Pencarian

Rawa Rahasia 2

Lima Sekawan 13 Rawa Rahasia Bagian 2


diambilnya" George merasa kesal, lega, malu dan senang sekaligus , ia tertegun
di ambang pintu, tak tahu apakah harus merengut atau tersenyum. Tapi kawan-
kawannya sudah mendului. "Halo George i" seru Dick. 'Tanpa kamu. rasanya seperti
ada yang kurang tadi ,"
"Bagaimana sakit kepalamu?" tanya Anne. "Mudah-mudahan sudah sembuh."
"Halo," seru Henry. "Sayang kau tak ikut tadi. Kami asyik tadi ,"
"Tolong kami memasukkan kuda-kuda ini ke kandang, George," panggil Julian. "Lalu
ceritakan apa saja yang kaulakukan hari ini."
Timmy sementara itu sudah lari menghampiri mereka, sambil menggonggong-gonggong
dengan senang. Dan tahu-tahu George sudah ikut lari, sambil tersenyum senang.
"Halo ," serunya. "Sini, biar kutolong Kalian tadi merasa kehilangan aku" Aku
juga rindu pada kalian."
Dick dan Julian lega melihat George sudah biasa lagi. Soal sakit kepala sudah
tidak disinggung-singgung lagi. George sibuk melepaskan pelana dari punggung
kuda-kuda, sambil mendengar cerita anak-anak tentang pengalaman mereka sehari
itu. Kemudian berganti dia yang bercerita. Tentang si Ingus, tentang patrin,
serta tentang bagaimana ia menghadiahkan sapu tangan pada si Ingus.
"Tapi aku yakin, anak itu menyangka ia harus menjaga agar sapu tangan itu harus
tetap bersih mulus," katanye. "Selama aku ada bersamanya, dia tak pernah sekali
pun memakainya. Nah, itu bunyi lonceng - memanggil kita makan malam. Wah, kita
harus buru-buru, nih , Kalian lapar?"
"Terang dong ," kata Dick. "Walau tadi, setelah memakan sandwich yang dibekalkan
Bu Johnson, kusangka aku takkan mampu lagi makan malam. Bagaimana keadaan Clip?"
"Nanti sajalah kuceritakan, sambil makan," kata George. "Kau perlu bantuan,
Henry?" Henry melongo, mendengar George menyapanya dengan sebutan Henry - dan bukan
Henrietta. Tapi ia cepat memberi reaksi.
"Ah, tak usah - eh, George," jawabnya. "Aku bisa sendiri."
Makan malam kemudian menyenangkan suasananya. Anak-anak yang lebih kecil duduk
terpisah di meja lain. Jadi anak-anak besar bisa mengobrol sepuas hati.
Kapten Johnson sangat tertarik mendengar tentang rel tua yang ditemukan anak-
anak. "Aku tak tahu di sana ada rel," katanya. "Tapi kami juga baru lima belas tahun
tinggal di daerah ini. Jadi tentu saja tak banyak yang kami ketahui tentang
sejarah setempat. Sebaiknya kalian pergi ke Pak Ben untuk menanyakannya. Pak Ben
itu pandai besi. Sejak lahir ia selalu tinggal di sini. Sedang umurnya sekarang
sudah lebih dari delapan puluh tahuni"
"Kan ada beberapa ekor kuda yang perlu kami antar besok, untuk dipasangkan tapal
yang baru," kata Henry bergairah. "Saat itu kami akan bisa bertanya padanya ,
Wah, mungkin saja Pak Ben bahkan dulu ikut memasang rel itu."
"Kami juga melihat rombongan caravan kaum kelana, George," kata Julian. "Saat
itu kami sudah jauh masuk ke tengah padang Entah ke mana tujuan mereka itu.-
Menurut perkiraanku, mungkin ke pesisir. Bagaimana keadaan pesisir di ujung Rawa
Rahasia, Kapten Johnson?"
"Liar," jawab Kapten. "Tebing-tebing curam yang tidak bisa didaki, serta karang
dan batu-batu yang menjorok sampai ke tengah. Hanya burung-burung saja yang
hidup di sana. Di tempat itu orang tidak bisa berenang atau main perahu. Sama
sekali tak ada pantai."
"Aku sama sekali tidak bisa mengira-ngira, ke mana rombongan caravan Itu
menuju," kata Dick. "Benar-benar misterius. Mereka kan pergi tiap tiga bulan
sekali. Pak?" "Begitulah, kurang lebih," jawab Kapten Johnson. "Aku tak bisa membayangkan, apa
yang menarik kaum kelana itu pergi ke Rawa Rahasia. Benar-benar tidak bisa ,
Biasanya mereka tak pernah pergi ke tempat yang tidak ada sejumlah pertanian,
atau setidak-tidaknya desa kecil di mana mereka bisa menjajakan barang-barang
buatan mereka." "Aku kepingin menyusul mereka, untuk melihat di mana mereka berada dan apa yang
mereka lakukan di situ," kata Julian, sambil mengunyah telor rebus. Sudah tiga
butir dimakannya. "Yuk ," kata George setuju.
"Tapi bagaimana caranya" Kita kan tidak tahu, mereka ke mana," kata Henry.
"si Ingus besok akan menyusul mereka," kata George. "Pokoknya, begitu Clip sudah
boleh berjala lagi. Dan ia harus mengikuti jejak patrin yang ditinggalkan
kaumnya di jalan. Katanya sambil berjalan ia selalu mencari-cari tempat di mana
ada bekas-bekas api unggun. Lalu di samping tempat Itu ia akan melihat patrin.
Patrin itu berupa ranting-ranting yang menunjukkan arah yang harus diikuti
olehnya." "Lalu tanda-tanda itu kemudian pasti akan d rusak lagi olehnya," kata Dick.
"Jadi kita tidak bisa mengikutinya"
"Kita minta saja padanya, untuk meninggalkan patrin buatannya bagi kita," kata
George. "Kurasa ia pasti mau, Anak itu sebenarnya baik. Bisa saja kuminta
padanya untuk meninggalkan patrin banyak-banyak, supaya kita bisa menemukan
jalan dengan mudah."
"Kurasa akan asyik untuk mengetahui apakah kita bisa menyidik arah yang harus
ditempuh dangan cara semudah kaum kelana," kata Julian. "Bisa saja kita
merencanakan perjalanan berkuda selama sehari. Yang terang, pasti akan
mengasyikkan ," Henry menguap lebar sekali. Perbuatannya Itu membuat Anne ikut-ikut menguap,
walau tak selebar Henry. "Henry!" kata Bu Johnson menegur.
"Maaf Bu," kata Henry. "Tapi tahu-tahu saja aku menguap, tanpa sengaja. Entah
kanapa, tapi rasanya mengantuk sekali."
"Kalau begitu tidurlah sekarang," kata Bu Johnson lagi. "Kalian sudah sehari
penuh berada di alam terbuka, disinari cahaya matahari. Lihatlah, kulitmu sudah
coklat sekali. Walau sekarang baru musim semi, tapi sinar matahari hari ini
teriknya sudah seperti di musim panas saja"
Anak-anak besar masih keluar sebantar, untuk melihat kuda-kuda serta melakukan
beberapa tugas kecil. Kemudian Henry menguap lagi, disusul oleh yang lain-
lainnya. Sampai George pun ikut-ikut menguap.
"Aku ingin masuk ke jerami ," kata Julian sambil tertawa. "Wah, membayangkan
pembaringan yang hangat itu saja sudah terlalu nikmat rasanya , Biar kalian
anak-anak perempuan tidur di tempat tiduri"
"Mudah-mudahan nanti tengah malam ayah si Ingus tidak muncul lagi," kata Dick.
"Akan kuikat palang pintu kandang, supaya dia tidak bisa masuk," kata Julian.
"Yuk, kita masuk lagi untuk mengucapkan selamat tidur pada Bu Johnson."
Tak lama kemudian anak-anak perempuan sudah berbaring di tempat tidur. Sedang
Dick dan Julian merebahkan diri ke atas pembaringan mereka di tengah jerami
dalam kandang. Keduanya langsung terlelap. Ternyata malam itu tidak ada orang
masuk menyelinap. Tak ada yang mengganggu tidur mereka sampai pagi. Keduanya
kaget lalu bangun, ketika pagi-pagi ada ayam jantan masuk lewat jendala.
Ayam itu duduk pada kasau yang letaknya tak jauh dari kepala Dick dan Julian,
lalu berkokok dengan nyaring.
"Apa itu?" tanya Dick. "Bunyi apa itu, yang menyakitkan kuping" Kau itu tadi,
Ju?" Saat itu ayam jantan tadi berkokok lagi. Dick dan Julian tertawa.
"Sialan!" umpat Julian, sambil merebahkan diri kembali. "Rasanya masih ingin
tidur beberapa jam lagi."
Pagi itu si Ingus muncul lagi. ia masuk menyelinap. Anak itu tak pernah muncul
secara terang-terangan. Selalu menyusup menembus pagar semak, atau menyelinap
lewat gerbang, atau tahu-tahu muncul dari balik sudut rumah atau pagar. Begitu
memasuki pekarangan istal, langsung dilihatnya George. Dihampirinya anak itu.
"George!" sapa si Ingus. "Clip sudah sembuh?"
"Sudah!" jawab George. "Kata Kapten Johnson, kau boleh mengambilnya hari ini
juga. Tapi tunggu dulu, Ingus Sebelum kau pergi, aku ingin minta tolong padamu."
si Ingus senang mendengarnya, ia suka pada anak yang disangkanya laki-laki, yang
menghadiahinya sapu tangan yang bagus sekali. Dikeluarkannya lembaran kain itu
dari kantongnya, dengan harapan George senang karenanya.
"Lihat" kata si Ingus. "Bersih sekali, ya" Aku merawatnya dengan teliti." ia
menyedot ingus dengan bunyi nyaring.
"Kau ini dungu," kata George jengkel. "Sapu tangan itu kuberikan agar kaupakai
bukan disimpan dalam kantong supaya tetap bersih. Gunanya, supaya kau jangan
tersedot sedot terus menarik ingus ke dalam hidung. Sungguh, kau ini goblok,
Ingus Jika sapu tangan itu tidak kaupakai, nanti kuambil lagi!"
si Ingus ketakutan mendengar ancaman itu. D kibaskannya sapu tangan dengan hati-
hati sehingga terbeber lebar, lalu disentuhkannya pelan-pelan ke hidungnya.
Setelah itu dilipatnya kembali dengan seksama seperti semula, lalu dimasukkan ke
kantong. "Sekarang jangan tarik ingusmu lagi!" tukas George sambil manahan tertawa.
"Begini, Ingus! Kau tahu kan - patrin yang kautunjukkan padaku kemarin?"
"Ya, George," kata si Ingus.
"Nah, - apakah kaummu yang sudah berangkat lebih dulu meninggalkan jejak untuk
kauikuti" Maksudku, supaya kau tahu jalan?" tanya George.
si Ingus mengangguk. "Ya, tapi tidak banyak! Soalnya, aku sudah dua kali lewat jalan itu. Mereka cuma
akan membuat patrin di tempat-tempat, di mana aku mungkin bisa salah jalan."
"O, begitu," kata George. "Nah, sekarang kami i-Ingin mengadakan semacam
permainan. Kami ingin tahu, siapa di antara kami yang bisa mengikuti jejak. Kami
minta tolong padamu, supaya membuatkan patrin untuk kami banyak-banyak,
sementara kau menyusul kerabatmu hari ini. Bagaimana - mau tidak?"
"Tentu saja aku mau," jawab si Ingus. Anak itu merasa bangga, karena dimintai
pertolongan. "Aku akan menaruh tanda-tanda yang sudah kutunjukkan padamu. Jadi
silang, ranting-ranting panjang, serta daun yang besar dan yang kecil."
"Ya, tolonglah," kata George. "Itu kan berarti kau berangkat menuju arah
tertentu. Dan kau seorang anak, beserta seekor anjing. Betul, kan?"
"Ya," kata si Ingus sambil terangguk-angguk. "Kau ingat rupanya ,"
"Memang, Kami ingin mengadakan suatu permainan. Kami pura-pura menjadi kaum
kelana, yang menyusul kawan-kawan yang sudah berangkat lebih dulu," kata George.
'Tapi kalau kalian sudah dekat ke kelompok caravan kami, kalian jangan sampai
kelihatan," kata si Ingus. Tiba-tiba anak itu ketakutan. "Bisa repot aku nanti,
jika ketahuan telah menaruh patrin untuk kalian."
"Baiklah, kami akan hati-hati," kata George. "Sekarang kita mengambil Clip."
Kemudian mereka pergi ke kandang, untuk mengambil kuda belang itu. Kuda yang
sabar itu senang, ketika dituntun ke luar. Jalannya sudah tidak pincang lagi.
Ternyata ada gunanya ia disuruh istirahat beberapa hari. Diikutinya si ingus
dengan langkah cekatan. Sebelum menghilang lagi, si Ingus masih terdengar
menyedot ingusnya. "Ingus" seru George memperingatkan. si Ingus merogoh kantong untuk mengambil
sapu tangan. Kain itu dilambai-lambaikannya dengan gembira. Anak itu nyengir
bandel. George kembali ke teman-temannya.
"Clip sudah dibawa pergi oleh si Ingus," katanya. "Sekarang bagaimana jika kita
mendatangi pandai besi, untuk mengantarkan kuda-kuda yang perlu tapal baru?"
"Ide bagus," kata Julian. "Kita akan bisa bertanya tentang Rawa Rahasia, serta
rel aneh yang terbentang di sana. Yuk, sekarang saja kita ke tempatnya."
Ada anam akor kuda yang memerlukan tapal baru. Anak-anak karenanya bisa
menunggang kuda, sementara kuda yang keenam dipegang tali kendalinya oleh
Julian. Timmy berlari-lari dengan gembira mengiringi mereka. Anak-anak berkuda
lambat-lambat, menyusur jalan desa yang panjang menuju ke tempat pandai besi.
