Pencarian

Memperjuangkan Harta 1

Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston Bagian 1


http://tagtag.com/tamanbacaan
18. Memperjuangkan Harta Finniston
Ebook by Nurul Huda Kariem
01. Berkumpul Kembali Julian menyeka keningnya sambil mendesah, "Huh, lebih baik tinggal di daerah
khatulistiwa! Di sana pasti tak sepanas ini!"
Anak jangkung itu bersandar pada sepedanya. Napasnya tersengal-sengal. Tenaganya
habis terkuras, setelah mendaki bukit yang tinggi dan terjal itu. Dick
menatapnya sambil nyengir.
"Kau kurang latihan, Jul" katanya. "Sekarang kita beristirahat saja sebentar,
sudah tinggi juga kita mendaki!"
Kedua anak itu menyandarkan sepeda mereka ke pagar pembatas. Kemudian mereka
beristirahat di situ. Di bawah bukit terbentang luas daerah Dorset, di sebelah
selatan Inggris. Walaupun panas, hari itu udara begitu cerah. Julian
mengembuskan napas lega, ketika merasakan angin sepoi.
"Kalau tahu hari ini akan panas sekali, aku takkan mau naik sepeda!" katanya.
"Untung Anne tidak ikut, kalau dia ikut pasti sudah menyerah pada hari pertama!"
"Tapi kalau George tidak!" kata Dick. "Anak itu pantang menyerah. Diajak apa
saja, selalu mau." "Ya, George memang begitu," kata Julian. "Senang sekali ya bisa bersama lagi
dengan mereka, kita jadi berempat. Selalu saja ada kejadian menarik."
"Kok berempat" Berlima, maksudmu!" kata Dick. "Jangan lupa Timmy! Aku belum
pernah melihat anjing secerdik dia. Pasti asyik sekali kalau kita sudah lengkap
lagi, ya, jadi lima sekawan. Eh tapi kita tak boleh lupa waktu, Jul" Julian diam
saja. "Hei bangun, keledai!" kata Dick pada abangnya sambil tertawa. "Kalau kita
tidur, nanti terlambat menjemput mereka".
Tapi mata Julian tetap terpejam. Dick melihat arlojinya sambil menghitung-
hitung. Saat itu setengah tiga siang.
"Bus yang ditumpangi Anne dan George akan tiba di halte depan Gereja Finniston
pukul tiga lewat lima," kata Dick dalam hati. "Dari sini ke Finniston lima mil,
menuruni bukit. Ya, Julian bisa tidur selama lima belas menit. Asal aku jangan
ikut tertidur!" Tapi semenit kemudian mata Dick mulai terasa berat. Maka ia buru-buru bangun,
lalu mondar-mandir untuk menghilangkan rasa kantuk. Anne dan George perlu
dijemput, karena mereka membawa koper. Dick dan Julian akan membantu membawa
barang-barang mereka dengan naik sepeda.
Keempat anak itu hendak berlibur ke daerah pertanian Finniston Farm. Letaknya di
bukit, di sebelah atas desa Finniston. Mereka belum pernah ke daerah pertanian
itu, namanya pun mereka baru tahu. Bibi Fanny, ibu George, mendengar nama itu
dari seorang teman sekolahnya dulu yang suka menerima tamu-tamu yang ingin
berlibur di pertaniannya. Temannya itu menawarkan kesempatan itu pada Bibi Fanny
dan keluarganya. George langsung mengiyakan dan mengatakan akan berlibur ke sana
bersama ketiga saudara sepupunya selama musim panas.
"Mudah-mudahan saja tempat itu mengasyikkan," pikir Dick, sambil melayangkan
pandangan ke lembah yang terbentang di bawah, tempat tanaman jagung yang mulai
menguning melambai-lambai tertiup angin. "Tapi kalau tidak asyik juga tidak apa,
kan cuma dua minggu. pokoknya kita bisa berkumpul lagi. Hore!"
Dick melirik arlojinya. Nah, sekarang sudah waktunya berangkat. Digoyangnya
Julian yang masih tidur. "Hei, bangun!" "Sepuluh menit lagi," gumam Julian. Ia memutar tubuh, mengira sedang berbaring
di tempat tidur! la tak sadar bahwa di sampingnya ada parit kering yang dangkal.
Dan begitu berputar, Julian langsung terguting jatuh. Seketika itu juga ia
terduduk, sambil mengejap-ngejapkan mata karena terkejut.
"Astaga, kukira aku di tempat tidur," katanya. "Wah, aku nyaris tidur terus,
kalau tidak kau bangunkan."
"Sudah waktunya kita berangkat lagi, kalau kau masih mau menjemput Anne dan
George," kata Dick. "Selama kau tidur tadi, aku mondar-mandir terus supaya tidak
tertidur. Ayo, kita harus berangkat sekarang!"
Mereka lantas naik ke sepeda masing-masing, menuruni bukit dengan hati-hati,
terutama pada tikungan-tikungan tajam. Sering kali mereka berpapasan dengan
berbagai kendaraan pertanian. Mulai dari gerobak sampai traktor, dan
kadangkadang dengan segerombolan sapi. Maklum daerah pertanian.
