Amulet Bertuah 1
Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear Bagian 1
Prolog Shadyside Village 1900 NORA GOODE FEAR menundukkan kepala. Lelah, amat
sangat lelah. Ia telah duduk di dalam ruangan yang dingin ini hampir
semalaman, menjawab pertanyaan demi pertanyaan. Menggambarkan
semua yang telah disaksikannya di mansion keluarga Fear.
Bukan hanya sekali. Bukan juga dua kali. Tapi sudah tiga kali sekarang.
Dan masih saja mereka menahannya di sini. Di ruangan tanpa
jendela ini. Di ruangan yang cenderung gelap, bukan terang.
Cahaya lilin yang cuma satu-satunya berkelap-kelip. Bayangbayang bergerak-gerak.
Nora mengangkat pandangannya ke arah pria yang duduk di
belakang meja. Pria inilah yang akan menentukan nasibnya. Ia
memiliki wewenang untuk membebaskan Nora. Ia juga punya
kekuasaan untuk menjebloskannya ke penjara.
Pria itu menarik napas berat dan bersandar di kursinya.
Disebarkannya kertas-kertas di hadapannya. Kertas-kertas yang
memuat pertanyaan-pertanyaannya dan jawaban-jawaban Nora.
Nora menghapus air mata dari matanya dan menegakkan
punggungnya. Ia mencoba menelan ludah namun lehernya terlalu
kering. Punggungnya terasa sakit. Ia lapar dan capek. Ia ingin merosot
keluar dari kursinya, meringkuk di lantai, dan tidur.
Ia ingin bermimpi tentang Daniel, pria yang baru sehari menjadi
suaminya. Tentang waktu-waktu bahagia yang mereka lalui bersama
sebelum kutukan keluarga Daniel mengantarkan kematian dan
kehancuran kepada mereka.
"Baiklah, Nora," pria itu berkata tegas. "Ceritakan lagi apa yang
terjadi." Lagi" Bahu Nora jatuh ke depan. Kalau aku tidak sinting
sekarang, pikirnya sedih, pasti sebentar lagi aku bakal sinting.
Bagaimana aku sanggup menceritakan kisah horor ini lagi dan lagi"
Aku ingin melupakan semua yang terjadi, tapi pria ini memaksaku
mengingatnya. Tak sabaran, pria itu mengetuk mejanya dengan buku-buku
jarinya. "Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi di mansion
Fear. Katakan yang sebenarnya maka kau akan dibebaskan."
Aku harus kuat, Nora berpikir. Demi anakku. Anak Daniel dan
aku. Nora tahu ia mengandung putra Daniel Fear. Hatinya tahu. Ia
akan melakukan apa pun untuk melindungi bayi mereka. Apa pun.
Ia menelan dengan susah payah dan memaksa dirinya untuk
menjawab dengan tenang. "Kakek Daniel, Simon Fear, sedang
merayakan ulang tahunnya yang ke-75. Semua lilin di kue ulang
tahunnya telah dinyalakan. Daniel mengumumkan bahwa Nora Goode
Fear adalah mempelai barunya. Kakeknya menjerit?"
"Pembohong!" teriak pria itu. "Kalian tak pernah menikah.
Semua orang di Shadyside mengetahuinya."
"Kami telah menikah!" protes Nora. Bagaimana ia bisa
meyakinkan pria itu agar percaya padanya"
"Kami menikah diam-diam," Nora menjelaskan. "Kami tak
ingin memberitahu keluarga kami sampai upacaranya selesai. Kami
khawatir mereka akan mencoba menghentikan kami"karena
permusuhan di antara keluarga Fear dan Goode."
Pria itu menggelengkan kepala, bibirnya merapat membentuk
garis yang tipis. "Lanjutkan," katanya tidak sabar.
"Aku dan Daniel kawin lari. Kami bahkan tidak sempat
membeli cincin kawin. Sebagai gantinya Daniel memberikan ini
untukku." Nora mengangkat rantai amulet yang dikenakannya di
lehernya. "Malam itu adalah ulang tahun ke-75 kakek Daniel. Seseorang
membawa masuk kue ulang tahun dengan lilin-lilin menyala.
Kemudian Daniel mengumumkan pernikahan kami. Kakeknya
menjerit dan bangkit dari kursi rodanya?"
"Tidak mungkin!" sergah pria itu. "Simon Fear seorang pria tua
yang lemah. Dia tak bisa bangkit dari kursi rodanya."
Nora tersentak mendengar nada kasar pria itu. "Tapi dia benarbenar bangkit," Nora bersikeras. "Kemudian dia jatuh dan roboh ke
atas meja. Kue ulang tahunnya terbalik. Api lilin-lilin itulah yang
menciptakan kebakaran itu."
"Kau berharap aku akan percaya bahwa lilin-lilin kecil di atas
kue ulang tahun telah membakar habis sebuah mansion yang megah?"
Nora memejamkan matanya rapat-rapat dan mengangguk. Ia
bisa melihat Daniel berdiri di sisinya dan memperkenalkannya ke
kakek-neneknya. Sesaat kemudian, dinding api memisahkan mereka"
untuk selama-lamanya. "Kau tidak mencoba memadamkan api itu?" lelaki itu bertanya.
"Tak seorang pun bisa memadamkan api itu. Daniel mencoba
melakukannya, namun api itu seperti benda yang hidup dan bernapas.
Sesuatu yang memiliki kehendak. Sangat panas dan terang."
Nora menarik napas dalam-dalam dan memaksa dirinya
menatap mata dingin pria itu. "Dan aku melihat wajah-wajah"wajahwajah yang menjerit dan tertawa"di tengah nyala api," katanya tegas.
Nora merasa lebih banyak air mata mulai mengalir turun
membasahi pipinya. Ia menghapusnya.
"Cukup!" pria itu meninju meja dengan kepalan tangannya.
"Aku telah memberimu empat kali kesempatan untuk menceritakan
kejadian yang sebenarnya. Semua kisah yang kaugambarkan sama
sekali tidak mungkin."
Ia mengangkat sebatang pena, mencelupkannya ke dalam tinta,
dan mencoretkan namanya di atas kertas. Nyala api lilin berkedip.
Bayang-bayang berdansa di wajah pria itu.
Ia mengangkat matanya dan mendapati Nora tengah
menatapnya. "Aku menyesal, Nora, tapi aku tak punya pilihan. Aku
harus menyatakan kau tidak waras dan mengirimmu ke rumah sakit
gila." Nora membuka mulut dan mengeluarkan jeritan sedih yang
menggema ke seluruh ruangan.
BAGIAN SATU BAB 1 Shadyside Village 1901 NORA benci malam hari. Sepanjang siang, ia mendengar satu atau dua teriakan dari arah
koridor. Ia mendengar debaman dari atas selnya atau debuman dari
bawah. Namun pada malam hari, lolongan dan jeritan yang dalam
dipantulkan oleh dinding-dinding rumah sakit jiwa itu. Nora menutup
telinganya, tapi ia masih mendengar jeritan-jeritan para penghuni
lainnya. Apa yang mereka lihat dalam mimpi buruk mereka" Nora
bertanya-tanya. Apakah lebih mengerikan dari yang kulihat di balik
jendelaku" Nora memandang dari balik jeruji besi berwarna hitam itu.
Seperti yang selalu dilakukannya setiap malam selama sepuluh bulan
sekarang. Sepuluh bulan yang panjang ketika ia dikurung di dalam
rumah sakit jiwa ini. Di balik jeruji ia dapat menyaksikan sisa-sisa mansion Fear di
bawah cahaya bulan purnama. Mana ada mimpi buruk yang lebih
buruk daripada ini" Nora melihat bahwa para pekerja telah mengalami kemajuan
dalam pembangunan jalan yang melintasi tanah keluarga Fear.
Sebuah jalan yang akan mereka namakan Fear Street.
Nora memeluk dirinya sendiri. Ia telah mencoba memberitahu
para dokter dan perawat bahwa jalanan itu bukanlah ide yang baik.
Tapi mereka tak mau mendengar.
Lagi pula, mana mungkin mereka mau mendengarnya! Mereka
kan menganggapnya tidak waras.
Tapi Nora tahu nasib buruk yang mengikuti seluruh keluarga
Fear entah bagaimana telah meresap ke tanah mereka. Mencemarinya.
Ia berbalik memunggungi jendela. Kegelapan selalu datang
terlalu cepat, menebarkan bayang-bayang ke sekeliling tempat tidur,
meja, dan kursi. Dan buaian itu. Membungkuk, Nora mengangkat putranya ke dalam
pelukannya. Nicholas memandangnya dengan sepasang mata cokelat
yang penuh rasa percaya... mata ayahnya. Mata Daniel Fear.
Nora berbalik kembali ke jendela dan duduk di atas lantai kayu.
Angin bersiul menembus kaca yang retak. Nora bersandar ke depan
dan menakik napas dalam-dalam. Udara malam yang segar
mengingatkannya pada dunia di luar sana. Ia ingin Nicholas mengenal
dunia itu. Namun putranya telah dilahirkan di tempat ini. Ia tak pernah
keluar dari jeruji besi dan pintu-pintu terkunci rumah sakit jiwa ini.
Nora lebih suka tidur bersandar di jendela, memeluk putranya.
Matrasnya bau parfum apak, darah, keringat, dan kematian. Ia tak
pernah memakainya. Ia berayun ke depan dan belakang. Seseorang menjerit"
suaranya tinggi dan melengking. Putranya menangis pelan.
Memandang wajah putranya yang tak berdosa, Nora menyibakkan
rambut cokelat bayinya dari keningnya yang berkerut.
"Cuma angin. Cuma angin," bisiknya. "Aku akan menjagamu.
Jangan takut. Aku akan selalu menjagamu."
***************** Nora merasakan kehangatan sinar matahari di atas kelopak
matanya. Perlahan-lahan ia membuka mata.
Hari yang baru lagi. Kunci-kunci bergemerincing ketika seseorang membuka kunci
pintu. Nicholas merengek, dan Nora mengangkat serta memeluknya
erat-erat. Pintu itu terayun membuka. Seorang wanita bertubuh besar
berdiri di ambangnya. Martha, perawat Nora. Tubuhnya menghalangi
cahaya yang berasal dari koridor. "Waktunya mandi, Nora."
Martha menepi. Seorang gadis remaja melangkah Masuk.
"Nancy akan mengawasi si bayi," Martha berkata.
Nancy mengenakan pakaian longgar dari katun putih kasar
seperti Nora. Itu berarti ia penghuni rumah sakit jiwa. Ia menggerakgerakkan kedua tangannya dengan cepat di depannya, senyum hampa
membeku di wajahnya. "Bayi. Aku jaga bayi."
Nora memeluk Nicholas semakin erat. "Bisakah ia dijaga oleh
perawat saja?" "Nancy sudah dua belas tahun. Jelas cukup besar untuk
mengawasi bayi," bentak Martha.
"Dua belas," ulang Nancy seraya mengulurkan tangan.
"Dia sedang tidur," Nora berbohong. Diletakkannya Nicholas di
dalam buaian. "Tidur," Nancy berkata. Kedengarannya ia kecewa, tapi
senyumnya tak juga lenyap.
"Kau tidak boleh menggendongnya kalau dia sedang tidur,"
Nora berkata. "Tidak boleh menggendongnya," ulang Nancy. Ia memandang
ke dalam buaian. "Awasi dan jaga dia saja," Nora menambahkan dengan lembut.
"Awasi dan jaga dia," beo Nancy. Ia mulai mengayun-ayunkan
buaian dan menyanyikan lagu ninabobo.
Dengan enggan Nora mengikuti Martha keluar. Martha
membanting pintu dan menguncinya. Ia mengaitkan tangannya yang
gemuk besar ke lengan Nora dan menyeretnya menuruni tangga.
Ketika mereka memasuki lantai pertama, Nora melihat seorang
pria membentur-benturkan kepalanya ke dinding. "Sakit," kata pria
itu. Lalu membenturkan kepalanya lagi. "Sakit."
Seorang wanita duduk di sudut dan mencakar wajahnya dengan
kukunya. Darah berwarna merah terang mengalir di kedua tangannya.
Martha cepat-cepat menghampiri wanita itu sambil menyeret
Nora. Dicengkeramnya pergelangan tangan wanita itu. "Hentikan!
Hentikan, Charlotte!"
"Aku harus melepaskannya," rengek wanita itu.
"Petugas, ikat wanita ini ke tempat tidurnya!" Martha berseru.
"Aku harus melepaskan labah-labah ini. Mereka menggigitiku.
Menggerogoti wajahku," lolong wanita itu.
Seorang pria muda menyerbu masuk dan mengangkat Charlotte
seolah-olah wanita itu anak kecil. Digendongnya wanita itu sepanjang
koridor. "Aku harus melepaskan mereka," wanita itu terus-menerus
menjerit. Martha mempererat cengkeramannya di tangan Nora dan
melangkah ke anak tangga menuju ruang bawah tanah. Nora
tersandung-sandung saat Martha menyeretnya menuruni anak-anak
tangga. Martha membuka pintu dan mendorong Nora ke ruangan yang
gelap dan lembap. Nora menempelkan punggungnya ke dinding. Ia
benci datang ke sini. Martha mendorong sebuah pintu lain hingga terbuka. "Masuk."
Nora menahan napas saat ia memasuki ruangan itu. Penerangan
di situ remang-remang. Seorang wanita kurus kering dengan kulit
kendur menggelantung di tulang-tulangnya melangkah keluar dari bak
mandi yang terbuat dari besi. Luka-luka yang menganga terbuka
memenuhi sekujur tubuhnya yang gemetaran. Giginya gemeletuk.
Nora tahu air itu dingin. Airnya memang selalu dingin. Dan tak
ada api di situ untuk menghangatkannya.
Seorang petugas menyelimutkan selembar handuk ke tubuh
wanita yang kurus itu dan membimbingnya keluar dari situ.
Nora mengembuskan napas dan bau busuk ruangan itu
menyerbu masuk ke hidungnya. Bau keringat, bau busuk, bau jamur.
Ia selalu merasa lebih kotor setelah mandi di ruangan ini.
"Ayo cepat," Martha memberi perintah.
"Kau tak ingin membiarkan Nancy bermain dengan putramu
terlalu lama." *************** Gemetaran setelah mandi, Nora mengikuti Martha kembali ke
kamarnya. Tubuhnya telah kering, tapi ia masih merasa lembap.
Martha menyelipkan anak kuncinya ke lubang pintu,
memutarnya, dan mendorong pintu hingga terbuka. Nora menyerbu
masuk. Nancy berdiri di sisi buaian, mengayun-ayunkannya. "Bilang
bye-bye," gumamnya. "Nancy bilang bye-bye sama bayi."
Nora memperhatikan putranya lekat-lekat. Mata bayi itu
terpejam. Ia tidur lelap.
"Ayo, Nancy," Martha memerintah dari ambang pintu.
"Ayo," ulang Nancy dengan nada berlagu.
Nancy berjalan cepat ke pintu. Kemudian ia berbalik menatap
buaian. "Nancy bilang bye-bye. Bayi pergi ke rumah baru sekarang.
Bayi pergi ke rumah baru."
"Apa?" Nora tersentak. Ia menautkan kedua tangannya erat-erat
agar tidak gemetaran. "Apa, Nancy?"
"Nancy bilang bye-bye sama bayi," sahut Nancy. Ia menggerakgerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah, ke atas dan ke bawah.
Perlahan-lahan Nora mengangkat matanya dan menatap Martha.
"Tidak," bisiknya.
"Ya," Martha menjawab tegas. "Nancy benar. Bayi itu tak boleh
dibesarkan di rumah sakit jiwa. Ia hampir cukup besar untuk berpisah
denganmu. Mereka akan segera mengambilnya."
Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BAB 2 "KAPAN?" bentak Nora. "Kapan mereka akan mengambil
Nicholas?" Ia harus tahu. Ia harus menyusun rencana. Ia takkan
pernah membiarkan siapa pun mengambil Nicholas darinya.
"Tenangkan dirimu," tukas Martha. "Mereka akan datang kapan
pun mereka mau. Berteriak-teriak tidak akan mengubah apa pun."
"Nora menyambar tangan Martha. "Apa yang akan mereka
lakukan padanya" Ke mana mereka akan membawanya" Tolong
beritahu aku. Kau harus memberitahuku."
Martha melepaskan jemari Nora dari lengannya. "Cukup,"
sentaknya. "Aku tak ingin kau dikurung."
Martha berjalan ke pintu. "Ke mana pun mereka membawa
bayimu, itu lebih baik baginya daripada di sini," ia berkata dari balik
bahunya. Tapi ia akan kehilangan aku, Nora berpikir. Ia akan kehilangan
ibu kandungnya. Dan tak ada orang lain yang bisa mencintai Nicholas
seperti aku. Begitu Martha mengunci pintu di belakangnya, Nora
mengulurkan tangannya ke balik kasur dan mengeluarkan seutas tali.
Digosoknya tali itu di antara jemarinya. Masih belum cukup
tebal juga. Padahal ia telah mengerjakannya selama berbulan-bulan.
Nora melepaskan kepang rambutnya dan menggeraikannya.
Rambutnya jatuh nyaris di lutut.
Ia mengambil beberapa helai rambut dan mencabutnya, tak
memedulikan cubitan rasa sakit di kulit kepalanya.
Ia menyatukan rambutnya ke tali yang dibuatnya. Tali yang
terbuat dari rambut, benang-benang selimutnya, benang-benang
pakaiannya, dan apapun yang dapat ditemukannya.
Nora berusaha selembut mungkin ketika ia mencabut lebih
banyak rambut, namun tangannya gemetaran. Ia merasa takut. Takut
mereka datang terlalu cepat. Takut mereka akan datang dan
mengambil Nicholas sebelum dirinya siap.
Setelah tali itu selesai, ia bermaksud mendorong kaki kursi ke
sudut jendela yang retak sampai kaca jendela itu pecah. Kemudian ia
akan membungkus Nicholas di dalam selimut, mengikatkan tali itu di
sekeliling tubuhnya yang terlindung, dan perlahan-lahan
menurunkannya ke tanah. Kemudian ia sendiri akan menyiram air ke perapian dan
memanjat lewat cerobong asap sampai ia mencapai atap. Entah
bagaimana ia akan menemukan jalan turun dan menjemput Nicholas.
Nora mengulang rencana kaburnya lagi dan lagi di dalam
pikirannya sementara ia mengerjakan tali yang halus itu. Rencananya
harus berhasil. Pokoknya harus.
Di luar angin melolong. Nora menghentikan pekerjaannya dan
mendengarkan dengan saksama. Ia mendengar suara lain di antara
suara angin. Ada orang berseru minta tolong! Nora menghambur ke jendela
dan melihat ke luar. Ia melihat salah satu dokter berlari ke undakan
depan. Seorang anak laki-laki berambut merah melesat
menghampirinya. "Ada kecelakaan!" anak laki-laki itu berteriak. "Kecelakaan
parah. Di jalanan yang dibangun di dekat mansion Fear. Tiga orang
remuk!" Kalau saja orang-orang itu mau mendengarkan Nora. Nora tahu
kuasa gelap keluarga Fear akan mengambil lebih banyak korban lagi.
Ia tahu jalanan itu hanya akan berarti malapetaka bagi kota itu.
