Pencarian

Pesta Tahun Baru 1

Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party Bagian 1


BAGIAN KESATU 1965 Chapter 1 KEJUTAN DI TAHUN BARU "LIMA menit lagi tahun 1965!" seseorang berteriak.
Pesta Tahun Baru berputar-putar di sekeliling Beth Fleischer,
teman-temannya berteriak-teriak dan tertawa-tawa, "She Loves You"
the Beatles berdentam-dentam dari hi-fi - sangat keras, seluruh
ruangan bergetar. Sebuah botol Coca-Cola menggelinding di atas karpet ruang
tamu dan membentur kaki Beth. Ia mendorong botol itu ke samping
dengan jari-jari kakinya dan tetap berdansa. Sepatu putihnya yang
baru menjepit jari-jari kakinya, tapi Beth tidak peduli. Ia tahu sepatu
itu kelihatan manis dipadukan dengan rok mininya yang baru.
"Wow!" Todd Stevens berteriak di telinganya. "Pesta yang
menyenangkan!" Beth menoleh dan menatap Todd. Pemuda itu seperti bintang
film, pikirnya - dengan mata lebih biru daripada mata Paul Newman.
Semua gadis di Shadyside High mengidolakan Todd.
Akan tetapi Beth tidak yakin seberapa besar ia sesungguhnya
menyukai Todd. Bagaimana mungkin ia tidak menyukai pemuda yang
diidam-idamkan semua gadis ini" Ia tidak bisa menjawab pertanyaan
itu. Semuanya membuat dia merasa aneh.
Ia mulai berdansa lagi. Kemudian ia memandang ke sekeliling
ruangan untuk mencari Jeremy. Ia tahu, seharusnya ia tidak boleh
memikirkan Jeremy saat sedang berdansa dengan Todd. Namun ia
tidak bisa berbuat lain. Itu dia di sana, pikir Beth. Jeremy berdiri sendirian di dekat
dapur, sedang menyeruput minuman soda. Ia kelihatan amat tampan
malam ini. Kenapa ia tidak mengajak seseorang untuk berdansa"
Seseorang menabrak lampu lantai. Lampu itu jatuh lalu pecah di
lantai, tapi Beth tidak bisa mendengar suaranya di tengah suara musik
yang keras. "Orangtua Karen akan membunuh dia!" ia berteriak
kepada Todd, berusaha untuk bisa didengar di antara suara bising itu.
Sekilas ia memandang ke sekeliling ruangan itu. Tak ada tandatandanya Karen ada
di situ. Sekarang Beth baru memikirkannya, ia tidak melihat Karen
sejak tadi. Apakah ia pergi" Karen tidak akan meninggalkan pesta
Tahun Barunya sendiri, kan"
Karen dan Beth berteman akrab. Mereka menghabiskan waktu
berjam-jam untuk membicarakan cowok-cowok, film, dan musik
rock - terutama the Beatles. Mereka mengarang cerita seakan mereka
pergi ke London untuk menemui the Beatles, dan keempat bintang
rock itu semuanya mengajak mereka berkencan.
Bagian yang sulit adalah memutuskan kedua anggota Beatles
mana yang dipilih untuk berkencan sebab keempat bintang rock itu
semuanya amat luar biasa.
Beth mencari-cari di sekeliling ruangan itu lagi. Dua cowok
sedang main panco di atas meja kopi, sementara teman-teman mereka
memberi semangat. Beberapa cewek melihat-lihat koleksi piringan
hitam Karen yang ditumpuk tinggi. Dua sejoli yang tidak dikenal Beth
sedang bermesraan di pojok.
Tapi Karen tidak ada. Di mana dia"
"Lima belas detik!" seorang pemuda di sisi lain ruangan itu
berteriak. "Empat belas... tiga belas..."
Semua orang berhenti berdansa. Seseorang mematikan suara hifi, dan seseorang di
ruangan itu ikut menghitung detik-detik terakhir.
"Dua belas... sebelas... sepuluh..."
Karen harus kembali ke sini tengah malam! Beth berpikir. Aku
tak bisa mengawali tahun baru ini tanpa sahabat karibku di sini!
"Lima... empat... tiga..."
Ayolah, Karen. Di mana kau"
"Selamat Tahun Baru!"
Tengah malam. Sorak-sorai. Terompet ditiup. Todd menarik
Beth mendekat dan menciumnya. "Selamat Tahun Baru, Beth."
Namun pikiran Beth tidak pada ciuman Todd. Ia mencemaskan
Karen. Dan ia tidak bisa berhenti memikirkan Jeremy. Jeremy pasti
merasa kesepian malam ini. Tak ada seorang pun yang mencium dia di
malam Tahun Baru ini. "Sadar dong, Beth!" panggil Todd.
"Apa?" jawab Beth.
"Ingat aku?" Todd kedengaran jengkel.
Beth mengalihkan perhatiannya kembali kepada Todd,
tersenyum, mencoba bersikap seperti gadis yang menikmati saat-saat
indah di kencan yang luar biasa. Tapi matanya beralih ke Jeremy.
Sekelompok cowok bertampang kasar sedang mengerumuni
dia. Apa yang mereka inginkan" Beth bertanya-tanya.
Lagu yang lain dimulai. Chubby Checker mengumandangkan
"Do the Twist". Di sekeliling Beth, anak-anak mulai berdansa twist.
Seorang gadis berdansa amat bagus - lincah dan seksi.
Rambutnya yang pirang dan panjang berayun-ayun ketika ia bergerak.
Beth berharap bisa berdansa seperti gadis itu. Setiap kali ia mencoba
twist, ia merasa kaku dan tolol.
Beth memandang Jeremy lagi. Seorang cowok yang bertampang
sangar merampas Coca - Cola Jeremy lalu meneguknya. Cowokcowok yang lain
tertawa. "Kau lihat Karen?" Beth bertanya kepada Todd.
"Sejak tadi tidak," jawabnya.
"Pesta ini benar-benar akan jadi tak terkendali jika ia tidak
melakukan sesuatu." Todd mengikuti pandangan Beth yang tertuju pada Jeremy.
"Jeremy baik-baik saja. Kenapa kau sangat mencemaskan dia?"
Jeremy dalam kesulitan, pikir Beth. Aku lebih tahu tentang
dirinya daripada orang lain - dan ia jelas tidak baik-baik saja. Beth
tidak mau repot-repot mencoba menjelaskan perasaannya kepada
Todd. Todd menyentuh Beth dan menunjuk tangga. "Mau duduk di
sana?" Empat pasangan duduk di anak tangga yang berkarpet, sedang
bermesraan. Lipstik pink Jenna Cosgrove mencoreng wajah Joe Hart.
Joe tampaknya tidak menyadarinya.
Beth merasa tergoda, tapi ia tidak ingin bermesraan di hadapan
semua pengunjung pesta ini. "Jangan di sana," ia berkeras. "Semua
orang bisa melihat kita."
"Tak seorang pun memperhatikan mereka," jawab Todd.
Sebelum Beth bisa menjawab, suara tawa yang keras membuat
dia mengalihkan perhatiannya. Salah satu dari kelompok cowok yang
bertampang kasar itu menuangkan Coca-Cola di kepala Jeremy.
Lawan dia! pikir Beth. Tapi Jeremy tidak melakukan apa-apa.
Beth melihat Jeremy terhuyung-huyung ke belakang, menabrak
seorang gadis. "Hei!" bentak gadis itu. "Lihat-lihat dong kalau jalan."
Jeremy menyingkir, melangkah dengan goyah, mencoba untuk
menjaga keseimbangannya. Tapi kakinya terantuk, dan ia terjerembap,
jatuh di samping meja penuh makanan di depannya.
Semua orang kecuali Beth berteriak gembira melihat Jeremy
jatuh. Bahkan Todd juga tertawa.
Beth melihat wajah Jeremy merah padam. Aku harus
menghampiri dia, Beth memutuskan. la berjalan melintasi ruangan itu.
Tetapi Todd menyambar tangannya dan menariknya ke ruang
baca yang gelap. "Tak seorang pun akan melihat kita di sana,"
desaknya. Beth ragu-ragu, menatap balik kepada Jeremy. Todd tidak akan
membiarkan dia mencoba menghibur Jeremy. Jeremy barangkali tidak
menginginkan dia menghampirinya. Jeremy akan mengatakan
kepadanya supaya mengurus urusannya sendiri.
Todd menarik tangannya. Mereka menerobos dua cowok yang
sedang berdiskusi soal mobil. Beth pernah melihat mereka di sekolah
tapi ia tidak kenal mereka.
"Aku ingin salah satu Mustang itu," kata pemuda yang lebih
tinggi. "Mobil convertible merah dengan V-8 yang besar. Oh, man,
aku ingin sekali punya salah satu Mustang itu."
"Corvette akan segera menelanmu," cowok satunya memberi
tanggapan. "Tak mungkin! Kau cuma akan bisa melihat lampu belakang
Mustang-ku." Sekelompok anak-anak mulai menyanyi "Auld Lang Syne". Tak
seorang pun mengerti kata-kata itu, tapi mereka tahu, mereka
menyanyikan lagu itu di Malam Tahun Baru. Suara dari hi-fi nyaris
menenggelamkan mereka - Roy Orbison sedang mendendangkan
"Pretty Woman".
Pintu terbuka dengan keras.
Beth berbalik - saat itu ia melihat dua anak muda yang
memakai topeng ski menerobos masuk ke ruangan itu.
Pertama-tama ia melihat topeng ski itu. Kemudian ia melihat
pistol mereka. Chapter 2 LEDAKAN DI TENGAH MALAM SALAH satu pria itu menodongkan pistolnya pada cewek yang
berdiri di dekat gramofon. "Matikan itu!" bentaknya.
Roy Orbison tiba-tiba berhenti bernyanyi. Hening sekarang.
Beth tidak bisa bergerak. Matanya terus tertuju ke pistol-pistol
itu, takut untuk mengalihkan pandangannya.
"Selamat Tahun Baru!" pria satunya berteriak. "Semua merapat
ke dinding. Sekarang!"
Todd menarik tangan Beth, menariknya merapat ke dinding.
Beth bisa merasakan lututnya gemetar. Apa yang akan mereka
lakukan kepada kami" tanyanya kepada dirinya sendiri.
"Kami ingin dompet dan arloji kalian," kata salah satu pengacau
itu. Beth membuka arlojinya dan melorotkan benda itu dari
pergelangan tangannya. Ia memegangnya di depan tubuhnya dan
matanya tetap menatap lantai. Ia tidak ingin menarik perhatian
perampok itu. Haruskah kuberikan giwangku juga kepada mereka" Beth
bertanya-tanya. Ia tidak rela menyerahkan giwang berliannya yang
kecil itu. Giwang itu diberikan dari generasi ke generasi dalam
keluarganya, selalu diberikan kepada anak perempuan pertama pada
ulang tahunnya yang keenam belas.
"Serahkan semuanya!" salah satu pria itu berteriak,
membuyarkan lamunannya. "Jangan coba-coba bertindak bodoh atau
dia akan menerima akibatnya."
Beth mengangkat kepalanya. Jeremy! Ia menyandera Jeremy!
Tidak! pikirnya. Jangan sakiti dia. Kumohon.
Beth ngeri ketika laki-laki bersenjata itu menekan laras
pistolnya yang berkilauan di pelipis Jeremy.
Wajah Jeremy pucat pasi. "To-tolong," ia merengek. "Berikan
apa yang mereka inginkan."
Beth berusaha agar Jeremy menangkap pandangannya. Ia ingin
agar Jeremy tenang. Lakukan apa yang mereka perintahkan.
"Jangan tembak aku," Jeremy memohon. "Tolong jangan
tembak aku." Ia terhuyung selangkah ke depan.
Beth berteriak. "Hei! Kubilang jangan bergerak!" Pengacau itu menekan dan
memutar-mutar laras pistol itu di kepala Jeremy.
"Aku... Aku tidak bermaksud kabur," rintih Jeremy. "Sungguh."
"Ya, kau mau kabur."
Jeremy menggelengkan kepalanya, matanya terbelalak
ketakutan. "Semuanya perhatikan," perampok itu memberi komando. "Ini
contohnya apa yang akan terjadi kalau kalian tidak mau bekerja
sama." Lagi, ia menekan laras pistol itu di kepala Jeremy.
Kemudian ia menarik pelatuknya.
Chapter 3 TABRAKAN DI MALAM HARI BETH menjerit. Ruangan itu penuh jeritan.
Mata Jeremy terbelalak. Ia terhuyung-huyung ke depan, tapi
tidak jatuh. Pistol itu tidak meledak! Beth sadar. Jeremy baik-baik saja!
Napasnya yang tertahan keluar dengan suara yang keras.
Semua orang menatap pengacau-pengacau itu, terpaku, takut
untuk bergerak. Beth memandang ruangan itu dengan kalut. Tak seorang pun
akan berani menolong Jeremy, ia sadar. Tak seorang pun bisa
melakukan sesuatu. Kemudian, ia tercengang, pengacau-pengacau itu melepaskan
topeng mereka. Hah" Kenapa mereka membiarkan kami melihat wajahnya"
Beth bertanya dalam hati. Apakah mereka punya rencana untuk
membunuh kami semua"
Kemudian Beth mengenali mereka. Dua kakak kelas di
Shadyside High. Tamu yang tak diundang.
Perampokan itu ternyata cuma lelucon yang konyol, ia baru
menyadari. Lelucon yang konyol dan berbahaya.
Kedua cowok itu tertawa terbahak-bahak dan saling meninju
bahu. "Apakah senjata ini kelihatan asli bagi kalian?" tanya salah
seorang di antara mereka. "Kami membelinya di toko mainan."
"Aku tahu pistol itu palsu!" seru seorang cewek memberi
pernyataan. "Pistol itu seperti dari plastik."
"To-tolong berikan apa yang mereka i-ingin-kan," seorang
cowok menirukan suara Jeremy yang ketakutan.
"To-tolong jangan tembak aku!" yang lainnya menirukan
Jeremy, sambil menggoyang sekujur tubuhnya.
Semua orang tertawa. Kecuali Beth. Ia melihat Karen ada di
pintu masuk, memberi selamat kepada kedua pemuda itu.
Karen" Kenapa ia tega melakukan itu kepada Jeremy" Beth
bertanya pada dirinya sendiri. Ia kan temanku.
Karen ada di balik semua ini! Beth sadar. Itulah sebabnya
kenapa aku tidak menemukan dia tengah malam tadi. Ia sedang
membuat rencana dengan kedua pengacau itu.
Beth merenggut tangannya dari pegangan Todd. "Karen!"
pekiknya. "Teganya kaulakukan ini kepada Jeremy!" Wajah Beth
terasa terpanggang api ketika kemarahannya memuncak.
"Beth, ini hanya gurauan," jawab Karen. "Gurauan untuk
menghidupkan pesta ini."
"Tidak lucu! Gurauan yang konyol dan jahat! pekik Beth.
Aku tidak akan memaafkan Karen. Takkan pernah! pikir Beth.
Salah seorang pemuda melemparkan pistol mainan itu kepada
Jeremy. "Jangan tembak dirimu sendiri!" teriak seseorang.
Tawa kejam makin menjadi.
Dengan geram, Jeremy melemparkan pistol itu ke dinding.
Kemudian ia pergi, mendorong orang-orang yang menghalangi
jalannya ketika ia berjalan cepat-cepat ke pintu depan.
Beth mengikuti Jeremy. Tapi Todd berjalan di depannya,
menghalang-halangi langkahnya. "Hei - mau ke mana kau?"
"Todd, kau tidak mengerti. Aku..."
"Aku capek diabaikan," kata Todd. "Sepanjang malam ini kau
mengawasi Jeremy terus. Biarkan saja dia. Kenapa sih?"


Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ia butuh aku," Beth memprotes.
"Kalau begitu lebih baik aku cari gadis lain yang memberiku
perhatian." Todd berbalik dan berlalu.
Aku benci dia! pikir Beth. Aku benci mereka semua karena apa
yang mereka lakukan kepada Jeremy.
Beth melihat Jeremy melesat dari pintu depan. Ia ingin
mengambil mantelnya dulu. Tapi ia tidak akan bisa mengejar Jeremy.
Maka ia berlari ke luar di malam yang dingin menggigit itu.
"Jeremy!" teriaknya, sepatunya terbenam ke dalam salju tebal
yang menyelimuti halaman depan. "Tunggu! Mau ke mana kau?"
Jeremy berputar menghadapi dia. Wajahnya yang tampan
berkerut.,marah. "Pergilah, Beth. Tinggalkan aku sendirian! Aku
muak dijadikan gurauan!"
