Pencarian

Burung Gagak Bertuah 1

Goosebumps - 2000 7 Burung Gagak Bertuah Bagian 1


R.L. Stine Burung Gagak Bertuah (Goosebumps 2000# 7) Selamat Datang Di Abad Baru
Dunia Horor Goosebumps Series 2000 "Aku akan membuat segala kesulitanmu lenyap," kata Iris.
Ha" Apa maksudnya"
Wade Brill memang kesal sekali pada kakaknya, Micah, yang selalu iseng
menggodanya dan sering mempermalukannya di depan teman-temannya. Itu
sebabnya ia datang pada Iris, yang katanya ahli dalam membalas dendam.
Tapi apa maksud Iris dengan ucapannya itu" Apa ia akan melenyapkan Micah"
Wade ingin membatalkan permintaannya, tapi sudah terlambat, sebab Iris sudah
mengucapkan manteranya. 2000 Kali Lebih Syereeem Alih bahasa: Sutanty PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26
Jakarta, 10270 Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
1 WADE BRILL. Kutuliskan namaku dengan satu jari di cermin kamar mandi yang beruap, lalu
kuhapus lagi dengan handuk.
Kamar mandi masih panas dan penuh uap, karena aku baru saja mandi.
Kupandangi bayangan diriku di cermin. Aku mulai menyikat rambutku yang
pendek dan pirang kecokelatan, lalu dengan hati-hati kusibakkan poniku ke
belakang dan kupakai baretku.
Mungkin aku akan pakai gaun putihku yang baru ke pesta ulang tahun Erin,
pikirku. Dan sepasang sandal putihku.
Pesta Erin akan diadakan di pekarangan belakang rumahnya. Pesta barbecue. Tapi
di luar sedang hujan. Dari sini bisa kudengar suara air yang memukul-mukul
jendela kamar tidurku. Biar saja, ah, pikirku. Gaun putih itu adalah gaunku yang paling bagus. Kuanggap
saja cuaca di luar cerah dan panas.
Aku cepat-cepat keluar dari kamar mandi untuk berpakaian. Aku tidak ingin
terlambat datang ke pesta. Hujan memukul-mukul kaca jendela, dan hampir-
hampir membuat suara TV di mejaku tidak kedengaran.
Kuambil gaun putihku dari gantungan. Perhatianku. tertuju pada film di TV:
Pembalasan Manusia Cacing.
Aku sudah pernah nonton film itu. Benar-benar konyol. Tentang cacing-cacing
yang tumbuh sangat tinggi dan menyerang sebuah desa nelayan karena mereka
tidak mau dijadikan umpan.
Tapi aku suka nonton apa pun yang dalam judulnya ada kata pembalasan.
Aku sering memikirkan tentang pembalasan.
Kalian juga pasti begitu... kalau punya kakak lelaki seperti kakakku.
Micah Brill. Itulah namanya. Micah. Alias si Tengil. T-E-N-G-I-L.
Micah sudah tujuh belas tahun, lima tahun lebih tua daripadaku. Ia jangkung,
ganteng, dan rambutnya berombak. Kalau melihatnya, kalian pasti mengira ia jenis
yang suka mengganggu orang yang seukuran dirinya. Tapi ia malah selalu
menggangguku. Sejak aku lahir.
Bukan cuma mengganggu malah. Ia suka menjebakku. Memperlakukanku seperti
budak. Mempermalukanku di depan teman-temanku.
Minggu lalu beberapa temanku datang ke rumah. Kami nonton video bersama-
sama. Pembalasan Makhluk-makhluk Bayangan. Tadi sudah kubilang, kan, aku suka
nonton apa pun yang di judulnya ada kata pembalasan.
Teman-temanku yang datang adalah Carl Jeffers, Julie Wilson, dan saudara
lelakinya, Steve. Kuakui, aku naksir berat pada Steve. Ia anak kelas delapan. Benar-benar oke.
Jadi, aku juga berusaha tampak oke.
Tapi Micah mengacau semuanya.
Ia masuk dengan penuh gaya ke ruang tamu, ketika film sedang seru-serunya. "Yo,
bocah-bocah! Lihat nih, topi baruku bagus, tidak?"
Tahu, tidak" Micah memakai celana dalamku di kepalanya.
Celana tua warna merah muda pemberian Bibi Claire, dengan tulisan SENIN di
bagian pinggulnya. Teman-temanku tertawa. Wajahku jadi panas. Merah padam. Micah menari-nari
sekeliing ruangan sambil mengibar-ngibarkan celana itu di depan wajah semua
orang. Ia tampak senang sekali.
"Wade, hari ini kau pakai yang ada tulisan RABU, tidak?" goda Julie.
Ha ha. "Ayo kita periksa!" seru Micah. Ia menerkamku dan mencoba menurunkan celana
pendekku. "Jangan ganggu aku, jelek!" teriakku. Kuhantam perutnya sekeras mungkin dengan
kepalaku. Ia jadi agak terhambat. Tapi ia berhasil menarik celana pendekku dan
melemparkannya pada Steve.
YAAIII! Bayangkan seperti apa adegannya kalau difoto. Cowok yang kutaksir duduk
memegang celana pendekku di tangannya.
Hidup serumah dengan Micah benar-benar menyebalkan.
Ia selalu menggerataki isi laci-laciku, selalu mengendus-endus di kamarku Dan
aku tahu sebabnya Ia mencari buku harianku.
Tapi ia tak bisa menemukannya. Aku punya tempat rahasia untuk
menyembunyikan buku itu. Tidak akan kubiarkan Micah mempermalukanku
dengan membaca buku harian itu. Tidak usah, ya.
Micah sering meminjam barang-barangku tanpa permisi. Pernah ia mengambil dua
CD kesayanganku dan memberikannya pada temannya.
Ia selalu berusaha membuatku susah. Ia tahu aku tidak sepandai dirinya. Ia tahu
aku mesti belajar keras. Jadi, apa yang ia lakukan" Setiap aku sedang belajar untuk ulangan, ia menyetel
stereonya sekeras mungkin.
Kadang-kadang aku ingin menjerit rasanya.
Jangan sampai aku mulai mengomel tentang Micah. Bisa tak ada habisnya.
Pernah Mom melarang Micah keluar pada suatu malam Minggu kalau ia belum
membersihkan kamarnya. Ia sudah tujuh belas tahun, tapi suka melemparkan
barang-barangnya begitu saja di lantai, seperti anak dua tahun.
"Wade, tolong aku dong," bisiknya. "Kalau kau mau membereskan kamarku kau
kubayar dua puluh lima dolar deh."
Wah, lumayan juga. Maka kubereskan kamarnya yang menjijikkan. Tidak mudah,
lho. Percayalah Rasanya seperti membersihkan rawa-rawa. Aku malah
menemukan seekor tikus mati di kolong tempat tidurnya, sudah membusuk dan
menjijikkan. Butuh waktu seharian untuk menyelesaikan pekerjaanku. Lalu Mom memeriksa
kamarnya, dan memujinya sambil menepuk-nepuk punggungnya.
Setelah Mom turun, aku menuntut bayaranku. "Ayo bayar, Micah. Dua puluh lima
dolar." Ia memandangku seolah-olah aku sudah sinting. "Dua puluh lima dolar?" serunya.
"Dari mana aku dapat uang dua puluh lima dolar?" Lalu ia lari ke luar untuk
menemui teman-temannya. Apa aku bisa mengadu pada orangtuaku"
Tidak bisa. Mereka menganggap Micah hebat.
Ia selalu dapat nilai A. Ia menjadi kapten di tim sepak bolanya, dan kemungkinan
ia akan mendapatkan beasiswa penuh untuk masuk college.
Bagus, kan" Tapi ia jahat.
Kadang-kadang aku coba mengeluhkan kelakuannya. Kemarin, waktu Mom
pulang dari supermarket, aku menyambutnya di pintu. "Mom, Micah menggerataki
lemariku lagi. Dia memakai celana dalamku di kepalanya dan memamerkannya di
depan teman-temanku."
Mom tertawa. "Kakakmu memang lucu sekali." Lalu Mom melewatiku, masuk ke
dapur untuk menaruh belanjaannya.
"Tapi, Mom...," protesku.
"Dia menggodamu karena dia sayang padamu," Mom balik berseru padaku
Yeah. Aku percaya saja deh.
Kakakku memang pengganggu paling menyebalkan, nomor satu. Itu sebabnya aku
suka nonton film- film tentang pembalasan dendam.
Tapi sekarang aku sedang tidak punya waktu untuk nonton TV. Aku mesti bersiap-
siap untuk ke pesta Erin.
Aku duduk di tepi ranjang dan mengenakan sandal putihku, sama sekali tidak
menyadari bahwa sebentar lagi aku akan mengalami hari yang paling buruk dalam
hidupku. Tapi mungkin juga hari yang paling baik...
2 "TAPI, kenapa Mom tidak bisa mengantarku?"
Aku mengikuti Mom dari kamar tidur ke kamar mandi, lalu ke kamar tidur lagi,
sementara Mom bersiap-siap. Ia akan menghadiri banquet di rumah sakit bersama
Dad. Ayahku memang dokter.
