Pencarian

The Heike Story 8

The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa Bagian 8


laporan tentang Genji Yorimasa yang dilihatnya sedang melintasi jembatan Gojo. "Aku khawatir, Ayah, bahwa Yorimasa telah mengelabui kita dengan menggunakan penyakitnya sebagai alasan; dia sedang menuju Rokuhara.
Izinkanlah aku mengejarnya dan menantangnya melakukan pertempuran satu lawan satu."
Yoshitomo, tersentak ketika mendengar laporan itu, menjawab, "jangan, aku sendirilah yang akan menemuinya." Tetapi, begitu membelokkan kudanya, dia berkata sambil tertawa getir, "Mengapa kita harus merisaukan tindakan Yorimasa dan pasukannya" Aku tidak peduli kepadanya."
Tidak lama kemudian, Yoshitomo dan Yorimasa saling berhadapan di seberang sungai di dekat jembatan Gojo, dan Yoshitomo memacu kudanya, berseru meremehkan:
"jadi, Yorimasa, dirimu yang seorang Genji telah berpihak kepada Heik6" Terkutuklah hari ketika kau dilahirkan sebagai seorang Genji! Sungguh memalukan bahwa kau melawan klanmu sendiri dalam perang!"
Yorimasa memutar kudanya dan menjawab dengan bangga, "Yang kaukatakan itu benar, Yoshitomo. Sejak waktu yang tidak bisa diingat lagi, klan Genji selalu setia kepada kaisar yang berkuasa, dan kaulah yang mempermalukan Genji dengan berpihak kepada si pengkhianat bejat Nobuyori. Aku menyesali aib yang kauberikan kepada Genji!"
o0odwkzo0o Bab XXIV-IRAMA GENDERANG Kaisar Nijo beserta seluruh pengiring dan para menterinya menempati bangunan-bangunan utama di Rokuhara. Tempat itu penuh sesak sehingga sebagian pengiring Kaisar harus ditempatkan di bangunan-bangunan pendukung dan dapur.
Putra Kiyomori, Shigemori, melintasi pekarangan tempat salju yang telah berubah menjadi lumpur akibat terinjak-injak oleh entah berapa banyak pasang kaki, dan menghampiri bangunan utama untuk mencari ayahnya.
"Apakah ayahku bersama Yang Mulia?" tanyanya kepada seorang pengiring Kaisar yang sedang berdiri bersandar ke langkan.
"Tidak, beliau tidak ada di sini," begitulah jawaban yang diterimanya.
Shigemori meninggalkan pekarangan dan menuju gerbang bertingkat dua, melongok ke pos penjaga, dan kembali ke tempatnya semula. Mustahil baginya untuk mencari ayahnya ke semua bangunan yang ada di seluruh kompleks Rokuhara. Matahari akan terbit sebentar lagi, pikir Shigemori, menatap langit dengan cemas. Dia tidak sampai hati menyaksikan fajar merekah di sepanjang bahu Perbukitan Timur. Ayahnya, yang sedang hanyut dalam kegembiraan, mungkin telah melupakan bahwa mereka masih harus berperang. Pasukan mereka, yang telah menghabiskan sepanjang malam di tepi sungai, telah mulai gelisah menantikan perintah selanjutnya.
Shigemori menggerutu kesal kepada dirinya sendiri.
Tidak mungkin ayahnya ada di ruang pelayan di dekat istal.
Tetap saja, tidak ada salahnya mencarinya di sana, pikirnya. Dia pun berbelok ke arah itu dan berpapasan
dengan ayahnya, yang sedang melintasi lorong menuju dapur.
"Astaga, ternyata Ayah ada di sini!"
"Kaukah itu, Shigemori" Apa maumu?"
"Pantas saja aku kesulitan menemukan Ayah. Tidak pernah kusangka Ayah ada di sini."
"Aku baru saja berbicara dengan para juru masak. Aku harus melihat sendiri apakah mereka menyiapkan hidangan yang tepat untuk Yang Mulia."
"Mengapa Ayah tidak menyerahkan saja urusan itu kepada para juru masak dan pembantu mereka" Para prajurit sudah gelisah menantikan perintah dari Ayah."
"Masih ada waktu hingga macahan terbit."
"Begitu terang, musuh akan lebih dahulu menyerang kita di Jembatan Gojo, dan jika itu terjadi, Rokuhara akan jatuh ke tangan mereka."
"Berikanlah perintah kepada beberapa orang untuk memeriksa keadaan."
"Itu sudah dilakukan."
"Itu sudah cukup untuk saat ini"
"Tapi, kita tidak boleh kehilangan peluang untuk melakukan serangan pertama saat fajar menyingsing. Itu adalah jaminan kemenangan kita."
"Aku tidak keberatan mendengar pendapatmu tentang siasat perang. Tapi. aku memiliki gagasan sendiri. Lagi pula, kita harus memastikan agar Yang Mulia membuat proklamasi, dan kondisi beliau masih buruk akibat berhari-hari menjadi tahanan di Istana. Beliau
jarang makan dan tidur selama masa itu. Aku harus memastikan agar beliau mendapatkan bubur panas sebelum memohon kepada beliau untuk melakukan apa pun. Aku tidak bisa menekan beliau mengenai masalah ini sekarang
".Aku akan memberikan perintah pada saat yang tepat."
"Baiklah, Ayah."
"Sampaikanlah hal ini kepada adik-adikmu, Mokunosukt, dan para prajurit."
"Baiklah." "Katakan kepada mereka untuk menunggu hingga Yang Mulia menghabiskan makanannya. Sementara itu, perintahkan kepada pasukan kita untuk menumpuk banyak kayu bakar dan melemaskan tali kekang dan tali busur mereka."
Shigemori mohon diri. Dia yakin bahwa posisi mereka sudah tidak di atas angin lagi; ayahnya jelas tampak galau.
Shigemori, yang tidak pernah mempertanyakan penilaian ayahnya, segera menuju tepi sungai, mengumpulkan para prajurit, dan menyampaikan instruksi dari ayahnya.
Kiyomori tidak membutuhkan pemberitahuan dari Shigemori mengenai betapa gentingnya situasi saat ini. Dia segera menuju bangunan utama, namun kembali dihentikan di lorong oleh seseorang yang sepertinya sengaja menunggunya di sana.
Pria itu membungkuk dengan gaya berlebihan kepadanya, "Ah, Tuan Harima, izinkanlah saya mengucapkan selamat atas keberhasilan mutlak rencana Anda."
Kiyomori menatap tajam kepadanya. Dia adalah Hidung Merah, saudagar yang bertugas menyampaikan pesan antara Korekata, Tsunemun6, dan Rokuhara.
"Oh, Bamboku, aku juga berterima kasih untuk kerjamu yang bagus."
"Tidak perlu, Tuan, tugas saya tidaklah penting."
"Sebaliknya, kau telah menunjukkan kecerdikanmu dalam menjalankan seluruh siasat ini."
"Anda berlebihan, Tuan ... ini hanyalah wujud rasa terima kasih yang tak seberapa untuk kebaikan hati i
stri Anda" "Bagaimana keadaan Korekata dan Tsunemun6?"
"Cukup kelelahan, tentunya. Mereka sedang beristirahat di ruang pelayan."
"Begitu rupanya. Dan kau datang bersama Yang Mulia tadi malam?"
"Sepanjang sebagian jalan, dengan penuh ketakutan dan tubuh gemetar. Percayalah, Tuan, tidak banyak yang saya lakukan untuk memberikan bantuan ". Bagaimanapu, saya datang saat ini untuk melihat apakah saya bisa lebih berguna di dapur, untuk mencuci piring, dan ternyata, secara kebetulan, saya malah bertemu dengan Anda,Tuan
". Sungguh, saya yakin bahwa ini adalah suatu kehormatan."
"Kau akan mendapatkan penghargaan atas bantuanmu.
Tunggulah hingga beberapa hari lagi."
Kiyomori tidak memiliki alasan untuk meragukan Bamboku; bukan hanya karena Tokiko menganggapnya bisa diandalkan melainkan juga karena saudagar itu telah terbukti sangat membantunya dalam mengatur kesepakatan nlnastk selama seminggu terakhir.
Kiyomori memasuki sebuah ruang tunggu, tempat salah seorang pegawai istana menemuinya dan mengatakan:
"Putra Anda, Tuan, telah mencari Anda sejak tadi."
"Aku baru saja bertemu dengannya. Tapi, bagaimana keadaan Yang Mulia?"
"Beliau baru saja menikmati bubur panas."
"Apakah beliau sudah lebih tenang?"
"Saya tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini kepada Anda ... kami benar-benar tersentuh ketika melihat beliau menangis hanya karena melihat makanan."
"Bagus, bagus!" seru Kiyomori sambil tersenyum hangat.
"Dan sekarang, kita harus memohon kepada beliau agar merestui serangan yang akan kita lakukan."
"Itu telah disampaikan kepada beliau, dan sebuah proklamasi tengah disiapkan."
"Kalau begitu, suruh putraku Shigemori menemuiku,"
kata Kiyomori. Shigemori, yang telah ditunjuk untuk mewakili ayahnya dalam memimpin pasukan, segera datang.
"Shigemori, Yang Mulia sudah memberikan restunya.
Seranglah Istana sekarang juga ... dengan kecepatan penuh!"
Ketika Shigemori menyampaikan perintah ayahnya, semua samurai dalam pasukannya memberikan sambutan meriah; gonggong dan genderang-genderang dibunyikan mengiringi tiga ribu orang penunggang kuda yang berbaris menembus hamparan salju untuk menyerbu Istana.
Berkas-berkas sinar matahari pertama pagi itu memancar dari bahu Perbukitan Timur, berkilauan di baju zirah para prajurit, pelana kuda, dan berkilat menyilaukan di pucuk-pucuk pepohonan dan atap-atap Istana. Seluruh gerbang Istana terbuka, menanti untuk dilewati oleh Genji
Yoshitomo beserta pasukannya, namun Yoshitomo mengurungkan niatnya, menyadari bahwa dia tidak mungkin lagi mendapatkan kemenangan dari taktik ini.
Rencana awalnya adalah menyerang Rokuhara sebelum fajar menyingsing, namun kelambanan Nobuyori dalam mengambil keputusan dan kekacauan perintahnya kepada pasukan mereka telah menghabiskan waktu mereka. Dan sekarang, musuh mereka akan lebih dahulu memulai serangan.
Yoshitomo segera memerintahkan agar genderang digebuk untuk mengumumkan perubahan posisi pasukan dan menugaskan para prajuritnya untuk menjaga tiga buah gerbang di tembok luar sebelah timur. Dua puluh tujuh gerbang berdiri di sepanjang tembok Istana, termasuk di tembok dalam, yang dipisahkan oleh jalan lebar dan taman-taman dengan tembok luar. Dan sekarang, dua ribu orang prajurit berkuda Genji, mengacungkan senjata, membanjir dari setiap penjuru ke halaman luas di depan Aula Utama begitu mendengar gong-gong Heikg dibunyikan di sepanjang tembok timur.
Oi bawah langit tanpa awan, tiga puluh buah panji-panji merah Heik6 berkibaran di tengah hutan busur ketika pasukan Heik6 berdiri diam di depan ketiga gerbang timur yang terbuka menyambut kedatangan mereka.
Yoshitomo, dicekam oleh kegetiran, mengerang kepada dirinya sendiri ketika melihat Nobuyori yang berwajah pucat pasi akhirnya keluar dari Aula Utama, lalu menunggangi kudanya dengan kikuk dan, dikawal oleh sepasukan prajurit bersenjata, menuju gerbang tempatnya akan memimpin pertempuran. Shigemori dan kelima ratus prajurit berkudanya telah menanti di sana, dan begitu Nobuyori muncul, Shigemori beserta delapan orang ajudannya segera menyongsong. Nobuyori menjerit ketika
melihat mereka, ragu-ragu, lalu membalikkan kudanya dan melarikan diri. Shigemori tentu saja mengejarnya. Melihat kejadian ini, lima ratus orang prajurit berkuda segera membanji memasuki gerbang, diikuti oleh lima ratus orang prajurit lainnya.
Dari tempatnya di gerbang kedua, Yoshitomo melihat kejadian itu dan memanggil putranya, Yoshihira, yang dilihatnya sedang melintas.
"Musuh telah menembus gerbang utama! Aku tidak bisa meninggalkan posisiku di sini, tapi kau harus menolong si pengecut Nobuyori! Giring keluar orang-orang Rokuhara itu!"
Mendengar perintah Yoshitomo, tujuh belas orang prajurit berkuda maju untuk memberikan dukungan kepada Yoshihira. Shigemori menunggangi kuda berbulu cokelat, dan Yoshihira mengenali baju zirah dan kimono merah yang dikenakannya. Sementara Shigemori menghujani pasukan Genji dengan anak panah, pasukan berkudanya menghalangi Yoshihira untuk mendekatinya dan memaksakan pertempuran satu lawan satu. Tetapi, begitu Shigemori menurunkan busurnya untuk mengatur napas, Yoshihara langsung
menyambar peluangnya. Ekor kudanya berkibas-kibas tertiup angin ketika dia melaju ke arah Shigemori, menantangnya dengan lantang:
"Aku Genji Yoshihira, putra Yoshitomo! Siapa namamu?"
Shigemori menolehkan kepalanya cukup lama untuk menatap mata garang Yoshihira; kemudian, mencipratkan salju berlumpur, dia membalikkan kudanya dengan tajam dan menjawab, "Ah, rupanya kau Genji Yoshihira! Aku Heik6 Shigemori, putra Kiyomori!"
Begitulah generasi muda Genji dan Heik6 itu berhadapan di depan Aula Utama. Di salah satu sisi tangga lebar yang mengarah ke aula terdapat sebatang pohon sakura, dan di sisi lainnya terdapat sebatang pohon jeruk pahit, dan di halaman depan aula, dua orang petarung saling berhadapan, saling mengejar.
Sambil memekikkan seruan perang kepada Yoshihira, yang tidak membawa busur, Shigemori tiba-tiba menembakkan sebatang anak panah.
"Pengecut!" Yoshihira membalas teriakannya. "Kau hendak memanahku padahal aku tidak membawa busur"
Beranikah kau beradu pedang denganku?"
Anak panah kedua berdesing, namun begitu tangan Shigemori untuk ketiga kalinya menyentuh wadah anak panahnya, Yoshihira telah ada di hadapannya. Kuda cokelat Shigemori mendadak berhenti ketika kuda hitam Yoshihira memotong jalannya.
"Jadi, kau, seorang Heik6, mengira bisa melarikan diri dariku?"
Satu lagi anak panah berdesing; ketika Yoshihira menunduk, Shigemori langsung menghunus pedangnya.
Kilat putih terlihat ketika baja beradu dengan baja; pijakan kaki keduanya berderit-derit nyaring. Berputar, menghindar, menusuk, dan memamerkan keahlian berkuda yang menakjubkan, kedua pemuda itu saling memburu dengan beringas hingga tujuh, dan kemudian delapan kali mengelilingi pohon sakura dan jeruk. Pedang mereka berkali-kali terayun, membelah udara, dan berbenturan diiringi percikan bunga api.
