Pencarian

Kutukan Ayam 1

Goosebumps - Kutukan Ayam Bagian 1


1 Aku benci ayam. Ayam makhluk jorok yang baunya seperti... seperti apa ya"
Ya... seperti ayam. "Crystal, sekarang giliranmu memberi makan ayam," ujar Mom.
Itu kata-kata yang paling tidak kusukai.
Aku membawa ember berisi butiran gandum ke pekarangan
belakang, dan makhluk-makhluk itu langsung menghampiriku sambil
berkotek-kotek dan mengepak-ngepakkan sayap. Aku paling sebal
kalau aku ditabrak ayam yang lagi sibuk mematuk biji di tanah. Aku
paling sebal kalau kakiku terserempet bulu ayam yang begitu kasar
dan bikin gatal. Adikku, Cole, dan aku selalu berusaha membujuk orangtua
kami untuk menyingkirkan ayam-ayam itu. "Kita memang tinggal di
tanah pertanian, tapi itu tidak berarti kita harus memelihara ayam,"
begitu selalu protesku. "Ya! Kita bukan petani!" Cole membenarkan. "Kenapa kita
harus memelihara ayam-ayam yang bau itu?"
"Itu angan-angan kami sejak dulu," sahut Mom selalu. Bla bla
bla. Cole dan aku mungkin sudah seribu kali mendengar kisah
tentang angan-angan orangtua kami.
Kami sudah sering mendengar cerita bagaimana Mom dan Dad
menghabiskan masa kecil di kawasan Bronx yang kumuh di New
York City. Bagaimana mereka tidak bahagia di tempat yang bising,
kotor, dan seperti hutan beton itu. Dan bagaimana mereka bermimpi
untuk pindah ke luar kota, dan tinggal di tanah pertanian di pedesaan.
Jadi, waktu Cole berusia dua tahun dan aku empat tahun, kami
diajak pindah ke Goshen Falls, sebuah desa yang sangat kecil.
Luasnya cuma tiga blok. Kami tinggal di rumah kecil di tanah
pertanian yang juga kecil. Dan meskipun Mom dan Dad sebenarnya
ahli program komputer"bukan petani" mereka nekat memelihara
ayam di pekarangan belakang.
Kotek. Kotek. Itulah angan-angan mereka.
Sedangkan angan-anganku adalah Cole disetrap karena bawel.
Mulutnya memang sering susah direm. Dan sebagai hukuman, ia yang
harus memberi makan ayam"seumur hidup.
Semua orang berhak dong punya angan-angan" ya, kan"
"ADUH!" Kakiku dipatuk ayam. Sakitnya minta ampun. Paruh
ayam begitu tajam. Aku melemparkan sisa biji gandum ke tanah dan melompat
mundur, menjauhi makhluk-makhluk menjijikkan itu. Mata mereka
yang kecil tampak bersinar memantulkan sinar matahari ketika mereka
memperebutkan makanan yang berserakan.
Aku menaruh ember di belakang gudang jerami yang kami
pakai sebagai garasi. Kemudian aku mencuci tangan dengan air dari
keran di sisi gudang. Aku mendengar bunyi gemuruh. Sebuah bayangan melintasi
atap gudang. Aku menengadah dan melihat pesawat terbang kecil
menerobos di balik awan-awan senja.
Aku menarik napas dalam-dalam. Bau kentang tercium tajam.
Itulah yang ditanam sebagian besar petani di sekitar sini.
Kentang dan jagung. Aku menyeka tangan pada kaki celana jeans, lalu bergegas
mencari adikku. Matahari bersinar cerah. Sebagian besar teman
sekolahku sedang pesiar ke luar kota dengan rombongan klub 4-H.
Mom telah memintaku untuk menjaga Cole. Umurnya sepuluh
tahun, dua tahun lebih muda dariku. Tapi kadang-kadang tingkahnya
seperti anak empat tahun. Tampaknya ia selalu menemukan cara baru
untuk mendapat masalah. Aku menyusuri jalan utama yang membelah desa. Cole tidak
kelihatan. Aku bertanya pada Mrs. Wagner di toko roti apakah ia
melihat adikku. Cole suka mampir untuk mengemis donat gratis.
Mrs. Wagner memberitahuku bahwa ia melihat Cole bersama
temannya, Anthony, menuju ke arah Pullman's Pond.
Oh-oh, pikirku. Mau apa mereka di kolam itu" pikirku seraya
melangkah ke pintu. "Rambutmu bagus sekali, Crystal," ujar Mrs. Wagner. "Warna
merahnya indah sekali. Kau pantas jadi model. Sungguh. Kau begitu
tinggi dan langsing."
"Thanks, Mrs. Wagner!" sahutku sementara pintu toko menutup
di belakangku. Aku tidak memikirkan rambutku atau pujian Mrs.
Wagner. Aku sibuk memikirkan Cole dan Anthony dan Pullman's
Pond. Aku kembali menyusuri jalan utama. Aku melambaikan tangan
kepada Mr. Porter yang berdiri di jendela toko Pic 'n' Pay. Kemudian
aku membelok dan mengikuti jalan tanah yang menuju ke Pullman's
Pond. Ternyata aku tidak perlu repot-repot mencari Cole dan
Anthony. Mereka bersembunyi di balik pagar tanaman yang
membatasi tanah milik Vanessa.
Aku mengintip ke rumah pertanian reyot tempat Vanessa
tinggal. Siapa itu Vanessa" Hmm, ia bisa dibilang orang paling menarik
di Goshen Falls. Tapi sekaligus juga yang paling aneh.
Vanessa seharusnya ikut main film horor. Ia cantik, dengan
rambut hitam yang panjang lurus, serta wajah putih pucat. Ia selalu
berpakaian serbahitam. Ia bahkan memakai lipstik dan cat kuku
berwarna hitam. Vanessa benar-benar misterius. Tak ada yang tahu apakah ia
masih muda atau sudah tua.
Orangnya menyendiri terus. Ia hampir tidak pernah pergi ke
desa. Ia bahkan jarang keluar dari rumah pertanian tua di tepi desa,
yang didiaminya bersama kucing hitamnya.
Tindak-tanduknya yang tidak biasa tentu saja mengundang
desas-desus. Semua orang menganggap ia semacam tukang sihir.
Aku sudah mendengar segala macam cerita tentang Vanessa.
Cerita-cerita menakutkan. Hampir semua anak di Goshen Falls takut
padanya. Tapi itu tidak mencegah mereka berbuat iseng.
Anak-anak di sini selalu saling menantang untuk menyelinap ke
rumah Vanessa. Ini sudah jadi semacam permainan. Mereka
mengendap-endap ke rumahnya dan mengetuk jendelanya, atau
mengagetkan kucingnya. Setelah itu mereka cepat-cepat kabur
sebelum kepergok. "Hei"Cole!" aku berseru tertahan. Aku menundukkan kepala
ketika berlari menyusuri pagar tanaman. Aku tidak ingin kepergok
Vanessa. "Hei Cole"sedang apa kau?"
Setelah dekat, aku melihat Cole dan Anthony tidak sendiri. Ada
dua anak lagi yang jongkok di balik pagar tanaman. Franny Jowett dan
Jeremy Garth. Cole menempelkan telunjuk ke bibir. "Ssst. Vanessa ada di
dalam." "Sedang apa kalian?" tanyaku. Aku melihat Franny dan Jeremy
memegang botol air dari plastik. "Kalian bawa limun, ya?"
Keduanya menggelengkan kepala.
"Mereka ditantang untuk mengisi kotak surat Vanessa dengan
air," Cole menjelaskan.
"Hah?" Aku menatap Franny dan Jeremy dengan mata
terbelalak. "Kalian tidak serius, kan?"
"Mereka harus melakukannya," Cole menjawab untuk mereka.
"Tantangan tidak boleh ditolak."
"Tapi ini jahat sekali!" aku memprotes.
Adikku tertawa terkekeh-kekeh. "Kotak suratnya persis di
samping pintu depan. Mereka tidak mungkin kepergok."
Franny dan jeremy sama-sama berambut pirang dan berwajah
pucat. Tapi sekarang mereka tampak lebih pucat dari biasanya. Jeremy
berdeham pelan. Franny menggenggam botol airnya. Ia mengintip dari
balik pagar tanaman, dan menatap kotak surat hitam yang terpasang
pada tiang miring. "Tantangannya sudah kalian terima. Masa kalian mau mundur
sekarang?" tanya Cole.
Franny dan Jeremy saling melirik dengan gugup. Mereka tidak
menyahut. "Lebih baik jangan," Anthony tiba-tiba angkat bicara.
Kami semua langsung menoleh. Ia bertubuh pendek dan gendut.
Wajahnya bulat. Rambutnya yang hitam dipotong pendek sekali. Ia
mengenakan kacamata berbingkai merah yang selalu merosot di
hidungnya yang pesek. "Jangan, deh," Anthony berkata sekali lagi.
"K-kenapa?" tanya Franny.
"Memangnya kalian belum tahu apa yang terjadi pada Tommy
Pottridge waktu dia kepergok Vanessa?" tanya Anthony sambil
merendahkan suaranya. "Kalian belum tahu apa yang dilakukan
Vanessa?" "Belum!" Franny dan Jeremy menjawab berbarengan.
Aku sendiri langsung merinding. "Apa yang dilakukan
Vanessa?" tanyaku. 2 AKU mengintip lewat pagar tanaman. Rasanya aku melihat
sesuatu berkelebat di jendela depan rumah Vanessa.
