Pencarian

The Heike Story 7

The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa Bagian 7


"Wah, itu luar biasa di masa seperti ini."
"Tidak juga. Tapi, kau harus berjanji untuk menyetujui hal ini,
atau menolaknya sebelum aku menutup
pembahasannya." "Tentu saja, saya tidak mungkin menolak. Apakah ini urusan rahasia?"
"Bamboku, maukah kau menutup kerai agar
pembicaraan kita tidak terganggu?"
Tsunemun6 memaparkan tentang bagian persekongkolan yang akan melibatkan Bamboku. Melihat kesan tertarik di wajah si Hidung, dia menambahkan, setelah menatapnya dengan cermat, "Jika kau bersedia ambil bagian dalam rencana ini, aku berani menjamin bahwa kau akan mendapatkan apa pun yang kauminta. Bamboku, apakah kau mengizinkan kami menggunakan rumahmu" Kami tidak bisa mengambil risiko dengan mengadakan pertemuan
di luar gerbang kota. Aku yakin bahwa pasar yang ramai ini akan bisa menjadi tempat pertemuan teraman bagi kita.
Dan, terlebih lagi, sebagian besar dari kami akan menyamar jika harus datang kemari."
Tsunemune memiliki permohonan lain. "Sudah bertahun-tahun ini, sejak Perang Hogen berakhir, larangan keras penggunaan senjata diberlakukan, dan kami kekurangan senjata yang dibutuhkan. Jadi, tugasmu adalah menyediakan seluruh persenjataan yang kami butuhkan.
Semuanya harus dikerjakan secara sangat rahasia, kau mengerti."
Tsunemung menghabiskan waktu di rumah Bamboku hingga siang tiba. Istri Bamboku, sementara itu, mempersiapkan dan menyajikan hidangan menggiurkan yang mencakup setermos anggur nikmat dari Cina, yang dibeli di pasar dari para saudagar yang secara teratur memasok barang-barang dari seberang laut Setelah urusannya dengan Bamboku selesai, Tsunemun6
menyelinap keluar melalui gerbang belakang dan berjalan ke arah sungai, tempat keretanya telah menanti. Dia mendapati sapi penarik keretanya terkantuk-kantuk di bawah matahari musim dingin, dan si bocah penuntun sapi terlelap di atas hamparan rumput. Tsunemung memandang ke seberang sungai pada tembok dan pepohonan Rokuhara.
o0odwkzo0o Sejak Perang Hogen berakhir, Kiyomori telah berulang kali mengatakan, "Sekaranglah saat bagiku untuk melakukan perjalanan ziarah ke Tempat Pemujaan Kumano sebagai lambang rasa syukurku. Tahun ini, aku bisa dipastikan akan pergi."
Perjalanan ziarah terakhirnya adalah pada 1154, setahun setelah kematian Tadamori, ayahnya.
Ibu tiri Kiyomori, Ariko, sedang berkunjung ke Rokuhara ketika Kiyomori setengah bergurau mengatakan,
"Aku sudah sangat lama tidak pergi ke Tempat Pemujaan Kumano, sehingga aku yakin para dewa akan menghukumku."
"Kiyomori, kau terlalu lancang," tukas Ariko dengan tegas. "Jika kau terus-menerus berkomentar yang melecehkan agama seperti itu, kau akan menyesalinya pada suatu hari nanti. Ayahmu yang baik, Tadamori, adalah seorang pria yang sangat soleh, tapi kau tidak sedikit pun menyerupai beliau. Kau harus ingat bahwa " adalah kepala klan dan karena itulah kau harus menjaga sikapmu dalam na.
semacam ini." Teguran Ariko membungkam Kiyomori. Dia tidak pernah bisa bersikap santai di hadapan ibu tirinya. Sejak kematian suaminya, Ariko menjalani penahbisan dan menjadi seorang biksuni, dan tinggal di sebuah tempat yang jauh dari ibu kota untuk melewati hari-harinya dengan melakukan berbagai macam peribadatan. Dia tetap sering berkunjung ke Rokuhara, dan pada waktu seperti itu, Kiyomori merasa seperti seorang bocah nakal yang dipanggil untuk menerima nasihat yang bermaksud baik.
Yang menjengkelkannya adalah kebiasaan ibu tirinya untuk mengawali setiap kalimat dengan "Ayahmu tersayang, almarhum Tadamori" Tidak hanya Kiyomori tetapi juga istrinya, Tokiko, yang merasa kecil di hadapan Ariko. Ariko sendiri tanpa segan-segan menunjukkan kasih sayangnya kepada cucu tertuanya, Shigemori. Di dalam dirinya, Ariko melihat sosok seorang pria teladan yang berbeda dengan Kiyomori. Shigemori tidak hanya gagah tetapi juga lemah lembut dan lebih memerhatikannya daripada semua orang lain di Rokuhara.
"Kau harus menyempatkan diri untuk berziarah ke Kumano. Bawalah Shigemori bersamamu. Berdoalah agar tipisnya keimananmu mendapatkan pengampunan dan mohonlah rahmat bagi dirimu dan seluruh keluargamu"
Ariko dengan tulus memohon agar Kiyomori pergi ke Tempat Pemujaan Kumano, dan Kiyomori berniat untuk menurutinya. Karena telah menerima penugasan untuk mengawai detail-detail pembangunan sebuah kuil di Shirakawa, Kiyomori baru bisa berangkat setelah pekerjaannya rampung. Sepanjang musim gugur, Shinzei terus-menerus meminta pendapat Kiyomori mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan berbagai peraturan sipil, dan walaupun semakin kehabisan waktu untuk urusan pribadi, Kiyomori tetap menyambut gembira kesempatan untuk mencicipi dunia politik di bawah bimbingan Shinzei dan berharap tumpukan pekerjaannya akan menipis pada pertengahan Desember Ketika dia menyampaikan niatnya untuk pergi ke Kumano, Shinzei mengizinkannya dan bahkan mengirim sebuah hadiah perpisahan untuknya.
Beberapa hari sebelum tanggal keberangkatannya, Kiyomori mengirim adiknya, Tsunemori, ke Eguchi untuk mengurus penginapan rombongan mereka dan menyewa perahu-perahu yang akan membawa mereka menempuh sebagian jalan ke Kumano. Pada 4 Desember, Kiyomori beserta putra sulungnya, Shigemori, diiringi oleh Mokunosuk6 dan rombongan yang terdiri atas lima puluh orang pelayan, berangkat dari Rokuhara. Persinggahan mereka pada malam pertama adalah Eguchi, yang mereka capai setelah berlayar di Sungai Yodo. Kumano bisa dicapai melalui jalan darat maupun laut, namun untuk sebuah rombongan besar, perjalanan air lebih disukai karena sebuah kapal besar bisa menampung seluruh rombongan.
Pada malam yang sama, Kiyomori tiba di Eguchi, tempat Tsunemori telah menantinya. Karena sebuah rombongan yang beranggotakan lebih dari lima puluh orang tidak bisa ditampung dalam satu rumah, Kiyomori dan Shigemori menempati penginapan yang berbeda. Kiyomori, yang telah bersumpah untuk menghindari alkohol hingga perjalanan ziarahnya berakhir, bersiap-siap untuk tidur lebih awal tanpa minum-minum dan bersenang-senang di Eguchi. Hanya ada beberapa lentera yang menyala di penginapan sunyi itu.
"Tuan ... saya meminta maaf karena telah mengganggu Anda ... "
"Oh, Tua Bangka, kaukah itu" Ada apa?"
"Adik Anda menitipkan sebuah pesan kepada saya."
Mokunosuk6 berlutut di luar kamar dan mengamati wajah Kiyomori untuk melihat bagaimana dia akan bereaksi terhadap kabar yang dibawanya.
"Malam ini dingin sekali, Tua Bangka; lebih baik kau masuk ke ruangan ini dan menutup pintunya."
Melihat bahwa suasana hati majikannya sedang bagus, Mokunosuke masuk dan berlutut di hadapan Kiyomori, lalu mulai menyampaikan pesan Tsunemori.
Mokunosuk6, yang sekarang telah berusia delapan puluh tahun dan tetap menyandang panggilan sayang "Tua Bangka , telah mengabdi kepada Kiyomori sejak masa kanak-kanaknya. Dari pelayan renta itu-yang telah lama mengamati perilaku manusia dan sekarang menganggapnya membosankan, seperti kepakan sayap tawon atau kupu-kupu. atau pertumbuhan lambat sebatang pohon atau sekuntum bunga-muncullah penuturan panjang dan
monoton yang seolah-olah diucapkan oleh sebuah topeng beruban putih.
Tetapi. Kiyomori terkejut ketika mendengar penuturannya. Dia baru mengetahui bahwa pemilik rumah yang mereka tinggali adalah janda dari seorang pejabat istana yang telah menjadi seorang biksuni. Ada banyak orang yang mengenalnya di masa lalu; dia adalah seorang geisha ternama di ibu kota dan kemudian men,ad, gundik Kaisar Shirakawa. yang memberikannya kepada Tadamori untuk diperistri. Wanita itu. yang mendapatkan beberapa orang putra bersama Tadamori. dikenal dengan julukan Perempuan Gion."
Kiyomori selama beberapa saat berjuang untuk meredakan gejolak emosi akibat cerita yang baru saja didengarnya, lalu menoleh kepada Mokunosuke dengan wajah datar. Dia merasa bahwa Tsunemori telah mengelabuinya. Perempuan Gion adalah ibunya, ibunda jelita yang pernah mengabaikan suaminya yang miskm dan anak-anaknya berpuluh-puluh tahun silam. Kiyomor, tdah lama berhenti memikirkannya, namun Tsunemori seperanya tidak pernah melupakannya. Tsunemori telah melacak keberadaannya dan mempertemukannya dengan Tadamori yang sedang sekarat. U ia rupanya tetap menemuinya sejak saat itu. dan menyembunyikan pertemuan mereka dari Kiyomori dan ibu tiri mereka, Anko.
"Tua Bangka, sampaikanlah pesanku kepada Tsunemone"
"Baiklah ?" "Tsunemori mungkin menganggap wanita itu sebagai ibunya, namun dia bukan ibuku. Tidak ada alasan bagiku untuk menemuinya. Katakanlah ini kepada Tsunemori."
"Anda tidak mau menemui beliau?"
"Mengapa aku harus merasa yang sebaliknya. Tua Bangka" Kau
eharusnya memahamiku, lebih daripada orang lain.
Untuk apa kita mengais-ais abu masa lalu?"
"Saya sudah mengetahui jawaban Anda sebelum saya menyampaikan kabar ini."
"Kalau begitu, untuk apa kau menyampaikan padaku"
Kau telah merusak malam pertama perjalananku."
"Saya juga mencemaskan itu, namun adik Anda sepertinya merasa bahwa selagi Anda melakukan perjalanan ziarah ke Kumano, maka tidak ada salahnya jika, untuk menghormati kenangan mendiang ayah Anda, Anda menenangkan hati ibu Anda yang telah renta. Dan menurut saya, pendapat adik Anda benar adanya."
"Apa! Berani-beraninya kau memaksakan pendapatmu"
Aku sudah bilang bahwa aku tidak punya ibu seperti itu, Tolol! Siapa pun atau apa pun dia. Biarkanlah Tsunemori pergi dan berbicara dengannya, jika menurutnya itu bermanfaat Aku lelah ... mengantuk.
Di manakah kamar tidurku?"
Bocah pelayan yang duduk terkantuk-kantuk di belakang Kiyomori tiba-tiba mendadak terbangun dengan kaget akibat hardikan majikannya. Dia cepat-cepat bangkit dan menunjukkan jalan
dengan sebuah lentera. Semua pelayan penginapan telah lama tidur. Pada waktu Kiyomori semestinya telah tidur, sesosok bayangan dengan lincah menyelinap keluar dari kamarnya. Mokunosuke, yang masih terjaga, menyaksikan sosok itu melintasi
koridor, mengintip ke luar dari balik kerai, dan membuka gerendel. Curiga, Mokunosuk6 menegur sosok itu.
Kiyomori berputar dengan kaget dan menatap tajam ke tempat teguran itu berasal; di dalam kegelapan, dia tiba-tiba menyeringai lebar.
?" Kaukah itu,Tua Bangka?" .
"Tuanku, apa yang membuat Anda keluar ke kebun pada malam
sedingin ini?" "Aku tidak pernah bisa memejamkan mata pada malam pertama di sebuah tempat asing. Entah mengapa, aku tidak bisa tidur. Sejujurnya, Tua Bangka, aku telah merenungkan perkataanmu. Apakah kau tahu di mana tempatnya?"
"Tahu apa, Tuan?"
"Bilik yang ditempati wanita yang dibicarakan oleh Tsunemori."
"Anda akhirnya memutuskan untuk menemui beliau?"
"Hmm ... ya." Kiyomori menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya dengan malu. "Lagi pula, setelah aku memikirkannya, beliau tentu telah berusia mendekati enam puluh tahun. Umurku sendiri telah hampir empat puluh tiga tahun ... dan sungguh konyol jika aku membiarkan masa lalu mencegahku untuk menemuinya, terutama ketika aku tinggal seatap dengannya. Aku mulai merasa bahwa aku mungkin akan menyesal jika aku pergi tanpa berjumpa dengannya."
"Ah, itu terdengar cukup bijaksana."
"Tua Bangka, apakah kau benar-benar berpikir bahwa ini lebih baik?"
"Sejak awal saya berharap agar Anda merasa seperti sekarang. Ayah Anda tentu juga menghendaki hal yang sama."
"Benar. Beliau bukan orang brengsek yang dibutakan oleh prasangka buruk seperti aku. Beberapa saat sebelum beliau wafat, Tsunemori secara diam-diam mempertemukan mereka, dan aku mendengarkan kata-kata ayahku kepadanya, si Perempuan Gion, yang selalu berbuat buruk kepada ayahku."
"Ya, saya mendengar tentang seluruh kejadian itu pada pagi harinya."
"Tua Bangka, aku menangis ketika mencuri dengar percakapan mereka ... karena besarnya cinta ayahku, karena apa yang dikatakannya kepada seseorang yang telah begitu tega melukai hatinya."
"Di mata ayah Anda, beliau adalah seseorang yang patut dikasihani. Ayah Anda tentu telah merasakan itu selama bertahun- tahun sebelum mereka akhirnya berpisah."
"Aku hanya bisa berharap untuk menjadi seperti ayahku.
Tetapi, aku adalah seorang pria yang telah berumur empat puluhan ".Apa pun yang pernah terjadi, tidak bisa disangkal lagi bahwa beliaulah yang melahirkanku ...
Kiyomori ini. Aku setidaknya bisa mengikuti teladan Tsunemori dan menemui beliau kali ini. Bawalah aku kepadanya. Tua Bangka."
Malam itu, Kiyomori menemui ibunya, yang telah menghabiskan malam bersama Tsunemori.