Nicholas merengek pelan. Nora mengangkatnya ke pelukan dan
membuainya lembut. Warisan hitam keluarga Fear takkan pernah menyentuh
putranya, ia berjanji pada dirinya sendiri. Takkan pernah.
Bayi itu kembali tertidur, dan Nora mengembalikannya ke
buaian. Kemudian ia meraih dan menggenggam beberapa helai
rambutnya. Sambil mengertakkan gigi menahan sakit, ia
mencabutnya. Ia harus membawa Nicholas pergi dari tempat mengerikan ini.
Pergi dari rumah sakit jiwa ini. Pergi dari kota ini. Pergi dari apa pun
yang tercemar oleh keluarga Fear.
Nora menganyamkan helai-helai rambutnya ke untaian talinya.
Ia mengambil segenggam rambut lagi dan mencabutnya.
Ia merasakan aliran darah yang hangat dan basah menetes
menuruni pipinya. Ia tak peduli. Yang penting baginya hanya
Nicholas. Dengan jari gemetar Nora menambahkan helai-helai rambut itu
pada jalinan talinya. Ia menoleh memandang buaian. "Jangan khawatir, Nicholas,"
ujarnya lembut. "Aku akan menjagamu. Aku takkan mengizinkan
mereka mengambilmu dariku. Sampai kapan pun."
Pintu mengayun terbuka dengan keras.
Nora menahan napas. "Kau sedang apa, Nora?" suara rendah itu membentaknya.
BAB 3 NORA menyentakkan kepalanya dan menoleh ke pintu.
Dokternya berdiri di sana memperhatikan. Rupanya Nora tadi tak
mendengar kedatangannya. Dokter itu menghampiri Nora. "Apa ini?" ia bertanya seraya
menarik jalinan tali yang panjang dan halus dari tangan Nora.
Nora berusaha untuk tetap tenang. "Karena Anda telah
mengambil pena dan kertasku, aku tak punya kesibukan lagi. Tali ini
kubuat untuk menyibukkan diriku."
Sang dokter melilitkan tali itu di sekeliling tangannya. "Pintar
sekali, Nora. Apakah kau berpikir untuk kabur dengan tali tipis
begini?" "Tidak!" Nora bersikeras. "Tapi tak semestinya aku berada di
tempat mengerikan ini."
"Akulah yang berhak memutuskan itu," sang dokter berkata. Ia
mengeluarkan saputangannya dan mengusap darah dari kening Nora.
Dokter itu melangkah ke pintu dan membukanya. "Panggilkan
Martha," ia berseru ke koridor. "Dan suruh dia membawa gunting."
"Jangan," erang Nora, air mata memenuhi matanya. "Kumohon,
jangan." Nicholas mulai menangis. Nora menggendong dan memeluknya
erat-erat. Beberapa menit kemudian Martha berjalan tegak masuk ke
kamar. "Nora mencabuti rambutnya untuk membuat tali," dokter itu
memberitahu Martha. "Potong."
"Tentu saja, Dokter." Martha tersenyum lebar padanya.
"Ayo, Nora," bujuk Martha seraya mengangkat sebuah gunting.
Dikatup-katupkannya gunting itu beberapa kali. Suara yang
ditimbulkannya membuat giginya gemeletukan. "Ini untuk yang
terbaik. Kita tak boleh membiarkan kau mencabuti rambutmu. Kita
tak boleh membiarkan kau menyakiti dirimu sendiri."
"Aku takkan berbuat begitu lagi," Nora berjanji sambil
menjauh. Martha menyelipkan gunting itu ke saku seragamnya dan
mengulurkan tangannya. "Berikan putramu padaku. Akan kutidurkan
dia." Aku bisa kabur, Nora berpikir panik. Aku bisa menyelinap di
antara Martha dan dokter itu sebelum mereka menyadari apa yang
kupikirkan. Aku bisa keluar dari ruangan ini, menuruni tangga, dan
keluar dari rumah sakit jiwa ini sebelum seorang pun menangkapku.
Dan kalau mereka menangkapku" Nicholas bisa saja terluka,
Nora tersadar. Martha bisa saja tanpa sengaja menikamnya dengan
gunting itu. Atau mungkin saja aku menjatuhkannya.
Ia tak berdosa. Aku harus melindunginya. Kini bukan waktunya
untuk melawan. Tapi waktu untuk melawan akan tiba.
Kalah, Nora dengan lembut meletakkan putranya di dalam
pelukan Martha. Ia mengawasi Martha meletakkan kembali bayi itu ke
buaiannya. "Sekarang, ayo ke dekat perapian, supaya aku bisa melihat apa
yang kulakukan," sergah Martha.
Nora berjalan menghampiri perapian dan duduk di lantai.
Melipat tangannya di atas pangkuan, ia menunggu.
Martha merenggut segenggam rambut Nora dan
menyentakkannya ke atas. Nora menggigit bibirnya untuk menahan
jerit kesakitannya. Gunting itu mengatup. Suara yang kecil itu meremas hatinya.
Segumpal rambutnya yang hitam dan panjang jatuh ke pangkuannya.
Daniel menyukai rambutku, pikir Nora tanpa emosi.
Ia terus menatap perapian sementara kepalanya terasa semakin
ringan. Martha menyentakkan kepala Nora sambil mencukur
rambutnya, tapi Nora sama sekali tak mengeluh.
Bagaimana Nora akan kabur sekarang" Tanpa rambutnya yang
panjang, ia takkan bisa menganyam tali baru. Dan tak lama lagi
mereka akan datang mengambil putranya.
Nora mengangkat matanya dan menatap sang dokter. Dokter itu
balas menatapnya, matanya dingin, wajahnya tanpa ekspresi. Nora
tahu air mata dan rengekan takkan mempengaruhinya. Dokter itu
takkan membiarkan Nicholas bersamanya.
Gunting besi yang dingin itu menyentuh kulit kepalanya dan
Nora bergidik. Ia tak berani mengulurkan tangan ke kepalanya untuk
memastikan apakah rambutnya masih tersisa.
Martha mengumpulkan guntingan-guntingan rambut Nora dan
melemparkannya ke api. Nyala api di perapian meretih dan berderak.
Asap memenuhi ruangan. Bau rambut gosong menyengat paru-paru
Nora. "Kuharap kau jera," Martha berkata. "Di sini kau tak punya
kekuasaan. Kalau kau bikin repot lagi, kau akan menyesal."
Ditahannya air matanya sampai didengarnya Martha dan sang
dokter meninggalkan ruangan dan mengunci pintu di belakang
mereka. Kemudian ia menundukkan kepala dan melolong putus asa.
Aku harus menemukan sebuah cara sebelum kehilangan kewarasanku,
pikirnya. Walaupun tak ingin, jemarinya menyentuh rambutnya yang kini
berdiri tegak. Bagaimana mungkin orang-orang yang melihatku
sekarang percaya bahwa aku bukan orang gila" ia bertanya-tanya
seraya membenamkan wajahnya dalam kedua tangannya. Kapankah
mimpi buruk ini berakhir"
************* Suara-suara keras di koridor membangunkan Nora. Ia bangkit
dari lantai, berjingkat-jingkat menyeberangi ruangan, dan
menempelkan telinganya pada daun pintu yang terbuat dari kayu ek
yang keras. "Dia mungkin menangis sampai tertidur," sebuah suara kasar
bergumam. Nora tahu itu suara sang dokter.
"Apa yang akan kita lakukan bila Nora memberitahu orangorang?" suara yang lain bertanya.
"Siapa yang percaya padanya" Kita katakan saja dia membunuh
bayinya dan kita menguburkannya. Siapa pikirmu yang akan mereka
percaya" Wanita sinting itu" Atau seorang dokter terhormat?"
Nora berjalan menjauhi pintu. Ia mengedarkan pandangannya di
ruangan yang kosong itu. Ia tak memiliki senjata, atau cara untuk
melindungi Nicholas. Dihampirinya buaian bayinya dan diangkatnya Nicholas ke
dalam pelukannya. "Perjalanan kita menuju keselamatan akan segera
dimulai, Nicholas. Aku tak tahu bagaimana caranya, tapi kita akan
menemukan cara untuk kabur dari sini."
Nicholas berdeguk dan tersenyum padanya. Air mata
menyengat mata Nora. Nicholas mempercayainya. Ia takkan
mengecewakannya. Ia berjalan ke jendela. Sambil memeluk Nicholas, ia menunggu.
Butiran keringat membasahi keningnya. Dengan tidak sabar ia
menghapusnya. Ia mendengar anak kunci dimasukkan ke lubang.
"Mereka datang," ia berbisik. "Mereka datang."
Nicholas berdeguk. Nora mempererat pelukannya. "Aku harus
meyakinkan mereka bahwa tak semestinya kita berada di sini," ia
berkata lembut. Ditatapnya putranya. "Berbohong itu salah, Nicholas,
tapi aku tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Untuk
menyelamatkanmu, aku akan melakukan apa pun."
Menunduk, ia mencium pipi Nicholas yang halus. "Kalau kau
sudah besar nanti, selalu bicara jujur."
Besi bertemu dengan besi saat anak kunci berputar.
Keheningan memenuhi kamar.
Detik-detik berlalu bagai menit.
Kenop pintu berputar. Engsel-engsel berderit. Daun pintu perlahan-lahan membuka.
Sang dokter dan dua asisten bertubuh besar berdiri di dalam
kegelapan. Kabur dari sini sama sekali tidak mungkin.
Nora melangkah ke tengah ruangan. Ia meluruskan punggung,
mengangkat dagu, dan memandang mata dokter yang penuh tanda
tanya itu. "Aku berbohong waktu Anda bertanya padaku dulu. Anda
benar. Tak ada hantu malam itu. Tak ada wajah-wajah yang menjerit
di dalam api. Satu-satunya jeritan yang kudengar hanyalah jeritanku."
Nora buru-buru meneruskan, "Aku tahu kejadian yang
sebenarnya. Keluarga Fear tidak memiliki ilmu hitam. Tak ada
kutukan di dalam keluarga itu. Dan tidak apa-apa membangun jalanan
di atas tanah keluarga Fear. Tak seorang pun di Shadyside dalam
bahaya." "Aku bangga padamu, Nora. Aku tahu sulit bagimu mengatakan
semua itu," dokter itu berkata.
Nora mengembuskan napasnya dengan desahan panjang.
Apakah ia dan Nicholas akhirnya bisa memulai hidup baru"
Dipandangnya dokternya. Jantungnya berdegup cepat sementara
ia menunggu keputusannya.
"Aku tahu pada suatu hari kau akan memberitahu apa yang
sebenarnya terjadi malam itu di mansion Fear," sang dokter
melanjutkan. Kemudian tatapannya mengeras. "Tapi sudah terlambat,
Nora." "Tidak!" jerit Nora. Kemarahan menguasainya. "Anda berjanji
akan membebaskan aku jika aku menyadari apa yang sebenarnya
terjadi malam itu. Api menghancurkan mansion keluarga Fear. Api
yang mengerikan. Sisanya hanyalah imajinasiku."
"Jelas sekali kau masih percaya bahwa keluarga Fear telah
dikutuk," sang dokter berkata tegas. "Kau masih membutuhkan
bantuan kami. Aku telah mengatur agar Nicholas tinggal dengan
keluarga baik-baik sampai kau siap dibebaskan."
BAB 4 "KUMOHON," lolong Nora. "Kumohon, jangan ambil bayiku.
Hanya dia milikku." "Kalau kau sudah sembuh, dia akan dikembalikan padamu, aku
janji," sang dokter memberitahunya.
Nora mundur hingga tubuhnya menempel ke dinding. "Janji
Anda bohong semua," semburnya. "Aku tidak akan membiarkan Anda
mengambil anakku."
Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tidak bisa menghentikanku. Kau pasienku. Aku doktermu.
Dan keluarga itu sudah setuju membayar tinggi demi seorang anak
laki-laki. Aku tidak ingin mengecewakan mereka." Ia memberi isyarat
pada para petugas. Mereka bergerak ke arah Nora.
Nora melesat ke seberang ruangan. Diletakkannya Nicholas di
dalam buaian. "Aku bisa membelamu dengan lebih baik kalau aku
tidak menggendongmu," ia berbisik.
Ia berbalik dan menatap kedua pria yang mendekatinya. Seperti
wanita sinting yang mereka tuduhkan padanya, ia melepaskan jeritan
liar yang berasal dari lubuk jiwanya yang paling dalam.
Ia memamerkan giginya. Cuping hidungnya mengembang dan matanya yang hijau
menyipit. Jemarinya menekuk membentuk cakar. Kemudian ia melompat
menyerang kedua pria kekar itu.
Disabetkannya kuku-kukunya ke leher pria yang paling dekat.
Dirasakannya kulit pria itu mengerut di bawah kukunya. Pria itu
berteriak saat darah mengalir turun ke dadanya seperti anak sungai.
Nora mengangkat tangannya ke mata pria itu.
Pria kedua menyambar dan menariknya. Nora membenamkan
giginya ke lengan atas pria itu. Sambil menyentakkan kepala ke
belakang tanpa belas kasihan, ia merobek lengan pria itu. Jeritan pria
yang kesakitan itu menenggelamkan suara panik sang dokter yang
sibuk memberi perintah. Pria pertama menjatuhkan Nora ke lantai. Tersengal-sengal,
Nora merasakan darah hangat yang asin dan mengandung besi di
bibirnya. "Tangkap tangan yang satu, aku yang satunya lagi," salah satu
petugas itu menggeram. Nora berusaha bangkit. Kedua pria itu menyerbunya. Nora
melesat ke kanan. Salah satu pria itu menyambar tangannya. Ia
membanting Nora ke arah temannya. Tangan mereka memeluk kedua
tangannya bagai rantai besi.
Nora menendang dan melawan. Ia mendengar suara tawa. Tawa
sang dokter. Menggema di dinding. Mengepungnya. Mencekiknya.
Bau asam tubuh mereka yang belum mandi memenuhi hidung
Nora saat ia berjuang melepaskan diri. Ia bukanlah tandingan mereka.
Ia sangat kecil. Mereka sangat besar.
Sang dokter menghampiri dan berdiri di depan Nora. "Nora
sayang," katanya lembut, "kalau kau terus melawan mereka, dengan
mudah mereka akan mematahkan lehermu. Siapa yang peduli kalau
kau mati?" Ia pergi menghampiri buaian. "Ah, anak berharga ini telah
menjadikanku orang yang kaya raya."
Ia membungkuk dan meraih Nicholas.
"Tidak!" Nora berteriak dalam keputusasaan saat ia melawan
para peringkusnya. "Jauhi bayiku!"
Amulet di dadanya terasa semakin panas di kulitnya.
Lantai bergetar. Nora menahan napas. Sang dokter berbalik. Matanya melebar oleh rasa takut.
Lidah api berderak dan berkobar. Nyalanya semakin tinggi dan
tinggi. Keluar dari perapian. Memanjat dinding. Lidah api dengan
rakus menjilat langit-langit. Semakin terang dan terang hingga yang
bisa Nora lihat hanya dinding api.
Seorang pria muncul dari nyala api yang menari-nari.
"Daniel," Nora menahan napas.
Suaminya telah bangkit dari kubur.
Kaki Nora terasa lemas. Daniel menatapnya. Wajahnya serius. Matanya menuduh.
"Aku menyesal," seru Nora. Suaranya bergetar. "Aku sangat
menyesal, Daniel. Aku mencoba melindungi putra kita"tapi aku tak
bisa. Maafkan aku," pintanya.
"Kemarilah dan ikut denganku, Dokter," Daniel berkata parau.
Ia mengulurkan tangan melewati Nora dan menarik sang dokter ke
dalam api neraka yang berkobar itu.
Menjerit, sang dokter jatuh berlutut. Matanya membeliak.
Melotot semakin lebar. Kemudian, dengan bunyi pop matanya
melompat dari soketnya dan menggelinding di atas lantai. Biji-biji
mata itu berdesis ketika api menelan mereka.
Nora membuang wajahnya dari pemandangan mengerikan itu.
Tertegun, para petugas melepaskan Nora. Ia mundur
menghampiri buaian. Nicholas bakal ketakutan.
Jerit kesakitan sang dokter menyatu dengan deru api. Nora
memaksa dirinya untuk melihat.
Kulit sang dokter menciptakan gelembung-gelembung yang
pecah dan menampakkan tulang di baliknya. Gelembung, pecah,
tulang. Terus seperti itu.
Nora merasakan bau yang menusuk menyentak bagian belakang
lehernya. Ia menelan dengan susah payah.
Tenang, ia memerintahkan dirinya. Kau harus siap
menyelamatkan Nicholas. Kulit sang dokter mendidih"hingga tak ada yang tersisa
kecuali kerangkanya. Daniel menjatuhkan sang dokter. Sambil menjerit marah ia
menyambar salah satu asisten"tepat ketika pria itu mengulurkan
tangan ke kenop pintu. Asisten yang satu lagi melesat ke jendela. Daniel menembakkan
nyala api ke arahnya. Api membakar sekujur tubuh sang asisten
seperti selimut. Api terus berkobar, melebar ke sudut-sudut kamar, melukis
langit-langit dengan nyala oranye.
"Nora!" seru Daniel.
Nora menyentakkan kepalanya ke perapian.
Dari tengah-tengah lautan api, Daniel mengulurkan tangan
meraihnya. BAB 5 NORA merasakan panas menyengat dari tangan Daniel.
"Daniel, jangan!" teriaknya. "Tidakkah kau mengenaliku" Aku Nora.
Istrimu. Aku tahu kau tak ingin melukaiku."
Cabikan kulit terkelupas dari wajah Daniel. Tangannya yang
terbakar nyaris menyentuh Nora.
Nora tak bisa bergerak. Ia harus tetap berdiri di depan buaian. Ia
harus melindungi Nicholas.
Nora memaksa dirinya menatap mata putih Daniel yang
terbakar api. "Daniel. Kau harus mengerti. Aku Nora. Anak kita
membutuhkanku." "Lari, Nora," Daniel berkata parau.
Nora berlari ke buaian dan mengangkat Nicholas. Kemudian ia
meluncur ke pintu. Ia ragu sejenak dan memandang suaminya. Lidah api bergerak
mundur kembali ke perapian.
"Ini anakmu," Nora memberitahunya, suaranya pecah. "Kalau ia
besar nanti, wajahnya akan mirip denganmu."
"Pergi!" pinta Daniel. Wajahnya mengerut kesakitan saat nyala
api berkobar di sekelilingnya.
"Aku mencintaimu, Daniel," seru Nora.
Daniel melepaskan lolongan memilukan dan jatuh berlutut.
Nora melesat meninggalkan kamarnya dan berlari menyusuri
koridor. Nyala api mengikutinya. Lidah api berkobar di sekelilingnya.
Dinding-dinding berubah menjadi lautan api yang membutakan.
Para penghuni rumah sakit jiwa itu menggedor-gedor pintu
kamar mereka yang terkunci. Teriakan-teriakan minta tolong tak
dihiraukan saat asap tebal mencekik udara.
Sambil memeluk Nicholas erat-erat, Nora melesat menuruni
tangga. Kamar-kamar di lantai berikutnya tidak terkunci. Para pasien
berlarian ke seluruh penjuru.
Nora melihat seorang wanita duduk di tengah-tengah lantai,
bergoyang linglung ke depan dan belakang. "Kebakaran!" teriak Nora.
