Pencarian

Taiko 7

Taiko Karya Eiji Yoshikawa Bagian 7


Sekaranglah waktunya. Ayo."
"Tunggu. Kinoshita. Aku tidak mau menghadap Nobunaga." "Kenapa tidak?"
"Aku tidak bermaksud datang kc sini pada waktu Nobunaga mungkin menahan perasaan
sesungguhnya, dan aku tak ingin para pengikutnya menyangka aku ingin menarik keuntungan dari
keadaan ini." "Ada apa denganmu" Semua orang akan mati. Bukankah kau datang karena ingin gugur membela
panji-panji junjunganmu?"
"Itu benar." "Nah, kalau begitu jangan khawatir. Gunjingan hanya berpengaruh pada mereka yang hidup."
"Tidak, lebih baik mati tanpa mengatakan apa-apa. Dan ini hasratku yang paling dalam, tak peduli
Nobunaga mengampuniku atau tidak. Kinoshita?"
"Ya?" 8 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Bersediakah kau menyembunyikan aku di tengah kesatuanmu selama beberapa saat?"
"Tentu saja. tapi aku hanya membawahi tiga puluh prajurit infanteri. Kehadiranmu akan mencolok
sekali." "Aku akan memakai ini." Inuchiyo menutupi helmnya dengan sesuatu yang mirip selimut kuda. dan
menyusup kc antara anak buah Tokichiro. Jika berjinjit, ia dapat melihat Nobunaga dengan jelas.
Dan ia mendengar mara Nobunaga yang bernada tinggi timbul-tenggelam terbawa angin.
Bagaikan seekor burung yang terbang rendah, seorang penunggang kuda mendekati Nobunaga
dari arah tak terduga. Seluruh pasukan menoleh ke arahnya.
"Ada apa" Kau bawa berita?"
"Bagian terbesar kekuatan Imagawa, pasukan di bawah Yoshimoto dan tcndral-jendralnya baru saja
mengubah arah dan menuju Okehazama!"
"Apa?" tanya Nobunaga dengan mata berbinar-binar. "Hmm, kalau begitu Yoshimoto mengambil
jalan ke Okehazama tanpa berpaling ke arah Odaka?"
Sebelum ia selesai berbicara, sebuah seruan terdengar, "Lihat! Ada lagi!"
Saru penunggang kuda, lalu dua - pengintai-pengintai untuk pasukan Nobunaga. Orang-orang
menahan napas ketika para pengintai memacu kuda masing-masing ke arah perkemahan.
Melengkapi laporan sebelumnya, mereka menyampaikan perkembangan terakhir pada Nobunaga.
"Bagian terbesar pasukan Imagawa mengambil jalan Okehazama. tapi kini mereka menyebar di
dekat Dengakuhazama. agak ke selatan dari Okehazama. Mereka telah memindahkan markas, dan
sepertinya sedang beristirahat dengan Yoshimoto di tengah-tengah mereka."
Nobunaga terdiam sejenak, matanya secerah mata pedang. Kematian. Hanya kemattan yang
dipikirkannya. Dengan menggebu-gebu. dalam kegelapan total, sambil menyerahkan diri pada
nasib. Keinginannya hanya satu - gugur secara jantan. Ia sudah memacu kudanya dari fajar sampai
matahari tinggi di langit. Kini, tiba-tiba, bagaikan seberkas sinar yang menembus awan
kemungkinan untuk meraih kemenangan melintas di benaknya.
Kalau semuanya berjalan baik...
Sesungguhnya, sampai detik itu ia tak percaya pada kemenangan, padahal kemenanganlah
satu-satunya yang diperjuangkan oleh seorang prajurit.
Penggalan-penggalan gagasan muncul dan menghilang dalam pikiran manusia, seperti arus
gelombang tanpa akhir, sehingga hidup manusia terbentuk sekilas demi sekilas. Sampai ke saat
kematiannya. ucapan dan perbuatan seseorang direntukan oleh rangkaian penggalan ini. Gagasan
dapat menghancurkan seseorang. Setiap hari dalam kehidupan seseorang terbentuk melalui
keputusannya untuk menerima atau menolak gagasan yang muncul mendadak seperti itu.
Dalam keadaan biasa, ada waktu untuk menentukan pilihan setelah mempertimbangkannya
masak-masak, tapi takdir kadang menghadang tanpa peringatan. Jika keadaan genting, ke kanan
atau ke kirikah ia harus berpaling" Nobunaga kini telah mencapai persimpangan itu, dan tanpa
9 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sadar ia menentukan nasibnya.
Tentu saja waktu dan pendidikannya berpengaruh besar dalam mencegahnya melangkah ke arah
yang salah. Bibirnya terkatup rapat. Meski demikian, ada sesuatu yang ingin dikatakannya.
Tiba-tiba seorang pengikut berseru, "Tuanku, sekaranglah waktunya! Yoshimoto pikir dia telah
mengetahui kekuatan kita setelah merebut Washizu dan Marune. Dia tentu takabur karena
keberhasilan pasukannya. Dia sedang menikmati kemenangan dan membiarkan semangat
juangnya merosot. Inilah waktu yang tepat. Kalau kita melancarkan serangan men-
dadak ke markas Yoshimoto, kemenangan pasti akan berpihak pada kita."
"Betul!" Nobunaga berseru sambil menepuk pelana. "Itulah yang harus kita lakukan. Aku akan
mendapatkan kepala Yoshimoto. Dengakuhazama berada tepat di sebelah timur."
Namun para jendral rampak risau dan waswas ketika mendengar laporan para pengintai, dan
mereka berusaha mencegah Nobunaga.
Tapi Nobunaga tidak ambil peduli. "Kalian semua orang tua uzur! Mengapa kalian gentar" Kalian
tinggal mengikutiku. Kalau aku masuk ke dalam api, kalian pun ikut masuk. Kalau aku akan berjalan
di atas air, kalian akan mengikutiku. Kalau tidak, menyingkirlah dan saksikan sepak terjangku dari
jauh." Sambil tertawa dingin, ia meninggalkan mereka dan memacu kudanya menuju barisan
terdepan. *** Siang. Tak seekor burung pun rerdengar di bukit-bukit yang hening. Angin telah berhenti, dan
matahari yang terik seakan-akan membakar segala sesuaru yang ada di bawah langit. Daun-daun
tampak tergulung anu layu seperti tembakau kering.
"Di sebelah sana!" Diikuti sekelompok orang, seorang prajurit berlari menaiki lereng berumput.
"Cepat siapkan petak."
Beberapa prajurit membabat semak belukar dengan sabit besar, yang lainnya membuka gulungan
tirai dan mengikatnya ke dahan-dahan pinus dan pohon sutra di sekitar mereka. Dalam sekejap
mereka telah membuat petak berbatas tirai, yang akan digunakan sebagai markas Yoshimoto.
"Wah! Panasnya bukan main!" salah satu dari mereka mengeluh.
"Kata orang, jarang-jarang hawanya sepanas sekarang!"
Mereka mengusap keringat.
"Lihat, aku sudah basah kuyup. Bahkan kulit dan logam di baju tempurku terlalu panas untuk
disentuh." "Kalau kubuka baju tempur ini agar kena angin, tenru rasanya lebih enak. Tapi sebentar lagi para
jendral sudah tiba."
10 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Hmm. mari kita melepas lelah sejenak." Hanya sedikit pohon di bukit berumput itu. Jadi
prajurit-prajurit itu duduk di bawah bayang-bayang pohon kamper besar. Setelah beristirahat
sebentar, mereka merasa lebih sejuk.
Bukit Dengakuhazama lebih rendah dibanding gunung-gunung di setenarnya, tak lebih dari bukit
kecil di tengah lembah bundar. Dari waktu ke waktu, daun-daun di bukit ini mendadak berdesir
karena angin sejuk yang turun dari Taishigadake.
Salah satu prajurit menatap ke langit sambil mengoleskan salep ke kakinya yang melepuh, dan
bergumam pada diri sendiri.
"Ada apa?" prajurit lain bertanya. "Lihat."
"Lihat apa?" "Awan badai bergumpal. Kemungkinan besar nanti malam akan hujan."
"Ah, syukurlah. Tapi asal tahu saja, bagi mereka yang bertugas memperbaiki jalan dan membawa
barang-barang, hujan lebih buruk daripada serangan musuh. Moga-moga hujannya tidak begitu
deras.'* Tak putus-putusnya angin menggoyang-goyang tirai yang telah mereka pasang.
Perwira yang bertanggung jawab menatap berkeliling dan berkata pada anak buahnya. "Ayo,
berdirilah. Malam ini Yang Mulia akan tinggal di Benteng Odaka. Beliau sengaja membuat musuh
mengira pasukan kita akan bergerak dari Kutsukake ke Odaka, tapi dengan mengambil jalan pintas
lewat Okehazama, beliau merencanakan untuk tiba nanti malam. Tugas kita adalah memeriksa
semua jembatan, tebing, dan selokan di sepanjang jalan yang akan dilalui beliau. Ayo berangkat."
Mereka beranjak, dan bukit itu kembali tenteram seperti semula. Suara jangkrik terdengar di
sana-sini. Tapi tak lama kemudian tangkah kuda terdengar di kejauhan. Tak ada tiupan sangkakala,
tak ada bunyi genderang, dan mereka bergerak setenang mungkin di antara puncak-puncak bukit.
Namun, meski telah berusaha, debu dan kebisingan yang ditimbulkan demikian banyak kuda tak
dapat ditutup-tutupi. Bunyi kaki kuda menginjak batu dan akar segera memenuhi udara, dan
pasukan utama di bawah Imagawa Yoshimoto membanjiri bukit dan daerah sekitar Dengakuhazama
dengan prajurit-prajurit, kuda-kuda, panji-panji, dan tirai-tirai.
Yoshimoto berkeringat paling hebat. Ia telah terbiasa hidup nyaman, dan setelah melewati usia
empat puluh, tubuhnya pun membengkak. Jelas sekali ia tersiksa oleh manuver-manuver ini.
Badannya yang gemuk ditutupi kimono berwarna merah dan lempengan dada berwarna putih, la
mengenakan helm berukuran besar yang dimahkotai oleh delapan naga. dengan lima lempengan
pelindung tengkuk. Selain itu, ia memakai pedang panjang bernama Matsukurago yang sudah
beberapa generasi berada dalam keluarga Imagawa. sebilah pedang pendek - juga hasil karya
pandai besi terkenal - sarung tangan, pelindung tulang kering, dan sepatu bot. Berat seluruh
perlengkapannya mungkin lebih dari empat puluh kilo, dan tak ada tempat sama sekali bagi angin
untuk menyusup masuk. Bersimbah peluh, Yoshimoto terus berkuda di bawah panas yang membakar. Akhirnya ia tiba di
Dengakuhazama. 11 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Apa nama tempat ini?" Yoshimoto bertanya begitu terlindung di balik tirai markasnya. Di
sekelilingnya berdiri orang-orang yang bertugas melindunginya - para pelayan, jendral. pengikut
senior, dokter, dan lain-lain.
Salah seorang jendral menjawab, "Ini Dengakuhazama. Letaknya tidak jauh dari Okehazama."
Yoshimoto mengangguk dan menyerahkan helmnya pada seorang pelayan. Setelah pelayan lain
membuka tali pengikat baju tempurnya, ia melepaskan pakaian dalamnya yang basah kuyup dan
mengenakan jubah putih yang bersih. Angin bertiup lembur. Betapa menyegarkan, pikir Yoshimoto.
Sesudah tali pinggang baju tempurnya dikencangkan kembali, kursi dipindahkan ke kulit macan
tutul yang diletakkan di rumput. Perlengkapan mewah yang mengikutinya ke mana-mana mulai
dibongkar. "Apa itu?" Yoshimoto minum seteguk teh. terkejut oleh bunyi yang menyerupai gemuruh meriam.
Para pembantunya ikut memasang telinga. Salah satu dari mereka menyingkap tepi tirai dan
menatap ke luar. Ia menemukan pemandangan memesona - matahari terik tampak bermain-main
dengan awan yang terkoyak-koyak dan menimbulkan pusaran cahaya di langit.
"Guntur di kejauhan. Hanya bunyi gunrur di kejauhan," si pengikut melaporkan.
"Guntur?" Yoshimoto memaksakan senyum, sambil menepuk-nepuk punggung sebelah bawah
dengan tangan kiri. Para pembantunya memperhatikannya, tapi sengaja menahan diri dan tidak
menanyakan sebabnya. Pagi itu, ketika mereka berangkat dari Kutsukake, Yoshimoto terjatuh dari
kudanya. Kembali menanyakan cederanya hanya akan mempermalukan Yoshimoto.
Sesuatu sedang terjadi. Tiba-tiba terdengar bunyi langkah kuda dan orang dari kaki bukit, mendekat
ke arah markas. Yoshimoto langsung berpaling pada salah satu pengikutnya dan bertanya cemas,
"Apa lagi sekarang?"
Tanpa menunggu perintah untuk mencari penyebabnya, dua atau tiga prajurit bergegas keluar,
membiarkan angin masuk. Kali ini penyebabnya bukan guntur. Suara kaki kuda dan langkah orang
telah mencapai puncak bukit. Kesatuan itu berkekuatan sekitar dua rarus orang, dan mereka
membawa kepala-kepala musuh sang diperoleh di Narumi - suatu gambaran nyata bagaimana
pertempuran berlangsung. Kepala-kepala itu dibawa agar diperiksa oleh Yoshimoto.
"Kepala para samurai Oda di Narumi. Susun semuanya dengan rapi. Mari kita lihat." Yoshimoto
tampak bersemangat. "Siapkan kursiku!"
Sambil mengatur posisi dan menutup wajah dengan kipas, ia memeriksa ketujuh puluh kepala yang
dibawa ke hadapannya saru per satu. Setelah selesai. Yoshimoto berseru, "Betapa banyak darah!"
dan berbalik sambil memerintahkan agar tirai ditutup kembali. Awan hutan umpak tersebar-sebar di
langit siang. "Hmm, hmm. Angin sejuk naik dari rurang. Sebentar lagi sudah siang, bukan?"
"Tidak, tuanku. Jam Kuda telah berlalu." salah satu pembantunya balas.
"Pantas saja aku lapar. Siapkan makan siang, dan biarkan pasukan makan dan beristirahat."
12 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Seorang pembantu bergegas keluar untuk meneruskan perintahnya. Di balik tirai, para jendral,
pelayan, dan juru masak berjalan mondar-mandir, namun suasana tenang. Sekali-sekali, utusan
dari kuil-kuil dan desa-desa di sekitar datang untuk menyerahkan sake dan hidangan khas
setempat. Yoshimoto mengamati orang-orang ini dari jauh. dan memutuskan, "Kita akan memberikan imbalan
pada mereka saat kita kembali dari ibu kota."
Setelah penduduk-penduduk setempat berlalu. Yoshimoto minta dibawakan sake dan ia bersantai di
atas kulit macan tutul. Para komandan di luar tirai menghadap satu per satu, dan mengucapkan
selamat atas kemenangan di Narumi. yang menyusul penaklukan Marune dan Washizu.
"Kalian tentu kurang senang dengan perlawanan tak berarti yang kita temui sampai sekarang."
Yoshimoto berkata dengan tampang jenaka ketika ia menawarkan sake pada seluruh pengikut dan
pembantunya. Sikapnya semakin meluap-luap.
