan Katsutoshi ditangkap hidup-hidup oleh musuh, dan mau tak mau Katsuie
pun merasa bahwa akhir hayatnya sudah dekat. Genderang perang musuh bertalu-talu. Pada waktu
malam tiba, pagar-pagar pertahanan di sekeliling benteng telah dapat diterobos, dan sampai
sejarak sembilan meter arau dua belas meter dari benteng, seluruh daerah dipenuhi pasukan
Hideyoshi. Meski demikian, suasana di dalam benteng tetap tenteram. Setelah beberapa saat, genderang
musuh pun bungkam; malam sudah dekat, dan jendral-jendral yang tampak seperti utusan terlihat
mondar-mandir dari benteng ke luar. Barangkali ada upaya untuk menyelamatkan nyawa Katsuie,
atau mungkin juga karena diutus untuk memohon damai. Desas-desus seperti itu menyebar dengan
cepat, tapi suasana di dalam benteng seperti nya tidak mendukung teori-teori tersebut.
Setelah hari berganti malam, benteng dalam yang semula gelap gulita mulai diterangi cahaya
lentera-lentera. Benteng di sebelah utara dan timur juga diterangi. Di donjon pun lentera-lentera
tampak menyala berselang-seling, dan para prajurit berjaga-jaga, menanti saat pertempuran.
Pasukan penyerang sempat terheran-heran, tapi teka-teki itu segera terjawab. Tak lama kemudian
mereka mendengar suara genderang dan alunan sending. Lagu-lagu rakyat dengan logat Utara
yang kental terbawa angin ke arah mereka.
10 Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Orang-orang di dalam benteng rupanya sadar bahwa ini malam terakhir mereka, dan sepertinya
mereka mengadakan jamuan perpisahan. Betapa menyedihkan.
Pasukan penyerang di luar benteng bersimpati kepada lawan-lawan mereka. Baik orang-orang di
dalam benteng maupun mereka yang berada di luar pernah mengabdi sebagai prajurit di bawah
komando Oda, dan tak satu pun dari mereka tidak mengetahui masa lalu Katsuie. Oleh karena itu,
situasinya sarat dengan berbagai emosi.
Jamuan terakhir sedang diadakan di dalam benteng di Kitanosho, dan dihadiri oleh lebih dari
delapan puluh orang - segenap marga dan para pengikut senior. Istri dan anak-anak Katsuie duduk
di bawah lentera-lentera terang di tengah-tengah, sementara pasukan musuh menunggu di luar,
berjarak hanya selemparan baru.
"Kita bahkan tak sempat berkumpul seperti ini untuk merayakan hari pertama di Tahun Baru!"
seseorang berkata, dan seluruh keluarga tertawa. "Dengan datangnya fajar, hari pertama kehidupan
kita di dunia berikut akan dimulai. Malam ini malam Tahun Baru kita di alam fana."
Dengan lentera-lentera dan suara tawa, pertemuan itu sepertinya tak berbeda dari jamuan biasa.
Tapi kehadiran prajurit-prajurit berbaju tempur menimbulkan awan mendung di dalam bangsal.
Rias wajah serta pakaian Oichi dan ketiga puirinya memberi sentuhan segar, bahkan anggun, pada
acara itu. Anak bungsunya baru berusia sepuluh tahun, dan ketika mereka melihat anak itu
bergembira ria di antara baki-baki penuh makanan dan orang-orang yang gaduh, para prajurit tua
yang tak terusik oleh maut yang sudah menanti pun terpaksa mengalihkan pandang ke arah lain.
Katsuie sudah terlalu banyak minum. Beberapa kali, pada waktu menawarkan cawan pada
seseorang, ia tak sanggup menyembunyikan kesepi-annya, dan berkata. "Kalau saja Genba ada di
sini." Setiap kali mendengar seseorang menyesalkan kegagalan Genba, ia langsung mencela.
"Jangan salahkan Genba. Bencana ini timbul akibat kelalaianku sendiri. Kalau aku mendengar
kalian menyalahkan Genba, hatiku lebih pedih daripada kalau aku yang diserang."
la memastikan bahwa semua orang di sekitarnya menikmati minuman, dan membagi-bagikan sake
terbaik dari gudang kepada para prajurit di menara-menara. Kiriman sake diiringi oleh pesan nya.
"Rayakanlah perpisahan ini sepuas hati. Tak ada salah nya kalau kalian membacakan sajak-sajak."
Tembang-tembang terdengar dari menara-menara, suara tawa memenuhi bangsal jamuan.
Gendang-gendang ditabuh, bahkan di hadapan Katsuie , dan kipas emas para penari menorehkan
garis-garis anggun di udara.
