Putri Berdarah Ungu 2
Putri Berdarah Ungu Karya Citra Rizcha Maya Bagian 2
menjadi misteri buatku, seminggu berlalu dalam gelombang kesedihan akan kehilangan orang
yang kupikir tak pernah mencintaiku, dia mencintaiku, sangat, bila seandainya dia tak pernah
mencintaiku yang aku tau aku tak mungin bisa mencintainya seperti ini, dan tak mungkin bagiku
untuk larut sedemikian hebatnya dalam kesedihan ini, cinta itu dua arah, bila aku mencintai
Mama, maka patilah Mama mencintaiku juga, hanya saja dia tak bisa menunjukkannya.Aku tau
itu, karena hati takkan pernah bisa berdusta.
Enam Belas Sore ini aku merindukan rumah, merindukan mama,rasanya sekarang semua begitu
berbeda, aku memandang jingganya langit di balkon belakang bala, bala adalah sebutan untuk
rumah panggung yang besar, bala bisa dikatakan sebuah istana, bala ini dibuat dari kayu jati
yang kuat, dengan ornament khas kebudayaan Tana Bulaeng, dinding-dindingnya yang dipelitur
dengan ukiran piyo dan lonto engal, itu adalah bentuk burung yang berhiaskan bunga-bunga
merambat, aku telah diberitahu, artinya adalah penggambaran tentang kebijaksanaan dan
keindahan. Kudengar langkah kaki, dan kurasakan belaian hangat pada rambutku, itu nenekku, aku
diminta memanggilnya dengan sebutan Ni".
"Lala?" dia memanggilku, Lala berarti putri
"Iya, Ni?" Aku menatapnya, memandng wajah yang mulai menua, memandangnya
membuatku terkenang akan mama. Dia menuntunku, mengajakku duduk di kursi kayu antik, tak
jauh dari tempat kami berdiri tadi."Mau Ni" ceritakan dongeng?"
Aku menatapnya, mengangguk dan tersenyum, beliau memulai kisahnya.
"Dahulu kala, ada seorang putri bangsawan yang cantik jelita, kulitnya kuning
bercahaya keemasan, wajahnya rupawan, matanya seterang rembulan, bibirnya semerah darah,
tak ada yang tak ingin menatap wajah indahnya, kedua orang tuanya sangat menyayanginya, dan
saudara-saudaranya, para lelaki yang memang dilahirkan sebagai pelindung senantiasa berada
disisinya untuk menjaganya, sang putri adalah cahaya bagi keluarganya, tapi waktu sungguh
cepat berlalu sang putri tumbuh dewasa, dia bukan lagi seorang gadis kecil manja yang selalu
ingin dijaga, dia gadis remaja, sudah saatnya dia ingin berdiri di atas kakinya sendiri, sudah
saatnya untuk dia menentukan langkahnya, dia ingin melakukan apa yang diinginkannya, dia
ingin jatuh cinta, tapi dia lupa siapa dia, dia adalah sang putri, menjadi seorang putri adalah
anugerah, tapi baginya adalah kutukan, dia ingin terbebas dari belenggu tradisi, dia berlari, jauh
pergi, mencari jalannya sendiri, dia pergi meninggalkan satu-satunya dunia yang dikenalinya,
untuk menemui dunia baru, dunia tempat kebebasan, dunia yang penuh warna baginya, tapi sang
putri, terlalu lugu dan menganggap semuanya seramah yang dipikirkannya, dia tak tau bahwa
tidak semua orang berhati mulia, dia jatuh cinta pada orang yang salah, sang putri sangat
mencintai pria biasa yang hanya dikenalnya melalui manisnya suara dan alunan nyanyianrayuan, sang pria bukanlah orang yang berperasa bak manusia, dia adalah kutukan bagi si putri
yang malang, sang pria hanya menginginkan raganya, sang putri tak pernah menyangka, sang
pria memaksa untuk bisa mendapatkan keinginannya, tak hanya sang pria tapi juga temantemannya, dengan kebiadaban mereka yang bak binatang"."Semakin lama suara nenekku makin
rendah, agak bergetar, kutatap matanya, telihat berkaca-kaca, aku menggenggam tangannya,
nenenkku menatap langit-langit, dia menarik nafas panjang, ingin kukatakan, berhentilah
bercerita, tapi ketika aku hendak berbicara, beliau mulai bercerita. "Sang putri kehilangan
mahkotanya, sang putri kehilangan harga dirinya, dia terluka, terbalut ketakutan dan trauma,
seluruh keluarganya tak bisa apa-apa, hanya berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, sang
putri mendapat anugerah kecil yang dipikir bisa menghapus lukanya, tapi ternyata ini makin
memperparah segalanya, sang putri tersiksa setiap melihat wajahnya itu sama dengan memutar
kembali amarah yang tak pernah bisa diluapkannya, sang putri seumur hidupnya tenggelam
dalam derita nestapanya, hidup sang putri sungguh miris dan dia menjadikan akhir hidupnya
sangat tragis" Nenekku menangis dengan isakan yang tertahan, dia berusaha menguatkan
dirinya, apa yang didongengkannya bukanlah dongeng itu adalah kisa hidup Mama, aku
menangis, mengetahui bagaimana kisah ini dimulai, bagaimana dimulainya kehidupanku, ada
perasaan tak berharga dalam diriku, tapi entah mengapa aku merasa pelukan hangat dari nenekku
membawaku pada kedamaian, kami sama-sama terluka karena kisah sang putri, sang putri yang
malang, Mama. Tujuh Belas Aku mengecek smart phone-ku dan kulihat ada puluhan panggilan dari Dante dan Eve
juga beberapa nomor yang tak kukenal, ku cek sms juga emailku, ada banyak pesan dari mereka,
aku hampir melupakan mereka, buktinya aku tak mengirim kabar untuk mereka.
Tok-tok-tok Sebuah ketukan di pintu, dengan cepat kubuka pintu kamarku.
"Aci?" itu kakekku
"Mau menemani Aci berkuda sore ini?"
Aku mengangguk dan melupakan tujuanku untuk menghubungi Dante juga Eve.
*** "Aku selalu berharap bisa memiliki kuda sungguhan, kuda milikku sendiri, aku sempat
berlatih berkuda dulu, aku tak menyangka bahwa aku bisa berkuda dengan Aci." Kami ngobrol
ringan sambil mengitari peternakan milik kakekku, rencananya, kakekku akan mengajakku
berkuda hingga pantai. "Kuda itu milikku sekarang, namanya Freedom dan saudaranya, yang kutunggangi ini
adalah Independent"." Lama kami berdiam diri, tak tau harus bicara apa, hingga kakekku
membuka suara lagi, " aku merindukan mamamu, selalu, dulu aku sering berkuda dengannya,
melewati jalanan ini, ketika dia masih gadis kecil hingga seusiamu, kumuhon Lala, jangan pergi,
jangan tinggalkan kami seperti mamamu meninggalkan kami." Aku memandang ada kilau
bening dimatanya yang berkaca-kaca, ingin kuhapus dengan janji tapi aku tak yakin apakah bisa
kuberjanji, aku hanya tersenyum tipis tanpa bisa memberikan makna pada senyumku itu., tapi
tiba-tiba Freedom membuatku tersentak dia berlari kencang dan aku tak bisa mengendalikannya,
samar-samar kudengar teriakan kakekku, aku dihinggapi serangan panik, jantungku berdegup
kencang, keringan dingin bercucuran dan nafasku memburu, oh Tuhan"aku tak ingin hal yang
buruk terjadi, aku merasa terkejut dan takut ketika aku merasa tubuhku melayang, jatuh dari
kuda dan menghantam pada pohon dan terhempas ke tanah, aku merasa lelah tak berdaya, aku
tau aku pasti mengalami luka dan memar, seseorang mengulurkan tangannya padaku, kusambut
uluran tangannya dan mencoba untuk berdiri, "oh sudahlah Ghie"angkat bokongmu, kibaskan,
dan berdiri, kamu gadis kuat" aku mencoba menyemangati diriku sendiri, tapi diotakku kembali
memutar kebodohan-kebodohan yang kulakukan untuk mengatasi sedihku, memuntahkan
makananku, memaki diriku di depan cermin hingga melukai diriku sendiri, betapa lemahnya aku,
betapa menyedihkannya aku, apakah ini saat yang tepat untuk membuang jauh-jauh Ghie yang
lama dan menjadi Lala, putri yang kuat seperti yang diinginkan kakek dan nenekku" Tidak ada
kata terlambat untuk berubah, namun aku ragu apakah aku sanggup dan meninggalkan Ghie yang
lama, Ghie yang berarti kesedihan dan hidup suramnya, lalu berpura-pura hingga terbiasa
menjadi Lala, sampai kapanpun aku adalah Ghie, Lala, hanya panggilan sayang yang berarti
Putri, aku bukan sang Putri sejati, aku cuma, seseorang yang".
"Hey?" seorang cowok menggerak-gerakkan tangannya di hadapanku, mencoba
mengetahui apakah aku sadar atau mungkin menurutnya apakah aku terkena geger otak. "Berapa
ini?" dia menekuk jempol dan kelingkingnya.
"Tiga" jawabku pelan, "Terima kasih" aku bersiap-siap mendekati Freedom lagi, aku
harus mengelus-elusnya agar ia lebih tenang, mungkin ia hanya gugup bertemu orang baru, sama
sepertiku, kupikir kuda bisa sama berperasaannya seperti manusia.
"Lala Briegitha" mau tak mau aku harus mendongak dan menatap wajah orang yang
mencoba untuk berbicara denganku, mungkin aku perlu berbasa-basi, sepertinya terima kasih
belumlah cukup, kupikir wajah ini familiar, ataukah tampangnya yang memang pasaran,
mungkin dia orang yang sering kulihat di televisi entah anggota Boyband atau pemain sinetron,
tapi sadarlah Ghie"ini Tana Bulaeng!
"Hey boleh aku mengantarmu pulang, aku yakin, kudamu perlu lebih dijinakkan lagi, aku
lebih memahami kuda daripadamu, anak kota" dia berkata lagi, ada nada mengejek dalam katakatanya, kupandang wajahnya, bila dia menyebutku anak kota, lalu dia siapa"Tana Bulaeng
memang bukan desa, tapi yeah cuma Kabupaten kecil yang yeah terlalu kaya, tapi entahlah
cowok ini, bertampang terlalu kota, mungkin karena wajah blasterannya."Gavner" dia
memperkenalkan dirinya, namanya juga bukan produksi lokal, "Suka atau tak suka aku akan
mengantarkanmu pulang, itu yang dilakukan pria sejati, memastikan seorang gadis sampai di
rumah dengan selamat."
"Terima kasih Gavner, tapi aku bisa pulang sendiri." Aku mendengar derap langkah
kuda, kakekku, setelah berada di dekat kami, dia buru-buru turun dari kudanya.
"Dea " Gavner menyapa kakekku dengan panggilan kebangsawanannya, Dea adalah
gelar kebangsawanan. "Lalu Gavner, terima kasih" Wow aku baru tau bahwa dia juga keturunan bangsawan,
Lalu adalah sebutan untuk putra bangsawan, sama seperti Lala,hanya saja Lala digunakan untu
perempuan. Kupikir takdir mulai lagi memberiku kisah baru, dan Gavner adalah orang baru yang
dimasukkan dalam hidupku, entah untuk kisah yang bagaimana, tapi yang kurasa aku dan dia
memiliki kesamaan, ada perasaan senasib ketika kupandang mata sendunya dan ketika kutatap
matanya, aku merasa seperti menatap kesedihan yang juga ada di mataku, aku merasa berkaca,
dan sentuhan tangannya ketika dia membantuku untuk menaiki kudaku seolah adalah pertanda
untukku memulai hal yang baru, sekilas bayangan Dante berputar di otakku, tapi ini bukan saat
yang tepat untuk mengingat Dante, kali terakhir saat kurasa aku mencintainya mamaku tak
menyetujuinya, apakah aku harus mengingatnya, ataukah boleh buatku untuk lupa padanya
sejenak, dan mencoba mengikuti kisah yang diinginkan takdir untuk kujalani "kupikir ini terlalu
cepat untuk menjadikan sebuah kebetulan adalah bagian dari nasib untuk dijalani, tapi kadang
aku percaya bahwa firasatku mampu memberikan gambaran-gambaran masa depan untukku.
Delapan Belas Aku sudah berada di rumah disinilah aku, aku takkan pergi kemana-mana lagi, tak ingin
pergi apalagi harus mengulang yang telah terlewati, aku tau aku pasti akan merindukan temanteman lamaku, suasana kamarku, apa yang aku lakukan, sekolahku, guru-guruku, tapi terakhir
kali aku berada disana aku tau aku ingin disingkirkan, tidak ada lagi tempat untukku, haruskah
sekarang aku merubah keadaannya" memilih apa yang harus kujalani, apa yang ada di depanku
tanpa pernah menoleh lagi, baiklah, aku akan memilihnya, masa laluku terlah terkubur bersama
mamaku. Tapi setengah dari hatiku memberontak, memerintahkanku untuk kembali, bukan untuk
kembali menjalani yang terlewati tapi kembali untuk memperbaikinya, tapi apa yang diperbaiki"
Aku harus bagaimana" Setengah hatiku berharap untuk bisa bertemu Dante lagi, aku sangat
merindukannya, tak mungkin buatku melupakannya begitu saja, aku masih ingin tau apa yang
sebenarnya, aku memang tak mungkin mendatangi kuburan mamaku untuk meminta jawaban
mengapa ia melakukan hal sekasar itu pada Dante, dan paginya mamaku memilih kematian
untuk mengakhiri segalanya, mamaku tak pernah memberiku jawaban, mamaku hanya
memberiku teka-teki, potongan-potongan puzzle yang harus kususun sendiri, mama dan Dante,
dua orang yang aku cinta, dengan cara yang berbeda, bolehkan aku berpikir bahwa kejadian
malam itu, mama melihat dengan sudut pandang schizophrenia-nya yang berpikir bahwa Dante
melakukan pemaksaan seksual padaku, seperti yang pernah terjadi padanya dimasa lalu"
*** Aku menatap kedua wajah yang mulai lelah karena usia, kakek dan nenekku, bila aku
meninggalkan mereka, siapa yang akan menemani mereka" kedua putranya telah memiliki
keluarga mereka sendiri-sendiri, dan putri satu-satunya bahkan terlah pergi, apa aku cukup tega,
tapi aku juga ingin menentukan hidup yang ingin kujalani.
"Aci"boleh Ghie bicara?" ragu-ragu aku mulai membuka percakapan.
"Iya Lala, tapi sebelumnya Ni" mu akan mengatakan sesuatu" Kakekku memandang
wanita yang telah mendampingi hidupnya melewati begitu banyak kesedihan dan kegembiraan,
dengan pandangan meohon, seolah apa yang akan dikatakan Nenekku seharusnya dialah yang
menyampaikannya. Nenekku memandang dengan hampa, sepertinya ini bukanlah hal yang
mudah untuk disampaikan. "Ni?"" Dia meraih tanganku, dan membimbingku menuju kamar, kami duduk tempat tidur,
beliau membelai rambutku dengan lembut, aku merebahkan kepalaku ke pangkuannya, kudengar
nenekku mendesah pelan. "Lala, kami sangat menyayangimu, dan kami tak ingin lagi kehilangan putri yang sangat
kami sayangi" aku mendapat firasat bahwa mereka membaca pikiranku, keinginanku untuk
kembali dan mereka takkan pernah mengizinkanku untuk pergi." Kami tau benar keinginanmu
untuk pergi, kamu harus menyelesaikan pendidikanmu,tapi bolehkah bila kedua orangtua ini
meminta pengorbanan cucunya sendiri"pengorbanan yang akan membawa kebaikan baginya
juga?" Apa yang dikatakannya" pengorbanan seperti apa" aku bangun dari pangkuannya, kutatap
matanya, ada genangan air mata disana, tak tega bila aku meneteskan lebih banyak lagi air mata.
"Apapun yang bisa Ghie lakukan akan Ghie lakukan" aku mengatakannya dengan
sungguh-sungguh, hanya mereka yang aku punya, tak ingin membuat mereka lebih kecewa.
Nenekku memelukku dan menangis, beberapa saat aku hanya membiarkan keadaan ini, setelah
dirasanya ini waktu yang tepat, beliau berbicara lagi.
"Lala, Lalu Gavner dan keluarganya ingin memintamu menjalin hubungan dengannya,
kami tak ingin sebuah perjodohan tapi kami rasa ini baik buatmu, dengan adanya ikatan antara
kalian kami bisa melepasmu untuk pergi, karena ikatan itu akan membawamu kembali lagi ke
sini, maafkan kami, tapi kami telah menyetujuinya, ini kehormatan karena beliau adalah cucu
langsung dari mendiang Dea Meraja, Sang Sultan, dan dia adalah pria yang baik buatmu, kami
mengenalnya, juga keluarganya,
pertunanganmu akan diadakan secepatnya, kami hanya
meminta persetujuanmu, dan kami yakin kamu akan menyetujuinya, kami tau kamu gadis yang
baik, dan kamu takkan mengecewakan kami." Beliau memelukku lagi.
Tertanya ada harga yang harus dibayar untukku bisa kembali, tak pernah aku menyangka
bahwa hidupku akan serumit ini. Aku tersenyum dan mengangguk, tapi aku merasa hatiku
remuk. Sembilan Belas Aku benar-benar terkejut manakala kulihat sosok Gavner masuk melalui jendelaku, ini
pukul satu lebih seperempat, ia meletakan telunjuk di bibirnya memintaku untuk diam, dan aku
menurut saja, dia duduk di ujung tempat tidurku, aku menyalakan lampu mejaku.
"Hai Ghie, maaf membuatmu terkejut, kurasa kamu sudah terkejut dengan rencana
keluargaku, dan sekarang kamu terkejut dengan kehadiranku di tengah malam buta begini, bukan
maksudku untuk tidak sopan, aku hanya ingin menjelaskan segalanya." Ada tatapan penyesalan
dalam matanya. Apa maksudnya?"Mau ikut denganku" aku ingin menunjukkanmu sesuatu." Aku
mengangguk menyetujuinya, cepat-cepat kusambar mantel tidurku, dia membantuku melompati
jendela kamar, semoga tidak ada yang menyadari kepergianku, lantai kayu agak berderit, rumah
panggung memang sensitif terhadap gerakan tapi kurasa Gavner melakukannya dengan mahir,
dia membantuku melompati jendela. Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi, suatu malam yang
pernah kulewati dengan seorang cowok berujung tragedi, semoga itu takkan terjadi lagi,.
Di gerbang rumah Gavner meninggalkan sepedanya, dia memboncengku dan mulai
mengayuh sepedanya, ada perasaan canggung, ketika kami sedekat ini,
entah kemana dia membawaku, aku hanya ingin mengikuti maunya, apalagi mauku" sekarang hidupku tidak lagi
meminta pertimbangan keinginan pribadiku, akan ada ikatan, dimana aku hanya akan
menurutinya, pangeran yang agung sejak dilahirkan ini hanya ingin mendapatkan apa yang
menjadi keinginannya, aku hanya akan mengikutinya, ini untuk kebahagianku, mungkin atau
begitulah pendapat kakek dan nenekku, pesona darah biru dan wajah rupawan siapa yang bisa
menolak" tapi bila boleh meminta aku hanya ingin menghabiskan hidupku pada cowok dengan
senyum jail yang tau bagaimana cara membuatku bahagia, Dante"aku merasa bersalah padanya.
*** Kami berhenti di depan sebuah rumah pohon, lelucon apalagi ini"apa dia menganggap
aku seperti teman-teman yang bila dia inginkan untuk bermain maka akan menemaninya
bermain" "Naik yuk" ajaknya, aku hanya mengangguk dan mengikutinya. Gavner menyalakan
beberapa buah lilin untuk menerangi rumah pohon yang mirip rumah pohon tempat bermain
anak-anak cowok yang baru beranjak dewasa, kakiku menginjak miniatur pesawat terbang, aku
sedikit meringis, Gavner menatapku, mencari tau apa yang membuatku meringis.
"Are you oke?" Aku mengangguk Bila saja ini drama, suasananya akan sangat sempurna, cahaya lilin yang temaram dan
calon tunanganmu yang rupawan, ditengah malam buta, lalu kami akan menutup malam ini
dengan ciuman hangat sambil menunggu datangnya pagi" Itu bukan ide bagus buatku walaupun
terdengar luar biasa menggoda dan romantis, tentu saja, tapi sekali lagi, bila sang pangeran yang
mulia mengiinginkannya maka dia akan mendapatkannya, apakah aku keberatan atau tidak
kurasa dia takkan memusingkannya.
Kami duduk di beranda rumah pohon, kaki kami melayang di udara, cahaya bintang dan
bulan di langit terlihat indah, aku memilih menatap langit mencoba mengaguminya, mencoba tak
ingin tau apa isi otak sang pangeran.
"Ghie?" "Ya" "Aku minta maaf"
"Untuk apa yang mulia?" tanyaku ketus "Betapa beruntungnya menjadi dirimu, kamu
memintanya maka kamu akan mendapatkannya."
"Ghie!" "Kamu mendapatkannya! Aku menyetujuinya, memenjarakanku dalam sangkar emasmu yang mulia"
terima kasih karena telah "Seandainya bisa memilih, maka kamu pasti akan menolak" dia menebak padahal dia tau
jawabannya. "Apakah aku punya pilihan?"
"Maafkan aku?" "Untuk apa minta maaf bila kamu memang menginginkan hal ini, maaf takkan ada
gunanya!hanya terdengar manis ditelinga"
"Ghie"kamu berhak marah."
"Marah " pada yang mulia" Kurasa aku tak bisa" ada nada mengejek dalam suaraku yang
kudengar serak, ini pasti karena aku telah kebanyakan menangis, haruskah aku menangis lagi?"
"Kamu boleh menumpahkan amarahmu, lampiaskanlah" Apa yang diinginkannya"
Putri Berdarah Ungu Karya Citra Rizcha Maya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi pangeran yang terlihat sempurna" Haruskah aku menangis bahagia karena seorang
pangeran yang mulia memintaku untuk menumpahkan amarah padanya"
Plakkkk, sebuah tamparan, kurasa cukup keras, kurasa cukup untuk mengurangi
marahku. Gavner tersentak, dia memandangiku, alih-alih merasa terhina dan marah, dia malah
meraihku, dan memelukku, membelai rambutku, dan membisikkiku, "Menangislah" dan akupun
menangis. Dua Puluh Aku menangis hingga aku merasa tak sanggup lagi, aku begitu cengeng, rasanya aku
ingin menertawakan diriku yang begitu mudah berurai air mata. Aku melepaskan diri dari
pelukan Gavner. Dia memberiku senyuman manis, rasa canggung mulai menjalariku lagi.
"Feel better?" Aku mengangguk "Boleh aku menjelaskan tentang semua ini?"
Aku mengangguk lagi "Well, harusnya aku tak menyeretmu ke dalam hidupku, kamu boleh memanggilku
egois dan tak berperasaan, maaf, yeah memang tak ada gunanya minta maaf kalo kamu tak
menyesal, tolonglah, aku memohon, jangan tolak lamaran keluargaku, kita hanya akan
bertunangan, hanya sementara, ini takkan lama, aku takkan memintamu untuk mencintaiku dan
aku takkan mencoba untuk membuatmu jatuh cinta, walau akupun sebenarnya tidak yakin
apakah aku sanggup untuk tak tergoda untuk tak jatuh cinta padamu, maksudku, yeah..kamu
mempesona, dan aku tidak sedang merayumu atau mencoba untuk gombal, aku hanya ingin
memintamu untuk bekerjasama, katakan kamu bersedia, bukan demi seorang pangeran tapi untuk
seorang teman" Dia berkata cepat-cepat, terasa kegugupan dalam suaranya.
"Apa yang kamu mau" Memanfaatkan aku untuk berpura-pura"apa sih yang sedang
kamu mainkan?"aku merasa dimanfaatkan dan dipermainkan, aku tersinggung.
"Ghie"bila aku mengatakannya, apa kamu bisa mempercayaiku"apa kamu bisa
membantuku" Bila apa yang kuinginkan bisa kudapatkan hanya dengan hak istimewa
bangsawanku, kurasa itu cukup untukku, aku ingin menganggapmu teman, teman itu berbagi,
teman itu menceritakan segalanya, itulah kenapa aku ingin kamu tau alasanku"
"Semoga alasanmu terdengar bagus dan semoga aku mempercayainya"ejekku
"Aku ingin bertemu Gazka, saudaraku"dia berkata pelan
"Gazka?" ada nada tak percaya, ketika ia menyebut nama yang kukenal itu.
"Kamu kenal kan?" dia menatapku penuh harap."Semua orang membicarakanmu, siapa
kamu, bagaimana, dan segalanya, aku tau, disini hal sekecil apapun akan jadi konsumsi publik,
jadi ketika aku tau kamu satu sekolahan dengan Gazka, aku bermaksud untuk mendekatinya
melalui kamu, aku ingin semuanya terkesan alami, kamu ingin kembali kan"dan bila kita
bertunangan maka aku akan mengikutimu, aku bisa bertemu lagi dengan Gazka, aku merindukan
adik kecilku, saudaraku."
Aku tak mengira alasan dia menginginkan pertunangan ini, apa tak lebih gampang
buatnya untuk pergi sendiri menemui adiknya tanpa harus mengikatku dalam pertunangan"
"Tanpa harus bertunangan denganku, kamu bisa menemui adikmu, well, kurasa
alasanmu kurang bisa dimengerti"
"Ghie, bolehkah" Aku mohon berpura-puralah, ini takkan lebih dari enam bulan, aku
ingin kamu mau membantuku dalam hal ini."
"Oke, baiklah, apapun alasannya, antara kamu dan Gazka, dan pertunangan palsu ini,
aku setuju mengikuti drama yang tak kumengerti ini, kamu tak mau memberiku alasannya, kan"
Tapi yah akan kujalani" jawabku diantara kebingungan
"Boleh minta satu hal?"
Aku memutar bola mata, pangeran ternyata banyak maunya
"Apa?" "Temani aku melihat matahari terbit"
Aku mengangguk setuju, aku memberinya sebuah senyuman bukan lagi ekspresi sendu
dengan air mata. Dua Puluh Satu Mereka bilang aku terlihat seperti mama, dalam balutan lamung pene dan kre alang,
pakaian tradisonal kami, rambutku di gerai dan dihiasi bando bunga yang terbuat dari kuningan,
mereka benar, aku terlihat sama seperti wanita dalam potret di ruang tamu yang tersenyum lepas
penuh kebahagiaan, bukan wanita tanpa ekspresi yang kukenal. Sebelum acara pertunangan ini,
Ni" menemaniku berdandan di kamar, dia menangis terus menerus, kupikir kecengenganku
kudapat darinya "Ni", semuanya baik-baik saja, ini yang terbaik." Aku mencoba menenangkannya
dengan mengenggam tangannya, tapi dia tak mampu menghentian derai air matanya, seorang
tante, kami menyebutnya aya, memasuki kamarku, dia istri om-ku yang tertua, om dalam bahasa
kami disebut puto. "Putomu ingin bicara, Lala" Aya Zailah, namanya, berbicara dalam suara yang begitu
lembut, dia ciri khas wanita bangsawan sejati, cantik dan lembut, dia lalu mengajak nenekku
keluar dan meninggalkanku bersama Puto Aiman, menyusul belakangan Puto Aidan masuk
dengan wajah gusarnya, dia selalu terlihat seperti itu. Keduanya duduk mengapitku, Puto Aidan
menggenggam tanganku. "Kamu putri kami satu-satunya" katanya dalam suara serak, suaranya memang serak
dan dalam, gonggo, kami menyebutnya. "Kami tak memiliki putri lagi, dan hari ini pun kami
harus melepaskanmu" Puto Aidan memiliki dua orang putra, sementara Puto Aiman kurang
beruntung, istrinya, Aya Sagena, tak bisa memberikannya keturunan, hingga dia mengangkat
anak salah satu putra puto Aidan, Binar, sepupu kecilku yang masih tiga tahun, yang tertua,
Bintang sekarang berumur Sembilan tahun, keduanya belum bisa akrab denganku, karena
perbedaan usia, tentu saja, tapi dalam tradisi kami sepupu itu memiliki hubungan seperti saudara
kandung. Kekeluargaan kami sangat erat hubungannya.
"Maafkan Puto Ghie, ini semua salah Puto hingga kamu mengalami hidup seperti ini,
nyaris tak mengenal keluarga hidup dalam kekoso
ngan, Puto Aidanlah yang mengenalkan
mamamu pada Arian, dia ayahmu, Arian membawa Ayara bersamanya, membawa Ayara pada
kehidupan yang suram, Arian melakukan kekerasan seksual pada mamamu, entah seberapa
sering, hingga terakhir dia menyuruh teman-temannya melakukan hal yang sama pada mamau,
padahal ketika itu, dia jelas-jelas tau, bahwa mamamu tengah mengandung anaknya, Puto tak
menyangka, bahwa orang yang Puto bawa pulang ke rumah memperkenalkannya sebagai sahabat
pada seluruh keluarga malah menghancurkan kehidupan adik sahabatnya sendiri, bukan salah
Ayara bila dia jatuh cinta pada orang yang salah, Arian memiliki pesona, tapi tidak memiliki
hati, disaat Puto mengetahui yang dia lakukan Puto mendatanginya, memberinya sedikit
pelajaran tepat beberapa saat sebelum dia menikahi seorang wanita yang juga menjadi
korbannya, Puto menghabiskan waktu 36 jam dalam sel sebelum keluarga membayar jaminan,
kami menutupi apa yang terjadi pada Ayara, pura-pura semuanya baik-baik saja, membiarkannya
tinggal jauh dari rumah, kami pura-pura tak tau bahwa dia memiliki putri, kami memberikan
segalanya tapi itu salah, tak ada kata yang bisa kami ucapkan selain maaf untuk menebus
segalanya, Lala "Puto Aidan mengelus rambutku, dan Puto Aiman memelukku sekilas, Puto
Aidan memberiku selembar foto lama, di foto itu aku melihat senyum bahagia empat remaja,
Puto Aiman, Puto Aidan, mama dan seorang pemuda yang memeluk bahu mama dengan wajah
sempurna, terlihat serasi bersama mama. "Simpanlah, pemuda itu adalah ayahmu, kami tak ingin
mengakuinya seandainya bisa." Ada penyesalan dalam suara Puto Aidan tapi tentu saja itu tak
berguna, dan maaflah yang bisa melupakan segalanya.
"Lala" semoga kamu bahagia dengan Lalu Gavner, dia pria baik, sebenarnya, itulah
satu-satunya cara, dengan menikahinya maka kamu akan memperoleh kembali gelarmu, seorang
wanita yang dalam kasus ini Ayara, apabila memiliki anak dengan pria tak bergelar bangsawan
maka anaknya tak bisa memperoleh gelar itu, tapi keluarga tak mempedulikan bagaimanapun
juga ada darah kami mengalir padamu" Puto Aiman memelukku dan mencium keningku, begitu
juga Puto Aidan, dan mereka mengantarkanku menemui calon tunanganku, aku berterima kasih
pada mereka karena telah mengantikan tugas seorang ayah untuk mengantarkan putrinya pada
pria yang akan selanjutnya akan menjaganya di kehidupannya kelak, walaupun ini hanya purapura tapi aku merasa adegan ini sangat emosional, aku menatap tamu dan tersenyum pada
mereka, kulihat kakek dan nenekku dianatara para keluarga, mereka memberiku tatapan dan
senyum penuh kasih sayang, seandainya aku mengenal mereka sejak dulu, seandainya aku
merasakan kasih sayang ini sejak awal, tapi segala sesuatu memang telah digariskan untuk terjadi
pada waktu yang telah ditetapkan, seperti sekarang, saat sebuah cincin tunangan kuno yang telah
jadi bagian dari keluarga Gavner turun temurun berada dalam jariku, aku tau kehidupanku takkan
pernah sama lagi. Dua Puluh Dua Kembali ke rumah, kembali ke sekolah, rasanya berbeda dengan Gavner disampingku,
Gavner, langsung menjadi kakak kelasku. Kupikir teman-teman sekolahku masih belum
memaafkan apa yang kulakukan, tentang anorexia-ku dan semuanya, tapi kupikir lebih baik aku
mengabaikan apapun yang mereka pikirkan tentangku, mencoba menerka-nerka pikiran orang
lain, tentang bagaimana aku dalam pikiran mereka itu tak cukup berguna, itu hanya akan
menyiksa, setiap orang punya tuntutan kesempurnaan yang relatif, juga pastinya berbeda, takkan
bisa bagiku untuk mengikuti seperti apa aku seharusnya menurut pandangan mereka.
Turun mobil dan langsung disambut pandangan banyak mata, seharusnya aku terbiasa,
apalagi sekarang akan ada topik baru untuk mereka bicarakan, pertunanganku, tunggu saja
sampai mereka melihat cincinku dan juga fakta bahwa Gavner sekarang tinggal di paviliun
rumahku, di rumah ada seorang pria sekarang, selain aku dan Nanny, tentu saja.
"Ghie" Katakan apa yang terjadi dua minggu ini" Kamu menghilang, dan wow, kamu
kembali dengan seorang cowok yang"."Eve bersiul menggoda sambil memandangi Gavner
yang hanya sekilas menatapnya lalu mengacuhkannya. "Siapa dia?" Eve menowel bahuku
"Pangeran kutub?"
"Dia memang sang pangeran, tanya aja!"
"Gavner, itu ruang gurunya, kamu masuk aja, dan, sampe ketemu di jam pulang nanti!,
dag" Aku berlalu dan Eve mengikutiku, aku tau dia akan mengintrogasiku.
"Elo jahat! Elo nggak jawab telpon gue, elo nggak balas email gue!" teriak Eve dramatis,
khasnya, dia memang selalu bertindak seperti ratu drama konyol." Aku membanting dengan
keras pintu lokerku, berharap itu bisa membuatnya berhenti berbicara."Ghie! gue nunggu alasan
kenapa elo bertindak seperti orang yang".elo pikir kita bukan lagi sahabat?"
