Pencarian

Di Pulau Seram 1

Lima Sekawan 20 Di Pulau Seram Bagian 1


DI PULAU SERAM Ebook by BBSC - OCR by Raynold
Sumber : Kangzusi.com Bab 1 LIBURAN PASKAH "Kata yang paling menyenangkan, menurut pendapatku ialah liburan!" kata Dick,
sambil mengambil selai sesendok penuh. "Tolong ambilkan roti bakar sepotong,
Anne! Bu - apakah pikiran Ibu sudah sedih saja sekarang, membayangkan rumah akan
berisik karena kami pulang ini?"
"Ah! Kau ini macam-macam saja," kata ibunya. "Tentu saja tidak! Cuma satu hal
yang membuat aku prihatin setiap masa libur sekolah. Soal makanan! Kalau kalian
bertiga pulang, kita rasanya seperti selalu kekurangan makanan. 0 ya - ada di
antara kalian yang kebetulan tahu ke mana lari sosis yang disimpan dalam sepen?"
"Sosis" Nanti dulu - kuingat-ingat sebentar! Sosis - sosis," kata Julian. la
mengerutkan kening, seperti berpikir. Tiba-tiba Anne tertawa terkikik. la tahu,
apa yang terjadi dengan sosis itu.
"Anu, Bu - ketika Ayah dan Ibu pergi kemarin malam, Ibu kan mengatakan kami
boleh mengatur makanan sendiri," kata Julian. "Setelah memeriksa isi sepen,
akhirnya kami mengambil sosis itu."
"Ya, boleh saja - tapi sosis itu kan dua kilo banyaknya!" kata Ibu. "Aku tahu,
Georgina ikut makan di sini - tapi walau demikian...."
"Kan Timmy juga ikut, Bu," kata Anne. "Dan Timmy suka sekali makan sosis."
"lain kali kalau aku pergi, pintu sepen akan kukunci," tukas Ibu. "Bayangkan,
aku sudah repot-repot masak sosis, tahu-tahu diberikan pada anjing! Apalagi
Timmy, yang tidak mengenal kata kenyang itu. Kalian memang keterlaluan, Anne!
Sosis itu sebenarnya hendak kuhidangkan untuk makan siang nanti."
"Hari ini kami bermaksud hendak bermain-main ke Kirrin, bersama George dan
Timmy," kata Dick. "Itu jika Ibu tidak memerlukan kami."
"Kebetulan aku ingin kalian tetap di sini hari ini," kata Ibu. "Nanti sore Bu
Layman akan datang minum teh di sini. Katanya ia ingin membicarakan sesuatu
dengan kalian." Anak-anak mengeluh. Dan Dick langsung memprotes.
"Aduh, Bu! Ini kan hari pertama' liburan kami, masa langsung harus tinggal di
rumah seharian. Sayang kan, cuaca musim semi seindah sekarang ini."
"Baiklah, Bu - kami akan ada di rumah pada saat minum teh nanti," kata Julian
sambil menendang kaki Dick di bawah meja, menyuruh adiknya itu diam. Julian
melihat bahwa Ibu nampak kecewa mendengar bantahan Dick. "Bu Layman itu baik
hati! Waktu kita masih kecil dulu, ia selalu memberi jajanan!"
"Ya, dan hari ulang tahun kita juga tidak pernah dilupakan olehnya," kata Anne.
"Bu, apa George boleh kami undang untuk ikut minum teh nanti - bersama Timmy"
George pasti akan kecewa, apabila tidak bisa berkumpul ramai-ramai pada hari
pertama liburan ini."
"Ya, tentu saja kalian boleh mengajak dia kemari," kata Ibu. "Telepon saja
sekarang, suruh dia datang. Tapi nanti jangan lupa memasukkan kucing kita ke
dalam gudang, dengan susu sepiring. Tibby takut melihat Timmy - habis, anjing
itu begitu besar tubuhnya! Dan kalian, usahakan agar kelihatan bersih nanti,
apabila Bu Layman datang!"
"Kutelepon saja George sekarang," kata Anne sambil,berdiri. "Aku boleh berdiri
dulu, ya Bu" Aku sudah selesai makan. George harus cepat-cepat kutelepon,
sebelum ia pergi jalan-jalan dengan Timmy, atau disuruh Bibi Fanny berbelanja."
"Paman Quentin pasti senang, apabila George tidak ada di rumah - biar cuma
sesore saja," kata Dick. "Kasihan Paman! Kemarin ia tersandung tongkat lacrosse
kepunyaan George. lalu Paman marah padanya, katanya kenapa jala untuk menangkap
ikan diletakkan sembarangan saja. Terang saja George cuma bisa melongo. Habis,
Paman juga keterlaluan! Masa tongkat lacrosse dikira jala!"
Lacrosse adalah suatu permainan yang berasal dari Kanada, mirip dengan hockey.
Tapi tongkat pemain bagian ujungnya berbentuk lingkaran, diperlengkapi dengan
jala. Bola ditangkap dengan jala itu dan dilemparkan ke gawang lawan.
"Kasihan Georgina," kata Ibu. "Memang payah, ia serta ayahnya sama-sama cepat
marah. Ibunya pasti kewalahan terus menghadapi mereka. Di rumah mereka mestinya
selalu ada keributan. Ah Anne sudah kembali. Bagaimana - kau berhasil
menghubungi George, Nak?"
"Ya, Bu," kata Anne. "Ia senang sekali! Katanya, untung kami hari ini tidak jadi
ke sana. Soalnya ada kertas-kertas kerja Paman Quentin yang hilang, dan sekarang
Paman sedang sibuk mengobrak-abrik rumah untuk mencarinya. Kata George, kalau la
kemari nanti, mungkin ia sudah sinting. Paman Quentin bahkan menyuruh Bibi Fanny
membongkar kantong rajutannya, untuk melihat barangkali kertas-kertas yang
hilang itu terselip di situ!"
"Quentin selalu ada-ada saja," kata Ibu. "Sarjana yang benar-benar hebat.
Ingatannya sangat baik, kalau mengenai buku yang pernah dibaca atau mengenai
hasil karangannya. Tapi tentang soal-soal lain, linglungnya sudah keterlaluan.
Selalu ada saja barangnya yang katanya hilang- padahal mungkin ia sendiri yang
keliru meletakkan!" "Ada lagi yang juga saban kali hilang, yaitu kesabarannya," kata Dick sambil
nyengir. "Kasihan George, selalu mengalami kesulitan dengan ayahnya!"
"Yah - pokoknya ia merasa senang, karena bisa kemari," kata Anne. "Ia datang
naik sepeda. Timmy Juga Ikut. Katanya, siang ini ia akan sudah datang. Bisa kan,
Bu?" "Tentu saja!" kata Ibu. "Tapi karena hidangan yang sebenarnya untuk siang ini
sudah kalian habiskan' kemarin malam, maka sekarang kalian harus berbelanja
sebentar untukku. Nah - kalian mau makan apa siang ini"'"
"Sosis!" seru anak-anak serempak.
"Kusangka kalian sekarang sudah bosan melihatnya, setelah makan begitu banyak
malam kemarin," kata Ibu sambil tertawa. "Tapi baiklah. Jadi kita akan makan
sosis nanti. Tapi Timmy diberi tulang saja, yang besar dan masih ada dagingnya.
Aku tidak ingin membeli sosis lagi untuk dihabiskan olehnya."
"Kami juga perlu membeli kue, Bu - untuk dihidangkan pada Bu Layman sore nanti?"
tanya Anne. "Atau Ibu bermaksud hendak membuat sendiri?"
"Aku akan membuat roti manis," kata Ibu. "Selebihnya kalian pilih saja sendiri
di toko kue- asal jangan sampai kalian borong habis isi toko itu!"
Ketiga anak itu bersepeda ke desa, untuk berbelanja. Cuaca hari itu indah
sekali. Di mana-mana nampak tanda musim semi. Bunga-bunga mekar berwarna-warni.
Dick bersepeda sambil menyanyi. Sapi-sapi yang sedang merumput di lapangan
menoleh dengan heran. Binatang-binatang itu kaget mendengar suara Dick yang
lantang. Anne tertawa bahagia. Ia merasa senang, bisa bergabung kembali dengan kedua
abangnya. Anak itu merasa kesepian pada saat bersekolah, karena ia diasramakan
di sekolah yang khusus untuk anak-anak perempuan. Sedang Julian dan Dick
diasramakan di sekolah khusus untuk murid laki-laki. Tapi kini mereka akan bisa
bersama-sama lagi selama hampir sebulan. Karenanya tidak mengherankan apabila
Anne merasa berbahagia - apalagi George juga ada! Anne menyertai Dick, bernyanyi
dengan suara lantang. Kedua abangnya memandang. dirinya dengan geli dan sayang.
"Senang mendengar kau menyanyi dengan lantang," kata Dick. "Karena biasanya kau
lebih mirip tikus kecil yang pendiam."
"Aku bukan tikus kecil, dan aku juga tidak pendiam," tukas Anne. "Kenapa kau
mengatakan begitu" Tunggu saja - pada suatu hari kalian pasti akan tercengang!"
"Ya, mungkin saja - walau terus terang saja, aku sangsi," kata Julian. "Tikus
mustahil tahu-tahu bisa menjadi macan! Lagi pula, satu macan saja sudah cukup!
George kan macan keluarga kita. Bukan main, kalau ia sudah mulai mengamuk!"
Anak-anak tertawa, membayangkan George menjadi macan. Dick tertawa terpingkal-
pingkal, sampai ia agak lengah. Sepedanya terombang-ambing. Roda depannya
menyentuh roda belakang sepeda Anne. Anak itu menoleh ke belakang sambil
membentak dengan -keras. "Hati-hati kalau bersepeda, goblok!"
"He! Ada apa, Anne?" tanya Julian kaget. Ia heran melihat adiknya yang biasanya
selalu tenang itu tiba-tiba membentak-bentak.
Anne tertawa. "Ah, tidak ada apa-apa," jawabnya. "Aku tadi cuma menjadi macan sebentar! Supaya
kalian berdua bisa melihat."
"Wah, wah!" kata Dick sambil bersepeda mendampingi Anne. "Belum pernah kudengar
kau membentak-bentak begitu. Mengherankan, tapi bagus juga! Bagaimana jika kau
sekali-kali berbuat begitu terhadap George, kalau saudara sepupu kita itu
bertingkah lagi?" "Sudahlah, jangan suka menggoda terus," kata Anne. "Kita sudah sampai di tukang
daging. Kalian masuk saja untuk membeli sosis, sementara aku pergi ke toko kue."
Banyak kue dan roti yang dijual di toko kue. Bau roti yang masih hangat
berhamburan dalam ruangan. Anne sibuk memilih kue.
"Kita kan berdelapan nanti," pikirnya, "termasuk Timmy! Jika kita semua lapar,
berapa banyak pun kue yang kubeli, pasti akan habis!"
Dick dan Julian gembira melihat begitu banyak kue yang dibeli Anne.
"Wah - pasti sedap makan kita sore ini," kata Dick. "Mudah-mudahan saja wanita
tua tamu Ibu - siapa lagi namanya" 0 ya - Bu Layman - mudah-mudahan Bu Layman
nanti juga sedang berselera makan. Aku ingin tahu, apa yang ingin dibicarakannya
dengan kita." "Kalian tidak lupa membelikan tulang untuk Timmy?" tanya Anne.
"Masa kami sampai lupa - Timmy kan anjing baik," kata Dick sambil nyengir. "Kami
memilih yang besar dan banyak dagingnya. Kalau dilihat Ibu, pasti akan dikatakan
cukup baik untuk dijadikan sup untuk kita!"
"Ya, Timmy memang anjing yang manis. Sudah sering ia ikut bertualang...." kata
Anne. Tapi Dick sudah iseng lagi. Cepat-cepat dipotongnya kalimat adiknya itu.
"Bertulang" Masa kita ikut-ikut makan tulang!" "Bertualang, kataku tadi," tukas
Anne agak kesal. "Timmy kan sudah sering ikut dalam berbagai pengalaman kita
yang seru. Dan kelihatannya ia menyukainya."
"Memang, sama saja kayak kita," kata Dick. "Yah - siapa tahu, mungkin dalam
liburan ini kita akan mengalami kejadian yang mengasyikkan lagi. Aku kayak
mendapat firasat bahwa ada petualangan ramai menunggu kita."
"Jangan begitu, ah!" kata Anne. "Kau pasti mengada-ada lagi. Sekarang aku ingin
tenang, setelah repot belajar terus di sekolah. Sungguh, belakangan ini aku
sibuk terus!" "Ya, dengan hasil menjadi juara kelas, kapten regu olahraga dan entah apa lagi,"
kata Julian. la merasa bangga melihat adiknya berhasil di sekolah. "Jadi sudah
sepantasnya jika kau ingin istirahat sekarang. Kita dalam liburan ini takkan
bertualang. Kaudengar kataku, Dick" Kali ini kita menjauhi setiap jenis
petualangan." "Ah - masa, Ju?" kata Anne sambil tertawa.
"Kita lihat saja nanti!"
Bab 2 UNDANGAN Ketika anak-anak kembali di rumah, ternyata George dan Timmy sudah ada di situ.
Timmy menunggu mereka di jalan. Begitu sepeda mereka nampak muncul dari balik
tikungan, anjing itu langsung lari menyongsong sambil menggonggong-gonggong
dengan nyaring. Seorang anak, pesuruh tukang roti yang kebetulan sedang lewat
sambil membawa keranjang besar berisi roti, ketakutan melihat Timmy. la pontang-
panting lari memasuki pekarangan rumah orang, sambil ribut berteriak-teriak,
"Ada anjing gila! Anjing gila!"
Tapi Timmy lari terus. Julian serta kedua adiknya bergegas turun dari sepeda
masing-masing, karena khawatir akan menggilas Timmy.
"Timmy yang manis," kata Anne, sambil menepuk-nepuk anjing yang sedang gembira
itu. "Sudah - masukkan lagi lidahmu yang terjulur itu! Nanti kalau terlepas,
baru tahu." Timmy mendatangi ketiga anak itu silih berganti, menyambut mereka seperti sudah
setahun tidak pernah berjumpa.
"Sudah - cukup Tim," kata Dick sambil menjauhkan anjing itu dan berusaha naik
lagi ke sepedanya. "Kan kemarin kita sudah ketemu. Mana George?"
Sementara itu George sudah lari ke jalan, karena mendengar Timmy menggonggong.
Julian serta kedua adiknya bersepeda menyongsong anak itu.
George memandang mereka sambil tertawa gembira.
"Hai!" serunya. "Kulihat, kalian habis belanja, ya! Timmy, jangan cerewet!
Hentikan gonggonganmu itu. Sayang kalian tidak bisa datang ke Pondok Kirrin,
tapi aku senang kalian undang ke sini. Ayah belum berhasil menemukan kembali
kertas-kertasnya yang hilang. Wah, bukan main - rumah kami sekarang kayak habis
dilanda angin topan kelihatannya. lemari-lemari dibongkar semua, sampai-sampai
lemari dapur juga ikut dibongkar! Sewaktu aku pergi tadi ibu sedang sibuk
memeriksa di loteng. Aku tidak mengerti, apa sebabnya Ayah sampai mengira
kertas-kertas itu mungkin ada di situ!"
"Kasihan si George!" kata Dick sambil tertawa geli. "Bisa kubayangkan tampang
ayahmu, berteriak-teriak sambil menarik-narik rambut! Padahal mungkin ia sendiri
yang keliru melemparkan kertas-kertas itu ke keranjang sampah!"
"Astaga! Pikiran kami tadi tidak sampai ke situ," kata George kaget. "Kutelepon
saja ibuku cepat-cepat, untuk memintanya agar memeriksa keranjang sampah.
Pikiranmu itu hebat, Dick!"
"Nah, cepatlah menelepon ibumu sekarang, sementara kami menaruh sepeda dulu,"
kata Julian. "Timmy! Jangan endus-endus kantong sosis itu! Kau ini kalau sudah
mencium bau sosis, tidak bisa menahan diri lagi. Kau dicurigai terlalu banyak
makan sosis tadi malam!"
"Memang banyak yang dimakannya," kata George. "Ketika aku lengah sebentar, ia
langsung menelan beberapa potong sekaligus. 0 ya, siapa itu Bu Layman, yang kata
Anne tadi akan datang minum teh nanti sore" Aku sebetulnya sudah berharap akan
bisa piknik siang ini."
"Wah, tidak bisa," kata Dick. "Kelihatannya Bu Layman itu hendak membicarakan
sesuatu dengan kami. Jadi kita terpaksa hadir nanti. Dalam keadaan bersih,
bersikap sopan - pokoknya, kita harus jadi anak manis! Jadi kau jangan bandel
nanti, George!" George menumbuknya sambil main-main.
"Itu tidak adil," kata Dick, "kau kan tahu, tidak pantas jika aku membalas
pukulanmu. Wah, kau tadi mesti melihat Anne, George. Aku dibentaknya! Sikapnya
persis macan, dengan memamerkan gigi dan...."
"Jangan konyol, Dick!" tukas Anne. "Habis, aku dikatakannya seekor tikus kecil,
George! Katanya di keluarga kita sudah ada satu macan, yaitu kau! Itu sudah
cukup, katanya. Jadi aku lantas memamerkan kegalakanku padanya! Senang juga
rasanya jadi orang galak!"