Jeremy berbalik dengan wajah cemberut dan berjalan dengan
susah payah di atas salju menuju mobil tuanya, Ford Fairlane.
Mengabaikan angin yang berputar-putar dan udara dingin
menggigit, Beth berlari mengejar dia. "Mereka hanya menggodamu.
Kembalilah. Semua jalan dilapisi es. Kau terlalu marah untuk
menyetir!" "Kembalilah ke pesta dengan teman-temanmu yang tolol itu!
Tinggalkan aku sendirian! Kau bukan ibuku!" Jeremy menyelinap di
balik kemudi dan membanting pintu. Salju jatuh dari atap mobil.
Kaki Beth terpeleset dan tergelincir, ia lari memutari mobil dan
melompat ke jok penumpang. "Aku ikut."
Roda-roda mobil ilu menggelinding di jalan yang dilapisi es
ketika Jeremy melarikan mobilnya dari pinggir jalan.
"Semua jalan tertutup es," Beth memperingatkan. Ia memasang
sabuk pengamannya dan memeriksa untuk meyakinkan sabuk
pengaman Jeremy sudah terpasang. "Hati-hati, Jeremy. Ini bodoh.
Menepilah. Ayo kita bicara."
Jeremy mengabaikan Beth. Sambil memandang melalui kaca
depan mobil yang tertutup salju, Jeremy memacu mobilnya melewati
lampu merah tanpa memperlambat mobilnya.
"Jeremy! Jangan menyopir seperti ini. Ayolah!"
Mobil itu selip di dekat tumpukan salju di tepi jalan. Beth
memejamkan matanya, yakin bahwa mereka akan menabraknya.
Tetapi Jeremy mengendalikan kemudinya untuk kembali ke tengah
jalan. "Pelan dong," pinta Beth. Ia mencengkeram dasbor mobil
dengan kedua tangannya. Jeremy tidak menggubris. Pohon-pohon dan tiang-tiang telepon
tampak meluncur cepat diterangi lampu depan mobil.
Beth memperhatikan wajah Jeremy dalam cahaya suram dari
dasbor. Rahang pemuda itu terkatup, dan pandangannya lurus ke
depan, matanya penuh kemarahan.
Kenapa mereka harus menyakiti hati Jeremy seperti ini" Beth
bertanya pada dirinya sendiri. Kenapa aku harus menjadi satu-satunya
teman Jeremy" Mobil itu tergelincir di luar kendali. Jeremy memutar setir
mobilnya, bersusah payah untuk tidak tergelincir ke luar jalan.
"Pelan, Jeremy. Ayolah!"
Mereka meluncur di jalan raya dua jalur. Beth biasanya suka
ngebut di kegelapan. Saat itu merasakan kebebasan yang luar biasa,
Tapi tidak malam ini. Tidak di jalanan yang dilapisi es. Tidak
dengan Jeremy yang mengemudikan mobilnya dengan ugal-ugalan.
Jeremy mengarungi tumpukan salju yang tertimbun karena
tiupan angin, menimbulkan gelombang salju putih beterbangan ke
segala penjuru. Jalan raya itu berkilauan seperti perak di bawah cahaya lampu
depan mobil - lapisan es yang tebal.
Kami bukan naik mobil. Kami terbang, pikir Beth, merasa
kepanikan mencekik lehernya. Kami terbang di luar kendali.
"Jeremy, jalan ini terlalu licin!" pekiknya. "Aku mohon
padamu - pelan dong!"
"Hei," bentak Jeremy. "Ini Tahun Baru. Kenapa aku tidak boleh
bersenang-senang sedikit?"
Kaca depan berembun. Beth hampir tidak bisa melihat ke luar.
"Nyalakan pencair esmu," desak Beth.
Jeremy mengangkat bau. "Jeremy! Nyalakan! Kau tidak bisa melihat!"
"Rusak." "Kenapa tidak kaubetulkan?"
"Karena aku tidak mau. Itulah sebabnya. Tinggalkan aku
sendirian, Beth. Aku kan tidak memintamu ikut."
Beth menghapus kaca depan dengan lengan bajunya. Tapi
hasilnya embun itu hanya tercoreng sedikit.
"Oh, tolonglah," pinta Beth. "Kita hampir tidak bisa melihat
jalanan." Jeremy menginjak pedal gas lebih kuat. Ford tua itu meraung di
atas es. Aku benci bila ia seperti ini, pikir Beth. Ia memandang lewat
kaca depan yang berembun.
Dan melihat samar-samar sesosok tubuh.
Cowok" Seorang cowok di tengah jalan"
Beth menjerit. Terlambat. Jeremy membanting setir mobilnya.
Sesuatu terpental di atas kap mobil dengan bunyi gedebuk yang
keras. Sebuah wajah muncul lewat kaca depan yang berembun. Wajah
seorang cowok, mulutnya ternganga ketika ia menjerit terkejut.
Tubuh cowok itu jatuh ke tanah.
Mobil itu menabraknya dengan keras dan menggilas tubuhnya.
Chapter 4 TEWAS JEREMY menginjak rem. Mobil zig-zag tak terkendali.
Kemudian berhenti melintang di jalanan.
Beth menatap kaca depan mobil. Lampu depan tidak
menampakkan apa-apa, hanya tumpukan salju dan batang pohon
hitam yang tidak rata. "Itu tadi orang," Jeremy mengeluh. "Aku menabraknya. Kita
harus kembali." "Jangan!" jerit Beth, suaranya penuh kepanikan. "Pergi dari sini
sekarang. Sebelum kita ditangkap!"
"Beth, kita harus menolongnya. Kita tak bisa meninggalkan dia
di sana begitu saja!"
"Itu bukan orang, Jeremy," Beth berkeras. Ia mengulangi katakata itu terus-
menerus di dalam benaknya. Bukan orang. Bukan orang.
Bukan orang. "Aku melihat wajahnya."
"Tidak, kita menabrak raccoon atau sesuatu." Beth
menyibakkan rambutnya ke belakang kepalanya.
"Kita harus berputar dan kembali. Mungkin anak itu selamat.
Dan jika ia terluka, kita harus membawanya untuk mencari
pertolongan. Kita harus ke sana, Beth."
"Jangan!" teriak Beth. "SIM-mu akan dicabut - mungkin untuk
selamanya!" Kening Jeremy berkerut. "Selamanya?"
"Dan bagaimana jika - bagaimana jika - anak itu meninggal?"
Beth tergagap. "Mereka akan menuduhmu melakukan pembunuhan,
Jeremy." Beth ngeri.
"Tapi... itu kecelakaan," protes Jeremy.
"Kau mengendarai mobil ugal-ugalan, ngebut. Itu salahmu,"
Beth berkeras. "Tunggu - apa itu?"
Beth juga mendengar suara itu.
Sirene. Di kejauhan. Suaranya menjadi lebih keras.
"Polisi!" seru Beth. "Kita harus pergi dari sini! Jika itu tadi
orang, mereka akan menolong dia. Sekarang, cabut!"
Sejenak Jeremy ragu-ragu. Kemudian ia menginjak pedal gas.
Roda mobil berdecit-decit di atas es. Dan mereka kabur.
Kali ini Beth tidak menyuruh Jeremy memperlambat
kecepatannya. Ia memperhatikan tumpukan salju yang dilewati
tampak kabur, jantungnya berdetak keras.
Ia merasa melihat cahaya merah mobil polisi di belakang
mereka. Tetapi ketika ia mengintip lewat jendela belakang, jalanan
tetap kosong. Kami selamat, pikirnya. Kami akan berhasil. Kami akan kabur.
"Aku tidak bisa melihat," Jeremy mengeluh. "Sekarang kaca
depan semuanya berembun."
"Aku butuh sesuatu untuk menyekanya," jawab Beth.
"Ada lap di bawah jok." Jeremy membungkuk di atas kemudi,
susah payah untuk melihat jalanan di depan mereka.
Beth meraba-raba untuk mencari lap. Ia menarik selembar peta
kusut, sebuah botol minuman ringan, obeng, pembungkus Burger
Basket. "Ini dia!" teriak Beth.
Beth langsung menghapus kaca depan. Tetapi setiap kali ia
membersihkan sebuah noda, embun segera menutupinya lagi.
Ia masih menghapus kaca ketika mobil itu selip di luar kendali.
Ia melihat wajah Jeremy yang panik ketika berjuang matimatian mengendalikan
kemudi, membanting setir kuat-kuat, ke kanan,
kemudian ke kiri. Berusaha agar tidak selip.
Semuanya tampak berlangsung dalam gerakan lambat.
Lampu besar mobil menyapu jalan raya yang berlapis es.
Kemudian, ketika mobil itu berpusing, berputar lebih kencang, lebih
kencang, tumpukan salju yang tinggi berputar dalam
pandangan.Kemudian jalan raya berlapis es lagi.
Beth menjerit dengan suara melengking ketika mobil itu
menabrak tumpukan salju dengan keras.
"Uh." Jeritannya berhenti mendadak ketika Beth terlempar ke
depan dan kepalanya retak menghantam dasbor.
Kegelapan memenuhi mobil itu ketika tumpukan salju yang
tebal menutupi kaca depan.
Beth merasakan darah hangat menetes turun dari kepalanya. Ia
mengejap-ngejapkan matanya, berjuang untuk bisa melihat dalam
kesakitan yang amat sangat.
Kesakitan... Ia merasakan guncangan lain ketika mobil menerobos salju.
Mobil itu terjun. Terjun ke jurang di samping jalan.
Ia bisa merasakan mobil itu jatuh, tetapi ia tak bisa bergerak.
Ia merasakan cairan hangat mengalir turun dari wajahnya.
Merasakan gelombang rasa sakit melandanya berkali-kali.
Mobil itu terpelanting keras. Berguling. Terbalik dan berguling
lagi. Turun, turun. "Jeremy!" Beth tercekik. "Kau membunuh kita. Kau membunuh
kita berdua." BAGIAN KEDUA TAHUN INI Chapter 5 TUBUH DI DALAM LEMARI "BRRR!" Reenie Baker menggigil ketika menutup pintu
belakang rumahnya. Saat itu baru bulan November, tetapi udara sudah
terasa sedingin bulan Januari.
"Reenie, kaukah itu?" Mrs. Baker berseru dari ruang tamu.
"Yeah, Mom, ini aku," jawab Reenie. Ia menggantungkan
mantel musim dinginnya yang tebal di atas pasak kayu yang dipernis.
"Greta dan yang lain sudah di sini. Mereka di kamarmu."
"Oke, trims." Reenie buru-buru berjalan di koridor dan menuju kamarnya.
"Sori aku terlambat!" serunya.
Sahabat baiknya, Greta Sorenson, melemparkan majalah Vogue
yang sedang dibacanya ke meja kecil Reenie. "Jangan khawatir, kami
menyisakan beberapa soal untukmu," godanya.
"Yeah," pacar Greta, Artie Hodges, menambahkan. "Kira-kira
sembilan puluh sembilan soal."
Mereka punya tugas kelompok yang harus diserahkan dalam
waktu seminggu - seratus soal trigonometri yang sulit. Reenie tidak
tahu bagaimana mereka bisa menyelesaikannya tepat waktu.
"Tidak. Hanya sembilan puluh delapan," Ty Lanford
memberitahu Reenie. Ia meluruskan tangannya di atas kepalanya,
sambil menyeimbangkan kursi Reenie di kaki belakangnya.... "Aku
menyelesaikan satu soal sementara mereka berdua berantem tentang
sepatu karet Artie. Kata Artie nyaman. Greta bilang kotor."'
"Berantem, hah?" Reenie memandang Greta dan Artie sekilas.
Mereka duduk di tepi ranjangnya - Greta hampir duduk di pangkuan
Artie. "Sekarang kami sudah baikan," Artie menjelaskan, sambil
melingkarkan salah satu lengannya di pinggang Greta.
Reenie berusaha untuk tidak tertawa. Mereka tampak seperti
pasangan yang konyol. Artie mengenakan baju kotak-kotak, jins
robek, rambut model buzz, anting-anting di salah satu telinganya.
Greta memakai rok lurus dan jaket berikat pinggang, setiap helai
rambut pirangnya ditata dengan teliti, make-up-nya sempurna.
Reenie hampir tidak bisa mempercayainya, tetapi Greta dan
Artie sudah berpacaran sejak kelas sembilan. Jauh lebih lama
dibandingkan ia dan Sean.
"Di mana Sean?" tanya Reenie. "Ia tidak pernah terlambat."
"Tidak bisa mulai tanpa dia," Greta mengulangi. "Ia satusatunya orang yang
mengerti mata pelajaran ini."
"Kukira aku melihat Sean dengan Sandi Burke sepulang
sekolah," Artie bercanda.
Greta memukul kaki Artie main-main. "Jangan percaya dia,
Reenie. Ia mengada-ada."
Reenie memaksa untuk tersenyum. Ia tahu Artie bercanda.
Tetapi Sandi Burke bisa membuat semua cewek merasa cemburu.
Semua cowok di Shadyside High melotot jika melihat Sandi.
Reenie tahu ia cukup cantik - tinggi dan ramping dengan
rambut cokelatnya yang panjang. Tetapi ia juga tahu bahwa ia bukan
Sandi Burke. Sandi bisa menjadi gadis sampul salah satu majalah
mode Greta. "Aku serius. Sandi bersama dia," Artie menekankan. "Sekarang
kesempatanmu untuk memacari Reenie, Ty. Lakukanlah."
"Ooooo!" seru Greta. "Kau mengerikan. Sungguh mengerikan."
Artie selalu bercanda terlampau jauh, pikir Reenie. Ia
memandang Ty sekilas. Ty tersenyum padanya, tetapi ia tampak malumalu.
Aku bertaruh Ty tidak tahu bahwa setengah dari cewek-cewek
di sekolah ingin sekali berkencan dengan dia, pikir Reenie. Kuharap
Ty bisa mendengar mereka bicara tentang betapa imutnya dia. Ty
pindah ke Shadyside bulan September yang lalu, dan ia masih belum
mengajak seorang pun berkencan.
"Terus," Artie mendesak Ty. "Pacar Reenie - "
"Ty, Sean tidak bekerja di Burger Basket hari ini, ya kan?"
tanya Reenie. Ty mengangguk. "Sean libur sampai Sabtu depan. Kami berdua
sama." Lantas kenapa Sean terlambat" Reenie bertanya dalam hati.
Ty membiarkan kursinya jatuh ke lantai dengan suara keras. Ia
berpaling ke buku trigonometri yang terbuka di meja Reenie. Dahinya


Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkerut. "Akhirnya aku bisa mengerti derajat sudut," ia bergumam.
"Tapi sekarang aku harus melupakan derajat dan mulai menggunakan
radian." "Berkomplot," kata Artie. "Semua guru mengadakan rapat
rahasia. Mereka mencari cara baru untuk membuat kita menderita."
"Trigonometri adalah mata pelajaran pilihan," Ty mengulangi.
"Tak seorang pun memaksa kita mengambil mata pelajaran itu. Kukira
kita tidak boleh mengeluh."
"Sebenarnya belajar mata pelajaran ini agak konyol, kalau
kupikir-pikir," ujar Artie. "Berapa banyak orang di dunia nyata ini
yang mencemaskan tentang radian, sinus, kosinus, dan hal-hal seperti
itu?" "Insinyur dong," Greta menembak balik. Nadanya kedengaran
jengkel. "Mungkin aku tak ingin jadi insinyur."
"Betul," gumam Greta. Ia melepaskan diri dari Artie. "Kau
ingin bikin burger terus seumur hidup."
Greta serius, pikir Reenie. Ia bukan sekadar bercanda.
Artie berdiri dan berjalan ke seberang kamar. Reenie melihat
otot-otot di rahang Artie menegang.
Hebat. Sekarang mereka akan mulai bertengkar lagi, pikirnya.
Reenie mencoba untuk mengingat apakah Artie dan Greta selalu
bertengkar sesering ini. Ia pikir tidak.
Artie merosot ke lantai di seberang kamar. Ia menatap karpet di
depannya. Reenie mengecek arlojinya. Mereka harus mulai - dengan atau
tanpa Sean - jika mereka ingin setumpuk tugas mereka selesai.
Bahkan trigonometri akan lebih menyenangkan daripada duduk di
dalam kamar dengan Greta dan Artie yang saling berdiam diri.
Reenie merasa kepanasan. Ia memakai sweter tebal di atas baju
berleher tinggi. Ia membuka sweter itu dan akan melemparkannya ke
dalam lemarinya. Kemudian ia mendengar suara ibunya di kepalanya.
Bukan seperti itu cara merawat barang-barangmu, Reenie.
