Pencarian

Petualangan Dikapal Pesiar 1

Lima Sekawan 06 Petualangan Di Kapal Pesiar Bagian 1


Petualangan di KAPAL PESIAR
Scan by BBSC - OCR by Raynold
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com Bab 1 RENCANA LIBURAN YANG HEBAT
"ADA sesuatu yang dirahasiakan Ibu," kata Philip Mannering. "Aku tahu pasti. ?"Sikapnya aneh sekali akhir-akhir ini!"
"Memang," jawab Dinah, adiknya. "Dan setiap kali aku menanyakan rencana kita
untuk liburan ini, jawabannya selalu berbunyi, 'Lihat saja nanti!' Kita
diperlakukannya seperti baru berumur sepuluh tahun!"
"Mana Jack?" tanya Philip. "Coba kita tanyakan padanya, barangkali ia tahu
kenapa Ibu begitu." "Ia keluar tadi bersama Lucy-Ann," jawab Dinah. "Nah, itu mereka datang!
Kudengar jeritan Kiki."
Jack Trent masuk bersama Lucy-Ann, adiknya. Kedua anak itu mirip sekali! Sama-
sama berambut merah, berbola mata hijau - dan muka penuh bintik.
"Halo!" sapa Jack sambi I nyengir. "Sayang kalian tadi tidak ikut! Ada anjing
menggonggongi Kiki. Burung konyol ini lantas hinggap di pagar, lalu mengeong-
ngeong seperti kucing. Belum pernah kulihat anjing yang begitu kaget!"
Ya, ia lari pontang-panting ketakutan!" kata Lucy-Ann. Ia menggaruk-garuk
"jambul Kiki. Burung kakaktua itu mengeong-ngeong lagi. Rupanya ia tahu bahwa
anak-anak sedang mempercakapkan dirinya. Kemudian ia mendesis-desis. Persis
kucing yang sedang marah! Anak- anak tertawa mendengarnya.
"Kalau kau begitu pada anjing tadi, pasti ia akan mati tercengang," kata Jack.
"Dasar Kiki - orang takkan bisa bosan jika kau ada."
Kini Kiki mengayun-ayunkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, sambil berbunyi
seperti menyanyi dengan pelan. T api lalu disusul dengan suara terkekeh-kekeh.
"Nah, nah - sekarang kau pamer," kata Philip. "Jangan acuhkan dia lagi. Nanti
berisik - lalu Ibu datang sambil marah-marah!"
"0 ya, aku jadi ingat lagi - kenapa Ibu sekarang begitu misterius, ya?" kata
Dinah. "Kauperhatikan tidak, Lucy-Ann?"
"Yah -" kata Lucy-Ann sambil menimbang-nimbang. "Bibi Allie memang agak aneh
sikapnya akhir-akhir ini, seperti menyimpan rahasia tertentu. Seperti kalau ada
yang akan berulang tahun, begitu! Kurasa ia punya rencana tertentu untuk liburan
ini." Jack mengeluh. "Aduh, sial- padahal aku sudah punya rencana asyik! Benar-benar asyik!
Sebaiknya aku cepat- saja menceritakan rencanaku itu, sebelum didului Bibi
Allie." "Apa rencanamu?" tanya Dinah berminat Jack selalu ada-ada saja rencananya yang
"asyik, walau tidak sering jadi dilaksanakan.
"Begini! Bagaimana jika kita melancong ramai-ramai naik sepeda, dengan membawa
tenda. Kita berkemah, berpindah-pindah," kata Jack. "Nah-asyik, kan?"
Anak-anak yang lain malah mencibir.
"Itu sudah kauusulkan liburan yang lalu, begitu pula liburan sebelum itu," kata
Dinah. " Waktu itu Ibu tidak setuju. Jadi kemungkinannya kecil bahwa ia mau
mengizinkan sekarang. Rencanamu itu bukan jelek sebenarnya - tapi Ibu tidak mau
tahu lagi, karena begitu sering kita mengalami petualangan yang tegang apabila
kita pergi sendiri."
"Kenapa dia tidak ikut saja, kalau begitu?" kata Lucy-Ann menyarankan.
"Sekarang kau konyol," tukas Dinah. "Ibu baik hati - tapi orang dewasa suka
rewel tentang berbagai hal. Misalnya saja begitu kelihatan mulai mendung, kita
disuruhnya cepat-cepat memakai mantel hujan. 'Ayo, pakai jas kalian!', begitu
matahari sudah terbenam. Jika Ibu ikut, aku takkan heran jika kita semua
dibekali payung yang harus diikatkan ke sepeda."
Anak-anak tertawa geli. "Kalau begitu lebih baik jangan kita ajak ,dia, kata Lucy-Ann. "Sayang!" ?"Sayang-sayang," oceh Kiki dengan segera, seakan-akan sependapat dengan Lucy-
Ann. "Bersihkan kaki dan tutup pintu, mana sapu tanganmu, Anak nakal!"
"Betul, Kiki!" kata Philip. "Memang itulah kata-kata yang selalu diucapkan orang
dewasa - bahkan yang paling baik hati sekalipun!"
Tapi Bill tidak begitu," kata Lucy-Ann dengan cepat "Kalau Bill - ia benar-
"benar baik!" Semua sependapat dengannya. Bill Cunningham -- atau Bill Smugs, seperti
disebutnya sendiri sewaktu pertama kali berjumpa dengan keempat remaja itu -
sahabat karib mereka. Sudah sering mereka mengalami petualangan bersama dia.
Kadang-kadang mereka dulu yang menjumpai kejadian yang tidak disangka-sangka,
lalu Bill ikut terlibat. Tapi kadang-kadang yang terjadi sebaliknya. Bill
terjerumus ke dalam petualangan seru, yang kemudian melibatkan anak-anak pula.
Kelihatannya di mana ada Bill serta anak-anak, selalu saja kemudian timbul
petualangan. Begitulah kata Bu Mannering.
"Aku juga punya gagasan untuk liburan kita," kata Philip. "Rencanaku itu
berkemah di tepi sungai, sambil mengamat-amati kehidupan anjing air. Aku belum
pernah memelihara anjing air. Mereka menarik sekali. Aku -- " "Ya, pantas jika
kau yang mempunyai gagasan seperti itu," kata Dinah agak kesal. "Karena kau
sendiri tergila-gila pada segala macam hewan, mulai dari kutu sampai -
sampai..." "Gajah," kata Jack menimpali dengan santai.
"Ya, dari kutu sampai gajah. Kausangka semua pasti juga begitu," kata Dinah
"menyelesaikan kalimatnya. "Liburan macam apa itu! - Mencari anjing air yang
basah berlendir, dan yang mestinya kalau malam diajak masuk ke dalam tenda - dan
belum lagi hal-hal lain yang sama menjijikkan! Huhh!"
"Jangan begitu," kata Philip membantah. "Anjing air sama sekali tidak
menjijikkan. Malah bagus sekali! Kau harus melihat mereka, berenang dengan
lincah di bawah permukaan air. Kecuali itu, aku sama sekali tidak tergila-gila
pada kutu. Atau nyamuk. Atau lalat kuda! Aku memang menganggap serangga seperti
itu menarik - tapi kau tidak bisa mengatakan aku ingin memelihara mereka."
"Alaaa, ngomong," tukas Dinah." Bagaimana dengan serangga yang waktu itu
kaubuatkan kurungan, tapi kemudian lari ke luar" Lalu kumbang tanduk itu, yang
bisa disuruh macam- " Belum lagi --"
"Nah, nah, sudah mulai lagi sekarang!" kata Jack. Ia melihat bahwa sejenak lagi
pasti akan pecah pertengkaran antara Philip dengan adiknya yang cepat panas itu.
"Pasti sekarang kita akan disuguhi rentetan binatang apa saja yang pernah
dipelihara Philip! Eh - itu Bibi Allie datang! Yuk, kita tanyakan pendapatnya
tentang rencana kita untuk liburan ini. Rencanamu dulu, Philip!"
Bu Mannering masuk sambil membawa buku kecil. Ia memandang keempat remaja itu
sambil tersenyum. Kiki menegakkan jambul, karena gembira.
"Bersihkan kaki dan tutup pintu," ocehnya dengan suara ramah. "Satu, dua, tiga -
DOR!" Ia menirukan bunyi letusan pistol, sehingga Bu Mannering terlonjak kaget.
"Jangan kaget, Bu! Ia memang suka begitu sekarang sejak ikut menonton
pertandingan olahraga di sekolah. ia mendengar aba-aba yang diserukan saat
pertandingan lari, yang disusul dengan bunyi tembakan pistol start," kata Philip
menjelaskan sambil tertawa lebar. "Pernah ia menirukan bunyi letusan ketika kami
sedang bersiap-siap. Jadinya kami langsung lari, padahal belum diberi aba-aba!
Wah - Kiki terkekeh-kekeh setelah itu. Burung bandel!" .
"Polly nakal, kasihan Polly, kasihan, kasihan" kata Kiki. Jack menepuk paruhnya.
"Ayo, diam! Kakaktua hanya boleh kelihatan, tidak boleh bersuara. Bibi, kami
baru saja mengobrol tentang rencana liburan kali ini. Aku berpendapat, pasti
asyik apabila Bibi mengizinkan kami melancong naik sepeda. Begitu saja, tanpa
tujuan tertentu, dan setiap malam berkemah di mana kami kebetulan berada. Aku
tahu, Bibi sudah pernah tidak mengizinkan, tapi kali ini -"
"Kukatakan Tidak boleh', lagi," kata Bu Mannering. Sikapnya tegas. ?"Kalau begitu bagaimana jika kami berkemah di tepi sungai, Bu" Soalnya, aku
ingin mempelajari kehidupan anjing air," kata Philip, tanpa mengacuhkan Dinah
yang langsung merengut. "Soalnya
?""Tidak boleh, Philip," kata ibunya dengan nada setegas tadi. "Kau sudah tahu,
"apa sebabnya aku tidak mau mengizinkan kalian berlibur dengan cara begitu.
Kusangka kalian sudah tidak akan merengek-rengek lagi mengenainya."
"Tapi apa sebabnya kami tidak diizinkan, Bibi Allie," keluh Lucy-Ann. "Kan sama
sekali tidak berbahaya!"
"Nah, Lucy-Ann - kau kan tahu sendiri, begitu kalian lenyap dari penglihatanku
saat awal liburan, kalian langsung - ya, betul, langsung - terjerumus ke dalam
petualangan yang serba menyeramkan. Sekali ini aku sudah bertekad takkan
membiarkan kalian pergi sendiri, baik ke mana pun. Jadi percuma saja membujuk-
bujuk." Bu Mannering mengucapkannya dengan sikap galak.
"Aduh - kenapa begitu, Bu," kata Philip kecut. "Ibu ini, seakan-akan kami dengan
sengaja mencari-cari petualangan. Padahal sama sekali tidak! Dan aku ingin tahu
kami akan terjerumus ke dalam petualangan yang seperti apa, saat berkemah di
"pinggir sungai" Kalau Ibu mau, bisa saja mengontrol ke sana setiap petang."
"Ya - dan sore pertama aku ke sana, tahu-tahu kalian sudah lenyap - dan kemudian
ternyata terlibat dalam urusan menghadapi .perampok, mata-mata, atau entah
penjahat yang mana lagi," kata ibunya. "Ingat saja lagi beberapa libur kalian!
Tersesat ke dalam tambang tembaga kuno di pulau yang tak dihuni orang... lalu
terkurung di dalam sel bawah tanah di puri yang sudah runtuh, berurusan dengan
komplotan mata-mata...."
"Ya, betul- dan pernah pula kami keliru masuk pesawat terbang, lalu sampai di
Lembah Petualangan," kata Lucy-Ann sambil mengingat-ingat kembali. "Waktu itulah
kami kemudian menemukan patung-patung kuno yang dicuri lalu disembunyikan di
dalam gua! Hii - mata patung-patung itu berkilat-kilat, sampai semula kusangka
hidup. Tapi ternyata tidak! Namanya juga patung."
"Lalu kita ke Pulau Burung, di mana kita kemudian berjumpa dengan Bill," kata
Jack. 'Wah, saat itu asyik! Masih ingat tidak, Philip - dua ekor burung puffin
jinak, yang selalu ikut dengan kita?"
"Enggas Enggos," sela Kiki dengan cepat
"Betul, Kiki," kata Philip. "Mereka kita beri nama Enggas dan Enggos. Lucu
sekali mereka itu!" "Bisa saja kalian waktu itu sebenarnya hendak mengamat-amati burung, tapi yang
ditemukan kawanan penjahat," kata ibunya. "Penyelundup senjata! Uh - itu kan
berbahaya sekali!" "Bagaimana dengan liburan musim panas yang lalu, Bu, kata Dinah. Waktu itu Ibu" "sendiri juga nyaris terlibat dalam petualangan!"
"Bulu kudukku masih merinding. jika mengingatnya," kata Bu Mannering bergidik.
"Gunung seram dengan rahasianya yang aneh - serta Raja Gunung yang sinting!
Nyaris saja kalian tidak bisa melarikan diri dari situ. Tidak! Keputusanku sudah
pasti - kalian tidak akan kuperbolehkan lagi pergi sendiri. Aku harus ikut!"
Anak-anak terdiam. Mereka semua sayang pada Bu Mannering. Tapi mereka juga ingin
bisa melancong sendiri selama beberapa waktu.
"Bibi Allie - kalau Bill ikut dengan kami - kalau begitu boleh, kan?" kata Lucy-
Ann membujuk. "Kalau ada dia, aku selalu merasa aman."
"Bill tidak bisa dijadikan andalan bahwa kalian takkan mengalami petualangan
yang tidak enak," kata Bu Mannering. "Aku tahu, menurut kalian dia itu hebat -
dan dibandingkan dengan orang lain yang mana pun juga, aku lebih percaya
padanya. Tapi begitu kalian ada bersama dia, selalu ada-ada saja yang terjadi.
Jadi untuk liburan kali ini aku sudah punya rencana yang benar-benar aman. Dan
Bill tidak termasuk dalam rencanaku itu. Jadi ada kemungkinan kali ini kita
bebas dari bahaya mana pun, begitu. pula kejadian-kejadian luar biasa."
"Bagaimana rencananya, Bu, tanya Dinah. Ia merasa gelisah. "Ibu kan tidak
"bermaksud mengajak kita semua ke pantai, dan di sana tinggal di hotel" Mereka
pasti tidak mau menerima Kiki."
"Kalian akan kuajak pesiar di laut, naik kapal besar," kata Bu Mannering. Ia
tersenyum. "Aku tahu, kalian pasti senang mendengarnya. Pesiar begitu asyik
sekali! Nanti kita akan singgah- di berbagai tempat, melihat berbagai hal yang
asing dan serba menarik. Sedang kalian akan bisa kuawasi terus, karena tidak
mungkin berpencaran ke mana-mana. Selama beberapa waktu kita akan tinggal di
atas kapal. Kalau mampir di salah satu pelabuhan, nanti kita akan turun ke darat
secara berombongan. Dengan begitu takkan mungkin terjadi petualangan yang aneh-
aneh." Keempat remaja itu berpandang-pandangan sesaat, diperhatikan oleh Kiki.
