Pencarian

Petualangan Dipulau Suram 1

Lima Sekawan 01 Petualangan Di Pulau Suram Bagian 1


Petualangan di Pulau Suram
Scan by BBSC - OCR by Raynold
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com Bab 1 AWAL-MULANYA Benar-benar luar biasa. Philip Mannering sedang sibuk menyelesaikan soal-soal aljabar. sambil berbaring
di bawah sebatang pohon. Saat itu tidak ada orang di dekatnya. Tapi walau begitu
ada yang menyapanya. "Tidak bisa tutup pintu. Goblok?" Suara itu terdengar jelas. seperti tidak
sabar. "Dan sudah berapa kali kukatakan. bersihkan dulu kakimu?"
Philip langsung terduduk. Untuk ketiga kalinya ia memandang berkeliling. Tapi di
lereng bukit itu tidak ada siapa-siapa. la memandang ke atas dan ke bawah "namun tak seorang pun dilihatnya.
"Aneh," katanya pada diri sendiri. "Di sini kan tidak ada pintu yang harus
ditutup, serta keset untuk membersihkan kaki. Yang bicara itu rupanya gila! Hih
dipikir-pikir, agak seram juga! Ada suara. tanpa badan."
"Ujung hidung kecil berwarna cokelat muncul dari sebelah dalam kerah baju Philip.
itu hidung seekor tikus kecil, satu di antara sekian banyak binatang piaraan
Philip. Philip mengelus-elus kepala tikus itu, yang langsung menggerak-gerakkan
hidung karena senang. "Tutup pintu, Goblok!" bentak suara itu lagi, yang tidak menentu asalnya. "Dan
jangan suka menyedot hidung. Mana sapu tanganmu?"
Philip sudah tidak sabar lagi sekarang.
"Tutup mulut!" balasnya membentak. "Aku sama sekali tidak menyedot hidung. Kau
siapa sih?" Tapi pertanyaannya itu tidak dijawab. Philip semakin heran. Aneh -- dan
sekaligus agak menyeramkan! Dari mana datangnya suara yang membentak-bentak tak
keruan itu" Lereng bukit yang cerah disinari cahaya matahari itu lengang. Tidak
ada siapa-siapa di situ. Philip berteriak sekali lagi.
"Aku ini sedang sibuk! Kalau kau ingin bicara, tunjukkan dirimu!"
"Baiklah, Paman," kata suara tak dikenal itu.
Tahu-tahu caranya bicara berubah. Pelan dan agak takut-takut.
"Astaga!" kata Philip pada dirinya sendiri "Kalau begini terus-terusan, bisa
gawat! Misteri ini perlu kuselidiki. Kalau arah suara itu bisa kuketahui,
mungkin orang itu bisa kutemukan." la berseru lagi. "Kau di mana" Keluarlah,
supaya aku bisa melihatmu."
"Sudah beberapa ratus kali kukatakan, jangan suka bersiul-siul," terdengar suara
itu kembali. Nadanya galak. Philip terdiam, karena kaget. Padahal saat itu ia sama sekali
tidak bersiul. Orang itu rupanya benar-benar sinting. Philip sekarang merasa
tidak kepingin lagi berjumpa dengan orang aneh itu. Lebih baik ia pulang saja!
Philip memandang berkeliling dengan hati-hati. Ia masih belum tahu dari mana
datangnya suara itu. Tapi menurut perasaannya, seperti dari kiri. Baiklah. Kalau
begitu ia akan menuruni bukit dari sisi kanan. la akan menyusup di sela-sela
pohon, supaya agak terlindung.
Dipungutnya buku-buku pelajarannya. Kemudian ia bangkit dengan hati-hati, sambil
mengantongi pensil. Nyaris saja ia terjungkir karena terkejut saat itu, ketika
suara tak dikenal itu tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh. Philip tidak ingat lagi
pada niatnya hendak berhati-hati. la melesat lari, menuruni lereng bukit, menuju
sekelompok pepohonan. Sedang suara tertawa itu terhenti lagi dengan tiba-tiba.
Philip berdiri di bawah sebatang pohon besar. Dengan jantung berdebar keras, ia
memasang telinga. Dalam hati ia menyesal, kenapa saat itu tidak berada di rumah
bersama yang lain-lainnya.
Tahu-tahu terdengar lagi suara itu. Kini tidak jauh di sebelah atas kepalanya.
"Sudah berapa kali kukatakan, bersihkan dulu kakimu?"
Buku-buku yang dipegang Philip berjatuhan ke tanah. Ia ketakutan setengah mati,
karena setelah kalimat itu terdengar, menyusul suara jeritan melengking. Philip
mendongak, memandang ke atas pohon yang ada di dekatnya. Dilihatnya di situ
seekor burung kakaktua. Indah sekali warna bulunya, dengan jambul besar yang
bergerak turun naik di kepala. Kakaktua itu memandang Philip sambil menelengkan
kepala, sementara paruhnya yang bangkok digeser-geserkan.
Philip saling beradu pandang dengan kakaktua itu, yang kemudian mengangkat cakar
lalu menggaruk-garuk kepalanya seperti sedang berpikir dengan serius. Jambulnya
masih tetap bergerak turun naik. Saat berikutnya ia berbicara lagi.
"Jangan menyedot hidung," katanya dengan suara biasa. "Kau tidak bisa menutup
pintu, Goblok" Tidak tahu aturan, ya!"
"Wah!" Philip tercengang. "Rupanya kau yang sedari tadi ribut mengoceh dan
tertawa terkekeh-kekeh! Aduh - aku benar-benar kaget tadi."
Burung itu bersin. Bunyinya persis orang sedang pilek
"Mana sapu tanganmu?" katanya setelah itu.
Philip tertawa. "Kau memang burung luar biasa," katanya. "Baru sekali ini kulihat kakaktua yang
begini pintar bicara. Kau minggat dari mana?"
"Usapkan kakimu," jawab kakaktua itu dengan galak. Philip tertawa lagi. Kemudian
didengarnya suara seseorang memanggil-manggil dari kaki bukit. Suara anak laki-
laki. "Kiki! Kiki, Kiki! Ke mana lagi perginya burung itu?"
Kakaktua itu mengembangkan sayap, lalu mengeluarkan jeritan melengking. Sambil
berbuat begitu ia terbang melayang, menuju sebuah rumah yang nampak di kaki
bukit. Philip memperhatikan dari lereng.
"Yang memanggil-manggil tadi anak laki-laki," katanya dalam hati. "Ia memanggil
dari dalam kebun Hillfoot House, rumah tempatku menginap. Mungkin anak itu juga
dikirim ke sini untuk disuruh belajar. Mudah-mudahan saja begitu. Asyik, apabila
ada teman di sini yang punya kakaktua kocak. Ocehannya bisa memeriahkan suasana.
Habis tidak enak rasanya harus belajar selama liburan.?"Selama semester sekolah sebelum liburan itu Philip kena penyakit jengkering,
yang kemudian disusul dengan cacar air. Karenanya ia ketinggalan dalam
pelajaran. Kepala sekolah lantas menulis surat pada paman dan bibinya. Dalam
surat itu diusulkan, sebaiknya Philip tinggal selama beberapa minggu di tempat
tinggal salah seorang gurunya, supaya bisa menyusul ketinggalannya.
Philip kesal sekali, ketika ternyata paman dan bibinya langsung setuju. Jadi
begitulah. Liburan musim panas sudah tiba. Tapi Philip harus memeras otak,
menyelesaikan soal-soal aljabar, mempelajari ilmu bumi dan sejarah - dan bukan
bersenang-senang dengan adiknya, Dinah. Dinah saat itu sudah kembali ke rumah,
ke Craggy-Tops di tepi laut.
Philip senang pada Pak Roy, guru tempatnya menumpang saat itu. Tapi ia merasa
bosan pada kedua anak laki-laki yang juga ada di situ. Keduanya juga menerima
pelajaran tambahan dari Pak Roy, karena mereka pun sakit dalam semester yang
lalu. Anak yang satu jauh lebih tua umurnya daripada Philip. Sedang yang satunya
lagi perengek! Sedikit-sedikit takut. Ia takut pada segala jenis serangga dan
binatang kecil yang saban kali dibawa sebagai koleksi oleh Philip, atau yang
diselamatkannya dari bahaya. Philip senang sekali pada binatang. Dan entah
dengan cara bagaimana, tapi binatang nampaknya tidak takut padanya.
Kini Philip bergegas menuruni bukit. Ia ingin cepat melihat, apakah benar ada
satu murid lagi yang datang ke situ untuk belajar selama liburan. Dan jika murid
itu yang memiliki kakaktua tadi, ia anak yang menarik. Lebih menarik daripada
Sam yang lebih tua daripadanya, dan lebih menyenangkan daripada Oliver yang
bisanya cuma merengek-rengek saja.
Sesampai di rumah, Philip membuka pintu pagar. Saat berikut ia melongo.
Dilihatnya seorang anak perempuan sedang berada dalam kebun. Anaknya tidak
begitu besar. Umurnya sekitar sebelas tahun. Rambutnya merah, agak ikal. Bola
matanya hijau, berkulit putih dengan bintik-bintik cokelat yang banyak sekali.
Anak perempuan itu membalas pandangan Philip.
"Halo," sapa Philip. Ia langsung suka melihat anak itu, yang memakai celana
pendek dan baju kaos. "Kau juga dikirim ke sini?"
"Begitulah," jawab anak perempuan itu sambil nyengir. "Tapi bukan untuk belajar.
Aku cuma menemani Jack."
"Jack itu siapa?" tanya Philip.
"Dia abangku," kata anak perempuan itu. "Ia dikirim ke sini, untuk mendapat
bimbingan. Wah kau mesti melihat rapornya yang dari semester yang lalu! Dalam "segala-galanya, hasilnya paling buruk dalam kelas. Jack sebetulnya sangat
cerdas, tapi tidak peduli terhadap pelajaran. Menurut katanya, kalau sudah besar
nanti ia akan menjadi ahli omitologi. Jadi untuk apa repot-repot belajar,
menghafal tahun-tahun dan syair-syair?"
"Apa itu, on ari- eh, apa katamu tadi?" tanya Philip. Dalam hati ia heran,
"bagaimana mungkin ada orang yang mukanya begitu banyak bintik-bintiknya seperti
anak perempuan itu. "Maksudmu, omitologi?" kata anak itu. "O, itu seseorang yang kerjanya
menyelidiki kehidupan burung. Masa itu saja tidak tahu! Jack gemar sekali pada
burung." "Wah, kalau begitu ia harus datang ke tempat tinggalku," kata Philip dengan
segera. "Aku tinggal di daerah pesisir yang liar dan sunyi. Di situ banyak
sekali burung laut yang jarang terdapat di tempat lain. Aku juga senang pada
burung. Cuma pengetahuanku mengenainya tidak banyak. He -kakaktua tadi itu
kepunyaan Jack?" "Betul," jawab anak perempuan itu. "Sudah empat tahun ia memeliharanya. Namanya
Kiki." "Lalu Jack yang mengajarinya mengucapkan segala macam itu?" kata Philip lagi.
Dalam hati ia berpendapat, biar Jack paling jelek angka-angkanya dalam pelajaran
di sekolah, tapi untuk kepintarannya mengajari Kiki berbicara, sudah jelas ia
berhak diberi nilai paling tinggi!
"Bukan," jawab anak perempuan itu sambil nyengir, sementara matanya berkilat-
kilat lucu. "Kiki sama sekali tidak ada yang mengajari. Ia begitu saja menirukan perkataan
orang! Dari paman kami -- yang menurutku laki-laki tua yang paling cepat marah
di dunia! Orang tua kami sudah meninggal dunia, jadi selama Liburan sekolah kami
ditampung paman kami itu. Paman Geoffrey sama sekali tidak senang kalau kami
datang! Wanita yang mengurus rumah tangga untuknya juga benci pada kami. Karena
itu hidup kami tidak menyenangkan di situ. Tapi selama aku ditemani Jack, dan
Jack bisa bergaul dengan burung-burung yang disayanginya, kami masih cukup
senang." "Kurasa Jack dikirim ke sini untuk belajar, seperti aku," kata Philip. "Kau
untung, bisa bebas bermain-main, jalan-jalan pokoknya berbuat sesuka hati, "sementara kami pusing karena harus belajar."
"Tidak aku akan menemani Jack terus di sini," jawab anak perempuan itu.
?"Selama belajar aku tak pernah berjumpa dengan dia, karena sekolah kami
terpisah. Karena itu aku ingin menyertainya terus dalam liburan. Jack baik
sekali anaknya." "Wah pendapat Dinah tidak begitu mengenai diriku," kata Philip. "Dinah itu
"adikku. Kami kerjanya bertengkar terus. He itu ya, Jack?"
"Seorang anak laki-laki nampak berjalan mendatangi mereka. Di bahunya sebelah
kiri bertengger kakaktua yang bernama Kiki menggeser-geserkan paruhnya pada
daun telinga anak itu, sambil bicara dengan suara pelan. Sedang anak itu
menggaruk-garuk kepala burung piaraannya, sambil menatap Philip. Philip melihat
bahwa bola mata anak laki-laki itu berwarna hijau. Persis seperti mata anak
perempuan yang mengobrol dengan dia. Rambutnya merah, bahkan lebih merah
daripada rambut adiknya. Sedang bintik-bintik di mukanya begitu banyak, sehingga
nyaris tidak nampak lagi bagian kulit yang putih. Menurut perasaan Philip,
bintik-bintik itu bahkan ada yang saling bertumpuk!
"Halo, Bintik!" sapa Philip sambil nyengir.
"Halo, Jambul!" jawab Jack sambil membalas cengirannya. Philip meraba rambutnya
sebelah depan, yang memang sulit sekali diatur. Biar disisir berulang-kali,
selalu menegak kembali membentuk jambul.
"Bersihkan kakimu!" sergah Kiki dengan galak.
"Syukur kau berhasil menemukan Kiki lagi," kata anak perempuan itu. "Ia paling
tidak suka pergi ke tempat yang belum dikenal. Kurasa karena itu ia minggat
tadi." "Tapi perginya tidak begitu jauh, Lucy-Ann," kata Jack. "Pasti si Jambul ini
tadi setengah mati kagetnya, apabila mendengar ocehan Kiki di bukit"
"Memang, aku tadi mendengarnya," kata Philip. Diceritakannya pengalaman di
lereng bukit. Mereka bertiga tertawa terpingkal-pingkal. Kiki ikut terkekeh-
kekeh Persis bunyi tertawa manusia!
"Wah senang perasaanku karena kau dan Lucy-Ann datang," kata Philip. Hatinya
"senang, jauh lebih senang daripada selama hari-hari sebelumnya. la senang
melihat Jack dan adiknya yang sama-sama berambut merah dan bermata hijau. Pasti
mereka akan mau bersahabat dengannya, pikir Philip. Mereka akan berjalan-jalan
bersama dia. Jack beberapa tahun lebih tua daripada Lucy-Ann. Begitulah
"sekitar empat belas, pikir Philip. Sedikit lebih tua dari dirinya. Sayang Dinah
tidak ada di situ. Coba kalau ada, mereka akan berempat. Dinah berumur dua belas
tahun. Jadi cocok! Cuma mungkin kadang-kadang akan terjadi keributan sedikit,
karena Dinah tidak sabaran dan sedikit-sedikit bertengkar.
"Jack dan Lucy-Ann ini, begitu lain kelihatannya kalau dibandingkan dengan aku
serta Dinah," pikir Philip. Kelihatan jelas sekali bahwa Lucy-Ann sangat
mengagumi abangnya itu. Philip tidak bisa membayangkan Dinah menurut padanya,
selalu senang apabila disuruh melakukan sesuatu. Sedang Lucy-Ann begitu sikapnya
terhadap Jack "Yah sifat manusia memang berlainan," pikir Philip. "Biar kami sering "bertengkar, tapi Dinah sebenarnya baik anaknya. Pasti ia sekarang kesepian di
Craggy-Tops, tanpa aku di sana. Pasti Bibi Polly menyuruh-nyuruh terus."
Philip merasa senang sore itu, memperhatikan Kiki yang bertengger di pundak Jack
sambil mengoceh sekali-sekali, memperhatikan bola mata Lucy-Ann yang berkilat
jenaka ketika ia sedang mengganggu Sam yang besar tapi lamban, atau mendamprat
Oliver yang selalu mengomel.