"Itu dia tempatnya!" kata George kemudian. "Wah, rupanya bengkel model kuno,
dengan perapian terbuka , Dan itu dia pandai besi ,"
Pak Ben bertubuh kekar, walau usianya sudah delapan puluh tahun lebih, ia sudah
tidak sering lagi memasang tapal ke kuku kuda. ia sedang duduk-duduk di tempat
yang disinari cahaya matahari, sambil memperhatikan kesibukan yang terjadi ke
sekelilingnya. Rambutnya sudah putih semua, tumbuh lebat separti surai. Matanya
hitam, sehitam batu arang yang sudah begitu sering dijadikannya nyala pijar.
"Selamat pagi, Nona dan Tuan-tuan muda," sapa Pak Ben. Julian nyengir
mendengarnya. Nah, pasti dalam hati George dan Henry senang - karena disangka
anak laki-laki, pikirnya.
"Kami ingin bertanya sedikit. Pak," kata George sambil turun dari kudanya.
"Silakan bertanya ," kata laki-laki tua itu. "Jika persoalannya tentang daerah
sini, tak banyak yang tidak bisa Pak Ben kisahkan pada kalian. Serahkan saja
kuda-kuda itu pada Jim , Nah, sekarang bertanyalah ,"
Bab 9 Cerita Pandai Besi Begini pak," kata Julian membuka pertanyaan, "kemarin kami melancong naik kuda
ke Rawa Rahasia. Kami ingin tahu, adakah alasan tertentu untuk nama aneh itu.
Pernahkah ada rahasia di padang belantara itu?"
"O, di sana banyak sekali rahasia," jawab Pak Ben. "Misalnya orang-orang yang
tersesat dan tak pernah muncul kembali , Atau bunyi-bunyi aneh, yang tidak
diketahui apa yang menyebabkannya, lalu
"Bunyi aneh bagaimana?" tanya Anne, yang langsung tertarik.
"Dulu sewaktu aku masih anak-anak, aku sering pergi ke sana untuk berkemah,"
kata Pak Ben. "Macam-macam bunyi yang terdengar di tempat itu , Jeritan, auman,
begitu pula erangan dan bunyi kelepak sayap lebar
"Ah, itu kan mungkin disebabkan oleh binatang-binatang yang hidup di situ," kata
Dick. "Aku pernah mendengar teriakannya begitu keras, sampai aku terlompat
karena kaget. Jika aku saat itu tidak tahu yang berbunyi itu burung hantu,
mungkin aku sudah lari pontang-panting ketakutan!"
Pak Ban tersenyum geli. Mukanya yang sudah keriput, bertambah banyak kerutnya.
"Kenapa padang belantara itu diberi nama Rawa Rahasia?" tanya Julian lagi.
"Sudah tuakah nama itu?"
"Sewaktu kakekku masih kecil, tempat itu disebut orang Rawa Kabut," kata pak
pandai besi, sambil mengenang. "Rawa Kabut dan bukan Rawa Rahasia. Soalnya
karena kabut yang sering datang melayang dari arah pesisir. Begitu tebal
menyelubungi, sehingga tangan di depan muka kita pun sudah tidak kelihatan lagi.
Ya - aku sendiri pernah tersesat di sana, ketika sedang berkabut. Wah, aku
ketakutan setengah mati. Kabut itu bergerak-gerak di sekelilingku seperti
makhluk hidup, yang menyentuh diriku dengan jari-jemarinya yang dingin lembab."
"Hih, seram!" kata Anne bergidik. "Lalu, apa yang Anda lakukan?"
"Ya. aku langsung lari ketakutan," kata Pak Ben. Laki-lak tua itu mengeluarkan
pipanya, dan mengamat-amati tempat tembakau yang kosong. "Ku-landa rumput liar
yang menghadang, kutubruk semak belukar. Berulang kali aku jatuh. Sementara itu
kabut terasa seperti menarik-narik diriku dengan jemarinya yang lembab. ,tulah
kata orang-orang tua tentang kabut itu. Kabut di situ selalu berusaha menarik
orang yang tersesat ke dalam perangkapnya ,"
"Padahal cuma kabut biasa saja," kata George, ia menduga Pak Ben sengaja membuat
kisah itu lebih seram dari sesungguhnya. "Lalu apakah masih sering tempat itu
terselubung kabut?" "0 ya," kata Pak Ben, sambil menghenyakkan segumpal tembakau ke dalam cembung
pipa. "Saatnya musim gugur. Tapi bisa saja sekonyong-konyong datang, pada setiap
saat. Pernah kualami kabut itu tiba-tiba datang menjelang senja di suatu hari
yang cerah pada musim panas. Datangnya merayap rayap Kalau kita tidak cepat
sadar, tahu-tahu kita terjebak di dalamnya!"
"Apa maksud Anda - terjebak?" tanya George.
"Yah, kabut itu bisa berhari-hari menyelubungi tempat itu," kata Pak Ben
menjelaskan. "Dan jika tersesat di Rawa Rahasia, itu artinya sungguh-sungguh
tersesat Takkan mungkin kembali lagi. Ya, kalian boleh saja tersenyum - tapi aku
tahu pasti" Pak Ben merenung lagi sambil menatap pipa di tangannya, ia
mengingat-ingat kejadian masa yang sudah lama lampau. "Misalnya saja Bu Banks,
yang pada suatu sore musim panas pergi ke sana untuk memetik arbei liar. Tahu-
tahu kabut menyergap. Sejak itu tidak ada kabar benta lagi mengenai wanita tua
yang malang itu. Lalu ada lagi si Victor, anak yang membolos karena hendak
keluyuran di Rawa Rahasia. Dia pun lenyap untuk selama-lamanya, ditelan kabut."
"Rupanya kami perlu berjaga-jaga terhadap kabut, apabila pesiar naik kuda lagi
di sana," kata Dick. "Baru sekarang aku mendengarnya."
"Ya - sebaiknya kalian waspada," kata Pak Ben. "Selalu arahkan pandangan ke
pesisir, karena dari arah itulah kabut datang. Tapi sekarang sudah tidak banyak
lagi kabut. Aku tidak tahu kenapa begitu. Ya, kalau kupikir-pikir, sejak hampir
tiga tahun belakangan ini tak pernah lagi terjadi kabut. Maksudku kabut
sungguhan, yang tebali"
"Aku masih ingin tahu, apa sebabnya nama yang lama kemudian berganti menjadi
Rawa Rahasia," kata Henry. "Kalau Rawa Kabut, bisa kumengerti. Tapi sekarang
semua menamakannya Rawa Rahasia, dan bukan Rawa Kabut lagi."
"Yah, itu mestinya terjadi sekitar tujuh puluh tahun yang lalu, ketika aku masih
kanak-kanak," kata Pak Ben. Orang tua itu menyalakan pipanya, lalu menyedot-
nyedot dengan keras supaya tembakau menyala. Kelihatan ia merasa senang. Tidak
sering ia menghadapi pendengar yang begitu berminat seperti kelima remaja yang
ada di depannya saat itu. Bahkan anjing besar yang ikut dengan mereka, turut
mendengarkan dengan asyiki


Lima Sekawan 13 Rawa Rahasia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saatnya ketika keluarga Bartle membangun lintasan rel ke tengah padang."
katanya memulai kisah, ia terhenti, karena anak-anak berseru kaget.
"Wah, jadi Anda tahu tentang rel itu ,"
"Justru itu yang juga ingin kami tanyakan ,"
"Teruslah, Pak"
Pak Ben agak mengalami kesulitan dengan pipanya, ia menyedot-nyedot lama sekali.
Dalam hati George merasa sayang ia bukan kuda. Coba ia kuda, bisa mengentakkan
kaki dengan tidak sabar. Tapi anak yang sopan tidak boleh berbuat begitu ,
"Keluarga Bartle itu besar," kata Pak Ben kemudian. 'Semua laki-laki, kecuali
seorang anak perempuan yang sakit-sakitan. Aku ingat sekali pada mereka.
Semuanya pemuda bertubuh kekar. Aku ngeri pada mereka, karena semuanya cepat
sekali melayangkan tinju. Nah - salah seorang di antara mereka. Dan namanya - ia
menemukan bidang tanah pasir yang cukup besar di padang itu ..."
"Ya, sudah kami duga bahwa di tempat itu dulu mungkin ada tempat penggalian
pasir." sela Anne. Pak Ben mengerutkan kening, karena ceritanya terpotong.
"Dan karena keluarga Bartle bersaudara itu terdiri dari sembilan sampai sepuluh
pemuda yang kuat-kuat, mereka lantas bertekad hendak mencobanya," kata Pak Ben.
"Mereka membeli gerobak-gerobak dan dengan kendaraan-kendaraan itu pulang balik
ke tempat penggalian mereka. Mereka menjual pasir yang halus dan kering ke
segala arah di daerah siIni ..."
"Tapi bagaimana dengan soal rel?" tanya Henry.
"Jangan mendesak-desak," kata Dick sambil mengerutkan kening.
"Banyak sekali uang yang dihasilkan," kata Pak Ben mengingat kembali. "Lalu
setelah itu mereka membangun rel kereta api, untuk menghemat tenaga. Wah, kereta
itu benar-benar menarik perhatian semasa itu , Kami, anak-anak kecil biasa
mengikuti kepala kereta yang berjalan sambil menghembus hembua. ,dam-idaman kami
semua adalah menjalankan kepala kereta itu. Tapi tak seorang pun pernah mendapat
kesempatan. Para pemuda Bartle itu biasa membawa-bawa tongkat besar. Masing-
masing satu. Setiap anak yang berani mendekat, pasti kena gebuk dengannya.
Keluarga Bartle itu galak-galak, dan senang bertengkar."
"Apa sebabnya rel kereta itu kemudian terbengkalai?" tanya Julian. "Kini penuh
ditumbuhi semak dan rumput liar, nyaris tak kelihatan lagi relnya."
"Nah, kini kita sampai pada rahasia yang tak henti-hentinya kalian sebut-sebut,"
kata Pak Ben, sambil menghembuskan asap tabal. "Keluarga Bartle kemudian
bertengkar dengan kaum kelana yang ada di padang ...
"Wah, rupanya waktu itu pun sudah ada kaum kelana di sana," kata Dick. "Yang
jelas sekarang ada" "Memang, sepanjang ingatanku sudah selalu ada kaum kelana di Rawa Rahasia," kata
pandai besi yang sudah lanjut usia itu. "Nah, menurut kabarnya kaum kelana itu
bertengkar dengan keiuarga Bartie Itu bukan kejadian luar biasa, karena hampir
semua orang cekcok dengan para pemuda yang gemar ribut itu , Lalu para kelana
melakukan aksi mereka. Menarik rel kereta di sana-sini, menyebabkan kereta
terguling." Anak-anak membayangkan betapa kepala kereta meluncur dengan suara mendengus-
dengus sampai ke bagian rel yang dirusak, lalu terguling bersama gerbong-gerbong
yang dihela. Wah, pasti gempar keadaan di padang belantara saat itu ,
"Kebetulan Bartle bukan termasuk orang-orang yang diam saja dibegitukan," kata
Pak Ben. "Mereka lantas beraksi, mengusiri para kelana dari Rawa Rahasia. Mereka
"bersumpah, jika ada satu saja caravan berani memasuki daerah itu, mereka akan
membakarnya. Sedang para kelana yang nekat itu akan mereka kejar sampai ke
lauti" "Huh, keluarga itu mestinya galak sekali," kata Anne.
"Betul katamu itu," kata Pak Ben. "Semuanya pria berbadan tinggi besar, dengan
alis tebal yang hampir menutupi mata, serta suara nyaring. Tak ada yang berani
membantah mereka. Jika ada juga yang mencoba, rumah orang yang nekat itu
langsung didatangi seluruh keluarga yang selalu siap dengan tongkat besar
mereka. Keluarga itu menguasai daerah ini. Orang-orang sini, semua benci pada
mereka , Kami anak-anak waktu itu selalu langsung lari bersembunyi, jika salah
seorang dari mereka tiba-tiba muncul."
"Bagaimana dengan kaum kelana" Apakah keluarga Bartle berhasil mengusir mereka
dari Rawa Rahasia?" tanya George tidak sabar.
"Aku jangan kauburu-buru begitu," kata Pak Ben, sambil menudingkan tangkai
pipanya pada anak itu. "Anak laki-laki yang tidak sabaran seperti kau ini,
rupanya perlu dikejar seorang keluarga Bartle ," Ternyata Pak Ben masih tetap
mengira George anak laki-laki. Setelah itu ia menyibukkan diri dengan pipanya.
Julian mengedipkan mata pada kawan-kawannya, ia suka pada orang tua itu, yang
panjang sekali ingatannya.
"Kaum kelana tidak bisa lama-lama dimusuhi," kata Pak Ben kemudian. "Sungguh,
mereka tidak baik jika dimusuhi. Pada suatu hari, seluruh keluarga Bartle hilang
lenyap. Dan tidak pernah kembali lagi. Tidak, tidak satu pun dari mereka pernah
muncul lagi. Yang masih tinggal dari keluarga besar itu cuma adik perempuan
mereka, Agnes." Anak-anak berseru kaget. Pak Ben memandang berkeliling dengan perasaan puas. Ya,
Pak Ben sangat ahli bercerita ,
'Tapi apa sebetulnya yang terjadi dengan mereka?" tanya Henry.
"Tak ada yang mengetahui dengan tepat," kata Pak Ben. "Peristiwa itu terjadi
pada suatu saat, ketika kabut datang menyelubungi segala-galanya di padang
belantara. Tak ada orang berani ke sana kecuali Bartle bersaudara. Mereka
sebetulnya aman, karena hanya perlu mengikuti alur rel kereta mereka pulang
balik. Selama padang berkabut mereka selalu pergi setiap hari ke tempat
penggalian pasir. Mereka bekerja seperti biasa. Tak ada yang bisa menghalangi
keluarga Bartle bekerja ,"
Pak Ben berhenti sebentar. Diperhatikannya anak-anak yang mendengar dengan
asyik. Setelah itu dilanjutkannya bercerita. Suaranya dipelankan. Anak-anak
merasa bulu tengkuk mereka berdiri karena seram.
