Pencarian

The Heike Story 6

The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa Bagian 6


o0odwkzo0o Pelaksanaan hukuman mati di depan umum telah menjadi kegiatan harian setelah perang berakhir, namun orang-orang sepertinya tidak bosan-bosannya menjadi penonton. Masyarakat dari berbagai lapisan telah membanjiri kedua tepi Sungai Kamo di atas jembatan Gojo.
Para petugas yang baru saja tiba, yang memandang hukuman mati sebagai peringatan kepada rakyat, tidak melakukan apa pun untuk menghalau orang-orang yang terus berdatangan walaupun hari telah semakin sore. Angin kencang meniup helaian hitam dan putih pada tirai yang menandai lokasi hukuman mati dan mengancam untuk mencabik-cabiknya; hujan deras mulai turun.
Tiga orang pemuda berlutut dengan pasrah di atas tikar masing-masing, yang diletakkan di jarak yang sama di tepi sungai. Di dekat mereka, seorang pemeriksa mayat yang dikirim oleh Pangkalan Pengawal Kekaisaran dan para petugas penjara yang telah menyelesaikan tugas mereka menantikan kedatangan Kiyomori dan Tokitada. Kehadiran mereka segera menimbulkan keributan di kalangan penonton. Kiyomori turun dari kudanya dan berjalan ke arah sungai, berbasa-basi dengan para petugas yang telah menanti; Tokitada berjalan di belakangnya, dikawal oleh beberapa orang samurai dan menarik Tadamasa yang terikat erat. Tadamasa diperintahkan untuk duduk di atas
tikar keempat Ketiga pemuda yang telah lebih dahulu tiba di sana serentak berdiri dan berseru, "Ayah!" Tali yang mengikat masing-masing tahanan itu tertambat pada sebuah pasak, sehingga sebelum berhasil berdiri, ketiganya langsung terjerembap kembali ke tanah. Sifat kebapakan Tadamasa muncul ketika dia melihat anak-anaknya, dan dia pun menenangkan mereka:
"Bersabarlah. Kita harus menyerah. Hari ini sungguh pahit bagiku; tetapi, aku bersyukur karena mendapatkan kesempatan untuk bertemu kembali dengan kalian. Ini sudah digariskan oleh karma kita."
Suara Tadamasa, yang parau akibat jeritannya ketika bertahan dari penangkapan, terdengar lebih nyaring.
"Dengarkanlah, anak-anakku ... jalan hidup sebagai samurailah yang membawa kita untuk mati dengan cara ini, namun kita tidak jatuh serendah binatang itu; keponakanku yang tidak tahu berterima kasih, Kiyomori! Salahkah kita jika memilih untuk setia kepada pengayom kita" Kita tidak pernah melupakan kebaikan hati beliau ". Lihatlah dia di sana, Kiyomori yang telah sejak lama kukenal. Itulah dia, orang yang paling tidak tahu berterima kasih! Untuk apa kita harus malu?"
Tadamasa memelototi Kiyomori, yang sekarang duduk di sebuah meja. Kiyomori membalas tatapannya tanpa mengatakan apa pun; yang ada di hadapannya adalah seseorang yang telah begitu dekat dengan kematian; rona telah menghilang dari pipinya, menyisakan kepucatan.
Tadamasa mendadak menyembur Kiyomori. "Hei, Kiyomori! Jika kau masih punya telinga untuk mendengar, dengarkanlah ini! Apa kau sudah melupakan masa lalu, ketika Tadamori masih melarat dan tidak mampu memberimu makan dengan bubur terencer sekalipun, dan berulang kali menyuruhmu meminjam uang kepadaku?"
Kiyomori tetap diam. "Ingatkah kau ketika kau datang ke rumahku di tengah musim dingin dengan kimono usangmu, seperti pengemis, menyampaikan cerita-cerita kemalanganmu" Sudah lupakah dirimu bahwa kau menangis tersedu-sedu sambil melahap makanan dingin yang kusajikan karena aku kasihan kepadamu" Aku tertawa jika memikirkan bahwa iblis kelaparan itu sekarang telah menjadi Tuan Harima yang hebat! Biarlah masa lalu berlalu, tapi, apakah ini ...
mengkhianati pamanmu sendiri, yang telah menolongmu di masa mudamu" Jadi, kau akan menyebut dirimu terhormat gara-gara menukar kepalaku dengan lebih banyak lagi imbalan dari Istana?"
"Kau lebih brengsek dari bajingan terbusuk sekalipun!
Jawablah pertanyaanku ... kau ... jika kau bisa!"
"Aku sudah menduga bahwa kau tidak bisa. Bagaimana mungkin kau akan menjawab" Jadi, kau berniat memenggal kepalaku ... pamanmu ... saudara kandung ayahmu" ".
Mungkin ini memang telah digariskan oleh karma. Kalau begitu, baiklah. Alih-alih berdoa, aku akan merapalkan nama Tadamori sambil menantikan tebasan pedangmu."
Tadamasa menjerit nyaring. "Ini, penggal kepalaku sekarang juga!"
Mendung semakin tebal sehingga kegelapan meliputi arena hukuman mati. Tidak ada matahari yang bisa memastikan waktu. Geledek terdengar di kejauhan, dan permukaan air sungai bergolak karena angin dingin menimbulkan riak meniupkan pasir ke sana. Walaupun telah terbiasa melihat pelaksanaan hukuman mati, para petugas berkerumun seolah-olah racauan Tadamasa telah membuat mereka gentar. Sengatan tajam air hujan, bagaimanapun, berhasil menyadarkan mereka.
"Sudah pukul empat, Tuan Harima ... mungkin bahkan lebih."
"Oh?" Kiyomori tampak bingung ketika mendengar pemberitahuan itu. Dia berdiri dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Tadamasa mengangkat pandangannya dan menatap lekat-lekat kepada Kiyomori yang sedang berjalan menghampirinya.
"Tokitada ... pedang."
Tokitada, yang berjalan selangkah di belakang Kiyomori, menghunus pedang kakak iparnya. Dia memandang wajah pucat Kiyomori dengan ekspresi yang mengatakan, "Yang mana?"
"Yang di ujung."
Ujung jari Kiyomori menunjuk ke wajah seorang pemuda. Kiyomori cepat-cepat membuang muka.
"Cepat, Tokitada ... jangan berkedip," desak Kiyomori.
"Ini bukan apa-apa," gumam Tokitada. Sementara dia berbicara, suara aneh yang menyerupai gesekan kain basah terdengar oleh telinga para penonton. Pada saat yang sama, mata pedang Tokitada berkilat dan meneteskan darah.
"Ah, Naganori, mereka sudah membunuhmu!"
Tadamasa menangis. Suara yang menegakkan bulu kuduk kembali terdengar, dan satu lagi kepala terjatuh ke tanah.
"Tadatsuna! Ah, Tadatsuna!"
Tangisan Tadamasa menyaru dengan gemuruh guntur di atas mereka. Tadamasa melolong ketika desingan pedang terdengar untuk ketiga kalinya, namun tidak semulus sebelumnya. Tokitada mendadak tampak bingung dan mengamati wajah-wajah di hadapannya dengan tatapan kosong.
"Hei, Tokitada, ada apa denganmu?"
"Air ... bawakan air untukku sebelum aku menghabisi yang terakhir. Semuanya menjadi gelap, tanganku kehilangan kelihaiannya
"Pengecut! Kau mual gara-gara melihat darah ". Mana, biar aku yang menyelesaikannya."
Amarah Kiyomori telah memuncak. Dia berjalan beberapa langkah menghampiri Tadamasa dan menatap dingin pada wajah yang mendongak kepadanya. Seluruh perasaan Kiyomori telah tercerabut dan melayang menuju kehampaan. Inti otaknya bagaikan es, begitu dingin sehingga menyayat dirinya. Sebuah tawa singkat mengagetkannya, hingga dia menyadari bahwa suara itu meluncur
dari bibirnya sendiri, sementara dia berdiri menjulang di hadapan Tadamara, mencengkeram pedangnya.
"Heike Tadamasa, ada lagikah yang hendak kaukatakan"
Aku akan menghukum mati dirimu."
"Hmm ... lihat saja apakah kau bisa," Tadamasa mendesis garang, mendongakkan kepalanya seolah-olah untuk mempercepat saat terakhirnya. Alih-alih membungkuk untuk memperlihatkan tengkuknya.
Tadamasa duduk dengan tegak, menggembungkan dadanya. "Aku tidak pernah menyukaimu ... bahkan ketika kau masih kanak-kanak, Kiyomori ... kau! Sekarang aku mengerti alasannya; itu adalah pertanda untuk hari ini."
"Aku percaya kepadamu, karena tidak ada orang lain yang lebih kubenci daripada dirimu."
"Seperti salju dan tinta ... kita begitu berbeda, paman dan keponakan. Kau menang. Aku akan mati di tanganmu, dan tidak ada yang lebih keji daripada ini."
"Sepahit apa pun ini bagimu, ini adalah perang."
"Bukan perang melainkan takdir. Giliranmu akan tiba, Kiyomori."
"Tidak perlu menantikan itu. Nah, sudah siapkah dirimu?"
"Jangan buru-buru. Satu kata lagi"
"Apakah itu" Apa lagi yang harus kaukatakan?"
"Sejujurnya, kemiripan itu tidak bisa disangkal lagi.
Benih-benih kejahatan dari pendeta mesum itu rupanya mengalir di darahmu"
"Pendeta apa" Apa?"
"Ayahmu." "Mirip dengan siapa pun diriku, yang jelas, ayahku Tadamori."
"Ketahuilah bahwa istri pertama Tadamori sendirilah, si Perempuan Gion, yang memberitahuku bahwa kau bukan anak Tadamori, dan bukan pula anak Kaisar Shirakawa.
Sesungguhnya, kau adalah buah dari hubungannya dengan kekasih gelapnya, si pendeta mesum "."Tadamasa mencerocos.
"Terkutuklah mulut kotormu itu " matilah kau!"
Kiyomori mengayunkan pedangnya. Kilat putih terlihat, memenggal leher Tadamasa dalam sekali tebas.
Dengan sekujur tubuh terciprat darah, Kiyomori berdiri terpaku, menurunkan pedangnya yang bersimbah darah.
Kilatan petir menyilaukannya. Guntur bergemuruh.
Helaian tirai berkibar-kibar liar. Tanah yang dipijaknya seolah-olah berguncang.
"Dasar tolol! Dungu!"
"Orang gila! Bengis!"
"Kau bajingan!"
"Kau iblis yang tidak tahu berterima kasih!"
Itu bukanlah gemuruh guntur melainkan lolongan para penonton, yang kemarahannya terpicu oleh pemandangan memuakkan seseorang yang telah menghabisi nyawa kerabatnya sendiri dengan pedang. Batu-batu dilemparkan kepada Kiyomori, namun dia tidak berusaha meloloskan diri. Hujan batu yang lebih deras daripada hujan yang turun dari langit menghantami baju zirah, wajah, dan kedua tangannya, dan darah mulai mengalir dari luka-lukanya.
Jeritan para penonton ditenggelamkan oleh gemuruh guntur. Para prajurit Kiyomori menghambur ke arah para penonton, yang dengan cepat membubarkan diri begitu melihat pedang yang terhunus. Tetapi, Kiyomori tetap berdiri terpaku di dekat keempat mayat tanpa kepala itu.
Hujan deras menerpanya; petir putih kebiruan berkilat menyilaukan di atas puncak-puncak pagoda di Perbukitan Timur. Kiyomori mematung di bawah hujan deras, menjatuhkan pedangnya.
"Tuan ".Tuan."
"Para petugas sudah pergi, Tuan."
"Para penonton sudah membubarkan diri."
"Anda telah merampungkan tugas ini tanpa cela."
"Sekarang waktunya pulang, Tuan."
Para prajurit Kiyomori mengerumuninya dengan cemas, ingin segera pergi dari sana, namun Kiyomori memunggungi mereka memanjat tanggul; di bawah hujan yang mulai reda, dia mendongak ke arah celah di awan dan
menggumamkan sebuah doa. Kemudian, dia memanggil lirih, "Tokitada, Tokitada!"
Tokitada yang berwajah gundah dan para prajurit bisa mendengar keanehan suara Kiyomori. Lengkungan pelangi menghiasi langit senja. Seolah-olah baru saja terbangun dari sebuah mimpi buruk, Tokitada menuntun kuda Kiyomori dan memenuhi panggilannya.
Meraih tali kekang kudanya, Kiyomori berbicara ke balik bahunya, "Tetaplah di sini, Tokitada, bersama empat atau lima orang prajurit. Bawalah keempat mayat itu dengan hati-hati ke tempat pembakaran mayat di Toribeno. Aku akan pulang dan berdoa malam ini. Aku memercayakan penguburan keempat mayat ini kepadamu."
Malam itu, Shinzei menerima kepala Tadamasa.
Korekata, Panglima Golongan Kanan, membawakan kepala Tadamasa dan ketiga l putranya dari Rokuhara untuk Shinzei, yang segera memeriksanya di bawah cahaya lilin.
"Bagus sekali." Dia mengangguk dan mendengarkan cerita tentang pelakasanaan hukuman mati, saat terakhir Tadamasa, sikap Kiyomori, dan penundaan yang terjadi.
Shinzei mendadak tertawa terbahak-bahak, menepuk-nepuk pahanya.
"Rupanya itulah yang terjadi, dan ada perkecualian bagi pepatah yang mengatakan bahwa penyesalan akan dibawa mati. Tidak banyak orang yang seperti Tadamasa, yang mati dengan getir dan menolak untuk masuk surga.
Sedangkan Kiyomori ... samurai berhati lembek itu. Aneh juga melihat dia berperang dengan garang di Shirakawa."
Keesokan harinya, Shinzei memanggil Yoshitomo, dan dengan sikap biasa mengatakan, "Tuan ... juru Kunci Istal
Kekaisaran, Tuan Harima mengirim kepala pamannya semalam. Sebuah tindakan yang patut diteladani ". Dan, omong-omong, sudahkah Anda mendengar laporan mengenai penampakan seorang buronan yang jauh lebih berbahaya daripada Tadamasa" Yang saya maksud adalah Genji Tameyoshi, yang telah memimpin pemberontakan melawan kita."
Nada sopan dan ramah yang digunakan oleh Shinzei membekukan hati Yoshitomo. Wajahnya mendadak pucat pasi.
"Tuan, pencarian sedang dilakukan ... jejak Tameyoshi dan putra-putranya belum ditemukan."
"Anda tahu. Yang Mulia akan terus menerima laporan tentang kegigihan Anda memburu para pengkhianat."