"Kekuasaan Yang Mulia-lah yang membawa keadaan menguntungkan ini. Tapi, seperti dikatakan
oleh Yang Mulia, jika keadaan terus seperti ini, tanpa musuh yang bisa digempur, para prajurit akan
mengeluh bahwa disiplin dan latihan kita sia-sia belaka."
"Bersabarlah. Besok malam Benteng Kiyosu akan kita rebut, dan walaupun orang-orang Oda telah
terpojok, tentu masih tersisa semangat juang dalam diri mereka. Kalian semua akan memperoleh
kesempatan untuk membuktikan keberanian di medan tempur."
"Hmm, kalau begitu Yang Mulia bisa tinggal selama dua atau tiga hari di Kiyosu, sambil menikmati
pemandangan bulan dan hiburan lainnya."
Sementara mereka bercakap-cakap, matahari menghilang di balik awan. tapi dengan aki mengalir
bebas, tak ada yang memperhatikan langit yang semakin gelap. Ketika tiupan angin mengangkat
tirai, hujan pun mulai turun. Namun Yoshimoto dan para jendralnya asyik tertawa dan mengobrol,
membahas siapa yang akan tiba paling dulu di Benteng Kiyosu pada keesokan harinya, dan
mencemooh Nobunaga. Sementara Yoshimoto sedang mengcjck-cjck musuhnya, Nobunaga sedang bergegas menaiki
lereng Taishigadake. Ia telah mendekati markas Yoshimoto.
Taishigadake tidak terlalu tinggi maupun terjal, tapi pepohonan di lereng-lerengnya amat lebat.
Hanya para penebang kayu yang sering ke sini, jadi agar sejumlah besar kuda dan orang dapat
lewat dengan cepat, mereka terpaksa menebang pohon, menginjak-injak semak belukar, melompati
celah, dan menyeberangi sungai.
Nobunaga berseru pada pasukannya. "Jika kalian jatuh dari kuda, tinggalkan saja! Jika panji-panji
tersangkut di dahan-dahan, biarkan saja! Pokoknya, bergegaslah! Yang penting adalah mencapai
markas Yoshimoto dan mendapatkan kepalanya. Jangan bawa barang sama sekali! Terjanglah
pasukan musuh dan tembus barisan mereka. Jangan buang waktu dengan memenggal setiap
lawan yang berhasil kalian jatuhkan. Bantai mereka dan hadapi lawan berikut, selama tubuh kalian
masih bernyawa. Kalian tak perlu berusaha menjadi pahlawan. Sepak terjang yang gagah berani
tak bermanfaat sama sekali. Bertempurlah tanpa mementingkan diri sendiri, dan kalian akan
menjadi pejuang Oda sejati."
13 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Para prajurit mendengarkan kata-katanya seperti mendengarkan guntur sebelum badai. Langit sore
telah berubah sama sekali, dan kini rampak bagaikan tinta gelap. Angin berembus dari lapisan
debu, lembah, rawa-rawa, akar-akar pohon, dan bertiup ke dalam kegelapan.
"Kita sudah hampir sampai! Dengakuhazama berada di balik bukir itu. Kalian siap mati" Jika kalian
tertinggal, kalian hanya akan membawa aib bagi keturunan kalian sampai akhir zaman!"
Bagian terbesar pasukan Nobunaga tidak bergerak membentuk formasi. Beberapa prajurit
terlambat, sementara yang lain telah maju. Namun semangat mereka terpacu oleh suaranya.
Nobunaga berseru-seru sampai serak, dan orang-orang sukar menangkap kata-katanya. Tapi itu
tidak diperlukan lagi. Bahwa ia memimpin mereka, itu sudah cukup. Sementara itu, hujan mulai
turun. Tetes-tetes airnya cukup besar untuk menimbulkan rasa nyeri ketika mengenai pipi dan
hidung. Ini disertai angin kencang yang merontokkan daun-daun. sehingga mereka tak dapat
memastikan apa yang menghantam wajah mereka.
Tiba-tiba kilat nyaris membelah bukit menjadi dua. Sejenak langit dan bumi tak dapat dibedakan -
keduanya diliputi asap putih. Ketika hujan mulai mereda, air bercampur lumpur mengalir di
lereng-lereng. "Itu dia!" teriak Tokichiro. Ia berbalik dan menunjuk ke arah perkemahan Imagawa. melewati
pasukan jalan kaki yang berkedip-kedip untuk menghalau hujan. Petak-petak bertirai yang dipasang
oleh pihak musuh seakan-akan tak terhitung banyaknya, dan semuanya basah kuyup karena hujan.
Di depan mereka, rawa-rawa terbentang. Di baliknya terlihat lereng Dengakuhazama.
Ketika menatap ke arah itu, anak buah Tokichiro melihat sekutu-sekutu mereka menyerbu. Mereka
mengacungkan pedang, tombak, dan lembing. Nobunaga telah berpesan agar mereka membawa
beban seringan mungkin, dan banyak prajurit yang telah menanggalkan helm dan membuang
panji-panji. Menyusup melalui pepohonan, terperosok di lereng-lereng berumput, mereka segera menghampiri
petak-petak musuh. Sesekali kilat biru di kehijauan menerangi langit, dan hujan putih serta angin
hitam menyelubungi dunia dalam kegelapan.
Sambil berseru pada anak buahnya. Tokichiro bergegas melalui rawa-rawa dan mulai mendaki
bukit. Prajurit-prajuritnya terpeleset dan jatuh, tapi terus berada di belakangnya. Dibandingkan
istilah terjun ke dalam keributan, lebih tepat dikatakan bahwa kesatuan Tokichiro tertelan bulat-bulat
oleh pertempuran. *** Tawa menggema di sekitar markas Yoshimoto pada waktu guntur bergemuruh. Ketika angin
bertambah kencang pun, batu-batu yang menindih tirai-tirai petak itu tetap di tempat.
"Biarlah angin mengusir hawa panas!" mereka berkelakar sambil terus minum. Tapi mereka berada
di medan perang dan berencana untuk tiba di Odaka pada malam hari, sehingga tak seorang pun
mereguk zake sampai melebihi batas.
Kemudian diumumkan bahwa makan siang sudah siap. Para jendral memerintahkan agar makanan
14 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dibawa ke hadapan Yoshimoto, dan ketika mereka menghabiskan isi cawan masing-masing, tempat
nasi dan panci besar berisi sup diletakkan di depan mereka. Secara bersamaan hujan mulai turun,
mengenai panci, tempat nasi, tikar jerami, dan baju tempur.
Akhirnya mereka menyadari bahwa langit lelah gelap, dan mereka mulai memindahkan tikar-tikar. Di


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam petak ada pohon kamper yang begitu besar, sehingga diperlukan tiga orang untuk
mengelilinginya dengan tangan terentang. Yoshimoto berdiri di bawah pohon itu, terlindung dari
hujan. Yang lain bergegas menyusul, sambil membawakan tikar dan mangkuk-mangkuknya.
Ayunan pohon raksasa itu terasa mengguncangkan tanah, dan dahan-dahannya berderu-deru
dalam angin kencang. Daun-daun berwarna cokelat dan hijau beterbangan seperti debu dan
mengenai baju tempur, asap dari api unggun bertiup sampai hampir sejajar dengan permukaan
tanah, menyesakkan napas Yoshimoto dan jenderal-jendralnya serta membuat mau mereka berair.
"Mohon Yang Mulia bersabar sejenak. Kami akan memasang atap." Salah satu jendral memanggil
prajurit-prajurit, namun tidak memperoleh jawaban. Di tengah percikan hujan dan deruan pohon,
suaranya hanyut terbawa angin, sehingga tak ada yang membalas. Hanya bunyi kayu api
berderak-derak terdengar dari petak dapur yang terus mengeluarkan asap.
"Panggil komandan pasukan jalan kaki!" Ketika salah satu jendral bergegas keluar, sebuah bunyi
aneh terdengar di sekitar. Bunyi itu menyerupai erangan yang seakan-akan berasal dari dalam
bumi - benturan dahsyat antara pedang dan pedang. Dan badai bukan saja menyerang permukaan
kulit Yoshimoto. Pikirannya pun mulai dilanda rasa bimbang.
"Ada apa" Apa yang terjadi?" Yoshimoto dan jendral-jendralnya tampak teramat heran. "Apakah
kita dikhianati" Apakah orang-orang saling bertempur?"
Karena belum juga menyadari apa yang terjadi, para samurai dan jendral di sisi Yoshimoto segera
membentuk dinding pelindung mengelilinginya.
"Ada apa?" mereka berseru. Tapi pasukan Oda telah membanjiri perkemahan, dan kini
berhamburan di luar tirai.
"Musuh!" "Orang-orang Oda!"
Tombak-tombak saling beradu, dan bara api beterbangan di atas orang-orang yang sedang bertikai.
Yoshimoto, masih di bawah pohon kamper besar, seakan-akan tak sanggup bicara. Ia
menggigit-gigit bibir dengan giginya yang hitam, rupanya tak kuasa menerima kenyataan yang
sedang berlangsung di depan matanya. Para jendralnya mengelilinginya dengan wajah geram,
sambil berseru ke sana kemari.
"Apakah ada pemberontakan?" "Pemberonlakkah orang-orang ini?"
Tak ada jawaban selain jeriran. dan meskipun mendengar teriakan-teriakan dari sekeliling, mereka
tetap belum percaya bahwa musuh telah menyerang. Tapi hanya sejenak saja mereka
menyangsikan pendengaran mereka. Para prajurit Oda muncul di hadapan mereka, dan
teriakan-teriakan perang dalam logat Owari yang aneh serasa menusuk-nusuk telinga para pengikut
Yoshimoto. Dua atau tiga prajurit musuh bergegas ke arah mereka.
15 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Hai! Penguasa Suruga!"
Baru ketika melihat orang-orang Oda mendekat, berteriak seperti roh jahat, melompat dan merosot
di lumpur, mengacungkan tombak dan lembing, mereka akhirnya menyadari situasi sesungguhnya.
"Orang-orang Oda!" "Serangan mendadak!"
Kekacauan yang timbul bahkan lebih hebat dibandingkan jika mereka diserang pada malam hari.
Mereka telah menganggap enteng Nobunaga. Sekarang waktu makan siang. Selain amukan badai
dahsyat, inilah yang menyebabkan musuh berhasil menyusup ke perkemahan, tanpa diketahui.
Namun sebenarnya barisan terdepan mereka sendirilah yang membuat markas Yoshimoto merasa
aman. Kedua jendral yang diberi tugas mengamankan markas berkemah kurang dari satu mil dari bukit,
tapi tiba-tiba. tanpa peringatan dari para pengintai, pasukan musuh masuk menyerbu, tepat di
depan mata Yoshimoto dan perwira-perwira tingginya.
Sejak semula Nobunaga sengaja menghindari perkemahan barisan depan. Ketika mereka melewati
Taishigadake dan menuju Dengakuhazama. Nobunaga sendiri ikut mengacungkan tombak dan
melawan prajurit-prajurit Yoshimoto. Kemungkinan besar para prajurit yang menjadi korban tombak
Nobunaga tidak mengetahui siapa lawan mereka. Setelah mencederai dua atau tiga orang.
Nobunaga berderap ke arah petak berurai.
"Pohon kamper!" Nobunaga berseru ketika salah satu anak buahnya berlari melewatinya. "Jangan
biarkan si Penguasa Suruga lolos! Dia pasti di petak di bawah pohon kamper!" Nobunaga langsung
bisa menebak di mana Yoshimoto berada, hanya dengan mengamati susunan perkemahan.
"Tuanku!" Dalam kekacauan di medan tempur, kuda Nobunaga nyaris menabrak prajurit yang
berlutut di hadapannya dengan tombak berlumuran darah di sampingnya. "Siapa kau?"
"Maeda Inuchiyo.,tuanku." "Inuchiyo" Hmm, bertempurlah!"
Hujan membasahi jalan-jalan setapak yang berlumpur, dan angin menyapu permukaan ranah.
Beberapa cabang pohon kamper dan pohon-pohon pinus di sekitarnya pauh dan jatuh berdebam.
Air menetes dari dahan-dahan dan mengenai helm Yoshimoto.
"Tuanku, ke sinilah! Lewat sini." Empat atau lima pengikut Yoshimoto membentuk lingkaran di
sekelilingnya dan menuntunnya dari satu petak ke petak lain. bermaha menghindari bencana.
"Apakah Penguasa Suruga ada di sini?" Begitu Yoshimoto pergi, seorang prajurit Oda
bersenjatakan tombak menantang salah satu jendral yang masih bertahan di markas.
"Majulah, biar kucabut nyawamu." si jendral membalas, sambil menahan tombak si prajurit dengan
tombaknya sendiri. Penyerangnya memperkenalkan diri, napasnya tersengal-sengal. "Aku Macda Inuchiyo, pengikut
Nobunaga." Si jendral menjawab dengan menyebutkan nama dan pangkatnya. Ia menerjang ke depan, tapi
16 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Inuchiyo melangkah ke samping, sehingga serangan tombak tidak mengenai sasaran.
Inuchiyo melihat kesempatannya, tapi ia tak sempat menarik rombaknya yang panjang, jadi ia
hanya menghantam kepala lawannya dengan gagang tombak. Helmnya berbunyi seperti gong, dan
jendral yang tcrluka itu merangkak keluar. Pada saat itu, dua orang lagi menyebutkan nama
masing-masing. Ketika Inuchiyo pasang kuda-kuda. seseorang menabrak punggungnya. Inuchiyo
terhuyung-huyung dan jatuh karena tersandung mayat seorang prajurit.
"Kinoshita Tokichiro!" Di suatu tempat, sahabatnya sedang memperkenalkan diri. Inuchiyo
tersenyum, angin dan hujan mengenai pipinya. Pandangannya terhalang lumpur. Ke mana pun ia
menoleh, ia melihat darah. Ketika terpeleset dan jatuh, ia masih sempat melihat bahwa tak ada
kawan maupun lawan di dekatnya. Mayat-mayat bergelimpangan. Sandal jeraminya berubah warna
menjadi merah ketika ia melangkah melewati sungai darah. Di mana si panglima bergigi hitam" Ia
menginginkan kepala Yoshimoto.
Hujan menderu. Angin berseru.
Tapi Inuchiyo tidak sendirian dalam pencariannya. Kuwabara Jinnai, seorang ronin dari Kai. berbaju
tempur dari pinggang ke bawah, dengan tombak berlumuran darah di tangannya, berlari
mengelilingi pohon kamper sambil berseru parau. "Aku mencari si Pengusa Suruga! Mana
pemimpin besar yang bernama Yoshimoto?" Tiupan angin menyingkap tepi tirai, petir menyambar,
dan ia melihat laki-laki dengan mantel merah di luar baju tempur, dengan helm berhiaskan delapan
naga. Suara berang yang memarah-marahi para pengikut mungkin saja milik Yoshimoio, "Jangan pikirkan
aku! Ini keadaan darurat! Aku tidak butuh banyak orang di sekelilingku. Kejarlah musuh yang datang
untuk menyerahkan kepala. Bunuhlah Nobunaga! Daripada melindungiku. benempurlah!"
