Pencarian

Jo Anak Gelandangan 1

Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan Bagian 1


09. JO ANAK GELANDANGAN Ebook by BBSC - OCR by Raynold
Bab 1 DI PONDOK KIRRIN LAGI
GEORGE pergi ke stasiun untuk menjemput ketiga saudara sepupunya. Timmy ikut
dengannya. Anjing itu kelihatan gembira, karena tahu bahwa Julian, Dick dan Anne
akan datang. Dan kalau Lima Sekawan sudah berkumpul, selalu ada saja kejadian
yang mengasyikkan! "Itu keretanya datang, Tim," kata George sambil menuding. Anak itu sebenarnya
bernama Georgina. Tapi tak ada yang memanggilnya dengan nama itu, sebab pasti ia
tidak mau menjawab. Namanya George. Titik! Jadi nama laki-laki. Tampangnya
memang mirip anak laki-laki. Rambutnya yang ikal dipotong pendek. Ia biasanya
memakai celana pendek dan baju kaos saja. Lengan dan tungkainya coklat terbakar
sinar matahari. Dari kejauhan terdengar deru kereta api. Peluitnya berbunyi, memberi isyarat
peringatan. Timmy mendengking, tapi ekornya yang panjang dikibaskan kian ke
mari. Anjing itu sebenarnya tidak suka pada kereta api, karena takut mendengar
derunya. Tapi kereta yang ini disambut dengan senang, karena di dalamnya ada
tiga orang temannya. Kereta api semakin mendekat. Jalannya diperlambat ketika memasuki stasiun
Kirrin. Jauh sebelum berhenti di peron, dari jendela salah satu gerbongnya sudah
muncul kepala tiga orang anak. Mereka melambai-lambai dengan bersemangat. George
membalas lambaian itu. Senyum gembira menghias mukanya.
Begitu kereta berhenti, pintu gerbong langsung terbuka. Dari dalam kereta muncul
seorang anak laki-laki yang jangkung. Anak itu - yang sebenarnya lebih pantas
jika dikatakan pemuda - membantu seorang anak perempuan turun. Setelah itu
menyusul seorang anak laki-laki lagi, menjinjing dua buah koper. Ia tak
sejangkung pemuda yang paling dulu keluar. Sementara ia menarik sebuah koper
lagi dari dalam kereta, George dan Timmy sudah bergegas menghampiri.
"Julian! Dick! Anne! Kereta kalian terlambat datangnya!Aku sampai mulai
khawatir, jangan-jangan kalian tidak jadi datang!"
"Hai, George! Apa kabar," sapa ketiga anak yang baru turun itu. Timmy juga
mendapat bagian diberi salam. Keempat anak itu ribut saling menyapa dengan
bersemangat, ditambah lagi dengan Timmy yang melonjak-lonjak - sehingga orang-
orang yang hendak naik dan turun agak terganggu karenanya.
"Cuma ini saja yang kalian bawa?" tanya George. "Tidak ada koper besar?"
"Sayang kali ini kami tidak bisa terlalu lama berlibur di sini," kata Dick.
"Cuma dua minggu saja! Tapi lumayan daripada sama sekali tidak ke mari."
"Siapa suruh berlibur ke Prancis selama enam minggu," kata George. Ia agak iri
pada ketiga sepupunya itu. "Kalian sekarang pasti sok Prancis terus ya!"
Dick tertawa. Anak itu memang selalu iseng. Ia menyerocos dalam bahasa Prancis,
sambil ribut menggerak-gerakkan tangan. Aksinya kayak orang Prancis saja! George
melongo. Bahasa Prancis bukan pelajaran yang disukainya di sekolah.
"Ah, tutup mulut," katanya sambil main-main mendorong Dick. "Kau masih tetap
konyol seperti biasa. Aduh, senang sekali rasanya kalian datang! Tanpa kalian,
tempat ini sepi dan membosankan."
Seorang pengangkat barang datang mendorong gerobak. Dick berpaling, lalu
mengajak orang itu bicara dalam bahasa Prancis. Tangannya ikut bergerak-gerak
lagi, seperti orang yang sedang bertengkar di tengah pasar. Tentu saja
pengangkat barang itu mula-mula melongo. Tapi ia kenai Dick.
"Ah, kau ini mengoceh saja bisanya," kata orang itu sambil tertawa. "Bagaimana,
perlu kubawakan barang-barang kalian ke Pondok Kirrin?"
"Ya, Pak," kata Anne. "Sudahlah, Dick. Kalau kau terus-terusan begitu, tidak
lucu lagi jadinya!" "Ah, biar sajalah," kata George, lalu menggandeng tangan Anne dan Dick. "Aku
senang sekali, kalian ada di sini lagi. Ibu juga sudah kepingin berjumpa."
"Tapi kalau Paman Quentin pasti tidak," kata Julian sementara mereka berjalan
keluar dari stasiun. "Ayah saat ini sedang senang," kata George. "Tentu kalian juga sudah mendengar
bahwa baru-baru ini ia pergi ke Amerika bersama Ibu. Ia ke sana untuk mengadakan
ceramah, serta mendengarkan ceramah sarjana-sarjana lain. Menurut cerita Ibu,
Ayah di sana disambut sebagai orang penting. Dan Ayah kan paling senang kalau
diperhatikan orang!"
Ayah George seorang sarjana yang hebat. Kalangan ilmu pengetahuan di seluruh
dunia mengenal namanya. Tapi di rumah, ia agak sulit. Orangnya tidak sabaran,
cepat marah dan pelupa. Julian serta kedua adiknya sebetulnya senang pada Paman
Quentin. Tapi mereka juga segan terhadapnya. Mereka selalu merasa lega apabila
mendengar bahwa Paman akan pergi untuk beberapa hari. Soalnya kalau Paman tidak
ada, mereka bisa ribut-ribut sesuka hati, lari turun-naik tangga rumah, berbuat
iseng - pokoknya bebas! "Apakah Paman akan di rumah terus selama kami libur di sini?" tanya Anne. Ia
satu-satunya yang agak takut pada Paman yang galak itu.
"Tidak," jawab George. "Orang tuaku akan pergi berlibur ke Spanyol jadi kita
akan sendirian di rumah."
"Asyik!" seru Dick. "Kalau kita mau, kita bisa berkeliaran dengan pakaian renang
terus sepanjang hari!"
Mereka berjalan menuju Pondok Kirrin, sementara Timmy lari-lari sambil
menggonggong dan melompat-lompat. Kelihatan sekali ia senang bisa hidup dengan
bebas. "Tapi sayang dalam liburan sekarang kita tak punya waktu untuk bertualang," kata
Dick lagi dengan nada menyesal. "Cuma dua minggu - lalu setelah itu sekolah
lagi! Yah - mudah-mudahan cuaca baik terus. Aku ingin berenang di laut enam kali
sehari!" Beberapa saat kemudian mereka sudah menghadapi hidangan teh di Pondok Kirrin,
rumah George bersama orang tuanya yang terletak di tepi laut. Bibi Fanny sibuk
menghidangkan kue dan roti. Ia senang sekali bertemu dengan ketiga keponakannya
itu. "Sekarang George tidak perlu cemberut lagi mukanya," kata Bibi sambil tersenyum
memandang keempat anak yang makan dengan nikmat. "Akhir-akhir ini ia mondar-
mandir dalam rumah dengan tampang seperti beruang sakit kepala."
"Mana Paman, Bi?" tanya Dick sambil mengambil kue lagi. Kalau perkara makan,
anak itu tak perlu disilakan dulu sampai dua kali!
"Ada - dalam kamar kerjanya," jawab Bibi. "paman tahu sekarang saat minum teh.
Lonceng panggilan tadi pasti didengarnya. Tapi kurasa ia sudah sibuk lagi dengan
pekerjaannya. Nantilah, kupanggil dia sebentar. Kurasa paman kalian itu bisa
tidak makan sepanjang hari, kalau tidak kuseret ke kamar makan!"
"Itu Paman datang," kata Julian, ketika terdengar langkah orang datang bergegas-
gegas. Detik berikutnya pintu kamar makan dibuka dengan tiba-tiba. Paman Quentin
berdiri di ambang pintu. Ia memegang koran, yang ditatapnya dengan masam.
Kelihatannya ia sama sekali tidak menyadari kedatangan ketiga keponakannya.
"Coba kaulihat ini, Fanny," kata Paman dengan nada jengkel. "Seenaknya saja
mereka memuat keterangan, yang jelas-jelas kukatakan agar jangan dimuat. Dasar
wartawan goblok! Konyol...."
"Quentin! Ada apa lagi?" kata istrinya. "Lihatlah! Julian serta adik-adiknya,
baru saja tiba." Tapi Paman Quentin tak mengacuhkan ketiga keponakannya. Matanya masih terus
melotot menatap koran, yang kemudian ditepiskannya dengan tangan kiri.
"Sekarang tempat ini pasti akan penuh dengan reporter yang ingin ketemu dengan
aku, dan bertanya-tanya terus tentang segala gagasanku yang baru!" kata Paman.
Suaranya makin keras. "Lihat saja apa yang mereka tulis di sini! 'Ilmuwan
terkemuka itu melakukan seluruh eksperimen di rumahnya sendiri, di Pondok
Kirrin. Di tempat itulah ia mengembangkan segala gagasannya. Di situ tersimpan
semua catatannya yang bertumpuk-tumpuk, yang sekarang ditambah dengan dua buah
lagi sebagai hasil kunjungannya ke Amerika Serikat. Ia juga menyimpan diagram-
diagramnya yang menakjubkan itu di rumahnya sendiri.. Dan sebagainya, dan
sebagainya!" Paman Quentin menatap istrinya sambil melotot. "Percayalah - kita pasti akan
repot menghadapi wartawan," katanya.
"Ah, kurasa tidak, Quentin," jawab Bibi Fanny. "lagi pula kan sebentar lagi kita
akan sudah berangkat ke Spanyol. Sudahlah, duduk saja dulu dan minum tehmu. Masa
kau sama sekali tak mengucapkan selamat datang pada ketiga keponakanmu yang baru
saja datang?" Sambil mendengus kesal, Paman duduk di tempatnya.
"Aku sama sekali tak tahu mereka akan datang," katanya sambil mengambil roti.
"Kenapa tak kauceritakan padaku, Fanny?"
"Aku sudah memberitahukan sampai tiga kali kemarin," kata Bibi. "Lalu hari ini,
dua kali." Tiba-tiba Anne meremas lengan Paman. Ia duduk bersebelahan dengannya.
"Paman masih sama saja," kata Anne. "Tak pernah ingat kalau diberi tahu kami
akan datang! Bagaimana, apakah sebaiknya kami pergi lagi?"
Paman memandang Anne, lalu tersenyum. Paman kalau marah, tak pernah lama.
Kemudian ditatapnya Julian dan Dick sambil nyengir.
"Jadi kalian akan berlibur lagi di sini," katanya. "Bagaimana, rasanya bisakah
menjaga rumah selama aku bersama bibi kalian pergi berlibur?"
"Beres, Paman!" kata ketiga keponakannya serempak.
"Semua orang yang tak dikenal, takkan kami perbolehkan masuk!" kata Julian. "Dan
Timmy akan membantu kami. Aku akan memasang papan dengan tulisan: 'Awas! Ada
anjing galak!'" Timmy langsung menggonggong, ketika mendengar namanya disebut-sebut. Kening
Paman langsung berkerut. "Mau roti lagi, Yah?" kata George bergegas-gegas menawarkan. "Kapan kalian
berangkat ke Spanyol?"
"Besok," kata ibunya tegas. "Janganlah memandang seperti begitu, Quentin! Kau
kan tahu, kita sudah menetapkannya sejak. beberapa minggu yang lalu. Sungguh,
kau benar-benar perlu istirahat selama beberapa waktu. Jika kita tidak jadi
berangkat besok, seluruh rencana kita akan kacau-balau nanti!"
"Tapi setidak-tidaknya kau kan bisa mengingatkan aku bahwa kita akan berangkat
besok," kata Paman agak tersinggung. "Maksudku - semua buku catatanku masih
harus diperiksa dulu dan kemudian disimpan, lalu ....."
"Quentin!" potong Bibi dengan suara lebih tegas lagi. "Sampai bosan aku
mengingatkanmu bahwa kita akan berangkat tanggal 3 September! Aku pun ingin juga
berlibur. Anak-anak ini akan bisa sendiri di sini bersama Timmy. Mereka pasti
senang, bisa mengurus diri sendiri selama itu. Julian kan sekarang sudah besar.
Sudah menjadi pemuda! Pasti ia mampu mengurus sendiri segala persoalan yang akan
timbul!" Saat itu terdengar gigi beradu gigi. Timmy menyambar lalat yang berani terbang
dekat hidungnya. Paman Quentin terlonjak kaget dibuatnya.
"Jika anjing itu sekali lagi "katanya, tapi Bibi cepat-cepat memotongnya,
"Nah, itu dia! Syarafmu terlalu tegang, Quentin. Ada baiknya jika kita
bepergian, dan anak-anak bisa bersenang-senang di sini selama dua minggu. Mereka
pasti tak apa-apa! Jadi bulatkan pikiranmu untuk berangkat besok dengan tenang."
Apa kata Bibi Fanny" Takkan ada kejadian apa-apa" Sekali ini Bibi keliru. Apa
pun bisa terjadi, apabila Lima Sekawan ditinggal sendiri!
Bab 2 PERJUMPAAN DI PANTAI
SUKAR sekali mendorong Paman Quentin untuk berangkat keesokan harinya. Ia
menutup diri dalam kamar kerjanya sampai saat terakhir. Ia sibuk mengatur buku-
buku catatannya yang berharga. Sementara itu taksi sudah datang. Supirnya
membunyikan tuter, meminta agar calon penumpangnya bergegas sedikit. Bibi Fanny
sudah lama siap. Akhirnya diketuknya pintu kamar kerja.
"Buka pintu, Quentin! Cepatlah, kita akan ketinggalan pesawat nanti, jika tidak
berangkat sekarang juga'"
"Tunggu sebentar!" seru Paman dari dalam. Bibi Fanny memandang anak-anak dengan
putus asa. "Sudah empat kali ia mengatakan 'Tunggu sebentar!''' kata George. Saat itu
telepon berdering, lalu diangkat gagangnya oleh anak itu.
