Pencarian

Percuma Menakut Nakutiku 1

Goosebumps - Percuma Menakut-nakutiku Bagian 1


Chapter 1 KAMI merencanakan untuk menakut-nakuti Courtney waktu
kelas kami mengadakan acara jalan-jalan.
Mr. Melvin, guru kami, dan Ms. Prince, guru kelas enam lain,
menghitung jumlah kami ketika kami naik ke bus sekolah yang
berwarna kuning. Courtney tentu saja berdiri paling depan. Cewek itu selalu
berada paling depan. Temannya, Denise, tepat di belakangnya.
Hari itu mendung. Awan badai hitam bergulung-gulung di
langit, menutupi matahari. Penyiar radio mengatakan 90%
kemungkinan nanti akan hujan.
Aku tidak peduli. Aku senang bisa keluar dari sekolah.
Kudorong temanku Hat ke anak yang berdiri di depannya.
Namanya sebetulnya Herbie, tapi orang-orang memanggilnya Hat,
"topi". Soalnya orang selalu melihatnya memakai topi bisbol. Aku sudah mengenal
Hat sejak kelas empat, dan kurasa aku belum pernah melihat rambutnya.
Anak di depannya berbalik dan balas mendorong Hat ke arahku.
"Hei - jangan macam-macam!" teriak Hat. Didorongnya bahuku kuat-kuat. "Nyaris saja
permen karetku tertelan, Eddie."
"Hei, anak-anak, jangan ribut," kata Mr. Melvin sambil memelototi kami. Mr.
Melvin guru yang oke, beliau selalu
menganggap kami seperti temannya saja. Pokoknya asyik, buktinya sekarang kami
dibawa jalan-jalan. "Kenapa kita pergi ke hutan?" gerutu Hat, sambil memasukkan kembali permen karet
ke mulutnya. "Apa yang harus. kita cari?"
"Kurasa pohon," jawabku. Aku tidak ingat mengapa kami pergi ke Greene Forest.
Aku hanya ingat kami harus mencatat-catat.
"Eddie, mau permen karet?"
Aku berbalik dan melihat temanku Charlene berdiri tepat di
belakangku. Di mulutnya dan di mulut temanku yang lain, Molly, ada gumpalan
besar permen karet anggur. Mereka asyik mengunyah-ngunyah.
"Molly, bagaimana caranya kau mengunyah permen karet, kau kan pakai kawat gigi?"
tanyaku. Ia menyeringai lebar, memamerkan giginya padaku. ''Tidak
terlalu lengket kok," katanya.
Kawat gigi Molly berwarna merah dan biru. Ia selalu
memamerkannya. Aku tidak tahu kenapa.
Molly dan Charlene sangat mirip, nyaris seperti kakak-beradik.
Mereka sama-sama berambut cokelat dan bermata cokelat. Tinggi
mereka kira-kira sama denganku, sekitar 158 senti. Keduanya selalu memakai jins
belel dan kaus longgar. Bedanya, Molly berkacamata dan memakai kawat gigi.
"Aku nanti akan melindungi kalian di hutan yang lebat dan gelap itu," godaku.
"Tahu, kan. Siapa tahu kalian diserang kutu atau apalah."
"Eddie benar-benar macho," kata Hat menyeringai. "Dia benar-benar pemberani."
Ditinjunya bahuku kuat-kuat.
Aku pura-pura tidak merasa sakit.
"Kalian berdua berkutu," kata Charlene.
"Kami akan melindungimu, Eddie," goda Molly. "Mungkin di sana ada cacing-cacing
jahat!" Hat, Molly, dan Charlene tertawa terbahak-bahak. Ceritanya
waktu kami berempat pergi memancing ke Muddy Creek, aku tidak
bisa memasang cacing ke kailku.
"Aku tak takut pada cacing itu!" teriakku marah. "Aku cuma jijik."
Aku bersungut-sungut, tapi tidak marah sungguhan. Aku sudah
terbiasa digoda teman-teman. Mereka selalu mengejek bintik-bintik di wajahku dan
rambutku yang merah. Dan abangku, Kevin, menjuluki aku Bugs. Katanya aku mirip
dengan Bugs Bunny karena dua gigi
depanku menonjol. "Ada apa, Doc" Ada apa, Doc?" Itu-itu terus yang dikatakan Kevin padaku. Ia dan
teman-teman SMA-nya menganggap
kelakuannya itu lucu sekali.
Aku naik ke bus dan melewati Hat supaya bisa mendapat
tempat duduk di dekat jendela. Courtney dan Denise tentu saja sudah duduk di
kursi paling depan. Courtney sedang menyisir rambut
pirangnya yang panjang dan bercermin di jendela bus. Denise sedang menulis
sesuatu di buku catatannya.
Hat menabrakku hingga aku terjatuh di gang. Cepat-cepat ia
menyelinap ke tempat duduk dan duduk di dekat jendela. "Hei -
curang!" teriakku. Ia tertawa mengikik dan menyeringai. Hat sahabat karibku, tapi terpaksa kuakui
tampangnya ketolol-tololan. Maksudku, ia selalu menyeringai, mirip Dopey di
Putri Salju dan Tujuh Kurcaci. Dan telinganya besar sekali, tersembunyi di balik
topi bisbolnya. Ia anak baik. Molly, Charlene, dan aku dibuatnya tertawa terus.
"Pulang nanti aku yang duduk di dekat jendela," kataku, sambil menjatuhkan diri
ke sebelah Hat. Charlene mengacak-acak rambutku ketika lewat di sampingku.
"Kenapa tempat itu disebut Greene Forest?" tanya Hat sambil menekan hidungnya ke
jendela bus. Ia mengamati kaca yang
berembun karena embusan napasnya. "Kok tidak Blue Forest atau Red Forest?"
"Dulu pemiliknya bernama Greene," jelasku. "Ia menyerahkan tempat itu kepada
pemda kota waktu meninggal."
"Aku sudah tahu kok," sahut Hat. Dasar tukang bohong.
Aku memutar topinya sampai terbalik. Ia paling sebal
dibegitukan. Salah sendiri, habis ia menyerobot tempat dudukku.
Beberapa menit kemudian, bus sudah melaju ke Greene Forest.
Tak lama kemudian kami keluar dari bus, memandangi pepohonan
tinggi yang menggapai langit gelap dan berawan.
"Buat dua kolom di lembaran tugas kalian," kata Ms. Prince.
"Satu kolom untuk fauna dan satu lagi untuk flora."
"Kau kumasukkan ke kolom flora," kataku pada Charlene.
Dijulurkannya lidahnya padaku, di ujungnya ada gumpalan
permen karet ungu. Hat memukul punggungnya keras sekali sehingga gumpalan permen
karet itu terbang. Charlene berteriak marah dan berusaha memukulnya, tapi Hat
berhasil mengelak. Ia terlalu cepat bagi Charlene.
Guru-guru membagi kami jadi kelompok-kelompok. Kami
mulai menjelajahi hutan. Kami berjalan di jalan setapak yang
berkelok-kelok di antara pepohonan.
Udara di dalam hutan lebih sejuk dan gelap. Aku berharap
semoga matahari keluar dari balik awan.
"Apa itu yang hijau-hijau di pohon itu?" tanya Hat padaku, sambil menunjuk.
"Lumut ya" Lumut termasuk flora atau fauna?"
"Mestinya kau tahu," kataku. "Di punggungmu kan ada!"
Molly dan Charlene tertawa, tapi Hat tidak. "Kau tidak pernah serius, ya?"
Ditulisnya sesuatu di lembaran tugasnya.
Kulirik lembaran tugasku. Aku belum menulis apa-apa.
Maksudku, aku baru melihat sekelompok pepohonan dan beberapa
ilalang. Siapa yang mau menulis tanaman-tanaman seperti itu"
"Binatang-binatangnya bersembunyi semua," kata Ms. Prince pada kelompok di depan
kami. "Cari tempat persembunyian mereka.
Perhatikan lubang-lubang di tanah dan di pohon. Cari sarang-sarang tersembunyi."
Kupandangi pepohonan yang menjulang tinggi. Dedaunannya
terlalu lebat sehingga menutupi sarang-sarang. Aku baru saja akan mengatakan
pada Hat sebaiknya ia mencari di bawah batu karena dari sanalah ia berasal. Tapi
sebelum sempat bicara, kudengar teriakan pelan di belakang kami.
"Sssttt! Lihat! Rusa!"
Kami semua berbalik untuk melihat siapa yang berteriak itu.
Tentu saja Courtney. Siapa lagi yang pertama melihat rusa"
Ia dan Denise berdiri kaku seperti patung, menatap celah sempit di antara
pepohonan. Courtney terus menempelkan jarinya ke bibir, memberi tanda supaya
anak-anak diam. Hat, Molly, Charlene, dan aku berlari mendekat untuk melihat
rusa itu. "Aku tidak melihat apa-apa," kataku, sambil memicingkan mata ke arah
pepohonan. "Sudah lari," kata Courtney.
"Kau tidak sempat melihatnya," tambah Denise. Kulihat ia menulis rusa di kolom
fauna lembaran tugasnya. Sudah ada empat binatang di dalam daftarnya. Aku belum
menulis satu pun. "Kau melihat kelelawar tidur tadi?" tanya Courtney padaku.
"Kelelawar?" Aku tidak suka kelelawar. Menjijikkan. Dan bagaimana kalau kau
sampai digigit" "Dia tergantung di pohon itu," kata Courtney, sambil menunjuk ke belakang kami.
"Kok kau sampai tidak melihatnya sih?"
Aku mengangkat bahu. "Itu pohon birch," kata Denise pada Courtney. "Dan itu pohon weeping beech.
Tulis di daftar." Hat, Molly, dan Charlene sudah berjalan lagi, aku bergegas
mengejar mereka. Menurutku, Courtney dan Denise bekerja terlalu keras. Jalan-
jalan begini mestinya untuk bercanda dan bersenang-senang di luar sekolah.
Kami berjalan perlahan-lahan di hutan. Sesaat kemudian,
matahari muncul dan memancarkan berkas-berkas sinar kuning di
antara pepohonan. Aku mencoba mendorong Hat ke serumpun tanaman gatal. Tapi
ia mengelak, sehingga aku terjerembap ke tanah.
