Pencarian

Rahasia Kepala Terpenggal 2

Goosebumps - Rahasia Kepala Terpenggal Bagian 2


mengantarmu ke ujung jalan setapak itu."
"Habis itu bagaimana?" tanyaku dengan suara gemetar.
Dia menatapku tanpa berkedip. "Habis itu kau akan dibimbing
oleh kekuatan gaibmu."
Yeah. Jungle Magic. Dan minggu depan, aku akan mengepakkan sayap dan terbang
ke bulan. Rasanya aku ingin berbalik saja dan kembali ke pondokku. Aku
ingin naik ke tempat tidur dan berlagak tak pernah membaca catatan bibiku.
Tapi kemudian Kareen dan aku melewati tumpukan kepala
terpenggal. Semua mata yang gelap seakan-akan memandangku.
Semuanya tampak sedih sekali.
Aku tidak mau kepalaku ikut menumpuk di situ, ujarku dalam
hati. Jangan sampai! Aku mulai berlari ke arah pepohonan.
Kareen bergegas mengikutiku. "Semoga berhasil, Mark!" dia berseru tertahan.
"T-terima kasih," aku tergagap. Lalu aku berhenti dan berpaling padanya. "Apa
yang akan kaukatakan pada ayahmu besok pagi?"
Kareen angkat bahu. Rambutnya pirang melambai-lambai
tertiup angin. "Aku takkan bilang apa-apa," jawabnya. "Aku akan bilang bahwa aku
tidur nyenyak sampai pagi. Bahwa aku tidak
mendengar apa-apa." "Terima kasih," kataku sekali lagi. Kemudian aku
menggenggam senterku erat-erat, dan berlari memasuki hutan.
Jalan setapaknya berpasir. Pasirnya terasa lembap ketika
kuinjak. Tumbuhan rambat dan daun-daun besar menjorok ke tengah
jalan setapak. Dalam sekejap saja kaki celana jeansku sudah basah karena embun.
Ilalang tumbuh tinggi di sisi jalan setapak. Setelah satu menit,
kegelapan yang pekat menyelubungiku. Jangan-jangan aku salah
jalan, pikirku cemas. Aku menyalakan senter dan mengarahkan sinarnya ke bawah.
Berkas cahaya senterku menerangi alang-alang, pakis-pakisan,
dan sulur-sulur tumbuhan rambat. Dahan-dahan pohon yang gelap
seakan-akan hendak menjangkauku.
Jalan setapaknya tidak kelihatan.
Wah, ini dia, pikirku. Seorang diri, tersesat di hutan.
Apa yang harus kulakukan sekarang"
Chapter 15 "ADUH!" Kutepuk nyamuk yang hinggap di tengkukku. Tapi terlambat.
Bekas gigitannya sudah mulai terasa gatal.
Aku menerobos alang-alang sambil menggosok-gosok tengkuk.
Cahaya senterku terus kuarahkan ke bawah untuk menerangi tanah
yang bakal kuinjak. Aa-UU-tah. Aa-UU-tah Aku langsung berhenti ketika mendengar teriakan melengking
itu. Kedengarannya dekat sekali.
Pada malam hari, di tempat ini yang berkuasa adalah makhluk-
makhluk liar, aku teringat sambil merinding.
Aa-UU-tah. Aa-UU-tah. Apa itu" Pasti bukan kelinci raksasa. Kedengarannya sesuatu yang betul-
betul BESAR. Aku memandang berkeliling, dan menyorotkan senterku ke
segala arah. Dalam keredupan cahaya, pohon-pohon di sekitarku
tampak berwarna ungu. Aku tidak melihat binatang apa pun.
Senterku kembali kuarahkan ke bawah.
Seluruh tubuhku gemetaran. Walaupun udara malam terasa
panas dan lembap, aku tak sanggup mengendalikan tubuhku yang
gemetaran tak keruan. Embusan angin membuat daun-daun berdesir dan pohon-pohon
berayun. Hutan ini hidup, kataku dalam hati.
Ratusan serangga mengerik-ngerik di sekelilingku. Tanaman-
tanaman berdaun lebar tampak bergoyang-goyang. Aku mendengar
langkah seekor binatang yang melintas di dekatku.
Aa-UU-tah. Aa-UU-tah. Suara apa itu" Tanpa sadar aku telah merapatkan punggungku ke sebuah
batang pohon. Kutahan napasku sambil pasang telinga.
Apakah binatang itu semakin dekat"
Daun-daun yang menggantung pada dahan-dahan yang rendah
membentuk semacam gua. Aku terlindung di sini, pikirku sambil
memandang berkeliling. Perasaanku mulai lebih tenang.
Cahaya bulan menerobos melalui sela-sela dedaunan. Semua
daun jadi berwarna keperakan. Kumatikan senter, lalu berjongkok di tanah. Sambil
bersandar pada batang pohon yang licin, aku
memandang bulan sambil berusaha mengatur napasku. Baru sekarang
aku sadar betapa capeknya aku. Kantuk pun mulai menyerang. Aku
menguap lebar-lebar. Mataku mendadak terasa berat sekali.
Kupaksakan diriku untuk tetap melek. Namun aku tak sanggup
melawan rasa kantuk yang menyelubungiku.
Diiringi suara serangga sebagai pengantar tidur, kusandarkan
kepalaku ke batang pohon, dan dalam sekejap saja aku sudah terlelap.
Aku bermimpi tentang kepala-kepala terpenggal.
Lusinan kepala terpenggal berwarna ungu dan hijau. Mata
mereka yang hitam tampak membara, sementara bibir mereka yang
kering menyeringai mengerikan.
Kepala-kepala itu melayang-layang dan keluar-masuk dalam
mimpiku. Mondar-mandir, bagaikan bola tenis. Ada yang
menabrakku, membentur dadaku dan kepalaku. Tapi aku tidak
merasakan apa-apa. Kepala-kepala itu terus melayang-layang. Dan kemudian
semuanya membuka mulut dan mulai bersenandung. "Cepat, Mark.
Cepat." Berulang-ulang.
Kata-kata itu dinyanyikan dengan suara yang kasar dan serak.
"Cepat, Mark. Cepat." Betul-betul menyeramkan. "Cepat, Mark.
Cepat." Bibir mereka yang hitam tampak meringis. Mata mereka
menyala-nyala. Kepala-kepala itu - lusinan kepala penuh keriput -
menari-nari di depan mataku.
Nyanyian mereka masih terngiang-ngiang di telingaku ketika
aku terbangun. Kukedip-kedipkan mataku. Cahaya pagi yang kelabu
menerobos atap dedaunan. Sambil menguap, aku meregangkan otot-otot yang kaku.
Punggungku pegal sekali. Bajuku terasa lembap dan lengket.
Beberapa detik kemudian baru aku sadar di mana aku berada.
Mimpi yang menakutkan itu terus menghantui pikiranku.
Tanganku segera merogoh kantong T-shirt. Jimatku masih aman di
sana. Wajahku mulai gatal-gatal.
Aku menggaruk pipi - dan mencabut sesuatu. Sehelai daun"
Bukan. Sambil memicingkan mata aku menatap serangga di tanganku.
Seekor semut merah yang besar sekali. Hampir sebesar jangkrik.
"Idih!" Langsung saja aku mencampakkannya. Kulitku serasa ditusuk-tusuk.
Punggungku gatal-gatal. Ada sesuatu yang naik-turun di kakiku. Serta-merta aku
terduduk. Rasa kantukku mendadak
lenyap. Gatalnya minta ampun. Seluruh badanku terasa gatal.
Aku memandang ke bawah. Mengamati celana dan T-shirt-ku.
Dan kemudian aku mulai menjerit.
Chapter 16 CEPAT-CEPAT aku berdiri. Kuayun-ayunkan tanganku dan
kutendang-tendangkan kakiku.
Tubuhku dipenuhi semut-semut merah berukuran raksasa.
Ratusan, bahkan ribuan. Semut-semut itu merayap di mana-
mana, di lenganku, di kakiku, di dadaku.
Kaki mereka serasa menusuk-nusuk leher dan tengkukku. Aku
mencabut seekor dari keningku. Lalu seekor lagi dari pipiku.
Aku mengusap-usap rambut. Ternyata rambutku juga penuh
semut. "Ohhh." Sambil mengerang tertahan, aku menepis semut-semut yang menempel di
rambutku. Semut-semut besar berjatuhan bagaikan
hujan di sekelilingku. Aduh, begitu banyak semut. Dan semuanya begitu besar.
Aku jatuh berlutut sambil menepuk-nepuk dada dan tengkuk.
Lalu aku berguling-guling di rumput yang masih basah karena embun pagi.
Aku terus berguling sambil menepuk-nepuk badanku. Aku tidak
peduli bajuku basah kuyup. Masa bodoh! Yang penting aku bisa
terbebas dari semut-semut itu. Sambil kalang-kabut kutarik
segenggam dari rambutku, dan kucampakkan ke tengah semak-semak.
Aku kembali berdiri. Aku menggeliat-geliut untuk mengusir
semut-semut yang merayap di tubuhku.
Tapi jumlahnya terlalu banyak. Kulitku gatal sekali, hampir tak
tertahankan. Saking gatalnya, aku nyaris tak bisa bernapas. Aduh! aku
berseru dalam hati. Aku tidak mau mati konyol!
"Kah-lee-ah!" aku menjerit sambil menggeliat-geliut dan menepuk-nepuk.
Di luar dugaanku, semuat-semut besar itu langsung berjatuhan
dari tubuhku. "Kah-lee-ah!" aku berseru sekali lagi.
Semakin banyak semut yang jatuh. Dari rambutku, dari
keningku, dari bajuku. Aku terbengong-bengong. Semut-semut merah itu kabur ke
segala arah, saling menginjak dan mendului, lalu menghilang di
rumput yang tinggi. Aku menggosok-gosok tengkuk. Aku menggaruk-garuk leher.
