Pencarian

Minggat 1

Lima Sekawan Minggat Bagian 1


FIVE RUN AWAY TOGETHER by Enid Blyton LIMA SEKAWAN MINGGAT Alihbahasa: Agus Setiadi Penerbit: PT Gramedia Cetakan Ketiga: Mei 1981 I LIBURAN MUSIM PANAS "GEORGE!" seru ibunya agak kesal. "Tak henti-hentinya kau keluar masuk dengan
Tim! Tidak bisakah kau mencari kesibukan tertentu" Tenanglah sedikit - Ibu perlu
istirahat sebentar!"
"Maaf, Bu," jawab Georgina. Dipegangnya kalung leher Tim, melarang anjing itu
melompat-lompat lagi. "Aku kesepian, karena Anne beserta kedua abangnya tidak
ada. Rasanya tak sabar lagi menunggu besok. Sudah tiga minggu aku tak melihat
mereka." Georgina bersekolah seinternat* (semacam asrama) dengan Anne, Dalam liburan, ia
biasanya berkumpul dengan saudara sepupunya itu, serta kedua abang Anne, yaitu
Julian dan Dick. Dan kalau keempat anak itu sudah bergabung, macam-macam
pengalaman mereka yang mengasyikkan. Saat itu sedang masa liburan musim panas.
Tiga minggu sudah berlalu. Anne, Dick dan Julian ikut bepergian dengan orangtua
mereka. Georgina tidak turut pergi, karena orang tuanya merasa rindu pada putri
mereka itu. Selama masa sekolah, ia tinggal di internat. Jadi kesempatan bertemu
hanya dalam liburan saja.
Dan kini ketiga saudara sepupunya akan datang besok. Selama sisa liburan, mereka
akan menginap di rumah Georgina. Di Pondok Kirrin.
"Wah! Pasti asyik apabila mereka sudah di sini," kata Georgina. Itu nama
sebenarnya. Tetapi sehari-hari ia dipanggil dengan nama George. "Pasti asyik,
Tim! Bagaimana pendapatmu?"
"Wuf!" jawab Tim sambil mengibas-ngibaskan ekor.
George mengenakan baju kaos dan celana pendek. Seperti seorang anak laki-laki
saja kelihatannya. Ia memang kepingin sekali jadi anak laki-laki. Ia bahkan tak
mau menjawab, apabila dipanggil dengan namanya yang sebenarnya, Georgina. Karena
itu ia dipanggil George oleh setiap orang. Sekarang ia sedang kesepian, karena
harus bermain sendirian selama minggu-minggu pertama liburan.
"Dulu aku senang hidup sendirian," kata anak itu pada anjingnya, yang seolah-
olah mengerti setiap perkataan yang diucapkan oleh tuannya itu. "Tapi sekarang
aku sadar bahwa sikapku itu tolol. Lebih enak berkumpul ramai-ramai dan bergaul
dengan teman-teman. Lebih asyik jika melakukan segala sesuatu bersama-sama."
Tim memukul-mukul lantai dengan ekornya. Tentu saja ia juga senang bermain-main
dengan ketiga saudara sepupu tuannya itu. Ia juga sudah rindu pada Julian, Dick
dan Anne. George mengajak Tim pergi ke pantai. Sambil menudung mata dengan tangan untuk
menahan silau cahaya matahari, George memandang ke arah mulut teluk yang
terbentang di depannya. Di tengah nampak sebuah pulau kecil berbatu-batu,
seolah-olah menjaga jalan masuk ke teluk. Di atas pulau itu terdapat sebuah puri
kuno yang sudah meruntuh.
"Kami akan berkunjung lagi ke tempatmu, Pulau Kirrin," kata George setengah
berbisik pada dirinya sendiri. "Selama musim panas ini aku belum sempat, karena
perahuku sedang diperbaiki. Tapi tak lama lagi akan sudah siap, dan kau akan
kudatangi. Aku akan berkeliaran lagi dalam puri. Tim, masih ingatkah pada
pengalaman-pengalaman kita musim panas yang lalu di Pulau Kirrin?"
Tentu saja Tim masih ingat. Ia ikut masuk ke dalam ruangan-ruangan bawah tanah
yang terdapat di dasar pulau itu, di bawah lantai Puri. Ia membantu anak-anak
menemukan harta karun di sana. Ia pun ikut mengalami kejadian-kejadian
mengasyikkan, bersama keempat anak yang disayanginya. Karena itu Tim
menggonggong. "Kau ingat, Tim?" ujar George sambil menepuk-nepuk kepala anjing itu. "Pasti
asyik, kalau kita ke sana lagi! Dan kita akan turun lagi ke ruangan bawah tanah,
ya" Wah! Masih ingat, betapa Dick menuruni lubang sumur untuk menyelamatkan
kami?" Hati George berdebar keras, karena terkenang kembali pada kejadian-kejadian yang
mereka alami tahun lalu. Ia semakin ingin hari cepat-cepat berganti, karena
besok ketiga teman yang juga saudara sepupunya akan datang.
"Mudah-mudahan Ibu akan mengijinkan kita menginap seminggu di Pulau," pikir
George. "Pasti akan sangat menyenangkan - tinggal di pulauku sendiri!"
Pulau itu memang kepunyaan George. Sebenarnya milik ibunya, tetapi dua atau tiga
tahun yang lalu ibunya itu mengatakan bahwa George boleh memilikinya. Sekarang
George merasa pulau itu memang benar-benar kepunyaannya. Ia beranggapan bahwa
semua kelinci yang hidup di sana kepunyaannya, begitu pula halnya dengan burung-
burung serta margasatwa lainnya.
"Kalau mereka sudah datang, aku akan mengusulkan untuk tinggal di sana
seminggu," pikirnya y bergairah. "Kita akan berbekal makanan serta keperluan
hidup lainnya, lalu hidup menyendiri di sana. Wah! Rasanya nanti pasti seperti
Robinson Crusoe!" George sangat mengagumi tokoh cerita itu, seorang laki-laki
yang hidup sebatang kara selama bertahun-tahun di sebuah pulau terpencil.
Keesokan harinya ia berangkat dengan kereta kuda ke stasiun, menjemput ketiga
saudaranya yang datang hari itu. Ia pergi seorang diri. Ibunya sebetulnya juga
ingin ikut, tetapi ia merasa kurang enak badan. George agak cemas memikirkan
ibunya. Akhir-akhir itu ibunya sering mengeluh, katanya merasa kurang sehat.
Barangkali karena cahaya matahari musim panas terlalu menyengat. Dan hawa pun
akhir-akhir itu sangat panas. Berhari-hari langit selalu cerah, dan matahari tak
pernah lenyap di balik awan. Bagi orang Inggris yang lebih biasa pada langit
mendung, sinar matahari yang terlalu terik bisa menimbulkan penyakit. Kulit
tubuh George sudah menjadi coklat tua karena terbakar sinar matahari. Matanya
yang biru cerah, semakin menyolok kelihatannya dibandingkan dengan warna kulit
mukanya yang coklat itu. Rambutnya yang semula sudah pendek, dipotong lebih
pendek lagi sekarang. Benar-benar sukar menebak, apakah George seorang anak
perempuan atau laki-laki. Tentu saja bagi orang yang tak mengenalnya! Sedang
sanak saudara dan kenalan-kenalannya tahu bahwa George seorang anak perempuan,
yang ingin jadi laki-laki.
Kereta api masuk ke stasiun. Nampak tiga pasang tangan melambai-lambai ke luar
dari sebuah jendela. George berseru girang.
"Julian! Dick! Anne! Horee! Akhirnya kalian datang juga!"
Ketiga anak itu berlompatan turun dari gerbong tempat mereka duduk. Julian
memanggil tukang pengangkat barang.
"Koper-koper kami di gerbong penjaga kereta," katanya pada tukang itu. Sudah itu
ia berpaling memandang saudara sepupunya yang menjemput. "Halo George, apa
kabar! Wah, bertambah besar kau sekarang!"
Bukan George saja yang bertambah besar, tetapi mereka semua. Umur mereka memang
sudah bertambah setahun, sejak mereka mengalami kejadian-kejadian yang
mendebarkan hati di Pulau Kirrin. Bahkan Anne, yang paling muda di antara mereka
berempat, sudah tidak lagi kelihatan seperti anak kecil. Dengan gembira anak itu
merangkul George. Begitu gembiranya, sehingga saudara sepupunya nyaris terjatuh.
Ribut sekali keempat anak itu menyatakan kegembiraan berjumpa kembali. Bahkan
Tim pun ikut-ikut ribut, menggonggong tanpa henti.
"Kereta api kami tadi, rasanya pelan sekali jalannya. Seolah-olah takkan pernah
sampai ke mari!" "Wah, Tim! Kau masih sama saja seperti dulu!"
"Waf, Waf, Waf!" Bukan George yang ngomong, tetapi Tim.
"Ibu menyesal, tidak bisa ikut menjemput. Ia merasa kurang enak badan!"
"Wah, George! Coklat benar warna kulitmu sekarang. Pasti kita akan bisa bermain-
main lagi dengan asyik!"
"WAF! WAF!" Tim lagi yang ikut-ikut bicara.
"Jangan berisik, Tim! Ayoh, jangan meloncat-loncat! Putus nanti dasiku kaugigit.
Ya, ya - kau anjing manis!"
"WAF!" Sementara itu tukang pengangkut barang sudah menaruh koper-koper ke dalam kereta
kuda. George mendecakkan lidah, dan kereta mereka pun mulai bergerak ditarik
kuda. Keempat anak yang duduk di dalamnya ribut sekali berbicara. Tetapi Tim
lebih ribut lagi, karena gonggongannya nyaring dan berat.
"Mudah-mudahan Bibi tidak sakit," kata Julian. Ia menyenangi Bibi Fanny, karena
lembut dan baik hati. Lagipula sangat sayang pada mereka semua.
"Kurasa hawa yang panas ini penyebabnya," ujar George.
"Dan bagaimana kabar Paman Quentin?" tanya Anne. "Baik-baik sajakah?"
Ketiga saudara sepupu itu sebetulnya kurang senang pada paman mereka, ayah
George. Paman Quentin cepat marah. Ia tak begitu peduli terhadap anak-anak,
walau ketiga keponakannya itu tentu saja diterimanya menginap di rumah. Julian
dan kedua adiknya selalu merasa agak kikuk kalau berhadapan dengan Paman. Mereka
lebih senang apabila tidak perlu berurusan dengannya.
"Ayah biasa-biasa saja," kata George dengan riang. "Ia hanya agak khawatir
melihat kesehatan Ibu. Ayah biasanya tak begitu peduli apabila ibuku sehat dan
gembira. Tapi begitu Ibu mengeluh dan merasa kurang enak badan, Ayah cepat
bingung. Jadi kalian harus hati-hati sedikit dengannya. Kalian tahu sendiri
bagaimana wataknya kalau sedang repot atau bingung."
Tentu saja anak-anak mengetahuinya! Kalau sedang ada sesuatu yang tidak beres,
lebih selamat apabila Paman Quentin dijauhi. Tetapi hari itu, bahkan bayangan
Paman yang pengomel pun tak bisa menyuramkan perasaan anak-anak yang sedang
bergembira. Mereka naik kereta kuda, menuju ke Pondok Kirrin. Mereka sedang
berlibur. Sebentar lagi mereka akan sampai di tepi laut. Tim yang mereka sayangi
semua, ada di dekat mereka. Segudang pengalaman yang mengasyikkan akan mereka
alami di situ! "Kita juga akan ke Pulau Kirrin, George?" tanya Anne. "Kita ke sana yuk! Sejak
musim panas yang lalu, kita tak pernah ke sana lagi. Selama liburan musim panas,
dan kemudian pada hari-hari raya Paskah, cuaca terlampau buruk. Tapi sekarang
cerah sekali!" "Tentu saja kita akan ke sana," kata George dengan mata bersinar-sinar riang.
"Kau mau tahu niatku tadi" Kurasa asyik sekali bila kita bisa menginap di Pulau
Kirrin selama seminggu! Kita sekarang sudah lebih besar, jadi kurasa pasti akan
diijinkan oleh Ibu!"
"Apa katamu" Menginap di pulaumu selama seminggu!" seru Anne. "Wah, kalau benar-
benar diperbolehkan, ASYIIK!"
"Bukan pulauku - tapi pulau kita," ujar George berbahagia. "Kau tak ingat lagi"
Dulu kan sudah kukatakan bahwa Pulau Kirrin kita bagi empat! Kita miliki
bersama-sama. Aku tak main-main! Pulau itu kepunyaan kita bersama, bukan milikku
seorang diri." "Bagaimana dengan Tim?" usul Anne. "Dia tidak ikut kebagian" Apakah kita tidak
bisa membagi Pulau menjadi lima bagian, supaya dia juga turut memiliki?"
"Dia bisa turut memiliki bagianku," ujar George. Sementara itu kereta mereka
sudah sampai di puncak bukit batu. George menghentikan kuda. Keempat anak itu,
dan juga Tim, memandang ke arah teluk yang biru airnya. "Itu dia, Pulau Kirrin,"
kata George. "Pulau yang indah. Aku sudah tak sabar lagi, ingin lekas-lekas ke
sana. Selama ini aku tak sempat, karena perahuku sedang dibetulkan."
"Kalau begitu kita bisa pergi beramai-ramai," ujar Dick. "Apakah kelinci-
kelincinya masih tetap jinak seperti dulu?"
Dengan segera Tim menggonggong. Begitu mendengar perkataan 'kelinci', ia selalu
ribut. "Percuma saja kau ribut-ribut mendengar kata kelinci, Tim," ujar George. "Kau
kan tahu, kelinci-kelinci di Kirrin tak boleh kaujadikan perburuan."
Seketika itu juga ekor Tim yang semula mengibas-ngibas dengan bersemangat,
berpindah tempat ke sela kaki-kaki belakangnya. Anjing itu kecewa. Dipandangnya
George dengan sedih. Kelinci merupakan satu-satunya persoalan yang
menyebabkannya tak sependapat dengan tuannya itu. Menurut keyakinan Tim, kelinci
itu gunanya untuk diburu! Sedang George berkeyakinan sebaliknya!
George mendecakkan lidahnya lagi sambil menyentakkan tali-tali kendali. Kereta
mereka bergerak kembali, menuju ke Pondok Kirrin. Tak lama kemudian mereka sudah
sampai di depan pintu pagar depan.
Seorang wanita berwajah masam muncul dari pintu rumah sebelah belakang. Ia ke
depan, untuk membantu anak-anak menurunkan barang-barang mereka. Julian dan
kedua adiknya tak mengenal wanita itu.
"Siapa itu?" bisik mereka pada George.
"Juru masak kami yang baru," kata George. "Joanna terpaksa minta berhenti,
karena harus merawat ibunya yang mengalami kecelakaan dan patah kakinya. Lalu
Ibu mendapat juru masak yang baru. Dialah orangnya! Namanya Ibu Stick."