"Ya," katanya pada yang menelepon. "Sayang, tak mungkin Anda bisa berjumpa
dengannya. Ayah bepergian ke Spanyol, dan tak ada yang tahu di mana ia berada
selama dua minggu mendatang. Apa" Tunggu sebentar - akan kutanyakan dulu pada
ibuku." "Siapa itu?" tanya Bibi.
"Dari koran Daily Clarion," kata George. "Mereka bermaksud hendak mengutus
seorang reporter ke mari, untuk mewawancarai Ayah. Kukatakan, Ayah bepergian ke
Spanyol. Lalu mereka bertanya, bolehkah berita itu mereka muat?"
"Tentu saja boleh," kata ibunya dengan perasaan lega. "Begitu berita tersebut
dimuat dalam koran, takkan ada lagi orang koran yang akan menelepon dan
mengganggu kalian. Bilang saja boleh, George."
Pesan itu diteruskan oleh George, sementara taksi menuter sekali lagi. Bunyi
tuter menjengkelkan Timmy. Anjing itu lantas menggonggong-gonggong. Seketika itu
juga pintu kamar kerja dibuka dari dalam. Paman Quentin muncul dengan muka merah
padam karena marah. "Kenapa di sini tak pernah tenang apabila aku sedang melakukan sesuatu yang
penting?" katanya. Tapi tahu-tahu Bibi Fanny menyambar lengannya. Paman Quentin
diseret ke serambi depan. Bibi mengambilkan topi, lalu disodorkan ke tangan
Paman. Nyaris saja ia mendapat tongkat, apabila tangan yang satu lagi tidak
sudah menjinjing tas kantor yang kelihatannya berat.
"Kau bukan sedang melakukan pekerjaan penting," kata Bibi. "Saat ini kau akan
berangkat bercuti! Aduh, Quentin - kau ini makin lama makin pelupa. Apa lagi
yang ada dalam tas itu" Masa mau libur membawa pekerjaan"! "
Sekali lagi terdengar bunyi tuter dari luar. Timmy yang ada di belakang Paman,
menggonggong-gonggong lagi. Paman kaget. Saat itu telepon berdering.
"Pasti wartawan. yang ingin datang untuk mengadakan wawancara," kata George.
"Cepatlah berangkat!"
Tak ada yang tahu pasti, apakah berita itu yang mendorong Paman sehingga
akhirnya ia berangkat juga. Tapi pokoknya ia lantas bergegas masuk ke taksi,
dengan tas kantor masih dalam genggaman. Ia masih sempat mengomeli supir taksi
karena tak henti-hentinya menuter.
"Selamat tinggal, Anak-anak," seru Bibi Fanny lega. "Jangan nakal, ya. Kami
berangkat sekarang!"
Beberapa saat kemudian taksi menghilang di belokan jalan.
"Kasihan ibuku," kata George. "Kalau orang tuaku bepergian untuk libur, selalu
begini keadaannya. Yah, pokoknya satu hal sudah pasti bagiku. Aku takkan mau
menikah dengan sarjana!"
Keempat anak itu menarik napas lega. Paman Quentin akhirnya berangkat juga. Jika
ia sudah terlalu banyak bekerja, biasanya lantas marah-marah terus.
"Tapi orang secerdas dia, harus dimengerti kalau begitu sifatnya," kata Julian.
"Guru ilmu pasti kami kalau bicara tentang Paman, hormatnya bukan main! Tapi
konyolnya, diriku juga diharuskan cerdas. Mentang-mentang punya paman yang hebat
otaknya, keponakannya juga disuruh pintar!"
"Ya - memang tidak enak juga punya keluarga yang pintar," kata Dick. "Tapi
pokoknya sekarang kita sendiri di sini - di samping Joan. Juru masak kalian itu
pasti akan menghidangkan makanan yang enak-enak!"
"Yuk, kita ke dapur!" ajak George. "Siapa tahu barangkali ada yang bisa kita
makan sekarang. Aku lapar!"
"Aku juga," kata Dick. Mereka lantas pergi ke dapur sambil berseru-seru
memanggil Joan. "Kalian tak perlu bilang lagi mau minta apa," kata Joan sambil tersenyum ramah.
Juru masak keluarga George memang baik hati. "Dan aku juga tak perlu mengatakan
lagi bahwa pintu kamar tempat menyimpan makanan terkunci'"
"Aduh, Joan!" keluh Dick. "Kenapa jahat sekali'"
"Jahat atau tidak, tapi itu satu-satunya cara mujarab, apabila kalian berempat
berkeliaran di sini. Belum lagi anjing besar yang selalu lapar itu," kata Joan
sambil bekerja terus. "Liburan yang lalu aku menyimpan perkedel daging, lidah
sapi setengah potong serta kue tarcis di atas rak di situ. Maksudku akan
kuhidangkan untuk makan keesokan harinya. Tapi ketika aku kembali dari berjalan-
jalan, semua makanan itu sudah licin tandas."
"Lho, kami menyangka Anda sengaja meninggalkannya di situ untuk makan malam
kami," kata Julian. Ia merasa kurang enak, karena dipersalahkan mengambil
makanan. "Yang sudah sudahlah - tapi sekarang tak ada kesempatan lagi bagi kalian untuk
mengulangi perbuatan itu," kata Joan tegas. "Pintu kamar tempat makanan akan
terkunci terus sampai orang tuamu kembali, George. Bisa saja aku sekali-sekali
mengambilkan makanan sedikit untuk mengganjal perut kalian - tapi aku yang akan
membuka pintu itu, dan bukan kalian sendiri!"
George dan ketiga saudara sepupunya pergi lagi dari dapur dengan kecewa. Timmy
membuntut dari belakang. "Yuk, kita berenang saja ke pantai," kata Dick. "Jika aku hendak menepati niatku
berenang enam kali sehari, aku harus bergegas mulai sekarang juga!"
"Kita membawa bekal buah-buahan," kata Anne. "Dan kurasa tukang eskrim nanti
pasti akan lewat di pantai. Jadi kita takkan kelaparan di sana. Sebaiknya kita
tidak langsung memakai pakaian renang, tapi juga kemeja dan celana pendek dulu.


Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Supaya tidak sakit disengat sinar matahari!"
Tak lama kemudian mereka sudah ada di pantai. Mereka mencari tempat yang enak,
lalu menggali lubang untuk dijadikan tempat duduk. Timmy ikut-ikutan menggali.
"Aku tak mengerti untuk apa Timmy membuat lubang," kata George. "Nanti ia toh
masuk ke tempatku, sampai aku kesempitan. Ya kan, Tim?"
Tim mengibas-ngibaskan ekor, lalu menggali pasir dengan giat. Kakinya mengais
begitu sibuk, sehingga anak-anak tersiram pasir yang berhamburan.
"Puahh!" kata Anne sambil meludahkan pasir yang masuk ke mulutnya. "Berhenti,
Tim! Percuma aku menggali lubang kalau begini' Begitu kugali. segera tertimbun
lagi karena perbuatanmu ,"
Timmy berhenti sebentar, lalu menggali lagi. Dalam sekali lubang yang digalinya.
Setelah selesai anjing itu lantas berbaring di dalamnya. Lidahnya terjulur ke
luar. Moncongnya tertarik ke belakang, sehingga nampak seakan-akan nyengir.
"Lihat, Timmy tersenyum," kata Anne. "Aku belum pernah melihat anjing yang bisa
nyengir seperti dia. Tim, aku senang bisa bermain-main lagi denganmu."
Timmy mengibas-ngibaskan ekornya. Sebagai akibatnya, pasir berhamburan masuk ke
dalam lubang yang sedang digali Dick.
Akhirnya keempat anak itu selesai menggali lubang masing-masing. Mereka lantas
merebahkan diri di dalamnya, menikmati kehangatan pasir yang disinari cahaya
matahari pagi. "Sekarang kita makan buah dulu." kata Dick. "Setelah itu baru berenang. Tolong
ambilkan satu untukku, Anne."
Sementara Dick mengulum buah plum yang disodorkan Anne padanya, dilihatnya ada
dua orang berjalan lambat-lambat di pantai. Dick memperhatikan keduanya dengan
mata setengah terpejam. Seorang dewasa dan seorang lagi masih anak-anak. Tapi
keduanya laki-laki. Anak itu kelihatannya serampangan sekali potongannya. Ia memakai celana pendek
yang sudah compang-camping, sedang baju kaos lengan panjangnya kumal. Ia tidak
memakai sepatu. Sedang laki-laki yang dewasa, kelihatannya lebih tak terawat
lagi. Ia berjalan dengan punggung melengkung, kakinya yang satu agak terseret-
seret. Kumisnya acak-acakan. Matanya yang kecil dan licik berkeliaran terus
memperhatikan sepanjang pantai. Mereka berjalan menyusur batas pasang tinggi.
Kelihatannya seperti sedang mencari-cari barang yang dihanyutkan air pasang ke
pasir. Anak laki-laki itu sudah mengepit sebuah kotak tua, satu sepatu basah dan
beberapa potong kayu di bawah ketiaknya.
"Coba lihat kedua orang itu," kata Dick dengan suara pelan pada Julian. "Mudah-
mudahan saja mereka tidak ke mari. Dari jarak sebegini saja, rasanya aku sudah
bisa mencium bau mereka."
Kedua orang itu berjalan terus menyusur pantai, lalu kembali lagi. Julian dan
ketiga saudaranya kaget ketika tahu-tahu mereka datang menghampiri, lalu duduk
di sebelah anak-anak itu. Timmy mulai menggeram.
Tercium bau badan yang jarang mandi. Uahh! Timmy menggeram sekali lagi. Anak
laki-laki itu tak mengacuhkannya. Tapi yang dewasa, nampak agak khawatir.
"Yuk - kita berenang," kata Julian mengajak saudara-saudaranya. Ia agak jengkel,
karena kedua orang itu duduk begitu dekat pada mereka. Padahal pantai begitu
luas dan kosong! Kenapa harus mencari tempat duduk berdekatan dengan orang lain"
Ketika mereka kembali setelah berenang-renang, ternyata laki-laki yang dewasa
sudah tidak ada lagi. Tapi yang masih anak-anak tetap duduk di tempatnya. Ia
bahkan dengan seenaknya duduk dalam lubang yang dibuat oleh George.
"Ayo keluar!" bentak George. Ia marah melihat anak itu berbuat semau-maunya
saja. "Itu lubangku - dan kau juga mengetahuinya!"
"Siapa suruh meninggalkannya tadi," kata anak itu. "Sekarang jadi lubangku,
karena aku yang duduk di sini."
George membungkuk dengan cepat, lalu menyeret anak itu dengan kasar. Seketika
itu juga anak itu bangkit dengan tinju terkepal. George langsung bersiap-siap
pula. Dick datang tergesa-gesa.
"Jangan, George! Kalau harus berkelahi, biar aku saja," katanya, lalu menatap
anak yang merengut di depan George. "Pergi! Kami tak mau kau ada di sini!"
Anak itu mengayunkan tinju kanannya, tepat mengenai Dick pada rahangnya. Dick
kaget, lalu membalas. Anak tak dikenal itu jatuh terpelanting.
"Hah, penakut'" kata anak itu sambil memegang dagunya yang sakit. "Beraninya
memukul anak yang lebih kecil! Aku tak mau berkelahi denganmu. Tapi kalau anak
laki-laki yang satu lagi itu - coba maju, kalau berani'"
"Kau tak bisa berkelahi dengannya," kata Dick. "Dia bukan laki-laki, tapi anak
perempuan. Kau tak boleh berkelahi melawan anak perempuan! Lagipula, anak
perempuan tak pantas berkelahi."
"Siapa bilang'" tukas gelandangan cilik itu, sambil berdiri tegak dan
mengepalkan tinjunya kembali. "Aku juga anak perempuan - jadi bisa saja aku
berkelahi melawannya!"
George berdiri berhadap-hadapan dengan anak laki-laki yang ternyata perempuan
itu. Kedua-duanya bertampang masam. Kedua-duanya mengepalkan tinju. Tampang
mereka mirip sekali! Keduanya berambut ikal dipotong pendek, muka coklat
terbakar sinar matahari. Keduanya bertampang galak! Kelihatannya lucu sekali,
sehingga tiba-tiba Julian tertawa keras-keras dan memisahkan mereka.
"Dilarang berkelahi!" katanya, lalu menatap gelandangan cilik dengan galak.
"Pergi '" bentaknya. "Kaudengar kataku" Ayo cepat pergi dari sini'"
Anak yang tampangnya kayak gelandangan itu menatapnya dengan mata melotot. Tapi
tahu-tahu ia berpaling, lalu lari sambil menangis.
"Ternyata memang anak perempuan," kata Dick sambil nyengir. ''Tapi dia berani.
Aku ditantang olehnya. Yah - pokoknya kita takkan melihatnya lagi di sini!"
Tapi Dick keliru. Bab 3 WAJAH SERAM DI BALIK JENDELA
ANAK-ANAK lantas berbaring kembali dalam lubang masing-masing. Dick meraba-raba
tulang rahangnya. "Keras juga pukulan anak itu," katanya setengah kagum. "Kecil-kecil cabe rawit!"
"Aku tak mengerti, apa sebabnya Julian tak memperbolehkan aku berkelahi
dengannya," tukas George merajuk. "Kan lubangku yang diduduki anak itu. Dia
memang sengaja mencari pertengkaran. Seenaknya saja - huh!"
"Anak perempuan tidak pantas berkelahi," kata Dick. "Sudahlah, jangan keras
kepala, George. Aku tahu kau sama hebatnya seperti anak laki-laki. Caramu
berpakaian seperti laki-laki, dan kalau memanjat pohon pasti sama cepat seperti
aku - tapi kurasa sudah waktunya kau menyadari bahwa bagaimanapun kau toh bukan
anak laki-laki!" George sama sekali tidak senang mendengar kata-kata Dick.
"Tapi aku tak menangis jika dipukul," katanya sambil memutar tubuh, membelakangi
Dick. "Memang betul," kata Dick mengakui. "Kau memang setabah anak laki-laki - jauh
lebih tabah daripada anak tadi. Aku menyesal memukulnya. Baru sekali ini aku
memukul anak perempuan. Mudah-mudahan saja untuk terakhir kalinya!"