( banquet: upacara pesta makan malam-editor)
"Kami tidak membawa mobil," sahut Mom. "Kami akan dijemput Dr. Tolbert."
"Mobil akan dipakai Micah," Dad, yang sedang memakai dasi, ikut bicara. "Kan
sudah kubilang, dia akan mengantarmu ke pesta itu."
"Tapi Micah masih ada di gym!" protesku. "Mestinya dia sudah pulang setengah jam
yang lalu." ( gym: ruang/gedung olahraga-editor)
"Dia tidak akan lupa, kok," kata Dad.
Aku menghela napas. Micah sudah ribuan kali melupakan janji denganku. Untuk
minggu ini saja. Mom memasang gelangnya di tangan, lalu bercermin. Setelah itu, ia menciumku
sekilas. "Senang-senang, ya, di pesta Erin. Sayang sekali hari ini hujan lebat."
Kudengar Dr. Tolbert sudah membunyikan klakson. Aku memandangi dari balik
jendela, ketika orangtuaku pergi.
Di mana Micah" pikirku dengan marah. Di mana dia"
Untuk kesekian kalinya, aku bercermin lagi, lalu mulai mondar-mandir gelisah
sambil mengawasi angka-angka di jam digital radioku.
6:20... 6:21... 6:22... Aku benar-benar marah. Pesta Erin pasti sudah dimulai. Dasar si Micah tolol.
Mungkin dia masih di gym, pikirku. Main basket dengan teman-temannya, dan lupa
sama sekali padaku. Atau mungkin dia ingat, tapi tidak peduli.
Aku akan terlambat datang ke pesta itu. Aku tidak akan bisa menikmati semuanya.
Aku mau meledak nih. Aku sangat marah. Mau meledak.
"YAAAIII!" jeritku nyaring. Aku mesti melakukan sesuatu.
Kusambar telepon dan kuhubungi Carl yang tinggal di blok berikutnya. Ia pasti
bisa menjemputku. Tapi ibunya yang menjawab teleponku. "Oh, sayang sekali, Wade, aku sudah
mengantar Carl ke rumah Erin sekitar setengah jam yang lalu."
Yah, Carl sudah berada di pesta. Ia tidak perlu bergantung pada Micah. Micah,
alias si T-E-N-G-I-L. Bisakah aku jalan kaki ke rumah Erin" pikirku. Aku memandang hujan yang turun
lebat di luar. Tidak, ah. Terlalu jauh.
Lebih dekat kalau aku ke gym saja. Jaraknya cuma empat blok.
Aku akan jalan kaki ke gym dan mencari Micah, pikirku.
Kupandangi sandal putihku. Kena hujan sedikit tidak apalah, pikirku. Toh tidak
jauh. Kuambil payung, lalu aku keluar ke tengah hujan. "Ohhh," desahku ketika air
dingin menerpa kakiku. Aku menginjak kubangan dalam rupanya.
Dengan mengertakkan gigi aku terus berjalan. Air deras mengalir di sepanjang
tepi jalan. Kupegang payungku erat-erat untuk melawan terpaan angin.
Mendadak... B-R-R-E-E-T! Tiupan angin yang sangat kencang menghantam
payungku... membuatnya kuncup ke luar.
Air hujan menyiramku seperti gelombang laut. Dalam sekejap aku basah kuyup.
Mulai dari poniku sampai ke sandalku.
"Micah!" geramku, ,."awasss kau!"
Kubuang payungku ke tong sampah dan aku terus berjalan. Rambutku basah kuyup
dan gaunku menempel basah.
Aku terus maju satu blok lagi. Lalu kulihat mobil itu melaju ke arahku.
Aku tidak sempat menjerit. Ataupun melompat menghindar.
Mobil itu melesat di sampingku. Berhenti dengan suara berdecit-decit sambil
menyemburkan air kubangan.
Air itu memercik ke tubuhku, dingin dan deras.
"Ohh." Sambil menggerutu aku mundur terhuyung-huyung. Kuhapus air yang
melesat ke mataku dengan dua tangan.
"Gaunku!" teriakku. Basah kuyup, dan kotor oleh lumpur cokelat yang lengket.
Si pengemudi mobil membuka kaca jendelanya. "Perlu tumpangan?"
Micah! Ia tertawa terbahak-bahak. Sepasang matanya yang gelap bersinar-sinar senang.
"Kau... kau... kau jahat!" teriakku. "Akan kuadukan pada Mom dan Dad Kau
menyetir seperti orang gila. Mereka tidak bakal mengizinkan kau punya mobil."
Itulah yang diimpikan Micah selama ini. Ia sangat ingin punya mobil sendiri.
Pada musim panas ini, ia memberi les renang di kolam renang di kota, bayarannya
ditabung untuk membeli mobil.
Micah angkat bahu. "Itu kan tidak disengaja."
Ia mengulurkan tangan dan jendela mobil dan mencubit pipiku. Kucoba menggigit
jari-jari tangannya, lalu aku naik ke mobil. Habis, mau bagaimana lagi"
Sepanjang jalan ke rumah Erin, aku marah-marah dalam hati. Micah
menurunkanku di ujung jalan masuk. Aku keluar dan membanting pintu dengan
marah, tanpa mengatakan apa-apa
"Senang-senang, ya," ledek Micah. "Eh, omong-omong, kau cakep deh."
Lalu ia melaju pergi... mencipratkan lumpur lagi ke arahku.
Aku bergegas ke pintu depan. Di dalam kudengar suara anak-anak tertawa dan
mengobrol. Air menetes-netes dan dahiku. Aku hampir-hampir tak bisa melihat bel
pintu. Erin membuka pintu dan ternganga. "Wade! Kau kenapa?"
"Jangan tanya-tanya," gerutuku.
"Aku suka lho, baju cokelatmu itu," katanya.
"Lucu sekali," geramku. "Ha ha. Punya baju untuk kupinjam, tidak?"
Aku mengikuti Erin ke kamarnya. Ia menyodorkan sehelai kaus dan jeans lusuh
padaku. "Selamat ultah," kataku. "Aku lagi marah sekali pada Micah, sampai-sampai kado
buatmu ketinggalan di rumah."
"Kau ganti pakaian saja di kamar mandi," kata Erin.
Di kamar mandi, kulepaskan sandalku yang penuh lumpur dan kucuci di wastafel,
lalu kusibakkan rambutku yang basah kuyup dan kucoba membersihkan lumpur di
wajahku. Ketika hendak meraih handuk, aku menyenggol sesuatu. Benda itu jatuh ke lantai.
Setelah mengeringkan wajah, baru aku melongoknya.
Ternyata sebundel majalah.
Aku membungkuk untuk mengambilnya. Tidak kusadari bahwa saat-saat itu begitu
penting, dan bahwa sebentar lagi kehidupanku akan berubah.
Salah satu majalah itu jatuh terbuka. Kuambil dan kupandangi halamannya.
Ada sebuah iklan di situ. Iklan yang aneh. Hanya berupa kotak dengan alamat
tercantum di dalamnya. Berikut tulisan: PEMBALASAN ADALAH SPESIALISASI KAMI.
3 PEMBALASAN. Kata favoritku.
Kurobek iklan itu dan kumasukkan ke saku. Lalu aku ganti pakaian dan bergegas
turun untuk ikut berpesta.
*** Malam itu, sepulangnya ke rumah, kumasukkan iklan tadi ke lemariku, lalu
kuambil buku harianku dari tempat rahasianya - di bawah kasurku.
Aku hampir setiap hari menulis di buku harianku. Kubaca sekilas apa-apa yang
telah kutulis selama beberapa minggu belakangan ini.
Ada beberapa halaman tentang pergi main boling bersama temanku Carl, dan
beberapa baris tentang betapa cakepnya Steve Wilson di mataku. Tapi selama
sebagian besar musim panas, buku harianku penuh dengan catatan tentang hal-hal
jahat yang dilakukan Micah padaku.
Mudah-mudahan dia pergi jauh, masuk college (universitas) tahun depan, tulisku.
Di Mars ada college, tidak, ya"


Goosebumps - 2000 7 Burung Gagak Bertuah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Beberapa hari kemudian, hujan badai telah berlalu, dan sekarang ganti datang
gelombang panas yang sangat terik. Carl dan aku pergi ke kolam renang di kota.
Rasanya kami ingin berendam sampai musim gugur tiba.
Carl dan aku sedang mengikuti lomba cannonball ketika sang lifeguard mendadak
meniup peluitnya. Dan pengeras suara, manajer kolam mengumumkan, "Giliran
orang dewasa." ( lifeguard: pengawas renang di laut/kolam renang)
Terdengar gerutuan keras dari kolam, sebab pengumuman itu berarti semua anak
mesti keluar dari kolam, sementara orang-orang dewasa berenang selama setengah
jam. "Mau beli makanan kecil, tidak?" tanya Carl.
Di kantin sudah ada segerombolan anak, hendak membeli apa saja yang dingin.
"Ah, ramai," sahutku.
Kami lalu menghamparkan handuk di rumput. Julie Wilson sedang berbaring di
dekat kami dalam bikininya. Steve duduk di sampingnya, sambil memutar-mutar
Frisbee di satu jarinya. Pengeras suara terdengar gemeresik, lalu ada suara orang berdeham.