Aku masih sibuk membersihkan diri waktu kulihat ular itu.
Tepat di sebelah sepatu kiriku.
Ular itu besar dan berwarna hijau terang.
Aku menahan napas. Kupandangi ular itu.
Aku nyaris menginjaknya tadi.
Sementara aku tidak berdaya menatapnya, ular itu
melengkungkan kepalanya, membuka mulutnya, dan meluncur untuk
menggigit kakiku. Aku membuka mulut ingin menjerit, tapi tak ada suara yang
keluar. Chapter 2 ULAR itu menerkamku. Aku memejamkan mata dan menunggu
digigit. "Ohh." Aku berteriak pelan, ketakutan.
Kubuka mataku dan kulihat Courtney memegangi ular itu.
"Courtney... aku... aku..." kataku tergagap.
"Eddie, kau tidak takut pada ini kan?" kata Courtney, didekatkannya ular itu ke
wajahku. Mata hitam ular itu menatapku.
Lidahnya terjulur-julur. "Ini ular hijau yang tidak berbahaya, Eddie," kata Courtney.
"Kau tidak mungkin takut pada ular hijau!"
Kudengar Denise tertawa mengejek di belakangku.
Courtney mengelus-elus ular itu, dibiarkannya lolos dari sela
jari-jarinya. "Uh... aku tadi tidak benar-benar takut kok," gumamku. Tapi suaraku bergetar.
Aku tahu Courtney tidak percaya padaku.
"Ular hijau yang tidak berbahaya," ulangnya. Diletakkannya ular itu di tanah.
Aku melompat mundur. Kukira ular itu akan menyerangku lagi.
Tapi ia menyelinap diam-diam ke dalam ilalang. Hat tertawa.
Tawanya melengking gelisah.
Denise menggeleng-geleng.
"Tulis di daftar," kata Courtney padanya. "Ular hijau. Sudah tujuh isi kolom
fauna kita." "Mestinya kita juga menulis ayam," kata Denise, sambil menatapku. "Biar jadi
delapan." "Kotek kotek," balasku sebal. Aku memberi tanda pada teman-temanku supaya
mengikutiku, kami bergegas pergi. Kami bisa
mendengar Courtney dan Denise tertawa-tawa.
"Tenang saja," kata Hat padaku, ditepuk-tepuknya bahuku.
"Tidak apa-apa kok, biarpun dia membuatmu kelihatan konyol sekali."
Molly tertawa, tapi Charlene tidak. "Courtney cuma ingin
pamer," kata Charlene padaku. "Sekali-sekali."
"Aku berharap ular itu tadi menggigit hidungnya yang
sempurna," kata Molly. "Tahu, kan. Biar agak pesek sedikit."
"Aku tadi tidak benar-benar takut kok," kataku bersikeras. "Ular itu cuma
membuatku kaget. Aku tahu itu tidak berbahaya."
"Yeah. Tentu," jawab Hat, dibelalakkannya matanya yang hitam kecil. Kutepiskan
topinya tapi luput. "Selesail Selesai!" seru Courtney. Ia dan Denise bergegas melewati kami, sambil
melambai-lambaikan lembaran tugas mereka.
Denise berbalik dan mendesis padaku seperti ular. Courtney tertawa.
"Kurasa mereka akan mengejekku soal ular hijau tadi selama seratus tahun
mendatang," kataku sambil menghela napas.
"Kami semua akan mengejekmu soal ular itu selama seratus
tahun mendatang," janji Molly.
Dengan sebal aku berjalan di jalan setapak. Sinar matahari yang keemasan tampak
di sela-sela pepohonan, tapi aku tetap saja merasa sebal. Seekor tupai lucu
berbulu merah melintas. Aku tidak tertarik.
Rusak sudah hari ini. Dirusak deh Courtney dan ular hijau tolol itu.
Bisa kudengar anak-anak di depan menertawakan aku. Setiap
kali aku melihat ke arah Hat, ia menyeringai seperti mengatakan,
"Habis kau hari ini, Eddie."
Soal kecil, kataku berulang-ulang dalam hati. Memang aku
ketakutan karena ular. Dan harus diselamatkan oleh Courtney.
Memangnya kenapa" "Awas, Eddie. Ada ulat. Bisa menggigit, lho!" teriak beberapa anak di dekat
serumpun ilalang di depan.
"Jangan macam-macam!" teriakku marah.
Ketika berjalan di jalan setapak, hutannya tampak kabur di
mataku. Anak-anak sibuk mencatat di lembaran tugas mereka.
Tapi aku tidak melihat apa pun untuk dicatat. Udara panas dan
lembap. Kausku menempel di punggung. Ngengat-ngengat putih kecil beterbangan di
sekeliling wajahku. Aku senang sekali ketika jalan setapak itu berakhir dan kami
sampai ke dekat tempat parkir. Kami sudah berkeliling. Bus sekolah diparkir di
tepi lapangan rumput, pintunya terbuka lebar.
Tapi tak ad a yang naik ke bus.
Aku terkejut sekali melihat anak-anak berkerumun tak jauh dari bus. Mereka
berdiri diam, menatap lurus ke depan.
"Ada - ada apa?" seruku pada Charlene, yang bergegas
mendatangi kerumunan anak-anak itu.
"Courtney!" serunya.
Aku segera lari juga. Anak-anak berkerumun tanpa suara. Tak ada yang bergerak.
Apakah telah terjadi sesuatu yang mengerikan pada Courtney"
Chapter 3 APA yang terjadi padanya" Apa ia pingsan" Apa ia digigit
binatang hutan" Aku berlari menyeberangi lapangan rumput dan menerobos
kerumunan anak-anak. Dan kulihat Courtney berdiri di tengah-tengah kerumunan,
tersenyum senang. Aku keliru. Courtney tidak apa-apa.
Ia sedang pamer lagi. Tangannya terangkat dan ditunjukkannya pada semua orang
telapak tangannya yang terbuka. Di tangannya ada dua tawon besar, merayap di
telapak tangannya. Aku menarik napas dan memperhatikan.
Senyum Courtney semakin lebar waktu melihatku.
Tawon yang satu melintasi pergelangan tangan Courtney dan
berjalan di lengannya. Yang lain berdiri di tengah-tengah telapak tangannya.
Mr. Melvin dan Ms. Prince berdiri di seberang Courtney. Wajah
mereka tampak kagum. Mr. Melvin tersenyum. Ms. Prince bersedekap tegang. Ia
tampak lebih waswas dibandingkan Mr. Melvin. "Tawon tidak akan menyengat kalau


Goosebumps - Percuma Menakut-nakutiku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak diganggu," kata Courtney pelan.
"Bagaimana rasanya?" tanya seorang anak.
"Agak geli," kata Courtney.
Beberapa anak tidak mau melihat. Yang lain menggeram atau
bergidik. "Buang sajalah!" desak seseorang.
Tawon tadi merayap di lengan Courtney menuju lengan baju
kausnya. Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Courtney kalau tawon itu sampai
merayap ke dalam bajunya. Apa ia akan panik"
Apa ia akan kacau-balau, menjerit-jerit dan melompat-lompat
tidak karuan, berusaha mengeluarkan tawon itu"
Tidak. Tidak mungkin. Courtney tidak mungkin begitu.
Courtney yang tenang dan mantap tidak akan mungkin begitu.
Tawon yang lain merayap pelan melintasi tangannya.
"Geli. Geli sekali," Courtney terkikik. Rambut pirangnya berkilauan terkena
matahari. Mata birunya berbinar-binar karena girang.
Ayo, tawon - sengat! SENGAT! kataku dalam hati. Aku ingin
tahu apa anak-anak lain juga punya pikiran, sama denganku.
Kuakui, jahat juga pikiranku itu. Tapi Courtney sudah
keterlaluan, sih. Ayo - sengat sedikiit saja! pintaku sambil berkonsentrasi sekuat tenaga.
Tawon di lengan Courtney berputar setelah sampai di lengan
kausnya dan pelan-pelan kembali ke siku Courtney.
"Tawon betul-betul lembut," kata Courtney pelan. Kedua tawon itu sekarang berada
di telapak tangannya. Courtney tersenyum padaku. Aku bergidik. Bagaimana ia
melakukannya" pikirku.
Harus kuakui sejak dulu aku takut tawon. Sejak aku disengat
waktu kecil. Ada yang mau mencoba?" tanya Courtney. Terdengar tawa
gelisah. Tak ada yang mau nekat mencoba.
"Nih, Eddie - tangkap!" seru Courtney.
Sebelum aku sempat bergerak atau berteriak atau mengelak atau
berbuat apa pun - ia menarik tangannya dan melempar kedua tawon
itu padaku! Chapter 4 AKU menjerit dan melangkah mundur. Kudengar anak-anak
terkesiap. Tawon yang satu mengenai bahuku dan jatuh ke rumput.
Yang lain terbang ke bagian depan kaus Hat dan menempel di
sana. "Ambilkan! Ambilkan!" jerit Hat. Ia mengibas-ngibaskan bajunya dengan dua tangan
dan melompat-lompat tidak karuan.
Beberapa anak menjerit. Tapi sebagian besar ramai tertawa.
Kupandangi tawon yang jatuh ke rumput. Tawon itu terbang
sambil mendengung dan menyerbu wajahku.
"Woo!" jeritku dan jatuh berlutut, tanganku menggapai-gapai.
"Kurasa sudah waktunya kita kembali ke sekolah," kudengar suara Mr. Melvin di
antara tawa anak-anak lain.
***************************
Courtney tersenyum puas padaku waktu aku berjalan melewati
bangkunya di bus. Aku tetap menatap lurus ke depan dan berjalan semakin cepat,
tak kupedulikan dia. Beberapa anak mendengung seperti tawon. Yang lain mendesis
seperti ular. Semua orang menganggap kelakuanku dan Hat yang
ketakutan tadi lucu sekali.
Aku duduk di bangku paling belakang sambil menghela napas.
Hat duduk di sebelahku dan menarik topinya sampai menutupi mata.