"Lari! Gedung ini kebakaran! Selamatkan dirimu!" Wanita itu terus
mengayunkan tubuhnya. Nora meneruskan larinya. Lebih cepat. Aku harus lari lebih cepat. Aku harus menyelamatkan Nicholas.
Aku takkan membiarkan kuasa gelap menyentuhnya. Aku tidak akan
membiarkan lidah api membakarnya.
Ia meluncur menuruni tangga, mendorong orang-orang menepi.
Para dokter dan perawat berteriak, memberi perintah. Mereka tidak
memperhatikan Nora. Seorang pria menyambar keliman pakaian Nora. Ia mendengar
suara kain robek saat menyentakkan dirinya dan kembali berlari.
Matanya terasa perih. Udara yang panas menyengat paruparunya saat ia bernapas.
Jantungnya berdentam-dentam. Telinganya berdengung.
Lehernya jadi kering. Kita harus keluar dari sini, pikirnya. Dipaksanya kakinya yang
melepuh menuruni deretan tangga terakhir. Kita akan keluar dari sini.
Pasti. Ia meluncur keluar dari pintu muka. Keluar ke dalam kegelapan
malam. Sirene yang meraung-raung dan lonceng-lonceng yang
berdentang menyambutnya. Di belakangnya orang-orang menjerit, api
menderu, dan gedung itu mulai ambruk.
Nora tidak berhenti untuk bernapas. Ia berlari menyeberangi
halaman. Rumput yang sejuk mengurangi pedih di kakinya.
Saat ia mencapai semak-semak yang aman, ia merunduk dan
mengawasi rumah sakit jiwa yang dimakan api itu.
Aku bebas, Nora berpikir. Ia nyaris tak sanggup
mempercayainya. Apa yang harus kulakukan sekarang" Bersembunyi. Aku butuh
tempat yang lebih baik untuk bersembunyi. Setelah itu aku bisa
menyusun rencana. Mencari cara untuk keluar dari Shadyside tanpa
terlihat orang. Ia mengusapkan jemarinya di pipi anaknya yang halus. "Kita
harus pergi ke tempat orang-orang tidak mengenal kita, Nicholas," ia
berbisik. "Kita harus menemukan sebuah kota di mana tak seorang
pun penduduknya pernah mendengar tentang keluarga Fear. Kita
harus pergi jauh, sangat jauh."
Untuk terakhir kalinya ia memandang rumah sakit jiwa itu. Ia
bisa melihat jendela kamarnya. Jerujinya tidak kelihatan terlalu
menakutkan bila dilihat dari luar.
Kaca jendela menghambur ke luar jendela. Bagaikan sepasang
tangan yang panjang, lidah api menyambar ke luar ke pepohonan
terdekat. Nora melihat Daniel berdiri di depan jendela. Memandang ke
arah mereka. "Kita harus pergi, Nicholas. Kita harus pergi sekarang juga.
Selamat tinggal, Daniel."
Nora bangkit berdiri. Sambil membuai bayinya, ia melangkah
terhuyung-huyung menjauhi rumah sakit jiwa itu dan menuju tempat
yang asing baginya. BAB 6 GEMETARAN, Nora meringkuk memeluk Nicholas. Ia
merasakan kehangatan tubuh mungilnya saat bayi itu berbaring di
dadanya. Mereka bersembunyi di atas sebuah kapal. Tak ada
kehangatan di sana. Tak ada api.
Jemari Nora terasa seperti es, beku dan kaku. Ia khawatir ia
akan membuat Nicholas terbangun jika ia menyentuhnya dengan
tangannya yang dingin. Ia tahu bayinya lapar. Sama seperti dirinya sendiri. Tak ada
waktu untuk mencari makanan saat mereka kabur dari rumah sakit.
Tak ada waktu untuk memikirkan bagaimana mereka akan bertahan
sendirian, hanya mereka berdua. Yang dipikirkannya hanya kabur dari
situ. Mereka telah berjalan semalaman. Menghindari jalan-jalan
utama dan orang-orang, perlahan-lahan mereka menuju dermagadermaga di kota tetangga.
Dengan kabut fajar menyelimuti permukaan tanah, Nora
mengendap-endap naik ke palka kapal. Ia tak tahu ke mana tujuannya.
Ia tidak peduli. Kapal ini akan membawa mereka pergi dari sini. Itu
sudah cukup. Ia merasakan gerakan kapal itu dan mendengarnya bergesekan
dengan dermaga saat akan beranjak menuju laut.
Nora menunduk memandang putranya. Nicholas tidur tenang di
dalam peti kayu, dikelilingi beberapa karung tepung tua.
Pelupuk mata Nora bertambah berat. Aku tak boleh tidur, ia
mengingatkan dirinya. Digosoknya matanya yang bengkak. Matanya terasa perih saat
ia memejamkannya. Ketika ia membukanya lebar-lebar rasanya
seperti terbakar. Aku harus terus berjaga-jaga, ia mengingatkan dirinya. Kalau
tidak, mereka akan datang. Mereka bergerak cepat. Bahkan di dalam
kegelapan, aku bisa merasakan mata mereka yang kecil mengawasi
kami dari kasau-kasau di atas.
Ia bergidik. Kalau aku memejamkan mataku sebentar, mereka
akan menyerang. Kapal mengerang bersama gelombang laut. Perhatikan suarasuara itu, Nora memberitahu dirinya. Apa pun asal bisa membuatnya
tetap sadar. Ia mendengarkan langkah-langkah kaki para pelaut di atas saat
mereka bekerja. Angin melolong di atas lautan.
Garukan kaki-kaki kecil. Mereka sudah semakin dekat, pikir Nora.
Nora memandang kegelapan yang mengelilinginya. Ia tak bisa
melihat apa-apa. Ia merasa amat lelah. Tubuhnya terasa nyeri.
Suara cakar-cakar kecil yang ketakutan terdengar semakin
keras. Mereka datang. Namun Nora terlalu lelah. Terlalu lelah untuk merasa khawatir.
Ekor yang panjang, dingin, dan tak berbulu mengusap pipinya.
Tikus-tikus telah tiba. Nora menahan jeritannya. Ia memaksa dirinya agar tidak
bergerak saat binatang-binatang itu mengepungnya.
Aku harus mengumpulkan tenaga. Demi Nicholas. Aku harus
tetap kuat. Ia menyentakkan tangannya dan menyambar salah seekor tikus
itu. Binatang itu menggeliat-geliat di dalam cengkeramannya,
mencicit nyaring. Nora mematahkan lehernya dengan pelintiran tajam. Kemudian
ia menarik putus kepalanya.
Tikus-tikus yang lain berpencar.
Darah tikus yang hangat dan kental mengalir pelan menuruni
tangan Nora, membasahi jemarinya yang sedingin es.
Nora menelengkan kepalanya ke belakang, menahan rasa
jijiknya sendiri. Harus tetap kuat demi Nicholas. Harus tetap kuat.
Nora mengangkat tikus itu ke dekat mulutnya yang menganga
dan meremasnya kuat-kuat. Darah binatang itu menetes ke atas
lidahnya dan mengalir turun ke lehernya.
Pintu menuju palka terempas membuka. Cahaya tercurah masuk
Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lewat ambang pintu. Nora melemparkan tikus itu dan mengusap darah yang kental
itu dari mulutnya. Ia mengangkat Nicholas dan berlari cepat ke balik
tumpukan peti kayu. Langkah-langkah kaki bergema di sekeliling palka. Nora
mengawasi cahaya lampu yang bergoyang-goyang di atas lantai dan
dinding. Cahaya itu semakin dekat. Suara langkah-langkah kaki semakin
keras. Nora menahan napas. Kemudian cahaya lampu itu bergerak pergi.
Semuanya diam membeku. Hening.
Mana orang itu" Nora bertanya-tanya. Apakah ia akan pergi
dari sini" Nora menahan napas. Kumohon, pergilah! batinnya. Pergi,
tinggalkan kami sendirian.
Nora memasang telinga mendengarkan sesuatu yang bisa
memberitahukan posisi pria itu. Tapi ia tak mendengar apa pun.
Bahkan suara langkah bergegas tikus-tikus itu pun tidak.
Jantung Nora berdentam-dentam. Ia menunggu. Di manakah
pria itu" Di mana dia"
Dengan hati-hati ia beringsut maju dan memandang ke balik
peti-peti kayu. Sepasang tangan besar dan kasar mencengkeram dan
menyentaknya berdiri. "Aku tahu aku mendengar sesuatu selain suara-suara tikus yang
berlarian di bawah ini," sergah pria itu.
Nora meronta membebaskan diri.
"Tahukah kau apa yang kami lakukan terhadap penumpang
gelap?" bentaknya. Nora menggelengkan kepala. "Kami lempar
mereka ke hiu!" Pria itu menyipitkan matanya dan menatapnya dengan saksama.
Otak Nora berputar. Apa yang akan dilakukannya padaku" Aku harus
menjauhkannya dari Nicholas.
"Berikan kalung di lehermu itu dan aku takkan memberitahu
siapa pun bahwa kau ada di sini," tukas pria itu.
"Tapi kalung ini pemberian?"
"Aku ingin kalung itu," geram pria itu. "Dan dengan satu atau
lain cara, aku akan mendapatkannya. Kau bisa memberinya padaku
atau aku akan mengambilnya sendiri."
Pria itu merenggut rantai perak amulet itu.
"Jangan!" teriak Nora. Amulet itu mulai terasa panas di
kulitnya. "Aku menginginkan kalung itu!" sergah pria itu. Dipilinnya
rantai kalung itu dan disentaknya dengan keras.
Rantai kalung itu menegang di sekeliling leher Nora dan
mencekiknya. Ia megap-megap mencari udara. Ia berusaha meremas
jemarinya di bawah rantai kalungnya. Udara. Ia membutuhkan udara.
Kegelapan menyelimutinya. Tangannya jatuh lemas di sisi
tubuhnya. Nicholas. Siapa yang akan menjaga Nicholas"
Dari jauh Nora mendengar pria itu menjerit kesakitan. Cekikan
di sekeliling lehernya mengendur.
Udara yang lembap dan asin memburu masuk ke paru-parunya.
Ia memaksa membuka mata dan memandang pria itu. Kalau saja ia
punya tenaga, ia akan menjerit.
Tikus-tikus menyerbu pria itu. Mereka melompat menerpanya
dari atas peti-peti kayu. Mereka memanjat menaiki pipa celananya.
Mereka merangkak menuruni kelepak kemejanya.
Semakin banyak tikus melompat dari peti, berebut mencari
tempat di tubuhnya yang meliuk dan memukul-mukul. Tikus-tikus itu
mencakar dan menggigit sampai Nora bisa melihat potonganpotongan tulang putih pria itu.
Perut Nora terasa mulas saat ia memperhatikan tikus-tikus itu.
Mereka mencabik-cabik tubuh pria itu dengan cakar dan gigi mereka
yang tajam dan kuning. Seekor tikus menggigit daun telinga pria itu
hingga putus. Satu mencopot sepotong kecil kelopak matanya.
Pria itu melolong kesakitan"dan salah satu tikus itu melompat
ke dalam mulutnya. Pria itu roboh ke lantai. Ia meringkuk dalam-dalam hingga
seperti bola. Nora mendengarnya mengerang pelan.
Mengerang sementara tikus-tikus menyantap dagingnya.
Bagaimana kalau mereka masih lapar setelah mereka selesai"
Nora berpikir. Ia menempatkan dirinya di depan buaian darurat Nicholas dan
menatap tikus-tikus itu. Mereka harus melewatinya dulu sebelum menyentuh bayinya.
BAB 7 LANGKAH-LANGKAH kaki yang berat berdebam-debam
menuruni anak tangga. Pintu terbuka dengan keras dan beberapa pria menyerbu masuk.
Pelaut, kelasi, pekerja. Apa yang akan mereka lakukan bila mereka menemukan aku"
Nora perlahan-lahan mengendap-endap ke sudut.
Mengangkat lentera mereka, pria-pria itu menatap dengan
kengerian tanpa suara saat tikus-tikus berbulu hitam itu mengerubuti
teman mereka. Genangan darah yang berwarna gelap tampak di
sekelilingnya. Salah seorang pria mengangkat sebuah peti kayu dan
melemparkannya ke arah tikus-tikus itu. Beberapa langsung kabur.
Sisanya terus makan. Perut Nora kram saat ia melihat gumpalan otak berwarna kelabu
meluap dari kepala pria itu.
"Tak mungkin menyelamatkan dia," gumam salah seorang
pelaut. Nicholas mengeluarkan rengekan pelan.
Kumohon, jangan menangis sekarang, Nora diam-diam
memohon. Tolong. Tidak sebelum mereka pergi"dan kami aman
kembali.ebukulawas.blogspot.com
Ia menggoyang-goyangkan Nicholas naik-turun. Bayi itu
menyukainya. Biasanya itu membuatnya berhenti menangis.
Nora berpindah dari satu kaki ke kaki yang lain saat berusaha
menjaga agar bayinya tetap diam. Salah satu kakinya tanpa sengaja
menginjak sepotong kayu. Krakkk. "Lihat!" seorang pria menunjuk ke arah Nora. Sekujur tubuhnya
langsung dingin saat semua laki-laki itu berpaling menatapnya.
"Tikus-tikus itu sama sekali tidak mengganggunya," pria yang
lain berbisik parau. "Dia pasti punya ilmu hitam," seseorang berseru. Pria-pria itu
bergumam setuju. "Tidak!" sergah Nora. "Aku tidak punya ilmu apa pun. Kalian
harus percaya padaku."
Salah seorang pria pelan-pelan mendekat. Rambutnya seperti
jerami dan wajahnya penuh bintik-bintik.
"Namaku Tim." Ia membusungkan dadanya. "Kelasi kelas
satu." Ia menatap tubuh penuh darah di atas lantai itu. Diam. Begitu
diam. "Ini bukan tempat yang aman untuk seorang wanita dan bayi.
Ikuti aku." Beberapa pria menggerutu memprotes. Tim menerobos
kumpulan orang itu. Nora mengambil sikap hati-hati dan berjalan
tepat di belakangnya. Dengan susah payah mereka berjalan menaiki tangga. Yang lain
mengikuti di belakang. Nora melihat tak satu pun dari mereka berjalan
terlalu dekat dengannya. Mereka takut padaku, ia tersadar. Takut
namun juga marah. "Lewat sini," ujar Tim. Ketika Tim sampai di ujung koridor, ia
mendorong pintu terakhir hingga terbuka. "Di dalam sini, Nona."
Nora melangkah masuk ke sebuah ruangan kecil. Dipan-dipan
disusun di atas yang lainnya sepanjang dua bidang dinding. Koperkoper kayu diletakkan di sepanjang dinding yang lain. Di atasnya,
tergantung pada pasak di dinding, tampak jas-jas hujan berwarna
kuning. Tim membuka sebuah koper kayu. Ia mengeluarkan pakaianpakaian dari dalamnya dan melemparkannya ke sudut. Kemudian ia
mengambil sehelai selimut dari dipan dan meletakkannya di dalam
koper. "Kau bisa meletakkan bayimu di sini," katanya kasar.
Nora membaringkan Nicholas di dalam koper. Ia
membungkusnya dengan selimut. Dengan penuh syukur, ia bermaksud
mengucapkan terima kasih pada Tim. Namun mata pria itu keras dan
dingin. "Kau tidak boleh meninggalkan kamar ini," ia berkata. "Aku
harus mendiskusikan keberadaanmu dengan sang kapten."
"Bukankah mestinya aku bicara pada sang kapten?" Nora
bertanya. Tim menggelengkan kepala. "Kalau ada wanita naik kapal
kargo, itu pertanda buruk. Dia takkan menyukai hal ini. Dia sama
sekali takkan menyukainya."
Ia membanting pintu keras-keras di belakangnya, dan Nora
mendengar suara anak kunci diputar.
Nora mengempaskan dirinya ke lantai di sisi koper. Aku
kembali menjadi tawanan, ia tersadar. Dibelainya punggung Nicholas
dengan lembut. Tapi setidaknya di sini tidak ada tikus. Dan kita punya
lampu. Sekarang kalau saja mereka bersedia memberi kita makanan.
Kapal tiba-tiba tersentak maju. Gelombang laut pecah di
bawahnya. Nora menyambar tepi koper dan mencengkeramnya erat-erat. Ia
bersenandung bagi bayinya sementara kapal bergoyang-goyang ke
depan dan belakang. "Badai, Nicholas," ia berkata. "Cuma itu. Badai. Pria-pria itu
sudah biasa menghadapi badai di lautan. Mereka tahu apa yang harus
dilakukan." Nora mendengar seorang pria meneriakkan perintah-perintah.
Kedengarannya orang itu ketakutan.
Ia mendengar suara langkah-langkah kaki berlari mondarmandir di atasnya.
Kapal berguncang semakin keras. Nora bersandar di salah satu
dinding, berusaha menjaga koper Nicholas agar tetap stabil.
Apa yang terjadi pada kami" Nora bertanya-tanya. Apa yang
terjadi pada kami sekarang"
"Semenit yang lalu lautan tenang"lalu sekarang begini," Nora
mendengar seorang pria berteriak. "Tidak biasanya."
"Pasti wanita itu!" pria yang lain balas berteriak. "Dia punya
ilmu hitam!" Kapal berguncang. Nora terempas ke pintu kamar. Koper
Nicholas menghantam, tubuhnya.
Nicholas menjerit ketakutan. Nora mencoba menenangkannya.
Namun suaranya bergetar saat ia berbisik padanya, dan jantungnya
berdebar keras memukul tulang iganya.
Nora mendengar suara langkah-langkah kaki menyusuri
koridor. "Dialah yang menyebabkan semua ini!" seorang pria berseru
dari luar pintu. "Benar!" yang lain menimpali. "Dialah yang memerintahkan
semua tikus itu. Dia telah membunuh Frank. Dia akan membunuh kita
kalau kita membiarkannya."
"Aku tidak membunuh teman kalian," seru Nora dari balik
pintu. "Tolong, percayalah padaku."
"Kenapa kami harus percaya padanya?" geram salah satu pria
itu. Nora menarik koper Nicholas sejauh mungkin dari pintu. "Aku
akan menjagamu," ia berjanji pada putranya. "Jangan takut. Mama
akan menjagamu agar tetap selamat."
"Buang dia ke laut!" seseorang berseru.
Nora berpaling ke pintu dan berdiri menunggu orang-orang itu.
Anak kunci berputar di lubangnya. Daun pintu terempas
terbuka. Seorang pria menerobos masuk dan menyambar pinggangnya.
Nora meronta-ronta sekuat tenaga, mencakar dan menendangnendang.
Pria itu mengumpat dan mengangkat Nora ke bahunya.
"Lepaskan aku!" jerit Nora. Ia meronta-ronta. Mencoba
melepaskan diri. "Aku harus tetap bersama bayiku!"
Pria bertubuh besar itu mempererat cengkeramannya dan
menjunjungnya ke luar kamar menaiki beberapa anak tangga yang
sempit. Ia mendorong pintu yang menuju dek. Angin menangkap pintu
itu dan merobeknya dari engselnya. Nora menjerit.
Air hujan memukuli tubuh Nora sementara pria itu
membawanya ke luar. Angin menusuk wajahnya. Ombak mengempas
melewati birai setiap kali kapal menyentak maju.