"Segala sesuatu yang bisa menunjang pencarian telah dilakukan, dan saya yakin mereka akan tertangkap, namun
... " "Namun apa?" Yoshitomo menunduk. Shinzei melontarkan tatapan penuh pertanyaan dari bawah keningnya yang berkerut merut
o0odwkzo0o Selama tiga hari dan tiga malam, Tameyoshi, putra-putranya, dan tiga orang pelayan mereka bersembunyi di dalam sebuah kuil di wilayah perbukitan di antara Shirakawa dan Danau Biwa. Juru kunci kuil itu menerima mereka dengan baik, sehingga mereka bisa makan dan tidur, dan mendapatkan kesempatan untuk merawat luka-luka mereka sembari menyusun rencana untuk mencari perahu yang bersedia membawa mereka menyeberangi danau dalam pelarian mereka ke arah timur. Tetapi, ketika
itu pulalah, seolah-olah nasib buruk telah membayangi mereka, penyakit reumatisme melumpuhkan Tameyoshi dan mengharuskannya menghabiskan waktu di kasurnya, di dalam sebuah bilik kuil yang mengenaskan. Selama Tameyoshi terbaring di sana sebagai seorang samurai yang telah kalah, berbagai peristiwa yang terjadi selama enam puluh tahun kehidupannya berkelebatan dalam ingatannya, diwarnai oleh penyesalan dan kesepian, karena dia menyadari betul penyebab kesedihannya.
Sementara itu; salah seorang putranya dan Magoroku, seorang pelayan, pergi ke Otsu untuk mencari keterangan penyewaan perahu, sementara Tametomo dan yang lainnya berjaga-jaga untuk mewaspadai kehadiran para pengejar mereka.
Yorikata dan Magoroku segera kembali dan mengabarkan bahwa mereka telah bertemu dengan seorang nelayan yang mau membawa mereka menyeberangi danau secara diam-diam. Malam itu, 17 Juli, para buronan dengan hati-hati berangkat ke tempat pertemuan yang telah disepakati, di bawah sebatang pohon pinus besar di Karasaki. Setibanya di sana, mereka gelisah karena tidak melihat tanda-tanda keberadaan sebuah perahu. Ketika melakukan pengamatan di tempat gelap itu, mereka tiba-tiba melihat kilatan obor di kejauhan, disusul oleh derap kaki-kaki kuda dan teriakan-teriakan gaduh.
"Kita dijebak!" seru Tametomo. Setelah dengan buru-buru memerintahkan kepada Magoroku untuk meloloskan diri bersama Tameyoshi ke perbukitan, mempersiapkan saudara-saudaranya untuk bertahan hingga keduanya tiba di tempat yang aman.
Setengah menggendong dan setengah menyeret Tameyoshi, Magoroku akhirnya tiba di sebuah kuil di wilayah perbukitan. Di sana, Margoroku dengan putus asa
menceritakan tentang masalah mereka kepada seorang pendeta, yang bersedia memberikan tempat berlindung kepada mereka. Tetapi, ketika pagi tiba, Magoroku yang masih mengkhawatirkan keselamatan mereka, menggendong Tameyoshi di punggungnya dan membawanya melintasi sebuah lembah di Gunung Hiei hingga mereka tiba di sebuah kuil di Kurodani.
Tameyoshi, yang telah mengalami kehancuran jiwa dan raga, mengakui kepada Magoroku bahwa dia sudah tidak memiliki keinginan lagi untuk menghimpun sebuah pasukan walaupun berhasil mencapai wilayah timur Jepang.
"Tidak ada yang bisa kulakukan lagi sekarang ini, Magoroku, kecuali menjalani penahbisan dan menyerahkan diri kepada putraku, Yoshitomo," katanya.
Ketika akhirnya bertemu kembali dengan ayah mereka, putra-putra Tameyoshi berduka karena sang ayah telah menjalani penahbisan dengan dibimbing oleh seorang pendeta. Mereka pun meratap. "Segala sesuatu yang kita miliki telah direnggut dari diri kita. Apa lagikah yang bisa kita harapkan?"
Tetapi, Tameyoshi menjawab, "Tidak, anak-anakku, kalian tidak bisa selamanya bergantung kepadaku. Akan tiba waktunya ketika anak-anak burung harus meninggalkan sarangnya untuk terbang ke langit biru yang terbentang tanpa batas di hadapan mereka." Tameyoshi meneteskan air mata getir ketika menyadari bahwa dirinya tidak memiliki kata-kata yang lebih menenangkan untuk anak-anaknya.
Magoroku diperintahkan untuk pergi ke ibu kota dan menyampaikan surat dari Tameyoshi kepada Yoshitomo.
Sekembalinya dari ibu kota, dia mengabarkan bahwa
Yoshitomo sangat gembira ketika membaca pesan dari sang ayah. Ingin mendengar lebih banyak tentang kabar putranya, "Tameyoshi menanyakan apakah Magoroku juga telah berbicara dengan Yoshitomo, dan mendapatkan jawaban:
"Beliau tidak ada di rumahnya. Menduga akan bisa menemui beliau di rumah Nyonya Tokiwa, saya pun pergi ke sana. Saya beruntung karena berhasil berjumpa dengan beliau yang, masih memakai baju zirahnya, sedang bermain-main dengan anak-anak di pangkuannya."
"Kau melihatnya sedang bermain dengan cucu-cucuku"
Jadi, dia sudah mengetahui rasanya menjadi seorang ayah.
Dia memiliki dua orang anak, bukan?"
"Ya ... dan sepertinya anak ketiga mereka akan segera lahir, dan karena itulah Tuan Yoshitomo sangat mengkhawatirkan Nyonya Tokiwa."
"Ah, dari kabar yang kudengar, wanita itu memang menyenangkan. Hanya Yoshitomo seoranglah yang paling beruntung di antara kita."
Dengan kening berkerut, putra-putra Tameyoshi menyaksikan ayah mereka membaca surat dari Yoshitomo:
"Aku menantikan kedatangan Ayah. Para pelayanku akan menjemput Ayah di pinggir hutan di dekat Kamo.
Ayah tidak perlu cemas. Aku sudah siap untuk melepas seluruh kehormatan yang telah dianugrahkan kepadaku asalkan Yang Mulia bersedia mengampuni Ayah."
Putra-putra Tameyoshi, bagaimanapun, tidak rela membiarkan ayah mereka menyerahkan diri kepada Yoshitomo. Dan Tametomo berkata:
"Ayahku, tidak adakah cara untuk mencegahmu" Siapa yang tahu bahwa Yoshitomo bisa dipercaya atau tidak" Aku
merasa bahwa Ayah sedang berada dalam bahaya.
Tinggallah bersama kami."
"Apa pun pendapatmu, Tametomo, aku tidak percaya bahwa Yoshitomo akan menipuku. Walaupun kelihatannya meragukan, aku memilih untuk pergi bukan karena nyawaku begitu berharga melainkan untuk memohon pengampunan bagi kalian semua ... itu, dan karena ini adalah satu-satunya cara agar Yoshitomo memperoleh kedamaian di hatinya."
Tametomo menggeleng. "Wajar jika Ayah berpikiran begitu. Anak macam apa yang berharap melihat ayahnya dihukum mati" Kalaupun Yoshitomo ternyata monster bengis semacam itu, kesuksesan duniawi sebesar apa pun tidak akan sanggup menebus penyesalan yang akan ditanggungnya. Di sisi lain, ingatlah bagaimana Kaisar telah mengkhianati saudaranya sendiri, sang Mantan Kaisar; begitu pula Perdana Menteri yang telah mengkhianati adiknya, Yorinaga."
Tameyoshi mempertimbangkan kata-kata Tametomo, namun tetap teguh pada pendiriannya.
"Aku sudah menyuruh Magoroku menyampaikan pesan kepada Yoshitomo. Orang-orang di ibu kota tentu sudah mengetahui di mana kita berada sekarang. Seandainya aku berhasil tiba di Kamakura namun gagal menghimpun pasukan, pada akhirnya aku akan bersusah payah mengusahakan perdamaian dengan kehidupanku.
Sepertinya tidak ada pilihan lain bagiku kecuali menyerahkan diri kepada Yoshitomo."
Keesokan harinya, Tameyoshi, dipapah oleh Magoroku, memulai perjalanan meninggalkan Kamo. Dengan hati tersayat karena menyaksikan sang ayah pergi, putra-putra Tameyoshi mengikutinya hingga tiba di dekat ibu kota,
yakin bahwa mereka tidak akan pernah lagi bertemu dengan sang ayah.
Tameyoshi berhenti untuk menoleh dan berkata, "Anak-anakku, kita sudah tiba di dekat ibu kota. Saatnya berpamitan ... perpisahan kita pun harus ada akhirnya."
Maka, putra-putra Tameyoshi pun mengucapkan salam perpisahan dan menangis terisak-isak
o0odwkzo0o Sebuah tandu telah menanti Tameyoshi di tepi hutan di dekat Kamo, dan malam itu juga, dia dibawa ke kediaman Yoshitomo. Di sana, tiga orang wanita pelayan menerima dan menyiapkan air mandi untuknya, lalu menyediakan kimono bersih, obat-obatan, dan berbagai macam makanan, sehingga tidak ada lagi yang diinginkan oleh Tameyoshi.
Malam itu, Tameyoshi tidur nyenyak, tidak terganggu oleh serangga dan ketakutan pada binatang buas.
Pikiran pertama Tameyoshi ketika terjaga adalah bahwa dia telah selamat di bawah atap rumah putranya. Baru pada siang harinya, bagaimanapun, Yoshitomo secara diam-diam menemuinya. Kurang dari tiga minggu telah berlalu sejak pertemuan terakhir mereka, namun mereka merasa seolah-olah telah bertahun-tahun tidak bertemu. Tameyoshi dan Yoshitomo menangis tanpa suara ketika mereka bertemu muka.
?" Ayahku, ampunilah aku atas kepedihan yang telah kuberikan kepadamu."
"Mengampunimu" Yoshitomo, ayahmu ini bersalah atas pengkhianatan kepada Kaisar. Aku tidak punya hak untuk berada di sini. Perlakukanlah aku seperti layaknya seorang penjahat"
"Hatiku hancur mendengar Ayah berkata begitu."
"Tidak, tidak, Yoshitomo, aku sudah tua dan menyerah kepada takdir. Hanya ada satu yang kumohon darimu ...
ampunilah saudara-saudaramu, para wanita yang tidak berdosa, dan juga anak-anak. Biarkanlah aku menanggung hukuman bagi mereka."
"Aku siap menyerahkan seluruh hartaku demi menyelamatkanmu, Ayah."
"Tetapi, ingadah, ada banyak orang di Istana yang berpendapat lain. Jangan mengambil langkah gegabah yang akan membahayakan nyawamu. Aku hanya meminta kepadamu, putra sulungku, untuk meneruskan kedudukanku sebagai kepala keluarga dan menjaga nama klan kita," Tameyoshi memohon.
Malam itu, Yoshitomo mengendarai kereta sapi yang tertutup rapat menuju kediaman Shinzei. Dia tidak ada di rumahnya. Penasihat Shinzei sedang luar biasa sibuk akhir-akhir ini dan tidak akan pulang dari Istana hingga besok, kata pelayannya. Malam berikutnya, Yoshitomo kembali mendatangi kediaman Shinzei dan berhasil menemuinya.
Ketika Yoshitomo menyelesaikan ceritanya, Shinzei menjawab dengan dingin:
"Apa! Anda meminta agar Tameyoshi diampuni" Saya sekalipun tidak bisa melakukannya untuk Anda. Terlebih lagi. Anda sungguh tidak pantas datang kemari untuk mengatakan hal itu kepada saya. Akan lebih tepat jika Anda menyampaikan sendiri permohonan Anda ini di depan para pejabat istana."
Yoshitomo, bagaimanapun, pantang menyerah. Dia mengenal seorang jenderal, Masasada, mantan Menteri Golongan Kanan, yang terkenal sebagai seorang pria
berhati lembut dan dipercaya oleh banyak kalangan di Istana, termasuk Kaisar. Yoshitomo menemuinya pada suatu malam dan diterima dengan penuh kebaikan. Kendati begitu, sang jenderal tidak ingin terlalu berharap.
?" Ya. saya rasa saya memahami apa yang Anda lalui.
Tapi, dalam masa pelik seperti ini, saya tidak bisa menjamin bahwa Istana akan mempertimbangkan permohonan Anda. Tetapi saya akan memastikan untuk menyampaikan pendapat saya demi mendukung Anda,"
kata Masasada dengan hangat
Dalam pertemuan para penasihat Istana berikutnya, Masasada menyampaikan permohonan Yoshitomo. Dia tidak hanya memohon pertukaran hadiah yang baru saja diterima oleh Yoshitomo dengan ampunan untuk Tameyoshi, tetapi juga mengatakan,?" Pencabutan nyawa seseorang akan berujung pada pencabutan nyawa orang lain, dan yang lain, hingga seratus nyawa pun tidak akan cukup, kata sebuah pepatah tua. Tameyoshi berpihak kepada musuh karena kesetiaan. Dia adalah seorang pria uzur yang telah berusia lebih dari enam puluh tahun, dan seorang veteran yang sangat berpengalaman. Kakeknya adalah seorang samurai termahsyur, yang berhasil menggagalkan perlawanan musuh di sebuah medan pertempuran yang berjarak terjauh, dan masih ada banyak orang yang mengingat perjuangannya. Menghukum mati Tameyoshi sama saja dengan menyulut kebencian di hati orang-orang yang masih mengenang kebaikan kakeknya.
Sebagai hakim, kita juga akan dihakimi. Saya sungguh sedih dan khawatir ketika memikirkan bahwa tindakan kejam yang diambil atas nama Kaisar hanya akan menambahkan kebengisan yang telah jamak terjadi di sekeliling kita. Bukankah pengampunan dan kasih sayang
yang menjangkau segalanya adalah inti dari pemerintahan Kaisar?"
Seseorang tertawa. Shinzei.
"Yang sudah berakhir, berakhir. Hari ini adalah hari ini.
Tugas pemerintah adalah menangani apa yang terjadi saat ini. Tuan, kata-kata Anda sungguh bijaksana, namun tidakkah Anda melihat apa yang terjadi di sekitar kita hari ini?" tanya Shinzei.
"Jika kita mengampuni Tameyoshi, bagaimanakah kita akan menghadapi si pemburu kekuasaan ... Sutoku" Jika, alih-alih menghukum mati Tameyoshi, kita mengasingkannya, siapakah yang bisa menjamin bahwa dia tidak akan menghimpun sebuah pasukan di provinsi-provinsi yang jauh dari sini dan sekali lagi mengerahkannya untuk melawan kita" Apakah Kiyomori ragu pedang ke leher pamannya" Adilkah jika kita membuat perkecualian kepada Tameyoshi dan putra-putranya?"
Senyum licik tersungging di wajah Shinzei selama dia berbicara dan memerhatikan Masasada.
"Kepala Polisi melaporkan kepada saya bahwa Tuan Yoshitomo telah memberikan perlindungan kepada Tameyoshi. Walaupun terdengar aneh dan mustahil, jika ini terbukti kebenarannya, berarti Tuan Yoshitomo telah melakukan pelanggaran berat terhadap peraturan Kaisar.
Bagaimana mungkin Tuan Yoshitomo yang terhormat berharap kita akan memberikan pengampunan kepada Tameyoshi jika saya sudah memutuskan bahwa dia pantas mendapatkan hukuman mati."
