Pencarian

The Heike Story 9

The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa Bagian 9


Bab XXVIII-SANG IBU Kiiyomori tidur dengan gelisah malam itu. Sepertinya tidak ada alasannya; jika didesak untuk mengungkapkan alasannya, dia akan menjawab bahwa dia merasa tertekan oleh tugas-tugas resminya ... berbagai pertemuan dengan para pejabat, berbagai tugas dari Kaisar. Tetapi, walaupun senantiasa siap siaga menjalani semua formalitas itu, Kiyomori sesungguhnya berhati rapuh. Dia tidak membutuhkan nasihat dari Ariko ataupun putranya untuk menangani masalah Tokiwa dan anak-anaknya, karena kabar mengenai penangkapan mereka telah merisaukannya, lebih daripada yang mau diakuinya.
"Sudahkah kau bertemu dengan mereka, Tokitada?"
Kiyomori bertanya kepada Tokitada keesokan siangnya.
"Ya, aku sudah menemui mereka. Semuanya sudah dilaksanakan sesuai dengan perintahmu. Itogolah yang sekarang bertanggung jawab, dan mereka ditahan dengan penjagaan ketat" "Apakah mereka sepertinya merasa nyaman?" "Bayinya tak henti-hentinya menangis, dan Tokiwa sendiri tampak letih."
"Tokiwa, yang kecantikannya pernah menjadi buah bibir dan sumber kedengkian para wanita dari kalangan bangsawan dan rakyat jelata."
"Dia baru berumur dua puluh tiga tahun dan memiliki tiga orang anak. Sulit untuk memercayai bahwa berminggu-minggu pelarian dan kelaparan tidak berpengaruh pada
penampilannya. Ada kesan mengibakan dalam kecantikannya sekarang."
"Hmm?" "Mengenai pengadilannya ... apakah kau ingin aku atau Itogo yang menanyainya dan menunjukkan bukti-bukti yang diperlukan?"
"Tidak," Kiyomori langsung menggeleng. "Biar aku saja yang melakukan pemeriksaan silang. Dia adalah janda Yoshitomo dan berada di sini bersama ketiga putranya. Ini adalah masalah yang harus kutangani sendiri."
Tokitada telah mendengar tentang dampak dari pendapat Ariko mengenai kasus Yoritomo, dan menyimpulkan bahwa Kiyomori ingin segera menyelesaikan masalah yang menyangkut nasib Tokiwa sebelum ibu tirinya sekali lagi turut campur.
"Kapankah kau ingin menemui si tahanan?"
"Lebih cepat lebih baik ... sebelum petang."
Seorang tamu hadir tidak lama setelah Tokitada pergi.
Dia adalah seorang pejabat istana, Fujiwara Koremichi, yang datang sebagai duta dari putrinya, Nyonya Shimeko.
Kiyomori menerimanya dengan penuh kesopanan.
"Tentu saja saya tidak mencurigai Nyonya Shimeko.
Saya terkejut karena Anda sendirilah yang datang untuk membicarakan masalah ini dengan saya. Sungguh sayang bahwa tidak ada lebih banyak orang seperti Anda di Istana, yang bisa memberikan nasihat kepada kami di masa seperti ini."
Kiyomori diam-diam mengagumi Koremichi dan menduga bahwa Koremichi memiliki perasaan yang sama kepadanya. Ketika tiba waktunya bagi Koremichi untuk
pulang, Kiyomori telah menenggak lebih banyak sake daripada biasanya, dan selagi suasana hatinya masih bagus, Tokitada hadir kembali untuk mengatakan bahwa Tokiwa telah siap ditanyai.
Kiyomori menyusuri sebuah lorong menuju sayap barat Rokuhara. Beberapa perbaikan besar-besaran dan penambahan sedang dilakukan pada bangunan itu, sehingga dia melangkah dengan hati-hati menuju salah satu ruangan di dekat halaman dalam dengan taman yang sedang diperluas.
"Di manakah mereka ditahan?"
"Di sana." "Di bawah ... sana?"
Kiyomori menghampiri langkan dan melongok ke bawah. Tokiwa duduk bersimpuh di atas sehelai tikar jerami, menunduk dalam-dalam; di kedua sisinya, duduklah anak-anaknya, menggenggam erat-erat lengan kimono ibu mereka.
"Itogo, berikanlah bantal duduk untuk wanita itu dan anak-anaknya," Kiyomori memerintah sebelum duduk di tengah ruangan itu. Itogo tampak bingung dan kikuk. Tidak biasanya seorang tahanan diperlakukan dengan cara seperti ini.
"Kemari, bawa mereka ke atas sini," kata Kiyomori, menyentakkan kepalanya ke arah lorong di luar ruangan.
Bukan hanya Itogo yang tampak terkejut; tidak diragukan lagi, bagaimanapun, bahwa yang dimaksud oleh Kiyomori adalah lorong di luar ruangan.
"Di sini, Tuan?"
Kiyomori mengangguk ketika Itogo meletakkan tiga buah bantal di puncak tangga yang berpangkal di halaman bawah. Tokitada mengisyaratkan kepada Tokiwa untuk mendekat Wanita itu mendongak dengan tubuh gemetar dan menarik anak-anaknya yang ketakutan. Itogo berbicara kepadanya:
"Naiklah seperti yang telah diperintahkan. Duduklah di sini."
Tokiwa berdiri, menggendong bayinya dan
menggandeng tangan mungil Otowaka, lalu melangkah maju dan perlahan-lahan menaiki
tangga, diikuti oleh Imawaka yang berpegangan erat pada kimono ibunya.
Ketika Tokiwa mendekat, Kiyomori merasakan jantungnya berdebar kencang ... dia gelisah. Jadi, inilah dia, wanita yang kecantikannya tidak tertandingi dan namanya pernah menjadi buah bibir semua orang!
"Apakah kau bersedih, Tokiwa?"
"Tidak, air mata saya sudah kering. Saya memohon agar Anda mengasihani ibu saya. Bebaskanlah beliau, saya mohon, Tuan."
"Hmm ... itu akan dilakukan," Kiyomori langsung menjawab, lalu melanjutkan, "Di manakah kau bersembunyi selama ini" Apakah yang mendorongmu untuk melarikan diri bersama anak-anakmu?"
"Saya bersembunyi di Yamato. Mengenai anak-anak saya, saya hanya bisa mengatakan bahwa saya tidak berbeda dengan ibu-ibu lainnya, yang secara naluriah membutuhkan anak-anaknya."
"Apakah yang membawamu kembali ke ibu kota?"
"Laporan mengenai ibu saya."
"Pamanmu datang kemari, kau tahu."
"Saya tidak tahu bahwa paman saya mendahului saya kemari. Saya kembali ke ibu kota dengan niat untuk menyerahkan diri kepada Anda."
"Seperti yang sudah kuduga. Kau gila karena kembali ke ibu kota."
Kiyomori terdiam dan menatap lekat-lekat sang ibu muda dan anak-anaknya; kemudian, dia mendadak bertanya, "Apakah kau bisa menyusui bayimu?"
Tokiwa memandang bayi dalam pelukannya, lalu menjawab pertanyaan Kiyomori dengan gelengan tersamar.
"Tidak bisa. Sudah kuduga," kata Kiyomori kepada dirinya sendiri dengan tatapan galau. "Para ibu memang tolol. Mereka berpura-pura memiliki makanan padahal tidak ada apa-apa; sedikit makanan yang ada mereka berikan kepada suami dan anak-anak mereka, sementara bayi mereka melolong meminta susu ". Dan kau, yang telah kabur ke wilayah perbukitan dan hutan ... bayimu masih hidup karena mukjizat."
"Tokiwa, kau tidak perlu takut. Ini adalah perang antara Yoshitomo dan aku. Kau tidak bersalah."
"Ya." "Sungguh sayang bahwa pria seperti Yoshitomo telah salah mengambil langkah dengan berpihak kepada para bangsawan muda yang bejat. Dia juga telah salah menilaiku."
Tangis Tokiwa pecah, dan dia terisak-isak hebat.
"Tuanku ... tuanku ... " dia memohon.
Kiyomori memandang wajah yang terangkat ke arahnya, lalu tatapannya tertuju pada bulu mata lentik yang sarat oleh air mata, dan hatinya pun seketika tersengat oleh belas kasihan.
"Tokiwa, kau tidak perlu menangis seperti itu. Kau tidak memiliki peran apa pun dalam pertikaian ini. Ibumu akan dibebaskan karena kau telah menyerahkan diri kepada kami. Hapuslah air matamu, lokiwa, karena kau juga akan dibebaskan."
Tokiwa mendadak berhenti menangis, "Tidak ... tidak, saya tidak memohon kepada Anda untuk mengampuni saya. Tetapi, ampunilah mereka, anak-anak saya!"
"Apa?" "Ampunilah anak-anak saya, Tuan; biarkanlah saya mati untuk menggantikan mereka!"
Mendengar hal ini, amarah Kiyomori seketika meledak, dan dia meraung:
"Perempuan, berhati-hatilah dengan omonganmu! Kau memiliki kebiasaan buruk yang ada di dalam diri setiap wanita ... kau ingin mempermainkan kelembutan hatiku.
Kau memang bukan seorang Genji, tapi anak-anakmu berbeda, karena darah Genji mengalir di tubuh mereka.
Aku tidak bisa mengampuni mereka!"
Kiyomori, yang berdiri akibat kemarahannya, duduk kembali. Tetapi, dia tetap menatap garang kepada sosok yang menjura di hadapannya.
"Jadi, kau sama saja dengan Genji Yoshitomo, salah menilai diriku. Aku membenci kata "belas kasihan*. Aku memang tidak mengenal belas kasihan. Itogo! Tokitada!"
Itogo dan Tokitada segera maju.
"Bawa perempuan ini dan anak-anaknya. Pengadilan ini selesai."
Tanpa menunggu para pengawalnya, Kiyomori bergegas keluar dari ruangan itu dan mengurung diri di salah satu bilik.
o0odwkzo0o Tidak sampai dua minggu kemudian. Kiyomori mengalah, seperti yang biasa dilakukannya kepada orang-orang kecil atau keluarga dekatnya. Tidak tahan mendengar permohonan ibu tirinya, dia memerintahkan agar hukuman mati untuk Yoritomo ditangguhkan. Seorang kurir dikirim ke rumah Shigemori untuk menyampaikan pesan bahwa Kiyomori ingin berbicara dengannya.
"Shigemori, aku telah memikirkan masalah ini."
"Dan, apakah keputusan Ayah?"
"Setelah mendengarkan pendapat nenekmu. Shigemori, aku memutuskan untuk mengampuni Yoritomo."
"Lalu?" "Dia akan diasingkan. Ke tempat yang sejauh dan seterpencil mungkin."
"Nenek akan bahagia mendengarnya, dan orang-orang akan memuji Ayah sebagai seorang anak yang berbakti."
"Tidak. Aku tidak melakukannya karena Itu, tetapi karena aku sendiri adalah seorang ayah, dan aku tidak ingin menghadirkan ajal kepada anak orang lain."
"Ya, Shinzei adalah contoh seseorang yang telah dengan keji membantai musuh-musuhnya. Dia harus menyaksikan putra-putranya dibunuh, sebelum dirinya sendiri akhirnya tewas dengan cara yang sama."
"Tidak perlu menceramahiku. Aku tidak berpura-pura menjadi manusia budiman. Manusiawi jika aku merasa iba kepada seorang bocah seperti Yoritomo. Menghukum mati dirinya saat ini juga bukan langkah yang bijaksana, dan aku tidak ingin masyarakat membenciku. Pergilah dan sampaikanlah keputusanku mengenai nasib Yoritomo ini kepada nenekmu."
Ketika tanggal 13 Februari semakin dekat, perintah resmi menyangkut nasib Yoritomo tidak kunjung turun.
Berlawanan dengan kebiasaannya, Kiyomori diam seribu bahasa, dan tanggal tersebut berlalu begitu saja. Baru sekitar sebulan kemudian, sebuah dekrit diturunkan, berisi perintah untuk mengasingkan Yoritomo ke Izu, di wilayah timur Jepang. Dia akan diberangkatkan pada tanggal 20 Maret Beberapa hari kemudian, seluruh penduduk ibu kota dikejutkan oleh kabar bahwa Kiyomori telah mengampuni Tokiwa dan anak-anaknya. Beberapa di antara mereka bahkan menghujat Kiyomori dan mempertanyakan kebijakan yang melandasi keputusannya, dan kepada mereka, Kiyomori mengatakan bahwa dirinya hanya meneruskan perintah dari pihak yang lebih berwenang.
Kemudian, mulai beredar desas-desus bahwa alasan yang dikemukakan oleh Kiyomori adalah omong kosong belaka, karena terdapat laporan bahwa kereta Kiyomori terlihat setiap malam di luar rumah tempat Tokiwa ditahan.
o0odwkzo0o Bab XXIX-PENGASINGAN Kegelapan masih menyelubungi kuntum-kuntum sakura ketika sepasukan prajurit dan beberapa orang petugas berkumpul di bawah pepohonan di sepanjang tembok
kediaman Ariko. Bunga sakura juga bermekaran bagaikan gumpalan awan di pohon-pohon yang menjulang tinggi di halaman. Seisi rumah sepertinya telah terjaga, karena cahaya dari rumah menerobos tirai sakura dan menunjukkan sosok-sosok yang bergerak ke sana kemari di lorong-lorong rumah.
"Nyenyakkah tidurmu semalam?"
Pagi itu adalah 20 Maret, hari ke berangkatan Yoritomo ke rumah pengasingannya di Izu.
Munekiyo bangun pada pagi buta dan datang untuk membantu persiapan Yoritomo sebelum melakukan perjalanan.
"Ya, aku bisa tidur, namun aku sangat gembira dan bersemangat sehingga aku terbangun pada pagi buta; dan, ketika aku membuka kerai jendela, ternyata bulan masih bersinar."
"Itu berarti kau terbangun pada tengah malam. Kau harus berhati-hati agar tidak tertidur di atas kudamu lagi."
"Oh tidak, Munekiyo, tidak masalah jika itu terjadi lagi kali ini."
"Mengapa begitu?"
"Para pengawal akan memastikan agar aku tidak tertinggal di belakang."
Munekiyo tertawa terbahak-bahak mendengar gurauan Yoritomo; tingkahnya bagaikan seekor burung yang akan dilepaskan dari sangkar, dan keceriaannya begitu menular sehingga Munekiyo mau tidak mau merasa bahwa peristiwa hari ini, yang ditandai dengan mekarnya bunga-bunga sakura, patut dirayakan. Seorang pelayan muncul untuk membantu Yoritomo mandi. Yoritomo segera kembali,
dengan wajah berseri-seri dan pipi merona bagaikan buah yang ranum. Dia mengenakan kimono baru yang dihadiahkan oleh Ariko.
"Sebelum berangkat, aku ingin mengucapkan terima kasih lagi kepada Nyonya Ariko dan berpamitan."
"Ya, Nyonya Ariko juga sudah menunggumu. Aku akan membawamu menemui beliau segera setelah kau menghabiskan sarapanmu."
Yoritomo duduk dan menyantap sarapannya dengan tenang.
"Munekiyo, ini terakhir kalinya aku makan di sini, bukan?"
"Ya, dan aku bersedih karenanya."