"Perhatian," kata suara itu kemudian. Bukan suara manajer kolam, tapi suara
seseorang yang rasanya sangat kukenal.
"Pengumuman konyol lagi," gerutu Steve. "Sekarang, untuk menghibur Anda
semua, Klub Renang Riverdale akan mempersembahkan pembacaan cerita yang
baru, untuk didengarkan oleh para remaja sementara giliran renang dewasa
berlangsung," lanjut suara itu.
"Ha?" Carl mengernyit. "Biasanya tidak ada acara begini."
"Hari ini," kata suara itu, "kami persembahkan bacaan Buku Harian Wade Brill ."
Aku terkesiap. Semua orang menoleh ke arahku. Dan sekonyong-konyong aku
tahu, suara siapa itu. Suara Micah.
"Tidak!" teriakku, "Beraninya dia!"
Tapi ia memang berani. "Kebanyakan dari kalian tentu sudah kenal Wade," kata Micah di pengeras suara.
"Tapi kalau belum tahu, dia adalah cewek kurus yang berbaring di rumput itu,
dengan rambut pendek pirang kecokelatan, memakai pakaian renang biru yang
kebesaran untuknya."
Anak-anak mulai saling bergumam dan tertawa. Seorang cowok jangkung
menunjuk-nunjuk ke arahku. Semua orang memandangiku.
Aku ingin mati saja rasanya.
Micah berdeham lagi. "Episode Satu: Kamis, 26 Juni. Pergi ke supermarket bersama
Mom hari ini. Mom sedang memilih deodoran ketika Steve Wilson muncul di lorong
yang sama. Potongan rambutnya baru. Pendek dan mencuat. Cakep
sekali. Rasanya aku mulai naksir dia."
Pipiku memanas oleh amarah dan rasa malu. Bagaimana Micah bisa menemukan
buku harianku" Semua orang di kolam menatap ke arahku. Rasanya mata mereka membakarku
dengan panas. Aku tidak berani menatap Steve, tapi bisa kudengar ia tertawa bersama yang
lainnya. Aku melompat bangkit dan lari ke kantor kolam renang. Aku mesti menghentikan
Micah sebelum ia membaca lebih banyak.
"Oh, ini ada yang asyik" Suara Micah terdengar lagi di seluruh kolam. Sabtu, 28
Juni. Hari ini Steve menyapaku. Memang dia sering menyapaku, tapi hari ini aku
merasa cara menyapanya istimewa...."
*** Pembalasan. Kata itu melekat di benakku malam itu dan keesokan harinya. Micah tidak boleh
dibiarkan. Sudah dua belas tahun aku menanti untuk membalasnya.
Sekaranglah saatnya. Kuambil iklan majalah itu dari lemariku dan kubaca berulang-ulang.
PEMBALASAN ADALAH SPESIALISASI KAMI.
Apa maksudnya itu" Apa iklan ini dipasang oleh perusahaan yang melayani
pembalasan dendam" Mungkinkah itu"
Tidak ada nomor telepon. Tidak ada keterangan lebih lanjut. Misterius sekali...
Alamat yang tercantum di situ adalah Flamingo Road. Letaknya jauh, di sisi lain
kota, di daerah yang sangat kumuh dan rawan.
Aku tidak mungkin ke sana sendirian. Aku mesti mengajak Carl. Tapi dia sedang
pergi beberapa hari bersama orangtuanya.
Aku mesti menunggu. Tapi, sementara menunggu Carl, mungkin aku bisa merencanakan sedikit
pembalasan, pikirku. Aku keluar ke pekarangan belakang, untuk berpikir. Panas sekali di luar.
Matahari bersinar terik. Kupu-kupu ramai beterbangan di petak-petak bunga.
PLETAK! "Dapat satu lagi!" suara Mom menembus lamunanku.
Aku menoleh dan melihat Mom berlutut di kebun sayur, sedang menghantam
cacing-cacing berwarna keperakan dengan sekop. Cacing-cacing itu melejit di
tanah. Mom melemparkan semuanya ke ember.
"Mom, menjijikkan sekali," gumamku sambil geleng-geleng kepala.
"Sesudah hujan lebat, cacing-cacing muncul semua," kata Mom. "Aku sudah mulai
mahir membuat mereka gepeng."
PLETAK! "Dapat!" "Iiih," erangku. "Aku masuk saja, deh."
"Di dalam ada kakakmu," kata Mom, "Bersama gadis yang ditaksirnya itu. Sophie
Russel." "Dia terlalu bagus untuk si jelek itu," k?taku.
Mom menatapku. "Wade, kenapa kau selalu sentimen pada Micah?"
"Ha" Aku?" Aku menjerit marah, lalu berbalik dan masuk ke rurnah.
Micah ada di dapur, berusaha mengambil hati Sophie. Aku berdiri di lorong dan
mengintip mereka sejenak. Micah sedang memasukkan kopi ke mesin pembuat
kopi. "Mau kopi?" tanyanya pada Sophie."Aku gila kopi. Sehari mesti minum tiga
cangkir." Kupijat hidungku supaya ia tidak mendengar tawaku. Sehari tiga cangkir" Ia tidak
pernah minum kopi. Dasar pembohong!
"Aku mau setengah cangkir saja," kata Sophie. "Susunya yang banyak."
Memuakkan sekali, pikirku.
Aku ingin lari menjerit-jerit ke kamarku. Tap entah kenapa, aku tetap berdiri di
situ. Aku mulai mendapat gagasan. Gagasan yang sangat brilian.
Pembalasan. Akhirnya... 4 PLETAK! Mom masih menggepengkan cacing-cacing di luar. Dari situlah gagasanku muncul.
Aku masuk ke dapur dan menyapa kedua orang itu.
"Kalian sedang apa?" tanyaku dengan nada polos. "Bikin kopi?"
Micah melotot padaku. Sorot matanya berkata, "Jangan mengacau, Wade, awas
kau!" Aku nyengir lebar padanya, seperti adik kecil yang manis. Tidak usah cemas, aku
memberi tanda. Aku akan ikutan main denganmu.
Micah mengetuk-ngetukkan jemari ya di meja. "Kopi ini lama sekali mendidih.
Aku sudah bosan di sini."
"Micah gila minum kopi," dustaku sambil tersenyum manis pada Sophie. Micah
tampak senang, tapi juga curiga.
"Hei, bagaimana kalau kalian tunggu saja di ruang tamu, sambil nonton TV?"
saranku. "Kalau kopinya sudah siap, akan kubawakan buat kalian."
Sophie tersenyum pada Micah. "Dia manis sekali, tidak seperti adik
perempuanku." "Yeah." Kulihat Micah tampak heran sekali, tapi ia berkata, "Trims, Wade. Bisa
bawakan cookies (kue) sekalian, tidak?"
Cookies" Tidak masalah. Berikut kejutan istimewa buatmu.
Kupandangi mereka keluar ke ruang tamu. Micah berhenti di depan cermin untuk
melihat rambutnya. Ia sayang sekali pada rambutnya yang gelap dan berombak.
"Ada orang yang katanya bisa menampilkanku di MTV," katanya pada Sophie.
Micah, P-E-M-B - 0-H- 0-N- G.
Aku keluar ke pekarangan belakang. Mom sibuk sekali menggepengkan cacing-
cacing, sampai-sampai tidak melihatku.
Aku mengambil empat-lima ekor cacing yang gemuk.
Iiih! Makhluk-makhluk basah dan licin itu menempel di tanganku.
Aku bergegas kembali ke dapur dan memasukkan cacing-cacing itu ke cangkir
kopi. Lalu kucuci tanganku tiga kali, berusaha menghilangkan rasa licin itu.
Kopinya akhirnya siap. Kutuangkan ke dalam dua cangkir. Satu cangkir berisi
cacing, satu lagi tidak. Lalu kutambahkan susu dan gula banyak-banyak, dan
kubawa keduanya ke ruang tamu.
Nah, kita lihat, benar tidak kausuka kopi, Micah!
Sophie dan Micah duduk di sofa. Micah mengusap-usap rambutnya sendiri sambil
membual bahwa ia akan membeli mobil bagus.
Kuberikan kopi yang tanpa cacing pada Sophie, sementara untuk Micah, cangkir
yang berisi cacing. "Trims, Wade," kata Micah tanpa menatapku.
Aku berlama-lama di ambang pintu, untuk mengamati Sophie mencicipi kopinya.
Ayo minum, Micah, kataku dalam hati Minum minum.
"Nah, begitu aku punya cukup uang, aku ingin beli Mustang lama," kata Micah.
Sophie mengangguk. "Mobil jenis itu memang bagus."
Cepat minum. Ayo dong... minum! Mataku terus terarah pada cangkir itu.
Akhirnya Micah mengulurkan tangan hendak mengambil cangkirnya.
Aku menahan napas Terus, Micah. Minum yang banyaaaak.
Akhirnya aku bisa balas dendam juga.
5 MICAH mengangkat kopi itu ke bibirnya. Sophie menghirup kopinya lagi.
Aku tidak bergerak. Tidak mengedipkan mata. Ataupun bernapas.
Micah mengangkat cangkirnya lebih tinggi.