Sekarang di sini pasti akan lebih asyik, pikir Philip. Dan kenyataannya memang
begitu. Belajar dalam liburan menjadi lebih menyenangkan, setelah ada Jack dan
Lucy-Ann di situ. Bab 2 MENJALIN PERSAHABATAN Pak Roy, guru mereka dalam liburan itu mengajar dengan rajin, karena memang
itulah tugasnya. Sepanjang pagi anak-anak dibimbingnya belajar. Dengan sabar ia
menerangkan berulang kali, sampai ia yakin pelajaran yang diberikan sudah
dimengerti. Untuk itu ia meminta perhatian sepenuhnya. Dan anak-anak biasanya
memperhatikan baik-baik. Kecuali Jack. Anak itu tidak pernah mau peduli pada apa pun juga, kecuali
makhluk yang bersayap. "Kalau kau mempelajari ilmu ukur seteliti perhatianmu pada buku mengenai
kehidupan burung-burung itu, kau pasti bisa menjadi juara kelas," keluh Pak Roy.
"Aku benar-benar bingung menghadapi anak seperti dirimu, Jack Trent. Benar-benar
bingung." ?"Pakai sapu tanganmu," oceh Kiki, burung kakaktua itu menimpali dengan
seenaknya. Pak Roy mendecakkan lidah, tanda jengkel.
"Kalau kesabaranku habis, pada suatu hari akan kupatahkan leher burung itu."
katanya. "Sudahlah kau mengatakan tidak bisa belajar kalau tidak ditemani Kiki
yang bertengger di bahumu, lalu Philip selalu membawa-bawa segala jenis binatang
yang menjijikkan sungguh, kelas yang harus kutangani dalam liburan ini sudah
"benar-benar keterlaluan! Satu-satunya yang kelihatannya mau belajar cuma Lucy-
Ann, padahal ia kemari bukan untuk belajar"
Lucy-Ann gemar belajar. Ia senang duduk mendampingi Jack, dan mencoba ikut
menyelesaikan tugas yang harus dikerjakan abangnya. Sementara itu Jack kerjanya
cuma melamun terus, memikirkan segala jenis burung dan bebek yang baru saja
dibaca hal-ihwalnya dalam buku.
Lucy-Ann juga gemar memperhatikan Philip. Soalnya, asyik rasanya menebak
binatang apa lagi yang tahu-tahu muncul dari balik kerah kemeja, atau dari
lengan atau kantongnya. Sehari sebelumnya ada seekor ulat yang sangat besar dan
berwarna aneh merayap dari lengan Philip. Pak Roy marah sekali saat itu. Dan
tadi pagi seekor tikus yang masih kecil merangkak keluar dari lengan Philip,
lalu keluyuran mencari pengalaman. Kemudian memanjat kaki celana panjang yang
sedang dipakai Pak Roy. Pelajaran terputus selama sepuluh menit, sementara guru itu menandak-nandak,
berusaha mengeluarkan binatang kecil yang menggelitik betisnya. Karenanya
tidaklah mengherankan bahwa Pak Roy merasa kesal. Orangnya sabar dan ramah
sebetulnya. Tapi anak-anak seperti Jack dan Philip, kelas sepera apapun jelas
akan rebut jika ada mereka!
Setiap pagi anak-anak sibuk belajar. Sedang sorenya mereka harus menyiapkan diri
untuk pelajaran besok, serta menyelesaikan soal-soal yang diberikan pagi
harinya. Mulai petang, anak-anak bebas. Karena yang perlu dibimbing cuma empat
anak, maka Pak Roy bisa memperhatikan mereka satu per satu guna mengisi
kekurangan yang ada dalam berbagai mata pelajaran. Pak Roy biasanya berhasil
dalam membimbing murid. Tapi liburan sekali ini tidak memberikan hasil sebaik
harapannya. Sam, anak yang paling besar, kerjanya lamban. Ia memang tidak cerdas. Oliver


Lima Sekawan 01 Petualangan Di Pulau Suram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengomel, selalu mengasihani diri sendiri. Anak itu sama sekali tidak suka
disuruh belajar. Sedang Jack payah!
Kadang-kadang begitu kecil perhatiannya, sehingga Pak Roy merasa percuma saja
membuang-buang waktu mengajar anak itu. seolah-olah yang ada dalam pikirannya
cuma satu burung!?"Kalau di punggungku tiba-tiba tumbuh sayap, kurasa pasti akan diturutinya
segala kataku," pikir Pak Roy kesal. "Belum pernah kujumpai anak yang begitu
keranjingan pada burung. seperti dia. Kurasa ia tahu hal-ihwal telur segala
jenis burung di dunia ini. Otaknya cerdas, tapi sayang dipakainya hanya untuk
memikirkan hal-hal yang menarik baginya."
Cuma Philip saja yang menampakkan kemajuan pesat. Tapi anak itu pun membuat Pak
Roy makan hati, dengan binatang piaraannya yang aneh-aneh. Misalnya tikus itu!
Hih -- Pak Roy bergidik kembali, ketika teringat betapa rasanya ketika binatang
pengerat itu merangkak naik dalam pipa celana panjangnya.
Lucy-Ann satu-satunya dalam kelas itu yang bekerja sungguh-sungguh. Padahal itu
sama sekali tidak perlu. Anak itu datang ke situ, karena tidak mau berpisah dan
abangnya yang aneh. Jack.
Jack, Philip dan Lucy-Ann dengan cepat telah menjadi sahabat karib. Jack dan
Philip, kedua-duanya senang pada makhluk hidup. Jack sebelum itu tidak punya
sahabat laki-laki. la senang pada Philip, karena gemar menggoda dan melucu.
Lucy-Ann juga senang pada Philip, walau kadang-kadang merasa cemburu apabila
Jack terlalu memamerkan kesenangannya pada anak itu. Bahkan Kiki pun suka pada
Philip. Apabila anak itu menggaruk-garuk jambul burung itu, Kiki mengeluarkan
suara seperti nyanyian lembut.
Pak Roy mula-mula sangat jengkel pada Kiki. Kesibukannya mengajar setiap pagi
berulang kali diganggu ocehan burung itu. Kebetulan saat itu Pak Roy sedang
pilek. Dan setiap kali guru itu menyedot hidung, Kiki langsung mengomentari.
"Jangan menyedot hidung!" kata kakaktua itu dengan nada mengomel. Anak-anak yang
sedang belajar mulai cekikikan. Karenanya Pak Roy lantas tidak membolehkan Kiki
dibawa ke dalam kelas. Tapi larangan itu malah membuat keadaan semakin parah. Kiki yang tidak bisa
bertengger di bahu tuannya yang disayangi, hinggap di semak-semak yang terdapat
di depan jendela kelas yang terbuka sedikit. la jengkel sekali, karena harus
tinggal di luar. Ia mengoceh dengan suara keras. Seolah-olah sengaja ditujukan
pada Pak Roy yang malang.
"Jangan suka mengoceh," kata kakaktua itu. apabila Pak Roy sedang sibuk
menjelaskan sesuatu dalam pelajaran sejarah. Pak Roy mendengus, karena kesal.
Dan bunyi hidungnya itu, langsung dikomentari oleh Kiki. "Mana sapu tanganmu?"
Pak Roy pergi ke jendela. la berseru-seru dan mengibaskan tangan, maksudnya
hendak menakut-nakuti Kiki supaya pergi.
"Anak nakal," tukas Kiki, tanpa bergerak sedikit pun dari tempatnya bertengger.
"Kusuruh tidur kau nanti. Anak nakal!"
Yah mau diapakan lagi burung seperti itu" Akhirnya Pak Roy menyerah. Kiki "diizinkan bertengger lagi di bahu Jack ternyata anak itu bisa belajar lebih
tekun apabila ditemani Kiki, sedang Kiki dalam ruangan tidak begitu terasa
mengganggu seperti apabila ada di luar. Walau begitu Pak Roy merasa bahwa ia
pasti akan sangat bergembira apabila tugasnya membimbing selama liburan selesai,
dan kelima anak itu pulang ke rumah masing-masing. Dan bersama mereka, kakaktua
yang cerewet serta berbagai binatang piaraan Philip.
Setiap sore sehabis minum teh Philip, Jack dan Lucy-Ann memisahkan diri dari Sam
yang besar tapi lamban serta Oliver yang kecil dan pengomel. Mereka berjalan-
jalan, sementara Jack dan Philip mengobrol tentang segala jenis hewan dan burung
yang mereka ketahui. Sedang Lucy-Ann ikut mendengarkan, sambil berjalan
tersaruk-saruk mengikuti langkah mereka yang lebih panjang. Tak peduli berapa
jauh mereka melancong, atau betapa terjal bukit yang didaki Lucy-Ann selalu
"ikut. Anak itu tidak mau berpisah dari abangnya, biar untuk sebentar saja juga
tidak. Philip kadang-kadang agak kesal terhadap sikap Lucy-Ann itu.
"Wah, untung Dinah tidak suka membuntuti aku terus seperti Lucy-Ann ini,"
katanya dalam hati. "Heran, Jack tidak marah."
Jack memang tidak marah. Walau anak itu kelihatannya jarang memperhatikan
adiknya, dan kadang-kadang agak lama tidak bicara dengannya, tapi ia tidak
pernah menunjukkan sikap tidak sabar. Tidak pernah kesal atau jengkel. Di
samping burung-burung, yang disayangi Jack adalah Lucy-Ann, begitulah kata
Philip dalam hati. Yah, untung ada orang yang menyayangi anak perempuan itu.
Kelihatannya kehidupan Lucy-Ann tidak begitu senang.
Ketiga anak itu saling bercerita tentang kehidupan mereka.
"Ayah dan ibu kami sudah meninggal," kata Jack. "Kami tidak ingat apa-apa
tentang mereka. Mereka meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang. Sejak itu
kami tinggal bersama Paman Geoffrey. la satu-satunya keluarga kami. Paman itu
sudah tua dan pemarah. Kami selalu diomelinya. Wanita yang mengurus rumah tangga
untuk Paman juga tidak senang, kalau kami pulang pada waktu libur. Namanya Bu
Miggles. Jika kaudengarkan ocehan Kiki, bisa kaubayangkan bagaimana kehidupan
kami di rumah itu. Bersihkan kaki! Jangan menyedot hidung! Cepat buka sepatu!
"Mana sapu tanganmu" Harus berapa kali kubilang jangan suka bersiul-siul" Tidak
bisa tutup pintu, Goblok?"
Philip tertawa. "Wah - kalau ocehan Kiki itu menirukan apa yang selalu kalian dengar di rumah,
bisa kubayangkan kayak apa nasib kalian," katanya. "Tapi kami pun tidak begitu
senang walau masih lumayan kalau dibandingkan dengan kalian berdua."
?"Ayah dan ibumu juga sudah meninggal dunia?" tanya Lucy-Ann sambil menatap
Philip tanpa berkedip. "Ayah kami yang sudah meninggal tanpa meninggalkan harta apa-apa," kata Philip.
"ibu masih ada. Tapi tinggalnya tidak bersama kami."
"Kenapa tidak?" tanya Lucy-Ann heran.
"ibu bekerja di tempat lain," kata Philip. "Ia mencari uang untuk menyekolahkan
kami, serta untuk menanggung biaya kehidupan kami. Ia mengusahakan peraganan
seni. Kalian tahu kan perusahaan yang mencari pesanan poster dan lukisan, lalu
mencarikan pelukis yang bisa diserahi tugas itu, dan sebagai imbalan menerima
komisi. Ibu hebat sebagai pengusaha. Tapi kami tidak sering bisa berjumpa dengan dia."
" "Baik hatikah ibumu itu?" tanya Jack. Ia tidak bisa mengingat bagaimana rasanya
punya ibu. Karena itu ia selalu tertarik pada ibu anak lain.
"Ya, ibuku baik," kata Philip sambil mengangguk. Ia teringat pada ibunya yang
cantik, dengan tatapan mata yang tajam. Ia bangga karena ibu pintar, tapi diam-
diam juga sedih apabila mengenang betapa capek ibu kadang-kadang kelihatan,
apabila mampir sebentar untuk melihat dia serta Dinah. Pada suatu hari, pikir
Philip, pada suatu hari ialah yang akan mencari nafkah, supaya ibu tidak usah
bekerja keras lagi. "Dan sekarang kau tinggal bersama pamanmu, kayak kami juga?" tanya Lucy-Ann. Ia
mengelus-elus kepala seekor bajing kecil, yang tiba-tiba tersembul dari kantong
kemeja Philip. "Betul. Kalau liburan, aku dan Dinah tinggal bersama Paman Jocelyn dan Bibi
Polly," kata Philip. "Paman Jocelyn orangnya benar-benar payah! Kegemarannya
membahas sejarah daerah pesisir di mana kami tinggal. Jaman dulu di situ sering
terjadi perang, pembakaran dan pembunuhan. Pokoknya asyik! Sekarang ia sibuk
menulis sejarah masa itu. Tapi karena untuk menceritakan satu kejadian saja dia
sudah memerlukan waktu setahun untuk menyelidiki, kurasa dia memerlukan umur
panjang sampai empat atau lima ratus tahun. Itu pun pasti baru seperempat dari
bukunya yang selesai!"
Jack dan Lucy-Ann tertawa. Mereka membayangkan seorang laki-laki tua dan
pemarah, yang sedang membungkuk mempelajari naskah-naskah apek yang sudah kuning
karena tuanya. Membuang-buang waktu saja, pikir Lucy-Ann.
"Lalu bibimu, kayak apa orangnya?" tanya anak itu. Philip mengernyitkan hidung.
"Agak masam," jawabnya. "Sebetulnya lumayan. Tapi terlalu sibuk bekerja, tidak
punya uang, tanpa pembantu dalam merawat rumah tua itu, kecuali Jo-Jo, semacam
pembantu yang melakukan berbagai tugas. Dinah selalu disuruh-suruh terus oleh
Bibi Polly. Aku tidak mau, jadi sekarang Bibi tidak pernah memaksa aku lagi.
Tapi Dinah takut pada Bibi. Karenanya ia lebih menurut jika disuruh."
"Rumah kalian kayak apa rupanya?" tanya Lucy-Ann lagi.
"Aneh," jawab Philip. "Sudah berabad-abad tuanya, setengahnya sudah bobrok
sekali. Sangat besar dan berangin, dibangun pada tebing terjal. Kalau ada badai,
percikkan ombak selalu membasahi. Tapi aku senang tinggal di situ. Tempatnya
liar dan sepi, tapi di sekiranya selalu terdengar teriakan burung-burung laut.
Kau pasti senang tinggal di situ, Bintik!"
Jack sependapat dengannya. Kedengarannya memang mengasyikkan. Rumah tempatnya
tinggal bersama Lucy-Ann biasa saja. Satu di antara sederetan panjang rumah
tinggal di sebuah kota kecil. Tapi rumah Philip kedengarannya asyik tinggal di"situ. Angin dan ombak menderu, serta burung laut yang beterbangan! Ia merasa
seakan-akan mendengar suara teriakan burung-burung itu, apabila matanya
dipejamkan. Asyik! "Bangun! Bangun, penidur," kata Kiki, sambil mematuk-matuk tepi telinga Jack
dengan pelan. Jack membuka matanya kembali, lalu tertawa. Kakaktua itu kadang-kadang cocok
sekali ocehannya. "Kepingin rasanya aku bisa melihat rumahmu itu." katanya pada Philip. "Craggy-
Tops nama itu membayangkan, seolah-olah di tempat itu bisa terjadi bermacam-
macam peristiwa. Berbagai petualangan seru dan menarik! Di Lippinton, kota
tempat kami tinggal, tidak pernah ada kejadian yang menarik."