Shinzei mengucapkan kalimat terakhirnya dengan garang. Sejak perang berakhir, Shinzei menjadi tangan kanan Kaisar, dan sang jenderal menyadari bahwa dia tidak
memiliki peluang untuk memenangi perdebatan melawan Shinzei.
Masasada kemudian memanggil Yoshitomo dan menceritakan kepadanya tentang apa yang terjadi dalam pertemuan di Istana. "Saya menasihati Anda untuk bertindak dengan sangat diam-diam jika Anda tidak menghendaki para panglima lain menyerang Anda di kediaman Anda sendiri."
Tersiksa oleh penyesalan, Yoshitomo mengecam dirinya sendiri karena tidak berada di pihak yang sama dengan ayahnya. Kedua pelayan kepercayaannya, Masakiyo dan Jiro, segera memahami apa yang berkecamuk di dalam benak majikan mereka. Tidak hanya mereka, tetapi juga para pelayan lain yang turut menikmati kejayaan Yoshitomo cemas memikirkan apa yang akan terjadi kepadanya. Kemungkinan besar, Yoshitomo tidak hanya akan diperintahkan untuk memenggal ayahnya sendiri tetapi juga dilucuti dari seluruh kehormatan dan wewenangnya.
Setelah menghabiskan dua malam tanpa tidur, Yoshitomo memanggil Masakiyo dan Jiro, dan berbicara kepada mereka.
Menjelang malam pada hari yang sama, Masakiyo dan Jiro membawa sebuah tandu ke luar bilik Tameyoshi dan berkata, "Ada desas-desus sangat meresahkan tentang Anda, dan majikan kami mengkhawati rkan keselamatan Anda. Sejak beberapa hari yang lalu, kegalauan menyebabkan beliau tidak bisa tidur ataupun makan. Ada beberapa tokoh yang teramat sangat jahat di Istana. Gara-gara merekalah Anda sebaiknya bersembunyi di suatu tempat di Perbukitan Timur, dan kami akan menyertai Anda."
Tameyoshi bangkit untuk pergi bersama mereka.
Sebelum memasuki tandu, dia menoleh ke arah bilik Yoshitomo dan mengangkat kedua tangannya yang tertangkup. "Ada pepatah yang mengatakan bahwa anak adalah harta yang paling berharga. Hanya anakkulah yang bersedia bertindak sejauh itu untuk menjamin keselamatanku. Itu adalah kemuliaan hati yang mustahil dilupakan. Aku akan mengingat ini hingga akhir hayatku,"
Tameyoshi mengulang-ulang perkataannya dengan wajah berurai air mata.
Senja itu, tandu Tameyoshi diangkat melewati gerbang belakang dan membelah malam. Alih-alih menuju Perbukitan Timur, para pemanggulnya sepertinya mengikuti seruas jalan lain; dan ketika mereka akhirnya tiba di sebuah lahan terbuka di luar ibu kota, Tameyoshi melihat bahwa beberapa orang pelayan kepercayaan Yoshitomo telah tiba di sana dan menunggu mereka dengan sebuah kereta sapi.
Masakiyo menyikut Jiro yang, mengerutkan kening dan menepiskan tangannya, bergumam:
?" Kau saja yang melakukannya.Aku tidak bisa."
Masakiyo beringsut dengan ragu-ragu dan memanggil para pemanggul tandu. "Ahh ... kalian, turunkan tandunya
". Tuan, kita sudah berada di luar ibu kota dan masih harus melanjutkan perjalanan; maukah Tuan pindah ke kereta sekarang?" Masakiyo mendekati tandu. Dia mundur untuk memberikan ruang kepada Tameyoshi agar bisa melangkah ke luar seraya mempererat cengkeremannya ke gagang pedangnya. Jiro tiba-tiba berbicara dari belakangnya dan menyikut tangan Masakiyo sehingga melepaskan pedangnya.
"Masakiyo, aku ingin berbicara denganmu ?" Jiro menjauh beberapa langkah dari tandu dan menoleh kepada Masakiyo, yang mengikutinya. "Menurutku, sebaiknya kita melakukannya dengan jujur. Bagaimanapun, beliau adalah ayah dari majikan kita, dan tindakan ini rasanya salah."
"Kalau begitu, bagaimana?"
"Mengapa kita tidak mengatakan yang sesungguhnya kepada beliau" Biarkanlah beliau berdoa. Walaupun kehidupan beliau berakhir di tempat terpencil ini, beliau tetaplah Genji Tameyoshi dan berhak untuk meninggal seperti layaknya seorang samurai sejati."
"Kau benar. Tapi, itu membuat semua ini semakin sulit Kau saja yang melakukannya."
"Tidak mau! Aku tidak sanggup. Kaulah yang pantas melakukannya."
Setelah perdebatan mereka berakhir, Masakiyo kembali menemui Tameyoshi dan mengatakan kepadanya alasan mereka membawanya kemari.
Tameyoshi mendengarkan penjelasan itu tanpa berkata-kata. "Ternyata begitu." Dia duduk di tanah dan berkata dengan perasaan mendalam, "Mengapa bukan putraku sendiri yang menyampaikan hal ini kepadaku" Aku bisa memahami keengganannya, namun kasih sayang seorang ayah tidak terbatas." Air mata Tameyoshi berlinang ketika dia meneruskan, "Tidakkah ... tidakkah dia tahu bahwa kasih sayang seorang ayah bisa melambung lebih tinggi daripada semua ini" Tahun-tahun yang dihabiskannya untuk bermain di pangkuanku setelah dia berpisah dari payudara ibunya, tidakkah dia mengenal setiap sudut hati ini" ... Ah, Yoshitomo itu saja sudah cukup untuk membuatku berduka. Kehidupan kita seperti buih di sungai, namun bukankah kita ayah dan anak, saling terhubung oleh
ikatan dari kehidupan yang lain" Mengapa kau tidak bisa membuka hatimu kepadaku" Aku memang telah gagal, namun aku tidak serendah
itu. Aku tidak mendatangimu untuk merengek-rengek demi keselamatanku. Karena ini telah digariskan oleh para dewa, mengapa kita tidak menghabiskan malam terakhirku bersama-sama, mengenang masa lalu dan membuka hati kita satu sama lain sebelum berpisah?"
Sesudah puas mencurahkan isi hatinya, Tameyoshi duduk lebih tegak di tanah dan menghentikan isakannya, seolah-olah seluruh air matanya telah habis. Dia menenangkan diri, menangkupkan kedua tangannya, dan mengucapkan sebuah doa. Kemudian, dia menoleh kepada Masakiyo dan berbisik dengan nada selembut gemerisik jubah biksunya, "Masakiyo, penggal aku."
Yoshitomo segera menyerahkan kepala ayahnya kepada pihak yang berwenang di Istana. Walaupun kepala Tameyoshi tidak mengalami penghinaan dengan dipamerkan di depan umum, rakyat memberikan kecaman yang lebih tajam kepada Yoshitomo daripada kepada Kiyomori. Kecuali putra bungsunya, anak-anak Tameyoshi yang lain dengan cepat ditangkap dan dihukum mati.
Tametomo, yang berhasil melarikan diri ke Kyushu, akhirnya tertangkap dan dibawa ke ibu kota. Di Kyoto, urat-urat lengannya dipotong sebelum dia menjalani pengasingan di Pulau Oshima di wilayah timur.
o0odwkzo0o Bab XVIII-ALUNAN SERULING
Sesaji berupa dupa, bunga-bungaan, dan tumpukan kecil batu menandai sisi jalan dan jembatan tempat begitu
banyak samurai gugur dalam medan laga. Benda-benda tersebut ditinggalkan di sana oleh rakyat jelata yang tidak ambil bagian dalam pertikaian. Perempuan-perempuan tua yang menggendong bayi di punggung mereka, ibu-ibu rumah tangga yang pulang dari pasar, para perajin tembikar yang berangkat ke ibu kota untuk menjajakan hasil karya mereka, para pedagang tikar anyaman, dan sesekali bahkan para penuntun kereta sapi berhenti untuk mendoakan para pahlawan tanpa nama.
"Sungguh menyedihkan kalian yang menyabung nyawa di sini, dan sungguh mengenaskan pertikaian ini! Bisakah ini dijadikan simbol kebaikan hati manusia" Bagus, bagus!"
Seorang pria kekar yang mengenakan topi anyaman bambu lebar dan jubah biksu compang-camping berdiri di sebuah persimpangan jalan, menggumamkan sesuatu kepada dirinya sendiri sembari mengedarkan pandangan pada bunga-bunga dan dupa-dupa yang ditata di dekat reruntuhan sebuah bangunan. Dia sepertinya berusia awai empat puluhan dan memanggul buntalan seperti yang biasa dibawa oleh seorang pendeta pengelana; dia menopangkan tubuh pada sebatang tongkat; sebuah tasbih melingkari pergelangan tangannya yang berbulu. Kepalanya tidak tercukur dan rambutnya acak-acakan di atas wajahnya yang letih akibat perjalanan panjang; sandal jerami usangnya berlumuran lumpur. Kesan tegas di wajahnya menjadikannya tampak lebih menyeramkan daripada biksu-biksu dari Gunung Hiei. Sementara dia bergerak, dengan cepat menyusuri jalan demi jalan di ibu kota, pemandangan reruntuhan di berbagai tempat sepertinya menyentuh hatinya, sehingga dia pun berdoa dengan khusuk, "Namu Amida-butsu, namu Amida-butsu "."
"Itu dia, si pendeta bersuara nyaring!"
"Si rambut gondrong, oh, si iblis berambut gondrong!"
"Pendeta, Pendeta, kau hendak ke mana?" anak-anak jalanan yang mengenali sosoknya mengolok-oloknya.
Pendeta berjubah compang-camping itu menoleh dan tersenyum dengan tulus, memamerkan mulut merah di tengah-tengah janggut acak-acakannya..
"Pendeta gondrong, berikan kue untuk kami!"
"Kami ingin kue beras!"
"Uang juga boleh!" anak-anak terus-menerus berseru-seru, mengejarnya.
"Aku tidak punya apa-apa sekarang. Lain kali, lain kali."
Si pendeta melambai, berbelok di sudut jalan dengan langkah-langkah panjang.
Sejenak kemudian, dia telah berdiri di depan gerbang kediaman Penasihat Shinzei, tempatnya berhenti untuk mengukur tasbihnya dan berdoa. Kemudian, dengan berani melintasi gerbang, dia bergegas melewati garasi kereta, duduk di teras depan rumah, dan dengan nyaring mengumumkan kedatangannya.
"Ini aku ... Mongaku ... dari Perbukitan Togano-o di wilayah utara ibu kota. Aku datang kemari hari ini dan juga kemarin. Aku harus berbicara kepada Penasihat yang terhormat hari ini juga; ada sesuatu yang harus kusampaikan kepada beliau. Tolong katakan kepada beliau bahwa aku ada di sini."
Suara menggelegar Mongaku terdengar hingga ruangan-ruangan terdalam di bangunan besar itu; beberapa orang pelayan yang ketakutan bergegas menghampiri bilik majikan mereka, dan para pelayan lainnya keluar dari ruangan mereka. Kemudian, tiga orang samurai muda dan
kepala pelayan muncul. Mereka menyapa Mongaku dengan sangat sopan. Kemudian, salah seorang dari mereka berkata, "Sayang sekali, namun saya harus mengabarkan kepada Anda bahwa Tuan terhambat di Istana dan belum pulang. Kami tidak tahu kapan beliau akan pulang, karena beliau sangat sibuk mengurus kepentingan negara."
"Oh" ... Dalam perjalanan kemari, aku singgah di Pangkalan Pengawal, dan catatan di sana menunjukkan bahwa beliau meninggalkan Istana semalam pada jam Ayam (pukul enam). Beliau seharusnya ada di rumah ...
Mengapa beliau menolakku" Bukankah beliau sedang sibuk mengembalikan kedamaian dan menenangkan pikiran rakyat" Aku datang kemari bukan untuk berbasa-basi, melainkan untuk berbagi pikiran dan memberi nasihat Karena itulah aku meminta agar . pesanku disampaikan kepada beliau."
"Ya, ya. Semoga beliau bisa menemui Anda di lain waktu."
"Bukan di lain waktu! Aku memohon untuk
dipertemukan dengan beliau saat ini juga. Hentikan kebohongan ini! Sampaikanlah pesanku kepada beliau sekarang."
"Tetapi, hari ini ... "
"Sekarang ... hari ini! Tidak boleh besok, karena menunda satu hari sama halnya dengan membiarkan lebih banyak nyawa melayang. Atas nama perdamaian ... ini urusan mendesak. Kalau kau menolak, maka aku akan memanggil beliau dari sini."
Mongaku tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda akan beranjak. Menurunkan buntalan pengelananya, dia duduk di tanah.
Penasihat Shinzei dan istrinya. Nyonya Kii, sedang menemui seorang kawan mereka di Paviliun Musim Semi, tempat mereka menikmati sake sementara para juru masak mempersiapkan hidangan istimewa di hadapan mereka.
"Ah ... berisik sekali!" dengus Shinzei dengan kesal sambil melirik ke arah tandu tamunya.
"Aku akan melihat apa yang terjadi," putranya, Naganori, segera bangkit.
Shinzei berbisik ke telinga putranya, "Jika itu Mongaku si pendeta gila yang telah mengirimkan protes tertulis ke Istana, sampaikan saja sebuah cerita kepadanya dan beri dia bingkisan."
Naganori mengangguk-angguk dan keluar ke teras, berdiri dan menunduk kepada Mongaku. "Apakah kau Mongaku si pendeta" Ayahku ada di rumah, namun beliau sedang menemui seorang tamu penting. Beliau sudah membaca protes tertulismu. Tidakkah itu cukup?"
"Siapakah kamu?"
"Aku putra ketiga Penasihat Shinzei."
"Kamu harus memaafkanku ... namun itu tidak cukup.
Sampaikanlah kepada Penasihat Shinzei untuk menemuiku sendiri."
"Kau benar-benar lancang dengan menuntut Penasihat Shinzei untuk menemuimu."
"Tidak juga. Aku sudah datang kemari selama tiga hari berturut-turut dan tidak akan ada masalah jika beliau mau menemuiku. Terlebih lagi, bukan urusan pribadi yang membawaku kemari; beliau harus menyisihkan waktunya untukku jika aku datang untuk mengatakan kepada beliau tentang kekhawatiranku terhadap masyarakat"
"Sudah banyak tamu sepertimu yang datang kemari, dan aku yakin bahwa ayahku telah sering mendengar nasihat semacam itu."
"Diam! Mongaku tidak seenaknya mendatangi rumah-rumah mewah karena sinting. Siang dan malam, para tahanan diseret dari penjara dan menjalani pemenggalan di tepi sungai!"
"Tolong, pelan-pelan! Kau mengganggu tamu kami."
"Betulkah" Kalau begitu, Shinzei juga bisa mendengarku dari biliknya. Baiklah, aku akan bicara dengannya dari sini.
Jika dia sedang menemui tamu, maka tamunya juga akan mendengar apa yang harus kukatakan."