"Pada suatu malam, seseorang di desa melihat sekitar dua puluh caravan kaum
kelana bergerak menyelinap lewat desa pada tengah malam buta," kata Pak Ben
lagi. "Mereka menembus kabut tebal, menuju ke tengah padang. Mungkin mereka
menyusur alur rel. Tak ada yang tahu pasti. Dan keesokan harinya, para pemuda
Bartle pergi ke tempat penggalian pasir mereka seperti biasa. Tubuh-tubuh mereka
langsung lenyap ditelan kabut."
Pak Ben berhenti lagi sebentar.
"Dan sejak itu mereka tak pernah muncul kembali," katanya. "Tidak, tak seorang
pun dari mereka pernah dilihat orang lagi. Bahkan kabar beritanya saja tak ada"
"Tapi apa yang terjadi dengan mereka?" tanya George.
"Ketika kabut terangkat lagi, orang-orang desa mengirim regu pencari ke sana,"
kata Pak Ben. "Tapi tak seorang pun dari keluarga Bartle berhasil ditemukan,
baik hidup maupun mati. Tak seorang pun , Sedang caravan-caravan kaum kelana,
juga tak dijumpai di situ. Rupanya mereka menyelinap kembali malam esoknya,
melewati desa seperti bayang-bayang. Kurasa mereka menyerang para pemuda itu di
tengah kabut hari itu, mengalahkan mereka dan membawa mereka ke tepi tebing,
lalu mencampakkan semuanya ke laut yang menggelora ,"
Hih mengerikan ," kata Anne. Perasaannya tidak enak.
"Jangan khawatir," kata Pak Ben. "Itu kan kejadian pada jaman dulu. Percayalah,
tak banyak yang bersedih kehilangan keluarga Bartle. Anehnya, Agnes adik mereka
yang semula sakit-sakitan itu, kemudian hidup sehat sampai berusia sembilan
puluh enam. Baru beberapa tahun yang lalu ia meninggal dunia , Sedang abang-abangnya yang
kuat dan galak itu, semuanya meninggal bersama-sama secara begitu ," "Kisah
menarik. Pak Ben," kata Julian. "Jadi mulai saat itu Rawa Kabut bertukar nama
menjadi Rawa Rahasia , Dan tak ada yang tahu pasti apa yang terjadi sebetulnya -
jadi rahasia itu tetap merupakan rahasia. Setelah itu, tidak adakah yang memakai
lintasan rel yang di sana itu, atau menggali pasir?"
"Tidak, tidak ada," jawab Pak Ben. "Soalnya semua takut. Sedang menurut Agnes
yang waktu itu masih muda, masa bodoh segala kereta beserta gerbong-gerbong itu.
ia tak peduli terhadap barang-barang itu. Sejak saat itu aku tak berani lagi
pergi ke dekat tempat itu. Baru lama kemudian orang-orang berani menginjakkan
kaki lagi di Rawa Rahasia. Selama itu cuma kaum kelana saja yang tetap datang ke
sana. Sekarang -kisah kejadian keluarga Bartle sudah dilupakan orang. Tapi aku
merasa pasti, kaum kelana masih tetap ingat. Mereka bukan tergolong orang yang
mudah lupa." 'Tahukah Anda, apa sebabnya mereka begitu sering datang ke Rawa Rahasia?" tanya
Dick., "Tidak tahu. Mereka datang dan pergi sesuka me raka," kata Pak Ben. "Mereka itu
memiliki kebiasaan yang aneh-aneh. Mereka manusia bebasi Apa yang mereka
kerjakan di sana merupakan urusan mereka sendiri, dan aku tak mau mencampuri
urusan mereka. Aku selalu ingat pada nasib keluarga Bartle, dan karena itu
menjauhi merekat" Saat itu terdengar suara memanggil dari dalam bengkel, di mana Jim, cucu Pak Ben
sedang sibuk memasang tapal kuda.
"Kek, Jangan mengoceh terus. Suruh anak-anak ke mari, mengobrol dengan aku,
Tapal kuda sudah hampir semua selesai kupasang." Pak Ben tertawa.
"Sana, masuklah ke dalam," katanya pada anak-anak. "Aku tahu kalian senang
berada di dalam, menonton api memercik pada saat tapal besi sedang ditempa. Aku
sudah membuang-buang waktu kalian, dengan cerita-cerita tentang masa yang sudah
lama silam. Nah, masuklah ke dalam bengkel! Tapi Ingat dua hal: hati-hati
terhadap kabut, serta jauhi kaum kelana di Rawa Rahasia!"
Edit by: zheraf http://www.zheraf.net Bab 10 Patrin si Ingus Asyik rasanya berada dalam bengkel. Menggerakkan alat penghembus angin,
memperhatikan api berkobar, mengamat-amati kesibukan membentuk tapal besi yang
memijar. Jim bekerja dengan cepat dan cekatan. Enak melihat dia bekerja.
"Kalian tadi mendengarkan Kakek menceritakan kisah-kisah kuno?" tanyanya sambil
bekerja. "Cuma itu saja kesibukannya sekarang. Duduk-duduk sambil mengenang masa
silam. Padahal kalau mau, dia masih mampu menempa tapal kuda sebaik aku, Nah,
ini yang terakhir. Sekarang diam dulu. Sultan. Ya, begitu ,"
Tak lama sesudah itu, anak-anak sudah berada dalam perjalanan kembali. Pagi itu
indah. Sepanjang jalan nampak bunga mekar
"Kisah yang diceritakan pak tua tadi aneh," kata Julian setelah beberapa lama.
"ia pandai bercerita ,"
"Batui. Aku dibuatnya merasa segan mendatangi Rawa Rahasia lagi ," kata Anne.
"Jangan cengeng begitu ," tukas George. "Kejadiannya kan pada jaman dulu. Tapi
menarik. Aku ingin tahu, apakah kaum kelana yang ada sekarang di sana mengenal
kisah itu. Mungkin nenek moyang mereka yang pada hari berkabut Itu menyerang
Bartle Bersaudara!" "Kalau ayah si Ingus, kelihatannya cukup licik untuk melaksanakan rencana
begitu," kata Henry. "Bagaimana jika kita mencoba mengikuti jejak mereka, untuk
melihat apakah kita bisa mengenali patrin yang dijanjikan pembuatannya oleh si
Ingus pada George?" "Itu ide bagus," kata Julian. "Kita melakukannya nanti siang. He, pukul berapa
sekarang" Kurasa sudah lewat waktu makan siangi"
Anak-anak memandang arloji masing-masing.
"Ya, kita agak terlambat. Tapi kan selalu begitu, jika kita pergi ke pandai
besi," kata George. 'Tapi tak apa, karena Bu Johnson pasti sudah menyediakan
makanan ekstra untuk kita."
Dugaan George ternyata tepat. Bu Johnson menyimpankan huspot masing-masing
sepiring penuh untuk mereka. Wanita itu memang baik hati,
"Kalian bertiga harus membantuku mencuci piring," katanya pada Henry, George dan
Anne. "Aku banyak pekerjaan hari ini."
"Kenapa anak-anak yang laki-laki tidak harus membantu juga?" tanya George dengan
segera. "Biar aku sendiri saja yang mencuci piring," kata Anne sambil nyengir. "Kalian
berempat yang laki-laki, pergi saja ke kandang kuda ,"
Dick mendorong adiknya itu dengan main-main.
"Kau tahu bahwa kami mau saja membantu, walau kami tidak begitu cekatan. Aku
yang mengelap. Soalnya aku paling tidak senang menyentuh sisa-sisa makanan yang
mengambang di bak cuci."
"Bisakah siang ini kami pergi ke Rawa Rahasia?" tanya George.
"Boleh saja, kenapa tidak, Tapi jika ingin membawa bekal, kalian harus
menyiapkannya sendiri," kata Bu Johnson. "Aku akan mengajak anak-anak yang kecil
pesiar berkuda, dan seorang di antara mereka kan masih perlu dituntun."
Pukul tiga siang, Julian serta kawan-kawannya sudah siap berangkat. Bekal
makanan sudah dikemaskan dan kuda-kuda sudah diambil dari tempat merumput di lapangan. Mereka
lantas memulai perjalanan dengan gembira.
"Sekarang akan kita lihat apakah kita memang sepintar anggapan kita, dalam soal
membaca jejak kaum kelana," kata George. "Timmy, kau jangan mengejar setiap
kelinci yang kaulihat, ya. Nanti ketinggalan!"
Anak-anak menderapkan kuda mereka menuju padang. Mereka melewati tempat
perkemahan kaum kelana beberapa hari yang lalu. Anak-anak tahu tujuan yang
ditempuh orang-orang itu. Di sana-sini nampak alur-alur bekas dilalui roda.
"Di sini mereka bermalam untuk pertama kalinya," kata Julian, sambit
menggerakkan kudanya menghampiri suatu tempat yang kehitam-hitaman di tanah. Di
situlah api unggun dinyalakan. "Mestinya di sini kita akan menemukan pesan."
Mereka lantas mencari-cari pesan itu. George yang berhasil menemukannya.
"Di sini, di balik pohon ini ," serunya memanggil. "Terlindung dari gangguan
angin." Anak-anak turun dari kuda masing-masing, lalu menghampiri George. Di tanah
nampak pola yang berbentuk silang. Ranting yang panjang menunjuk ke arah yang
sedang mereka tuju. Kecuali itu masih ada pula ranting-ranting lain yang disusun
satu-satu. Itu untuk menunjukkan bahwa iring-iringan caravan bergerak ke arah
itu. Di samping deretan ranting itu terletak dua lembar daun. Satu besar, sedang
yang satu lagi kecil. Keduanya ditindih batu-batu kecil.
"Apa lagi arti kedua daun ini?" tanya Dick. Tapi dengan segera ia ingat lagi. "0
ya, si Ingus beserta an jingnya. Nah, arah kita ternyata sudah benar - walau itu
sudah kita ketahui sebelumnya, karena di sini ada bekas api unggun ,"
Anak-anak melanjutkan perjalanan. Ternyata gampang saja menemukan dan mengikuti
patrin patrin itu. Cuma sekali mereka menemukan kesulitan. Yaitu ketika mereka
sampai di suatu tempat, di mana terdapat dua batang pohon. Di situ tidak nampak
tanda-tanda bekas roda dalam rumput.
"Tumbuhnya di sini tebal sekali, sehingga tidak berbekas ketika dilewati roda-
roda caravan," kata Julian, ia turun dari kudanya, lalu berjalan mondar-mandir.
Tapi di tempat itu ternyata tidak ada tanda-tanda bekas caravan lewat.
"Kita terus saja dulu," katanya. "Mungkin kita akan sampai ka tempat bekaa
perkemahan mereka. Dengan begitu kita akan tahu bahwa kita tidak salah arah."
Tapi mereka tidak menjumpai tempat perkemahan sama sekali. Akhirnya mereka
berhenti. Anak-anak agak bingung.
"Kita kehilangan jejak," kata Dick. "Ternyata kita ini bukan pencari jejak yang
baik" "Kita kembali saja ke pohon yang dua batang tadi," kata George. "Kebetulan masih
bisa terlihat dari sini. Jika begini mudah kehilangan jejak di tempat ini, maka
tentunya di sana ada patrin yang ditinggalkan, walau kita tidak melihat bekas-
bekas perkemahan. Patrin itu gunanya kan untuk menunjukkan jalan, apabila para
penyuaul keliru mengambil jalan."
Mereka lantas kembali ke tempat yang ada dua batang pohon. Dan ternyata di situ
ada patrin yang dibuat oleh si Ingus Henry yang menemukannya, diletakkan dangan
seksama di antara kedua pohon itu.
Letaknya rapi sekali, sehingga tidak mungkin rusak dengan tidak sengaja.
"Ini dia silang, ranting yang berurutan, serta kedua lembar daun ," katanya.
"Tapi lihatlah - ranting salib yang lebih panjang menunjuk ke timur. Sedang kita
tadi mengarah ke utara. Pantas kita tidak berhasil menemukan jejak roda
caravan!" Kini mereka berangkat lagi, tapi ke arah timur. Melintasi padang rumput liar
yang tumbuh tebal. Boleh dibilang dengan segera berhasil ditemukan tanda- tanda
iring-iringan caravan lawat. D sana-sini nampak ranting-ranting semak yang
patah, atau jejak roda di atas tanah yang lembek.
"Sekarang arah kita sudah benar," kata Julian senang. "Mula-mula kusangka
mencari jejak ini gampang sekali , Tapi ternyata tidak."
Selama dua jam berikut mereka berkuda terus. Kemudian mereka berhenti, untuk
makan sore. Mereka memilih tempat duduk di tengah serumpun pohon | berk. Di
belakang tempat itu ada semak mawar hutan. Timmy menghadapi dua pilihan yang
sulit. Menguber kelinci, atau mengemis makanan dari anak-anak ,.
Timmy memilih kedua-duanya. Cepat-cepat lari mengejar kelinci yang hanya ada
dalam khayalannya saja, lalu buru-buru kembali untuk minta sandwich.
"Sebetulnya lebih baik bagi kita, jika Bu Johnson membuatkan sandwich yang diisi
tomat atau daun selada," kata Henry. "Dengan begitu kita bisa memakan semuanya.
Tapi jika isinya daging, sarden atau telor, Timmy lantas kebaglan sama banyak
seperti kita ,"

Lima Sekawan 13 Rawa Rahasia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau kan tidak keberatan, Henrietta," tukas George dengan segera. "Dari kata-
katamu tadi, timbul perkiraan Timmy rakus, Kau kan tidak perlu memberikan
sandwich bagianmu padanya ,"
"Nah, nah, Georgina" bisik Dick di dekat telinga George.
"Maaf, Georgina," kata Henry sambil nyengir. "Mau tak mau, kuberi juga ia
beberapa potong bagianku, jika ia duduk lantas menatap diriku dengan pandangan
yang begitu kepingin."
Timmy menggonggong separti mengiakan. Dengan segera ia duduk di depan Henry.
Lidahnya terjulur ke luar, sedang matanya menatap Henry tanpa berkedip.
