Pencarian

Manusia Serigala Rawa Demam 1

Goosebumps - Manusia Serigala Rawa Demam Bagian 1


Chapter 1 KAMI pindah ke Florida waktu libur Natal. Seminggu
kemudian, untuk pertama kalinya kudengar lolongan-lolongan
mengerikan dari rawa-rawa.
Selama bermalam-malam lolongan-lolongan itu membuatku
terduduk di tempat tidur. Aku menahan napas dan memeluk diri
sendiri supaya tidak gemetaran.
Kupandangi bulan purnama seputih kapur di luar jendela
kamarku. Kutajamkan pendengaran.
Makhluk macam apa yang melolong begitu" tanyaku dalam
hati. Dan seberapa dekatkah ia" Mengapa kedengarannya makhluk
itu seperti tepat berada di luar jendelaku"
Lolongannya naik-turun seperti suara sirene mobil polisi. Tidak
sedih ataupun meratap. Nadanya mengancam.
Marah. Menurutku terdengar seperti peringatan. Jauhi rawa-rawa ini.
Tempatmu bukan di sini. Waktu semula pindah ke Florida, ke rumah baru di tepi rawa,
aku tidak sabar ingin menjelajah. Aku berdiri di halaman belakang sambil
memegang teropong hadiah ulangtahunku yang ke-12 dari Dad dan menatap ke arah
rawa. Pepohonan berbatang putih langsing saling bersentuhan. Daun-
daunnya yang lebar dan rata seperti membentuk atap, menaungi tanah rawa dengan
bayangan biru. Di belakangku, kijang-kijang bergerak-gerak gelisah di kandang
kawat mereka. Aku bisa mendengar mereka menginjak-injak tanah
yang lembut dan berpasir, menggosok-gosok tanduk mereka ke
dinding kandang. Kuturunkan teropongku dan berbalik menatap mereka. Kijang-
kijang itulah yang menyebabkan kami pindah ke Florida.
Tahu tidak, ayahku, Michael F. Tucker, seorang ilmuwan.
Beliau bekerja untuk Universitas Vermont di Burlington, yang,
percayalah padaku, jauuuh sekali dari rawa Florida!
Dad mendapat keenam kijang ini dari sebuah negara di Amerika
Selatan. Mereka disebut kijang rawa. Mereka tidak seperti kijang biasa.
Maksudku, mereka tidak kelihatan seperti Bambi. Misalnya
saja, bulu mereka sangat merah, bukan cokelat. Kukunya besar sekali serta agak
berselaput. Kurasa untuk berjalan di tanah yang basah dan berawa.
Dad ingin tahu apakah kijang-kijang rawa Amerika Selatan ini
bisa bertahan hidup di Florida. Beliau merencanakan akan memasang pemancar radio
kecil di tubuh mereka dan melepaskan mereka ke
rawa. Lalu Dad akan mempelajari bagaimana mereka hidup.
Waktu di Burlington Dad memberitahu bahwa kami akan
pindah ke Florida karena kijang-kijang itu, kami semua jadi kacau bukan main.
Kami tidak mau pindah. Kakakku Emily, menangis berhari-hari. Usianya 16 tahun, dan
ia tidak mau melewatkan tahun seniornya di SMA. Aku juga tidak
mau meninggalkan teman-temanku.
Tapi tak lama kemudian Mom sudah berpihak pada Dad. Mom
juga ilmuwan. Mereka sering bekerja sama mengerjakan proyek. Jadi tentu saja
beliau setuju dengan Dad.
Mereka berdua berusaha membujuk Emily dan aku dengan
mengatakan ini kesempatan sekali seumur hidup, pasti sangat
mengasyikkan. Petualangan yang tak akan terlupakan.
Jadilah kami di sini, tinggal di rumah putih kecil, bertetangga
dengan empat atau lima rumah putih lainnya. Di belakang rumah kami ada kandang
untuk enam ekor kijang. Matahari Florida yang panas
bersinar cerah. Dan rawa tak berujung terhampar tak jauh dari
halaman belakang rumah kami yang datar dan berumput.
Aku membelakangi kijang lagi dan memandang dari teropong.
"Oh," seruku ketika melihat ada sepasang mata kelam tampak seperti membalas
tatapanku. Kujauhkan teropong dan kupicingkan mata menatap rawa. Tak
jauh dari tempatku, kulihat ada seekor burung putih berdiri di atas dua kaki
yang panjang dan kurus. "Itu burung bangau," kata Emily. Aku tidak mendengarnya datang. Ia mengenakan
kaus putih tanpa lengan dan celana pendek
denim merah. Kakakku tinggi, kurus, dan sangat pirang. Ia mirip
sekali burung bangau. Burung itu berbalik dan berlari ke arah rawa dengan langkah
tinggi-tinggi. "Ayo kita ikuti," kataku.
Emily mencibir, kami sering melihatnya mencibir begitu sejak
pindah kemari. "Tidak mau. Panas."
"Ah, ayolah." Kutarik tangannya yang kurus. "Ayo menjelajah, melihat-lihat
rawa." Ia menggeleng, buntut kudanya yang pirang-putih bergoyang-
goyang. "Aku tidak mau, Grady." Dibetulkannya kacamatanya yang melorot di
hidung. "Aku sedang menunggu surat."
Karena rumah kami jauh sekali dari kantor pos, kami hanya
menerima surat dua kali seminggu. Emily menghabiskan sebagian
besar waktunya untuk menunggu surat.
"Menunggu surat cinta dari Martin?" tanyaku menyeringai. Ia sebal kalau kugoda
soal Martin, pacarnya di Burlington dulu. Jadi ia kugoda sesering mungkin.
"Mungkin," katanya. Diulurkannya kedua tangannya dan
diacak-acaknya rambutku. Ia tahu aku tidak suka rambutku
berantakan. "Ya?" kataku memelas. "Ayolah, Emily. Cuma jalan-jalan sebentar. Sangat
sebentar." "Emily, jalan-jalanlah sebentar dengan Grady," kata Dad tiba-tiba. Kami berbalik
dan melihatnya ada di dalam kandang kijang. Dad memegang papan catatan dan
mendekati kijang-kijang itu satu per
satu, sambil mencatat. "Pergilah," desaknya. "Kau toh sedang tidak melakukan
apa-apa." "Tapi, Dad..." Emily paling pintar merengek kalau ada maunya.
"Pergilah, Em," kata Dad. "Pasti menarik. Lebih menarik daripada panas-panas
berdebat dengan adikmu."
Emily membetulkan lagi kacamatanya yang melorot terus.
"Yah..." "Asyik!" teriakku. Aku senang sekali. Aku belum pernah pergi ke rawa sungguhan.
"Ayo kita pergi!" Kusambar dan kuseret tangan kakakku.
Dengan segan-segan Emily ikut, wajahnya cemberut.
"Perasaanku tidak enak," gumamnya.
Bayanganku tampak condong di belakangku. Aku bergegas
berjalan menuju pepohonan yang rendah dan miring itu. "Emily, bisa ada masalah
apa sih?" tanyaku. Chapter 2 UDARA di bawah pepohonan terasa panas dan lembap.
Rasanya lengket di wajahku. Daun-daun palem yang lebar terjulur
begitu rendah, hanya tinggal berjingkat aku sudah bisa menyentuhnya.
Daun-daun itu nyaris menutupi sinar matahari, tapi berkas-berkas cahaya kuning
menyelinap, menyinari tanah rawa seperti lampu sorot.
Rumput liar yang gatal dan daun-daun semak menggesek
kakiku yang tidak tertutup. Coba tadi aku pakai jins, bukannya celana pendek.
Aku berjalan di dekat kakakku terus ketika kami melalui jalan setapak yang
sempit dan berkelok-kelok. Teropongku yang tergantung di leherku, mulai terasa
berat di dada. Mestinya tadi kutinggalkan saja di rumah, pikirku.
"Ribut sekali di sini," keluh Emily, sambil melangkahi batang pohon yang sudah
membusuk. Ia benar. Hal yang paling mengejutkan tentang rawa ini adalah
suara-suaranya. Dari atas terdengar kicauan burung yang dibalas burung lain
dengan siulan melengking. Serangga-serangga mengerik keras di
sekeliling kami. Kudengar suara tap-tap-tap yang teratur, seperti suara orang
memukul kayu. Mungkin burung pematuk kayu" Daun palem
bergeretak ditiup angin. Batang-batang pohon yang kurus berderak-derak. Sandalku
berbunyi plop plop, terbenam di tanah rawa.
"Hei, lihat," kata Emily sambil menuding. Dibukanya kaca mata hitamnya supaya
bisa melihat lebih jelas.
Kami sampai di kolam kecil berbentuk oval. Airnya hijau tua,
setengah tertutup bayangan. Di permukaannya mengapung bunga
teratai, merunduk indah di atas daunnya yang hijau dan datar.
"Cantik," kata Emily, diusirnya kumbang yang menempel di bahunya. "Aku akan
membawa kamera kemari dan memotret kolam ini. Lihatlah cahaya yang bagus sekali
itu." Kuikuti arah pandangannya. Ujung kolam yang di dekat kami
gelap tertutup bayang-bayang panjang. Tapi di ujung lain tampak
cahaya bersinar di sela-sela pepohonan, bentuknya seperti layar terang yang
tertuang ke dalam air kolam yang tenang.
"Memang bagus," kataku mengakui. Aku tidak terlalu suka kolam. Aku lebih
tertarik pada fauna. Kubiarkan Emily mengagumi kolam dan teratai itu sebentar.
Lalu kukitari kolam dan berjalan semakin jauh ke dalam rawa.
Sandalku berkecipak di tanah yang basah. Di depan,
segerombolan ngengat, beribu-ribu banyaknya, berputar-putar
diterangi cahaya matahari.
