Percuma Menakut Nakutiku 2
Goosebumps - Percuma Menakut-nakutiku Bagian 2
sehingga bolaku meluncur ke pagar tanaman.
Molly mengerutkan kening. Ia masih belum memaafkan aku
soal kejadian tarantula dulu itu meskipun sudah ribuan kali aku minta maaf.
Diluruskannya bagian bawah kaus kuning yang dikenakannya di atas celana pendek
Lycra hitam, dan bersiap-siap memukul bola.
"Kita perlu anjing yang benar-benar kelihatan galak," kata Molly. Dipukulnya
bola kuat-kuat. Bola itu tidak masuk gawang dan terpental ke pasak kayu.
"Kurasa anjingku, Buttercup (buttercup merupakan nama
sejenis bunga) bisa melakukannya," kata Charlene menawari, sambil menghela
napas. "Hah" Buttercup?" teriakku terkejut. "Jangan bercanda, Charlene. Buttercup kan
anjing besar dan manis. Lalat pun tak takut padanya."
Charlene tersenyum jahil. "Buttercup bisa melakukannya,"
ulangnya. "Oh, tentu," kataku sambil membelalakkan mata. "Dia galak sekali. Itu sebabnya
kauberi dia nama menyeramkan seperti
Buttercup." "Giliranmu," kata Molly padaku sambil menunjuk bolaku yang berada di dekat pagar
tanaman. "Permainan ini membosankan sekali," keluhku. "Kenapa sih ada yang suka?"
"Aku suka," kata Hat. Kedudukannya unggul.
Charlene menangkupkan kedua tangannya di depan mulut dan
berteriak, "Buttercup! Buttercup! Sini, anjing galak!"
Beberapa detik kemudian, anjing Saint Bernard besar itu
dengan lamban mendatangi kami dari samping rumah. Ekornya yang putih dan berbulu
lebat sibuk mengibas-ngibas, seluruh bagian
belakang badannya bergoyang-goyang ketika ia bergegas melintasi halaman,
lidahnya yang merah muda terjulur ke luar.
"Ooh, aku takut! Aku takut!" seruku kasar. Kujatuhkan tongkat croquet-ku dan
mendekap diriku, pura-pura gemetar ketakutan.
Buttercup tidak memedulikan aku. Ia berlari mendatangi
Charlene dan segera menjilati tangannya sambil berbunyi pelan seperti mengeong,
hampir seperti kucing. "Ooh, dia seram sekali," seruku.
Hat berjalan ke sebelahku, dibetulkannya letak topinya. "Dia anjing Saint
Bernard besar yang manis, Charlene," kata Hat membungkuk untuk menggaruk bagian
belakang telinga anjing itu.
"Dia tidak terlalu menakutkan. Kita perlu serigala besar. Atau Doberman setinggi
hampir dua meter." Buttercup berpaling dan menjilat tangan Hat. "Hii!" Wajah Hat berkerut jijik.
"Aku benci air liur anjing."
"Di mana kita bisa mendapat anjing yang benar-benar galak?"
tanyaku. Kuambil tongkatku dan bersandar padanya. "Kita punya kenalan yang punya
anjing penjaga" Anjing gembala Jerman yang
besar dan jelek, mungkin?"
Charlene masih tersenyum jahil, seperti mengetahui sesuatu
yang tidak kami ketahui. "Berilah kesempatan pada Buttercup,"
katanya pelan. "Kalian akan terkejut."
Awan kembali menutupi matahari. Udara tiba-tiba terasa lebih
sejuk ketika bayangan kelabu menutupi rerumputan.
Mesin pemotong rumput di balik pagar tanaman terbatuk-batuk
dan berhenti. Halaman belakang mendadak sunyi senyap dan tenang.
Buttercup duduk di rumput dan berguling sampai telentang.
Keempat kakinya yang berbulu menendang-nendang udara dan
punggungnya digosok-gosokkan ke rumput.
"Tidak terlalu mengesankan, Charlene," kata Hat tertawa.
Anjing itu kelihatan tolol.
"Aku belum menunjukkan keterampilan kecil kami," kata Charlene. "Lihat saja."
Ia berbalik menghadap anjingnya dan mulai bersiul. Siulan tak
bernada, hanya suara melengking dan datar.
Anjing Saint Bernard besar itu segera bereaksi. Begitu
mendengar siulan Charlene, ia langsung berguling dan berdiri.
Ekornya terjulur kaku di belakangnya. Sekujur tubuhnya tampak
menegang. Telinganya berdiri tegak.
Charlene terus bersiul. Tidak keras. Siulan pelan dan mantap,
suaranya panjang dan melengking.
Dan ketika kami terdiam menatapnya, Buttercup mulai
menggeram. Geraman itu berasal dari perutnya, marah dan
mengancam. Bibir hitamnya tertarik ke belakang. Tampak giginya yang
besar-besar. Ia menggeram keras. Geramannya berubah jadi geraman
mengancam. Mata anjing itu bersinar marah. Punggungnya menegang.
Kepalanya tertarik ke belakang seperti bersiap-siap menyerang.
Charlene menarik napas dalam-dalam dan bersiul lagi. Matanya
terpaku menatap anjing yang menggeram-geram itu.
"Buttercup - tangkap Eddie!" jerit Charlene tiba-tiba. "Tangkap Eddie! Bunuh!
Bunuh!" Chapter 15 "TIDAK!" Aku menjerit dan terjungkal ke belakang ke arah pagar tanaman.
Anjing itu menggeram memperingatkan. Lalu ia menerjang
maju. Kuangkat tanganku seperti tameng dan menunggu serangannya.
Menunggu. Ketika pelan-pelan kuturunkan tanganku, kulihat Charlene
sedang memeluk leher anjing itu. Ia tersenyum girang. Buttercup menoleh dan
mencium dahinya. "Kena kau, Eddie!" seru Charlene. "Itu tadi balasan kejadian tarantula dulu."
Molly tertawa. "Hebat, Charlene."
"Wow," kataku pelan. Jantungku masih berdebar-debar
kencang. Halaman belakang tampak bergoyang-goyang.
"Tipuan bagus," kata Hat pada Charlene. "Bagaimana kau mengajarkannyan
"Aku tidak mengajarkannya," kata Charlene, sambil memeluk anjing itu sekali
lagi, lalu mendorongnya supaya pergi. "Kejadiannya boleh dibilang kebetulan
saja. Suatu hari aku bersiul-siul, Buttercup tiba-tiba berkelakuan aneh padaku.
Dia mulai menggeram, menampakkan giginya."
"Kurasa dia betul-betul benci siulanmu!" seruku, mulai merasa tenang.
"Dia benci siapa saja yang bersiul," kata Charlene, sambil membersihkan celana
pendek denimnya dari bulu anjing. "Mungkin telinganya jadi sakit atau apa. Aku
tak tahu. Tapi bisa kaulihat reaksinya. Dia jadi gila begitu setiap kali ada
orang bersiul." "Hebat!" seru Hat.
"Dia benar-benar bisa menakut-nakuti Courtney," kata Molly.
Kami mengamati anjing itu pergi dengan lamban, lidahnya
terjulur hampir menyentuh tanah. Ia mencium-cium sesuatu di antara bunga-bunga,
lalu menghilang ke samping rumah.
"Anjing malang," kata Charlene, sambil menggeleng. "Dia benci California. Dia
kepanasan terus. Tapi waktu pindah dari
Michigan ke sini, kami tak sanggup berpisah dengannya."
"Aku senang kau tak jadi berpisah dengannya," kataku bersemangat. "Sekarang kita
akhirnya bisa membuat Courtney ketakutan setengah mati!"
Molly memukul pelan bola croquet-nya. Wajahnya tampak
keruh. "Kita tidak akan benar-benar menyakiti Courtney, kan?"
tanyanya. "Maksudku, Buttercup takkan benar-benar menyerangnya, kan" Kalau dia
tidak terkontrol..."
"Tentu saja tidak," jawab Charlene cepat. "Dia langsung berhenti menggeram dan
berkelakuan normal lagi begitu aku berhenti bersiul. Betul. Begitu siulan
berhenti, dia kembali jadi anjing manis lagi."
Molly tampak lega. Dipukulnya bola melewati gawang, lalu
dengan tongkat didorongnya keluar.
Kami semua sudah tidak berminat lagi main croquet. Rasanya
jauh lebih asyik merencanakan bagaimana kami akan menggunakan
Buttercup untuk menakut-nakuti Courtney.
Matahari muncul dari balik awan. Rerumputan yang terpangkas
rapi berkilauan disinari cahaya matahari. Kami lemparkan tongkat kami dan pergi
ke bawah pohon anggur besar di tengah halaman
belakang. "Sebaiknya kita menakut-nakuti Courtney di hutan, di rumah pohon yang
dibangunnya bersama Denise di pinggir Muddy Creek,"
usulku sambil berbaring telentang di rumput. "Itu tempat yang tepat.
Dia hanya berduaan dengan Denise di hutan. Tiba-tiba, anjing yang menggeram-
geram menerkam mereka. Mereka akan menjerit selama
seminggu!" "Yeah, bagus," kata Hat setuju. "Di hutan banyak tempat bagi kita untuk
bersembunyi dan mengamati. Maksudku, Charlene bisa
bersembunyi di balik semak atau pohon cemara atau apalah dan
bersiul sekuat tenaga. Kita semua akan bersembunyi. Courtney takkan tahu siapa
yang melakukannya." Sambil duduk bersila, Molly menggigit-gigit bibirnya.
Didorongnya kacamatanya yang melorot. "Aku tidak suka," katanya.
"Tidak asyik rasanya kalau kita tidak menakut-nakuti Courtney di depan banyak
orang. Kalau kita menakut-nakutinya di hutan tanpa dilihat orang, siapa yang
peduli?" "Kita yang peduli!" seruku. "Kita yang melihatnya. Itu yang penting. Kita akan
tahu bahwa akhirnya kita berhasil membuatnya ketakutan."
"Dan mungkin kita semua bisa melompat keluar dan berteriak
'Kena kau!' dan sebagainya, sehingga ia tahu kita melihatnya
ketakutan," kata Charlene bersemangat. "Lalu kita sebarkan ceritanya ke seluruh
sekolah, supaya semua orang tahu."
"Aku suka!" seru Hat.
"Kapan kita lakukan?" tanya Molly.
"Bagaimana kalau sekarang?" kataku sambil berdiri.
"Hah" Sekarang?" kata Charlene terkejut.
"Kenapa tidak?" tantangku. "Ayo kita lakukan. Mungkin nasib kita beruntung,
melihat Courtney dan Denise di rumah pohon mereka.
Mereka sering berada di sana pada akhir minggu, tahu kan, untuk bermain-main,
membaca, yah... yang begitulah."
"Yeah! Ayo!" Hat melompat dan menepuk punggungku. "Ayo kita lakukan!"
"Biar kuambil tali Buttercup dulu," kata Charlene. "Kurasa kita tak perlu lagi
menunggu." Ia berbalik ke arah Molly yang berdiri di belakangnya.
"Aku punya ide yang lebih baik," kata Molly sambil menarik sehelai rumput dari
rambut cokelatnya. "Sebelum pergi ke hutan, sebaiknya kita pastikan dulu
Courtney ada di rumah pohon itu."
"Hah" Bagaimana caranya?" tanyaku.
"Gampang," jawabnya. Molly lalu meniru suara Denise, mirip sekali. "Halo,
Courtney. Temui aku di rumah pohon sepuluh menit lagi, oke?"
Bukan main! Ia kedengaran mirip sekali dengan Denise!
Kami semua ternganga memandangnya.
"Molly, aku tak tahu kau begitu berbakat," kata Charlene sambil tertawa.
"Aku sering berlatih," kata Molly. "Aku bisa meniru segala macam suara. Aku
mahir sekali." "Molly, mungkin kau bisa mengisi suara film kartun kalau
sudah besar nanti," kataku. "Kau bisa jadi Daffy Duck. Sekarang saja kau sudah
terdengar mirip dia!"
Hat tertawa. Molly menjulurkan lidahnya padaku.
"Ayo masuk dan menelepon Courtney," kata Charlene
bersemangat, dibukanya pintu kasa. "Kalau tak ada di rumah, mungkin dia sudah
berada di rumah pohon. Jadi kita tinggal mengambil
Buttercup dan pergi ke sana. Kalau dia ada di rumah, Molly bisa berpura-pura
jadi Denise dan mengajak Courtney bertemu di rumah pohon."
Kami pergi ke dapur. Charlene menyerahkan telepon di dapur
pada Molly. Lalu diambilnya telepon tanpa kabel supaya kami bisa mendengarkan
juga. Molly menekan nomor telepon Courtney. Kami semua menahan
napas sambil mendengarkan nada panggil. Sekali. Dua kali.
Setelah dering kedua, Courtney mengangkatnya.. "Halo?"
Molly menirukan suara Denise semirip mungkin. "Hai,
Courtney. Ini aku." Ia benar-benar kedengaran seperti Denise. Kurasa ia bahkan
bisa menipu ibu Denise sendiri!
"Bisa kita ketemu di hutan" Tahu, kan. Di rumah pohon?" tanya Molly dengan suara
Denise. "Siapa ini?" desak Courtney.
"Ini aku, dong. Denise," jawab Molly.
"Aneh," kami semua mendengar Courtney berkata begitu.
"Bagaimana kau bisa jadi Denise sementara Denise berdiri tepat di sebelahku
sekarang?" Chapter 16 "UUUPS. Salah sambung," kata Molly. Cepat-cepat ditutupnya telepon.
Ternyata, menelepon Courtney bukan ide bagus. Rencana kami
gagal. Tapi kami yakin bisa menakut-nakuti Courtney dengan
Buttercup. Kami tinggal bertemu dengannya di hutan pada saat yang tepat.
Keesokan harinya, Minggu, hujan. Aku kecewa bukan main.
Abangku Kevin berdiri di sampingku di dekat jendela,
mengamati hujan berderai-derai di kaca. Ia juga sedang kecewa. Ia dan teman-
temannya merencanakan akan menyelesaikan video
Monster Lumpur mereka di hutan.
"Hari ini kami akan merekam adegan terakhir yang hebat ketika Monster-monster
Lumpur bangkit dari lumpur," katanya.
"Mungkin sebentar lagi hujan berhenti," kataku.
"Tak ada '"gunanya," kata Kevin menghela napas. "Kami tetap saja tidak bisa
bekerja." "Kenapa?" tanyaku.
"Terlalu berlumpur," jawabnya.
*****************************
Minggu itu berlalu dengan lamban. Hampir setiap hari hujan.
Hari Sabtu siang matahari muncul. Charlene memasang tali
Buttercup dan kami segera pergi ke hutan.
"Courtney harus berada di sana. Pokoknya harus!" seruku.
"Harus ada yang mengintai rumah pohon itu," kata Molly.
"Harus ada yang memastikan Courtney dan Denise ada di sana sebelum kita lepaskan
Buttercup." "Biar aku saja!" kata Hat dan aku serentak.
Kami semua tertawa. Perasaan kami sedang bagus. Kurasa kami
semua punya perasaan bagus, perasaan bahwa hari inilah akhirnya kami akan bisa
membuat Courtney ketakutan setengah mati.
Hutannya berada beberapa blok dari rumah Charlene. Hari ini
cerah sekali, hari cerah pertama selama satu minggu ini. Semua tercium segar dan
manis setelah berhari-hari diguyur hujan terus.
Buttercup berulangkali berhenti untuk mengendus-endus bunga,
semak, dan tanaman-tanaman lain. Charlene terpaksa berkali-kali menarik talinya
supaya Buttercup mau jalan terus. Bukan pekerjaan gampang. Tidak mudah menarik
anjing Saint Bernard kalau ia tak mau ditarik!
"Mulutku agak kering," keluh Charlene waktu kami sampai di tepi hutan. "Semoga
saja aku bisa bersiul dengan baik."
Ia mencoba bersiul. Kedengarannya lebih banyak suara napas.
Suara siulnya cuma sedikit.
Tapi tampaknya bukan masalah bagi Buttercup. Ia langsung
mengangkat kepala. Telinganya berdiri tegak dan ekornya tegang.
Charlene bersiul semakin keras, tapi tetap saja tidak begitu
kedengaran. Perut Buttercup mulai bergemuruh. Suara itu berubah jadi
geraman. Geraman itu bertambah keras ketika anjing besar itu
menampakkan giginya. "Charlene - stop," kataku. "Jangan dihambur-hamburkan."
Charlene berhenti bersiul. Anjingnya kembali tenang.
"Ada yang punya permen karet?" tanya Charlene sambil memegangi lehernya.
Goosebumps - Percuma Menakut-nakutiku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mulutku kering sekali." Molly memberinya sebatang.
"Buttercup sudah siap!" seru Hat senang ketika kami masuk ke dalam hutan.
Bayangan dedaunan di atas kepala menari-nari di tanah. Berkas-
berkas terang sinar matahari menyorot dari sela-sela pepohonan.
Ketika kami berjalan, ranting dan dedaunan kering berderak terinjak sepatu kami.
"Ayo, Buttercup!" kata Charlene memelas, sambil menarik tali Buttercup kuat-
kuat. "Ssst," , kata Molly memperingatkan. "Sekarang kita tak boleh bersuara. Kalau
Courtney ada di hutan, dia bisa mendengar kita."
"Ayolah, Buttercup!" bisik Charlene keras.
Anjing itu sulit diatur. Ia terus saja berhenti untuk mengendus-endus.
Ditariknya talinya, berusaha melepaskan diri dan jalan sendiri.
Kurasa terlalu banyak bau yang mengasyikkan baginya. Ekornya
berkibas-kibas, napasnya terengah-engah berisik.
Kami sekarang sudah jauh di dalam hutan, mendekati sungai.
Keadaan sekitar semakin berbayang-bayang dan sejuk. Ketika kami berjalan,
bayang-bayang ungu menyelimuti kami.
"Aku akan menyelinap ke dekat rumah pohon dan melihat
apakah Courtney dan Denise ada di sana," bisikku. Kuserahkan kantong kertas
cokelat yang sejak tadi kubawa pada Hat. "Tolong pegangkan. Sebentar lagi aku
kembali." Dengan curiga Hat memandangi kantong itu. "Apa isinya?"
"Lihat saja nanti," kataku dan bergegas melaksanakan misi pengintaianku. Sambil
terus merunduk, aku berjalan menerobos
serumpun ilalang tinggi. Kutatap teman-temanku di belakang. Mereka berkerumun
mengelilingi Buttercup. Anjing besar itu terduduk di tanah dan menggigiti
ranting besar. Ketika berjalan di jalan setapak sempit di antara pepohonan,
kusadari betapa kencang debar jantungku. Ini dia! Hari kemenangan kami melawan
Courtney. Rumah pohonnya berada di dekat sungai, di sisi lain lapangan
rumput kecil. Ketika mendekati lapangan itu, aku bisa mendengar desiran pelan
air di dasar sungai. Aku menyelinap di antara pepohonan, tetap berlindung dalam
bayang-bayang. Aku tak ingin terlihat oleh Courtney atau Denise.