Nora tak bisa berhenti gemetaran. Bagaimana ia bisa membuat
orang-orang ini yakin bahwa ia tidak bersalah"
Pria itu berjalan ke birai kapal. "Lempar dia ke laut! Lempar dia
ke laut!" yang lain berseru-seru.
Pria itu menurunkan Nora dari pundaknya. Kaki Nora yang
gemetaran menyentuh permukaan dek. "Hentikan badai ini!" bentak
pria itu. Nora berjalan terhuyung-huyung di tengah amukan angin. Pria
itu menyambar tangannya, jemarinya menusuk kulit Nora yang
ha?lus. "Hentikan badainya!" ia berteriak sekali lagi.
Nora menggelengkan kepala. "Aku tak bisa. Kau harus
membiarkan aku kembali ke bayiku. Tolong!"
Para pelaut menggeram marah. Mereka merangsek maju dan
mengangkatnya ke udara. Nora meronta-ronta ketika mereka membawanya ke birai kapal.
"Hentikan! Aku tidak bisa ilmu hitam!" jerit Nora. "Aku tidak bisa
menyuruh badai berhenti!"
"Lempar dia ke laut!" seseorang berseru.
Pria-pria itu mengangkatnya lebih tinggi.
Mereka mengayunkan tubuhnya melewati birai.
Lautan bergolak di bawahnya.
BAB 8 KAPAL tiba-tiba meluncur maju.
Orang-orang itu terhuyung ke belakang" menjauhi birai.
Mereka melepaskan Nora. Nora merasakan tubuhnya melayang
jatuh. Ia mendarat di atas dek. Rasa sakit menyengat dadanya saat
udara tersentak keluar dari tubuhnya.
Ombak besar menerpa menerobos birai. Nora mendengar orangorang menjerit saat ombak menyeret mereka keluar dari birai.
Tersengal mencari udara, ia mencoba bangkit berlutut.
Aku harus pergi ke Nicholas. Kapal ini takkan selamat. Kapal
ini akan karam. Karam ke dasar laut. Aku tak boleh membiarkannya
menyeret Nicholas bersamanya.
Amulet Fear itu mulai terasa hangat di dadanya. Digenggamnya
benda itu. Haluan kapal melesat ke udara. Tegak lurus. Nora menyambar
sejenis tali dan melilitkannya di tangannya.
Para pria meluncur melewatinya, mencoba berpegangan pada
permukaan dek. Mereka menjerit ngeri saat tubuh mereka terempas ke
lautan. Haluan kapal terbanting kembali ke air. Nora melepaskan
Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belitan tali itu. Ia merangkak ke tangga dan setengah jatuh berguling.
Ia mendengar suara angin melolong. Air meluap menuruni anak
tangga. Ia menyeret dirinya hingga berdiri dan menekan satu
tangannya ke dinding untuk menjaga keseimbangannya.
Amulet itu mulai bersinar. Cahaya birunya yang aneh
membantu Nora menemukan jalannya. Ketika ia mencapai dasar
tangga, air sedingin es berputar di atas pergelangan kakinya.
"Nicholas!" jeritnya, berlari ke arah koper.
Sebuah tangan yang kuat mendarat di bahunya dan
menghentikannya. Nora berbalik. Tak seorang pun bisa memisahkannya dari
Nicholas. Tak seorang pun.
"Kau harus mati!" bentak pelaut itu.
"Tidak!" Nora menjerit dengan suara melengking.
Ia harus menyelamatkan Nicholas. Ia harus menyelamatkan
bayinya. BAB 9 DIRENGGUTNYA kemeja pria itu.
Tenaga bagai mengalir ke seluruh tubuhnya. Ia merasa cukup
kuat untuk melawan semua pria di kapal itu"kalau memang itu yang
harus dilakukannya untuk menyelamatkan putranya.
Diangkatnya pria itu hingga kakinya tidak menyentuh lantai.
Dan dilemparnya ke dinding dengan segenap tenaganya.
BRUKK! Pasak kayu untuk gantungan baju keluar menembus dadanya.
Darah yang panas dan lengket menyembur ke seluruh wajah
Nora. Pria itu melolong kesakitan saat tubuhnya bergelantung tanpa
daya di pasak itu. "Lihat apa yang dilakukannya pada Samuel," seseorang
menjerit. Nora berbalik ke asal suara.
Tiga orang pria balas menatapnya.
"Dia iblis!" salah satu dari mereka berkata. "Benar-benar iblis!"
"Benar! Aku ini iblis!" teriak Nora. "Jangan mendekat! Kalau
tidak kalian akan kubunuh juga!"
Digosoknya amulet itu. Panas yang ditimbulkannya mengalir ke
seluruh jemarinya. Para pria itu ragu-ragu. Nora tahu mereka ketakutan. Takut dan
marah. "Aku punya kekuatan. Aku akan menggunakannya. Pergilah
dariku selagi kalian punya kesempatan!"
Ketiga pria itu berebut keluar meninggalkan ruangan.
Kraakkkk! Nora mendengar suara tajam yang mengalahkan suara badai di
luar. Air mulai merembes masuk melalui dinding kabin. Sisi badan
kapal telah pecah, Nora tersadar.
Ia berlari menghampiri Nicholas. Koper itu terbuat dari kayu
yang keras, tapi apakah benda itu akan mengapung" Atau malah
tenggelam ke dasar lautan"
Ia melihat gelungan tali di atas lantai. Dipungutnya benda itu.
Lalu diikatnya salah satu ujungnya di sekeliling pinggangnya.
Diciumnya ujung jemarinya, lalu ditekankannya ke pipi anaknya.
"Jaga dirimu." Ia menutup tutup koper itu dan membelai permukaan kayunya
yang telah dipoles. "Jaga dirimu, bayiku."
Kapal kembali tersentak dan terguncang. Air tercurah ke
ruangan itu semakin cepat dan cepat.
Nora melilitkan tali itu erat-erat di sekeliling koper. Di atas dan
bawah. Simpul. Simpul. Sekelilingnya. Simpul lagi. Bawah dan atas.
Simpul lagi. Air laut yang dingin mengelilingi betisnya. Koper itu perlahanlahan naik mengikuti permukaan air yang menggenangi kabin. Nora
membuat sebuah simpul lagi.
"Kita akan baik-baik saja, Nicholas," gumam Nora ketika air
merangkak semakin tinggi.
Papan-papan kayu kapal berderak dan menjerit.
Nora menatap ngeri saat papan-papan itu menekuk. Papanpapan itu takkan bertahan lebih lama lagi, pikirnya.
Papan-papan itu berlepasan. Gelombang air yang besar menerpa
Nora. Memenuhi kabin dengan air.
Air laut yang asin dan dingin mengelilinginya. Membakar
mulut dan hidungnya. Menyengat matanya.
Nora berjuang mencapai lubang di dinding kabin. Ia harus
keluar dari situ. Ia membutuhkan udara. Paru-parunya seperti terbakar.
Ia menyeret dirinya melewati lubang, menarik koper Nicholas
di belakangnya. Kemudian ia berenang dengan sekuat tenaga. Naik, naik, naik.
Ia harus mencapai permukaan air.
Koper itu membentur pinggangnya, lalu bahunya, lalu
kepalanya. Rasa sakit melanda seluruh tubuhnya. Bintik-bintik terang
tampak di depan matanya. Nora berenang ke permukaan. Dihirupnya udara dalam-dalam.
Badai itu mencambuknya tanpa belas kasihan. Menerbangkan
koper itu jauh darinya" tapi tali itu memegangi mereka.
Nora batuk dan muntah. Pakaiannya yang basah kuyup seperti
menariknya turun. Ia menarik koper itu kembali dan berpegangan padanya. Koper
itu membantunya tetap mengapung saat ombak menerjang di
sekelilingnya. Nora mendengar teriakan para pria saat mereka dilemparkan ke
laut. Mereka berusaha menjaga agar kepala mereka tetap muncul di
atas air yang bergolak. Nora mengawasi ketika kapal itu perlahan-lahan tenggelam ke
air. Turun, turun, turun.
Lalu angin berhenti. Laut berubah tenang.
Jeritan-jeritan berhenti.
Apa yang terjadi dengan pria-pria itu" Nora berpikir. Ia
memandang sekitarnya, mencari-cari awak yang selamat.
Tapi air yang gelap telah berubah setenang cermin.
Koper Nicholas timbul-tenggelam. Selain itu tak ada lagi yang
bergerak. Tak satu pun dari laki-laki itu yang selamat.
Kedamaian yang mematikan menebarkan jubahnya ke atas
mereka. Nora merasa sangat kelelahan. Setiap otot dan tulang di dalam
tubuhnya terasa nyeri. Aku hanya ingin tidur, ia berkata pada dirinya. Tapi tidak boleh.
Aku harus menyelamatkan Nicholas. Aku harus menemukan pantai.
Aku harus mencari keselamatan.
Ia meluncur turun dari koper dan masuk ke dalam air yang
dingin. Dengan susah payah ia mulai berenang, menarik koper di
belakangnya. Ia merasakan darah di bibirnya. Darah dan garam. Ia tidak tahu
apakah garam itu berasal dari air yang mengelilinginya... atau dari air
matanya sendiri. Kedua lengannya terasa semakin berat. Ia memaksa
mengangkatnya ke atas lagi dan lagi.
Kakinya mulai kram, tapi ia tak berhenti menendang. Berapa
jauh lagi" Di mana daratan terletak"
Nora mendengar deru yang sangat keras. Ia berhenti berenang
dan berpegangan pada koper. Ia mengedarkan pandangannya ke air.
Matanya melebar. Awan gelap berputar di atas laut. Sambaran
kilat menerangi langit. Ombak bergerak, naik dari kedalaman lautan.
Badai telah kembali. Tergesa-gesa ia naik kembali ke atas koper. Dan menunggu.
Menunggu kematian menjemputnya. Menderu, badai semakin
dekat. Gelombang besar mengempaskan koper itu naik-turun. Tali
yang mengikat mereka tenggelam di jemari Nora saat ia berpegangan
padanya. Ia berada dalam kekuasaan sang badai.
Dan sang badai tidak punya belas kasihan.
BAB 10 NORA merasakan buih yang lembut membasahi wajahnya. Ia
merasa lelah, amat sangat lelah. Ia cuma ingin tidur.
Perih, perlahan-lahan, Nora membuka mata.
Ia tak lagi bertengger di atas koper. Ia berbaring telentang di
tanah. Pasir menempel di wajah dan kakinya yang telanjang.
Ia melompat bangkit. Nicholas! Di mana Nicholas"
Mata Nora menjelajah sekeliling pantai. Ia menemukan koper
itu"dan menahan napas.
Koper itu telah menghantam batu yang besar. Tutupnya
menganga terbuka. Apakah Nicholas masih di dalamnya" Apakah ia terluka"
Nora buru-buru berdiri dan menghampiri koper itu. Ia
tergelincir di pasir yang basah dan jatuh berlutut.
Ia menyeret dirinya hingga berdiri dan terhuyung-huyung maju.
Dengan hati sarat dengan kengerian, ia melayangkan matanya ke
dalam koper. Nicholas masih terbaring di dalamnya.
Diam. Amat diam. "Nicholas?" ia berbisik parau.
Bayi itu tidak bergerak. Burung-burung camar melayang di angkasa, tapi suara mereka
juga tidak membangunkan Nicholas.
Dia mati, Nora berpikir muram. Nicholas telah mati.
Air mata memenuhi matanya. Ia mengulurkan tangan dan
menyentuh pipi bayinya. "Nicholas?"
Bayi itu mengerutkan wajahnya dan melolong panjang. Ia
masih hidup! Nora tertawa, mengangkatnya ke dadanya, dan memeluknya
erat-erat. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Embusan angin yang hangat membelai wajahnya saat Nora
berdiri di pantai berpasir itu. "Kita selamat, Nicholas. Selamat."
Nora berjalan ke laut hingga permukaan laut mencapai lututnya.
Ditatapnya hamparan air biru-kristal yang tak berujung itu. "Kita akan
memulai hidup yang baru bersama-sama," ia berjanji pada anaknya.
Nicholas mengulurkan tangannya yang mungil dan meraih
rantai amulet ibunya. Rantai itu putus. Amulet itu jatuh ke tanah.
Nora memungut dan mempelajarinya. Ia
membalikkan amulet itu dan membaca tulisannya:
DOMINATIO PER MALUM. "Kekuasaan melalui kejahatan," Nora berbisik. "Ayahmu
memberikan amulet ini padaku sebagai simbol cintanya, Nicholas.
Amulet ini sangat istimewa baginya, karena keluarganya telah
memilikinya untuk waktu yang lama."
Nora mendesah. "Keluarga ayahmu memiliki kekuasaan dan
uang. Tapi mereka membayarnya dengan harga mahal. Mereka
membiarkan iblis masuk ke dalam hidup mereka, dan itulah yang
menghancurkan mereka."
Nora menunduk menatap air laut untuk waktu yang lama. "Aku
tak ingin kuasa kegelapan itu menjadi bagian hidupmu, Nicholas. Aku
tak ingin kau mendapatkan nasib yang sama seperti ayahmu."
Amulet itu terasa berat dalam genggamannya. Berat dan hangat.
Nora menarik tangannya dan melemparkan amulet itu ke tengah
air laut yang tenang. Perasaan lega meliputi dirinya. Dipeluknya Nicholas. "Kini
kegelapan keluarga Fear tak dapat menyentuhmu."
Nora menunduk memandang wajah bayinya. "Kita akan
memulai hidup yang baru" dengan nama baru. Mulai sekarang, kita
akan dikenal sebagai Nora dan Nicholas Storm."
BAGIAN DUA BAB 11 Shadow Cove 1919 NICHOLAS STORM benci sekali menjadi nelayan.
Ia tidak suka bau ikan yang amis. Atau rasa asin di bibirnya.
Atau bau air laut yang memenuhi hidungnya.
Ketika ia berjalan pulang, ia membawa bau amis ikan
bersamanya. Tak peduli seberapa sering ia mandi atau seberapa keras
ia menggosok tubuhnya, bau amis itu tetap melekat di kulitnya. Ia
membencinya. Ia membenci semua hal yang ada dalam hidupnya. Semuanya.
Semuanya kecuali Rosalyn.
Rosalyn berbeda. Ia bukan penduduk asli Shadow Cove.
Rosalyn datang dari Spanyol.
Nicholas menyukai rambutnya yang panjang dan hitam serta
matanya yang cokelat gelap. Dan giwang emas kecil yang
dikenakannya pada cuping telinganya yang ditindik.
Tak satu pun gadis di Shadow Cove telinganya ditindik. Tak
satu pun gadis-gadis itu mirip Rosalyn.
Gadis-gadis lain di kota mereka hanya ingin menikah dan
membangun keluarga. Punya anak. Dan menyantap ikan yang
ditangkap suami mereka. Rosalyn menginginkan lebih dari itu. Nicholas juga. Mereka
ingin menikah dan bersama-sama meninggalkan Shadow Cove.
Tapi ayah Rosalyn takkan pernah mengizinkan mereka
menikah. Ia punya persyaratan-persyaratan yang ketat mengenai pria
yang akan menikahi putrinya"pria itu harus pria yang kaya dan
punya kekuasaan. Sama kaya dan berkuasanya seperti ayah Rosalyn.
Rosalyn bahkan telah dilarang berbicara dengan Nicholas.
Mereka selalu harus bertemu diam-diam.
Nicholas berjanji pada dirinya sendiri bahwa pada suatu hari
kelak ia akan membuat ayah Rosalyn menerimanya. Tak peduli berapa
harga yang harus dibayarnya. Dan kemudian ia dan Rosalyn akan
menikah. Nicholas melangkah menuju rumah yang ditempatinya bersama
ibunya. Udara yang asin telah memudarkan papan-papannya yang
melengkung dimakan cuaca, menjadi kelabu kusam.
Nicholas mendorong pintu hingga terbuka dan melangkah
masuk ke dapur. Sekonyong-konyong ia menghentikan langkah.
Rumah itu gelap dan sunyi. Terlalu sunyi.
Lalat berdengung di sekitar telur yang ia tinggalkan di atas
piring sarapannya tadi. "Ibu!" serunya, dalam hati bertanya-tanya
mengapa ibunya belum mencuci piring itu.
Seekor kepiting berjalan gugup melintasi lantai kayu.
Perlahan-lahan Nicholas berjalan menyeberangi dapur dan
memasuki ruang depan. Kosong.
Ia mendengar erangan pelan. Ia berlari sepanjang koridor dan
menyerbu masuk ke kamar ibunya. Ia menemukan ibunya meringkuk
seperti bola di atas lantai.
Ia tidak bergerak saat Nicholas bergegas menghampirinya.
Wajahnya seputih cangkang kerang yang terhanyut ke pantai.
Matanya terpejam. Nicholas berjongkok di samping ibunya dan meraih tangannya.
Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rasanya sedingin es. "Ibu?" ia berbisik parau. Bau busuk kematian
mengepungnya. Nicholas membelai tangan ibunya dengan kedua tangannya
sendiri. Tangan ibunya terasa dingin. Terlalu dingin. "Ibu, Ibu
kenapa?" serunya. "Apakah Ibu sakit?"
Nora bersusah payah membuka matanya. Ia menengadah
menatapnya. "Daniel?" suaranya parau.
Perasaan lega memenuhi diri Nicholas. "Bukan, Ibu. Ini
Nicholas." Nora tersenyum lemah. "Kau mirip sekali dengan ayahmu."
"Ya, Ibu sering mengatakannya," sahut Nicholas. "Sekarang,
beritahu aku apa yang terjadi," desaknya.
"Jantungku..." suara Nora menghilang.
Daniel mengangkat ibunya ke dalam pelukannya. Ringan.
Ibunya terasa sangat ringan.
Sejak kapan ia tampak begitu tua" ia bertanya-tanya seraya
menunduk menatap ibunya. Wajah ibunya setua wanita yang usianya
dua kali lebih tua darinya. Matanya yang dulu hijau terang kini pudar.
Rambutnya yang dulunya cokelat sekarang kelabu.
Kesedihan meremas hatinya saat ia dengan lembut
membaringkan ibunya ke tempat tidur. Dipungutnya bed cover dari
lantai dan diselimutkannya tubuh ibunya.
Ibunya telah bekerja sangat keras untuk menghidupi mereka.
Begitu cukup besar, Nicholas mendapat pekerjaan di sebuah kapal
penangkap ikan. Namun selama bertahun-tahun ibunya telah menjaga
dan membesarkannya sendirian.
Ia ingat ibunya telah menjahit, mencuci pakaian, dan menambal
jaring ikan agar mereka punya cukup uang untuk makan dan
memelihara rumah kecil mereka.
Nicholas selalu berjanji pada dirinya sendiri bahwa kalau sudah
berhasil nanti, ia akan memberikan apa pun yang diinginkan ibunya.
Ibunya tak perlu bekerja sehari pun lagi.