Mendadak Mom masuk ke ruang tamu sambil terbatuk-batuk.
"Mom?" teriakku.
"Aku tersedak," kata Mom "Kemarikan itu!" Ia menyambar cangkir di tangan
Micah dan meminum isinya banyak-banyak.
Aku terkesiap dan memukulkan kedua tanganku ke wajah.
"Nah, sudah lebih baik," kata Mom. "Aku tadi makan keripik kentang, dan... " Ia
minum lagi dari cangkir Micah.
Dan ekspresi wajahnya berubah.
Micah dan Sophie sama-sama menjerit ketika melihat seekor cacing merayap di
antara bibir Mom. Mom mengerang kaget. Mulutnya bergerak-gerak. Cacing itu
jatuh ke dagunya. Mom mengernyit jijik, mengambil cacing itu dari wajahnya dengan dua jari, dan
memandanginya dengan sangat kaget.
Lalu matanya beralih ke cangkir tadi. Seekor cacing lagi merayap keluar dari
tepinya. Mom mengeluarkan suara seperti orang tersedak. Cangkir di tangannya jatuh ke
karpet. "Wade yang membuat kopi itu,". kata Micah. Ia menoleh padaku dengan tatapan
menuduh. Mom. memandangiku dengan ternganga.
"Ini... ini keterlaluan!" kata Micah. "Wade mencoba meracuniku. Dia sengaja
memasukkan cacing ke dalam cangkir."
Mom tampak sangat marah. Wajahnya yang biasanya pucat berubah ungu.
"Wade..!" geramnya. "Ini masalah serius. Kau mesti berhenti mengganggu
kakakmu!" *** Tak ada pilihan. Aku mesti mendatangi pemasang iklan itu. Secepat mungkin.
Carl pulang keesokan sorenya. Kutelepon dia dan kuceritakan seluruh masalahnya.
Ia sebenarnya tidak mau menemaniku pergi, tapi aku tidak memberinya pilihan.
Sesudah makan, kutunggu Carl di anak tangga depan rumah. Malam itu panas dan
lembap. Bulan pucat keperakan bergantung rendah di atas pepohonan.
Aku sudah membawa sepedaku ke jalan masuk rumah, supaya siap begitu Carl
datang. Pintu depan terbuka. Micah dan Sophie melangkah keluar. Sophie tadi ikut makan
malam. Micah sedang mempermainkan kunci mobil Dad di tangannya. "Akan kuantar kau
pulang," katanya. "Kalau kau mau naik mobil ayahku."
Sophie tertawa dan mengatakan ia mau. Mereka melewatiku, seolah-olah aku tidak
ada. Kupandangi mereka masuk ke mobil.
"Tunggu pembalasanku," kataku pada diri sendiri. "Tak lama lagi kau tidak bakal
bisa tertawa seperti itu lagi, Micah."
Micah menyalakan mesin mobil. Radio dibunyikan keras-keras. Lalu ia
memundurkan mobil. "Tidaaak!" teriakku sambil melompat. "Micah... berhenti!"
Kurasa ia tak bisa mendengarku karena berisiknya suara radio. Aku ternganga saat
ia melindas sepedaku dengan mobil. Kututupi telingaku mendengar suara logam
yang hancur. "Micah, berhenti! Berhenti!" teriakku.
Tapi mobil terus melaju. Dengan berdebar-debar aku bergegas lari ke sepedaku. Sudah penyok parah.
"Ini tak bisa dimaafkan," kataku pada diriku sendiri. "Tak bisa lagi dimaafkan."
Tak lama kemudian, Carl datang naik sepeda. Ia berwajah bundar, dengan pipi
tembam merah dan rambut pirang pendek. Dibukanya kacamatanya, lalu
dibersihkannya dengan bagian depan kausnya, dan dipakainya lagi.
"Itu sepedamu?" tanyanya sambil menunjuk.
Aku mengangguk. "Micah?" tanyanya.
Aku mengangguk lagi. "Ayo berangkat," gumamku.
Kupinjam sepeda Mom di garasi, dan kami berangkat.
"Di mana sih tempat yang ingin kaudatangi ini?" tanya Carl.
"Flamingo Road," kataku sambil ganti gigi saat sepeda menanjak bukit.
"Kau pernah ke jalan itu?" tanya Carl.
"Belum. Tapi sudah kulihat di peta. Letaknya dekat rel kereta."
"Yeah. Di Rickey Flats. Taman untuk trailer."
( Trailer: truk/kereta gandeng)
"Jadi?" "Jadi?" kata Carl. "Itu bagian kota yang seram."
"Kau tidak takut, kan?" godaku.
Kukira ia akan menjawab, "Tentu saja tidak." Tapi Carl malah berkata, "Yeah,
agak takut juga, sih."
"Aku juga," kataku.
6 KAMI bersepeda ke ujung kota. Udara panas dan hening. Susah sekali untuk
bernapas. Kausku basah oleh keringat.
Hanya sedikit mobil yang kami jumpai di jalan. Rumah-rumah juga semakin kecil
dan berdekatan. Kami melewati sederetan gedung apartemen yang sudah tidak berpenghuni, disusul
sebuah lapangan kosong yang penuh sampah.
Jalanan lalu menikung dan berubah menjadi jalan setapak berkerikil. Ban sepeda
kami bergemeresik ribut di bebatuan.
"Kita mengambil jalan yang benar, tidak?" tanya Carl.
"Ku... kurasa ya," sahutku. Kusibakkan poniku yang basah oleh keringat.
Dua ekor anjing kurus sedang menarik-narik sesuatu dari tong sampah yang
terbalik. Kudengar raungan sirene mobil polisi di kejauhan.
Mendadak tidak ada lagi deretan lampu jalan. Kami mengayuh sepeda di jalanan
berbatu, menuju kegelapan.
Terdengar decit ban mobil di belakang kami, lalu suara tapak sepatu di jalan.
Suara orang-orang yang berlari cepat.
Seekor binatang melolong di dekat situ. Lolongan panjang dan sedih. Di dalam
salah satu bangunan yang pendek dan gelap, seorang laki-laki tertawa.
"Aku... aku tidak suka mendengar semua ini," kataku terbata-bata.
"Kau yakin kita mengambil jalan yang benar?" tanya Carl pelan.
Aku menelan ludah. "Tidak begitu yakin."
Kuhentikan sepedaku dan kuturunkan kakiku ke tanah. Kami berhenti di samping
sebuah pagar besi yang tinggi.
Bau asam menerpa hidungku. Bau ikan, sampah, telur busuk...


Goosebumps - 2000 7 Burung Gagak Bertuah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau bisa baca tanda itu?" Carl menyipitkan mata di balik kacamatanya, pada
sebuah plang logam yang ada di pagar.
Aku mendekat ke sana. "Rickey Flats. Ini tempatnya."
Kami turun dan sepeda dan menuntunnya ke pagar tinggi itu, sampai menemukan
pintu gerbang. Pintu itu berderit ketika kudorong.
Kami masuk ke taman trailer tersebut. Di dalamnya banyak sekali deretan trailer
dan rumah mobil yang sudah bobrok.
Setiap trailer memiliki sepotong pekarangan rumput yang kecil. Beberapa
pekarangan penuh dengan barang rongsokan - mobil yang sudah karatan,
tumpukan kardus, dan sebagainya.
Banyak di antara trailer tersebut yang terang oleh cahaya lampu. Aku mendengar
suara tangisan bayi, mencium bau masakan, dan suara jeritan seorang wanita yang
berteriak keras sekali dalam bahasa yang tidak kupahami.
Kami menuntun sepeda kami pelan-pelan, sampai menemukan Flamingo Road.
Carl memberi isyarat ke arah seorang wanita tua yang sedang duduk di pekarangan
trailer-nya yang kecil. Wanita itu tersenyum lebar pada kami dan melambaikan
tangan. "Mau beli ayam jantan?" panggilnya.
"Tidak, terima kasih," sahutku. Heran, suaraku kok pelan sekali, dan gemetar.
Rupanya aku ketakutan. Mestinya kami tidak datang malam-malam kemari.
Mungkin mestinya kami sama sekali tidak datang ke tempat ini.
Punggungku merinding. Akhirnya kami tiba di trailer nomor 45.
Lampu-lampu Natal merah dan hijau berkelap-kelip di atas trailer itu, meski
sekarang baru bulan Juli. Dalam cahaya lampu itu, bisa kulihat bahwa trailer
tersebut dicat warna ungu cerah.
Carl menoleh padaku; matanya berkedip-kedip di balik kacamatanya. Wajahnya
jadi tampak merah, hijau, merah, hijau dalam kerlap-kerlip lampu. "Kau yakin mau
masuk ke situ?" tanyanya.
Aku ragu-ragu. Lebih mudah kalau kami berbalik saja dan pulang ke rumah.
Tapi lalu kubayangkan Micah mengacak-acak kamarku, mencuri barang-barangku,
buku harianku. Micah yang menabrakkan mobilnya ke sepedaku. Micah yang
mengacau hidupku setiap hari, dengan segala cara.
Micah, alias M-U-S-U-H. "Yakin," sahutku pada Carl.
Kami memarkir sepeda kami dan mengetuk pintu.