Bisa rusak kejutannya. Aku tersenyum ketika memikirkan betapa sebentar lagi mereka
akan sangat ketakutan. Kalau mereka ada di sana...
Aku berhenti di tepi lapangan dan mengintip ke seberangnya.
Rerumputan tinggi semua rebah karena diinjak-injak. Aku tahu
abangku dan teman-temannya pasti sudah mengambil gambar film
Monster Lumpur mereka di sana.
Aku tetap berjalan di bawah pepohonan dan mengitari
lapangan. Di sana, di seberang, tampak rumah pohon Courtney.
Rumah itu tampak seperti kotak kayu besar, bertengger di dahan terendah pohon ek
tua. Tangga tali menghubungkannya dengan tanah.
Di mana mereka" Courtney dan Denise"
Aku tak bisa melihat mereka.
Aku maju beberapa langkah, menyibakkan ilalang tinggi,
sambil maju mendekat. "Oh," gumamku ketika bahuku tertusuk sesuatu. Aku menunduk
dan dengan hati-hati mencabut dua duri
tanaman dari lengan baju kausku.
Lalu aku berjalan lagi, berusaha tak bersuara ketika semakin
mendekati rumah pohon itu.
Aku berhenti waktu mendengar suara-suara. Suara anak
perempuan. Lalu kulihat Courtney dan Denise. Mereka berada tepat di
depanku, berjalan di hutan.
Aku merunduk di balik serumpun semak rimbun.
Mereka hanya beberapa meter di depanku. Apakah tadi mereka
melihatku" Tidak. Mereka sedang asyik berbicara, berdebat sengit. Kuamati
mereka dari balik semak. Mereka mengenakan blus biru dan celana pendek putih.
Serupa. Mereka berjalan pelan-pelan ke arah lain sambil kadang-kadang
mencabuti ilalang dan bunga liar. Bagus! pikirku. Ini sempurna!
Aku tahu inilah harinya! Aku berbalik dan cepat-cepat pergi tanpa bersuara. Aku tak
sabar ingin segera kembali ke teman-temanku.
Kutemukan mereka di tempat yang sama, masih mengerumuni
Buttercup. "Buttercup, lakukan tugasmu!" teriakku girang sambil menyeringai dan
melambai-lambai ketika berlari ke arah mereka.
"Maksudmu mereka ada di sana?" tanya Hat terkejut.
"Mereka ada di sana," kataku terengah-engah, "menunggu ditakut-takuti."
"Bagus!" seru Molly dan Charlene. Charlene berusaha menarik Buttercup supaya
berdiri. "Tunggu," kataku. Kusambar kantong kertas cokelat dari Hat.
"Sebelum Buttercup bangun, pakaikan ini dulu."
Kukeluarkan kaleng krim cukur yang kubawa tadi.
"Untuk apa itu?" tanya Hat.
"Kukira sebaiknya kita oleskan krim cukur di sekeliling
mulutnya," kataku menjelaskan. "Tahu, kan. Supaya mulutnya kelihatan berbusa.
Anjing gila selalu berbusa mulutnya. Kalau mereka melihat ada anjing menggeram-
geram dan menyerang mereka dengan mulut berbusa, Courtney dan Denise bisa
pingsan ketakutan!" "Bagus sekali!" teriak Molly, ditepuknya punggungku. "Itu baru benar-benar
hebat!" Semua orang memujiku. Harus kuakui, kadang-kadang aku
memang punya ide-ide hebat.
Buttercup bangun dengan susah payah. Ia mulai menarik-narik
Charlene ke arah lapangan.
"Biarkan dia mendekati mereka dulu," bisik Charlene keras, sementara anjingnya
yang besar berjalan cepat di antara pepohonan, menyeretnya. "Setelah itu baru
kita semirkan krim tadi dan melepaskannya.'!
Molly, Hat, dan aku mengikutinya. Tak lama kemudian, kami
sampai di tepi lapangan. Kami berhenti di balik semak-semak tinggi dan rimbun
lalu berjongkok. Di sana kami sama sekali tidak tampak.
Courtney dan Denise sudah berada di lapangan. Mereka berdiri
di rumput tinggi, bersedekap, kepala mereka bergerak-gerak ketika berbicara.
Kami bisa mendengar gumaman suara mereka, tapi tidak cukup
dekat untuk mendengar apa yang mereka katakan. Di belakang
mereka, kami bisa mendengar arus sungai mengalir melewati dasarnya yang
berlumpur. "Sekarang saatnya, Buttercup," bisik Charlene sambil membungkuk untuk melepaskan
anjing itu. Ia berbalik menatap kami.
"Begitu dia lari ke lapangan, aku akan mulai bersiul."
Kupegang kaleng krim cukur dan kusemprotkan segumpal besar
busa putih ke telapak tanganku.
Tiba-tiba aku mendengar suara di pepohonan di belakang kami.
Suara berdesir dan berderak. Ada yang berlari menginjak
dedaunan dan ranting kering. Tampak seekor tupai di celah di antara semak-semak.
Buttercup juga melihatnya. Ketika aku sedang membungkuk
dan mengulurkan tangan untuk mengoleskan krim cukur ke mulutnya, anjing besar
itu melarikan diri. Aku jatuh tersungkur. Aku mengangkat kepala tepat ketika anjing itu lari ke arah
pepohonan, mengejar-ngejar tupai tadi.
Ketiga temanku sudah berdiri. "Buttercup! Buttercup!
Kembali!" teriak Charlene.
Aku bangun dengan susah payah. Bagian depan kausku penuh
dengan krim cukur. Tidak kupedulikan. Aku berbalik dan lari
mengejar mereka. Mereka sudah agak jauh di depanku. Aku tak bisa melihat
mereka lagi. Tapi bisa kudengar Charlene berteriak-teriak, "Buttercup!
Kembali! Buttercup - di mana kau?"
Chapter 17 AKU lari secepat mungkin dan berhasil menyusul teman-
temanku. "Ma - mana Buttercup?" tanyaku terengah-engah.
"Kurasa di suatu tempat di sebelah sana," jawab Charlene, ditunjuknya serumpun
pepohonan. "Tidak. Kurasa aku mendengarnya di sebelah sana," kata Hat, ditunjuknya arah
yang berlawanan. "Kita takkan kehilangan dia," kataku susah payah berusaha menenangkan napas.
"Dia terlalu besar."
"Aku tak tahu dia bisa lari secepat itu," kata Charlene muram.
"Dia betul-betul ingin menangkap tupai itu."
"Apa dia tidak tahu dia punya tugas?" tanya Molly, sambil mencari-cari di antara
pepohonan. "Me-mestinya tadi tidak kulepaskan talinya," ratap Charlene.
"Sekarang kita takkan bisa menangkap anjing besar goblok itu."
"Pasti bisa," jawabku, berusaha terdengar riang. "Dia akan kembali begitu
tupainya kabur." Tanah dan dedaunan kering menempel pada krim cukur ketika
aku tersungkur tadi. Sekarang di kausku jadi ada noda hitam besar.
Kuhapus dengan tangan, sementara mataku mencari-cari Buttercup di dalam hutan.
"Sebaiknya kita berpencar," kata Charlene. Ia kelihatan bingung sekali. "Kita
harus menemukannya sebelum terjadi sesuatu padanya.
Dia tidak biasa berada di hutan."
"Mungkin dia ada di tepi sungai," kata Molly sambil
membetulkan letak kacamatanya. Di rambutnya ada ranting. Kuambil.
"Berhentilah bicara dan cari dia," kataku tak sabar. "Mungkin kita masih bisa
menakut-nakuti Courtney dan Denise dengan
menggunakan Buttercup."
Di kelompokku selalu aku yang paling optimis.
"Kita cari dia saja dulu," gumam Charlene. Wajahnya tegang dan cemas. "Kalau
terjadi sesuatu pada Buttercup..." Ia terlalu panik untuk menyelesaikan
kalimatnya. Kami berpisah. Aku pergi mengikuti jalan setapak yang menuju
sungai. Aku mulai berlari-lari kecil, kudorong dahan-dahan pohon pendek sambil
mengikuti jalan setapak yang berkelok-kelok.
"Buttercup! Buttercup!" bisikku keras-keras.
Bagaimana anjing goblok itu bisa membuat keadaan kami jadi
kacau begini" Bagaimana ia bisa begitu seenaknya"
"Aw!" Pergelangan tanganku tertusuk duri tajam ketika aku lari melewati semak
bramble besar. Aku berhenti dan memeriksa lukaku dengan napas terengah-engah.
Tampak setetes darah segar di
pergelangan tanganku. Tak kupedulikan luka itu dan kuteruskan pencarianku.
"Buttercup! Buttercup?"
Sekarang aku tahu pasti, aku sudah di dekat sungai. Tapi tidak terdengar suara
air. Apakah aku mengikuti jalan setapak yang benar" Jangan-jangan
tadi aku sempat berbelok"
Aku mulai lari lebih kencang, melompati batang pohon
tumbang, menerobos ilalang tinggi. Sekarang tanah terasa lembek dan berawa.
Ketika berlari, sepatuku terbenam ke dalam lumpur lembek.
Bukankah mestinya di depan ada lapangan"
Bukankah mestinya sungai berada di sisi lapangan sebelah sini"
Aku berhenti, membungkuk, napasku tersengal-sengal,
tanganku bertumpu di lutut.
Ketika mengangkat kepala, aku tahu aku tersesat.
Aku mendongak untuk mencari matahari. Mungkin aku bisa
merasakan arah lagi. Tapi pepohonannya terlalu rapat. Hanya tampak sedikit sinar
matahari. "Aku tersesat," kataku keras-keras, aku lebih merasa terkejut daripada
ketakutan. "Aku tidak percaya. Aku tersesat di hutan.
Aku berbalik, mencari-cari sesuatu yang pernah kulihat.
Pepohonan langsing berbatang putih hampir seperti pagar tebal di belakangku.
Pepohonan yang lebih gelap mengurungku di ketiga sisi lainnya.
"Hei - ada yang bisa mendengarku?" teriakku.
Suaraku terdengar melengking dan ketakutan.
"Ada yang bisa mendengarku?" tanyaku lagi, kupaksa diriku berteriak lebih keras.
Tak ada jawaban. Seekor burung berkaok-kaok di atas. Kudengar suara sayap
dikepakkan. "Hei, Hat! Molly! Charlene!" Kupanggil nama mereka beberapa kali.
Tak ada jawaban. Punggungku terasa dingin. "Hei, aku tersesat!" teriakku. "Hei -
teman-teman!" Lalu kudengar suara langkah kaki di kiriku.
Langkah kaki yang berat. Mendatangiku dengan cepat.
"Hei, teman-teman - kaliankah itu?" teriakku, sambil
mendengarkan. Tak ada jawaban. Suara langkah kaki yang berat itu semakin
mendekat. Kupandangi pepohonan yang gelap.
Kudengar suara burung lain berkaok-kaok. Suara sayap
mengepak lagi. Suara langkah kaki berat. Dedaunan kering berderak.
"Buttercup - kaukah itu" Hei - Buttercup?"
Pasti anjing itu. Aku maju beberapa langkah mendekati suara
itu. Aku berhenti ketika anjing itu kelihatan.
"Buttercup?" Bukan. Aku terkesiap menatap mata merah manyala itu. Anjing lain.
Anjing besar yang tampak jahat, hampir setinggi kuda poni, bulunya hitam licin.
Ia merundukkan kepala dan menggeram padaku, mata
merahnya berkilat marah. "Cup, cup, anjing manis," kataku lemah. "Anjing manis."
Ditampakkannya giginya dan menggeram seram. Lalu ia mulai
berlari, dan sambil menggeram marah, menerkam leherku.
Chapter 18 "Hei!" Terdengar suara terkejut dari belakangku. Anjing yang menggeram-geram itu
seperti berhenti di udara.
Dengan mata tetap menyala seperti batu bara panas, ia mendarat di atas keempat
kakinya. "Hei - pergi!" teriak suara itu.
Aku berbalik dan melihat Hat berlari ke arahku, sambil
mengayun-ayunkan tongkat panjang. "Pergi kau!" teriak Hat.
Anjing itu merundukkan kepala dan menggeram, matanya
masih menatapku. Ia mundur dengan enggan, ekornya yang hitam
licin terselip di antara kakinya yang besar. Ia mundur selangkah. Lalu selangkah
lagi. "Pergi!" teriakku. "Pergi!"
Aku tak tahu apakah karena kami sekarang berdua atau karena
tongkat yang diayun-ayun Hat - tapi makhluk raksasa itu tiba-tiba berbalik dan
melompat masuk hutan. "Oh, wow," erangku. "Wow. Wow. Nyaris saja." Tiba-tiba kusadari aku sudah
menahan napas sejak tadi, dadaku sampai sakit.
Kuembuskan napas kuat-kuat.
"Kau baik-baik saja?" tanya Hat.
"Yeah, rasanya," kataku gemetar. "Terima kasih, kau telah menyelamatkan
hidupku." Hat menatap pepohonan tempat anjing tadi menghilang. "Tadi itu anjing atau
kuda?" teriaknya. "Ia kelihatan jahat juga, ya?"
Aku mengangguk. Tenggorokanku tiba-tiba terasa sangat
kering. Sulit rasanya berbicara. Aku tahu pasti aku akan dihantui mimpi buruk
tentang makhluk buas yang menggeram-geram.
Goosebumps - Percuma Menakut-nakutiku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kautemukan Buttercup?" tanyaku akhirnya.
Hat menendang batang pohon roboh. Ia menggeleng. "Tidak.
Belum. Charlene jadi agak kacau."
"A-aku tahu perasaannya," kataku tergagap. Kulirik pepohonan.
Entah kenapa, aku merasa melihat anjing hitam besar tadi mengejarku lagi.
Tapi ternyata cuma angin yang menggoyang dedaunan.
"Sebaiknya kita kembali," kata Hat sambil menendang batang pohon itu untuk
terakhir kalinya. Kuikuti ia berjalan di jalan setapak. Jalan itu membelok, lalu menuruni bukit.
Makhluk-makhluk kecil membuat dedaunan kering di kaki kami berderak. Bajing
tanah; pikirku. Tidak kupedulikan. Aku masih dibayang-bayangi monster besar
yang menggeram-geram tadi, masih terbayang-bayang betapa
nyawaku nyaris melayang tadi.
Sesaat kemudian kami tiba di tempat Molly dan Charlene.
Mereka tampak sengsara sekali.
"Apa yang akan kita lakukan?" ratap Charlene. Tangannya terkepal di dalam saku
jins-nya. Kelihatannya ia akan menangis. "Aku tak bisa pulang tanpa Buttercup!"
ratapnya. "Tidak bisa!"
"Pasti anjingmu sudah pulang," kata Molly. "Pasti anjing goblok itu sudah ada di
rumah." Wajah Charlene sedikit cerah. "Menurutmu begitu" Menurutmu dia tidak tersesat di
hutan?" "Anjing takkan tersesat," kataku. "Cuma orang yang bisa tersesat."
"Betul," kata Hat setuju. "Anjing bisa mengetahui arah dengan baik. Mungkin
Buttercup ada di rumah."
"Ayo kita lihat," desak Molly, sambil memegang bahu
Charlene. "Bagaimana kalau dia tak ada di sana?" desak Charlene memelas. "Kalau begitu
bagaimana?" "Kita telepon polisi dan minta mereka membantu mencarinya,"
kata Molly. Jawaban itu tampaknya memuaskan Charlene. Dengan muram
kami berempat berjalan terseret-seret keluar dari hutan.
Kami baru saja keluar dari balik pepohonan dan menuju ke
jalan ketika Courtney dan Denise kelihatan.
Mereka berdiri di pinggir jalan. Bersama dua ekor anjing.
Buttercup berdiri di sebelah Courtney. Anjing besar hitam tadi duduk di sisi
lainnya. "Hai!" panggil Courtney ketika kami lari mendatangi mereka.
"Anjing-anjing ini punya kalian?" Aku langsung berhenti dan memandang tak
percaya. Dengan manis Buttercup menjilati tangan Courtney. Anjing
hitam besar tadi menjilati tangan Courtney yang lain.
"Anjing Saint Bernard itu punyaku!" seru Charlene senang.
"Seharusnya kaupegangi terus talinya," kata Courtney. "Dia benar-benar tersesat
ketika kutemukan tadi." Diserahkannya tali Buttercup pada Charlene.
Charlene mengucapkan terima kasih.
"Anjing yang satu lagi ini manis, ya?" kata Courtney. Ia membungkuk dan mencium
monster hitam besar itu. Saat itulah aku memutuskan untuk menyerah. Tak mungkin,
pikirku. Tak ada cara - tidak ada - untuk menakut-nakuti Courtney.
Sudah saatnya mengaku kalah, kataku dalam hati. Aku tak tahu
betapa sebentar lagi keadaan akan menjadi sangat menakutkan.
Chapter 19 TANGAN-TANGAN dingin, sedingin tangan orang mati,
melingkari leherku. Aku menjerit. Charlene tertawa. "Eddie, kenapa sih kau ini" Agak tegang?"
"Kenapa tanganmu dingin sekali?" tanyaku sambil menggosok-gosok leher.
Diangkatnya kaleng Coke. "Baru saja kuambil dari kulkas."
Semuanya menertawakan aku.
Kami berempat sedang duduk-duduk di dapur Charlene
beberapa hari kemudian, berusaha memutuskan langkah selanjutnya.
Saat itu pukul 20.30 Kamis malam. Kami bilang pada orangtua, kami sedang belajar
bersama untuk menghadapi ujian akhir matematika.
"Kupikir sebaiknya kita menyerah saja," kataku muram. "Kita tak bisa menakut-
nakuti Courtney. Tidak bisa..."
"Eddie , betul," kata Hat. Ia duduk di sebelah Molly di sofa kulit cokelat. Aku
berselonjor di kursi besar di depan mereka.
Charlene duduk di karpet putih berbulu.
"Pasti ada caranya," kata Charlene bersikeras. "Courtney bukan robot, kan. Dia
pasti bisa ketakutan juga!"
"Aku tak yakin," kataku menggeleng.
Tepat pada saat itu Buttercup melangkah masuk, ekornya
berkibas-kibas. Ia berjalan mendekati Charlene dan mulai menjilati lengannya.
"Keluarkan pengkhianat itu dari sini!" bentakku. Buttercup mengangkat kepala dan
lama menatapku dengan matanya yang
cokelat memelas itu. "Kaudengar aku, Buttercup," kataku dingin.
"Kau pengkhianat."
"Dia kan cuma anjing," bela Charlene. Ditariknya makhluk berbulu itu supaya
duduk di sebelahnya di karpet.
"Kelihatannya anjing-anjing menyukai Courtney," kata Molly.
"Ular dan tarantula juga suka padanya," kataku pahit. "Tidak ada yang ditakuti
Courtney. Tidak ada."
Tiba-tiba wajah Molly kelihatan usil sekali. "Mau lihat sesuatu yang benar-benar
menakutkan?" tanyanya. Ia mengulurkan tangan ke sisi lain sofa dan menarik topi
Hat sampai terlepas dari kepalanya.