Akhirnya tampak desa Finniston yang kecil, tersempil di kaki bukit. Kelihatannya
kuno, tenang, seperti separo tertidur.
"Untung di sini ada yang menjual limun dan es krim!" kata Dick lega, ketika
melihat papan reklame yang terpasang di jendela sebuah toko di desa itu.
"Lidahku sudah kering sekali rasanya. Kalau aku Timmy, pasti sudah kujulurkan
lidahku ke luar!" "Sekarang kita cari dulu halte dekat gereja," kata Julian. "Tadi waktu kita
menuruni bukit, dari kejauhan aku melihat puncak menara gereja itu! Tapi
sesampai di bawah, tidak kelihatan lagi."
"Itu dia bus mereka!" seru Dick, ketika terdengar deru mesin mobil di kejauhan.
Sesaat kemudian bus itu muncul di tikungan jalan. "Yuk, kita ikuti!"
Itu Anne... dan George!" seru Julian. "Ternyata kita tiba tepat pada waktunya.
Hai, George! Anne!" Bus itu berhenti dekat gereja. Anne dan George turun, masing-masing menenteng
sebuah koper. Timmy juga turun dari bus.
Lidahnya yang panjang terjulur ke luar. Anjing itu merasa lega, karena tidak
perlu lebih lama lagi duduk diam-diam dalam bus yang pengap itu.
"Itu Dick dan Julian!" seru George, sementara bus berangkat lagi. George
melambai-lambai dengan bersemangat. "Hai, Julian! Halo, Dick! Untung kalian
tidak terlambat datang!"
Kedua anak laki-laki itu mempercepat kayuhan mereka, menghampiri Anne dan
George. Begitu sampai, mereka langsung meloncat turun. Timmy melonjak-lonjak
mengelilingi kedua anak itu; sambil menggonggong dengan gembira. Dick dan Julian
silih berganti menepuk punggung kedua anak perempuan yang baru datang.
"Kalian berdua masih tetap sama saja!" kata Dick. "George, dagumu kotor! Anne,
kenapa kau sekarang pakai buntut kuda?"
"Dan kau masih tetap kurang ajar, Dick," balas George, sambil membentur kaki
saudara sepupunya itu. "Sekarang aku jadi bingung, kenapa tadi kami begitu ingin
berjumpa lagi denganmu! Nih, tolong bawakan koperku... tahu aturan, ya?"
"Siapa bilang?" jawab Dick, sambil menyambut koper yang disodorkan George. "Aku
cuma heran melihat cara Anne mengatur rambutnya sekarang! Tidak pantas, ah.
Bagaimana pendapatmu, Julian" Macam-macam saja pakai buntut kuda. Kalau buntut
keledai... itu baru cocok!"
"Ya deh, ya deh," kata Anne. Ia buru-buru menggeraikan rambutnya. "Tadi rambutku
kuikat, karena di bus panas sekali." Anne paling tidak senang jika dicela abang-
abangnya. Julian membelai lengan Anne. "Aku senang bisa berkumpul lagi dengan kalian
berdua," kata Julian. "Sekarang, bagaimana jika kita minum limun dan makan es
krim dulu" Di sana ada toko yang menjualnya."
"Hei! Kalian sama sekali belum menyapa Timmy," kata George agak tersinggung.
"Padahal sejak tadi ia mengitari kalian terus!"
"Salam, Tim," kata Dick sambil menyodorkan tangan. Dan Timmy mengangkat kaki
depannya dengan sopan, lalu bersalaman dengan Dick. Setelah melakukan hal serupa
dengan Julian, anjing besar itu lantas seperti kemasukan setan. Ia lari
berputar-putar, sampai hampir menggulingkan anak kecil yang sedang naik sepeda.
Timmy bukan tiba-tiba menjadi gila, tapi karena tak bisa menahan kegembiraannya
bertemu dengan Julian dan Dick.
"Yuk, Tim... kau mau es krim, kan?" ajak Dick, sambil mengusap kepala Timmy.
"Coba dengar napasnya tersengal-sengal, George! Kalau bisa, Timmy pasti ingin
melepaskan mantel bulunya itu dari badannya. Ya kan, Tim?"
"Guk," gonggong Timmy mengiyakan, sambil memukulkan ekornya ke betis Dick.
Keempat anak itu dan Timmy masuk ke toko yang menjual es krim. Toko itu juga
menjual roti dan berbagai makanan hasil pengolahan susu. Ketika mereka masuk,
seorang anak perempuan berumur sekitar sepuluh tahun datang menghampiri.
"Ibuku sedang istirahat sebentar," kata anak itu. "Kalian mau beli es krim, ya!
Kelihatannya semua ingin makan es krim."
"Betul,: kata Julian. "Lima es krim yang besar dan empat botol limun jahe."
"Lho, kok es krimnya lima" Apakah untuk anjing itu?" tanya anak itu dengan
heran. Ia memandangi Timmy.
"Guk," gonggong Timmy.
"Nah, itu jawabannya," kata Dick. "Timmy bilang, betul!"