"Aku pun sedih, Munekiyo," kata Yoritomo, menoleh kepada penahannya, "aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu kepadaku."
Munekiyo terkekeh. "Aku tidak melakukan apa pun ...
hanya menjalankan tugasku. Kau sebaiknya tidak berharap akan menemui kebaikan di mana pun kau berada. Beri tahu aku jika kau secara khusus menginginkan seseorang menemanimu."
"Tidak, tidak ada seorang pun yang terpikir olehku.
Mungkin ada, namun dia tidak akan berani datang kemari."
"Benar juga. Nah, jika kau sudah siap, kita akan menemui Nyonya Ariko."
Yoritomo dibawa keluar dari sebuah bilik mungil tempatnya disekap selama seratus hari menuju kediaman Ariko, sebuah rumah mungil yang ditata dan dihias sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah kapel.
Yoritomo datang kemari pada malam sebelumnya untuk
makan malam bersama Ariko dan dihadiahi kimono-kimono baru dan berbagai keperluan untuk perjalanannya.
Sebagai tambahan atas kepuasan karena telah menjalankan perintah agamanya, Ariko terharu melihat kemiripan bocah itu dengan almarhum putranya, sehingga ketika Yoritomo berpamitan, dia menanyakan apakah masih ada sesuatu yang bisa diberikannya. Yoritomo dengan malu-malu menjawab, "Saya ingin memiliki papan permainan dadu ...
sesuatu untuk dimainkan saat saya merasa kesepian di Izu."
Sayangnya, Ariko tidak bisa memenuhi permintaan Yoritomo malam itu, namun dia mempersiapkan benda itu keesokan harinya dan dengan gembira menantikan kedatangan Yoritomo.
"Nyonya, saya datang untuk berpamitan," kata Yoritomo, membungkuk rendah-rendah di hadapan Ariko, yang matanya tampak berkaca-kaca. "Dan, setibanya saya di Izu yang jauh, saya tidak akan pernah melupakan Anda yang telah menyelamatkan nyawa saya. Saya akan berdoa setiap pagi dan malam untuk kebahagiaan Anda, Nyonya."
"Jadi, kau akan pergi sekarang. Aku tidak melakukan apa pun untuk menyelamatkan nyawamu; semuanya adalah berkat sang Buddha yang penuh rahmat ". Ingatlah petuahku kepadamu tadi malam, Yoritomo, bahwa kau harus meninggalkan jalan pedang, mengabaikan panggilan pertumpahan darah."
"Baiklah." "Tidak peduli sebesar apa pun godaannya, berpalinglah dari bisikan mereka yang tidak beriman ". Pusatkanlah kehidupanmu untuk mendoakan mendiang ibu dan ayahmu."
"Baiklah." "Ingatlah petuahku hingga kau dewasa. Jangan biarkan seorang pun menyeretmu ke dalam rencana pembalasan dendam karena aku tidak ingin kau dipenjara lagi. Dan, jangan pernah lupa bahwa doaku selalu bersamamu."
"Baiklah " baiklah."
"Kau anak baik ". Ini papan permainan dadu yang kujanjikan. Apakah kau senang?"
Ariko mengeluarkan sebuah kotak hitam berhiaskan emas yang indah.
"Oh, kotak yang sangat cantik! Bolehkah saya membukanya sekarang?"
Ariko tersenyum. "Kurasa kau tidak punya waktu untuk melakukan itu sekarang. Apakah dia punya waktu, Munekiyo?"
"Saya rasa tidak. Peti-petimu sedang diangkut keluar, dan sebaiknya aku menyatukan kotak itu dengan barang-barangmu yang lain agar tidak rusak."
"Lebih baik begitu ".Yang lebih penting bagimu saat ini adalah menemui orang-orang yang baru saja meminta izin kepadaku untuk mengucapkan selamat jalan kepadamu.
Mereka sedang menunggumu di ruang pelayan."
"Oh, tamu untuk saya?"
Yoritomo menarik napas dalam-dalam. Kesedihan melandanya, dan kepedihan yang tidak bisa dijabarkannya; dia tidak bisa menebak siapa yang sedang menantinya. ?"
Oh!" Ketiga orang tamu Yoritomo menoleh kepadanya dengan mata berkaca-kaca. Salah satunya adalah pamannya dari pihak ibu, Sukenori, yang menolak untuk berpihak ke mana pun ketika perang pecah; yang kedua adalah Genji
Moriyasu, yang tertahan oleh penyakitnya di sebuah provinsi terpencil hingga perang berakhir. Tamu ketiga Yoritomo adalah pengasuh tuanya, yang telah mengasuhnya sejak dia masih bayi; wanita itu berlutut dan menangis terisak-isak di hadapannya.
"Tuan Muda, izinkanlah saya mengikat rambut Anda untuk terakhir kalinya," kata wanita itu, seraya bangkit dan berdiri di belakang Yoritomo. Sambil menyisiri rambut Yoritomo, dia membungkuk cukup lama untuk berbisik,
"Ini adalah saat yang
menyedihkan bagi Tuan, namun ini bukan perjumpaan terakhir kita, karena pengasuh tua ini tidak akan gagal menyusul Tuan ke Izu."
Kemudian, dua orang tamu lainnya mendekati Yoritomo ketika si penjaga berpaling, dan berbicara dengan nada rendah kepadanya, "Para dewa telah menyelamatkanmu dengan mukjizat mereka. Jangan biarkan seorang pun membujukmu untuk mencukur rambutmu dan menjalani penahbisan."
Maka, sementara si pengasuh menata rambutnya, Yoritomo dengan tenang mendongak ke langit-langit, berpura-pura tidak mendengarkan, namun dengan gerakan tersamar di alisnya mengisyaratkan bahwa dia mengerti dan mengiyakan.
"Waktunya berangkat," seorang petugas memerintahkan kepada Yoritomo untuk berdiri dari bangkunya dan menunggangi kudanya. Si petugas memberikan aba-aba kepada para pengawal, "Bersiaplah ... kita akan segera berangkat!"
Kuda-kuda beban dikeluarkan ke jalan, sementara sejumlah petugas rendahan mengatur kerumunan penonton menggunakan tongkat bambu. Para pengawal yang akan
mengiringi Yoritomo segera berbaris di luar gerbang, menggiring Yoritomo ke kudanya, dan berseru, "Waktunya berangkat! Ayo, cepadah!"
Sejenak kemudian, tahanan muda itu keluar dari gerbang, ditemani oleh para penghuni rumah Ariko.
Pemandangan ini berbeda dari yang biasa terlihat ... bukan tahanan berpenampilan muram dan berurai air mata melainkan seorang pemuda ceria berwajah berseri-seri yang dengan lincah melompat ke pelana kudanya.
"Selamat tinggal," seru Yoritomo, tersenyum dan menolehkan kepala ke arah rumah.
Ariko dan putranya, Yorimori, termasuk di antara orang-orang yang berkumpul untuk melepas kepergian Yoritomo.
"Yoritomo, semoga kau selalu dilimpahi kesehatan!"
"Yoritomo, selamat jalan!" seru mereka kepada bocah yang pintar mengambil hati semua orang itu. Mata Yoritomo, bagaimanapun, beralih kepada sosok yang berdiri di dekat gerbang.
"Munekiyo, selamat tinggal," ucapnya sambil menundukkan kepala.
Munekiyo segera menjawab, "Selamat jalan," dan balas membungkuk.
Iring-iringan itu bergerak dengan lambat, diiringi oleh taburan bunga. Sesaat kemudian, yang tersisa dari keramaian itu hanyalah jalan yang berselimut bunga putih.
Ketika mereka mulai mendaki Kuritaguchi, matahari musim semi telah menggantung tinggi di langit. Atap-atap bangunan yang berjajar di ibu kota dan wilayah pedesaan, yang membentang dari Perbukitan Utara hingga Perbukitan Timur, seolah-olah mengambang di laut bunga. Yoritomo kerap menunduk untuk memandang Sungai Kamo.
Siapakah yang mengetahui apa yang berkecamuk di benaknya saat dia mengingat hari berdarah ketika dia bertempur di tepi sungai bersama ayah dan kakak-kakaknya"
Kabar burung memancing kedatangan banyak orang ...
biksu, pria dan wanita, pengelana, anak-anak dan orangtua mereka ... ke Otsu, yang terletak di pesisir Danau Biwa.
Semua orang itu ingin melihat keberangkatan Yoritomo.
Ketika Yoritomo akhirnya tiba dan menunggu arus pasang untuk menyeberang ke sisi lain danau, pamannya dan Genji Moriyasu, yang diizinkan untuk menemani Yoritomo hingga sejauh ini, mengucapkan selamat jalan dengan berurai air mata.
Tetapi, Yoritomo justru memandang mereka dengan bingung. "Lihatlah, aku tidak sedih. Aku tidak tahu bagaimana seharusnya perasaan orang yang akan diasingkan pada saat seperti ini, namun bagiku, ini adalah peristiwa yang menggembirakan, sebuah hari perayaan."
Begitu seluruh rombongan menaiki perahu, Yoritomo langsung mengeluarkan kotak yang dihadiahkan oleh Nyonya Ariko kepadanya, dan mulai menata dadu-dadunya di atas papan. Dia memanggil pengawal yang sedang bertugas, "Maukah kau menemaniku bermain?"
Si pengawal menertawakannya. "Aku harus
mengingatkanmu bahwa kau adalah tahanan dan aku petugas. Kau harus mempelajari aturan untuk tahanan jika tidak ingin terkena hukuman."
"Apakah aku dilarang bermain?"
"Ini bukan perjalanan tamasya, dan aku akan sekali lagi memperingatkanmu. Setibanya kau di Izu, kau tetap akan diperlakukan sebagai tahanan dan dijaga dengan ketat."
Yoritomo mengernyitkan wajahnya dengan kesal. "Ini, simpan saja ini sampai aku tiba di penjara," perintahnya kepada salah seorang pelayan, mendorong mainannya jauh-jauh.
Si pengawai menggeleng dengan heran. "Anak ini sepertinya tidak menyadari siapa dirinya," gumamnya sambil beringsut menjauh.
Dalam perjalanan panjang melintasi jalan raya Tokaido, si pengawal dan rekan-rekannya semakin curiga bahwa tahanan muda mereka adalah seorang pandir, karena Yoritomo kerap berusaha memancing mereka untuk mengobrol tentang taktik bermain dadu atau menghabiskan waktu di atas punggung kudanya dengan bersiul-siul menggunakan rumput.
Bertepatan dengan pengasingan Yoritomo ke Izu, Penasihat Moronaka, Kepala Kepolisian Korekata, dan Tsunemunt sang bangsawan juga diberangkatkan ke pengasingan. Persekongkolan mereka untuk menggulingkan Kiyomori ternyata justru semakin mengukuhkan kekuasaannya.
Musim semi telah tiba, dan kehidupan di ibu kota kembali berwarna; para penduduk dengan lega menghirup udara yang sarat oleh kedamaian dan semerbak aroma bunga. Tidak seperti biasanya, Kiyomori disibukkan oleh tugas-tugas resmi. Kendati begitu, dia berhasil menyelesaikan beberapa masalah sembari menunggu keadaan kembali normal. Kasus Tokiwa dan anak-anaknya telah diurus: Imawaka, putra sulungnya, dikirim ke sebuah kuil di dekat Fushimi, di bagian selatan ibu kota, untuk diasuh oleh kepala biara dengan perjanjian bahwa anak itu akan menjadi biksu setelah cukup umur; seorang pendeta berkedudukan tinggi di Kuil
Tennoji dipercaya untuk mengasuh Otowaka, yang juga diarahkan untuk menjadi biksu; bertentangan dengan permohonan sang ibu, si bungsu, Ushiwaka, diserahkan bersama seorang ibu susuan kepada kepala biara di Gunung Kurama, tempatnya akan menjalani penahbisan setelah usianya cukup.
Ketika kabar tentang keputusan ini tersebar, semua orang mulai bergunjing.
"Nah, lihatlah akibatnya jika seorang wanita sudah menebarkan pesonanya!"
"Itu tidak akan terjadi pada semua orang. Dibutuhkan seorang wanita secantik Tokiwa untuk menggerakkan hati Kiyomori."
"Begitulah. Apakah yang akan terjadi jika Tokiwa buruk rupa?"
"Kemungkinan besar anak-anaknya tidak akan diampuni."
Seorang pejalan kaki berkomentar dengan kesal, "Huh, omong kosong!"
"Apa maksudmu" Kau juga senang mendengarnya!"
"Kalian ini bagaimana ... apakah kalian tidak menyadari bahwa jika Tokiwa buruk rupa, maka dia tidak akan pernah dijadikan dayang di Istana?"
"Tentu saja." "Tuan Yoshitomo tidak akan jatuh cinta kepadanya, dan ketiga anak itu tidak akan lahir."
"Seperti yang kukatakan, semua ini omong kosong. Apa yang membuat kalian begitu curiga?"
"Heh, kalau begitu, katakanlah pendapatmu kepada kami. Apakah menurutmu Tuan Kiyomori mengampuni ketiga anak itu tanpa alasan sama sekali?"
"Dia tidak butuh alasan. Jangan lupakan bahwa dia adalah penguasa Rokuhara. Untuk apa dia mendengar ocehan orang lain atau mengambil risiko yang tidak diperlukan" Untuk apa dia mempermalukan diri di depan seorang janda dengan tiga anak, jika dunia ini dipenuhi oleh wanita cantik?"
"Ah, tidak, hanya ada seorang Tokiwa di seluruh Kyoto."
Si pejalan kaki tergelak. "Ho, ho! Jadi, begitulah cara berpikir kalian, tapi kalian tidak tahu apa-apa tentang perasaan seorang pria berumur empat puluhan ... betapa dia merasa berkuasa ... ketika memandang taklukannya."
Ini adalah topik pergunjingan di seluruh ibu kota ...
rakyat jelata, para pejabat istana dan istri mereka, bahkan para cendekiawan di kompleks kuil dan para biksuni di asrama mereka; di Rokuhara sekalipun terdengar bisikan-bisikan tentang Kiyomori yang telah dengan teguh membela Tokiwa.
o0odwkzo0o Beberapa tambahan bangunan di kediaman Kiyomori telah rampung dibangun ... lengkap dengan taman tertutupnya.
"Hidung Merah, ini bagus sekali! Rumpun mawar ini sangat menghiburku."
"Saya sudah menduganya. Saya rasa taman di tepi sungai milik Menteri Golongan Kiri pun tidak akan bisa menandingi keindahan taman ini."
"Kebanggaanmu akan semua ini cukup berlebihan, bukan, Bamboku?" Kiyomori menggodanya.
"Tanaman di taman ini dan bangunan ini bisa disebut sebagai milik saya."
Kiyomori tergelak. "Baiklah, Hidung, kau boleh menyombong hari Ini."
"Tetapi, jika ternyata semua ini tidak membanggakan, dan Anda kecewa, betapa suramnya hari ini bagi saya!"
"Baiklah, baiklah, Hidung, rayuanmu membuatku melupakan semua masalahku."
Kiyomori sedang menemui si saudagar di salah satu ruangan baru yang berhadapan dengan rumpun mawar.
Kiyomori tahu bahwa Bamboku memiliki cara misterius dalam menebak pikiran seseorang. Pria yang licik.