Mongaku tiba-tiba berdiri dan menarik napas dalam-dalam. Suara yang pernah menggelegar melampaui gemuruh Air Terjun Nachi selama lebih dari sepuluh tahun, kini tampaknya menggetarkan setiap rangka di kediaman mewah Shinzei:
"Hei, kamu, tuan rumah di sini! Ini adalah peringatan dari surga, bukan sekadar gosip murahan dari pasar.
Hukuman matimu yang kejam telah menghasilkan enam putaran neraka di dunia ini. Kau telah memerintahkan seorang keponakan menghabisi nyawa pamannya dengan pedang; saudara melawan saudara; seorang ayah muda memenggal ayahnya sendiri. Binatang terpandir sekalipun tidak sekeji kepada sesamanya!"
"Dengarlah lebih jauh lagi: semakin banyak hari yang kauhabiskan I untuk berbicara di depan para penasihat Istana, semakin banyak nyawa melayang. Kau telah memaksa Yoshitomo mengirim kepala ayahnya, memanggal saudara-saudaranya, dan, masih belum puas, kau memastikan agar istri Tameyoshi yang telah uzur ditenggelamkan, lalu anak-anaknya dan para penghuni
rumahnya dibariskan di jalan dan ditusuk dengan darah dingin hingga mati. Apa kaupikir tidak ada yang membencimu gara-gara kelicikan dan kebengisanmu?"
Naganori dan para pelayan berdiri tanpa bisa berkata-kata menghadapi semburan hujatan yang tidak berkesudahan ini:
"Shinzei memerintahkan agar semua ini dilakukan atas nama Kaisar dan oleh para samurai. Tindakan apakah yang lebih jahat daripada ini" Selama lebih dari tiga ratus tahun, pemerintahan para kaisar kita bebas dari hukuman mati.
Tidak ada perang di ibu kota, dan rakyat dianggap sebagai anak berbakti penguasa. Masa itu telah berlalu sekarang.
Oh, negeri yang mengibakan!"
Butiran-butiran tasbih Mongaku bergemeretak ketika dia mengacung-acungkan tinjunya. Walaupun telah lebih dari sepuluh tahun menjalani siksaan dan pembersihan jiwa, watak asli Morito, si pengawal muda yang selalu berapi-api, hanya sedikit berubah. Luka akibat kisah cinta kelabunya telah nyaris sembuh, namun pencarian panjang terhadap kedamaian jiwa tidak terlalu banyak mengubahnya.
Sekarang, api telah menyala di dalam dirinya; kebrengsekan dan kekotoran para pejabat telah mendorongnya untuk keluar dari keheningan Perbukitan Togano-o, tempatnya bermimpi akan bisa mengembalikan sekte Tendai ke seluruh kemurniannya pada suatu hari nanti, dan tinggal di pondok tua yang pernah dihuni oleh Toba Sojo. Cerita-cerita tentang kebrutalan yang mengikuti Perang Hogen, bagaimanapun, membawanya turun ke ibu kota, dan apa yang dilihatnya di sana membuatnya mengakui bahwa para guru agama dan pencerahan Buddhisme tidak berdaya melawan politik dan kegilaan perang. Tetapi, Mongaku bukan jenis pendeta yang menarik diri dari dunia dan acuh
tak acuh pada perilaku tidak berperikemanusiaan antara sesama manusia atau penderitaan rakyat jelata.
Sementara Mongaku berteriak-teriak di halaman gerbang dalam, dua buah kereta sapi memasuki gerbang luar, dan dua orang pejabat istana muda turun.
"Ada apa ini?" "Seorang biksu kekar menjerit-jerit?"
Fujiwara Tsunemun6, sang pejabat istana, dan seorang bangsawan muda, Nobuyori, berhenti sejenak untuk mendengarkan, lalu memasuki gerbang. Setengah tersembunyi oleh semak-semak di dekat gerbang dalam, mereka menunggu hingga Mongaku pergi.
Tsunemune, yang menghilang ketika perang pecah, muncul kembali di Istana segera setelah konflik berakhir, dan berusaha mengambil hati Perdana Menteri dan Penasihat Shinzei dengan berkunjung dan mengucapkan selamat atas kemenangan mereka.
Tsunemune, walaupun tidak bermoral, memiliki bakat luar biasa dalam hal berbasa-basi dan bergunjing, dipadukan dengan pesona dan kecerdasannya, dia mampu menyenangkan semua orang yang ditemuinya. Saat ini dia sedang menemani Nobuyori, yang menagih janjinya untuk diperkenalkan kepada Penasihat Shinzei. ("Shinzei adalah tokoh yang harus kautemui. Dialah tokoh saat ini. Tidak lama lagi, dia akan mengendalikan seluruh urusan negara.
Orangnya agak menjengkelkan, namun kau harus bertemu dengannya suatu hari nanti.") Shinzei juga telah memerhatikan Nobuyori dan lebih memilih untuk menemui bangsawan muda itu di luar Istana.
Melihat kedatangan kedua tamu tersebut, putra Shinzei yang hendak memerintah pelayannya untuk mengusir
Mongaku, langsung mengambil tindakan sendiri. "Keluar!
Pulanglah!" serunya. "Kau dan tuduhan-tuduhan nistamu!
Sepatah kata lagi darimu dan aku akan menyerahkanmu kepada para prajurit."
Tawa nyaring menyambut kata-kata Naganori. Mongaku tertawa terbahak-bahak. Di tengah-tengah para pelayan yang mengerumuninya, dia berdiri tegak, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, memelototi mereka.


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunggu, tunggu! Angkat tangan kalian! Lebih daripada segalanya, aku membenci kekerasan ... dan bukan kalian yang kutakuti, namun diriku sendiri jika aku lepas kendali!
Nah, tunggu! Biarkan aku mengucapkan sepatah kata lagi untuk majikanmu."
Sorot tajam mata Mongaku berhasil menyingkirkan para calon penangkapnya, dan dia pun melanjutkan semburannya:
"Ya ... Penasihat Shinzei, dengarkanlah dengan rendah hati perkataan Mongaku. Hentikanlah hukuman mati dan siksaan mulai hari ini ... mulai saat ini juga! Akhirilah masa teror ini! Tunjukkanlah belas kasihan kepada musuh-musuhmu, atau pembalasan akan datang ke kepalamu sendiri. ... Walaupun kau berkuasa, apa gunanya jika orang-orang membencimu" Api neraka sendiri akan melalap rumahmu pada suatu hari nanti, dan kau akan dipaksa mendengarkan jeritan memilukan sanak saudaramu. ... jika kau meneruskan hukuman mati yang keji ini, aku sendiri akan datang untuk mengikatmu ke roda api dan mengawalmu ke arena pemenggalan di tepi sungai ". Apa kau mendengarku, Shinzei ... hah?"
"Pendeta kurang ajar! Berani-beraninya kau menghina Kaisar?"
Para pelayan Shinzei menusuk-nusuk kaki Mongaku dengan tombak mereka. Mongaku, melompat-lompat untuk menghindari serangan. Ketika para penyerangnya melihat ini, mereka menubruk Mongaku, menjepit lengannya dan memegangi kakinya, sehingga Mongaku, yang kewalahan, tidak sanggup lagi melawan. Mongaku berbaring diam tanpa mengatakan apa-apa di bawah para pelayan yang menindihnya, terengah-engah. Ketika melihat bahwa mereka sedang berusaha mengikatnya dengan seutas tali, Mongaku meraung:
"Baiklah, aku akan berdiri," dia pun berusaha bangkit, dengan mudah menepiskan para penyerangnya seolah-olah mereka kurcaci.
"Jangan lepaskan dia," seru beberapa orang prajurit yang menghalangi langkah Mongaku. Mendengar keributan itu, lebih banyak lagi pelayan, dan bahkan para pawang kuda, berlarian ke tempat kejadian. Alih-alih berlari ke gerbang, Mongaku justru melompat ke beranda dan berdiri menantang.
Sebuah jeritan terdengar, "Dia pembunuh ... jangan biarkan dia masuk!"
Mongaku mengulurkan kedua tangannya dan
mencengkeram seorang pelayan dengan masing-masing tangannya, lalu melemparkan keduanya melewati langkan.
Dia menyambar kerah seorang pelayan lain dan membenturkan kepalanya ke tiang terdekat, hingga pria itu menjerit-jerit memohon ampun. Sebuah sekat ambruk dan sebuah kerai jatuh dari jendela. Kediaman mewah itu seolah-olah terguncang-guncang gara-gara keributan yang ditimbulkan oleh Mongaku, dan jeritan para wanita semakin memperkeruh keadaan. Mongaku mendadak muncul kembali di beranda, memanggul buntalannya,
bertumpu pada tongkatnya, dan mengedarkan pandangan untuk mencari jalan keluar.
Ketika dia menghambur ke gerbang dalam, seseorang berseru, "Kau, yang di sana!" Mongaku menyingkir dengan kaku ketika sebuah lembing dilemparkan ke arahnya.
Mongaku menatap waspada ke gerbang luar dan sejumlah pedang dan tombak yang teracung ke arahnya; beberapa kuntum bunga teratai, yang tumbuh di dalam sebuah bejana perunggu di samping gerbang dalam, menarik perhatiannya.
Melemparkan tongkatnya, dia mengangkat tinggi-tinggi bejana berat itu. Air di dalamnya bercipratan dan tumpah ke tanah. Takjub melihat keperkasaan Mongaku, lawan-lawannya mundur dan memerhatikannya. Mongaku berjalan terhuyung-huyung ke arah orang-orang yang menghadangnya di gerbang luar dan, dengan tenaga luar biasa, melemparkan bejana itu sehingga dentangan nyaring logam terdengar. Mongaku tertawa terbahak-bahak melihat para pelayan dan prajurit yang bermandikan air keruh dan bunga teratai. Kemudian, dia cepat-cepat menyelinap ke luar gerbang, masih sambil tertawa nyaring, dan segera menghilang dari pandangan.
Tsunemung dan Nobunori, yang berjongkok di balik semak-semak, terpukau menyaksikan aksi Mongaku.
o0odwkzo0o Lebih dari seratus orang bangsawan dan samurai dihukum penggal, namun tidak ada tanda-tanda bahwa pelaksanaan hukuman mati akan dihentikan. Mayat Yorinaga berhasil digali dan dikenali.
"Seandainya aku masih Morito si pengawal, aku mungkin ditugaskan menggali mayat itu, atau barangkali aku termasuk di antara mereka yang kepalanya dipenggal di
tepi sungai ".Ah, Kesa-Gozen, sayangku, kau memang penjelmaan malaikat pelindungku ". Kesa-Gozen!"
Cinta Mongaku kepada Kesa-Gozen tetap berkobar.
Mongaku telah menanggalkan seluruh cinta yang bersifat fisik dan mengabadikan wanita itu sebagai sosok suci di dalam hatinya. Selama lebih dari sepuluh tahun, dia berusaha menebus dosa-dosanya dengan menjalani siksaan yang hanya bisa ditanggung oleh segelintir manusia. Saat ini dia duduk di tepi Sungai Kamo, di samping sebuah api unggun kecil yang dinyalakannya di bawah langit berbintang di bulan Agustus. Seorang diri ... namun tidak sepenuhnya sendirian, karena jiwa Kesa-Gozen mendampinginya. Mengambil kuas dan tinta dari dalam buntalannya, Mongaku menuliskan doa-doa di bebatuan di sekelilingnya, doa-doa bagi mereka yang gugur di medan perang. Dia berharap agar para pejalan kaki yang melihat bebatuan ini ... sepuluh ribu orang, sumpahnya, akan meneruskan doanya ... akan berhenti dan dengan khusuk menambahkan doa-doa mereka kepada para pahlawan yang telah gugur.
Selama tiga hari dia bersembunyi karena mendengar bahwa Penasihat Shinzei telah memerintahkan penangkapannya. Sembari memunguti batu demi batu, dia sesekali menuliskan nama mendiang temannya di samping sebuah doa ".Ah, kehidupan, karma ... segala sesuatu yang tampak pasti mengalami perubahan. Bagaimanakah manusia bisa melarikan diri dari karma"
?" Masih banyak. Sisanya harus menunggu hingga besok malam," gumam Mongaku, memasukkan alat-alat tulisnya ke dalam buntalan. Dia membasuh wajahnya dengan air sungai dan bersiap-siap pergi, ketika dilihatnya seseorang yang berpenampilan suram menghampirinya.
Mongaku naik ke tanggul di bawah fajar yang mulai
merekah. Sosok diam itu mengikutinya. Mongaku menoleh kepada sosok yang menyerupai hantu itu. Dia berperawakan kecil dan berpenampilan dekil. Seorang mata-mata" Mongaku berjalan, dan sosok itu membuntutinya.
"Aku berterima kasih dari lubuk hatiku yang terdalam
".Ada banyak jiwa yang melayang tanpa ratapan di tepi sungai ini, dan tidak ada tempat yang mereka tuju selain surga". Aku berterima kasih untuk kepedihanmu." Sambil mengulang-ulang ucapan terima kasihnya, sosok kecil yang aneh itu berjalan dengan ceria dan mengejar Mongaku.
"Apakah kau salah satu penduduk di dekat sini?" "Tidak
"." "Mengapa kau berterima kasih kepadaku?"
"Kita memiliki perasaan yang sama. Tidak ada yang lebih membahagiakanku daripada menemukan orang lain yang bisa berbagi perasaan denganku."
"Oh" Kalau begitu, apakah dirimu salah seorang yang terancam hukuman?"
"Barangkali. Atau seseorang yang sejenis."
"Aku harus menanyakan sesuatu kepadamu. Apakah kau bisa mendermakan sebagian uangmu padaku?"
"Maaf, tapi aku tidak membawa uang sekarang. Kau boleh memiliki apa pun yang kumiliki, kecuali kehidupanku."
Mongaku tertawa, "Kau akan memberikan segala yang kaumiliki kepadaku ... " lalu terdiam untuk mengamati sosok bertelanjang kaki itu di bawah cahaya fajar. Seorang pengemis, pikirnya, jika dilihat dari kimono dan celananya yang compang-camping. Dia tidak mengenakan topi, dan
rambutnya gimbal. "Aku enggan meminta apa pun kepadamu, untuk saat ini ... **
"Jangan, kumohon, katakan saja kepadaku. Jika ada yang bisa kulakukan untukmu, aku akan menghabiskan hariku dengan bermakna."
"Tidak banyak ... hanya sedikit makanan. Sejujurnya, aku belum makan apa pun sejak kemarin pagi."
"Ah, makanan, ya?" Pria kecil itu tampak bingung, lalu dengan nada menyesal berkata, "Aku harus mengakui bahwa aku tidak punya atap untuk berlindung sejak perang pecah, dan aku tidak tahu di mana aku akan mendapatkan makanan pagi ini. Aku menjaga kesehatan jiwa dan ragaku dengan meminta-minta " tapi, aku yakin akan bisa menemukan sesuatu untukmu nanti. Maukah kau menunggu hingga aku kembali di dekat sumur di reruntuhan Istana Mata Air Dedalu?"
Mongaku menyesal dan cepat-cepat menarik kembali permintaannya, namun pria kecil itu telah berlari dengan ceria menyusuri jalan dan berbelok di persimpangan.