"Cocok dengan orangnya," ujar Julian sambil tertawa nyengir. Wanita itu berbadan
kurus, seperti tongkat. Sedang stick artinya juga tongkat! "Tapi mudah-mudahan
ia tak terlalu lama bekerja pada kalian. Mudah-mudahan saja Joanna bisa bekerja
lagi di sini. Aku lebih senang pada Joanna yang gemuk. Ia juga sayang pada Tim."
"Ibu Stick juga punya seekor anjing," kata George. "Anjing itu jahil. Badannya
lebih kecil dari Tim. Kelihatannya seperti tak pernah diurus! Tim tidak suka
padanya." "Di mana dia?" tanya Anne sambil memandang berkeliling.
"Tinggalnya selalu di dapur. Tim tak boleh dekat-dekat," kata George. "Untung
saja, sebab kalau tidak kurasa anjing itu pasti akan habis ditelan oleh Tim!"
Anak-anak tertawa mendengar lelucon itu. Sementara itu barang-barang sudah
selesai diturunkan dari kereta. George pergi ke tempat menaruhkan kereta, sedang
ketiga saudara sepupunya masuk ke rumah untuk mengucapkan salam pada paman dan
bibi mereka. "Nah, apa kabar?" ujar Bibi Fanny sambil tersenyum. Ia sedang berbaring di kursi
panjang. "Sayang aku tadi tak bisa ikut menjemput. Paman Quentin sedang jalan-
jalan sebentar. Kalian pergi saja ke atas untuk membersihkan badan dan berganti
pakaian. Sudah itu kita akan minum teh."
Julian dan Dick pergi ke kamar tidur yang disediakan untuk mereka. Kamar itu
miring langit-langitnya, karena terletak di bawah atap. Dari jendela, mereka
bisa memandang ke Teluk Kirrin. Sedang Anne sekamar dengan George, di sebuah
kamar tidur yang ukurannya agak lebih kecil. Senang hati mereka, karena berada
kembali di Kirrin! Mereka akan bisa bersenang-senang selama liburan, bersama
George! Dan tentu saja bersama Tim yang kocak!
II KELUARGA STICK KEESOKAN harinya, pagi-pagi benar mereka sudah bangun. Enak rasanya bangun pagi
di Pondok Kirrin, memandang sinar matahari cerah yang masuk lewat jendela kamar,
dan mendengar bunyi deburan ombak laut di kejauhan. Kemudian meloncat bangun dan
lari ke jendela, untuk melihat kebiruan warna laut yang terhampar di depan mata.
Senang rasanya mengagumi keindahan Pulau Kirrin, yang seolah-olah menjaga pintu
masuk ke Teluk. "Sebelum sarapan, aku ingin berenang-renang di laut," kata Julian sambil
menyambar celana renangnya. "Kau ikut, Dick?"
"Tentu saja!" kata Dick. "Panggil anak-anak perempuan. Kita semua berenang."
Lalu turunlah keempat anak itu, diiringi oleh Tim yang berlari-lari di belakang
sambil mengibas-ngibaskan ekor. Lidahnya yang merah, terjulur panjang ke luar.
Ketika anak-anak masuk ke dalam air, Tim tidak mau ketinggalan! Ia ikut
menceburkan diri lalu berenang mengelilingi anak-anak. Mereka semua pandai
berenang, tetapi Julian dan George yang terbaik.
Setelah puas berenang mereka mengeringkan tubuh, lalu mengenakan celana pendek
dan baju kaos. Kemudian mereka kembali ke rumah. Perut mereka sudah keroncongan, minta diisi.
Tiba-tiba Anne tertegun, karena melihat ada seorang anak laki-laki di pekarangan
belakang. "Siapa itu?" tanyanya heran.
"Ah, dia! Namanya Edgar - anak Ibu Stick," ujar George. "Aku tak suka pada anak
itu. Kelakuannya konyol! Senangnya menjulurkan lidah, atau mengejek-ejek dengan
mengata-ngatai orang!"
Keempat anak itu masuk lewat pintu pagar depan. Anak laki-laki yang di belakang
kedengarannya seperti sedang bernyanyi-nyanyi. Anne berhenti sebentar, karena
ingin mendengar nyanyiannya.
"Georgi-Porgi, gendut sekali!" Begitulah nyanyian Edgar dengan tampang mengejek.
Umurnya sekitar tiga belas, atau empat belas tahun. Anak itu bertampang tolol,
tetapi licik. Sekali lagi ia menyanyikan, "Georgi-Porgi, gendut sekali!"
Air muka George berubah mendengarnya, menjadi merah padam.
"Dia selalu nyanyi-nyanyi begitu," katanya marah. "Kurasa karena aku dipanggil
dengan nama George. Dikiranya dia lucu. Aku benci padanya."
Julian membentak anak itu.
"Tutup mulut! Kau tidak lucu, tapi konyol!"
"Georgi-Porgi," kata Edgar bernyanyi-nyanyi lagi, sambil nyengir goblok. Mukanya
yang lebar dan merah kelihatan tolol sekali! Julian berbuat seolah-olah hendak
mengejar. Seketika itu juga Edgar menghilang ke dalam rumah.
"Aku tak sabar melihat anak itu," kata Julian dengan suara tegas. "Aku heran
melihat kau tahan, George. Kenapa belum kautempeleng, kaupijak kakinya, kaugigit


Lima Sekawan Minggat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kupingnya - atau salah satu tindakan pembalasan lainnya! Dulu kau kan galak
sekali." "Yah - sebetulnya aku masih sama saja," ujar George. "Darahku menggelegak
rasanya kalau kudengar Edgar menyanyi-nyanyikan lagu konyol seperti itu, atau
mengejek-ejek aku! Tapi soalnya Ibu akhir-akhir ini kurang sehat badannya. Aku
tahu apabila Edgar kuhajar, Ibu Stick pasti lantas minta berhenti! Lalu Ibu
terpaksa melakukan segala-galanya sendirian. Padahal saat ini badannya kurang
kuat. Karena itu aku menahan diri, dan berharap semoga Tim juga bisa menyimpan
rasa marahnya!" "Pertimbanganmu itu baik sekali!" ujar Julian dengan kagum. Ia tahu bahwa George
susah sekali bisa menahan diri. Biasanya kalau ia marah, langsung mengamuk!
"Aku pergi sebentar melihat Ibu dalam kamarnya, barangkali saja ia kepingin
sarapan di tempat tidur," ujar George. "Tolong pegangkan Tim sebentar, ya" Aku
khawatir kalau Edgar muncul lagi, Tim akan menyerangnya."
Julian memegang kalung leher anjing itu erat-erat. Tim tadi sudah menggeram
ketika melihat Edgar ada di kebun. Tetapi sekarang ia berdiri tanpa bergerak
sama sekali. Hanya hidungnya saja yang kembang kempis, seakan-akan berusaha
mencium salah satu bau tertentu.
Tiba-tiba dari pintu dapur muncul seekor anjing. Bulunya putih, tetapi dekil. Di
sana sini gundul, seperti habis digigit-gigit. Barangkali berkutu! Buntutnya
terselip di antara kedua kaki belakang.
Seketika itu juga Tim meloncat maju sambil menggonggong.
Julian terseret sampai jatuh, karena Tim seekor anjing yang besar. Karena takut
celaka, anak itu melepaskan pegangannya. Tim menerjang anjing itu, yang
mendengking-dengking ketakutan dan berusaha masuk kembali ke dapur.
"Tim! Timmy! Ayoh, ke mari!" seru Julian. Tetapi Tim tak mendengar, - atau pura-
pura tak mendengar. Ia sedang sibuk, hendak merenggut kuping anjing yang satu
lagi. Setidak-tidaknya ia berbuat seolah-olah hendak menggigitnya. Anjing putih
dekil itu mendengking-dengking minta tolong. Ibu Stick muncul di ambang pintu
dapur. Tangannya memegang panci bergagang panjang.
"Suruh pergi anjing itu!" pekiknya dengan suara melengking. Diayunkannya panci
ke arah Tim. Tetapi Tim cepat mengelak. Karenanya yang terpukul anjingnya
sendiri. Anjing itu mendengking-dengking semakin nyaring.
"Jangan memukul dengan panci!" seru Julian. "Nanti anjing-anjing itu yang kena.
Kan sakit! Tim! He, TIM!"
Sementara itu Edgar ikut keluar. Kelihatannya ia ketakutan sekali. Dipungutnya
sebutir batu, lalu berdiri dengan tangan terangkat ke atas. Nampaknya menunggu
kesempatan baik, untuk melempar Tim dengan batu. Anne menjerit.
"Kau tak boleh melempar dengan batu! Kau jahat!"
Di tengah-tengah keributan itu Paman Quentin tiba-tiba muncul. Kelihatannya
kesal dan marah. "Astaga! Ada apa lagi ribut-ribut di sini! Belum pernah kualami kebisingan
seperti begini!" George ke luar berlari-lari, hendak menolong anjingnya. Ia menyerbu ke depan,
dan berusaha menarik Tim pergi. Paman Quentin berteriak padanya,
"Jangan mendekat! Tidak tahukah kau, bahwa besar sekali bahayanya mencoba
memisahkan dua ekor anjing yang sedang berkelahi" Mana slang untuk menyiram
kebun?" Slang itu terpasang pada keran air di dekat situ. Julian bergegas membuka keran,
lalu diambilnya slang dan diarahkannya pada kedua ekor anjing yang sedang ribut.
Begitu air menyemprot badan mereka, keduanya terlompat karena kaget. Kebetulan
terlihat oleh Julian bahwa Edgar berdiri dekatnya. Ia tak bisa menahan diri.
Arah slang digeserkannya sedikit, dan semburan air membasahi pakaian anak itu.
Edgar menjerit, lalu lari ke dalam.
"Untuk apa kausemprot anak itu"!" bentak Paman Quentin dengan kesal. "George,
Tim harus kautambatkan sekarang juga. Dan Ibu Stick - bukankah sudah kukatakan
bahwa anjing Anda hanya boleh keluar dari dapur kalau lehernya terikat" Aku tak
mau keadaan seperti tadi terulang lagi. Sarapan sudah siap" Tentu terlambat
lagi, seperti biasa!"
Ibu Stick masuk ke dapur sambil mengomel. Diajaknya anjingnya yang basah kuyup
ke dalam. Tim ditambatkan oleh George, yang melakukannya dengan wajah cemberut.
Anjing itu berbaring dalam kandangnya, sambil memandang tuannya dengan air muka
minta dikasihani. "Kan sudah kukatakan padamu, jangan pedulikan anjing kudisan itu," kata George
dengan marah. "Sekarang kaulihat sendiri akibatnya! Karena ulahmu Ayah akan
jengkel terus seharian. Dan Ibu Stick pasti begitu marah, sehingga takkan mau
membuat kue untuk hidangan bersama teh sore nanti!"
Tim mendengking pelan, lalu menyembunyikan kepala di sela kaki depannya.
Dijilatnya beberapa lembar bulu anjing yang menempel di moncongnya. Memang
menyedihkan, tertambat seperti itu. Tetapi Tim masih puas juga, karena berhasil
menyambar ujung kuping anjing konyol itu!
Anak-anak masuk karena hendak sarapan.
"Aku tadi terpaksa melepaskan Tim," ujar Julian menyatakan penyesalannya pada
George. "Ia menerjang maju, sampai nyaris putus lenganku ditariknya. Aku tak
sanggup menahannya! Tim sudah kuat sekali sekarang."
"Ya," jawab George dengan bangga. "Kalau kita biarkan tadi, pasti anjing mereka
itu habis dilalapnya sekali telan. Edgar juga, sekaligus."
"Dan Ibu Stick," sambung Anne. "Biar saja sekaligus ketiga-tiganya ditelan habis
oleh Tim. Aku tak senang pada mereka!"
Selama sarapan mereka tak banyak bicara, karena Bibi Fanny yang periang tidak
hadir di meja makan pagi itu. Tetapi Paman Quentin! Dan Paman yang sedang
jengkel, tak enak dijadikan teman sarapan! George dibentaknya, sedang matanya
melotot memandang keponakan-keponakannya. Saat itu Anne merasa menyesal datang
ke Pondok Kirrin. Tetapi penyesalannya hanya untuk sekejap saja, karena
kegembiraannya pulih ketika mengingat kesibukan yang akan dalami sehari itu.
Mungkin mereka akan piknik ke pantai. Atau bahkan makan siang di Pulau Kirrin.
Dan Paman Quentin pasti takkan ikut, jadi tak bisa merusak suasana.
Saat itu Ibu Stick masuk untuk mengambil piring-piring bubur yang sudah kosong,
dan sekaligus menghidangkan daging. Diletakkannya piring-piring dengan keras ke
meja. "Anda tak perlu bertingkah seperti itu," kata Paman Quentin tersinggung. Ibu
Stick diam saja. Ia ngeri pada Paman Quentin. Siapa yang tidak, pikir anak-anak.
Piring-piring yang dihidangkannya setelah itu diletakkannya dengan pelan.
Seperti seharusnya. "Apa rencana kalian hari ini?" tanya Paman ketika mereka sudah hampir selesai
sarapan. Paman sudah tidak begitu kesal lagi saat itu. Dan ia tak mau melihat
wajah-wajah yang suram di sekelilingnya. Karena itu ia mencoba beramah-tamah.
"Kami ingin piknik," ujar George. "Sudah kutanyakan pada Ibu. Katanya boleh
saja, asal Ibu Stick menyiapkan roti untuk makan kami nanti."
"Kurasa persiapannya akan asal jadi saja," ujar Paman. Maksudnya hendak melucu.
Anak-anak tersenyum sopan. "Tapi tanya saja padanya."
Anak-anak terdiam. Semuanya enggan meminta tolong pada Ibu Stick agar dibuatkan
roti. "Coba si Bau tak dibawanya ke mari," kata George agak murung. "Kurasa akan lebih
mudah bagi kita semua."
"Begitukah nama anaknya?" tanya Paman Quentin dengan heran. George tertawa
meringis. "Ah, bukan!" jawabnya. "Tetapi sebetulnya cocok juga, karena ia memang bau sebab
jarang mandi. Yang kumaksudkan anjing mereka. Anjing itu diberi nama Abu. Tapi
kuputar ketiga huruf nama itu dan kusebut si Bau, karena baunya memang bukan
main!" "Menurut perasaanku nama itu tak pantas," kata ayahnya, sementara ketiga
saudaranya tertawa terkikik-kikik.
"Memang," jawab George. "Tapi anjingnya juga tak pantas disebut anjing."
Akhirnya Bibi Fanny yang mengurus pembuatan makanan untuk piknik mereka. Ia
meminta Ibu Stick membuatnya, ketika wanita itu naik ke atas untuk mengantarkan
sarapan baginya. Ibu Stick tidak menolak perintah itu, walau mukanya masam.
"Waktu saya menerima tawaran kerja di sini, tidak ada pembicaraan tentang
tambahan tiga anak lagi," katanya setengah merajuk.