Bagaimanapun, ia panglima pasukan gabungan tiga provinsi, dan lebih cepat memahami situasi
daripada orang-orang lain. Kini ia murka melihat para komandan dan prajurit berlari kocar-kacir di
sekitarnya. Dengan hati-hati, beberapa prajurit bersusah payah menyusuri jalan berlumpur. Setelah mereka
melewati tempat persembunyiannya. Jinnai mengangkat tirai yang basah dengan ujung tombaknya,
untuk memastikan bahwa orang yang didengarnya adalah Yoshimoto.
Yoshimoto sudah tidak di sana. Petaknya telah kosong. Sebuah mangkuk nasi terbalik, dan
butir-butir nasi berserakan dalam genangan air. Selain itu hanya ada empat atau lima batang kayu
membara. Jinnai menyadari bahwa Yoshimoio pergi terburu-buru dengan hanya disertai beberapa orang, jadi
kini ia beralih dari satu petak ke petak lain, berusaha mencarinya. Sebagian besar tirai telah
terkoyak dan ambruk, atau berlumuran darah dan terinjak-injak.
Sepertinya Yoshimoto sedang mencoba meloloskan diri. Tentunya ia takkan melarikan diri dengan
berjalan kaki. Jika memang demikian, ia tentu menuju tempat kuda. Namun di suatu perkemahan
dengan begitu banyak petak, di tengah-tengah pertempuran, tidaklah mudah mengetahui tempat
musuh mengikat kuda. Dan binatang-binatang itu pun tidak merumput dengan tenang. Di tengah
hujan, benturan senjata, dan percikan darah, mereka menjadi panik, dan beberapa berlarian tak
terkendali di sekeliling perkemahan.
17 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Di manakah dia bersembunyi" Jinnai berdiri sambil memegang tombaknya, membiarkan air hujan
mengalir turun lewat pangkal hidung, masuk ke kerongkongannya yang kering. Tiba-tiba seorang
prajurit yang tidak mengenalinya sebagai musuh menarik-narik seekor kuda abu-abu tepat di
hadapannya. Rumbai-rumbai berwarna merah tergantung dan pelana berlapis kulit kerang dengan pinggiran
berlapis emas; tali kekang berwarna ungu-putih terpasang pada kekang yang terbuat dari perak. Ini
pasti kuda jcndral. Jinnai menyaksikan kuda itu dibawa ke sekelompok pohon pinus. Di antara
pohon-pohon itu sebuah petak berurai tampak hampir ambruk, bagian yang masih tegak
berkibar-kibar teniup angin.
Jinnai mdompat maju dan mengangkat tirai itu. Di hadapannya berdiri Yoshimoto. Seorang pengikut
memberitahunya bahwa kudanya telah siap, dan Yoshimoto baru hendak melangkah keluar.
"Penguasa Suruga. namaku Kuwabara Jinnai. Aku membela panji-panji Oda. Aku datang untuk
mengambil kepalamu. Bersiaplah menghadapi maut!" Sambil menyebutkan nama, Jinnai menusuk
punggung Yoshimoto, dan suara benturan tombak dan baju tempur terngiang-ngiang di telinga
mereka. Seketika Yoshimoio membalik, dan pedangnya membelah tombak Jinnai menjadi dua.
Jinnai melompat mundur sambil berseru, gagang tombak di tangannya hanya tersisa setengah
meter. Jinnai membuangnya dan berteriak. "Pengecut! Mengapa membelakangi lawan yang telah
memperkenalkan diri?"
Dengan pedang terhunus Jinnai menerjang ke arah Yoshimoto, namun ditangkap dari belakang
oleh prajurit Imagawa. Setelah dengan mudah mencampakkan orang itu, ia diserang dari samping
oleh prajurit musuh lainnya, Ia berusaha menghindari ayunan pedangnya, tapi prajurit pertama telah
menggenggam mata kakinya, sehingga ia tak dapat bergerak cepat.
Pedang prajurit kedua memotong tubuh Jinnai menjadi dua.
"Tuanku! Mohon segera pergi dari sini! Pasukan kita kacau-balau dan tak sanggup menguasai
musuh. Kemunduran ini patut disesalkan, tapi hanya bersifat sementara." Wajah prajurit itu
berlumuran darah. Prajurit satunya, dengan tubuh berlepotan lumpur, melompat berdiri, lalu
keduanya mendesak Yoshimoto agar segera berangkat.
"Sekarang! Cepatlah, tuanku!" Namun kemudian...
"Aku datang untuk menghadapi Yoshimoto yang termasyhur. Namaku Hattori Koheira. dan aku
mengabdi Yang Mulia Nobunaga." Seorang laki-laki bertubuh raksasa menghadang di depan
mereka. Yoshimoto mundur selangkah ketika tombak si raksasa menerjang.
Prajurit pertama menahan tusukan itu dengan tubuhnya dan jatuh tertembus, sebelum sempat
mengayunkan pedang. Prajurit kedua segera maju, tapi ia pun tertusuk oleh tombak Koheita. dan
roboh menimpa mayat kawan seperjuangannya.
"Tunggu! Mau ke mana kau?" Tusukan tombak secepat kilat mengejar Yoshimoto, yang sedang
mengelilingi pangkal pohon pinus.
"Aku di sini!" Dengan pedang siap menebas. Yoshimoto memelototi Koheita. Koheita kembali
18 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menusukkan tombak dan mengenai bagian samping baju tempur lawannya. Tapi baju tempur itu
ditempa dengan baik. dan lukanya tidak dalam. Yoshimoto pun tidak gentar.
"Bangsat!" teriak Yoshimoto dan membelah tombak itu dengan pedangnya.
Koheira telah membulatkan tekad. Sambil membuang tombak, ia melompat maju. Namun
Yoshimoto berlutut dan mengayunkan pedangnya ke arah kaki Koheita. Pedangnya tajam sekali.
Bunga api beterbangan dari pelindung tulang kering, dan tempurung lutut Koheita terbelah seperti
buah delima. Koheita jatuh ke belakang, dan Yoshimoto jatuh ke depan, helmnya yang bermahkota
menghantam tanah. Ketika Yoshimoto mengangkat kepala, seseorang berseru, "Aku Mori Shinsuke!"
Mori menangkap kepala Yoshimoto dari belakang, dan keduanya jatuh terguling-guling. Pada waktu
mereka bergulat, pelindung dada Yoshimoto tertarik ke depan, dan darah mengucur dari luka
tombak yang baru saja diterimanya. Terjepit di bawah, Yoshimoto menggigit telunjuk tangan kanan
Mori sampai putus. Dan bahkan setelah kepalanya terpenggal, jari Mori yang putih masih tersembul
di antara bibir Yoshimoto yang ungu dan giginya yang dihitamkan.
*** Menang atau kalahkah mereka" Tokichiro bertanya-tanya sambil terengah-engah.
"Hei! Di mana kita!" serunya pada semua orang yang mungkin berada dalam jarak dengar, namun
tak seorang pun bisa memastikan di mana mereka berada. Hanya setengah dari anak buahnya
masih bernyawa, dan semuanya dalam keadaan linglung.
Hujan telah mereda dan angin pun telah melemah. Sinar matahari menembus lapisan awan yang
terkoyak-koyak. Setelah badai berlalu, neraka Dengakuhazama pun berangsur-angsur menghilang,
dan kini yang tertinggal hanyalah bunyi jangkrik.
"Berbarislah!" Tokichiro memberi perintah.
Para prajurir berbaris serapi mungkin. Ketika menghitung kesatuannya. Tokichiro menemukan anak
buahnya telah berkurang dari tiga puluh menjadi tujuh belas, dan empat di antara mereka sama
sekali tak dikenalnya. "Kalian berasal dari kesatuan mana?" ia menanyai salah satu.
"Dari kesatuan Toyama Jintaro. Tapi ketika kami sedang bertempur di tepi bukit sebelah barat,
hamba terperosok masuk jurang dan kehilangan jejak kesatuan hamba. Kemudian hamba melihat
kesatuan ini mengejar-ngejar musuh, jadi hamba memutuskan untuk bergabung."
"Baiklah. Nomor tujuh?"
"Hamba mengalami hal yang sama. Hamba mengira bertempur bersama rekan-rekan hamba, tapi
waktu hamba melihat sekeliling, hamba menyadari bahwa hamba berada di tengah-tengah
kesatuan ini." Tokichiro tidak menanyai yang lain. Kemungkinan beberapa anak buahnya terbunuh
dalam pertempuran, sementara beberapa lagi tercerai-berai dan bergabung dengan kesatuan lain.
Namun bukan hanya para prajurit yang kehilangan arah di tengah pertempuran. Kesatuan Tokichiro
19 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
pun terpisah dari pasukan utama dan resimen Mataemon, dan mereka sama sekali tidak
mengetahui di mana mereka berada.
"Kelihatannya pertempuran telah berakhir." Tokichiro bergumam ketika memimpin orang-orangnya
ke arah tempat mereka datang semula.
Air lumpur yang mengalir di rawa-rawa dari bukit-bukit sekitar bertambah sejak langit kembali cerah.
Ketika melihat betapa banyak mayat bergelimpangan di sungai-sungai dan menumpuk di
lereng-lereng, Tokichiro merasa takjub bahwa ia sendiri masih hidup.
"Mestinya kita yang menang. Lihat saja! Semua mayat di sekitar sini samurai lmagawa." Tokichiro
menunjuk ke segala arah. Melihat pola mayat-mayat musuh tersebar di sepanjang jalan, arah yang
ditempuh pasukan musuh ketika melarikan diri segera terlihat.
Namun anak buahnya hanya menggerutu, terlalu lelah untuk mengumandangkan himne
kemenangan. Mereka hanya segelintir orang, dan mereka tersesat. Medan perang tiba-tiba hening sekali, dan itu
bisa saja berani bahwa seluruh pasukan Nobunaga telah binasa.
Mereka dicekam ketakutan bahwa mereka terkepung musuh dan setiap saat bisa dibantai.
Kemudian mereka mendengarnya. Dari Dengaku-hazama tiga teriakan kemenangan menggelegar,
cukup keras untuk mengguncang langit dan bumi. Teriakan-teriakan dalam logat Owari.
"Kita menang! Kita menang! Ayo!" Tokichiro bergegas maju. Para prajurit, yang sampai sekarang
nyaris tak sadar, mendadak pulih sepenuhnya. Karena tak ingin tertinggal, mereka terseok-seok
mengikuti Tokichiro ke arah sorak-sorai.
Magomeyama merupakan bukit rendah berbentuk bundar, tidak jauh dari Dengakuhazama.
Kerumunan serdadu berlumuran darah. lumpur, dan hujan memadati daerah dari bukit sampai ke
desa. Pertempuran telah usai dan orang-orang berkumpul kembali. Hujan telah berhenti, matahari
kembali bersinar, dan kini uap putih tampak naik ke lautan manusia itu.
"Di mana resimen Tuan Asano?" Dengan menembus kerumunan prajurit, Tokichiro berusaha
kembali bergabung dengan kesatuannya. Ke mana pun ia berpaling, ia menabrak atau menyenggol
baju tempur berdarah. Meski sejak semula ia telah membulatkan tekad untuk bertempur dengan
gagah, ia kini merasa malu. Ternyata ia tak sempat melakukan apa-apa untuk menarik perhatian
orang-orang. Baru setelah menemukan kesatuannya dan berdiri berdesak-desakan dengan para prajurit lain,
Tokichiro akhirnya yakin bahwa mereka menang. Melihat berkeliling dari bukit, ia merasa aneh
karena musuh yang ditaklukkan tidak tampak sama sekali.
Masih penuh percikan lumpur dan darah. Nobunaga berdiri di atas bukit. Hanya beberapa langkah
dari kursinya, sejumlah prajurit sedang menggali lubang besar. Setiap kepala musuh diperiksa, lalu
dilemparkan ke dalam lubang. Nobunaga menyaksikannya dengan telapak tangan ditangkupkan,
sementara prajurit-prajurit di sekitarnya berdiri membisu.
Tak seorang pun mengucapkan doa. Namun inilah tata cara yang harus diikuti jika prajurit
20 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mengubur prajurit. Kepala-kepala yang dikubur dalam lubang itu merupakan tanda peringatan bagi
mereka yang masih hidup dan akan bertempur lagi. Kepala musuh yang paling tak berarti pun
diperlakukan penuh kekhidmatan.
Dengan batas misterius antara hidup dan mati di depan kaki, mau tak mau seorang samurai
memikirkan apa artinya hidup sebagai prajurit. Semua orang berdiri memberi hormat. Setelah
lubang itu ditimbuni tanah, mereka menatap pelangi indah yang membentang di langit cerah.
Ketika orang-orang memperhatikan pemandangan itu, segerombolan pengintai kembali setelah
bertugas di sekitar Odaka.
Barisan depan Yoshimoto di Odaka berada di bawah pimpinan Tokugawa Ieyasu. Mengingat
keterampilan yang diperlihatkan Ieyasu ketika menghancurkan benteng-benteng di Washizu dan
Marune, Nobunaga tak boleh memandang enteng terhadapnya. "Ketika mereka mendapat kabar
bahwa Yoshimoto terbunuh, perkemahan di Odaka seakan-akan dilanda panik. Namun kemudian
mereka berkali-kali mengutus pengintai, dan setelah mengetahui apa yang terjadi, mereka segera
tenang kembali. Sekarang ini mereka sedang bersiap-siap kembali ke Mikawa menjelang malam,
dan sepertinya mereka tak ingin bertempur."
Nobunaga mendengarkan semua laporan, dan dengan caranya sendiri mengumumkan pawai
kemenangan mereka. "Hmm, kalau begitu." katanya, "marilah kita pulang."
Matahan belum tenggelam, dan kini pelangi yang tadinya sudah mulai memudar kembali terlihat


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cemerlang. Satu kepala diikat ke pinggir pelana Nobunaga, sebagai tanda mata. Kepala itu tentu
saja kepala Imagawa Yoshimoto yang termasyhur.
Pada waktu mereka tiba di gerbang Kuil Atsuta. Nobunaga tutun dari kuda dan masuk ke dalam
tempat suci, sementara para perwira dan anak buahnya berdesak-desakan sampai ke gerbang
utama, lalu menyembah. Sebuah bel tangan berdenting entah di mana. dan beberapa api unggun
membanjiri hutan sekitar kuil dengan cahaya kemerah-merahan.
Nobunaga memberikan seekor kuda suci unruk kandang kuil. Setelah itu, ia kembali terburu-buru.
Baju tempurnya seolah-olah semakin berat, dan ia merasa lelah sekati. Namun, ketika menyusuri
jalan setapak yang diterangi cahaya bulan, jiwanya terasa ringan, seperti kalau ia memakai kimono
musim panas yang tipis. Dibandingkan Atsuta, Kiyosu teramat ingar-bingar. Setiap pintu dihiasi lentera, api unggun
menari-nari di setiap persimpangan, dan orang tua, anak-anak, bahkan gadis-gadis muda berdiri di
jalan, menatap para prajurit sang tampak gagah, sambil bersorak-sorai.
Kerumunan orang memadati tepi jalan. Kaum perempuan mencari-cari apakah suami-suami mereka
berada di tengah barisan yang sedang menuju benteng. Orang-orang tua memanggil-manggil nama
putra-putra mereka, dan gadis-gadis berusaha menemukan kekasih masing-masing. Tapi
semuanya mengelu-elukan Nobunaga.