"HIII!" kami bertiga berteriak serentak. "Menakutkan!"
Rambut Hat yang hitam menempel di kepalanya.
Kelihatannya seperti kayu. Di dahinya ada garis merah tua
melintang bekas topinya. "Hei!" Hat berteriak marah. Disambarnya topi itu lagi dan dipakainya.
"Kau tidak pernah keramas, ya?" seru Charlene.
"Buat apa?" balas Hat. Ia bangun dan berjalan ke cermin supaya bisa mengatur
letak topi seperti yang diinginkannya.
Kami membicarakan cara menakut-nakuti Courtney beberapa
saat lagi. Kami lumayan tertekan juga gara-gara masalah ini. Kami jadi tak bisa
memikirkan ide-ide bagus.
Pukul 21.00 lebih sedikit, ibuku menelepon dan menyuruhku
pulang. Jadi kuucapkan selamat malam pada teman-temanku dan
keluar. Hampir seharian tadi hujan. Sekarang udara terasa sejuk dan
lembap. Halaman-halaman depan basah berkilau disinari cahaya pucat dari lampu
jalanan. Rumahku berada di jalan yang sama, empat blok dari rumah
Charlene. Seandainya tadi aku membawa sepeda. Aku tidak suka jalan seorang diri
malam-malam begini. Beberapa lampu jalanan ada yang mati. Seram juga.
Oke, oke. Kuakui aku jauh lebih mudah ditakut-takuti daripada
Courtney. Tangan dingin di tengkukku saja sudah cukup membuatku.
terlonjak. Mungkin, itulah yang sebaiknya kami coba pada Courtney;
pikirku sambil menyeberang dan berjalan di blok berikut. Tangan sedingin es di
tengkuknya.... Aku melewati lapangan kosong berbentuk segi empat panjang
yang penuh ilalang tinggi dan semak-semak rimbun. Dari sudut mata kulihat ada
yang bergerak di sepanjang tanah.
Bayangan yang melesat, tampak hitam dengan latar belakang
tanah yang kuning-kelabu.
Ada yang menerobos ilalang tinggi menuju arahku.
Aku menelan ludah, tenggorokanku menegang. Aku segera lari.
Bayangan itu menyelinap ke arahku.
Kudengar erangan pelan. Cuma suara angin" Tidak. Terlalu mirip suara manusia.
Erangan lagi, sekali ini lebih mirip tangisan. Pepohonan mulai bergoyang dan
berbisik. Bayang-bayang hitam meluncur cepat ke arahku. Dengan
jantung berdebar-debar, aku segera lari.
Kuseberangi jalan dan terus berlari.
Tapi bayang-bayang itu mengurungku. Semakin gelap. Seperti
akan menyelubungiku. Aku tahu aku takkan pernah sampai ke rumah.
Chapter 20 AKU berlari secepat mungkin. Pagar-pagar tanaman dan
pepohonan gelap tampak mengabur. Sepatuku keras memukul-mukul
trotoar basah. Kurasakan darah berdenyut-denyut di pelipisku ketika rumahku
mulai tampak. Cahaya kuning lampu teras membuat halaman depan
berkilau terang. Hampir sampai, pikirku. Hampir sampai. Kumohon biarkan aku
sampai ke rumah. Beberapa detik kemudian, aku berlari membelok ke jalan
masuk. Secepat kilat kulewati teras depan, bagian samping rumah, dan menuju
pintu dapur. Dengan sisa-sisa tenaga kudorong pintu itu dengan bahuku.
Aku menyerbu masuk ke dapur, kubanting pintu, dan kukunci.
Dengan napas terengah-engah, dada naik-turun, tenggorokan
kering dan sakit, lama aku berdiri dan bersandar pada pintu dapur, berusaha
menenangkan diri. Tak perlu waktu lama untuk menyadari bahwa sebetulnya tak
ada yang mengejarku. Aku tahu itu semua cuma khayalanku.
Ini sudah pernah terjadi.
Sering. Kenapa aku begitu penakut" pikirku. Sekarang perasaanku
mulai normal kembali karena sudah sampai di rumah dengan selamat.
Dan sambil berdiri di dapur yang kosong, menunggu debaran
jantungku mereda, aku menyadari kesalahanku dan teman-temanku.
Aku sadar kenapa kami belum juga bisa menakut-nakuti Courtney.
"Eddie, kaukah itu?" seru Mom dari ruang duduk.
"Yeah. Aku sudah pulang," seruku lagi. Aku bergegas melewati ruang tengah dan
menjulurkan kepala ke ruang duduk. "Aku harus menelepon," kataku pada Mom.
"Tapi kau kan baru sampai - " kata Mom.
Aku sudah naik setengah tangga. "Cuma sekali!" teriakku.
Aku berlari ke kamarku. Kusambar telepon, dan kutelepon
Charlene. Diangkatnya setelah dering kedua. "Halo?"
"Selama ini kita salah!" kataku terengah-engah.
"Eddie" Kau sudah sampai di rumah" Kau lari terus, ya?"
"Selama ini kita salah," kataku lagi, tidak kupedulikan pertanyaannya. "Kita
harus menakut-nakuti Courtney pada malam hari! Malam hari! Bukan siang-siang.
Semua terasa lebih menakutkan di malam hari!"
Sepi sejenak. Charlene pasti sedang memikirkan ucapanku.
Akhirnya ia berkata, "Kau betul, Eddie. Semua memang terasa lebih menakutkan
pada malam hari. Tapi kita tetap belum punya satu pun ide bagus."
"Yeah, kau betul," kataku mengakui.
"Kita tak bisa menerkam Courtney begitu saja dalam kegelapan dan berteriak
'Buuu!'" kata Charlene.
Charlene benar. Malam hari jelas merupakan saat yang tepat
untuk menakut-nakuti Courtney. Tapi kami perlu ide. Ide yang benar-benar bagus
dan menakutkan. Anehnya; esok paginya Courtney sendirilah yang memberikan
ide padaku. Chapter 21 KAMI mendiskusikan monster dalam rapat pagi. Setiap hari
sebelum pelajaran dimulai, kami mengadakan rapat pagi. Kami
berkumpul di ujung kelas. Mr. Melvin bersandar di papan tulis atau duduk di
kursi kecil berkaki tiga. Dan kami mendiskusikan segala macam masalah.
Sebetulnya yang berdiskusi hanya tiga atau empat anak yang
itu-itu saja. Yang lain hanya duduk-duduk dan pura-pura
mendengarkan, sementara kami setengah mati berusaha tetap
terbangun. Tentu saja Courtney termasuk yang paling banyak bicara. Ia
selalu unggul dan bersemangat, meskipun pagi-pagi begini. Dan ia tak pernah
takut mengemukakan pendapatnya mengenai apa pun. Hari ini, Mr. Melvin
menceritakan pada kami bahwa manusia sejak dulu selalu percaya monster itu ada.
"Manusia memiliki kebutuhan untuk menciptakan monster," katanya. "Hal itu
membantu kita untuk mempercayai bahwa dunia nyata tidaklah menakutkan seperti
itu. Dunia nyata tidaklah sama menakutkannya dengan monster yang bisa kita impikan."
Lama juga beliau mengoceh seperti itu. Kurasa tak ada yang
benar-benar mendengarkannya. Lagi pula masih pagi
"Ada banyak sekali legenda, mitos, cerita, dan film tentang monster," kata Mr.
Melvin. "Tapi tak ada yang pernah membuktikan bahwa monster benar-benar ada.
Sebab utamanya karena monster
hanya ada dalam khayalan kita."
"Itu tidak benar," tukas Courtney. Ia selalu bicara tanpa mengangkat tangan
terlebih dahulu. Ia tidak peduli apakah ia
memotong perkataan orang atau tidak.
Alis Mr. Melvin yang hitam lebat terangkat di dahinya yang
berkilat. "Kau punya bukti monster benar-benar ada, Courtney?"
tanyanya. "Courtney itulah monsternya," bisik seseorang di belakangku.
Kudengar beberapa anak cekikikan.
Aku duduk di pinggir jendela. Cahaya matahari pagi dari balik
jendela terasa hangat di punggungku. Molly duduk di sebelahku, berusaha
melepaskan permen karet dari kawat giginya.
"Paman saya ilmuwan," kata Courtney. "Dia bilang Monster Loch Ness di Scotlandia
benar-benar ada. Monster itu hidup di danau besar itu dan bentuknya seperti naga
laut. Orang-orang pernah memotretnya." "Foto-foto itu bukanlah bukti - " kata Mr. Melvin.
Tapi Courtney terus berbicara. Ia tak pernah berhenti sampai
selesai mengucapkan semua yang ingin diucapkannya. "Paman saya bilang Bigfoot
juga benar-benar ada. Dia pernah melihat foto-foto jejak kaki Bigfoot, yang
diambil di Pegunungan Himalaya."
Terdengar bisikan-bisikan di kelas. Kulirik Hat yang duduk di
lantai di tengah-tengah ruang rapat. Ia membelalakkan matanya
padaku. "Monster bukan cuma khayalan manusia," kata Courtney menyimpulkan. "Monster
benar-benar ada. Banyak orang terlalu takut untuk mengakuinya."
"Itu teori yang sangat menarik," kata Mr. Melvin sambil menggaruk-garuk leher.
"Ada yang sependapat dengan Courtney"
Siapa di antara kalian yang percaya monster itu ada?"
Beberapa anak mengangkat tangan. Aku tak tahu Berapa orang.
Aku asyik dengan pikiranku sendiri. Courtney percaya monster itu ada, kataku
dalam hati. Ia benar-benar percaya monster memang ada.
Pelan-pelan muncul ide di pikiranku.
Monster... monster.... Monster di malam hari. Dalam kegelapan....
Berkat Courtney, aku mendapat rencana sempurna untuk
menakut-nakutinya. Rencana sempurna yang harus berhasil.
Chapter 22 KUMINTA Kevin membantuku dan ia menolak. Jadi kuajak
Hat, Molly, dan Charlene untuk merayunya. "Coba kuulangi lagi,"
kata Kevin sambil menatap kami dengan dahi berkerut. "Kalian ingin aku dan kedua
temanku mengenakan kostum Monster Lumpur kami
dan menakut-nakuti beberapa anak perempuan di dalam hutan?"
"Bukan beberapa anak perempuan," kataku tak sabar.
"Courtney."
Goosebumps - Percuma Menakut-nakutiku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia pantas ditakut-takuti," tambah Charlene cepat-cepat.
"Betul. Dia yang minta."
Hari itu Sabtu siang. Kami berdiri di halaman belakang
rumahku. Kevin sedang memegang slang taman. Hari Sabtu ia punya banyak tugas di
kebun. Ia bermaksud menyirami tanaman.
"Videonya sudah selesai," kata Kevin, sambil mengencangkan mulut slang. "Aku
senang tidak perlu memakai kostum dan
mengenakan semua riasan berlepotan itu lagi."
"Tolonglah!" kataku memohon.
"Pasti asyik," kata Hat pada Kevin. "Pasti lucu sekali."
Kevin memutar mulut slang, tapi airnya tidak keluar.
"Slangnya berbelit," kataku menunjuk. "Biar kuluruskan." Aku membungkuk dan
segera meluruskan slang. "Courtney dan temannya, Denise, punya rumah pohon di hutan di pinggir Muddy
Creek," kata Charlene pada Kevin.
"Aku tahu," kata Kevin. "Kami membuat video kami di sana.
Kami menggunakan rumah pohon itu. Para Monster Lumpur naik ke
sana untuk membunuh seseorang. Asyik sekali."
"Bagus!" seru Molly. "Bagaimana kalau diulang?"
"Tolonglah!" kataku memohon. Sejak mendapat ide ini, sudah sering sekali aku
memohon-mohon pada Kevin.
"Jadi kalian ingin kami bertiga menunggu di hutan malam-
malam, kan?" tanya Kevin.
Kuluruskan slang. Air menyembur membasahi sepatu Hat.
Ia melompat mundur sambil berteriak terkejut. Kami semua
tertawa. "Maaf," kata Kevin, diarahkannya air ke tanaman. "Tidak sengaja."
"Yeah. Kau dan teman-temanmu menunggu di hutan. Lalu
kalau sudah benar-benar gelap, kau keluar dan menakut-nakuti
Courtney sampai mati!"
"Maksudmu kami mengeluarkan suara-suara aneh dan berjalan terhuyung-huyung
dengan lumpur bertetesan dan pura-pura
mengejarnya?" tanya Kevin.
"Betul," kataku bersemangat. Aku tahu ia mulai tertarik.
"Bagaimana caranya kau membuatnya berada di rumah pohon
malam-malam?" tanya Kevin.
Pertanyaan bagus. Aku belum memikirkannya.
"Aku yang akan membuatnya berada di sana," kata Molly tiba-tiba. Sepanjang siang
tadi ia diam saja. "Kau akan berpura-pura jadi Denise?" tanyaku. "Yang dulu kan tidak berhasil."
"Sekali ini aku tak perlu jadi Denise," kata Molly misterius.
"Jangan takut. Akan kubuat dia pergi ke sana." Kevin mengangkat slang sampai
semburan air mengenai bagian samping rumah. Ia
memunggungi aku. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
"Bagaimana" Kau mau melakukannya?" tanyaku, siap
merengek dan memohon-mohon lagi. "Kau mau mengajak teman-
temanmu membantu juga?"
"Apa imbalannya?" tanya Kevin tanpa berbalik.
"Uh..." Aku cepat-cepat berpikir. "Aku akan jadi pelayanmu serama seminggu,
Kevin," kataku. "Akan kukerjakan semua tugas tamanmu. Akan kupangkaskan rumput.
Akan kusirami bunga dan menyiangi rumput. Dan... aku akan mencuci piring setiap malam. Dan aku akan
membersihkan kamarmu."
Ia berbalik dan memicingkan mata menatapku. "Jangan main-
main," gumamnya. "Tidak. Betul!" kataku bersikeras. "Aku benar-benar akan jadi pelayanmu.
Seutuhnya! Selama seminggu penuh."
Dimatikannya keran. Air mendesis, lalu pelan-pelan menetes.
"Bagaimana kalau sebulan?" tanyanya.
Wow. Sebulan kan lama. Selama sebulan mengerjakan semua
tugas Kevin dan siap melaksanakan setiap perintahnya. Sebulan
penuh.... Apa sebanding" Sebandingkah kalau aku menjadi pelayan yang
memelas dan bekerja keras selama sebulan hanya untuk menakut-
nakuti Courtney" Tentu! "Oke," kataku. "Sebulan."
Ia menyeringai dan menyalami aku. Tangannya basah karena
tadi memegangi slang. Diserahkannya slang itu padaku. "Ambil, pelayan," perintahnya.
Kuambil slang itu. Air menetes-netes ke bagian depan jins-ku.
"Kapan kau ingin ketiga Monster Lumpur muncul?" tanya Kevin. "Kapan kau mau
menakut-nakuti Courtney?"
"Besok malam," jawabku.
Chapter 23 AKU tak tahu pasti bagaimana legenda tentang Monster
Lumpur mulai muncul. Aku pertama kali mendengarnya dari anak lain waktu aku
masih kecil. Anak itu berusaha menakut-nakuti aku, dan ia cukup berhasil.
Legenda itu mengisahkan tentang beberapa penduduk pertama
kota kami yang dulu sangat miskin sehingga tak sanggup membangun rumah. Jadi
mereka mendirikan pondok-pondok kecil di hutan di
sepanjang tepi Muddy Creek.
Waktu itu sungainya jauh lebih besar, lebih dalam, dan lebih
lebar. Bukan cuma aliran air berlumpur seperti sekarang ini.
Orang-orang itu miskin dan rajin bekerja keras, dan tak lama
kemudian mereka sudah mendirikan desa di sepanjang sungai yang terdiri atas
pondok-pondok. Tapi orang-orang di kota memandang rendah mereka, dan sama sekali
tak mau membantu. Pegawai-pegawai pemerintah kota tidak mau membagi
persediaan air di kota dengan penduduk Muddy Creek. Pemilik-
pemilik toko tidak mengizinkan mereka membeli barang dengan
sistem kredit. Banyak penduduk Muddy Creek yang kelaparan dan jatuh sakit.
Tapi orang-orang kota tak mau membantu.
Semua ini terjadi lebih dari seratus tahun yang lalu. Bahkan
mungkin lebih lama lagi. Suatu malam, ada badai hebat. Hujan lebat dan angin ribut.
Sebelum penduduk Muddy Creek sempat lari menyelamatkan
diri, sungai itu pasang. Air sungai naik seperti gelombang pasang yang berisi
lumpur hitam kental. Lumpur itu menyapu seluruh desa. Mengubur semua pondok
dan penghuninya. Seperti lava dari gunung berapi, lumpur itu
menimbun semua yang ada di bawahnya.
Keesokan paginya, tak ada yang tersisa di desa itu. Sungai tetap mengalir,
tinggi di atas tepi yang berlumpur. Hutan sepi dan kosong.
Desa dan penduduknya lenyap.
Tapi tidak semuanya. Menurut legenda, sekali setahun waktu bulan purnama,
penduduk desa bangkit dari lumpur. Mereka menjadi monster,
setengah hidup dan setengah mati. Mereka Monster-monster Lumpur.
Dan sekali setahun Monster-monster Lumpur bangkit dari kuburan lumpur mereka
untuk menari di bawah sinar bulan - dan membalas
dendam pada penduduk kota yang tak mau membantu mereka.
Setahuku, begitulah legendanya.
Tentu saja, itu tidak benar. Tapi kurasa ceritanya bagus sekali.
Dan sudah berulang kali diceritakan dari satu generasi ke generasi berikut.
Cerita itu sudah menakuti banyak anak-anak. Termasuk aku.
Dan sekarang, Minggu malam ini, Kevin dan kedua teman
Monster Lumpur-nya akan menakut-nakuti Courtney, anak perempuan yang tak bisa
ditakut-takuti. *********************************
Pada pukul 19.00 lebih sedikit, Kevin berada di kamar mandi,
merapikan kostumnya. Wajah dan rambutnya berlumuran lumpur
jingga kecokelatan yang kental. Ia mengenakan kaus cokelat longgar dan jins
hitam baggy. Pakaiannya juga berlumuran lumpur.
Aku berdiri di pintu dan mengamati ketika ia menambahkan
gumpalan lumpur lagi ke rambutnya. "Hii. Kau kelihatan jorok sekali," kataku.
"Terima kasih, goblok," balasnya. "Kau sudah cuci piring?"
"Sudah," kataku bersungut-sungut.
"Dan sudah kauambil semua pakaian kotor dari kamarku dan
memasukkannya ke keranjang?"
"Sudah," gumamku.
"Sudah, "Tuan," katanya membetulkan. "Pelayan harus selalu sopan."
"Ya, Tuan," kataku mengulangi ucapannya. Ia benar-benar memeras tenagaku sejak
aku mau jadi pelayannya. Benar-benar tak bisa dipercaya betapa banyak tugas yang
disuruhnya untuk kulakukan!