"Saya telah memberitahukan pada Anda tentang kedatangan mereka," ujar Bibi Fanny
dengan sabar. "Tapi saya tak tahu bahwa saya akan merasa tak enak badan pada
saat kedatangan mereka. Kalau saya saat ini sehat, saya akan bisa menyiapkan
bekal piknik bagi mereka, serta pekerjaan lain-lainnya lagi. Tetapi sekarang
saya hanya bisa minta agar Anda mau membantu sebanyak mungkin, sampai saya
merasa segar kembali. Mungkin besok saya sudah tak apa-apa lagi. Biarlah anak-
anak itu bersenang-senang dulu selama seminggu. Nanti kalau saya masih saja
belum sehat kembali, tentu mereka juga akan mau ikut membantu. Tetapi biarlah
mereka bersenang-senang dulu."
Begitu perbekalan siap dibuat oleh Ibu Stick, anak-anak segera berangkat. Di
tengah jalan mereka berpapasan dengan Edgar. Tampangnya masih tetap tolol tetapi
licik. "Aku diajak dong," katanya. "Ayoh, kita pergi ke pulau itu. Pulau itu kukenal
baik." "Tak mungkin," jawab George dengan segera. "Kau tak tahu apa-apa tentangnya. Dan
aku takkan mau mengajakmu ke sana. Pulau itu kepunyaanku. Atau tepatnya,
kepunyaan kami. Kau takkan pernah kami ijinkan ke sana."
"Itu bukan pulaumu," bantah Edgar. "Kau bohong!"
"Kau sendiri yang ngomong asal bunyi," jawab George mencemoohkan. "Ayohlah, kita
terus! Untuk apa buang-buang waktu, ngomong dengan anak ini!"
Mereka meninggalkan Edgar berdiri sendirian. Anak itu merajuk. Ketika George dan
saudara-saudaranya sudah agak jauh, Edgar mulai bernyanyi mengejek-ejek,
"Georgi-Porgi gendut sekali.
Melihat dia perutku geli,
Kalau bohong seenak hati!"
Julian berpaling, seolah-olah hendak mengejar Edgar yang kurang ajar. Tetapi
George menarik lengannya, supaya berjalan terus.
"Paling-paling dia nanti lari pulang dan mengadu pada ibunya. Lalu Ibu Stick
minta berhenti, dan tak ada orang yang membantu Ibu," katanya. "Jadi aku harus
bersabar. Tapi kita bisa saja merencanakan pembalasan yang setimpal baginya.
Anak jahil! Aku benci melihat hidungnya yang jerawatan dan matanya yang
terpicing-picing!" Tim ikut memberikan komentarnya. Anjing itu menggonggong dengan galak.
"Kata Tim, ia benci melihat buntut si Bau yang jelek dan kuping kecilnya yang
konyol," kata George menerjemahkan gonggongan itu. Ketiga saudara sepupunya
tertawa terbahak-bahak. Mereka merasa agak lega dan puas. Tak lama kemudian
nyanyian konyol yang masih terus didendangkan oleh Edgar tak tertangkap lagi
oleh mereka. Dan mereka pun sudah melupakan anak itu.
"Kita lihat dulu, apakah perahumu sudah siap dibetulkan," ujar Julian. "Kalau
sudah, barangkali kita akan bisa berdayung ke Pulau."
III BERITA SEDIH PERAHU George sudah hampir siap, tetapi belum bisa dipakai. Tukang perahu yang
membetulkan sedang sibuk mengoleskan lapisan cat terakhir. Kelihatannya sangat
meriah, karena George meminta dicat dengan warna merah. Bahkan kedua dayung pun
dicat merah. "Tidak bisakah kami memakainya siang ini?" tanya George pada tukang perahu, yang
bernama Jim. Jim menggeleng. "Belum bisa, Master George," katanya. "Nanti pakaian kalian akan berlepotan kena
cat. Tapi besok, pasti sudah kering!"
Orang-orang selalu tersenyum apabila mendengar tukang perahu dan para nelayan
menyapa Georgina dengan sebutan 'Master George'. 'Master' merupakan sebutan bagi
anak laki-laki, dan kurang lebih berarti tuan muda, atau sinyo. Tetapi orang-
orang yang tinggal di daerah itu tahu bahwa George atau Georgina kepingin sekali
jadi anak laki-laki. Mereka pun tahu bahwa ia berani dan selalu berterus-terang.
Karenanya dengan geli mereka mengatakan sesama mereka, "Tingkah lakunya memang
seperti anak laki-laki! Jadi kalau ia ingin disebut 'Master George' dan bukan
'Miss Georgina' seperti sepantasnya bagi anak perempuan, biarlah!"
Jadi di kalangan para nelayan dan tukang perahu, Georgina dikenal sebagai Master
George. Ia senang keluyuran memakai baju kaos dan celana pendek di pantai.
Kecekatannya bermain perahu sebanding dengan anak-anak nelayan. Kalau berenang
George lebih jago dari mereka!
"Kalau begitu besok saja kita ke Pulau," kata Julian. "Hari ini kita berpiknik
di pantai saja. Habis itu kita jalan-jalan."
Mereka piknik di atas pasir. Lebih dari setengah perbekalan mereka habis dimakan
oleh Tim. Rasanya tidak enak, karena rotinya sudah basi. Irisannya terlalu
tebal, sedang mentega yang dioleskan terlalu sedikit. Tetapi Tim tak peduli. Ia
makan dengan lahap. Ekornya dikibas-kibaskan kian ke mari di atas pasir,
sehingga berhamburan mengenai anak-anak.
"Tim! Kalau mau mengibas-ngibaskan ekor, jangan di pasir dong," kata Julian,
setelah untuk keempat kalinya pasir tersiram ke rambutnya. Sekali lagi Tim
mengibaskan ekor, dan sekali lagi Julian tersiram pasir. Anak-anak tertawa.
"Sekarang kita jalan-jalan," ujar Dick sambil melompat bangkit. "Kakiku
memerlukan latihan sedikit. Ke mana kita?"
"Bagaimana jika kita berjalan-jalan sepanjang tepi atas tebing, dari mana kita
akan selalu bisa memandang ke Pulau?" usul Anne. "Bangkai kapal tua masih ada di
sana, George?" George mengangguk. Anak-anak itu pernah mengalami kejadian yang mengasyikkan
dengan bangkai kapal itu, yang mula-mulanya terbenam di dasar laut. Badai
dahsyat yang mengamuk pada suatu hari mengangkatnya ke atas dan mengandaskannya
ke batu-batu karang. Anak-anak datang memeriksa kapal tua itu, dan menemukan
sebuah peta Puri Kirrin di situ. Peta itu memuat petunjuk-petunjuk untuk
menemukan harta karun. "Kau masih ingat, bagaimana kita menemukan peta tua dalam bangkai kapal itu" Dan
bagaimana kita mencari batang-batang emas yang akhirnya berhasil kita temukan?"
tanya Julian. Matanya bersinar-sinar mengenangkan kejadian yang mengasyikkan
itu. "Apakah bangkai kapal itu belum remuk dipukul ombak, George?"
"Belum," jawab George. "Kurasa belum! Kan terdamparnya di sebelah sana Pulau
Kirrin, jadi tidak kelihatan dari sini. Tapi kalau kita ke Pulau besok, kita
akan bisa melihatnya."
"Ya, ayohlah," ujar Anne. "Kasihan, kapal yang malang! Kurasa beberapa musim
dingin lagi pasti akan sudah hancur."
Mereka berjalan sepanjang tepi tebing. Tim berlari-lari mendului. Dari tempat
mereka terlihat jelas Pulau Kirrin, serta Puri yang meruntuh dengan menara di
tengah-tengah. "Itu Menara Gagak," kata Anne sambil memandang. "Bukankah menara yang satu lagi
sudah runtuh" Lihatlah kawanan burung gagak itu, terbang mengelilingi menara,
George!" "Ya - setiap tahun mereka selalu membuat sarang di situ," sahut George. "Kau
masih ingat pada tumpukan ranting di sekeliling menara, yang dijatuhkan oleh
gagak-gagak itu sewaktu mereka sedang membuat sarang" Lalu kita memungutnya,
untuk dijadikan api unggun."
"Aku ingin membuat api unggun lagi," kata Anne. "Kalau kita jadi menginap satu
minggu di Pulau, kita membuat api unggun tiap malam, ya" Bagaimana George - kau
sudah menanyakannya pada ibumu?"
"O ya," jawab George, "Katanya kenapa tidak - tapi lihat sajalah nanti."
"Aku selalu merasa tak enak, kalau orang dewasa mengatakan 'lihat sajalah
nanti'," kata Anne. "Sering kali artinya mereka sebetulnya tak setuju, tapi tak
mau langsung mengatakan."
"Ah, kurasa Ibu akan mengijinkan," kata George. "Bagaimana juga, kita sekarang
kan sudah jauh lebih tua daripada setahun yang lalu. Bayangkan saja, Julian
sudah tergolong remaja sekarang. Aku juga sebentar lagi, begitu pula dengan
Dick. Cuma Anne saja yang masih anak kecil."
"Aku bukan anak kecil," seru Anne tersinggung. "Aku sama kuat seperti kalian.
Bukan salahku bahwa umurku lebih muda!"
"Ssst, sudahlah, Dik," kata Julian menyabarkan, sambil menepuk-nepuk punggung
adiknya itu. Ia tertawa melihat muka Anne yang merah padam karena marah. "He!
Lihatlah," katanya sekonyong-konyong. "Ada apa di pulau kita?"
Sewaktu sedang mengganggu adiknya, matanya yang tajam melihat sesuatu yang aneh
di Pulau Kirrin. Ketiga saudaranya menoleh serempak ketika mendengar seruannya.
Mereka memandang ke Pulau. George menjerit kaget.
"Astaga - itu kan asap api! Betul, asap! Ada orang di pulauku."
"Pulau kita," ujar Dick membetulkan ucapan saudara sepupunya. "Mustahil kalau di
sana. Asap itu pasti berasal dari cerobong sebuah kapal yang sedang berlayar di
balik Pulau. Kita tidak bisa melihatnya dari sini. Tapi aku berani bertaruh,
asap itu berasal dari sebuah kapal. Kita kan tahu, tak ada orang bisa ke sana
kecuali kita. Mereka tak mengenal jalannya."
"Kalau ada orang berani menginjak pulauku," kata George dengan berapi-api,
"kalau ada orang pergi ke pulauku, aku akan - aku - aku nanti - "
" - kau akan meledak karena marah!" sambung Dick. "Lihat! Sekarang asap itu tak


Lima Sekawan Minggat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampak lagi. Pasti tadi sebuah kapal yang kebetulan mengeluarkan asap, atau
berasap tebal. Entahlah, pokoknya asap tadi berasal dari sebuah kapal!"
Mereka masih menatap Pulau Kirrin selama beberapa waktu sesudah itu, tetapi tak
ada lagi asap mengepul. "Coba perahuku sudah siap sekarang!" ujar George dengan gelisah. "Aku akan
memeriksa ke sana sore ini juga. Ah - aku berangkat saja, biar catnya masih
basah!" "Jangan konyol!" ujar Julian. "Kau kan tahu, kita pasti akan kena marah, apabila
nanti pulang dengan baju berlepotan cat merah. Pakai dong otakmu, George."
George tak jadi nekat. Ia masih memandang ke laut, menunggu-nunggu munculnya
sebuah kapal dari balik Pulau Kirrin. Tetapi ia menunggu dengan sia-sia.
"Barangkali berlabuh di balik Pulau," kata Dick. "Ayohlah, kita terus. Atau
barangkali kalian ingin terpaku terus di tempat ini sepanjang hari?"
"Kita pulang saja sekarang," kata Julian sambil memandang arlojinya. "Sudah
hampir waktu minum teh. Mudah-mudahan ibumu sudah bisa bangun lagi, George.
Lebih enak rasanya makan bersamanya."
"Kurasa dia sudah sehat lagi," ujar George. "Ayohlah, kita pulang."
Mereka berpaling, lalu berjalan menuju ke rumah. Sambil berjalan, sekali-sekali
mereka menoleh lagi dan memandang Pulau Kirrin. Tetapi yang nampak cuma burung-
burung gagak dan camar yang terbang berkeliling di atasnya. Tak ada lagi asap
yang menjulang tinggi. Rupanya tadi memang kapal!
"Bagaimanapun juga, besok aku akan memeriksa ke sana," kata George dengan tegas.
"Kalau ada pelancong mendatangi pulauku, akan kuusir. Itu pulauku!"
"Pulau kita, maksudmu," ujar Dick. "George, kau tak boleh lupa bahwa menurut
katamu sendiri pulau itu milik kita bersama."
"Ya - aku memang membaginya dengan kalian," kata George. "Tapi entah bagaimana,
aku masih selalu merasa itu pulauku. Ayohlah! Perutku sudah lapar."
Akhirnya mereka sampai juga di Pondok Kirrin. Mereka masuk ke serambi, lalu
menuju ke ruang duduk. Mereka heran melihat Edgar ada di situ, duduk dengan
santai sambil membaca sebuah buku kepunyaan Julian.
"Apa yang kaulakukan di sini?" kata Julian galak. "Dan siapa mengijinkanmu
meminjam bukuku?" "Aku kan tidak berbuat apa-apa," jawab Edgar seenaknya. "Dan kenapa aku tidak
boleh duduk sambil membaca buku?"
"Tunggu sampai ayahku datang dan melihatmu enak-enakan di sini," kata George
mengancam. "Wah, kalau kau tadi berani masuk ke kamar kerjanya, tahu rasa
nanti!" "Aku tadi masuk ke sana," kata Edgar tanpa disangka-sangka. "Aku sudah melihat
alat-alat aneh yang dipakainya bekerja."
"Kau ini lancang!" bentak George. Mukanya pucat karena marah. "Bahkan kami pun
tidak diperbolehkan masuk ke kamar kerja Ayah. Apalagi menyentuh barang-
barangnya!" Julian memandang Edgar. Ia heran, kenapa anak itu tiba-tiba berani kurang ajar.
"Di mana ayahmu, George?" tanyanya. "Kurasa sebaiknya dia saja yang berurusan
dengan Edgar. Anak ini sudah gila rupanya!"
"Panggil saja ayahmu, kalau mau," kata Edgar. Anak itu masih terus saja duduk
seenaknya di kursi panjang. Buku Julian dibalik-balik halamannya dengan sikap
yang sangat menjengkelkan. "Dia toh tidak akan datang."
"Apa maksudmu?" tanya George. Tiba-tiba ia merasa ngeri. "Mana ibuku?"
"Kalau mau, panggil juga dia," kata Edgar dengan lirikan licik. "Ayoh!
Panggillah!" Keempat anak itu merasa takut. Apa maksud Edgar" George melejit lari ke atas,
menuju kamar ibunya sambil berseru-seru,
"Ibu! Ibu! Ibu di mana?"
Tak terdengar suara menjawab. Tempat tidur Bibi Fanny kosong. Alas dan
selimutnya belum dibenahi, tetapi Bibi Fanny tidak berbaring di situ. George
lari memasuki kamar-kamar yang lain, sambil berseru-seru dengan bingung,
"Ibu! Ibu! Ayaah! Di mana kalian?"