"Nobunaga!" Nobunaga lebih berarti bagi mereka daripada putra, suami, maupun kekasih mereka sendiri.
21 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tataplah kepala si Pemimpin orang-orang Imagawa!" Nobunaga berseru di atas kuda. "Inilah tanda
mata yang kubawakan untuk kalian. Mulai besok, tak ada lagi pertikaian di perbatasan. Kalian harus
rajin dan bekerja keras. Bekerja keras dan bersenang-senang!"
Begitu masuk ke dalam benteng. Nobunaga segera memanggil dayangnya. "Sai! Sai! Sebelum
melakukan apa pun, aku ingin mandi dulu! Dan siapkan bubur nasi."
Seusai mandi, ia mengumumkan hadiah untuk lebih dari seratus dua puluh orang yang ikut ambil
bagian dalam pertempuran hari itu. Tindakan prajurit berpangkat paling rendah pun tidak lolos dari
pengamatan Nobunaga. Terakhir ia berkata, "Inuchiyo diberi izin untuk kembali." Malam itu juga
kabar ini disampaikan pada Inuchiyo, sebab ketika seluruh pasukan memasuki gerbang benteng, ia
sendiri berhenti di luar, menunggu sabda dari Nobunaga.
Tokichiro tidak memperoleh pujian sama sekali. Dan tentu saja ia pun tidak mengharapkannya.
Meski demikian, ia telah memperoleh sesuatu yang jauh lebih berharga daripada upah sebesar
seribu kan. Untuk pertama kali seumur hidup, ia melewati garis antara hidup dan mati, ia telah
mengalami pertempuran, dan ia pun telah menyaksikan betapa Nobunaga memahami sifat
manusia, dan betapa besar kemampuannya sebagai pemimpin.
Junjunganku sungguh hebat, kata Tokichiro dalam hati. Akulah orang pating beruntung di dunia,
setelah Tuan Nobunaga. Mulai saat itu, Tokichiro tidak lagi menganggap Nobunaga sekadar
sebagai junjungan dan majikan. Ia menjadi murid Nobunaga, mempelajari kelebihan-kelebihannya,
dan memusatkan segenap jiwa untuk memperbaiki diri, si putra petani yang menganggap dirinya
begitu bodoh dan tak berpendidikan.
Sang Perantara LlMA atau enam hari terakhir terasa menjemukan sekali bagi Tokichiro. Ia telah menerima tugas
untuk menyertai Nobunaga dalam perjalanan rahasia ke suatu provinsi jauh dan disuruh
mempersiapkan diri. Mereka akan berangkat dalam sepuluh hari, dan sampai saat itu ia diminta
tidak ke luar rumah. Tokichiro duduk-duduk dan menunggu.
Ia menegakkan badan sambil merasa heran bahwa Nobunaga hendak menempuh perjalanan jauh.
Ke manakah mereka akan pergi"
Ketika menatap sulur-sulur tanaman rambat di pagar, ia tiba-tiba teringat pada Nene. Tokichiro telah
diwanti-wanti agar sesedikit mungkin ke luar rumah, tapi pada waktu angin senja mulai berembus, ia
lewat di depan rumah pujaan hatinya. Entah kenapa, belakangan ini Tokichiro merasa sungkan
berkunjung ke sana dan setiap kali ia berpapasan dengan orangtua Nene, mereka berlagak tidak
melihatnya. Karena itu ia hanya berlalu di depan rumah itu, kemudian kembali ke rumahnya sendiri.
Bunga-bunga tanaman rambat di pagar rumah Nene pun sedang mekar. Pada malam sebelumnya.
Tokichiro sempat melihat Nene menyalakan lampu, dan pada waktu pulang ia merasa seolah-olah
tujuan kedatangannya telah tercapai. Kini ia mendadak teringat bahwa profil Nene lebih putih
daripada bunga-bunga di pagar.
22 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Asap dari tungku di dapur menyebar ke seluruh rumah. Setelah mandi. Tokichiro mengenakan
kimono tipis yang terbuat dari rami dan memakai sandal, lalu keluar lewat gerbang pekarangan.
Pada saat itu seorang kurir muda menyapanya, menyerahkan sepucuk surat resmi, kemudian
langsung pergi lagi. Tokichiro kembali ke dalam, cepat-cepat berganti pakaian, dan bergegas
menuju kediaman Hayashi Sado.
Sado sendiri yang menyodorkan perintah tertulis:
Datanglah ke rumah petani bernama Doke Seijuro, di jalan Maya Barat di luar Kiyoiu, pada jam
Kelinci. Hanya itu. Nobunaga akan menempuh perjalanan di suatu provinsi jauh sambil menyamar, dan
Tokichiro akan ikut sebagai anggota rombongan. Ketika memikirkannya. Tokichiro merasa bisa
memahami rencana-rencana Nobunaga. meski sesungguhnya hanya sedikit sekali yang ia ketahui.
Ia menyadari bahwa ia akan berpisah cukup lama dengan Nene, dan hasrat untuk melihat gadis itu
di bawah bulan musim kemarau, walau hanya sekilas, menggelora dalam dadanya. Dan jika
Tokichiro sudah berniat melakukan sesuatu, tak ada yang dapat menghentikannya. Hasrat dan
keinginan yang menggebu-gebu dalam sanubari menyeretnya ke rumah Nene. Kemudian, persis
seperti anak nakal yang mengintip lewat jendela. Tokichiro mengintai dari luar pagar.
Mataemon tinggal di perkampungan pemanah, dan hampir semua orang yang berlalu-lalang saling
mengenal. Tokichiro waspada terhadap langkah para pejalan kaki, dan takut dipergoki oleh
orangtua Nene. Tingkahnya sungguh menggelikan. Seandainya Tokichiro melihat orang lain
bertindak seperti ini,. ia akan memandang hina orang tersebut. Namun pada saat itu ia tak punya
waktu untuk memikirkan martabat maupun reputasi.
Sebenarnya ia sudah puas jika pada saat mengintip lewat pagar ia sempat melihat profil Nene,
walau hanya sekilas. Mestinya Nene sudah selesai mandi dan sedang mendandani wajahnya.
Tokichiro berkata dalam hati. Ataukah dia sedang makan malam bersama orangtuanya"
Tiga kali ia berjalan mondar-mandir, sambil berusaha tampil sepolos mungkin. Senja telah tiba,
sehingga hanya sedikit orang yang berada di jalan. Amatlah memalukan seandainya seseorang
menyerukan namanya ketika ia sedang mengintip lewat pagar. Bahkan lebih buruk lagi, kejadian
semacam itu bisa merusak kesempatannya untuk menikahi Nene, yang sesungguhnya memang
tipis. Bagaimanapun, rivalnya, Inuchiyo, telah menarik diri dari kancah persaingan, sehingga
Mataemon mulai mau mempertimbangkan lamaran Tokichiro. Untuk sementara, lebih baik segala
sesuatu dibiarkan berjalan dengan sendirinya. Nene dan ibunya memang sudah membulatkan
tekad, tapi ayahnya takkan semudah itu mengambil keputusan.
Asap obat nyamuk terbawa angin. Bunyi piring diletakkan terdengar dari dapur. Rupanya hidangan
makan malam belum disajikan. Dia bekerja keras. Tokichiro membayangkan. Dalam keremangan
dapur, Tokichiro akhirnya melihat perempuan yang telah dipilihnya sebagai calon istri itu. Terlintas
di kepalanya bahwa perempuan seperti Nene pasti pandai mengatur rumah rangga.
Ibunya memanggil, dan jawaban Nene terngiang-ngiang di telinga Tokichiro, meski ia sedang
membungkuk di luar pagar, sambil mengintip ke dalam. Tokichiro melangkah ke samping.
Seseorang sedang berjalan ke arahnya.
23 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Dia bekerja keras dan dia lemah lembut. Ibuku tentu bahagia dengan menantu seperti Nene. Dan
Nene takkan angkuh terhadap ibuku, hanya karena dia perempuan desa. Pikiran Tokichiro mulai
muluk-muluk. Kami akan memikul kemiskinan. Kami takkan terperangkap dalam kesombongan. Dia
akan membantu dari balik layar, mengurusku dengan setia, dan memaafkan segala kekuranganku.
Nene betul-betul menawan hati. Tak ada wanita selain Nene yang akan menjadi istrinya. Tokichiro
sungguh-sungguh meyakini hal ini. Dadanya membusung dan jantungnya berdentum-dentum.
Sambil menatap bintang-bintang di langit, ia mendesah panjang. Ketika akhirnya kembali ke dunia
nyata, ia baru sadar bahwa ia telah berjalan mengelilingi blok dan sudah berdiri di depan rumah
Nene lagi. Tiba-tiba ia mendengar suara Nene dari balik pagar, dan ketika ia mengintip lewat
sela-sela sulur-sulur tanaman rambat, ia melihat wajah Nene yang putih.
Dia bahkan mau mengangkat air seperti pelayan. Dengan tangannya yang begitu lincah memainkan
koto. Tokichiro ingin memberitahu ibunya bahwa seperti inilah calon istrinya. Lebih cepat lebih baik.
Tak puas-puasnya ia memandang melalui pagar. Ia mendengar bunyi air dicedok, namun tiba-tiba
Nene berpaling ke arahnya, tanpa mengangkat ember. Dia pasti melihatku, pikir Tokichiro, waswas.
Begitu pikiran ini terlintas di kepala Tokichiro, Nene menjauhi sumur dan mulai berjalan ke arah
gerbang belakang. Dada Tokichiro terasa panas membara, seakan-akan terbakar.
Ketika Nene membuka gerbang dan melihat sekelilingnya. Tokichiro sudah berlari menjauh, tanpa
menoleh ke belakang. Baru setelah tiba di persimpangan berikut ia berani menengok. Nene berdiri
di depan gerbang, dengan ekspresi heran pada wajahnya yang pucat. Tokichiro berharap Nene
tidak marah padanya, tapi pada saat yang sama ia mulai memikirkan keberangkatannya besok pagi.
Ia akan menyertai Nobunaga, dan ia dilarang menceritakan rencana ini pada siapa pun. Termasuk
Nene. Setelah melihat pujaan hatinya dan mengetahui bahwa ia baik-baik saja, Tokichiro kembali
seperti semula, dan bergegas pulang. Pada waktu ia terlelap, Nene sama sekali tidak muncul dalam
mimpinya. Gonzo membangunkan majikannya lebih dini dan pada biasanya. Tokichiro mencuci muka,
menghabiskan makan pagi. dan mempersiapkan diri untuk menempuh perjalanan.
"Aku berangkat!" ia mengumumkan, namun tidak memberitahu pelayannya ke mana ia hendak
pergi. Beberapa saat sebelum waktu yang telah disepakati, ia tiba di rumah Doke Seijuro.
"Hei, Monyet! Kau ikut juga?" tanya seorang samurai desa yang berdiri di gerbang pekarangan
Doke Seijuro. "Inuchiyo!" Tokichiro menatap sahabatnya dengan bingung, ia bukan hanya terkejut
melihat kehadiran Inuchiyo, melainkan juga karena penampilan sahabatnya itu telah
berubah - mulai dari cara rambutnya diikat, sampai ke celana yang dikenakannya, Inuchiyo tampak
seperti samurai yang baru tiba dari daerah pedalaman.
"Ada apa ini?" Tokichiro bertanya. "Semuanya sudah datang, cepat masuklah." "Bagaimana
denganmu?" "Aku" Aku ditunjuk sebagai penjaga gerbang untuk sementara. Nanti aku menyusul."
Setelah melewati gerbang, Tokichiro terlambat-lambat di pekarangan. Sejenak ia tidak tahu jalan
setapak mana yang harus diikutinya. Kediaman Doke Seijuro merupakan rumah tua yang aneh,
bahkan di mata Tokichiro. Ia tak dapat memastikan berapa usianya. Rumah itu seakan-akan
merupakan peninggalan suatu zaman yang telah berlalu, ketika masih lazim bagi satu keluarga
besar untuk tinggal bersama-sama. Sebuah rumah memanjang dengan banyak ruangan, beberapa
24 Pendekar Bloon Pendekar Kucar Kacir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
pondok, gerbang dalam gerbang, dan jalan-jalan setapak yang tak terhitung banyaknya meliputi
seluruh pekarangan. "Monyet! Di sebelah sini!" Seorang samurai desa lain memberi isyarat dari gerbang di dekat taman.
Tokichiro mengenalinya sebagai Ikeda Shonyu. Pada waktu memasuki taman, ia menemukan
sekitar dua puluh pengikut yang berpakaian seperti samurai desa. Tokichiro telah diberitahu
mengenai rencana ini, dan ia tampak paling "kampung" di antara mereka semua.
Tujuh belas atau delapan belas pertapa sedang beristirahat di pinggit halaman dalam. Mereka pun
samurai Oda yang tengah menyamar. Nobunaga sendiri mungkin berada di sebuah ruangan kecil di
seberang halaman dalam. Tentu saja ia pun menyamar.
Tokichiro dan yang lain tampak santai. Tak ada yang bertanya. Tak ada yang tahu. Namun
semuanya menduga-duga. "Yang Mulia menyamar sebagai putra samurai desa yang disertai segelintir pengikut. Tapi ini bukan
perjalanan untuk bersenang-senang. Dia menunggu sampai semua pembantunya tiba.
Kemungkinan besar dia hendak pergi ke suatu provinsi jauh, tapi aku sangsi apakah ada yang
mengetahui tujuan sesungguhnya."
"Aku pun tidak tahu banyak, tapi waktu dipanggil ke rumah Hayashi Sado, aku mendengar
seseorang menyinggung sesuatu mengenai ibu kota."
"Ibu kota?" dan semuanya menahan napas.
Tak ada yang lebih berbahaya, dan Nobunaga tentu memiliki rencana rahasia jika ia hendak
bepergian ke sana. Tanpa disadari oleh yang lain, Tokichiro mengangguk-angguk dan keluar ke
kebun sayur. Beberapa hari kemudian, para samurai desa yang akan menyertai Nobunaga, serta rombongan
pertapa yang akan mengawalnya dari jauh, berangkat ke ibu kota.
Kelompok pertama menyamar sebagai samurai desa dari provinsi-provinsi timur yang hendak
berpesiar ke Kyoto. Mereka tampak santai ketika berjalan. Sorot mata menyala-nyala yang mereka
perlihatkan di Okehazama sengaja ditutup-tutupi.
Doke telah mencarikan tempat menginap di sebuah rumah di pinggir ibu kota. Pada waktu
berjalan-jalan mengelilingi Kyoto. Nobunaga selalu menarik tepi topinya sampai menut
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
25Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pendekar Bloon Sang Maha Sesat | http://cerita-silat.mywapblog.com | Pendekar Bloon Sang Maha Sesat pdf created by Saiful Bahri (Seletreng - Situbondo) pd 23-04-2016 08:24:23
upi mata dan ia berpakaian seperti penduduk desa. Pengawal-pengawalnya paling banyak
berjumlah empat atau lima orang. Andai kata jati dirinya diketahui oleh pembunuh bayaran, ia akan
merupakan sasaran empuk. Kadang-kadang sepanjang hari ia berjalan-jalan di tengah keramaian dan debu di Kyoto. Pada
malam hari acap kali ia pergi pada jam-jam yang tidak menguntungkan, mendatangi kediaman
orang-orang istana untuk mengadakan pembicaraan rahasia.