"Jijik," gumam Emily. "Aku benci ngengat. Melihatnya saja sudah bikin aku
gatal." Digaruknya lengannya.
Kami berbalik dan melihat sesuatu berlari-lari di balik batang
pohon rebah yang tertutup lumut.
"Hei - apa itu tadi?" seru Emily, dicengkeramnya sikuku.
"Buaya!" teriakku. "Buaya lapar!"
Ia menjerit ketakutan. Aku tertawa. "Kenapa sih kau ini, Em" Itu tadi kan cuma
sejenis kadal." Diremasnya lenganku kuat-kuat, berusaha membuatku
tersentak. "Sialan kau, Grady," gumamnya. Digaruknya lengannya lagi. "Di rawa
ini terlalu gatal," keluhnya. "Ayo pulang."
"Sedikiiit lagi," kataku memohon.
"Tidak. Ayolah. Aku ingin pulang." Ia mencoba menarikku, tapi aku menghindar
dari cengkeramannya. "Grady - "
Aku berbalik dan berjalan menjauh darinya, masuk semakin
dalam ke rawa. Kudengar suara tap-tap-tap lagi, tepat di atas. Daun-daun palem
saling bergesekan, ditiup angin basah yang lembut. Suara serangga mengerik
terdengar semakin keras. "Aku mau pulang, biar kau di sini saja," ancam Emily.
Tidak kupedulikan ancamannya dan terus berjalan. Aku tahu ia
cuma menggertak. Sandalku berderak menginjak daun-daun palem cokelat kering.
Tanpa perlu berbalik, aku bisa mendengar Emily berjalan beberapa langkah di
belakangku. Seekor kadal melintas lagi, tepat di depan sandalku. Kadal itu
kelihatan seperti anak panah hitam yang melesat ke dalam semak-
semak. Tiba-tiba tanahnya menanjak. Kami menaiki bukit landai
menuju tempat yang diterangi sinar matahari. Semacam tempat
terbuka. Keringat mengalir di pipiku. Udara begitu lembap, rasanya
seperti sedang berenang saja.
Di puncak bukit kami berhenti untuk melihat sekeliling. "Hei -
ada kolam lagi!" teriakku sambil berlari menginjak rumput rawa yang kuning dan
gemuk-gemuk, bergegas menuju tepi air.
Tapi kolam yang ini kelihatan lain.
Airnya yang hijau tua tidak datar dan halus. Dengan
membungkuk, aku bisa melihat airnya yang keruh dan kental, seperti sup bubur
kacang. Suaranya berdeguk dan bergelebur, menjijikkan.
Aku semakin membungkuk supaya bisa melihat lebih jelas.
"Itu lumpur isap!" Kudengar Emily berteriak ngeri.
Tiba-tiba ada dua tangan mendorongku kuat-kuat dari belakang.
Chapter 3 KETIKA aku akan terjatuh ke dalam cairan hijau berdeguk-
deguk itu, tangan tadi menyambar pinggangku dan menarikku.
Emily cekikikan. "Kena kau!" serunya, dipeluknya aku supaya tidak bisa berbalik
dan memukulnya. "Hei - lepaskan!" teriakku marah. "Kau hampir saja
mendorongku masuk ke lumpur isap! Tidak lucu!"
Ia tertawa lagi, lalu dilepaskannya aku. "Itu bukan lumpur isap, goblok,"
gumamnya. "Itu bog, tanah berlumpur."
"Hah?" Aku berbalik dan menatap air hijau kental itu.
"Itu bog. Bog tanah liat," katanya tidak sabaran. "Kau tidak tahu apa-apa, ya?"
"Apa itu bog tanah liat?" tanyaku, tidak kupedulikan ejekannya.
Emily Si Sok Tahu. Ia selalu menyombongkan diri tahu segalanya dan mengatai aku
si goblok. Tapi di sekolah nilainya hanya B dan aku dapat A. Jadi siapa yang
pintar, coba" "Kami mempelajarinya tahun lalu waktu belajar tentang daerah lembap dan hutan
hujan," jawabnya puas. "Kolam ini kental karena ada lumut tumbuh di dalamnya.
Lumut itu terus tumbuh. Ia menyerap air sebanyak dua puluh lima kali berat
badannya." "Kelihatannya menjijikkan," kataku.
"Coba saja kau minum sedikit dan rasakan bagaimana rasanya,"
desaknya. Ia mencoba mendorongku lagi, tapi aku membungkuk dan
mengelak. "Aku tidak haus," gumamku. Aku tahu jawabanku tidak terlalu pandai,
tapi cuma jawaban itu yang terpikir olehku.
"Ayo jalan terus," katanya sambil menghapus keringat dari dahinya. "Aku
kepanasan." "Yeah. Oke," kataku segan. "Asyik juga jalan-jalan begini."
Kami berbalik dari bog tanah liat itu dan menuruni bukit. "Hei, lihat!" teriakku
menunjuk dua bayangan hitam yang melayang jauh di atas kami di bawah awan putih.
"Burung elang," kata Emily, dilindunginya matanya dengan satu tangan ketika
mendongak. "Kurasa itu burung elang. Susah melihatnya. Besar sekali."
Kami mengamati burung-burung itu melayang pergi. Lalu kami
menuruni bukit lagi, berjalan hati-hati di tanah yang lembap dan berpasir.
Di bawah bayangan gelap pepohonan di kaki bukit, kami
berhenti untuk mengambil napas.
Aku basah kuyup karena keringat. Tengkukku terasa panas dan
gatal. Kugosok dengan satu tangan, tapi rasanya tidak ada gunanya.
Angin sudah berhenti bertiup. Udara terasa berat. Tidak ada
yang bergerak. Aku mendongak mendengar suara berkaok-kaok keras. Dua
burung hitam yang besar sekali menatap kami dari dahan pohon
cypress. Mereka berkaok-kaok lagi, seperti menyuruh kami pergi.
"Lewat sini," kata Emily sambil menghela napas.
Kuikuti dia, sekujur badanku terasa perih dan gatal. "Coba kita punya kolam
renang di rumah baru kita," kataku. "Aku bisa langsung menceburkan diri tanpa
membuka baju!" Kami berjalan selama beberapa menit. Pepohonan semakin
rapat. Cahaya semakin redup. Jalan setapaknya berakhir. Kami
terpaksa menerobos semak-semak tinggi yang rimbun.
"Ku - kurasa tadi kita tidak lewat sini," kataku tergagap.
"Kurasa bukan ini jalannya.
Kami berpandangan, melihat wajah masing-masing tampak
ketakutan. Kami. berdua sadar kami tersesat. Betul-betul tersesat.
Chapter 4 "AKU heran!" jerit Emily.
Teriakannya yang keras membuat dua burung hitam tadi
terbang dari dahan pohon. Mereka melayang pergi sambil berkaok-


Goosebumps - Manusia Serigala Rawa Demam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaok marah. "Ngapain aku di sini?" teriaknya. Emily tidak pandai
menghadapi keadaan darurat. Ketika ban mobilnya kempis waktu
sedang kursus menyetir di Burlington dulu, ia melompat keluar dari mobil dan
lari pergi! Jadi aku tidak berharap sekarang ia akan tenang dan kalem.
Karena kami benar-benar tersesat di tengah rawa yang panas dan
lembap ini, aku tahu ia pasti akan panik. Dan memang begitulah
jadinya. Di keluargaku akulah yang paling tenang. Aku menuruni sifat
Dad. Tenang dan ilmiah. "Mari kita tentukan arah matahari dulu,"
kataku, tidak kupedulikan jantungku yang berdebar-debar.
"Matahari apa?" teriak Emily sambil mengangkat tangan.
Gelap sekali. Pohon-pohon palem dengan daun-daunnya yang
lebar membentuk atap yang lumayan rapat di atas kepala kami.
"Yah, kita bisa memeriksa lumutnya," usulku. Deburan di dadaku semakin keras.
"Bukankah lumut mestinya tumbuh di sebelah utara pepohonan?"
"Kurasa di sebelah timur," gumam Emily. "Atau mungkin di sebelah barat?"
"Aku lumayan yakin di sebelah utara," kataku ngotot, sambil memandang
sekelilingku. "Lumayan yakin" Apa bagusnya lumayan yakin?" teriak Emily melengking.
"Lupakan lumutnya," kataku, sambil membelalakkan mata.
"Aku bahkan tidak tahu lumut itu seperti apa."
Lama kami saling berpandangan.
"Biasanya kau kan selalu bawa kompas ke mana pun kau
pergi," kata Emily, suaranya kedengaran agak bergetar.
"Yeah. Waktu umur empat tahun," jawabku.
"Entah kenapa kita bisa segoblok ini," keluh Emily. "Mestinya kita menggunakan
salah satu pemancar radio itu. Tahu kan. Yang
untuk rusa. Dad nanti jadi bisa melacak kita."
"Mestinya aku tadi pakai jins," gumamku, kulihat ada beberapa bintik merah kecil
di betisku. Tanaman beracun" Sejenis ruam"
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Emily tidak sabar, dihapusnya keringat di
dahinya. "Naik ke bukit lagi, kurasa," kataku. "Di sana tidak ada pohon.
Matahari bersinar terang. Begitu kita tahu di mana letak matahari, kita bisa
mengira ke arah mana kita harus kembali."
"Tapi ke mana jalan ke bukit?" tanya Emily.
Aku berbalik. Apa di belakang kami" Di kanan kami"
Punggungku terasa dingin ketika sadar bahwa aku juga tidak yakin.
Aku mengangkat bahu. "Kita benar-benar tersesat," gumamku sambil menarik napas.
"Ayo lewat sini saja," kata Emily, sambil berjalan pergi. "Aku merasa ini dia
jalannya. Kalau kita sampai di bog tadi, berarti jalan kita benar."