Nicholas duduk di samping ibunya. Waktu bergulir
melewatinya, bagaikan pasir yang berjatuhan dari jemarinya. Ia sadar
ia takkan pernah bisa memberi ibunya barang-barang yang berhak
Hina Kelana 2 Candika Dewi Penyebar Maut X I I Dyah Ratnawulan 1
Prolog Shadyside Village 1900 NORA GOODE FEAR menundukkan kepala. Lelah, amat
sangat lelah. Ia telah duduk di dalam ruangan yang dingin ini hampir
semalaman, menjawab pertanyaan demi pertanyaan. Menggambarkan
semua yang telah disaksikannya di mansion keluarga Fear.
Bukan hanya sekali. Bukan juga dua kali. Tapi sudah tiga kali sekarang.
Dan masih saja mereka menahannya di sini. Di ruangan tanpa
jendela ini. Di ruangan yang cenderung gelap, bukan terang.
Cahaya lilin yang cuma satu-satunya berkelap-kelip. Bayangbayang bergerak-gerak.
Nora mengangkat pandangannya ke arah pria yang duduk di
belakang meja. Pria inilah yang akan menentukan nasibnya. Ia
memiliki wewenang untuk membebaskan Nora. Ia juga punya
kekuasaan untuk menjebloskannya ke penjara.
Pria itu menarik napas berat dan bersandar di kursinya.
Disebarkannya kertas-kertas di hadapannya. Kertas-kertas yang
memuat pertanyaan-pertanyaannya dan jawaban-jawaban Nora.
Nora menghapus air mata dari matanya dan menegakkan
punggungnya. Ia mencoba menelan ludah namun lehernya terlalu
kering. Punggungnya terasa sakit. Ia lapar dan capek. Ia ingin merosot
keluar dari kursinya, meringkuk di lantai, dan tidur.
Ia ingin bermimpi tentang Daniel, pria yang baru sehari menjadi
suaminya. Tentang waktu-waktu bahagia yang mereka lalui bersama
sebelum kutukan keluarga Daniel mengantarkan kematian dan
kehancuran kepada mereka.
"Baiklah, Nora," pria itu berkata tegas. "Ceritakan lagi apa yang
terjadi." Lagi" Bahu Nora jatuh ke depan. Kalau aku tidak sinting
sekarang, pikirnya sedih, pasti sebentar lagi aku bakal sinting.
Bagaimana aku sanggup menceritakan kisah horor ini lagi dan lagi"
Aku ingin melupakan semua yang terjadi, tapi pria ini memaksaku
mengingatnya. Tak sabaran, pria itu mengetuk mejanya dengan buku-buku
jarinya. "Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi di mansion
Fear. Katakan yang sebenarnya maka kau akan dibebaskan."
Aku harus kuat, Nora berpikir. Demi anakku. Anak Daniel dan
aku. Nora tahu ia mengandung putra Daniel Fear. Hatinya tahu. Ia
akan melakukan apa pun untuk melindungi bayi mereka. Apa pun.
Ia menelan dengan susah payah dan memaksa dirinya untuk
menjawab dengan tenang. "Kakek Daniel, Simon Fear, sedang
merayakan ulang tahunnya yang ke-75. Semua lilin di kue ulang
tahunnya telah dinyalakan. Daniel mengumumkan bahwa Nora Goode
Fear adalah mempelai barunya. Kakeknya menjerit?"
"Pembohong!" teriak pria itu. "Kalian tak pernah menikah.
Semua orang di Shadyside mengetahuinya."
"Kami telah menikah!" protes Nora. Bagaimana ia bisa
meyakinkan pria itu agar percaya padanya"
"Kami menikah diam-diam," Nora menjelaskan. "Kami tak
ingin memberitahu keluarga kami sampai upacaranya selesai. Kami
khawatir mereka akan mencoba menghentikan kami"karena
permusuhan di antara keluarga Fear dan Goode."
Pria itu menggelengkan kepala, bibirnya merapat membentuk
garis yang tipis. "Lanjutkan," katanya tidak sabar.
"Aku dan Daniel kawin lari. Kami bahkan tidak sempat
membeli cincin kawin. Sebagai gantinya Daniel memberikan ini
untukku." Nora mengangkat rantai amulet yang dikenakannya di
lehernya. "Malam itu adalah ulang tahun ke-75 kakek Daniel. Seseorang
membawa masuk kue ulang tahun dengan lilin-lilin menyala.
Kemudian Daniel mengumumkan pernikahan kami. Kakeknya
menjerit dan bangkit dari kursi rodanya?"
"Tidak mungkin!" sergah pria itu. "Simon Fear seorang pria tua
yang lemah. Dia tak bisa bangkit dari kursi rodanya."
Nora tersentak mendengar nada kasar pria itu. "Tapi dia benarbenar bangkit," Nora bersikeras. "Kemudian dia jatuh dan roboh ke
atas meja. Kue ulang tahunnya terbalik. Api lilin-lilin itulah yang
menciptakan kebakaran itu."
"Kau berharap aku akan percaya bahwa lilin-lilin kecil di atas
kue ulang tahun telah membakar habis sebuah mansion yang megah?"
Nora memejamkan matanya rapat-rapat dan mengangguk. Ia
bisa melihat Daniel berdiri di sisinya dan memperkenalkannya ke
kakek-neneknya. Sesaat kemudian, dinding api memisahkan mereka"
untuk selama-lamanya. "Kau tidak mencoba memadamkan api itu?" lelaki itu bertanya.
"Tak seorang pun bisa memadamkan api itu. Daniel mencoba
melakukannya, namun api itu seperti benda yang hidup dan bernapas.
Sesuatu yang memiliki kehendak. Sangat panas dan terang."
Nora menarik napas dalam-dalam dan memaksa dirinya
menatap mata dingin pria itu. "Dan aku melihat wajah-wajah"wajahwajah yang menjerit dan tertawa"di tengah nyala api," katanya tegas.
Nora merasa lebih banyak air mata mulai mengalir turun
membasahi pipinya. Ia menghapusnya.
"Cukup!" pria itu meninju meja dengan kepalan tangannya.
"Aku telah memberimu empat kali kesempatan untuk menceritakan
kejadian yang sebenarnya. Semua kisah yang kaugambarkan sama
sekali tidak mungkin."
Ia mengangkat sebatang pena, mencelupkannya ke dalam tinta,
dan mencoretkan namanya di atas kertas. Nyala api lilin berkedip.
Bayang-bayang berdansa di wajah pria itu.
Ia mengangkat matanya dan mendapati Nora tengah
menatapnya. "Aku menyesal, Nora, tapi aku tak punya pilihan. Aku
harus menyatakan kau tidak waras dan mengirimmu ke rumah sakit
gila." Nora membuka mulut dan mengeluarkan jeritan sedih yang
menggema ke seluruh ruangan.
BAGIAN SATU BAB 1 Shadyside Village 1901 NORA benci malam hari. Sepanjang siang, ia mendengar satu atau dua teriakan dari arah
koridor. Ia mendengar debaman dari atas selnya atau debuman dari
bawah. Namun pada malam hari, lolongan dan jeritan yang dalam
dipantulkan oleh dinding-dinding rumah sakit jiwa itu. Nora menutup
telinganya, tapi ia masih mendengar jeritan-jeritan para penghuni
lainnya. Apa yang mereka lihat dalam mimpi buruk mereka" Nora
bertanya-tanya. Apakah lebih mengerikan dari yang kulihat di balik
jendelaku" Nora memandang dari balik jeruji besi berwarna hitam itu.
Seperti yang selalu dilakukannya setiap malam selama sepuluh bulan
sekarang. Sepuluh bulan yang panjang ketika ia dikurung di dalam
rumah sakit jiwa ini. Di balik jeruji ia dapat menyaksikan sisa-sisa mansion Fear di
bawah cahaya bulan purnama. Mana ada mimpi buruk yang lebih
buruk daripada ini" Nora melihat bahwa para pekerja telah mengalami kemajuan
dalam pembangunan jalan yang melintasi tanah keluarga Fear.
Sebuah jalan yang akan mereka namakan Fear Street.
Nora memeluk dirinya sendiri. Ia telah mencoba memberitahu
para dokter dan perawat bahwa jalanan itu bukanlah ide yang baik.
Tapi mereka tak mau mendengar.
Lagi pula, mana mungkin mereka mau mendengarnya! Mereka
kan menganggapnya tidak waras.
Tapi Nora tahu nasib buruk yang mengikuti seluruh keluarga
Fear entah bagaimana telah meresap ke tanah mereka. Mencemarinya.
Ia berbalik memunggungi jendela. Kegelapan selalu datang
terlalu cepat, menebarkan bayang-bayang ke sekeliling tempat tidur,
meja, dan kursi. Dan buaian itu. Membungkuk, Nora mengangkat putranya ke dalam
pelukannya. Nicholas memandangnya dengan sepasang mata cokelat
yang penuh rasa percaya... mata ayahnya. Mata Daniel Fear.
Nora berbalik kembali ke jendela dan duduk di atas lantai kayu.
Angin bersiul menembus kaca yang retak. Nora bersandar ke depan
dan menakik napas dalam-dalam. Udara malam yang segar
mengingatkannya pada dunia di luar sana. Ia ingin Nicholas mengenal
dunia itu. Namun putranya telah dilahirkan di tempat ini. Ia tak pernah
keluar dari jeruji besi dan pintu-pintu terkunci rumah sakit jiwa ini.
Nora lebih suka tidur bersandar di jendela, memeluk putranya.
Matrasnya bau parfum apak, darah, keringat, dan kematian. Ia tak
pernah memakainya. Ia berayun ke depan dan belakang. Seseorang menjerit"
suaranya tinggi dan melengking. Putranya menangis pelan.
Memandang wajah putranya yang tak berdosa, Nora menyibakkan
rambut cokelat bayinya dari keningnya yang berkerut.
"Cuma angin. Cuma angin," bisiknya. "Aku akan menjagamu.
Jangan takut. Aku akan selalu menjagamu."
***************** Nora merasakan kehangatan sinar matahari di atas kelopak
matanya. Perlahan-lahan ia membuka mata.
Hari yang baru lagi. Kunci-kunci bergemerincing ketika seseorang membuka kunci
pintu. Nicholas merengek, dan Nora mengangkat serta memeluknya
erat-erat. Pintu itu terayun membuka. Seorang wanita bertubuh besar
berdiri di ambangnya. Martha, perawat Nora. Tubuhnya menghalangi
cahaya yang berasal dari koridor. "Waktunya mandi, Nora."
Martha menepi. Seorang gadis remaja melangkah Masuk.
"Nancy akan mengawasi si bayi," Martha berkata.
Nancy mengenakan pakaian longgar dari katun putih kasar
seperti Nora. Itu berarti ia penghuni rumah sakit jiwa. Ia menggerakgerakkan kedua tangannya dengan cepat di depannya, senyum hampa
membeku di wajahnya. "Bayi. Aku jaga bayi."
Nora memeluk Nicholas semakin erat. "Bisakah ia dijaga oleh
perawat saja?" "Nancy sudah dua belas tahun. Jelas cukup besar untuk
mengawasi bayi," bentak Martha.
"Dua belas," ulang Nancy seraya mengulurkan tangan.
"Dia sedang tidur," Nora berbohong. Diletakkannya Nicholas di
dalam buaian. "Tidur," Nancy berkata. Kedengarannya ia kecewa, tapi
senyumnya tak juga lenyap.
"Kau tidak boleh menggendongnya kalau dia sedang tidur,"
Nora berkata. "Tidak boleh menggendongnya," ulang Nancy. Ia memandang
ke dalam buaian. "Awasi dan jaga dia saja," Nora menambahkan dengan lembut.
"Awasi dan jaga dia," beo Nancy. Ia mulai mengayun-ayunkan
buaian dan menyanyikan lagu ninabobo.
Dengan enggan Nora mengikuti Martha keluar. Martha
membanting pintu dan menguncinya. Ia mengaitkan tangannya yang
gemuk besar ke lengan Nora dan menyeretnya menuruni tangga.
Ketika mereka memasuki lantai pertama, Nora melihat seorang
pria membentur-benturkan kepalanya ke dinding. "Sakit," kata pria
itu. Lalu membenturkan kepalanya lagi. "Sakit."
Seorang wanita duduk di sudut dan mencakar wajahnya dengan
kukunya. Darah berwarna merah terang mengalir di kedua tangannya.
Martha cepat-cepat menghampiri wanita itu sambil menyeret
Nora. Dicengkeramnya pergelangan tangan wanita itu. "Hentikan!
Hentikan, Charlotte!"
"Aku harus melepaskannya," rengek wanita itu.
"Petugas, ikat wanita ini ke tempat tidurnya!" Martha berseru.
"Aku harus melepaskan labah-labah ini. Mereka menggigitiku.
Menggerogoti wajahku," lolong wanita itu.
Seorang pria muda menyerbu masuk dan mengangkat Charlotte
seolah-olah wanita itu anak kecil. Digendongnya wanita itu sepanjang
koridor. "Aku harus melepaskan mereka," wanita itu terus-menerus
menjerit. Martha mempererat cengkeramannya di tangan Nora dan
melangkah ke anak tangga menuju ruang bawah tanah. Nora
tersandung-sandung saat Martha menyeretnya menuruni anak-anak
tangga. Martha membuka pintu dan mendorong Nora ke ruangan yang
gelap dan lembap. Nora menempelkan punggungnya ke dinding. Ia
benci datang ke sini. Martha mendorong sebuah pintu lain hingga terbuka. "Masuk."
Nora menahan napas saat ia memasuki ruangan itu. Penerangan
di situ remang-remang. Seorang wanita kurus kering dengan kulit
kendur menggelantung di tulang-tulangnya melangkah keluar dari bak
mandi yang terbuat dari besi. Luka-luka yang menganga terbuka
memenuhi sekujur tubuhnya yang gemetaran. Giginya gemeletuk.
Nora tahu air itu dingin. Airnya memang selalu dingin. Dan tak
ada api di situ untuk menghangatkannya.
Seorang petugas menyelimutkan selembar handuk ke tubuh
wanita yang kurus itu dan membimbingnya keluar dari situ.
Nora mengembuskan napas dan bau busuk ruangan itu
menyerbu masuk ke hidungnya. Bau keringat, bau busuk, bau jamur.
Ia selalu merasa lebih kotor setelah mandi di ruangan ini.
"Ayo cepat," Martha memberi perintah.
"Kau tak ingin membiarkan Nancy bermain dengan putramu
terlalu lama." *************** Gemetaran setelah mandi, Nora mengikuti Martha kembali ke
kamarnya. Tubuhnya telah kering, tapi ia masih merasa lembap.
Martha menyelipkan anak kuncinya ke lubang pintu,
memutarnya, dan mendorong pintu hingga terbuka. Nora menyerbu
masuk. Nancy berdiri di sisi buaian, mengayun-ayunkannya. "Bilang
bye-bye," gumamnya. "Nancy bilang bye-bye sama bayi."
Nora memperhatikan putranya lekat-lekat. Mata bayi itu
terpejam. Ia tidur lelap.
"Ayo, Nancy," Martha memerintah dari ambang pintu.
"Ayo," ulang Nancy dengan nada berlagu.
Nancy berjalan cepat ke pintu. Kemudian ia berbalik menatap
buaian. "Nancy bilang bye-bye. Bayi pergi ke rumah baru sekarang.
Bayi pergi ke rumah baru."
"Apa?" Nora tersentak. Ia menautkan kedua tangannya erat-erat
agar tidak gemetaran. "Apa, Nancy?"
"Nancy bilang bye-bye sama bayi," sahut Nancy. Ia menggerakgerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah, ke atas dan ke bawah.
Perlahan-lahan Nora mengangkat matanya dan menatap Martha.
"Tidak," bisiknya.
"Ya," Martha menjawab tegas. "Nancy benar. Bayi itu tak boleh
dibesarkan di rumah sakit jiwa. Ia hampir cukup besar untuk berpisah
denganmu. Mereka akan segera mengambilnya."
Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BAB 2 "KAPAN?" bentak Nora. "Kapan mereka akan mengambil
Nicholas?" Ia harus tahu. Ia harus menyusun rencana. Ia takkan
pernah membiarkan siapa pun mengambil Nicholas darinya.
"Tenangkan dirimu," tukas Martha. "Mereka akan datang kapan
pun mereka mau. Berteriak-teriak tidak akan mengubah apa pun."
"Nora menyambar tangan Martha. "Apa yang akan mereka
lakukan padanya" Ke mana mereka akan membawanya" Tolong
beritahu aku. Kau harus memberitahuku."
Martha melepaskan jemari Nora dari lengannya. "Cukup,"
sentaknya. "Aku tak ingin kau dikurung."
Martha berjalan ke pintu. "Ke mana pun mereka membawa
bayimu, itu lebih baik baginya daripada di sini," ia berkata dari balik
bahunya. Tapi ia akan kehilangan aku, Nora berpikir. Ia akan kehilangan
ibu kandungnya. Dan tak ada orang lain yang bisa mencintai Nicholas
seperti aku. Begitu Martha mengunci pintu di belakangnya, Nora
mengulurkan tangannya ke balik kasur dan mengeluarkan seutas tali.
Digosoknya tali itu di antara jemarinya. Masih belum cukup
tebal juga. Padahal ia telah mengerjakannya selama berbulan-bulan.
Nora melepaskan kepang rambutnya dan menggeraikannya.
Rambutnya jatuh nyaris di lutut.
Ia mengambil beberapa helai rambut dan mencabutnya, tak
memedulikan cubitan rasa sakit di kulit kepalanya.
Ia menyatukan rambutnya ke tali yang dibuatnya. Tali yang
terbuat dari rambut, benang-benang selimutnya, benang-benang
pakaiannya, dan apapun yang dapat ditemukannya.
Nora berusaha selembut mungkin ketika ia mencabut lebih
banyak rambut, namun tangannya gemetaran. Ia merasa takut. Takut
mereka datang terlalu cepat. Takut mereka akan datang dan
mengambil Nicholas sebelum dirinya siap.
Setelah tali itu selesai, ia bermaksud mendorong kaki kursi ke
sudut jendela yang retak sampai kaca jendela itu pecah. Kemudian ia
akan membungkus Nicholas di dalam selimut, mengikatkan tali itu di
sekeliling tubuhnya yang terlindung, dan perlahan-lahan
menurunkannya ke tanah. Kemudian ia sendiri akan menyiram air ke perapian dan
memanjat lewat cerobong asap sampai ia mencapai atap. Entah
bagaimana ia akan menemukan jalan turun dan menjemput Nicholas.
Nora mengulang rencana kaburnya lagi dan lagi di dalam
pikirannya sementara ia mengerjakan tali yang halus itu. Rencananya
harus berhasil. Pokoknya harus.
Di luar angin melolong. Nora menghentikan pekerjaannya dan
mendengarkan dengan saksama. Ia mendengar suara lain di antara
suara angin. Ada orang berseru minta tolong! Nora menghambur ke jendela
dan melihat ke luar. Ia melihat salah satu dokter berlari ke undakan
depan. Seorang anak laki-laki berambut merah melesat
menghampirinya. "Ada kecelakaan!" anak laki-laki itu berteriak. "Kecelakaan
parah. Di jalanan yang dibangun di dekat mansion Fear. Tiga orang
remuk!" Kalau saja orang-orang itu mau mendengarkan Nora. Nora tahu
kuasa gelap keluarga Fear akan mengambil lebih banyak korban lagi.
Ia tahu jalanan itu hanya akan berarti malapetaka bagi kota itu.