Tak ada yang menjawab. George lari lagi ke bawah dengan muka pucat. Edgar
nyengir memandangnya. "Nah, apa kataku tadi?" katanya mengejek. "Sudah kukatakan silakan memanggil -
mereka toh takkan datang."
"Di mana mereka?" tanya George. "Ayoh, katakan! Cepat!"
"Cari sendiri!" jawab Edgar.
Saat itu juga terdengar bunyi bergetar nyaring. Edgar terlompat sambil memegang
pipi kirinya. Rupanya George sudah tak bisa lagi menahan diri. Anak itu
ditamparnya sekuat-kuatnya. Edgar mengangkat tangannya hendak membalas, tetapi
segera dihalang-halangi oleh Julian.
"Kau tak boleh berkelahi dengannya," katanya. "Dia anak perempuan. Kalau
kepingin berkelahi, aku lawanmu."
"Aku tak mau jadi perempuan! Aku anak laki-laki," jerit George sambil berusaha
menolakkan Julian yang berdiri di depannya. "Aku yang berkelahi lawan Edgar.
Akan kuhajar dia! Lihat saja nanti."
Tetapi Julian mencegahnya. Edgar mulai beringsut-ingsut mendekati pintu, tetapi
Dick sudah lebih dulu berdiri di situ.
"Tunggu dulu," kata Dick. "Sebelum kau pergi - ke mana Paman dan Bibi?"
Sekonyong-konyong Tim menggeram. Suaranya galak sekali, sehingga Edgar ngeri
mendengarnya. Dipandangnya anjing itu dengan ketakutan. Tim menyeringai
menampakkan taring-taringnya yang panjang dan runcing. Bulu kuduknya berdiri.
Kelihatannya menyeramkan sekali!
"Pegang anjing itu!" kata Edgar dengan suara gemetar. "Ia hendak menerkamku."
Julian memegang kalung leher Tim.
"Tenang, Tim! Tenang!" katanya. "Sekarang, Edgar - kauceritakan dengan segera
apa yang ingin kami ketahui tadi. Cepat, kalau tidak - "
"Tak banyak yang bisa diceritakan," kata Edgar, sementara matanya masih tetap
terpaku memandang Tim. Diliriknya George, sebelum melanjutkan, "Ibumu tiba-tiba
memburuk sekali keadaannya - katanya sakit sekali di sini - dokter dipanggil,
lalu ia dibawa ke rumah sakit. Ayahmu ikut mengantar. Cuma itu saja!"
George terduduk di kursi panjang. Mukanya pucat pasi. Bibirnya gemetar.
"Aduh, kasihan Ibu," katanya pelan. "Aku menyesal pergi tadi. Bagaimana caranya
supaya kita bisa tahu apa yang terjadi?"
Edgar menyelinap ke luar. Pintu kamar ditutupnya cepat-cepat karena khawatir
akan dikejar oleh Tim. Kemudian terdengar pintu dapur terbanting keras. Anak-
anak saling berpandangan dengan sedih dan lesu. Kasihan George! Bibi Fanny yang
malang! "Pasti mereka meninggalkan surat," kata Julian sambil mencari-cari dalam kamar.
Pada bingkai cermin besar dilihatnya terselip sepucuk surat. Surat itu
dialamatkan pada George, dan karenanya diserahkan pada anak itu. Surat itu dari
ayahnya. "Lekas, baca isinya," kata Anne. "Aduh, benar-benar tidak enak awal liburan kita
di sini kali ini!" IV GANGGU-MENGGANGGU GEORGE membacakan surat itu keras-keras. Isinya tidak panjang, dan kelihatannya
ditulis terburu-buru. Anakku George, Ibumu tiba-tiba sakit keras. Aku mengantarnya ke rumah sakit. Aku akan
mendampinginya, sampai ia sudah agak sembuh lagi. Waktunya bisa beberapa hari
sampai seminggu. Aku akan meneleponmu setiap hari pukul sembilan pagi, untuk
mengabarkan keadaan Ibu. Pembantu rumah kita, Ibu Stick, akan mengurus kalian
selama itu. Jagalah diri kalian sampai aku kembali nanti.
Ayah "Astaga!" kata Anne prihatin. Dapat dibayangkannya betapa perasaan George saat
itu. Anak itu sangat sayang pada ibunya. Air matanya berlinang-linang. George
sebenarnya tidak penangis. Tetapi sukar menahan rasa sedih, apabila pulang ke
rumah dan tahu-tahu ibunya dibawa ke rumah sakit karena sakit keras. Dan ayahnya
juga tak ada! Hanya Ibu Stick dan Edgar saja yang tinggal.
"Sedih rasanya ditinggal Ibu seperti begini," kata George dengan suara seperti
tercekik. Tiba-tiba ia tersedu-sedu. Dibenamkannya muka dalam bantal kursi.
"Jangan-jangan ia - nanti ia tak kembali lagi."
"Janganlah begitu, George," ujar Julian. Ia duduk di samping George, lalu
merangkulnya. "Tentu saja Bibi akan datang kembali! Kenapa sampai tidak"
Bukankah ayahmu menulis bahwa ia akan terus mendampinginya, sampai Bibi sehat
kembali. Barangkali beberapa hari lagi ia akan sudah sembuh. Ayohlah, George -
janganlah bersedih hati! Biasanya kau kan tidak penangis."
"Tapi aku tak sempat bertemu lagi dengannya," kata George yang malang sambil
terisak-isak. "Dan tadi aku menyuruhnya minta pada Ibu Stick agar kita dibuatkan
roti untuk piknik! Padahal aku sendiri bisa. Aku ingin ke tempat Ibu! Aku ingin
melihat sendiri keadaannya."
"Kau kan tak tahu ke rumah sakit mana ia dibawa," ujar Dick dengan lembut. "Dan
kalau pun tahu, pasti kau tak diperbolehkan masuk menemuinya. Ayoh, kita minum
teh saja. Sesudah itu pasti perasaan kita akan menjadi lebih tenang."
"Aku tak kepingin makan," kata George dengan galak. Kesedihannya menyebabkan dia
tak bisa dibujuk. Tim bingung melihat tuannya menangis, lalu mendengking-
dengking pelan. "Kasihan Tim! Ia tak mengerti," kata Anne. "Ia ikut bingung melihat kau
menangis, George." Mendengar kata-kata itu George berhenti menangis. Dikeringkannya air mata, lalu
dibelai-belainya kepala anjingnya. Tim mendesakkan kepalanya ke pangkuan
tuannya. "Kau ini konyol, Tim!" kata George. Suaranya sudah hampir biasa lagi. "Kau tak
perlu bingung. Aku cuma agak kaget tadi. Sekarang sudah tak apa-apa lagi.
Janganlah mendengking-dengking begitu. Sungguh, aku sudah tak apa-apa lagi. Aku
tidak sakit." Lama juga anak itu harus meyakinkan anjing kesayangannya, bahwa ia benar tak
apa-apa. Julian membuka pintu serambi.
"Akan kukatakan pada Ibu Stick, bahwa ia sudah bisa membawa hidangan teh ke
dalam," katanya, lalu pergi ke luar. Saudara-saudaranya memandang dengan kagum.
Berani benar Julian, menghadapi Ibu Stick yang pengomel!
Julian membuka pintu ke dapur. Dilihatnya Edgar duduk di dalam. Pipinya yang
sebelah merah padam, bekas tangan George. Ibu Stick juga ada di situ. Mukanya
nampak geram. "Kalau anak perempuan itu memukul Edgar-ku sekali lagi, pasti akan kubalas
memukul," kata wanita itu dengan nada mengancam.
"Sudah sepantasnya Edgar ditampar oleh George tadi," kata Julian. "Bisakah kami
minta hidangan teh sekarang?"
"Sebetulnya aku kepingin tak menyediakan apa-apa," kata Ibu Stick. Anjingnya
beranjak dari pojok dapur tempatnya duduk selama itu, lalu menggeram-geram
seperti hendak mengancam Julian.
"Bagus, Abu! Anak-anak yang berani memukul Edgar harus kauancam," kata Ibu
Stick. Tetapi Julian sama sekali tak takut pada anjing kurus itu.
"Kalau Anda tak mau, bisa kubikin sendiri," katanya. "Mana roti, dan di mana
kuenya?" Mata Ibu Stick melotot memandang Julian. Tetapi anak itu membalas tatapannya,
tanpa merasa gentar. Menurut pendapatnya Ibu Stick benar-benar seorang yang
tidak menyenangkan. Dia tidak mau digertak oleh wanita itu. Ia ingin bisa
menyuruh Ibu Stick pergi. Tetapi menurut perasaannya wanita itu pasti takkan
mau, jadi percuma saja dia ngomong.
Akhirnya Ibu Stick lebih dulu menunduk.
"Akan kusediakan hidangan teh bagi kalian," katanya. "Tapi kalau kalian sembrono
lagi, aku tak mau lagi menyediakan makanan selanjutnya."
"Dan kalau Anda sembrono, akan kupanggil polisi," balas Julian sekonyong-
konyong. Sebetulnya Julian tak bermaksud untuk berkata begitu. Tahu-tahu sudah
terlompat dari mulutnya! Tetapi akibatnya sangat mengejutkan bagi Ibu Stick.
Wanita itu kaget dan ketakutan.
"Eh, kenapa kau segalak itu," ujarnya dengan suara yang jauh lebih sopan
daripada sebelumnya. "Kita tadi terkejut semua, jadi sama-sama bingung - akan
kuhidangkan teh sekarang juga."
Julian keluar dari dapur. Ia heran, mengapa ancaman yang tiba-tiba itu
menyebabkan Ibu Stick mundur teratur. Mengapa begitu mendengar perkataan
'polisi', ia lantas berubah menjadi jauh lebih sopan" Barangkali ia khawatir
bahwa polisi akan memanggil Paman Quentin, dan kemudian pamannya yang galak akan
bergegas pulang. Dan seratus Ibu Stick takkan menggentarkan Paman!
Julian kembali ke saudara-saudaranya.
"Teh akan datang," katanya. "Bergembiralah semuanya!"
Tetapi suasana saat itu sama sekali tak gembira. George merasa malu, karena tadi
menangis. Anne masih bingung. Dick mencoba menceritakan beberapa lelucon konyol
untuk meriangkan suasana. Tetapi dengan segera dihentikannya percobaan itu,
karena tak seorang pun yang bisa tertawa. Julian bersikap serius dan penuh
perhatian. Sekonyong-konyong saja ia nampak dewasa.
Tim duduk di samping kursi tempat George duduk.
"Aku kepingin punya anjing sesetia itu," pikir Anne Tim tak henti-hentinya
menatap tuannya dengan matanya yang coklat dan besar. Tak ada lagi perhatian
anjing itu pada keadaan sekeliling, karena melihat tuannya bersedih hati.
Anak-anak tak begitu menyadari apa yang dihidangkan bersama minuman teh. Tetapi
walau begitu, perasaan mereka menjadi agak nyaman setelah perut kenyang. Mereka
segan pergi lagi ke pantai sesudahnya. Mereka khawatir jangan-jangan ada telepon
dengan kabar tentang keadaan Bibi Fanny. Karena itu mereka duduk-duduk saja di
kebun, sambil menajamkan telinga kalau telepon berdering.
Dari dapur terdengar suara orang bernyanyi,
"Georgi-Porgi gendut sekali,
Duduk menangis bersedih hati,
Georgi-Porgi...." Dengan segera Julian bangkit, lalu berjalan menuju ke jendela dapur. Ia
mengintip ke dalam. Dilihatnya Edgar duduk sendirian di situ.
"Ayoh keluar, Edgar!" panggil Julian dengan suara geram. "Nanti kuajari lagu
lain. Ayoh ikut!" Edgar tak beranjak dari tempatnya.
"Memangnya aku tidak boleh menyanyi sesukaku?" katanya.
"Boleh saja," kata Julian, "Tapi jangan lagu itu. Akan kuajarkan lagu lain.
Ayohlah keluar!" "Tidak mau," ujar Edgar. "Kau mau menantangku berkelahi."
"Betul," kata Julian ketus. "Kurasa kau lebih baik berkelahi secara jujur,
daripada duduk di dalam sambil menyanyi untuk mengejek seorang anak perempuan
yang sedang merasa sedih. Kau mau ke luar atau tidak" Perlukah aku masuk dan
menyeretmu ke luar?"
Edgar ketakutan. "Mama!" teriaknya. "Mama! Mama di mana?"
Tiba-tiba Julian menjangkaukan tangannya ke dalam. Ditangkapnya hidung Edgar
yang panjang, lalu ditariknya kuat-kuat. Edgar terpekik-pekik kesakitan.
"Lebaskad! Lebaskad, kadaku! Aduh, sakid! Lebaskad hidukku!" Jerit Edgar dengan
sengau, karena hidungnya dijepit kuat-kuat oleh Julian.
Ibu Stick bergegas masuk ke dapur. Ia menjerit ketika dilihatnya perbuatan
Julian terhadap anaknya. Ibu Stick menebang maju. Julian menarik tangannya
lekas-lekas. Tetapi ia tetap berdiri di depan jendela.
"Kurang ajar!" pekik Ibu Stick. "Mula-mula anak perempuan itu menampar anakku,
dan sekarang kau menarik hidungnya! Kenapa kalian ini?"
"Ah, kalau kami tidak apa-apa," jawab Julian dengan nada ramah, "Tapi Edgar yang
kurang beres, Ibu Stick. Jadi kami merasa harus membetulkannya. Sebetulnya itu
tugas Anda! Tapi rupanya Anda tak melakukannya."
"Kau ini benar-benar kurang ajar!" teriak Ibu Stick. Kelihatannya sudah marah
sekali. "Ya, memang," jawab Julian. "Kurasa karena ketularan Edgar. Dan si Bau juga
begitu pengaruhnya padaku."
"Si Bau!" Sekarang Ibu Stick sudah menjerit. Mukanya merah padam. "Bukan begitu
nama anjingku!" "Tapi cocok dengannya," kata Julian sambil melenggang pergi. "Kalau Anda
memandikannya, barangkali kami akan menyebutnya dengan nama Abu - dan tidak lagi
Bau." Ditinggalkannya Ibu Stick yang masih mengomel-ngomel. Julian kembali ke saudara-
saudaranya. Mereka menatapnya dengan takjub. Mereka merasa menghadapi Julian
yang lain: garang dan penuh tekat, dan nampak sudah dewasa. Julian yang agak
menimbulkan rasa takut pada diri mereka.
"Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur," ujar Julian sambil duduk di rumput.
"Ibu Stick masuk, ketika aku sedang menarik hidung Edgar yang panjang itu.
Persoalan menjadi gawat! Kurasa mulai sekarang kita menghadapi saat-saat yang
tak enak. Mungkin saja kita tak diberinya makan lagi!"
"Kita ambil sendiri," kata George tegas. "Aku benci pada Ibu Stick. Aku ingin
Joanna datang kembali. Aku juga muak melihat Edgar yang jahil, serta si Bau yang
goblok!"