Gantungkan pakaianmu sebagaimana mestinya. Kalau tidak,
pakaianmu akan cepat rusak.
Oke, Mom, pikir Reenie, kemudian ia membuka pintu
lemarinya dan meraih gantungan baju.
Ia langsung menarik kembali tangannya. Karena sepasang mata
menatapnya dari balik pakaiannya.
Mata yang melotot. Mata yang kosong. Sebuah wajah, bergerak
ke depan. Di belakangnya Greta menjerit. Artie berteriak ketakutan.
Reenie melompat ke belakang, mengangkat tangannya untuk
melindungi dirinya sendiri. Tidak perlu.
Ia menatap mayat. Tubuh itu jatuh tertelungkup di lantai. Seorang cowok, Reenie
melihat. Ia menatap bagian atas kepalanya. Darah yang kental, hitam,
dan lengket, keluar dari sela-sela rambutnya.
Rambut yang tidak asing. Reenie membungkuk untuk melihat lebih dekat. Kepala itu
menengok ke samping, menampakkan wajahnya.
Wajah Sean. "Oh, tidak!" Greta meraung. "Tidaaaakk!"
"Ia mati!" Ty terkejut. "Sean mati!"
"Bagus," "ujar Reenie.
Chapter 6 MENDOBRAK "Aku tidak termakan gurauanmu yang konyol ini," kata Reenie.
"Tidak sama sekali."
Semua orang tertawa kecuali Sean, yang berbaring tidak
bergerak di lantai. Reenie menyepak Sean dengan jari-jari kakinya. "Kau bisa
berdiri sekarang, Sean. Kau sudah memperoleh tawamu untuk hari
ini." "Ayo, akuilah," Artie memaksa. "Kami berhasil menipumu tadi.
Kami semua melihat kau terlonjak."
"Well, yeah. Kau juga akan terlonjak seandainya ada orang
keluar dari dalam lemarimu!" Reenie menjelaskan. "Aku cuma butuh
dua detik untuk mengetahui bahwa itu lelucon konyolmu yang biasa."
Sean pelan-pelan bangkit, menyeringai. "Kukira aku melakukan
gerakan jatuh yang bagus sekali."
Reenie menghela napas. "Aku sudah terlalu sering melihatnya.
Kalian perlu korban baru untuk leluconmu yang konyol itu."
"Lelucon tadi sukses besar waktu kami lakukan pada Deena
Martinson," kata Artie kepada Reenie. "Barangkali ia sekarang masih
menjerit." "Deena tidak melihatnya beratus-ratus kali sebelumnya," jawab
Reenie, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mungkin lelucon itu tidak berhasil saat ini," ujar Greta, "tapi
kami pernah sukses mengelabumu."
"Seperti di Burger Basket," Ty mengingatkan.
"Yeah," Artie setuju, "kami berhasil mengerjai kalian di Burger
Basket." Reenie harus mengakuinya. Mereka memang mengerjai dia saat
itu. Ia mampir di restoran untuk menemui Sean sepulang kerja.
Waktu ia membuka pintu, perampok bertopeng menangkapnya dan
mengatakan kepadanya bahwa ia disandera. Reenie masih ingat rasa
sarung tangan karet di mulut dan hidungnya.
Greta tertawa. "Kau menjerit saat itu!"
"Terutama ketika perampok itu membunuhku," Ty
menambahkan. Ia tampak agak malu pada dirinya sendiri. Seakanakan ia menikmati
olok-olok itu, tetapi menyadari bahwa sebenarnya
itu perbuatan kekanak-kanakan.
"Hei - jangan lupa waktu aku mengerjaimu, Greta," kata
Reenie. "Di rumah Artie. Ingat" Aku bersembunyi di bathtub hampir
sejam. Airnya sudah amat dingin ketika akhirnya kau masuk dan
mendapati aku mengambang dengan tubuh tertelungkup."
Sean menyentuh noda merah yang lengket di kepalanya. "Hih!"
ia mengerang, sambil menatap jari-jari tangannya.
"Apa itu?" tanya Reenie. Untuk darah, mereka selama ini
menggunakan adonan ciptaan Artie, yaitu campuran sirup jagung,
pewarna makanan warna merah, kadang-kadang ditambah sedikit
tepung agar campuran itu bisa menggumpal. Yang ini tampak
berbeda. "Darah untuk teater," jawab Sean. "Aku membelinya di Jack's
Jokes. Di kemasannya diberitahu bahwa bahan ini bisa dibersihkan
dengan air. Kuharap itu benar. Boleh kupakai kamar mandimu?"
"Awas kalau kotor, ibuku akan membunuhmu," Reenie
memperingatkan ketika Sean berjalan menuju pintu.
"Aku tak percaya Sean membeli darah untuk teater," kata Greta.
Ia menoleh kepada Artie. "Kupikir ia harus menabung semua uangnya
untuk masuk universitas tahun depan."
Kurasa pertengkaran belum berakhir, pikir Reenie. Jika Artie
memutuskan untuk tidak melanjutkan ke universitas setelah lulus,
taruhan deh, ia dan Greta akan putus.
Sean kembali dari kamar mandi, rambutnya yang basah disisir
licin ke belakang. Ibu Reenie selalu bercanda bahwa foto berwarna
Sean identik dengan foto hitam putih. Tetapi Reenie tidak setuju. Film
hitam putih akan merekam rambut Sean yang hitam dan kulitnya yang
pucat. Tetapi tidak akan memperlihatkan matanya yang biru.
"Lebih baik kita mulai. Kita tidak ingin berada di sini sepanjang
malam," desak Greta. Sean meraih buku-bukunya dari bawah ranjang.
Ia memikirkan segalanya, Reenie menyadari.
Aku barangkali tidak akan melihat buku-bukunya di antara
barang-barang rombeng milik semua orang yang tercecer di manamana. Tetapi ia toh
menyembunyikannya juga. Sambil mengawasi Sean, Reenie membayangkan darah merah
yang mengusutkan rambutnya tadi. Matanya yang melotot. Walaupun
langsung tahu bahwa Sean tidak terluka, ia tidak bisa mengusir
bayangan itu dari benaknya.
Mungkin seharusnya kami berhenti memainkan permainan ini,
pikir Reenie. Mungkin seharusnya kami menghentikannya sekarang
juga - malam ini - sebelum seseorang bertindak terlalu jauh.
********************************
"Kita hanya menyelesaikan tujuh soal tadi malam," keluh
Reenie. "Bisakah kalian bayangkan berapa lama kita harus
mengerjakan seratus soal itu?"
Pintu-pintu locker dibuka dan dibanting menutup ketika anakanak menjejalkan
mantel mereka ke dalamnya, dan mengambil bukubuku serta catatan-catatan yang
mereka butuhkan untuk mengikuti
pelajaran. Tak seorang pun terburu-buru. Masih lima belas menit lagi
sebelum pelajaran pertama dirnulai.
"Artie sangat membantu!" keluh Greta, sambil memutar bola
matanya. "Ia bahkan tidak memperhatikan."
Reenie mengangguk. Ia sama sekali tidak tahu harus
mengatakan apa. Artie tidak menyumbang banyak dalam tugas
kelompok itu. Dan setiap kali Artie membuka mulutnya, Greta
menyerang dia. Mengomeli Artie karena prestasinya yang menurun.
Memperingatkan Artie bahwa ia tidak akan pernah mendapat beasiswa
jika nilai-nilainya turun lebih rendah lagi. Selalu mengomelinya
terang-terangan. Greta berhenti di sebelah keran air minum. Ia mengeluarkan
cermin dan memeriksa lipstiknya. Menurut Reenie, lipstiknya sudah
sempurna. Tapi toh Greta memulasnya lagi.
"Kami bertengkar lagi setelah pulang dari rumahmu," Greta
menambahkan. "Aku tahu aku terlalu menekan Artie. Tapi ia itu
kacau. Ia menghabiskan waktunya untuk bergaul dengan Marc
Bentley." "Bukankah Marc sudah keluar dari sekolah?" tanya Reenie. Ia
bertemu Marc di beberapa pesta dan di sekitar Shadyside High. Marc
sulit untuk tidak terlihat, tubuhnya berotot dan rambutnya diikat
seperti ekor kuda. Tapi Reenie tidak terlalu mengenal dia.
"Yeah. Dan si brengsek itu juga sedang berusaha meyakinkan
Artie untuk keluar dari sekolah."
Greta memasukkan kembali lipstik dan cerminnya ke dalam
dompetnya. Mereka berjalan menuju locker mereka.
"Aku tak tahu apa yang direncanakan Artie," Greta
melanjutkan. "Ia berubah banyak akhir-akhir ini. Kadang-kadang aku
benar-benar merasa dekat dengannya dan kami mengobrol. Atau kami
pergi ke Red Heat, berdansa dan bersenang-senang seperti biasanya."
Greta ragu-ragu. "Tapi ketika ia menyebut nama Marc, atau aku
menyinggung soal universitas - kami akan bertengkar lagi. Ia
tampaknya tidak peduli lagi dengan segala sesuatu yang biasanya ia
pedulikan." Reenie bertanya dalam hati apakah itu termasuk Greta.
Mereka melewati kantor sekolah. Reenie melihat kepala
sekolah, Mr. Hernandez, sedang bicara dengan seorang wanita yang
memakai mantel cokelat. Melewati gang, seseorang membanting pintu
locker keras-keras. "Apa"yang akan dilakukan Artie jika ia berhenti sekolah?"
tanya Reenie. "Marc bekerja di pabrik mobil di Waynesbridge. Katanya ia
bisa memasukkan Artie bekerja di sana juga."
"Wow. Hebat sekali!" jawab Reenie dengan tajam.
"Itulah yang kukatakan kepada Artie. Tapi ia tidak mau
mendengarkan kata-kataku. Katanya Marc punya banyak uang dan ia
tidak perlu menyia-nyiakan empat tahun di universitas untuk meraih
uang itu. Keluarga Artie butuh uang karena Davy."
Davy adalah adik laki-laki Artie. Ia menderita gangguan ginjal.
Keluarga Artie harus mengeluarkan biaya pengobatan yang besar,
Reenie tahu itu. Greta menghela napas. "Marc itu benar-benar pengaruh buruk
bagi Artie. Aku harap..."
Reenie terkejut dan memegang lengan Greta. "Greta - lihat!
Cewek itu! Ia membuka locker-ku!"
Chapter 7 CEWEK BARU SIAPA dia" Reenie bertanya dalam hati. Aku tak pernah
melihat dia sebelumnya. Ia berlari di koridor dan Greta mengikutinya.
Cewek itu sedang memutar-mutar kunci kombinasi locker
Reenie, menariknya, kemudian menyentakkannya.
"Apa yang kaulakukan?" tanya Reenie tanpa bernapas ketika ia
bergegas mendatangi cewek itu. "Itu locker-ku!"
"Apa?" Cewek itu mendongak, kebingungan.
"Ini locker-ku," Reenie mengulangi. Greta berdiri di
sampingnya. Mereka berdua menatap cewek itu. Rambutnya yang
pirang tergerai melewati bahunya, dan ada bintik-bintik samar di pipi
dan hidungnya. "Oh," jawab cewek itu, malu. "Pantas locker ini tidak bisa
dibuka!" Ia tersenyum malu-malu. "Maaf. Sungguh.Aku anak baru. Ini
hari pertamaku di sini. Kupikir ini locker yang mereka berikan
kepadaku di kantor."
"Nomor berapa yang mereka berikan?" tanya Reenie.
Pendatang baru itu menarik kertas kecil dari dompetnya. "Uh,
delapan puluh sembilan." "Itu nomor locker-ku," kata Reenie.
Cewek itu menyerahkan kertas kecil itu kepada Reenie.
"Sekretaris itu menuliskan ini."
Reenie dan Greta mempelajari kertas segi empat kecil itu. "Ini
bukan delapan puluh sembilan!" seru Greta. "Ini B-sembilan."
"Kau benar," Reenie sependapat. "Locker B di sekitar pojokan
itu." Wajah cewek itu menjadi merah. "Ini benar-benar memalukan."
"Hei - tak apa-apa," kata Reenie. "Kau hanya keliru
membacanya. Bukan masalah besar. Sori aku berteriak padamu seperti
itu." "Aku membuat lebih banyak kesalahan yang memalukan," kata
Greta kepadanya. "Kau tahu tidak, aku pernah masuk ke ruang ganti
pakaian untuk cowok!"
Mereka semua tertawa. "Namaku Reenie, dan ini Greta."
"Aku Liz." Mereka tersenyum dan saling mengangguk. Kemudian mereka
berdiri kikuk, memikirkan apa yang akan dikatakan selanjutnya.
Reenie melihat seorang cowok berdiri di seberang koridor,
sedang mengawasi mereka tetapi tidak berkata apa-apa. Ia sadar
cowok itu ada di sana sejak tadi.
"Itu adikku, PJ.," Liz menjelaskan.
P.J. melangkah mendekati yang lainnya. Ia sepucat Sean, pikir
Reenie. Dan kira-kira sama tingginya. Tetapi ia begitu kurus - dan
lemah. "Hei," P.J. menggumam, sambil menunduk.
Wow, pikir Reenie, cowok ini benar-benar pemalu.
Ia punya bintik-bintik seperti kakaknya, tetapi rambutnya tidak
pirang. Rambutnya cokelat biasa. Ketika akhirnya ia menatap sekilas
kepadanya, Reenie melihat bahwa bola matanya berwarna hijau lumut
tua. Matanya bagus, pikir Reenie. Sayang jika ia menghabiskan


Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktunya hanya untuk menatap tanah.
"Di mana kelasmu?" tanya Greta kepada P.J.
P.J. menarik jadwal pelajaran yang dilipat dari saku jinsnya.
"Bahasa Inggris dengan Mr. Meade."
"Ingin kutunjukkan di mana letak kelasmu?" Greta
menawarkan, sambil tersenyum hangat. "Aku ikut pelajaran Mr.
Meade tahun lalu. Ia hebat jika kau tidak malas membaca."
"Triims," gumam P.J.
"Hampir semua waktunya dihabiskan untuk membaca," goda
Liz. "Aku juga," jawab Greta.
"Kalau kau anggap majalah glamour dan Vogue sebagai bacaan
juga !" seru Reenie.
Mereka tertawa lagi - kecuali P.J.
Reenie melirik arlojinya. "Oh, wow. Hampir waktunya
pelajaran pertama. Lebih baik aku mengambil buku-bukuku. Liz, aku
akan menunjukkan di mana locker-mu, jika kau tak keberatan
menunggu sebentar." "Oke," jawab Liz. "Aku senang dibantu. Aku masih belum
mengenal tempat ini."
Reenie memutar kombinasinya terlalu cepat dan harus
mengulanginya lagi. Lima. Sembilan. Dua. Kunci terbuka dengan
bunyi klik. Ia membuka pintunya.
Macet. Ia menarik lebih keras. Masih macet. Kenapa ya" pikirnya.
Dan kemudian pintu terbuka.
Pintu itu terbentang, hampir mendorong Reenie ke dinding.
Liz berteriak dan meloncat ke belakang. Reenie menjerit.
Chapter 8 KELUAR CEPAT SEBUAH tangan terjulur ke luar locker. Kemudian tangan
satunya. Tangan-tangan itu terjulur ke leher Reenie.
Reenie menggelengkan kepalanya. "Kurang ajar. Kapan sih
kalian berhenti?" Ty tidak bisa bergerak di dalam locker-nya - punggungnya
menekan salah satu sisi, lututnya ditekuk di atas lutut satunya. Reenie
tidak percaya Ty bisa masuk ke tempat sekecil itu.
"Kenapa kau lama sekali?" tanya Ty, terengah-engah. Ia keluar
dari locker Reenie. "Aku sekarat di sana."
"Kau tahu, Ty, aku sungguh-sungguh muak dengan gurauan
yang konyol seperti ini. Bagaimana jika kau terjepit?" kata Reenie
kesal. "Bagaimana jika kau mati lemas sebelum aku membuka pintu
itu?" "Udara bisa masuk melalui celah-celah kecil itu," Ty
menjelaskan. "Aku benar-benar membuatmu takut barusan, ya kan"
Aku harus mencobanya karena tipuan Sean tidak berhasil di rumahmu.
Kau ketakutan. Ayolah, akui itu."
Reenie tidak bisa menahan senyumnya. Ty tampak begitu
gembira. "Aku terkejut, bukan takut," katanya. "Sama seperti waktu
itu. Ketakutan adalah ketika kau berjalan sendirian di malam hari, dan
kau mendengar langkah-langkah kaki di belakangmu."
