Pencarian

Rahasia Kepala Terpenggal 1

Goosebumps - Rahasia Kepala Terpenggal Bagian 1


Chapter 1 SUDAH pernah main Jungle King belum" Game komputer itu
seru sekali dan benar-benar heboh. Asal jangan terjebak pasir isap atau diremas
sampai remuk oleh tumbuhan rambat.
Kita harus bergerak cepat untuk berayun dari pohon ke pohon.
Terlambat sedikit saja, kita sudah dililit tumbuhan rambat. Dan sambil berayun,
kita juga harus menyambar kepala-kepala terpenggal yang
tersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak.
Kalau kita berhasil mengumpulkan sepuluh kepala, nyawa kita
bertambah satu. Kita butuh banyak nyawa cadangan untuk permainan
yang satu ini. Game ini bukan untuk pemula.
Aku biasa main Jungle King bersama teman-temanku, Eric dan
Joel. Umur mereka dua belas tahun, sama seperti aku. Adik
perempuanku, Jessica, baru delapan. Dia selalu nimbrung, tapi kami tak pernah
mengajaknya bermain. Soalnya dia suka nyebur ke pasir
isap. Dia paling senang bunyi srot-srot-srot yang terdengar waktu tubuh kita
diisap ke bawah. Jessica tak pernah bisa mengerti maksud permainan ini.
"Mark, kenapa kita tidak main game yang lain saja?" Joel bertanya padaku.
Aku tahu kenapa dia mau berhenti. Dia baru saja diinjak-injak
oleh badak merah, jenis badak paling ganas.
Joel, Eric, dan aku sedang berkerumun di depan komputer di
kamarku. Kami lagi libur musim dingin. Jessica duduk di jendela
sambil membaca buku. Sinar matahari yang menerobos dari luar
membuat rambutnya yang merah kelihatan berkilau-kilau.
"Kah-lee-ahh!" aku berseru sambil menyambar kepala
terpenggal kedelapan. Kah-lee-ahh adalah teriakan perangku. Kata itu tiba-tiba
saja muncul dalam benakku. Aku sendiri tidak tahu apa
artinya, tapi yang penting kedengarannya ramai.
Hidungku nyaris menempel di layar monitor. Aku segera
merunduk ketika tombak-tombak beterbangan dari balik semak
belukar. "Kah-lee-ahh!" seruku sambil kembali memungut kepala
terpenggal. "Ayo, dong, Mark," Eric mendesak. "Memangnya kau tidak punya game yang lain?"
"Yeah. Masa kau tidak punya game olahraga?" tanya Joel. "Aku paling suka March
Madness Basketball. Itu baru seru!"
"Mutant Football juga ramai!" Eric menimpali.
"Aku suka game yang ini," sahutku tanpa mengalihkan
pandangan dari layar. Barangkali kau mau tahu kenapa aku begitu senang main Jungle
King" Aku rasa karena aku suka berayun dari pohon ke pohon.
Masalahnya, aku agak gendut. Gendut dan pendek. Potongan
badanku mirip badak merah. Karena itu aku senang melayang-layang
jauh di atas tanah, bagaikan burung.
Tapi, game-nya sendiri memang seru.
Joel dan Eric kurang menyukai permainan ini. Soalnya aku
selalu menang. Dalam permainan pertama sore ini, Joel langsung
dilahap buaya. Jadi pantas saja kalau dia agak kesal.
"Kalian tahu game apa yang dibelikan ayahku?" tanya Joel.
"Battle Solitaire."
Aku semakin merapat ke layar. Aku harus memutar otak supaya
bisa lolos dari jebakan pasir isap yang paling berbahaya. Kalau sampai salah
perhitungan, aku akan jatuh ke pasir yang bakal menelanku
tanpa ampun. "Game apa itu?" Eric bertanya pada Joel.
"Permainan kartu," Joel menjelaskan. "Seperti Solitaire yang biasa. Tapi semua
kartunya punya senjata dan bisa bertempur."
"Hei, jangan ribut dong!" ujarku. "Aku lagi berkonsentrasi nih.
Kalau tidak, bisa-bisa aku jatuh ke pasir isap.
"Tapi Joel dan aku sudah bosan," Eric menggerutu.
Aku meraih tumbuhan rambat yang menggelantung di depanku.
Aku berayun kencang-kencang, lalu mengulurkan tangan untuk
meraih tumbuhan rambat yang berikut.
Tiba-tiba pundakku ditabrak dari belakang. "Aduh!"
Aku sempat melihat kilau rambut merah, dan aku langsung tahu
bahwa si pengacau adalah Jessica. Dia ketawa cekikikan, lalu
mendorongku sekali lagi. Di layar monitor, aku menyaksikan diriku jatuh dari pohon,
terjun ke tengah pasir isap, langsung lenyap dari pandangan.
Srot-srot-srot. Aku mati.
Dengan kesal aku membalik. "Jessica - !"
"Giliranku!" Dia menatapku sambil nyengir dengan giginya yang ompong.
"Kita terpaksa mulai dari awal lagi!" ujarku.
"Malas ah!" seru Eric. "Aku mau pulang saja."
"Aku juga," kata Joel sambil membetulkan letak topi baseball-nya.
"Sekali lagi deh!" aku memohon.
"Ayo, Mark. Kita main di luar saja," Joel mengajakku. Dia memandang sinar
matahari yang masuk lewat jendela kamarku.
"Yeah. Mumpung cuacanya lagi bagus. Kita bisa main frisbee,"
Eric mengusulkan. "Atau main skateboard."
"Sekali lagi deh. Habis itu kita main di luar," aku berkeras.
Aku memperhatikan mereka berjalan menuju ke pintu.
Aku benar-benar enggan keluar dari hutan di monitor. Aku
sendiri tidak tahu kenapa aku begitu suka hutan. Tapi dari kecil aku memang
sudah tergila-gila pada segala sesuatu yang ada sangkut
pautnya dengan hutan rimba.
Aku suka sekali nonton film-film lama di TV, film yang
berhubungan dengan hutan. Dan waktu masih kecil, aku selalu
berlagak jadi Tarzan, si raja hutan belantara. Jessica selalu mau ikutan. Dia
selalu kusuruh berperan sebagai Cheetah, simpanse
piaraanku yang bisa bicara.
Dia cocok sekali untuk peran itu.
Tapi sejak dia berumur enam atau tujuh tahun, dia tak mau lagi
jadi simpanse. Dia malah jadi pengacau kelas dunia.
"Aku mau ikut main Jungle King," Jessica menawarkan, setelah kedua temanku
pulang. "Tidak," sahutku sambil menggelengkan kepala. "Kau cuma mau menyebur ke pasir
isap." "Tidak kok. Kali ini aku serius mau main," dia berjanji. "Aku akan berusaha
menang. Sungguh." Aku sudah hampir mengalah ketika bel pintu di bawah
berdering. "Mom ada di rumah?" aku bertanya sambil pasang telinga.
"Kayaknya sih sedang di pekarangan belakang," jawab Jessica.
Akhirnya aku bergegas turun untuk membuka pintu. Siapa tahu
Joel dan Eric berubah pikiran, kataku dalam hati. Barangkali mereka balik lagi
untuk main Jungle King. Aku membuka pintu depan. Dan menatap benda paling mengerikan yang pernah kulihat.
Chapter 2 AKUmenatap sebuah kepala.
Kepala manusia yang telah mengerut sampai seukuran bola
tenis. Bibirnya yang pucat dan kering seakan-akan menyeringai.
Lehernya dijahit dengan benang tebal berwarna hitam. Kedua
matanya - yang berwarna hitam legam - menatapku tanpa berkedip.
Sebuah kepala sungguhan. Dan terpenggal.
Aku terbengong-bengong. Saking kagetnya, aku sempat tidak
sadar bahwa ada wanita yang memegangnya.
Orangnya tinggi. Usianya kira-kira sebaya ibuku, mungkin
sedikit lebih tua. Rambutnya yang pendek berwarna hitam, dan telah beruban di
sana-sini. Ia mengenakan jas hujan panjang yang dikancing sampai ke leher,
padahal cuacanya lagi cerah dan hangat.
Wanita itu menatapku sambil tersenyum. Matanya tidak
kelihatan, karena tersembunyi di balik kacamata hitam yang lebar.
Dia membawa kepala itu dengan mencengkeram rambutnya
yang hitam dan tebal. Tangannya yang satu lagi memegang koper
kanvas berukuran kecil. "Kau Mark, bukan?" tanyanya. Suaranya empuk dan lembut, seperti suara iklan di
TV. "Ehm... yeah," aku menjawab. Mataku terus menatap tak
beralih dari kepala di tangannya. Di foto-foto kelihatannya tidak sejelek ini.
Kering-kerontang dan penuh keriput.
"Moga-moga kau tidak kaget melihat ini," ujar wanita itu sambil tersenyum. "Saya
sudah tak sabar memberikannya padamu, jadi langsung saya keluarkan dari koper."
"Jadi ini, eh, untukku?" tanyaku tanpa berkedip. Kepala itu membalas tatapanku
dengan matanya yang hitam. Matanya lebih
mirip mata boneka beruang-beruangan daripada mata manusia.
"Ini titipan dari bibimu, Aunt Benna," wanita itu berkata."
Kepala itu disodorkannya padaku. Tapi aku tidak menerimanya.
Sepanjang hari aku memang sibuk mengumpulkan kepala terpenggal
di komputerku. Tapi kepala yang ini soal lain.
"Mark - siapa itu?" Mom muncul di belakangku. "Oh. Halo."
"Halo," wanita itu menyahut dengan ramah. "Anda sudah terima surat Benna" Dia
memberitahu Anda bahwa saya akan datang. Saya
Carolyn Hawkins, teman kerja Benna di pulau."
"Astaga," seru Mama. "Surat Benna pasti terselip. Mari, silakan masuk." Dia
menarikku ke samping agar Carolyn bisa masuk ke
rumah kami. "Coba lihat oleh-oleh yang kudapat dari Aunt Benna," ujarku.
Aku menunjuk kepala kecil di tangan Carolyn.