Kiyomori pada awalnya mewaspadainya, namun Tokiko sangat menghormatinya sehingga Kiyomori terbujuk untuk menerimanya, dan akhirnya lebih banyak berurusan dengan Bamboku daripada Tokiko. Dia bahkan cukup menyukai Hidung Merah, kejenakaannya ... sosoknya yang menonjol dan culas, yang berbeda dari dirinya. Itu telah dibuktikan oleh Bamboku dalam perundingan antara Kiyomori dan para pelaku persekongkolan yang menyebabkan intrik terbaru di Istana.
Bamboku layak untuk dijadikan sekutu, Kiyomori memutuskan, sehingga dia mulai menjalin hubungan baik dengan si saudagar. Ketika suasana hatinya sedang buruk atau ketika dia sedang membutuhkan teman untuk menghilangkan kejenuhan, yang harus dilakukannya hanyalah memanggil Hidung, sama seperti orang-orang yang menggunakan ramuan wangi untuk memicu semangat mereka. Sekaranglah contohnya; Hidung sudah menenggak
bercangkir-cangkir sake, dan rona merah di hidungnya telah menyebar ke seluruh wajahnya.
"Oh, masalah, ya" Dan Anda ingin melupakannya?"
"Mengapa kau mempertanyakannya?"
"Tuanku, sulit bagi saya untuk percaya bahwa Anda punya masalah."
"Otak udang! Memangnya kaupikir aku bukan manusia?"
"Baiklah ... bukankah Anda pernah mengatakan kepada saya bahwa Anda adalah "putra langit dan bumi" ... putra alam?"
"Itu hanya kiasan."
"Betapa bodohnya saya, sungguh ... saya tidak melihat apa pun yang berarti masalah bagi Anda."
"Benarkah?" "Semuanya tampak wajar dan cukup bisa dipahami. Lagi pula, musim semi telah tiba. Bukankah itu saja sudah menjadi cukup alasan untuk bergembira. Tuan?"
"Semacam itu," Kiyomori menjawab sambil tertawa renyah.
"Sejujurnya, Tuan, saya agak kecewa dengan Anda kali ini. Saya telah salah menilai Anda." "Tentang apa?"
"Kecengengan Anda," Hidung berseloroh, lalu melanjutkan, "Benar-benar pemandangan hebat!
Kecengengan macam apakah ini" Saya tidak percaya bahwa Anda, jenderal perang yang tidak punya tandingan! Sang kesatria, sang pahlawan! Beranikah Anda menyebut diri Anda sebagai manusia jika Anda seloyo itu?"
Di bawah pengaruh sake, Bamboku kerap berbicara dengan gamblang; hanya Hidung yang berani mengejek Kiyomori dengan cara seperti itu. Sendirian seperti itulah yang dibutuhkan oleh Kiyomori, yang membuatnya semakin menyukai si saudagar.
Hidunglah yang pertama kali mendengar tentang kunjungan Kiyomori kepada Tokiwa ... yang sekarang sudah menjadi rahasia umum ... dan sekarang turut menyertainya. Hidung juga selalu membisikkan gosip-gosip terbaru yang didengarnya ke telinga Kiyomori: "Tokiwa yang malang, dia menyerahkan dirinya kepada penguasa Rokuhara demi anak-anaknya! Dan sekarang, Kiyomori tergila-gila kepadanya. Sungguh memalukan si Tokiwa, takluk begitu saja pada pria berotak mesum itu! ?" Itulah desas-desus yang beredar di masyarakat, yang telah dibumbui oleh siapa pun yang menyebarkannya. Tetapi, Hidung tahu bahwa asap tidak akan ada tanpa api; walaupun ada sekelumit kebenaran di dalam kabar burung yang beredar, sisanya murni omong kosong. Kiyomori, bagaimanapun, membenci omong kosong itu.
"Saya terganggu oleh semua ini ... sangat menjengkelkan. Semua desas-desus itu ... dan Anda yang cengeng!"
"Sudahlah, Hidung Merah, berhentilah mengejekku.
Posisiku memang menyulitkan, kau tahu."
"Anda masih bimbang, ya" Bukankah Anda sudah mengambil keputusan tadi malam?"
"Mengambil keputusan?"
"Nah, tepat ketika kita tiba di inti permasalahannya.
Anda justru menghindar. Apakah yang membuat Anda ragu-ragu untuk mengatakan kepada saya tentang
keputusan Anda untuk menjadikan Tokiwa sebagai gundik?"
o0odwkzo0o Bab XXX-SAKURA Tokiwa duduk di dekat jendela kamarnya, bergeming, memandang bulan musim semi yang berselaput awan.
Bagaimanakah kabar Imawaka, pikirnya. Sudahkah Otowaka betah tinggal bersama orang-orang asing" Apakah dia tumbuh dengan sehat ... Ushiwaka, yang direbut dari pelukannya dan dilarikan ke Gunung Kurama" Seseorang pernah berkata kepadanya, "Seorang anak akan tetap bisa tumbuh sehat tanpa ibunya."
Seandainya saja itu benar, doanya. Dia membenci berbagai macam petuah yang dimaksudkan untuk menghiburnya, dan yang diketahuinya sebagai kebenaran walaupun pahit. Untuk apakah dia hidup setelah anak-anaknya direnggut dari dirinya" Apakah makna dirinya yang mengenaskan ini" Yang juga hampir tidak tertahankan olehnya adalah kenyataan bahwa setelah Ushiwaka diambil darinya, payudaranya kembali bengkak berisi susu dan semakin nyeri; demam menyebar dari dadanya ke sekujur tubuhnya, sehingga dia terbaring sakit selama berhari-hari.
Penjaganya akhirnya memanggil seorang tabib karena tidak ingin dianggap mengabaikan tahanannya oleh Kiyomori.
Para pelayan lalu lalang di dekat Tokiwa, namun dia menjauh dari mereka karena takut dan malu; dia mengetahui apa yang ada di dalam pikiran mereka, karena seorang wanita tua, yang ditugaskan secara khusus untuk melayaninya, pernah berbisik kepadanya, "Nyonya, semua orang memuji-muji Anda atas apa yang telah Anda lakukan. Kemuliaan bukanlah milik wanita yang senantiasa
menjaga kesuciannya saja. Orang-orang mengidolakan Anda sebagai ibu berbudi luhur yang rela mengorbankan dirinya demi buah hatinya."
Beberapa saat kemudian, istri si penjaga pun secara diam-diam menghampiri pembaringan Tokiwa untuk mengatakan, "Tak terhitung lagi banyaknya wanita ibu kota yang berambisi merebut perhatian Tuan Kiyomori dengan habis-habisan menonjolkan diri mereka. Kau sepertinya tidak menyadari betapa beruntungnya dirimu. Kau pasti dilahirkan di bawah bintang keberuntungan. Sudahlah, berhentilah merengek dan berdandanlah, karena aku tahu bahwa kau masih muda. Sebagai seorang wanita, masa depan terbentang di hadapanmu, dan jika Tuan Kiyomori menyukaimu, maka semuanya akan menjadi milikmu."
Tokiwa sangat malu mendengarnya, sehingga dia membenamkan wajah merah padamnya ke lipatan-lipatan kimononya.
o0odwkzo0o Tokiwa bisa merasakan bahwa seseorang sedang berdiri di belakangnya, namun rasa takut mencegahnya untuk menoleh.
"Tokiwa, apakah yang sedang kaulihat?"
Kiyomori yang berbicara, dan walaupun mengenali suaranya, Tokiwa menjawab tanpa menggerakkan tubuhnya, "Saya sedang melihat bunga sakura."
Ruangan itu temaram berkat cahaya rembulan. Kiyomori akhirnya duduk, namun tidak mengatakan apa-apa, dan Tokiwa tetap duduk di dekat jendela. Beruntung bagi Tokiwa karena lentera di kamarnya telah dipadamkan sehingga dia tidak perlu menjauh dari Kiyomori untuk menyembunyikan wajahnya yang basah oleh air mata.
Tidak lama setelah Tokiwa mendengar tentang nasib anak-anaknya, Kiyomori kerap mengunjunginya. Tokiwa tidak memiliki alasan untuk melarangnya datang, dan dia berusaha untuk tidak mengatakan apa pun yang bisa menyakiti hatinya, karena dia sesungguhnya sangat berterima kasih atas kebaikan Kiyomori. Seiring waktu, Tokiwa tidak lagi membenci Kiyomori; tetapi, walaupun menanti-nantikan kedatangan Kiyomori, dia merasa jijik terhadap ketidaksetiaannya sendiri.
"Oh, angin mengacak-acak kertas-kertasmu!"
Kiyomori meraih selembar kertas yang terbang ke bawah salah satu jendela. Dia meliriknya sekilas di bawah sinar bulan dan hendak meletakkannya kembali di meja tulis, ketika Tokiwa mendadak menyadari apa yang terjadi.
"Itu ... itu ... " serunya, terkejut. Dia tampak kebingungan selama beberapa waktu, sebelum mengulurkan tangan untuk meminta kembali kertas tersebut.
"Apa kau keberatan kalau aku membacanya?"
"Tidak ... tidak juga."
"Ini bukan tulisanmu. Siapakah yang mengirimkan surat ini kepadamu?"
"Seorang pria, rupanya."
Tokiwa tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak bisa mengatakan bahwa puisi yang ada di sana ditulis olehnya sendiri, karena lipatan-lipatan yang ada menunjukkan bahwa lembaran kertas itu adalah sebuah surat; dari tulisan tangannya pun bisa dipastikan bahwa pembuatnya adalah seorang pria.
"Ini, seperti yang Anda katakan ... adalah sebuah surat Seorang biksu aneh yang berkeliaran di jalan
menyerahkannya kepada Yomogi untuk diserahkan kepada saya, lalu dia pergi begitu saja."
"Siapakah Yomogi?"
"Yomogi adalah pengasuh anak-anak saya. Saya meninggalkannya di Yamato, tempat persembunyian kami, namun dia menyusul kami.
dan entah bagaimana berhasil menemukan kami.


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Katanya, dia bertemu dengan si biksu dalam perjalanannya kemari, dan biksu itulah yang memberikan surat ini kepadanya."
"Berarti, kau mengenal biksu itu, bukan" Jika tidak, bagaimana mungkin dia tahu bahwa gadis itu adalah pengasuh anak-anakmu?"
"Saya tidak terlalu mengenalnya, karena dia adalah seorang biksu yang hidup layaknya pengemis di reruntuhan Istana Mata Air Dedalu setelah Perang Hogen berakhir."
"Siapa namanya?"
"Mongaku, saya yakin."
Kiyomori mengamati surat itu sekali lagi. Tidak diragukan lagi, sebuah tanda tangan tertera di sana ...
Mongaku. Tulisan tangannya besar dan tebal.
Mongaku. Kapankah terakhir kalinya Kiyomori berjumpa dengannya ... Morito dari Kesatuan Pengawal Kekaisaran" Sesekali, Kiyomori pernah mendengar kabarnya. Shinzei pernah bercerita kepadanya tentang kekacauan yang ditimbulkan oleh Mongaku di kediamannya. Ini adalah biksu pengelana yang sama, Mongaku ... yang berkeliaran ke sana kemari di ibu kota, tidur di alam terbuka, tanpa memiliki tempat tinggal tetap.
Kiyomori mengenang teman sekolahnya itu dengan rasa iba
yang mendalam. Mengingat Mongaku mau tidak mau juga membuatnya teringat kepada Kesa-Gozen dan kisah asmara tragis yang telah menghancurkan sebuah masa depan cemerlang, semuanya hanya demi mendapatkan cinta seorang wanita. Orang-orang menganggap Morito bodoh ketika itu, namun baru sekaranglah Kiyomori menyadari bahwa dirinya tidak lebih baik daripada Morito. Apakah yang akan dikatakan oleh Mongaku kepadanya sekarang" ...
"Apakah perbedaan kebodohanku ketika aku berumur dua puluhan dengan kebodohanmu saat ini, ketika kau sudah berumur empat puluhan" Yang manakah yang lebih buruk"
Siapakah yang lebih hina" Kau melakukan tindakan yang benar dengan mengampuni anak-anak Tokiwa, namun apakah alasanmu untuk mengunjungi Tokiwa?"
Tidak perlu dipertanyakan lagi, dia memang memuakkan, secengeng yang dituduhkan oleh Hidung.
Berbeda dengan Mongaku, Kiyomori tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, gairah. Ini jelas terlihat di dalam hubungan gelapnya dengan Tokiwa. Betapa dia bernafsu untuk memiliki Tokiwa dan berpura-pura menjadi seorang pria terhormat di matanya!
"Mongaku, itulah panggilannya sekarang, pernah tergabung dalam Kesatuan Pengawal. Kami teman sekelas di akademi ". Menurutmu, apakah alasannya mengirimkan puisi ini kepadamu?"
Apakah yang mendorongnya memburu penjelasan ini, pikir Kiyomori dengan bimbang, seraya melanjutkan,
"Apakah yang ingin dikatakannya kepadamu" ... "Jalan tak berujung yang membelah padang gersang berselimut kabut
... ?" "Entahlah. Saya tidak pernah berjumpa dengan Mongaku."
"Hmm " aku yakin dia memahami maksudnya."
"Apakah yang ingin dikatakannya?"
"Genji telah kalah. Benih-benih Yoshitomo telah tersebar di seluruh dunia yang keji, namun akan ada akhir dari semua ini, dan Genji akan kembali berjaya. Puisi ini dimaksudkan untuk menguatkan dirimu."
"Oh, sungguh menakutkan maknanya!"
"Tidak perlu heran. Ada banyak orang yang merasa seperti Mongaku. Dia yakin bahwa aku adalah penerus Shinzei dan memandang rendah diriku."
"Tidak, tidak. Tuan, Anda salah. Saya menemukan makna lain dari puisi itu."
"Apakah itu?" ?"Padang gersang berselimut kabut" adalah hati saya. Dia membicarakan tentang kesedihan wanita. Dia menasihati saya untuk bersikap lebih tegar."
"Kau boleh saja mengartikannya begitu jika mau."
"Saya senang menerima puisi ini. Saya sudah membacanya berulang kali sepanjang hari. Karenanyalah saya memutuskan untuk
melanjutkan kehidupan saya, untuk terus melangkah melewati jalan yang membelah "padang gersang berselimut kabut" itu."
"Apakah kau kadang-kadang masih berpikir untuk mengakhiri kehidupanmu sendiri?"
"Ya, ketika kesepian terlampau berat untuk saya tanggung, gemerisik sakura sekalipun terdengar bagaikan undangan untuk mati."
"Apakah itu disebabkan oleh kerinduanmu kepada anak-anakmu?"
"Lancang jika saya mengatakannya ... kepada Anda, penyelamat mereka. Saya hanya bisa pasrah."
"Apakah kau masih berduka atas kematian Yoshitomo?"
"Ah, sungguh kejam kata-kata Anda!" Tokiwa menjerit, menatap Kiyomori dengan mata berkaca-kaca.
?" Tokiwa!" Kiyomori merengkuh Tokiwa ke dalam pelukannya.