"Kalau tidak?" desakku.
"Kita pikirkan cara lain," jawabnya.
Hebat. Tapi kurasa percuma saja berdebat dengan dia. Jadi kuikuti saja.
Kami berjalan tanpa berbicara, serangga berdengung-dengung
di sekeliling kami, pekikan burung dari atas membuat kami terkejut.
Sesaat kemudian, kami berjalan menerobos segerombolan alang-alang yang kaku.
"Kita tadi lewat sini?" tanya Emily.
Aku tidak ingat. Kudorong sebatang alang-alang supaya bisa
melihat jalan dan tersadar jadi ada noda lengket di tanganku. "Hii!"
"Hei, lihat!" Teriakan girang Emily membuatku mengalihkan pandangan dari cairan
hijau lengket yang menempel di tanganku.
Bog tadi! Tepat di depan kami. Bog tempat kami berhenti tadi.
"Horeee!" teriak Emily. "Aku tahu aku benar. Aku sudah merasa kok."
Kolam hijau yang berdeguk-deguk itu membuat kami berdua
jadi girang. Begitu melewatinya, kami segera lari. Kami tahu kami berada di
jalan yang benar, hampir sampai ke rumah.
"Ayo cepat!" teriakku girang, sambil berlari mendahului saudaraku, jantungku
berdebar-debar. "Ayo cepat!"
Aku merasa sangat senang lagi.
Lalu ada yang mengulurkan tangan, menyambar pergelangan
kakiku, dan menarikku ke tanah yang berlumpur.
Chapter 5 AKUjatuh terbanting, mendarat di atas siku dan lututku.
Jantungku serasa terlompat ke mulut.
Mulutku berdarah. "Bangun! Bangun!" jerit Emily.
"Ia - ia menangkapku!" teriakku dengan suara tegang dan
bergetar. Debur di dadaku sudah berubah jadi debaran.
Sekali lagi kurasakan mulutku berdarah. Kupandang Emily
yang tertawa-tawa. Tertawa"
"Cuma akar pohon," katanya sambil menunjuk. Kuikuti arah yang ditunjukkannya - dan
langsung sadar aku bukannya ditarik. Aku tadi tersandung salah satu akar pohon
yang mencuat di atas tanah.
Kupandangi akar yang seperti tulang itu. Tengahnya bengkok
dan kelihatan seperti kaki putih yang kurus.
Tapi darah apa yang kurasakan"
Kurasakan bibirku sakit. Ternyata waktu jatuh tadi aku
menggigitnya. Sambil mengerang keras, kupaksa diriku berdiri. Lututku sakit.
Bibirku berdenyut-denyut. Darah mengalir di daguku.
"Tadi itu konyol juga," kata Emily pelan. Lalu ditambahkannya,
"Kau baik-baik saja?" Disingkirkannya beberapa daun kering dari punggung kausku.
"Yeah, begitulah," jawabku, masih merasa goyah sedikit. "Aku benar-benar mengira
ada yang menyambarku." Aku tertawa terpaksa.
Dipegangnya bahuku, dan kami mulai berjalan lagi, lebih pelan
dari tadi, bersisian. Berkas-berkas cahaya bersinar dari sela-sela daun-daun lebat,
tanah di depan kami jadi berbintik-bintik. Semuanya tampak aneh, seperti di
dalam Beberapa makhluk ribut berlari-lari di balik semak-semak
pendek di sebelah kanan kami. Emily dan aku tidak mau menoleh
untuk melihatnya. Kami cuma mau pulang.
Tak lama kemudian kami sadar kami menuju ke arah yang
salah. Kami berhenti di pinggir lapangan bulat yang kecil. Di atas
kami burung-burung ribut bersuara. Angin sepoi-sepoi menyebabkan daun pohon
palem berderak-derak. "Benda apa yang kelabu besar itu?" tanyaku sambil berjalan pelan-pelan di
belakang Emily. "Kurasa jamur," jawabnya tenang.
"Jamur sebesar bola," gumamku.
Kami berdua bersamaan melihat gubuk itu.
Tersembunyi di dalam bayangan dua pohon cypress rendah di
ujung lapangan tempat jamur raksasa.
Kami berdua ternganga heran, tanpa berkata apa-apa kami
amati. Kami maju beberapa langkah. Lalu maju lagi.
Gubuk itu kecil, rendah, tidak berbeda jauh daripada tinggiku.
Atapnya dari semacam lalang. Dindingnya dari lapisan-lapisan daun kelapa kering.
Pintunya terbuat dari rangkaian dahan-dahan pohon dan tertutup
rapat. Tidak ada jendela.
Setumpuk abu berbentuk lingkaran terlihat tidak jauh dari pintu.
Bekas api unggun. Kulihat sepasang sepatu boot butut tergeletak di samping
gubuk. Di sebelahnya berserakan beberapa kaleng kosong dan sebuah botol air
plastik, yang juga kosong, penyok sebagian.
Aku berbalik pada Emily dan berbisik. "Menurutmu ada yang
tinggal di sini" Di tengah-tengah rawa?"
Ia mengangkat bahu, wajahnya tegang ketakutan. "Kalau ada
orang tinggal di sini, mungkin ia bisa memberitahu kita jalan ke rumah," usulku.
"Mungkin," gumam Emily. Matanya menatap lurus ke gubuk kecil itu, yang tertutup
bayangan biru. Kami maju dua langkah. Kenapa ada orang mau tinggal di gubuk kecil begini di tengah-
tengah rawa" pikirku.
Sebuah jawaban melintas di pikiranku: Karena siapa pun dia,
pasti ingin menyembunyikan diri.
"Itu tempat persembunyian," gumamku, tidak sadar kalau bicara keras-keras.
"Penjahat. Perampok bank. Atau pembunuh. Ia sembunyi di sana."
"Sssst." Emily menempelkan jarinya ke bibirku supaya aku diam, jarinya mengenai
luka di bibirku. Aku mundur.
"Ada orang, di sini?" teriaknya. Suaranya terdengar rendah dan bergetar, begitu
rendah sehingga aku nyaris tidak bisa mendengarnya.
"Ada orang di sini?" ulangnya, sedikit lebih keras.
Akhirnya aku ikut-ikutan. Kami berteriak bersama, "Ada orang di rumah" Ada orang
di dalam?" Kami mendengarkan.
Tidak ada jawaban. Kami melangkah ke pintu yang rendah.
"Ada orang di dalam?" teriakku sekali lagi.
Lalu kupegang kenop pintu.
Chapter 6 TEPAT ketika aku akan mendorong pintu kayu itu, pintu itu
terbuka, nyaris mengenai kami berdua. Kami melompat mundur ketika seorang pria
menyerbu keluar dari balik pintu pondok.
Ditatapnya kami dengan matanya yang hitam liar. Rambutnya
putih kelabu, panjangnya melewati bahu, terikat longgar di
punggungnya. Wajahnya merah cerah, mungkin karena terbakar sinar
matahari. Atau mungkin karena marah. Dipandanginya kami dengan
tatapan marah, ia berdiri membungkuk karena keluar dari pondok
yang rendah itu. Ia mengenakan kaus putih longgar yang kotor dan kusut, dan
celana hitam tebal yang menggelembung di atas sandalnya.
Ketika ia memandangi kami dengan matanya yang sangat
hitam, mulutnya terbuka, menampakkan deretan gigi kuning runcing.
Sambil merapat pada kakakku, aku melangkah mundur.
Aku ingin bertanya padanya siapa dia, kenapa ia tinggal di
rawa. Aku ingin bertanya apakah ia bisa membantu kami menemukan
jalan pulang. Banyak pertanyaan melintas di kepalaku.
Tapi aku cuma bisa berkata, "Uh... maaf."
Lalu aku sadar ternyata Emily sudah kabur. Ekor kudanya
berkibar-kibar di belakangnya ketika ia lari menembus rerumputan tinggi.
Dan sedetik kemudian, aku lari mengejarnya. Jantungku
berdebar-debar. Sandalku terbenam di tanah yang lunak.
"Hei, Emily - tunggu! Tunggu!"
Aku lari melintasi hamparan daun dan ranting-ranting mati.
Ketika berusaha menyusulnya, aku menoleh ke belakang - dan
berteriak ketakutan. "Emily - ia mengejar kita!"
Chapter 7 LAKI-LAKI dari pondok itu lari mengejar kami sambil
membungkuk rendah, langkahnya panjang-panjang. Tangannya
terayun-ayun di samping badannya. Napasnya terengah-engah, dan
mulutnya terbuka, menampakkan gigi-gigi runcing.
"Lari!" teriak Emily. "Lari, Grady!"
Kami lari mengikuti jalan setapak sempit di antara ilalang
tinggi. Pohon-pohon semakin jarang. Kami berlari melintasi
bayangan, sinar matahari, dan masuk lagi ke bayangan.
"Emily - tunggu!" teriakku kehabisan napas. Tapi ia terus saja berlari kencang.
Di sebelah kiri kami tampak kolam yang panjang dan sempit.
Pohon-pohon aneh tumbuh di tengahnya. Batang-batangnya yang
langsing dibelit akar-akar hitam. Pohon bakau.
Aku ingin berhenti dan melihat pepohonan yang tampak
mengerikan itu. Tapi sekarang bukan saatnya untuk melihat-lihat.
Kami lari di sepanjang tepi kolam, sandal kami terbenam-
benam di tanah lunak. Lalu dengan dada naik-turun serta tenggorokan kering dan
tercekik, kuikuti Emily berbelok menuju ke tengah
pepohonan. Aku berteriak ketika bagian samping tubuhku terasa sakit
sekali. Aku berhenti berlari. Napasku terengah-engah.
"Hei - dia sudah pergi," kata Emily kehabisan napas. Ia
berhenti beberapa meter di depanku dan bersandar ke batang pohon.
