Pencarian

Amulet Bertuah 2

Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear Bagian 2


dimilikinya. "Nicholas. Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu," ibunya
berkata, suaranya lemah. "Aku ingin melindungimu, tapi..."
Melindungi aku dari apa" batin Nicholas. Perasaan dingin
menyergapnya. Nora menelan ludah. "Kau harus tahu yang sebenarnya tentang
keluargamu. Aku takkan terus berada di sini untuk melindungimu."
Leher Nicholas serasa tercekat. Ia ingin mengatakan pada
ibunya bahwa ia akan terus berada di sini untuk melindunginya
bertahun-tahun lamanya. Tapi ia tahu itu bohong.
Burung-burung camar menjerit-jerit di kejauhan. Angin
menderu menembus rumah, mengguncangkan pintu-pintu dan jendela.
Ibunya menatapnya dalam-dalam. Ekspresinya sangat tegang
hingga nyaris membuat Nicholas ketakutan.
"Ayahmu... ayahmu..." Nora memulai.
"Ceritakan," pinta Nicholas. "Ceritakan padaku."
Ia telah menunggu lama sekali untuk mendengar tentang
ayahnya. Ibunya tak pernah berbicara mengenainya"kecuali bahwa
Nicholas mirip sekali dengan ayahnya. Sekarang ia akhirnya akan
mengetahui yang sebenarnya.
"Ayahmu meninggalkan suatu warisan untukmu..." Nora
memberitahunya. Ia tersentak menghela napas. "Warisan..."
Tubuhnya kejang. Nicholas mendengar suara bergemuruh jauh
di dalam dada ibunya. Gemuruh kematian. Tangannya membuka kepalannya.
Ia terenyak ke tempat tidurnya. Matanya menatap kosong ke
arah Nicholas. Ia telah tiada, Nicholas berpikir. Ibuku telah tiada.
BAB 12 NICHOLAS berulang kali mendengar kata-kata ibunya saat ia
berdiri di sisi makamnya. Aku ingin melindungimu... Ayahmu
meninggalkan warisan untukmu...
Akankah ia pernah mengerti" Apakah ia akan pernah tahu, dari
apakah ibunya ingin melindunginya"
Apakah ia akan pernah memperoleh warisan yang ingin
diberikan ayahnya padanya"
Nicholas bergidik di tengah terpaan angin dingin. Ia berharap
Rosalyn ada di sini. Ia harus berbicara dengannya. Gadis itu akan
membantunya menemukan jawabannya.
Ia tahu Rosalyn ingin bersama dengannya di makam. Tapi
ayahnya tidak mengizinkannya.
Kalau aku sudah menerima warisanku, aku berani bertaruh ayah
Rosalyn akan berubah pikiran mengenai diriku. Aku dan Rosalyn bisa
langsung menikah. Ketika matahari telah terbenam, Nicholas meninggalkan makam
ibunya. Ia berjalan ke pantai dan menatap lautan luas yang terbentang
di depannya. Bulan purnama terpantul di atas permukaan air.
Nicholas tak ingin pulang ke rumah. Rumah yang kecil itu akan
terasa terlalu kosong tanpa kehadiran ibunya. Air mata menyengat
mata Nicholas. Ia tidak ingin menangis. Ia berjalan menyusuri pantai. Berjalan
semakin cepat dan semakin cepat. Lalu mulai berlari.
Ia berlari sampai jantungnya berdegup nyeri dan paru-parunya
terbakar. Berlari sampai ia mendengar seseorang menyerukan
namanya. Rosalyn! Gaun sutranya yang berwarna biru mengembang saat ia berlari
cepat ke arah Nicholas. Bebatuan biru yang menghiasi kalung
kesayangannya memantulkan cahaya bulan.
Rosalyn melemparkan dirinya ke pelukan Nicholas. Pemuda itu
memeluknya erat-erat. Sangat erat. Ia tak ingin melepaskannya.
Diletakkannya pipinya di atas kepala gadis itu. Rambut
hitamnya yang panjang berbau parfum mawar yang selalu dipakainya.
Dan rasanya halus sekali.
Sambil mendesah Rosalyn mundur selangkah dan mendongak
menatap mata Nicholas. Matanya yang berwarna gelap menatap
serius. Nicholas menunduk dan menciumnya lembut. Bibirnya yang
penuh terasa lembut dan mengundang. Kemudian ia membuai wajah
gadis itu di dalam tangannya. "Rosalyn, ada apa?" ia bertanya pelan.
"Kau harus pergi," sembur Rosalyn. Ditekankannya wajahnya
di dada kekasihnya. "Kau harus segera meninggalkan Shadow Cove."
"Kenapa?" Ia menengadah menatap Nicholas, air mata memenuhi matanya.
"Malam ini, ayahku memberitahu bahwa ia telah mengatur sebuah
pernikahan untukku. Pernikahan dengan seorang pria kaya raya, pria
yang dapat menjagaku. Aku sedih sekali. Tanpa berpikir aku
mengatakan padanya bahwa aku mencintaimu."
Nicholas mengertakkan giginya. "Apakah dia mengamuk?"
Rosalyn mengangguk. "Dia bersumpah akan membunuhmu
sebelum mengizinkan kita menikah." Dicengkeramnya tangan
Nicholas. "Kau harus pergi. Ayahku tidak pernah mengatakan
ancaman kosong." "Ada yang harus kukatakan padamu. Sesuatu yang mungkin
bisa membuat ayahmu berubah pikiran mengenai diriku," Nicholas
berkata. "Sebelum meninggal, Ibu memberitahuku bahwa ayahku
mewariskan sesuatu bagiku."
"Apakah dia memberitahumu siapa ayahmu?" Rosalyn
bertanya. Nicholas menggelengkan kepala. "Tapi aku akan mencari tahu.
Harus." Rosalyn tampak sangsi. Nicholas buru-buru meneruskan, "Bahkan kalaupun aku tidak
menemukannya, aku akan menemukan jalan untuk menjadi kaya raya.
Aku bermaksud meninggalkan Shadow Cove besok. Kalau aku sudah
punya cukup uang untuk meyakinkan ayahmu agar merestui kita, aku
akan pulang. Dan kemudian kita akan menikah. Berjanjilah padaku
kau tidak akan membiarkan ayahmu memaksamu menikah dengan
lelaki lain." Air mata tampak berkilauan di wajah Rosalyn. "Kalau kau
kembali, aku akan menikah denganmu," ia berkata. "Aku bersumpah
tidak akan menikah dengan pria lain. Tak peduli apa pun yang
dilakukan ayahku." "Aku akan memegang janjimu itu," ujar Nicholas.
Rosalyn tersenyum lemah. "Aku harus kembali sebelum ayahku
menyadari aku telah pergi."
"Aku akan kembali kepadamu, Rosalyn," Nicholas sekali lagi
mengucapkan janjinya. Dipeluknya gadis itu dan diciumnya. Ia akan
sangat merindukannya. Rosalyn melepaskan dirinya dari pelukan Nicholas. "Jaga
dirimu baik-baik." "Baiklah." Leher Nicholas serasa tercekat saat ia
memperhatikan gadis itu berlari menjauh darinya. Ketika Rosalyn
menghilang dari pandangan, ia berbalik dan berjalan menuju
rumahnya yang kosong. Awan hitam berarak-arak menutupi bulan, menyembunyikan
cahayanya yang pucat. Nicholas melangkah tergesa di pantai, kembali
ke jalanan tak beraspal. Ia mendengar sebuah suara di belakangnya"
seperti suara ranting berkeretak. Ia memutar kepalanya dan
mengedarkan pandang ke jalanan. Kosong.
Ia memelankan langkahnya, tapi tak berhenti. Dengan hati-hati
ia menoleh sedikit dan melirik ke belakang. Dari sudut mata ia melihat
sebuah bayangan bergerak.
Apakah ada orang yang membuntutiku"
Nicholas melontarkan pandangan cepat ke belakangnya.
Seorang pria berlari masuk ke balik bayangan.
Apakah ayah Rosalyn telah mengirim orang untuk
memburunya" Nicholas meneruskan langkah. Ia tak ingin orang itu tahu ia
telah melihatnya. Ketika ia tiba di sebatang pohon elm yang besar, ia
bersembunyi di baliknya. Ia ingin melihat orang itu dengan lebih baik.
Nicholas menatap lewat dahan-dahan pohon.
Jalan itu kosong. Ke manakah perginya orang itu"
Nicholas mendengar suara langkah terseret di belakangnya. Ia
berbalik. Pria itu berdiri di depannya. "Tak mungkin!" teriak Nicholas.
Pria itu mirip sekali dengannya.
BAB 13 "SIAPA kau?" desak Nicholas. Ia berharap pria itu tidak
melihat tubuhnya yang gemetaran.
Mana mungkin wajah pria itu sama persis dengan wajahnya"
Pria itu balas menatap Nicholas. Ia tidak mengatakan apa-apa.
Wajahnya kosong. Nicholas merasakan bulu kuduknya meremang. "Kau siapa?"
serunya lagi. Matanya menatap pria muda itu. Mata cokelat gelap seperti
mataku, pikir Nicholas panik. Rambut cokelat lurus yang sama. Tinggi
badan serupa. Tenang, Nicholas berkata pada dirinya. Tenang. Cuma kejadian
aneh. Rambut cokelat bukan sesuatu yang tidak biasa. Mata cokelat
bukan... Tidak. Itu tidak menjelaskan hal ini, Nicholas berpikir. Ia tidak
tampak seperti aku. Ia adalah aku.
"Kau mau apa" Kau ini apa?" Nicholas berseru.
Pria itu membuka dan menutup mulutnya. Namun tak sebuah
suara pun yang keluar. "Kau bisa bicara tidak?" bentak Nicholas.
Pria itu menatap Nicholas dengan penuh permohonan.
Ia kembali membuka mulutnya. "Shadyside!" bisiknya parau.