"Aku malah senang bahwa kau memukulnya," kata George. "Anak itu jahat. Kalau aku
berjumpa lagi dengannya, pasti akan kukatai."
"Tidak," kata Dick. "Kalau aku kebetulan ada bersamamu saat itu, pasti akan
kucegah. Ia sudah cukup menerima hukuman ketika kupukul tadi."
"Sudahlah, jangan bertengkar terus," sela Anne sambil menghamburkan pasir ke
arah Dick dan George. "Jangan merajuk, George! Waktu dua minggu terlalu pendek - Jangan kita buang-
buang dengan marah-marahan!"
"Nah, itu tukang eskrim datang," kata Julian sambil merogoh kantong celana
renangnya yang tahan terhadap air. "Yuk, kita beli eskrim seorang satu."
Timmy menggonggong sambil memukul-mukulkan ekor ke pasir.
"Ya deh, kau juga dapat satu," kata Dick. "Tapi terus terang saja, aku tak
melihat gunanya membelikan eskrim untukmu. Sekali telan saja, habis! Sama saja
bagimu seperti menelan lalat."
Dan benarlah - dengan sekali jilat saja eskrim Timmy sudah habis. Anjing itu
masuk ke lubang tempat George. Ia menempelkan diri, mengharapkan bagian dari
anak itu. Tapi George mendorongnya ke luar.
"Tidak, Tim," kata George. "Percuma saja kau diberi eskrim. Ayo kembali ke
lubangmu sendiri - aku kepanasan jika kau ikut duduk di sini."
Timmy menurut. Tapi ia tidak pergi ke lubangnya sendiri, melainkan masuk ke
tempat Anne. Anne memberinya eskrim sedikit. Timmy duduk di sisi Anne dengan
lidah terjulur, mengharapkan bagian lagi dari anak itu.
"Eskrimku leleh kena hembusan napasmu, Tim," kata Anne kemudian. "Ayo, pindah
saja sekarang ke tempat Julian!"
Sepanjang pagi anak-anak asyik bermain-main di pantai. Karena tak seorang pun
dari mereka membawa arloji, mereka lantas terlalu cepat pulang untuk makan
siang. Mereka diusir ke luar oleh Joan.
"Pukul satu nanti kalian akan mendapat makan," kata Joan mengomel. "Kan sudah
selalu begitu! Sedang sekarang baru pukul dua belas lewat sepuluh menit, aku
bahkan belum selesai berbenah dalam rumah!"
"Yah - tapi rasanya sekarang seperti sudah pukul satu," kata Anne. Ia kecewa,
karena ternyata masih harus agak lama menunggu. Tapi begitu saat makan siang
tiba, Joan menghidangkan makanan yang serba enak. Juru masak itu memang baik
hati! "Hmmm - begini makanan yang kusukai," kata Dick sambil duduk menghadap meja
makan. "Joan sebenarnya ramah. Cuma aksinya saja sok galak! Persis seperti
Timmy. Anjing yang menggonggong tidak menggigit!"
"Tapi Timmy kalau sudah menggigit, pasti sakit rasanya," kata George sambil
mengambil tiga buah tomat sekaligus. "Dan gigitannya sudah sering menolong kita
dalam keadaan gawat!"
Sambil makan anak-anak itu terkenang pada berbagai petualangan seram yang mereka
alami, pada saat mana gigitan Timmy akhirnya menyelamatkan keadaan.
Sehabis makan mereka bermalas-malasan di pantai, sampai makanan sudah turun ke
perut. Setelah itu mereka berenang lagi. Hari itu benar-benar menyenangkan -
mereka bersantai-santai, sementara matahari menyinarkan cahayanya yang hangat.
George mencari-cari anak perempuan yang tampangnya kayak gelandangan itu. Tapi
anak itu tidak muncul lagi. George agak kecewa. Ia ingin sekali bertengkar
dengannya - apabila tidak diperbolehkan berkelahi dengan kepalan tinju!
Malam itu mereka capek sekali. Julian menguap lebar-lebar ketika Joan datang
mengantarkan minuman coklat dan roti beberapa potong. Melihat Julian sudah
mengantuk, Joan lantas menawarkan diri untuk mengunci semua pintu dan jendela.
"Wah, tak usah, Joan," kata Julian dengan segera. "Terima kasih - tapi mengunci
rumah merupakan pekerjaan laki-laki. Aku bisa diandalkan! Percayalah, semua
pintu dan jendela akan kuperiksa, apakah sudah terkunci atau belum!"
"Baiklah," kata Joan, lalu pergi berbenah di dapur sebelum tidur. Anak-anak naik
ke tingkat atas, menuju ke kamar tidur. Julian ditinggalkan sendiri di bawah,
karena masih harus mengunci pintu dan jendela. Julian anak yang tahu tanggung
jawab. Joan tahu, ia pasti tak kan ceroboh sehingga ada satu jendela yang lupa
dikunci. Didengarnya Julian sibuk, berusaha menutup jendela kecil yang terdapat
di kamar tempat menyimpan makanan.
"Julian," seru Joan dari kamarnya. "Jendela itu tidak bisa ditutup. Kurasa
bingkainya mengembang, karena lembab. Tapi biar sajalah terbuka - toh tak ada
yang bisa masuk lewat situ, karena terlalu kecil lubangnya!"
"Ya deh," kata Julian, lalu pergi ke atas. Di kamar tidur ia menguap lagi.
sehingga Dick sampai ikut-ikut menguap. Dick dan Julian tidur sekamar, sedang
kedua anak perempuan tidur di kamar sebelah. Mereka tertawa mendengar Dick dan
Julian seperti beradu menguap.
"Wah, malam ini tidur kalian pasti pulas," seru Anne dari sebelah. "Kalau ada
maling menyelinap masuk ke rumah, jangan-jangan tak kedengaran!"
"Biar Timmy saja yang memasang kuping," kata Julian sambil menggosok gigi. "Itu
tugasnya! Ya kan, Timmy?"
Timmy menggonggong pelan, lalu berbaring melingkar di kaki tempat tidur George.
Ia selalu tidur di situ. Bibi Fanny sampai sudah bosan melarang George membawa
anjingnya ke kamar tidur. Sebab anak itu selalu menjawab, biar ia melarang tapi
Timmy tetap membandel! Lima detik berikutnya, keempat anak itu sudah mendengkur. Tak ada yang masih
sempat mengucapkan selamat tidur. Bahkan Timmy pun dengan segera memejamkan
mata. Di luar sangat gelap. Awan datang bergulung-gulung, sehingga tak nampak satu
bintang pun di langit. Malam sunyi senyap. Hanya bunyi angin yang terdengar
menghembus di sela-sela daun, diiringi debur ombak laut di kejauhan. Bunyi yang
selalu sam a saja itu menyebabkan semakin mengantuk. Tak ada bunyi lain yang
kedengaran. Tapi apa sebabnya Timmy tiba-tiba terbangun" Matanya terbuka satu, lalu disusul
yang satu lagi. Kupingnya tegak, mendengarkan dengan hati-hati. Tapi kepalanya
masih terjulur di lantai. Ia hanya menajamkan kuping saja.
Tapi akhirnya ia mengangkat kepala, bangun lalu menyelinap menuju pintu. Timmy
keluar dari kamar tidur, menuruni tangga dan menuju ke serambi. Terdengar ketak-
ketik bunyi kukunya di atas ubin. Tapi tak ada yang mendengar, karena semua
sudah tidur nyenyak. Di serambi Timmy tertegun, lalu memasang kuping lagi. Anjing itu merasa yakin
bahwa tadi terdengar sesuatu. Mungkin ada tikus dalam rumah! Timmy mengendus-
endus. Tiba-tiba tubuhnya mengejang. Kelihatannya saat itu seperti patung hidup.
Didengarnya ada yang memanjat tembok rumah. Nah itu, terdengar lagi! Masa tikus
berani sekurang ajar itu"
Di tingkat atas, Anne tiba-tiba terbangun. Ia sendiri tidak tahu apa sebabnya.
Pokoknya tahu-tahu ia terbangun! Ia merasa haus. Tangannya meraba-raba mencari
senter. Begitu, ketemu, langsung dinyalakan. Kebetulan sorotannya terarah ke
jendela. Ketika Anne mengarahkan pandangannya ke sana, ia terkejut setengah mati
sehingga menjerit sekuat-kuatnya.
Senternya terjatuh dari tangannya yang gemetar.
George terbangun mendengar teriakan itu, sedang Timmy cepat-cepat lari ke atas
lagi. "Julian!" jerit Anne ketakutan. "Cepat ke mari! Aku melihat muka orang di
jendela! Orang itu memandang ke dalam. Tampangnya menyeramkan. Ia menatapku!"
George lari ke jendela sambil menyalakan senternya. Tapi di situ tak nampak apa-
apa. Timmy yang ikut menghampiri mengendus-endus ambang jendela yang terbuka.
Anjing itu menggeram. "Dengar - ada orang lari di luar," kata Julian, yang sementara itu sudah muncul
bersama Dick. "Yuk Tim - kita turun! Kau harus mengejarnya!"
Mereka turun ke bawah. Anne juga, karena takut ditinggal sendiri di atas. Pintu
depan dibuka lebar-lebar, dan Timmy langsung memburu ke luar sambil menggonggong
dengan nyaring. Ada muka orang di jendela" Hah - sebentar lagi pasti ia akan tahu, muka siapa
itu! Seenaknya saja mengintip orang tidur.
Bab 4 GANGGUAN DI PANTAI ANAK-ANAK menunggu di ambang pintu yang terbentang lebar. Mereka mendengar Timmy
menggonggong dalam gelap. Kedengarannya marah. Anne gemetar ketakutan, lalu
dirangkul oleh Julian untuk menenangkannya.
"Kayak apa muka orang itu?" tanya Julian.
"Aku tak jelas melihatnya," jawab Anne sambil gemetar. "Aku tadi baru saja
menyalakan senter, dan kebetulan sinarnya mengarah ke jendela. Sesaat menerangi
muka orang itu. Aku cuma melihat matanya yang berkilat-kilat jahat! Kulitnya
coklat sekali - mungkin orang itu berkulit hitam! Hiiih - aku tadi ketakutan
setengah mati!" "Lalu setelah itu ia menghilang?" tanya Julian lagi.
"Entah," jawab Anne. "Aku sangat ketakutan sehingga senter terjatuh dari
tanganku lalu padam. Kemudian George terbangun dan langsung mengejar ke
jendela." "Di mana Timmy waktu itu?" tanya Dick dengan tiba-tiba. Ia heran, apa sebabnya
anjing itu tidak membangunkan mereka dengan gonggongannya. Masa ia tak mendengar
bunyi orang itu memanjat tembok tadi!
"Entah! Cuma ketika aku menjerit, tahu-tahu ia muncul dari luar kamar," kata
Anne. "Mungkin ia sudah lebih dulu mendengar sesuatu, lalu pergi ke luar untuk
memeriksa." "Ya,. kurasa memang itulah yang terjadi tadi," kata Julian. "Sudahlah, kau tak
perlu takut lagi, Anne. Kurasa orang itu gelandangan yang hendak mencuri. Ketika
ditemuinya semua pintu dan jendela di bawah terkunci, ia lantas memanjat ke atas
lewat tanaman menjalar yang ada di luar. Rupanya hendak melihat, barangkali saja
bisa masuk lewat jendela kamar tidur. Timmy pasti akan berhasil membekuknya."
Tapi Timmy tak berhasil. Beberapa saat kemudian anjing itu kembali dengan ekor
terkulai. Sinar matanya menunjukkan bahwa ia bingung.
"Kau tak berhasil mengejarnya, Tim?" tanya George dengan gelisah. Timmy
menggonggong pelan, sementara ekornya masih tetap terkulai ke bawah. George
meraba bulu anjingnya itu. Terasa basah kuyup!
"lho - kau tadi ke mana, sampai basah begini?" seru George heran. "Coba kauraba,
Dick." Dick meraba bulu Timmy, begitu pula Anne dan Julian.


Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rupanya Timmy tadi masuk ke laut," kata Julian. "Itu sebabnya bulunya menjadi
basah kuyup. Kurasa orang yang mungkin maling tadi itu, begitu tahu bahwa ia
dikejar oleh Timmy, lantas lari ke pantai - lalu menyelamatkan diri masuk ke
salah satu perahu yang ada di situ! Cuma itu satu-satunya jalan baginya untuk
menyelamatkan diri."
"Lalu Timmy berenang mengejar, sampai tak kuat lagi," kata George. "Kasihan si
Timmy! Jadi rupanya orang itu berhasil melarikan diri, ya?"
Ekor Timmy bergerak-gerak sedikit. Tampangnya menyedihkan sekali saat itu,
seperti sangat kecewa. Bayangkan- ia mendengar sesuatu, tapi dikiranya tikus -
lalu sekarang orang yang dikejar berhasil melarikan diri! Timmy malu.
Julian mengunci pintu depan, lalu digerendelnya sekaligus. Belum cukup sebegitu
saja, rantai perintang pun dikaitkannya pula ke tempatnya. Sekarang pintu itu
sudah diamankan lipat tiga. Kunci, gerendel dan rantai perintang.
"Kurasa kecil sekali kemungkinannya orang tadi akan datang kembali," katanya
kemudian. "Sekarang ia tahu, di rumah ini ada anjing besar yang galak. Kurasa
kita tak perlu khawatir lagi."
Setelah itu mereka naik lagi ke atas, masuk ke tempat tidur masing-masing. Tapi
agak lama juga Julian masih belum bisa tidur. Walau ia mengatakan pada anak-anak
agar jangan khawatir, tapi ia sendiri sebenarnya was-was. Ia merasa kasihan
melihat Anne tadi ketakutan. Ia pun agak cemas mengingat keberanian maling itu,
yang dengan seenaknya memanjat tembok untuk masuk lewat jendela kamar tidur.
Rupanya orang itu benar-benar nekat!
Tapi segala keributan yang terjadi malam itu sama sekali tak terdengar oleh
Joan. Juru masak itu tidur pulas. Dan Julian juga tak mau membangunkannya.