Tapi sekarang saat yang kutunggu-tunggu semakin mendekat,
saat yang membuat bulan penuh pekerjaan membosankan bagiku ini terasa ada
gunanya. Kevin berbalik menatapku. "Bagaimana penampilanku?"
"Seperti seonggok lumpur," kataku.
Ia tersenyum. "Terima kasih." Kuikuti dia ke ruang depan.
Diambilnya kunci mobil di atas meja kecil. "Aku akan menjemput kedua temanku,"
katanya, sambil mengagumi penampilannya yang menjijikkan di cermin. "Setelah itu
kami akan mencari tempat persembunyian di hutan. Mau ikut?"
Aku menggeleng. "Tidak. Terima kasih. Aku harus pergi ke
rumah Molly dulu. Ada satu urusan kecil yang harus kami bereskan."
"Apa?" tanya Kevin.
"Membawa Courtney ke hutan," jawabku.
Chapter 24 "HAI, Eddie. Ada apa?" tanya ayah Molly.
Kami berada di dapur rumah Molly. Ayahnya membuka pintu
lemari es dan mengeluarkan sekaleng limun jahe. Lalu diperiksanya rak-rak di
lemari es, matanya memicing menatap cahaya lampu.
"Tak ada apa-apa, Dad," jawab Molly gelisah. "Eddie dan aku cuma main-main."
Ayahnya berpaling dari lemari es. "Kalian mau main Scrabble?"
"Tidak. Tidak mau, ah," jawab Molly cepat. "Jangan malam ini, oke?"
Kulirik jam dapur. Malam makin larut. Kami tak punya waktu
untuk mengobrol lama-lama dengan ayah Molly. Kami harus
membuat Courtney pergi ke hutan.
"Bagaimana kalau main kartu?" tanya ayahnya, kepalanya masuk lagi ke lemari es.
"Dari dulu kau minta kuajari main poker.
Malam ini aku tak banyak kerjaan, jadi - "
"Eddie dan aku harus membicarakan sesuatu," kata Molly.
"Dan... uh... kami harus menelepon beberapa teman."
Ayahnya tampak kecewa. Dikeluarkannya beberapa potong
daging dari lemari es dan membuat sandwich. "Kalian lapar?"
"Tidak," jawab Molly tidak sabar. Ditariknya aku ke ruang duduk.
"Molly, kita harus bergegas," bisikku.
"Tidak perlu kauberitahu," kata Molly datar. Didorongnya kacamatanya yang
melorot. "Ini. Kau bisa mendengarnya dari telepon ini, Eddie. Aku akan naik dan
menelepon Courtney."
"Apa yang akan kaukatakan" Kau tidak akan berpura-pura jadi Denise, kan?" Aku
mulai merasa sangat gelisah. Mestinya dari tadi kami menelepon Courtney.
Mestinya kami tidak menunggu sampai
saat-saat terakhir begini.
Molly tersenyum misterius padaku. "Lihat saja," katanya licik.
Ia lalu naik. Aku hilir-mudik di ruangan itu selama kira-kira satu menit,
memberi waktu bagi Molly untuk menelepon. Lalu dengan hati-hati kuangkat gagang
telepon dan kudekatkan ke telinga.
Molly sudah berhasil menghubungi Courtney. "Siapa ini?"
tanya Courtney. "Molly," itu jawabnya.
Aku menahan napas. Kenapa Molly mengatakan yang
sebenarnya pada Courtney"
"Hai, Molly. Ada apa?" tanya Courtney, suaranya terdengar terkejut. Ia dan Molly
bukan teman akrab. "Aku mendengar sesuatu yang kukira menarik bagimu," kata Molly cepat-cepat. "Aku
baru saja mendengar Monster-monster Lumpur malam ini diduga akan muncul di
sungai." Lama Courtney terdiam. Akhirnya ia berkata, "Ini lelucon, kan?"
"Bukan," jawab Molly cepat. "Aku benar-benar mendengarnya.
Mereka bilang sekarang bulan purnama, dan pada malam inilah
Monster-monster Lumpur bangkit setiap tahun."
"Molly, sudahlah," kata Courtney kasar. "Ayolah. Kenapa sih kau meneleponku?"
Ia tidak percaya, pikirku. Kucengkeram gagang telepon kuat-
kuat, tak bisa bernapas karena terlalu gelisah. Courtney tidak percaya.
Ide Molly gagal. "Yah, Courtney, di sekolah tadi kau bilang bahwa kau percaya monster benar-benar
ada," kata Molly. "Jadi waktu kudengar soal Monster Lumpur, kukira kau pasti
ingin sekali melihatnya."
"Dari mana kaudengar berita ini?" desak Courtney curiga.
"Dari radio," kata Molly berbohong. "Baru saja kudengar dari radio. Kata mereka
Monster-monster Lumpur malam ini akan bangkit di hutan ketika bulan purnama."
"Yah, kau saja yang pergi," kata Courtney dingin. "Kau bisa menceritakannya
padaku di sekolah hari Senin nanti."'
Oh, tidak, pikirku. Gagal. Gagal total. Seluruh rencana
berantakan. Abangku akan membunuhku!
"Yah, mungkin aku akan pergi," kata Molly pada Courtney, pantang menyerah.
"Maksudku, jarang-jarang kan bisa melihat monster asli. Tapi kalau kau takut,
Courtney, sebaiknya tinggal saja di rumah."
"Hah" Apa katamu barusan?" desak Courtney, suaranya jadi melengking.
"Kubilang," ulang Molly, "kalau kau takut, jelas sebaiknya kau menjauh saja dari
hutan." "Aku" Takut?" Suara Courtney melengking sampai nyaris hanya bisa didengar oleh
anjing. "Aku tak takut pada Monster Lumpur apa pun, Molly. Kutemui kau di sana
sepuluh menit lagi. Kecuali kalau kau takut."
"Tidak. Betul, kok. Tinggal saja di rumah," kata Molly pada Courtney. "Aku tak
mau bertanggung jawab. Kalau kau jadi panik dan terluka - "
"Sampai ketemu di sana," kata Courtney ketus. Ditutupnya telepon.
Beberapa detik kemudian Molly kembali ke ruang duduk sambil
tersenyum lebar. "Aku ini jenius, kan?" tanyanya.
"Kau jenius," jawabku. "Ayo pergi."
Chapter 25 AKU merinding ketika Molly dan aku mendekati hutan di
Muddy Creek. Udara terasa sejuk dan lembap. Awan hitam tipis
melayang menutupi bulan purnama, yang masih tergantung rendah di atas pepohonan.
"Ini mengasyikkan," kata Molly, matanya mengamati
pepohonan gelap di depan kami. "Aku tak percaya akhirnya kita akan menakut-
nakuti Courtney." "Aku juga tidak," kataku. "Aku hanya berpikir-pikir apa lagi yang bisa salah
sekali ini." "Tak ada," kata Molly meyakinkanku. "Berhentilah jadi pesimis begitu. Malam
inilah saatnya, Eddie."
Charlene dan Hat menunggu kami di tepi hutan.
Molly yang pertama melihat mereka dan melambai-lambai.
Kami berlari mendekat. "Kalian lihat abangku dan kedua temannya?" tanyaku, sambil-memandang ke arah
hutan gelap. "Tidak," jawab Hat.
"Tapi kami melihat Courtney," kata Charlene.
"Dia dan Denise bergegas-gegas pergi ke rumah pohon."
"Dia mengajak Denise?" teriakku. "Bagus! Kita takut-takuti juga si Denise!"
"Mereka melihatmu?" tanya Molly pada Charlene.
"Tidak," jawab Charlene. "Hat dan aku bersembunyi. Di sana."
Ditunjuknya serumpun semak lebat.
Hutan tiba-tiba tampak lebih terang. Aku mendongak dan
kulihat awan sudah tidak lagi menutupi bulan. Cahaya kuning pucat dan aneh
menyinari kami.
Goosebumps - Percuma Menakut-nakutiku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba pepohonan bergoyang ditiup angin. Kedengarannya
seperti berbisik di sekeliling kami. "Abangku dan teman-temannya pasti
bersembunyi di dekat sungai," kataku. "Ayo. Ayo pergi. Jangan sampai kita
ketinggalan saat pentingnya." Kami berjalan di antara pepohonan. Kami berusaha
tidak menimbulkan suara, tapi ranting dan daun kering ribut berderak-derak
terinjak sepatu kami. Aku terkesiap waktu mendengar erangan pelan. Erangan yang
sedih dan menyayat. Terdengar lagi.
Aku berhenti dan mendengarkan. Erangan lagi. "A-apa itu?"
bisikku tergagap. "Kedengarannya seperti burung. Merpati, mungkin," jawab Charlene.
Erangan lagi. Ya. Suara merpati, jauh di atas pohon.
"Hei, Eddie, kau sudah takut, ya?" desak Hat. Ditepuknya punggungku kuat-kuat.
"Kau harus tenang, Bung."
"Aku sudah tenang," gumamku. Aku malu karena panik hanya gara-gara merpati.
Untunglah karena gelap, mereka tak bisa melihatku merah padam.
Aku mengulurkan tangan dan memutar topi Hat, supaya aku
tidak memikirkan merpati tadi terus. "Hei!" teriak Hat, dengan marah ia
berbalik. "Ssst. Diam. Nanti Courtney dan Denise bisa mendengar kita,"
omel Molly. Kami cepat-cepat berjalan menuju rumah pohon. Hutan tampak
semakin gelap waktu kami berjalan pelan-pelan di bawah pepohonan yang berbisik-
bisik. Kami berjalan berdekatan. Tak ada yang berbisik ataupun bicara.
Aku mendengar erangan-erangan pelan lagi.
Kupaksa diriku untuk tidak memedulikannya. Takkan
kubiarkan lagi diriku ketakutan karena burung.
Rasanya sudah berjam-jam kami berjalan, meskipun sebenarnya
baru beberapa menit. Tenggorokanku terasa kering, dan lututku agak lemas.
Mungkin karena terlalu tegang.
"Oh!" Aku berteriak keras ketika tersandung sesuatu, akar pohon yang menonjol
atau batu. Aku jatuh terjerembap. "Aww!"
Hat dan Charlene cepat-cepat menarikku. "Kau baik-baik saja?"
bisik Charlene. "Yeah. Baik," gumamku sambil membersihkan diri. Aku jatuh menimpa siku kananku,
sakitnya bukan main. "Berhentilah menakut-nakuti kami," omel Charlene padaku.
"Aku tidak menakut-nakuti kalian," protesku. Sambil
mengusap-usap sikuku yang sakit, kuikuti mereka berjalan di jalan setapak.
Kami berhenti di tepi lapangan. Sambil tetap berada di bawah
kegelapan pepohonan, kami memandangi rumah pohon itu.
Rumah itu lebih mirip pelataran berdinding daripada rumah.
Maksudku, atapnya saja tidak ada. Courtney dan Denise duduk di dalamnya,
bersandar di satu dinding.
Cahaya bulan menerangi lapangan. Aku bisa melihat mereka
dengan jelas. Courtney sedang mengamati keadaan dengan teropong.
Denise sedang menyenter pepohonan. Di lehernya tergantung kamera.
Hebat, pikirku geli. Mereka selalu harus jadi ilmuwan
sempurna. Aku terkejut melihat mereka tidak membuat kertas kerja supaya bisa
memberi tanda pada tulisan Monster Lumpur ketika
melihatnya nanti. Di bawah kolom margasatwa!
Aku dan ketiga temanku berjongkok di balik serumpun ilalang
tinggi dan mengamati mereka. Courtney dan Denise terus berbicara sambil
mengamati dari atas dinding rumah pohon. Tapi aku tak bisa mendengar apa yang
mereka bicarakan. "Aku tak sabar lagi!" bisik Hat sambil membungkuk ke arahku.
Matanya yang hitam berkilat-kilat penuh semangat di bawah topinya.
Ia asyik mengunyah-ngunyah permen karet. "Mana abangmu?"
tanyanya. Mataku mengamati pepohonan yang berbaris di tepi sungai,
tepat di belakang lapangan. "Aku tidak melihatnya," bisikku pada Hat.
"Tapi dia dan teman-temannya pasti ada, entah di mana. Dan mereka akan keluar
sebentar lagi." "Lalu pertunjukan asyik akan dimulai," bisik Hat sambil menyeringai.
"Yeah," kataku setuju. "Lalu pertunjukan asyik akan dimulai."
Tapi aku ragu, takut. Di mana Kevin dan teman-temannya"
Di mana mereka" Lalu kulihat sesuatu bergerak di belakang rumah pohon di
pinggir lapangan. Chapter 26 KUCENGKERAM lengan baju Hat ketika melihat bayang-
bayang bergerak itu di dekat pohon. "Lihat!" bisikku, jantungku berdebar-debar.
Aku menunjuk ke seberang lapangan.
Tapi aku tak perlu menunjuk. Ia juga melihatnya. Kami semua
melihatnya. Courtney dan Denise sedang menghadap ke arah lain, mereka
tak sadar ada sesuatu terjadi di belakang mereka.
Aku melotot, menahan napas, sambil terus merunduk di balik
ilalang. Kulihat sosok gelap bergerak pelan ke arah rumah pohon.
Lalu kulihat sosok lain di belakangnya, yang tampak bangkit
dari lumpur. Sosok ketiga tampak berjalan terhuyung-huyung.
Ya! Tiga Monster Lumpur! Kevin dan teman-temannya telah datang untuk kami!
Courtney dan Denise masih belum melihat mereka. Courtney
bersandar di dinding rumah pohon, mengintai dengan teropong.
Denise menyorotkan senter ke arah lain.
Sekarang aku bisa melihat Kevin dan teman-temannya dengan
jelas. Mereka kelihatan hebat!
Kepala mereka tertutup lumpur basah dan hitam. Pakaian
mereka tampak robek-robek dan hancur.
Dengan lumpur menetes-netes, mereka maju terhuyung-huyung
seperti mayat hidup, dengan tangan terjulur.
Semakin dekat. Semakin dekat ke rumah pohon. Berbalik!
kataku dalam hati pada Courtney dan Denise.
Berbalik - dan mulailah menjerit sekuat tenaga!
Tapi Courtney dan Denise tetap tidak berbalik. Mereka sama
sekali tidak tahu bahwa tiga Monster Lumpur menjijikkan sedang mengendap-endap
di belakang mereka. Aku menoleh dan memandang ketiga temanku sekilas. Molly
dan Charlene kaku seperti patung, mulut mereka ternganga, mata mereka melotot,
menikmati pertunjukan. Hat tidak berkedip.
Mengamati penuh semangat. Menunggu.
Kami semua menunggu kedua korban kami menyadari
kedatangan Monster Lumpur.
Tiba-tiba, ketika sedang memandangi ketiga Monster Lumpur
yang terhuyung-huyung di lapangan itu, aku mendengar suara
gemeresik di belakangku. Suara ranting patah. Suara sepatu bergesekan dengan tanah.
Suara langkah kaki. Suara orang bergumam pelan.
"Hah?" Sambil terkesiap, aku berbalik.
Dan melihat tiga Monster Lumpur lain berdiri di belakang
kami! "Tidak!" Aku berusaha menjerit, tapi yang keluar hanya bisikan tertahan.
Hat, Molly, dan Charlene berbalik ketika ketiga Monster
Lumpur baru mendekat. Dan aku mengenali Kevin yang berdiri di tengah-tengah.
"K-Kevin!" aku tergagap.
"Maaf, goblok," bisik Kevin. "Ban mobilku tadi kempis.
Chapter 27 "KAMI terlambat, ya?" tanya Kevin. Aku tak menjawab. Tidak bisa.
Aku berbalik ke arah lapangan lagi. Ketiga Monster Lumpur
tadi berjalan terhuyung-huyung tepat di belakang rumah pohon. Mata mereka yang
terbenam mengintai dari balik lumpur basah yang
menetes-netes di wajah mereka.
Lalu kulihat lebih banyak lagi monster lumpur.
Kulihat tangan-tangan terjulur dari tanah. Kulihat kepala-kepala berlumpur
bermunculan. Semakin banyak tubuh bangkit tanpa suara dari dalam tanah yang
lunak. Sosok-sosok gelap, dengan lumpur kental bertetesan, bangkit
dan mulai berjalan terhuyung-huyung menyeberangi lapangan. Kaki mereka yang
tidak beralas menepuk-nepuk lumpur ketika mereka
berjalan. Sekarang jumlah mereka banyak sekali. Tubuh-tubuh yang
kurus, compang-camping, rusak, berlumuran lumpur, semua berjalan menuju rumah
pohon. Banyak sekali. Dan semakin banyak lagi,
bangkit dari tanah. "Lari!" jeritku sambil melompat dari balik ilalang. "Courtney!
Denise! Lari! Lari!"
Mereka ragu. Lalu akhirnya melihat monster-monster
mengerikan itu. Jeritan Courtney yang melengking membahana di antara
pepohonan. Ia menjerit ketakutan. Lagi. Dan sekali lagi. Ia dan Denise
sama-sama menjerit. Itu mestinya saat hebat bagi kami, saat kemenangan.
Tapi tidak. Kedua anak perempuan itu menjerit ketakutan. Lalu kusadari
kami semua menjerit. Dengan kaki membasahi tanah, Monster-monster Lumpur itu
maju terhuyung-huyung. Kulihat Courtney dan Denise melompat ke tanah. Lalu kulihat
mereka berlari sambil menjerit-jerit ketakutan.
Aku juga lari. Lari menerobos pepohonan gelap. Lari dari
hutan. Lari. Lari. Lari dari monster berlumuran lumpur yang kutahu
takkan pernah kulupakan, tak peduli seberapa jauh aku berlari.
******************************
Yah, itu semua terjadi dua minggu yang lalu. Dua minggu yang
terasa panjang. Kengerian sudah berakhir. Semuanya telah berlalu.
Tapi aku tetap tak ingin sering-sering pergi ke luar. Aku benar-benar tak suka
keluar rumah. Begitu juga teman-temanku.
Kemarin Kevin bertanya apa aku mau menonton video Monster
Lumpurnya. Sudah diedit dan diproses, katanya.
Kubilang tidak mau. Aku sama sekali tak mau menontonnya.
Sejak malam di hutan itu aku selalu gelisah dan tegang.
Teman-temanku juga gelisah dan tegang. Kami semua benar-
benar tertekan. Kecuali Courtney. Kau tahu apa yang dilakukan Courtney" Ia menyombongkan
diri pada semua orang bahwa ia betul. Di dunia ini memang ada
monster. Courtney menyombongkan diri pada semua orang bahwa ia
telah membuktikan bahwa monster benar-benar ada karena ia
melihatnya. Ia malah lebih parah daripada dulu.
Kami - aku dan teman-temanku - ingin sekali menakut-nakuti
Courtney. Kami ingin sekali menakut-nakuti Courtney habis-habisan.
Tapi tidak bisa. Kami terlalu takut. END
Pendekar Kedok Putih 2 Raja Naga 11 Pengadilan Rimba Persilatan Bila Pedang Berbunga Dendam 10
sehingga bolaku meluncur ke pagar tanaman.