Wajah pria itu mengerut. Seakan-akan bicara membuatnya
sangat kesakitan. Pria itu mulai memudar. "Aku tidak mengerti," teriak Nicholas. "Apa yang ingin
kaukatakan padaku?" Kini Nicholas nyaris tak bisa melihat laki-laki
itu. "Shadyside," jerit pria itu melengking.
Lalu ia lenyap. BAB 14 "SATU tiket ke Shadyside," Nicholas berkata.
Dengan gelisah ia memperhatikan pria di balik konter di stasiun
kereta api itu. Nicholas tidak tahu apakah tempat bernama Shadyside
itu memang ada. Tapi pria itu mengangguk pendek, mengambil
uangnya, dan menyerahkan selembar tiket padanya.
Semalam Nicholas tidak bisa tidur. Ia terus-menerus
memikirkan kejadian aneh itu.
Lalu ia tahu apa yang harus dilakukannya. Keesokan paginya ia
memasukkan barang-barang miliknya yang hanya sedikit ke koper,
dan berjalan jauh ke stasiun kereta api.
Ia tidak tahu apa yang akan ditemukannya di Shadyside. Tapi ia
harus mulai mencari warisan ayahnya entah di mana. Mungkin
kejadian semalam telah dikirimkan padanya untuk membimbingnya.
Nicholas berjalan mondar-mandir di atas peron. Ia tak sabar lagi
ingin segera pergi dan menemukan apa yang menunggunya di
Shadyside. Ia meluruskan kelepak setelan cokelatnya yang baru. Ia tadi
membelinya dalam perjalanan ke stasiun kereta api. Ia akan pergi
mencari peruntungannya. Ia tidak ingin tampak seperti nelayan yang
miskin. Dengan pikiran terpusat pada perjalanannya, Nicholas
menabrak seorang wanita yang mengenakan topi jerami. Ia berdiri
membungkuk, sehelai selendang membungkus bahunya.
"Maaf, Ma'am," Nicholas berkata.
Wanita itu menengadah. Matanya yang cokelat menatap
Nicholas lurus-lurus. "Rosalyn!" seru Nicholas terkejut.
Diraihnya tangan gadis itu dan dibimbingnya menjauh dari
beberapa penumpang yang menunggu kereta.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanyanya setelah mereka tidak
tampak oleh orang lain. "Aku ingin melihatmu sekali lagi," kata Rosalyn. "Jadi
kuputuskan untuk datang ke stasiun ini. Aku tahu aku akan
menemukanmu di sini!"
Nicholas meremas tangannya. "Aku senang kau datang,"
katanya. "Ada sesuatu yang ingin kuceritakan padamu. Waktu aku
berjalan pulang semalam, aku mendapat penglihatan."
Rosalyn mendesah kecil. "Apa yang terjadi?"
"Sulit sekali menjelaskannya," Nicholas memberitahunya.
"Dalam penglihatan itu aku melihat diriku sendiri. Bayangan diriku itu
hanya mengatakan satu kata"Shadyside."
Nicholas mengeluarkan tiketnya dan menunjukkannya pada
Rosalyn. "Aku bahkan tidak tahu apakah kota itu ada. Tapi rupanya
ada. Jadi ke sanalah aku akan mulai mencari warisan ayahku."
Rosalyn bergidik. "Aku tak suka membayangkan kau mengikuti
penglihatanmu ini," ujarnya. "Kau tak tahu apakah penglihatan itu
perbuatan roh jahat atau baik"meskipun itu berwujud dirimu."
"Aku tahu ini aneh," aku Nicholas. "Tapi kurasa ini adalah...
takdirku." Rosalyn mengangguk. "Aku mengerti. Semoga berhasil,
Nicholas. Jaga dirimu. Aku akan menghitung tiap menit hingga kau
kembali padaku. Tapi aku harus pergi. Ayahku bakal mengamuk bila
tahu aku menemuimu."
Rosalyn menyodorkan sebuah bungkusan kecil ke dalam tangan
Nicholas. "Ini. Selain cintaku, aku ingin kau membawa ini
bersamamu. Ia mengalungkan tangannya di leher Nicholas dan menciumnya.
Nicholas memeluknya erat-erat dan menghirup aroma bunga mawar
yang selalu tercium di tubuh gadis itu.
Kemudian ia menarik selendangnya ke atas kepala,
mengedarkan pandang, dan buru-buru pergi. Nicholas menyelipkan
bungkusan itu ke saku jasnya. Ia mendengar jeritan peluit kereta api
dan melihat kereta api menyusuri rel nun jauh di sana.
Ia tak sabar lagi ingin memulai perjalanannya. Lebih cepat,
dalam hati ia berseru kepada kereta api itu. Lebih cepat, lebih cepat.
Akhirnya kereta api memasuki stasiun, suara remnya terdengar
melengking. Nicholas memanjat naik dan pergi ke bangku berbantalan di
sebelah jendela. Ia belum pernah naik kereta api. Ia belum pernah
pergi ke mana pun di luar Shadow Cove.
Peluit kereta berbunyi dan asap hitam memburu cepat melewati
jendela. Kereta bergerak maju. Nicholas menekankan keningnya di kaca jendela. Kalau aku
kembali ke Shadow Cove nanti, tak seorang pun akan mengenali


Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diriku, batinnya. Tak seorang pun akan percaya bahwa aku Nicholas
Storm, pemuda yang selalu bau ikan.
Nicholas menyelipkan tangannya ke saku untuk mengambil
pepermin. Terasa olehnya bungkusan yang diberikan Rosalyn tadi. Ia
telah lupa sama sekali. Dibukanya lipatan suratnya dan dibacanya
kata-kata gadis itu yang ditulis dengan tulisan tangan yang indah:
Nicholas tersayang, Waktu masih kecil, aku sering kali berjalan menyusun pantai.
Pada suatu petang saat matahari mulai terbenam, aku melihat sesuatu
bersinar tepat di bawah pasir. Hadiah dari laut.
Ini adalah milikku yang paling berharga. Dan benda ini selalu
membawa keberuntungan bagiku. Aku mengenakannya pada hari aku
berjumpa denganmu! Aku ingin kau membawanya bersamamu dalam pencarianmu
ini. Aku tahu benda ini akan membawamu kembali padaku.
Dengan penuh cinta, selalu, Rosalyn
Ia menarik tali yang thengikat bungkusan itu. Tali itu lepas dan
kertas cokelat yang membungkusnya terbuka dan menampakkan
hadiah Rosalyn. Kalung kesayangan Rosalyn. Nicholas sering sekali melihat
gadis itu mengenakannya. Ia menggenggam kalung itu erat-erat.
Kalung itu terasa hangat. Mungkin kehangatan yang berasal dari kulit
Rosalyn, pikirnya, meskipun ia tahu itu tak mungkin.
Nicholas membuka kepalannya dan mempelajari kalung itu.
Bukan kalung biasa. Lempengan bulat tipis yang terbuat dari perak
mengelilingi lingkaran permata biru yang berkilauan. Lempengan itu
lebih besar daripada kebanyakan leontin. Kelihatannya lebih mirip
amulet, pikir Nicholas. Tiga kaitan mengunci amulet itu pada rantainya. "Hiasan yang
aneh," gumam Nicholas. Diusapkannya ibu jarinya pada kaitan-kaitan
perak itu. Auw! Setetes darah jatuh dari ibu jarinya ke jantung amulet itu.
Kaitan itu tajam sekali, batin Nicholas.
Baru saja ia akan memasukkan amulet itu kembali ke sakunya
ketika ia melihat tulisan di belakangnya.
Ini kan bahasa Latin, ia tersadar. Ia memeras otak untuk
mengingat-ingat bahasa Latin yang telah dipelajarinya dan mencoba
menerjemahkannya. "Per." Itu mudah. "Per" berarti "melalui".
"Dominatio," bisiknya pada dirinya sendiri. "Dominatio." Oh,
benar. "Dominatio" seperti "dominasi". Artinya "kekuasaan".
Sekarang "malum". Pikir. Apa arti malum"
Kejahatan. Nicholas mempererat genggamannya sementara arti tulisan itu
terbentuk di benaknya. DOMINATIO PER MALUM. KEKUASAAN MELALUI KEJAHATAN.
BAGIAN TIGA BAB 15 BADAI sudah mengintai. Nicholas dapat merasakannya dalam tiupan angin saat ia naik
ke atas peron beton sempit stasiun kereta api Shadyside. Ia dapat
menciumnya di udara. Kilat menyambar di langit yang mulai gelap, membingkai
sebagian mansion besar yang berdiri menjulang di kejauhan.
Nicholas sebenarnya bermaksud mencari kamar di hotel dan
menjelajahi Shadyside keesokan harinya. Namun ia malah mengambil
kopernya dan berjalan tak tentu arah melewati alun-alun, menyusuri
jalan utama yang diapit oleh deretan pepohonan.
Ia melewati kios pangkas rambut, tiang penandanya yang
bergaris-garis seperti tongkat permen tampak di muka. Di dalamnya
seorang marinir muda sedang dipangkas. Baru saja kembali dari
perang, Nicholas berpikir. Dan ia tak jauh lebih tua dariku.
Ia memandang menembus kaca jendela toko serbaada. Rakraknya penuh sesak dengan perkakas, piring, gulungan kain, karung
tepung, stoples permen"semua jenis barang yang mungkin
dibutuhkan oleh penduduk di situ. Nicholas sebenarnya ingin masuk
dan minum minuman dingin, tapi kemudian ia memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan. Rasanya mansion itu bagaikan magnet yang menariknya.
Menariknya semakin dekat dan semakin dekat. Ia tak ingin berhenti
untuk melakukan sesuatu sebelum sampai di sana.
Nicholas berjalan melintasi kantor telegram dan surat kabar.
Sambil lewat ia menepuk bahu orang-orangan Indian yang terbuat dari
kayu di luar toko tembakau. Dan ia bersiul kagum saat melihat sebuah
Mercer Runabout baru dan mengilat yang diparkir di depan bank.