"Kedengarannya asyik juga, Bu!" kata Philip, yang paling dulu memberi reaksi.
"Sungguh! Kita belum pernah naik kapal besar. Tapi kalau kupikirkan, tidak ada
binatang..." "Aduh, Philip!" seru Dinah dengan kesal. "Tidak bisakah kau pergi tanpa kebun
binatangmu" Terus terang saja ya - aku selalu lega kalau tahu bahwa kau tidak
membawa-bawa tikus, atau kadal, atau cecak ular! Ya, Bu - aku setuju sekali
dengan rencana itu. Terima kasih! Itu baru rencana hebat namanya!"
''Ya - memang mengasyikkan," kata Jack. "Nanti akan banyak sekali burung yang
bisa kita lihat. " "Selama bisa mengamat-amati burung, Jack sudah pasti senang," kata Lucy-Ann
sambil tertawa. "Untung aku dan Dinah tidak ikut tergila-gila pada sesuatu,
karena Philip sudah sibuk dengan kecintaannya pada binatang apa saja, dan Jack
yang pikirannya selalu pada burung! Ya, Bibi Allie, rencana Bibi itu hebat
sekali. Kapan kita berangkat?"
"Minggu depan," jawab Bu Mannering. "Dengan begitu masih banyak waktu untuk
berkemas. Cuaca akan panas selama kita siar dengan kapal, jadi kita harus
banyak membawa pakaian tipis. Sebaiknya yang berwarna putih - karena tidak
terlalu menyerap panas. Dan kalian. jangan lupa memakai topi pelindung terhadap
sinar matahari. Jadi jangan berkeluh-kesah sekarang tentang itu!"
"Bill tidak ikut, Bu?" tanya Philip.
"Tidak," kata ibunya dengan tegas. "Rasanya memang kurang enak, karena ia baru
saja selesai dengan tugasnya, dan sekarang sebenarnya ingin cuti. Tapi sekali
ini ia tidak bisa ikut dengan kita. Aku ingin mengalami liburan yang tenang,
tanpa petualangan." "Kasihan Bill," kata Lucy-Ann.. "Tapi kurasa ia mungkin juga senang, sekali-
sekali berlibur tanpa kita. Wah - akan asyik kita nanti!"
"Syik!" oceh Kiki menimbrung, lalu menjerit "Syiksyik!"
Bab 2 VIKING STAR SETELAH itu dimulailah persiapan menghadapi acara pesiar dengan kapal. Asyik! "Berbelanja pakaian tipis dan topi bertepi lebar, film untuk memotret, buku-buku
pedoman wisata serta berbagai peta. Pesiar itu lumayan juga lamanya. Kapal yang
akan mereka tumpangi menyinggahi Portugal, kepulauan Madeira, Maroko, Prancis,
Italia, lalu kepulauan Aegea. Benar-benar menyenangkan!
Akhirnya semua sudah siap. Segala-galanya sudah masuk ke dalam kopor. Karcis
kapal sudah dikirimkan. Urusan paspor selesai. Anak-anak berteriak-teriak
melihat foto mereka dalam paspor. Huh - jelek sekali!
Kiki ikut menjerit-jerit. Burung itu paling senang melakukannya, tapi selalu
dilarang. Karena itu ia langsung ikut, sebab semuanya juga menjerit
"Diam, Kiki!" kata Jack. Ditolakkannya burung itu. dari bahunya. "Kau ini memang
keterlaluan, menjerit begitu dekat di kupingku! Bisa tuli aku nanti! Bibi Allie
- bagaimana dengan 'Kiki, apakah tidak diperlukan paspor pula untuknya"
?"Tentu saja tidak," jawab Bu Mannering. "Aku bahkan ragu, apakah kita nanti
"diperbolehkan membawa dia!"
Jack terpana sesaat "Wah - kalau ia tidak boleh ikut, aku tidak jadi pergi!" katanya kemudian. "Aku
tidak sampai hati! Meninggalkannya ia pasti akan merasa sengsara."
"Baiklah kutulis surat dulu, menanyakannya, kata Bu Mannering. Tapi kalau
"jawabannya tidak, kau jangan rewel ya, Jack! Aku sudah repot-repot mengatur
perjalanan ini. Aku tidak ingin kau mengacaukannya lagi, hanya karena urusan
Kiki. Menurutku, ia takkan diperbolehkan ikut - karena kurasa para penumpang
lainnya tentu akan protes jika ada yang membawa burung seberisik dia."
"Tapi Kiki juga bisa tenang, kalau mau," kata Jack. Kasihan - justru saat itu
"Kiki iseng, terceguk-ceguk. Bunyi itu yang paling tidak disukai Bu Mannering.
"Berhenti, Kiki!" katanya. Kiki langsung berhenti. Ditatapnya Bu Mannering
dengan sikap merajuk. Kemudian ia batuk-batuk. Batuk pelan seperti, orang tua.
Ia menirukan tukang kebun.
Bu Mannering merapatkan bibir, menahan tertawa yang sudah hampir tersembur ke
luar. "Kiki ini benar-benar konyol," katanya. "Sinting! Nah - mana daftar pekerjaan
yang masih harus kulakukan sebelum kita berangkat?"
"Satu, dua, tiga -" Jack cepat-cepat membungkam Kiki, sebelum burung itu sempat
menirukan bunyi tembakan. Jack berbicara dengan serius, setelah Bu Mannering
meninggalkan ruangan. "Kiki, mungkin kau nanti terpaksa kutinggal, karena aku tidak bisa mengacaukan
segala-galanya hanya karena ingat padamu. Tapi jangan sedih dulu - aku akan
berusaha sebaik mungkin agar kau bisa ikut"
"Hidup Ratu!" kata Kiki. Menurut perasaannya itu pasti saat penting, kalau
melihat air muka Jack "Kasihan Polly, Polly nakal!"
Hari-hari terakhir sebelum berangkat rasanya berlalu dengan lamban. Lucy-Ann
mengeluh, "Kenapa ya, waktu rasanya lama sekali jika ada sesuatu yang diharapkan cepat
tiba" Huh, menjengkelkan! Rasanya seperti takkan pernah hari Kamis!"
Jack tidak seribut anak-anak lain. Soalnya surat Bu Mannering sudah ada "balasannya. Di situ dikatakan bahwa burung kakaktua tidak diizinkan dibawa
berlayar. Anak-anak kecewa. Apalagi Jack! Tapi ia tidak mengomel, atau merengek-
rengek. Bu Mannering merasa kasihan padanya, lalu menawarkan akan meminta pada
seorang wanita kenalannya untuk mengurus Kiki selama itu.


Lima Sekawan 06 Petualangan Di Kapal Pesiar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih, Bibi Allie - tapi biar saya sendiri yang mengatur urusan itu,"
kata Jack. Karenanya Bu Mannering lantas tidak menyinggung-nyinggung lagi. Ia diam saja,
juga ketika Kiki duduk di atas meja makan sambil mencongkeli kismis dari kue
yang dihidangkan, sebelum ada yang sempat melihat.
Hari Rabu mereka beramai-ramai naik mobil ke Southampton. Anak-anak ikut mobil
yang dikemudikan Bu Mannering sendiri, sedang barang-barang dimuat dalam mobil
lain. Mereka sibuk sekali saat itu Setiap orang mendapat tugas membawa sesuatu.
Lucy-Ann berulang kali memandang ke arah barang yang harus dibawanya. untuk
meyakinkan bahwa barang itu masih ada.
Mereka akan menginap semalam di hotel, lalu pukul setengah sembilan keesokan
paginya naik ke kapal, saat air pasang naik. Kapal berangkat pukul sebelas,
menuju Prancis. Malam itu mereka makan enak di hotel. Kemudian Bu Mannering mengajak nonton
film, karena tahu bahwa anak-anak pasti belum bisa tidur apabila disuruh tidur
pada waktu yang biasa. "Bolehkah aku pergi ke rumah bekas kawan sekolahku, Bibi Allie?" kata Jack
meminta izin. "Ia tinggal di kota ini. Aku ingin mampir sebentar di tempatnya."
Tentu saja boleh," kata Bu Mannering. "Tapi jangan pulang terlalu malam, ya!
"Kau juga ingin ikut dengan Jack, Philip?"
"Temanmu yang mana, Jack?" tanya Philip pada Jack yang sementara itu sudah
berjalan ke luar. Jack menggumamkan sesuatu di ambang pintu.
"Apa katanya?" kata Philip.
"Kedengarannya seperti, 'Porky'," kata Dinah.
"Porky" Siapa itu?" kata Philip heran. "Ah - pasti anak yang juga suka pada
burung. Mendingan nonton film kalau begitu. Ibu kan mengajak melihat film yang
banyak binatang liarnya itu!"
Jack belum kembali, ketika mereka berangkat. Tapi sewaktu mereka pulang, ia
sudah ada di kamar, membaca-baca buku pedoman wisata yang dibeli Bu Mannering.
"Nah, bagaimana" Kau berjumpa dengan Porky?" kata Philip. Anak itu heran melihat
Jack malah mengerutkan kening. Kenapa Jack begitu" Pasti ada lagi sesuatu yang
direncanakannya secara diam-diam! Philip cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. Ia
bercerita tentang film yang baru saja ditonton.
"Ayo, tidur sekarang," kata Bu Mannering. "Jangan berbicara lagi, Philip! Semua"tidur - dan ingat, besok tepat pukul tujuh pagi sudah harus bangun."
Ternyata semua sudah bangun, jauh sebelum pukul tujuh. Anak-anak perempuan sibuk
mengobrol sendiri, sedang Jack juga bercakap-cakap dengan Philip. Philip
bertanya tentang malam sebelumnya.
"Kenapa kau menyuruh aku diam sewaktu kutanyakan apakah kau berhasil menemui
Porky?" tanyanya, "Dan - siapa itu, Porky?"
"Itu - anak yang nama sebenarnya D ogsney," kata Jack. "Kita biasa menjulukinya
"Porky, karena hog dan pork kan sarna-sarna 'babi'. Ia sudah lama pindah sekolah.
Itu, yang selalu ingin meminjam Kiki. Masa tidak ingat?"
"Aah. Porky-ya, sekarang aku ingat lagi," kata Philip. "Aku sudah hampir lupa
padanya. Tapi kenapa kau mendatanginya, Jack" Kau kelihatannya seperti menyimpan
rahasia." . "Jangan tanyakan, karena aku tidak mau menjawab," kata Jack.
"Aduh, kau ini - begitu misterius sikapmu," kata Philip. "Tapi kurasa pasti ada
sangkut-pautnya dengan Kiki. Setiap kali ditanyakan kau apa kan burungmu itu,
"kau selalu saja mengelak. Kami tidak mendesak lebih lanjut, karena beranggapan
bahwa kau tentunya sedang sedih memikirkan nasibnya."
"Kalau begitu jangan desak aku sekarang," kata Jack. "Saat ini aku tidak ingin
"mengatakan apa-apa. "
"Baiklah," kata Philip pasrah. Tapi aku tahu, kau menyimpan rencana. Yuk - kita
"bangun saja sekarang. Memang belum pukul tujuh, tapi sayang kan jika kita
berbaring terus di tempat tidur. Cuaca di luar cerah sekali."
Pukul setengah sembilan lewat sedikit. Me reka sudah ada di atas kapal, lalu
"langsung menuju ke kabin mereka. Bu Mannering memesan tiga kabin yang
berdampingan. Satu kabin antuk satu orang baginya sendiri, dan dua kabin dengan
dua tempat tidur untuk anak-anak.
Lucy-Ann senang sekali melihat kabin yang akan ditempati olehnya bersama Dinah.
'Wah! Persis seperti kamar biasa, tapi kecil," katanya. "Kabin kalian juga
seperti ini, Jack" Lihatlah, di sini bahkan ada keran air panas dan air dingin.
" "Di kabin kami ada kipas angin," kata Philip, yang saat itu muncul di ambang
pintu. "Sudah kami hidupkan. Enak - hawa di dalam menjadi sejuk karenanya. Tapi
kalian juga punya itu!"
"Eh - batas air ternyata tidak jauh di bawah tingkap ini," kata Dinah sambil
menjenguk ke luar lewat lubang jendela kapal. "Kalau laut berombak besar nanti,
tempat kita ini pasti tergenang air yang masuk!"
"Ah - sebelumnya pasti sudah dikunci baik-baik," kata Philip. "Untung kita
berada di dekat batas air. Dalam cuaca sepanas sekarang ini, di sini lebih
sejuk daripada di kabin yang lebih tinggi letaknya. Hmm - asyik! aku ingin kita
lekas-lekas berangkat!"
Setelah itu mereka pergi melihat kabin Bu Mannering yang lebih kecil ukurannya.
Tapi selebihnya sama dengan kabin-kabin mereka. Dan situ mereka keluar, melihat-
lihat keadaan kapal. Kapal pesiar itu besar, tapi tidak sangat besar. Warnanya
putih mulus. Segala-galanya putih: cerobong asap, pagar pinggiran, dan sisinya.
Namanya tertulis pada semua sekoci putih yang digantungkan pada tonggak-tonggak
besar melengkung yang terdapat di tepi geladak. Viking Star . Lucy-Ann " "mengucapkan nama itu berulang-ulang.
"Kurasa besok pasti ada latihan bahaya," kata Bu Mannering yang ikut melihat-
lihat bersama keempat remaja itu.
"Dalam lemari kabin ada jaket pelampung. Kulihat tadi," kata Lucy-Ann.
"Bagaimana cara memakainya, ya?"
"Jaket itu kaususupkan lewat kepala, sehingga dada dan punggung tertutup.
Sesudah itu ikatkan tali yang ada di situ erat-erat, melilit tubuh," kata Bu
Mannering memberi penjelasan. "Besok kau harus memakainya, saat ada latihan
bahaya." Kedengarannya mengasyikkan! Mereka berjalan terus, berkeliling kapal. Segala-
galanya menarik bagi mereka. Di kapal ada geladak tempat berolahraga. Sudah ada
orang bermain lempar gelang di situ. Dua orang lagi bermain tenis.
"Bayangkan - bisa main tenis di atas kapal!" kata Dinah kagum.
?"Di bawah ada ruang tempat memutar film," kata Bu Mannering. "Dan juga ruang
tempat menulis surat, ruang duduk dengan perpustakaan, serta ruang makan yang
luas sekali!" "Wah! Lihat, itu - bahkan kolam renang pun ada di sini!" seru Jack dengan
terheran-heran, ketika mereka sampai di sisi sebuah kolam renang yang bagus, di
ujung kapal. Airnya biru jernih.
Tiba-tiba peluit kapal berbunyi dua kali. Nyaring sekali! Lucy-Ann kaget. Nyaris
saja ia tercebur ke dalam. kolam.
"Kau kaget, ya?" kata Bu Mannering sambil tertawa. "Aku juga!"
"Keras sekali bunyinya!" kata Lucy-Ann. "Untung saja Kiki tidak ada di sini.
Kalau ia ikut -ikut berbunyi seperti peluit tadi - gawat!"