Mongaku segera berangkat ke reruntuhan Istana Mata Air Dedalu. Tempat itu sepertinya bisa menjadi tempat persembunyian yang bagus, karena dia tidak bisa kembali ke pertapaannya di perbukitan dan sangat kesulitan mencari tempat untuk tidur. Setibanya di Istana Mata Air Dedalu, dia tidak menemukan sedikit pun sisa-sisa keindahan tempat itu ... pecahan ubin dan batang-batang pohon berserakan di mana-mana. Sampah dan bangkai-bangkai burung mengambang di permukaan kolam yang keasriannya pernah termahsyur. Bagaimanapun, dia melihat bahwa pekarangan di sekeliling Mata Air Dedalu telah disapu dan dibersihkan, dan pecahan papan ditata di sekeliling sumur untuk menjaga agar dedaunan yang tertiup
angin tidak jatuh ke sana. Khawatir akan mengotori tempat itu, Mongaku menepi ke bawah pepohonan dan melihat sebuah gubuk yang dibangun dari bilah-bilah papan yang telah menghitam. Dia menurunkan buntalannya dan menggelar tikarnya untuk tidur. Sepertinya dia terlelap selama beberapa waktu, karena seseorang tiba-tiba mengguncang tubuhnya.
"Bangunlah, Tuan. Bangunlah, Tuan."
Mongaku membuka mata. Matahari telah tinggi. Si pria kedi telah kembali. Dia menata bilah-bilah papan untuk dijadikan meja dan menyajikan hidangan yang terdiri atas nasi, ikan asin, acar, dan sedikit pasta kacang-kacangan di atas daun ek dan keladi.
"Bagus, Tuan. Makanan telah siap. Bagaimana jika kau bangun dan mulai makan?" kata pria itu, membungkuk dalam-dalam kepada Mongaku.
Mongaku menatap heran kepada sosok yang sedang membungkuk dengan penuh hormat kepadanya, lalu pada makanan yang disajikan di atas daun, dan air matanya seketika merebak. "Ini ... kau mendapatkan semua ini dengan meminta-minta?"
"Aku tidak akan berbohong. Itulah tepatnya yang kulakukan ... tapi, semua makanan ini bersih. Orang-orang termiskin, yang kesulitan memenuhi kebutuhan mereka sendiri, bersedia membagi sedikit makanan yang mereka miliki kepada si pengemis ini, yang merapalkan satu ayat pun kesulitan. Yang harus kulakukan hanyalah mengetuk setiap pintu dengan tangan terlipat Penghargaan yang cukup bagiku jika dirimu, seorang pria suci, mau menyantap hidangan ini, dan aku yakin bahwa orang-orang yang memberikan makanan ini kepadaku akan merasakan hal yang sama, jika mereka tahu. Kumohon, makanlah."
Mongaku duduk diam dengan mulut terkatup rapat; akhirnya, dia mengangkat sepasang sumpit dan berkata,
"Terima kasih. Tetapi, kau juga tidak memiliki makanan.
Aku yakin, kau belum makan sedikit pun hari ini. Kau harus menyantap hidangan ini bersamaku."
Pria kecil itu menggeleng, namun akhirnya mengalah, dan keduanya perlahan-lahan menghabiskan makanan itu.
"Asatori ... Asatori si juru kuna!"
Seorang gadis pelayan muncul membawa sebuah ember kayu.
"Kaukah itu.Yomogi" Kau memerlukan air?"
"Ya, aku datang lagi untuk meminta air dari sumurmu.
Orang-orang tidak mau memberi air kepada siapa pun yang dekat dengan majikanku, Nyonya Tokiwa. Beberapa orang malah melempari rumah kami dengan batu selagi lewat"
"Tunggu, biar aku saja yang mengambilkan air untukmu," seru Asatori, segera berlari menghampiri gadis itu.
Ada banyak cerita yang terdengar mengenai para prajurit yang membuang berbagai macam sampah ke dalam sumur, atau bahkan mayat Sumur di rumah si gadis adalah salah satu yang tidak bisa dimanfaatkan lagi, sehingga dia harus mencari air ke tempat lain. Mongaku pernah mendengar bahwa Tokiwa adalah gundik Yoshitomo, dan bahwa orang-orang memperlakukan Yoshitomo dengan jahat Sejak hari itu, Mongaku tinggal bersama Asatori di gubuk kecilnya, berbagi kehidupan aneh sebagai peminta-minta. Keduanya kerap duduk di bawah cahaya bulan di reruntuhan Istana, merenungkan serba-serbi kehidupan di sekeliling mereka dalam keheningan yang tidak tersentuh oleh alunan musik dan kemeriahan.
Asatori pergi mengemis pada siang hari, dan Mongaku pada malam hari.
Pada suatu malam, Mongaku pulang lebih cepat dengan membawa seguci sake dan menyampaikan bahwa dia telah memutuskan untuk pergi ke perbukitan di wilayah Air Terjun Nachi. Sake itu, yang didapatkannya dari kenalannya di sebuah kuil, dibawanya untuk pesta perpisahan mereka. Dia berterima kasih untuk kebaikan Asatori, mengatakan bahwa malam ini adalah gilirannya untuk menjamu Asatori.
Asatori kecewa ketika mendengar kabar itu. Dia memprotes, "Tapi, ini terlalu berlebihan untuk orang seperti aku," namun dia terus menenggak secangkir demi secangkir sake hingga cukup mabuk.
"Ah ... aku benar-benar tersanjung. Mongaku yang baik, jika kita diberi kesempatan untuk bertemu lagi, kuharap tempatnya tidak di tengah reruntuhan seperti ini, dan aku akan mendengarkan baik-baik ceramah agamamu."
"Ah, Asatori, kau tidak perlu mendengarkan khotbahku.
Pengabdianmu dalam menjaga Mata Air Dedalu telah membahagiakanku. Kau merebut kekagumanku dengan kesetiaanmu dalam menjalankan tugasmu walaupun majikanmu telah pergi. Sungguh senang hatiku saat mengetahui bahwa orang sepertimu ternyata ada di dunia ini."
"Oh, tidak, pekerjaan ini memang cocok untuk seorang bodoh sepertiku. Dalam masa susah ini, aku tidak sedikit pun berminat untuk bermain musik seperti yang pernah diajarkan oleh ayahku."
"Jika semua masalah ini telah berakhir, para bangsawan di rumah mewah mereka dan para pejabat istana akan melanjutkan kebiasaan mereka berpesta setiap malam
dengan diiringi musik, dan jika kau kembali menjadi pemain musik di istana, betapa indah dan mudahnya kehidupanmu nanti!"
"Aku sudah muak menjadi peliharaan para bangsawan.
Jika permainan seruling dan bangsiku benar-benar menghibur mereka.
maka aku akan dengan senang hati tampil di hadapan mereka dan bersedia disebut sebagai pemain musik; tapi, itu jarang terjadi karena di tengah seluruh pesta dan kemeriahan itu, aku terlalu sering melihat persaingan, kedengkian, dan intrik-intrik yang mengenaskan."
"Ya, aku bisa memahami bagaimana para pemain musik menjadi orang luar yang menyaksikan para penguasa mabuk-mabukan dan bersikap tidak masuk akal."
"Ayahku sering bercerita tentang pekerjaannya sebagai pemain musik dan tugasnya mengiringi para geisha genit menghibur para pejabat istana."
"Maksudmu, kau lebih memilih untuk hidup miskin dengan menjaga mata air ini" Aku setuju denganmu dalam hal ini. Kau sebaiknya memanfaatkan bakatmu untuk menolong rakyat jelata."
"Aku ragu apakah musik yang biasa kumainkan di Istana bisa menghibur rakyat kecil Tapi, tentunya ada cara untuk menjadikan harmoni itu cocok bagi mereka."
"Ayolah, Asatori, tidak maukah kau memainkan sesuatu untukku dengan serulingmu itu?"
Permintaan Mongaku mengingatkan Asatori pada janji Mantan Kaisar yang belum terpenuhi, dan dia menjawab,
"Maafkan aku karena menolakmu. Ada sangat banyak kenangan menyedihkan yang ditimbulkan oleh serulingku, dan aku tidak bisa memainkannya tanpa menangis. Suasana
ceria yang dihadirkan oleh sake ini akan lenyap, dan yang akan tersisa hanyalah perasaan kesepianku."
Mongaku tidak mendesak Asatori. Ada bunyi-bunyian manis lain yang bisa menenangkan pikiran dan telinganya, karena di sekelilingnya, di rerumputan di antara reruntuhan, jangkrik-jangkrik mengerik, mendering, dan mengetuk-ngetuk. Bulan menggantung tinggi di langit malam di atas mereka.
"Apakah ini akhir dari pertikaian?"
"Kurasa tidak."
"Kau yakin bahwa perang akan pecah lagi?" Asatori bergidik.
"Perang akan terus terjadi hingga manusia belajar untuk menghilangkan keserakahan dan kecurigaan dari hati mereka," jawab Mongaku. "Selama anak masih meragukan ayah mereka, dan ayah meragukan anak mereka, tidak ada yang bisa menghentikan sanak saudara menjadi musuh bebuyutan. Selama majikan, pelayan, dan teman-teman tidak saling memercayai, maka tanpa pertumpahan darah sekalipun, kehidupan di dunia ini akan menjadi neraka. Di perang terakhir ini, api neraka sendiri akan menjangkau kita."
"Kelihatannya perang sudah berakhir."
"Tidak, ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Kekejian Penasihat Shinzei adalah jaminan bagi datangnya masa depan yang lebih buruk. Kau akan melihat sendiri bagaimana iblis menghantui ibu kota ini.
Pikiran itu membuatku ketakutan."
"Apakah penyebab utama semua ini adalah kejahatan Shinzei?"
"Penyebabnya lebih jauh dan dalam, dan bukan Shinzei seoranglah yang bertanggung jawab. Kejahatan juga ada di dalam diriku ... di dalam dirimu."
"Di dalam diriku ... dirimu?"
"Ketahuilah, Asatori ... manusia adalah makhluk yang paling menyusahkan. Misalkan saja seseorang datang dan menumpahkan sake yang sedang kita nikmati ini. Apakah menurutmu kita akan diam saja" Atau, bagaimana jika seseorang merampas seruling berhargamu, bukankah kau akan berusaha merebutnya kembali" Kita berdua adalah manusia sebatang kara yang tidak terikat pada keluarga, namun jika bukan begitu keadaannya, kita akan menjadi korban cinta buta, dan dalam kebutaan itu, siapa yang mengetahui apa yang akan kita lakukan" Kalaupun kita bebas dari segala ikatan, diri kita masih bisa dihancurkan oleh hawa nafsu dan kecintaan kepada diri sendiri.
Tidakkah ajaran Buddha mengatakan bahwa manusia bisa menjadi dewa ataupun iblis secara bergantian, bahwa manusia adalah makhluk berbahaya yang tak henti-hentinya terjepit di antara kebaikan dan kejahatan"
Pangeran atau rakyat jelata sama
benarnya, mereka yang hidup dalam kelebihan atau kekurangan ... dan dunia terdiri dari keduanya. Tidak heran jika satu kali salah langkah bisa berujung pada pertumpahan darah."
"Apakah jika semua manusia jahat, berarti tidak ada seorang pun yang baik?"
"Dunia akan aman jika semua manusia menganggap diri mereka jahat. Aku harus mengatakan bahwa aku juga jahat, dan bahwa aku bisa dengan mudah membiarkan perasaanku menghanyutkanku."
"Apakah ini berarti kita dikuasai oleh kekuatan jahat?"
"Tidak diragukan lagi. Tetapi, kekuasaan adalah racun yang lebih mematikan. Daya tarik kekuasaan bagi manusia merupakan sebuah misteri. Siapa pun yang pernah mengecap tampuk kekuasaan tidak akan bisa menghindar dari menciptakan sengketa atau membiarkan dirinya hanyut di dalamnya. Bukankah kita sudah melihat sendiri bagaimana para tokoh terbesar dan wanita tercantik sekalipun, atau bahkan seorang kaisar yang berumur tiga tahun, menjadi boneka dalam perebutan kekuasaan ini" ...
Bahkan orang-orang suci di gunung mereka yang menggembar-gemborkan tentang penebusan dosa tidak terbebas dari keserakahan terhadap gelar dan kekuasaan.
Tidak, bahkan para geisha di Eguchi dan pedagang di pasar, atau para pengemis ". Kita memang makhluk yang betul-betul menyusahkan!"
Mongaku, terhanyut dalam renungannya mengenai kebodohan manusia, tanpa sadar menenggak bercangkir-cangkir sake yang dibawakannya untuk temannya. Asatori mendengarkannya sambil lalu. Berbagai hal yang disampaikan dengan menggebu-gebu oleh Mongaku sepertinya tidak bisa ditemukannya di dalam dirinya sendiri. Renungan Mongaku terdengar seperti pengakuan seseorang yang tak henti-hentinya bergulat dengan iblis-iblis di dalam dirinya.
Keduanya segera tertidur. Ketika malam telah setengah berlalu, Mongaku terbangun dan mempersiapkan keberangkatannya. Memanggul buntalan dan membawa tongkatnya, dia berjalan menuju sungai, menyeberanginya selagi permukaannya masih dangkal, dan
menghilang dalam kegelapan. Asatori menyertai temannya hingga tiba di tepi sungai dan menyaksikannya menjauh sebelum kembali ke reruntuhan Istana. Ketika berbelok menuju salah satu jalan raya, Asatori melihat arak-
arakan panjang penunggang kuda dengan obor-obor menyala mendekat ke arahnya. Merasakan nyalinya menciut, Asatori berlari kembali ke gubuknya dan bersembunyi, gemetar. Tetapi, dia tidak bisa tidur kembali karena tersiksa oleh kegelisahan. Dia telah berhari-hari memikirkan Mantan Kaisar dan kelanjutan nasibnya. Ke mana pun dia pergi meminta-minta, didengarnya desas-desus bahwa pihak yang berwenang sedang bersiap-siap untuk mengurus Mantan Kaisar; bahwa Kaisar tidak bisa lagi menahan dan menghukum saudaranya, Sutoku, yang telah menjalani penahbisan dan menyepi di Kuil Ninna-ji, atau bahwa Kaisar akan memindahkan Sutoku ke sebuah kuil yang lebih jauh dari ibu kota. Ada pula rumor yang mengatakan bahwa pertemuan rahasia para pejabat tinggi telah diselenggarakan untuk memutuskan nasib Sutoku.
Asatori tiba-tiba menegakkan badan. Mungkinkah arak-arakan itu menuju Kuil Ninna-ji" Dia memandang bintang-bintang di langit menjelang pagi, lalu bergegas bangkit dan berlari ke jalan. Dia melewati jalan pintas di belakang Akademi dan tiba di ruas jalan raya lain, tempatnya melihat arak-arakan yang sama, yang menyerupai kaki seribu berpendar, merayap melewati gerbang kota menuju Kuil Ninna-ji di utara.
o0odwkzo0o Sehari sebelumnya, utusan Kaisar tiba di Kuil Ninna-ji dan menemui Mantan Kaisar, Sutoku, untuk mengatakan,
"Saya hendak menyampaikan perintah dari Kaisar. Besok, tanggal 23, Anda akan diberangkatkan ke Sanuki. Anda hanya memiliki waktu semalam untuk menyelesaikan urusan Anda dan mengucapkan selamat tinggal. Anda harus menunggu kedatangan para pengawal Anda."