Oh, bukan. Ternyata cuma pantulan cahaya matahari pada kaca
jendela. Kami berdesakan di sekeliling Anthony. Walaupun udara cukup
hangat, aku mendadak merinding. "Apa yang dilakukan Vanessa pada
Tommy?" aku bertanya sekali lagi.
"Dia memergoki Tommy sewaktu Tommy mau menyusup ke
rumahnya," Anthony menjelaskan. "Lalu dia membacakan semacam
mantra. Dan kepala Tommy langsung menggembung seperti balon."
"Ah, mana mungkin!" seruku sambil geleng-geleng kepala.
"Benar!" Anthony memprotes. "Kepalanya jadi besar. Dan
lembek. Persis seperti spons."
Cole tertawa. Anthony langsung membekap mulutnya. "Aku tidak mengadaada!" ia berkeras. "Vanessa membuat kepalanya jadi bengkak. Itu
sebabnya Tommy tidak pernah kelihatan lagi!"
"Tapi keluarga Pottridge kan memang pindah dari sini!" seru
Franny. "Mereka pindah gara-gara kepala Tommy membengkak," sahut
Anthony. Kami semua terdiam sejenak sambil merenungkan cerita
Anthony. Aku berusaha membayangkan Tommy dengan kepala besar
dan lembek seperti agar-agar.
Cole yang pertama bicara. "Sini!" serunya. Ia merebut tempat
air dari tangan Jeremy. "Biar aku saja yang mengisi kotak surat
Vanessa dengan air. Aku tidak takut kok."
"Nanti dulu!" Jeremy memprotes. Direbutnya tempat air itu
kembali. Kemudian ia berpaling pada Franny. "Ini urusan kita"ya,
kan" Kita ditantang, jadi kita harus melakukannya"ya, kan?"
Franny menelan ludah. "Ku-kurasa begitu," ujarnya dengan
suara parau. "Nah, begitu dong!" seru Cole sambil menepuk punggung
mereka. Tempat air yang dipegang Franny hampir terlepas dari
tangannya. "Kalian pasti bisa. Sudah banyak anak yang iseng pada
Vanessa. Dan kepala mereka tetap normal, kok."
"Tapi mengisi kotak surat dengan air sudah keterlaluan," aku
memprotes. "Lagi pula, untuk apa harus ambil risiko?"
Ucapanku tidak dihiraukan. Peringatanku dianggap angin lalu
saja. Franny dan Jeremy mengendap-endap ke ujung pagar tanaman.
Lalu mereka mulai melintasi rumput yang tinggi dan sudah bercampur
baur dengan ilalang. Keduanya menggenggam tempat air dengan kedua tangan. Mata
mereka terus tertuju ke kotak surat di muka pintu depan rumah
Vanessa. Cole, Anthony, dan aku memperhatikan mereka sambil
bersembunyi di balik pagar tanaman. Aku menahan napas dan
mengamati jendela depan. Siapa tahu Vanessa tampak di sana.
Tapi kaca jendelanya memantulkan sinar matahari, sehingga
aku tidak bisa melihat apa-apa.
Franny dan Jeremy berjalan pelan sekali, seperti adegan lambat
dalam film. Rasanya mereka tidak sampai-sampai ke kotak surat!
Sejuta serangga kecil beterbangan di atas rumput. Seranggaserangga itu berkilau bagaikan permata karena terkena sinar matahari.
Franny dan Jeremy menerobos kawanan serangga yang
beterbangan tanpa mengalihkan pandang dari kotak surat.
Cole, Anthony, dan aku maju sedikit agar dapat melihat lebih
jelas. Sepertinya tidak ada siapa-siapa di dalam rumah.
Kami maju sedikit lagi. Akhirnya Franny dan Jeremy sampai di kotak surat. Jeremy
mengangkat tutupnya. Kemudian ia dan Franny mengangkat tempat
air masing-masing. Dan mulai menuang. Airnya bergemercik di dasar kotak surat yang terbuat dari
logam. Tiba-tiba pintu depan membuka"dan Vanessa menghambur
keluar. Ia mengenakan gaun panjang hitam. Rambutnya yang hitam
lurus berkibar-kibar. Aku mendengarnya berteriak kesal.
Kucingnya ikut ribut di dalam rumah.
Tempat air Franny terlepas dari tangannya. Ia membungkuk
untuk memungutnya. Tapi kemudian berubah pikiran.
Dan langsung kabur. Jeremy sudah menyelinap ke semak-semak di sisi rumah.
Franny menyusul tepat di belakangnya.
Cole, Anthony, dan aku belum bergerak.
Kami berdiri di tengah rumput yang tinggi. Berdiri seperti
patung. Sambil menatap Vanessa.
Aku memekik tertahan ketika menyadari Vanessa tengah
menatap kami sambil mendelik.
Aku berpaling pada Cole dan Anthony. "Kenapa dia memelototi
kita?" ujarku dengan suara serak. "Jangan-jangan dia pikir kita yang
mengisi kotak suratnya dengan air?"
3 SELURUH tubuhku jadi kaku. Seakan-akan mata Vanessa
memancarkan sinar laser. Aku memaksakan diri untuk berpaling. Dan mengambil langkah
seribu. Cole dan Anthony berlari di kiri-kananku. Sepatu kami
berdebam-debam di jalan setapak. Awan debu beterbangan setiap kali
kami melangkah. Kami melintasi desa tanpa berhenti. Tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Saling melirik pun tidak!
Mrs. Wagner keluar dari toko roti. Sepertinya ia hendak
menyapa kami. Tapi kami berlari melewatinya tanpa memperlambat
langkah. Aku masih sempat melihatnya terheran-heran.
Kami berlari sampai di rumahku. Pintu pagar kami dobrak tanpa
mengurangi kecepatan. Seluruh pagar sampai ikut bergetar. Kemudian
aku membuka pintu depan dengan menggunakan bahu. Terhuyunghuyung kami masuk ke ruang duduk.


Goosebumps - Kutukan Ayam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku langsung berlutut di karpet. Napasku tersengal-sengal.
Cole dan Anthony menjatuhkan diri di sofa.
Kami berusaha mengatur napas. Aku menyibakkan rambut yang
melekat di keningku. Jam di atas tempat perapian berdentang. Pukul
tiga sore. Cole dan Anthony tertawa terbahak-bahak.
Aku menatap mereka sambil memicingkan mata. "Apanya yang
lucu?" tanyaku sambil terengah-engah.
Tawa mereka malah tambah keras.
"Apanya yang lucu?" aku bertanya sekali lagi. Aku bangkit dan
berdiri sambil bertolak pinggang, menunggu jawaban mereka.
"Kenapa kalian tertawa?"
"Aku tidak tahu!" Cole akhirnya menjawab.
"Aku juga tidak tahu!" Anthony membeo.
Mereka tertawa lagi. "Kalian memang sinting," aku bergumam sambil
menggelengkan kepala. "Kejadian tadi sama sekali tidak lucu."
Cole ikut berdiri. Raut mukanya jadi serius. "Kau sempat
melihat bagaimana Vanessa memelototi kita tadi?"
"Dia tidak melihat Franny dan Jeremy," kata Anthony. "Cuma
kita yang dilihatnya." Ia melepaskan kacamata dan membersihkannya
dengan lengan T- shirt. Rambutnya yang hitam pendek tampak
berkilau karena keringat.
Aku merinding. "Bagaimana kalau kita yang kena guna-guna
Vanessa?" tanyaku. "Kalian pasti takkan tertawa kalau begitu."
Cole berdiri lebih tegak. Ia mengusap rambutnya yang pirang
dan berombak. Tubuh Cole lebih tinggi dan lebih kurus daripada aku.
Kadang-kadang ia mirip belalang.
"Apa maksudmu, Crystal?" ia bertanya pelan.
"Maksudku, kalau Vanessa menyangka kita yang menuangkan
air ke kotak suratnya, bisa jadi kita yang akan jadi sasaran balas
dendamnya. Jangan-jangan kepala kita yang bakal bengkak."
"Tapi, kita kan tidak berbuat apa-apa!" Anthony memprotes.
"Kita harus memberitahu Vanessa bahwa Franny dan Jeremy
pelakunya." "Dasar tukang ngadu," gumam Cole sambil nyengir pada
temannya itu. "Tapi, bagaimana kalau kita tidak diberi kesempatan untuk
menjelaskan semuanya?" ujarku. "Mungkin kita langsung digunaguna."
Aku menuju ke dapur. "Kalian mau minum juga?"
Aku tidak mendengar jawaban.
Aku membuka lemari es dan mengambil sebotol es teh.
Sedetik kemudian, aku membuka mulut dan menjerit kesakitan.
4 "CRYSTAL"ada apa?" Cole langsung menyerbu ke dapur.
Aku merinding kesakitan. "Ohhh."
"Ada apa?" ia berseru sekali lagi.
Aku mengibas-ngibaskan tangan untuk mengusir rasa sakit.
"Pintu lemari es," ujarku dengan susah payah. "T-tanganku kejepit."
Aku kembali mengibaskan tangan. Kemudian aku mencoba
menggerakkan masing-masing jari. Ternyata semuanya bisa
digerakkan. Tak ada yang patah.
Aku menoleh ke arah Cole. "Kenapa kau malah cengar-cengir?"
tanyaku sengit. "Ini pasti gara-gara Vanessa," sahutnya.