"Idih!" Mama memekik sambil menempelkan sebelah tangan ke pipi. "Itu bukan
kepala sungguhan, kan?"
"Tentu saja ini kepala sungguhan!" seruku. "Mana mungkin Auntie mengirimku
kepala tiruan!" Carolyn melangkah ke ruang tamu dan meletakkan kopernya
yang kecil. Aku menarik napas dalam-dalam. Sambil mengerahkan
segenap keberanianku, kuraih penggalan kepala itu.
Tapi sebelum tanganku menyentuhnya, Jessica berlari masuk -
dan merebut kepala itu dari tangan Carolyn.
"Hei - !" aku berseru, lalu berusaha menangkapnya.
Dia langsung kabur sambil ketawa cekikikan. Rambutnya yang
merah melambai-lambai. Kepala itu digenggamnya dengan kedua
tangan. Tapi tiba-tiba dia berhenti.
Senyumnya mendadak lenyap. Dia menatap kepala itu sambil
membelalakkan mata. "Aku digigit!" teriak Jessica. "Aku digigit!"
Chapter 3 AKU menahan napas. Mom meremas pundakku. Jessica mulai
cekikikan. Ternyata dia cuma bercanda.
Kepala itu dioper-opernya dari tangan kanan ke tangan kiri. Dia
menatapku sambil nyengir. "Kau memang bodoh, Mark. Dari semua orang yang
kukenal, kaulah yang paling gampang ditipu."
"Sini! Kembalikan kepalaku!" aku berseru dengan gusar. Aku melesat melintasi
ruang tamu, berusaha merampas kepala itu dari
tangan adikku. Dia hendak menariknya - tapi aku menggenggamnya keras-
keras. "Hei - gara-gara kau kepalanya jadi tergores deh!" aku
memekik. Memang benar. Kepala itu kuperiksa dengan saksama. Cuping
telinga sebelah kanan tergores kuku adikku.
"Jessica," ibuku berkata sambil menyilangkan tangannya dan merendahkan suaranya.
Itulah yang selalu dilakukannya sebelum dia marah. "Jangan aneh-aneh. Kita
sedang ada tamu." Jessica pun menyilangkan tangan. Dia membalas tatapan Mom
sambil cemberut. Mom berpaling kepada Carolyn. "Bagaimana keadaan Benna?"
Carolyn membuka kacamata hitamnya, lalu menyelipkannya ke
kantong jas hujan. Matanya berwarna kelabu keperakan. Dia kelihatan lebih tua
tanpa kacamata hitam. Kulit di sekitar sudut matanya penuh keriput halus.
"Benna baik-baik saja," katanya. "Seperti biasa, dia sedang bekerja keras.
Malahan terlalu keras. Kadang-kadang sampai berhari-hari dia masuk hutan."
Carolyn menghela napas dan mulai membuka kancing-kancing
jas hujannya. "Anda tentu tahu bahwa bekerja adalah segala-galanya bagi Benna,"
dia melanjutkan. "Seluruh waktunya dihabiskan dengan menjelajahi hutan di
Baladora. Sebenarnya dia sendiri ingin
berkunjung ke sini. Tapi dia tidak bisa meninggalkan pulau itu.
Karena itu dia minta saya kemari."
"Hmm, saya senang bisa berkenalan denganmu, Carolyn," kata ibuku dengan ramah.
"Coba kalau surat Benna tidak tercecer, kami bisa menjemputmu di bandara."
Mom menggantungkan jas hujan Carolyn di samping pintu.
Carolyn mengenakan setelan kemeja celana pendek berwarna cokelat.
Pakaiannya memang seperti penjelajah hutan.
"Silakan duduk," ujar Mom. "Mau minum apa?"
"Secangkir kopi, kalau tidak merepotkan," jawab Carolyn. Dia mengikuti ibuku ke
dapur. Tapi kemudian dia berhenti dan menatapku sambil tersenyum. "Kau suka
hadiahmu?" Aku menatap kepala berkerut-kerut di tanganku. "Yeah, bagus
sekali!" sahutku. ***************** Sebelum tidur malam itu, kepala tersebut kuletakkan di atas
meja belajarku. Rambutnya yang hitam dan tebal kusisir ke belakang.
Keningnya ternyata berwarna hijau tua, penuh keriput bagaikan
kismis. Matanya menatapku tanpa ekspresi.
Tadi Carolyn mengatakan bahwa kepala itu umurnya sudah
lebih dari seratus tahun. Aku bersandar di meja, mengamati kepala itu.
Rasanya sukar dipercaya bahwa kepala tersebut betul-betul kepala
manusia. Idih. Bagaimana kepala ini sampai terpenggal" tanyaku dalam hati.
Dan siapa yang membuatnya mengerut seperti ini" Siapa yang
menyimpannya setelah dibuat kecil"
Seandainya saja Aunt Benna ada di sini, dia pasti akan
menjelaskan semuanya padaku.
Carolyn tidur di kamar tamu di ujung lorong. Sebelum masuk
ke kamar masing-masing, kami semua berkumpul di ruang tamu dan
mengobrolkan bibiku. Carolyn menceritakan pekerjaan Aunt Benna di pulau tropis
itu. Dia juga bercerita tentang benda-benda luar biasa yang mereka temukan di
Baladora. Aunt Benna adalah salah satu ilmuwan yang cukup terkenal.
Sudah hampir sepuluh tahun dia tinggal di Baladora. Dia meneliti
binatang-binatang hutan. Dan tumbuh-tumbuhannya.
Semua cerita Carolyn kudengarkan tanpa berkedip. Aku seperti
masuk ke game Jungle King.
Jessica terus merengek agar aku mengizinkan dia bermain
dengan kepala itu. Tapi tentu saja aku menolak. Belum apa-apa dia sudah membuat
cuping telinganya tergores.
"Ini bukan mainan. Ini kepala orang," aku berkata kepada adikku.
"Kutukar dengan dua bola bekel," Jessica menawarkan.
Yang benar saja! Mana mungkin aku menukar benda bernilai seperti itu dengan
dua bola bekel" Kadang-kadang aku meragukan kewarasan adikku itu.
Pukul sepuluh aku disuruh masuk kamar oleh ibuku. "Ada
beberapa hal yang perlu kami berdua bicarakan," katanya. Aku mengucapkan selamat


Goosebumps - Rahasia Kepala Terpenggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam, dan segera naik ke kamarku.
Kuletakkan kepala itu di atas meja belajar, kemudian ganti baju.
Matanya yang hitam seakan-akan bersinar sejenak ketika aku
mematikan lampu. Aku naik ke tempat tidur dan menyingkap selimut. Cahaya
bulan berwarna keperakan masuk melalui jendela. Kepala di meja
belajarku kelihatan jelas dalam cahaya yang terang.
Kenapa dia menyeringai seperti itu" pikirku. Aku merinding.
Tampangnya betul-betul menakutkan.
Pertanyaan itu kujawab sendiri: Kau pun takkan tersenyum,
Mark, seandainya kepalamu pun dibuat mengerut!
Aku tertidur sambil menatap kepala kecil yang jelek itu.
Aku terlelap, tanpa bermimpi.
Aku tidak tahu berapa lama aku sudah tidur. Tapi di tengah
malam buta aku terbangun karena mendengar bisikan yang membuat
bulu kudukku berdiri. "Mark... Mark..."
Chapter 4 " MARK... Mark..."
Bisikan mengerikan itu bertambah keras.
Aku langsung terduduk. Mataku terbelalak. Dalam kegelapan
yang pekat, aku melihat Jessica berdiri di samping tempat tidurku.
"Mark... Mark...," dia berbisik sambil menarik-narik lengan piamaku.
Aku menelan ludah. Jantungku berdegup-degup. "Hah" Kau"
Ada apa sih?" "A-aku mimpi buruk," katanya tergagap-gagap. "Sampai terjatuh dari tempat
tidur." Jessica memang sering jatuh dari tempat tidur, paling tidak
sekali seminggu. Ibuku bilang, dia akan membuat pagar yang tinggi di sekeliling
tempat tidur Jessica, supaya Jessica tidak jatuh lagi. Pilihan lainnya adalah
membelikan tempat tidur ukuran king-size untuk dia.
Tapi kurasa Jessica justru akan semakin berguling-guling jika
tempat tidurnya lebih besar, dan tetap jatuh ke lantai. Biarpun lagi tidur,
adikku itu tetap merepotkan!
"Aku mau minum," dia berbisik sambil menarik lengan
piamaku. Aku mengerang sambil mengibaskan tangan. "Ambil sendiri di
bawah. Kau kan bukan bayi," aku menggeram.
"Aku takut." Dia meraih tanganku dan menariknya. "Temani aku dong."
"Jessica - !" aku mulai memprotes. Tapi apa gunanya. Setiap kali dia bermimpi
buruk, aku terpaksa mengantarnya ke dapur untuk mengambil air.
Aku turun dari tempat tidur. Berdua kami menuju ke pintu.
Kami sama-sama berhenti di depan meja belajar. Kepala terpenggal
itu menatap kami dalam kegelapan.
"Pasti gara-gara kepala itu aku jadi bermimpi buruk," Jessica berbisik pelan-
pelan. "Jangan cari kambing hitam," sahutku sambil menguap.
"Hampir setiap malam kau bermimpi buruk - ya, kan" Soalnya
otakmu memang tidak beres."
"Enak saja!" Jessica berseru dengan gusar. Dia menonjok pundakku. Keras sekali.
"Kalau kau memukulku lagi, aku tidak mau menemanimu ke
dapur," aku mengancam.
Dia menyentuh pipi kepala terpenggal itu dengan ujung jari.
"Idih. Rasanya seperti kulit sepatu."
"Barangkali kepala memang jadi keras kalau mengerut," aku berkomentar.
"Kenapa bukan aku yang dapat kepala itu dari Auntie?" tanya Jessica.
Aku angkat bahu. "Mana kutahu." Kami mengendap-endap
keluar kamar, menuju ke tangga. "Barangkali karena Auntie tidak ingat kau.
Terakhir kali dia kemari, kau masih bayi. Aku baru empat tahun, waktu itu."
"Mana mungkin dia lupa?" balas Jessica. Dia memang paling senang berdebat.