Sesaat kemudian mereka sudah makan es krim dengan nikmat. Bagian untuk Timmy
ditaruh di sebuah piring. Tapi baru beberapa kali anjing itu menjilat, es
krimnya sudah terdorong jatuh dari piring. Timmy menjilatinya terus, sehingga es
krim itu terdorong-dorong ke segala penjuru toko. Anak perempuan penjaga toko
itu memperhatikan dengan takjub.
"Maaf, dia tak kenal aturan makan," kata Julian dengan tampang serius. "Sama
dengan yang mendidiknya!"
George langsung melotot, karena merasa disindir.
Julian nyengir puas, karena memang itulah maksudnya. Ia membuka botol limunnya,
"Ha, sedaap... dingin dan segar. Liburan kita dimulai dengan nikmat."
"Semoga panjang umur para pencipta es krim, limun, dan lain-lainnya yang enak,"
katanya. "Aku lebih suka mencipta yang enak-enak itu daripada mencipta bom,
roket, dan senjata pemusnah. Ah... segar badanku sekarang! Kalian bagaimana"
Sudah siap untuk mencari pertanian itu?"
"Pertanian siapa?" tanya anak perempuan yang menjaga toko. Ia datang dari balik
meja pelayanan, untuk mengambil piring bekas tempat es krim Timmy. Ketika anak
itu membungkuk, Timmy sempat menjilat mukanya sebagai pernyataan terima kasih.
Anak itu kaget, lalu mendorong kepala Timmy supaya menjauh.
"Rupanya kau dikira es krim oleh Timmy," kata Dick sambil menyodorkan
saputangan. "Kami hendak pergi ke Finniston Farm. Kau tahu di mana tempatnya?"
"Tentu saja," jawabnya. "Kalian terus saja sampai ke ujung desa ini, lalu belok
ke jalan yang ada di sebelah kanan. Jalan itu mendaki bukit. Nah, pertanian yang
kalian cari ada di ujung jalan itu. Kalian akan menginap di tempat keluarga
Philpot?" "Betul. Kau kenal dengan mereka?" tanya Julian, sambil merogoh kantong hendak
membayar. "Aku kenal dengan kedua anak kembar mereka," kata anak itu. "Yah, sebetulnya
dibilang kenal juga tidak! Tak ada yang kenal baik dengan keduanya. Mereka tidak
suka bergaul. Kalau main selalu berdua saja. Kalian harus hati-hati jika
menghadapi "Kakek", kakek Pak Philpot. Orangnya galak sekali. Katanya dia pernah
berkelahi melawan seekor sapi jantan yang mengamuk, dan menang. Sapi itu pingsan
dihajar olehnya! Suaranya lantang sekali, bermil-mil masih kedengaran. Dulu ketika masih kecil,
aku paling takut datang ke pertanian itu, karena takut pada Kakek!" Anak itu
mengangguk-angguk sebentar, lalu meneruskan ceritanya, "Tapi kalau Bu Philpot...
dia benar-benar baik hati! Kalian pasti senang padanya. Kedua anak kembar itu
sangat menyayangi ibu mereka. Dan tentu juga ayah mereka! Pada saat libur,
mereka berdua ikut bekerja di tempat itu. Mereka mirip sekali, sulit membedakan
antara Harry yang satu dengan Harry yang lain!"
"Lho, kenapa kedua-duanya kausebut Harry?" tanya Anne heran.
"Ya, karena..." Anak perempuan penjaga toko itu tak bisa menyelesaikan
kalimatnya, karena dari belakangnya muncul seorang wanita berbadan gemuk.
"Janie, kaujaga adikmu, ya. Biar aku yang menjaga toko lagi."
"Baik, Bu," kata anak yang ternyata bernama Janie itu, lalu bergegas pergi ke
belakang. "Anak itu kalau dibiarkan mengobrol takkan pernah bosan," kata ibu
anak itu."Masih ada lagi yang kalian perlukan?"
"Tidak," kata Julian sambil berdiri dari tempatnya. "Kami masih harus meneruskan
perjalanan. Selama liburan ini kami tinggal di Finniston Farm. Jadi besar
kemungkinannya kami akan menjadi langganan di sini selama itu. Ngomong-ngomong;
es krim Anda enak, Bu!"
"O, jadi kalian ini akan menginap sebagai tamu di sana," kata wanita gemuk itu
sambil mengangguk-angguk. "Wah, aku ingin tahu bagaimana sikap kedua Harry
terhadap kalian. Mudah-mudahan saja bisa cocok! Tapi hati-hati, jangan sampai
membuat Kakek marah. Orangnya sudah tua... sudah !ebih dari delapan puluh tahun,
tapi galaknya minta ampun!"
Lima Sekawan keluar dari toko itu. Julian memandang saudara-saudaranya sambil
nyengir, "Nah, bagaimana" Sudah siap mendatangi Bu Philpot yang baik hati, kedua
Harry yang penyendiri, dan Kakek yang galak" Wah, kelihatannya liburan kita kali
ini akan mengasyikkan!"
02. Finniston Farm Keempat anak itu berjalan menyusuri jalan desa yang panas dan berdebu. Dick dan
Julian menuntun sepeda masing-masing, ditambah beban koper Anne dan George.