Pengasingan! Hati Sutoku mencelus ketika dia mendengar kata itu. Pengasingan di seberang laut! Sutoku
memohon agar diizinkan untuk berbicara dengan Kepala Biara. Pada tengah malam, Kepala Biara datang, dan Sutoku mencurahkan kerisauannya akan nasib putranya.
Dia juga memohon kepada Kepala Biara untuk mendatangkan Pangeran ke biara dan melakukan penahbisan kepadanya. Tergerak oleh kata-kata mengharukan Sutoku, Kepala Biara menyetujui permohonannya.
Tiga orang wanita bangsawan, pengiring yang masih diizinkan oleh Sutoku untuk mengabdi kepadanya, belum rampung mempersiapkan kepergian mereka ketika ringkikan kuda, teriakan para pawang dan prajurit, dan derak roda kereta terdengar di luar gerbang. Obor-obor kayu pinus berasap menerangi pagi buta itu dengan nyala terang benderang. Gerbang-gerbang terbuka dan kesibukan para biksu segera terlihat. Seberkas demi seberkas cahaya pucat terlihat begitu lilin-lilin dinyalakan. Dua orang samurai tiba di bilik Sutoku, mengatakan bahwa mereka adalah pengawalnya dan akan membawanya ke kereta yang telah menunggu. Di bawah temaram fajar, para biksu, pria dan wanita pelayan, dan buruh tani yang mengerjakan tanah milik kuil berbaris di jalan masuk dan memadati gerbang untuk menyampaikan rasa duka. Di antara mereka, berdirilah Asatori, yang melongok agar bisa melihat majikannya untuk terakhir kalinya. Tetapi. Sutoku tidak terlihat oleh Asatori karena jendela-jendela keretanya ditutupi kayu. Sementara arak-arakan samurai dan petugas menjauh, para penonton membubarkan diri sehingga hanya Asatori seorang yang tersisa, memandangi punggung para penunggang kuda. Kemudian, Asatori mengejar mereka, tersuruk-suruk di belakang arak-arakan.
Untuk menghindari ibu kota, arak-arakan tersebut melewati jalan becek di sisi barat, melewati Gerbang
Rashomon, dan berbelok ke selatan, di dekat Fukumi dan Kuil Anrakuju-in. tempat Sungai Kamo dan Sungai Katsura bertemu dan membentuk Sungai Yodo. Seluruh ibu kota masih tertidur lelap pagi itu.
Tiga buah perahu tertambat di dermaga di Yodo.
"Mereka terlambat Mereka seharusnya sudah tiba sejak tadi," gerutu seorang samurai yang mengawal Gubernur Sanuki.
"Mereka datang," seru seorang nakhoda
. "Di mana" Aku tidak melihat mereka."
"Tidakkah kau melihat para nelayan berseru-seru senang?"
Sejenak kemudian, dua buah kereta yang diapit oleh samurai-samurai berkuda tiba. Gubernur menyambut mereka. "Kalian datang lebih lambat daripada waktu yang telah disepakati. Ini merisaukan kami, yang mengandalkan pergerakan kami pada pasang surut air dan embusan angin.
Pastikan agar rombongan ini langsung berangkat"
Para nakhoda dan awak perahu bergegas mengatur kemudi, melonggarkan tali-tali, dan saling meneriakkan perintah di tengah deru angin pagi. Salah seorang pengawal Sutoku sepertinya sedang terlibat dalam perdebatan panas dengan sang gubernur.
"Sekitar tiga ratus orang pengiring, katamu?"
"Lagi pula, beliau bukan tahanan biasa."
"Walaupun begitu ... banyak sekali. Hanya ada ruang untuk beliau dan tiga orang pelayan."
"Mungkin saja, tapi kami diperintahkan untuk mengawal beliau. Berapakah perahu yang telah Anda siapkan?"
"Seperti yang kaulihat sendiri ... satu untuk si tahanan dan pelayannya. Dua untuk para petugas dan prajurit Mustahil untuk membawa tiga ratus orang. Kami bisa membawa dua puluh orang ... tidak lebih. Tidak ada ruang lagi."
Perdebatan semakin panas, dan akhirnya disepakati bahwa dua puluh orang samurai akan menyertai Sutoku; kedua pengawalnya kemudian berpamitan dengan Sutoku di sana. Tiga orang pengiring Sutoku masuk terlebih dahulu ke perahu, diikuti oleh majikan mereka. Kabin sempit itu dilengkapi dengan dua buah jendela kecil dan hanya sehelai tikar kasar di lantainya. Di dalam kabin, udara lembap dan berbau apak, dan serangga-serangga menjijikkan merayap ke sana kemari. Sang gubernur, yang perahunya telah lebih dahulu berangkat, berseru, "Kunci pintu kabinnya, kita berangkat!"
Teriakan tiba-tiba terdengar ketika seorang nakhoda menemukan seorang pria aneh bertubuh kecil bersembunyi di antara sebuah lemari geladak dan kabin, dan menyeretnya keluar dengan mencengkeram tengkuknya. Si nakhoda, setelah mengamati pria itu lekat-lekat, menghardiknya, "Dasar pengemis sungai! Apa maksudmu dengan menyelinap kemari dan bersembunyi" Apa kau peri sungai" Pasti begitu ... kau memang makhluk sungai!" Si nakhoda pun melempar pria itu ke sungai. Orang-orang di kedua perahu lainnya bersorak sorai dan tertawa terbahak-bahak menyaksikan adegan ini. Mendengar ceburan, Sutoku mengintip dari jendela dan melihat Asatori menggapai-gapai di permukaan sungai. Asatori meneriakkan sesuatu, namun arus sungai yang deras menjerat dan menyeretnya.
Perjalanan laut yang berat itu berakhir pada 15 Agustus, ketika ketiga perahu nelayan kecil tersebut tiba di pesisir
timur laut Pulau Shikoku di dekat Sakad6. Sutoku dan ketiga pelayannya disambut oleh sipir mereka, seorang petugas baik hati yang membawa mereka ke sebuah kuil di wilayah perbukitan. Di sana, Sutoku tinggal selama tiga tahun hingga dipindahkan ke tempat yang lebih jauh lagi, di tengah perbukitan wilayah selatan.
Di antara penduduk ibu kota yang bersedih mendengar kepergian mendadak Sutoku adalah Saigyo, si biksu penyair (Sato Yoshikiyo), yang telah dengan cerdik berhasil mengirim sebuah puisi kepada Sutoku di tempat pengasingannya melalui sipirnya yang baik hati.
Pada suatu malam musim gugur, Sutoku meletakkan kuasnya dan berbicara kepada salah seorang pengiringnya:
"Aku mendengarnya malam ini, dan sepertinya aku mendengarnya lagi ... mustahil jika aku hanya membayangkannya. Apakah kau juga mendengarnya?"
Bunyi itu terdengar lagi ... tidak salah lagi, alunan seruling ... dan sepertinya mendekati mereka.
"Apakah kau mengenal seseorang di daerah ini yang pintar bermain seruling" Aku bertanya-tanya, siapakah dia?"
"Musik yang sungguh indah!"
"Keluarlah diam-diam untuk mencari tahu. Pasti seseorang telah melihat nyala lilin ini ".Tidak mungkin jika dia salah seorang pengawal."
Wanita itu menyelinap keluar dan berlari ke pos pengawal, lalu mengetuk pintunya dengan lembut. Seorang pengawal keluar, dan wanita itu bercerita tentang apa yang didengarnya. Si pengawal mendengarkan dengan penuh perhatian dan menjanjikan kepadanya untuk
mempertemukannya dengan si pemain seruling misterius itu, ketika seorang peziarah muda tiba-tiba muncul, membawa sebuah seruling. Pemuda itu menjawab pertanyaan yang diberikan kepadanya.
?" Ya, ya. Saya melakukan perjalanan ziarah dari Shikoku dalam dengan harapan bahwa kesempatan akan membawa saya kemari, tempat musik saya akan menenangkan sang Mantan Kaisar yang sedang berada dalam pengasingan. Saya telah sangat lama berdoa agar beliau bisa mendengarkan alunan seruling ini. Nama saya Asatori. Saya berasal dari keluarga pemain musik istana, namun saya meninggalkan pekerjaan saya untuk mengabdi selama bertahun-tahun kepada Yang Mulia sebagai juru kunci Istana Mata Air Dedalu."
Ketika mendengar namanya, sang wanita pengiring, yang telah sering mendengar Sutoku membicarakan tentang Asatori, bergegas menyampaikan kabar itu.
"Asatori" " Jadi, ternyata Asatori yang meniup seruling itu!" seru Sutoku, cepat-cepat keluar ke beranda dan duduk di sana. Beranda itu menjorok di atas sebuah kolam yang ditumbuhi bunga-bunga teratai, dan Asatori, yang dilarang melintasi jembatan lengkung di atasnya, berdiri cukup jauh di antara rerumputan tinggi. Bayangan bulan tampak di permukaan air.
Mereka bertukar pandangan tanpa berkata-kata, dan Sutoku menyesal karena tidak pernah memenuhi janjinya kepada Asatori ... bahwa dia akan mendengarkan permainan serulingnya di bawah cahaya bulan. Tetapi, Asatori tidak melupakannya. Dia telah mengarungi laut yang ganas dan menghadapi bahaya yang tak terhitung banyaknya demi menemukan dirinya. Asatori juga menolongnya di perbukitan ketika dia melarikan diri dari Shirakawa.
Asatori hanya sanggup meneteskan air mata; kemudian, menempelkan serulingnya ke bibir, dia mulai meniup, mencurahkan seluruh hatinya ke dalam nada-nada yang mengalun indah.
Bulan telah tenggelam. Matahari mulai mengintip, dan alunan seruling sudah tidak terdengar lagi. Setelah berpamitan kepada Sutoku, Asatori bertolak dari tempat itu, berulang kali menoleh ke belakang.
Sejauh yang diketahui umum, Asatori adalah satu-satunya orang yang pernah mengunjungi Mantan Kaisar Sutoku di pengasingan. Pada Agustus 1146, Sutoku wafat dalam usia empat puluh enam tahun, dalam keadaan hancur secara jiwa dan raga. Pada awal musim dingin tahun berikutnya, seorang peziarah berdiri di samping sebuah batu nisan di perbukitan Shikoku; dia adalah Saigyo, yang memulai sebuah perjalanan ziarah dari ibu kota pada musim gugur.
o0odwkzo0o Bab XIX-SEBUAH KEDAI TEH DI EGUCHI
Menjelang tengah hari pada akhir November 1159, tiga orang samurai muda memacu kuda mereka di tepi Sungai Yodo. Ilalang layu membentang hingga bermil-mil di sekeliling mereka bagaikan asap yang menggantung rendah, dan sejauh mata memandang, awan gelap bertemu dengan permukaan sungai yang kelabu. Matahari siang itu tampak bagaikan titik terang benderang di langit yang kusam.
"Ho-hoy ... Jiro! Berhentilah berpura-pura kau tahu jalan. Apa kau yakin kau mengambil belokan yang benar?"
"Baiklah, baiklah. Kita baru saja melewati Perbukitan Tenno dan pasti berada di Jalan Raya Yamazaki sekarang.
Kita akan tiba di Akutagawa dengan mengikuti kaki perbukitan."
Tota dan Juro, yang memacu kudanya cukup jauh di belakang Jiro, meledek, "Jiro sepertinya tahu banyak tentang ini, ya" Katamu ini perjalanan pertamamu, tapi kau sudah mengenal jalan ini dengan baik"
"Oh, begitukah" Jadi kau sudah merencanakan ini dan baru terpikir untuk mengajak kami, ya?"
"Kau pembohong, Tota! Bukankah kau yang merengek-rengek terus padaku untuk pergi ke Eguchi dan menghabiskan malam disana dengan menonton para geisha beraksi?"
"Bukan, itu Juro, pemuda kota kita, yang tahu banyak soal geisha!"
"Hei.Tota! Berhati-hatilah dengan perkataanmu!
Juro tergelak. "Sudah, sudah, jangan saling menyalahkan! Jiro sepertinya sama sekali tidak keberatan!"
"Sepertinya salju akan turun lagi sebelum malam tiba.
Mari kita berharap agar salju turun setelah kita tiba di Eguchi."
Para penunggang kuda itu mendadak berhenti untuk mendengarkan lenguhan angsa-angsa liar yang terbang di kejauhan.
Keahlian berkuda mereka menunjukkan bahwa ketiganya, walaupun datang dari ibu kota, adalah samurai yang mengenal baik wilayah timur Jepang. Kecuali Jiro, yang lainnya datang ke ibu kota untuk memenuhi perintah Yoshitomo dan ambil bagian dalam perang di Shirakawa.
Jiro terlambat datang, namun tetap tinggal di Kyoto berdasarkan perintah Jenderal Yoshitomo dan bergabung dalam Pasukan Pengawal Berkuda.
Dua tahun setelah Perang Hogen, banyak perubahan terjadi di Kyoto. Istana Kaisar telah dipugar. Menteri-menteri baru ditempatkan di berbagai departemen, dan undang-undang baru mulai dijalankan. Upacara-upacara tradisional, yang telah diabaikan selama lebih dari seabad, diselenggarakan kembali; Akademi Musik dan pelatihan untuk penari istana dibuka kembali. Pertandingan sumo kembali diadakan di taman Istana seperti sebelumnya, dan nuansa perdamaian telah kembali, ketika tanpa peringatan dan penyebab yang jelas, Kaisar Goshirakawa tiba-tiba digulingkan dari tahtanya dan digantikan oleh Kaisar Nijo.
Mendekati akhir November, ketika kebosanan merundung rentetan kegiatan resmi di Istana, para pengawal mendapatkan cuti secara bergiliran; sekarang adalah giliran ketiga samurai ini, yang telah sangat banyak mendengar tentang kecantikan luar biasa para geisha di Eguchi. Khawatir akan dianggap kampungan oleh rekan-rekan mereka sesama pengawal, mereka membuat rencana untuk semalam di Eguchi, di dekat mulut Sungai Yodo.
Sungai Kamo dan Katsura bertemu beberapa mil di selatan Sungai Yodo membentuk sebuah delta di Naniwa.
Banyak di antara kapal yang membawa muatan untuk Kyoto, perahu nelayan, dan perahu dari timur dan barat yang singgah di Nakiwa, dengan kampung nelayan di tengah padang ilalangnya. Eguchi, yang terletak cukup dekat dengan mulut sungai, adalah sebuah desa yang dipenuhi oleh penginapan, kedai teh, dan rumah bordil.
Para pengunjung dari Kyoto biasanya singgah di Eguchi dalam perjalanan tamasya air, namun ketiga samurai tersebut tidak memiliki waktu untuk bersantai-santai.
"Jadi, inilah Eguchi dan kedai-kedai tehnya!"