"Ketakutan adalah ketika kau berada di ruangan sendirian, dan
kau merasakan jari-jari yang dingin di tengkukmu," Greta
menambahkan. "Yeah," Reenie setuju. "Itu menakutkan. Ketika sesuatu
membuatmu terkejut, kau hanya terkejut. Ketakutan lebih serius lagi."
"Dan terasa lebih lama," Greta menambahkan.
Ty mengangkat tangannya, menyerah. "Oke, oke. Aku
menyerah. Kau hanya terkejut."
"Bagaimana kau bisa masuk ke sana?" Greta ingin tahu.
Tetapi Ty tidak menjawab. Matanya terpaku pada sesuatu di
koridor. Tidak, Reenie menyadari. Bukan sesuatu di koridor. Liz. Kami
semua melupakan dia. Liz berdiri tenang di samping bersama saudara laki-lakinya. Ty
tampaknya tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Liz.
"Ini Ty. Ia tidak benar-benar gila. Kelakuannya normal-normal
saja sampai ia bergabung bersama kami," Reenie menjelaskan.
"Kemudian ia kecanduan tipuan konyol kami. Kami selalu berpurapura mati.
Berusaha untuk menakut-nakuti orang sampai mati. Gila,
kan?" "Benar-benar gila," jawab Liz. Ia berpaling kepada Ty.
"Aku Liz, dan ini adikku, P.J. Kami anak baru di Shadyside."
P.J. menatap ke bawah dan tidak mengucapkan apa-apa.
"Aku juga baru," kata Ty. "Aku mulai masuk di Shadyside
musim gugur ini." "Bagaimana pendapatmu?" tanya Liz.
"Oke. Aku langsung kenalan dengan mereka." Ia menunjuk
Reenie dan Greta. "Kami sering pergi bersama. Kami menikmati saatsaat yang
sangat menggembirakan."
"Agak aneh rasanya hari pertama di sekolah yang baru," Liz
mengakui. "Kita jadi kacau. Aku bahkan mencoba membuka locker
Reenie dengan tidak sengaja."
Ty tetap memandang Liz. Ia tampaknya telah melupakan yang
lainnya. Kukira semua gadis yang berharap akhirnya Ty memperhatikan
mereka akan kecewa, pikir Reenie. Sekali saja ia melirik Liz, dan Ty
langsung tertarik. "Jika kau ingin, aku dapat mengantarkanmu berkeliling," Ty
menawarkan. "Oke," jawab Liz. "Kau bisa menunjukkan kepadaku di mana
locker-ku, jadi tidak harus merepotkan Reenie."
"Nomornya berapa?" tanya Ty. "B-sembilan."
"Lewat sini." Liz dan Ty tergesa-gesa berjalan di koridor,
kepala mereka saling ber dekatan.
"Ayolah," kata Greta kepada P.J. "Aku akan menunjukkan di
mana kelasmu." P.J. tampaknya tidak mendengar kata-kata Greta. Ia menatap
punggung kakaknya dan Ty, matanya yang hijau terbelalak dan tidak
berkedip. Mulutnya ternganga. Napasnya tiba-tiba menjadi cepat dan
terengah-engah. "P.J., kau tidak apa-apa?" tanya Reenie.
P.J. berkedip dan mengatupkan mulutnya. Kemudian ia
mengejar Reenie dan menyusuri koridor di belakang kakaknya.
Reenie melompat mundur, memberi dia jalan, buku-bukunya
terjatuh. Tubuhnya membentur locker-locker itu.
"Reenie, kau tidak apa-apa?" teriak Greta.
"Tidak apa-apa," jawabnya, sambil menatap P.J. P.J. menyelipnyelip di koridor
yang ramai, mendorong orang-orang yang
menghalangi jalannya. "Hei!" seseorang berteriak. "Lihat-lihat dong kalau jalan!"
Greta membantu Reenie mengumpulkan buku-bukunya.
"Ada apa sih?" tanya Greta.
Dalam hati. Reenie menanyakan pertanyaan yang sama.
Chapter 9 JALUR CEPAT "KAU lihat siapa yang berSama Corky Corcoran?" seru Reenie.
"Ricky Shore!" Greta mencondongkan tubuhnya di bahu Reenie dan
memandang lewat kaca depan mobil. "Mana?"
Reenie menunjuk meja di Burger Basket. "Mereka duduk dekat
jendela." "Menurutku mereka pasangan yang imut," komentar Greta. Ia
menjulurkan tangannya ke jok belakang dan meraup segenggam
kentang goreng dari Sean.
"Mana mungkin Ricky Shore bisa dianggap imut?" ejek Reenie.
"Kadang-kadang kupikir ada yang benar-benar tidak beres pada
dirimu, Greta." "Aku tahu ada yang tidak beres beneran pada diri kalian
berdua," Sean bergurau. "Tidakkah kau bisa memikirkan sesuatu yang
lebih asyik untuk dilakukan" Bahkan tugas trigonometri kita lebih
menyenankan daripada hal ini."
Reenie membelalakkan matanya kepada Greta. Sean tidak
pernah bisa mengerti mengapa mereka suka nongkrong dengan mobil
Sean di tempat parkir Burger Basket, mendengarkan radio, dan
mengawasi orang-orang yang keluar-masuk.
Reenie memasukkan sepotong kentang goreng ke mulut Sean.
"Kau tahu berapa banyak lemak dalam makanan ini?" tanya
Greta. Ia meraup kentang goreng lagi.
Reenie tersenyum. Greta selalu menolak membeli kentang
goreng karena makanan itu mengandung lemak. Tapi kemudian ia
makan separo kentang mereka.
"Tidak," jawab Sean. "Berapa banyak?"
"Terlalu banyak," jawab Greta.
"Itu yang membuat rasanya lezat sekali," ujar Sean. "Tanpa
lemak, kentang ini rasanya akan seperti kertas."
Reenie melihat seorang cewek berambut cokelat kemerahan
tergesa-gesa keluar dari restoran. "Apakah itu Liz?" tanya Reenie.
Gadis itu membelok dan melintasi tempat parkir. "Bukan," kata
Reenie, menjawab pertanyaannya sendiri. "Hanya orang dengan warna
rambut yang sama." "Aku suka Liz," Greta mengomentari.
"Aku juga," Reenie setuju. "Ia menyenangkan. Kami pergi ke
mal akhir minggu yang lalu. Mereka memajang gaungaun model
Scarlett O'Hara di jendela Butik Baju Pengantin. Dengan rok
mengembang, payung matahari, dan segalanya. Liz berkeras agar
kami mencobanya." "Lalu kenapa aku tidak diajak?" ujar Greta.
"Karena kau dan Artie punya acara," jawab Reenie.
"Liz mengarang cerita kepada pramuniaga bahwa sepupunya di
Georgia akan menikah. Ia bahkan mencatat nomor model gaun itu dan
minta agar warna sepatunya sama dengan warna gaunnya."
"Kau tahu siapa lagi yang menyukai Liz?"' tanya Greta. "Ty.
Kalau Liz ada, ekspresi wajahnya menjadi benar-benar aneh. Seakan
ia hampir meleleh." Sean terkekeh. "Kuperhatikan ia berdiri di luar kelas pelajaran
matematika hari ini dan sikapnya biasa-biasa saja. Tapi ia tetap
memperhatikan pintu. Begitu Liz keluar, Ty menghampirinya seakanakan hanya
kebetulan sedang lewat di sana."
"Kau pikir akhirnya Ty akan mengajak seseorang kencan
setelah berbulan-bulan ini?" tanya Greta.
"Taruhan deh, Ty sedang berusaha mengajak Liz kencan,"
jawab Reenie. "Kupikir mereka akan menjadi pasangan yang hebat," Greta
memberi komentar. "Mereka sempurna untuk satu sama lain."
Reenie menggeleng-gelengkan kepalanya. Greta senang
meramal siapa yang bakal menjadi pasangan dan siapa yang akan
putus. Bagaimana jika Chris dan Natalie pacaran" tanyanya. Atau
Gary dan Randee" "Sulit dipercaya Liz dan P.J. itu bersaudara," Reenie memberi
komentar. "Liz itu sangat asyik. Dan P.J. itu manusia aneh."
"Setuju," sahut Sean.
"Ia tidak seaneh itu," jawab Greta. "Kupikir ia itu manis."
Reenie mencibir. "Yeah, tapi kau pikir Ricky Shore juga
manis." "P.J. selalu bersikap sekan-akan ia sedang sakit," kata Sean.
"Seperti mau pingsan."
"Aku sudah mencoba mengajak dia bicara," kata Reenie kepada
mereka. "Tapi semua jawabannya hanyalah ya atau tidak dengan suara
menggumam pelan. Ia selalu kelihatan ketakutan."
"Ia pemalu," kata Greta. "Apa salahnya" Ia baru di kota ini, di
sekolah yang baru, dan ia tidak kenal orang lain. Aku sudah bicara
dengannya, dan kupikir ia baik. Cerdas juga."
"Apakah Artie tahu ia punya saingan?" goda Sean.
Reenie tahu Sean hanya bercanda. Tetapi Greta menjawab
dengan sungguh-sungguh. "Aku suka P.J., itu saja. Maksudku, aku
tidak... well..." "Wow! Lihat!" goda Sean. "Wajah Greta merah tuh!"
Greta tidak mungkin tertarik pada cowok aneh seperti PJ., pikir
Reenie. Ya, kan" Memang benar bahwa akhir-akhir ini Artie dan
Greta selalu bertengkar. Greta menepuk bahu Reenie dan menunjuk sebuah mobil hijau.
"Lily Bancroft dan Pete Goodwin. Aku tak pernah mengira akan
melihat mereka bersama-sama."
"Coba-coba mengubah pokok pembicaraan?" tanya Sean.
Greta tidak menjawab pertanyaan Sean.
"Di mana P.J. dan Liz tinggal?" tanya Reenie.
Mereka saling berpandangan. Tak ada yang tahu.
"Orangtuanya kerja apa" Kenapa mereka pindah di pertengahan
tahun?" tanya Sean. Tak seorang pun tahu. Klakson berbunyi ketika sebuah mobil merah yang mengilap
berhenti di sebelah mobil mereka. Pengemudinya menderumderumkan mesinnya.
"Mobil yang bagus," Sean mengamati. "Kedengarannya seperti
V-6 yang sudah banyak dimodifikasi. Aku bertaruh mobil itu bisa lari
kencang." "Itu Marc Bentley," kata Greta masam. "Dan Artie."
Artie menurunkan kaca jendela. "Yo! Apa kabar" Suka mobil
baru Marc?" "Bagus," kata Sean. "Pakai mesin apa?"
"V-6 dengan roda ditinggikan, katup besar,dan kepala kompresi
tinggi," Artie menyombong.
"Wow." Sean terdengar kagum.
Marc keluar dari mobil. "Ayo. Kita berkeliling." Ia menyeringai
kepada Reenie. Marc memang tampan, pikir Reenie. Ia mengucir rambutnya
yang cokelat gelap menjadi ekor kuda. Dan ia suka bekas luka samar
yang melintang dari kening sampai alis kirinya. Bekas luka itu
membuat tampangnya agak sangar - dan lebih tua, berbeda dari anakanak SMA lain.
"Aku tidak ikut," kata Greta ketus.
Reenie menggelengkan kepalanya. "Aku harus pulang. Sudah
malam." Sean memandang Reenie dan Greta sekilas, kemudian Marc dan
Artie. "Kau tidak ingin pergi bersama mereka, ya kan?" bisik Reenie.
"Aku tidak keberatan melihat bagaimana kecepatan mobil itu,"
jawab Sean. "Ayolah," Artie memanggil dengan bersemangat. "Kami akan
memperlihatkan kepada kalian apa yang bisa dilakukan mobil ini."
"Hei, tidak lama kok. Kita hanya akan mengelilingi blok ini,"
Marc berjanji. "Yeah, hanya berkeliling blok," Artie mengiyakan. "Kau harus
naik mobil ini paling tidak sekali. Mobil ini sungguh-sungguh
mengagumkan." Reenie dan Greta saling bertukar pandang.
Greta mengangkat bahu dan menggangguk. "Baiklah. Hanya
keliling blok." "Oke," kata Sean kepada mereka. "Ayo pergi."
Reenie tahu bahwa Greta tidak ingin Artie keluyuran dengan


Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Marc. Pasti Greta berpikir Artie tidak akan macam-macam jika ia ikut,
pikir Reenie. "Masuklah," perintah Marc. "Agak berdesak-desakan. Tapi
masih bisa duduk." Mereka duduk berdesak-desakan di jok belakang.
"Kalian siap untuk naik mobil sejati?" tanya Marc. Ia melarikan
mobilnya dari pelataran parkir Burger Basket, mesinnya meraung.
Artie menoleh. "Hebat, kan?"
Marc berhenti di lampu merah. Sebuah Mustang putih berhenti
di sebelahnya. Kaca mobil itu gelap sehingga mereka tidak mungkin
bisa melihat siapa yang ada di dalamnya.
Marc meraung-raungkan mesin mobilnya, menantang Mustang
itu. Pengemudi Mustang itu memberi tanggapan dengan balas
meraung-raungkan mesinnya. Tantangan dijawab.
"Jangan," desak Greta. "Ini..."
Sebelum Greta bisa menyelesaikan kata-katanya, lampu hijau
menyala dan kedua mobil itu melesat maju, roda-rodanys berdecitdecit. Mobil
Marc, langsung mendahului Mustang itu, memperlebar
jarak ketika mobil itu meluncur di jalan.
"Yes!" teriak Artie, sambil mengacung-acungkan kedua
tinjunya ke udara. Ia benar-benar sudah terpengaruh Marc, pikir Reenie. Ia duduk
mepet dengan lengan Sean.
Marc memacu mobilnya melewati lampu lalu lintas berikutnya
ketika lampu itu berubah dari kuning ke merah.
"Stop!" teriak Greta. "Pelan dong, sebelum kau membunuh
kami semua." Sean bersandar ke depan. "Tenang, Marc. Oke?"
Marc memandang para penumpangnya di jok belakang sekilas.
"Kalian penakut deh."
Artie tidak mengucapkan apa-apa.
"Mau bersenang-senang lagi?" tanya Marc.
"Aku ingin kembali," jawab Greta.
Tetapi Marc membelok ke Park Drive, melaju ke selatan,
menjauhi Burger Basket. "Aku ingin memperlihatkan sesuatu kepada kalian," katanya,
matanya melihat lurus ke depan.
"Pelan dong," paksa Sean. "Kau akan ditilang."
Marc melaju melewati bundaran Park Drive. Mereka meluncur
menderu-deru melewati Gereja St. Paul. Reenie melihat tanda jalan.
Jalan Bank. Hawthorne Drive.
Apa yang sedang terjadi" tanyanya dalam hati. Mengapa ia
menuju Fear Street" "Marc, ayo dong. Bawa kami kembali," pinta Reenie.
"Hanya sebentar," Marc menekankan. "Menyenangkan Iho.
Janji deh." Menyenangkan untuk Marc, pikir Reenie. Marc belok ke kanan,
ke Fear Street. Perasaan gelisah dan ketakutan berputar-putar di perut Reenie.
Fear Sreet punya reputasi. Tempat yang harus dihindari. Tempat
kejadian yang aneh-aneh terjadi.
Cabang-cabang pohon terjalin di atas jalanan, seakan-akan
pohon-pohon itu saling menempel.
Aku jadi konyol, kata Reenie kepada dirinya sendiri. Ini kan
hanya jalan. Bukan apa-apa.
Namun sesuatu di dalam hatinya tidak setuju.
"Kau tidak percaya semua cerita konyol tentang Fear Street - ya
kan?" tanya Marc. "Beberapa kejadian buruk terjadi di sini," kata Greta pelan.
"Aku melihat ceritanya di TV"
Mereka terdiam. Bagus, pikir Reenie. Ia tidak ingin mendengar
pembunuhan-pembunuhan aneh dan orang-orang yang hilang.
Marc membelok ke kiri. Tampaknya ia akan menuju ke kanan,
ke Fear Street Woods. "Kau tidak boleh ke sini!" pekik Greta. "Ini hanya jalan lama
untuk sepeda atau semacamnya."
Mobil itu terguncang-guncang di sepanjang jalan tanah yang
tidak rata itu. "Apa yang akan kaulakukan?" desak Sean.
"Nanti kau akan tahu," jawab Marc.
"Yeah, kau akan tahu," Artie mengikuti.
Fear Lake bukan tempat yang ingin mereka kunjungi di malam
hari dengan Marc Bentley. Reenie berjanji pada dirinya sendiri bahwa
ia tidak akan pernah mau ikut Marc lagi. Ke mana pun. Selamanya.
Marc melarikan mobilnya di jalan sempit yang tidak diaspal itu.
