Pencarian

Pelarian Runway 3

Fear Street - Pelarian Runway Bagian 3


Ia meraih rantai untuk menghidupkan lampu.
"Barry - jangan! " jerit Felicia.
Chapter 18 BARRY tidak berhasil meraih rantai, dan justru memegang
kabel yang terkelupas. Cahaya putih yang terang benderang meledak dari dalam
ruangan. Udara bagai mendesis-desis.
Barry menjerit kesakitan. Sengatan listrik melontarkannya ke
seberang ruangan - dengan kabel listrik masih dalam genggamannya.
Ia menghantam rak logam tempat persediaan makanan.
Kabelnya meletikkan bunga api sewaktu menyentuh logam.
Felicia menatap tubuh Barry yang terkulai. Pada asap yang
mengepul dari rambut dan pakaiannya.
"Ada apa?" ia mendengar suara Nick.
Felicia seketika beraksi. Ia meraih sakelar aliran utama. Bunga
api berloncatan dari dalam kotak sekring. Ia menarik tangannya.
"Keluarkan semua orang dari sini - sekarang!" teriaknya pada Nick. "Kabelnya
terbakar. Tempat ini akan terbakar sebentar lagi."
Ia lari ke belakang meja. "Pergi!" teriaknya kepada wanita pirang yang berdiri
di depan antrean. Terlambat. Felicia membeku. Ia tidak mampu berlari. Tidak mampu
bergerak. Bulu-bulu di lengan-nya berdiri tegak.
Aliran listrik melesat melalui kabel-kabel restoran.
Lampu-lampu neon meledak satu per satu. Kepingan-kepingan
setajam pisau cukur berhamburan ke mana-mana.
Api menyembur dari steker-steker.
Laci mesin kasir tersentak membuka. Uang-uang kertas dan
koin berhamburan keluar. Zan berjongkok di lantai, menutupi kepala dengan lengannya.
Felicia hanya bisa terpana. Ia mengikuti kerusakan dari satu
lampu ke lampu berikutnya dengan pandangannya, hingga seluruh
restoran. Lalu pandangannya terpaku pada deretan microwave - dan pada
Nick yang tengah berdiri tepat di depannya.
"Nick! Pergi!" jerit Felicia.
Nick berlutut. Aliran listrik menghantam deretan microwave. Peralatan
tersebut meledak. Makanan, plastik terbakar, dan serpihan kaca
menghujani Nick. Lampu-lampu alat pemanas. Felicia sadar kalau lampu-lampu
tersebut giliran berikutnya. Sebelum ia mampu memberi peringatan,
lampu-lampu tersebut meletup.
Bunga-bunga api putih yang sangat panas menghujani alat
pemanggang. Minyak pun menyembur menjadi tiang api. Felicia mendengar
seseorang mengerang ngeri.
Sepotong langit-langit yang menyala jatuh dan menghalangi
pintu masuk. Adrenalin membanjiri pembuluh darah di tubuh Felicia. Keluar!
ia memerintah sendiri. Keluar sekarang!
Barry! pikirnya. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Ia
mungkin cuma sekadar pingsan. Ia bisa mati terbakar.
Ia melesat ke gudang, kakinya sulit menjejak dengan mantap di
lantai yang basah. Ia melihat Barry telentang di lantai, tidak bergerak.
Felicia berlutut di sampingnya dan menyelipkan lengannya di
bawah punggung Barry. Ia berjuang untuk memberdirikan Barry.
Barry terlalu berat! Felicia menurunkannya kembali ke lantai. Ia menghela napas
panjang. Asap tebal terasa membakar tenggorokan. Mengisi paru-
parunya. Ia tercekik. Seseorang menerobos asap mendekatinya. Nick!
"Kau tidak apa-apa?" teriaknya.
"Bantu aku mengeluarkan Barry dari sini," balas Felicia.
"Tubuhnya terlalu berat."
"Tarik!" kata Nick. "Pegang kakinya. Tarik ke pintu belakang!
Aku mau mencoba mendobrak pintu depan. Orang-orang perlu
bantuan untuk keluar."
Felicia meraih kaki Barry. Ia menyadari kalau kaki Barry
telanjang. Sengatan listrik telah melontarkannya lepas dari sepatunya!
Felicia menarik dengan seluruh kekuatannya. Tubuh Barry
mulai bergeser. Hanya beberapa langkah dari pintu, pikirnya. Tarik! Tarik!
Tarik! Asap bergumpal-gumpal menyerbu matanya. Setiap tarikan
napasnya serasa membawa lebih banyak asap - dan semakin sedikit
oksigen. Warna-warna terang mulai menari-nari dalam pandangan
Felicia. Ia merasa pusing. Tubuhnya serasa bergoyang-goyang.
Tidak bisa, pikirnya. Tidak bisa.
Lalu ia merasakan selot logam mengenai punggungnya. Selot
yang melintang di tengah pintu belakang.
Kelegaan membanjiri Felicia. Ia menghantamkan seluruh berat
tubuhnya ke pintu. Pintunya melayang membuka. Momentumnya
membawa Felicia keluar. Ia menyeret Barry keluar bersamanya.
Ia terjatuh ke lantai semen dekat tong sampah. Terengah-engah,
ia berjuang mati-matian untuk mengisi paru-parunya dengan udara.
Kekuatannya pulih seiring tarikan napasnya. Berhasil! Aku
masih hidup! Tapi Nick masih di dalam.
Felicia menatap dinding api yang sekarang menghalangi pintu
belakang. Menjulang tinggi akibat semburan oksigen melalui pintu
yang terbuka. Aku tidak akan bisa kembali ke sana. Mustahil.
Lalu sebuah gagasan melintas dalam benaknya.
"Aku harus pergi, Barry," katanya dengan muram, walaupun tahu kalau Barry tidak
akan bisa mendengarnya. "Kuharap kau
selamat." Ia bangkit berdiri dan melesat. mengitari Burger Basket. Asap
menghalangi setiap jendela. Api menjebol langit-langit di beberapa tempat.
Felicia tahu mati-hidupnya setiap orang yang berada di dalam
restoran tergantung pada tindakannya. Ia tidak boleh gagal.
Ia menghela napas panjang dan lari ke pintu samping yang
membuka langsung ke ruang makan. Daging jemarinya seketika
terpanggang saat menyentuh tangkai pintu, tapi ia tidak memedulikan sakitnya dan
masuk ke dalam. Api bagai dituangkan dari dapur melintasi langit-langit. Bara
api besar mengambang di udara.
Ingat rumah pantai tua, katanya sendiri. Kau bisa
melakukannya. Kali ini ia menginginkan kekuatannya. Ia menginginkan
semuanya. Felicia berdiri diam. Panas bagai mengiris-iris kulitnya. Asap
membakar matanya, menerobos masuk ke paru-parunya bersama
setiap tarikan napas. Ia memejamkan mata dan membayangkan apinya.
Felicia mendorongnya dengan segenap tenaganya, merasakan
kekuatannya menggelegak di seluruh tubuhnya.
Dan dalam benaknya, api mulai menyurut mundur. Asapnya
berkurang. Udara terasa lebih sejuk.
"Apa yang terjadi?" terdengar seseorang berkata dari tempat makan. "Apa yang
sedang dilakukan gadis itu?"
"Persetan!" teriak yang lain. "Aku mau keluar!"
Felicia membuka matanya. Ia maju selangkah - memerintahkan
kekuatannya untuk mendorong lidah api ke belakang. "Zan! Nick!"
jeritnya. "Nick! Jawablah!"
Seorang pria jangkung menerobosnya. "Keluar dari sini! Apa
kau sudah sinting?" Felicia mendorong semakin kuat. Lidah api bergetar dan
berusaha melawan. Felicia tiba di gerai depan. Bagian atas meja yang terbuat dari
plastik mulai menggelembung. Asap kuning membubung dari situ.
Felicia merasa tercekik. Tidak. Kemarahannya bangkit. Jangan
berhenti sekarang! Ia memejamkan mata dan memaksa lidah apinya menyusut.
Melalui asap ia melihat sekelompok orang yang terhuyung-
huyung mendekatinya. Ia mengumpulkan kekuatan lagi - dan
mengarahkannya kepada orang-orang tersebut. Ia mendorong mereka
maju. Dan mendorong lidah api ke belakang.
Api balas mendorongnya dengan kuat. Felicia tahu kalau
kekuatannya tidak bisa menahan lebih lama lagi.
"Lari!" teriaknya. "Lari! Keluar dari sini! Pergi!"