"Tidak," katanya pada diri sendiri. "Sebaiknya jangan diceritakan pada Joan.
Sebab nanti ia mengirim kawat pada Paman Quentin, atau berbuat semacam itu!"
Jadi Joan sama sekali tidak tahu-menahu tentang kejadian malam itu. Keesokan
pagi anak-anak mendengar suaranya bernyanyi-nyanyi dengan gembira sambil
menyiapkan sarapan untuk mereka di dapur.
Ketika bangun, Anne agak malu mengingat kepanikannya malam itu. Muka jahat di
jendela tinggal samar-samar saja dalam ingatannya sekarang. Ia bahkan agak ragu,
jangan-jangan ia tadi malam cuma mimpi saja. Ditanyakannya pada Julian,
mungkinkah ia cuma mimpi buruk melihat muka yang menyeramkan itu.
"Mungkin saja," kata Julian dengan suara riang. Ia merasa lega bahwa Anne
menyangka ia cuma mimpi tadi malam. "Kurasa memang begitulah keadaan sebenarnya!
Sudahlah, kau tak perlu cemas mengingat-ingatnya terus."
Julian tak menceritakan pada Anne bahwa ia sudah memeriksa tanaman menjalar yang
tumbuh lebat pada tembok dekat jendela kamar tidur. Dan di situ terlihat dengan
jelas bekas-bekas panjatan. Sebagian batang tanaman yang semula melekat pada
tembok terenggut lepas. Dan di bawah jendela berserakan daun-daun yang putus
dari rantingnya. Julian menunjukkan penemuannya itu pada Dick.
"Memang ada orang di sini kemarin malam," katanya pada adiknya itu. "Orang itu
benar-benar nekat, berani dengan seenaknya memanjat ke jendela. Rupanya orang
itu sangat cekatan, jago memanjat!"
Tapi di kebun tak ditemukan jejak kaki. Julian memang tak memperkirakan akan
melihatnya, karena tanah di situ keras dan kering.
Pagi itu cuaca kembali panas dan kering.
"Kuusulkan hari ini kita melakukan kesibukan yang sama seperti kemarin," kata
Dick. "Kita mandi-mandi ke pantai! Joan kita bujuk agar mau membikinkan bekal
piknik." "Aku akan membantunya menyiapkan," kata Anne. Bersama George ia lantas pergi ke
dapur. Beberapa saat kemudian keduanya sudah sibuk membungkus makanan.
"Wah - makanan sebanyak itu, kurasa cukup untuk mengenyangkan perut dua belas
orang," kata Joan sambil tertawa. "Ini, satu botol limun bikinanku sendiri,
untuk bekal minum kalian nanti. Kalian juga boleh membawa buah plum yang sudah
masak, sebanyak kalian mampu! Malam ini aku tidak akan menyiapkan makanan lagi -
karena kalian pasti masih kenyang sehabis makan sebanyak itu."
George dan Anne menatap juru masak itu dengan perasaan kaget bercampur cemas.
Apa - mereka tak mendapat makan malam" Tapi mereka segera tertawa lega, setelah
melihat mata Joan berkilat-kilat jenaka.
"Sebelum berangkat, kami akan membenahi tempat tidur dan kamar kami dulu," kata
Anne. "Anda perlu sesuatu yang bisa kami ambilkan dari desa?"
"Terima kasih, tapi hari ini aku tak perlu apa-apa," jawab Joan. "Cepatlah
berbenah, dan setelah itu pergi ke pantai. Ah - enak, hari ini aku bisa bekerja
seorang diri dengan tenang. Mula-mula aku akan membereskan lemari-lemari, dan
setelah itu aku akan bersantai-santai!"
Sehabis membereskan kamar, anak-anak berangkat ke pantai. Mereka berjalan sambil
mengobrol dan tertawa-tawa. Anne kelihatannya sudah melupakan ketakutannya tadi
malam. Dan kalau ia mengingatnya juga, pasti ingatan itu segera lenyap. Karena
tak lama kemudian terjadi sesuatu!
Anak perempuan yang berpakaian compang-camping kemarin, ternyata ada lagi di
pantai! Anak itu sendirian. Ayahnya - atau entah siapa orang dewasa yang ada
bersamanya waktu itu, sekarang tidak nampak.
George paling dulu melihat anak itu. Mukanya langsung cemberut. Julian melihat
perubahan muka saudara sepupunya itu. Dan sesaat kemudian ia juga melihat anak
perempuan yang mengganggu mereka kemarin. Dengan segera Julian mengambil
keputusan. Diajaknya ketiga saudaranya pergi ke beting karang yang menonjol ke
tengah laut, dikelilingi genangan air yang tenang.
"Hari ini kita di sini saja," katanya. "Udara panas sekali, pasti enak duduk-
duduk di tempat teduh, di balik karang ini. Nah, bagaimana jika di sini?"
"Boleh saja," kata George. Walau agak jengkel, ia juga geli melihat Julian
selalu bersikap tegas. "Jangan khawatir, aku takkan mau berurusan lagi dengan
anak perempuan yang badannya bau itu."
"Untunglah kalau begitu," kata Julian. Tempat yang mereka pilih tak kelihatan
dari tempat anak perempuan tadi. Di belakang dan di sekeliling mereka terdapat
batu-batu besar yang menghalangi pandangan. Julian memilih tempat duduk di suatu
sudut sempit yang nyaman. Batu-batu bertonjolan di sekelilingnya, melindungi
dari gangguan matahari dan angin.
"Aku mau membaca-baca dulu, sebelum mandi," kata Dick. "Aku tadi berbekal buku-
cerita detektif. Aku ingin tahu, siapa sebetulnya yang menjadi pencuri."
Dick mengatur duduk, sehingga dirasakannya nyaman. Lalu ia mulai membuka buku
yang dibawanya. Anne mencari mawar laut dalam genangan air di sekeliling beting.
Ia sangat menyukai binatang berkelopak, yang mirip kembang tapi sebetulnya bukan
itu. Setelah ketemu, Anne menaburkan remah roti di atasnya. Dengan asyik
diperhatikannya betapa kelopak binatang itu mengatup, sehingga remah-remah
terisap ke dalam. George merebahkan diri ke batu, sambil mengelus-elus punggung Timmy. Julian
sibuk menggambar pemandangan di depannya. Suasana saat itu tenang dan damai.
Tiba-tiba George terkejut. Dirasakannya ada sesuatu benda mengenai pinggangnya.
Ia terduduk, sementara Timmy juga ikut bangun.
"Apa itu tadi?" kata George tersinggung. "Kau yang melempar aku tadi, Dick?"
"Bukan aku," kata Dick sambil membaca terus.
Saat itu ada lagi sesuatu mengenai tengkuk George. Anak itu meraba ke situ
sambil berseru, "Siapa sih yang melempar-lempar?"
Dipandangnya benda yang mengenai tengkuknya tadi. Suatu benda kecil bulat
terletak di pasir, lalu diambilnya.
"Lho - biji buah plum," katanya heran. Tepat pada saat itu ada lagi yang
mengenai bahunya. George marah, lalu meloncat bangkit.
Tapi ia tak melihat siapa-siapa. George menunggu, tapi setelah itu tak ada lagi
biji plum yang melayang. "Wah, sayang aku tak bisa menggambar muka, George," kata Julian sambil nyengir.
"Tampangmu galak sekali. Aduh!"
Julian mengaduh bukan karena melihat tampang George yang cemberut. Tidak! Ia
berseru karena ada biji plum yang mengenai belakang telinganya. Seketika itu
juga Julian meloncat bangun. Dari belakang sebuah batu besar terdengar suara
cekikikan. Arahnya agak di sebelah atas tempat anak-anak duduk. Dalam sekejap
mata George sudah meloncat ke batu itu.
Di belakang batu duduk anak perempuan yang berpakaian compang-camping. Kantong
celananya penuh dengan biji plum. Beberapa di antaranya jatuh berguliran di
pasir, sementara anak itu berguling-guling sambil tertawa. Begitu melihat kepala
George muncul di atas batu, ia meringis ke arahnya.
"Kenapa kau melempar-lempar kami dengan biji plum?" bentak George.
"Aku tidak melempar," balas anak itu.
"Jangan bohong," tukas George.
"Aku tidak bohong. Aku bukan melempar, tapi meludahkannya," kata anak itu lagi.
"Lihatlah!" Ia memasukkan sebiji ke dalam mulut, menarik napas lalu menyemburkan
biji plum itu. Biji itu melayang lurus ke arah George dan tepat mengenai
hidungnya. Tampang George nampak sangat kaget, sehingga Dick dan Julian
terbahak-bahak melihatnya.
"Aku berani bertanding adu jauh lawan siapa saja di antara kalian," kata anak
itu. "Ini biji plum - kalau ada yang mau mencoba."
"Ayo!" kata Dick dengan segera. "Kalau kau menang, kau akan kutraktir eskrim.
Tapi kalau kalah, kau harus pergi dari sini dan jangan mengganggu kami lagi.
Setuju ?" "Boleh saja," kata anak perempuan itu dengan mata berkilat-kilat. "Sediakan saja
uangmu, karena aku pasti menang!"
Bab 5 JO - SI GELANDANGAN
GEORGE heran terhadap Dick, kenapa ia mau ditantang anak perempuan jorok itu
untuk bertanding adu jauh meludahkan biji buah-buahan!
"Tenang sajalah," kata Julian dengan suara pelan padanya. "Kau kan tahu, Dick
paling jago dalam pertandingan seperti itu. Ia pasti menang! Ialu kita bisa
menyuruh anak perempuan itu pergi karena sudah kalah."
"Kau konyol, Dick!" kata George dengan suara lantang. Ia tak mau menerima
penjelasan Julian. Konyol '"
"Siapa yang tahun lalu ingin mengalahkan aku bertanding adu jauh menyemburkan
biji ceri?" balas Dick dengan segera. "Sudahlah, jangan terlalu sok, George!"
Anne kembali dengan langkah lambat dari tepi air. Ia heran melihat saudara-
saudaranya semua berdiri di atas Datu. Sementara itu, tahu-tahu biji buah plum
berhamburan ke sekitarnya. Anne tertegun. Kemudian ia terpekik, karena lengannya
kena biji plum. Ternyata anak perempuan yang dikatakan jorok oleh George, menang jauh. Paling
sedikit satu meter lebih jauh dari biji yang diludahkan oleh Dick. Anak itu
merebahkan diri ke batu. Ia tertawa. Nampak barisan giginya yang putih bersih.
"Sekarang kau utang eskrim padaku," katanya pada Dick. logatnya kedengaran agak
aneh. Mungkin dia orang Wales, pikir Julian. Dick memandang anak perempuan itu
dengan perasaan kagum. "Jangan khawatir, nanti kau pasti kutraktir eskrim," kata Dick. "Belum pernah
aku dikalahkan sampai sejauh itu! Bahkan oleh Stevens juga tidak - padahal dia
anak yang paling besar mulutnya di sekolah."
"Kau memang konyol," kata Anne kesal. "Ayo, belikan dia eskrim, dan sudah itu
suruh dia pulang." "Tidak! Aku akan memakannya di sini," kata anak perempuan itu. Saat itu
tampangnya sama keras kepalanya seperti George, apabila menginginkan sesuatu
yang dianggapnya pasti takkan bisa diperoleh.
"Sekarang tampangmu persis George!" kata Dick.
Detik berikutnya ia sudah menyesal berkata begitu, karena George menatapnya
dengan mata melotot. "Apa!" Anak jorok berambut acak-acakan itu, tampangnya kayak aku?" tukasnya.
"Uahh! Berdiri dekatnya saja aku tak mau!"
"Tutup mulutmu!" bentak Dick. Sedang anak perempuan yang dicerca, melongo.
"Apa maksudnya?" tanyanya pada Dick. "Aku jorok" Kayak tampangnya sendiri
cantik!" "Nah, penjual eskrim datang," kata Julian cepat-cepat. Ia sudah takut saja kalau
George langsung maju dan menempeleng anak itu. Ia bersiul memanggil tukang
eskrim, yang segera datang ke tempat mereka lalu menyodorkan enam buah eskrim.
"Nah - ini untukmu," kata Julian sambil menyodor- kan satu pada anak perempuan
itu. "Cepat makan, dan sesudah itu pergi!"
Anak-anak duduk di batu sambil menikmati eskrim. George makan sambil merengut.
Sedang Timmy seperti biasa, sekali jilat sudah habis eskrimnya.
"Lihat, cepat sekali ia memakan esnya," kata anak perempuan itu heran. "Itu kan
mubasir, eskrim yang enak ditelan begitu saja. Nih - kubagi sedikit untukmu!"
George sangat kesal melihat Timmy mau menjilat eskrim yang dilemparkan anak
perempuan itu padanya. Masa anjingnya mau menerima pemberian dari anak yang tak
disukai olehnya! Sedang Dick agak geli melihat tingkah laku anak perempuan yang berpakaian lusuh
itu. Anak itu agak aneh. Tingkah lakunya berani, seperti anak laki-laki.
Rambutnya yang ikal dipotong pendek, sedang matanya yang tajam kelihatan
memandang dengan awas. Tapi Kemudian Dick melihat sesuatu yang menyebabkan ia
agak kurang enak. Pada dagu anak itu nampak bekas pukulan.
"He, kau rupanya memar kena pukulanku kemarin," Kata Dick.
"Memar" Ah, maksudmu benjolan di daguku ini," kata arak perempuan itu sambil
menjamah dagunya. "Ya - ini bekas pukulanmu kemarin, yang menyebabkan aku
terpelanting. Tapi tak apa - aku sudah sering mengalami pukulan yang lebih keras
lagi. Pukulan ayahku."
Dick menyatakan penyesalannya. "Sungguh, kemarin kukira kau anak laki-laki,"
katanya. "Siapa namamu?"
"Jo," kata yang ditanya.
"Lho - itu kan nama anak laki-laki," kata Dick.
"George juga nama laki-laki. Tapi katamu, dia anak perempuan," balas Jo sambil
menjilat-jilat bekas eskrim di jarinya.
"Ya, tapi George itu singkatan dari Georgina," kata Anne. "Kalau Jo, singkatan
dari nama apa?" "Entah," jawab Jo. "Aku belum pernah mendengar kepanjangannya. Aku cuma tahu aku
anak perempuan, dan namaku Jo. Habis perkara!"
