Pencarian

Misteri Anjing Hantu 2

Goosebumps - Misteri Anjing Hantu Bagian 2


"Kau bersekongkol dengannya, ya?" aku bertanya dengan gusar.
"Tidak!" Fergie berseru. "Aku tidak tahu apa-apa tentang ini!"
Mickey menekan lenganku dengan lututnya. "Ayo, minta ampun,
bodoh." Seumur hidup aku belum pernah merasa malu seperti sekarang.
Belum pernah. Termasuk waktu aku dikunci di luar rumah oleh Mickey, padahal aku
cuma pakai pakaian dalam.
"Kali ini kau takkan bisa lolos!" aku membentaknya.
"Memangnya kau mau apa, Coober" Memukulku dengan bunga-bunga
yang kau petik?" Dia mendongakkan kepala dan tertawa terbahak . Tapi tanpa sadar, dia
telah memberi kesempatan kepadaku untuk menggigit lengannya.
"Aduh! Brengsek! Lihat nih! Tanganku berdarah!" Mickey langsung berdiri dan
memeriksa luka di lengannya. Kemudian dia memelototi
aku, berbalik, dan pergi begitu saja.
Aku hendak mengejarnya. Tapi Margaret menahanku.
"Biarkan saja," katanya sambil menarik bajuku.
"Dia memang brengsek."
Sambil mengomel aku menepis-nepis kotoran yang melekat pada
pakaianku. Kemudian kupungut bunga-bunga yang kuambil untuk
ibuku. Aku tak berani menatap Fergie.
"Kau mau pulang?" tanyanya.
"Heeh," aku menggerung.
"Kita bertemu di sekolah besok?"
Akumengangkat bahu. Kenapa sih dia terus menggangguku" Aku
ingin sendirian. Aku kembali menggerung. Dan sepertinya dia menangkap maksudku.
"Hmmm, kalau begitu aku juga pulang deh. Jangan khawatir Cooper,"
katanya mulai berjalan ke arah rumahnya.
"Kita pasti akan menemukan cara untuk membalas dia. Aku janji."
Aku tidak menyahut. "Sampai besok!" Fergie berseru sambil melambaikan tangan.
Aku diam saja, dan memperhatikannya pergi.
Kemudian aku menuju ke sungai untuk minum seteguk air dingin.
Kerongkonganku jadi kering gara-gara melihat Mickey berdarah-
darah tadi. Dan juga gara-gara menjerit-jerit.
Aku membungkuk di atas permukaan air yang berkilauan. Lalu
kuciduk airnya yang dingin dengan sebelah tangan dan minum
seteguk. Tapi ketika kulihat bayanganku di sungai, aku langsung terbatuk-
batuk. Yang terlihat bukan wajahku.
Bayangan yang membalas tatapanku adalah bayangan seekor anjing
hitam! Aku segera menegakkan badan.
Ternyata tak ada anjing di tepi sungai.
Tak satu anjing pun terlihat di sekitarku.
"Hei!" aku berseru dengan bingung.
Aku membungkuk lagi dan kembali memandang ke air.
Anjing itu menatapku dari bawah permukaan air.
Aku kembali tegak. Tetap tak ada anjing.
Jadi mana mungkin aku melihat bayangan anjing di permukaan
sungai" Sekali lagi aku menatap air sungai yang bening. Bayangan anjing itu
tampak bergerak-gerak bersama riak-riak di permukaan air.
Dan kemudian dia menyeringai dan memperlihatkan giginya yang
kuning dan mengerikan. AKU berlari tunggang-langgang menuju ke rumah tanpa satu kali pun
menoleh ke belakang. Aku bergegas masuk lewat pintu depan, langsung menuju ke kamar
mandi. Aku harus melihat bayanganku di cermin.
Aku sendiri tidak tahu kenapa aku begitu penasaran.
Memangnya apa yang bakal kulihat" Bayangan muka anjing"
Aku pun tahu bahwa itu tak masuk akal.
Tapi aku tidak bisa menjelaskan bayangan anjing yang kulihat di
permukaan sungai tadi. Seharusnya aku mehhat wajahku - bukan
bayangan anjing labrador hitam yang sedang menggeram.
Aku masuk ke kamar mandi. Perlahan-lahan aku menghampiri cermin.
Aku mengintip. Dan melihat - wajahku yang penuh bintik-bintik.
Apakah aku merasa lega"
Tidak juga. Sepanjang sore itu aku tidak banyak bicara. Dan pada waktu makan
malam, aku juga cuma makan sedikit, lalu bertanya apakah aku boleh
berdiri duluan. "Kau tidak apa-apa, Cooper?" Mom bertanya sambil mengerutkan kening. "Ati dan
bawang kan makanan kegemaranmu. Aku belum
pernah melihatmu menyisakan ati dan bawang di piringmu."
Mom menghampiriku dan menempelkan tangan di keningku. Itulah
yang selalu dikerjakannya kala aku bersikap agak aneh. Menempelkan
tangan ke keningku. "Aku tidak apa-apa, Mom," sahutku. "Aku cuma lagi tidak lapar. Itu saja."
"Cooper mungkin gugup. Besok hari pertama di sekolahnya yang
baru," kata ayahku. Kemudian dia berpaling kepadaku. "Betul, tidak?"
"Yeah, betul," ujarku. Percuma saja aku menyinggung soal anjing lagi.
Takkan ada yang percaya. "Oh, kasihan si Coober. Dia takut karena sekolahnya yang baru,"
Mickey mengejek. Ayah-ibuku langsung menatap tajam kepadanya. "Mickey - jangan
malam ini," Daddy bergumam.
Kakakku yang konyol itu tak kugubris sama sekali. Aku berdiri, dan
langsung menuju ke kamar.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Setiap kali aku memejamkan mata, aku
melihat bayangan anjing hitam di sungai tadi.
Aku baru tertidur setelah lewat tengah malam. Aku terbangun karena
mendengar ibuku memangil-manggilku. "Cooper. Cooper. Kau Sudah
waktunya bangun!" Astaga! Seumur hidup aku belum pernah kesiangan. Aku selalu
bangun pagi-pagi sekali. Hari pertama di sekolah baru, dan aku bakal terlambat pikirku dengan
muram. Dan ini semua gara-gara anjing-anjing sialan itu.
Cepat-cepat kukenakan T-shirt dan celana jeans.
Kemudian aku bergegas ke dapur. Tak ada waktu sarapan sambil
bersantai. Terburu-buru kureguk segelas susu. Lalu kubuka lemari es
untuk mengambil selai kacang.
Aku sedang mengoleskan selai kacang ke septong roti, ketika
kudengar suara merintih di belakangku.
"Jangan macam-macam, Mickey," ujarku tanpa membalik.
Rintihan itu bertambah keras.
"Mickey! Sudah! Aku tidak mau - "
Mereka muncul begitu saja. Anjing-anjing itu.
Mereka ada di tengah-tengah dapur!
MULUT kedua anjing itu menganga lebar. Air liur mereka menetes-
netes. Lututku langsung lemas. Aku berpegangan pada meja agar tidak
terjatuh. Bulu mereka yang gelap tampak berkilau-kilau terkena sinar lampu
dapur yang terang. Sambil menggeram, mereka maju berdampingan.
Aku mundur selangkah. Kedua anjing itu mengawasi setiap gerakanku. Satu langkah lagi.
Pelan-pelan sekali. Lalu satu langkah lagi.
Pandangan mereka terus mengikutiku.
Beberapa inci lagi aku akan sampai di pintu belakang. Kalau aku
meraih ke belakang, gagang pintunya sudah bisa kupegang.
Aku meraih ke belakang. Pelan-pelan. Pelan-pelan sekali.
Tanganku menggapai-gapai. Kemudian aku menemukannya.
Pegangan bulat yang kecil.... Terlambat!
Mereka menerjang. Aku menjerit ketika dua bayangan gelap melesat ke arahku.
Aku memejamkan mata. Aku mendengar mereka mengertakkan gigi.
Aku membuka mata dan melihat salah satu anjing menyambar rotiku
dari atas meja. Kemudian mereka menghilang.
Menembus pintu. Keduanya menerobos daun pintu yang terbuat dari
kayu. Sambil terengah-engah aku duduk di kursi dapur. Kepalaku kupegang
dengan kedua tangan. Aku berusaha keras untuk menenangkan diri.
Aku baru saja melihat dua anjing berlari menerobos pintu tertutup.
Bagaimana mungkin" Mom muncul di dapur. Daddy segera menyusul. "Ada apa, Cooper?"
seru ibuku dengan panik. "Kenapa kau menjerit-jerit?"
Aku terpaksa menceritakan apa yang terjadi. Aku tak punya pilihan
lain. Kejadian ini terlalu aneh. Terlalu aneh dan menakutkan.
Jadi kuceritakan semuanya.