"Diam, Goblok!" tukas Dinah dengan suara pelan. "Jangan ingatkan Jack bahwa Kiki
tidak ikut!" Lucy-Ann menoleh sebentar, mencari Jack. Tapi anak itu tidak ada di situ.
"Ke mana dia?" tanyanya pada Dinah. Ternyata tidak ada yang melihatnya pergi.
Tentunya ada di dekat-dekat sini," kata Philip. "He, rupanya sebentar lagi kita
"berangkat. Lihatlah, tangga sudah diangkat Sebentar lagi kita berlayar!"
"Yuk, kita berdiri di sisi sebelah dermaga, lalu melambai-lambai pada' orang-
orang yang ada di bawah," kata Lucy-Ann. ia bersandar ke pagar, sambil
memperhatikan orang-orang yang berkerumun di dermaga. Mereka itu para pengantar.
Ramai sekali mereka berseru-seru sambil melambai-lambai. Tiba-tiba Lucy-Ann
terpekik. "Eh - lihatlah. Itu! Itu, di sana! Ada orang dengan burung kakaktua yang persis
Kiki! Sungguh, persis sekali. Mana Jack. Ini harus kukatakan padanya. Sialan -
ke mana dia?" Mesin kapal sudah mulai berputar. Anak-anak merasakan lantai geladak di bawah
telapak kaki bergetar. Lucy-Ann memicingkan mata, berusaha memperhatikan
kakaktua yang dikatakannya mirip Kiki itu dengan lebih jelas.
"Itu memang Kiki!" teriaknya. "Kiki! Kiki! Selamat tinggal, Kiki! Itu kan kau,
Kiki!" Kaki burung itu dirantai ke pergelangan tangan seorang remaja. Anak-anak tidak
bisa mengetahui apakah kakaktua itu mengeluarkan suara atau tidak, karena
suasana di sekitar situ hiruk-pikuk. Tapi tampangnya memang mirip sekali dengan
Kiki. "Kita berlayar! Kapal sudah mulai menjauhi dermaga, seru Philip bersemangat. ?"Hore, kita berangkat!"
Ia sibuk sekali melambai-lambai. Dilambainya siapa saja yang kebetulan memandang
ke arahnya. Lucy-Ann ikut melambai, tapi sambi! memperhatikan kakaktua tadi,
yang makin lama makin kecil kelihatannya, sementara kapal bergerak semakin jauh
ke tengah. Burung itu mengepak-ngepakkan sayap, sehingga remaja yang memegangnya
kerepotan. Apalagi karena dipatuk-patuk.
Tiba-tiba burung itu terbang membubung. Rantai pengikatnya putus. Atau mungkin
juga terlepas. Entahlah! Pokoknya burung itu terbang melintasi air yang
memisahkan kapal dari dermaga, sambil menjerit-jerit.
"Ya, ya, itu memang Kik!" seru Lucy-Ann. "Di mana kau, Jack! Jaaack!"
Bab 3 MENYESUAIKAN DIRI DINAH, Philip, dan Lucy-Ann bergegas-gegas pergi mencari Jack. Burung tadi
"sudah sampai di kapal, dan kini tidak kelihatan lagi. Ketiga remaja itu merasa
pasti bahwa burung itu Kiki. Dan menurut dugaan Philip, Jack" pasti nanti tidak
begitu kaget seperti mereka.
Tapi Jack tidak bisa ditemukan. Huhh, menjengkelkan! Mereka mencarinya ke mana-
mana. Akhirnya Lucy-Ann teringat pada kabin.
"Mungkin ia ada di kabin kalian," katanya pada Philip. 'Walau aku tidak mengerti
kenapa ia malah mengurung diri di situ saat kapal meninggalkan pelabuhan! Dan
mana kakaktua tadi" Tahu-tahu sudah menghilang pula!"
Mereka menuruni tangga geladak, lalu menuju ke gang di sisi mana kabin-kabin
mereka berada. Dengan cepat pintu kabin yang ditempati Jack bersama Philip
dibuka, lalu mereka masuk beramai-ramai sambil berebut-rebut hendak bercerita.
"Kau ada di sini, Jack" Coba terka, apa yang baru saja kami li -"
Ketiga-tiganya tertegun, kaget melihat apa yang nampak di dalam. Jack duduk di
?"pembaringannya, sedang Kiki bertengger di atas bahunya. Burung itu menggumam
pelan sambil menarik-narik telinga Jack dengan lembut
"Wah!" kata Philip sambil melongo. Ternyata burung itu ada di sini. Dia itu
"Kiki kan?" "Tentu saja, Goblok!" kata Jack. "Ini yang namanya kebetulan, ya" Porky
membawanya ke dermaga untuk mengucapkan selamat jalan padaku. Tapi tahu-tahu
Kiki meronta sehingga rantai yang mengikat kakinya putus, dan ia langsung
terbang kemari. Kiki pintar sekali - ia masuk lewat lubang tingkap itu!"
"Porky" Teman sekolahmu dulu itu" Kau menitipkan Kiki padanya?" tanya Lucy-Ann
bertubi-tubi. Ia heran sekali. Tapi kapan kau mengantarkannya?"
?"Kemarin, ikut mobil kita," kata Jack sambil menutupi telinganya, supaya jangan
dicubit-cubit terus oleh Kiki. "Ia ada di dalam keranjang piknik yang kubawa.
Ia tenang sekali selama perjalanan. Saat itu aku sudah khawatir saja, jangan-
jangan salah seorang dari kalian minta diambilkan sesuatu dari dalam keranjang,
karena merasa lapar!"
"Tapi apakah Porky tidak bingung, karena Kiki minggat?" kata Dinah.
"Dan dari mana Kiki bisa mengetahui bahwa kau ada di kabin ini?" tanya Lucy-Ann,
yang masih tetap heran. Ia menyambung, "Ah - mungkin karena ia mendengar aku
memanggil-man 1 adi! Ya, betul - pasti itu sebabnya! Ia mendengar aku "memanggil, 'Kiki, Kiki!' Panggilanku itu menyebabkan dia meronta-ronta sehingga
rantai pengikatnya putus. Ia terbang kemari -lalu secara kebetulan menemukan
lubang tingkap kabin ini!"
"Sebaiknya kauceritakan saja itu pada Bibi Allie," kata Jack sambil nyengir.
"Penjelasanmu itu bagus -- lebih bagus daripada cerita yang hendak kukatakan
padanya." Anak-anak yang lain memandangnya dengan mulut ternganga.
"Kau ini penipu ulung, Jack," kata Philip beberapa saat kemudian. "Semuanya ini
sudah kauatur dari semula. Mengaku sajalah! Ya - bahkan rantai yang putus tadi
itu juga sudah kaurencanakan, begitu pula bahwa Kiki kemudian melihat atau
mendengarmu d i sini."
"Jack nyengir lagi. "Ah menurutku ide Lucy-Ann tadi sudah bagus, yaitu bahwa Kiki meronta-ronta
"mendengar panggilannya sehingga rantai pengikat putus, lalu ia terbang kemari.
"Pokoknya ia sekarang ada di sini, dan akan tetap di sini. Tapi kurasa lebih baik
ia kutaruh saja terus di dalam kabin."
Kiki menikmati perhatian yang dicurahkan keempat remaja itu padanya. Sebentar-
sebentar ia menelengkan kepala, memperhatikan bunyi mesin kapal, ia belum pernah
mendengar bunyi seperti itu. Dicobanya menirukan, tapi tidak bisa mirip.
"Kau jangan macam-macam sekarang," kata Jack memperingatkan. "Kau tidak ingin
diseret menghadap nakhoda, kan?"
"Cul si kadal muncul," oceh Kiki sambil mencubit telinga Jack. Tiba-tiba burung
itu bersin. "Mana sapu tanganmu!" kata Jack. "Wah, Kiki, aku takkan mampu berangkat jika kau
tidak bisa ikut" Keempat remaja itu merasa senang, karena Kiki sudah ada dengan selamat di tengah
mereka lagi. Mereka menyampaikan kabar itu dengan berhati-hati sekali pada Bu
Mannering. Ia kesal mendengarnya, tapi nampaknya sama sekali tidak menduga bahwa
kedatangan Kiki di kapal sebenarnya bukan kejadian yang tidak disengaja.
Yah kalau ia sudah ada di sini, mau apa lagi," katanya mendesah. "Tapi kurung
" "dia terus di dalam kabin, Jack! Bisa repot nanti jika ada penumpang yang protes
karena merasa terganggu oleh Kiki. Kalau tidak kau jaga ketat, ada kemungkinan
Kiki nanti dikandangkan di ruang awak kapal."
Karena itu Kiki dikurung terus di dalam kabin. Hari pertama dalam pelayaran itu
Kiki bingung. Burung itu tidak tahu pasti apakah ia yang merasa gamang, atau
memang terus-menerus terjadi gempa kecil-kecilan, ia tidak tahu bahwa saat itu
ia berada di dalam sebuah kapal besar. Ia heran merasakan oleh gerak kapal itu,
walaupun sebenarnya ia sudah cukup sering naik perahu.
Hari pertama itu terasa indah dan panjang. Viking Star melaju di atas permukaan
air yang biru dan tenang. Mesin-mesinnya mendengung pelan. Dengan segera daratan
Inggris sudah jauh di belakang. Kapal meluncur menuju Lisboa, ibu kota Portugal
yang merupakan persinggahan pertama.
Anak-anak menikmati kesibukan sehari-hari di atas kapal: makan di ruang makan
yang luas, memilih apa saja yang disukai dari daftar hidangan yang panjang;
pergi ke geladak tempat berolahraga, bermain tenis atau berlari mengejar gelang
karet sambil menjaga keseimbangan tubuh. Bahkan saat pergi tidur pun terasa
mengasyikkan, karena itu berarti membaringkan diri di tempat tidur sempit
seperti bangku, memadamkan lampu di atas kepala, merasakan kesejukan angin yang
dihembuskan kipas listrik, serta mendengar bunyi ombak berkecipak tidak jauh di
bawah tingkap kabin. "Nikmat sekali!" kata Lucy-Ann sesaat sebelum tertidur. "Mudah-mudahan saja
perjalanan ini tidak kembali menjelma menjadi petualangan. Aku senang jika
keadaan tetap begini. Sudah cukup asyik!"
Tapi sewaktu kapal melintasi Teluk Biskaya, keadaan tidak bisa dibilang
menyenangkan. Ombak di situ besar dan ganas. Kapal yang ditumpangi sangat oleng,
diombang-ambingkan gelombang yang melanda dari berbagai arah. Bu Mannering tidak
tahan, ia mengurung diri di dalam kabin. Tapi anak-anak tetap segar bugar.
Setiap saat makan mereka selalu muncul di ruang makan. Segala hidangan yang
tertera di dalam daftar mereka cicipi. Keempat remaja itu bahkan bermaksud
hendak main tenis di geladak olahraga. Tapi dilarang keras oleh salah seorang
pelayan kapal. Berbahaya, katanya.
Tapi tahu-tahu keadaan berubah lagi. Laut tenang kembali, memamerkan permukaan
yang biru tua. Matahari memancarkan sinarnya yang terik di tengah langit yang
cemerlang. Seluruh awak kapal muncul dengan pakaian serba putih, termasuk para
perwira. Kini Bu Mannering sudah merasa segar kembali. Kiki sudah bosan sekali, terkurung
terus di kabin sempit. Sementara itu ia sudah bersahabat karib dengan para
pelayan pria dan wanita yang bertugas membereskan kabin-kabin, walau mulanya
mereka tercengang ketika melihat ada burung kakaktua di kabin yang ditempati
Jack dan Philip. Mula-mula para pelayan tidak melihat Kiki yang bertengger di balik tirai pendek
yang tergantung di sisi lubang tingkap yang tertutup. Jack yang menutupnya,
karena takut Kiki terbang ke luar. Pelayan wanita yang pertama-tama mendengar
Kiki. Wanita itu masuk, karena hendak membereskan tempat tidur.
Kiki mengintipnya dari balik tirai. Kemudian ia mulai mengoceh. Nadanya tegas,
seperti menyuruh. "Jerangkan air!"
Wanita itu kaget ia menoleh ke arah pintu, karena menyangka orang yang
berbicara itu ada di situ. Tapi di pintu tidak ada siapa-siapa.
Kini Kiki menirukan bunyi orang terceguk.
"Maaf," katanya. Pelayan wanita itu mulai takut, ia memandang berkeliling, lalu
membuka lemari.

Lima Sekawan 06 Petualangan Di Kapal Pesiar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sayang, sayang!" oceh Kiki lagi dengan suara yang sangat menyedihkan. Pelayan
itu tidak tahan lagi. ia cepat-cepat lari ke luar, mencari rekannya yang pria.
Pelayan yang dicari itu orang Skot. Perengut tegas, dan tidak sabaran.
ia masuk ke kabin, lalu memandang berkeliling.
"Ada apa sih"!" katanya pada pelayan wanita yang memanggilnya. "Apa yang
menyebabkan kau takut" Di sini kan tidak ada apa-apa."
Kiki terbatuk-batuk, lalu bersin dengan keras.
"Maaf," katanya. "Mana sapu tanganmu?"
Sekarang orang Skot itu yang tercengang, ia memandang berkeliling ruangan. Kiki
menguap. Panjang sekali! Setelah itu kepalanya tersembul sedikit dari balik
tirai, ia ingin melihat reaksi kedua pelayan itu.
Pelayan yang pria melihatnya, lalu datang mendekati.
"Eh rupanya burung kakaktua!" katanya. "Baru sekali ini aku melihat ada kakaktua"yang pintar mengoceh seperti dia! Nah, Polly kau ini burung pintar!"
"Kiki terbang ke atas lemari. Ia bertengger di situ sambil melirik kedua pelayan
itu dengan sebelah mata, kiri dan kanan berganti-ganti. Setelah itu ia menirukan
bunyi gong yang memanggil penumpang untuk makan. Akhirnya ia terkekeh-kekeh.
"Benar-benar luar biasa!" kata orang Skot itu dengan kagum. "Ini burung ajaib.
Pemiliknya keterlaluan, mengurungnya di kabin sempit begini."
"Tadi aku ketakutan karenanya," kata pelayan yang wanita. "Dia mau atau tidak
ya, kalau diberi buah anggur" Sebentar, akan kuambilkan!"
Beberapa saat kemudian Kiki sudah asyik menikmati buah anggur ungu. Ketika Jack
datang untuk melihatnya kemudian, dilihatnya di lantai kabin bertebaran biji
buah anggur, serta dua orang pelayan kabin yang sedang mengagumi Kiki sambil
melongo. "Burung jorok!" kata Jack galak, sambil memandang biji-biji anggur yang
berserakan di lantai. "Ayo, turun punguti biji-biji ini!"
"Kiki mengoceh terus.
"Mudah-mudahan Anda tidak terganggu karena tingkahnya," kata Jack pada pelayan
yang wanita. "Ah, aku malah asyik melihatnya," kata wanita itu. "Belum pernah kulihat ada
burung sepintar dia ini. Kau harus membawanya ke atas, untuk memamerkannya!"