Lalu menunggu beberapa saat.
Kemudian, dari dalam trailer, terdengar suara jeritan yang sangat menakutkan.
Bukan seperti suara manusia.
7 KUSAMBAR tangan Carl. Aaaah! Jeritan seram itu lagi.
"Apa itu" bisikku.
Carl menghapus setitik keringat di dahinya. "Ada yang menjerit?"
Pintu terbuka dengan keras. Seorang wanita bertubuh kecil dalam pakaian warna
ungu muncul. Rambutnya panjang dan kusut, tergerai hingga ke bahu. Ia
mengenakan lipstik hitam yang membuat bibirnya tampak mencuat di wajahnya
yang pucat. Seekor burung gagak hitam bertengger di bahunya.
"Aaah!" jerit gagak itu.
Kenapa burung itu menjerit seperti itu" Apa ia mencoba memperingatkan kami
agar pergi" Tenang, Wade, kataku pada diri sendiri. Jangan terpengaruh. Itu kan cuma burung.
Apa benar itu cuma burung" Kenapa mata binatang itu terus menatapku lekat-lekat
seperti itu" "Masuklah," kata si wanita tua dengan halus. Ia mundur dan menepi, supaya Carl
dan aku bisa masuk. Kami dibawanya ke sebuah ruangan kecil yang gelap. Aku menoleh saat ia
menutup pintu di belakang kami.
Sekarang kami terjebak di sini, pikirku.
Aku menarik napas panjang dan menahannya. Tenang, Wade, tenang.
"Biasanya aku tidak kedatangan tamu malam-malam begini." kata si wanita tua.
Bibirnya yang berlipstik hitam membentuk senyuman. "Kalian membaca iklanku?"
Aku mengangguk dan berdeham "Ya, aku..."
Wanita itu menepukkan kedua tangannya. "Calon klien rupanya. Bagus!
Duduklah." Kami duduk di ruang tamu, di kursi berlapis bahan warna ungu. Sebuah TV kecil
ditempatkan di depan tembok, dengan sebuah kandang burung yang besar di
atasnya. Di atas lemari di samping TV ada sebuah tengkorak. Tengkorak manusia.
Aku ternganga. "Itu tengkorak sungguhan?"
Wanita itu masih terus tersenyum. "Kemungkinan."
Ia menarik burung gagak itu dari bahunya dan membelainya. Sepasang matanya
yang hitam berkilat-kilat seperti arang di wajahnya yang amat sangat pucat.
"Namaku Iris," katanya sambil membelai pungung gagak itu "Dan ini Maggie."
Carl dan aku memperkenalkan diri.
"Katakan halo, Maggie," perintah Iris.
Maggie memiringkan kepala dan menatap dingin pada kami.
"Aah," desah Iris. "Maggie sedang tidak sopan hari ini, ya?"
Si burung gagak mengembangkan sayapnya. Aku merinding lagi. Ada kesan yang
sangat jahat dan mirip manusia pada burung itu. Aku melirik Carl. Dia
memperhatikan itu, tidak, ya"
"Kalian berdua ingin balas dendam?" tanya Iris, masih membelai si gagak.
"Tidak," sahutku. "Cuma aku."
Mata Iris bersinar-sinar. "Membalas dendam pada orangtuamu?"
"Ha" Tidak. Pada kakak lelakiku," kataku.
Iris meletakkan si gagak di meja, lalu mencondongkan tubuh ke arahku dengan
mata membara. "Coba bilang, kenapa kau perlu bantuanku."
Kuceritakan segalanya tentang Micah dan kelakuannya yang menyebalkan. Aku
sangat gugup, sampai-sampai suaraku gemetar dan aku lupa beberapa hal yang
ingin kuceritakan. Untunglah Carl membantuku.
Setelah aku selesai bercerita, Iris memandangiku, lama sekali. "Balas dendam
macam apa yang kauinginkan?" tanyanya kemudian.
Aku balas menatapnya. Si gagak memperdengarkan suara CAW-CAW pelan,
mengatupkan dan membuka paruhnya bergantian.
Ini tidak sungguh-sungguh terjadi, pikirku. Ini cuma lelucon. Semacam gurauan.
Iris juga bukan sosok nyata. Tak mungkin.
"Kau benar-benar bisa membalaskan dendam orang lain?" tanyaku kemudian.
Iris mengangguk dengan serius, matanya masih tetap menatapku. "Maggie dan aku
punya kekuatan," katanya dengan berbisik.
Kata-katanya membuatku kembali merinding ngeri. Jahatkah dia" pikirku. Apa aku
telah membuat kesalahan besar"
"Kakak lelakinya sering membuatnya malu," Carl berkata. "Wade ingin balas
mempermalukannya." "Lebih dari itu," kataku. "Aku ingin membuat dia terhina. Aku ingin
menghancurkannya. Aku ingin membuat dia merasa tak berarti. Aku ingin memberi
pelajaran padanya, supaya dia tidak jahat lagi padaku." Aku menarik
napas. "Musim gugur ini dia akan naik ke kelas dua belas," lanjutku. "Aku ingin
menghancurkan tahun sekolahnya kali ini, sepenuhnya."
"Mmm." Iris menggosok-gosok dagunya dengan jemarinya yang berkuku panjang
dan hitam. Carl bergerak-gerak gelisah di kursinya.
Iris berkata, "Bayaran apa yang akan kauberikan untuk pembalasan dendam ini?"
"Bayaran?" tanyaku.
"Ya," kata Iris. "Kalau aku membalaskan dendammu, apa yang akan kauberikan
padaku sebagai bayaran?"
Aku merasa ngeri. Mendadak aku menyadari, apa yang sedang kulakukan ini.
Aku pernah nonton film tentang hal-hal seperti ini. Juga membaca cerita-cerita
horor. "Kau... kau suka mengumpulkan jiwa manusia, bukan?" kataku tergeragap. "Kau akan
mengabulkan permintaanku... asalkan aku menyerahkan jiwaku sebagai
gantinya." 8 IRIS tertawa terbahak-bahak "Kau terlalu banyak nonton TV," katanya. "Aku tidak
tahu apa-apa tentang mengumpulkan jiwa manusia. Aku cuma buka usaha di sini.
Kalau aku dibayar dengan jiwa, aku bisa kelaparan."
Aku menatapnya tak mengerti. Karena sangat bingung, aku hampir-hampir tak bisa
berpikir jernih. Carl berbisik padaku, "Wade, kurasa dia ingin tahu kau punya uang berapa untuk
membayarnya." "Uang?" seruku. "Aku tidak punya uang sepeser pun."
Iris menggeleng-geleng, lalu mengambil gagaknya lagi. "Coba dengar, Maggie.
Akhirnya aku dapat klien juga, tapi dia tidak punya uang Bagaimana ini?"
Ia mendesah. "Begini saja, Wade, kau akan kuberi percobaan gratis."
"Terima kasih!" seruku.
Iris menyipitkan mata. "Mungkin nanti baru kutentukan, apa yang bisa kauberikan
sebagai bayaran untukku."
"Apa?" tanyaku tercekat.
Iris menggeleng. "Nanti saja. Akan kupikirkan dulu."
Ia menyibakkan rambut hitamnya yang panjang ke balik bahunya. "Bagaimana,
setuju, tidak?" Aku menelan ludah. "Ku... kurasa setuju."
Iris menjabat tanganku. Kuku-kukunya yang panjang menggores telapak tanganku.
Telapak tangannya halus dan lembap.
"Jadi... mau balas dendam pada kakakmu Micah," katanya sambil memejamkan mata.
"Coba kupikirkan....
"Aha, aku punya gagasan yang sangat bagus. Bagus sekali"
Ia berkomat-kamit tanpa suara sambil mengelus punggung gagaknya sekali, dua
kali... tiga kali. Lalu ia kembali membuka mata. "Nah, sudah."
"Ha" Apa yang kaulakukan?" tanyaku.
"Pembalasan dendam yang bagus. Kakakmu akan mengalami kecelakaan
mengerikan... dan dia tidak akan pernah pulih lagi."
"Tidaaak!" jeritku. "Tidak, jangan! Itu terlalu mengerikan. Bukan itu yang
kuinginkan. Cabut lagi! Cabut lagi!"
"Maaf," kata Iris dengan dingin. "Sudah terlambat."
9 "MENGERIKAN sekali!" seru Carl.
Aku melompat bangkit "Cabut lagi" teriakku pada Iris. "Kau tak bisa melakukan
itu pada Micah. Cabut lagi... sekarang."
Kutarik-tarik rambutku dengan dua tangan sambil berteriak panik, "Apa yang telah
kulakukan" Oh, tidak! Apa yang telah kulakukan?"
Iris menggeleng-geleng. Rambutnya jatuh menutupi wajah. "Begitu manteranya
sudah diucapkan, kurasa..."
Ia menyibakkan rambutnya, mulutnya membuka menjadi huruf 0 besar "Oh,
tunggu, tenang dulu. Aku melupakan sesuatu tadi. Ada bagian yang ketinggalan ."
Aku menarik napas panjang. "Maksudmu... mantra itu tidak bekerja?"
"Tiidak!" sahut Iris. "Ada yang ketinggalan. Ini kan pembalasan dendammu.