"Mungkin kepanjangan namamu Josephine," kata Julian. Mereka lantas memandang
anak yang mungkin bernama Josephine itu. Ah tidak cocok! Nama itu terlalu
panjang dan terlalu manis untuknya. lebih pantas jika singkat saja - Jo!
"Aneh," kata Anne kemudian. "Tapi Jo memang benar mirip denganmu, George! Rambut
sama-sama pendek dan ikal, cuma rambut Jo lebih acak-acakan. lalu kulit sama-
sama coklat terbakar sinar matahari, dan bahkan hidung kalian pun keduanya
mencuat ke atas ..."
"Dan dagu sama-sama terangkat! Bahkan mata pun dua-duanya melotot. tampang sama
cemberutnya!" kata Dick menambahkan. George semakin mendelik mendengar kata-kata
itu. karena sama sekali tak disenanginya.
"Ya, tapi badanku tidak sekotor dia dan ba-." Dick cepat-cepat menyela, memotong
George yang mencerocos dengan marah.
"Mungkin Jo tidak punya sabun untuk membersihkan badan, dan juga tidak punya
sikat rambut." kata Dick. "Kurasa kalau sudah mandi, dia akan lumayan. Kau tidak
boleh menghina, George."
George menyentakkan tubuhnya. membelakangi Dick. Saudara sepupunya yang satu itu
benar-benar keterlaluan. membela anak jorok itu. Demikian pikir George.
"Kenapa dia tidak pergi saja dari sini?" tukasnya. "Atau mungkin mau terus-
terusan di sini sepanjang hari?"
"Aku pergi apabila aku sendiri mau," kata Jo. Tampangnya semakin cemberut ketika
berkata begitu Mirip sekali dengan George, sehingga Julian dan Dick kaget lalu
tertawa. Jo ikut tertawa. Tapi George mengepalkan tinju, menahan marah. Anne
sudah kebingungan saja. Ia mengharapkan agar Jo mau pergi, supaya suasana tenang
kembali. "Aku suka pada anjing itu," kata Jo sekonyong-konyong, lalu menepuk-nepuk kepala
Timmy yang berbaring di sisi George. Seketika itu juga George berbalik.
"Jangan sentuh anjingku!" bentaknya. "Dia juga tidak suka padamu'"
"Ah - siapa bilang," balas Jo. "Anjing selalu senang padaku. Kucing juga. Aku
bisa dengan gampang saja memanggil anjingmu supaya datang."
"Coba kalau bisa!" tukas George. "Tak mungkin Timmy mau datang! Kau tidak mau
kan, Tim?" Jo tetap berada di tempatnya. Tiba-tiba ia mendengking-dengking pelan,
kedengarannya seperti suara anak anjing yang mencari induknya. Seketika itu juga
kuping Timmy terangkat ke atas. Dipandangnya Jo dengan heran. Jo berhenti
menirukan suara itu, lalu mengulurkan tangannya.
Timmy memandang tangan Jo sesaat, lalu berpaling. Tapi ketika terdengar lagi
dengkingan pelan, anjing itu memasang kuping kembali. Jo ditatapnya dengan penuh
perhatian. Anak itu bisa berbahasa anjing! Makhluk jenis apa itu" Manusia
bersuara anjing - aneh! Jo menelungkup sambil mendengking-dengking terus.. Kedengarannya seperti suara
anak anjing yang kesakitan, atau sedang sedih. Timmy menghampiri lalu duduk di
dekatnya. Kepalanya dimiringkan, seperti heran. Tiba-tiba ia membungkuk lalu
menjilat muka yang ditutupi dengan tangan. Seketika itu juga Jo duduk lagi.
Dipeluknya leher Timmy. "Ke mari Tim!" panggil George. Ia agak cemburu.
Timmy langsung membebaskan diri dari pelukan Jo, alu datang ke tempat George


Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk. Jo tertawa. "Nah, apa kataku tadi," katanya. "Dengan gampang saja dia bisa kusuruh datang.
Anjing kayak apa pun bisa kupanggil dengan cara begitu."
"Kenapa bisa begitu?" tanya Dick tercengang. Baru sekali itu ia melihat Timmy
mau berteman dengan orang yang tak disukai oleh George.
"Aku sendiri juga tidak tahu," kata Jo sambil mendorong rambutnya ke belakang.
"Kurasa itu bakat keluarga. Ibuku dulu bekerja di sirkus. Ia melatih anjing yang
akan ditampilkan dalam pertunjukan. Dulu anjing kami sangat banyak. Semuanya
bagus-bagus. Aku sayang sekali pada anjing-anjing itu."
"Di mana ibumu sekarang?" tanya Julian. "Masih di sirkus?"
"Tidak - ibuku sudah meninggal," jawab Jo. "Setelah itu aku pergi dari sirkus,
ikut dengan ayahku. Kami punya kendaraan karavan. Ayah dulu akrobat. Tapi lalu
berhenti, setelah kakinya cedera."
Julian dan saudara-saudaranya teringat bahwa laki-laki dewasa kemarin berjalan
dengan satu kaki agak terseret-seret. Mereka memandang Jo sambil diam. Mereka
membayangkan, seperti apa kehidupan anak itu.
"Anaknya kotor! Mungkin pintar bohong dan mencuri, tapi juga berani," pikir
Julian. "Bagaimanapun, aku akan senang apabila ia cepat pergi dari sini."
"Aku menyesal telah memukulnya kemarin," pikir Dick. "Aku kepingin tahu
bagaimana rupanya jika sudah mandi! Kurasa tak ada salahnya apabila ia
diperlakukan dengan ramah."
Anne merasa kasihan pada anak itu. Tapi ia tidak suka padanya.
"Aku tak percaya pada omongannya!" pikir George dengan marah. "Semuanya bohong!
Ia pembohong besar. Huh - kenapa Timmy tadi mau datang padanya" Memalukan! Aku
kesal sekali padanya."
"Di mana ayahmu sekarang?" tanya Julian kemudian.
"Sedang pergi, hendak bertemu dengan seseorang," jawab Jo dengan samar-samar.
"Untung saja - karena sepagi tadi dia marah-marah terus. Aku lantas bersembunyi
di bawah karavan kami."
Anak-anak terdiam mendengarnya.
"Bolehkah aku di sini bersama kalian sampai ayahku kembali?" tanya Jo dengan
tiba-tiba. "Kalau kalian menghendaki, aku mau mencuci badan dulu. Aku kesepian
sekali hari ini." "Tidak - kami tidak suka kau ada di sini," kata George yang sudah tidak bisa
menahan marahnya. "Betul kan, Anne?"
Anne tidak sampai hati menyinggung perasaan siapa pun Juga. Ia agak ragu, tapi
kemudian disetujuinya pendapat George. Dan Julian juga begitu.
"Betul," katanya. "Kurasa sudah waktunya kau pergi sekarang, Jo. Sudah cukup
lama kau bersama kami."
Jo memandang Dick dengan sedih. Ia meraba-raba dagu, seakan-akan bekas pukulan
Dick terasa sakit lagi. Dick menjadi tidak enak karenanya. Ia memandang ke
saudara-saudaranya. "Kenapa dia tidak bisa tinggal di sini dan ikut makan?" katanya. "Kan bukan
salahnya bahwa ia kotor dan..dan ...."
"Sudahlah!" kata Jo dengan tiba-tiba sambil berdiri "Aku pergi saja! Itu ayahku
datang!" . Anak-anak melihat seorang laki-laki datang di kejauhan. Kakinya yang satu agak
terseret-seret geraknya. Ia melihat Jo bersama anak-anak, lalu bersiul keras den
melengking tinggi. Jo mencibir ke arah anak-anak.
"Aku tak suka pada kalian!" katanya sengit. Kemudian ia menuding Dick. "Cuma dia
saja yang kusenangi - karena dia baik hati. Tapi yang lain ...." Jo mencibir
sekali lagi,lalu lari ke arah ayahnya. Larinya cepat sekali, sehingga terdapat
kesan seakan-akan kakinya tak menyentuh tanah.
"Aneh sekali anak itu," kata Julian. "Kurasa kita masih akan berurusan lagi
dengannya." Bab 6 KEJADIAN DI MALAM HARI
KETIKA hari mulai gelap. Anne mulai ketakutan. Rupanya ia teringat kembali pada
muka jahat yang dilihatnya di jendela kemarin malam!
"Orang itu kan tak datang lagi, Ju?" Berulang-ulang pertanyaan itu diajukannya
pada abangnya yang tertua.
"Tentu saja tidak, Anne. Tapi jika kauingini, aku bisa tidur di tempat George
malam ini," jawab Julian. Anne berpikir-pikir sebentar. Lalu menggeleng.
"Ah. tidak usah," katanya. "Aku lebih senang tidur ditemani George - dan Timmy.
Maksudku, aku dan George - dan mungkin juga kau sendiri - bisa takut melihat
muka yang jelek. Tapi Timmy pasti tidak! Kalau muka itu muncul lagi di jendela,
ia akan menyambarnya dengan segera."
"Betul juga katamu," kata Julian. "Baiklah kalau begitu. Kau tak perlu kutemani!
Tapi lihat sajalah, pasti tak terjadi apa-apa malam ini. Dan kalau kau mau bisa
saja jendela-jendela kamar tidur kita kunci semua. Meski hawa di dalam akan
panas, tapi dengan begitu kita akan tahu pasti bahwa tak mungkin ada orang bisa
menyelinap masuk." Malam itu Julian bukan cuma menutup semua pintu dan jendela di bawah seperti
malam sebelumnya, tapi semua yang ada di tingkat atas juga dikunci olehnya.
Hanya jendela kecil dalam kamar tempat menyimpan makanan saja yang dibiarkan
terbuka, karena memang tidak bisa ditutup.
"Lalu bagaimana dengan jendela kamar Joan?" tanya Anne.
"Joan" Ah, dia kan selalu tidur dengan jendela tertutup rapat, tak peduli musim
panas atau musim salju," kata Julian sambil nyengir. "Orang desa memang biasa
begitu! Menurut sangkaan mereka, udara malam berbahaya terhadap kesehatan.
Sudahlah, sekarang tak ada lagi yang perlu kautakuti!"
Anne masuk ke tempat tidur dengan perasaan lega. George menarik tirai sehingga
jendela-jendela tertutup semua. Jadi kalaupun muka yang kemarin muncul kembali
di balik jendela, mereka takkan bisa melihatnya!.
"Tolong bawa Timmy berjalan-jalan sebentar, ya Julian?" seru George dari dalam
kamar. "Anne tak mau kutinggal, biar sebentar saja untuk mengajak Timmy
berjalan-jalan. Kau tak perlu ikut keluar. Kaubukakan saja pintu untuknya. Nanti
dia akan kembali dengan sendirinya!"
"Baiklah," seru Julian menjawab dari bawah, lalu membukakan pintu depan. Timmy
pergi ke luar dengan ekor dikibas-kibaskan. Ia paling senang kalau dikeluarkan
untuk terakhir kalinya malam-malam. Pada saat selarut itu banyak sekali binatang
malam yang berkeliaran dalam kebun. Timmy mengendus-endus ke sana sini, mencium
bau tikus, landak, kelinci dan macam-macam lagi.
Agak lama juga Timmy ada di luar.
"Timmy belum masuk?" seru George dari atas tangga. "Coba kaupanggil, Ju. Aku
sudah mau tidur." "Jangan ribut," kata Julian. Ia ingin menyelesaikan buku yang sedang dibaca saat
itu. "Sebentar lagi kan datang juga."
Tapi ketika Julian selesai membaca, ternyata Timmy masih belum masuk ke dalam
rumah. Julian pergi ke pintu lalu bersiul-siul memanggilnya. Ia mendengarkan
sebentar. Tapi tak terdengar langkah Timmy mendekat. Karena itu ia lantas
bersiul sekali lagi. Kemudian barulah terdengar bunyi langkah berlari-lari di atas batu alas jalan
kecil yang menuju ke pintu depan.
"Ah, kau datang juga akhirnya, Tim," kata Julian. "Ke mana saja kau tadi"
Mengejar kelinci ya!"
Timmy mengibas ekor dengan gerakan pelan. Ia tidak melonjak minta ditepuk
kepalanya seperti biasa. "Kau kelihatannya habis berbuat nakal, ya!" kata Julian lagi. "Ayo cepat, naik
ke atas! Dan ingat, nanti jika kau mendengar sesuatu kau harus segera
menggonggong." Timmy menggonggong pelan, lalu naik ke tingkat atas. Sambil menghembuskan napas
panjang, anjing itu merebahkan diri di kaki tempat tidur George.
"Wah, kau tadi makan apa, Tim?" tanya George dari tempat tidur. Tapi Timmy tidak
menjawab lagi. Anjing itu langsung tidur. Setengah jam kemudian George terbangun
karena dengkuran Timmy. "Jangan ribut," kata George kesal. Anne kaget mendengar suaranya, lalu
terbangun. "Ada apa, George?" bisik anak itu dengan jantung berdebar-debar karena takut.
"Tidak ada apa-apa, cuma aku tidak bisa tidur karena dengkuran Timmy. Dengar
sajalah sendiri!" kata George jengkel. Disodoknya Timmy dengan ujung kaki.
"Ayo bangun - jangan mendengkur sekeras itu."
Timmy bergerak sedikit, tapi lantas tidur lagi. Tapi setidak-tidaknya ia
berhenti mendengkur, sehingga George dan Anne bisa ikut pulas.
Tengah malam Julian terbangun. Ia merasa seperti mendengar barang jatuh. Tapi
karena mendengar dengkuran Timmy yang pelan lewat pintu antara kedua kamar tidur
yang terbuka, ia merasa lega lalu berbaring lagi.
Jika tadi benar-benar ada bunyi asing, tentunya Timmy juga sudah mendengarnya.
Itu sudah pasti! Kata George, Timmy pada saat tidur pun selalu bisa mendengar
dengan tajam. Setelah itu Julian tak mendengar apa-apa lagi, sampai saat Joan turun ke bawah
pukul tujuh pagi. Didengarnya juru masak itu pergi ke dapur dan menyalakan api.