"Di Craggy-Tops sebetulnya juga sama saja," kata Philip. Bajing kecil tadi
dimasukkannya kembali ke dalam kantong, sedang dari kantong lain diambilnya
seekor landak Duri-durinya belum kaku. Kelihatannya binatang itu senang tinggal
dalam kantong anak itu, bersama seekor siput besar. Tapi siput itu tidak pernah
mau keluar dari rumahnya, selama berada dalam kantong. Mungkin takut tertusuk
duri Landak! "Kepingin rasanya kita bisa pulang bersama-sama ke tempatmu," kata Jack. "Aku
kepingin berjumpa dengan Dinah, walau adikmu itu kurasa agak galak sifatnya. Dan
aku juga kepingin melihat segala burung yang hidup di pesisir situ. Bayangkan "tinggal dalam rumah yang begitu tua, sampai nyaris bisa dianggap sudah runtuh.
Kalian memang mujur."
"Apanya yang mujur" Kaurasa enak, harus mengangkut air panas jauh-jauh ke satu-
satunya kamar mandi yang ada dalam rumah itu?" kata Philip. Ia bangkit dari
rerumputan tempatnya duduk selama itu bersama Jack dan Lucy-Ann.
"Sudah waktunya kita kembali. Kau toh takkan pernah melihat Craggy-Tops, dan
kalau melihatnya kurasa takkan senang jadi untuk apa kita lama-lama
"membicarakannya?"
Bab 3 AKIBAT DUA PUCUK SURAT Keesokan harinya datang sepucuk surat dari Dinah untuk Philip. Ia menunjukkannya
pada Jack dan Lucy-Ann. "Dinah sedang tidak enak nasibnya saat ini," kata Philip. "Untung sebentar lagi
aku pulang. Baginya akan terasa lebih mendingan, kalau aku juga ada di sana."
Isi surat Dinah sebagai berikut,
Phil Masih lamakah kau di sana" Kau memang tidak banyak gunanya bagiku kecuali
sebagai lawan bertengkar Tapi saat ini di sini sangat sepi.
Yang ada cuma Paman, Bibi dan Jo-Jo. Jo-Jo makin lama makin tolol Kemarin ia
mengatakan padaku, jangan suka main-main pada waktu malam di kaki tebing, karena
di situ banyak berkeliaran macam-macam ' Kurasa Jo-Jo sudah sinting sekarang.
" "Kecuali aku, yang berkeliaran di situ cuma segala macam burung laut Tahun ini
jumlahnya ribuan yang berkeliaran di situ.
Kau kalau pulang nanti jangan berani-berani membawa binatang yang aneh-aneh
lagi. Kau kan tahu, aku tidak senang pada mereka. Pasti aku akan menjerit, kalau
kau membawa kelelawar lagi. Dan kalau sampai berani membawa lagi seekor kumbang
ke rumah untuk dilatih seperti katamu waktu itu, akan kulempar kepalamu nanti
dengan kursi! Aku terus-terusan disuruh kerja berat oleh Bibi Polly. Setiap hari kerja kami
mencuci mengepel dan membersihkan rumah melulu. Aku ingin tahu untuk apa, karena
belum pernah ada orang kemari. Senang hatiku apabila sudah sampai waktunya untuk
kembali ke sekolah. Kapan kau pulang" Aku kepingin kita ini bisa mencari nafkah.
Bibi Polly selalu bingung karena ada saja yang tidak bisa dibayar olehnya,
sedang Paman mengaku tidak punya uang. Kurasa kalau punya pun, takkan mau ia
memberinya. Kurasa jika kita minta tambahan- uang pada Ibu, pasti ia
mengirimnya. Tapi sekarang saja sudah tidak enak rasanya membayangkan Ibu harus
bekerja membanting tulang. Kalau kau menulis lagi, cerita dong yang lebih banyak
tentang si Bintik dan Lucy-Ann. Aku suka membaca tentang mereka.
Adikmu yang manis Dinah. Dinah ini rupanya kocak juga anaknya, pikir Jack. Dikembalikannya surat yang
sudah selesai dibaca pada Philip.
"Nih, Jambul," katanya. "Kurasa adikmu itu sedang kesepian. Wah, aku dipanggil
Pak Roy. Coba kulihat sebentar, mau apa dia. Kurasa aku disuruh belajar lagi."
Rupanya hari itu ada pula sepucuk surat untuk Pak Roy, dari wanita yang mengurus
rumah tangga Paman Geoffrey. Surat itu singkat, langsung mengenai persoalan
yang hendak disampaikan. Pak Roy kaget sewaktu membacanya. Lalu memanggil Jack untuk menunjukkan surat
itu padanya. Jack juga kaget sewaktu membaca surat Bu Miggles.
`Pak Roy yang budiman, Pak Trent mengalami kecelakaan, kakinya patah. Karena itu anak-anak tidak bisa
pulang Liburan ini Ia menanyakan apakah Anda bersedia menampung mereka selama
itu. Bersama ini dikirim uang untuk membayar ongkos hidup mereka di tempat Anda. Dua
hari sebelum sekolah dimulai lagi mereka bisa pulang, untuk membantu saya
memilih pakaian yang perlu dibawa.
Wassalam, Elspeth Miggles' "Aduh, Pak Roy!" keluh Jack. Ia memang tidak ,senang tinggal di rumah pamannya.
Tapi lebih tidak senang lagi rasanya membayangkan harus terus tinggal di tempat
guru itu, bersama Oliver yang selalu mengomel, yang juga harus tinggal terus di
situ selama liburan. Itu Lebih tidak menyenangkan lagi, dibandingkan dengan
kembali ke pamannya yang suka marah-marah.
"Saya tidak mengerti, apa sebabnya kami tidak bisa kembali - kami takkan
mengganggu Paman!" Seperti halnya Jack yang tidak ingin tinggal lebih lama di situ, Pak Roy sendiri
juga tidak menginginkan anak itu lebih lama tinggal di tempatnya. Ia sudah ngeri
saja, membayangkan mendengarkan ocehan kakaktua piaraan Jack satu hari saja
lebih lama. Belum pernah guru itu tidak menyukai sesuatu seumur hidupnya,
seperti kebenciannya pada Kiki. Kalau anak kurang ajar ia sanggup menghadapinya.
Tapi burung kakaktua yang lancang mulut" Pak Roy benar-benar kewalahan.
"Yah," katanya, sambil mengerucutkan bibir serta menatap Kiki dengan pandangan
benci, "yah aku pun tidak ingin menahanmu lebih lama di ini, karena kuanggap "kau hanya membuang-buang waktumu saja! Selama di sini sama sekali tak ada yang
kau pelajari. Tapi aku tidak melihat ada kemungkinan lain. Jelas pamanmu tidak
menginginkan kalian pulang ke rumahnya. Kaulihat sendiri. banyak uang yang
dikirimnya untuk mengongkosi hidup kalian di sini. Tapi aku sebetulnya punya
rencana lain. Karena tinggal Oliver sendiri yang akan tetap di sini, maksudku
hendak bepergian sebentar. Sungguh, aku ingin bisa menemukan tempat penampungan
lain bagimu serta Lucy-Ann."
Jack kembali ke tempat adiknya menunggu bersama Philip. Tampang Jack begitu
kecut, sehingga Lucy-Ann lantas cepat-cepat memegang lengan abangnya itu.
"Ada apa, Jack" Apakah yang terjadi?" tanya Lucy-Ann.
"Paman tidak ingin kita pulang." jawab Jack, lalu menjelaskan isi surat yang
baru saja dibacanya. "Sedang Pak Roy tidak ingin kita lebih lama tinggal di
sini. Kelihatannya saat ini kita tidak bisa ke mana-mana. Lucy-Ann."
Ketiga anak itu saling berpandangan. Tiba-tiba Philip mendapat ilham yang bagus.
Disambarnya Jack. sehingga nyaris saja Kiki terjungkir dari tempatnya
bertengger. "Jack!" seru Philip bergairah. "Kalian ikut pulang bersama aku. Kau dan Lucy-Ann
bisa datang ke Craggy-Tops! Dinah pasti senang kalau kalian datang. Dan kau
nanti bisa asyik, dengan burung-burung laut yang banyak di sana. Nah "bagaimana?"
Jack dan Lucy-Ann berpandang-pandangan. Keduanya ikut bergairah dan gembira.
Pergi ke Craggy-Tops" tinggal di rumah tua yang sudah hampir berupa puing,
bersama seorang paman yang pintar, bibi yang tidak sabaran, pembantu yang
sinting serta mendengar deburan ombak laut setiap waktu" Wah, itu pasti asyik!
Tapi kemudian Jack menggeleng, sambil mendesah. Ia sadar, rencana anak-anak
jarang yang bisa terlaksana apabila sebelumnya harus dirundingkan dulu dengan
orang dewasa. "Percuma," katanya, "Paman Geoffrey mungkin tidak setuju. Kalau Pak Roy, jelas
ia takkan mengizinkan! Sedang paman dan bibimu, mereka takkan senang karena
harus mengurus dua anak lagi."
Ah kenapa harus tidak senang?" kata Philip. Kauserahkan saja uang yang
" "dikirim pamanmu pada Pak Roy -- pasti bibiku akan sangat bergembira menerimanya.
Dengan uang itu pasti ia bisa melakukan pembayaran yang ditulis Dinah dalam
suratnya."

Lima Sekawan 01 Petualangan Di Pulau Suram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aduh, Philip! Ya, Jack yuk, kita ke Craggy-Tops saja!" kata Lucy-Ann meminta-
"minta. Bola matanya yang hijau bersinar penuh harap. "Aku pasti akan senang
sekali, apabila kita ke sana. Di sini kita toh cuma merepotkan saja, Jack dan
"aku merasa pasti pada suatu hari Kiki tentu akan dibunuh oleh Pak Roy, kalau ia
masih mengata-ngatai gurumu itu."
Kiki menjerit keras, sambil menyembunyikan kepalanya ke balik kerah baju Jack.
"Jangan takut. Kiki," kata Jack. "Takkan kubiarkan ada orang mengganggumu. Lucy-
Ann, kurasa takkan ada gunanya bertanya pada Pak Roy, apakah kita boleh pergi ke
Craggy-Tops. Kurasa ia menganggap sudah kewajibannya untuk menampung kita di
sini. Jadi kita harus tetap tinggal di sini."
"Kalau begitu kita pergi saja, tanpa minta izin dulu padanya," kata Lucy-Ann
nekat. Jack dan Philip memandang anak itu sambil melongo. Tapi kemudian terpikir
oleh mereka, sebetulnya gagasan itu tidak jelek. Pergi, tanpa bilang-bilang. Yah
- kenapa tidak" "Kurasa takkan apa-apa jika dengan tiba-tiba saja kita muncul beramai-ramai di
Craggy-Tops sungguh!" kata Philip. Padahal, dalam hati ia tidak begitu
meyakininya. "Soalnya, kalau kalian sudah, ada di sana, paman dan bibiku takkan
tega menyuruh kalian pergi lagi. Lalu Bibi Polly akan kuminta supaya menelepon
Pak Roy untuk menjelaskan duduk perkaranya, serta meminta agar dia mengirimkan
uang yang diberikan Paman Geoffrey untuk biaya kehidupan kalian di sana."
"Pak Roy pasti senang, apabila kita sudah pergi dari sini," kata Lucy-Ann. Dalam
hati sudah dibayangkannya betapa senangnya bisa berkenalan dengan Dinah. "Sedang
Paman Geoff, toh tidak peduli. Kita pergi saja, Jack. Yuk!"
"Baiklah," kata Jack akhirnya. "Kita pergi bersama-sama. Pukul berapa keretamu
berangkat, Jambul" Nanti kami ke stasiun. Pada Pak Roy kami katakan, kami hendak
mengantarmu berangkat. Lalu apabila kereta sudah siap berangkat, kami berdua
cepat-cepat naik, dan ikut denganmu."
"Yaa!" seru Lucy-Ann bersemangat.
"Mana sapu tanganmu?" teriak Kiki. Burung itu merasakan kegembiraan anak-anak.
Ia mengayun-ayunkan tubuh di atas pundak Jack. Tapi anak-anak tidak
mengacuhkannya. "Kasihan Kiki," . kata kakaktua itu dengan suara sedih. "Kasihan
si Kiki tua." Jack mengelus-elus burung kesayangannya itu, sambil memikirkan rencana pelarian
mereka. "Kedua koper kami sudah bisa diangkut ke stasiun pada malam sebelumnya, pada
saat kopermu dibawa ke sana," katanya. "Takkan ada yang memperhatikan bahwa
kedua koper itu tidak ada lagi di loteng. Saat itu pula kami membeli karcis.
Bagaimana ada yang punya uang?""Ketiga anak itu menggabungkan uang yang mereka miliki saat itu. Jumlahnya
mungkin cukup untuk membeli karcis kereta api. Pokoknya, mereka harus pergi
bersama-sama. Setelah membulatkan tekat, tak bisa dibayangkan Lagi ada sesuatu
yang mungkin membatalkan rencana itu.
Dan ternyata rencana itu bisa dilaksanakan! Sehari sebelum Philip berangkat
pulang, kopernya diambil dari atas loteng. Secara diam-diam. Jack juga
menurunkan kopernya sendiri serta koper Lucy-Ann. Kopernya dimasukkan ke dalam
lemari besar di kamarnya. Kemudian diambil oleh Lucy-Ann, ketika di situ sedang
tidak ada orang. "Saya akan membawa koper saya ke stasiun dengan gerobak dorong, Pak," kata
Philip pada Pak Roy. Kebiasaan anak-anak memang begitu. Jadi guru itu mengangguk
saja, tanpa terlalu mengacuhkan. Dalam hati ia berharap, kenapa Jack dengan
kakaktuanya tidak berangkat juga saat itu.
Jack dan Philip berhasil mengangkut koper-koper mereka ke stasiun tanpa ketahuan
orang lain. Ternyata mudah saja melarikan diri, pikir mereka. Sam dan Oliver,
kelihatannya tidak menyadari apa-apa. Sam terlalu sibuk karena ia pun akan
pulang, sedang Oliver terlalu sedih mengingat nasibnya yang ditinggal sendiri di
situ. Keesokan harinya Philip minta diri pada Pak Roy.
"Terima kasih atas segala bantuan dan bimbingan Anda, Pak," katanya sopan. "Saya
rasa dalam semester yang akan datang hasil pelajaran saya tentu menjadi lebih
baik." "Selamat jalan, Philip," kata Pak Roy. "Pekerjaanmu selama ini cukup memuaskan."
Philip bersalaman dengan guru pembimbingnya itu, yang agak kaget dan mundur
ketika tiba-tiba muncul seekor tikus dari lengan jas Philip. Tikus itu
dimasukkan lagi oleh anak itu.
"Aku heran, kau tahan ada binatang macam begitu berkeliaran dalam bajumu," kata
Pak Roy, sambil mendengus.
"Mana sapu tanganmu?" oceh Kiki dengan segera. Pak Roy membelalakkan mata ke
arah burung itu, yang seperti biasanya bertengger di atas bahu Jack.
"Bolehkah saya dan Lucy-Ann ikut ke stasiun untuk mengantar Philip berangkat?"
tanya Jack. Kiki tertawa terkekeh, dan langsung ditampari dengan pelan oleh tuannya. "Diam!
Di sini tidak ada yang lucu! Kau tidak perlu tertawa." "Anak nakal!" kata Kiki,
seolah-olah tahu pikiran Jack saat itu.
"Ya, kalian boleh mengantar Philip berangkat," kata Pak Roy. Menurut
perasaannya, anak juga jika untuk beberapa saat tidak mendengar ocehan kakaktua
konyol itu. Jadi ketiga anak itu lantas berangkat seiring. Mereka berjalan
sambil nyengir. Tapi tentu saja dengan sembunyi-sembunyi, jangan sampai terlihat
oleh guru mereka. Tapi Kiki masih sempat mengatakan sesuatu pada Pak Roy.
"Tidak bisa tutup pintu, ya?" teriak kakaktua itu. Pak Roy mendecak kesal, lalu
menutup pintu keras-keras. la masih mendengar Kiki tertawa terkekeh-kekeh,
sementara anak-anak pergi menjauh.
Enak rasanya apabila burung itu tak kulihat lagi untuk selama-lamanya;" kata "Pak Roy dalam hati Ia tak menduga bahwa harapannya itu sebentar lagi akan
terlaksana. Jack, Lucy Ann dan Philip cukup pagi tiba di stasiun. Koper-koper
"diambil dari tempat penyimpanan, lalu diserahkan pada pengangkat koper untuk
dinaikkan ke kereta nanti. Ketika kereta api masuk ke stasiun, mereka mencari
tempat yang kosong. Tak ada yang menahan mereka. Tidak ada yang menduga bahwa
yang berangkat sebenarnya cuma satu, sedang yang dua lagi melarikan diri. Ketiga
anak itu bersemangat sekali. Tapi juga agak gugup.