"Eve, please, ini hari pertama gue masuk sekolah, gue melewati begitu banyak kejadian
dua minggu ini, jangan terlalu banyak bertanya, gue mau mengejar ketinggalan selama gue
nggak sekolah, oke?" aku memohon pengertiannya, tapi Eve bukanlah teman yang pengertian.
"Nyokap gue mati bunuh diri, gue ternyata seorang princess, dan sebentar lagi gue jadi
permaisuri, gue tunangan sang pangeran sekarang." Seandainya mudah untuk berkata seperti itu,
harusnya aku berbicara dan menceritakan semuanya dengan satu-satunya sahabatku ini, tapi
tidak sekarang, diantara banyaknya pasang mata yang melirikku secara terang-terangan dan
bersembunyi, aku melihat Niken lewat, dia melirikku sejenak sebelum tersenyum kecut, dan
melanjutkan obrolan dengan dua orang temannya, Penny si tukang gossip yang bermulut selebar
bak cucian dan Mimi si cewek yang bibirnya seperti baru aja habis makan gorengan dengan
minyak seliter (itu julukan yang diberikan Eve pada mereka).
"Niken, sahabat elo itu" katanya dengan nada mengejek, "berhasil disingkirkan Gazka
dengan mudah, tapi Gazka mundur dari jabatan ketua OSIS dan sekarang, Budi si cowok kutu
buku bertampang mirip Hitler yang tanpa kumis, apa yang ada di otak Gazka gue nggak habis
pikir, memberikan suaranya untuk si Budi, tapi sudahlah, seenggaknya bukan Niken yang jadi
ketua OSIS." Aku hanya mengangguk "Ghie"gue mesti tau apa yang terjadi selama dua minggu ini!" Eve kembali
meredengiku dengan pertanyaan yang tak mungkin bisa kujawab sekarang.
"Hai Ghie?"seseorang menyapaku dengan suara yang sangat aku rindukan, Dante, dia
disana masih setampan yang kuingat.
"Hai?"balasku, otakku mengingatkanku, bahwa aku terikat pertunangan, dan suara lain
dari hatiku meneriakinya dengan berkata itu hanya berpura-pura. Dante masih pacarku, tapi
masihkah dia mengaggap begitu"setelah dua minggu berlalu, tanpa kabar apapun dariku.
"Kita ketemu jam istirahat ya, di perpus, dag!" Dia memberikanku senyumnya seperti
biasa, senyum jail yang manis.
"Huh! Dan elo bakalan ketemu Dante dan lupa buat certain semuanya ke gue!" Eve
ngedumel, bel berbunyi, dan sudah waktunya bagiku untuk fokus dulu pada pelajaranku.
*** Aku tidak bisa menemui Dante karena guru BP baru saja meneriakan namaku melalui
pengeras suara, aku diminta kesana, beberapa saat setelah bel berdering, Eve memandangiku
dengan tatapan menyesal, apalagi sih yang terjadi"
"Selamat siang" aku menginjakan kaki lagi di ruangan ini, aku tak ingin ada masalah lagi.
"Siang" jawab suara yang kukenali, suara kepala sekolahku.
Aku tak menyangka pemandangan yang tersaji di depanku, Gavner dan Gazka dengan
wajah yang tampak kacau, lebam dan berdarah, ternyata aku hanya diminta untuk merawat luka
keduanya, kupikir ini permintaan Gavner. Setelah itu, aku dan kedua orang cowok yang baru
kusadari berwajah nyaris identik ini berjalan menuju UKS, mereka merusak rencanaku untuk
bisa "well, setidaknya melepas rindu dengan Dante.
Aku membersihkan wajah Gavner dengan hati-hati, sepertinya dia menikmati sentuhan
tanganku di wajahnya, dia memandang Gazka, alih-alih mereka saling baku hantam lagi, yang
ada mereka hanya saling melempar senyum mengejek juga juluran lidah.
"Ghie"tampang gue juga ancur, elo juga mesti bersihin muka gue!" protes Gazka.
"Udah elo minta bersihin sama perawat sekolah atau anak PMR aja gih" sahut Gavner,
"Ghie khusus ngerawat gue, asal loe tau ya Ka, Ghie ini tunangan gue, loe liat dong cincinnya
sama kayak cincin gue,hehehe"
"Sialan loe! Sumpah"elo kadalin gue nih !"Gazka tak mau percaya. Setelah selesai
dengan Gavner aku membersihkan muka Gazka.
"Kakak ipar yang baik, hehehe" Gavner bicara lagi.
"Please, kasih tau gue, kenapa harus gue yang ngerawat kalian, ada perawat sekolah, ada
anak PMR, kenapa harus gue" Dan kenapa elo mesti nyiptain kasus diawal loe masuk sekolah?"
aku benar-benar marah. "Gue ngak suka lelucon kayak gini!"
"Gue kangen adek gue Ghie, dan yeah, salahin Gazka dia yang nyerang gue duluan."
Gavner menjelaskan. "Gue marah Ghie sama si idiot ini, gue nggak nyangka ketemu dia disini! Ini bikin gue
shock! Gue nggak mau dia disini, gue mau dia pulang dan kembali ke habitatnya dalam pelukan
Daddy tersayang dan tahtanya, huh!"Gazka mencemooh dalam candaan.
"Hey, apa sih yang kalian mainkan?"
"Boleh memintamu merahasiakan sesuatu Ghie?" Gavner menatapku, tatapannya selalu
sendu, kadang aku melihat kesedihan disana, tapi ada kegembiraan sekarang, setidaknya melihat
Gazka ada cahaya keceriaan dalam matanya yang berwarna hazel. "Anggap saja, aku dan Gazka
tidak saling mengenal, anggap saja aku dan Gazka bukan saudara, berjanjilah!"
"Aku-kamu! Napa nggak elo gue sih" hahaha sok romantis loe, Ghie, apa panggilan
sayang elo buat dia" Babon" Hahahaha, gue rasa elo khilaf mau-maunya tunangan ma Babon ini,
hahaha."Gazka masih saja mengejek, siapa yang menyangka, cowok yag dipikir cewek-cewek
diluaran sana sangat cool, bisa sekonyol ini.
"Aku janji" aku tersenyum pada keduanya.
Aku benar-benar tak mengerti, lebih baik aku jalani saja.
"Gavner, bubar sekolah gue bareng Eve ya.."aku berdusta, sebenarnya aku ingin pergi
dengan Dante, jempolku sedang menari-nari diatas touch screen sedang mengiriminya pesan
untuk menemuiku setelah sekolah.
"Hmmm oke, gue juga mau bikin perhitungan sama monyet satu ini." Dia menunjuk
Gazka, keduanya tertawa-tawa, alangkah bahagianya, seandainya saja aku memiliki saudara.
Dua Puluh Tiga Aku menghindari Eve sebisaku, dan akhirnya aku berada di boncengan skutermatic
Dante, Dante mengajakku ke tempat biasa, tempat pertama kali dia memaksaku makan sebanyak
yang aku bisa dan melarangku untuk memuntahkan segalanya, kami akan melewati makan siang
istimewa yang ditutup dengan menikmati Coffee Banana Split Favorite-kami.
"Hey mysterious girl, mau cerita kemana aja dua minggu ini" Kamu mau bikin aku mati
karena kangen ya?"Dante menggodaku, dia mencolek hidungku, alih-alih marah dia malah
bersikap seperti biasa, dia satu-satunya orang yang bisa membuatku tertawa dengan mudah.
"Boleh bilang sesuatu nggak?" Aku sebenarnya ingin menceritakan segalanya, mamaku,
siapa aku, dan pertunangan yang sedang menyiksaku.
"Pasti mau bilang miss you like crazy, kan" Kamu juga kangen banget sama aku, kan?"
Dia mengacak-acak poniku. Sebenarnya, aku ingin bilang segala yang terjadi padaku, tapi aku
tak ingin, aku tak mau merusak senyumnya. "Everything oke, Ghie?" Dante menyadari
perubahan ekspresiku. Jadi aku tersenyum sebisaku, walau berat tapi kupaksakan, aku hanya
ingin bahagia, aku tau pertunanganku bisa dikatakan hanya pura-pura tapi ini masih rahasia
antara aku dan Gavner, tidak ada satu orangpun yang boleh tau, haruskah aku mengatakannya
sekarang pada Dante" Tapi aku juga tak bisa mengkhianati janjiku pada Gavner, aku tak bisa
merusak segalanya, keluargaku adalah taruhannya, dan aku juga tak ingin merusak kebahagiaan
Dante. "Dante, kamu percaya kan kalo aku benar-benar sayang sama kamu?" aku menatap
matanya, ada yang berbeda antara mata Dante dan Gavner, Dante memiliki mata bening seperti
mata anak-anak, dan Gavner memiliki mata indah yang sayangnya seperti menyimpan luka.
"Nggak" dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil nyengir
"Aku sayang banget sama kamu" aku mengatakan yang sebenarnya, yang aku rasakan.
"Ghie..seberapapun sayangnya kamu ke aku nggak bisa ngalahin rasa sayangku ke kamu,
aku tau ini nggak boleh, terlalu menyayangi sesuatu seperti ini, tapi aku nggak tau, aku terlalu
sayang, dan nggak tau dan nggak bisa bayangkan bagaimana bila seandainya aku nggak bisa
memiliki kamu, ini gila, aku tau kita masih remaja, dan rasanya terlalu muda untuk aku bilang
cinta, tapi aku nggak bisa membohongi yang aku rasa."Dante mengelus pipiku, aku
memejamkan mata mencoba resapi rasa sayang ini, begitu menenangkan begitu menyenangkan.
*** Aku menghabiskan soreku dengan Dante, kami melakukan banyak hal yang
menyenangkan, dan yang terakhir dia lakukan benar-benar konyol, dia membelikanku banyak
balon helium warna-warni, sebagai pengganti balon yang terbang malam minggu dua lalu, dia
benar-benar aneh, tapi aku menyukai itu.
Ingin tau apa hal romantis yang terjadi sore ini" Setelah berlarian, berteriak melepas
beban, merasakan air laut di kaki kami ketika berjalan di pantai, dan juga memandang indahnya
langit kala matahari terbenam, sangat tak terduga dan tanpa direncanakan,
Dante, dia menciumku, tepat di bibir, dan kali ini sebuah ciuman yang sebenarnya, tak ada lagi gelas
Putri Berdarah Ungu Karya Citra Rizcha Maya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melayang, tak ada lagi teriakan histeris setelahnya, dan tak ada lagi kepanikan, yang ada hanya
keinginan untuk menghentikan waktu merasakan cinta Dante, merasakan kedamaian yang dia
berikan. "Ghie...mau berjanji padaku?"
"Apa?" "Apapun yang terjadi kamu nggak akan ninggalin aku?"
"Ya" Aku menatapnya memberikan keyakinan dan tersenyum manis, aku merasakan
genggaman tangan Dante menggengam jari jemariku lebih erat seakan tak ingin melepaskannya,
Dante menciumku sekali lagi, kubalas ciumannya, aku merasakan bibirnya yang lembut dan
kenyal, merasakan nafasnya yang sewangi mint, merasakan hangat pelukannya. Rasanya tak
ingin mengingat segala kesedihan rasanya ingin menjadikan inilah akhirnya. Seandainya hidup
bisa direncanakan dan takdir bisa tertulis dengan mudahnya sesuai dengan yang kita inginkan
dan yang kita harapkan, maka aku ingin agar segala kebahagian itu tercipta untukku dan
kebahagiaan itu ada pada seorang yang paling kucintai, pada Dante, ingin sekali segala
kebahagiaan ini kubawa pulang, dan kutuangkan dalam mimpi indahku malam ini, mimpi
dimana hanya ada aku, Dante, dan kebahagiaan kita.
Dua Puluh Empat "Kenapa sih kamu harus bohong?" Lampu mejaku langsung menyala, terkejut, balonbalon helium yang dibelikan Dante langsung beterbangan ke langit-langit kamarku. "Temanmu
Eve, baru saja dari sini, mencarimu, kalo kamu pergi bersama Eve bagaimana mungkin dia
mencarimu kesini." Gavner berbaring di tempat tidurku, wajahnya terlihat marah, aku sedikit ketakutan, ini
ekspresi tak biasa, dia terlihat sangat berbeda.
"Aku bisa jelasin" Kataku serak.
"Aku sudah tau!" Nada suara Gavner meninggi, aku tak lagi mengenal orang yang ada di
hadapanku sekarang, dia telihat begitu mengerikan dalam marahnya.
"Apa yang kamu tau?" Aku mencoba tetap bersuara normal
"Ada cowok lain bernama Dante kan?" Dia berteriak.
"Dia pacar aku, aku kenal dia jauh sebelum kamu." Aku menaikkan nada suaraku, aku
memberanikan diri. "Aku Tunanganmu, kalo-kalo kamu lupa, dan masa depanmu ada bersama aku!"Suaranya
kembali normal tapi ekspresinya masih terlihat sangat dingin
"Bukannya kamu bilang, kalo ini cuma pura-pura?" aku mencoba mengingatkannya.
"Bagaimana kalo aku berubah pikiran?"
"Gavner, mau kamu apa?" aku frustasi.
"Aku mau kamu menjalani status yang seharusnya kita jalani."
"Gavner, please, kamu cuma"merasa dibohongi! Kita bisa meneruskan sandiwara ini,
kita pura-pura tunangan, tapi aku mohon banget biarin aku tetap sama Dante, aku sayang banget
sama dia, kamu boleh pacarin cewek manapun, kita bisa menjalani dengan cara yang bisa
memudahkan kita." Aku mencoba menjelaskan segalanya, aku ingin mencairkan suasana.
Gavner mendatangiku, berdiri tepat dihadapanku, sekarang wajahnya begitu dekat
dengan wajahku, aku menatap matanya dengan takut, ada kemarahan tak terkira yang ingin dia
lampiaskan. "Kamu mau pura-pura" Akan kuturuti maumu" nada suaranya terdengar dingin. "Tapi
bukan pura-pura seperti maumu." Gavner menyentuh pipiku, sentuhannya lembut tapi
menakutkan aku merasa terancam. "Buka matamu! lihat aku Lala Brieghieta Rara Nantana!"
Ya Tuhan aku mohon, beri aku kekuatan untuk membuka mataku dan untuk sanggup
menatap matanya. Pelan-pelan kubuka mataku, kupandangi Gavner, masih dengan wajah
marahnya, sangat tak terduga dia menciumku paksa, aku tak berontak tapi juga tak bergerak, biar
dia dapat apa maunya, sang Pangeran selalu mendapatkan yang dia inginkan, tapi aku tak
menyangka, ternyata sang pangeran bukanlah orang bisa memegang kata-katanya. Dia menyerah
dan frustasi, berteriak dengan keras lalu menghantam cerminku dengan kasar, suara kaca pecah I
dan teriakan amarah membuatku ketakutan, aku menangis, Gavner meninggalkanku sendiri, aku
menangis di lantai, sampai Nanny datang menenangkanku dengan pelukannya.
*** Aku menelpon Eve, memintanya datang, aku perlu seseorang untuk kuajak bicara, tak
lama Eve datang, dia menemaniku berbaring dalam kegelapan, mendengarkan seluruh kisah
sedihku, kepergian mama, tentang siapa aku, dan pertunanganku dengan Gavner.
"Ghie"gue turut berduka cita buat tante Ayara, maaf gue nggak tau, dan"."Antara
isakan dan tawa Eve bicara lagi, dan disaat yang sama aku mersakan genggaman tangannya di
jariku "Gue bego bangeeet"dulu gue pikir jadi seorang putri bangsawan itu adalah hal yang
indah, kayak di dongeng, bertemu pangeran tampan, tapi ternyata enggak, elo putri yang . . . elo
pasti mikir akan lebih kalo elo bisa milih gue yakin elo pasti mau milih jadi orang biasa aja,
supaya elo bisa sama-sama dengan Dante, bukannya dengan pangeran psikopat kayak Gavner,
secara tampang dia memang pantas dibilang pangeran, tapi kejiwaan dan perilaku dia nggak ada
bedanya dengan monster!"
Mendengar Eve berkata dengan nada bicara yang konyol dan cablak seharusnya aku bisa
tertawa, tapi sudahlah, aku memang ditakdirkan seperti ini.
"Eve, dengan menikahi Gavner, walaupun itu masih bertahun-tahun lagi"adalah satusatunya cara untuk mengembalikan lagi kehormatan keluarga, gue anak tanpa ayah, gue bukan
putri yang sesungguhnya, sebenarnya gue nggak punya hak memakai gelar kebangsawanan, ayah
biologis gue orang biasa gue bahkan tak tau siapa dia, keluarga gue menaruh harapan besar, ada
beban yang harus gue emban, gue nggak punya siapa-siapa, keluarga yang gue punya hanya
mereka dan tugas gue adalah membahagiakan mereka."
"Walaupun dengan mengorbankan kebahagiaan elo?" Eve protes. "Elo punya gue, elo
punya Dante, orang-orang yang sayang sama elo,"Ghie, elo bahkan belom 17 taon tapi apa
yang elo alami terlalu berat, gue dukung apapun yang elo lakuin, gue ngerti posisi elo, gue tau
elo nggak bakal bahagia buat ngejalani semua ini dengan Gavner, tapi seenggaknya, izinin gue
untuk bilang dan certain segalanya pada Dante, kalopun elo berdua nggak bisa sama-sama
minimal Dante tau, kalo hati elo selalu untuk dia.
Dua Puluh Lima Aku melihat Dante memandangiku, tanpa ekspresi, ketika aku melewati kelasnya, Gavner
berjalan di sampingku, memegang tanganku erat, sekelompok cewek mulai berbisik-bisik, kurasa
selama ini seluruh sekolah tau kalo aku dan Dante Pacaran, tapi sekarang, aku bertunangan
dengan cowok lain, itu akan makin memperburuk image-ku.
Selama seminggu ini Gavner bertingkah sangat menyebalkan, setiap pagi selalu
mengajakku memutar melewati kelas Dante sambil berjalan angkuh sambil menyeretku,
tangannya tak pernah menggandengku, tapi mencengkramku kuat seakan dia takut aku akan
terlepas dan berlari darinya, dia seperti pengidap posesif parah, dia masuk ke kelasku, duduk di
bangku sampingku yang adalah bangkunya Eve, sampai bel tanda masuk kelas berbunyi, di jam
istirahat dia akan menjemputku ke kelas, menyeretku ke kantin, menemaninya minum kopi
sambil membaca buku-buku suram; No Exit, Mein Kampf, dan buku-buku yang takkan
membuatku tertarik, setelah itu dia akan mengantarku kembali ke kelas, pulang sekolah, setelah
bel berdering, dia akan menjemputku ke kelas dan menyeretku ke parkiran, akan berlama-lama
di parkiran, hanya untuk membuat Dante kesal, di rumah, tidak lebih baik, aku lebih memilih
mengurung diri di kamar jika Eve tak mengunjungiku, daripada menemaninya membaca buku
suramnya sambil membunuh dirinya dengan asap rokok, kadang dia keluar entah kemana,
mungkin kupikir ke tempat Gazka, tapi sejujurnya aku tak terlalu peduli. Aku tak bisa
membayangkan bagaimana aku mengabiskan hidup dengannya.
*** Gavner merebut hati para guru dengan otak cemerlangnya, membuat para cewek kagum
dengan pesona aristokrat dan wajah tampannya, dari bisik-bisik yang Eve dengar dan
disampaikan padaku, bahwa para cewek ternyata iri denganku karena mendapatkan Gavner,
mereka malah rela melakukan apapun agar bisa bertukar posisi denganku, dan ada seorang
cewek yang mau melakukan aksi bunuh diri konyol dengan menyatakan perasaannya pada
Gavner, tapi Gavner tau cara menolak dengan baik, dia malah menghadiahkan si cewek malang
itu dengan hadiah kecupan kecil tanda pertemanan di pipi. Sementara para cowok tidak begitu
menyukai Gavner, pertama, karena iri dan yang kedua karena dia pantas di benci
Hari ini Sabtu, sekolah sudah bubar tak kusangka Dante datang dan menghampiri.
"Ghie aku mau ngomong" dan Dante memegang tanganku mencoba mengajakku pergi,
tapi Gavner dengan cepat menahanku, mengeggam tanganku yang lain, lebih tepatnya
mencengkram dengan kuat. Dante tak bisa membawaku. Dante kesal, dan mungkin seminggu ini
adalah saatnya untuk memuntahkan semua kemarahannya, dengan tiba-tiba dia mengarahkan
sebuah tinju ke muka Gavner, Gavner limbung dan jatuh ke tanah, terjadi begitu cepat dan tak
terduga, aku merasa ketakutan ketika kulihat Gavner tak bergerak, dia pingsan.
Beberapa anak yang masih berada di parkiran berlarian, seharusnya sekolah sudah bubar
tapi anak-anak memang banyak yang betah nongkrong di sekolah, UKS sudah tutup jadi kupikir
lebih baik membawa Gavner ke rumah sakit terdekat.
"Ghie?" aku mendengar suara Dante "Ghie"gue nggak"."
Gazka tiba-tiba muncul di tengah-tengah kerumunan terlihat begitu khawatir, dan dengan
cepat meminta bantuan beberapa anak, untuk menggotong Gavner ke dalam mobil, kutinggalkan
Dante dan buru-buru masuk mobil, lalu Gazka membawa mobil melaju keluar dari sekolah.
*** Aku melihat ada kekhawatiran di wajah Gazka yang terdiam, kami masih menunggu
Gavner di periksa, aku berpikir itu bukan pukulan telak, seharusnya itu tak masalah, mungkin
Gavner bisa sja bangkit atau menangkis serangan Dante, atau setidaknya akan lebih baik jika ada
perkelahian bukan hanya satu pukulan tapi berdampak sehebat ini. Dokter sudah keluar dan kami
diminta menemui Gavner. Dia terlihat pucat dan menyedihkan, kududuk disisi tempat tidurnya, Gavner memegang
tanganku, ingin kutepis tapi tak cukup tega untuk melakukan itu.
"Katakan kamu mengkhawatirkan aku?" Katanya lemah.
Aku tak menjawab "Bilang kalo kamu mengkhawatirkan aku?" ulangnya lagi, aku masih terdiam.
"Ka, please, tinggalin kami berdua" Gazka menurut dan berlalu pergi.
"Ghie"please, bilang kalo kamu khawatirin aku!"
Aku tak bisa menjawabnya dan juga tak ingin
"Ghie! Aku mohon kamu bilang bahwa kamu khawatirin aku dan kamu takut kalo hal
yang buruk terjadi padaku."
Aku masih diam, tak sanggup menatapnya hanya menunduk, lebih mudah bagiku untuk
berpura-pura menjadi manekin.
"Ghie bilang, kalo kamu takut dan khawatirin aku"
Aku menangis mendengar teriakannya, dia memaksa, dia suka marah, dia bertindak
kasar, Gavner, bagaimana bisa ada seseorang yang mempunyai kepribadiaan sekeras ini, Ni"
pernah bilang, ada satu cirri khas laki-laki bangsawan kami, yaitu koro, koro adalah sifat keras
seperti yang dimiliki Gavner.
"Ghie bilang kalo kamu khawatir, bilang kamu khawatir!" dia berteriak seperti orang tak
sadarkan diri. Aku masih tak mau meresponnya, aku bosan, aku muak, seharusnya aku iba, tapi tak
ingin kulakukan, seharusnya Dante memukulnya lebih keras lagi. Dalam keadaan seperti inipun
dia masih mampu bertingkah sekesar ini.
"Ghie bilang kalo kamu khawatirin aku" Suaranya berubah, berat dan serak, tak kusangka
Gavner menangis, aku masih tak ingin bergerak. Gavner seperti orang berkepribadian ganda
"Please Ghie aku mohon bilang kamu khawatirin aku!" Dia benar-benar menangis, dan secara
naluriah ketika kulihat air mata itu, aku memeluknya. Gavner tak berteriak atau bicara lagi dalam
isakannya, tapi aku tau air matanya masih mengalir, Gavner terlalu kekanak-kanakankah"
"Ghie, aku tau kamu sama sekali nggak menyayangiku, salahku, sikap dan sifatkulah
yang bikin semuanya jadi seperti ini, ini semua keegoisanku?"Dia seperti tertawa tapi juga
terisak. "Tapi aku mohon Ghie, bila seandainya kamu nggak bisa mencintaiku, tapi seenggaknya
berpura-puralah, aku mohon" Gavner mencium tanganku, aku tak berani menatap wajahnya, tapi
aku memaksakan diri, sinar mata itu lagi, sinar matanya yang dulu, sinar mata hazel yang
mellow. "Berpura-puralah untuk waktu yang tak lama, Ghie waktuku nggak lama Ghie, beberapa
bulan lagi, aku sekarat Ghie" Lalu Gavner terisak lagi, mau tak mau aku menangis, dan kali ini
memeluknya. Inikah sebabnya dia bertindak seperti ini, seharusnya dia mengatakan sejak awal.
"Ghie"pertama kali melihatmu, berurai air mata di pemakaman mamamu, membuatku berpikir
mungkin kamu bisa jadi orang yang tepat untukku berbagi kesedihan ini, tapi ternyata aku salah,
kamu bahkan tak mampu mengobati kesedihanmu, aku hanya menambahkannya, menambah
penderitaanmu, Aku merasakan Gavner mencium puncak kepalaku, kali ini aku berbaring
disisinya memeluknya, mencoba memahami kesedihannya."Aku menderita ALS- Amyotrophic
Lateral Sclerosis, Lou Gehrig"s disease, aku rasa kamu tau apa itu Ghie, sebentar lagi aku akan
mengalami kelumpuhan, aku nggak ingin itu terjadi."Gavner menangis seperti anak kecil,
isakannya menyayat hati, akupun ikut menangis, dan memperata pelukanku."Aku nggak mau
berakhir di kursi roda, tak ingin berakhir menjadi seonggok tubuh tanpa daya di tempat tidur."
Dia menangis aku tau dari isakannya, tak ingin lagi melihat air mata itu, kutatap dia kali ini
bukan lagi tatapan mendelik tapi tatapan penuh pengertian, kuhapus air matanya, kubelai
rambutnya, dia terlihat begitu menyedihkan, kuberikan kecupan sayang di keningnya.
"Gavner, untuk kali ini aku berjanji, aku akan berusaha untuk menyayangimu, aku
berjanji."Sekali lagi aku mencium keningnya, aku menangis lagi manakala dia mulai berbicara.
"Kasih sayang yang tulus Ghie, bukan hanya iba."
"Ya, aku janji" dan aku memeluknya, malam itu aku menemaninya hingga terlelap,
mencoba memahami posisinya, mencoba untuk mulai mencintainya.
Dua Puluh Enam Setengah mengantuk, aku keluar kamar, dan kulihat Gazka bersama seseorang, Dante.
Ada penyesalan saat melihatnya, seandainya ia tau, mungkin dia takkan pernah melakukan hal
sekasar itu pada Dante, pada dasarnya Dante bukan orang yang mudah emosi, dia hanya lepas
control dan sejujurnya siapapun pasti akan lepas kendali bila jadi dirinya. Gazka mendongak,
kulihat matanya memerah menahan kantuk, dia memandangiku dan Dante secara bergantian, tapi
tanpa bicara. "Ghie?" Dante memanggilku.
"Aku mau ke kantin, aku perlu sedikit kafein, Ka, bisa tolong jagain Gavner bentar." Aku
mencoba mengabaikan Dante.
"Please Ghie, gue mau ngomong." Aku takkan setega ini membuatnya harus berusaha
keras hanya untuk untuk menjelaskan apa yang memberatkannya, aku yakin dia hanya punya
alasan untuk melakukan hal seburuk itu pada Gavner.
"Oke." Dan kami beriringan ke cafeteria rumah sakit yang mulai sepi, ini jam empat
pagi, dimana-mana aku hanya melihat, wajah-wajah lelah mengantuk, dan bosan.
*** Dante membawakan dua cup hot cappucino dan donat coklat, aku menyesap cappucinoku dan menatap Dante, sejujurnya aku merindukan bisa bicara berdua lagi dengan Dante, tapi
entah mengapa, ada perasaan bersalah ketika sekarang, aku hanya berdua saja dengan Dante
tanpa sepengetahuan Gavner.
"Gavner oke" Gue merasa bersalah, gue minta maaf"
"Gavner?" Aku ingin menangis, aku ingin menceritakan semua pada Dante, tapi aku
yakin Gavner tak menginginkan ini, Gavner tak ingin orang lain merasa iba padanya. "Gavner
cuma sakit biasa, dia memang agak lemah, kondisinya memang sedang nggak fit, nggak usah
khawatir, makasih sudah mengkhawatirkannya, Dante kamu boleh pulang sekarang." Dante
menyentuh punggung tanganku, cepat-cepat kutepis.
"Aku kangen kamu Ghie"
"Aku juga" tapi tak kuucaapkan itu hanya bisikkan hatiku."Aku tau"
"Eve bilang, kamu sayangnya sama aku kan" bukan Gavner!" Dia mencoba meyakinkan
diri. "Bukan saat yang tepat untuk bahas masalah perasaan sekarang"
"Ghie"please"
"Dante, seberapapun sayangnya aku ke kamu,
sebaiknya, sekarang kita lupain kita
anggap ini masa lalu, aku cuma nggak mau menyakiti siapapun." Aku meyesap cappucino-ku
lagi, hanya untuk melakukan sesuatu dan tak hanya fokus memandang wajah Dante yang terlihat
suram sekarang. "Minimal, kamu jujur dengan hatimu"
"Aku tau yang terbaik, aku mau menjalani ini dengan Gavner, terima kasih buat
semuanya, terima kasih karena telah menyayangiku." Aku mengusap punggung tangannya, dan
berlalu, aku tak lebih lama bersamanya. Begitu berat rasanya, tapi harus kulakukan, dan
Dantepun tak coba menghentikan langkahku.
*** "Ketika aku hendak masuk lagi ke kamar perawatan Gavner, aku berhenti sejenak,
tanganku langsung membeku di pegangan pintu. Gavner dan Gazka terlibat pembicaraan serius,
bukan maksudku untuk menguping, aku hanya ingin tau.
"Ner, loe masih punya harapan hidup dua atau lima tahun ke depan, bahkan Steven
Hawking bisa hidup 47 tahun, kamu bisa mendapatkan perawatan terbaik, Bokap elo bisa
memberikan segala fasilitas kesehatan terbaik."
"Elo bicara seolah-olah beliau bukan Papa elo juga"
"Bukan, karena kami tidak terikat secara emosional. Hey belum lupa kan" Gue yang
membunuh istrinya karena melahirkan gue, menemuinya hanya sekali dalam beberapa tahun,
itupun lebih banyak dia ngabaiin gue dan nggak pernah sekalipun menatap wajah gue. Tragis,
kasihan ya gue?" Gazka menertawakan dirinya.
"Dia juga sayang sama elo, elo cuma nggak tau"
"Nggak, kayak dia nyayangin elo!"
"Please Ka, jangan sampai Papa tau tentang ini, gue mau elo janji satu hal, gue nggak
ingin hidup lebih lama, gue hanya minta waktu beberapa bulan, hanya beberapa bulan, sebelum
penyakit ini terlalu dalam menyiksa hidup gue, gue nggak ingin terlalu banyak merepotkan orang
lain." "Apa sih yang elo omongin" kita sudah deal tak ingin membicarakan hal ini lagi, oke"
Ingat, gue nggak bakal ngelakuin ini buat elo, nggak bakalan Gavner!"
"Walaupun ini permintaan terakhir gue?"
"Jangan paksa gue."
"Baiklah, gue akan melakukannya sendiri, itu bukan hal yang sulit selagi gue mampu
melakukannya sendiri."
"Jangan konyol Gavner! Hey"
"Elo nggak mau melakukan itu untuk gue, gue cuma minta elo untuk seenggaknya
meringankan penderitaan gue, cuma itu, ini permintaan seorang saudara, elo nggak tau rasanya
ketika saat ulang tahun ketujuh belas, alih-alih elo mendapatkan kado elo malah udah tau
bagaimana cara elo bakal mati! Berat rasanya Ka, cuma elo sodara gue, dan gue merasa bersalah
untuk semua kasih sayang Papa yang nggak bisa elo rasain, seharusnya itu juga buat elo, setelah
gue nggak ada maka semua kasih sayang Papa buat elo, anggap aja dengan membiarkan gue
Putri Berdarah Ungu Karya Citra Rizcha Maya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pergi secepatnya elo dan Papa bisa lebih dekat secepatnya, elo cuma perlu nyuapin gue dengan
ini, cuma beberapa sendok, nggak sulit Ka." Aku tak tau apa yang Gavner maksud, ingin
kukeluar dari balik pintu dan mengambil benda apakah yang dia inginkan untuk mengahabisi
nyawanya, tapi aku hanya berdiri membeku sambil terisak disini, aku benar-benar pengecut.
"Gue nggak bisa Ner"
"Please" "Itu sama aja kayak gue bunuh elo."
"Cepat atau lambat gue juga bakal mati, ini cara terindah untuk gue bisa pergi dengan
bahagia." Lama berselang tanpa suara, sampai aku kembali mendengar suara Gavner.
"Terima kasih Gazka, mari kita nikmati waktu selagi kita bersama, sebelum gue minta
elo untuk melakukannya."
Dua Puluh Tujuh Ada yang bilang kadang sulit mencintai seseorang kalau kamu tak bisa melihat sebagian
dari dirimu tercermin pada diri mereka, ini tentang Gavner ini tentang Dante. Dengan Gavner
aku merasa sama, memiliki tatapan mata yang menyimpan banyak kesedihan, tatapan mata inilah
yang membuat Gavner jatuh cinta, tatapan mata inilah yang dipikir Gavner akan mengerti
tentang kesedihan-kesedihan yang dialaminya, sementara dengan Dante aku merasa memiliki
kesamaan yang tak bisa dijelaskan, kami nyaris identik dalam hal yang tak bisa kujelaskan,
karena ketika menatapnya aku melihat sebagian dari wajahku ada pada wajahnya, entah ini
halusinasiku saja. Malam minggu ini, kami habiskan di Rumah Sakit, Gavner baru boleh pulang besok, dia
terlihat sehat dan tak ada tanda-tanda menyimpan derita kesakitan, dia percaya bahwa obat
terbaik untuk suatu penyakit adalah dengan berpura-pura untuk tidak merasakan sakit, tapi dia
tak pernah berpikir positif dan optimis untuk sebuah kesembuhan. Dia bilang dia hanya akan
bertambah sakit bila harus minum obat-obat tak berguna itu dan mengikuti terapi-terapi payah
yang dipikirnya hanya akan mengurangi waktunya sebelum dia benar-benar pergi.