Kedelapan ajudan Shigemori sibuk melawan ketujuh belas prajurit Yoshitomo di bagian lain halaman, tempat salju yang terinjak-injak telah tercampur dengan lumpur
dan darah. Shigemori terus terseret dalam kekacauan itu hingga kedatangan lebih banyak lagi prajurit berkuda Genji yang memaksanya untuk mundur ke gerbang tempatnya masuk.
Mokunosuk?, yang bertugas mengarahkan penarikan pasukan itu, menghampiri Shigemori, yang dilihatnya sedang beristirahat di sebuah persimpangan jalan.
"Bagus!" seru Mokunosuk&, "seandainya Tuan Kiyomori bisa melihat tindakan Anda!" Lalu, dia menambahkan, "Tetapi, ingadah pesan dari ayah Anda, dan biarkanlah musuh kita mendapatkan kemenangan untuk saat ini."
"Tua Bangka, tidak perlu memarahiku."
Bersama pasukan berkuda yang baru saja tiba, Shigemori kembali memasuki halaman Istana. Di sana, Yoshihira menyambut mereka dengan lambaian tangan, kendati menghadapi hujan anak panah.
"Kemarilah kalian, Heik* dari Rokuhara! Tentu saja aku musuh yang tangguh, atau mungkinkah kalian sebenarnya takut kepadaku?"
Shigemori memacu kudanya. "Berani-beraninya kau menyombongkan diri" Kau sendirilah yang akan takut kepadaku!"
"Kapankah aku pernah lari darimu?"
Sekali lagi, keduanya saling menyerang dengan beringas di halaman bersalju itu, hingga Shigemori, yang kelelahan, berputar dan melarikan diri ke luar tembok Istana, diikuti oleh para prajuritnya yang bersorak sorai liar.
Yoshihira, memusatkan pandangannya pada kuda cokelat mengilap yang ditunggangi oleh Shigemori,
mengejar pemuda itu dan berseru, "Kembalilah, kembalilah, pengecut!"
Salju bertebaran bagaikan asap di bawah kaki-kaki kuda Shigemori ketika dia meloloskan diri dari kejaran Yoshihira. Shigemori membungkuk di atas punggung kudanya, melecut-lecutkan
cambuknya, sementara dua orang ajudannya berusaha menyusulnya; mendengar teriakan peringatan, kuda Shigemori dengan mulus melompati sebuah kanal sempit, diikuti oleh kuda para ajudannya. Anak-anak panah berdesingan di kanan dan kiri mereka. Salah satunya melesat ke baju zirah Shigemori dengan desingan keras dan menancap di pelindung bahunya.
"Tunggu, tunggu, apa kau tak tahu malu?" seru Yoshihira, nyaris di dekat telinga Shigemori, ketika kuda yang ditungganginya terpeleset di tepi kanal sehingga dia terlontar ke atas sebuah rakit Sambil berusaha bangkit, Yoshihiro berseru kepada salah seorang prajuritnya yang berhasil dengan mulus melompati kanal, "Jangan tunggu aku ... jangan sampai Shigemori lolos."
Si prajurit mengangguk dan memasang anak panah ketiga ke busurnya; dia membidikkannya ke arah Shigemori, tepat ketika kuda Shigemori melompati batang kayu yang tertimbun salju. Sebatang anak panah menancap di perut binatang itu, darah merah menciprat ke salju yang putih bersih, dan kuda beserta penunggangnya roboh ke tanah. Helm melayang dari kepala Shigemori; dia bangkit untuk menangkapnya, namun ketika dia mendongak, dilihatnya salah seorang prajurit pengejarnya menunduk menatapnya. Merasakan bahwa kudanya gentar melihat timbunan salju di dekat kanal, si prajurit langsung melompat turun dari pelananya dan menubruk Shigemori.
Dengan sekuat tenaganya, Shigemori mengayunkan
busurnya ke wajah penyerangnya; si prajurit mundur beberapa langkah dan menghunus pedangnya; tiba-tiba, salah seorang prajurit Shigemori mendarat di antara mereka dengan tangan terentang untuk melindungi pemimpinnya.
Bagaikan banteng mengamuk, kedua prajurit itu bergulat hingga terguling ke tanah.
Begitu berhasil menyeberangi kanal, Yoshihira melihat pelayan kesayangan ayahnya jatuh. Dengan pedang terhunus, dia berlari untuk menyelamatkan pria itu.
Seorang lagi prajurit Shigemori tiba di sana dan cepat-cepat turun dari kudanya; dia menarik dan setengah mengangkat Shigemori ke pelana kudanya, mendorong majikannya itu untuk kabur, sebelum menolong rekannya yang telah roboh ke tanah.
Pertempuran dahsyat terus berlangsung di gerbang yang dijaga oleh Yoshitomo, ketika adik tiri Kiyomori. Yorimori, kembali dan melakukan serangan membabi buta bersama pasukan prajurit berkuda bersenjata panah yang baru saja tiba. Ketika kedua belah pihak akhirnya mulai kehabisan persediaan anak panah, pasukan Heik6 telah berhasil menerobos ke halaman Istana. Di tengah hingar bingar yang menyusul, hanya warna putih dan merah di panji-panji dan ikatan pita pada baju zirah para prajuritlah yang membedakan antara teman dan musuh. Empat kali pasukan Heik6 terdesak dan terpaksa keluar dari gerbang yang telah mereka masuki. Silih berganti, gelombang pertempuran beralih arah hingga akhirnya pasukan Heik6 terpaksa mundur hingga sejauh Jembatan Gojo.
Yoshitomo dan ketiga putranya memburu para prajurit Heikt yang masih tersisa di jalan-jalan utama ibu kota, dan tanpa sengaja menengok ke Istana. Pekikan gusar seketika meluncur dari mulutnya begitu dilihatnya panji-panji Heik6
berkibar di atas gerbang-gerbang dan atap-atap Istana. Salah
satu pasukan Heik6 telah berhasil menyelinap ke dalam Istana, yang penjagaannya telah lemah, dan mendudukinya.
Perkembangan terbaru dalam pertempuran ini mengecewakan Yoshitomo. Firasatnya mengatakan bahwa kemalangan telah menanti mereka. Pasukannya tidak bertempur dengan semangat yang menggebu-gebu seperti biasanya. "Hanya ada secuil peluang untuk merebut kemenangan," katanya kepada dirinya sendiri, baru menyadari bahwa dirinya pun tidak biasanya memiliki keraguan semacam ini. Baru ketika itu jugalah dia mengakui bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas kekalahan ini. Sekali lagi, Kiyomori telah mengelabuinya dengan siasat kekanak-kanakan dan memotong jalannya untuk mundur. Pasukan Genji telah terdesak; satu-satunya pilihan yang tersisa baginya untuk saat ini adalah terus mengejar musuh ke Rokuhara, menculik Kaisar, dan menantang
Kiyomori untuk berduel, pikir Yoshitomo dengan kesal.
Luluh lantak ... atau kemungkinan satu berbanding seribu
... ini adalah lemparan dadu terakhirnya. Tetapi, semangat Yoshitomo tersentuh ketika melihat para panglimanya dengan penuh semangat memukul mundur musuh dan menggiring pasukan mereka dari Jembatan Gojo ke arah utara.
Begitu pasukan Genji memenuhi tepi sungai, pasukan Heik6 mulai meruntuhkan Jembatan Gojo di sisi mereka.
Genji Yoshihira memacu kudanya hingga ke tengah jembatan yang telah rusak, memerintahkan lima ratus orang prajurit berkuda untuk mengikutinya dengan anak panah terbidik ke arah Rokuhara. Sementara itu, dari posisi mereka di seberang sungai, pasukan Yoshitomo telah menghujani pusat pertahanan Heik6 dengan anak panah.
Serangan balasan dilakukan oleh pasukan Kiyomori, dan pasukan berkuda maupun berjalan kaki dari kedua pihak pun segera membanjiri sungai.
Yoshihira, dikesalkan oleh adu panah yang tidak membuahkan hasil apa pun, membelokkan kudanya dan memimpin pasukannya ke hilir untuk melakukan serangan ke Rokuhara dari arah selatan. Ketika sedang menyusuri sungai, dia melihat sebuah pasukan, yang berkekuatan lebih dari seratus orang prajurit berkuda, telah menghadang, siap siaga di balik dinding tameng, dengan panji-panji berkibar di udara.
"Pasukan Yorimasa!" semburnya dengan nada pahit.
Seorang panglima yang mendampinginya berkata,
"Ayahmu hendak menyeberangi sungai di sana, namun beliau mengurungkan niatnya ketika melihat pasukan Yorimasa."
"Apa! Ayahku tidak mau menantang Yorimasa?"
"Tetapi, beliau mencaci makinya karena
pengkhianatannya." "Itu saja?" "Dan Yorimasa membalas makiannya."
"Tapi, apa gunanya beradu mulut dengan marah"
Yorimasa, seorang Genji, berani-beraninya menganggap kita musuh, dan sekarang dia sedang menunggu untuk melihat siapa yang menang sebelum memutuskan pilihannya. Aku akan memberikan apa yang sepantasnya diterimanya!"
Yoshihira memacu kudanya dan melompati pematang yang membelah pasukan Yorimasa. Pertahanan pasukan berkuda itu bubar, dan sebagian di antaranya mulai
menyeberangi sungai menuju Rokuhara. Kegegabahan Yoshihira ternyata berakibat buruk, karena tindakan itu membuahkan sebuah kesempatan yang telah lama dinanti-nantikan oleh Yorimasa, yaitu menggabungkan pasukannya dengan pasukan Heik6. Penghargaan kepada nama Genji telah mencegah Yorimasa untuk secara terbuka memberikan perlawanan kepada Yoshitomo dan para pelaku persekongkolan, dan dia memilih untuk menarik pasukannya cukup jauh agar bisa menghindari keterlibatan langsung dengan kedua belah pihak. Tetapi, tindakan sembrono Yoshihira memicunya untuk meninggalkan posisi netralnya dan berpihak kepada Heike.
Rokuhara porak poranda oleh kerusuhan dan huru-hara.
Kiyomori telah memberikan perintah tegas kepada pasukannya untuk menghindari pertempuran di dalam tembok Istana Kekaisaran; musuh harus dipancing keluar dan dihancurleburkan di sana. Namun penyerangan lebih mudah dilakukan daripada penarikan pasukan. Pelarian Shigemori dan penolakan Yorimori untuk melawan Yoshitomo berujung pada pelarian pasukan Heik& ke Rokuhara dan perobohan sebagian Jembatan Gojo.
Setelah jalan mereka untuk mundur tertutup dan tanpa adanya sesuatu pun yang bisa dipertahankan lagi. pasukan Genji dengan putus asa menyeberangi sungai dan menginjak-injak mayat kawan-kawan mereka sendiri hingga mereka tiba di bawah tembok Rokuhara. Dari atas atap, tembok, dan pohon, para penghuni Rokuhara bahu-membahu dengan para prajurit untuk membela tempat berlindung Kaisar dengan melemparkan bongkahan batu dan serpihan ubin kepada para penyerang.
Telah tiba waktu bagi Kiyomori untuk turun tangan memimpin pasukannya, karena ketakutan terbesarnya adalah Rokuhara habis terbakar di tangan musuh. Dia
menyambar pedangnya dari salah seorang pelayannya dan, sambil tergesa-gesa mengencangkan tali helmnya, berlari-lari melintasi lorong masuk, ketika adik iparnya, Tokitada, yang membuntutinya, tiba-tiba menghentikannya dengan tegas, "Tunggu ... tunggu!"
Kiyomori, mengempit pedangnya, berhenti di tengah lorong dan membalikkan badan. "Ada apa, Tokitada"
Apakah kau melarangku memimpin pasukan kita?"
"Tidak," jawab Tokitada, kesulitan menahan tawanya,
"helmmu terbalik ... bagian belakangnya menghadap ke depan. Jangan sampai jenderal kita berpenampilan seburuk itu!"
"Helmku ... terbalik?"
Kiyomori meraba kepalanya, menyeringai, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Salah, Tokitada! Memang beginilah yang seharusnya, helmku menghadap ke arah Yang Mulia. Ayo, mari kita memimpin dan menyapu bersih musuh kita!"
Tokitada, tidak mampu berkata-kata, berlari mengikuti Kiyomori, diikuti oleh para prajurit, tertawa hingga tubuhnya terguncang-guncang.
Pertempuran yang dimulai pagi itu berlangsung sepanjang hari, dengan pasukan Genji yang terus berusaha menembus pertahanan Rokuhara. Pada saat Kiyomori turun tangan untuk mengarahkan pertahanan, anak panah musuh telah menumpuk di depan pintu gerbang dan kerai-kerai rumahnya. Dia hanya bisa mendengar raungan memekakkan telinga dari para prajurit musuh yang berusaha mendobrak pagar. Berkali-kali, Kiyomori merasa yakin bahwa Rokuhara telah ditaklukkan; mengabaikan bahaya yang mengancam dirinya, Kiyomori keluar untuk
memberikan suntikan semangat kepada para prajuritnya yang ketakutan, dan telah mundur ke salah satu gerbang dalam. Kiyomori memanjat menara gerbang dan memekikkan yel-yel pertempuran untuk para prajuritnya seraya merentetkan anak panah ke arah musuh.
Seandainya pasukan yang berkekuatan lebih besar menyerbu dari timur, Rokuhara mungkin tinggal kenangan, namun di sisi ini, para penyerang mendapatkan balasan yang tak kalah dahsyatnya dan terpaksa melarikan diri ke perbukitan bersalju di belakang Kuil Kiyomizu.
Sementara itu pasukan berkuda Yorimasa merapat ke pasukan Genji dari belakang. Yoshitomo, melihat sendiri betapa banyaknya prajuritnya yang telah gugur, dengan putus asa memimpin upaya terakhir untuk mendobrak gerbang-gerbang Rokuhara. Dia berteriak lantang, "jangan sampai kita kehilangan waktu lagi! Pria yang berdiri di atas menara gerbang itu adalah Kiyomori!"
Pasukan pendukung Yoshihira mendadak terpecah belah dan mundur ke arah sungai. Amarah Yoshitomo meledak; dia menyandang busurnya dan memacu kudanya ke arah gerbang, mengacungkan pedangnya dan meneriakkan tantangan kepada Kiyomori. Tepat ketika itu, kericuhan yang melanda pasukan berkudanya mendesak Yoshitomo dari segala arah dan mendorongnya menuju sungai.
Bala bantuan terbaru untuk Heik6 telah tiba melalui jalan raya dan menyerbu pasukan Yoshitomo dari utara.
Sementara pasukan berkuda Yorimasa menggebrak pasukan Yoshitomo dari selatan, sepasukan prajurit berkuda bersenjata panah mendadak menebar kengerian dari seberang sungai dan membuka serangan kepada pasukan Genji. Ancaman tidak terduga ini mendorong Yoshihira untuk berbalik menuju sungai. Pasukan utama Yoshitomo, yang telah berhasil merangsek hingga depan gerbang
Rokuhara, sekarang mendapati bahwa mereka telah terkepung dari segala penjuru, dan dengan panik mulai mundur ke utara di sepanjang Sungai Kamo. Walaupun telah dihadang oleh pasukan Heik6 di pinggir sungai, Yoshihira dan pasukannya mempertahankan kedudukan mereka hingga perintah Yoshitomo untuk melarikan diri terdengar.