Yasuko ternyata jauh dari perkiraan Kiyomori. Dia tidak kelihatan murung atau kesepian, tetapi sebaliknya tampak menikmati kehidupannya saat ini. Perabot di kamarnya
mencerminkan keanggunan dan kenyamanan, seperti yang selalu disukainya.
"Tuan Harima," sapanya kepada Kiyomori,
"Keteganganlah yang membawa Tsunemori ke Eguchi, juga kebimbangan dan ketakutan, namun dari masa mudamu kau sudah mengetahui bahwa hiburan bisa didapatkan di rumah-rumah di Jalan Keenam, jadi kau harus sesekali datang kemari untuk mencari sedikit kemeriahan. Dan, kapan pun kau datang ke Eguchi, kau harus singgah di sini dan membiarkan gadis-gadis mudaku menghiburmu ... ada banyak gadis muda di sini, dan semuanya memesona.
Seandainya kau sedang tidak dalam perjalanan menuju Tempat Pemujaan Kumano, aku akan memanggil mereka kemari sehingga kau bisa melihatnya sendiri."
Itulah dia ... ibunya. Kiyomori mengerti. Dia telah membujuk Tsunemori untuk mengatur agar Kiyomori menginap di sini sehingga mereka bisa bertemu. Yasuko berbicara dengan luwes dan ramah, tanpa sedikit pun merasa malu. Kiyomori terkejut ketika mendengar nada bangga Yasuko ketika bercerita tentang bisnisnya.
Kiyomori, yang terheran-heran, hanya sanggup menatap ibunya. Dari penampilannya, mustahil untuk memercayai bahwa Yasuko telah berusia mendekati enam puluh tahun.
Dari tubuhnya, Kiyomori bisa mencium semerbak wewangian yang dikenalinya sebaga. azimat pemikat yang pernah menjerat seorang penguasa, dan juga membuat Tadamori begitu lama menahan diri dari perselingkuhan dan perilaku buruknya. Kiyomori pun terus mendengarkan celotehan ibunya:
"Sungguh menyenangkan bisa menerimamu di sini!
Sayang sekali kau sedang terikat oleh aturan peribadatanmu. Tapi, kau harus singgah di Eguchi selama
dua atau tiga malam untuk menghormati rombonganmu.
Eguchi memang tempat yang membosankan selama musim dingin, ketika kami hanya ada tamu penting yang datang kemari."
Yasuko berbicara tak tentu arah dengan ceria, seolah-olah tidak menyadari bahwa dirinya adalah ibu dari empat orang putra yang telah dewasa. Tidak ada jejak kelembutan seorang ibu yang mendorongnya untuk mengatakan tentang kebahagiaannya melihat putra-putranya telah dewasa; sepertinya dia bahkan telah melupakan Tadamori. Seperti halnya memakai rias wajah, dia tampaknya bisa dengan mudah dan lihai menyingkirkan masa lalu dari ingatannya.
"Wanita yang paling beruntung," pikir Kiyomori. Dia mulai menganggap dirinya sendiri tolol. Seharusnya dia tidak semarah itu kepada ibunya, karena wanita itu benar-benar naif. Yasuko tidak bisa menjadi yang sebaliknya. Dia terlahir sebagai seorang wanita penghibur. Alamlah yang menjadikan ibunya seperti ini. dan dia tidak bisa disalahkan. Kiyomori senang dan lega atas keputusannya untuk menemui ibunya, karena dia sudah tidak membenci wanita itu. Ibunya tidak bersalah, karena kehidupan seorang geisha telah mengalir di dalam darahnya; yang salah adalah keinginannya untuk menjadikan ibunya yang sebaliknya. Kiyomori mengamati wajah dan gerak-gerik ibunya ... inilah kehidupan yang didambakan dan yang paling bisa membahagiakan Yasuko. Selama bertahun-tahun, Kiyomori telah dengan tolol memakan hatinya sendiri dengan mendambakan
agar ibunya berubah. "Ibu ... maksudku, Nyonya Rumah yang baik, adakah sake untuk menemani obrolan kita" Tidak perlu menundanya hingga aku pulang.
"Sedikit sake ... atau banyak?"
Ibunya tertawa nyaring. "Sake" Itu mudah untuk didapatkan di sini. Baiklah ... " dia menepukkan tangannya untuk memanggil pelayan. Seorang gadis pelayan muncul dan mendengarkan bisikannya dengan penuh perhatian.
Segera setelah si gadis pelayan pergi, tiga orang geisha muncul membawa lentera, dan kamar itu seketika terang benderang. Sake dan makanan pun dihidangkan.
"Nyonya Rumah yang baik, apakah hanya mereka penghibur disini:
"Masih ada beberapa orang lagi.
"Selagi kita bersenang-senang, sebaiknya kita juga memanggil mereka. Tsunemone ... "
"Apa kau tidak pernah datang kemari untuk bersenang-senang?"
"Aku"Tidak pernah" Tsunemori sepertinya kesal. Dia merasa tersisih dan menjadi seorang pengganggu ketika menyaksikan Kiyomori dan ibunya bercakap-cakap.
"Ini adalah rumah hiburan. Wanita ini adalah nyonya rumah kita. Jangan cemberut begitu."
Kiyomori tak henti-hentinya mengisi cangkirnya dan membujuk adiknya agar bergabung bersama mereka.
"Ayolah, kau juga harus minum." "Aku akan minum dalam perjalanan pulang dari Kumano "Apakah kau takut minum bersama kakakmu, yang telah membatalkan
pantangannya?" Kiyomori tergelak. "Jangan kolot begitu, Tsunemori, tidak perlu khawatir. Aku akan minum untuk mengenang ayah kita sebelum kita berangkat ke Kumano."
"Tetapi, mengapa?"
"Tidak bisakah kau melihat alasannya" Tidakkah kau mengerti bahwa sebelum wafat, Ayah menekankan bahwa kita harus bahagia.
"Benarkah itu?"
"Karena itulah aku melakukan ini-agar Jiwanya * dalam kedamaian. Aku yakin bahwa dewa penunggu Tempat Pemujaan Kumano akan memandang kita sebagai anak yang berbakti dan tidak akan mengutukmu, Tsunemori.
Ayo, minum dan bergembiralah."
Belum selesai Kiyomori berbicara, ruangan itu mendadak menjadi jauh lebih terang benderang bersamaan dengan munculnya sepuluh orang geisha, yang masing-masing lebih cantik daripada yang lainnya. Kiyomori mengangkat sebuah cangkir besar dan menyentuhkannya ke bibirnya, lalu mengoperkannya ke salah seorang dari mereka, dan sebentuk demi sebentuk tangan ramping pun bergiliran menerimanya.
"Suasa hati Tuan Harima sedang bagus," para geisha berkelakar. Gelak tawa dan obrolan meriah terdengar dari ruangan itu. Kiyomori, yang telah mabuk sake, terhanyut oleh aroma bedak dan
kemilau hiasan rambut di sekelilingnya.
"Genderang, genderang! Mari menari!" serunya dengan lantang. "Tuan Harima memerintahkan kepada kita untuk menari. Ayo, menari, menyanyi!"
Sorak sorai meledak begitu beberapa orang geisha berdiri dan mengepakkan lengan kimono panjangnya, lalu mulai menari. Kerai- kerai diangkat, pintu-pintu geser diangkat untuk menyatukan dua buah kamar agar menjadi lebih luas.
Sebuah harpa dimasukkan, genderang-genderang besar
ditempatkan di atas dudukannya, dan seruling-seruling dikeluarkan dari wadah-wadah sutranya.
Seorang geisha bersanggul tinggi, membawa sebilah pedang mainan ramping, melenggang anggun dari kamarnya dan melintasi jembatan menuju ruangan itu. Dia membawa sebuah kipas, yang dilempar dan diputarnya dengan iringan sebuah lagu terkenal. Gerakan luwes kakinya, goyangan pinggulnya, dan lekukan bahunya seolah-olah menyatu dengan alunan musik. Kiyomori meletakkan cangkirnya dan menatap wanita itu, yang begitu menghayati tariannya. Pandangan Kiyomori tertuju pada wajahnya yang terpoles bedak tebal di bawah hiasan rambut bernuansa emas. Seketika itu, Kiyomori merasa gelisah dan tidak bisa duduk tenang. Mata sipenari sekadar mengikuti pola tarian dan tidak sekali pun tertuju ke arahnya. Kegusaran tercermin dalam setiap kerutan di wajah Kiyomori. Tarian yang membosankan! Pergilah kalian dengan genderang kalian, seruling kalian! Kapankah mereka pergi sehingga dia bisa berbicara empat mata dengan wanita ini"
Tarian itu akhirnya berakhir. Musik seketika berhenti mengalun. Sementara si penari terkulai di lantai untuk memberi hormat, para geisha lainnya mengerumuni Kiyomori untuk mengisi ulang cangkirnya."
"Jangan ganggu aku! Menjauhlah dariku! Bawa si penari itu kemari!" hardiknya, dengan kesal menyikuti para geisha di sekelilingnya dan melambai dengan tangannya yang memegang cangkir sake. Tetapi, si penari telah meninggalkan ruangan itu dan melangkah dengan cepat melintasi jembatan, lalu menghilang kembali di kamarnya.
Kiyomori memanggil-manggilnya dan mengirim seorang demi seorang geisha lainnya untuk menjemputnya, namun si penari menolak untuk keluar lagi.
Kemudian salah seorang dari mereka berkata, "Aku tidak tahu di mana dia bersembunyi, tapi dia tidak bisa ditemukan di mana pun." Amarah Kiyomori meledak. Dia tidak pernah minum sebanyak
itu ataupun bersikap sekasar itu.
"Apa, dia menyebut dirinya geisha" Dahulu dia bernama Ruriko, keponakan bangsawan Nakamikado! Itu Ruriko, aku yakin! Hoi, Nyonya Rumah, apa maksudmu menyembunyikannya?"
Kiyomori membanting cangkirnya dan menoleh kepada si nyonya rumah dengan amarah berkobar, namun Yasuko tetap berbaring santai dan menopangkan dagunya ke bantal.
Ledakan emosi Kiyomori sepertinya justru membuatnya senang, dan dia menyambutnya dengan tertawa terpingkal-pingkal.
"Jadi, Tuan Harima " mengingat dia" Saking cintanya dirimu kepadanya, pernah melupakannya?"
"Ini benar-benar jahat! Kau memang wanita kejam!"
"Mengapa" Apa yang membuatmu berkata begitu?"
"Jika kau tidak tahu malu, itu urusanmu sendiri, namun kau menyeret dia ... gadis muda tak berdosa bernama Ruriko itu ... ke lembah nista!"
"Dia adalah anak angkat keluarga Nakamikado. Dia bisa dibilang tidak memiliki ayah, dan akulah yang membesarkannya. Aku sendirilah yang mengajarinya menari, memainkan berbagai alat musik, dan mengubahnya menjadi seorang wanita yang akan bisa dengan bangga menjalani kehidupannya sendiri di dunia ini. Apa salahnya hal itu?"
Kiyomori tiba-tiba merasakan pikirannya jernih kembali, dan dia menggeleng. "Itu salah; jika Ruriko dibesarkan dengan benar, dia akan menjadi istri yang baik bagi seorang pria terhormat, namun kau meracuninya, mendidiknya menjadi seorang pelacur."
"Tuan Harima, kau sedikit banyak mengingatkanku kepada mendiang ayahmu. Apa masalahnya jika seseorang lebih memilih untuk menjadi seorang wanita penghibur atau apa pun yang disukainya" Jika Tuan Harima merasa sangat marah sekarang, mengapa dia tidak dari dahulu berusaha membiasakan diri bercinta dengan Ruriko ketika aku masih tinggal bersama keluarga Nakamikado"
Bukankah kau juga patut disalahkan karena telah bersikap pengecut" " Tetap saja, sekarang belum terlambat Kembalilah kemari dalam perjalananmu pulang dari Kumano. Aku akan berbicara dengan Ruriko dan berharap bisa bertemu kembali denganmu."
Kiyomori dan sang nyonya rumah tiba-tiba tertawa terpingkal- pingkal hingga meneteskan air mata, bertukar lebih banyak sake dan gurauan yang semakin membingungkan keduanya, hingga Kiyomori jatuh tertidur dengan Yasuko dalam pelukannya.
Tsunemori dan Mokunosuk6 memapah Kiyomori ke ranjangnya. Ketika terbangun keesokan paginya, Kiyomori mendapati dirinya berada di kamarnya sendiri, seolah-olah tidak ada sesuatu yang luar biasa terjadi pada malam sebelumnya.
"Sudahkah Anda bangun, Tuan" Saya sudah
menyiapkan air untuk Anda."
Ucapan selamat pagi dari seorang gadis pelayan muda memulai hari Kiyomori. Sebuah bejana berisi air telah disiapkan di dekat jendela. Kiyomori melirik ke luar
sembari membasuh wajahnya dan membasahi rambutnya.
Matahari bersinar cerah hari itu, dan udara terhitung hangat untuk ukuran bulan Desember. Kiyomori bisa melihat sungai dari jendelanya. Bunyi nyaring tepukan dayung di permukaan air dan nyanyian para nelayan hinggap di telinganya, juga suara para awak kapal yang sudah tidak sabar menantikan aba- aba darinya untuk memulai perjalanan. Kiyomori berusaha untuk mendapatkan kembali kekhusyukannya dan menghirup dalam-dalam udara pagi yang segar. Lagi pula, dia sedang berada dalam perjalanan menuju Tempat Pemujaan Kumano, dan kerangka berpikirnya seharusnya serius ".
Ketika Kiyomori tergesa-gesa menyantap sarapan, para anggota rombongannya silih berganti muncul untuk memberinya ucapan selamat pagi. Shigemori juga muncul dan menyapa ayahnya dengan khidmat Kiyomori agak malu kepada putranya, namun para anggota rombongan lainnya berusaha mencerahkan suasana hatinya dengan mengobrolkan tentang perjalanan yang telah menanti mereka.
Di dalam hatinya, Kiyomori menertawakan dirinya sendiri; tidak seorang pun sepertinya mengetahui apa yang terjadi pada malam sebelumnya, namun sesuatu yang begitu menggerakkan telah
berpadu dengan kekonyolan itu.
Tiga buah perahu layar besar telah menanti mereka di kejauhan. Air sedang surut dan beberapa perahu kecil bergiliran membawa lima atau enam orang anggota rombongan mereka menuju ketiga perahu besar yang tertambat di mulut sungai; banyak orang bersorak sorai di tepi sungai untuk melepas kepergian mereka.
"Nah, Tsunemori. aku memercayakan Rokuhara kodamu, kata Kiyomori sambil bersiap-siap menaiki salah satu perahu.
Tsunemori, yang akan langsung kembali ke ibu kota, menjawab, "Baiklah. Semoga perjalananmu lancar."
Kiyomori berdiri di atas perahu, tampak berkilauan terkena cahaya yang memantul dari permukaan air.
Cakrawala membentang di hadapannya begitu perahu layarnya menjauh dari pesisir, dan Kiyomori sekilas dapat melihat orang-orang yang berkerumun di tepi sungai.