"Aku merasa seperti dihipnotis olehnya," keluh Henry. "Suruh dia pergi, George.
Kalau tidak, aku nanti tidak kebagian makanan. Masya Allah, Tim - sana, pergilah
menatap anak laini" Julian melirik arlojinya.
"Kurasa kita jangan terlalu lama sibuk makan," katanya. "Memang matahari
sekarang tidak lagi cepat terbenam, dan senja cukup terang - tapi perkemahan
kaum kelana belum kita capai , Dan setelah itu kita masih harus kembali ke
rumah. Jadi bagaimana jika kita sekarang melanjutkan perjalanan?"
"Setuju," jawab anak-anak, lalu naik lagi ke punggung kuda masing-masing. Mereka
bergerak merintis rumput. Tak lama kemudian ternyata bahwa gampang sekali
mengikuti jejak caravan. Soalnya tanah kemudian berubah menjadi berpasir. Banyak
tempat-tempat gundul, di mana bisa dilihat dengan jelas bekas-bekas roda.
"Wah, jika kita masih terus saja mengarah ke timur, bisa-bisa kita akan sampai
di tepi laut nanti ," kata Dick.
"Tidak, laut masih agak jauh dari sini," kata Julian. "He, di kejauhan ada
semacam bukit kecil. Baru sekarang kita melihat pemandangan lain. Selama ini
cuma padang datar saja yang nampak ,"
Alur roda menuju lurus ke bukit kecil di kejauhan, yang makin lama semakin
kelihatan besar ketika anak-anak semakin menghampirinya.
"Kurasa iring-iringan caravan ada di sana," kata George. "Bukit itu merupakan
pelindung yang aman terhadap angin yang mengembus dari arah laut. Kurasa aku
melihat satu di antaranya ,"
Ucapan Georga itu benar. Caravan-caravan yang dicari ada di tempat itu. Nampak
menyolok di depan bukit, dengan warna-warna yang cemerlang.
"Mereka bahkan memasang tali gantungan pakaian, seperti biasa mereka lakukan ,"
kata Anne. "Lihatlah, pakaian mereka berkibar-kibar tertiup angin ,"
"Yuk, kita tanyakan apakah Clip sehat-sehat saja," kata Julian. "Dengan begitu
ada alasan baik untuk mendatangi mereka ,"
Anak-anak lantas menderapkan kuda mereka, langsung menuju kelompok kelana yang
terdiri atas lima caravan itu. Begitu terdengar derap langkah kuda, langsung
muncul empat sampai lima laki-laki dewasa. Mareka memandang tanpa bicara, dengan
sikap sedikit angker. Tiba-tiba si Ingus muncul sambil berseru-seru.
"Hai! Clip sehat, Dia sudah biasa lagi ," Ayahnya mengatakan sesuatu dengan nada
membentak, sambil mendorongnya. Seketika itu juga si Ingus menghilang ke bawah
kolong caravan yang paling dekat.
Julian menggerakkan kudanya, menghampiri ayah si Ingus.
"Betulkah kudengar kata si Ingus tadi, bahwa Clip sudah sembuh kembali?"
katanya. "Di mana dia?"
"Di sana," kata ayah si Ingus, sambil menganggukkan kepala ke arah yang
dimaksudkan. "Kau tak usah menengoknya lagi. Kakinya sudah baik kembali."
"Ya deh, ya deh , Aku memang tidak bermaksud mengambilnya darimu, kata Julian.
"Tempat kalian ini cukup terlindung. Akan berapa lama kalian berada di sini?"
"Untuk apa kau ingin tahu?" tanya seorang ka lana yang sudah tua. Sikapnya tidak
enak. "Tidak untuk apa-apa," kata Julian kaget. "Aku cuma bertanya secara sopan saja."
"Bagaimana cara kalian memperoleh air?" tanya George. "Apakah di sini ada mata
air yang bersih?" Tak ada yang menjawab pertanyaannya itu. Sementara itu sudah muncul lagi
sejumlah penghuni perkemahan itu. Tiga ekor anjing kudisan datang, lalu
menggeram-geram. Timmy mulai naik darah, lalu membalas geraman itu.
"Kalian pergi saja, sebelum anjing-anjing kami menyerang," kata ayah si Ingus
dengan masam. "Mana Liz?" tanya George, yang teringat pada an -j'ng kepunyaan si Ingus. Tapi
sebelum ada yang sempat menjawab, tiba-tiba ketiga anjing kaum kelana menyerang
Timmy , Timmy terpaksa berkelahi mati-matian untuk mempertahankan diri. Tubuhnya
jauh lebih besar daripada ketiga anjing lawannya. Tapi mereka sangat gesit.
"Suruh anjing-anjing kalian mundur, seru Julian, ketika melihat George turun
dari kudanya untuk membantu Timmy. ia tidak mau menanggung risiko anak itu
digigit anjing. "Kalian dengar kataku tidak" Suruh anjing-anjing kalian mundurl"
Ayah si Ingus bersuit. Dengan segan-segan ketiga anjing meninggalkan Timmy, lalu
menghampiri para kelana dengan ekor terkulai. Sementara itu George sudah sampai
di tempat Timmy. Dipegangnya kalung leher anjingnya itu, untuk mencegah jangan
sampai Timmy mengejar anjing-anjing yang menyerangnya tadi.
"Naiki kudamu, panggil Timmy, lalu kita pergi dari sini," seru Julian memberi
aba-aba. ia merasa tidak enak, menghadapi para kelana yang membisu dan
bertampang masam. George menurut perintah Julian. Timmy lari ke samping kuda
tunggangan anak itu, dan mereka lantas memacu kuda-kuda mereka menjauhi
perkemahan yang tidak menyenangkan itu.
Sedang para kelana memperhatikan mereka pergi, masih tetap tanpa mengatakan apa-
apa. "Ada apa dengan mereka itu?" tanya Dick bingung. "Kalau melihat mereka begitu,
bisa timbul dugaan bahwa mereka sedang berkomplot melakukan serangan, seperti
terhadap keluarga Bartla dulu ,"
"Aduh, serami" kata Anne. "Mereka sedang merencanakan sesuatu, dalam suasana
terpencil, jauh dari mana-mana , Aku tak mau pergi ke dekat-dekat mereka lagi ,"
"Mereka mengira kita ini hendak mengintip-intip," kata Dick. "Cuma itu saja
sebabnya. Kasihan si Ingus - hidupnya tidak bisa dibilang enak."
"Kita bahkan tak sempat mengatakan padanya, bahwa patrin yang dibuatnya ternyata
sangat menolong kita," kata George. "Yah - mungkin kejadian ini bukan apa-apa.
Sama sekali tak mengandung petualangan bagi kita ,"
Betulkah kata George" Julian memandang Dick. Dick membalas tatapan itu, sambil
mengangkat alis. Mereka juga tidak tahu. Yah - lihat saja bagaimana
kelanjutannya nanti , Bab 11 Mengatur Rencana Sewaktu makan malam, kelima anak itu ramai menceritakan pengalaman mereka siang
sebelumnya pada Kapten serta Bu Johnson. "Patrin," kata Bu Johnson. "Rupanya si
Ingus yang menceritakan soal itu pada kalian, ya" Tapi menurut pendapatku,
sebetulnya kalian tadi jangan mendatangi perkemahan kelana-kelana itu. Kelompok
mereka terkenal tidak ramah, dan cepat marah."
"Anda pernah mendengar kisah tantang keluarga Bartle?" tanya Henry, ia sudah
siap untuk menceritakannya. Tentu saja dengan penambahan bumbu-bumbu karangannya
sendiri. "Belum, tapi kurasa cerita itu masih bisa menunggu,'" kata Bu Johnson, ia
mengenal baik kebiasaan Henry, yaitu lupa meneruskan makan jika sudah mulai
berkisah dengan asyik. "Apakah Itu termasuk cerita tentang dirimu" Kalau betul,
nanti saja kauceritakan jika sudah selesai makan."
"Itu bukan kisah Henry," kata Gaorge. ia kesal, karena lagi-lagi Henry menjadi
pusat perhatian, dangan jalan menceritakan kisah pandai besi seakan-akan itu
ceritanya sendiri. "Pak Ben yang mengisahkannya pada kami. Kau saja yang
menceritakannya, Ju,"
"Tak ada yang akan bercerita sekarang," kata Kapten Johnson. "Kalian pulang
terlambat, sehingga kami terpaksa menunggu dengan makan malam. Kini setidak-
tidaknya lanjutkan dulu makan kalian ,"
Anak-anak kecil yang duduk di meja sebelah, kecewa. Sebetulnya mereka
mengharapkan akan mendengar lagi salah satu kisah Henry yang selalu seru. Tapi
Kapten Johnson sudah lapar, ia juga capek.
"Pak Ben sudah sangat tua umurnya," kata Henry, setelah menyuap makanan beberapa
kali. "Dia -". "Jangan bicara lagi, Henrietta," kata Kapten ketus. Muka Henry menjadi merah.
George nyengir, lantas menendang kaki Dick di bawah meja. Maksudnya hendak
menyentuh kaki Dick - tapi sial, yang tertendang malah kaki Henry. Anak itu
melotot, menatap George sampai semenit.
"Aduh," keluh Anne dalam hati. "Padahal sehari ini suasana sudah begitu enak.
Mungkin kita semua sudah capek, jadi gampang tersinggung."
Begitu snak-anak selesei makan dan meninggalkan meja, Henry langsung melabrak
George. "Kenapa kakiku kautendang tadi?" tukasnya.
"Kalian berdua diam," kata Julian. "Mungkin George bermaksud menendang kakiku
atau kaki Dick - dan bukan kakimu."
Henry membungkam, ia tidak senang dimarahi oleh Julian. Sedang George bersikap
membangkang, ia keluar bersama Timmy.
Dick menguap. "Masih adakah pekerjaan yang perlu dilakukan sekarang?" katanya. "Asal jangan
disuruh mencuci piring lagi. Rasanya jika disuruh saat ini, ada kemungkinan aku
memecahkan piring atau gelas nanti."
Bu Johnson kebetulan mendengar perkataannya itu. Wanita itu tertawa.
"Tidak, kalian tidak perlu, mencuci piring. Pem-bantuku ada malam ini, untuk
melakukannya. Periksalah kuda-kuda sebentar. Jenny - kuda betina itu tidak boleh
berdekatan dengan Flash. Kalian kan tahu, entah kenapa Jenny tidak suka pada
kuda itu. Kalau berdekatan, pasti akan ditendang. Jenny harus selalu ditaruh di
lapangan lain." "Sudah beres. Bu Johnson," kata William, yang tiba-tiba muncul. Anak itu
meskipun kecil, tapi ternyata sangat sigap. "Aku sudah mengurusnya. Segala-
galanya sudah kuurus."
"Kau ini labih baik daripada pembantu tukang kuda yang mana pun, William," kata
Bu Johnson, sambil tersenyum pada anak itu. ",Ingin rasanya mempekerjakanmu di
sini sebagai tenaga tetap."
"Ah, Bu Johnson suka main-main saja," kata William. Kalau Bu Johnson serius
berkata begitu, wah - bukan main senangnya. Memang itulah yang diidam-idamkan
William. Anak itu pergi lagi, dengan tampang berseri-seri.
"Kalian sebaiknya pergi tidur saja sekarang, karena rupa-rupanya semua pekerjaan
yang ada sudah diselesaikan oleh William," kata Bu Johnson. "Kalian sudah punya
rencana untuk besok?"
"Belum, Bu," kata Julian, sambil menahan kuap. Jadi kalau ada sesuatu yang perlu
dikerjakan, kami akan melakukannya."
"Kita lihat saja besok," kata Bu Johnson, lalu mengucapkan selamat tidur. Dick
dan Julian mengucapkan selamat tidur pula pada ketiga anak perempuan, lalu pergi
ke kandang. Ketika sudah berbaring di jerami dan nyaris terlelap Julian tiba-
tiba teringat pada sesuatu.
"Astaga , Kita lupa berganti pakaian dan mencuci badan," katanya mengantuk. "Ada
apa sih dengan tempat ini" Aku rasanya lewat setengah sembilan selalu sudah
mengantuk." Tapi setelah itu ia tidur juga.
Macam-macam yang terjadi keesokan harinya, dalam bentuk berbagai surat. Misalnya
saja sepucuk untuk Henry, yang menyebabkan dia sangat jengkel. Lalu dua pucuk
surat untuk Bu Johnson, yang menyebabkan wanita itu mulai sibuk dan repot.
Begitu pula sebuah telegram untuk Kapten Johnson, yang setelah membacanya buru-
buru pergi ke stasiun. Surat untuk Henrietta berasa dari dua saudara perempuan neneknya. Mereka
memberitakan bahwa hari itu mereka akan ada di suatu tempat dekat istal, dan
mereka ingin menjemputnya untuk diajak jalan-jalan.
"Sialan ," umpat Henrietta. "Kenapa Nek Hannah dan Lucy harus memilih minggu ini
untuk datang menjengukku , Tepat pada saat Julian dan Dick ada di sini, dan kita
sedang asyik. Tidak bisakah aku menelepon mereka untuk mengatakan aku saat ini
sedang sangat sibuk. Bu Johnson?"
"Tentu saja tidak ," kata Bu Johnson kaget. "Kau kan tahu sendiri, itu kasar
sekali. Selama liburan Paskah kau ada di sini, masakan tidak bisa menyisakan dua
hari dari waktumu untuk mereka" Terus terang, aku akan senang apabila kedua
kerabatmu Itu mengambil alih tugas dari tanganku untuk sehari dua."
"Kenapa begitu?" tanya Henry tercengang. "Apakah aku selama ini merepotkan?"
"Bukan begitu - tapi tadi pagi aku menerima dua pucuk surat. ,sinya mengatakan
bahwa ada empat anak yang secara tiba-tiba akan datang ke sini," kata Bu Johnson
menjelaskan. "Menurut rencana, mereka baru akan datang setelah ketiga anak yang
ada di sini pergi pada akhir minggu ini. Tapi, yah - begitulah Hal-hal seperti
ini tidak bisa dielakkan, kadang-kadang terjadi juga. Tapi sekarang aku bingung,
hendak kukemanakan keempat anak itu ,"
"Aduh - apakah menurut Anda Dick dan Julian harus pulang sekarang. Bu Johnson?"
tanya Anne cemas. "Mereka kan datang begitu saja, tanpa direncanakan."