Lima Sekawan Minggat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lihat - itu si Bau!" kata Dick tiba-tiba. Dengan cepat diulurkannya tangan
untuk menangkap Tim, karena anjing itu bangkit sambil menggeram. Tetapi dengan
mudah saja Tim melepaskan diri dari pegangan, lalu lari memburu. Si Bau melolong
ketakutan dan berusaha menyelamatkan diri. Tetapi sia-sia! Tim menyambar
tengkuknya, lalu menggoncang-goncangnya seperti menangkap tikus.
Ibu Stick muncul dari pintu dapur. Ia memukul-mukul dengan tongkat yang
dibawanya. Ibu Stick memukul membabi buta, seolah-olah tak peduli anjing mana
yang kena pukulan. Julian bergegas ke keran air. Melihat itu Edgar menghilang
lagi ke dalam dapur. Rupanya was-was, takut kena semprot sekali lagi.
Air menyembur dari slang. Tim terkejut, lalu melepaskan anjing yang sedang
digigit tengkuknya itu. Seketika itu juga si Bau lari ke Ibu Stick, lalu mencoba
bersembunyi di bawah gaunnya. Anjing itu menggigil ketakutan.
"Kuracuni anjingmu nanti!" seru Ibu Stick dengan marah pada George. "Selalu
anjingku diganggunya. Hati-hati saja - nanti kuracuni dia!"
Sehabis melontarkan kata-kata ancaman itu, Ibu Stick menghilang kembali masuk
dapur. Anak-anak duduk lagi di rumput George nampak benar-benar ketakutan
sekarang. "Mungkinkah dia akan benar-benar meracuni Tim?" tanyanya pada Julian dengan
suara pelan karena ketakutan.
"Mungkin saja, karena orangnya cukup jahat," jawab Julian setengah berbisik.
"Kurasa sebaiknya Tim harus kita jaga terus siang dan malam. Dan kita sendiri
pula yang memberinya makan!"
George memeluk anjingnya erat-erat. Ia ngeri membayangkan ada orang yang berniat
hendak meracuni Tim. Ibu Stick memang jahat sekali - jadi bisa saja ancaman itu
benar-benar dilakukannya nanti, pikir George. Alangkah baiknya jika orang-tuanya
ada lagi di rumah! Tak enak rasanya ditinggal sendirian, seperti sekarang.
Tiba-tiba telepon berdering. Anak-anak berlompatan bangun, sedang Tim menggeram.
George melejit masuk ke dalam rumah, lalu menyambar tangkai telepon. Hatinya
berdebar keras ketika terdengar suara ayahnya.
"Kaukah itu, George?" tanya Paman Quentin "Bagaimana keadaanmu sekarang" Aku
tadi tak sempat menunggu, jadi tak bisa menjelaskan persoalannya padamu."
"Bagaimana kabar Ibu, Ayah?" tanya George dengan cemas. "Cepat ceritakan -
bagaimana keadaannya?"
"Kita belum bisa mengetahuinya, sampai lusa," kata Paman. "Besok pagi aku akan
meneleponmu, dan lusa juga. Aku belum akan kembali, sebelum tahu pasti bahwa
keadaannya sudah agak baik."
"Tidak enak rasanya di sini, tanpa Ayah dan Ibu," keluh George. "Ibu Stick jahat
sekali orangnya." "George! Masakan kalian tidak bisa mengurus diri sendiri dan menghadapi Ibu
Stick sampai aku kembali!" suara Paman terdengar agak kesal. "Jangan pusingkan
kepalaku dengan soal-soal seperti itu sekarang. Begini pun kepalaku sudah cukup
pusing!" "Kira-kira kapan Ayah pulang?" tanya George. "Bolehkah aku menengok Ibu?"
"Tidak, George," kata ayahnya. "Kata dokter, paling sedikit selama dua minggu
ini kau belum boleh menengoknya. Aku akan kembali begitu keadaan sudah
mengijinkan. Tapi sekarang aku tak mau meninggalkan Ibu. Aku harus menemaninya.
Jadi jaga diri baik-baik, ya! Sampai besok!"
George mengembalikan tangkai telepon ke tempatnya, lalu berpaling memandang
ketiga saudaranya. "Baru lusa kita akan mengetahui keadaan ibuku," katanya. "Dan kata Ayah tadi,
kita harus tinggal bersama Ibu Stick sampai ia kembali. Kapan waktunya, ia
sendiri pun belum tahu. Gawat, ya?"
V DI TENGAH MALAM BUTA MALAM itu Ibu Stick marah-marah terus, sehingga makan malam tak disediakan di
meja. Julian hendak meminta, tetapi sesampai di dapur ternyata pintu terkunci.
Karena itu dengan murung ia kembali ke saudara-saudaranya. Mereka sudah lapar
sekali. "Pintu dapur dikunci oleh Ibu Stick," katanya. "Jahat sekali orang itu. Kurasa
malam ini ia tak mau menyediakan makanan untuk kita."
"Kita harus menunggu sampai dia tidur," ujar George. "Kalau sudah, kita akan
bisa turun ke bawah dan mencari makanan sendiri dalam sepen."
Mereka masuk ke tempat tidur dengan perut keroncongan. Julian berbaring sambil
menajamkan telinga, menunggu Ibu Stick dan Edgar pergi tidur pula. Didengarnya
kedua orang itu menaiki tangga. Ketika telah diyakininya benar-benar bahwa pintu
kamar tidur mereka sudah tertutup, Julian menyelinap turun menuju ke dapur.
Karena di situ gelap, Julian bermaksud hendak menyalakan lampu. Tetapi ketika
tangannya sudah menyentuh sakelar, tiba-tiba didengarnya bunyi napas berat.
Julian tertegun mendengarnya. Mungkinkah si Bau yang terdengar napasnya itu"
Tidak mungkin - kedengarannya seperti napas orang.
Julian masih tetap berdiri tertegun dengan tangan memegang sakelar. Ia bingung,
dan juga agak ketakutan. Kalau pencuri tidak mungkin, karena masakan pencuri
tidur dalam rumah yang hendak dicuri barang-barangnya. Dan Ibu Stick atau Edgar"
Juga tidak mungkin, karena ia sendiri mendengar langkah mereka naik ke atas.
Kalau begitu siapa" Julian membulatkan tekat, lalu menyalakan lampu. Seketika itu juga ruangan dapur
menjadi terang-benderang. Mata Julian terpaku ke sosok tubuh seorang laki-laki
berbadan kecil yang berbaring di dipan. Orang itu tidur nyenyak. Mulutnya
ternganga lebar. Tampangnya tidak mengenakkan. Nampak jelas bahwa ia sudah berhari-hari tak
bercukur. Pipi dan dagunya kelihatan gelap karena tertutup rambut kasar yang
tumbuh liar seperti alang-alang. Dan ia pun pasti sudah lebih lama lagi tak
menyentuh air. Tangannya hitam karena daki, sedang kukunya panjang-panjang dan
kotor. Rambutnya gondrong dan acak-acakan. Hidungnya panjang, persis seperti
hidung Edgar. "Pasti dia ayah Edgar," kata Julian dalam hati. "Joroknya bukan main! Kalau
melihat orang tuanya, Edgar tak mungkin bisa menjadi orang yang beres kalau
sudah besar nanti." Orang itu mendengkur. Julian ragu-ragu, tak tahu apa yang akan diperbuatnya. Ia
kepingin sekali masuk ke sepen. Tetapi ia tak mau membangunkan orang itu, karena
pasti akan terjadi keributan sebagai akibatnya. Ia ingin mengusirnya. Tetapi ia
bimbang, karena jangan-jangan Bibi dan Paman mengijinkan suami Ibu Stick sekali-
sekali menginap di Pondok Kirrin. Menurut perasaan Julian, kemungkinan itu kecil
sekali. Tetapi siapa tahu!
Perutnya sudah lapar sekali. Bayangan makanan yang enak-enak dalam sepen
mendorongnya untuk memadamkan lampu kembali, lalu beringsut-ingsut dalam gelap
mendekati pintu kamar tempat menyimpan makanan itu. Pintu dibuka olehnya.
Tangannya meraba-raba sepanjang rak yang ada dalam sepen. Nah! Ini dia -
tangannya menyentuh makanan. Makanan itu didekatkannya ke hidung. Hmm! Bau
daging. Pergedel daging! Bagus!!
Tangannya meraba-raba lagi, lalu menyentuh sebuah piring. Menurut perasaannya
isi piring itu tarcis selai buah, karena bentuknya bundar dan datar dengan
sesuatu yang lengket di tengah-tengah. Yah, cukuplah! Sepiring pergedel daging,
ditambah dengan tarcis selai sepiring pula pasti akan cocok dengan selera empat
orang anak yang sedang kelaparan!
Diambilnya kedua piring itu, lalu beringsut-ingsut lagi ke luar. Ditutupnya
pintu kembali dengan kaki, lalu Julian bergerak ke arah pintu dapur.
Tepatnya, ia bergerak ke arah yang disangkanya menuju ke pintu dapur. Tetapi
ternyata Julian salah arah! Ia berjalan lurus menuju dipan, dan langsung
menubruknya. Piring tarcis tergetar karena benturan itu, dan sebuah di antaranya
jatuh - tepat ke mulut orang laki-laki yang sedang tidur. Orang itu kaget dan
terbangun. "Sialan!" kata Julian dalam hati, lalu beringsut mundur. Diharap-harapkannya
orang itu akan pulas lagi. Tetapi tarcis selai lengket yang menggeleser di
dagunya menyebabkan orang itu terduduk dengan terkejut.
"Siapa itu" Kaukah itu, Edgar" Apa yang kaubikin di sini?"
Julian tak menjawab. Ia cepat-cepat mundur, lalu beringsut ke arah yang menurut
perkiraannya menuju ke pintu dapur. Orang itu meloncat bangkit lalu bergerak
menuju tempat sakelar. Begitu ditemukan, langsung dinyalakannya lampu. Dapur
menjadi terang-benderang. Mata orang itu terbelalak. Ia memandang Julian dengan
tercengang. "Apa yang kaubikin di sini?" tanya orang itu.
"Justru itu yang hendak kutanyakan pada Anda," jawab Julian tenang. "Apa yang
Anda perbuat di sini" Seenaknya saja tidur dalam dapur rumah pamanku!"
"Aku berhak ada di sini," kata orang itu dengan kasar. "Isteriku bekerja di sini
sebagai juru masak, jadi aku boleh saja ke mari. Saat ini aku sedang cuti,
karena kapal tempatku bekerja sedang berlabuh di sini. Dan pamanmu telah
mengatakan pada isteriku bahwa aku bisa datang ke mari."
Itulah yang dikhawatirkan oleh Julian sejak tadi. Payah: Sekarang kecuali Ibu
Stick dan anaknya, masih ada pula Pak Stick di rumah itu. Suasana pasti akan
semakin bertambah gawat bagi anak-anak.
"Besok kalau Paman menelepon pagi-pagi, akan kutanyakan padanya apakah kata Anda
memang benar," kata Julian. "Sekarang minggirlah sedikit. Aku mau naik ke atas."
"He!" kata Pak Stick keras, karena matanya tertumbuk pada kedua piring berisi
makanan yang masih dipegang oleh Julian! "He! Kau mencuri makanan dari sepen
rupanya. Benar-benar tak senonoh!"
Julian segan berdebat dengan Pak Stick, yang rupa-rupanya merasa dirinya hebat
sekali. "Minggir!" kata Julian. "Kalau Paman sudah menelepon besok pagi, baru aku mau
bicara dengan Anda."
Tetapi nampaknya Pak Stick tidak berniat akan mengalah begitu saja. Julian masih
saja dihalang-halangi jalannya. Pak Stick berbadan kecil. Tingginya tak bedanya
dengan Julian. Ia menghadang sambil mencibir. Kelihatannya benar-benar jahat,
dengan rambutnya yang gondrong acak-acakan dan pipi kumal karena tak dicukur.
Julian bersiul nyaring. Seketika itu juga terdengar bunyi berdebum dari arah
lantai di atas mereka. Tim meloncat dari keranjang tempat tidurnya! Kemudian
menyusul bunyi langkah-langkah ringan menuruni tangga, lalu memasuki lorong yang
menuju ke dapur. Tim datang!
Di ambang pintu tercium olehnya bau badan Pak Stick. Seketika itu juga bulu
kuduknya tegak! Tim menggeram sambil menyeringai menampakkan taring. Dengan
tergesa-gesa Pak Stick menyingkir dari dekat pintu, sambil membantingkan daun
pintu sehingga tertutup di depan hidung Tim. Pak Stick memandang Julian sambil
nyengir. "Nah! Apa yang akan kaubikin sekarang?" tanyanya mengejek.
"Mau tahu?" jawab Julian. Hatinya mulai panas melihat tingkah orang yang jorok
itu. "Akan kulemparkan pergedel daging ini ke mukamu!"
Melihat Julian mengangkat tangannya, Pak Stick cepat-cepat merunduk.
"He, jangan!" katanya kecut. "Aku tadi kan cuma main-main saja! Sayang dong
pergedel seenak itu. Bawalah ke atas, kalau kau ingin memakannya."
Pak Stick pergi ke dipan. Julian membuka pintu. Saat itu juga Tim menerjang
masuk sambil menggeram-geram. Pak Stick memandangnya dengan perasaan tidak enak.
Agak takut! "Jangan perbolehkan anjing galak itu datang mendekat," katanya. "Aku tak suka
pada anjing." "Kalau begitu, aku heran kenapa Anda tidak menyingkirkan si Bau," kata Julian.
"Ke mari, Tim! Jangan kaupedulikan orang itu. Buang-buang waktu saja menggeram-
geram terhadapnya!" Julian naik ke tingkat atas, diikuti oleh Tim. Begitu sampai di atas, dengan
segera saudara-saudaranya datang mengerumuni. Mereka ingin tahu apa yang terjadi
sebelumnya, karena mereka mendengar suara-suara orang di bawah. Mereka tertawa
ketika Julian bercerita bahwa ia nyaris saja melemparkan pergedel daging ke muka
Pak Stick. "Sudah sepantasnya jika pergedel itu benar-benar melumuri mukanya," kata Anne.
"Tapi di pihak lain untung saja tak kaulakukan! Kalau jadi kaulemparkan, kita
tak bisa memakannya sekarang. Hmm! Ibu Stick memang jahat, tapi ia juga pandai
memasak. Enak sekali pergedel ini!"
Anak-anak menyikat makanan yang dibawa oleh Julian sampai licin tandas kedua
piring. Sementara itu Julian menceritakan tentang Pak Stick yang menginap di
rumah itu, karena sedang cuti dari kapal tempatnya bekerja.
"Tiga anggota keluarga Stick! Ini sudah benar-benar keterlaluan," kata Dick
sambil berpikir-pikir. "Sayang kita tidak bisa menyuruh mereka pergi saja, dan
mengurus sendiri segala-galanya. George, bagaimana kalau kau besok membujuk
ayahmu agar dia mengijinkan kita mengusir ketiga Stick itu" Katakan padanya,
kita sanggup mengurus diri sendiri!"