Anthony tertawa cekikikan di ambang pintu.
"Cole"ini tidak lucu!" aku memekik. Aku mencengkeram
lehernya dan pura-pura mencekiknya. Tapi tanganku masih nyeri,
sehingga aku terpaksa melepaskannya.
"Kau kena guna-guna Vanessa," Anthony meneruskan gurauan
Cole. "Habis ini tanganmu pasti bengkak sampai sebesar semangka."
"Dan tanganmu bakal jadi lembek dan empuk seperti kepala
Tommy," Cole menambahkan sambil nyengir. "Lembek dan empuk"
seperti otakmu!" "Tidak lucu! Tidak lucu!" aku mengomel. Terus terang, aku
memang agak ngeri. Aku tidak suka bercanda tentang hal-hal seperti
ini. Tanganku terasa sakit dan seperti terbakar. Aku membuka
lemari es dan memasukkan tanganku. "Bagaimana kalau Vanessa
benar-benar punya kekuatan gaib?" tanyaku pada mereka. "Bagaimana
kalau tanganku benar-benar terjepit karena guna-guna Vanessa?"
Cole dan Anthony mengangkat tangan sambil komat-kamit,
seakan-akan sedang membaca mantra. "Kau jadi kepala spons
sekarang," seru Cole. Ia merendahkan suara, meniru tukang sihir
sungguhan. "Mulai sekarang kau akan cuci piring dengan kepala!"
Saat itulah Mom dan Dad masuk ke dapur.
"Ada apa...?" seru Mom. "Crystal"kenapa tanganmu ada di
lemari es?" "Oh. Ehm...." Aku menarik tanganku dan menutup pintu lemari
es. "A-aku cuma kepanasan."
Mom menatapku sambil memicingkan mata. "Tanganmu
kepanasan?" "Sebenarnya, tanganku baru saja kejepit," ujarku.
"Kejepit gara-gara Vanessa," Cole menimpali.
"Vanessa?" tanya Dad sambil menghampiri tempat cuci piring.
"Maksudmu wanita aneh yang tinggal di pinggir desa?"
"Kalian habis mengganggu dia lagi, ya?" Mom langsung
menuduh. "Apa kalian tidak punya kegiatan selain mengganggu
wanita malang itu?" "Kami tidak berbuat apa-apa," ujar Cole. "Sungguh."
"Memang betul," Anthony menimpali.
"Kalau begitu, kenapa kalian bicara soal Vanessa?" Mom
bertanya pada Cole. Aku memutuskan sudah waktunya untuk mengalihkan
pembicaraan. "Mom dan Dad habis dari mana, sih?"
"Dari tanah lapang di belakang. Kami lagi bingung memikirkan
di mana kami harus memasang pagar untuk kebun sayur," jawab Dad.
Ia sedang mencuci tangan di tempat cuci piring, padahal Mom tidak
suka Dad berbuat begitu. "Coba kalau kita tidak pelihara ayam," aku mengomel. "Dengan
begitu kan kita tidak perlu bikin pagar untuk kebun sayur. Kurasa
lebih baik kalau..."
"Ah, aku jadi ingat," Mom menyela. "Cole, ada beberapa ayam
yang berkeliaran terlalu jauh ke belakang. Tolong ke sana sebentar
dan giring semuanya ke depan lagi."
"Giring ayam!" seruku gembira. Aku langsung menepuk
punggung Cole. "Selamat, ya! Itu kan acara kegemaranmu!"
"Tapi ini tidak adil! Terakhir sudah aku yang menggiring
ayam!" Cole meratap. "Sekarang giliran Crystal, dong!"
"Tadi pagi aku yang memberi makan ayam," kataku. "Padahal
bukan giliranku. Lagi pula, kau lebih cocok menggiring ayam.
Tampangmu kan memang seperti ayam bangkok!"
Semua tertawa, kecuali Cole. Ia menggerutu sambil gelenggeleng kepala. Kemudian ia menarik Anthony keluar untuk
membantunya menggiring ayam.
Beberapa detik kemudian suasana jadi riuh karena suara ayam
berkotek-kotek. Dan aku juga mendengar Cole dan Anthony berkeluh
kesah. Kau sudah pernah menggiring ayam"
Asal tahu saja, pekerjaan itu tidak mudah.
*********************************
Sepanjang hari tanganku nyeri karena terjepit pintu. Dan
sebentar-sebentar aku teringat Vanessa.
Aku membayangkan matanya yang menyorot dingin ketika ia
memelototi Cole, Anthony, dan aku.
Ia takkan melakukan apa-apa terhadap kami, aku berkata dalam
hati. Ia tidak mungkin melakukan sesuatu. Segala cerita tentang
Vanessa itu pasti tidak benar.
Kalimat-kalimat itu terus kuulangi dalam hati. Tapi malam itu
aku tetap saja susah tidur.
Aku terus melihat bayangan yang bergerak-gerak di dinding
kamarku. Bayangan seekor kucing.
Aku turun dari tempat tidur dan menutup tirai jendela. Kamarku
jadi gelap gulita. Tanpa bayangan di dinding.
Tapi aku tetap tidak bisa tidur.
Aku terbaring di tempat tidur dengan mata terbelalak.
"Tidurlah, Crystal," aku berkata pada diriku sendiri. "Tak ada
alasan untuk merasa takut."
Tapi kemudian aku tersentak kaget karena mendengar bunyi
berderak. Di pintu kamarku terlihat celah bercahaya kelabu.
Sekali lagi terdengar bunyi berderak"dan celah di pintu pun
bertambah lebar. Aku menelan ludah. Tanpa berkedip aku melihat pintu kamarku membuka pelanpelan.
Sedetik kemudian aku sadar ada orang menyusup ke kamarku.
Orang dengan cadar hitam. Dan gaun panjang hitam.
Vanessa! 5 AKU ingin menjerit. Tapi yang keluar dari mulutku cuma suara
mengerang pelan. Aku hendak melompat turun dari tempat tidur. Tapi ke mana
aku lari" Vanessa menghampiriku tanpa bersuara. Tangannya terjulur
lurus ke depan, seakan-akan siap mencekikku. Wajahnya tersembunyi
di balik cadar hitam. Bagaimana ia bisa masuk ke rumahku"
Apa yang akan dilakukannya padaku"
Pertanyaan-pertanyaan menakutkan itulah yang melintas dalam
benakku. Vanessa membungkuk di depan tempat tidur. Tangannya
bergerak ke arah leherku.
"Jangan!" aku memekik tertahan.
Aku mengangkat tangan. Menepis tangannya. Meraih cadarnya.
Dan menariknya sampai lepas.
Cole! Aku melihatnya nyengir lebar dalam cahaya redup dari koridor.
"Cole"dasar brengsek!" aku menjerit.
Aku mencampakkan cadarnya. Lalu berusaha menyergap Cole.
Aku hendak menariknya sampai jatuh ke lantai.
Tapi tanganku meleset"dan aku jatuh dari tempat tidur.
"Kau keterlaluan, Cole! Gara-gara kau, aku jadi kaget setengah
mati!" Tapi agaknya ia tidak mendengarku karena terlalu sibuk
tertawa. Cepat-cepat aku berdiri. Cole segera menghindar. Sambil
tertawa terbahak-bahak ia kabur ke arah pintu. "Kausangka aku
Vanessa!" serunya. "Enak saja!" aku membantah. "Aku cuma kaget, itu saja."
"Jangan bohong!" ia berkeras. "Kausangka aku Vanessa. Kau
pikir dia datang untuk memberi pelajaran padamu!"
"Tidak! Tidak! Tidak!" seruku gusar.
Ia melambai-lambaikan tangan sambil komat-kamit.
"Abrakadabra! Kepalamu jadi spons!"
Kemudian ia tertawa lagi. Rupanya ia menganggap tingkahnya
benar-benar lucu. "Awas, nanti akan kubalas!" ujarku sengit. "Pokoknya akan
kubuat kau menyesal seumur hidup!"
Cole cuma menggeleng-gelengkan kepala, lalu keluar dari
kamarku. Gaun panjang yang dipakainya menyapu lantai di
belakangnya. Sambil menggeram aku memungut cadar dari lantai, dan
melemparkannya ke arah adikku.
Aku memukul-mukul bantal dengan kesal. Kenapa aku bisa
tertipu seperti itu" Cole pasti akan berkoar pada teman-temannya di
sekolah bahwa aku ketakutan karena mengira Vanessa masuk ke
kamarku. Jantungku masih berdegup kencang ketika aku kembali naik ke
tempat tidur. Saking kesalnya, aku baru bisa tidur lagi berjam-jam
setelah itu. Dan ketika aku akhirnya tertidur, aku bermimpi tentang
seekor kucing. Seekor kucing hitam bermata kuning dengan lidah merah darah.
Kucing itu berada di ruangan yang serbaputih. Tapi kemudian
ruangan itu berubah jadi kamarku.
Dalam mimpiku, kucing itu pindah ke ujung tempat tidurku,
dan membuka mulut lebar-lebar. Lidahnya yang merah darah
menjilat-jilat giginya yang kuning.
Lalu kucing itu mulai mengeluarkan suara melengking tinggi.
Suaranya tajam dan menyakitkan telinga"seperti kalau kita
menggoreskan kuku ke papan tulis.
Mulut kucing itu terbuka lebar. Matanya yang kuning menyalanyala.
Aku tidak tahan mendengar suaranya. Dalam mimpiku, aku
menutup telinga dengan kedua tangan.