Ibunya ada di sana, berdiri di tengah-tengah sekelompok wanita yang berpakaian indah, sebagian di antara mereka mengenakan topi lebar, sebagian yang lain mengenakan mantel bertudung, dan sebagian yang lain membiarkan kepala mereka terbuka, memamerkan rambut hitam nan lurus. Kipas-kipas diayunkan ke arahnya sebagai lambang perpisahan, namun mata Kiyomori, yang terpicing untuk memburu seraut wajah, tidak menemukan apa yang dicarinya. Dengan bingung, dia memikirkan apakah kejadian semalam hanya ada di dalam mimpinya.
Perjalanan laut itu memakan waktu beberapa hari.
Rombongan Kiyomori mendarat di Pelabuhan Waka. Sisa perjalanan akan mereka tempuh dengan berkuda.
Pemberhentian pertama mereka adalah pada siang hari tanggal 13 Desember, ketika seluruh rombongan beristirahat di sebuah penginapan di Kirib6. Di situlah seorang kunr akhirnya berhasil mengejar mereka. Dia telah memacu kudanya selama sehari semalam dari Kyoto.
"Peristiwa terburuk telah terjadi, Tuan! Sebuah pergolakan rakyat yang lebih parah daripada sebelumnya!"
"Apa! Di ibu kota" Sebutkanlah nama para pemimpinnya!"
Semua orang seketika pucat pasi begitu mendengar kabar buruk itu; mereka terperanjat dan berlomba-lomba menyuarakan kepanikan mereka ... jarak yang jauh, tidak adanya senjata, dan di waktu yang tidak terpikirkan ini!
Kiyomori mengerang kesal, memikirkan apakah ini balasan dari dewa penunggu Tempat Pemujaan Kumano yang marah kepadanya.
o0odwkzo0o Bab XXI-Tuan Hidung Merah Sang Saudagar Bunga es bertebaran di mana-mana pagi itu. Pasar di dekat gerbang Jalan Keenam telah riuh rendah oleh kegiatan jual beli. Keramaian itu terdengar sampai seberang jalan, di dalam toko megah Hidung Merah, bahkan di ruang tamu rumahnya. Sebagai orang yang selalu bangun pagi.
Hidung telah kembali dari transaksi bisnis sehari-harinya.
Hidungnya, yang tampak lebih merah daripada biasanya, mengepul-ngepulkan napas beku seperti hidung kuda. Alih-alih menghangatkan diri di depan tungku, dia langsung memasuki lorong di antara rumah-rumah petak tempat tinggal para pegawai tokonya.
"Hoi ... hoi! Apakah kalian masih mengemasi barang"
Jangan menghabiskan waktu untuk bersiap-siap! Cepatlah keluar, cepat-bergegaslah kalian!"
Hidung menoleh ke arah lain. ke deretan rumah petak lain, dan melambai-lambai kepada para gadis pelayan toko.
S S* bl terakhir di ^^^ Tidakkah kalian menyadari bahwa r n ^
Desember" Kalian gadis-gadis. |ika kalian ingin Tahun Baru, sebaiknya kalian lebih giat berjualan.
Hidung kemudian berjalan menuju rumahnya dan berhenti di beranda yang menghadap kebun dalam, lalu berseru, "Umeno, Umeno! Ambilkan sarapanku, sarapanku!" Dia membuka sandalnya dan memasuki rumah.
Istrinya bergegas menyajikan sarapan yang terdiri atas bubur panas, ikan kering, dan acar untuk suaminya yang rajin bekerja.
"Kau pasti kedinginan ... ada sangat banyak bunga es pagi ini!"
"Ini bukan apa-apa," jawab Hidung, meniup-niup buburnya dengan gaduh. "Desember telah datang, dan semua orang bangun sebelum matahari terbit ... gerobak dan sapi sibuk bekerja, dan para pegawai toko kita, yang tidak tahu arti kelaparan, malah bermalas-malasan. ... Ah, apakah Shika ada di toko" Panggil dia kemari."
Seorang gadis pelayan dikirim untuk memanggil Shika.
Shika adalah kepala pegawainya. Setelah kunjungan Tsunemung pada pagi sebelumnya, Hidung membocorkan rahasia kepada Shika dan memerintahkannya untuk mengawasi setiap pelanggan yang memasuki toko.
"Shika, kau tidak melihat orang yang berpenampilan mencurigakan, bukan?"
"Semuanya sudah dilakukan di toko. Saya sudah memasang tanda yang mengatakan bahwa toko akan tutup hingga akhir tahun."
"Mungkin saja ada mata-mata atau orang suruhan dari Rokuhara yang datang kemari dalam penyamaran."
"Yang jauh lebih penting adalah mengawasi baik-baik mata dan lidah para pegawai kita."
"Karena itulah aku memerintah mereka untuk berkeliling menjajakan barang dagangan, dimulai hari ini, dan mereka akan menghabiskan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Aku baru saja berbicara dengan mereka. Kau sebaiknya memberikan petuah dan mengawasi pekerjaan mereka, Shika."
"Betul. Saya akan menemui mereka sekarang juga!"
"Nah, tunggu sebentar ... satu lagi. Apakah kau yakin bahwa ikan karper laut yang kupesan di pasar ikan akan dikirim kemari" Sekarang tanggal 3, besok tanggal 4 ...
besok sudah terlambat"
"perahu-perahu nelayan tiba di Yodo pada pagi buta, dan kita tidak bisa mengharapkan mereka tiba di sini hingga menjelang "Saat pesanan itu tiba, sebaiknya kau menyertai Nyonya menerimanya."
"Ya, saya juga akan mengingat-ingat itu." Kesibukan terlihat di depan gudang-gudang, tempat para pegawai toko
... pria dan wanita ... memanggul barang dagangan mereka dan bersiap-siap berangkat. Para saudagar Kyoto biasa mengirim para pegawai mereka untuk berkeliling menjajakan dagangan ke kota-kota tetangga dan daerah-daerah pinggiran setiap akhir tahun. Untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, bagaimanapun, Hidung memulai rutinitas ini lebih awal daripada biasanya pada tahun ini.
Shika melihat pegawai terakhir berangkat, dan dengan ekspresi lega, dia kembali ke dekat tungku, yang apinya telah mulai padam, untuk menghangatkan badan. Tepat ketika itulah dua orang pria yang menarik gerobak tiba di depan toko. Topi dan pakaian mereka tampak berkilauan oleh sisik ikan.
"Selamat pagi. Periksalah ikan karper laut ini ...
semuanya lima puluh ekor! Para nelayan yang
menangkapnya mengatakan bahwa mereka baru kali ini mendapat tangkapan sebagus ini. Lihadah betapa segarnya ikan-ikan ini!"
Kedua pria itu dengan bangga menurunkan dua puluh lima buah keranjang, yang masing-masing berisi dua ekor ikan karper laut sepanjang satu kaki yang telah dikemas dengan rapi menggunakan daun bambu.
Hidung segera keluar. "Bagus, bagus!" serunya, matanya membelalak mengamati pemandangan menakjubkan itu.
Hei-mana ikan bass pesananku" Pesanan terpentingku ... . ,
." "Eh, ikan bass" Tuan, Anda hanya memesan seekor, bukan."
"Benar ... itulah yang terpenting. Tanpa seekor ikan bass itu, kelima puluh ekor ikan karper laut ini tidak berarti apa-apa."
"Ini. ini, dan ikan bass ini adalah yang terbagus. Tuan.
Di sini, di keranjang ini."
Segera setelah kedua pengantar ikan itu pergi, Hidung menginstruksikan kepada Shika untuk langsung mengemas ulang ikan-ikan itu sebagai hadiah. Ikan-ikan yang telah diletakkan di dalam keranjang-keranjang beralaskan daun bambu dan dihias dengan buah-buahan beri merah dan hijau, dimasukkan ke dalam sebuah tandu.
Istri Bamboku, yang mengenakan kimono terbaiknya, segera bertolak ke arah timur, ditemani oleh Shika dan empat orang pelayan yang memanggul dua buah tandu ...
yang satu berisi tumpukan keranjang ikan dan yang lain berisi gulungan sutra dan anggur Cina, semuanya ditata dengan indah ... dengan muatan yang seluruhnya ditutupi kertas minyak. Di mata orang awam, mereka tampak
seolah-olah sedang mengantar hadiah pernikahan. Setelah melintasi Jembatan Gojo, tibalah mereka di luar lingkungan Rokuhara. Esok hari adalah 4 Desember, yaitu tanggal keberangkatan Kiyomori ke Kumano. dan kuda, kereta, dan manusia tampak memadati jalanan, lebih daripada biasanya.
Istri Hidung berbelok menuju salah satu sayap, tempat tinggal nyonya rumah Rokuhara. Pintu masuk bagi wanita terletak di sebelah barat gerbang dapur, tempat para penjaga, yang sepertinya telah akrab dengan Umeno, tersenyum dan mempersilakannya masuk. Umeno menghilang di balik pepohonan di sekitar pintu masuk utama menuju rumah Nyonya Harima.
Setelah beberapa waktu, Umeno muncul kembali di gerbang dan berbasa-basi sejenak dengan para penjaga.
"Bagaimana tanggapannya, Umeno?" tanya Hidung dengan penuh semangat setelah istrinya kembali.
"Ah, kau seharusnya melihat betapa gembiranya Tuan Harima ... dan istrinya!"
"Jadi, kau bertiasil menemui istrinya?" "Bukan hanya itu
... semua kiriman kita ditata dan dipuji-puji." "Bagus sekali, tapi, apakah dia berkomentar soal ikan bass itu?" "Mereka penasaran ingin mengetahui bagaimana kau tahu bahwa ikan bass adalah lambang keberuntungan keluarga mereka, dan kedatangannya pada malam sebelum keberangkatan Tuan Harima, kata mereka, adalah firasat terbaik ... sebuah hadiah indah yang mereka terima dengan penuh suka cita.
Aku cukup terhanyut oleh kebahagiaan mereka." "
"Kau tidak mengatakan apa pun yang tidak seharusnya kau katakan, bukan?"
"Oh, tidak, tidak sepatah kata pun soal itu ?" Umeno, yang mengetahui maksud sesungguhnya dan dampak dari urusan berbahaya suaminya, menjawab dengan lirih.
Hidung memiliki penglihatan tajam untuk membidik keuntungan, penciuman tajam untuk mengendus unsur paling menguntungkan dari sebuah situasi, sehingga ketika Tsunemun& membocorkan tentang persekongkolan rahasia para pejabat istana, dia serta merta bersedia memberikan dukungan. Bukankah dia seorang sosok penting di dalam dunia perdagangan, yang telah melejit dari pekerja rendahan di Istana menjadi seorang saudagar kaya" Dan, walaupun dia seolah-olah bersedia menanggung risiko besar demi pengayomnya, sesungguhnya dia tidak selugu itu. Dia tidak berminat untuk mempertaruhkan nyawa dan seluruh kekayaannya demi mendukung persekongkolan beberapa orang bangsawan. Menurut pengamatan Hidung, pergolakan besar-besaran tidak akan terhindarkan lagi, dan dia akan mendapatkan lebih banyak keuntungan jika memberikan dukungan kepada dua belah pihak. Bangsawan atau samurai-siapa pun yang menang. Hidung adalah seorang saudagar dan harus memperoleh keuntungan.
Hidung melibatkan istri dan kepala pegawainya dalam rencananya Walaupun di satu sisi dia telah menyanggupi untuk membantu Tsunemun*. dia tetap tidak lalai mengirim hadiah selamat jalan yang indah untuk Kiyomori.
Sejak beberapa tahun terakhir, pusat kegiatan ibu kota telah secara jelas berpindah ke pasar di gerbang Jalan Kelima, dan banyak orang mengatakan bahwa semakin besarnya kekayaan keluarga Heik6 dari Rokuhara adalah salah satu penyebab utamanya. Rokuhara, yang terletak di seberang sungai, teriihat dengan sangat jelas dari gerbang Jalan Keenam dan. setelah mempertimbangkan berbagai
risikonya, Tsunemun^ memutuskan bahwa rumah Hidung adalah tempat yang tidak akan menimbulkan kecurigaan.
Segera setelah tersebar kabar bahwa Kiyomori akan meninggalkan ibu kota untuk berziarah ke Kumano. para pelaku persekongkolan mulai mempercepat persiapan mereka. Mereka menjadikan rumah Bamboku sebagai pan
gkalan, tempat rencana-rencana akhir mengenai pembentukan dan penempatan pasukan dijabarkan.
Gerimis turun pada malam hari tanggal 7 Desember.
Timbunan batu bara dan karung-karung jerami yang telah kosong bertumpuk di dekat pintu masuk rumah Hidung.
Sosok-sosok yang bermantel jerami dan bertopi lebar atau menyamar dengan jubah pendeta satu demi satu bergegas memasuki rumah sang saudagar. Sebagian dari mereka menambatkan kuda mereka ke pohon dedalu di depan rumah, dan sebagian yang lain. begitu turun dari kereta sapi mereka, langsung disambut oleh pelayan-pelayan berpayung.
Ini adalah pertemuan rahasia terakhir yang diselenggarakan oleh para pemimpin persekongkolan; selain orang-orang yang telah secara teratur bertemu di rumah peristirahatan Nobuyori. Genji Yoshitomo dan seorang anggota keluarga Genji yang berpengaruh lainnya, Yorimasa, juga tampak di sana. Yorimasa, yang tidak kuasa menolak bujukan Yoshitomo. akhirnya bersedia hadir.
Yorimasa adalah seorang samurai berusia awal lima puluhan, lebih tua daripada Yoshitomo. dan sejauh ini adalah tokoh tertua yang hadir di sana.
"Kami semua menyambut gembira kesediaan Anda untuk bergabung bersama kami," sambut Nobuyori, yang segera dilanjutkan oleh Korekata:
"Kedatangan Anda memberikan suntikan semangat yang tak terkira besarnya bagi kami, begitu besar, sehingga kami yakin bahwa rencana ini akan berhasil." .
Tidak diragukan lagi, kehadiran Yorimasa berhasil menghadirkan dukungan moral yang dibutuhkan oleh para pejabat istana itu, karena selain sebagai salah satu dari sepuluh orang panglima pengawal singgasana pilihan mendiang Kaisar Toba, kedudukannya sebagai pemimpin pos pengadaan persenjataan militer juga tidak bisa diabaikan. Karena itulah, merebut dukungannya menjadi sesuatu yang sangat penting.
Yorimasa, seorang pria pendiam, tampak menjaga jarak dan hanya sesekali menyela perdebatan sengit antara Nobuyori dan Korekata. Hujan telah reda dan angin bertiup kencang ketika para pelaku persekongkolan itu akhirnya keluar dari rumah Bamboku dan menghilang seorang demi seorang di tengah kegelapan malam.