"Mungkin dia pikir anak perempuan tidak suka potongan kepala seperti ini,"
ujarku. Perlahan-lahan kami turun menuju ke dapur.
Tangganya berderak-derak.
"Siapa bilang?" balas Jessica. "Aku suka."
Aku mengisi segelas air, lalu menyerahkannya pada adikku. Dia
langsung mereguknya sampai habis, glek-glek-glek. "Kepala itu kita bagi dua,
ya?" dia berusaha membujukku.
"Tidak bisa," aku menjawab dengan tegas.
Mana mungkin satu kepala dibagi-bagi"
Kami kembali ke atas. Aku mengantar Jessica ke kamarnya dan
menunggu sampai dia naik ke tempat tidur. Kemudian aku menyelinap ke kamarku dan
langsung berbaring lagi. Aku menguap lebar dan menarik selimut sampai ke dagu.
Aku memejamkan mata, tapi segera melek kembali. Kenapa ada
cahaya kuning di kamarku"
Mula-mula kupikir ada yang menyalakan lampu koridor.
Tapi ketika aku memandang ke pintu sambil memicingkan
mata, aku melihat bahwa cahaya itu bukan cahaya lampu. Potongan
kepala itu bersinar dalam kegelapan!
Seakan-akan dikelilingi api.
Dan dalam cahaya kuning itu, aku melihat matanya menyala-
nyala. Dan bibirnya - bibirnya yang kering dan meringis terus - mulai
berkedut-kedut. Lalu mengembangkan senyum yang mengerikan.
Chapter 5 "AHHHH!" Aku menjerit ketakutan. Kepala yang bersinar itu menatapku sambil menyeringai,
sementara matanya menyala-nyala.
Kucengkeram seprai tempat tidurku. Dengan kalang kabut aku
berusaha turun dari tempat tidur. Tapi kakiku terlilit selimut. Aku jatuh
berdebam ke lantai. "Ahhhh!" aku memekik. Seluruh tubuhku gemetaran. Saking kerasnya, aku nyaris
tidak bisa berdiri. Aku menoleh dan melihat kepala itu melayang-layang di atas
meja belajarku. Melayang-layang di udara. Melayang-layang ke
arahku bagaikan komet. Aduh! Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Ketika aku
menoleh lagi, kepala itu telah kembali ke meja belajar.
Mungkinkah aku cuma berkhayal"
Aku tidak peduli. Aku berlari keluar dari kamarku. "Kepalanya bersinar!" aku
memekik-mekik. "Kepalanya bersinar!"
Jessica muncul di pintu ketika aku berlari melewati kamarnya.
"Mark - ada apa?" tanyanya.
Aku tidak berhenti. Aku tidak menjawab. Aku terus berlari
menyusuri lorong, ke kamar orangtuaku. "Kepalanya!" aku menjerit.
"Kepalanya!" Saking ngerinya, aku tidak menyadari apa yang kulakukan.
Pintu kamar orangtuaku tertutup. Tapi aku membukanya tanpa
mengetuk dulu. Ibuku tidur di sisi kiri ranjang. Ayahku sedang tugas ke luar
kota. Mom langsung terduduk ketika aku menyerbu masuk. "Mark?"
serunya kaget. Aku segera menghampirinya. "Mom - kepala itu - kepala itu
bersinar!" aku memekik dengan suara melengking. "Kepalanya bersinar, dan - dan
menyeringai!" Mom berdiri lalu memelukku. Aku merasa aman sekali dalam
pelukannya. Seluruh tubuhku gemetaran. Tiba-tiba aku merasa jadi
anak kecil lagi. "Mark, kau bermimpi buruk," katanya dengan lembut. Dia
mengusap rambutku, seperti yang biasanya dilakukannya ketika aku
masih kecil. "Tapi, Mom - " "Itu cuma mimpi. Coba tarik napas dalam-dalam. Kau
gemetaran." Aku melepaskan diri dari pelukannya. Mana mungkin cuma
mimpi" Aku tidak tidur kok. "Mom lihat sendiri deh," aku berkeras.
"Ayo, cepat." Aku menariknya ke koridor. Lampu di kamar Carolyn menyala,
pintunya terbuka. "Ada apa?" tanyanya sambil terkantuk-kantuk. Dia mengenakan
baju tidur berwarna hitam.
"Mark pikir kepala dari Benna bisa bersinar," jawab ibuku.
"Kelihatannya dia mimpi buruk."
"Aku tidak mimpi!" seruku dengan gusar. "Ayo. Mom bisa lihat sendiri!"
Aku menariknya menyusuri koridor. Tapi aku berhenti ketika
melihat roman muka Carolyn. Sedetik yang lalu dia masih terkantuk-kantuk. Tapi
sekarang matanya terbuka lebar, dan dia menatapku
dengan tajam. Dia mengamatiku dengan saksama.
Aku mengalihkan pandanganku dan hampir menabrak Jessica.
"Kenapa kau membangunkan aku?" tanyanya.
Aku melewatinya dan bergegas ke kamarku. Yang lainnya
menyusul. "Kepalanya bersinar!" aku berkeras. "Dan menyeringai.
Lihat saja!" Aku masuk ke kamarku dan menuju ke meja belajar.
Kepala itu telah lenyap. Chapter 6 DENGAN mata terbelalak aku menatap meja belajarku. Di
belakangku, seseorang menyalakan lampu. Aku mengedip-ngedipkan
mata karena silau. Di mana kepala itu" Aku memandang berkeliling, mencari-carinya di lantai. Jangan-
jangan jatuh dan menggelinding ke tempat yang tersembunyi" Atau
jangan-jangan malah melayang ke luar kamar"
''Mark - kau bercanda, ya?" tanya Mom. Tiba-tiba dia kelihatan capek sekali.
"Tidak - " ujarku. "Sungguh, Mom. Kepala itu - "
Dan kemudian aku melihat Jessica cengar-cengir tak keruan.
Aku juga melihat bahwa dia menyembunyikan kedua tangannya di
belakang punggung. "Jessica - apa yang kausembunyikan?" tanyaku.
Dia nyengir semakin lebar. Dia memang paling tidak tahan
kalau ada urusan seperti ini. "Tidak ada apa-apa," dia berbohong.
"Coba kulihat tanganmu," aku berkata dengan ketus.
"Enak saja!" sahutnya. Tapi kemudian dia ketawa berderai dan memindahkan kedua
tangannya ke depan. Dan kepala itu tentu saja
ada di sana. "Jessica - !" aku berseru dengan kesal. Langsung saja kurebut kepala itu. "Ini
bukan mainan," aku menggerutu. "Awas, kalau kau berani mengambilnya lagi.
Mengerti?" "Hah, kepalanya tidak bersinar," dia berkata dengan nada mengejek. "Tidak
nyengir juga. Kau cuma mengada-ada, Mark."
"Aku tidak mengada-ada!" seruku.
Kuamati kepala itu. Bibirnya yang kering tampak meringis
ompong, seperti sebelumnya. Kulitnya hijau kusam, dan sama sekali tidak
bersinar. "Mark, kau bermimpi buruk," ujar ibuku. Dia menguap sambil menutup mulutnya
dengan sebelah tangan. "Simpan kepala itu, jadi kita semua bisa tidur lagi."
EBUKULAWAS.blogspot.com "Oke, oke," aku bergumam. Sekali lagi aku melotot ke arah Jessica. Kemudian
kuletakkan kepala itu di meja belajarku.
Mom dan Jessica keluar dari kamarku. "Mark memang
brengsek," aku mendengar adikku berkata. Dia sengaja mengeraskan suaranya supaya
terdengar olehku. "Kepala itu tadi mau kupinjam, tapi dia tidak mengizinkannya."
"Besok pagi saja kita bicarakan," sahut ibuku sambil menguap.
Aku hendak mematikan lampu. Tapi akhirnya tidak jadi, karena
kulihat Carolyn berdiri di koridor. Carolyn menatapku sambil
memicingkan matanya yang berwarna kelabu keperakan. "Kau benar-benar melihatnya
bersinar, Mark?" tanyanya.
Aku melirik kepala yang kusam dan tak bergerak itu. "Yeah,
aku tidak bermimpi," sahutku.
Carolyn mengangguk. Sepertinya dia sedang memikirkan
sesuatu. "Selamat tidur," katanya kemudian. Dia berbalik, dan tanpa berkata apa-
apa lagi kembali ke kamar tidurnya.
Keesokan paginya, Mom dan Carolyn menyambutku dengan
kejutan paling besar yang pernah kualami.
Chapter 7 "BIBIMU meminta kau mengunjunginya di hutan," Mom
memberitahu waktu sarapan.
Sendokku jatuh ke mangkuk cornflakes di hadapanku. Aku
melongo. "Hah?"
Mom dan Carolyn menatapku sambil tersenyum lebar.
Sepertinya mereka senang melihatku terbengong-bengong. "Karena itulah Carolyn
datang ke sini," kata Mom lagi. "Dia mau mengajakmu ke Baladora."
"K-kenapa Mom tidak bilang dari kemarin?"
"Kami sengaja tidak langsung memberitahu kau karena ada
banyak hal yang perlu dibicarakan dulu," jawab ibuku. "Bagaimana"
Senang" Kau bisa berkunjung ke hutan sungguhan."
"Senang?" aku berseru. "Bukan senang lagi! Aku... aku... aku tidak tahu harus
bilang apa." Mereka ketawa. "Aku mau ikut!" ujar Jessica, yang baru muncul di dapur.
Aku langsung mengerang. "Sori, Jessica. Kali ini kau tidak bisa ikut," ujar Mom sambil menggenggam
pundak adikku. "Kali ini giliran Mark."
"Ini tidak adil!" protes Jessica sambil menyingkirkan tangan ibuku.
"Oh, adil sekali kok," balasku dengan riang gembira. "Kah-lee-ah!" aku bersorak.
Kemudian aku berdiri dan mengelilingi meja sambil menari-nari kegirangan.
"Tidak adil! Tidak adil!" Jessica ngotot.
"Jessica, kau kan tidak suka hutan," aku mengingatkannya.