Tapi suara kucing itu malah semakin nyaring.
Kucing itu melayang-layang ke arahku. Semakin dekat.
Semakin dekat. Mulutnya menganga, seakan- akan siap menelanku.
Saat itulah aku terbangun. Aku sampai tercengang karena
suasana di kamarku begitu sunyi.
Mimpiku terasa begitu nyata. Aku sempat menyangka aku akan
melihat kucing hitam di ujung tempat tidur.
Berkas cahaya matahari masuk melalui jendela dan menerangi
lantai. Aku melihat cadar hitam tergeletak di samping pintu.
Tak ada kucing. Aku meregangkan otot dan turun dari tempat tidur. Sambil
menguap aku berpakaian untuk berangkat sekolah.
Mom sedang menyiapkan sarapan ketika aku masuk ke dapur.
"Enak tidurnya?" ia bertanya.
"Tidak," jawabku. Aku mengambil tempat di meja makan.
"Pertama-tama aku tidak bisa tidur. Dan habis itu aku malah bermimpi
buruk." Mom geleng-geleng kepala. Ia menuju ke tempat cuci piring
dan mengisi teko air. Semula aku mau menceritakan lelucon Cole yang konyol. Tapi
akhirnya aku berubah pikiran. Bisa-bisa Mom malah mengungkitungkit kenapa kami pergi ke rumah Vanessa kemarin.
"Ada acara sehabis sekolah nanti, Crystal?" ia bertanya sambil
menyalakan kompor. "Mungkin ada baiknya kau langsung pulang saja
dan beristirahat." "Tidak bisa," sahutku sambil mengunyah cornflake. "Aku ada
latihan basket. Mr. Clay, pelatihku, bilang aku akan mendapat
kesempatan main lebih lama. Aku sudah memberitahunya bahwa aku
bosan jadi pemain cadangan. Aku mau main dari babak pertama. Tapi
aku tak pernah dapat kesempatan untuk menunjukkan kehebatanku."
Mom berpaling padaku. Ia meniup beberapa helai rambut yang
jatuh ke keningnya. "Mungkin itu sebabnya kau susah tidur semalam,"
katanya. "Mungkin kau terlalu gelisah memikirkan latihan basket hari
ini." Aku cuma angkat bahu. Aku enggan menceritakan sebab
sesungguhnya. Aku mendengar Cole bergegas menuruni tangga. Mom segera
menyiapkan semangkuk sereal.
"Kapan kau mau membeli hadiah ulang tahun unuk Lucy-Ann?"
Mom bertanya padaku. "Jangan lupa, lho. Pesta ulang tahunnya Sabtu


Goosebumps - Kutukan Ayam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besok." Lucy-Ann salah satu sahabat karibku. Sudah bermingguminggu ia sibuk membicarakan ulang tahunnya"yang ketiga belas! Ia
sudah tidak sabar jadi remaja.
"Barangkali besok, pulang sekolah," jawabku.
"Apa yang akan kaubelikan untuknya?"
Aku hendak menjawab, tapi Cole sudah muncul di dapur.
Mom dan aku langsung kaget begitu kami melihat wajahnya.
"Cole!" seru Mom.
"M-mukaku...," ia tergagap-gagap.
Pipi dan keningnya penuh bercak merah.
"Aduh... sakit...," ia meratap. Ia berpaling padaku. "Vanessa," ia
bergumam. "Ini gara-gara Vanessa."
6 COLE jatuh berlutut dan menutupi wajahnya dengan kedua
tangan. Aku cepat-cepat turun dari kursiku. "Cole...?"
"Kita harus telepon dokter!" seru Mom. "Atau lebih baik 911
saja?" Ia membungkuk di atas Cole. "Kau benar-benar kesakitan?"
Perlahan-lahan Cole menurunkan tangannya. Dan kemudian
kulihat ia nyengir lebar.
Aku juga melihat bercak-bercak merah di wajahnya telah
coreng-moreng karena terusap tangannya.
"Cole!" teriakku geram.
Mom sampai tercengang. Ia telah mengangkat pesawat telepon,
siap menghubungi dokter. "Spidol merah," Cole berkata sambil cengar-cengir. Lalu ia
tertawa terbahak-bahak. "Aaaagggh!" aku memekik. Tanpa pikir panjang aku
menimpuknya dengan sereal. Sereal itu menghantam dadanya,
sebelum jatuh ke lantai. "Ini tidak lucu!" seruku.
Mom menggelengkan kepala. "Cole"jangan bikin kaget,
dong." Ia menghela napas panjang.
Cole berdiri dan menunjukku. "Crystal, kau benar-benar
percaya aku kena guna-guna Vanessa," ia menuduh.
"Leluconmu sama sekali tidak lucu!" aku berseru. "Mulai
sekarang aku takkan percaya padamu lagi. Biarpun kau ditabrak truk,
aku takkan percaya!"
Aku membalik dan meninggalkan dapur.
Di belakangku, aku mendengar Mom berkata pada Cole, "Kau
tidak boleh menakut-nakuti kakakmu seperti ini."
"Kenapa?" tanya Cole.
Aku menyambar ranselku, bergegas keluar rumah, dan
membanting pintu. Aku memaksakan diri untuk tidak memikirkan Vanessa.
Sepanjang hari tak sekali pun aku memikirkannya.
Aku baru teringat lagi padanya ketika aku berhadapan
dengannya. Dan setelah itulah aku mulai mengalami berbagai kejadian yang
benar-benar menakutkan. 7 "ITU kuenya Lucy-Ann, ya?" tanya Cole.
"Hmm, di atasnya ada tulisan HAPPY BIRTH-DAY, LUCYANN," sahutku. "Jadi silakan pikir sendiri, Tuan Jenius."
Cole, Anthony, dan aku berdiri di depan toko roti sambil
menempelkan hidung ke jendela. Beberapa kue ulang tahun berlapis
krem putih dipajang di kaca etalase. Kue ulang tahun Lucy-Ann ada di
tengah rak, siap diambil untuk pestanya pada hari Sabtu.
Aku melihat Mrs. Wagner melambaikan tangan dari balik meja
layan di dalam toko. Aku membalas lambaiannya. Lalu aku melirik
arlojiku. "Hei"aku sudah telat, nih!" ujarku pada Cole dan Anthony.
"Aku harus cari hadiah untuk Lucy-Ann. Setelah itu aku harus pulang
dan membuat PR matematika."
Aku bergegas ke Mini-Mart di pojok jalan yang bersebelahan
dengan toko bahan makanan. Rencananya aku mau membelikan CD
baru untuk sahabatku. Di ujung blok, anjing tua milik Mr. Horace lagi
tidur-tiduran di tengah Main Street. Anjing itu menggaruk-garuk
telinga dengan kaki belakang, dan bersikap seakan-akan seluruh desa
adalah miliknya. Aku mendengar Cole dan Anthony tertawa di belakangku. Aku
berbalik dan memberi isyarat agar mereka segera pergi. "Sudah, sana!
Kenapa sih kalian harus membuntutiku?"
Seperti biasa, ucapanku tidak digubris.
Cole mengeluarkan sebutir telur dari sakunya. Matanya
bersinar-sinar. "Hei, kejutan!" serunya. Serta-merta ia melemparkan
telur itu ke arah Anthony.
Anthony menangkapnya dengan tangkas. Tanpa berpikir
panjang ia melemparnya kembali kepada adikku.
"Aduh," aku mengeluh. "Permainan konyol lagi."
Cole terpaksa melompat"tapi ia berhasil menangkap telur itu
dengan sebelah tangan. Ini salah satu permainan mereka yang selalu membuatku uringuringan. Mereka melempar telur bergantian sambil jalan. Dan setiap
kali, jarak di antara mereka bertambah lebar.
Tujuan permainan ini adalah melihat seberapa jauh mereka bisa
melempar telur tanpa memecahkannya.
Jawabannya biasanya: tidak terlalu jauh.
Selalu saja ada salah satu dari mereka yang berlepotan telur.
Suatu kali aku membuat kesalahan dengan melompat ke antara
mereka dan berusaha menangkap telur yang sedang melayang.
Sayangnya, telur itu kutangkap dengan keningku.
"Sudah, dong," aku memohon. "Cari tempat lain saja kalau mau
main lempar-lemparan telur."
Cole mundur sampai ke tengah jalan. Selangkah di
belakangnya, anjing tua Mr. Horace sedang menguap lebar. Dua lakilaki berpakaian overall tengah mengangkut karung-karung besar berisi
makanan ternak dari Feed Store di seberang jalan.
"Yo!" Cole berseru"lalu melempar telurnya tinggi ke udara.
Anthony mengangkat sebelah tangan untuk melindungi matanya
dari sinar matahari. Ia mundur, mundur, mundur"hampir menabrak
toko bahan makanan. Dan kepalanya tertimpa telur.
Kraaak. Telur itu langsung pecah.
"Hah?" Anthony memekik kaget. Aku melihat kuning telur
mengalir di kening dan pelipisnya.
"Sori. Telurnya terlepas dari tanganku!" seru Cole. Tapi ia tak
sanggup menahan tawa. Ia langsung tertawa terbahak-bahak.
Anthony menggeram kesal, lalu mencoba menerkam Cole.
Cole mengelak, dan berlari ke trotoar.
"Berhenti! Berhenti!" seruku.
Anthony meraung bagaikan singa marah. Ia menerjang adikku
dan mendorongnya sampai menabrak dinding toko bahan makanan.