"Dua anjing hitam - mereka menembus dinding. Masuk ke dapur.
Salah satunya menyambar rotiku. Lalu mereka kabur dengan
menerobos pintu belakang."
Kesalahan besar. Ayah dan ibuku langsung berceramah mengenai stres akibat pindah
rumah. Kalau tidak salah, me-eka juga menyinggung soal psikiater.
Mereka sama sekali tidak percaya.
Aku tak sanggup berdebat. Aku keluar lewat pintu belakang, langsung
menuju ke sekolah. Aku tidak bisa melupakan anjing-anjing itu. Anjing-anjing yang tak terlihat oleh
siapa pun selain aku. Anjing-anjing yang menyambar roti di atas meja. Anjing-
anjing yang bisa menerobos daun pintu.
Selama seminggu mereka tidak muncul lagi. Tapi setiap pagi aku
mendengar mereka menyalak di sekitar rumah. Selain aku, tak ada
yang mendengar mereka. Hari Jumat aku ketemu Fergie seusai sekolah, dan kami pulang
bersama-sama. Dia terus bercerita tentang guru matematika kami, tapi
aku tidak memperhatikannya. Aku terlalu sibuk memikirkan anjing-
anjing itu. "Apa?" aku bertanya kepada Fergie. Dia baru saja menanyakan sesuatu mengenai PR
matematika kami. "Aku bilang," katanya dengan gusar, "bahwa PR matematika bisa kita kerjakan
bersama-sama pada akhir pekan ini."
Aku angkat bahu. "Boleh saja."
Fergie akan menginap di rumah hari Sabtu. Orangtuanya harus pergi
ke Vermont selama akhir pekan.
Dalam minggu terakhir aku telah menjadi akrab dengan dia. Begitu
juga orangtua kami. Ayah dan ibuku mengundang keluarga Ferguson
untuk makan malam pada hari Selasa, dan mereka mengundang kami
pada hari Rabu. Barangkali asyik juga kalau Fergie menginap di rumah, pikirku. Asal
aku bisa melupakan anjing-anjing itu.
"Kita masih harus bikin rencana untuk membalas Mickey," Fergie mengingatkanku.
"Kurasa - " "Begini, Fergie," aku memotongnya. "Ada sesuatu yang sudah lama ingin
kuceritakan." Dia menunggu penjelasan selanjutnya.
Aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian semuanya meluncur
begitu saja. Aku bercerita mengenai bayangan anjing di sungai. Dan
mengenai anjing-anjing di dapur.
"Aku sudah mendengar mereka sejak kami pindah," ujarku. "Kadang-kadang di luar
rumah, kadang-kadang di dalam. Ini seperti mimpi
buruk." Fergie terbengong-bengong. "Kenapa baru sekarang kau cerita?" dia bertanya.
Aku menghela napas. "Soalnya tak seorang pun di keluargaku yang
mau percaya," sahutku. "Kupikir kau pasti begitu juga."
"Aku percaya, Cooper," katanya dengan sungguh-sungguh.
Aku tersenyum. "Terima kasih, Fergie. Ini sangat berarti bagiku."
Roman muka Fergie tampak serius. "Hmm, barangkali kita berdua
akan mendengar mereka malam Minggu besok. Orangtuamu pasti
percaya kalau kita berdua mendengar anjing-anjing itu."
Aku mengangguk. Fergie benar. Mom dan Dad tidak mungkin
menuduh bahwa kami berdua perlu berkonsultasi dengan ahli jiwa.
Perasaanku mulai lebih enak.
"Sekarang kembali ke soal balas dendam kepada Mickey," ujar Fergie.
"Aku punya ide bagus."
Aku mendengarkan rencana Fergie - rencana itu menyangkut tikus
dan tali - tapi aku tidak bisa memusatkan pikiran pada apa yang
dikatakannya. Pikiranku terus tertuju pada anjing-anjing itu.
Mungkinkah mereka akan muncul lagi pada akhir pekan ini"
DENGAN tegang aku memperhatikan gerakan maju menit wekerku.
Akhirnya - tengah malam. Waktu untuk beraksi telah tiba.
Sambil mengendap-endap aku menyusuri koridor ke kamar tamu di
mana Fergie tidur. Aku mengetuk pintu.
"Fergie," bisikku. "Fergie, bangun!"
Dalam sekejap dia membuka pintu. Dia sudah berpakaian lengkap.
"Anjingnya" Anjingnya datang lagi?" tanyanya. Matanya terbelalak lebar karena
ngeri. Sepertinya dia benar-benar ketakutan.
"Bukan, bodoh," aku berbisik. "Sudah waktunya untuk menakut-nakuti Mickey."
Fergie menggosok-gosok mata. "Oh, yeah, benar."
Tanpa berkata apa-apa lagi dia masuk ke kolong tempat tidur dan
mengeluarkan kotak sepatu dan seutas tali.
"Coba kulihat sekali lagi," ujarku penuh semangat.
Fergie tersenyum, lalu membuka kotak itu. Di dalamnya ada tikus
hitam yang besar dan berbulu panjang. Kesannya betul-betul
menjijikkan. Tikus-tikusan, tentu saja. Tapi persis tikus benaran.
Kuambil tikus itu dan kulambai-lambaikan di depan hidung Fergie.
Dia langsung mundur sambil memekik tertahan, padahal dia tahu tikus
itu terbuat dari semacam karet.
Leher tikus itu kuikat dengan tali, lalu aku memberi isyarat kepada
Fergie untuk mengikutiku. Tanpa bersuara kami keluar ke koridor,
menuju ke kamar Mickey. Ini bakal seru! Aku sudah tak sabar melihat tampang Mickey waktu
tikus berbulu panjang itu melintas di tempat tidurnya.
Kami berhenti di depan kamar Mickey. Pintunya tidak tertutup rapat.
Aku menyembulkan kepala dan memeriksa keadaan.
Semuanya aman-aman saja. Mickey sudah terlelap, seluruh badannya
terbungkus selimut. Dia tidak pernah memakai bantal kalau tidur.
Bantalnya selalu dilemparkannya ke lantai sebelum naik ke tempat
tidur. Ah, itu dia, di sebelah sepatunya.
Aku mundur sedikit dan menarik Fergie ke samping.
"Oke, rencananya begini," aku berbisik. "Setelah masuk ke kamarnya, kau langsung
ke kiri. Di situ lemari pakaiannya. Aku ke tempat
tidurnya dulu untuk menaruh tikus ini. Habis itu aku menyusul ke
lemari." "Beres," sahut Fergie. "Dan jangan lupa," aku mewanti-wanti, "jangan bersuara!"
"Beres," Fergie berkata sekali lagi.
Aku masuk sambil memegang tikus dengan sebuah tangan. Fergie
langsung menuju ke lemari pakaian. Aku membelok ke kanan.
Aku sudah hampir sampai di tempat tidur Mickey ketika terdengar
bunyi krak yang keras sekali.


Goosebumps - Misteri Anjing Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jantungku langsung berdegup-degup. Serta-merta aku berpaling.
Dengan mata terbelalak aku memandang ke arah Fergie.
Seketika aku tahu apa yang terjadi. Rupanya dia menginjak skateboard
Mickey. Kami sama-sama berpaling ke arah tempat tidur. Mickey tidak
bergerak sedikit pun. Dia tidak mendengar suara itu.
Aku menarik napas lega, lalu memberi isyarat peringatan kepada
Fergie. Dia mengangguk dengan gugup.
Aku memperhatikan Fergie membuka pintu lemari pakaian lalu
menyelinap ke dalamnya. Aku kembali menuju ke tempat tidur Mickey sambil membawa tikus.
Tanganku gemetaran, tapi makhluk berbulu itu kugenggam erat-erat.
Aku menatap Mickey yang tertutup selimut. Dia masih tidur nyenyak.
Aku mendekat lagi. Perlahan-lahan kutaruh tikusku, mestinya di sekitar perut Mickey.
Lalu aku mengendap-endap ke arah lemari. Setelah masuk, aku
berlutut di samping Fergie dan mengacungkan jempol.
Operasi "balas dendam" sudah berjalan.
Dan aku bersemangat sekali.
Sudah sepantasnya dia dapat ganjaran seperti ini.
Perlahan-lahan kutarik pintu lemari sampai hampir tertutup rapat.
Ujung tali kupegang erat-erat. "Siap?" aku berbisik.
"Siap," sahut Fergie.
"Oke," kataku. "Aku hitung sampai tiga. Satu... dua... aduh, Fergie, jangan
tendang-tendang dong." "Aku tidak menendang," bisiknya dengan ketus. "Ya!
Sudahlah, jangan macam-macam, oke?" "Macam-macam bagaimana" Kakiku ada di
sebelah sini," Fergie memprotes.
"Aduh! Tuh, aku kena tendang lagi!" aku ber bisik.