"Siapa bilang?" sahutnya.
"Lain kali giliranmu," ujar Carolyn sambil menghirup kopinya.
"Bibimu pasti akan senang memperlihatkan hutan rimba padamu."
"Yeah, kalau kau sudah lebih besar," aku mengejek. "Hutan belantara terlalu
berbahaya untuk anak kecil."
Aku asal bunyi saja, padahal aku sendiri tidak tahu betapa
berbahayanya hutan belantara. Aku sama sekali tidak menyadari
bahaya yang bakal menghadangku.
***************************
Sehabis sarapan Mom membantuku membereskan koper. Aku
sebenarnya cuma ingin membawa celana pendek dan T-shirt. Soalnya
aku tahu udara di hutan panasnya minta ampun.
Tapi Carolyn menyuruhku membawa kemeja tangan panjang
dan celana jeans. Dia bilang di hutan banyak semak berduri. Selain itu juga
banyak serangga pengisap darah.
"Kau harus melindungi diri dari matahari," Carolyn
menasihatiku. "Baladora sangat dekat ke khatulistiwa. Sinar
mataharinya terik sekali. Suhu udaranya selalu di atas tiga puluh derajat."
Kepala yang dibawakan Carolyn tentu saja masuk juga ke
koperku. Aku tidak mau Jessica memegang-megangnya selama aku
pergi. Yeah, aku tahu. Kadang-kadang aku memang kelewat jahat
terhadap adikku. Ketika kami menuju ke bandara, aku memikirkan Jessica yang
malang. Dia terpaksa tinggal di rumah, sementara aku bakal
mengalami petualangan-petualangan seru bersama Aunt Benna.
Aku memutuskan untuk membawakan oleh-oleh yang asyik
dari hutan, supaya Jessica agak terhibur. Tumbuhan beracun,
mungkin. Atau ular berbisa. Ha ha ha!
Setelah sampai di bandara, berulang kali Mom memelukku. Dia
juga terus berpesan agar aku hati-hati. Habis itu, Mom mendekapku sekali lagi.
Aku jadi salah tingkah.

Goosebumps - Rahasia Kepala Terpenggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya tibalah waktunya bagi Carolyn dan aku untuk naik ke
pesawat. Aku merasa ngeri, bergairah, senang, dan kuatir - semua
perasaan jadi satu! "Jangan lupa kirim kartu pos!" seru ibuku ketika aku mengikuti Carolyn masuk ke
pintu Keberangkatan. "Kalau ada kantor pos!" sahutku.
Rasanya sih, tidak ada kantor pos di tengah hutan.
*************************
Penerbangannya lama sekali. Saking lamanya, para pramugari
memutar tiga film berturut-turut!
Carolyn mengisi waktu dengan membaca buku-buku catatan
dan mempelajari kertas-kertas yang penuh corat-coret. Dia baru
berhenti ketika salah satu pramugari mengantarkan makan malam.
Sambil makan, dia bertutur tentang hal-hal yang dikerjakannya di
hutan bersama bibiku. Carolyn bercerita bahwa Aunt Benna telah mendapatkan
berbagai temuan menakjubkan. Dia menemukan dua jenis tumbuhan
yang belum pernah dilihat orang. Satunya semacam tumbuhan rambat
yang diberi nama berdasarkan namanya sendiri. Benna-lepticus, atau sebangsanya.
Carolyn memberitahu aku bahwa bibiku menjelajahi bagian-
bagian hutan yang betul-betul belum tersentuh manusia. Dan bahwa
dia menemukan berbagai macam rahasia, yang bakal membuatnya
terkenal kalau dia mengumumkan semuanya.
"Kapan terakhir kali bibimu mengunjungi kalian?" tanya
Carolyn, sambil membuka plastik yang membungkus garpu dan
pisaunya. "Wah, sudah lama sekali," jawabku. "Aku hampir tidak ingat seperti apa tampang
bibiku. Waktu itu aku baru empat atau lima
tahun." Carolyn mengangguk. "Apakah kau diberi hadiah istimewa
waktu itu?" dia bertanya. Dia mengeluarkan pisau plastik, lalu mengoleskan
mentega ke rotinya. Aku mengerutkan wajah sambil berusaha mengingat-ingat.
"Hadiah istimewa?"
"Apakah bibimu membawakan sesuatu dari hutan waktu dia
mengunjungi kalian?" tanya Carolyn. Dia menaruh rotinya di baki dan berpaling
padaku. Dia kembali memakai kacamata hitam, sehingga aku tidak bisa
melihat matanya. Tapi aku mendapat kesan bahwa dia sedang
mengamatiku dengan saksama.
"Aku tidak ingat," jawabku. "Tapi kalaupun waktu itu dia membawakan hadiah,
hadiahnya pasti tidak sekeren kepala terpenggal ini. Kepala ini benar-benar luar
biasa!" Carolyn tidak tersenyum. Dia kembali berpaling ke
makanannya. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.
Sehabis makan aku tertidur. Kami terbang sepanjang malam
dan mendarat di Asia Tenggara.
Kami tiba menjelang fajar. Langit di luar jendela pesawat
tampak ungu tua. Belum pernah aku melihat warna seindah itu.
Perlahan-lahan matahari mulai menampakkan diri.
"Kita harus ganti pesawat sekarang," Carolyn memberitahu.
"Pesawat jet sebesar ini tidak bisa mendarat di Baladora. Kita harus ganti
pesawat kecil untuk ke tempat itu."
Pesawat yang menanti kami memang kecil. Sepintas lalu
bahkan seperti pesawat mainan. Warnanya merah kusam. Di masing-
masing sayapnya ada baling-baling yang juga berwarna merah.
Carolyn memperkenalkanku pada pilotnya, seorang anak muda
berkumis tebal yang memakai celana pendek dan baju Hawaii
berwarna kuning-merah. Rambutnya yang hitam disisir ke belakang
dan dilicinkan dengan minyak. Namanya Ernesto.
"Pesawat ini benar-benar bisa terbang?" tanyaku.
Dia menatapku sambil tersenyum. "Mudah-mudahan," katanya sambil ketawa sendiri.
Dia membantu kami naik ke kabin. Setelah itu dia duduk di
kokpit. Kabin pesawat itu ternyata sempit sekali. Carolyn dan aku nyaris, tak
bisa bergerak! Ernesto menyalakan mesin, dan sejenak mesinnya terbatuk-
batuk. Suaranya mirip suara mesin memotong rumput.
Kedua baling-baling mulai berputar dan mesinnya meraung-
raung. Saking kerasnya, aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Ernesto pada
kami - padahal dia sudah berteriak-teriak!
Akhirnya aku menarik kesimpulan bahwa dia menyuruh kami
memasang sabuk pengaman. Aku menelan ludah dan memandang ke luar jendela. Ernesto
memundurkan pesawat keluar dari hanggar. Suara mesinnya
memekakkan telinga. Ini bakal seru, aku berkata dalam hati. Rasanya seperti terbang
naik layang-layang! Beberapa menit kemudian kami telah mengudara. Kami terbang
di atas laut yang berwarna biru kehijauan. Sinar matahari pagi yang cerah
membuat permukaan laut tampak berkilau-kilau.
Pesawat mungil kami terguncang-guncang, seakan-akan
dipermainkan angin. Setelah beberapa waktu, Carolyn menunjuk pulau-pulau di
bawah. Sebagian besar berwarna hijau, dan dikelilingi hamparan pasir berwarna
kuning. "Semua pulau itu berhutan lebat," Carolyn memberitahu. "Kau lihat yang itu?" Dia
menunjuk pulau besar berbentuk bulat telur. "Ada orang yang menemukan harta
karun bajak laut di sana. Emas dan
permata senilai jutaan dolar."
"Wah, asyik!" seruku.
Ernesto menurunkan pesawat. Kami terbang begitu rendah,
sehingga pohon-pohon dan semak-semak kelihatan jelas. Sepertinya
semua pohon saling kait-mengait. Aku tidak melihat jalan mobil
maupun jalan setapak. Warna laut berubah menjadi hijau tua. Mesin pesawat kami
meraung-raung ketika kami terguncang-guncang oleh angin yang
bertiup kencang. "Pulau di depan itu adalah Baladora!" ujar Carolyn. Dia menunjuk sebuah pulau
yang tampak dari jendela. Baladora lebih
besar dibandingkan pulau-pulau tadi, dan juga berbukit-bukit.
Bentuknya melengkung, bagaikan bulan sabit.
"Aunt Benna ada di bawah situ?" seruku.
Carolyn tersenyum. "Ya, dia ada di situ."
Aku melirik ke depan ketika Ernesto menoleh ke arah kami.
Begitu melihat roman mukanya, aku langsung tahu ada yang tidak
beres. "Ada masalah kecil," dia berteriak untuk mengalahkan raungan mesin.
"Masalah?" tanya Carolyn.
Ernesto mengangguk. "Ya. Begini... aku tidak tahu bagaimana
caranya mendaratkan pesawat ini. Kalian terpaksa melompat."
Aku menahan napas. "Ta-ta-tapi - " aku tergagap-gagap. "Kita tidak bawa parasut!"
Ernesto angkat bahu. "Kalau begitu kalian harus mencari tempat yang empuk untuk
mendarat," katanya dengan santai.
Chapter 8 AKU terbengong-bengong. Rasa ngeri membuatku tidak bisa
bernapas. Kedua tanganku mencengkeram pinggiran kursi.
Kemudian aku melihat Carolyn tersenyum simpul. Dia
menggelengkan kepala sambil menatap Ernesto. "Mark terlalu pintar,"
katanya. "Dia tak bakal tertipu oleh lelucon konyol ini."
Ernesto ketawa. Dia memandangku sambil memicingkan mata.
"Kau sempat pucat tadi - ya, kan?"
"Ha-ha. Enak saja!" aku menyahut. Tapi lututku masih
gemetaran. "Aku tahu kau cuma main-main," aku berbohong.
Carolyn dan Ernesto ketawa. "Kau keterlaluan, Ernesto,"
Carolyn berkata kepada pilot kami itu.