"Kita berhasil meloloskan diri."
Aku membungkuk, berusaha menghilangkan rasa sakit di
bagian samping tubuhku. Sesaat kemudian napasku kembali normal.
"Aneh," Aku tidak bisa memikirkan kata-kata lain.
"Yeah. Aneh," kata Emily setuju. Ia berjalan mendatangiku dan meluruskan
tubuhku. "Kau baik-baik saja?"
"Rasanya." Paling tidak sudah tidak terasa sakit. Bagian kanan tubuhku selalu
terasa sakit kalau aku lari lama-lama. Yang tadi lebih parah daripada biasanya.
Yah, aku kan tidak terbiasa lari untuk
menyelamatkan diri! "Ayo," kata Emily. Dilepaskannya aku dan ia berjalan cepat-cepat mengikuti jalan
setapak. "Hei, yang ini kelihatannya kukenal," kataku. Aku merasa lebih baik. Aku
berlari-lari kecil. Kami melewati Segerombolan pohon dan semak yang kelihatannya
tidak asing lagi. Aku bisa melihat jejak tapak kaki kami di tanah berpasir,
menuju ke arah lain. Sesaat kemudian tampak halaman belakang rumah kami.
"Senangnya sampai di rumah!" teriakku.
Emily dan aku keluar dari sela-sela pepohonan pendek dan
segera berlari melintasi lapangan rumput menuju bagian belakang
rumah. Mom dan Dad sedang memasang perabotan luar di halaman
belakang. Dad sedang memasang payung di meja payung putih. Mom
sedang menyemprotkan air ke kursi-kursi putih.
"Hei - selamat datang," kata Dad tersenyum.
"Kami kira kalian tersesat," kata Mom.
"Memang!" seruku terengah-engah.
Mom mematikan keran sehingga tidak ada air yang keluar dari
selang. "Kalian apa?"
"Ada orang mengejar kami!" seru Emily. "Laki-laki aneh berambut putih panjang."
"Ia tinggal di pondok. Di tengah rawa," kataku, sambil duduk di salah satu kursi
taman. Kursinya basah, tapi aku tidak peduli.
"Hah" Ia mengejar kalian?" Mata Dad terbelalak kaget. Beliau lalu berkata, "Di
kota aku mendengar memang ada petapa di rawa sana."
"Ya, ia mengejar kita!" ulang Emily. Wajahnya yang biasanya pucat tampak merah
manyala. Rambutnya terurai kusut. "Me -
menakutkan." "Orang di toko bahan bangunan menceritakan tentang dia
padaku," kata Dad. "Katanya orang itu aneh, tapi sama sekali tidak berbahaya.
Tidak ada yang tahu siapa namanya."
"Tidak berbahaya?" teriak Emily. "Kalau begitu kenapa ia mengejar-ngejar kita?"
Dad mengangkat bahu. "Aku hanya mengatakan apa yang
kudengar. Jelas hampir seumur hidup ia tinggal di rawa. Sendirian. Ia tidak
pernah datang ke kota."
Mom menjatuhkan selang dan mendekati Emily. Dipegangnya
bahu Emily. Di bawah sinar matahari yang cerah, mereka kelihatan seperti kakak-
beradik. Mereka sama-sama tinggi dan kurus, rambut mereka pirang, lurus, dan
panjang. Aku lebih mirip Dad. Rambut
cokelat berombak. Mata hitam. Agak gemuk.
"Mungkin mereka sebaiknya tidak boleh pergi ke rawa
sendirian," kata Mom menggigit-gigit bibirnya. Dirapikannya rambut Emily dan
diikatnya jadi ekor kuda.
"Petapa itu mestinya sama sekali tidak berbahaya," kata Dad lagi. Ia masih
bersusah payah memasang payung ke dasar beton.


Goosebumps - Manusia Serigala Rawa Demam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setiap kali ia menurunkan payung itu, tidak masuk ke lubang beton.
"Sini, Dad. Biar kubantu." Aku masuk ke kolong meja dan mengarahkan gagang
payung ke dasar beton. "Jangan takut," kata Emily. "Kalian takkan melihatku pergi ke rawa itu lagi."
Digaruknya kedua bahunya. "Aku pasti kegatalan seumur hidupku!" erangnya.
"Kami melihat banyak hal-hal hebat," kataku, perasaanku sudah mulai normal. "Bog
tanah liat dan pohon-pohon bakau..."
"Aku kan sudah bilang ini akan jadi pengalaman menarik," kata Dad, diaturnya
kursi-kursi putih di sekeliling meja.
"Pengalaman apaan," gerutu Emily, dibelalakkannya matanya.
"Aku mau masuk dan mandi. Mungkin kalau aku mandi selama satu jam, rasa gatalnya
bisa hilang." Mom menggeleng sambil mengamati Emily berjalan
menghentak-hentak menuju pintu belakang. "Tahun ini akan terasa berat bagi Em,"
gumamnya. Dad mengusapkan kedua tangannya yang kotor ke sisi jins-nya.
"Ikut aku, Grady," katanya, sambil memberi tanda supaya aku mengikutinya.
"Waktunya untuk memberi makan kijang."
***************************
Saat makan malam kami membicarakan soal rawa itu lagi. Dad
menceritakan kisah-kisah bagaimana mereka memburu dan menjebak
kijang-kijang rawa yang digunakannya untuk percobaannya.
Dad dan para pembantunya menjelajahi hutan-hutan Amerika
Selatan selama berminggu-minggu. Mereka menggunakan peluru-
peluru berisi obat penenang untuk menangkap kijang. Lalu mereka
harus menggunakan helikopter untuk membawa kijang-kijang keluar, padahal kijang-
kijang itu tidak suka terbang.
"Rawa yang kalian jelajahi tadi siang," katanya sambil memutar-mutar spagetinya.
"Tahu apa namanya" Fever Swamp, Rawa Demam. Paling tidak penduduk setempat
menyebutnya begitu."
"Kenapa?" tanya Emily. "Karena di sana panas sekali?"
Dad mengunyah dan menelan spagetinya. Kedua sisi mulutnya
berlepotan dengan noda saus tomat. "Aku tidak tahu kenapa
dinamakan Rawa Demam. Tapi aku yakin akhirnya nanti kita akan
tahu juga. "Mungkin rawa itu ditemukan orang yang bernama Mr. Fever,"
kata Mom bercanda. "Aku ingin pulang ke Vermont!" ratap Emily.
********************** Setelah makan malam tiba-tiba aku juga merasa rindu pada
rumahku yang dulu. Kubawa bola tenis ke belakang rumah. Kurasa
aku mungkin bisa me lempar-lemparnya ke dinding dan
menangkapnya lagi seperti waktu di rumah lama.
Tapi terhalang kandang kijang.
Kuingat-ingat dua teman akrabku di Burlington dulu, Ben dan
Adam. Kami tinggal di blok yang sama dan sehabis makan malam
sering bermain-main bersama. Kami suka lempar-lemparan bola atau berjalan-jalan
ke tempat bermain atau sekadar main-main saja.
Sambil memandangi kijang-kijang yang berdesak-desakan di
ujung kandang, kusadari aku sangat merindukan teman-temanku. Aku ingin tahu apa
yang sedang mereka lakukan saat ini. Mungkin sedang bermain-main di halaman
belakang rumah Ben. Dengan sedih, aku berjalan kembali ke dalam dan ingin melihat
apa acara televisi. Tiba-tiba ada tangan mencengkeramku dari
belakang. Si petapa rawa! Chapter 8 IA menemukan aku! Si petapa rawa menemukan aku! Dan sekarang ia
menangkapku! Itulah yang langsung ada di pikiranku.
Aku berbalik - dan berteriak terkejut waktu melihat ternyata
yang mencengkeramku bukan si petapa rawa. Ternyata anak laki-laki.
"Hai," katanya. "Kukira kau melihatku. Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu."
Suaranya aneh, serak dan parau.
"Oh. Uh... tidak apa-apa," kataku tergagap.
"Aku melihatmu di halaman rumahmu," katanya. "Aku tinggal di sana." Ditunjuknya
rumah yang berjarak dua rumah dari rumahku.
"Kau baru pindah?"
Aku mengangguk. "Yeah. Namaku Grady Tucker." Kutangkap bola tenisku. "Siapa
namamu?" "Will. Will Blake," katanya dengan suara parau.
Tingginya hampir sama dengan tinggi badanku, tapi ia lebih
berisi dan lebih besar. Bahunya lebih lebar. Lehernya lebih besar. Ia
mengingatkan aku pada pemain football.
Rambutnya cokelat tua dan sangat pendek dengan potongan
lurus, seperti atap datar, dan bagian sampingnya disisir ke belakang. Ia
mengenakan kaus garis-garis biru putih dan celana pendek jins.
"Berapa umurmu?" tanyanya.
"Dua belas," jawabku.
"Aku juga," katanya, diliriknya kijang-kijang di belakangku.
"Kukira umurmu sebelas tahun. Maksudku, kau kelihatan muda."
Aku merasa terhina mendengarnya tapi tidak kupedulikan.
"Sudah berapa lama kau tinggal di sana?" tanyaku, sambil melempar-lemparkan bola
tenis dari tangan yang satu ke tangan yang lain.
"Beberapa bulan," kata Will.
"Di sini ada anak-anak lain seumur kita?" tanyaku, kupandang sekilas enam rumah
yang berderet di sekitar rumahku.
"Yeah. Satu orang," jawab Will. "Tapi dia anak perempuan.
Dan agak aneh." Di kejauhan matahari mulai terbenam di balik pepohonan rawa.
Langit berwarna merah tua. Udara tiba-tiba terasa lebih sejuk. Jauh di atas
langit tampak bulan pucat, hampir purnama.
Will berjalan mendekati kandang kijang, aku mengikutinya.