"Ketika kematianmu sudah ditentukan, tak ada gunanya untuk berusaha lari darinya,
terimalah dan nikmati waktu selagi masih bisa" Gavner tersenyum padaku sambil menggengam
tanganku, ini jam 2 pagi dan yang kami lakukan adalah duduk di atap rumah sakit sambil
memandang bintang-bintang. "Ghie sejak kecil aku suka menatap langit di tengah malam buta,
masih ingat ketika aku menculikmu dan membawamu ke rumah pohonku?"
Aku mengangguk dan tersenyum, dia mengusap pipiku lembut.
"Sejak kecil, aku melakukannya, keluar di malam buta untuk menikmati keindahan
langit, hanya dengan menatap bintang-bintang dan berada di diketinggian yang mendekati langit
membuat bocah kecil ini dulu percaya, bahwa Tuhan akan mendengar doanya, aku menunggu
lama untuk doa itu, ingin tau apa doaku?"
"Katakan" "Aku selalu berdoa agar aku bisa berada di sisi mamaku, di sana disamping Tuhan,
orang-orang selalu bilang bahwa kematian yang terlalu cepat adalah suatu pertanda bahwa Tuhan
menyayangi orang tersebut itulah sebabnya aku ingin pergi begitu cepat, aku tak pernah
mengenal mama, hanya mengetahui siapa dia melalui foto, potongan-potongan cerita yang
dituturkan berbeda oleh orang-orang yang mengenalnya, dan juga kenangan yang kuciptakan
sendiri dengan imajinasi anak kecilku, namanya Cecily, berdarah Prancis, bertemu papa di
Universitas saat belajar Sosiologi di Cornell, Amerika, saling jatuh cinta dan walaupun ditentang
tapi akhirnya mereka menikah. Setahun setelah kelahiranku, mama melahirkan Gazka, dan tragis
saat Gazka datang mama pergi, papaku mengalami penderitaan terdalam, Gazka dibawa keluar
dari Bala", diasuh oleh abdi keluarga kami, dia mengalami hidup yang keras, pindah dari satu
tempat ke tempat lainnya, aku bersedih untuknya, aku bersedih untuk kesedihan papa karena
begitu kehilangan hingga tak menyadari kehadiran putranya. Ketika aku pergi nanti, aku ingin
agar Gazka kembali pulang, aku ingin papa tau bahwa selain aku dia memiliki putra yang
lainnya.", "Aku ikut bersedih untuk Gazka"
"Ghie, terima kasih"
"Untuk apa?" "Karena telah mengerti karena telah menjadi pendengar yang baik."
Sekarang itu tugasku, mendengarkan semua yang ingin di katakannya, kukecup pipinya,
dan kuajak dia kembali ke kamar, sebelum perawat mencarinya.
*** Kami pulang ke rumah siangnya, Gavner memaksa dan dan berkata bahwa justru
rumah sakit menyiksanya dan membuatnya terpenjara. Nanny dan Eve yang siang itu ada di
rumah terperangan melihat sikapku yang berubah terhadap Gavner, itu membuat Eve keberatan
"Ghie, gimana bisa?" dia berkacak pinggang "Gavner itu kasar!"
"Nggak dia berbeda, kekasarannya hanya cara untuk mendirikan proteksi dirinya"
"Elo nggak bisa jatuh cinta padanya, elo nggak boleh! Kasihan Dante!"
"Gue tau, nggak bisa buat gue ngelupain Dante, tapi gue terikat dengan Gavner, gue
mesti ngerelain hati gue, dan Dante juga harus terima kenyataan bahwa gue nggak bisa lagi sama
dia, kita udah pisah baik-baik, dan sekarang gue ingin belajar untuk jatuh cinta pada Gavner."
"Gue denger insiden kemaren, Gavner oke?"
"Ya." "Jadi sekarang elo yakin untuk menjalani ini dengan Gavner?"
"Iya Eve, gue ingin Gavner bahagia"
"Dengan ngorbanin kebahagian elo?"
"Dalam hidup ini, kadang kita mengorbankan banyak hal agar hidup bisa berjalan
dengan baik." "Oke Ghie hentiin kuliah filsafatmu, mau nongkrong malam ini di tempat biasa?"
"Malam ini gue mau nyiapin kejutan buat Gavner"
"Kejutan?" "Bantu gue buat nyiapin romantic candelight dinner, ya?"
Dan sebagai teman yang baik Eve tak bisa menolak.
Dua Puluh Delapan Untunglah Gazka mau diajak kerjasama, dia membawa Gavner keluar rumah agar dia
tak tau bahwa aku menyiapkan kejutan untuknya. Ternyata, merancang romantic candelight
dinner bukan hal yang mudah, aku sama sekali tak punya ide, dan akhirnya aku menyontek ide
menu di situs divinedinnerparty, jadi menu malam ini adalah;
Skewers of Melon, Jam?n, and
Mini Mozzarella as appetizer, Rack of Lamb with Herbes de Provence and Roasted Tomatoes as
Main Dish, dan Nutella Mousse as dessert, juga champagne dan strawberry, aku sebenarnya tak
ingin memasukan champagne, tapi Eve memaksa, ya sudahlah. Eve tak banyak membantu di
dapur, Nanny-lah yang terbaik untuk ini, dan aku lebih banyak ngerecokin daripada membantu,
Nanny senang, setidaknya Gavner bisa membuatku turun dapur, kata Nanny wanita yang baik
adalah wanita yang mau memasak untuk pasangannya, aku berusaha untuk itu.
"Nanny, boleh kan, malam ini tinggalin aku berdua saja dengan Gavner" Aku mau
semuanya sempurna, aku mau dia benar-benar merasakan bahwa aku berusaha untuk mencoba
mencintainya.".Aku memohon.
"Tentu saja sayang"
*** Aku merasa deg-degan, hanya berdua saja dengan Gavner, aku memeriksa ulang
menunya, lilin-lilinnya juga musik dan tentu saja diriku sendiri, berulang kali aku memandang
cermin, membolak-balik tubuhku memeriksa segalanya, apakah aku berjerawat, apakah
hidungku berminyak, atau apa poniku jatuh sempurna menutupi dahiku, aku merasa agak konyol,
tapi sebenarnya aku hanya ingin terlihat sempurna, itu saja.
Aku mendengar suara mobil masuk, dan buru-buru berlari menyambut Gavner di pintu,
tak lupa kusambar syalku, itu untuk menutup matanya nanti.
"Hey?"sapaku lembut, Gavner tersenyum.
Sebelum mengejutkannya aku malah terkejut, dia membawakanku seikat bunga.
"Aku nggak tau bunga favoritmu apa, tapi kupikir mawar pink" dia memandangku,
"sepertinya cocok dengan gaunmu, you look beautiful tonight." Aku menerimanya dengan hati
yang harus kuakui, yeah agak berbunga, bukankah semua cewek selalu suka bunga dan merasa
istimewa bila dihadiahkan bunga"
"Mau merayakan sesuatu malam ini?" tanyaku agak malu.
Mawar, Gavner yang terlihat luar biasa menawan, dan suasananya yang romantis
membuatku bersemu secara alami, Gavner masih belum mengerti tapi aku dengan cepat
mengikatkan syal di matanya, aku menuntunnya ke taman belakang di dekat kolam, suara merdu
Ronan Keating mengalun merdu dalam lagu If Tomorrow Never Comes.
"Ghie, kamu mau ngerjain aku ya" Ini pasti ide Gazka?"
"Sssssstttttt" "Kenapa mesti pake acara nutup mata segala?"
"Kamu banyak nanya ya"
"Oke, aku diam! Tapi janji ini bukan sesuatu hal yang konyol!"
"Yeah" I promise "
Kami berhenti melangkah, karena kami sudah berdiri di samping meja dengan menu
yang contekan resepnya baru dipraktekan tadi.
"Oke, sekarang aku bakalan buka penutup mata kamu"
"Jangan bikin kejutan yang konyol"
"Iya, aku janji" dan setelah penutup matanya terbuka, Gavner mengedarkan
pandangannya ke segala arah, memandang takjub dan tersenyum, lilin-lilin mengapung indah di
kolam membentuk kata Je T"aime, itu artinya aku mencintaimu dalam bahasa Prancis, yeah
Gavner berdarah setengah Prancis.
"Merci Ghie" Gavner mengusap kepalaku, dengan canggung dia memelukku pelan.
Aku tersenyum padanya. "Suka?" "Sangat, aku tau kamu udah berusaha untuk malam ini, merci beaucoup"
Aku senang melihatnya tersenyum, matanya terlihat berbinar, sangat indah dan alunan
lembut lagu Tonight I Celebrate My Love membuat Gavner langsung punya ide romantis.
"Wanna dance?" Aku mengangguk setuju dan menyambut uluran tangannya, kami mulai berdansa,
satunya tangannya mengenggam tanganku dan satu lagi berada di pinggangku, dengan kikuk
kuletakkan satu tanganku di bahunya, rasanya aneh, rasanya ini seperti yang seharusnya tapi ini
juga membuatku merasa bersalah, tapi cepat-cepat kutepis rasa bersalahku, aku memiliki janji
yang tak bisa kuingkari. "Suasana dan lagu ini membuatku tersinggung" Komentar Gavner, seperti ingin
membuat lelucon tapi karena keluar dari bibir Gavner alih-alih terdengar konyol itu malah
terdengar serius. Sadar aku tak tau harus bereaksi bagaimana, dia melanjutkan untuk berbicara
"Pernah nonton film Beauty and The Beast" Suasana ini mengingatkanku pada saat Belle dan
Beast berdansa, Beast yang mengerikan dan kasar berdansa dengan si cantik Belle di purinya
yang dingin, sedingin hatinya yang kesepian, Beast bukanlah monster yang mengerikan Beast
hanya seorang pangeran malang yang dikutuk, Beast hanya makhluk yang kurang beruntung, tapi
Belle membawa kebahagiaan untuk hidupnya yang suram, membuatnya lupa atas segala
kemalangannya. Kamu seperti Belle dan aku seperti Beast, yang kurang hanyalah tidak ada lilinlilin dan poci teh yang bisa bicara."
"Tapi kamu bukan pangeran yang dikutuk menjadi makhluk besar mengerikan."
"Tapi aku dikutuk dengan cara yang berbeda, cara yang sangat tak menyenangkan, aku
kesepian, nyaris tanpa kasih sayang dan yang pasti, tanpa perlu dibilangin lagi kamu sudah tau
apa itu. Tolong jangan kasihani aku Ghie"
Aku mengangguk dan memberinya senyum penuh pengertian
" Hmmm"mau nyoba masakan aku?" Opss"sebenarnya ini masakan Nanny.
Gavner bertindak bak pangeran sejati, dia menarikkan kursi untukku dan
mempersilahkanku duduk. Gavner tersenyum disaat-saat tertentu, dan dia lebih banyak
tersenyum ketika aku tak melihatnya, aku mencuri-curi pandang untuk melihatnya tersenyum,
dan dia akan berhenti tersenyum ketika dia sadar aku melihatnya. Gavner seharusnya bisa
tersenyum lepas dan tertawa bebas, seharusnya dia tak menahan senym dan tawanya, dia agak
terlalu keras terhadap dirinya sendiri.
"Ghie"semuanya lezat, cuma, rasanya ini lucu, tampangku mungkin bukan tampang
lokal, tapi sejujurnya aku lebih suka makanan lokal, tapi terima kasih, aku suka usahamu, lain
kali maukah kamu memasak masakan tradisonal khas kita" Jangan liat tampangku liat siapa aku
yang sebenarnya. " Gavner tertawa kecil, dia masih saja menahan tawanya.
"Oke, aku pengen belajar masak, kayaknya menyenangkan, tapi apa aku boleh minta
satu hal?" "Apa?" "Aku pengen lihat kamu yang bisa tersenyum dan tertawa lepas."
"Buat agar aku bisa tersenyum dan tertawa lepas,oke?"
Dan dia tersenyum, sebuah senyum lebar yang manis, yang memperlihatkan deretan
giginya yang putih dan rapi. Gavner sangat mempesona. Semoga melihat senyumannya akan
membuatku sedikit demi sedikit jatuh cinta padanya.
*** Setelah makan malam Gavner mengajakku untuk duduk-duduk di bangku taman, rasanya
agak kurang nyaman, dengan segera dia menuju kamarnya dan mengambil selimut serta sebuah
bantal, sebuah kotak berpita terlihat dari balik selimut yang ketika kulihat cepat-cepat
disembunyikannya, aku pura-pura tak melihatnya. Gavner mengajakku berbaring, akupun
berbaring disampingnya, dia menggenggam tanganku, aku tersenyum padanya, dia menatap
takjub ke langit, dia selalu terpesona dengan langit di malam hari, akupun mengikutinya, aku
berhenti memandang wajahnya dan mulai memandang bintang-bintang di langit, malam ini
langit sangat indah, taburan bintang berkilauan di angkasa dan bulan tersenyum malu-malu
memancarkan cahaya temaramnya.
"Kamu percaya dengan keajaiban bintang jatuh yang bisa mengabulkan keinginan?"
Tanyaku pelan. "Aku suka keajaiban, tapi aku belum pernah mendapatkan keajaiban itu"
"Jika ada bintang jatuh "apa kamu mau seenggaknya minta sesuatu, anggaplah itu
sebagai sebuah?" "Jika keajaiban itu benar-benar ada, aku hanya akan minta satu hal"
"Apa?" "Aku ingin agar kamu bisa mencintaiku" dan semoga ini adalah keajaiban, pada saat
Gavner mengucapkannya sebuah bintang jatuh melintas, cahaya keperakannya seakan
menggores langit dengan kejaibannya. Aku memandangnya, dia memandangku, apakah ini
pertanda agar Gavner bisa mempercayai keajaiban" Tak ada yang berkata-kata, tapi ketika
Gavner menyentuh bibirku dengan bibirnya, aku tidak menolak, tapi malah membalasnya, dan
mencoba untuk menikmatinya, Gavner berhenti dan dia tersenyum kali ini dia mengabulkan
keinginanku, dia telah memberiku senyum terindahnya, senyum lepas penuh kebahagiaan. Sekali
lagi Gavner menciumku dan kali inipun aku membalasnya, aku mencoba merasakan
ciumannya,manis, sedikit manis dan agak misterius, agak seperti campuran antara rasa coklat
dan kopi. Tapi ditengah ciuman itu alarm pengingat di smart phone-ku berbunyi, Gavner dengan
cepat menyambarnya, dia ingin menghentikan nada membosankan yang mengganggu itu, tapi
ternyata apa yang terbaca di layar rupanya mengganggunya, aku sudah tau yang tertulis di sana
"My Dear Dante"s B"day" bagaimana bisa aku sebodoh ini tak mengganti namanya".
Gavner menatapku, sesaat aku meresahkan bagaimana sikap Gavner, tapi dia malah
tersenyum dan mengusap rambutku lalu mencium keningku.
"Ghie, beri dia surprise party, buat dengan sepenuh hati seperti kamu membuatkannya
untukku malam ini." Dan Gavner meninggalkanku masuk, sebelumnya dia meletakkan kotak
kecil berpita di pangkuanku.
Dua Puluh Sembilan Nyaris jam 12 malam, Gavner mengantarkan aku sampai di gerbang depan rumah Dante,
Lola, adiknya sudah menunggu di gerbang depan. Gavner sudah bersikap sangat baik hari ini, dia
tau aku masih menyayangi Dante, dan masih membolehkan aku untuk menyiapkan kejutan untuk
ulang tahunnya, sepulang sekolah Gavner menemaniku mencari kado, dia mengusulkan untuk
membelikan Dante sepasang sepatu basket, dan itulah yang menjadi kadonya setelah itu kami
memesan black forest dengan lilin berjumlah tujuh belas, aku merasa sedikit sakit ketika aku
yang bukan lagi sebagai pacarnya harus memberinya kejutan seperti ini, ada batasan yang tak
mungkin kulewati. Tapi Gavner menyemangatiku. Setelah Gavner berlalu aku memasuki rumah
Dante dengan Lola yang ada di sampingku, ingat Lola" Dia gadis yang melihatku memuntahkan
makananku dulu, dia yang mengatakannya pada Dante, dan Dante lah yang membuatku
meninggalkan kebiasaan burukku itu. Aku berterimakasih atas apa yang pernah Dante lakukan,
menyelamatkanku sebelum aku benar-benar terjatuh.
"La, orang rumah mana?" tanyaku berbasa-basi
"Mama sama Ayah keluar kota, ngunjungi keluarga, adik Ayah mau nikah" Mama Dante
menikah lagi ketika Dante berumur lima tahun, Ayah Dante orang yang bertemperamen keras,
hingga mamanya berkali-kali lari dari rumah, Dante pernah menceritakannya padaku dulu
bagaimana menderitanya hidupnya, bagaimana ia melewati kedai es krim dan hanya bisa
menelan ludah karena menginginkannya, dia pernah merasa kelaparan, hingga dia mati-matian
menyembuhkan aku dari anorexia-ku, dia beranggapan ada orang-orang yang sangat kelaparan
yang tak punya kesempatan untuk makan tapi disisi lain ada orang yang menolak untuk makan
padahal dia memiliki kesempatan untuk makan, dia merasa sedih melihat orang yang tak bisa
menghargai makanannya."Dante mana?"
"Di kamarnya, sejak putus dari mbak Ghie, dia sering mengurung diri di kamar, udah
nggak pernah latihan basket, tampangnya suntuk mulu, mama sampe khawatir, tapi mas Dante
tau kok, kalo mbak Ghie masih sayang kan sama mas Dante?" Lola dan aku mengobrol sambil
menyalakan lilin-lilin di atas kue.
"La" masalahnya nggak kayak gitu"
"Mbak, please tanya hati mbak, mbak sayang kan sama mas Dante?"
"La, mbak Ghie nggak bisa, mbak udah tunangan sama mas Gavner"
"Cowok bule itu?"
"Tampangnya doank yang bule, aslinya pribumi banget" aku mencoba untuk membuat ini
jadi sebuah lelucon. "Mbak Ghie beruntung ya, ada dua orang cowok yang sama-sama menyayangi mbak
Ghie, seharusnya mbak Ghie milih mas Dante, mas Dante udah lama jadi secret admirer-nya
mbak Ghie, tapi kan dari dulu mbak Ghie itu galak banget mas Dante sering cerita dulu, dia
malah nyebut mbak Ghie itu ratu kutub,mas Dante cerita gimana mbak Ghie sama dia itu
musuhan, mas Dante sering banget ngeselin mbak Ghie cuma untuk narik perhatian mbak Ghie,
mas Dante nyebelin ya?"
"Nggak La, mas Dante itu salah satu cowok paling baik yang pernah mbak Ghie kenal"
akhirnya, kami sampai di depan Dante, pintunya tertutup, terdengar petikan gitar, dan suara
Putri Berdarah Ungu Karya Citra Rizcha Maya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dante yang serak dan berat menyanyikan sebuah lagu, aku dan Lola, berhenti saling menatap dan
mendengar Dante bernyanyi, aku merasa dia bernyanyi dengan sepenuh hati, aku dan Lola hanya
berdiri dan mendengarkannya dari balik pintu.
Lay a whisper on my pillow,
leave the winter on the ground.
I wake up lonely, there's air of silence in the bedroom
and all around Touch me now, I close my eyes and dream away.
It must have been love but it's over now.
It must have been love but I lost it somehow.
It must have been love but it's over now.
From the moment we touched, 'til the time had run out.
Make-believing we're together that I'm sheltered by your heart.
But in and outside I've turned to water like a teardrop in your palm.
And it's a hard winters day, I dream away.
It must have been love but it's over now.
It's all that I wanted, now I'm living without.
It must have been love but it's over now,
it's where the water flows, it's where the wind blows.
Lagu yang dinyanyikannya menyentuh hatiku, bukan hanya Dante yang patah hati, bukan
hanya Dante yang kehilangan cinta ini. Aku tak dapat menahan air mataku, aku menangis, dan
Lola hanya menepuk bahuku, aku menguatkan diri, tak boleh lagi larut dalam kesedihan ini, aku
berusaha tersenyum ketika Lola membuka pintu dan meneriakan "Sureprise!!!"Dante terkejut
melihatku tapi aku memberinya senyum dan bersama-sama diantara tawa dan air mata aku dan
Lola menyanyikannya lagu.
"Happy birthday to you
You were born in the Zoo With the Lion and the Tiger
And the Monkey Like you"
Setelah itu Dante meniup lilinnya dalam lima kali tiupan, matanya terus menatap mataku,
tatapannya membuatku berdebar, Dante sebenarnya masih sangat kurindukan.
"Okey mas, happy b"day wish you all the best, kadonya nyusul, dah, Lola udah ngantuk,
bye mbak Ghie, have fun ya" Aku tau Lola hanya ingin meninggalkan kami berdua. Setelah Lola
pergi, aku duduk dengan Dante di Lantai kamarnya yang berkarpet motif zebra, kamarnya
bernuansa artistik, ada benda-benda antik, dan ada lukisan besar menarik di atas tempat tidurnya,
bergambar wanita cantik yang familiar, itu cuma lukisan, mata kadang menciptakan ilusi.
"Ghie, bagaimana bisa kamu disini dan ngasih gue kejutan kayak gini, kamu bilang kamu
harus tinggalin aku untuk Gavner tapi sekarang kamu hanya bikin aku berharap, kamu hanya
bikin aku makin nggak bisa bunuh cinta ini, Ghie, ngeliat kamu dari jauh itu nyiksa aku, liat
kamu disana dengan orang yang bukan aku itu sangat mengganggu hatiku, Ghie bilang apa
maumu"kalau kamu mau ninggalin aku please jangan bikin aku berharap kayak gini."
"Maaf?" "Ghie sejujurnya ngeliat kamu sekarang, disini rasanya kayak mimpi, tapi aku nggak tau
mesti bersikap bagaimana" pantas nggak kalau aku bersikap ke kamu kayak aku bersikap ke
kamu yang dulu, bukan kamu yang milik orang lain?"
"Dante, berat buat aku ninggalin kamu, dan nggak mungkin hilangin cinta ini begitu saja,
kamu tau ternyata meninggalkan itu ternyata sama menyakitkannya kayak ditinggalkan, rasanya
Gavner ngerti rasa itu, dia tau dihatiku masih ada cinta buat kamu, dia minta aku untuk
memberikan kejutan ini buat kamu, jadi"please anggap ini sebagai hadiah ulang tahun dari
orang yang pernah mencintaimu"
"Tapi bolehkan untuk malam ini aja aku minta kamu jadi cewek yang masih mencintai
aku, please Ghie"malam ini aja, jadikan itu sebagai permintaan terakhirku"
"Dante?" aku nggak tega ketika kulihat matanya berkaca, dan tak menghindar ketika dia
mengelus pipiku dengan penuh sayang, tapi ketika kurasa wajahnya mendekati wajahku, saat
bibirnya nyaris menyentuh bibirku, aku menghindar, dan berdiri, berjalan pelan ke arah lukisan
wanita di atas tempat tidur Dante.
"Lukisannya indah" aku sengaja mencari topik yang tidak mengarah ke pembahasan
perasaan lagi. " Itu peninggalan papaku"
"Oh, sorry" Aku tak bermaksud membuka kesedihannya, seberapun dia membenci
almarhum papanya karena ketidakbahagiaan yang papanya pernah lakukan di masa lalu, tapi
jauh dalam hatinya dia menyayangi pria itu, aku pernah menemaninya dulu
kesana,ke makamnya tanpa sengaja, dihari dia memintaku untuk menguburkan si Barbie, selalu setiap hari
jumat dia akan mengunjungi makam papanya.
"Papamu hebat ya, cantik sekali lukisannya". aku menyentuh lukisan itu, ada tanda di
sana sebuah kata, atau mungkin nama"bertuliskan Ayara, aku tersentak.
"Yeah, dia hebat, dan lukisan itu adalah hal yang paling dibenci mamaku, gadis di
lukisan itu adalah gadis yang pernah ada dalam hidup papaku, satu diantara sekian banyak
gadis." Dia berkata dengan nada sedikit mengejek. Aku merasa air mataku akan tumpah, aku tak
ingin bila ini adalah sebuah realita yang harus kuhadapi. Tak tahan, aku benar-benar menangis
sekarang, Dante menatapku dengan heran, tak yakin dengan apa yang menyebabkanku menangis.
"Ghie, kamu kenapa Ghie?"
Aku terisak makin keras, air mataku tak dapat kubendung, jadi ini alasannya kenapa
mamaku melemparinya, mamaku bisa saja terkejut, bisa saja disadarkan lagi dengan masa
lalunya, bisa saja itu berarti penyesalan, bisa saja itu berarti peringatan, dan larangan untuk
menjalani hubungan yang terlarang ini. Mungkin mamaku tau, mungkin wajah Arian tergambar
jelas di wajah Dante, mama mungkin mengingatnya, mama mungkin menebaknya, mama
mencoba untuk memperingatiku, aku merasakan kepedihan yang mendalam, Dante adalah
kesalahan terbesarku, Dante adalah penyesalanku.
"Ghie, kamu kenapa?" Dante kebingungan.
Aku tak kuasa untuk mengatakanya, aku tak ingin dia terluka, tapi aku tak ingin dia
berdosa karena terus mencintaiku.
"Jangan bilang papa kamu bernama Aryan" isakku.
"Bagaimana kamu bisa tau?"
Harusnya dia tak berbicara seperti itu
"Bagaimana kamu bisa tau papaku bernama Aryan?" dia menatapku tak percaya.
Aku terisak lagi, tak kuasa harus bicara tapi ini harus kukatakan.
"Gadis dilukisan itu adalah mamaku, dan papamu adalah orang yang telah menghamili
mamaku, dan bayi dalam kandungannya itu adalah aku, kamu tau maksudnya."Dan aku berlari
keluar dari rumahnya dengan segera, aku tak mendengar Dante memanggilku, kupikir diapun
sama terkejutnya seperti aku, aku berlari secepat kakiku bisa membawaku, dan disaat yang tepat
taxy berhenti di depanku, segera aku masuk ke dalam taxy dan menghempaskan diriku di jok
belakang, yang kuinginkan saat ini adalah berada di rumahku secepatnya, dan menyesali
segalanya. Tiga Puluh Aku menangis di pelukan Gavner, dia bahkan tak tau penyebab aku menangis, yang dia
lakukan hanya bersikap pengertian, mengelus rambutku dan hanya membiarkanku menangis
tanpa bertanya atau memaksa ingin tau. Gavner tau cara bersikap, yang aku butuhkan sekarang
hanyalah lengan untukku bersandar dalam tangisku. Ingin sekali aku menolak segala kenyataan
ini, tapi apa kuasaku" Aku hanya manusia biasa, Ingin sekali aku mengutuk ayahku, tapi siapa
aku" Aku bahkan terlahirkan karena andilnya, Ingin sekali aku kembali ke masa lalu" Tapi
apakah mungkin bagiku untuk mengubahnya, tak ada yang bisa mengubah masa lalu, kecuali
berpikir keras bahwa dalam ketidakwarasan dan gunakan imajinasi tinggi berharap mesin waktu
itu ada, dan aku adalah seorang time traveler, ingin kusadarkan mamaku sebelum dia membuat
kesalahan, sehingga dia takkan bertemu Aryan, ayahku, lebih baik jika aku tak ada, bila aku tak
ada, maka sakit yang kuderita ini takkan pernah kurasakan.
Kucoba kuatkan diriku dengan berkata pada hatiku, mencoba menasehatinya
membuatnya mengerti. "Inti dari hidup ini adalah berani menerima kenyataan, hey Ghie terimalah takdirmu,
berhentilah menjadi pengecut, buka matamu, hadapi semuanya! Terimalah! Dante dan kamu
memang terlihat sempurna bila bersama, itu kenapa"penyebabnya karena adanya ikatan darah
yang membuat kalian nyaris serupa! Kenapa kamu tak menyadarinya Ghie!" terlintas pikiran
gilaku lagi, ingin sekali kusayat-sayat tubuhku saat ini, tapi entah mengapa pelukan hangan
Gavner menenangkanku. "Lihat sisi terangnya gadis bodoh!" teriak otakku!"Apa lagi yang kamu cari" Dengan
begini maka takkan bisa bagimu untuk menghianati Gavner, dengan begini kamu hanya akan
mengorbankan hatimu tanpa perlu mengorbankan hati orang lain!"Air mataku semakin
merebak "Kamu tau siapa dirimu anak manja" si penanggung derita! Harusnya kamu hanya
perlu terbiasa, anggaplah ini cuma sesuatu yang hars coba kamu pahami, hidup kadang tidak
ramah, mencoba bertahan sekarang atau memilih melukai diri lagi?" Sebuah godaan melintas
diotakku, haruskah aku melepaskan pelukan hangat ini dan berlari kegelapan kamarku,
mengasihani diriku lebih dalam lagi di lantai dingin dengan merasakan pedihnya sayatan tajam
menyentuh kulitku, aku ingin lagi melihat indahnya darah, ingin lagi merasakan nikmatnya
kesakitan. Tapi kali ini ketenangan pelukanlah yang kuinginkan, aku tertidur dalam dekapan
hangat penuh cinta itu. *** "Hey Ghie" Gavner menyapaku dengan senyum manisnya, semalam dia tidur di sofa dan
membiarkan aku menguasai tempat tidurnya. "feel better?"
Aku mengangguk, entah untuk menyakini diriku bahwa aku belum mati dengan bergerak
atau itulah jawabanku untuk pertanyaan Gavner.
"Kalo udah siap untuk berbagi, kamu boleh datangi aku untuk menceritakan semuanya"
dia melihat jam tangannya. "Well, terlalu telat untuk ke sekolah, bolos sehari kayaknya masih
bisa ditoleransi" dan Gavner berlalu, keluar untuk merasakan matahari. "Sayang sekali hari ini,
aku telat untuk menyapa sang matahari." Dia bicara lagi dari balkon luar dengan suara yang
dikeraskan, setengah berteriak, agar aku bisa mendengarnya, aku memang mendengarnya, tapi
tak kutanggapi, rasanya dia mencoba untuk membuatku bersikap layaknya manusia.
Nanny, masih menikmati liburannya kurasa, dia belum kembali, Eve sekarang berada di
sekolah, aku butuh teman untuk berbicara, dan seharusnya aku tak mengatakan ini pada Gavner,
mengetahui bahwa Dante adalah saudaraku dan tak ingin mengakui realita dengan bersedih
sedemikian hebatnya, hanya akan membuat Gavner merasa bahwa sebenarnya aku masih
mencintai Dante, tapi aku tak punya pilihan lain, mungkin aku memang harus menceritakan
padanya. Aku perlu waktu, mungkin aku perlu berbaring dulu dan menunggu.
*** "Hal terberat adalah menucapkan selamat tinggal padahal kamu sedang jatuh cinta."
Kalimat Gavner menyentakku, membuatku bangkit dari pembaringanku, "Kamu masih sayang
kan sama Dante dan nggak pengen ngelepasin dia" Harusnya kamu menikmati pesta semalam,
aku membiarkanmu pergi menemuinya untuk membuatmubahagia, aku tak tau bahwa yang
kulakukan justru memnuatmu sedih, kamu berjuang untuk mencoba mencintai aku, tapi di sisi
lain kamu juga berjuang untuk mencoba merelakan perasaan sayangmu pada Dante, maafkan
keegoisanku, maafkan kesalahanku, aku merasa bersalah untuk semua air mata yang telah kamu
tumpahkan." Gavner berbicara dengan nada yang membuatku sedih, ini bukan kesalahannya, dia
bahkan tak mau memandang wajahku, dia menatap keluar jendela, dari belakang kupeluk dirinya
dan lagi-lagi aku menangis, Gavner mengelus tanganku yang memeluknya.
"Boleh cerita.."
"Apapun Ghie?" "Mecintai Dante adalah kesalahan terbesarku, ini bukan karena aku berat untuk
mencintainya, ini bukan masalah kayak gitu?"aku nyaris tak bisa menyelesaikan kalimatku
karena tenggorokanku terasa tercekat dan airmata membanjir lagi. "Ini rasa bersalah yang tak
termaafkan "salah satu alasan kepergian mama"."Aku terisak lagi, lebih dalam dan terasa
lebih perih, Gavner berbalik dan memelukku, lalu mencium puncak kepalaku berkali-kali, dia
menepuk-nepuk bahuku. "Semuanya hanya terlihat menyakitkan ketika kamu mengalaminya, dan akan terasa lebih
mudah setelah waktu mengikisnya, time always kills the pain."
"Nggak bisa menghapus sesal ini, nggak mungkin menghapus dosa ini" kataku dalam
nada tinggi karena emosiku memaksaku untuk berontak, kali ini Gavner tersentak, dia
mencengkram bahuku erat, dia menatap mataku, aku hanya mampu melihat wajahnya dalam
buram lewat sela airmata, tak ingin Gavner mengira-ngira maka kukatakan segalanya." Dante itu
saudaraku, ayah kami adalah pria yang sama" rasanya berat ketika kata itu akan kukeluarkan tapi
terasa lega sekarang, aku membenamkan diri lagi dalam pelukannya.
"Ghie"ketidaktahuan itulah yang membuatnya menjadi keliru, seandainya kamu tau
takkan mungkin untuk kamu membuat kesalahan ini, segalanya"begitu berat, tapi lihat sisi
positifnya, kehilangan dia sebagai "hmmm orang yang kamu sayang sebagai mantan pacar, dan
kamu dapatkan dia sebagai seorang saudara, Tuhan begitu baik, kadang kita kehilangan sesuatu
untuk mendapatkan sesuatu, berhentilah merasa bersalah, hmmm"tersenyumlah untuk aku."
Dan Gavner mencubit kedua pipiku dengan lembut hingga membentuk senyuman.
"Berbahagialah untuk yang kamu dapatkan, dan hentikan kesedihan untuk kehilangan, aku
menyayangimu." Dan sekali lagi Gavner memberikanku sebuah kecupan manis di kening.