Nicholas merengek pelan. Nora mengangkatnya ke pelukan dan
membuainya lembut. Warisan hitam keluarga Fear takkan pernah menyentuh
putranya, ia berjanji pada dirinya sendiri. Takkan pernah.
Bayi itu kembali tertidur, dan Nora mengembalikannya ke
buaian. Kemudian ia meraih dan menggenggam beberapa helai
rambutnya. Sambil mengertakkan gigi menahan sakit, ia
mencabutnya. Ia harus membawa Nicholas pergi dari tempat mengerikan ini.
Pergi dari rumah sakit jiwa ini. Pergi dari kota ini. Pergi dari apa pun
yang tercemar oleh keluarga Fear.
Nora menganyamkan helai-helai rambutnya ke untaian talinya.
Ia mengambil segenggam rambut lagi dan mencabutnya.
Ia merasakan aliran darah yang hangat dan basah menetes
menuruni pipinya. Ia tak peduli. Yang penting baginya hanya
Nicholas. Dengan jari gemetar Nora menambahkan helai-helai rambut itu
pada jalinan talinya. Ia menoleh memandang buaian. "Jangan khawatir, Nicholas,"
ujarnya lembut. "Aku akan menjagamu. Aku takkan mengizinkan
mereka mengambilmu dariku. Sampai kapan pun."
Pintu mengayun terbuka dengan keras.
Nora menahan napas. "Kau sedang apa, Nora?" suara rendah itu membentaknya.
BAB 3 NORA menyentakkan kepalanya dan menoleh ke pintu.
Dokternya berdiri di sana memperhatikan. Rupanya Nora tadi tak
mendengar kedatangannya. Dokter itu menghampiri Nora. "Apa ini?" ia bertanya seraya
menarik jalinan tali yang panjang dan halus dari tangan Nora.
Nora berusaha untuk tetap tenang. "Karena Anda telah
mengambil pena dan kertasku, aku tak punya kesibukan lagi. Tali ini
kubuat untuk menyibukkan diriku."
Sang dokter melilitkan tali itu di sekeliling tangannya. "Pintar
sekali, Nora. Apakah kau berpikir untuk kabur dengan tali tipis
begini?" "Tidak!" Nora bersikeras. "Tapi tak semestinya aku berada di
tempat mengerikan ini."
"Akulah yang berhak memutuskan itu," sang dokter berkata. Ia
mengeluarkan saputangannya dan mengusap darah dari kening Nora.
Dokter itu melangkah ke pintu dan membukanya. "Panggilkan
Martha," ia berseru ke koridor. "Dan suruh dia membawa gunting."
"Jangan," erang Nora, air mata memenuhi matanya. "Kumohon,
jangan." Nicholas mulai menangis. Nora menggendong dan memeluknya
erat-erat. Beberapa menit kemudian Martha berjalan tegak masuk ke
kamar. "Nora mencabuti rambutnya untuk membuat tali," dokter itu
memberitahu Martha. "Potong."
"Tentu saja, Dokter." Martha tersenyum lebar padanya.
"Ayo, Nora," bujuk Martha seraya mengangkat sebuah gunting.
Dikatup-katupkannya gunting itu beberapa kali. Suara yang
ditimbulkannya membuat giginya gemeletukan. "Ini untuk yang
terbaik. Kita tak boleh membiarkan kau mencabuti rambutmu. Kita
tak boleh membiarkan kau menyakiti dirimu sendiri."
"Aku takkan berbuat begitu lagi," Nora berjanji sambil
menjauh. Martha menyelipkan gunting itu ke saku seragamnya dan
mengulurkan tangannya. "Berikan putramu padaku. Akan kutidurkan
dia." Aku bisa kabur, Nora berpikir panik. Aku bisa menyelinap di
antara Martha dan dokter itu sebelum mereka menyadari apa yang
kupikirkan. Aku bisa keluar dari ruangan ini, menuruni tangga, dan
keluar dari rumah sakit jiwa ini sebelum seorang pun menangkapku.
Dan kalau mereka menangkapku" Nicholas bisa saja terluka,
Nora tersadar. Martha bisa saja tanpa sengaja menikamnya dengan
gunting itu. Atau mungkin saja aku menjatuhkannya.
Ia tak berdosa. Aku harus melindunginya. Kini bukan waktunya
untuk melawan. Tapi waktu untuk melawan akan tiba.
Kalah, Nora dengan lembut meletakkan putranya di dalam
pelukan Martha. Ia mengawasi Martha meletakkan kembali bayi itu ke
buaiannya. "Sekarang, ayo ke dekat perapian, supaya aku bisa melihat apa
yang kulakukan," sergah Martha.
Nora berjalan menghampiri perapian dan duduk di lantai.
Melipat tangannya di atas pangkuan, ia menunggu.
Martha merenggut segenggam rambut Nora dan
menyentakkannya ke atas. Nora menggigit bibirnya untuk menahan
jerit kesakitannya. Gunting itu mengatup. Suara yang kecil itu meremas hatinya.
Segumpal rambutnya yang hitam dan panjang jatuh ke pangkuannya.
Daniel menyukai rambutku, pikir Nora tanpa emosi.
Ia terus menatap perapian sementara kepalanya terasa semakin
ringan. Martha menyentakkan kepala Nora sambil mencukur
rambutnya, tapi Nora sama sekali tak mengeluh.
Bagaimana Nora akan kabur sekarang" Tanpa rambutnya yang
panjang, ia takkan bisa menganyam tali baru. Dan tak lama lagi
mereka akan datang mengambil putranya.
Nora mengangkat matanya dan menatap sang dokter. Dokter itu
balas menatapnya, matanya dingin, wajahnya tanpa ekspresi. Nora
tahu air mata dan rengekan takkan mempengaruhinya. Dokter itu
takkan membiarkan Nicholas bersamanya.
Gunting besi yang dingin itu menyentuh kulit kepalanya dan
Nora bergidik. Ia tak berani mengulurkan tangan ke kepalanya untuk
memastikan apakah rambutnya masih tersisa.
Martha mengumpulkan guntingan-guntingan rambut Nora dan
melemparkannya ke api. Nyala api di perapian meretih dan berderak.
Asap memenuhi ruangan. Bau rambut gosong menyengat paru-paru
Nora. "Kuharap kau jera," Martha berkata. "Di sini kau tak punya
kekuasaan. Kalau kau bikin repot lagi, kau akan menyesal."
Ditahannya air matanya sampai didengarnya Martha dan sang
dokter meninggalkan ruangan dan mengunci pintu di belakang
mereka. Kemudian ia menundukkan kepala dan melolong putus asa.
Aku harus menemukan sebuah cara sebelum kehilangan kewarasanku,
pikirnya. Walaupun tak ingin, jemarinya menyentuh rambutnya yang kini
berdiri tegak. Bagaimana mungkin orang-orang yang melihatku
sekarang percaya bahwa aku bukan orang gila" ia bertanya-tanya
seraya membenamkan wajahnya dalam kedua tangannya. Kapankah
mimpi buruk ini berakhir"
************* Suara-suara keras di koridor membangunkan Nora. Ia bangkit
dari lantai, berjingkat-jingkat menyeberangi ruangan, dan
menempelkan telinganya pada daun pintu yang terbuat dari kayu ek
yang keras. "Dia mungkin menangis sampai tertidur," sebuah suara kasar
bergumam. Nora tahu itu suara sang dokter.
"Apa yang akan kita lakukan bila Nora memberitahu orangorang?" suara yang lain bertanya.
"Siapa yang percaya padanya" Kita katakan saja dia membunuh
bayinya dan kita menguburkannya. Siapa pikirmu yang akan mereka
percaya" Wanita sinting itu" Atau seorang dokter terhormat?"
Nora berjalan menjauhi pintu. Ia mengedarkan pandangannya di
ruangan yang kosong itu. Ia tak memiliki senjata, atau cara untuk
melindungi Nicholas. Dihampirinya buaian bayinya dan diangkatnya Nicholas ke
dalam pelukannya. "Perjalanan kita menuju keselamatan akan segera
dimulai, Nicholas. Aku tak tahu bagaimana caranya, tapi kita akan
menemukan cara untuk kabur dari sini."
Nicholas berdeguk dan tersenyum padanya. Air mata
menyengat mata Nora. Nicholas mempercayainya. Ia takkan
mengecewakannya. Ia berjalan ke jendela. Sambil memeluk Nicholas, ia menunggu.
Butiran keringat membasahi keningnya. Dengan tidak sabar ia
menghapusnya. Ia mendengar anak kunci dimasukkan ke lubang.
"Mereka datang," ia berbisik. "Mereka datang."
Nicholas berdeguk. Nora mempererat pelukannya. "Aku harus
meyakinkan mereka bahwa tak semestinya kita berada di sini," ia
berkata lembut. Ditatapnya putranya. "Berbohong itu salah, Nicholas,
tapi aku tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Untuk
menyelamatkanmu, aku akan melakukan apa pun."
Menunduk, ia mencium pipi Nicholas yang halus. "Kalau kau
sudah besar nanti, selalu bicara jujur."
Besi bertemu dengan besi saat anak kunci berputar.
Keheningan memenuhi kamar.
Detik-detik berlalu bagai menit.
Kenop pintu berputar. Engsel-engsel berderit. Daun pintu perlahan-lahan membuka.
Sang dokter dan dua asisten bertubuh besar berdiri di dalam
kegelapan. Kabur dari sini sama sekali tidak mungkin.
Nora melangkah ke tengah ruangan. Ia meluruskan punggung,
mengangkat dagu, dan memandang mata dokter yang penuh tanda
tanya itu. "Aku berbohong waktu Anda bertanya padaku dulu. Anda
benar. Tak ada hantu malam itu. Tak ada wajah-wajah yang menjerit
di dalam api. Satu-satunya jeritan yang kudengar hanyalah jeritanku."
Nora buru-buru meneruskan, "Aku tahu kejadian yang
sebenarnya. Keluarga Fear tidak memiliki ilmu hitam. Tak ada
kutukan di dalam keluarga itu. Dan tidak apa-apa membangun jalanan
di atas tanah keluarga Fear. Tak seorang pun di Shadyside dalam
bahaya." "Aku bangga padamu, Nora. Aku tahu sulit bagimu mengatakan
semua itu," dokter itu berkata.
Nora mengembuskan napasnya dengan desahan panjang.
Apakah ia dan Nicholas akhirnya bisa memulai hidup baru"
Dipandangnya dokternya. Jantungnya berdegup cepat sementara
ia menunggu keputusannya.
"Aku tahu pada suatu hari kau akan memberitahu apa yang
sebenarnya terjadi malam itu di mansion Fear," sang dokter
melanjutkan. Kemudian tatapannya mengeras. "Tapi sudah terlambat,
Nora." "Tidak!" jerit Nora. Kemarahan menguasainya. "Anda berjanji
akan membebaskan aku jika aku menyadari apa yang sebenarnya
terjadi malam itu. Api menghancurkan mansion keluarga Fear. Api
yang mengerikan. Sisanya hanyalah imajinasiku."
"Jelas sekali kau masih percaya bahwa keluarga Fear telah
dikutuk," sang dokter berkata tegas. "Kau masih membutuhkan
bantuan kami. Aku telah mengatur agar Nicholas tinggal dengan
keluarga baik-baik sampai kau siap dibebaskan."
BAB 4 "KUMOHON," lolong Nora. "Kumohon, jangan ambil bayiku.
Hanya dia milikku." "Kalau kau sudah sembuh, dia akan dikembalikan padamu, aku
janji," sang dokter memberitahunya.
Nora mundur hingga tubuhnya menempel ke dinding. "Janji
Anda bohong semua," semburnya. "Aku tidak akan membiarkan Anda
mengambil anakku."
Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tidak bisa menghentikanku. Kau pasienku. Aku doktermu.
Dan keluarga itu sudah setuju membayar tinggi demi seorang anak
laki-laki. Aku tidak ingin mengecewakan mereka." Ia memberi isyarat
pada para petugas. Mereka bergerak ke arah Nora.
Nora melesat ke seberang ruangan. Diletakkannya Nicholas di
dalam buaian. "Aku bisa membelamu dengan lebih baik kalau aku
tidak menggendongmu," ia berbisik.
Ia berbalik dan menatap kedua pria yang mendekatinya. Seperti
wanita sinting yang mereka tuduhkan padanya, ia melepaskan jeritan
liar yang berasal dari lubuk jiwanya yang paling dalam.
Ia memamerkan giginya. Cuping hidungnya mengembang dan matanya yang hijau
menyipit. Jemarinya menekuk membentuk cakar. Kemudian ia melompat
menyerang kedua pria kekar itu.
Disabetkannya kuku-kukunya ke leher pria yang paling dekat.
Dirasakannya kulit pria itu mengerut di bawah kukunya. Pria itu
berteriak saat darah mengalir turun ke dadanya seperti anak sungai.
Nora mengangkat tangannya ke mata pria itu.
Pria kedua menyambar dan menariknya. Nora membenamkan
giginya ke lengan atas pria itu. Sambil menyentakkan kepala ke
belakang tanpa belas kasihan, ia merobek lengan pria itu. Jeritan pria
yang kesakitan itu menenggelamkan suara panik sang dokter yang
sibuk memberi perintah. Pria pertama menjatuhkan Nora ke lantai. Tersengal-sengal,
Nora merasakan darah hangat yang asin dan mengandung besi di
bibirnya. "Tangkap tangan yang satu, aku yang satunya lagi," salah satu
petugas itu menggeram. Nora berusaha bangkit. Kedua pria itu menyerbunya. Nora
melesat ke kanan. Salah satu pria itu menyambar tangannya. Ia
membanting Nora ke arah temannya. Tangan mereka memeluk kedua
tangannya bagai rantai besi.
Nora menendang dan melawan. Ia mendengar suara tawa. Tawa
sang dokter. Menggema di dinding. Mengepungnya. Mencekiknya.
Bau asam tubuh mereka yang belum mandi memenuhi hidung
Nora saat ia berjuang melepaskan diri. Ia bukanlah tandingan mereka.
Ia sangat kecil. Mereka sangat besar.
Sang dokter menghampiri dan berdiri di depan Nora. "Nora
sayang," katanya lembut, "kalau kau terus melawan mereka, dengan
mudah mereka akan mematahkan lehermu. Siapa yang peduli kalau
kau mati?" Ia pergi menghampiri buaian. "Ah, anak berharga ini telah
menjadikanku orang yang kaya raya."
Ia membungkuk dan meraih Nicholas.
"Tidak!" Nora berteriak dalam keputusasaan saat ia melawan
para peringkusnya. "Jauhi bayiku!"
Amulet di dadanya terasa semakin panas di kulitnya.
Lantai bergetar. Nora menahan napas. Sang dokter berbalik. Matanya melebar oleh rasa takut.
Lidah api berderak dan berkobar. Nyalanya semakin tinggi dan
tinggi. Keluar dari perapian. Memanjat dinding. Lidah api dengan
rakus menjilat langit-langit. Semakin terang dan terang hingga yang
bisa Nora lihat hanya dinding api.
Seorang pria muncul dari nyala api yang menari-nari.
"Daniel," Nora menahan napas.
Suaminya telah bangkit dari kubur.
Kaki Nora terasa lemas. Daniel menatapnya. Wajahnya serius. Matanya menuduh.
"Aku menyesal," seru Nora. Suaranya bergetar. "Aku sangat
menyesal, Daniel. Aku mencoba melindungi putra kita"tapi aku tak
bisa. Maafkan aku," pintanya.
"Kemarilah dan ikut denganku, Dokter," Daniel berkata parau.
Ia mengulurkan tangan melewati Nora dan menarik sang dokter ke
dalam api neraka yang berkobar itu.
Menjerit, sang dokter jatuh berlutut. Matanya membeliak.
Melotot semakin lebar. Kemudian, dengan bunyi pop matanya
melompat dari soketnya dan menggelinding di atas lantai. Biji-biji
mata itu berdesis ketika api menelan mereka.
Nora membuang wajahnya dari pemandangan mengerikan itu.
Tertegun, para petugas melepaskan Nora. Ia mundur
menghampiri buaian. Nicholas bakal ketakutan.
Jerit kesakitan sang dokter menyatu dengan deru api. Nora
memaksa dirinya untuk melihat.
Kulit sang dokter menciptakan gelembung-gelembung yang
pecah dan menampakkan tulang di baliknya. Gelembung, pecah,
tulang. Terus seperti itu.
Nora merasakan bau yang menusuk menyentak bagian belakang
lehernya. Ia menelan dengan susah payah.
Tenang, ia memerintahkan dirinya. Kau harus siap
menyelamatkan Nicholas. Kulit sang dokter mendidih"hingga tak ada yang tersisa
kecuali kerangkanya. Daniel menjatuhkan sang dokter. Sambil menjerit marah ia
menyambar salah satu asisten"tepat ketika pria itu mengulurkan
tangan ke kenop pintu. Asisten yang satu lagi melesat ke jendela. Daniel menembakkan
nyala api ke arahnya. Api membakar sekujur tubuh sang asisten
seperti selimut. Api terus berkobar, melebar ke sudut-sudut kamar, melukis
langit-langit dengan nyala oranye.
"Nora!" seru Daniel.
Nora menyentakkan kepalanya ke perapian.
Dari tengah-tengah lautan api, Daniel mengulurkan tangan
meraihnya. BAB 5 NORA merasakan panas menyengat dari tangan Daniel.
"Daniel, jangan!" teriaknya. "Tidakkah kau mengenaliku" Aku Nora.
Istrimu. Aku tahu kau tak ingin melukaiku."
Cabikan kulit terkelupas dari wajah Daniel. Tangannya yang
terbakar nyaris menyentuh Nora.
Nora tak bisa bergerak. Ia harus tetap berdiri di depan buaian. Ia
harus melindungi Nicholas.
Nora memaksa dirinya menatap mata putih Daniel yang
terbakar api. "Daniel. Kau harus mengerti. Aku Nora. Anak kita
membutuhkanku." "Lari, Nora," Daniel berkata parau.
Nora berlari ke buaian dan mengangkat Nicholas. Kemudian ia
meluncur ke pintu. Ia ragu sejenak dan memandang suaminya. Lidah api bergerak
mundur kembali ke perapian.
"Ini anakmu," Nora memberitahunya, suaranya pecah. "Kalau ia
besar nanti, wajahnya akan mirip denganmu."
"Pergi!" pinta Daniel. Wajahnya mengerut kesakitan saat nyala
api berkobar di sekelilingnya.
"Aku mencintaimu, Daniel," seru Nora.
Daniel melepaskan lolongan memilukan dan jatuh berlutut.
Nora melesat meninggalkan kamarnya dan berlari menyusuri
koridor. Nyala api mengikutinya. Lidah api berkobar di sekelilingnya.
Dinding-dinding berubah menjadi lautan api yang membutakan.
Para penghuni rumah sakit jiwa itu menggedor-gedor pintu
kamar mereka yang terkunci. Teriakan-teriakan minta tolong tak
dihiraukan saat asap tebal mencekik udara.
Sambil memeluk Nicholas erat-erat, Nora melesat menuruni
tangga. Kamar-kamar di lantai berikutnya tidak terkunci. Para pasien
berlarian ke seluruh penjuru.
Nora melihat seorang wanita duduk di tengah-tengah lantai,
bergoyang linglung ke depan dan belakang. "Kebakaran!" teriak Nora.