Suatu hari nanti aku akan punya mobil seperti itu, Nicholas
berjanji pada dirinya sendiri.
Ia berjalan semakin cepat. Ia harus melihat mansion itu. Ia
meninggalkan jalan utama dan bergegas melewati sebarisan rumahrumah kecil. Hampir semua orang memiliki kebun sayur-sayuran.
Akhirnya Nicholas menemukan jalan yang menuju mansion
itu"Fear Street. Nama yang aneh. Siapa sih yang kepingin tinggal di
jalan yang namanya seperti itu"
Sebagian jalan yang berliku itu telah diaspal. Sisanya belum.
Seseorang mestinya pernah punya rencana untuk lahan ini, pikir
Nicholas. Tapi rupanya mereka telah menghentikan proyek mereka
lama sebelumnya. Nicholas mendengar gemuruh halilintar di kejauhan. Ia tahu ia
harus pergi dari situ. Mencari tempat untuk bermalam. Tapi ia harus
melihat mansion itu. Ia buru-buru menyusuri jalanan yang berliku itu sampai
menemukan pintu gerbang besi mansion. Ia mendorong gerbang itu
hingga terbuka, dan engsel-engselnya berderit.
Duri-duri merobek celana setelan cokelat barunya saat ia
melintasi jalur masuk yang telah penuh tumbuhan liar. Ia tak peduli.
Ketika langkahnya semakin dekat ke mansion, jantung Nicholas
berdebar semakin cepat. Di sinilah tempatku yang sebenarnya, tibatiba ia berpikir. Di sinilah seharusnya aku berada.
Ia berhenti di depan mansion itu. Bangunan itu menjulang di
atasnya. Luas. Nicholas tak bisa membayangkan tinggal di sini. Lantai
dasarnya saja cukup luas untuk lima atau enam pondok seperti yang
didiami olehnya dan ibunya.
Sebagian besar mansion yang luas itu telah hancur. Kebakaran,
pikir Nicholas. Kebakaran yang hebat. Aku berani bertaruh orangorang bisa melihat kebakaran itu dari seluruh penjuru kota.
Nicholas mencoba membayangkan mansion itu sebelum
terbakar. Sebuah bayangan muncul di benaknya. Rumah itu baru dicat.
Daun-daun penutup jendelanya terbentang lebar. Sinar matahari
tercurah masuk dari jendela. Halaman dan pagar tanamannya
terpelihara rapi. Gemuruh halilintar kembali terdengar di kejauhan. Aku bakal
kehujanan, pikir Nicholas.
Tapi ia tak bisa kembali ke kota sekarang.
Tempat ini memanggilku, batinnya. Tapi kenapa" Apa
tujuannya" Untuk tujuan baik... atau jahat" Bulu tangannya
meremang. Ia melangkah menaiki undak-undakan serambi, kayunya
berderak di bawah kakinya. Ia ragu sejenak, lalu menyelinap ke dalam
sisa-sisa reruntuhan bangunan itu.
Mulutnya terasa kering, dan ia menelan ludah dengan susah
payah saat meletakkan kopernya. Aku tahu ruangan ini. Aku tahu
bagaimana ruangan ini sebelum terbakar. Aku tahu apa saja yang akan
kutemui di setiap ruangan mansion ini.
Apakah ia pernah melihat rumah ini dalam mimpinya" Dalam
mimpi buruknya" Apa yang terjadi dengannya"
Cahaya lampu kelabu yang remang-remang tercurah masuk ke
dalam ruangan itu. Nicholas memandang ke atas. Api telah
menciptakan sebuah lubang dari lantai dasar sampai ke atap mansion.
Dan hanya menyisakan kerangka yang terbakar habis.
Bau kayu terbakar masih memenuhi tempat itu. Apakah ada
orang yang mati dalam kebakaran itu" Nicholas bertanya-tanya.
"Kebakaran," ia mendengar sebuah suara berbisik di
belakangnya. Ia berbalik.
Tapi tak ada siapa-siapa di sana.
Cuma angin, pikirnya. Kilasan kenangan melintas di benaknya.
Ibunya pernah mengucapkan kata-kata yang sama itu padanya,
menenangkannya. Cuma angin.
Angin berputar di sekelilingnya. "Kebakaran. Kebakaran.
Kebakaran." Nicholas memaksa dirinya untuk berdiri diam dan
mendengarkan suara-suara bisikan itu. Ia hanya bisa menangkap
sebagian kata-katanya. "Kutukan." Ia memejamkan mata dan memasang telinga.
"Fear." "Kuasa blis." Kuasa iblis. Fear. Kutukan. Mata Nicholas tiba-tiba terbuka.
Apakah suara-suara itu mencoba mengingatkan dirinya" Apakah ia
berada dalam bahaya"
"Siapa kau?" serunya. "Siapa yang memanggilku?"
Bau daging terbakar memenuhi hidungnya. Matanya perih dan
gatal. "Jawab aku," ia memohon.
Tirai compang-camping di depan salah satu bingkai jendela
yang telah gosong berkibaran. Nicholas tersentak menahan napas.
Sebuah noda hitam gosong yang besar tampak memenuhi tirai.
Noda berbentuk manusia. Nicholas menghampiri tirai itu. Sosok hitam gosong itu tampak
semakin gelap. Semakin nyata. Menonjol ke luar, seperti ingin
melepaskan diri dari tirai itu.
Nicholas mendengar suara robekan. Sosok itu menyeruak
menembus tirai! pikirnya. Sosok itu mengejarku!
Nicholas menjauh, jantungnya memukul-mukul telinga. Dan
sosok itu pun lenyap. Ia melihat sebuah sosok jauh di dalam kegelapan di sudut
ruangan. Seorang pria tua di atas kursi roda. Mengawasinya.
"Kau siapa?" desak Nicholas. "Kenapa kau tidak
memberitahuku kau ada di sana?"
Pria tua itu tidak menjawab.
Nicholas tak bisa melihat ekspresinya. Kegelapan
menyembunyikan segalanya kecuali bentuk tubuh pria itu.
Nicholas melesat mendekatinya. Namun pria tua itu lenyap
sebelum ia sampai di dekatnya.
Aku harus pergi dari sini, pikir Nicholas. Sekarang juga.
Sebelum aku jadi sinting.
Ia berbalik menuju bagian muka mansion.
Sosok seorang wanita muncul di situ. Menghalangi jalannya. Ia
mengenali siluet pisau yang terangkat tinggi-tinggi di tangan wanita
itu. Ayo maju, Nicholas memerintahkan diirnya. Wanita itu takkan
bisa menyakitimu. Ia sama seperti yang lain. Ia akan lenyap.
Nicholas memaksa dirinya menyeberangi ruangan, menuju
wanita itu. Kakinya gemetaran. Ia telah melihat dan mendengar terlalu
banyak di mansion tua yang aneh ini.
Hampir sampai, pikir Nicholas. Aku hanya perlu berjalan
mengitari wanita itu. Setelah itu aku akan keluar dari mansion yang
telah dikutuk ini. Nicholas menarik napas dalam-dalam dan melangkah maju.
Petir menyambar di langit dan membuat permukaan pisau baja
di tangan wanita itu berkilauan.
Baja! Wanita itu menjerit. Ia mengangkat pisaunya lebih tinggi lagi,
lalu menghunjamkannya ke dada Nicholas.
BAB 16 NICHOLAS melihat mata pisau itu berkilauan ketika
dihunjamkan ke arahnya. Ia mendengar suara robekan kain.
Ia merasakan ujung pisau yang tajam dan dingin di kulitnya.
Kemudian Nicholas menyambar pergelangan tangan wanita itu.
Ia mendorong tangan wanita itu sebelum ia sempat menghunjamkan
pisau itu ke tubuhnya. "Kau sudah mati, Daniel Fear!" jerit wanita itu. "Kau harus
tetap mati!" Ia menggarukkan kuku tangannya di wajah Nicholas. Pemuda
itu merasakan darah menetes menuruni pipinya.
Mengumpat-umpat, Nicholas menyambar tangan wanita itu. Ia
mencengkeram kedua pergelangan tangannya erat-erat.
Wanita itu menjerit dan meronta-ronta. Dengan panik ia
mencoba membebaskan diri. "Kau dan kuasa iblismu harus tetap
mati!" teriaknya. Petir menggelegar. Hujan mulai turun menembus atap yang
menganga. Tangannya terasa licin di kulit basah wanita itu. Nicholas
berupaya agar cengkeramannya tidak lepas.
Sambaran petir menerangi sosok wanita itu. Wajahnya
mengerut oleh amarah. Matanya membeliak. Mulutnya menganga dan
mengeluarkan jeritan yang panjang dan melengking.
Nicholas meremas pergelangan tangan kanan wanita itu hingga
pisau yang dipegangnya terlepas. Pisau itu jatuh berdenting ke lantai.
Ia mendorong wanita itu jauh-jauh dan memungut pisau itu dari
lantai. Tersengal-sengal, Nicholas bergerak menjauh, siap membela
dirinya kembali. Wanita itu roboh ke tanah. Ia menutup wajahnya dan mulai
menangis. "Bawalah aku bersamamu, Daniel Fear. Bawalah aku ke
negeri orang mati. Bawalah aku ke tempat kau hidup sebagai hantu
agar aku bisa kembali bersama orang yang kucintai."
Nicholas menunduk menatap wanita yang menangis itu. Wanita
itu tidak waras. Apa sih yang diocehkannya itu" Mengapa ia ada di
sini" Rumah ini tak pantas didiami.
Wanita itu mulai gemetaran. Ia meringkuk seperti bola, masih
menyembunyikan wajahnya. Ia takut padaku, Nicholas tersadar. Dilemparnya pisau itu ke
seberang ruangan. Lalu ia berlutut di sebelah wanita itu. "Aku
menyesal telah membuatmu takut. Aku bukan Daniel Fear. Namaku
Nicholas Storm." Wanita itu menyentakkan kepalanya menengadah. Matanya
menatap liar. "Pembohong. Aku akan mengenalimu di mana saja.