Yoshitomo mengedarkan pandangan putus asa kepada para ajudan dan panglimanya, lalu berseru, "Kita telah kalah dalam pertempuran ini! Ini adalah takdir bagi siapa pun yang terlahir untuk mengangkat senjata! Akhirku telah tiba, namun kaburlah, kalian semua, selamatkan nyawa kalian!"
Dan ketika kedua putra termudanya memohon untuk tetap tinggal bersamanya hingga ajal menjemput mereka, Yoshihira, putra sulung Yoshitomo, menghampiri mereka dan mengatakan, "Aku sendirilah yang akan bertahan.
Inilah yang kuinginkan, lebih daripada segalanya. Kalian dan ayah kita harus selamat."
Para panglima Yoshitomo pun membujuknya untuk melarikan diri bersama mereka dengan mengatakan, "Ini bukan momen ke matian Genji; jika kita bersembunyi sekarang, akan tiba hari saat kita bisa membalas aib ini."
Dikawal oleh para pengawalnya yang setia, Yoshitomo dan putra-putranya mulai mundur menembus pertahanan musuh. Walaupun dikepung dari segala penjuru, mereka berhasil mundur ke utara menuju perbukitan di bagian Kamo yang lebih tinggi, walaupun terpaksa merelakan beberapa anggota pasukan mereka kepada keganasan pasukan Heik6. Dan, setelah mereka mendapatkan keamanan di sebuah pemukiman tertutup yang berselimut salju di daerah perbukitan, Yoshitomo melihat ke sekelilingnya dan menyadari bahwa dari seluruh
pasukannya yang semua berjumlah lima puluh orang, hanya empat belas orang yang tersisa. Tidak sanggup menutupi duka dan penyesalannya, Yoshitomo meratapi bagaimana dirinya telah mendatangkan kehancuran bagi keluarganya, membawa mereka ke masa depan yang suram.
Wilayah perbukitan ini hanya menjanjikan kelaparan dan penderitaan. Apakah yang akan terjadi kepada orang-orang tercinta yang ditinggalkan di ibu kota oleh para pengiringnya ini" Di manakah mereka sekarang"
Bagaimanakah nasib istrinya ... Tokiwa" Tokiwa menolak untuk meninggalkan Kyoto agar bisa tetap berada di dekatnya. Apakah Tokiwa akhirnya mau mengungsi ke pedesaan bersama ketiga putra mereka, seperti yang dimintanya" Yoshitomo membayangkan istrinya terpukul ketika mendengar berita kekalahannya.
Kuda mereka kewalahan karena telah lama berjalan di atas salju; ketika mereka mendaki bukit, Yoshitomo menghentikan kudanya dan mengedarkan pandangan. Jauh di bawahnya, setiap pagoda dan atap bangunan di ibu kota berpendar keperakan di tengah temaram senja, dan di seluruh penjuru kota, tampaklah kobaran api dan kepulan asap gelap yang menandai pembumihangusan berbagai bangunan.
o0odwkzo0o Bab-XXV BADAI SALJU Yoshitomo sangat berharap rombongannya bisa tiba di sisi lain Gunung Hiei sebelum pagi tiba, karena ada anggota klan Genji yang akan memberikan tempat berteduh dan pertolongan kepada mereka di Desa Mino, yang terletak di ujung terjauh Danau Biwa. Maka, mereka pun mempercepat laju ke utara, mengikuti aliran Sungai
Takano, melewati Has6, dan berbelok ke timur mengikuti jalur perbukitan menuju Yokokawa, hingga mereka tiba di Katado, di dekat ujung selatan danau.
Angin kencang seolah-olah hendak memuntahkan seisi danau ke laut yang bergolak dahsyat ketika dua buah perahu, yang mengangkut rombongan Yoshitomo beserta beberapa ekor kuda mereka, bertolak pada pagi buta. Awan muram menggantung begitu rendah di langit utara, mengancam mereka dengan hujan salju yang lebih lebat Pada sekitar tengah hari, para buronan itu akhirnya merapat di antara ilalang air layu di pesisir timur pantai, dan timbunan salju di sana jauh lebih tebal daripada di ibu kota.
Mereka turun dari perahu tanpa banyak bersuara dan berhenti sejenak untuk mengamati sekawanan angsa liar yang terbang melintasi langit kelam. Dua orang di antara mereka kemudian pergi ke kampung nelayan terdekat untuk menukarkan beberapa buah senjata dengan bahan makanan, sementara yang lain menunggu sembari mengumpulkan ranting-ranting untuk dijadikan kayu bakar.
Pada sore harinya, setelah menghangatkan dan mengenyangkan diri, Yoshitomo dan para pengikutnya membahas tentang perjalanan tahap selanjutnya. Mereka telah menyepakati untuk melakukannya setelah matahari tenggelam, ketika bahaya pengejaran tidak sebesar pada siang hari. Kemudian, tujuh orang panglima dan pelayan Yoshitomo meminta izin untuk meninggalkannya dan melanjutkan perjalanan secara terpisah, menekankan keamanan bepergian dalam rombongan-rombongan kecil.
Ketika matahari mulai turun, masing-masing dari mereka berpamitan kepada Yoshitomo, berjanji untuk bertemu kembali setibanya mereka di wilayah timur Jepang.
Saat malam tiba, Yoshitomo, ketiga putranya, dan empat orang panglima memacu kuda mereka mengikuti aliran
sungai hingga tiba di seruas jalan, lalu melanjutkan pelarian mereka dari sana. Langit hitam mengancam di atas mereka, dan bukit-bukit menjulang tinggi di kanan dan kiri mereka.
Kampung demi kampung mereka lewati, sunyi senyap di bawah selimut salju tebal, tanpa adanya setitik pun cahaya yang bisa memandu mereka. Tidak ada sedikit pun suara manusia yang hinggap di telinga mereka; seluruh kehidupan seolah-olah telah dibungkam. Malam itu sempurna untuk sebuah pelarian, dan sekelompok kecil buronan itu mempercepat laju mereka hingga badai tiba dan menggulung mereka dalam pusaran-pusaran salju yang membutakan.
" ?" Sementara itu, pada malam ketika Yoshitomo menembus perbukitan menuju Danau Biwa, Wakil Penasihat Nobuyori
... dalang utama persekongkolan untuk merebut kekuatan dari Kiyomori ... melarikan diri menuju Kuil Ninna-ji.
Tempay yang berada di sebelah utara gerbang kota itu juga dipilih oleh sekitar lima puluh orang rekan sesama bangsawannya sebagai tempat pengungsian. Di sana, sebelum malam larut, Nobuyori diseret keluar oleh para prajurit kiyomori, dan keesokan paginya dipenggal bersama para pengkhianat Kaisar lainnya.
Pada 29 Desember, hari kedua setelah pertempuran berakhir, ketika ketenangan di Kyoto telah kembali, Kiyomori diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan pada Istana dan bangunan-bangunan milik negara lainnya.
Para ahli nujum menyuarakan pendapat mereka, dan dipilihlah tanggal yang tepat bagi kembalinya Kaisar ke Istana Kekaisaran. Bagi Kiyomori, kunjungan pemeriksaan ini sama halnya dengan parade kemenangan, sehingga dia memerintahkan kepada para adik, putra, dan panglimanya, juga siapa pun yang ada di Rokuhara untuk berbaris
bersamanya dalam sebuah arak-arakan yang sarat oleh samurai berbaju zirah indah dan kuda berornamen lengkap.
Di sepanjang rute yang terbentang di antara Jembatan Gojo dan jalan-jalan utama ibu kota, masyarakat bersorak sorai mengelu-elukan dan menonton pemandangan indah; berupa pasukan berkuda dengan baju zirah warna-warni, diikuti oleh pasukan pemanah dan prajurit berjalan kaki dengan baju zirah lengkap, serta sepasukan bocah dengan kimono terbaik mereka di baris terbelakang.
Selama pertempuran berlangsung, kaum terpapa ibu kota
... para pengemis dan pencuri, gelandangan dan penjahat ...
telah menduduki dan tinggal di Istana; mereka menggeledah setiap ruangan di sana selama tiga hari dan tiga malam, menjarah gudang-gudang penyimpanan untuk mencari makanan, menirukan para pejabat istana dengan memakai kimono dan mahkota mereka, dan pesta-pesta meriah mereka meninggalkan kekacauan dan keributan di semua penjuru Istana. Ketika berita mengenai kedatangan Kiyomori menyebar, kepanikan melanda mereka. Di setiap sudut istana bisa ditemukan sekelompok gembel ketakutan, sehingga jumlah mereka terlalu besar untuk ditangani oleh patroli pengawal atau ditampung di penjara. Maka, atas perintah Kiyomori, mereka dibariskan di halaman Istana dan diperintahkan untuk membersihkan seluruh kekotoran yang mereka timbulkan. Tidak ada ancaman hukuman bagi mereka, justru iming-iming untuk mendapatkan semangkuk nasi setelah pekerjaan mereka selesai.
"Ya, dia tahu rasanya kelaparan. Dia tahu," kata salah seorang gelandangan sambil bekerja dengan sapunya.
"Itulah Heikt Kiyomori. Aku mengenalnya di masa lalu, waktu orang-orang masih memanggilnya dengan nama
"Heita*. Ini sungguhan. Dahulu, dia adalah bocah miskin anak si Mata Picing ... itulah julukan ayahnya dahulu ...
yang sering kulihat berkeliaran dengan pakaian compang-camping di Shiokoji, dan di Pasar Pencuri di dekat pohon jelatang. Aku tidak mengatakan bahwa dia adalah gembel seperti kita, tentunya, dan aku juga pernah berbicara dengannya. Dan bukankah setiap kali aku punya sake, aku pasti selalu menawarinya sedikit?"
"Jadi, dia juga sudah pernah hidup susah, ya?"
"Begitulah. Dia mungkin berpenampilan seperti seorang tuan besar, tapi dia adalah salah satu dari kita, yakinlah tentang hal ini."
"Dan dia mau minum-minum sake denganmu?"
"Yah, tidak, dia selalu menolak tawaranku, tapi yang kumaksud adalah, kami bisa dibilang berteman. Karena itulah dia memahami kaum kita."
"Lihat mereka datang!"
"Siapa ... di mana?"
"Tuan Rokuhara sendiri ... arak-arakan itu!"
o0odwkzo0o Jalan putih membentang seolah-olah tanpa ujung di hadapan rombongan Yoshitomo, dan kantuk menyerang mereka semua. Dingin yang menusuk tulang dan keletihan yang mendera membuai mereka bagaikan obat tidur.
Teriakan Yoshitomo untuk memanggil nama para pengiringnya, bagaimanapun, menggugah mereka dari waktu ke waktu; teriakan balasan meyakinkan Yoshitomo bahwa tidak seorang pun anggota rombongannya tertinggal terlalu jauh di belakang.
"Jangan sampai kalian mengendurkan pengawasan satu sama lain," Yoshitomo memperingatkan. "Pastikan agar salju tidak membeku di atas bulu mata kalian. Mari kita
saling memanggil untuk memastikan bahwa kita semua tetap terjaga!"
Pada larut malam, setelah berhasil dengan selamat melewati pos-pos penjagaan di jalan dan menyeberangi Sungai Hino, mereka telah serak dan kehabisan napas akibat berteriak-teriak melawan terpaan angin dan salju.
Semakin sulit bagi mereka untuk saling mengawasi. Tiba-tiba, Yoshitomo dan Yoshihira, yang mengendarai kuda mereka di depan, merasa mendengar teriakan-teriakan di kejauhan. Mereka menghentikan kuda mereka, lalu memicingkan mata menembus hujan salju dan mempertajam pendengaran.
"Yoritomo ... Yoritomo-o! Ho-oi!"
Sebuah suara lain terdengar, "Ho-oi, Yoritomo!"
Suara-suara itu sepertinya berasal dari belakang mereka.
"Apakah mereka memanggil Yoritomo?"
"Dia pasti tertinggal jauh di belakang. Tunggu aku di sini, Ayah, aku akan melihat apa yang terjadi di sana."
"Tidak, aku akan ikut bersamamu."
Seorang pelayan, yang mengendarai kudanya beberapa langkah di depan Yoshitomo, berbalik dan bertanya,
"Apakah kita semua akan ke belakang?"
Yoshitomo menapaki kembali jejaknya dan menghitung anggota rombongannya. Semuanya ada kecuali Yoritomo, putra bungsunya.
"Yoritomo hilang?"
Beberapa waktu tentu telah berlalu sejak salah seorang dari mereka menyadari tentang menghilangnya Yoritomo, karena walaupun mereka telah memanggil-manggil
namanya secara serempak, tetap tidak ada jawaban yang terdengar.
"Katamu dia tidak ada di sini," kata Yoshitomo dengan cemas, tidak kepada siapa pun secara khusus. "Kapankah kau menyadarinya?"
"Dia berkuda di antara kami ketika kita melintasi dataran di belakang," jawab dua orang panglima.
"Di Sungai Hino?"
"Badai terdahsyat menerpa kita di sana, dan kami harus berpencar agar bisa menyeberangi sungai. Kami mungkin terpisah di sana. Ini adalah kesalahan kami. Biarkanlah kami kembali ke sana untuk mencarinya," kata kedua panglima itu, bersiap-siap untuk kembali.
Tetapi, suara Yoshitomo, yang hampa akibat duka, menghentikan mereka. "Tunggu, tunggu. Kalian tidak perlu melakukan itu. Kita tidak bisa berbalik arah setiap kali ada yang terpisah dari rombongan."
Mereka semua saat ini berkerumun untuk menahan badai, dan Yoshitomo melanjutkan, "Matahari akan terbit sebentar lagi, dan kita harus mengalihkan rute kita untuk menghindari perjumpaan dengan orang lain di jalan.
Sebelum kita tiba di wilayah perbukitan, para pengejar masih mengancam kita, dan Yoritomo harus dibiarkan untuk menjalani takdirnya sendiri jika kita ingin berhasil dalam pelarian ini. Masa depan seluruh klan Genji tergantung pada keselamatan kita. Kita tidak bisa mempertaruhkan nyawa demi Yoritomo seorang."
Kedua panglimanya membantah, "Tuan, dia adalah putra bungsu Anda, dan kesayangan kami; bagaimana mungkin kita meninggalkannya seorang diri di tengah badai sedahsyat ini" Anda akan menyesali hal ini hingga akhir
hayat Anda. Biarkanlah masa depan menentukan jalannya sendiri. Izinkanlah kami kembali untuk mencari Yoritomo!"
Tetapi, pendirian Yoshitomo tidak tergoyahkan. "Tidak, walaupun kata-kata kalian teramat sangat menyentuhku.
Kalian tahu betul betapa aku menyayangi putraku, namun seluruh klan Genji menganggapku sebagai orangtua mereka, dan aku tidak bisa mengabaikan mereka demi Yoritomo seorang. Di dalam upaya perebutan kemenangan, mereka lebih berarti daripada anak-anakku."