Gavner benar, ada hal-hal yang harus hilang untuk menggantikan hal yang akan didapatkan, aku
akan berbahagia untuk yang kudapatkan, dan hentikan kehilangan untuk kesedihan, kata-katanya
bahkan terdengar sangat menyejukkan tak pernah kurasa sedamai ini, bila aku mendapatan rasa
ini lebih awal, maka takkan pernah bagi kulitku merasakan perih menyakitkan sayatan-sayatan
yang hanya menyenangkan otak gilaku, aku berjanji, sekarang aku hanya akan berakal sehat, aku
ingin berubah segala penderitaan hanya akan menjadi penderitaan yang takkan ada habisnya bila
aku membiarkan diriku berkubang di dalamnya, sudah saatnya untuk keluar dari lubang perih
yang kuciptakan sendiri. Tiga Puluh Satu "Dulu, aku sering menyakiti diri sendiri hanya untuk merasa nyaman" ini pengakuanku
pada Gavner. "Aku tau ini diluar kewarasan, tapi kadang keinginan untuk melihat cantiknya
warna darah itu memaksaku melakukannya, rasa sakit itu nikmat sekaligus perih, merasakan
sakitnya membuatku tenang." Aku memperlihatkan barisan luka sayatan di bahu kananku,
Gavner shock, dan memandangku sedih, tapi dia memberikan sebuah kecupan sayang diluka itu,
seakan kecupan itu bisa menyembuhkannya. "Seumur hidup aku telah membenci ayahku,
walaupun aku tak pernah mengenalnya, dan sekarang aku punya satu lagi alasan kuat untuk tak
bisa memaafkannya." Aku terisak, mengingat perubahan hubungan dan perasaan yang harus
kurubah sekarang untuk Dante. "Aku pernah membenci mama, sangat, karena ketidaktertarikannya padaku selama ini, tapi paling tidak dia ada di dekatku walaupun tak pernah
menatap mataku. Kenapa setiap apa yang kutau mengenai Papaku selalu saja membuatku
membencinya"aku ingin punya satu alasan untuk bisa mencintainya" Akupun menangis lagi.
Gavner memelukku dan mengusap rambutku, sesekali dia mengecup puncak kepalaku
dengan sayang, sebelumnya aku tak pernah memahami bahwa seandainya aku pernah memiliki
keajaiban yang bisa diberikan oleh sebuah pelukan hangat yang mendamaikan seperti ini, maka
takkan pernah bagiku untuk merasakan keinginan melakukan hal segila melukai diri sendiri.
"Kamu tau Ghie" setiap orang memiliki luka,dan ada sejenis luka yang tak tersembuhkan,
bukan karena luka itu begitu menyakitkan, tapi karena seseorang itu memang tak ingin
menyembuhkan lukanya, dia menikmati lukanya, sedihnya, kesakitannya, ingin terus
merasakannya, hanya agar kenangannya tak pernah hilang."
"Kadang aku merasa aku agak sakit jiwa" bisikku lirih.
"Memangnya di dunia ini siapa yang benar-benar waras" Nggak ada Ghie! Setiap orang
punya sisi gila, kewarasan hanya soal bagaimana kamu bertindak seharusnya sesuai dengan
aturan, tapi aku tau bahwa kadang-kadang kita juga perlu sedikit mengacaukan hidup kita,
kadang kita harus keluar dari zona nyaman untuk mencari sebuah resiko, hidup tanpa resiko
bukanlah hidup, dan hidup tanpa ujian yang menyakitkan tak layak disebut hidup, seberapapun
ujian hidupmu terasa menyakitkan, seharusnya itu membuatmu semakin tangguh, bukan malah
melemahkanmu." "Rasanya aku tak pernah bahagia?"
"Apa arti sebuah kebahagiaan" Kebahagiaan bukan tentang kesempurnaan, kebahagiaan
bukan tentang seberapa banyak yang kamu punya, kebahagiaan adalah rasa syukur tentang apa
yang kamu miliki bukannya malah menangisi yang tidak kamu miliki, kebahagiaan adalah ketika
merasakan hangatnya matahari menyentuh kulitmu, kebahagiaan adalah ketika kamu bisa
menikmati indahnya bintang-bintang, kebahagiaan adalah masih adanya kepercayaan tentang
kehidupan." Kata-kata Gavner membuka mataku, seorang yang tak pernah kuduga bisa menyadarkan
aku, aku menatap wajahnya, kulihat lagi sorot matanya yang sarat akan kesedihan, sorot mata
yang sama seperti yang kumiliki.
"Ghie, jika kita bicara tentang kesedihan dan penderitaan, aku dan kamu nyaris memiliki
kesedihan dan penderitaan yang lebih daripada dirasakan orang lain" aku menatap matanya yang
mulai berkaca-kaca. "Tapi yang kutau, kita bisa saja menderita seorang diri, dan diperlukan
setidaknya dua orang untuk bisa berbahagia, kita saling memiliki sekarang, jika kita memang
tidak memiliki kebahagiaan selama ini, sepertinya kita harus mulai dari sekarang,bila bahagia itu
belum juga mau datang, marilah kita berpura-pura untuk bahagia."
Aku mengangguk. *** Menjelang malam, aku dan Gavner memutuskan untuk mencari Dante ke sekolah, dan
benar saja dia sedang menyiksa dirinya di lapangan basket, hanya sendiri di tengah lapangan
sepi, latihan begitu keras, dia terlalu memaksakan diri, dia membuat dirinya begitu kelelahan,
tapi aku tau, apa yang dilakukannya pada bola orange itu adalah untuk membuatnya tenang,
menghempaskan bola itu dengan kasar, melemparinya, dan berkali-kali dia gagal memasukkan
bola yang biasanya dengan begitu mudah bisa dimasukkannya ke dalam ring, dari bangku
Putri Berdarah Ungu Karya Citra Rizcha Maya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penonton aku dan Gavner hanya menatapnya, sepertinya Dante belum menyadari kehadiran
kami, setelah setengah jam berlalu dan tampaknya dia begitu kelelahan, dia menghempaskan
bola malang itu dengan sangat keras, lalu berteriak dan membaringkan diri di lapangan, dia
terlihat sangat frustasi. Gavner memintaku pergi untuk menemuinya, dan aku melakukannya.
Dante terlentang, dan lengannya menutup matanya, dia tertidur atau dia hanya keletihan,
entahlah, aku telah berada di dekatnya, kulihat ke arah bangku penonton dan melihat ke tempat
seharusnya Gavner berda, dia telah pergi, mungkin dia hanya ingin aku berbicara berdua saja
dengan Dante. "Hey?"sapaku pelan, Dante menganggkat lengannya dari wajahnya, mengerjapkan
matanya beberapa kali dan memasang ekspresi yang membingungkan, aku tak bisa menjelaskan
mimic muka yang ditunjukkan Dante, aku merindukan wajah khas Dante yang sangat kukenal,
wajah bandel dengan cengiran jail dan mata penuh keceriaan.
"Hey?" dia bangkit dan duduk bersila, akupun melakukan hal yang sama duduk bersila
disampingnya, aku hanya ingin bicara, tapi ragu-ragu, tak tau harus memulainya dari mana.
"Latihan yang berat ya?"
"Bakal ada kompetisi bulan depan"
"Jangan terlalu paksa diri ya"
"Ghie"okay, thanks"
Lama kami berdiam diri, dan tak ada yang ingin memulai untuk bicara lagi, tapi Gavner
telah mengingatkanku, bahwa sebuah keharusan untuk memperbaiki keadaan ini, bila Dante tak
bisa memulainya, mungkin akulah yang harus berusaha.
"Boleh manggil kamu dengan sebutan"kakak, sekarang?" aku menangis ketika aku
mengucapkan permintaan yang terasa berat itu, seandainya bisa menolak takdir, tapi itu takkan
mungkin. Kulihat Dantepun menangis, tapi dia menggenggam tanganku.
"Seandainya bisa nolak Ghie?" hanya itu yang bisa dikatakannya, lalu dia mengusap
kepalaku dan berlalu. Tiga PuluhDua Menurut Gavner tak ada salahnya untukku mengunjungi makam Ayahku, walaupun hari
sudah malam, dan rasanya cukup mencekam ketika aku memasuki kompleks pekuburan, ini
bukan masalah ketakutan akan hantu atau semacamnya, buatku ini masalah jiwa-jiwa yang
terkubur di bawah sana, Gavner sebenarnya ingin menemaniku, tapi ketika melihat dari kejauhan
ada sosok Dante berada di sana Gavner memilih untuk menunggu di mobil saja.
Dante berpura-pura tak menyadari kedatanganku, sampai aku menyapanya dan dia tak
bisa berpura-pura lagi. "Aku nggak tau, ternyata kuburanku dan kuburan Papa berdampingan yah?" aku yakin
Dante masih mengingatnya, hari dimana dia mengajakku mengubur sebuah boneka Barbie yang
dia lambangkan sebagai diriku yang lama, kuburan si Barbie berada di samping kuburan orang
yang menyumbang sebagian dari dirinya dalam darahku.
Dante menatapku, datar, tanpa kata-kata, tanpa ekspresi, mungkin hal ini jauh lebih berat
untuk diterimanya, aku juga berat menghadapi kenyataan ini, tapi tak ada yang bisa kami
lakukan kecuali hanya bisa menerimanya, suka atau tidak suka.
"Ghie"ini salah siapa?" aku tak pernah menyangka suara pelan bergetar datang dari
bibir yang biasanya penuh canda ceria.
"Bukan siapa-siapa"
Dia membenamkan kepalanya di lututnya, kelihatan sekali dia sangat frustasi dengan
keadaan ini. "Apa yang harus kita lakukan Ghie?" katanya lagi, sangat lirih.
"Nggak ada, kecuali menerima kenyataan?"
"Ghie?" dia mentapku, matanya memerah, seperti menahan tangis dan marah disaat
bersamaan. "Gue nyoba Ghie, nyoba untuk maafin dia"Dante menyentuh nisan dingin, seolaholah itu adalah kepala ayah kami." Tapi gue nggak bisa" Dante terisak, air matanya tumpah,
setelah sekuat tenaga dia mencoba untuk menahannya. "Rasanya berdosa ketika kamu membenci
orang yang seharusnya kamu sayangi, yang kamu cintai, seseorang yang harusnya kamu hormati,
tapi ketika kamu semakin tak memiliki alasan untuk berbuat yang seharusnya, apa yang bisa
kamu lakukan?"dia memeluk kedua lututnya seolah itu bisa menguatkannya, ingin kupeluk dia,
tapi aku tak tau bagaimana caranya untuk memeluknya sebagai seorang saudara."Lima tahun,
ketika aku mulai mengerti, ketika aku memiliki naluri untuk melindungi tapi aku tak cukup kuat
mengganti sakit disekujur tubuh mamaku, yang kulakukan hanyalah memeluknya dan
menghapus air matanya, aku masih ingat dengan jelas, ketika Papa kehilangan akal sehatnya,
ketika mulutnya mengeluarkan makian kasar, Lola dan aku hanya akan berpelukan erat di sudut
kamar, dan mama juga menangis menahan sakit dan perih di hati juga diberbagai tempat
disekujur tubuhnya yang bisa disakiti Papa, kami pikir menin
ggalkannya akan membuatnya
berubah, tanpa kami ternyata dia semakin parah, kamu tak pernah tau bagaimana rasanya ketika
kamu memiliki tapi tanpa sebuah fungsi, lebih baik jika kamu tak pernah memilikinya Ghie."
Dante benar-benar meratapi kesedihan masa lalunya.
"Terlalu banyak jiwa yang disakitinya?"aku menatap langt, mencoba menahan air
mataku yang akan tumpah, mungkin aku memang harus menumpahkannya, aku menyerah pada
akhirnya. "Ada rasa trauma disini Ghie" dia menyentuh bagian dimana jantungnya berada
"kenangan buruk itu selalu menghantui malam-malamku, ada ketakutan seorang anak kecil, ada
dendam seorang remaja, ada perih dan penyesalan untuk masa lalu yang tak bisa tersentuh, yang
hanya bisa menciptakan kesedihan mendalam untuk hari ini."
"Seenggaknya kamu pernah memilikinya, bagaimanapun juga beliau Papa kita, tanpanya
kita takkan pernah ada." Hanya itu yang bisa kukatakan.
"Bila begini keadaannnya".Ghie, aku bahkan tak minta dilahirkan!" Dante berkata
dalam nada marah, rasanya seperti bukan dirinya.
"Dante"liat apa yang kamu dapatkan sekarang, keluarga yang bahagia, kamu
memilikinya" Aku mencoba mengingatkan keberuntungan yang dimilikinya, aku menghapus air
mataku dan tersenyum untuk meyakinkannya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya."Dante kamu
tau, mungkin ini yang terbaik, mungkin kita hanya perlu mengubah sedikit rasa ini, Dante
sayangi aku sebagai adikmu, please"aku bahkan nggak punya siapa-siapa lagi" tanpa kuduga
aku menumpahkan lagi air mataku, kurasakan perih itu lagi mengingat aku bahkan tak pernah tau
bagaimana rasanya memiliki cinta dari kedua orang tua, dan sekarang aku memiliki seorang
saudara, bukankah aku hanya meminta sedikit saja, tolong berikanlah sedikit cinta dari keluarga
sedarah. Dan kali ini Dante memelukku, pelukannya terasa berbeda, tak lagi membuatku bergetar
atau jantungku berdegup kencang, rasanya hangat dan terasa akrab, seperti selimut hangat dari
masa kecilku. "Kita coba untuk memaafkannya ya?"pintaku
"Semoga aku bisa"udah terlalu malam Ghie.. waktunya pulang"
Setelah itu, aku menyentuh nisan dingin itu, berharap dia yang di dalam sana merasakan
sentuhan dari putri yang tak pernah dikenalnya, kucoba membayangkan itu kulitnya, tapi aku
hanya merasakan benda mati yang beku, kutinggalkan seikat bunga Lily putih di sana, lalu
melangkah bergandengan dengan orang yang dulunya kekasihku, tapi secara cepat berubah arti
dan posisi menjadi seorang saudara yang kini memiliki ikatan darah, setelah sampai di pintu
mobil, dia mengusap rambutku dan berbicara pada Gavner.
"Tolong jaga ade" gue?"entah mengapa kalimat itu membuat air mataku menetes lagi.
Tiga Puluh Tiga Tidak ada seorangpun yang ingin membicarakan tentang kehilangannya, tapi apa yang
hilang dari diriku" Seorang kekasih" Tidak! Aku tidak kehilangan siapapun, cintanya hanya akan
sedikit berbeda sekarang, dan yang pasti cinta pada seorang saudara sedarah akan lebih kekal dan
abadi. Kami sedang berbaring di atas selimut yang tergelar di halaman belakang, Nanny sudah
mengomeli kami, embun akan membuat kami bersin-bersin esok pagi katanya dalam omelan
yang sejujurnya adalah sebuah nasehat. Tapi siapa yang peduli, Gavner begitu menyukai bintang
dan langit malam, menatapnya membuat Gavner tenang, itu yang selalu Gavner katakan
memandang bintang seperti memandang ibunya yang tersenyum dari surga.
"Feel better?" "Yups" "Hey, beri aku sedikit senyuman, supaya aku tau kamu nggak sedih lagi" pinta Gavner,
sebenarnya dia hanya ingin meyakinkan dirinya bahwa sekarang aku sudah lebih baik. Kuberi
dia senyumku, senyuman"terasa lebih mudah untukku membentuk sebuah senyuman sekarang,
ada kelegaan dalam hatiku."Itu baru sang putri?"katanya lagi sambil menyentuh pipiku dengan
lembut."Ghie"seandainya bisa selamanya melihatmu tersenyum" Kata-kata Gavner membuatku
kembali merasa pedih, aku tau maknanya, "Hmmm"lupakan!"dia tersenyum sekarang, dan
dalam diam sambil berpegangan tangan kami memandang indahnya langit malam itu.
*** Siang itu, rasanya seperti sebuah makan siang keluarga, di kantin ada aku, Gavner,
Dante, Gazka, dan juga Lola, awalnya agak canggung, tapi sudah seharusnya kami mulai
membiasakan diri, Dante sudah menceritakan segalanya pada Lola, sekarang aku juga memiliki
seorang saudara perempuan, betapa beruntungnya aku, seorang saudara laki-laki juga seorang
saudara perempuan, dan tentu saja aku memiliki seorang pangeran, pangeran yang saat ini telah
berjanji dengan sungguh-sungguh pada saudaraku bahwa dia akan selamanya menjagaku.
Gavner selalu mengenggam tanganku, sekarang bukan lagi sebuah pengekangan tapi berarti
sebuah perlindungan, aku tau inilah jalan untuk memberikan seluruh cintaku pada Gavner, cinta
yang sehrusnya bukanlah sebuah keterpaksaan apalagi hanya sebatas kasihan.
"Gavner, elo mesti perhatiin pola makan ade" gue yah, jangan sampe dia muntahin lagi
makannya kayak yang dulu-dulu" Dante mengingatkan Gavner, sekarang itu adalah wujud
perhatian seorang kakak. "Okay, I promise" Gavner berjanji padanya, aku melihat kesungguhan dalam tatapan
mata hazel indahnya. "Dante, bukannya kita udah sama-sama nguburin Ghie yang dulu, okay" sekarang aku
adalah Ghie yang baru, Ghie yang sangat beruntung karena memiliki kalian semua" Gavner
memelukku sekilas, dan Lola yang duduk di sampingku menciup pipiku dengan sayang, betapa
indahnya hidup ini. "Kalo gitu kita mesti rayain hal ini" teriak Gazka bersemangat, dan dia menjadi yang
pertama mengangkat gelas plastiknya yang berisi milkshake ke udara dan diikuti oleh kami
semua, dan o-oh terjadi insiden kecil, ketika Gavner mengangkat gelasnya ke udara, gelas
plastik itu terlepas begitu saja dari tangannya, dan dia menumpahkan orange juice ke atas meja
yang memercik ke segala arah, aku memandang Gavner ada sekilas ketakutan di wajahnya, aku
tau penderita ALS sedikit demi sedikit akan kehilangan control motoriknya, Gazka
menyadarinya dan dengan cepat dia juga menciprati milkshake-nya ke arahku, Gavner, Dante,
Lola, dan terakhir dia menumpahkan seluruh isi gelasnya ke kepalanya."Hey kadang kita perlu
membuat sedikit kekacauan kan?" teriaknya sambil tertawa-tawa. Aku tau Gazka berusaha
membuat saudaranya tak merasa putus asa dengan tanda-tanda penyakitnya yang mulai
melemahkan raganya dan menggerogotinya secara perlahan, kugenggam tangan Gavner, aku tau
yang dirasanya, tapi dia malah tersenyum padaku alih-alih dia menenangkan dirinya sendiri, dia
malah mengikuti permainan Gazka, merebut gelas milikku dan mulai menyiramiku, kami
berlima saling menyirami minuman dan melempari makanan yang ada di meja kami, aku merasa
sedikit bersalah, mengingat ada orang lain yang sangat kelaparan dan tidak mempunyai
makanan, sementara kami menjadikan makanan itu sebagai mainan, dalam hati aku
mengucapkan maaf yang terdalam, dan sisa siang itu kami menghabiskan waktu di BP karena
insiden mengacaukan kantin di jam istirahat, aku bukan lagi Ghie si panutan sekarang, tapi tak
apa, biarkan aku menikmati sedikit waktu untuk merasakan indahnya hidup ini, menikmati diri
jadi orang yang tak terlalu dibebani kehidupan, bagaimanapun hidup menuliskan kisah untuk
kujalani, yang bisa kulakukan hanyalah mencoba melewati dan menikmatinya, itu saja.
Tiga Puluh Empat "Ini gara-gara gue" Gazka setengah tertawa, "maaf menyeret kalian ke dalam
masalah"hahahaha" dia benar-benar tertawa lepas sekarang "Sang Pangeran, Putri Kebanggaan
sekolah, Kapten Tim Basket dan so sorry Lola, sebagai anak baru, terlalu dini buat elo untuk
bikin kasus, gue yang mulai, gue memang bego" diantara derai tawa Gazka aku dapat
menangkap maksudnya, sebuah ejekan untuk diri sendiri, tapi di sisi lain, dia hanya ingin
membuat suasana lebih baik. Ini bukanlah kesalahannya.
"Well, gue bukan lagi kebanggaan sekolah sejak Niken mulai bongkar anorexia gue" aku
mencoba mengingatkannya, berharap dia tak terlalu menyalahkan dirinya sendiri. "Tapi yang
pasti gue menikmati hari ini" aku menyentuh lengan Gavner, mengelusnya, ini sangat sensitif,
Gavner tau benar ini hanyalah usaha Gazka untuk menutupi penderitaannnya, aku tau ada
kekhawatiran dalam diri Gavner, ketika sedikit demi sedikit dia mulai kehilangan control
terhadap tubuhnya. "Peduli amat sama hukuman ini, gue bisa tidur seharian di rumah, gue perlu
mengistirahatkan diri gue dari segala penderitaan akibat masa lalu." Ucap Dante sambil berlalu
,membawa serta Lola yang melambaikan jari kelingkingnya sebagai tanda perpisahan, dia sangat
manis, saudara perempuanku.
Setelah Dante dan Lola pergi, Gavner mulai berbicara.
"Thanks udah nyelamatin aku" Gavner menatapku lama, sampai akhirnya dia mulai
bicara lagi "Ghie bisa tinggalin aku sama Gazka"
"Hmmmm"okay" dengan berat hati aku setuju, aku meninggalkan mereka yang kutau
akan berbicara serius di balik tembok lab Fisika, tapi entah mengapa, hatiku memintaku untuk
melakukan hal yang tak seharusnya, aku menguping.
"Ka, I feel unwell" aku tau itu suara Gavner.
"Elo mesti bilangin ini ke Papa, biar dia tau, dia bisa ngasih elo fasilitas kesehatan
terbaik" saran Gazka.
"Nggak Ka, nggak akan, elo tau apa yang paling gue pengenin, ketemu Mama."
"Jangan idiot Ner"
"Gue nggak idiot, gue cuma nggak mau terlalu irasional, kematian gue udah ditentuin,
dan gue pengen elo mempercepat kematian gue, bahkan sebelum gue terlalu merasakan
penderitaan ini. Elo udah janji, sebelum gue benar-benar sekarat, elo harus ngelakuin yang gue
minta, dan semuanya akan baik-baik saja"ada nada marah, ketakutan dan tangisan yang akan
pecah dalam suaranya. "Gavner! Please jangan bego! Setiap orang sudah ditentuin kematiannya, setiap orang
pasti akan mati!" "Tapi nggak semua tahu kapan waktu tepatnya!berapa lama gue bakal hidup, tiga sampai
lima tahun ke depan" Dalam penderitaan"dalam kecacatan" dalam belas kasih orang lain, yang
cuma ngeliat gue dalam rasa iba?" Gavner berteriak serak, tangisnya pecah.
Aku mengintip dari balik tembok yang dingin, merasakan kelembapan tembok itu, seperti
merasakan air mata di pipi Gavner, inginku berlari dan memeluknya, tapi Gazka telah
menggantikan pelukanku, dia memeluk saudaranya.
"Salah gue Ka, bawa Ghie dalam hidup gue, seandainya Dante bukanlah saudaranya,
Ghie bisa kembali setelah gue pergi, keegoisan gue yang membuat Ghie harus ikut menderita,
gue nggak memprediksi kemungkinan ini, niat gue hanya meminjam Ghie untuk menemani sisa
waktu gue, Ghie sedang terpuruk sekarang, yang bisa mendampingi Ghie sekarang cuma gue,
seandainya semuanya seperti yang gue harapkan, Ghie berada dibawah tekanan gue hanya
karena kewajibannya dalam perjodohona tolol yang gue rancang, seandainya Ghie cuma terpaksa
jalani ini, dan akan lebih mudah bila Ghie membenci gue gara-gara memisahkan dia dari Dante,
gue jatuh cinta pada pandangan pertama pada gadis yang tatapan matanya itu penuh kesedihan,
tatapan yang nyaris sama yang kayak gue punya, awalnya gue hanya ingin mengubah kesedihan
itu jadi kebahagiaan, tapi apa yang gue lakukan" A big stupid mistake!"
"Jatuh cinta bukan kesalahan, memanfaatkan jati diri seorang pangeran untuk bisa
memiliki seorang gadis bukanlah hal yang mulia, tapi itu bukanlah kesalahan, dan yang gue liat,
Ghie bahkan nggak terpaksa untuk mencoba membalas cinta elo Ner, Ghie gadis yang baik,
hanya saja kadang hidup terlalu kejam untuknya."
"Gue mesti gimana Ka?"
Gazka diam tak tau harus menjawab bagaimana, kurasa, aku harus bertindak, ini pasti
mengejutkan apalagi ketika aku yang tak seharusnya mendengar hal ini malah begitu lancang
menguping, tapi aku harus melakukannya.
"Sorry?"kataku malu-malu, Gavner dan Gazka sedikit terkejut dengan cepat Gavner
menghapus air matanya, dan Gazka memilih memandang langit agar air matanya tak tumpah,
aku memeluk Gavner tanpa bicara, kali ini aku tak ingin menangis, memangnya kenapa bila dia
akan pergi, masih ada waktu untuk mencintainya, masih ada waktu untuk membuatnya bahagia,
walaupun pada akhirnya aku harus merelakan kepergiannya, tapi kematian bukanlah sebuah
perpisahan, akan ada kenangan yang bisa kita ciptakan bersama selagi kita bersama, mulai
sekarang, aku berjanji pada diri sendiri takkan lagi menjadi Ghie yang hanya akan bersedih, aku
ingin berjanji untuk mengubah hidupku, demi Gavner dan demi diriku sendiri, jika pada akhirnya
aku sendiri nanti akan ada kenangan-kenangan baik yang kusimpan tentangnya nanti. "Ner, kita
bakal jalanin ini sama-sama, okay?" dan dengan kedua tanganku aku menghapus air matanya.
Tiga Puluh Lima Kadang aku masih mengingat ke masa delapan tahun silam, ketika aku benarbenar terpuruk, tapi delapan tahun ini mengajari aku banyak hal, pelajaran terbesarnya adalah
apapun yang terjadi, hidup harus terus berjalan. Saat ini aku bukanlah gadis berotak dangkal
yang akan berteriak pada cermin "Mirror, mirror, on the wall, Hey, who am i?" lalu akan
mengasihani diri sendiri dan mulai menyayat diri, aku adalah seorang wanita dewasa sekarang,
yang berdiri di depan cermin dalam balutan kebaya putih, ini hari pernikahanku, sekelebat masa
lalu terbayang lagi, hari di balik tembok lab Fisika saat aku berjanji untuk melewati semua ini
bersama Gavner, bersama-sama melawan penyakitnya, bersama-sama melawan vonis tentang
akhir hidupnya, dan yeah kami berhasil, sekarang delapan tahun berlalu sejak hari itu, delapan
tahun yang kami lewati sangat indah, bersama-sama melakukan banyak hal yang membantuku
mengobati luka hatiku, yang membantu Gavner menyemangati hidupnya.
Aku masih mengingat ketika aku setiap pagi mengikat tali sepatunya, ketika
harus membantunya mengaitkan kalung hadiah darinya, isi dari sebuah kotak kecil berpita yang
ia tinggalkan di malam sehari sebelum Dante berulang tahun, sebelum aku mengetahui bahwa
dia saudara sedarahku, aku masih mengingat saat kami melewati malam-malam di halaman
belakang hanya untuk menatap bintang, ada kalimat yang selalu dia katakan. Yang membuatku
sedih tapi juga menguatkanku
"Ghie"ketika aku pergi nanti, maka kenangan yang aku punya tentang kamu
adalah kamu akan selalu terlihat cantik, kadang aku merasa takut dengan hal-hal yang tak akan
mungkin kujalani, karena aku akan pergi sebelum menghadapinya, aku takkan pernah melihat
kamu yang beruban, kamu yang penuh kerutan, itu adalah sisi baiknya dari meninggalkanmu
dalam waktu cepat" Hari demi hari aku lalui dalam kecemasan, dan malam selalu menyiksaku, setiap
malam aku pasti menyelinap ke kamarnya hanya untuk memandangnya, atau lebih tepat untuk
memeriksa apa dia masih bernafas, aku akan merasa tenang ketika mendengar dengkur pelannya,
Putri Berdarah Ungu Karya Citra Rizcha Maya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini sungguh luar biasa, Gavner telah hidup lebih daripada prediksi awal, tiga sampai lima tahun,
sekarang bahkan delapan tahun telah berlalu, dan Gavner walaupun tidak bisa dikatakan sehat
tapi dia telah sangat berusaha untuk mensugestikan dirinya bahwa dia tidak sakit, dan apa yang
terjadi, dia belum lumpuh total,walaupun menggunakan kursi roda, tapi dia masih bisa berbicara
walaupun orang-orang kurang mengerti apa yang dikatakannya, peduli apa asal aku bisa
memahaminya. Cinta telah menyembuhkan segalanya, derita yang kupunya, sakit yang dialami
Gavner, hingga mitos bodoh tentang anak yang dibuang hanya karena ibunya merelakan
nyawanya untuk kehidupannya, Gazka mendapatkan kembali ayahnya, ketiga pria itu menjadi
sebuah keluarga dan aku menjadi bagian dari mereka, aku sangat beruntung bukan"aku memang
selalu beruntung, hanya saja aku tidak menyadarinya. Inilah harinya, hari teristimewa untukku
untuk Gavner, dan untuk semua orang.
"Tuan Putri, bisa keluar kamar sekarang?" itu suara mantan kekasihku, kakak lelakiku
sekarang, dia terlihat tampan, dia yang akan mengantarkanku pada Gavner, menjadi pengganti
ayah, sekarang aku bisa mencintainya dengan rasa yang seharusnya.
Aku tersenyum padanya "Calon permaisuri.."Dante sedikit menggodaku, Gavner akan menggantikan ayahnya
setelah menikahiku, hari tepat diusianya yang kedua puluh lima, ini hari ulang tahunnya, inilah
hari pernikahannya, inilah hari ketika ia mendapat tahtanya, tapi kebangsawanan hanyalah
bentuk dari keunikan masa lalu, ini hanyalah sebagai lambang, tapi jauh dalam lubuk hatiku, dia
tetaplah rajaku. *** Semuanya sempurna sekarang, ikrar pernikahan telah diucapkan, aku mencium
tangannya sebagai bentuk baktiku, dan
setelah itu Gavner mencium keningku, dia terlihat
tampan walaupun ada gurat pucat dan lelah di wajahnya, kursi roda tak membuatnya terlihat
cacat dia lebih sehat dari siapapun yang berada di sini.
"Ghie?" aku mendengar bisiknya, aku mendekatkan telingaku ke bibirnya, dia
mencium pipiku pelan dan dia berbicara lagi, sulit baginya untuk berbicara tapi hari ini dia sudah
sangat berusaha, dia menjadikan semuanya sesempurna yang aku inginkan, mata hazel itu
terlihat bercahaya sekarang, aku bahkan sudah lupa mata ini telah menyimpan kesedihan di masa
lalu. "Aku mencintaimu?"dengan pelan, terbata dan agak bergetar dia berhasil
mengatakannya. "Ghie"izinkanku memelukmu sekali ini", aku berdiri di depannya dan dia
memelukku, kehangatan yang kurasakan ini membuatku bahagia, beberapa orang memberikan
kami senyum bahagia, kupejamkan mata mencoba meresapi pelukan ini, rasa yang sangat
menyenangkan, rasa yang sangat indah, tapi ketika sebuah gulir air mata menyentuh kulitku,
terasa pedih itu, terbuka lagi luka itu, sakit dan ketakutan itu datang lagi, tapi hati menguatkan
aku, aku sudah berjanji untuk takkan sedih lagi, dan aku harus menepati, menepati janji untuk
orang yang paling aku cintai, ketika hembusan nafas itu tak terasa lagi, aku tau dia telah pergi.
"Ner, izinkan aku bersedih sekali ini saja, izinkan aku menangis sekali ini saja" katakata itu bergulir pelan dari bibirku, bersamaan dengan menetesnya air mataku.
Aku merasakan pelukan lain di sana, Gazka.
"Ghie"gue turut berduka cita, ucapkan selamat jalan" aku merasakan suara itu
sebagai bisikan dari bawah alam sadar, aku masih memejamkan mata, ini hanyalah mimpi, hanya
mimpi, hingga aku tak menyadari sampai berapa lama aku memejamkan mata dan berpura-pura
ini hanya mimpi, ketika tangan-tangan mulai melepaskanku dari Gavner dan bisikan menguatkan
seperti suara bising yang memekakan telinga.
Ketika tangisku pecah dan aku kembali ke realita, kenangan menuntutku untuk terus
menepati janji, halusinasi suara Gavner menyadarkanku.
"Ini perjuangan kita Ghie, terima kasih karena menjadi Ghie yang membuatku
bahagia, terima kasih karena tidak lagi menangis, terima kasih karena telah menjadi Ghie yang
kuat, janji untuk melepaskanku dengan keikhlasan, terima kasih Ghie"terimalah kehilangan ini
sebagai rasa untuk menyadari bahwa kamu pernah memilikiku, terima kasih permaisuri
hatiku"Ghie". Aku tau itu hanyalah halusinasi, tapi suara itu membuka mataku, untuk kuat mengantar
Gavner ke peristirahatan terakhirnya, hidup bukan hanya tentang memiliki tetapi juga tentang
berusaha untuk terus memiliki, dan aku akan memiliki banyak kenangan indah untuk
melanjutkan hidupku, akan ada banyak kesempatan ke depannya, dan aku punya banyak bekal
untuk menghadapinya. Aku berjanji, aku akan terus menjalani hidup dalam kebahagiaan, jika
bahagia itu tidak datang, maka aku akan mendatanginya, tapi jika tak ditemukan, maka berpurapuralah untuk terus berbahagia, dan bahagia itu akan menjadi kenyataan.
"Ghie, kita bakal jalanin ini sama-sama, okay?" dan dengan kedua tangan itu
menghapus air mataku, dia bukan Gavner tapi Gazka.