Berarti kau juga mesti mengelus punggung Maggie tiga kali."
"Jadi, Micah tidak akan kenapa-kenapa?" tanyaku. "Tidak akan ada kecelakaan?"
"Kecelakaan" Tidak. Kecuali kau menginginkannya."
Iris mengulurkan Maggie yang bertengger di lengannya. "Banyak aturannya kalau
ingin menggunakan gagak ini," katanya. "Banyak sekali. Ini. Pikirkan pembalasan
dendammu, lalu elus punggung Maggie tiga kali, dan keinginanmu akan
terlaksana." "Syukurlah," kataku pelan. Aku memang ingin membuat Micah menderita, tapi
aku tak ingin ia benar-benar celaka.
"Ayo," kata Iris "Pilih pembalasanmu. Aku tidak bisa menunggu terus."
Carl dan aku mendekati si burung gagak. "Bagaimana nih?" tanyaku pada Carl.
"Pembalasannya mesti setimpal, tapi jangan yang terlalu kejam."
Carl mengernyit dan berpikir keras, lalu mulai menggaruk-garuk lehernya.
"Kenapa kau garuk-garuk begitu?" tanyaku.
Ia mengernyit lagi padaku. "Aku gatal."
"Itu saja," kata Iris. "Itu bagus sekali."
"Ha?" Carl dan aku sama-sama ternganga memandangnya.
"Kita buat kakakmu kegatalan," kata Iris, matanya bersinar-sinar penuh semangat.
Aku menggeleng. "Dibikin gatal" Pembalasan macam apa itu?"
Iris mendekatkan tubuhnya padaku. "Rasa gatalnya tidak akan hilahg," katanya
pelan. "Kita buat dia semakin kegatalan kalau dia menggaruk. Lalu rasa gatal itu
menyebar dan terus menyebar, ke seluruh tubuhnya. Termasuk giginya, bola
matanya, lidahnya. Dan dia tidak akan bisa menghentikannya."
"Hmm...," aku masih ragu.
"Dia tidak akan bisa melakukan apa pun," Iris melanjutkan dengan senang. "Tidak
bisa pergi ke mana-mana. Cuma bisa di rumah saja, menggaruk dan terus
menggaruk, sampai semua kulitnya kena garuk."
"Bagus juga kedengarannya," kataku.
"Ya," Carl sependapat.
Iris mengulurkan gagak di tangannya, lalu memejamkan mata dan mengelus
punggung Maggie tiga kali.
"Sekarang kau," katanya sambil mengulurkan gagaknya padaku.
Aku mengulurkan tangan, tapi lalu bertanya dulu, "Ini benar-benar gratis?"
Iris mengerutkan kening. "Tidak usah dipikirkan."
Apa maksudnya itu" Apa Ia hendak membohongiku"
Biar saja. Pokoknya aku ingin balas dendam pada Micah.
Kupejamkan mataku dan kuucapkan keinginanku, lalu kuelus punggung gagak itu
sekali, dua kali... tiga kali.
10 CARL dan aku mengayuh sepeda secepat mungkin. Pulang. Aku menyerbu masuk
ke ruang santai dengan terengah-engah, mencari Micah. Dad sedang duduk di kursi
malas, membaca novel misteri.
"Wade, dari mana saja kau?" tanyanya sambil menutup bukunya.
"Aku... aku meminjam sepeda Mom," kataku tergeragap, berusaha mengatur
napas. "Carl dan aku... kami jalan-jalan naik sepeda."
Dad menyipitkan mata padaku. "Dengan sepeda ibumu" Sepedamu sendiri di
mana?" "Ditabrak Micah," seruku. "Dia memundurkan mobil dan menabrak sepedaku.
Sekarang sepedaku rusak total."
Dad berdecak-decak sambil menggeleng-geleng. Kukira ia akan berkata, "Micah
akan kuhukum nanti."
Tapi Dad malah bergumam, "Aku yakin dia tidak sengaja. Mestinya kau tidak
meninggalkan sepedamu di jalan masuk, Wade."
"Aaaah!" Aku ingin mencekik Dad deh rasanya.
Lalu Mom masuk. "Ini dia orangnya," katanya sambil tersenyum padaku. "Ayo
makan hidangan penutup. Siapa yang mau hidangan penutup" Kita semua pergi
begitu saja sehabis makan tadi."
Micah turun tangga dengan berisik. Kami berempat lalu beranjak ke ruang makan.
Mom memotong kue tar cokelat yang tadi dibelinya. Dad menyendok es krim
vanila. "Kau tahu tidak, kau tadi menabrak sepedaku?" tanyaku dengan marah pada
Micah. Micah mengambil sendok es dari Dad dan menyendok dua porsi besar es krim.
"Sepeda jelek itu?" tanyanya. "Mudah-mudahan ban mobilnya tidak rusak gara-
gara menabrak sepedamu."
"Bisa tidak kita bicara yang menyenangkan kali ini?" tanya Mom sambil melotot
padaku. Lalu ia tersenyum pada Micah. "Jarang sekali bisa makan malam
bersamamu." "Yeah," gerutuku. "Dia selalu keluar, bikin masalah dengan teman-temannya yang
sinting." "Setidaknya aku punya teman," balas Micah.
"Sudah, sudah, Wade," keluh Mom.
Kok aku" Kenapa Mom cuma mengkritikku" Micah mulai bicara tentang mobil
Mustang yang ingin dibelinya. Untuk kesekian kalinya ia minta Mom dan Dad
meminjamkan uang padanya, supaya musim panas ini ia sudah bisa memiliki
mobil itu. Aku tidak mendengar jawaban orangtuaku. Aku menulikan telinga.
Kupandangi Micah. Dan kutunggu.
Menunggu rasa gatal itu muncul. Menunggu ia mulai menggaruk dan terus
menggaruk sampai meliuk-liuk kegatalan tanpa ampun.


Goosebumps - 2000 7 Burung Gagak Bertuah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Micah menyuap potongan kuenya yang terakhir, lalu bersendawa keras.
Mom dan Dad tertawa. Semua tingkah Micah selalu dianggap lucu.
Mulai gatal, kataku dalam hati. Ayo, Micah, mulai gatal.
Micah mengetuk-ngetukkan jemarinya dengan tak sabar, sementara kami
menghabiskan kue kami. Ia tampak sangat gelisah.
Tapi tidak kegatalan. Kupusatkan mataku padanya. Aku tidak ingin ketinggalan melihat kalau ia mulai
kegatalan. Aku ingin menikm?ti setiap saat pembalasan dendamku.
"Ada yang mau es krim lagi?" tanya Dad sambil mengangkat sendok es krim.
Micah mengambil garpunya.
Dia akan mulai menggaruk dengan garpu itu, pikirku.
Ini dia. Serangan gatal akan dimulai.
Tapi tidak. Micah mengetuk-ngetukkan garpunya di meja, lalu mengangkat tangan
dan mulai mengetukkan garpu itu di kepalaku.
"Hentikan!" teriakku. Kudorong tangannya jauh-jauh.
Ia mengambil kue tar cokelatku dengan garpu itu, lalu menyuapnya.
Mom dan Dad tertawa lagi.
Aku tidak peduli. Aku tahu bahwa tak lama lagi akulah yang akan tertawa.
Tapi kapan" Kapan"
Kenapa ia tidak kegatalan juga"
Akhirnya aku tidak sabar lagi. "Micah," kataku, kau tidak merasa ada yang aneh?"
"Tidak seaneh tampangmu," balasnya. Ia mengambil potongan kue terakhir di
piringku, lalu bergegas naik ke kamarnya.
*** Mestinya aku bertanya pada Iris, berapa lama manteranya baru bekerja,
Kumatikan lampu meja di kamarku dan aku berbaring di bawah selimut. Cahaya
bulan keperakan menymari tirai-tirai jendela. Bayangan pepohonan menari-nari di
dinding. Mungkin baru besok pagi Micah akan kegatalan, pikirku. Mungkin Iris membuat
mantranya bekerja besok. Aku menguap. Kakiku sakit karena lama mengayuh sepeda tadi. Aku cepat
tertidur. Nyenyak. Kamarku masih gelap ketika aku terbangun. Kupandangi jam radio. Pukul lima
seperempat pagi. Kenapa aku terbangun"
Punggungku gatal. Agak nyeri.
Aku hendak menggaruknya, tapi tanganku tak sampai.
Kugosok-gosokkan punggungku di kasur. Tidak ada gunanya.
Kulitku seperti terbakar, dan rasa gatal itu menyebar dengan cepat.
Aku menggaruk dengan dua tanganku ke belakang. Sekarang seluruh punggungku
sudah gatal. Gatal sekali.
Aku duduk tegak dan menggosok-gosokkan punggungku ke papan ranjang yang
terbuat dari kayu. Kugaruk bahuku. "Oh, tidaaak," erangku "Tidaaak."
Aku gatal... dan rasa gatal itu menyebar dengan cepat.
11 KUGOSOK-GOSOK sisi tubuhku. Lenganku. Lututku. Kucoba untuk tidak
menggaruk, tapi aku tidak puas hanya dengan menggosok.