Sesampai di ujung desa, tampak jalan yang menuju ke kanan. Persis seperti yang
dikatakan anak perempuan di toko tadi.
"Tunggu dulu," kata Anne. Ia berhenti di depan sebuah toko di ujung jalan desa
itu. "Ada toko barang antik di sini! Lihat, itu ada ladam kuda antik, aku mau
beli satu-dua ah. Dan gambar-gambar itu... aduh, bagusnya!"
"Jangan sekarang dong, Anne!" keluh Julian. "Menurutku kegemaranmu pada barang
antik sudah keterlaluan! Ladam kuda lagi... kau sudah punya setumpuk, kan" Jika
kau mengira kita sekarang akan masuk ke toko gelap dan pengap itu, kau
keliru...." "Tidak, aku tidak masuk sekarang," kata Anne cepat-cepat, "tapi lain kali! Aku
akan datang sendirian, supaya bisa melihat-lihat dengan puas." Dibacanya nama
yang tertulis pada bagian depan toko itu. "William Finniston. Aneh, nama pemilik
tokonya sama dengan nama desa ini. Ah, mungkin..."
"Ayo," kata George tidak sabar, sementara Timmy menarik-narik rok Anne. Setelah
melirik ke jendela toko sekali lagi, Anne bergegas menyusul saudara-saudaranya.
Tapi dalam hati ia memutuskan akan datang lagi ke tempat itu sendirian.
Mereka meneruskan perjalanan. Menyusuri jalan mendaki yang berkelok-kelok.
Setelah beberapa saat berjalan, tampak pertanian yang dituju di kejauhan.
Bangunan utamanya berupa rumah besar bertingkat tiga, dengan dinding berwarna
putih. Jendela-jendelanya berukuran kecil, seperti layaknya bangunan zaman dulu. Rumah
itu sudah kuno. Di depannya ada beranda beratap datar. Di kanan-kirinya penuh
dirambati tanaman mawar merah dan putih.
Pintu depan rumah itu terbuka. Anak-anak berdiri di beranda berlantai batu,
sambil memandang ke serambi dalam yang agak gelap. Tampak di situ sebuah peti
tua terbuat dari kayu dan sebuah kursi ukir. Di lantai batu terhampar permadani
yang sudah agak usang. Sebuah jam besar berdetak pelan tapi nyaring.
Saat itu terdengar gonggongan anjing, yang langsung dibalas oleh Timmy.
"Ssst, diam," kata George, khawatir kalau-kalau nanti datang sekawanan anjing
pertanian dan menyerbu mereka. Ia memandang ke sana-sini, mencari bel atau alat
pengetuk pintu. Tapi sama sekali tidak ada. Kemudian Dick melihat semacam gagang
terbuat dari besi berukir, tergantung di sisi beranda itu. Mungkinkah itu
belnya" Ditariknya gagang itu. Seketika itu juga di dalam rumah menggema deringan bel.
Bunyinya nyaring sekali, sehingga anak-anak kaget mendengarnya. Mereka tetap
terpaku di tempat semula, menunggu ada orang muncul dari dalam. Tak lama
kemudian terdengar langkah mendekat dengan serempak. Dua orang anak muncul di
ambang pintu. Hei... kedua anak itu serupa sekali, seperti dua tetes air!
"Baru sekali ini aku melihat kembar dua yang begitu mirip," pikir Anne takjub.
Sementara itu Julian sudah menyapa, sambil tersenyum ramah.
"Selamat siang," katanya. "Kami keempat bersaudara Kirrin. Tentu kalian sudah
tahu bahwa kami akan datang hari ini."
Kedua anak kembar itu memandang saja. Sedikit pun mereka tidak membalas senyuman
Julian. Kemudian keduanya mengangguk dengan serempak.
"Lewat sini," kata mereka bersama-sama, lalu mendahului masuk ke dalam rumah.
Julian, Dick, George, dan Anne yang berdiri di luar saling berpandangan dengan
heran. "Aduh, bukan main soknya," bisik Dick, sambil menirukan air muka kedua anak yang
sudah masuk lagi ke rumah. Anne tertawa mengikik. Kemudian mereka masuk,
mengikuti kedua anak kembar yang memakai pakaian yang juga persis sama. Keduanya
memakai kemeja dan celana jins berwama biru tua. Keenam anak dan seekor anjing
itu beriringan menyusuri gang yang panjang, lalu masuk ke dalam dapur yang luas.
Ruangan itu tampaknya juga berfungsi sebagai kamar duduk.
"Anak-anak Kirrin, Bu!" kata si kembar serempak, lalu masuk bersama-sama ke
sebuah ruangan lain. Julian dan saudara-saudaranya kini berhadapan dengan
seorang wanita berwajah ramah:
Wanita itu tersenyum, sementara tangannya bergelimang adonan roti.
"Wah... cepat sekali kalian tiba! Maaf, aku tidak bisa bersalaman karena sedang
sibuk membuat adonan. Bagaimana perjalanan kalian kemari" Menyenangkan?"
Anak-anak langsung menyukai wanita yang ramah itu. Julian meletakkan koper yang
dijinjingnya ke lantai, lalu memandang berkeliling.


Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus sekali dapur ini!" katanya memuji. "Kuno, tapi bagus! Silahkan
melanjutkan kesibukan Anda, Bu Philpot... kami bisa mengurus diri sendiri.
Katakan saja kami harus ke mana. Dan terimakasih atas kesediaan anda menerima
kami." "Ah, justru aku yang harus berterima kasih," balas Bu Philpot. "Tentunya bibi
kalian sudah bercerita bahwa usahaku saat ini sedang mengalami kemunduran.
Untung dia mau membantuku, mengirim kalian untuk berlibur di sini selama dua
minggu. Aku sibuk sekarang, karena selain kalian, masih ada tamu lain yang
menginap di sini. Seorang Amerika bersama anak laki-lakinya."
"Tidak perlu repot-repot mengurus kami, Bu," kata Dick. "Tidur di lumbung pun
kami mau. Kami sudah biasa hidup begitu!"
"Ya, kurasa itu bisa menolong," kata Bu Philpot sambil mengaduk adonan. "Aku
punya kamar untuk kedua anak perempuan ini. Tapi rasanya kalian berdua yang
laki-laki, terpaksa sekamar dengan anak Amerika itu! Dan... yah, ada kemungkinan
kalian nanti tidak suka padanya."
"Ah, masa kami sampai tidak suka," kata Julian. "Tapi sebenarnya kami berdua
lebih senang bila bisa sendiri. Bagaimana kalau kami tidur saja di lumbung...
dengan tempat tidur lipat, misalnya."
Anne memandang wajah Bu Philpot yang ramah itu. Wanita itu tampak capek. Anne
merasa kasihan padanya. "Bu, jika Ibu memerlukan bantuan apa saja, bilang saja padaku dan Georgina,"
katanya. "Membereskan tempat tidur, membersihkan kamar, dan pekerjaan lain
semacam itu. Kami biasa membantu di rumah, jadi..."
"Wah, kalian ini tamu yang menyenangkan," kata Bu Philpot. Dipandangnya anak-
anak dengan ramah. "Tapi kalian tidak perlu repot-repot membantu. Kedua anak
kembarku sudah banyak membantu... bahkan terlalu banyak menurutku. Soalnya,
mereka juga sudah ikut bekerja menolong ayah mereka di pertanian. Sekarang
kalian naik saja dulu ke tingkat atas. Di sana ada dua kamar tidur. Yang sebelah
kiri untuk kalian berdua, yang perempuan. Sedang yang di kanan, di situlah anak
Amerika itu tidur. Dan kalian berdua pergi saja ke lumbung. Periksa dulu, apakah
kalian mau tidur di situ dengan tempat tidur lipat. Biar anak-anakku mengantar
kalian ke sana." Saat itu kedua anak yang dibicarakan datang lagi. Mereka tegak di ambang pintu,
tanpa mengatakan apa-apa. Mereka memang persis sama, seperti pinang dibelah dua.
"Siapa namamu?" tanya George pada salah seorang dari mereka.
"Harry!" jawab anak itu. Kemudian George bertanya pada yang satu lagi.
"Dan kau, siapa namamu?"
"Harry!" "Eh... masa namanya sama," seru George tercengang.
"Ya... soalnya begini," kata ibu mereka menjelaskan, "yang laki-laki waktu lahir
kami beri nama Henry... dengan panggilan Harry, tentunya. Sedang yang perempuan
bernama Harriet. Tapi ia sendiri menyebut dirinya Harry, supaya singkat. Jadi
sekarang keduanya dijuluki Harry kembar."
"Wah, kusangka tadi kedua-duanya laki-laki," kata Dick tercengang. "Aku tidak
bisa membedakan keduanya."
"Mereka merasa harus mirip satu dengan yang lain," kata Bu Philpot, "dan karena
Harry tak mungkin berambut panjang kayak anak perempuan, maka Harriet yang
kemudian memotong pendek rambutnya, supaya mirip dengan Harry! Aku sendiri
sering keliru sebut, kalau menghadapi salah seorang dari mereka."
"Ya, memang aneh... kadang-kadang memang ada anak perempuan yang ingin menjadi
laki-laki," kata Dick sambil nyengir. Diliriknya George yang menatapnya dengan
mata melotot. "Tolong antarkan anak-anak ini ke atas," kata Bu Philpot pada kedua anak
kembarnya, "dan sesudah itu antarkan yang laki-laki ke lumbung besar. Kalau
keduanya mau tidur di situ, mereka bisa memakai tempat tidur lipat kita."
"Kami yang tidur di sana," kata kedua Harry kembar. Tampang mereka cemberut,
persis seperti George kalau sedang marah.
"Kan sudah kukatakan tidak boleh," kata ibu mereka. "Kalian harus memindahkan
kasur kalian ke bilik kecil yang ada di sebelah tempat pengolahan susu."
"Di situ terlalu pengap," kata si kembar serempak.
"Bu... kami tidak mau merepotkan," sela Julian, karena merasa kedua Harry itu
tidak senang. "Biar kami saja yang tidur di bilik itu."
"Jangan," kata Bu Philpot, sambil melirik kedua anaknya, menyuruh mereka diam.