"Ya, aku tahu," jawab Bu Johnson. Tapi kami sudah biasa dengan kejadian begini.
Dan aku senang mendapat tamu anak laki-laki yang sudah besar, karena bisa ikut
membantu. Sekarang, apa yang bisa kita lakukan?"
Saat itu Kapten Johnson masuk. Kelihatannya tergopoh-gopoh.
"Aku baru saja menerima telegram Bu," katanya. "Aku harus ke stasiun sekarang
juga. Kedua ekor kuda baru kita sudah tiba. Dua hari lebih cepat dari waktu yang
kukatakan. Wah, benar-benar merepotkan ,"
"Rupanya saat ini memang merupakan hari-hari edani" kata Bu Johnson kehabisan
akal. "Astaga, berapa banyak orang yang akan ada di rumah nanti" Dan berapa ekor
kuda" Ah, aku tak mampu menghitung-hitung pagi ini. Pikiranku kacaui"
Anne menyesal bahwa ia bersama ketiga saudaranya tidak bisa pulang saat itu
juga. Bagaimanapun, mulanya Bu Johnson mengira bahwa Anna dan George akan sudah
pulang tiga atau empat hari yang lalu. Tapi mereka bukannya pulang, malah Dick
dan Julian kemudian datang menggabungkan diri ,
Anne bergegas mendatangi Julian. Julian pasti tahu apa yang sebaiknya
dikerjakan. Abangnya itu ditemukannya sedang sibuk mengengkut jerami bersama
Dick. "He, Julian - dengar sebentar , Aku ingin bicara denganmu," kata Anne. Julian
menjatuhkan berkas jerami yang sedang dipanggulnya ke tanah, lalu berpaling
memandang Anne. "Ada apa?" katanya. "Kan bukan George dan Henry yang mulai bertengkar lagi"
Kalau itu yang hendak kauceritakan, aku tak mau mendengar.
"Bukan, bukan soal itu," kata Anne. "Urusannya mengenai Bu Johnson, ia secara
tiba-tiba akan kedatangan tamu empat anak lagi, sebelum anak-anak yang lain
pergi. Bu Johnson sekarang sedang bingung. Aku lantas berpikir, apakah kita
tidak bisa membantu. Soalnya, dia kan tidak memperhitungkan bahwa kita berempat
ada di sini minggu ini."
"Memang, betul juga katamu," kata Julian, sambil duduk di atas jerami. "Sebentar
- aku ingin berpikir dulu."
"Itu kan soal gampangi" kata Dick. "Kita membawa tenda, makanan lalu pergi
berkemah ke tengah padang, dekat salah satu mata air yang ada di situ. Apalagi
yang lebih mengasyikkan daripada itu?"
"O ya ," kata Anna dengan mata barsinar-sinar. "Aduh Dick, hebat sekali idemu
itu i Kita semua takkan merepotkan Bu Johnson, sedang kita sendiri bisa
bersenang-senang ," "Ini dia yang namanya 'Sambil manyelam minum air'," kata Julian. "Kebetulan kami
membawa dua buah tenda dalam tas, Anne. Memang ukurannya kecil sekali, tapi
lumayanlah untuk kita berempat. Kita bisa meminjam hamparan karet untuk digelar
di atas rumput, meskipun di sana kering sekali saat ini ,"
"Akan kuceritakan pada George ," kata Anne bergembira. "Yuk kita berangkat hari
ini juga, Julian - supaya tidak mengganggu persiapan Bu Johnson sebelum anak-
anak baru itu datang. Kapten Johnson juga akan menerima kiriman dua ekor kuda
baru. Dia pasti senang sekali, apabila berkurang beberapa anak-anak yang bisa
mengganggu kesibukannya ,"
Setelah Anne bergegas mencari George. Ternyata saudara sepupunya itu sedang
sibuk memoles tali kekang kuda. George menyenangi pekerjaan itu. Sambil
menggosok, didengarnya laporan Anne yang diceritakan dengan bergairah. Henry
juga ada di situ, duduk dengan tampang suram. Mukanya nampak semakin gelap,
ketika Anne selesai bercerita.
"Benar-benar sayang," kata Henry kemudian. "Sebetulnya aku bisa ikut dengan
kalian, jika tidak terhalang kedue saudara perempuan nenekku. Kenapa mereka
harus datang justru pada saat ini" Menjengkelkan tidak, menurut pendapat
kalian?" Baik Anne maupun Gaorge dalam hati mereka sama sekali tak menganggap hal itu
menjengkelkan. Diam-diam mereka malah senang, karena membayangkan akan bisa lagi
bepergian sendiri bersama Timmy. Persis seperti sudah sering mereka lakukan
sebelumnya. Dan jika kedua saudara nenek Henry tidak menulis surat pada saat
baik itu, mereka tentu saja akan terpaksa mengajak anak itu ,
George tidak mau memamerkan kegembiraannya, karena akan berkemah di Rawa
Rahasia. Bersama Anne, ia menghibur Henry yang sedang sedih. Setelah itu ia
mendatangi Bu Johnson, untuk mengatur persiapan.
"Wah, bagus sekali gagasan Dick, kata Bu Johnson senang. Dengan begitu berbagai
persoalan bisa dipecahkan secara sekaligus. Dan aku tahu, kalian tidak


Lima Sekawan 13 Rawa Rahasia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkeberatan. Kalian tentu bergairah, mendapat kesempatan ini. Aku cuma
menginginkan agar Henry bisa ikut. Tapi tidak, ia harus pergi dengan kedua
saudara neneknya. Kedua orang tua itu sangat sayang pada Henry!"
"Tentu saja ia harus ke sana," kata George bersungguh-sungguh, ia dan Anne
saling berpandangan sebentar. Kasihan si Henry, Tapi sungguh, akan sangat
menyenangkan rasanya apabila bisa pergi sendiri tanpa anak itu untuk beberapa
waktu. Kemudian semua menjadi sibuk. Dick dan Julian membongkar bawaan mereka, untuk
memeriksa apa-apa saja yang ada di dalam. Bu Johnson mengambilkan hamparan karet
serta selimut-selimut tua dari salah satu tempat simpanan. Bu Johnson paling
hebat, kalau diminta mencarikan barang-barang seperti itu ,
William ingin ikut dengan mereka, untuk menolong mengangkat barang-barang. Tapi
tak ada yang menginginkan bantuannya. Julian serta saudara-saudaranya ingin
pergi sendiri. Hanya Lima Sekawan saja, tanpa disertai orang lain, Timmy ikut-
ikut sibuk, walau cuma dalam bentuk ekornya saja yang mengibas kian-ke mari.
"Banyak betul bawaan kalian," kata Bu Johnson, ia kelihatan agak sangsi. "Untung
cuaca diramalkan akan cerah. Coba kalau tidak, kalian akan terpaksa membawa jas
hujan. Tapi jangan terlalu jauh masuk ke padang, ya" Jadi kalau ada yang lupa,
kalian bisa dengan mudah kembali ke sini. Atau juga jika kalian memerlukan
tambahan makanan." Akhirnya mereka siap berangkat. Mereka mencari Henry untuk mengucapkan selamat
tinggal pada anak itu. Henry menatap mereka dengan sedih, ia sudah berganti
pakaian. Kini memakai setelan rok dan mantel pesiar. Kelihatannya jadi lain
sekali sekarang. Tampangnya suram. "Kalian akan pergi ke padang sebelah mana?" tanyanya penuh ingin tahu. "Ke rel?"
"Ya, begitulah niat kami," jawab Julian. "Kami i -Ingin melihat ke mana
tujuannya. Mudah sekali mengikutinya, karena lurus terus. Kalau kami berjalan
menyusurnya, takkan mungkin tersesat ,"
"Selamat bersenang-senang, Henry," kata George sambil nyengir. "Apakah kedua
saudara nenekmu Itu memanggilmu dengan nama Henrietta?"
"Betul," kata Henry sambil memasang sarung tangan. "Nah, sampai jumpa lagi.
Jangan terlalu lama pergi, ya , Untung saja kalian ini anak-anak rakus. Dalam
beberapa hari lagi kalian pasti harus kembali, untuk mengambil bekal makanan
tambahan ," Anak-anak nyengir, lalu berangkat. Mereka menuju ke tengah padang. Maksud mereka
hendak mengambil jalan memotong, lalu di tengah jalan baru menyusur rel yang
berpangkal dari Milling Green.
"Nah, kita berangkat sekarang," kata George puas. "Dan tanpa Henry, pengoceh
itu." Ah dia sebenarnya lumayan," kata Dick. "Tapi walau begitu, enak rasanya
bepergian sendiri. Hanya kita Lima Sekawan saja ,"
Bab 12 Jalur Kereta Hari itu panas sekali. Sebelum berangkat, kelima anak itu makan siang terlebih
dulu. Menurut Bu Johnson, lebih gampang membawa makanan dalam perut, daripada
harus menjinjingnya! Anak-anak berangkat ke arah alur rel. Setidak-tidaknya, menurut mereka mudah-
mudahan saja arah yang mereka pilih benar. Agak lama juga mereka baru berhasil
menemukannya, karena tertutup tumbuhan rumput liar dan samak. Julian bersyukur,
karena berhasil menemukannya, ia tidak ingin harus berjalan dulu sampai ke
Milling Green untuk menemukan awal rel itu, dan setelah itu baru berjalan
kembali. Anne yang menemukannya, secara tidak sengaja, ia tersandung ke batangan besi
yang membujur. "Wah, ini dia," katanya. "Kakiku tersandung rel berkarat. Lihatlah - nyaris saja
tidak kelihatan" "Bagus," kata Julian, lalu melangkah ke antara dua alur rel tua yang sudah
berkarat. Di beberapa tempat rel itu terputus, karena habis dimakan karat. Di
beberapa tempat lagi, rumput tumbuh tinggi menimbunnya. Jika anak-anak tidak
tahu bahwa mereka harus berjalan lurus terus, pasti mereka saat itu sudah
tersesat. Kadang-kadang mereka terpaksa mengais-ngais di tengah rumput berusaha
mencari rel. Hari itu panas sekait. Beban yang dibawa terasa menekan bahu. Biskuit si Timmy,
yang disuruh bawa sendiri olehnya, mulai merosot dari tempatnya di punggung.
Akhirnya tergantung di bawah perutnya. Timmy jengkel dibuatnya. Tiba-tiba George
melihat Timmy duduk, sambil berusaha membuka bungkusannya dengan gigi.
George menggeletakkan bawaannya ke tanah, lalu membetulkan letak bungkusan yang
dibawa Timmy. Bawaanmu takkan tergeser, jika kau tidak selalu sibuk mengejar kelinci sehingga
barang itu terombang-ambing," katanya. "Nah, sekarang sudah beres lagi, Tim.
Berjalanlah dengan rapi - pasti takkan merosot lagi."
Anak-anak terus menyusur rel kereta. Kadang-kadang alurnya tiba-tiba membelok,
mengitari sebongkah cadas besar. Kemudian tanah yang mereka lalui mulai
berpasir. Rumput liar tidak tumbuh selebat sebelumnya. Ral jadi lebih mudah
dilihat, meski di beberapa tempat lenyap tertimbun pasir.
"Aku harus istirahat sebentar," kata Anne, lalu duduk di atas segumpal rumput.
"Napasku sudah sengal sengal ingin rasanya menjulurkan lidah seperti Timmy,"
"Aku ingin tahu, sampai sejauh mana rel ini," kata Dick. "Dasar di sini sudah
begitu berpasir. Mestinya kita sudah dekat ke tempat penggaliannya ,"
Anak-anak merebahkan diri ke rumput. Mereka merasa mengantuk sekali. Julian
menguap, lalu duduk lagi.
"Wah, gawat nih ," katanya. "Jika kita sampai tertidur, nanti kita bisa tidak
mau berangkat lagi membawa barang-barang kita yang berat. Ayo bangun, para
pemalas ," Anak-anak lantas bangun lagi. Bungkus biskuit yang dibawa Timmy sudah
menggeleser lagi sampai ke perutnya. George terpaksa membetulkan letaknya
kembali. Timmy berdiri diam dengen lidah terjulur ke luar. Menurut perasaannya,
membawa biskuit cuma merepotkan saja. Lebih gampang memakannya ,
Pasir yang mereka lalui semakin menebal. Akhirnya mereka melihat bidang-bidang
pasir yang sama sekali tak ditumbuhi semak maupun belukar Angin membawa pasir
beterbangan ke udara. Kelima anak itu terpaksa memicingkan mata, supaya jangan
sampai kelilipan. He Rel berakhir di sini," kata Julian, sambil menghentikan langkah. "Lihatlah -
di situ kelihatan terbongkar dari bantalannya. Kepala kereta takkan bisa
melanjutkan perjalanan lewat dari sini ,"
"Mungkin di depan tersambung lagi," kata Dick, ia pergi memeriksa ka depan. Tapi
ia tidak menemukan sambungan rel. ia lantas kembali, maneliti rel yang terputus,
"Aneh," katanya, "kita kan belum sampai di tempat penggalian , Tadinya kusangka
alur rel ini akan menuju sampai ke tempat itu. Di sana pasir dimasukkan ke dalam
gerbong, dan setelah itu iring-iringan gerbong ditarik kepala kereta kembali ke
Mil ing Green. Jadi di mana tempat penggalian itu" Apa sebabnya rel terputus
dengan tiba-tiba di sini?"
"Betul - mestinya tempat penggalian itu ada di dekat-dekat sini." kata Julian.