Malam inilah pertama kalinya Kiyomori merasakan gemulai tubuh Tokiwa. Api gairah menggelora di dalam dirinya, mendorongnya untuk dengan liar menciumi bibir Tokiwa. Terkejut akibat gairah yang terlepas dari kendalinya, Tokiwa meronta-ronta untuk melepaskan diri, namun Kiyomori tidak mendengar tangisannya.
o0odwkzo0o Tokiwa terbaring lemas, meringkuk di antara lipatan-lipatan kimono sutranya, terisak-isak lirih. Dia tidak sekali pun mendongak ketika Kiyomori bangkit dan meninggalkannya. Kelopak-kelopak bunga putih tertiup angin memasuki jendelanya dan berjatuhan di rambut dan kimononya, dan dia tetap menghabiskan malam musim semi itu dengan tetesan air mata.
o0odwkzo0o Sesosok pria mengendap-endap melewati jalan masuk dan menuruni tangga di tengah kegelapan.
"Bagaimanakah hasilnya. Tuan?" bisik Bamboku, yang segera menghampiri Kiyomori.
"Tuanku, berhasilkah Anda" Anda sudah bersumpah bahwa malam ini Anda akan ... "
Kiyomori membungkam Bamboku dengan tatapan garangnya. Hidung belum pernah melihatnya seperti ini.
Sesuatu yang luar biasa tentu telah terjadi. Selama beberapa waktu, Hidung berjalan di samping Kiyomori tanpa mengatakan apa pun, kemudian dia tiba-tiba terkekeh.
Kiyomori memelototinya, namun dia justru tertawa terbahak-bahak.
"Tuan, Anda barangkali bisa menipu orang lain, namun Anda tidak mungkin membodohi saya. Saya sudah berpengalaman dalam permainan ini."
Kiyomori melontarkan senyum lebar kepadanya di tengah kegelapan. "Hentikanlah ceracaumu itu, kau menggangguku."
"Tapi, bukankah saya sudah menemani Anda di sepanjang kisah asmara ini, dan bukankah saya menghayatinya seolah-olah saya sendiri yang sedang menjalaninya" Anda setidaknya bisa menceritakan kepada seorang teman apakah Anda berhasil atau tidak. Saya rasa itu tidak ada salahnya."
"Berisik sekali kau ini! Omonganmu itu cukup untuk menenggelamkan kelembutan apa pun yang mungkin kumiliki. Menjauhlah dariku. Dan diamlah!"
Hidung mencuri pandang dengan penasaran ke wajah Kiyomori dan menghela napas panjang. Dia sudah mendengar cukup banyak untuk mengetahui apa yang terjadi. Dia juga bisa mengendus samar-samar semerbak minyak wangi.
"Hoi-i-i ... !" Hidung tiba-tiba berseru ke arah rumpun pinus di kaki bukit tempat beberapa orang samurai menjaga kereta Kiyomori di tengah kegelapan. Beberapa orang prajurit dan si penarik sapi membawa kendaraan tersebut ke jalan.
Suara Hidung sekalipun tidak cukup untuk menggugah Kiyomori. Dia seolah-olah tenggelam di dalam mimpi, hanyut di dunia lain bersama Tokiwa di sisinya, sehingga kenyataan pun tidak sanggup untuk sepenuhnya menyingkirkan bayangan itu.
"Tidak perlu buru-buru. Biar saja sapi itu berjalan santai," Kiyomori memerintah dari balik tirai yang tertutup.
Dia berniat untuk sepenuhnya menikmati sensasi berkereta menembus pagi buta pada musim semi sembari mengingat-ingat malam indahnya. Apakah Tokiwa membencinya, pikirnya. Bagaimanakah Tokiwa akan menyapanya saat mereka bertemu lagi" Dia sudah kenyang akan kekerasan.
Dia sudah melihat banyak hal selama dua perang terakhir.
Dia telah menyaksikan kepala Yoshitomo digantungkan di gerbang penjara dan beratus-ratus pemenggalan ".
Kehidupan atau ke matian Tokiwa ada di tangannya, namun dia tidak berniat untuk memperlakukannya dengan kasar. Tokiwa menyerahkan diri kepadanya dengan cara yang wajar, bagaikan sekuntum bunga yang mekar dengan lembut, seperti yang semestinya. Kiyomori hanya memberikan cinta yang dibutuhkan oleh Tokiwa tanpa sedikit pun memaksanya. Dia tetap akan mencintai Tokiwa seandainya Yoshitomo masih hidup ".
Pikiran semacam itu berpusar di benak Kiyomori ...
membebaskannya dari beban, meringankan hatinya, dan membenarkan tindakannya malam itu. Dia tidak bisa menyangkal tuduhan Hidung Merah kepadanya; dia pengecut karena jika tidak, mengapa dia merisaukan Yoshitomo pada saat ini"
Ketika kereta Kiyomori melewati jalan yang diapit pepohonan pinus ke arah barat salah seorang prajurit yang berjalan di belakangnya memekik kesakitan dan jatuh
bergedebuk ke tanah. Para prajurit lainnya berseru-seru, dan sebuah teriakan nyaring terdengar, "Di sini, bajingan!"
Keributan perkelahian terdengar ketika Kiyomori bangkit dari bangkunya dan menyibakkan tirai seraya berseru,
"Hoi, kalian, apa yang terjadi?"
Kiyomori melongok ke luar ketika keretanya mendadak berhenti, dan sesosok pria bersenjata menatapnya dengan mata nyalang, mengacungkan pedang.
"Heik6 Kiyomori* sudah lupakah kau kepadaku" ...
Genji Yoshihira, putra Yoshitomo?"
Yoshihira beberapa kali berusaha meraih lengan kimono Kiyomori dari balik tirai, ketika sapi penarik kereta mendadak berlari kencang gara-gara pedang Yoshihira menggores pantatnya.
"Tunggu, Yoshihira!"
Yoshihira berusaha bangkit dan mengejar kereta itu, namun ujung-ujung tombak telah teracung ke arahnya dari segala penjuru.
Hidung Merah, yang semula terpaku, berlari dari tempat persembunyiannya di balik pepohonan dan menjerit-jerit
"Putra Yoshitomo ... Genji Yoshihira!" Dia berlari menuju pangkalan prajurit berjalan kaki Rokuhara, berseru-seru di sepanjang jalan, "Tolong, ada rampok! Tolong, ada pembunuh!"
Para prajurit dengan berbagai senjata segera mendatangi arah yang ditunjukkan oleh Hidung Merah.
"Di persimpangan! Bunyikan lonceng peringatan, bunyikan lonceng peringatan!"
Sepasukan prajurit tiba di persimpangan jalan untuk memeriksa keadaan. Mereka hanya bisa saling bertukar tatapan bingung karena tidak ada apa pun di sana.
"Siapa orang pandir yang membangunkan dan menyuruh kita ke sini?"
Tetapi, mereka segera menemukan sebuah tombak tergeletak di jalan; lebih jauh lagi, mereka melihat seseorang tergeletak kesakitan, mengerang-erang, dan beberapa langkah dari sana, sesosok tubuh terbaring diam. Keributan pun terjadi; para pelayan dikirim ke luar untuk menyelidiki apa yang terjadi, dan pelana-pelana segera dipasang.
Hidung semakin gelisah. Apakah dia telah mengambil langkah gegabah karena terburu-buru mencari pertolongan"
Kereta Kiyomori tidak terlihat lagi. Apakah Kiyomori selamat"
Mustahil jika Kiyomori ternyata sudah tiba kembali di rumahnya.
o0odwkzo0o Sapi kesakitan itu berlari menyeret kereta, dan baru berhenti setelah tiba di depan sebuah tembok.
"Di manakah kita?" Kiyomori berseru.
Pengawal Kiyomori dan si penarik sapi akhirnya muncul, terengah-engah:
"Kediaman Tuan Hitachi, Tuan!"
"Ketuk gerbangnya!"
Nada panik di dalam suara Kiyomori mendorong para pengawalnya untuk menggedor-gedor gerbang. Penjaga gerbang segera membukakan pintu untuk mereka dan terheran-heran ketika si Kiyomori memerintahkan agar
keretanya cepat-cepat dimasukkan ke halaman tanpa memberikan penjelasan apa pun. Seorang pelayan muncul dan, ketika mendengar bahwa tamu yang datang adalah tuan rumah Rokuhara, segera berlari untuk memberi tahu majikannya.
Norimori, adik Kiyomori, langsung keluar. "Ada apa ini
... sepagi ini pula?" tanyanya dengan kesal kepada Kiyomori.
"Aku tadi berkunjung ke rumah Itogo dan mendapat serangan dari pengikut Yoshitomo ketika sedang dalam perjalanan pulang."
"Pengikut Yoshitomo" Berapa jumlahnya?"
"Sebenarnya, hanya seorang."
"Hanya seorang?"
"Hmm ?" Kiyomori menggumam dengan malu
sebelum mulai bercerita tentang peristiwa yang baru saja dialaminya. Dia tidak pernah merasa sepanik itu. Seorang diri, Yoshihira berhasil membuatnya ketakutan setengah mati dan terguncang. Apakah yang menyebabkan kengerian luar biasa ini, pikir Kiyomori, mengorek-ngorek pikirannya.
Kepala Yoshitomo, seperti yang dilihatnya menggantung di gerbang Penjara Timur, tak henti-hentinya berkelebatan di benaknya dalam perjalanannya pulang, dan begitu dia mendengar jeritan "putra Yoshitomo", bayangan menyeramkan itu terwujud pada wajah yang memelototinya dari balik tirai keretanya. Seketika itu, Kiyomori percaya bahwa yang dilihatnya adalah hantu Yoshitomo yang hendak membalas dendam kepadanya.
Masih ada penjelasan mengenai peristiwa menegangkan itu: dia baru saja menyelesaikan kunjungannya kepada Tokiwa dengan kebanggaan atas penaklukannya, namun di lubuk
hatinya yang terdalam, terdapat rasa bersalah yang menghadirkan arwah Yoshitomo ".
Norimori mempersilakan kakaknya masuk dan menanyainya dengan curiga.
"Mengapa kau ketakutan gara-gara Yoshihira seorang"
Bukankah kau membawa cukup banyak pengawal?"
tanyanya. "Pasti ada yang salah denganku," Kiyomori mengakui.
"Apa kau baru saja minum?"
"Tidak, tidak setetes pun."
"Dari manakah dirimu?"
"Dari rumah Itogo."
"Dari rumah Itogo" Tapi, Itogo pergi malam ini."
"Karena itulah aku pulang, dan Yoshihira menyerangku."
"Oh ... ?" jawab Norimori, namun ekspresi mengejek di matanya menambahkan, "kau pasti berbohong. Aku sudah tahu tentang kunjungan-kunjungan kepada Tokiwa."
Sementara itu, Hidung, yang akhirnya berhasil melacak keb
eradaan Kiyomori, tiba di rumah Norimori.
Segera setelah Hidung datang, Kiyomori bangkit untuk menyambut dan menanyainya dengan cemas, "Bagaimana nasib bajingan itu?"
"Dia melarikan diri," jawab Hidung. Begitu mendengar kabar ini, Kiyomori buru-buru bersiap-siap dan mengatakan bahwa dia akan menggunakan keretanya lagi. Bamboku langsung keluar untuk memastikan bahwa kereta Kiyomori telah siap digunakan. Norimori memandang Bamboku dengan jijik. Dia tidak pernah memercayai
Bamboku, dan sebagai tindakan pencegahan, dia memerintahkan sepuluh orang pelayannya untuk menyertai Kiyomori.
Keesokan harinya, Kiyomori bangun lebih siang daripada biasanya; sementara dia mengenakan kimono resminya dan bersiap-siap untuk berangkat ke Istana, dayang istrinya muncul untuk mengatakan, "Nyonya berharap bisa menikmati sarapan bersama Anda dan sedang menunggu Anda, Tuan."
Kiyomori terkejut "Sarapan" ... Biasanya hanya pada malam hari ... Apa yang dikehendakinya dariku sepagi ini?" jawab Kiyomori, mempercepat persiapannya seolah-olah berbagai urusan yang lebih penting telah menantinya.
"Aku sudah terlambat harus segera pergi ke Istana. Ada banyak pertemuan dan urusan lainnya ". Katakan kepada nyonyamu bahwa aku akan menemuinya nanti malam."
Kiyomori memerintahkan agar keretanya dibawa ke beranda depan, lalu terburu-buru pergi. Memang benar bahwa dia semakin sibuk. Kehadirannya di Istana biasanya menandakan bahwa para pejabat tinggi atau rekan sejawatnya menantikan nasihat persetujuan, dan keputusannya. Kekaguman sekaligus rasa penasaranlah yang mendorong para pejabat istana untuk mendekatinya.
Kalangan istana baru-baru ini menawarkan kenaikan jabatan kepada Kiyomori, yang dahulu pernah ditolaknya, dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Kiyomori memegang pengaruh besar bagi jalannya pemerintahan.
Pengaruh baru mulai terasa sejak masa ayahnya, Tadamori, ketika seorang samurai yang menduduki jabatan Kiyomori di Istana akan memancing kedengkian para bangsawan dan mendatangkan kebencian. Kepercayaan diri Kiyomori juga mencerminkan perubahan itu. Kiyomori
adalah era baru; tidak ada keputusan yang bisa diambil tanpa melibatkan dirinya dan kesimpulan yang ditarik tanpa menunggu persetujuan darinya. Kaum samurai, dengan kata lain, memegang kekuasaan, dan kata-kata Kiyomori menentukan kelangsungan hidup negara.
Fujiwara Koremichi, yang dikenal berpihak kepada Heikl, diangkat sebagai Perdana Menteri pada masa itu, dan Kiyomori, yang meletakkan kepercayaan kepadanya, bersikeras agar pengambilan semua keputusan penting diserahkan kepada Koremichi. Penunjukan itu juga memuaskan Kiyomori karena putri sang perdana menteri baru adalah Nyonya Shimeko, mantan majikan Tokiwa.
"Saya senang melihat bahwa Anda baik-baik saja."
Kiyomori terperangah mendengar ucapan ini ketika dia tanpa sengaja berpapasan dengan Koremichi di salah satu koridor Istana.
"Apa maksud Anda?" tanyanya dengan kaget
"Anda kelihatannya tidak memusingkan kejadian itu.
Sebenarnya, itulah ciri khas Anda. Saya dengar Anda diserang oleh salah seorang Genji semalam. Begitulah kabar burung yang terdengar oleh saya."
"Ah" Ya, tentu saja, itu," jawab Kiyomori.
"Tepat" "Jadi, kabar itu sudah tersebar di Istana, ya?"
"Ya, semua orang terkejut ketika mendengar bahwa penyerang Anda adalah Genji Yoshihira. Anda sebaiknya lebih berhati-hati jika bepergian pada malam hari,"
Koremichi menambahkan dengan tatapan penuh arti.
"Malam-malam musim semi, Anda tahu ... tidak tertahankan." Kiyomori tertawa, namun peringatan
Koremichi mencemaskannya, sehingga dia langsung pulang malam itu, hanya untuk mendapatkan semburan dari Ibkiko.
"Ah, di umurmu yang setua ini pula! Aku harus memintamu untuk tidak mengulanginya lagi ... mengendap-endap keluar pada malam hari melalui gerbang belakang taman mawar!"
"Kapankah aku pernah ... "
"Apakah kau berpikir bahwa aku tidak tahu apa-apa"
Apakah kau mengira bahwa Shigemori dan adik-adiknya, para kepala keluarga kita, para pelayan dan anggota rumah tangga mereka, juga para pejabat di Istana tidak tahu apa-apa?"