Para samurai muda tidak memahami tujuan langkah-langkah yang diambil Nobunaga dan mereka
juga tidak mengerti mengapa ia berani menempuh perjalanan sedemikian berbahaya pada waktu
seluruh negeri dilanda perang saudara. Tokichiro pun tidak memahaminya. Tapi ia memanfaatkan
waktunya untuk mengamati keadaan. Ibu kota telah berubah, ia berkata dalam hati. Ketika masih
mengembara sebagai penjual jarum. Tokichiro sering datang ke sini untuk membeli barang. Dengan
menghitung jari, ia menaksir bahwa itu baru enam atau tujuh tahun yang lalu, namun keadaan di
sekitar Istana Kekaisaran telah berubah secara mencolok.
Keshogunan masih berdiri tegak, tapi Ashikaga Yoshiteru, shogun ketiga belas, hanya berfungsi
sebagai boneka belaka. Bagaikan air di kolam yang dalam, perkembangan budaya dan moral
masyarakat telah berganti. Segala sesuatu memperlihatkan tanda-tanda bahwa akhir suatu masa
telah dekat. Kekuasaan sesungguhnya berada di tangan wakil gubernur jendral Yoshiteru, Miyoshi
Nagayoshi, namun ia pun telah menyerahkan wewenang di hampir semua bidang kepada salah
seorang pengikutnya, Matsunaga Hisahide. Hal ini menimbulkan pertikaian berkepanjangan dan
pemerintahan yang lalim dan tidak efisien. Desas-desus yang beredar dalam masyarakat
mengatakan bahwa kekuasaan Matsunaga akan segera runtuh dengan sendirinya.
Ke arah manakah perkembangan di masa mendatang" Tak seorang pun mengetahui jawabannya.
Setiap malam lentera-lentera menyala terang, tapi orang-orang terperangkap dalam kegelapan.
Bagai-mana besok saja, begitu pikir mereka, dan arus tanpa arah, tanpa daya, mengalir dalam
hidup mereka, bagaikan sungai lumpur.
Jika pemerintahan Miyoshi dan Matsunaga dianggap tak dapat diandalkan, bagaimana dengan para
gubernur provinsi yang ditunjuk oleh sang Shogun" Orang-orang seperti Akamatsu, Toki, Kyogoku,
Hosokawa, Uesugi, dan Shiba semuanya mengalami masalah-masalah serupa di provinsi
masing-masing. Dalam situasi inilah Nobunaga melakukan perjalanan rahasia ke ibu kota. Tak ada panglima perang
di provinsi-provinsi lain yang berani bertindak senekat itu, bahkan dalam mimpi pun. Imagawa
Yoshimoto bergerak di Kyoto dengan pasukannya yang besar. Cita-citanya - memperoleh restu
Kaisar, dan dengan demikian mengendalikan Shogun dan memerintah seluruh negeri - kandas di
tengah jalan, tapi ia hanya orang pertama yang hendak mencobanya. Semua penguasa daerah lain
menganggap rencana Imagawa yang terbaik. Namun hanya Nobunaga yang berani mendatangi
Kyoto seorang diri untuk mempersiapkan masa depan.
Setelah beberapa pertemuan dengan Miyoshi Nagayoshi, Nobunaga akhirnya berhasil mendapat
kesempatan untuk menghadap Shogun Yoshiteru. Tentu saja ia mendatangi kediaman Miyoshi
sambil menyamar, lalu berganti pakaian, baru kemudian pergi ke istana Shogun.
Tempar kediaman sang Shogun merupakan istana mewah yang tampak tak terurus lagi.
1 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Kemewahan dan kekayaan yang dikumpulkan, lalu dihambur-hamburkan oleh tiga belas shogun,
kini hanya merupakan mimpi yang sudah setengah terlupakan. Yang tersisa hanyalah suatu
pemerintahan yang mementingkan diri sendiri.
"Jadi engkau putra Nobuhide, Nobunaga?" ujar Yoshiteru. Suaranya tak bertenaga. Sikapnya
sempurna, namun tanpa semangat sama sekali.
Nobunaga segera menyadari bahwa jabatan Shogun tidak lagi mengandung kekuasaan. Sambil
menyembah, ia berterima kasih atas kesediaan sang Shogun menerimanya. Tetapi dalam suara
laki-laki yang membungkuk itu terdapat kekuatan yang menarik perhatian atasannya.
"Hamba datang ke Kyoto dengan menyamar. Hamba sangsi apakah hasil karya rakyat Owari akan
menarik bagi mara orang ibu kota." Setelah menyerahkan daftar hadiah kepada Yoshiteru, ia segera
mulai mundur. "Barangkali engkau bersedia menemani kami bersantap malam," kata Yoshiteru.
Sake pun dihidangkan. Dari ruang makan, para tamu dapat mengagumi taman yang indah. Dalam
keremangan senja, embun pada lumut yang lembap tampak berkilau-kilau.
Nobunaga tidak menyukai formalitas, tak peduli lingkungan maupun situasi yang dihadapinya. Ia
tidak bersikap malu-malu ketika botol-botol sake dibawakan penuh hormat dan pada waktu
makanan disajikan secara berbelit-belit, sesuai tradisi.
Yoshiteru mengamati tamunya, seakan-akan selera makan yang diperlihatkan Nobunaga
merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan. Meski sudah bosan dengan segala kemewahan
dan formalitas, Yoshiteru merasa bangga bahwa setiap hidangan yang disajikan merupakan
kelezatan khas ibu kota. "Nobunaga, bagaimana pendapatmu mengenai masakan ibu kota?"
"Luar biasa..." "Bagaimana rasanya?"
"Hmm, rasanya agak tawar. Hamba jarang menikmati makanan setawar ini."
"Begitukah" Apakah engkau mendalami Upacara Minum Teh?"
"Sejak kanak-kanak, hamba minum teh seperti minum air, tapi hamba tidak paham bagaimana para
ahli melaksanakan upacara tersebut."
"Sudahkah engkau melihat taman kami?" "Ya, hamba sudah melihatnya."
"Dan bagaimana pendapatmu?" "Menurut hamba, taman itu agak kecil."
"Kecil?" "Taman itu memang indah, tapi jika dibandingkan pemandangan bukit-bukit Kiyosu... "
"Rupanya engkau memang tidak memahami apa-apa." Sang Shogun kembali tertawa. "Tetapi lebih
baik tidak tahu apa-apa daripada tahu serbasedikit. Hmm, kalau begitu, bidang apakah yang
2

Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
engkau minati?" "Memanah. Selain itu, hamba tidak memiliki bakat khusus. Namun, jika tuanku hendak mendengar
sesuatu yang luar biasa, hamba berhasil menempuh perjalanan ke gerbang istana tuanku dalam
tiga hari. melewati wilayah musuh di jalan Mino-Omi dari Owari. Mengingat seluruh negeri kini
dilanda kekacauan, selalu ada kemungkinan terjadi sesuatu di dalam atau di sekitar istana. Hamba
akan berterima kasih sekali jika tuanku bersedia mengingat-ingat hamba." Nobunaga berkata sambil
tersenyum. Justru Nobunaga-lah yang mula-mula memanfaatkan suasana kacau-balau untuk menjatuhkan
Shiba, gubernur Provinsi Owari yang ditunjuk oleh sang Shogun.
Kejadian tersebut sempat dibawa ke hadapan Mahkamah Tinggi sebagai bukti kemarahan dan
wibawa pemerintah, namun sesungguhnya itu hanya informalitas belaka. Tetapi belakangan ini para
gubernur provinsi jarang datang ke Kyoto, dan sang Shogun merasa terkucil. Kejenuhan terobati
dengan kunjungan Nobunaga. dan sepertinya ia sedang berkeinginan untuk bercakap-cakap.
Yoshiteru mungkin menduga Nobunaga hendak menyinggung pelantikan resmi atau minta
kedudukan di istana selama perbincangan mereka, namun sampai Nobunaga mohon diri, urusan
semacam itu tidak dibicarakan sama sekali.
"Mari kita pulang." kata Nobunaga, untuk memberitahu para pengikutnya bahwa kunjungan mereka
selama tiga puluh hari telah berakhir. "Besok," tambahnya cepat-cepat. Ketika para anggota
rombongan yang menyamar sebagai samurai desa atau pertapa mulai mempersiapkan diri untuk
menempuh perjalanan pulang, seorang kurir mengantarkan pesan dari Owari.
Desas-desus telah beredar sejak keberangkatan tuanku dari Kiyosu. Berhati-hatilah dalam
perjalanan pulang, dan bersiaplah menghadapi kejadian yang tak diinginkan.
Jalur mana pun yang mereka tempuh, mereka harus melewati musuh. Jalan manakah yang paling
aman" Barangkali lebih baik mereka naik kapal saja.
Malam itu para pengikut Nobunaga berkumpul di tempat ia menginap, untuk membahas masalah
ini, namun mereka tidak berhasil mencapai kesepakatan. Tiba-tiba Ikeda Shonyu muncul dari arah
kamar Nobunaga dan memandang ke arah mereka. "Kalian belum tidur?"
Salah seorang pengikut menatapnya heran. "Kami sedang membahas masalah penting."
"Aku tidak tahu bahwa kalian tengah mengadakan rapat. Apa yang kalian bicarakan?"
"Kau tampak tenang-tenang saja. Kau belum mendapat kabar mengenai pesan yang dibawa kurir
tadi?" "Aku sudah tahu."
"Kita harus memastikan tidak terjadi apa-apa dalam perjalanan pulang. Dan sekarang ini kami
sedang berunding mengenai jalan mana yang sebaiknya kita tempuh."
"Kekhawatiran kalian sia-sia saja. Yang Mulia sudah mengambil keputusan."
3 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Apa" Beliau sudah mengambil keputusan?"
"Waktu kita datang ke ibu kota. jumlah kita terlalu banyak, sehingga Yang Mulia merasa kita terlalu
mencolok. Karena itu beliau memutuskan bahwa empat atau lima orang sudah cukup untuk
menyertainya dalam perjalanan pulang. Pengikut-pengikut lain boleh pulang secara terpisah, dan
bebas memilih jalan yang akan mereka lewati."
Nobunaga meninggalkan ibu kota sebelum matahari terbit. Dan seperti dikatakan Shonyu, dua
puluh atau tiga puluh orang yang menyamar sebagai pertapa, dan sebagian besar samurai desa
tetap tinggal di Kyoto. Hanya empat orang yang menyertainya. Shonyu, tentu saja berada di antara
mereka. Tapi yang merasa paling beruntung karena terpilih untuk kelompok kecil ini adalah
Tokichiro. "Pengawalan beliau kurang ketat."
"Kau yakin beliau akan aman selama perjalanan?"
Rombongan pengikut yang ditinggalkan merasa tidak tenang, dan mereka mengikuti Nobunaga
sampai ke Otsu. Tapi di sana Nobunaga dan anak buahnya menyewa kuda dan berpating ke timur,
melewati jembatan di Seta. Nobunaga telah meminta dan memperoleh surat jalan dari Miyoshi
Nagayoshi yang menyatakan bahwa dirinya berada di bawah perlindungan Gubernur Jendral. Di
setiap rintangan yang mereka temui, ia menunjukkan surat itu kepada petugas yang bertanggung
jawab, lalu meneruskan perjalanan.
*** Upacara Minum Teh merupakan kebiasaan yang telah menyebar ke seluruh negeri. Di dunia yang
penuh darah dan kekerasan, orang-orang mencari ke-tenteraman dan tempat tenang untuk
beristirahat sejenak dari segala kegaduhan dan kekacauan. Minum teh adalah batas anggun di
mana ketenteraman merupakan kontras dengan hiruk-pikuk. Karena itu tidaklah mengherankan
bahwa penganut-penganut yang paling setia justru para samurai, yang dalam kehidupan sehari-hari
selalu berlumuran darah. Nene telah mempelajari Upacara Minum Teh. Ayahnya, yang sangat disayanginya, juga minum teh,
jadi ini sangat berbeda dengan bermain koto, memperlihatkan bakatnya pada orang-orang yang
kebetulan lewat di depan rumahnya.
Ketenteraman pagi hari, senyum ayahnya yang ramah-tamah, serta keasyikan saat menuangkan
cairan panas berwarna hijau ke dalam cawan hiram dari Seto - semua itu merupakan dorongan
untuk membuat teh. Ini bukan sekadar permainan, melainkan telah menjadi bagian hidupnya.
"Lihatlah embun yang membasahi pekarangan. Dan kuntum-kuntum bunga serunai pun masih
menguap." Mataemon memandang ke arah pekarangan yang dikelilingi pagar, dari serambi yang
terbuka. Nene yang sibuk di depan tungku, dengan cedok teh di tangan, tidak menjawab. Air
mendidih yang dicedoknya dari ceret jatuh ke dalam cawan teh, bagaikan air dari mata air,
memecahkan kesunyian di dalam ruangan, ia tersenyum dan memalingkan wajah.
"Tidak, dua atau tiga bunga serunai sudah mulai mengembang."
"Betulkah" Sudah adakah yang mekar" Aku tidak memperhatikan waktu aku menyapu tadi pagi.
4 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sangat disayangkan bahwa kembang-kembang terpaksa mekar di bawah atap prajurit rendahan."
Nene tersipu-sipu karena ucapan ayahnya, tapi Mataemon tidak menyadarinya. Ia menempelkan
cawannya ke bibir, dan menghirup teh hijau yang masih berbusa. Wajahnya menunjukkan bahwa ia
menikmati suasana pagi. Namun tiba-tiba pikirannya berbalik. Jika putriku pindah ke tempat lain,
aku takkan minum teh seperti ini lagi.
"Permisi." Sebuah suara terdengar dari balik pintu geser.
"Okoi?" Ketika istrinya memasuki ruangan, Mataemon menyerahkan cawan teh pada Nene.
"Perlukah Nene menyiapkan teh untukmu?" "Tidak, aku minum nanti saja."
Okoi membawa sebuah kotak berisi surat, dan seorang kurir menunggu di pintu masuk. Mataemon
meletakkan kotak itu di pangkuannya dan membuka penutupnya. Kesan ragu melintas di wajahnya.
"Sepupu Yang Mulia. Surat ini dari Tuan Oda dari Nagoya. Ada apa gerangan?" Mataemon tiba-tiba
berdiri, mencuci tangan, lalu kembali meraih surat itu dengan penuh hormat. Walau hanya sepucuk
surat, surat itu dikirim oleh anggota keluarga Nobunaga, dan Mataemon bersikap seakan-akan
berhadapan langsung dengan pengirimnya.
"Apakah kurirnya menunggu?"
"Ya, tapi menurutnya jawaban lisan saja sudah cukup."
"Jangan, jangan. Itu tidak sopan. Ambilkan tempat tinta."
Mataemon mulai menulis, lalu menyerahkan balasannya kepada kurir tadi. Namun Okoi merasa tak
senang. Amat tidak lazim surat dari sepupu Nobunaga dikirim ke rumah seorang pengikut rendahan.
Apalagi surat ini diantarkan secara khusus.