Jack menuruti saran itu. Kiki dibawanya ke geladak atas. Para penumpang
tercengang dan juga geli melihat Kiki yang bertengger di bahu Jack. Kiki asyik
sekali memamerkan kepintarannya menirukan berbagai macam bunyi. Tapi ia sendiri
tidak tahan mendengar peluit kapal, ia selalu kaget setengah mati setiap kali
peluit itu berbunyi. Ia tidak tahu apa yang berbunyi begitu nyaring, dan dari
mana datangnya, ia selalu terbang menyembunyikan diri, begitu peluit dibunyikan.
Kiki ikut muncul ketika diadakan latihan bahaya. Menurut Lucy-Ann, Kiki pasti
merasa tidak enak karena tidak diberi jaket pelampung, yang berukuran kecil.
Para penumpang semuanya memakai jaket itu, lalu bergegas ke sekoci yang sudah
ditentukan. Di situ mereka mendengarkan keterangan singkat yang diberikan salah
seorang perwira kapal, yang menjelaskan apa yang harus dilakukan kalau ada
bahaya. Lucy-Ann berdoa dalam hati, semoga itu tidak terjadi.
"Besok kita sampai di Lisboa," kata Bu Mannering. "Ingat, ya kalian nanti
"jangan keluyuran sendiri-sendiri. Aku tidak mau ada petualangan lagi. Kalian
jangan menjauh dari sisiku selama kita berlabuh. Ingat baik-baik kataku itu!"
Bab 4 PHILIP MENDAPAT PELIHARAAN BARU
Hari demi hari mulai berlalu dengan cepat. Setelah meninggalkan Lisboa, Lucy-Ann
dan Dinah sudah tidak menghitung-hitung lagi. Mereka bahkan tidak tahu lagi
apakah itu hari Senin, Selasa, atau hari apa. Kalau hari Minggu mereka tahu,
karena saat itu para penumpang berkumpul di ruang duduk besar, untuk menghadiri
acara kebaktian yang dipimpin nakhoda kapal.
Selama berhari-hari tidak nampak daratan. Philip selalu bersemangat kalau ada
sekawanan ikan terbang meloncat dari dalam laut, lalu melayang di udara selama
beberapa saat. Kelihatannya indah sekali!
"Kenapa mereka begitu?" tanya Lucy-Ann.
"Mereka dikejar ikan besar yang hendak memangsa mereka," kata Philip
menjelaskan. Kau kan juga pasti meloncat keluar dari air lalu terbang di udara
kalau ada ikan besar mengejar mu, Lucy-Ann" Wah coba ada seekor jatuh ke
" geladak! Aku ingin memperhatikan dari dekat."
"Tapi tidak mungkin bisa kaujadikan peliharaan, Philip! Untung saja karena "pasti mati kalau kaukantungi," kata Dinah. "Agak janggal juga melihatmu tanpa
binatang peliharaan. Tapi mendingan begini!"
Dinah terlalu cepat merasa senang, karena dua hari kemudian abangnya itu
mendapat seekor binatang! Kapal singgah sebentar di Madeira. Setelah itu
meneruskan pelayaran, menuju Maroko. Dan di situlah Philip menemukan seekor
hewan cilik, yang kemudian dijadikan peliharaannya.
Keempat remaja itu suka berada di Maroko. Mereka paling suka melihat pasar kaum
penduduk, walau bau di situ benar-benar menusuk hidung. Bu Mannering sampai
mengatakan bahwa ia hanya mampu ikut, dengan hidung ditutup sapu tangan. Tapi
anak- anak dengan segera sudah terbiasa pada segala macam bau di situ. Sedang
Kiki tidak, kalau sikapnya bisa dinilai dari ocehannya yang tidak henti-hentinya
mengatakan, "Puh! Bah! Puh! Hahh!"
Dinah mempraktekkan bahasa Prancis yang dipelajarinya di sekolah dengan penduduk
setempat yang berkulit coklat. ia senang sekali ketika ternyata bahwa mereka
mengerti. Ia membeli bros berukuran kecil, sedang Lucy-Ann memilih pot bunga
berwarna biru. "Kau tidak melihat sesuatu yang kausenangi di sini?" tanyanya pada Philip.
Philip menggeleng. "Aku tidak suka barang-barang seperti itu. Tapi kalau ada sesuatu yang benar-
benar menarik katakanlah, badik kuno nah! Atau sesuatu yang sudah selalu
" "kuidam-idamkan, tapi belum pernah berhasil kumiliki."
"Apa itu?" tanya Lucy-Ann. Dalam hati ia berniat akan membelikannya untuk
Philip, kalau ia melihatnya ditawarkan di situ.
"Kau pasti tertawa mendengarnya tapi aku selalu ingin memiliki kapal dalam
"botol," kata Philip.
Lucy-Ann tercengang mendengarnya.
"Aku melihatnya saja belum pernah," katanya. "Maksudmu, kapal di dalam sebuah
botol, kan" Aneh sekali bagaimana cara memasukkannya?"
?"Entah aku juga tidak tahu," kata Philip. "Aku sendiri tidak mengerti, kenapa
aku menginginkannya. Kurasa hanya karena iseng."
"Nantilah kucarikan," kata Lucy-Ann berjanji. "Eh coba lihat Kiki! Ia
"mengemis, minta permen pada anak-anak berkulit coklat itu. Nanti sakit perut
baru tahu!" Bu Mannering tetap pada pendiriannya, bahwa anak-anak harus selalu bersamanya
dan berjalan dalam rombongan penumpang. Sedang keempat remaja itu sebenarnya
ingin keluyuran sendiri melihat-lihat, karena mereka senang bergaul dengan
penduduk setempat dan keluar-masuk toko-toko sempit dan gelap yang nampak serba
asing bagi mereka. "Jangan," kata Bu Mannering melarang. "Kalian tidak dengar ya, apa yang terjadi
dengan laki-laki yang kalau makan duduk di meja sebelah kita" Bersama istrinya
ia melancong sendiri naik taksi. Eh, tahu-tahu mereka dibawa ke suatu bukit
terpencil. Pengemudi taksi tidak mau mengantar kembali ke kapal, sebelum mereka
menyerahkan semua uang yang ada pada mereka sebagai pembayaran!"
"Astaga!" kata Lucy-Ann. Anak itu ketakutan.
"Ia mengantar mereka kembali ketika tangga kapal sudah mulai diangkat," kata Bu
Mannering. "Jadi mereka tidak sempat lagi mengajukan pengaduan. Nah! Sekarang
kalian tahu, kenapa aku ingin agar kalian jangan memisahkan diri dari rombongan.
Akan kujamin bahwa kali ini kalian tidak lagi terjerumus ke dalam petualangan.
Habis, kalau kalian pergi sendiri, nanti tahu-tahu lenyap lagi, lalu mengalami
bahaya yang macam-macam! Sedang aku, semakin beruban saja sebagai akibatnya!"
"Ah, mana! Uban Bibi tidak banyak," kata Lucy-Ann. "Paling-paling hanya selembar
untuk setiap petualangan kami! Aku takkan jauh-jauh, Bibi Allie. Aku juga tidak
ingin mengalami petualangan lagi!"
Keesokan harinya diadakan acara pesiar naik bis ke pedalaman. Mereka mengunjungi
suatu kota kuno yang termasyhur, di tepi gurun pasir.
"Rombongan bis akan sudah ada di dermaga pukul setengah sebelas," kata Bu
Mannering. "Jangan lupa memakai topi, untuk melindungi kepala dari sinar
matahari yang pasti terik!"
Saat pesiar itulah Philip menemukan binatang peliharaannya yang baru. Begitu
rombongan bis datang, para penumpang bergegas-gegas masuk. Mereka sudah mulai
kepanasan. Kemudian rombongan berangkat. Iring-iringan kendaraan meluncur laju
di atas jalan berpasir, yang selama beberapa waktu melewati daerah gurun
gersang. Di tepi jalan tumbuh pohon-pohon kaktus. Menurut perasaan Lucy-Ann,
pohon-pohon itu jelek kelihatannya, dengan batang menggembung penuh duri
runcing. Dua jam kemudian mereka sampai di kota kuno yang merupakan tujuan perjalanan
itu. Gerbang-gerbang serta menara-menaranya nampak seperti tersembul dengan
tiba-tiba di tengah hamparan pasir yang luas. Anak-anak kecil berkulit coklat
tua nyaris tanpa pakaian berlari-lari menyongsong sambil menyodorkan tangan." ?"Kasih, kasih," seru mereka. Kiki langsung menirukan. "Kasih, kasih," ocehnya
dengan suara memelas. Para wisatawan memasuki lorong sempit, diantar seorang pemandu wisata, ia
mengajak mereka ke sebuah bangunan kuno, lalu menceritakan sejarahnya dengan
suara datar. Setelah itu rombongan naik ke atas sebuah menara besar. Mereka
mendaki satu-satu, menyusur tangga curam berbelit-belit.
Pada pertengahan jalan mendaki, Philip memandang ke luar lewat ambang jendela
batu besar. Jendela itu tentu saja tidak berkaca. Tembok di situ tebal sekali,
sehingga orang bisa duduk di ambang jendela dengan kaki terjulur. Philip
menjulurkan tubuh ke luar, karena ingin memandang ke bawah.
Ia melihat segerombolan anak berpakaian sekedarnya. Mereka itu berdiri di
pelataran sambil berbicara dengan ribut Beberapa di antaranya melempar-lempar
batu. "Apa sih, yang mereka lempari?" pikir Philip, Ia turun dari ambang jendela, lalu
lari menuruni tangga, ia berhenti, ketika ada batu melayang masuk lewat lubang
jendela yang terletak tidak jauh di atas lantai bawah.
Ia mendengar suara merintih pelan. Dilihatnya sesuatu yang kecil dan berbulu
coklat meringkuk di sudut ambang. Philip datang menghampiri. Apakah itu"
Tahu-tahu ada lagi batu melayang dilemparkan dari luar. Nyaris saja mengenai
Philip. Sialan anak-anak itu, katanya dalam hati. Philip muncul di ambang
jendela, lalu memandang ke bawah dengan sikap galak.
"He! Jangan melempar-lempar.'" bentaknya. "Dengar tidak" Jangan lempar, kataku!"
Anak-anak kecil yang sedang asyik melempar-lempar itu kaget sekali ketika tahu-
tahu ada orang asing muncul di jendela. Mereka cepat-cepat lari menjauh. Philip
mengulurkan tangannya, meraih makhluk kecil yang sedang meringkuk, ia ditatap
mata coklat, di tengah muka kecil keriput. Kemudian muka itu ditutupi sepasang
tangan yang kecil sekali.
"Eh, rupanya monyet monyet kecil!" kata Philip dalam hati. ia sadar bahwa "makhluk kecil biasanya penakut. Dan ia tidak ingin menambah kecemasan monyet
malang itu, yang masih ketakutan karena tadi dilempari anak-anak. Philip banyak
melihat monyet berkeliaran di daerah itu. Tapi belum pernah dari dekat, karena
binatang-binatang itu selalu menjauh apabila didekati.
Philip menyapa monyet itu dengan suara lembut, yang menurut Lucy-Ann merupakan
suara khusus untuk binatang. Binatang cilik itu menarik tangannya yang menutupi
muka. Dengan sekali loncat ia sudah merangkul leher Philip, Ia meringkuk dengan
tubuh menggigil. Philip mengelusnya dengan hati-hati.
Tidak ada binatang yang tidak merasa tertarik pada Philip. Kuda, anjing, kucing,
ular, serangga, burung pokoknya binatang apa saja pasti akan segera
"menghampirinya tanpa merasa takut. Itulah bakat Philip yang istimewa, yang
menyebabkan orang lain merasa kagum dan agak iri padanya.
Philip duduk di ambang jendela batu, sambil berbicara dengari suara halus pada
monyet kecil yang ketakutan itu. Dan monyet itu seakan-akan menjawab, mengoceh
dengan suara seperti mencicit, sambil memandang Philip dengan sikap seperti agak
malu. Cakarnya yang sebelah menggenggam tangan Philip. Monyet kecil itu langsung
jinak terhadapnya! Anak-anak yang lain tercengang ketika mendului rombongan wisatawan turun dari
puncak menara, dan tahu-tahu melihat ada monyet kecil menggandul pada leher
Philip. "Nah sudah kuduga dari semula bahwa ia pasti akan menemukan binatang lagi,
"kapan-kapan!" kata Dinah. "Uhh, kunyuk jahat, kotor, bau dan pasti juga banyak
"kutunya!" "Ia memang bau dan kotor dan kurasa memang banyak kutunya," kata Philip. "Tapi
"tidak jahat! Kedua kakinya cedera, kena lemparan anak-anak nakal yang berkerumun
di bawah tadi." "Kasihan," kata Lucy-Ann dengan nada prihatin. Jack mengelus-elus kepala monyet
itu. Tapi ia malah takut, cepat-cepat semakin merapatkan diri ke leher Philip.
"Ia jangan kaubawa kembali ke kapal nanti," kata Dinah. "Awas jika kau
"melakukannya juga, nanti kuadukan pada Ibu. Aku tidak mau ada monyet ikut dengan
kita." "Ia ikut," kata Philip tegas. Dinah mulai panas mendengar ucapan itu.
"Kalau begitu kau kuadukan pada Ibu. Aku akan "
?"Jangan begitu, Dinah! Lihatlah, ia masih kecil sekali dan juga cedera," kata
"Lucy-Ann. Suaranya agak gemetar. "Masa kau sampai hati "
"Dinah cepat-cepat berpaling dengan muka merah, ia jengkel, karena akan ada
monyet yang selalu saja membuntuti nanti. Tapi ia juga tidak ingin bertengkar
dengan anak-anak yang lain! Karenanya ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Tapi
sehari itu ia merajuk. Hanya Philip saja yang tahu bagaimana ia menyembunyikan monyet itu selama
perjalanan, sampai kembali lagi ke kapal. Tapi yang jelas, orang lain tidak ada
yang tahu bahwa ia membawa monyet. Jack dan Lucy-Ann membantunya dengan jalan
berdiri menutup-nutupi, setiap kali mereka beranggapan ada orang bisa melihat
binatang kecil itu. Dinah tidak mau membantu. Tapi ia juga tidak membuka
rahasia. Begitu sudah ada di dalam kabin anak-anak kecuali Dinah mengerumuni binatang
" " kecil itu. "Ia masih kecil," kata Philip. "Aku heran, tega sekali anak-anak tadi melempari
binatang sekecil ini. Tapi kurasa di mana-mana selalu saja ada orang yang kejam
dan tak berperasaan. Di negeri kita sendiri pun kita sudah cukup sering melihat
anak-anak melempari kucing! Lihatlah, kakinya luka dan memar. Untung saja tidak
ada yang patah! Cedera begini bisa kusembuhkan dengan cepat. Mau tidak ya dia,
kalau kucuci. Aduh, badannya dekil sekali!"
Monyet cilik itu mau saja diapa-apakan oleh Philip. Selama dua jam berikutnya
anak-anak sibuk memandikannya, lalu mengeringkan dengan hati-hati sekali. Jack
mengambil sikat sepatu kecil untuk menyikat bulunya yang halus. Monyet itu hanya
merintih-rintih, ketika Philip membubuhkan obat ke lukanya.