Langkahnya berat, bahunya yang bidang naik-turun setiap ia
melangkah. Diulurkannya tangannya dari sela-sela kawat dan
dibiarkannya telapak tangannya dijilati kijang.
"Ayahmu bekerja di Dinas Kehutanan juga?" tanyanya,
matanya mengamati kijang.
"Tidak," kataku. "Ibu dan ayahku ilmuwan. Mereka
mempelajari kijang-kijang ini."
"Kijang-kijang aneh," kata Will. Ditariknya tangannya dari dalam kandang dan
dipandanginya. "Hii. Kotoran kijang."
Aku tertawa. "Namanya kijang rawa," kataku. Kulemparkan bola tenis padanya. Kami
menjauh dari kandang kijang dan main
lempar-lemparan bola. "Kau pernah pergi ke rawa?" tanyanya.
Tangkapanku meleset, aku terpaksa mengejar bola. "Yeah. Tadi siang," kataku.
"Aku dan kakakku, kami tersesat."
Ia terkekeh. "Kau tahu kenapa rawa itu dinamakan Rawa Demam?" tanyaku, kulempar bola tinggi-
tinggi ke arahnya. Cuaca sudah lumayan gelap, semakin susah untuk melihat. Tapi
ia bisa menangkap bola dengan satu tangan saja.
"Yeah. Ayahku menceritakan riwayatnya," kata Will. "Kurasa seratus tahun yang
lalu. Mungkin lebih. Semua penduduk kota
terserang demam aneh."
"Semuanya?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Semua yang pernah pergi ke rawa."
Dipegangnya bola dan maju mendekat.
"Kata ayahku demamnya baru sembuh setelah berminggu-
minggu, kadang-kadang malah berbulan-bulan. Dan banyak yang mati karena demam
itu." "Mengerikan," gumamku melirik pepohonan gelap di pinggir rawa di kejauhan.
"Dan orang-orang yang tidak mati karena demam itu mulai
berkelakuan aneh," kata Will lagi.
Matanya kecil, bulat. Dan ketika bercerita, matanya berkilat-
kilat. "Bicara mereka kacau, tidak bisa dimengerti, hanya
mengucapkan kata-kata tak masuk akal. Dan mereka tidak bisa
berjalan dengan baik. Mereka sering terjatuh atau berjalan berputar-putar."
"Aneh," kataku, mataku masih terpaku menatap rawa. Langit berubah warna dari
merah menjadi ungu tua. Bulan yang hampir
purnama tampak bersinar makin terang.
"Sejak saat itu mereka menamakannya Rawa Demam," kata
Will mengakhiri ceritanya. Dilemparkannya bola tenis ke arahku.
"Sebaiknya aku pulang."
"Kau pernah melihat si petapa rawa?" tanyaku.
Ia menggeleng. "Tidak. Aku sudah mendengar tentang dia, tapi belum pernah
melihatnya." "Aku sudah," kataku. "Aku dan kakakku tadi siang melihatnya.
Kami menemukan pondoknya."
"Hebat!" seru Will. "Kau berbicara dengan dia?"
"Tidak mau," jawabku. "Ia mengejar-ngejar kami."
"Oya?" Ekspresi wajah Will jadi serius. "Kenapa?"
"Entahlah. Kami lumayan ketakutan," kataku mengaku.
"Aku harus pergi," kata Will. Ia segera berlari-lari ke rumahnya.
"Hei, mungkin kau dan aku bisa pergi menjelajahi rawa itu bersama-sama,"
teriaknya. "Yeah. Asyik!" jawabku.
Aku merasa lebih riang sedikit. Aku punya teman baru.
Mungkin tinggal di sini tidaklah terlalu sengsara, pikirku.
Kuamati Will berlari menuju bagian samping rumahnya.
Rumahnya mirip dengan rumahku, tapi tentu saja di belakang
rumahnya tidak ada kandang kijang.
Kulihat di halaman belakang rumahnya ada ayunan, seluncuran
kecil, dan papan jungkat-jungkit. Aku ingin tahu apa ia punya adik.
Sambil berjalan ke rumah aku teringat Emily. Aku tahu ia pasti
iri karena aku punya teman baru. Emily yang malang benar-benar
sedih tanpa kehadiran Martin goblok itu.
Aku tidak suka pada Martin. Ia selalu memanggilku "Kiddo".
Kuamati salah satu kijang merunduk ke tanah dan dengan
anggun melipat kakinya. Kijang lain mengikutinya. Mereka bersiap-siap untuk
istirahat malam. Aku masuk ke rumah dan bergabung bersama keluargaku di
ruang duduk. Mereka sedang menonton acara tentang ikan hiu di
Discovery Channel, saluran televisi khusus tentang alam. Orangtuaku menyukai
Discovery Channel. Tidak mengherankan kan"
Aku ikut menonton sebentar. Lalu aku tersadar badanku terasa
tidak sehat. Kepalaku sakit, pelipisku berdenyut-denyut. Dan aku menggigil.
Kuberitahu Mom. Ia bangun dan berjalan ke kursiku. "Kau
kelihatan agak merah," katanya, diamatinya aku dengan penuh perhatian.
Disentuhnya dahiku dengan tangannya yang dingin dan
dirasakannya selama beberapa saat.
"Grady, kurasa kau demam," katanya.
Chapter 9 BEBERAPA malam kemudian, untuk pertama kalinya
kudengar lolongan yang aneh dan menyeramkan itu.
Suhu badanku mencapai 40 C dan tetap begitu seharian. Lalu
demamku sembuh. Lalu datang lagi.
"Ini demam rawa!" kataku pada orangtuaku tadi. "Tak lama lagi kelakuanku jadi
gila." "Kau sudah berkelakuan gila," goda Mom. Disodorkannya
segelas jus jeruk. "Minum. Minum terus."
"Minum tidak menyembuhkan demam rawa," kataku bersikeras, tapi kuambil juga
gelas itu. "Demam ini tidak ada obatnya."
Mom menyuruhku diam. Dad melanjutkan membaca majalah
ilmu pengetahuan ilmiahnya.
Malam itu aku bermimpi aneh, mimpi yang meresahkan. Aku
seperti kembali ke Vermont, berlari-lari menerobos salju. Ada sesuatu
mengejarku. Kurasa mungkin si petapa rawa. Aku terus berlari-lari.
Aku sangat kedinginan. Dalam mimpi itu aku menggigil.
Aku berbalik untuk melihat siapa yang mengejarku. Tidak ada
orang. Tiba-tiba aku berada di rawa. Aku terbenam di bog tanah liat.
Bog itu berdeguk-deguk di sekelilingku, hijau dan kental, suaranya mengisap-isap
menjijikkan. Bog itu mengisapku semakin dalam. Semakin dalam...
Suara lolongan membuatku terbangun.
Aku duduk tegak di tempat tidur dan menatap bulan hampir
purnama di luar jendela. Bulan itu berada tepat di depan jendela, tampak
keperakan dan cemerlang dilatarbelakangi langit biru
kehitaman. Terdengar suara lolongan panjang lagi.
Aku sadar sekujur tubuhku gemetaran. Basah berkeringat.
Piamaku menempel di punggungku.
Sambil mencengkeram selimut dengan dua tangan, aku
memasang kuping. Lolongan lagi. Lolongan binatang.
Dari rawa" Lolongan itu terdengar sangat dekat. Tepat di luar jendela.
Lolongan yang panjang dan marah.
Kusingkirkan selimut dan kuinjak lantai. Aku masih gemetaran,
kepalaku berdenyut waktu aku berdiri. Kurasa aku masih demam.
Lolongan panjang lagi. Aku berjalan ke ruang tengah dengan kaki gemetar. Aku harus
mengetahui apakah orangtuaku mendengar lolongan itu atau tidak.
Aku berjalan dalam kegelapan dan menabrak meja rendah di
ruang tengah. Aku masih belum terbiasa dengan rumah baru ini.
Kakiku sedingin es, tapi kepalaku panas sekali rasanya, seperti
ada apinya. Sambil mengusap-usap lututku yang tertabrak meja tadi, kutunggu
sampai mataku terbiasa menatap dalam kegelapan. Lalu aku melangkah ke ruang
tengah lagi. Kamar orangtuaku terletak di dekat dapur di bagian belakang
rumah. Aku sudah setengah melewati dapur waktu berhenti tiba-tiba.
Suara apa itu" Suara menggaruk-garuk. Napasku tercekat. Aku berdiri diam, tanganku tergantung kaku.
Kudengarkan. Suara itu terdengar lagi.
Kressk. Kressk. Kressk. Seseorang - atau sesuatu - menggaruk-garuk pintu dapur.
Lalu - lolongan lagi. Begitu dekat. Amat sangat dekat.
Kressk. Kressk. Kressk. Siapa ya" Sejenis binatang" Tepat di luar rumah" Sejenis
binatang rawa melolong dan menggaruk-garuk pintu"
Aku sadar sudah lama kutahan napas. Kuhembuskan napas, lalu
kuhirup lagi udara. Kudengarkan dengan cermat, berusaha keras mengatasi suara
debaran jantungku. Lemari es tiba-tiba menyala. Suaranya yang keras hampir
membuatku terlonjak. Kucengkeram permukaan meja. Tanganku
sedingin kakiku, dingin dan basah.
Kudengarkan. Kressk. Kressk. Kressk. Aku maju selangkah ke pintu dapur.
Selangkah, aku lalu berhenti.
Bulu romaku meremang. Aku sadar aku tidak sendirian.
Ada orang bernapas di sampingku, di dapur yang gelap.
Chapter 10 AKU terkesiap. Saking kerasnya mencengkeram permukaan


Goosebumps - Manusia Serigala Rawa Demam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meja, tanganku jadi sakit. "Si-siapa di sana?" bisikku. Lampu dapur menyala.