"Lebih ramai daripada tempat-tempat lainnya yang kita lewati
"Sekarang, kita harus mencari tempat untuk menginap."
Para samurai itu turun dan menuntun kuda mereka dengan kecewa di sepanjang jalan utama, mengamati setiap rumah yang mereka lewati. Wajah-wajah sepucat bunga bakung mengintip dari balik jendela-jendela berjeruji yang tampaknya hanya seukuran sangkar burung. Sesekali, mereka melihat para geisha di bilik-bilik kecil di balik pagar, berjongkok di dekat tungku-tungku tanah liat, memasak atau mengipasi bara. Semakin jauh mereka melangkah, bagaimanapun, rumah-rumah yang mereka lewati tampak lebih anggun dan mewah. Mereka melihat beberapa orang wanita dengan sanggul berhias bunga krisan musim dingin.
Beberapa wanita lain yang mengenakan topi lebar atau mantel rapat melewati mereka, mendampingi para tamu yang baru saja mendarat. Dari suatu tempat di atas mereka, di lantai kedua sebuah rumah, terdengarlah petikan harpa, dan air yang bergemericik di selokan samar-samar mengeluarkan wewangian.
Menjelang senja, ketiga samurai itu menambatkan kuda mereka di luar sebuah rumah yang lebih menyerupai rumah peristirahatan seorang bangsawan daripada Kedai teh.
Rumah ini terdiri dari beberapa ruangan yang dipisahkan oleh taman-taman kecil. Sebuah beranda berlangkan yang berpemandangan Sungai Yodo menjorok ke luar dari salah satu sisi rumah.
?" Sake, makanan-nah, bagaimana dengan ge.sha"
"Kau harus memintanya secara khusus."
"Bukankah tempat ini lebih mirip dengan rumah seorang samurai "
"Tidak ada gunanya menginap di dekat sebuah keda, teh jika kita harus memikirkan kelakuan kita."
"Tidak ada geisha-apakah kita harus menghibur diri sendm"
"Tunggu, aku akan memeriksanya."
Tota keluar dari kamar mereka dan kembali sejenak kemudian. "Mereka akan datang kemari ... sebentar lagi."
"Datang kemari" Akhirnya ... "
"Gadis-gadis itu tinggal di sayap lain rumah ini bersama si nyonya rumah ... seorang biksuni." "Seorang biksuni, katamu?"
"Sepertinya begitu. Kudengar mereka lumayan memilih-milih tamu mereka. Sepertinya mereka menganggap kita orang terhormat" "Ini payah. Kita tidak akan bisa bersenang-senang." "Jangan buru-buru mengeluh. Kita harus melihat gadis-gadis itu terlebih dahulu."
Para geisha segera muncul dalam balutan kimono melambai berwarna-warni. Perangai, tatanan rambut, dan rias wajah berlebihan mereka mengingatkan para pemuda itu pada gadis-gadis istana.
Perhiasan-perhiasan yang mereka kenakan menunjukkan bahwa para saudagar, yang sering melakukan pertukaran barang dengan para penyelundup dari Cina, merupakan langganan tetap tempat ini.
Juro, yang tertua di antara ketiganya, bertanya,
"Siapakah nama kalian?"
" " Senzai."
?" Kujaku." ?" Ko-Kannon." Alih-alih hanya semalam seperti yang telah mereka rencanakan, samurai itu menginap selama tiga malam. Ko-Kannon sepertinya sangat terpikat pada kepolosan Jiro dan aksen timurnya yang terdengar kuno, dan Jiro menganggap Ko-Kannon sangat memesona. Sementara teman-temannya menghabiskan waktu dengan minum-minum dan bermain dadu, atau menari dan menyanyi dengan iringan kecapi bersama para penghibur lainnya di rumah itu, Jiro menyepi di sebuah bilik mungil bersama Ko-Kannon. Terhanyut oleh sake, Jiro menatap kelopak mata pucat Ko-Kannon dan bertanya,
"Sejak kapankah kau tinggal di Eguchi?" "Sejak tiga tahun terakhir." "Sejak Perang Hogen, kalau begitu?"
"Ya, rumahku terbakar hingga rata dengan tanah,"
jawab Ko Kannon, menurunkan pandangannya. "Ayahku meninggal ketika itu,
dan seluruh keluargaku tercerai berai."
"Oh?" "Aku bangga mengatakannya ... ayahku berpihak kepada Mantan Kaisar dan dipenggal karenanya."
"Jadi, ayahmu adalah seorang pejabat istana" Sungguh kejam, memisahkan seorang gadis muda yang malang dari keluarganya dan menjadikannya seorang wanita penghibur!
Jika ayahmu masih hidup, kau pasti akan menjadi seorang wanita terhormat yang hidup merdeka"
"Jangan katakan itu, kumohon ".Aku bukan satu-satunya orang yang datang kemari setelah perang berakhir.
Ada gadis lain yang berdarah lebih biru, yang telah ... " .
"Bukan sesuatu yang aneh jika banyaknya Pejabat Istana dan jenderal yang terbunuh berdampak pada banyaknya wanita berdosa yang harus menghadapi segala macam Kemalangan, tidak seluruhnya, rupanya, memilih untuk menjadi biksuni.
Tidak seluruhnya, tentu saja. karena Ibu kami di sini, begitulah kami memanggilnya, menikmati kehidupan semacam itu dan memilih untuk datang ke Eguchi. Tidak semua rumah disini, seperti kelihatannya, dan tidak semua penghibur di sini pelacur biasa.
Jiro yang telah banyak mendengar tentang wanita-wanita penghibur termahsyur dari Eguchi ketika masih tinggal ditimur, menatap Ko-Kannon dengan kagum.
"Tentunya ada banyak pejabat istana dan pria terhormat yang datang kemari. Apakah yang mendorong kalian untuk menerima kami, samurai-samurai dan timur ini. dengan penuh kehangatan"
Ko-Kannon tersenyum ketika mendengar pertanyaan Jiro.
"Kami sudah tidak punya rasa hormat lagi untuk para bangsawan yang wangi dan rapi-para menteri dan pejabat tinggi itu. Tidak terkatakan lagi kemuakan kami, setelah beberapa waktu, saat harus menghibur mereka. Di mata kami. para saudagar ceria dan penuh senyuman yang telah mengarungi lautan dan kalian para samurai muda. lebih terlihat seperti pria sejati. Aku tidak tahu alasan tepatnya-dan bukan aku seorang yang berpikir begitu."
"Kita akan pergi besok," kata para samurai muda saat mereka semua berkumpul. "Sekarang adalah malam terakhir kita untuk berpesta. Para wanita di sini memang luar biasa. Kita sebaiknya membiarkan Jiro berduaan
dengan Ko-Kannon agar dia bisa mengucapkan salam perpisahan."
Tetapi, Jiro dan Ko-Kannon hanya saling melempar senyuman senang ketika mendengar ledekan itu. Mereka turut menari dan bermain dadu dengan berisik, sesuatu yang sepertinya tak bosan- bosannya dilakukan oleh Juro dan Tota. Bercangkir-cangkir sake mereka habiskan untuk mengiringi tarian, drama, dan canda tawa mereka.
Menjelang tengah malam, para penghibur mereka mendadak menghilang seorang demi seorang, hingga yang tersisa hanyalah seorang gadis pelayan bermata sayu yang bertugas menuangkan sake.
"Mengapa mereka mendadak lenyap?"
"Mungkinkah mereka hantu-karena mereka pergi begitu saja
Bahkan Ko-Kannon milik Jiro juga meninggalkan tanpa penjelasan-"
"Ada tamu penting yang baru saja tiba dari ibu kota, kurasa."
"Astaga ... aku penasaran, siapakah mereka?" Ketiganya mengintip dari balik cabang pohon yang melengkung di atas sungai dan melihat sebuah perahu berhiasan mewah menepi. Nyala lentera menerangi tepi sungai, dan akhirnya, seorang pria yang mengenakan mantel berburu, ditemani oleh beberapa orang pengiring, berjalan ke arah rumah.
Ko-Kannon, sementara itu. muncul kembali; dia menarik Jiro dan membisikkan sesuatu ke telinganya, lalu keluar lagi.
"Apa katanya, Jiro?" -
"Dia hanya menjelaskan duduk perkaranya, dan meminta maaf, dan menangis."
"Aku diberi tahu bahwa tamu yang baru saja kita lihat itu bukan seorang pelancong biasa, atau saudagar kaya, tapi kerabat dekat dari pemilik rumah ini."
"Apa hubungannya hal itu dengan kita" Kita juga tamu di sini.
"Kau marah" Itu tidak akan berguna."
"Mudah saja berkata begitu, karena kau mendapatkan kenikmatan waktu Ko-Kannon menangis di bahumu, tapi bagaimana dengan kami?"
"Seorang samurai tidak boleh terbakar emosi.Tunggu hingga aKu selesai menjelaskan. Orang-orang yang baru saja tiba itu adalah para pengurus rumah tangga dan pelayan dari Rokuhara. M* Kyomon
sedang melakukan perjalanan ziarah ke Tempat Pemujaan di Kishu dan akan singgah sebentar di sini. Dan datang terlebih dahulu untuk mempersiapkan kedatangannya barang satu atau dua hari lagi."
"Dari Rokuhara!" Tota dan Juro terkesiap dan saling memandang.
Aku pernah mendengar kabar burung tenung perjalanan ziarahnya ini. namun harinya sudah ditetapkan, bukan"
"Itu berarti kita harus pulang ke ibu kota sekarang ,uga.
Kita sudah mendapatkan perintah dari Jenderal Genji Yoshtomo.
"Kita tidak boleh membuang-buang waktu.
Ketiga samurai itu segera bersiap-siap pergi. "Kuda kita apakah sudah disiapkan."
Kuda kalian akan langsung diantarkan kemari.
Sayangnya kami agak sibuk ". Harap sabar sejenak."
jawab seorang pelayan dengan nada menenangkan.
"Tidak, kami tidak marah. Ada urusan mendadak yang mengharuskan kami kembali ke ibu kota sekarang juga ".
Dimanakah istalnya" Kami akan berangkat dan sana. "
"Lewat sini, Tuan-Tuan. Saya akan menunjukkan
,alannya. Ko-Kannon menanti di luar dengan membawa sebuah lentera dan membawa mereka melintasi sebuah kebun, lalu melewat, sebuah gerbang. Istal itu terletak di sebuah lahan kosong di antara rumah an bangunan di sampingnya.
"Tolong jangan lupakan kami. dan datanglah lag., kata Ko-Kannon. ,
"Lain kali. Jiro sebaiknya datang sendirian. Tota dan juro tergelak sambil memasang pelana pada punggung kuda mereka dan bersiap-siap menungganginya. Ketika menoleh, mereka mel.hat bahwa Jiro sedang mengintip dari bali semak-semak. "Apakah itu rumah tetangga kalian?"
"Bukan, di situlah kami tinggal bersama Ibu." "Jiro! Dasar bajingan tukang intip! Ko Kannon, marahi dia! "Tidak apa-apa, cahaya yang di sana berasal dari kamar Ibu.
Kamar kami ada di sisi kebun yang ini."
Tota langsung menyodorkan tali kekangnya ke tangan Juro dan berlari untuk bergabung bersama Jiro. Walaupun udara ketika itu dingin, sebuah kerai terbuka, dan mereka bisa melihat dengan jelas sosok seorang wanita yang duduk di sana. Sulit untuk menentukan umurnya. Lipatan putih kerudung seorang biksuni membingkai wajahnya dengan indah; sepertinya dia berusia awal lima puluhan, lotnya berkilau pucat di bawah cahaya lentera, dan alisnya yang mulas menghadirkan kesan muda pada wajahnya yang


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbingkai kerudung Kimononya yang bernuansa cokelat menjadikan sosoknya semakin mencolok, terutama ketika dia berbicara dengan seseorang vane berada di dekat tiang lentera. Tota dan Jiro langsung mengenali pria yang telah sering mereka lihat di ibu kota itu, dan mereka saling memandang dengan mulut ternganga. Dia adalah adik Kiyomori, Tsunemori, seorang samurai yang setelah Perang Hogen diangkat ke Golongan Kelima.
Malam itu juga. ketiga samurai tersebut berangkat ke Kyoto.
Ketika berhenti di jalan untuk beristirahat, mereka membahas apa yang baru saja terjadi. Juro, yang tidak melihat semua yang dilihat oleh Jiro dan Tota, menambahkan, "Aku tahu bahwa adik Kiyomori dijadwalkan untuk datang mendahului rombongannya, namun siapakah nyonya rumah yang ditemuinya itu" Aku tidak tahu namanya."
Kemudian, mereka berusaha mengingat apakah mereka telan mengatakan sesuatu secara tersirat selama menghabiskan waktu di Eguchi, karena mereka pernah mendengar bahwa nyonya rumah
di penginapan yang mereka tempati memiliki hubungan keluarga dengan Kiyomori.
"Sudah, jangan khawatirkan itu," Jiro meyakinkan teman-temannya.
"Jiro, Ko-Kannon pasti pernah mengatakan sesuatu padamu. Mudah saja kau menyuruh kami untuk tidak khawatir, tapi apa yang membuatmu berkata begitu?" ..
"Aku ingin memercayai ceria Ko-Kannon, tapi aku tetap meragukannya ". " "Nah, itu dia! Ko-Kannon pasti telah mengatakan sesuatu kepadamu."
"Memang dan inilah yang dikatakannya, Ibu mereka memang pernah menjadi geisha di ibu kota, dan dia pernah menjadi gundik Kaisar Shirakawa, julukannya ketika itu adalah Perempuan Gion."
"Perempuan Gion", sepertinya aku pernah mendengar nama itu."
"Kaisar Shirakawa memberikannya pada Heike Tadamori untuk dijadikan isteri. Mereka memiliki beberapa orang putra dan yang tertua adalah Kiyomori. Hanya ada beberapa orang yang mengetahui hal ini, dan Ko-Kannon menyuruhku berjanji untuk tidak menceritakannya kepada siapa pun.
Jiro dan Tota menepuk pelana mereka dan berseru,
"Dari semuanya yang kalian obrolkan !, kita sebaiknya tidak pergi ke Euguchi bersama Jiro lagi. Kita tidak tahu ternyata dia sudah sedekat itu dengan Ko-Kannon. Tapi, dengar, apakah yang dikatakannya itu benar" Ini desas-desus serius tentang seorang tokoh yang berpengaruh."
"Serius mungkin dan tidak terlalu mustahil. Jenderal Yoshitomo sekalipun, kata orang-orang, adalah anak seorang geisha cantik."
"Itu dia. Aku ingat-kisah tentang ayah kandung Kiyomori".
"Omong-omong, kita benar-benar bersenang-senang di Eguchi.
"Ya, tapi seperti apakah suasana ibu kota saat ini"
?Tidak ada gunanya meramalkan hari esok, dan tidak akan berarti jika samurai biasa seperti kita berusaha menebak-nebak. Yang jelas, bagaimanapun, Jenderal Yoshitomo ingin mengetahui tanggal tepat keberangkatan Kiyomori ke
Kumano, dan kita diperintahkan dengan tegas untuk kembali ke ibu kota jika tanggal itu sudah diketahui."