"Ada apa sebenarnya?" ia bertanya. Mataemon juga tidak mengetahuinya, sebab ia pun tidak
berhasil menemukan makna terselubung yang mungkin ter-
kandung dalam surat itu. Hari ini aku sepanjang hari berada di peristirahatan-ku di Horikawazoi. Aku menyesalkan bahwa tak
seorang pun berkunjung pada hari yang indah ini untuk menikmati wangi bunga serunai yang
kukembangkan. Jika ada waktu luang, datanglah ke tempatku ini.
Tak ada tambahan apa pun, namun mestinya ada lebih dari ini. Seandainya Mataemon sangat
mendalami Upacara Minum leh, atau amat terpelajar, atau dikenal bercita rasa halus, undangan ini
tidaklah janggal. Namun nyatanya ia bahkan tidak melihat bunga serunai yang mulai mekar di
pagarnya sendiri. Debu yang melekat pada busur pasti segera diketahuinya, tapi selebihnya ia
termasuk laki-laki yang mungkin menginjak-injak bunga serunai tanpa berpikiran apa-apa.
"Aku harus pergi ke sana. Okoi, ambilkan pakaian-ku yang terbaik."
Diterpa sinar matahari musim gugur yang cerah, Mataemon berbalik satu kali untuk menatap
rumahnya. Nene dan Okoi keluar sampai ke gerbang. Mataemon merasa sangat tenteram. Ia
bersyukur masih ada hari seperti ini, bahkan di dunia yang dilanda kekacauan sekalipun. Mataemon
5 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tersenyum dan menyadari bahwa Nene dan Okoi juga tersenyum. Ia berbalik dan mulai
mengayunkan langkah. Para tetangga menyapanya, dan ia membalas sambil berjalan.
Rumah-rumah para pemanah kecil dan sederhana. Di mana-mana anak-anak kecil sedang bermain,
dan melalui pagar di setiap rumah. Mataemon melihat popok bayi dijemur.
Barangkali sebentar lagi aku pun akan menjemur popok cucu di pekarangan kita. Pikiran itu timbul
begitu saja. namun terasa tak menyenangkan bagi Mataemon. Ia sama sekali tidak gembira bahwa
suaru hari ia akan dipanggil "Kakek". Sebelum itu terjadi, ia berniat mengukir nama untuk dirinya
sendiri, ia telah berusaha agar tidak tertinggal di Dengakuhazama dan ia masih berhasrat untuk
berada pada urutan teratas dalam daftar prajurit yang berjasa dalam pertempuran-pertempuran
yang akan datang. Asyik dengan pikirannya sendiri, ia tiba-tiba sudah berada di hadapan tempat peristirahatan Oda.
Bangunan itu semula merupakan kuil kecil, tetapi Oda telah mengubahnya menjadi rumah
peristirahatan. Oda sangat gembira karena Mataemon segera memenuhi undangannya. "Terima kasih atas
kedatanganmu. Tahun ini kita mengalami berbagai gangguan militer, tapi aku masih sempat
menanam bunga serunai. Aku akan gembira sekali jika engkau berkenan melihatnya nanti."
Apa maksud semuanya ini" Mataemon bertanya-tanya. "Mataemon, bersantailah. Silakan ambil
bantal. Dari sini pun engkau bisa melihat bunga serunai di taman. Menatap bunga serunai bukan
sekadar menatap bunga, melainkan menatap hasil karya seseorang. Memamerkannya bukanlah
menyombongkan diri, tetapi berbagi kesenangan dan menikmati apresiasi orang lain. Mencium
wangi bunga serunai di bawah langit yang indah merupakan satu lagi berkah dari Yang Mulia."
"Tentu, tuanku,"
"Belakangan ini kita semua telah sadar bahwa kita beruntung karena memiliki junjungan yang
bijaksana. Aku yakin tak seorang pun dari kita sanggup melupakan penampilan Tuan Nobunaga di
Okehazama." "Dengan segala hormat, tuanku, ketika itu beliau tampil bukan seperti manusia, melainkan bagaikan
tirisan dewa perang."
"Bagaimanapun, kita semua patut berbangga hati, bukan" Engkau anggota resimen pemanah,
tetapi pada hari itu engkau berada di barisan pembawa tombak, bukan?"
"Benar, tuanku."
"Engkau ikut dalam penyerangan ke markas Imagawa?"
"Pada waktu kami menyerbu bukit itu. Suasananya begitu kacau, sehingga kami nyaris tak sanggup
membedakan kawan dan lawan. Tetapi di tengah-tengah kegaduhan, hamba mendengar Mori
Shinsuke mengumumkan bahwa dia berhasil mendapatkan kepala si Penguasa Suruga."
"Apakah di kesatuanmu ada orang bernama Kinoshita Tokichiro?" "Memang ada, tuanku."
"Bagaimana dengan Maeda Inuchiyo?"
6 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Dia telah membuat gusar Yang Mulia, namun kemudian diizinkan mengambil bagian dalam
pertempuran. Hamba belum melihatnya sejak kita kembali dari medan laga, tetapi bukankah dia
telah kembali ke tugasnya semula?"
?"Benar. Engkau mungkin belum mengetahuinya, tetapi baru-baru ini dia menyertai Yang Mulia
dalam perjalanan ke Kyoto. Mereka sudah kembali ke benteng, dan Inuchiyo kini mengabdi di
sana." "Kyoto! Untuk apa Yang Mulia pergi ke sana?" "Beliau pergi ke sana hanya dengan tiga puluh atau
empat puluh orang, dan beliau sendiri menyamar sebagai samurai desa yang sedang berziarah.
Mereka pergi sekitar empat puluh hari. Selama itu para pengikutnya bersikap seakan-akan beliau
berada di sini. Bagaimana kalau kita melihat-lihat bunga serunai sekarang?"
Mataemon mengikuti tuan rumah ke raman, seakan-akan ia seorang pelayan. Oda membahas
seluk-beluk menanam bunga serunai, dan bercerita bahwa mengurus bunga-bunga itu memerlukan
curahan kasih sayang, sama halnya seperti membesarkan anak.
"Kudengar engkau dikaruniai anak perempuan. Namanya Nene, bukan" Anak tunggalkah dia" Aku
hendak membantumu mencari menantu."
"Tuanku?" Matacmon membungkuk rendah-rendah. Meski demikian, ia ragu-ragu sejenak.
Pembicaraan ini mengingatkannya pada kebingungan yang ia alami.
Namun Oda tidak mengacuhkan kebimbangannya, dan melanjutkan. "Aku kenal seseorang yang
bakal menjadi menantu yang baik. Serahkan saja padaku. Biar aku yang menanganinya."
"Keluarga hamba tidak patut memperoleh kehormatan sepeni ini, tuanku."
"Sebaiknya engkau membicarakan hal ini dengan istrimu. Laki-laki yang kuanggap cocok sebagai
menantumu adalah Kinoshita Tokichiro. Engkau sudah mengenalnya dengan baik. bukan?"
"Ya, tuanku," Mataemon menjawab tanpa berpikir. Ia menegur dirinya sendiri dengan keras, karena
bersikap kasar dengan memperlihatkan keheranan, tapi ia memang tak sanggup menguasai diri.
"Aku akan menunggu jawabanmu."
"Ya... baiklah - " Dan dengan itu Mataemon mohon diri.
Sesungguhnya ia bermaksud mengajukan beberapa pertanyaan mengenai maksud undangan ini,
tapi ia tak mungkin menunjukkan rasa ingin tahu secara terbuka pada anggota keluarga Nobunaga.
Ketika sampai di rumah. Mataemon menceritakan hasil kunjungannya, dan istrinya tampak tak
senang karena Mataemon tidak segera memberikan jawaban.
"Mestinya kau langsung menerima permintaan beliau," Okoi berkata. "Menurutku, ini kabar baik.
Hubungan antarmanusia merupakan masalah waktu, dan kenyataan bahwa Tokichiro begitu sering
bicara dengan Nene menunjukkan mereka berhubungan erat dalam kehidupan terdahulu. Tokichiro
pasti memiliki suatu kelebihan. Kalau tidak, kerabat Yang Mulia takkan bersedia bertindak sebagai
perantara baginya. Datangilah Tuan Oda besok, untuk menyampaikan jawabanmu."
7 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tapi bukankah kita harus menanyakan pendapat Nene dulu?"
"Bukankah dia sudah menjelaskannya?" tanya Okoi. "Hmm, aku hanya ingin tahu, apakah dia
belum berubah pikiran."
"Nene memang tidak banyak bicara, tapi kalau dia sudah mengambil keputusan, dia jarang
menariknya kembali."
Seorang diri, Mataeemon bergulat dengan ke-khawatirannya mengenai masa depan, dan merasa
seolah-olah dikucilkan. Jadi, ketika mereka beranggapan bahwa Tokichiro sudah terlupakan, karena
tak pernah menampakkan batang hidungnya, ia sekali lagi muncul dalam pikiran Mataemon,
istrinya, dan Nene. Keesokan harinya Mataemon langsung berangkat untuk menyampaikan jawabannya pada Oda.
Begitu kembali, ia berkata pada istrinya, "Aku membawa berita mengejutkan." Melihat raut wajah
suaminya. Okoi segera tahu bahwa ada sesuatu yang luar biasa. Ketika Mataemon melaporkan
pertemuannya dengan Oda, cahaya cerah yang menerangi situasi Nene tercermin dalam senyum
mereka berdua. "Semula aku telah bertekad untuk menanyai Tuan Oda, mengapa beliau menawarkan diri sebagai
perantara, tapi menanyakan hal seperti ini pada anggota keluarga Yang Mulia sungguh sulit. Aku
sedang berusaha bersikap sesantun mungkin, ketika beliau menyebutkan bahwa Inuchiyo-lah yang
memohon kesediaan beliau."
"Inuchiyo yang memohon kesediaan beliau?" istrinya berseru. "Maksudmu, Inuchiyo yang
mengusulkan agar Nene dan Tokichiro menikah?"
"Rupanya urusan ini sempat mereka bicarakan ketika Yang Mulia menempuh perjalanan ke Kyoto.
Hmm, kurasa Yang Mulia mendengarnya."
"Wah! Yang Mulia sendiri?"
"Ya, ini sungguh luar biasa. Rupanya selama perjalanan panjang itu, Inuchiyo dan Tokichiro
membicarakannya tepat di hadapan Yang Mulia." Tuan Inuchiyo telah memberikan persetujuan?"
"Inuchiyo-lah yang mendatangi Tuan Oda untuk memohon bantuannya, jadi dia tak perlu kita
pikirkan lagi." "Hmm, kalau begitu, apakah kau sudah memberikan jawaban yang jelas pada Tuan Oda?"
"Ya, aku memberitahu beliau bahwa urusan ini kuserahkan sepenuhnya pada beliau." Mataemon
menegakkan badan, seakan-akan semua kecemasannya telah terhapus.
*** Waktu terus berlalu, dan pada suatu hari baik di musim gugur, pernikahan Tokichiro dan Nene
dirayakan di rumah keluarga Asano.
Tokichiro merasa resah dan gelisah. Keadaan di rumahnya serbasemrawut, dengan Gonzo, si
pelayan perempuan, dan orang-orang lain yang datang untuk membantu. Sejak pagi ia tak sanggup
8 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
melakukan apa-apa, kecuali keluar-masuk rumah. Hari ini hari ketiga di Bulan Delapan, bukan"
Berulang-ulang Tokichiro memastikannya dalam hati. Sesekali ia membuka lemari pakaian, atau
mencoba bersantai di bantal, tapi ia tak bisa diam. Aku akan menikahi Nene dan akan menjadi
anggota keluarganya, Tokichiro berkata pada diri sendiri. Akhirnya saat yang kutunggu-tunggu
sudah tiba, tapi entah kenapa aku malah merasa tidak tenang sekarang.
Setelah rencana pernikahan mereka diumumkan.
Tokichiro menjadi malu-malu, tidak seperti biasanya. Ketika para tetangga dan rekan-rekan kerjanya
mendengar berita itu, mereka datang dengan membawa hadiah, tapi Tokichiro tersipu-sipu dan
berbicara seakan-akan hendak menyelamatkan reputasinya. "Ah, sebenarnya hanya pesta
keluarga. Sebenarnya aku merasa masih terlalu dini untuk menikah, tapi pihak keluarga ingin
pernikahan kami diselenggarakan secepat mungkin."
Tak ada yang tahu bahwa hasrat Tokichiro menjadi kenyataan berkat sahabatnya, Maeda Inuchiyo.
Inuchiyo bukan saja rela melepaskan Nene. Ia juga sudah mempengaruhi Oda dari Nagoya untuk
melibatkan diri. "Kudengar Tuan Oda sudah memberikan rekomendasi. Kecuali itu, Asano Mataemon pun
menyetujuinya. Artinya, mereka tentu beranggapan bahwa si Monyet menjanjikan sesuatu." Jadi,
mula-mula di antara rekan-rekannya, lalu di kalangan berkedudukan tinggi maupun rendah, reputasi
Tokichiro terangkat berkat perkawinan ini, dan desas-desus bernada sumbang pun dapat dibatasi.
Tokichiro, di pihak lain, tidak memedulikan desas-desus, baik maupun buruk. Baginya,
menyampaikan kabar pada ibunya di Nakamura-lah yang paling penting. Sudah tentu ia hendak
berangkat sendiri ke sana untuk bercerita mengenai Nene, mengenai keturunan dan wataknya,
serta mengenai beberapa hal lain. Namun ibunya berpesan agar Tokichiro mengabdi dengan tekun,
dan membiarkannya tinggal di Nakamura, dan tidak memikirkannya sampai ia menjadi orang


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpengaruh. Tokichiro menekan keinginannya untuk segera menemui ibunya, dan mencernakan perkembangan
terakhir melalui surat. Dan ibunya sering mengirim balasan. Yang paling menyenangkan bagi
Tokichiro adalah bahwa berita mengenai kenaikan pangkatnya dan kabar mengenai perkawinannya
dengan putri seorang samurai, berkat jasa baik sepupu Nobunaga. telah diketahui luas di
Nakamura. Akibatnya, ia menyadari, baik ibunya maupun kakak perempuannya kini dipandang
secara berbeda oleh para warga desa. "Bolehkah hamba menata rambut Tuan?" Gonzo muncul
dengan kotak berisi sisir dan berlutut di samping Tokichiro.
"Apa" Rambutku harus diikat?"
"Malam ini Tuan menjadi pengantin, dan rambut Tuan harus ditata secara pantas."
Setelah Gonzo selesai, Tokichiro pergi ke pekarangan.
Bintang-bintang mulai terlihat di antara dahan-dahan pohon. Si pengantin pria dilanda perasaan
sentimental. Tokichiro dikelilingi luapan kegembira-an. Namun setiap kali menjumpai kebahagiaan,
ia selalu teringat ibunya. Karena itu kebahagiaannya selalu bercampur dengan setitik kesedihan.
Hasrat manusia tak ada batasnya. Tapi di pihak lain, ia menghibur diri, di dunia ini juga ada orang
yang tidak memiliki ibu. 9 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tokichiro berendam di bak mandi. Malam ini ia berniat menggosok tengkuknya lebih lama daripada
biasanya. Seusai mandi, memakai kimono tipis, dan kembali ke dalam rumah, ia menemukan begitu
banyak orang, sehingga sukar untuk memastikan apakah ini rumahnya atau rumah orang lain.
Sambil terheran-heran mengapa semua orang demikian sibuk. Tokichiro memandang berkeliling
dan akhirnya berbagi tempat dengan kawanan nyamuk di suatu sudut ruangan.