Seluruh tubuhku masih gatal-gatal. Tapi semut-semut itu sudah
lenyap. Semuanya berlompatan ketika aku menyerukan mantraku.
Mantra. Aku memandang ke kantong T-shirt. Kedua pasang mata kepala
mungil di dalamnya tampak bersinar, memancarkan cahaya berwarna
kuning cerah. "Hei!" Cepat-cepat kukeluarkan kepala itu.
"Kah-lee-ah!" aku berseru.
Matanya bertambah terang.
Mantraku. Dari mana kata itu berasal" Aku tidak tahu. Tadinya kukira kata
itu cuma karanganku saja.
Tapi tiba-tiba kusadari bahwa kata itulah kunci di balik Jungle
Magic. Kata itu - dan kepala terpenggal yang kudapat dari Carolyn.
Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi ternyata kata itu
mengaktifkan kekuatan gaib yang ada dalam diriku. Ketika aku
menyerukan kata itu, semua semut langsung melompat dan kabur.
Aku mengamati kepala yang bersinar-sinar di tanganku.
Jantungku berdegup kencang. Aku memusatkan pikiran pada kepala
itu. Ternyata aku punya kekuatan gaib.
Dr. Hawlings dan Carolyn benar.
Aku tak pernah menyadarinya, tapi aku benar-benar punya
kekuatan gaib. Dan Kah-lee-ah adalah kunci untuk memanggilnya.
Berkat kekuatan gaibku aku berhasil mengusir semut-semut
merah itu. Tapi apakah aku bakal berhasil menemukan Aunt Benna"
"Yes!" aku berseru keras-keras. "Yes!"
Aku tak takut lagi menghadapi hutan dan makhluk-makhluk
yang tinggal di dalamnya. Aku tak takut lagi menghadapi apa pun di rimba
belantara yang panas dan pengap ini.
Aku punya kekuatan gaib. Aku punya Jungle Magic - dan aku sudah tahu cara
menggunakannya. Sekarang aku harus mencari bibiku.
Matahari pagi mulai muncul di atas pohon-pohon. Warnanya
masih merah. Tapi udara sudah terasa panas dan lembap. Burung-
burung berkicau di dahan-dahan pohon, jauh di atasku.
Dengan senter di tangan kanan dan kepala jimatku di tangan
kiri, aku mulai berjalan ke arah matahari yang baru terbit.
Ke timur, kataku dalam hati. Matahari terbit di timur.
Apakah ini arah yang benar untuk mencari bibiku"
Ya. Aku yakin arahnya benar. Aku akan dibimbing oleh
kekuatan gaibku, aku berkata dalam hati. Aku tinggal mengikutinya, dan aku akan
dibawa ke tempat persembunyian Aunt Benna.
Aku berlari melewati tumbuhan rambat dan semak-semak. Aku
menerobos di bawah dahan-dahan yang menggantung rendah. Daun-
daun pakis yang menghalangi jalan, kuterjang tanpa pikir panjang.
Matahari menyinari wajahku ketika aku melintasi padang
terbuka dengan tanah berpasir. Keringat menetes dari keningku.
"Hei - " seruku ketika aku tergelincir di pasir yang empuk.
Kakiku terperosok. Aku kehilangan keseimbangan.
Serta-merta aku mengangkat tangan. Senter dan kepala jimatku
terlepas, jatuh ke pasir.
"Hei - !" Aku mulai tenggelam. Pasirnya naik melewati mata kakiku. Melewati betisku.
Aku menendang-nendang. Tanganku melambai-lambai.
Aku mengangkat lututku. Berusaha keluar dari pasir isap.
Tapi aku malah semakin tenggelam.
Pasirnya sudah sampai di pinggangku.
Semakin keras aku berusaha membebaskan diri, semakin cepat
aku tenggelam. Semakin dalam, semakin dalam. Tersedot oleh pasir isap.
Chapter 17 KAKIKU tak bisa kugerakkan, terjebak di tengah pasir yang
panas dan lembap. Pasirnya merayap melewati pinggangku.
Aku akan tenggelam. Tubuhku bakal terus tersedot sampai
kepalaku terbenam, dan aku akan lenyap untuk selama-lamanya.
Teman-temanku, Eric dan Joel, selalu ngotot bahwa pasir isap
sebenarnya tidak ada. Hah, coba kalau mereka ada di sini sekarang.
Aku bisa membuktikan bahwa mereka keliru!
Aku membuka mulut untuk berteriak minta tolong. Tapi saking
paniknya, suaraku seakan-akan tersangkut di tenggorokan Aku cuma
bisa bergumam-gumam tak jelas.
Ah, apa gunanya berteriak-teriak" tanyaku dalam hati.
Di sekitar sini tak ada siapa-siapa. Tak ada yang bisa
mendengar teriakanku. Semakin dalam aku terbenam, semakin keras pula cengkeraman
pasir yang mengisapku ke bawah. Aku mengulurkan kedua tangan ke
atas kepala. Tanganku menggapai-gapai, seolah-olah ingin meraih
sesuatu. Aku berusaha menggerakkan kaki. Aku berusaha mengayuh-
ngayuh, seperti menggenjot sepeda.
Tapi cengkeraman pasirnya terlalu keras. Aku sudah terbenam
terlalu dalam. Dadaku terasa sesak karena panik. Mulutku megap-megap
untuk menarik napas.

Goosebumps - Rahasia Kepala Terpenggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekali lagi aku mencoba berteriak minta tolong. Tapi tiba-tiba
aku dapat ide. "Kah-lee-ah!" aku berteriak dengan suara melengking tinggi karena ngeri.
"Kah-lee-ah! Kah-lee-ah!"
Tidak ada reaksi apa pun.
Chapter 18 "KAH-LEE-AH! Kah-lee-ah!"
Kata itu kuteriakkan dengan sekuat tenaga.
Tapi sia-sia. Aku malah semakin tenggelam dalam pasir yang
lengket bagaikan lumpur. "Kah-lee-ah!" Tetap tidak terjadi apa-apa.
Aku melambai-lambaikan tangan di atas kepala. Menatap langit
yang biru pucat. Menatap pohon-pohon di tepi padang terbuka.
Sejauh mata memandang tak ada apa-apa selain pepohonan.
"Oh!" Sekonyong-konyong aku sadar kenapa mantraku tidak bekerja. Aku tidak
memegang jimatku. Kepala itu terlepas dari
tanganku ketika aku terperosok ke pasir isap.
Mana jimatku" Mana"
Jangan-jangan sudah terisap pasir"
Dengan panik aku memandang ke segala arah, mengamati
permukaan berwarna kuning kecokelatan di sekelilingku. Gelembung-
gelembung udara bermunculan di sana-sini, lalu pecah dengan suara pok-pok-pok.
Mirip sup kental yang sedang dipanaskan di atas
kompor. Aku terbenam lebih dalam lagi.
Tiba-tiba aku melihat jimatku.
Kepala itu terapung di permukaan pasir. Matanya yang hitam
memandang ke langit. Semangatku langsung bangkit. Kujulurkan kedua tanganku,
berusaha meraihnya. Aduh. Terlalu jauh. Masih di luar jangkauan tanganku. Berbeda
beberapa sentimeter saja.
"Uhhh." Aku mengerang-erang sambil berjuang untuk
menggapainya. Tanganku kurentangkan sejauh mungkin. Lalu
kupaksakan maju sedikit lagi. Sedikit lagi.
Aku mencondongkan badan ke depan.
Tanganku menyambar-nyambar. Aku mengerang tertahan.
Tetap tidak berhasil. Aku tidak bisa menjangkau jimatku. Kepala itu tergeletak tiga
puluh senti dari ujung jariku.
Cuma tiga puluh senti, tapi bagiku rasanya seperti satu
kilometer. Tidak bisa. Tidak bisa. Jariku hanya menepis-nepis udara.
Celaka. Aku membiarkan tanganku jatuh ke pasir yang lembap, lalu
mendesah panjang. Aku menyerah. Tak ada lagi yang bisa kulakukan.
Chapter 19 GERAKAN tanganku menimbulkan bunyi depak pada
permukaan pasir. Dan jimatku bergeser sedikit ke arahku.
"Hah?" aku berseru kaget. Jantungku mulai berdegup-degup.
Sekali lagi kupukul permukaan pasir, kali ini dengan kedua
tangan. Jimatku kembali bergeser mendekat.
Pukul lagi. Bergeser lagi.
Jarak antara tanganku dan kepala itu tinggal beberapa
sentimeter sekarang. Aku segera meraihnya, menggenggamnya erat-erat - dan
menyerukan manteraku dengan lantang. "Kah-lee-ah! Kah-lee-ah!"
Mula-mula tidak terjadi apa-apa.
Aku menahan napas. Perasaan panik kembali bangkit dalam
diriku. "Kah-lee-ah! Kah-lee-ah!"
Dalam hati aku berharap bahwa aku akan terbang ke atas.
Terangkat dari pasir isap. Melayang di tanah keras.
"Jungle Magic - tunjukkan kesaktianmu! Mana kesaktianmu?"
aku memekik keras-keras. Tapi aku tidak terangkat sedikit pun. Bahkan semakin terbenam.
Permukaan pasir kini telah sampai di dadaku.
Aku menatap kepala terpenggal di tanganku. Matanya yang
hitam seakan-akan membalas tatapanku.
"Selamatkan aku!" aku berseru. "Kenapa kau tidak
menolongku?" Dan kemudian aku melihat tumbuhan rambat itu.
Tumbuhan berwarna kuning-hijau tampak merayap di
permukaan pasir. Merayap bagaikan ular. Selusin tumbuhan rambat
menggeliat-geliut mendekatiku dari segala arah.