The End Untuk semua orang yang tak pernah berhenti berusaha agar bisa bahagia
20 Juli 2011 Kisah Si Bangau Putih 3 Pendekar Wanita Buta Serial Tujuh Manusia Harimau (7) Karya Motinggo Busye Hina Kelana 36
menjadi misteri buatku, seminggu berlalu dalam gelombang kesedihan akan kehilangan orang
yang kupikir tak pernah mencintaiku, dia mencintaiku, sangat, bila seandainya dia tak pernah
mencintaiku yang aku tau aku tak mungin bisa mencintainya seperti ini, dan tak mungkin bagiku
untuk larut sedemikian hebatnya dalam kesedihan ini, cinta itu dua arah, bila aku mencintai
Mama, maka patilah Mama mencintaiku juga, hanya saja dia tak bisa menunjukkannya.Aku tau
itu, karena hati takkan pernah bisa berdusta.
Enam Belas Sore ini aku merindukan rumah, merindukan mama,rasanya sekarang semua begitu
berbeda, aku memandang jingganya langit di balkon belakang bala, bala adalah sebutan untuk
rumah panggung yang besar, bala bisa dikatakan sebuah istana, bala ini dibuat dari kayu jati
yang kuat, dengan ornament khas kebudayaan Tana Bulaeng, dinding-dindingnya yang dipelitur
dengan ukiran piyo dan lonto engal, itu adalah bentuk burung yang berhiaskan bunga-bunga
merambat, aku telah diberitahu, artinya adalah penggambaran tentang kebijaksanaan dan
keindahan. Kudengar langkah kaki, dan kurasakan belaian hangat pada rambutku, itu nenekku, aku
diminta memanggilnya dengan sebutan Ni".
"Lala?" dia memanggilku, Lala berarti putri
"Iya, Ni?" Aku menatapnya, memandng wajah yang mulai menua, memandangnya
membuatku terkenang akan mama. Dia menuntunku, mengajakku duduk di kursi kayu antik, tak
jauh dari tempat kami berdiri tadi."Mau Ni" ceritakan dongeng?"
Aku menatapnya, mengangguk dan tersenyum, beliau memulai kisahnya.
"Dahulu kala, ada seorang putri bangsawan yang cantik jelita, kulitnya kuning
bercahaya keemasan, wajahnya rupawan, matanya seterang rembulan, bibirnya semerah darah,
tak ada yang tak ingin menatap wajah indahnya, kedua orang tuanya sangat menyayanginya, dan
saudara-saudaranya, para lelaki yang memang dilahirkan sebagai pelindung senantiasa berada
disisinya untuk menjaganya, sang putri adalah cahaya bagi keluarganya, tapi waktu sungguh
cepat berlalu sang putri tumbuh dewasa, dia bukan lagi seorang gadis kecil manja yang selalu
ingin dijaga, dia gadis remaja, sudah saatnya dia ingin berdiri di atas kakinya sendiri, sudah
saatnya untuk dia menentukan langkahnya, dia ingin melakukan apa yang diinginkannya, dia
ingin jatuh cinta, tapi dia lupa siapa dia, dia adalah sang putri, menjadi seorang putri adalah
anugerah, tapi baginya adalah kutukan, dia ingin terbebas dari belenggu tradisi, dia berlari, jauh
pergi, mencari jalannya sendiri, dia pergi meninggalkan satu-satunya dunia yang dikenalinya,
untuk menemui dunia baru, dunia tempat kebebasan, dunia yang penuh warna baginya, tapi sang
putri, terlalu lugu dan menganggap semuanya seramah yang dipikirkannya, dia tak tau bahwa
tidak semua orang berhati mulia, dia jatuh cinta pada orang yang salah, sang putri sangat
mencintai pria biasa yang hanya dikenalnya melalui manisnya suara dan alunan nyanyianrayuan, sang pria bukanlah orang yang berperasa bak manusia, dia adalah kutukan bagi si putri
yang malang, sang pria hanya menginginkan raganya, sang putri tak pernah menyangka, sang
pria memaksa untuk bisa mendapatkan keinginannya, tak hanya sang pria tapi juga temantemannya, dengan kebiadaban mereka yang bak binatang"."Semakin lama suara nenekku makin
rendah, agak bergetar, kutatap matanya, telihat berkaca-kaca, aku menggenggam tangannya,
nenenkku menatap langit-langit, dia menarik nafas panjang, ingin kukatakan, berhentilah
bercerita, tapi ketika aku hendak berbicara, beliau mulai bercerita. "Sang putri kehilangan
mahkotanya, sang putri kehilangan harga dirinya, dia terluka, terbalut ketakutan dan trauma,
seluruh keluarganya tak bisa apa-apa, hanya berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, sang
putri mendapat anugerah kecil yang dipikir bisa menghapus lukanya, tapi ternyata ini makin
memperparah segalanya, sang putri tersiksa setiap melihat wajahnya itu sama dengan memutar
kembali amarah yang tak pernah bisa diluapkannya, sang putri seumur hidupnya tenggelam
dalam derita nestapanya, hidup sang putri sungguh miris dan dia menjadikan akhir hidupnya
sangat tragis" Nenekku menangis dengan isakan yang tertahan, dia berusaha menguatkan
dirinya, apa yang didongengkannya bukanlah dongeng itu adalah kisa hidup Mama, aku
menangis, mengetahui bagaimana kisah ini dimulai, bagaimana dimulainya kehidupanku, ada
perasaan tak berharga dalam diriku, tapi entah mengapa aku merasa pelukan hangat dari nenekku
membawaku pada kedamaian, kami sama-sama terluka karena kisah sang putri, sang putri yang
malang, Mama. Tujuh Belas Aku mengecek smart phone-ku dan kulihat ada puluhan panggilan dari Dante dan Eve
juga beberapa nomor yang tak kukenal, ku cek sms juga emailku, ada banyak pesan dari mereka,
aku hampir melupakan mereka, buktinya aku tak mengirim kabar untuk mereka.
Tok-tok-tok Sebuah ketukan di pintu, dengan cepat kubuka pintu kamarku.
"Aci?" itu kakekku
"Mau menemani Aci berkuda sore ini?"
Aku mengangguk dan melupakan tujuanku untuk menghubungi Dante juga Eve.
*** "Aku selalu berharap bisa memiliki kuda sungguhan, kuda milikku sendiri, aku sempat
berlatih berkuda dulu, aku tak menyangka bahwa aku bisa berkuda dengan Aci." Kami ngobrol
ringan sambil mengitari peternakan milik kakekku, rencananya, kakekku akan mengajakku
berkuda hingga pantai. "Kuda itu milikku sekarang, namanya Freedom dan saudaranya, yang kutunggangi ini
adalah Independent"." Lama kami berdiam diri, tak tau harus bicara apa, hingga kakekku
membuka suara lagi, " aku merindukan mamamu, selalu, dulu aku sering berkuda dengannya,
melewati jalanan ini, ketika dia masih gadis kecil hingga seusiamu, kumuhon Lala, jangan pergi,
jangan tinggalkan kami seperti mamamu meninggalkan kami." Aku memandang ada kilau
bening dimatanya yang berkaca-kaca, ingin kuhapus dengan janji tapi aku tak yakin apakah bisa
kuberjanji, aku hanya tersenyum tipis tanpa bisa memberikan makna pada senyumku itu., tapi
tiba-tiba Freedom membuatku tersentak dia berlari kencang dan aku tak bisa mengendalikannya,
samar-samar kudengar teriakan kakekku, aku dihinggapi serangan panik, jantungku berdegup
kencang, keringan dingin bercucuran dan nafasku memburu, oh Tuhan"aku tak ingin hal yang
buruk terjadi, aku merasa terkejut dan takut ketika aku merasa tubuhku melayang, jatuh dari
kuda dan menghantam pada pohon dan terhempas ke tanah, aku merasa lelah tak berdaya, aku
tau aku pasti mengalami luka dan memar, seseorang mengulurkan tangannya padaku, kusambut
uluran tangannya dan mencoba untuk berdiri, "oh sudahlah Ghie"angkat bokongmu, kibaskan,
dan berdiri, kamu gadis kuat" aku mencoba menyemangati diriku sendiri, tapi diotakku kembali
memutar kebodohan-kebodohan yang kulakukan untuk mengatasi sedihku, memuntahkan
makananku, memaki diriku di depan cermin hingga melukai diriku sendiri, betapa lemahnya aku,
betapa menyedihkannya aku, apakah ini saat yang tepat untuk membuang jauh-jauh Ghie yang
lama dan menjadi Lala, putri yang kuat seperti yang diinginkan kakek dan nenekku" Tidak ada
kata terlambat untuk berubah, namun aku ragu apakah aku sanggup dan meninggalkan Ghie yang
lama, Ghie yang berarti kesedihan dan hidup suramnya, lalu berpura-pura hingga terbiasa
menjadi Lala, sampai kapanpun aku adalah Ghie, Lala, hanya panggilan sayang yang berarti
Putri, aku bukan sang Putri sejati, aku cuma, seseorang yang".
"Hey?" seorang cowok menggerak-gerakkan tangannya di hadapanku, mencoba
mengetahui apakah aku sadar atau mungkin menurutnya apakah aku terkena geger otak. "Berapa
ini?" dia menekuk jempol dan kelingkingnya.
"Tiga" jawabku pelan, "Terima kasih" aku bersiap-siap mendekati Freedom lagi, aku
harus mengelus-elusnya agar ia lebih tenang, mungkin ia hanya gugup bertemu orang baru, sama
sepertiku, kupikir kuda bisa sama berperasaannya seperti manusia.
"Lala Briegitha" mau tak mau aku harus mendongak dan menatap wajah orang yang
mencoba untuk berbicara denganku, mungkin aku perlu berbasa-basi, sepertinya terima kasih
belumlah cukup, kupikir wajah ini familiar, ataukah tampangnya yang memang pasaran,
mungkin dia orang yang sering kulihat di televisi entah anggota Boyband atau pemain sinetron,
tapi sadarlah Ghie"ini Tana Bulaeng!
"Hey boleh aku mengantarmu pulang, aku yakin, kudamu perlu lebih dijinakkan lagi, aku
lebih memahami kuda daripadamu, anak kota" dia berkata lagi, ada nada mengejek dalam katakatanya, kupandang wajahnya, bila dia menyebutku anak kota, lalu dia siapa"Tana Bulaeng
memang bukan desa, tapi yeah cuma Kabupaten kecil yang yeah terlalu kaya, tapi entahlah
cowok ini, bertampang terlalu kota, mungkin karena wajah blasterannya."Gavner" dia
memperkenalkan dirinya, namanya juga bukan produksi lokal, "Suka atau tak suka aku akan
mengantarkanmu pulang, itu yang dilakukan pria sejati, memastikan seorang gadis sampai di
rumah dengan selamat."
"Terima kasih Gavner, tapi aku bisa pulang sendiri." Aku mendengar derap langkah
kuda, kakekku, setelah berada di dekat kami, dia buru-buru turun dari kudanya.
"Dea " Gavner menyapa kakekku dengan panggilan kebangsawanannya, Dea adalah
gelar kebangsawanan. "Lalu Gavner, terima kasih" Wow aku baru tau bahwa dia juga keturunan bangsawan,
Lalu adalah sebutan untuk putra bangsawan, sama seperti Lala,hanya saja Lala digunakan untu
perempuan. Kupikir takdir mulai lagi memberiku kisah baru, dan Gavner adalah orang baru yang
dimasukkan dalam hidupku, entah untuk kisah yang bagaimana, tapi yang kurasa aku dan dia
memiliki kesamaan, ada perasaan senasib ketika kupandang mata sendunya dan ketika kutatap
matanya, aku merasa seperti menatap kesedihan yang juga ada di mataku, aku merasa berkaca,
dan sentuhan tangannya ketika dia membantuku untuk menaiki kudaku seolah adalah pertanda
untukku memulai hal yang baru, sekilas bayangan Dante berputar di otakku, tapi ini bukan saat
yang tepat untuk mengingat Dante, kali terakhir saat kurasa aku mencintainya mamaku tak
menyetujuinya, apakah aku harus mengingatnya, ataukah boleh buatku untuk lupa padanya
sejenak, dan mencoba mengikuti kisah yang diinginkan takdir untuk kujalani "kupikir ini terlalu
cepat untuk menjadikan sebuah kebetulan adalah bagian dari nasib untuk dijalani, tapi kadang
aku percaya bahwa firasatku mampu memberikan gambaran-gambaran masa depan untukku.
Delapan Belas Aku sudah berada di rumah disinilah aku, aku takkan pergi kemana-mana lagi, tak ingin
pergi apalagi harus mengulang yang telah terlewati, aku tau aku pasti akan merindukan temanteman lamaku, suasana kamarku, apa yang aku lakukan, sekolahku, guru-guruku, tapi terakhir
kali aku berada disana aku tau aku ingin disingkirkan, tidak ada lagi tempat untukku, haruskah
sekarang aku merubah keadaannya" memilih apa yang harus kujalani, apa yang ada di depanku
tanpa pernah menoleh lagi, baiklah, aku akan memilihnya, masa laluku terlah terkubur bersama
mamaku. Tapi setengah dari hatiku memberontak, memerintahkanku untuk kembali, bukan untuk
kembali menjalani yang terlewati tapi kembali untuk memperbaikinya, tapi apa yang diperbaiki"
Aku harus bagaimana" Setengah hatiku berharap untuk bisa bertemu Dante lagi, aku sangat
merindukannya, tak mungkin buatku melupakannya begitu saja, aku masih ingin tau apa yang
sebenarnya, aku memang tak mungkin mendatangi kuburan mamaku untuk meminta jawaban
mengapa ia melakukan hal sekasar itu pada Dante, dan paginya mamaku memilih kematian
untuk mengakhiri segalanya, mamaku tak pernah memberiku jawaban, mamaku hanya
memberiku teka-teki, potongan-potongan puzzle yang harus kususun sendiri, mama dan Dante,
dua orang yang aku cinta, dengan cara yang berbeda, bolehkan aku berpikir bahwa kejadian
malam itu, mama melihat dengan sudut pandang schizophrenia-nya yang berpikir bahwa Dante
melakukan pemaksaan seksual padaku, seperti yang pernah terjadi padanya dimasa lalu"
*** Aku menatap kedua wajah yang mulai lelah karena usia, kakek dan nenekku, bila aku
meninggalkan mereka, siapa yang akan menemani mereka" kedua putranya telah memiliki
keluarga mereka sendiri-sendiri, dan putri satu-satunya bahkan terlah pergi, apa aku cukup tega,
tapi aku juga ingin menentukan hidup yang ingin kujalani.
"Aci"boleh Ghie bicara?" ragu-ragu aku mulai membuka percakapan.
"Iya Lala, tapi sebelumnya Ni" mu akan mengatakan sesuatu" Kakekku memandang
wanita yang telah mendampingi hidupnya melewati begitu banyak kesedihan dan kegembiraan,
dengan pandangan meohon, seolah apa yang akan dikatakan Nenekku seharusnya dialah yang
menyampaikannya. Nenekku memandang dengan hampa, sepertinya ini bukanlah hal yang
mudah untuk disampaikan. "Ni?"" Dia meraih tanganku, dan membimbingku menuju kamar, kami duduk tempat tidur,
beliau membelai rambutku dengan lembut, aku merebahkan kepalaku ke pangkuannya, kudengar
nenekku mendesah pelan. "Lala, kami sangat menyayangimu, dan kami tak ingin lagi kehilangan putri yang sangat
kami sayangi" aku mendapat firasat bahwa mereka membaca pikiranku, keinginanku untuk
kembali dan mereka takkan pernah mengizinkanku untuk pergi." Kami tau benar keinginanmu
untuk pergi, kamu harus menyelesaikan pendidikanmu,tapi bolehkah bila kedua orangtua ini
meminta pengorbanan cucunya sendiri"pengorbanan yang akan membawa kebaikan baginya
juga?" Apa yang dikatakannya" pengorbanan seperti apa" aku bangun dari pangkuannya, kutatap
matanya, ada genangan air mata disana, tak tega bila aku meneteskan lebih banyak lagi air mata.
"Apapun yang bisa Ghie lakukan akan Ghie lakukan" aku mengatakannya dengan
sungguh-sungguh, hanya mereka yang aku punya, tak ingin membuat mereka lebih kecewa.
Nenekku memelukku dan menangis, beberapa saat aku hanya membiarkan keadaan ini, setelah
dirasanya ini waktu yang tepat, beliau berbicara lagi.
"Lala, Lalu Gavner dan keluarganya ingin memintamu menjalin hubungan dengannya,
kami tak ingin sebuah perjodohan tapi kami rasa ini baik buatmu, dengan adanya ikatan antara
kalian kami bisa melepasmu untuk pergi, karena ikatan itu akan membawamu kembali lagi ke
sini, maafkan kami, tapi kami telah menyetujuinya, ini kehormatan karena beliau adalah cucu
langsung dari mendiang Dea Meraja, Sang Sultan, dan dia adalah pria yang baik buatmu, kami
mengenalnya, juga keluarganya,
pertunanganmu akan diadakan secepatnya, kami hanya
meminta persetujuanmu, dan kami yakin kamu akan menyetujuinya, kami tau kamu gadis yang
baik, dan kamu takkan mengecewakan kami." Beliau memelukku lagi.
Tertanya ada harga yang harus dibayar untukku bisa kembali, tak pernah aku menyangka
bahwa hidupku akan serumit ini. Aku tersenyum dan mengangguk, tapi aku merasa hatiku
remuk. Sembilan Belas Aku benar-benar terkejut manakala kulihat sosok Gavner masuk melalui jendelaku, ini
pukul satu lebih seperempat, ia meletakan telunjuk di bibirnya memintaku untuk diam, dan aku
menurut saja, dia duduk di ujung tempat tidurku, aku menyalakan lampu mejaku.
"Hai Ghie, maaf membuatmu terkejut, kurasa kamu sudah terkejut dengan rencana
keluargaku, dan sekarang kamu terkejut dengan kehadiranku di tengah malam buta begini, bukan
maksudku untuk tidak sopan, aku hanya ingin menjelaskan segalanya." Ada tatapan penyesalan
dalam matanya. Apa maksudnya?"Mau ikut denganku" aku ingin menunjukkanmu sesuatu." Aku
mengangguk menyetujuinya, cepat-cepat kusambar mantel tidurku, dia membantuku melompati
jendela kamar, semoga tidak ada yang menyadari kepergianku, lantai kayu agak berderit, rumah
panggung memang sensitif terhadap gerakan tapi kurasa Gavner melakukannya dengan mahir,
dia membantuku melompati jendela. Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi, suatu malam yang
pernah kulewati dengan seorang cowok berujung tragedi, semoga itu takkan terjadi lagi,.
Di gerbang rumah Gavner meninggalkan sepedanya, dia memboncengku dan mulai
mengayuh sepedanya, ada perasaan canggung, ketika kami sedekat ini,
entah kemana dia membawaku, aku hanya ingin mengikuti maunya, apalagi mauku" sekarang hidupku tidak lagi
meminta pertimbangan keinginan pribadiku, akan ada ikatan, dimana aku hanya akan
menurutinya, pangeran yang agung sejak dilahirkan ini hanya ingin mendapatkan apa yang
menjadi keinginannya, aku hanya akan mengikutinya, ini untuk kebahagianku, mungkin atau
begitulah pendapat kakek dan nenekku, pesona darah biru dan wajah rupawan siapa yang bisa
menolak" tapi bila boleh meminta aku hanya ingin menghabiskan hidupku pada cowok dengan
senyum jail yang tau bagaimana cara membuatku bahagia, Dante"aku merasa bersalah padanya.
*** Kami berhenti di depan sebuah rumah pohon, lelucon apalagi ini"apa dia menganggap
aku seperti teman-teman yang bila dia inginkan untuk bermain maka akan menemaninya
bermain" "Naik yuk" ajaknya, aku hanya mengangguk dan mengikutinya. Gavner menyalakan
beberapa buah lilin untuk menerangi rumah pohon yang mirip rumah pohon tempat bermain
anak-anak cowok yang baru beranjak dewasa, kakiku menginjak miniatur pesawat terbang, aku
sedikit meringis, Gavner menatapku, mencari tau apa yang membuatku meringis.
"Are you oke?" Aku mengangguk Bila saja ini drama, suasananya akan sangat sempurna, cahaya lilin yang temaram dan
calon tunanganmu yang rupawan, ditengah malam buta, lalu kami akan menutup malam ini
dengan ciuman hangat sambil menunggu datangnya pagi" Itu bukan ide bagus buatku walaupun
terdengar luar biasa menggoda dan romantis, tentu saja, tapi sekali lagi, bila sang pangeran yang
mulia mengiinginkannya maka dia akan mendapatkannya, apakah aku keberatan atau tidak
kurasa dia takkan memusingkannya.
Kami duduk di beranda rumah pohon, kaki kami melayang di udara, cahaya bintang dan
bulan di langit terlihat indah, aku memilih menatap langit mencoba mengaguminya, mencoba tak
ingin tau apa isi otak sang pangeran.
"Ghie?" "Ya" "Aku minta maaf"
"Untuk apa yang mulia?" tanyaku ketus "Betapa beruntungnya menjadi dirimu, kamu
memintanya maka kamu akan mendapatkannya."
"Ghie!" "Kamu mendapatkannya! Aku menyetujuinya, memenjarakanku dalam sangkar emasmu yang mulia"
terima kasih karena telah "Seandainya bisa memilih, maka kamu pasti akan menolak" dia menebak padahal dia tau
jawabannya. "Apakah aku punya pilihan?"
"Maafkan aku?" "Untuk apa minta maaf bila kamu memang menginginkan hal ini, maaf takkan ada
gunanya!hanya terdengar manis ditelinga"
"Ghie"kamu berhak marah."
"Marah " pada yang mulia" Kurasa aku tak bisa" ada nada mengejek dalam suaraku yang
kudengar serak, ini pasti karena aku telah kebanyakan menangis, haruskah aku menangis lagi?"
"Kamu boleh menumpahkan amarahmu, lampiaskanlah" Apa yang diinginkannya"
Putri Berdarah Ungu Karya Citra Rizcha Maya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi pangeran yang terlihat sempurna" Haruskah aku menangis bahagia karena seorang
pangeran yang mulia memintaku untuk menumpahkan amarah padanya"
Plakkkk, sebuah tamparan, kurasa cukup keras, kurasa cukup untuk mengurangi
marahku. Gavner tersentak, dia memandangiku, alih-alih merasa terhina dan marah, dia malah
meraihku, dan memelukku, membelai rambutku, dan membisikkiku, "Menangislah" dan akupun
menangis. Dua Puluh Aku menangis hingga aku merasa tak sanggup lagi, aku begitu cengeng, rasanya aku
ingin menertawakan diriku yang begitu mudah berurai air mata. Aku melepaskan diri dari
pelukan Gavner. Dia memberiku senyuman manis, rasa canggung mulai menjalariku lagi.
"Feel better?" Aku mengangguk "Boleh aku menjelaskan tentang semua ini?"
Aku mengangguk lagi "Well, harusnya aku tak menyeretmu ke dalam hidupku, kamu boleh memanggilku
egois dan tak berperasaan, maaf, yeah memang tak ada gunanya minta maaf kalo kamu tak
menyesal, tolonglah, aku memohon, jangan tolak lamaran keluargaku, kita hanya akan
bertunangan, hanya sementara, ini takkan lama, aku takkan memintamu untuk mencintaiku dan
aku takkan mencoba untuk membuatmu jatuh cinta, walau akupun sebenarnya tidak yakin
apakah aku sanggup untuk tak tergoda untuk tak jatuh cinta padamu, maksudku, yeah..kamu
mempesona, dan aku tidak sedang merayumu atau mencoba untuk gombal, aku hanya ingin
memintamu untuk bekerjasama, katakan kamu bersedia, bukan demi seorang pangeran tapi untuk
seorang teman" Dia berkata cepat-cepat, terasa kegugupan dalam suaranya.
"Apa yang kamu mau" Memanfaatkan aku untuk berpura-pura"apa sih yang sedang
kamu mainkan?"aku merasa dimanfaatkan dan dipermainkan, aku tersinggung.
"Ghie"bila aku mengatakannya, apa kamu bisa mempercayaiku"apa kamu bisa
membantuku" Bila apa yang kuinginkan bisa kudapatkan hanya dengan hak istimewa
bangsawanku, kurasa itu cukup untukku, aku ingin menganggapmu teman, teman itu berbagi,
teman itu menceritakan segalanya, itulah kenapa aku ingin kamu tau alasanku"
"Semoga alasanmu terdengar bagus dan semoga aku mempercayainya"ejekku
"Aku ingin bertemu Gazka, saudaraku"dia berkata pelan
"Gazka?" ada nada tak percaya, ketika ia menyebut nama yang kukenal itu.
"Kamu kenal kan?" dia menatapku penuh harap."Semua orang membicarakanmu, siapa
kamu, bagaimana, dan segalanya, aku tau, disini hal sekecil apapun akan jadi konsumsi publik,
jadi ketika aku tau kamu satu sekolahan dengan Gazka, aku bermaksud untuk mendekatinya
melalui kamu, aku ingin semuanya terkesan alami, kamu ingin kembali kan"dan bila kita
bertunangan maka aku akan mengikutimu, aku bisa bertemu lagi dengan Gazka, aku merindukan
adik kecilku, saudaraku."
Aku tak mengira alasan dia menginginkan pertunangan ini, apa tak lebih gampang
buatnya untuk pergi sendiri menemui adiknya tanpa harus mengikatku dalam pertunangan"
"Tanpa harus bertunangan denganku, kamu bisa menemui adikmu, well, kurasa
alasanmu kurang bisa dimengerti"
"Ghie, bolehkah" Aku mohon berpura-puralah, ini takkan lebih dari enam bulan, aku
ingin kamu mau membantuku dalam hal ini."
"Oke, baiklah, apapun alasannya, antara kamu dan Gazka, dan pertunangan palsu ini,
aku setuju mengikuti drama yang tak kumengerti ini, kamu tak mau memberiku alasannya, kan"
Tapi yah akan kujalani" jawabku diantara kebingungan
"Boleh minta satu hal?"
Aku memutar bola mata, pangeran ternyata banyak maunya
"Apa?" "Temani aku melihat matahari terbit"
Aku mengangguk setuju, aku memberinya sebuah senyuman bukan lagi ekspresi sendu
dengan air mata. Dua Puluh Satu Mereka bilang aku terlihat seperti mama, dalam balutan lamung pene dan kre alang,
pakaian tradisonal kami, rambutku di gerai dan dihiasi bando bunga yang terbuat dari kuningan,
mereka benar, aku terlihat sama seperti wanita dalam potret di ruang tamu yang tersenyum lepas
penuh kebahagiaan, bukan wanita tanpa ekspresi yang kukenal. Sebelum acara pertunangan ini,
Ni" menemaniku berdandan di kamar, dia menangis terus menerus, kupikir kecengenganku
kudapat darinya "Ni", semuanya baik-baik saja, ini yang terbaik." Aku mencoba menenangkannya
dengan mengenggam tangannya, tapi dia tak mampu menghentian derai air matanya, seorang
tante, kami menyebutnya aya, memasuki kamarku, dia istri om-ku yang tertua, om dalam bahasa
kami disebut puto. "Putomu ingin bicara, Lala" Aya Zailah, namanya, berbicara dalam suara yang begitu
lembut, dia ciri khas wanita bangsawan sejati, cantik dan lembut, dia lalu mengajak nenekku
keluar dan meninggalkanku bersama Puto Aiman, menyusul belakangan Puto Aidan masuk
dengan wajah gusarnya, dia selalu terlihat seperti itu. Keduanya duduk mengapitku, Puto Aidan
menggenggam tanganku. "Kamu putri kami satu-satunya" katanya dalam suara serak, suaranya memang serak
dan dalam, gonggo, kami menyebutnya. "Kami tak memiliki putri lagi, dan hari ini pun kami
harus melepaskanmu" Puto Aidan memiliki dua orang putra, sementara Puto Aiman kurang
beruntung, istrinya, Aya Sagena, tak bisa memberikannya keturunan, hingga dia mengangkat
anak salah satu putra puto Aidan, Binar, sepupu kecilku yang masih tiga tahun, yang tertua,
Bintang sekarang berumur Sembilan tahun, keduanya belum bisa akrab denganku, karena
perbedaan usia, tentu saja, tapi dalam tradisi kami sepupu itu memiliki hubungan seperti saudara
kandung. Kekeluargaan kami sangat erat hubungannya.
"Maafkan Puto Ghie, ini semua salah Puto hingga kamu mengalami hidup seperti ini,
nyaris tak mengenal keluarga hidup dalam kekoso
ngan, Puto Aidanlah yang mengenalkan
mamamu pada Arian, dia ayahmu, Arian membawa Ayara bersamanya, membawa Ayara pada
kehidupan yang suram, Arian melakukan kekerasan seksual pada mamamu, entah seberapa
sering, hingga terakhir dia menyuruh teman-temannya melakukan hal yang sama pada mamau,
padahal ketika itu, dia jelas-jelas tau, bahwa mamamu tengah mengandung anaknya, Puto tak
menyangka, bahwa orang yang Puto bawa pulang ke rumah memperkenalkannya sebagai sahabat
pada seluruh keluarga malah menghancurkan kehidupan adik sahabatnya sendiri, bukan salah
Ayara bila dia jatuh cinta pada orang yang salah, Arian memiliki pesona, tapi tidak memiliki
hati, disaat Puto mengetahui yang dia lakukan Puto mendatanginya, memberinya sedikit
pelajaran tepat beberapa saat sebelum dia menikahi seorang wanita yang juga menjadi
korbannya, Puto menghabiskan waktu 36 jam dalam sel sebelum keluarga membayar jaminan,
kami menutupi apa yang terjadi pada Ayara, pura-pura semuanya baik-baik saja, membiarkannya
tinggal jauh dari rumah, kami pura-pura tak tau bahwa dia memiliki putri, kami memberikan
segalanya tapi itu salah, tak ada kata yang bisa kami ucapkan selain maaf untuk menebus
segalanya, Lala "Puto Aidan mengelus rambutku, dan Puto Aiman memelukku sekilas, Puto
Aidan memberiku selembar foto lama, di foto itu aku melihat senyum bahagia empat remaja,
Puto Aiman, Puto Aidan, mama dan seorang pemuda yang memeluk bahu mama dengan wajah
sempurna, terlihat serasi bersama mama. "Simpanlah, pemuda itu adalah ayahmu, kami tak ingin
mengakuinya seandainya bisa." Ada penyesalan dalam suara Puto Aidan tapi tentu saja itu tak
berguna, dan maaflah yang bisa melupakan segalanya.
"Lala" semoga kamu bahagia dengan Lalu Gavner, dia pria baik, sebenarnya, itulah
satu-satunya cara, dengan menikahinya maka kamu akan memperoleh kembali gelarmu, seorang
wanita yang dalam kasus ini Ayara, apabila memiliki anak dengan pria tak bergelar bangsawan
maka anaknya tak bisa memperoleh gelar itu, tapi keluarga tak mempedulikan bagaimanapun
juga ada darah kami mengalir padamu" Puto Aiman memelukku dan mencium keningku, begitu
juga Puto Aidan, dan mereka mengantarkanku menemui calon tunanganku, aku berterima kasih
pada mereka karena telah mengantikan tugas seorang ayah untuk mengantarkan putrinya pada
pria yang akan selanjutnya akan menjaganya di kehidupannya kelak, walaupun ini hanya purapura tapi aku merasa adegan ini sangat emosional, aku menatap tamu dan tersenyum pada
mereka, kulihat kakek dan nenekku dianatara para keluarga, mereka memberiku tatapan dan
senyum penuh kasih sayang, seandainya aku mengenal mereka sejak dulu, seandainya aku
merasakan kasih sayang ini sejak awal, tapi segala sesuatu memang telah digariskan untuk terjadi
pada waktu yang telah ditetapkan, seperti sekarang, saat sebuah cincin tunangan kuno yang telah
jadi bagian dari keluarga Gavner turun temurun berada dalam jariku, aku tau kehidupanku takkan
pernah sama lagi. Dua Puluh Dua Kembali ke rumah, kembali ke sekolah, rasanya berbeda dengan Gavner disampingku,
Gavner, langsung menjadi kakak kelasku. Kupikir teman-teman sekolahku masih belum
memaafkan apa yang kulakukan, tentang anorexia-ku dan semuanya, tapi kupikir lebih baik aku
mengabaikan apapun yang mereka pikirkan tentangku, mencoba menerka-nerka pikiran orang
lain, tentang bagaimana aku dalam pikiran mereka itu tak cukup berguna, itu hanya akan
menyiksa, setiap orang punya tuntutan kesempurnaan yang relatif, juga pastinya berbeda, takkan
bisa bagiku untuk mengikuti seperti apa aku seharusnya menurut pandangan mereka.
Turun mobil dan langsung disambut pandangan banyak mata, seharusnya aku terbiasa,
apalagi sekarang akan ada topik baru untuk mereka bicarakan, pertunanganku, tunggu saja
sampai mereka melihat cincinku dan juga fakta bahwa Gavner sekarang tinggal di paviliun
rumahku, di rumah ada seorang pria sekarang, selain aku dan Nanny, tentu saja.
"Ghie" Katakan apa yang terjadi dua minggu ini" Kamu menghilang, dan wow, kamu
kembali dengan seorang cowok yang"."Eve bersiul menggoda sambil memandangi Gavner
yang hanya sekilas menatapnya lalu mengacuhkannya. "Siapa dia?" Eve menowel bahuku
"Pangeran kutub?"
"Dia memang sang pangeran, tanya aja!"
"Gavner, itu ruang gurunya, kamu masuk aja, dan, sampe ketemu di jam pulang nanti!,
dag" Aku berlalu dan Eve mengikutiku, aku tau dia akan mengintrogasiku.
"Elo jahat! Elo nggak jawab telpon gue, elo nggak balas email gue!" teriak Eve dramatis,
khasnya, dia memang selalu bertindak seperti ratu drama konyol." Aku membanting dengan
keras pintu lokerku, berharap itu bisa membuatnya berhenti berbicara."Ghie! gue nunggu alasan
kenapa elo bertindak seperti orang yang".elo pikir kita bukan lagi sahabat?"
"Eve, please, ini hari pertama gue masuk sekolah, gue melewati begitu banyak kejadian
dua minggu ini, jangan terlalu banyak bertanya, gue mau mengejar ketinggalan selama gue
nggak sekolah, oke?" aku memohon pengertiannya, tapi Eve bukanlah teman yang pengertian.