"Dahulu kala Yang Mulia Nobunaga meman-faatkan setiap kesempatan untuk menari dan sering
mendesak agar aku mengikuti contohnya, tapi aku selalu malu karena ketidakmampuanku," Katsuie
mengenang. "Betapa sayang-nya! Paling tidak, aku seharusnya mempelajari satu tarian saja untuk
malam ini." Dalam hati ia tentu sangat kehilangan bekas junjungannya. Dan masih ada hal lain. Meskipun
kesulitan yang dihadapinya sekarang - yang tak menyisakan harapan sedikit pun - diakibatkan oleh
satu prajurit bermuka monyet, tak perlu diragukan bahwa ia diam-diam mengharapkan kematian
gemilang. 11 Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Usianya baru lima puluh tiga tahun. Sebagai jendral, masa depannya seharusnya masih terben-tang
di hadapannya, tapi kini ia hanya bisa berharap agar ia mati secara terhormat.
Sake terus dituangkan. Cawan demi cawan direguk, dan banyak gentong dikuras habis malam itu.
Ada nyanyian yang diiringi tabuhan gendang, tarian dengan kipas-kipas perak, dan seruan-seruan
riang diselingi suara tawa, tapi semua itu tak sanggup menghapus suasana suram hingga tuntas.
Sesekali bangsal jamuan diliputi keheningan. dan asap hitam yang dimuntahkan oleh
lentera-lentera yang berkedap-kedip mengungkapkan rona pucat pada kedelapan puluh wajah,
kepucatan yang tak berhubungan dengan sake yang mereka minum. Tengah malam telah tiba,
namun jamuan masih terus berlanjut. Ketiga putri Oichi bersandar pada pangkuannya dan mulai
tertidur. Bagi mereka, jamuan ini rupanya terlalu membosankan.
Tak lama kemudian si bungsu telah tertidur pulas dengan menggunakan pangkuan ibunya sebagai
bantal. Ketika Oichi menyentuh rambut putrinya, ia harus berjuang untuk menahan air mata. Anak
keduanya pun akhirnya terlelap. Hanya si sulung, Chacha, tampak mengerti perasaan ibunya. la
menyadari makna jamuan malam itu, namun ia tetap kelihatan tenang.
Ketiga putri itu sangat menawan, dan semuanya mirip ibu mereka. Tapi Chacha, khususnya,
dikaruniai pembawaan aristokrat yang mengalir dalam darah marga Oda. Kecantikannya dan
usianya yang masih muda mau tak mau menimbulkan kesedihan dalam hati setiap orang yang
memandangnya. "Dia begitu lugu," Katsuie tiba-tiba berkata, ketika menatap wajah si bungsu yang sedang tidur. Ia
kemudian berbicara dengan Putri Oichi mengenai nasib ketiga anak itu, "Kau adik kandung Yang
Mulia Nobunaga, dan belum setahun berlalu sejak kau menjadi istriku. Lebih baik kau membawa
anak-anak dan meninggalkan benteng sebelum fajar. Aku akan menyuruh Tominaga mengantarmu
ke perkemahan Hideyoshi."
Oichi menjawab dengan mata berkaca-kaca. "Tidak!" katanya sambil menahan air mata. "Jika
seorang perempuan menikah dan menjadi anggota keluarga pejuang, dia telah bertekad untuk
menerima karmanya. Menyuruhku meninggalkan benteng sekarang sungguh keji, dan tak
terbayangkan olehku bahwa aku akan mengemis-ngemis di gerbang perkemahan Hideyoshi,
sekadar untuk menyelamatkan nyawa.'
Ia menatap Katsuie sambil menggelengkan kepala di balik lengan baju. Tapi Katsuie mencoba
sekali lagi. "Aku bahagia melihatmu begitu setia padaku, sementara hubungan kita sedemikian
dangkal, tapi ketiga putrimu adalah anak-anak Yang Mulia Asai. Selain itu, Hideyoshi tentu takkan
bersikap kejam terhadap adik Yang Mulia Nobunaga atau terhadap anak-anaknya. Jadi, jangan
ragu-ragu. Pergilah, dan pergilah cepat-cepat."
Setelah memanggil salah satu pengikutnya, Katsuie memberi perintah pada orang itu, lalu
menyuruh mereka bersiap-siap. Tapi Oichi hanya menggelengkan kepala dan tidak beranjak dari
tempat. "Biarpun Tuan Putri telah bertekad bulat, perkenankanlah anak-anak yang tak berdosa ini
meninggalkan benteng, sesuai keinginan junjung-an hamba."