Jantungku berdegup kencang ketika tumbuh-tumbuhan itu
bertambah dekat. Bertambah dekat. Sampai aku berhasil meraih salah satunya
dengan sebelah tangan. Tapi tumbuhan itu melewati tanganku. Gerakannya semakin
cepat. Tumbuhan itu melilit dadaku - dan mulai mengencang.
"Jangan!" aku memprotes. Jangan-jangan aku malah akan mati tercekik.
Ujung tumbuhan lainnya menghilang di bawah permukaan
pasir, lalu melingkar di pinggangku. "Jangan, jangan!" aku meratap-ratap.
Tumbuh-tumbuhan itu mengencang. Kemudian mulai menarik.
Pasir yang lembap mengeluarkan bunyi srot ketika badanku
mulai terangkat. Aku mengangkat jimatku tinggi-tinggi, dan membiarkan diriku
ditarik membelah pasir isap yang mencengkeramku. Tumbuh-
tumbuhan rambat itu menarik dengan keras. Beberapa detik kemudian aku sudah
berlutut di tanah yang keras. Seketika semua tumbuhan
terlepas dari badanku. Semuanya lalu bergerak mundur sampai
menghilang di tengah ilalang.
Aku berjongkok di tepi pasir isap sambil mengatur napasku.
Kemudian aku bangkit. Kakiku gemetaran, seakan-akan tak bertenaga. Seluruh tubuhku
gemetaran. Tapi aku tidak peduli. Rasanya aku ingin melompat-lompat dan
bersorak-sorai. Jungle Magic yang kumiliki ternyata benar-benar
sakti. Sekali lagi aku diselamatkan oleh kekuatan gaibku!
Pasir lembap menempel di celanaku, di bajuku, di lenganku -
bahkan di rambutku! Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk
membersihkan rambutku dari pasir. Jimatku kuselipkan kembali ke
kantong T-shirt-ku. Kemudian kutepis-tepis pasir yang masih
menempel di celana dan bajuku.
Sekarang bagaimana" tanyaku dalam hati. Aku memandang
berkeliling. Matahari telah tinggi di langit. Pohon-pohon, pakis-pakis, dan
alang-alang tampak berkilau-kilau, hijau-keemasan. Udara sudah semakin panas. T-
shirt-ku basah oleh keringat.
Sekarang bagaimana" Bagaimana aku bisa menemukan bibiku"
Aku mengeluarkan jimatku dari kantong dan mengamatinya
dengan saksama. "Tunjukkan jalannya," aku memberi perintah.
Tapi tidak terjadi apa-apa.
Aku menyeka pasir yang menempel di kulitnya yang kering.
Aku mencungkil butir-butir pasir yang melekat di bibirnya yang hitam dan tipis.
Aku berpaling ke arah matahari dan maju beberapa langkah.
Apakah aku masih mengarah ke timur"
Di luar dugaanku, mata jimatku tiba-tiba mulai bersinar.
Apa artinya" Apakah ini suatu tanda bahwa aku semakin dekat
ke tempat Aunt Benna berada" Apakah ini suatu tanda bahwa aku
menuju ke arah yang benar"
Aku memutuskan untuk mengujinya.
Aku berbalik dan berjalan ke arah berlawanan, ke arah pasir
isap. Cahaya yang terpancar dari mata jimatku langsung padam.
Aku membelok dan menuju ke utara.
Kedua mata jimatku tetap gelap.
Aku kembali berpaling ke arah matahari.
Yes! Kedua matanya mulai bersinar lagi. "Kah-lee-ah!" seruku dengan gembira.
Rupanya kepala itu benar-benar menunjukkan jalan
ke tempat bibiku berada. Kudengar lolongan binatang dan suara serangga ketika berjalan
di antara pohon-pohon dan alang-alang. Semua bunyi itu terasa
bagaikan musik di telingaku.
"Auntie, aku datang!" seruku.
Aku semakin jauh memasuki hutan. Aku harus sering-sering
merunduk karena jalanku terhalang dahan-dahan yang menggantung
rendah dan tumbuhan rambat yang membentang dari pohon ke pohon.
Di atasku terdengar suara burung yang aneh-aneh. Sepertinya
burung-burung itu sedang mengobrol. Ketika aku menerobos di bawah sebuah dahan
rendah, seluruh pohon mendadak bergetar. Ribuan
burung berbulu hitam beterbangan sambil berkaok-kaok dengan
sewot. Saking banyaknya, langit sempat menjadi gelap.
Tiba-tiba aku sampai di sebuah lapangan kecil yang membelah
dua. Satu cabang menuju ke kiri, satu lagi ke kanan. Yang mana yang harus
kupilih" Aku mengangkat jimatku dan mengamatinya dengan saksama.
Aku berpaling ke cabang kiri. Seketika mata jimatku meredup.
Rupanya pilihanku salah. Aku berbalik menuju ke kanan. Mata jimatku langsung kembali
bersinar. Apakah bibiku berada di balik pohon-pohon ini"
Apakah aku sudah dekat dengan tempat persembunyiannya"
Tiba-tiba aku sudah berada di luar hutan lagi. Aku berada di
sebuah padang rumput. Sinar matahari yang menyilaukan membuat
mataku berkedip-kedip. Rumput di sekelilingku tampak berkilau-
kilau. Tahu-tahu terdengar suara menggeram dari arah pepohonan, aku langsung
berbalik. "Oh - !" pekikku ketika melihat harimau itu. Aku nyaris
terjatuh karena lututku mendadak lemas.
Harimau itu mengangkat kepalanya, lalu kembali menggeram.
Kemudian ia mengaum keras sambil menyeringai, seakan-akan
hendak memamerkan giginya yang mengerikan. Punggungnya tampak
melengkung, dan bulu-bulu berwarna kuning-cokelat di tengkuknya
berdiri tegak. Sejenak kemudian si raja hutan menyerbu ke arahku.
Chapter 20 LANGKAH harimau itu berdebam-debam. Matanya yang
kuning menyala-nyala seolah-olah membakar mataku.
Aku melihat dua anak macan di belakangnya, setengah
tersembunyi di bayang-bayang pepohonan.
"Aku takkan mengganggu anak-anakmu!" aku hendak berteriak.
Tapi mana sempat" Harimau itu menyerang sambil mengaum keras. Suaranya
mengalahkan suaraku ketika aku mengangkat jimatku dengan tangan
gemetaran. Aku mencoba berseru, "Kah-lee-ah!" Tapi tidak ada suara yang keluar.
Tenggorokanku serasa tercekik.
Lututku menekuk. Aku terduduk di rumput. Hampir saja
jimatku terlepas dari tanganku.
Aku melihat harimau itu bersiap-siap menyergapku. Kakinya
berdebam-debam setiap kali melompat. Tanah di bawahku seakan-
akan bergetar. Lho, tanah di bawahku henar-benar bergetar!
Aku mendengar bunyi krak yang memekakkan telinga.
Bunyinya seperti ikat sepatu dari bahan Velcro yang lagi dibuka.
Cuma seribu kali lebih keras.
Aku memekik ketika tanah yang kududuki terguncang-guncang
dengan hebat. Lalu retak dan membelah. Dengan mata terbelalak aku memperhatikan retakan itu
bertambah lebar. Dan kemudian aku mulai jatuh. Jatuh ke lubang yang tanpa
dasar di perut bumi. Aku menjerit sejadi-jadinya ketika tubuhku melayang menuju
kegelapan pekat yang siap menelanku.
Chapter 21 "ADUUUH!" Aku terempas di dasar lubang. Siku dan lututku terbentur
dengan keras. Nyerinya menjalar ke seluruh tubuhku. Mataku sampai berkunang-
kunang! Ratusan bintang berwarna merah dan kuning
tampak bersinar-sinar di depan mataku.
Aku berkedip-kedip, lalu memaksakan diri untuk berlutut.
Jimatku terlepas dari tanganku. Aku melihatnya tergeletak di
dekatku. Aku segera meraihnya dengan tangan gemetar, dan
menggenggamnya erat-erat.
Kepalaku pening. Aku memejamkan mata dan menunggu
peningnya mereda. Beberapa saat kemudian mataku kubuka lagi, kupandangi
sekitarku. Aku berada di dasar lubang yang dalam. Aku
mendongakkan kepala, dan melihat langit yang biru menyerupai kotak kecil, jauh
di atasku. Sekali lagi aku diselamatkan oleh Jungle Magic. Kekuatan
gaibku telah membelah bumi, sehingga aku bisa jatuh ke tempat yang aman. Dengan
cara itu aku berhasil lolos dari terkaman harimau.
Di atas terdengar suara geraman.
Aku menengadah lalu memekik ketakutan. Di sana kulihat
sepasang mata berwarna kuning menatapku dengan garang.
Harimau itu menggeram lagi dan memperlihatkan taringnya
yang panjang. Ternyata aku belum lolos dari bahaya.
Aku malah terjebak di sini. Kalau harimau itu sampai melompat
ke bawah, maka tamatlah riwayatku.
Aku tidak bisa kabur. Tak ada jalan untuk menyelamatkan diri.
Kusandarkan punggungku ke dinding tanah di belakangku. Aku
terus menatap harimau yang menggeram-geram itu. Binatang buas itu menatapku
dengan lapar, lalu kembali mengaum keras-keras.
Sepertinya dia sedang mengambil ancang-ancang untuk menerkamku.
"Kah-lee-ah!" aku berseru. "Kah-lee-ah!" Harimau itu menanggapi seruanku dengan
mengaum lebih keras lagi.
Aku merapatkan punggung, berusaha menguasai tubuhku yang
gemetar tak terkendali. Jangan turun ke sini! aku memohon-mohon dalam hati. Jangan
turun ke sini! Mata kuning si raja hutan di atas tampak menyala-nyala.