Nick dan dua orang remaja lain terhuyung-huyung menerobos
asap. "Bagaimana dengan dirimu?" teriak Nick.
"Pergi saja dulu!" perintahnya. Kekuatannya tinggal sedikit.
"Aku tidak mau pergi tanpa dirimu," kata Nick. Ia mendorong anak-anak yang lain
ke pintu. "Tidak, Nick," pinta Felicia. "Kau tidak mengerti! Kau harus keluar lebih dulu!"
Ia tidak punya waktu untuk berdebat. Lidah api kembali
mendekat. Aku tidak bisa memaksa api itu mundur. Terlalu kuat. Terlalu
panas. Lidah api bergegas maju. Felicia dan Nick membuang diri ke
lantai, menelungkup. Felicia mengawasi dengan perasaan ngeri saat
api melalap pintu tempat orang-orang keluar. "Jalan keluar terakhir kita -
terhalang," kata Nick.
Kemarahan membanjiri Felicia. Ia tidak akan membiarkan hal
ini terjadi! "Aku tidak sudi mati dengan cara begini!" jeritnya. Sakit merobek
paru-parunya. Kekuatannya kembali muncul dalam
benaknya. Ia melihat salah satu kursi makan - dan mengarahkan seluruh
sisa kekuatannya ke sana. Kursi tersebut melayang di udara dan
menghantam salah satu jendela depan.
"Keluar!" teriaknya.
Nick bangkit berdiri dan terhuyung-huyung ke jendela. Ia
menyeret Felicia bersamanya, tangannya mencengkeram tangan
Felicia erat-erat. Felicia merasakan kekuatannya terkuras habis.
Kakinya tidak mampu menahan tubuhnya. Ia merosot ke lantai.
Kelelahan. Kehabisan tenaga.
Lidah api menjulang di sekelilingnya. Sekarang saatnya,
pikirnya tanpa daya. Beginilah rasanya mati.
Chapter 19 FELICIA berjuang untuk membuka matanya - dan melihat
wajah Nick. "Felicia?" bisik cowok tersebut dengan lembut. "Kau baik-baik saja?"
Felicia tersenyum. Aku masih hidup! Kami berdua masih
hidup! "Hai," katanya dengan suara serak.
Nick membantunya duduk. Felicia mengedip-ngedipkan mata
untuk menjernihkan pandangannya dan mengamati sekelilingnya. Para
petugas pemadam kebakaran tengah sibuk menyiramkan air ke
reruntuhan Burger Basket.
"Sudah berapa lama aku pingsan?" tanyanya.
"Lima belas menit," jawab Nick. "Kau sempat sadar beberapa kali."
"Restorannya musnah dalam lima belas menit?"
Nick mengangkat bahu. "Sebagian besar sudah roboh sewaktu
kita berhasil keluar. Tinggal sedikit yang tersisa."
"Wow." Nick menggeleng. "Menurutmu apa yang menyebabkan
kebakaran ini" Yang aku tahu tiba-tiba segalanya mulai meledak."
"Korsleting," kata Felicia, mengingat-ingat. "Oh tidak! Barry!"
"Ia baik-baik saja," jawab Nick dengan tenang. "Ia tersengat cukup hebat. Tapi
kepalanya benar-benar keras. Ia sudah pergi dengan ambulans." Nick tersenyum
padanya. "Kau sudah menyelamatkannya, Felicia. Dan tindakanmu sesudah
menyelamatkan Barry... kau
menyelamatkan kami semua."
Felicia tidak tahu harus berkata apa.
"Apa yang sebenarnya kaulakukan di dalam tadi?" tanya Nick.
Felicia menatap lurus ke mata Nick. "Tolong jangan tanyakan
itu," bisiknya. Nick tidak memprotes. Ia hanya membalas tatapan Felicia,
menerima permintaannya. Untuk saat ini. Felicia tidak ingin
memikirkan apa yang akan terjadi nanti.
Apa yang bisa ia ceritakan pada Nick" Aku memadamkan api
dengan pikiranku" "Itu dia!" teriak seseorang dari seberang lapangan parkir yang ramai. "Itu
orangnya! Ia yang menyelamatkan semua orang."
Belasan wartawan bergegas menuju ke Felicia, lampu kilat dan
kamera terguncang-guncang di depan mereka.
"Oh, Nick, kau harus membantuku pergi dari sini!" kata Felicia.
"Kenapa?" tanya Nick. "Apa kau tidak mau menjadi pahlawan yang disiarkan
televisi?" "Tidak! Tidak boleh ada yang tahu siapa aku! Polisi akan
menemukanku! Aku harus pergi dari sini."
Nick merogoh ke dalam sakunya dan memberikan kunci
mobilnya. "Bawa mobilku. Pergilah. Kembalilah ke tempatmu sampai situasinya
mereda. Telepon aku nanti."
Felicia menyambar kunci tersebut. Gantungan kunci plastik
Shadyside High tersebut bengkok dan rusak - dan masih hangat.
Sepanas itu api tadi, pikirnya sambil menggigil. Bahkan plastik
dalam saku Nick pun meleleh!
"Lari!" desak Nick. "Kucoba untuk menghalangi mereka."
"Trims, Nick." "Pergi sajalah," desak cowok tersebut.
Felicia masih merasa lemah dan tertegun. Tapi ia berhasil
menerobos kerumunan petugas pemadam kebakaran dan memasuki
kerumunan penonton. Para wartawan tiba di depan Nick. "Ia tidak mau bicara dengan siapa pun!"
Felicia mendengarnya berteriak.
"Siapa dia?" tanya seseorang.
"Apa kau mengenalnya" Siapa namanya" Di mana rumahnya?"
tuntut orang yang lain lagi.
Felicia sempat mendengar percakapan lain di belakangnya.
"Tentu saja aku yakin!" kata salah seorang pengunjung restoran, bersikeras.
"Apinya menjauhi cewek itu! Jangan memandangku
seperti itu! Aku mengatakan apa yang kulihat dengan mata kepalaku
sendiri!" Oh tidak, pikir Felicia. Orang itu menceritakan segalanya!
Kalau berita tentang tindakannya menyelamatkan orang-orang itu
diterbitkan, Kepolisian Ridgely akan tahu di mana ia berada!
Felicia berjalan secepat mungkin. Tapi ia merasa pusing dan
kelelahan. Mobil Nick terasa bagai bermil-mil jauhnya. Tapi akhirnya ia berhasil
mencapainya. "Kenapa kau tidak mati saja?" kata seseorang. Suara wanita yang hampir tidak
dikenalinya. Penuh kemarahan.
Felicia berbalik. Zan. Wajahnya tertutup jelaga. Seragam Burger Basket-nya ternoda
keringat dan abu. Mata birunya berkilat-kilat penuh kebencian.


Fear Street - Pelarian Runway di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa?" Felicia tersentak.
"Kau seharusnya mati!" teriak Zan. "Kau cuma perlu mengganti bohlam lampu bodoh
itu!" Zan melesat lurus ke arah Felicia, menubruknya sebelum
Felicia sempat bergerak. Mereka berdua jatuh ke trotoar.
Kepala Felicia menghantam semen. Sakit meledak di belakang
bola matanya. Zan berguling ke atas Felicia dan menjepitkan tangannya di
sekeliling leher Felicia.
Ia mau membunuhku, pikir Felicia. Ia mencoba untuk
menyetrumku. Felicia berusaha membangkitkan kekuatannya, berusaha
melontarkan Zan dari atas tubuhnya. Tapi ia tidak menemukan apa-
apa. Ia bahkan hampir tidak bisa mengangkat lengan untuk melawan.
Zan membungkuk dekat kepada Felicia, wajahnya
memancarkan kemurkaan. "Kau menyelamatkan Nick," bisiknya.
"Tapi itu tidak berarti ia milikmu sekarang. Itu tidak berarti kau bisa
mengambilnya dariku."
Jemari Zan terbenam makin dalam di tenggorokan Felicia. "Kau
tidak akan pernah mendekati Nick lagi."
Warna-warna berputar-putar dalam mata Felicia. Lengannya
terkulai di sisi tubuhnya.
Ia terengah-engah, berusaha menghirup udara.
Cekikan Zan bertambah kuat.
Chapter 20 "KAU seharusnya mati!" lolong Zan. "Kenapa kau tidak mau mati?"
Felicia tercekik, berjuang untuk menghirup udara.
"Hentikan, Zan!" Felicia mendengar seseorang berteriak.
Suaranya terdengar sangat jauh. "Hentikan! Kau membunuhnya!"