"Nyokap gue mati bunuh diri, gue ternyata seorang princess, dan sebentar lagi gue jadi
permaisuri, gue tunangan sang pangeran sekarang." Seandainya mudah untuk berkata seperti itu,
harusnya aku berbicara dan menceritakan semuanya dengan satu-satunya sahabatku ini, tapi
tidak sekarang, diantara banyaknya pasang mata yang melirikku secara terang-terangan dan
bersembunyi, aku melihat Niken lewat, dia melirikku sejenak sebelum tersenyum kecut, dan
melanjutkan obrolan dengan dua orang temannya, Penny si tukang gossip yang bermulut selebar
bak cucian dan Mimi si cewek yang bibirnya seperti baru aja habis makan gorengan dengan
minyak seliter (itu julukan yang diberikan Eve pada mereka).
"Niken, sahabat elo itu" katanya dengan nada mengejek, "berhasil disingkirkan Gazka
dengan mudah, tapi Gazka mundur dari jabatan ketua OSIS dan sekarang, Budi si cowok kutu
buku bertampang mirip Hitler yang tanpa kumis, apa yang ada di otak Gazka gue nggak habis
pikir, memberikan suaranya untuk si Budi, tapi sudahlah, seenggaknya bukan Niken yang jadi
ketua OSIS." Aku hanya mengangguk "Ghie"gue mesti tau apa yang terjadi selama dua minggu ini!" Eve kembali
meredengiku dengan pertanyaan yang tak mungkin bisa kujawab sekarang.
"Hai Ghie?"seseorang menyapaku dengan suara yang sangat aku rindukan, Dante, dia
disana masih setampan yang kuingat.
"Hai?"balasku, otakku mengingatkanku, bahwa aku terikat pertunangan, dan suara lain
dari hatiku meneriakinya dengan berkata itu hanya berpura-pura. Dante masih pacarku, tapi
masihkah dia mengaggap begitu"setelah dua minggu berlalu, tanpa kabar apapun dariku.
"Kita ketemu jam istirahat ya, di perpus, dag!" Dia memberikanku senyumnya seperti
biasa, senyum jail yang manis.
"Huh! Dan elo bakalan ketemu Dante dan lupa buat certain semuanya ke gue!" Eve
ngedumel, bel berbunyi, dan sudah waktunya bagiku untuk fokus dulu pada pelajaranku.
*** Aku tidak bisa menemui Dante karena guru BP baru saja meneriakan namaku melalui
pengeras suara, aku diminta kesana, beberapa saat setelah bel berdering, Eve memandangiku
dengan tatapan menyesal, apalagi sih yang terjadi"
"Selamat siang" aku menginjakan kaki lagi di ruangan ini, aku tak ingin ada masalah lagi.
"Siang" jawab suara yang kukenali, suara kepala sekolahku.
Aku tak menyangka pemandangan yang tersaji di depanku, Gavner dan Gazka dengan
wajah yang tampak kacau, lebam dan berdarah, ternyata aku hanya diminta untuk merawat luka
keduanya, kupikir ini permintaan Gavner. Setelah itu, aku dan kedua orang cowok yang baru
kusadari berwajah nyaris identik ini berjalan menuju UKS, mereka merusak rencanaku untuk
bisa "well, setidaknya melepas rindu dengan Dante.
Aku membersihkan wajah Gavner dengan hati-hati, sepertinya dia menikmati sentuhan
tanganku di wajahnya, dia memandang Gazka, alih-alih mereka saling baku hantam lagi, yang
ada mereka hanya saling melempar senyum mengejek juga juluran lidah.
"Ghie"tampang gue juga ancur, elo juga mesti bersihin muka gue!" protes Gazka.
"Udah elo minta bersihin sama perawat sekolah atau anak PMR aja gih" sahut Gavner,
"Ghie khusus ngerawat gue, asal loe tau ya Ka, Ghie ini tunangan gue, loe liat dong cincinnya
sama kayak cincin gue,hehehe"
"Sialan loe! Sumpah"elo kadalin gue nih !"Gazka tak mau percaya. Setelah selesai
dengan Gavner aku membersihkan muka Gazka.
"Kakak ipar yang baik, hehehe" Gavner bicara lagi.
"Please, kasih tau gue, kenapa harus gue yang ngerawat kalian, ada perawat sekolah, ada
anak PMR, kenapa harus gue" Dan kenapa elo mesti nyiptain kasus diawal loe masuk sekolah?"
aku benar-benar marah. "Gue ngak suka lelucon kayak gini!"
"Gue kangen adek gue Ghie, dan yeah, salahin Gazka dia yang nyerang gue duluan."
Gavner menjelaskan. "Gue marah Ghie sama si idiot ini, gue nggak nyangka ketemu dia disini! Ini bikin gue
shock! Gue nggak mau dia disini, gue mau dia pulang dan kembali ke habitatnya dalam pelukan
Daddy tersayang dan tahtanya, huh!"Gazka mencemooh dalam candaan.
"Hey, apa sih yang kalian mainkan?"
"Boleh memintamu merahasiakan sesuatu Ghie?" Gavner menatapku, tatapannya selalu
sendu, kadang aku melihat kesedihan disana, tapi ada kegembiraan sekarang, setidaknya melihat
Gazka ada cahaya keceriaan dalam matanya yang berwarna hazel. "Anggap saja, aku dan Gazka
tidak saling mengenal, anggap saja aku dan Gazka bukan saudara, berjanjilah!"
"Aku-kamu! Napa nggak elo gue sih" hahaha sok romantis loe, Ghie, apa panggilan
sayang elo buat dia" Babon" Hahahaha, gue rasa elo khilaf mau-maunya tunangan ma Babon ini,
hahaha."Gazka masih saja mengejek, siapa yang menyangka, cowok yag dipikir cewek-cewek
diluaran sana sangat cool, bisa sekonyol ini.
"Aku janji" aku tersenyum pada keduanya.
Aku benar-benar tak mengerti, lebih baik aku jalani saja.
"Gavner, bubar sekolah gue bareng Eve ya.."aku berdusta, sebenarnya aku ingin pergi
dengan Dante, jempolku sedang menari-nari diatas touch screen sedang mengiriminya pesan
untuk menemuiku setelah sekolah.
"Hmmm oke, gue juga mau bikin perhitungan sama monyet satu ini." Dia menunjuk
Gazka, keduanya tertawa-tawa, alangkah bahagianya, seandainya saja aku memiliki saudara.
Dua Puluh Tiga Aku menghindari Eve sebisaku, dan akhirnya aku berada di boncengan skutermatic
Dante, Dante mengajakku ke tempat biasa, tempat pertama kali dia memaksaku makan sebanyak
yang aku bisa dan melarangku untuk memuntahkan segalanya, kami akan melewati makan siang
istimewa yang ditutup dengan menikmati Coffee Banana Split Favorite-kami.
"Hey mysterious girl, mau cerita kemana aja dua minggu ini" Kamu mau bikin aku mati
karena kangen ya?"Dante menggodaku, dia mencolek hidungku, alih-alih marah dia malah
bersikap seperti biasa, dia satu-satunya orang yang bisa membuatku tertawa dengan mudah.
"Boleh bilang sesuatu nggak?" Aku sebenarnya ingin menceritakan segalanya, mamaku,
siapa aku, dan pertunangan yang sedang menyiksaku.
"Pasti mau bilang miss you like crazy, kan" Kamu juga kangen banget sama aku, kan?"
Dia mengacak-acak poniku. Sebenarnya, aku ingin bilang segala yang terjadi padaku, tapi aku
tak ingin, aku tak mau merusak senyumnya. "Everything oke, Ghie?" Dante menyadari
perubahan ekspresiku. Jadi aku tersenyum sebisaku, walau berat tapi kupaksakan, aku hanya
ingin bahagia, aku tau pertunanganku bisa dikatakan hanya pura-pura tapi ini masih rahasia
antara aku dan Gavner, tidak ada satu orangpun yang boleh tau, haruskah aku mengatakannya
sekarang pada Dante" Tapi aku juga tak bisa mengkhianati janjiku pada Gavner, aku tak bisa
merusak segalanya, keluargaku adalah taruhannya, dan aku juga tak ingin merusak kebahagiaan
Dante. "Dante, kamu percaya kan kalo aku benar-benar sayang sama kamu?" aku menatap
matanya, ada yang berbeda antara mata Dante dan Gavner, Dante memiliki mata bening seperti
mata anak-anak, dan Gavner memiliki mata indah yang sayangnya seperti menyimpan luka.
"Nggak" dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil nyengir
"Aku sayang banget sama kamu" aku mengatakan yang sebenarnya, yang aku rasakan.
"Ghie..seberapapun sayangnya kamu ke aku nggak bisa ngalahin rasa sayangku ke kamu,
aku tau ini nggak boleh, terlalu menyayangi sesuatu seperti ini, tapi aku nggak tau, aku terlalu
sayang, dan nggak tau dan nggak bisa bayangkan bagaimana bila seandainya aku nggak bisa
memiliki kamu, ini gila, aku tau kita masih remaja, dan rasanya terlalu muda untuk aku bilang
cinta, tapi aku nggak bisa membohongi yang aku rasa."Dante mengelus pipiku, aku
memejamkan mata mencoba resapi rasa sayang ini, begitu menenangkan begitu menyenangkan.
*** Aku menghabiskan soreku dengan Dante, kami melakukan banyak hal yang
menyenangkan, dan yang terakhir dia lakukan benar-benar konyol, dia membelikanku banyak
balon helium warna-warni, sebagai pengganti balon yang terbang malam minggu dua lalu, dia
benar-benar aneh, tapi aku menyukai itu.
Ingin tau apa hal romantis yang terjadi sore ini" Setelah berlarian, berteriak melepas
beban, merasakan air laut di kaki kami ketika berjalan di pantai, dan juga memandang indahnya
langit kala matahari terbenam, sangat tak terduga dan tanpa direncanakan,
Dante, dia menciumku, tepat di bibir, dan kali ini sebuah ciuman yang sebenarnya, tak ada lagi gelas
Putri Berdarah Ungu Karya Citra Rizcha Maya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melayang, tak ada lagi teriakan histeris setelahnya, dan tak ada lagi kepanikan, yang ada hanya
keinginan untuk menghentikan waktu merasakan cinta Dante, merasakan kedamaian yang dia
berikan. "Ghie...mau berjanji padaku?"
"Apa?" "Apapun yang terjadi kamu nggak akan ninggalin aku?"
"Ya" Aku menatapnya memberikan keyakinan dan tersenyum manis, aku merasakan
genggaman tangan Dante menggengam jari jemariku lebih erat seakan tak ingin melepaskannya,
Dante menciumku sekali lagi, kubalas ciumannya, aku merasakan bibirnya yang lembut dan
kenyal, merasakan nafasnya yang sewangi mint, merasakan hangat pelukannya. Rasanya tak
ingin mengingat segala kesedihan rasanya ingin menjadikan inilah akhirnya. Seandainya hidup
bisa direncanakan dan takdir bisa tertulis dengan mudahnya sesuai dengan yang kita inginkan
dan yang kita harapkan, maka aku ingin agar segala kebahagian itu tercipta untukku dan
kebahagiaan itu ada pada seorang yang paling kucintai, pada Dante, ingin sekali segala
kebahagiaan ini kubawa pulang, dan kutuangkan dalam mimpi indahku malam ini, mimpi
dimana hanya ada aku, Dante, dan kebahagiaan kita.
Dua Puluh Empat "Kenapa sih kamu harus bohong?" Lampu mejaku langsung menyala, terkejut, balonbalon helium yang dibelikan Dante langsung beterbangan ke langit-langit kamarku. "Temanmu
Eve, baru saja dari sini, mencarimu, kalo kamu pergi bersama Eve bagaimana mungkin dia
mencarimu kesini." Gavner berbaring di tempat tidurku, wajahnya terlihat marah, aku sedikit ketakutan, ini
ekspresi tak biasa, dia terlihat sangat berbeda.
"Aku bisa jelasin" Kataku serak.
"Aku sudah tau!" Nada suara Gavner meninggi, aku tak lagi mengenal orang yang ada di
hadapanku sekarang, dia telihat begitu mengerikan dalam marahnya.
"Apa yang kamu tau?" Aku mencoba tetap bersuara normal
"Ada cowok lain bernama Dante kan?" Dia berteriak.
"Dia pacar aku, aku kenal dia jauh sebelum kamu." Aku menaikkan nada suaraku, aku
memberanikan diri. "Aku Tunanganmu, kalo-kalo kamu lupa, dan masa depanmu ada bersama aku!"Suaranya
kembali normal tapi ekspresinya masih terlihat sangat dingin
"Bukannya kamu bilang, kalo ini cuma pura-pura?" aku mencoba mengingatkannya.
"Bagaimana kalo aku berubah pikiran?"
"Gavner, mau kamu apa?" aku frustasi.
"Aku mau kamu menjalani status yang seharusnya kita jalani."
"Gavner, please, kamu cuma"merasa dibohongi! Kita bisa meneruskan sandiwara ini,
kita pura-pura tunangan, tapi aku mohon banget biarin aku tetap sama Dante, aku sayang banget
sama dia, kamu boleh pacarin cewek manapun, kita bisa menjalani dengan cara yang bisa
memudahkan kita." Aku mencoba menjelaskan segalanya, aku ingin mencairkan suasana.
Gavner mendatangiku, berdiri tepat dihadapanku, sekarang wajahnya begitu dekat
dengan wajahku, aku menatap matanya dengan takut, ada kemarahan tak terkira yang ingin dia
lampiaskan. "Kamu mau pura-pura" Akan kuturuti maumu" nada suaranya terdengar dingin. "Tapi
bukan pura-pura seperti maumu." Gavner menyentuh pipiku, sentuhannya lembut tapi
menakutkan aku merasa terancam. "Buka matamu! lihat aku Lala Brieghieta Rara Nantana!"
Ya Tuhan aku mohon, beri aku kekuatan untuk membuka mataku dan untuk sanggup
menatap matanya. Pelan-pelan kubuka mataku, kupandangi Gavner, masih dengan wajah
marahnya, sangat tak terduga dia menciumku paksa, aku tak berontak tapi juga tak bergerak, biar
dia dapat apa maunya, sang Pangeran selalu mendapatkan yang dia inginkan, tapi aku tak
menyangka, ternyata sang pangeran bukanlah orang bisa memegang kata-katanya. Dia menyerah
dan frustasi, berteriak dengan keras lalu menghantam cerminku dengan kasar, suara kaca pecah I
dan teriakan amarah membuatku ketakutan, aku menangis, Gavner meninggalkanku sendiri, aku
menangis di lantai, sampai Nanny datang menenangkanku dengan pelukannya.
*** Aku menelpon Eve, memintanya datang, aku perlu seseorang untuk kuajak bicara, tak
lama Eve datang, dia menemaniku berbaring dalam kegelapan, mendengarkan seluruh kisah
sedihku, kepergian mama, tentang siapa aku, dan pertunanganku dengan Gavner.
"Ghie"gue turut berduka cita buat tante Ayara, maaf gue nggak tau, dan"."Antara
isakan dan tawa Eve bicara lagi, dan disaat yang sama aku mersakan genggaman tangannya di
jariku "Gue bego bangeeet"dulu gue pikir jadi seorang putri bangsawan itu adalah hal yang
indah, kayak di dongeng, bertemu pangeran tampan, tapi ternyata enggak, elo putri yang . . . elo
pasti mikir akan lebih kalo elo bisa milih gue yakin elo pasti mau milih jadi orang biasa aja,
supaya elo bisa sama-sama dengan Dante, bukannya dengan pangeran psikopat kayak Gavner,
secara tampang dia memang pantas dibilang pangeran, tapi kejiwaan dan perilaku dia nggak ada
bedanya dengan monster!"
Mendengar Eve berkata dengan nada bicara yang konyol dan cablak seharusnya aku bisa
tertawa, tapi sudahlah, aku memang ditakdirkan seperti ini.
"Eve, dengan menikahi Gavner, walaupun itu masih bertahun-tahun lagi"adalah satusatunya cara untuk mengembalikan lagi kehormatan keluarga, gue anak tanpa ayah, gue bukan
putri yang sesungguhnya, sebenarnya gue nggak punya hak memakai gelar kebangsawanan, ayah
biologis gue orang biasa gue bahkan tak tau siapa dia, keluarga gue menaruh harapan besar, ada
beban yang harus gue emban, gue nggak punya siapa-siapa, keluarga yang gue punya hanya
mereka dan tugas gue adalah membahagiakan mereka."
"Walaupun dengan mengorbankan kebahagiaan elo?" Eve protes. "Elo punya gue, elo
punya Dante, orang-orang yang sayang sama elo,"Ghie, elo bahkan belom 17 taon tapi apa
yang elo alami terlalu berat, gue dukung apapun yang elo lakuin, gue ngerti posisi elo, gue tau
elo nggak bakal bahagia buat ngejalani semua ini dengan Gavner, tapi seenggaknya, izinin gue
untuk bilang dan certain segalanya pada Dante, kalopun elo berdua nggak bisa sama-sama
minimal Dante tau, kalo hati elo selalu untuk dia.
Dua Puluh Lima Aku melihat Dante memandangiku, tanpa ekspresi, ketika aku melewati kelasnya, Gavner
berjalan di sampingku, memegang tanganku erat, sekelompok cewek mulai berbisik-bisik, kurasa
selama ini seluruh sekolah tau kalo aku dan Dante Pacaran, tapi sekarang, aku bertunangan
dengan cowok lain, itu akan makin memperburuk image-ku.
Selama seminggu ini Gavner bertingkah sangat menyebalkan, setiap pagi selalu
mengajakku memutar melewati kelas Dante sambil berjalan angkuh sambil menyeretku,
tangannya tak pernah menggandengku, tapi mencengkramku kuat seakan dia takut aku akan
terlepas dan berlari darinya, dia seperti pengidap posesif parah, dia masuk ke kelasku, duduk di
bangku sampingku yang adalah bangkunya Eve, sampai bel tanda masuk kelas berbunyi, di jam
istirahat dia akan menjemputku ke kelas, menyeretku ke kantin, menemaninya minum kopi
sambil membaca buku-buku suram; No Exit, Mein Kampf, dan buku-buku yang takkan
membuatku tertarik, setelah itu dia akan mengantarku kembali ke kelas, pulang sekolah, setelah
bel berdering, dia akan menjemputku ke kelas dan menyeretku ke parkiran, akan berlama-lama
di parkiran, hanya untuk membuat Dante kesal, di rumah, tidak lebih baik, aku lebih memilih
mengurung diri di kamar jika Eve tak mengunjungiku, daripada menemaninya membaca buku
suramnya sambil membunuh dirinya dengan asap rokok, kadang dia keluar entah kemana,
mungkin kupikir ke tempat Gazka, tapi sejujurnya aku tak terlalu peduli. Aku tak bisa
membayangkan bagaimana aku mengabiskan hidup dengannya.
*** Gavner merebut hati para guru dengan otak cemerlangnya, membuat para cewek kagum
dengan pesona aristokrat dan wajah tampannya, dari bisik-bisik yang Eve dengar dan
disampaikan padaku, bahwa para cewek ternyata iri denganku karena mendapatkan Gavner,
mereka malah rela melakukan apapun agar bisa bertukar posisi denganku, dan ada seorang
cewek yang mau melakukan aksi bunuh diri konyol dengan menyatakan perasaannya pada
Gavner, tapi Gavner tau cara menolak dengan baik, dia malah menghadiahkan si cewek malang
itu dengan hadiah kecupan kecil tanda pertemanan di pipi. Sementara para cowok tidak begitu
menyukai Gavner, pertama, karena iri dan yang kedua karena dia pantas di benci
Hari ini Sabtu, sekolah sudah bubar tak kusangka Dante datang dan menghampiri.
"Ghie aku mau ngomong" dan Dante memegang tanganku mencoba mengajakku pergi,
tapi Gavner dengan cepat menahanku, mengeggam tanganku yang lain, lebih tepatnya
mencengkram dengan kuat. Dante tak bisa membawaku. Dante kesal, dan mungkin seminggu ini
adalah saatnya untuk memuntahkan semua kemarahannya, dengan tiba-tiba dia mengarahkan
sebuah tinju ke muka Gavner, Gavner limbung dan jatuh ke tanah, terjadi begitu cepat dan tak
terduga, aku merasa ketakutan ketika kulihat Gavner tak bergerak, dia pingsan.
Beberapa anak yang masih berada di parkiran berlarian, seharusnya sekolah sudah bubar
tapi anak-anak memang banyak yang betah nongkrong di sekolah, UKS sudah tutup jadi kupikir
lebih baik membawa Gavner ke rumah sakit terdekat.
"Ghie?" aku mendengar suara Dante "Ghie"gue nggak"."
Gazka tiba-tiba muncul di tengah-tengah kerumunan terlihat begitu khawatir, dan dengan
cepat meminta bantuan beberapa anak, untuk menggotong Gavner ke dalam mobil, kutinggalkan
Dante dan buru-buru masuk mobil, lalu Gazka membawa mobil melaju keluar dari sekolah.
*** Aku melihat ada kekhawatiran di wajah Gazka yang terdiam, kami masih menunggu
Gavner di periksa, aku berpikir itu bukan pukulan telak, seharusnya itu tak masalah, mungkin
Gavner bisa sja bangkit atau menangkis serangan Dante, atau setidaknya akan lebih baik jika ada
perkelahian bukan hanya satu pukulan tapi berdampak sehebat ini. Dokter sudah keluar dan kami
diminta menemui Gavner. Dia terlihat pucat dan menyedihkan, kududuk disisi tempat tidurnya, Gavner memegang
tanganku, ingin kutepis tapi tak cukup tega untuk melakukan itu.
"Katakan kamu mengkhawatirkan aku?" Katanya lemah.
Aku tak menjawab "Bilang kalo kamu mengkhawatirkan aku?" ulangnya lagi, aku masih terdiam.
"Ka, please, tinggalin kami berdua" Gazka menurut dan berlalu pergi.
"Ghie"please, bilang kalo kamu khawatirin aku!"
Aku tak bisa menjawabnya dan juga tak ingin
"Ghie! Aku mohon kamu bilang bahwa kamu khawatirin aku dan kamu takut kalo hal
yang buruk terjadi padaku."
Aku masih diam, tak sanggup menatapnya hanya menunduk, lebih mudah bagiku untuk
berpura-pura menjadi manekin.
"Ghie bilang, kalo kamu takut dan khawatirin aku"
Aku menangis mendengar teriakannya, dia memaksa, dia suka marah, dia bertindak
kasar, Gavner, bagaimana bisa ada seseorang yang mempunyai kepribadiaan sekeras ini, Ni"
pernah bilang, ada satu cirri khas laki-laki bangsawan kami, yaitu koro, koro adalah sifat keras
seperti yang dimiliki Gavner.
"Ghie bilang kalo kamu khawatir, bilang kamu khawatir!" dia berteriak seperti orang tak
sadarkan diri. Aku masih tak mau meresponnya, aku bosan, aku muak, seharusnya aku iba, tapi tak
ingin kulakukan, seharusnya Dante memukulnya lebih keras lagi. Dalam keadaan seperti inipun
dia masih mampu bertingkah sekesar ini.
"Ghie bilang kalo kamu khawatirin aku" Suaranya berubah, berat dan serak, tak kusangka
Gavner menangis, aku masih tak ingin bergerak. Gavner seperti orang berkepribadian ganda
"Please Ghie aku mohon bilang kamu khawatirin aku!" Dia benar-benar menangis, dan secara
naluriah ketika kulihat air mata itu, aku memeluknya. Gavner tak berteriak atau bicara lagi dalam
isakannya, tapi aku tau air matanya masih mengalir, Gavner terlalu kekanak-kanakankah"
"Ghie, aku tau kamu sama sekali nggak menyayangiku, salahku, sikap dan sifatkulah
yang bikin semuanya jadi seperti ini, ini semua keegoisanku?"Dia seperti tertawa tapi juga
terisak. "Tapi aku mohon Ghie, bila seandainya kamu nggak bisa mencintaiku, tapi seenggaknya
berpura-puralah, aku mohon" Gavner mencium tanganku, aku tak berani menatap wajahnya, tapi
aku memaksakan diri, sinar mata itu lagi, sinar matanya yang dulu, sinar mata hazel yang
mellow. "Berpura-puralah untuk waktu yang tak lama, Ghie waktuku nggak lama Ghie, beberapa
bulan lagi, aku sekarat Ghie" Lalu Gavner terisak lagi, mau tak mau aku menangis, dan kali ini
memeluknya. Inikah sebabnya dia bertindak seperti ini, seharusnya dia mengatakan sejak awal.
"Ghie"pertama kali melihatmu, berurai air mata di pemakaman mamamu, membuatku berpikir
mungkin kamu bisa jadi orang yang tepat untukku berbagi kesedihan ini, tapi ternyata aku salah,
kamu bahkan tak mampu mengobati kesedihanmu, aku hanya menambahkannya, menambah
penderitaanmu, Aku merasakan Gavner mencium puncak kepalaku, kali ini aku berbaring
disisinya memeluknya, mencoba memahami kesedihannya."Aku menderita ALS- Amyotrophic
Lateral Sclerosis, Lou Gehrig"s disease, aku rasa kamu tau apa itu Ghie, sebentar lagi aku akan
mengalami kelumpuhan, aku nggak ingin itu terjadi."Gavner menangis seperti anak kecil,
isakannya menyayat hati, akupun ikut menangis, dan memperata pelukanku."Aku nggak mau
berakhir di kursi roda, tak ingin berakhir menjadi seonggok tubuh tanpa daya di tempat tidur."
Dia menangis aku tau dari isakannya, tak ingin lagi melihat air mata itu, kutatap dia kali ini
bukan lagi tatapan mendelik tapi tatapan penuh pengertian, kuhapus air matanya, kubelai
rambutnya, dia terlihat begitu menyedihkan, kuberikan kecupan sayang di keningnya.
"Gavner, untuk kali ini aku berjanji, aku akan berusaha untuk menyayangimu, aku
berjanji."Sekali lagi aku mencium keningnya, aku menangis lagi manakala dia mulai berbicara.
"Kasih sayang yang tulus Ghie, bukan hanya iba."
"Ya, aku janji" dan aku memeluknya, malam itu aku menemaninya hingga terlelap,
mencoba memahami posisinya, mencoba untuk mulai mencintainya.
Dua Puluh Enam Setengah mengantuk, aku keluar kamar, dan kulihat Gazka bersama seseorang, Dante.
Ada penyesalan saat melihatnya, seandainya ia tau, mungkin dia takkan pernah melakukan hal
sekasar itu pada Dante, pada dasarnya Dante bukan orang yang mudah emosi, dia hanya lepas
control dan sejujurnya siapapun pasti akan lepas kendali bila jadi dirinya. Gazka mendongak,
kulihat matanya memerah menahan kantuk, dia memandangiku dan Dante secara bergantian, tapi
tanpa bicara. "Ghie?" Dante memanggilku.
"Aku mau ke kantin, aku perlu sedikit kafein, Ka, bisa tolong jagain Gavner bentar." Aku
mencoba mengabaikan Dante.
"Please Ghie, gue mau ngomong." Aku takkan setega ini membuatnya harus berusaha
keras hanya untuk untuk menjelaskan apa yang memberatkannya, aku yakin dia hanya punya
alasan untuk melakukan hal seburuk itu pada Gavner.
"Oke." Dan kami beriringan ke cafeteria rumah sakit yang mulai sepi, ini jam empat
pagi, dimana-mana aku hanya melihat, wajah-wajah lelah mengantuk, dan bosan.
*** Dante membawakan dua cup hot cappucino dan donat coklat, aku menyesap cappucinoku dan menatap Dante, sejujurnya aku merindukan bisa bicara berdua lagi dengan Dante, tapi
entah mengapa, ada perasaan bersalah ketika sekarang, aku hanya berdua saja dengan Dante
tanpa sepengetahuan Gavner.
"Gavner oke" Gue merasa bersalah, gue minta maaf"
"Gavner?" Aku ingin menangis, aku ingin menceritakan semua pada Dante, tapi aku
yakin Gavner tak menginginkan ini, Gavner tak ingin orang lain merasa iba padanya. "Gavner
cuma sakit biasa, dia memang agak lemah, kondisinya memang sedang nggak fit, nggak usah
khawatir, makasih sudah mengkhawatirkannya, Dante kamu boleh pulang sekarang." Dante
menyentuh punggung tanganku, cepat-cepat kutepis.
"Aku kangen kamu Ghie"
"Aku juga" tapi tak kuucaapkan itu hanya bisikkan hatiku."Aku tau"
"Eve bilang, kamu sayangnya sama aku kan" bukan Gavner!" Dia mencoba meyakinkan
diri. "Bukan saat yang tepat untuk bahas masalah perasaan sekarang"
"Ghie"please"
"Dante, seberapapun sayangnya aku ke kamu,
sebaiknya, sekarang kita lupain kita
anggap ini masa lalu, aku cuma nggak mau menyakiti siapapun." Aku meyesap cappucino-ku
lagi, hanya untuk melakukan sesuatu dan tak hanya fokus memandang wajah Dante yang terlihat
suram sekarang. "Minimal, kamu jujur dengan hatimu"
"Aku tau yang terbaik, aku mau menjalani ini dengan Gavner, terima kasih buat
semuanya, terima kasih karena telah menyayangiku." Aku mengusap punggung tangannya, dan
berlalu, aku tak lebih lama bersamanya. Begitu berat rasanya, tapi harus kulakukan, dan
Dantepun tak coba menghentikan langkahku.
*** "Ketika aku hendak masuk lagi ke kamar perawatan Gavner, aku berhenti sejenak,
tanganku langsung membeku di pegangan pintu. Gavner dan Gazka terlibat pembicaraan serius,
bukan maksudku untuk menguping, aku hanya ingin tau.
"Ner, loe masih punya harapan hidup dua atau lima tahun ke depan, bahkan Steven
Hawking bisa hidup 47 tahun, kamu bisa mendapatkan perawatan terbaik, Bokap elo bisa
memberikan segala fasilitas kesehatan terbaik."
"Elo bicara seolah-olah beliau bukan Papa elo juga"
"Bukan, karena kami tidak terikat secara emosional. Hey belum lupa kan" Gue yang
membunuh istrinya karena melahirkan gue, menemuinya hanya sekali dalam beberapa tahun,
itupun lebih banyak dia ngabaiin gue dan nggak pernah sekalipun menatap wajah gue. Tragis,
kasihan ya gue?" Gazka menertawakan dirinya.
"Dia juga sayang sama elo, elo cuma nggak tau"
"Nggak, kayak dia nyayangin elo!"
"Please Ka, jangan sampai Papa tau tentang ini, gue mau elo janji satu hal, gue nggak
ingin hidup lebih lama, gue hanya minta waktu beberapa bulan, hanya beberapa bulan, sebelum
penyakit ini terlalu dalam menyiksa hidup gue, gue nggak ingin terlalu banyak merepotkan orang
lain." "Apa sih yang elo omongin" kita sudah deal tak ingin membicarakan hal ini lagi, oke"
Ingat, gue nggak bakal ngelakuin ini buat elo, nggak bakalan Gavner!"
"Walaupun ini permintaan terakhir gue?"
"Jangan paksa gue."
"Baiklah, gue akan melakukannya sendiri, itu bukan hal yang sulit selagi gue mampu
melakukannya sendiri."
"Jangan konyol Gavner! Hey"
"Elo nggak mau melakukan itu untuk gue, gue cuma minta elo untuk seenggaknya
meringankan penderitaan gue, cuma itu, ini permintaan seorang saudara, elo nggak tau rasanya
ketika saat ulang tahun ketujuh belas, alih-alih elo mendapatkan kado elo malah udah tau
bagaimana cara elo bakal mati! Berat rasanya Ka, cuma elo sodara gue, dan gue merasa bersalah
untuk semua kasih sayang Papa yang nggak bisa elo rasain, seharusnya itu juga buat elo, setelah
gue nggak ada maka semua kasih sayang Papa buat elo, anggap aja dengan membiarkan gue
Putri Berdarah Ungu Karya Citra Rizcha Maya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pergi secepatnya elo dan Papa bisa lebih dekat secepatnya, elo cuma perlu nyuapin gue dengan
ini, cuma beberapa sendok, nggak sulit Ka." Aku tak tau apa yang Gavner maksud, ingin
kukeluar dari balik pintu dan mengambil benda apakah yang dia inginkan untuk mengahabisi
nyawanya, tapi aku hanya berdiri membeku sambil terisak disini, aku benar-benar pengecut.
"Gue nggak bisa Ner"
"Please" "Itu sama aja kayak gue bunuh elo."
"Cepat atau lambat gue juga bakal mati, ini cara terindah untuk gue bisa pergi dengan
bahagia." Lama berselang tanpa suara, sampai aku kembali mendengar suara Gavner.
"Terima kasih Gazka, mari kita nikmati waktu selagi kita bersama, sebelum gue minta
elo untuk melakukannya."
Dua Puluh Tujuh Ada yang bilang kadang sulit mencintai seseorang kalau kamu tak bisa melihat sebagian
dari dirimu tercermin pada diri mereka, ini tentang Gavner ini tentang Dante. Dengan Gavner
aku merasa sama, memiliki tatapan mata yang menyimpan banyak kesedihan, tatapan mata inilah
yang membuat Gavner jatuh cinta, tatapan mata inilah yang dipikir Gavner akan mengerti
tentang kesedihan-kesedihan yang dialaminya, sementara dengan Dante aku merasa memiliki
kesamaan yang tak bisa dijelaskan, kami nyaris identik dalam hal yang tak bisa kujelaskan,
karena ketika menatapnya aku melihat sebagian dari wajahku ada pada wajahnya, entah ini
halusinasiku saja. Malam minggu ini, kami habiskan di Rumah Sakit, Gavner baru boleh pulang besok, dia
terlihat sehat dan tak ada tanda-tanda menyimpan derita kesakitan, dia percaya bahwa obat
terbaik untuk suatu penyakit adalah dengan berpura-pura untuk tidak merasakan sakit, tapi dia
tak pernah berpikir positif dan optimis untuk sebuah kesembuhan. Dia bilang dia hanya akan
bertambah sakit bila harus minum obat-obat tak berguna itu dan mengikuti terapi-terapi payah
yang dipikirnya hanya akan mengurangi waktunya sebelum dia benar-benar pergi.