Kalau bukan Daniel Fear, kau hantunya."
"Kau tinggal di mana?" Nicholas bertanya, dengan hati-hati
menjaga agar suaranya tetap rendah. Ia tak ingin membuat wanita itu
takut lagi. "Biarkan aku mengantarmu pulang. Kau tak boleh hujanhujanan begini."
"Aku tinggal di sini," sahut wanita itu. Dengan susah payah ia
mencoba berdiri dan memberi isyarat agar Nicholas mengikutinya.
Wanita itu berjalan cepat. Diajaknya Nicholas ke sebuah
ruangan yang sepertinya dulu merupakan dapur.
Barisan rak selamat dari api. Di atasnya terdapat beberapa helai
pakaian, sebuah boneka kain-perca tua, beberapa bunga kering, dan
sedikit makanan. Selembar kasur tua dan selimut usang memenuhi
salah satu sudut. Beberapa batang lilin menjadi satu-satunya sumber


Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cahaya. "Apakah keluarga Fear tinggal di sini?" Nicholas bertanya.
Mungkin wanita aneh ini dapat memberinya sedikit petunjuk,
mengapa ia merasa mansion ini seperti menariknya.
"Tentu saja mereka tinggal di sini. Kau kan tahu, Daniel Fear,"
sahut wanita itu. Nicholas tak mau repot-repot meralatnya. Ia boleh saja
memanggilnya Daniel selama ia bisa membantu Nicholas
mendapatkan informasi yang dibutuhkannya.
"Kakek-nenekmu tinggal di sini," lanjut wanita itu. "Simon dan
Angelica Fear. Mereka mati di sini juga. Sama seperti kau. Semua
mati, dau mereka harus tetap mati. Dan kekasihku. Charles-ku."
"Siapa Charles?" Nicholas bertanya. Ia harus membuat wanita
itu terus bicara. Wanita itu mengulurkan tangan dan meremas tangan Nicholas.
"Charles. Ingat, ia dulu suka membantu-bantu setiap kali kakeknenekmu mengadakan pesta. Ia tunanganku. Ia mati di sini, malam
ketika kebakaran itu terjadi."
"Kau ada di sini malam itu?"
"Tidak," sahut wanita itu, suaranya pecah. "Tadinya aku mau
membantu-bantu di dapur, tapi malam itu aku sakit. Aku terpaksa
harus tinggal di kamarku."
"Kau tahu apa yang terjadi malam itu?" Nicholas bertanya.
Wanita itu menggelengkan kepala dan meremas tangan
Nicholas lebih keras lagi. "Aku mendengar suara lonceng pemadam
kebakaran dan aku bisa melihat api itu dari rumah penginapan. Aku
berlari kemari secepat-cepatnya, tapi aku terlambat. Hanya Nora
Goode yang selamat. Nora yang cantik. Kata mereka, ia menikah
denganmu." Nora" Ibunya bernama Nora.
Nicholas merasakan jantungnya berdetak semakin cepat.
Apakah setelah bertahun-tahun ini ia akhirnya akan mengetahui cerita
yang sebenarnya mengenai keluarganya"
"Seperti apa rupa Nora?" Nicholas bertanya. Ia menahan
napas"menunggu jawaban wanita itu.
"Kau seharusnya malu. Masakan kau tak ingat bagaimana rupa
istrimu sendiri. Ia memiliki rambut cokelat yang panjang dan sepasang
mata hijau yang paling cantik. Senyumnya manis, aku ingat."
Ya, benar, pikir Nicholas. Rambut cokelat dan mata hijau"
seperti ibuku. Nama ibuku Nora Goode.
Benak Nicholas penuh dengan segala macam pikiran. Jadi,
ayahku pastilah Daniel Fear. Itulah sebabnya wanita malang ini
menyangka aku telah bangkit dari kubur. Aku dan ayahku begitu
mirip hingga ia mengira aku adalah dia.
Ayahkulah yang kulihat dalam penglihatanku malam itu di
Shadow Cove, Nicholas tersadar. Bukan diriku sendiri"tapi ayahku!
Akhirnya! Akhirnya ia tahu siapa nama ayahnya. Dan siapa
nama ibunya yang sesungguhnya. Ia tahu orangtuanya adalah Nora
Goode dan Daniel Fear. "Terima kasih kau mau bicara denganku," Nicholas berkata. Ia
ragu. "Apakah kau tak punya tempat lain untuk tinggal?" tanyanya
lembut. "Di sinilah tempatku. Di dekat Charles-ku. Kadang-kadang aku
melihatnya. Kadang-kadang ia mengunjungiku." Wanita itu
mengangguk tegas. "Ya, benar. Tapi tidak lama. Ia harus tetap mati
dan kau juga." Nicholas mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya dan
memberikannya pada wanita itu. Ia sendiri sebenarnya membutuhkan
uang itu"tapi wanita itu lebih membutuhkannya. "Mungkin aku bisa
datang mengunjungimu lagi."
Wanita itu tak mau melepaskan tangan Nicholas. "Tolong, bawa
aku bersamamu. Aku ingin hidup bersama yang mati. Aku ingin hidup
bersama Charles-ku."
"Aku menyesal sekali, tapi aku tak bisa mengajakmu," kata
Nicholas. Dengan lembut ia melepaskan tangannya.
Aku tahu siapa diriku, batin Nicholas saat ia berjalan keluar dari
mansion itu. Aku tahu siapa diriku.
Pada suatu ketika dulu keluargaku tinggal di sini. Ayah dan
ibuku pernah tinggal di mansion ini. Dan kakek-nenekku! Kakeknenek buyutku. Nicholas nyaris tak bisa mempercayainya.
Ia berjalan di bawah lubang besar di atas langit-langit. Ia
menikmati tetesan hujan yang menerpa dirinya. Air hujan membasuh
dirinya yang dulu. Menghapus Nicholas Storm darinya.
Kilat menyambar. "Akhirnya aku tahu siapa diriku!" teriak
Nicholas mengalahkan suara petir. "Aku putra Daniel Fear."
Ia mengepalkan tinjunya. "Aku putra Nora Goode!"
Ia menelengkan kepalanya ke belakang.
"Aku seorang Fear!" serunya. "Nicholas Fear!"
BAB 17 NICHOLAS FEAR. Ia berulang kali mengucapkan nama itu
sambil berlari menyusuri Fear Street, koper di tangannya.
Fear Street. Jalanan yang dinamakan dengan nama keluarganya.
Bahkan ayah Rosalyn pun tidak punya jalan yang dinamakan dengan
namanya. Air hujan bagai memukuli tubuh Nicholas, membuatnya basah
kuyup sampai ke tulang. Tapi ia tak peduli.
Di sinilah aku akan menjadi kaya raya, pikirnya. Aku yakin.
Yakin. Tanah yang kupijak ini adalah tanahku. Warisan ayahku. Aku
akan membangun sebuah rumah di sini. Rumah yang lebih luas dari
rumah mana pun di kota ini.
Nicholas nyengir saat ia sampai di papan nama jalan bertulisan
Fear Street. Ia berbelok dan menyusuri jalanan yang diapit oleh
barisan rumah-rumah mungil di sisi kiri dan kanannya. Cahaya
berpendar dari jendela-jendelanya. Ia bisa melihat sebuah keluarga
makan malam bersama. Ia berbelok ke jalan utama. Jalan itu nyaris
sepi sama sekali, toko-toko di situ sudah tutup.
Nicholas melihat sesosok pria bergegas-gegas menyusuri trotoar
yang berlumpur. Ia menanyakan jalan menuju rumah yang
menyewakan kamar sebelum pria itu melesat melewatinya.
Sepanjang perjalanannya ke rumah kos itu, Nicholas kembali
membayangkan bagaimana hidup barunya nanti. Ia pasti akan
membeli mobil, ia memutuskan, teringat pada mobil yang dilihatnya
di depan bank. Ia dan Rosalyn akan berkeliling naik mobil setiap hari
Minggu. Dan ia akan membelikan Rosalyn semua gaun yang ia inginkan.
Rosalyn akan menjadi wanita tercantik di kota. Semua orang akan
mengenali mereka setiap kali mereka bermobil lewat. Itu dia suamiistri Fear lewat, mereka akan berbisik. Keluarga paling kaya di kota.
Nicholas melihat rumah biru besar yang dideskripsikan pria
tadi. Ia berlari menaiki undakan, tapi ragu untuk mengetuk pintunya.
Hari ini aku jelas tidak kelihatan seperti pria paling kaya di
kota, Nicholas berpikir. Tubuhnya basah kuyup. Kemejanya sedikit
robek, dan koper kecilnya tampak lebih usang dari biasanya. Ia
bertanya-tanya apakah pemilik penginapan akan memberinya sebuah
kamar. Pintunya berderit saat seorang gadis remaja membukanya. Pita
kuning manyala mengikat rambut pirang gadis itu di belakang
kepalanya. Beberapa bintik berwarna cokelat mengisi hidungnya.
Matanya yang biru berkilauan saat ia tersenyum kepadanya.
"Aku Betsy Winter. Ibuku pemilik rumah kos ini. Aku melihat
Anda berjalan di jalur masuk tadi. Kuharap Anda sedang mencari
kamar," seru gadis itu.
Lega, Nicholas membalas senyumnya. "Sebenarnya, aku
memang mencari kamar."
"Mama!" gadis itu menoleh dan berteriak. "Kita punya anak kos
baru!" "Apakah ibumu tak ingin menanyakan beberapa pertanyaan
padaku?" "Kurasa Anda tampan," sahut Betsy. "Cuma itu yang ingin
kuketahui. Ayo masuk."
Tampan! Nicholas merasa wajahnya menghangat. Ia berharap
Betsy tidak melihat bahwa ia malu.