"Emily!" Karena terkejut dan lega, aku benar-benar
meneriakkan namanya. "Emily - "
"Kau dengar lolongan tadi?" tanyanya, suaranya berbisik.
Matanya yang biru menatapku tajam.
"Ya. Aku jadi terbangun," kataku. "Kedengarannya marah sekali."
"Seperti lolongan sebelum menyerang," bisik Emily. "Kenapa kau kelihatan aneh
begitu, Grady?" "Hah?" Pertanyaannya membuatku kaget.
"Wajahmu merah semua," katanya. "Dan lihatlah - sekujur tubuhmu gemetaran."
"Kurasa aku demam lagi," kataku.
"Demam rawa," gumamnya, diamatinya aku dengan matanya.
"Mungkin kau terserang demam rawa seperti yang kauceritakan padaku."
Aku berbalik ke arah pintu dapur. "Kaudengar suara
menggaruk-garuk?" tanyaku. "Ada yang menggaruk-garuk pintu belakang."
"Ya," bisiknya. Dipandanginya pintu.
Kami berdua mendengarkan.
Sepi. "Apa menurutmu ada kijang yang lepas?" tanyanya sambil melangkah ke arah pintu.
Tangannya terlipat di depan mantel merah muda-putihnya.
"Kaukira kijang bisa menggaruk-garuk pintu?" tanyaku.
Pertanyaan itu konyol sekali, kami berdua jadi tertawa
terbahak-bahak. "Mungkin ia ingin segelas air!" seru Emily, dan kami tertawa lagi. Tawa tidak
enak. Tawa gelisah. Kami berdua mendadak berhenti tertawa, dan mendengarkan.
Terdengar lagi lolongan di luar, seperti sirene polisi.
Kulihat mata Emily menyipit karena takut. "Itu serigala!"
serunya berbisik. Ditutupnya mulutnya dengan satu tangan. "Cuma serigala yang
bersuara seperti itu, Grady."
"Emily, jangan begitu - " kataku.
"Tidak. Aku betul," katanya bersikeras. "Itu lolongan serigala."
"Em, hentikan," kataku, terduduk di kursi dapur. "Tidak ada serigala di rawa
Florida. Kau bisa membacanya di buku petunjuk.
Atau lebih baik lagi, tanya Mom dan Dad. Serigala tidak hidup di rawa."
Ia mulai membantah, tapi suara garukan di pintu membuatnya
terdiam. Kressk. Kressk. Kressk. Kami berdua mendengarnya. Kami berdua terkesiap.
"Apa itu?" bisikku. Lalu, ketika melihat ekspresi wajahnya, cepat-cepat
kutambahkan, ''Jangan bilang itu serigala."
"Aku - aku tidak tahu," jawabnya, dipegangnya wajahnya
dengan kedua tangan. Aku tahu ia panik. "Ayo kita panggil Mom dan Dad."
Kupegang pegangan pintu. "Kita lihat saja dulu sebentar."
Aku tidak tahu dari mana datangnya keberanianku. Mungkin
karena demam. Tiba-tiba aku ingin memecahkan misteri ini.
Siapa atau apa yang menggaruk-garuk pintu" Ada satu cara
tepat untuk mengetahuinya - buka pintu dan lihat ke luar.
"Jangan, Grady - tunggu!" kata Emily memohon. Tapi
kuabaikan protesnya. Kuputar kenop pintu dan kutarik pintu dapur sampai terbuka.
Chapter 11 UDARA panas dan basah menyerbu masuk melalui pintu yang
terbuka. Terdengar suara cengkerik mengerik.
Sambil berpegangan di pintu, kupandangi halaman belakang
yang gelap. Tidak ada apa-apa. Bulan yang hampir purnama, kuning seperti jeruk lemon,
terletak jauh di langit. Lapisan tipis awan hitam melewatinya.
Tiba-tiba cengkerik berhenti mengerik, suasana jadi sunyi
senyap. Terlalu sunyi. Kupicingkan mata menatap rawa gelap di kejauhan.
Tidak ada yang bergerak. Tidak ada yang bersuara.
Kutunggu sampai mataku menyesuaikan diri dengan kegelapan.
Sinar bulan remang-remang menerangi rumput. Di kejauhan aku bisa melihat garis
deretan pepohonan miring di tepi rawa.
Siapa atau apa yang tadi menggaruk-garuk pintu" Apakah
sekarang mereka bersembunyi dalam kegelapan"
Mengamati aku" Menungguku menutup pintu supaya mereka bisa melolong
menakutkan lagi" "Grady - tutup pintunya."
Kudengar suara kakakku dari belakang. Ia kedengaran takut
sekali. "Grady - kau lihat sesuatu" Ya?"
"Tidak," kataku. "Cuma bulan."
Aku melangkah ke teras belakang. Udara terasa panas dan
pengap, seperti udara di kamar mandi setelah kau mandi air panas.
"Grady - kembalilah. Tutup pintunya." Suara Emily
melengking dan bergetar. Kupandang kandang kijang. Aku bisa melihat sosok mereka,
tidak bergerak dan bersuara. Angin panas bergemerisik di rerumputan.
Cengkerik mulai mengerik lagi.
"Ada orang di sana?" seruku. Aku segera merasa tolol.
Tidak ada siapa-siapa. "Grady - tutup pintunya. Sekarang."
Kurasakan Emily memegang tangan piamaku. Ditariknya aku
masuk ke dapur lagi. Kututup pintu dan kukunci.
Mukaku terasa basah karena terkena udara malam yang lembap.
Aku gemetaran. Lututku bergetar.
"Kau kelihatan tidak sehat," kata Emily. Diliriknya pintu di belakangku. "Kau
lihat sesuatu?" "Tidak," kataku. "Tidak ada apa-apa. Gelap sekali di belakang, biarpun ada bulan
purnama." "Ada apa ini?" Suara tegas membuat kami terdiam. Dad masuk ke dapur, sambil
merapikan kerah baju tidur panjang yang selalu
dikenakannya. "Sekarang sudah lewat tengah malam." Dipandanginya Emily dan aku
bergantian dengan bingung.
"Kami mendengar suara-suara," kata Emily. "Ada lolongan di luar."
"Lalu ada sesuatu menggaruk-garuk pintu," kataku
menambahkan, berusaha menghentikan getaran lututku.
"Mimpi karena demam," kata Dad padaku. "Lihatlah. Kau merah seperti tomat. Dan
gemetaran. Coba kuukur suhu tubuhmu. Kau pasti demam tinggi." Ia berjalan ke
kamar mandi untuk mengambil termometer.
"Tadi itu bukan mimpi," seru Emily pada Dad. "Aku juga mendengar suara-suara
Dad berhenti di pintu. "Sudah kau periksa kijang-kijang?"
"Yeah. Mereka tidak apa-apa," kataku.
"Kalau begitu mungkin tadi cuma angin. Atau makhluk di rawa.
Sulit tidur di rumah baru. Suara-suaranya baru semua, begitu asing.
Tapi kalian berdua sebentar lagi pasti sudah terbiasa."
Aku takkan pernah terbiasa dengan lolongan-lolongan
menyeramkan itu, pikirku bersikeras. Tapi aku kembali juga ke
kamarku. Dad mengukur suhu tubuhku. Hanya sedikit di atas normal.
"Besok kau sudah sembuh," katanya, sambil menyelimutiku. "Malam ini jangan
keluyuran lagi, ya?"
Aku menggumam dan hampir seketika itu juga langsung
tertidur tidak nyenyak. Sekali lagi aku bermimpi aneh dan tidak menyenangkan. Aku
bermimpi sedang berjalan-jalan di rawa. Kudengar lolongan. Aku bisa melihat
bulan purnama di antara batang-batang pohon langsing di
rawa. Aku mulai berlari. Lalu tiba-tiba aku sudah terbenam
sepinggang di dalam bog yang hijau dan kental. Dan lolongan-
lolongan itu terus berlanjut, susul menyusul, bergema di antara
pepohonan sementara aku tenggelam ke dalam bog suram itu.
*****************************
Ketika terbangun keesokan paginya, aku masih teringat mimpi
itu terus. Aku ingin tahu apakah lolongannya nyata, atau hanya
mimpi. Ketika bangun dari tempat tidur, aku merasa sehat. Cahaya
matahari pagi masuk dari jendela. Aku bisa melihat langit berwarna biru cerah.
Pagi yang indah itu membuatku lupa pada mimpi burukku.
Aku ingin tahu apakah pagi ini Will ada. Mungkin ia dan aku
bisa pergi menjelajahi rawa.
Aku cepat-cepat berpakaian, kukenakan jins pudar dan kaus
Raiders berwarna hitam-perak. (Aku bukan penggemar Raiders. Aku
cuma suka warnanya.) Kumakan semangkuk Frosted Flakes, kubiarkan Mom meraba
dahiku untuk memastikan aku sudah tidak demam, dan bergegas pergi ke pintu
belakang. "Wow. Tunggu dulu," seru Mom, diletakkannya cangkir
kopinya. "Mau ke mana kau pagi-pagi begini?"
"Aku ingin melihat apa Will ada di rumah," kataku. "Kami mungkin akan main-main
atau apalah." "Oke. Tapi jangan terlalu lama, ya," katanya. "Janji?"
"Yeah. Janji," jawabku.
Kubuka pintu dapur, melangkah ke udara luar yang bermandi
sinar matahari - dan menjerit ketika monster hitam yang sangat besar menerjang
dadaku dan menjatuhkan aku ke tanah.
Chapter 12 "IA - ia menangkapku!" jeritku ketika makhluk itu
mendorongku ke tanah dan melompat ke dadaku. "Tolong! Ia - ia menjilati mukaku!"