"Lumbung itu cukup untuk kalian berempat. Harry! Harriet! Sekarang antarkan
keempat tamu ini ke kamar tidur atas dengan barang-barang mereka. Setelah itu
ajak mereka ke lumbung."
Harry dan Harry alias Harriet mengangkat kedua koper milik Anne dan George
dengan tampang masam. Tapi dengan cepat Dick mengambilnya kembali.
"Biar kami saja yang membawanya ke atas," kata Dick dengan ketus. "Kami tidak
ingin tambah merepotkan kalian berdua."
Koper yang satu diserahkan pada Julian. Kedua Harry tampak tercengang sesaat,
lalu naik tangga menuju ke tingkat atas. Mereka diikuti Dick dan Julian, masing-
masing menjinjing sebuah koper. Lalu menyusul George dan Timmy. Sementara George
lebih merasa geli daripada jengkel menghadapi kejadian itu. Sebelum mengikuti
saudara-saudaranya, Anne masih sempat membungkuk untuk memungut sendok yang
dijatuhkan Bu Philpot. "Terima kasih, Nak," kata wanita itu. "Jangan kaget menghadapi kedua anakku itu.
Tingkah laku mereka kadang-kadang aneh, tapi sebenarnya keduanya baik hati!
Mereka cuma tidak suka ada orang asing di rumah mereka, cuma itu. Janji, ya,
kalian tidak peduli soal itu. Aku ingin kalian merasa senang di sini"
Anne memandang wajah wanita yang kelihatannya capek itu, lalu tersenyum. "Kami
janji tidak akan memedulikan soal itu, asal Ibu janji takkan repot-repot
mengurus kami. Kami sudah biasa mengurus diri sendiri. Betul, Bu! Dan katakan
saja apabila ada sesuatu yang perlu kami kerjakan"
Setelah itu Anne menyusul saudara-saudaranya ke atas. Mereka sudah berada dalam
kamar yang diperuntukkan baginya bersama George. Kamar itu cukup luas dengan
jendela yang tidak besar. Julian lalu melihat ke lantai.
"Hei, lantai ini terbuat dari papan kayu ek," katanya kagum. "Kelihatannya sudah
tua sekali, warnanya memutih! Wah, rupanya rumah ini sudah tua sekali. Hei,
lihat," sekarang Julian mendongak, "balok-balok di langit-langit itu, yang
melintang di atas. Ya, rumah ini benar-benar bagus!" Kalimat terakhir
ditujukannya pada Harry kembar.
Kedua anak itu diam saja. Tapi kepala mereka masih dianggukkan serempak sebagai
jawaban. Sikap mereka tetap kaku.
"Kalian berdua seperti digerakkan dengan mesin!" kata Dick. "Kata-kata yang
kalian ucapkan serempak selalu sama. Kalian berjalan sejajar, dan mengangguk pun
serempak! Tapi kalian tidak tahu bagaimana caranya tersenyum, ya?" Kedua anak
kembar itu menatapnya dengan sengit. Anne menyikut Dick.
"Sudahlah, Dick, jangan kau ganggu terus mereka," katanya.
"Mungkin mereka hendak mengantarkan kalian ke lumbung sekarang. Sementara itu
aku dan George mengeluarkan barang-barang kalian yang dititipkan dalam koper
kami. Nanti kami antarkan ke bawah."
"Baiklah," kata Dick, lalu berjalan ke luar bersama Julian. Di seberang gang
terdapat kamar tidur yang ditempati si anak Amerika. Pintu kamar itu terbuka
sehingga bisa dilihat isinya. Keadaan dalam kamar tidur itu acak-acakan,
sehingga Dick berseru, "Astaga, bagaimana ada orang bisa membuat kamar begitu berantakan!"
Setelah itu ia menuruni tangga, seiring dengan Julian. Ketika Dick menoleh
sebentar untuk melihat apakah Harry kembar ikut turun, dilihatnya kedua anak itu
berdiri di ujung atas tangga. Keduanya mengacungkan kepalan tinju ke arah kamar
tidur yang dipakai anak Amerika. Tampang mereka marah sekali!
"Rupanya Harry kembar sangat membenci anak Amerika itu," pikir Dick. "Mudah-
mudahan saja mereka tidak membenci kami pula."
"Yuk, kita ke lumbung," katanya keras-keras. "Jangan terlalu cepat, Jul. Tunggu
kedua anak itu... kasihan, mereka sudah begitu ingin mengantar kita!"
03. Dalam Lumbung Dengan sikap kaku, kedua anak kembar itu mendahului ke luar rumah. Mengitari
tempat pengolahan susu, lalu menuju ke sebuah lumbung yang besar sekali. Satu
dari mereka membukakan pintu.
"Wah, belum pernah kulihat lumbung sebagus ini," kata Julian, sambil memandang
ke dalam lumbung yang gelap. "Sudah tua sekali kelihatannya! Balok-balok yang
menjulang sampai ke bubungan atap... aku jadi teringat pada bangunan gereja
kuno. "Kenapa atap ini tinggi sekali" Apa yang biasanya disimpan di sini?"
"Tepung," kata kedua Harry serempak, kali ini mulut mereka seolah-olah membuka
dan menutup seirama. Kemudian Dick dan Julian melihat tempat tidur lipat sudah
ada di pojok ruangan itu.