Kumisnya yang keperakan berkedut-kedut ketika makhluk buas itu
menggeram sambil menyeringai.
Dan kemudian aku melihat wajah mungil berwarna kuning-
hitam muncul di tepi lubang. Salah satu anak si harimau. Dia
menatapku penuh rasa ingin tahu.
Anak harimau yang satu lagi muncul di sebelahnya. Dia
mencondongkan badannya ke depan supaya bisa melihat lebih jelas.
Hampir saja dia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke bawah.
Induknya segera bertindak. Dia menundukkan kepalanya - lalu
mendorong anaknya menjauhi lubang. Kemudian anaknya yang satu
lagi diangkat dengan giginya, dibawanya pergi.


Goosebumps - Rahasia Kepala Terpenggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menelan ludah. Tidak berani bergerak. Aku tetap
mendongak sambil berdiri dengan punggung menempel rapat ke
dinding. Kuperhatikan kotak biru di atas. Dan menunggu harimau itu kembali.
Aku menunggu. Dan menunggu. Sambil terus menahan napas.
Suasananya hening. Saking sepinya, aku bisa mendengar alang-
alang berdesir karena tiupan angin.
Sepotong tanah jatuh dari tepi lubang. Aku tetap memandang ke
atas tanpa berkedip. Aku terus menunggu sambil pasang telinga.
Rasanya sudah berjam-jam. Akhirnya aku mengembuskan
napas. Aku maju selangkah dan meregangkan otot-ototku.
Harimau itu tidak kembali lagi, aku menyimpulkan.
Dia cuma ingin melindungi anak-anaknya. Dan sekarang
mereka pasti sudah pindah ke tempat lain. Yang jauh dari sini.
Aku kembali meregangkan badan. Jantungku masih berdegup
kencang. Tapi perasaanku sudah mulai lebih tenang.
Bagaimana caranya keluar dari sini" aku bertanya-tanya. Aku
mengamati dinding-dinding tanah yang hampir tegak lurus. Bisakah
kau memanjat keluar"
Kuselipkan jimatku ke kantong T-shirt. Kemudian
kucengkeram tanah yang dingin dan lembap dengan kedua tangan,
mencoba memanjat. Aku berhasil naik sekitar setengah meter. Tapi kemudian tanah
yang kuinjak mendadak ambrol, dan aku langsung merosot ke dasar
lubang. Gawat. Aku takkan bisa keluar.
Aku mengeluarkan jimatku. Tak ada jalan lain, pikirku. Aku
harus menggunakan Jungle Magic.
Kekuatan gaib yang membuatku terperosok ke sini. Kekuatan
gaib yang juga akan membantuku keluar.
Aku mengangkat kepala itu. Tapi sebelum sempat
mengucapkan mantranya, seluruh lubang menjadi gelap.
Lho, memangnya sudah malam" aku terheran-heran.
Aku menengadah. Hmm, ternyata masih terang. Langit di atasku masih berwarna
biru cerah. Ada sesuatu di atas yang menghalangi sinar matahari.
Harimau tadi" Atau seseorang"
Aku memicingkan mata supaya bisa melihat lebih jelas.
"S-siapa itu?" seruku.
Chapter 22 SEBUAH wajah muncul di tepi lubang, lalu memandang ke
bawah. Sambil tetap memicingkan mata, aku melihat rambut pirang
yang lurus. Dan sepasang mata berwarna biru pucat.
"Kareen!" seruku.
Dia menempelkan tangan bagaikan corong di sekeliling
mulutnya. "Mark - sedang apa kau di bawah situ?"
"Hah?" aku berseru. "Kenapa kau ada di sini?"
Rambutnya jatuh ke depan, menutupi wajahnya. Dia segera
menyibakkannya ke belakang. "Aku - aku mengikutimu. Aku takut
kau kenapa-kenapa di jalan."
"Keluarkan aku dari sini!" seruku. Sekali lagi aku mencoba memanjat. Tapi kakiku
gagal menemukan tempat berpijak yang
kokoh, sehingga merosot terus.
"Bagaimana caranya?" tanya Kareen.
"Kau pasti lupa bawa tangga ya!" aku berseru.
"Mana mungkin aku bawa tangga!" dia membalas dengan ketus.
Kelihatannya dia memang tidak bisa diajak bercanda.
"Barangkali aku bisa melemparkan tali atau sebangsanya,"
usulnya kemudian. "Mana ada tali di tengah-tengah hutan?" aku mengingatkannya.
Dia menggelengkan kepala. Wajahnya tampak cemberut.
"Bagaimana dengan tumbuhan rambat?" aku kembali berseru.
"Coba cari tumbuhan rambat yang panjang. Aku pasti bisa memanjat keluar kalau
ada yang dijadikan pegangan."
Tampangnya langsung cerah lagi. Dia menghilang. Aku
menunggu dengan gelisah. "Cepat dong," aku bergumam sambil memandang ke atas.
"Kok lama benar sih?"
Aku mendengar burung-burung bercuit-cuit di atas. Lalu
terdengar suara sayap dikepak-kepak.
Sepertinya burung-burung itu ketakutan, aku berkata dalam
hati. Tapi kenapa" Wah, jangan-jangan harimau tadi kembali lagi.
Aku merapatkan punggung ke dinding tanah, terus memandang
ke atas. Akhirnya Kareen muncul lagi. "Aku sudah menemukan
tumbuhan rambat. Tapi aku tidak tahu cukup panjang atau tidak."
"Turunkan saja," ujarku. "Cepat. Aku harus keluar dari sini.
Aku merasa seperti binatang yang terperangkap."
"Aku harus menarik setengah mati untuk mencabutnya dari
tanah," Kareen menggerutu. Dia mulai menurunkan tumbuhan rambat itu. Sepintas
lalu kelihatan seperti ular yang meliuk-liuk
menghampiriku. Tumbuhan rambat itu turun sampai sekitar satu meter di atas
kepalaku. "Aku akan melompat dan berusaha meraihnya," kataku pada Kareen. "Habis
itu aku akan berusaha memanjat sementara kau
menarik. Lilitkan ujungnya yang satu lagi ke pinggangmu, oke" Hati-hati, jangan
sampai terlepas!" "Pokoknya, jangan seret aku ke bawah!" dia menyahut.
Aku menunggu sampai dia selesai mengikat ujung tumbuhan itu
di pinggangnya. Kemudian aku mengambil ancang-ancang dan
melompat. Tapi lompatanku kurang tinggi beberapa sentimeter.
Dalam keadaan seperti ini aku selalu menyesal bahwa aku
pendek dan gendut, bukannya jangkung.
Aku harus melompat tiga kali sebelum berhasil meraih ujung
tumbuhan rambat itu. Langsung saja aku menggenggamnya dengan
kedua tangan. Kemudian aku menempelkan telapak sepatuku ke dinding
tanah. Aku mulai menarik diriku ke atas sambil melangkah pelan-
pelan, bagaikan pendaki gunung.
Tanah yang kuinjak selalu ambrol. Dan tumbuhan rambat yang
kugenggam pun bertambah licin karena telapak tanganku mulai
berkeringat. Tapi Kareen terus memberi semangat padaku, sehingga
aku pun pantang menyerah.
Dengan susah payah aku berhasil sampai di atas.
Aku langsung menjatuhkan diri di rumput, dan menghirup
aromanya yang segar. Aku senang sekali karena berhasil keluar dari lubang yang
dalam itu. "Bagaimana kau bisa terperosok ke situ?" tanya Kareen sambil melepaskan tumbuhan
rambat yang masih melilit di pinggangnya.
"Ah, gampang sekali," jawabku. Aku berdiri dan menepis-nepis tanah merah yang
menempel di pakaianku. "Kau tidak lihat lubang itu?" desaknya.
Aku menggelengkan kepala. "Bagaimana kau bisa
menemukanku di sini?" aku bertanya untuk mengalihkan
pembicaraan. "Kenapa kau ada di sini, Kareen?"
Dia menatapku dengan matanya yang biru. "Aku cemas
memikirkan keselamatanmu. Tidak seharusnya aku membiarkanmu
masuk hutan seorang diri. Jadi aku menyusulmu, diam-diam, waktu
ayahku sedang sibuk di lab. Aku menyelinap keluar dari markas, dan mengikutimu
kemari." Aku membersihkan tanah dari rambutku. "Hmm, untung saja,"
ujarku. "Tapi kau bakal dapat masalah dengan ayahmu dan Carolyn -
ya, kan?" Kareen menggigit b ibir. "Kemungkinan sih. Tapi tidak apa-
apa - yang penting kita harus menemukan bibimu."
Aunt Benna! Saking paniknya menghadapi jebakan pasir isap dan serangan
harimau tadi, aku nyaris melupalam Aunt Benna!
Sebuah bayangan menyelubungi kami. Udara mendadak terasa
lebih sejuk. Aku menoleh ke langit. Matahari mulai menghilang di
balik pepohonan. "Sebentar lagi malam tiba," ujarku. "Moga-moga kita bisa
menemukan Auntie sebelum gelap."
Aku sudah satu malam tidur di tengah hutan. Dan aku tidak
berminat mengulangi pengalaman itu.
"Kau tahu ke mana kita harus berjalan?" tanya Kareen. "Atau kau cuma berputar-
putar tanpa tujuan dan mengandalkan
keberuntungan?" ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
"Enak saja," sahutku. Serta-merta kukeluarkan jimatku dari kantong. "Dia yang
menunjukkan jalannya."
"Hah?" Kareen tampak terheran-heran.
"Matanya bersinar kalau aku berjalan ke arah yang tepat," aku menjelaskan.
"Paling tidak, begitulah kesimpulanku."
Kareen membelalakkan mata. "Maksudmu, kau benar-benar
punya Jungle Magic?"