Saking terkejutnya, lama baru kusadari yang menyerangku itu
ternyata seekor anjing. Ketika Mom dan Dad menolongku dan menarik makhluk besar
itu dari dadaku, aku tertawa. "Hei - geli! Berhenti!"
Kuusap ludah anjing itu dari wajahku dan bersusah payah
bangun. "Dari mana asalmu?" tanya Mom pada anjing itu. Ia dan Dad memegangi makhluk
besar itu. Mereka berdua melepaskannya, dan anjing itu berdiri sambil
sibuk mengibas-ngibaskan ekornya, terengah-engah, lidahnya yang
besar dan merah terjuntai benar-benar sampai tanah.
"Ia besar sekali!" seru Dad. "Pasti ada keturunan anjing gembalanya."
Aku masih membersihkan ludahnya yang licin dari pipiku. "Ia membuatku ketakutan
setengah mati," kataku mengaku. "Ya kan, sobat?" Aku membungkuk dan membelai
bulu kelabu panjang di kepalanya. Ekornya yang panjang mulai berkibas-kibas lebih cepat.
"Ia suka padamu," kata Mom.
"Ia hampir membunuhku!" seruku. "Lihatlah. Pasti beratnya lebih dari lima puluh
kilo!" "Kau ya yang mengaruk-garuk pintu kami tadi malam?" Emily muncul di pintu, masih
mengenakan kaus panjang yang digunakannya sebagai baju tidur. "Kurasa ini
menyelesaikan misterinya," katanya padaku, sambil menguap dan menarik rambut
pirangnya ke belakang bahu dengan kedua tangan.
"Begitulah," gumamku. Aku berlutut di samping anjing besar itu dan mengusap
punggungnya. Ia menoleh dan menjilat pipiku lagi.
"Hii! Hentikan!" kataku.
"Aku ingin tahu dia milik siapa," kata Mom, sambil menatap anjing itu serius.
"Grady, periksa kalungnya. Mungkin ada namanya."
Kupegang leher tegap anjing itu dan kuraba-raba bulunya untuk
mencari kalungnya. "Tidak ada," kataku.
"Mungkin ia anjing yang tersesat," kata Emily dari dalam dapur. "Mungkin itu
sebabnya tadi malam ia menggaruk-garuk pintu."
"Yeah," kataku cepat. "Ia perlu tempat tinggal."
"Wow," kata Mom, sambil menggeleng. "Kurasa kita sekarang belum memerlukan
anjing, Grady. Kita baru pindah, dan - "
"Tapi aku perlu binatang piaraan!" kataku ngotot. "Di sini sepi sekali. Kalau
ada anjing pasti asyik, Mom. Ia bisa menemaniku."
"Kau punya binatang piaraan kijang," kata Dad, dahinya berkerut. Ia berbalik
menatap kandang kijang. Keenam kijang itu
berdiri waspada penuh perhatian, menatap anjing itu.
"Aku tidak bisa membawa kijang jalan-jalan!" protesku. "Lagi pula, Dad akan
membebaskan kijang-kijang itu, kan?"
"Anjing itu mungkin ada yang punya," kata Mom. "Kau tidak bisa langsung memiliki
anjing yang datang. Lagi pula, ia besar sekali, Grady. Ia terlalu besar untuk - "
"Ah, biar saja ia memeliharanya," seru Emily dari dalam rumah.
Aku terkejut menatapnya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali
Emily dan aku punya pendapat sama dalam masalah keluarga.
Perdebatan berlangsung selama beberapa saat lagi. Semua
setuju bahwa anjing itu kelihatannya manis dan lembut meskipun
tubuhnya besar sekali. Dan ia jelas sangat penyayang. Aku tidak bisa melarangnya
menjilatiku. Kulihat Will keluar dari rumahnya dan melintasi halaman
belakang mendatangi kami. Ia mengenakan kaus biru tanpa lengan dan celana pendek
lycra biru. "Hai! Lihat apa yang kami temukan!"
seruku. Kuperkenalkan Will pada ayah dan ibuku. Emily sudah
menghilang lagi ke kamarnya untuk berganti pakaian.
"Kau pernah melihat anjing ini?" tanya Dad pada Will. "Apa ia anjing milik orang
dari sekitar sini?" Will menggeleng. "Bukan. Tidak pernah melihatnya." Dengan hati-hati dielusnya
kepala anjing itu. "Dari mana asalmu, sobat?" tanyaku, kutatap mata makhluk itu.
Matanya sebiru langit. "Ia lebih mirip serigala daripada anjing," kata Will.
"Yeah. Memang," kataku setuju. "Kau ya, yang tadi malam melolong seperti
serigala?" tanyaku pada anjing itu. Ia berusaha menjilat hidungku, tapi aku
berhasil mengelak. Kupandang Will. "Kau dengar lolongan-lolongan tadi malam"
Benar-benar aneh." "Tidak. Aku tidak dengar apa-apa," jawab Will. "Aku kalau tidur nyenyak sekali.
Ayahku masuk ke kamarku dan berteriak
memakai pengeras suara untuk membangunkan aku pagi-pagi. Betul!"
Kami semua tertawa. "Ia memang kelihatan seperti serigala," kata Mom sambil menatap mata biru anjing
itu. "Serigala lebih kurus," kata Dad. "Moncongnya lebih kecil.
Kurasa ia ada keturunan serigalanya. Tapi di daerah ini rasanya tidak mungkin."
"Kita namakan dia Wolf saja," kataku bersemangat. "Itu nama yang pas untuknya."
Aku berdiri. "Hai, Wolf," seruku pada anjing itu.
"Wolf! Hai, Wolf!"
Kupingnya berdiri tegak. "Betul kan" Ia suka namanya!" seruku. "Wolf! Wolf!"
Ia menyalak pendek padaku.
"Boleh aku memeliharanya?" tanyaku.
Mom dan Dad berpandang-pandangan. "Lihat saja nanti," kata Mom.
******************************
Siang itu, Will dan aku pergi menjelajah ke rawa. Aku teringat
mimpi burukku tentang rawa. Tapi sekuat tenaga kulupakan.
Hari itu panas sekali. Matahari bersinar cerah di langit yang
bersih tak berawan. Ketika kami melintasi halaman belakang
rumahku, aku berharap semoga suhu di bawah pepohonan di rawa
lebih sejuk. Kulirik Wolf. Ia sedang tidur menyamping bermandikan sinar
matahari, keempat kakinya terjulur di depannya.
Sebelum makan siang tadi, kami sudah memberinya makan,


Goosebumps - Manusia Serigala Rawa Demam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sisa-sisa daging bekas makan malam. Ia melahapnya dengan rakus.
Lalu, setelah meminum semangkuk penuh air, ia merebahkan diri ke rumput di depan
teras belakang untuk tidur siang.
Will dan aku mengikuti jalan setapak menuju pepohonan
miring. Kupu-kupu hitam-jingga, empat atau lima ekor, beterbangan di sekitar
rumpun bunga-bunga liar. "Hei!" teriakku ketika kakiku terbenam ke tanah lunak. Ketika kutarik keluar,
sepatuku tertutup pasir basah.
"Kau sudah lihat bog-nya?" tanya Will. "Asyik, lho."
"Yeah. Ayo kita ke sana," kataku penuh semangat. "Kita bisa melempar-lempar
ranting dan sebagainya, dan melihatnya terbenam."
"Menurutmu pernah tidak orang tenggelam di bog itu?" tanya Will serius.
Diusirnya nyamuk dari dahinya, lalu digaruknya rambut pendeknya yang cokelat
tua. "Mungkin," jawabku sambil mengikutinya ketika ia keluar dari jalan setapak dan
berjalan menerobos serumpun alang-alang tinggi.
"Menurutmu bog itu benar-benar bisa mengisapmu, seperti pasir isap?"
"Kata ayahku pasir isap itu tidak ada," kata Will.
"Aku yakin ada," kataku. "Aku yakin pasti ada orang tidak sengaja jatuh ke dalam
bog dan terisap. Kalau kita bawa tangkai
pancing, kita bisa memancing tulang-tulang mereka."
"Jijik," katanya.
Kami berjalan di atas hamparan daun-daun cokelat kering.
Sepatu kami berderak-derak ketika kami berjalan menuju bog di
bawah pohon palem yang berbelit-belit.
Tiba-tiba Will berhenti. "Sssst." Ditempelkannya jari ke mulutnya.
Aku juga mendengarnya. Berderak-derak di belakang kami.
Suara langkah kaki. Kami berdiri diam, mendengarkan dengan cermat. Suara
langkah kaki itu semakin dekat.
Mata Will yang kelam menyipit karena takut. "Ada yang
mengikuti kita," gumamnya. "Si petapa rawa!
Chapter 13 "CEPAT - sembunyi!" seruku.
Will merunduk masuk ke balik serumpun rumput tinggi yang
lebat. Aku berusaha mengikutinya, tapi tempatnya terlalu kecil.
Sambil merangkak-rangkak, aku panik mencari tempat
persembunyian. Suara derak daun kering terdengar semakin jelas.
Suara langkah kaki semakin dekat.
Aku merangkak ke semak-semak. Tidak. Tidak bisa
menutupiku. Serumpun semak di seberangku juga terlalu rendah.
Suara langkah kaki itu semakin dekat.
Semakin dekat. "Sembunyi! Sembunyi!" desak Will.
Tapi aku terjebak di tempat terbuka. Terperangkap.
Aku susah payah bangun tepat ketika pengejar kami muncul.
"Wolf!" teriakku.
Ekor anjing besar itu segera sibuk mengibas-ngibas begitu
melihatku. Ia menyalak senang - dan melompat.
"Tidak!" teriakku.
Kaki depannya menghantam dadaku. Aku jatuh terduduk ke
ilalang tinggi dan menimpa Will. "Hei!" teriaknya dan bangun.