Suara Fergie meninggi. "Bukan aku!"
Aku segera membekap mulutnya.
Kami sama-sama tidak bergerak.
Aku mendengar suara napas.
Suara napas yang berat. Bukan napasku. Bukan napas Fergie.
Aku menelan ludah. "F-Fergie," aku tergagap-gagap. "Rasanya kita tidak sendirian di sini!"
SEBUAH geraman membuktikan bahwa aku benar. Seseorang - atau
sesuatu - ikut bersembunyi di dalam lemari bersama kami.
Sejenak kami terbengong-bengong mendengar suara itu.
Lalu kami menghambur keluar dari lemari sambil menjerit ketakutan.
Aku cuma sempat lari beberapa langkah saja. Kemudian kakiku
tersangkut pada skateboard. Aku terjerembap. Mukaku menghantam
lantai. Saat aku berusaha bangkit, aku melihat sosok gelap yang keluar dari
lemari. "Kau!" aku berteriak dengan suara parau. Mickey nyengir lebar sambil menatap
Fergie dan ku. "O0000hhh! O0000hhhh! Lihat aku!" dia berseru. "Aku anjing
pembunuh!" Fergie dan aku memandangnya seakan-akan tidak percaya. Rupanya
dari pertama dia sudah ada di dalam lemari.
Aku bergegas ke tempat tidur dan menarik selimutnya.
"Oh!" seruku melihat setumpuk seprai dan handuk.
"Dari mana kau tahu?" Fergie bertanya kepada kakakku. "Dari mana kau tahu bahwa
kami bakal kemari?" Mickey tersenyum mengejek. "Waktu kalian datang tadi pagi sambil membawa kotak
itu, terus kau berbisik-bisik dengan Cooper, aku
langsung tahu kalian punya maksud tertentu. Sudah dari pagi aku
memata-matai kalian berdua."
"Dasar licik!" seruku.
"Licik" Aku?" Mickey menyahut seolah-olah tidak berdosa.
"Sebenarnya siapa yang licik" Kan kalian yang menyusup ke kamarku dan
bersembunyi di lemari pakaianku!"
Aku benar-benar kesal. Juga kecewa. Rencana balas dendam kami
yang hebat ternyata gagal total.
Aku menarik lengan Fergie. "Ayo. Kita keluar saja."
"Yeah!" Mickey berkata sambil bertolak pinggang. "Pergi sana. Dan jangan kembali
lagi." Lalu dia menggeram lagi dan menggonggong.
Dasar! Fergie dan aku duduk di koridor di depan kamarku. Tadinya kami
bertekad untuk menakut-nakuti Mickey. Biar dia tahu rasa.
Tapi ternyata kami gagal. Gagal total.
"Lain kali pasti berhasil," ujar Fergie. "Kita bikin rencana yang lebih bagus
lagi. Barangkali dengan pisau dan darah palsu seperti yang dia
pakai." Aku angkat bahu. Aku tidak mau menunggu. Aku ingin membuat
Mickey ketakutan setengah mati - malam ini juga!
Tapi rasanya itu tidak mungkin.
Fergie dan aku menguap berbarengan. Lalu kami berdiri. "Lebih baik kita tidur
saja. Barangkali - "
"Eh, kau dengar itu?" aku bertanya tiba-tiba.
Dia mengangguk. "Yeah. Aku dengar. Ada yang menyalak."
"Itu bukan kakakku," aku berbisik. "Anjingnya datang lagi."
"WAH, bagaimana ini?" seru Fergie dengan suara bergetar. "Mana orangtuamu" Mana
Mickey?" Aku mengajaknya menyusuri koridor, mendekati sumber gonggongan
itu. "Aku kan sudah bilang," bisikku. "Mereka tidak bisa mendengar anjing-anjing itu.
Aku juga tidak tahu kenapa. Tak ada yang bisa
mendengar mereka menggonggong selain kita."
Kami masuk ke ruang keluarga dan menahan napas.
Dua pasang mata merah tampak menyala-nyala dalam gelap.
Aku bermaksud meraih lampu peninggalan nenek buyut, tapi lalu aku
malah menjatuhkannya sehingga menimbulkan bunyi berdebam.
Kedua anjing itu kembali menggonggong.
Fergie berpegangan pada pundakku. Tangannya gemetaran. "Nyalakan lampu! Ayo,
cepat!" dia merengek.
Namun sebelum aku sempat meraih sakelar, lampunya sudah menyala
lebih dulu. Kami langsung berbalik - dan melihat ibuku berdiri di ambang pintu.
Dia menatap kami sambil mendelik. "Cooper! Margaret! Sedang apa
kalian di sini?" "Anjing-anjing ini, Mom!" aku berseru. "Tuh, mereka lagi - "
"Anjing apa?" tanya ibuku.
Aku membalikkan tubuh. Tak ada mata merah yang menyala-nyala. Tak ada anjing. Selain
Fergie dan aku, ruang tamunya kosong.
"Wah, ibumu marah sekali, ya," bisik Fergie ketika kami menyusuri koridor untuk
kembali ke kamar masing-masing.
"Tapi sekarang kau percaya, kan, Fergie?" tanyaku. "Kau juga dengar anjing-
anjing itu, kan?" Fergie mengangguk. "Yeah. Tadi memang ada anjing di situ."
"Ayo, tidur!" ibuku berseru dengan tegas. "Jangan mengobrol."
"Oke, Mom!" sahutku. Aku berpaling kepada Fergie. "Besok pagi kita cari anjing-
anjing itu di hutan," ujarku. "Mereka pasti ada di sekitar sini."
"Ide bagus," kata Fergie. "Sampai besok pagi."
Aku kembali ke kamarku, tapi tidak bisa tidur. Aku duduk di tempat
tidur dan melempar-lempar baseball ke udara sambil memperhatikan
gerakan jarum menit pada wekerku.
Aku memikirkan anjing-anjing itu. Mereka memang ada di dalam
rumah tadi. Fergie juga mendengar mereka.
Tapi bagaimana mereka bisa keluar-masuk sesuka hati mereka" aku
bertanya-tanya. Dan kenapa mereka selalu mengganggu aku" Kenapa"
Kutaruh baseball-ku dan mengendap-endap ke koridor.
Pelan-pelan kuketuk pintu kamar Fergie. "Ini aku. Aku boleh masuk?"
"Ada apa?" bisiknya sambil membuka pintu. "Begini," ujarku.
"Rasanya aku tidak bisa menunggu sampai besok. Bagaimana kalau
kita mulai mencari sekarang saja?"
Fergie memicingkan mata. "Ta-tapi ini mungkin berbahaya," katanya tergagap-
gagap. "Aku tidak peduli," sahutku. "Ayo kita berangkat."
BEBERAPA menit kemudian Fergie dan aku sudah berada di
pekarangan belakang. Kami sama-sama memegang senter.
Bulan bersembunyi di balik awan. Begitu pula bintang-bintang. Kabut
tampak mengambang disana-sini.
Fergie dan aku merinding.
Kuarahkan cahaya senterku ke bawah dan mulai mencari jejak kaki
anjing. Tapi tak ada apa-apa. Seperti biasanya.
"Kenapa tak pernah ada jejaknya'?" aku bergumam sendiri.
Fergie angkat bahu, tidak menjawab. Aku tahu dia sama takutnya
seperti aku. Dia tidak beranjak dari sisiku.
Sorot senterku menerpa panjat-panjatan di pojok pekarangan. Aku
sedang mengamati tanah di hadapanku ketika mata kakiku mendadak
ditarik. "Hei!" seruku sambil jatuh.
Aku meronta-ronta dan menggeliat-geliut untuk membebaskan diri.
"Tolong!" Fergie bergegas untuk membantuku. Tapi kenapa dia tertawa"
"Dasar konyol! Kamu tersangkut slang air!" katanya.
"Ini tidak lucu!" ujarku dengan gusar. Dalam hati aku bersyukur bahwa suasananya
begitu gelap, sehingga dia tidak bisa melihat
mukaku menjadi merah. "Bagaimana kalau aku sampai patah kaki?"
Fergie membungkuk untuk menolongku. Tapi tiba-tiba dia berhenti.
"Kau dengar itu?" dia bertanya.
"Dengar apa?" "Itu!" Sambil membisu kami menunggu dalam gelap. Kami hampir tidak
berani bernapas. Kemudian aku juga mendengarnya. Bunyi berderit yang rasanya
berasal dari rumah. Kedengarannya seperti pintu tua yang membuka
lalu menutup lagi. Dengan hati-hati kami menghampiri sumber bunyi itu. Aku sempat
terbengong-bengong ketika kami menemukan jendela kecil yang
hampir sejajar dengan tanah. Jendela itu belum pernah kulihat.
Jendelanya terbuka dan berayun maju-mundur sambil berderit-derit.