"Hebat, Anne!" kata George dengan geli. "Tapi kau tidak cocok sebagai macan yang
marah dan meraung-raung."
"Kalau perlu, bisa saja - kenapa tidak!" kata Anne berkeras kepala. "Kapan-kapan
kalian pasti tercengang melihat diriku. lihat saja nanti."
"Ya deh, ya deh," kata Julian, sambil merangkul adiknya. "Yuk, kita masuk saja
sekarang, sebelum Timmy sempat mencopet kue yang kita beli tadi."
Timmy mencium-cium sebuah kantong yang berisi tulang.
"Itu untuk makanmu nanti, Tim," kata Anne. "Dagingnya masih banyak. lihatlah -
Ibu melambai-lambai dari jendela. la memanggil kita. Kurasa ia meminta sosis
ini. Tidak, Timmy! Sosis ini bukan untukmu. Aduh, belum pernah kulihat anjing
serakus dia. Nanti ada yang mengira kau tidak cukup memberinya makan, George."
"Kalau ada yang mengira begitu, perkiraannya keliru," kata George. "Sini,
Timmy!" Timmy menurut. Tapi matanya masih terus memperhatikan kantong-kantong berisi
makanan, yang diambil Julian serta kedua adiknya dari tas sepeda mereka.
Anak-anak masuk ke dalam rumah, dan menaruhkan belanjaan mereka di meja dapur.
Juru masak memeriksa isinya satu-satu, sambil mengawasi Timmy.
"Bawa anjing itu pergi dari sini," katanya. "Aneh, kalau dia ada di dapur, saban
kali ada saja sosis yang hilang!"
Timmy pergi ke luar. la kelihatannya agak heran, apa sebabnya tidak ada juru
masak yang suka padanya. Padahal ia sangat senang pada mereka. Juru masak selalu
enak baunya. Bau masakan! Di dapur selalu banyak makanan yang enak-enak.
Tapi Timmy jarang sekali ditawari sedikit. Ah, biar sajalah! Nanti ia akan masuk
lagi, apabila juru masak keluar sebentar. Siapa tahu. barangkali saja ada
makanan tercecer di lantai.
Kesempatan masuk kembali datang, ketika ibu Julian pergi ke dapur. Dengan
gembira Timmy mengikutinya dari belakang.
"Halo, Georgina," kata Ibu menyapa keponakannya itu. "Ayo keluar, Timmy! Aku
tidak mau kau mendekati sosis itu. Ayo pergi! Husy!"
Timmy tahu, apabila ibu Julian sudah mengatakan 'husy', maksudnya benar-benar
'husy'. Tidak bisa ditawar lagi! Karenanya Timmy langsung berbalik, pergi ke
ruang duduk. Anjing itu mendesah karena kecewa, lalu berbaring di atas
permadani. Telinganya diruncingkan, menunggu dipanggil oleh George. Anjing itu
merasa diperlakukan tidak adil. Kenapa George tidak di-'husy' keluar dari dapur"
"Sekarang aku jangan diganggu, sementara aku masak untuk makan siang nanti,"
kata juru masak pada anak-anak yang berkeliaran di dapur. "Dan tutup pintu! Aku
tidak mau anjing besar itu tak henti-hentinya mengendus-endus di sekitarku.
Berlagak seperti kelaparan, padahal badannya sudah begitu gendut!"
"Itu tidak benar!" tukas George tersinggung. "Seumur hidupnya, Timmy belum
pernah gendut. la sama sekali tidak rakus!"


Lima Sekawan 20 Di Pulau Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah, kalau begitu baru dialah anjing yang tidak rakus," kata juru masak. "Tak
seekor pun yang bisa dipercayai! Misalnya saja anjing Bu lane-begitu ada tempat
gula di dekatnya, pasti langsung mencopet. Atau anjing pudel yang gendut dari
rumah sebelah. Botol krem yang diletakkan pengantar susu di depan pintu dapur
disenggolnya sampai tumpah. Disenggol dengan sengaja! lalu krem yang tumpah
dijilatinya sampai habis. Kata pemilik pudel itu ia tidak suka krem. Tapi kalian
mesti melihat ujung hidungnya waktu itu penuh berlumuran krem!"
Saat itu Timmy muncul di ambang pintu. Hidungnya terangkat ke atas. Kelihatannya
seakan-akan tersinggung mendengar kata-kata juru masak.
"Anda menyakiti perasaannya, Bu!" kata Julian sambil tertawa.
"Bukan itu saja yang kusakiti, apabila dia berani mengendus-endus kemari
sementara aku sedang sibuk memasak," kata juru masak. George merengut mendengar
kata-kata itu. Tapi saudaranya malah tertawa geli.
Pagi itu berlalu dengan menyenangkan. Anak-anak pergi bermain-main ke pantai.
Mereka berjalan-jalan menyusur tebing yang menjulang tinggi, menikmati kesegaran
angin laut. Timmy sibuk mengejar setiap burung camar yang berani hinggap di
pasir. Tapi setiap kali Timmy mendekat, burung-burung itu mengepakkan sayap lalu
terbang menjauh dengan santai. Timmy cuma bisa memandang saja dengan perasaan
jengkel. Saat makan siang, mereka sudah lapar sekali. Tidak sedikit pun makanan tersisa.
Apalagi puding yang dibuat oleh juru masak, semuanya habis disikat.
"Sayang aku tidak punya lidah yang panjang kayak Timmy," kata George. "Kalau
lidahku panjang, akan kujilat piring ini sampai licin!"
"Nanti pada saat minum teh, kalian tentunya takkan mampu makan apa-apa lagi,"
kata bibinya, yaitu ibu Julian. Tapi ia salah duga. Menjelang saat minum teh,
anak-anak sudah tidak sabar lagi menunggu kedatangan Bu Layman. Perut mereka
sudah lapar lagi! Makanan sudah terhidang di atas meja besar yang ditutup taplak
renda berwarna putih. Anak-anak duduk mengelilinginya, sambil memandang segala
hidangan itu dengan perut keroncongan. Kenapa Bu Layman belum datang juga"
"Aku mulai kesal pada Bu Layman," kata George setelah beberapa waktu. "Tak enak
rasanya lama-lama memandang kue krem itu, apabila perut sudah lapar."
Saat itu terdengar bel pintu depan berdering.
Hore! Kemudian seorang wanita tua masuk, sambil tersenyum ramah. la
menganggukkan kepala pada anak-anak. Kelihatannya senang melihat mereka
berkumpul di situ. "Anak-anak, ini Bu Layman," kata Ibu. "Silakan duduk, Bu Layman. Kami merasa
senang atas kedatangan Anda."
"Aku kemari ini karena hendak menanyakan sesuatu pada anak-anak," kata Bu
Layman. "Tapi kita minum teh saja dulu, sedang urusanku itu nanti saja kita
bicarakan. Aduh - bukan main sedapnya hidangan ini! Untung saja saat ini aku
sedang lapar." Bukan Bu Layman saja yang lapar. Anak-anak bahkan sudah seperti setengah mati
kelaparan! Dalam sekejap mata, segala hidangan sudah habis tandas. Timmy duduk dengan diam-
diam di sisi George. Apabila kebetulan tidak ada yang melihat, George cepat-
cepat memberikan sesuatu pada Timmy. Sementara itu Bu Layman asyik bercerita.
Ada-ada saja yang diceritakannya. Anak-anak senang padanya.
Ketika semuanya sudah selesai makan, Bu Layman berbicara lagi.
"Nah - kurasa kalian tentunya ingin tahu, apa sebabnya aku ingin bicara dengan
kalian," katanya. "Aku ingin bertanya pada ibu kalian, Julian, apakah kalian
bertiga - dan anak laki-laki ini - siapa lagi namanya - George" Nah - apakah
kalian bersedia menolong aku."
Anak-anak tidak ada yang mengatakan bahwa Bu Layman sebetulnya keliru. Tidak ada
yang mengatakan bahwa George sebenarnya anak perempuan. Apalagi George sendiri.
la malah bangga dikira anak laki-laki. Anak-anak memandang Bu Layman dengan
penuh perhatian. "Soalnya begini," kata wanita itu selanjutnya. "Aku mempunyai sebuah rumah kecil
di atas bukit, di belakang pelabuhan. Aku tinggal di situ bersama cucuku.
Seorang anak laki-laki. Namanya Wilfrid. Nah - sekarang aku harus pergi, karena
ada keponakanku yang sakit dan perlu dirawat. Tapi Wilfrid tidak mau ditinggal
sendiri di rumah. Karena itu aku ingin tahu, apakah ibu kalian mau mengizinkan
kalian menemani Wilfrid di rumah itu. Ia agak ngeri, kalau ditinggal seorang
diri di situ. Aku mempunyai seorang pembantu wanita. Tapi ia tidak tinggal di
situ. Kasihan Wilfrid - ia takut kalau disuruh tinggal sendiri di rumah yang
terpencil di atas bukit itu."
"Maksud Anda, rumah kecil yang indah itu?" tanya Ibu. "Pemandangan dari sana
indah sekali." "Ya, itulah rumahku," jawab Bu Layman. "Memang, tempat itu sederhana sekali.
Tidak ada air leding dan listrik di situ. Kami memakai him atau lampu minyak.
Sedang air harus diambil dari sumur. Tapi pemandangan dari situ indahnya bukan
main! Mungkin sebelum mengambil keputusan, kalian ingin melihat-lihat dulu ke
sana?" Bu Layman memandang anak-anak.
"Tentu saja kami ingin melihat-lihat ke sana," kata ibu Julian. "Dan apabila
anak-anak ternyata mau, mereka boleh saja tinggal di situ. Tentu saja apabila
mereka mau mengurus diri sendiri."
"Ya - kami mau datang untuk melihat-lihat dulu, Bu," kata Julian pada Bu Layman.
"Ibu sebentar lagi kan sudah sibuk dengan urusan besar, jadi pasti senang jika
tidak perlu repot-repot dengan kami di sini. Sedang kami sendiri senang apabila
bisa berdiri sendiri!"
Bu Layman nampak sangat senang mendengarnya.
"Bagaimana kalau kalian datang besok1" usulnya. "Sekitar pukul sepuluh pagi!
Kalian pasti senang melihat pemandangan dari sana. Indah sekali! Dari rumahku
kalian bisa melihat pelabuhan yang besar, serta melayangkan pandangan sampai
jauh sekali ke segala arah. Nah - aku pergi saja lagi sekarang. Akan kuceritakan
pada Wilfrid, mungkin kalian akan datang menemaninya. Anak itu baik sekali -
sangat senang membantu. Kalian pasti senang padanya."
Julian agak sangsi mengenainya. Sesaat ia bahkan menduga, jangan-jangan Bu
Layman ingin pergi meninggalkan Wilfrid. Tapi tidak mungkin. Wilfrid kan
cucunya! Ah - pokoknya besok mereka akan bisa melihat sendiri bagaimana
keadaannya di sana. Bab 3 RUMAH DI ATAS BUKIT
Keesokan paginya anak-anak bersiap-siap untuk pergi ke rumah tempat tinggal Bu
Layman. "Ibu juga ikut, Bu?" tanya Julian. "Kami ingin mendengar pendapat Ibu nanti!"
"Wah - tidak bisa, Nak,". kata ibunya. "Hari ini aku kebetulan sibuk sekali.
Nanti ada rapat di Balai Desa, dan aku sudah berjanji akan datang."
"Ibu aktif sekali," kata Julian sambil merangkul ibunya. "Baiklah - kalau begitu
kami berangkat sendiri. Nanti kami pasti akan segera tahu, apakah mau atau tidak
tinggal di rumah itu. Kami juga harus melihat dulu, kayak apa anak yang bernama
Wilfrid itu. Sekarang sudah pukul sepuluh kurang seperempat. George sudah
datang, bersama Timmy. Kami akan pergi naik sepeda, Bu."
Tak lama kemudian keempat anak itu sudah berangkat, diiringi oleh Timmy. Anjing
itu berlari dengan lidah terjulur ke luar. Perasaannya gembira. la paling gemar
diajak berjalan-jalan. Anak-anak bersepeda menyusur jalan yang menuju puncak sebuah bukit. Sesampai di
atas mereka menikung, dan - di depan terbentang pemandangan pelabuhan yang
sangat luas. Banyak sekali kapal besar dan kecil berlabuh di situ. Air lautnya
biru sekali. Benar-benar menakjubkan pemandangan di situ. Anne cepat-cepat
meloncat turun dari sepedanya.
"Aku ingin memandang sepuas-puas hati dulu, sebelum kita meneruskan perjalanan,"
katanya bergairah. "Bukan main pemandangan di sini - laut dan langit terbentang
luas di depan kita!"
Anne menyandarkan sepedanya ke pagar. la sendiri memanjat ke seberang, lalu
berdiri sambil memandang jauh ke bawah. Dick menyertai adiknya.
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring.
"Fore! Fore!" Suatu benda kecil berwarna putih melayang di udara, lalu jatuh ke tanah. Anne
kaget, karena benda itu jatuh dekat ke kakinya.
"Bola golf," kata Dick. "Jangan, jangan diambil! Pemain yang memukulnya tadi ke
sini, harus memukulnya lagi dari tempat di mana bola itu jatuh. Untung kau tadi
tidak kena, Anne. Aku tidak tahu bahwa lapangan ini padang golf!"
"Sebetulnya enak kalau kita jalan-jalan di sini sebentar," kata Anne. "Lihatlah
semak yang bunganya sedang mekar di sana itu. Di mana-mana nampak bunga yang
sedang berkembang!" "Ya - kalau pemandangan dari rumah Bu Layman sama indahnya seperti di sini, aku
pasti mau tinggal di situ," kata Dick. "Bayangkan saja, bangun pagi-pagi lalu
menikmati pemandangan luas yang terbentang di luar! Pelabuhan berair biru,
berbatasan dengan lautan di luar serta dikelilingi bukit-bukit - langit
terbentang luas...."
"Kau ini bagusnya jadi penyair saja, Dick," kata Anne kagum. Saat itu muncul dua
orang laki-laki. Rupanya mereka itu pemain golf yang memukul bola tadi. Anak-
anak minggir sedikit, sambil memperhatikan salah seorang pemain mengambil
ancang-ancang, lalu mengayunkan tongkat golfnya. Bola melayang tinggi, dan jatuh
ke padang rumput yang hijau. Jauh sekali pukulan pemain itu.
"Pukulan baik," kata pemain yang satu lagi.
Kedua pemain itu lantas pergi lagi dengan santai.
"Permainan aneh," kata Anne. "Cuma memukul-mukul bola saja sekeliling padang."
"Aku kepingin punya tongkat golf," kata Dick. "Kurasa pasti aku sanggup
melakukan pukulan yang hebat!"
"Kalau rumah Bu Layman letaknya dekat padang golf ini, mungkin kau bisa belajar
golf di sini," kata Anne. "Kurasa kau pasti bisa memukul sejauh orang tadi!"
Setelah itu mereka kembali ke jalan, karena anak-anak yang lain memanggil-
manggil untuk meneruskan perjalanan.
"Kita harus memperhatikan pintu gerbang kecil berwarna putih, yang ada
tulisannya, 'Pondok Bukit' "kata George. "Letaknya di lereng bukit, menghadap ke
laut." "Itu dia!" seru Anne sambil menuding ke depan. "Kita tinggalkan saja sepeda di
luar." Anak-anak menyandarkan sepeda mereka ke pagar, lalu masuk lewat pintu gerbang.
Setelah masuk, tidak jauh di sisi kiri mereka ada rumah kecil. Rumah itu
membelakangi jalan. Bagian depannya menghadap ke lereng bukit, yang menurun ke
arah pelabuhan. "Kelihatannya kayak pondok dalam dongeng kuno," kata Anne. "Lihatlah, semua
serba kecil. Cerobong-cerobong asap serta jendela-jendelanya. Dinding yang tidak
rata, begitu pula atapnya yang terbuat dari rumput!"
Anak-anak menyusur jalan kecil berkelok-kelok, yang menuju ke rumah itu. Sesaat
kemudian mereka sampai dekat sebuah sumur. Semua menjulurkan kepala ke dalam
sumur itu, hendak melihat airnya yang nampak jauh di bawah.
"Jadi dari sinilah kita harus mengambil air minum," kata Anne, sambil
mengernyitkan hidung. "Airnya bersih atau tidak, ya1"
"Kurasa cukup bersih, kalau diingat orang yang tinggal di rumah ini sejak dulu
mengambil air minum dari sini," kata Julian. "Yuk - kita ke pintu depan, kalau
ada!" Pintu depan rumah itu terbuat dari kayu. Pasangannya agak miring, dan
diperlengkapi dengan alat pengetuk terbuat dari kuningan. Di kiri kanan pintu
ada sepasang jendela kecil. Dan di atas kedua jendela itu ada lagi sepasang
jendela, yang ukurannya juga kecil. Julian memperhatikan jendela-jendela itu.
Kamar-kamar tidur dalam rumah itu pasti kecil-kecil, pikirnya. Akan cukupkah
tempat bagi mereka semua di situ"
Julian mengetuk pintu. Tapi tidak ada yang datang membukakan. Karena itu ia
mengetuk sekali lagi, sambil mencari-cari kalau di situ ada bel. Tapi ternyata
tidak ada. "Coba lihat pintunya - mungkin tidak terkunci," kata Anne. Julian menekan gagang
pintu. Seketika itu juga pintu terbuka. Di belakangnya nampak sebuah ruangan.