"Lari! Gedung ini kebakaran! Selamatkan dirimu!" Wanita itu terus
mengayunkan tubuhnya. Nora meneruskan larinya. Lebih cepat. Aku harus lari lebih cepat. Aku harus menyelamatkan Nicholas.
Aku takkan membiarkan kuasa gelap menyentuhnya. Aku tidak akan
membiarkan lidah api membakarnya.
Ia meluncur menuruni tangga, mendorong orang-orang menepi.
Para dokter dan perawat berteriak, memberi perintah. Mereka tidak
memperhatikan Nora. Seorang pria menyambar keliman pakaian Nora. Ia mendengar
suara kain robek saat menyentakkan dirinya dan kembali berlari.
Matanya terasa perih. Udara yang panas menyengat paruparunya saat ia bernapas.
Jantungnya berdentam-dentam. Telinganya berdengung.
Lehernya jadi kering. Kita harus keluar dari sini, pikirnya. Dipaksanya kakinya yang
melepuh menuruni deretan tangga terakhir. Kita akan keluar dari sini.
Pasti. Ia meluncur keluar dari pintu muka. Keluar ke dalam kegelapan
malam. Sirene yang meraung-raung dan lonceng-lonceng yang
berdentang menyambutnya. Di belakangnya orang-orang menjerit, api
menderu, dan gedung itu mulai ambruk.
Nora tidak berhenti untuk bernapas. Ia berlari menyeberangi
halaman. Rumput yang sejuk mengurangi pedih di kakinya.
Saat ia mencapai semak-semak yang aman, ia merunduk dan
mengawasi rumah sakit jiwa yang dimakan api itu.
Aku bebas, Nora berpikir. Ia nyaris tak sanggup
mempercayainya. Apa yang harus kulakukan sekarang" Bersembunyi. Aku butuh
tempat yang lebih baik untuk bersembunyi. Setelah itu aku bisa
menyusun rencana. Mencari cara untuk keluar dari Shadyside tanpa
terlihat orang. Ia mengusapkan jemarinya di pipi anaknya yang halus. "Kita
harus pergi ke tempat orang-orang tidak mengenal kita, Nicholas," ia
berbisik. "Kita harus menemukan sebuah kota di mana tak seorang
pun penduduknya pernah mendengar tentang keluarga Fear. Kita
harus pergi jauh, sangat jauh."
Untuk terakhir kalinya ia memandang rumah sakit jiwa itu. Ia
bisa melihat jendela kamarnya. Jerujinya tidak kelihatan terlalu
menakutkan bila dilihat dari luar.
Kaca jendela menghambur ke luar jendela. Bagaikan sepasang
tangan yang panjang, lidah api menyambar ke luar ke pepohonan
terdekat. Nora melihat Daniel berdiri di depan jendela. Memandang ke
arah mereka. "Kita harus pergi, Nicholas. Kita harus pergi sekarang juga.
Selamat tinggal, Daniel."
Nora bangkit berdiri. Sambil membuai bayinya, ia melangkah
terhuyung-huyung menjauhi rumah sakit jiwa itu dan menuju tempat
yang asing baginya. BAB 6 GEMETARAN, Nora meringkuk memeluk Nicholas. Ia
merasakan kehangatan tubuh mungilnya saat bayi itu berbaring di
dadanya. Mereka bersembunyi di atas sebuah kapal. Tak ada
kehangatan di sana. Tak ada api.
Jemari Nora terasa seperti es, beku dan kaku. Ia khawatir ia
akan membuat Nicholas terbangun jika ia menyentuhnya dengan
tangannya yang dingin. Ia tahu bayinya lapar. Sama seperti dirinya sendiri. Tak ada
waktu untuk mencari makanan saat mereka kabur dari rumah sakit.
Tak ada waktu untuk memikirkan bagaimana mereka akan bertahan
sendirian, hanya mereka berdua. Yang dipikirkannya hanya kabur dari
situ. Mereka telah berjalan semalaman. Menghindari jalan-jalan
utama dan orang-orang, perlahan-lahan mereka menuju dermagadermaga di kota tetangga.
Dengan kabut fajar menyelimuti permukaan tanah, Nora
mengendap-endap naik ke palka kapal. Ia tak tahu ke mana tujuannya.
Ia tidak peduli. Kapal ini akan membawa mereka pergi dari sini. Itu
sudah cukup. Ia merasakan gerakan kapal itu dan mendengarnya bergesekan
dengan dermaga saat akan beranjak menuju laut.
Nora menunduk memandang putranya. Nicholas tidur tenang di
dalam peti kayu, dikelilingi beberapa karung tepung tua.
Pelupuk mata Nora bertambah berat. Aku tak boleh tidur, ia
mengingatkan dirinya. Digosoknya matanya yang bengkak. Matanya terasa perih saat
ia memejamkannya. Ketika ia membukanya lebar-lebar rasanya
seperti terbakar. Aku harus terus berjaga-jaga, ia mengingatkan dirinya. Kalau
tidak, mereka akan datang. Mereka bergerak cepat. Bahkan di dalam
kegelapan, aku bisa merasakan mata mereka yang kecil mengawasi
kami dari kasau-kasau di atas.
Ia bergidik. Kalau aku memejamkan mataku sebentar, mereka
akan menyerang. Kapal mengerang bersama gelombang laut. Perhatikan suarasuara itu, Nora memberitahu dirinya. Apa pun asal bisa membuatnya
tetap sadar. Ia mendengarkan langkah-langkah kaki para pelaut di atas saat
mereka bekerja. Angin melolong di atas lautan.
Garukan kaki-kaki kecil. Mereka sudah semakin dekat, pikir Nora.
Nora memandang kegelapan yang mengelilinginya. Ia tak bisa
melihat apa-apa. Ia merasa amat lelah. Tubuhnya terasa nyeri.
Suara cakar-cakar kecil yang ketakutan terdengar semakin
keras. Mereka datang. Namun Nora terlalu lelah. Terlalu lelah untuk merasa khawatir.
Ekor yang panjang, dingin, dan tak berbulu mengusap pipinya.
Tikus-tikus telah tiba. Nora menahan jeritannya. Ia memaksa dirinya agar tidak
bergerak saat binatang-binatang itu mengepungnya.
Aku harus mengumpulkan tenaga. Demi Nicholas. Aku harus
tetap kuat. Ia menyentakkan tangannya dan menyambar salah seekor tikus
itu. Binatang itu menggeliat-geliat di dalam cengkeramannya,
mencicit nyaring. Nora mematahkan lehernya dengan pelintiran tajam. Kemudian
ia menarik putus kepalanya.
Tikus-tikus yang lain berpencar.
Darah tikus yang hangat dan kental mengalir pelan menuruni
tangan Nora, membasahi jemarinya yang sedingin es.
Nora menelengkan kepalanya ke belakang, menahan rasa
jijiknya sendiri. Harus tetap kuat demi Nicholas. Harus tetap kuat.
Nora mengangkat tikus itu ke dekat mulutnya yang menganga
dan meremasnya kuat-kuat. Darah binatang itu menetes ke atas
lidahnya dan mengalir turun ke lehernya.
Pintu menuju palka terempas membuka. Cahaya tercurah masuk
Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lewat ambang pintu. Nora melemparkan tikus itu dan mengusap darah yang kental
itu dari mulutnya. Ia mengangkat Nicholas dan berlari cepat ke balik
tumpukan peti kayu. Langkah-langkah kaki bergema di sekeliling palka. Nora
mengawasi cahaya lampu yang bergoyang-goyang di atas lantai dan
dinding. Cahaya itu semakin dekat. Suara langkah-langkah kaki semakin
keras. Nora menahan napas. Kemudian cahaya lampu itu bergerak pergi.
Semuanya diam membeku. Hening.
Mana orang itu" Nora bertanya-tanya. Apakah ia akan pergi
dari sini" Nora menahan napas. Kumohon, pergilah! batinnya. Pergi,
tinggalkan kami sendirian.
Nora memasang telinga mendengarkan sesuatu yang bisa
memberitahukan posisi pria itu. Tapi ia tak mendengar apa pun.
Bahkan suara langkah bergegas tikus-tikus itu pun tidak.
Jantung Nora berdentam-dentam. Ia menunggu. Di manakah
pria itu" Di mana dia"
Dengan hati-hati ia beringsut maju dan memandang ke balik
peti-peti kayu. Sepasang tangan besar dan kasar mencengkeram dan
menyentaknya berdiri. "Aku tahu aku mendengar sesuatu selain suara-suara tikus yang
berlarian di bawah ini," sergah pria itu.
Nora meronta membebaskan diri.
"Tahukah kau apa yang kami lakukan terhadap penumpang
gelap?" bentaknya. Nora menggelengkan kepala. "Kami lempar
mereka ke hiu!" Pria itu menyipitkan matanya dan menatapnya dengan saksama.
Otak Nora berputar. Apa yang akan dilakukannya padaku" Aku harus
menjauhkannya dari Nicholas.
"Berikan kalung di lehermu itu dan aku takkan memberitahu
siapa pun bahwa kau ada di sini," tukas pria itu.
"Tapi kalung ini pemberian?"
"Aku ingin kalung itu," geram pria itu. "Dan dengan satu atau
lain cara, aku akan mendapatkannya. Kau bisa memberinya padaku
atau aku akan mengambilnya sendiri."
Pria itu merenggut rantai perak amulet itu.
"Jangan!" teriak Nora. Amulet itu mulai terasa panas di
kulitnya. "Aku menginginkan kalung itu!" sergah pria itu. Dipilinnya
rantai kalung itu dan disentaknya dengan keras.
Rantai kalung itu menegang di sekeliling leher Nora dan
mencekiknya. Ia megap-megap mencari udara. Ia berusaha meremas
jemarinya di bawah rantai kalungnya. Udara. Ia membutuhkan udara.
Kegelapan menyelimutinya. Tangannya jatuh lemas di sisi
tubuhnya. Nicholas. Siapa yang akan menjaga Nicholas"
Dari jauh Nora mendengar pria itu menjerit kesakitan. Cekikan
di sekeliling lehernya mengendur.
Udara yang lembap dan asin memburu masuk ke paru-parunya.
Ia memaksa membuka mata dan memandang pria itu. Kalau saja ia
punya tenaga, ia akan menjerit.
Tikus-tikus menyerbu pria itu. Mereka melompat menerpanya
dari atas peti-peti kayu. Mereka memanjat menaiki pipa celananya.
Mereka merangkak menuruni kelepak kemejanya.
Semakin banyak tikus melompat dari peti, berebut mencari
tempat di tubuhnya yang meliuk dan memukul-mukul. Tikus-tikus itu
mencakar dan menggigit sampai Nora bisa melihat potonganpotongan tulang putih pria itu.
Perut Nora terasa mulas saat ia memperhatikan tikus-tikus itu.
Mereka mencabik-cabik tubuh pria itu dengan cakar dan gigi mereka
yang tajam dan kuning. Seekor tikus menggigit daun telinga pria itu
hingga putus. Satu mencopot sepotong kecil kelopak matanya.
Pria itu melolong kesakitan"dan salah satu tikus itu melompat
ke dalam mulutnya. Pria itu roboh ke lantai. Ia meringkuk dalam-dalam hingga
seperti bola. Nora mendengarnya mengerang pelan.
Mengerang sementara tikus-tikus menyantap dagingnya.
Bagaimana kalau mereka masih lapar setelah mereka selesai"
Nora berpikir. Ia menempatkan dirinya di depan buaian darurat Nicholas dan
menatap tikus-tikus itu. Mereka harus melewatinya dulu sebelum menyentuh bayinya.
BAB 7 LANGKAH-LANGKAH kaki yang berat berdebam-debam
menuruni anak tangga. Pintu terbuka dengan keras dan beberapa pria menyerbu masuk.
Pelaut, kelasi, pekerja. Apa yang akan mereka lakukan bila mereka menemukan aku"
Nora perlahan-lahan mengendap-endap ke sudut.
Mengangkat lentera mereka, pria-pria itu menatap dengan
kengerian tanpa suara saat tikus-tikus berbulu hitam itu mengerubuti
teman mereka. Genangan darah yang berwarna gelap tampak di
sekelilingnya. Salah seorang pria mengangkat sebuah peti kayu dan
melemparkannya ke arah tikus-tikus itu. Beberapa langsung kabur.
Sisanya terus makan. Perut Nora kram saat ia melihat gumpalan otak berwarna kelabu
meluap dari kepala pria itu.
"Tak mungkin menyelamatkan dia," gumam salah seorang
pelaut. Nicholas mengeluarkan rengekan pelan.
Kumohon, jangan menangis sekarang, Nora diam-diam
memohon. Tolong. Tidak sebelum mereka pergi"dan kami aman
kembali.ebukulawas.blogspot.com
Ia menggoyang-goyangkan Nicholas naik-turun. Bayi itu
menyukainya. Biasanya itu membuatnya berhenti menangis.
Nora berpindah dari satu kaki ke kaki yang lain saat berusaha
menjaga agar bayinya tetap diam. Salah satu kakinya tanpa sengaja
menginjak sepotong kayu. Krakkk. "Lihat!" seorang pria menunjuk ke arah Nora. Sekujur tubuhnya
langsung dingin saat semua laki-laki itu berpaling menatapnya.
"Tikus-tikus itu sama sekali tidak mengganggunya," pria yang
lain berbisik parau. "Dia pasti punya ilmu hitam," seseorang berseru. Pria-pria itu
bergumam setuju. "Tidak!" sergah Nora. "Aku tidak punya ilmu apa pun. Kalian
harus percaya padaku."
Salah seorang pria pelan-pelan mendekat. Rambutnya seperti
jerami dan wajahnya penuh bintik-bintik.
"Namaku Tim." Ia membusungkan dadanya. "Kelasi kelas
satu." Ia menatap tubuh penuh darah di atas lantai itu. Diam. Begitu
diam. "Ini bukan tempat yang aman untuk seorang wanita dan bayi.
Ikuti aku." Beberapa pria menggerutu memprotes. Tim menerobos
kumpulan orang itu. Nora mengambil sikap hati-hati dan berjalan
tepat di belakangnya. Dengan susah payah mereka berjalan menaiki tangga. Yang lain
mengikuti di belakang. Nora melihat tak satu pun dari mereka berjalan
terlalu dekat dengannya. Mereka takut padaku, ia tersadar. Takut
namun juga marah. "Lewat sini," ujar Tim. Ketika Tim sampai di ujung koridor, ia
mendorong pintu terakhir hingga terbuka. "Di dalam sini, Nona."
Nora melangkah masuk ke sebuah ruangan kecil. Dipan-dipan
disusun di atas yang lainnya sepanjang dua bidang dinding. Koperkoper kayu diletakkan di sepanjang dinding yang lain. Di atasnya,
tergantung pada pasak di dinding, tampak jas-jas hujan berwarna
kuning. Tim membuka sebuah koper kayu. Ia mengeluarkan pakaianpakaian dari dalamnya dan melemparkannya ke sudut. Kemudian ia
mengambil sehelai selimut dari dipan dan meletakkannya di dalam
koper. "Kau bisa meletakkan bayimu di sini," katanya kasar.
Nora membaringkan Nicholas di dalam koper. Ia
membungkusnya dengan selimut. Dengan penuh syukur, ia bermaksud
mengucapkan terima kasih pada Tim. Namun mata pria itu keras dan
dingin. "Kau tidak boleh meninggalkan kamar ini," ia berkata. "Aku
harus mendiskusikan keberadaanmu dengan sang kapten."
"Bukankah mestinya aku bicara pada sang kapten?" Nora
bertanya. Tim menggelengkan kepala. "Kalau ada wanita naik kapal
kargo, itu pertanda buruk. Dia takkan menyukai hal ini. Dia sama
sekali takkan menyukainya."
Ia membanting pintu keras-keras di belakangnya, dan Nora
mendengar suara anak kunci diputar.
Nora mengempaskan dirinya ke lantai di sisi koper. Aku
kembali menjadi tawanan, ia tersadar. Dibelainya punggung Nicholas
dengan lembut. Tapi setidaknya di sini tidak ada tikus. Dan kita punya
lampu. Sekarang kalau saja mereka bersedia memberi kita makanan.
Kapal tiba-tiba tersentak maju. Gelombang laut pecah di
bawahnya. Nora menyambar tepi koper dan mencengkeramnya erat-erat. Ia
bersenandung bagi bayinya sementara kapal bergoyang-goyang ke
depan dan belakang. "Badai, Nicholas," ia berkata. "Cuma itu. Badai. Pria-pria itu
sudah biasa menghadapi badai di lautan. Mereka tahu apa yang harus
dilakukan." Nora mendengar seorang pria meneriakkan perintah-perintah.
Kedengarannya orang itu ketakutan.
Ia mendengar suara langkah-langkah kaki berlari mondarmandir di atasnya.
Kapal berguncang semakin keras. Nora bersandar di salah satu
dinding, berusaha menjaga koper Nicholas agar tetap stabil.
Apa yang terjadi pada kami" Nora bertanya-tanya. Apa yang
terjadi pada kami sekarang"
"Semenit yang lalu lautan tenang"lalu sekarang begini," Nora
mendengar seorang pria berteriak. "Tidak biasanya."
"Pasti wanita itu!" pria yang lain balas berteriak. "Dia punya
ilmu hitam!" Kapal berguncang. Nora terempas ke pintu kamar. Koper
Nicholas menghantam, tubuhnya.
Nicholas menjerit ketakutan. Nora mencoba menenangkannya.
Namun suaranya bergetar saat ia berbisik padanya, dan jantungnya
berdebar keras memukul tulang iganya.
Nora mendengar suara langkah-langkah kaki menyusuri
koridor. "Dialah yang menyebabkan semua ini!" seorang pria berseru
dari luar pintu. "Benar!" yang lain menimpali. "Dialah yang memerintahkan
semua tikus itu. Dia telah membunuh Frank. Dia akan membunuh kita
kalau kita membiarkannya."
"Aku tidak membunuh teman kalian," seru Nora dari balik
pintu. "Tolong, percayalah padaku."
"Kenapa kami harus percaya padanya?" geram salah satu pria
itu. Nora menarik koper Nicholas sejauh mungkin dari pintu. "Aku
akan menjagamu," ia berjanji pada putranya. "Jangan takut. Mama
akan menjagamu agar tetap selamat."
"Buang dia ke laut!" seseorang berseru.
Nora berpaling ke pintu dan berdiri menunggu orang-orang itu.
Anak kunci berputar di lubangnya. Daun pintu terempas
terbuka. Seorang pria menerobos masuk dan menyambar pinggangnya.
Nora meronta-ronta sekuat tenaga, mencakar dan menendangnendang.
Pria itu mengumpat dan mengangkat Nora ke bahunya.
"Lepaskan aku!" jerit Nora. Ia meronta-ronta. Mencoba
melepaskan diri. "Aku harus tetap bersama bayiku!"
Pria bertubuh besar itu mempererat cengkeramannya dan
menjunjungnya ke luar kamar menaiki beberapa anak tangga yang
sempit. Ia mendorong pintu yang menuju dek. Angin menangkap pintu
itu dan merobeknya dari engselnya. Nora menjerit.
Air hujan memukuli tubuh Nora sementara pria itu
membawanya ke luar. Angin menusuk wajahnya. Ombak mengempas
melewati birai setiap kali kapal menyentak maju.