"Mudah-mudahan paman dan bibimu nanti
tidak memulangkan kami," kata Jack. la mengelus-elus Kiki, menenangkan burung
itu. Kiki tidak suka mendengar bunyi kereta yang berisik. Satu sudah dilarangnya
bersiul. Ketika seorang wanita tua kelihatannya hendak masuk ke ruangan tempat
mereka duduk, tahu-tahu Kiki menjerit dengan suara melengking tinggi. Wanita tua
itu kaget, lalu mencari tempat dalam gerbong lain.
Akhirnya kereta berangkat sambil mendengus-dengus. Anak-anak geli, karena Kiki
langsung menyuruh kereta itu memakai sapu tangan. Ketika sudah meninggalkan
stasiun, di kejauhan nampak rumah di mana mereka tinggal selama beberapa minggu
yang lewat, terletak di kaki bukit.
"Nah kita berangkat sekarang," kata Philip senang. "Ternyata gampang saja
"kalian melarikan diri, ya" Wah, pasti asyik apabila kalian ada di Craggy-Tops!
Dinah pasti senang sekali melihat kalian berdua datang.
Bab 4 CRAGGY TOPS "Kereta api meluncur terus. Banyak stasiun yang dilewati, tapi cuma sekali-sekali
saja singgah sebentar. Penjalanan diteruskan menuju pesisir, menembus perut
gunung yang menjulang tinggi, menyeberangi sungai yang permukaan airnya
berkilat-kilat keperakan ditimpa sinar matahari, serta menyusur kota-kota besar
yang luas. Kemudian kereta api memasuki daerah yang nampak lebih liar dan gersang. Angin
laut menghembus masuk lewat jendela.
"Sudah tercium bau laut, kata Jack. Jack baru sekali pergi ke pesisir. Dan itu
"pun sudah lupa-lupa ingat.
Akhirnya kereta berhenti di sebuah stasiun kecil yang sunyi.
"Kita sudah sampai," kata Philip. "Ayo cepat, keluar! Halo, Jo-Jo. Aku di sini!
Kau menjemput dengan mobil antik itu, ya?"
Jack dan Lucy-Ann melihat seorang laki-laki berkulit hitam berjalan mendatangi.
Kulitnya hitam legam, sedang giginya nampak putih bersih. Matanya bergerak terus
tanpa henti, seperti berputar-putar. Aneh kelihatannya Di belakangnya nampak
seorang anak perempuan berlari kecil mengikuti. Umurnya sedikit lebih tua
daripada Lucy-Ann. Tapi tubuhnya jangkung. Rambutnya cokelat berombak, sama
seperti rambut Philip. Dan di depannya juga ada jambul yang kaku.
"Ini satu Jambul lagi," kata Jack dalam hati; "tapi potongannya lebih galak. Dia
inilah Dinah rupanya."
Memang, itulah Dinah. la ikut dengan Jo-Jo menjemput Philip, naik mobil tua yang
sudah bobrok. Dinah tertegun ketika melihat Jack dan Lucy-Ann. Jack menatapnya
sambil nyengir. Tapi Lucy-Ann dengan tiba-tiba saja merasa malu menghadapi anak
perempuan jangkung yang sikapnya nampak tegas itu. la berlindung di balik
punggung abangnya. Sementara itu Dinah memandang Kiki dengan heran. Burung
kakaktua itu mengoceh, menyuruh Jo-Jo membersihkan kaki dengan segera.
"Jangan kurang ajar," sergah Jo-Jo. Ia berbicara pada Kiki, seakan-akan kakaktua
itu manusia. Jambul Kiki membengkak. Ia menggeram-geram, seperti anjing. Jo-Jo
kaget dibuatnya. "Itu burung?" tanyanya pada Philip.
"Ya," jawab anak itu. "Koper yang itu juga tolong dimasukkan kc mobil, ya! Itu
kepunyaan teman-temanku ini.?"Mereka juga kc Craggy-Tops?" tanya Jo-Jo tercengang. "Tadi Bu Polly tidak
bilang apa-apa tentang teman. Betul, dia tidak bilang apa-apa."
"Siapa mereka, Philip?" tanya Dinah. Anak itu datang mendekat.
"Dua orang teman, dari tempat Pak Roy," kata Philip. "Nanti sajalah
kuceritakan." Ia mengedipkan mata pada Dinah, maksudnya supaya adiknya itu
mengerti bahwa ia baru akan menjelaskan apabila Jo-Jo tidak ada. "Ini Bintik
"aku kan sudah bercerita tentang dia dan ini Lucy Ann."
" "Ketiga anak yang baru berkenalan itu saling bersalaman. Setelah itu mereka naik
ke mobil. Mobil itu sudah tua sekali. Jalannya tersendat-sendat. Jo-Jo
mengemudikannya dengan sembrono. Lucy-Ann agak takut la berpegangan kuat-kuat ke
sisi mobil. Kendaraan itu berjalan melalui daerah perbukitan yang nampak liar.
Gersang dan berbatu-batu. Tak lama kemudian nampak laut terhampar di kejauhan,
dibatasi punggung tebing yang menjulang tinggi. Hanya di sana-sini saja nampak
lereng melandai. Daerah pesisir itu ternyata memang liar dan kosong. Di tengah
jalan dilalui bangunan-bangunan besar serta rumah-rumah yang tinggal puing.
"Semuanya rusak dalam perang yang pernah kuceritakan pada kalian," kata Philip
pada Jack dan Lucy-Ann. "Sejak itu tidak pernah dibangun kembali. Sedang
Craggy Tops masih untung, tidak rusak sama sekali."
?"Di balik tebing itulah Craggy-Tops, kata Dinah sambil menuding. Kedua kawan
"barunya melihat tebing batu yang menjulang tinggi. Di baliknya nampak mencuat
ujung sebuah menara kecil berbentuk bulat. Menurut perkiraan mcrcka, pasti itu
sebagian dari bangunan tempat tinggal Dinah dan Philip.
"Craggy-Tops dibangun cukup tinggi, tidak terjangkau ombak yang memecah," kata
Philip. "Tapi pada saat badai, percikkan yang menghantam kaca jendela hampir sama
kerasnya seperti deburan ombak di pantai."
Lucy-Ann dan Jack asyik membayangkannya. Enak, tinggal dalam rumah dengan bunyi
percikkan ombak pada kaca jendela. Dalam hati keduanya berharap. mudah-mudahan
saja ada badai dahsyat selama mereka ada di situ.
"Bu Polly sudah tahu tentang kedatangan kalian?" tanya Jo-Jo dengan tiba-tiba.
Nampak jelas ia bingung. "Dia tidak mengatakan apa-apa tadi."
"Tidak bilang apa-apa" Aneh!" kata Philip. Kiki tertawa terkekeh-kekeh. Hidung
Jo-Jo mengernyit, menunjukkan bahwa ia jengkel mendengar suara berisik itu.
Nampak jelas, ia takkan menyukai burung kakaktua itu. Jack merasa tidak enak,
melihat cara Jo-Jo melirik kakaktua kesayangannya.
Tiba-tiba Dinah terpekik. Philip didorongnya menjauh.
"Hi! Ada tikus merayap di lehermu!" jeritnya. Aku melihat ujung hidungnya "tersembul sedikit. Buang tikus itu Philip! Kau tahu, aku jijik pada tikus."
"Ah, jangan konyol" kata Philip kesal. Mendengar balasan itu, Dinah langsung
marah. Dicengkeramnya kerah leher abangnya lalu diguncang-guncangnya. Maksudnya
hendak menakut-nakuti tikus yang ada di situ supaya pergi. Philip membalas
dengan dorongan, sehingga kepala Dinah terantuk ke sisi mobil. Dinah menampar
abangnya dengan keras. Sedang Jack dan Lucy-Ann hanya bisa menonton saja sambil
melongo. "Setan!" umpat Dinah. "Untuk apa kau pulang! Kembali saja ke Pak Roy, dengan
kedua kawanmu yang menyebalkan ini."
"Mereka tidak menyebalkan," kata Philip dengan tenang. Ia mendekatkan mulutnya
ke telinga Dinah, setelah melirik sebentar ke arah Jo Jo. Tapi laki-laki itu
"tidak memperhatikan, karena sibuk menyetir. Philip cepat-cepat berbisik, "Mereka
melarikan diri dari rumah Pak Roy. Aku, yang mengajak! Paman mereka akan
mengirimkan uang pada Bibi Polly sebagai pembayaran biaya kehidupan mereka di
tempat kita. Dengan begitu Bibi bisa membayar utang yang kauceritakan dalam
suratmu itu. Mengerti?"
Kemarahan Dinah lenyap, secepat timbulnya. Dipandangnya kedua teman abangnya itu
dengan penuh minat, sambil mengusap-usap kepalanya yang benjol terantuk pinggir
mobil. Apa kata Bibi Polly nanti" Dan mereka harus tidur di mana" Wah ini baru
"asyik! Jo-Jo menjalankan mobil dengan seenaknya, melalui jalan kasar yang penuh batu.
Jack sampai heran bahwa mobil itu tidak sudah lama ambruk.
Sementara itu mobil terus mendaki tebing, lalu menurun lewat suatu jalan kecil
yang agak tersembunyi- letaknya, melingkar-lingkar menuju Craggy-Tops.
Tahu-tahu di depan sudah terbentang lautan luas dengan ombak yang berdebur-
debur. Bangunan tua tempat tujuan perjalanan itu nampak suram di atasnya,
dibangun pada lereng tebing. Mobil berhenti. Anak anak turun. Jack memandang
"rumah tua itu. Kelihatannya aneh. Dulunya ada dua menara di situ, tapi yang satu
sudah ambruk. Rumah itu terbuat dari batu-batu besar berwarna kelabu.
Kelihatannya tidak bagus, tapi memancarkan kesan gagah. Laut luas dihadapi
dengan sikap bangga dan marah, seakan-akan ingin menantang badai dan hantaman
ombak. Jack memandang ke bawah tebing, memperhatikan air laut. Dilihatnya beratus-ratus
burung laut yang bermacam-macam jenisnya, terapung-apung di air dan terbang
berkeliling di atasnya. Tempat itu merupakan surga bagi burung liar. Dalam hati
Jack serasa hendak menyanyi karena girang. Burung beratus-ratus, bahkan beribu-
ribu. Di situ ia pasti akan bisa mempelajari unggas itu sepuas-puas hati.
Mencari tempat-tempat sarang mereka, serta membuat foto-foto. Ah pasti ia akan
"senang berada di tempat itu!
Saat itu seorang wanita muncul di ambang pintu , rumah. Nampak bahwa ia
memandang anak-anak dengan heran. Wanita itu kurus, rambutnya tipis berwarna
kuning keputihan. Kelihatannya lesu dan capek.
"Halo, Bibi Polly!" seru Philip, sambil berlari menaiki jenjang rumah. "Aku
sudah kembali." "Rupanya begitu," kata bibinya, sambil mengecup pipinya sekilas. "Tapi siapa
kedua anak itu?" "Mereka teman-temanku, Bibi Polly,." kata Philip dengan serius. "Mereka tidak
bisa pulang, karena paman mereka patah kakinya. Karena itu aku lantas mengajak
mereka kemari. Paman mereka akan membayar biaya kehidupan mereka di sini."
"Philip! Kau ini benar-benar keterlaluan," kata Bibi Polly dengan ketus.
"Seenaknya saja membawa orang ke sini, tanpa bilang apa-apa padaku! Sekarang
mereka harus tidur di mana" Kau kan tahu sendiri, kita tidak punya kamar lebih!"
"Kan bisa tidur dalam kamar menara," kata Philip. Jack dan Lucy-Ann bergembira
mendengar ucapan anak itu. Tidur dalam kamar menara! Asyik!
"Tapi di situ tidak ada tempat tidur," kata Bibi Polly dengan nada jengkel.
"Jadi mereka harus pergi lagi. Malam ini boleh menginap di sini tapi besok "harus kembali!"
Lucy-Ann kelihatannya sudah hampir menangis. Ia tidak enak, mendengar nada suara
Bibi Polly yang tajam. Anak itu merasa sengsara, karena tidak disambut dengan
ramah. Jack merangkul adiknya. Jack sudah bertekat tidak mau kembali. Ia sudah
terlanjur senang melihat begitu banyak burung yang beterbangan di daerah situ.
Ah, betapa asyiknya nanti -- berbaring di atas tebing, memperhatikan tingkah
laku mereka. Tidak, ia tidak mau kembali!
Mereka masuk ke rumah beramai-ramai, diikuti Jo-Jo yang mengangkut koper-koper
ke dalam. Bibi Polly memandang Kiki dengan sikap tidak senang.
"Kalian membawa burung kakaktua," katanya. "Burung menyebalkan, yang kerjanya
berteriak-teriak melulu! Aku belum pernah suka pada kakaktua. Binatang-binatang
kumpulanmu saja sudah cukup merepotkan, Philip tanpa tambahan kakaktua lagi."
?"Kasihan Polly, Polly yang malang," kata Kiki dengan tiba-tiba. Bibi Polly
kaget, lalu memandang kakaktua itu.
"Dari mana dia tahu namaku?" tanyanya heran.
Kiki tidak mengenal nama Bibi Polly. Ia sendiri yang sering disapa dengan nama
itu. Dan Kiki memang sering mengoceh, Kasihan Polly, Polly yang malang.' Ketika
"ia melihat bahwa ucapannya itu menyebabkan wanita tua yang bersuara tajam itu
terkesan. Kiki lantas mengulang-ulang lagi dengan suara lirih. Seolah-olah
begitu sedih dan hampir menangis.
"Kasihan Polly! Polly baik! Kasihan, Polly yang malang!
"Astaga!" kata Bibi Polly. Dipandangnya kakaktua itu, tapi kini tatapannya sudah
jauh lebih ramah. Bibi Polly selalu merasa capek. sakit dan sibuk. Tapi belum
pernah ada yang mengasihani. Bahkan memperhatikan sedikit pun kelihatannya tidak
ada. Dan sekarang ada burung yang mengucapkan kata-kata hiburan dengan ramah.
Walau rasanya agak aneh, tapi diam-diam Bibi Polly merasa senang mendengarnya.


Lima Sekawan 01 Petualangan Di Pulau Suram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau boleh membawa kasur ke kamar yang di menara dan tidur di situ malam ini
bersama siapa nama anak laki-laki ini?" kata Bibi Polly pada Philip. "Sedang
"yang perempuan, bisa tidur bersama Dinah. Tempat tidurnya sempit, tapi apa boleh
buat! Aku tidak bisa bersiap-siap, apabila kau membawa teman-teman ke sini tanpa
bilang-bilang dulu!"
Setelah itu anak-anak makan. Hidangannya merupakan gabungan makan sore dan
malam. Bibi Polly pandai memasak. Anak-anak makan dengan lahap. Selain sarapan
pagi, sehari itu perut mereka hanya diisi roti yang disiapkan Pak Roy tadi pagi
untuk Philip. Jelas bahwa bekal untuk satu orang takkan mengenyangkan apabila
dibagi bertiga. Tiba-tiba Dinah bersin. Dengan segera Kiki menyapa dongan nada memarahi.
"Mana sapu tanganmu?"
Bibi Polly memandang kakaktua itu. Ia kaget, bercampur kagum.
"Eh, itu kan selalu kukatakan pada Dinah, kata Bibi. "Rupanya burung kakaktua
" itu pintar." Kiki senang dikagumi Bibi Polly. Ia mengoceh lagi.
"Kasihan Polly, Polly yang malang," katanya, sambil memiringkan kepala dengan
genit, sedang matanya berkilat-kilat menatap Bibi Polly.
"Kelihatannya Bibi Polly lebih suka pada kakaktuamu daripada terhadap dirimu,"
bisik Philip pada Jack sambil nyengir.