Molly mengerutkan kening. Ia masih belum memaafkan aku
soal kejadian tarantula dulu itu meskipun sudah ribuan kali aku minta maaf.
Diluruskannya bagian bawah kaus kuning yang dikenakannya di atas celana pendek
Lycra hitam, dan bersiap-siap memukul bola.
"Kita perlu anjing yang benar-benar kelihatan galak," kata Molly. Dipukulnya
bola kuat-kuat. Bola itu tidak masuk gawang dan terpental ke pasak kayu.
"Kurasa anjingku, Buttercup (buttercup merupakan nama
sejenis bunga) bisa melakukannya," kata Charlene menawari, sambil menghela
napas. "Hah" Buttercup?" teriakku terkejut. "Jangan bercanda, Charlene. Buttercup kan
anjing besar dan manis. Lalat pun tak takut padanya."
Charlene tersenyum jahil. "Buttercup bisa melakukannya,"
ulangnya. "Oh, tentu," kataku sambil membelalakkan mata. "Dia galak sekali. Itu sebabnya
kauberi dia nama menyeramkan seperti
Buttercup." "Giliranmu," kata Molly padaku sambil menunjuk bolaku yang berada di dekat pagar
tanaman. "Permainan ini membosankan sekali," keluhku. "Kenapa sih ada yang suka?"
"Aku suka," kata Hat. Kedudukannya unggul.
Charlene menangkupkan kedua tangannya di depan mulut dan
berteriak, "Buttercup! Buttercup! Sini, anjing galak!"
Beberapa detik kemudian, anjing Saint Bernard besar itu
dengan lamban mendatangi kami dari samping rumah. Ekornya yang putih dan berbulu
lebat sibuk mengibas-ngibas, seluruh bagian
belakang badannya bergoyang-goyang ketika ia bergegas melintasi halaman,
lidahnya yang merah muda terjulur ke luar.
"Ooh, aku takut! Aku takut!" seruku kasar. Kujatuhkan tongkat croquet-ku dan
mendekap diriku, pura-pura gemetar ketakutan.
Buttercup tidak memedulikan aku. Ia berlari mendatangi
Charlene dan segera menjilati tangannya sambil berbunyi pelan seperti mengeong,
hampir seperti kucing. "Ooh, dia seram sekali," seruku.
Hat berjalan ke sebelahku, dibetulkannya letak topinya. "Dia anjing Saint
Bernard besar yang manis, Charlene," kata Hat membungkuk untuk menggaruk bagian
belakang telinga anjing itu.
"Dia tidak terlalu menakutkan. Kita perlu serigala besar. Atau Doberman setinggi
hampir dua meter." Buttercup berpaling dan menjilat tangan Hat. "Hii!" Wajah Hat berkerut jijik.
"Aku benci air liur anjing."
"Di mana kita bisa mendapat anjing yang benar-benar galak?"
tanyaku. Kuambil tongkatku dan bersandar padanya. "Kita punya kenalan yang punya
anjing penjaga" Anjing gembala Jerman yang
besar dan jelek, mungkin?"
Charlene masih tersenyum jahil, seperti mengetahui sesuatu
yang tidak kami ketahui. "Berilah kesempatan pada Buttercup,"
katanya pelan. "Kalian akan terkejut."
Awan kembali menutupi matahari. Udara tiba-tiba terasa lebih
sejuk ketika bayangan kelabu menutupi rerumputan.
Mesin pemotong rumput di balik pagar tanaman terbatuk-batuk
dan berhenti. Halaman belakang mendadak sunyi senyap dan tenang.
Buttercup duduk di rumput dan berguling sampai telentang.
Keempat kakinya yang berbulu menendang-nendang udara dan
punggungnya digosok-gosokkan ke rumput.
"Tidak terlalu mengesankan, Charlene," kata Hat tertawa.
Anjing itu kelihatan tolol.
"Aku belum menunjukkan keterampilan kecil kami," kata Charlene. "Lihat saja."
Ia berbalik menghadap anjingnya dan mulai bersiul. Siulan tak
bernada, hanya suara melengking dan datar.
Anjing Saint Bernard besar itu segera bereaksi. Begitu
mendengar siulan Charlene, ia langsung berguling dan berdiri.
Ekornya terjulur kaku di belakangnya. Sekujur tubuhnya tampak
menegang. Telinganya berdiri tegak.
Charlene terus bersiul. Tidak keras. Siulan pelan dan mantap,
suaranya panjang dan melengking.
Dan ketika kami terdiam menatapnya, Buttercup mulai
menggeram. Geraman itu berasal dari perutnya, marah dan
mengancam. Bibir hitamnya tertarik ke belakang. Tampak giginya yang
besar-besar. Ia menggeram keras. Geramannya berubah jadi geraman
mengancam. Mata anjing itu bersinar marah. Punggungnya menegang.
Kepalanya tertarik ke belakang seperti bersiap-siap menyerang.
Charlene menarik napas dalam-dalam dan bersiul lagi. Matanya
terpaku menatap anjing yang menggeram-geram itu.
"Buttercup - tangkap Eddie!" jerit Charlene tiba-tiba. "Tangkap Eddie! Bunuh!
Bunuh!" Chapter 15 "TIDAK!" Aku menjerit dan terjungkal ke belakang ke arah pagar tanaman.
Anjing itu menggeram memperingatkan. Lalu ia menerjang
maju. Kuangkat tanganku seperti tameng dan menunggu serangannya.
Menunggu. Ketika pelan-pelan kuturunkan tanganku, kulihat Charlene
sedang memeluk leher anjing itu. Ia tersenyum girang. Buttercup menoleh dan
mencium dahinya. "Kena kau, Eddie!" seru Charlene. "Itu tadi balasan kejadian tarantula dulu."
Molly tertawa. "Hebat, Charlene."
"Wow," kataku pelan. Jantungku masih berdebar-debar
kencang. Halaman belakang tampak bergoyang-goyang.
"Tipuan bagus," kata Hat pada Charlene. "Bagaimana kau mengajarkannyan
"Aku tidak mengajarkannya," kata Charlene, sambil memeluk anjing itu sekali
lagi, lalu mendorongnya supaya pergi. "Kejadiannya boleh dibilang kebetulan
saja. Suatu hari aku bersiul-siul, Buttercup tiba-tiba berkelakuan aneh padaku.
Dia mulai menggeram, menampakkan giginya."
"Kurasa dia betul-betul benci siulanmu!" seruku, mulai merasa tenang.
"Dia benci siapa saja yang bersiul," kata Charlene, sambil membersihkan celana
pendek denimnya dari bulu anjing. "Mungkin telinganya jadi sakit atau apa. Aku
tak tahu. Tapi bisa kaulihat reaksinya. Dia jadi gila begitu setiap kali ada
orang bersiul." "Hebat!" seru Hat.
"Dia benar-benar bisa menakut-nakuti Courtney," kata Molly.
Kami mengamati anjing itu pergi dengan lamban, lidahnya
terjulur hampir menyentuh tanah. Ia mencium-cium sesuatu di antara bunga-bunga,
lalu menghilang ke samping rumah.
"Anjing malang," kata Charlene, sambil menggeleng. "Dia benci California. Dia
kepanasan terus. Tapi waktu pindah dari
Michigan ke sini, kami tak sanggup berpisah dengannya."
"Aku senang kau tak jadi berpisah dengannya," kataku bersemangat. "Sekarang kita
akhirnya bisa membuat Courtney ketakutan setengah mati!"
Molly memukul pelan bola croquet-nya. Wajahnya tampak
keruh. "Kita tidak akan benar-benar menyakiti Courtney, kan?"
tanyanya. "Maksudku, Buttercup takkan benar-benar menyerangnya, kan" Kalau dia
tidak terkontrol..."
"Tentu saja tidak," jawab Charlene cepat. "Dia langsung berhenti menggeram dan
berkelakuan normal lagi begitu aku berhenti bersiul. Betul. Begitu siulan
berhenti, dia kembali jadi anjing manis lagi."
Molly tampak lega. Dipukulnya bola melewati gawang, lalu
dengan tongkat didorongnya keluar.
Kami semua sudah tidak berminat lagi main croquet. Rasanya
jauh lebih asyik merencanakan bagaimana kami akan menggunakan
Buttercup untuk menakut-nakuti Courtney.
Matahari muncul dari balik awan. Rerumputan yang terpangkas
rapi berkilauan disinari cahaya matahari. Kami lemparkan tongkat kami dan pergi
ke bawah pohon anggur besar di tengah halaman
belakang. "Sebaiknya kita menakut-nakuti Courtney di hutan, di rumah pohon yang
dibangunnya bersama Denise di pinggir Muddy Creek,"
usulku sambil berbaring telentang di rumput. "Itu tempat yang tepat.
Dia hanya berduaan dengan Denise di hutan. Tiba-tiba, anjing yang menggeram-
geram menerkam mereka. Mereka akan menjerit selama
seminggu!" "Yeah, bagus," kata Hat setuju. "Di hutan banyak tempat bagi kita untuk
bersembunyi dan mengamati. Maksudku, Charlene bisa
bersembunyi di balik semak atau pohon cemara atau apalah dan
bersiul sekuat tenaga. Kita semua akan bersembunyi. Courtney takkan tahu siapa
yang melakukannya." Sambil duduk bersila, Molly menggigit-gigit bibirnya.
Didorongnya kacamatanya yang melorot. "Aku tidak suka," katanya.
"Tidak asyik rasanya kalau kita tidak menakut-nakuti Courtney di depan banyak
orang. Kalau kita menakut-nakutinya di hutan tanpa dilihat orang, siapa yang
peduli?" "Kita yang peduli!" seruku. "Kita yang melihatnya. Itu yang penting. Kita akan
tahu bahwa akhirnya kita berhasil membuatnya ketakutan."
"Dan mungkin kita semua bisa melompat keluar dan berteriak
'Kena kau!' dan sebagainya, sehingga ia tahu kita melihatnya
ketakutan," kata Charlene bersemangat. "Lalu kita sebarkan ceritanya ke seluruh
sekolah, supaya semua orang tahu."
"Aku suka!" seru Hat.
"Kapan kita lakukan?" tanya Molly.
"Bagaimana kalau sekarang?" kataku sambil berdiri.
"Hah" Sekarang?" kata Charlene terkejut.
"Kenapa tidak?" tantangku. "Ayo kita lakukan. Mungkin nasib kita beruntung,
melihat Courtney dan Denise di rumah pohon mereka.
Mereka sering berada di sana pada akhir minggu, tahu kan, untuk bermain-main,
membaca, yah... yang begitulah."
"Yeah! Ayo!" Hat melompat dan menepuk punggungku. "Ayo kita lakukan!"
"Biar kuambil tali Buttercup dulu," kata Charlene. "Kurasa kita tak perlu lagi
menunggu." Ia berbalik ke arah Molly yang berdiri di belakangnya.
"Aku punya ide yang lebih baik," kata Molly sambil menarik sehelai rumput dari
rambut cokelatnya. "Sebelum pergi ke hutan, sebaiknya kita pastikan dulu
Courtney ada di rumah pohon itu."
"Hah" Bagaimana caranya?" tanyaku.
"Gampang," jawabnya. Molly lalu meniru suara Denise, mirip sekali. "Halo,
Courtney. Temui aku di rumah pohon sepuluh menit lagi, oke?"
Bukan main! Ia kedengaran mirip sekali dengan Denise!
Kami semua ternganga memandangnya.
"Molly, aku tak tahu kau begitu berbakat," kata Charlene sambil tertawa.
"Aku sering berlatih," kata Molly. "Aku bisa meniru segala macam suara. Aku
mahir sekali." "Molly, mungkin kau bisa mengisi suara film kartun kalau
sudah besar nanti," kataku. "Kau bisa jadi Daffy Duck. Sekarang saja kau sudah
terdengar mirip dia!"
Hat tertawa. Molly menjulurkan lidahnya padaku.
"Ayo masuk dan menelepon Courtney," kata Charlene
bersemangat, dibukanya pintu kasa. "Kalau tak ada di rumah, mungkin dia sudah
berada di rumah pohon. Jadi kita tinggal mengambil
Buttercup dan pergi ke sana. Kalau dia ada di rumah, Molly bisa berpura-pura
jadi Denise dan mengajak Courtney bertemu di rumah pohon."
Kami pergi ke dapur. Charlene menyerahkan telepon di dapur
pada Molly. Lalu diambilnya telepon tanpa kabel supaya kami bisa mendengarkan
juga. Molly menekan nomor telepon Courtney. Kami semua menahan
napas sambil mendengarkan nada panggil. Sekali. Dua kali.
Setelah dering kedua, Courtney mengangkatnya.. "Halo?"
Molly menirukan suara Denise semirip mungkin. "Hai,
Courtney. Ini aku." Ia benar-benar kedengaran seperti Denise. Kurasa ia bahkan
bisa menipu ibu Denise sendiri!
"Bisa kita ketemu di hutan" Tahu, kan. Di rumah pohon?" tanya Molly dengan suara
Denise. "Siapa ini?" desak Courtney.
"Ini aku, dong. Denise," jawab Molly.
"Aneh," kami semua mendengar Courtney berkata begitu.
"Bagaimana kau bisa jadi Denise sementara Denise berdiri tepat di sebelahku
sekarang?" Chapter 16 "UUUPS. Salah sambung," kata Molly. Cepat-cepat ditutupnya telepon.
Ternyata, menelepon Courtney bukan ide bagus. Rencana kami
gagal. Tapi kami yakin bisa menakut-nakuti Courtney dengan
Buttercup. Kami tinggal bertemu dengannya di hutan pada saat yang tepat.
Keesokan harinya, Minggu, hujan. Aku kecewa bukan main.
Abangku Kevin berdiri di sampingku di dekat jendela,
mengamati hujan berderai-derai di kaca. Ia juga sedang kecewa. Ia dan teman-
temannya merencanakan akan menyelesaikan video
Monster Lumpur mereka di hutan.
"Hari ini kami akan merekam adegan terakhir yang hebat ketika Monster-monster
Lumpur bangkit dari lumpur," katanya.
"Mungkin sebentar lagi hujan berhenti," kataku.
"Tak ada '"gunanya," kata Kevin menghela napas. "Kami tetap saja tidak bisa
bekerja." "Kenapa?" tanyaku.
"Terlalu berlumpur," jawabnya.
*****************************
Minggu itu berlalu dengan lamban. Hampir setiap hari hujan.
Hari Sabtu siang matahari muncul. Charlene memasang tali
Buttercup dan kami segera pergi ke hutan.
"Courtney harus berada di sana. Pokoknya harus!" seruku.
"Harus ada yang mengintai rumah pohon itu," kata Molly.
"Harus ada yang memastikan Courtney dan Denise ada di sana sebelum kita lepaskan
Buttercup." "Biar aku saja!" kata Hat dan aku serentak.
Kami semua tertawa. Perasaan kami sedang bagus. Kurasa kami
semua punya perasaan bagus, perasaan bahwa hari inilah akhirnya kami akan bisa
membuat Courtney ketakutan setengah mati.
Hutannya berada beberapa blok dari rumah Charlene. Hari ini
cerah sekali, hari cerah pertama selama satu minggu ini. Semua tercium segar dan
manis setelah berhari-hari diguyur hujan terus.
Buttercup berulangkali berhenti untuk mengendus-endus bunga,
semak, dan tanaman-tanaman lain. Charlene terpaksa berkali-kali menarik talinya
supaya Buttercup mau jalan terus. Bukan pekerjaan gampang. Tidak mudah menarik
anjing Saint Bernard kalau ia tak mau ditarik!
"Mulutku agak kering," keluh Charlene waktu kami sampai di tepi hutan. "Semoga
saja aku bisa bersiul dengan baik."
Ia mencoba bersiul. Kedengarannya lebih banyak suara napas.
Suara siulnya cuma sedikit.
Tapi tampaknya bukan masalah bagi Buttercup. Ia langsung
mengangkat kepala. Telinganya berdiri tegak dan ekornya tegang.
Charlene bersiul semakin keras, tapi tetap saja tidak begitu
kedengaran. Perut Buttercup mulai bergemuruh. Suara itu berubah jadi
geraman. Geraman itu bertambah keras ketika anjing besar itu
menampakkan giginya. "Charlene - stop," kataku. "Jangan dihambur-hamburkan."
Charlene berhenti bersiul. Anjingnya kembali tenang.
"Ada yang punya permen karet?" tanya Charlene sambil memegangi lehernya.
Goosebumps - Percuma Menakut-nakutiku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mulutku kering sekali." Molly memberinya sebatang.
"Buttercup sudah siap!" seru Hat senang ketika kami masuk ke dalam hutan.
Bayangan dedaunan di atas kepala menari-nari di tanah. Berkas-
berkas terang sinar matahari menyorot dari sela-sela pepohonan.
Ketika kami berjalan, ranting dan dedaunan kering berderak terinjak sepatu kami.
"Ayo, Buttercup!" kata Charlene memelas, sambil menarik tali Buttercup kuat-
kuat. "Ssst," , kata Molly memperingatkan. "Sekarang kita tak boleh bersuara. Kalau
Courtney ada di hutan, dia bisa mendengar kita."
"Ayolah, Buttercup!" bisik Charlene keras.
Anjing itu sulit diatur. Ia terus saja berhenti untuk mengendus-endus.
Ditariknya talinya, berusaha melepaskan diri dan jalan sendiri.
Kurasa terlalu banyak bau yang mengasyikkan baginya. Ekornya
berkibas-kibas, napasnya terengah-engah berisik.
Kami sekarang sudah jauh di dalam hutan, mendekati sungai.
Keadaan sekitar semakin berbayang-bayang dan sejuk. Ketika kami berjalan,
bayang-bayang ungu menyelimuti kami.
"Aku akan menyelinap ke dekat rumah pohon dan melihat
apakah Courtney dan Denise ada di sana," bisikku. Kuserahkan kantong kertas
cokelat yang sejak tadi kubawa pada Hat. "Tolong pegangkan. Sebentar lagi aku
kembali." Dengan curiga Hat memandangi kantong itu. "Apa isinya?"
"Lihat saja nanti," kataku dan bergegas melaksanakan misi pengintaianku. Sambil
terus merunduk, aku berjalan menerobos
serumpun ilalang tinggi. Kutatap teman-temanku di belakang. Mereka berkerumun
mengelilingi Buttercup. Anjing besar itu terduduk di tanah dan menggigiti
ranting besar. Ketika berjalan di jalan setapak sempit di antara pepohonan,
kusadari betapa kencang debar jantungku. Ini dia! Hari kemenangan kami melawan
Courtney. Rumah pohonnya berada di dekat sungai, di sisi lain lapangan
rumput kecil. Ketika mendekati lapangan itu, aku bisa mendengar desiran pelan
air di dasar sungai. Aku menyelinap di antara pepohonan, tetap berlindung dalam
bayang-bayang. Aku tak ingin terlihat oleh Courtney atau Denise.