Oichi tampaknya hendak menyetujui permohonan itu. la membangunkan putri bungsunya yang tidur
12 Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
di pangkuannya, dan memberitahu ketiga anak itu bahwa mereka akan dikirim ke luar benteng.
Chacha merangkul ibunya dengan erat. "Aku tidak mau pergi. Aku tidak mau pergi. Aku ingin
bersama Ibu di sini!"
Katsuie berbicara dengannya dan ibunya berusaha membujuknya, tapi mereka tak mampu
menghentikan air matanya yang meleleh. Akhirnya Chacha digiring dan dipaksa meninggalkan
benteng. Isak tangis ketiga anak perempuan itu terdengar menyayat hati ketika mereka dibawa
pergi. Giliran jaga keempat sudah hampir tiba, dan jamuan tanpa kegembiraan itu pun usai. Para
samurai segera mengencangkan kembali tali pengikat baju tempur, lalu menuju pos masing-masing,
tempat mereka akan menyambut maut.


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Katsuie, istrinya, dan beberapa anggota marga berkumpul di benteng dalam.
Oichi minta diambilkan meja kecil dan mulai menggerus tinta untuk sajak kematiannya. Katsuie
melakukan hal yang sama. Meskipun di mana-mana sama saja, malam hari tidak sama bagi semua orang. Fajar terasa
berbeda bagi mereka yang kalah dan mereka yang menang.
"Pastikan tembok-iembok luar sudah jatuh ke tangan kita pada waktu langit terang," Hideyoshi
memerintahkan, lalu dengan tenang menunggu datangnya fajar.
Kota benteng pun relatif tenteram. Kebakaran timbul di dua atau tiga tempat. Api disulut bukan oleh
prajurit-pnjurit Hideyoshi, tapi kemungkinan besar disebabkan oleh para warga kota yang dilanda
kebingungan. Karena dapat digunakan sebagai api unggun yang akan menerangi serangan
mendadak pasukan di dalam benteng, kebakaran-kebakaran tersebut dibiarkan menyala sepanjang
malam, Sejumlah jendral keluar-masuk perkemahan Hideyoshi mulai senja sampai tengah malam.
Itu menimbulkan dugaan bahwa ada upaya untuk menyelamatkan nyawa Katsuie, atau bahkan
bentengnya akan segera menyerah. Meski demikian, selewat tengah malam pun tak ada perubahan
dalam strategi tempur semula.
Bertambahnya kesibukan di setiap perkemahan menunjukkan bahwa fajar telah dekat. Tak lama
kemudian sangkakala pun dibunyikan. Tabuhan genderang mulai membelah kabut. Suaranya yang
berdentum-dentum mengguncang seluruh perkemahan.
Sesuai rencana, serbuan dimulai tepat pada jam Macan. Serangan dibuka ketika pasukan yang
menghadapi tembok benteng melepaskan berondongan tembakan.
Letusan senapan terdengar menggema, tapi tiba-tiba semua tembakan dan teriakan barisan depan
terhenti. Pada saat itulah seorang penunggang kuda muncul di tengah kabut, memacu kudanya dari posisi
Kyutaro ke tempat Hideyoshi duduk. Di belakangnya. seorang samurai dan tiga anak perempuan
tampak berlari. Tahan! jangan menemhak!" penunggang kuda itu berseru.
Ketiga pelarian itu, tentu saja, keponakan-keponakan Nobunaga. Tanpa mengenali mereka, para
prajurit memandang ketiga sosok yang berlalu di tengah kabut itu. Si sulung bergandengan dengan
13 Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
adiknya, yang berpegangan tangan dengan si bungsu. Sambil berjingkat-jingkat mereka menyusuri
jalan yang berbatu-baru. Sudah menjadi kebiasaan bagi para pelarian untuk mengenakan sesedikit
mungkin pelindung kaki, dan ketiga putri itu bukan perkecualian. Kaki mereka hanya tertutup kaus
sutra tebal. Si bungsu mendadak berhenti dan berkata bahwa ia ingin kembali ke benteng. Samurai yang
menyertai mereka menenangkan gadis cilik itu dengan menggendongnya.
"Kita mau ke mana?" anak kecil itu bertanya sambil gemetaran.
"Kita akan mengunjungi tempat seseorang yang baik hati." jawab Shinroku.
Tidak! Aku tidak mau pergi!"
Kedua kakaknya berusaha sekuat tenaga menenangkannya.
"Ibu akan menyusul nanti. Bukan begitu, Shinroku?"
"Ya, tentu saja."