Julian memutar tubuh, lalu pulas kembali. Tapi sekitar dua puluh menit kemudian
ia terbangun dengan tiba-tiba. Ada orang menjerit di bawah! Ia terduduk, lalu
langsung melompat turun dan tempat tidur dan lari menuruni tangga. Dick menyusul
di belakangnya. "Coba lihat ini! Kamar kerja paman kalian diobrak-abrik, semua laci tumpah
isinya! lemari besi juga dibongkar -" Joan berkeluh kesah sambil meremas-remas
tangan, sementara matanya menatap keadaan ruangan itu yang acak-acakan. "Siapa
orangnya yang bisa masuk ke mari malam-malam - padahal semua pintu dan jendela
sudah terkunci rapat!"
"He, rupanya ada orang yang mencari sesuatu di sini," kata Dic'k cemas."Semua
dibongkarnya! Sampai-sampai lemari besi ikut dibuka, dan laci-laci ditarik ke
luar sehingga isinya berantakan!"
"Bagaimana cara orang itu masuk?" kata Julian bingung. Cepat-cepat diperiksanya
semua pintu dan jendela. Kecuali pintu dapur yang menurut keterangan Joan dibuka
sendiri olehnya ketika ia turun tadi, ternyata semua pintu dan jendela masih
terkunci rapat. Sementara itu Anne muncul di pintu.
"Ada apa?" tanyanya sambil memandang berkeliling dengan ketakutan. Tapi Julian
tak mengacuhkannya. Ia masih bingung, bagaimana caranya orang tak dikenal itu
bisa masuk" Itulah yang ingin diselidikinya dengan segera. Mungkin lewat salah
satu jendela di atas! Mungkin ada yang dibuka lagi, setelah dikuncinya sendiri
kemarin malam. Mungkin jendela di kamar George dan Anne"
Tapi tidak - tidak satu pun yang terbuka di situ. bahkan jendela kamar Joan pun
masih terkunci. Ketika ,a menjengukkan kepala ke kamar George, tiba-tiba
terlintas suatu pikiran dalam otaknya. Kenapa Timmy tidak menggonggong" Biar
maling tadi malam bekerja pelan mungkin, tapi pasti masih ada sedikit suara yang
kedengaran. Ia sendiri masih sempat terbangun kali, karena merasa mendengar
sesuatu. Tapi kenapa Timmy tidak"
Sementara itu George berusaha membangunkan Timmy yang masih tidur terus.
"Ju! Ju! Ada apa dengan Timmy" Ia tidak mau bangun walau sudah kudorong-dorong,"
kata George cemas. "Dengarlah - napasnya berat sekali kedengarannya. Ada apa di
bawah" Apa yang terjadi tadi?"
Sambil memeriksa Timmy, Julian bercerita pada George kenapa mereka ribut-ribut
di bawah. "Ada orang masuk tadi malam - kamar kerja ayahmu acak-acakan - semua dibongkar,
sampai-sampai lemari besi ikut dibongkar. Entah lewat mana orang itu bisa
masuk!" "Aduh, gawat!" kata George dengan muka pucat karena kaget. "Dan ada sesuatu yang
tidak beres dengan Timmy. Ia tidak bangun tadi malam, ketika orang itu masuk -
dia sakit, Julian!" "Tidak! Bukan sakit, tapi dibius orang," kata Julian sambil menarik kelopak mata
Timmy ke atas. "Karena itu rupanya ia begitu lama di luar tadi malam ! Ada orang
memberi makanan yang telah diberi obat bius padanya. Mungkin dimasukkan dalam
daging. Timmy memakannya, lalu tidur pulas sehingga tak mendengar apa-apa.
Sekarang pun ia belum bisa bangun!"
"'Tapi bagaimana sampai ia bisa mau menerima makanan dari orang yang tak dikenal
pada malam hari?" tanya George gelisah mengingat nasib anjing kesayangannya.
"Mungkin daging itu ditaruh di tanah, dengan harapan akan dimakan oleh Timmy,"
kata Julian. "Sekarang aku mengerti apa sebabnya ia kelihatan seperti malu,
ketika masuk lagi ke rumah malam tadi. Ia tak melonjak minta ditepuk kepalanya,
seperti yang biasa dilakukan olehnya."
"Aduh! Ayo dong, Tim, bangunlah," kata George sambil menggoyang-goyang tubuh
anjingnya. Timmy mengerang, lalu pulas lagi.
"Biarkan saja dulu," kata Julian. "Nanti pasti akan bangun dengan sendiri. Ia
bukan diracun, tapi dibius orang. Sekarang kita turun saja dulu, untuk melihat
kamar kerja ayahmu yang acak-acakan dibongkar orang!"
George kaget sekali ketika melihat keadaan kamar kerja itu.
"Aku merasa pasti, pencuri itu tentunya mencari kedua buku catatan yang dibawa
Ayah dari Amerika," katanya. "Kata Ayah, negara-negara lain pasti akan sangat
senang apabila bisa mendapat catatannya itu. Sekarang - apa yang harus kita
lakukan?" "Sebaiknya kita memanggil polisi," kata Julian serius. Perkara seperti ini,
tidak bisa kita tangani sendiri. Kau tahu alamat orang tuamu di Spanyol?"
"Tidak," kata George setengah menangis. "Kata mereka, sekali ini mereka benar-
benar ingin berlibur. Karenanya surat-surat tak perlu disusulkan ke sana. Dan
mereka tak mau meninggalkan alamat, sampai mereka menetap di salah satu tempat
untuk beberapa hari. Kalau sudah ada alamat tetap untuk sementara, mereka akan
mengirimkan kawat." "Yah - kalau begitu kita terpaksa memberi tahu Polisi," kata Julian. Tampangnya
serius sekali saat itu. George melirik ke arah saudara sepupunya. Kalau sudah
begitu, Julian nampak seperti orang dewasa. Diperhatikannya pemuda itu berjalan
menuju serambi dalam untuk menelepon kantor polisi. Joan merasa lega mendengar
keputusan Julian. "Ya, betul - kita harus memanggil polisi," kata juru masak itu. "Aku kenal
mereka. Yang satu namanya Nilkins. Sedang yang satu lagi, yang mukanya merah -
ah, siapa lagi namanya" Ah ya, Pak Donaldson. Sebaiknya aku menjerang kopi saja
sekarang." Joan sudah tidak lesu lagi kelihatannya, karena membayangkan akan bisa
menyuguhkan kopi panas pada dua orang polisi yang akan mengajukan berbagai
pertanyaan penting padanya. Dan Joan sudah bersiap-siap untuk memberikan
jawaban! Juru masak itu bergegas masuk ke dapur.
Sementara itu anak-anak masih memandang kamar kerja yang acak-acakan dengan
bingung. Bagaimana kamar itu bisa dibereskan lagi" Tak ada yang bisa tahu apa
yang hilang, selama Paman Quentin belum pulang. Pasti ia akan marah-marah
melihat kamar kerja diobrak-abrik orang.
"Mudah-mudahan tak ada barang penting yang hilang," kata Dick. "Kelihatannya ada
orang yang tahu bahwa di sini ada sesuatu yang berharga, lalu bertekat hendak
mencurinya!" "Dan ada kemungkinan ia berhasil," kata Julian. "He - itu tentunya polisi yang
datang! Yuk, kita songsong mereka - kurasa pagi ini kita akan terlambat
sarapan!" Bab 7 PEMERIKSAAN POLISI POLISI memeriksa dengan sangat cermat. Jauh sebelum saat makan siang, anak-anak
sudah merasa bosan. Tapi Joan tidak! Ia sibuk menghidangkan kopi, menyuguhkan
kue-kue. Anne bahkan disuruhnya memetikkan buah plum yang sudah masak. Juru
masak itu bangga sekali, karena ialah yang pertama-tama melihat kamar kerja yang
diobrak-abrik pencuri. Polisi datang berdua. Yang satu berpangkat sersan. Orangnya serius, dan teliti
sekali kerjanya. Anak-anak ditanyai satu-satu. Pertanyaan yang diajukan selalu
sama. Sementara itu polisi yang satu lagi memeriksa kamar kerja dengan cermat.
"Mestinya sedang mencari sidik jari," kata Anne. "Aduh - kapan kita bisa bebas
dan berenang di laut?"
Satu hal yang membingungkan setiap orang termasuk Polisi adalah - bagaimana
caranya pencuri bisa masuk Ke dalam rumah! Kedua polisi itu mengelilingi rumah.
Mereka berjalan pelan-pelan. Semua jendela dan pintu diteliti, diperiksa apakah
masih terkunci rapat atau tidak. Akhirnya mereka berhenti di bawah jendela kecil
kamar tempat menyimpan makanan.
"Mestinya ia masuk lewat sini," kata seorang dari mereka.
"Tapi kalau begitu, badannya pasti sekecil monyet," jawab temannya. Dipanggilnya
Anne, yang paling kecil di antara keempat anak itu. "Bisakah kau menyusup masuk
lewat sini?" "Tidak," jawab Anne. "Tapi bisa kucoba, jika Anda menginginkannya." Anne
mencobanya. Tapi baru setengah jalan sudah macet. Julian terpaksa menariknya
keras-keras, supaya bisa turun lagi.
"Anda tahu barang apa yang hilang, Pak?" tanya sersan polisi pada Julian. Anak
itu memang kelihatan seperti orang dewasa pagi itu.
"Tidak - tak seorang pun di antara kami yang tahu," jawab Julian sambil tertawa
dalam hati. Ia dipanggil 'Pak' oleh polisi itu. Benar-benar lucu! Ia
melanjutkan, "Bahkan George juga tidak, padahal ia yang paling mengenal barang-


Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barang kepunyaan ayahnya. Satu-satunya yang kami ketahui, Paman beberapa waktu
yang lalu pergi ke Amerika untuk mengadakan ceramah di sana. Sepulangnya dari
Amerika ia membawa dua buku catatan yang penuh berisi diagram dan catatan
penting. Katanya, negara-negara lain pasti akan senang apabila bisa memperoleh
catatan itu. Dan kukira buku-buku itu disimpannya dalam lemari besi."
"Yah - kalau begitu pasti buku-buku itu yang hilang," kata sersan polisi sambil
menutup notesnya. "Sayang, barang sepenting itu disimpan begitu saja dalam
lemari besi - lalu bepergian tanpa meninggalkan alamat. Tidak bisakah kita
menghubungi paman Anda" Mungkin soal ini penting sekali!"
"Saya tahu," kata Julian. Ia ikut cemas. "Dalam satu atau dua hari ini kami akan
menerima kawat dengan alamatnya - tapi sebelum itu, entah dengan cara bagaimana
kita bisa menghubunginya."
"Baiklah, kalau begitu halnya," kata sersan itu lagi. "Kami pergi saja sekarang.
Tapi setelah makan siang nanti, kami akan kembali lagi dengan seorang juru
potret. Ia akan membuat foto-foto dari kamar yang berantakan itu. Kemudian juru
masak Anda bisa membereskannya lagi. Saya tahu, tangannya sudah gatal melihat
keadaan acak-acakan itu!"
"Mereka akan datang lagi!" kata Anne, ketika kedua polisi itu sudah pergi.
"Ampun - lalu kita harus menjawab semua pertanyaan mereka sekali lagi?"
"Kita bisa saja pergi ke pantai, mengambil perahu lalu berdayung ke laut." kata
Julian sambil tertawa. "Dengan begitu kita takkan bisa mereka ganggu lagi.
Kurasa tak ada lagi keterangan yang bisa kita berikan pada mereka. Tapi aku
masih tidak habis heran - bagaimana caranya pencuri bisa masuk ke dalam?"
Sepagi itu George sedikit sekali bicaranya. Kerjanya termenung terus. Ia
mengkhawatirkan keadaan Timmy. Ia takut jangan-jangan anjing kesayangannya itu
diracun orang, dan bukan cuma dibius seperti kata Julian. Tapi sementara itu
Timmy sudah siuman kembali. Cuma ia masih sangat mengantuk, dan segan bertingkah
konyol seperti biasanya. Dan kelihatannya anjing itu juga sangat malu.
"Aku tak mengerti apa sebabnya Timmy seperti itu kelakuannya," kata George. Ia
merasa heran. "Biasanya ia begitu, sehabis melakukan sesuatu yang menyebabkannya
malu. Atau sehabis nakal. Dia kan tak mungkin tahu bahwa apa pun juga yang
dimakannya tadi malam, sebetulnya tak boleh dimakan olehnya?"
"Tidak," kata Dick. "Kurasa ia cukup pintar dan takkan menyentuh daging beracun!
Tapi ia tak bisa mengetahui apabila ada obat tidur dimasukkan dalam makanan,
karena mungkin saja obat itu tak berbau dan tak ada rasanya. Kurasa ia cuma
malu, karena mengantuk terus sekarang! "
"Coba ia bangun kemarin malam!" keluh George. "Pasti dengan segera akan
mendengar bunyi sesuatu di bawah, lalu menggonggong membangunkan kita, dan
langsung lagi ke bawah untuk menyerang orang yang menyelinap masuk! Aduh, kenapa
aku tidak membawanya berjalan-jalan seperti biasanya setiap malam?"
"Memang semuanya serba kebetulan," kata Julian. '"Kau kebetulan tidak ikut
jalan-jalan dengannya, sehingga ia berkeliaran sendiri - lalu kebetulan ada
orang datang dan mengumpaninya dengan makanan yang sudah dibubuhi obat bius. Dan
makanan itu ditemukan oleh Timmy, atau diambilnya dari pencuri ...."
"Mustahil," tukas George. "Timmy takkan mau menerima apa pun juga dari orang
yang tak dikenalnya. Aku sengaja mendidiknya begitu!"
"Yah, tapi pokoknya ia memakannya - lalu tidur pulas pada malam tadi, padahal
seharusnya ia menjaga," kata Julian lagi. "Ada satu yang kukhawatirkan, George.
Jangan-jangan pencuri itu berhasil mengambil buku-buku catatan ayahmu yang dari
Amerika. Kelihatannya barang-barang yang lain ditinggal semua - buku bertumpuk-
tumpuk, penuh dengan tulisan ayahmu yang kecil-kecil itu."