"Lihat, hujan es turun! Mari kita memacu kuda kita agar bisa cepat-cepat menghangatkan diri."
Di belakang mereka, jalan, sawah, dan perbukitan segera tampak memudar.
o0odwkzo0o Bab XX-Perjalanan Ziarah ke Kumano
Tsunemune, sang pejabat istana, lagi-lagi menghabiskan harinya di rumah peristirahatan Wakil Penasihat di pinggir kota. Hampir semua orang di kalangan istana mengetahui tentang kedekatan keduanya, nemun demi menjaga penampilan, Tsunemune memberikan penjelasan bahwa alasan dia sering mengunjungi rumah Nobuyori Fujiwara adalah untuk memberinya pelajaran sepak bola. Siapa pun yang mengetahui bahwa Tsunemune lihai dalam memanfaatkan orang lain demi mendapatkan keinginannya, akan menghindari keterlibatan dengannya; kendati begitu, Tsunemune tidak pernah kehabisan pengikut. Mantan Kaisar Goshirakawa selalu memilihnya sebagai teman bermain sepak bola, dan Kaisar Nijo menyukainya, sementara Nobuyori, sang wakil penasihat, menjadikan Tsunemune kawan sekaligus orang kepercayaan.
"Tsunemune, apakah yang menghalangi Jenderal Narichika dan Penasihat Moronaka?"
"Mereka akan segera tiba. Aku tidak mengetahui apa yang mungkin menghambat mereka, kecuali jika mereka datang terlambat dan terpisah untuk menghindari kecurigaan mengirim pesan kepada Korekata?"
"Pamanku berjanji untuk datang malam ini.Tugasnya di Kepolisian menyibukkannya sepanjang siang."
"Kalau begitu, sebaiknya kita berlatih terlebih dahulu."
"Tidak, aku lelah dan sudah cukup berlatih hari ini. Jika aku terlalu lelah, kepalaku tidak akan jernih untuk mengikuti pembicaraan kita nanti."
Tsunemune dan Nobuyori berada di sebuah lapangan sepak bola, tempat selama beberapa waktu bunyi bola kaki yang disepak terdengar membelah udara musim dingin dengan tajam. Saat ini, mereka sedang beristirahat di bawah sebatang pohon dan berbicara dengan nada rendah.
Beberapa orang pejabat istana yang masih muda semakin sering bertemu di tempat itu dengan kedok menyelenggarakan kontes puisi dan pertandingan sepak bola, walaupun alasan utama pertemuan mereka adalah untuk membicarakan Shinzei.
Selama hampir tiga tahun setelah Perang Hogen berakhir, kekuasaan Shinzei tidak tertandingi lagi. Dia telah berubah dari seorang pejabat biasa menjadi pemegang kekuasaan mutlak, dan wajar saja jika banyak pihak kemudian berseberangan dengannya.
Dalam menegakkan kekuasaannya, Shinzei senantiasa tegas dan menjalankan peraturan dengan tangan besi.
Kendati begitu, terdapat keyakinan yang semakin kuat di kalangan pejabat istana bahwa
jika Shinzei tidak segera disingkirkan, maka entah sampai sejauh apa tangannya akan menjangkau. Bersama berakhirnya pertikaian, Shinzei memastikan agar perdamaian ditegakkan tanpa sedikit pun penundaan.
Reformasi besar-besaran dilakukan berdasarkan arahan darinya. Undang-undang baru yang mengatur pajak daerah dijalankan, dan pelarangan penggunaan senjata di wilayah
kota diberlakukan. Shinzei juga memiliki wewenang untuk menentukan jabatan seseorang dan menetapkan hukuman ataupun penghargaan. Walaupun telah menghadirkan banyak perbaikan, kekuasaan Shinzei tidak bisa diterima begitu saja oleh semua orang, dan sebagian orang juga mempertanyakan kediktatorannya.
Entah tirani yang menciptakan konflik, atau konflik yang munculkan tirani, tidak bisa dipungkiri bahwa seorang penguasa memiliki hak luar biasa atas dirinya sendiri telah terlahir dalam semalam dan menempatkan dirinya sebagai kepala negara. Walaupun Situasi memihak dirinya dan keahliannya tidak bisa dipertanyakan, orang-orang yang membencinya berpendapat bahwa Shinzei mendapatkan kesuksesannya sebagian besar adalah berkat dukungan dari kekuatan militer Kiyomori; alasan itu saja sudah cukup untuk melecutkan kekesalan di hati para samurai Genji.
Kemudian, mulai terdengar rumor bahwa peraturan-peraturan baru dibuat untuk mengukuhkan posisi Shinzei dan para sekutunya.
Pertemuan rutin dan pembicaraan rahasia di rumah peristirahatan Nobuyori menghasilkan sebuah persekongkolan besar untuk menggulingkan Shinzei.
Rencana itu diharapkan dapat dilaksanakan dalam waktu satu atau dua tahun. Menjelang akhir November 1159, bagaimanapun, terdengarlah desas-desus mengenai rencana perjalanan ziarah Kiyomori ke Tempat Pemujaan Kumano, sebuah perjalanan sepanjang tujuh hari dari ibu kota. Desas-desus tersebut membuat orang-orang yang terlibat dalam persekongkolan sepakat; bahwa kesempatan untuk melakukan serangan akhirnya tiba ... sebuah kesempatan yang tidak akan terulang lagi di kemudian hari.
Rumah peristirahatan Nobuyori menjadi tempat pertemuan pada hari sebelumnya, dan kedua pemimpin
persekongkolan in" TsunemunS dan Nobuyori ... telah menyebarkan undangan untuk
pertemuan lanjutan hari ini.
Matahari sore memancarkan sinarnya yang terik ke lapangan sepak bola, tempat lima atau enam orang pria duduk di tanah di dekat gawang. Jenderal Narichika dan Penasihat Moronaka telah bergabung dengan kelompok itu, yang seolah-olah sedang mengobrol tentang sepak bola.
Padahal, mereka membahas sesuatu yang lebih penting.
?".Jadi 4 Desember adalah tanggal kebeningkatan Kiyomori ketempat pemujaan Kumano?"
"Itu sudah pasti karena aku mendengarnya dari sumber yang terpercaya, yang juga sering berkunjung ke Rokuhara," Jawab Jenderal Narichika.
"Tanggal 4-itu berarti, kita hanya memiliki sedikit waktu
.. ? Para penyusun rencana itu tanpa sadar bergidik ketika memikirkan apa yang sedang menanti mereka Sarang sudah tidak ada lagi pertanyaan tentang menunda aou mundur
"Kta memiliki seluruh alasan untuk meyakini bahwa perjalanan Ziarah Itu akan dilaksanakan pada awal musim semi,. Namun perubahan rencana Ini memaksa kha untuk mempercepat persiapan kita. Apa pun Itu, sebaiknya kta meneruskan pembahasan ini didalam rumah."
Mereka pun memasuki rumah; kerai-kerai ditutup dan para penjaga ditempatkan di sepanjang koridor dan lorong untuk mencegah gangguan apa pun. Setelah matahan tenggelamkah paman Nobuyori. Korekata, mantan Panglima Pengawal Golong Kanan, dan pembicaraan pun menjad, lebih mendetail.Sebagai seorang pejabat
Kepolisian. Korekata bertugas menjaga kedamaian dan ketenteraman ibu kota. Wewenang Korekata dan pasukan Genji Yoshitomo, serta para pelaku persekongkolan, adalah perpaduan yang tidak terkalahkan.
o0odwkzo0o Tuan Hidung Merah, pemilik sebuah rumah megah di pintu masuk pasar kota di dekat gerbang menuju Jalan Kelima, adalah orang kaya baru. kata orang-orang. Dia mempekerjakan banyak pembantu ... pria dan wanita ... di gudang-gudangnya, yang penuh berisi gulungan kain.
pewarna kain. sisir, kosmetika, dan wewangian dari Cina.
Tuan Hidung Merah adalah saudagar kesayangan para wanita Istana. Bamboku adalah nama aslinya, namun dia lebih terkenal dengan julukannya karena hidungnya yang sewarna buah stroberi ranum tampak mencolok di pusat wajahnya. Kulit yang tertarik di bagian samping hidungnya
" bekas penyakit cacar yang dideritanya ketika masih kanak-kanak " menyebabkan hidungnya mencuat ke atas.
Namun sesuatu yang akan dianggap merusak penampilan oleh para pria berumur empat puluhan lainnya justru terbukti sebaliknya bagi Bamboku karena hidungnya justru memberikan kesan keramahan yang tulus.
Seandainya dia memiliki hidung bangir tanpa keanehan apapun mungkin perhatian setiap orang akan langsung tertuju pada wajahnya yang berkesan licik. Dia jarang disapa menggunakan nama aslinya lebih sering disebut sebagai Tuan Hidung oleh rekan- rekarmya sesama saudagar, atau bahkan si Hidung Merah atau si Hidung saja
... begitulah, sehingga wajar saja jika orang-orang tidak memedulikan nama aslinya.
"Bamboku, sepertinya kau semakin kaya saja.
"Ah, Yang Terhormat Tsunemune! Apakah Anda sedang berjalan-
"Oh. tidak, aku baru saja bermalam di rumah pensirahatan Wakil Penasihat ... kontes puisi seperti biasanya, kau tahu." "Anda hendak pulang, kalau begitu?"
"Kau sepertinya sudah sibuk sepagi ini. Bagaimana ,.ka kita berbicara di dalam-ada sebuah permintaan yang harus kusampaikan padamu ?" . "
"Tidak perlu meminta maaf ". Nah, silakan, lewat sini.
Bamboku mempersilakan Tsunemune memasuki tokonya dann melewati sebuah lorong sempit, sebuah arena berkuda, dan sederet gudang, menuju sebuah halaman dalam.
"Anda sebenarnya bisa masuk melalui gerbang di halaman.
"Gerbang itu terkunci." Bamboku
"Ah, ternyata saya sangat ceroboh, Hei ?" kata Bamboku ketika melewati kamar tidur istrinya, "Ada tamu, Yang Terhormat Tsunemune," lalu membawa tamunya melewat, perkarangan menuju sebuah ruangan yang bermandikan cahaya matahan pagi yang dingin.
"Kalian para saudagar memiliki rumah-rumah indah ...
cerah dan ceria." "Tidak semuanya, Tuan, tidak seperti kediaman Anda yang cantik."
"Kau salah dalam hal itu. Tradisi, kedudukan sosial, keharusan untuk menjaga penampilan, semua itu memperumit kehidupan kami, sehingga kami semakin jarang bisa melihat matahari. Kaisar dan para wanita istana menghabiskan waktu mereka di dalam ruangan- ruangan
yang berpenerangan lilin. Lebih baik kau tidak bertambah kaya dan membangun rumah yang lebih besar."
"Ah, tidak, Tuan, saya tidak bisa diperhitungkan di kalangan saudagar kaya di Jalan Kelima ini.Walaupuan saya memiliki beberapa ambisi ".Anda tidak perlu mengkhawatirkan saya. Tuan, dan saya tentu saja berharap bahwa Anda bisa terus menjadi pengayom saya."
"Kudengar kau mendapatkan kekayaan yang cukup besar setelah perang usai."
"Begitulah kelihatannya di mata orang-orang, Tuan, walaupun kenyataannya jauh dari itu."
Tsunemune tergelak. "Jangan takut, Bamboku, aku tidak akan memohon utang."
"Tetapi, Tuan, kalaupun Anda meminta sesuatu yang mustahil saya penuhi, saya akan tetap mengusahakannya dengan senang hati."
"Kau hanya berusaha menyenangkan hatiku, bukan?"
"Apa lagikah yang bisa saya lakukan kepada pengayom saya?"
Tepat ketika itu, istri Bamboku yang menawan, yang berusia sekitar dua puluh tahun lebih muda darinya, keluar setelah selesai berdandan.
"Selamat datang, Tuan! Anda tiba pagi sekali di udara yang sedingin ini."
"Wah, wah, Umeno! Bagaimana kabarmu ... baik-baik saja, kuharap?"
Umeno tersipu-sipu malu, dan Bamboku melontarkan tatapan heran kepadanya.
"Sajikan kue-kue yang lezat atau apa ... dan teh herbal?"
kata Bamboku kepada istrinya, yang langsung beranjak dengan malu-malu.
Istri Bamboku, cucu seorang penasihat yang telah kehilangan jabatan, bekerja di rumah Tsunemun6 hingga setahun silam, ketika Tsunemun6 mengatur sebuah perjodohan untuknya. Bamboku, yang pernah menjadi pegawai kecil di Istana ... sebuah pekerjaan yang setidaknya memberikan penghasilan lebih banyak daripada menjadi pengiring seorang pejabat rendahan ... mengundurkan diri sepuluh tahun sebelumnya, membeli sebuah toko kecil di pasar, dan menjadi saudagar. Melalui kenalan-kenalan masa lalunya, dia pun berhasil melakukan bisnis dengan Istana dan para wanitanya. Tsunemung, yang pertama kali bertemu dengan Bamboku di rumah peristirahatan Perdana Menteri, menyukai saudagar jenaka yang selalu berhasil menghiburnya itu. Mendapati bahwa Bamboku ternyata ambisius dan memiliki semangat berapi-api seperti dirinya, Tsunemune pun bersedia menjadi pengayom baginya.
Kemudian, ketika perang berakhir dan terdapat begitu banyak permintaan untuk berbagai macam barang, Tsunemun6 memastikan agar Bamboku dijadikan pemasok bagi bahan-bahan bangunan untuk pembangunan istana baru. Transaksi bisnis ini berujung pada pendirian rumah indah Bamboku dan deretan gudang-gudangnya di mulut Jalan Kelima.
Setelah rumahnya rampung dibangun, Bamboku membutuhkan seorang istri untuk mengurus rumah tangganya. Karena yakin bahwa dirinya adalah keturunan bangsawan, Bamboku berniat mempersunting seorang gadis dari kalangan sosial seorang pejabat istana yang telah lewat masa jayanya. Terlebih lagi, waktu yang dihabiskannya di Istana telah membakar ambisi rahasianya untuk hidup
layaknya seorang pria terhormat, istri yang dikehendaki ternyata disediakan oleh Tsunemune, dan sebagai ucapan terima kasih, Bamboku langsung mengangkat Tsunemune sebagai pengayom seumur hidupnya. Bamboku, bagaimanapun, sudah menanti-nantikan kesempatan untuk membalas kebaikan Tsunemun6, dan pagi ini, dia menyadari bahwa hari pembalasannya telah tiba. "Anda akan menyampaikan sebuah permintaan. Sekarang, jelaskanlah tentang hal itu kepada saya. Saya akan dengan senang hati memberikan apa pun yang bisa saya berikan kepada Anda."
"Tidak, Bamboku, aku tidak datang kemari untuk uang atau apapun yang berhubungan dengan uang. Sebaliknya, aku menawarkan keuntungan besar untukmu."
Pedang Seribu Romansa 2 Animorphs - 28 Eksperimen The Experiment Pendekar Pendekar Negeri Tayli 7
^