Kelihatannya itu kamar duduk, yang sekaligus juga merupakan dapur.
"Ada orang di rumah?" seru Julian.
Tak terdengar jawaban dari dalam.
"Yah - kalau memang ini rumah yang kita cari, sebaiknya kita masuk saja," kata
Julian. Anak-anak masuk ke dalam rumah.
Rumah itu kelihatan sudah sangat tua umurnya. Perabotannya juga serba tua.
Terbuat dari kayu, berukir-ukir. Di atas sepasang meja dalam ruangan itu
terletak lampu-lampu minyak kuno. Dalam sebuah relung di dinding ada tungku
minyak. Di atas tungku itu terletak sebuah panci. Sebuah tangga sempit, nampak
melengkung ke tingkat sebelah atas. Julian mendaki tangga itu. la sampai di
sebuah ruangan yang panjang dan gelap. Langit-langitnya atap rumput yang
ditunjang balok-balok berwarna hitam.
"Rumah ini pasti sudah berabad-abad umurnya!" serunya dari atas. "Kurasa tempat
ini takkan cukup lapang bagi kita berempat, ditambah lagi dengan pembantu Bu
Layman serta Wilfrid!"
Ketika ia sedang berteriak-teriak, tahu-tahu pintu depan terbuka. Seseorang
masuk ke dalam. "Mau apa kalian di sini?" seru orang itu. "Ini rumahku!"
Julian bergegas turun. Dilihatnya seorang anak laki-laki yang umurnya sekitar
sepuluh tahun, berdiri memandang mereka sambil merengut. Muka coklat, terbakar
matahari. "Kau yang bernama Wilfrid?" tanya Dick dengan sopan.
"Betul! lalu kalian ini siapa" Mana Nenek" Kalian pasti akan diusirnya, kalau
ketahuan masuk ke mari!" kata anak itu.
"Maksudmu Bu Layman?" tanya Julian. "Kalau benar dia yang kaumaksudkan, malah
dia yang meminta kami melihat-lihat ke mari, sebelum mengambil keputusan apakah
kami mau tinggal di sini untuk menemani. Katanya ia harus pergi karena ada
saudaranya yang sakit dan perlu dirawat."
"Aku tidak mau kalian temani!" tukas anak itu. "Ayo pergi dari sini. Aku bisa
sendiri. Nenek selalu merepotkan saja kerjanya."
"Kalau tidak salah, di sini kan ada seorang pembantu," kata Julian. "Mana dia?"
"Ia tidak tinggal di sini. Hanya kalau pagi saja datangnya. Sekarang dia sudah
kusuruh pergi," kata Wilfrid. "Ia meninggalkan makanan untukku. Aku ingin
sendiri di sini, Aku tak perlu kalian temani. Ayo pergi!"
"Jangan keras kepala, Wilfrid," kata Julian. "Kau masih kecil, tidak bisa
tinggal seorang diri di sini."
"Aku takkan sendiri! Kawanku banyak," kata Wilfrid berkeras.
"Tak mungkin banyak kawanmu di tempat sesepi ini," kata Dick. "Yang ada di
sekitar sini kan cuma bukit-bukit dan langit belaka."
"Siapa bilang aku tidak punya kawan," tukas Wilfrid." Ini ada satu - jadi hati-
hati saja kalian!" Sambil berkata begitu ia memasukkan tangannya ke dalam kantong, lalu
mengeluarkan seekor ular!
Anne menjerit dan berusaha berlindung di belakang Julian. Wilfrid melihat Anne
ketakutan. Didekatinya anak perempuan itu, sambil memegang ular pada bagian
tengahnya. Nampak kepala ular itu terayun ke kiri dan ke kanan, sementara
matanya menatap berkilat-kilat tanpa berkedip.
"Jangan takut, Anne," kata Julian. "Itu kan ular belang biasa, yang tidak
berbahaya. Sudahlah, Wilfrid - kantongi saja lagi binatang itu. Jangan suka
konyol! Kalau ular itu satu-satunya kawanmu, tentunya kau sangat kesepian di
sini." "Sudah kukatakan tadi, kawanku banyak!" kata Wilfrid berteriak, sambil
memasukkan ular tadi kembali ke kantongnya. "Kupukul kau nanti, kalau tidak mau
percaya juga." "He, jangan suka main pukul!" kata Dick. "Tunjukkan saja pada kami, mana kawan-
kawanmu itu! Kalau mereka anak-anak kayak kau semua - wah payah!"
"Anak-anak" Aku tidak mau berteman dengan anak-anak!" kata Wilfrid mencemooh.
"Akan kubuktikan bahwa aku tidak bohong. Ayo ikut ke lereng bukit, nanti kalian
akan melihat beberapa di antara kawan-kawanku."
Anak-anak berbondong-bondong ke luar, menuju lereng bukit. Semua heran melihat
anak laki-laki aneh yang galak itu.
"Semua duduk, dan jangan ribut!" kata Wilfrid. "Di sana, dekat semak itu. Dan
jangan bergerak! Sebentar lagi kalian pasti akan percaya bahwa kawanku banyak di
sini. Seenaknya saja kemari, lalu tidak mau percaya pada kata-kataku!"
Anak-anak menuruti kemauannya. Mereka duduk dekat semak yang ditunjukkan.
Wilfrid ikut duduk di situ. la mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Benda
apakah itu" George berusaha melihatnya. Tapi benda itu tergenggam dalam tangan
Wilfrid. Didekatkannya benda itu ke mulutnya. Sesaat kemudian terdengar siulan. Mula-mula
sangat pelan, kemudian bertambah nyaring dan akhirnya lenyap lagi. Siulan itu
tidak ada lagunya. Tapi kedengarannya menyayat hati. Kedengarannya seperti
nyanyian sedih, pikir Anne - kalau bunyi itu bisa disebut nyanyian!
Ada sesuatu bergerak-gerak di lereng bukit, agak ke sebelah bawah tempat anak-
anak duduk. Mereka tercengang ketika melihat bahwa yang bergerak-gerak itu
seekor kelinci. Telinganya yang panjang ditegakkan. Matanya menatap anak laki-


Lima Sekawan 20 Di Pulau Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki yang sedang meniup suling aneh. Sesaat kemudian kelinci itu meloncat-loncat
menghampiri Wilfrid, lalu meloncat-loncat di depannya. Kelihatannya seperti
sedang menari. Setelah itu muncul seekor kelinci lain. Tapi binatang itu cuma
menonton kawannya yang sedang asyik meloncat-loncat. Kedua binatang itu sama
sekali tidak merasa takut.
Wilfrid agak mengubah nada siulannya. Kini muncul kelinci jenis lain, yang
tinggalnya dalam liang di tanah. Binatang itu tidak muncul sendiri, melainkan
diikuti kawan-kawannya. Seekor di antaranya menghampiri kaki Wilfrid lalu
mengendus-endus. Nampak misainya bergerak-gerak! Setelah itu ia berbaring dekat
kaki anak itu. Seekor burung hinggap di tanah. Indah sekali warna bulunya. Burung itu
memperhatikan kelinci yang sedang menari-nari. Anak-anak tidak dipedulikannya
sama sekali. Sedang mereka semua menahan napas. Mereka kagum dan asyik menonton
pertunjukan itu. Tiba-tiba Timmy menggeram. Sebetulnya ia melakukannya tanpa sengaja. Tapi
sebagai akibatnya segala kelinci lari pontang-panting. Sedang burung yang
berbulu indah terbang menjauh sambil terpekik ketakutan.
Wilfrid berpaling dengan cepat. Matanya menyala-nyala. Tangannya terangkat
hendak memukul Timmy, tapi cepat-cepat ditahan oleh George.
"Lepaskan!" teriak Wilfrid. "Dia menyebabkan kawan-kawanku lari ketakutan! Akan
kupukul dia dengan kayu. Anjing ini jahat sekali, dia...."
Saat itu terjadi sesuatu yang mengherankan. Timmy menghampiri Wilfrid lalu
berbaring sambil meletakkan kepalanya di lutut anak laki-laki yang sedang marah
itu. Ditatapnya Wilfrid dengan pandangan sayang. Anak itu tidak jadi memukul.
Dielus-elusnya kepala Timmy, sambil mengeluarkan bunyi aneh yang kedengarannya
seperti bernyanyi. "Timmy! Ayo ke sini!" kata George dengan marah. Tapi ia juga heran. Bayangkan,
anjingnya mau dielus-elus anak yang baru saja hendak memukulnya! Timmy berdiri.
Dijilatnya Wilfrid, lalu ia pergi menghampiri George.
Wilfrid memperhatikan Timmy sesaat. Setelah itu dipandangnya anak-anak yang
masih duduk dekat semak. "Kalian boleh tinggal di rumahku - asal anjing itu ikut," katanya. "Tidak banyak
anjing yang kayak dia. Dia anjing yang baik. Aku mau berkawan dengan dia!"
Setelah itu ia meloncat bangkit lalu lari menuruni lereng. Ditinggalkannya empat
orang anak yang hanya bisa melongo, serta seekor anjing yang mendengking sedih
karena merasa ditinggal. Timmy bersikap seakan-akan kehilangan seorang teman
baik. Rupanya ada sesuatu yang istimewa pada diri Wilfrid, sehingga Timmy
bersikap seperti itu! Bab 4 PINDAH Anak-anak memperhatikan Wilfrid pergi. Mereka diam saja. Tapi Timmy melolong-
lolong pelan, sambil mengibaskan ekor. la ingin agar Wilfrid kembali.
"Wah, terima kasih, Timmy," kata Anne kemudian. la menepuk-nepuk kepala anjing
besar itu. "Kita takkan bisa tinggal di rumah kecil yang bagus dan dengan
pemandangan seindah ini, apabila kau tidak berkawan dengan Wilfrid. Aneh sekali
anak itu!" "Aneh" Konyol, maksudmu!" kata George. la masih tetap heran, apa sebabnya Timmy
mau mendekati Wilfrid. Padahal anak itu tadi hendak memukulnya. "Aku belum tahu,
apakah aku bisa senang padanya, atau tidak!"
"Jangan konyol, George!" kata Dick. la kagum melihat bagaimana Wilfrid tadi bisa
menjinakkan kelinci dan burung berbulu indah itu. "Rupanya ia penyayang
binatang. Kalau binatang-binatang tadi tidak percaya sepenuhnya pada dia, takkan
mau mereka datang sedekat itu. Dan menurut pendapatku, penyayang binatang pasti
orang yang baik." "Ah - aku pasti juga sanggup memanggil binatang, kalau aku punya peluit macam
itu," kata George. Dalam hati ia sudah berniat, hendak meminjamnya.
Anne masuk lagi ke rumah.
"Pasti rumah ini sudah tua sekali," katanya dengan senang. "Tempat ini tentunya
penuh berisi kenangan pada sekian banyak orang yang pernah tinggal di sini.
Mereka semua pasti menyukai pemandangan padang belantara yang luas ini, serta
laut biru yang terbentang di kaki bukit. Begitu pula langit yang lapang! Ini
tempat yang berbahagia. Bahkan awan pun kelihatannya berbahagia - berkejar-
kejaran di langit yang biru!"
Anne meneliti rumah itu dengan seksama. Akhirnya ditentukannya bahwa ketiga anak
laki-laki akan tidur di kamar atas, di bawah atap. Di situ ada dua helai kasur,
satu besar dan satu lagi kecil.
"Yang kecil untuk Wilfrid, sedang Julian dan Dick tidur berdua di atas kasur
yang besar," pikir Anne. "Sedang aku dan George tidur di kamar duduk di bawah,
dijaga oleh Timmy. Kalau ada selimut di sini, bisa dipakai sebagai alas tidur.
Tapi nanti dulu! Bangku ini bisa diperlebar, menjadi tempat tidur. Pas untuk aku
dan George. Bagus!" Anne paling menyukai tugas-tugas semacam itu. Mengatur ini dan itu, untuk yang
lain-lain. la menemukan tempat penyimpanan makanan yang tidak besar, menghadap
ke utara. Di dalamnya ada beberapa kaleng makanan, serta susu yang rasanya sudah
agak masam. Di samping itu ada pula dua batang roti yang sudah basi, serta kue-
kue yang keras dalam kaleng.
"Bu Layman rupanya tidak begitu memperhatikan soal makanan," pikir Anne.
"Terpaksa kita pergi ke desa, untuk melengkapi perbekalan makanan di sini."
Saat itu Julian muncul di pintu. la hendak melihat apa yang sedang dilakukan
oleh Anne. la tertawa geli, ketika melihat tampang adiknya itu serius tapi
senang. "Nah - sudah sibuk lagi kayak biasanya?" tanya Julian. "Menentukan siapa tidur
di mana, serta siapa yang harus belanja dan siapa yang mencuci piring" Anne yang
rajin - aku tidak tahu apa yang harus kita perbuat apabila kau tidak ada!"
"Aku senang pada tugas begini," kata Anne. "Julian, kita masih memerlukan
beberapa helai selimut tebal, lalu bantal serta persediaan makanan. Kecuali
itu...." "Kita masih harus kembali ke rumah dulu, untuk mengambil pakaian serta barang-
barang lain yang diperlukan di sini," kata Julian. "Dalam perjalanan kembali ke
sini lagi kita bisa berbelanja. Aku ingin tahu, apakah wanita yang diceritakan
Bu Layman itu masih akan datang untuk membantu di sini?"
"Yah - kata Wilfrid, ia sudah disuruh pergi olehnya," kata Anne. "Dan kurasa
lebih baik jika kita sendiri saja yang mengurus di sini, karena rumah ini kan
kecil. Kurasa aku bisa masak di atas tungku minyak yang ada di sudut itu.
Kecuali itu, kita bisa pula hidup dengan makanan dingin. Nanti kalau ada sesuatu
yang kita perlukan, salah seorang dari kita bisa pergi sebentar ke desa dengan
sepeda untuk membelinya."
"Ssst, dengar!" kata Julian sambil memiringkan kepala ke samping. "Rasanya
seperti ada yang memanggil-manggil."
Dugaannya benar. Julian pergi keluar. Dilihatnya Bu Layman berdiri dekat
gerbang. Dengan segera dihampirinya wanita tua itu.
"Kami suka sekali pada rumah ini!" kata Julian. "Kalau boleh, hari ini juga kami
ingin kemari. Kami bisa dengan cepat pulang sebentar, untuk mengambil barang-
barang yang diperlukan di sini. Rumah ini bagus sekali - sedang pemandangannya
paling hebat di mana-mana!"
"Yah - pelabuhan di sini perairannya nomor dua terluas di seluruh dunia," kata
Bu Layman. "Satu-satunya pelabuhan yang lebih luas lagi adalah Pelabuhan Sydney
di Australia. Kalian akan bisa memandang sepuas-puasnya, Julian."
"Ya, memang," kata Julian. "Pemandangannya menakjubkan dan begitu biru! Sayang
aku tidak bisa melukis. Coba kalau bisa, pasti kulukis pemandangan seindah ini!"
"Lalu bagaimana dengan Wilfrid?" tanya Bu Layman agak gelisah. "Dia tidak
bertingkah tadi" Dia itu - yah, kadang-kadang sifatnya agak sulit. Dan juga bisa
kasar sekali. Itulah karena ia tidak mempunyai saudara laki-laki, yang bisa
mengaturnya." "Ah, Anda tidak perlu khawatir tentang Wilfrid," kata Julian dengan riang. "Dia
nanti harus ikut aturan, seperti yang lain-lainnya juga. Kami kalau bepergian
sendiri, semua harus ikut membantu. Tapi dia itu pandai sekali bergaul dengan
binatang, ya?" "Ya, memang," kata Bu Layman. "Walau aku sendiri sebenarnya tidak suka pada
ular, kumbang dan burung hantu, yang suka berteriak-teriak Malam hari di atas
cerobong asap, karena ingin tahu apakah Wilfrid mau ke luar untuk membalas
panggilannya!" Julian tertawa. "Kalau soal itu, kami tidak keberatan," katanya. "lagi pula, ia sudah berhasil
melampaui hal yang mulanya mungkin bisa merupakan kesulitan terbesar bagi kami.
la kini sudah berteman dengan Timmy, anjing kami. la bahkan mengatakan, apabila
Timmy tinggal di sini, kami pun boleh ikut tinggal. Tapi hanya apabila Timmy
ikut!" Bu Layman tertawa. "Ya, begitulah sifat Wilfrid," katanya. "Anak itu aneh! Tapi jangan mau jika ia
bertingkah!" "Tidak, Bu," jawab Julian. "Aku sebetulnya heran bahwa ia mau tinggal bersama
kami. Kusangka ia akan memilih lebih baik pulang ke rumahnya sendiri, daripada
tinggal bersama kami di sini. la kan belum kenai pada kami!"
"Ia tidak bisa pulang saat ini," kata Bu Layman. "Adik perempuannya terserang
penyakit campak, dan ibunya tidak ingin Wilfrid ketularan. Jadi kalian terpaksa
menerima dia." "Dan dia juga terpaksa menerima kami," kata Julian. "Terima kasih, Bu, bahwa
kami dipinjami rumah ini. Kami akan merawatnya baik-baik."
"Ya, aku tahu," jawab Bu Layman. "Nah, aku pergi saja sekarang. Bersenang-
senanglah di sini. Tolong sampaikan salam pada Wilfrid. Mudah-mudahan saja rumah
ini tidak dipenuhinya dengan segala jenis hewan!"