"Tapi, apa hubungan semua itu denganku?"
"Bagaimana mungkin kau berlagak pilon seperti itu.
Dengan semua orang yang memandangmu sebagai penguasa Rokuhara, aku benar-benar tak mengerti bagaimana kau bisa berkelayapan setiap malam bersama si brengsek Hidung Merah itu untuk mengunjungi janda musuhmu. Tidakkah kau menyadari betapa memalukannya itu" Aku tidak mengatakan ini karena aku cemburu."
"Ya, makin hari kau makin mirip dengannya."
"Apakah kaupikir aku sedang bercanda?"
"Tidak, aku menanggapimu dengan bersungguh-sungguh, dan karena itulah aku menghela napas. Jika kau menjadi semakin mirip dengan ibu tiriku, ke mana lagtkah aku bisa mencari kedamaian?"
"Aku tidak keberatan jika kau memelihara seorang gundik di paviliun belakang, atau di tempat lain di lingkungan ini. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh
seorang istri jika suaminya menyukai orang lain. Tapi, dari semua wanita yang ada ... janda Yoshitomo!"
"Cukup. Aku mengerti."
"Aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi jika kau mau berjanji untuk tidak mengulangi perbuatanmu. Tapi, bagaimana mungkin kau mengharapkanku untuk tetap tenang jika aku mendengar bahwa salah seorang Genji mencoba membunuhmu?"
"Ah, jadi kau pun ternyata salah satu dari istri-istri berbudi pekerti mulia itu ". Aku mulai mendambakan wanita semacam Perempuan Gion."
"Apa yang baru saja kaugumamkan sendiri itu" Jika kau tidak menganggapiku dengan serius, aku akan mengundang ibu tirimu kemari agar beliau bisa menasihatimu. Beliau bisa memutuskan apakah permintaanku ini masuk akal atau tidak."
"Jangan, aku memohon dengan tulus, demi seluruh dunia ini, jangan panggil beliau kemari."
"Kalau begitu, kau akan menghentikan pertemuan diam-diammu dengan Tokiwa, bukan" Dan kau tidak akan keberatan jika aku berbicara sendiri dengan Itogo dan Bamboku?"
"Terserah kau saja," jawab Kiyomori dengan kesal.
Malam itu, Kiyomori duduk di dekat jendela kamar istrinya, dengan wajah cemberut memandang bulan yang berselaput awan. Dia baru saja mendapati sesuatu yang mengejutkannya: Tokiko, yang telah begitu lama disibukkan dengan pengasuhan anak-anak mereka, yang jarang mempertanyakan kesibukannya, ternyata menyimpan perasaan cemburu.
Keesokan harinya, Tokiko memanggil adiknya, Tokitada, ke kamarnya. Barangkali penyebabnya adalah udara musim semi, namun Tokitada melihat bahwa wajah kakaknya bersemu merah.
"Tokitada, kuharap kau bersikap tegas kepada Itogo.
Aku sudah mendapatkan restu dari suamiku untuk melakukan ini."
"Itogo" Apakah yang harus kulakukan kepadanya?"
"Langsung saja kukatakan, ini tentang Tokiwa. Ketiga anaknya sudah diurus, dan tidak ada alasan lagi baginya untuk tinggal di Rokuhara lebih lama."
"Tetapi, itu tidak termasuk di dalam wewenangku."
"Kau bertanggung jawab mengurus keamanan di sini, dan Tokiwa tentu saja termasuk di dalam wewenangmu.
Katakan kepada Itogo untuk membebaskannya, atau memasukkannya ke biara dan memastikan agar dia menjalani penahbisan. Tanggung jawabmulah untuk menghentikan kabar miring ini."
"Ah, sekarang aku mulai mengerti. Tapi, Tokiko, kau harus mengakui bahwa kau juga patut disalahkan untuk perilaku Kiyomori."
"Menurutmu begitu, bukan, Tokitada" Coba katakan kepadaku mengapa kau berpikir bahwa aku patut disalahkan."
"Baiklah, Tokiko, tanpa kausadari, kau telah menua ...
membiarkan kecantikanmu memudar, dan kau tidak pernah berpikir untuk memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh waktu itu agar suamimu tetap terpikat kepadamu.
Kejadian ini sedikit banyak bisa diperkirakan."
"Ketika seorang wanita telah memiliki beberapa orang anak, wajar saja jika kecantikannya memudar. Apakah dia bersalah jika dirinya tidak lagi ... menarik?"
"Tidak, Tokiko," Tokitada tergelak, "kau tidak boleh marah-marah seperti itu. Aku berbicara terus terang kepadamu karena kau adalah kakakku. Aku hanya mengingatkanmu bahwa seorang wanita ... bukan, seorang istri ... harus mempelajari keanggunan baru seiring dengan pertambahan usianya, jika dia tidak ingin dipandang dengan sebelah mata oleh suaminya."
"Jadi, apa saranmu kepadaku?"
"Lupakanlah umurmu, dan hadirkanlah kesan yang segar dan menyenangkan."
"Aku bukan geisha, jika itu maksudmu!"
"Nah, pikiran semacam itulah yang umum dimiliki oleh para istri penggerutu. Yang kukatakan ini tidak hanya berlaku bagi Kiyomori tetapi juga bagiku. Omong-omong, setelah mencapai usia empat puluhan, seorang pria siap untuk menaklukkan dunia, namun tiba-tiba dia mendapati bahwa istrinya tampak mengenaskan di sampingnya."
"Rupanya itulah obrolan para pria seperti kalian jika sedang berkumpul!"
"Sejujurnya, itu benar. Sepertinya semua orang mengeluhkan hal yang sama, walaupun kami mencintai istri kami, namun mereka menua dan membosankan."
"Kalian memang mau menang sendiri ?"
"Kau benar. Begitulah kaum pria, namun seorang pria harus diberi kesempatan untuk mengembangkan egonya di bawah atap rumahnya sendiri sebelum dia bisa menghadapi dunia dan menaklukkannya. Ada pepatah lama yang
mengatakan bahwa seorang pria menjadi mudah terhanyut oleh keraguan setelah dia menginjak usia empat puluhan.
Kami sepertinya sedang memasuki tahap itu sekarang, namun Kiyomori ditakdirkan untuk melakukan hal-hal besar, percayalah."
"Apa kau berharap aku memercayainya" Kau termasuk di antara orang-orang yang mendorongnya untuk tenggelam dalam khayalan seperti itu."
"Tidak, kau akan menyadarinya sendiri ketika namanya semakin termasyhur, dan kau harus mendampinginya dengan keanggunan dan tingkah laku yang sempurna, atau kau akan semakin meredup sementara bintangnya bersinar cemerlang."
"Cukup sudah omong kosongmu itu. Silakan tinggalkan aku sekarang."
"Satu lagi saja."
"Apa itu?" "Bukankah kau sendiri yang sering mengundang Bamboku si saudagar itu kemari" Kau melakukan kesalahan besar karena memercayai pria brengsek itu. Aku tahu bahwa Hidung memegang peranan besar dalam hubungan gelap suamimu dengan Tokiwa. Bahkan, pada malam ketika Yoshihira menyerang Kiyomori, Norimori terheran-heran karena si brengsek itu ada di tempat kejadian."
Tokitada sebisa mungkin memanfaatkan kesempatannya untuk menyampaikan pendapatnya tentang kakaknya, dan Tokiko hanya bisa diam saat mendengarnya, menatap senyum tipis di wajah Tokitada dengan penuh kegusaran.
Pertengkaran di antara mereka terjadi dari waktu ke waktu, dan Tokiko biasanya mengalah, namun bibirnya yang
terkatup rapat kali ini menunjukkan tekadnya untuk menutup adu mulut mereka.
"Ya, aku sendirilah yang akan mengurus Bamboku.
Sementara itu, kuharap kau menemui Itogo dan mencari tahu apa yang hendak dilakukannya kepada Tokiwa.
Kuharap kau berangkat sekarang juga."
"Terserah padamu, aku mengerti."
"Jangan mengatakan "terserah padamu" ... aku ingin kau memahami bahwa itu adalah perintah dari suamiku," tukas Tokiwa, teringat pada berbagai desas-desus tentang kecantikan Tokiwa yang tak lekang oleh masa. Dirinya, sang istri yang terbakar oleh api
cemburu, menyadari bahwa dunia tidak bersimpati kepadanya tetapi kepada Tokiwa, yang kini dianggapnya sebagai pesaing.
Pada hari yang sama, Tokiko juga mengundang Hidung Merah.
"Anggap saja dirimu sudah tidak diterima lagi di sini.
Aku memerintahkan agar kau tidak lagi mengunjungi tempat ini mulai sekarang."
"Baiklah ... " Hidung, yang biasanya berlidah tajam, menjawab dengan lirih. Kemudian, setelah terdiam sejenak, dia melanjutkan, "Apakah saya sudah melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan Anda, Nyonya?"
"Tanyakanlah itu kepada akal sehatmu."
"Jika saya memang telah menyinggung Anda, tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali memotong leher saya sendiri."
"Lakukanlah, kalau begitu. Kau lebih tahu daripada siapa pun bahwa kau punya alasan bagus untuk itu. Aku
sudah membiarkanmu berkeliaran di sini karena menganggapmu menyenangkan, dan kau membalasnya dengan mengambil keuntungan dariku. Kau telah mempermalukan suamiku dengan menjerumuskannya ke dalam intrik bersama Tokiwa."
"Astaga, itu ... " Hidung tersentak kaget, menepuk kepalanya dan berusaha membujuk Tokiko. Tetapi, Tokiko telah bangkit dan menghambur keluar dari ruangan dengan kibasan marah kimononya.
o0odwkzo0o Bab XXXI-GAGAK Bamboku memerintah salah seorang pegawainya untuk pergi ke wilayah barat ibu kota, ke sebuah rumah peristirahatan sederhana yang dahulu dibangun oleh seorang bangsawan untuk gundiknya dan kini telah terbengkalai. Si pegawai diperintahkan untuk membeli rumah peristirahatan tersebut pada saat itu juga. Hal ini terjadi hanya selang sehari dari pengusiran Hidung Merah dari Rokuhara, dan pada malam harinya, rumah itu telah siap dihuni kembali. Bamboku turut sibuk mengerjakan berbagai macam urusan rumah tangga untuk mempercepat persiapannya, termasuk menyediakan kereta sapi dan gerobak untuk mengangkut peralatan tidur, perangkat dapur, perabot, dan yang semacamnya ke sana. Seorang diri, Hidung menghabiskan siangnya untuk menata kebun sesuai dengan seleranya, menata sejumlah ruangan dan bahkan menyapu lantainya. Dan pada malam harinya, sekat telah dipasang di ruangan-ruangan utamanya, tirai telah digantungkan di tempat-tempat yang semestinya, bahkan sebuah altar peribadatan kecil dan meja tulis anggun
telah dipasang di salah satu ruangan yang berukuran lebih kecil.
"Wah, wah, ini hari yang sibuk! Melihat hasilnya, pekerjaan kita lumayan. Ini tentu akan menyenangkan hatinya," Hidung mendesah puas, mengedarkan pandangan ke sekelilingnya di bawah cahaya sebuah lentera.
Seorang pria meninggalkan keretanya bersama para pelayannya di bawah pepohonan yang cukup tersembunyi dari rumah itu. Dia adalah Kiyomori.
"Luar biasa, sungguh luar biasa! Di sini juga sangat tenang. Kebunnya pun bagus, mungil ... dan ada sungai yang membelahnya," Kiyomori berkomentar seraya memeriksa keadaan rumah itu, menengok ke sana dan kemari.
"Bagaimana menurut Anda, Tuan?"
"Bagus sekali, dan semuanya dirampungkan dalam waktu sesingkat itu."
"Pujian itu, Tuan, adalah imbalan yang setimpal untuk Hidung. Saya sungguh terhina oleh perlakuan Nyonya, namun Tuan justru memerintah saya untuk mengerjakan ini secepatnya dan secara rahasia. " Saya belum tidur sekejap pun selama dua hari dan dua malam terakhir."
"Ini sudah cukup untuk sekarang. Nah. bagaimana dengan Tokiwa?"
"Kita harus menunggu hingga larut malam dan jalanan telah sepi. Saya akan memastikan agar beliau dibawa kemari pada waktu yang tepat"
"Baiklah. Aku tidak akan merisaukannya lagi. Nah, aku memercayakan kepadamu untuk menyelesaikan urusan dengan orang-orang ... memberikan penjelasan dan lain
sebagainya, kau tahu. Dan pastikan agar semua kebutuhan Tokiwa terpenuhi."
"Anda akan pergi sekarang?"
"Aku mungkin sebaiknya tidak ke sini selama beberapa waktu ... banyak masalah di rumah," ujar Kiyomori dengan nada gusar, walaupun dia meninggalkan rumah itu dengan lagak riang.
Seperti yang telah diperkirakannya sendiri, Kiyomori tidak terlihat kembali di rumah peristirahatan itu. Mudah untuk meyakini bahwa kemarahan Tokiko akan berlangsung lama. Terlebih lagi, kesibukannya di Istana tidak memungkinkannya untuk keluar lebih cepat dan singgah ke rumah peristirahatan sebelum pulang ke rumahnya.
Hidung, bagaimanapun, dengan teratur mengunjungi rumah peristirahatan setiap pagi dan malam, dan bertanya kepada Tokiwa tentang kenyamanan dan kesehatannya.
Untuk tugasnya ini. Hidung mencurahkan seluruh perhatiannya.
"Nyonya, apakah Tuan Kiyomori belum sekali pun mengunjungi Anda" Belum" Astaga, setia sekali beliau ini!"
Tokiwa belum bisa melupakan Yoshitomo. Dari jendelanya, dia bisa melihat Gunung Kuratama dan langit di kejauhan, yang memayungi anak-anaknya saat ini.
Kenyamanan yang ada di sekelilingnya justru semakin membuatnya tertekan. Tidak sehari pun berlalu tanpa dihabiskannya untuk berlutut di hadapan patung Kannon di ruang peribadatannya, mendoakan keselamatan anak-anaknya dan memasrahkan mereka pada perlindungan Kannon. Patung perak berukuran kecil itu dihadiahkan oleh Yoshitomo kepadanya lama berselang, ketika mereka masih berbahagia; memandangnya tidak hanya mengingatkan
Tokiwa kepada anak-anaknya tetapi juga wajah dan kelembutan Yoshitomo. Bagi Tokiwa, saat termanisnya adalah ketika dia berlutut dan berdoa.
Tetapi, ada kalanya dia terbakar oleh rasa malu dan tersiksa oleh rasa bersalah. Apakah yang mendorongnya untuk duduk dan menunggu, seolah-olah dia sedang mengharapkan kehadiran seseorang" Rumah peristirahatan itu terletak di luar sebuah hutan di dekat jalan sunyi di pinggiran ibu kota, dan derak roda kereta, yang jarang terdengar, selalu mengagetkannya dan melambungkan harapannya. Jantungnya akan berdegup kencang, dia akan gelisah, lalu berusaha menenangkan diri kembali.