Suara-suara melengking menyerukan berbagai perintah, dan ditanggapi oleh suara-suara yang tak
kalah melengking. "Perlengkapan pribadi pengantin pria harap disusun di atas lemari pakaiannya."
"Aku sudah mengurusnya. Kipas dan kotak obatnya juga ada di sana."
Segala macam orang berlalu-lalang. Istri siapakah itu" Dan suami siapa di sebelah sana"
Orang-orang itu bukan saudara dekat, tapi mereka semua bekerja sama secara harmonis.
Sang pengantin pria yang masih berdiri seorang diri di pojok ruangan, mengenali wajah semua
orang itu dan merasakan kegembiraan mendalam. Di salah satu ruangan, seorang laki-laki tua yang
ramai sedang berbicara mengenai tradisi dan tata cara mengambil menantu dan istri. "Apakah
sandal pengantin pria sudah usang" Pengantin pria tidak boleh memakai sandal tua. Dia harus
memakai sandal baru pada waktu mendatangi rumah calon istrinya. Kemudian, nanti malam, ayah
pengantin wanita akan tidur sambil memegang sandal itu, dan kaki si pengantin pria takkan
meninggalkan rumah mereka."
Seorang perempuan tua angkat bicara. "Orang-orang harus membawa lampion. Tidak pantas
mendatangi rumah pengantin wanita sambil membawa obor. Kemudian lampion-lampion itu
diserahkan pada keluarga pengantin wanita, dan diletakkan di hadapan altar rumah selama tiga hari
tiga malam." Ia berbicara dengan nada ramah, seakan-akan putranya sendiri yang bakal menjadi
pengantin. Pada waktu itu, seorang kurir tiba, mengantarkan surat pertama dari pengantin wanita untuk
pengantin pria. Dengan malu-malu salah satu istri menembus kerumunan orang sambil membawa
sebuah kotak berisi surat.
Tokichiro berkata dari serambi. "Aku di sini."
"Ini surat pertama dari pengantin wanita." perempuan tadi berkata. "Dan berdasarkan tradisi, sang
pengantin pria harus memberikan jawaban."
"Apa yang harus kutulis?"
Perempuan itu tertawa cekikikan, namun tidak menjawab. Kertas dan perlengkapan tulis diletakkan
di hadapan Tokichiro. Dengan bingung Tokichiro meraih kuas. Selama ini ia tak pernah menekuni kesusastraan. Ia belajar
menulis di Kuil Komyo, dan ketika ia bekerja di toko tembikar, kemampuan menulisnya paling tidak
termasuk rata-rata, jadi ia tidak merasa sungkan karena harus menulis di depan orang-orang. Ia
hanya tidak tahu apa yang mesti ia katakan. Akhirnya ia menorehkan:
Pada malam yang menyenangkan ini, seyogyanya sang pengantin pria pun datang untuk
10 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
berbincang-bincang. Tokichiro memperlihatkan hasil karyanya kepada ibu rumah tangga yang membawakan
perlengkapan menulis untuknya. "Bagaimana kalau begini?"
"Ini sudah cukup."
"Bukankah suamimu juga mengirimkan surat serupa pada waktu kalian menikah" Tidak ingatkah
kau apa yang ditulisnya?"
"Tidak." Tokichiro tertawa. "Kalau kau sendiri lupa, isinya tentu tidak penting." Setelah itu, sang pengantin
pria dirias dengan kimono kebesaran dan diberi kipas.
Bulan bersinar cerah di langit senja, dan obor-obor menyala terang di gerbang. Iring-iringan itu
dipimpin oleh kuda tanpa penunggang serta dua pembawa tombak. Di belakang mereka menyusul
tiga pembawa obor, lalu sang pengantin pria yang mengenakan sandal baru.
Tidak ada perabor perkawinan indah seperti lemari bertatah, layar lipat, maupun perabot dari Negeri
Cina, tapi ada satu lemari baju tempur dan satu peti pakaian. Sebagai samurai yang memimpin tiga
puluh prajurit infanteri, Tokichiro tak perlu malu. Justru sebaliknya, dalam hati Tokichiro mungkin
justru merasa bangga. Sebab tak seorang pun dari orang-orang yang datang untuk membantu
malam ini merupakan saudaranya, dan mereka juga tidak dipekerjakan sebagai pembantu. Mereka
datang dan ikut gembira, seolah-olah pernikahan Tokichiro merupakan pernikahan kerabat mereka.
Cahaya lentera menari-nari di setiap gerbang di perkampungan para pemanah, dan semua gerbang
terbuka lebar. Api unggun menyala di sana-sini, dan banyak orang membawa lampion, menunggu
kedatangan pengantin pria bersama sanak keluarga pengantin wanita.
Saat itulah sejumlah anak kecil berlarian dari arah persimpangan jalan.
"Dia datang! Dia datang!" "Pengantinnya datang!"
Ibu anak-anak itu memanggil mereka, lalu menegur mereka dengan lembut dan menyuruh mereka
berdiri di sisinya. Seluruh jalan bermandikan cahaya bulan yang keperak-perakan. Pengumuman
anak-anak tadi dianggap sebagai peringatan, dan sejak itu tak seorang pun menyeberangi jalan
yang sunyi. Dua pembawa obor muncul di tikungan. Mereka diikuti oleh pengantin pria. Hiasan kuda telah
dilengkapi dengan lonceng, dan ketika tergoyang-goyang, lonceng-lonceng itu mengeluarkan bunyi
bagaikan suara jangkrik, lemari baju tempur dan kedua tombak dibawa oleh lima orang. Untuk
lingkungan itu, pertunjukannya tidak terlalu buruk.
Sang pengantin pria. Tokichiro, tampak mengesankan. Ia berperawakan kecil, tapi penampilannya
cukup pantas, walaupun tanpa pakaian mewah. Tampangnya tidak sedemikian jelek hingga
mengundang desas-desus, dan ia pun tidak kelihatan seperti orang yang jadi besar kepala karena
merasa dirinya cerdas. Jika orang-orang yang berdiri di pagar-pagar dan gerbang-gerbang dimintai
pendapat, mereka akan berkomenrar bahwa ia orang biasa saja, dan bahwa ia pantas menjadi
suami Nene. 11 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Selamat datang, selamat datang." "Beri jalan bagi pengantin pria!" "Selamat!"
Sanak saudara dan kerabat yang menunggu di dekat gerbang Mataemon menyapa Tokichiro.
Sejenak wajah-wajah mereka diterangi cahaya kerlap-kerlip.
"Silakan masuk." Sang pengantin pria diantar ke sebuah ruangan terpisah. Tokichiro duduk seorang
diri. Rumah Mataemon tidak besar, hanya terdiri atas enam atau tujuh kamar. Para pembantu duduk
di balik pintu geser. Dapur berada di seberang taman kecil, dan ia bisa mendengar suara orang
yang sedang mencuci piring, bau masakan pun tercium jelas.
Tokichiro tidak begini memperhatikannya ketika ia melangkah menyusuri lalan. Tapi setelah duduk,
ia mendengar detak jantungnya sendiri dan mulutnya terasa kering. Ia duduk seorang diri dalam
ruangan itu, seakan-akan terlupakan. Meski demikian, tak sepantasnya ia melanggar tata krama,
padi ia tetap duduk tegak, tak peduli apakah ada yang melihatnya atau tidak.
Untung saja Tokichiro jarang merasa jemu. Di pihak lain, sebagai pengantin pria yang akan segera
menemui calon istrinya, ia tak punya alasan apa pun untuk merasa jemu. Meski demikian, pada
suatu titik ia melupakan urusan pernikahan dan menyibukkan diri dengan angan-angan yang sama
sekali tak berkaitan. Pikirannya melayang ke arah yang tak masuk akal untuk situasi yang tengah
dialaminya - Benteng Okazaki. Bagaimana perkembangan terakhir di sana" Belakangan ini, hal
itulah yang paling menyita pikirannya, bukannya bagaimana istri yang baru dinikahinya akan
menyapanya besok pagi dan seperti apa penampilannya ketika itu.
Apakah Benteng Okazaki akan berpihak pada orang-orang Imagawa" Ataukah mereka akan
bersekutu dengan marga Oda" Sekali lagi jalannya nasib akan bercabang. Tahun lalu, menyusul
kekalahan total yang dialami amarga Imagawa di Okehazama, marga Tokugawa menghadapi tiga
pilihan. Apakah mereka akan terus mendukung marga Imagawa" Apakah lebih baik mereka tidak
bersekutu dengan marga Imagawa maupun marga Oda memberanikan diri mengumumkan
kemerdekaan" Ataukah mereka sebaiknya memilih bersekutu dengan pihak Oda" Cepat atau
lambat mereka harus menentukan sikap. Sudah bertahun-tahun marga Tokugawa menjadi
semacam benalu yang tergantung pada pohon Imagawa.
Namun akar dan batang hubungan mereka telah runtuh di Okehazama. Kekuatan mereka sendiri
belum memadai, tapi setelah kematian Imagawa Yoshimoto, orang-orang Tokugawa merasa tak
dapat mengandalkan pewarisnya, Ujizane. Semua informasi ini berasal dari desas-desus atau dari
pembicaraan kalangan atas yang dipantau dari kejauhan, tapi Tokichiro sangat tertarik sekaligus
khawatir. Sekarang kita akan melihat, laki-laki seperti apa Tokugawa Ieyasu. Tokichiro berkata dalam hati.
Tokichiro lebih menaruh perhatian kepada si penguasa benteng Okazaki dibandingkan orang-orang
lain. Tokichiro beranggapan bahwa meski dilahirkan sebagai penguasa benteng dan provinsi,
Tokugawa Ieyasu telah memikul lebih banyak kemalangan daripada dirinya sendiri. Semakin
banyak yang didengar Tokichiro mengenai kehidupan Ieyasu. semakin besar rasa simpatinya
kepada laki-laki itu. Namun, bagaimanapun, Ieyasu masih muda sekali; tahun ini usianya baru
sembilan belas. Dalam pertempuran di Okehazama, ia berada di barisan terdepan Yoshimoto, dan
penampilannya ketika merebut Washizu dan Marune sungguh mengagumkan. Keputusannya untuk
mundur ke Mikawa ketika mendengar bahwa Yoshimoto terbunuh pun patut dikagumi, Ieyasu
memiliki reputasi bagus, baik di markas marga Oda maupun belakangan, di Kiyosu. Karena itu
12 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
namanya menjadi buah bibir. Tokichiro pun kini sibuk sendiri memikirkan posisi apa yang akhirnya
akan diambil oleh Ieyasu dan Benteng Okazaki.
"Tuan Pengantin Pria. Tuan di dalam sini?"
Pintu geser membuka. Tokichiro kembali ke alam nyata.
Niwa Hyozo, seorang pengikut Oda dari Nagoya, masuk beserta istrinya. Mereka akan bertindak
sebagai perantara. "Kita akan menyelenggarakan upacara tokoroarawashi." ujar Hyozo, "jadi harap
Tuan menunggu sedikit lebih lama di sini."
Tokichiro tampak bingung. "Tokoroara... apa?"
"Itu sebuah upacara kuno. Ibu dan ayah pengantin waniu beserta keluarga mereka datang menemui
pengantin pria untuk pertama kali."
Istri Niwa segera melanjutkan, "Silakan duduk." dan sambil membuka pintu geser, ia memberi
isyarat pada orang-orang yang idah menunggu di ruang sebelah. Yang pertama-tama masuk dan
mengucapkan selamat adalah mertua Tokichiro, Asano Mataemon dan istrinya. Meski sudah saling
mengenal, mereka mengikuti tata cara yang telah ditentukan. Begitu melihat kedua wajah yang
sudah akrab bagi maunya, Tokichiro merasa jauh lebih tenang, dan tangannya meraba-raba
seakan-akan hendak menggaruk kepala.
Orangtua Nene diikuti oleh anak perempuan cantik berusia lima belas atau enam belas tahun, yang
lalu membungkuk dan berkata malu-malu, "Aku adik Nene. Namaku Oyaya."
Tokichiro terheran-heran. Gadis ini bahkan lebih cantik daripada Nene. Lebih dari itu, sampai kini
Tokichiro bahkan tidak tahu bahwa Nene memiliki adik perempuan. Di bagian rumah yang mana
kembang indah ini disembunyikan selama ini"
"Ehm, ah, terima kasih. Aku Kinoshita Tokichiro, dituntun ke sini oleh nasib. Aku senang berkenalan
denganmu." Sambil bertanya-tanya, inikah orang yang akan dipanggil 'Kakak Laki-Laki', Oyaya melirik ke arah
Tokichiro, tapi sanak saudara lain sudah mengantre di belakangnya. Satu per satu mereka masuk
dan berbincang-bincang dengan Tokichiro. Karena berkenalan dengan begitu banyak orang,
Tokichiro hampir rak sanggup mengingat siapa yang merupakan paman dari pihak ayah atau
keponakan atau sepupu, dan dalam hati ia bertanya-tanya seberapa banyakkah saudara Nene.
Tokichiro menganggap ini mungkin bisa menjadi masalah di kemudian hari, tapi kemunculan adik
ipar yang cantik dan sanak saudara yang ramah segera menghiburnya. Saudaranya sendiri tidak
banyak, tapi ia menyukai keramaian, dan keluarga yang ramah, riang, dan gemar tertawa sangat
cocok baginya. "Tuan Pengantin, silakan ambil tempat duduk." Kedua perantara mengajaknya ke sebuah ruang
sempit yang nyaris tidak cukup besar untuk menampung mereka semua, dan setelah dituntun ke
kursi yang telah disediakan untuknya, si pengantin pria duduk di tengah.
Meski telah memasuki musim gugur, udara di dalam rumah tetap terasa panas dan pengap. Kerai
rotan tergantung dari tepi atap, menyaring bunyi jangkrik serta embusan angin yang membuat
13 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
cahaya lampu minyak berkenap-kerlip. Ruangan yang bersih itu tampak gelap dan jauh dari mewah.
Ruangan yang dipersiapkan untuk upacara berukuran kecil, dan ketiadaan dekorasi justru
menimbulkan rasa segar. Tikar alang-alang idah digelar di lantai. Tempat pemujaan dewa-dewa
pencipta, Iranagi dan Izanami didirikan di bagian belakang ruangan. Di hadapannya terdapat
persembahan berupa kue dan sake, sebatang lilin, dan ranting sebatang pohon keramat.
Tokichiro merasa tubuhnya menjadi kaku ketika duduk di sana.
Mulai malam ini... Upacara ini akan mengikatnya pada kewajiban-
kewajiban seorang suami, pada hidup baru. dan pada nasib keluarga istrinya. Semua ini
menyebabkan Tokichiro bermawas diri. Ia tak kuasa menahan cintanya pada Nene. Jika ia tidak
berkeras, Nene akan menikah dengan orang lain. tapi setelah malam ini. Nene dan Tokichiro akan
menempuh perjalanan hidup bersama-sama.
Aku harus membuatnya bahagia. Inilah pikiran pertama yang terlintas di benak Tokichiro ketika ia
duduk di kursi pengantin pria. Ia merasa kasihan pada Nene, sebab sebagai perempuan,
kesempatan Nene untuk menentukan nasibnya sendiri lebih kecil dibandingkan kesempatan
laki-laki. Tak lama kemudian, upacara sederhana pun dimulai. Setelah pengantin pria duduk, Nene dibawa
masuk oleh seorang perempuan tua dan mengambil tempat di samping Tokichiro.