"Kami takkan keberatan," kata Julian. la berdiri di pagar, sampai Bu Layman
tidak kelihatan lagi. Sesaat kemudian terdengar bunyi mesin mobil dihidupkan.
Julian kembali ke rumah. la berdiri di depan, memperhatikan pemandangan luar
biasa yang terbentang di sekelilingnya. Di pelabuhan banyak sekali kapal-kapal
besar dan kecil. Satu di antaranya nampak berlayar menuju kota besar yang
terletak di seberang. Saat itu Anne keluar, lalu menghampiri abangnya.
"Hebat, Ya?" kata Anne. "Tempat ini sangat tinggi, sehingga terdapat kesan
seakan-akan dari sini bisa dilihat setengah dari bumi. Ju - yang kelihatan di
tengah-tengah teluk itu pulau, ya?"
"Ya, betul," kata Julian. "Kelihatannya sangat rimbun. Aku ingin tahu namanya,
dan apakah ada orang tinggal di situ. Dari sini sama sekali tidak kelihatan
rumah di pulau itu."
Dick memanggil Anne. "Anne! Aku hendak bersepeda sebentar ke desa, bersama George. Apa saja yang
perlu kita beli di sana" Julian! Ada sesuatu yang perlu kuambilkan ari rumah, di
samping pakaian?" "Ya, ada! Tunggu, jangan pergi dulu!" seru Julian. la bergegas masuk ke dalam
rumah. "Aku sudah membuat catatan, barang apa saja yang kita perlukan. Kurasa
lebih baik aku ikut saja dengan kalian. Kan ada makanan serta barang-barang lain
yang harus diangkut ke sini - kecuali apabila Ibu mau mengantarkan semuanya
nanti sore dengan mobil."
"Ya - bagus idemu itu," kata Dick. "'Kita mula-mula pergi ke Pondok Kirrin dulu,
untuk mengambil barang-barang George. Setelah itu aku ke rumah untuk menyiapkan
barang-barang kita. lalu kita minta tolong pada Ibu, agar nanti mengantarkan
semuanya ke sini dengan. Mobil. Ibu pasti senang melihat pemandangan di sini".
"Aku tinggal saja di sini untuk berbenah, serta memeriksa cara kerja tungku
minyak itu," kata Anne. la kelihatannya senang. "Nanti kalau Ibu datang,
semuanya akan sudah rapi. Nah, itu dia Julian, dengan daftar barang-barang yang
kita perlukan. Kau ikut saja dengan George dan Dick, Julian. Aku lebih baik
tinggal di sini, membereskan rumah."
"Niatku memang begitu," kata Julian. la mengantongi daftarnya. "Baik-baik
menjaga rumah, Anne. Timmy kami ajak, supaya bisa berlari-lari."
Anak-anak berangkat naik sepeda, diikuti oleh Timmy dari belakang. Anjing itu
senang diajak berjalan-jalan. Anne menunggu sampai saudaranya tidak kelihatan
lagi. Setelah itu ia kembali ke rumah. Baru saja ia hendak masuk, ketika
didengarnya orang memanggil-manggil.
Anne menoleh. Dilihatnya seorang wanita berwajah segar melambai-lambai.
"Halo! Aku Sally!" seru wanita itu. "Kalian perlu bantuan memasak dan
membersihkan rumah" Kata Wilfrid, aku tidak perlu datang lagi. Tapi kalau kalian
memerlukan bantuanku, aku bisa datang."
"Wah, terima kasih - tapi rasanya kami bisa mengurus sendiri," jawab Anne. "Kami
di sini beramai-ramai, jadi semua pekerjaan bisa kami lakukan bersama-sama. Anda
tinggal di sini?" "Tidak," jawab Sally sambil datang menghampiri. "Aku cuma datang untuk membantu,
dan setelah itu pulang kembali. Kalau kalian kapan-kapan memerlukan bantuan,
bilang saja - nanti aku datang. Mana Wilfrid bandel itu" Aku dikata-katainya
tadi pagi. Akan kuadukan dia pada neneknya - walau gunanya toh tidak ada.
Neneknya pun paling-paling ditertawakan olehnya. Kalian jangan diam saja, kalau
dia berbuat macam-macam!"
"Ya, tentu saja," kata Anne sambil tersenyum. "Anda tinggal di mana" Siapa tahu,
mungkin pada suatu saat nanti kami memerlukan bantuan."
"Di seberang jalan, dalam hutan kecil yang di sana itu," kata Sally. "Kalau
kalian lewat, pasti nampak rumah kecilku di situ."
Setelah itu Sally pergi. Sedang Anne masuk ke rumah, lalu mulai berbenah. Mula-
mula ia membereskan tempat penyimpanan makanan. Setelah itu ia mengambil ember,
lalu pergi ke sumur. la menimba air. Air sumur dingin dan jernih kelihatannya.
Ketika ia sedang berpikir-pikir apakah air itu perlu dimasak dulu atau tidak,
tahu-tahu ada orang menyelinap di belakangnya, lalu meloncat ke dekatnya sambil
berteriak keras-keras. Anne terpekik kaget. Ember yang dipegang terlepas,
sehingga airnya tumpah. Ternyata yang mengagetkannya itu Wilfrid. Anak bandel
itu menandak-nandak mengelilinginya, sambil nyengir.
"Anak bandel!" tukas Anne. "Ayo, sekarang ambilkan air untukku!"
"Mana anjing besar itu?" tanya Wilfrid. la memandang berkeliling. "Aku tidak
melihatnya di sini. Kalau dia tidak ikut, kalian tidak boleh tinggal di sini.
Aku senang pada anjing itu. Dia baik sekali!"
"Timmy ikut dengan saudara-saudaraku ke desa," kata Anne. "Sekarang ambil ember
itu dan timbakan air lagi untukku!"
"Tidak mau," bantah Wilfrid. "Aku bukan pelayanmu. Ambil saja sendiri."
"Baiklah," jawab Anne. "Tapi nanti kuceritakan sikapmu yang kurang ajar ini pada
George. Timmy kepunyaannya! Percayalah, Timmy nanti pasti tidak mau berkawan
lagi denganmu," kata Anne sambil mengambil ember.
"Ya deh, ya deh, kuambilkan air!" seru Wilfrid cepat-cepat. Disambarnya ember
yang dipegang Anne. "Tapi awas kalau kau mengadukan diriku pada George atau
Timmy!" Setelah itu ia pergi ke sumur, mengambil air
untuk Anne. Menurut perasaan Anne, pasti akan repot menghadapi anak seaneh
Wilfrid. Anne tidak senang pada anak itu!
Bab 5 ANNE MEMBALAS Wilfrid menghentakkan ember yang sudah berisi air ke dekat kaki Anne.-
"Kau mau melihat kumbang piaraanku?" tanyanya.
"Tidak, terima kasih," kata Anne. "Aku tidak begitu suka pada kumbang."
"Sayang," kata Wilfrid. "Aku punya dua, bagus sekali rupanya. Kalau mau, kau
boleh memegang mereka. Geli rasanya apabila mereka berjalan di tangan."
"Kumbangnya sendiri aku tidak apa-apa, tapi aku tidak mau mereka berjalan di
tanganku," kata Anne. la memang agak takut pada segala jenis makhluk, yang
menurut dia 'merangkak-rangkak'.
"Sekarang minggir, Wilfrid! Kalau kau tahu aturan sedikit, kau akan membawakan
ember ini untukku ke dalam."
"Aku tak tahu aturan," kata Wilfrid seenaknya. "Semua mengatakan begitu! lagi
pula aku tak mau membawakan embermu, apabila kau tidak mau melihat kumbangku."
"Ah - sudahlah!" kata Anne jengkel, lalu mengambil ember untuk dibawa ke dalam.
Sedang Wilfrid pergi ke suatu semak kecil yang lebat, lalu duduk di situ. la
memandang ke bawah semak. Mukanya nyaris menyentuh rumput. Anne merasa gelisah.
Apakah anak itu hendak memanggil kumbang-kumbangnya" Ember yang sudah diangkat,
diletakkannya kembali ke tanah.
Ternyata yang muncul dari bawah semak bukan kumbang, tapi seekor kodok yang
besar. Kodok itu memandang Wilfrid dengan ramah. Anne tercengang melihatnya.
Dari mana Wilfrid tahu bahwa di situ ada kodok" Dan apa sebabnya kodak itu mau
keluar" Anne bergidik. la jijik melihat kodok.
"Aku tahu, kodok matanya bagus - dan cerdas, serta memakan serangga perusak.
Tapi aku geli jika didekati binatang itu," katanya dalam hati.
"Aduh - sekarang Wilfrid menggelitik punggungnya, dan sekarang kodok itu
menggaruk-garuk bagian tubuh yang digelitik - persis kayak kita juga!"
"Ke sinilah sebentar, lihat kodak kesayanganku ini," seru Wilfrid memanggil.
"Nanti kubawakan ember itu untukmu ke dalam!"
Anne cepat-cepat mengangkat ember, karena ngeri jangan-jangan setelah itu
Wilfrid bersiul untuk memanggil ular. Huh-anak itu aneh! Anne berharap, semoga


Lima Sekawan 20 Di Pulau Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saudara-saudaranya lekas kembali. Siapa tahu, mungkin Wilfrid juga memelihara
ular sanca atau seekor buaya yang masih kecil, atau - ah, mana mungkin! Tapi
mudah-mudahan saja saudara-saudaranya lekas kembali. Mata Anne terbelalak karena
ngeri, ketika melihat kodak besar itu melompat-lompat lalu naik ke atas tangan
Wilfrid, sementara matanya yang benar-benar indah masih terus menatap anak itu.
Sekarang Anne sudah tidak tahan lagi. Cepat-cepat ia masuk ke dalam rumah,
sehingga air dalam ember berceceran.
"Kepingin rasanya aku bisa kayak George," pikirnya. "Dia pasti tidak apa-apa
melihat kodok itu. Aku saja yang konyol! Aku harus berusaha menyukai segala
jenis binatang. Iih - besarnya laba-laba di pojok bak cuci itu! Aku ditatapnya -
Wilfrid! Wilfrid! Tolong singkirkan laba-laba ini!"
Wilfrid masuk dengan santai. Untung saja ia tidak membawa kodak tadi. Sesampai
di dekat bak cuci, ia mengulurkan tangan sambil menjentik-jentikkan jarinya.
Laba-laba besar itu bergerak merayap - lalu naik ke tangan Wilfrid yang terulur.
Anne bergidik lagi. Matanya dipejamkan rapat-rapat. Ketika kemudian dibuka lagi,
laba-laba itu sudah lenyap. Begitu pula Wilfrid.
"Kurasa anak itu sekarang mengajar binatang itu menari, atau entah disuruh apa!"
pikir Anne. la mencoba tersenyum. "Aku tidak mengerti, apa sebabnya binatang
suka padanya. Kalau aku, aku sama sekali tidak senang pada anak itu. Kalau aku
kelinci atau burung, atau bahkan kumbang, pasti aku sudah lari jauh-jauh jika
Wilfrid datang. Apa sebetulnya yang menyebabkan segala binatang itu mau datang
jika dipanggil olehnya?"
Anne melanjutkan pekerjaannya. la merasa lega, karena Wilfrid tidak ada lagi di
situ. "Sekarang kubereskan saja kamar di tingkat atas, tempat anak-anak laki-laki
tidur nanti," pikir Anne. "Setelah itu kupel lantai kamar duduk ini. Aku juga
perlu menyusun daftar barang-barang yang ada dalam gudang. Jendela yang kotor
itu perlu kubersihkan. Aku akan... astaga! Bunyi apa itu ?"
Anne mendengar bunyi burung berkicau. Ribut, tapi tidak menyakitkan telinga. la
memandang ke luar lewat jendela. Astaga! Wilfrid berdiri di depan jendela,
dengan lengan terbentang. Dua ekor burung bertengger di tangannya, sedang seekor
lagi duduk di atas kepalanya. Ketiga burung itulah yang ribut berkicau. Burung
yang bertengger di atas kepala Wilfrid berputar-putar, sehingga kakinya
tersangkut ke rambutnya yang lebat.
"Keluarlah sebentar, nanti kusuruh seekor burung ini bertengger di atas
kepalamu!" seru Wilfrid. "Enak rasanya, seperti dipijit-pijit. Atau kau lebih
ingin merangkul anak kelinci" Bisa kupanggil seekor dengan peluitku!"
"Aku tidak mau kepalaku dipijak-pijak burung," kata Anne. "Kalau anak kelinci,
bolehlah! Aku suka pada anak kelinci."
Wilfrid mengibas-ngibaskan tangan serta menggoyangkan kepala, sehingga ketiga
burung yang hinggap di situ terbang lagi. Setelah itu ia duduk di tanah.
Diambilnya peluit kecil dari kantongnya.
Anne memperhatikan dengan kagum, sementara Wilfrid memainkan peluitnya.
Terdengar nada-nada yang aneh. Tahu-tahu Anne sudah berjalan ke pintu. Astaga -
mungkinkah peluit yang dimainkan Wilfrid itu peluit ajaib, sehingga ia pun ikut
tertarik mendekati anak itu"
Anne berhenti di ambang pintu. Seekor anak kelinci muncul sambil melompat-lompat
dari balik segumpal rumput. lucu sekali binatang itu, dengan ekornya yang kecil
serta kuping yang panjang.
Anak kelinci itu langsung mendatangi Wilfrid, lalu merapatkan diri pada anak
itu. Wilfrid mengelus-elusnya sambil berbicara dengan suara pelan. Setelah itu
dipanggilnya Anne. "Nah - ini dia anak kelincinya. Kau mau mengelus-elusnya?"
Dengan hati-hati Anne datang mendekat. Menurut perkiraannya, anak kelinci itu
pasti lari begitu ia datang. Tapi Wilfrid masih terus mengelus-elus, sementara
anak kelinci itu memandangnya dengan matanya yang bulat. Anne membungkuk untuk
mengusap kepalanya. Tapi dengan segera kelinci itu lari ketakutan, menghilang
dalam rumput. "Aduh - kenapa dia lari?" tanya Anne dengan kecewa. "Tadi tidak apa-apa, sewaktu
kau yang mengelus-elus. Wilfrid, apa sebabnya segala binatang itu mau datang
padamu?" Tapi Wilfrid tidak mau mengatakan.
"Ada makanan atau tidak di dalam7" tanyanya. "Aku lapar!"
Didorongnya Anne ke tepi, lalu ia masuk ke dalam rumah. Dibukanya pintu tempat
menyimpan makanan, dan diambilnya sebuah kaleng berisi kue. Wilfrid memotong kue
itu. Tapi ia tidak menawarkan pada Anne.
"Kau ini memang tidak tahu aturan," kata Anne dengan kesal. "Masa aku tidak
kautawari!" "Aku senang tidak tahu aturan," kata Wilfrid sambil memamah kue. "Apalagi
terhadap orang-orang yang datang tanpa kuundang ke rumahku."
"Ah - jangan sok aksi!" tukas Anne. "Ini kan bukan rumahmu. Rumah ini milik
nenekmu. Dan ia mengizinkan kami tinggal di sini. Kecuali itu, kau tadi juga
mengatakan kami bisa tinggal, apabila Timmy ikut."
"Timmy nanti akan kujadikan anjingku," kata Wilfrid, sambil menggigit kuenya
lagi. "lihat sajalah! Sebentar lagi ia pasti takkan mempedulikan George - dan
akan terus membuntuti aku, siang dan malam. lihat saja nanti!"
Anne tertawa mencemoohkan. Timmy, mengikuti anak itu terus menerus" Tak mungkin!
Timmy sangat sayang pada George. la takkan meninggalkan tuannya itu, biar
Wilfrid meniup peluitnya sampai pipinya bengkak, atau merayu-rayu dengan
panggilannya yang istimewa. Anne merasa pasti mengenai hal itu.
"Kalau kau menertawakan aku, nanti kupanggil ular-ularku!" kata Wilfrid dengan
galak. "Biar kau lari pontang-panting nanti!"
"Tidak mungkin!" kata Anne sambil bergegas masuk ke dalam rumah. "Kau sendiri
saja yang lari pontang-panting!" Diambilnya ember yang masih berisi air, lalu
disiramkannya ke arah Wilfrid. Anak itu kaget, sehingga tidak sempat mengelak.
Kecuali Wilfrid, ada lagi yang juga ikut kaget. Julian ternyata sudah pulang
mendahului Dick dan George, karena ia merasa tidak enak kalau terlalu lama
meninggalkan Anne sendiri di rumah.
Julian masih sempat melihat Anne menyiram Wilfrid sampai basah kuyup. Julian
melongo. Astaga - Anne berbuat begitu Anne yang biasanya tenang dan pendiam,
tahu-tahu menjadi begitu galak" Apakah yang terjadi sebelumnya"
"Anne!" serunya. "Ada apa di sini" Apa yang dilakukan Wilfrid tadi?"
"Aduh, Julian!" Anne senang melihat abangnya datang. Tapi ia juga merasa tidak
enak, karena Julian datang justru pada saat itu. Wilfrid basah kuyup seluruh
tubuhnya. Anak itu kaget setengah mati. Napasnya mengap-mengap.
"Anak ini jahat!" katanya dengan napas sesak. Dikibaskannya air yang membasahi
tubuh. "Kayak macan saja -aku diserbunya, dan disiram dengan air. Aku tidak mau
dia tinggal di sini!"