"Oooh." Sambil mengerang kegatalan, akhirnya aku mulai menggaruk. Mula-mula
pelan, tapi tidak enak. Kulitku gatal sekali. Aku menggaruk lebih keras. Rasa dingin merambati tubuhku.
Aku mulai gemetar dan merinding.
Dan terus menggaruk seperti anjing kena kutu.
"Tolong," gumamku. "Aku perlu... pertolongan."
Aku terhuyung-huyung ke kamar mandi. Kubanting pintu dengan keras.
Bagian belakang leherku gatal berdenyut-denyut. Rasanya seperti ada ribuan
serangga merayapi tubuhku, kulitku, mencubit dan menggigitku.
Aku mulai mencari-cari dengan panik di lemari obat. Pasti ada obat gatal di
sini, pikirku. Aku menemukan lotion untuk obat penawar poison ivy. Dengan tangan gemetar
kuoleskan lotion itu di bahu dan lenganku.
( lotion: air pembersih, poison ivy: jenis tumbuhan berbulu halus yang bisa
menyebabkan gatal di kulit-editor)
Mudah-mudahan berhasil, doaku. Ayolah...
Kugaruk-garuk kakiku. Jari-jari kaki dan lututku juga gatal.
Lotion itu sama sekali tidak menolong. Sekarang kulitku rasanya gatal dan
lengket. Aku mandi air panas saja, pikirku.
Kuisi bak dengan air dan kulepaskan baju tidurku. Aku meliuk-liuk, berusaha
menggaruk punggungku. Sekarang gigiku juga mulai gatal.
Aku berendam di dalam bak air panas.
Ayo... ayo... Percuma. Tidak berhasil. Bagian dalam telingaku gatal!
Mataku juga. Kugosok-gosok, terus dan terus, sampai kelopak mataku serasa
terbakar. Aku keluar dari bak. Sekujur tubuhku gemetar. Gigiku gemeletuk.
Mesti cari pertolongan. Mesti kembali ke Iris. Aku bergegas ke kamarku sambil
terbungkuk-bungkuk menggaruk kaki.
Aduh, tidak! Kakiku berdarah. Kulitku terkelupas kena garukanku rupanya.
Apa aku bilang saja pada Mom dan Dad" Tidak ah! Mereka tidak akan percaya
padaku. Mereka tidak bisa menolong.
Aku mesti kembali ke Iris.
Sambil gemetar hebat dan berusaha keras untuk tidak menggaruk, kukenakan jeans
dan kausku Seluruh tubuhku berdenyut-denyut, seolah ada ribuan serangga
menggerumuti kulitku. Belum pukul enam pagi. Di luar masih agak gelap. Biar saja. Kuangkat telepon dan
kupencet nomor Carl. Ia menjawab dengan suara mengantuk, pada deringan keempat. "Halo?" Suaranya
masih berat oleh kantuk. "Mwwwammm," kataku.
Aduh, tidak! Tak mungkin ini terjadi!
"Siapa ini?" tanya Carl dengan marah.
"Mwww!" erangku "Mwwwww."
"Siapa pun kau, ini tidak lucu!" teriak Carl."Bikin orang terbangun!"
"Mwww!" seruku.
Sambungan diputus. "Mwwww!" Aku tak bisa bicara. Lidahku gatal sekali. Panas dan perih, seperti mati rasa.
Lidahku tidak mau bergerak!
Seluruh tubuhku seakan mati rasa.
Aku tidak tahan lagi! Ow! Ow! Ow! Kakiku gemetar. Kugaruk leherku. Seluruh kulitku perih dan sakit.
Kusikat rambutku dengan gemas, mencoba menghentikan rasa gatal di rambutku.
Kulit kepalaku... telingaku...
Bisakah aku naik sepeda Mom ke tempat Iris"
Mungkin kalau aku mengayuh super cepat, rasa gatalnya tidak terlalu terasa,
pikirku. Selesai berpakaian, aku hampir menjerit ketika memasukkan kakiku yang
berdenyut-denyut ke dalam sepatu.
Kulitku... kulitku... bagai terbakar... terbakar.
Tak ada piihan. Aku mesti mencoba.
Tapi bisakah aku menemukan tempat Iris lagi di antara sekian banyak trailer dan
rumah mobil" Di mana ya alamatnya"
Iklan itu. Alamatnya ada di iklan itu.
Sambil menggaruk bahuku, aku mencari-cari di atas meja rias. Tidak ada di situ.
Di mana ya" Di mana iklan itu"
Di saku jeans-ku. Tanganku sakit dan gatal saat aku mengorek-ngorek isi sakuku.
Tidak ada juga. Di mana iklan itu" Di mana"
Bagaimana aku bisa menemukan Iris"
12 TAK ada pilihan. Aku mesti mendatangi Iris. Secepatnya. Aku tak bisa bicara, dan
hampir-hampir tak bisa berjalan. Seluruh tubuhku gatal. Gatal sekali, sampai
sakit rasanya. Aku megap-megap menghirup udara. Rasa sakit ini menyebar di mana-
mana, hinga aku sulit bernapas. Bahkan bagian dalam hidungku juga gatal.
Tak usah memikirkan alamatnya, pikirku. Temukan trailer-nya. Aku mesti
menemukannya! Aku tersandung-sandung keluar rumah dan meyambar sepeda Mom di garasi.
Bisakah aku menaikinya" Kedua tanganku gemetar, juga seluruh tubuhku. Rasa
dingin bergantian menyerang punggungku.
Dengan terengah-engah kutarik tubuhku ke sadel dan kupaksakan kakiku untuk
mengayuh. Dengan tubuh condong ke depan, kupegang erat-erat setang sepeda.
Aku ingin terus mnggaruk-garuk. Dengan mencengkeram setang sepeda, tanganku
jadi tidak bisa menggaruk.
Matahari pagi belum terbit. Awan berat menggantung rendah di langit.
Aku mengayuh di tengah cuaca yang suram dan kelabu, melewati kota, toko-toko
yang gelap dan kosong, menyusuri rel kereta api, menuju taman trailer itu.
Semuanya begitu kelabu dan berkabut, seolah aku mengayuh di tengah mimpi
yang berbayang-bayang. Akhirnya aku menemukan taman trailer itu. Kupelankan laju sepedaku, menyusuri
pagar besi yang tinggi. Punggungku gatal, perutku juga, begitu pula kedua lengan dan kakiku.
Wade, jangan menggaruk! perintahku pada diriku sendiri.
Tanganku gemetar hebat, sampai-sampai aku mesti membuka gerbang dengan
dorongan bahuku. Kutinggalkan sepedaku di samping gerbang, lalu aku mulai berjalan cepat di
sepanjang deretan trailer. Sambil jalan, kubenamkan tanganku ke saku celana,
supaya aku tidak menggaruk.
Di mana ya" Di mana trailer Iris"
Guruh menggelegar di kejauhan. Awan badai berkumpul di atasku. Taman itu
gelap seperti malam. Seekor anjing menggonggong di dekat-dekat situ. Ada cahaya muncul dari sebuah
trailer karatan di depanku. Seorang lelaki mengintip ke luar, lalu cepat-cepat
menutup tirai lagi. Semua trailer itu gelap dan kelabu.
Seluruh dunia tampak kelabu dan semakin gelap. Setetes air hujan jatuh menimpa
dahiku yang gatal. Aku berbelok dan berlari di deretan lain.
Whoa. Aku berhenti. Apa aku pernah kemari" Kenapa trailer-trailer in i kelihatannya sudah pernah
kulihat" Aku membalikkan tubuh. Ya, aku sudah memeriksa deretan ini tadi. Tapi dari arah
mana aku datang" Aku berbalik lagi. Mana pagar depan itu" Mana gerbangnya"
Aku tersesat. Aku kehilangan arah. Aku menunduk dan melihat bahwa aku sedang menggaruk lenganku dengan keras,
tanpa menyadarinya. Kupaksakan tanganku masuk kembali ke saku celana. Lalu aku mulai berlari-lari
kecil lagi, sambil mencari-cari di antara deretan panjang trailer dan rumah
mobil. Aku tak bisa menemukannya. Aku benar-benar tersesat.
Sekarang bola mataku yang gatal. Mataku berair. Air mata menetes di wajahku
yang juga terasa gatal an panas. Aku hampir-hampir tak bisa melihat.
Aku berhenti dan menarik napas panjang, sambil bersandar di salah satu rumah
mobil. Lalu kudengar suara CAAAW CAAAW.
Maggie! Ya! Aku berlari dengan gembira, mengikuti suara gagak itu.
Dan aku berseru senang ketika melihat trailer ungu itu. Tidak ada cahaya lampu,
tapi aku tak peduli. Aku bergegas ke pintu dan menggedornya sekeras mungkin.
Akhirnya pintu dibuka dan aku tersungkur jatuh ke dalam.
"Heh?" Iris terperanjat. Ia berdiri di depanku dalam mantel ungu longgar. Rambut
hitamnya tergerai kusut di bahunya "Mau apa kau kemari?" tuntutnya.
"Mwwwam!" sahutku.
Lidahku gatal sekali dan tak mau bergerak. Begitu pula langit-langit mulutku.
"Mwwwaa! Muhhhn!"