"Rupanya ini jendela ruang bawah," ujarku setelah menyembulkan kepala ke dalam.
"Barangkali anjing-anjing itu keluar-masuk lewat sini."
Fergie tidak menyahut. "Fergie?" aku memanggil.
Tak ada jawaban. Aku langsung merinding. Seketika aku membalikkan tubuh.
Aku masih sempat melihat sosok hitam yang menerjang ke arahku.
Aku kaget sekali, dan terhuyung-huyung mundur. Bagian belakang
kepalaku membentur tembok rumah.
Sosok gelap itu melompat, lalu menindihku.
Bau masam menusuk-nusuk hidungku ketika aku mencoba berdiri.
Tapi aku tidak bisa bergerak.
Makhluk itu tersengal-sengal. Mulutnya menganga lebar. Air liurnya
yang panas menetes-netes ke wajahku.
Anjing besar itu menahanku di tanah. Aduh, hendak diapakan aku ini"
"TURUN! Ayo, turun!" aku berkata dengan susah payah.
Kuangkat kedua tanganku - kudorong anjing itu dengan sekuat
tenaga. Di luar dugaanku, anjing besar itu berhasil kusingkirkan.
Aku langsung bangkit. Jantungku berdegup-degup. Aku berpaling dan
melihat Fergie. Dia terperangkap. Dia merapatkan punggungnya ke
dinding, sementara anjing yang satu lagi berdiri persis di hadapannya.
"Pergi!" Fergie berusaha mengusirnya. Suaranya gemetar. "Pergi, sana!"
Anjing itu tidak beranjak sedikit pun.
Aku mengambil tongkat. Kuayun-ayunkan tongkat itu agar kedua
anjing tetap menjaga jarak.
Aku berjalan mendekat. Fergie melambai-lambaikan tangan.
Kedua anjing itu merunduk dan menggeram pelan.
Kemudian salah satu dari mereka berlari ke arahku. Sepertinya dia
sama sekali tidak takut pada tongkat di tanganku.
Aku kehilangan keseimbangan dan menabrak Fergie.
Kedua anjing itu menyeringai, memamerkan gigi mereka.
Lututku gemetaran keras sekali, sampai aku nyaris tak sanggup berdiri tegak.
Sambil menggeram-geram, kedua anjing itu memaksa Fergie dan aku
mundur sampai ke dinding rumah.
"Se-sekarang bagaimana?" Fergie berpegangan pada lenganku.
"Pe-pertanyaan bagus, aku tergagap-gagap, ketika melihat anjing-
anjing itu mendekat terus.
AKu memejamkan mata. Kupikir kalau aku tidak bisa melihat mereka, maka mereka juga tidak
bisa melihatku. Tapi coba tebak! Ternyata aku keliru.
Tiba-tiba aku merasakan embusan napas anjing yang panas dan
masam pada wajahku. Kemudian aku merasakan celanaku ditarik-tarik.
Aku membuka mata. Anjing itu memang menarik-narik celanaku. Dia
tidak menggigit. Cuma menarik.
Fergie kelihatannya tak kalah bingung. Anjing yang satu lagi menarik-
narik T-shirt-nya. "M-mau apa mereka?" bisik Fergie.
"A... a... aku tidak tahu," sahutku. "Mereka-mereka tidak menggigit atau
menyerang." "Cooper, aku rasa mereka ingin agar kita ikut mereka," ujar Fergie.
"Tapi itu tidak masuk akal!" seruku. Celanaku ditarik semakin keras.
"Itu cuma ada di acara TV!"
"Aku yakin aku benar," kata Fergie. "Coba lihat nih." Dia maju pelan-pelan, dan
seketika anjing di hadapannya mulai mengibas-ngibaskan
ekor. "Betul, kan" Mereka ingin agar kita ikut mereka!"
Aku masih ragu. Ini benar-benar tidak masuk akal.
Tapi waktu aku maju selangkah, anjing yang menarik-narik celanaku
juga mengibas-ngibaskan ekor.
"Nah, apa kubilang?" bisik Fergie.
Sori, tapi aku tetap tidak percaya. Serta-merta aku berbalik dan mulai lari.
"Cooper, jangan!" teriak Fergie.
Terlambat. Anjing besar itu segera mengejarku. Dia melompat tinggi. Dan
menabrakku sampai jatuh. Waktu aku berdiri kembali, anjing itu mulai menarik-narik lagi.
"Ayo. Kita lihat dulu mereka mau apa," Fergie berusaha membujukku.
"Kita toh tidak punya pilihan lain. Mereka tak bakal membiarkan kita pergi."
Kami mengikuti anjing-anjing itu menembus hutan. Mereka berjalan
beberapa meter di depan, tapi sebentar-sebentar menoleh ke belakang.
Kuarahkan senterku ke jalan setapak yang kami lewati. Cahayanya
yang redup tidak banyak membantu. Aku sama sekali tidak tahu kami
menuju ke mana. Aku cuma tahu bahwa keadaannya gelap sekali -
dan bahwa semakin lama kami semakin jauh masuk ke dalam hutan.
"Mudah-mudahan kita bisa menemukan jalan pulang nanti," aku bergumam.
Lalu, tanpa memberi tanda sebelumnya, kedua anjing itu menambah
kecepatan. Kaki mereka berdebam-debam di tanah yang gembur.
Beberapa detik kemudian mereka mulai menyalak dan mengais-ngais
sesuatu di antara pohon-pohon.


Goosebumps - Misteri Anjing Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuangkat senterku, kuarahkan ke mereka.
Aku melihat lapangan kecil yang dikelilingi pepohonan. Di tengah-
tengah lapangan itu ada sebuah gubuk kayu. Kedua anjing itu sedang
mencakar-cakar pintunya. Setelah terbuka, mereka kembali
menghampiri kami. Fergie dan aku ditarik-tarik ke arah gubuk itu.
"T-tempat apa ini?" aku berseru. "Di mana kita?" "Aku tidak tahu,"
bisik Fergie. "Aku belum pernah melihat gubuk ini."
Anjing-anjing itu semakin keras menarik kami. Sepertinya mereka
ingin agar kami masuk ke gubuk itu.
"Kira-kira apa ya, yang ada di dalam situ?" aku berbisik kepada Fergie.
Fergie menelan ludah. "Entahlah," sahutnya, juga sambil berbisik.
"Tapi rasanya kita akan segera tahu!"
" FERGIE, aku tidak suka ini," bisikku. "Ayo, kita kabur saja -
mumpung belum terlambat!"
Rahang anjing yang menggiringku langsung menjepit mata kakiku
makin keras. Mungkinkah dia mengerti apa yang kukatakan" "Mereka takkan
membiarkan kita pergi," ujar Fergie.
Kedua anjing itu mulai menggeram sambil memamerkan gigi. Fergie
dan aku terdesak mundur sampai ke pintu gubuk.
"Hei!" seruku, ketika kedua anjing itu menerjang dinding gubuk.
"Oh, mana mungkin?" Fergie memekik. Anjing-anjing itu menerobos dinding kayu dan
menghilang di dalam. "Ini mustahil!" seru Fergie.
"Buktinya mereka bisa, aku bergumam.
Aku memang sudah pernah menyaksikan kejadian serupa - di dapurku
sendiri. "Mereka hantu atau sebangsanya!" Fergie berseru.
Aku langsung meraih lengannya. "Ayo, kita kabur saja! Apa pun yang terjadi...
kita jangan masuk gubuk itu."
Kami baru berjalan beberapa langkah ketika anjing-anjing itu kembali
menerobos dinding gubuk - kali ini dari dalam ke luar.
Mereka langsung mengejar, lalu memaksa kami kembali merapat ke
gubuk. Sebelum kami sempat memberontak atau berusaha lari, anjing-
anjing itu sudah berdiri di atas kaki belakang.
Dalam keadaan tegak, mereka lebih tinggi dari Fergie dan aku! Kami
langsung berpandangan dengan ngeri.
Kedua anjing itu melangkah maju. Kaki depan mereka menempel ke
dada kami. Dan kemudian kami didorong mundur ke dalam gubuk.
Fergie dan aku sama-sama menjerit ketika kami mulai jatuh.
Gubuk itu ternyata tak berlantai.
Kami seperti melayang-layang. Turun, turun, turun.
Ke dalam lubang yang dalam dan hitam. Lubang yang seakan-akan
tidak mempunyai dasar. AKU mendarat dalam posisi berdiri, pelan-pelan sekali. Aku bahkan
tidak sadar bahwa aku sudah menginjak dasar yang keras.
Apakah kami jatuh ke semacam sumur" Atau ke terowongan yang
digali jauh di bawah gubuk" Aku tidak bisa memastikannya.
Kutarik napas panjang, lalu memandang berkeliling dalam kegelapan
yang pekat. Fergie - kau tidak apa-apa?" aku memanggil. Suaraku
terdengar kecil dan melengking.