"Nah sekarang beres," kata Philip ketika segala-galanya sudah selesai. "Siapa "namamu?"
Anak-anak menyimak ocehan monyet itu.
"Kedengarannya seperti mengatakan, Mikimiki-mik,'" kata Lucy-Ann.
"Baiklah! Jika ia beranggapan bahwa itu namanya, maka mulai saat ini ia bernama
Miki," kata Philip. "Aku ingin tahu, bagaimana pendapat Kiki mengenainya."
"Kurasa pasti tak begitu senang," kata Jack. "Kiki pasti akan merasa cemburu.
Untung saja dia kita kurung di kabin sebelah. Coba ia melihat kita sibuk mencuci
dan menyikat Miki, pasti ia akan menjerit-jerit!"
Kiki tercengang malam itu, ketika melihat ada monyet kecil bertengger di bahu
Philip. Sesaat ia menatapnya, lalu tepat seperti perkiraan Jack, ia menjerit.
Dan jeritannya tidak kepalang tanggung! Bunyi peluit kereta api cepat. Sesaat
kemudian Bu Mannering menjenguk ke dalam, hendak menyuruh anak-anak melarang
Kiki ribut-ribut. Ia kaget setengah mati ketika melihat ada monyet kecil di dalam. Ia melangkah
masuk sambil mengejap-ngejapkan mata karena heran.
"Aduh, Philip! Kenapa kaubawa dia kembali ke kapal" Masih kecil sekali
kelihatannya!" "Tadi dia dilempari anak-anak di kota kuno itu, Bu! Jadi aku terpaksa
menyelamatkannya," kata Philip. Bu Mannering memandangnya. Ayah anak-anak juga
selalu berkata begitu dulu, semasa ia masih hidup. Mana mungkin ia marah, karena
sikap begitu memang sudah mendarah daging"
"Yah aku tidak tahu apakah ada yang protes nanti, jika kau menahannya di
"kapal," katanya sambil mengelus-elus kepala monyet itu. "Kalau Dinah, bagaimana
dia?" "Mulanya marah, tapi ia tidak mengomel," kata Lucy-Ann. "Kurasa ia sekarang ada
di kabin kami. Nanti ia akan biasa juga dengan Miki! Mau tidak mau!"
"Miki-Kiki-Miki-Kiki," oceh Kiki dengan bangga, seolah-olah baru menemukan
sesuatu yang hebat. Burung kakaktua itu menyenangi kata-kata yang kedengarannya
serupa. "Miki-Kiki-Miki- Kiki "
?"Diam, Kiki!" kata Philip. "Wah, kita salah tadi, memilih nama Miki. Sekarang
Kiki pasti tidak putus-putusnya menyebut kedua nama itu. Tapi dia ini memang
Miki. Kita tidak bisa mengubahnya lagi."
Jadi monyet cilik itu tetap bernama Miki. Sehari-dua kemudian anak-anak sudah
akrab dengannya termasuk Dinah! Mukanya yang aneh dan kocak menyebabkan siapa
"yang melihatnya pasti akan menyukainya. Apalagi jika ditatap matanya yang
coklat, yang selalu memandang seperti sedang sedih.


Lima Sekawan 06 Petualangan Di Kapal Pesiar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ia masih kecil sekali, tapi tampangnya seperti sudah kakek-kakek," kata Lucy-
Ann. "Aku paling senang melihat jari-jarinya yang hitam mungil persis seperti "jari manusia! Kalau kau bagaimana, Dinah?"
"Yah ternyata ia tidak seburuk anggapanku semula," kata Dinah mengaku. "Aku
"tidak mau dia bertengger terus sepanjang hari di bahuku, seperti pada Philip
itu. Aku masih tetap yakin bahwa kutunya banyak. Tapi ia tidak buruk."
"Jangan suka bilang begitu!" tukas Philip. "Miki sama sekali tidak punya kutu!"
Dalam beberapa hari saja semangat Miki sudah kembali, ia yang mula-mula selalu
diam dan tidak banyak tingkah, tahu-tahu menjelma menjadi bandel dan cerewet.
Kerjanya meloncat-loncat kian kemari di dalam kabin. Gerak-geriknya lincah
sekali, seperti bajing! Dinah selalu khawatir kalau Miki tahu-tahu meloncat lalu
bertengger di bahunya. Tapi itu tidak pernah terjadi. Miki tidak sebegitu tolol!
Kiki selalu bingung kalau Miki sudah meloncat dengan lincah kian kemari seperti
itu. Kalau keduanya sedang bersama-sama di dalam kabin, Kiki selalu bertengger
sambil menghadap Miki dengan sikap waspada. Kalau monyet kecil itu berani
menerpa, ia sudah siap mematuk. Tapi Miki bersikap acuh tak acuh terhadapnya.
Itu pun tidak disukai Kiki!
Burung kakaktua iseng itu kemudian menirukan suara Philip, memanggil-manggil.
"Miki! Miki!" Tiruannya mirip sekali! Miki menoleh dengan segera, lalu
celingukan. Tapi ia tidak melihat Philip, karena saat itu memang tidak ada di
situ. "Miki!" panggil Kiki sekali lagi. Miki melompat-lompat kian kemari, mencari
Philip. Kalau Miki sudah begitu, Kiki pasti terkekeh-kekeh. Miki sebal, lalu
duduk di ambang tingkap sambil membelakangi Kiki. ia memandang ke luar, dari
balik kaca tebal. Kiki asyik sekali, karena dengan segera ia sudah tahu bahwa ia bisa menirukan
beberapa bunyi yang menyebabkan Miki ketakutan. Monyet kecil itu gemetar
ketakutan apabila Kiki menirukan suara anjing menggonggong, ia juga heran.
Diperhatikannya burung kakaktua itu dengan cermat. Kemudian disadarinya bahwa
tidak ada suara anjing menggonggong, jika Kiki tidak ada di dalam kabin. Wah!
Jangan-jangan Kiki itu burung anjing! Atau anjing burung"
Lain kali, ketika Kiki menirukan gonggongan anjing, ia menyambungnya dengan
suara geraman. Miki tidak tahan lagi. Diambilnya sabun dari bak cuci muka, lalu
dilemparkannya ke arah Kiki. Tepat mengenai paruhnya. Kiki menguak karena kaget
Nyaris saja ia jatuh dari tenggeran.
Miki belum puas. Kini diraihnya sikat gigi, lalu dilemparkannya pula ke arah
burung kakaktua yang sama sekali tidak menyangka akan diserang dengan cara
begitu. Setelah itu menyusul gelas plastik tempat sikat gigi tadi. Lemparan Miki
selalu jitu. Kiki sibuk terbang berpindah- pindah, berusaha melindungi diri dari
serangan Miki yang bertubi-tubi. Apa saja yang terpegang, langsung dilemparkan.
Sikat rambut, sisir, gulungan film pokoknya apa saja!
"Untung saat itu Philip masuk.
"Aduh apa-apaan ini" Ayo, Miki, pungut kembali barang-barang itu!" katanya
"galak. "Apa yang diperbuat Kiki terhadapmu! tadi, sampai kau mengamuk" Miki
nakal, ya!" "Miki nakal, anak jahat!" oceh Kiki, lalu tertawa terkekeh-kekeh. Miki menuruti
perintah Philip. Dipungutinya barang-barang yang dilempar-lemparkannya tadi
dengan patuh. Setelah itu ia bertengger di atas bahu Philip, seperti
kebiasaannya. Kiki cemburu, lalu hinggap di bahu Philip yang satu lagi.
Miki mengoceh, mengata-ngatai Kiki. Kiki tidak tinggal diam dibalasnya ocehan "itu. Bunyinya persis suara Miki. Monyet kecil itu terdiam sejenak, lalu menjawab
lagi dengan bersemangat. Philip mendengarkan saja dengan perasaan geli.
"Aku tidak tahu apakah kalian benar-benar saling memahami," katanya. "Tapi
sebaiknya begitu! Aku tidak mau setiap kali masuk kemari, melihat barang-
barangku berserakan ke mana-mana. Jadi kalian harus berteman! Mengerti, Kiki dan
Miki?" "Puuh!" kata Kiki, tapi dengan suara ramah, ia mencubit ujung telinga Philip.
"Kau sendiri yang puuh," kata Philip. "Dan jangan kaucubiti telingaku!"
Bab 5 LUCIAN MUNCUL Anak-anak menganggap Viking Star sudah seperti rumah mereka sendiri. Rumah
terapung yang lengkap dengan segala-galanya, kecuali daerah lingkungan yang
biasa. Seluruh sudut kapal sudah mereka kenali. Mereka pun sudah melihat-lihat
di ruang mesin, diantar oleh Mac, Masinis Satu. Mereka bahkan diizinkan Perwira
Satu naik ke anjungan. Itu merupakan kehormatan besar, karena tidak diberikan
pada sembarang orang. Bu Mannering juga menjalin persahabatan dengan beberapa orang, yang disukainya
di kapal. Di samping Jack, Dinah, Philip, dan Lucy-Ann, tidak banyak lagi anak-
anak lain. Anak-anak itu jauh lebih muda daripada mereka. Dan umumnya manja
sekali. Tidak asyik mengajak mereka bermain-main!
"Sayang tidak ada yang sebaya dengan kalian di sini," kata Bu Mannering. "Kalau
ada kan bisa lebih menyenangkan." "Kami tidak memerlukan siapa-siapa lagi. Bu,"
kata Philip. "Kami berempat saja sudah cukup senang. Menghadapi anak-anak kecil yang manja-
manja itu saja sudah repot mereka selalu saja mengganggu Miki, dan memancing-
"mancing Kiki agar mau bicara."
"Tapi dia pintar," kata Jack. "Setiap kali mereka mendekat, ia langsung
membentak. 'Diam!', katanya."
"Kasar sekali sikapnya," kata Bu Mannering. "Seharusnya ia kau larang, Jack!"
"Ah ia kan hanya mengatakan apa yang sebetulnya hendak kukatakan sendiri,"
"kata Jack "Anak-anak manja! Kapan-kapan pasti kuceburkan anak perempuan berambut jagung
itu ke dalam kolam! Selalu saja ia datang merengek-rengek, ingin memegang Kiki!
Bayangkan memegang Kiki! Dikiranya Kiki itu apa boneka?"
" ?"Kau tidak boleh menceburkan anak itu ke kolam, Jack," kata Bu Mannering dengan
nada kaget. "Kuakui, anak itu memang perengek tapi ia kan masih kecil!"
?"Ya, tapi rewel seperti nyamuk," kata Jack lagi. "Aku kadang-kadang kepingin
sekali punya penepuk nyamuk, apabila anak itu mendekat."
"Ah, sudahlah mereka kan turun di pelabuhan berikut yang kita singgahi," kata
"Philip. Ia mengelus-elus Miki yang bertengger di bahunya, seperti biasa. Kalau
ia bersama-sama dengan Jack, kelihatannya aneh sekali. Seekor monyet kecil
menongkrong di bahu anak yang satu, sedang, di atas bahu temannya bertengger
seekor burung kakaktua. Para penumpang lain selalu tersenyum geli apabila
melihat mereka lewat "Syukurlah kalau begitu," kata Dinah, yang tidak begitu suka pada anak-anak yang
masih kecil. "Tapi jangan-jangan nanti naik lagi anak-anak kecil lainnya, yang
sama rewelnya seperti mereka."
Perkiraannya ternyata keliru. Hanya seorang anak laki-laki saja yang naik.
Sedang anak perempuan tidak ada sama sekali. Ketika kapal menepi ke dermaga
pelabuhan Napoli di Italia, anak-anak kecil yang manja dan cengeng turun semua.
Mereka menuruni tangga kapal sambil merengek dan menjerit-jerit. Mereka memang
rewel sekali. Jack dan ketiga anak lainnya memperhatikan dengan perasaan lega,
sementara Kiki berteriak-teriak,
"Selamat jalan, jangan balik ya, selamat jalan!"
"Jack! Aku belum pernah mendengar Kiki mengucapkan kata-kata itu," kata Bu
Mannering, dengan nada mengecam.
"Pasti kau yang mengajari!"
"Kiki pandai membaca pikiranku, Bibi Allie," kata Jack sambil tertawa. "Wah "lihat, Pak Kelinci datang!"
Anak-anak tertawa geli sambil memperhatikan seorang anak laki-laki jangkung yang
saat itu naik ke kapal. Gigi atasnya memang seperti gigi kelinci, sangat
menjorok ke luar. Sedang dagunya miring ke belakang. Umurnya kurang lebih sama
dengan Jack dan Philip, ia memakai kaca mata berbingkai bulat. Matanya nampak
besar di balik lensa tebal. Kelihatannya seperti selalu memandang dengan heran.
Anak itu menyusur tangga kapal ke atas, sambil nyengir dengan ramah.
Ia sibuk berbicara dengan seorang wanita yang menyusul di belakangnya, dalam
bahasa Inggris bercampur bahasa asing. Keduanya disertai seorang laki-laki
bertubuh pendek gemuk. Orang itu memakai kaca mata gelap, sehingga matanya tidak
kelihatan. "Paman! Bibi! Kita benar-benar berangkat sekarang! Bukan main hebat sekali
"kapal ini! Aku pasti takkan mabuk laut nanti." Setelah itu ia mengoceh.
Sebetulnya bukan mengoceh, tapi berbicara dalam bahasa asing. Kiki memiringkan
kepala dengan sikap heran, mendengar kata-kata asing itu.
Ketika anak laki-laki itu lewat, ia menyapa anak itu seakan-akan mengajak
mengobrol. Kiki menirukan kata-kata yang baru saja didengarnya. Anak laki-laki
bertampang kelinci itu menoleh ke arahnya dengan heran.
"Bukan main! Ada kakaktua yang pintar berbicara. Bukan main!"
"Bukan main!" oceh Kiki menirukannya. "Bukan main bukan main!"
"Ayo diam, Kiki! Jangan kurang ajar ya," tukas Jack memarahi.
Miki yang duduk di atas bahu Philip menjulurkan kepala ke arah Kiki, lalu
mengoceh panjang lebar. Anak laki-laki tadi memandang dengan asyik.
"Bukan main! Ada monyet yang bisa bicara pula! Apa katanya?"
"Katanya, rasa-rasanya ia pernah melihatmu, tapi tidak tahu lagi di mana," jawab
Philip dengan sikap serius. "Lalu ia bertanya pada Kiki, mungkin saja Kiki masih
ingat!" Lucy-Ann tercekikik karena geli. Anak laki-laki itu melongo sejenak. Kemudian ia
ikut tertawa, menampakkan sepasang gigi depan yang besar-besar.
"Ah, kau mempermainkan aku, ya! Tapi asyik ada kakaktua yang pandai bicara,
"serta monyet jinak! Kalian anak-anak yang beruntung!"
"Ayo terus, Lucian," kata laki-laki gempal yang di belakangnya sambil mendorong-
dorong menyuruh naik. Anak laki-laki yang bernama Lucian itu bergegas maju. Tapi
ia masih sempat menoleh sebentar sambil nyengir, seakan-akan menyesal karena
percakapan putus dengan begitu saja. Laki-laki tadi mengatakan sesuatu dengan
suara jengkel pada wanita yang berjalan seiring dengannya. Tapi ia berbicara
dalam bahasa asing, sehingga anak-anak yang lain tidak memahaminya. Tapi mereka
dapat menebak bahwa Lucian tidak disenangi pamannya!