Iris ternganga dan mengangkat tangan ke pipinya, mengetuk-ngetuk wajahnya
dengan kuku-kukunya yang hitam.
"Mwwwam!" teriakku.
Tidak tahan lagi. Aku mesti menggaruk. Dengan panik kugaruk leherku dan
punggung tanganku. Terus menggaruk, seperti binatang
"Aduh" seru Iris. Disambarnya tanganku dan ditariknya aku ke dekatnya. "Kau
kegatalan, ya?" Aku mengangguk. "Mwwwaum."
"Mantraku," serunya. "Ada yang salah." Ia menepuk dahinya.
"Mwwwum maaawwm!" seruku sambil membuat gerakan-gerakan dengan liar.
"Aku tidak bisa," kata Iris, masih memegangi tanganku. "Aku tak bisa
menghentikannya. Aku cuma memulainya, tapi tidak tahu cara menghentikannya.
Aku terperenyak. Tubuhku gatal luar biasa. Aku gemetar. Gigiku gemeletuk.
Seluruh tubuhku berdenyut-denyut.
Di seberang ruangan, si burung gagak berbunyi nyaring di kandangnya.
Sambil berjuang menarik napas, kuangkat lenganku, menunjuk ke kandang itu.
"Mwwaam! Mwwwam!"
Iris menyipitkan mata padaku, lalu menoleh ke burung itu.
"Kalau aku mengucapkan mantra lagi, mungkin bisa untuk memunahkan mantra yang
pertama," katanya. "Kalau aku mengucapkan mantra yang berlawanan..."
"Maaaww!" teriakku panik. Kudorong ia dengan dua angan ke arah kandang itu.
Cepat! pikirku. Tolong dicoba! Coba! Cepat!
Aku berdiri gemetar, seluruh tubuhku serasa terbakar. Iris mengulurkan tangan ke
dalam kandang, dan mengeluarkan Maggie.
Didekatkannya burung itu ke wajahnya, lalu ia bicara berbisik, "Kulit halus,
kulit mulus. Berikan Wade kulit halus dan mulus."
Lalu ia menggosok punggung Maggie tiga kali.
Kemudian didekatkannya burung, itu padaku. "Cepat. Wade gosok punggung
Maggie." Tanganku gemetar hebat, hingga aku nyaris menjatuhkan Maggie dari tangan Iris.
Akhirnya aku berhasil mengangkat tangan ke punggung gagak itu dan
menggosoknya sekali, dua kali... tiga kali.
Tubuhku masih gatal dan berdenyut-denyut. Kupandangi gagak itu. Dan
menunggu. Menunggu ada perubahan. Menunggu... menunggu... Tidak ada yang terjadi. 13 IRIS berdiri memandangiku, mengamati, dengan kedua lengan terlipat erat di
depan dada. "Tidak berhasil!" seruku.
L.alu aku terperanjat. Aku sudah bisa bicara.
"Hei!" seruku. "Lidahku... tidak gatal lagi!"
Kugosok-gosok lenganku. Rasanya halus. Kuraba rambutku. Tidak gatal lagi.
"Wow!" seruku. Aku mengempaskan tubuh ke lega. Senang sekali rasanya, tidak
merasakan apa-apa. "Whew!" Iris mengembuskan napas dengan lega. "Senang sudah selesai,"
gumamnya sambil geleng-geleng kepala.
Di luar jendela depan, sebersit halilintar membelah langit kelabu.
"Selesai?" tanyaku.
Iris menyibakkan rambut panjangnya yang menutupi wajah. "Maaf, tidak berhasil
lagi." Ia angkat bahu. "Kurasa keinginanmu telah terpenuhi."
"Tapi kau masih berutang satu pembalasan padaku!" desakku.
Ia merengut. "Berutang padamu" Kau tidak membayarku sepeser pun. Bagaimana
mungkin aku berutang padamu?"
"Kau janji akan memberi satu pembalasan dendam untukku!" kataku sambil
melompat bangkit dengan kakiku yang sudah mulus dan tidak gatal lagi. "Kau
sudah janji, tapi kau malah... malah...!"
"Oke, oke. Tenanglah." Ia menyuruhku duduk kembali di sofa.
Tapi aku mengikutinya ke tungku kecil, sementara ia menuangkan air ke sebuah


Goosebumps - 2000 7 Burung Gagak Bertuah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketel perak. "Kau berutang padaku," ulangku.
"Oke, oke." Ia menaruh ketel itu di tungku. "Kita coba lagi. Tapi aku tidak bisa
terus-menerus memberi gratisan padamu. Suatu saat aku akan minta dibayar."
Aku tidak mendengarkan. Aku sedang berpikir keras, pembalasan macam apa yang
kuinginkan untuk kakakku.
Sesuatu yang lebih hebat daripada sekadar rasa gatal.
Gatal... gataL.. aku jadi menderita gatal gara-gara Micah. Tapi ia malah tenang-
tenang saja. "Apa yang paling disuka Micah, ya?" tanyaku pada diriku sendiri.
Menggangguku" Membeli mobil" Si Sophie itu" Rambutnya" Ya! Rambutnya! Sophie dan rambutnya!
"Micah ada kencan besok, dengan Sophie," kataku pada Iriis. "Dia ingin sekali
membuat cewek itu terkesan. Sebelum menemuinya, dia mencobakan semua
pakaian yang dimilikinya. Dan dia menata rambutnya selama berjam-jam. Dia
lebih banyak memakai hair spray dan jelly daripada ibuku!"
( hair spray: bahan kimia untuk merekatkan dan membuat kaku helai-helai rambut,
jelly: untuk mencegah masalah rambut menipis dan rambut rontok.)
Iris berbalik dan tungku. "Rambutnya?" Ia membelai-belai Maggie. "Kalau begitu,
bagaimana kalau kita lakukan sesuatu pada rambutnya" Di depan Sophie?"
"Hebat!" seruku. "Kita buat rambutnya rontok. Segumpal setiap kali... sampai dia
jadi botak." Iris mendecak. "Ya, biar rambutnya rontok pelan-pelan, dan menjelang malam dia
sudah botak sama sekali."
"Ya, ya! Begitu saja," kataku.
Iris menyipitkan mata padaku. "Kau yakin?"
"Ya." "Ini pembalasan gratis terakhir untukmu, mengerti?"
"Ya" kataku. "Pokoknya lakukan saja!"
Iris memejamkan mata dan menggosok-gosok Maggie tiga kali.
"Giliranmu," katanya.
Kupejamkan mataku dan kubayangkan Micah duduk dengan Sophie di Burger
Barn. Lalu kubayangkan rambut Micah rontok di meja, jatuh ke burgernya,
dan di pangkuannya. Sambil cekikikan kugosokkan tanganku ke punggung Maggie yang hitam.
"Ini bagus sekali," desahku. "Berhasil juga akhirnya membalas dendam."
14 KEESOKAN malamnya aku mengamati Micah yang sedang siap-siap keluar
dengan Sophie. "Jeans-mu kepanjangan," komentarku. "Menyapu sampai ke sepatumu."
"Lalu kenapa?" sahut Micah ketus. "Aku suka begitu." Ia menggelengkan kepala
dengan wajah mengejek. "Kau memang bloon."
Lalu ia kembali bercermin di cermin kamar mandi, mengamati rambutnya. Aku
duduk mengawasinya di tepi bak mandi.
"Pergi sana!" bentaknya. "Kalau aku butuh penonton, aku akan menarik bayaran."
"Aku tidak akan mengganggumu," kataku. Aku tidak perlu mengganggumu,
pikirku sambil senyum-senyum sendiri. Iris yang akan membereskanmu. Siip!
Micah menyisir rambut hitamnya yang berombak ke depan. Panjangnya melewati
dagu. Lalu dengan hati-hati rambut itu kembali disisirnya ke belakang, rapi sekali.
Kemudian ia memandangi penampilannya di cermin dan meletakkan sisirnya di
wastafel. Aku melongok sisir itu, siapa tahu ada rambut yang rontok. Memang ada beberapa
helai, tapi masih dalam batas normal.
Rasa senang meliputi diriku. Helai-helai rambut itu akan merupakan awal dari
malam yang amat sangat panjang bagi Micah.
Micah menggosokkan gel di tangannya, lalu mulai mengoleskannya di rambutnya.
Aku cekikikan. "Apa yang lucu, jelek?" tanya Micah.
"Tidak ada," sahutku polos.
"Rambutku mencuat kaku kalau aku tidak pakai tahu?" bentaknya. "Kenapa kau tidak
menulis saja di buku harianmu" Semua orang di kolam renang sudah
memintaku membacakan cuplikan berikutnya."
Wajahku merah padam, tapi kutelan kemarahanku. Tak lama lagi aku akan
mendapatkan pembalasan dendamku, pikirku.
Micah menggembungkan rambutnya sedikit, lalu mengeringkannya, lalu
membasahinya lagi dan mengoleskan semacam jelly lain. Lalu dikeringkan lagi, dan
digembungkan lagi. "Aku perlu gunting rambut sedikit, nih," gumamnya.
Kau akan dapatkan lebih dari itu, pikirku. Bukan sekadar gunting rambut sedikit.
Anak Naga 3 Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang Asmara Penggoda 1
^