"Ra-rasanya sih begitu," dia menjawab setelah beberapa detik.
"Cooper - lihat!"
Aku baru mau menyahut bahwa keadaannya terlalu gelap untuk
melihat apa pun, tapi tiba-tiba aku melihat dua pasang mata merah
yang menyala-nyala. Aku menahan napas. "Jangan bergerak!" ujar sebuah suara yang parau.
"Siapa kalian?" aku nekat bertanya, meskipun dengan suara gemetar.
"Dan mau apa kalian?"
"Kenapa kalian membawa kami kemari?" tanya Fergie. "Kenapa kalian bisa bicara"
Kalian kan anjing." "Kami bukan anjing," suara itu menggeram. "Kami manusia."
"Tapi - tapi - " aku tergagap-gagap.
"Diam!" perintah suara itu. "Jangan bicara di Ruang Ganti."
"Ruang apa?" seruku.
Mata merah itu bersinar-sinar.
"Berabad-abad yang lalu, aku dan temanku ini terkena kutukan," suara itu
melanjutkan, tanpa menggubris pertanyaanku. "Akibat kutukan
tersebut, kami terpaksa menjelajahi hutan ini sebagai anjing. Anjing
hantu." "Sayang sekali," aku bergumam. "Tapi apa hubungannya dengan kami?"
Kedua anjing itu terkekeh-kekeh. Bunyinya lebih mirip suara batuk
daripada tawa. "Kalian berada di Ruang Ganti," mereka memberitahu Fergie dan aku.
"Sudah hampir seratus tahun kami berusaha membawa dua orang ke
sini. Sekarang kami berhasil."
"Terus - ?" tanyaku.
"Kami akan bertukar tempat dengan kalian," suara itu menyahut dengan santai.
"Hah?" teriak Fergie. "Kalian mau apa?"
"Mengambil tempat kalian," suara itu mengulangi. "Dan kalian akan menggantikan
tempat kami. Kalian bakal menggantikan kami sebagai
anjing hantu. Dan kalian akan menjelajahi hutan ini seperti kami -
selama-lamanya!" "Tidak bisa!" seruku. Rasanya aku ingin kabur saja.
Tapi kabur ke mana" Aku dikelilingi kegelapan yang hitam pekat.
"Fergie - ," aku mulai berkata.
Aku mendengarnya menahan napas. Dan kemudian aku mulai merasa
hangat. Seakan-akan tubuhku mendadak terbungkus selimut tebal.
Rasa hangat itu menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku mulai kepanasan. Seolah-olah berada di dalam oven.
Panas. Semakin panas. Sampai wajahku bermandikan keringat dan
aku terengah-engah. Aku tidak tahan lagi! pikirku. Sebentar lagi aku bakal meleleh!
Aku membuka mulut untuk menjerit. Tapi suara yang keluar dari
tenggorokanku bukan suaraku. Suara itu bahkan bukan suara manusia.
AKU membuka mata, disambut cahaya matahari yang terang
benderang. Hutan di sekelilingku tampak buram. Aku berusaha keras untuk
memfokuskan pandangan. Aku menguap. Lalu aku meregangkan semua otot dan menggerak-
gerakkan badan sampai terbangun betul.
Ah! Nikmat sekali rasanya.
Aku mengendus-endus dan kembali bergoyang-goyang. Wow! Ada
bau enak sekali! Perutku keroncongan. Tiba-tiba aku sadar aku kelaparan.
Pandanganku belum sepenuhnya jelas ketika aku berjalan dua langkah
dan jatuh berdebam. Sekali lagi aku bangkit. Rasanya aku kurang seimbang. Ada apa ini"
aku bertanya-tanya. Aku memandang berkeliling. Hei, kenapa pohon-pohon jadi hitam-
putih semuanya" Dan kenapa langitnya kelihatan kelabu" Dan
rumputnya juga" Ke mana semua warna-warni"
Jangan-jangan aku sedang bermimpi.
Tiba-tiba aku mendengar suara di belakangku. Seseorang sedang
berdehem. Aku menoleh - dan melihat seekor labrador hitam.
Aku hendak memekik - tapi yang keluar dari tenggorokanku malah
suara gonggongan. Aku kaget sekali. Kemudian kuamati tubuhku. Tubuhku yang tertutup
bulu. "Ohhh!" Seketika aku bergoyang-goyang dengan keras untuk membebaskan
diriku dari tubuh anjing ini. Nanti, kalau sudah terlepas, pikirku, tubuhku yang
asli bakal kelihatan lagi. Tubuh Cooper.
Sambil bergoyang, aku menoleh ke belakang. Dan melihat buntut
yang panjang dan hitam! Buntutku sendiri!
Aku langsung menyalak. Ya ampun, aku jadi anjing!
Kedua hantu di Ruang Ganti ternyata tidak main-main. Mereka telah
bertukar tempat dengan kami. Fergie dan aku benar-benar jadi anjing
sekarang. Fergie merintih. Kami mulai berjalan. Seluruh tubuh kami gemetar. Buntut kami
tergantung lemas. Rintihan Fergie berubah menjadi lolongan yang
memilukan. Hei, apa itu" Wah, aneh! Rasanya aku mendengar Fergie mengatakan
sesuatu. "Aku memang mengatakan sesuatu," dia menegaskan. "Ehm, sebenarnya, aku
memikirkan sesuatu. Kelihatannya kita bisa saling
membaca pikiran, Cooper."
Oke, Fergie. Kalau begitu, apa yang sedang kupikirkan sekarang"
"Kau sedang memikirkan sisa ati goreng semalam yang disimpan oleh ibumu di
lemari es," kata pikiran Fergie.
Betul! Ternyata kita bisa saling membaca pikiran! Keren!
Berkali-kali aku menjilat bibir sambil memikirkan ati goreng itu. Aku senang
sekali makan ati goreng, ibuku menghidangkannya sekali
seminggu. Wah, aku benar-benar ingin mencicipinya sekarang!
"Fergie, kita harus bagaimana nih" Kita berubah jadi anjing!"
"Aku tahu, Cooper," sahutnya sambil mengusir lalat yang hinggap di belakang
telinganya yang hitam dan panjang.
"Kita harus melakukan sesuatu!" seruku. "Kita tidak bisa begini terus.
Hantu-hantu itu mencuri tubuh kita! Sekarang ini mereka pasti sedang
mengelabui orangtuaku!"
Fergie diam saja. Dia malah berputar-putar sambil mengejar
buntutnya sendiri. "Hei! Asyik juga!"
"Fergie! Jangan bercanda saja! Ini masalah serius!"
"Oke, oke! Sori! Aku juga tidak senang jadi begini!"
Dia berbaring di tanah, dan menaruh moncongnya di antara kedua
kaki depan. Sepertinya dia berpikir keras. "Eh, kau tahu, tidak, Cooper?"
"Apa?" tanyaku sambil berjalan mondar-mandir.
Aku ingin secepatnya menemukan jalan keluar dari masalah ini.
"Kupingmu yang besar malah pantas sekarang setelah kau jadi
anjing." "Aduh, Fergie! Serius sedikit dong!" aku menggeram.
Lalu aku dapat ide. "Aku tahu!" seruku. "Aku tahu apa yang harus kita lakukan. Hantu-hantu itu harus
kita bawa ke gubuk, supaya kita bisa bertukar tempat
lagi dengan mereka!"
"Oh, tentu, Cooper. Gampang kok," ujar Fergie.
"Dan bagaimana caranya" Apa kita datangi mereka terus kita bilang,
'Ehm, maaf, kalian bisa ikut ke gubuk dengan kami" Sebentar saja.'"
Aku menatap Fergie. Dia memang sudah jadi anjing. Tapi wataknya
sama sekali tidak berubah. "Hei, aku tahu apa yang kau pikirkan!"
gumamnya. Aku menghela napas. Hmm, memangnya kau punya
rencana yang lebih bagus?" aku bertanya sambil menggaruk-garuk
leherku. "Sabar dong. Aku juga sedang berpikir nih," balas Fergie sambil menguap.
"Tapi... uuh, aku capek sekali. Barangkali kalau kita tidur dulu - "
"Jangan! Jangan tidur! Kita harus melakukan sesuatu - sekarang juga!
Dengarkan aku. Kita harus minta bantuan orangtuaku. Kita cuma
perlu meyakinkan mereka bahwa kita Cooper dan Margaret yang asli,
dan bahwa anak-anak di rumah itu sebenarnya hantu."
"Dan bagaimana caranya?" Fergie bertanya dengan nada menantang.
Pertanyaan bagus. Pertanyaan yang bagus sekali.
FERGIE dan aku berjalan menembus hutan. Aku mengendus-endus
tanpa henti. Mencium tanah. Mencium rumput. Ternyata ada banyak
sekali bau-bauan yang memikat!