Jalan itu mengelilingi danau. Mesin meraung keras ketika mobil itu
mulai mendaki bukit. Reenie menatap hutan lewat jendela.
Pohon-pohon itu kelihatan tidak bernyawa. Batang-batangnya
yang mati mencuat dari salju. Marc menghentikan mobilnya setelah
mereka sampai di puncak bukit.
Reenie tahu tempat ini. Mereka berada di atas danau yang beku.
Tidak jauh dari situ, di bagian kiri terhampar lereng yang curam.
"Ayo," Marc memaksa, keluar dari mobil. "Ayo bersenangsenang."
Artie meloncat ke luar dan membanting pintu mobil. Reenie,
Sean, dan Greta ragu-ragu, kemudian dengan enggan mereka
mengikuti Marc dan Artie.
"Lewat sini." Marc memandu mereka melewati pohon-pohon
yang gundul, salju berderak-derak di bawah kaki mereka. Bulan yang
bulat bersinar cerah. Tanpa kesulitan Reenie bisa melihat ke mana
mereka akan pergi. Marc berhenti. "Ini tempatnya."
Mereka berdiri di tepi lereng yang curam. Di bawah mereka
terhampar danau yang membeku, permukaan tumpukan salju akibat
tiupan angin bersinar keperakan tertimpa cahaya bulan.
"Kalian harus berdiri tepat di pinggir," Marc menjelaskan. Ia
melangkah sampai beberapa inci dari pinggir lereng dan melihat ke
bawah. Melihatnya saja Reenie sudah merasa miris.
"Itu dia," seru Marc.
Tanah yang diselimuti salju itu licin. Reenie tidak punya niat
untuk mendekat ke tepi jurang. Sean dan Greta tetap di belakang, di
sampingnya. "Kalian tidak bisa melihat jika tidak mendekat," Marc
menekankan. "Ayolah, kawan-kawan - tak ada yang harus ditakuti."
Dan kemudian kakinya terpeleset. Lengannya berputar-putar
ketika ia berjuang untuk menyeimbangkan tubuhnya.
Namun tidak ada yang bisa dipegang kecuali udara malam yang
dingin menggigit. Kakinya terpeleset ke dalam jurang.
Artie mencoba menangkapnya.
Terlambat. Marc menjerit dan tubuhnya lenyap dari pandangan.
Chapter 10 ES YANG TIPIS "MARC!" Artie meraung. "Marc! Marc! Marc!" Ia memanggil
namanya berulang-ulang dengan suara yang melengking dan kalut.
Reenie terpaku ketakutan.
Ini tidak terjadi, pikirnya. Marc tidak jatuh ke jurang.
Tetapi yang lain juga menjerit dan berteriak, wajah mereka
berkerut karena terkejut - dan panik.
Ini sungguh-sungguh terjadi, Reenie sadar. Tetapi Marc tak apaapa. Baik. Sehat.
Ia harus baik-baik saja. Gemetar ketakutan, dalam pikirannya melihat Marc terjatuh lagi
dan lagi, mendengar jeritannya yang terngiang-ngiang di telinganya,
Reenie tidak sadar bahwa ia bergerak.
Melangkah maju. Melangkah ke tepian. Untuk melihat ke bawah" Untuk memastikan Marc tidak apaapa"
Reenie tidak menyadari bahwa ia telah berjalan. Sampai ia
merasa tanah yang pecah di bawahnya. Sampai ia melihat batu karang
yang lepas dan jatuh. Sampai ia merasa dirinya sendiri mulai tergelincir.
Ia mendengar teriakan nyaring teman-temannya. Namun suara
mereka terdengar begitu jauh sekarang.
Karena ia sedang terjatuh, tergelincir, dan jatuh bergulingguling ke bawah
lereng bukit yang bersalju.
Ia masih bisa mendengar teriakan mereka ketika tubuhnya
menghantam permukaan Fear Lake yang telah menjadi es. "Ohhh!" Ia
berteriak ketika mendarat dengan punggung duluan dibarengi suara
berdebam keras. Napasnya terhenti. Ia berjuang untuk menghirup udara. Ia
menjulurkan tangannya ke atas ketika tubuhnya tergelincir, tergelincir
di atas es, tergelincir di atas danau yang membeku.
Dengan jantung yang berdetak keras, napasnya tersengalsengal, terengah-engah,
Reenie mendorong tubuhnya. Es terasa kaku
di bawah sepatunya. Matanya menatap ke atas bukit dan dilihatnya Sean dan yang
lainnya berlarian turun, terpeleset, jatuh berguling-guling, memanggilmanggil
namanya. Ia merapatkan kedua telapak tangannya membentuk corong di
depan mulutnya. "Aku baik-baik saja!" teriaknya kembali. Apakah ia
gemetar" Tidak. Es di bawahnya yang bergetar. Terdengar suara
berderak, memecahkan keheningan malam musim dingin.
Es ini tipis, ia baru sadar.
Reenie diam tak bergerak. Jika aku bergerak dengan sangat
pelan dan hati-hati, aku bisa berjalan sedikit demi sedikit.
Ia melangkahkan kaki kirinya ke depan, berjuang untuk
menjaga keseimbangan tubuhnya. Ia mengembuskan napas.
Sejauh ini lancar. Tetap melangkah.
Ia memajukan kaki kanannya ke samping kaki kirinya.
Ia berhenti. Dan mendengar suara Sean yang panik, "Reenie!
Berhenti!" Karena terkejut, ia langsung mendongakkan kepalanya,
kehilangan keseimbangan, dan jatuh di atas es.
Pinggul Reenie menghantam permukaan yang keras. Ia
mengaduh kesakitan. Kemudian ia mendengar bunyi krak lagi. Lebih keras saat ini.
Lebih dekat. Es di bawahnya jebol diiringi jeritan.
Ia tergelincir masuk ke dalam air hitam yang dingin menggigit.
Reenie mengacungkan kedua tangannya ke atas. Menggapaigapai. Berjuang mati-
matian untuk menangkap sesuatu. Tak ada.
Ia memegang tepian lubang. Tapi es pecah di bawah jarijarinya.
Tangannya masih menggapai-gapai, ia merasa tubuhnya ditarik
ke bawah, ditelan danau. Ia tenggelam.
Air yang dingin mengejutkan tubuhnya. Ia mengayun-ayunkan
lengannya, berusaha untuk menarik dirinya kembali ke permukaan.
Naik, naik. Ia berjuang untuk mengangkat tubuhnya ke atas.
Namun kepalanya membentur es bagian bawah.
Aku tak bisa bernapas, ia sadar.
Ia memukul-mukul es dengan kepalan tangannya. Mencakarcakar permukaan es itu.
Di mana lubang itu" tanyanya kepada dirinya sendiri. Di mana
lubang tempat aku terjatuh"
Di mana" Ia tidak bisa menemukannya.
Aku terperangkap. Terperangkap di bawah es.
Pikirannya yang terakhir sebelum kegelapan menelan tubuhnya.
Chapter 11 "KUPIKIR DIA TAHU"
AKU tak bisa bernapas. Reenie megap-megap kekurangan udara. Ia tercekik. Menelan
air. Reenie bisa mendengar suara Sean. Suaranya sangat jauh.
"Kau selamat, Reenie," kata Sean. "Kau baik-baik saja."
Ia membuka matanya dan Sean sedang membungkuk di
atasnya. Wajah pemuda itu hanya beberapa inci dari wajahnya.
"Kupikir... kupikir kau telah tenggelam." Suara Sean bergetar.
Ia meluruskan punggungnya, dan Reenie melihat Artie dan Greta di
belakang Sean. "Sean menyelamatkanmu," Greta memberi penjelasan. "Ia
menggapaimu dan menarikmu keluar. Kemudian ia memberimu napas
buatan." "Itu bagian yang menyenangkan," Sean bercanda. Tetapi Reenie
memperhatikan suaranya masih belum tenang betul.
Reenie memaksa untuk berdiri. "Bagaimana keadaan Marc"
Apakah ia selamat?" "Aku di sini." Suara yang pelan terdengar di belakangya.
Reenie menoleh - dan urat-urat di pelipisnya berdenyut-denyut.
Marc menangkap pandangannya. "Sori," gumamnya. "Itu hanya
lelucon yang konyol."
"Dan Artie membantu Marc merencanakan itu!" Greta menyela
dengan marah. "Ia menceritakan kepada Marc tentang lelucon-lelucon
yang saling kita mainkan, dan mereka merencanakan semua ini."
"Hei, ayolah, guys. Kami tidak bermaksud melukai siapa pun,"
Artie menegaskan. "Aku dan Marc sering menuruni bukit itu - hanya
untuk bersenang-senang. Seperti seluncur salju yang hebat. Ketika
Marc pura-pura jatuh, ia hanya menyelinap ke baliknya."
Artie menoleh kepada Greta. "Kami tak pernah meluncur
sebegitu jauh di atas es. Sungguh. Aku tidak tahu apa yang terjadi...."
Suaranya semakin lemah. .
"Bisakah kau berdiri?" tanya Sean kepada Reenie;
Reenie merintih. "Akan kucoba."
Sean meraih tangannya dan pelan-pelan menariknya berdiri.
Kaki Reenie gemetar, tapi ia berusaha berdiri tegak.
"Berikan mantelmu," Sean memerintahkan kepada yang lain.
"Reenie kedinginan"
Sean melepaskan mantelnya sendiri dan membungkus tubuh
Reenie dengan mantelnya. Kemudian ia melapiskan mantel-mantel
yang lain di atasnya. Ketakutan menjalar di sekujur tubuh Reenie. Ia tidak bisa
merasakan tangan dan kakinya. Semuanya mati rasa.
Sean melingkarkan lengannya di pinggangnya. "Ayo kuantar
pulang jadi kau bisa ganti baju kering dan menghangatkan badanmu."
Greta bergegas ke samping Reenie dan memegang lengannya.
"Wow. Aku senang kau tidak apa-apa. Aku sungguh-sungguh
ketakutan," kata Greta kepadanya.
"Ikuti aku," kata Artie. "Ada tempat di sekitar sini di mana kita
bisa naik ke atas." Gigi Reenie gemeletuk saat ia sampai ke mobil. Marc menyetel
pemanas mobil sampai maksimal, tapi tubuhnya masih tidak berhenti
gemetar. Aku punya firasat yang sangat kuat bahwa sesuatu yang buruk
akan terjadi jika kami masih tetap memainkan lelucon-lelucon yang
konyol satu sama lain, Reenie ingat. Tentu saja, sesuatu yang buruk
telah terjadi padaku. Nah, apakah ini akhir dari semua itu"
***************************************
"Sean memanggilmu karena ia tahu jika kau tetap berjalan, es
itu akan pecah," kata Greta kepada Reenie di kafetaria keesokan
harinya. "Ketika kau jatuh, ia berbaring di es.Kemudian ia menggeliatgeliat
sedemikian rupa dan merayap ke lubang itu supaya bisa meraih


Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menarikmu." Greta menggigil. "Aku sangat ketakutan. Dan kami tidak bisa
menolong dia. Kami takut es itu akan pecah jika kami terlalu dekat."
Reenie makan salad-nya sedikit. "Aku hampir tidak bisa
mempercayai itu benar-benar terjadi," katanya kepada Greta.
"Well, itu terjadi. Dan itu, kesalahan Artie."
Reenie melihat Sean membawa nampan makan siangnya. Ia
melambaikan tangannya dan menunjuk kursi kosong di depannya.
"Artie kan tidak tahu aku akan tergelincir dan jatuh," Reenie
mengingatkan temannya. Sean duduk di samping Greta.
"Tetap saja itu perbuatan yang mengerikan," Greta ngotot.
"Apa?" tanya Sean. Ia menyendok segarpu penuh makaroni dan
keju warna jingga menyala.
"Greta sangat geram pada Artie karena peristiwa kemarin,"
jawab Reenie. "Itu kecelakaan," Sean memprotes.
Greta meloncat berdiri. "Aku akan membeli es krim," kata
Greta. "Aku akan segera kembali."
Ia pasti sangat marah, pikir Reenie. Greta hampir tidak pernah
makan makanan pencuci mulut. Tapi jika ia merasa jengkel,
cokelatlah yang selalu ditujunya.
"Apa persoalannya?" tanya Sean.
"Greta dan Artie selalu bertengkar," kata Reenie kepada Sean.
"Greta benci sikap Artie setelah ia keluyuran dengan Marc Bentley.
Greta takut Artie mungkin berhenti sekolah dan mencari pekerjaan di
tempat Marc bekerja."
"Itu bisa terjadi, kukira. Keluarga Artie butuh uang saat ini.
Tapi Artie tidak menyebut-nyebut akan berhenti sekolah kepadaku."
Sean menyendok lebih banyak makaroni dan keju.
Reenie memainkan salad-nya, mendorong seledri dan wortel ke
pinggir piring dengan garpunya. Ia tidak lapar. Ia tetap ingat
kepanikan ketika jatuh dan ketika berjuang ke permukaan Fear
Lake - dan membentur dinding es.
Ia tidak bisa menyingkirkan ingatan itu dari benaknya.
Reenie memandang Sean sekilas dan mendapati Sean sedang
menatap sesuatu lewat bahunya dengan ekspresi wajah yang aneh.
"Coba lihat," gumamnya.
Reenie menoleh dan melihat ke sekeliling ruangan. Pertamatama ia tidak bisa
menangkap apa yang dimaksud Sean. Kemudian ia
melihat Greta dan P.J. sedang berdiri berdekatan di belakang ruang
makan siang. Begitu asyiknya mengobrol sehingga tampaknya mereka
tidak menghiraukan apa pun selain diri mereka sendiri.
Sean memandang Reenie lagi. "Aku tak percaya," bisiknya.
"Greta dan P.J. Pasangan yang super aneh."
"Greta suka cowok yang ,aneh. Apa yang bisa kukatakan?"
Reenie sengaja menengok untuk melihat sekilas Greta dan P.J. Greta
sedang tertawa keras, dan P.J. tampak senang.
"Kupikir Artie dan Greta akan berbaikan lagi," kata Reenie.
"Mereka sudah pacaran lama sekali."
"Mungkin," Sean sependapat. "Tapi Artie tidak akan senang
jika ia melihat Greta bergenit ria dengan cowok lain."
"Uh-oh," bisik Reenie. "Kupikir Artie tahu." Reenie
menggangguk ke pintu ganda yang besar di depan kafetaria.
Artie berdiri di sana, menatap ke seberang ruangan, ke arah
Greta dan P.J. Tangannya dikepalkan menjadi tinju. Wajahnya tegang
karena marah. Reenie menutup mulutnya dengan tangannya ketika melihat
Artie tiba-tiba berjalan menghampiri Greta dan P.J.
Tolong jangan melakukan tindakan yang bodoh, pinta Reenie
dalam hati. Chapter 12 BAHAYA DI DEPAN "HARUS kuhentikan dia," kata Sean kepada Reenie. Ia
melompat berdiri dan bergegas menghampiri Artie.
Reenie tetap memandang Greta. Greta belum melihat Artie.
Dengan lembut ia menyibakkan rambut P.J. yang jatuh di keningnya
dan tersenyum pada pemuda itu.
Reenie berbalik ke arah Artie. Sean sedang menenangkan Artie.
Tangan Artie terjuntai di samping tubuhnya. Wajahnya kembali biasa.
Kemudian Sean menepuk pundaknya, lalu Artie berputar dan berjalan
ke luar kafetaria itu lewat pintu ganda.
Sean tahu apa yang harus dikatakan kepada Artie, pikir Reenie.
Tapi aku bertaruh Greta dan Artie akan bertengkar hebat nanti setelah
mereka berduaan. Kuharap aku tidak ada di dekatnya untuk
menyaksikan pertengkaran itu.
"Kupikir Artie akan mengamuk!" seru Sean ketika ia duduk di
seberang Reenie. "Kukatakan kepadanya bahwa ia akan kelihatan
seperti orang tolol jika berkelahi di ruang makan siang."
"Wow. Artie kelihatan menakutkan," kata Reenie. "Aku tak
ingin Artie marah padaku!"
Bel berbunyi. Sean menghabiskan sodanya. "Ingat, aku tak bisa
mengantarmu pulang hari ini," katanya kepada Reenie. "Aku akan
rapat klub catur." *************************************
Bukan cuaca yang tepat untuk berjalan kaki, pikir Reenie
setelah pelajaran yang terakhir. Gelap dan lembap. Barangkali salju
akan turun sebelum aku sampai di rumah.
Ia berjalan di lapangan parkir untuk siswa, sambil berharap bisa
bertemu dengan seseorang yang akan memberinya tumpangan.