Bisa rusak kejutannya. Aku tersenyum ketika memikirkan betapa sebentar lagi mereka
akan sangat ketakutan. Kalau mereka ada di sana...
Aku berhenti di tepi lapangan dan mengintip ke seberangnya.
Rerumputan tinggi semua rebah karena diinjak-injak. Aku tahu
abangku dan teman-temannya pasti sudah mengambil gambar film
Monster Lumpur mereka di sana.
Aku tetap berjalan di bawah pepohonan dan mengitari
lapangan. Di sana, di seberang, tampak rumah pohon Courtney.
Rumah itu tampak seperti kotak kayu besar, bertengger di dahan terendah pohon ek
tua. Tangga tali menghubungkannya dengan tanah.
Di mana mereka" Courtney dan Denise"
Aku tak bisa melihat mereka.
Aku maju beberapa langkah, menyibakkan ilalang tinggi,
sambil maju mendekat. "Oh," gumamku ketika bahuku tertusuk sesuatu. Aku menunduk
dan dengan hati-hati mencabut dua duri
tanaman dari lengan baju kausku.
Lalu aku berjalan lagi, berusaha tak bersuara ketika semakin
mendekati rumah pohon itu.
Aku berhenti waktu mendengar suara-suara. Suara anak
perempuan. Lalu kulihat Courtney dan Denise. Mereka berada tepat di
depanku, berjalan di hutan.
Aku merunduk di balik serumpun semak rimbun.
Mereka hanya beberapa meter di depanku. Apakah tadi mereka
melihatku" Tidak. Mereka sedang asyik berbicara, berdebat sengit. Kuamati
mereka dari balik semak. Mereka mengenakan blus biru dan celana pendek putih.
Serupa. Mereka berjalan pelan-pelan ke arah lain sambil kadang-kadang
mencabuti ilalang dan bunga liar. Bagus! pikirku. Ini sempurna!
Aku tahu inilah harinya! Aku berbalik dan cepat-cepat pergi tanpa bersuara. Aku tak
sabar ingin segera kembali ke teman-temanku.
Kutemukan mereka di tempat yang sama, masih mengerumuni
Buttercup. "Buttercup, lakukan tugasmu!" teriakku girang sambil menyeringai dan
melambai-lambai ketika berlari ke arah mereka.
"Maksudmu mereka ada di sana?" tanya Hat terkejut.
"Mereka ada di sana," kataku terengah-engah, "menunggu ditakut-takuti."
"Bagus!" seru Molly dan Charlene. Charlene berusaha menarik Buttercup supaya
berdiri. "Tunggu," kataku. Kusambar kantong kertas cokelat dari Hat.
"Sebelum Buttercup bangun, pakaikan ini dulu."
Kukeluarkan kaleng krim cukur yang kubawa tadi.
"Untuk apa itu?" tanya Hat.
"Kukira sebaiknya kita oleskan krim cukur di sekeliling
mulutnya," kataku menjelaskan. "Tahu, kan. Supaya mulutnya kelihatan berbusa.
Anjing gila selalu berbusa mulutnya. Kalau mereka melihat ada anjing menggeram-
geram dan menyerang mereka dengan mulut berbusa, Courtney dan Denise bisa
pingsan ketakutan!" "Bagus sekali!" teriak Molly, ditepuknya punggungku. "Itu baru benar-benar
hebat!" Semua orang memujiku. Harus kuakui, kadang-kadang aku
memang punya ide-ide hebat.
Buttercup bangun dengan susah payah. Ia mulai menarik-narik
Charlene ke arah lapangan.
"Biarkan dia mendekati mereka dulu," bisik Charlene keras, sementara anjingnya
yang besar berjalan cepat di antara pepohonan, menyeretnya. "Setelah itu baru
kita semirkan krim tadi dan melepaskannya.'!
Molly, Hat, dan aku mengikutinya. Tak lama kemudian, kami
sampai di tepi lapangan. Kami berhenti di balik semak-semak tinggi dan rimbun
lalu berjongkok. Di sana kami sama sekali tidak tampak.
Courtney dan Denise sudah berada di lapangan. Mereka berdiri
di rumput tinggi, bersedekap, kepala mereka bergerak-gerak ketika berbicara.
Kami bisa mendengar gumaman suara mereka, tapi tidak cukup
dekat untuk mendengar apa yang mereka katakan. Di belakang
mereka, kami bisa mendengar arus sungai mengalir melewati dasarnya yang
berlumpur. "Sekarang saatnya, Buttercup," bisik Charlene sambil membungkuk untuk melepaskan
anjing itu. Ia berbalik menatap kami.
"Begitu dia lari ke lapangan, aku akan mulai bersiul."
Kupegang kaleng krim cukur dan kusemprotkan segumpal besar
busa putih ke telapak tanganku.
Tiba-tiba aku mendengar suara di pepohonan di belakang kami.
Suara berdesir dan berderak. Ada yang berlari menginjak
dedaunan dan ranting kering. Tampak seekor tupai di celah di antara semak-semak.
Buttercup juga melihatnya. Ketika aku sedang membungkuk
dan mengulurkan tangan untuk mengoleskan krim cukur ke mulutnya, anjing besar
itu melarikan diri. Aku jatuh tersungkur. Aku mengangkat kepala tepat ketika anjing itu lari ke arah
pepohonan, mengejar-ngejar tupai tadi.
Ketiga temanku sudah berdiri. "Buttercup! Buttercup!
Kembali!" teriak Charlene.
Aku bangun dengan susah payah. Bagian depan kausku penuh
dengan krim cukur. Tidak kupedulikan. Aku berbalik dan lari
mengejar mereka. Mereka sudah agak jauh di depanku. Aku tak bisa melihat
mereka lagi. Tapi bisa kudengar Charlene berteriak-teriak, "Buttercup!
Kembali! Buttercup - di mana kau?"
Chapter 17 AKU lari secepat mungkin dan berhasil menyusul teman-
temanku. "Ma - mana Buttercup?" tanyaku terengah-engah.
"Kurasa di suatu tempat di sebelah sana," jawab Charlene, ditunjuknya serumpun
pepohonan. "Tidak. Kurasa aku mendengarnya di sebelah sana," kata Hat, ditunjuknya arah
yang berlawanan. "Kita takkan kehilangan dia," kataku susah payah berusaha menenangkan napas.
"Dia terlalu besar."
"Aku tak tahu dia bisa lari secepat itu," kata Charlene muram.
"Dia betul-betul ingin menangkap tupai itu."
"Apa dia tidak tahu dia punya tugas?" tanya Molly, sambil mencari-cari di antara
pepohonan. "Me-mestinya tadi tidak kulepaskan talinya," ratap Charlene.
"Sekarang kita takkan bisa menangkap anjing besar goblok itu."
"Pasti bisa," jawabku, berusaha terdengar riang. "Dia akan kembali begitu
tupainya kabur." Tanah dan dedaunan kering menempel pada krim cukur ketika
aku tersungkur tadi. Sekarang di kausku jadi ada noda hitam besar.
Kuhapus dengan tangan, sementara mataku mencari-cari Buttercup di dalam hutan.
"Sebaiknya kita berpencar," kata Charlene. Ia kelihatan bingung sekali. "Kita
harus menemukannya sebelum terjadi sesuatu padanya.
Dia tidak biasa berada di hutan."
"Mungkin dia ada di tepi sungai," kata Molly sambil
membetulkan letak kacamatanya. Di rambutnya ada ranting. Kuambil.
"Berhentilah bicara dan cari dia," kataku tak sabar. "Mungkin kita masih bisa
menakut-nakuti Courtney dan Denise dengan
menggunakan Buttercup."
Di kelompokku selalu aku yang paling optimis.
"Kita cari dia saja dulu," gumam Charlene. Wajahnya tegang dan cemas. "Kalau
terjadi sesuatu pada Buttercup..." Ia terlalu panik untuk menyelesaikan
kalimatnya. Kami berpisah. Aku pergi mengikuti jalan setapak yang menuju
sungai. Aku mulai berlari-lari kecil, kudorong dahan-dahan pohon pendek sambil
mengikuti jalan setapak yang berkelok-kelok.
"Buttercup! Buttercup!" bisikku keras-keras.
Bagaimana anjing goblok itu bisa membuat keadaan kami jadi
kacau begini" Bagaimana ia bisa begitu seenaknya"
"Aw!" Pergelangan tanganku tertusuk duri tajam ketika aku lari melewati semak
bramble besar. Aku berhenti dan memeriksa lukaku dengan napas terengah-engah.
Tampak setetes darah segar di
pergelangan tanganku. Tak kupedulikan luka itu dan kuteruskan pencarianku.
"Buttercup! Buttercup?"
Sekarang aku tahu pasti, aku sudah di dekat sungai. Tapi tidak terdengar suara
air. Apakah aku mengikuti jalan setapak yang benar" Jangan-jangan
tadi aku sempat berbelok"
Aku mulai lari lebih kencang, melompati batang pohon
tumbang, menerobos ilalang tinggi. Sekarang tanah terasa lembek dan berawa.
Ketika berlari, sepatuku terbenam ke dalam lumpur lembek.
Bukankah mestinya di depan ada lapangan"
Bukankah mestinya sungai berada di sisi lapangan sebelah sini"
Aku berhenti, membungkuk, napasku tersengal-sengal,
tanganku bertumpu di lutut.
Ketika mengangkat kepala, aku tahu aku tersesat.
Aku mendongak untuk mencari matahari. Mungkin aku bisa
merasakan arah lagi. Tapi pepohonannya terlalu rapat. Hanya tampak sedikit sinar
matahari. "Aku tersesat," kataku keras-keras, aku lebih merasa terkejut daripada
ketakutan. "Aku tidak percaya. Aku tersesat di hutan.
Aku berbalik, mencari-cari sesuatu yang pernah kulihat.
Pepohonan langsing berbatang putih hampir seperti pagar tebal di belakangku.
Pepohonan yang lebih gelap mengurungku di ketiga sisi lainnya.
"Hei - ada yang bisa mendengarku?" teriakku.
Suaraku terdengar melengking dan ketakutan.
"Ada yang bisa mendengarku?" tanyaku lagi, kupaksa diriku berteriak lebih keras.
Tak ada jawaban. Seekor burung berkaok-kaok di atas. Kudengar suara sayap
dikepakkan. "Hei, Hat! Molly! Charlene!" Kupanggil nama mereka beberapa kali.
Tak ada jawaban. Punggungku terasa dingin. "Hei, aku tersesat!" teriakku. "Hei -
teman-teman!" Lalu kudengar suara langkah kaki di kiriku.
Langkah kaki yang berat. Mendatangiku dengan cepat.
"Hei, teman-teman - kaliankah itu?" teriakku, sambil
mendengarkan. Tak ada jawaban. Suara langkah kaki yang berat itu semakin
mendekat. Kupandangi pepohonan yang gelap.
Kudengar suara burung lain berkaok-kaok. Suara sayap
mengepak lagi. Suara langkah kaki berat. Dedaunan kering berderak.
"Buttercup - kaukah itu" Hei - Buttercup?"
Pasti anjing itu. Aku maju beberapa langkah mendekati suara
itu. Aku berhenti ketika anjing itu kelihatan.
"Buttercup?" Bukan. Aku terkesiap menatap mata merah manyala itu. Anjing lain.
Anjing besar yang tampak jahat, hampir setinggi kuda poni, bulunya hitam licin.
Ia merundukkan kepala dan menggeram padaku, mata
merahnya berkilat marah. "Cup, cup, anjing manis," kataku lemah. "Anjing manis."
Ditampakkannya giginya dan menggeram seram. Lalu ia mulai
berlari, dan sambil menggeram marah, menerkam leherku.
Chapter 18 "Hei!" Terdengar suara terkejut dari belakangku. Anjing yang menggeram-geram itu
seperti berhenti di udara.
Dengan mata tetap menyala seperti batu bara panas, ia mendarat di atas keempat
kakinya. "Hei - pergi!" teriak suara itu.
Aku berbalik dan melihat Hat berlari ke arahku, sambil
mengayun-ayunkan tongkat panjang. "Pergi kau!" teriak Hat.
Anjing itu merundukkan kepala dan menggeram, matanya
masih menatapku. Ia mundur dengan enggan, ekornya yang hitam
licin terselip di antara kakinya yang besar. Ia mundur selangkah. Lalu selangkah
lagi. "Pergi!" teriakku. "Pergi!"
Aku tak tahu apakah karena kami sekarang berdua atau karena
tongkat yang diayun-ayun Hat - tapi makhluk raksasa itu tiba-tiba berbalik dan
melompat masuk hutan. "Oh, wow," erangku. "Wow. Wow. Nyaris saja." Tiba-tiba kusadari aku sudah
menahan napas sejak tadi, dadaku sampai sakit.
Kuembuskan napas kuat-kuat.
"Kau baik-baik saja?" tanya Hat.
"Yeah, rasanya," kataku gemetar. "Terima kasih, kau telah menyelamatkan
hidupku." Hat menatap pepohonan tempat anjing tadi menghilang. "Tadi itu anjing atau
kuda?" teriaknya. "Ia kelihatan jahat juga, ya?"
Aku mengangguk. Tenggorokanku tiba-tiba terasa sangat
kering. Sulit rasanya berbicara. Aku tahu pasti aku akan dihantui mimpi buruk
tentang makhluk buas yang menggeram-geram.
Goosebumps - Percuma Menakut-nakutiku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kautemukan Buttercup?" tanyaku akhirnya.
Hat menendang batang pohon roboh. Ia menggeleng. "Tidak.
Belum. Charlene jadi agak kacau."
"A-aku tahu perasaannya," kataku tergagap. Kulirik pepohonan.
Entah kenapa, aku merasa melihat anjing hitam besar tadi mengejarku lagi.
Tapi ternyata cuma angin yang menggoyang dedaunan.
"Sebaiknya kita kembali," kata Hat sambil menendang batang pohon itu untuk
terakhir kalinya. Kuikuti ia berjalan di jalan setapak. Jalan itu membelok, lalu menuruni bukit.
Makhluk-makhluk kecil membuat dedaunan kering di kaki kami berderak. Bajing
tanah; pikirku. Tidak kupedulikan. Aku masih dibayang-bayangi monster besar
yang menggeram-geram tadi, masih terbayang-bayang betapa
nyawaku nyaris melayang tadi.
Sesaat kemudian kami tiba di tempat Molly dan Charlene.
Mereka tampak sengsara sekali.
"Apa yang akan kita lakukan?" ratap Charlene. Tangannya terkepal di dalam saku
jins-nya. Kelihatannya ia akan menangis. "Aku tak bisa pulang tanpa Buttercup!"
ratapnya. "Tidak bisa!"
"Pasti anjingmu sudah pulang," kata Molly. "Pasti anjing goblok itu sudah ada di
rumah." Wajah Charlene sedikit cerah. "Menurutmu begitu" Menurutmu dia tidak tersesat di
hutan?" "Anjing takkan tersesat," kataku. "Cuma orang yang bisa tersesat."
"Betul," kata Hat setuju. "Anjing bisa mengetahui arah dengan baik. Mungkin
Buttercup ada di rumah."
"Ayo kita lihat," desak Molly, sambil memegang bahu
Charlene. "Bagaimana kalau dia tak ada di sana?" desak Charlene memelas. "Kalau begitu
bagaimana?" "Kita telepon polisi dan minta mereka membantu mencarinya,"
kata Molly. Jawaban itu tampaknya memuaskan Charlene. Dengan muram
kami berempat berjalan terseret-seret keluar dari hutan.
Kami baru saja keluar dari balik pepohonan dan menuju ke
jalan ketika Courtney dan Denise kelihatan.
Mereka berdiri di pinggir jalan. Bersama dua ekor anjing.
Buttercup berdiri di sebelah Courtney. Anjing besar hitam tadi duduk di sisi
lainnya. "Hai!" panggil Courtney ketika kami lari mendatangi mereka.
"Anjing-anjing ini punya kalian?" Aku langsung berhenti dan memandang tak
percaya. Dengan manis Buttercup menjilati tangan Courtney. Anjing
hitam besar tadi menjilati tangan Courtney yang lain.
"Anjing Saint Bernard itu punyaku!" seru Charlene senang.
"Seharusnya kaupegangi terus talinya," kata Courtney. "Dia benar-benar tersesat
ketika kutemukan tadi." Diserahkannya tali Buttercup pada Charlene.
Charlene mengucapkan terima kasih.
"Anjing yang satu lagi ini manis, ya?" kata Courtney. Ia membungkuk dan mencium
monster hitam besar itu. Saat itulah aku memutuskan untuk menyerah. Tak mungkin,
pikirku. Tak ada cara - tidak ada - untuk menakut-nakuti Courtney.
Sudah saatnya mengaku kalah, kataku dalam hati. Aku tak tahu
betapa sebentar lagi keadaan akan menjadi sangat menakutkan.
Chapter 19 TANGAN-TANGAN dingin, sedingin tangan orang mati,
melingkari leherku. Aku menjerit. Charlene tertawa. "Eddie, kenapa sih kau ini" Agak tegang?"
"Kenapa tanganmu dingin sekali?" tanyaku sambil menggosok-gosok leher.
Diangkatnya kaleng Coke. "Baru saja kuambil dari kulkas."
Semuanya menertawakan aku.
Kami berempat sedang duduk-duduk di dapur Charlene
beberapa hari kemudian, berusaha memutuskan langkah selanjutnya.
Saat itu pukul 20.30 Kamis malam. Kami bilang pada orangtua, kami sedang belajar
bersama untuk menghadapi ujian akhir matematika.
"Kupikir sebaiknya kita menyerah saja," kataku muram. "Kita tak bisa menakut-
nakuti Courtney. Tidak bisa..."
"Eddie , betul," kata Hat. Ia duduk di sebelah Molly di sofa kulit cokelat. Aku
berselonjor di kursi besar di depan mereka.
Charlene duduk di karpet putih berbulu.
"Pasti ada caranya," kata Charlene bersikeras. "Courtney bukan robot, kan. Dia
pasti bisa ketakutan juga!"
"Aku tak yakin," kataku menggeleng.
Tepat pada saat itu Buttercup melangkah masuk, ekornya
berkibas-kibas. Ia berjalan mendekati Charlene dan mulai menjilati lengannya.
"Keluarkan pengkhianat itu dari sini!" bentakku. Buttercup mengangkat kepala dan
lama menatapku dengan matanya yang
cokelat memelas itu. "Kaudengar aku, Buttercup," kataku dingin.
"Kau pengkhianat."
"Dia kan cuma anjing," bela Charlene. Ditariknya makhluk berbulu itu supaya
duduk di sebelahnya di karpet.
"Kelihatannya anjing-anjing menyukai Courtney," kata Molly.
"Ular dan tarantula juga suka padanya," kataku pahit. "Tidak ada yang ditakuti
Courtney. Tidak ada."
Tiba-tiba wajah Molly kelihatan usil sekali. "Mau lihat sesuatu yang benar-benar
menakutkan?" tanyanya. Ia mengulurkan tangan ke sisi lain sofa dan menarik topi
Hat sampai terlepas dari kepalanya.