Keesokan paginya, tanggal 8 Desember, kehidupan di ibu kota berjalan seperti biasanya. Pada tengah malam menjelang tanggal 9 Desember, bagaimanapun, derap kaki-kaki kuda yang menyerupai gelegar guruh teredam menggema di seluruh daerah di antara JaJan Keempat dan Keenam. Tidak berapa lama kemudian, sosok-sosok berkuda berkumpul di Istana Kloister di Jalan Ketiga dan di tempat-tempat sekelilingnya. Di masing-masing gerbang Istana, terdengarlah dentangan senjata dan ringkikan kuda.
Pedang-pedang dan tombak-tombak berkilauan di bawah cahaya bintang; aroma kebengisan dan kebiadaban menggelayuti udara malam yang sarat akan bunga es.
Sebuah kelompok memisahkan diri dari sebuah pasukan yang terdiri atas enam ratus orang penunggang kuda, rnenghamp.n gerbang utama, dan sebuah suara lantang
yang membelah malam bagaikan badai salju, terdengar berseru:
"Adakah orang di dalam" Buka gerbangnya ... ini adalah Wakil Penasihat Nobuyori! Urusan mendesak memanggil saya dari ibu kota! Saya harus menemui Yang Mulia secepatnya!"
Sebelum gema dari teriakan itu menghilang, para prajurit telah mulai menggedor-gedor gerbang. Sorak sorai berisi tuntutan agar gerbang-gerbang didobrak segera menyusul, namun sosok di atas kuda itu mengisyaratkan kepada pasukannya untuk diam. Jawaban tidak kunjung terdengar dari dalam. Suara yang terdengar hanyalah deru angin di antara cabang-cabang pepohonan yang telanjang.
Mantan Kaisar Goshirakawa masih terjaga, menghabiskan malam bersama dua orang putra Shinzei dan para pejabat istana lainnya dengan menikmati drama dan tarian, diiringi oleh para pemain musik istana. Ketika derap langkah dan kegaduhan terdengar di koridor-koridor istana, mereka seketika pucat pasi. Kekhawatiran pertama mereka adalah api. Belum sebulan berlalu sejak salah satu istana di dekat sungai terbakar habis, dan seorang putri yang sedang mementaskan tarian Tahun Baru tewas di sana.
Kengerian telah melumpuhkan mereka ketika seorang pegawai istana tiba-tiba memasuki ruangan dan dengan terengah-engah mengumumkan, "Wakil Penasihat ada di sini, dikawal oleh pasukan pembawa obor dan prajurit bersenjata! Beliau menuntut untuk dipertemukan dengan Yang Mulia. Beliau datang dengan membawa senjata lengkap dan untuk mengucapkan selamat tinggal. Beliau tidak mengatakan alasan mengenai kedatangannya yang seperti ini. Sorak sorai dan keributan terdengar di luar gerbang. Dengarkanlah!"
Si pembawa pesan membuka pintu. Angin dingin bertiup masuk dan memadamkan lilin-lilin sehingga ruangan itu seketika menjadi gelap gulita.
"Apakah Yang Mulia bersedia menemui Wakil Penasihat?"
"Cahaya ... aku ingin cahaya!"
Ketika mendengar bahwa Nobuyori adalah penyebab keributan itu, Mantan Kaisar Goshirakawa serta merta berdiri dan menghambur ke koridor yang dingin.
Lilin-lilin, yang segera dinyalakan kembali, dibawa mengikuti sosok Mantan Kaisar melintasi Istana menuju Ruang Selatan. Pintu-pintu di sana dibuka. Di bawah cahaya lilin, Goshirakawa melihat sosok berkuda, yang menyapanya:
"Yang Mulia, saya baru saja mendengar sebuah desas-desus yang mengatakan bahwa Penasihat Shinzei telah menetapkan tuduhan alsu kepada saya dan mengirim pasukannya untuk menahan saya; karena itulah saya memutuskan untuk melarikan diri ke timur bersama sebagian pasukan saya dan bersembunyi selama beberapa waktu. Saya datang kemari untuk berpamitan kepada Anda."
Terkejut mendengar pemberitahuan dari salah seorang pejabat kesayangannya, Mantan Kaisar bertanya,
"Siapakah yang telah menyebarkan desas-desus tak berdasar itu" Itu hanyalah kabar burung yang keji, Nobuyori, dan kau terkelabui." "Tidak, desas-desus itu tidak mungkin salah." "Tetapi, tidak ada yang mengatakan apa pun kepadaku ?" "Jika begitu, bagaimanakah pendapat Yang Mulia mengenai hal itu."
"Aku sendiri akan menemui Kaisar dan memastikan agar tuduhan kepadamu itu dicabut. Tetapi, Nobuyori ...
mempersenjatai diri hingga segigi-gigimu?" "
"Izinkanlah saya, jika begitu, Yang Mulia, untuk menyertai Anda ke Istana. Mari, gunakanlah kereta saya."
"Apa maksudmu merintahku seperti itu, Nobuyori?"
amarah Goshirakawa pecah, namun sebelum bisa mengatakan sepatah kata pun lagi, para prajurit telah menghambur ke beranda, meringkusnya, dan mengangkutnya ke sebuah kereta. Penasihat Moronaka telah menanti di dekat kereta itu. Bingung dan marah akibat perlakuan kasar yang diterimanya, Goshirakawa menolak untuk memasuk, kereta dan menoleh kepada sang penasihat
"Kau, Morinaka, apa maksud kedatanganmu kemari "
bersenjata pula?" Penasihat Morinaka mundur dan menjawab dengan terbata-bata. "Hanya untuk kali ini, Yang Mulia. Jangan cemas. Kita akan segera kembali kemari."
Sementara Morinaka dengan gemetar merentetkan berbagai alasannya, beberapa orang prajurit muncul sambil menyeret seorang putri yang meratap-ratap, adik Goshirakawa. Mantan Kaisar tidak sanggup lagi berkata-kata ketika melihat adiknya. Tanpa menyanggah lagi, dia membiarkan dirinya didorong ke kereta, menyusul sang adik.
Sebuah perintah tegas terdengar, "Begitu kereta berangkat, nyalakan api di semua gerbang! Jangan sampai anak-anak Shinzei melarikan diri. Habisi saja siapa pun yang melawan!"
Kereta berderak maju dan keluar melalui salah satu gerbang, yang terlalap api sesaat kemudian. Sebuah cambuk
melecut-lecut di belakang kerbau penarik kereta, sementara kendaraan besar itu terguncang-guncang di atas jalan yang beku. Yoshitomo dan Nobuyori beserta pasukan berkuda mereka mengiringi langkah si kerbau yang, terpacu oleh dentangan senjata dan derap kaki kuda, berlari menggila hingga kereta yang ditariknya mendekati Gerbang Selatan Istana Kekaisaran.


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Utara ... ke Gerbang Utara!"
Barisan berantakan itu membanjiri tembok Istana Kekaisaran, berbelok dengan tajam ke utara dan menghambur memasuki halaman Istana, sebelum berhenti di antara gerbang luar dan dalam di dekat Gedung Arsip Istana.
Yoshitomo dan Nobuyori melakukan perundingan singkat:
"Sebaiknya kita menahan mereka di sana hingga keributan di kota mereda."
Goshirakawa dan adiknya dibawa memasuki Gedung Arsip dan dikurung di sana. Para prajurit diperintahkan untuk mengawasi tahanan hingga perintah selanjutnya dikeluarkan.
Kaisar Nijo, sementara itu, secara paksa dibangunkan dari tidurnya oleh para prajurit dan secepatnya digelandang, dalam keadaan ketakutan, ke sebuah gedung di sisi utara Istana untuk kemudian dikurung di sana.. -
Sekarang, setelah Kaisar dan Mantan Kaisar ditahan dan para prajurit Genji memegang kekuasaan utuh di Pangkalan Pengawal, yang harus dilakukan oleh para pelaku persekongkolan adalah menangani Shinzei dan Kiyomori.
Ketika meninggalkan gedung Arsip dan mengitari halaman Istana ke arah timur, Genji Yoshitomo, Wakil
Penasihat Nobuyori, dan para pengikut mereka melihat api telah melalap Istana Kloister. Langit di atasnya seolah-olah turut terbakar. Asap yang menyesakkan napas membubung ke langit dan menghujankan bara biru menyala yang menjadikan bintang-bintang musim dingin tampak gemetar.
Kuda Nobuyori mendadak berhenti ketika sepasukan prajurit mengyongsong mereka dengan tombak teracung.
Nobuyori tanpa sadar menjerit, "Musuh! ... Genji atau Heike?" Yoshitomo tertawa di belakangnya.
"Mereka pasti anak buah kita, tapi aku tidak heran jika mereka ternyata Heike."
Pasukan itu maju menghampiri Nobuyori dan Yoshitomo, lalu mendadak berhenti di hadapan mereka untuk melaporkan apa yang telah terjadi di Istana Kloister.
Mereka telah menangkap dan memenggal kepala dua orang penasihat Mantan Kaisar, kata mereka, sementara seorang prajurit mengacungkan sebilah pedang yang digunakan untuk menancapkan dua buah kepala. Nobuyori bergidik dan langsung mengalihkan pandangan, namun Yoshitomo mencondongkan badan untuk memeriksa kedua kepala itu dari jarak dekat.
"Bagus sekali," perintahnya, "pajang kedua kepala ini di Gerbang Timur. Umumkanlah kepada masyarakat nama semua anggota keluarga Genji dan Heike yang telah dipenggal."
Diikuti oleh para prajurit yang bersorak sorai dengan semangcberapi-api, Nobuyori dancberbelok ke barat dan menyusuri jalan disebelah selatan akedemi.
Ketika itu pukul dua dini hari. Api masih menyala, dan angin kencang menebarkan bara, meniupnya ke segala arah dalam sebuah tarian iblis.
Korekata dan Nobuyori, setelah menerima laporan dari mata-mata bahwa Shinzei dan putra-putranya sedang menghabiskan malam di Istana Kloister, memerintahkan agar seluruh tempat itu dibumihanguskan. Tetapi, ketika diketahui bahwa Shinzei tidak menyerati putra-putranya, Korekata segera memerintah para prajuritnya untuk mengepung kediaman sang penasihat dan membakarnya, tanpa membiarkan seorang pun meloloskan diri. Ketika pagi tiba, para prajurit menyisir seluruh abu di reruntuhan bangunan itu namun tidak menemukan mayat Shinzei.
Ketika fajar merekah pada 10 Desember, seluruh ibu kota masih dicekam kengerian. Rumah-rumah dan toko-toko tertutup rapat, dan hanya kelompok-kelompok prajurit berwajah menghitam dan bernoda darah yang terlihat berkeliaran di jalanan. Di gerbang Jalan Kelima, bagaimanapun, toko Hidung buka seperti biasa.
Bamboku menghabiskan sepanjang malam di atas atap rumahnya, menyaksikan pembakaran di ibu kota. Melihat bangunan-bangunan yang ditelan api dan asap, dia mengerang, "Sayang sekali ... api itu adalah emas murni!"
Jiwa sang saudagar mendesah melihat begitu banyaknya harta yang hancur lebur menjadi abu malam itu.
"Apa pun yang terjadi, sepertinya Wakil Penasihat Nobuyori berkuasa saat ini. Luar biasa ... benar-benar luar biasa! Dengan kepergian Shinzei, ini bisa diduga."
Bertengger di atapnya bagaikan seekor burung bangkai, Hidung menyaksikan api perlahan-lahan padam, dan dia pun segera mengalihkan pikirannya pada bisnis yang telah menantinya keesokan harinya. Tidak sekelumit pun ketakutan atau keraguan tebersit di benaknya. Otaknya tanpa henti berputar dan menggeliat.
"Bagaimana Tuan Harima akan menerima kabar ini"
Dengan kepergian nya, Rokuhara tentu tidak berdaya."
Bamboku menoleh ke arah Rokuhara di seberang sungai.
Dia tidak melihat geliat kehidupan di sana. Membayangkan perasaan para penghuni tempat itu, dia berkomentar dengan lega, "Untunglah aku seorang pedagang ... oh, sungguh bagus takdirku, dilahirkan menjadi seorang pedagang!"
Kemudian, dia turun dari angkat dan berseru dengan suara yang sarat akan emosi, "Perempuan, bangunkan Shika! " Katamu dia sudah bangun" Kalau begitu, bangunkan para pelayan. Perintahkan mereka untuk mengeluarkan gerobak-gerobak dan menunggu di dekat gudang."
Di saat pikirannya kalut, Hidung melupakan bahwa istrinya berdarah biru dan membentak-bentaknya seperti istri biasa. Sejenak kemudian, Hidung telah sibuk mengangkut berguci-guci sake ... lebih dari selusin ... keluar dari gudang dan memuatnya ke dalam gerobak.
"Pastikan agar sake ini terkirim ke kediaman Yang Terhormat Nobuyori dan Yoshitomo. Sampaikanlah kepada mereka bahwa ini adalah hadiah kemenangan dariku. Katakan juga bahwa aku akan menemui Penasihat Tsunemune secara pribadi siang nanti," kata Hidung kepada Shika.
Para pelayan tampak enggan. Masih terlalu berbahaya untuk melintasi ibu kota dengan membawa gerobak bermuatan seperti itu, dan mereka pun memprotes dengan keras kepala.
Hidung cepat-cepat menyanggah mereka. "Omong kosong! Seandainya kalian pelayan samurai, semalam kalian harus mengangkat pedang dan panah untuk menyelamatkan diri kalian sendiri! Apakah kalian mengira
bahwa para samurai dan pelayan mereka itu pernah punya cukup makanan untuk mengenyangkan diri mereka"
Bagaimana kalian bisa menjadi pedagang yang baik jika kalian tidak berani menghadapi keadaan seperti ini?"
Setelah melihat sendiri para pelayannya keluar menyusun jalanan yang masih gelap. Hidung kembali memasuk, rumah dan menikmati Lapan yang masih panas, kemudian merayap ke ranjang dan tidur nyenyak.
Tanpa menyia-nyiakan waktu, Wakil Penasihat Nobuyori dan Korekata dari Kepolisian menduduki Istana dan mengeluarkan proklamasi atas nama Kaisar.
Tanggal 12 telah tiba, dan kabar tentang Shinzei belum juga terdengar. Sang penasihat segera melarikan diri dari ibu kota dengan menunggang kuda begitu mata-matanya memberinya peringatan, sejenak sebelum pemberontakan pecah pada malam hari tanggal 10. Dia tidak sempat lagi memperingatkan istrinya, Nyonya Kii, atau putra-putranya yang sedang berada di Istana Kloister. Shinzei melakukan perjalanan dalam kegelapan, menyusuri Jalan Raya Uji menuju salah satu tanah kekuasaannya. Lima orang pelayan tersaruk-saruk di belakangnya. Menjelang siang pada tanggal 13, salah seorang pelayan Shinzei, yang berhasil meloloskan diri dari ibu kota, bertemu dengan rekannya sesama pelayan di wilayah perbukitan di dekat Uji.