Ia merasa tangan Zan terangkat dari tenggorokannya, dan udara
sejuk membanjiri paru-parunya. Ia berguling ke samping, memusatkan perhatian
untuk menghela napas panjang dengan lambat.
Zan! pikirnya dengan tiba-tiba. Di mana Zan" Dengan susah
payah, Felicia beranjak duduk.
Zan dan Nick tengah berdiri agak jauh. Berpelukan.
"Aku benci padanya!" jerit Zan. "Aku akan membunuhnya!"
Nick mencengkeram bahu Zan dan mengguncangnya. "Diam,
Zan!" teriaknya. "Tutup mulutmu!"
Zan terdiam sejenak, matanya terbelalak dan ia shock. "Jangan sekali-kali kau
menyuruhku menutup mulut!" teriaknya. "Kau lebih memperhatikan ia daripada aku!"
"Tidak!" sergah Nick. "Kenapa kau tidak mau mempercayaiku"
Kenapa kau tidak berhenti menyakitinya" Ia bukan apa-apa! Ia tidak berarti apa-
apa bagiku!" Felicia merasa ada gumpalan yang mengganjal tenggorokannya.
Aku sendirian, pikirnya. Zan terkulai dalam pelukan Nick. "Jangan membohongiku,
Nick erangnya lemah. "Aku tidak bohong, Zan. Aku bersamamu. Bukan dengan
Felicia. Denganmu." Nick membimbing Zan menjauh tanpa melirik Felicia. Ia
memeluk Zan begitu erat, mencium pipinya dan mengelus-elus
rambutnya. Perlahan-lahan, Felicia bangkit berdiri. Tubuhnya terasa sakit
semua, sakit yang menusuk-nusuk setiap persendiannya.
Aku harus lari lagi. Harus.
Zan akan terus mengejarku sampai aku mati. Dan pada saat
berita kebakaran ini disebarkan, Kepolisian Ridgely akan dengan
mudah menemukanku. Tapi bagaimana dengan Nick" sebuah suara kecil dalam dirinya
bertanya. Memangnya kenapa dengan Nick" pikirnya. Ia tidak akan
pernah meninggalkan Zan. Ia mencintai Zan. Aku tidak akan pernah
sama pentingnya seperti Zan baginya. Ia bahkan tidak peduli Zan telah berusaha
membunuhku. Jemari Felicia mencengkeram kunci mobil
Nick erat-erat. Ia tidak memerlukannya.
Ia melangkah ke mobil, sakit menusuk-nusuk tubuhnya setiap
kali melangkah, Ia membuka pintu mobil, lalu menjejalkan kuncinya
di laci mobil. Ia menutup pintu mobil, lalu meninggalkannya tak terkunci. Ia
melangkah ke dalam kegelapan. Begitu tiba di rumah Dr. Jones ia tahu persis apa
yang akan dilakukannya. Mengemasi ranselnya,
menuangkan sekantong penuh makanan untuk Miss Quiz, dan pergi.
Ia pernah melarikan diri sebelumnya. Ia bisa melakukannya
lagi. Aku semakin baik dalam hal ini, pikirnya.
Oh tidak! Foto Dad! Ada di sekolah! Felicia tersadar. Ia tidak
bisa meninggalkannya di sana. Itu satu-satunya foto ayahnya yang
dimilikinya. Satu-satunya benda yang berkaitan dengan masa lalu
yang masih disimpannya. Felicia mengerang. Ia terpaksa pergi ke sekolah pagi-pagi sekali
besok dan mengambilnya. Jangan berbicara dengan siapa pun, jangan
melihat siapa pun, bahkan memikirkannya pun jangan, katanya
sendiri. Ambil saja fotonya lalu pergi.
Pergi sejauh mungkin dari Shadyside. Sebelum ada kejadian
buruk yang menimpa. Kejadian yang sangat buruk.
Chapter 21 RIDGELY "KRISTY! Andy! Keluar dari rumah itu!"
Teman-teman Felicia memunggunginya. "Kalian bisa mati di
sana!" teriak Felicia.
Perlahan-lahan, Andy dan Kristy berpaling ke arah Felicia.
Kristy menggendong lengannya yang putus di dadanya. Wajah Andy
mirip daging hamburger mentah.
"Kami memang sudah mati, Felicia," erang Andy dengan bibir yang telah
terkelupas. Salah satu giginya jatuh ke lantai.
"Kau yang membunuh kami. Kenapa, Felicia" Kenapa" Kami
kira kita berteman," lolong Kristy. Air mata darah mengalir turun di wajahnya.
Mereka bergerak maju dengan kaku, mendekati Felicia. Ia bisa
mencium bau tubuh mereka yang mulai membusuk.
"Tidak!" jeritnya. "Tidak! Aku tidak bermaksud begitu. Aku tidak bermaksud
begitu." Ia tersentak bangun - dan mendapati dirinya berada di tempat
tidur. Ia menyadari kalau baru bermimpi buruk. Mimpi buruk yang
sangat mengerikan. Detak jantung Felicia berdentam-dentam di telinganya. Aku
tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi hari ini. Sepanjang sisa hidupku
aku tahu kalau telah membunuh Kristy dan Andy.
Ia tidak bisa tidur kembali sekarang. Bagaimana kalau ia
kembali bermimpi menghancurkan rumah pantai itu - dan membunuh
teman-temannya - sekali lagi"
Seandainya aku punya teman bicara. Felicia melirik jam di
dinding. Hampir pukul dua pagi. Aku tidak bisa menelepon Debbie.
Dan Bibi Margaret pasti sudah tidur berjam-jam yang lalu.
Felicia membereskan ranjangnya dan berbaring lagi. Air
matanya terasa panas di pipi.
Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakiti mereka. Tidak
pernah! Kenapa hal itu harus terjadi"
Ia memejamkan mata. Seketika bayangan rumah yang runtuh
tersebut memenuhi benaknya. Paku-paku beterbangan. Papan-
papannya berderak patah. Kristy dan Andy menjerit.
Tok. Tok. Tok. Mata Felicia tersentak membuka. Apa itu"
Tok. Tok. Tok. . Ada yang mengetuk jendela" Sesosok wajah pucat tengah
menatapnya dari balik jendela. Debbie!
Felicia melompat turun dari ranjang dan memberi isyarat agar
Debbie memutar ke pintu depan. Ia mengenakan mantelnya dan
bergegas keluar kamar. "Kau harus pergi dari kota ini - malam ini juga!" seru Debbie begitu Felicia
membuka pintunya. "Sssst! Jangan sampai Bibi Margaret terbangun." Ia mengajak Debbie ke kamarnya
dan menutup pintu di belakang mereka.
"Kenapa" Ada masalah apa" Apa yang terjadi?" katanya.
"Aku baru saja menghabiskan empat jam terakhir di kantor
polisi," jawab Debbie. "Mereka menjemputku tepat sewaktu aku pulang. Mereka
merasa ada yang tidak beres."
Felicia menjejalkan tangannya ke dalam saku mantel. Tiba-tiba
ia merasa dingin. "Kenapa mereka berpikir begitu?"
"Entahlah. Tapi kenyataannya begitu, dan mereka terus-
menerus menanyaiku tentang apa yang terjadi! Menurut mereka kau
pasti terlibat dalam kejadian ini!" bisik Debbie.
"Mustahil!" erang Felicia. "Maksudku, dari mana mereka bisa berpikir aku yang
sudah merobohkan seluruh rumah itu?"
Debbie menyambar lengan Felicia dan meremasnya. "Mereka
terus-menerus menanyakan tentang percobaan-percobaan di
laboratorium. Mereka curiga. Sudah terlalu banyak isu tentang tes-
tesnya. Itu sebabnya mereka menjemputku."
Debbie ragu-ragu. "Mereka sudah menghubungi Dr. Shanks. Ia
memberitahukan segalanya pada mereka, Felicia. Mereka tahu tentang kekuatanmu!
Mereka tahu kalau kekuatanmu mampu merobohkan
sebuah rumah." "Oh, tidak!" Felicia tersentak. "Apa yang harus kulakukan, Debbie?"
"Kemasi tasmu dan pergi dari sini. Cuma itu kesempatanmu
satu-satunya." "Apa kau sudah sinting?" protes Felicia.
"Lari cuma membuat situasinya jadi lebih buruk!"
"Felicia, mereka akan mencarimu," jawab Debbie, suaranya terdengar muram.
"Menurut mereka kau sengaja membunuh Andy dan Kristy!"