Mata Ernesto berbinar-binar. Senyumnya meredup. "Kita harus
membiasakan diri berpikir cepat kalau mau selamat di hutan," katanya mewanti-
wanti. Kemudian dia kembali berpaling ke depan. Aku terus
memandang ke luar jendela dan memperhatikan Pulau Baladora di
bawah. Burung-burung putih bersayap lebar beterbangan melewati
pepohonan. Di dekat pantai selatan ada landasan tanah yang bebas dari
pohon-pohon. Di baliknya aku melihat ombak menghantam batu
karang. Pesawat kecil itu terguncang keras ketika kami mendarat.
Lututku sampai terpental ke atas. Kami terus terpental-pental sampai pesawat itu
berhenti. Ernesto mematikan mesin. Lalu dia membuka pintu kabin, dan
membantu kami turun. Carolyn dan aku terpaksa merunduk agar
kepala kami tidak terbentur atap.
Ernesto mengeluarkan barang bawaan kami. Carolyn membawa
koper kanvasnya yang kecil. Koperku sedikit lebih besar. Ernesto
meletakkan keduanya di landasan, lalu memberi salam dengan gaya
tentara. Setelah itu dia kembali masuk ke pesawat, dan menutup pintu.
Aku memejamkan mata ketika baling-baling mulai betputar,
menerbangkan pasir-pasir dan debu. Beberapa detik kemudian Ernesto sudah lepas
landas. Pesawatnya segera menanjak agar dapat melewati pohon-pohon di ujung
landasan. Ernesto membelok tajam dan mengarahkan pesawat ke laut
lepas. Carolyn dan aku meraih koper masing-masing. "Ke mana
sekarang?" tanyaku sambil memicingkan mata karena silau.
Carolyn menunjuk ke padang rumput yang penuh ilalang di sisi
landasan. Aku melihat sederet bangunan kelabu di balik padang
rumput itu, persis di batas hutan.
"Itu markas kami," Carolyn memberitahu. "Landasan ini sengaja dibangun
berdekatan. Selebihnya di pulau ini cuma ada hutan.
Tak ada jalan. Tak ada rumah lain. Tak ada apa pun selain hutan
belantara." "Di sini bisa terima siaran TV kabel?" tanyaku.
Carolyn langsung melongo. Kemudian dia ketawa. Rupanya dia
tidak menyangka aku akan mengajaknya bercanda.
Kami menggotong koper masing-masing menuju ke deretan
gedung kelabu. Matahari pagi masih rendah. Tapi udaranya sudah
panas dan lembap. Ratusan serangga putih - entah serangga apa -
beterbangan di atas rumput yang tinggi.
Aku mendengar bunyi berdenging. Dan di kejauhan ada suara
burung-burung saling menyahut.
Carolyn menerobos ilalang. Dia berjalan dengan langkah
panjang tanpa menghiraukan kawanan serangga yang beterbangan.
Aku terpaksa berlari kecil supaya tidak ketinggalan.
Keringat membasahi keningku. Tengkukku mulai terasa gatal.
Kenapa Carolyn begitu terburu-buru"
"Kita seperti terdampar, ya?" kataku sambil mengamati pohon-pohon di balik
gedung markas. "Bagaimana kita bisa meninggalkan pulau ini setelah urusan kita
selesai?" "Kita panggil Ernesto lewat radio," balas Carolyn tanpa mengurangi kecepatan.
"Dia butuh waktu sekitar satu jam untuk terbang dari daratan ke sini.
Penjelasannya membuatku lega. Aku bergegas menerobos
ilalang sambil berusaha mengimbangi kecepatan langkah Carolyn.
Koperku mulai terasa berat. Aku menyeka keringat yang
mengalir ke mataku. Kami mendekati markas. Tadinya aku menyangka Auntie bakal
berlari keluar untuk menyambutku. Tapi ternyata tidak ada siapa-
siapa. Aku melihat antena radio di samping pondok-pondok berbentuk
bujur sangkar. Semua gedung beratap datar. Sepintas lalu kelihatannya seperti
kardus terbalik. Di setiap dinding ada jendela yang juga
berbentuk bujur sangkar. "Apa itu yang menutupi jendela-jendela?" aku bertanya pada Carolyn.
"Kawat nyamuk," jawabnya. Dia berpaling padaku. "Sudah pernah lihat nyamuk
sebesar kepalamu?" Aku ketawa. "Belum."
"Hmm, tunggu saja."
Aku ketawa lagi. Dia pasti bercanda - ya, kan"
Kami menghampiri pondok pertama, yang paling besar di
antara semuanya. Aku meletakkan koper, melepaskan topi, baseball, dan menyeka
kening dengan lengan bajuku. Uih, panasnya.
Carolyn membukakan pintu kawat nyamuk untukku.
" Aunt Benna - !" aku memanggil. Langsung saja aku berlari masuk. "Auntie?"
Sinar matahari menerobos melalui kawat nyamuk di jendela-
jendela. Mataku membutuhkan waktu beberapa detik sebelum
akhirnya terbiasa dengan suasana yang remang-remang.
Aku melihat meja yang dipenuhi tabung-tabung reaksi dan
peralatan lainnya. Aku melihat rak yang penuh buku-buku catatan dan buku-buku
tebal. "Aunt Benna?" Kemudian aku melihatnya. Dia memakai jaslab berwarna putih.
Dan dia berdiri membelakangiku, di depan tempat cuci tangan di
dinding. Dia membalik sambil mengeringkan tangannya. Bukan.
Bukan bibiku. Seorang laki-laki. Seorang laki-laki berambut putih.
Rambutnya tebal, disisir ke belakang. Dalam cahaya yang redup
pun aku bisa melihat bahwa matanya berwarna biru pucat, seperti
langit. Matanya aneh sekali. Kelihatannya seperti kaca berwarna biru.
Seperti kelereng. Dia tersenyum. Tapi senyumnya tidak ditujukan padaku.
Dia tersenyum pada Carolyn.
Dia menganggukkan kepala ke arahku. "Bagaimana" Betul dia
punya?" dia bertanya pada Carolyn. Suaranya kasar dan serak.
Carolyn mengangguk. "Ya, dia punya." Napasnya cepat dan pendek-pendek.
Sepertinya dia gelisah. Laki-laki itu kembali mengembangkan senyum. Matanya yang
biru berbinar-binar. "Hai," aku menyapanya dengan kikuk. Aku benar-benar
bingung. Apa maksud pertanyaannya" Memangnya aku punya apa"
"Mana Aunt Benna?" tanyaku.
Sebelum laki-laki itu sempat menyahut, seorang gadis muncul
dari ruang belakang. Rambutnya lurus pirang, dan matanya juga
berwarna biru pucat. Dia memakai celana tenis dan T-shirt yang sama-sama
berwarna putih. Usianya kira-kira sebaya denganku.
"Ini putriku, Kareen," laki-laki itu berkata dengan suaranya yang serak. "Aku
Dr. Richard Hawlings." Dia berpaling pada Kareen.
"Ini keponakan Benna. Mark."
"Aku sudah tahu," Kareen menyahut dengan ketus. Dia
berpaling padaku. "Hai, Mark."
"Halo," ujarku. Aku masih bingung.
Kareen menyibakkan rambutnya yang pirang. "Kau kelas
berapa?" "Kelas enam," aku memberitahunya.
"Aku juga. Tapi tahun ini aku tidak sekolah. Aku terdampar di sini." Dia menatap
ayahnya sambil pasang tampang cemberut.
"Mana bibiku?" aku bertanya pada Dr. Hawlings. "Dia sedang bekerja ya" Kupikir
dia akan menyambutku."
Dr. Hawlings menatapku dengan mata birunya yang aneh.
Beberapa saat dia membisu. Akhirnya dia berkata, "Benna tidak di sini."
"Apa?" Aku pikir aku salah dengar. Suaranya yang serak
membuat ucapannya tak jelas. "Dia sedang... ehm... bekerja?"
"Entahlah, kami tidak tahu," jawabnya.


Goosebumps - Rahasia Kepala Terpenggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kareen menatapku sambil memilin-milin rambutnya.
Carolyn melangkah ke balik meja lab dan menyandarkan
sikunya. Ia menopang kepala dengan tangannya. "Bibimu hilang.
Kami tidak tahu di mana dia!"
Kepalaku langsung serasa berputar-putar.
Pernyataan itu sama sekali di luar dugaanku. Dan diucapkan
begitu datar. Tanpa perasaan sama sekali. "Dia... hilang?"
"Dia hilang sejak beberapa minggu yang lalu," Kareen berkata sambil melirik ke
arah ayahnya. "Kami bertiga - sudah mencarinya ke mana-mana."
"A-aku tidak mengerti," aku tergagap-gagap. Kuselipkan kedua tangan ke kantong
celana jeans-ku. "Bibimu hilang di hutan," Dr. Hawlings menjelaskan.
"Tapi - Carolyn bilang - " aku mulai berkata.
Dr. Hawlings mengangkat sebelah tangan untuk menyuruhku
diam. "Bibimu hilang di hutan, Mark."
"Ta-tapi kenapa kalian tidak memberitahu ibuku?" aku bertanya dengan bingung.
"Kami tidak mau membuatnya cemas," sahut Dr. Hawlings.
"Bagaimanapun juga, Benna adik ibumu. Jadi Carolyn mengajakmu ke sini karena kau
bisa membantu kami mencarinya."
"Hah?" Aku langsung melongo. "Aku" Bagaimana aku bisa membantu kalian?"
Dr. Hawlings berjalan melintasi ruangan dan menghampiriku.
Dia menatapku dengan tajam. "Kau bisa membantu kami, Mark," dia berkata dengan
suaranya yang serak," - sebab kau punya Jungle
Magic." Chapter 9 "PUNYA apa?" Aku menatap Dr. Hawlings sambil mengerutkan kening. Aku
sama sekali tidak tahu apa maksudnya.
Apakah Jungle Magic sejenis game komputer" Seperti Jungle
King" Dan kenapa dia pikir aku mempunyainya"
"Jungle Magic; dia mengulangi. Matanya yang biru terus
menatapku. "Akan kujelaskan."
"Dad, kasih Mark kesempatan untuk istirahat dulu dong,"
Kareen menyela. "Dia kan baru terbang dari Amerika. Dia pasti lelah sekali!"