"HIII!" kami bertiga berteriak serentak. "Menakutkan!"
Rambut Hat yang hitam menempel di kepalanya.
Kelihatannya seperti kayu. Di dahinya ada garis merah tua
melintang bekas topinya. "Hei!" Hat berteriak marah. Disambarnya topi itu lagi dan dipakainya.
"Kau tidak pernah keramas, ya?" seru Charlene.
"Buat apa?" balas Hat. Ia bangun dan berjalan ke cermin supaya bisa mengatur
letak topi seperti yang diinginkannya.
Kami membicarakan cara menakut-nakuti Courtney beberapa
saat lagi. Kami lumayan tertekan juga gara-gara masalah ini. Kami jadi tak bisa
memikirkan ide-ide bagus.
Pukul 21.00 lebih sedikit, ibuku menelepon dan menyuruhku
pulang. Jadi kuucapkan selamat malam pada teman-temanku dan
keluar. Hampir seharian tadi hujan. Sekarang udara terasa sejuk dan
lembap. Halaman-halaman depan basah berkilau disinari cahaya pucat dari lampu
jalanan. Rumahku berada di jalan yang sama, empat blok dari rumah
Charlene. Seandainya tadi aku membawa sepeda. Aku tidak suka jalan seorang diri
malam-malam begini. Beberapa lampu jalanan ada yang mati. Seram juga.
Oke, oke. Kuakui aku jauh lebih mudah ditakut-takuti daripada
Courtney. Tangan dingin di tengkukku saja sudah cukup membuatku.
terlonjak. Mungkin, itulah yang sebaiknya kami coba pada Courtney;
pikirku sambil menyeberang dan berjalan di blok berikut. Tangan sedingin es di
tengkuknya.... Aku melewati lapangan kosong berbentuk segi empat panjang
yang penuh ilalang tinggi dan semak-semak rimbun. Dari sudut mata kulihat ada
yang bergerak di sepanjang tanah.
Bayangan yang melesat, tampak hitam dengan latar belakang
tanah yang kuning-kelabu.
Ada yang menerobos ilalang tinggi menuju arahku.
Aku menelan ludah, tenggorokanku menegang. Aku segera lari.
Bayangan itu menyelinap ke arahku.
Kudengar erangan pelan. Cuma suara angin" Tidak. Terlalu mirip suara manusia.
Erangan lagi, sekali ini lebih mirip tangisan. Pepohonan mulai bergoyang dan
berbisik. Bayang-bayang hitam meluncur cepat ke arahku. Dengan
jantung berdebar-debar, aku segera lari.
Kuseberangi jalan dan terus berlari.
Tapi bayang-bayang itu mengurungku. Semakin gelap. Seperti
akan menyelubungiku. Aku tahu aku takkan pernah sampai ke rumah.
Chapter 20 AKU berlari secepat mungkin. Pagar-pagar tanaman dan
pepohonan gelap tampak mengabur. Sepatuku keras memukul-mukul
trotoar basah. Kurasakan darah berdenyut-denyut di pelipisku ketika rumahku
mulai tampak. Cahaya kuning lampu teras membuat halaman depan
berkilau terang. Hampir sampai, pikirku. Hampir sampai. Kumohon biarkan aku
sampai ke rumah. Beberapa detik kemudian, aku berlari membelok ke jalan
masuk. Secepat kilat kulewati teras depan, bagian samping rumah, dan menuju
pintu dapur. Dengan sisa-sisa tenaga kudorong pintu itu dengan bahuku.
Aku menyerbu masuk ke dapur, kubanting pintu, dan kukunci.
Dengan napas terengah-engah, dada naik-turun, tenggorokan
kering dan sakit, lama aku berdiri dan bersandar pada pintu dapur, berusaha
menenangkan diri. Tak perlu waktu lama untuk menyadari bahwa sebetulnya tak
ada yang mengejarku. Aku tahu itu semua cuma khayalanku.
Ini sudah pernah terjadi.
Sering. Kenapa aku begitu penakut" pikirku. Sekarang perasaanku
mulai normal kembali karena sudah sampai di rumah dengan selamat.
Dan sambil berdiri di dapur yang kosong, menunggu debaran
jantungku mereda, aku menyadari kesalahanku dan teman-temanku.
Aku sadar kenapa kami belum juga bisa menakut-nakuti Courtney.
"Eddie, kaukah itu?" seru Mom dari ruang duduk.
"Yeah. Aku sudah pulang," seruku lagi. Aku bergegas melewati ruang tengah dan
menjulurkan kepala ke ruang duduk. "Aku harus menelepon," kataku pada Mom.
"Tapi kau kan baru sampai - " kata Mom.
Aku sudah naik setengah tangga. "Cuma sekali!" teriakku.
Aku berlari ke kamarku. Kusambar telepon, dan kutelepon
Charlene. Diangkatnya setelah dering kedua. "Halo?"
"Selama ini kita salah!" kataku terengah-engah.
"Eddie" Kau sudah sampai di rumah" Kau lari terus, ya?"
"Selama ini kita salah," kataku lagi, tidak kupedulikan pertanyaannya. "Kita
harus menakut-nakuti Courtney pada malam hari! Malam hari! Bukan siang-siang.
Semua terasa lebih menakutkan di malam hari!"
Sepi sejenak. Charlene pasti sedang memikirkan ucapanku.
Akhirnya ia berkata, "Kau betul, Eddie. Semua memang terasa lebih menakutkan
pada malam hari. Tapi kita tetap belum punya satu pun ide bagus."
"Yeah, kau betul," kataku mengakui.
"Kita tak bisa menerkam Courtney begitu saja dalam kegelapan dan berteriak
'Buuu!'" kata Charlene.
Charlene benar. Malam hari jelas merupakan saat yang tepat
untuk menakut-nakuti Courtney. Tapi kami perlu ide. Ide yang benar-benar bagus
dan menakutkan. Anehnya; esok paginya Courtney sendirilah yang memberikan
ide padaku. Chapter 21 KAMI mendiskusikan monster dalam rapat pagi. Setiap hari
sebelum pelajaran dimulai, kami mengadakan rapat pagi. Kami
berkumpul di ujung kelas. Mr. Melvin bersandar di papan tulis atau duduk di
kursi kecil berkaki tiga. Dan kami mendiskusikan segala macam masalah.
Sebetulnya yang berdiskusi hanya tiga atau empat anak yang
itu-itu saja. Yang lain hanya duduk-duduk dan pura-pura
mendengarkan, sementara kami setengah mati berusaha tetap
terbangun. Tentu saja Courtney termasuk yang paling banyak bicara. Ia
selalu unggul dan bersemangat, meskipun pagi-pagi begini. Dan ia tak pernah
takut mengemukakan pendapatnya mengenai apa pun. Hari ini, Mr. Melvin
menceritakan pada kami bahwa manusia sejak dulu selalu percaya monster itu ada.
"Manusia memiliki kebutuhan untuk menciptakan monster," katanya. "Hal itu
membantu kita untuk mempercayai bahwa dunia nyata tidaklah menakutkan seperti
itu. Dunia nyata tidaklah sama menakutkannya dengan monster yang bisa kita impikan."
Lama juga beliau mengoceh seperti itu. Kurasa tak ada yang
benar-benar mendengarkannya. Lagi pula masih pagi
"Ada banyak sekali legenda, mitos, cerita, dan film tentang monster," kata Mr.
Melvin. "Tapi tak ada yang pernah membuktikan bahwa monster benar-benar ada.
Sebab utamanya karena monster
hanya ada dalam khayalan kita."
"Itu tidak benar," tukas Courtney. Ia selalu bicara tanpa mengangkat tangan
terlebih dahulu. Ia tidak peduli apakah ia
memotong perkataan orang atau tidak.
Alis Mr. Melvin yang hitam lebat terangkat di dahinya yang
berkilat. "Kau punya bukti monster benar-benar ada, Courtney?"
tanyanya. "Courtney itulah monsternya," bisik seseorang di belakangku.
Kudengar beberapa anak cekikikan.
Aku duduk di pinggir jendela. Cahaya matahari pagi dari balik
jendela terasa hangat di punggungku. Molly duduk di sebelahku, berusaha
melepaskan permen karet dari kawat giginya.
"Paman saya ilmuwan," kata Courtney. "Dia bilang Monster Loch Ness di Scotlandia
benar-benar ada. Monster itu hidup di danau besar itu dan bentuknya seperti naga
laut. Orang-orang pernah memotretnya." "Foto-foto itu bukanlah bukti - " kata Mr. Melvin.
Tapi Courtney terus berbicara. Ia tak pernah berhenti sampai
selesai mengucapkan semua yang ingin diucapkannya. "Paman saya bilang Bigfoot
juga benar-benar ada. Dia pernah melihat foto-foto jejak kaki Bigfoot, yang
diambil di Pegunungan Himalaya."
Terdengar bisikan-bisikan di kelas. Kulirik Hat yang duduk di
lantai di tengah-tengah ruang rapat. Ia membelalakkan matanya
padaku. "Monster bukan cuma khayalan manusia," kata Courtney menyimpulkan. "Monster
benar-benar ada. Banyak orang terlalu takut untuk mengakuinya."
"Itu teori yang sangat menarik," kata Mr. Melvin sambil menggaruk-garuk leher.
"Ada yang sependapat dengan Courtney"
Siapa di antara kalian yang percaya monster itu ada?"
Beberapa anak mengangkat tangan. Aku tak tahu Berapa orang.
Aku asyik dengan pikiranku sendiri. Courtney percaya monster itu ada, kataku
dalam hati. Ia benar-benar percaya monster memang ada.
Pelan-pelan muncul ide di pikiranku.
Monster... monster.... Monster di malam hari. Dalam kegelapan....
Berkat Courtney, aku mendapat rencana sempurna untuk
menakut-nakutinya. Rencana sempurna yang harus berhasil.
Chapter 22 KUMINTA Kevin membantuku dan ia menolak. Jadi kuajak
Hat, Molly, dan Charlene untuk merayunya. "Coba kuulangi lagi,"
kata Kevin sambil menatap kami dengan dahi berkerut. "Kalian ingin aku dan kedua
temanku mengenakan kostum Monster Lumpur kami
dan menakut-nakuti beberapa anak perempuan di dalam hutan?"
"Bukan beberapa anak perempuan," kataku tak sabar.
"Courtney."
Goosebumps - Percuma Menakut-nakutiku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia pantas ditakut-takuti," tambah Charlene cepat-cepat.
"Betul. Dia yang minta."
Hari itu Sabtu siang. Kami berdiri di halaman belakang
rumahku. Kevin sedang memegang slang taman. Hari Sabtu ia punya banyak tugas di
kebun. Ia bermaksud menyirami tanaman.
"Videonya sudah selesai," kata Kevin, sambil mengencangkan mulut slang. "Aku
senang tidak perlu memakai kostum dan
mengenakan semua riasan berlepotan itu lagi."
"Tolonglah!" kataku memohon.
"Pasti asyik," kata Hat pada Kevin. "Pasti lucu sekali."
Kevin memutar mulut slang, tapi airnya tidak keluar.
"Slangnya berbelit," kataku menunjuk. "Biar kuluruskan." Aku membungkuk dan
segera meluruskan slang. "Courtney dan temannya, Denise, punya rumah pohon di hutan di pinggir Muddy
Creek," kata Charlene pada Kevin.
"Aku tahu," kata Kevin. "Kami membuat video kami di sana.
Kami menggunakan rumah pohon itu. Para Monster Lumpur naik ke
sana untuk membunuh seseorang. Asyik sekali."
"Bagus!" seru Molly. "Bagaimana kalau diulang?"
"Tolonglah!" kataku memohon. Sejak mendapat ide ini, sudah sering sekali aku
memohon-mohon pada Kevin.
"Jadi kalian ingin kami bertiga menunggu di hutan malam-
malam, kan?" tanya Kevin.
Kuluruskan slang. Air menyembur membasahi sepatu Hat.
Ia melompat mundur sambil berteriak terkejut. Kami semua
tertawa. "Maaf," kata Kevin, diarahkannya air ke tanaman. "Tidak sengaja."
"Yeah. Kau dan teman-temanmu menunggu di hutan. Lalu
kalau sudah benar-benar gelap, kau keluar dan menakut-nakuti
Courtney sampai mati!"
"Maksudmu kami mengeluarkan suara-suara aneh dan berjalan terhuyung-huyung
dengan lumpur bertetesan dan pura-pura
mengejarnya?" tanya Kevin.
"Betul," kataku bersemangat. Aku tahu ia mulai tertarik.
"Bagaimana caranya kau membuatnya berada di rumah pohon
malam-malam?" tanya Kevin.
Pertanyaan bagus. Aku belum memikirkannya.
"Aku yang akan membuatnya berada di sana," kata Molly tiba-tiba. Sepanjang siang
tadi ia diam saja. "Kau akan berpura-pura jadi Denise?" tanyaku. "Yang dulu kan tidak berhasil."
"Sekali ini aku tak perlu jadi Denise," kata Molly misterius.
"Jangan takut. Akan kubuat dia pergi ke sana." Kevin mengangkat slang sampai
semburan air mengenai bagian samping rumah. Ia
memunggungi aku. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
"Bagaimana" Kau mau melakukannya?" tanyaku, siap
merengek dan memohon-mohon lagi. "Kau mau mengajak teman-
temanmu membantu juga?"
"Apa imbalannya?" tanya Kevin tanpa berbalik.
"Uh..." Aku cepat-cepat berpikir. "Aku akan jadi pelayanmu serama seminggu,
Kevin," kataku. "Akan kukerjakan semua tugas tamanmu. Akan kupangkaskan rumput.
Akan kusirami bunga dan menyiangi rumput. Dan... aku akan mencuci piring setiap malam. Dan aku akan
membersihkan kamarmu."
Ia berbalik dan memicingkan mata menatapku. "Jangan main-
main," gumamnya. "Tidak. Betul!" kataku bersikeras. "Aku benar-benar akan jadi pelayanmu.
Seutuhnya! Selama seminggu penuh."
Dimatikannya keran. Air mendesis, lalu pelan-pelan menetes.
"Bagaimana kalau sebulan?" tanyanya.
Wow. Sebulan kan lama. Selama sebulan mengerjakan semua
tugas Kevin dan siap melaksanakan setiap perintahnya. Sebulan
penuh.... Apa sebanding" Sebandingkah kalau aku menjadi pelayan yang
memelas dan bekerja keras selama sebulan hanya untuk menakut-
nakuti Courtney" Tentu! "Oke," kataku. "Sebulan."
Ia menyeringai dan menyalami aku. Tangannya basah karena
tadi memegangi slang. Diserahkannya slang itu padaku. "Ambil, pelayan," perintahnya.
Kuambil slang itu. Air menetes-netes ke bagian depan jins-ku.
"Kapan kau ingin ketiga Monster Lumpur muncul?" tanya Kevin. "Kapan kau mau
menakut-nakuti Courtney?"
"Besok malam," jawabku.
Chapter 23 AKU tak tahu pasti bagaimana legenda tentang Monster
Lumpur mulai muncul. Aku pertama kali mendengarnya dari anak lain waktu aku
masih kecil. Anak itu berusaha menakut-nakuti aku, dan ia cukup berhasil.
Legenda itu mengisahkan tentang beberapa penduduk pertama
kota kami yang dulu sangat miskin sehingga tak sanggup membangun rumah. Jadi
mereka mendirikan pondok-pondok kecil di hutan di
sepanjang tepi Muddy Creek.
Waktu itu sungainya jauh lebih besar, lebih dalam, dan lebih
lebar. Bukan cuma aliran air berlumpur seperti sekarang ini.
Orang-orang itu miskin dan rajin bekerja keras, dan tak lama
kemudian mereka sudah mendirikan desa di sepanjang sungai yang terdiri atas
pondok-pondok. Tapi orang-orang di kota memandang rendah mereka, dan sama sekali
tak mau membantu. Pegawai-pegawai pemerintah kota tidak mau membagi
persediaan air di kota dengan penduduk Muddy Creek. Pemilik-
pemilik toko tidak mengizinkan mereka membeli barang dengan
sistem kredit. Banyak penduduk Muddy Creek yang kelaparan dan jatuh sakit.
Tapi orang-orang kota tak mau membantu.
Semua ini terjadi lebih dari seratus tahun yang lalu. Bahkan
mungkin lebih lama lagi. Suatu malam, ada badai hebat. Hujan lebat dan angin ribut.
Sebelum penduduk Muddy Creek sempat lari menyelamatkan
diri, sungai itu pasang. Air sungai naik seperti gelombang pasang yang berisi
lumpur hitam kental. Lumpur itu menyapu seluruh desa. Mengubur semua pondok
dan penghuninya. Seperti lava dari gunung berapi, lumpur itu
menimbun semua yang ada di bawahnya.
Keesokan paginya, tak ada yang tersisa di desa itu. Sungai tetap mengalir,
tinggi di atas tepi yang berlumpur. Hutan sepi dan kosong.
Desa dan penduduknya lenyap.
Tapi tidak semuanya. Menurut legenda, sekali setahun waktu bulan purnama,
penduduk desa bangkit dari lumpur. Mereka menjadi monster,
setengah hidup dan setengah mati. Mereka Monster-monster Lumpur.
Dan sekali setahun Monster-monster Lumpur bangkit dari kuburan lumpur mereka
untuk menari di bawah sinar bulan - dan membalas
dendam pada penduduk kota yang tak mau membantu mereka.
Setahuku, begitulah legendanya.
Tentu saja, itu tidak benar. Tapi kurasa ceritanya bagus sekali.
Dan sudah berulang kali diceritakan dari satu generasi ke generasi berikut.
Cerita itu sudah menakuti banyak anak-anak. Termasuk aku.
Dan sekarang, Minggu malam ini, Kevin dan kedua teman
Monster Lumpur-nya akan menakut-nakuti Courtney, anak perempuan yang tak bisa
ditakut-takuti. *********************************
Pada pukul 19.00 lebih sedikit, Kevin berada di kamar mandi,
merapikan kostumnya. Wajah dan rambutnya berlumuran lumpur
jingga kecokelatan yang kental. Ia mengenakan kaus cokelat longgar dan jins
hitam baggy. Pakaiannya juga berlumuran lumpur.
Aku berdiri di pintu dan mengamati ketika ia menambahkan
gumpalan lumpur lagi ke rambutnya. "Hii. Kau kelihatan jorok sekali," kataku.
"Terima kasih, goblok," balasnya. "Kau sudah cuci piring?"
"Sudah," kataku bersungut-sungut.
"Dan sudah kauambil semua pakaian kotor dari kamarku dan
memasukkannya ke keranjang?"
"Sudah," gumamku.
"Sudah, "Tuan," katanya membetulkan. "Pelayan harus selalu sopan."
"Ya, Tuan," kataku mengulangi ucapannya. Ia benar-benar memeras tenagaku sejak
aku mau jadi pelayannya. Benar-benar tak bisa dipercaya betapa banyak tugas yang
disuruhnya untuk kulakukan!