Aku mengangguk. "Yeah. Ternyata aku memang punya
kekuatan gaib. Aneh lho. Ada satu kata yang dari dulu sering
kuucapkan. 'Kah-lee-ah.' Aku sendiri tidak tahu apa artinya. Tadinya aku pikir
kata itu cuma karanganku saja. Tapi rupanya itulah mantera untuk mengaktifkan
Jungle Magic." "Wow!" seru Kareen. Dia mengembangkan senyum. "Ini berita bagus, Mark! Ini
berarti kita bisa menemukan Benna. Wah, aku
senang sekali." Bayang-bayang di tanah bertambah panjang saat matahari
semakin rendah. Tubuhku menggigil ketika kami diterpa embusan
angin dingin. Perutku keroncongan. Aku sudah lupa kapan aku terakhir
makan. Aku berusaha mengalihkan pikiranku dari makanan. Tugasku
belum selesai. "Ayo, kita jalan lagi," ujarku. Aku mengangkat jimatku dan mengamatinya.
Kemudian aku berputar di tempat, pelan-pelan, sampai mata jimatku mulai
bersinar. "Lewat sini!" aku berseru sambil menunjuk ke arah pepohonan di
seberang padang rumput. Kareen dan aku berjalan berdampingan. Alang-alang di
sekeliling kami berdesir-desir dan menyerempet kaki kami setiap kali kami
melangkah. Ratusan serangga berderik-derik di pohon-pohon.
Kareen terus menatap mata jimatku yang bersinar-sinar. "Kau
yakin kepala itu bakal mengantar kita ke tempat Benna?"
"Lihat saja nanti," sahutku.
Kami memasuki daerah bayang-bayang di bawah pepohonan
yang rimbun. Chapter 23 SEMENTARA cahaya matahari semakin redup, suara-suara
yang terdengar di sekitar kami pun berubah. Kawanan burung di
pohon-pohon berhenti berkicau. Suara serangga d i sekeliling kami bertambah
nyaring. Di kejauhan terdengar bermacam-macam suara
binatang yang aneh-aneh. Mudah-mudahan saja semua binatang itu tetap jauh dari kami!
Samar-samar aku melihat berbagai makhluk menyelinap di
antara rumpun-rumpun pakis. Semak belukar tampak bergoyang-
goyang setiap kali ada binatang yang melintas.
Aku mendengar ular mendesis-desis. Lalu suara burung hantu
yang menyeramkan. Juga kepak sayap kelelawar.
Aku berjalan sambil merapat ke Kareen. Suara-suara itu jauh
lebih realistis daripada suara-suara dalam game Jungle King di
komputerku! Rasanya aku takkan pernah lagi memainkannya setelah ini,
ujarku dalam hati. Habis, game itu tidak ada apa-apanya dibandingkan
pengalamanku di sini. Kami menerobos ilalang yang tumbuh tinggi. Mata jimatku
meredup sampai akhirnya sama sekali tak bercahaya.
"Kita salah jalan," bisikku.
Kareen dan aku berputar sampai mata jimatku kembali bersinar.
Kemudian kami maju lagi, melangkahi tumbuhan rambat sebesar
lengan orang, dan menembus semak belukar yang saling mengait.
"Aduh!" Kareen menepuk keningnya. "Nyamuk brengsek."
Semakin banyak serangga yang beterbangan di sekitar kami.
Bunyi denging yang terdengar mengalahkan suara langkah kami.
Keadaan semakin gelap, dan cahaya yang terpancar dari mata
jimatku seakan-akan bertambah terang. Cahaya itu menerangi jalan
kami bagaikan sepasang senter.
"Capek juga ya," Kareen mengeluh. Dia merunduk untuk
menghindari dahan pohon yang menggantung rendah. "Mudah-
mudahan kita sudah dekat ke tempat persembunyian bibimu. Kakiku
sudah mulai tidak kuat jalan."
"Ya, mudah-mudahan saja," aku bergumam. Aku sendiri sudah capek sekali!
Sambil berjalan, aku terus memikirkan bibiku dan buku
catatannya. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaan Kareen, tapi harus berterus
terang padanya. "Bibiku menuliskan hal-hal yang kurang menyenangkan tentang
ayahmu dan Carolyn dalam notesnya," ujarku sambil memandang ke bawah karena
tidak berani menatap mata Kareen. "Aku kaget sekali waktu membacanya."
Kareen terdiam sejenak. "Sayang," dia lalu berkata. "Padahal mereka sudah lama
bekerja sama. Mereka memang sempat
bertengkar." "Tentang apa?" tanyaku.
Kareen menarik napas panjang. "Ayahku punya rencana untuk
memanfaatkan hutan ini. Dia yakin daerah ini kaya akan mineral-
mineral berharga. Tapi Benna berpendapat bahwa hutan ini
seharusnya dilestarikan."
Sekali lagi dia menghela napas. "Aku rasa itulah sumber
perselisihan mereka. Tapi aku tidak yakin."
"Setelah membaca catatan bibiku, aku mendapat kesan bahwa
ayahmu semacam penjahat," gumamku sambil menghindari tatapan mata Kareen.
"Penjahat" Ayahku?" dia berseru. "Tidak mungkin. Dia memang keras kepala, tapi
dia bukan penjahat. Aku tahu ayahku
sangat mencemaskan Benna. Dia kuatir bahwa - "
"Hei!" Aku memotong ucapan Kareen dan meraih lengannya.
"Lihat tuh!" ujarku sambil menunjuk ke depan.
Di hadapan kami ada sebuah lapangan terbuka. Dan samar-
samar terlihat bayangan hitam sebuah gubuk kecil.
Kareen menahan napas. "Rumah mungil itu. Barangkali - ?"
Kami menyusup sampai ke tepi lapangan. Sesuatu melintasi
sepatuku, tapi aku tidak memperhatikannya.
Pandanganku tertuju pada gubuk yang kecil dan gelap itu.
Setelah dekat, aku melihat bahwa gubuk itu terbuat dari dahan-
dahan dan ranting-ranting. Atapnya berupa daun-daun lebar. Tak ada jendela sama
sekali. Tapi di sana-sini terdapat celah sempit di antara dahan-dahan.
"Hei - !" aku berbisik. Aku melihat cahaya redup berkerlap-kerlip di salah satu
celah. Cahaya senter" Cahaya lilin"
"Ada orang di dalam," Kareen berbisik padaku. Dia mengamati gubuk itu sambil
memicingkan mata. Aku mendengar seseorang
terbatuk-batuk. Seorang wanita" Auntie" Entahlah.
"Barangkali itu bibimu," bisik Kareen sambil berlutut di sampingku.
"Hanya ada satu cara untuk memastikannya," sahutku.
Jimatku menyala terang di tanganku. Cahaya kuning kehijauan
itu menerangi tanah ketika Kareen dan aku mendekat tanpa bersuara.
"Aunt Benna?" panggilku dengan suara tertahan. Aku
berdeham. Jantungku berdegup kencang. "Auntie?"


Goosebumps - Rahasia Kepala Terpenggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Chapter 24 AKU memanggil sekali lagi, lalu menghampiri pintu gubuk
yang terbuka. Dari dalam terdengar bunyi benturan. Aku melihat
pancaran cahaya. Dan mendengar seseorang memekik kaget.
Sebuah lentera muncul di pintu. Mataku menatap cahaya yang
kuning pucat itu. Lalu beralih kepada wanita yang memegang lentera.
Dia pendek - pendek sekali. Paling-paling sejengkal lebih
tinggi dari aku, dan agak gemuk. Rambutnya hitam dan lurus, diikat ke belakang.
Dalam cahaya lentera, kulihat dia mengenakan celana
dan jaket tentara. "Siapa itu?" Dia mengangkat lenteranya tinggi-tinggi.
"Aunt Benna?" aku memanggil sambil mendekat. "Auntie?"
"Mark" Ya ampun!" dia berseru. Serta-merta dia berlari
menghampiriku. Lenteranya berayun-ayun di sisinya. Cahayanya
menerangi alang-alang yang tinggi, menghasilkan bayangan yang
menari-nari. Dia langsung memelukku. "Mark - bagaimana kau berhasil
menemukanku" Dan kenapa kau ada di sini?" Suaranya melengking, dan dia bicara
cepat sekali, nyaris tak terputus.
Dia mendorongku sedikit menjauh untuk mengamati wajahku.
"Astaga, aku hampir tidak mengenalimu. Terakhir kali kita ketemu, kau masih
empat tahun!" "Auntie - kenapa Auntie bersembunyi di tengah hutan?"
tanyaku. "Semua orang begitu cemas - "
"Bagaimana kau bisa sampai ke Baladora?" selanya sambil menggenggam pundakku
dengan sebelah tangan. Lenteranya kembali
diangkat tinggi-tinggi. "Kenapa kau ada di sini" Bagaimana kau bisa sampai di
sini?" dia berseru sekali lagi.
"A-aku menggunakan Jungle Magic," jawabku tergagap-gagap.
Dia membelalakkan mata. Karena kaget" Atau karena ngeri"
Tiba-tiba aku sadar bahwa bukan aku yang diperhatikannya.
"Halo. Siapa kau?" Bibiku bertanya pelan-pelan. Dia mengarahkan lenteranya ke
pepohonan. Kareen muncul di tepi lapangan terbuka. Tadi, saking
tegangnya, aku tidak sadar bahwa dia tertinggal di belakangku.
"Itu Kareen," aku berkata pada bibiku. "Aunt kenal Kareen, bukan" Anaknya Dr.
Hawlings?" Bibiku menahan napas. Dia meremas pundakku. "Kenapa kau
mengajaknya kemari" Apakah kau tidak sadar bahwa - "
"Tenang saja," Kareen memotong. "Aku cuma kuatir. Karena itulah aku mengikuti
Mark." "Dia membantuku," aku menjelaskan kepada Auntie. "Kareen membantuku kabur dari
markas. Dari Dr. Hawlings dan Carolyn. Dia
juga membantuku menerobos hutan."