Sehabis makan, Bibi Polly mengajak Philip masuk ke kamar kerja pamannya. Philip
mengetuk pintu, lalu masuk. Dilihatnya Paman Jocelyn sedang duduk sambil
membungkuk. Ia sedang meneliti setumpuk kertas yang sudah kekuning-kuningan
warnanya. la melakukannya dengan bantuan kaca pembesar. Paman mendengus ketika
Philip masuk. "Jadi kau sudah kembali," gerutu Paman. "Baik-baik sajalah, dan jangan ganggu
aku. Aku sibuk sekali selama liburan ini."
"Jocelyn," kata Bibi menyela, "Philip mengajak dua orang anak pulang bersamanya,
serta seekor burung kakaktua."
"Burung kakaktua?" kata Paman. "Untuk apa burung kakaktua?"
"Jocelyn, burung itu milik satu dari kedua anak yang diajak Philip kemari," kata
Bibi Polly. "Philip ingin mengajak anak-anak itu tinggal di sini."
"Tidak bisa! Kalau burung kakaktua, aku tidak keberatan," kata Paman Jocelyn.
"Kakaktua itu boleh tinggal, jika kau menghendakinya. Kalau tidak, kirim pergi
lagi. Aku sedang sibuk."
Dan Paman membungkuk lagi, kembali meneliti naskah-naskah tua yang berserak di
meja. Bibi Polly mengeluh, lalu menutup pintu.
"Pamanmu itu begitu tertarik pada masa silam, sehingga tak peduli pada segala
yang terjadi sekarang" katanya, setengah pada diri sendiri.
"Yah kurasa aku sendiri yang terpaksa menelepon Pak Roy. Pasti guru itu sudah "bingung, ke mana perginya kedua anak itu."
Bibi pergi ke tempat pesawat telepon terpasang. Philip membuntuti, karena ingin
tahu apa kata Pak Roy. Ketika dilihatnya Dinah menjengukkan kepala dari kamar
duduk, Philip menganggukkan kepala ke arah pesawat telepon. Mudah-mudahan saja
Pak Roy marah, lalu mengatakan tidak mau menerima Jack dan Lucy-Ann lagi. Mudah-
mudahan Bibi Polly menganggap uang kiriman Paman Geoffrey cukup banyak, sehingga
kedua keponakan orang itu diizinkan tinggal di situ selama liburan
Bab 5 BERHASIL Rasanya lama sekali baru ada hubungan dengan Pak Roy. Guru itu ternyata bingung,
dan sekaligus juga cemas. Ketika agak lama juga Jack dan Lucy-Ann belum kembali,
mulanya Pak Roy mengira kedua anak itu pergi berjalan-jalan lagi. Lalu Jack
menjumpai burung yang jarang kelihatan, sampai melupakan waktu.
Tapi kecemasannya timbul ketika kedua anak itu belum pulang juga setelah
beberapa jam. Tidak terpikir olehnya kemungkinan mereka ikut dengan Philip.
Sebab kalau hal itu terlintas dalam pikirannya, pasti ia sudah sedari tadi
menelepon Bibi Polly. Pak Roy kaget ketika telepon berdering dengan tiba-tiba. Tapi kekagetan itu
beralih menjadi kegembiraan, ketika ternyata yang menelepon Nyonya Sullivan.
Nyonya Sullivan itu Bibi Polly, yang menyampaikan kabar bahwa Jack dan Lucy-Ann
selamat, dan saat itu berada di rumahnya.
"Mereka tadi tiba di sini dengan Philip," kata Bibi Polly dengan nada agak
keras. "Saya heran, apa sebabnya mereka diperbolehkan saja pergi dari tempat
Anda. Saya tak mungkin bisa menampung mereka di sini."
Pak Roy langsung lesu. Tadinya ia sudah berharap, mudah-mudahan saja dengan
begitu ia bebas dari Jack dan Lucy-Ann, serta kakaktua yang menyebalkan itu.
Tapi ternyata tidak. "Yah, sayang sekali, Nyonya," kata Pak Roy dengan sopan. Padahal dalam hati ia
mengumpat-umpat. "Betul-betul sayang! Kedua anak itu tadi sebetulnya ikut dengan
Philip ke stasiun untuk mengantarnya. Dan rupanya Philip kemudian mengajak
mereka ikut. Sayang Anda tidak bisa menampung mereka selama sisa liburan ini,
karena mungkin keduanya akan lebih senang kalau bisa ikut dengan Philip di
tempat Anda. Pasti mereka sudah bercerita bahwa paman mereka tidak bisa menerima
mereka dalam liburan ini. Ia mengirimkan uang yang cukup banyak pada saya,
dengan harapan saya bisa menampung mereka. Tapi dengan senang hati saya bersedia
menyerahkan uang itu pada Anda, apabila Anda bisa menampung keduanya. Izin Pak
Trent bisa kita urus nanti."
Sejenak Nyonya Sullivan berpikir-pikir.
"Berapa banyak uang itu?" tanyanya kemudian. Ia diam lagi sesaat, setelah Pak
Roy menyebutkan jumlahnya. Ternyata memang cukup banyak. Nyonya Sullivan
menghitung-hitung. Kedua anak itu takkan sebegitu besar biayanya. Dan ia bisa
mengatur, agar Jocelyn jangan sampai terganggu. Anak perempuan yang bernama
Lucy-Ann itu nanti bisa membantu Dinah bekerja membereskan rumah. Sedang ia
sendiri akan bisa membayar utang-utangnya. Itu pasti melegakan hatinya.
Selama itu Pak Roy tetap menunggu sambil berharap-harap. la sudah ngeri saja,
apabila kakaktua itu ternyata harus ditampungnya kembali. Lucy-Ann baik anaknya.
Jack yah masih Lumayan! Tapi Kiki" Aduh. ampun!?"Yah," kata Nyonya Sullivan. Dari suaranya terdengar bahwa ia sudah setuju
sebetulnya, "Yah coba kupikir-pikir dulu. Sebetulnya agak repot, karena tempat
"kami di sini sempit. Maksudku, walau rumah ini sebetulnya besar, tapi
setengahnya sudah ambruk karena tuanya. Sedang ruangan-ruangan lain terlalu
berangin, tidak enak untuk ditinggali. Tapi kami mungkin bisa mengaturnya. Jika
kamar menara kupakai lagi ....
"Philip serta ketiga anak lainnya di Craggy-Tops berpandang-pandangan dengan
gembira. Mereka mendengar kata-kata Bibi Polly selama itu.
"Bibi sudah mau!" bisik Philip: "Wah, Jack kurasa kita berdua nanti disuruh
"menempati kamar yang ada di menara! Asyik! Aku sudah selalu ingin diperbolehkan
tidur di situ. Tapi Bibi Polly tidak mengizinkan aku memakainya sebagai kamarku
sendiri." "Nyonya Sullivan," kata Pak Roy meminta, Anda akan sangat menolong saya, apabila
kedua anak itu bisa Anda tampung di situ. Saya akan segera menelepon Pak Trent.
Serahkan saja urusan itu pada saya. Sedang uangnya akan saya kirimkan juga
dengan segera. Lalu kalau ternyata Anda masih perlu uang lagi, Anda cukup
memberitahukannya pada saya. Saya akan sangat berterima kasih, apabila urusan
ini bisa Anda ambil alih.
Kedua anak itu tidak repot mengurusnya. Apalagi Lucy-Ann, dia itu. anak manis;
Cuma kakaktua itu saja ocehannya menyebalkan! Tapi mungkin Anda bisa
"mengurungnya dalam kandang."
"Ah, aku tidak keberatan terhadap burung itu," kata Nyonya Sullivan. Pak Roy
tercengang mendengar kalimat itu. Ia mendengar suara .Kiki berteriak keras. Wah
rupanya Nyonya Sullivan wanita yang luar biasa. Apabila ia senang pada Kiki!
"Setelah itu tidak banyak lagi yang dibicarakan. Nyonya Sullivan mengatakan akan
menulis surat pada Pak Trent, begitu ia menerima kabar lagi dari Pak Roy.
Sementara itu ia berjanji akan mengurus Jack dan Lucy-Ann selama sisa waktu
liburan. Anak-anak menarik napas lega ketika pembicaraan telepon itu selesai. Philip
menghampiri bibinya. "Aduh terima kasih, Bibi Polly," katanya. "Enak bagiku serta Dinah apabila "kami ada teman di sini. Kami takkan mengganggu Paman, dan sebisa mungkin akan
membantu Bibi." "Polly manis," kata Kiki dengan ramah. la pindah dari pundak Jack, meloncat dan
bertengger di pundak Bibi Polly. Anak-anak memandang sambil melongo. Kiki memang
hebat ia pandai mengambil hati Bibi Polly.
?"Burung konyol!" kata Bibi. Ia tidak mau menampakkan bahwa ia sebetulnya sangat
senang. "God save the Queen," kata Kiki dengan tiba-tiba. Semua tertawa mendengarnya.
Kalimat itu merupakan nama lagu Kebangsaan Inggris, yang berarti doa selamat
bagi Ratu. "Philip, kau terpaksa memakai kamar di menara bersama Jack," kata Bibi Polly.
"Ayo ikut, kita lihat bagaimana semuanya harus diatur. Dinah, kau pergi ke
kamarmu dan periksalah apakah cukup tempat di situ untukmu bersama Lucy-Ann.
Atau mungkin dia lebih suka memakai kamar Philip. Kedua kamar itu kan
bersambungan, jadi bisa saja kalian memakai kedua-duanya."
Dengan gembira Dinah mengajak Lucy-Ann memeriksa kamarnya. Lucy-Ann sebenarnya
ingin mendapat kamar yang lebih dekat ke tempat Jack. Sedang letak kamar menara
agak jauh dari situ. Jack mengambil Kiki, lalu pergi ke sebuah jendela
yang tinggi. la duduk di ambangnya, memperhatikan burung-burung laut yang
terbang berkeliaran tanpa henti di luar.
Sementara itu Philip ikut dengan bibinya ke kamar menara. la merasa gembira.
Soalnya sementara itu ia sudah senang sekali pada Jack dan Lucy-Ann. Karenanya
ia merasa seperti memenangkan hadiah besar, ketika diputuskan bahwa kedua anak
itu bisa tinggal di Craggy-Tops selama beberapa minggu yang masih tersisa dari
masa liburan musim panas.
Philip berjalan di belakang Bibi Polly, menyusur sebuah gang yang dingin
berlantai dan berdinding batu. Mereka sampai di kaki tangga batu yang berputar-
putar ke atas, lalu mulai mendaki jenjangnya. Akhirnya mereka muncul dalam kamar
menara. Kamar itu berbentuk bulat dengan dinding yang sangat tebal. Di situ ada
tiga jendela sempit. Satu di antaranya menghadap ke laut.
Ketiga jendela itu tak berkaca. Jadi angin bisa bebas menghembus ke dalam kamar,
teriring suara teriakan burung-burung serta deburan ombak di bawah.
"Kurasa kamar ini nanti terlalu dingin bagi kalian," kata Bibi Polly. Philip
cepat-cepat menggeleng. "Ah, itu tidak apa!" katanya. "Kalau jendela-jendela ini berkaca, toh kami buka
juga nantinya, Bibi Polly. Sungguh, kami takkan apa-apa. Kami pasti akan senang
di atas sini. Lihatlah itu ada peti tua untuk menaruh barang-barang kami dan
" "bangku kayu sedang permadani bisa kami bawa dari bawah. Yang kami perlukan
"cuma kasur saja. "Yah kita takkan bisa mengangkat tempat tidur lewat tangga sempit itu ke
"sini," kata Bibi Polly. "Jadi kalian terpaksa tidur di atas kasur saja. Aku
punya satu kasur lebar. Kalian harus cukup puas dengannya. Nanti akan kusuruh
Dinah naik ke sini dengan sapu dan lap, untuk membersihkan kamar ini sedikit."
"Sekali lagi terima kasih, Bibi," kata Philip agak malu-malu. Ia sebenarnya
takut pada bibinya yang selalu repot itu. Walau setiap liburan datang ke tempat
bibi dan pamannya, tapi Philip merasa tidak benar-benar mengenalnya. "Mudah-
mudahan uang yang dari Pak Trent cukup untuk menutup ongkos Bibi- tapi pasti
Jack dan Lucy-Ann tidak begitu banyak memerlukan pembiayaan."
"Yah, Philip," kata Bibinya sambil menutup peti tua, lalu menoleh pada Philip
dengan pandangan sedih, "Kau jangan menganggap aku ini mau rewel mengenainya "tapi kenyataannya akhir-akhir ini ibumu tidak begitu sehat, dan karenanya tidak
bisa mengirimkan uang sebanyak biasanya untuk belanja kalian! Kau tahu sendiri
kan, uang sekolahmu serta Dinah cukup tinggi. Karena itu aku gelisah terus,
tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kau sekarang sudah cukup besar, jadi bisa
menyadari pamanmu tidak bisa diandalkan untuk tanggung jawab rumah tangga. Uang
sedikit yang ada padaku, selalu lekas habis."
Philip kaget mendengar kata-kata bibinya itu. ibunya sakit! Dan Bibi Polly
menerima kiriman tidak sebanyak biasanya wah, itu memang sangat
"menggelisahkan! "Ibu kenapa sebetulnya?" tanyanya.
"Yah tubuhnya kurus sekali, dan juga lesu serta batuk-batuk terus, katanya,"
"jawab Bibi Polly. "Kata dokter dia perlu istirahat lama. Kalau bisa di tepi
laut. Tapi lalu pekerjaannya bagaimana?"
"Aku tak perlu bersekolah lagi," kata Philip dengan segera. "Aku akan mencari
pekerjaan. Aku tak mau ibu bekerja setengah mati untuk kita."
"Tidak bisa," kata Bibi Polly. "Kau ini, umurmu empat belas saja belum! Tidak
"karena kini aku akan mendapat uang dari Pak Trent untuk mengongkosi penampungan
kedua anak ini, keadaan kita akan agak mendingan."
"Rumah ini terlalu besar untuk Bibi," kata Philip lagi. Tiba-tiba disadarinya,
bibinya itu kelihatan capek sekali. "Kenapa kita harus tinggal di sini, Bibi
Polly" Kenapa tidak pindah saja ke rumah lain yang lebih kecil, di mana Bibi
tidak perlu bekerja terlalu keras dan tidak selalu kesepian?"
"Aku mau saja," kata Bibi sambil mengeluh, "tapi siapalah yang mau membeli rumah
kayak begini, yang sudah setengah ambruk dan terletak di tempat terpencil serta
banyak anginnya" Kecuali itu, aku pasti takkan bisa membujuk pamanmu supaya mau
pindah. Pamanmu sayang pada tempat ini, ia cinta pada seluruh daerah pesisir.
Pengetahuannya mengenai daerah sini, jauh melebihi siapa pun juga di seluruh
dunia. Yah tak ada gunanya kita mengharapkan ini dan itu. Kita harus berusaha
"terus, sampai kau dan adikmu Dinah sudah cukup besar dan bisa mencari nafkah."
"Setelah itu aku akan membuatkan rumah bagi ibu, lalu kami bertiga akan hidup
berbahagia di situ," pikir Philip, sambil mengikuti bibinya turun untuk
mengambil kasur. Dipanggilnya Jack, dan mereka berdua kemudian sibuk mengangkut
kasur itu ke atas. Dengan napas terengah-engah mereka menyeret benda yang
merepotkan itu lewat tangga yang berputar-putar. Kiki memberi dorongan semangat
dengan teriakan dan omelan.
Jo-Jo, pembantu Bibi merengut mendengar suara Kiki yang berisik. Menurut
perasaannya Kiki menujukan omelan itu padanya. Burung itu memang iseng. Beberapa
kali Jo-Jo kaget, karena Kiki tiba-tiba berteriak di dekat telinganya Saat itu
Jo-Jo sedang membawa sebuah meja kecil ke atas, serta koper kepunyaan Jack.
Kedua barang itu diletakkannya dalam kamar menara. Setelah itu ia memandang dari
jendela ke luar. Jo-Jo kelihatannya sedang kesal, kata Philip dalam hati. Orangnya memang belum
pernah nampak ramah tapi saat itu air mukanya lebih cemberut lagi daripada
"biasa. "Ada apa, Jo-Jo?" tanya Philip. Ia sama sekali tidak takut pada pembantu
bertampang masam itu. "Kau melihat macam-macam?"