Kami berhenti di tepi hutan di belakang rumahku. Aku mendengar
suara tawa dan orang berteriak-teriak. Lalu aku melihat orangtuaku.
Di pekarangan belakang. Mereka sedang bermain frisbee dengan
Fergie dan Cooper! Dasar hantu kurang ajar! Aku menggeram dengan kesal.
Aku memperlihatkan gigi. Siap menyerang. "Hei!" seru Fergie.
"Tunggu, Cooper! Kau tidak bisa main serbu begitu saja!"
Fergie benar. Itu takkan memecahkan persoalan. Aku memperhatikan
Dad melempar frisbee. Benda itu terbang melintasi pekarangan.
Rasanya aku ingin melompat dan menangkapnya. Tapi aku menahan
diri. Sekarang bukan waktunya untuk bermain-main.
Kemudian aku dapat ide. Ide yang hebat sekali. Ide yang datang hanya
sekali seumur hidup. "Ayo!" aku mengajak Fergie. Aku mulai berlari ke sisi samping rumah.
"Cooper, mau ke mana kau?" Fergie memanggil.
Aku tidak menyahut. Aku berhenti di depan dinding kamar Mickey.
"Siap?" aku bertanya kepada Fergie.
Dia langsung membaca pikiranku. Dia langsung tahu apa yang hendak
kulakukan. Sambil berdampingan kami melompat dan menerobos dinding rumah.
Dan masuk ke kamar kakakku.
Mickey cuma mengenakan pakaian dalam. Dia sedang berdiri di
depan lemari sambil merapikan tumpukan T-shirt. Dia langsung
berpaling dan berseru kaget ketika Fergie dan aku mulai menggeram.
Kakakku memekik tertahan. Matanya terbelalak lebar karena
ketakutan. Perlahan-lahan dia mundur.
Fergie dan aku menyalak dan berdiri tegak.
"Ba-bagaimana kalian bisa - ?" Mickey tergagap-gagap.
Hanya itu yang sempat diucapkannya.
Kemudian dia memekik lagi, melesat melewati kami, menghambur
keluar dari kamarnya. "Mom! Dad! Tolong!" aku mendengarnya
menjerit-jerit. "Mom! Dad!"
Fergie dan aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk melihat dia
berlari melintasi pekarangan - hanya dengan pakaian dalam. Kami
kembali menembus dinding dan menunggu sampai dia menghilang di
balik garasi. "Kau lihat tidak tampangnya tadi?" aku berseru dengan gembira.
"Wah, ini benar-benar asyik."
"Yeah, biar dia tahu rasa!" Fergie ikut berseru.
"Hei!" sebuah suara berteriak dengan tegas. Aku berbalik.
Daddy! "Bagaimana anjing-anjing ini bisa masuk ke pekarangan kita?" Daddy bertanya
dengan ketus. "Ayo. Pergi! Pergi!"
"Tapi, Dad! Ini aku, Cooper!" maksudku berteriak begitu. Namun yang terdengar
cuma Guk! Guk! Guk!. "Pergi! Ayo, pergi!" Daddy mengulangi dengan nada jengkel.
"Dad! Ini aku! Aku!"
"Guk! Guk! Guk! Guk! Guk! Guk! Guk! Guk!"
Dad mengambil sapu dan mengayun-ayunkannya di depan hidung
Fergie dan aku. "Pergi, sana!" serunya.
"Ada apa?" Mom bertanya dari pintu.
"Mom! Ini aku. Cooper!" aku menyalak sejadi-jadinya.
"Oh, Sam. Tolong usir binatang-binatang ini! Kau tahu aku alergi terhadap
anjing." "Tapi, Mom!" aku berseru. "Masa Mom tidak tahu kalau ini aku?"
Guk, guk! Guk, guk, guk. guk, guk!
"Sam, lebih baik telepon tempat penitipan hewan saja. Anjing-anjing ini
kelihatannya berbahaya. Mungkin mereka harus disuntik mati.
Telepon saja ke sana. Petugasnya pasti tahu harus bagaimana."
Dengan kalang-kabut aku menyaksikan Daddy mengangkat gagang
dan memutar sebuah nomor.


Goosebumps - Misteri Anjing Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

FERGIE dan aku langsung kabur ke hutan. Kami berlari sekencang
mungkin. Dalam wujud anjing pun, dia berlari lebih kencang dari aku.
Kami bersembunyi di antara pohon-pohon dan mengamati orangtuaku
bermain frisbee di pekarangan belakang bersama Cooper dan Fergie
yang palsu. Petugas tempat penitipan binatang ternyata tidak muncul. Tapi
situasinya tetap gawat. Orangtuaku menyangka kami cuma anjing liar.
Dan aku tidak bisa memberitahu mereka siapa aku sesungguhnya.
Aku cuma bisa menyalak. Tapi, hei... tunggu dulu. Barangkali ada lagi yang bisa kulakukan.
"Fergie, aku dapat ide lagi!" ujarku sambil mengibas-ngibaskan ekor.
"Ikut aku!" Fergie dan aku mengendap-endap ke sisi samping rumah, lalu
menerobos dinding dan masuk ke ruang keluarga. Aku mengendus-
endus untuk mencari bolpoin dan kertas.
"Akan kutulis pesan untuk mereka," aku menjelaskan kepada Fergie.
"Mom pasti mengenali tulisan tanganku."
Kutemukan bolpoin di atas meja, di samping notes.
Aku langsung mencoba mengangkatnya.
Tapi bolpoin itu jatuh lagi. Aku tidak bisa menggenggamnya dengan
cakarku. Fergie berusaha membantu. Dia mendorong-dorong bolpoin itu
dengan moncongnya, tapi aku tetap tidak bisa mengangkatnya.
Memang tidak mungkin. Mana ada anjing yang bisa memegang
bolpoin. Aku kecewa sekali. Kusingkirkan bolpoin itu. Dan kertasnya kurobek-
robek. Pas saat itulah Daddy masuk.
"Hei! Kok kalian masih ada di sini"!" dia berseru dengan gusar.
Mom dan kedua "penipu" menyusul.
Aku mulai menyalak untuk berkomunikasi dengan Daddy. Tapi itu
malah membuatnya semakin naik pitam.
"Coba berdiri tegak!" aku menyuruh Fergie. "Mudah-mudahan dia mengerti bahwa
kita mau memberitahukan sesuatu!"
Aku mencoba berdiri tegak di atas kaki belakang. Tapi aku kurang
terampil. Habis, aku baru beberapa jam jadi anjing.
Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh berdebam.
Penampilanku pasti konyol sekali. Dan benar saja - semuanya
langsung ketawa ketika melihat tingkahku. "Anjing aneh," ujar Cooper palsu.
Berulang-ulang Fergie dan aku mencoba berdiri tegak. Tapi tak ada
yang mengerti apa maksud kami sebenarnya. Dan setelah beberapa
waktu, me?eka akhirnya bosan menonton kami. Daddy kembali
meraih sapu. Sebenarnya aku bisa saja merebut sapu itu dari tangan Daddy, lalu
menabraknya sampai jatuh. Tapi apa gunanya"
Daddy mengusir aku dan Fergie lewat pintu belakang, dan kami
langsung kabur ke hutan. "Kau benar," aku berkata kepada Fergie, ketika kami sudah berada di tempat aman
di antara pohon-pohon. "Kita tetap jadi anjing seumur hidup. Bukan anjing
sungguhan lagi. Anjing hantu."
"Jangan kuatir," sahut Fergie, yang langsung membaca pikiranku.
"Kita akan meyakinkan mereka. Pasti ada satu cara untuk
memberitahu mereka siapa kita sesungguhnya."
Aku mendesah, lalu berbaring di tanah.
Kalau saja Gary dan Todd ada di sini, mereka pasti tahu apa yang
harus kulakukan. Aku berguling-guling. Dan tiba-tiba punggungku terasa panas. Panas
seperti terbakar. Seketika aku bangun.
"Ada apa?" seru Fergie. "Kenapa kau?"
Aku menggoyang-goyangkan badan dari kepala sampai ekor.
Gerakanku tak terkendali. Sesuatu telah mengambil alih kendali atas
tubuhku. "KUTU!" aku memekik.
Sepertinya ada ribuan kutu yang menempel di badanku. Dan tak satu
pun bisa kujangkau. "Punggungku!" aku berteriak tanpa dapat berbuat apa-apa.
"Punggungku!" Fergie mengangkat kaki depannya dan menggaruk bagian punggung
yang tak terjangkau olehku. "Naik lagi," aku memohon. "Naik lagi.
Aaaaahhhhh, itu dia."
Kedua telingaku menggelantung lemas, dan aku mendesah dengan
lega. Fergie menemukan tempat yang nyaman di bawah pohon birch yang
tinggi. Aku langsung merebahkan diri dan menaruh moncong pada
kaki depanku. Fergie meringkuk di dekat batang pohon itu. Sudah
waktunya untuk menyusun rencana baru.