Aku angkat bahu. "Yeah, aku memang agak capek."
"Duduk dulu deh," ujar Carolyn. Dia menggiringku ke kursi tinggi di samping meja
lab. Kemudian berpaling pada Kareen. "Masih ada Coca-Cola?"
Kareen membuka lemari es kecil yang menempel di dinding
belakang. "Tinggal sedikit," jawabnya sambil membungkuk dan meraih ke rak paling
bawah. "Ernesto harus bawa persediaan baru kalau dia kemari lagi."
Kareen membawakan sekaleng Coke untukku.
Aku segera membukanya dan menempelkannya ke bibir.
Minuman dingin itu terasa nikmat sekali di kerongkonganku yang
panas dan kering. Kareen bersandar ke meja. "Sebelum ini kau sudah pernah
masuk hutan?" Aku mereguk minumanku dulu sebelum menjawab. "Belum.
Tapi aku sering nonton film tentang hutan belantara."
Kareen ketawa. "Hutan belantara di sini bukan seperti dalam
film. Di Baladora tidak ada kawanan rusa atau gajah yang berkumpul di sekeliling
danau." "Binatang apa saja yang ada di pulau ini?" tanyaku.
"Terutama nyamuk," sahut Kareen.
"Di sini juga ada jenis burung berwarna merah yang indah
sekali," ujar Carolyn. "Ibis merah. Agak mirip flamingo, tapi jauh lebih cerah."
Dari tadi Dr. Hawlings terus mengamatiku. Dia berjalan ke
meja, lalu duduk di hadapanku.
Aku menempelkan kaleng Coke yang dingin ke keningku yang
panas. Setelah itu aku menaruhnya di meja. "Tolong ceritakan sedikit tentang
bibiku," aku berkata padanya.
"Tak banyak yang bisa kuceritakan," balas Dr. Hawlings sambil mengerutkan
kening. "Benna sedang meneliti jenis siput pohon yang baru. Di suatu tempat di
tengah hutan. Tapi suatu malam dia tidak kembali ke markas."
"Kami kuatir sekali," ujar Carolyn. Dia memilin-milin
rambutnya sambil menggigit bibir. "Kami telah mencarinya ke mana-mana. Akhirnya
kami memutuskan untuk meminta bantuanmu."
"Tapi bagaimana aku bisa membantu kalian?" tanyaku. "Masuk hutan saja aku belum
pernah." "Tapi kau punya Jungle Magic," sahut Carolyn. "Benna yang memberikannya padamu.
Waktu dia terakhir kali mengunjungi kalian.
Kami tahu dari buku-buku catatan Benna di sebelah sana."
Carolyn menunjuk setumpuk buku notes berwarna hitam pada
rak buku di dinding. Aku mengamati tumpukan itu sambil berpikir
keras, tapi aku tetap bingung.
"Maksudnya, aku diberi kekuatan gaib oleh bibiku?" aku
bertanya. Dr. Hawlings mengangguk. "Ya. Dia takut rahasia itu jatuh ke tangan yang salah.
Jadi dia memberikannya padamu."
"Kau tidak ingat?" tanya Carolyn.
"Aku masih kecil waktu itu," ujarku. "Baru empat tahun. Aku tidak ingat apa-apa.
Rasanya aku tidak diberi apa-apa oleh bibiku."
"Betul kok," Carolyn menegaskan. "Kami tahu kau punya Jungle Magic. Kami tahu
kau - " "Dari mana kalian tahu aku punya kekuatan gaib?" selaku.
"Sebab kau melihat kepala terpenggal itu bersinar," Carolyn menjelaskan. "Hanya
orang dengan kekuatan gaiblah yang bisa
melihatnya bersinar. Kami membacanya di buku catatan Benna."
Aku menelan ludah. Kerongkonganku mendadak terasa kering
kerontang lagi. Jantungku berdegup-degup.
"Jadi aku benar-benar punya kekuatan gaib?" aku bertanya ragu-ragu. "Tapi aku
tidak merasakan apa-apa. Dan aku belum pernah melakukan hal-hal gaib!"
"Kekuatan itu ada padamu," Dr. Hawlings berkata pelan-pelan.
"Kekuatan tersebut sudah berusia ratusan tahun, semula milik suku Oloya. Mereka
penduduk asli pulau ini."
"Ratusan tahun lalu, suku Oloya adalah suku pemburu kepala,"
Carolyn menambahkan. "Kepala yang kubawakan sebagai oleh-oleh untukmu - adalah
salah satu peninggalan suku tersebut. Kami telah
menemukan banyak kepala serupa."
"Tapi bibimu menemukan rahasia kekuatan gaib mereka," ujar Dr. Hawlings. "Dan
dia memberikannya padamu."
"Kau harus membantu kami mencari Benna!" seru Kareen.
"Kau harus menggunakan kekuatanmu. Kita harus menemukan Benna yang malang -
sebelum terlambat." "A-aku akan coba," aku berjanji.
Tapi dalam hati aku berkata: Mereka membuat kesalahan besar.
Barangkali mereka keliru. Barangkali bukan aku yang mereka
cari, tapi orang lain. Aku tidak punya kekuatan apa-apa.
Apa yang harus kulakukan sekarang"
Chapter 10 AKU menghabiskan hari itu dengan menjelajahi tepi hutan
bersama Kareen. Kami menemukan beberapa ekor labah-labah kuning
yang hampir sebesar kepalan tanganku. Dan Kareen menunjukkan
tumbuhan yang bisa menangkap serangga dengan mengatupkan daun.
Daun itu akan terus tertutup sampai serangga yang ditangkapnya
selesai dicerna. Keren sekali. Kami memanjat pohon-pohon berkulit halus. Kemudian kami
duduk di dahan-dahan dan mengobrol.
Kareen cukup menyenangkan. Dia serius sekali. Dia jarang
ketawa. Dan dia sama sekali tidak suka hutan belantara.
Ibunya meninggal waktu dia masih kecil. Sebenarnya dia ingin
pulang ke New Jersey dan tinggal bersama neneknya, tapi ayahnya
tidak mengizinkannya. Sambil mengobrol, aku terus memikirkan soal Jungle Magic itu.
Aku yakin sekali bahwa aku tidak memiliki kekuatan gaib apa pun.
Oke, dari dulu aku memang suka film-film yang bercerita
tentang hutan. Aku juga suka membaca buku soal hutan dan bermain
game yang ada hubungan dengan hutan. Aku memang tergila-gila
pada hutan rimba. Tapi itu tidak berarti bahwa aku punya kekuatan gaib dari
hutan. Dan sekarang Aunt Benna menghilang. Dan teman-temannya di
Baladora berusaha menemukannya. Mereka sampai membawaku ke
pulau itu untuk membantu mereka.
Tapi apa yang bisa kulakukan"
Apa" Ketika aku berbaring di tempat tidur malam itu, pikiranku
masih terus dihantui berbagai pertanyaan.
Aku menatap langit-langit pondok kayu yang mungil di mana
aku menginap. Ada enam atau tujuh pondok seperti ini di belakang
gedung utama. Masing-masing dari kami menempati satu pondok.
Pondokku dilengkapi tempat tidur sempit dengan kasur yang
keras. Selain itu ada meja rendah di samping tempat tidur. Di situ kutaruh
kepala yang kudapat dari Carolyn. Lalu meja rias yang laci-lacinya macet semua,
kecuali yang paling bawah, dan lemari pakaian kecil yang nyaris tak bisa
menampung baju-baju yang kubawa. Dan di belakang pondokku masih ada kamar mandi
berukuran mini. Lewat jendela yang terbuka, aku bisa mendengar serangga
berderik-derik. Dan di kejauhan ada suara caww-caww-caww. Entah
binatang apa itu. Bagaimana aku bisa membantu menemukan bibiku" aku
bertanya-tanya sambil menatap langit-langit yang gelap dan
mendengarkan suara-suara aneh di luar.
Apa yang bisa kulakukan"
Aku berusaha mengingat-ingatnya. Aku berusaha mengingat-
ingat kunjungannya ke rumah kami waktu aku berumur empat tahun.
Aku membayangkan wanita pendek berambut gelap. Agak
gemuk, seperti aku. Wajahnya bulat dan kemerahan. Matanya
berwarna gelap dan menyorot tajam.
Aku ingat, bicaranya cepat sekali. Suaranya agak melengking,
dan dia selalu penuh semangat. Selalu menggebu-gebu.
Selain itu aku ingat... Selain itu aku tidak ingat apa-apa.
Hanya itu yang kuingat tentang bibiku.
Apakah dia memberikan Jungle Magic padaku" Rasanya tidak.
Aku tidak ingat apa-apa soal itu.
Lagi pula, bagaimana caranya memberikan kekuatan gaib pada
orang lain" Aku terus berpikir, memaksa diriku untuk mengingat lebih
banyak tentang kunjungannya yang terakhir.
Tapi sia-sia. Aku tahu bahwa Carolyn dan Dr. Hawlings telah melakukan
kesalahan besar. Besok pagi akan kuberitahu mereka, ujarku dalam
hati. Aku akan bilang bahwa bukan aku yang mereka cari.
Kesalahan besar... kesalahan besar. Kata-kata itu terus terngiang dalam
pikiranku. Aku duduk tegak. Tidak bisa tidur. Pikiranku terlalu kacau.
Daripada bengong, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di
sekitar markas. Barangkali aku juga bisa menjelajahi tepi hutan.
Aku mengendap-endap ke pintu kawat nyamuk dan mengintip
keluar. Pondokku paling jauh dari gedung utama. Aku bisa melihat
semua pondok lainnya dari pintuku. Semuanya gelap. Kareen,
Carolyn, dan Dr. Hawlings sudah tidur.
Cawwww-cawwww. Suara aneh itu masih juga terdengar di
kejauhan. Angin lembut membuat ilalang bergoyang dan berayun.
Daun-daun berdesir. Bunyi-nya mirip suara bisik-bisik.
Aku memakai T-shirt gombrong dan celana tinju. Tak perlu
ganti baju dulu, aku berkata dalam hati. Yang lainnya sudah tidur semua. Lagian,
aku toh tidak akan jalan jauh-jauh.