Joan datang untuk memberitahukan bahwa makan siang sudah siap. Katanya, kedua
polisi tadi menghabiskan semua roti buatannya sendiri. Juru masak itu kelihatan
masih gelisah. Ia ingin pergi ke desa dan menceritakan kejadian itu pada siapa
saja yang mau mendengarkan.
"Kurasa lebih baik kau tinggal saja dulu di sini, untuk menyuguhkan teh pada
kedua polisi tadi," kata Julian. "Mereka akan datang kembali, membawa seorang
juru potret. " "Wah! Kalau begitu aku cepat-cepat saja membuat roti lagi," kata Joan gembira.
"Ya, dan bikin sekaligus kue coklat Anda yang enak itu," kata Anne.
"Menurut pendapatmu, mereka suka kue coklat?" tanya Joan.
"Bukan untuk mereka, Joan!" kata George. "Untuk kami tentu saja! Kue seenak itu,
sayang kalau diberikan pada polisi! Maukah Anda menyiapkan makanan sore untuk
kami" Kami ingin piknik, karena sudah bosan terus-terusan duduk di rumah saja.
Kami akan berperahu ke laut."
Setelah mereka selesai makan siang, Joan lantas menyiapkan bekal untuk piknik.
Anak-anak berangkat sebelum polisi datang kembali. Timmy sudah tidak mengantuk
lagi. Anjing itu berlari-lari mengelilingi mereka, sementara George dan ketiga
saudara sepupunya berjalan menuju pantai. Melihat tingkah anjing kesayangannya itu, George gembira lagi.
"Dia sudah mulai pulih," katanya. "Mulai saat ini kau akan kujaga baik-baik,
Tim! Kalau ada yang hendak membiusmu lagi, ia harus melakukannya di depan
mataku." Asyik rasanya main-main di air dengan perahu kepunyaan George. Mereka mendayung
sampai pertengahan jalan ke Pulau Kirrin, lalu berenang-renang di tengah teluk.
Timmy ikut terjun ke dalam air, walau berenangnya tidak secepat anak-anak.
"Timmy sebetulnya bukan berenang," kata Anne. "Ia hanya mencoba lari dalam air.
Aku ingin bisa duduk di punggungnya, seperti dengan anjing laut. Tapi setiap
kali kucoba, ia selalu mengelak."
Mereka baru kembali pukul enam sore, ketika polisi sudah menyikat habis kue
coklat besar yang dibuat oleh Joan, serta setumpuk roti hangat.
Kamar kerja Paman sudah dirapikan kembali. lemari besi juga sudah dibetulkan.
Ada orang datang untuk melakukannya, lalu seluruh isinya sudah dimasukkan
kembali, walau polisi mengatakan pada Joan bahwa jika ada sesuatu yang benar-
benar berharga, barang itu sebaiknya dititipkan saja pada mereka sampai ayah
George kembali. "Tapi kami tak tahu mana kertas yang benar-benar berharga!" kata Joan. "Ya! -
kita terpaksa menunggu sampai ayah George mengirim kawat ke mari. Mungkin baru
beberapa hari lagi kawat itu datang! Tapi kurasa pencuri itu takkan datang lagi
- karena barang yang dicari sudah diperolehnya."
Kejadian sehari itu membuat mereka semua capek sekali malamnya. Semua - kecuali
Julian! "Aku mau tidur saja sekarang," kata Dick, kira-kira pukul sembilan. "Kau kenapa
tidak tidur, Anne" Kelihatannya sudah mengantuk sekali!"
"Ya deh," kata Anne. "Yuk kita tidur, George."
"Aku hendak mengajak Timmy jalan-jalan dulu." kata George. "Dia takkan pernah
kubiarkan berkeliaran sendiri lagi malam-malam. Yuk, Tim! Jika kau juga sudah
hendak tidur, biar aku saja yang nanti mengunci pintu depan, Julian."
"Baiklah." kata Julian. "Sebentar lagi aku juga akan ke atas. Malam ini aku
tidak kepingin tinggal sendirian di bawah. Semua akan segera kukunci. kecuali
pintu depan. Dan jangan lupa mengaitkan rantai pengaman. George - walau menurut
perasaanku pasti takkan ada lagi orang datang membongkar kamar."
"Tapi muka jelek di jendela?" kata Anne cepat-cepat.
"Tidak - itu pun takkan terjadi lagi," kata Julian. "Nah, selamat tidur, Anne!"
Anne naik ke tingkat atas, bersama Dick. Julian meneruskan kesibukannya membaca
koran sampai selesai. Setelah itu ia memeriksa rumah dan mengunci semua pintu
dan jendela. Joan sudah lebih dulu naik ke atas. Ia sudah tidur, dan saat itu
sedang mimpi bahwa polisi memakan kue coklat buatannya dengan nikmat. George
keluar bersama Timmy. Anjing itu lari ke pintu pekarangan. lalu menuju ke jalan.
Ia merasa senang, karena bisa berjalan-jalan lagi seperti biasanya dengan
George. Tapi di depan sebuah gerbang, ia tiba-tiba berhenti lalu menggeram-
geram. Seakan-akan melihat sesuatu yang luar biasa.
"Ah, kau konyol. Tim!" kata George, ketika ia sudah berada di dekat anjingnya.
"Itu kan cuma karavan. Rupanya ada orang berkemah di sini. Masa kau belum pernah
melihat karavan. Sudahlah jangan menggeram-geram lagi."
Mereka lantas melanjutkan langkah. Sebentar-sebentar Timmy berhenti. lalu
mengendus-endus. Ada-ada saja yang diciumnya. lubang tikus. lubang kelinci.
Anjing itu asyik sekali kelihatannya. George juga menikmati pesiar malam-malam
itu. Ia tak tergesa-gesa.
Julian bisa tidur dulu, kalau tak mau menunggu. Dan memang - Julian mendului
tidur. Dibiarkannya pintu depan terbuka sedikit. Lalu naik ke atas. Ia menguap
lebar-lebar. Tiba-tiba ia merasa mengantuk. Dengan hati-hati ia masuk ke tempat
tidur, setelah melihat bahwa Dick sudah pulas. Tapi di tempat tidur, .Julian
masih bangun sebentar. Ia menunggu George pulang. Ketika ia sudah setengah
tidur. didengarnya pintu depan menutup.
"Itu George pulang." katanya dalam hati, lalu memutar tubuh. Detik berikutnya,
Julian sudah terlelap. Tapi yang menutup pintu bukan George. Malam itu tempat tidurnya tetap kosong.
Tak seorang pun tahu bahwa George dan Timmy tidak kembali malam itu!
Bab 8 DI MANA GEORGE"
MALAM-MALAM Anne terbangun. Ia merasa haus.
"George!" bisiknya ke arah tempat tidur di seberang kamar. "Kau sudah tidur?" I
Tak terdengar jawaban. Karena itu dengan pelan-pelan Anne bangun, lalu mengambil
air dari kendi dan meminumnya. George kadang-kadang marah, apabila dibangunkan
tengah malam. Sehabis minum Anne masuk lagi ke tempat tidur. Tidak disangkanya
bahwa ia tak mendengar jawaban, karena George memang tidak ada dalam kamar!
Anne tidur lagi, sampai terdengar Dick memanggil-manggil dari luar.
"He, bangun! Kalian benar-benar penidur. Sekarang sudah pukul delapan kurang
seperempat! Kita akan mandi-mandi lagi."
Anne duduk sambi! menguap. Matanya bergerak menatap tempat tidur George. Tapi
George tak nampak di situ. Bukan itu saja - seprainya nampak licin dan rapi,
seperti baru saja dibenahi!
"Lho!" Anne kaget. "Rupanya George sudah bangun, dan bahkan sudah membereskan
tempat tidurnya. Coba aku tadi dibangunkan, kan aku bisa ikut dengan dia! Kurasa
dia sedang jalan-jalan, seperti kadang-kadang dilakukannya pagi hari."
Anne bergegas memakai pakaian renangnya, lalu mendatangi kedua abangnya.
Bersama-sama mereka turun ke bawah.
"George sudah keluar," kata Anne. "Mestinya tadi ia bangun pagi-pagi, lalu
mengajak Timmy jalan-jalan. Aku sama sekali tidak mendengarnya!"
Sementara itu Julian sudah sampai di pintu depan.
"Betul," katanya. "Pintu tidak terkunci atau digerendel lagi! Rupanya George
tadi pagi pelan-pelan turun, membuka pintu lalu menutupnya kembali dengan hati-
hati. Bisa juga anak itu bergerak dengan pelan! Terakhir kalinya ia keluar pagi-
pagi, pintu depan dibantingnya keras-keras sehingga seisi rumah terbangun
karenanya!" Sesampai di pantai, anak-anak menatap ke tengah laut. Di kejauhan nampak sebuah
perahu. Di dalamnya nampak seperti ada dua orang sedang memancing.
"Pasti itu George, bersama Timmy," kata Dick. Ia berseru-seru sambil melambaikan
tangan. Tapi perahu itu terlalu jauh. Dan orang yang ada di dalamnya tidak
kelihatan membalas lambaian Dick. Mereka bertiga lantas terjun ke dalam air.
Wah, rasanya dingin! "Enak!" kata Anne ketika mereka keluar dari air dengan tubuh berkilat-kilat kena
sinar matahari pagi. "Yuk, sekarang kita lari-lari di pantai."
Ketiga bersaudara itu bermain kejar-kejaran. Kemudian mereka pulang untuk
sarapan, karena perut sudah lapar.
"Mana George?" tanya Joan, ketika ia masuk ke kamar makan mengantarkan sarapan.
"Kulihat tempat tidurnya sudah rapi! Ada apa dengan anak itu?"
"Kurasa ia pergi memancing dengan Timmy," kata Dick. "Ia sudah bangun lalu
pergi, ketika kami masih tidur."
"Tapi aku tidak mendengarnya pergi," kata Joan. "Tentunya ia pelan-pelan sekali
waktu keluar tadi. Yah- sebaiknya kalian makan saja sarapan yang kubuatkan untuk
George. Pasti ia sudah mengambil makanan sendiri dari kamar penyimpanan, sebelum
ia berangkat. Sayang tadi malam aku lupa mengunci pintunya!"
Julian dan kedua adiknya berbagi sarapan yang sebetulnya dibikinkan oleh Joan
untuk George. Setelah itu Anne membantu Joan membereskan rumah, sementara Dick
dan Julian pergi ke desa untuk berbelanja.
Tak ada yang merasa khawatir bahwa George tidak ada di rumah. Ketika pulang
sehabis berbelanja, Julian dan Dick melihat perahu yang tadi masih ada di tengah
teluk. "Pasti George akan lapar sekali apabila pulang nanti," kata Julian. "Mungkin
anak itu sedang ingin menyendiri lagi, seperti dulu. Dia memang gelisah sekali,
-karena Timmy dibius orang."
Kemudian mereka berjumpa dengan Jo. Anak itu sedang berjalan menyusur pantai,
sambil mengumpulkan kayu hanyut. Tampangnya semakin masam dan dekil,
dibandingkan dengan sebelumnya.
"Hai, Jo!" seru Dick menyapa. Jo memandang ke arah mereka, lalu datang
menghampiri. Tapi ia tidak tersenyum. Malah kelihatannya seperti habis menangis.
Mukanya coreng-coreng, karena air mata bercampur kotoran yang menempel di muka.
"Hai," katanya sambil memandang Dick. Kelihatannya sedih sekali, sehingga Dick
merasa kasihan. "Ada apa, Jo?" tanyanya dengan ramah. Dan mendengar sapaan begitu, tahu-tahu air
mata Jo berlinang-linang. Jo mengusapnya, sehingga mukanya menjadi semakin dekil
kelihatannya. "Tidak ada apa-apa," katanya. "Mana Anne?"
"Di rumah! Dan George ada di perahu itu, sedang memancing bersama Timmy," kata
Dick sambil menuding ke tengah laut.
"O," kata Jo singkat, lalu berpaling untuk melanjutkan kesibukan mengumpulkan
kayu. Dick mengejarnya. "He, jangan terus pergi dong," katanya. "Ceritakan dulu kenapa kau sedih pagi
ini." Dipegangnya anak itu lalu diputarnya, sehingga mereka berhadap-hadapan.
Diperhatikannya muka Jo. Saat itu barulah kelihatan olehnya bahwa di muka anak
itu nampak dua bekas pukulan. Yang satu sudah agak mendingan. Itu bekas
pukulannya. Tapi yang satu kelihatan masih baru, kebiru-biruan warnanya.
"Bekas pukulan siapa ini?" tanya Dick sambil menyentuh bekas itu dengan hati-
hati. "Ayahku," kata Jo. "Dia pergi dengan karavan, dan aku ditinggal sendirian di
sini. Aku ingin ikut, tapi tak diizinkannya masuk ke dalam karavan. Lalu ketika
aku menggedor-gedor pintu, ayahku keluar dan aku didorongnya sampai terjatuh
dari tangga. Karena itulah mukaku memar - dan di kakiku ada satu lagi, bekas
jatuh." Julian dan Dick ngeri mendengar ceritanya. Seperti apa rasanya kehidupan anak
itu" Mereka lantas duduk di pantai, sedang Jo ditarik oleh Dick supaya duduk di
antara mereka. "Tapi ayahmu tentu akan datang lagi kan?" kata Julian. "Tempat tinggal kalian
cuma karavan itu?" "Betul," jawab Jo. "Aku tak pernah tinggal di tempat lain, kecuali dalam
karavan. Ibuku juga tinggal di karavan, ketika masih hidup. Waktu itu keadaanku
lebih baik daripada sekarang. Tapi baru kali inilah Ayah pergi tanpa mengajak
aku." "Tapi - kalau begitu bagaimana caramu hidup?" tanya Dick.
"Kata Ayah, Jake akan memberiku uang untuk membeli makanan," kata Jo. "Tapi itu
apabila aku menuruti katanya. Aku tak suka pada Jake. Orang itu jahat. "
"Siapa Jake itu?" tanya Julian. Ia cuma bisa tercengang-cengang mendengar kisah
Jo. "Jake" Dia seorang gelandangan. Ia kenalan ayahku," kata Jo. "Biasanya ia datang
ke karavan untuk satu atau dua hari. Setelah itu pergi lagi. Jadi kalau aku
menunggunya di sekitar sini, kurasa dia akan muncul dan memberi uang sedikit
padaku. Setidak-tidaknya begitulah sangkaanku."