Mau tidak mau Julian tertawa melihat anak laki-laki itu, yang marah-marah dalam
keadaan basah kuyup. la tertawa terpingkal-pingkal, sambil menepuk punggung
Anne. "Ternyata tikus kecil menjelma menjadi macan," katanya. "Ya, kau sudah
mengatakan bahwa hal ini akan terjadi kapan-kapan. Ternyata lebih cepat dari
yang kuduga. Coba kulihat apakah kukumu sudah berubah menjadi cakar harimau!"
Dipegangnya tangan Anne, dan pura-pura diteliti kukunya. Anne menyentakkan
tangannya. Anak itu tidak tahu, apakah harus tertawa atau menangis.
"Aduh, Julian! Aku sebetulnya tidak boleh menyiram Wilfrid - tapi ia begitu
menjengkelkan, sehingga kesabaranku habis, lalu..."
"Ya, ya - sudahlah! Kadang-kadang kita memang perlu begitu," kata Julian. "Dan
kurasa Wilfrid sudah sepantasnya dibegitukan! Mudah-mudahan saja air itu tadi
sedingin es. Kau punya pakaian di sini, Wilfrid" Kalau ada, cepatlah berganti
pakaian." Tiba-tiba Anne merasa kasihan pada anak itu habis, kelihatannya begitu sengsara
keadaannya! la mendekati anak itu, lalu menjamah bahunya yang basah.
"Aduh, maaf," kata Anne. "Sungguh, aku menyesal. Aku sendiri tidak mengerti, apa
sebabnya aku tadi tiba-tiba mengamuk."
Wilfrid tertawa kecut. "Aku juga menyesal," gumamnya. "Kau sebenarnya anak baik - dan hidungmu kayak
hidung anak kelinci tadi."
Setelah itu ia lari masuk ke dalam rumah. Dibantingnya pintu keras-keras.
"Biarkan dia sendiri sebentar," kata Julian, ketika melihat Anne seperti hendak
menyusul Wilfrid. "Siramanmu tadi ada gunanya, untuk menyadarkan dirinya. la
kelihatannya terharu ketika kau menyatakan penyesalanmu. Mungkin seumur hidup ia
belum pernah minta maaf pada siapa pun juga!"
"Betulkah hidungku kayak hidung kelinci?" tanya Anne, agak gelisah.
"Ya - memang ada kemiripannya sedikit," kata Juiian sambil menepuk adiknya
dengan perasaan sayang. "Tapi hidung kelinci kan lucu! Kurasa sesudah ini kau
takkan mengalami kerepotan lagi dengan Wilfrid. Rupanya ia tadi tidak tahu bahwa
walau hidungmu kayak hidung kelinci, tapi kau berhati macan!"
Sepuluh menit kemudian Wilfrid muncul lagi dan dalam rumah. la sudah mengenakan
pakaian kering. Pakaiannya yang basah dijinjingnya.
"Sini, kugantungkan di matahari supaya kering," kata Anne. Sambil tersenyum
diambilnya pakaian yang basah itu dari tangan Wilfrid. Dan Wilfrid membalas
senyumannya. "Terima kasih," katanya. "Aku tidak mengerti, apa sebabnya dengan tiba-tiba
pakaianku itu basah. Rupanya tadi hujan lebat di sini!"
Julian tertawa geli. Ditepuknya punggung Wilfrid dengan sikap bersahabat.
"Hujan kadang-kadang ada manfaatnya," katanya. "Nah, Anne kami banyak membawa
perbekalan, yang bisa kauatur nanti dalam tempat menyimpan makanan. Itu Dick dan
George datang! Akan kami bawakan semuanya ke dalam untukmu - dengan bantuan
Wilfrid!" Bab 6 LUCAS BERCERITA Anne mengatur perbekalan yang dibeli saudara-saudaranya. la merasa berbahagia.
Rasa bersalahnya sudah lenyap, karena mengguyur Wilfrid dengan air seember tadi.
Kini ia bahkan merasa asyik, apabila teringat betapa dirinya dengan tiba-tiba
berubah menjadi macan yang galak! Enak juga, sekali-sekali bersikap galak.
"Kapan-kapan kalau ada kesempatan lagi, mungkin aku akan begitu lagi," katanya
dalam hati. "Wah, Wilfrid tadi kagetnya bukan main! Begitu pula Julian. Aduh -
kasihan Wilfrid. Tapi sekarang ia sudah jauh lebih ramah."
Kenyataannya memang begitu! Wilfrid bersikap sangat sopan terhadap Anne dan
George, serta tidak bertingkah lagi seperti sebelumnya. Anak-anak merasa senang
tinggal di rumah kecil itu. Umumnya mereka makan di luar, sambil duduk-duduk di
atas rumput. Kalau di dalam mereka terpaksa bersesak-sesak, karena ruangannya
sempit sekali. Anne sangat menyukai tugas menyiapkan makanan, kadang-kadang
dengan bantuan George. Sementara ketiga anak laki-laki membawa hidangan itu ke
luar. Wilfrid membantu dengan rajin. Bangganya bukan main, apabila Julian
menepuk punggungnya sebagai tanda penghargaan.
Menyenangkan sekali rasanya duduk di atas bukit, di bawah sinar matahari yang
hangat. Mereka bisa melayangkan pandangan ke arah pelabuhan, di mana nampak
kapal-kapal pesiar serta kapal-kapal lain yang serba sibuk. George ingin tahu
mengenai pulau yang nampak di tengah teluk.
"Apa namanya?" tanyanya pada Wilfrid. Tapi Wilfrid juga tidak tahu. la cuma
mengetahui bahwa ada kisah yang aneh mengenainya.
"Pulau itu milik seorang laki-laki tua," katanya. "Tinggalnya di sebuah rumah
tua yang dibangun di tengah hutan di situ. Kabarnya pulau itu hadiah seorang
raja pada nenek moyangnya. Kalau tidak salah, raja James kedua! Dan laki-laki
tua itu keturunan terakhir keluarga pemilik pulau itu. Banyak yang menaruh
minat, ingin membeli pulau itu. laki-laki tua itu mempekerjakan sejumlah
penjaga, untuk mencegah jangan sampai ada orang mendarat di situ tanpa
seijinnya. Para penjaga itu galak sekali. Mereka bersenjata api."
"Wah - kalau begitu apakah orang yang hendak mendarat di situ mereka tembak?"
tanya Dick. "Kurasa mereka menembak cuma untuk menggertak saja, bukan dengan maksud
menyebabkan orang cedera," kata Wilfrid. "Pokoknya banyak pelancong yang sudah
ketakutan, ketika hendak mendarat di sana. Bayangkan - tahu-tahu saja peluru
berdesingan di sekitarmu! Nenekku pernah bercerita, ia kenai pada seorang yang
kaya raya. Orang itu datang, maksudnya hendak membeli sebagian dari pulau itu.
Tapi ketika perahunya hendak mendarat, tahu-tahu dari arah pulau datang
tembakan. Topi orang itu terbang disambar peluru."
"Adakah orang di sana sekarang7" tanya Julian. "laki-laki tua itu tentunya
sekarang sudah meninggal. Atau adakah anak laki-lakinya yang mewarisi pulau
itu7" "Kurasa tidak ada," jawab Wilfrid. "Tapi aku tidak banyak tahu mengenainya.
Walau begitu, bisa kukatakan siapa yang banyak tahu-menahu. Lucas, salah seorang
petugas yang merawat padang golf. la dulu bekerja sebagai penjaga pulau."
"Mestinya asyik juga mengobrol dengan dia," kata Dick. "Kecuali itu aku ingin
pula jalan-jalan di padang golf. Ayahku jago main golf, dan aku pun tahu
sedikit-sedikit mengenai permainan itu."
"Kalau begitu sekarang saja kita ke sana," kata George. "Timmy sudah kepingin
jalan-jalan lagi, meski tadi ia sudah berlari-lari terus sepanjang jalan ke desa
dan kembali lagi ke sini! Jalan-jalan, Timmy" Jalan-jalan?"
Seketika itu juga Timmy meloncat bangun. Jalan-jalan" Tentu saja ia mau, jika
diajak jalan-jalan! la melompat-lompat sambil mengelilingi George, pura-pura
hendak menubruk kaki anak itu. Wilfrid mencoba menangkapnya, tapi tidak
berhasil. "Aku kepingin kau ini anjingku," katanya pada Timmy. "Kau takkan kulepaskan dari
pengawasanku." Timmy lari menghampiri Wilfrid, lalu menjilatinya. Anak-anak tidak habis heran,
apa sebabnya Timmy kelihatan begitu sayang pada anak itu.
Seperti dikatakan oleh George, "Timmy biasanya suka memilih-milih teman! Tapi
Wilfrid ternyata sekarang lebih ramah daripada sebelumnya!"
Anak-anak menyusur punggung bukit, lalu menyeberang jalan yang memotong
puncaknya. Mereka memanjat pagar kayu dan tiba di padang Golf. Tidak jauh dari
situ terdapat 'green', yaitu lapangan berumput pendek di. sekitar lubang tempat
sasaran bola yang dipukul pemain. Dalam lubang itu terpancang sebuah tongkat,
dengan bendera kecil berwarna merah berkibar di ujungnya.
Wilfrid hanya tahu sedikit-sedikit saja tentang permainan golf. Tapi anak-anak
yang lain sudah sering menonton orang tua mereka bermain.
"Awas - ada yang hendak memukul bolanya ke arah sini," kata Julian. Anak-anak
menepi ke dekat pagar semak, untuk melihat pemain itu beraksi.
Tongkat golf terayun dengan sempurna. Bola melambung tinggi, lalu jatuh di atas
rumput dekat lubang sasaran. Jaraknya dari tiang bendera cuma sekitar seperempat
meter. Timmy lari beberapa langkah ke depan, seperti biasa dilakukan olehnya apabila
ada bola menggelinding di dekatnya. Tapi segera ia teringat bahwa itu permainan
golf. Dan dalam permainan Itu, bola yang dipukul tidak boleh dipungut.
Para pemain lewat dekat anak-anak, untuk melanjutkan permainan mereka.
"Nah - sekarang kita mencari Lucas," kata Wilfrid. "Kalian pasti suka padanya.
Banyak sekali yang diketahuinya tentang segala jenis binatang dan burung yang
ada di sini. Dia orang yang hebat!"
Wilfrid berdiri di lereng sebuah bukit. la memandang berkeliling.
"Itu dia!" serunya, sambil menuding ke arah seorang laki-laki yang sedang
bekerja dalam sebuah parit. "Itu - di bawah sana. Rupanya la sedang merapikan
tempat itu." Anak-anak menuruni lereng bukit, menuju parit yang ada di dasarnya.
"Di situ pasti banyak bola nyasar," kata Wilfrid.
"Halo Lucas! apa kabar?"
"Selamat siang," sapa laki-laki yang sedang bekerja, sambil menoleh ke arah
anak-anak yang datang menghampiri. Orang itu mukanya coklat terbakar sinar
matahari. lengan dan bahunya bahkan lebih coklat lagi. la bekerja tanpa baju.
Matanya berkilat-kilat jenaka, menatap kelima anak itu.
Kemudian ia mengulurkan tangan ke arah Timmy, yang langsung menjilat-jilat
sambil mengibaskan ekor dengan gembira. Timmy mengendus-endus orang itu, lalu
berbaring di tanah sambil menyandarkan kepalanya ke kaki Lucas.
"Hai!" kata Lucas sambil tertawa keras. "Kaukira aku akan berdiri terus di sini
sebagai patung sampai sore" Tidak - aku masih harus bekerja lagi, jadi
berdirilah, anjing manis! Seenaknya saja, kakiku kaujadikan bantal- sehingga aku
tidak bisa bergerak. Rupanya kau ingin agar aku istirahat sebentar, ya?"
"Kami ingin menanyakan sesuatu pada Anda, Lucas," kata Wilfrid. "Mengenai pulau
yang ada di tengah teluk pelabuhan. Apa nama pulau itu, dan apakah ada orang
tinggal di situ sekarang?"
"Kelihatannya tempat itu sunyi," sambung Dick. "Kami bisa melihatnya dari rumah
kecil di seberang jalan, yang letaknya hampir di puncak bukit."
"Ya, memang," jawab Lucas. la duduk di tepi parit. Dirangkulnya Timmy yang
langsung ikut duduk di sisinya. Lucas ramah sekali. Sikapnya wajar, sehingga
dengan segera anak-anak merasa seperti sudah berkawan lama dengan dia. Mereka
ikut duduk di sebelahnya.
"Yah - pulau itu dari dulu memang sudah misterius," kata Lucas memulai
ceritanya. "Orang ada yang menamakannya Pulau Tangis. Sebab, angin yang bertiup
di tebing yang tinggi di situ kedengarannya seperti suara orang menangis. Tapi


Lima Sekawan 20 Di Pulau Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada pula yang memberi nama Pulau Bisikan. Itu sesuai dengan suara bisikan angin
di sela pepohonan yang rimbun di sana. Tapi pada. umumnya orang menyebutnya
Pulau Seram. Menurut pendapatku, nama itu paling cocok. Pulau itu kelihatannya
sama sekali tidak ramah, dengan tebing-tebingnya yang terjal, karangnya yang
runcing serta hutannya yang rimbun dan gelap."
Lucas memandang anak-anak yang mendengarkan dengan penuh minat. Lucas memang
pandai bercerita. Wilfrid paling senang mendengar cerita-ceritanya tentang
binatang-binatang yang dijumpainya di padang golf itu.
"Teruskan, Lucas!" kata Wilfrid, sambil menyentuh lengan laki-laki itu.
"Ceritakan tentang pak tua kaya yang dulu pemilik pulau itu, dan yang tidak suka
pada siapa pun juga."
"Aku bercerita dengan caraku sendiri," kata Lucas. "Kalian harus duduk dengan
tenang, kalau tidak nanti aku lebih baik bekerja lagi. Contohlah anjing ini.
lihatlah - sedikit pun ia tidak bergerak. Kau memang anjing baik! Nah, sekarang
mengenai pak tua itu. Pulau itu dibelinya, karena ia takut sekali dirampok. la
membangun sebuah rumah besar di tengah hutan di pulau itu. Beratus-ratus pohon
disuruhnya tebang. Sedang kayu dan batu bahan bangunan didatangkan dari daratan.
Ketika kalian kemari tadi, kalian lihat atau tidak lubang bekas penggalian di
padang golf ini?" "Ya, kami melihatnya," kata Julian. "Timbul rasa kasihan dalam hati membayangkan
orang yang bola golfnya dipukul masuk ke situ!"
"Nah - batu-batu besar yang dipakai untuk membangun rumah pak tua itu diambil
dari situ," kata Lucas. "Menurut kata orang dulu sampai terpaksa dibangun
perahu-perahu khusus berdasar datar untuk mengangkut batu ke pulau. Dan jalan
yang memotong padang golf sekarang ini, dulunya merupakan lintasan kuda yang
menarik batu-batu besar itu ke tepi air."
"Anda sudah ada waktu itu?" tanya Wilfrid.
"Aduh - tentu saja aku belum lahir," kata Lucas sambil tertawa geli.
"Kejadiannya sudah lama sekali. Nah, setelah rumah batu - yang juga bisa disebut
kastil - selesai dibangun, pak tua lantas memindahkan berbagai benda berharga ke
sana. Antara lain patung-patung yang indah. Kabarnya ada yang terbuat dari emas.
Tapi aku tidak begitu percaya kabar itu benar! Ya, banyak sekali kisah aneh yang
pernah kudengar tentang pak tua pemilik Pulau Seram itu. Misalnya saja tempat
tidur dari emas murni. Bertatahkan batu-batu mulia. lalu kalung terbuat dari
batu mirah yang besarnya sama dengan telor burung dara. Pedang yang indah,
dengan gagang berhiaskan batu permata yang mahal sekali harganya. Masih banyak
lagi benda berharga lainnya. Tapi aku sudah lupa apa saja benda-benda itu."
Lucas berhenti sebentar. Dipandangnya anak-anak satu per satu. Julian cepat-
cepat menyelakan pertanyaan. "lalu apa yang terjadi dengan segala benda itu ?"
"Entah kenapa, kemudian pak tua itu tidak disukai lagi oleh raja," kata Lucas
menyambung ceritanya. "Dan pada suatu pagi pak tua itu melihat kapal-kapal yang
terdiri dari berbagai macam jenis datang mendekati pulaunya. Banyak di antaranya
karam terbentur karang. Tapi masih cukup banyak yang selamat. Prajurit
berlompatan turun dari kapal, lalu menyerbu kastil pak tua yang terdapat di
tengah hutan. Pak tua itu tewas terbunuh, begitu pula para pelayannya."
"Apakah pasukan penyerbu berhasil menemukan harta yang ada di situ?" tanya Dick.
"Mereka sama sekali tidak menemukan apa-apa," kata Lucas. Kelihatannya ia senang
sekali, karena anak-anak nampak mendengarkan kisahnya dengan asyik. "Ada yang
mengatakan bahwa kabar tentang harta itu sebetulnya cuma dongeng belaka.
Sebenarnya pak tua itu sama sekali tidak mengangkut harta ke pulaunya. Tapi ada
pula yang mengatakan, harta itu masih ada di sana - di Pulau Seram. Kalau aku -
aku cenderung berpendapat bahwa itu cuma dongeng belaka. Tapi dongeng yang
mengasyikkan!" "lalu siapa pemilik pulau itu sekarang?" tanya Dick.