Napasnya tercekat ketika ia merasa tangan yang dingin dan
basah mencekik lehernya. Ia berbalik dan melihat Liz sedang
menyeringai. "Sori, aku tak bisa menahannya," kata Liz.
"Kau tidak kedinginan?" tanya Reenie. Semua kancing jaket Liz
terbuka. Dan ia tidak memakai sweter - hanya blus tipis.
"Tidak," jawab Liz. "Aku suka dingin."
Reenie-benci hari-hari musim dingin yang kelabu. Musim
dingin seolah mencuci semua benda hingga tanpa warna.
Semuanya kecuali rambut Liz, Reenie memperhatikan. Aku rela
mati untuk punya rambut seperti itu, pikirnya. Warna tembaga yang
luar biasa itu. "Aku mendengar apa yang terjadi padamu kemarin!" seru Liz.
"Wow. Mengerikan."
"Sungguh menakutkan," kata Reenie. "Bagaimana
perkembanganmu dan P.J. di Shady-side?" tanyanya, mengubah
pokok pembicaraan. Ia tidak ingin mengingat kembali kecelakaan itu.
"Hebat," kata Liz. "Sulit dipercaya yang kukenal cuma P.J.
sebulan yang lalu." Reenie merasa sulit untuk mempercayainya juga. Liz menjadi
teman akrabnya. Reenie merasa seakan-akan ia telah mengenal Liz
lebih lama daripada hanya sebulan.
"Well, kurasa P.J. tidak segembira aku," Liz mengakui. "Ia
sangat kikuk dan pemalu. Sulit baginya untuk mendekati seseorang."
"Aku tahu," komentar Reenie.
"Itu bukan benar-benar kesalahan P.J., kau tahu," kata Liz.
Tidak yakin apa yang harus dikatakan, Reenie tidak memberi
tanggapan. Mereka mulai melintasi tempat parkir, menyelip di antara
Jeep dan Chevy tua. "P.J. tidak sehat," Liz melanjutkan.
"Kenapa dia?" "Ia itu lemah. Ia tidak bisa melakukan pekerjaan yang
berhubungan dengan fisik."
"Mungkin seharusnya ia berolahraga atau semacamnya -
meningkatkan kekuatannya," Reenie menyarankan.
"Kau tidak mengerti. Ia menderita lemah jantung. Ia tidak bisa
mengerjakan yang berat-berat. Ia dibebaskan untuk tidak mengikuti
pelajaran olahraga."
"Seberapa... seberapa berat sakitnya?"
"Ia baik-baik saja selama tidak melakukan kegiatan fisik."
Reenie merasa bersalah karena selama ini ia menduga yang
tidak-tidak mengenai sikap P.J. Ia memutuskan untuk berusaha
membuat P.J. merasa lebih betah di Shadyside High.
"Greta dan P.J. tampaknya sering mengobrol," kata Reenie.
"Kuharap P.J. akan mengajak Greta kencan. Tapi aku takut P.J.
terlalu pemalu. Ia tidak pernah meningkatkan keberaniannya untuk
mengajak cewek berkencan."
"Ia tidak pernah kencan - sekali pun?" tanya Reenie, heran.
"Belum pernah. Tapi jangan beritahu orang lain, oke" P.J. akan
merasa sungguh-sungguh tidak enak jika berita itu menyebar."
"Tentu," Reenie berjanji. "Kupikir akan baik bagi P.J. untuk
berkencan dengan seseorang," Reenie melanjutkan dengan pelan.
"Tapi Greta masih berpacaran dengan Artie, jadi..."
Reenie mendengar langkah-langkah kaki di belakangnya dan
berbalik. 1a melihat Ty sedang bergegas menghampiri mereka.
"Hei. Mau ke mana kalian?" panggilnya dengan terengahengah.
"Tidak ke mana-mana," jawab Liz.
Ty punya mobil, pikir Reenie. Akhirnya. Tumpangan.
"Liz...," Ty ragu-ragu.
"Uh-huh?" "Boleh aku tanya sesuatu?"
Oh, tidak, pikir Reenie. Akhirnya Ty memutuskan untuk
mengajak Liz berkencan, dan aku berdiri di sini seperti kambing
congek. Ia melihat arlojinya. "Eh, aku harus pergi nih. Sampai jumpa
lagi, oke?" "Oke," jawab Liz. "Sampai jumpa besok."
"Sampai nanti," kata Ty.
Reenie berjalan lebih jauh di tempat parkir. Tempat parkir ini
cepat sekali kosong, pikirnya. Tidak adakah seseorang di sini yang
bisa kutebengi" Sebuah mobil merah berdecit-decit berhenti di depannya. Mobil
merah Marc Bentley. Aku lebih senang membeku sampai mati daripada naik
mobilnya, kata Reenie pada dirinya sendiri.
Artie menurunkan kaca jendela mobil itu. "Reenie - yo! Lihat
apa yang kunaiki. Mau nebeng?"
"Tidak, trims," teriak Reenie. Meskipun tanpa Marc di belakang
kemudi, ia tidak ingin naik mobil merah itu lagi. "Kupikir aku akan
jalan kaki saja. Aku perlu olahraga."
"Badai akan tiba," Artie memperingatkan. Angin
mengembuskan udara yang dingin menggigit. Ia gemetar, rasa dingin
itu mengingatkan dia tentang kejadian tadi malam. Air Fear Lake yang
sedingin es. Tahu bahwa ia akan tenggelam.
"Masuklah," Artie memaksa.
Reenie melihat sekilas ke sekeliling lapangan parkir itu. Artie
satu-satunya kesempatanku untuk nebeng. "Oke," jawab Reenie
dengan enggan. Ia masuk ke dalam mobil.
"Di mana Greta sore ini?" tanya Reenie. Artie cemberut.
Pertanyaan tolol, pikir Reenie. Bodoh, tolol, dungu.
"Greta membawa mobilnya sendiri hari ini," jawab Artie
dengan gigi dikatupkan. Ia melesat dari jalan keluar dan mobil
meraung menjauhi sekolah.
Coba aku tahu itu, pikir Reenie. Aku bisa nebeng Greta pulang.
Reenie sadar bahwa ia hampir tidak bicara dengan Greta sepanjang
hari ini - hanya beberapa menit di kafetaria.
Artie menekan pedal gas.. Reenie memeriksa apakah sabuk
pengamannya sudah dikencangkan. Cara Artie menyopir mobil itu
membuat dia ketakutan. Artie berhenti di depan lampu merah. "Hei, Reenie..."
"Apa?" "Tadi malam... kau tahu.. Aku tak bermaksud menbuatmu
jatuh." Reenie menghela napas. "Aku tahu."
"Aku ingin berjalan di salju dengan Sean. Menolong
menarikmu ke atas. Tapi kami berpikir bahwa es itu mungkin pecah
lebih parah." "Aku tahu itu, Artie."
"Bagus. Lihat ini." Lampu hijau menyala. Artie menekan pedal
gas. Roda-roda berdecit ketika mobil yang kuat itu melaju ke depan.
"Artie, jangan!"
"Tak apa-apa, Reenie!" teriak Artie. "Aku bisa menyopir lebih
baik daripada Marc!"
Artie memacu mobilnya ke persimpangan jalan yang lain.
Klakson meraung. Roda-roda berdecit.
"Awas!" jerit Reenie.
Chapter 13 JANGAN P.J.! JERITAN Reenie seperti tersangkut di tenggorokannya.
Ia mendengar besi menghantam besi. Kaca hancur berserakan.
Mobil berpusing, membantingkan tubuhnya ke pintu.
Ia mendengar seseorang menjerit. Jauh.
Ia merasakan sabuk pengamannya menjepit perutnya pada saat
ia terlempar ke depan. Kemudian ia terpental balik ke tempat
duduknya dengan tiba-tiba.
Reenie merasakan darah mengalir di mulutnya. Tajam dan asin.
Aku menggigit lidahku, ia sadar. Itu saja. Aku cuma menggigit
lidahku. Mobil itu bergetar lalu berhenti.
"Kau tidak apa-apa?" Artie mengerang.
"Yeah - kukira begitu." Reenie melihat ke luar jendela. Ia tidak
bisa melihat dengan jelas. Retak-retak di kaca itu seperti jaring labalaba yang
besar. Ia mendorong pintu hingga terbuka dan membungkuk ke luar.
Rasa masam dan tajam terasa di bagian belakang kerongkongannya.
Ditelannya ludahnya. Mobil hijau itu menabrak pintu belakang. Tepat di sampingku,
pikir Reenie. Setengah meter dari tempat aku duduk.
Pelan-pelan Reenie keluar dari mobil. Kakinya terasa seakanakan ia telah lari
naik-turun bangku di gedung olahraga seratus kali.
Kakinya tidak mau berhenti gemetar.
Artie buru-buru menghampiri Reenie. "Oh, wow!" Artie
mengerang, sambil menatap pintu mobil yang penyok itu. "Marc akan
membunuhku." Di mana pengemudi mobil itu" tanya Reenie dalam hati.
Kemudian ia melihat pengemudi itu. Masih di dalam mobil.
Bayangan yang gelap menelungkup di atas setir mobil.
"Hei, kau tak apa-apa?" panggil Reenie. Pengemudi itu tidak
menjawab. Tidak bergerak.
"Kau tak apa-apa?" panggil Reenie lagi. Oh, tidak. Kuharap ia
tidak terluka, pikir Reenie. Ia tergesa-gesa menuju mobil itu dan
merenggut pintunya hingga terbuka. Dengan lembut ia menarik
pengemudi mobil itu dan menyandarkan kembali ke joknya.
Ia amat terkejut. "Hah?" teriakan keluar dari bibirnya ketika ia melihat wajah
pengemudi itu. P.J.! Pengemudi mobil itu P.J.
Reenie ingat apa yang dikatakan Liz - tentang penyakit jantung
P.J. Reenie memeriksa denyut nadi PJ. "Ayo, sadarlah. Ayolah!"
pintanya.

Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata P.J. berkedip terbuka dan ia menoleh ke Reenie. "Kau
terluka?" teriak Reenie.
Tapi P.J. tidak menjawab. Ia kelihatan bingung sekali. Hampir
tidak sadar. "Oh, tidak, aku tak percaya ini!" teriak Artie, sambil berjalan di
samping Reenie. "Artie - ia terluka," kata Reenie.
"Kau bajingan!" bentaknya kepada P.J. "Lihat apa yang telah
kaulakukan! Kau menabrakku. Marc akan membunuhku!"
P.J. tidak bereaksi. Reenie melihat ia masih pusing.
Artie menghantam bagian samping mobil itu dengan tinjunya.
"Lampu merah kau terus jalan!" jeritnya. "Apakah kau tidak tahu cara
menyopir mobil" Kenapa sih kau ini!"
Reenie menyelinap di antara Artie dan P.J. "Sabar dong,"
desaknya,"Kumohon."
Artie merenggut bahu Reenie. Ditatapnya Reenie, sorot
matanya dingin. "Kenapa semua orang selalu melindungi dia?"
tanyanya setengah menuntut. "Apa sih istimewanya P.J.?" Jari-jari
Artie menekan kulitnya. Reenie bisa merasakan napasnya yang panas
di wajahnya. "Hah, Reenie" Kenapa semua orang menyayangi si P.J.
kecil ini?" Reenie tidak menjawab. Ia menatap balik Artie. Ia tahu jika
Artie memutuskan untuk menghantam PJ., ia tidak akan mampu
menghentikannya. Artie, jangan ganggu P.J., pikirnya. Jangan ganggu dia. Bukan
salahnya kalau kau dan Greta selalu bertengkar.
Klakson berbunyi di belakang mereka - keras dan panjang.
Artie melepaskan Reenie dan berjalan pergi, sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Wow! Hampir saja, pikir Reenie. Ia lega ketika melihat Artie
masuk ke mobilnya lagi. Artie mengeluarkan kepalanya di jendela. "Aku tak akan
melupakan ini, P.J.!" teriaknya. Kemudian ia memacu mobilnya, rodarodanya
berdecit-decit. Reenie berpaling ke P.J. "Kau tak apa-apa?" tanyanya pelan.
P.J. menggangguk. Matanya tampak lebih jernih. "Seperti biasa,"
jawabnya muram. *****************************************
"Marc pasti akan marah besar karena mobilnya ditabrakkan
Artie," kata Greta kepada yang lain keesokan harinya saat makan
siang. "Aku tidak menyalahkan Marc," gumam Sean.
"Itu bukan kesalahan Artie," Reenie mengingatkan mereka.
"P.J. tetap jalan walaupun lampu sudah merah."
Reenie memperhatikan Liz menatap piringnya. Liz yang
malang, pikirnya. Pasti berat punya adik seperti P.J. Ia pasti harus
menjaga dia sepanjang waktu.
Reenie menatap Liz sekilas. Ty sedang mencondongkan
tubuhnya ke dekat Liz, membisikkan sesuatu yang membuat Liz
tersenyum kecil. Reenie tersenyum juga. Akhirnya Liz dan Ty jadi
juga, pikirnya. Sekarang mungkin Liz tidak akan mencemaskan P.J.
sepanjang waktu. "Semenjak Artie mulai keluyuran dengan Marc, sikapnya
menjadi gila," Greta mengeluh. "Sepertinya Marc telah mengubahnya
menjadi orang lain."
"Apakah mereka masih berteman?" tanya Ty. "Maksudku,
setelah Artie menghancurkan mobilnya dan semuanya?"
"Aku tak tahu pasti," jawab Greta.
"Mungkin mereka tidak keluyuran lagi," Liz memberi pendapat.
"Aku ragu kejadian itu akan menimbulkan perbedaan," jawab
Greta. "Artie tampaknya tetap aneh." Ia menggigit wortelnya,
kemudian membuangnya ke bawah. "Oke, siapa punya cokelat?"
pintanya. Reenie mengulurkan kue cokelat yang tinggal separo.
Sean berdeham. "Aku punya pengumuman penting."
Kami bisa mulai topik pembicaraan baru, pikir Reenie.
Segalanya yang tidak menyangkut P.J., Artie, atau Marc.
"Orangtua Reenie akan pergi selama beberapa hari," Sean
mengumumkan. "Aku sedang berusaha untuk membujuk Reenie
supaya mengadakan pesta Natal."
"Hei, asyik!" seru Ty.
"Yeah, ide yang bagus!" Greta setuju.
"Aku akan hadir," Liz menambahkan.
"Semua sepakat," seru Sean. "Semua orang menganggap kau
seharusnya mengadakan pesta itu."
"Aku akan memikirkan usul kalian," kata Reenie kepada
mereka. "Tapi - aku belum yakin - "
"Ayolah, Reenie," desak Greta. "Kau tidak boleh membiarkan
kesempatan yang bagus seperti ini berlalu begitu saja."
Mereka semua menatap Reenie, menunggu jawabannya.
Reenie tadinya mengatakan kepada Sean bahwa ia "mungkin"
akan bikin pesta. Tapi ia juga ingin mengadakan pesta seperti yang
diinginkan teman-temannya itu. Ia bersedia melakukan apa pun yang
akan membantu mengembalikan semuanya menjadi normal kembali.
"Oke," jawab Reenie sambil tersenyum. "Kita adakan pesta itu."
"Siapa yang akan kauundang?" tanya Greta.
Sebelum Reenie bisa menjawab, Sandi Burke lari menghampiri
meja mereka. "Cepat ke ruang angkat besi," seru Sandi. "Cepat!"
Reenie merasa hawa dingin menjalar di punggungnya. Sesuatu
yang lain telah terjadi, ia tahu. Sesuatu yang buruk.
"Ada apa?" tanya Sean kepada Sandi.
"Apa yang terjadi?" Liz ingin tahu.
"Lekaslah ke ruang angkat besi," jawab Sandi, matanya
terbelalak ketakutan. Chapter 14 CIUMAN KEMATIAN REENIE meloncat dan lari sepanjang koridor menuju ruang
olahraga. Sean merenggut salah satu daun pintu ganda yang besar itu
hingga terbuka, dan mereka semua berlarian ke ruang angkat besi.
"Mundur!" hardik Pelatih Wilkins keras ketika mereka
berdesak-desakan di dalam. Reenie melihat wajah pelatih itu tampak
waswas. Ia berjinjit, mencoba mengintip di antara Pelatih Wilkins dan
kerumunan anak yang berdesak-desakan di ruangan yang kecil itu.
Ia berteriak ketika melihat Artie terbaring di samping bangku
angkat besi. Artie telentang, lengan dan kakinya terentang. Tubuhnya
tidak bergerak. Apakah ini lelucon lagi" tanya Reenie dalam hati. Tidak.