"Ah, mestinya masih ada sambungan rel ini di salah satu tempat. Alur yang menuju
ke tempat penggalian. Tapi lebih baik kita cari dulu tempat itu. Mestinya bisa
dilihat dengan gampang"
Tapi ternyata tempat penggalian itu tidak begitu mudah ditemukan. Tempatnya
tersembunyi di balik semak belukar yang tumbuh tebal dan tinggi. Dick yang
menemukannya. Ketika ia mengitari sekelompok semak, tiba-tiba ia berhenti. Di
balik semak itu ada sebuah parit berpasir yang dalam. Parit itu digali, untuk
mengambil pasirnya yang bermutu baik.
"Ini dia tempatnyal" seru Dick. "Ke marilah - lihat sendiri , Astaga, mestinya
waktu itu mereka sibuk sekali menggali pasir. Pasti sudah berton-ton yang
diambil dari sini ,"
Anak-anak datang melihat. Parit itu ternyata memang besar sekali. Lebar dan
dalam. Anak-anak meletakkan bawaan mereka di tepi parit sebelah atas, lalu
melompat ke dalam. Kaki mereka terbenam dalam pasir halus.
'Tepinya bolong-bolong," kata Dick. "Mestinya pada bulan Mei ada beratus-ratus
sarang burung layang-layang gurun di sini ,"
"Eh, bahkan ada pula beberapa gua," kata George heran. "Gua pasir, Nah, jika
hujan turun, kita bisa mudah mencari tempat berteduh sekarang. Beberapa gua ini
nampaknya cukup jauh juga menjorok ke dalam"
"Ya. Tapi aku agak ngeri kalau pasir runtuh dan menimbun diriku, jika aku
merangkak ke dalam," kata Anne. "Lihatlah, pasir di sini longgari" ia
mengetukkan tangan ke sisi gua.
"Aku berhasil menemukan sambungan rel" terdengar tiba-tiba Julian berseru. "Ini,
lihatlah , Nyaris tertimbun sama sekali oleh pasir. Tadi terinjak secara tak
sengaja. Sudah rapuh sekali, sehingga langsung remuk ,"
Anak-anak langsung datang melihat. Timmy juga datang, ia menyenangi tempat itu.
Pasti akan asyik di situ, karena banyak iiang kelinci.
"Yuk, kita susuri rel ini," kata Julian. Mereka lantas menyingkirkan pasir yang
menutupi rel dengan kaki. Lalu dengan langkah pelan mengikuti jalur rel itu,
keluar dari parit. Menuju ujung rel yang terputus di atas.
Sekitar sepuluh meter dari tempat itu, rel yang mereka ikuti kelihatan
direnggutkan dengan paksa. Ada yang tercampak ke semak yang berdekatan. Nampak
potongan-potongan rel itu, bengkok dan berkarat.
Anak-anak tertegun menatap potongan-potongan besi berkarat itu.
"Kurasa kaum kelana yang melakukannya dulu, ketika keluarga Bartle masih ada di
sini," kata Oick. "Mungkin pada hari mereka mengadakan penyerangan. He, Onggokan
apa yang di sana itu" Itu, yang ditumbuhi belukar!"
Anak-anak lantas mendatangi tempat itu. Timmy juga melihat onggokan yang
dimaksudkan oleh Dick ia tidak tahu, benda apa itu. Karenanya ia menggeram geram
Julian memungut sepotong besi rel, lalu memakainya untuk mendorong semak yang
tumbuh di atas onggokan besar itu.
"Kalian lihat benda apa itu?" katanya kaget. Saudara-saudaranya ikut tercengang.
"Eh, itu kan kepala kereta , Lokomotif kecil yang diceritakan Pak Ben pada
kita ," kata Dick. "Rupanya waktu itu meluncur terus melewati rel yang patah,
lalu terguling di sini. Kemudian semak belukar ini tumbuh di atasnya selama
bertahun-tahun, sampai akhirnya tertimbun sama sekali."
Julian mendorong semak belukar agak lebih jauh lagi ke samping.
"Bentuknya kuno ," katanya. "Lihat saja cerobongnya, serta ketelnya yang gendut.
Dan itu tempat masinis. Kecil sekali , Mestinya tenaga kepala kereta ini tidak
begitu besar. Hanya cukup untuk berjalan pelan, sambil menarik beberapa gerbong
saja." "Apa yang terjadi dengan gerbong gerbongnya" kata Anne ingin tahu.
"Yah, gerbong-gerbong itu cukup mudah didirikan kembali dan diletakkan ke rel,
lalu setelah itu didorong ke Milling Green," kata Dick. "Tapi mesin ini tidak
bisa diangkat, kecuali dengan bantuan tenaga mesin. Biar selusin orang pun,
takkan bisa mengangkatnya kembali ke rel"
"Para kelana rupanya menyerang keluarga Bartle dalam kabut," kata Julian. "Mula-
mula rel dirusak, supaya lokomotif tergelincir dan terguling. Mungkin pula
dipergunakan potongan-potongan rel, untuk dipakai menyerang. Pokoknya para
kelana yang menang dalam pertarungan, karena tak seorang pun dari keluarga
Bartle yang pernah muncul kembali."
"Lalu rupanya sejumlah penduduk desa ke mari untuk melihat apa yang terjadi
dengan mereka. Penduduk desa itu yang mengembalikan gerbong-gerbong ke rel serta
mendorongnya kembali ke Milling Green," kata George. 'Tapi mereka tidak bisa
berbuat apa-apa dengan mesin ini."
"Ya. mestinya begitulah kejadiannya dulu," kata Julian. "Wah, mestinya para
pemuda Bartle kaget sekali ketika melihat para kelana menyelinap kayak bayangan,
hendak menyergap mereka di tengah kabut ,"
"Hih, mudah-mudahan saja kita tidak mimpi mengenainya nanti malam," kata Anne
seram. Kemudian meraka kembali ke dalam parit.
"Lumayan juga tempat ini untuk perkemahan kita," kata Dick. "Pasir di sini
kering dan empuk, bisa kita jadikan tempat berbaring yang enak. Kita juga tak
perlu memasang tenda, karena kedua sisi parit melindungi kita dari gangguan
angin." "Ya, di sini saja kita berkemah," kata Anne senang. "Cukup banyak lubang yang
bisa kita pakai untuk menaruh barang-barang kita."
"Bagaimana dengan air?" tanya George. "Sebaiknya kan kita berada dekat air" Cari
air. Tim, Minum, Tim - minum , Kau tidak haus" Lidahmu sudah begitu panjang
terjulur" Timmy memiringkan kepala,, ketika diajak bicara oleh George. Air" Minum" Timmy-
mengenal arti kedua perkataan itu. ia lari pergi sambil mencium-cium udara,
diperhatikan oleh George. Timmy menghilang di balik suatu semak. Setelah kurang
lebih setengah menit, muncul lagi. George berseru senang.
"Timmy menemukan airi Lihatlah - moncongnya basah. Di mana ada air. Tim"
Sambil mengibaskan ekor, Timmy lari lagi ke balik semak, diikuti anak-anak.
Timmy menuju ke sebidang tanah berlumut, ia berhenti di situ. Di tempat itu ada
mata air yang mengucur seperti pancuran kecil, berkilauan kena cahaya matahari.
Air yang mengucur itu jatuh ke saluran yang dibuat olehnya sendiri di pasir,
mengalir sajauh beberapa meter lalu menghilang kembali ke dalam tanah.
"Terima kasih. Tim," kata George. "Bisakah air di sini diminum, Julian?"
"Nah, kulihat air yang bisa kita minum ," kata Julian, sambil menunjuk ke kanan.
"Keluarga Bartle rupanya memasang pipa ke tebing situ - lihatlah , dan menemukan
mata air lain, yang lebih besar. Dan airnya sangat jernih. Bagi kita sudah
mencukupi." "Bagus" kata Anne senang. "Jaraknya dekat sekali ke parit pasir. Dan airnya sedingin es. Cobalah rasakan ,"
Anak-anak mengulurkan tangan untuk merasakan, lalu meraup air itu untuk diminum.
Wah, enaki Dingin dan jernih. Mestinya padang ini penuh dengan mata air yang
mengucur dari bawah tanah. Pantas di sana sini nampak bidang-bidang tanah yang
menghijau. "Sekarang kita duduk dulu, sambil makan," kata Anne, sambil membuka bungkusan
bawaannya. "Hawa panas sekali, sehingga perut tidak lapar rasanya."
"Mungkin cuma kau sendiri yang begitu," kata Dick membantah.
Anak-anak duduk dalam parit pasir yang hangat disinari cahaya matahari.
"Jauh dari siapa-siapa ," kata Anne senang. "Tak ada orang lain di dekat kita,
sampai bermil-mil" Ucapannya itu sebenarnya tidak benar. Saat itu ada orang di dekat mereka. Jauh
lebih dekat daripada yang disangka.
Bab 13 Bunyi Aneh Di Tengah Malam
Timmy yang pertama-tama tahu bahwa ada orang lain di dekat mereka. Anjing itu
menegakkan telinga, mendengar dengan seksama. George melihatnya berbuat begitu.
"Ada apa. Tim?" katanya. "Kan tidak ada orang ke mari?"
Timmy menggeram lirih. Seakan-akan ia sendiri tidak yakin. Kemudian meloncat
bangun, lalu lari ke luar parit sambil mengibas-ngibaskan ekor.
"Ke mana si Timmy?" kata George heran. "Astaga, sudah kembali lagi sekarang ,"
Timmy muncul lagi, bersama seekor anjing yang mirip gumpalan wol - ya, anjing
itu datang bersama Liz , Liz tidak tahu pasti apakah anak-anak senang melihat
kedatangannya. Karenanya ia datang me rangkak-rangkak. Kelihatannya semakin
mirip gumpalan wol yang bergerak-gerak ,
Timmy melompat-lompat kesenangan, mengelilingi Liz. Begitu senangnya, seakan-
akan anjing kecil itu sahabat karibnya. George menepuk-nepuk anjing kecil yang
kocak itu. Tapi Julian nampak agak termenung.
"Mudah-mudahan ini tidak berarti kita berada di dekat perkemahan kaum kelana,"
katanya. "Mungkin saja alur rel berakhir dekat tempat itu. Aku agak lupa arah
sekarang." 'Astaga, mudah-mudahan saja kita tidak berada di dekat perkemahan mereka," kata
Anne cemas. "Para kelana pada jaman dulu itu, mestinya mereka berkemah di dekat
parit tempat keluarga Bartle menggali pasir sebelum melakukan serangan. Jadi
mungkin saja perkemahan yang sekarang juga ada di dekat dekat sini."
"Tapi peduli amat?" kata Dick. "Siapa takut pada mereka" Aku tidak ,"
Anak-anak semuanya duduk sambil merenung. Liz menjilat-jilat tangan Anne. Dalam
suasana sunyi itu, mereka mendengar bunyi yang mereka kenal baik. Terdengar
suara seseorang menyedot ingus.
"si Ingus" seru George. "Sudah, jangan bersembunyi lagi , Keluarlah , Aku bisa
mendengarmu ," Sepasang kaki menjulur keluar dari serumpun semak di tepi parit. Kemudian tubuh
si Ingus yang kecil tapi ulet meluncur turun ke pasir. Anak itu duduk di situ
sambil nyengir ke arah mereka, ia masih agak segan mendekat, karena takut anak-
anak akan marah. "Apa yang kaulakukan di sini?" kata Dick. "Mudah-mudahan saja bukan hendak
mengintai kami." "Tidak," jawab si Ingus. "Perkemahan kami tidak jauh dari sini. Kurasa Liz tadi
mendengar kalian, lalu lari ke sini. Aku menyusulnya."
"Sialan ," umpat George. "Kami sudah berharap-harap, semoga tidak ada orang lain
di dekat sini. Adakah orang di kemah kalian yang tahu kami ada di sini?"


Lima Sekawan 13 Rawa Rahasia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belum," kata si Ingus. "Tapi mereka pasti akan mengetahuinya juga. Mereka
selalu bisa tahu. Tapi aku takkan menceritakannya, jika kalian tak mau aku
melakukannya." Dick memberikan sepotong biskuit pada si Ingus.
"Nah, usahakan agar kau bisa tutup mulut," katanya. "Kami tidak mencampuri
urusan orang lain, dan kami tidak ingin dicampuri orang lain. Mengerti?"
si Ingus mengangguk. Tiba-tiba ia merogoh kantong, lalu mengeluarkan sapu tangan
bersetrip-setrip putih dan merah, yang diberikan George padanya. Sapu tangan itu
masih bersih, terlipat rapi.
"Belum kotori" katanya pada George.
"Sebetulnya malah harus kotor," kata George. "Gunanya kan untuk mengelap
ingusmu. Jangan pakai lengan kemejamu ,"
Tapi si Ingus tetap tidak bisa mengerti, apa sebabnya ia harus memakai sapu
tangan yang bagus dan bersih, kalau ada lengan baju yang kotor. Dengan hati-hati
dimasukkannya benda itu kembali ke dalam kantong.
Sementara itu anak-anak mengemasi barang-barang mereka, disimpan di tempat aman.
Mereka tidak mau meninggalkan barang-barang itu berserakan, karena ada si Ingus.
Lagipula di dekat situ ada perkemahan kaum kelana ,
"Sekarang pergilah, Ingus," kata Julian. "Dan ,-ngat, jangan mengintai kami ,
Jika kau mendekat, Timmy akan langsung tahu - lalu kau akan dikejarnya. Jika
hendak mendatangi kami, kau harus bersuit apabila sudah dekat. Jangan menyelinap
ke sini. Mengerti?" "Ya," kata si Ingus sambil berdiri. Diambilnya sapu tangannya lagi dari dalam
kantong, dilambaikannya ke arah George, lalu menghilang dengan diikuti oleh Liz.
"Aku ingin memeriksa sebentar, berapa dekat sebetulnya kita dari perkemahan kaum
kelana," kata Julian, ia menuju ke ujung parit, lalu naik ke padang.
ia memandang ke arah si Ingus menghilang. Ya, sekitar seperempat mil dari situ
nampak bukit, di balik mana para kelana menaruh caravan-caravan mereka. Julian
mengumpat pelan. Tapi jarak yang memisahkan, masih lumayan jauhnya. Ada
kemungkinan para kelana takkan mengetahui kehadiran mereka di situ. Kecuali
secara kebetulan. "Atau jika si Ingus membuka mulut," pikir Julian. "Yah, pokoknya kita tidur
semalam ini di sini. Lalu besok jika rasanya kepingin, kita bisa saja pindah ke
tempat lain." Petang itu mereka belum merasa capek. Mereka bermain bola dalam parit pasir.