"Tapi - tapi - " Aunt Benna hendak memprotes. "Dia tahu soal Jungle Magic?"
"Aku cuma mau menolong!" Karen berkeras. "Ayahku juga cemas. Dia - "
"Ayahmu mau membunuhku! " Auntie berseru dengan gusar.
"Karena itulah aku terpaksa melarikan diri. Karena itulah aku terpaksa
meninggalkan segala sesuatu dan bersembunyi di tengah hutan." Dia memelototi
Kareen sambil memicingkan mata. Roman mukanya
tampak keras dalam cahaya lentera yang berwarna kuning.
"Auntie tidak perlu kuatir," aku berusaha meyakinkannya. "Dia betul-betul ingin
membantu." Bibiku berpaling padaku. "Carolyn dan Hawlings yang
membawamu ke sini?" Aku mengangguk. "Ya. Untuk mencari Auntie. Dan Carolyn
membawakan ini untukku." Kukeluarkan jimatku dari kantong T-shirt.
Matanya tak lagi bersinar.
"Mereka memberitahu bahwa aku punya kekuatan gaib," aku melanjutkan. "Mula-mula
aku tidak tahu apa yang mereka maksud.
Kupikir mereka tidak waras. Tapi kemudian, waktu aku mencari
Auntie di hutan, aku sadar bahwa aku memang punya kekuatan gaib."
Bibiku mengangguk. "Ya. Kau memang punya, Mark. Aku
memberikannya padamu waktu aku mengunjungi kalian. Waktu itu
kau berumur empat tahun. Kau kuhipnotis. Lalu kupindahkan Jungle
Magic dari diriku ke dirimu. Supaya tetap aman."
"Ya. Aku sudah membaca catatan Auntie," sahutku. "Aku sudah tahu kenapa kau
memberikan kekuatan gaib itu padaku. Tapi di situ tidak dibilang apa Jungle
Magic sesungguhnya. Aku cuma tahu
bahwa - " "Jungle Magic adalah kekuatan gaib yang sangat sakti," dia memotong sambil
merendahkan suaranya. "Kekuatan gaib itu akan menjalankan segala perintahmu,
segala keinginanmu."
Matanya meredup karena sedih. "Tapi sekarang kita tidak punya waktu untuk
membicarakannya," dia berbisik. "Kita terancam bahaya, Mark. Bahaya besar."
Aku hendak mengatakan sesuatu. Tapi tiba-tiba terdengar suara
berderak-derak dari pepohonan. Suara langkah"
Kami bertiga menoleh ke arah suara itu.
Di luar dugaanku, Kareen langsung berlari. Dia menempelkan
tangan di sekeliling mulut. "Sebelah sini, Dad!" serunya. "Sebelah sini! Aku
menemukan Benna, Dad! Cepat!"
Chapter 25 AKU memekik tertahan. Tak ada waktu untuk kabur.
Seberkas sinar menyorot keluar dari pepohonan. Lalu muncul
Dr. Hawlings, yang berjalan menerabas rumput-rumput tinggi.
Sebelah tangannya memegang senter. Sejenak cahaya senternya
mengarah ke mataku, kemudian beralih pada Aunt Benna.
Apakah Dr. Hawlings membawa pistol" Atau senjata lainnya"
Entahlah, aku tidak bisa memastikannya. Dan aku memang tidak ingin tahu.
Aku meraih lengan Aunt Benna dan menariknya keras-keras.
Aku ingin lari, kabur ke hutan.
Tapi bibiku tidak beranjak dari tempatnya. Saking kagetnya,
mungkin juga saking takutnya, dia berdiri seperti patung.
Ayah Kareen menghampiri kami. Napasnya terengah-engah.
Dalam cahaya yang redup pun aku bisa melihat senyum puas yang
terukir di wajahnya. "Bagus, Kareen," dia berkata sambil menepuk pundak anaknya.
"Rencana kita ternyata berhasil. Kau pura-pura membantu Mark melarikan diri, dan
dia membawa kita langsung ke tempat
persembunyian bibinya."
Aku langsung memelototi Kareen dengan geram. Dia telah
memperdayai aku. Dia berlagak jadi temanku. Padahal dia justru
membantu ayahnya. Sejenak Kareen membalas tatapanku. Kemudian dia
menundukkan wajahnya. "Teganya kau menipuku," aku berkata. "Kenapa kau
melakukannya, Kareen?"
Dia kembali menatapku. "Ayahku butuh Jungle Magic," dia menyahut.
"Tapi kau bohong padaku!" aku berseru.
"Habis, bagaimana lagi?" ujar Kareen. "Coba kalau ayahmu yang butuh bantuan. Kau
pasti juga akan membantunya - ya, kan?"
"Kau bertindak benar," Dr. Hawlings berkata padanya.
Dia mengarahkan senternya ke wajah Aunt Benna, sehingga
bibiku terpaksa melindungi matanya dengan sebelah tangan. "Kaupikir kau bisa
bersembunyi terus, Benna?" Dr. Hawlings bertanya pelan-pelan.
"A-aku minta maaf," aku berkata pada bibiku. "Ini salahku.
Gara-gara aku - " "Bukan." Aunt Benna menggenggam pundakku. "Ini bukan salahmu, Mark. Akulah yang
salah. Kau tidak tahu apa-apa mengenai urusan ini. Aku telah menyeretmu ke dalam
kesulitan." Dr. Hawlings terkekeh-kekeh. "Ya, kalian memang sedang
menghadapi kesulitan. Kesulitan besar." Dia menghampiri bibiku.
"Aku perlu tahu rahasia Jungle Magic. Apa rahasianya, Benna" Aku perlu tahu
bagaimana cara kerjanya. Ceritakan semuanya, Benna, dan kau dan keponakanmu akan
kubiarkan pergi dalam keadaan utuh."
Dalam keadaan utuh" Sementara Dr. Hawlings menatap Aunt Benna, aku
mengeluarkan jimatku dari kantong T-shirt. Sudah waktunya memakai kekuatan gaib,
aku berkata dalam hati. Aku akan memakai kekuatanku untuk membebaskan kami dari
situasi ini. Perlahan-lahan kuangkat kepala itu ke depan wajahku. Aku
mulai membuka mulut untuk mengucapkan mantranya.
Tapi aku segera berhenti ketika menyadari bahwa Auntie
melirikku. Dia memberi isyarat dengan matanya. Isyaratnya adalah
"Jangan!" "Ada apa ini?" Dr. Hawlings bertanya dengan gusar. Dia
berpaling padaku. "Sedang apa kau?"
"Jangan beritahu dia, Mark," Aunt Benna memohon. "Jangan sampai dia tahu
mantranya." Kuturunkan jimatku. "Oke," bisikku.
"Tenang saja, Dad," Kareen berkata sambil menatapku. "Aku sudah tahu mantranya.
Mark yang memberitahu aku. Kata rahasia itu adalah - "
Chapter 26 CEPAT-CEPAT aku membekap mulut Kareen. "Lari!" aku
berteriak pada bibiku. "Cepat, lari!"
Aunt Benna menunduk, dan sambil mendengus dia menerjang
Dr. Hawlings. Bibiku menghantamnya bagaikan pemain football, dan
membuat ilmuwan itu terpental sampai menabrak gubuk.
Dr. Hawlings memekik kaget. Senter di tangannya terlepas dan
jatuh ke tanah. Aku melepaskan Kareen, lalu menyusul bibiku.
Langkah kami berdebam-debam ketika kami menerobos ilalang
untuk mencapai pepohonan.
Kami sudah hampir sampai di batas hutan, ketika Carolyn tiba-
tiba menghadang kami. "Mau ke mana buru-buru?" dia berseru sambil menghalangi
jalan. "Pestanya baru mulai kok."
Aunt Benna dan aku berbalik. Dr. Hawlings telah berdiri di
belakang kami. Kami terperangkap.
Carolyn mengangkat senternya. Dia menatap bibiku sambil
memicingkan matanya yang keperakan, dan mengembangkan
senyumnya. Senyum yang dingin dan tidak menyenangkan. "Apa
kabar, Benna" Ke mana saja kau" Kami sudah kangen."
"Sudah, jangan banyak omong," Dr. Hawlings bergumam
sambil menggerak-gerakkan senternya. "Sekarang sudah terlalu gelap untuk kembali
ke markas. Kita terpaksa bermalam di sini."
"Wah, kita akan berkemah," kata Carolyn. Dia masih juga menatap Aunt Benna
sambil tersenyum dingin. Aunt Benna merengut, lalu membuang muka. "Carolyn, kupikir
kau temanku." "Kita semua berteman baik," ujar Dr. Hawlings. "Dan teman baik tak pernah
merahasiakan apa pun. Karena itulah kau akan
menceritakan rahasia Jungle Magic, Benna."
"Tidak akan!" bibiku berkata dengan tegas sambil
menyilangkan tangan di depan dada.
"Wah, wah, wah. Kau tidak boleh bersikap begitu terhadap
teman baikmu," Dr. Hawlings berkomentar "Besok pagi kita akan kembali ke markas.
Dan setelah sampai di sana, kau akan
menceritakan semuanya, Benna. Kau akan membeberkan semua
rahasiamu. Dan kau akan menyerahkan Jungle Magic kepada Carolyn
dan aku." "Kita kan teman," Carolyn menambahkan.
"Ayo," kata Dr. Hawlings. Dia menggenggam pundakku dan
menggiringku ke arah gubuk di tengah lapangan. Kareen sedang
duduk sambil bersandar ke dinding. Kerah bajunya dinaikkan.