"Wah jika si Kelinci tadi satu-satunya anak yang naik di sini, kurasa ia pasti"akan menempel tenis pada kita," kata Philip.
"Anak konyol begitu!"
"Bukan main!" oceh Kiki. Jack mengerang.
"Nah, sekarang Kiki tentu siang malam akan terus mengoceh begitu," katanya.
"Untung saja Miki tidak bisa benar-benar berbicara seperti manusia. Kalau dia
juga ikut mengoceh seperti Kiki kita takkan bisa mengatakan apa-apa lagi.
"Selalu saja diserobot mereka berdua!"
Kemudian kapal berangkat lagi, mengarungi laut yang biru sekali airnya. Enak
rasanya duduk-duduk di haluan, menikmati hembusan angin. Kiki dan Mik. juga
senang berada di situ. Hal yang dikhawatirkan Jack dan Philip kemudian memang terjadi. Anak laki-laki
yang baru naik itu selalu saja membuntuti mereka. Anak-anak selalu langsung tahu
jika ia datang, karena Kiki pasti memberi tanda.
"Bukan main!" kuaknya. Anak-anak hanya bisa mendesah dengan kesal. Lagi-lagi
Lucian! Anak itu mendekat sambil nyengir dengan ramah, lalu duduk di sisi
mereka. Hari pertama perkenalan mereka pun ia sudah menceritakan segala-galanya tentang
dirinya, ia sudah tidak berorang tua lagi. Ayah dan ibunya sudah meninggal
dunia. Ayahnya orang Inggris. Tapi ibunya berasal dari Yunani. Jadi banyak sanak
saudaranya di Yunani, ia bersekolah di Inggris, tapi selama liburan ia biasanya
mendatangi kerabatnya. Umurnya empat belas tahun, hampir lima belas. Ia tidak
menyukai olahraga dan permainan, gemar pada sejarah, dan tidak menyukai namanya.
"Apa sebabnya?" tanya Dinah.
"Habis anak-anak lelaki di sekolahku selalu mengubahnya menjadi Lucy-Ann,"
"kata Lucian menjelaskan. "Maksudku kan tidak enak, punya nama seperti anak
"perempuan." "Itu namaku," kata Lucy-Ann. "Aku suka pada namaku."
"Ya karena kau memang anak perempuan," kata Lucian. "Tapi bagiku tidak!
"Apalagi jika teman-teman menyingkatnya, menjadi Lucy."
"Lucy Cuci!" oceh Kiki menirukan nama itu. "Lucy Cuci! Bukan main!"
Anak-anak tertawa mendengarnya, termasuk Lucian. Kiki sendiri terkekeh-kekeh.
"Lucy Cuci, Cuci Guci, wah, bukan main!" oceh Kiki bersenandung dengan asyik.
"Bukan main burung kalian ini kocak sekali!" kata Lucian kagum. "Aku kepingin
"bisa meminjamnya, untuk kubawa ke sekolah. Eh kau membawanya ke sekolah, ya?"
?"Dulunya memang," kata Jack dengan nada menyesal. "Tapi ia suka berteriak pada
guru kelas agar membersihkan kaki dan menutup pintu! Lalu ketika suatu hari ia
berteriak, 'Jangan menyedot-nyedot, pakai sapu tanganmu! , ia langsung diusir.
"Habis ia berteriak begitu pada Kepala Sekolah!"
?"Masih ingat tidak, ketika kau menyembunyikannya di dalam lemari di kelas, lalu
ia menirukan bunyi mercon meletus?" kata Philip sambil tertawa lebar. "Waktu itu
satu hari setelah Perayaan Kembang Api dan ia masih ingat bagaimana bunyi
" mercon!" Lucian nampak kagum sekali. Mulutnya ternganga, seakan-akan mendengarkan
dengannya di samping dengan telinganya.
"Bukan main!" katanya. "Lalu, apa yang terjadi setelah itu?"
"Yah kami sekelas ikut meletus tertawa keras-keras! Setelah itu berganti " "guru yang meletus, dengan cara lain lagi. Kami disuruhnya menitipkan Kiki pada
seseorang di desa dekat sekolah kami. Kami tentu saja setiap hari ke sana untuk
menjenguknya. Dan setiap akhir pekan, ia boleh ikut kami tinggal di asrama."
"Dan setiap ada pertandingan di sekolah, Kiki juga ikut hadir, ya Jack?" kata
Lucy-Ann. "Ia juga ikut bersorak-sorak, bersama anak-anak!"
"Bukan main," kata Lucian. "Coba aku memegangnya sebentar."
"Hati-hati, ia tidak mau jika dipegang orang lain," kata Jack memperingatkan.
Tapi tangan Lucian sudah terulur, hendak menjamah burung kakaktua itu. Tapi saat
itu juga ia terpekik, sambil menarik tangannya cepat-cepat. Kiki mematuknya
dengan sengit Lucy-Ann tercengang melihat mata Lucian basah.
Anak itu berpaling, lalu pergi sambil mengisap ibu jarinya yang berdarah. Ia
tidak mengatakan apa-apa lagi. Anak-anak yang lain berpandang-pandangan.
"Ia menangis," kata Lucy-Ann. Ia merasa heran. Masa anak laki-laki berumur
"empat belas tahun, begitu saja menangis!
"Dia cengeng," kata Jack sambil membujuk-bujuk Kiki yang menandak-nandak dengan
marah. Jambulnya tegak. "Cengeng!" kata Kiki menirukan ucapan Jack. "Cengeng, cengeng bukan main!
"Cengeng!" "Kau ini jahat seenaknya saja mematuk orang," kata Jack mengomeli. "Tadi itu kan
sakit!" "Ceng-ngeng," oceh Kiki tak peduli.
"Ya tapi kau goblok," kata Jack sambil tertawa geli. "Nah, kau jangan ikut-
"ikut mengoceh sekarang, Miki. Kiki yang kurang ajar saja sudah cukup!"
Miki mulai mengoceh panjang lebar. Kiki mendengarkan dengan serius, dengan
kepala dimiringkan ke samping. Kocak sekali kelihatannya!
Begitu Miki berhenti sejenak, langsung saja Kiki menimpali. Kedengarannya
seakan-akan menjawab ocehan tadi. Ditirunya suara Miki.
Anak-anak terpingkal-pingkal.
"Dikiranya ia berbicara dalam bahasa Miki," kata Philip. "Kau ini ada-ada saja,
Kiki! Tidak mungkin kau bisa dibungkam, ya" Untunglah, ia sekarang sudah mau
berteman dengan Miki."
"Ya, tapi Miki sekarang mulai bandel sekali," kata Dinah. Ia sudah merasa sayang
pada monyet kecil itu. "Kemarin entah berapa kabin saja dimasukinya. Sabun-sabun
yang ada di situ diambili semua, lalu ditaruhnya di salah satu kursi besar di
dalam ruang duduk." "Astaga kalau ia begitu terus, pasti nanti ia akan mengalami kesulitan," kata
"Jack cemas. "Yang pasti, kita yang mengalami kesulitan," kata Philip. "Coba Kiki bisa
diajari menjaga Miki. Tapi ini ia malah mengajari yang bukan-bukan! Pasti ia
" yang menyuruh Miki memanjat tiang, sehingga mengagetkan kelasi yang bertugas di
atas." "Miki manis, ah!" kata Lucy-Ann sambil menggelitik dagu monyet kecil itu. Miki
memandangnya dengan matanya yang selalu nampak sayu dan bijak. Lucy-Ann tahu
bahwa Miki sekarang bahagia. Tapi walau begitu ia selalu waswas, setiap kali
monyet kecil itu menatapnya dengan pandangan sedih. Ia tidak begitu percaya
ketika Philip mengatakan bahwa semua monyet memang begitu. Cara mereka melihat
memang menimbulkan rasa kasihan tapi bandelnya " ?"Nah! Gong sudah berbunyi, memanggil kita makan," kata Dinah. "Aku sudah lapar
sekali. Rasanya seperti kita makan terlambat satu jam hari ini. Yuk, kita ke
ruang makan!" Bab 6 KISAH TENTANG ANDRA
Kapal Viking Star menjelajahi pulau-pulau kecil di perairan Aegea. Warna air di
situ biru gelap. Indah sekali kelihatannya! Menurut anak-anak, saat itulah yang
terindah selama seluruh pelayaran memandang pulau-pulau yang bermunculan di
"tengah laut yang berwarna biru lembayung.
Lucian menunjukkan kegunaannya, karena daerah perairan itu dikenal baik olehnya.
Karenanya ia bisa bercerita tentang berbagai pulau. Banyak sekali kisahnya
tentang perompak zaman dulu serta pembajakan di tengah laut, begitu pula tentang
harta karun. "Kalian lihat pulau yang sedang kita datangi sekarang itu?" katanya sambil
menunjuk. "Itu Pulau Oupos. Pulaunya kecil saja tapi di sana ada benteng kuno
"dengan ruang tahanan yang termasuk paling besar di dunia. Bajak laut zaman dulu


Lima Sekawan 06 Petualangan Di Kapal Pesiar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sering datang ke sana dengan membawa tawanan yang kemudian mereka jebloskan ke
dalam penjara bawah tanah itu.
Kadang-kadang para tawanan dibiarkan saja di sana selama bertahun-tahun sampai
"jompo!" "Ih, seram!" kata Lucy-Ann. "Kau sudah pernah ke Oupos?"
"Sudah, sekali," kata Lucian. "Aku juga melihat lubang-lubang untuk memasukkan
tawanan ke dalam penjara bawah tanah yang di sana itu. Aku sendiri waktu itu
nyaris saja terperosok ke dalam."
"Apa maksudmu dengan lubang-lubang itu?" tanya Philip.
"Di pelataran benteng kuno itu banyak sekali . lubang. Lubang-lubang yang dalam
sekali," kata Lucian menjelaskan. "Tawanan yang diangkut ke pulau itu diseret ke
pelataran, lalu dijebloskan ke dalam lubang terdekat hingga jatuh ke dalam ruang
penjara yang terdapat di bawah tanah, di mana sudah ada tawanan tawanan lain."
"Cih, menyeramkan! Tidak bisakah ia lari dari situ"'" tanya Jack sambil
bergidik. "Tidak bisa! Satu-satunya jalan keluar hanya lewat lubang dalam tadi," kata
Lucian. "Tapi tidak ada yang mampu memanjat ke atas lewat situ."
"Lalu, bagaimana cara memberi makanan pada tawanan?" tanya Philip. "Gampang,"
kata Lucian. "Para penjaga yang di atas setiap hari menjatuhkan makanan lewat
lubang." "Entah rasanya ceritamu itu kurang masuk akal," kata Jack.
?"Eh, tidak percaya! Aku kan sudah pernah ke sana, dan melihat sendiri lubang-
lubang itu," kata Lucian berkeras. "Tentu saja penjara bawah tanah itu sekarang
tidak dipakai lagi. Pelataran benteng sudah penuh ditumbuhi belukar, sehingga
lubang-lubang yang ada di situ nyaris tidak nampak. Itulah sebabnya aku waktu
itu hampir terperosok ke dalam."
"Kalau kau sampai terjatuh, apakah kau harus tinggal terus di situ sampai tua?"
tanya Lucy-Ann. "Tentu saja tidak. Pamanku pasti akan mengambil tali, lalu aku ditariknya ke
atas," kata Lucian. Tapi kalau patah kaki, itu bisa saja terjadi." ?"Ayo, cerita yang lain lagi tentang pulau-pulau kuno ini," kata Jack. "Kepingin
rasanya mendatangi beberapa di antaranya."
"Kurasa itu bisa saja, jika aku meminta pada pamanku," kata Lucian tanpa
disangka-sangka. "Apa maksudmu" Apa urusan pamanmu dengannya?" kata Philip. "Kau ini seolah-olah
"ia pemilik pulau-pulau itu."
"Memang! Ia memiliki beberapa pulau di sekitar sini," jawab Lucian. "Belum
kuceritakan rupanya, ya! Kurasa itu kegemarannya, ia membeli pulau,
menjelajahinya lalu kalau sudah bosan, dijualnya lagi."
"Anak-anak menatap Lucian, untuk mengetahui apakah anak itu tidak berbohong. Bagi
mereka aneh sekali kedengarannya ada orang membeli dan menjual pulau, seakan-
"akan kue saja. Begitu gampang!
"Tapi apa gunanya untuk dia?" tanya Jack. "Maksudku apakah pamanmu itu
" "tertarik pada peninggalan kuno" Apakah ia mencari barang antik, atau semacam
itu?" "Pamanku sangat gemar pada sejarah," kata Lucian. "Yah pokoknya pada segala
"hal yang kuno. Kalian mesti melihat rumahnya, di Athena. Bermacam-macam benda
yang serba menakjubkan ada di sana. ia memperolehnya dari pulau-pulau kuno ini.
Barang-barang antik itu dipeliharanya dengan kasih sayang."
Dalam pikiran anak-anak terbayang wujud paman Lucian. Mereka tidak bisa
mengatakan, apakah orang itu sinting atau tidak. Kelihatannya biasa-biasa saja,
hanya agak pemarah. Sifatnya sulit ditebak, karena ia selalu memakai kaca mata
gelap sehingga matanya tidak kelihatan.
"Tanpa menatap mata, sulit rasanya menebak pikiran seseorang," kata Lucy-Ann.
Itu memang benar. "Kurasa kegemaranku pada sejarah kuwarisi dari pamanku itu," kata Lucian. "Aku
selalu mendapat nilai tertinggi untuk pelajaran sejarah. Tapi yang selebihnya,
terus terang saja paling bawah. Dan aku paling benci pada olahraga!"
"Itu sudah pernah kaukatakan pada kami," kata Jack.
"Ya, tapi baru sekitar lima belas kali saja," sambung Dinah.
"Bukan main!" kata Lucian. "Maaf deh! Soalnya, aku betul-betul tidak
menyukainya." "Enam belas kali," kata Lucy-Ann menghitung.
"Sudahlah, kita berbicara saja tentang pamanmu" desak Jack. "Kau bersungguh-
sungguh tadi" Maksudku, ia sungguh-sungguh pemilik beberapa pulau mengasyikkan
ini?" "O ya! Kalau Oupos, bukan dia pemiliknya! Tapi pulau yang sebentar lagi akan
kita lewati, nah itu kepunyaannya. Nama pulau itu Helios. Tapi kurasa sebentar
"lagi akan dijualnya lagi. Ia sudah mengirim sejumlah orangnya untuk mengadakan
penggalian di sana. Tapi tidak banyak yang ditemukan di situ."
"Apa saja yang mereka temukan?" tanya Lucy-Ann berminat
"Sebentar, kuingat-ingat dulu," kata Lucian sambil mengerutkan kening. "O ya "tiga buah bejana tembikar yang indah sekali! Ya, cuma itu saja," katanya. "Tapi
ketiga bejana itu retak- retak. Rasanya bejana dan jambangan kuno yang
ditemukan, selalu saja ada retaknya. Ia juga menemukan beberapa badik, yang
kurasa kuno sekali. Selain itu masih banyak barang- barang yang tidak berarti.