"Tidak. Aku harus menyerahkan diri. Akan kucoba untuk
menjelaskan. Kau bisa memberitahu mereka kalau aku tidak tahu di
dalam ada orang. Kau bisa memberitahu mereka kalau itu cuma
kecelakaan." "Aku sahabat terbaikmu," jawab Debbie. "Mereka tidak akan mempercayaiku. Lagi
pula, mereka tahu tentang kekuatanmu - jadi
mereka pasti akan menganggapmu makhluk aneh. Mereka tidak akan
percaya kalau kau cuma gadis biasa. Mereka akan menganggap
kekuatanmu menjadikan dirimu berbahaya - seorang pembunuh."
Debbie berbalik dan menyeberang ke lemari pakaian Felicia. Ia
mengeluarkan ransel dari rak teratas dan melemparkannya ke ranjang.
"Mulailah berkemas-kemas. Aku tidak akan membiarkan dirimu
menghabiskan sisa hidupmu di penjara. Kau berangkat malam ini
dengan mobilku. Dengan begitu kau punya waktu. Mereka tidak akan
menemukanmu." "Kau memberikan mobilmu padaku?" tanya Felicia.
"Meminjamkan," jawab Debbie. "Pakai saja selama sehari, lalu tinggalkan di
tempat parkir. Kirimkan kunci dan arah-arahnya padaku.
Aku akan mengambilnya nanti bersama kakakku. Kau harus
melakukannya, Felicia. Kau harus pergi dari sini - sebelum
terlambat." Felicia menatap lurus ke mata Debbie. Ia menyadari kalau
Debbie merasa ketakutan untuk dirinya. Debbie ngeri setengah mati.
"Oh, Debbie, bagaimana bisa begini" Aku tidak pernah
bermaksud untuk mencelakakan Andy dan Kristy."
Debbie mengangguk. "Aku tahu. Tapi kau tidak bisa berdiam
diri menunggu mereka menangkapmu, Felicia. Ayo."
Felicia menghela napas panjang dan mengusap pipinya.
Sekarang atau tidak selamanya. "Oke, Deb. Ayo kita lakukan."
Debbie tersenyum dan bangkit berdiri. "Kubantu kau
berkemas." Dalam waktu kurang dari lima menit, Felicia sudah
mengumpulkan barang-barang yang diperlukannya - sejumlah
pakaian, topi baseball kesayangannya, walkman dan beberapa kaset,
dan foto ayahnya. Ia mengenakan ranselnya dan berhenti sejenak
untuk memandang kamar tidurnya untuk yang terakhir kali. Ia ingin
mengucapkan selamat berpisah kepada Bibi Margaret, tapi tahu kalau tidak
mungkin. Bibi Margaret pasti akan berusaha menghentikannya.
"Ayo," desak Debbie. "Kau tidak aman di sini."
Mereka bergegas menuju ke mobil Debbie dan melaju ke
perbatasan Ridgely. Mereka berhenti sejenak di ATM. Felicia menarik seluruh
tabungannya. Hanya sekitar tiga ratus dolar. Ia memerlukan setiap sennya.
"Kau meninggalkan pesan?" tanya Debbie saat mereka
meninggalkan ATM. "Tidak," jawab Felicia. "Aku tidak bisa. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan
pada Bibi Margaret. Setibanya di perbatasan kota, Debbie menghentikan mobil di
tepi jalan. Jalan berpagarkan pepohonan tersebut gelap dan mati.
Debbie memarkir mobilnya dan turun. "Pindahlah," katanya pada Felicia. "Mobil
ini milikmu. Paling tidak untuk sehari."
Felicia dengan kikuk pindah ke belakang kemudi. Tangannya
gemetar saat mencengkeram kemudi. Ia melirik Debbie.
"Kau takut," bisik Debbie.
"Menurutmu?" Felicia mencoba bergurau. Tapi suaranya pecah.
Debbie membungkuk ke jendela. "Sudah selayaknya kau takut,
Felicia. Kupikir sebaiknya kau tahu, Dr. Shanks memberitahu polisi kalau kau
tidak bisa dikendalikan, berbahaya bagi orang-orang lain.
Polisi ingin mengurungmu."
Felicia menatap sahabat terbaiknya itu dengan pandangan ngeri.
"Jadi takutlah," lanjut Debbie. "Jadikan rasa takut sahabat terbaikmu. Mungkin
dengan begitu kau akan tetap bebas."
Air mata mengalir di pipi Felicia. "Aku tidak tahu harus ke
mana," gumamnya. "Aku bukan monster yang berbahaya. Aku tidak tahu harus berbuat
apa." Debbie mengulurkan tangan dan meletakkannya di bahu Felicia.
"Jangan mengkhawatirkan hal itu sekarang. Kau tidak perlu
memutuskan tujuanmu. Yang penting, pergilah sejauh mungkin
malam ini. Nanti kau akan tahu dengan sendirinya."
"Trims," bisik Felicia. "Aku tidak tahu bagaimana nasibku tanpa dirimu, Deb."
"Tidur di rumah, mungkin," jawab Debbie. Ia menunduk
memandang kakinya, tampak tidak nyaman. "Akulah yang
menantangmu untuk merobohkan rumah itu, ingat?"
"Yeah." Felicia mengangkat bahu. "Tapi aku yang
merobohkannya." "Maaf," jawab Debbie dengan lembut. "Sungguh, aku
menyesal." Felicia mendengus. "Tidak apa."
Debbie menggeleng sedih. "Kurasa kita berdua yang harus
menanggung perbuatan kita ini seumur hidup, ya?"
"Kurasa begitu," jawab Felicia, berusaha terdengar kuat.
Mereka bertatapan untuk waktu yang cukup lama.
Akhirnya, Debbie mengangkat bahu. "Jangan menyembunyikan
mobilku sehingga terlalu sulit dicari."
"Aku berjanji."
"Hati-hati." Debbie mundur meninggalkan Felicia, lalu berbalik dan berjalan ke
arah yang berlawanan. Ia berpaling dan melambai
kepada Felicia sebelum menghilang dalam bayang-bayang pepohonan.
Felicia balas melambai dan menaikkan kaca jendela,
menghalangi udara malam yang dingin. Sekali lagi ia mencoba untuk
memegang kemudi, tapi kedua tangannya gemetar begitu hebat hingga
ia harus mengepalkan tangan untuk menghentikannya.
Kengerian mencengkeramnya. Bagaimana kalau polisi berhasil
melacaknya" Bagaimana kalau mereka justru sedang mencari-cari


Fear Street - Pelarian Runway di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya pada saat ini"
Tapi aku tidak membunuh siapa pun! pikirnya dengan perasaan
putus asa. Aku bukan seorang pembunuh! Itu cuma kecelakaan yang
mengerikan! Tidak adil kalau aku harus melarikan diri karena hal ini,
pikirnya. Aku tidak meminta kekuatan ini!
Felicia membeku. Ia merasakan sensasi yang dikenalinya jauh
dalam dirinya. Perasaan yang sama muncul siang harinya sewaktu
kekuatannya membanjir keluar dari dalam benaknya ke balok
penopang rumah pantai tua tersebut.
Kekuatannya. Kekuatan yang memenuhi dirinya bilamana ia
marah atau jengkel. Tidak! pikirnya dengan perasaan panik. Jangan sekarang!
Jangan sekarang! Mobil mulai terguncang-guncang, bergoyang-goyang dengan
keras. Pintu lacinya membuka. Kertas, pena, dan peta tumpah ke kursi depan.
Radio tiba-tiba menyala, pencari gelombangnya berputar-putar.
Volumenya melonjak ke paling keras, mendentumkan musik yang
hampir merobek speaker-nya.
"Tidak!" jerit Felicia. "Debbie! Tolong!"
Tapi Debbie telah pergi. Felicia sendirian.
Roda-roda mobil terangkat dari aspal karena guncangan-
guncangan tersebut, membanting Felicia ke pintu berulang-ulang. Ia bisa
merasakan rodanya melayang semakin tinggi. Mobil akan terbalik dalam beberapa
detik! Mesinnya meraung kencang. Pedal gasnya rata dengan lantai
mobil. Roda-rodanya berputar gila-gilaan. Tangkai persneling mulai bergerak.
Lalu Felicia mencium bau itu.
Bensin. Keluar, teriaknya dalam hati. Keluar sekarang! Felicia
menyambar ranselnya dan menye?tak tangkai pintu.
Bergeming. Benaknya berputar. Apa kekuatannya yang menahan pintu"
Apa yang terjadi" Bau bensin semakin keras. Felicia mulai terbatuk-batuk.