Nicholas melangkah memasuki sebuah ruangan yang luas.
Tirai-tirai tipis tergantung di jendela. Patung-patung porselen kecil
yang sama sekali tak berdebu berdiri di atas meja-meja mungil yang
diletakkan tersebar di seluruh ruangan.
Ia merasa canggung. Merasa dirinya terlalu besar dan kikuk di
dalam ruangan yang indah itu. Dan air hujan menetes-netes dari
tubuhnya, membasahi karpet.
Seorang wanita bertubuh mungil memasuki ruangan dengan
langkah bergegas. Nicholas melihat bahwa rambut wanita itu sama
pirangnya dengan rambut Betsy, dengan sedikit helai-helai kelabu di
antaranya. Hidung Mrs. Winter juga ada bintik-bintiknya.
"Mama, ini anak kos baru kita. Dia tampan, kan?" Betsy
melompat-lompat. Nicholas belum pernah bertemu seorang gadis
energik dan penuh semangat seperti itu. Gadis itu mengingatkannya
pada anak anjing berbulu kuning.
Mrs. Winter menyelipkan sejumput rambutnya kembali ke
sanggulnya dan tertawa. "Sepertinya Betsy telah mengambil
keputusan untukku. Selamat datang ke rumah kos ini, Mr.?"
"Fear," Nicholas berkata. "Namaku Nicholas Fear." Ia merasa
lega. Ibu dan anak itu begitu hangat dan ramah, hingga ia tak gugup
lagi. Betsy terpekik dan menjatuhkan dirinya ke sofa, matanya yang
biru membelalak lebar. "Fear! Apakah Anda punya hubungan
keluarga dengan orang-orang sinting yang dulu tinggal di mansion?"
"Betsy!" tegur Mrs. Winter. "Tidak sopan mengatakan orang
sinting." Ia tersenyum meminta maaf kepada Nicholas.
Nicholas tiba-tiba tersadar bahwa dirinya nyaris tak tahu apaapa tentang keluarganya. Ia tahu bahwa dulu mereka tinggal di sebuah
rumah yang besar sekali, di jalan yang dinamakan dengan nama
mereka. Tapi ia sama sekali tak tahu manusia seperti apakah mereka
itu. "Tapi keluarga Fear memang sinting, Mama," Betsy ngotot.
"Semua orang menganggapnya begitu."
"Seseorang memberitahuku bahwa kakek dan nenek buyutku
dulu tinggal di rumah itu," Nicholas berkata pelan. "Ayahku tewas di
sana." "Sekarang setelah dipikir-pikir, Anda memang mirip sekali
dengan Daniel Fear," ujar Mrs. Winter. "Kita harus mengantar Anda
ke kamar Anda sekarang juga. Anda basah kuyup."
Nicholas sangat berterima kasih pada Mrs. Winter karena telah
mengganti topik pembicaraan.
"Biar aku saja yang mengantarnya." Betsy melompat dari sofa
dan menyambar koper Nicholas.
"Turunlah ke dapur begitu Anda selesai mengeringkan tubuh
dan aku akan menyediakan sesuatu untuk dimakan," seru Mrs. Winter
saat Nicholas beranjak mengikuti Betsy. "Dan kuharap Anda tidak
membiarkan putriku bicara terus hingga telinga Anda copot," ia
menambahkan. "Aku tahu Anda akan suka tinggal di sini," Betsy berkata.
"Kami mulai menyewakan kamar sekitar tiga tahun yang lalu. Yaitu
setelah ayahku meninggal. Ia tak pernah punya banyak uang, jadi
kami tidak ditinggali banyak uang."
Nicholas tak pernah mendengar orang bicara begitu banyak atau
begitu cepat seperti Betsy.
"Tidak seperti keluarga Anda," Betsy terus berceloteh saat ia
sampai di puncak tangga dan menyusuri koridor yang panjang.
"Kubayangkan mereka mewariskan berton-ton uang untuk Anda.
Mereka memiliki seluruh lahan itu. Dan mansion yang luar biasa itu."
Betsy berhenti dan membuka pintu sebuah kamar berukuran
kecil. "Ini kamarnya. Kamar mandi Anda dua pintu dari sini. Aku
akan meninggalkan beberapa lembar handuk untuk Anda. Aku senang
sekali Anda akan tinggal di sini."
Betsy bergegas keluar dari kamar sambil melambaikan tangan.
Kemudian ia berbalik lagi ke arah Nicholas. "Kuharap aku tidak
melukai hati Anda karena ucapanku tentang keluarga Anda tadi.
Mama selalu bilang aku tak pernah berpikir sebelum bicara. Tolong
katakan Anda tidak marah."
Nicholas menggelengkan kepala dan tersenyum. Mana mungkin
orang marah pada Betsy" Jelas ia hanya memuntahkan apa pun yang
muncul dalam pikirannya. "Kuharap kau akan bercerita lebih banyak
tentang keluargaku nanti," sahutnya. "Kau tahu tentang kebakaran
itu?" "Terjadinya sebelum aku lahir," Betsy berkisah. "Tapi semua
orang tahu mengenainya. Poof! Dalam satu kebakaran besar, semua
anggota keluarga Fear lenyap. Dan semuanya lenyap bersama mereka.
Kecuali lahan mereka. Sekarang Andrew Manning yang memilikinya.
Dia orang terkaya di Shadyside. Kudengar?"
"Betsy!" ibunya memanggil. "Ayo turun dan tinggalkan Mr.
Fear, kumohon." Betsy mengedipkan matanya pada Nicholas. "Ya, Mama,"
sahutnya. Sambil mengawasi Betsy berlari menuruni tangga, Nicholas
memutuskan bahwa hal pertama yang akan dilakukannya besok pagipagi adalah menelepon Mr. Andrew Manning. Mr. Manning mungkin
memang orang paling kaya di kota saat ini... tapi tidak untuk waktu
yang lama, Nicholas berjanji. Tidak untuk waktu yang lama.
*************** Betsy benar, pikir Nicholas. Ia menengadah menatap rumah
keluarga Manning keesokan paginya. Mr. Manning pasti kaya raya.
Nicholas mendorong pintu gerbang besi tempa berukuran besar
itu dan menyusuri jalan setapak batu kerikilnya. Dalam hati ia
bertanya-tanya, seberapa besar kekayaan Mr. Manning yang berasal
dari lahan Fear" Seberapa besar kekayaannya yang sebenarnya
merupakan milik Nicholas"
Ia menaiki undakan beranda yang terbuat dari kayu, lalu meraih
pengetuk pintu yang terbuat dari kuningan dan mengetuknya keraskeras tiga kali.
"Sebentar!" sebuah suara melengking terdengar. "Sebentar!"
Daun pintu terayun membuka. Seorang wanita berwajah keriput
dengan rambut seputih salju menatap Nicholas. Matanya yang kelabu
melebar. Kemudian ia menjerit keras sekali. Jeritan kengerian.
"Ada apa lagi sekarang?" seorang pria pendek berteriak seraya
muncul di belakang wanita itu. Ia memapah wanita itu ke kursi dapur,
memberi isyarat agar Nicholas mengikutinya.
"Saya minta maaf. Entah bagaimana saya membuatnya takut?"
Nicholas mulai berkata. "Tarik napas dalam-dalam," pria itu memerintahkan si wanita,
sama sekali tak mengacuhkan Nicholas. Dengan patuh wanita itu
menarik napas dalam-dalam dan melepaskannya perlahan-lahan.
"Mrs. Baker selalu saja mengalami serangan tiba-tiba seperti
ini," pria itu menjelaskan pada Nicholas. "Kemarin, ia jatuh pingsan
karena tukang daging mengirimkan ayam-ayam itu lengkap dengan
kepalanya. Katanya, mata ayam-ayam yang kecil itu memelototinya."
"Mr. Manning," wanita itu menahan napas. "Itu Daniel Fear,
bangkit dari kubur!"
"Omong kosong," tukas Andrew Manning.
"Itu dia, sungguh! Aku bakal mengenalinya di mana pun!"
teriak Mrs. Baker, suaranya semakin tinggi.
"Kalau begitu dia jelas awet muda, ya kan, Mrs. Baker" Kalau
saja tahun-tahun itu berbaik hati padaku juga." Ia mengalihkan
perhatiannya pada Nicholas. "Siapa kau, Anak Muda?"
"Nicholas Fear," jawab Nicholas, berjuang keras agar terdengar


Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenang dan percaya diri. "Saya putra Daniel Fear."
"Lihat kan, Mrs. Baker. Pasti ada penjelasan masuk akal untuk
semuanya," bentak Mr. Manning.
"Sepertinya saya telah membuat orang di seluruh kota
ketakutan," aku Nicholas. "Saya tak pernah mengenal ayah saya dan
saya mirip sekali dengannya."
Nicholas menarik napas dalam-dalam. "Saya ingin
membicarakan properti di lahan itu, Mr. Manning," ia menambahkan.
"Bagus sekali. Aku suka sekali punya teman mengobrol pagipagi, Mrs. Baker, jadi tolong buatkan kami kopi dan tari stroberimu
begitu kagetmu hilang."
Mr. Manning memimpin jalan menyusuri koridor. Nicholas
memandang setiap ruangan yang mereka lewati. Gorden-gorden tebal
menutupi jendela. Lukisan-lukisan cat minyak tergantung di dinding.
Perabotan mahogani yang berwarna gelap memenuhi setiap ruangan.
Kekuasaan, Nicholas berpikir penuh kekaguman. Beginilah
kekayaan dan kekuasaan itu. Inilah yang kuinginkan.
Ia mengikuti Mr. Manning ke ruang kerjanya. Mr. Manning
duduk di sebuah kursi kulit besar di balik meja kerjanya. Ia menunjuk
sebuah kursi yang ukurannya lebih kecil di depannya. Nicholas duduk
di situ. Sebelum salah satu dari mereka sempat bicara, Mrs. Baker
muncul membawa kopi dan tart stroberi. Diletakkannya semuanya di
sudut meja, berhati-hati agar tidak terlalu dekat dengan Nicholas.