Yoshitomo terdiam, lalu tiba-tiba memalingkan wajahnya dan mengangkat kedua tangannya untuk berdoa,
"Ah, malam yang keji! Seperti inikah cara langit menguji putraku" Benarkah bahwa dia ditakdirkan untuk meninggal dalam udara sedingin ini" Langit yang pengampun, jika memang para dewa menghendaki, tolong selamatkan dia!"
Yoshitomo memperkuat diri untuk mengambil keputusan yang tidak bisa dihindarinya, lalu sekali lagi menoleh kepada rombongannya yang telah menanti. "Kita tidak bisa kembali. Kita harus bergegas karena pagi akan segera tiba," katanya, menjalankan kembali kudanya.
Walaupun enggan, semua orang mengambil posisi di belakang Yoshitomo. Semuanya, kecuali seorang panglima termuda yang, setelah bertukar beberapa pandangan penuh arti dengan Yoshihira, membelokkan kudanya ke arah barat.
o0odwkzo0o Putih, putih di sekelilingnya ... seruas jalan putih yang tak berujung ... malam putih menyelimutinya.
Kantuk mendera Yoritomo sehingga guncangan kudanya sekalipun terasa selembut buaian. Mustahil baginya untuk
tetap terjaga. Terkantuk-kantuk " terkantuk-kantuk, dan akhirnya dia takluk. Terkadang, suara seseorang yang memanggil namanya menembus kesadarannya, dan Yoritomo menjawab, atau itulah perasaannya. Kemudian, dia kembali tertidur. Dia baru berumur empat belas tahun, dan beban yang harus ditanggungnya selama beberapa hari terakhir ini terlampau berat baginya. Seluruh kengerian terlupakan di dalam tidurnya. Yang harus dilakukannya hanyalah memegang erat-erat pada tali kekangnya agar kudanya tetap maju, dan maju. Dia masih bisa mengingat ketika dia melewati sebuah desa di Moriyama; kemudian, mereka melintasi sebuah dataran gersang, namun tidak ada lagi yang bisa diingatnya
setelah itu. Dia bahkan tidak melihat empat orang pria yang membuntutinya.
Sehari sebelum Yoritomo tiba di Moriyama, seorang prajurit tiba terlebih dahulu dari Rokuhara dan menemui kepala desa dan petani di sana. Dia memerintahkan kepada mereka untuk mewaspadai kedatangan Yoshitomo.
Sebelum si kurir pergi, telah tersebar pengumuman di seluruh desa dan wilayah sekitarnya tentang imbalan yang akan diberikan bagi siapa pun yang berhasil menangkap Yoshitomo. Demi mendengar tentang hal ini. Gen, seorang bandit kampung, mengumpulkan beberapa orang antek dengan janji akan membagi imbalan yang didapatkannya, yang jumlahnya jauh lebih besar daripada harga selusin babi hutan. Mempersenjatai dirinya dengan sebuah tombak dan antek-anteknya dengan bambu runcing, Gen mulai melakukan perburuan terhadap Yoshitomo dan rombongan kecilnya.
"Itu dia ... dan dia sendirian, Gen."
"Begitulah." "Itu aneh." "Kenapa?" "Kurasa aku melihat banyak jejak kaki kuda di hamparan salju di dekat jembatan. Tapi, cuma satu orang yang kulihat. Beruntung sekali aku karena tertidur di kedai sake, atau aku tidak akan mendengar tentang ini. Kita tidak pernah tahu kapan keberuntungan akan datang!"
"Ini tidak buruk, apalagi karena akhir tahun sudah dekat.
Aku tidak pernah bermimpi bahwa keberuntungan sebesar ini akan menghampiriku tahun ini."
"Hei, ayo kita tangkap dia!"
"jangan tergesa-gesa, dia masih bocah. Dia pasti anak Yoshitomo."
"Lihat ... lihat itu!"
"Dia pasti tertidur. Lihat, dia mengangguk-angguk!"


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Semudah menangkap bayi beruang. Aku akan memuntir pijakan kakinya dan mendorongnya dari pelana, dan saat dia jatuh, tangkap dan tindihlah dia di tanah.
Setelah itu, aku akan mengikatnya."
Gen dan antek-anteknya mengepung Yoritomo, yang mendadak mendongak.
Gen menghadang Yoritomo. "Hei, Nak, kau hendak ke mana?" tanyanya dengan tajam.
Yoritomo tidak menjawab. Dia menatap dengan bingung pada salju yang berjatuhan di sekelilingnya dan baru menyadari bahwa ayah dan kakak-kakaknya tidak ada lagi di dekatnya. Kesan mengibakan dalam sepasang mata jernih yang menatap dari balik pelindung salju, juga garis-
garis halus sosok kekanak-kanakan Yoritomo, menghadirkan perasaan tidak enak di perut Gen.
"Turun, turunlah dari kudamu!" seru Gen sambil berlari menghampiri kuda Yoritomo dan menyambar pijakan kaki kanannya.
Yoritomo memutar tubuhnya di atas pelananya supaya tidak terjatuh.
"Hei, turunlah kamu!"
"Kau bangsat!" Yoritomo berseru sambil menebaskan pedangnya dengan sekuat tenaga ke kepala Gen. Jeritan yang mendirikan bulu kuduk berhasil menggugah kesadaran Yoritomo; noda gelap berceceran di atas hamparan salju; ujung-ujung bambu runcing terarah kepadanya, dan dia menyerang seseorang yang menghalangi jalannya dengan sebuah tombak. Sesuatu menggeram kepadanya, dan Yoritomo ketakutan, menyadari bahwa ayahnya tidak ada lagi bersamanya.
"Ayah! Ayah!Yoshihira! ?"
Kuda Yoritomo menerjang penyerangnya dan berlari kencang meninggalkan mereka semua.
Yoritomo tidak tahu ke mana kudanya membawanya, namun dia yakin bahwa dia tidak sedang mendekati ayahnya. Dan ketika kudanya yang telah lelah akhirnya menolak untuk terus berjalan.
Yoritomo meninggalkannya, melempar helm beratnya, dan berjalan tanpa arah melewati sejumlah bukit dan lembah.
Beberapa hari kemudian, dia menyeret langkahnya ke sebuah desa pegunungan yang sunyi dan tertidur di luar pondok kayu seorang petani. Istri si petani, yang keluar
untuk membuka stoples acar, menjerit nyaring ketika melihat seorang bocah yang nyaris beku, tertidur di antara tumpukan kayu dan gundukan batu bara. Dia memanggil suaminya, dan bersama-sama, mereka membawa Yoritomo ke dalam pondok mereka, menghangatkannya, dan memberinya bermangkuk-mangkuk bubur kentang panas.
Kemudian, setelah Yoritomo siap pergi, mereka memberikan petunjuk mendetail kepadanya tentang cara mencapai Mino.
"Berjalanlah ke arah gunung yang kaulihat di sana," kata mereka, "dan kau akan menemukan jalan menuju selatan, yang harus kaulewati untuk tiba di Mino."
Yoritomo meninggalkan mereka dengan sebersit kesedihan di hatinya. Untuk pertama kalinya dalam kehidupannya, dia berbagi makanan dengan orang miskin dan mereka memperlakukannya dengan begitu baik.
Seorang biksuni, yang ditemuinya di jalan, tersentuh oleh kemudaannya dan dengan lembut memperingatkannya,
"Anakku, ada banyak prajurit Heik6 di pos penjagaan di jalan ini. Nah, jangan sampai kau tersesat," katanya ketika mereka berpisah.
Hari demi hari, Yoritomo tersuruk-suruk, tidur di gubuk-gubuk kecil dan tempat-tempat pemujaan yang telah terbengkalai pada malam hari. Salju semakin menipis seiring perjalanannya. Dia yakin bahwa Tahun Baru telah tiba dan terlewati olehnya, dan dia meneguhkan diri dengan meyakini bahwa ayah dan kakak-kakaknya sedang menantinya di Mino. Yoritomo pernah mendengar bahwa saudara tiri perempuannya tinggal di sana. Tetapi, dia masih ragu-ragu tentang hubungan saudara tirinya dengan Ohi, panglima setempat, yang masih memiliki hubungan darah dengan Genji dan bisa dipercaya olehnya.
Ketika Yoritomo tiba di sebuah sungai pada suatu hari, seorang nelayan, yang sedang mencuci perahunya, menyapanya, "Bukankah kau salah seorang Genji ... putra Yoshitomo?"
Yoritomo tidak berupaya menyembunyikan identitasnya.
"Ya, aku putra ketiga Yoshitomo. Namaku Yoritomo."
Si nelayan tampak puas dan bercerita bahwa saudara-saudaranya pernah menjadi pelayan di kediaman Yoshitomo. Dia memperingatkan Yoritomo tentang bahaya bepergian seorang diri, lalu mengundang bocah itu untuk singgah di gubuknya.
Yoritomo menginap selama beberapa hari di gubuk si nelayan, lalu meneruskan perjalanannya, kali ini ditemani oleh putra si nelayan, yang baru meninggalkannya setelah mereka tiba di rumah Ohi, sang panglima.
Rumah itu tampak terbengkalai, namun seorang pelayan akhirnya keluar dan mempersilakan Yoritomo memasuki sebuah ruangan yang pengap oleh asap dupa.
"Jadi, inikah Yoritomo?" kata seorang wanita sambil terisak-isak. Dia adalah Enju, putri Ohi, ibu saudara tiri Yoritomo. Enju terus menangis, dan air matanya membingungkan Yoritomo, yang menyimpulkan bahwa kekalahan Genji adalah penyebab kesedihan wanita itu.
Akhirnya, Enju mengusap air matanya dan berkata,
"Yoritomo, ayahmu sudah tidak ada di sini. Dia menginap di sini pada suatu malam dan, berpikir bahwa lebih aman bagi rombongannya jika mereka terus bergerak, langsung melanjutkan perjalanan ke timur menuju Owari untuk mencari seseorang yang bernama Tadamun6, kepala suku di sana. Pada hari ketiga Tahun Baru, Tadamun6
membunuhnya dengan bengis."
"Eh, ayahku?" "Tadamun6 mengirim kepala ayahmu ke ibu kota pada saat itu juga, dan mereka memajangnya di atas sebatang pohon di dekat gerbang Penjara Timur."
"Tapi ... mungkinkah ini benar?"
"Dan, bukan hanya itu. Kakakmu Tomonaga tewas akibat luka-lukanya. Yoshihira melarikan diri, dan kami belum mendengar kabarnya sejak saat itu."
"Jadi, ayah dan kakak-kakakku sudah meninggal" Aku tidak akan bertemu dengan mereka lagi di dunia ini?"
"Anakku, anakku yang malang ". Tidak aman bagimu untuk tinggal lebih lama di sini. Heik6 sedang memburumu."
"Ayah! Ayahku!"
Yoritomo, dengan tubuh gemetar, mendongak ke langit-langit; air mata membasahi pipi. Bocah itu menangis terisak-isak dengan nyaring, dan menjerit-jerit tanpa sanggup mengendalikan diri, seolah-olah jantungnya hendak meledak.
Baru ketika ayah Enju yang telah uzur muncul dan berusaha menenangkannya, Yoritomo berhasil mengatakan,
"Aku tidak akan menangis lagi. "Aku tidak ingin menangis." Kemudian, menoleh kepada panglima renta itu, Yoritomo bertanya, "Ke manakah sebaiknya aku pergi?"
Sang panglima renta menjawab. "Ke wilayah timur Jepang," lalu menyebutkan nama para panglima yang bisa dipastikan akan menerima Yoritomo dengan baik. Dia melanjutkan, "Aku mendengar bahwa Nyonya Tokiwa masih ada di ibu kota, dan dia memiliki tiga orang anak lelaki, saudara tirimu, namun mereka masih kanak-kanak.
Di timur, kau bisa dipastikan akan bertemu dengan para anggota klan Genji yang akan berdiri di pihakmu."
Yoritomo duduk tenang dan memikirkannya.
o0odwkzo0o Bersama setiap hari yang dilalui oleh Yoritomo dalam perjalanannya ke selatan, ladang-ladang luas di kedua sisi jalan tampak menghijau oleh tanaman jelai yang mulai tumbuh. Burung-burung berkicau di atasnya, dan Yoritomo terus berjalan, hatinya terasa ringan. Enju melepas kepergiannya dengan kasih sayang seorang ibu ...
membekalinya dengan kimono baru, mantel berbulu, sandal, sekotak batu api, dan sebilah pedang.
Februari hampir tiba dan bulan baru tampak mengambang di langit biru tua pada tengah hari itu.
"Bocah yang baru saja berpapasan dengan kita ...
sungguh aneh melihat anak setampan itu di sini. Aneh sekali," kata Munekiyo sambil menoleh dari atas pelananya untuk kembali memandang Yoritomo.
Seorang samurai lain turut mengamati bocah itu.
"Sikapnya juga menarik, membuatmu menyangkanya sebagai anak seorang panglima di wilayah ini."
"Mungkin saja, tapi ini latihan yang sangat berat bagi bocah seperti itu, menyuruhnya melakukan perjalanan tanpa ditemani oleh seorang pelayan pun di masa berbahaya ini."
Tanpa berkomentar lebih lanjut, Munekiyo melanjutkan perjalanan, ketika sebuah firasat mendadak menggelitiknya; dia langsung menghentikan kudanya dan kembali menoleh kepada sosok yang kini telah menghilang di kejauhan.
Munekiyo, pelayan adik tiri Kiyomori, Yorimori, diberangkatkan sebagai duta Yorimori untuk memastikan kabar kematian Yoshitomo Dia tengah berada dalam
perjalanan pulang ke ibu kota setelah menyelesaikan berbagai macam urusan yang berkaitan dengan Tadamun6.
Munekiyo menoleh dan memerintah prajurit di dekatnya:
"Bawa kemari bocah yang baru saja berpapasan dengan kita. Jika dia berusaha melarikan diri, maka bisa dipastikan bahwa dialah orangnya. Tangkap dia, apa pun yang terjadi."
Munekiyo memutar kudanya dan mengikuti para prajuritnya dengan santai.
Yoritomo ternyata berusaha meloloskan diri dan melawan para penangkapnya. Saat ini dia berbaring telentang di bawah pohon dedalu di tepi sungai, memandang para prajurit bersimbah keringat yang mengepungnya. Para prajurit itu terengah-engah; urat-urat besar tampak bertonjolan bagaikan sumbu di wajah dan leher mereka yang merah padam.
"Kemari kau, berdirilah!"
"Berdiri kamu!"
Alih-alih menurut, Yoritomo tetap berbaring diam dan menatap matahari.
Munekiyo membungkuk di atasnya dan mengamati wajahnya. "Ada apa dengan dirimu" Apakah yang sedang kaulakukan?"
"Dia memang masih kecil, tapi jangan sampai kita tertipu oleh penampilannya," kata salah seorang prajurit dengan kesal. "Dia petarung cilik ". Lihatlah dia, bisa-bisanya dia memerintah kita untuk menariknya berdiri, seolah-olah kita pelayannya!"
Senyum tipis terulas di wajah Munekiyo, "Tarik dia berdiri," perintahnya.