Dan juga waktunya untuk tidur. Aku sendiri baru sadar betapa
capeknya aku. Waktu berjalan lambat. Rasanya kami sama-sama ketiduran satu atau
dua kali. Sekitar waktu makan siang, kami berlari ke sungai di tengah hutan.
Beberapa kutu masih menempel di kulitku. Kupikir, berendam di air
mungkin bisa membantu. Lalu kami kembali ke bawah pohon birch. Kami berdua sudah
kelaparan. "Barangkali kita bisa cari sisa makanan di rumahku - di tong
sampah," aku mengusulkan.
"Idih! Aku tidak bakal mau makan sampah," Fergie merengek.
"Pokoknya, aku tidak mau." Tapi dia tahu kami tidak punya pilihan lain.
Kami kembali ke rumahku dan mengendap-endap ke pintu samping,
tempat Dad menaruh tong sampah.
Ketika kami sedang mengendus-endus untuk mencari makanan,
Mickey dan orangtuaku membuka pintu belakang dan keluar ke
pekarangan. "Aku tidak mengada-ada, Mom!" seru Mickey. "Anjing-anjing itu anjing hantu!
Mereka menembus dinding kamarku tadi! Mereka bukan
anjing biasa!" "Kalau mau bermain-main seperti itu, ajak Cooper saja," Daddy menyahut dengan
ketus. "Hei, Fergie, barangkali Mickey bisa membantu kita," aku berkata sambil
memperhatikan kakakku. "Dia satu-satunya yang percaya
bahwa kita bukan anjing biasa. Barangkali kita bisa mencari jalan
untuk memberitahu dia siapa kita sebenarnya."
Fergie menghela napas. "Yeah, bisa saja," ujarnya dengan sinis. "Coba bayangkan
tampang orangtuamu kalau Mickey bilang bahwa kedua
anjing yang berkeliaran di sekitar rumah sebenarnya Cooper dan
Margaret Ferguson." Aku menundukkan kepala. Fergie benar. Ayah dan ibuku takkan
percaya. "Tapi kita tidak bisa diam saja!" aku berseru sambil menggaruk-garuk belakang
telingaku. "Aduh, kutu-kutu ini bikin aku gila! Aku tidak bisa hidup seperti
ini!" "Mungkin kau bisa pakai obat kutu," Fergie mengusulkan.
"Oh, ya. Aku tinggal pergi ke toko di pusat kota, menaruh lima dolar di meja
layan, dan minta obat kutu. Dan takkan ada yang
menganggapnya aneh." Aku memutar-mutar bola mata.
"Hei, sori, Cooper," Fergie langsung membela diri. "Maksudku kan baik!"
Fergie dan aku menghabiskan sisa hari itu dengan saling membuat
jengkel. Menjelang waktu makan malam, perutku sudah benar-benar
keroncongan. Lalu aku mencium bau yang benar-benar
membangkitkan selera. Aku mendongakkan kepala dan mengendus-endus penuh semangat.
Bau itu langsung kukenali.
Ati goreng! Ati goreng sisa kemarin malam! "Ayo," aku menyalak kepada Fergie.
"Aku harus dapat bagianku."
Kami menuju ke pintu belakang dan mengintip ke dalam. Seluruh
keluargaku sudah berkumpul di meja makan.
"Ih, air liurmu menetes-netes, tuh," ujar Fergie. "Idih, jorok."
Aku tidak ambil pusing. Aku tidak sanggup mengalihkan pandangan dari piring berisi ati
goreng yang dibawa Mom ke meja makan. Tanpa berkedip aku
memperhatikan Mom menaruh sepotong di piring Daddy.
Kemudian giliran Mickey. Kakakku itu tampak tegang dan gelisah.
Mudah-mudahan dia masih senewen gara-gara kejadian tadi pagi.
Lalu ibuku menaruh sepotong ati goreng di piring Cooper palsu.
Penipu itu langsung tersentak. "Idih!" serunya. "Aku benci ati goreng."
Ibuku terbengong-bengong. "Cooper! Kenapa sih" Ati goreng kan
makanan kesukaanmu!"
Cooper palsu itu mulai tergagap-gagap.
"Oh, ehm, aku bilang aku benci ati goreng, ya" Oh, bukan. Aku, ehm, aku cuma
bercanda, Mom. Aku paling suka ati goreng. Semua orang
juga tahu itu." Mom menatapnya dengan curiga. "Cooper, kau aneh hari ini."
Aku membelalakkan mata. Inilah kesempatan yang kutunggu-tunggu!
Sekaranglah waktu yang tepat untuk mem-beritahu bahwa dia bukan
Cooper yang asli! Bahwa dia cuma penipu!
"Aku mau masuk!" ujarku kepada Fergie.
Aku menerobos pintu dapur dan langsung menuju ke piring berisi ati.
Akan kutunjukkan kepada ibuku siapa Cooper yang sesungguhnya,
pikirku dengan gembira. Cooper yang suka makan ati goreng. Mom
pasti langsung mengenaliku!
Cara ini pasti berhasil! Aku tahu ini kesempatan kami yang terakhir. Kesempatan satu-
satunya. SAMBIL terengah-engah aku menyerbu ke dapur lalu melompat ke
meja makan. Mom menjerit dan melepaskan piring berisi ati goreng. Piringnya
langsung jatuh ke lantai.
Seketika aku membungkuk dan mulai makan. Hmm, rasanya lezat
sekali! "Lihat, Mom! Lihat, nih! Ini aku! Anakmu, Cooper!" aku berseru sambil mengunyah.
"Sam! Lakukan sesuatu! Binatang itu menghabiskan makan malam
kita!" Hah" Binatang" "Bukan, Mom! Ini aku! Anakmu! Lihat, aku senang
makan ati goreng!" Tapi percuma saja. Mom cuma mendengar, "Guk, guk! Guk, guk! Guk, guk! Guk, guk,
guk, guk!" Daddy mendorong kursinya menjauhi meja dan meraih koran di atas
meja racik. Koran itu digulungnya, lalu dipakai untuk memukul
moncongku. "Aduh!" Sakit sekali! "Mudah-mudahan orang di tempat penitipan hewan sudah selesai
bicara," ujar Mom sambil mengangkat gagang telepon. "Coba giring anjing-anjing
itu ke dapur dan kunci pintu. Kita sekap mereka di situ sampai para petugas
datang." Cooper dan Margaret palsu membantu ayahku menggiring kami ke
dapur. "Anjing nakal! Anjing nakal!" seru Margaret palsu.
"Dad, apakah para petugas bakal membawa pistol suntik?" tanya Cooper yang palsu.
"Mungkin," sahut ayahku. Aku melirik ke arah Fergie.
Pistol suntik" Wah, kalau begitu aku menyerah saja.
Seumur hidup belum pernah aku berlari sekencang ini. Bahkan lebih kencang dari
Fergie. "Ada ide gemilang lagi?" tanya Fergie setelah kami berada di hutan.
Aku cuma menggeram dan berpaling ke arah lain. Matahari sudah
mulai menghilang di balik pepohonan. Udara terasa sejuk. Sebentar
lagi hari akan gelap. "Dan kenapa kau tidak menyisakan ati goreng untukku?" ujar Fergie dengan ketus.
"Aku juga lapar, tahu"!"
Aku tidak menggubrisnya. Pandanganku tertuju ke rumahku. Aku melihat ayah dan ibuku
mencuci piring di dapur. Perasaanku kacau-balau. Tanpa sadar aku mulai merintih-rintih.
Seandainya saja aku berada di dalam rumah yang hangat dan nyaman.
Sebentar lagi sudah gelap. Dan aku tidak berminat tidur di tengah
hutan. Berpikirlah, Cooper! Pakai otakmu! aku berkata dalam hati. Pasti ada
jalan agar kami bisa kembali menjadi manusia.
"Hei!" seruku. "Aku baru teringat sesuatu!" seruku.
Fergie membuka mata dan menguap lebar. Rupanya dia sempat
ketiduran tadi. "Ada apa lagi nih?" tanyanya terkantuk-kantuk.
"Kita ini anjing, bukan?"
"Betul." "Jadi kita harus bersikap seperti anjing!"
Fergie memicingkan mata. "Cooper, apa sih maksudmu?"
Aku menarik napas panjang. "Oke, coba dengarkan," aku mulai menjelaskan. Kau
masih ingat bagaimana kedua anjing hantu
mengajak kita ke gubuk itu?"
Fergie mengangguk. "Itulah yang harus kita lakukan! Kita tarik anak-anak itu ke sana, persis
seperti mereka menarik kita! Itulah yang akan dilakukan anjing!
Fergie mengangkat kepala. Kupingnya berdiri tegak. "Wah, boleh
juga." "Kita anjing," aku melanjutkan. "Kita bergigi tajam, bukan" Tajam sekali, malah.