Sekarang cuma perlu satu percikan bunga api....
Lalu ia melihatnya - kunci pintunya masih terpasang. Kelegaan
membanjiri dirinya. Ia mencabutnya, menariknya ke atas. Ia
menendang pintu yang berat hingga terbuka dan membuang diri dari
mobil. Aman, pikir Felicia. Aku aman. Raungan mengerikan meledak di telinganya. Api oranye yang
terang benderang membutakan matanya.
Semburan udara panas menghantamnya, melontarkannya ke
udara. Felicia terlempar akibat ledakan mobil Debbie.
Chapter 22 FELICIA mendarat dengan tangan dan lutut lebih dulu.
Beruntung ia mendarat di rerumputan tinggi di samping jalan.
Ia menunggu sampai rasa sakitnya berkurang. Sambil
mengedip-ngedipkan matanya kuat-kuat, ia menatap mobil yang
tengah berkobar-kobar tersebut. Akhirnya, ia memaksa dirinya untuk bangkit
berdiri. Ia melesat masuk ke dalam hutan dan tidak berhenti berlari hingga tiba
di perbatasan negara bagian lain.
Mereka tidak boleh menangkapku, pikirnya. Mula-mula rumah
pantai, sekarang mobil Debbie. Kekuatanku benar-benar sudah tidak
bisa dikendalikan. Kalau mereka berhasil menangkapku, mereka akan
mengurungku selamanya. Itulah satu-satunya pemikiran yang
mendorongnya untuk tetap berlari....
*************** Sekarang sudah tiba waktunya untuk berlari lagi. Saatnya untuk
meninggalkan Shadyside. Meninggalkan Nick.
Berhentilah memikirkan cowok itu, pikirnya sambil berbelok
memasuki Fear Street. Tidak ada apa-apa lagi di Shadyside bagimu.
Nick tidak peduli terhadapnya. Zan ingin membunuhnya.
Felicia akhirnya tahu bagaimana cara mengendalikan kekuatannya -
bagaimana menggunakannya untuk kebaikan. Tapi itu hanya
menyebabkan orang-orang ingin menyiarkan wajahnya di televisi agar terlihat
polisi. Felicia berlari menaiki tangga rumah Dr. Jones, lalu menutup
dan mengunci pintu di belakangnya. Ia hanya memerlukan waktu lima
menit untuk mengemasi barang-barangnya. Ia berniat untuk pergi
malam ini juga, sekarang.
Tidak, pikirnya. Aku tidak bisa meninggalkan foto Dad. Cuma
itu yang kumiliki. Felicia tidur di sofa kamar duduk. Dari sana ia bisa melihat
kalau ada mobil yang masuk di malam hari. Kalau polisi yang datang, ia akan lari
melalui pintu belakang dan terus berlari.
****************** Cahaya matahari membangunkan Felicia. Miss Quiz tidur di
pangkuannya, mendengkur lembut. Rumah Dr. Jones terasa sunyi.
Felicia menyadari kalau polisi tidak datang ke sana. Tidak ada
yang mengejarnya. Nick juga tidak. Felicia bangkit berdiri dan mengenakan topi baseball-nya.
Sudah waktunya berangkat ke sekolah, pikirnya. Saatnya untuk pergi ke Shadyside
High untuk yang terakhir kalinya.
Ambil saja fotonya, katanya sendiri saat berjalan. Jangan
berbicara dengan siapa pun.
Ia menyelinap masuk melalui pintu depan sekolah beberapa
menit lebih awal. Aula mulai terisi oleh anak-anak.
Murid-murid lainnya berkeliaran di sekitarnya. Felicia tidak
mengacuhkan mereka semua. Ia terus menunduk saat berjalan.
Akhirnya ia tiba di lokernya.
Ia mulai membuka kunci kombinasinya - sewaktu sebuah
tangan mencengkeram lengannya dan menyentaknya dengan kasar.
Chapter 23 FELICIA menjerit. Ia berpaling dan mengayunkan tangannya sekuat tenaga.
Sebuah tangan yang kuat menutup mulutnya. Tangan yang lain
mendorongnya ke loker. "Tenang, Felicia! Ini aku."
Nick! Ia melepaskan pegangannya pada mulut Felicia. "Maaf, aku
membuatmu ketakutan. Aku cuma ingin bicara."
"Kau bergurau?" jeritnya. "Lepaskan aku!" Felicia berusaha mendorong cowok
tersebut. Nick justru mempererat cengkeraman pada lengannya. "Tidak.
Aku harus berbicara denganmu. Aku tidak akan melepaskanmu
sekarang!" Nick menyelipkan lengannya ke balik punggung Felicia dan
menariknya mendekat - lalu menciumnya. Felicia terlalu terkejut
untuk melawan. Seluruh kemarahan yang dirasakannya seketika
mencair. Ia balas memeluk Nick dan menciumnya.
Akhirnya, Nick melepaskan diri. Ia menatap lurus ke mata
Felicia. "Felicia, aku minta maaf soal semalam," katanya. "Aku tidak bersungguh-sungguh
tentang apa yang kukatakan pada Zan. Kau
bukan tidak berarti apa-apa. Kau berarti segalanya bagiku."
"Oh, Nick," bisiknya. "Aku juga merasa begitu."
"Fiuu," jawab cowok tersebut. "Itu bagus."
"Nick, ada sesuatu yang aku - "
"Kalau Zan yang kaukhawatirkan, jangan," kata cowok itu. "Ia dan aku sudah
berbicara lama sekali semalam. Ia berjanji untuk
berkonsultasi dengan psikiater, Felicia. Ia berjanji untuk tidak akan melukaimu
lagi. Kau sudah aman."
"Apa kau memutuskan hubungan kalian?" tanya Felicia.
Nick mengalihkan pandangannya, dan Felicia seketika tahu
kalau Nick tidak memutuskan Zan.
"Nick...." "Aku tidak bisa" jerit Nick. "Begitu banyak yang terjad i semalam. Dan ia sudah
memberikan banyak janji. Ia benar-benar ingin berubah, Felicia. Aku tidak bisa
menyakitinya lebih jauh lagi."
Felicia merengut. Sulit dipercaya, pikirnya. Nick mencoba
untuk mempertahankan kami berdua sekaligus!
Untuk sesaat sewaktu Nick menciumnya tadi, ia mengira masih
memiliki masa depan di Shadyside.
Tapi sekarang tidak. "Felicia," pinta Nick. "Aku masih ingin kita bersama-sama."
"Tidak, Nick," jawabnya tegas. "Sudah terlambat. Aku tidak bisa bersamamu selama
Zan masih ada. Jadi hari ini aku akan - "
Jeritan melengking memotong kata-kata Felicia. Ia berputar -
dan membeku. Zan berderap di lorong mendekatinya, dengan pisau di tangan
yang teracung! Chapter 24 FELICIA mendengar murid-murid yang lain menjerit. Mereka
berhamburan ke segala arah, panik.
Tapi Felicia tidak mampu mengalihkan pandangannya dari
pisau di tangan Zan. Nick melompat ke hadapan Zan dan mengangkat lengannya.
"Zan!" jeritnya. "Apa yang kau - "
Nick menjerit kesakitan saat Zan mengayunkan pisaunya
mengiris lengannya yang terjulur. Felicia mengawasi mata pisau
setajam alat cukur tersebut menembus telapak tangan kiri Nick. Nick mundur,
sambil mendekap tangannya di dada. Darah membanjir dari
sela-sela jemarinya, membentuk sungai-sungai kecil. "Nick!" jerit Felicia. Ia
mendengar lebih banyak jeritan, ada yang berteriak
menyuruh memanggil kepala sekolah.
Zan menyergapnya. Ia lalu menyentakkan kepala Felicia ke belakang dengan
menarik rambutnya. Topi baseball Felicia melayang ke lantai. Felicia mengangkat
tangannya untuk melindungi lehernya dari pisau.
Zan menghunjamkan pisau ke tangan Felicia.
Felicia menjerit sewaktu mata pisau mengiris lengan kanannya.
Zan menempelkan pisaunya ke leher Felicia. "Jangan berani-
berani kau mengulanginya!" bentaknya.
"Zan, lepaskan dia!" jerit Nick sambil mencengkeram tangan Felicia yang
berlumuran darah. "Kau sudah berjanji!"
Zan tertawa. "Kau bergurau, Nick" Aku cuma berbohong -
sama seperti dirimu. Sama seperti kalian berdua. Sudah berapa lama kau
berselingkuh, Nick" Sejak hari ia menumpang ke kota?"