"Kau dan Benna - masuk," Dr. Hawlings menyuruh kami. Dia
mendorongku dengan kasar. "Awas, kalau kalian berani macam-
macam." "Kau cuma buang-buang waktu, Richard," bibiku berkata
padanya. Dia berusaha memberi kesan tegar, tapi suaranya gemetar.
Dr. Hawlings memaksa kami memasuki gubuk yang gelap.
Aunt Benna dan aku duduk di lantai tanah. Melalui celah-celah di
dinding, aku melihat cahaya senter mereka berkerlap-kerlip.
"Apakah mereka akan berjaga sepanjang malam?" bisikku.
Bibiku mengangguk. "Kita sudah jadi tawanan mereka,"
sahutnya. Dia mendesah. "Tapi kita tidak boleh membiarkan Jungle Magic jatuh ke
tangan mereka. Itu tidak boleh terjadi!"
Aku bergeser mendekati bibiku. "Kalau rahasianya tidak kita
berikan," ujarku pelan-pelan, "apa yang akan mereka lakukan pada kita?"
Bibiku tidak menjawab. "Apa yang akan mereka lakukan pada kita?" Aunt Benna
menundukkan kepalanya dan diam seribu bahasa.
Chapter 27 PAGI-PAGI sekali, saat matahari masih merah di ufuk timur,
Dr. Hawlings sudah menyembulkan kepalanya ke dalam gubuk dan
membangunkan kami. Aku cuma sempat tidur beberapa menit saja. Kami tidur
beralaskan tanah, dan tanahnya keras sekali.
Setiap kali memejamkan mata, aku memimpikan kepala
terpenggal di kantong T-shirt-ku. Aku bermimpi aku
menggenggamnya di tanganku. Matanya berkedip-kedip dan bibirnya
bergerak perlahan. "Kau bakal celaka!" dia berbisik dengan suaranya yang serak.
"Kau bakal celaka. Celaka. Celaka."
Aunt Benna dan aku keluar dari gubuk. Kami meregangkan otot
dan menguap lebar. Meskipun matahari masih rendah di langit, udara sudah terasa
panas dan lembap. Badanku pegal-pegal karena berbaring di tanah yang keras.
Bajuku lembap dan berbau apak. Perutku keroncongan. Aku
menggaruk tengkukku, yang ternyata berbentol-bentol digigiti
nyamuk. Bukan pagi yang menyenangkan.
Dan acara selanjutnya pun tidak lebih baik.
Selama berjam-jam kami berjalan menembus hutan yang
pengapnya minta ampun. Carolyn dan Kareen paling depan. Dr.
Hawlings berjalan di belakang bibiku dan aku, mengawasi kami.
Semuanya membisu. Bunyi yang terdengar hanyalah teriakan
berbagai binatang, kicau burung di atas, serta desir rumput dan ilalang yang
kami terobos. Kawanan serangga kecil berwarna putih beterbangan ketika
kami lewat. Sinar matahari menembus di sela-sela atap dedaunan,
membakar tengkukku. Ketika kami akhirnya tiba di deretan pondok, aku bukan saja
bermandikan keringat, tapi juga lapar dan haus setengah mati.
Dr. Hawlings menggiring Aunt Benna dan aku ke pondok
kosong. Kemudian dia membanting pintu dan mengunci kami di
dalamnya. Pondok itu berisi dua kursi lipat dan sebuah tempat tidur kecil
tanpa seprai maupun selimut. Dengan letih aku menjatuhkan diri ke kasur. "Apa
yang akan mereka lakukan pada kita?"
Bibiku menggigit bibir. "Jangan kuatir," katanya dengan lembut. "Aku akan
mencari akal." Dia melintasi ruangan kecil itu, mencoba membuka jendela. Tapi
jendelanya tidak bisa dibuka, entah karena macet atau karena digerendel dari
luar. "Mungkin kita bisa memecahkan kacanya," aku mengusulkan.
"Jangan, bunyinya pasti kedengaran," sahut Aunt Benna.
Aku menggosok-gosok tengkukku. Bekas gigitan nyamuk-
nyamuk semalam terasa gatal sekali. Aku menyeka keringat di
keningku.

Goosebumps - Rahasia Kepala Terpenggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pintu pondok membuka. Kareen muncul di ambang pintu. Dia
membawa dua botol air. Satu dilemparkannya padaku, satu lagi pada Aunt Benna.
Kemudian dia langsung berbalik, membanting pintu, dan menguncinya dari luar.
Kutempelkan botol itu ke mulut, kureguk isinya sampai habis
tanpa berhenti untuk menarik napas. Air yang tinggal sedikit itu lalu kutuangkan
ke kepalaku. Setelah botolnya benar-benar kosong, aku
membuangnya ke lantai. "Apa yang harus kita lakukan?" aku bertanya pada bibiku yang sedang duduk di
kursi lipat. Dia segera menempelkan telunjuknya ke bibir. "Sst."
Sebuah mesin mulai berdengung-dengung di luar. Aku juga
mendengar bunyi air menyembur dari selang.
Aku bergegas ke jendela dan memandang ke luar. Tapi
jendelanya menghadap ke arah lain. Aku tidak bisa melihat apa-apa.
"Kita masih beruntung," Aunt Benna bergumam. Aku
mengerutkan kening karena heran. "Beruntung?"
"Ya, kita beruntung," dia mengulangi. Hawlings tidak
mengambil kepala terpenggal yang kaubawa. Semalam terlalu gelap,
jadi dia tidak melihatnya."
Kukeluarkan kepala itu dari kantong. Rambutnya yang hitam
tampak acak-acakan. Aku berusaha merapikannya.
"Simpan lagi, Mark," bibiku berkata dengan tajam. "Jangan sampai Hawlings
melihatnya. Dia tidak tahu bahwa kepala itulah
kunci Jungle Magic."
"Oya?" aku bertanya sambil mengembalikan jimatku ke
kantong T-shirt. Aunt Benna mengangguk. "Ya, kepala itu dan mantranya. Kata
yang kuberikan padamu waktu kau kuhipnotis. Saat itu kau berumur
empat tahun." Rambut jimatku tergerai keluar dari kantong. Aku
memasukkannya lagi. Bunyi mesin di luar bertambah nyaring. Deru semburan air pun
semakin keras. "Kita terancam bahaya besar," kata Aunt Benna. "Kau harus menggunakan Jungle
Magic untuk menyelamatkan kita, Mark."
Aku merinding. Tapi dengan sikap diberani-beranikan aku
berkata, "Beres."
"Tunggu sampai aku memberi aba-aba," Aunt Benna memberi petunjuk. "Kalau
kukedipkan mata tiga kali berturut-turut, keluarkan kepala itu dan serukan
mantranya. Perhatikan aku terus. Tunggu aba-aba dariku - oke?"
Sebelum aku sempat menyahut, pintu pondok sudah membuka
lagi. Dr. Hawlings dan Carolyn bergegas masuk. Roman muka mereka
tampak kencang. Dr. Hawlings membawa pistol besar berwarna perak. "Keluar!"
dia memberi perintah sambil melambaikan pistolnya ke arah bibiku
dan aku. Carolyn menggiring kami menyusuri deretan pondok.
Kemudian dia menyuruh kami berhenti di belakang gedung utama.
Kareen bersandar di dinding. Dia mengenakan topi jerami bertepi
lebar yang menutupi matanya.
Matahari bersinar terik. Tengkukku gatal dan serasa ditusuk-
tusuk. Aku merapat ke bibiku sambil memicingkan mata karena silau.
Aku melihat tumpukan kepala terpenggal di sebelah kananku.
Rasanya semua mata memandang ke arahku.
Aku mengalihkan pandanganku dari pemandangan yang
menyeramkan itu - dan melihat sesuatu yang bahkan lebih
mengerikan lagi. Di belakang gedung utama ada kuali hitam yang besar sekali.
Kuali itu penuh berisi air mendidih yang bergolak. Di bawahnya ada api yang
membara. Aku berpaling kepada bibiku. Dia tampak ketakutan. "Kalian
tidak bisa berbuat begini!" dia berteriak kepada Dr. Hawlings. "Jangan sangka
kalian bisa lolos!" "Aku tidak mau mencelakakanmu, Benna," Dr. Hawlings
menyahut dengan tenang, tanpa emosi sama sekali. "Aku cuma
menginginkan Jungle Magic."
Pandanganku terpaku di wajah bibiku. Dengan tegang aku
menunggu aba-abanya. Menunggu tiga kedipan mata yang
menyuruhku beraksi. "Berikan rahasia Jungle Magic padaku," Dr. Hawlings
mendesak. Carolyn menghampirinya sambil bertolak pinggang. "Katakan
apa rahasianya, Benna. Kami tidak ingin menggunakan kekerasan.
Sungguh." "Tidak!" seru bibiku dengan ketus. "Tidak! Tidak! Tidak! Aku takkan pernah
memberikan rahasia Jungle Magic pada kalian! Takkan pernah!"
Carolyn menghela napas. "Ayolah, Benna. Urusan ini kan bisa
diselesaikan secara baik-baik. Kenapa harus dipersulit?"
Bibiku membalas tatapannya. "Jangan harap," dia bergumam.
Aunt Benna berkedip. Aku menelan ludah, dan menunggu dua kedipan berikutnya.
Ternyata Aunt Benna tidak berkedip lagi. Rupanya belum
waktunya. Dr. Hawlings maju selangkah. "Ayolah, Benna. Ini kesempatan
terakhir untukmu. Katakan apa rahasianya - cepat!"
Bibiku menggeleng. "Berarti aku tidak punya pilihan," Dr. Hawlings berkata sambil menggelengkan
kepalanya. "Di dunia ini hanya kalian yang
mengetahui rahasianya, dan karena itu kalian terlalu berbahaya.
Rahasianya akan mati bersama kalian."