Begitulah pecahan gerabah, sisa-sisa perhiasan tak berharga eh, nanti dulu!
" " ya, betul, kecuali itu ia juga menemukan patung kecil. Patung angsa! Patung
"itu diberikannya padaku."
"Lucy-futsi," oceh Kiki yang selama itu kelihatannya ikut asyik mendengarkan
kisah Lucian. "Ayo diam, Kiki! Jangan suka memotong cerita orang," kata Jack. "Teruskan, Lucy
eh, maksudku Lucian."
?"Wah kau jangan ikut-ikut begitu, Jack," keluh Lucian. Nampaknya ia agak
"tersinggung. "Jangan suka merajuk, ah! Teruskan saja ceritamu," kata Jack. Ia selalu sebal
jika Lucian mulai bersikap tersinggung. Dan itu cukup sering terjadi.
"Masih ada lagi kisah tentang pulau-pulau ini, yang kauketahui?" tanya Lucy-Ann
dengan cepat, karena melihat bahwa Lucian masih sakit hati.
"Yah, kalau kalian memang masih ingin tahu ada pula kisah tentang kapal-kapal
"harta Andra," kata Lucian. "Kata orang, kisah itu merupakan kenyataan. Aku
sering mendengar pamanku, menceritakannya."
"Cerita sajalah," kata Philip sambil menggaruk-garuk punggung Miki yang saat itu
sudah terlelap dalam gendongannya.
"Kejadiannya berabad-abad yang silam," kata Lucian membuka cerita. "Aku tidak
ingat lagi waktunya yang tepat Pokoknya waktu itu ada seorang raja. Namanya
Panlostes. Ia berkuasa di salah satu pulau ini sebuah pulau besar. Kalian
"tentunya juga tahu, waktu itu tiap-tiap pulau ada penguasanya sendiri-sendiri.
Nah Panlostes itu mempunyai seorang putra."
?"Siapa namanya?" tanya Lucy-Ann.
"Mana aku tahu?" tukas Lucian. "Pokoknya, putranya itu sewaktu masih kecil
pernah mengalami kecelakaan, yang mengakibatkan matanya buta satu dan kakinya
pincang. Putra Raja Panlostes ini setelah dewasa ingin menikahi putri seorang
raja di daratan Yunani. Putri itu bernama Andra."
"Tapi Andra tidak mau menikah dengan putra raja tadi, karena matanya buta
sebelah dan jalannya pincang. Begitu, kan?" kata Jack menyela.
"Tapi ada seorang pemuda lain. Andra ingin menikah dengan pemuda itu."
"Yah kalau kau sudah tahu ceritanya..." kata Lucian agak jengkel.
?"Aku belum pernah mendengar ceritamu itu. Tapi kalau yang sejenis, sudah
sering!" kata Jack. "Sudahlah, kauteruskan saja ceritamu."
"Ayah Andra berkeras mengatakan bahwa putrinya harus menikah dengan pangeran
yang bermata satu, asal Raja Panlostes mau mengirimkan emas, senjata, dan harta
lain yang nilainya setengah nilai kerajaannya," sambung Lucian yang sudah mulai
asyik kembali. "Begitulah, dengan segera Raja Panlostes menyiapkan armada kapal yang diisi
penuh dengan bermacam-macam harta. Suatu pagi mereka berangkat dari pulau,
menuju daratan." Lucy-Ann menatap ke laut yang berwarna biru tua. Pandangannya
menerawang. Dibayangkannya armada kapal-kapal kecil dengan layar menggembung
dihembus angin. Palka kapal-kapal itu penuh sesak berisi harta. Lucy-Ann merasa
seakan-akan bisa mendengar seruan lantang memberi aba-aba, lambung berderak-
derak, serta kelepak bunyi layar didorong angin. Sementara itu Lucian menarik
napas, lalu meneruskan cerita.
"Nah Putri Andra mengirim kabar pada pemuda dengan siapa ia ingin menikah, "memberi tahu tentang kapal-kapal harta itu. Orang itu lantas menyiapkan beberapa
kapal, dengan mana ia kemudian menyongsong armada Raja Panlostes."
"Lalu berjumpa tidak?" tanya Lucy-Ann. "Ya, dan langsung diserang dan dikalahkan
olehnya. Tapi ternyata sama sekali tidak ada harta di dalam kapal-kapal itu!"
"Astaga! Ke mana larinya?" tanya Dinah. "Dilempar ke laut, atau begitu?"
"Tidak, bukan begitu. Nakhoda pimpinan armada kapal Raja Panlostes ternyata sama
sekali tidak berniat menyerahkan mas kawin itu dengan selamat, ia menyembunyikan
semuanya di sebuah pulau yang dikenalnya. Setelah itu baru meneruskan pelayaran
ke kerajaan ayah Putri Andra. Pada kedua raja akan dikatakannya bahwa ia diserang dan dirampok di tengah jalan.
Lalu kalau keadaan sudah tenang, ia akan kembali ke pulau tadi, untuk mengambil
harta itu." "Ternyata kemudian ia benar-benar diserang. Cuma harta sudah disembunyikan
terlebih dulu!" kata Jack. "Apa yang terjadi setelah itu?"
"Nakhoda itu tewas dalam pertempuran, beserta setengah anak buahnya. Sisanya
lari memencar ke mana-mana. Harta yang disembunyikan dicari, tapi tidak pernah
ditemukan." "Wah sejak itu sama sekali tidak ada kabar beritanya?" ?"Bukan begitu! Di antara bekas anak buah nakhoda pengkhianat tadi ada beberapa
orang yang merasa masih ingat letak pulau di mana mereka mendarat malam-malam,
untuk menyembunyikan harta yang sebenarnya harus diserahkan. Mereka pergi dengan
diam-diam ke pulau itu untuk mencari harta itu. Tapi kemudian timbul
pertengkaran. Mereka berkelahi! Akhirnya tinggal beberapa orang saja yang masih
hidup. Seorang di antaranya membuat peta kasar."
"Peta pulau itu" Ada yang kemudian menemukannya atau tidak?" tanya Dinah
bersemangat "Ada seorang saudagar bangsa Yunani, bertahun-tahun kemudian. Lama sekali ia
"meneliti peta yang ditemukannya itu, sampai akhirnya ia merasa mengerti
maksudnya. Dari sekian banyak pulau yang bertebaran di Laut Aegea, hanya lima
saja yang mungkin tergambar pada peta itu. Ia lantas menjelajahi kelima pulau
itu, satu demi satu."
"Dan bagaimana hasilnya" Berhasilkah ia menemukan pulau yang benar?" tanya Lucy-
Ann. Matanya berbinar-binar. "Wah, asyik sekali ceritamu ini!"
"Ya menurut kisah lama itu, saudagar tadi berhasil menemukan pulau yang
"tergambar di peta. Ia pun menemukan harta yang disembunyikan di situ. Tapi
sebelum sempat berbuat apa-apa dengannya, ia meninggal dunia."
Anak-anak terdiam. Semua merasa kecewa.
"Kalau begitu, siapa yang memperoleh harta tadi"' tanya Jack.
"Tidak ada," kata Lucian. "Rahasia mengenainya tidak pernah diceritakan saudagar
Yunani itu pada siapa pun. Tapi kabarnya ini kabarnya masih ada lagi salinan
" "peta pulau itu, yaitu yang dibuat olehnya. Tapi tidak ada yang mengetahui di
mana peta itu berada. Ada yang mengatakan, disembunyikan saudagar tadi sebelum
ia mati. Orangnya hidup sekitar seratus tahun yang lalu."
"Hm, asyik sekali cerita ini!" kata Dinah sambil mendesah. "Kepingin rasanya
bisa menemukan peta kuno itu. Di manakah tempat tinggal orang itu semasa
hidupnya" Kan mungkin saja peta itu disembunyikan di rumahnya!"
"Kurasa tempat itu pasti sudah diperiksa seluruhnya dari atap sampai ke kolong,"
kata Lucian. "Aku tahu di pulau mana ia dulu tinggal. Sehari lagi kita akan
sampai di sana. Namanya Amulis."
"Wah! Kita akan mendarat di sana nanti?" seru Lucy-Ann bergairah. "Aku kepingin
sekali." "Ya kapal-kapal biasanya singgah di sana," kata Lucian. "Pulau itu lumayan
"besarnya. Di sana ada beberapa kota dan desa, serta toko-toko yang berdagang
barang antik. Para wisatawan sering turun berombongan, untuk berbelanja."
"Kita turun beramai-ramai nanti!" kata Dinah. "Aku masih ingin membeli macam-
macam. Kau ikut saja dengan kami, Lucian! Kau akan banyak membantu kami!
Bab 7 LUCIAN MEMBANTU Bu Mannering senang ketika mendengar bahwa kapal akan menyinggahi Pulau Amulis
yang romantik. Seperti anak-anak, ia pun sangat tertarik pada pulau-pulau yang
muncul susul- menyusul di tengah laut berwarna biru gelap itu. Sebelumnya ia
sudah membaca-baca sedikit tentang sejarah Yunani. Dan Laut Aegea memberikan
kesan seperti merupakan bagian dari masa yang sudah lama silam. Anak-anak
meminjam buku-buku Bu Mannering dan membacanya dengan asyik. Sudah begitu tua
pulau-pulau itu, dan begitu banyak kisah yang tersimpan di situ! Lucy-Ann merasa
terpesona.-Sepanjang hari ia berdiri di pinggiran geladak sambil menatap pulau-
pulau yang dilewati. "Apa sebabnya di sini terdapat begini banyak pulau?" tanyanya pada Bu Mannering.
"Kabarnya semua pulau ini dulunya saling bersambungan dan merupakan daratan
luas," kata Bu Mannering bercerita. "Kemudian terjadi sesuatu yang dahsyat! Air
dari samudra luas menerjang masuk ke dalam apa yang kini merupakan Laut Tengah.
Sebagai akibatnya, bagian luas dari daratan yang dulu ada itu tenggelam. Hanya
bagian-bagian yang paling tinggi saja yaitu bukit-bukit serta pegunungan " "yang masih muncul di atas permukaan, dan membentuk kepulauan, yaitu Kepulauan
Aegea yang kini sedang kita telusuri!"
"Astaga," kata Lucy-Ann kagum.
Daya khayalnya langsung membayangkan air membanjir melanda daratan di mana
terdapat kota dan desa. Satu demi satu terbenam, dan akhirnya bagian-bagian yang
paling tinggi saja yang masih muncul di atas permukaan.
"Wah, Bibi Allie kalau begitu jauh di bawah kita sekarang ini, di dasar laut,
"ada bekas-bekas kota dan desa, ya" Kapan kejadian itu tadi?"
"Sudah ribuan tahun yang lalu," kata Bu Mannering. "Kalaupun di bawah ada bekas-
bekas kota, pasti kini sudah tidak ada lagi sisanya. Tapi ceritaku tadi
menjelaskan kenapa di laut sini terdapat begitu banyak pulau. Aku senang bahwa
kita akan menyinggahi salah satu di antaranya."
"Anda tidak takut kalau kita terlibat lagi ke dalam petualangan yang
menegangkan?" kata Lucy-Ann memancing. "Menurut Bibi, amankah kita jika
mendatangi pulau kecil yang menarik itu?"
"Pasti aman," kata Bu Mannering sambil tertawa. "Kan ada aku!"
"Kami sudah mengajak Lucian ikut dengan kita," kata Dinah. "Aku tahu, anak itu
konyol tapi ia tahu banyak tentang pulau-pulau ini, Bu. Ia banyak bercerita
"mengenainya. Katanya, beberapa di antaranya milik pamannya."
"Ya, aku pun sudah mendengar tentang itu," kata Bu Mannering. "Aku sempat
mengobrol dengan istri pamannya. Orangnya ramah sekali. Kalau aku jadi dia, aku
takkan suka jika suamiku kerjanya tidak lain hanya membeli pulau demi pulau lalu
sibuk menggali di situ selama beberapa bulan. Setelah itu dijual lagi, sedang
dia mulai lagi di tempat lain. Kurasa suaminya agak tidak beres otaknya. Tapi di
pihak lain berkat kesibukan itu ditemukan beberapa benda menarik yang membuat
"mereka menjadi kaya raya!"
Keesokan harinya Viking Star memasuki sebuah pelabuhan kecil. Anak-anak yang
bergelantungan di pagar geladak sambil menonton, agak heran ketika kapal
berhenti lalu melabuhkan jangkar di tengah pelabuhan, dan tidak merapat ke
dermaga. "Kita tidak bisa merapat, karena dermaga itu terlalu kecil untuk kapal sebesar
kita ini," kata seorang perwira kapal menjelaskan. "Kalian nanti turun ke darat
naik barkas." Tidak lama kemudian sebuah perahu motor mendatangi kapal. Belasan penumpang
menuruni tangga kapal, lalu masuk ke barkas itu. Anak-anak tentu saja ikut,
bersama Lucian, Bu Mannering, serta sejumlah penumpang lain yang menaruh minat
Paman dan bibi Lucian tidak ikut. Mereka sudah sangat mengenal Pulau Amulis,
jadi tidak berminat lagi untuk ikut melihat-lihat. Tapi bagi anak-anak,
kesempatan itu sangat menarik. Barkas melaju, menuju ke dermaga. Lucian sudah
merasa biasa di pulau itu, yang pernah didatangi bersama pamannya.
"Kalian ikut saja dengan aku. Nanti kutunjukkan berbagai hal yang menarik,"
katanya. "Aku juga bisa mengajak penduduk sini mengobrol, kalau ada yang ingin
kalian ketahui. Aku pun bisa melakukan tawar-menawar untuk kalian."
Ternyata banyak sekali gunanya mengajak Lucian ikut. Ia mengusir anak-anak yang
datang berkerumun sambil meminta-minta. Entah apa saja yang dikatakannya, ia
berbicara dalam bahasa penduduk setempat. Bicaranya cepat sekali, seperti
meluncur kata-kata keluar dari mulutnya. Bahkan Kiki pun sampai tercengang
mendengarnya. Lucian tahu jalan di pulau itu. Kecuali itu ia juga pandai memberi
penjelasan. "Ini pasar," katanya. "Orang-orang dari gunung datang kemari untuk menjual hasil
usaha mereka itu, yang ditawarkan di kios-kios itu dan sehabis berjualan, " "mereka membelanjakan uang yang diperoleh di toko-toko, di kota. Atau kalau
tidak, mereka menonton."
Penduduk pulau itu menarik sekali penampilannya. Sayangnya agak kotor. Mungkin
itu disebabkan karena di pulau gersang itu, air sulit didapat Mereka memakai
topi bertepi lebar, untuk melindungi diri dari sinar matahari. Selanjutnya
mereka memakai pakaian putih yang entah apa namanya. Tapi cocok bagi perawakan
mereka. Anak-anak di sini cantik-cantik, kata Lucy-Ann dalam hati, dengan mata
mereka yang coklat kehitaman, bentuk muka yang indah, serta rambut tebal dan
ikal. Lucian mengajak keempat remaja itu mendatangi reruntuhan suatu puri kuno. Jack
dan Philip agak kecewa, karena di situ tidak ada ruang penjara bawah tanah.