Wolf menyalak gembira dan menindihku, berusaha menjilati
mukaku. "Wolf - turun! Turun!" teriakku. Aku berdiri dan
menyingkirkan daun-daun kering dari kausku. "Wolf, kau tidak boleh begitu, Boy,"
kataku. "Kau bukan anjing kecil, tahu?"
"Bagaimana caranya ia bisa menemukan kita?" tanya Will, sambil menarik duri dari
bagian belakang celana pendek lycra-nya.
"Kurasa karena penciumannya yang tajam," jawabku,
kupandangi anjing yang terengah-engah senang itu. "Mungkin ia ada keturunan
anjing pemburu." "Ayo ke bog," kata Will tidak sabaran. Ia mulai berjalan, tapi Wolf memaksa
melewatinya, nyaris membuat Will terjatuh, dan
berlari-lari kecil menuju bog. Kakinya yang kuat melangkah panjang-panjang dan
mantap. "Wolf sepertinya tahu ke mana kita pergi," kataku agak terkejut.
"Mungkin ia pernah kemari," jawab Will. "Mungkin ia anjing rawa."
"Mungkin," kataku serius sambil memandangi Wolf. Dari mana asalmu, Wolf"
pikirku. Ia jelas tampak mengenal rawa ini.
Sesaat kemudian, kami sampai di tepi bog tanah liat. Kuhapus
keringat di dahiku dengan punggung tangan dan kutatap kolam
berbentuk oval itu. Berkas sinar matahari membuat permukaannya yang hijau jadi
berpendar-pendar. Ribuan serangga putih kecil beterbangan di
atasnya, berkilauan seperti berlian karena terkena cahaya.
Will memungut ranting kecil. Dipatahkannya jadi dua. Lalu
dilemparkannya sepotong jauh-jauh.
Ranting itu mengenai permukaan bog dan berbunyi buk,
bukannya byur. Lalu tergeletak begitu saja. Ranting itu tidak
terbenam. "Aneh," kataku. "Ayo kita coba yang lebih berat."
Aku segera mencari-cari, tapi perhatianku terpecah waktu
mendengar suara geraman pelan. Aku berbalik ke arah suara itu. Aku terkejut,
asalnya dari Wolf. Anjing itu merunduk. Sekujur tubuhnya berdiri kaku, seperti
dalam posisi menyerang. Bibirnya yang hitam tertarik ke belakang, menampakkan
dua baris gigi tajam. Ia menggeram-geram pelan.
"Kurasa ia mencium ada bahaya," kata Will pelan.
Chapter 14 WOLF menggeram marah lagi, tampak giginya yang runcing-
runcing. Bulu di punggungnya berdiri kaku. Kakinya menegang
seperti bersiap-siap akan menyerang.
Aku mengangkat kepala ketika mendengar suara ranting patah.
Kulihat ada sosok kelabu melesat di balik ilalang tinggi di seberang bog.
"Si - siapa itu?" bisik Will.
Aku menatap lurus ke depan, tidak sanggup bicara.
"Apakah - " kata Will.
"Ya," akhirnya aku bisa bersuara. "Itu dia. Si petapa rawa." Aku cepat-cepat
berlutut, berharap semoga tidak kelihatan.
Tapi apa ia sudah melihat kami"
Apa dari tadi ia sudah berada di seberang bog"
Pikiran Will pasti sama dengan pikiranku. "Apa si aneh itu
memata-matai kita?" tanyanya sambil merapat ke sampingku.
Wolf menggeram pelan, ia masih berdiri kaku di tempatnya,
siap menyerang. Dengan posisi berlutut, kudekati anjing itu. Kurasa karena ingin dilindungi.
Kuamati orang aneh itu berjalan menerobos ilalang. Rambutnya
yang panjang dan putih-kelabu tampak berantakan. Ia terus-menerus menoleh ketika
berjalan, seperti ingin memastikan tidak ada yang mengikutinya.
Ia memanggul karung cokelat.
Ia menatap ke arah kami. Aku semakin merunduk, berusaha
bersembunyi di belakang Wolf, jantungku berdebar-debar.
Wolf tidak bergerak, tapi sekarang sudah tidak menggeram lagi.
Telinganya masih tertekuk ke belakang, mulutnya masih terbuka tak bersuara.
Noda hitam apa yang tampak di bagian depan kemeja kotor
petapa rawa itu" Noda darah" Aku bergidik. Wolf menatap lurus ke depan tanpa berkedip, tanpa
menggerakkan satu otot pun.
Petapa rawa itu menghilang di balik ilalang tinggi. Kami tidak
bisa melihatnya, tapi bisa mendengar langkah kakinya menginjak
dedaunan kering dan ranting pohon.
Kulirik Wolf. Anjing besar itu mengibas-ngibaskan bulunya,
seperti ingin menghilangkan petapa rawa itu dari pikirannya. Ekornya bergoyang-
goyang pelan. Tubuhnya tidak tegang lagi. Ia menguik
pelan, seperti ingin mengatakan padaku betapa takutnya ia tadi.
"Tenang, Boy," kataku pelan dan kuelus bulu lembut di
kepalanya. Ia berhenti menguik-nguik dan menjilat pergelangan
tanganku. "Orang itu menyeramkan!" seru Will seraya pelan-pelan berdiri.
"Ia bahkan bisa membuat anjingku ketakutan," kataku, sambil mengelus-elus Wolf.
"Kira-kira apa ya, isi karungnya?"
"Mungkin kepala orang!" kata Will, matanya yang kelam
terbelalak ngeri. Aku tertawa. Tapi langsung berhenti begitu melihat Will tidak
main-main. "Semua orang bilang ia tidak berbahaya," kataku.
"Bagian depan bajunya penuh darah," kata Will bergidik.
Dengan gelisah digaruknya rambutnya yang hitam pendek.
Sinar matahari segera memudar begitu tertutup awan. Bayang-
bayang panjang merayapi bog. Ranting yang tadi dilempar Will sudah tidak ada,
terisap ke dalam air yang kental dan keruh.
"Ayo pulang," kataku.
"Yeah. Oke," kata Will cepat.
Kupanggil Wolf, yang sedang mengendus-ngendus di sela-sela
ilalang tinggi. Kami lalu berbalik dan berjalan pulang di jalan setapak yang
berkelok-kelok. Angin semilir menggoyang pepohonan, daun-daun pohon palem
jadi bergesekan dan bergemerisik. Semak-semak bergetar ditiup
angin. Bayang-bayang semakin gelap.
Aku bisa mendengar Wolf berjalan di belakang kami. Aku bisa
mendengar tubuhnya bergesekan dengan semak-semak dan ilalang.
Kami sudah hampir sampai di tempat yang tidak ada pohonnya
lagi di tepi lapangan rumput yang menuju halaman belakang rumah
kami. Kami sudah hampir keluar dari rawa ketika tiba-tiba Will
berhenti. Kulihat mulutnya ternganga ngeri.
Kuikuti arah pandangannya.
Aku berteriak terkejut dan menutup mataku su-paya tidak
melihat pemandangan mengerikan itu.
Chapter 15 WAKTU kubuka mataku, gundukan bulu dan daging
berlumuran darah itu masih tergeletak di kakiku. "A-apa itu?" tanya Will
tergagap. Lama baru kusadari yang kami lihat itu burung. Burung heron
besar. Burung itu sulit dikenali lagi karena sudah terkoyak-koyak.
Bulu-bulu putih panjang berserakan di tanah yang lembek.
Dada burung malang itu terkoyak lebar.
"Si petapa rawa!" teriak Will.
"Hah?" teriakku. Kualihkan pandangan dari pemandangan
mengerikan itu dan berusaha melupakannya.
"Itu sebabnya bajunya berlumuran darah!" seru Will.
"Tapi buat apa ia merobek-robek burung ini?" tanyaku pelan.
"Karena... karena ia monster!" seru Will.
"Ia cuma orang tua aneh yang tinggal sendirian di rawa,"
kataku. "Bukan ia yang melakukan ini, Will. Sejenis binatang yang melakukannya.
Lihat!" Kutunjuk tanah.
Tampak jejak-jejak kaki binatang. Semuanya di sekeliling
burung mati itu. "Kelihatannya seperti jejak kaki anjing," kataku.
"Anjing tidak mengoyak-ngoyak burung," jawab Will pelan.
Tepat pada saat itu Wolf mendatangi kami dari sela-sela ilalang.
Ia langsung berhenti di depan bangkai burung itu dan mengendus-
ngendusnya. "Pergi dari sana, Wolf," perintahku. "Ayo. Pergi." Dengan dua tangan kutarik
lehernya yang tegap. "Ayo pulang," kata Will. "Tinggalkan saja bangkai ini. Aku pasti bermimpi buruk.
Pasti." Kutarik Wolf dengan kedua tanganku. Kami berhati-hati
mengitari bangkai heron itu dan bergegas menuju tepi rawa. Tidak ada yang
bicara. Kurasa kami berdua masih membayangkan apa yang
kami lihat tadi. Setelah sampai di lapangan rumput di belakang rumah kami,
aku berpisah dengan Will. Kuamati ia bergegas menuju rumahnya.
Wolf mengikutinya sebentar. Ia lalu berbalik dan bergegas
mendatangiku. Matahari sore bersinar dari balik awan. Kulindungi mataku dari
cahaya terang yang tiba-tiba itu dan kulihat ayahku sedang bekerja di kandang
kijang di belakang rumah.
"Hei, Dad - " Aku lari mendatanginya.
Beliau mengangkat kepala ketika kupanggil. Dikenakannya
celana pendek denim dan kemeja kuning tanpa lengan. Di kepalanya ada topi
Dewi Cantik Penyebar Maut 1 Gajah Selalu Ingat Elephant Can Remember Karya Agatha Christie Suling Emas Dan Naga Siluman 29
^