"Bisa saja kucoba," kata George. "Tapi kau tahu sendiri watak ayahku. Sukar
diajak berunding! Tapi akan kucoba. Aduh, aku sudah mengantuk sekali. Ayoh, Tim
- kita tidur. Kau akan kujaga baik-baik mulai dari sekarang, supaya jangan
sampai diracuni oleh keluarga Stick konyol!"
Anak-anak sudah tidak merasa lapar lagi. Karenanya tak lama kemudian mereka
sudah tidur nyenyak. Mereka tak takut terhadap kemungkinan datangnya keluarga
Stick ke kamar mereka. Mereka tahu Tim akan langsung bangun dan memberitahukan.
Tim benar-benar penjaga yang paling baik!
Keesokan harinya anak-anak heran, karena ternyata Ibu Stick menyiapkan makanan
sarapan bagi mereka. "Rupanya ia tahu ayahmu sebentar lagi akan menelepon, George," kata Julian.
"Jadi ia tak berani mengambil risiko akan kaulaporkan perbuatannya. Kata ayahmu
kemarin, pukul berapa ia akan menelepon pagi ini" Kalau tak salah, pukul
sembilan ya" Nah, sekarang sudah setengah sembilan. Kita masih sempat lari ke
pantai, lalu langsung kembali lagi."
Anak-anak berangkat, diikuti oleh Tim. Mereka tak mengacuhkan Edgar yang berdiri
di kebun belakang. Anak itu sudah mulai lagi menyeringai dan mengejek-ejek.
Menurut perasaan anak-anak, barangkali Edgar kurang beres otaknya. Ia kurang
lebih sebaya dengan Julian. Tetapi tingkah lakunya lebih mirip anak kecil.
Ketika mereka kembali, jam menunjukkan waktu pukul sembilan kurang sepuluh
menit. "Kita duduk saja di kamar duduk sampai telepon berdering," usul Julian. "Jangan
sampai Ibu Stick yang menerima pembicaraan terlebih dulu."
Tetapi sewaktu mereka tiba di rumah, anak-anak kaget sekali! Mereka mendengar
suara Ibu Stick berbicara dalam serambi. Ia menelepon.
"Ya, Tuan," terdengar suaranya menjawab. "Semua beres di bini, Tuan. Anak-anak
bisa saya atur, walau mereka agak merepotkan. Mereka bandel-bandel! Ya, Tuan -
tentu saja, Tuan. Untung suami saya kemarin malam datang. Ia cuti dari kapal
tempatnya bekerja, Tuan. Ya - jadi ia bisa membantu-bantu sedikit di sini,
supaya semuanya cepat beres. Tuan tak perlu khawatir, dan tak perlu tergesa-gesa
pulang. Tenang-tenang sajalah menemani Nyonya, sampai semuanya beres. Saya akan
mengurus segala-galanya di sini." Suara Ibu Stick manis sekali, semanis madu!
George lari memasuki serambi, lalu menyentakkan tangkai telepon dari tangan Ibu
Stick. "Ayah" Ini aku, George! Bagaimana keadaan Ibu?"
"Pokoknya tidak memburuk, George," terdengar suara ayahnya menjawab. "Tapi
kepastiannya baru akan bisa didapat besok pagi. Kudengar dari Ibu Stick bahwa
keadaan di rumah beres semua. Syukurlah! Aku sedang bingung dan cemas. Karena
itu senang rasanya bisa bercerita pada Ibu bahwa kau tak kekurangan suatu apa,
dan semua berjalan lancar di Pondok Kirrin."
"Itu tidak benar!" seru George. "Suasana di rumah sama sekali tidak enak! Tidak
bisakah keluarga Stick kita suruh pergi saja" Kami bisa mengurus sendiri segala-
galanya di sini!" "Ya Allah, tentu saja tidak bisa," sahut ayahnya. Dari suaranya terdengar bahwa
ia kaget dan agak jengkel mendengar usul George. "Apa lagi rencanamu itu"!
Mudah-mudahan kau tidak rewel, dan mau membantu. Aku benar-benar...."
"Kau saja yang bicara dengan ayahku, Julian," kata George berputus asa.
Disodorkannya tangkai telepon ke tangan saudara sepupunya itu, yang langsung
bicara, "Selamat pagi, Paman! Ini Julian. Syukurlah keadaan Bibi tidak semakin parah."
"Dan akan bisa semakin sakit, apabila menyangka bahwa keadaan di Pondok Kirrin
kacau-balau," kata Paman. Suaranya kedengaran mendongkol. "Tidak bisakah kauatur
George supaya anak itu mau memakai akal sehat" Ya ampun, tidak bisakah dia
bersabar sedikit dengan keluarga Stick selama seminggu atau dua minggu"
Kukatakan terus terang, Julian - keluarga Stick takkan kuberhentikan selama aku
belum pulang. Kalau Bibi kembali nanti, aku ingin rumah dalam keadaan beres.
Kalau kau merasa tak mampu hidup bersama mereka, hubungilah orang tuamu, dan
tanyakan apakah kalian boleh pulang sekarang" Jadi kalian berlibur di rumah
sendiri. Tapi George tak boleh ikut. Ia harus tinggal di Pondok Kirrin. Katakan
padanya, itu keputusanku yang terakhir."
"Paman," ujar Julian lagi. Ia agak bingung, bagaimana cara sebaiknya untuk
membicarakan sesuatu dengan Paman Quentin yang pemarah itu. "Perlu saya
laporkan, bahwa..." Tetapi hubungan sudah putus. Paman Quentin sudah meletakkan tangkai telepon.
Menurut pendapatnya, ia tak perlu mengatakan apa-apa lagi. Sialan! Julian
mengerutkan bibir. Dengan kening berkerut dipandangnya saudara-saudaranya.


Lima Sekawan Minggat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paman memutuskan hubungan," katanya. "Baru saja aku hendak menerangkan duduk
persoalan, tahu-tahu hubungan telepon sudah terputus."
"Syukur!" Terdengar suara Ibu Stick dari ujung serambi. Dari suaranya terdengar
jelas bahwa ia puas. "Sekarang kalian tahu rasa! Aku akan tetap berada di sini,
atas perintah paman kalian. Dan kalian harus menurut kataku! Kalau tidak, tahu
sendiri!" VI KELUARGA STICK KALAH SIASAT
PINTU DAPUR ditutupnya dengan bantingan keras. Terdengar suara Ibu Stick dengan
gembira menceritakan kabar baik untuknya itu pada suami dan anaknya. George
beserta ketiga saudara sepupunya pergi ke kamar duduk. Mereka duduk di sana,
saling berpandang-pandangan dengan wajah suram.
"Ayahku brengsek!" kata George marah-marah. "Tak pernah mau diajak bicara baik-
baik. Apalagi mendengarkan!"
"Yah - kau harus ingat, saat ini ia sedang bingung," kata Dick menyabarkan.
"Sayang dia tadi menelepon sebelum pukul sembilan! Jadi kita didului oleh Ibu
Stick." "Apa kata Ayah tadi padamu?" tanya George. "Katakan apa yang dibilangnya."
"Katanya apabila kita tidak tahan bersama-sama dengan keluarga Stick di sini,
kami harus kembali ke rumah kami," kata Julian. "Maksudnya aku, Anne dan Dick.
Tapi kau harus tinggal di sini."
Lama juga George menatapnya. Kemudian ia berkata,
"Kalian merasa tak tahan dengan keluarga Stick, jadi sebaiknya pulang saja. Aku
bisa mengurus diriku sendiri."
"Jangan konyol!" kata Julian sambil menggoyang-goyang lengan saudara sepupunya
dengan ramah. "Kau tak bisa mengaku senang karena harus tunduk pada suami isteri
Stick yang 'peramah' itu selama satu atau dua minggu. Tapi masih ada nasib yang
lebih buruk dari itu. Kita akan bersama-sama menghadapinya."
Anak-anak merasa murung, karena membayangkan akan ditekan terus oleh Stick anak-
beranak. Bahkan Tim pun ikut-ikut sedih. George menepuk-nepuk kepalanya, lalu
memandang saudara-saudaranya.
"Kalian pulang saja," katanya. "Aku punya suatu rencana, tapi kalian tak
termasuk dalamnya. Aku kan punya Timmy, dan dia bisa menjagaku. Kau menelepon
saja ke rumah. Katakan pada orang tua kalian bahwa kalian akan pulang besok."
George memandang berkeliling dengan sikap menantang. Kepalanya terangkat tinggi-
tinggi. Nampak jelas bahwa ia memang memiliki suatu rencana tertentu.
Julian merasa gelisah. "Kau jangan main-main," katanya. "Dalam persoalan ini, kita harus kompak. Kalau
kau punya rencana, kami akan ikut. Tapi apa pun yang terjadi, kami akan tetap di
sini bersamamu." "Kalau mau tinggal, silakan," kata George. "Tapi rencanaku akan jalan terus.
Akan kalian lihat nanti, bahwa mau tak mau kalian toh harus pulang juga. Ayoh,
Tim! Kita ke Jim - barangkali perahuku sudah siap dicat."
"Kami ikut," ujar Dick. Ia merasa kasihan pada George. Dick bisa merasakan apa
yang tersembunyi di balik sikap George yang menantang. Ia tahu bahwa saudara
sepupunya itu sangat sedih dan cemas mengingat ibunya yang sedang sakit. Tetapi
George juga marah pada ayahnya, serta bingung karena merasa bahwa saudara-
saudaranya tetap tinggal karena mengingat dirinya. Padahal mereka bisa saja
pulang dan bersenang-senang di rumah sendiri selama masa liburan yang masih
tersisa. Hari itu suasana tidak enak. George bersikap sangat kaku terhadap Julian dan
kedua adiknya. Ia tetap berkeras bahwa mereka harus pulang dan meninggalkannya
sendiri. Ia bahkan marah, ketika saudara-saudaranya tetap tidak mau.
"Kalian merusak rencanaku," katanya. "Kenapa kalian tidak pulang saja"! Sungguh,
kalian harus pulang! Kalau tetap tinggal di sini, rusak sama sekali rencanaku
nanti." "Apa rencanamu itu?" tanya Julian tak sabar lagi. "Aku punya perasaan bahwa kau
cuma pura-pura saja ada rencana, supaya kami mau pergi."
"Aku tidak pura-pura," ujar George tersinggung. "Pernahkah aku berpura-pura" Kau
tahu sendiri, aku tak pernah bohong! Kalau kukatakan aku punya rencana, maka aku
benar-benar punya! Tapi tak ada gunanya bertanya, karena aku toh tak akan
menceritakannya. Ini rencanaku sendiri - jadi rahasia!"
"Menurut pendapatku kau seharusnya menceritakannya pada kami," ujar Dick.
Sekarang ia yang tersinggung. "Kami kan teman baikmu" Dan kami akan tetap
tinggal di sini untuk menemani, baik kau punya rencana maupun tidak! Ya, bahkan
apabila rencanamu rusak karenanya - seperti kaukatakan - tapi kami akan tetap di
sini." "Takkan kubiarkan kalian merusak rencanaku," kata George dengan berapi-api.
"Kalian jahat. Kalian memusuhiku, persis seperti keluarga Stick."
"Aduh, George," sela Anne. Ia sudah nyaris menangis karena sedih. "Janganlah
kita bertengkar. Ribut dengan Stick anak-beranak yang jahat itu saja sudah
cukup, tanpa perlu ditambah dengan pertengkaran sesama kita."
Mendengar itu kemarahan George padam dengan seketika. Ia kelihatan agak malu.
"Maaf," katanya. "Aku ini memang konyol. Aku tak mau bertengkar dengan kalian.
Tapi aku bersungguh-sungguh tadi! Rencanaku akan kulanjutkan. Dan aku takkan
menceritakannya pada kalian. Karena apabila kuceritakan, suasana liburan kalian
akan rusak. Percayalah!"
"Kurasa enaknya kita membawa makan siang ke luar saja lagi," kata Julian sambil
bangkit. "Aku lebih senang kalau pergi sepanjang hari dan tak berada di rumah
ini. Kuhadapi Ibu Stick sekarang, untuk mengurus persiapannya."
"Wah! Julian memang benar-benar berani," ujar Anne. Ia sendiri rasanya lebih
baik mati, daripada harus menghadapi juru masak yang galak pada saat itu.
Ternyata Ibu Stick tidak bisa diajak bicara. Saat itu ia merasa sedang menang.
Lagipula ia sangat jengkel, karena pergedel daging dan tarcis selai buah yang
dibuatnya kemarin lenyap. Padahal ia ingin memakannya sendiri. Dan Julian muncul
di dapur, bertepatan saatnya ketika Pak Stick sedang sibuk menceritakan kejadian
di dapur kemarin malam. "Bagaimana kau bisa minta disediakan makanan untuk piknik, jika pergedel daging
dan tarcis selaiku kaucuri!" kata Ibu Stick dengan serta-merta, ketika Julian
mengajukan permintaannya. "Kalau mau, kalian bisa mendapat roti yang sudah
kering serta selai. Cuma itu saja, lainnya tidak! Itu pun kuberi, karena aku
senang apabila kalian pergi!"
"Syukur kalau si Brengsek pergi," gumam Edgar, seolah-olah bicara dengan dirinya
sendiri. Anak itu duduk berlunjur di dipan, sambil membaca buku komik yang
sangat menyolok warna-warna gambarnya. Komik murahan!
"Kalau kau mau mengatakan sesuatu padaku, katakan di luar," ujar Julian
mengancam anak itu. "Biarkan Edgar-ku," kata Ibu Stick dengan segera.
"Memang itu mauku," jawab Julian mencemoohkan. "Siapa yang sudi berurusan dengan
dia" Sudah jerawatan, penakut pula!"
"Jangan seenaknya saja kau ngomong," kata Pak Stick dari tempatnya duduk di
pojok dapur. "Aku tak mau ngomong dengan Anda," jawab Julian segera.
"He! Seenaknya saja ngomong," kata Pak Stick lagi. Ia bangkit dengan marah.
"Aku kan sudah bilang, aku tak mau ngomong denganmu," tukas Julian. "Tampangmu
tak enak dilihat!" "Kurang ajar," bentak Ibu Stick, yang kelihatannya sangat marah.
"Bukan! Bukan kurang ajar - tetapi kenyataan," jawab Julian seenaknya. Ibu Stick
melotot matanya memandang anak itu. Tetapi ia tak berkata apa-apa lagi, karena
merasa kalah menghadapi Julian. Lidah anak itu tajam, dan ia bicara dengan nada
yang tetap sopan. Semakin kasar kata-katanya, semakin sopan caranya berbicara.
Ibu Stick bingung menghadapi orang-orang seperti Julian. Menurut perasaannya,
mereka terlalu pintar untuk dilawan. Untuk melampiaskan kebencian,
dibantingkannya panci ke tempat cuci piring. Sayang bukan kepala Julian yang
dibantingnya itu, pikir Ibu Stick dengan geram.
Mendengar bunyi berdentang secara tiba-tiba itu si Bau - eh, salah! Si Abu
terloncat bangun lalu menggeram.