"Dulunya di sana tinggal seorang laki-laki tua bersama istrinya. Mungkin mereka
menyewanya dari Negara, atau mungkin pula mereka membelinya. Tapi mereka tidak
peduli pada segala hal yang ada di sana, kecuali pada margasatwanya," kata
Lucas. Diambilnya lagi cangkulnya, lalu dipukul-pukulkannya ke tanah. "Mereka
tidak mengijinkan siapa pun juga datang ke sana. Dan merekalah yang
mempekerjakan penjaga bersenjata, untuk mencegah orang datang. Mereka
menginginkan ketenangan di sana bagi mereka sendiri, serta bagi binatang yang
hidup di sana. Menurut pendapatku, itu baik sekali! Ketika aku masih bekerja di
sana bersama dua orang rekan, sering ada kelinci bermain-main di dekatku, serta
ular yang menjalar. Sedang burung-burung di situ sangat jinak."
"Aku kepingin datang ke situ," kata Wilfrid. Matanya bersinar-sinar. "Pasti
asyik, melihat binatang liar yang berkeliaran di sana. Apakah tempat itu
sekarang sudah bisa didatangi?"
"Tidak", kata Lucas sambil bangkit. "Tempat itu sekarang kosong. Tidak ada lagi
yang tinggal dalam rumah besar itu, sejak pak tua serta istrinya sakit lalu
meninggal dunia. Penguasanya yang baru adalah cucu keponakan pak tua itu. Tapi
ia tidak pernah datang ke sana. la hanya mempekerjakan beberapa penjaga untuk mengusir setiap orang yang ingin mendarat. Penjaga itu
galak-galak, kabarnya! Nah - begitulah kisah tentang. Pulau Seram, yang kini
penghuninya tinggal margasatwa belaka!"
"Terima kasih atas kisah Anda," kata Anne. Lucas memandangnya sambil tersenyum
ramah. Ditepuknya pipi Anne.
"Aku harus melanjutkan tugasku," katanya. "Akan kurasakan lagi sinar matahari
menghangatkan punggung, serta kudengar kicauan burung dari semak belukar. Itu
sudah cukup membahagiakan bagi siapa saja! Sayang tidak banyak yang
menyadarinya." Bab 7 BERJALAN-JALAN LAGI
Sehabis mengobrol dengan Lucas, anak-anak berjalan-jalan mengitari padang golf.
"Kita harus jauh-jauh dari tempat permainan, agar jangan sampai kepala kita kena
bola," kata Dick, "He, Timmy! Cari apa kau dalam semak itu?"
Timmy muncul sambil menggondol sesuatu dalam moncongnya. Benda itu diletakkannya
di depan kaki George. Ternyata sebuah bola golf yang kelihatan masih baru.
George memungut bola itu.
"Kita apakan bola ini?" katanya. "Di dekat sini tidak ada pemain. Jadi rupanya
ini bola nyasar." "Yah - bola yang ditemukan di padang golf, biasanya diserahkan pada pro," kata
Julian. "Bola nyasar yang kemudian ditemukan, menjadi miliknya."
"Apa itu, pro?" tanya Anne.
"Pro itu singkatan dari profesional. Pemain profesional permainannya hebat
sekali, dan ditugaskan sebagai pengurus padang golf," kata Julian menjelaskan.
"Astaga - itu Timmy muncul dengan sebuah bola lagi. Tim, kurasa kau sebaiknya
kami sewakan saja pada pemain yang bolanya selalu nyasar. Pasti akan senang,
karena tidak perlu lagi repot mencari-cari!"
Timmy senang mendengar pujian itu. Dengan segera ia berbalik, mencari bola
sambil mengendus kian kemari.
"Kalau melihat cara Timmy mengendus-endus, seolah-olah bola golf baunya kayak
kelinci saja," kata Anne, sementara Timmy muncul lagi dengan sebuah bola. "Wah -
para pemain di sini rupanya sangat sembrono. Begitu banyak bola nyasar!"
Ketika Timmy sedang mengendus-endus suatu semak, tiba-tiba muncul seekor anak
kelinci. Binatang itu lari. Dengan segera Timmy mengejarnya. Kasihan anak
kelinci itu - lari ke sana dan kemari, ketakutan.
"Biarkan dia lari, Timmy!" seru George. Tapi Timmy tidak mengacuhkannya, karena
terlalu asyik mengejar. Ketika anak kelinci itu lari ke dekatnya, tiba-tiba
Wilfrid membungkuk sambil bersiul pelan. Anak kelinci itu memutar arah dan lari
menuju Wilfrid. la melompat ke dalam pelukan anak itu. Kasihan, tubuhnya gemetar
ketakutan. Timmy melonjak hendak menyambar. Tapi George bergegas datang lalu
menarik pergi. "Jangan, Timmy! Jangan! Kau tidak boleh mengganggu binatang kecil itu. Pergi!
Pergi, kataku !" Timmy melirik George dengan kesal, lalu pergi ke semak untuk mencari bola golf
lagi. la jengkel sekali terhadap George. Kelinci gunanya kan untuk diburu" Apa
sebabnya George melarang dia mengejar anak kelinci itu"
George memandang Wilfrid dengan kagum. Anak kelinci itu masih ada dalam
gendongan anak itu. Wilfrid mendecit-decit, menenangkan anak kelinci yang
gemetar. Anak-anak semuanya takjub melihat bagaimana Wilfrid tadi berhasil
menyelamatkan binatang itu. Dari mana anak kelinci itu tahu bahwa ia akan aman
dalam gendongan Wilfrid"
Wilfrid membawa anak kelinci itu ke tengah semak, lalu melepaskannya kembali di
situ. Dengan cepat binatang itu lari, menyusup ke dalam sebuah liang yang ada di
dekat situ. Wilfrid memperhatikan dia pergi. Setelah itu ia berpaling, lalu
menepuk-nepuk punggung Timmy yang memperhatikan dari dekat.
"Maaf, Tim," katanya, "tapi binatang itu begitu kecil, sedang kau besar sekali!"
"Guk!" gonggong Timmy, seolah-olah mengerti. Dijilatnya tangan Wilfrid yang
mengelus-elus kepalanya. Setelah itu Timmy melompat-lompat mengelilingi anak
itu, seperti mengajak bermain-main. Wilfrid lari cepat-cepat, dikejar oleh
Timmy. Anak-anak yang lain mengikuti dari belakang. Sekali lagi mereka kagum melihat
kepandaian Wilfrid bergaul dengan binatang padahal anak itu kadang-kadang kasar
kelakuannya, dan suka mementingkan diri sendiri. Karena itu apakah yang
menyebabkan binatang sangat suka padanya" Kening George berkerut. Menurut
perasaannya, tidak sepantasnya binatang suka pada Wilfrid.
Bahkan Timmy pun suka sekali pada anak itu. Kalau ia tidak berjaga-jaga, ada
kemungkinan Timmy nanti lebih banyak bermain-main dengan Wilfrid, daripada
dengan dia! Itu harus dicegahnya!
Timmy masih menemukan lima bola golf lagi. Kantong Julian sudah penuh dengan
bola golf. Anak-anak menuju ke sebuah rumah kecil yang nampak di kejauhan.
Itulah rumah perkumpulan di padang golf itu. Anak-anak ke sana, hendak
menyerahkan bola golf yang ditemukan.
Sesampai di sana, Julian langsung mendatangi pemain pro. Orang itu sedang sibuk
meneliti sejumlah kartu catatan permainan. Julian mengeluarkan bola-bola golf
yang memenuhi kantongnya.
"Ini - hadiah dari anjing kami," katanya sambil nyengir.
"Astaga - dari mana saja bola sebanyak ini?" kata pemain pro itu. Orang itu
nampak senang. "Masih bagus lagi! Sebagai imbalan, kalian akan kutraktir. Mau
apa kalian -limun atau sari jeruk?"
Anak-anak memilih limun. Pemain pro itu juga memesan kue untuk Timmy, yang
menunggu dengan sabar di luar gedung.
"Kami saat ini tinggal di rumah kecil yang di lereng bukit," kata Dick
bercerita. "Anda tahu tempat itu?"
"Tentu saja - karena nenekku dulu tinggal di situ," kata pemain pro.
"Pemandangan di sana sangat indah, kan" Kurasa sukar ditemukan tempat lain yang
pemandangannya lebih indah. Dari situ juga bisa dilihat Pulau Bisikan, atau yang
dikenal pula dengan nama Pulau Seram!. Menurut pendapatku, namanya lebih pantas
Pulau Misterius. Kata orang, sudah banyak yang lenyap di tempat itu!"
"Apakah yang terjadi dengan mereka?" tanya Anne.
"Yah - kurasa ini cuma desas-desus belaka," kata pemain pro itu. "Katanya di
sana tersembunyi benda-benda berharga. Karenanya pengumpul barang antik banyak
yang datang ke mari dan berusaha pergi ke pulau itu. Bukan untuk mencuri barang-
barang itu, tapi dengan maksud membeli. Untuk museum, atau untuk koleksi
pribadi. Kabarnya dalam hutan di sana ada patung-patung yang warnanya seputih
salju. Tapi aku tak percaya!"
"lalu orang-orang yang ke sana itu, tidak ada yang kembali?" tanya Julian.
"Kata orang, banyak yang tidak kembali," kata pemain pro, "Tapi kurasa itu cuma
desas-desus belaka! Tapi yang kuketahui dengan pasti, pernah ada dua orang
kemari dari sebuah museum di London. Mereka menyewa perahu untuk menyeberang ke
Pulau. Mereka pergi dengan mengibarkan bendera putih, dengan maksud agar para
penjaga pulau tidak menembak mereka. Tapi setelah itu mereka tidak ada kabarnya
lagi. lenyap dengan begitu saja!"
"lalu - kemungkinannya apa yang terjadi dengan mereka?" tanya Julian.
"Tidak ada yang tahu," kata pemain pro. "Perahu yang mereka sewa, kemudian
ditemukan terapung di tengah laut. Perahu itu kosong! Jadi menurut dugaan polisi
yang memeriksa, di tengah pelayaran kedua orang itu terjebak dalam kabut, alu
tersesat dan akhirnya hanyut ke tengah laut."
"Tapi mereka sendiri - apakah mereka kemudian berusaha berenang ke darat, lalu
tenggelam di tengah jalan?" tanya Dick. "Atau ada kapal lewat dan menyelamatkan
mereka?" "Yang jelas, mereka tidak diselamatkan kapal yang kebetulan lewat," kata pemain
pro. "Sebab kalau begitu, pasti kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing.
Tetapi ternyata tidak! Jadi kurasa mereka pasti tenggelam. Atau mungkin pula
ditembak penjaga ketika hendak mendarat di pulau, lalu perahu mereka
dihanyutkan." "Apakah polisi tidak mengambil tindakan?" tanya Julian dengan heran.
"Ya, tentu saja! Sebuah kapal patroli pantai dikirim ke pulau itu," kisah pemain
pro. "Tapi para penjaga di situ berani bersumpah bahwa tidak ada orang datang.
Kata mereka, cuma mereka saja yang ada di situ. Polisi bahkan memeriksa seluruh
pulau. Tapi yang ditemukan cuma sebuah rumah besar kayak kastil, serta beratus-
ratus ekor margasatwa yang jinak sekali."
"Aneh," kata Julian sambil bangkit. "Terima kasih atas kebaikan hati Anda
mentraktir kami, serta untuk keterangan tadi! Kami juga sudah mendengar cerita
perawat padang golf. Maksudku Lucas! la pandai sekali bercerita!"
"Ya, Lucas memang tahu seluk-beluk pulau itu," kata pemain pro. "Kalau tidak
salah, ia dulu pernah menjadi penjaga di sana. Nah - kapan-kapan mampir lagi,
ya! Dan terima kasih untuk bola-bola ini. Tidak semua orang bersifat jujur, dan
menyerahkan bola yang ditemukan di sini!"
Anak-anak meminta diri, lalu meneruskan perjalanan menyusur padang golf. Mereka
berjalan sambil mengobrol tentang Pulau Seram.
"Aku ingin tahu, apa sebetulnya yang terjadi dengan kedua orang yang dikatakan
lenyap itu," kata Anne. "Aneh - cuma perahu mereka saja yang ditemukan terapung-
apung dalam keadaan kosong !"
"Pasti mereka tenggelam," kata Dick. "Aku ingin tahu, masih adakah sisa benda-
benda berharga yang katanya dulu diangkut ke pulau itu. Tapi tentunya tidak ada
lagi - kan polisi telah memeriksa dengan seksama di sana!"
"Ingin rasanya kita bisa pergi ke pulau itu," kata George. "Kurasa para penjaga
di sana takkan sampai hati menembak kita! Bahkan kita mungkin diijinkan
mendarat. Tentunya mereka bosan sendiri terus di pulau yang sunyi itu."
"Itu kan cuma angan-anganmu saja, George," kata Julian. "Kita tidak pergi ke
pulau itu! Jadi lupakan saja niatmu itu!"
"Ya - aku juga sadar bahwa itu mustahil," kata George. "Tapi alangkah asyiknya,
apabila kita bisa mendatangi Pulau Bisikan yang seram dan misterius itu, lalu
melihat-lihat di situ tanpa diketahui para penjaga!"
"Ah, apa asyiknya - jika ditembak para penjaga!" tukas Dick. "lagi pula kita
takkan bisa menemukan sesuatu yang menarik di situ - karena segala benda
berharga itu pasti sudah diambil sejak dulu-dulu. Kurasa satu-satunya yang masih
menarik di tempat itu cuma binatang yang serba jinak. Wilfrid pasti akan senang
di sana. Ya kan, Wilfrid?"
"Tentu saja," kata anak yang ditanya. Matanya bersinar-sinar. "Mungkin saja aku
akan menyewa perahu, lalu pergi ke pulau itu untuk melihat binatang yang hidup
dengan aman di situ."
"Jangan!" kata Julian dengan segera. "Jangan suka iseng, ya! Ayo berjanji, bahwa
kau takkan mencoba-coba pergi ke sana!"
"Tidak mau!" kata Wilfrid berkeras kepala. "Siapa tahu, nanti aku akan benar-
benar melakukannya !"
"Ah, kau ini cuma omonganmu saja yang hebat," kata Julian. "Ayolah, kita kembali
saja sekarang. Ini kan sudah lewat saat makan siang. Perutku sudah lapar sekali
rasanya! Kita makan apa siang ini, Anne?"
"Maksudku hendak membuka kaleng berisi lidah," kata Anne. "Sedang roti masih
banyak, serta daun selada yang sudah kurendam dalam air supaya tetap segar.
Begitu pula tomat. Buah-buahan juga banyak."
"Hmm, enak!" kata George. "Kita makan, Timmy!"
Mendengar perkataan itu, Timmy langsung lari cepat-cepat mendaki bukit. Ekornya
dikibas-kibaskan dengan gembira.
"Aku kepingin bisa lari secepat Timmy," kata Anne. Napasnya terengah-engah.
"Tolong dorong aku ke atas, Julian. Kalau tidak, aku takkan mungkin bisa sampai
di rumah!" Bab 8 PERTENGKARAN Timmy sudah menunggu di atas bukit. lidahnya terjulur ke luar, sedang ekornya
mengibas kian kemari. Ketika anak-anak sudah dekat, ia mengambil sesuatu dari
tanah. Dilemparkannya benda itu ke udara, lalu ditangkapnya lagi dengan
moncongnya. "Bola golf lagi, Timmy?" tanya Dick pada Timmy yang sedang asyik melempar-
lemparkan benda yang ditemukan itu.
"Ah, bukan - bola golf tidak sebesar itu," kata George. "lepaskan, Timmy! Apakah
yang kau temukan itu?"
Timmy menjatuhkan benda yang sedang digondolnya itu ke dekat kaki George.
Ternyata memang sebuah bola. Tapi lebih besar daripada bola golf. Nampak sebuah
lubang menembus bola itu.
"Ah, itu kan bola yang biasa dimainkan anak-anak, yang dilemparkan ke atas lalu


Lima Sekawan 20 Di Pulau Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditangkap lagi dengan tongkat," kata George. "Rupanya tercecer di sini. Kau
boleh memilikinya, Tim."
"Tapi apakah nanti tidak tertelan olehnya?" tanya Wilfrid agak cemas. "Bola itu
tidak begitu besar! Aku pernah melihat ada anjing tercekik karena menelan
sesuatu yang dilambungkannya ke atas."
"Timmy bukan anjing bodoh! la takkan mungkin menelan bola," kata George. "Kau
tidak perlu khawatir tentang dia. lagi pula, cuma aku sendiri yang berhak
khawatir. Timmy kan anjingku!"
"Ya deh, ya deh!" tukas Wilfrid. "Nona sok aksi ingin mengurus sendiri
anjingnya. Silakan!"
George menatap Wilfrid dengan mata melotot. Tapi Wilfrid malah mencibir.
Kemudian ia bersiul memanggil Timmy. Ya, sungguh! Anak itu bahkan berani
bersiul, memanggil anjing kesayangan George!
"Cuma aku sendiri yang boleh bersiul memanggilnya!" tukas George. "Kau tidak
boleh! lagi pula, ia takkan mau datang jika kau memanggilnya dengan siulan!"