Timmy ikut main dengan bersemangat. Tapi ia selaiu berhasil merebut bola. Karena
itu ia lantas diikat, supaya anak-anak bisa bermain dengan tenang. Timmy sangat
kesal, ia merajuk, membelakangi anak-anak, tak mau melihat mereka bermain.
"Sekarang dia kelihatannya kayak dirimu, George," kata Dick sambil nyengir.
Detik berikutnya, kepalanya ditimpuk dengan bola oleh George ,
Malam itu anak-anak tidak begitu berselera makan. Julian membawa botol kaieng ke
mata air, lalu mengisinya untuk air minum mereka. Enak rasanya air yang mengucur
dari sumber yang meng-gelembung-gelembung itu ,
"Ingin tahu rasanya, bagaimana keadaan Henry sekarang," kata Anne. "Mestinya
dimanjakan setengah mati oleh saudara-saudara neneknya. Aneh ya tampangnya tadi,
mengenakan pakaian yang benari Lengkap dengan sarung tangan segala."
"Ya, mestinya ia itu dilahirkan menjadi anak laki-laki," kata Dick. 'Persis
kayak dirimu juga, George," tambahnya cepat-cepat, sebelum anak itu sempat
tersinggung. "Kalian berdua sama-sama jantan dan berani."
"Bagaimana kau bisa tahu Henry berani?" kata George dengan sikap meremehkan.
"Itu kan cuma ocehannya saja! Pasti semua cuma dibuat-buat dan ditambah-tambah
olehnya sendiri." Julian cepat-cepat menukar pokok pembicaraan
"Bagaimana, apakah malam ini kita akan memerlukan selimut atau tidak?" katanya.
"Tentu saja ," jawab Anne. "Sekarang memang masih panas, dan pasir hangat kena
sinar matahari, tapi jika matahari sudah terbenam nanti hawa pasti tidak begitu
enak lagi. Lagipula jika kita sampai kedinginan nanti, kita bisa menyusup ke
dalam salah satu gua yang ada di sisi parit ini. Di situ hangat , Aku tahu,
karena aku sudah masuk ke dalamnya."
Malam itu mereka lekas tidur. Dick dan Julian mengambil tempat berbaring di satu
sisi parit, sedang George dan Anne di sisi yang satu lagi. Timmy seperti biasa
berbaring di kaki George. Anne merasa tidak enak karenanya.
"ia juga berbaring di atas kakiku," keluhnya pada George. "Tubuhnya panjang
sekali, sehingga kakiku ikut tertindih olehnya. Geser dia ke sana sedikit,
George." George menuruti keinginan Anne. Tapi begitu Anne te lelap Timmy menjulurkan
tubuhnya lagi dan berbaring di kaki kedua anak itu. Timmy tidur, tapi satu
telinganya tetap terbuka.
Didengarnya bunyi landak yang berlari-lari. ia mendengar ke nc -kelinci yang
keluar di lapangan, untuk bermain-main dalam gelap, ia mendengar kodok-kodok
beradu nyanyi dalam sebuah kolam yang jauh tempatnya dari situ. Pendengarannya
yang tajam bahkan mendengar geleguk air yang mengucur dari sumber di luar parit.
Tak ada yang bergerak dalam parit itu sendiri. Di langit nampak bulan sabit.
Cahayanya pudar. Bintang-bintang yang memenuhi langit, kelihatannya bercahaya
lebih terang daripada bulan yang masih muda.
Tiba-tiba telinga Timmy menegak, disusul telinga yang satu lagi. Timmy masih
tidur. Tapi kedua telinganya mendengarkan dengan sangat seksamai
Suatu bunyi mendengung pelan terdengar di kejauhan, tapi makin lama makin
mendekat. Timmy kini terbangun, ia duduk, mendengarkan dengan penuh perhatian.
Matanya terbuka lebar. Bunyi itu sekarang sudah terdengar nyaring. Dick terbangun karenanya. Bunyi
apakah itu" Pesawat terbang" Mestinya terbang sangat rendahi Jangan-jangan
hendak mendarat di padang. Tapi tak mungkin - karena malam itu gelap.
Dibangunkannya Julian. Keduanya bangkit, lalu keluar dari parit.
"Memang pesawat terbang," kata Dick dengan suara pelan. "Mau apa pesawat itu di
sini" Kelihatannya bukan hendak mendarat. Sudah dua atau tiga kali terbang
berputar-putar." "Mungkin sedang mengalami kesulitan," kata Julian. "Nah, itu dia datang lagi."
"Lihatlah," ujar Dick dengan tiba-tiba. "Cahaya apa yang di sana itu" Itu,
semacam sinar. Tempatnya tak begitu jauh dari perkemahan kaum kelana."
"Entahlah," kata Julian bingung. "Kelihatannya bukan nyala api. Kalau nyala api,
tidak begitu rupanya. Aku tidak melihat lidah api yang bergerak-gerak."
"Mungkin semacam cahaya pandu pesawat terbang," kata Dick. "Pesawat itu
nampaknya terbang berputar-putar, mengelilingi nyala itu."
Keduanya memperhatikan gerak-gerik pesawat itu. Memang, kelihatannya
mengelilingi nyala yang entah apa. Kemudian secara tiba-tiba menanjak, terbang
berkeliling sekali lagi lalu menuju ke timur.
"Sekarang dia pergi," kata Dick sambil memicingkan mata. "Aku tidak bisa
mengenali jenisnya. Tapi yang pasti, ukurannya sangat kecil."
"Apa yang dilakukannya tadi di sana?" kata Julian bingung. "Kusangka nyala itu
merupakan petunjuk baginya untuk mendarat. Walau aku tak tahu, apakah pesawat
itu bisa mendarat. Cuma berputar-putar saja lalu pergi lagi."
"Datangnya dari mana ya?" tanya Dick. "Kukira dari arah pesisir - atau mungkin
dari seberang laut?"
"Mana aku tahu?" tukas Julian. "Dan apa urusan kaum kelana dengan pesawat itu"
Susah menemukan hubungan antara pesawat terbang dengan kaum kelana ,"
"Ah, kita kan tidak tahu apakah memang ada hubungan antara keduanya, kecuali
bahwa kita melihat sinar di sana," kata Dick. "Nah, lihatlah - sekarang nyala
itu padam." Sementara kedua anak laki-laki itu memperhatikan, nyala yang semula terang
akhirnya padam sama sekali. Padang belantara kembali diselubungi kegelapan.
"Aneh," kata Julian sambil menggaruk-garuk kepala. "Aku tidak bisa mengerti.
Memang, mungkin saja para kelana itu sedang merencanakan sesuatu. Itu kalau
melihat cara mereka menyelinap-nyelinap datang ke sini - nampaknya tanpa ada
tujuan tertentu. Dan mereka juga tak menghendaki kita berkeliaran di dekat-dekat
mereka. Itu sudah jelas."
"Kurasa ada baiknya kita menyelidiki nyala apa itu tadi," kata Dick. "Bisa saja
kita melakukannya besok. Atau bisa pula kita tanyakan pada si Ingus."
"Mungkin saja," kata Julian. "Pokoknya kita coba saja. Yuk, kita kembali saja ke
tempat kita. Di sini dingini"
Sesampai di parit yang terasa hangat, anak-anak perempuan ternyata masih tidur
lelap. Mereka tidak dibangunkan Timmy. Anjing Itu juga sama herannya seperti
Julian dan Dick melihat dan mendengar pesawat terbang yang berputar-putar. Tapi
ia sama sekali tidak menggonggong. Jika ia menggonggong, suaranya bisa terdengar
di perkemahan kaum kelana, sehingga ketahuan bahwa di dekat situ ada orang.
Dick dan Julian menyusup kembali ke bawah selimut. Mereka berbaring saling
merapatkan diri, supaya hangat. Beberapa menit kemudian keduanya sudah pulas.
Paginya Timmy bangun paling dulu. ia menggeliat, menikmati sinar matahari
hangat. Seketika itu juga Anne terbangun sambil terpekik.
"Aduh, Tim, Nyaris gepeng tubuhku kautindih. Kalau ingin menggeliat di atas
orang, lakukan pada George saja ,"
Kemudian Dick dan Julian bangun. Mereka mencuci muka di mata air, lalu mengisi
botol kaleng untuk air minum mereka semua. Sementara itu Anne menyiapkan
sarapan. Sambil makan pagi, Dick dan Julian menceritakan pengalaman mereka malam
itu. "Aneh" kata Anne. "Dan nyala itu, mestinya semacam sinar pandu untuk pesawat
itu. Yuk, kita cari tempatnya. Mestinya merupakan nyala sesuatu ,"
"Betul," kata Dick. "Kuusutkan kita pergi pagi ini. Tapi Timmy perlu diajak -
karena siapa tahu kita berjumpa nanti dengan kaum kelana ,"
Bab 14 Para Kelana Lagi JULIAN DAN DICK pergi lagi ke tempat mereka berdiri malam sebelumnya. Mereka
berusaha mencari, di mana tepatnya posisi sinar yang mereka lihat itu.
"Kurasa tempatnya di belakang perkemahan para kelana, agak ke kiri sedikit,"
kata Julian. "Bagaimana pendapatmu, Dick?"
"Ya, kira-kira di situ," kata Dick. "Kita pergi sekarang?" ia lantas
menyaringkan suaranya. "Kami pergi, George dan Anne! Kalian ikut" Barang-barang
bisa kita tinggal saja di sini dalam gua, karena kita tidak akan pergi lama-
lama." George membalas berseru dari dalam parit. "Julian - kaki Timmy sakit, kurasa
tercocok duri. Jalannya pincang. Kami ingin di sini saja menemaninya, sambil
mencoba mengeluarkan duri itu. Berangkatlah sendiri, tapi hati-hati - jangan
sampai terlibat dalam keributan dengan para kelana"
"Takkan terjadi," kata Julian. "Kami sama-sama punya hak untuk berada di sini
saperti mereka dan itu mereka ketahui pula , Baiklah, kami tinggalkan kalian
berdua di sini bersama Timmy. Kalian tidak memerlukan bantuan dengan kakinya
itu?" "Tidak perlu," balas George. 'Terima kasih, tapi aku sendiri juga bisa."
Dick dan Julian berangkat, meninggalkan Anne dan George yang sibuk mengurusi
kaki Timmy. Rupanya anjing itu melompat ke dalam salah satu semak ketika
mengejar kelinci. Saat itu kaki depannya sebelah kiri tertusuk duri yang
langsung patah. Ujungnya yang runcing tertinggal dalam telapaknya. Pantas saja
jalannya pincangi Tidak akan gampang pekerjaan George, berusaha mengeluarkan
ujung duri Itu dengan pelan-pelan.
Julian dan Dick berjalan merintis padang belantara. Hari itu panas, terlalu
panas untuk bulan April. Tak nampak segumpal awan pun di langit yang biru cerah.
Kedua anak laki-laki itu kepanasan.
Perkemahan kaum kelana, ternyata tidak jauh letaknya. Tak lama kemudian kedua
anak itu sudah sampai di dekat bukit yang menjulang di tengah padang yang datar.
Caravan-caravan masih berada di kaki bukit yang melindungi. Nampak sekelompok
laki-laki duduk bergerombol. Mereka bercakap-cakap dengan sikap serius.
"Pasti mereka sedang bicara tentang pesawat terbang yang kemarin malam" kata
Dick. "Tentunya mereka yang memasang nyala api itu, untuk menuntun pesawat. Tapi
kenapa tidak mendarat, ya?"
Kedua anak itu mengitari perkemahan, sambil berjalan di balik semak belukar
lebat. Mereka tidak i-Ingin ketahuan para kelana. Anjing-anjing para kelana
duduk di dekat kelompok yang sedang berunding. Rupanya binatang-binatang itu
tidak melihat Dick dan Julian. Untung saja ,
Kedua anak itu menuju ke tempat di mana mereka merasa melihat nyala terang
kemarin malam. Di belakang perkemahan, dan sedikit ke arah kiri.
"Tak ada yang luar biasa di tempat ini," kata Julian, ia berhenti berjalan, lalu
memandang berkeli ling "Aku tadi mengharapkan akan melihat tanah haIngus bekas
terbakar, atau tanda-tanda seperti begitu."
"Tunggu dulu - ada apa di lekukan sebelah sana itu?" kata Dick, ia menunjuk ke
suatu arah, di mana tanah nampak agak menurun. "Kelihatannya seperti parit -
mirip dengan tempat kita bermalam - tapi kecil, jauh lebih kecil. Kurasa di
situlah tempat nyala yang kita lihat itu ,"
Mereka lantas menuju ke tempat itu. Ternyata memang parit. Tempat itu ditumbuhi
semak di bagian atasnya, jauh lebih e selubung daripada tempat mereka.
Kelihatannya parit itu sudah lebih lama ditinggalkan penggalinya. Dalamnya
lumayan. Di tengah-tengahnya ada sesuatu yang kelihatan asing. Benda apakah itu"
Julian dan Dick bergegas menuruni sisi parit, lalu menuju ke tengah-tengahnya.
Mereka menatap benda besar yang ada di situ. Benda itu terarah ke langit.
"Wah , Lampu - lampu yang sangat kuat cahayanya," kata Dick. "Seperti yang ada
di lapangan ter bang, untuk menuntun pesawat-pesawat yang hendak mendarat.
Bayangkan, di tempat terpencil begini ada lampu pendarat ,"
"Dari mana para kelana memperolehnya?" kata Dick bingung. "Dan untuk apa memberi
tanda pada pesawat yang tidak mendarat" Walau kelihatannya seperti hendak
mendarat, karena terbang begitu ren-r dah sambil berputar-putar."
"Mungkin para kelana kemarin malam memberi isyarat agar jangan mendarat, karena
tidak aman," kata Julian. "Atau mereka hendak menyampaikan sesuatu pada
penerbang pesawat, tapi orang itu belum siap menerimanya."