Dua orang prajurit maju dan mencengkeram lengan Yoritomo, lalu menariknya hingga berdiri. Yoritomo berdiri tegak, menatap Munekiyo. Wajahnya berlepotan debu.
Goresan luka merah tampak di pipinya yang merona, dan rambutnya acak-acakan.
"Apakah mereka menyakitimu. Nak?"
"Kau hendak pergi ke mana" Timur?"
"Ayahmu" Siapakah ayahmu, Nak?"
Yoritomo menolak untuk menjawab, namun pertanyaan terakhir itu menghadirkan setetes air mata yang mengalir di pipinya, walaupun dia tetap tidak melontarkan sepatah kata pun.
"jawablah pertanyaanku. Jika kau tetap diam, kami akan melihat apakah rasa sakit akan mendorongmu untuk menjawab," Munekiyo mengancam.
Yoritomo menegakkan bahunya dan, dengan tatapan meremehkan, berkata, "Dan siapakah kamu" Turunlah dari kudamu jika kau ingin berbicara denganku. Aku bukan jenis orang yang bisa disapa oleh seorang prajurit Heik6 biasa dari atas punggung kuda."
Munekiyo terdiam dengan takjub ketika mendengar jawaban bocah itu. Dia mengamati Yoritomo dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kemudian, dia cepat-cepat turun dari kudanya dan menghampiri Yoritomo, lalu menjelaskan bahwa dia adalah pelayan Heik6 Yorimori.
Munekiyo telah menduga bahwa bocah itu adalah Genji Yoritomo, namun dia masih membujuk dengan lembut,
"Siapakah dirimu" Sebutkanlah nama ayahmu."
o0odwkzo0o Bab XXVI " BELAS KASIHAN
Lebih dari sebulan telah berlalu sejak ibu tiri Kiyomori, Ariko, mengungsi ke Rokuhara demi keamanannya, dan dia tinggal di sana hingga Tahun Baru berlalu, menjalani kehidupan bersama seluruh penghuni rumah dan menikmati perhatian dari cucu-cucunya. Ariko berusia sekitar empat puluh tahun, hanya sedikit lebih tua dari Kiyomori, dan penampilannya tampak terlalu muda untuk seorang nenek. Kiyomori kerap tertikam oleh perasaan cemburu ketika melihat Ariko dan Tokiko menghabiskan waktu bersama, karena janda ayahnya itu jauh lebih menawan daripada istrinya; ada kalanya, dia bahkan mengasihani dirinya sendiri atas pernikahannya.
Walaupun bisa menyembunyikan kekesalannya dengan baik, Kiyomori tidak pernah merasa tenang saat berada di dekat Ariko. Ada sesuatu di dalam diri Ariko yang senantiasa mendorong Kiyomori untuk melawan keinginan untuk mengabaikannya. Kiyomori kadang-kadang bertanya-tanya, apakah yang menjadi akar dari perasaannya kepada ibu tirinya itu.
Pada suatu pagi, ketika Kiyomori hendak berangkat ke Istana, dayang Ariko muncul untuk menyampaikan pesan bahwa majikannya ingin berbicara dengan Kiyomori. Ariko terbiasa untuk
menghabiskan sebagian paginya dengan merapalkan ayat-ayat suci di ruang peribadatan kecil yang terhubung dengan kamarnya, dan Kiyomori selalu menghindari bagian rumah itu; bukan hanya karena nisan ayahnya ada di sana melainkan juga karena kesan muram dan angker yang dimiliki tempat itu.
Ketika Kiyomori muncul, Tokiko sudah ada di sana, duduk diam di dekat Ariko.
"Aku ingin berterima kasih kepadamu," kata Ariko,
"dan kuharap kau mau memaafkanku karena telah memintamu untuk datang kemari."
Kiyomori mengendus-endus asap dupa yang masih mengepul di belakang Ariko. Dia mendengar seekor burung berkicau di luar jendela yang terbuka, tempat sinar matahari menerobos masuk. Cahaya itu menerangi lipatan-lipatan di kimono biksuni yang dikenakan oleh Ariko, sehingga sosoknya tampak menyerupai ukiran indah. Kekayaan detail di ruang peribadatan itu, hiasan-hiasan brokatnya, lekukan-lekukan di langit-langitnya, lentera-lenteranya, semuanya bersatu padu untuk menonjolkan sosok berpakaian putih itu. Kemudian, tiba-tiba terpikir oleh Kiyomori, ketika dia terdiam sejenak di ambang pintu, bahwa kehidupan Ariko, masa menjandanya yang dititikberatkannya untuk berdoa dan berkomunikasi dengan mereka yang sudah meninggal, entah bagaimana telah menjadikannya bagian dari dunia arwah ... dan ada banyak cara untuk menangani arwah.
"Tetapi, untuk apa berterima kasih ... dan mengapa Ibu mendadak memanggilku" Apakah yang bisa kulakukan untuk menolong Ibu?"
Ariko tersenyum. "Aku tidak menyadari betapa cepatnya hari-hari berlalu. Aku sudah tinggal di sini selama lebih dari sebulan, dan Yorimori telah mengirim banyak pesan untuk memohon agar aku pulang, sehingga aku memutuskan untuk pulang hari ini. Kalian berdua telah memperlakukanku dengan sangat baik sejak kekacauan itu terjadi ... "
"Pulang hari ini" Maafkan aku jika selama ini sudah terlalu sibuk dan mengabaikan Ibu. Tapi, izinkanlah aku mengatakan bahwa aku telah berpikir untuk mendirikan rumah baru bagi Ibu di atas sebidang tanah di Rokuhara ini."
"Aku tentu akan sangat bahagia jika bisa tinggal berdekatan dengan kalian."
"Karena rumah Shigemori di lembah baru saja selesai pembangunannya, kita bisa segera mulai membangun rumah untuk Ibu dan Yorimori."
"Betapa beruntungnya aku ... bahkan, kita semua! Kau, Kiyomori, tidak boleh sedikit pun melupakan bahwa kau adalah pemimpin klan Heik6. Teruskanlah melakukan kebaikan; bersikap tegaslah kepada dirimu sendiri; jalankanlah tugasmu dengan baik, karena sikap santai seperti yang selalu kautunjukkan hingga saat ini tidak akan cukup. ... Dan.Tokiko, jangan pernah melupakan kedudukan suamimu. Teruslah berusaha untuk menjadi istri yang lebih baik baginya, dan ibu yang lebih berbakti.
Sebagai nyonya rumah di sini, berikanlah dukunganmu kepada suamimu dalam segala bidang."
Kiyomori dan Tokiko mendengarkan petuah dari Ariko dengan takzim, karena Ariko memang memiliki wewenang untuk berbicara seperti itu kepada mereka.
"Dan sekarang, aku memercayakan segalanya kepada kalian berdua," Ariko mengakhiri petuahnya. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia menghadap ke ruang peribadatan untuk bermeditasi selama beberapa waktu di depan nisan Tadamori sebelum berangkat.
Bagi Kiyomori, ibu tirinya seolah-olah melimpahkan seluruh tanggung jawab keluarga mereka kepadanya; kesan membingungkan yang didapatkannya dari Ariko agak
merisaukannya, namun dia tidak memiliki alasan untuk membantahnya. Dia menyadari bahwa dia bukanlah putra teladan Tadamori, dan dia mencoba untuk menebusnya dengan berusaha setulusnya menjadi putra yang patuh bagi janda ayahnya, Ariko. Dan memang wajar jika dirinya, seorang
kepala klan, menunjukkan pengabdiannya kepada orangtua sebagai contoh bagi seluruh keluarganya.
Beberapa hari setelah Ariko kembali ke rumahnya di bagian utara ibu kota, putranya, Yorimori, mengunjunginya. Ariko menyambutnya dengan hangat.
"Ah, Yorimori, kaukah itu?"
"Maafkan aku karena baru berkunjung, Ibu."
"Tidak apa-apa. Wilayah kekuasaan barumu di Owari tentunya menyibukkanmu akhir-akhir ini."
"Begitulah. Aku mengirim Munekiyo ke sana untuk menyelesaikan beberapa urusan, dan dia kembali dua malam yang lalu, membawa seorang bocah yang ditangkapnya di jalan. Kemarin, urusan itu menghabiskan waktuku seharian."
"Oh" Dan siapakah bocah yang dibawa oleh Munekiyo itu?"
"Putra Yoshitomo, Yoritomo, yang baru saja berulang tahun keempat belas."
"Putra Yoshitomo" Ini berita besar! Empat belas tahun, katamu" Astaga, dia masih bocah! Apakah yang mereka pikirkan ... membiarkan seorang bocah seperti dirinya ikut berperang! Dia masih terlalu muda untuk memahami masalah yang sesungguhnya. Anak malang! Di manakah dia sekarang?"
"Kami sedang menantikan perintah dari Rokuhara, dan untuk sementara ini, aku menugaskan kepada Munekiyo untuk mengawasinya."
"Apakah yang akan dilakukan oleh Kiyomori kepada bocah itu?"
"Kita akan mengetahuinya hari ini."
Pembicaraan itu selesai, dan Yorimori segera berpamitan, namun Ariko menahannya. "Tinggallah lebih lama di sini," bujuknya. "Aku akan memerintahkan kepada pelayan untuk memasak makanan kesukaanmu; tinggallah sejenak untuk makan bersamaku."
Tepat ketika Ariko mengirim dayangnya ke dapur untuk menyampaikan beberapa instruksi, kedatangan Munekiyo diumumkan.
Dia hendak berbicara dengan majikannya, kata si pelayan. Ariko memerintahkan kepada Munekiyo untuk menunggu.
Ibu dan anak itu menyantap hidangan dengan tenang, dan ketika mereka telah selesai makan, Yorimori memanggil prajurit kepercayaannya.
"Munekiyo, apakah kau sudah menerima kabar dari Rokuhara?"
"Ya, dari seorang kurir."
"Apakah isi pesannya ... tentang Yoritomo?"
"Dia akan dihukum mati pada 13 Januari."
?" Hmm." Air muka Yorimori seketika keruh. Perutnya bergejolak ketika dia memikirkan bahwa satu lagi hukuman mati harus dilaksanakan. Setelah perang berakhir, dia telah melihat
terlalu banyak pemenggalan kepala dan mendengar cukup banyak ratapan orang-orang yang berkumpul setiap hari untuk menyaksikan perahu-perahu berisi kerabat mereka yang akan diasingkan bertolak. Ketika asap sisa pertempuran masih menggantung di langit ibu kota, semua itu tidak terlalu berdampak padanya. Namun setelah kedamaian datang kembali dan pepohonan plum di kebun berbunga, seluruh bagian dirinya seolah-olah menjerit untuk menentang kekejian dari mengangkat senjata demi menghabisi nyawa seorang bocah biasa.
Awan gelap juga tampak menyelimuti wajah Ariko; sebagai seorang penganut Buddha yang taat, memberikan belas kasihan dianggapnya sebagai tugas pertama dan iktikad utama orang yang beriman.
Dampak dari kabar yang disampaikannya kepada mereka berdua sepertinya memberikan keberanian bagi Munekiyo untuk menyampaikan pendapatnya, sehingga dia menoleh kepada Yorimori:
"Dia baru berumur empat belas tahun ... sebaya dengan adik Anda, jika saya mengingatnya dengan benar, apabila saat ini beliau masih hidup."
"Ya, seandainya dia masih ... "
"Dan mereka berdua sangat mirip. Saya nyaris percaya bahwa mereka bersaudara."
"Munekiyo," potong Ariko dengan nada tertarik,
"ceritakan lebih banyak tentang bocah itu"
Munekiyo pun menceritakan semua yang diketahuinya.
Ariko, yang tergerak ketika mendengar kemiripan bocah itu dengan almarhum putranya, berniat untuk mempertahankan tekadnya bahwa Yoritomo harus diselamatkan. Ketika dia tidur malam itu, cerita Munekiyo
seolah-olah menghantui dirinya sehingga sosok "kembaran"
almarhum putranya itu seolah-olah menempel di kelopak matanya, dan dia mendambakan pertemuan dengannya.
Beberapa hari kemudian, membawa ranting pohon plum berbunga merah, Ariko melintasi halaman rumah putranya menuju bilik sederhana Munekiyo di sisi lain rumah. Ariko menyuruh seorang pelayan untuk memanggil Munekiyo, dan ketika prajurit itu muncul, dia mengulurkan bunga plum yang dibawanya:
"Taruhlah ini di dalam vas, dan biarkanlah bocah malang itu melihatnya."
Munekiyo menerima bunga itu dengan anggukan dalam, dan sorot matanya tampak melembut, "Sebuah hadiah kecil untuknya?"
"Dan, Munekiyo ... "
Suara Ariko berubah menjadi bisikan. Munekiyo menganggukkan persetujuan pada apa pun yang diucapkannya, lalu mempersilakan Ariko memasuki rumahnya. Pagar bambu tinggi mengelilingi salah satu sisinya. Pintunya terkunci dan kerai-kerainya tertutup, kecuali sebuah jendela kecil yang digunakan oleh seorang penjaga untuk mengawasi tahanan.
Munekiyo memasuki ruangan tempat Yoritomo ditahan, meminta Ariko untuk menunggu di luar, di dekat lubang intip.
Seperti biasanya, Yoritomo duduk diam bagaikan patung kayu cendana di balik sebuah meja tulis kecil; dia menoleh ke arah Munekiyo dan membelalakkan mata dengan kaget begitu melihat ranting plum yang dibawanya. Walaupun Munekiyo mengunjunginya setiap pagi dan petang,
Yoritomo tidak menyadari bahwa kuncup-kuncup bunga plum telah mekar.
"Indah sekali bunga itu!" desahnya.
"Indah, bukan?" jawab Munekiyo. "Salju terlalu banyak turun akhir-akhir ini sehingga pohon-pohon plum terlambat berbunga tahun ini."
"Jangan ingatkan aku pada salju."
"Maafkan aku. Haruskah aku menaruh bunga ini di air untukmu?"
"Biar aku sendiri saja yang melakukannya. Terima kasih."
Yoritomo membungkuk untuk mengamati ranting itu, yang diletakkan oleh Munekiyo di dekat mejanya. Sebuah buku terbuka di atas mejanya. Munekiyo menatap ranting di lantai, yang sedang diamati dari dekat oleh Yoritomo.
Bocah ini berbahaya ... sebuah ancaman bagi klan Heik6, pikir Munekiyo; semakin jelas baginya bahwa dirinya telah semakin menyukai bocah ini. Di dalam sosok Yoritomo, Munekiyo melihat seorang samurai berdarah biru, yang sebentar lagi akan dibunuh- ... disia-siakan.
"Apakah yang kaulakukan hari ini" Menulis puisi?"
"Tidak, aku membaca."
"Apakah yang kaubaca?"
"Aku membaca kumpulan puisi yang kaupinjamkan kepadaku dan sebuah hikayat tua."
"Yang manakah yang paling kausukai?"
"Aku tidak terlalu menikmati puisi."
"Kalau begitu, kau lebih menyukai kisah-kisah peperangan ... kepahlawanan dan pertempuran?"