Jahatkah dia karena merasa seperti ini, tanyanya kepada dirinya sendiri. Kegilaan jenis apakah yang menguasai dirinya ini" Nyeri di tubuhnya, pikiran menyiksa yang tak bisa dihindarinya" Dan sering kali, di malam-malam musim semi yang hangat, air mata membasahi bantalnya ketika hatinya mendambakan anak-anaknya dan Yoshitomo, sementara tubuhnya menantikan Kiyomori, yang dikehendaki sekaligus dibencinya.
o0odwkzo0o "Benarkah itu, Shika?"
"Saya berani bersumpah, karena itulah saya kembali secepat kaki saya bisa membawa tubuh saya."
Hidung mengerang, lalu mengatakan, "Bagus! Aku senang kau mengatakan ini kepadaku. Aku akan memastikannya sendiri. Nah, tunjukkanlah jalannya."
"Tapi, saya tidak tahu apakah kita akan bertemu dengan siapa pun sekarang."
"Yah, kita hanya perlu melihat-lihat keadaannya," desak Hidung, dan dengan penuh semangat, dia menghambur keluar dari tokonya di Jalan Kelima.
Bunga-bunga sakura mulai berguguran, dan ujung-ujung ranting mulai dipenuhi warna merah buah ceri. Aroma khas bulan April tercium di udara.
"Di jalan kecil itu ... di sana," kata Shika, menunjuk seruas jalan di dekat sebuah lahan terbuka yang akhir-akhir ini mulai diisi oleh rumah-rumah berukuran kecil.
"Rumah keberapa dari sini?"
"Yang kelima atau keenam, tapi Anda tidak akan bisa melihat apa pun jika melewatinya. Ada pagar hidup dan gerbang anyaman ranting kecil di sana, tapi bentuknya mirip dengan rumah-rumah Heikt."
"Ya, aku tahu ?" kata Hidung, mencubit-cubit dagunya untuk berkonsentrasi.
Inilah yang didengar oleh si kepala pegawai, Shika, ketika melewati lingkungan itu: seorang prajurit bernama Rokuro, yang tinggal di salah satu rumah di sana, telah menyewakan salah satu kamarnya kepada seseorang sejak awal musim semi. Si penyewa adalah seorang samurai muda, yang bertubuh pendek namun kekar dan berasal dari suatu daerah terpencil. Dia mengatakan kepada orang-orang bahwa dirinya adalah sepupu Rokuro dari Tamba yang sedang mencari pekerjaan di Rokuhara. Dia bersedia menerima pekerjaan apa pun, katanya. Sepertinya tidak ada yang salah dengan dirinya, dan orang-orang tidak mempertanyakan ceritanya hingga seorang janda tua, yang bekerja serabutan di rumah Rokuro, menyebarkan cerita tentang hal-hal aneh yang terjadi di dalam rumah Rokuro.
Secara kebetulan, katanya, dia melihat sepupu Rokuro ketika dia sedang menyantap sarapannya pada suatu pagi.
Tidak ada yang aneh mengenai hal itu, kecuali bahwa dia melihat Rokuro melayani sepupunya itu dengan penuh hormat; terlebih lagi, Rokuro mempersilakan sepupunya untuk menyantap hidangan terlezat, sementara dirinya menghabiskan remah-remah yang tersisa. Sebuah pemandangan luar biasa di mata seorang rakyat jelata yang senantiasa kelaparan.
Ketika mendengar tentang hal ini, Shika teringat bahwa Hidung beberapa kali menyebut-nyebut tentang pencarian terhadap si "orang pendek". Shika pun menyimpulkan bahwa sepupu Rokuro itulah pria yang dicari oleh Hidung
... Genji Yoshihira. Dia pun segera pergi ke rumah Rokuro, memastikan kecurigaannya, dan secepatnya kembali ke toko di Jalan Kelima untuk menyampaikan kabar ini.


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Shika, tunggulah di sini. Akan mencurigakan jika kita berdua peragi ke sana."
"Berdiri di sini juga sama mencurigakannya."
"Berjalan-jalanlah sedikit, kalau begitu, sementara aku memeriksa rumah itu seorang diri."
Bamboku menyusuri jalan. "Kelima ... keenam ... ?" Dia berhenti melangkah. Samurai adalah samurai, tidak peduli seberapa pun miskinnya mereka, dan setiap rumah di sana dilengkapi oleh pagar hidup dan gerbang anyaman ranting kecil, walaupun tanpa papan nama. "Aku akan memeriksanya ... " Hidung berdiri dengan bimbang hingga didengarnya sebuah tawa melengking. Seorang prajurit jangkung keluar dari gerbang terdekat, diikuti oleh temannya yang lebih pendek, dan menatap Hidung dengan heran.
o0odwkzo0o "Rokuro, apa kau melihat pria bermata licik yang berkeliaran di depan rumah itu" Apakah dia salah satu tetanggamu?" tanya Yoshihira begitu mereka berbelok di jalan.
"Tidak, dia sepertinya tidak berasal dari daerah miskin ini. Penampilannya seperti saudagar dari salah satu daerah pemukiman besar di Jalan Kelima atau Keenam"
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?"
"Sikapnya dan kimono mahal yang dipakainya."
"Apakah kau melihat hidung merahnya yang mencolok"
Dari tatapannya aku tahu bahwa dia berotak licik Kau sebaiknya berhati-hati, Rokuro."
"Saya akan berhati-hati. Tapi, dia sepertinya tidak membuntuti kita."
Rokuro berulang kali menoleh ke belakang hingga Hidung menghilang dari pandangannya. Tetapi, keduanya tidak memerhatikan Shika, yang berjalan ke arah mereka untuk menjawab isyarat dari Bamboku. Mereka terus berjalan, menerjang kubangan air dan jalan yang becek, melewati rumah-rumah reyot para pandai besi, penyamak kulit perajin busur, pewarna kain, dan perajin pelana.
"Lihatlah, Rokuro, orang-orang itu sepertinya jauh lebih sibuk daripada sebelum perang terakhir pecah."
"Memang benar. Kekayaan Rokuhara dan ketukan palunya terdengar hingga larut malam."
"Persenjataan untuk pasukan Heik6?"
"Tidak diragukan lagi, apalagi sekarang, setelah Genji terusir dari ibu kota."
Yoshihira mendadak mulai mengamati pemandangan di sekelilingnya dengan getir. Ya, pikirnya, perubahan besar-
besaran telah terjadi sejak Genji terusir dari ibu kota! Segala sesuatu yang telah diakrabinya sepertinya telah lenyap; apa pun yang dilihat dan didengarnya saat ini membuatnya putus asa. Yoshihira sendiri dianggap telah tewas ketika tersebar desas-desus bahwa dia telah ditangkap dan dihukum mati. Sebenarnya, dia melarikan diri ke utara, ke sebuah desa bernama Echizen dan bersembunyi hingga keadaan aman sebelum kembali lagi ke Kyoto.
Pengaruh Rokuhara terlihat di mana-mana ... termasuk dalam cara bergaya dan berpakaian orang-orang. Tidak hanya di kalangan istana, tetapi juga di kalangan saudagar dan perajin yang bekerja untuk Rokuhara. Kehidupan seolah-olah berputar mengelilingi Rokuhara, si matahari pemberi kehidupan! Amarah Yoshihira menggelegak; melihat orang-orang yang dengan mudahnya tunduk pada pemerintahan baru. Ini adalah pergolakan batin hebat pertama yang melandanya sejak dua puluh tahun kehidupannya, dan dia yakin bahwa pertikaian ini tidak akan pernah berakhir. Dunia sepertinya tidak menarik lagi baginya, kecuali sebagai tempat untuk mengabdikan dirinya demi upaya pembalasan dendam ... kematian Kiyomori untuk membayar kehormatan Genji.
Beberapa saat setelah kembali ke ibu kota, Yoshihira tanpa sengaja berjumpa dengan Rokuro, mantan prajurit Yoshitomo. Rokuro menjelaskan bahwa dirinya adalah salah seorang dari banyak prajurit yang ditangkap oleh pasukan Heik6, dan kemudian dipekerjakan sebagai tentara bayaran untuk Rokuhara. Sebagai wujud kegembiraan atas pertemuan itu, Rokuro menawarkan tempat tinggal kepada Yoshihira dan menasihatinya untuk menantikan kesempatan membalas dendam. Tidak lama kemudian, Rokuro mendengar bahwa Kiyomori mengunjungi Tokiwa setiap malam; maka, bersama Yoshihira, dia pun
merencanakan sebuah serangan. Kendati upaya untuk merenggutnyawa Kiyomori gagal, Yoshihira yakin bahwa Kiyomori adalah sasaran yang empuk.
Seorang lagi calon pembunuh juga tengah bersembunyi
... dia adalah Konno-maru, panglima muda yang berbalik arah di tengah badai salju untuk mencari Yoritomo. Setelah gagal dalam pencariannya, Konno-maru kembali ke ibu kota untuk mengawasi pergerakan Kiyomori secara saksama dan mencari kesempatan untuk membalas dendam bagi mendiang majikannya, Yoshitomo. Sementara itu, kasak-kusuk mengenai Tokiwa tersebar, dan ketidaksetiaan wanita itu memancing amarah Konno-maru.
Yoshihira dan Rokuro hendak menemui Konno-maru di sebuah kios perajin pelana. Mereka telah beberapa kali bertemu sebelumnya di berbagai wilayah ibu kota, dan pembalasan dendam selalu menjadi topik pembicaraan datar mereka.
"Itu, Rokuro, di sana. Aku melihat kios perajin pelana."
"Jadi, dia ada di sana, dan tengah bekerja. Apakah kita sebaiknya mendatanginya dan diam-diam berbicara dengannya?"
"Tunggu, ingatlah pesan dari Konno-maru ... berlaga kiah seperti seseorang yang hendak melakukan bisnis. Si perajin pelana mungkin sudah memahaminya, tapi kita harus berhati-hati pada para muridnya. Kita tidak boleh mengambil risiko."
"Ya, dia sudah berulang kali mengatakannya kepada saya. Tunggulah di sini sementara saya ke sana untuk berbicara dengannya."
"Aku akan menunggu di sana, di belakang tempat pemujaan itu," jawab Yoshihira, menunjuk ke sebuah tempat di dekat sebuah kolam.
Sebuah tempat pemujaan kuno berdiri di tengah sebuah hutan kecil, tampak reyot dan terbengkalai. Yoshihira memandang ke sekelilingnya, pada sulur-sulur tumbuhan merambat yang menggantung dari atap tempat pemujaan, cabang-cabang pepohonan, dan kuntum-kuntum bunga mangkok keemasan yang menghiasi tepi kolam. Konno-maru datang bersama Rokuro dan hendak berlutut di hadapan Yoshihira, namun Yoshihira memperingatkannya dengan tegas.
"Jaga perilakumu baik-baik, karena orang-orang bisa melihat dan mencurigai kita. Kita bukan lagi majikan dan pelayan melainkan sesama buronan. Kemari dan duduklah di sampingku."
Yoshihira menunjuk pangkal sebatang pohon sembari berbicara. "Sudahkah kau mendengar kabar lainnya, Konno-maru?"
"Tidak ada kabar baru tentang Kiyomori, tapi tahukah Anda bahwa Tokiwa diam-diam sudah dipindahkan ke sebuah rumah peristirahatan di pinggiran ibu kota?"
"Begitulah yang kudengar, namun aku diberi tahu bahwa Kiyomori tidak pernah mengunjunginya sekali pun. Aku menantikan kesempatan untuk menyerangnya saat dia pergi ke sana."
"Saya yakin bahwa Kiyomori telah meningkatkan kewaspadaannya semenjak peristiwa malam itu, namun kesempatan kita tentu akan datang."
"Ya, suatu ketika nanti."
"Penyesalan mewarnai setiap hari yang berlalu. Tidak sehari pun saya lewati tanpa memikirkan Tuan Yoshitomo."
"Aku pun seperti itu setiap kali memikirkan ayahku."
"Dan bagaimanakah menurut Anda, Tuan, tentang wanita itu, Tokiwa?"
"Ada apa dengannya?"
"Apakah kita akan membiarkannya tetap hidup?"
"Kita tidak akan membicarakan tentang dia."
"Tidak, itu mustahil. Bagaimana mungkin kita mengabaikan aib yang dicorengkannya kepada Genji karena dia mau menjadi gundik Kiyomori?"
"Jangan lupakan bahwa karena dirinyalah tiga orang anak selamat, Konno-maru."
"Itulah yang dikatakan oleh semua orang, namun bagaimana kita bisa memastikan bahwa dia memang mengorbankan dirinya demi anak-anaknya" Saya meragukannya. Saya yakin bahwa ambisilah yang mendorongnya untuk melupakan ayah Anda dan berpaling kepada Kiyomori"
"Apakah yang membuatmu berpikir begitu?"
"Karena dia tidak bunuh diri dan mengikuti tuannya"
"Kau berharap terlalu banyak darinya. Dan kau juga terlalu keras menilainya."
"Keras, memang, namun Anda juga harus ingat, Tuan, bahwa saya tumbuh dewasa dengan mengabdikan diri kepada ayah Anda," Konno-maru mengeluh. "Saya adalah pelayan kepercayaan beliau, dan sayalah yang bertugas menyampaikan pesan-pesan dari beliau untuk Tokiwa
ketika dia masih menjadi dayang Nyonya Shimeko. Saya sering kali turut hadir ketika Tuan Yoshitomo menemuinya.
Saya tahu betapa Tuan Yoshitomo mencintainya
".Apakah menurut Anda saya bisa memaafkan perbuatan Tokiwa" Perang memang telah berakhir, tapi apakah yang bisa mencegah saya dari membalas pengkhianatan Tokiwa demi mendiang Tuan Yoshitomo?"
"Jadi, Konno-maru, kau berniat membunuh Tokiwa?"
"Sebagai seorang wanita, saya rasa dia tidak memiliki keberanian untuk mencabut nyawanya sendiri. Jadi, saya akan membunuhnya sebagai wujud belas kasihan dan untuk menghapuskan aib yang dicorengkannya kepada Genji."
"Tidak, tunggu," Yoshihira buru-buru memotong,
"dengan melakukan itu, kau akan merusak kesempatanku untuk membalas dendam kepada Kiyomori."
"Tidak, saya akan menunggu saat yang tepat Saya tidak memiliki peluang selama Tokiwa masih tinggal di rumah Itogo. Setelah Anda menghabisi Kiyomori, saya akan mengurus Tokiwa," jawab Konno-maru dengan nada getir.
Walaupun ragu-ragu mengenai hal ini, Yoshihira dirisaukan oleh emosinya yang bercampur aduk. Mendiang ayahnya ... penghinaan terhadap klan Genji, aib yang harus mereka tanggung.
?" tapi tidak secepat itu. Sasaran utama kita adalah Kiyomori. Jangan mengambil tindakan sebelum kau mendengar bahwa Kiyomori telah mendapatkan apa yang layak diterimanya."
Yoshihira dan Konno-maru terdiam, ketika derak nyaring mendadak terdengar di atas mereka dan serpihan-serpihan kulit kayu menghujani mereka. Keduanya mendongak, terkejut Seekor gagak besar, yang semula
bertengger di atap tempat pemujaan, mengepak-ngepakkan sayapnya dengan gaduh menuju cabang pohon yang lebih tinggi. Di atas atap, mereka berdua melihat sesosok pria ...
seorang biksu. Sosok berjubah compang-camping itu membungkuk ke arah mereka dan tersenyum, memamerkan sebaris gigi putih di tengah-tengah janggut lebatnya. Ada kesan ramah sekaligus mengejek dalam tatapan yang sekilas dilontarkannya kepada mereka. Yoshihira, Konno-maru, dan Rokuro merasakan bulu kuduk mereka meremang; wajah mereka pucat pasi. Apakah si biksu mendengar pembicaraan mereka" Pikiran pertama yang terlintas di benak mereka adalah membunuh si biksu, namun seolah-olah bisa membaca pikiran mereka, sosok di atas atap itu berseru kepada mereka:
"Aku tidak punya urusan dengan ini. Gagak itulah biang keroknya. Kalian tidak perlu takut kepadaku."