"Yah, soal ini seperti teka-teki," kata Dick. "Aku tak bisa menduga sedikit pun
apa sebetulnya yang sedang berlangsung. Tapi bahwa ada sesuatu, itu sudah pastil
Yuk, kita memeriksa di sini."
Tapi mereka tidak menemukan apa-apa lagi, kecuali bekas orang berjalan ke arah
lampu. Ketika mereka sedang mengamat-amati bekas kaki itu, terdengar suara
teriakan. Keduanya cepat-cepat berpaling. Seorang kelana berdiri di tepi atas
parit. "Apa yang kalian cari di situ"," seru orang itu dengan suara galak. Beberapa
laki-laki lagi menggabungkan diri dengannya. Semua memandang ke arah Dick dan
Julian yang merangkak naik. Sikap orang orang itu mengancam. Julian memutuskan
untuk ber terus-terang saja.
"Kami berkemah untuk satu dua malam di par dang," katanya. "Lalu kemarin malam
kami men dengar bunyi pesawat terbang melayang rendah sambil berputar-putar.
Kami juga melihat nyala yang
kelihatannya seperti isyarat penuntun pesawat itu. Karenanya kami ke mari, untuk
melihat nyala apa itu. Kalian juga mendengar bunyi pesawat Itu?"
"Mungkin kami dengar - tapi mungkin juga tidak," kata kelana yang paling dekat
dengan mereka. Orang itu ayah si Ingus. "Lalu kenapa" Pesawat terbang biasa
melintas di sini ," "Kami menjumpai lampu itu, yang terang sekali sinarnya," kata Dick, sambil
menunjuk ke benda itu. "Kalian tahu-menahu mengenainya?"
"Kami tidak tahu," kata ayah si Ingus. "Lampu apa?"
"Menurut pendapatku, tidak ditarik pembayaran untuk mengamat amatinya kata
Julian "Datang saja ke bawah untuk melihatnya sendiri, jika kalian tidak tahu
apa-apa mengenainya. Tapi aku tidak bisa percaya, kalian sama sekali tidak
melihat cahayanya kemarin malam , Harus kuakui, parit ini baik sekali sebagai
tempat menyembunyikannya."
"Kami tak tahu apa-apa tentang lampu," kata seorang kelana lagi, yaitu laki-laki
tua yang rambutnya sudah putih. "Ini tempat perkemahan kami yang biasa. Kami
tidak mengganggu siapa-siapa - kecuali jika ada yang lebih dulu mengganggu kami.
Yang mengganggu kami pasti menyesal setelah itu ,"
Dick dan Julian langsung teringat pada peristiwa lenyapnya keluarga Bartle.
Keduanya merasa tidak enak.
"Yah, kami akan pergi sekarang - jadi jangan khawatir," kata Julian. "Seperti
kukatakan tadi, kami hanya satu dua malam saja berkemah di sini. Jika kalian
tidak menghendakinya, kami takkan datang lagi ke dekat-dekat sini."
Saat itu Julian melihat si Ingus datang menyelinap ke belakang para kelana. Anak
itu disertai oleh Liz, anjingnya. Entah kenapa, Liz berjalan dengan santai -
tegak pada kedua kaki belakang. Si Ingus menarik lengan kemeja ayahnya, minta
perhatian. "Mereka tidak jahat," kata si Ingus. "Ayah ingat kan, Clip disembuhkan kakinya
yang cedera di istal. Anak-anak ini baiki"
Tiba-tiba ayahnya mengayunkan tangan. si Ingus ditempeleng, sehingga jatuh
terguling-guling di tanah. Liz segera menghampiri anak itu, lalu menjilati-nya.
"He, jangan sakiti anak itu ," seru Julian tersinggung. "Kau tak berhak
memukulnya begitu ,"
si Ingus menjerit, sehingga beberapa wanita datang berlari-lari dari perkemahan,


Lima Sekawan 13 Rawa Rahasia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk melihat apa yang terjadi. Seorang di antara mereka mulai ribut mengata-
ngatai ayah si Ingus, yang langsung membalas. Tak lama kemudian sudah
berlangsung pertengkaran ramai antara pihak laki-laki melawan pihak wanita.
Seorang wanita mengangkat si Ingus, lalu mengusap kepaianya dengan selembar kain
basah. "Yuk, sudah waktunya kita pergi," kata Julian pada Dick. "Para kelana ini
semuanya tidak ramah, kecuali si Ingus. Padahal dia tadi hendak menolong kita ,
Kasihan." Keduanya lantas bergegas pergi. Mereka merasa lega. karena bisa pergi dari
kelompok laki-laki beserta anjing-anjing mereka. Keduanya benar-benar bingung.
Kata orang-orang itu, mereka tak tahu apa-apa tentang lampu isyarat. Tapi itu
tidak mungkin! Hanya seorang kelana saja yang mungkin menyalakannya kemarin
malam. Dick dan Julian kembali ke parit tempat mereka berkemah. Mereka menceritakan
kejadian yang baru saja mereka alami, pada George dan Anne.
"Kita kembali saja ke istal," kata Anne. "Ada sesuatu yang aneh di aini. Nanti
tahu-tahu kita sudah terlibat lagi dalam petualangan!"
"Kita menginap satu malam lagi di sini," kata Julian. "Aku ingin tahu, apakah
pesawat itu datang lagi, atau tidak , Para kelana tidak tahu di mana kita
bermalam. Dan si Ingus, meski dia tahu tapi aku merasa yakin ia takkan membuka
rahasia. Anak itu tabah, berani berusaha membela kami terhadap ayahnya!"
"Baiklah. Kita tetap di sini," kata Goerge. "Aku tidak ingin menyuruh Timmy
berjalan jauh hari ini. Kurasa walau sebagian besar sisa duri sudah berhasil
kucabut, tapi ia tidak mau mencecahkan kaki ke tanah."
"Dia kan jago berlari dengan tiga kaki," kata Dick, sambil memperhatikan Timmy
lari hilir-mudik dalam parit seperti biasa sibulk mengendus-endus mencari
kelinci. "Bukan main banyaknya lubang yang sudah digali si Timmy dalam parit ini ," kata
Julian, ia memandang berkeliling, memperhatikan tempat-tempat di sisi parit yang
digali Timmy dalam usahanya memasuki salah satu liang kelinci. "Dia pasti besar
sekali gunanya bagi para pemuda Bartle, ketika mereka masih menggali pasir di
sini , Kasihan si Timmy - kakimu yang cedera menghalangi kesibukanmu mengais
pasir untuk mengejar kelinci ,"
Timmy lari menghampiri, dengan tiga kaki. Anjing itu menikmati kesibukan anak-
anak mengurus dirinya, jika ada sesuatu terjadi dengan dia.
Hari itu mereka bermalas-malasan saja. Hari terlalu panas untuk melakukan
kegiatan apa pun juga. Mereka pergi ke sumber lalu merendamkan kaki ke dalam
aliran air di situ. Sedap sekali rasanya. Sejuk, Setelah itu mereka mendatangi
kepala karena yang terguling dalam keadaan setengah terpendam. Mereka melihat-
lihat mesin itu. Dick mengais-ngais pasir yang merembes ke dalam kabin masinls. Kemudian semua
ikut membantunya. Mereka berhasil membebaskan berbagai tuas yang ada di situ
dari timbunan pasir, lalu mencoba menggerak-gerakkan. Tapi tentu saja tidak
bisa. "Yuk, kita pergi ke balik semak ini," kata Dick. "Mungkin kita bisa melihat
cerobong asapnya lagi. Aduh, sialan duri-duri ini , Sakit badanku tercocok. Si
Timmy pintar, tinggal di sana - sama sekali tak mau ikut-ikut memeriksa
penyembur asap ini ,"
Sebelum bisa menilik cerobong dengan seksama, terlebih dulu mereka harus menebas
sebagain dari ranting-ranting semak. Setelah cerobong itu terbebas dari semak
yang menutupi, anak-anak berseru ksgum.
"Lihatlah! Bentuknya panjang, persis cerobong Puffing Billy, Kalian tahu kan -
salah satu lokomotif yang pertama-tama diciptakan orang."
"Lubangnya penuh dengan pasir," kata Olck. Dicobanya mengeruk pasir ke luar.
Untung pasir di situ tidak terlalu padat. Tak lama kemudian ia sudah bi-sah
menengok sampai jauh ke dalam.
"Bayangkan, dulu masih ada asap mengepul dari lubang cerobong kuno ini," kate
Dick. "Sayang barang Ini, tergeletak di sini selama begitu lama - dilupakan
orang. Heran, tak ada orang yang mau datang menyelamatkannya!"
"Yah, kau tahu sendiri apa kata pandai besi itua itu pada kita," kata George-
"Adik perempuan para pemuda Bartle yang ditinggal sendiri waktu itu sudah
mengatakan, ia tidak peduli dengan rel, kepala kereta, serta parit pasir ini
lagi. Dan sudah jelas, tak ada seorang pun yang bisa mengangkat sendiri barang
berat ini." "Aku tak heran, jika ternyata cuma kita satu-satunya yang mengetahui letak
lokomotif ini," kata Anne. "Letaknya begitu tersembunyi di bawah pasir dan
belukar, sehingga hanya secara kebetulan orang bisa menemukannya ,"
"Eh - kenapa aku tahu-tahu lapar?" kata Dick, ia berhenti mengikis pasir yang
menutupi tubuh kepala kereta. "Bagaimana jika kita makan dulu?"
"Bekal kita masih cukup untuk sehari dua lagi," kata Anne. "Tapi sesudah itu
kita harus mencari makanan lain. Atau, kembali ke istal ,"
"Aku harus semalam lagi ada di sini kata Julian. "Aku kepingin melihat, apakah
pesawat yang kemarin datang lagi atau tidak,"
"Setuju, Sekali ini kita semua berjaga-jaga," kata George. "Pasti mengasyikkan ,
Yuk, kita makan dulu sekarang. Setuju kan, Timmy?"
Terang saja Timmy setuju, ia lari cepat-cepat ke dalam parit dengan tiga kaki.
Padahal kakinya yang semula tertusuk duri, sebetulnya sudah tak terasa sakit
lagi. Timmy memang pintar berpura-pura ,
Bab 15 Malam Kejutan Sehari itu tak ada kelana yang datang ke dekat tempat mereka. Bahkan si Ingus
pun tidak muncul. Petang harinya masih tetap ,ndah. Hawa masih tetap hangat,
hampir sepanas siang. "Luar biasa ," kata Dick sambil mendongak menatap langit. "Cuaca bulan April
bisa begini bagus Kalau matahari terus bersinar sepanas sekarang, tak lama lagi
bunga-bunga lonceng biru pasti akan bermunculan ,"
Anak-anak berbaring telentang di atas pasir di parit Mereka memperhatikan
bintang-bintang kemerlip di atas langit. Langit kelihatan luas sekali,
melengkung di atas mereka.
Timmy sibuk mengais-ngais pasir.
"Kakinya sudah jauh lebih baik sekarang," kata George. "Walau kuperhatikan,
sekali-sekali kaki yang cedera itu diangkatnya agak tinggi."
"Ya, tapi hanya jika ia ingin kau membujuknya dengan kata-kata, 'Aduh kasihan si
Timmy, masih sakit ya,' " kata Dick. "Dia ini memang senang dibujuk-bujuk ,
Kayak anak kecil saja ,"
Anak-anak masih bercakap-cakap terus selama beberapa waktu. Kemudian Anne
menguap. "Aku tahu, sekarang masih sore - tapi rasanya kepingin tidur," katanya. Dan
sesaat kemudian anak-anak sudah berduyun-duyun mendatangi sumber air. Mereka
mandi di situ. Bekal handuk cuma satu, tapi itu pun sudah cukup bagi mereka.
Setelah mandi, mereka merebahkan diri di atas pembaringan mereka. Di atas pasir
tentunya! Moga moga kita bisa bangun nanti jika pesawat itu datang lagi - jika memang
datang," kata Julian pada Dick. "Astaga, pasir panas sekail , Pantas Timmy
terjulur lidahnya, terengah-engah napasnya kepanasan ,"
Belum lama mereka, tertidur, Dick bangun lagi dengan tiba-tiba. ia kepanasan ,
Dick berbaring telentang dengan mata nyalang, memandang bintang-bintang yang
berkilauan di langit. Kemudian dipejam-kannya lagi matanya. Tapi percuma - ia
tidak bisa tidur lagi. ia lantas duduk. Geraknya hati-hati sekali, karena tidak ingin membangunkan
Julian, ia hendak melihat apakah lampu isyarat dinyalakan lagi.
Dick pergi ke sisi parit, lalu mendakinya. Sesampai di atas ia meman-dang ke
arah perkemahan kaum kelana. Begitu menatap, ia langsung berseru kaget. Ya,
lampu isyarat ternyata menyala lagi ,
Lampunya sendiri tidak nampak, tapi sinarnya sangat terang. Dilihat dari udara,
pasti nampak jelas sinar itu. Mungkinkah pesawat kemarin akan datang lagi -
mengingat lampu isyarat sudah dinyalakan"
Dick memasang telinga, mendengarkan dengan seksama. Ya, di kejauhan terdengar
bunyi berdengung pelan. Datangnya dari arah timur. ,tukah pesawat yang datang
lagi" Akan mendaratkah pesawat itu" Dan jika mendarat, siapakah yang ada di
dalamnya" Dick turun lagi ke dalam parit, lalu membangunkan saudara-saudaranya. Timmy
langsung terbangun pula. Ekornya mengibas-ngibas dengan bersemangat. Timmy
selalu siap untuk ikut berbuat sesuatu - Juga pada tengah malam. Anne dan George
juga bangun. Hati mereka berdebar-debar.
"Sudah menyala lagikah lampu itu" He, aku juga bisa mendengar deru mesin
pesawatl Wah, ini mengasyikkan , Geroge Timmy kan tidak menggonggong nanti" Jika
Hidung Belang Penghisap Darah 2 Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur Dayang Dayang Dasar Neraka 1
^