Setelah memakai sandal, aku membuka pintu dan menyelinap
ke luar. Cawww-cawww. Sepertinya suara itu bertambah dekat.
Udara malam terasa panas dan pengap, hampir sama panasnya
dengan siang hari. Embun membasahi rumput. Sebentar-sebentar
kakiku tergelincir di rumput yang lembap.
Aku melewati deretan pondok yang gelap. Pohon-pohon di
sebelah kananku berayun-ayun. Bayangan-bayangan hitam dengan
latar belakang langit yang ungu. Bulan tidak kelihatan. Bintang-
bintang pun tidak tampak.
Mungkin lebih baik lain kali saja aku berjalan-jalan, pikirku.
Terlalu gelap. Aku butuh senter, aku menyadari. Aku teringat pesan Carolyn
tadi, waktu dia mengantarkanku ke pondokku. "Jangan sekali-sekali keluar malam
tanpa membawa senter," dia mewanti-wanti. "Pada malam hari, bukan kita yang
berkuasa. Jika malam tiba, tempat ini dikuasai makhluk-makhluk liar."
Bagian belakang markas tampak samar-samar di hadapanku.
Aku memutuskan untuk kembali saja.
Tapi sebelum sempat berbalik, aku tiba-tiba menyadari bahwa
aku tidak sendirian. Aku melihat sepasang mata, yang menatapku di tengah
kegelapan. Aku menahan napas. Punggungku serasa diguyur air es.
Aku memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas - dan
melihat sepasang mata lagi.
Lalu sepasang lagi, dan sepasang lagi.
Aku berhadapan dengan entah berapa pasang mata, dan
semuanya menatapku tanpa berkedip.
Aku berdiri seperti patung. Aku tak sanggup menggerakkan
kaki. Aku terperangkap. Chapter 11 KAKIKU gemetaran. Bulu kudukku berdiri.
Tiba-tiba semua mata di hadapanku mulai bersinar. Terang.
Semakin terang. Dan dalam cahaya yang keemasan, kulihat semua mata itu
bukan mata makhluk liar. Mata itu bukan mata binatang.
Mata itu mata manusia. Aku berhadapan dengan seratus kepala terpenggal yang
matanya bersinar-sinar! Setumpuk kepala terpenggal seukuran kepalan tangan.
Semuanya tumpang tindih. Dan semuanya menyeringai kaku.
Kepala di atas kepala. Gelap, keriput, dan kering kerontang.
Dan semuanya bertambah menyeramkan karena cahaya
keemasan yang terpancar dari mata mereka.
Aku memekik tertahan - dan langsung kabur tunggang-
langgang. Kakiku serasa terbuat dari karet. Jantungku berdegup-degup.
Aku lari mengelilingi gedung markas, sementara cahaya kuning itu
perlahan-lahan meredup. Aku berlari sekencang mungkin. Ke sisi
depan gedung yang gelap itu. Ke pintu kawat nyamuk.
Masih tersengal-sengal, aku membuka pintunya lalu menyerbu
masuk. Aku merapatkan punggung ke dinding dan menunggu.
Menunggu sampai cahaya menakutkan tadi padam sepenuhnya.
Menunggu sampai jantungku tak lagi berdebam-debam, sampai
napasku pulih kembali. Satu atau dua menit kemudian, aku mulai tenang.
Kenapa semua kepala ditumpuk-tumpuk" pikirku.


Goosebumps - Rahasia Kepala Terpenggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menggelengkan kepala untuk mengusir pemandangan
mengerikan yang masih terbayang di depan mataku. Kepala-kepala itu adalah bagian
tubuh manusia, aku menyadari. Ratusan tahun lalu,
kepala-kepala itu berada di pundak seseorang.
Dan sekarang... Aku menelan ludah. Kerongkonganku terasa kering.
Aku mulai menghampiri lemari es di seberang ruangan. Aku
perlu minuman dingin. Tapi karena gelap, aku menabrak pinggiran
meja lab. Tanganku langsung terulur, dan menjatuhkan sesuatu. Aku
berhasil menangkapnya benda sebelum terjatuh dari meja.
Ternyata sebuah senter. "Hei - !" seruku dengan gembira.
Mulai sekarang aku akan mengikuti semua nasihat Carolyn, aku
berjanji dalam hati. Aku takkan pernah lagi keluar malam-malam
tanpa membawa senter. Aku menekan tombolnya, segera seberkas sinar putih menyapu
lantai. Aku mengarahkan senter berkeliling, sampai aku menemukan
rak buku di dinding belakang.
Aku melihat tumpukan notes Aunt Benna. Buku-bukunya itu
memenuhi hampir seluruh rak.
Aku langsung menghampiri rak dan meraih notes paling atas.
Bukunya ternyata lebih berat dari yang kuduga, sehingga nyaris
terlepas dari tanganku. Sambil mengepitnya, aku membawanya ke meja lab. Aku
duduk di kursi tinggi dan membuka buku itu.
Barangkali aku bisa mendapatkan beberapa jawaban di sini,
pikirku. Barangkali aku bisa menemukan bagian yang mengisahkan saat
Aunt Benna memberikan Jungle Magic padaku. Barangkali aku bisa
menemukan jawaban kenapa Dr. Hawlings dan Carolyn menyangka
aku memilikinya. Aku membungkuk dan mengarahkan sinar senter ke buku di
hadapanku. Kemudian aku mulai membalik-balikkan halamannya.
Untung saja tulisan tangan bibiku cukup jelas dan mudah
dibaca. Sepertinya dia menyusun catatannya berdasarkan tahun. Setiap
halaman kubaca sepintas lalu saja. Aku terus membalikkan halaman
sampai mencapai tahun kunjungannya ke rumah kami.
Aku melompati uraian panjang mengenai kadal. Sejenis kadal
pohon yang diteliti bibiku.
Kemudian dia menggambarkan sebuah gua yang ditemukannya
di tebing karang di pinggir laut. Gua itu, tulisnya, sekitar dua ratus tahun
yang lalu, dihuni oleh suku Oloya.
Aku mempelajari daftar barang-barang yang ditemukan Aunt
Benna di gua itu. Daftarnya cukup panjang. Tulisan tangan Aunt
Benna mulai berantakan di sini, mungkin karena dia begitu
bersemangat. Aku membalik beberapa halaman lagi. Dan mulai membaca
bagian yang ditandai "Musim Panas."
Apa yang kubaca membuatku melongo. Mataku terbelalak
begitu lebar sampai nyaris copot dari kepala.
Aku merapatkan senter agar bisa melihat lebih jelas. Aku
berkedip-kedip. Rasanya aku tidak bisa mempercayai apa yang kubaca.
Tapi semuanya tercantum dengan jelas.
Dan aku jadi ngeri. Chapter 12 TANGANKU gemetar, sehingga senter yang kupegang pun ikut
bergetar. Aku terpaksa memegangnya dengan dua tangan. Kemudian
aku kembali membungkuk dan membaca catatan bibiku. Bibirku
bergerak-gerak tanpa suara sementara aku membaca apa yang
ditulisnya. "Dr. Hawlings dan adiknya, Carolyn, takkan segan-segan
menghancurkan hutan beserta seluruh penghuninya," bibiku menulis.
"Mereka tidak peduli siapa yang jadi korban. Mereka menghalalkan segala cara
agar tujuan mereka tercapai."
Aku menelan ludah. Senter di tanganku kugenggam lebih erat
lagi. Aku kembali membaca.
"Rahasia Jungle Magic yang kutemukan di gua itu adalah
penemuanku yang paling menakjubkan," begitu bunyi catatan Bibi Benna. "Tapi aku
tahu rahasia itu tidak aman selama Dr. Hawlings dan Carolyn masih ada. Mereka
akan menyalahgunakan Jungle Magic
untuk melakukan kejahatan. Karena itulah aku memberikan Jungle
Magic berikut rahasianya kepada keponakanku, Mark. Dia tinggal di Amerika
Serikat, lebih dari enam ribu kilometer dari sini. Moga-moga rahasia itu akan
tetap aman. "Kalau Jungle Magic itu sampai jatuh ke tangan kakak-adik
Hawlings," bibiku melanjutkan, "hutan ini akan hancur. Seluruh Pulau Baladora
akan hancur. Dan aku pun akan binasa."
Aku menahan napas dan membuka halaman berikutnya. Dengan
susah payah aku memaksakan agar tanganku tetap tenang, supaya aku bisa terus
membaca. "Kalau Hawlings berhasil mendapatkan kekuatan gaib itu,"
Aunt Benna menulis, "dia akan membuat kepalaku mengerut sampai tak ada bekasnya.
Keponakanku harus tetap jauh dari Hawlings. Sebab Hawlings akan memenggal kepala
Mark dan menggodoknya sampai
mengerut, supaya dia bisa mendapatkan kekuatan gaib yang
kusembunyikan di situ."
"Ohhh," aku mengerang karena ngeri.
Kepalaku bakal dipenggal"
Dan digodok sampai mengerut"
Sekali lagi kubaca kata-kata yang terakhir: "Keponakanku harus tetap jauh dari
Hawlings..." Tapi aku tidak jauh dari dia! kataku dalam hati. Aku di sini, di
Baladora. Bersama dia! Carolyn membawaku kemari supaya mereka bisa mencuri
Jungle Magic yang ada padaku. Kepalaku bakal dipenggal dan dibuat mengerut!
Langsung saja kututup buku catatan itu. Aku menarik napas
panjang dan menahannya agak lama.
Tapi jantungku tetap saja berdegup-degup tak terkendali.
Apa yang mereka lakukan pada Aunt Benna" aku bertanya-
tanya. Apakah mereka telah berusaha mengorek rahasia itu dari dia"
Jangan-jangan mereka telah melakukan sesuatu yang mengerikan
terhadap bibiku" Atau barangkali dia berhasil melarikan diri"!
Apakah aku dibawa kemari untuk melacaknya, supaya mereka
bisa menangkapnya kembali" Lalu, kalau sudah berhasil, kepala kami berdua akan
dibuat mengerut" "Ya ampun," aku bergumam. Aku berusaha keras agar tubuhku tidak gemetaran.