"Jika kalian hanya ingin berdua saja tidur di sini, kami mau saja memakai bilik
kecil di samping tempat pengolahan susu, yang dikatakan ibu kalian tadi," kata
Julian. Sebelum kedua anak kembar itu sempat menjawab, dari arah tempat tidur lipat
terdengar gonggongan melengking. Seekor anjing pudel kecil berbulu hitam berdiri
di tempat itu. "Aduh, mungil betul anjing ini," kata Julian. "Punya kalian, ya" Siapa namanya?"
"Snippet," jawab Harry kembar serempak. "Sini, Snippet!"
Anjing kecil itu meloncat dari tempat tidur, lalu lari menghampiri mereka. Ia
menggonggong dengan gembira, sambil mengibas-ngibaskan ekor serta menjilat apa
saja yang ada di dekatnya. Dick hendak menggendong anjing yang lucu itu. Tapi
kedua anak kembar cepat-cepat merangkulnya.
"Dia anjing kami!" Nada suara mereka begitu galak, sehingga Dick kaget dan
mundur selangkah. "Ya deh, ya deh, aku juga tidak bermaksud mengambilnya. Tapi kalian harus hati-
hati, jangan sampai dia digigit oleh Timmy!" kata Dick menakut-nakuti. Kedua
Harry tampak ketakutan. Mereka berpandang-pandangan dengan cemas.
"Kalian tidak perlu takut," kata Julian buru-buru. "Timmy baik hati jika
menghadapi binatang yang lebih kecil. Hei, kenapa sikap kalian begini sih" Kan
tidak ada jeleknya jika lebih ramah sedikit. Dan biarlah kami tidur dalam bilik
kecil itu! Sungguh, kami sama sekali tak berkeberatan"
Kedua anak kembar itu berpandang-pandangan lagi, seperti sedang menduga pikiran
masing-masing. Kemudian mereka berpaling, menatap Dick dan Julian. Tampak bahwa
mereka sudah tidak seketus tadi lagi.
"Kita semua akan tidur di sini," kata mereka. "Sekarang kami ambilkan dulu dua
tempat tidur lipat lagi." Mereka pergi, diikuti Snippet yang berjalan sambil
meloncat-loncat. Julian menggaruk-garuk kepala. "Aku jadi merasa aneh menghadapi kedua anak
kembar itu," katanya. "Mereka itu seperti bukan manusia! Seakan-akan boneka,
kalau melihat mereka selalu bergerak dan berbicara dengan serempak."
"Kurasa mereka memang sengaja begitu," kata Dick dengan ketus. "Yah, pokoknya
asal kita jangan mengganggu mereka saja, selebihnya masa bodoh! Yuk, besok kita
melihat-lihat pertanian ini. Tampaknya besar juga... meluas sampai ke lereng
perbukitan. Aku sebenarnya ingin naik traktor!"
Tiba-tiba terdengar dering bel dari arah rumah yang besar. "Itu tanda apa?" kata
Dick. "Mudah-mudahan saja untuk memanggil kita, karena hidangan sore sudah
siap!" Pada waktu yang bersamaan, kedua Harry kembar muncul lagi dalam lumbung. Mereka
membawa sepasang tempat tidur lipat, yang mereka pasang sejauh mungkin dari
tempat tidur mereka. Dick datang menghampiri, maksudnya hendak membantu. Tapi
ditolak oleh kedua anak aneh itu. Dengan cekatan mereka memasang kedua tempat
tidur untuk Julian dan Dick.
"Teh sudah dihidangkan," kata kedua Harry, ketika mereka selesai mengatur tempat
tidur lengkap dengan selimut serta bantal. "Sekarang kami tunjukkan tempat cuci
tangan" "Trims," kata Julian dan Dick serempak. Keduanya berpandangan sekilas, lalu
nyengir. "Kita harus hati-hati, nanti ketularan mereka," kata Julian. "Hei, anjing kecil
itu memang kocak! Lihatlah, sekarang ia mengendap-endap, hendak menyergap burung
gagak itu." Snippet dan gagak kejar-kejaran lucu sekali. Dick dan Julian tertawa terpingkal-
pingkal melihat adegan itu. Kedua Harry tersenyum. Akhirnya si gagak malah
hinggap di atas punggung Snippet. Anjing itu kaget, lalu lari secepat-cepatnya
mengelilingi seluruh ruangan.
"Berguling, Snippet... berguling!" seru kedua Harry. Seketika itu juga Snippet
menjatuhkan diri. Tapi gagak konyol itu sudah terbang lagi, sambil berkaok-kaok
menang. Lalu hinggap lagi, sekali ini di atas kepala salah seorang Harry.
"Eh, dia jinak rupanya," kata Dick. "Siapa namanya?"
"Nosey" jawab kedua Harry serempak. Nosey berarti "melit"-'selalu ingin tahu'.
Nama itu memang cocok bagi burung gagak yang iseng itu!
"Dia piaraan kami," sambung kedua anak itu. "Pada suatu hari ia terjatuh ke
dalam cerobong asap. Sayapnya patah. Kemudian kami rawat sampai sembuh kembali.