Rambut Nene diikat dengan tali berwarna merah-putih. Jubah luarnya yang terbuat dari sutra putih
berpola wajik, melingkar pada pinggangnya. Di dalamnya ia mengenakan gaun dari bahan yang
sama, dan di bawah itu ia memakai selapis sutra merah yang menyembul dari ujung lengan. Selain
jimat keberuntungan pada lehernya, ia tidak menggunakan hiasan rambut dari emas atau perak,
maupun dandanan muka tebal. Penampilannya sangat serasi dengan kesederhanaan yang
mengelilinginya. Keindahan upacara itu bukan keindahan pakaian mewah, melainkan keindahan
yang polos, tanpa pernik-pernik. Satu-satunya yang bernada hiasan adalah sepasang botol yang
dibawa oleh anak laki-laki dan anak perempuan.
"Semoga perkawinan ini berlangsung bahagia dan untuk selama-lamanya. Semoga kalian saling
setia selama seratus ribu musim gugur." perempuan tadi berkata kepada kedua pengantin.
Tokichiro menyodorkan cawan, menerima sedikit sake, dan langsung menghabiskannya. Orang
yang menuangkan sake berpaling pada Ncne, dan Nene pun berikrar dengan menghirup isi cawan.
Tokichiro merasa darahnya naik ke kepala dan dadanya berdentum-dentum, tapi Nene tetap
bersikap tenang. Nene sendiri yang memutuskan untuk menikahi Tokichiro, karena itu ia telah
bertekad untuk tidak menyalahkan orangtuanya maupun para dewa, tak peduli apa pun yang akan
dialaminya mulai hari ini. Penampilannya mengharukan ketika ia mendekatkan cawan ke bibirnya.
Begitu sang pengantin wanita berbagi cawan perkawinan dengan pengantin pria. Niwa Hyozo mulai
mengumandangkan nyanyian memberi selamat dengan suara yang menjadi matang di medan
pertempuran. Hyozo baru saja menyelesaikan bait pertama, ketika seseorang di luar melanjutkan
dengan refrein. 14 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Seluruh isi rumah terdiam pada waktu Hyozo bernyanyi, sehingga suara di luar yang tiba-tiba dan
tak tahu aturan itu terasa mengejutkan sekali. Hyozo pun kaget dan berhenti sejenak. Tanpa
berpikir panjang. Tokichiro menoleh ke pekarangan.
"Siapa itu?" seorang pelayan bertanya pada si pengganggu.
Pada saat itulah seorang laki-laki di luar gerbang mulai menyanyi dengan suara berat, meniru
pemain Noh, dan melangkah ke arah serambi. Seakan-akan lupa diri, Tokichiro bangkit dari tempat
duduknya dan berjalan menuju serambi.
"Kaukah itu, Inuchiyo?"
"Tuan Pengantin!" Maeda Inuchiyo melepaskan kerudungnya. "Kami datang untuk upacara siraman.
Bolehkah kami masuk?"
Tokichiro bertepuk tangan. "Aku gembira sekali kau datang. Silakan masuk, silakan masuk!"
"Aku membawa teman. Tidak apa-apa?"
"Tentu saja tidak apa-apa. Upacara perkawinan telah selesai, dan mulai malam ini. aku menantu di
rumah ini." "Mereka memperoleh menantu yang baik. Barangkali aku bisa memperoleh secawan sake dari
Tuan Mataemon." Inuchiyo herbalik dan memberi isyarat ke arah kegelapan.
"Hei, semuanya! Kita diizinkan masuk untuk mengadakan upacara siraman!"
Seman Inuchiyo dijawab oleh sejumlah laki-laki yang segera mendesak masuk, meramaikan
suasana dengan suara-suara mereka. Ikeda Shonyu berada di antara mereka, demikian pula
Macda Tohachiro. Kato Yasaburo. dan teman lama Tokichiro. Ganmaku. Bahkan si kepala tukang
kayu bermuka bopeng pun hadir.
Upacara siraman merupakan tradisi kuno. Teman-teman lama pengantin pria mendatangi rumah
ayah mertuanya tanpa diundang. Keluarga pengantin wanita wajib menerima mereka dengan
ramah, dan kemudian para tamu tak diundang itu menarik pengantin pria ke pekarangan untuk
mengguyurnya dengan air. Namun pelaksanaan upacara siraman malam ini agak terlalu dini. Biasanya acara tersebut baru
diselenggarakan enam bulan sampai satu tahun setelah pernikahan.
Seluruh keluarga Mataemon dan Niwa Hyozo merasa terkejut. Tetapi si pengantin pria tampak riang
gembira, dan mempersilakan rombongan temannya untuk masuk.
"Wah" Kau ikut juga?" Tokichiro berkata sambil menyalami seseorang yang sudah lama tidak
dijumpainya, lalu berpesan pada istrinya. "Nene, cepat, ambilkan makanan. Dan sake.
Berbotol-botol sake" "Segera." Nenc kelihatannya sudah menduga akan ada kunjungan. Sebagai


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

istri Tokichiro, ia sadar bahwa ia tak boleh dikejutkan oleh hal-hal seperti ini. Ia menerima situasi itu
tanpa mengeluh sedikit pun. Ia melepaskan kimononya yang putih bagaikan salju, lalu melingkarkan
baju sehari-hari pada pinggangnya. Setelah mengikat lengan bajunya yang panjang dengan tali, ia
15 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mulai bekerja. "Pernikahan macam apa ini?" salah seorang tamu berseru dengan jengkel. Sambil menenangkan
kerabat mereka, Mataemon dan istrinya terburu-buru melewati kerumunan orang yang bingung.
Ketika Mataemon mendengar bahwa rombongan yang baru datang dipimpin oleh Inuchiyo, ia
sempat merasa waswas. Namun, ketika melihat Inuchiyo berbincang-bincang dan tertawa bersama
Tokichiro, perasaan Mataemon segera tenang kembali.
"Nene! Nene!" Mataemon berkata. "Kalau persediaan sake tidak cukup, suruh saja salah seorang
untuk membeli lebih banyak. Biarkan orang-orang ini minum sepuas hati." Dan kemudian, kepada
istrinya, "Okoi! Okoi! Kenapa kau hanya berdiri di situ" Sake sudah dihidangkan, tapi para tamu
belum memperoleh cawan. Walaupun ini bukan pesta besar, keluarkanlah apa saja yang kita miliki.
Aku gembira sekali karena Inuchiyo datang bersama rombongannya."
Setelah Okoi kembali sambil membawakan cawan-
cawan. Mataemon sendiri yang melayani Inuchiyo. Ia menyimpan perasaan yang amat mendalam
bagi laki-laki yang hampir menjadi menantunya ini. Tetapi takdir menentukan lain. Anehnya
persahabatan mereka tetap terjalin erat, persahabatan antara dua samurai. Berbagai perasaan
bergejolak dalam lubuk hati Mataemon, tapi ia tidak mengungkapkannya dengan kau maupun
ekspresi wajah. "Ah. Mataemon, aku pun bahagia. Kau memperoleh menantu yang baik. Aku mengucapkan selamat
dengan sepenuh hati." ujar Inuchiyo. "Aku tahu bahwa aku menyerobot masuk malam ini. Kau tidak
tersinggung, bukan?"
"Sama sekali tidak, sama sekali tidak!" Mataemon umpak penuh semangat. "Kita akan
minum-minum sepanjang malam."
Inuchiyo tertawa keras. "Kalau kita minum-minum dan menyanyi sepanjang malam, bukankah
pengantin wanita akan marah?"
"Kenapa dia harus marah" Bukan begitu cara dia dibesarkan," kau Tokichiro. "Dia perempuan
berbudi luhur." Inuchiyo mendekati Tokichiro dan mulai menggodanya. "Dapatkah kau memberi penjelasan lebih
lanjut?" "Tidak. Aku minta maaf. Aku sudah bicara terlalu banyak."
"Aku takkan melepaskanmu begitu uja. Nah, ini ada cawan besar."
"Jangan repot-repot. Yang kecil pun sudah cukup untukku."
"Pengantin macam apa kau ini" Mana rasa banggamu?"
Mereka saling menggoda bagaikan anak kecil. Tapi, meski sake mengalir bebas di sekitarnya,
Tokichiro tidak minum melewati batas - tidak malam ini maupun kapan saja. Sejak kecil ia telah
menyimpan kenangan pahit mengenai akibat terlalu banyak minum, dan kini, ketika menatap cawan
besar yang disodorkan ke hadapannya, ia melihat wajah ayah tirinya yang sedang mabuk, lalu
16 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
wajah ibunya yang begitu sering bersedih hati karena ayah tirinya terlalu menggemari sake.
Tokichiro menjadi dewasa di tengah kemiskinan, dan tubuhnya tidak seberapa kuat jika
dibandingkan tubuh orang-orang lain. Walau masih muda. ia selalu bersikap hati-hati.
"Satu cawan besar terlalu banyak untukku. Tolong tukar dengan yang lebih kecil saja. Sebagai
gantinya, aku akan menyanyikan sesuatu untukmu."
"Apa" Kau mau menyanyi?"
Tokichiro tidak menjawab, melainkan langsung menepuk-nepuk paha, seakan-akan memukul
gendang, dan mulai bersenandung.
Hidup manusia Hanya lima puluh tahun...
"Jangan, berhenti." Inuchiyo cepat-cepat menutupi mulut Tokichiro dengan satu ungan. Tidak
pantas kaunyanyikan tembang ini. Ini dari Atsumon. yang begitu digemari Yang Mulia."
"Aku mempelajari larian dan nyanyian yang sering dibawakan Tuan Nobunaga dengan meniru
beliau. Ini bukan tembang terlarang, jadi salahkah kalau aku menyanyikannya?"
"Ya, salah sekali." "Kenapa begitu?"
"Tembang ini tidak patut ditampilkan dalam acara pernikahan."
"Yang Mulia membawakan tarian Atsumori pada pagi hari sebelum pasukan kita berangkat ke
Okehazama. Mulai malam ini, kami berdua, suami-
istri yang dilanda kemiskinan, akan menempuh hidup baru. Jadi, bukankah pilihanku pantas?"
"Ketetapan hati untuk maju ke medan tempur dan pesta pernikahan merupakan dua hal berbeda.
Prajurit sejati bertekad untuk hidup lama bersama istri, sampai kedua-duanya telah berambut putih."
Tokichiro menepuk lututnya. "Itu benar. Terus terang, justru itulah yang kuharapkan. Kalau terjadi
perang, apa boleh buat, tapi aku tak ingin mati sia-sia. Lima puluh tahun belum cukup. Aku ingin
hidup bahagia dan setia pada Nene selama seratus tahun."
"Dasar mulut besar. Lebih baik kau menari saja. Ayo, mulailah."
Mendengar Inuchiyo mendesak-desak si pengantin pria, sejumlah tamu lain segera mendukungnya.
"Tunggu. Harap tunggu sejenak. Aku akan menari."
Sambil membujuk teman-temannya untuk bersabar, Tokichiro berpaling ke arah dapur, bertepuk
tangan, dan memanggil, "Nene! Persediaan sake sudah menipis."
"Sebentar." jawab Nene. Ia sama sekali tidak malu-malu di hadapan para tamu. Dengan riang ia
membawa botol-botol sake, melayani orang-orang seperti yang diminta oleh Tokichiro. Yang
merasa terkejut hanya orangtua Nene dan para saudaranya yang sejak dulu cuma menganggapnya
anak kecil. Namun hati Nene telah bersatu dengan hati suaminya, dan Tokichiro pun tidak kelihatan
kikuk dengan istri yang baru dinikahinya. Sesuai dugaan, Inuchiyo yang sudah agak mabuk
17 Pendekar Bloon Sang Maha Sesat m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
berulang kali tersipu-sipu ketika dilayani Nene.
"Hah, Nene, mulai malam ini. kau istri Tuan Kinoshita. Izinkanlah aku memberi selamat sekali lagi,"
Inuchiyo berkata sambil menyingkirkan meja iokt dari hadapan Nene. "Ada satu hal yang diketahui
oleh semua sahabatku dan yang tak pernah ku-sembunyikan dari mereka. Daripada merasa malu
dan merahasiakannya, aku akan menyelesaikannya sampai tuntas. Bagaimana, Kinoshita?"
"Ada apa?" "Perkenankan aku meminjam istrimu sejenak." Sambil tertawa, Tokichiro berkata. "Silakan."
"Begini, Nene. Pada suatu ketika, semua orang tahu bahwa aku mencintaimu, dan ini belum
berubah. Kaulah perempuan yang kucintai." Inuchiyo menjadi lebih serius. Dan seandainya pun
sikapnya tidak berubah, dada Nene sudah penuh gejolak emosi, karena baru saja menjadi istri
seseorang. Sejak malam ini, hidupnya sebagai perempuan muda yang masih sendiri lelah berakhir,
tapi ia tak sanggup memadamkan perasaannya terhadap Inuchiyo.
"Nene, kata orang, hati seorang gadis muda tak dapat ditebak, tapi kau telah mengambil langkah
terbaik ketika memilih Tokichiro. Aku rela melepaskan orang yang telah merebut hatiku. Tapi cintaku
terhadap Kinoshita bahkan lebih kuat daripada cintaku padamu. Boleh dibilang aku memberikanmu
padanya sebagai tanda tinta dari satu laki-laki kepada laki-laki lain. Berarti aku telah
memperlakukanmu seperti barang, tapi begitulah laki-laki. Betul tidak. Kinoshita?"
"Aku menerimanya tanpa ragu-ragu, karena aku sudah menyangka bahwa itulah alasanmu."
"Hmm, kalau kau ragu-ragu mengenai perempuan yang baik ini, berarti akulah yang salah
menilaimu, dan untuk selanjutnya kau takkan kupandang sebelah mata. Kau memperoleh
perempuan yang berada jauh di atasmu."
"Bicaramu tak keruan."
"Ah, ha ha ha ha. Pokoknya, aku bergembira. Hei. Kinoshita, kita menjalin persahabatan kekal, tapi
pernahkah kau menduga bahwa kita akan mengalami malam sebahagia sekarang?"
"Tidak, kurasa tidak."
"Nene, adakah rebana di sekitar sini" Kalau aku memainkan rebana, kuharap salah seorang berdiri
dan menari. Karena Kinoshita ini bukan orang berakal sehat, aku yakin kemampuan menarinya pun
tak seberapa." "Ehm, untuk menghibur para hadirin, izinkanlah aku membawakan tarian sebisaku." Orang yang
berbicara ini adalah Nene. Inuchiyo, Ikeda Shonyu, dan tamu-tamu lainnya tertegun dan
membelalakkan mata. Diiringi permainan rebana Inuchiyo, Nene membuka kipas dan mulai menari.
"Bagus! Bagus!" Tokichiro bertepuk tangan, seolah-olah ia sendiri yang menari. Mungkin karena
mereka sedang mabuk, kegembiraan mereka tidak memperlihatkan tanda-tanda akan surut.
Dewi Penyebar Maut I I I 1 Dear Dylan Karya Stephanie Zen Misteri Topeng Merah 2
^