Bangku itu memanjang memenuhi bagian belakang bus. Molly
dan Charlene bergabung bersama kami. Charlene sibuk mengunyah
permen karetnya. Molly berusaha melepaskan permen karet dari
kawat giginya. Tak ada yang bicara sampai bus berangkat.
Setelah itu kami mulai menggerutu pelan tentang Courtney dan
kelakuannya yang suka pamer. "Dia merasa yang paling hebat,"
gumam Hat sebal. "Lagaknya seperti tidak takut pada apa pun," kata Charlene.
"Seperti Superwoman saja."
"Dia jahat sekali melemparkan tawon ke Eddie," tambah Molly, masih berusaha
keras melepaskan permen karet dari kawat giginya.
"Dia tahu betapa penakutnya Eddie," kata Hat. "Dia tahu Eddie pasti akan
menjerit dan bertingkah konyol."
"Hei, kau juga!" teriakku meski tidak bermaksud bertingkah kekanak-kanakan
begitu. "Hei, aku berada di pihakmu!" kata Hat sambil mendorongku.
Kudorong lagi dia. Aku marah sekali. Pada diriku sendiri,
kurasa. "Pasti ada sesuatu yang ditakuti Courtney," kata Charlene serius.
Bus berhenti di lampu merah. Aku memandang sekilas ke luar
jendela dan melihat kami berada di hutan di dekat Muddy Creek.
''Mungkin dia takut pada Monster-monster Lumpur," kataku.
Ketiga temanku tertawa pahit. "Tak mungkin," kata Charlene.
"Tak ada lagi yang percaya itu benar-benar ada. Itu dongeng lama yang konyol.
Tak mungkin Courtney takut pada Monster-monster
Lumpur." Di kota kami ada legenda tentang Monster-monster Lumpur
yang hidup di dalam tanah, di pinggir sungai berlumpur. Dan kadang-kadang di
kala bulan purnama, Monster-monster Lumpur bangkit dari dasar sungai dengan
tubuh berlumur lumpur, dan mencari korban
untuk ditarik ke dalam lumpur bersama mereka.
Cerita yang bagus. Waktu masih kecil dulu aku mempercayai
cerita itu. Abangku Kevin, selalu mengajakku ke hutan. Mula-mula ia bercerita
tentang kebangkitan Monster-monster Lumpur. Lalu ia mulai menunjuk, gemetaran,
dan mengatakan melihat mereka. Aku berusaha supaya tidak takut. Tapi tidak bisa.
Aku selalu saja menjerit dan lari tunggang-langgang!
"Abangmu masih membuat film tentang Monster-monster
Lumpur?" tanya Hat. Aku mengangguk. "Yeah. Kau harus melihat kostum
menjijikkan yang dibuatnya bersama teman-temannya. Memang
benar-benar menjijikkan."
Kevin dan beberapa temannya sedang membuat film video
sebagai tugas dari salah satu pelajaran SMA-nya. Film horor, judulnya Monster-
monster Lumpur dari Muddy Creek.
Aku memohon-mohon supaya dilibatkan dalam film itu. Tapi
katanya ia tak mau mengambil risiko. "Bagaimana kalau Monster-monster Lumpur
yang sebenarnya bangkit dan mengejarmu?"
tanyanya menyeringai. Aku berusaha menjelaskan bahwa aku sudah besar, ia takkan
bisa menakut-nakutiku dengan cerita seperti itu lagi. Tapi tetap saja Kevin tak
mau melibatkan aku dalam film itu.
Bus tersentak sebelum melaju lagi. Aku melihat ke depan dan
mendapati Courtney dan Denise sedang menatapku sambil tertawa-
tawa. Kualihkan pandanganku ke teman-temanku. "Kita harus
mencari jalan untuk menakut-nakuti Courtney," kataku sengit.
"Pokoknya harus!"
"Eddie benar," kata Hat cepat. "Kita harus mencari jalan untuk menakut-nakuti
Courtney dan mempermalukannya di depan anak-anak lain. Kalau tidak, dia takkan
pernah membiarkan kita melupakan hari ini."
"Tapi dia pemberani sekali, sama sekali tak kenal takut," kata Charlene
menggeleng. "Apa yang bisa kita lakukan untuk menakut-nakuti dia?"
Kami semua mengerang pelan, menggeleng-geleng, berpikir
keras. Lalu kulihat Molly tersenyum jahat. Didorongnya kacamatanya
yang melorot. Di balik kacamatanya, matanya yang cokelat berbinar-binar
bersemangat. "Kurasa aku punya ide," bisiknya.
Chapter 5 "ABANGKU punya ular karet yang menjijikkan," bisik Molly.
Senyumnya melebar. Kami berempat duduk berdesakan di ujung bangku belakang.
Setiap kali bus terlonjak, kami hampir jatuh ke lantai.
"Courtney tidak takut ular," potong Hat. "Dia suka membelai-belainya. Ingat?"
"Itu kan ular hijau konyol," bisik Molly. ''Ular karet abangku besar dan hitam.
Mulutnya menganga. Taringnya besar dan runcing-runcing. Wajahnya seram, dan..."
"Kelihatan seperti ular betulan atau mainan?" tanyaku.
Bus terlonjak keras. Kami semua terlompat nyaris setengah
meter. "Kelihatan seperti betulan," jawab Molly, matanya berkilat-kilat di balik
kacamatanya. "Dan terasa hangat dan agak lengket."
"Hii!" jerit Charlene, wajahnya berkerut jijik.
"Sudah sering dia menakut-nakuti aku dengan ular itu," kata Molly. "Benar-benar
seperti ular betulan dan menjijikkan sekali. Aku tertipu terus. Pernah sekali
waktu tengah malam aku merogoh ke bawah bantal dan merasa ular itu ada di sana.
Hampir satu jam aku menjerit-jerit. Tidak ada yang bisa menghentikan jeritanku."
"Bagus!" seru Hat.
Aku masih ragu. "Menurutmu ular itu benar -benar bisa
membuat Courtney menjerit?"
Molly mengangguk. "Dia pasti jadi gila. Betul-betul gila. Ular karet ini bisa
membuat ular asli ketakutan!"
Kami semua tertawa terbahak-bahak. Beberapa anak di barisan
depan menoleh untuk melihat apa yang lucu. Di sana aku bisa melihat Courtney dan
Denise sedang menulis di buku catatan. Mungkin
mereka sedang saling menyalin catatan. Mereka berdua harus jadi murid paling
jago dalam segala hal. "Aku sudah tak sabar ingin menakut-nakuti Courtney," kataku waktu bus masuk ke
sekolah kami. "Kau yakin bisa mengambil ular itu dari abangmu, Molly?"
Molly menyeringai. "Aku tahu di laci mana dia menyimpannya.
Kupinjam saja sebentar."
"Tapi mau kita apakan ular itu?" desak Charlene. "Bagaimana cara kita menakut-
nakuti Courtney dengan ular, itu" Di mana akan kita sembunyikan?"
"Di bungkusan makan siangnya, tentu," jawab Molly.
Kami berempat turun dari bus sambil tersenyum lebar.
************************************
Semua bungkusan makan siang disimpan di rak buku rendah di
belakang kelas kami. Kami selalu makan siang di kelas. Sekolah kami sangat kecil
sehingga tidak punya kantin. Bungkusan makan siang Courtney mudah dikenali.
Pokoknya yang paling besar di rak.
Ibunya selalu menyediakan dua sandwich dan dua kotak jus.
Ditambah sebungkus keripik kentang dan sebuah apel, keju, dan
biasanya satu atau dua kue buah.
Aku tak tahu kenapa ibu Courtney menyediakan begitu banyak
makanan. Tak mungkin Courtney bisa menghabiskan semuanya. Saat makan siang, ia
jadi pahlawan karena makanannya dibagikannya pada anak-anak yang makanannya
tidak enak. Keesokan paginya, aku agak terlambat berangkat ke sekolah.
Bungkusan makan siang sudah berjejer di rak rendah. Kulihat di ujung ada
bungkusan makan siang Courtney yang menggelembung.
Kuamati bungkusan makan siang itu sambil meletakkan
bungkusanku di ujung yang satu lagi. Apa Molly berhasil melakukan tugasnya" Apa
ia sudah memasukkan ular karet ke dalam bungkusan Courtney"
Aku tidak bisa mengetahuinya hanya dengan memandangi
bungkusan itu saja. Tapi aku bisa tahu dari melihat Molly. Wajahnya merah padam,
dan ia terus-menerus melirikku gelisah.
Ya. Molly berhasil. Sekarang kami tinggal menunggu tiga setengah jam lagi sampai
saat makan siang nanti. Bagaimana aku bisa berkonsentrasi" Aku duduk dengan gelisah
dan terus-menerus menoleh ke bungkusan makan siang Courtney yang menggelembung.
Aku membayangkan apa yang sebentar lagi akan terjadi.
Kubayangkan terus berulang-ulang. Kubayangkan Courtney duduk di depan Denise
seperti biasanya. Kulihat ia mengobrol. Kulihat ia merogoh ke dalam bungkusan
kertas cokelatnya... Kulihat wajah Courtney yang ketakutan. Kubayangkan
jeritannya. Kubayangkan ular itu melompat keluar dari dalam
bungkusan, taringnya kelihatan, matanya menyala seperti bara api.
Kubayangkan Courtney menjerit ketakutan dan anak-anak
menertawakannya, mengolok-oloknya. Kubayangkan aku berjalan
santai mendekat dan mengambil ular itu. "Wah, ini cuma ular karet, Courtney,"
begitu kataku, sambil mengangkat ular itu tinggi-tinggi supaya semua orang bisa
melihatnya. "Mestinya kau tidak takut pada ular karet. Ular karet tidak
berbahaya. Sama sekali tidak berbahaya!"
Kemenangan besar! Sepanjang pagi, Hat, Molly, Charlene, dan aku saling
menyeringai, sambil diam-diam bertukar pandang. Kurasa kami tidak mendengar
ucapan Mr. Melvin sepatah pun.