"K-kami mau diapakan?" aku melengking ketakutan.
"Kepala kalian akan kukerutkan," jawab Dr. Hawlings.
Chapter 28 KUALI besar itu mendesis-desis ketika air yang mendidih
tumpah dan mengalir di sisinya. Dengan mata terbelalak aku menatap uap yang
mengepul-ngepul di atasnya.
Apakah kepala kami benar-benar akan dikerutkan olehnya"
Apakah kepalaku bakal penuh keriput dan mengecil sampai
sekepalan tangan" Kedua lututku gemetar saat aku menatap Aunt Benna sambil
menunggu aba-aba darinya.
Cepat! aku memohon dalam hati. Cepat - sebelum kita
dicemplungkan ke air yang mendidih ini!
Kareen berdiri sambil membisu. Apa yang lagi dipikirkannya"
aku bertanya dalam hati. Roman mukanya tidak kelihatan. Wajahnya
tersembunyi di balik pinggiran topi jeraminya.
"Benna, kau kuberi satu kesempatan lagi," Dr. Hawlings
berkata pelan-pelan. "Karena aku menyukaimu. Dan aku juga
menyukai keponakanmu. Jangan sampai keponakanmu juga ikut
menanggung akibat dari sikapmu yang keras kepala, Benna. Kau tidak kasihan
padanya" Katakanlah rahasia itu - demi Mark."
"Pikirkan baik-baik, Benna," Carolyn menimpali. "Berikanlah rahasianya pada
kami, dan kalian berdua akan segera dibebaskan."
"A-aku tidak bisa," kata bibiku tergagap-gagap.
"Kalau begitu, apa boleh buat," kata Dr. Hawlings, seolah-olah dengan berat
hati. "Anak itu duluan."
Aunt Benna berkedip. Satu kali. Dua kali. Tiga kali.
Akhirnya! Kutarik jimatku dari kantong dengan tangan gemetar.
Aku mengangkatnya ke depan wajahku. Mulutku membuka
untuk mengucapkan mantranya.
Tapi Dr. Hawlings segera menyambar kepala itu. Dia
merebutnya dari tanganku - dan melemparkannya ke tumpukan
kepala. Kemudian dia menerjang maju dan berusaha menyergapku
dengan kedua tangan. Aku cepat-cepat mengelak.
Dan melompat ke tumpukan kepala.
Dengan kalang kabut aku mulai membongkar tumpukan itu.
Aku meraih satu kepala, lalu mencampakkannya. Mengambil yang
lain, kemudian membuangnya. Lalu yang berikut. Yang berikut.
Semua kepala itu terasa hangat dan lengket di tanganku. Dan
semuanya sekras baseball. Mereka menatapku dengan pandangan
kosong. Aku mulai mual. Napasku terengah-engah.
Di belakangku, aku mendengar Aunt Benna bergulat melawan
Dr. Hawlings. Dia berusaha menjauhkannya dariku.
Aku mendengar Carolyn berteriak-teriak. Kareen memekik-
mekik. Aku harus menemukan kepalaku.
Aku harus menemukannya sebelum Dr. Hawlings berhasil
mengatasi Aunt Benna lalu menyergapku. Aku meraih satu kepala.
Melemparkannya lagi. Mengambil kepala lain. Lalu mencampakkannya.
Yang mana jimatku" Bagaimana aku bisa mengenalinya di antara ratusan kepala itu"
Chapter 29 AKU menyambar satu kepala lagi. Dan melihat puluhan semut
merayap di pipinya. Aku mengambil kepala lain.
Matanya yang hijau tampak seperti kaca.
Aku meraih kepala lain lagi.
Di telinganya ada goresan panjang berwarna putih.
Hampir saja aku mencampakkannya.
Tapi tidak jadi. Goresan putih di telinga"
Ya! Jimatku memang tergores. Adikku Jessica - dia yang
mengakibatkan goresan di telinga jimatku!
Ya! Ini memang jimatku! "Terima kasih, Jessica!" aku bersorak dengan gembira.
Dr. Hawlings menerjang sambil mendengus. Dia menangkapku,
lalu menyeretku menjauhi tumpukan kepala itu.
"Kah-lee-ah!" aku berseru sambil menggenggam jimatku erat-erat. "Kah-lee-ah!"
Semoga kekuatan gaibku bisa menyelamatkan Aunt Benna dan
aku, aku berdoa dalam hati.
Moga-moga Jungle Magic tetap sakti.
Dr. Hawlings masih memitingku dengan kedua tangannya. Dia
berusaha menyeretku ke kuali berisi air mendidih.
"Kah-lee-ah!" aku berteriak.
Tangannya terlepas. Sepertinya kedua tangannya bertambah kecil. Mengerut dan
semakin pendek. "Hah?" aku memekik kaget ketika menyadari bahwa dia
memang mengerut. Seluruh tubuh Dr. Hawlings mengerut, semakin
lama semakin kecil! Aku menoleh ke arah Carolyn dan Kareen. Mereka pun
mengerut. Kareen menghilang di bawah topi jeraminya. Kemudian dia
muncul dari balik pinggiran topi. Dia kecil sekali, cuma sebesar tikus.
Ketiganya - Kareen, Carolyn, dan Dr. Hawlings - berlari
melintasi rumput. Semuanya kini seukuran tikus. Mereka berceloteh dengan suara
melengking. Aku berdiri di samping tumpukan kepala dan memperhatikan
mereka berlari menjauh. Sesaat kemudian mereka telah lenyap di
hutan. Aku berpaling kepada Auntie. "Berhasil!" seruku. "Kita diselamatkan oleh Jungle
Magic!" Dia bergegas maju dan memelukku. "Kau berhasil, Mark! Kau
berhasil! Sekarang hutan kembali aman. Seluruh dunia kembali
aman!" *********************** Peluk cium menyambutku ketika Aunt Benna mengantarku
pulang. Pelukan dari Mom - dan, bahkan, dari Jessica.
Mereka menjemput kami di bandara. Kemudian Mom
membawa kami pulang. Dia telah menyiapkan makan malam khusus
untuk menyambut kepulangan kami. Saking banyaknya yang ingin
kuceritakan, dalam perjalanan pulang pun aku sudah mulai mengoceh.
Dan aku baru berhenti setelah makan malam selesai.
Akhirnya Aunt Benna mengajakku ke ruang baca. Dia menutup
pintu ruangan itu. "Tataplah mataku," katanya. "Tataplah mataku, Mark."
Aku menurut saja. "Ada apa?" tanyaku.
Aku tidak mendengar jawabannya.
Aku hanya menatap matanya, dan tahu-tahu pandanganku mulai
kabur. Semua warna di sekitarku seakan-akan bercampur-baur.
Rasanya aku melihat poster-poster di dinding melipat-lipat sendiri.
Rasanya aku melihat meja dan kursi bergeser-geser di lantai.
Sesaat kemudian penglihatanku pulih kembali. Bibiku
memperhatikan sambil tersenyum. "Nah," katanya sambil meremas tanganku.
"Sekarang kau sudah normal lagi, Mark."
"Hah?" Aku menatapnya sambil memicingkan mata. "Apa maksudnya?"
"Tak ada lagi Jungle Magic," katanya menjelaskan. "Aku sudah menariknya kembali.
Kau sudah jadi anak laki-laki yang normal lagi."
"Maksudnya, kalau aku berseru 'Kah-lee-ah,' takkan terjadi apa-apa lagi?"
tanyaku. "Betul." Dia tersenyum padaku. "Kekuatan gaibmu sudah kucabut. Seperti kau,
kepala itu pun tidak punya kekuatan lagi
sekarang. Kau tak perlu lagi kuatir."
Dia berdiri sambil menguap. "Wah, sudah malam. Sudah
waktunya tidur." Aku mengangguk. "Yeah," ujarku singkat. Aku masih
memikirkan bahwa aku tak lagi memiliki kekuatan gaib. "Auntie?"
"Ya?" "Kepala ini boleh kusimpan?".
"Tentu saja," sahutnya sambil menarikku berdiri. "Simpan saja.
Sebagai kenang-kenangan. Supaya kau selalu ingat petualanganmu di hutan rimba."
"Aku tidak mungkin melupakannya," ujarku. Kemudian aku
mengucapkan selamat malam, dan masuk ke kamarku.
********************* Besoknya aku bangun pagi-pagi dan cepat-cepat berpakaian.
Aku sudah tak sabar untuk berangkat sekolah. Aku tak sabar ingin
memamerkan jimatku kepada Eric dan Joel dan anak-anak lainnya.
Sarapanku kulahap dengan terburu-buru. "Aku berangkat ya!"
seruku pada ibuku. Kemudian aku menyambar jimatku dan berjalan
menuju ke pintu. Aku mulai berlari menyusuri trotoar sambil menggenggam
kepala itu. Cuacanya cerah. Udara terasa hangat dan segar.
Sekolahku hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari
rumahku. Tapi rasanya aku sudah berlari sejauh beberapa kilometer.
Aku tak sabar lagi untuk memamerkan jimatku pada semua
orang. Aku ingin menceritakan petualanganku kepada semua temanku.
Gedung sekolahku sudah kelihatan. Dan aku melihat beberapa
temanku berkerumun di depan pintu.
Ketika aku berlari menyeberangi jalan, kepala di tanganku tiba-
tiba bergerak. Kepala itu berkedut-kedut.
"Hah?" Aku langsung mengamatinya.
Kedua matanya berkedip, lalu menatapku. Bibirnya mengatup,
lalu membuka lagi. "Hei, Mark," kepala itu menggeram, "biar aku saja yang
bercerita tentang harimau itu, oke?" END


Goosebumps - Rahasia Kepala Terpenggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Senopati Pamungkas I 2 Dewa Linglung 23 Buronan Dari Mataram Perjalanan Ke Alam Baka 2
^