"Kau sengaja ya!" ia menuduh.
"Tidak. Itu kecelakaan!" sahut Cole sambil terus tertawa.
Anthony menundukkan kepalanya yang berlepotan telur, dan
membenturkannya ke dada Cole.
"Aduh!" Adikku mengerang keras.
Anthony mengambil ancang-ancang untuk menabraknya sekali
lagi. Cole menatap T-shirt-nya yang basah karena kuning telur.
"Berhenti! Berhenti!" Aku berusaha memisahkan mereka. Aku
mencengkeram pundak Anthony dan mencoba menariknya menjauhi
Cole. Aku tidak melihat Vanessa keluar dari toko itu.
Tak satu pun di antara kami melihatnya.
"Lepaskan dia," aku memohon pada Anthony. Aku menariknya
kuat-kuat. Dan kami bertiga menabrak Vanessa.
Mula-mula aku cuma melihat gaunnya yang hitam. Kemudian
aku melihat wajahnya yang pucat. Matanya yang gelap terbelalak
karena kaget. Ia membuka mulut lebar-lebar. Tangannya bergerak ke atas
untuk menjaga keseimbangan.
Dan kedua kantong belanjanya jatuh ke trotoar.
Aku mendengar salah satu kantongnya robek. Disusul bunyi
kaleng dan botol menggelinding.
Bunyi kaca pecah membuatku menoleh ke jalan. Aku melihat
genangan saus tomat yang tumpah dari botol pecah. Di dekatnya
tergeletak karton berisi selusin telur yang sudah retak-retak.
Aku masih mencengkeram pundak Anthony dengan kedua
tangan. Seluruh tubuhnya gemetaran. Ia langsung memberontak untuk
membebaskan diri. "Sori!" ia berseru pada Vanessa. "Aku tidak sengaja."
Ia melompati barang belanjaan yang berserakan" dan langsung
lari menyeberang jalan. "Aduh!" Anthony memekik ketika kakinya tersandung anjing
Mr. Horace. Ia kehilangan keseimbangan dan terjerembap, menimpa
anjing itu. Anjing itu tidak bersuara, bahkan hampir tidak bereaksi sama
sekali. Anthony cepat-cepat berdiri lagi. Kemudian ia melejit ke balik
toko bahan makanan. Ia menghilang tanpa menoleh lagi ke belakang.
"Oh, wow," aku bergumam sambil memandang barang-barang
yang tergeletak di jalan. "Oh, wow."
Cole berdiri di sampingku. Napasnya terengah-engah. Ia
menggelengkan kepala. Anjing Mr. Horace mendekat, merunduk, dan menjilat-jilat
kuning telur yang tergenang.
Aku berpaling pada Vanessa. Aku hampir memekik kaget
ketika melihat ekspresi marah di wajahnya yang dingin dan pucat.
Ketika pandangan kami beradu, aku merasa seperti ditikam"
dengan tusukan es. Aku merinding. Tubuhku sampai gemetaran karena ngeri. Aku
meraih lengan Cole, dan menariknya mundur.
Tapi Vanessa malah melangkah maju. Gaunnya yang panjang
menyapu trotoar. Ia menunjuk Cole dengan jarinya yang lentik. Lalu
ia menunjuk padaku. "Ayam ayam," bisiknya.
8 BIBIR Vanessa yang berlipstik hitam mengembangkan senyum
ketika ia mengucapkan kata-kata itu.
"Ayam ayam." Aku merasa seperti ditampar.
Jalanan mendadak tampak miring di hadapanku. Lalu mulai
berputar-putar. Apa maksud Vanessa" Kenapa ia berkata begitu"
Cole dan aku tidak berani bertanya. Sepatu kami berdebamdebam di aspal ketika kami kabur tunggang-langgang.
Aku melirik anjing tua yang masih asyik menjilat-jilat kuning
telur. Aku juga masih sempat melihat wajah Vanessa yang begitu
murka. Sedetik kemudian Cole dan aku sudah membelok di ujung jalan.
Kami melesat melewati kantor pos dan binatu, lalu berlari sampai ke
rumah. Aku berlari tanpa menoleh ke belakang. Aku juga tidak
mengucapkan sepatah kata pun sampai kami berhasil tiba di dapur
dengan selamat. Aku langsung menjatuhkan diri di kursi makan.
Cole berlari ke tempat cuci piring, dan membasuh wajah dan
rambutnya dengan air dingin.
Kami sama-sama terengah-engah. Kami sama-sama tidak
sanggup bicara. Aku menyeka keringat yang membasahi keningku.
Kemudian aku berjalan ke lemari es dan mengambil botol air kecil.
Aku melepaskan tutupnya, menempelkannya ke bibir, lalu mereguk
isinya sampai habis. "Seharusnya kita jangan lari," kataku setelah napasku hampir
normal kembali. "Hah?" Cole berpaling padaku. Air menetes-netes dari
wajahnya yang kemerahan. Bagian depan T- shirt-nya basah kuyup.
"Seharusnya kita tetap di sana dan membantu Vanessa
memungut belanjaannya," ujarku.
"Yang benar saja!" seru Cole. "Dia kan sinting! Kau tidak lihat
tampangnya tadi?" "Lho, kita memang salah menjatuhkan semua belanjaannya,"
sahutku. "Tapi kita kan tidak sengaja," adikku berkeras. "Namanya juga
kecelakaan. Tapi dia... dia mau menghancurkan kita!"
Botol air yang dingin kutempelkan ke keningku. "Tapi kenapa
dia bilang begitu?" aku bertanya pada diriku sendiri. "Kenapa dia
berbisik seperti itu?"
Raut muka Cole langsung berubah. Ia mengangkat tangan dan
menudingku. Lalu ia meniru gerak-gerik Vanessa tadi. "Ayam ayam!"
katanya dengan suara parau sambil menggoyang-goyangkan jari.
"Stop!" aku membentaknya. "Aku serius. Berhenti, Cole. Aku
jadi merinding." "Ayam ayam," ia berbisik sekali lagi.
"Sudahlah, jangan macam-macam," aku memohon. Botol air
plastik di tanganku kuremas-remas sampai remuk. "Ini terlalu aneh,"
aku bergumam. "Kenapa dia bilang begitu?"
Cole angkat bahu. "Mungkin karena dia sinting?"
Aku menggelengkan kepala. "Dia tidak sinting: Dia jahat,"
kataku. Aku memeluk diriku sendiri. "Aku punya firasat kita akan
mengalami kejadian mengerikan."
Cole menatapku sambil mencibir. "Hah, apa sih yang perlu
ditakuti?" 9 "KAU sudah beli hadiah untuk Lucy-Ann?" Mom bertanya
pada waktu makan malam. Aku menelan sesuap spageti. "Ehm... belum."
Mom menatapku dengan heran. "Lho, bukankah kau ingin
membelikan CD untuknya kemarin?"
"Tolong ambilkan keju Parmesan," Dad menyela. Sejauh ini,
baru inilah yang diucapkannya sepanjang sore. Rupanya ada kejadian
tidak enak di kantornya tadi.
"Kalau begitu, apa yang kaulakukan sehabis sekolah, Crystal?"
tanya Mom. "Tidak ada." Aku menghela napas. "Bisakah kita bicara soal
lain saja?" "Eh, dagumu berlepotan saus spageti, tuh," ujar Cole.
Aku langsung meringis padanya. "Ha ha," aku bergumam.
"Sepertinya aku sudah terlalu lama duduk berseberangan denganmu.
Aku jadi ketularan kebiasaan burukmu."
Ia menjulurkan lidah padaku. Di atas lidahnya ada segumpal
daging cincang. Dasar brengsek.
"O ya, katanya kau latihan basket kemarin?" Dad bicara.
"Bagaimana...?"
"Sebaiknya jangan bicara soal itu, deh," aku menyela.
Mom meletakkan garpunya. "Kelihatannya semua topik lagi
tabu untuk dibicarakan, hmm?"
"Bisa jadi," aku bergumam sambil menatap piringku. Aku
menggelengkan kepala. "Latihannya kacaubalau. Mr. Clay akhirnya
memberi kesempatan padaku, tapi aku malah bermain payah sekali."
"Tak ada yang sempurna," Cole berkomentar.


Goosebumps - Kutukan Ayam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Diam, Cole," Mom menegurnya.
"Kenapa tidak ada yang mau mendengar cerita tentang
jempolku yang keseleo?" Cole merengek.
"Diam, Cole," Mom berkata sekali lagi. Ia kembali berpaling
padaku. "Kau tidak bermain baik?"
"A-aku tersandung kakiku sendiri waktu menggiring bola. Dua
kali malah," aku tergagap-gagap. "Dan aku gagal memasukkan lay up
yang gampang. Bolanya bahkan tidak kena pinggiran ring."
"Hmm... mungkin lain kali...," ujar Dad.
"Tapi ini kesempatan emas untuk menunjukkan bahwa aku
pantas jadi pemain utama!" aku berseru. "Dan aku gagal. Habis aku
merasa begitu capek kemarin. Malam sebelumnya aku kurang tidur.
Dan... dan..." "Tapi kau kan tetap jadi pemain keenam," kata Mom dengan
nada menenangkan. "Pasti masih banyak kesempatan untuk
memperlihatkan kebolehanmu.
"Besok kau latihan basket lagi?" Dad bertanya sambil
menambah salad di piringnya.