Nora tak bisa berhenti gemetaran. Bagaimana ia bisa membuat
orang-orang ini yakin bahwa ia tidak bersalah"
Pria itu berjalan ke birai kapal. "Lempar dia ke laut! Lempar dia
ke laut!" yang lain berseru-seru.
Pria itu menurunkan Nora dari pundaknya. Kaki Nora yang
gemetaran menyentuh permukaan dek. "Hentikan badai ini!" bentak
pria itu. Nora berjalan terhuyung-huyung di tengah amukan angin. Pria
itu menyambar tangannya, jemarinya menusuk kulit Nora yang
ha?lus. "Hentikan badainya!" ia berteriak sekali lagi.
Nora menggelengkan kepala. "Aku tak bisa. Kau harus
membiarkan aku kembali ke bayiku. Tolong!"
Para pelaut menggeram marah. Mereka merangsek maju dan
mengangkatnya ke udara. Nora meronta-ronta ketika mereka membawanya ke birai kapal.
"Hentikan! Aku tidak bisa ilmu hitam!" jerit Nora. "Aku tidak bisa
menyuruh badai berhenti!"
"Lempar dia ke laut!" seseorang berseru.
Pria-pria itu mengangkatnya lebih tinggi.
Mereka mengayunkan tubuhnya melewati birai.
Lautan bergolak di bawahnya.
BAB 8 KAPAL tiba-tiba meluncur maju.
Orang-orang itu terhuyung ke belakang" menjauhi birai.
Mereka melepaskan Nora. Nora merasakan tubuhnya melayang
jatuh. Ia mendarat di atas dek. Rasa sakit menyengat dadanya saat
udara tersentak keluar dari tubuhnya.
Ombak besar menerpa menerobos birai. Nora mendengar orangorang menjerit saat ombak menyeret mereka keluar dari birai.
Tersengal mencari udara, ia mencoba bangkit berlutut.
Aku harus pergi ke Nicholas. Kapal ini takkan selamat. Kapal
ini akan karam. Karam ke dasar laut. Aku tak boleh membiarkannya
menyeret Nicholas bersamanya.
Amulet Fear itu mulai terasa hangat di dadanya. Digenggamnya
benda itu. Haluan kapal melesat ke udara. Tegak lurus. Nora menyambar
sejenis tali dan melilitkannya di tangannya.
Para pria meluncur melewatinya, mencoba berpegangan pada
permukaan dek. Mereka menjerit ngeri saat tubuh mereka terempas ke
lautan. Haluan kapal terbanting kembali ke air. Nora melepaskan
Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belitan tali itu. Ia merangkak ke tangga dan setengah jatuh berguling.
Ia mendengar suara angin melolong. Air meluap menuruni anak
tangga. Ia menyeret dirinya hingga berdiri dan menekan satu
tangannya ke dinding untuk menjaga keseimbangannya.
Amulet itu mulai bersinar. Cahaya birunya yang aneh
membantu Nora menemukan jalannya. Ketika ia mencapai dasar
tangga, air sedingin es berputar di atas pergelangan kakinya.
"Nicholas!" jeritnya, berlari ke arah koper.
Sebuah tangan yang kuat mendarat di bahunya dan
menghentikannya. Nora berbalik. Tak seorang pun bisa memisahkannya dari
Nicholas. Tak seorang pun.
"Kau harus mati!" bentak pelaut itu.
"Tidak!" Nora menjerit dengan suara melengking.
Ia harus menyelamatkan Nicholas. Ia harus menyelamatkan
bayinya. BAB 9 DIRENGGUTNYA kemeja pria itu.
Tenaga bagai mengalir ke seluruh tubuhnya. Ia merasa cukup
kuat untuk melawan semua pria di kapal itu"kalau memang itu yang
harus dilakukannya untuk menyelamatkan putranya.
Diangkatnya pria itu hingga kakinya tidak menyentuh lantai.
Dan dilemparnya ke dinding dengan segenap tenaganya.
BRUKK! Pasak kayu untuk gantungan baju keluar menembus dadanya.
Darah yang panas dan lengket menyembur ke seluruh wajah
Nora. Pria itu melolong kesakitan saat tubuhnya bergelantung tanpa
daya di pasak itu. "Lihat apa yang dilakukannya pada Samuel," seseorang
menjerit. Nora berbalik ke asal suara.
Tiga orang pria balas menatapnya.
"Dia iblis!" salah satu dari mereka berkata. "Benar-benar iblis!"
"Benar! Aku ini iblis!" teriak Nora. "Jangan mendekat! Kalau
tidak kalian akan kubunuh juga!"
Digosoknya amulet itu. Panas yang ditimbulkannya mengalir ke
seluruh jemarinya. Para pria itu ragu-ragu. Nora tahu mereka ketakutan. Takut dan
marah. "Aku punya kekuatan. Aku akan menggunakannya. Pergilah
dariku selagi kalian punya kesempatan!"
Ketiga pria itu berebut keluar meninggalkan ruangan.
Kraakkkk! Nora mendengar suara tajam yang mengalahkan suara badai di
luar. Air mulai merembes masuk melalui dinding kabin. Sisi badan
kapal telah pecah, Nora tersadar.
Ia berlari menghampiri Nicholas. Koper itu terbuat dari kayu
yang keras, tapi apakah benda itu akan mengapung" Atau malah
tenggelam ke dasar lautan"
Ia melihat gelungan tali di atas lantai. Dipungutnya benda itu.
Lalu diikatnya salah satu ujungnya di sekeliling pinggangnya.
Diciumnya ujung jemarinya, lalu ditekankannya ke pipi anaknya.
"Jaga dirimu." Ia menutup tutup koper itu dan membelai permukaan kayunya
yang telah dipoles. "Jaga dirimu, bayiku."
Kapal kembali tersentak dan terguncang. Air tercurah ke
ruangan itu semakin cepat dan cepat.
Nora melilitkan tali itu erat-erat di sekeliling koper. Di atas dan
bawah. Simpul. Simpul. Sekelilingnya. Simpul lagi. Bawah dan atas.
Simpul lagi. Air laut yang dingin mengelilingi betisnya. Koper itu perlahanlahan naik mengikuti permukaan air yang menggenangi kabin. Nora
membuat sebuah simpul lagi.
"Kita akan baik-baik saja, Nicholas," gumam Nora ketika air
merangkak semakin tinggi.
Papan-papan kayu kapal berderak dan menjerit.
Nora menatap ngeri saat papan-papan itu menekuk. Papanpapan itu takkan bertahan lebih lama lagi, pikirnya.
Papan-papan itu berlepasan. Gelombang air yang besar menerpa
Nora. Memenuhi kabin dengan air.
Air laut yang asin dan dingin mengelilinginya. Membakar
mulut dan hidungnya. Menyengat matanya.
Nora berjuang mencapai lubang di dinding kabin. Ia harus
keluar dari situ. Ia membutuhkan udara. Paru-parunya seperti terbakar.
Ia menyeret dirinya melewati lubang, menarik koper Nicholas
di belakangnya. Kemudian ia berenang dengan sekuat tenaga. Naik, naik, naik.
Ia harus mencapai permukaan air.
Koper itu membentur pinggangnya, lalu bahunya, lalu
kepalanya. Rasa sakit melanda seluruh tubuhnya. Bintik-bintik terang
tampak di depan matanya. Nora berenang ke permukaan. Dihirupnya udara dalam-dalam.
Badai itu mencambuknya tanpa belas kasihan. Menerbangkan
koper itu jauh darinya" tapi tali itu memegangi mereka.
Nora batuk dan muntah. Pakaiannya yang basah kuyup seperti
menariknya turun. Ia menarik koper itu kembali dan berpegangan padanya. Koper
itu membantunya tetap mengapung saat ombak menerjang di
sekelilingnya. Nora mendengar teriakan para pria saat mereka dilemparkan ke
laut. Mereka berusaha menjaga agar kepala mereka tetap muncul di
atas air yang bergolak. Nora mengawasi ketika kapal itu perlahan-lahan tenggelam ke
air. Turun, turun, turun.
Lalu angin berhenti. Laut berubah tenang.
Jeritan-jeritan berhenti.
Apa yang terjadi dengan pria-pria itu" Nora berpikir. Ia
memandang sekitarnya, mencari-cari awak yang selamat.
Tapi air yang gelap telah berubah setenang cermin.
Koper Nicholas timbul-tenggelam. Selain itu tak ada lagi yang
bergerak. Tak satu pun dari laki-laki itu yang selamat.
Kedamaian yang mematikan menebarkan jubahnya ke atas
mereka. Nora merasa sangat kelelahan. Setiap otot dan tulang di dalam
tubuhnya terasa nyeri. Aku hanya ingin tidur, ia berkata pada dirinya. Tapi tidak boleh.
Aku harus menyelamatkan Nicholas. Aku harus menemukan pantai.
Aku harus mencari keselamatan.
Ia meluncur turun dari koper dan masuk ke dalam air yang
dingin. Dengan susah payah ia mulai berenang, menarik koper di
belakangnya. Ia merasakan darah di bibirnya. Darah dan garam. Ia tidak tahu
apakah garam itu berasal dari air yang mengelilinginya... atau dari air
matanya sendiri. Kedua lengannya terasa semakin berat. Ia memaksa
mengangkatnya ke atas lagi dan lagi.
Kakinya mulai kram, tapi ia tak berhenti menendang. Berapa
jauh lagi" Di mana daratan terletak"
Nora mendengar deru yang sangat keras. Ia berhenti berenang
dan berpegangan pada koper. Ia mengedarkan pandangannya ke air.
Matanya melebar. Awan gelap berputar di atas laut. Sambaran
kilat menerangi langit. Ombak bergerak, naik dari kedalaman lautan.
Badai telah kembali. Tergesa-gesa ia naik kembali ke atas koper. Dan menunggu.
Menunggu kematian menjemputnya. Menderu, badai semakin
dekat. Gelombang besar mengempaskan koper itu naik-turun. Tali
yang mengikat mereka tenggelam di jemari Nora saat ia berpegangan
padanya. Ia berada dalam kekuasaan sang badai.
Dan sang badai tidak punya belas kasihan.
BAB 10 NORA merasakan buih yang lembut membasahi wajahnya. Ia
merasa lelah, amat sangat lelah. Ia cuma ingin tidur.
Perih, perlahan-lahan, Nora membuka mata.
Ia tak lagi bertengger di atas koper. Ia berbaring telentang di
tanah. Pasir menempel di wajah dan kakinya yang telanjang.
Ia melompat bangkit. Nicholas! Di mana Nicholas"
Mata Nora menjelajah sekeliling pantai. Ia menemukan koper
itu"dan menahan napas.
Koper itu telah menghantam batu yang besar. Tutupnya
menganga terbuka. Apakah Nicholas masih di dalamnya" Apakah ia terluka"
Nora buru-buru berdiri dan menghampiri koper itu. Ia
tergelincir di pasir yang basah dan jatuh berlutut.
Ia menyeret dirinya hingga berdiri dan terhuyung-huyung maju.
Dengan hati sarat dengan kengerian, ia melayangkan matanya ke
dalam koper. Nicholas masih terbaring di dalamnya.
Diam. Amat diam. "Nicholas?" ia berbisik parau.
Bayi itu tidak bergerak. Burung-burung camar melayang di angkasa, tapi suara mereka
juga tidak membangunkan Nicholas.
Dia mati, Nora berpikir muram. Nicholas telah mati.
Air mata memenuhi matanya. Ia mengulurkan tangan dan
menyentuh pipi bayinya. "Nicholas?"
Bayi itu mengerutkan wajahnya dan melolong panjang. Ia
masih hidup! Nora tertawa, mengangkatnya ke dadanya, dan memeluknya
erat-erat. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Embusan angin yang hangat membelai wajahnya saat Nora
berdiri di pantai berpasir itu. "Kita selamat, Nicholas. Selamat."
Nora berjalan ke laut hingga permukaan laut mencapai lututnya.
Ditatapnya hamparan air biru-kristal yang tak berujung itu. "Kita akan
memulai hidup yang baru bersama-sama," ia berjanji pada anaknya.
Nicholas mengulurkan tangannya yang mungil dan meraih
rantai amulet ibunya. Rantai itu putus. Amulet itu jatuh ke tanah.
Nora memungut dan mempelajarinya. Ia
membalikkan amulet itu dan membaca tulisannya:
DOMINATIO PER MALUM. "Kekuasaan melalui kejahatan," Nora berbisik. "Ayahmu
memberikan amulet ini padaku sebagai simbol cintanya, Nicholas.
Amulet ini sangat istimewa baginya, karena keluarganya telah
memilikinya untuk waktu yang lama."
Nora mendesah. "Keluarga ayahmu memiliki kekuasaan dan
uang. Tapi mereka membayarnya dengan harga mahal. Mereka
membiarkan iblis masuk ke dalam hidup mereka, dan itulah yang
menghancurkan mereka."
Nora menunduk menatap air laut untuk waktu yang lama. "Aku
tak ingin kuasa kegelapan itu menjadi bagian hidupmu, Nicholas. Aku
tak ingin kau mendapatkan nasib yang sama seperti ayahmu."
Amulet itu terasa berat dalam genggamannya. Berat dan hangat.
Nora menarik tangannya dan melemparkan amulet itu ke tengah
air laut yang tenang. Perasaan lega meliputi dirinya. Dipeluknya Nicholas. "Kini
kegelapan keluarga Fear tak dapat menyentuhmu."
Nora menunduk memandang wajah bayinya. "Kita akan
memulai hidup yang baru" dengan nama baru. Mulai sekarang, kita
akan dikenal sebagai Nora dan Nicholas Storm."
BAGIAN DUA BAB 11 Shadow Cove 1919 NICHOLAS STORM benci sekali menjadi nelayan.
Ia tidak suka bau ikan yang amis. Atau rasa asin di bibirnya.
Atau bau air laut yang memenuhi hidungnya.
Ketika ia berjalan pulang, ia membawa bau amis ikan
bersamanya. Tak peduli seberapa sering ia mandi atau seberapa keras
ia menggosok tubuhnya, bau amis itu tetap melekat di kulitnya. Ia
membencinya. Ia membenci semua hal yang ada dalam hidupnya. Semuanya.
Semuanya kecuali Rosalyn.
Rosalyn berbeda. Ia bukan penduduk asli Shadow Cove.
Rosalyn datang dari Spanyol.
Nicholas menyukai rambutnya yang panjang dan hitam serta
matanya yang cokelat gelap. Dan giwang emas kecil yang
dikenakannya pada cuping telinganya yang ditindik.
Tak satu pun gadis di Shadow Cove telinganya ditindik. Tak
satu pun gadis-gadis itu mirip Rosalyn.
Gadis-gadis lain di kota mereka hanya ingin menikah dan
membangun keluarga. Punya anak. Dan menyantap ikan yang
ditangkap suami mereka. Rosalyn menginginkan lebih dari itu. Nicholas juga. Mereka
ingin menikah dan bersama-sama meninggalkan Shadow Cove.
Tapi ayah Rosalyn takkan pernah mengizinkan mereka
menikah. Ia punya persyaratan-persyaratan yang ketat mengenai pria
yang akan menikahi putrinya"pria itu harus pria yang kaya dan
punya kekuasaan. Sama kaya dan berkuasanya seperti ayah Rosalyn.
Rosalyn bahkan telah dilarang berbicara dengan Nicholas.
Mereka selalu harus bertemu diam-diam.
Nicholas berjanji pada dirinya sendiri bahwa pada suatu hari
kelak ia akan membuat ayah Rosalyn menerimanya. Tak peduli berapa
harga yang harus dibayarnya. Dan kemudian ia dan Rosalyn akan
menikah. Nicholas melangkah menuju rumah yang ditempatinya bersama
ibunya. Udara yang asin telah memudarkan papan-papannya yang
melengkung dimakan cuaca, menjadi kelabu kusam.
Nicholas mendorong pintu hingga terbuka dan melangkah
masuk ke dapur. Sekonyong-konyong ia menghentikan langkah.
Rumah itu gelap dan sunyi. Terlalu sunyi.
Lalat berdengung di sekitar telur yang ia tinggalkan di atas
piring sarapannya tadi. "Ibu!" serunya, dalam hati bertanya-tanya
mengapa ibunya belum mencuci piring itu.
Seekor kepiting berjalan gugup melintasi lantai kayu.
Perlahan-lahan Nicholas berjalan menyeberangi dapur dan
memasuki ruang depan. Kosong.
Ia mendengar erangan pelan. Ia berlari sepanjang koridor dan
menyerbu masuk ke kamar ibunya. Ia menemukan ibunya meringkuk
seperti bola di atas lantai.
Ia tidak bergerak saat Nicholas bergegas menghampirinya.
Wajahnya seputih cangkang kerang yang terhanyut ke pantai.
Matanya terpejam. Nicholas berjongkok di samping ibunya dan meraih tangannya.
Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rasanya sedingin es. "Ibu?" ia berbisik parau. Bau busuk kematian
mengepungnya. Nicholas membelai tangan ibunya dengan kedua tangannya
sendiri. Tangan ibunya terasa dingin. Terlalu dingin. "Ibu, Ibu
kenapa?" serunya. "Apakah Ibu sakit?"
Nora bersusah payah membuka matanya. Ia menengadah
menatapnya. "Daniel?" suaranya parau.
Perasaan lega memenuhi diri Nicholas. "Bukan, Ibu. Ini
Nicholas." Nora tersenyum lemah. "Kau mirip sekali dengan ayahmu."
"Ya, Ibu sering mengatakannya," sahut Nicholas. "Sekarang,
beritahu aku apa yang terjadi," desaknya.
"Jantungku..." suara Nora menghilang.
Daniel mengangkat ibunya ke dalam pelukannya. Ringan.
Ibunya terasa sangat ringan.
Sejak kapan ia tampak begitu tua" ia bertanya-tanya seraya
menunduk menatap ibunya. Wajah ibunya setua wanita yang usianya
dua kali lebih tua darinya. Matanya yang dulu hijau terang kini pudar.
Rambutnya yang dulunya cokelat sekarang kelabu.
Kesedihan meremas hatinya saat ia dengan lembut
membaringkan ibunya ke tempat tidur. Dipungutnya bed cover dari
lantai dan diselimutkannya tubuh ibunya.
Ibunya telah bekerja sangat keras untuk menghidupi mereka.
Begitu cukup besar, Nicholas mendapat pekerjaan di sebuah kapal
penangkap ikan. Namun selama bertahun-tahun ibunya telah menjaga
dan membesarkannya sendirian.
Ia ingat ibunya telah menjahit, mencuci pakaian, dan menambal
jaring ikan agar mereka punya cukup uang untuk makan dan
memelihara rumah kecil mereka.
Nicholas selalu berjanji pada dirinya sendiri bahwa kalau sudah
berhasil nanti, ia akan memberikan apa pun yang diinginkan ibunya.
Ibunya tak perlu bekerja sehari pun lagi.
Nicholas duduk di samping ibunya. Waktu bergulir
melewatinya, bagaikan pasir yang berjatuhan dari jemarinya. Ia sadar
ia takkan pernah bisa memberi ibunya barang-barang yang berhak
Hina Kelana 2 Candika Dewi Penyebar Maut X I I Dyah Ratnawulan 1