Tapi ternyata Timmy mau datang. la meloncat-loncat mengelilingi Wilfrid, karena
mengira akan diajak bermain-main. George kaget, lalu memanggil anjingnya itu.
Timmy menoleh dengan heran, lalu pergi menghampiri George. Tapi saat itu Wilfrid
bersiul lagi. Timmy menurut. la berpaling lagi, hendak pergi ke tempat anak itu.
George menyambar kalung leher anjingnya, sambil melayangkan kepalan tinju ke
arah Wilfrid. Wilfrid mengelak, lalu menandak-nandak sambil menertawakan George.
"Sudah - berhenti!" kata Julian. la melihat muka George merah padam karena
marah. "Sudah, kataku! Ayo, Wilfrid, kau berjalan duluan, dan jangan berhenti-
henti di tengah jalan. Kau juga kayak anak kecil saja, George! Wilfrid kan cuma
menggoda saja, ingin membuat kau marah. Jangan pedulikan dia!"
George tidak mengatakan apa-apa. Tapi matanya nampak menyala-nyala. Anne menjadi
gelisah, karena ia merasa pasti suasana kini takkan mungkin tenang lagi. la
kesal terhadap Wilfrid. Untuk apa dia iseng, bersiul-siul memanggil Timmy. Ah -
anak itu kadang-kadang menjengkelkan.
Sesampai di rumah, Dick pergi membantu Anne menyiapkan makanan. Soalnya, George
tidak mau melepaskan tangannya yang memegang kalung leher Timmy. la tidak mau
Wilfrid berhasil memanggil Timmy dengan siulannya!
"Sekarang ia mengeluarkan bunyi-bunyi istimewanya, yang kelihatannya selalu
berhasil memikat binatang supaya mau mendekat," kata Dick pada Anne. "Aku tidak
heran, bahwa George tidak mau melepaskan kalung leher Timmy. Aku bukan anjing,
tapi suara yang diperdengarkan Wilfrid itu sangat menarik. Bahkan aku pun
rasanya ingin mendekat!"
"Mudah-mudahan George tidak mulai bertingkah lagi, merajuk dan macam-macam
lagi," kata Anne prihatin. "Wilfrid kadang-kadang memang konyol dan sangat
menjengkelkan - tapi pada dasarnya dia anak yang baik. Kau tentunya mengerti
maksudku." "Terus terang saja, tidak!" kata Dick, sambil mengiris-iris tomat. "Menurut
pendapatku, anak itu tidak tahu aturan! Kalau aku anjing, pasti dia akan
kugigit. Bagaimana, Anne - sudah cukup banyak tomat yang kuiris?"
"Ya, Ya, sudah cukup!" kata Anne kaget. "Menurut taksiranmu, berapa banyak yang
akan kita makan sekarang" Empat puluh" lima puluh" Sudahlah, tolong bukakan
kaleng ini untukku, Dick. Aku paling tidak suka membuka kaleng, karena saban
kali aku melakukannya, jariku selalu teriris."
"Kalau begitu jangan coba-coba membuka kaleng lagi," kata Dick. "Mulai saat ini,
aku petugas resmi pembuka kaleng. Wah, Anne - kalau kau tidak ada, kurasa kami
bisa repot! Segala-galanya kaukerjakan, dan kami tinggal menerima saja.
Sebetulnya George harus lebih banyak membantumu. Dia kan anak perempuan juga -
tapi tidak pernah mau mengurus makanan. Kapan-kapan dia akan kukatai."
"Jangan, ah!" kata Anne kaget. "Aku senang bekerja sendiri! Kalau George, nanti
ada-ada saja barang yang dipecahkannya. Kalau disuruh mencuci atau membenahi
piring gelas, gerak-geriknya sangat kaku. Kayak anak laki-laki saja! Padahal ia
sudah sungguh-sungguh berusaha!"
"Jadi menurut pendapatmu, anak laki-laki itu kaku gerak-geriknya, ya" Maksudmu,
kami ini kikuk - begitu"!" Dick pura-pura merasa tersinggung. "Aku kepingin
bertanya, kapan aku pernah memecahkan sesuatu, hah" Kalau soal piring dan gelas,
aku cekatan seperti seorang gadis!"
Dasar nasib Dick sedang sial - gelas yang sedang dipegang olehnya tiba-tiba
terlepas, lalu jatuh ke rantai. Tentu saja pecah berantakan! Anne memandangnya
dengan kaget, lalu tertawa terkikik.
"Aduh, Pak Kikuk!" katanya. "Memegang gelas saja, pecah! Nih-tolong bawakan baki
ini ke luar. Tapi hati-hati, jangan kau jatuhkan pula!"
Siang itu anak-anak makan dengan lahap. Wilfrid duduk agak menjauh. Caranya
makan sama sekali tidak rapi. la mencecerkan remah-remah ke sekelilingnya. Tak
lama kemudian ia sudah dikerumuni burung-burung. Kelihatannya semua jinak-jinak.
Bahkan berani hinggap di tangannya. Ada seekor yang bertengger di bahu kirinya.
Wilfrid menyapa burung itu, seperti pada kenalan lama.
"Halo, Maggie Pie," katanya, "apa kabar keluargamu" Mudah-mudahan Polly Pie
sudah sembuh dari pileknya. lalu bagaimana dengan kaki Peter Pie - sudah sembuh
dari cedera" dan Kakek Pie - ia masih suka mengejar-ngejar burung yang masih
muda?" Burung yang diajak bicara menelengkan kepalanya, lalu berkicau dengan riang.
Kedengarannya seperti menjawab pertanyaan Wilfrid. Dan Wilfrid kelihatannya
seperti mengerti kicauan burung itu. la mengelus-elus dada burung itu dengan
kasih sayang. George memaksa dirinya supaya jangan melihat. la duduk.
membelakangi Wilfrid, sambil mengajak Timmy mengobrol. Anak-anak yang lain geli
melihat tingkahnya. Kemudian terjadi sesuatu yang kocak. Wilfrid hendak memasukkan sepotong tomat ke
dalam mulutnya. Tapi tiba-tiba tomat itu dipatuk burung yang masih bertengger di
bahunya, lalu dibawa pergi. Burung itu terbang sambil berkaok-kaok.
Kedengarannya seperti tertawa!
Anak-anak semua tertawa geli, kecuali Wilfrid. la cuma bisa melongo.
"Kurasa tomatmu itu dibawanya pulang, sebagai oleh-oleh untuk Polly Pie," kata
Anne. Anak-anak tertawa lagi. "Minta sepotong tomat lagi dong," kata Wilfrid.
"Wah, sayang - sudah habis," kata Dick.
Senang rasanya duduk-duduk di lereng bukit, sambil memperhatikan kapal-kapal
yang banyak jumlahnya di pelabuhan. Pulau Seram kelihatan jelas di tengah teluk.
Tidak nampak ada kapal berlayar di dekatnya. Rupanya semua tahu bahwa di situ
mungkin ada orang yang sudah siap menembak siapa saja yang berani mendekat.
"Wilfrid," kata Anne setelah beberapa saat duduk-duduk sambil menikmati
pemandangan, "coba ambil peluitmu dan panggil anak-anak kelinci supaya mereka
mendekat ke sini. Sementara kita sedang duduk diam-diam di sini. Maukah mereka
datang?" "Kurasa mau," kata Wilfrid. la merogoh kantong. Kemudian ia bangkit. la menepuk-
nepuk seluruh tubuhnya. Tampangnya nampaknya bingung. la memandang berkeliling,
menatap anak-anak. "Peluitku hilang!" katanya cemas "Wah - aku takkan mungkin mendapat gantinya."
"Ah - pasti terselip dalam salah satu kantongmu," kata Dick. la merasa kasihan
melihat tampang Wilfrid yang sedih bercampur bingung. "Sini, coba aku yang
mencarikan!" Tapi peluit itu memang tidak ada. Wilfrid kelihatannya seperti sudah mau
menangis saja. la mencari ke mana-mana, dibantu anak-anak yang lain. Tapi tidak
semua turut membantu. George diam saja. Dick memandang saudara sepupunya itu
dengan kening berkerut. George kelihatannya malah senang bahwa peluit itu
hilang. Rupanya ia benar-benar tidak suka pada Wilfrid! Ya, anak itu kadang-
kadang memang menjengkelkan - tapi pada saat ia sedang sedih itu, mestinya semua
merasa kasihan padanya. George bangkit, lalu membereskan piring dan gelas. Barang-barang itu dibawanya
masuk ke rumah. Tak lama kemudian Anne menyusul.
"Aku kasihan melihat Wilfrid," katanya.
"Aku tidak," tukas George. "Biar tahu rasa dia! Mudah-mudahan peluit konyol itu
hilang untuk selama-lamanya. Biar kapok dia. Siapa suruh mencoba-coba membujuk
Timmy, supaya mau meninggalkan aku!"
"Jangan begitu dong! Wilfrid kan cuma main-main saja," bujuk Anne. "Kenapa kau
ini selalu bersikap terlalu serius, George" Kau kan tahu, Timmy akan tetap
sayang padamu, melebihi siapa pun juga di dunia ini. Dia kan anjingmu, dan bukan
milik siapa-siapa lagi! Wilfrid kan cuma mau mengganggumu saja, pura-pura
memikat Timmy supaya mau pergi padanya."
"Tapi Timmy kan memang datang padanya," kata George kesal. "Padahal sebetulnya
tidak boleh!" "Kurasa Timmy melakukannya dengan tidak sengaja," kata Anne. "Wilfrid mempunyai
daya penarik istimewa terhadap binatang - dan peluit kecilnya itu kalau
dibunyikan, seolah-olah panggilan ajaib bagi mereka."
"Aku senang bahwa peluit itu sekarang hilang," kata George. "Aku senang, senang,
senang!" "Kalau begitu kau ini konyol dan jahil," kata Anne. la pergi karena tahu bahwa
apabila George sedang merajuk, percuma saja membujuknya.
Anne berjalan sambil berpikir-pikir. Mungkinkah George sebenarnya tahu di mana
peluit itu berada" Mungkin ia menemukannya, lalu kemudian menyembunyikan - atau
merusaknya" Ah, tidak! Itu mustahil! George kadang-kadang memang bisa bertingkah
dan jahil - tapi ia tidak jahat. Sedang merusak peluit yang luar biasa itu
merupakan perbuatan jahat.
Anne kembali ke luar. Maksudnya hendak menghibur Wilfrid lagi. Tapi anak itu
tidak ada lagi di situ. "Ke mana ia pergi?" tanya Anne.
"Mencari peluitnya," jawab Dick. "Rupanya ia benar-benar sedih karena kehilangan
barang itu. Kata Wilfrid, ia hendak melacak kembali jalan yang kita lalui tadi
dari padang golf. la hendak mencari ke segala tempat yang kita datangi tadi.
Katanya ia bahkan hendak pergi ke rumah perkumpulan - karena siapa tahu, mungkin
peluit itu terjatuh di sana. Tapi kurasa ia takkan bisa menemukannya lagi!"
"Kasihan!" kata Anne, si lembut hati. "Coba ia menunggu aku, kan aku bisa ikut
mencari. Tentunya ia sedih sekali sekarang, ya" Apakah dengan begitu ia tidak
bisa lagi memanggil binatang supaya datang mendekat?"
"Entahlah," kata Dick. "Eh - mungkinkah George tahu-menahu tentang peluit yang
hilang itu" Aku tahu, aku tidak sepantasnya berkata begini - tapi mungkin saja
George tadi menemukannya, lalu sengaja menyembunyikannya untuk membuat Wilfrid
bingung." "Ah, kurasa George takkan sampai hati berbuat begitu," kata Anne. "Itu kan
lelucon yang tidak lucu! Yah - mudah-mudahan saja Wilfrid berhasil menemukan
peluitnya kembali. Apa yang akan kalian kerjakan siang ini" Kalau melihat
tampang kalian, tentunya tidur, ya?"
"Tepat! Tidur di luar sini. Enak, hangat! Mula-mula tidur, sampai sekitar pukul
tiga," kata Julian. "Setelah itu jalan-jalan, ke pelabuhan. Mungkin aku akan
mandi-mandi di sana."
"Kita semua saja pergi nanti," kata Dick. la sudah mengantuk. "Aduh, sedapnya -
perut kenyang, mata mengantuk! Nanti kita ketemu lagi. Sekarang aku mau tidur
sepuas-puasnya!" Bab 9 KE PULAU Anak-anak tidur pulas di luar, sampai pukul tiga lebih sedikit. Kemudian Anne
terbangun, karena ada lalat terbang di dekat mukanya. Anak itu duduk, lalu
memandang arlojinya. "Aduh, sudah pukul tiga lewat sepuluh menit!" katanya kaget. "Bangun, Julian!
Dick, bangun! Kalian tidak mau mandi?"
Kedua abangnya bangun sambil menguap lebar-lebar. Keduanya memandang George.
Anak itu masih tidur. Sedang Wilfrid belum kembali.
"Kurasa anak itu masih terus mencari peluitnya yang hilang," kata Anne. "Ayo,
kalian harus bangun! Jangan berbaring terus, Dick - nanti pulas lagi. Mana
pakaian mandi kalian" Nanti kuambilkan. Kalian tahu di mana handuk kita" Mungkin
kita perlukan nanti, pada saat berganti pakaian di pantai!"
"Handuk ada di atas, kutumpukkan di pojok," kata Dick, yang masih mengantuk.
"Wah, pulas sekali tidurku tadi. Ketika bangun, mula-mula kukira aku berbaring
di tempat tidur!" Anne masuk ke rumah, mengambil handuk serta pakaian berenang. Kemudian
dipanggilnya saudara-saudaranya.
"Semua sudah kusiapkan," katanya. "Ayo cepat, Julian, jangan tidur lagi!"
"Ya deh," kata Julian. Anak itu duduk, lalu menggeliat. "Aduh - enaknya sinar
matahari! Hangat!" Dick disenggolnya dengan ujung kakinya.
"Bangun! Kalau kau tidur lagi sekarang, kami tinggalkan kau nanti. Selamat
tinggal, George kami berangkat!"
Seketika itu juga George bangun. la menguap. Timmy menghampiri anak itu, lalu
menjilat mukanya. "Ya deh, Timmy aku sudah siap," kata George sambil menyeka mukanya. "Aku
kepingin terjun ke dalam air sekarang, karena hawa di sini panas. Kau pasti juga
akan senang, Tim!" Setelah itu anak-anak menuruni bukit sambil membawa pakaian berenang. Mereka
melintasi padang belukar, dan akhirnya sampai di tepi laut. Timmy mengikuti dari
belakang. Di tengah teluk nampak pulau yang memiliki berbagai nama. Pulau Bisikan, Pulau
Tangis, atau Pulau Seram. Anak-anak melihat hutan lebat memenuhi pulau itu. Di
teluk nampak kapal-kapal besar dan kecil serta perahu-perahu pesiar. Sedang di
kejauhan nampak samar kata besar yang terletak di tepi pantai.
Keempat anak itu pergi ke balik batu-batu besar, untuk berganti pakaian. Sesaat
kemudian mereka sudah memakai pakaian mandi yang ringkas. Anne berlari-lari ke
tepi air. "Enak!" serunya, sementara ujung kakinya dibasahi ombak yang menyapu pantai.
"Sama sekali tidak dingin!"
"Guk!" gonggong Timmy. Anjing itu langsung menceburkan diri ke dalam air. Timmy
pandai berenang. Ditunggunya sampai George sudah masuk ke dalam air. Setelah itu
ia berenang menghampiri tuannya. George merangkul leher Timmy, lalu membiarkan
dirinya ditarik. Timmy sangat kuat, dengan gampang George ditariknya sambil
berenang. Anak-anak bersenang-senang dalam air. Agak jauh ke tengah ombak bergulung-
gulung, mendorong anak-anak yang mengapungkan tubuh mereka. Mereka bersorak-
sorak, sampai ada air masuk ke tenggorokkan. Mereka terbatuk-batuk karenanya.
Enak sekali mereka bermain-main di air. Kemudian mereka merebahkan diri di atas
pasir yang hangat. Timmy duduk di samping George. la menjaga tuannya, seperti
biasa. Udara nyaman saat itu. George duduk sambil memandang ke laut,
memperhatikan ombak yang bergulung-gulung didorong angin.
"Coba saat ini kita punya perahu!" katanya. "Kalau di rumah, bisa kuambil
perahuku, lalu kita bisa pesiar di tengah teluk. Pasti enak, tertiup angin
segar!" Julian menuding sebuah papan pengumuman yang terpancang tidak jauh dari tempat
mereka di situ tertulis, "PENYEWAAN PERAHU. KETERANGAN DI PONDOK."
"Bagus!" kata George senang. "Kutanyakan saja sebentar. Aku kepingin main
perahu!" George pergi ke pondok yang dimaksudkan pada papan pengumuman itu. Seorang anak
laki-laki duduk di situ. Umurnya sekitar lima belas tahun. la sedang memandang
ke tengah laut. Ketika George datang mendekat, anak itu menoleh.
"Mau menyewa perahu?" tanyanya.
"Ya, betul! Sewanya berapa?" tanya George. "Kami berempat, ditambah seekor
anjing." "Satu jam lima puluh penny," kata" anak itu. "Atau sehari satu pound. Bisa juga
disewa mingguan - tiga pound seminggu. Kalau kalian berlibur di sini, lebih
menguntungkan jika menyewa secara mingguan sekaligus."