"Wanita sinting," gerutu Mr. Manning. Ia tersenyum pada
Nicholas. "Dia telah bekerja padaku sejak istriku meninggal dunia,
dan bisa dibilang dialah yang membesarkan putriku, Ruth. Jadi, kurasa
aku harus bersabar menghadapinya."
Nicholas mendengar nada sayang dalam suara Mr. Manning.
Mungkin ini akan lebih mudah daripada yang kukira. Mungkin ia akan
mengerti. Andrew mengulurkan tangan mengambil sepotong tart dan
menyuapkannya ke mulutnya. "Hmm... lezat. Cobalah, Nak,"
gumamnya. "Tidak, terima kasih," sahut Nicholas. Perutnya terasa tegang.
Ia bergerak-gerak di kursinya, hingga kulit kursi itu berkeriut.
Mr. Manning menjilat selai stroberi dari jemarinya. "Kau ingin
mendiskusikan soal properti. Katakan, apa yang bisa kulakukan
untukmu." Nicholas menarik napas dalam-dalam. Ia mendoyongkan tubuh
ke depan, sikunya menekan pahanya. "Anda bisa mengembalikan apa
yang telah menjadi hak saya kepada saya."
Andrew mengangkat alisnya yang tebal dan berwarna kelabu.
"Dan apakah itu?"
"Warisan saya"harta kekayaan milik keluarga Fear."
Andrew Manning menyentakkan kepalanya ke belakang dan
tertawa keras. BAB 18 NICHOLAS mengepalkan tinjunya saat Mr. Manning kembali
tertawa keras. Seperti tercekik rasanya. Kemarahan membakar dirinya.
"Anak muda," Mr. Manning berkata seraya terengah menarik
napas. "Siapa bilang ada harta kekayaan."
"Anda bohong!" Nicholas balas berteriak. "Anda tak mau
mengembalikan uang yang menjadi hak saya!"
"Itu tuduhan yang serius," ujar Mr. Manning tenang. "Silakan
saja bicara dengan presiden bank"atau siapa saja. Mereka semua
akan mengatakan hal yang sama padamu. Kau tak punya harta
warisan"kecuali tunggakan pajak tanah yang sangat besar."
Nicholas berdiri, lututnya lemah oleh rasa terkejut. Ia tak
sanggup tinggal di ruangan itu lebih lama lagi. Ia tak boleh
membiarkan Mr. Manning melihat betapa gemetar dirinya.
"Jangan pergi," perintah Mr. Manning. "Kumohon. Mestinya
aku tak tertawa tadi."
Perlahan-lahan Nicholas kembali ke kursinya. "Tunggakan
pajak?" bisiknya, kemarahannya berganti menjadi putus asa.
Mr. Manning mengangguk. "Aku khawatir begitulah
keadaannya. Aku punya rencana hebat untuk membangun rumahrumah di sepanjang kiri dan kanan jalan itu. Rumah yang indahindah."
Pria yang lebih tua itu menggelengkan kepala. "Tapi aku terlalu
menganggap remeh kepercayaan orang-orang pada takhayul. Tak ada
orang yang mau tinggal di tanah Fear. Mereka semua telah mendengar
kisah-kisah mengerikan tentang tempat itu. Aku terpaksa
menghentikan proyek itu."
Kursi Mr. Manning berderit di lantai saat ia bangkit berdiri.
Diletakkannya tangannya di bahu Nicholas. "Aku benar-benar
menyesal." "Saya tahu," kata Nicholas serak. "Saya hanya..." Ia mendesah
panjang. "Memiliki harapan-harapan," Mr. Manning menyelesaikan
kalimat itu untuknya. "Dan mimpi-mimpi."
"Yah, seperti itulah," Nicholas setuju. Ia berbalik dan menatap
Mr. Manning. "Saya minta maaf telah mengganggu Anda."
"Tidak masalah," sahut Mr. Manning. Dibukanya pintu Prancis
yang membuka ke halaman. "Ayo kita keluar dan menghirup udara
segar. Sepertinya kau membutuhkannya."
Ia dan Nicholas berjalan ke beranda. Mr. Manning menarik
napas dalam-dalam. "Aku suka aroma udara di pagi hari."
Nicholas memandang pepohonan dan petak-petak bunga sampai
ia kembali menguasai dirinya. Kemudian ia mengulurkan tangannya
kepada Mr. Manning. "Sekali lagi, terima kasih. Saya yakin Anda
sangat sibuk, jadi?"
Mr. Manning menjabat tangan Nicholas erat-erat. "Apa
rencanamu sekarang?" tanyanya. "Kau akan pulang ke rumahmu?"
Nicholas menggelengkan kepala. Ia tak bisa kembali ke Shadow
Cove sebagai pria miskin. "Tidak," sahutnya. "Ada seorang gadis di
sana yang ingin saya nikahi. Tapi ayahnya tidak akan merestui. Dia
ingin putrinya menikah dengan pria kaya raya."
Beberapa saat Nicholas sangsi. Ia malu memberitahu sisanya
pada. Mr. Manning. "Saya telah berjanji pada Rosalyn"itu nama
kekasih saya"bahwa saya akan kembali dengan membawa kekayaan
yang cukup besar untuk bisa meyakinkan ayahnya agar mengubah
pikirannya," ia akhirnya berkata. "Saya sangka segalanya akan
mudah." "Setiap ayah cenderung menganggap tak seorang pria pun
cukup baik untuk putrinya," kata Mr. Manning simpatik. "Aku tahu
aku sendiri waswas memikirkan untuk mencarikan pria yang cukup
baik bagi Ruth-ku. Seseorang yang akan mencintainya dan
membuatnya bahagia."
Nicholas menggelengkan kepala. "Ayah Rosalyn berbeda. Dia
tidak peduli seberapa besar cinta saya pada Rosalyn. Dia hanya peduli
tentang seberapa banyak uang yang saya miliki. Saya harus
membuktikan padanya bahwa saya bisa menghasilkan uang sebanyak
pria mana pun." Mr. Manning memperhatikan Nicholas sebentar. "Aku punya
penggergajian kayu. Kau bisa bekerja di sana. Mempelajari bisnis itu,"
ia menawarkan. "Bayarannya cukup adil. Pria yang punya ambisi bisa
berbuat sesuatu untuk dirinya di situ."
Nicholas merasakan sebetik harapan muncul kembali. Pekerjaan
di sebuah penggergajian bukanlah yang ada dalam bayangannya
ketika ia meninggalkan Shadow Cowe. Tapi itu bisa menjadi
permulaan. "Saya pria yang memiliki ambisi," ia berkata.
"Jadi, kuminta kau datang pada pukul tujuh tepat besok pagi,"
ujar Mr. Manning. "Siapa pun bisa menunjukkan jalan ke sana
padamu." "Terima kasih. Anda takkan kecewa," Nicholas berjanji. Mr.
Manning mengantarnya keluar dan Nicholas cepat-cepat menyusuri
jalan setapak menuju pintu gerbang yang terbuat dari besi tempa.
Ia menutup gerbang di belakangnya dan melangkah ke jalan.
Kemudian ia berhenti dan berbalik. Ia melambai pada Mr. Manning.
"Sampai bertemu pukul tujuh!" serunya. "Atau lebih pagi!"
Mr. Manning balas melambai. "Pukul tujuh sudah bagus," ia
berseru sebelum kembali ke ruang kerjanya.
Aku akan bekerja keras, Nicholas berjanji pada dirinya sendiri.
Ditatapnya rumah keluarga Manning yang elegan. Aku akan belajar
apa pun tentang bisnis kayu. Dan suatu hari nanti aku akan memiliki
rumah seluas ini. Suatu hari nanti aku akan mendapatkan kembali
properti Fear. Jeritan tajam terdengar di belakangnya.
Sebelum Nicholas sempat berbalik, sesuatu menghantamnya.
Membuatnya terpental dan tersungkur ke tanah.
Ia mendengus keras. Sengatan rasa sakit menyerang pinggangnya.
Sesuatu yang berat menekan dadanya.
Bintik-bintik cahaya menyembur di depan matanya.
Ia tak bisa bernapas. Tak bisa bernapas.
BAB 19 RASA sakit menyembur menembus dadanya. Ia tak bisa
bernapas. Ada yang mengerang. Nicholas memaksa membuka matanya.
Sebuah sepeda tergeletak di sisinya. Seorang gadis tinggi kurus
terbujur di atas dadanya.
Terang saja aku tak bisa bernapas, pikirnya.
Gadis itu mengangkat kepalanya dan menyibakkan rambutnya
yang berantakan dari matanya. Matanya berwarna hitam. Hitam dan
sama matinya dengan mata ikan yang dulu biasa ditangkap Nicholas.
Gadis itu mengangkat dirinya dari dada Nicholas. Ia berdiri
dengan susah payah. "Maaf. Salahku. Aku tidak hati-hati. Kau
terluka?" ia bertanya.
Nicholas bangkit duduk. "Tidak, aku baik-baik saja. Tapi
bagaimana denganmu" Apakah kau terluka?"
"Tidak. Jangan mengkhawatirkan aku. Aku menyesal sekali.
Aku tidak tahu kau akan berhenti di tengah jalan," gadis itu
menjelaskan. "Dan reaksiku terlalu lambat. Aku tak bisa berhenti tepat
pada waktunya." Ia mengulurkan tangan dan membantu Nicholas
bangkit. Tangan gadis itu terasa lembap dan dingin. Seperti berpegangan
tangan dengan ikan, Nicholas berpikir.