Anak-anak tertawa, mengingat cerita Dinah dalam suratnya mengenai Jo-Jo, yang
mengatakan di kaki tebing berkeliaran 'macam macam` pada malam hari. Jo-Jo "mengerutkan kening.
"Nyonya Polly sebenarnya tidak boleh mengizinkan kalian memakai kamar ini,"
katanya. "Sungguh, dan aku juga sudah mengatakan padanya. Ini kamar sial! Dan
dari sini bisa kelihatan Pulau Suram, apabila kabut terangkat. Padahal siapa
yang melihat Pulau Suram, akan ditimpa kesialan."
'"Jangan konyol, Jo-Jo," kata Philip sambil tertawa.
"Jangan konyol, Jo-Jo," kata Kiki, menirukan suara Philip dengan persis. Jo-Jo
memandang Philip dan Kiki silih berganti, sambil cemberut.
"Percayailah kataku, Philip," katanya, "jangan sekali-kali berani memandang ke
arah Pulau Suram! Ini satu-satunya tempat dari mana pulau itu kelihatan, dan
karenanya kamar ini sial. Pulau Suram hanya membawa sial saja. Dulu di situ
tinggal orang-orang jahat. Macam-macam kejahatan terjadi di sana, dan sepanjang
ingatan orang cuma kejahatan melulu yang datang dari pulau itu."
Setelah mengucapkan kata-kata seram itu Jo-Jo beranjak pergi, tapi sebelumnya ia
sempat menoleh sebentar sambil cemberut dan memutar-mutar biji matanya.
"Ramah ya, orang itu?" kata Philip, sementara ia menggelar kasur dengan dibantu
oleh Jack. "Kurasa dia sinting! Mestinya begitu, karena Cuma orang sinting saja yang mau
tetap tinggal di sini dan bekerja seperti dia. Di tempat lain, ia pasti bisa
menerima upah lebih tinggi."
"Apa yang dimaksudkannya dengan Pulau Suram itu?" tanya Jack, sambil melangkah
ke jendela. "Nama aneh! Aku sama sekali tidak melihat ada pulau, Jambul."
"Memang jarang sekali kelihatan," jawab Philip. "Letaknya di sebelah barat
sana! Di sekelilingnya ada beting karang, di mana ombak selalu memecah dengan
dahsyat, sehingga percikannya menyembur tinggi. Kecuali itu rasanya juga selalu
ada kabut yang menyelubungi. Tempat itu tidak didiami lagi sekarang. Dulu ada
orang yang tinggal di sana. Tapi itu sudah lama sekali."
"Aku kepingin ke sana," kata Jack. "Pasti di situ banyak burung, yang jinak-
jinak." "Apa maksudmu, jinak-jinak?" tanya Philip dengan heran. "Lihat saja burung-
burung itu. Pada Kiki saja takut!"
"Ya tapi burung-burung di Pulau Suram kurasa belum pernah melihat manusia,"
"kata Jack. "Jadi mereka takkan bersikap curiga dan berhati-hati. Pasti aku akan bisa
membuat foto-foto yang indah dari mereka. Wah, kepingin sekali rasanya bisa ke
sana." "Pokoknya itu tidak bisa," kata Philip. "Aku sendiri belum pernah ke sana.
Sepanjang pengetahuanku, belum pernah ada orang pergi ke pulau itu. He
"bagaimana pendapatmu, kita gelar di sini saja kasur ini" Jangan terlalu dekat ke


Lima Sekawan 01 Petualangan Di Pulau Suram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jendela, karena nanti basah kalau hujan. Di sini sering hujan."
"Taruh saja sesukamu," kata Jack Ia tidak mau diganggu dalam lamunannya tentang
pulau berkabut serta burung-burung tak dikenal yang hidup di situ. Mungkin ia
akan melihat jenis burung yang belum pernah dilihatnya selama ini! Mungkin ia
akan bisa membuat foto-foto paling indah di dunia, tentang burung-burung itu.
Jack sudah bertekat akan berusaha pergi ke Pulau Suram. Masa bodoh Jo-Jo dengan
segala ceritanya yang serba seram.
"Yuk, kita ke bawah lagi," ajak Philip kemudian, setelah ia selesai memasukkan
pakaian ke dalam peti. "Kau dari tadi sama sekali tak membantu, Jack. Yuk,
Kiki!" Mereka menuruni tangga sempit yang berputar-putar, menggabungkan diri lagi
dengan yang lain-lain. Senang rasanya membayangkan minggu-minggu mendatang! Tak
perlu bekerja, tidak ada pelajaran yang harus dihafal sehari-hari mereka hanya
akan mandi-mandi, mendaki dan main perahu terus. Asyik!
Bab 6 HARI-HARI BERLALU Dinah dan Lucy-Ann akhirnya memutuskan untuk memakai kedua kamar yang tersedia.
Kamar-kamar itu sangat sempit. Bagi mereka lebih mudah membereskan dua kamar,
daripada satu kamar yang dipakai dua orang.
"Jika semua barang kita ditaruh dalam satu kamar saja, pasti tak ada tempat,"
kata Dinah. Lucy-Ann juga sependapat. la sudah naik ke kamar menara. Kamar itu
disukainya. Ia sebenarnya juga kepingin mendapat kamar yang tak berkaca jendela.
Rasanya hampir sama seperti tidur di luar pikir anak perempuan itu, sambil
menjulurkan tubuh ke luar dari salah satu jendela. Dirasakannya hembusan angin
laut mempermainkan rambut.
Kedua kamar yang ditempati Dinah dan Lucy-Ann juga menghadap ke laut. Tapi
jendela-jendela di situ membuka ke arah yang berlainan dengan satu jendela di
kamar menara yang juga menghadap ke laut, Dari jendela kamar-kamar itu, Pulau
Suram tidak kelihatan. Ketika Jack mance-ritakan kata-kata Jo-Jo di kamar menara
pada Lucy-Ann, anak perempuan itu kelihatan agak takut.
"Kau tidak perlu cemas. Jo-Jo paling percaya pada segala macam tahyul dan
dongeng," kata Philip sambil tertawa. "Cerita-ceritanya sama sekali tak ada yang
benar! Kurasa ia memang gemar menakut-nakuti orang."
Aneh rasanya tidur pada malam pertama di Craggy-Tops. Lama sekali Lucy-Ann masih
terjaga. Didengarkannya bunyi samar ombak berdebur dan memecah di kaki tebing.
Terdengar pula desingan angin. Lucy-Ann senang mendengarnya. Lain sekali rasanya
dengan suasana malam di kota kecil tempat tinggal Paman Geoffrey. Di kota itu
malam selalu sunyi sepi. Tapi di sini di sini terdapat bermacam bunyi dan "gerak, serta rasa asin yang menempel di bibir dan angin yang menggeraikan
rambut. Semuanya sangat menarik bagi Lucy-Ann. Di rumah sunyi itu, segala macam
peristiwa bisa saja terjadi.
Jack yang berbaring dalam kamar menara, juga belum tidur. Sedang Philip sudah
pulas di sampingnya. Jack berdiri lagi, lalu pergi ke jendela. Angin menghembus
lewat jendela yang menghadap ke laut. Jack menjulurkan kepalanya ke luar, lalu
memandang ke bawah. Di balik awan berarak, nampak secuil bulan. Jauh di bawah membayang permukaan
air gelap, bergerak terputar-putar. Saat itu laut sedang pasang naik. Terdengar
bunyi ombak menghantam batu-batu besar yang hitam. Percikannya melayang dibawa
angin Jack merasa ada air laut membasahi pipi, walau kamar menara itu tinggi
letaknya. Jack menjilat bibirnya. Terasa asin.
Terdengar teriakan burung memecah kegelapan. Kedengarannya seperti sedih dan
pilu. Tapi Jack senang mendengarnya. Burung apa yang
bersuara itu" Mungkin jenis yang belum dikenainya" Sementara itu ombak berdebur
terus di kaki tebing, dan angin menderu berkali-kali masuk ke dalam kamar. Tubuh
Jack menggigil. Saat itu memang musim panas. Tapi Craggy-Tops dibangun di suatu
tempat yang begitu banyak anginnya, sehingga selalu ada saja angin bertiup di
situ. Tiba-tiba Jack kaget setengah mati. Ada sesuatu menyentuh pundaknya. Jantungnya
berdebar keras. Tapi kemudian ia tertawa. Ternyata yang menyentuhnya itu hanya
Kiki saja. Di mana pun juga, burung kakaktua itu selalu tidur bersama Jack.
Biasanya bertengger di pinggiran atas tempat tidurnya. Tapi kasur tidak
mempunyai pinggiran yang bisa dipakai sebagai tempat bertengger. Karenanya Kiki
lantas memilih hinggap di tepi peti. Tapi ketika mendengar Jack ada di ambang
jendela, burung iseng itu meninggalkan tempatnya lalu hinggap di tempat yang
biasa. Di pundak Jack. Itulah yang menyebabkan anak laki-laki itu kaget setengah
mati. Kiki menempelkan tubuhnya ke pipi Jack.
"Ayo tidur, anak nakal," katanya. "Tidur!"
Jack nyengir. Lucu, apabila secara kebetulan Kiki mengocehkan kata kata yang "tepat. Digaruk-garuknya tengkuk burung kesayangannya itu, sambil mengajaknya
bicara dengan suara pelan, supaya jangan membangunkan Philip.
"Besok akan kubuatkan tempat bertengger untukmu, Kiki," kata Jack. "Aku tahu.
kau tidak bisa tidur anak sambil hinggap di tepi peti. Sekarang aku mau tidur.
Malam yang tidak tenang, ya" Tapi aku menyenanginya."
Jack kembali ke pembaringannya. la menggigil kedinginan. Tapi tak lama kemudian
tubuhnya sudah hangat kembali, karena ia merapatkan diri ke punggung Philip.
Dalam tidurnya, Jack memimpikan beribu-ribu burung laut yang menghampirinya
dengan jinak, minta dipotret.
Jack dan Lucy-Ann pada mulanya agak merasa canggung tinggal di Craggy-Tops,
karena selama bertahun-tahun selalu hidup dalam rumah biasa yang kecil, di suatu
kota yang kecil pula. Di rumah yang ditinggali Philip dan Dinah, tidak ada listrik. Di situ tidak ada
air yang mengucur keluar dari kran. Di depan dan di belakang rumah tidak ada
kebun. Dan di pojok jalan tidak ada toko-toko, seperti di kota.
Setiap 5 hari selalu ada pekerjaan membersihkan lampu-lampu minyak. Setiap kali
harus dipasang lilin. Sedang air harus ditimba dari sumur yang sangat dalam.
Jack tertarik pada sumur itu.
Di belakang rumah ada pekarangan sempit, langsung berbatasan dengan tebing batu.
Di pekarangan itulah terdapat sumur tempat air yang dipakai untuk keperluan
rumah itu. Jack dan juga Lucy-Ann heran, karena ternyata air sumur sama sekali
tidak asin. "Tidak, air itu tawar," kata Dinah, sambil mengangkat ember berat yang
tergantung pada rantai. "Sumur ini menembus ke dalam batu, jauh di bawah dasar
laut. Di bawah ada sumber air tawar yang jernih dan dingin sekali. Kalau tidak
percaya, ciciplah sedikit."
Air itu segar rasanya seenak air es yang diminum anak-anak pada hari yang
"panas di kota. Jack menjengukkan kepala ke dalam sumur, memandang air yang gelap
di bawah. "Aku kepingin turun dengan timba. Untuk melihat berapa dalamnya sumur ini,"
katanya. "Tapi nanti bingung kalau timba tiba-tiba macet dan kau tidak bisa naik
lagi ke atas," kata Dinah sambil tertawa. "Ayo, bantu aku, Jack. Jangan melamun
terus. Kau ini bisanya cuma melamun saja."
"Dan kau selalu tidak sabaran," kata Philip, yang ada di dekatnya. Dinah
memalis dengan sikap marah. Anak itu cepat sekali tersinggung.
"Ala, kalau kau harus banyak bekerja seperti aku dan Lucy-Ann, pasti kau juga
akan tidak sabaran," tukasnya ketus. "Yuk, Lucy-Ann, kita tinggalkan saja kedua
anak itu dengan kesibukan mereka. Anak laki-laki memang tidak banyak gunanya."
"Ya, sebaiknya kau pergi saja, sebelum kutampar," teriak Philip ke arah Dinah
yang sudah melangkah hendak pergi, lalu cepat-cepat lari.
Lucy-Ann bingung dan agak kaget melihat kedua anak itu tak henti-hentinya
bertengkar. Tapi kemudian dilihatnya bahwa percekcokan itu tidak pernah sampai
berlarut-larut. Begitu timbul, lalu mereda kembali. Akhirnya ia terbiasa juga.
Yang paling repot, urusan berbelanja. Dua kali seminggu Jo-Jo pergi ke desa yang
terdekat dengan mobil bobroknya, membawa daftar belanjaan yang panjang. Jika ada
sesuatu yang lupa dibeli, terpaksa mereka hidup tanpa barang itu sampai giliran
belanja berikut. Sayuran didapat dari kebun kecil yang dipelihara sendiri oleh
Jo-Jo. Kebun itu tersempil di bawah naungan tebing di belakang rumah.
"Yuk, kita ikut naik mobil dengan Jo-Jo," kata
Lucy-Ann pada suatu pagi. Tapi Philip menggeleng.
"Percuma minta padanya," kata anak itu. "Kami sudah sering minta ikut pada Jo-
Jo, tapi ia tidak mau mengajak kami. Ia selalu menolak. la bahkan mengancam akan
mendorong kami keluar dari mobil, apabila kami nekat naik. Aku pernah mencoba
masuk. Tapi ia ternyata benar-benar mendorongku ke luar!"
"Aduh, jahatnya!" kata Jack kaget, Aku heran, kalian mau terus mempekerjakannya"di sini!"
"Siapa lagi yang mau bekerja di tempat terpencil begini?" kata Dinah. "Tidak
ada! Jo-Jo pasti juga tidak mau, apabila ia tidak sinting."
Walau sudah diperingatkan, Lucy-Ann masih mencoba juga minta diajak ketika Jo-
"Jo hendak pergi belanja.
"Tidak," kata laki-laki itu dengan tampang cemberut.
"Ayo dong, Jo-Jo," kata Lucy-Ann membujuk dengan air muka memelas. la biasanya
berhasil dituruti kemauannya kalau sudah begitu. Tapi menghadapi Jo-Jo ?"percuma!
"Aku sudah mengatakan tidak!" ulang laki-laki itu sambil berjalan pergi. Lucy-
Ann hanya bisa memandangnya saja dari belakang. Jahat sekali orang itu! Kenapa
ia tidak mau mengajak siapa pun juga apabila pergi berbelanja" Menurut perasaan
Lucy-Ann, pasti bukan karena apa-apa. Hanya karena dasarnya saja jail!
Anak-anak itu senang berada di Craggy-Tops, walau banyak urusan yang merepotkan.
Selalu ada saja tugas di rumah yang harus dilakukan, dan anak-anak membantu
sebisa mereka. Paman Jocelyn tidak pernah kelihatan. Pada saat makan juga tidak.
Bibi Polly yang mengantarkan makanan ke kamar kerjanya. Anak-anak kadang-kadang
bahkan sama sekali tidak menyadari bahwa di rumah itu masih ada Paman.
Jack dan Philip bertugas mengambil air dari sumur, mengangkut kayu api ke dapur,
serta mengisi minyak ke dalam tungku yang memakai minyak sebagai bahan bakar.
Kecuali itu mereka juga bergiliran dengan Dinah serta Lucy-Ann, membersihkan
lampu-lampu. Anak-anak tidak ada yang suka melakukannya, karena pekerjaan itu
kotor. Jo-Jo pekerjaannya mengurus mobil dan kebun sayur, membersihkan lantai dengan
sikat, membersihkan kaca-kaca jendela apabila sudah buram kena percikkan air
laut, serta bermacam-macam tugas lainnya lagi. Jo-Jo memiliki sebuah perahu yang
bagus, dengan layar yang kecil.
"Maukah dia mengizinkan kita memakainya?"tanya Jack.