Tadinya kupikir mereka temanku. Temanku...
Di sini tidak aman, aku berkata pada diriku sendiri. Aku
terancam bahaya besar. Aku harus kabur. Aku harus ganti baju lalu meloloskan diri dari
orang-orang jahat ini. Lebih cepat, lebih baik.
Aku turun dari kursi, berbalik, dan berjalan menuju ke pintu.
Aku harus keluar dari sini. Aku harus kabur. Kabur, kabur,
kabur... Kata itu terus berulang dalam benakku.
Aku sampai di pintu kawat nyamuk, hendak membukanya.
Tapi seseorang menghadangku. Dia berdiri di tengah kegelapan,
menghalangi jalanku. "Mau ke mana kau?" orang itu berseru.
Chapter 13 KAREEN membuka pintu dan melangkah masuk. Dia memakai
T-shirt yang kedodoran sampai menutupi lututnya. Rambutnya yang
pirang tampak acak-acakan. "Kenapa kau ada di sini?" tanyanya.
"Awas, jangan macam-macam!" aku berseru sambil
mengangkat senter sebagai senjata.
Dia mundur selangkah. "Hei - !" dia memekik kaget.
"Aku harus pergi," aku berkata sambil bergegas melewatinya.
"Ada apa sih, Mark?" dia bertanya lagi. "Kenapa kau bertingkah seperti orang
gila?" Aku berhenti di ambang pintu, dengan pundak menempel ke
kusen. "Aku sudah membaca catatan bibiku," kataku kepadanya.
Cahaya senter kuarahkan ke wajahnya. "Aku sudah membaca apa
yang ditulis Aunt Benna. Tentang ayahmu. Tentang Carolyn."
"Oh." Kareen menghela napas.
Cahaya senter yang menyilaukan tetap kuarahkan ke wajahnya.
Dia berkedip-kedip, lalu melindungi matanya dengan sebelah tangan.
"Mana bibiku?" aku bertanya dengan nada memaksa. "Kau tahu di mana dia?"
"Aku tidak tahu," jawab Kareen. "Jangan soroti mataku dong.
Silau nih." Aku mengarahkan senter ke bawah. "Apa yang dilakukan
ayahmu terhadap bibiku" Apakah dia mencelakakannya?"
"Tidak!" balas Kareen dengan ketus. "Tega-teganya kau menuduh ayahku begitu,
Mark! Dia tidak jahat. Dia dan Benna cuma
berbeda pendapat dalam beberapa hal."
"Kau betul-betul tidak tahu di mana bibiku" Mungkinkah dia
bersembunyi dari ayahmu" Apakah dia masih di pulau ini?"
Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur begitu saja. Rasanya aku ingin menarik kerah
baju Kareen dan memaksanya menceritakan yang
sebenarnya. Dia menyibakkan rambutnya yang pirang. "Kami tidak tahu di
mana bibimu. Sungguh!" dia berkeras. "Karena itulah Carolyn membawamu kemari.
Supaya kau bisa membantu kami mencari
Benna. Kami menguatirkan dia."
"Bohong!" seruku dengan gusar. "Aku sudah baca catatan bibiku. Ayahmu sama
sekali tidak peduli padanya."
"Aku peduli," ujar Kareen. "Aku sangat menyukai bibimu. Dia baik sekali padaku.
Aku tidak peduli pada pertengkaran yang terjadi antara Benna dengan ayahku dan
Carolyn. Aku menguatirkan Benna.
Sungguh." Aku kembali menyorot wajahnya. Aku ingin tahu roman
wajahnya. Aku ingin memastikan bahwa dia tidak bohong.
Matanya yang biru berkaca-kaca. Aku melihat setitik air mata
mengalir di pipinya. Aku percaya apa yang dikatakannya memang
benar. "Hmm, kalau kau memang sayang pada bibiku, bantu aku pergi
dari sini," ujarku. Senterku kuarahkan ke bawah lagi.
"Oke, aku akan membantumu," katanya cepat-cepat, tanpa
berpikir panjang. Aku membuka pintu kawat nyamuk dan menyelinap keluar.
Kareen menyusul. Tanpa bersuara dia menutup pintu. "Matikan
senter," bisiknya. "Jangan sampai cahayanya terlihat oleh ayahku atau Carolyn."
Aku mematikan senter dan berjalan menuju ke pondokku.
Terburu-buru aku melintasi rumput yang basah. Kareen pun bergegas supaya tidak
ketinggalan. "Aku mau ganti baju dulu," bisikku. "Setelah itu aku akan mencari Aunt Benna."
Tiba-tiba aku merinding. "Tapi bagaimana caranya" Dari mana aku harus mulai?"
"Gunakan Jungle Magic-mu," bisik Kareen. "Kekuatan gaib itu akan memberitahumu
di mana Benna berada. Kau akan dibimbing ke
tempat bibimu." "Tapi aku tidak bisa!" seruku dengan suara melengking.
"Sebelum ini aku bahkan tidak tahu bahwa aku punya kekuatan gaib.
Sampai sekarang aku tetap belum yakin."
"Gunakan kekuatanmu," bisik Kareen. Dia menatapku sambil memicingkan mata.
"Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya!" aku berkeras.
"Kau akan dibimbing," sahut Kareen. "jangan kuatir. Semuanya bakal beres."
Aku tidak yakin. Tapi aku diam saja.
Pikiranku kacau-balau. Aku terus teringat kata-kata yang
dituliskan bibiku. Seharusnya aku berada ribuan kilometer dari sini, aku berkata
dalam hati. Aku baru aman kalau begitu.
Hmm, bagaimana caranya aku bisa lolos dari Carolyn dan Dr.
Hawlings" EBUKULAWAS.blogspot.com
Kami berjalan menyusuri deretan pondok. Udara masih terasa
panas dan lembap. Pengapnya minta ampun. Langit bertambah gelap,
dan kini berwarna hitam pekat. Bulan dan bintang-bintang tetap tidak kelihatan.
Aku ganti baju dulu, dan habis itu aku kabur, ujarku dalam hati.
Ganti baju. Kabur. "Cepat Mark, " Kareen berbisik di sampingku. "Cepat. Dan jangan bersuara. Ayahku
mudah terbangun." Pondokku sudah mulai kelihatan.
Tapi sebelum sampai ke sana, aku mendengar suara langkah di
rumput yang basah. Suara langkah yang mendekat dengan cepat.
Kareen menahan napas dan menggamit lenganku. "Oh, aduh!
Ternyata dia!" Chapter 14 AKU tersentak kaget. Apa yang harus kulakukan" Lari" Bersembunyi"
Seandainya ini permainan Jungle King, aku pasti tahu harus
bagaimana. Aku pasti tahu bagaimana caranya lolos dari kejaran si Ilmuwan Jahat.
Aku tinggal menyambar tumbuhan rambat dan
berayun ke tempat aman. Dan sambil berayun, akan mengumpulkan
nyawa cadangan. Tapi ini bukan permainan.
Aku merapatkan punggung ke dinding pondok, dan menunggu
nasib sambil berdiri seperti patung. Langkah itu terdengar semakin dekat.
Aku menahan napas, tapi jantungku tetap berdegup-degup.
Dan - seekor binatang aneh muncul di hadapanku.
Bukan Dr. Hawlings. Tapi sejenis kelinci yang aneh, dengan
telinga besar dan kaki raksasa yang berdebam-debam di tanah setiap kali binatang
itu melompat. Aku memperhatikan makhluk itu menghilang ditelan kegelapan
di antara dua pondok. "Apa itu" Kelinci?"
Kareen menempelkan jari ke mulut, supaya aku tidak bicara
keras-keras. "Itu spesies baru kelinci raksasa. Bibimu yang
menemukannya." Aku hendak menyahut, tapi Kareen langsung menggiringku ke
pintu pondokku. "Cepat, Mark. Kalau ayahku sampai bangun..." Dia tidak
menyelesaikan kalimatnya.
Kalau dia sampai bangun, kepalaku bakal dipenggal dan
digodok sampai mengerut, aku berucap dalam hati.
Kakiku mendadak lemas. Tapi aku memaksakan diri masuk ke
pondok yang gelap. Kedua tanganku gemetar. Saking kerasnya, aku nyaris tidak
bisa berganti baju. Dengan susah payah aku mengenakan celana jeans yang kupakai
selama penerbangan. Dan T-shirt berlengan panjang.
"Cepat dong!" Kareen berbisik dari pintu.
Kenapa sih dia terus mendesakku. Setiap kali dia bilang begitu,
aku pasti tersentak kaget.
"Cepat, Mark!" Aku membuka koper dan mengeluarkan senter yang kubawa.
Kemudian aku bergegas ke pintu.
"Cepat, Mark. Jangan lama-lama!" bisik Kareen.
Aku berhenti sejenak, menyambar kepala yang kudapat dari
Carolyn, menyelipkannya ke kantong T-shirtku. Kemudian aku
membuka pintu dan melangkah keluar.


Goosebumps - Rahasia Kepala Terpenggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ke mana aku harus pergi" Apa yang harus kulakukan"
Bagaimana caranya aku bisa menemukan bibiku"
Sejuta pertanyaan melintas dalam benakku. Kerongkonganku
terasa kering kerontang. Rasanya aku ingin mengambil sekaleng Coke dingin di
lab. Tapi aku tahu aku tidak boleh ambil risiko. Kalau ayah Kareen sampai
bangun, maka tamatlah riwayatku.
Kami mulai melintasi rumput yang basah. "Jangan nyalakan
senter dulu," bisik Kareen. "Tunggu sampai kita berada di tengah pepohonan."
"Tapi aku harus ke mana" Dari mana aku mencari Aunt
Benna?" aku berbisik sambil menelan ludah.
"Hanya ada satu jalan setapak," Kareen memberitahuku. Dia menunjuk ke arah
pohon-pohon gelap di tepi hutan. "Aku bisa
Wanita Iblis 20 Pengemis Binal 02 Kemelut Kadipaten Bumiraksa Jodoh Di Gunung Kendeng 1
^