Aku menggelengkan kepala. "Tidak. Besok aku latihan paduan
suara. Cole juga ikut. Kami akan tampil di acara wisuda SMP bulan
depan." "Aku dua kali menyanyi solo," Cole berkoar. "Aku satu-satunya
anak kelas lima yang ikut paduan suara"dan satu-satunya yang punya
suara sempurna." "Lho, katanya tidak ada yang sempurna," aku
mengingatkannya. Ya, aku tahu. Leluconku tidak lucu. Dan memang
tidak ada yang tertawa. Mom menatap tangan Cole. "Bagaimana jempolmu bisa sampai
keseleo?" ia bertanya.
"Jempolku tidak keseleo, kok," sahut Cole. "Aku cuma kepingin
ikut mengobrol." *****************************
Mrs. Mellon, guru musik kami, wanita mungil yang mirip
burung. Ia selalu memakai sweter abu-abu dan rok atau celana
panjang dengan warna sama. Dengan rambutnya yang kelabu dan
hidungnya yang melengkung seperti paruh, ia mengingatkanku pada
seekor burung gereja. Ia menyebut kami kawanan burung kenari.
Greene County Middle School terlalu kecil untuk membuat
ruang musik khusus. Karena itu anggota paduan suara berkumpul di
sudut panggung auditorium seusai sekolah.
Ada delapan anak yang ikut paduan suara. Empat cowok dan
empat cewek. Sebagian besar anak kelas enam, tapi ada juga anak
yang lebih kecil seperti Cole. Tidak mudah lho, membentuk paduan
suara di sekolah sekecil sekolah kami.
Mrs. Mellon terlambat. Anak-anak cowok langsung
memanfaatkan kesempatan ini untuk saling menjepretkan jepitan
kertas dengan karet gelang. Sementara itu, anak-anak cewek sibuk
membahas betapa konyolnya tingkah para cowok.
Ketika Mrs. Mellon akhirnya datang, ia merapikan rambutnya
yang agak berantakan, lalu langsung bersikap serius. "Penampilan kita
tinggal dua minggu dari sekarang," katanya. "Dan sampai sekarang
kemajuan kita belum banyak."
Kami semua sepakat kami membutuhkan lebih banyak waktu
untuk latihan. Lucy-Ann, penyanyi sopran kami, mengangkat tangan.
"Barangkali kita bisa melakukan lip-synch" ia mengusulkan. "Anda
tahu, kita memutar kaset sementara mulut kita komat-kamit pura-pura
menyanyi." Semuanya tertawa. Aku menatap Lucy-Ann. Aku tidak yakin ia cuma bergurau.
EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM "Kita tidak punya waktu untuk main-main," kata Mrs. Mellon
tegas. "Coba kita lihat apa yang bisa kita capai kalau semuanya
serius." Kami menyanyikan tangga nada sebagai pemanasan. Tapi
latihannya terhenti sejenak ketika seekor labah-labah besar berwarna
hitam jatuh ke rambut Lucy-Ann. Ia langsung menjerit dan mundur
terhuyung-huyung. Ia menggoyang-goyangkan kepala dan mengacakacak rambutnya dengan kedua tangan.
Akhirnya labah-labah itu jatuh ke lantai, dan Cole langsung
menginjaknya. "Eh, itu kan mengundang sial," ujar seorang cowok bernama
Larry. Cole angkat bahu dan menggesekkan telapak sepatunya ke
lantai. "Kita mulai dengan 'Beautiful Ohio'," kata Mrs. Mellon, tanpa
menggubris masalah labah-labah. Ia membolak-balik lembaranlembaran kertas di mejanya. "Lagu ini yang paling menyulitkan kita
dalam latihan terakhir."
"Bagian yang bernada tinggi yang bikin sulit," Lucy-Ann
berkomentar. "Suaramu yang jadi masalah!" Larry mencemooh. Kurasa Larry
naksir Lucy-Ann. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk
mengejeknya. Mrs. Mellon berdeham. "Ayo, anak-anak. Serius sedikit, dong."
Ia berpaling pada Cole. "Kau sudah berlatih solo-mu?"
"Oh, ya. Tentu," adikku berbohong.
"Kalau begitu kita coba saja," ujar Mrs. Mellon. "Ingat, Cole"
tunggu tiga ketukan sebelum kau mulai bernyanyi."
"Tenang saja," sahut Cole.
Waktu latihan terakhir, Cole salah terus.
Mrs. Mellon mengangkat tangan. Ia tersenyum. Lalu
melambaikan tangan sebagai aba-aba untuk mulai.
Kami menyanyikan lagu "Beautiful Ohio." Lagunya tidak
istimewa, tapi aku suka bagian yang bernada tinggi.
"Bagus sekali. Bagus sekali," Mrs. Mellon menyemangati kami
sambil tersenyum tipis. Kedengarannya memang cukup bagus.
Sampai Cole mulai dengan suara solo-nya.
Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam. Ia melangkah
maju. Menghitung tiga ketukan. Membuka mulut.
Dan bernyanyi: "BLUCK BUCK BUCK BLUUUCK BLUCK."
"Hah?" Mrs. Mellon memekik tertahan.
Semua langsung terdiam. Aku menatap adikku dengan kening
berkerut. Cole sendiri kelihatan bingung. Berkali-kali ia berdeham untuk
melancarkan tenggorokannya.
"Nyanyikan syairnya, Cole," Mrs. Mellon memerintahkan
dengan tegas. "Kau hafal syairnya, bukan?"
Cole mengangguk. "Kalau begitu kita mulai dari chorus sebelum solo Cole," ia
kembali memberi instruksi.
Kami bernyanyi lagi. Pandanganku terus melekat pada Cole.
Ia menghitung tiga ketukan. Lalu:
"BLUCK BLUCK BLUCK CLUCK BUCK."
Apa sih maunya" Larry tertawa. Tapi yang lain diam saja.
Cole sibuk mengusap leher sambil berdeham-deham. Wajahnya
merah padam. "Kau tidak apa-apa?" aku bertanya tanpa bersuara. Ia tidak
menjawab. "Cole"tolonglah," Mrs. Mellon memohon. "Jangan main-main.
Kita tidak punya waktu." Ia menatapnya sambil mengerutkan kening.
"Suaramu bagus sekali. Saya tahu kau sanggup membawakan lagu ini.
Jadi tolong bersikap serius sedikit."
Mrs. Mellon mengangkat tangan. "Pada hitungan ketiga," ia
berkata pada adikku. "Satu... dua... tiga...." Ia mulai mengatur irama
dengan sebelah tangan. "Cobalah bernyanyi sebaik-baiknya."
"BLUCK BLUCK BUCK BUCK BUCK!" adikku berkotek
dengan suara melengking konyol.
Aku langsung keluar dari barisan dan melabraknya. "Aduh,
Cole"apa sih maumu?" seruku gusar. "Kenapa kau bercanda terus?"
"BLUCK BLUCK BUCK CLUCK BLUCK," sahutnya.
10 SORENYA, aku membungkus hadiah ulang tahun Lucy-Ann di
kamarku. Aku menoleh ke pintu dan melihat Cole berdiri di situ. Ia
kelihatan gugup sekali. Rambutnya yang pirang berdiri tegak. Ia terus mengusapkan
tangannya yang berkeringat ke bagian depan T-shirt-nya.
"Mau apa?" tanyaku ketus. "Aku sibuk." Aku melipat pojok
kertas kado dan merekatkannya ke kotak CD.
Cole berdeham, tapi tidak mengatakan apa-apa.
Aku menatapnya sambil geleng-geleng. "Gara-gara kau latihan
kita jadi kacau," ujarku.
"Tapi itu bukan salahku!" ia berseru dengan sengit.
"Hah!" Gunting di tanganku kubanting ke meja. "Kau tidak mau
bernyanyi. Kau malah berkotek-kotek seperti ayam! Salah siapa itu"!"
"Kau tidak mengerti...," Cole berkata dengan suara parau sambil
mengusap-usap leher. "Aku memang tidak mengerti," aku menyela. "Asal tahu saja,
kami semua sudah muak dengan leluconmu yang konyol. Terutama
aku. MUNGKIN kaupikir tingkahmu lucu. Tapi sebenarnya kau
menyebalkan, Cole." "Tapi aku tidak bermaksud melucu!" ia memprotes sambil
melangkah masuk ke kamarku. Ia menghampiri meja dan menimangnimang tempat selotip. "Aku tidak bermaksud berkotek-kotek seperti
itu. A-aku tidak sengaja."
Aku menggelengkan kepala. "Hah, tidak sengaja," aku
mendengus. "Sungguh, Crystal. A-aku rasa ini gara-gara Vanessa! Dia yang
membuatku berkotek-kotek!"
Aku tertawa. "Memangnya aku bodoh?" sahutku. "Sekali atau
dua kali aku mungkin ketipu oleh leluconmu. Tapi tidak terusterusan."
"Tapi Crystal..."
"Leluconmu sama sekali tidak lucu," aku menegaskan. "Tidak
seharusnya kau mengacaukan latihan kita."
"Kau tidak mengerti!" Cole memprotes. "Itu bukan lelucon.
Aku terpaksa berkotek. Aku..."
"Keluar!" seruku. Aku membuat gerakan mengusir dengan
kedua tangan. "Keluar dari sini"cepat!"
Wajahnya jadi merah padam. Ia hendak mengatakan sesuatu,
tapi akhirnya tidak jadi. Ia cuma menghela napas, lalu berbalik dan
keluar dari kamarku. "Bercanda melulu," aku bergumam pelan.