Kita seret mereka ke hutan, ke Ruang Ganti - dan
dalam sekejap kita sudah jadi Cooper dan Fergie lagi!"
Fergie berdiri dan mengibas-ngibaskan ekor. "Yeah!" serunya dengan gembira.
"Oke, begini rencanaku." Dengan kaki depan aku membuat diagram di tanah.
"Penipu-penipu itu ada di sini, di ruang duduk. Kita terobos dinding dan kita
seret mereka keluar lewat pintu dapur. Biarkan saja
seandainya Mom dan Dad mengejar. Kita bisa lari lebih kencang dari
mereka." "Aku siap. Ayo, tunggu apa lagi?" seru Fergie.
Kami menuju ke rumah lalu menerobos dinding, persis seperti yang
kami rencanakan. Cooper dan Margaret palsu sedang asyik menonton MTV di ruang
duduk. Mereka kaget sekali ketika kami tiba-tiba muncul dari dinding.
"Mom!" Cooper palsu berteriak dengan sekuat tenaga. "Dad! Tolong!
Anjing-anjing itu datang lagi!"
Fergie dan aku segera menghampiri mereka sambil menggeram dan
memperlihatkan gigi. Aku mencengkeram mata kaki Cooper palsu, dan secara bersamaan
orangtuaku dan Mickey muncul di pintu. Langsung saja aku memberi
isyarat kepada Fergie agar jangan membuang-buang waktu. Dia pun
segera melompat maju dan mencengkeram pergelangan tangan
Margaret palsu dengan giginya.
Lalu kami mulai menarik. "Mom! Dad! Tolong!" teriak Cooper palsu.
"Mr. Holmes!" Fergie palsu memekik-mekik. "Tolong! Kami diserang!"
Mom segera berbalik untuk mengambil sapu.
Tapi sebelum ayahku sempat bertindak, Fergie dan aku sudah
menyeret kedua penipu itu sampai ke dapur.
Aku melirik ke arah Mickey. Dia meringkuk di pojok, seluruh
badannya gemetar. Sayang sekali aku tidak punya waktu untuk menikmati adegan itu.
Kami sudah keluar dari dapur sekarang. Semuanya berjalan sesuai
rencana. Sebentar lagi Fergie dan aku sudah kembali ke wujud kami
yang asli.

Goosebumps - Misteri Anjing Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua penipu itu pun sudah tahu mereka hendak dibawa ke mana.
Tapi tak ada yang bisa mereka lakukan. Fergie dan aku terlalu kuat,
terlalu menakutkan. "Dad! Tolong!" Cooper palsu berseru sekali lagi.
"Tenang saja!" sahut ayahku. Sepertinya anjing-anjing itu tidak bermaksud
menyakiti kalian! Kelihatannya mereka cuma ingin agar
kita mengikuti mereka!"
Nah, begitu dong! Tidak lama kemudian aku sudah melihat lapangan tempat gubuk tua
itu berdiri. Sebentar lagi, pikirku dengan gembira. Dalam beberapa
menit saja Fergie dan aku sudah bisa berjalan pulang bersama
orangtuaku. Dengan dua kaki. Kami takkan diganggu kutu lagi. Dan
kami tak perlu mencari makan di tong sampah. Aku sudah tidak sabar!
Kami sampai terengah-engah ketika kedua penipu yang meronta-ronta
itu berusaha membebaskan diri.
Namun cengkeraman Fergie dan aku tidak mengendur sedikit pun.
Mereka kami tarik dan seret dengan sekuat tenaga.
Lalu, akhirnya, kami sampai di gubuk tua. Kedua penipu itu kami
paksa mundur sampai merapat ke pintu.
Sejenak aku melepaskan Cooper palsu dari cengkeramanku. Aku tidak
punya pilihan. Aku digigit kutu dan gatalnya minta ampun.
Si penipu berusaha kabur.
"Cooper! Dia mau kabur!" Fergie menyalak.
"Jangan kuatir!" sahutku, juga sambil menyalak. Cepat-cepat kukejar penipu itu
dan kugigit bajunya. Lalu kutarik dia kembali ke gubuk.
Fergie yang palsu menjerit-jerit. "Jangan! Jangan! Aku tidak mau masuk ke situ
lagi!" Aku menatapnya sambil melotot.
"Tenang, Margaret, tenang!" aku mendengar Mom berseru. "Jangan takut. Kita lihat
saja apa yang hendak ditunjukkan anjing-anjing itu."
Sudah waktunya untuk bertukar tempat lagi.
"Sekarang!" aku memekik.
Fergie dan aku menerjang kedua penipu. Sambil terhuyung-huyung
mereka terdorong masuk. Kami segera menyusul.
Sekali lagi kami berempat melayang-layang, dan menghilang dalam
kegelapan yang pekat. Sekali lagi aku merasa pusing. Dan hangat. Hangat. Semakin hangat.
Seakan-akan diselubungi selimut tebal.
Aku merasakan sesuatu terjadi pada diriku. Dan kemudian aku
berubah di tengah kegelapan, di tengah hawa panas yang nyaris tak
tertahankan. Aku menoleh ke atas. Sebuah bayangan membara tampak melayang di
atasku. Sebuah bayangan dengan mata merah yang kecil sekali.
Seluruh tubuhku terguncang. Aku mulai gemetaran.
Aku langsung tahu ada yang tak beres.
"Fergie!" seruku dengan suara parau. "Ada yangtidak beres nih!"
"COOPER!" Mom berseru dengan lega. Dia berlari menghampiriku sambil merentangkan
tangan. "Kau tidak apa-apa?"
"Margaret, apa yang terjadi di dalam situ?" tanya Daddy. "Ke mana anjing-anjing
itu?" "Kami tidak apa-apa," Margaret bergumam. "Ini cuma gubuk kosong."
"Begitu kita sampai di rumah, aku akan menelepon tempat penitipan hewan," ujar
Mom. "Anjing-anjing itu tidak boleh dibiarkan berkeliaran. Mereka
berbahaya!" "Ayo! Kita pergi saja dari sini," kata Cooper.
Fergie mengangguk-angguk. "Kami tidak apa-apa kok. Kami cuma
ingin pulang." "Wah, petualangan yang menegangkan," Mom berkomentar sambil menghela napas.
"Paling tidak, rumah kita yang baru jadi tidak membosankan," Daddy menimpali.
"Yeah, betul sekali," kata Cooper.
"Apa yang terjadi?" tanyaku sambil menggosok-gosok mata.
Aku memperhatikan orangtuaku berjalan menjauhi gubuk sambil
merangkul dua anak. "Hei! Anak-anak itu!" aku berseru. "Itu bukan kita!"
Pintu gubuk terbuka, dan dua anjing labrador hitam sempoyongan
keluar. Mereka berpandangan sejenak, lalu langsung kabur sambil
menggonggong. Ada apa dengan mereka" aku bertanya-tanya. Aku
memperhatikan kedua anjing itu menghilang di balik pepohonan.
Ada apa ini" aku bertanya dalam hati. Aku benar-benar bingung.
Aku bukan manusia - tapi aku juga bukan anjing! "Hei, Fergie!
Fergie?" Di mana dia" Waktu dia muncul di sampingku, kami sama-sama memekik tertahan.
"0h, aduh! Aduh! Aduuuhhh!" dia meratap.
Dia memalingkan wajahnya, dan hidungnya yang kecil dan berwarna
cokelat tampak berkerut-kerut.
"Oh, ini tidak mungkin!" seruku. "Aku pasti salah lihat! Fergie -
katakan aku salah lihat..."
"Kau tidak salah lihat!" Fergie menyahut dengan suaranya yang kecil sekali.
"Kita... kita berubah jadi tupai!"
Kami sama-sama mencicit. Fergie mengamati tubuhnya yang mungil dan tertutup bulu.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Cooper" Bagaimana ini bisa terjadi?"
"Di hutan ini memang banyak tupai," jawabku sambil menghela napas. "Rupanya ada
dua tupai yang masuk Ruang Ganti. Dan kita - "
"Kita bertukar tempat dengan tupai - bukan dengan anak-anak itu!"
seru Fergie. Buntutnya yang tebal memukul-mukul tanah.
Kuamati tanganku yang hitam. Kugerak-gerakkan jari-jemariku yang
mungil. Kukerut-kerutkan hidungku yang kecil.
Aku begitu lucu. "Sekarang bagaimana?" Fergie meratap. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Ehm... cari biji-bijian?" aku mengusulkan.
Fergie menatapku dengan heran. "Apa?"
"Ayo, kita cari biji-bijian!" sahutku. "Aku lapar sekali!" END
Suramnya Bayang Bayang 29 Pendekar Pulau Neraka 36 Titisan Siluman Harimau Manusia Srigala Hantu 2
^