"Tidak penting apa yang kulakukan," jawab Nick. "Kau cuma ingin menyakiti orang
lain. Kalau bukan Felicia, pasti orang lain lagi.
Kau perlu bantuan!" "Paling tidak aku tidak pernah berbohong!" raung Zan.
"Bagaimana tentang Doug Gaynor?" sembur Felicia. "Kau berbohong tentang
pembunuhannya." "Siapa yang memberitahumu?" jerit Zan. Ujung pisau
menggores tenggorokan Felicia.
"Siapa?" ulang Zan.
"Aku mencari tahu sendiri!" balas Felicia.
"Aku melihat halaman buku tahunanmu yang diolesi darah!"
"Tentu saja aku membunuhnya!" jerit Zan.
Ia menyakitiku. Jadi kubalas. Kau tahu bagaimana rasanya
menyaksikan orang yang menyadari kalau akan mati" Aku berdiri di
balkon selama lima belas menit mengawasi Doug mati. Ia terus-
menerus minta maaf, kau percaya" Tapi menurutku ia sedikit
terlambat untuk meminta maaf."
Nick maju selangkah. "Mundur," perintah Zan. "Akan kutusuk dia."
"Jangan menyakitinya," pinta Nick.
"Mungkin saja," ancam Zan. "Aku mungkin akan sangat menyakitinya."
Felicia berusaha tidak memikirkan pisau di tenggorokannya. Ia
mencari-cari kekuatan dalam dirinya, sama seperti semalam. Energi
pun melonjak dalam dirinya, mengisi benaknya. Melesat di seluruh
tubuhnya. "Zan?" tanyanya dengan lembut.
"Apa?" "Apa kau yang mengirim surat-surat itu?"
Zan kembali tertawa. "Ya. Dan aku yang mengecat pesan di
dinding. Kalau kau cukup cerdas dan meninggalkan kota ini, semua
ini tidak perlu terjadi. Aku sudah terlalu muak disakiti orang-orang yang
kusayangi! Aku bahkan menyukaimu, Felicia, untuk sekitar dua
puluh detik. Lalu aku melihat caramu menatap Nick. Dan aku tahu
kalau kau harus mati. Jadi bersiaplah!"
Zan menggeram dan mengangkat pisaunya lagi.
Felicia mengeluarkan kekuatannya, mengempaskan seluruhnya
ke Zan. Kaca-kaca jendela di seluruh lorong pun berhamburan masuk,
menyirami lorong dengan serpihan setajam pisau cukur. Loker-loker
terempas dari engselnya dengan suara keras, mengancam akan
terlepas dari dinding. "Apa yang kaulakukan?" tuntut Zan. "Apa ini?"
"Inilah aku yang sebenarnya!" seru Felicia.
Wajah Zan berkerut. "Selamat tinggal, pelarian," geramnya.
Ujung pisau masuk ke tenggorokan Felicia.
Sekarang atau tidak selamanya, pikir Felicia.
Kekuatannya melonjak, membidik bagai seberkas laser - lurus
ke ujung pisau. Ujung yang tajam itu pun tergulung ke belakang,
hingga tangkainya. Felicia mendorongnya sekuat tenaga, menjerit saat mata
pisaunya menggulung. Baja tersebut menjerit protes. Zan tersentak
memandang pisau yang tergulung di tangannya.
Sebelum Zan pulih, Felicia kembali melontarkan kekuatannya.
Ia membayangkan apa yang diinginkannya dan menjadikannya
kenyataan. Zan menjerit saat kekuatan Felicia mengangkatnya ke udara.
Felicia berusaha bangkit. Terhuyung-huyung ke dinding - dan
memandang Zan. Zan tergantung-gantung beberapa kaki di atas tanah, kaki dan
tangannya bergerak-gerak dengan liar.
"Apa yang kaulakukan?" jerit Zan. "Kau makhluk aneh!"
Felicia menjawab dengan melontarkan Zan ke belakang. Zan
menghantam deretan loker dan menempel di sana, tergantung tiga kaki di atas
tanah. "Kubunuh kau - makhluk aneh!" raung Zan. "Turunkan aku!"
"Tahan dia," perintah Felicia.
Nick berlari maju dan berjuang untuk menangkap Zan.
Tangannya yang terluka meninggalkan jejak darah di lantai.
Dua cowok bergegas maju membantu Nick memegangi lengan
Zan, menekannya ke loker hingga bantuan datang.
Felicia merasakan kekuatannya mulai menyusut. Ia berhenti
memusatkan perhatian, dan kekuatannya memudar.
Zan merosot di dinding ke lantai. Cowok-cowok tersebut tidak
melepaskan pegangan mereka.
Zan meneriakkan ancaman-ancaman, tapi Felicia hampir tidak
mendengarnya. Benaknya berputar. Ia menatap pisau di lantai.


Fear Street - Pelarian Runway di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menyelamatkan diriku sendiri dengan pikiranku, pikir
Felicia dengan perasaan mati.
Ia bisa mengendalikan kekuatannya! Kebakaran di restoran
hamburger telah mengujinya. Pisau tersebut telah membuktikannya.
Felicia menyentuh luka di lehernya. Jemarinya basah dan merah oleh darah, tapi
lukanya tidak parah. Luka di lengannya lebih parah -
lengan bajunya basah kuyup oleh darah.
Suara-suara keras dari lorong mengingatkan Felicia kalau polisi
mungkin akan datang untuk menangkap Zan.
Saatnya untuk pergi, pikirnya. Ambil apa yang mau kauambil di
sini dan lari. Felicia lari ke lokernya dan memutar kombinasinya. Ia
mencabut foto ayahnya dan menyelipkannya ke saku dalam jaketnya.
Ia memandang lokernya sekali lagi dengan cepat, dan memutuskan
kalau tidak ada apa pun dari hari-harinya di Shadyside High yang
ingin disimpannya. Sewaktu kepala sekolah dan sejumlah guru berlari-lari di lorong
menghampiri Zan, Felicia menyambar topi baseballnya. Ia
mengenakannya sedemikian rupa hingga menutupi wajahnya dan
melesat ke pintu depan. Selesai, pikirnya. Aku akan meninggalkan Shadyside selamanya.
********************** Felicia tidak pernah mengira akan merasa begitu bahagia
melihat Fear Street. Rumah Dr. Jones tampak sunyi dan aman,
terutama setelah kejadian di sekolah.
Ia berlari-lari melintasi halaman rumput depan, memeriksa
saputangan yang diikatkannya pada luka di lengannya. Perdarahannya hampir
berhenti. Berlari-lari mungkin tidak membantu, tapi ia tidak punya pilihan lain.
Ia harus meninggalkan Shadyside sebelum polisi mengetahui tempat tinggalnya.
Felicia membuka pintu depan dan bergegas masuk.
Ini dia, pikirnya. Ikuti rencanamu, Felicia. Ambil ranselmu,
tuangkan makanan untuk Miss Quiz, dan pergi.
Felicia tahu kucing tersebut akan baik-baik saja. Dr. Jones
masih belum kembali beberapa minggu lagi. Tapi Bobby, mahasiswa
yang seharusnya merawat Miss Quiz, akan kembali tidak lama lagi.
Sekalipun begitu, rasanya sulit untuk meninggalkan hewan tersebut.
Sewaktu Felicia menutup pintu depan, ia mendengar hewan tersebut
mengeong dari dalam. Felicia memasukkan tangan ke saku jeansnya untuk mengambil
kunci pintu depan. Ia merencanakan untuk meninggalkan kunci
tersebut di kotak surat agar bisa diambil Bobby.
Salah satu papan serambi berderak.
Felicia membeku. Kenapa papannya berderak... kalau tidak ada
yang menginjaknya" Ada yang menyambar lengannya!
Felicia menjerit. Zan! Zan telah melarikan diri dan sekarang
memburunya! Felicia berusaha melepaskan diri dan bersiap-siap membela diri.
Chapter 25 "DEBBIE!" seru Felicia. "Apa yang kaulakukan di sini?"
Felicia menjatuhkan ranselnya di teras depan dan memeluk
sahabat lamanya tersebut.
Debbie mendorongnya menjauh. Felicia terhuyung-huyung ke
belakang dan menatap sahabatnya dengan pandangan terkejut. Lalu ia menyadari
ekspresi wajah Debbie. "Debbie... ada apa?" bisik Felicia. "Untuk apa kau kemari" Apa ada sesuatu yang
terjadi pada Bibi Margaret?"
"Tebak apa yang kulihat dalam berita semalam?" kata Debbie.