Biasanya aku lebih sabar terhadap adikku. Tapi kali ini ia
memang pantas diberi pelajaran.
Aku kembali sibuk membungkus hadiah ulang tahun Lucy-Ann.
Setelah itu aku membuat PR sampai waktunya tidur.
Aku mematikan lampu. Aku baru hendak naik ke tempat tidur
ketika aku mendengar ayam berkotek-kotek.
Aneh, pikirku. Aku belum pernah mendengar suara ayam
setelah gelap. Semua ayam sudah masuk ke kandang.
"Cluuuck bluuuck."
Aku duduk tegak dan memandang ke jendela yang terbuka.
Gordennya bergerak-gerak tertiup angin lembut. Sebagian karpet di
lantai diterangi sinar bulan.
Jangan-jangan pintu kandangnya belum ditutup" aku bertanyatanya.
Jangan-jangan ada ayam yang menyelinap keluar"
"Bluuck bluuck buuck."
Suara itu rasanya berasal dari sekitar rumah, dari bawah jendela
kamarku. Sambil menatap gorden yang bergerak-gerak, aku turun dari
tempat tidur dan menghampiri jendela. Sinar bulan yang dingin dan
keperakan menerpa wajahku.
"Bluck bluck cluck."
Aku bersandar ke ambang jendela. Memandang ke bawah.
Dan memekik tertahan. 11 TAK ada apa-apa. Tak seekor ayam pun kelihatan.
Aku menatap tanah yang dibanjiri sinar keperakan. Kemudian
aku menoleh ke arah kandang ayam di samping garasi. Bentuknya
menyerupai rumah-rumahan untuk anjing, tapi jauh lebih panjang.
Pintunya tertutup rapat. Tak ada yang tampak bergerak di jendelajendelanya yang kecil bulat.
"Bluuuck bluuuck."
Terheran-heran aku mundur dari jendela. Dari mana suara itu
berasal" Dari dalam" "Cluuuck cluuuck."
Ya. Suara itu berasal dari balik dinding. Dari balik dinding yang
memisahkan kamarku dengan kamar adikku di sebelah.
Kenapa Cole bersuara begitu" aku bertanya sambil kembali naik
ke tempat tidur. Kenapa ia berkotek-kotek di tengah malam buta"
Apa sih maunya" ****************************
Aku yakin pesta ulang tahun Lucy-Ann bakal seru. Pesta yang
diadakan Lucy-Ann memang selalu meriah.
Ia berasal dari keluarga besar yang bekerja sebagai petani. Ia
punya tujuh kakak dan adik.
Rumah mereka yang besar selalu dipenuhi aneka bau yang
merangsang selera"bau ayam panggang, kue yang baru matang.
Orangtua Lucy-Ann petani paling sukses di Goshen Falls. Dan mereka
juga sangat ramah. Lucy-Ann mengundang seluruh kelas ke pesta ulang tahunnya,
ditambah sekitar dua lusin saudaranya. Pestanya diadakan pada sore
yang indah. Udara musim semi terasa begitu segar. Pekarangan di
depan rumahnya yang putih sudah ramai ketika aku datang.
Lucy-Ann punya segudang sepupu yang masih kecil-kecil.
Waktu aku menuju ke teras, aku melihat segerombolan dari mereka
berkumpul di samping gudang peralatan. Ayah Lucy-Ann mengajak
mereka naik traktor, dan anak-anak kecil itu tampaknya sudah tidak
sabar menunggu giliran. Aku bertemu Lucy-Ann di teras, dan langsung menyerahkan
CD yang telah kubungkus rapi.
Ia mengamati hadiahku yang berbentuk bujur sangkar, lalu
tersenyum lebar. "Wow. Kujamin aku takkan bisa menebak isinya!" ia
berkelakar. "Oke, oke. Hadiahku memang tidak unik," sahutku sambil
angkat bahu. "Justru ini yang kuharapkan," katanya saat kami melintasi
rumput untuk bergabung dengan tamu-tamu lain. "Aku dibelikan
Discman oleh orangtuaku. Tapi CD-nya aku belum punya."
Aku tertawa. "Sekarang kau sudah punya satu," kataku. "Paling
tidak aku bisa yakin kau memang belum punya!"
Paras Lucy-Ann jadi serius. "Kau ikut latihan paduan suara
besok pagi?" Aku mengangguk. "Yeah. Kita masih perlu banyak latihan."
"Aku akan telat sedikit," ujar Lucy-Ann. "Aku harus ke gereja
dulu. Biasanya baru sekitar jam setengah dua belas kami sampai di
rumah." Ia mengerutkan kening. "Kau sudah bicara dengan adikmu"
Kenapa sih ia bertingkah begitu konyol kemarin" Kenapa dia
berkotek-kotek seperti ayam" Apa dia pikir itu lucu?"
Aku angkat bahu. "Kelihatannya begitu." Kemudian aku


Goosebumps - Kutukan Ayam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menambahkan sambil menghela napas, "Aku tidak bisa menjelaskan
tingkah adikku. Kadang-kadang aku merasa dia berasal dari Mars."
Lucy-Ann tertawa. "Aku tahu apa yang kaumaksud,"
gumamnya. "Aku punya empat saudara laki-laki lho."
Aku melambaikan tangan pada dua teman sekelasku yang
sedang berdiri di bawah pohon besar. Aku menghampiri mereka untuk
mengobrol. Aku menyukai sebagian besar teman sekelasku, meskipun
cukup banyak yang tidak pernah kujumpai di luar sekolah. Goshen
Falls begitu kecil, dan sekolah kami satu-satunya sekolah menengah di
daerah sini. Jadi murid-muridnya berdatangan naik bus dari segala
penjuru. Asal tahu saja, beberapa temanku tinggal lebih dari lima puluh
kilometer dari rumahku. Kalau aku mau menghubungi mereka di
rumah, aku terpaksa menelepon interlokal!
Seperti telah kuduga, pesta ulang tahun Lucy-Ann berlangsung
meriah. Lucy-Ann memasang tape-player keras-keras, dan kami
semua asyik berdansa. Maksudnya, semua anak cewek asyik berdansa.
Ada juga anak cowok yang ikut. Tapi sebagian besar dari mereka
cuma berdiri di rumput sambil menertawakan anak-anak yang
berdansa. Aku benar-benar bergembira"sampai tiba waktunya untuk
memotong kue ulang tahun.
Saat itulah segala kegembiraan berubah menjadi horor.
12 KETIKA matahari sore mulai menghilang di balik atap-atap
rumah, ibu Lucy-Ann membawa kue ulang tahun keluar. Sebenarnya,
ia membawa dua kue" satu kue vanila buatan toko dan satu kue
cokelat buatan sendiri. "Karena banyaknya orang di rumahku," Lucy-Ann menjelaskan,
"kami tak pernah bisa sepakat kue apa yang paling enak. Karena itu
Mom selalu membuat satu kue ekstra kalau ada yang ulang tahun."
Kami semua mengambil piring dan berkumpul di sekeliling
meja panjang bertaplak putih, siap menyanyikan "Happy Birthday"
untuk Lucy-Ann. Di samping kedua kue tadi masih ada satu kue tar
blueberry sebesar piza! Menyalakan semua lilin di kedua kue ulang tahun ternyata
cukup merepotkan. Selalu saja ada lilin yang padam karena tiupan
angin. Tapi akhirnya orangtua Lucy-Ann berhasil juga, dan kami
menyanyikan "Happy Birthday" beramai-ramai. Lucy-Ann tampak
cantik sekali dengan cahaya lilin yang menari-nari di wajahnya dan
rambutnya yang pirang. Tapi tampaknya ia terus memandang ke arahku ketika kami
bernyanyi. Dan tiba-tiba aku sadar ada yang tidak beres.
Bunyi gemeretak yang kudengar sejak tadi"bunyi itu berasal
dari mulutku! Bibirku berbunyi tccck-tccck-tccck ketika aku bernyanyi.
Begitu lagunya selesai, aku langsung mengusap bibir dengan
jari. Bibirku terasa sangat kering. Kering dan pecah-pecah.
"Crystal"kau mau kue yang mana?" tanya Lucy-Ann. Aku
menoleh dan melihat ia dan ibunya sedang memotong-motong kue.
Aku menyodorkan piring. "Ehm, dua-duanya, deh." Aku juga
tidak bisa mengambil keputusan.
Sambil memegang piring dan garpu dengan sebelah tangan, aku
menghampiri beberapa temanku. "Kelihatannya enak," kataku.
Maksudku, itu yang hendak kukatakan. Tapi yang terdengar
adalah, "Tccck-tccck-tccck." Bunyinya seperti bunyi logam beradu.
Aku menjilat-jilat bibir. Keringnya minta ampun.
"Tccck tccck." Aku berusaha mengunyah sepotong kue. Tapi seiring setiap
gigitan, bunyi itu terdengar lagi.
Aku kembali menjilat bibir.
Dan berusaha mengunyah. Aku mulai terbatuk-batuk. Kue itu tidak bisa kukunyah.
"Tccck tccck." Anak-anak di sekitarku mulai menoleh.
"Crystal, kau tidak apa-apa?" seseorang bertanya padaku.
Bibirku bergemeretak ketika aku menyahut. Aku bergegas
menghampiri Lucy-Ann di meja. "Kau punya lip gloss untuk
melembutkan bibir?" tanyaku dengan suara melengking.