Aku tak tahu kata-kata apa yang tertulis di papan tulis. Dan aku tak tahu
matematika macam apa yang ada di kertas ulanganku. Yang kelihatan hanya huruf-
huruf kabur dan tanda-tanda tidak jelas.
Sepanjang pagi aku dan ketiga temanku tak sabar memandangi
jam. Akhirnya tiba juga saat makan siang.
Kami berempat berkumpul. Kami menunggu di meja kami dan
mengamati Courtney dan Denise berjalan bersama-sama ke belakang kelas untuk
mengambil makan siang mereka.
Kami mengamati Courtney membungkuk di depan rak buku.
Mula-mula diserahkannya makan siang Denise. Lalu diambilnya
bungkusan makan siangnya sendiri.
Mereka berjalan ke meja tempat mereka biasa makan. Mereka
menarik kursi dan duduk berhadapan.
Ini dia, pikirku sambil menahan napas.
Ini dia saat yang ditunggu-tunggu.
Chapter 6 AKU dan teman-temanku bergegas mengambil makan siang
kami. Kami tak ingin sampai ada yang heran kenapa kami cuma
berdiri memandangi Courtney.
Kami duduk di meja yang biasa. Mataku tak lepas dari
Courtney. Saking terlalu gelisah dan tidak sabar, bisa rasanya aku meledak!
Courtney mulai membuka bungkusan makan siangnya.
Tepat pada saat itu, terdengar geraman pelan dari belakang
kelas. Suara Mr. Melvin. "Oh, tidak," serunya. "Aku lupa membawa makan siangku."
"Tenang saja," seru Courtney padanya.
Mr. Melvin berjalan ke meja Courtney. Ia membungkuk dan
mulai berbincang-bincang dengannya. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka
bicarakan. Saat makan siang, ruang kelas selalu bising karena semua orang
berbicara, tertawa, membuka, bungkusan makan siang, dan mengeluarkan isinya.
Di ruangan itu hanya Hat, Molly, Charlene, dan aku yang diam.
Kami mengamati Courtney dan Mr. Melvin yang terus
bercakap-cakap. "Apa yang mereka bicarakan?" bisik Hat padaku. "Kenapa tidak dibiarkannya
Courtney membuka bungkusannya?"
Aku mengangkat bahu, mataku terus menatap Courtney.
Wajahnya tampak serius. Lalu ia tersenyum pada Mr. Melvin.
Diserahkannya bungkusan makan siangnya. "Tidak, betul, tidak apa-apa," kata
Courtney pada Melvin. "Bapak boleh mengambil sebagian makan siang saya. Bapak
tahu, kan, ibu saya selalu
menyediakan terlalu banyak makanan."
"Oh, tidak," erangku. Tiba-tiba aku merasa mual. "Kita peringatkan saja Mr.
Melvin?" tanya Hat padaku.
Terlambat. Mr. Melvin masih berdiri di samping meja Courtney.


Goosebumps - Percuma Menakut-nakutiku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dibukanya bungkusan itu dan merogoh ke dalam. Matanya menyipit karena bingung.
Lalu ia berteriak melengking sambil menarik ular besar hitam
itu keluar. Bungkusan makan siangnya jatuh ke lantai. Ular karet itu
menggeliat-geliat sebentar di tangannya. Molly benar. Ular itu kelihatan sangat
asli.. Mr. Melvin berteriak lagi. Ular itu jatuh ke lantai.
Anak-anak berteriak dan menjerit terkejut.
Courtney melompat dari tempat duduknya. Didorongnya Mr.
Melvin pelan supaya tidak menghalangi. Lalu diinjak-injaknya ular itu kuat-kuat.
Tindakan pahlawan. Beberapa detik kemudian, diangkatnya ular itu dan tersenyum
penuh kemenangan pada Mr. Melvin. Ular itu terpotong dua. Ia telah menginjak
kepalanya sampai putus. "Abangku akan membunuhku!" erang Molly.
"Yah, paling tidak kita berhasil menakut-nakuti Mr. Melvin,"
kata Charlene sepulang sekolah. Charlene selalu berusaha melihat dari segi
positif. "Aku tak percaya sepanjang siang tadi dia berusaha cari tahu siapa yang menaruh
ular itu ke dalam bungkusannya," seru Hat.
"Courtney memandangi kita terus," kataku. "Menurutmu mungkinkah dia mencurigai
kita?" "Mungkin," jawab Hat. "Aku senang bisa keluar dari sana."
Molly diam saja. Kurasa ia sedang memikirkan apa yang akan
dilakukan abangnya padanya kalau tahu ular karetnya tak ada.
Kami berjalan kaki ke rumahku. Kami semua setuju untuk
mengadakan rapat dan berusaha menemukan rencana yang lebih baik untuk menakut-
nakuti Courtney. Hari ini indah dan hangat. Padahal sepanjang minggu hujan
turun terus. Di California Selatan sekarang memang sedang musim hujan. Tapi hari
ini matahari bersinar cerah, langit bersih tak berawan.
Kami semua memikirkan betapa tadi kami nyaris ketahuan -
dan kegagalan kami menakut-nakuti Courtney.
Kami gagal. Dan sekali lagi Courtney jadi pahlawan.
"Ular karet itu ide yang jelek," gumam Hat ketika kami menyeberang jalan menuju
blok rumahku. "Jangan ngomong," gerutu Molly membelalakkan mata.
"Courtney takkan tertipu dengan barang palsu," kata Hat lagi.
"Kita perlu sesuatu yang sungguhan untuk menakut-nakuti Courtney.
Sesuatu yang hidup. "
"Hah" Sesuatu yang hidup?" tanyaku.
Hat akan menjawab - tapi suara seorang wanita membuatnya
terdiam. Aku berbalik dan melihat Mrs. Rudolph, salah seorang tetangga
kami, berlari-lari mendatangi kami. Rambut pirangnya berkibar-kibar, wajahnya
tampak cemas. "Eddie, tolong - kau harus menolongku!" teriak nya.
Chapter 7 BULU romaku meremang. Mrs. Rudolph tampak ketakutan
sekali. "A-ada apa?" tanyaku tergagap.
Ia menunjuk ke langit. "Kau bisa membantuku?"
"Hah?" Kuikuti arah tatapannya. Sesaat kemudian baru kusadari ia menunjuk ke
dahan pohon, bukan ke langit.
"Muttly, kucingku," kata Mrs. Rudolph, dilindunginya matanya dengan satu tangan,
tangannya yang lain masih menunjuk.
"Saya melihatnya," kata Hat. "Di dahan itu. Di dahan yang bengkok."
"Aku tak tahu bagaimana dia bisa keluar dari rumah," kata Mrs.
Rudolph. "Dia tidak pernah memanjat pohon. Entah bagaimana caranya dia bisa naik
ke atas sana, dan tak bisa turun."
Kutatap dedaunan yang rimbun di atas. Ya. Itu dia si Muttly.
Lumayan tinggi. Ia mengeong-ngeong ketakutan dan mencakar-cakar dahan pohon
kecil itu. Kami semua berdiri memandangi kucing yang ketakutan itu.
Tiba-tiba kurasakan Mrs. Rudolph memegang bahuku. "Bisakah kau memanjat dan
mengambilkan dia, Eddie?"
Aku menelan ludah. Aku tidak terlalu pandai memanjat pohon.
Malah sebetulnya aku benci memanjat pohon. Tanganku selalu luka kena kulit kayu,
atau kalau tidak kulit perutku lecet, atau apalah.
"Tolong cepat sedikit," kata Mrs. Rudolph memelas. "Muttly sangat ketakutan. Dia
- dia akan jatuh." Memangnya kenapa kalau jatuh" Kucing kan punya sembilan
nyawa" Itulah yang ada di pikiranku. Tapi tidak kukatakan pada Mrs.
Rudolph. Aku malah tergagap-gagap mengatakan betapa tingginya tempat
Muttly. "Kau pandai memanjat pohon, kan?" tanya Mrs. Rudolph.
"Maksudku, semua anak laki-laki seumurmu suka memanjat pohon, kan?" Matanya
mengamatiku. Wajahnya tampak jelas mencela.
Aku tahu ia menganggapku pengecut.
Kalau aku tidak mau memanjat pohon dan menyelamatkan
kucing tololnya, ia pasti akan menceritakan pada Mom betapa
penakutnya aku. Semua tetangga akan mendengar: Mrs. Rudolph
minta tolong pada Eddie, dan Eddie cuma diam saja seperti pengecut, mencari
alasan yang mengada-ada. "Saya agak takut berada di tempat tinggi," kataku mengaku.
"Ayo, Eddie," desak. Hat. "Kau bisa melakukanya." Dasar.
Di atas kami, kucing itu mengeong semakin keras.
Kedengarannya seperti tangisan bayi. Ekornya berdiri kaku.
"Kau bisa melakukannya, Eddie," kata Charlene, dipandanginya kucing itu.
"Cepatlah," kata Mrs. Rudolph memohon-mohon.
"Anak-anakku pasti sedih sekali kalau Muttly kenapa-kenapa."
Aku ragu, kupandangi batang pohon yang panjang dan kasar
kulitnya itu. Muttly mengeong lagi. Kulihat dahan pohonnya bergetar. Kulihat kaki-kaki kucing itu
bergerak-gerak panik ketika pegangannya terlepas.
Lalu kudengar ia mengeong keras ketika nyaris terjatuh.
Chapter 8 KAMI semua menjerit. Dahan itu bergoyang-goyang. Muttly mencengkeramnya
dengan kaki depan. Kaki belakangnya menendang-nendang panik.
"Tidak, tidak, tidak!" seru Mrs. Rudolph, ditutupinya matanya dengan satu
tangan. Kucing itu mengeong ketakutan.
Akhirnya ia berhasil naik lagi ke dahan yang bergoyang-goyang
itu. Lalu mengeong keras lagi, suaranya ketakutan dan seperti suara tangis
manusia. Mrs. Rudolph menurunkan tangannya. Dengan sebal ditatapnya
aku. "Kurasa lebih baik kupanggil petugas pemadam kebakaran saja."
Aku tahu, mestinya kupeluk batang pohon dan naik ke atas.