Yoritomo berlama-lama menatap Munekiyo dengan matanya yang jernih, namun Munekiyo gelisah karenanya, merasa seolah-olah bocah itu bisa membaca pikirannya, dan cepat-cepat mengalihkan pandangan. Tatapan Munekiyo tertuju pada lubang kecil di dekat tempat Ariko mungkin sedang mendengarkan mereka, dan dia merasakan jantungnya berdegup kencang saat dia menantikan jawaban Yoritomo.
Yoritomo, yang mengenakan baju hangat sutra berwarna ungu pucat dan celana berwarna senada dengan garis ungu tua di bagian mata kakinya, duduk bersila di atas sebuah bantal, menatap jauh ke depan. Setelah terdiam lama, dia tiba-tiba menjawab:
"Kitab-kitab ... aku paling menyukai buku-buku yang menceritakan tentang Buddha, jika kebetulan kau memilikinya."
"Aku yakin aku punya beberapa ... tapi, apakah yang mendorongmu untuk menyukai bacaan melankolis seperti itu?"
"Entah mengapa ... aku menyukainya. Pasti karena ibuku, yang sekarang sudah meninggal, kerap membawaku mengikuti perjalanan ziarah menuju kuil-kuil termahsyur; aku bahkan pernah mengunjungi Biksu Honen dan mendengarkan beliau berbicara tentang kitab-kitab suci."
"Jadi ... " "Jadi, kurasa, jika aku sudah dewasa nanti, aku lebih memilih untuk menjadi seorang biksu daripada seorang samurai. Tetapi, sekarang ... "
Bocah itu mendadak menunduk. Jelas bahwa dia telah mendapatkan pendidikan tentang kode yang mengajarkan
bahwa seorang samurai berdarah biru hanya bisa mengharapkan ke matian di tangan penangkapnya.
o0odwkzo0o Baru pada musim semi itulah arak-arakan kereta dengan jumlah sangat banyak terlihat di Jembatan Gojo, ketika beraneka ragam kendaraan dan kuda berduyun-duyun ke arah Rokuhara.
Akhir-akhir ini, Kiyomori mulai lelah menerima arus tamu yang seolah-olah tak kunjung habis. Walaupun pangkatnya masih mengharuskannya untuk menyambut setiap tamu terhormat dengan upacara yang selayaknya, sisanya ... mereka yang berpindah haluan atau mencari muka ... ditolaknya tanpa basa-basi; Rokuhara sepertinya telah berubah menjadi surga berbunga bagi para nyamuk dan ngengat yang berkerumun dengan gaduh di gerbang-gerbangnya.
"Ini berlebihan!" sembur Kiyomori. Dengan gusar, dia mengganti kimono kebesarannya pada suatu malam dan bergabung dengan keluarganya.
"Tokiko, besar sekali keluarga kita sekarang ini! Tapi, pikirkan saja bahwa tahun-tahun terus berlalu, meninggalkanku hanya dengan seorang istri uzur untuk menemaniku dan menuangkan sake untukku. Betapa buruknya bulan itu walaupun pohon plum telah berbunga!"
Kiyomori jarang minum terlalu banyak, namun malam ini dia berniat untuk mabuk sake dengan tekad agar bisa melupakan segalanya di dalam tidurnya.
"Tokiko, kemarilah dan mainkan sesuatu untukku!"
"Aku" Aneh sekali permintaanmu kepadaku!"
"Perempuan, kau sama sekali tidak berbudaya!
Mainkanlah sesuatu dengan harpa, atau kecapi."
"Tapi, bukankah kau selalu mengatakan bahwa kau benci segala sesuatu yang meniru kaum bangsawan?"
"Semua itu tergantung pada waktu dan tempatnya.
Musik diperlukan untuk menghibur telinga. Musik bisa mendamaikan pikiran. Dampaknya luar biasa!
Keluarkanlah kecapiku dan aku akan memainkannya untuk istri uzur dan anak-anakku."
Tokiko mengeluarkan kecapi yang dihadiahkan oleh Penasihat Shinzei lama berselang, dan Kiyomori mulai memetiknya dengan kikuk, ketika seorang pelayan muncul dan mengumumkan dengan ragu-ragu:
"Yang Terhormat Yorimori, Tuan, memaksa untuk berbicara dengan Anda. Beliau telah menunggu cukup lama dan berharap untuk bisa menemui Anda di saat Anda sedang bersantai."
Kiyomori mengernyitkan kening. "Yorimori" Apa maunya" Suruh dia kemari."
Si pelayan beranjak, namun segera kembali lagi.
"Beliau memohon agar bisa berbicara empat mata dengan Anda."
"Kebiasaan buruknya ini ". Aku benci pembicaraan rahasianya ... segala sesuatu yang ditutup-tutupinya"
Kiyomori menyingkirkan kecapinya dengan kesal.
"Baiklah ... aku akan segera ke sana," dia mendorong si pelayan dan menghambur keluar dengan marah.
Genangan air di bawah jendela yang terbuka di salah satu ruangan rumah Kiyomori memantulkan cahaya dari satu-satunya lentera yang ada di sana.
"Yorimori, sesampainya kau di rumah nanti, cobalah untuk membujuk ibu kita yang baik hati. Lebih baik jika beliau tidak turut campur dalam masalah seserius ini.
Mengertikah dirimu" Selalu ada wanita di balik setiap pengambilan keputusan yang salah ... dan perang."
"Tapi ... " "Ya" Mengapa kau memandangku seperti itu" Apakah kau kecewa?"
"Aku mengerti."
"Tentu saja kau mengerti. Sudah sepantasnya begitu."
?" Tapi, izinkanlah aku menyampaikan pendapatku sendiri."
"Apakah aku melarangmu?"
"Tapi, yang kaulakukan hanyalah menggerutu tanpa membiarkanku mengatakan apa pun. Aku kemari hanya untuk menyampaikan perkataan Ibu dan memohon atas nama beliau. Dan kau ... f
"Dan aku mengatakan kepadamu bahwa alasan apa pun tidak akan bisa mendorongku untuk mengampuni Yoritomo. Tidak ada lagi yang harus kukatakan."
"Itu saja. Kata-katamu sungguh kasar ... kau mengatakan bahwa Ibu turut campur dan bahwa dia sebaiknya menyibukkan diri dengan cucu-cucunya saja, atau merawat kebun bunga di biaranya. Haruskah aku mengatakan itu kepada beliau?"
"Ya, ulangi saja kata per katanya. Ucapanku mungkin saja kasar, tapi apa lagi yang bisa kukatakan, jika beliau, seorang Heik6, mengusulkan untuk mengampuni seorang Genji."
"Aku masih tidak mengerti apa yang menjadikan dirimu semarah itu. Bukankah kau pernah mengampuni Jenderal Narichika hanya karena Shigemori memohon kepadamu?"
"Itu kulakukan untuk berterima kasih atas kebaikannya kepada Shigemori ketika putraku itu pertama kali terjun ke dalam politik Istana Apakah yang pernah dilakukan oleh putra Yoshitomo kepada ibu kita atau dirimu?"
"Tidak ada, tapi Ibu adalah penganut Buddha yang taat, dan beliau memohon kepadamu untuk menunjukkan belas kasihan kepada bocah itu."
"Belas kasihan" ... Apakah kau mengatakan bahwa aku sama sekali tak berperasaan?"
"Aku tidak mengatakan itu."
"Dasar bodoh! Sampaikanlah satu lagi saja pesanku kepada ibu kita ... bahwa beban yang ditanggung oleh Kiyomori sangatlah berat. Dengan mengampuni Yoritomo, haruskah aku membiarkan seluruh klan kita terpapar oleh ancaman tanpa akhir" Apakah kita mau berhadapan dengan perang yang tak berkesudahan?"
"Aku sudah mengatakan pendapatku dan tidak akan mengungkit-ungkit masalah ini lagi."
"Sebaiknya kau jangan kemari untuk menyampaikan hal bodoh lainnya."
Malam itu, Yorimori mengendarai kudanya dengan murung. Ibunya telah menantinya, tidak sabar ingin mendengar jawaban Kiyomori.
"Sia-sia saja. Dia menolak untuk mendengarkanku.
Terlebih lagi, suasana hatinya sedang buruk, walaupun dia memang selalu seperti itu, dan kata-katanya kasar."
"Apakah aku penyebabnya?"
"Tidak, sepertinya dia juga mencari-cari kesalahanku."
"Aku khawatir dia akan salah langkah kali ini."
"Bagaimanapun, dia tidak punya alasan untuk bersikap sekeji Itu"
"Dan dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan memaafkan Yoritomo?"
"Akan lebih bijaksana jika kita tidak mengungkit-ungkit masalah ini lagi. Ibu. Ini hanya akan membangkitkan kecurigaan dan memicu kemarahannya."
o0odwkzo0o Tinggal beberapa hari lagi hingga 13 Februari tiba Munekiyo belum memberi tahu Yoritomo tentang takdir yang telah menantinya pada hari itu. Dia menemui bocah itu setiap hari, dan dari hari ke hari, rasa sayang dan belas kasihannya kepada Yoritomo semakin bertambah.
Yoritomo, yang jarang meminta tolong, pada suatu hari memohon kepada penjaganya untuk memanggilkan Munekiyo, yang segera muncul.
"Munekiyo, bawakanlah seratus kepingan kecil kayu cipres dan sebuah pisau untukku."
"Kayu cipres dan pisau" Apakah yang akan kaulakukan dengannya?"
"Aku baru saja menghitung hari, dan ternyata hari keempat puluh sembilan wafatnya ayahku hampir tiba. Aku ingin menghabiskan hariku dengan mengukir kepingan-kepingan doa untuk beliau, agar aku bisa memberikannya ke beberapa kuil untuk membersihkan jiwanya."
"Sudah sebanyak itu hari berlalu?" jawab Munekiyo, sangat tersentuh oleh permintaan Yoritomo. "Walaupun aku ingin sekali menolongmu, seorang tahanan tidak
diizinkan untuk memiliki pisau. Kurasa, yang bisa kaulakukan hanyalah membaca doa-doa untuk ayahmu."
Kendati begitu, Munekiyo kembali keesokan paginya dengan membawa seratus kepingan kecil kayu cipres, dan Yoritomo pun menghabiskan hari-harinya dengan menuliskan nama Buddha ayahnya di sana.
Ketika Ariko mendengar tentang semua itu dari Munekiyo, belas kasihan menyengat sanubarinya, dan tekadnya untuk menyelamatkan Yoritomo pun semakin bulat. Iktikad baik, diyakininya, akan selalu mendapatkan balasan yang setimpal, dan Heik6 tidak akan kehilangan apa pun dengan menunjukkan belas kasihan; arwah Tadamori juga akan turut mendapatkan rahmat. Setelah menimbang-nimbang mengenai hal ini, Ariko semakin meyakini tugas yang diembannya. Dia pun memanggil kereta untuk membawanya ke Rokuhara.
Ketika mendengar bahwa ibu tirinya telah tiba, Kiyomori bertekad untuk bersikap tegas.
Dayang Ariko segera menyampaikan sebuah pesan, yang mengatakan bahwa majikannya ingin berbicara dengan Kiyomori di ruang peribadatannya.
Kiyomori memasang wajah muram, bukan sesuatu yang aneh baginya, dan menyapa ibu tirinya dengan nada gusar.
"Kiyomori, atas nama belas kasihan, tidak maukah kau mendengarkanku?"
Kiyomori sudah menebak arah pembicaraan Ariko.
"Mengenai Yoritomo ... putra Yoshitomo, bukan?"
"Ya, kemarin malam ... "
"Yorimori sudah menceritakannya padaku, tapi ... "
"Tidak mungkinkah itu dilakukan?"
"Mustahil. Masalah ini sangat serius sehingga aku harus memohon kepada Ibu untuk tidak turut campur."
Kiyomori merasa lega karena penolakan tegasnya; bahkan, ini adalah pertama kalinya dia membantah Ariko.
Tetapi, ketika melihat Ariko menyeka air mata tanpa berkata-kata, hati Kiyomori seketika mencelus; dia mengalihkan tatapan dengan bingung.
Desahan panjang keluar dari mulut Ariko. "Jika memang harus begitu ... dengan meninggalnya ayahmu ...
sekarang, setelah beliau tiada ... "
Petuah terpatah-patah Ariko melenyapkan kesabaran Kiyomori, sehingga dia menjawab dengan dingin, "Ibu salah memahamiku ... seperti biasanya."
"Seandainya ayahmu masih hidup, kurasa kau tidak akan bicara seperti itu kepadaku. Kiyomori, setiap kali memikirkan masa depanmu, aku hanya bisa berduka."
"Ibu tidak memperiakukanku dengan adil. Bukankah aku selalu menunjukkan rasa hormatku walaupun Ibu bukanlah ibu kandungku" Kapankah aku pernah menyebabkan Ibu berduka" Aku hanya memohon kepada Ibu untuk tidak turut campur dalam masalah Ini."
"Dan kau masih menolak mendengarkanku?"
"Tetapi, pikirkanlah. Ibu! Adakah pengaruhnya jika sepasukan prajurit, jenderal Narichika dan semacamnya, dibebaskan" Dengan putra seorang samurai seperti Yoritomo, masalahnya sungguh berbeda."
"Bukankah kau juga putra seorang samurai?"
"Itu justru memberiku lebih banyak alasan untuk menyingkirkannya. Aku tahu betul apa artinya. Anak
harimau tidak akan melupakan induknya. Belai dan rengkuhlah dia ke dalam pelukan Ibu sekarang, dan dia akan menancapkan cakar-cakarnya ketika saatnya tiba."
"Dia meratapi kepergian ayahnya dan sudah berencana untuk menjadi seorang biksu ... bocah malang itu!"


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ibu, kita tidak perlu lagi membahas tentang masalah ini.
Pergilah ke keputrian. Aku lebih suka jika Ibu menghabiskan waktu dengan cucu-cucu Ibu."
"Tentunya kau mencintai anak-anakmu?"
"Tentu saja ... apa pun yang mereka lakukan."
"Yoritomo adalah putra Yoshitomo. Dan ingatlah, ada kehidupan setelah kematian. Apakah kau tidak takut pada akhirat?"
"Apakah Ibu mau menceramahiku tentang agama Buddha?"
"Ah, sudahlah, sudah cukup aku menasihatimu," jawab Ariko. Dia memunggungi Kiyomori dan menghadapi nisan suaminya di atas altar, lalu menggumamkan sesuatu dengan lirih.
Persilangan pendapat antara Kiyomori dan ibu tirinya hanya memperlebar jarak yang senantiasa memisahkan mereka. Ariko pergi pada hari itu juga dari Rokuhara dengan membawa kekecewaan mendalam, namun dia memiliki alasan yang kuat bagi tekadnya dan tidak akan menyampaikannya kepada Kiyomori jika dirinya sendiri ragu-ragu. Kendati begitu, orang-orang yang mengenal baik dirinya sekalipun ternyata kurang menyadari betapa keimanan telah menguasai sanubarinya.
Alih-alih langsung pulang, Ariko pergi ke kediaman Shigemori di Lembah Pinus Kecil, yang berjarak cukup dekat dari Rokuhara, untuk berbincang-bincang dengannya hingga larut malam.