Tidak diragukan lagi, biksu itu mendengar setiap patah kata yang mereka ucapkan, karena dia duduk menyandarkan punggungnya ke atap; si gagak sekalipun tidak akan bisa melihat si biksu yang sedang bersantai-santai di atap itu.
Yoshihira akhirnya tersenyum pahit dan memberikan isyarat kepadanya. "Biksu yang terhormat aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu. Maukah kau turun kemari?"
"Aku sedang sibuk, karena itulah aku ada di atas sini.
Jika kau hendak bertanya kepadaku, bicaralah dari sana.
Aku bisa mendengarmu dari sini."
"Apakah yang sedang kaulakukan di atas sana?"
"Tidak bisakah kau menebaknya" Aku sedang memperbaiki atap."
"Memasang genting?"
"Ya, aku biksu pengembara, dan aku sudah cukup lama tinggal di tempat pemujaan tua ini. Tempat ini selalu banjir saat hujan turun. Gagak itu tentu turut mengacak-acak genting. Hari ini cerah sekali, bukan?" Si biksu tergelak.
"Aku sudah berada di sini sepagian, bekerja. Apakah yang sedang kalian lakukan di sana?"
"Tidak apa-apa, kalian tidak perlu memberitahuku, tapi karena kita kebetulan bertemu, aku akan memberitahukan tentang beberapa hal kepada kalian. Jangan anggap aku sebagai seorang biksu biasa yang nasihatnya tidak berarti apa-apa bagi kalian, tapi kalian masih muda ... sangat muda, sehingga mau tidak mau aku merasa iba. Lebih berhati-hatilah dalam menjaga nyawa kalian yang berharga Jangan lupakan bahwa masa depan masih terbentang luas di hadapan kalian."
"Menurutmu, siapakah kami"**
"Mana aku tahu" Mengapa aku harus tahu?"
"Kau pasti telah mendengar pembicaraan kami."
"Apakah aku seharusnya tidak mendengarkan pembicaraan kalian" Kalian sungguh ceroboh. Untunglah hanya aku yang mendengarnya ... aku sama jinaknya dengan gagak tua itu."
"Kemari, turunlah. Sangat disayangkan bahwa kau telah mendengar pembicaraan kami. Kami tidak akan membiarkanmu lolos hidup-hidup."
Si biksu terkekeh nyaring, entah untuk mencemooh atau memperingatkan mereka. Sepasang mata yang terpicing kepada para pemuda itu tampaknya memancarkan kasih sayang dan keinginan untuk melindungi.
"Aku melihatnya. Aku mengenalinya sekarang ...
samurai muda sembrono yang mengejar putra Kiyomori dari Gerbang Taikenmon hingga tiba di kanal. Dan dunia telah begitu berubah sehingga dia bahkan tidak punya nyali lagi untuk menangkap gagak yang bertengger di atap ini!"
"Jika kau menolak untuk turun, kami sendirilah yang akan naik ke sana dan menyeretmu kemari."
"Cobalah ... kalian hanya akan membuang-buang waktu.
Aku mendengar pembicaraan kalian, namun rahasia kalian aman di tanganku. Sama seperti gagak itu, aku tidak berniat untuk melaporkan kalian ke Rokuhara. Simpatiku, bahkan, tertuju pada pihak yang kalah, dan karena itulah aku ingin berbicara denganmu, Anak Muda, yang masih memiliki masa depan nan menjanjikan. Ayah dan saudara-saudaramu telah tewas dan klan Genji tercerai berai, namun untuk apa kau harus menyia-nyiakan kehidupanmu" Dari dirimu akan hadir generasi-generasi selanjurnya. Jagalah baik-baik nyawamu yang berharga itu! Lupakanlah rencana tololmu untuk membalas dendam. Kau tidak bisa mengubah dunia ini hanya dengan membunuh seorang manusia. Oh, tolol, tolol sekali dirimu jika berpikir begitu!
Tidak bisakah kalian melihat bahwa wanita yang tidak berdaya itu, yang dengan pasrah membiarkan dirinya tersiksa demi kasih sayangnya kepada anak-anaknya, jauh lebih berani daripada kalian?"
Ketiga pemuda di bawah pohon itu terdiam. Sinar matahari yang menerobos dari sela-sela dedaunan menunjukkan bahwa senja sebentar lagi tiba, dan semburat merah mengambang di atas sosok mereka.
"Lihatlah, lihatlah bahwa matahari tetap bergerak sementara kita berbicara. Tidak ada yang bisa menghentikan lajunya. Doa-doa tidak akan bisa menghentikan pergerakan alam. Begitu pula dengan
kehidupan manusia. Kemenangan dan kekalahan hanyut bersama dalam arus deras kehidupan. Kemenangan adalah awal dari kekalahan, dan siapakah yang bisa beristirahat dengan tenang di tengah kemenangan" Tidak ada yang tetap di dunia ini. Kau akan mendapati bahwa nasib burukmu sekalipun akan berubah. Mudah untuk memahami ketergesaan orang-orang berusia lanjut, yang sisa harinya bisa dihitung dengan jari, namun mengapa kalian yang masih muda ini tergesa-gesa padahal masa depan ada di dalam genggaman tangan kalian" Untuk apa kalian menuruti nafsu angkara murka dan melakukan tindakan gegabah yang hanya akan berujung pada kematian?"
"Lihatlah kembali si gagak itu. Sudah waktunya bagi kalian para pemuda untuk mundur. Lebih baik lagi, pergilah sejauh mungkin dari ibu kota. Dan sudah waktunya bagiku untuk turun dari atap ini," kata si biksu, beranjak dari tempat duduknya.
Ketiga pemuda itu dengan serta merta berdiri, seolah-olah tersihir oleh kata-kata yang baru saja mereka dengar, dan Yoshihira segera berlari mendekati tempat pemujaan.
"Tunggu, tunggu, kata-katamu menyentuhku. Aku akan datang kemari besok pagi untuk mendengarkan petuahmu lagi. Aku akan merenungkan nasihat yang baru saja kauberikan.Tapi, biksu yang mulia, katakanlah kepada kami siapa dirimu."
"Maafkanlah aku jika harus menolak permintaanmu; namaku adalah aibku."
"Kau adalah manusia yang luar biasa. Hubungan apakah yang kaumiliki dengan Genji?"
"Tidak ada. Begitu pula dengan Heik6. Aku tak ubahnya dari sosok yang kalian lihat, seorang biksu pengembara.
Mari kita bertemu lagi di sini besok pagi."
"Tetapi, setidaknya, katakanlah kepada kami siapa dirimu."
"Tidak. Yang kulakukan hanyalah menasihatimu agar tidak bertindak gegabah, menyadarkanmu agar tidak melakukan hal bodoh seperti halnya diriku ketika seusiamu.
Ketika itu, aku bahkan lebih tolol daripada kalian semua.
Aku terbutakan oleh cintaku kepada istri pria lain dan menjadi bahan tertawaan seluruh ibu kota. Hanya kematianlah yang bisa menghapuskan perasaan bersalahku, namun aku telah menghabiskan bertahun-tahun di Air Terjun Nachi, menebus dosaku."
"Kau" Kalau begitu, kau adalah Mongaku!" Yoshihira berseru, mendongak agar bisa melihat dengan lebih jelas.
Namun sia-sia saja, karena Mongaku telah lenyap. Hanya ada seekor gagak yang bertengger di puncak atap, menyelisik bulunya dan sesekali menengok ke arah bintang-bintang di langit senja.
o0odwkzo0o Ketiganya beranjak dari tempat itu, diam dan larut dalam pikiran mereka masing-masing, hingga Yoshihira tergugah oleh pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu benaknya. Mengapa kata-kata si biksu menggentarkannya"
Mengapa dia membiarkan dirinya tergiur sejenak oleh saran-saran yang tidak masuk akal itu" Bagaimanapu, dia tidak bisa menyangkal bahwa si biksu mengatakan kebenaran, karena manusia dan semua hal yang ada di muka bumi ini berubah dari waktu ke waktu.
"Dia benar ... tidak bisa disangkal lagi. Bahkan saat kita berjalan, bintang-bintang bermunculan dan malam semakin
gelap. Konno-maru, bagaimana menurutmu" Apakah keputusanmu?"
"Keputusan saya tidak berubah. Saya agak terhanyut oleh perkataan Mongaku, namun semua itu adalah ajaran Buddha aliran Jodo. Bagaimanapun, saya adalah seorang samurai, dan pengikut Tuan Yoshitomo. Untuk apa saya membiarkan kata-kata seorang biksu mengubah diri saya dalam sekejap?"
"Kau benar, kita terlahir sebagai samurai dan menyandang nama samurai."
"Kita tidak bisa menyangkal siapa diri kita. Biarkanlah Mongaku meracau sesuka hatinya tentang alam semesta dan betapa segala hal di dunia ini senantiasa berubah.
Hidup ini pendek, dan samurai menghargai segalanya."
"Benar sekali! Kaum samurai memiliki cara tersendiri dalam menghargai kehidupan," bisik Yoshihira, setengahnya kepada dirinya sendiri, seraya mendongak ke arah bintang-bintang. Dia mendapatkan keyakinannya lagi.
Angin berembus ke keningnya ketika dia berkata dengan riang:
"Baiklah, Konno-maru, sampai jumpa lagi!"
Mereka berpisah di persimpangan. Konno-maru berjalan, namun tiba-tiba menoleh dan bertanya, "Apakah yang akan Anda lakukan besok pagi?"
"Besok pagi" Apa maksudmu?"
"Bukankah Anda tadi mengatakan akan menemui Mongaku lagi?"
"Tidak. Apa gunanya mendengarkan dia jika kita sudah menetapkan pikiran" Lebih baik kita mengintai Kiyomori."
"Dan ada lebih banyak alasan bagi saya untuk mencamkan bahwa Tokiwa tidak boleh hidup lebih lama.
Saya akan mengurus hal itu. Sampai berjumpa lagi," kata Konno-maru sebelum kembali ke kios perajin pelana.
Yoshihira dan Rokuro juga pulang, mempersiapkan makan malam mereka di bawah cahaya lilin. Yoshihira membaca buku setelah kenyang, sementara Rokuro menghabiskan sisa-sisa makanannya. Sejenak kemudian, mereka mengunci pintu rumah dan bersiap-siap tidur.
Menjelang fajar, ketika embun menetes dari teritis, sosok-sosok berpakaian hitam dengan sigap menghampiri rumah dan mengepungnya dari segala penjuru. Setelah mendapatkan peringatan dari Hidung, Kiyomori memberangkatkan tiga ratus orang prajurit dari Rokuhara.
Bamboku tidak bergabung bersama mereka, namun pegawainya, Shika, turut bersama sang panglima dan memandunya ke rumah yang dijadikan tempat persembunyian Yoshihira. Keributan pecah ketika para prajurit mengepung rumah Rokuro dan menggedor-gedor pintunya. Para tetangga terbangun dengan bingung dan menjerit-jerit, "Gempa bumi!" atau "Kebakaran!" Di tengah kegaduhan, terdengar teriakan, "Kami berhasil menangkapnya!" Tetapi, para prajurit segera menyadari bahwa mereka menangkap orang yang salah, karena Yoshihira berhasil mengendap-endap keluar, melompati pagar, dan naik ke atap rumah terdekat.
"Itu dia ... busurku!" seru si panglima. "Lihat, dia berlari ke sana!"
Yoshihira melesat, melompati atap demi atap, dan melarikan diri di tengah situasi yang kacau balau.
Tidak sampai sepuluh hari kemudian, Yoshihira tertangkap; dia ditemukan ketika sedang tertidur di sebuah
tempat pemujaan di luar ibu kota, beberapa saat setelah dia berhasil meloloskan diri dari para pengejarnya. Dia diseret ke Rokuhara dan dihadapkan kepada Kiyomori, yang disapanya dengan anggukan dan ucapan lantang,
"Seandainya aku diizinkan untuk menghadangmu bersama pasukan berkekuatan tiga ribu orang prajurit, ketika kau dalam perjalanan pulang dari Kumano, aku yakin bahwa saat ini dirimu akan bertukar tempat dengan mendiang ayahku." Kemudian, dia menambahkan dengan penuh kebencian, "Terlebih lagi, seandainya ayahku menang, beliau tidak akan melakukan apa yang telah kaulakukan ...
merebut wanita yang mencintai orang lain!"
Para pelayan dan prajurit Kiyomori menahan napas, menantikan ledakan amarah Kiyomori, yang selama ini hanya menatap pemuda itu tanpa berkata-kata. Kiyomori tidak sampai hati untuk membenci Yoshihira. Hanya secara kebetulanlah, renungnya, dia mendapatkan kemenangan di hari bersalju itu. Dia juga memiliki seorang putra, dan mau tidak mau dia membanding-bandingkan Yoshihira dengan Shigemori.
Pada malam sebelum Yoshihira digiring ke arena hukuman mati, Kiyomori memerintahkan agar sake ditambahkan ke dalam hidangan terakhir untuk pemuda itu.
Kisah yang kemudian beredar adalah Yoshihira menolak untuk menyentuh makanan ataupun minuman yang diberikan oleh penahannya, dan ketika para petugas memeriksa mayatnya, mereka mendapati bahwa lambungnya telah mengerut karena dia tidak sekali pun makan selama berhari-hari sejak penangkapannya.
o0odwkzo0o Bab XXXII-JALAN PEDAGANG SAPI
"Yomogi, Yomogi, di manakah dirimu?"
Seruas jalan di dekat gerbang menuju Jalan Keenam, yang dikenal dengan sebutan Jalan Pedagang Sapi, adalah sebuah jalan tembus yang diapit oleh gubuk-gubuk kumuh dan berisik oleh dengungan lalat awal musim panas. Udara cukup hangat sehingga menghadirkan keringat, dan samar-samar bau kotoran manusia maupun hewan terbawa oleh angin.
"Kaukah itu, Mongaku yang baik?"
Mata tajam Yomogi melihat sosok yang bergerak di tengah kerumunan manusia. Mongaku berjalan dengan sandal usangnya. Dia tidak memakai topinya ataupun membawa tongkat peziarahnya.
"Akhirnya kita bertemu lagi!"
"Ya, untuk yang ketiga kalinya."
"Ya, aku pertama kali berjumpa denganmu di jalan dari Yamato, ketika kau sedang menangis saat mencari majikanmu, Tokiwa."
"Kemudian, sekali lagi pada awal bulan ini di Kuil Kiyomizu, saat hari raya Kannon."
"Ya, berkat kebesaran Buddha! Dan sudahkah kau pergi ke kapel lagi untuk mewakili majikanmu?"
"Aku harus menyampaikan doa khusus kepada Kannon, dan karena itulah aku akan pergi ke kapel selama seratus hari, dan aku baru saja memulainya."