"Ada rumah makan yang terbakar habis di kota bernama Shadyside.
Tapi seorang cewek yang pemberani mempertaruhkan hidupnya untuk
menyelamatkan teman-teman sekerja dan para pembeli."
Felicia menegang. Kebakaran itu! Akhirnya diberitakan juga.
"Yang aneh adalah," lanjut Debbie, "cara cewek pemberani itu melawan api. Tidak
ada yang bisa menjelaskannya dengan baik. Dan
tentu saja cewek pemberani tersebut tidak bisa dihubungi untuk
dimintai komentar. Salah satu saksi mengatakan cewek itu mengusir
api seakan sesuai dengan keinginannya."
Mata Debbie berkilau-kilau kejam.
"Kau tidak bisa menahan diri, bukan?" tanyanya. "Kau harus menjadi pahlawan
besar Amerika. Well, sekarang semua orang tahu
siapa dirimu, Felicia. Semua orang tahu tentang kekuatanmu yang
berharga." "D - Debbie," kata Felicia. "Apa yang terjadi" Mengapa kau berkata begitu?"
"Karena itu membuatku muak!" sergah Debbie. "Kau bahkan tidak bisa menghilang
tanpa mengacau. Semua orang ingin
memburumu, Felicia. Aku cuma bisa berkata, aku senang sudah
mendapatkan dirimu lebih dulu."
"Kenapa?" tuntut Felicia.
Mulut Debbie terlipat membentuk cibiran. "Karena aku akan
membunuhmu. Dan kali ini aku akan melakukannya dengan benar!"
Chapter 26 "MEMBUNUHKU?" Felicia merasa bagai dicekik. "Kenapa?"
Ia mundur hingga bahunya menabrak pintu depan. Ia tidak bisa
ke mana-mana lagi. "Karena kukira kau sudah mati," kata Debbie, kemarahan
terdengar jelas dalam suaranya. "Tapi aku mengacaukannya. Kukira kau berada
dalam mobilku sewaktu mobilnya meledak!"
Benak Felicia berputar. "Itu mustahil. Dari mana kau tahu
kekuatanku akan lepas kendali dan meledakkan mobilmu?"
"Tidak!" raung Debbie. "Malahan, mungkin justru kekuatanmu itu yang
menyelamatkan nyawamu! Api tidak bisa membakarmu.
Tidak ada kepingan mobil yang merobek-robekmu. Waktu kau
menyentuh tanah, tidak ada tulangmu yang patah. Semua orang pasti
akan terpotong menjadi dua akibat ledakan itu."
"Kalau begitu, bagaimana mobilnya bisa meledak?" tanya
Felicia lemah. Debbie menyipitkan matanya memandang Felicia. "Aku yang
melakukannya. Aku yang meledakkannya. Kau begitu memikirkan
dirimu sendiri sampai tidak bisa mengetahui kalau aku juga memiliki kekuatan
telekinetis. Aku selalu memilikinya. Dan kekuatanku lebih besar daripada
kekuatan Felicia yang besar."
Felicia merasa bagai mati. Ia tidak mengerti mengapa Debbie
menceritakan semua ini padanya. Debbie memiliki kekuatan"
Ia menyadari itu sebabnya Debbie tetap tinggal di laboratorium
Ridgely begitu lama. "Jangan kelihatan seterkejut itu," sergah Debbie. "Aku lebih pandai berbohong
daripada dirimu. Aku cukup pintar untuk tidak
membiarkan seluruh dunia tahu tentang kekuatanku. Kau cuma bisa
merengek-rengek bagaimana kekuatan itu menghancurkan hidupmu."
Felicia perlahan-lahan bergeser sepanjang dinding depan
rumah. "Aku tidak peduli kalau kau punya kekuatan," katanya. "Aku tidak pernah
peduli. Kaulah yang selalu iri padaku."
"Aku tidak iri padamu!" jawab Debbie. "Kekuatanmu tidak berarti apa-apa. Tapi
kau membawa risiko yang terlalu besar sesudah kejadian dengan rumah pantai itu.
"Aku tidak bisa membiarkan seorang pun tahu kenyataan yang
sebenarnya. Aku berbohong. Aku, tidak pernah berbicara dengan
polisi malam itu. Begitu pula Dr. Shanks. Tapi aku tidak bisa
mengambil risiko kalau kau mungkin akan memberitahu mereka
kelak. Yah, aku merasa bersalah."
"Debbie, aku tidak mengerti," pinta Felicia. "Kau ini ngomong apa?"
"Aku mencintai Andy Murray!" jerit Debbie. "Kau begitu tenggelam dalam
kehidupanmu yang menyedihkan di Ridgely sampai
tidak mengetahui hal itu. Kukira ia juga menyayangiku. Tapi ia tidak tahu kalau
aku masih hidup. Aku tidak bisa menjauhkannya dari
Kristy. Ia pergi begitu saja meninggalkanku. Tapi rencanaku
sempurna. Tidak satu pun di antara mereka berdua yang lolos."
"Rencana?" Felicia kembali merasa bagai dicekik.
"Andy dan Kristy selalu pergi ke rumah pantai tua itu. Itu
tempat kesukaan mereka. Mereka selalu mengira hanya sendirian di
sana, tapi aku mengawasi mereka. Kurasa sebaiknya mereka mati di
sana, karena mereka begitu menyukai tempat itu. Hari itu kau kuajak serta untuk
membantuku. Aku tidak yakin kalau bisa merobohkan
seluruh rumah itu sendirian. Aku belum pernah menggerakkan benda
sebesar itu sebelumnya."
"Kau memanfaatkan diriku untuk membunuh!" jerit Felicia.
"Kau sinting!" "Aku cerdas," jawab Debbie. "Tapi aku belajar satu hal darimu, Felicia."
"Apa?" "Aku tidak membutuhkan dirimu seperti dugaanku semula.
Kekuatan kecilmu bahkan hampir tidak bisa memenyokkan rumah itu.
Aku yang merobohkannya sendirian." Debbie melipat lengannya.
"Dan sekarang sudah saatnya pelarian kecil berhenti berlari. Untuk selamanya.
Kekuatan Felicia mengisi setiap pembuluh darahnya. Walaupun
baru menghadapi Zan, Felicia merasa masih kuat. Sekarang ia lebih
tahu bagaimana cara mengendalikan kekuatannya.
Tapi apa cukup untuk menghadapi Debbie" Cobalah, katanya
pada diri sendiri. Ia melontarkan kekuatannya ke arah Debbie - dan Felicia
mendengar suara tamparan keras. Debbie jatuh ke belakang, sambil
memegangi pipinya. "Apa itu?" tuntut Debbie.
"Tamparan yang layak kauterima!" jerit Felicia.
Debbie meraung murka. Ia mengayunkan tangannya ke depan -
dan Felicia terbang dari lantai teras. Ia menghantam atap teras.
Kayunya pecah berantakan terhantam punggungnya. Udara tersembur
keluar dari paru-parunya, dan ia tergantung-gantung di atap sama
seperti Zan di loker. Debbie ternyata kuat! Felicia kembali melontarkan kekuatannya, melontarkan Debbie
dari teras dengan kekuatan yang tidak terlihat. Debbie jatuh telentang di
rerumputan halaman depan.
Felicia merasakan tangan yang tak terlihat melepaskan dirinya.
Ia jatuh ke teras, terengah-engah menghirup udara.
Sebelum ia sempat memulihkan keseimbangannya, lantai teras
meledak. Tubuhnya terasa bagai tanpa bobot saat melayang melewati
halaman, bersama serpihan kayu dan paku-paku karatan.
Ia menghantam tanah dengan keras. Tapi untuk pertama
kalinya, Felicia benar-benar merasakan kekuatannya melindungi
dirinya dari akibat benturan tersebut.
Bangkit! perintah suara hatinya. Lawan Debbie!
Debbie terlalu cepat. Ia mencabut sebatang dahan pohon maple
besar di halaman depan, dan mengayunkannya seolah tongkat
pemukul, ke arah Felicia.
Felicia tidak sempat menunduk. Secara naluriah, ia meraih
benda terdekat - sebuah tiang lampu setinggi dua meter di dekat jalur masuk - dan
mencabutnya dari tanah. Tiang tersebut tercabut dengan
suara keras dan beradu dengan dahan pohon maple di tangan Debbie.
Gelombang kejutnya mendorong Debbie ke belakang. Dahan pohon di
tangan Debbie pun jatuh ke tanah.
Felicia bertindak untuk menyelesaikan pertarungan.