"Ketika kematianmu sudah ditentukan, tak ada gunanya untuk berusaha lari darinya,
terimalah dan nikmati waktu selagi masih bisa" Gavner tersenyum padaku sambil menggengam
tanganku, ini jam 2 pagi dan yang kami lakukan adalah duduk di atap rumah sakit sambil
memandang bintang-bintang. "Ghie sejak kecil aku suka menatap langit di tengah malam buta,
masih ingat ketika aku menculikmu dan membawamu ke rumah pohonku?"
Aku mengangguk dan tersenyum, dia mengusap pipiku lembut.
"Sejak kecil, aku melakukannya, keluar di malam buta untuk menikmati keindahan
langit, hanya dengan menatap bintang-bintang dan berada di diketinggian yang mendekati langit
membuat bocah kecil ini dulu percaya, bahwa Tuhan akan mendengar doanya, aku menunggu
lama untuk doa itu, ingin tau apa doaku?"
"Katakan" "Aku selalu berdoa agar aku bisa berada di sisi mamaku, di sana disamping Tuhan,
orang-orang selalu bilang bahwa kematian yang terlalu cepat adalah suatu pertanda bahwa Tuhan
menyayangi orang tersebut itulah sebabnya aku ingin pergi begitu cepat, aku tak pernah
mengenal mama, hanya mengetahui siapa dia melalui foto, potongan-potongan cerita yang
dituturkan berbeda oleh orang-orang yang mengenalnya, dan juga kenangan yang kuciptakan
sendiri dengan imajinasi anak kecilku, namanya Cecily, berdarah Prancis, bertemu papa di
Universitas saat belajar Sosiologi di Cornell, Amerika, saling jatuh cinta dan walaupun ditentang
tapi akhirnya mereka menikah. Setahun setelah kelahiranku, mama melahirkan Gazka, dan tragis
saat Gazka datang mama pergi, papaku mengalami penderitaan terdalam, Gazka dibawa keluar
dari Bala", diasuh oleh abdi keluarga kami, dia mengalami hidup yang keras, pindah dari satu
tempat ke tempat lainnya, aku bersedih untuknya, aku bersedih untuk kesedihan papa karena
begitu kehilangan hingga tak menyadari kehadiran putranya. Ketika aku pergi nanti, aku ingin
agar Gazka kembali pulang, aku ingin papa tau bahwa selain aku dia memiliki putra yang
lainnya.", "Aku ikut bersedih untuk Gazka"
"Ghie, terima kasih"
"Untuk apa?" "Karena telah mengerti karena telah menjadi pendengar yang baik."
Sekarang itu tugasku, mendengarkan semua yang ingin di katakannya, kukecup pipinya,
dan kuajak dia kembali ke kamar, sebelum perawat mencarinya.
*** Kami pulang ke rumah siangnya, Gavner memaksa dan dan berkata bahwa justru
rumah sakit menyiksanya dan membuatnya terpenjara. Nanny dan Eve yang siang itu ada di
rumah terperangan melihat sikapku yang berubah terhadap Gavner, itu membuat Eve keberatan
"Ghie, gimana bisa?" dia berkacak pinggang "Gavner itu kasar!"
"Nggak dia berbeda, kekasarannya hanya cara untuk mendirikan proteksi dirinya"
"Elo nggak bisa jatuh cinta padanya, elo nggak boleh! Kasihan Dante!"
"Gue tau, nggak bisa buat gue ngelupain Dante, tapi gue terikat dengan Gavner, gue
mesti ngerelain hati gue, dan Dante juga harus terima kenyataan bahwa gue nggak bisa lagi sama
dia, kita udah pisah baik-baik, dan sekarang gue ingin belajar untuk jatuh cinta pada Gavner."
"Gue denger insiden kemaren, Gavner oke?"
"Ya." "Jadi sekarang elo yakin untuk menjalani ini dengan Gavner?"
"Iya Eve, gue ingin Gavner bahagia"
"Dengan ngorbanin kebahagian elo?"
"Dalam hidup ini, kadang kita mengorbankan banyak hal agar hidup bisa berjalan
dengan baik." "Oke Ghie hentiin kuliah filsafatmu, mau nongkrong malam ini di tempat biasa?"
"Malam ini gue mau nyiapin kejutan buat Gavner"
"Kejutan?" "Bantu gue buat nyiapin romantic candelight dinner, ya?"
Dan sebagai teman yang baik Eve tak bisa menolak.
Dua Puluh Delapan Untunglah Gazka mau diajak kerjasama, dia membawa Gavner keluar rumah agar dia
tak tau bahwa aku menyiapkan kejutan untuknya. Ternyata, merancang romantic candelight
dinner bukan hal yang mudah, aku sama sekali tak punya ide, dan akhirnya aku menyontek ide
menu di situs divinedinnerparty, jadi menu malam ini adalah;
Skewers of Melon, Jam?n, and
Mini Mozzarella as appetizer, Rack of Lamb with Herbes de Provence and Roasted Tomatoes as
Main Dish, dan Nutella Mousse as dessert, juga champagne dan strawberry, aku sebenarnya tak
ingin memasukan champagne, tapi Eve memaksa, ya sudahlah. Eve tak banyak membantu di
dapur, Nanny-lah yang terbaik untuk ini, dan aku lebih banyak ngerecokin daripada membantu,
Nanny senang, setidaknya Gavner bisa membuatku turun dapur, kata Nanny wanita yang baik
adalah wanita yang mau memasak untuk pasangannya, aku berusaha untuk itu.
"Nanny, boleh kan, malam ini tinggalin aku berdua saja dengan Gavner" Aku mau
semuanya sempurna, aku mau dia benar-benar merasakan bahwa aku berusaha untuk mencoba
mencintainya.".Aku memohon.
"Tentu saja sayang"
*** Aku merasa deg-degan, hanya berdua saja dengan Gavner, aku memeriksa ulang
menunya, lilin-lilinnya juga musik dan tentu saja diriku sendiri, berulang kali aku memandang
cermin, membolak-balik tubuhku memeriksa segalanya, apakah aku berjerawat, apakah
hidungku berminyak, atau apa poniku jatuh sempurna menutupi dahiku, aku merasa agak konyol,
tapi sebenarnya aku hanya ingin terlihat sempurna, itu saja.
Aku mendengar suara mobil masuk, dan buru-buru berlari menyambut Gavner di pintu,
tak lupa kusambar syalku, itu untuk menutup matanya nanti.
"Hey?"sapaku lembut, Gavner tersenyum.
Sebelum mengejutkannya aku malah terkejut, dia membawakanku seikat bunga.
"Aku nggak tau bunga favoritmu apa, tapi kupikir mawar pink" dia memandangku,
"sepertinya cocok dengan gaunmu, you look beautiful tonight." Aku menerimanya dengan hati
yang harus kuakui, yeah agak berbunga, bukankah semua cewek selalu suka bunga dan merasa
istimewa bila dihadiahkan bunga"
"Mau merayakan sesuatu malam ini?" tanyaku agak malu.
Mawar, Gavner yang terlihat luar biasa menawan, dan suasananya yang romantis
membuatku bersemu secara alami, Gavner masih belum mengerti tapi aku dengan cepat
mengikatkan syal di matanya, aku menuntunnya ke taman belakang di dekat kolam, suara merdu
Ronan Keating mengalun merdu dalam lagu If Tomorrow Never Comes.
"Ghie, kamu mau ngerjain aku ya" Ini pasti ide Gazka?"
"Sssssstttttt" "Kenapa mesti pake acara nutup mata segala?"
"Kamu banyak nanya ya"
"Oke, aku diam! Tapi janji ini bukan sesuatu hal yang konyol!"
"Yeah" I promise "
Kami berhenti melangkah, karena kami sudah berdiri di samping meja dengan menu
yang contekan resepnya baru dipraktekan tadi.
"Oke, sekarang aku bakalan buka penutup mata kamu"
"Jangan bikin kejutan yang konyol"
"Iya, aku janji" dan setelah penutup matanya terbuka, Gavner mengedarkan
pandangannya ke segala arah, memandang takjub dan tersenyum, lilin-lilin mengapung indah di
kolam membentuk kata Je T"aime, itu artinya aku mencintaimu dalam bahasa Prancis, yeah
Gavner berdarah setengah Prancis.
"Merci Ghie" Gavner mengusap kepalaku, dengan canggung dia memelukku pelan.
Aku tersenyum padanya. "Suka?" "Sangat, aku tau kamu udah berusaha untuk malam ini, merci beaucoup"
Aku senang melihatnya tersenyum, matanya terlihat berbinar, sangat indah dan alunan
lembut lagu Tonight I Celebrate My Love membuat Gavner langsung punya ide romantis.
"Wanna dance?" Aku mengangguk setuju dan menyambut uluran tangannya, kami mulai berdansa,
satunya tangannya mengenggam tanganku dan satu lagi berada di pinggangku, dengan kikuk
kuletakkan satu tanganku di bahunya, rasanya aneh, rasanya ini seperti yang seharusnya tapi ini
juga membuatku merasa bersalah, tapi cepat-cepat kutepis rasa bersalahku, aku memiliki janji
yang tak bisa kuingkari. "Suasana dan lagu ini membuatku tersinggung" Komentar Gavner, seperti ingin
membuat lelucon tapi karena keluar dari bibir Gavner alih-alih terdengar konyol itu malah
terdengar serius. Sadar aku tak tau harus bereaksi bagaimana, dia melanjutkan untuk berbicara
"Pernah nonton film Beauty and The Beast" Suasana ini mengingatkanku pada saat Belle dan
Beast berdansa, Beast yang mengerikan dan kasar berdansa dengan si cantik Belle di purinya
yang dingin, sedingin hatinya yang kesepian, Beast bukanlah monster yang mengerikan Beast
hanya seorang pangeran malang yang dikutuk, Beast hanya makhluk yang kurang beruntung, tapi
Belle membawa kebahagiaan untuk hidupnya yang suram, membuatnya lupa atas segala
kemalangannya. Kamu seperti Belle dan aku seperti Beast, yang kurang hanyalah tidak ada lilinlilin dan poci teh yang bisa bicara."
"Tapi kamu bukan pangeran yang dikutuk menjadi makhluk besar mengerikan."
"Tapi aku dikutuk dengan cara yang berbeda, cara yang sangat tak menyenangkan, aku
kesepian, nyaris tanpa kasih sayang dan yang pasti, tanpa perlu dibilangin lagi kamu sudah tau
apa itu. Tolong jangan kasihani aku Ghie"
Aku mengangguk dan memberinya senyum penuh pengertian
" Hmmm"mau nyoba masakan aku?" Opss"sebenarnya ini masakan Nanny.
Gavner bertindak bak pangeran sejati, dia menarikkan kursi untukku dan
mempersilahkanku duduk. Gavner tersenyum disaat-saat tertentu, dan dia lebih banyak
tersenyum ketika aku tak melihatnya, aku mencuri-curi pandang untuk melihatnya tersenyum,
dan dia akan berhenti tersenyum ketika dia sadar aku melihatnya. Gavner seharusnya bisa
tersenyum lepas dan tertawa bebas, seharusnya dia tak menahan senym dan tawanya, dia agak
terlalu keras terhadap dirinya sendiri.
"Ghie"semuanya lezat, cuma, rasanya ini lucu, tampangku mungkin bukan tampang
lokal, tapi sejujurnya aku lebih suka makanan lokal, tapi terima kasih, aku suka usahamu, lain
kali maukah kamu memasak masakan tradisonal khas kita" Jangan liat tampangku liat siapa aku
yang sebenarnya. " Gavner tertawa kecil, dia masih saja menahan tawanya.
"Oke, aku pengen belajar masak, kayaknya menyenangkan, tapi apa aku boleh minta
satu hal?" "Apa?" "Aku pengen lihat kamu yang bisa tersenyum dan tertawa lepas."
"Buat agar aku bisa tersenyum dan tertawa lepas,oke?"
Dan dia tersenyum, sebuah senyum lebar yang manis, yang memperlihatkan deretan
giginya yang putih dan rapi. Gavner sangat mempesona. Semoga melihat senyumannya akan
membuatku sedikit demi sedikit jatuh cinta padanya.
*** Setelah makan malam Gavner mengajakku untuk duduk-duduk di bangku taman, rasanya
agak kurang nyaman, dengan segera dia menuju kamarnya dan mengambil selimut serta sebuah
bantal, sebuah kotak berpita terlihat dari balik selimut yang ketika kulihat cepat-cepat
disembunyikannya, aku pura-pura tak melihatnya. Gavner mengajakku berbaring, akupun
berbaring disampingnya, dia menggenggam tanganku, aku tersenyum padanya, dia menatap
takjub ke langit, dia selalu terpesona dengan langit di malam hari, akupun mengikutinya, aku
berhenti memandang wajahnya dan mulai memandang bintang-bintang di langit, malam ini
langit sangat indah, taburan bintang berkilauan di angkasa dan bulan tersenyum malu-malu
memancarkan cahaya temaramnya.
"Kamu percaya dengan keajaiban bintang jatuh yang bisa mengabulkan keinginan?"
Tanyaku pelan. "Aku suka keajaiban, tapi aku belum pernah mendapatkan keajaiban itu"
"Jika ada bintang jatuh "apa kamu mau seenggaknya minta sesuatu, anggaplah itu
sebagai sebuah?" "Jika keajaiban itu benar-benar ada, aku hanya akan minta satu hal"
"Apa?" "Aku ingin agar kamu bisa mencintaiku" dan semoga ini adalah keajaiban, pada saat
Gavner mengucapkannya sebuah bintang jatuh melintas, cahaya keperakannya seakan
menggores langit dengan kejaibannya. Aku memandangnya, dia memandangku, apakah ini
pertanda agar Gavner bisa mempercayai keajaiban" Tak ada yang berkata-kata, tapi ketika
Gavner menyentuh bibirku dengan bibirnya, aku tidak menolak, tapi malah membalasnya, dan
mencoba untuk menikmatinya, Gavner berhenti dan dia tersenyum kali ini dia mengabulkan
keinginanku, dia telah memberiku senyum terindahnya, senyum lepas penuh kebahagiaan. Sekali
lagi Gavner menciumku dan kali inipun aku membalasnya, aku mencoba merasakan
ciumannya,manis, sedikit manis dan agak misterius, agak seperti campuran antara rasa coklat
dan kopi. Tapi ditengah ciuman itu alarm pengingat di smart phone-ku berbunyi, Gavner dengan
cepat menyambarnya, dia ingin menghentikan nada membosankan yang mengganggu itu, tapi
ternyata apa yang terbaca di layar rupanya mengganggunya, aku sudah tau yang tertulis di sana
"My Dear Dante"s B"day" bagaimana bisa aku sebodoh ini tak mengganti namanya".
Gavner menatapku, sesaat aku meresahkan bagaimana sikap Gavner, tapi dia malah
tersenyum dan mengusap rambutku lalu mencium keningku.
"Ghie, beri dia surprise party, buat dengan sepenuh hati seperti kamu membuatkannya
untukku malam ini." Dan Gavner meninggalkanku masuk, sebelumnya dia meletakkan kotak
kecil berpita di pangkuanku.
Dua Puluh Sembilan Nyaris jam 12 malam, Gavner mengantarkan aku sampai di gerbang depan rumah Dante,
Lola, adiknya sudah menunggu di gerbang depan. Gavner sudah bersikap sangat baik hari ini, dia
tau aku masih menyayangi Dante, dan masih membolehkan aku untuk menyiapkan kejutan untuk
ulang tahunnya, sepulang sekolah Gavner menemaniku mencari kado, dia mengusulkan untuk
membelikan Dante sepasang sepatu basket, dan itulah yang menjadi kadonya setelah itu kami
memesan black forest dengan lilin berjumlah tujuh belas, aku merasa sedikit sakit ketika aku
yang bukan lagi sebagai pacarnya harus memberinya kejutan seperti ini, ada batasan yang tak
mungkin kulewati. Tapi Gavner menyemangatiku. Setelah Gavner berlalu aku memasuki rumah
Dante dengan Lola yang ada di sampingku, ingat Lola" Dia gadis yang melihatku memuntahkan
makananku dulu, dia yang mengatakannya pada Dante, dan Dante lah yang membuatku
meninggalkan kebiasaan burukku itu. Aku berterimakasih atas apa yang pernah Dante lakukan,
menyelamatkanku sebelum aku benar-benar terjatuh.
"La, orang rumah mana?" tanyaku berbasa-basi
"Mama sama Ayah keluar kota, ngunjungi keluarga, adik Ayah mau nikah" Mama Dante
menikah lagi ketika Dante berumur lima tahun, Ayah Dante orang yang bertemperamen keras,
hingga mamanya berkali-kali lari dari rumah, Dante pernah menceritakannya padaku dulu
bagaimana menderitanya hidupnya, bagaimana ia melewati kedai es krim dan hanya bisa
menelan ludah karena menginginkannya, dia pernah merasa kelaparan, hingga dia mati-matian
menyembuhkan aku dari anorexia-ku, dia beranggapan ada orang-orang yang sangat kelaparan
yang tak punya kesempatan untuk makan tapi disisi lain ada orang yang menolak untuk makan
padahal dia memiliki kesempatan untuk makan, dia merasa sedih melihat orang yang tak bisa
menghargai makanannya."Dante mana?"
"Di kamarnya, sejak putus dari mbak Ghie, dia sering mengurung diri di kamar, udah
nggak pernah latihan basket, tampangnya suntuk mulu, mama sampe khawatir, tapi mas Dante
tau kok, kalo mbak Ghie masih sayang kan sama mas Dante?" Lola dan aku mengobrol sambil
menyalakan lilin-lilin di atas kue.
"La" masalahnya nggak kayak gitu"
"Mbak, please tanya hati mbak, mbak sayang kan sama mas Dante?"
"La, mbak Ghie nggak bisa, mbak udah tunangan sama mas Gavner"
"Cowok bule itu?"
"Tampangnya doank yang bule, aslinya pribumi banget" aku mencoba untuk membuat ini
jadi sebuah lelucon. "Mbak Ghie beruntung ya, ada dua orang cowok yang sama-sama menyayangi mbak
Ghie, seharusnya mbak Ghie milih mas Dante, mas Dante udah lama jadi secret admirer-nya
mbak Ghie, tapi kan dari dulu mbak Ghie itu galak banget mas Dante sering cerita dulu, dia
malah nyebut mbak Ghie itu ratu kutub,mas Dante cerita gimana mbak Ghie sama dia itu
musuhan, mas Dante sering banget ngeselin mbak Ghie cuma untuk narik perhatian mbak Ghie,
mas Dante nyebelin ya?"
"Nggak La, mas Dante itu salah satu cowok paling baik yang pernah mbak Ghie kenal"
akhirnya, kami sampai di depan Dante, pintunya tertutup, terdengar petikan gitar, dan suara
Putri Berdarah Ungu Karya Citra Rizcha Maya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dante yang serak dan berat menyanyikan sebuah lagu, aku dan Lola, berhenti saling menatap dan
mendengar Dante bernyanyi, aku merasa dia bernyanyi dengan sepenuh hati, aku dan Lola hanya
berdiri dan mendengarkannya dari balik pintu.
Lay a whisper on my pillow,
leave the winter on the ground.
I wake up lonely, there's air of silence in the bedroom
and all around Touch me now, I close my eyes and dream away.
It must have been love but it's over now.
It must have been love but I lost it somehow.
It must have been love but it's over now.
From the moment we touched, 'til the time had run out.
Make-believing we're together that I'm sheltered by your heart.
But in and outside I've turned to water like a teardrop in your palm.
And it's a hard winters day, I dream away.
It must have been love but it's over now.
It's all that I wanted, now I'm living without.
It must have been love but it's over now,
it's where the water flows, it's where the wind blows.
Lagu yang dinyanyikannya menyentuh hatiku, bukan hanya Dante yang patah hati, bukan
hanya Dante yang kehilangan cinta ini. Aku tak dapat menahan air mataku, aku menangis, dan
Lola hanya menepuk bahuku, aku menguatkan diri, tak boleh lagi larut dalam kesedihan ini, aku
berusaha tersenyum ketika Lola membuka pintu dan meneriakan "Sureprise!!!"Dante terkejut
melihatku tapi aku memberinya senyum dan bersama-sama diantara tawa dan air mata aku dan
Lola menyanyikannya lagu.
"Happy birthday to you
You were born in the Zoo With the Lion and the Tiger
And the Monkey Like you"
Setelah itu Dante meniup lilinnya dalam lima kali tiupan, matanya terus menatap mataku,
tatapannya membuatku berdebar, Dante sebenarnya masih sangat kurindukan.
"Okey mas, happy b"day wish you all the best, kadonya nyusul, dah, Lola udah ngantuk,
bye mbak Ghie, have fun ya" Aku tau Lola hanya ingin meninggalkan kami berdua. Setelah Lola
pergi, aku duduk dengan Dante di Lantai kamarnya yang berkarpet motif zebra, kamarnya
bernuansa artistik, ada benda-benda antik, dan ada lukisan besar menarik di atas tempat tidurnya,
bergambar wanita cantik yang familiar, itu cuma lukisan, mata kadang menciptakan ilusi.
"Ghie, bagaimana bisa kamu disini dan ngasih gue kejutan kayak gini, kamu bilang kamu
harus tinggalin aku untuk Gavner tapi sekarang kamu hanya bikin aku berharap, kamu hanya
bikin aku makin nggak bisa bunuh cinta ini, Ghie, ngeliat kamu dari jauh itu nyiksa aku, liat
kamu disana dengan orang yang bukan aku itu sangat mengganggu hatiku, Ghie bilang apa
maumu"kalau kamu mau ninggalin aku please jangan bikin aku berharap kayak gini."
"Maaf?" "Ghie sejujurnya ngeliat kamu sekarang, disini rasanya kayak mimpi, tapi aku nggak tau
mesti bersikap bagaimana" pantas nggak kalau aku bersikap ke kamu kayak aku bersikap ke
kamu yang dulu, bukan kamu yang milik orang lain?"
"Dante, berat buat aku ninggalin kamu, dan nggak mungkin hilangin cinta ini begitu saja,
kamu tau ternyata meninggalkan itu ternyata sama menyakitkannya kayak ditinggalkan, rasanya
Gavner ngerti rasa itu, dia tau dihatiku masih ada cinta buat kamu, dia minta aku untuk
memberikan kejutan ini buat kamu, jadi"please anggap ini sebagai hadiah ulang tahun dari
orang yang pernah mencintaimu"
"Tapi bolehkan untuk malam ini aja aku minta kamu jadi cewek yang masih mencintai
aku, please Ghie"malam ini aja, jadikan itu sebagai permintaan terakhirku"
"Dante?" aku nggak tega ketika kulihat matanya berkaca, dan tak menghindar ketika dia
mengelus pipiku dengan penuh sayang, tapi ketika kurasa wajahnya mendekati wajahku, saat
bibirnya nyaris menyentuh bibirku, aku menghindar, dan berdiri, berjalan pelan ke arah lukisan
wanita di atas tempat tidur Dante.
"Lukisannya indah" aku sengaja mencari topik yang tidak mengarah ke pembahasan
perasaan lagi. " Itu peninggalan papaku"
"Oh, sorry" Aku tak bermaksud membuka kesedihannya, seberapun dia membenci
almarhum papanya karena ketidakbahagiaan yang papanya pernah lakukan di masa lalu, tapi
jauh dalam hatinya dia menyayangi pria itu, aku pernah menemaninya dulu
kesana,ke makamnya tanpa sengaja, dihari dia memintaku untuk menguburkan si Barbie, selalu setiap hari
jumat dia akan mengunjungi makam papanya.
"Papamu hebat ya, cantik sekali lukisannya". aku menyentuh lukisan itu, ada tanda di
sana sebuah kata, atau mungkin nama"bertuliskan Ayara, aku tersentak.
"Yeah, dia hebat, dan lukisan itu adalah hal yang paling dibenci mamaku, gadis di
lukisan itu adalah gadis yang pernah ada dalam hidup papaku, satu diantara sekian banyak
gadis." Dia berkata dengan nada sedikit mengejek. Aku merasa air mataku akan tumpah, aku tak
ingin bila ini adalah sebuah realita yang harus kuhadapi. Tak tahan, aku benar-benar menangis
sekarang, Dante menatapku dengan heran, tak yakin dengan apa yang menyebabkanku menangis.
"Ghie, kamu kenapa Ghie?"
Aku terisak makin keras, air mataku tak dapat kubendung, jadi ini alasannya kenapa
mamaku melemparinya, mamaku bisa saja terkejut, bisa saja disadarkan lagi dengan masa
lalunya, bisa saja itu berarti penyesalan, bisa saja itu berarti peringatan, dan larangan untuk
menjalani hubungan yang terlarang ini. Mungkin mamaku tau, mungkin wajah Arian tergambar
jelas di wajah Dante, mama mungkin mengingatnya, mama mungkin menebaknya, mama
mencoba untuk memperingatiku, aku merasakan kepedihan yang mendalam, Dante adalah
kesalahan terbesarku, Dante adalah penyesalanku.
"Ghie, kamu kenapa?" Dante kebingungan.
Aku tak kuasa untuk mengatakanya, aku tak ingin dia terluka, tapi aku tak ingin dia
berdosa karena terus mencintaiku.
"Jangan bilang papa kamu bernama Aryan" isakku.
"Bagaimana kamu bisa tau?"
Harusnya dia tak berbicara seperti itu
"Bagaimana kamu bisa tau papaku bernama Aryan?" dia menatapku tak percaya.
Aku terisak lagi, tak kuasa harus bicara tapi ini harus kukatakan.
"Gadis dilukisan itu adalah mamaku, dan papamu adalah orang yang telah menghamili
mamaku, dan bayi dalam kandungannya itu adalah aku, kamu tau maksudnya."Dan aku berlari
keluar dari rumahnya dengan segera, aku tak mendengar Dante memanggilku, kupikir diapun
sama terkejutnya seperti aku, aku berlari secepat kakiku bisa membawaku, dan disaat yang tepat
taxy berhenti di depanku, segera aku masuk ke dalam taxy dan menghempaskan diriku di jok
belakang, yang kuinginkan saat ini adalah berada di rumahku secepatnya, dan menyesali
segalanya. Tiga Puluh Aku menangis di pelukan Gavner, dia bahkan tak tau penyebab aku menangis, yang dia
lakukan hanya bersikap pengertian, mengelus rambutku dan hanya membiarkanku menangis
tanpa bertanya atau memaksa ingin tau. Gavner tau cara bersikap, yang aku butuhkan sekarang
hanyalah lengan untukku bersandar dalam tangisku. Ingin sekali aku menolak segala kenyataan
ini, tapi apa kuasaku" Aku hanya manusia biasa, Ingin sekali aku mengutuk ayahku, tapi siapa
aku" Aku bahkan terlahirkan karena andilnya, Ingin sekali aku kembali ke masa lalu" Tapi
apakah mungkin bagiku untuk mengubahnya, tak ada yang bisa mengubah masa lalu, kecuali
berpikir keras bahwa dalam ketidakwarasan dan gunakan imajinasi tinggi berharap mesin waktu
itu ada, dan aku adalah seorang time traveler, ingin kusadarkan mamaku sebelum dia membuat
kesalahan, sehingga dia takkan bertemu Aryan, ayahku, lebih baik jika aku tak ada, bila aku tak
ada, maka sakit yang kuderita ini takkan pernah kurasakan.
Kucoba kuatkan diriku dengan berkata pada hatiku, mencoba menasehatinya
membuatnya mengerti. "Inti dari hidup ini adalah berani menerima kenyataan, hey Ghie terimalah takdirmu,
berhentilah menjadi pengecut, buka matamu, hadapi semuanya! Terimalah! Dante dan kamu
memang terlihat sempurna bila bersama, itu kenapa"penyebabnya karena adanya ikatan darah
yang membuat kalian nyaris serupa! Kenapa kamu tak menyadarinya Ghie!" terlintas pikiran
gilaku lagi, ingin sekali kusayat-sayat tubuhku saat ini, tapi entah mengapa pelukan hangan
Gavner menenangkanku. "Lihat sisi terangnya gadis bodoh!" teriak otakku!"Apa lagi yang kamu cari" Dengan
begini maka takkan bisa bagimu untuk menghianati Gavner, dengan begini kamu hanya akan
mengorbankan hatimu tanpa perlu mengorbankan hati orang lain!"Air mataku semakin
merebak "Kamu tau siapa dirimu anak manja" si penanggung derita! Harusnya kamu hanya
perlu terbiasa, anggaplah ini cuma sesuatu yang hars coba kamu pahami, hidup kadang tidak
ramah, mencoba bertahan sekarang atau memilih melukai diri lagi?" Sebuah godaan melintas
diotakku, haruskah aku melepaskan pelukan hangat ini dan berlari kegelapan kamarku,
mengasihani diriku lebih dalam lagi di lantai dingin dengan merasakan pedihnya sayatan tajam
menyentuh kulitku, aku ingin lagi melihat indahnya darah, ingin lagi merasakan nikmatnya
kesakitan. Tapi kali ini ketenangan pelukanlah yang kuinginkan, aku tertidur dalam dekapan
hangat penuh cinta itu. *** "Hey Ghie" Gavner menyapaku dengan senyum manisnya, semalam dia tidur di sofa dan
membiarkan aku menguasai tempat tidurnya. "feel better?"
Aku mengangguk, entah untuk menyakini diriku bahwa aku belum mati dengan bergerak
atau itulah jawabanku untuk pertanyaan Gavner.
"Kalo udah siap untuk berbagi, kamu boleh datangi aku untuk menceritakan semuanya"
dia melihat jam tangannya. "Well, terlalu telat untuk ke sekolah, bolos sehari kayaknya masih
bisa ditoleransi" dan Gavner berlalu, keluar untuk merasakan matahari. "Sayang sekali hari ini,
aku telat untuk menyapa sang matahari." Dia bicara lagi dari balkon luar dengan suara yang
dikeraskan, setengah berteriak, agar aku bisa mendengarnya, aku memang mendengarnya, tapi
tak kutanggapi, rasanya dia mencoba untuk membuatku bersikap layaknya manusia.
Nanny, masih menikmati liburannya kurasa, dia belum kembali, Eve sekarang berada di
sekolah, aku butuh teman untuk berbicara, dan seharusnya aku tak mengatakan ini pada Gavner,
mengetahui bahwa Dante adalah saudaraku dan tak ingin mengakui realita dengan bersedih
sedemikian hebatnya, hanya akan membuat Gavner merasa bahwa sebenarnya aku masih
mencintai Dante, tapi aku tak punya pilihan lain, mungkin aku memang harus menceritakan
padanya. Aku perlu waktu, mungkin aku perlu berbaring dulu dan menunggu.
*** "Hal terberat adalah menucapkan selamat tinggal padahal kamu sedang jatuh cinta."
Kalimat Gavner menyentakku, membuatku bangkit dari pembaringanku, "Kamu masih sayang
kan sama Dante dan nggak pengen ngelepasin dia" Harusnya kamu menikmati pesta semalam,
aku membiarkanmu pergi menemuinya untuk membuatmubahagia, aku tak tau bahwa yang
kulakukan justru memnuatmu sedih, kamu berjuang untuk mencoba mencintai aku, tapi di sisi
lain kamu juga berjuang untuk mencoba merelakan perasaan sayangmu pada Dante, maafkan
keegoisanku, maafkan kesalahanku, aku merasa bersalah untuk semua air mata yang telah kamu
tumpahkan." Gavner berbicara dengan nada yang membuatku sedih, ini bukan kesalahannya, dia
bahkan tak mau memandang wajahku, dia menatap keluar jendela, dari belakang kupeluk dirinya
dan lagi-lagi aku menangis, Gavner mengelus tanganku yang memeluknya.
"Boleh cerita.."
"Apapun Ghie?" "Mecintai Dante adalah kesalahan terbesarku, ini bukan karena aku berat untuk
mencintainya, ini bukan masalah kayak gitu?"aku nyaris tak bisa menyelesaikan kalimatku
karena tenggorokanku terasa tercekat dan airmata membanjir lagi. "Ini rasa bersalah yang tak
termaafkan "salah satu alasan kepergian mama"."Aku terisak lagi, lebih dalam dan terasa
lebih perih, Gavner berbalik dan memelukku, lalu mencium puncak kepalaku berkali-kali, dia
menepuk-nepuk bahuku. "Semuanya hanya terlihat menyakitkan ketika kamu mengalaminya, dan akan terasa lebih
mudah setelah waktu mengikisnya, time always kills the pain."
"Nggak bisa menghapus sesal ini, nggak mungkin menghapus dosa ini" kataku dalam
nada tinggi karena emosiku memaksaku untuk berontak, kali ini Gavner tersentak, dia
mencengkram bahuku erat, dia menatap mataku, aku hanya mampu melihat wajahnya dalam
buram lewat sela airmata, tak ingin Gavner mengira-ngira maka kukatakan segalanya." Dante itu
saudaraku, ayah kami adalah pria yang sama" rasanya berat ketika kata itu akan kukeluarkan tapi
terasa lega sekarang, aku membenamkan diri lagi dalam pelukannya.
"Ghie"ketidaktahuan itulah yang membuatnya menjadi keliru, seandainya kamu tau
takkan mungkin untuk kamu membuat kesalahan ini, segalanya"begitu berat, tapi lihat sisi
positifnya, kehilangan dia sebagai "hmmm orang yang kamu sayang sebagai mantan pacar, dan
kamu dapatkan dia sebagai seorang saudara, Tuhan begitu baik, kadang kita kehilangan sesuatu
untuk mendapatkan sesuatu, berhentilah merasa bersalah, hmmm"tersenyumlah untuk aku."
Dan Gavner mencubit kedua pipiku dengan lembut hingga membentuk senyuman.
"Berbahagialah untuk yang kamu dapatkan, dan hentikan kesedihan untuk kehilangan, aku
menyayangimu." Dan sekali lagi Gavner memberikanku sebuah kecupan manis di kening.