Mau tak mau ia pun membanding-bandingkan gadis ini dengan
Rosalyn. Mata Rosalyn dalam dan berwarna cokelat. Mereka
memantulkan setiap emosi yang dirasakannya. Dan kulit Rosalyn
hangat dan wangi mawar. "Mestinya aku melihat jalanku," Nicholas berkata, mencoba
bersikap sopan. Bukan salah gadis itu kalau matanya hitam aneh dan
kulitnya lembap. Ia melepaskan tangan gadis itu dan mengibaskan debu dari
pakaiannya. Gadis itu mengulurkan tangan dan menarik sepedanya hingga
berdiri. "Aku belum pernah melihatmu," katanya cepat, matanya
menatap ke bawah. "Kau orang baru, ya?"
"Ya. Aku tiba kemarin. Namaku Nicholas Fear."
"Kuharap pertemuan kita berikutnya tidak terlalu menyakitkan,"
tambah gadis itu, matanya masih menatap tanah. "Aku harus berlatih
menggunakan rem." Gadis itu pemalu, Nicholas tersadar. "Dan aku harus berlatih
melihat jalanku, Miss?"
"Oh! Manning," sahutnya. Gadis itu kedengarannya kaget.
"Ruth Manning."
"Aku baru saja bertemu ayahmu," Nicholas berkata. "Dia
memberiku pekerjaan."
"Oh, bagus sekali," seru Ruth. "Sekarang aku merasa jauh lebih
baik. Setidaknya seseorang di dalam keluargaku memberikan
sambutan selamat datang di Shadyside yang layak untukmu."
"Kau harus berhenti mengkhawatirkan diriku. Aku benar-benar
tidak apa-apa kok," Nicholas berkata. "Goodbye, Miss Manning. Aku
berharap bisa bertemu denganmu lagi."
"Maaf, Mr. Fear," ujar Ruth ragu.
"Ya?" tanya Nicholas.
"Kau mungkin ingin mengancingkan kemejamu sebelum kau
pergi," kata gadis itu.
Nicholas menatap ke bawah. Tiga buah kancing kemejanya
terlepas saat ia jatuh tadi. Ia tertawa. "Terima kasih. Aku takkan
memberi kesan pertama yang baik bila berjalan-jalan berkeliling kota
seperti ini." Ia mulai mengancingkan kembali kemejanya. "Benda apa di
lehermu itu?" Ruth bertanya, menunjuk amulet itu.
"Ini hadiah," sahut Nicholas. "Hadiah dari tunanganku."
"Aku belum pernah melihat benda seindah itu," Ruth berbisik.
Ia mengulurkan tangan, jemarinya gemetar. Dibalikkannya amulet itu.
"Dominatio per malum" ia membaca. "Kekuasaan melalui
kejahatan." Untuk pertama kali, mata gadis itu menatap mata Nicholas.
Nicholas bergidik saat matanya memandang sepasang mata hitam
tanpa ekspresi itu. "Kau percaya pada kejahatan, Mr. Fear?" Ruth bertanya serius.
"Aku percaya pada kekuasaan," sahut Nicholas seraya menarik
amuletnya dari genggaman gadis itu dan mengancingkan kemejanya.
*************** Nicholas tiba di tempat kerja keesokan paginya. Ia
memperhatikan beberapa orang memutar engkol untuk mengangkat
daun-daun pintu yang besar.
Sambil menunggu, Nicholas mempelajari segala sesuatu yang
dilihatnya. Ia ingin belajar lebih cepat daripada siapa pun yang pernah
bekerja di sini. Penggergajian itu dibangun di sisi sungai lebar yang airnya
mengalir. Air menderu lewat dan memutarkan kincirnya. Kincir itu
menggerakkan mesin di dalam tempat penggergajian itu.
Begitu pintu-pintu dibuka, para pekerja masuk ke dalam.
Nicholas mengikuti mereka. Mesin-mesin raksasa dan gergaji-gergaji
bundar memenuhi bangunan itu. Ia menyentuhkan jarinya ke tepi
gergaji yang tajam. "Hati-hati," seseorang berseru. "Kau harus memperlakukan
gergaji itu seolah-olah benda itu selalu bergerak. Kalau tidak, bisabisa kau akan kehilangan jarimu."
Nicholas memutarkan tubuhnya. Seorang pria pendek kurus
kurang-lebih seusia dirinya berdiri mengawasinya dengan sepasang
mata biru yang serius. "Kau ini seperti wanita tua saja, Jason," pekerja lain berseloroh.
Ia tampak seperti gunung manusia. Ia berdiri dengan tubuhnya yang
tingginya lebih dari 180 sentimeter, kekar, dan kuat. Rambutnya
merah manyala dan matanya hijau.
"Kau pasti pekerja baru yang diceritakan Mr. Manning," si
rambut merah berkata. "Aku Ike. Dan nenekku ini namanya Jason.
Kau akan bekerja bersama kami."
"Aku Nicholas," sahutnya.
"Aku bukan wanita tua," Jason berkata pada Nicholas, seraya
melontarkan tatapan tajam pada teman raksasanya. "Adalah bijaksana
untuk memperlakukan gergaji-gergaji itu seolah-olah mereka
berbahaya"bahkan bila mereka tak dinyalakan sekalipun. Aku hanya
berpikir kau harus mengetahuinya. Bulan lalu?"
"Jadi, Nicholas, kau pernah bekerja di penggergajian?" potong


Fear Street - Sagas I Amulet Bertuah A New Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ike. "Belum," aku Nicholas.
"Tak heran." Ia mengedipkan mata. "Pokoknya jangan lupa
menghitung jemarimu sebelum pulang. Jason melakukannya setiap
malam. Ia terlalu mengkhawatirkan jemari tangannya hingga ia tak
memperhatikan bahwa dirinya telah memutuskan tiga jari kakinya!"
Ike tertawa terbahak-bahak dan Nicholas tahu bahwa Jason
berusaha untuk tidak tersenyum. Jelas sekali kedua orang ini telah
lama berteman, pikirnya. "Aku tidak memutuskan jari kakiku," protes Jason setengah
hati. "Lepaskan sepatumu dan buktikan!" tantang Ike. "Tidak,
tunggu. Ini dia putri sang Bos. Kau tak ingin mengganggunya dengan
aroma kakimu." "Dan kau tak ingin menggangguku dengan lidahmu yang licin.
Kau mungkin sebesar beruang, tapi aku dapat membuatmu gigit jari
dan kau tahu itu." Jason nyengir pada Nicholas. "Jangan tertipu melihat ukuran
tubuhnya. Aku harus bergulat dengannya setiap beberapa hari sekali
supaya ia tetap di jalurnya. Kau juga bisa melakukannya. Mudah kok."
Ike mengerang. Kemudian tersenyum manis saat Ruth berjalan
lewat. "Selamat pagi," Ruth bergumam saat ia berhenti di sebelah
mereka. "Anda sudah bertemu Nicholas?" Ike bertanya. "Ini hari
pertamanya." "Ya, kami sudah bertemu," Ruth tersenyum kecil pada
Nicholas, tanpa benar-benar memandangnya.
"Ike, tolong carikan orang untuk menyapu, ya," ujar Ruth.
"Serbuk gergajinya sudah terlalu tinggi."
"Tentu saja, Miss Manning," sahut Ike, seraya menyentuh
topinya. "Apakah dia bekerja di sini?" tanya Nicholas setelah Ruth
berlalu. "Dia menangani pembukuan," sahut Ike seraya mengambil
sapu. "Dia lurus seperti papan dan tak pernah banyak bicara. Kurasa
dia pasangan yang sempurna untuk Jason," godanya.
Jason mendengus, lalu menyibakkan rambut pirangnya dari
wajah. "Bukan aku yang mabuk kepayang padanya," ia balas
menukas. "Tentu saja, Miss Manning. Terserah Anda, Miss Manning,"
ejeknya. Ike tertawa senang dan menyerahkan sapu itu kepada Nicholas.
"Anak baru menyapu."
Nicholas mulai membuat timbunan-timbunan serbuk gergaji.
Kemudian ia mendengar seseorang memanggil namanya. Ia
mendongak dan melihat Betsy berlari ke arahnya, rambut pirangnya
bergoyang-goyang di sekitar bahunya.
Beberapa pekerja lain berhenti bekerja untuk melihat gadis itu
lewat, namun tak sekejap pun Betsy mengalihkan pandangannya dari
Nicholas. Ia memberikan sebuah kotak cokelat bergambar hati
berwarna merah ke tangan pemuda itu. "Makan siangmu!" ia
menjelaskan. "Aku membuatkannya khusus untukmu dan kau lupa,
membawanya tadi pagi."
"Wah, bukankah itu manis," ejek Ike seraya melipat kedua
tangannya yang besar di depan tubuhnya.
"Tak ada makan siang untukku, Betsy?" Jason bertanya.
"Kusangka kau akan membantuku tumbuh hingga sebesar dan sekuat
Ike!" "Kau mengejek makanan yang kubawakan untukmu terakhir
kali, jadi kau tidak akan mendapatkan apa pun," sahut Betsy. "Mulai
sekarang Nicholas akan mendapatkan semua makan siang yang
kubuat." Betsy mengibaskan ikal-ikal rambut pirangnya ke balik
bahunya, dan tersenyum pada Nicholas. "Kata Ibu, aku harus
memanggilmu Mr. Fear, berhubung kau penyewa kamar kami. Tapi
aku lebih suka menyebutmu Nicholas! Kau tidak keberatan, kan?"
Nicholas menggelengkan kepala. Jason berbalik dan memelototi
Nicholas, matanya yang biru amat dingin.
"Nicholas lebih tampan dibanding kau tambah Ike sekalian, jadi
aku memutuskan akan memasak hanya untuk dia seorang!" Betsy
menggoda Jason. Ia sama sekali tidak memperhatikan bahwa ekspresi wajah
Jason begitu serius. Tapi Nicholas sebaliknya menyadarinya. Ia bisa
melihat otot-otot menegang di rahang Jason.
"Betsy, kau mencari gara-gara bila merayu seperti itu," Jason
mengingatkan, suaranya parau. "Kau harus pergi sekarang. Di sini ada
pekerjaan yang harus diselesaikan."