Bibirku bergemeretak lagi. Lucy-Ann harus berusaha keras
untuk menangkap maksudku.
"Lip gloss?" aku mengulangi. "Liglotttccck?"
Ia mengangguk seraya mengamatiku sambil memicingkan mata.
"Di lemari obat. Di kamar mandi bawah sebelah kiri." Ia menunjuk.
Aku meletakkan piring dan bergegas masuk ke rumah LucyAnn. Cepat-cepat aku membuka pintu kawat nyamuk dan menyerbu
ke dalam. Bau kue yang harum menyambutku.
Aku membelok ke kiri. Aku tahu jalannya, karena aku memang
sudah sering main ke rumah Lucy-Ann.
Pintu kamar mandi terbuka. Aku masuk, menyalakan lampu,
lalu menutup pintu. Kemudian aku membuka lemari obat dan menatap ke cermin.
Mataku membutuhkan waktu beberapa detik sebelum bisa
melihat dengan jelas. Tapi ketika bayangan bibirku akhirnya tampak
jelas, aku langsung menjerit karena ngeri.
13 BIBIRKU berwarna merah terang, dan menyembul keluar dari
wajahku. Kuraba bibirku dengan ujung jari. Baik bibir atas maupun
bawah terasa keras. Keras dan berbentol-bentol.
Aku menjentikkan jari ke bibir, dan langsung mendengar bunyi
tccck. Bibirku jadi kaku. Rasanya tidak lagi seperti kulit! Rasanya
keras bagaikan kuku! "Tccck tccck." Aku membuka dan menutup mulut. Menatap bayangan
mengerikan yang tampak di cermin.
Apakah bibirku tertutup semacam kerak" Apakah bibirku yang
asli tersembunyi di balik kerak itu"
Aku mengangkat kedua tangan dan berusaha melepaskan
lapisan yang keras itu. Tapi sia-sia. Bibirku yang keras benar-benar menyatu dengan
wajahku. "Aduh!" aku memekik. Mulutku menutup menimbulkan bunyi
berdetik. "Ada apa ini" Bibirku jadi mirip"paruh burung! "Aku tidak
bisa keluar dengan tampang seperti ini!" seruku keras-keras.
Kupukul cermin itu dengan tangan terkepal. Kenapa jadi
begini" aku bertanya dalam hati. Dadaku sampai sesak karena
dicengkeram perasaan panik. KENAPA JADI BEGINI"
Sekali lagi aku mencoba melepaskan bibir paruhku yang keras.
"Tenang dulu, Crystal. Tenang dulu!" kataku pada diriku
sendiri. Aku menarik napas dalam-dalam, dan mengalihkan
pandangan dari cermin. Ini pasti semacam alergi, pikirku.
Ya, pasti itu sebabnya. Aku makan sesuatu yang membuatku
alergi. Beberapa jam lagi aku pasti sudah normal kembali. Seandainya
tidak, Dr. Macy pasti tahu bagaimana cara mengembalikan bibirku
yang asli. Aku kembali menarik napas dalam-dalam. Seluruh tubuhku
gemetaran. Saking kerasnya, bibirku sampai bergemeretak lagi.
Aku memejamkan mata. Kemudian aku kembali berpaling ke
cermin. Perlahan-lahan aku membuka mata. Dalam hati aku berharap
akan melihat bibirku yang asli.
Ternyata tidak. "Paruh burung," aku bergumam dengan suara bergetar.
"Kelihatannya seperti paruh burung."
Tcckk tccck. Aku menjilat bibirku yang menyembul ke depan.
Aduh! Lidahku serasa diampelas.
Orang-orang tidak boleh melihatku seperti ini! pikirku. Aku
akan menyelinap lewat pintu depan dan berlari pulang. Nanti akan
kujelaskan semuanya kepada Lucy-Ann, melalui telepon.
Aku memadamkan lampu dan membuka pintu kamar mandi.
Sedikit saja, sekadar untuk mengintip. Tak seorang pun tampak di
dalam rumah. Semuanya masih di belakang, menikmati kue.
Kapan aku bisa makan kue lagi" aku bertanya-tanya.
Jangan-jangan aku bakal makan cacing terus setelah ini"
Idih! Aku sampai merinding ketika membayangkannya.
Aku mengendap-endap melewati ruang duduk. Membuka pintu
depan"dan melarikan diri.
Ketika aku berlari ke jalan, aku mendengar suara-suara riang
dari belakang rumah. Aku mendengar anak-anak tertawa dan berseruseru di tengah entakan musik.
Aku berbalik dan berlari pulang. Moga-moga saja tidak ada
yang melihatku. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Matahari telah menghilang di balik pohon-pohon. Bayanganbayangan panjang tampak melintang di jalan.
Bibirku terus bergemeretak selama aku lari. Jantungku
berdegup kencang. Aku berlari sampai ke rumah, tak sedikit pun
mengurangi kecepatan. Untung saja aku tidak berpapasan dengan
orang yang kukenal. Mobil orangtuaku tidak ada. Aku bergegas melewati garasi dan
masuk melalui pintu dapur.
Cole sedang berdiri di tempat cuci tangan. "Crys- tal...!"
serunya. Aku langsung tahu bahwa ada yang tidak beres.
Cepat-cepat aku membuang muka. Aku tidak ingin adikku
melihat mulut burungku yang menakutkan.
Tapi Cole malah menghampiriku dan menarik lenganku. "Mom
dan Dad sedang pergi," ia bergumam. "A-ada yang harus
kuperlihatkan padamu."
"Cole"ada apa?" aku bertanya. Bibirku kembali bergemeretak.
"Kenapa kau"tccck tccck"melilit lehermu dengan handuk?"
"Aku... perlu bantuan," sahutnya sambil menundukkan kepala.
Perlahan-lahan ia melepaskan handuk biru itu dari lehernya.
"Coba lihat," ujarnya.
Aku memekik tertahan. Bulu! Bulu-bulu berwarna putih menyembul dari leher dan bahunya.
14 "COLE"bagaimana mungkin?" aku memekik.
"BLUUCCCK BLUCCCK BUCCCK," ia berkotek dengan
mata terbelalak lebar karena ngeri.
"Berhenti!" teriakku geram. "Ini bukan waktunya bercanda!"
Dalam pikiranku aku sadar aku tertipu lagi. Bulu-bulu itu tidak
benar-benar tumbuh dari tubuhnya. Bulu-bulu itu pasti cuma ditempel
dengan lem atau semacam itu.
"BLUUUCK. Aku... tidak bisa... berhenti berkotek!" kata Cole
dengan susah payah sambil mengusap-usap leher.
"Yang benar saja," sahutku. Aku mengulurkan tangan dan
mencabut salah satu bulu putih dari tengkuknya.
Semula aku menduga bulu itu akan terlepas dengan mudah.
Tapi adikku langsung mengangkat tangan. "ADUH!" ia
menjerit. Ujung bulu itu meninggalkan lubang kecil di kulitnya. Aku
meraih bulu besar di pundaknya"dan menariknya.
"Hei"pelan-pelan!" seru Cole sambil menghindar dariku.
"BLUUUCK CLUUUCK. Sakit, nih!"
"Astaga!" aku memekik kaget. "Ini bulu sungguhan! Kau... kau
mulai"tck tck"berbulu burung!"
"Huu... huu... huu...," Cole mulai terisak-isak. Bahunya yang
berbulu bergerak naik-turun.
"Tenang saja," aku berkata padanya. Perlahan-lahan aku
menggiring adikku ke kamarnya. "Nanti kucabut semuanya. Aku akan
hati-hati. Pokoknya, jangan takut."
Aku menyuruhnya duduk di tepi tempat tidur. Kemudian aku
berdiri di sampingnya dan mulai mencabut bulu-bulu putih itu. Aku
menarik sepelan mungkin. Tapi Cole tetap saja tersentak setiap kali
ada bulu yang lepas. "Mom dan Dad harus kita beritahu," katanya sambil
menundukkan kepala. "Aduh."
"Tinggal sedikit lagi," ujarku. Aku mencabut bulu panjang dari
tengkuknya. Ia kembali tersentak. "Tenang saja. Kau akan segera
kelihatan normal lagi."
"Tapi Mom dan Dad tetap harus kita beritahu," ia berkeras.
"Kaupikir mereka akan percaya?" tanyaku. Bibirku
bergemeretak bersama setiap kata yang kuucapkan.
Cole menoleh ke arahku. "Hei"kenapa bibirmu?"
"Oh"aku"ehm...." Cepat-cepat aku menutup mulut dengan
sebelah tangan. "Bibirku kering," kataku. "Cuma kering."
Aku tidak tahu kenapa aku berbohong. Mungkin karena aku
tidak ingin ia tahu bahwa aku juga mengalami hal-hal yang aneh.
"Idih!" seru Cole.
Tampaknya ia merasa terhibur.
Dua bulu terakhir kutarik sekeras mungkin.
"Hei..!" ia memekik kesal, lalu mengusap-usap tengkuk dengan
sebelah tangan. Aku mundur selangkah. Lantai dan tempat tidur adikku penuh
bulu putih. "Sebaiknya langsung dibereskan saja," ujarku.
Aku masih menutup mulut dengan sebelah tangan. Aku tidak
berminat mendengar komentar Cole tentang bibirku. Bergegas aku ke
Pemburu Darah Satria 1 Pendekar Rajawali Sakti 118 Dukun Dari Tibet Pendekar Harpa Emas 5
^