Pelatih Wilkins tidak akan mau terlibat dalam salah satu lelucon kami
yang konyol ini. "Artie!" jerit Greta. Ia menerobos kerumunan itu, mencoba
memeluk Artie. Pelatih itu memegang lengan Greta. "Sudah kubilang mundur!"
bentaknya. "Ia perlu udara."
Reenie berpaling kepada Sandi. "Apa yang terjadi?"
Kata-kata Sandi mengalir cepat. "Kami sedang mengobrol di
ruang ini, aku dan Artie. Ia mulai membual tentang berapa berat beban
yang bisa diangkatnya - kau tahu, di bangku tekan atau apa pun
namanya alat itu - dan aku tidak mempercayai bualannya. Katanya ia
akan memperlihatkannya kepadaku. Dan Artie minta tolong kepada
P.J. untuk mengangkat beban itu seandainya sesuatu yang tak
diharapkan terjadi. Kau tahu. Menjadi pengawasnya. Kupikir Artie
ingin membuat P.J. malu. P.J. tak akan pernah bisa mengangkat beban
seberat - " "Tapi apa yang terjadi pada Artie?" tanya Greta tidak sabar.
"Artie tidak kesulitan waktu mengangkat barbel dari
tempatnya," Sandy menjelaskan. "Tapi kemudian ia tidak bisa
mengembalikan barbel itu kembali ke tempatnya. Lengannya tidak
tahan. Ia berteriak minta tolong, tapi P.J. tidak tahu apa yang harus
dilakukan, atau ia tidak cukup kuat - atau entah kenapalah. P.J.
menjatuhkan barbel itu di tubuh Artie. Artie jatuh dari bangku, dan
barbel itu menimpa dia!"
Artie merintih. Ia masih hidup! kata Reenie pada dirinya sendiri. Ia merangkul
bahu Greta. "Mana yang sakit?" Reenie mendengar Pelatih Wilkins
bertanya. "Semuanya," Artie merintih. Ia bersusah payah untuk duduk.
"Aku akan mencari bajingan kecil itu, P.J.," ancamnya.
"Kau harus tetap berbaring. Dokter masih dalam perjalanan ke
sini," kata pelatih itu kepadanya. "Kalian berdua seharusnya sudah
tahu, lebih baik jangan main-main di sini tanpa pengawasan."
Reenie melihat ke sekeliling ruang angkat besi itu. Ia melihat
P.J. sedang duduk bersandar di dinding sambil menatap lantai. Liz
berlutut di sampingnya, wajahnya kelihatan gusar.
"Aku kasihan pada PJ.," ujar Greta. "Ia hanya berusaha
menolong. Artie seharusnya tidak minta bantuan dia. Seharusnya ia
tahu kalau PJ. tidak bisa melakukan pekerjaan seperti itu." Greta
bergegas menghampiri P.J. dan Liz.
Wow, pikir Reenie. Itu bukan cara untuk meredakan kemarahan
Artie. Ia akan meledak seandainya melihat Greta di sana dengan P.J.
Sekarang saja Artie sudah cemburu sekali.
"Jangan coba-coba berdiri sampai aku kembali," perintah
Pelatih Wilkins. "Kau mengerti, Artie?"
Artie mengangguk. Tapi begitu pelatih itu meninggalkan
ruangan, Artie bangkit dengan susah payah.
Reenie tahu saat ketika Artie melihat P.J. Wajahnya berubah
merah padam, sama seperti setelah mobilnya tabrakan.
Tak ada yang bisa menghentikan dia untuk menghampiri P.J.
saat ini, pikir Reenie. Tak ada.
"He, bangsat kecil!" teriak Artie. "Apa yang ingin
kaulakukan - membunuhku?"
"Ayolah, Artie," Greta memohon.
"Jangan ganggu dia." Liz melompat bangkit dan berdiri di
depan P.J. seakan-akan melindungi dia.
"Jangan ganggu P.J. kecil yang malang ini," Artie menirukan
dengan kesal. "P.J. kecil malang yang mencoba membunuhku."
"Itu kecelakaan!" teriak Greta: "Hanya kecelakaan. P.J. tidak
cukup kuat untuk mengangkat beban seberat itu dan kau tahu itu."
Kemudian Greta menambahkan dengan suara yang lebih tenang dan
lebih manis, "Ayolah, Artie. Kecelakaan kan bisa saja terjadi."
"Yeah, betul," kata Artie dingin. Ia menatap P.J. tajam.
"Kecelakaan memang bisa saja terjadi."
Dengan menggeram keras Artie menerjang P.J.
P.J. cepat-cepat berdiri. Dengan panik ia melihat ke sekeliling
ruangan itu. Greta melemparkan tubuhnya di antara P.J. dan. Artie. "Jangan
sentuh dia!" Tindakan yang bodoh, Greta, pikir Reenie. Sekarang Artie akan
makin mengincar P.J. "Melindungi pacar barumu yang kecil ini"
Betapa manisnya!" Artie berusaha memutari Greta untuk menangkap
P.J. Tapi Greta menghalang-halangi jalannya.
Pelatih Wilkins menghambur masuk. "Berhenti," perintahnya.
Ia berjalan menghampiri Artie dan mencengkeramnya dengan kasar.
"P.J., pergi ke kelasmu," perintah pelatih itu. "Kalian semua
juga. Pertunjukan sudah selesai. Dokter ingin memeriksa Artie. Tanpa
penonton." Liz dan Greta berjalan di samping P.J. ketika mereka semua
sudah keluar dari ruangan.
Reenie memandang Artie lagi. Mata Artie tertuju ke P.J., otototot di rahangnya
tampak tegang. Ini belum berakhir, pikirnya. Ini
sama sekali belum berakhir.
**********************************
"Sori aku terlambat, guys," gumam Artie. Ia menjatuhkan
tubuhnya di ranjang Reenie di samping Greta dan meneguk Diet Coke
Greta. Kemudian ia mencondongkan tubuhnya dan mencium Greta
lama sekali. Menarik, pikir Reenie. Kukira mereka sudah berbaikan - untuk
yang sejuta kali semenjak mereka mulai pacaran.
"Bagaimana kau bisa terlambat" Kau menemukan sesuatu yang
lebih kausukai daripada belajar trigonometri?" Sean bercanda.
"Aku ingin mengikuti latihan angkat besi. Aku bolos kemarin,"
Artie memberi penjelasan.
"Latihan angkat besi?" tanya Greta. Nadanya tidak begitu
senang. "Setelah apa yang terjadi di sekolah tadi siang" Kupikir kau
sudah tidak ikut angkat besi."
"Yeah," kata Artie. "Tapi bukan di sekolah. Marc punya
perlengkapan angkat besi sendiri - lebih bagus daripada yang di ruang
olah-raga. Aku berlatih di sana sekarang."
"Kukira Marc marah sekali karena mobil barunya rusak!" seru
Greta. "Akhirnya Marc tidak marah lagi. Ia sadar itu kesalahan P.J.
Semua kejadian buruk yang menimpaku karena manusia itu. Si
pembawa bencana. Tidak aman dekat-dekat dia."
Reenie memperhatikan Greta tidak membela P.J. Ia pasti tidak
ingin memulai pertengkaran lagi, Reenie memutuskan. Aku tidak
menyalahkan Greta. "Well, kita semua sudah di sini kecuali Ty," ujar Reenie "Ia
meneleponku untuk memberitahukan bahwa ia akan kencan dengan
Liz nanti malam. Ia berusaha untuk bersikap biasa-biasa soal ini. Tapi
bisa kukatakan bahwa ia pikir kencan ini masalah yang penting."
"Perlu waktu yang cukup lama buat Ty," komentar Artie.
"Akhirnya ia kencan juga. Hebat," kata Greta. Kan sudah
kubilang mereka itu pasangan yang sempurna."
Sean menghela napas. "Bisa kita lanjutkan ke soal berikutnya"
Kita bisa mendiskusikan kehidupan cinta Ty nanti."
"Tidak. Kita punya sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan
lebih dulu," jawab Reenie.
Artie memandang Reenie. "Maaf, apa itu?"
"Kita harus memutuskan siapa yang harus diundang ke
pestaku!" Reenie menjelaskan. Ia mengambil notes dan pensil. "Ayo.
Sebutkan beberapa nama."
Greta tertawa. "Itu jauh lebih penting daripada trigonometri,"
Greta setuju. "Bagaimana dengan Deena Martinson?"
"Corky Corcoran," Sean merekomendasikan.
"Dan Julie Prince," tambah Greta.
"Hei," kata Reenie, "apakah kalian tidak melupakan sesuatu"
Kita harus mengundang beberapa cowok juga. Bagaimana jika Gary
Brandt?" "Bobby Newkick," seru Sean.
"Tidaaak!" Reenie dan Greta mengerang serentak.
"Kalau begitu dia tidak diundang," Sean menarik kesimpulan.
"Tunggu - aku tahu!" seru Greta. "Reenie, kau harus
mengundang - " Artie menyela, "Pilihan utamaku adalah P.J."
Mereka semua menatap Artie.
Artie menyeringai. "Kau harus mengundang P.J," Artie
menekankan, "Pesta ini tidak akan meriah tanpa dia."
"Oh, ayolah," jawab Reenie.


Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku dan Marc punya kejutan kecil buat dia. Pestamu adalah
tempat yang paling tepat untuk melaksanakannya." Artie menyeringai
jahat. "Tak usah ya!" Reenie memrotes. "Tak boleh ada ulah yang
konyol di pestaku!" "Apa yang kalian berdua rencanakan?" Greta ingin tahu. "Aku
tidak mau ikutan dengan apa pun yang akhirnya membuat P.J.
terluka." "P.J. kecilmu itu tidak akan terluka. Janji deh. Kami hanya akan
memainkan salah satu lelucon kami pada P.J."
Aku tak ingin lelucon, pikir Reenie. "Gurauan macam apa?" ia
ingin tahu. "Hei, ini akan asyik sekali. Percaya padaku deh," kata Artie.
"Sandi Burke cewek yang paling top di sekolah. Apakah kita semua
setuju?" "Hei - kupikir aku cewek paling top," Greta mengomel.
"Memang. Tapi kau sudah ada yang punya." Artie
melingkarkan lengannya di tubuh Greta dan menariknya mendekat.
"Sandi utang budi pada Marc. Aku tak tahu secara mendetail. Tapi
Marc menolongnya mengatasi kekacauan dengan orangtuanya. Lagi
pula, Marc sudah minta Sandi untuk menolong dia, dan Sandi
mengatakan oke." "Langsung ke pokok persoalan saja," desak Sean.
Artie menyeringai. "Sandi akan mengajak P.J. ke pesta Reenie."
"Sandi akan mengajak dia?" seru Sean.
"Tak seorang pun akan mempercayainya," Reenie memrotes.
"P.J. percaya," jawab Artie. "Anak itu begitu aneh, mungkin ia
akan percaya apa saja."
"Jadi P.J. hadir di pesta dengan Sandi. Kemudian apa yang
terjadi?" tanya Sean.
"Sandi akan memberi P.J. ciuman yang panas dan lama -
menggelora! Tepat di hadapan semua orang. Kemudian ia akan
menjatuhkan diri ke lantai dan pura-pura mati."
"Aku tak mengerti," kata Reenie.
"P.J. akan berpikir bahwa ciumannya terlalu panas untuk
diterima!" Artie berseru, lalu tertawa.
"Bagus sekali!" teriak Sean. "Bagus sekali! Mengagumkan!
Terutama jika kita semua berpura-pura ia mati sungguhan!"
"Lelucon konyol dan tak ada gunanya," ujar Greta. "Hal paling
konyol yang pernah kudengar!"
"Seperti lelucon yang kita lakukan satu sama lain selama ini,"
Sean memberi alasan. "Mungkin lelucon itu akan membuat P.J.
merasa sudah berbaur dengan kita."
"Lelucon itu terlalu konyol," Greta berkeras. "Kenapa merusak
pesta itu dengan sesuatu yang begitu bodoh?"
"Mungkin kita seharusnya menghentikan lelucon-lelucon kita,"
Reenie menambahkan. Ia bergidik. "Aku hampir tenggelam saat itu,
ingat?" Wajah Artie memerah. "Itu kebodohanku dan Marc,"
gumamnya. "Tapi apa yang bisa terjadi pada P.J. di ruang tamumu,
kan kita semua di sana?"
Kukira jika Marc dan Artie memang harus membalas dendam
kepada P.J., lelucon adalah cara yang terbaik, pikir Reenie. "Pasti lucu
melihat ekspresi wajah P.J. ketika Sandi terkapar mati karena
ciumannya," Reenie mengakui.
"Aku bisa membayangkannya dengan jelas." Artie mulai
meremas tangannya dan menggigil. "Aku-aku ki-kira aku laki-laki
yang terlalu hot untuk Sandi." Artie tertawa terbahak-bahak. Demikian
juga Sean. Reenie dan Greta menahan tawa sejenak. Namun kemudian
mereka tertawa cekikikan juga.
"Aku tak sabar untuk menyaksikan apa yang akan dilakukan
P.J.!" seru Artie. "Ciuman kematian!" teriak Sean.
Artie tertawa begitu keras sehingga ia sampai jatuh ke lantai
dan berbaring di sana, memegangi pinggangnya.
"Pokoknya jangan sampai Liz tahu," Sean memperingatkan
ketika mereka bisa mengendalikan diri lagi. "Ia akan memperingatkan
P.J. agar berhati-hati."
"Oke," Reenie setuju. "Tapi setelah itu kita harus mengingatkan
mereka bahwa kita memang saling memainkan lelucon ini sejak dulu.
Aku tak ingin Liz berpikir kita sengaja mengganggu PJ."
"Pasti," Greta setuju.
"Aku tak sabar menunggu pesta itu!" ujar Artie.
"Ciuman kematian!" kata Sean dengan suara yang dalam dan
menakutkan. Yang lain mengulangi kata-katanya. "Ciuman kematian!"
Chapter 15 PESTA AKU tahu aku tidak mengundang orang sebanyak ini, pikir
Reenie sambil melihat anak-anak yang berdesak-desakan di ruang
tamu. Bel pintu berdering lagi. Ketika Reenie membuka pintu, Ty dan
Liz melangkah masuk, sambil membersihkan salju dari sepatu mereka.
Ia tidak ingat kapan terakhir kali melihat mereka berdua.
"Selamat Natal!" seru Liz.
"Selamat Natal! Berikan mantel kalian. Aku akan
menyimpankannya di kamarku." Reenie menjulurkan kedua
tangannya. Ty membantu Liz melepaskan mantelnya dan menyerahkan
mantel itu kepada Reenie bersama-dengan jaketnya.
"Baju yang bagus," kata Reenie kepada Liz. "Dan hampir
senada dengan kemeja Ty. Kalian tidak mulai belanja di Two Cute,
kan?" godanya. "Tidaklah ya!" Ty tertawa malu. "Hanya kebetulan. Kami tidak
memakai baju yang senada. Sungguh."
"Ada piza di dapur," kata Reenie. "Sean ada di suatu tempat -
sedang membicarakan strategi catur atau apalah. Artie dan Greta baru
datang juga. Selamat bersenang-senang, guys."
Reenie menerobos anak-anak yang berdesak-desakan itu dan
berjalan di koridor menuju kamarnya. Ia melemparkan mantel-mantel
itu ke atas ranjangnya, kemudian menuju dapur untuk mengambil
keripik lagi. Ketika ia berjalan tergesa-gesa, Sean meraihnya dan memeluk
pinggangnya. "Bagaimana pesta ini?" tanya Reenie. "Menurutmu
semua orang senang?"
"Semua senang kecuali kau," jawab Sean. "Dansa yuk."
"Mangkuk-mangkuk keripik hampir kosong," Reenie memrotes.
Tapi ia melingkarkan kedua lengannya di leher Sean.
"Yeah, tiga orang pingsan karena kelaparan," kata Sean sambil
membelalakkan matanya. Tak ada cukup ruang kecuali untuk bergoyang ke depan dan
belakang untuk mengikuti irama musik. Tapi tidak jadi soal bagiku,
pikir Reenie. Ia memejamkan matanya dan menempelkan pipinya di
sweter Sean. "Apa P.J. dan Sandi sudah datang?" tanya Reenie ketika lagu
berakhir. "Belum kulihat seorang pun dari mereka," jawab Sean.
"Mungkin Sandi berubah pikiran. Atau P.J. tidak mau pergi
dengan Sandi," kata Reenie.
Ia setengah berharap agar, mereka tidak muncul. Pesta ini
berlangsung meriah. Dan lelucon yang konyol itu bisa merusak
semuanya jika P.J. melakukannya dengan cara yang salah.