Tapi aku benar-benar takut berada di tempat tinggi. Aku tidak pandai memanjat
pohon. "Hei - ada apa?"
Courtney meluncur ke trotoar dengan sepeda balap merahnya,
Ia melompat turun dan membiarkan sepedanya jatuh ke tanah. Ia
mengenakan celana terusan denim putih dan kaus kuning terang.
"Ada apa, teman-teman?" tanyanya sambil bergegas
mendatangi kami. "Kucingku - " kata Mrs. Rudolph sambil menunjuk pohon.
Kucingnya mengeong panik.
Courtney memandang dahan yang bergoyang-goyang itu
sebentar. "Biar saya turunkan," kata Courtney. Dipegangnya batang pohon dan segera
dipanjatnya. Kucing itu mengeong dan nyaris tergelincir lagi. Courtney
memanjat dengan cepat dan lancar. Kakinya memeluk batang pohon, kedua tangannya
menarik badannya ke atas.
Beberapa detik kemudian, ia menuju dahan, menyambar perut
Muttly dengan satu tangan, dan menariknya mendekat. Lalu ia turun dengan lincah.
"Ini dia kucingnya," kata Courtney sambil mengelus bulu kucing itu dan
menepuknya lembut. Diserahkannya pada Mrs.
Rudolph. Denim putih dan kaus kuning Courtney jadi kotor kena
tanah dan serpihan kulit pohon. Di rambut pirangnya ada daun-daun hijau.
"Oh, terima kasih," kata Mrs. Rudolph sambil memeluk kucing yang masih mengeong-
ngeong itu. "Terima kasih banyak, Sayang.
Kau baik sekali." Courtney membersihkan noda tanah dari celananya. "Saya suka memanjat pohon,"
katanya pada Mrs. Rudolph. "Asyik sekali."
Mrs. Rudolph mengalihkan tatapannya padaku, senyumnya
segera hilang. "Aku senang ada pemberani di sini," katanya, wajahnya tampak
mengejek. Ia berterima kasih lagi pada Courtney, lalu berbalik dan membawa
kucingnya ke dalam rumah.
Aku merasa sangat tidak enak. Rasanya aku ingin masuk saja ke
dalam tanah bersama cacing-cacing. Aku ingin menghilang dan tidak muncul-muncul
lagi. Tapi aku cuma bisa berdiri diam, kedua tanganku di dalam
kantong jins. Dan Courtney menyeringai padaku. Bangga setengah mati.
Wajahnya tampak puas. Hat, Molly, dan Charlene diam saja. Ketika kupandang, mereka
menghindari tatapanku. Aku tahu mereka malu atas kelakuanku. Dan marah karena
Courtney membuat kami tampak konyol lagi.
Courtney mengambil sepedanya dan membawanya pergi.
Diangkatnya kakinya melewati batang sepeda dan naik ke tempat
duduknya. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku.
"Hei, Eddie - kau ya, yang menaruh ular jelek itu di dalam
bungkusan makan siangku?"
"Enak saja!" teriakku. Kutendang rumput dengan satu kaki.
Ia menatapku terus dengan mata birunya.
Aku tahu mukaku merah padam. Pipiku terasa panas. Tapi aku
tak tahu harus bagaimana lagi.
"Kukira mungkin kau yang melakukannya," kata Courtney, sambil menyibak rambutnya
ke belakang bahu. "Kukira kau mungkin berusaha membalasku. Tahu, kan. Karena
ular hijau itu." "Tidak," gumamku. "Tidak, Courtney."
Ketiga temanku bergerak-gerak gelisah. Hat mulai
bersenandung. Akhirnya Courtney menginjak pedal dan pergi. "Kita harus
mencari jalan untuk menakut-nakuti dia," kataku sambil
menggertakkan gigi begitu ia tidak kelihatan. "Pokoknya harus!"
"Bagaimana kalau kita taruh tarantula hidup di punggungnya?"
usul Hat. Chapter 9 RENCANANYA sederhana. Mr. Dollinger, guru IPA kami, memelihara dua tarantula di
laboratorium IPA di lantai dua.
Pada hari Kamis, seusai pelajaran, Hat dan aku akan
menyelinap ke dalam laboratorium. Kami akan meminjam salah satu tarantula itu
dan menyembunyikannya di locker-ku semalaman.
Esok paginya, setelah pertemuan pagi, ada pelajaran olahraga.
Di atas ruang olahraga, ada balkon sempit tempat menyimpan
peralatan. Hat dan aku akan menyelinap ke balkon itu sambil
membawa tarantula. Lalu Molly dan Charlene akan mengobrol dengan Courtney dan
membawanya ke bawah balkon. Setelah Courtney berada di bawah
balkon, salah satu dari kami akan menjatuhkan tarantulanya ke kepala Courtney.
Ia lalu akan menjerit dan melolong, tarantulanya akan terjerat di rambutnya. Ia
tidak bisa melepaskannya, sehingga akan menjerit-jerit lagi dan melompat-lompat
tidak karuan. Kami semua akan tertawa terbahak-bahak.
Rencana sederhana. Dan kami yakin akan berhasil.
Apa sih yang bisa menggagalkannya"
*****************************
Hari Kamis seusai sekolah, Molly dan Charlene mendoakan
kami semoga berhasil. Hat dan aku masuk ke ruang prakarya dan
pura-pura mengerjakan pekerjaan bertukang. Sebenarnya kami
menunggu anak-anak pergi semua.
Tak lama kemudian lorong sekolah sudah sepi. Kujulurkan
kepala ke luar. Kosong. "Oke, Hat," bisikku, sambil memberi tanda supaya ia
mengikutiku. "Ayo kita beraksi."
Kami berjalan pelan-pelan ke lorong. Sepatu kami berbunyi
ribut karena bergesekan dengan lantai marmer yang keras. Lorong sekolah terasa
menyeramkan juga kalau tak ada orang dan suasananya sangat sepi.
Kami melewati ruang guru di dekat tangga depan. Pintunya
terbuka sedikit, aku bisa mendengar di dalam sedang ada rapat.
Bagus, kataku dalam hati. Kalau semua guru sedang rapat di
bawah, kami bisa bebas di laboratorium IPA.
Hat dan aku cepat-cepat menaiki tangga depan. Kami bersandar
ke pegangannya dan berusaha bergerak tanpa suara.
Laboratorium IPA berada di ujung lorong lantai dua. Kami
berpapasan dengan beberapa anak kelas delapan yang tidak kami
kenal. Tak ada orang lain. Tampaknya di atas tidak ada guru. Mungkin semua
sedang rapat. Hat dan aku mengintip laboratorium. Cahaya matahari sore
masuk dari jendela. Kami harus memicingkan mata menatap deretan panjang meja-
meja laboratorium. "Mr. Dollinger?" seruku. Aku hanya ingin memastikan beliau benar tidak ada.
Tak ada jawaban. Kami berusaha melewati pintu bersama-sama, tapi tidak muat.
Hat tertawa. Tawa mengikik yang gelisah dan melengking.
Kutempelkan telunjuk ke bibir, memberi tanda supaya ia diam. Aku tak ingin ada
yang mendengar kami. Hat mengikutiku berjalan di gang tengah ruangan panjang itu.
Jantungku mulai berdebar kencang. Mataku menyapu ruangan.
Cahaya matahari tampaknya semakin terang saja. Lukisan hutan
tropis dari cat air yang kami buat tergantung di dinding di belakang meja Mr.
Dollinger. Air menetes dari keran bak cuci di kanan kami.
Tes. Tes. Tes. Pintu yang menuju lemari besi tinggi untuk menyimpan alat-alat tampak terbuka.
Kutunjuk pintu itu. "Mungkin nanti Mr. Dollinger kembali ke sini setelah selesai
rapat guru," bisikku.
Mr. Dollinger rapi bukan main. Ia tak mungkin membiarkan
pintu lemari penyimpanan terbuka semalaman begitu.
Hat mendorongku. "Sebaiknya kita bergegas."
"Jangan dorong aku," gerutuku.
Kami berjalan ke kandang tarantula, yang terletak di meja besi di dekat dinding.
Kandangnya kotak triplek persegi, bagian atasnya ditutupi kawat.
Suara berdebum keras membuatku berhenti beberapa meter dari
kandang. Aku terkesiap dan menoleh ke arah Hat. "Apa itu?"
Suara itu terdengar lagi. Kami baru sadar itu suara daun jendela tertiup angin,
memukul-mukul jendela terbuka di belakang kami.
Aku mengembuskan napas lega. Kupandang Hat dan ia balas
menatapku. Dengan gelisah diputar-putarnya topinya. "Eddie, mungkin sebaiknya
kita batalkan saja," bisiknya. "Mungkin sebaiknya kita keluar saja dari sini."
Sejenak aku sependapat dengan Hat dan ingin lari keluar
secepat mungkin. Tapi aku lalu teringat pada senyum sombong
Courtney ketika turun dari pohon dengan membawa kucing. "Kita laksanakan terus
rencana kita," kataku.


Goosebumps - Percuma Menakut-nakutiku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku benar-benar ingin menakut-nakuti Courtney. Lebih dari
segalanya di dunia ini. Hat dan aku mengintip kedua tarantula itu dari sela-sela kawat, Yang lebih besar
merayap di salah satu ujung kandang. Tarantula yang lebih kecil, warnanya lebih
cokelat, duduk teronggok di ujung yang lain.
"Hii," kataku pelan. "Menjijikkan sekali."
Kaki mereka berbulu semua dan kelihatannya tajam-tajam.
Tubuh mereka tampak seperti kantong cokelat berbulu yang
menjijikkan. "Ayo kita ambil yang besar," desak Hat, sambil mengangkat tutup kandang. Ia
menyeringai lebar. "Pasti asyik suara pluk-nya waktu mendarat di kepala
Courtney." Kami tertawa. Hat membuat bunyi pluk-pluk yang lucu.
Diangkatnya tutup kawat kandang. Dimasukkannya tangannya
ke dalam untuk mengambil tarantula yang besar. Tiba-tiba ia berhenti, senyumnya
hilang. "Kita punya masalah kecil," katanya.