Ia melontarkan tiang lampu yang telah terpuntir dan rusak,
bagai sebatang tombak, ke arah Debbie.
Debbie berguling ke samping sarnbil menggerung. Tiang lampu
tersebut menancap di tanah tanpa melukai siapa pun, mencuat bagai
sebatang lembing. "Usaha yang bagus!" ejek Debbie. Sejenak, pandangannya
beralih dari Felicia, mengincar sasaran baru: tong sampah Dr. Jones.
Oh tidak, pikir Felicia. Tong sampah tersebut terguling ke samping.
Kaleng dan botol membanjir keluar, bagai hujan tembakan.
"Tidak!" jerit Felicia, melontarkan kekuatannya sembarangan, tanpa berpikir.
Sebuah botol Coke yang tebal hancur berantakan menghantam
kepala Felicia, sakitnya luar biasa. Ia jatuh berlutut, mengacungkan lengannya
sebagai perisai terhadap serangan Debbie yang selanjutnya.
Darah mengalir memasuki mata kirinya.
Felicia melolong seiring dengan pecahnya kaca di
sekelilingnya. Kaleng-kaleng berdentangan.
Botol-botol plastik bagai diremas.
Sekalipun begitu ia tidak merasakan apapun kecuali akibat
hantaman botol pertama. Akhirnya hujan serangan tersebut berhenti.
Felicia menurunkan tangannya dan menghapus darah dari
matanya. Ia tersentak. Pecahan botol dan kaleng aluminium berserakan di
rumput membentuk lingkaran berdiameter tiga setengah meter. Tapi
hanya satu yang mengenainya!
Kekuatannya, pikirnya. Kekuatanku menyelamatkan diriku lagi.
Felicia terhuyung-huyung bangkit berdiri. Gelombang mual
berputar-putar dalam dirinya dan ia kembali jatuh berlutut. Debbie berdiri di
hadapannya, ekspresi kemenangan terpancar di wajahnya.
"Tidak seperti di film-film, bukan?" kata Debbie.
"Apa?" gumam Felicia.
"Botol-botol terasa sakit kalau kena kepala."
Setetes darah mengalir memasuki mulut Felicia. Ia tercekik saat
gelombang mual yang lain memaksanya mencengkeram perutnya. Ia
tidak bisa bertarung lagi. Tidak ada lagi yang tersisa.
"Kau lebih kuat dari dugaanku semula, Felicia," kata Debbie mengakui. "Tapi aku
masih lebih kuat lagi. Satu-satunya yang harus kupikirkan sekarang adalah
bagaimana cara membunuhmu. Kulihat di
sana ada sekop - aku bisa memukulmu dengan itu. Atau mungkin
kupatahkan saja lehermu. Kau pilih yang mana?"
Felicia menatap dengan pandangan kabur ke arah Debbie. Ia
tidak menjawab pertanyaan "sahabatnya".
"Oke," kata Debbie, mengambil keputusan. "Sekop kalau begitu."
Cicitan roda beradu dengan aspal mengalihkan perhatian
mereka berdua. Felicia berpaling ke asal suara - dan melihat mobil
Nick menikung sambil mengeluarkan suara mencicit.
"Siapa itu?" tuntut Debbie.
Jantung Felicia berdentam keras. Ia tidak menjawab.
Nick melompat turun dari mobil dan menatap ke kerusakan
yang ada - teras, pohon, sampah-sampah.
"Felicia!" jeritnya, melesat melintasi rerumputan.
Debbie bergegas mengalihkan kekuatannya ke kotak surat baja
di dekat jalur masuk. Kotak surat tersebut menjerit protes saat tercabut dari tiangnya.
"Tidak!" jerit Felicia, mengawasi kotak baja tersebut melesat ke arah kepala
Nick. Ia menggali kekuatan dari dalam dirinya.
Dan melontarkan seluruh kemarahan, seluruh ketakutan, dan
seluruh perasaan frustasinya keluar. Felicia mengayunkan tangannya ke arah
Debbie, seakan mengoper sebuah bola basket.
Kekuatannya membanjir keluar. Tapi kali ini berbeda.
Felicia mengarahkan sisa kekuatannya ini bukan kepada pohon
atau botol, tapi ke benak Debbie.
Ia merasakan kekuatan mengalir deras dari dalam dirinya,
mengucur melalui lengannya dan menerobos ujung-ujung jemarinya.
"Oh!" teriak Debbie, terkejut. Kepalanya tersentak ke belakang seakan-akan
terpukul. Lengannya terkulai lemas di samping tubuhnya.
Rahangnya ternganga. Bola mata Debbie berputar ke dalam, hanya menunjukkan
bagian putihnya. Darah mengalir keluar dari kedua telinganya.


Fear Street - Pelarian Runway di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Debbie terayun-ayun selama beberapa detik, ekspresi wajahnya
kosong, mulutnya ternganga. Lalu, tanpa mengeluarkan suara apa-apa lagi, ia
jatuh ke depan ke rerumputan.
Chapter 27 "KAU tahu," kata Nick sambil memutar-mutar tombol
gelombang radio, "walaupun Debbie ingin membunuhmu, aku senang kau tidak
membunuhnya." "Aku juga," jawab Felicia. Pemandangan alam di kedua sisi jalan melesat dengan
cepat. Mereka akan tiba di Ridgely College
dalam satu jam. "Mungkin kekuatanku yang bekerja tanpa kusadari.
Aku cuma menghantamnya cukup kuat untuk mengguncang
benaknya, tapi tidak membunuhnya."
"Apa ia masih koma?" tanya Nick.
"Bukan koma," kata Felicia menjelaskan. "Para dokter mengatakan lebih mirip
kesurupan. Mereka belum pernah menemui
kasus seperti ini sebelumnya. Menurut mereka ini mungkin
disebabkan kekuatannya."
"Mungkin kekuatannya itu yang menyelamatkan dirinya dari
kekuatanmu," jawab Nick.
"Mungkin. Kurasa cuma waktu yang bisa menjawabnya."
"Setuju," kata Nick. "Cuma kuharap mereka tidak
menempatkannya di ruangan yang sama dengan Zan di rumah sakit
jiwa." Felicia menggeleng. "Nick, itu mengerikan. Kuharap mereka
berdua mendapat bantuan yang mereka perlukan."
"Aku menyesal kau harus kembali ke Ridgely," kata Nick
pelan, mengubah topik pembicaraan.
Felicia tersenyum, menyentuh jahitan di atas matanya yang
terhantam botol Coke. "Sebenarnya, aku agak mengharapkan. Aku sudah menelepon
Bibi Margaret, dan kami berbicara panjang-lebar. Ia benar-benar memperhatikanku.
Kurasa jauh di dasar hatiku aku juga
tahu. Tapi ia menjelaskan bahwa ia memaksaku mengikuti tes-tes
dengan Dr. Shanks karena mengira percobaan itu akan membantuku
mengatasi kekuatanku. Katanya sih ayahku juga menentang tes itu,
bahkan lebih keras."
"Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga, kan?" kata Nick.
"Kurasa begitu. Pokoknya, aku ingin belajar sebanyak mungkin
tentang kekuatanku dan asalnya. Aku berubah sikap. Aku tidak lagi
merasa seperti makhluk aneh. Kurasa para dokter itu tidak akan
mendesakku terlalu keras lagi."
"Sulit dipercaya kalau mereka membiarkan Debbie lepas
kendali seperti itu," kata Nick, sambil menggeleng.
"Bukan salah mereka," jawab Felicia. "Debbie berhasil menipu semua orang."
"Wow, aku tidak akan melupakan bagaimana kotak surat itu
melayang ke kepalaku. Aneh sekali!"
"Kau beruntung tidak kena!" seru Felicia.
"Berkat dirimu," Nick tersenyum lembut. "Kau
menyelamatkanku." Felicia balas tersenyum. "Aku berutang budi padamu."
"Apa itu berarti kita seri?" tanya cowok tersebut.
"Dengan satu syarat. Kau temui aku setiap akhir pekan."
"Kalau tidak?" tantang Nick.
"Aku pernah melarikan diri dari laboratorium," kata Felicia mengingatkan, tidak
serius. "Jangan kira aku tidak akan memburumu, Nick."
"Tidak perlu. Aku berjanji kau tidak akan pernah harus
melarikan diri lagi."
Felicia menyeringai dan menyandarkan kepala di bahu Nick,
begitu terus hingga mereka tiba di Ridgely. END
Meraga Sukma 1 Pedang Siluman Darah 3 Titisan Budak Iblis Eng Djiauw Ong 18
^