"Mengapa kau selalu mewakilinya" Apakah yang mencegah majikanmu pergi ke kapel sendiri?"
"Karena ... " alih-alih menjelaskan, Yomogi melontarkan tatapan heran kepada Mongaku, "bagaimana kau mengharapkanku untuk menjawab pertanyaan seperti itu?"
"Bagaimana" ... "
"Tentu saja, karena beliau takut keluar dari rumah, untuk ke kebun sekalipun. Beliau tidak ingin melihat siapa pun, atau dilihat oleh siapa pun."
"Bisa-bisa majikanmu sakit jika terus-menerus bersikap seperti itu. Ada sesuatu yang membuatnya khawatir setengah mati. Puisi yang pernah kutitipkan kepadamu ...
apakah beliau sudah melihatnya?"
"Ya, aku memberikannya kepada beliau ketika beliau masih tinggal di rumah Itogo. Aku masih ingat, bunyinya begini ... " kata Yomogi, melafalkan puisi tersebut.
"Itu dia! Ternyata kau menghafalnya!"
"Beliau selalu meletakkannya di meja tulisnya, kau tahu."
"Kemarilah, jangan berdiri di situ. Sekawanan sapi sedang berjalan ke arahmu."
Mongaku menarik Yomogi ke pinggir jalan. Di belakang rumah-rumah yang berjajar di tepi jalan terdapat lahan berpagar, tempat sapi-sapi dan kuda-kuda dibiarkan merumput. Para pedagang membawa hewan-hewan ternak mereka ke pasar hari ini. Sekawanan sapi sedang melewati mereka, ketika Yomogi tiba-tiba mencengkeram lengan Mongaku dan berusaha bersembunyi di belakangnya.
Seorang pria bertampang garang, yang menggiring berekor-ekor sapi, menatap tajam Yomogi ketika melewatinya, lalu menoleh untuk memandangnya sekali lagi.
"Siapakah pria itu?"
"Itu adalah paman majikanku,Tokiwa ?" _
"Oh, pria brengsek itu, bukankah dia yang mencoba merebut hadiah dari Rokuhara setelah menipu majikanmu dan membawanya beserta ketiga anaknya kembali ke ibu kota?"
"Dia jahat Matanya membuatku bergidik. Apakah menurutmu dia mengenaliku" Apakah yang harus kulakukan jika dia mengingatku?"
Mongaku, seorang biksu pengembara yang tidak terikat dengan biara atau kuil mana pun, menghabiskan sebagian besar waktunya di Kumano atau Air Terjun Nachi, sesuka hatinya mengunjungi berbagai kuil dari beraneka ragam aliran, dan sesekali kembali ke ibu kota. Tidak seorang pun kawannya di ibu kota pernah melihatnya selama tiga tahun terakhir, hingga Mongaku mendadak muncul di Kyoto pada suatu hari dan terpana ketika mendengar bahwa teman sekolahnya, Kiyomori, telah berkuasa. Kebangkitan kekuasaan Kiyomori menghadirkan keraguan kepada Mongaku; dia mendapati dirinya menghabiskan waktu untuk memikirkan tentang hal ini; orang-orang sepertinya menyukai Kiyomori. Apakah teman sekolahnya itu akan mengikuti jejak pendahulunya yang bengis. Shinzei" Ini menggelikan, sulit dipercaya! Mungkinkah Kiyomori, si pemuda bertengkorak tebal, seperti sebutan mantan teman-teman sekolahnya, menjadi orang nomor satu di negeri ini"
Mengherankan sekali bahwa prestasi Kiyomori bisa melampaui dirinya! Tetapi, Mongaku tidak bisa menyembunyikan kepuasannya ketika melihat bahwa kaum samurai yang semula dibenci sekarang dianggap berkedudukan setara oleh para bangsawan.
"Mongaku yang baik, ke manakah kau hendak pergi?"
tanya Yomogi, masih memegangi lengan Mongaku erat-
erat. Dia mengedarkan pandangan ketakutan ke arah kerumunan orang di dekat mereka.
Mongaku tertawa. "Kau masih ketakutan gara-gara pedagang sapi itu, ya?"
"Aku takut dia akan membuntutiku ... aku mengkhawatirkan majikanku."
"Kesetiaanmu kepada majikanmu sama seperti Asatori, kawanku."
"Asatori ... si juru kunci Mata Air Dedalu?"
"Ya. apa kau masih ingat ketika kau sering meminta air kepadanya?"
"Aku kerap memikirkan apa jadinya dirinya."
"Dia tinggal di sini, di dalam sebuah gubuk kecil yang reyot"
"Wah, aku tidak tahu tentang itu! Apakah kau yakin?"
"Tahun lalu, dia menyeberang ke Shikoku untuk mengunjungi majikannya di tempat pengasingannya. Aku kadang-kadang bertemu dengannya di jalan, sedang memainkan serulingnya. Seorang teman yang aneh."
"Oh tidak, dia baik sekali. Dia selalu bersikap baik kepadaku, kepada semua orang."
"Berapakah umurmu ketika itu?"
"Dua belas." "Jadi, sekarang umurmu enam belas?"
"Ya, enam belas ?" jawab Yomogi, mendadak tersipu-sipu malu. "Apakah kau hendak menemuinya sekarang?"
"Tidak, aku akan berdoa di makam seorang wanita tua yang pernah kukenal."
"Siapakah wanita tua itu?"
"Banyak sekali pertanyaan yang kauberikan kepadaku! ...
Wanita tua itu adalah ibu Kesa-Gozen."
"Dan siapakah Kesa-Gozen?"
"Kau tidak akan tahu. Kau belum lahir waktu dia masih hidup. Ibunya bunuh diri ketika Kesa-Gozen meninggal, dan aku, yang tidak layak hidup, ternyata justru masih hidup. Doa yang kupanjatkan setiap hari, dan ziarah yang kulakukan ke makamnya setiap bulan tidak cukup untuk menghapus rasa bersalahku. Aku harus melakukan kebaikan di dunia ini sebelum bisa mengharapkan pengampunan. Yomogi, katakanlah kepadaku tentang apa yang sebaiknya kulakukan."
"Aku tidak memahami ucapanmu, Mongaku yang baik."
"Tidak, aku yakin kau memang tidak mengerti. Aku berbicara kepada diriku sendiri. Mari kita mencari Asatori sambil meneruskan obrolan kita. Aku tidak tahu apakah dia mau ikut atau tidak."
Keduanya menyusuri jalan yang kotor oleh sampah dan berbau busuk, menerjang kerumunan lalat yang beterbangan ke sana kemari dan anak-anak yang senantiasa menghalangi langkah mereka ... anak-anak dengan mata merah atau badan berkoreng; tidak ada seorang pun di sana yang terbebas dari berbagai macam wabah atau penyakit kulit, dan dari gubuk-gubuk kumuh di sekitar mereka, terdengarlah raungan orang-orang mabuk dan jeritan pasangan-pasangan yang sedang bertengkar.
"Aku yakin inilah tempatnya," kata Mongaku, berhenti di depan salah satu gubuk. Batu-batu difungsikan sebagai pemberat di atap gubuk itu, teritisnya miring ke sana kemari, dan lapisan semen di dindingnya telah mengelupas
di sana-sini, memperlihatkan rangka anyaman bambu di bawahnya. Tetapi, sebuah tikar jerami menggantung di pintu; beberapa rumpun rumput galah dan tanaman lainnya tumbuh di bawah jendela. Sepertinya seseorang telah menyapu bagian depan gubuk.
"Apakah Asatori ada di rumah?" Mongaku berseru, mengangkat tirai seraya melangkah ke dalam. Seorang pria sedang duduk di dekat jendela, membaca sebuah buku yang diletakkan di atas peti kayu. Dia menoleh.
"Ah, silakan masuk, silakan masuk!" serunya, menatap Yomogi, yang berdiri di belakang Mongaku. Asatori membelalakkan mata dengan takjub. Mereka tidak pernah berjumpa lagi sejak pertemuan terakhir mereka di reruntuhan Istana Mata Air Dedalu. Betapa masih ada kenangan indah dan hangat yang mereka miliki di tengah kekerasan dan kebrutalan dunia!
"Astaga, Asatori, aku tidak tahu bahwa kau tinggal di sini!"
"Kau sudah besar, Yomogi! Aku hampir saja tidak mengenalimu."
"Kau juga telah berubah, Asatori. Kau kelihatan lebih tua."
"Apakah aku banyak berubah?"
"Tidak juga. Apakah kau masih menjadi juru kunci Mata Air Dedalu?"
"Tidak, namun di dalam hatiku, aku masih seorang juru kunci hingga ajal menjemputku."
"Ya, dan itu mengingatkanku akan perkataan orang-orang tentang Istana Mata Air Dedalu. Kata mereka, alunan musik misterius terdengar setiap malam dari sana,
dan arwah Kaisar yang terasingkan bergentayangan di antara pepohonan. Orang-orang takut berkeliaran di dekat tempat itu."
"Dan rumah majikanmu tidak terbakar ketika itu, namun perang terakhir pasti telah membinasakannya?"
"Ya, tidak hanya terbakar, tapi kami harus melarikan diri untuk menyelamatkan nyawa kami."
"Hidupmu pasti sangat berat"
"Bebanku tidak seberapa jika dibandingkan dengan majikanku dan anak-anak beliau."
"Aku mendengar banyak gosip dari seorang pedagang sapi ... Tomizo, seorang tokoh penting di sini."
"Oh, kau mengenal pria jahat itu, Asatori?" tanya Yomogi, bergidik.
Keduanya melanjutkan obrolan mereka dengan penuh semangat lupa bahwa Mongaku ada di sana. Karena tidak tahu harus melakukan apa, Mongaku mengambil buku yang tengah dibaca oleh Asatori dan mulai membuka-buka halamannya. Dia penasaran ... apakah yang sedang dilakukan oleh Asatori dengan buku tentang obat-obatan"
Mongaku mengeluarkan satu demi satu buku dari dalam peti. Semuanya membahas tentang pengobatan. Selama ini Mongaku telah menganggap Asatori sebagai seorang pria aneh, namun ternyata dia lebih aneh daripada yang diduganya. Apakah yang sedang direncanakan oleh Asatori saat ini" Dia adalah seorang pemain musik istana yang beralih pekerjaan menjadi juru kunci Mata Air Dedalu; dia juga pernah mengejutkan Mongaku dengan menceritakan bahwa dirinya bergabung dengan rombongan pertunjukan boneka jalanan; dan sekarang dia sedang belajar tentang
obat-obatan. Mongaku kesulitan menyembunyikan keheranannya.
"Apakah kalian berdua sudah selesai mengobrol?" tanya Mongaku, terkekeh.
"Maafkan kami, Mongaku, karena mengabaikanmu."
"Asatori ... " "Ya?"
"Apakah kau sedang mempelajari ilmu pengobatan?"
"Ya, aku melakukannya jika memiliki waktu."
"Kalau begitu, kau tidak akan menjadi dalang pertunjukan boneka?"
"Tidak, tidak, aku akan menjelaskannya kepadamu. Aku tidak akan bisa mencari uang dengan menjadi tabib, jadi aku tetap memainkan serulingku untuk pertunjukan boneka dan memberikan pelajaran memainkan lonceng dan genderang. Bahkan, aku melakukan banyak hal untuk menyambung kehidupanku."
"Hmm ... kau memang memiliki banyak sisi"
"Itu benar; ada begitu banyak hal yang kuinginkan sehingga aku selalu gelisah."
"Mengapa kau tidak kembali ke Istana dan mengambil kembali pekerjaanmu sebagai pemain musik?"
"Jika keadaan Istana tidak seperti sekarang, aku tentu mau melakukannya."
"Kalau begitu, apakah kau pada akhirnya akan menjadi tabib?"
"Sebenarnya, aku belum memikirkan tentang itu, namun ada sangat banyak orang yang miskin dan tidak berpendidikan di sekelilingku, sehingga kupikir akan lebih
baik jika aku menjadi biksu sepertimu dan mempraktikkan ilmu pengobatan yang sudah kupelajari."
"Hmm ... aku mengerti; aku bisa menduganya darimu.
Itu adalah tindakan yang baik. dan kau orang yang tepat untuk melakukannya. Para bangsawan dan orang kaya sanggup membayar tabib dan
membeli obat, namun orang miskin hanya mampu menanti ajal. Aku meragukan apakah ada seorang saja dari seratus orang di sini yang mampu membayar jasa seorang tabib."
"Begitulah. Aku sudah mengunjungi semua gubuk itu, dan di dalamnya bisa dipastikan ada seseorang yang sakit.
Tidak ada harapan bagi orang-orang ini. Jika mereka sudah tidak memiliki cukup makanan untuk orang-orang yang masih sehat, mereka yang sakit akan dibawa ke perbukitan atau sungai dan dibiarkan meninggal di sana."
"Aku kalah darimu, Asatori."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku adalah kemampuanmu untuk mencintai, cintamu kepada sesama manusia. Kau membuatku merasa sangat hina."
"Omong kosong, Mongaku. Ingatlah bahwa aku terlahir sebagai pemain musik dan bisa memainkan hampir semua alat musik dengan baik, namun aku bukan orang berpendidikan sepertimu dan harus berjuang keras untuk memahami buku-buku ini."
"Sepertinya kau akan sangat kesulitan jika harus belajar sendiri. Aku akan memperkenalkanmu kepada seorang tabib baik hati yang pasti bersedia mendidikmu."
"Betapa beruntungnya aku! Tapi, apakah kau mengenal orang yang mau menolongku?"
"Ya, seorang lulusan sekolah tabib terkenal. Beliau sudah cukup tua sekarang ini dan tinggal di rumah peristirahatannya yang terletak tidak jauh dari ibu kota.
Aku akan membekalimu dengan sebuah surat dan kau bisa mencari tahu sendiri apakah dia mau mendidikmu atau tidak."
Tanpa membuang-buang waktu, Mongaku
mengeluarkan tinta dan menulis sebuah surat pengantar.
Selagi Mongaku berbicara dengan Asatori, Yomogi duduk diam, sepenuhnya terabaikan, gelisah memikirkan Tomizo. Dia ingin secepatnya pulang.
"Asatori bisa mengantarmu pulang," kata Mongaku, menenangkannya. "Aku tentu saja mau mengantarmu, namun aku bisa-bisa terlibat masalah dengan para prajurit dari Rokuhara. Asatori, kau mau mengantarkan Yomogi pulang, bukan?"
"Tentu saja aku mau," jawab Asatori, dan lesung pipit pun seketika muncul di wajah cemas Yomogi.
Ketiganya keluar bersama-sama, dan Mongaku memisahkan diri di sebuah persimpangan di dekat Jalan Pedagang Sapi.
Yomogi dan Asatori melanjutkan perjalanan, dan setibanya mereka di daerah yang sunyi, Yomogi melihat dua orang pria mengikuti mereka, namun dia tidak merisaukannya karena Tomizo tidak terlihat di antara mereka.
"Rumah yang di sebelah sana itu," kata Yomogi, menunjuk sebuah rumah, "adalah milik majikanku.
Tokiwa." Dia mendadak berhenti, kecewa karena perjalanan mereka ternyata pendek.
Putri Berdarah Ungu 2 Pendekar Naga Putih 61 Pewaris Dendam Sesat Bourne Supremacy 14
^