"Hah" Apa?" Dengan gelisah kulirik pintu masuk. Tak ada orang.
"Akan kita masukkan ke mana tarantulanya?" tanya Hat.
Mulutku ternganga. "Oh."
"Kita lupa membawa tempat untuk membawanya," kata Hat.
Ditutupnya kandang. Kedua tarantula itu sekarang merayap saling mendekat.
"Yeah. Yah, kita perlu tas atau semacamnya," kataku. Mataku menyapu permukaan
meja-meja. "Tas tak ada gunanya," jawab Hat, dahinya berkerut. "Tarantula bisa merobek
tas." "Oh, yeah. Kau betul."
"Kenapa kita bisa lupa soal ini?" tanya Hat kesal. "Kenapa kita goblok sekali"
Memangnya apa yang kita lakukan sekarang" Kau
tidak bisa begitu saja memasukkan tarantula ke dalam ranselmu dan membawanya ke
mana-mana!" "Tenang," kataku, sambil memberi isyarat supaya ia
memelankan suaranya. Aku tahu ia mulai panik. "Pasti di sini ada sesuatu untuk
tempat tarantula." "Tolol sekali kita," gerutunya. "Kaukira aku akan menyimpannya di kantongku?"
"Tunggu," kataku. Aku bergegas mendekati meja sebelah dan mengambil kotak
plastik. Kotak itu seukuran dengan kotak keju dan tutupnya dari plastik. "Pas,"
bisikku, sambil menunjukkan kotak itu pada Hat. "Biar kulubangi dulu tutupnya."
"Cepat," desak Hat. Ia membuka topinya dan menggaruk-garuk rambutnya yang hitam.
Beberapa kali kutusuk tutup kotak plastik itu dengan pensil.
Lalu kubawa ke dekat kandang. "Ini," kataku, sambil kuserahkan pada Hat.
"Kau harus memeganginya," kata Hat. "Aku tak bisa memegang kotak itu sambil
mengambil tarantula."
"Oh," jawabku tidak senang. Aku tak ingin berada sedekat itu dengan tarantula.
Tanganku bergetar sedikit. Tapi kupegang juga kotak itu dekat-
dekat dengan kandang, bersiap-siap menutupnya begitu Hat
memasukkan salah satu makhluk menjijikkan itu ke dalamnya.
Dibukanya tutup kandang dan merogoh ke dalamnya. Hat
berani sekali. Ditangkupkannya tangannya di atas tarantula yang besar dan dengan
tenang diangkatnya. Sedikit pun ia tidak ragu atau jijik.
Aku terkesan. Nyaris kujatuhkan kotak plastiknya waktu Hat memasukkan
tarantula itu. Tanganku gemetar hebat. Tapi untung kotak itu tidak terlepas.
Tarantula itu segera sibuk bergerak-gerak kian kemari, kaki-
kakinya terjulur. Ia terpeleset-peleset di permukaan plastik yang licin.
"Dia tidak suka tempat barunya," kataku gemetaran.
"Sayang sekali," kata Hat, sambil menutup kandang. "Cepat, Eddie - pasang tutup
kotaknya." Aku bergegas memasang tutupnya.
Tutupnya sudah hampir rapat waktu kudengar suara langkah
kaki di luar. Dan suara-suara orang.
Aku dan Hat sama-sama terkesiap ketika menyadari sesaat lagi
Mr. Dollinger akan masuk.
Chapter 10 AKU berseru tertahan. Sinar matahari yang terang tiba-tiba
tampak menyilaukan. Lantaiku serasa bergoyang.
Perasaan panik membuatku lumpuh. Tiba-tiba aku merasa berat
badanku seperti ratusan kilo. Kudengar Mr. Dollinger berbicara dengan guru lain
tepat di luar pintu laboratorium IPA. Dalam
beberapa detik beliau akan melangkah masuk, dan... dan...
"Cepat - sembunyi di bawah meja!" bisik Hat, matanya
terbelalak takut di bawah topinya.
Aku segera mengikutinya ke bawah meja. Tapi aku tahu itu
sama sekali bukan tempat persembunyian yang bagus. Mr. Dollinger bisa langsung
melihat kami begitu berjalan ke mejanya.
"Perpercuma!" bisikku. "Percuma. Uh..."
Mataku menyapu ruangan. Di mana kami bisa bersembunyi" Di
mana" "Lemari alat-alat!" seruku. Kusambar dan kutarik lengan Hat.
Lemari besi tinggi itu cukup luas untuk menyembunyikan kami
berdua. Sempatkah kami masuk ke dalamnya"
Kami berebut masuk, saling mendorong-dorong.
Kutarik pintu sampai tertutup. Pintu itu menutup tepat ketika
Mr. Dollinger masuk ke ruangan.
Hat dan aku berdiri gemetaran dalam kegelapan lemari,
mendengarkan langkah kakinya mendekat. Dengan satu tangan
kucengkeram kotak tempat tarantula erat-erat.
Mr. Dollinger bersenandung pelan. Kudengar ia berhenti tepat
di depan lemari alat. Jantungku berdebar keras sekali, aku jadi takut jangan-jangan
Mr. Dollinger bisa mendengarnya dari balik pintu lemari.
Kuubah posisiku dan menyenggol Hat. Tak ada tempat untuk
bergerak lagi. Aku bisa mendengar suara napas Hat yang pendek-
pendek. Aku tahu ia sama takutnya seperti aku.
Bagaimana kalau Mr. Dollinger membuka pintu lemari"
Tolong, tolong - matikan lampu saja dan pulanglah, kataku
memohon dalam hati. Kudengar beliau membalik-balik kertas di mejanya. Kudengar
laci meja dibuka dan ditutup. Kudengar buku ditutup. Suara langkah kaki lagi.
Air mengucur di salah satu bak cuci.
Mr. Dollinger mematikan air. Dan masih bersenandung sendiri.
Suara langkah kaki lagi. Suara sakelar lampu.
Lalu sepi. Aku berusaha keras mendengarkan di sela-sela suara debaran
jantungku. Sunyi. Tak ada suara senandung. Tak ada suara langkah kaki.
Hat dan aku berdiri kaku dalam kegelapan, mendengarkan.
"Dia - dia sudah pergi," kataku tergagap. "Dia pergi, Hat."
"Fiuuuh!" Hat mengembuskan napas keras-keras.
"Ayo keluar dari sini!" seruku. Kuraih palang pintu.
Tanganku mencari-cari dalam kegelapan, meraba-raba
permukaan pintu besi. Kutemukan palang besi tipis dan kutarik.
Palang itu tidak bergerak.
"Hei - " teriakku. Pelan-pelan kugerakkan tanganku ke atas pintu, berusaha mencari
palang atau alat pembuka.
"Cepat. Buka pintu lemarinya," desak Hat. "Di dalam sini semakin panas."
"Aku tahu," kataku ketus. "A-aku tak bisa menemukan apa-apa."
"Biar kucoba," kata Hat tak sabar. Disingkirkannya tanganku dan mulai meraba-
raba palang besi tadi. "Pasti ada grendel atau semacamnya," jeritku.
"Bagus," gerutu Hat. Ia mulai menggedor-gedor pintu dengan tangan terbuka.
Kucengkeram lengannya. "Stop. Takkan bisa terbuka dengan
cara begitu. Dan bisa kedengaran orang nanti."
"Kaucoba lagi," perintahnya. Suaranya terdengar sangat lirih dan ketakutan.
Aku menelan ludah. Tiba-tiba tenggorokanku terasa tercekat.
Rasanya jantungku seperti melompat ke leher.
Dengan panik kuraba-raba semua yang bisa kupegang. Tapi aku
tidak menemukan sesuatu yang bisa membuka pintu itu.
"Aku menyerah. Kita - kita terkurung, Hat," kataku tergagap.
"Sialan," gumamnya.
Kotak tarantula melorot dari tanganku. Kucengkeram dengan
dua tangan - dan terkejut bukan main.
Tutupnya terlepas. "Oh, tidak," gumamku.
"Apa lagi?" bentak Hat.
Sambil menarik napas dalam-dalam, kuguncang kotak itu.
Kosong. Tak ada tarantula.
Aku berusaha memberitahu tarantulanya sudah kabur, tapi
suaraku tidak keluar. Yang terdengar hanya suara seperti orang tercekik.
Lalu kurasakan sesuatu menusuk kakiku, tepat di atas kaus kaki.
Lalu tusukan lagi, seperti peniti, sedikit lebih tinggi.
"Hat - tarantulanya - " akhirnya aku berhasil bersuara.
"Tarantulanya - tarantulanya merayap di kakiku."
Chapter 11 TUSUKAN itu naik lebih tinggi di kakiku.
Aku bisa merasakan tubuh tarantula yang hangat dan berbulu
itu bergesekan dengan kulitku.
"Dia - dia akan m-menggigitku," kataku tergagap. "Aku tahu."
"Jangan bergerak," kata Hat, kedengarannya ia lebih takut daripada aku.
"Pokoknya jangan bergerak."
Kaki-kaki makhluk itu menghunjam kulitku, seperti jarum
tajam. "A-aku harus keluar dari sini!" jeritku. Tanpa berpikir lagi, aku merunduk dan
membenturkan tubuhku ke pintu lemari sekuat tenaga.
Dengan bunyi brak keras, pintu itu terbuka.
Aku terjatuh keluar sambil berteriak terkejut. Aku terempas
miring ke lantai, dan kotak plastik kosong itu menggelinding ke seberang
ruangan. Dengan terengah-engah, aku bangun dengan susah payah dan
segera sibuk menendang-nendangkan kakiku.
Tarantulanya jatuh dan segera merayap melintasi lantai.
"Tangkap! Tangkap!" seruku.
Hat lari keluar dari lemari dan menyergap tarantula itu.
Kusambar kotak plastik tadi dan bergegas mendekati Hat.
Diangkatnya tarantula itu tinggi-tinggi. Kaki tarantula yang berbulu itu
menendang-nendang dan meronta-ronta, tapi Hat tak mau
melepasnya. Dimasukkannya makhluk menjijikkan itu ke kotak. "Sekali ini tutup rapat-rapat,"
katanya memperingatkan. "Jangan takut," erangku. Tanganku bergetar. Tapi kutekan kotak itu rapat-rapat,
lalu kuperiksa sampai tiga kali.