Jason pasti sangat menyukai Betsy, pikir Nicholas. Ia begitu
cemburu dan gadis itu malah membawakan aku makan siang.
"Baiklah," Betsy setuju seraya mendesah. "Sampai nanti
malam," serunya pada Nicholas. Kemudian ia meluncur keluar dari
tempat itu, diikuti pandangan kagum para pria.
Nicholas merasa bulu kuduknya meremang. Entah mengapa ia
merasa seseorang tengah memperhatikannya. Menatapnya. Ia
menengadah dan mendapatkan Ruth berdiri di jendela salah satu ruang
kerja di lantai dua. Ia melambai kepada gadis itu, tapi Ruth malah
berbalik pergi. Ruth yang malang, pikirnya. Ia pasti sedih melihat semua pria
melotot menatap Betsy. Aku berani bertaruh tak ada satu pria pun
pernah memandangnya seperti itu.
Nicholas mengangkat bahu dan kembali menyapu serbuk
gergaji itu. ************ Pada akhir hari kerja pertamanya, Nicholas memutuskan bahwa
ia menyukai bisnis kayu. Bau kayu jauh lebih enak daripada ikan, pikirnya seraya
berjalan kembali ke rumah kos. Baunya segar. Ia tidak keberatan
mengakhiri harinya dengan tubuh berbau serbuk gergaji.
Dan kayu terasa halus"bukan licin.
Nicholas mendengar suara gemersik halus di antara semaksemak di sepanjang jalan. Ia menghentikan langkah. Suara itu juga
berhenti. Ia mulai berjalan lagi. Suara gemersik itu terdengar lagi.
Apakah ada yang membuntutiku"
Nicholas nyaris tidak mengenal siapa pun di kota ini. Siapa
kira-kira yang bakal mengikutinya"
Rasa sakit menyerang bagian belakang kepalanya. Sesuatu jatuh
ke tanah dengan suara buk.
Batu. Seseorang telah melemparinya batu!
Nicholas menyentuh bagian belakang kepalanya dan meringis.
Darah yang hangat dan lengket melumuri jemarinya. Ia dapat
merasakan darah mengalir menuruni lehernya.
Ditendangnya batu itu. Benda itu berguling dua kali, lalu
berhenti. Ada sesuatu terikat padanya, Nicholas tersadar.
Tanpa mengacuhkan rasa sakit di kepalanya, ia membungkuk
dan memungut batu itu. Secarik kertas cokelat membungkus batu itu.
Nicholas melepaskan benangnya dan membuka kertasnya.
"Tidak," bisiknya seraya membaca pesan yang tertulis di situ.
Siapa yang tega melakukan hal seperti itu"
"Merasa takutlah, Nicholas Fear," pesan itu berbunyi.
"Tempatmu bukan di Shadyside."
BAB 20 NICHOLAS tersentak menahan napas. Luka di kulit kepalanya
terasa panas saat Betsy mengoleskan alkohol di atasnya.
"Kalau bekerja di tempat penggergajian kayu, kau harus hatihati. Kecelakaan gampang sekali terjadi," gadis itu mengingatkannya.
Ini tidak terjadi di tempat penggergajian," ujar Nicholas dengan
rahang terkatup. "Terjadinya waktu aku berjalan pulang."
Betsy meletakkan alkohol itu di atas meja dapur dan duduk di
kursi di sebelah Nichols. "Ada yang menyerangmu?"
Nicholas mengangkat bahu. "Seseorang menyambitku dengan
batu. Pesan ini diikatkan di batu itu." Dikeluarkannya pesan yang
sudah lecek itu dari sakunya dan diulurkannya ke gadis itu.
Mata Betsy yang biru terbeliak membaca pesan itu.
"Aku tak tahu kenapa ada orang bersikap seperti itu padaku.
Aku sama sekali tak tahu apa yang telah kulakukan hingga
menimbulkan kebencian seperti itu." Alis Nicholas berkerut.
"Sebenarnya, Nicholas, ini bisa saja dilakukan oleh siapa pun,"
Betsy mengakui. "Orang-orang di Shadyside selalu membenci
keluarga Fear. Apalagi keluarga Goode."
"Kenapa?" tanya Nicholas. "Kenapa orang bisa membenci
seluruh anggota suatu keluarga?"
Betsy mendesah. "Ada permusuhan yang sudah ada sejak dulu
di antara keluarga Goode dan Fear. Aku tidak tahu bagaimana
mulanya. Tapi ada kebencian besar di kedua belah pihak." Betsy ragu
sebentar, matanya yang biru menatap Nicholas dengan waswas.
"Ceritakan padaku," desak Nicholas.
"Konon katanya keluarga Fear mempelajari ilmu hitam. Banyak
orang"bukan hanya keluarga Goode"mengatakan bahwa keluarga
Fear mengadakan upacara-upacara aneh di mansion mereka. Upacaraupacara yang membutuhkan darah. Itu sebabnya mansion itu dibangun
jauh dari jalan"keluarga Fear tak ingin ada yang melihat apa yang
mereka lakukan di sana."
Nicholas tidak tahu harus bilang apa. Ia menunduk menatap
tangannya. Ia tak ingin Betsy melihat betapa kisah itu membuat
perasaannya kacau. "Aku harus membersihkan darah ini," ia bergumam. Tadi ia
memegangi luka di kepalanya sepanjang jalan pulang ke rumah kos.
Kini tangannya penuh dengan darah kering.
Nicholas bangkit berdiri dan melintasi ruangan menuju tempat
cuci piring. Ia mengucurkan air ke atas tangannya. Darah kering
berwarna cokelat itu mencair dan berubah merah terang. Bau besi
darah itu memenuhi hidungnya.
Upacara-upacara yang mereka adakan membutuhkan darah,
batinnya. Apa sebenarnya yang mereka lakukan di dalam mansion itu"
Ia mengoleskan sabun di atas kedua tangannya dan menggosok
kulitnya kuat-kuat. Menggosoknya hingga kulitnya terasa perih.
Kemudian dimatikannya keran itu. Tapi ia tidak duduk kembali
di sebelah Betsy. Apa lagi yang bakal diketahuinya tentang keluarga Fear"
Keluarganya" "Ada lagi?" ia bertanya dengan suara pelan.
Didengarnya kursi Betsy berderit di lantai saat gadis itu bangkit
berdiri. Gadis itu menghampirinya dan meletakkan tangannya di
punggung Nicholas. Nicholas menunggu dengan tegang.
"Kudengar dua anak Simon dan Angelica ditemukan di Fear
Street Woods. Seluruh tulang-belulang mereka lenyap. Setidaknya
begitulah cerita yang beredar di antara orang-orang."
Betsy lagi-lagi ragu, lalu melanjutkan ceritanya dengan cepat,
"Kata orang, banyak anggota keluarga Fear yang meninggal dengan
cara yang aneh dan mengerikan. Konon katanya, nasib buruk
mengikuti setiap anggota keluarga itu. Tapi aku sih tidak percaya pada
nasib buruk," Betsy menambahkan dengan tegas. "Dan kau pun tak
boleh percaya." Nicholas menoleh ke belakang. "Bagaimana kau bisa tahu
begitu banyak tentang keluargaku?"
"Aku bermarga Goode"ya kurang-lebih. Sebelum menikah
dengan ayahku, ibuku bermarga Goode."
Betsy mengulurkan tangan melewati Nicholas dan mengambil
sebilah pisau yang besar. Dibelainya mata pisaunya yang berkilat
dengan ujung jemarinya. Tubuh Nicholas menegang. Betsy menghampiri konter dan mulai memotongi tomat.
"Jangan khawatir," katanya. "Aku suka keluarga Fear." Ia
menengadah menatap Nicholas. "Tentu saja, tidak setiap orang dalam
keluargaku menyukai mereka."
***************** Nicholas memperhatikan gigi gergaji itu menggigit kayu. Nafsu
makan gergaji itu sepertinya tak terpuaskan.
Itu sebabnya kau harus memperhatikan, Nicholas, ia
memerintahkan dirinya. Sepanjang pagi itu matanya tak pernah
terpusat pada pekerjaannya dan malah melayang ke arah para pekerja
lain. Ia memperhatikan wajah mereka, mencoba memutuskan apakah
salah satu dari mereka adalah orang yang melemparinya batu.
Ike memberikan papan kayu lain pada Nicholas. Nicholas dan
Ike bekerja berdua hari ini. Jason menggantikan seorang pekerja yang
partnernya sedang sakit. Nicholas merasakan papan bergetar saat bersentuhan dengan
gergaji. Ketika ujung papan menyelinap masuk melewati gergaji, Ike
bersiul. Nicholas menengadah. Ike mengusap perutnya. Nicholas
tersenyum. Ike sudah lapar. Nicholas mengangguk dan mematikan
gergaji. "Kutunggu kau di luar!" seru Ike seraya memungut makan
siangnya. Nicholas mengambil kotak karton kecil tempat makan siangnya
dan mengejar Ike. Hari ini Betsy telah menggambarkan anak-anak
panah yang menembus gambar hati-hati merahnya. Nicholas berharap
Jason tidak memperhatikannya.
Nicholas menghentikan langkah di tumpukan papan yang harus
dipotong olehnya dan Ike siang itu. Diperiksanya setiap helai papan
dengan hati-hati. Ike telah menjelaskan apa yang akan terjadi bila
gergaji membentur mata kayu. Dan Nicholas tak ingin mengambil
risiko. Ia mengusapkan jemarinya di atas permukaan salah satu papan.
Kualitas kayunya bagus, halus dan sempurna. Inilah jenis kayu yang
seharusnya digunakan untuk membangun rumah-rumah di Fear Street,
pikir Nicholas. Ia melanjutkan jalannya ke luar dan menemukan Ike duduk di
Suling Pualam Dan Rajawali Terbang 3 Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian Peti Bertuah 2
^