"Eh, si Bau!" kata Julian. "Sudah mandi" Uahh, belum! Kau masih tetap bau,
seperti biasa!" "Namanya bukan begitu," hardik Ibu Stick. "Kau ke luar dari dapurku! Sekarang
juga!" "Baik!" jawab Julian. "Aku senang pergi dari sini. Jangan repot-repot dengan
roti dan selai yang ditawarkan tadi. Aku bisa mendapat makanan yang lebih baik
daripada itu." Sehabis berkata begitu, Julian ke luar sambil bersiul-siul. Si Bau menggeram.
Edgar mengulangi kata-katanya tadi, tetapi sekali ini keras-keras.
"Apa katamu?" Dengan sekonyong-konyong kepala Julian muncul lagi di ambang
pintu. Tetapi Edgar tak berani mengulangi ejekannya. Karena itu Julian lantas
pergi sambil bersiul-siul gembira. Tetapi hanya kedengarannya saja yang gembira,
karena sebenarnya ia merasa cemas. Bagaimanapun juga, hidup mereka di Pondok
Kirrin pasti takkan menyenangkan, apabila pada setiap saat makan terjadi
keributan dengan Ibu Stick.
"Ada yang mau roti kering dengan selai untuk makan siang?" tanya Julian setelah
bergabung lagi dengan anak-anak. "Tidak ada" Memang sudah kusangka! Karena itu
kutolak tawaran Ibu Stick yang baik hati. Kuusulkan agar kita membeli makanan
saja. Di desa ada toko yang menjual roti susis. Enak!"
Sepanjang jalan ke desa, George diam saja. Saudara-saudaranya tahu bahwa anak
itu sedang mencemaskan keadaan ibunya. Mungkin pula ia sedang memikir-mikirkan
rencananya. Mereka sangat ingin mengetahuinya.
"Bagaimana kalau hari ini kita ke Pulau Kirrin?" tanya Julian. Menurut
sangkaannya apabila mereka berada di pulau yang sangat disayanginya itu, pikiran
George tak terlalu penuh dengan kecemasan saja. Tetapi George menggelengkan
kepala. "Tidak," katanya. "Hari ini aku tak kepingin. Aku tahu, perahuku sudah siap -
tapi aku tak kepingin ke sana sekarang. Soalnya, sampai aku tahu pasti bahwa
keadaan Ibu sudah agak baik, aku tak mau pergi jauh-jauh dari rumah. Kalau Ayah
menelepon, Edgar bisa disuruh memanggilku! Tapi kalau aku sedang di Pulau, aku
tak mungkin bisa ditemukan olehnya."
Anak-anak seharian menganggur saja kerjanya. Menjelang saat minum teh, mereka
kembali ke rumah. Di samping teh Ibu Stick masih menyediakan pula roti dengan
mentega dan selai. Tetapi tak ada kue-kue. Susu juga sudah masam! Karenanya
anak-anak lantas minum teh tanpa susu. Uahh - menurut mereka, rasanya tak
keruan! Sementara sedang makan dan minum itu, anak-anak mendengar langkah Edgar di depan
jendela kamar makan. Anak itu memegang sebuah mangkuk kaleng, lalu meletakkannya
di atas rumput kebun. "Ini - makanan untuk anjingmu," teriaknya.
"Dia sendiri tampangnya seperti makanan anjing," kata Dick dengan jijik. "Jorok
sekali dia itu!" Saudara-saudaranya tertawa mendengar kata-katanya.
"Edgar, Makanan Anjing!" kata Anne. "George, adakah biskuit dalam kaleng di atas
bupet itu?" George bangkit dan pergi melihat. Sementara itu Tim keluar, lalu mendekati
makanan yang disediakan oleh Edgar untuknya. Tim mencium-cium makanan itu.
Kebetulan George melihatnya, karena ia memandang ke luar ketika kembali dari
bupet. Seketika itu juga ia teringat pada bahaya peracunan! George menjerit
memanggil Tim, sehingga Julian dan kedua adiknya terlonjak dari tempat duduk
masing-masing. "Tim! TIM! Jangan kausentuh makanan itu!"
Tim mengibas-ngibaskan ekor, seolah-olah hendak berkata bahwa ia memang tak
bermaksud menyentuhnya. George melejit ke luar, lalu mengambil piring yang
berisi seonggok daging mentah. Ia mencium-cium penuh kecurigaan.
"Kau kan tak menyentuhnya sama sekali, Tim?" tanyanya cemas.
Dick menjulurkan tubuh ke luar jendela.
"Tidak, Tim tidak memakannya. Kuperhatikan betapa ia mencium-cium ingin tahu.
Tapi sama sekali tak disentuhnya. Aku berani taruhan, makanan itu pasti
dicampuri racun tikus atau salah satu jenis racun lain."
Muka George berubah pucat.
"Wah, Tim," katanya. "Untung kau ini anjing cerdik. Kau kan tak mau menyentuh
makanan beracun?" "Wau!" gonggong Tim dengan tegas. Si Bau mendengar gonggongannya, lalu mengintip
dari balik pintu dapur. George melihatnya, lalu memanggil-manggil,
"He, Bau! Bau, ke marilah sebentar! Timmy tak mau memakan makanannya. Ambillah,
boleh kaumakan! Ayoh, Bau - ambillah!"
Edgar bergegas muncul. "Jangan kauberikan padanya," kata anak itu.
"Kenapa tidak?" tanya George. "Ayoh jawab, Edgar! Kenapa tidak boleh?"
Edgar terdiam sebentar. "Dia tak makan daging mentah," katanya kemudian. "Makanannya cuma biskuit yang
khusus untuk anjing."
"Bohong!" bentak George dengan marah. "Kemarin kulihat dia makan daging. Sini,
Bau - ini, makanlah!"
Edgar menyambar piring yang dipegang oleh George sambil menggertak. Begitu
piring ada di tangannya, cepat-cepat ia lari ke dalam. George hendak
mengejarnya, tetapi dicegah oleh Julian yang melompat ke luar lewat jendela
ketika melihat Edgar datang.
"Percuma!" katanya. "Kau takkan bisa memaksanya untuk mengaku. Dan daging itu
sekarang pasti sudah dicampakkan ke dalam api! Mulai sekarang, kita sendiri yang
memberi makan pada Tim, dengan daging yang kita beli dari tukang daging dengan
uang kita sendiri. Kau tak perlu cemas bahwa Tim akan memakan daging yang
dibubuhi racun. Ia terlalu cerdik, jadi tidak bisa ditipu."
"Tapi kalau perutnya sudah terlalu lapar, bisa saja ia tak tahan dan memakannya
juga," kata George. Anak itu merasa ngeri mengingat anjingnya. "Tentu saja aku
tadi tidak benar-benar hendak memberikan daging beracun itu pada si Bau. Tapi
menurut dugaanku apabila dalamnya benar-benar ada racun, pasti salah satu dari
keluarga Stick akan bergegas lari dan melarang anjing mereka memakannya. Dan
ternyata Edgar memang cepat-cepat keluar! Jadi terbukti makanan itu telah diberi
racun, bukan?" "Kurasa memang begitu," kata Julian. "Tapi kau tak perlu khawatir, George. Tim
takkan berhasil mereka racuni."
"Tapi kalau terjadi juga, bagaimana?" ujar George bingung, sambil mengelus-elus
kepala anjingnya. "Aku tak tahan apabila mengingat kemungkinan itu!"
"Kalau begitu, kau jangan mengingat-ingat lagi," kata Julian sambil mengajak
saudara sepupunya masuk. "Ini biskuit!"
"Kaukira mungkinkah keluarga Stick juga akan mencoba meracuni kita?" tanya Anne.
Matanya menatap, biskuit yang ada di tangannya dengan takut.
"Tentu saja tidak, Goblok! Mereka hanya ingin menyingkirkan Tim, karena ia
terlalu baik menjaga kita," kata Julian. "Kau tak perlu setakut itu. Dalam waktu
satu atau dua hari lagi keadaan pasti sudah baik lagi! Setelah itu kita semuanya
bisa bersenang-senang. Lihat sajalah nanti!"
Tetapi kata-kata itu diucapkan oleh Julian, hanya untuk menenangkan perasaan
adiknya saja. Diam-diam ia sangat was-was. Ia kepingin sekali bisa mengajak
Anne, Dick dan juga George pulang ke rumah orang tua mereka. Tetapi ia tahu
bahwa George pasti tak mau ikut. Dan mustahil saudara sepupunya bisa
ditinggalkan menghadapi nasibnya sendiri, menghadapi keluarga Stick yang jahat.
Mustahil! Teman harus seia sekata. Dengan jalan bagaimanapun, mereka harus
menabahkan diri sampai Bibi Fanny dan Paman Quentin kembali.
VII KABAR BAIK KEMBALI makan malam tidak dihidangkan. Anak-anak terpaksa masuk ke tempat tidur
dengan perut lapar. "Bagaimana pendapatmu, Julian?" tanya Dick berbisik-bisik. "Apakah sebaiknya
kita menyelinap lagi ke bawah kalau keluarga Stick sudah tidur, lalu mengambil
makanan dari sepen?"
Julian segan menyelinap ke bawah, lalu terpergok Pak Stick lagi seperti malam
sebelumnya. Ia bukan takut pada orang itu, tetapi menurut perasaannya keadaan
itu tidak enak. Rumah itu kepunyaan paman mereka, begitu pula dengan makanan -
jadi kenapa mereka harus meminta-minta, atau bahkan mengambil secara diam-diam"
Keadaan itu sungguh-sungguh janggal.
"Ke mari, Tim!" kata Julian. Anjing itu beranjak dari tempatnya di sisi George,
lalu pergi ke Julian. Ditatapnya anak itu dengan pandangan bertanya. "Kau ikut
denganku! Kita akan membujuk Ibu Stick yang budiman, agar bersedia memberikan
makanan-makanan yang paling enak yang disimpannya dalam sepen pada kita!" Julian
berkata begitu sambil nyengir.
Anak-anak tertawa. Kemurungan mereka lenyap seketika itu juga.
"Bagus idemu itu!" kata Dick. "Kami ikut ya - kami ingin melihat pertunjukanmu."
"Lebih baik jangan ikut," kata Julian. "Aku sendiri juga bisa."
Julian menuju ke dapur. Keluarga Stick sedang mendengarkan radio, jadi tak ada
yang mendengar Julian masuk. Ketika Edgar mendongak, tahu-tahu Julian sudah


Lima Sekawan Minggat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri di ambang pintu. Dan Tim ada di sampingnya.
Edgar takut sekali pada anjing yang besar itu. Karena Tim menggeram dengan
suaranya yang berat, tanpa pikir panjang lagi Edgar meloncat ke belakang dipan.
Ia tak mau beranjak lagi dari sana. Dipandangnya Tim dengan ketakutan.
"Mau apa kau ke mari?" tanya Ibu Stick sambil mematikan radio.
"Mau mengambil makan malam," jawab Julian dengan suara riang. "Kami ingin makan
malam! Makanan yang terenak yang ada dalam sepen - yang dibeli dengan uang
pamanku, dimasak di tungku bibiku dengan gas yang dibayar olehnya! Ya, kami
minta makan malam! Buka pintu sepen! Ingin kulihat apa saja yang ada di
dalamnya." "Nekat benar kau ini!" ujar Pak Stick tercengang.
"Kalian boleh mendapat sebatang roti dan sedikit keju," kata Ibu Stick. "Itu
kataku yang terakhir!"
"Tapi bukan kataku," jawab Julian, lalu menghampiri pintu, sepen. "Tim, kau
harus menjaga! Kau boleh menggeram-geram sesukamu, tapi jangan menggigit -
dulu!" Kata yang terakhir itu ditambahkannya sebagai ancaman, kalau keluarga itu
berani mencoba-coba. Geraman Tim benar-benar menakutkan. Bahkan Pak Stick mundur sampai ke pojok
seberang. Dan si Bau" Tidak nampak batang hidungnya. Begitu mendengar geraman
Tim yang pertama, anjing itu sudah menyelinap masuk ke kamar cuci dan dengan
tubuh gemetar bersembunyi di belakang mesin pemeras cucian.
Bibir Ibu Stick menipis. "Kauambil roti dan keju! Sudah itu pergi dari sini," hardiknya. Tetapi Julian
seolah-olah tak mendengarnya. Dibukanya pintu sepen sambil bersiul-siul pelan.
Sikapnya itu semakin menjengkelkan Ibu Stick.
"Wah, bukan main!" ujar Julian kagum. "Harus kuakui, Anda memang pintar mengatur
perbekalan makanan, Ibu Stick! Ayam panggang! Hmmm! Sudah kukira tercium baunya
tadi. Rupanya hari ini Pak Stick menyembelih seekor ayam kita. Rasa-rasanya
terdengar tadi ayam ribut berkotek-kotek. Ya, ya, ya! Dan tomat-tomat ini -
bukan main bagusnya! Pasti yang paling baik di antara yang ditawarkan di toko
desa. Dan ini apa lagi" Aduh, Ibu Stick - bagus sekali tarcis setrup ini! Pasti
Anda seorang juru masak yang mahir!"
Julian menumpukkan ayam panggang, tomat dan piring tarcis, lalu menjunjung
kesemuanya itu. Ibu Stick menjerit marah.
"Jangan berani kaubawa makanan itu! Itu makan malam kami! Ayoh, kembalikan ke
tempatnya semula!" "Anda keliru, Ibu Stick," ujar Julian dengan sopan. "Ini makan malam kami!
Seharian hanya sedikit sekali yang kami makan, jadi layaklah kalau imbalannya
makan malam yang sedap. Terima kasih banyak!"
"He, tunggu dulu!" kata Pak Stick dengan marah, melihat makanan yang enak-enak
itu hendak dibawa pergi. "Kenapa aku harus menunggumu lagi?" kata Julian dengan nada heran. "Untuk apa"
Sudah cukur jenggot - dan cuci muka" Ah, kurasa belum juga! Jadi kalau boleh,
lebih baik aku tak menunggu."
Pak Stick melongo. Ia memang sudah tak begitu cekatan dalam persoalan bicara.
Jadi tak ada lagi yang bisa disebutnya kecuali kalimat yang selalu diulang-
ulangi olehnya, "Seenaknya saja!"
"Taruh makanan itu kembali ke dalam sepen," bentak Ibu Stick. "Lalu apa yang
harus kami makan malam ini, jika semuanya kauangkut ke atas! Ayo, katakan apa
yang harus kami makan!"
"Itu kan gampang!" jawab Julian tenang. "Ijinkanlah aku menawarkan hidangan
makan malam kami: roti dan keju, Ibu Stick. Roti beserta keju!"
Ibu Stick mendengus marah, lalu bergerak mendekati Julian dengan tangan
terangkat hendak memukul. Tetapi saat itu juga Tim menyambar. Gemeretak bunyi
giginya menakutkan! "Auw!" jerit Ibu Stick, padahal ia belum sampai digigit. "Nyaris putus tanganku
disambarnya! Jahat benar sifatnya. Awas, kapan-kapan pasti akan kubunuh."