Mereka berjalan dengan cepat, dan akhirnya tiba di rumpun pohon cemara tempat Hideyoshi
mendirikan kemahnya. Hideyoshi keluar dari balik tirai dan berdiri di bawah pohon cemara, memperhatikan mereka
mendekat. Kemudian ia menyambut ketiga gadis itu.
"Mereka semua memperlihatkan ciri khas keluarga." ia berkomentar setelah berhadapan dengan
mereka. Bayangan sosok Nobunaga atau sosok Oichi-kah yang timbul dalam dadanya" Yang jelas, ia
terpesona dan hanya dapat bergumam bahwa mereka anak-anak yang baik. Sejuntai rumbai
tergantung dari baju Chacha yang berwarna seperti buah prem. Pada baju adiknya, yang
berhiaskan sulaman bermotif besar, tersampir sehelai se-lendang merah. Pakaian si bungsu tak
kalah anggun dari pakaian kedua kakaknya. Masing-masing membawa kantong kecil yang
menyebarkan wangi kayu gaharu, serta sebuah lonceng mungil dari emas.
"Berapa usia kalian?" tanya Hideyoshi. Tapi tak satu pun dari mereka mau menjawab. Justru
sebaliknya, bibir mereka jadi begitu pucat, sehingga timbul kesan bahwa ketiga gadis itu akan
berurai air mata jika ada yang menyentuh mereka.
Hideyoshi tertawa ringan dan menyunggingkan senyum. "Kalian tak perlu takut. Mulai sekarang,
kalian bisa bermain denganku." Dan ia menunjuk hidungnya sendiri.
Putri Tengah tertawa tertahan, mungkin karena hanya ia yang teringat pada seekor monyet.
Tapi tiba-tiba letusan senapan dan teriakan-teriakan perang kembali menggemuruh, bahkan lebih
hebat daripada sebelumnya, menyapu seluruh daerah di sekeliling benteng. Di ufuk timur, langit
pagi mulai kelihatan. Ketiga anak perempuan itu melihat asap mengepul dari tembok-tembok benteng dan mulai
14 Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menjerit-jerit dan menangis karena bingung.
Hideyoshi menitipkan mereka pada salah satu pengikutnya. Dengan berapi-api ia lalu minta
dibawakan kuda, dan berpacu ke arah benteng.
Kedua selokan pertahanan di sepanjang tembok luar yang mengambil air dari Sungai Kuzuryu
menyulitkan gerakan pasukan penyerang.
Namun ketika mereka akhirnya berhasil melindungi selokan pertama, para prajurit di dalam benteng
telah membakar jembatan di gerbang depan. Api menjilat menara di atas gerbang dan menyebar ke
daerah barak. Perlawanan pasukan bertahan yang begitu gigih melampaui dugaan para penyerang.
Menjelang siang hari, benteng luar berhasil ditaklukkan. Para penyerang berhamburan memasuki
benteng utama dari semua gerbang.
Katsuie dan pengikut-pengikut seniornya mengurung diri di dalam donjon untuk memberikan
perlawanan terakhir. Donjon megah itu berupa bangunan sembilan lantai dengan pintu-pintu besi
dan pilar-pilar batu. Setelah menggempur donjon selama dua jam, pasukan penyerang kehilangan lebih banyak prajurit
daripada sepanjang pagi. Pekarangan dalam dan menara telah menjadi lautan api. Hideyoshi
memerintahkan gerak mundur sementara. Mungkin karena menyadari bahwa mereka tidak
mencapai kemajuan, ia menarik semua korps.
la lalu memilih beberapa ratus prajurit yang gagah berani. Mereka diperintahkan untuk tidak
membawa senjata api; hanya tombak dan pedang.
"Sekarang aku akan melihat hasilnya! Bukalah jalan ke menara dengan paksa!" ia memerintahkan.
Korps tombak pilihan itu segera merubungi benteng bagai sekawanan lebah, dan dalam waktu
singkat telah berhasil menerobos ke dalam.
Asap hitam tampak bergulung-gulung dari lantai tiga, lantai empat, lalu lantai lima.
"Bagus!" Hideyoshi berseru ketika semburan api menyelubungi atap menara yang bertingkat-tingkat
itu dari segala arah. Kilatan itulah yang menandai ajal Katsuie. Katsuie dan kedelapan puluh kerabatnya telah
menghalau para penyerang di Lantai tiga dan lantai empat, serta berjuang dengan gigih sampai
saat terakhir. Berulang kali mereka terpeleset akibat genangan darah yang membasahi lantai. Tapi
kini tiga anggota keluarganya berseru padanya!
"Bersiap-siaplah dengan segera, tuanku!"