Sesaat kemudian, Hat dan aku turun untuk menyimpan tarantula
itu di locker-ku supaya aman. Aku masih bisa merasakan tusukan menggelikan tadi
di kakiku, meskipun tahu tarantula itu tidak
menggigitku. "Wow. Seram ya tadi!" seru Hat. "Benar-benar menyeramkan."
"Berarti rencana yang lain akan berjalan lancar," kataku meyakinkannya.
*****************************
Keesokan harinya, sesaat sebelum pukul 09.00, Hat dan aku
kembali bersembunyi. Kali ini kami bersembunyi di balkon sempit di atas ruang
olahraga. Sementara teman-teman sekelas mengganti pakaian dengan
celana pendek dan kaus olahraga, Hat dan aku menyelinap keluar dari ruang locker
anak laki-laki. Hat menyembunyikan kotak tarantula di balik kaus olahraganya.
Kami bergegas ke balkon. Kemarin hampir semalaman kami berempat saling menelepon,
menyusun rencana. Sebetulnya rencananya sangat sederhana.
Tugas Molly dan Charlene cuma membawa Courtney berdiri di
bawah balkon. Lalu Hat akan menjatuhkan tarantula ke rambutnya, dan kami semua
akan menontonnya menjerit, berteriak, dan
sebagainya, dan mempermalukan dirinya sendiri habis-habisan.
Sederhana. "Bagaimana kalau Courtney tenang-tenang saja?" tanya Molly melalui telepon.
"Bagaimana kalau dia cuma menarik tarantula itu dari rambutnya dan dengan tenang
bertanya siapa yang kehilangan
tarantula?" "Tak mungkin," jawabku. "Courtney memang tenang - tapi tidak setenang itu! Dia
pasti akan menjerit-jerit dan melompat-lompat tidak karuan karena di rambutnya
ada tarantula. Kalau tidak, dia bukan manusia tapi patung atau semacamnya."
"Siap, Hat?" tanyaku sambil mengintip dari samping balkon.
Ia mengangguk serius, matanya menatap net bola voli di bawah.
Dengan hati-hati dibukanya tutup kotak plastik.
Tarantula itu menjulurkan dua kakinya seolah-olah akan
mencengkeram Hat. Kudengar suara-suara dari bawah. Beberapa anak perempuan
keluar dari ruang locker mereka dan menuju lapangan. Salah seorang dari mereka
mengambil bola voli dan melompat menembakkan bola
ke dalam ring basket. Bola itu mengenai tepi ring dan memantul.
"Merunduk. Mereka bisa melihatmu," bisik Hat.
Kuturunkan kepalaku. Udara di balkon terasa panas, lebih panas daripada di
lapangan olahraga. Aku mulai berkeringat.
Kami berlutut. Dengan kedua tangannya Hat memegangi kotak
plastik di depan badannya.
Kudengar semakin banyak suara dari bawah. Beberapa anak
laki-laki keluar dan mondar-mandir men-dribble bola di lapangan, saling melempar
bola. "Kaulihat Courtney?" bisik Hat.
Kuangkat kepalaku sedikit dan mengintai ke bawah. "Ya!"
Molly dan Charlene mengapit Courtney. Mereka berdua asyik
berbicara serentak. Aku tak dapat mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.
Courtney menggeleng. Kulihat ia tertawa, lalu menggeleng lagi.
Ia mengenakan kaus ungu longgar dan celana pendek putih di atas celana ungu
ketat. Rambut pirangnya diikat longgar jadi buntut kuda.
Sasaran sempurna, pikirku girang. Aku menyeringai pada Hat.
Aku punya firasat baik. Firasat yang sangat baik.
Kuangkat pandanganku melewati net voli dan melihat Mr.
Russo, guru olahraga kami, sedang berbicara dengan guru lain di pintu.
Bagus, pikirku. Kami tak ingin Mr. Russo meniup peluit dan
memulai permainan voli sebelum urusan kami dengan Courtney
selesai. Sementara itu, Molly dan Charlene masih mengapit Courtney.
Mereka terus mengobrol. Sambil bicara, mereka terus mundur,
mundur, sampai hampir tiba di posisi.
"Beberapa meter lagi Courtney akan sampai di bawah balkon,"
bisikku pada Hat. "Akhirnya terjadi, Hat. Benar-benar terjadi."
Saking girangnya sebentar lagi aku serasa bisa meledak.
Keringat mengalir dari dahiku, masuk ke mata. Kuusap dengan lengan baju kausku
dan mengintai ke bawah. Yes! Molly dan Charlene berhasil melakukannya. Mereka membawa
Courtney ke bawah balkon. Mereka bertiga berdiri tepat di bawah kami.
Sempurna! "Hat - lakukan!" bisikku.
Hat tidak ragu-ragu lagi. Sedetik pun tidak. Ini terlalu
sempurna. Terlalu sempurna!
Dengan mata menatap ketiga anak perempuan yang berada tepat
di bawah, ia merogoh ke dalam kotak plastik dan mengambil tarantula berbulu itu.
Lalu ia bangkit sedikit di atas tepi balkon, memegang tarantula, membidik dengan
cermat - dan menjatuhkannya.
Chapter 12 HAT dan aku bersandar di tepi balkon dan mengamati tarantula


Goosebumps - Percuma Menakut-nakutiku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu jatuh. Kami berteriak ketakutan ketika ia mendarat dengan bunyi pluk
yang bikin mual di kepala Molly.
"Hat - lemparanmu meleset!" jeritku.
Tapi teriakan Molly lebih keras. Wajahnya merah seperti tomat, dan matanya
melotot. Ia menjerit sekuat tenaga dan menari-nari aneh, melompat-lompat,
sementara tangannya menggapai-gapai. Anak-anak banyak yang lari mendekat dengan
wajah kaget dan bingung. "Kenapa si Molly?" jerit seseorang.
"Kenapa dia begitu?"
"Kenapa dia?" Sambil memandang ke bawah, aku menjulurkan badan begitu
jauh dari balkon sampai hampir terjatuh seperti tarantula tadi.
Molly yang malang sekarang menjambak-jambak rambutnya,
terus menjerit dan melompat-lompat.
Aku berteriak lega ketika akhirnya ia berhasil melepaskan
tarantula itu dari rambut hitamnya. Digenggamnya makhluk itu,
hampir dijatuhkannya. Lalu sambil terus menjerit, dilemparkannya pada Charlene!
Di sebelahku di balkon, Hat tertawa-tawa. Tapi aku terlalu
kacau untuk menganggap lucu kejadian tadi.
Bagaimana Hat bisa meleset menembak sasaran semudah itu"
Charlene menjerit sampai menggetarkan kasau-kasau ruang
olahraga. Dilempar-lemparkannya tarantula itu dari satu tangan ke tangan lain.
Tarantula itu jatuh ke kakinya.
Charlene melompat mundur sambil terus menjerit. Dipegangnya
wajahnya dengan kedua tangannya.
Semua orang di ruang olahraga berkerumun. Beberapa anak
masih tampak bingung. Yang lainnya tertawa. Dua anak perempuan berusaha
menenangkan Molly. Rambutnya berdiri semua.
"Oh, wow. Oh, wow," kata Hat berulang-ulang, sambil
menggeleng-geleng. "Oh, wow."
Kucengkeram tepi balkon dengan dua tangan dan kuamati
Courtney membungkuk dan pelan-pelan mengangkat tarantula dari
lantai ruang olahraga. Diletakkannya di telapak tangannya dan
kelihatan seperti sedang membujuk tarantula itu.
Anak-anak berkerumun di sekeliling Courtney. Ketika ia
mendekatkan tarantula itu ke wajahnya, mereka terdiam dan
mengamati. "Cuma tarantula kok," kata Courtney, sambil mengelus-elus punggung tarantula
yang berbulu dengan satu jari. "Tarantula tidak terlalu sering menggigit. Dan
kalau pun menggigit, tidak terlalu sakit."
Anak-anak mulai bergumam lagi tentang betapa beraninya
Courtney. Kulihat Molly dan Charlene saling menghibur di pinggir kerumunan.
Charlene mengusap-usap rambut Molly. Sekujur tubuh
Molly masih gemetaran. "Dari mana asalnya tarantula ini?" tanya Courtney.
Kulihat Molly mendongak dan marah menatap kami.
Diangkatnya kepalan tangannya dan diacungkannya ke arah kami.
Aku merunduk di balik dinding balkon supaya tidak kelihatan.
"Rencananya tidak terlalu berhasil," gumam Hat.
Ia ahli meremehkan persoalan - atau apa"
Kami tidak sadar bencana belum lagi berlalu. "Ayo pergi dari sini," bisikku.
Terlambat. Kami mengangkat kepala dan melihat Mr. Russo
menatap marah dari pintu balkon. "Apa yang kalian lakukan di atas sini?"
tanyanya curiga. Aku berbalik menatap Hat. Hat melongo menatapku.
Kami tak bisa menjawab. "Ayo turun," kata Mr. Russo pelan, ditahannya pintu supaya tetap terbuka agar
kami bisa lewat. "Mari kita bicara panjang-lebar."
Kejadiannya sebetulnya bisa lebih parah lagi, pikirku.
Tentu, Hat dan aku harus tetap di sekolah setelah pelajaran usai dan
membersihkan laboratorium IPA setiap siang selama dua minggu.
Dan tentu kami harus menulis karangan sepanjang seribu kata tentang mengapa tak
boleh mencuri makhluk hidup dan menjatuhkannya ke
kepala orang. Dan tentu, Molly dan Charlene tidak mau bicara dengan Hat
atau aku. ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
Tapi sebetulnya bisa lebih parah lagi.
Maksudku, bagaimana kalau seandainya Hat dan aku masih
terkurung di lemari alat" Itu lebih parah, kan"
Sore itu aku berbaring di tempat tidur sambil murung
memikirkan pelajaran olahraga dan rencana kami yang gagal total.