"Anda kan sudah mencoba hari ini?" kata Julian dengan tenang, sementara matanya
menatap wajah Ibu Stick. "Kurasa itu kan urusan polisi" Hati-hati, Ibu Stick.
Aku sudah cenderung akan pergi ke polisi besok."
Seperti sudah pernah terjadi sebelumnya, Ibu Stick langsung ketakutan ketika
mendengar perkataan 'polisi'. Sambil melirik suaminya, ia mundur selangkah.
Timbul dugaan pada diri Julian, jangan-jangan Pak Stick melakukan salah satu
pelanggaran dan kini menyembunyikan diri dari polisi. Mungkin saja, karena
kelihatannya ia tak pernah keluar rumah sama sekali.
Julian pergi ke luar dengan perasaan puas. Tim mengikuti dari belakang. Anjing
itu agak kecewa, karena tak mendapat kesempatan menyambar si Bau. Julian masuk
ke kamar duduk, lalu meletakkan ketiga piring berisi makanan dengan hati-hati ke
atas meja. "Hopla!" katanya. "Lihatlah hasilku - hidangan makan malam keluarga Stick!"
Diceritakannya kejadian di dapur pada saudara-saudaranya. Mereka tertawa geli
mendengarnya. "Selalu ada-ada saja yang bisa kaukatakan, Julian," kata Anne dengan kagum. "Tak
mengherankan kalau mereka marah sekali sebagai akibatnya. Untung ada Timmy, yang
bisa melindungi kita."
"Ya, memang! Tanpa Timmy, aku takkan seberani tadi," jawab Julian mengakui.
Makan malam mereka nikmat sekali. Dalam bupet ada pisau dan garpu. Untuk alas
makanan, anak-anak mempergunakan piring-piring buah yang juga tersimpan dalam
bupet. Lebih baik begitu, daripada pergi ke dapur untuk mengambil piring makan.
Dari hidangan teh sore itu masih tersisa roti, sehingga makan malam mereka
benar-benar lengkap. Mereka makan dengan enak.
"Sayang tulang ayam tak bisa kami berikan padamu, Tim," ujar George. "Aku takut
serpih-serpihnya bisa melukai perutmu nanti. Tapi kalau sisa-sisa yang lain,
boleh saja kaumakan. Jangan tinggalkan sedikit pun juga bagi si Bau."
Tentu saja Tim tidak mau! Dengan dua kali telan saja sudah licin tandas makanan
yang ditaruh di piringnya. Sudah itu ditunggunya dengan sabar sampai ada sisa-
sisa tarcis baginya. Sehabis makan seenak itu, anak-anak merasa lebih riang. Ayam disikat sampai
habis. Yang tinggal cuma setumpuk tulang. Tomat pun tak berbekas lagi. Pokoknya
semua habis! Sementara itu malam sudah larut. Anne menguap lebar-lebar, diikuti oleh George.
"Kita tidur saja sekarang," katanya. "Aku malas main kartu, atau bermain lain-
lainnya." Mereka masuk ke tempat tidur masing-masing. Tak lama kemudian sudah terlelap -
kecuali Tim. Ia masih berjaga-jaga selama beberapa saat, dengan kuping
ditajamkan untuk menangkap suara yang mencurigakan dari arah bawah. Didengarnya
keluarga Stick masuk ke kamar mereka. Didengarnya bunyi pintu tertutup.
Didengarnya si Bau melolong pelan. Sudah itu sunyi sepi. Tim meletakkan kepala
di antara kedua kaki depannya. Ia tidur - tapi dengan satu telinga tetap
terpasang untuk menangkap setiap bunyi yang mencurigakan! Tim bersikap sama
seperti George dan ketiga saudara sepupunya. Ia tak mempercayai keluarga Stick!
Keesokan harinya anak-anak bangun pagi sekali. Julian yang paling dulu. Pagi
cerah sekali. Julian pergi ke jendela, lalu memandang ke luar. Langit nampak
berwarna biru muda, dengan awan putih kemerah-merahan. Laut pun nampak biru,
rata dan tenang. Julian teringat pada kata-kata yang sering diucapkan oleh Anne.
Katanya, alam pagi selalu kelihatan seperti baru kembali dari tukang cuci:
begitu bersih, baru dan segar nampaknya!
Anak-anak pergi berenang ke laut sebelum sarapan. Sekali itu pukul setengah
sembilan mereka sudah ada lagi di rumah, karena khawatir kalau-kalau ayah George
kembali menelepon lebih pagi dari pukul sembilan. Julian menyapa Ibu Stick yang
dilihatnya di tangga, "Pamanku sudah menelepon?"
"Belum," jawab Ibu Stick dengan masam. Sebenarnya ia mengharapkan telepon
berdering sewaktu anak-anak belum pulang, seperti yang terjadi kemarinnya. Jadi
ia akan bisa menerimanya, dan bicara dulu dengan Paman Quentin.
"Kami ingin sarapan sekarang, Ibu Stick," kata Julian. "Sarapan yang pantas.
Pamanku kalau pulang nanti akan bisa menanyakan bagaimana sarapan kami, bukan"
Siapa tahu!" Rupanya Ibu Stick merasa bahwa Julian akan melaporkan pada pamannya, apabila
anak-anak cuma diberi sarapan roti dengan mentega saja. Karena itu tak lama
kemudian anak-anak mencium bau harum daging yang sedang digoreng. Ibu Stick
menghidangkannya dalam piring, dihiasi dengan tomat. Tetapi piring itu
dihentakkannya keras-keras ke atas meja. Edgar muncul membawa teh satu poci,
serta sebuah baki berisi cawan dan alasnya empat pasang.
"Nah, ini dia Edgar datang!" seru Julian berpura-pura heran. "Si Jerawat
muncul!" "Sialan!" umpat anak itu sambil menghentakkan poci ke meja. Tim menggeram, dan
Edgar lari pontang-panting.
George tidak mau makan. Bagiannya dikembalikan oleh Julian ke piring yang masih
hangat, lalu ditutupi dengan piring lain. Ia tahu bahwa saudara sepupunya tak
bisa makan, karena masih menunggu kabar. Kenapa telepon tak berdering juga"
George sudah ingin sekali mengetahui keadaan kesehatan ibunya.
Telepon berdering ketika mereka sedang sarapan. Belum lagi habis bunyinya,
George sudah sampai dan menyambar tangkai telepon.
"Ayah" Ini aku, George! Ibu bagaimana?"
Sesaat anak itu diam sambil mendengarkan. Ketiga saudara sepupunya berhenti
makan. Mereka mendengarkan dengan diam-diam, menunggu George membuka mulut.
Mereka tahu, dari kata-katanya yang keluar akan bisa ditarik kesimpulan apakah
kabar itu baik atau buruk.
"Aduh - lega hatiku mendengarnya," terdengar George berseru girang. "Jadi
kemarin Ibu mengalami pembedahan" Kenapa Ayah tak menceritakannya padaku" Tapi
sekarang dia kan sudah tak apa-apa lagi, bukan" Kasihan Ibu! Sampaikan peluk
ciumku padanya. Aku kangen sekali padanya. Aku kepingin bertemu dengannya. Ayah,
tidak bisakah aku datang menjenguknya?"
Rupanya jawaban berbunyi 'tidak'. George mendengarkan keterangan ayahnya
sebentar, lalu berbicara lagi. Sudah itu dikembalikannya tangkai telepon ke
tempatnya. Dengan segera ia lari ke kamar duduk.
"Kalian juga mendengar tadi?" katanya riang. "Ibu sudah agak sembuh. Ia masih
harus beristirahat. Kira-kira sepuluh hari lagi ia sudah bisa pulang. Selama itu
ayahku akan menemani di rumah sakit. Untunglah kabar mengenai Ibu menyenangkan -
tapi keluarga Stick belum bisa kita singkirkan dari sini."
VIII RENCANA GEORGE IBU STICK ikut mendengarkan pembicaraan telepon itu. Atau tepatnya, ia mendengar
reaksi George dalam pembicaraan dengan ayahnya. Ia tahu bahwa keadaan ibu George
sudah membaik, dan ayahnya belum akan pulang selama ibunya masih harus berbaring
di rumah sakit. Dan itu masih sepuluh hari lagi! Selama itu keluarga Stick bisa
hidup enak. Tiba-tiba George merasa lapar sekali. Daging dimakannya sampai habis, sedang
minyak yang berlimangan di piring disekanya dengan roti. Ia minum teh sampai
tiga cangkir. Sesudah itu barulah ia merasa puas. Ia menyandarkan tubuh ke
belakang. "Aah - lebih enak rasanya sekarang," katanya. Anne menggenggam tangan George. Ia
pun merasa lega, setelah mendengar bahwa kesehatan Bibi Fanny tidak gawat lagi.
Kalau keluarga Stick yang jahil tidak ada, pasti mereka sekarang bisa bersenang-
senang. Tetapi kemudian George mengatakan sesuatu yang menyebabkan Julian marah.
"Nah, karena sekarang aku sudah tahu bahwa Ibu akan sembuh kembali, aku sanggup
sendirian menghadapi keluarga Stick, dengan ditemani oleh Timmy. Jadi kalian
pulang saja dan menghabiskan masa libur tanpa aku. Aku bisa mengurus diriku
sendiri." "Jangan banyak omong, George," kata Julian. "Soal ini sudah kita bicarakan
sebelumnya. Aku sudah menentukan sikap. Dan sama seperti dirimu juga, kalau aku
sudah sekali menentukan sikap, aku tak mau mengubahnya lagi. Kau ini
menjengkelkan saja."
"Yah," kata George. "Aku mempunyai suatu rencana tertentu - dan terus terang
saja, kalian tak ikut dalamnya. Nanti akan kalian lihat bahwa mau tak mau kalian
toh terpaksa pulang juga."
"Jangan suka main rahasia seperti begitu, George!" ujar Julian dengan kesal.
"Apa rencanamu yang aneh itu" Sebaiknya kau ceritakan pada kami, walau kami tak
kauikutkan. Atau barangkali kau tak mempercayai kami?"
"Tentu saja aku percaya pada kalian. Tapi jangan-jangan nanti kalian akan
menghalang-halangi niatku," kata George dengan agak merajuk.
"Kurasa benar-benar sebaiknya kau menceritakannya pada kami," ujar Julian. Ia
merasa gelisah. George biasanya nekat, kalau sudah mempunyai rencana. Entah apa
saja yang saat itu sedang direncanakannya lagi!
Tetapi George tak mau berkata apa-apa lagi. Julian pun tidak mau memaksa lebih
lanjut. Tetapi dalam hati ia bertekat takkan lengah sedikit pun juga hari itu.
Kalau George berniat melaksanakan salah satu rencana gila-gilaan, maka ia harus
melakukannya di bawah pengawasan Julian!
Namun nampaknya George sama sekali tak menyimpan rencana yang gila-gilaan. Ia
ikut berenang-renang lagi bersama anak-anak, lalu berjalan-jalan sebentar dan
kemudian berdayung dengan perahu di laut. Ia tak mau pergi ke Pulau Kirrin.
Karena itu ketiga saudara sepupunya juga tak mendesaknya lagi. Menurut sangkaan
mereka, George tak mau pergi jauh-jauh dari pantai, karena khawatir Edgar akan
datang dengan berita penting untuknya.
Hari itu asyik sekali. Anak-anak kembali membeli roti susis dan buah-buahan,
lalu berpiknik di pantai. Tim mendapat sepotong tulang besar dari tukang daging.
"Aku harus belanja sebentar," kata George sekitar saat minum teh. "Sementara
kalian pulang untuk melihat apakah Ibu Stick menyediakan hidangan untuk kita,
aku lari sebentar ke toko-toko untuk berbelanja."
Seketika itu juga Julian waspada. Mungkinkah George menyuruh mereka pergi,
supaya bisa sendirian guna melaksanakan rencananya yang misterius"
"Aku ikut," kata Julian sambil bangkit. "Sekali ini biar Dick saja yang
berurusan dengan Ibu Stick. Tim bisa diajaknya untuk menggertak."
"Tidak! Kau pergi sajalah ke rumah," ujar George. "Aku takkan lama-lama."
Tetapi Julian berkeras tidak mau pulang ke rumah. Akhirnya mereka semua pergi
berbelanja dengan George, karena Dick tak mau menghadapi Ibu Stick, kalau tidak
ditemani oleh Julian atau George.
George pergi ke warung serba ada, dan membeli baterai baru untuk senternya. Ia
juga membeli korek api dua kotak, serta sebotol spiritus.
"Untuk apa kau membeli spiritus?" kata Anne heran.
"Siapa tahu ada gunanya," jawab George singkat.
Mereka kembali ke Pondok Kirrin. Ternyata hidangan teh sudah menunggu di meja!
Memang, hidangannya tidak hebat, karena yang tersaji di samping sepoci teh cuma
roti dan selai belaka! Tapi walau begitu, perut mereka bisa terisi.
Malam itu hujan. Anak-anak duduk mengelilingi meja sambil bermain kartu. Hati
mereka sudah agak lega, karena sudah mendengar kabar baik tentang Bibi Fanny.
Ketika mereka sedang asyik bermain itu, Julian bangkit dari tempatnya lalu
membunyikan lonceng memanggil pembantu rumah tangga. Saudara-saudaranya
memandang dengan terheran-heran.
"Untuk apa kau membunyikan lonceng?" tanya George dengan mata terbuka lebar.
"Aku mau memanggil Ibu Stick, untuk memintanya agar menyediakan makan malam,"
jawab Julian sambil tertawa nyengir. Tetapi tak ada yang datang. Karena itu
Julian membunyikan lonceng sekali lagi. Dan sekali lagi!
Akhirnya pintu dapur terbuka. Ibu Stick muncul. Kelihatannya marah-marah. Ia
masuk ke kamar duduk. "Jangan bunyikan lonceng!" bentaknya. "Aku tak mau menjawabnya jika kau yang
memanggil." "Aku tadi membunyikannya, untuk mengatakan pada Anda bahwa kami ingin makan
malam," ujar Julian. "Aku juga ingin mengatakan bahwa jika Anda lebih suka aku
sendiri yang datang mengambilnya dari sepen seperti kemarin malam - dengan Tim -
baiklah! Dengan senang hati aku akan datang. Bila tidak, harap Anda menyajikan
hidangan makan malam yang layak bagi kami."
"Kalau mau mencuri makanan lagi dari sepenku - aku akan - aku - " suara Ibu Stick
tergagap-gagap karena marahnya.
"Anda akan memanggil polisi!" ujar Julian membantunya. "Panggillah! Kami akan
senang sekali jika Anda memanggil polisi. Sudah bisa kulihat polisi desa
mencatat semua keterangan dalam buku catatannya. Banyak juga keterangan yang
bisa kuberikan padanya."
Dengan segera Ibu Stick pergi meninggalkan ruangan itu, setelah melotot sebentar
ke arah Julian. Sambil memaki-maki pelan ia masuk ke dapur. Dari bunyi panci-
Anak Rajawali 1 Pendekar Rajawali Sakti 176 Bidadari Penakluk Jodoh Si Mata Keranjang 6
^