"Di manakah majikan kita" Apakah beliau selamat?"
tanyanya. Rekannya ragu-ragu dan, berpikir bahwa lebih bijaksana jika dirinya tidak banyak bicara, meyakinkannya bahwa Shinzei selamat dan balas menghujaninya dengan pertanyaan mengenai apa yang terjadi di ibu kota. Setelah
mendengar semua kabar yang mungkin diperolehnya, dia mendesak temannya agar kembali ke Kyoto.
Sekembalinya di tempat majikannya, si pelayan menuturkan semua cerita yang telah didengarnya. Shinzei pucat pasi karenanya dan, selagi mereka masih berbicara, beberapa orang pelayan lain, yang baru saja kembali setelah melakukan pemeriksaan di lingkungan sekitar mereka, menyampaikan kabar bahwa sebuah pasukan
beranggotakan tujuh puluh orang samurai berkuda sedang mendekat ke arah mereka.
Bagaikan seekor binatang yang telah terdesak, mata Shinzei berkaca-kaca. Dia mengerang. Tidak ada harapan lagi baginya untuk mencapai daerah kekuasaannya.
Kemudian, dia menoleh kepada kelima pelayannya.
"Aku punya rencana. Ada rumah petani di belakang kuil ini. Carilah sekop dan galilah sebuah lubang di sana ... di belakang rumpun bambu ". Cepat ... sebuah lubang!"
Para pelayan itu secara membabi buta menggali tanah yang beku hingga mendapatkan sebuah lubang yang cukup besar untuk menampung Shinzei dalam posisi duduk bersila. Shinzei memasuki lubang itu dan memerintahkan kepada para pelayannya untuk menimbunnya dengan daun dan ranting pepohonan hingga batas lehernya.
"Sekarang, timbuni aku dengan tanah," perintah Shinzei, menyelipkan seruas bambu ke bibirnya, "hingga bahuku tertutup seluruhnya. Pasang topi bambu itu di kepalaku, dan masukkan
lebih banyak lagi tanah, perlahan-lahan, hingga puncak kepalaku rata dengan permukaan tanah. Robeklah secarik kain dari kimono kalian dan sumpallah telinga dan hidungku dengan lembut; kemudian, tutupilah jejak kalian dengan dedaunan. Pastikan agar tidak ada kotoran yang
menyumbat bambu yang kugunakan untuk bernapas ini.
Tinggalkan aku di sini hingga besok, dan kembalilah segera setelah keadaan aman."
Setelah menyelesaikan tugas mereka, para pelayan Shinzei segera pergi.
Keesokan siangnya, dua dari lima orang pelayan Shinzei kembali secara diam-diam dan terperanjat ketika menemukan sebuah lubang menganga dengan sesosok mayat di dalamnya. Beberapa orang petani yang mereka temui mengatakan bahwa beberapa orang prajurit, dengan dipandu oleh seorang penebang pohon, mendatangi tempat itu pada malam hari dan menggali lubang tempat Shinzei bersembunyi, menariknya keluar, memenggalnya di sana dan saat itu juga, lalu langsung pergi setelah melemparkan kembali mayat tanpa kepala sang penasihat ke dalam lubang.
Pada hari ketika Shinzei menemui ajalnya " 13
Desember " seorang kurir dari Rokuhara berhasil mengejar Kyomori di Kiribe.
Pada tanggal 14, ketika kabar mengenai penangkapan dan pemenggalan Shinzei mencapai ibu kota, sebuah proklamasi dibuat, mengumumkan bahwa kepala Shinzei akan diarak di sepanjang jalan-jalan utama ibu kota dan kemudian dipajang di sebuah tempat umum.
Masyarakat berduyun-duyun turun ke jalanan ibu kota untuk menyaksikan pemandangan yang mendirikan bulu kuduk ini. Ketika kepala Shinzei dipamerkan di hadapan Nobuyori, Korekata, dan Yoshitomo yang duduk di dalam kereta mereka, salah seorang penonton terdengar mengatakan telah melihat simbol mengerikan itu mengangguk dua kali ke arah ketiga pria tersebut. Maka, cerita aneh ini pun beredar dengan cepatnya dari mulut ke
mulut di antara para penonton yang siap memercayai segalanya.
Dari keluarga Shinzei, sembilan belas orang, termasuk putra-putranya, ditahan dan dipenggal di tepi sungai, tempat begitu banyak orang telah menemui ajal mereka belum lama berselang berdasarkan perintah Shinzei. Kepala Shinzei dipajang di atas sebatang pohon di sisi barat ibu kota agar semua orang bisa melihat nasib ironis seorang pria yang telah membangkitkan hukuman mati.
Sebelum pekan itu berakhir, para pemberentok telah membagi-bagikan jabatan-jabatan terpenting di antara mereka sendiri dan memproklamirkan diri sebagai pemerintah yang baru. Selain menjadi menteri, Nobuyori juga menghadiahi dirinya sendiri dengan jabatan Jenderal Kesatuan Pengawal Kekaisaran yang telah lama didambakannya. Korekata, fsunemung, dan yang lainnya mendapatkan jabatan idaman mereka masing-masing, dan Genji Yoshitomo mendapatkan Provinsi Harima. Genji Yorimasa, bagaimanapun, tidak menghadiri pesta perayaan kemenangan mereka dengan alasan bahwa cedera yang dideritanya menghalanginya untuk keluar dari rumah.
Segala macam pikiran tentang Kaisar dan Goshirakawa yang masih ditahan untuk sementara itu terlupakan. Tetapi, ketika pesta tengah berlangsung, seorang juru tulis istana menghampiri Yoshitomo untuk menyampaikan sebuah pesan:
"Tuan, putra Anda baru saja tiba dari Kamakura. Beliau sedang menanti Anda di salahi satu ruang tunggu."
Wajah Yoshitomo mendadak berseri-seri. "Benarkah?"
Wajah Nobuyori tampak merah padam di bawah lapisan bedak tebalnya. Dia telah minum sepanjang malam.
Mendengar kata-kata si juru tulis, dia mencondongkan
badan ke arah Yoshitomo, yang duduk di sampingnya.
"Tuan Juru Kunci Istal Kekaisaran, siapakah yang baru saja tiba dari Kamakura?"
"Putra sulungku, Yoshihira. Dia dikirim ke sana sejak masih bocah untuk memperoleh pendidikan. Namanya tercoreng gara-gara dia pernah membunuh pamannya sendiri dalam sebuah pertengkaran. Dia memang anak nakal, namun sepertinya dia telah mendengar tentang gejolak yang terjadi di sini dan datang untuk menawarkan bantuan. Ini membuatku bangga kepadanya. Pepatah mengatakan bahwa semakin bermasalah seorang anak, semakin besar cinta orangtuanya kepadanya"
"Sudah berapa lamakah sejak kau terakhir kali berjumpa dengannya?" -
"Aku tidak ingat lagi berapa tahun telah berlalu."
"Berapakah umurnya?"
"Sembilan belas tahun."
"Dia tentu telah berkuda dari Kamakura sepanjang siang dan malam tanpa sekali pun berhenti. Kau sebaiknya menemuinya tanpa membuang-buang waktu lagi. Ajak saja dia kemari"
Yoshitomo menelengkan kepala. "Jika kau
menghendaki, Tuan." "Aku ingin bertemu sendiri dengan Yoshihira." Si juru tulis mempersilakan seorang pemuda masuk, dan seluruh ruangan serentak menoleh dengan penasaran ke arahnya. Tetapi, ekspresi kecewa seketika muncul diwajah mereka karena, berbeda dengan reputasinya, Yoshihira ternyata berpenampilan biasa-biasa saja dan berperawakan agak kecil, Dia mengenakan baju zirah yang biasa dikenakanan seorang samurai muda. Tali sutra ungu di topinya terikat di bawah dagunya, semakin menonjolkan rona merah pipinya dan menimbulkan kesan
lembut pada sosoknya yang sehat. Topinya masih baru dan sepertinya dikenakannya dengan tergesa-gesa untuk mengikuti acara ini.
Nobuyori mengamati pemuda itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Genji Yoshihira, kau membawa keberuntungan bagi kami. Kau datang pada hari perayaan," katanya. "Kau pun juga harus sesegera mungkin membuktikan dirimu di dalam peperangan, dan dengan kekuatanmu sendiri merebut sebuah jabatan di istana. Semua orang yang kaulihat di sekelilingku ini telah membuktikan diri mereka selama empat hari terakhir dan saat ini sedang mendapatkan hujan pujian dan kehormatan, seperti yang selayaknya mereka terima.
Ini ... sake untuk Yoshihira."
Yoshihira membungkuk dalam-dalam untuk
memberikan penghormatan, kemudian duduk tegak dan menatap para pejabat istana yang duduk di panggung kehormatan, seolah-olah belum pernah melihat pemandangan semenakjubkan itu. Seorang pelayan menyerahkan secangkir sake kepadanya. Yoshihira menghabiskannya dalam sekali tenggak. Si pelayan mengisi kembali cangkirnya, dan dia menenggaknya lagi tanpa mengatakan apa-apa. Rona di wajah berkulit cokelatnya menimbulkan kesan lugu yang jarang ditemui dalam diri para pemuda ibu kota. Tatapan mata jernihnya tidak menunjukkan kelicikan apa pun.
"Minummu hebat, Yoshihira. Kau menikmatinya?"
"Ya." "Dan ... cinta?"
"Mengenai itu, saya tidak tahu apa-apa."
"Apakah yang membawamu ke ibu kota" Untuk memperoleh nama?"
"Itu cita-cita saya. Saya datang kemari karena mendengar bahwa h saya sedang membutuhkan bantuan, dan putra macam apakah tidak akan melakukan hal yang sama?" Jawaban lugas dan langsung itu sepertinya memuaskan Nobuyori. "Cara bicaramu khas orang timur!"
Dia tergelak, memamerkan giginya yang telah diwarnai.
Yoshihira mengernyitkan wajah dengan jijik melihat deretan gigi hitam di tengah wajah yang terpoles cat.
"Kau tidak sombong tetapi jantan, Yoshihira. Ayo, kau harus mengikuti teladan ayahmu dan merebut tempatmu di antara kami. Aku akan memastikan agar kau bisa."
Kesan kesal mengambang di atas senyuman Yoshihira.
Para pejabat istana itu, pikirnya, masih memperlakukan samurai seperti anjing penjaga. Saat ini mereka sedang mengiming-iminginya dengan jabatan, seolah-olah dirinya seekor anak anjing.
"Apakah yang membuatmu tersenyum, Yoshihira?"
tanya Nobuyori. "Apakah kau tertarik untuk memegang jabatan?"
Yoshihira menggeleng. "Tidak, saya sedang memikirkan paman saya dan apa yang beliau lakukan selama Perang Hogen."
"Perang Hogen" Pamanmu?"
"Genji Tametomo adalah paman saya. Beliau menolak sebuah jabatan di istana dari Mentero Golongan Kiri ketika perang dimulai, dan terjun begitu saja ke medan perang ".
Saya hanya memikirkan itu."
Nobuyori mengernyitkan wajah. Dia merasa telah menyinggung perasaan pemuda itu. Para pejabat istana
memelototi Yoshihira; Yoshitomo menahan sambutan bangganya. Untungnya, kedatangan sebuah pesan untuk Nobuyori memecahkan keheningan yang menyelimuti ruangan. Seorang kurir telah kembali dengan membawa laporan mengenai lokasi keberadaan Kiyomori.
Setelah Shinzei tewas, hanya Kiyomori yang harus mereka hadapi, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan Rokuhara tempat adik dan adik ipar Kiyomori bertanggung jawab, desas-desus yang mengatakan bahwa mereka pun telah membawa para wanita dan anak-anak, dan satu saja perintah dari Nobuyori kepada pasukannya akan bisa memastikan kebenaran kabar burung itu. Tetapi, Nobuyori dan para pendukungnya bersedia menunggu hingga mereka mengetahui tindakan yang akan diambil oleh Kiyomori.
Mereka yakin bahwa Kiyomori telah berada di ujung tanduk; dia tidak akan berani melawan mereka. Tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali menyerah. Beberapa orang, bagaimanapun, mengkhawatirkan kemungkinan bahwa Kiyomori akan cukup kalap dan menantang mereka melakukan pertempuran habis-habisan.
Walaupun sebagian orang merasa waswas, pihak yang telah menang tidak terganggu sedikit pun ketika mendengar berita terbaru tersebut "Sepertinya Kiyomori telah memutuskan untuk kembali ke ibu kota. Kurir yang kita berangkatkan pagi ini baru saja kembali. Tidak ada kabar tentang langkah yang akan diambil Kiyomori. Tetapi, kita akan mengetahuinya dari kurir berikutnya."
Pesta dilanjutkan, dan Nobuyori kembali memerhatikan Yoshihira.
"Dan, omong-omong, Anak Muda, apakah pendapatmu mengenai semua ini?"
Yoshihira, yang telah memerhatikan baik-baik potongan-potongan pembicaraan di sekelilingnya, dengan penuh semangat menjawab, "Izinkanlah saya memimpin sepasukan prajurit. Saya akan pergi ke Abeno dan menantang Heik6 Kiyomori untuk melakukan pertarungan satu lawan satu di sana dan membawa kepalanya kemari."
Kepercayaan diri Yoshihira menggelikan para pejabat istana, yang menyambut ucapannya dengan tertawa terbahak-bahak.
Yoshihira mengedarkan pandangan dengan heran.
o0odwkzo0o Bab XXII-Jeruk Dari Selatan
Malam musim dingin turun perlahan-lahan di tengah laut, menghadirkan nuansa kebiruan yang menyerupai sisik ikan sementara matahari tenggelam di cakrawala. Di permukaan air yang jauh, lekak-lekuk ombak tampak putih berkilauan. Ketika itulah kecepatan putaran bumi nyaris terasa, seiring sejalan dengan perubahan cahaya. Garis panjang pesisir Semenanjung Kii tampak berkerut merut di bagian selatan, disambut oleh deretan perbukitan, dan Pelabuhan Kirib6 berdiri di antaranya, tampak indah dan permai. Beberapa titik cahaya berkilauan dari dusun yang terletak di antara mulut sungai dan laut.
"Tenggelamlah matahari ... ah, tenggelamlah," bisik Kiyomori pada langit yang semakin gelap dan kaki bukit yang menjadi tempat berdirinya Tempat Pemujaan Kumano. Tidak pernah sekali pun selama empat puluh dua tahun kehidupannya, dia menyaksikan matahari tenggelam dengan perasaan segetir itu. Ketika rtu adalah tanggal 13
Desember, hari saat dia mendengar kabar mengenai peristiwa memilukan yang terjadi di Kyoto.
Ketika rombongannya telah pulih dari kepanikan mereka, Kiyomori memanfaat sebuah bangsal di salah satu bangunan yang terhubung dengan Tempat Pemujaan Kiribe untuk mengadakan musyawarah; dikelilingi oleh para pengikutnya, Kiyomori berbicara:
"Kita tidak boleh kehilangan semangat di masa terburuk dalam kehidupan kita ini. Lalu, apakah yang sebaiknya kita lakukan" Shigemori, sampaikanlah pendapatmu kepada kami. Mokunosuk6 ... dan kalian semua ... bicaralah.