"Sudah jelas tidak," kata Philip. "Dan kau jangan coba-coba memakainya tanpa
izin. Kalau kau berani, dipukulnya nanti. Perahu itu kesayangannya. Naik ke situ
saja kami tidak boleh."
Jack mendatangi perahu itu, untuk melihat-lihat. Perahu itu memang bagus.
Harganya pasti mahal. Di dalamnya ada seperangkat dayung, tiang layar dengan
kainnya, serta pancing yang banyak jumlahnya. Jack kepingin sekali berlayar
dengan perahu itu. Tapi sementara ia sedang memperhatikan sambil berpikir berani atau tidak ia
masuk untuk merasakan gerak ombak di situ, tahu-tahu Jo-Jo muncul. Mukanya yang
selalu cemberut, saat itu nampak semakin masam.
"Mau apa kau di situ?" tanya Jo-Jo dengan mata terputar-putar. "Itu perahuku!"
"Ya deh, ya deh," kata Jack dengan kesal. "Masa melihatnya saja tidak boleh!"
"Tidak," kata Jo-Jo sambil membelalak.
"Anak nakal," kata Kiki, lalu memekik ke arah Jo-Jo. Orang itu marah sekali.
Kelihatannya sudah kepingin sekali memilin leher Kiki.
"Kau ini memang ramah sekali," kata Jack menyindir. lalu melangkah pergi. Ia
agak takut pada laki-laki masam berkulit hitam itu "Tapi kubilang saja dari
sekarang pada suatu waktu nanti aku akan berlayar dengan perahu dari sini dan
"kau saat itu takkan bisa menghalang-halangi."
Jo-Jo memperhatikan Jack yang melangkah pergi. Mata laki-laki itu agak
terpicing, sedang mulutnya menggerenyot marah.
Bab 7 PENEMUAN ANEH Kalau tidak ada Jo-Jo, kehidupan di Craggy-Tops sangat menyenangkan bagi anak-
anak, setelah mereka bisa membiasakan diri dengan tugas sehari-hari. Banyak
sekali kesibukan mereka yang mengasyikkan. Berenang dalam teluk kecil yang
terlindung, di mana air laut tenang, benar-benar menyenangkan. Mereka juga gemar
memasuki gua-gua gelap dan lembab yang terdapat di kaki tebing. Memancing sambil
duduk duduk di atas batu sangat menggairahkan, karena di situ kadang-kadang "tertangkap ikan besar.
Tapi Jo-Jo selalu merusak suasana, dengan tampangnya yang masam serta
tindakannya yang selalu mencampuri urusan mereka. Entah bagaimana caranya, tapi
anak-anak merasa orang itu selalu muncul dengan tiba tiba, di mana pun mereka
"sedang berada. Misalnya apabila mereka sedang asyik memancing. Tiba-tiba muncul
tampang masam dari balik batu, lalu mengatakan bahwa mereka hanya membuang-buang
waktu saja di situ. "Ah jangan ganggu kami, Jo-Jo," kata Philip jengkel. "Kau bersikap seolah-olah
"pengawas kami. Urus saja pekerjaanmu sendiri, dan biar kami berbuat semau kami
di sini. Kami kan tidak mengganggu siapa-siapa."
"Aku disuruh Nyonya Polly mengawasi kalian," kata Jo-Jo sambil cemberut.
"Katanya aku harus menjaga, jangan sampai kalian terjerumus ke dalam bahaya.
Kalian tahu, kan?" "Tidak, aku tidak mau tahu," tukas Philip kesal. "Yang kuketahui cuma kau ini
selalu muncul di mana kami sedang berada, untuk mengganggu kesenangan kami. Kami
tidak suka diintip-intip begitu."
Lucy-Ann terkikik. Menurut perasaannya Philip berani, berbicara begitu pada
laki-laki berbadan kekar itu. Tapi Jo-Jo memang menjengkelkan. Coba dia periang
dan ramah, alangkah senangnya keadaan di situ. Mereka akan bisa memancing dan
pesiar dengan perahunya, dan pergi naik mobil serta piknik dengan dia.
"Tapi semuanya tidak bisa kita lakukan, hanya karena ia sinting dan pemarah,"
kata Lucy-Ann. "Padahal sebetulnya mungkin kita bisa mencoba berlayar ke Pulau Suram untuk
melihat apakah di sana banyak burung, apabila Jo-Jo baik hati."
"Yah, yang jelas dia tidak baik hati! Jadi kita takkan pernah bisa mendatangi
Pulau Suram," kata Philip. "Kalau pun kita bisa ke sana, aku berani taruhan di
tempat terpencil itu takkan ada burung seekor pun juga. Yuk kita memeriksa gua
"besar yang kita temukan kemarin."
Asyik rasanya melihat-lihat ke dalam gua yang banyak jumlahnya di pesisir itu.
Beberapa di antaranya menjorok jauh sekali ke dalam tebing.
Ada pula yang langit-langitnya berongga. Dari rongga-rongga itu bisa didatangi
gua gua yang ada di sebelah atas. Menurut Philip, jaman dulu gua-gua itu dipakai
"sebagai tempat bersembunyi, atau untuk tempat menyembunyikan selundupan. Tapi
kini tak ada yang bisa dilihat di situ. Kecuali rumput laut serta rumah kerang
yang sudah kosong. Sayang kita tidak punya senter yang terangi kata Jack, ketika lilin yang
"dibawanya padam untuk
keenam kalinya pagi itu. "Sebentar lagi habis lilinku. Coba di pojok jalan ada
toko, di mana kita bisa membeli senter. Kemarin aku minta tolong pada Jo-Jo
untuk dibelikan satu ketika ia hendak berbelanja ke desa. Tapi ia tidak mau
membelikan." "Aduh ini ada tapak-tapak yang besar, kata Philip, sambil merendahkan lilinnya
"ke lantai gua. "Lihatlah ini pasti tapak tapak raksasa." Diperhatikannya
" "bintang laut itu dengan penuh minat.
Dinah terpekik kaget. Ia jijik sekali pada binatang melata yang sangat disukai
oleh Philip itu. "Jangan sentuh," kata Dinah. "Dan jangan dekatkan padaku!"
Tapi Philip anak yang suka iseng. Dipungutnya bintang laut yang besar
berjari jari lima itu, lalu dilampirinya adiknya sambil membawa binatang itu "Dinah langsung mengamuk.
"Anak jahat!" pekiknya. "Sudah kubilang tadi, jangan bawa ke dekatku. Kubunuh
dia nanti jika masih berani juga."
"Tapak-tapak tidak bisa dibunuh," kata Philip. "Jika kaubelah dua, langsung
tumbuh jari-jari yang baru dan tahu-tahu dari seekor tapak-tapak menjelma dua
"ekor. Nah kalau sudah begitu, bagaimana" Lihatlah, Dinah! Cium baunya. dan
"kaurasakan tubuhnya."
Didekatkannya tubuh binatang melata itu ke muka adiknya. Dinah sudah sangat
ketakutan. Diayunkannya tangannya untuk mendorong Philip pergi. Abangnya
terhuyung-huyung lalu jatuh terjerembab ke dasar gua. Lilinnya padam. Terdengar
suara Philip berteriak, disusul bunyi menggeser. Setelah itu sunyi.
?"He, Jambul! Kau tidak apa-apa?" seru Jack, sambil mengangkat lilinnya tinggi-
tinggi. Ia tercengang, karena Philip tidak nampak lagi di situ.
Bintang laut yang besar tadi tergeletak di tanah yang banyak rumput lautnya.
Tapi Philip tidak ada di sampingnya.
Jack, Dinah dan Lucy-Ann memandang berkeliling dengan heran. Ke mana Philip
sekarang" Dinah ketakutan. Ia memang bermaksud hendak memukul Philip. Tapi bukan niatnya
menyebabkan abangnya itu lenyap seperti ditelan bumi. Ia berteriak keras keras.
?"Philip! Kau bersembunyi ya" Ayo keluar, konyol!"
Dari suatu tempat yang tak menentu di mana, terdengar suara samar-samar
menjawab. "He! Aku ini di mana?"
"Itu suara si Jambul," kata Jack. "Tapi di mana dia" Dalam gua ini sudah pasti
"tidak ada." Ketiga anak yang masih ada di situ saling mendekatkan lilin mereka, lalu
memperhatikan keadaan gua sempit berlangit-langit rendah itu. Bau di situ pengap


Lima Sekawan 01 Petualangan Di Pulau Suram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali. Sekali lagi terdengar suara Philip dari salah satu tempat. Kedengarannya
seperti agak ketakutan. "He! Aku ini di mana?"
"Dengan hati hati Jack melangkah maju. Dihampirinya rumput laut licin di mana
"Philip tadi jatuh, ketika dipukul Dinah. Tiba-tiba ia tergelincir.
Sementara Dinah dan Lucy-Ann memandang dengan heran, tahu tahu Jack lenyap.
"Seolah-olah mengendap ke bawah dasar gua yang penuh dengan rumput laut.
Diterangi nyala kedua lilin yang bergerak gerak terus, Dinah dan Lucy-Ann
"berusaha meneliti apa yang terjadi dengan Jack. Sesaat kemudian mereka
mengetahuinya. Di dasar gua ada sebuah lubang yang tertutup hamparan rumput
laut. Ketika Philip dan kemudian Jack bergerak ke situ, mereka langsung terpeleset dan
jatuh ke dalam gua yang ada di bawahnya.
"Mereka jatuh ke situ," kata Dinah, sambil menuding rongga gelap yang nampak di
celah rumput laut yang terhampar pada bagian gua itu.
"Mudah-mudahan saja mereka tidak cedera. Dan sekarang bagaimana cara kita
membantu mereka keluar lagi?"
Ternyata Jack tadi jatuh menimpa Philip. Kiki yang tertinggal di atas, menjerit
memekakkan telinga. Burung itu paling tidak senang berada dalam tempat gelap
itu. Tapi ke mana saja Jack pergi, ia harus ikut. Dan kini kakaktua itu
ketakutan, karena tuannya dengan tiba-tiba saja lenyap.
"Diam, Kiki," kata Dinah. Ia terlempar karena kaget, ketika Kiki tiba tiba "menjerit. Kemudian ia berpaling pada Lucy-Ann. "Lihatlah di dasar gua ada
"lubang, di sela rumput laut yang tebal itu. Hati-hati melangkah, nanti kau jatuh
pula ke dalamnya. Tolong pegangkan lilinku. Aku ingin memeriksa, apa sebetulnya
yang terjadi tadi." Kejadiannya sebetulnya sederhana saja. Mula-mula Philip yang terjatuh ke dalam
gua di bawah lewat lubang itu, dan kemudian Jack yang terpeleset dan ikut jatuh
sehingga menimpa Philip. Philip ketakutan. Badannya terasa memar. Dipeganginya
Jack erat-erat. "Apakah yang terjadi?" tanyanya cemas.
"Ada lubang di dasar gua," sahut Jack. Ia mengulurkan tangan, meraba raba untuk
"melihat ukuran rongga tempat mereka terjatuh. Ia langsung merasa ada dinding
batu di kiri kanannya. "Wah gua ini benar-benar sempit! He kalian berdua
" "yang di atas! Tolong dekatkan lilin ke lubang, supaya kami bisa melihat sedikit
di sini." Sebatang lilin menyala muncul di atas kepala Jack dan Philip. Sekarang kedua
anak laki laki itu bisa melihat sedikit.
?"Rupanya kita bukan dalam gua tapi suatu
"lorong," kata Jack tercengang. "Setidak-tidaknya, awal sebuah lorong. Aku ingin
tahu, ke mana arah lorong ini kurasa semakin dalam memasuki tebing."
"Tolong ulurkan sebatang lilin ke bawah," kata Philip. Kecemasannya lenyap. "He
itu Kiki!" ?"Tidak bisa tutup pintu ya!" kata Kiki dengan nada tajam. Burung kakaktua itu
sudah bertengger lagi di pundak Jack. la merasa lega, karena bisa bersama
tuannya lagi, lalu bersiul-siul.
"Diam, Kiki!" kata Jack melarangnya. "Lihatlah, Philip ternyata ini memang
"lorong Sempit dan gelap. Aduh, baunya! Cepat, Dinah ulurkan lilin itu ke
"bawah." Akhirnya Dinah berhasil mengulurkan lilin yang menyala ke rongga di bawah dasar
gua, setelah ia merebahkan diri di situ. Jack mengangkat lilin itu tinggi-
tinggi. Lorong gelap itu nampak aneh dan misterius.
"Yuk, kita memeriksanya!" kata Philip bergairah. "Kelihatannya mengarah ke bawah
Craggy-Tops. Barangkali saja ini lorong rahasia."
"Kurasa cuma celah sempit dalam tebing, yang tidak menuju ke mana-mana," jawab
Jack. "Aduh, Kiki - jangan keras-keras mematuk telingaku. Sebentar lagi kita
akan ke luar. He, kalian yang di atas! Kami hendak memasuki lorong gelap ini
sebentar. Kalian mau ikut?"
"Wah, tidak," kata Lucy-Ann dengan segera. Hatinya tidak anak membayangkan
lorong sempit dan gelap yang menembus dinding tebing. "Kami menunggu di sini
sampai kalian kembali. Tapi jangan lama-lama. Lilin kami tinggal sebatang.
Kalian membawa korek api, kalau lilin kalian padam?"
"Ya," kata Jack, sambil meraba-raba kantong.
"Yah kalau begitu, sampai nanti! Awas, jangan sampai terpeleset masuk lubang.?"Setelah itu Jack dan Philip mulai melangkah, memasuki lorong yang lembab. Dari
atas tidak terdengar lagi langkah mereka. Dinah dan Lucy-Ann menunggu dengan
sabar, diterangi lilin yang tinggal sebatang. Keduanya menggigil. Tempat itu
dingin. Untung mereka mengenakan baju hangat.
Lama sekali Jack dan Philip pergi. Adik adik mereka yang menunggu mulai tidak
"sabar. Kemudian menjadi agak cemas. Apakah yang terjadi dengan kedua anak laki-
laki itu" Dinah dan Lucy-Ann mengintip ke dalam lubang, mencoba melihat ke
bawah. Tapi mereka tidak mendengar apa-apa.
"Aduh, bagaimana sekarang" Apakah tidak sebaiknya mereka kita susul saja?" tanya
Lucy-Ann dengan bingung. la tahu pasti, nanti akan ketakutan apabila menyusur
lorong tersembunyi yang gelap itu. Tapi apabila Jack memerlukan bantuan, ia
takkan ragu-ragu melompat ke bawah dan menyusul abangnya itu.
"Sebaiknya kita memanggil Jo-Jo untuk menolong," kata Dinah. "Kurasa ia perlu
membawa tali Jack dan Philip takkan bisa memanjat ke atas sini, kalau tidak
dibantu." "Tidak kita jangan memanggil Jo-Jo," kata Lucy-Ann. Ia tidak senang pada laki-
"laki itu, dan juga takut padanya. "Kita tunggu saja sebentar lagi. Mungkin
lorong itu sangat panjang."
Dugaannya tepat. Lorong itu panjang jauh lebih panjang daripada sangkaan Jack
"dan Philip semula. Lagi pula sangat gelap. Lilin sebatang yang dibawa tidak
banyak membantu meneranginya. Berulang kali kepala Jack dan Philip terantuk ke
sisi atasnya, karena di beberapa tempat tinggi lorong cuma sampai ke bahu.
Semakin ke dalam, lorong itu semakin kering. Akhirnya tidak tercium lagi bau
rumput laut. Tapi udara di situ pengap, seperti tak pernah mengalami pergantian.
Sesak napas mereka. "Kurasa udara di sini tidak baik," kata Philip tersengal-sengal. "Napasku sesak.
Beberapa kali tadi kusangka nyala lilin kita akan padam, Bintik. Itu berarti di
sini sedikit sekali zat asam. Kurasa sebentar lagi kita akan sampai di ujung
lorong." Ketika ia sedang berkata demikian, tahu-tahu lorong itu mengarah terjal ke atas
dan seperti berjenjang-jenjang, Tahu tahu berakhir pada dinding batu.
?"Ternyata bukan lorong ke mana-mana tapi cuma celah dalam tebing seperti
"katamu tadi," kata Philip kecewa. "Tapi ini kelihatannya kayak tangga yang kasar
buatannya!" Cahaya lilin menerangi tempat yang dimaksudkan. Ya itu memang anak tangga.