Tapi sekarang saat yang kutunggu-tunggu semakin mendekat,
saat yang membuat bulan penuh pekerjaan membosankan bagiku ini terasa ada
gunanya. Kevin berbalik menatapku. "Bagaimana penampilanku?"
"Seperti seonggok lumpur," kataku.
Ia tersenyum. "Terima kasih." Kuikuti dia ke ruang depan.
Diambilnya kunci mobil di atas meja kecil. "Aku akan menjemput kedua temanku,"
katanya, sambil mengagumi penampilannya yang menjijikkan di cermin. "Setelah itu
kami akan mencari tempat persembunyian di hutan. Mau ikut?"
Aku menggeleng. "Tidak. Terima kasih. Aku harus pergi ke
rumah Molly dulu. Ada satu urusan kecil yang harus kami bereskan."
"Apa?" tanya Kevin.
"Membawa Courtney ke hutan," jawabku.
Chapter 24 "HAI, Eddie. Ada apa?" tanya ayah Molly.
Kami berada di dapur rumah Molly. Ayahnya membuka pintu
lemari es dan mengeluarkan sekaleng limun jahe. Lalu diperiksanya rak-rak di
lemari es, matanya memicing menatap cahaya lampu.
"Tak ada apa-apa, Dad," jawab Molly gelisah. "Eddie dan aku cuma main-main."
Ayahnya berpaling dari lemari es. "Kalian mau main Scrabble?"
"Tidak. Tidak mau, ah," jawab Molly cepat. "Jangan malam ini, oke?"
Kulirik jam dapur. Malam makin larut. Kami tak punya waktu
untuk mengobrol lama-lama dengan ayah Molly. Kami harus
membuat Courtney pergi ke hutan.
"Bagaimana kalau main kartu?" tanya ayahnya, kepalanya masuk lagi ke lemari es.
"Dari dulu kau minta kuajari main poker.
Malam ini aku tak banyak kerjaan, jadi - "
"Eddie dan aku harus membicarakan sesuatu," kata Molly.
"Dan... uh... kami harus menelepon beberapa teman."
Ayahnya tampak kecewa. Dikeluarkannya beberapa potong
daging dari lemari es dan membuat sandwich. "Kalian lapar?"
"Tidak," jawab Molly tidak sabar. Ditariknya aku ke ruang duduk.
"Molly, kita harus bergegas," bisikku.
"Tidak perlu kauberitahu," kata Molly datar. Didorongnya kacamatanya yang
melorot. "Ini. Kau bisa mendengarnya dari telepon ini, Eddie. Aku akan naik dan
menelepon Courtney."
"Apa yang akan kaukatakan" Kau tidak akan berpura-pura jadi Denise, kan?" Aku
mulai merasa sangat gelisah. Mestinya dari tadi kami menelepon Courtney.
Mestinya kami tidak menunggu sampai
saat-saat terakhir begini.
Molly tersenyum misterius padaku. "Lihat saja," katanya licik.
Ia lalu naik. Aku hilir-mudik di ruangan itu selama kira-kira satu menit,
memberi waktu bagi Molly untuk menelepon. Lalu dengan hati-hati kuangkat gagang
telepon dan kudekatkan ke telinga.
Molly sudah berhasil menghubungi Courtney. "Siapa ini?"
tanya Courtney. "Molly," itu jawabnya.
Aku menahan napas. Kenapa Molly mengatakan yang
sebenarnya pada Courtney"
"Hai, Molly. Ada apa?" tanya Courtney, suaranya terdengar terkejut. Ia dan Molly
bukan teman akrab. "Aku mendengar sesuatu yang kukira menarik bagimu," kata Molly cepat-cepat. "Aku
baru saja mendengar Monster-monster Lumpur malam ini diduga akan muncul di
sungai." Lama Courtney terdiam. Akhirnya ia berkata, "Ini lelucon, kan?"
"Bukan," jawab Molly cepat. "Aku benar-benar mendengarnya.
Mereka bilang sekarang bulan purnama, dan pada malam inilah
Monster-monster Lumpur bangkit setiap tahun."
"Molly, sudahlah," kata Courtney kasar. "Ayolah. Kenapa sih kau meneleponku?"
Ia tidak percaya, pikirku. Kucengkeram gagang telepon kuat-
kuat, tak bisa bernapas karena terlalu gelisah. Courtney tidak percaya.
Ide Molly gagal. "Yah, Courtney, di sekolah tadi kau bilang bahwa kau percaya monster benar-benar
ada," kata Molly. "Jadi waktu kudengar soal Monster Lumpur, kukira kau pasti
ingin sekali melihatnya."
"Dari mana kaudengar berita ini?" desak Courtney curiga.
"Dari radio," kata Molly berbohong. "Baru saja kudengar dari radio. Kata mereka
Monster-monster Lumpur malam ini akan bangkit di hutan ketika bulan purnama."
"Yah, kau saja yang pergi," kata Courtney dingin. "Kau bisa menceritakannya
padaku di sekolah hari Senin nanti."'
Oh, tidak, pikirku. Gagal. Gagal total. Seluruh rencana
berantakan. Abangku akan membunuhku!
"Yah, mungkin aku akan pergi," kata Molly pada Courtney, pantang menyerah.
"Maksudku, jarang-jarang kan bisa melihat monster asli. Tapi kalau kau takut,
Courtney, sebaiknya tinggal saja di rumah."
"Hah" Apa katamu barusan?" desak Courtney, suaranya jadi melengking.
"Kubilang," ulang Molly, "kalau kau takut, jelas sebaiknya kau menjauh saja dari
hutan." "Aku" Takut?" Suara Courtney melengking sampai nyaris hanya bisa didengar oleh
anjing. "Aku tak takut pada Monster Lumpur apa pun, Molly. Kutemui kau di sana
sepuluh menit lagi. Kecuali kalau kau takut."
"Tidak. Betul, kok. Tinggal saja di rumah," kata Molly pada Courtney. "Aku tak
mau bertanggung jawab. Kalau kau jadi panik dan terluka - "
"Sampai ketemu di sana," kata Courtney ketus. Ditutupnya telepon.
Beberapa detik kemudian Molly kembali ke ruang duduk sambil
tersenyum lebar. "Aku ini jenius, kan?" tanyanya.
"Kau jenius," jawabku. "Ayo pergi."
Chapter 25 AKU merinding ketika Molly dan aku mendekati hutan di
Muddy Creek. Udara terasa sejuk dan lembap. Awan hitam tipis
melayang menutupi bulan purnama, yang masih tergantung rendah di atas pepohonan.
"Ini mengasyikkan," kata Molly, matanya mengamati
pepohonan gelap di depan kami. "Aku tak percaya akhirnya kita akan menakut-
nakuti Courtney." "Aku juga tidak," kataku. "Aku hanya berpikir-pikir apa lagi yang bisa salah
sekali ini." "Tak ada," kata Molly meyakinkanku. "Berhentilah jadi pesimis begitu. Malam
inilah saatnya, Eddie."
Charlene dan Hat menunggu kami di tepi hutan.
Molly yang pertama melihat mereka dan melambai-lambai.
Kami berlari mendekat. "Kalian lihat abangku dan kedua temannya?" tanyaku, sambil-memandang ke arah
hutan gelap. "Tidak," jawab Hat.
"Tapi kami melihat Courtney," kata Charlene.
"Dia dan Denise bergegas-gegas pergi ke rumah pohon."
"Dia mengajak Denise?" teriakku. "Bagus! Kita takut-takuti juga si Denise!"
"Mereka melihatmu?" tanya Molly pada Charlene.
"Tidak," jawab Charlene. "Hat dan aku bersembunyi. Di sana."
Ditunjuknya serumpun semak lebat.
Hutan tiba-tiba tampak lebih terang. Aku mendongak dan
kulihat awan sudah tidak lagi menutupi bulan. Cahaya kuning pucat dan aneh
menyinari kami.
Goosebumps - Percuma Menakut-nakutiku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba pepohonan bergoyang ditiup angin. Kedengarannya
seperti berbisik di sekeliling kami. "Abangku dan teman-temannya pasti
bersembunyi di dekat sungai," kataku. "Ayo. Ayo pergi. Jangan sampai kita
ketinggalan saat pentingnya." Kami berjalan di antara pepohonan. Kami berusaha
tidak menimbulkan suara, tapi ranting dan daun kering ribut berderak-derak
terinjak sepatu kami. Aku terkesiap waktu mendengar erangan pelan. Erangan yang
sedih dan menyayat. Terdengar lagi.
Aku berhenti dan mendengarkan. Erangan lagi. "A-apa itu?"
bisikku tergagap. "Kedengarannya seperti burung. Merpati, mungkin," jawab Charlene.
Erangan lagi. Ya. Suara merpati, jauh di atas pohon.
"Hei, Eddie, kau sudah takut, ya?" desak Hat. Ditepuknya punggungku kuat-kuat.
"Kau harus tenang, Bung."
"Aku sudah tenang," gumamku. Aku malu karena panik hanya gara-gara merpati.
Untunglah karena gelap, mereka tak bisa melihatku merah padam.
Aku mengulurkan tangan dan memutar topi Hat, supaya aku
tidak memikirkan merpati tadi terus. "Hei!" teriak Hat, dengan marah ia
berbalik. "Ssst. Diam. Nanti Courtney dan Denise bisa mendengar kita,"
omel Molly. Kami cepat-cepat berjalan menuju rumah pohon. Hutan tampak
semakin gelap waktu kami berjalan pelan-pelan di bawah pepohonan yang berbisik-
bisik. Kami berjalan berdekatan. Tak ada yang berbisik ataupun bicara.
Aku mendengar erangan-erangan pelan lagi.
Kupaksa diriku untuk tidak memedulikannya. Takkan
kubiarkan lagi diriku ketakutan karena burung.
Rasanya sudah berjam-jam kami berjalan, meskipun sebenarnya
baru beberapa menit. Tenggorokanku terasa kering, dan lututku agak lemas.
Mungkin karena terlalu tegang.
"Oh!" Aku berteriak keras ketika tersandung sesuatu, akar pohon yang menonjol
atau batu. Aku jatuh terjerembap. "Aww!"
Hat dan Charlene cepat-cepat menarikku. "Kau baik-baik saja?"
bisik Charlene. "Yeah. Baik," gumamku sambil membersihkan diri. Aku jatuh menimpa siku kananku,
sakitnya bukan main. "Berhentilah menakut-nakuti kami," omel Charlene padaku.
"Aku tidak menakut-nakuti kalian," protesku. Sambil
mengusap-usap sikuku yang sakit, kuikuti mereka berjalan di jalan setapak.
Kami berhenti di tepi lapangan. Sambil tetap berada di bawah
kegelapan pepohonan, kami memandangi rumah pohon itu.
Rumah itu lebih mirip pelataran berdinding daripada rumah.
Maksudku, atapnya saja tidak ada. Courtney dan Denise duduk di dalamnya,
bersandar di satu dinding.
Cahaya bulan menerangi lapangan. Aku bisa melihat mereka
dengan jelas. Courtney sedang mengamati keadaan dengan teropong.
Denise sedang menyenter pepohonan. Di lehernya tergantung kamera.
Hebat, pikirku geli. Mereka selalu harus jadi ilmuwan
sempurna. Aku terkejut melihat mereka tidak membuat kertas kerja supaya bisa
memberi tanda pada tulisan Monster Lumpur ketika
melihatnya nanti. Di bawah kolom margasatwa!
Aku dan ketiga temanku berjongkok di balik serumpun ilalang
tinggi dan mengamati mereka. Courtney dan Denise terus berbicara sambil
mengamati dari atas dinding rumah pohon. Tapi aku tak bisa mendengar apa yang
mereka bicarakan. "Aku tak sabar lagi!" bisik Hat sambil membungkuk ke arahku.
Matanya yang hitam berkilat-kilat penuh semangat di bawah topinya.
Ia asyik mengunyah-ngunyah permen karet. "Mana abangmu?"
tanyanya. Mataku mengamati pepohonan yang berbaris di tepi sungai,
tepat di belakang lapangan. "Aku tidak melihatnya," bisikku pada Hat.
"Tapi dia dan teman-temannya pasti ada, entah di mana. Dan mereka akan keluar
sebentar lagi." "Lalu pertunjukan asyik akan dimulai," bisik Hat sambil menyeringai.
"Yeah," kataku setuju. "Lalu pertunjukan asyik akan dimulai."
Tapi aku ragu, takut. Di mana Kevin dan teman-temannya"
Di mana mereka" Lalu kulihat sesuatu bergerak di belakang rumah pohon di
pinggir lapangan. Chapter 26 KUCENGKERAM lengan baju Hat ketika melihat bayang-
bayang bergerak itu di dekat pohon. "Lihat!" bisikku, jantungku berdebar-debar.
Aku menunjuk ke seberang lapangan.
Tapi aku tak perlu menunjuk. Ia juga melihatnya. Kami semua
melihatnya. Courtney dan Denise sedang menghadap ke arah lain, mereka
tak sadar ada sesuatu terjadi di belakang mereka.
Aku melotot, menahan napas, sambil terus merunduk di balik
ilalang. Kulihat sosok gelap bergerak pelan ke arah rumah pohon.
Lalu kulihat sosok lain di belakangnya, yang tampak bangkit
dari lumpur. Sosok ketiga tampak berjalan terhuyung-huyung.
Ya! Tiga Monster Lumpur! Kevin dan teman-temannya telah datang untuk kami!
Courtney dan Denise masih belum melihat mereka. Courtney
bersandar di dinding rumah pohon, mengintai dengan teropong.
Denise menyorotkan senter ke arah lain.
Sekarang aku bisa melihat Kevin dan teman-temannya dengan
jelas. Mereka kelihatan hebat!
Kepala mereka tertutup lumpur basah dan hitam. Pakaian
mereka tampak robek-robek dan hancur.
Dengan lumpur menetes-netes, mereka maju terhuyung-huyung
seperti mayat hidup, dengan tangan terjulur.
Semakin dekat. Semakin dekat ke rumah pohon. Berbalik!
kataku dalam hati pada Courtney dan Denise.
Berbalik - dan mulailah menjerit sekuat tenaga!
Tapi Courtney dan Denise tetap tidak berbalik. Mereka sama
sekali tidak tahu bahwa tiga Monster Lumpur menjijikkan sedang mengendap-endap
di belakang mereka. Aku menoleh dan memandang ketiga temanku sekilas. Molly
dan Charlene kaku seperti patung, mulut mereka ternganga, mata mereka melotot,
menikmati pertunjukan. Hat tidak berkedip.
Mengamati penuh semangat. Menunggu.
Kami semua menunggu kedua korban kami menyadari
kedatangan Monster Lumpur.
Tiba-tiba, ketika sedang memandangi ketiga Monster Lumpur
yang terhuyung-huyung di lapangan itu, aku mendengar suara
gemeresik di belakangku. Suara ranting patah. Suara sepatu bergesekan dengan tanah.
Suara langkah kaki. Suara orang bergumam pelan.
"Hah?" Sambil terkesiap, aku berbalik.
Dan melihat tiga Monster Lumpur lain berdiri di belakang
kami! "Tidak!" Aku berusaha menjerit, tapi yang keluar hanya bisikan tertahan.
Hat, Molly, dan Charlene berbalik ketika ketiga Monster
Lumpur baru mendekat. Dan aku mengenali Kevin yang berdiri di tengah-tengah.
"K-Kevin!" aku tergagap.
"Maaf, goblok," bisik Kevin. "Ban mobilku tadi kempis.
Chapter 27 "KAMI terlambat, ya?" tanya Kevin. Aku tak menjawab. Tidak bisa.
Aku berbalik ke arah lapangan lagi. Ketiga Monster Lumpur
tadi berjalan terhuyung-huyung tepat di belakang rumah pohon. Mata mereka yang
terbenam mengintai dari balik lumpur basah yang
menetes-netes di wajah mereka.
Lalu kulihat lebih banyak lagi monster lumpur.
Kulihat tangan-tangan terjulur dari tanah. Kulihat kepala-kepala berlumpur
bermunculan. Semakin banyak tubuh bangkit tanpa suara dari dalam tanah yang
lunak. Sosok-sosok gelap, dengan lumpur kental bertetesan, bangkit
dan mulai berjalan terhuyung-huyung menyeberangi lapangan. Kaki mereka yang
tidak beralas menepuk-nepuk lumpur ketika mereka
berjalan. Sekarang jumlah mereka banyak sekali. Tubuh-tubuh yang
kurus, compang-camping, rusak, berlumuran lumpur, semua berjalan menuju rumah
pohon. Banyak sekali. Dan semakin banyak lagi,
bangkit dari tanah. "Lari!" jeritku sambil melompat dari balik ilalang. "Courtney!
Denise! Lari! Lari!"
Mereka ragu. Lalu akhirnya melihat monster-monster
mengerikan itu. Jeritan Courtney yang melengking membahana di antara
pepohonan. Ia menjerit ketakutan. Lagi. Dan sekali lagi. Ia dan Denise
sama-sama menjerit. Itu mestinya saat hebat bagi kami, saat kemenangan.
Tapi tidak. Kedua anak perempuan itu menjerit ketakutan. Lalu kusadari
kami semua menjerit. Dengan kaki membasahi tanah, Monster-monster Lumpur itu
maju terhuyung-huyung. Kulihat Courtney dan Denise melompat ke tanah. Lalu kulihat
mereka berlari sambil menjerit-jerit ketakutan.
Aku juga lari. Lari menerobos pepohonan gelap. Lari dari
hutan. Lari. Lari. Lari dari monster berlumuran lumpur yang kutahu
takkan pernah kulupakan, tak peduli seberapa jauh aku berlari.
******************************
Yah, itu semua terjadi dua minggu yang lalu. Dua minggu yang
terasa panjang. Kengerian sudah berakhir. Semuanya telah berlalu.
Tapi aku tetap tak ingin sering-sering pergi ke luar. Aku benar-benar tak suka
keluar rumah. Begitu juga teman-temanku.
Kemarin Kevin bertanya apa aku mau menonton video Monster
Lumpurnya. Sudah diedit dan diproses, katanya.
Kubilang tidak mau. Aku sama sekali tak mau menontonnya.
Sejak malam di hutan itu aku selalu gelisah dan tegang.
Teman-temanku juga gelisah dan tegang. Kami semua benar-
benar tertekan. Kecuali Courtney. Kau tahu apa yang dilakukan Courtney" Ia menyombongkan
diri pada semua orang bahwa ia betul. Di dunia ini memang ada
monster. Courtney menyombongkan diri pada semua orang bahwa ia
telah membuktikan bahwa monster benar-benar ada karena ia
melihatnya. Ia malah lebih parah daripada dulu.
Kami - aku dan teman-temanku - ingin sekali menakut-nakuti
Courtney. Kami ingin sekali menakut-nakuti Courtney habis-habisan.
Tapi tidak bisa. Kami terlalu takut. END
Pendekar Kedok Putih 2 Raja Naga 11 Pengadilan Rimba Persilatan Bila Pedang Berbunga Dendam 10