"Lalu kau disuruh apa olehnya?" tanya Dick heran. "Kalau mendengar ceritamu,
urusan ini kedengarannya aneh dan menyeramkan. Kau kan masih kecil!"
"Ah, mungkin aku akan diajaknya menangkap binatang buruan tanpa izin, atau -
atau - yah, ada beberapa perbuatan kami yang tidak biasa bagi orang-orang.
seperti kalian," kata Jo. Ia berkata begitu, karena tiba-tiba menyadari bahwa
Julian dan Dick pasti tak setuju dengan beberapa di antara perbuatan yang biasa
dilakukan olehnya. "Tapi mudah-mudahan saja ia datang hari ini dan memberi uang
padaku. Aku tak punya uang sama sekali - dan aku lapar."
Dick dan Julian saling berpandang-pandangan. Bayangkan, ada anak tak beribu lagi
seperti Jo, selalu ketakutan terhadap orang lain, dan sering kali merasa
kesepian dan kelaparan. Dick merogoh tas belanja dan mengeluarkan coklat sebungkus serta beberapa potong
roti. "Nih - makan saja ini dulu," katanya. "Kalau kau mau, datang saja nanti ke dapur
kami untuk meminta makan pada Joan, juru masak kami. Pasti ia akan memberi! Aku
akan bercerita padanya tentang dirimu."
"Orang biasanya tak suka jika aku datang ke pintu dapur mereka," kata Jo sambil
menjejalkan roti ke mulut. "Mereka takut aku datang hendak mencuri." Jo melirik
ke arah Dick. "Dan aku memang biasa mencuri."
"Kau tak boleh berbuat begitu," kata Dick.
"Kau tak akan mencuri jika perutmu begitu lapar, sehingga bahkan tak tahan
melihat gerobak tukang roti?" tanya Jo.


Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak - kurasa aku tetap takkan mencuri. Setidak-tidaknya, begitu harapanku,"
kata Dick. Dalam hatinya timbul pertanyaan, bagaimanakah perasaannya jika ia
benar-benar kelaparan. "Orang yang bernama Jake itu - di mana ia sekarang?"
"Aku tak tahu. Pokoknya di sekitar sini," jawab Jo. "Jika ia memerlukan diriku,
aku selalu berhasil ditemukan olehnya. Kata Ayah, aku harus terus ada di pantai.
Jadi aku takkan bisa datang ke rumahmu. Aku tak berani pergi dari sini."
Setelah itu Julian dan Dick kembali ke rumah. Mereka sedih mengingat nasib Jo
yang gelandangan itu. Tapi apa yang bisa mereka lakukan" Mereka tak bisa berbuat
apa-apa, kecuali memberi makan dan uang. Sebelum pergi Dick masih S8mpat
memberikan uang lima penny pada Jo. Anak itu segera mengantonginya. Ia tak
mengatakan apa-apa, tapi matanya bersinar gembira.
Sewaktu makan siang, George masih tetap belum muncul. Saat itu Julian mulai
merasa gelisah. Ia pergi ke pantai, untuk melihat apakah perahu yang tadi masih
ada di tengah teluk atau tidak. Ketika ia tiba di pantai, perahu itu baru saja
masuk. Julian kecewa ketika melihat bahwa yang ada di perahu bukan George dan
Timmy, melainkan dua anak laki-laki yang tak dikenalnya.
Setelah itu Julian mencari perahu kepunyaan George. Ternyata ada di pantai,
bersama sejumlah perahu lain. Jadi George sama sekali tidak turun ke laut!
Julian bergegas kembali ke Pondok Kirrin, untuk memberitahukan pada saudara-
saudaranya. Mereka lantas ikut-ikutan merasa cemas. Di mana George" Apa yang
terjadi dengan anak itu"
"Kita tunggu dulu sampai saat minum teh," kata Julian. "Lalu jika ia masih belum
pulang juga, kita akan terpaksa berbuat sesuatu. Kurasa sebaiknya lapor pada
polisi. Tapi anak itu sudah pernah pergi sehari penuh, tanpa memberitahukan
terlebih dulu. Jadi kita tunggu saja beberapa waktu lagi."
Saat minum teh tiba - tapi George tetap belum kelihatan batang hidungnya. Begitu
pula halnya dengan Timmy. Tak lama kemudian terdengar langkah kaki berjalan di
kebun. Timmy-kah itu" Anak-anak menjulurkan kepala dari jendela untuk melihat.
"Itu Jo," kata Dick dengan nada kecewa. "Ia membawa sesuatu kelihatannya seperti
surat. Mau apa dia ke sini?"
Bab 9 KABAR YANG MENGEJUTKAN
JULIAN membukakan pintu depan. Tanpa mengatakan apa-apa, Jo menyodorkan sepucuk
sampul padanya. Sampul surat yang biasa saja kelihatannya. Julian cepat-cepat
membukanya. Ia sama sekali tidak bisa menerka apa isinya.
Jo berpaling hendak pergi. Tapi dengan cepat Julian mengulurkan tangan dan
memegang anak itu, sementara ia membaca surat. Nampak mata Julian makin lama
menjadi semakin terbelalak karena heran.
"Dick!" panggilnya. "Tolong pegang Jo - jangan sampai lepas. Sebaiknya kaubawa
dia ke dalam. Ini soal gawat!"
Jo tak mau begitu saja dibawa ke dalam. Sambil menjerit-jerit, ia menggeliat
berusaha membebaskan diri. Dick disepaknya dengan kaki yang tak bersepatu.
"Lepaskan aku! Aku tak bersalah - aku tadi kan cuma mengantar surat itu'"
"Jangan menjerit-jerit seperti orang konyol," kata Dick. "Kau tahu sendiri, aku
tak bermaksud menyakiti. tapi kau harus masuk."
Jo masih tetap memberontak sambil menendang-nendang. Kelihatannya ia sangat
ketakutan. Dick dan Julian terpaksa bersusah payah menyeret anak liar itu ke
kamar makan, lalu menutup pintu. Anne ikut masuk. Ia sangat ketakutan. Apakah
sebetulnya yang telah terjadi"
"Dengar saja sendiri," kata Julian, ketika pintu kamar sudah ditutup. "Benar-
benar tidak masuk akal!" Sambil memegang surat yang diketik sehingga bisa
dilihat yang lain, ia mulai membaca keras-keras.
"Kami ingin mendapatkan buku catatan yang satu lagi, yang ada angka-angkanya.
Cari buku itu sampai ketemu lalu letakkan di bawah batu yang paling ujung dari
jalur jalan ubin yang terdapat di ujung belakang kebun. Taruh buku itu di situ
malam ini juga. Kami menyandera anak perempuan saudara kalian beserta anjingnya. Mereka akan
bebaskan jika kami sudah menerima barang yang kami inginkan dari kalian. Jika
kalian melapor pada polisi, maka keduanya pasti takkan kembali lagi. Rumah akan
diawasi terus untuk menjaga agar tidak ada yang bisa menyelinap keluar dan pergi
ke polisi pergi ke polisi. Sambungan telepon sudah kami putuskan.
Jika hari sudah gelap, lampu-lampu kamar depan harus dinyalakan. Kalian bertiga
harus duduk di situ bersama juru masak, supaya bisa kami awasi. Anak yang paling
besar kemudian keluar dari rumah pukul sebelas sambil menyalakan senter. Ia
harus menaruh buku catatan itu di tempat yang kami tentukan. Setelah itu ia
kembali ke kamar depan. Kalian akan mendengar isyarat suara burung hantu apabila
buku itu sudah kami ambil. Setelah itu anak perempuan beserta anjingnya akan
kami bebaskan." Isi surat itu mengerikan, sehingga Anne tiba-tiba menangis sambil berpegang ke
lengan Julian. "Julian," keluhnya. "Jadi ternyata George kemarin malam tidak kembali dari
berjalan-jalan bersama Timmy! Rupanya waktu itulah ia diculik. Dan Timmy juga.
Aduh kenapa tidak mulai saat itu kita sudah mencari?"
Wajah Julian kelihatan suram dan pucat. Nampak bahwa ia sedang sibuk berpikir.
"Ya - aku tak ragu lagi saat itu ada orang yang sudah mengintai untuk menculik
George bersama Timmy. Setelah itu penculiknya - yang mungkin lebih dari seorang
- datang ke sini untuk menutup pintu depan, supaya kita mengira bahwa George
sudah pulang. Dan mungkin ada seseorang yang berkeliaran terus sepanjang hari di
sekitar sini, untuk melihat apakah kita cemas mengenai diri George - atau
mengira bahwa ia cuma bepergian sehari!"
"Dari siapa kauterima surat itu?" tanya Dick dengan keras pada Jo. Anak itu
gemetar. "Dari seorang laki-laki," katanya ketakutan.
"laki-laki seperti apa?" tanya Julian.
"Aku tak tahu," kata Jo.
"Tak mungkin kau tidak tahu," tukas Dick. "Kau harus mengatakannya, Jo"
Jo diam saja. Mukanya masam. Dick menggoncang-goncangnya. Jo berusaha melarikan
diri - tapi pegangan Dick terlalu erat.
"Ayo katakan, seperti apa tampang orang itu," bentak Dick.
"Orangnya jangkung, berjanggut panjang. Hidungnya mancung sekali, dan matanya
berwarna coklat," kata Jo dengan tiba-tiba. "Ia berpakaian seperti nelayan, dan
ia bicara seperti orang asing."
Dick dan Julian menatapnya dengan pandangan galak.
"Kurasa itu cuma karanganmu saja, Jo," kata Julian ketus.
"Bukan," kata Jo merajuk. "Pokoknya aku belum pernah melihat orang itu."
Anne datang menghampiri, lalu memegang tangan Jo.
"Jo," katanya, "ceritakanlah dengan terus terang, apa saja yang kauketahui. Kami
sangat cemas mengingat nasib George," Sambil berkata begitu, air mata Anne mulai
mengucur. Anne menangis. "Biar George yang sebetulnya anak perempuan itu tau rasa," kata Jo sengit. "Ia
kasar terhadapku dan tidak ramah. Biar dia tahu rasa, kataku! Aku tak mau bilang
apa-apa, biarpun ada yang bisa kuceritakan."
"Jadi rupanya kau memang mengetahui sesuatu," kata Dick. "Kau anak jahil, Jo.
Aku tak mau berurusan lagi denganmu Semula aku sedih dan kasihan melihat nasibmu
- sekarang tidak lagi.".
Tampang Jo masih tetap masam tapi matanya berkaca-kaca. Anak itu membuang muka,
seperti hendak menyembunyikan air mata.
"Lepaskan aku!" katanya. "Sungguh, orang itu memberiku uang lima belas penny
dengan permintaan agar aku mengantarkan surat pada kalian. Cuma itu saja yang
kuketahui. Tapi aku merasa senang bahwa George dalam kesulitan saat ini. Anak
seperti dia memang perlu diberi pelajaran!"
"Biarkan dia pergi," kata Julian dengan lesu. "Tingkahnya seperti kucing kecil
yang liar - bisanya cuma mencakar dan mendesis. Kusangka ada watak yang baik
dalam dirinya, tapi ternyata tidak!"
"Aku juga salah sangka," kata Dick sambil melepaskan lengan Jo. "Mulanya aku
suka padanya. Nah, pergilah, Jo. Kami tak mau lagi berurusan denganmu."
Jo bergegas membuka pintu kamar, lari ke serambi depan dan langsung keluar.
Setelah ia pergi, Julian dan saudara-saudaranya terdiam sejenak.
"Julian," bisik Anne setelah beberapa saat. "Apa yang harus kita lakukan
sekarang?" Julian diam saja. Ia berdiri lalu menuju ke serambi. Setiba di sana diangkatnya
gagang telepon. Ia mendengarkan sebentar. Setelah itu gagang telepon
dikembalikan ke tempat semula.
"Tak ada sambungan," katanya. "Ternyata kawatnya dipotong, seperti dikatakan
dalam surat. Dan pasti di luar ada orang menjaga, supaya kita tidak bisa
menyelinap pergi untuk minta tolong. Kejadian ini benar-benar keterlaluan.
Rasanya seperti mimpi."
"Tapi ini kenyataan," kata Dick. "Kenyataan yang menyeramkan Julian - kau tahu
buku catatan mana yang mereka maksudkan" Aku sama sekali tak tahu!"
"Aku juga tidak," jawab Julian. "Lagipula, kita takkan mungkin bisa mencarinya,
karena lemari besi sudah dibetulkan dan terkunci kembali - sedang anak kuncinya
ada di tangan polisi."
"Yah - begitulah," kata Dick. "Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang"
Bagaimana jika aku mencoba menyelinap ke luar dan memberitahukan pada polisi?"
Julian mempertimbangkan usul adiknya itu.
"Jangan," katanya kemudian. "Kurasa orang-orang itu tidak main-main. Tidak enak
jika nanti terjadi sesuatu terhadap diri George. Lagipula, mungkin kau akan
tertangkap oleh mereka dan ikut diculik. Jangan lupa rumah ini diawasi terus-
menerus." "Tapi kita kan tidak bisa duduk diam-diam saja di sini, Julian!" kata Dick. .
"Aku juga tahu. Tapi urusan ini perlu dipertimbangkan matang-matang," kata
Julian. "Coba kita tahu, ke mana George dibawa pergi oleh mereka - maka kita
akan bisa berusaha membebaskannya. Tapi aku tak tahu dengan cara bagaimana kita
bisa menyelidikinya."
"Bagaimana jika seorang dari kita bersembunyi di bagian belakang kebun, untuk
menunggu kedatangan orang yang akan mengambil buku catatan yang diminta. Setelah
itu kita akan bisa membuntutinya. Barangkali saja dengan jalan begitu kita akan
mengetahui di mana George disembunyikan," kata Dick mengusulkan.
"Kau lupa, kita disuruh duduk semua di kamar depan yang dinyalakan lampu-
lampunya! Dengan begitu apabila salah seorang di antara kita pergi, akan
Darah Monster Dua 2 Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Hantu Tangan Empat 1
^