Berbeda dengan ayahnya, Shigemori memiliki hubungan dekat dengan neneknya, yang selalu menganggapnya sebagai cucu kesayangan.
"Shigemori, maukah kau ikut mencoba membujuk ayahmu?"
Shigemori langsung menyanggupi permohonan neneknya. Dia menemui Munekiyo secara diam-diam pada malam berikutnya dan meminta untuk dipertemukan dengan Yoritomo.
Bocah itu sedang duduk di belakang sebuah meja tulis kecil, menulisi kepingan-kepingan doa untuk ayahnya.
Tidak ada sedikit pun sumber kehangatan di ruangan itu ...
tidak ada sedikit pun cahaya, kecuali dari bulan yang mengintip dar
i balik sebuah jendela kecil. Yoritomo meletakkan kuasnya dan memicingkan mata untuk menatap tamunya, yang berdiri diam di ambang pintu.
Merasakan kewaspadaan bocah itu, Shigemori menghampirinya dan berkata dengan sangat lembut,
"Apakah yang sedang kaulakukan, Yoritomo?"
"Ini untuk almarhum ayahku." "Apakah kau merindukannya ... ayahmu?" "Tidak."
"Kau pasti berpikir untuk menuntut balas demi dirinya."
"Tidak." "Tidak?" "Tidak." "Mengapa tidak?"
"Saat sedang menulis seperti ini, tidak ada apa bisa yang merisaukan hatiku."
"Kalau begitu, kau hanya mendambakan saat kematianmu agar bisa berjumpa kembali dengan ayahmu"
Kata orang-orang, kau tahu, kita akan bertemu kembali dengan orang-orang yang kita sayangi di dunia yang lain."
"Aku tidak ingin mati. Aku takut memikirkannya."
"Tapi, bukankah kau turut terjun ke medan perang?"
"Aku bersama ayah dan kakak-kakakku ketika itu, dan sangat bersemangat sehingga tidak pernah berpikir tentang kematian."
"Apakah kau terkadang bermimpi?"
"Tidak ... mimpi macam apa?"
"Maksudku, pernahkah kau memimpikan ayah dan kakak-kakakmu?"
Yoritomo menggeleng. "Tidak ... tidak pernah." Setitik air mata berkilauan dan jatuh ke pipinya, dan dia buru-buru menunduk.
Shigemori sangat tersentuh oleh pembicaraan ini. Dia pun segera menemui ayahnya dan secara berapi-api menyampaikan pendapat yang telah disusunnya dengan penuh perhitungan, memohon kepada Kiyomori untuk mengabulkan permintaan Ariko. Tetapi, permintaan Shigemori justru semakin membakar amarah Kiyomori.
"Apa-apaan ini, kau sendiri masih bocah! Berani-beraninya kau membantahku ... dengan lagak sok pintar pula! Kau masih terlalu muda untuk hanyut dalam khayalan keagamaan seperti itu! Jangan sebut-sebut lagi tentang ceramah "Kebudhaan" dan "karma" dan omong kosong lainnya dari nenekmu ... semua itu tidak akan bisa
menguraikan masalah dunia saat ini! Lihat saja sendiri kebusukan para pendeta di Nara! Apakah serigala-serigala serakah dari Gunung Hiei itu lebih suci daripada para gelandangan dan pengemis di jalanan kita" Kita semua manusia yang memiliki darah dan daging, dan dunia yang kita tinggali ini adalah arena tempat kita memangsa dan dimangsa! Jangan pedulikan orang lain; yang penting adalah menang atau kalah ". Jika kau terus larut dalam omong kosong semacam ini ... meneteskan air mata dan mengoceh tentang "belas kasihan" dan "karma baik ...
sebaiknya kau pergi ke kuil atau rumah nenekmu saja!
Jangan pernah mengungkit-ungkit masalah ini di hadapanku jika ada urusan lain yang jauh lebih menyita perhatianku."
Walaupun Shigemori menyampaikan pendapatnya kepada ayahnya dengan tenang, Kiyomori menjawabnya dengan semburan kata-kata pedas. Ketika berada di bawah tekanan, Kiyomori kembali menampilkan kebiasaan melakukan tindakan gegabah seperti pada masa mudanya.
Dia pun mengumpat-umpat putranya dengan berbagai makian yang pernah dipelajarinya dari para bajingan di pasar. Tetapi, dalam keadaan seperti ini, ketika dia menghujat "kecengengan" orang lain, Kiyomori selalu mengalami kesulitan untuk menyembunyikan air matanya sendiri.
Pertanyaan mengenai jadi atau tidaknya Yoritomo dihukum mati bukan sekadar isu politik lagi, melainkan sebuah kemelut keluarga, dan Kiyomori mendapati ibu tiri, adik tiri, dan bahkan putranya sendiri menentangnya.
Walaupun tidak secara langsung, dia menganggap dirinya telah dituduh sebagai iblis yang keji dan berhati batu.
o0odwkzo0o Bab XXVII " SEBUAH KAPEL DI ATAS
BUKIT Ketika itu 3 Januari, dan dinginnya udara terasa menusuk tulang. Tidak seberkas cahaya pun terlihat di mana-mana. Kegelapan pekat menyelimuti bangunan-bangunan di kompleks kuil dan mengisi lorong-lorong terbukanya, yang lantainya telah berlapis es. Udara malam yang ganas menerebos masuk melalui kerai-kerai, dan bahkan dinding-dinding Kapel Kannon di kompleks Kuil Kiyomizu.
"Oh, tenanglah, tenanglah, sayangku ". Kau aman di pelukan Ibu. Udara dinginkah yang membuatmu menangis sekeras ini" Ada apa, bayi mungilku?"
Di dekat sebuah pilar kayu di dekat altar, tempat tikar jerami digelar, tidurlah dua orang anak, saling berpelukan di bawah sehelai selimut tipis.
Tokiwa menggendong bayi tujuh bulan yang menangis di balik lipatan-lipatan kimononya dan berbisik ke telinganya,
"Air susuku sudah kering, dan kau pasti menangis karena kelaparan ".Apakah yang menahan Yomogi" " Dia seharusnya segera kembali. Cup, cup, jangan hancurkan hati Ibu, Nak."
Ibu muda itu berjalan mondar-mandir di lantai kapel dengan resah, khawatir tangis bayinya akan membangunkan kedua putranya.
Kejadian pada malam sebelumnya juga sama, dan kali ini, Ushiwaka sudah mulai merengek-rengek mengibakan sejak senja tiba. Perasaan Tokiwa tersayat karena tidak ada setetes pun air susu yang keluar dari payudaranya untuk membasahi bibir bayinya.
Tokiwa, yang mendatangi Kapel Kannon untuk berdoa setiap bulan pada hari-hari suci dan dikenal oleh para pendeta di sana, melarikan diri ke Kuil Kiyomizu bersama anak-anak dan para pelayannya ketika pertempuran pecah di ibu kota. Tetapi, segera terdengar kabar bahwa Kiyomori telah mengirim prajurit untuk menangkapnya, dan di tengah kepanikan, para pelayannya meninggalkannya, kecuali Yomogi, pengasuh anak-anaknya. Walaupun kasihan kepadanya, para pendeta di Kuil Kiyomizu takut kepada Kiyomori, sehingga menolak untuk berurusan dengan Tokiwa. Seorang biksu muda, Kogan namanya, terharu melihat keprihatinan Tokiwa dan menawarkan diri untuk menyembunyikannya di Kapel Kannon, tempat yang jarang dikunjungi orang. Bersama anak-anaknya, Tokiwa telah bersembunyi di sana selama tiga hari. Kogan secara diam-diam menyelundupkan sehelai tikar jerami dan beberapa selimut, juga sedikit makanan yang hanya cukup untuk bertahan hidup.
Untuk pertama kali dalam kehidupannya, Tokiwa mengecap pahitnya kebencian manusia. Di tengah kenyamanan Istana, ketika dia menjadi kesayangan Permaisuri-terpilih, Nyonya Shimeko, Tokiwa, yang kecantikannya menjadi buah bibir dan sumber kedengkian para wanita ibu kota, hanya mengenal kebahagiaan.
Baginya, Yoshitomo merupakan perwujudan dari seluruh kebaikan manusia, dan cinta Yoshitomo kepadanya telah mencukupi semua kebutuhannya. Tokiwa tidak tahu apa-apa tentang pria; sepanjang hidupnya, dia hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang gundik dan merawat anak-anak yang didapatkannya dari Yoshitomo. Hingga dia mendadak terlempar kemari, memohon belas kasihan pada dunia yang sarat oleh kebencian, pertumpahan darah, dan perburuan untuk saling membasmi.
Ushiwaka adalah seorang bayi yang manja semenjak lahir, dan tangisan nyaringnya membuat ibu muda itu merana. Pada hari-hari menegangkan ketika Tokiwa harus membawa lari anak-anaknya dari ibu kota, air susunya mulai mengering. Dia berusaha memberikan makanan kepada bayinya, namun Ushiwaka masih terlalu kecil sehingga makanan justru membuatnya sakit. Dengan panik, lokiwa memanjatkan doa di Kannon agar bayinya selamat; dan, Tokiwa yang berdoa di sana bukan lagi seorang ibu yang bahagia. Setengah gila akibat ancaman bahaya, kekerasan, dan ketakutan akan tertangkap, Tokiwa mengerahkan seluruh dirinya untuk mewujudkan kehendak agar ketiga anaknya tetap hidup. Seluruh kesadarannya, seluruh hasratnya, sekarang menyatu dengan diri anak-anaknya. Didera kegundahan, dengan rambut acak-acakan, Tokiwa berjalan mondar-mandir di dalam kapel di bawah cahaya suram satu-satunya lilin yang ada di sana, membuai dan menenangkan bayinya. Mendengar derak pintu yang terbuka, Tokiwa menoleh dengan waspada, kemudian bertanya,?" Kaukah itu,Yomogi?"
"Ya, ini Yomogi. Saya memohon kepada Kogan, si biksu berhati mulia, untuk memasakkan sedikit bubur talas, dan inilah hasilnya."
"Oh" Bagus! Berikanlah bubur itu padaku. Dia bahkan sudah tidak bisa menangis lagi karena terlalu lapar."
"Lihadah betapa lahapnya dia makan!"
?" Dia ingin tetap hidup, lihatlah. Dia tahu bahwa bubur talas bagus untuknya. Lihat, dia bahkan tidak berhenti makan untuk menarik napas! Lihatlah dia!"
Tokiwa kembali meneteskan air mata demi melihat bayi dalam pelukannya. Mengapa, mengapa, pikirnya, air susunya tidak mengalir sederas air matanya" Mengapa
seluruh darah dan daging di dalam tubuhnya tidak mau berubah menjadi susu"
"Nyonya Tokiwa ... dia akhirnya berhenti menangis, bukan?"
Yomogi lupa mengatakan kepada majikannya bahwa si biksu muda turut menyertainya.
"Oh, Tuan yang baik hati, saya sudah merepotkan Anda di malam selarut ini."
"Saya tidak melakukan apa-apa, sungguh, namun sesuatu yang sangat mengganggu telah terjadi."
"Apa ... lagi?"
"Saya yakin Anda mengetahui maksud saya. Ada sangat banyak desas-desus yang beredar di kuil, dan tempat ini tidak aman lagi bagi Anda."
"Oh, apakah yang harus kulakukan jika aku dipaksa pergi dari sini?"
Kemudian, Kogan bercerita bahwa para pendeta telah mendengar tangisan bayi, dan sekarang mengetahui bahwa Tokiwa bersembunyi di kapel. Kabar burung mengatakan bahwa para prajurit Kiyomori akan tiba besok pagi untuk menggeledah seluruh kompleks kuil, dan Kogan akan disalahkan karena memberikan perlindungan kepada buronan.
"Saya akan menggendong salah satu anak Anda," desak Kogan, "Yomogi bisa menggendong Imawaka, dan Anda, Nyonya, Ushiwaka membutuhkan Anda. Dan sebelum fajar merekah ?"
Setelah Kogan menekankan tentang betapa
mendesaknya situasi ini, Tokiwa berhenti gemetar. Maka,
sebelum fajar merekah, mereka telah berjalan menembus perbukitan yang mengelilingi Kuil Kiyomizu.
Kogan menyertai mereka hingga tiba di sungai, tempat sebuah perahu kecil telah menanti untuk membawa mereka ke Eguchi, di mulut Sungai Yodo. Setelah Tokiwa, anak-anaknya, dan si pengasuh menaiki perahu, Kogan meninggalkan mereka.
Dua orang geisha, yang hendak kembali ke Eguchi, memberikan kue kedua anak Tokiwa sambil berkomentar,
"Anak-anak yang manis! " Ke manakah kalian akan pergi sepagi ini?"
"Terima kasih banyak. Kami memiliki kerabat di Mimaki, tidak jauh dari sungai," jawab Tokiwa.
"Kalau begitu, kalian akan turun sebentar lagi. Apakah kalian bertamu di sana?"
"Tidak "."
"Berarti, kalian pasti senasib dengan orangtua kami, yang rumahnya terbakar habis dalam pertempuran bulan lalu. Kami baru saja menjenguk mereka, dan sekarang hendak pulang ke Eguchi. Memang benar bahwa mereka yang tidak berdosa selalu mendapatkan dampak yang terburuk, bukan" " Anak-anak manis ini tentu telah mendapatkan pengalaman yang buruk!"
"Mmm ?" Imawaka menggeleng kesal kepada wanita asing yang mengacak-acak rambutnya. "Ibu, Otowaka sudah memakan kuenya! Aku juga mau makan kueku ...
Ibu!" "Ucapkan terima kasih sebelum kau makan."
Kedua geisha itu sepertinya sangat menyukai anak-anak Tokiwa, sehingga mereka mengeluarkan lebih banyak kue
dari wadah bambu yang mereka bawa; salah seorang dari mereka bahkan menurunkan selendang sutra yang membungkus bahunya untuk menyelimuti si bayi.
"Selamat jalan, anak-anak!" keduanya melambai-lambai ketika Tokiwa turun di M i mata.
Paman Tokiwa adalah seorang pedagang sapi pedaging, yang dipelihara di peternakannya.
"Wah, wah, kaukah itu, Tokiwa?" seru bibinya dengan kaget, walaupun dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan mempersilakan Tokiwa masuk. "Kau pasti menganggapku kejam, namun kau seharusnya tahu bahwa para prajurit sedang memburumu. Mereka menjanjikan imbalan besar bagi siapa pun yang bisa menyerahkanmu kepada Kiyomori di Rokuhara ... hadiah, kau tahu ". Nah, lebih baik kau pergi sekarang, selagi pamanmu masih tidur; dia tidak akan membiarkanmu pergi jika mengetahui bahwa kau ada di sini. Nah, jangan membantah nasihatku," kata si bibi, mengusir Tokiwa dari rumahnya.
Tokiwa hanya bisa mengingat seorang lagi kerabat jauhnya yang mungkin bisa dimintai pertolongan, dan pria itu tinggal di sebuah desa bernama Yamato. Walaupun letih, dia berjalan kaki ke
sana, meminta-minta makanan untuk anak-anaknya kepada siapa pun yang mau memberi, tidur di beranda-beranda kuil, melanjutkan perjalanan sepanjang siang dan malam bagaikan gelandangan. Orang-orang melontarkan tatapan curiga kepada Tokiwa namun memperlakukannya dan anak-anaknya dengan baik. Mereka yang mengetahui bahwa dirinya buronan justru mengasihaninya dan menyembunyikan keberadaannya dari pihak yang berwenang.