Semua orang di sini, katakanlah pendapat kalian kepadaku tentang apa yang sebaiknya kita lakukan."
Tidak seorang pun dari mereka pernah melihat Kiyomori seperti ini. Sikap seriusnya menjadikan sosoknya sulit dikenali. Dia bukan lagi seorang pemimpin berperangai riang dan penuh kepercayaan diri seperti yang selalu mereka kenal. Alis tebalnya, yang memberinya kesan keras kepala, bertaut menjadi seruas garis tebal, menaungi sepasang matanya yang memancarkan kecemasan.
Kesan muram juga tampak di wajah Shigemori, yang biasanya selalu tenang.
"Pertama-tama, katakanlah kepada kami pendapat Ayah.
Tidak ada yang kami inginkan melebihi hidup atau mati bersama Ayah," kata Shigemori.
Kiyomori segera menjabarkan garis besar dua buah rencana. Shigemori menyampaikan keberatan, dan Mokunosuk6 menggeleng. Dan, sementara mereka berunding, siang musim dingin yang pendek dengan cepat berganti malam.
"Setiap detik begitu berharga, dan kita harus beristirahat dan tidur, atau kita akan kesulitan menghadapi hari esok.
Bagaimana jika kita meminta juru kunci tempat pemujaan untuk menghidangkan makan malam kita di dekat tungku"
Dan kau, Mokunosukg, katakan kepada para pelayan untuk memasak makanan mereka dan tidur."
Pembicaraan itu berakhir ketika juru kunci tempat pemujaan muncul untuk menyambut Kiyomori dan mengawalnya ke sebuah pondok yang khusus didirikan bagi para tamu kekaisaran yang hendak menuju Tempat Pemujaan Kumano, beberapa hari perjalanan lagi ke arah tenggara. Besarnya perapian terbuka yang ada di pondok itu selalu mengejutkan para tamu dari ibu kota. Kiyomori duduk
di dekat api yang bergolak dan mendengarkan gumaman laut di kejauhan.
"Ayah pasti lelah."
"Oh, kaukah itu, Shigemori" Di manakah si Tua Bangka?"
"Dia akan kemari sebentar lagi."
"Aku hanya ingin berbicara bertiga di sini."
"Mokunosuk6 juga berpendapat begitu. Dia sedang memeriksa apakah semua orang telah tidur malam ini."
"Bagaimanakah keadaan mereka?"
"Mereka sangat terguncang pada awalnya, namun semangat mereka sepertinya telah kembali."
"Jika ada di antara mereka yang hendak kabur, biarkanlah saja. Jangan mengawasi mereka terlalu ketat."
Para perawan biara membawa masuk sake dan makanan, dan kepala pendeta hadir beberapa saat kemudian untuk
menyapa Kiyomori. Kiyomori cepat-cepat memberinya penghormatan dengan cara yang semestinya.
"Dari kabar yang saya dengar, iklim di wilayah ini cukup hangat, namun laut menimbulkan kesan dingin dan mengancam pada malam hari. Kami berharap bisa menghabiskan makanan kami di dekat perapian ini, tanpa gangguan, karena saya harus membahas masalah pribadi,"
kata Kiyomori tanpa berbasi-basi.
Mokunosuke segera hadir. Kedua rencana yang telah disampaikan oleh Kiyomori kepada para pengikutnya adalah sebagai berikut: pertama, melanjutkan perjalanan ziarah karena mereka tidak akan berdaya untuk melakukan perlawanan jika mereka kembali saat ini. Di Kumano, Kiyomori akan menemui seorang ahli nujum dan bertindak berdasarkan nasihat darinya. Yang kedua adalah langsung kembali ke Naniwa (Osaka), dan dari sana berlayar ke Pulau Shikoku untuk melakukan pengintaian dan berusaha menghimpun pasukan.
Sesungguhnya, kedua rencana tersebut bisa mereka jalankan. Bagaimanapun, Mokunosuk6 bisa memahami apa yang sesungguhnya berkecamuk di benak Kiyomori. Alih-alih kepada musuh yang telah menanti di ibu kota, Kiyomori lebih mencemaskan pengkhianatan di antara para prajurit yang ada di dalam rombongannya saat ini, karena imbalan berjumlah besar telah ditawarkan kepada siapa pun yang bisa menyerahkan kepala Kiyomori kepada pihak yang berwenang. Kendati begitu, ada masalah lain yang lebih merisaukan Kiyomori, yaitu nasib keluarganya di Rokuhara. Jika Kiyomori memutuskan untuk mengangkat senjata guna melawan Nobuyori dan Korekata, maka mereka tidak akan segan-segan membawa obor mereka ke Rokuhara dan membantai seluruh penghuninya, dan kemudian menuntut Kiyomori agar menyerahkan diri. Hal
ini tidak bisa disangkal, sehingga apa pun keputusan yang akan diambilnya, Kiyomori harus merahasiakannya dari teman maupun musuhnya, kembali ke Kyoto tanpa menyia-nyiakan waktu, dan bertindak dengan cepat.
Mokunosuk6, dengan tubuh delapan puluh tahunnya yang bungkuk, menghadapi ayah dan anak itu di depan perapian, berbicara seperti orang yang berkumur-kumur.
"Peristiwa di ibu kota itu cepat atau lambat pasti terjadi.
Si Tua Bangka ini sulit memercayai apa yang baru saja Anda katakan. Saya juga sangat menyadari kesulitan yang akan Anda hadapi jika Anda kembali ke ibu kota. Tetapi, sejauh pengetahuan saya, kita memiliki cukup busur, anak panah, dan baju zirah."
"Tua Bangka, apa kau mengatakan bahwa kita membawa persenjataan kemari?"
"Itu adalah bagian dari pendidikan samurai; saya berutang budi kepada ayah Anda, Tadamori, untuk pengetahuan ini."
"Bagus sekali!"
Shigemori, yang secara diam-diam memerhatikan wajah ayahnya dalam temaram cahaya perapian, berkata:
"Apakah Ayah memutuskan untuk segera kembali ke ibu kota?"
"Begitulah. Tidak ada pilihan lain bagiku sebagai seorang samurai. Para dewa telah memberikan kesempatan ini kepada kita. Ada begitu
banyak halangan dan rintangan di jalan menuju Kumano
... seperti manusia yang menjalani kehidupan, Shigemori.
Kau telah dewasa sekarang, dan Ini akan menjadi ujian besar bagi kejantananmu."
"Aku pasti akan mendukung Ayah. Tetapi, bagaimana dengan keluarga kita di Rokuhara?"
"Ya. kita memiliki semua alasan untuk
mengkhawatirkan mereka, dan itulah satu-satunya keberatanku untuk kembali. Lebih baik kita mengirim seseorang yang kita percaya untuk menyampaikan pesan ke penginapan di Tanab6."
"Hanzo adalah orang yang tepat untuk tugas itu. Apakah isi pesannya?"
"Kepala pendeta Kumano sedang singgah di sana. Aku akan menulis kepadanya dan memohon bantuan di sepanjang jalan."
"Jika tugas ini memang penting, tidakkah sebaiknya aku saja yang pergi?"
"Tidak, itu akan membuat kita tampak putus asa. Hanzo sudah cukup."
Kiyomori segera menulis sebuah surat dan mengirim Hanzo untuk menyampaikannya. Kemudian, dia mengatakan kepada kepala pendeta bahwa sebuah panggilan mendadak dari ibu kota telah memaksanya untuk membatalkan perjalanan. Dia menambahkan, "Karena kami akan berangkat sebelum fajar merekah, saya harus memohon kemurahan hati Anda untuk mengizinkan kami menghadiri upacara peribadatan pagi."
Mengenakan baju zirah lengkap, Kiyomori, Shigemori, beserta para prajurit dan pelayan mereka, bergerak perlahan-lahan ke utara. Masing-masing dari mereka menyematkan sepotong ranting cemara ke baju zirah mereka. Para peziarah memang disyaratkan untuk membawa sepotong ranting cemara, pohon keramat di Tempat Pemujaan Kirib6, sebagai azimat.
Para pendeta, yang belum mendengar tentang pemberontakan di Kyoto, mengira bahwa Kiyomori mendapatkan panggilan biasa dari istana. Mereka menghadiahi Kiyomori beserta rombongannya dengan potongan besar ranting-ranting pohon, yang diikatkan ke pelana kuda mereka. Kiyomori dan rombongannya menatap heran pada jeruk-jeruk mandarin wangi yang menyembul dan berkilauan bagaikan emas di antara dedaunan hijau tua di ranting-ranting tersebut. Benar-benar hiasan yang indah, pikir Kiyomori, untuk pesta Tahun Baru di Istana, tempat para bangsawan akan mengagumi buah asing berjenis baru ini. Kemudian, dia mencabut sebutir jeruk, mengupasnya, lalu mencicipinya.
"Cobalah, ini lezat!" serunya, tiba-tiba menoleh dari atas kudanya. "Shigemori, Tua Bangka, cicipilah. Sepertinya mustahil buah jeruk ini masih tersisa setibanya kita di ibu kota. Cobalah, semuanya, bagikanlah jeruk-jeruk ini di antara kalian."
Kiyomori memetiki berfoutir-butir jeruk lalu melempar ke para prajuritnya, yang berebutan menangkapnya sembari bersorak sorai seperti anak-anak yang penuh semangat.
Matahari telah tinggi di atas cakrawala sekarang, dan udara pagi yang dingin telah dipecahkan oleh gelak tawa menyambut hujan buah emas.
Mereka berkuda melewati desa demi desa hingga matahari tenggelam, ketika Kiyomori memerintahkan kepada mereka untuk berhenti. Keesokan paginya, mereka melintasi rute pegunungan dan terus maju hingga tiba di Sungai Kii. Di sana, mereka memperkuat pasukan dengan dua puluh orang penunggang kuda bersenjata yang disediakan oleh kepala pendeta Tempat Pemujaan Kumano sebagai jawaban atas surat Kiyomori.
Pada hari yang sama, ketika sedang berbaris, seorang panglima beserta tiga puluh orang pelayannya menemui mereka. Sebagai jawaban atas pertanyaan Kiyomori tentang alasan kedatangan mereka, sang panglima menjawab:
"Ayah saya berutuang budi begitu besar kepada mendiang ayah Anda, Tadamori, yang pernah menjadi pelindung kami. Saya mendengar bahwa Anda mendadak memutuskan untuk kembali ke ibu kota karena adanya pergolakan di sana, dan saya datang untuk memberikan peringatan kepada Anda."
Sang panglima kemudian mengatakan bahwa kabar burung mengenai Kiyomori yang membatalkan perjalanan ziarahnya ke Kumano telah sampai di ibu kota. Putra Yoshitomo, Yoshihira, bersama tiga ribu orang prajurit berkuda, telah tiba di Naniwa (Osaka) dan menggiring pasukannya ke selatan untuk menghadang Kiyomori.
Darah Kiyomori terasa menggelegak. Tatapan Shigemori semakin nyalang ketika mereka melanjutkan perjalanan ke utara. Niat Kiyomori telah terbaca dengan jelas oleh para pengikutnya, dan Kiyomori menyadari bahwa telah tiba waktunya bagi mereka untuk memutuskan apakah mereka mau meninggalkannya.
"Berhenti, istirahatkanlah kuda-kuda kalian. Habiskan jeruk kalian. Tidak banyak lagi yang tersisa. Kalian semua harus mencicipinya," perintahnya, sebelum menambahkan sambil tertawa, "ini mungkin kesempatan terakhir kalian."
Matanya mengamati wajah-wajah di sekelilingnya untuk melihat dampak kata-katanya kepada pasukannya.
o0odwkzo0o Pasukan Kiyomori membentuk lingkaran di
sekelilingnya di sebentang lahan kosong.
"Aku membawa kalian melakukan perjalanan sejauh ini dengan rencana menyeberang ke Pulau Shikoku, namun aku berubah pikiran. Aku tidak akan memperoleh keamanan di mana pun, bahkan jika aku menyeberang ke Cina."
Kiyomori berbicara tanpa sedikit pun tanda-tanda kegundahan.
"Kita akan selamat jika angkat tangan dari kericuhan di ibu kota, namun para samurai di mana pun akan membenci klan Heik6 yang pengecut dan menolak untuk memberikan dukungan mereka kepada kita. Barangkali mereka justru akan memberikan dukungan kepada klan Genji."
Para prajurit mendengarkan petuah Kiyomori dengan penuh perhatian. Dari ekspresi wajah mereka, terlihat bahwa tidak seorang pun dari mereka bersedia mengikuti sarannya, dan Kiyomori tiba-tiba merasa malu menerima tatapan bingung mereka. Dia menyadari bahwa bukan hanya nyawanya sendiri yang menjadi tanggung jawabnya melainkan juga nyawa mereka, dan mereka
memercayainya. Seandainya mereka berniat mengkhianatinya, renung Kiyomori, mereka pasti telah menyambar setiap peluang yang ada untuk melakukannya.
"Sudah cukup yang kukatakan. Sekarang bukan saat untuk berbicara. Walaupun kita hanya berkekuatan seratus orang penunggang kuda, aku yakin bahwa jika kita memiliki tekad, maka kita akan berhasil mencapai ibu kota.
Dan kabar bahwa aku telah kembali ke Rokuhara telah tersebar, maka kawan-kawan kita akan memberikan dukungan mereka kepada kita. Bagaimana menurut kalian?"
Ucapan Kiyomori mendapatkan sambutan gegap gempita karena semua prajurit mencemaskan nasib anak dan istri mereka yang mereka tinggalkan di ibu kota.
Kiyomori melanjutkan, "Ada satu kesulitan yang masih menghadang kita. Aku diberi tahu bahwa Genji Yoshihira bersama tiga ribu orang prajurit berkuda telah menanti kita di utara. Itu berarti tiga puluh melawan satu."
Para prajurit balas menyemangati Kiyomori dengan tekad mereka untuk kembali ke ibu kota, dan mereka menegaskan kepadanya bahwa mereka telah siap untuk menghadapi musuh yang tak terhitung banyaknya, mengikutinya ke mana pun dia akan membawa mereka, dan menunjukkan betapa perkasanya pasukan Heike.
Kiyomori tidak membutuhkan suntikan tekad lagi. Apa pun keraguan yang dimilikinya tentang para prajuritnya lenyap sudah. Dia kemudian memerintah pasukannya untuk menyediakan makanan dan minuman bagi kuda-kuda mereka, menyiapkan makan malam, dan memeriksa tali-temali di sandal dan baju zirah mereka sebelum mempersiapkan diri untuk menembus wilayah musuh pada malam itu juga.
Mereka beristirahat dan menunggu hingga matahari tenggelam sebelum melanjutkan perjalanan, dan berkas-berkas sinar matahari terakhir memberikan nuansa keemasan kepada pasukan yang tengah bergerak lambat di sepanjang pesisir.