George kembali ke tempat saudara-saudaranya. "Bagaimana - apakah kita menyewa
sekaligus untuk seminggu?" tanyanya. "Taripnya kalau begitu tiga pound. Dan kita
akan bisa sering main perahu. Kan asyik!"
"Betul!" kata Dick. "Ada yang punya uang?"
"Ada dalam kantongku, tapi kurasa tidak cukup," kata Julian. "Biarlah kuurus
sebentar. Kita mulai menyewanya besok, sekaligus untuk seminggu. Uang sewanya
bisa kuantarkan besok pagi."
Tapi anak yang menyewakan perahu ternyata baik hati.
"Kalian bisa memakai perahu itu mulai hari ini - jadi tidak perlu menunggu
sampai besok," katanya. "Aku tahu, kalian pasti akan membayar! Jadi terserah,
apabila kalian sudah mau memakainya mulai siang ini. Pilih saja, perahu mana
yang kalian sukai. Semuanya sama saja. Kalian juga boleh memakainya malam-malam,
apabila kepingin memancing ikan. Tapi setelah itu, harap diikat kembali dengan
baik ya?" "Tentu saja," kata Julian. la pergi ke tempat perahu berjejer-jejer.
Dilambaikannya saudara-saudaranya supaya datang.
"Kita boleh memilih perahu mana yang kita sukai, lalu memakai siang dan malam,"
kata Julian, setelah saudara-saudaranya datang.
"Kalian mau yang mana" Bintang laut, atau Debur Ombak, atau Camar laut, atau


Lima Sekawan 20 Di Pulau Seram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petualang" Kalau bagiku, semua kelihatan sama bagusnya!"
"Kalau aku, kupilih 'Petualang'," kata George.
Menurut pendapatnya, perahu itu kelihatan kokoh dan bersih. "Nama yang bagus,
dan perahunya juga bagus!"
Jadi mereka memilih "Petualang".
"Namanya tepat untuk kita!" kata Dick, sambil mendorong perahu itu ke air
bersama Julian. "Yaak! Tenang, manis - kami masih harus naik dulu! Masukkan semua pakaian kita,
George! Nanti kita perlukan, apabila terasa agak dingin!"
Tak lama kemudian mereka sudah berada di atas perahu yang bergerak-gerak
dipermainkan ombak. Julian mendayungnya, menuju ke tengah laut. Angin bertiup
segar. "Aku sudah tidak- kepanasan lagi sekarang!" kata George. la menyelubungi bahunya
dengan handuk. Saat itu sedang pasang surut. Air laut terasa keras, menarik perahu ke tengah.
Tahu-tahu mereka sudah tidak jauh lagi dari Pulau Seram.
"Kita harus hati-hati," kata George mengingatkan, "karena siapa tahu, barangkali
saja ada salah seorang penjaga di pantai pulau. Kita semakin mendekat ke situ."
Tapi arus air menyeret perahu itu terus, makin lama semakin mendekati Pulau
Seram. Tak lama kemudian anak-anak sudah bisa melihat pantainya yang berpasir.
Dick membantu Julian mendayung. Mereka berusaha melawan arus, membelokkan arah
perahu ke perairan yang lebih tenang.
Tapi sia-sia belaka. Arus terlalu kuat. Dengan segera perahu sudah dekat sekali
ke pantai Pulau Seram. Tahu-tahu datang ombak besar. Perahu mereka terangkat,
lalu terlempar ke pantai pasir. Ketika ombak surut kembali, perahu tetap
terdampar. Perahu itu miring, dan anak-anak terlempar ke luar.
"Wah - bukan main derasnya arus tadi!" kata Julian. "Aku sama sekali tidak
menduga. Kalau tahu dari tadi, sudah pasti perahu takkan kudayung sampai jauh ke
tengah." "Sekarang bagaimana?" tanya Anne dengan cemas. la celingukan, mencari-cari kalau
tahu-tahu muncul penjaga membawa senapan. la sudah khawatir, jangan-jangan akan
mengalami kesulitan karena mendarat di pulau terlarang itu.
"Kurasa kita terpaksa menunggu di sini dulu sampai arus berbalik," kata Julian.
"Saat itu barulah kita bisa mendayung kembali ke pantai. Aku heran, apa sebabnya
anak yang menyewakan perahu tadi tidak mengatakan apa-apa tentang keadaan arus
di sini. Padahal mestinya ia tentu tahu."
Perahu mereka seret lebih tinggi ke pantai. Pakaian mereka diambil, lalu ditaruh
di bawah sebuah semak. Setelah itu mereka menuju hutan yang lebat di tepi pasir.
Ketika sudah dekat, terdengar bunyi aneh. Kedengarannya misterius.
"Bisikan!" kata George sambil berhenti melangkah. "Pohon-pohon itu benar-benar
berbisik. Coba dengarkan! Bunyinya seakan-akan pepohonan di sini saling
berbisik-bisik. Pantas kalau dinamakan Pulau Bisikan!"
"Aku tidak begitu senang pada pulau ini," kata Anne. "Aku merasa seakan-akan
pohon-pohon itu mengusir kita!"
"Ah, itu kan cuma khayalanmu saja," kata George. "Mana ada pohon yang benar-
benar bisa berbisik! Tapi - apa yang kita lakukan sekarang" Kita harus menunggu
satu atau dua jam di sini, sampai arus pasang berbalik!"
"Bagaimana jika kita menjelajahi pulau ini?" usul Dick. "Kan ada Timmy! Takkan
ada yang berani menyerang kita, begitu melihat Timmy."
"Tapi jika mereka bersenjata, kan bisa saja Timmy ditembak," bantah George.
"Jika ia menggeram dengan galak sambil memamerkan taring, lalu mengejar, aku
khawatir mereka akan ketakutan lalu menembaknya!"
"Benar juga katamu itu," kata Julian. la memarahi dirinya sendiri, kenapa tadi
tidak lebih berhati-hati. "Pegang kalung leher Timmy kuat-kuat, George."
"He - aku tahu akal," kata Dick tiba-tiba. "Kurasa sebaiknya kita mencari para
penjaga pulau itu. Kalau sudah ketemu, kita melaporkan bahwa kita secara tidak
sengaja mendarat di sini karena dihanyutkan arus. Kita bukan orang dewasa yang
hendak mengintip-intip di sini. Jadi pasti penjaga akan mau mempercayai
keterangan kita. Dengan begitu kita akan aman, tidak terancam bahaya penembakan
lagi." Anak-anak memandang Julian. la mengangguk.
"Ya - idemu itu bagus, Dick," katanya. "Kita melaporkan diri, dan sekaligus
minta pertolongan! Kita kan tadi memang tidak berniat hendak mendarat di sini.
Kan arus laut yang melemparkan perahu kita ke pantai!"
Anak-anak lantas masuk ke dalam hutan. Mereka tidak melihat siapa-siapa di situ.
Hutan lebat sekali, sehingga sulit dilewati. Setelah sepuluh menit berjalan
dengan susah payah, Julian berhenti. la melihat sesuatu di sela pepohonan.
Saudara-saudaranya datang mendekat. Julian menuding ke arah depan. Anak-anak
melihat semacam dinding besar berwarna kelabu. Dinding itu terbuat dari batu.
"Kurasa itulah kastil kuno yang diceritakan oleh Lucas!" bisik Julian. Anak-anak
berjalan beringsut-ingsut mendekati tembok itu. Sesampai di situ, mereka
menyusurinya. Tembok itu tinggi sekali, sampai sisi atasnya nyaris tak terlihat.
Anak-anak berjalan menyusur tembok. Ketika sampai di ujungnya, mereka mengintip
ke balik sudut. Di depan mereka nampak pekarangan yang luas. Pekarangan itu
sunyi. Tidak ada siapa-siapa di situ.
"Kurasa lebih baik kita berseru-seru," kata Dick. la mulai merasa agak seram.
Tapi sebelum anak-anak sempat membuka mulut untuk memanggil, tahu-tahu muncul
dua orang laki-laki bertubuh besar tinggi. Mereka menuruni sebuah tangga batu
yang tinggi. Keduanya nampak galak-galak, sehingga Timmy langsung menggeram
ketika melihat mereka. Kedua laki-laki itu tertegun. Mereka memandang
berkeliling dengan heran.
"Kedengarannya dari arah sana," kata salah seorang dari mereka, sambil menunjuk
ke kiri. Anak-anak merasa lega, karena orang-orang itu melangkah ke arah yang berlawanan!
"Kita kembali saja ke perahu kita," bisik Julian. "Perasaanku tidak enak melihat
tampang mereka. Kelihatannya mereka itu penjahat. Kita tidak boleh ribut-ribut
sekarang. George, jaga jangan sampai Timmy menggonggong."
Anak-anak kembali menyusur tembok batu, melalui hutan yang penuh dengan pohon-
pohon berbisik. Akhirnya mereka sampai di teluk kecil tempat perahu mereka
terdampar. "Kita harus berdayung kembali ke darat selekas mungkin," kata Julian. "Menurut
perasaanku, ada sesuatu yang tidak beres di sini. Kedua laki-laki itu
kelihatannya bukan orang sini. Mereka tidak bertampang kayak pengawas
margasatwa. Aku menyesal datang ke sini tadi."
"Ju! Mana perahu kita?" seru Dick dengan kaget. "Perahu kita tidak ada. Ini
rupanya bukan tempat yang tadi."
Saudara-saudaranya memandang berkeliling dengan bimbang. Betul - perahu mereka
tidak ada di situ. Rupanya mereka salah jalan.
"Tapi kelihatannya persis tempat tadi," kata George. "Cuma pasang sekarang sudah
lebih tinggi. Jangan-jangan perahu kita hanyut. Aduh! lihatlah, ombak besar itu
- menghambur ke pantai dengan deras!"
"Astaga, betul! Ombak sebesar itu, dengan gampang bisa menghanyutkan perahu
kita!" kata Julian cemas. "lihatlah - ada lagi gelombang datang!"
"Memang ini tempat kita terdampar tadi!" kata Anne, yang saat itu membungkuk
untuk melihat ke bawah sebuah semak. "Ini pakaian kita - masih ada di tempat
kita menaruhnya tadi!"
"Cepat, ambil!" seru Julian. Saat itu datang lagi ombak besar yang berikut.
"Aduh, aku ini benar-benar goblok tadi! Seharusnya perahu kita tarik ke atas,
setinggi mungkin!" "Aku kedinginan!" kata Anne. Tubuhnya menggigil. "Aku hendak berganti pakaian
sekarang. lebih gampang membawa pakaian renang yang enteng, daripada menggendong
pakaian setumpuk." "Ya, betul!" kata Dick. Anak-anak bergegas mengenakan pakaian mereka.
"Kita simpan saja pakaian renang kita di bawah semak tadi," kata George. "Dengan
begitu kita akan tahu bahwa ini tempat di mana kita mendarat tadi."
"Tapi - apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Julian. la bingung. "Tidak ada
perahu untuk kita bisa kembali! Aduh-kenapa kita memilih perahu yang diberi nama
'Petualang'" Sekarang kita terjerumus ke dalam petualangan - yang tidak enak!" .
Bab 10 DALAM KESULITAN Julian pergi ke ujung teluk kecil itu. la memandang ke tengah laut, memandang
ombak yang menggelora. la berharap bisa melihat perahu mereka terombang-ambing
di situ. "Kalau perahu itu ada, aku sanggup berenang untuk mengambilnya," katanya dalam
hati. "Tapi perahu itu tidak kelihatan. Sialan - kenapa aku tadi begitu
ceroboh?" Dick datang menghampiri. la juga kelihatan gelisah.
"Bagaimana jika aku mencoba berenang ke daratan - untuk mengambil perahu lain
lalu menjemput kalian?" katanya.
"Jangan, jarak ke sana terlalu jauh," kata Julian. "lagi pula saat ini arus
terlalu deras! Aduh - kita benar-benar terjebak dalam kesulitan sekarang."
"Bagaimana kalau kita memberi isyarat ke daratan?" kata Dick.
"Memberi isyarat dengan apa?" kata Julian.
"Kita bisa saja melambai-lambaikan kemeja sampai satu jam lamanya, tapi toh
takkan terlihat dari daratan."
"Tapi kita harus berusaha melakukan sesuatu!" kata Dick lagi. la semakin
bingung. "Bagaimana kalau mencari perahu di sini" Orang-orang tadi tentunya
memakai perahu untuk pergi ke daratan!"
"Ya, tentu saja!" kata Julian. Ditepuknya punggung Dick. "Ke mana otakku tadi"
Nanti malam kita bisa mencoba mencari, apakah di pulau ini ada perahu. Mungkin
bahkan ada dua atau tiga perahu di sini. Orang-orang itu kan harus mengambil
perbekalan dari darat."
Saat itu Anne dan George datang, bersama Timmy. Anjing itu mendengking-dengking
pelan. "Ia kelihatannya tidak suka pada pulau ini," kata George. "Kurasa ia mencium
bahaya!" "Ya, kurasa begitu!" kata Dick. Dipegangnya kepala Timmy. "Untung dia ada di
sini bersama kita. Kalian punya ide atau tidak, yang bisa kita coba?"
"Bagaimana kalau kita memberi isyarat?" usul George.
"Percuma - isyarat kita takkan bisa dilihat dari daratan," kata Dick.
"Kemungkinan itu sudah kami pikirkan tadi."
"Tapi jika kita menyalakan api di pantai sini nanti malam, tentu akan
kelihatan," kata Anne.
Dick dan Julian saling berpandangan sesaat.
"Ya!" kata Julian. "Dan lebih baik lagi jika kita menyalakan di tempat yang agak
tinggi - misalnya saja di atas tebing sebelah sana."
"Tapi apakah para penjaga di sini tidak akan melihatnya?" kata Dick ragu-ragu.
"Kita harus mengambil risiko itu," kata Julian. "Ya -kita mencobanya nanti.
Idemu bagus, Anne! He-ngomong-ngomong, kalian tidak lapar. va" Perutku sudah
melilit-lilit rasanya! Ada yang membawa sesuatu, yang bisa dimakan?"
"Aku punya coklat dua potong - tapi sudah agak lembek," kata George sambil
merogoh kantong. "Dan aku punya permen," kata Anne. "Kalau kalian sendiri bagaimana, Dick dan
Julian" Dick, kau biasanya kan mengantongi gula batu! Ayo jangan bilang tidak
punya sekarang. Kita memerlukan sekarang."
Dick mengambil sebungkus gula batu dari kantongnya, lalu dibagi-bagikan. Timmy
juga diberi satu. Tapi dalam sekejap mata sudah habis.
"Ah, percuma saja memberimu gula batu, Tim!" kata Anne. "Digigit sekali, lalu
langsung ditelan-habis! Aku heran, kenapa anjing tidak bisa mengulumnya seperti
kita. Sudah, Tim - jangan mengemis-ngemis pada Dick. Toh akan langsung kau telan
lagi." Timmy kecewa. la berkeliaran di tempat itu sambil mengendus-endus. Tiba-tiba
tercium olehnya bau kelinci. Diikutinya jejak bau itu, dengan hidung rapat ke
tanah. Anak-anak tidak melihat dia pergi, karena mereka masih sibuk berbicara.
Mereka mencari akal berusaha mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi. Mereka
tidak punya perahu lagi. Makanan tidak ada. Mereka juga tidak bisa minta tolong
- kecuali dengan jalan memberi isyarat. Gawat, pikir Dick.
Tiba-tiba terdengar bunyi nyaring. TARR!
Anak-anak terlompat karena kaget.
"Bunyi tembakan!" kata Dick. "Pasti para penjaga! Tapi apa yang mereka tembak?"
"Mana Timmy?" George celingukan, memandang berkeliling. "Timmy! Tim, kau di
mana" Timmy!" Anak-anak ngeri. Aduh - Timmy! Tidak, tidak mungkin Timmy yang ditembak tadi.
Masa para penjaga itu tega menembak anjing!
George bingung setengah mati. Dipegangnya Dick erat-erat. Air matanya
bercucuran. "Dick! Yang ditembak itu bukan Timmy, kan" Aduh, Timmy" Ke mana kau" ini,
Timmy!" "Ssst! Diam, George. Dengar!" kata Dick. la mendengar suara orang berteriak-
teriak di kejauhan. "Aku rasanya kayak mendengar dengkingan Timmy tadi. Diakah
itu, yang datang menerobos semak?"
Terdengar bunyi daun-daun bergeser dilanda sesuatu. Kemudian nampak kepala
Timmy, muncul dari tengah semak. Anjing itu mencari-cari mereka.
"Aduh, Timmy! Kusangka kau yang ditembak tadi!" seru George, sambil merangkul
anjingnya. "Atau memang kau yang ditembak" Kau cedera?"
"Kurasa aku tahu kenapa ia ditembak," kata Dick. "Coba lihat saja apa yang
digondolnya itu. Sebongkah daging asap. Ayo lepaskan, perampok!"
Timmy menggondol sebongkah daging yang besar. Ekornya dikibas-kibaskan dengan
gembira. la tadi merasa lapar, seperti anak-anak juga.
Karena itulah ia pergi berburu!
"Di mana kau mengambilnya, anjing nakal?" kata Julian. Sayang Timmy tidak bisa
bicara. Kalau bisa, pasti ia akan bercerita bahwa ia tadi mengikuti jejak seekor
Si Cantik Berdarah Dingin 1 Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka Bende Mataram 33
^