Lima Sekawan 06 Petualangan Di Kapal Pesiar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedang Dinah dan Lucy-Ann tercengang ketika melihat bahwa kelihatannya ada orang
yang mendiami beberapa bagian dari puri itu, berkumpul dengan ternak kambing dan
ayam. "Mereka itu kaum miskin," kata Lucian menjelaskan. "Mereka menghuni reruntuhan,
karena tidak mempunyai tempat tinggal yang benar. Kalau ada waktu, kita bisa
juga pergi ke pedalaman. Di sana kalian bisa melihat orang yang tinggal di dalam
gua di tebing gunung. Itu sudah biasa dilakukan di sini, sejak ribuan tahun.
Aneh juga rasanya, membayangkan bahwa gua-gua di sana itu sudah selalu didiami
dari abad ke abad." "Orang-orang gua itu apakah mereka juga nonton film ke kota?" tanya Dinah.
?"O ya, mereka senang sekali nonton film, walau tidak bisa membaca dan menulis,"
kata Lucian. "Mereka itu seakan-akan hidup di dua zaman. Zaman dulu, sewaktu
manusia masih tinggal di dalam gua serta hidup serba kekurangan bersama ternak
peliharaan mereka, dan juga zaman sekarang dengan film, mobil, dan sebagainya."
"Aku kalau begitu pasti bingung tidak tahu di mana tempatku yang sebenarnya,"
"kata Jack. "Mereka tahu," kata Lucian, lalu membentak anak kecil iseng, yang dengan diam-
diam hendak menarik pita gaun Lucy-Ann. Kiki ikut menjerit, sedang Miki memekik-
mekik sambil meloncat turun-naik di bahu Philip. Anak kecil itu lari ketakutan.
Kasihan, kata Lucy-Ann dalam hati.
Setelah itu Lucian mengajak mereka melihat-lihat keadaan toko-toko di pasar.
Beberapa di antaranya kecil dan gelap, penuh dengan berbagai barang yang
kelihatannya asing. Tapi ada satu toko yang lumayan juga besarnya, berisi
barang-barang antik untuk menarik wisatawan.
"Kita masuk saja ke situ, jika kalian ingin melihat-lihat dan membeli sesuatu,"
kata Lucian. "Eh, mana Miki?" ?"Sedang bersenam sebentar, di atas tenda yang menaungi pintu toko ini," jawab
Philip. Miki benar-benar kocak. Sebentar-sebentar ia meloncat turun dari bahu
Philip lalu berayun-ayun pada segala macam barang yang ada di dekatnya, lari
kian kemari, lalu meloncat lagi ke tempat lain tanpa pernah salah loncat.
Sekarang ia lari mondar-mandir di atas tenda penahan sinar matahari, sambil
sekali-sekali meloncat naik ke ambang jendela yang ada di atas. Tapi ketika ia
melihat Philip hendak masuk ke toko, ia cepat-cepat meloncat lagi ke bahu anak
itu. "Ah, kau lagi!" kata Philip. "Panas rasanya tengkukku karena selalu kau dekap!"
Anak-anak terpesona melihat isi toko itu. Mereka tidak tahu, mana yang benar-
benar antik dan mana yang palsu. Lucian cukup banyak pengetahuannya tentang
barang-barang itu. Ia menunjukkan beberapa benda yang benar-benar kuno. Tapi
harganya mahal. Keempat remaja itu tidak mampu membelinya. Lucy-Ann mengeluarkan
uang yang ada padanya saat itu, lalu bertanya pada Lucian apakah dengan uang
sejumlah itu ada barang yang bisa dibeli. Lucian menghitung-hitung uang yang
disodorkan Lucy-Ann. Semuanya mata uang Yunani, sehingga Lucy-Ann tidak
mengetahui nilainya. "Ya, ada juga yang bisa kaubeli dengan uangmu ini," kata Lucian kemudian.
"Misalnya saja batu biru yang diukir itu!"
"Ah, bukan yang begitu maksudku," kata Lucy-Ann. "Aku ingin membelikan sesuatu
untuk Philip. Sebentar lagi ia akan berulang tahun! Adakah sesuatu di sini yang
kiranya akan disenanginya" Tapi jangan sampai ia tahu karena aku hendak
"menyimpannya dulu sampai hari ulang tahunnya!"
"Yah kalau begitu bagaimana dengan kapal-kapalan ini?" kata Lucian sambil
"mengacungkan sebuah model perahu yang bentuknya persis perahu-perahu rakyat yang
ada di pelabuhan. "Tapi tentu saja ini bukan barang kuno."
Ketika melihat perahu-perahu itu, Lucy-Ann langsung teringat lagi. "Ah ya,
sekarang aku tahu apa yang ingin kubeli untuk Philip, Lucian. Sesuatu yang sudah
lama diidam-idamkannya."
"Apa itu?" tanya Lucian.
"Kapal dalam botol," jawab Lucy-Ann. "Aku tahu bahwa itu agak aneh, tapi kata
Philip sendiri ia ingin sekali punya kapal dalam botol."
"Rasanya aku belum pernah melihat barang Seperti itu di sini," kata Lucian.
"Mereka tidak biasa menjual barang-barang begitu. Tapi sebentar kutanyakan
"saja pada orang yang ada di belakang sana. Mungkin ia tahu."
Lucian berjalan ke arah belakang, lalu masuk ke ruangan lain yang dipisahkan
dengan tirai. Terdengar suaranya bercakap-cakap sebentar dengan seseorang yang
ada di situ. Kemudian ia muncul lagi.
"Kata orang itu mereka di sini tidak menjualnya," katanya. "Tapi ia tahu di mana
ada satu cuma sayangnya sudah retak. Sudah tua dan kotor, katanya."
?"Di mana barang itu?" tanya Lucy-Ann bersemangat. "Kalau cuma kotor saja, masih
bisa kubersihkan. Asal jangan terlalu retak!"
"Kata orang itu, ia pernah melihatnya di atas rak dalam rumah seorang nelayan,
tidak jauh dari sini," kata Lucian. "Kalau kau memang mau, bisa saja kuantarkan
ke sana. Tapi diizinkan atau tidak oleh Bu Mannering?"
Saat itu Bu Mannering ada bersama rombongan penumpang lainnya. Tapi ia tetap
mengawasi anak-anak yang agak memisah bersama Lucian. Menurut Lucy-Ann,
sebaiknya minta izin saja dulu padanya, lalu keluar dari toko. Mereka menjumpai
Bu Mannering beserta sisa rombongan yang, sedang duduk-duduk sambil menikmati
minuman setempat yang sejuk di pelataran kecil di bawah naungan pohon bercabang
melebar. "Bibi Allie aku ingin membeli kapal dalam botol untuk hadiah ulang tahun "Philip nanti. Baru saja kudengar bahwa di sini ada satu. Lucian hendak mengantar
ke tempat barang itu. Boleh, ya?"
"Boleh saja tapi jangan lama-lama, Lucian," kata Bu Mannering. "Tempatnya
"tidak jauh dari sini, kan?"
"Wah, tidak cuma di belakang pasar ini," kata Lucian, lalu ia bergegas pergi
"bersama Lucy-Ann. Mereka melintasi pasar yang hiruk-pikuk, berulang kali
menyandung ayam yang berkeliaran, dan terhalang kawanan kambing yang lewat.
Mereka sampai di depan tembok tinggi yang tidak ada pintu maupun jendelanya.
Mereka mengitari tembok itu. Di sebaliknya ada pekarangan yang agak miring. Di
sekeliling pekarangan itu terdapat sejumlah pondok kecil, terbuat dari batu.
Lucian mendatangi salah satu pondok itu, lalu memanggil-manggil lewat pintu yang
terbuka. Dari dalam terdengar suara serak menjawab panggilannya
"Kita masuk yuk!" ajak Lucian. "Tapi di dalam agak bau!"
Lucy-Ann sebenarnya tidak ingin masuk. Tapi ia takut menyakitkan hati. Karena
itu ia melangkahi m seekor ayam betina yang duduk di jenjang depan pintu, lalu
masuk ke sebuah bilik gelap. Tercium bau pakaian yang belum dicuci, bercampur
asap tembakau dan masakan. Agak sesak juga napas karenanya.
"Lihatlah itu dia kapal yang di dalam botol," kata Lucian. Ia menuding ke
"arah rak dari batu yang nampak di ujung bilik. Tidak banyak barang di atasnya.
Hanya sebuah pot yang sudah pecah, sebongkah tulang dan sebuah botol yang
"nampak dekil, terselubung jelaga. Lucy-Ann memandang ke dalam botol itu dengan
mata terpicing, untuk melihat apakah benar ada kapal di dalamnya. Tapi ia tidak
bisa melihat apa-apa, karena botol itu kotor sekali. Lucian mengatakan sesuatu
pada wanita tua yang duduk di bangku dalam ruangan itu. Kemudian diambilnya
botol tadi dan dibawanya ke pintu, lalu dibersihkan dengan sapu tangan. Botol
itu kemudian diacungkannya ke arah Lucy-Ann, supaya anak itu bisa melihat.
"Nah, sekarang kau bisa melihat kapal itu, walau tidak jelas. Kita perlu mencuci
botol ini dengan air sabun supaya benar-benar bersih. Kapal ini bagus sekali
"buatannya. Kurasa Philip pasti menyukainya, apabila ia memang benar mengidam-
idamkannya walaupun aku tidak bisa membayangkan kenapa ada orang ingin punya
"kapal dalam botol."
"Kalau aku bisa saja!" kata Lucy-Ann sambil memperhatikan kapal-kapalan itu dari
dekat sekali. "Aku pun sering ingin memiliki barang-barang seperti ini kau tahu
"kan maksudku, barang tanpa guna, tapi menarik! Aku pernah punya teman yang
memiliki bola kaca. Di dalamnya ada orang-orangan kecil, yang bentuknya seperti
boneka salju. Kalau bola itu diguncang-guncang, tiruan salju akan berhamburan ke
mana-mana lalu jatuh menyelubungi orang-orangan itu. Aku senang sekali
melihatnya. Karena itu aku bisa mengerti, kenapa Philip ingin mempunyai barang
seperi ini." "Sekarang bagaimana kutanyakan saja pada wanita tua itu, apakah ia mau
"menjualnya?" tanya Lucian. "Botol ini sudah agak retak, jadi kurasa harganya
takkan mahal." "Ya, tolonglah tanyakan sebentar! Kau tahu berapa uangku. Semuanya bisa
dihabiskan," kata Lucy-Ann. Lucian masuk kembali dengan membawa botol berisi
kapal-kapalan itu. Hampir saja ia terjatuh, karena kakinya menyandung dua ekor
ayam betina yang lewat sambil berkotek- kotek. Di dalam terdengar suara ribut,
seperti orang bertengkar. Lucy-Ann tinggal di luar sambil mendengarkan, tapi
tanpa memahami sepatah kata pun. Sesaat kemudian Lucian keluar lagi dengan wajah
berseri-seri. Ia membawa botol tadi.
"Nah ini barangnya. Kubeli dengan separuh uangmu. Wanita tua itu sebenarnya "perlu uang. Tapi ia takut apa kata kakeknya nanti, jika tahu bahwa ia menjual
kapal dalam botol yang sudah sejak bertahun-tahun merupakan warisan keluarga.
Tapi kakeknya itu sudah lama meninggal dunia, jadi kurasa ia takkan bisa marah
lagi. Nih. ?"Wah terima kasih, Lucian," kata Lucy-Ann dengan gembira. "Nanti akan
"kubungkus baik- baik. Mudah-mudahan saja Philip menyukainya. Ini hadiah yang
menarik, kan?" Bukan hanya menarik, Lucy-Ann
Bab 8, KAPAL DALAM BOTOL Lucy-Ann sudah berhasil memperoleh kertas lalu membungkus botol berisi kapal-
kapalan itu, sebelum Philip sempat melihat. Anak-anak yang lain menanyakan, apa
yang dibawanya di dalam bungkusan, tapi ia tidak mau mengatakan.
"Mestinya barang yang gampang pecah, kalau melihat caramu membawa begitu hati-
hati," kata Jack. Setibanya kembali di kapal, Lucy-Ann mengajak Dinah masuk ke
kabin mereka. Di situ ia membuka bungkusan tadi, lalu menunjukkan isinya.
"Ihh, kotornya!" kata Dinah jijik. "Apa itu" Kau kan tidak menghabiskan uangmu
untuk membeli barang itu?"
"Tidak semua, tapi setengahnya," kata Lucy-Ann. "Ini hadiah ulang tahun untuk
Philip. Katanya ia ingin memiliki kapal dalam botol. Ini dia!"
"O ya" Coba kulihat!" kata Dinah tertarik. "Wah, betul juga. Yuk kita bersihkan,
supaya lebih jelas nampak. Besar juga, ya?"
Mereka mengambil lap, lalu mencuci botol itu dengan air sabun. Setelah bersih,
mereka dapat melihat kapal-kapalan yang ada di dalamnya dengan jelas. Besarnya
lumayan, terukir indah, dengan layar yang cermat sekali buatannya. Berlainan
dengan botolnya, kapal itu nampak bersih sekali. Sama sekali tidak ada debu
menempel. Warnanya masih cemerlang.
"Bukan main!" kata Lucy-Ann dengan senang. "Mestinya ini model salah satu kapal
Yunani kuno. Bagaimana cara memasukkannya ke dalam botol, Dinah" Lihat saja,
leher botol ini sempit sekali tidak mungkin kapal bagus itu dimasukkan dengan
"cara mendorongnya begitu saja. Itu mustahil!"
"Sama sekali tidak bisa kubayangkan bagaimana caranya," kata Dinah yang ikut
bingung. "Tapi yang jelas, sekarang ada di dalam. Wah Philip pasti senang
"nanti. Aku sendiri juga kepingin."
"Aku juga, karena memang bagus sekali," kata Lucy-Ann sambil meletakkan barang
itu di atas rak. Satu sisi botol itu datar, sehingga bisa dibaringkan tanpa
takut bisa jatuh. Kapal layar yang ada di dalam nampak seakan-akan sedang melaju
di tengah-tengah, dengan semua layarnya mengembang.
"Apa namanya?" kata Dinah sambil memperhatikan kapal-kapalan itu dari dekat
sekali. "Tidak bisa kubaca karena tulisannya lain dari tulisan kita. Pasti itu
"huruf Yunani."
Hadiah itu diserahkan pada Philip dua hari kemudian, pada hari ulang tahunnya.
Anak itu senang sekali menerimanya. Lucy-Ann memperhatikan dengan wajah berseri
karena puas. "Dari mana kau memperolehnya" Belum pernah kulihat yang sebagus ini," kata
Philip. "Sungguh ini kapal-kapalan terbagus di antara yang pernah kulihat!
Perawan Titisan Peri 1 Pendekar Hina Kelana 4 Tiga Iblis Pulau Berhala Patung Dewi Kwan Im 2
^