Gavner benar, ada hal-hal yang harus hilang untuk menggantikan hal yang akan didapatkan, aku
akan berbahagia untuk yang kudapatkan, dan hentikan kehilangan untuk kesedihan, kata-katanya
bahkan terdengar sangat menyejukkan tak pernah kurasa sedamai ini, bila aku mendapatan rasa
ini lebih awal, maka takkan pernah bagi kulitku merasakan perih menyakitkan sayatan-sayatan
yang hanya menyenangkan otak gilaku, aku berjanji, sekarang aku hanya akan berakal sehat, aku
ingin berubah segala penderitaan hanya akan menjadi penderitaan yang takkan ada habisnya bila
aku membiarkan diriku berkubang di dalamnya, sudah saatnya untuk keluar dari lubang perih
yang kuciptakan sendiri. Tiga Puluh Satu "Dulu, aku sering menyakiti diri sendiri hanya untuk merasa nyaman" ini pengakuanku
pada Gavner. "Aku tau ini diluar kewarasan, tapi kadang keinginan untuk melihat cantiknya
warna darah itu memaksaku melakukannya, rasa sakit itu nikmat sekaligus perih, merasakan
sakitnya membuatku tenang." Aku memperlihatkan barisan luka sayatan di bahu kananku,
Gavner shock, dan memandangku sedih, tapi dia memberikan sebuah kecupan sayang diluka itu,
seakan kecupan itu bisa menyembuhkannya. "Seumur hidup aku telah membenci ayahku,
walaupun aku tak pernah mengenalnya, dan sekarang aku punya satu lagi alasan kuat untuk tak
bisa memaafkannya." Aku terisak, mengingat perubahan hubungan dan perasaan yang harus
kurubah sekarang untuk Dante. "Aku pernah membenci mama, sangat, karena ketidaktertarikannya padaku selama ini, tapi paling tidak dia ada di dekatku walaupun tak pernah
menatap mataku. Kenapa setiap apa yang kutau mengenai Papaku selalu saja membuatku
membencinya"aku ingin punya satu alasan untuk bisa mencintainya" Akupun menangis lagi.
Gavner memelukku dan mengusap rambutku, sesekali dia mengecup puncak kepalaku
dengan sayang, sebelumnya aku tak pernah memahami bahwa seandainya aku pernah memiliki
keajaiban yang bisa diberikan oleh sebuah pelukan hangat yang mendamaikan seperti ini, maka
takkan pernah bagiku untuk merasakan keinginan melakukan hal segila melukai diri sendiri.
"Kamu tau Ghie" setiap orang memiliki luka,dan ada sejenis luka yang tak tersembuhkan,
bukan karena luka itu begitu menyakitkan, tapi karena seseorang itu memang tak ingin
menyembuhkan lukanya, dia menikmati lukanya, sedihnya, kesakitannya, ingin terus
merasakannya, hanya agar kenangannya tak pernah hilang."
"Kadang aku merasa aku agak sakit jiwa" bisikku lirih.
"Memangnya di dunia ini siapa yang benar-benar waras" Nggak ada Ghie! Setiap orang
punya sisi gila, kewarasan hanya soal bagaimana kamu bertindak seharusnya sesuai dengan
aturan, tapi aku tau bahwa kadang-kadang kita juga perlu sedikit mengacaukan hidup kita,
kadang kita harus keluar dari zona nyaman untuk mencari sebuah resiko, hidup tanpa resiko
bukanlah hidup, dan hidup tanpa ujian yang menyakitkan tak layak disebut hidup, seberapapun
ujian hidupmu terasa menyakitkan, seharusnya itu membuatmu semakin tangguh, bukan malah
melemahkanmu." "Rasanya aku tak pernah bahagia?"
"Apa arti sebuah kebahagiaan" Kebahagiaan bukan tentang kesempurnaan, kebahagiaan
bukan tentang seberapa banyak yang kamu punya, kebahagiaan adalah rasa syukur tentang apa
yang kamu miliki bukannya malah menangisi yang tidak kamu miliki, kebahagiaan adalah ketika
merasakan hangatnya matahari menyentuh kulitmu, kebahagiaan adalah ketika kamu bisa
menikmati indahnya bintang-bintang, kebahagiaan adalah masih adanya kepercayaan tentang
kehidupan." Kata-kata Gavner membuka mataku, seorang yang tak pernah kuduga bisa menyadarkan
aku, aku menatap wajahnya, kulihat lagi sorot matanya yang sarat akan kesedihan, sorot mata
yang sama seperti yang kumiliki.
"Ghie, jika kita bicara tentang kesedihan dan penderitaan, aku dan kamu nyaris memiliki
kesedihan dan penderitaan yang lebih daripada dirasakan orang lain" aku menatap matanya yang
mulai berkaca-kaca. "Tapi yang kutau, kita bisa saja menderita seorang diri, dan diperlukan
setidaknya dua orang untuk bisa berbahagia, kita saling memiliki sekarang, jika kita memang
tidak memiliki kebahagiaan selama ini, sepertinya kita harus mulai dari sekarang,bila bahagia itu
belum juga mau datang, marilah kita berpura-pura untuk bahagia."
Aku mengangguk. *** Menjelang malam, aku dan Gavner memutuskan untuk mencari Dante ke sekolah, dan
benar saja dia sedang menyiksa dirinya di lapangan basket, hanya sendiri di tengah lapangan
sepi, latihan begitu keras, dia terlalu memaksakan diri, dia membuat dirinya begitu kelelahan,
tapi aku tau, apa yang dilakukannya pada bola orange itu adalah untuk membuatnya tenang,
menghempaskan bola itu dengan kasar, melemparinya, dan berkali-kali dia gagal memasukkan
bola yang biasanya dengan begitu mudah bisa dimasukkannya ke dalam ring, dari bangku
Putri Berdarah Ungu Karya Citra Rizcha Maya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penonton aku dan Gavner hanya menatapnya, sepertinya Dante belum menyadari kehadiran
kami, setelah setengah jam berlalu dan tampaknya dia begitu kelelahan, dia menghempaskan
bola malang itu dengan sangat keras, lalu berteriak dan membaringkan diri di lapangan, dia
terlihat sangat frustasi. Gavner memintaku pergi untuk menemuinya, dan aku melakukannya.
Dante terlentang, dan lengannya menutup matanya, dia tertidur atau dia hanya keletihan,
entahlah, aku telah berada di dekatnya, kulihat ke arah bangku penonton dan melihat ke tempat
seharusnya Gavner berda, dia telah pergi, mungkin dia hanya ingin aku berbicara berdua saja
dengan Dante. "Hey?"sapaku pelan, Dante menganggkat lengannya dari wajahnya, mengerjapkan
matanya beberapa kali dan memasang ekspresi yang membingungkan, aku tak bisa menjelaskan
mimic muka yang ditunjukkan Dante, aku merindukan wajah khas Dante yang sangat kukenal,
wajah bandel dengan cengiran jail dan mata penuh keceriaan.
"Hey?" dia bangkit dan duduk bersila, akupun melakukan hal yang sama duduk bersila
disampingnya, aku hanya ingin bicara, tapi ragu-ragu, tak tau harus memulainya dari mana.
"Latihan yang berat ya?"
"Bakal ada kompetisi bulan depan"
"Jangan terlalu paksa diri ya"
"Ghie"okay, thanks"
Lama kami berdiam diri, dan tak ada yang ingin memulai untuk bicara lagi, tapi Gavner
telah mengingatkanku, bahwa sebuah keharusan untuk memperbaiki keadaan ini, bila Dante tak
bisa memulainya, mungkin akulah yang harus berusaha.
"Boleh manggil kamu dengan sebutan"kakak, sekarang?" aku menangis ketika aku
mengucapkan permintaan yang terasa berat itu, seandainya bisa menolak takdir, tapi itu takkan
mungkin. Kulihat Dantepun menangis, tapi dia menggenggam tanganku.
"Seandainya bisa nolak Ghie?" hanya itu yang bisa dikatakannya, lalu dia mengusap
kepalaku dan berlalu. Tiga PuluhDua Menurut Gavner tak ada salahnya untukku mengunjungi makam Ayahku, walaupun hari
sudah malam, dan rasanya cukup mencekam ketika aku memasuki kompleks pekuburan, ini
bukan masalah ketakutan akan hantu atau semacamnya, buatku ini masalah jiwa-jiwa yang
terkubur di bawah sana, Gavner sebenarnya ingin menemaniku, tapi ketika melihat dari kejauhan
ada sosok Dante berada di sana Gavner memilih untuk menunggu di mobil saja.
Dante berpura-pura tak menyadari kedatanganku, sampai aku menyapanya dan dia tak
bisa berpura-pura lagi. "Aku nggak tau, ternyata kuburanku dan kuburan Papa berdampingan yah?" aku yakin
Dante masih mengingatnya, hari dimana dia mengajakku mengubur sebuah boneka Barbie yang
dia lambangkan sebagai diriku yang lama, kuburan si Barbie berada di samping kuburan orang
yang menyumbang sebagian dari dirinya dalam darahku.
Dante menatapku, datar, tanpa kata-kata, tanpa ekspresi, mungkin hal ini jauh lebih berat
untuk diterimanya, aku juga berat menghadapi kenyataan ini, tapi tak ada yang bisa kami
lakukan kecuali hanya bisa menerimanya, suka atau tidak suka.
"Ghie"ini salah siapa?" aku tak pernah menyangka suara pelan bergetar datang dari
bibir yang biasanya penuh canda ceria.
"Bukan siapa-siapa"
Dia membenamkan kepalanya di lututnya, kelihatan sekali dia sangat frustasi dengan
keadaan ini. "Apa yang harus kita lakukan Ghie?" katanya lagi, sangat lirih.
"Nggak ada, kecuali menerima kenyataan?"
"Ghie?" dia mentapku, matanya memerah, seperti menahan tangis dan marah disaat
bersamaan. "Gue nyoba Ghie, nyoba untuk maafin dia"Dante menyentuh nisan dingin, seolaholah itu adalah kepala ayah kami." Tapi gue nggak bisa" Dante terisak, air matanya tumpah,
setelah sekuat tenaga dia mencoba untuk menahannya. "Rasanya berdosa ketika kamu membenci
orang yang seharusnya kamu sayangi, yang kamu cintai, seseorang yang harusnya kamu hormati,
tapi ketika kamu semakin tak memiliki alasan untuk berbuat yang seharusnya, apa yang bisa
kamu lakukan?"dia memeluk kedua lututnya seolah itu bisa menguatkannya, ingin kupeluk dia,
tapi aku tak tau bagaimana caranya untuk memeluknya sebagai seorang saudara."Lima tahun,
ketika aku mulai mengerti, ketika aku memiliki naluri untuk melindungi tapi aku tak cukup kuat
mengganti sakit disekujur tubuh mamaku, yang kulakukan hanyalah memeluknya dan
menghapus air matanya, aku masih ingat dengan jelas, ketika Papa kehilangan akal sehatnya,
ketika mulutnya mengeluarkan makian kasar, Lola dan aku hanya akan berpelukan erat di sudut
kamar, dan mama juga menangis menahan sakit dan perih di hati juga diberbagai tempat
disekujur tubuhnya yang bisa disakiti Papa, kami pikir menin
ggalkannya akan membuatnya
berubah, tanpa kami ternyata dia semakin parah, kamu tak pernah tau bagaimana rasanya ketika
kamu memiliki tapi tanpa sebuah fungsi, lebih baik jika kamu tak pernah memilikinya Ghie."
Dante benar-benar meratapi kesedihan masa lalunya.
"Terlalu banyak jiwa yang disakitinya?"aku menatap langt, mencoba menahan air
mataku yang akan tumpah, mungkin aku memang harus menumpahkannya, aku menyerah pada
akhirnya. "Ada rasa trauma disini Ghie" dia menyentuh bagian dimana jantungnya berada
"kenangan buruk itu selalu menghantui malam-malamku, ada ketakutan seorang anak kecil, ada
dendam seorang remaja, ada perih dan penyesalan untuk masa lalu yang tak bisa tersentuh, yang
hanya bisa menciptakan kesedihan mendalam untuk hari ini."
"Seenggaknya kamu pernah memilikinya, bagaimanapun juga beliau Papa kita, tanpanya
kita takkan pernah ada." Hanya itu yang bisa kukatakan.
"Bila begini keadaannnya".Ghie, aku bahkan tak minta dilahirkan!" Dante berkata
dalam nada marah, rasanya seperti bukan dirinya.
"Dante"liat apa yang kamu dapatkan sekarang, keluarga yang bahagia, kamu
memilikinya" Aku mencoba mengingatkan keberuntungan yang dimilikinya, aku menghapus air
mataku dan tersenyum untuk meyakinkannya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya."Dante kamu
tau, mungkin ini yang terbaik, mungkin kita hanya perlu mengubah sedikit rasa ini, Dante
sayangi aku sebagai adikmu, please"aku bahkan nggak punya siapa-siapa lagi" tanpa kuduga
aku menumpahkan lagi air mataku, kurasakan perih itu lagi mengingat aku bahkan tak pernah tau
bagaimana rasanya memiliki cinta dari kedua orang tua, dan sekarang aku memiliki seorang
saudara, bukankah aku hanya meminta sedikit saja, tolong berikanlah sedikit cinta dari keluarga
sedarah. Dan kali ini Dante memelukku, pelukannya terasa berbeda, tak lagi membuatku bergetar
atau jantungku berdegup kencang, rasanya hangat dan terasa akrab, seperti selimut hangat dari
masa kecilku. "Kita coba untuk memaafkannya ya?"pintaku
"Semoga aku bisa"udah terlalu malam Ghie.. waktunya pulang"
Setelah itu, aku menyentuh nisan dingin itu, berharap dia yang di dalam sana merasakan
sentuhan dari putri yang tak pernah dikenalnya, kucoba membayangkan itu kulitnya, tapi aku
hanya merasakan benda mati yang beku, kutinggalkan seikat bunga Lily putih di sana, lalu
melangkah bergandengan dengan orang yang dulunya kekasihku, tapi secara cepat berubah arti
dan posisi menjadi seorang saudara yang kini memiliki ikatan darah, setelah sampai di pintu
mobil, dia mengusap rambutku dan berbicara pada Gavner.
"Tolong jaga ade" gue?"entah mengapa kalimat itu membuat air mataku menetes lagi.
Tiga Puluh Tiga Tidak ada seorangpun yang ingin membicarakan tentang kehilangannya, tapi apa yang
hilang dari diriku" Seorang kekasih" Tidak! Aku tidak kehilangan siapapun, cintanya hanya akan
sedikit berbeda sekarang, dan yang pasti cinta pada seorang saudara sedarah akan lebih kekal dan
abadi. Kami sedang berbaring di atas selimut yang tergelar di halaman belakang, Nanny sudah
mengomeli kami, embun akan membuat kami bersin-bersin esok pagi katanya dalam omelan
yang sejujurnya adalah sebuah nasehat. Tapi siapa yang peduli, Gavner begitu menyukai bintang
dan langit malam, menatapnya membuat Gavner tenang, itu yang selalu Gavner katakan
memandang bintang seperti memandang ibunya yang tersenyum dari surga.
"Feel better?" "Yups" "Hey, beri aku sedikit senyuman, supaya aku tau kamu nggak sedih lagi" pinta Gavner,
sebenarnya dia hanya ingin meyakinkan dirinya bahwa sekarang aku sudah lebih baik. Kuberi
dia senyumku, senyuman"terasa lebih mudah untukku membentuk sebuah senyuman sekarang,
ada kelegaan dalam hatiku."Itu baru sang putri?"katanya lagi sambil menyentuh pipiku dengan
lembut."Ghie"seandainya bisa selamanya melihatmu tersenyum" Kata-kata Gavner membuatku
kembali merasa pedih, aku tau maknanya, "Hmmm"lupakan!"dia tersenyum sekarang, dan
dalam diam sambil berpegangan tangan kami memandang indahnya langit malam itu.
*** Siang itu, rasanya seperti sebuah makan siang keluarga, di kantin ada aku, Gavner,
Dante, Gazka, dan juga Lola, awalnya agak canggung, tapi sudah seharusnya kami mulai
membiasakan diri, Dante sudah menceritakan segalanya pada Lola, sekarang aku juga memiliki
seorang saudara perempuan, betapa beruntungnya aku, seorang saudara laki-laki juga seorang
saudara perempuan, dan tentu saja aku memiliki seorang pangeran, pangeran yang saat ini telah
berjanji dengan sungguh-sungguh pada saudaraku bahwa dia akan selamanya menjagaku.
Gavner selalu mengenggam tanganku, sekarang bukan lagi sebuah pengekangan tapi berarti
sebuah perlindungan, aku tau inilah jalan untuk memberikan seluruh cintaku pada Gavner, cinta
yang sehrusnya bukanlah sebuah keterpaksaan apalagi hanya sebatas kasihan.
"Gavner, elo mesti perhatiin pola makan ade" gue yah, jangan sampe dia muntahin lagi
makannya kayak yang dulu-dulu" Dante mengingatkan Gavner, sekarang itu adalah wujud
perhatian seorang kakak. "Okay, I promise" Gavner berjanji padanya, aku melihat kesungguhan dalam tatapan
mata hazel indahnya. "Dante, bukannya kita udah sama-sama nguburin Ghie yang dulu, okay" sekarang aku
adalah Ghie yang baru, Ghie yang sangat beruntung karena memiliki kalian semua" Gavner
memelukku sekilas, dan Lola yang duduk di sampingku menciup pipiku dengan sayang, betapa
indahnya hidup ini. "Kalo gitu kita mesti rayain hal ini" teriak Gazka bersemangat, dan dia menjadi yang
pertama mengangkat gelas plastiknya yang berisi milkshake ke udara dan diikuti oleh kami
semua, dan o-oh terjadi insiden kecil, ketika Gavner mengangkat gelasnya ke udara, gelas
plastik itu terlepas begitu saja dari tangannya, dan dia menumpahkan orange juice ke atas meja
yang memercik ke segala arah, aku memandang Gavner ada sekilas ketakutan di wajahnya, aku
tau penderita ALS sedikit demi sedikit akan kehilangan control motoriknya, Gazka
menyadarinya dan dengan cepat dia juga menciprati milkshake-nya ke arahku, Gavner, Dante,
Lola, dan terakhir dia menumpahkan seluruh isi gelasnya ke kepalanya."Hey kadang kita perlu
membuat sedikit kekacauan kan?" teriaknya sambil tertawa-tawa. Aku tau Gazka berusaha
membuat saudaranya tak merasa putus asa dengan tanda-tanda penyakitnya yang mulai
melemahkan raganya dan menggerogotinya secara perlahan, kugenggam tangan Gavner, aku tau
yang dirasanya, tapi dia malah tersenyum padaku alih-alih dia menenangkan dirinya sendiri, dia
malah mengikuti permainan Gazka, merebut gelas milikku dan mulai menyiramiku, kami
berlima saling menyirami minuman dan melempari makanan yang ada di meja kami, aku merasa
sedikit bersalah, mengingat ada orang lain yang sangat kelaparan dan tidak mempunyai
makanan, sementara kami menjadikan makanan itu sebagai mainan, dalam hati aku
mengucapkan maaf yang terdalam, dan sisa siang itu kami menghabiskan waktu di BP karena
insiden mengacaukan kantin di jam istirahat, aku bukan lagi Ghie si panutan sekarang, tapi tak
apa, biarkan aku menikmati sedikit waktu untuk merasakan indahnya hidup ini, menikmati diri
jadi orang yang tak terlalu dibebani kehidupan, bagaimanapun hidup menuliskan kisah untuk
kujalani, yang bisa kulakukan hanyalah mencoba melewati dan menikmatinya, itu saja.
Tiga Puluh Empat "Ini gara-gara gue" Gazka setengah tertawa, "maaf menyeret kalian ke dalam
masalah"hahahaha" dia benar-benar tertawa lepas sekarang "Sang Pangeran, Putri Kebanggaan
sekolah, Kapten Tim Basket dan so sorry Lola, sebagai anak baru, terlalu dini buat elo untuk
bikin kasus, gue yang mulai, gue memang bego" diantara derai tawa Gazka aku dapat
menangkap maksudnya, sebuah ejekan untuk diri sendiri, tapi di sisi lain, dia hanya ingin
membuat suasana lebih baik. Ini bukanlah kesalahannya.
"Well, gue bukan lagi kebanggaan sekolah sejak Niken mulai bongkar anorexia gue" aku
mencoba mengingatkannya, berharap dia tak terlalu menyalahkan dirinya sendiri. "Tapi yang
pasti gue menikmati hari ini" aku menyentuh lengan Gavner, mengelusnya, ini sangat sensitif,
Gavner tau benar ini hanyalah usaha Gazka untuk menutupi penderitaannnya, aku tau ada
kekhawatiran dalam diri Gavner, ketika sedikit demi sedikit dia mulai kehilangan control
terhadap tubuhnya. "Peduli amat sama hukuman ini, gue bisa tidur seharian di rumah, gue perlu
mengistirahatkan diri gue dari segala penderitaan akibat masa lalu." Ucap Dante sambil berlalu
,membawa serta Lola yang melambaikan jari kelingkingnya sebagai tanda perpisahan, dia sangat
manis, saudara perempuanku.
Setelah Dante dan Lola pergi, Gavner mulai berbicara.
"Thanks udah nyelamatin aku" Gavner menatapku lama, sampai akhirnya dia mulai
bicara lagi "Ghie bisa tinggalin aku sama Gazka"
"Hmmmm"okay" dengan berat hati aku setuju, aku meninggalkan mereka yang kutau
akan berbicara serius di balik tembok lab Fisika, tapi entah mengapa, hatiku memintaku untuk
melakukan hal yang tak seharusnya, aku menguping.
"Ka, I feel unwell" aku tau itu suara Gavner.
"Elo mesti bilangin ini ke Papa, biar dia tau, dia bisa ngasih elo fasilitas kesehatan
terbaik" saran Gazka.
"Nggak Ka, nggak akan, elo tau apa yang paling gue pengenin, ketemu Mama."
"Jangan idiot Ner"
"Gue nggak idiot, gue cuma nggak mau terlalu irasional, kematian gue udah ditentuin,
dan gue pengen elo mempercepat kematian gue, bahkan sebelum gue terlalu merasakan
penderitaan ini. Elo udah janji, sebelum gue benar-benar sekarat, elo harus ngelakuin yang gue
minta, dan semuanya akan baik-baik saja"ada nada marah, ketakutan dan tangisan yang akan
pecah dalam suaranya. "Gavner! Please jangan bego! Setiap orang sudah ditentuin kematiannya, setiap orang
pasti akan mati!" "Tapi nggak semua tahu kapan waktu tepatnya!berapa lama gue bakal hidup, tiga sampai
lima tahun ke depan" Dalam penderitaan"dalam kecacatan" dalam belas kasih orang lain, yang
cuma ngeliat gue dalam rasa iba?" Gavner berteriak serak, tangisnya pecah.
Aku mengintip dari balik tembok yang dingin, merasakan kelembapan tembok itu, seperti
merasakan air mata di pipi Gavner, inginku berlari dan memeluknya, tapi Gazka telah
menggantikan pelukanku, dia memeluk saudaranya.
"Salah gue Ka, bawa Ghie dalam hidup gue, seandainya Dante bukanlah saudaranya,
Ghie bisa kembali setelah gue pergi, keegoisan gue yang membuat Ghie harus ikut menderita,
gue nggak memprediksi kemungkinan ini, niat gue hanya meminjam Ghie untuk menemani sisa
waktu gue, Ghie sedang terpuruk sekarang, yang bisa mendampingi Ghie sekarang cuma gue,
seandainya semuanya seperti yang gue harapkan, Ghie berada dibawah tekanan gue hanya
karena kewajibannya dalam perjodohona tolol yang gue rancang, seandainya Ghie cuma terpaksa
jalani ini, dan akan lebih mudah bila Ghie membenci gue gara-gara memisahkan dia dari Dante,
gue jatuh cinta pada pandangan pertama pada gadis yang tatapan matanya itu penuh kesedihan,
tatapan yang nyaris sama yang kayak gue punya, awalnya gue hanya ingin mengubah kesedihan
itu jadi kebahagiaan, tapi apa yang gue lakukan" A big stupid mistake!"
"Jatuh cinta bukan kesalahan, memanfaatkan jati diri seorang pangeran untuk bisa
memiliki seorang gadis bukanlah hal yang mulia, tapi itu bukanlah kesalahan, dan yang gue liat,
Ghie bahkan nggak terpaksa untuk mencoba membalas cinta elo Ner, Ghie gadis yang baik,
hanya saja kadang hidup terlalu kejam untuknya."
"Gue mesti gimana Ka?"
Gazka diam tak tau harus menjawab bagaimana, kurasa, aku harus bertindak, ini pasti
mengejutkan apalagi ketika aku yang tak seharusnya mendengar hal ini malah begitu lancang
menguping, tapi aku harus melakukannya.
"Sorry?"kataku malu-malu, Gavner dan Gazka sedikit terkejut dengan cepat Gavner
menghapus air matanya, dan Gazka memilih memandang langit agar air matanya tak tumpah,
aku memeluk Gavner tanpa bicara, kali ini aku tak ingin menangis, memangnya kenapa bila dia
akan pergi, masih ada waktu untuk mencintainya, masih ada waktu untuk membuatnya bahagia,
walaupun pada akhirnya aku harus merelakan kepergiannya, tapi kematian bukanlah sebuah
perpisahan, akan ada kenangan yang bisa kita ciptakan bersama selagi kita bersama, mulai
sekarang, aku berjanji pada diri sendiri takkan lagi menjadi Ghie yang hanya akan bersedih, aku
ingin berjanji untuk mengubah hidupku, demi Gavner dan demi diriku sendiri, jika pada akhirnya
aku sendiri nanti akan ada kenangan-kenangan baik yang kusimpan tentangnya nanti. "Ner, kita
bakal jalanin ini sama-sama, okay?" dan dengan kedua tanganku aku menghapus air matanya.
Tiga Puluh Lima Kadang aku masih mengingat ke masa delapan tahun silam, ketika aku benarbenar terpuruk, tapi delapan tahun ini mengajari aku banyak hal, pelajaran terbesarnya adalah
apapun yang terjadi, hidup harus terus berjalan. Saat ini aku bukanlah gadis berotak dangkal
yang akan berteriak pada cermin "Mirror, mirror, on the wall, Hey, who am i?" lalu akan
mengasihani diri sendiri dan mulai menyayat diri, aku adalah seorang wanita dewasa sekarang,
yang berdiri di depan cermin dalam balutan kebaya putih, ini hari pernikahanku, sekelebat masa
lalu terbayang lagi, hari di balik tembok lab Fisika saat aku berjanji untuk melewati semua ini
bersama Gavner, bersama-sama melawan penyakitnya, bersama-sama melawan vonis tentang
akhir hidupnya, dan yeah kami berhasil, sekarang delapan tahun berlalu sejak hari itu, delapan
tahun yang kami lewati sangat indah, bersama-sama melakukan banyak hal yang membantuku
mengobati luka hatiku, yang membantu Gavner menyemangati hidupnya.
Aku masih mengingat ketika aku setiap pagi mengikat tali sepatunya, ketika
harus membantunya mengaitkan kalung hadiah darinya, isi dari sebuah kotak kecil berpita yang
ia tinggalkan di malam sehari sebelum Dante berulang tahun, sebelum aku mengetahui bahwa
dia saudara sedarahku, aku masih mengingat saat kami melewati malam-malam di halaman
belakang hanya untuk menatap bintang, ada kalimat yang selalu dia katakan. Yang membuatku
sedih tapi juga menguatkanku
"Ghie"ketika aku pergi nanti, maka kenangan yang aku punya tentang kamu
adalah kamu akan selalu terlihat cantik, kadang aku merasa takut dengan hal-hal yang tak akan
mungkin kujalani, karena aku akan pergi sebelum menghadapinya, aku takkan pernah melihat
kamu yang beruban, kamu yang penuh kerutan, itu adalah sisi baiknya dari meninggalkanmu
dalam waktu cepat" Hari demi hari aku lalui dalam kecemasan, dan malam selalu menyiksaku, setiap
malam aku pasti menyelinap ke kamarnya hanya untuk memandangnya, atau lebih tepat untuk
memeriksa apa dia masih bernafas, aku akan merasa tenang ketika mendengar dengkur pelannya,
Putri Berdarah Ungu Karya Citra Rizcha Maya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini sungguh luar biasa, Gavner telah hidup lebih daripada prediksi awal, tiga sampai lima tahun,
sekarang bahkan delapan tahun telah berlalu, dan Gavner walaupun tidak bisa dikatakan sehat
tapi dia telah sangat berusaha untuk mensugestikan dirinya bahwa dia tidak sakit, dan apa yang
terjadi, dia belum lumpuh total,walaupun menggunakan kursi roda, tapi dia masih bisa berbicara
walaupun orang-orang kurang mengerti apa yang dikatakannya, peduli apa asal aku bisa
memahaminya. Cinta telah menyembuhkan segalanya, derita yang kupunya, sakit yang dialami
Gavner, hingga mitos bodoh tentang anak yang dibuang hanya karena ibunya merelakan
nyawanya untuk kehidupannya, Gazka mendapatkan kembali ayahnya, ketiga pria itu menjadi
sebuah keluarga dan aku menjadi bagian dari mereka, aku sangat beruntung bukan"aku memang
selalu beruntung, hanya saja aku tidak menyadarinya. Inilah harinya, hari teristimewa untukku
untuk Gavner, dan untuk semua orang.
"Tuan Putri, bisa keluar kamar sekarang?" itu suara mantan kekasihku, kakak lelakiku
sekarang, dia terlihat tampan, dia yang akan mengantarkanku pada Gavner, menjadi pengganti
ayah, sekarang aku bisa mencintainya dengan rasa yang seharusnya.
Aku tersenyum padanya "Calon permaisuri.."Dante sedikit menggodaku, Gavner akan menggantikan ayahnya
setelah menikahiku, hari tepat diusianya yang kedua puluh lima, ini hari ulang tahunnya, inilah
hari pernikahannya, inilah hari ketika ia mendapat tahtanya, tapi kebangsawanan hanyalah
bentuk dari keunikan masa lalu, ini hanyalah sebagai lambang, tapi jauh dalam lubuk hatiku, dia
tetaplah rajaku. *** Semuanya sempurna sekarang, ikrar pernikahan telah diucapkan, aku mencium
tangannya sebagai bentuk baktiku, dan
setelah itu Gavner mencium keningku, dia terlihat
tampan walaupun ada gurat pucat dan lelah di wajahnya, kursi roda tak membuatnya terlihat
cacat dia lebih sehat dari siapapun yang berada di sini.
"Ghie?" aku mendengar bisiknya, aku mendekatkan telingaku ke bibirnya, dia
mencium pipiku pelan dan dia berbicara lagi, sulit baginya untuk berbicara tapi hari ini dia sudah
sangat berusaha, dia menjadikan semuanya sesempurna yang aku inginkan, mata hazel itu
terlihat bercahaya sekarang, aku bahkan sudah lupa mata ini telah menyimpan kesedihan di masa
lalu. "Aku mencintaimu?"dengan pelan, terbata dan agak bergetar dia berhasil
mengatakannya. "Ghie"izinkanku memelukmu sekali ini", aku berdiri di depannya dan dia
memelukku, kehangatan yang kurasakan ini membuatku bahagia, beberapa orang memberikan
kami senyum bahagia, kupejamkan mata mencoba meresapi pelukan ini, rasa yang sangat
menyenangkan, rasa yang sangat indah, tapi ketika sebuah gulir air mata menyentuh kulitku,
terasa pedih itu, terbuka lagi luka itu, sakit dan ketakutan itu datang lagi, tapi hati menguatkan
aku, aku sudah berjanji untuk takkan sedih lagi, dan aku harus menepati, menepati janji untuk
orang yang paling aku cintai, ketika hembusan nafas itu tak terasa lagi, aku tau dia telah pergi.
"Ner, izinkan aku bersedih sekali ini saja, izinkan aku menangis sekali ini saja" katakata itu bergulir pelan dari bibirku, bersamaan dengan menetesnya air mataku.
Aku merasakan pelukan lain di sana, Gazka.
"Ghie"gue turut berduka cita, ucapkan selamat jalan" aku merasakan suara itu
sebagai bisikan dari bawah alam sadar, aku masih memejamkan mata, ini hanyalah mimpi, hanya
mimpi, hingga aku tak menyadari sampai berapa lama aku memejamkan mata dan berpura-pura
ini hanya mimpi, ketika tangan-tangan mulai melepaskanku dari Gavner dan bisikan menguatkan
seperti suara bising yang memekakan telinga.
Ketika tangisku pecah dan aku kembali ke realita, kenangan menuntutku untuk terus
menepati janji, halusinasi suara Gavner menyadarkanku.
"Ini perjuangan kita Ghie, terima kasih karena menjadi Ghie yang membuatku
bahagia, terima kasih karena tidak lagi menangis, terima kasih karena telah menjadi Ghie yang
kuat, janji untuk melepaskanku dengan keikhlasan, terima kasih Ghie"terimalah kehilangan ini
sebagai rasa untuk menyadari bahwa kamu pernah memilikiku, terima kasih permaisuri
hatiku"Ghie". Aku tau itu hanyalah halusinasi, tapi suara itu membuka mataku, untuk kuat mengantar
Gavner ke peristirahatan terakhirnya, hidup bukan hanya tentang memiliki tetapi juga tentang
berusaha untuk terus memiliki, dan aku akan memiliki banyak kenangan indah untuk
melanjutkan hidupku, akan ada banyak kesempatan ke depannya, dan aku punya banyak bekal
untuk menghadapinya. Aku berjanji, aku akan terus menjalani hidup dalam kebahagiaan, jika
bahagia itu tidak datang, maka aku akan mendatanginya, tapi jika tak ditemukan, maka berpurapuralah untuk terus berbahagia, dan bahagia itu akan menjadi kenyataan.
"Ghie, kita bakal jalanin ini sama-sama, okay?" dan dengan kedua tangan itu
menghapus air mataku, dia bukan Gavner tapi Gazka.
The End Untuk semua orang yang tak pernah berhenti berusaha agar bisa bahagia
20 Juli 2011 Kisah Si Bangau Putih 3 Pendekar Wanita Buta Serial Tujuh Manusia Harimau (7) Karya Motinggo Busye Hina Kelana 36