Kerabat yang dicari oleh Tokiwa adalah seorang pendeta, dan dia bersedia menyembunyikan Tokiwa dan anak-anaknya di dalam sebuah kuil yang dikelolanya. Pada awal Februari, ketika Ushiwaka sudah sehat kembali, paman Tokiwa mendadak mendatangi rumah si pendeta dengan membawa sebuah gerobak sapi tua yang berderit-derit ribut. Dia berbicara dengan si pendeta hingga larut malam, dan keesokan paginya berkata kepada Tokiwa:
"Kau tahu bahwa kau tidak bisa bersembunyi lebih lama lagi di sini. Kau lebih baik kembali ke ibu kota dan menyelesaikan urusanmu di sana jika tidak ingin mereka menggantung atau menyiksa ibumu, yang masih di sana."
?" Tapi, untuk apa mereka melakukan itu?"
"Untuk apa" Bukankah itu sudah sewajarnya" Kau kabur bersama anak-anak Yoshitomo, sehingga mereka menangkap ibumu dan menjebloskannya ke penjara di Rokuhara."
"Apa ... ibuku?"
"Siapa lagi" Semua orang mengetahuinya. Mereka juga menggunjingkan dirimu ... kata mereka, kau mengabaikan ibumu demi cintamu kepada anak-anak hasil hubungan gelapmu dengan Yoshitomo!"
Tomizo memelototi Tokiwa tanpa berkedip, bagaikan seekor binatang garang, sementara keponakannya itu menangis. Selama ini, Tokiwa hanya memikirkan anak-anaknya, namun sekarang dia meratap bagaikan seorang bocah yang mendambakan kasih sayang ibunya.
Tomizo tertawa getir. "Sudah, berhentilah menangis!" ...
ketika sebuah pikiran lain mendadak terlintas di benaknya, dan dia pun melanjutkan, "Mumpung air matamu belum kering, sebaiknya kau juga meratapi kekasihmu itu ...
Yoshitomo. Kau mengira dia pergi ke timur dan akan segera menjemputmu, namun dia sudah mati. Dia mati pada 3 Januari, kau sudah tahu?"
Tokiwa menatap pamannya tanpa bisa memercayai kata-katanya; bibirnya ternganga dan seolah-olah membeku.
"Itulah kebenarannya. Kau bisa mencari tahu sendiri setibanya dirimu di ibu kota. Kepalanya digantungkan di pohon yang berdiri di dekat Penjara Timur selama tujuh hari. Tidak ada seorang pun di Kyoto yang belum melihatnya."
Desahan penuh derita meluncur dari bibir Tokiwa,
"Kalau begitu ... "
"Tokiwa!" "Tapi, Yoshitomo ... "
"Sudahlah, Tokiwa, apakah yang merasukimu"
Tenangkan dirimu! Jangan memandangku seolah-olah kau sudah gila seperti itu. Semua itu tidak ada hubungannya denganku, kau mendengarku" Peranglah yang melakukan itu kepadamu dan anak-anakmu, dan bukankah Yoshitomo juga berperan dalam menyebabkan huru-hara itu"
Sudahlah, lupakanlah masa lalumu."
Tetapi, Tokiwa tidak mau mendengarkan pamannya; duka yang mendalam telah mengaduk-aduk pikirannya, dan dia meratap seolah-olah ingin menguras seluruh air matanya. Hanya bayi dalam pelukannyalah yang berhasil mengembalikan kesadarannya. Kesedihan ibunya membuat Ushiwaka ketakutan, sehingga dia menangis mengibakan.
Keesokan harinya, berbekal tipuan dan bujuk rayu, Tomizo berhasil menyuruh Tokiwa beserta ketiga anaknya menaiki gerobak bobrok yang dibawanya, meninggalkan
Yomogi si pengasuh yang terisak-isak sedih di belakang mereka. Tomizo mendecakkan
bibirnya dengan penuh nafsu ketika memikirkan hadiah yang telah menantinya, lalu memecut sapinya dan bergegas membawa mereka ke ibu kota.
Setibanya di ibu kota, mereka mendapati bahwa rumah yang semula dihuni oleh ibu Tokiwa sekarang telah kosong, tanpa sedikit pun harta benda berharga yang tersisa.
"Nah, kita sebaiknya menginap di sini," kata Tomizo, mengangkat Tokiwa dan anak-anaknya keluar dari gerobak, lalu mengangkuti selimut, peralatan masak, dan harta benda ala kadarnya yang mereka bawa ke dalam rumah.
"Ini tidak akan cukup ... anak-anakmu menangis; kau pun pasti lapar. Aku akan mencari makanan."
Setelah membeli bahan-bahan makanan di pasar, Tomizo mulai memasak, lalu dengan galak menyuruh Tokiwa dan anak-anaknya makan, seolah-olah mereka adalah pengemis yang terpaksa dia urus. "Ayo, habiskanlah makanan kalian dan segeralah tidur," perintahnya dengan gusar sambil memelototi Imawaka dan Otowaka. Tidak lama kemudian, Tomizo pergi untuk menemui salah seorang anteknya di kota.
Tokiwa sendiri saat ini telah mengendus kelicikan pamannya. Tomizo berniat menyerahkannya kepada Kiyomori untuk merebut hadiah yang telah dijanjikan. Dia tidak melihat jalan keluar, karena melarikan diri dari pamannya sama halnya dengan membahayakan nyawa ibunya. Kabur bersama tiga orang bocah yang tidak berdaya juga bukan sesuatu yang mudah. Di tengah keputusasaannya, pikiran untuk bunuh diri setelah membunuh anak-anaknya terus mendesaknya, namun surat
terakhir Yoshitomo untuknya senantiasa menghentikan niatnya.
Adakah yang bisa dikatakan tentang pahitnya kekalahan"
Aku tidak bisa datang sendiri untuk mengucapkan selamat tinggal kepadamu, karena aku telah pergi ... ke mana aku akan pergi, aku tidak tahu. Pada suatu hari nanti, aku pasti akan kembali kepadamu. Mengungsilah ke hutan, ke perbukitan jika perlu. Jangan sampai bahaya mendatangi anak-anakku tersayang, aku memohon kepadamu.
Walaupun jarak kita terpisah oleh ribuan gunung dan sungai, ingatlah bahwa aku selamanya mencintaimu. Dan kutegaskan kepadamu ... -jangan larut dalam keputusasaan.
Kata-kata itu terukir di dalam kenangan Tokiwa bagaikan ayat-ayat suci di Kannon, dan setiap kali kematian memanggil-manggil dan menggodanya, dia merapalkan isi surat Yoshitomo kepada dirinya sendiri, seolah-olah berdoa untuk menolak nestapa.
Tetapi, seluruh harapannya telah sirna; Yoshitomo telah wafat, dan besok, Tokiwa yakin, akan menjadi hari terakhirnya di muka bumi ini. Kemudian, dia sekonyong-konyong teringat bahwa dirinya belum berpamitan kepada Nyonya Shimeko, yang telah menjadi pengayomnya selama sembilan tahun. Maka, senja itu, menggendong bayi dan menggandeng kedua anaknya, Tokiwa berjalan menuju istana di Jalan Kesembilan, yang terletak cukup dekat dari rumah ibunya. Dia sudah menghafal seluk beluk tempat itu, sehingga dia langsung menghampiri Gerbang Barat, yang dijaga oleh orang-orang yang dikenalnya. Setibanya dia di ruang dayang, teman-teman lamanya langsung mengerumuninya dan menghujaninya dengan pertanyaan tentang di mana dirinya bersembunyi, lalu menangisi nasib Tokiwa dan anak-anaknya.
Nyonya Shimeko segera memanggil Tokiwa dan menyambutnya dengan air mata, mengatakan, "Ah, Tokiwa, menyedihkan sekali perubahanmu. Mengapa kau tidak secepatnya mendatangiku?"
Kelegaan dan kegembiraan meliputi istana Nyonya Shimeko. Para penghuni tempat itu sempat mencemaskan kemungkinan Kiyomori akan menuduh Nyonya Shimeko telah menyembunyikan atau membantu pelarian Tokiwa.
Namun sekarang, teman-teman Tokiwa memuji-mujinya karena sanggup bersembunyi begitu lama, dan kemudian menangis karena dia kembali hanya untuk mengucapkan selamat tinggal.
o0odwkzo0o "Aku Tomizo, pedagang sapi dari Mimata ... paman Tokiwa," kata seorang pria yang tiba di Rokuhara menjelang senja. Tokitada, adik ipar Kiyomori, begitu mengetahui bahwa pria itu datang untuk menyampaikan kabar tentang Tokiwa, memerintahkan agar dia dikurung di pos penjaga.
"Ini bukan lelucon," Tomizo memprotes si penjaga.
"Aku sudah menempuh jarak yang sangat jauh untuk mengatakan di mana kalian akan menemukan wanita yang sedang kalian buru, dan aku menuntut hadiahku! Kalian bahkan tidak berterima kasih kepadaku " Apa maksud kalian menjebloskanku ke dalam lubang ini?"
Tokitada menjalankan perintah Kiyomori, yang gusar karena banyak orang telah mendatangi Rokuhara untuk menyampaikan keterangan tentang para buronan. Sebagian besar dari mereka, didorong oleh ketamakan dan keinginan untuk menjadi kaya, tidak segan-segan mengkhianati mantan pengayom mereka ataupun orang-orang yang tidak bersalah demi memuaskan hasrat mereka. Karena itulah
Kiyomori memerintahkan kepada Tokitada untuk membuka mata orang-orang itu pada kelicikan mereka sendiri sebelum mengusir mereka.
Malam itu, Tokitada menceritakan kejadian pada siang harinya kepada Kiyomori. "Dan sekarang, apakah sebaiknya tindakanku selanjutnya?"
"Tindakanmu selanjutnya?" ulang Kiyomori dengan kesal sebelum terdiam. Pertanyaan itu mengingatkannya pada betapa kasarnya perkataannya kepada ibu tirinya mengenai nasib Yoritomo. Akhirnya, dia berkata, "Suruh Itogo melihat apakah Tokiwa benar-benar ada di sana"
"Kau hendak menyuruh Itogo untuk menangkap Tokiwa dan membawanya dan anak-anaknya kemari?"
"Ya, dia hanya perlu membawa beberapa orang prajurit untuk melakukan itu."
"Tidak, tidak untuk seorang wanita dengan tiga orang anak yang tidak berdaya."
"Jika benar bahwa si paman ini menemukan Tokiwa bersembunyi di Yamato dan membawanya kemari, maka wanita itu harus menyerahkan diri demi keselamatan ibunya."
"Pamannya tidak mengatakan apa-apa tentang itu."
"Tentu saja tidak. Bajingan itu memburu uang, dan itulah alasannya melaporkan keberadaan Tokiwa. Dia adalah perongrong rumah tangga Yoshitomo dan dia tentu banyak berutang budi kepada keponakannya ... bajingan yang tidak tahu berterima kasih! Pastikan agar dia mendapatkan apa yang layak diterimanya."
"Itu akan segera diurus."
"Dan katakan kepada Itogo bahwa saat menangkap Tokiwa, dia tidak boleh menyakiti anak-anaknya."
"Aku akan memberitahunya."
"Sejak saat ini, dia akan bertanggung jawab atas para tahanan itu. Dia akan mendapatkan perintah dariku nanti, setelah aku memiliki waktu untuk memikirkan langkah selanjutnya."
Tokitada langsung beranjak untuk menyampaikan perintah kepada Itogo, yang berangkat pada pagi buta bersama beberapa orang prajurit ke rumah di Jalan Keenam. Setibanya di sana, Itogo mendapati rumah itu kosong; dari para tetangga, Itogo mendengar bahwa Tokiwa telah pergi ke istana di Jalan Kesembilan. Untuk menghindari keributan karena kehadiran prajurit bersenjata, Itogo cepat-cepat melaporkan kedatangannya kepada pengurus rumah tangga Istana, menjelaskan bahwa dia dikirim dari Rokuhara untuk menahan Tokiwa. Si pengurus rumah tangga meyakinkan Itogo bahwa mereka tidak berupaya melindungi seorang buronan. Tokiwa sendiri, katanya, sedang bersiap-siap untuk menyerahkan diri ke Rokuhara.
Sementara Itogo dan para prajuritnya menunggu di pos penjaga di salah satu gerbang dalam, Tokiwa mempersiapkan diri untuk keberangkatannya. Dia telah melalui malamnya bersama teman-teman yang menyayangi dan menenangkannya, sehingga keberangkatan ini tidak sepahit yang disangkanya. Dia bangun pada pagi buta untuk mandi dan menata rambutnya. Dia membuka kotak peralatan riasnya dan duduk di depan cermin. Dia terkejut melihat kedamaian sosok yang balas menatapnya dari dalam cermin. Bedak menempel mulus di kulitnya, dan dia tampak gemerlap berkat sentuhan peralatan riasnya.
Putra sulung Tokiwa menatap bayangan ibunya dan bertanya, "Ke manakah Ibu akan pergi?" Dia menari-nari gembira ketika mendengar jawaban ibunya.
"Ke tempat yang indah ... dan kau akan ikut bersamaku."
Mengenakan kimono pemberian Nyonya Shimeko dan dayang-dayangnya, Tokiwa menemui sang majikan, membungkuk dalam-dalam, dan berkata:
"Walaupun tidak berani berharap akan bisa kembali kemari, saya tidak akan melupakan kebaikan Anda selama bertahun-tahun ini ... begitu pula perhatian yang Anda berikan kepada saya tadi malam."
Nyonya Shimeko hanya sanggup berbisik saat membungkuk ke arah Tokiwa, "Sebaiknya kau menyerah kepada takdirmu, namun jangan pernah kehilangan harapan. Aku akan memohon kepada ayahku untuk berbicara kepada Tuan Kiyomori."
Sementara dayang-dayang, dengan berurai air mata, menemani Imawaka dan Otowaka menyantap sarapan, Tokiwa menyusui putra bungsunya untuk terakhir kalinya.
Di tempat lain, Itogo dan para prajuritnya mulai kehabisan kesabaran, dan Tokiwa bisa mendengar mereka menuntut agar dirinya segera berangkat. Nyonya Shimeko cepat-cepat menyampaikan pesan melalui pengurus rumah tangganya, meminta agar Tokiwa diizinkan menggunakan keretanya. Mengenai hal ini, Itogo menjawab, "Tidak biasanya seorang tahanan diizinkan mengendarai kereta, namun karena dia membawa anak-anak, saya akan memperbolehkannya."
Sejenak kemudian, sebuah kereta wanita, dikawal oleh beberapa orang prajurit berjalan kaki, berderak melewati
gerbang belakang, melewati jalan-jalan utama ibu kota untuk menuju Rokuhara.
o0odwkzo0o Kesatria Baju Putih 1 Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo Lung Shen Da Vinci Code 5
^