Semua gara-gara Courtney, kataku dalam hati sambil tidak
sadar mengutak-atik lubang kecil di sepraiku.
Courtney bergerak di saat-saat terakhir.
Pasti ia bergerak. Hat tidak mungkin sebodoh itu dalam hal
membidik. Aku menarik napas kesal waktu teringat lagi betapa tenangnya
Courtney tadi ketika mengambil tarantula dari lantai dan mengelus-elusnya. "Cuma
tarantula kok," begitu katanya. Sombongnya. Sok hebat. "Cuma tarantula. Mereka
jarang menggigit. " Kenapa tarantula itu tidak menggigit tangannya"
Pasti akan menghapus ekspresi sombong dari wajahnya itu.
Kenapa ia begitu pemberani"
Courtney pantas ditakut-takuti sampai setengah mati, pikirku
sebal. Kurobek lubang kecil di seprai tadi hingga lubangnya
membesar. Ia benar-benar memintanya, meminta ditakut-takuti sampai tak
bisa berkata-kata. Tapi bagaimana, bagaimana, bagaimana caranya"
Aku duduk di tepi tempat tidur. Kepalaku tertunduk dan bahuku
membungkuk. Aku merunduk tanpa semangat, tanpa sadar kurobek-
robek seprai. Sekali lagi terbayang saat Hat menjatuhkan tarantula.
Sekali lagi kulihat tarantula itu mendarat di kepala Molly.
Tidak! Tidak! Tidak! Sekali lagi kulihat Molly mulai menari-nari panik dan kacau.
Gambaran-gambaran tidak menyenangkan itu langsung hilang
dari pikiranku begitu tiba-tiba kusadari aku tak lagi sendirian.
Kupandang pintu dan terkesiap.
Kulihat monster tinggi dan bungkuk berjalan terhuyung-huyung
ke arahku, di wajahnya menetes darah berwarna gelap.
Chapter 13 MONSTER tinggi itu maju ke arahku, tangannya yang basah
terjulur, siap mencengkeramku.
"Kevin - keluar dari sini!" seruku. "Gara-gara kau lantaiku jadi kena lumpur
semua!" Abangku Kevin menurunkan tangannya. "Ini bukan lumpur
betulan, goblok," katanya. "Ini makeup."
"Aku tak peduli," balasku melengking sambil melompat bangun dari tempat tidur
dan mendorong perutnya kuat-kuat. "Ia menetes ke mana-mana."
Kevin tertawa. "Aku membuatmu ketakutan, kan?"
"Enak saja!" kataku berkeras. "Dari tadi aku tahu itu kau."
"Kau tadi mengira aku Monster Lumpur," katanya menyeringai dari balik cairan
kental jingga kecokelatan yang menetes-netes di wajahnya.
"Akui saja, goblok."
Aku benci kalau ia memanggilku goblok. Kurasa itu sebabnya
ia justru memanggilku begitu. "Kau tidak tampak seperti Monster Lumpur," kataku
kesal. "Kau cuma kelihatan seperti onggokan sampah."
"Tadi siang kami menakut-nakuti anak-anak yang datang ke
hutan," kata Kevin senang. "Coba tadi kaulihat tampang mereka.
Kami lari mendatangi mereka dan berteriak BUUUU. Dua orang
langsung menangis." Ia terkekeh.
"Hebat," gumamku. Kudorong lagi Kevin ke arah pintu.
Tanganku jadi berlumuran cairan kental jingga kecokelatan.
"Videonya hampir jadi," katanya, dengan sengaja ia
mengusapkan tangannya ke buku tulisku yang terbuka. Dipandanginya noda hitam
yang dibuatnya di buku PR matematikaku. "Mungkin kalau sudah jadi nanti
kuizinkan kau melihatnya."
"Jangan dekati barang-barangku, Kevin!" kataku marah. Lalu aku ingat apa yang
ingin kutanyakan padanya. Kuubah nada suaraku.
"Boleh aku ikut main di video itu?" tanyaku memelas. "Ya" Kau pernah bilang
mungkin aku bisa ikut main - ingat?"
"He-eh, goblok." Ia menggeleng. "Kau pasti ketakutan."
"Apa?" Apa ia mempermainkan aku"
"Kau pasti kelakutan, Eddie," katanya lagi, sambil menggaruk-garuk dahinya dari
balik riasannya yang berat dan basah. "Sendirian di tengah hutan yang lebat dan
gelap bersama tiga Monster Lumpur yang berkeliaran. Kau pasti tidak kuat. Kau
pasti sama sekali tidak kuat."
"Hei - " aku berteriak marah. "Kau tidak lucu, Kevin. Kau berjanji - "
"Tidak, aku tidak berjanji," kata Kevin bersikeras.
Segumpal besar cairan cokelat jatuh dari bahunya dan mendarat
di lantaiku dengan bunyi cepret. "Wah. Kau nanti terpaksa membersihkannya,"
katanya menyeringai jahat.
"Akan kubuat kau memakannya!" teriakku marah sambil
bersedekap. Ia cuma tertawa. Tiba-tiba aku dapat ide. "Kevin, kau mau membantuku?"
tanyaku serius. "Mungkin tidak," jawabnya, masih menyeringai.
"Ada apa?" "Kau punya ide bagus untuk menakut-nakuti orang?" tanyaku.
Dipicingkannya matanya menatapku. Lalu ditunjuknya cairan
jingga kecokelatan. yang menutupi sekujur tubuhnya. "Ini kurang menakutkan?"
"Tidak. Maksudku, cara lain untuk menakut-nakuti orang,"
kataku, bingung bagaimana menerangkannya. "Aku dan beberapa temanku, kami sedang
berusaha menakut-nakuti anak ini, Courtney."
"Kenapa?" desak Kevin, diletakkannya tangannya yang basah di mejaku.
"Kau tahu. Cuma untuk main-main," kataku.
Ia mengangguk. "Tapi kami sama sekali belum berhasil menakut-nakuti dia,"
kataku. "Semua usaha kami gagal total." Aku dudu k lagi di tempat tidurku.
"Apa saja yang sudah kaucoba?" tanya Kevin.
"Oh. Beberapa. Ular dan tarantula," kataku. "Tapi dia tidak ketakutan."
"Terlalu kecil," gumamnya. Ia menjauh dari meja.
Kulihat di bagian samping meja jadi ada noda cokelat besar.
"Hah" Apa maksudmu 'terlalu kecil'?" desakku.
"Terlalu kecil," katanya lagi. "Kau mencoba menakut-nakuti dia dengan benda-
benda kecil. Kau harus menakut-nakuti dia dengan
benda besar. Tahu, kan. Mungkin malah benda yang lebih besar
daripada dia." Aku memikirkan perkataannya. Rasanya masuk akal. "Besar
bagaimana?" tanyaku. "Maksudmu seperti gajah?"
Ia mengerutkan kening dan menggeleng. "Eddie, dari mana kau dapat gajah" Yang
kumaksud anjing besar. Tahu, kan. Anjing besar yang menggeram-geram."
"Anjing?" Kugaruk kepalaku.
"Yeah. Misalnya saja si Courtney ini sedang berjalan di jalan, atau di hutan,
mungkin - dan tiba-tiba ia mendengar geraman marah.
Ia mengangkat kepala dan melihat anjing besar itu. Mulut anjing itu terbuka;
taring-taringnya kelihatan. Anjing itu berlari tepat ke arahnya. Ia pasti
ketakutan. Gampang, kan."
"Lumayan," kataku serius. "Lumayan. Kau jenius, Kevin.
Betul." "Jelas dong," jawabnya. Ia keluar dari kamar, di belakangnya tampak noda lumpur.
Anjing besar yang menggeram-geram, pikirku. Kubayangkan
anjing itu dalam pikiranku. Kubayangkan ia mendongakkan kepalanya ke bulan dan
melolong seperti serigala.
Lalu kubayangkan Courtney sedang berjalan tanpa curiga di
jalan gelap. Ia mendengar suara. Geraman pelan. Ia berhenti. Matanya terbelalak
karena takut. Suara apa itu, pikirnya. Lalu ia melihatnya. Anjing paling besar, paling jahat, paling
keras suaranya, paling galak di dunia. Matanya merah manyala.
Bibirnya yang tebal tertarik ke belakang dan menampakkan taring-taring tajam.
Sambil menggeram menggetarkan bumi, ia menerkam.
Langsung menuju tenggorokan Courtney. Courtney berteriak minta tolong. Ia lalu
berbalik. Sekarang ia berlari-lari menyelamatkan diri, sambil menjerit-jerit dan
menangis seperti bayi ketakutan.
"Sini, Boy," seruku pada binatang buas itu. Anjing itu berhenti.
Ia berbalik. Cepat-cepat berjalan mendatangiku, ekornya mengibas-ngibas.
Courtney masih menangis, sekujur badannya gemetaran,
sementara anjing itu menjilati tanganku. "Cuma anjing kok," kataku.
"Anjing takkan melukaimu - kecuali kalau dia merasa kau ketakutan!"
Aku melompat dari tempat tidur sambil tertawa keras.
Benar-benar layak dicoba, pikirku girang. Benar-benar layak
dicoba. Sekarang, siapa kenalanku yang punya anjing besar, galak, dan
Menggeram-geram. Chapter 14 SABTU siang kami berkumpul di halaman belakang rumah
Charlene, mencoba peralatan croquet (permainan mendorong-dorong bola kayu ke
dalam gawang) baru yang dibeli ayahnya. Cuaca
mendung. Awan-awan terus menutupi matahari, halaman belakang
tertutup bayang-bayang panjang dan kelabu.
Kami hampir tak bisa saling mendengar karena suara kami
ditelan deru mesin pemotong rumput dari rumah sebelah. Tapi
kuceritakan juga pada Molly, Charlene, dan Hat tentang ide abangku untuk
menakut-nakuti Courtney. "Anjing besar dan galak jelas menakutkan," kata Hat cepat.
Dipukulnya bola croquet hijaunya kuat-kuat dengan tongkatnya,
Warisan Laknat 1 Animorphs - 42 Petualangan The Journey Manusia Harimau Jatuh Cinta 8
^