"Rupanya ada yang membuatnya dulu. Tapi untuk apa?"
Jack mengangkat lilin ke atas kepala lalu berseru kaget.
?"Lihatlah! Bukankah itu tingkap, yang di atas kepala kita?" katanya. "Rupanya ke
situlah tujuan lorong ini. Ke tingkap! Yuk kita coba membukanya."
"Benarlah. Di atas kepala mereka nampak tingkap terbuat dari kayu, menutupi
sebuah lubang. Mudah-mudahan mereka bisa membukanya. Akan di manakah mereka
nanti". Bab 8 DALAM GUDANG DI BAWAH TANAH
"Yuk kita mendorongnya bersama-sama," kata Philip bersemangat. "Kutaruh saja
lilin di tepi batu ini. Lilin yang menyala ditancapkannya ke dalam sebuah
retakan yang ada di tepi batu. Kemudian dibantunya Jack mendorong tingkap kayu
yang ada di atas kepala mereka. Debu berhamburan, menyebabkan Philip
terkejap kejap karena matanya kemasukan abu. Jack sempat memejamkan matanya "cepat-cepat.
"Sialan!" kata Philip sambil menggosok-gosok mata. "Yuk kita coba lagi. Tadi aku
merasa tingkap itu bergerak sedikit."
Keduanya lantas mencoba sekali lagi. Dan sekali itu tingkap bergerak sedikit.
Lalu terjatuh kembali. Debu berhamburan. "Ambil batu besar, supaya kita bisa berdiri di atasnya," kata Jack bersemangat.
"Jika didorong lebih kuat, kurasa kita akan berhasil membukanya."
Mereka menemukan tiga atau empat batu yang pipih. Batu-batu itu ditumpukkan,
lalu mereka berdiri di atasnya. Dan sekali lagi mereka mendorong tingkap ke
atas. Tingkap itu terdorong, lalu jatuh terbalik ke lantai. Di atas kepala Jack
dan Philip nampak lubang persegi empat.
"Junjung aku ke atas, Jack." kata Philip. Jack mendorongnya begitu kuat,
sehingga ia melesat lewat lubang tingkap dan terjatuh ke lantai batu yang
terdapat di atas. Tempat itu gelap. Philip tidak bisa melihat apa-apa.
"Kemarikan lilin itu, Bintik," kata Philip, "setelah itu kutolong kau naik."
Lilin disodorkan ke atas. Tapi tiba-tiba padam.
"Sialan," umpat Philip. Tiba-tiba ia berseru kaget, "Astaga! Apa itu tadi?"
"Kurasa Kiki," kata Jack. "Ia terbang ke atas."
Selama mereka berada dalam lorong tersembunyi, Kiki sama sekali tak mengoceh.
Berbunyi saja pun tidak. Burung kakaktua itu takut berada di tempat asing yang
gelap itu. Sepanjang jalan ia bertengger terus di pundak Jack.
Philip menolong Jack naik. Setelah itu ia merogoh-rogoh kantong, mencari korek
api untuk menyalakan lilin kembali.
"Di mana kita sekarang, ya?" tanyanya. "Aku sama sekali tidak tahu."
"Rasanya kayak di balik dunia," kata Jack. "Nah begini kan lebih baik, kita
"bisa melihat lagi."
Lilin yang sudah menyala diangkatnya tinggi-tinggi. Kedua anak itu memandang
berkeliling. "Aku tahu sekarang," kata Philip dengan tiba-tiba. "Kita berada dalam salah satu
gudang bawah tanah di Craggy-Tops. Lihatlah di situ ada kotak-kotak tempat
"menyimpan barang-barang. Kaleng kaleng makanan dan sebagainya.
" ?"Ya, betul,` kata Jack. "Wah, banyak sekali barang-barang yang disimpan bibimu
di sini! Hebat sekali petualangan `kita tadi. Menurut pendapatmu, tahukah paman
dan bibimu tentang lorong rahasia itu?"
"Kurasa tidak," jawab Philip. "Kalau tahu, tentu saja diceritakannya pada kami!
Aku rasanya tidak begitu mengenal bagian gudang yang ini. Nanti dulu di mana
"pintu ke luar?"
Kedua anak itu berkeliaran dalam ruangan, mencari jalan ke luar. Kemudian sampai
di depan sebuah pintu kokoh, terbuat dari kayu. Tapi ternyata pintu itu
terkunci. "Sialan!" umpat Philip dengan kesal. "Sekarang kita terpaksa kembali lagi lewat
lorong tadi. Sebetulnya aku agak segan. Lagi pula, ini bukan pintu yang menuju
dari gudang ke dapur. Di pintu itu, sebelumnya kita harus menaiki tangga dulu.
Mestinya ini pintu yang memisahkan sebagian dari gudang di bawah tanah. Menurut
perasaanku, aku belum pernah melihat pintu ini sebelumnya."
"Ssst! Dengar itu kan ada orang datang?" kata Jack dengan tiba-tiba. "Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi langkah.
"Ya itu Jo-Jo," kata Philip. Ia mengenali bunyi batuk-batuk 0rang itu. "Yuk,
"kita bersembunyi! Aku tidak mau bercerita padanya mengenai lorong tadi. Kita
jadikan rahasia kita sendiri. Cepat, Jack tutup kembali tingkap itu! Kemudian
"kita bersembunyi di balik tiang melengkung ini. Nanti kalau Jo-Jo membuka pintu,
kita cepat-cepat menyelinap ke luar. Padamkan lilin itu."
Tingkap ditutup kembali dengan hati-hati. Lilin dipadamkan, lalu mereka
menyembunyikan diri di balik tiang melengkung dekat pintu. Terdengar bunyi anak
kunci dimasukkan ke dalam lubangnya pada daun pintu. Pintu terbuka, dan Jo-Jo
muncul. Kelihatan tubuhnya besar sekali, diterangi cahaya lampu berkelip-kelip yang
dibawanya. Pintu dibiarkannya ternganga, sementara ia menuju ke bagian belakang
ruangan di mana tersimpan perbekalan.
Jack dan Philip memakai sepatu bersol karet. Jadi sebetulnya mereka bisa
berhasil menyelinap pergi, tanpa ketahuan oleh Jo-Jo. Tapi justru saat itu
timbul lagi keisengan Kiki. la menirukan suara Jo-Jo batuk. Bunyinya menggema
dalam gudang. Lampu yang dipegang laki-laki berkulit hitam itu terlepas dari tangannya.
Terdengar bunyi kaca pecah, dan lampu padam. Jo-Jo terpekik ketakutan dan lari
ke luar, tanpa sempat menutup pintu kembali. Saat itu ia menyenggol kedua anak
yang bersembunyi. Jo-Jo terpekik lagi ketakutan.
Kiki senang mendengar akibat batuk tiruannya tadi. la mengeluarkan pekik
melengking, yang menyebabkan Jo-Jo semakin terbirit-birit lari ke ruangan gudang
yang satu lagi, menaiki tangga menuju pintu gudang yang di atas. Nyaris saja ia
jatuh terjerembab ketika muncul dalam dapur. Bibi Polly terlompat karena kaget.
. "Ada apa" Apa yang terjadi?"
"Ada macam-macam di bawah!" kata Jo-Jo terengah-engah. Mukanya yang hitam legam
nampak pucat. "Macam-macam" Apa maksudmu?" tanya Bibi Polly galak.
"Macam-macam, yang menjerit lalu mencengkeram aku," kata Jo-Jo. la merebahkan
diri ke kursi. Bola matanya terputar-putar, sehingga Cuma putihnya saja yang
kelihatan. "Ah, omong kosong!" kata Bibi Polly, sambil mengaduk saus dalam panci. "Aku juga
tidak mengerti, untuk apa kau tadi turun ke bawah. Pagi ini kita kan tidak
memerlukan apa-apa dari situ. Kentang cukup banyak di sini. Sudahlah, Jo-Jo.
Nanti anak-anak ketakutan melihat tingkahmu itu."
Jack dan Philip tertawa terpingkal-pingkal, ketika Jo-Jo yang malang lari
pontang-panting ketakutan, sambil menjerit-jerit. Mereka tertawa terus, sampai
perut terasa sakit karena kebanyakan tertawa.
"Yah Jo-Jo selalu berusaha menakut-nakuti kita dengan segala macam dongengnya
"mengenai 'macam-macam' yang berkeliaran malam hari," kata Jack, "dan sekarang ia
sendiri yang terjebak dongeng konyolnya itu."
"He anak kunci ditinggalnya di pintu," kata Philip yang sudah menyalakan lilin"kembali. "Yuk,
kita ambil saja. Jadi apabila ingin melalui lorong di bawah itu lagi, kita
selalu bisa masuk lewat sini."
Anak kunci yang besar itu dikantonginya sambil nyengir. Mungkin Jo-Jo nanti
menyangka anak kunci itu diambil macam-macam yang selalu diocehkannya.
" "Kemudian kedua anak itu masuk ke ruangan gudang yang mereka kenal. Philip
memperhatikan pintu yang baru saja dilewati.
"Aku tak pernah tahu bahwa di belakang ruangan ini masih ada ruangan lain,"
"katanya sambil memandang berkeliling dalam ruangan bawah tanah yang luas itu.
"Kenapa selama ini aku tak pernah melihat bahwa di sini ada pintu lagi"
?"Rupanya peti-peti itu ditumpukkan di depannya, supaya tidak kelihatan," kata
Jack. Di dekat pintu ada peti-peti kosong. Baru saat itu Philip ingat, pernah
melihat tumpukan peti yang tinggi, setiap kali ia masuk ke dalam gudang.
Ternyata ditumpukkan dengan rapi, menutupi pintu itu.
Pasti itu siasat Jo-Jo, untuk mencegah supaya anak-anak jangan masuk ke ruangan
gudang yang satu lagi, di mana tersimpan berbagai barang. Pokoknya, Jo-Jo takkan
bisa menghalangi mereka lagi untuk masuk ke situ.
"Kita bisa masuk ke gudang lewat lorong tersembunyi, atau lewat pintu, karena
anak kuncinya ada padaku sekarang," pikir Philip. Ia merasa senang, karena kini
ia bisa memperdayai Jo-Jo kapan saja ia mau.
"Kurasa tangga itu menuju ke dapur, ya?" kata Jack sambil menuding. "Menurutmu,
aman tidak jika kita naik sekarang" Jangan sampai ada yang melihat kita, karena
nanti macam-macam pertanyaan yang diajukan."
"Biar aku saja yang menyelinap dulu ke atas," kata Philip. "Kubuka pintu
sedikit, untuk mendengarkan apakah ada orang di situ atau tidak"
Dan ia pun naik ke atas. Ternyata Jo-Jo sudah keluar. Sedang bibinya juga tidak
ada lagi di dapur. Karenanya Jack dan Philip bisa menyelinap keluar lewat pintu
luar, lalu lari menuruni jalan kecil di sisi tebing tanpa ketahuan orang.
"Dinah dan Lucy-Ann pasti bingung dan bertanya-tanya, apa sebetulnya yang
terjadi dengan kita," kata Jack. la tiba-tiba teringat pada kedua anak perempuan
itu, menunggu dengan sabar di dekat lubang tempat mereka tadi terpeleset masuk
ke dalam lorong. "Yuk, kita kejutkan mereka! Pasti saat ini mereka sudah
menunggu kita muncul kembali dari dalam lubang jadi takkan menyangka kita
"datang dari arah sini."
Mereka turun terus ke pantai berbatu, lalu menuju ke gua-gua yang mereka datangi
tadi pagi. Keduanya masuk ke gua yang ada lubangnya di dasar. Dinah dan Lucy-Ann
masih duduk dekat lubang itu. Kedua anak perempuan itu sedang berunding dengan
cemas. "Kita harus mencari pertolongan sekarang juga." kata Lucy-Ann. "Aku yakin, pasti
ada sesuatu yang terjadi dengan Jack dan Philip. Pasti!"
Saat itu Philip melihat bintang laut raksasa yang menyebabkan segala kejadian
yang dialami tadi. Dipungutnya bintang itu, tanpa menimbulkan suara, lalu
menyelinap mendekati Dinah. Diletakkannya binatang melata itu ke lengan adiknya.
Dinah terpekik sambil meloncat bangun.
"Hii - Philip sudah kembali! Anak setan! Awas, kalau aku berhasil menangkapmu,
Philip! Kujambak rambutmu. biar tercabut semuanya! Anak jahat!"
Dinah menerpa Philip. Tapi abangnya itu cepat cepat lari ke luar dari gua,
" sambil berseru-seru senang. Lucy-Ann merangkul Jack. Anak perempuan itu tadi
benar-benar cemas memikirkan nasib abangnya.
"Jack! Aduh. Jack, apakah yang terjadi denganmu tadi" Lama sekali aku menunggu.
Bagaimana kau bisa tahu-tahu muncul lewat situ" Ke mana tujuan lorong yang di


Lima Sekawan 01 Petualangan Di Pulau Suram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawah?" Jack tidak mungkin bisa menjawab, karena suara pekik dan jerit Philip serta
adiknya berisik sekali di luar. Mana Kiki ikut menjerit-jerit, bunyinya seperti
peluit kereta api cepat dalam terowongan.
Philip bergulat dengan Dinah. Anak perempuan itu marah sekali. Ia berhasil
menangkap abangnya. dan kini memukulinya sepuas puasnya.?"Kuhajar kau sekarang! Hah, berani-berani mencampakkan binatang menjijikkan itu
padaku. Kau kan tahu, aku jijik sekali pada tapak-tapak. Kujambak rambutmu, biar
tercabut semual" Tapi Philip berhasil membebaskan diri. Ia lari, meninggalkan beberapa lembar
rambut dalam genggaman Dinah. Anak perempuan itu menoleh pada Jack dan Lucy-Ann
dengan pandangan masih marah.
"Anak itu jahat! Biar, aku tak mau bicara dengannya lagi, selama beberapa hari.
Kenapa aku harus punya abang kayak dia!" `
"Dia kan cuma main-main saja," kata Jack. Tapi ucapan yang maksudnya hendak
menyabarkan itu, malah menambah gawat suasana. Dinah mengamuk terhadap Jack
pula. Tampangnya galak sekali, sampai Lucy-Ann ketakutan. Ia sudah siap membela
Jack, apabila abangnya sampai diserang oleh Dinah.
"Aku tak mau tahu lagi dengan kalian semua," kata Dinah, lalu pergi sambil
cemberut. "Sekarang dia takkan bisa mendengar, apa yang kami temukan tadi," kata Jack.
"Tapi galak sekali dia itu! Yah, padamu sajalah kami bercerita, Lucy-Ann. Kami
tadi mengalami petualangan seru.
Dinah yang pergi sambil marah marah, tiba-tiba teringat bahwa ia belum mendengar
"cerita tentang lorong tersembunyi. dan di mana keluarnya. Seketika itu juga ia
berpaling dan kembali. Ia melupakan kemarahannya.
Dilihatnya Lucy-Ann bersama Jack dan Philip. Philip memutar tubuh, ketika
adiknya datang. Tapi begitu cepat Dinah marah, sebegitu cepat pula ia bisa baik
kembali. Dipegangnya lengan abangnya.
"Maaf, Philip," katanya. "Apa yang terjadi dengan kalian tadi dalam lorong
tersembunyi itu" Aku ingin tahu."
Perdamaian sudah pulih, dan beberapa saat setelah itu nampak Dinah dan Lucy-Ann
dengan penuh perhatian mendengarkan cerita kedua abang mereka.
"Wah tadi itu benar-benar petualangan hebat," kata Jack. Ia melanjutkan
"ceritanya. Bab 9 PERAHU TAK DIKENAL Dinah dan Lucy-Ann tidak mau diajak masuk ke dalam lorong tersembunyi, biarpun
sudah dibujuk-bujuk oleh kedua abang mereka. Kedua perempuan itu ngeri
membayangkan lorong gelap dan sempit berliku-liku. Memang, mereka juga
beranggapan petualangan itu asyik. Tapi mereka tidak ingin merasakan
keasyikannya sendiri, merangkak-rangkak di dalamnya.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 19 Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut Bunga Dalam Lumpur 1
^