"Kita sudah dekat sekarang," Kiyomori memperingatkan pasukannya, memerintah tiga orang penunggang kuda untuk memeriksa keadaan. Cukup jauh dari sana, ketiga orang prajurit itu melihat pendar pucat api-api unggun di sebuah dataran dan menduga bahwa itu adalah perkemahan musuh. Kematian tengah menghadang mereka. Dengan air
muka keruh dan tangan yang seolah-olah lumpuh, ketiganya kembali ke pasukan mereka.
"Mari kita berkumpul. Mendekatlah kemari," perintah Kiyomori dengan nada rendah. "Tetaplah bersatu; kita akan menyerang titik terlemah mereka untuk menembus masuk.
Ingatlah ... jangan lakukan pertempuran satu lawan satu!
Tujuan kita adalah mencapai ibu kota. Shigemori, jangan memisahkan diri dari pasukan," Kiyomori menekankan, menatap putranya dengan tegas.
Shigemori pernah mendengar pamannya, Tokitada, berkomentar bahwa Kiyomori tidak berperawakan seperti layaknya seorang samurai. Walaupun Kiyomori tampak tegap ketika duduk di atas pelananya, akhir-akhir ini Shigemori melihat bahwa ayahnya mulai menggemuk dan kehilangan kelincahan dan kepiawaiannya dalam pertempuran satu lawan satu.
"Jangan khawatir, Ayah. Berhati-hatilah agar Ayah tidak jatuh dari pelana saat kuda-kuda kita mulai berlari kencang."
"Kurang ajar!" Kiyomori tergelak. "Berani-beraninya kau berbicara seperti itu kepada ayahmu! Diam dan masuklah ke dalam barisan. Jangan cambuk kudamu hingga aku memberikan aba-aba. Kau tidak terbiasa berperang, ingat itu. Siapa pun yang menyombongkan diri sebelum perang dimulai biasanya menjadi orang pertama kehilangan kepala saat berhadapan dengan musuh" Ketika tengah bergerak perlahan-lahan, para penunggang kuda itu melihat sosok-sosok yang berkuda dengan cepat ke arah mereka dengan membawa obor dan membidikkan anak panah, namun Kiyomori memerintahkan kepada mereka untuk menahan serangan.
"Tahan! Tunggu! Aku mendengar mereka memanggil.
Mari kita dengarkan terlebih dahulu apa yang hendak mereka katakan."
Beberapa orang samurai menyongsong mereka dengan gembira, "Apakah kalian prajurit Heik6 Kiyomori yang sedang menuju ibu kota" Apakah Tuan Harima ada di antara kalian?"
Kiyomori membawa kudanya maju. "Akulah yang kalian cari, Heik6 Kiyomori. Siapakah kalian" KaJian bukan Genji?"
Seorang samurai dengan sigap turun dari kudanya dan menghampiri Kiyomori.
"Kami bukan Genji. Kami datang dari Is6. Kami mendengar bahwa Tuan sangat membutuhkan bantuan."
"Heikt dari Is6?"
"Kami Heik6 yang pernah memperoleh pertolongan dari ayah Anda. Kami tidak pernah melupakan kebaikan hati beliau kepada kami, dan kami siap mendukung Anda."
"Ah, lse ... akar klan Heike."
"Seribu orang telah bertolak dari Ise ... dua ratus orang menuju Rokuhara. Sekitar lima ratus orang tengah menuju kemari. Tiga ratus orang penunggang kuda akan menyambut dan mengawal Anda."
"Terpujilah para dewa! Ternyata pasukan yang kami lihat tadi bukan musuh, ya" Aku tidak layak mendapatkan pujian untuk hal ini. Semua ini berkat ayahku, yang seumur hidupnya telah menebarkan benih kebaikan" Kiyomori menangis bersyukur.
Sambutan gegap gempita terdengar malam itu, ketika Kiyomori berkuda ke perkemahan pasukan pendukungnya.
Sebelum fajar menyingsing, mereka telah melanjutkan perjalanan, dan Kiyomori, menoleh ke belakang dari atas pelananya, merasakan dadanya membuncah melihat matahari bersinar di atas pasukan berkekuatan empat ratus orang yang dipimpinnya ... bukan jumlah yang kecil.
Matahari masih tinggi ketika mereka tiba di Tempat Pemujaan Fushimi, belasan mil di sebelah selatan ibu kota, tempat para peziarah yang baru kembali dari Kumano biasanya mempersembahkan daun-daun cemara yang mereka bawa dari Tempat Pemujaan Kirib6. Kiyomori menghentikan pasukannya cukup lama untuk berdoa bagi kemenangan mereka. Ketika dia menunduk untuk berdoa, sebentuk ekor rubah seolah-olah berkelebat dan menghilang di depan matanya yang terpejam; dia sekonyong-konyong teringat pada perburuan rubah yang dilakukannya bertahun-tahun silam, ketika dia berpapasan dengan tiga ekor rubah, dan Kiyomori, yang selalu mengolok-olok takhayul, sangat ingin meyakini bahwa para dewa berada di pihaknya.
Kiyomori dan pasukannya tiba di Rokuhara malam itu.
Cahaya tidak terlihat di mana pun dan jalanan sunyi senyap walaupun akhir tahun telah mendekat. Hanya lolongan anjing-anjing pada rembulan musim dingin yang memecahkan keheningan. Tetapi, begitu mendengar kabar bahwa Kiyomori telah tiba, para penghuni Rokuhara yang selama ini menekan perasaan mereka, segera berseru lega.
Tua dan muda, pria dan wanita, para prajurit dan pelayan membanjir keluar dari setiap rumah ke jalanan, melambai-lambai dan bersorak-sorai dengan liar.
"Tokiko! Tokiko!"
Kiyomori memacu kudanya ke gerbang rumahnya, diiringi oleh lautan wajah pendukungnya. Dia sekilas melihat beberapa orang penghuni rumahnya dan memanggil-manggil nama istrinya.
Tokiko, yang menanti di luar dalam keadaan kedinginan bersama anak-anaknya, berdiri mengangkat ujung kimononya untuk menghindari noda lumpur. Begitu mendengar namanya dipanggil, dia melepaskan pegangannya pada kimononya, berlari menyambut, dan menyambar tali kekang Kiyomori.
"Selamat datang di rumah! Kau selamat!"
"Ah, kau ada di sini," seru Kiyomori. mengamati wajah istrinya dengan lega.
"Anak-anak ... ibu kita yang baik?" Kiyomori cepat-cepat menambahkan.
"Mereka semua menantikan kedatanganmu dengan gelisah."
"Apakah mereka semua baik-baik saja" Ini sebuah mukjizat ... benar-benar sebuah mukjizat!"
Kiyomori membawa kudanya ke halaman, tempat ibu tiri dan anak-anaknya menanti di dekat pintu masuk menuju rumahnya. Tempat gelap itu segera hidup kembali dengan derap langkah di sana-sini.
Setelah mengetahui bahwa ibu tirinya, Tokiko, anak-anak, dan semua wanita di rumahnya mengungsi dan bersembunyi di perbukitan begitu pemberontakan pecah, namun kembali ke Rokuhara begitu mendengar bahwa dia sedang berada dalam perjalanan pulang, Kiyomori gusar.
"Siapa yang memerintahkan kepada kalian untuk pulang" Sebaliknyalah yang harus kalian lakukan. Kalian boleh menginap di sini semalam, namun sebelum matahari terbit besok, kalian semua harus kembali ke perbukitan.
Aku tidak bisa membiarkan kalian melihat kekerasan yang akan terjadi di sini. Kita sedang menghadapi situasi
terburuk, dan Rokuhara mungkin akan segera menjadi reruntuhan berasap."
Pada hari ketika Kiyomori kembali ke Rokuhara, Nobuyori dan Korekata mengadakan pertemuan dan memerintahkan kepada semua pejabat istana untuk hadir dengan ancaman hukuman mati. Banyak di antara mereka, bagaimanapun, tidak hadir. Kendati kabar telah tersebar di Kyoto bahwa para samurai dari Is6 dan provinsi-provinsi tetangga sedang menuju Rokuhara, dan Kiyomori sendiri akan segera tiba, Nobuyori lebih merisaukan kekosongan ruang pertemuannya daripada laporan tersebut Nobuyori menduduki singgasana di Bangsal Utama dan tengah menatap dengan bimbang kepada deretan pejabat istana di bawahnya, ketika seseorang terlambat memasuki bangsal, tidak dengan cara biasa tetapi melintasi taman dan menaiki tangga dari sana. Kelima pelayan pria itu, yang mengenakan mantel di atas baju zirah dan pedang mereka, menanti di salah satu gerbang. Pipi Nobuyori seketika memucat di bawah rias wajahnya ketika sang pendatang baru, pamannya, Mitsuyori, melontarkan tatapan kesal ke singgasana.
"Astaga, betul-betul pemandangan luar biasa! Apakah aku melihat tempat kehormatan diduduki oleh kaum perlente dan para pria pemerhati penampilan, dan mereka yang selayaknya berada di sana justru gemetar ketakutan di bawah sini" Apakah ini hiburan di kedai teh, lengkap dengan geisha-geishanya" Bisakah ini disebut Istana?"
semburnya dengan getir. Nobuyori menelengkan kepala dengan bingung ketika mendengar kata-kata pamannya, sementara yang lain gelisah menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mitsuyori, kakak Korekata, yang jarang menghadiri
pertemuan di istana, dipandang dengan penuh kekaguman oleh para bangsawan yang ada di sana.
Seorang pejabat turun dari tempat duduknya di samping Nobuyori dan menghampiri Mitsuyori. "Tuan, kami telah menunggu Anda. Silakan duduk."
"Kalau begitu, ini memang Istana?"
"Ya ... " "jika ini memang Istana, ada yang patut dipertanyakan.
Siapakah laki-laki perlente dengan wajah berias yang duduk di atas sana?"
"Jenderal Kesatuan Pengawal yang baru, Menteri Nobuyori."
"Aku tidak pernah mendengar tentang dia. Tidak ada yang namanya Jenderal Nobuyori di Kesatuan Pengawal Istana. Barangkali yang kaumaksud adalah Wakil Penasihat Nobuyori?"
"Beliau baru saja ditunjuk untuk memegang jabatan tersebut"
"Omong kosong! Di manakah Yang Mulia, yang berhak menyelenggarakan pertemuan?" tanya Mitsuyori, menepuk pahanya dengan marah dan mengacungkan telunjuknya kepada Nobuyori.
"Nobuyori, kau menduduki singgasana; di manakah kau akan menempatkanku, yang berasal dari golongan yang lebih tinggi daripada dirimu?"
"Mengenai pertemuan hari ini ... apakah yang hendak kaubicarakan" Dan, kalian, Tuan-Tuan, mengapa mereka yang tidak hadir hari ini diancam dengan hukuman mati?"
"Hanya Yang Mulia yang berhak menyelenggarakan pertemuan seperti ini. Di manakah beliau" Tidak adakah
yang bisa menjawabku" Benar-benar aneh dan mengherankan!" sembur Mitsuyori sembari beranjak dari bangsal menuju salah satu sayap Istana.
"Korekata, apa yang kaulakukan di sini," hardiknya kepada adiknya, yang didapati sedang bersembunyi di salah satu bilik.
"Kaukah itu ... kakakku?"
?"Kakak?" Kau berani memanggilku "kakak?""
"Ya ... "

The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu, kau telah mempermalukan ku, karena rasa bersalahmu adalah rasa bersalahku juga. Beban ini lebih berat daripada yang bisa kutanggung."
"Aku tidak melakukan kesalahan apa pun"
"Kau memahami maksudku, kalau begitu" Apa yang membuatmu melakukan ini?"
"Kau, seorang pejabat dari Kepolisian, menjadi salah satu dalang pameran kepala Shinzei" Tidak pernahkah kau memikirkan pendapat orang-orang mengenai dirimu" Aku bergidik mendengar desas-desus tentangmu. Sepertinya mustahil bahwa adikku sendiri bisa berbuat sebodoh itu.
Aku selalu meragukannya."
"Nama kita tidak pernah tercoreng hingga sekarang, dan tingkah tololmulah penyebabnya! Pikirkanlah betapa kau telah mencoreng
nama mendiang ayah kita ... menghadirkan aib bagi ibu kita yang telah renta. Apa yang membuatmu melakukan kegilaan seperti ini?"
"Kebodohanku semata. Aku telah menyaksikan perilaku Nobuyori selama beberapa hari terakhir ini dan sekarang menyesali ketololanku."
"Kalau yang kaukatakan itu benar, maka pastikan agar Yang Mulia dibebaskan secepatnya dan selamatkanlah beliau."
"Aku akan melakukannya."
"Aku tidak akan menghambatmu dalam melakukan tugas itu. Apakah kau mengerti, Korekata" Ah, Korekata,"
lanjut Mitsuyori dengan iba, "mengapa kau harus mempertaruhkan nyawamu dengan cara setolol itu?"
Berkat kehadiran tidak terduga Mitsuyori, pertemuan bubar begitu saja.
Tanggal 19 Desember hampir tiba. Malam itu, terdengar kabar di kalangan Pengawal Kekaisaran bahwa Kiyomori telah kembali ke Rokuhara dan tengah menghimpun pasukan.
Pada malam itu juga, Nobuyori, yang telah menghuni Istana, tidak bisa memejamkan mata karena kecemasan yang menyiksanya. Dia mengirim seorang dayang ke bilik Korekata dengan permohonan agar pria itu menemuinya.
Nobuyori terkejut ketika mendengar bahwa Korekata tidak ada di biliknya. Kemudian, dia memanggil Tsunemune, namun bangsawan itu juga tidak ada di Istana Sementara itu, fajar menyingsing tanpa diwarnai oleh serangan dari Rokuhara. Burung-burung mulai berkicau dari pucuk-pucuk pepohonan berlapis es di taman-taman Istana. Nobuyori, yang menantikan matahari terbit, akhirnya terlelap.
o0odwkzo0o Bab XXIII " PENCULIKAN KAISAR
Tanggal 20, 21, dan 22 Desember berlalu tanpa kepastian di Istana Kekaisaran, tempat lalu lalang para prajurit bersenjata di taman-taman menggantikan kesibukan untuk menyambut Tahun Baru. Kabar mengenai rencana Kiyomori untuk menyerang Istana terus terdengar. Di Rokuhara, penghimpunan kekuatan terus dilakukan seiring dengan tersebarnya desas-desus bahwa pasukan Genji akan berbaris dari Istana untuk menyerbu pusat kekuatan pasukan Heike. Tetapi, tanda-tanda mengenai pecahnya pertempuran tidak kunjung terlihat
Di tengah kejenuhan itu, ada seorang pria yang tetap sibuk. Dia adalah Hidung. Korekata dan Nobuyori, kedua pemimpin pemberontakan, secara diam-diam mengunjungi rumah Bamboku di Jalan Kelima pada suatu malam, dan sesaat setelah mereka pergi. Hidung Merah berangkat ke Rokuhara untuk menyampaikan sebuah surat kepada Kiyomori.