Katsuie berlari ke lantai lima, bergabung dengan Putri Oichi. Setelah menyaksikan kematian
istrinya. Shibata Katsuie mengakhiri hidupnya dengan membelah perut.
Itu terjadi pada Jam Monyet. Sepanjang malam donjon dilahap api. Bangunan-bangunan megah
yang berdiri di tepi Sungai Kuzuryu sejak zaman Nobunaga menyala, seakan-akan hendak
membakar seribu arwah dan impian masa lalu yang tak terhitung jumlahnya. Namun dalam
15 Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tumpukan abu yang tersisa tak ada apa pun yang menyerupai Katsuie.
Konon ia telah menumpuk rumput kering secara cermat di dalam menara, agar tubuhnya terbakar
habis. Karena itu kepala Katsuie tak dapat dipamerkan sebagai bukti nyata bahwa ia telah tewas.
Selama beberapa waktu ada saja yang berkata bahwa Katsuie berhasil meloloskan diri. tapi
Hideyoshi bersikap acuh tak acuh terhadap desas-desus tersebut. Esoknya ia telah berpaling ke
arah Kaga. Sampai hari sebelumnya, Benteng Oyama di Kaga masih merupakan markas besar Sakuma
Genba. Ketika mendengar berita mengenai kekalahan Kitanosho, orang-orang di daerah itu
langsung membaca gelagat dan menyerah pada Hideyoshi. Ia memasuki Benteng Oyama tanpa
pertempuran. Namun semakin banyak kemenang-an diraih pasukannya, semakin tegas ia
mengingatkan mereka akan gentingnya situasi, dan mewanti-wanti agar mereka tidak
mengendurkan disiplin. Ia hendak menundukkan para prajurit Shibata dan sekutu-sekuru mereka
untuk selama-lamanya. Sassa Narimasa di Benteng Toyama termasuk golongan itu. Ia salah satu pendukung utama marga
Shibata dan memandang rendah pada Hideyoshi. Dari segi pangkat, Sassa berada jauh di atas
Hideyoshi. Ia wakil Katsuie selama operasi di wilayah Utara, dan selama peperangan melawan
Hideyoshi, ia diminta tinggal di bentengnya, bukan saja untuk mengawasi marga Uesugi, tapi juga
untuk menjalankan roda pemerintahan di wilayah Utara.
Sassa ada di sini. Inilah sikap yang diperlihatkannya ketika memandang ke luar dari bentengnya. Ia
berdiri dengan kokoh sebagai pdindung wilayah Utara. Meskipun Katsuie telah gugur dan Kitanosho
jatuh ke tangan musuh, masih ada kemungkinan bahwa Sassa, berkat kegarangan dan
kebenciannya terhadap Hideyoshi, akan berupaya meneruskan rencana Katsuie dan
memperpanjang perang. Dan memang itulah yang hendak dilakukannya dengan menggabungkan
pasukannya sendiri dengan sisa-sisa laskar Shibata.
Hideyoshi sengaja tidak menghadapi orang itu secara terbuka. Jumlah pasukan Hideyoshi telah
membuktikan kekuatannya, dan ia memutuskan untuk membiarkan kehadiran mereka membujuk
Sassa merenungkan kembali posisinya. Sementara itu, ia mendekati marga Uesugi dengan
undangan untuk membentuk persekutuan. Uesugi Kagekaesu mengutus seorang pengikut untuk
menyampaikan ucapan selamat atas kemenangan yang diraih Hideyoshi, dan tawaran Hideyoshi
pun disambut baik. Menimbang hubungan baik yang tampaknya terjalin antara Hideyoshi dan marga Uesugi, Sassa
Narimasa tidak melihat kemungkinan untuk mengadakan perlawanan. Karena itu ia menutup-nutupi
niat sesungguhnya dan akhirnya menyatakan tunduk pada Hideyoshi. la lalu menikahkan putrinya
dengan putra kedua lnuchiyo, Toshimasa, dan dengan lega kembali ke provinsinya sendiri. Dengan
demikian, wilayah di utara Kitanosho berhasil didamaikan berkat momentum semata-mata, nyaris
tanpa pertempuran. Setelah mengamankan wilayah Utara, pasukan Hideyoshi kembali ke Benteng Nagahama
bertepatan dengan Perayaan Anak-Anak Laki-Laki. hari kelima Bulan Kelima.
Di Nagahama, Hideyoshi mendengarkan laporan mengenai situasi di Gifu Sesudah Kitanosho,
Raja Naga 7 Bintang 5 Pendekar Naga Putih 50 Sang Penghancur Pisau Terbang Li 2
^