"Ada keripik lagi, Reenie?" Ricky Shore berteriak dari seberang
ruangan. "Sudah kubilang aku harus mengambil keripik. Aku akan segera
kembali." Reenie menyelinap pergi dari Sean dan menuju dapur.
"Ia dikurung sampai usianya dua puluh. Ibunya memergoki dia
sedang merokok," Reenie rnendengar seseorang bicara ketika ia lewat.
Siapa yang sedang mereka bicarakan, tanya Reenie dalam hati.
Ia memandang ke sekeliling ruangan itu sekilas. Masih belum ada
tanda-tanda kehadiran Sandi atau P.J.
"Asyik sekali!" Megan Carman berseru kepada dua cewek
lainnya. "Pertandingan tinggal dua detik lagi," ia menjelaskan. "Dan
Gary Brandt menembak. Bolanya membal di mulut keranjang itu, dan
bel berbunyi. Bola itu terus membal. Dan kemudian bola itu masuk
setelah waktunya habis. Tapi masih dihitung!"
Reenie melihat Artie. Ia melintasi ruangan menghampiri Artie.
"Apa Sandi dan P.J. akan datang?" tanyanya.
"Pasti," suara yang parau terdengar di telinganya.
Reenie menoleh. Marc menyeringai. Marc berdiri begitu dekat
sehingga ia bisa mencium napasnya yang bau bir. Reenie bisa melihat
dengan jelas bekas luka di keningnya itu.
Reenie mundur beberapa langkah. Ia merasa tidak enak berdiri
begitu dekat dengan Marc.
"Berapa lama lagi mereka sampai di sini?" tanya Artie. Matanya
tampak berair. Hebat, pikir Reenie. Mereka berdua minum-minum.
"Tidak lama. Aku baru menelepon ke rumah Sandi. Ibunya
bilang mereka telah berangkat."
Reenie menepi. Ia merasa bersalah karena tidak memberitahu
Liz tentang lelucon yang telah mereka rencanakan untuk P.J. Semakin
memikirkan hal itu, ia semakin merasa bersalah.
Reenie melewati pasangan yang sedang bermesraan di koridor.
Kemudian ia memperhatikan Liz sedang berdiri sendirian. Sebelum ia
bisa mengubah pikirannya, Reenie bergegas menghampiri Liz.
"Pesta yang hebat," ujar Liz. "Ty sedang mengambil Coca-Cola
di dapur buat kami."
"Liz, ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu. P.J. akan
sampai di sini beberapa menit lagi, dan - "
"Kata P.J. ia tidak akan hadir di pesta ini!" seru Liz.
"Kapan ia mengatakan itu padamu?"
"Beberapa hari yang lalu. Kenapa?"
"Karena ia akan hadir bersama Sandi Burke."
"P.J.?" "Sandi yang mengajak P.J," Reenie menjelaskan.
"Sandi mengajak dia?" suara Liz terdengar heran, "PJ. tak
pernah menyebut apa pun tentang hal itu."
"Aku tak tahu kenapa ia tidak memberitahumu. Tapi ia akan
datang bersama Sandi. Dan itu lelucon - salah satu lelucon kami yang
konyol." Reenie memaksa diri untuk membalas tatapan Liz.
Liz mengerutkan kening. "Lelucon macam apa itu" Apa yang
akan kalian lakukan?"
Reenie menceritakan kepada Liz semua rencana itu.
Mata Liz terbelalak. "Oh, tidak!" teriaknya. "Reenie, tegateganya kau melakukan
ini" Kau tahu betapa pemalunya dia. Dan aku
telah memberitahu masalah kesehatannya kepadamu."
"Ini... ini tidak berbeda dengan lelucon-lelucon yang selama ini
kami mainkan terhadap satu sama lain."
"Ini jauh berbeda daripada yang kautahu!" teriak Liz.
"Liz, maaf. Ini - "
"Kau melakukan ini tanpa sepengetahuanku!" suara Liz
terdengar marah. "Teganya kaulakukan ini, Reenie" Bagaimana kau
bisa begitu kejam?" "Aku..." Reenie tidak tahu harus mengatakan apa.
"Mungkin aku dapat mencegah P.J. sebelum ia sampai di sini,"
kata Liz. Ia memandang ke arah pintu, kemudian berputar menghadap
Reenie. "Kau tidak tahu apa yang telah kaulakukan, Reenie. Tak tahu
sama sekali." Liz membuka pintu dan menghambur ke kegelapan malam.
"Reenie?" Ia menoleh dan mendapati Ty sedang membawa sekaleng CocaCola di tangan kanan dan
kirinya. "Itu Liz?" tanyanya.
Reenie mengangguk. "Ke mana dia pergi?" Ty tampak bingung - dan agak
tersinggung. Sebelum Reenie bisa menjawab, suara pesta itu tiba-tiba
berubah. Suara celoteh yang keras menjadi suara bergumam yang
pelan. Tiba-tiba semua orang memandang ke pintu. P.J. dan Sandi
telah tiba. "Mau apa Sandi dengan dia?" Reenie mendengar seseorang
berbisik. "Yeah, kupikir Sandi hanya berkencan dengan spesiesnya
sendiri!" seseorang bercanda.
Reenie melihat Ty menyelinap ke luar pintu di belakang
mereka. Ia akan menyusul Liz. Bagus. Kuharap Ty bisa meyakinkan
Liz bahwa kami tidak akan menyakiti P.J.
Sandi melepas mantelnya dan menyerahkannya kepada P.J. PJ.
tetap memakai jaketnya. P.J. hanya memakai jaket denim.
Ia pasti kedinginan tanpa mantel yang tebal, pikir Reenie.
Kemudian ia mengalihkan perhatiannya kepada Sandi.
Wow! Dengan gaun seperti itu mestinya Sandi muncul di video
MTV - bukan di pestaku, pikir Reenie. Rok hitam yang pendek itu
memperlihatkan hampir seluruh tungkai Sandi yang panjang. Ia
memakai rompi merah yang gemerlapan. Ia memakai sepatu bertumit
tinggi dan stoking hitam tipis.
"Wow!" gumam seorang cowok di dekat Reenie.
Mata P.J. melihat ke sekeliling ruangan dengan gugup. Ia
tampak tegang. Ini kesalahan besar, pikir Reenie. P.J. tidak akan pernah
mengerti. Ia akan merasa dihina. Mengapa aku menyetujui lelucon
ini" "Hai, semuanya!" seru Sandi.
P.J. tidak berkata apa-apa.
"Hei, P.J.," panggil Marc. "Apa rahasiamu" Aku sudah
mengajak Sandi kencan selama berbulan-bulan - tapi ia selalu
menolak." P.J. mengangkat bahu. Senyuman malu terkembang di
wajahnya. "Aku tak tahu."
"Aku yang ajak dia!" seru Sandi.
"Bohong!" teriak Marc. "Sandi mengajakmu?"
Sean bergabung dengan Reenie. "Marc lebih baik tenang," Sean
berbisik di telinga Reenie. "Jika ia terlalu membuat P.J. malu, P.J.
mungkin akan pergi. Lalu kita tak akan pernah sampai ke bagian yang
bagus itu." Reenie ragu-ragu lagi. "Aku tidak begitu yakin ini ide yang
bagus," katanya kepada Sean.
"Sudah terlambat sekarang. P.J. akan baik-baik saja," Sean
meyakinkan Reenie. P.J. akan baik-baik saja, Reenie memutuskan. Bagaimanapun
juga, lelucon itu akan terjadi.
"Di mana bisa kuletakkan mantelku?" tanya Sandi.
"Aku akan menyimpankannya," kata Reenie.
Ia mengambil mantel itu dari P.J. dan melemparkannya ke
ranjangnya bersama mantel-mantel yang lain. Ia bergegas kembali ke
ruang tamu dan menghampiri Sean. Ia ingin bersama Sean, kalaukalau...
Kalau-kalau apa" Apa yang ia takutkan"
Greta memasukkan CD ke player. Kemudian ia meraih Artie


Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mereka mulai berdansa. Tak lama ruangan itu dipenuhi tubuhtubuh yang
bergerak-gerak dan berdansa.
"Mau dansa?" tanya Sean. "Aku suka lagu ini."
Reenie menggelengkan kepalanya. "Nanti saja, oke" Aku terlalu
gugup." Reenie tidak bisa berhenti memikirkan apa yang telah dikatakan
Liz. Liz kelihatan begitu terluka dan marah. Kau tidak tahu apa yang
telah kaulakukan, Reenie. Tidak tahu sama sekali.
"Tapi apa yang telah kulakukan" tanya Reenie pada dirinya
sendiri. "Perhatikanlah," bisik Sean.
Sandi Burke menggandeng P.J. ke tengah pasangan-pasangan
yang sedang berdansa. Ia menarik P.J. mendekatinya dan mulai
bergerak mengikuti irama musik. PJ. mau tidak mau harus bergerak
juga. P.J. tampak kaku. Kikuk. Beberapa anak tertawa terbahakbahak. Anak-anak lain
yang sedang berdansa memberi mereka tempat.
Semua orang melihat mereka..
Reenie sadar P.J. ketakutan.
Sandi menekan tubuhnya ke tubuh P.J., berbisik di telinganya.
Wajah P.J. merah karena malu.
Seharusnya aku tidak ikut dalam permainan ini, pikir Reenie.
Liz tidak akan pernah menjadi temanku lagi.
Akhirnya lagu itu berakhir. "Kau mengagumkan!" seru Sandi
keras. Sandi menarik wajah P.J. mendekati wajahnya. Menciumnya.
Ciuman yang lama dan pelan.
Kedua tangan P.J. gemetar di samping badannya.
Saat menatap Sandi, Reenie teringat pada vampir. Vampir yang
sedang mengisap nyawa korbannya. Sandi mencium P.J. yang tak
berdaya dengan begitu hotnya!
Reenie melihat PJ. berusaha untuk mundur. Melepaskan diri.
Tapi Sandi memeganginya, mulutnya bergerak di atas bibirnya,
lengannya memeluk pundak P.J. yang kerempeng itu erat-erat.
"Wuuaaaaah!" teriak seseorang.
Beberapa anak tertawa kaku. Yang lain berbisik-bisik. Yang
lainnya bersorak-sorai. Tiba-tiba tubuh Sandi kaku.
Ia tampak mendorong P.J. Reenie melihat wajah P.J. terkejut.
Semua orang kaget ketika Sandi menyentakkan kepalanya ke
belakang, mengerang panjang dan mengerikan. Hampir seperti
lolongan binatang. Sandi jatuh berlutut, matanya terbuka lebar, mulutnya
ternganga. Anak-anak terkesiap dan berteriak.
Sandi jatuh terenyak di lantai.
"Apa yang terjadi?"
"Tolong dia!" "Lakukan sesuatu!"
Teriakan-teriakan terkejut berkumandang di ruang tamu itu.
Artie dan Marc menghambur menghampiri Sandi. Mereka
berlutut di samping Sandi dan memandangnya dengan ingin tahu.
"Jangan kerubungi dia! Jangan kerubungi dia!" teriak Marc.
Artie menggoyang kedua bahu Sandi. Ia menggoyang tubuhnya
kuat-kuat. "Hei - !" teriak Artie. "Hei! Hei!"
Artie menggoyang-goyang tubuh Sandi. Dan menunggu.
Menggoyang tubuh Sandi lagi.
Terlalu keras, pikir Reenie. Kenapa ia melakukan itu" Mengapa
ia menggoyang tubuh Sandi begitu keras"
Artie memandang Marc dengan wajah yang ketakutan.
Kenapa Artie tampak begitu ketakutan" pikir Reenie. Kenapa ia
tidak mengakhiri lelucon ini" Menjelaskannya kepada semua orang"
Ini sudah terlalu lama. "Tidak!" Sebuah lolongan keluar dari bibir Marc.
Artie menggoyang-goyang bahu Sandi. Kemudian ia mulai
menekan dadanya dengan kedua tangannya, memukul-mukulnya
dengan panik, dengan putus asa, seakan membuat pernapasan buatan.
"Artie, ini sudah keterlaluan!" Reenie akhirnya berteriak.
"Jangan main-main!"
Reenie melihat P.J. mundur, wajahnya yang pucat berkerut
ketakutan. "Tidaakk!" Lolongan yang amat memilukan keluar dari mulut
Marc lagi. Kepala Sandi terantuk-antuk di lantai ketika Artie memukulmukul dadanya. Sandi
tidak berkedip. Matanya memandang kosong
ke langit-langit. Anak-anak berbisik-bisik. Tak seorang pun bergerak.
"Ayolah, Sandi! Ayor Ayo! Ayo!" seru Artie.
Kemudian sambil berteriak ia berdiri. Matanya menyapu
kerumunan anak yang terkejut.
"Hei! Ini mestinya cuma lelucon!" teriak Artie dengan suara
yang gemetar dan melengking. "Lelucon. Hanya lelucon. Tapi -
tapi - Sandi mati! Ia benar-benar mati!"
Chapter 16 KEJUTAN LAIN P.J. menatap Sandi yang terbaring di lantai, matanya terbelalak
kebingungan dan ngeri. "Tapi - aku - aku tidak melakukan apa-apa
padanya!" "Ia mati!" teriak Artie, menatap P.J. "Kau - kau bunuh dia."
Mulut P.J. bergerak-gerak seakan ingin bicara, tapi tak ada katakata yang
keluar. P.J. yang malang, pikir Reenie. Ia tidak mengira ini semua
hanyalah lelucon. Haruskah kuberitahu dia"
Tidak, ia memutuskan. Sudah terlambat. Mereka malah semakin
Menggoda P.J. jika aku membela dia.
Reenie melihat Greta melintasi ruangan itu. Mata mereka
bertautan. Greta mengatupkan bibirnya erat-erat dan menggelenggelengkan
kepalanya. "Kita harus menelepon polisi!" desak Marc.
"Aku...aku...P.J. gugup.
"Cepat! Telepon polisi! Coba tolong telepon polisi," Marc
memberi perintah. "Pasti tadi ciuman yang superhot!" salah seorang pemandu
sorak bercanda. "Ciuman maut," gumam Sean.
Reenie bisa melihat anak-anak lain berusaha supaya tidak
tertawa. Mereka tahu Sandi baik-baik saja. Jika P.J. menatap ke bawah
sekilas, ia akan melihat dada Sandi naik-turun.
Ayo, P.J., Reenie diam-diam memberi semangat pada P.J.
Jangan biarkan mereka menganggapmu tolol. Lihat Sandi. Ia tidak
mati. Ia hampir tertawa cekikikan.
P.J. mengerang pelan. Bola matanya berputar ke atas sampai
hanya kelihatan putihnya saja. Tubuhnya mulai tersentak-sentak.
Oh, tidak! Apakah ia terkena serangan jantung" tanya Reenie
dalam hati. Ia menghambur mendekati P.J.
Greta menjerit - tinggi dan melengking.
"Diam!" bentak Artie.
Sambil terus bergoyang, P.J. jatuh ke lantai di kaki Reenie.
Sandi duduk, ekspresi wajahnya kebingungan. "Hei! Kalian
mengerjai dia terlampau jauh. Kalian sungguh-sungguh membuat dia
takut!" Reenie membungkuk di atas tubuh P.J. dan menempelkan
telinganya di dada P.J. Yang terdengar hanyalah jantungnya sendiri
yang berdebar-debar. Jantung itu berdetak keras, terasa sakit di dalam
dadanya. "Aku akan memberi dia air," seru Greta.
Ini kesalahanku! Semua kesalahanku! pikir Reenie. Aku satusatunya orang yang
tahu jantungnya lemah. Aku bisa menghentikan
ini semua jika aku mau. Bagaimana aku bisa menjadi begitu tolol"
"Kau bilang ini akan jadi lucu!" teriak Sandi. "Tapi tak seorang
pun tertawa!" "Sean!" teriak Reenie. "Kupikir P.J. - kupikir P.J. -
Mati. Ia tidak bisa mengeluarkan kata itu - tapi itulah yang ia
pikirkan. Ia pikir P.J. mati.
Sean menghambur dan membungkuk di samping Reenie. "Aku
tak bisa mendengar detak jantungnya," bisik Reenie.
"PJ. hanya pingsan," kata Artie. "Aku akan memperlihatkannya
padamu." Artie berlutut di samping P.J. dan menggoyang-goyang
tubuhnya seperti yang ia lakukan pada Sandi.
"Ayo, PJ.," Artie memohon. "Jangan jadi pengecut. Kau tidak
setakut itu." Artie menggoyang P.J. lebih keras. Menggoyangnya
sampai kepala P.J. tergeletak ke belakang dan terkulai di bahunya.
Golok Halilintar 2 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Bentrok Rimba Persilatan 10
^