Selama hampir seminggu, terdengarlah rumor bahwa perundingan gencatan senjata sedang berlangsung, namun pada malam tanggal 26, Nobuyori menyadari bahwa dekrit apa pun yang dikeluarkan atas nama Kaisar tidak akan mampu meredakan konflik, karena para
panglima Genji semakin gelisah dan pihak Heikg terus melanjutkan persiapan perang mereka. Seluruh situasi ini sekarang berkembang menjadi pertikaian antara Genji dan Heik6, dan jika mereka ingin menghancurkan klan Heik6, sekaranglah saat yang tepat untuk melakukannya.
Mantan Kaisar Goshirakawa, yang dikurung di Gedung Arsip sejak 9 Desember, pada suatu malam mendapatkan kunjungan dari pria-pria bertopeng yang mengatakan:
"Yang Mulia, jangan bersuara dan Anda akan selamat Ada kisikan tentang pertempuran yang akan pecah sebelum pagi tiba. Sebuah tandu telah menanti Anda, dan kami akan mengawal Anda hingga tiba di Kuil Ninna-ji"
Goshirakawa tidak melawan dan memasrahkan dirinya untuk dibawa keluar melewati Gerbang Barat Laut Seekor kuda telah menantinya di sana, dan dia pun cepat-cepat menungganginya untuk pergi dari Istana.
Pada sekitar waktu yang sama ... pukul tiga pagi ...
Kaisar, yang ditahan di bagian lain Istana, mendadak terbangun gara-gara mendengar bisikan yang memerintahkannya untuk melarikan diri ke tempat yang aman pada saat itu juga. Dia terkejut ketika mendapati bahwa Tsunemung dan Korekata datang menemuinya.
Mereka membawa pedang dan mengenakan baju zirah di bawah mantel mereka. Terlalu gentar untuk menjawab, Nijo membiarkan Korekata memasangkan mantel wanita ke tubuhnya dan membawanya pergi.
Tsunemun6 menggiring Nijo yang gemetar ke luar dan menyuruhnya memasuki sebuah kereta bersama adiknya, sang Putri. Kereta itu segera bertolak dari Istana. Dua orang penuntun sapi dan beberapa orang pelayan menyertai mereka menuju sebuah gerbang di sisi barat tembok Istana, tempat mereka dihadang oleh tantangan dari salah seorang pengawal Genji, Juro.
"Siapa di sana?"
Para prajurit menghampiri kereta itu dan menghentikannya.
"Ada sesuatu yeng mencurigakan di sini. Ke manakah kalian akan pergi di malam selarut ini?"
"Putri dan dayangnya sedang menuju kuil." sebuah jawaban terdengar. "Katakan kepada Juro untuk datang kemari."
"Ini saya, Juro."
"Kaukah itu, Juro?"
"Siapa yang berbicara?"
"Korekata dari Kepolisian."
"Anda, Tuan?" "Buka gerbangnya dan biarkan kami lewat. Aku sendiri yang akan mengawal Yang Mulia Tuan Putri. Apakah kau perlu menanyai kami lagi?"
"Tidak perlu, Tuan, tapi Jenderal Yoshitomo melarang kami untuk mengizinkan Anda sekalipun keluar. Tuan."
"Kalau begitu, panggil jenderalmu kemari."
"Saya tidak tahu di mana beliau berada saat ini."
"Hingga berapa lama lagi kau berniat membiarkan Yang Mulia menunggu di sini bersama para prajurit beringas itu"
Apa hakmu menanyai beliau jika aku sendiri yang memberikan pengawalan" Menyingkirlah!"
"Sebentar, Tuan. "Tugas kami adalah menjaga gerbang ini, dan Anda sekalipun dilarang untuk menerobosnya seperti ini. Tetapi, jika Anda bersikeras, izinkanlah saya memeriksa isi kereta Anda," kata Juro, maju dan menyibak tirai kereta menggunakan ujung busurnya. Para pengawal lainnya berkerumun di belakang Juro, mengacungkan obor mereka. Pancaran obor menerangi dua sosok wanita muda yang ketakutan dan saling merangkul dengan lemas. Mata Kaisar, yang baru berusia tujuh belas tahun, terpejam, dan tubuh kurusnya, yang mirip perawakan perempuan, tampak
pucat pasi. juro, yang menyangkanya sebagai seorang dayang, mempersilakan kereta untuk lewat.
Mereka melanjutkan perjalanan melewati sepasukan besar samurai yang membawa obor, melewati jalan yang berlapis es, dan menembus kegelapan malam.
"Pergilah ke arah sana! Cepat!" Korekata dan Tsunemun6 memerintah kedua penuntun sapi yang terengah-engah untuk membelokkan kereta mereka ke timur di ujung tembok Istana.
o0odwkzo0o Kedua rencana riskan Kiyomori ternyata berhasil dilaksanakan. Mantan Kaisar telah diungsikan ke Kuil Ninna-ji, dan Kaisar-muda dilarikan dengan selamat menggunakan kereta dari Istana. Sesaat kemudian, api yang bergolak dan asap hitam yang membubung dari bagian utara Istana Kekaisaran menyebarkan berbagai cerita yang berkembang dengan liar; terdengar desas-desus bahwa Kiyomori telah mengirim pasukannya menyeberangi sungai dan menyerang kompleks kekaisaran dari utara, dan para biksu dari Gunung Hiei telah memberikan dukungan kepada Kiyomori dan saat ini tengah berbaris ke ibu kota.
Genji Yoshitomo mengirim putranya, Yoshihira, beserta sebuah pasukan kecil ke Istana Kekaisaran, sementara sepasukan pengawal yang ada di sana dikirim ke gerbang-gerbang kota di wilayah utara untuk memeriksa kebakaran.
Sementara itu, dengan lecutan cambuk dan teriakan nyaring, para penuntun sapi mendorong binatang penarik kereta itu menuju Rokuhara.
"Tunggu ... jangan secepat itu! Berhenti, kita sudah terbebas dari bahaya sekarang ?" Korekata dan
Tsunemun6 dengan terengah-engah menyusul kereta Kaisar.
Para penuntun sapi menurunkan laju dan tertawa, "Kau mendengar mereka tersengal-sengal" Haruskah kita menunggu mereka?"
"Sepertinya keadaan sudah aman sekarang."
Keduanya menghentikan kereta dan mengusap keringat yang membanjiri wajah mereka.
Kereta itu segera tiba di seruas jalan yang diapit pepohonan di sepanjang Sungai Kamo, tempat sosok-sosok gelap bermunculadari balik bayangan dan menemui mereka. Kiyomori telah mengirim dua ratus orang samurai dari Rokuhara untuk mengawal Nijo, dan setibanya mereka di Jembatan Gojo, gumpalan-gumpalan awan menurunkan salju.
Rokuhara, yang selama bermalam-malam sunyi dan gelap, tampak bermandikan cahaya untuk menyambut kedatangan Kaisar. Lilin berkelap-kelip di mana-mana bagaikan bintang-bintang di tengah hujan salju. Segera setelah Kaisar tiba di Rokuhara, pasukan samurai Heiki membanjiri jalan-jalan utama ibu kota, mengumumkan bahwa Kaisar telah berada di Rokuhara sejak Jam Macan (pukul empat pagi), dan bahwa Mantan Kaisar saat ini sudah tiba di Kuil Ninna-ji. Siapa pun yang menaruh kesetiaan kepada Kaisar diimbau untuk segera pergi ke Rokuhara.
Ketika matahari terbit, para pejabat istana dan menteri, dipimpin oleh Perdana Menteri, berduyun-duyun ke Rokuhara.
Sementara semua itu terjadi, Nobuyori, sang pemimpin pemberontakan, sedang berbaring di kamarnya di Istana
Kekaisaran dalam keadaan mabuk, ditemani oleh dayang-dayangnya. Kebiasaannya minum-minum setiap malamlah yang akhirnya memuakkan Tsunemung dan Korekata, yang menyangka Nobuyori telah kehilangan akal sehat Terlebih lagi, semburan Mitsuyori tempo hari telah menyadarkan mereka, sehingga mereka pun tidak membuang-buang waktu lagi untuk menghubungi Kiyomori.
Ketika seorang penasihat muncul dengan napas terengah-engah di biliknya untuk mengabarkan bahwa para tahanan kehormatan telah pergi, Nobuyori sekonyong-konyong bangkit dari kasurnya dengan waspada, lalu tertawa histeris.
"Omong kosong macam apa ini" Ini halusinasi ...
Korekata dan Tsunemunt sudah memastikan agar kedua Yang Mulia tidak melarikan diri!"
"Tuan, para pengawal telah berkhianat dan kabur bersama para tahanan."
"Mustahil!" Nobuyori bersikeras, namun keraguan melintasi benaknya seketika itu juga; dia cepat-cepat berpakaian, menyambar pedangnya, dan berlari menyusuri labirin koridor. Sumpah serapah membanjir dari mulutnya, dan raungan marah terdengar begitu dia melihat sendiri apa yang telah terjadi.
"Jangan sampai siapa pun mendengar tentang ini ...
sekutu kita sekalipun," perintah Nobuyori.
Bagaimanapun, sudah terlambat untuk menutup-nutupi kejadian itu. Genji Yoshihira telah mengetahui bahwa para tahanan telah kabur dan segera melaporkannya kepada ayahnya.
"Sesuatu yang luar biasa telah terjadi tadi malam!
Kiyomori berhasil mengelabui kita ... Yang Mulia telah
dilarikan ke Rokuhara dan Kaisar Kloister telah diamankan di Kuil Ninna-ji. Mungkinkah berita ini benar?"
Yoshitomo tidak menjawab.
"Benarkah ini. Ayah?" Yoshihira menuntut jawaban.
Yoshitomo enggan memberikan jawaban. "Begitulah.
Aku juga sudah mendengar kabar itu, walaupun Nobuyori belum melaporkannya kepadaku."
Ekspresi prihatin tampak di wajah si pemuda.
"Yoshihira!" "Ya ... "
"Bagaimana dengan api di Istana?"
"Itu adalah siasat musuh. Pasukan Kiyomori belum menginjakkan kaki di sana, namun aku mendapati bahwa gubuk-gubuk dan rumah-rumah petani di luar tembok kota telah habis terbakar."
"Lagi-lagi kecerdikan Kiyomori, atau siasat mata-mata licik. Aku harus mengakui kehebatan tindakan musuh kita tadi malam. Langkah kita tidak akan mudah."
"Tetapi, Ayah, apa gunanya membela Istana jika kedua Yang Mulia tidak ada lagi di sana?"
"Tidak, aku sudah bersumpah atas nama Genji dalam kesepakatan ini dan tidak bisa menariknya lagi. Seorang samurai harus memegang janjinya hingga akhir hayatnya.
Walaupun itu berarti tidak ada pilihan bagiku kecuali tunduk kepada Heik6 atau binasa untuk selama-lamanya."
Yoshitomo pun mengakui sesuatu yang tidak berani disebutkannya hingga saat ini. Dia telah salah memandang Nobuyori dan dengan getir menyesali perbuatannya. Tetapi, renung Yoshitomo, kalaupun dia tidak merangkaikan takdirnya dengan Wakil Penasihat Nobuyori, kebengisan Shinzei pada akhirnya juga akan berujung pada pertikaian
senjata antara klan Genji dan klan Heik6. Shinzei telah tewas sekarang, namun Kiyomori masih ada. Tidak bisa disangkal lagi bahwa Genji telah memperoleh pukulan hebat akibat penculikan Kaisar oleh Heik6. Bagaimanapun, dalam berperang, Yoshitomo yakin bahwa dirinya memiliki pengalaman yang jauh lebih unggul daripada Kiyomori.
Seorang penasihat yang dikirim oleh Yoshitomo untuk menemui Nobuyori telah kembali.
"Saya telah menemui Menteri, dan beliau menyangkal laporan itu. Beliau meyakinkan saya bahwa tidak ada sedikit pun kejadian luar biasa di Istana."
Semua orang yang berkumpul di dekat perapian bertukar senyuman iba demi mendengar tentang kepengecutan Nobuyori.
"Kalau begitu, tidak ada lagi yang perlu dikatakan," kata Yoshitomo, "biarkanlah siapa pun yang ditugaskan untuk menjaga Istana mengatur pertahanan di sana dan menghadapi apa pun yang akan terjadi."
o0odwkzo0o Nobuyori, Jenderal Kesatuan Pengawal Kekaisaran, tengah memeriksa pasukannya dari Aula Utama yang berhadapan dengan halaman Istana. Para pejabat Istana ...
para menteri dan pejabat tinggi ... berbaris di kedua sisinya, dan selama pemeriksaan berlangsung, para kurir silih berganti datang dengan menunggang kuda menembus lapisan salju untuk menyampaikan laporan terbaru tentang pergerakan Kiyomori. Sebuah pasukan telah disiagakan di tepi sungai, kata mereka, menantikan perintah untuk menyerang. Terdengar pula kabar bahwa pasukan Kiyomori telah bersiaga di sepanjang kaki Perbukitan Timur, bersiap-siap untuk melakukan serangan kejutan ke Istana.
Dua ribu orang prajurit berkuda Genji menunggu di halaman Istana, sementara bunga-bunga es perlahan-lahan terbentuk di atas pelindung mata mereka, dan darah di tubuh mereka bergolak akibat kecemasan dan ketakutan.
Nobuyori mengenakan baju zirah bernuansa ungu, dengan lapisan ungu tua di bagian pinggulnya; di bawahnya, dia mengenakan kimono merah; sarung pedangnya bertahtakan emas dengan motif bunga krisan yang cantik; sambungan-sambungan di helm bertanduknya tampak berkilauan di balik hujan salju. Kuda hitam legamnya, tunggangan ternama yang diambil dari istal kekaisaran, ditambatkan ke pohon sakura yang berdiri di dekat salah satu ruas tangga lebar menuju Aula Utama.
Yoshitomo hadir dengan lebih memerhatikan detail-detail penampilannya, dan ketiga putranya pun mengenakan kimono dan baju zirah Genji terindah mereka.
Dari ketiga putra Yoshitomo* si bungsu Yoritomo, seorang remaja berusia tiga belas tahun, paling menyedot perhatian semua orang. Karena usianya yang masih sangat hijau, ayah dan kakak-kakaknya mengawasinya dengan sangat hati-hati. Dia baru saja terbangun dari tidur siang di pangkalan pengawal dan digiring, dengan mata sayu dan tubuh gemetar, ke halaman Istana dalam balutan baju zirah lengkap berukuran kecil. Para prajurit tersentuh ketika melihat bocah malang yang hendak mendapatkan pelajaran pertama dalam hal pertumpahan darah.
Pada pagi hari, hujan salju telah reda dan jalan-jalan utama di ibu kota bersinar menyilaukan, namun tidak terlihat sedikit pun asap pembakaran yang membubung dari dapur-dapur penduduk.
Yoshitomo bersiap-siap untuk menyerang Rokuhara alih-alih bertahan. Putranya, Yoshihira, yang telah dikirim untuk memeriksa situasi, segera kembali dengan membawa
Princess 1 Wiro Sableng 117 Muka Tanah Liat Api Di Bukit Menoreh 11
^