Kini dia tidak mau pergi lagi!"
"Astaga!" kata Dick, sambil memandang kedua anak kembar itu. "Yang bicara itu
benar-benar kalian atau gagak itu" Ternyata kalian bisa juga bicara dengan
normal!" Nosey mematuk telinga anak kembar yang kepalanya dijadikan tempat bertengger.
"Jangan, Nosey!" seru anak itu. Nosey langsung terbang menjauh. Bunyi kaokannya
terdengar seperti tawa mengejek.
Saat itu Anne dan George muncul. Keduanya disuruh oleh Bu Philpot mencari Dick
dan Julian, karena menurut Bu Philpot kedua anak kembar itu pasti tidak
mendengar bel yang memanggil mereka. Timmy ikut juga, seperti biasa, ia tak mau
ketinggalan. "Kalian masih ada di sini rupanya!" kata Anne, begitu masuk ke dalam lumbung.
"Kata Bu Philpot, kita..."
la tidak melanjutkan kalimatnya, karena tepat pada saat itu Timmy menggonggong.
Anjing itu melihat Snippet yang sedang mengendus-endus di belakang karung-karung
tepung. Anjing pudel itu masih mencari-cari gagak yang tadi mengganggunya. Timmy
memandang Snippet dengan heran. Binatang apakah itu" Sekali lagi ia menggonggong
sambil berlari menghampiri Snippet. Anjing itu berdengking karena takut, lalu
langsung melompat ke dalam pelukan salah satu dari si kembar.
"Jauhkan anjing kalian," kata anak-anak itu dengan sengit. Dua pasang mata
memandang Julian serta saudara-saudaranya sambil melotot.
"Jangan takut... dia takkan mengapa-apakan Snippet," kata George. Didekatinya
Timmy, lalu dipegangnya kalung lehernya. "Sungguh, dia tidak apa-apa."
"Bawa anjingmu pergi dari sini!" bentak kedua Harry. Dari tempat yang tinggi di
bawah atap, burung gagak itu berkaok-kaok dengan galak.
"Ya deh, ya deh," tukas George ikut melotot. "Yuk, Tim! Anjing sekecil itu,
sekali telan juga habis!"
Anak-anak kemudian kembali ke rumah. Semua berjalan sambil berdiam diri. Snippet
ditinggal di tempat tidur lipat salah satu Harry kembar. Suasana yang tidak enak
itu agak mereda, ketika mereka masuk ke dalam dapur yang luas. Hidangan sore
sudah tersaji di atas meja yang besar. Di sekeliling meja diatur sejumlah kursi.
"Hmm," kata George, sambil mengangkat tutup sebuah panci. "Roti panas. Tak
kusangka aku akan senang makan roti panas pada hari sepanas sekarang ini...
habis sajian ini_ kelihatannya enak sekali! Hm... bergelimang mentega lagi,
justru yang begini yang kusukai!"
Keempat anak itu memandang hidangan yang sudah diatur di atas meja dengan penuh
selera. Bu Philpot sibuk menuangkan teh ke dalam cangkir-cangkir.
"Ibu tak perlu memanjakan kami," kata Julian. Menurut perasaannya, Bu Philpot
terlalu sibuk mengurus mereka berempat. "Jangan repot-repot"
Tiba-tiba keempat anak itu kaget setengah mati, karena saat itu terdengar suara
lantang dari dekat jendela. Ternyata ketika masuk tadi; mereka tidak melihat
bahwa ada seseorang duduk di situ. Orang itu sudah tua. Badannya kekar.
Rambutnya sudah putih semua, begitu pula janggutnya yang panjang. Janggut itu
panjang sekali, hampir ke pinggang. Mata orang tua itu berkilat-kilat menatap
mereka. "Repot, katamu," tukas orang itu. "Repot" Hah! Orang zaman sekarang tidak tahu
apa yang namanya bekerja. Itulah sebabnya! Bisanya cuma mengomel, minta ini-itu.
Hah!" "Sudahlah, Kakek," kata Bu Philpot menenangkan. "Minum saja tehnya, lalu sesudah
itu istirahat. Kakek sudah seharian sibuk di kebun. Itu kan terlalu berat untuk
Kakek" Ucapan Bu Philpot membuat Kakek makin jengkel. "Terlalu berat?" tukasnya.
"Dengar, dulu waktu aku masih muda, aku... he, ini siapa?"
Pertanyaan itu ditujukan pada Timmy! Anjing itu kaget mendengar laki-laki tua
itu tiba-tiba berteriak-teriak. Bulu kuduk Timmy langsung tegak, sementara dalam
kerongkongannya terdengar geraman berat. Tapi kemudian menyusul kejadian yang
sama sekali tidak disangka-sangka.
Dengan langkah pelan Timmy menghampiri orang tua itu. Setelah dekat,
diletakkannya kepalanya ke pangkuan orang itu! Semua melongo melihatnya; apalagi
George. Mula-mula laki-laki tua itu tidak mengacuhkan Timmy. Dibiarkannya kepala anjing
itu terletak di pangkuannya, sementara ia masih terus marah-marah.


Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Zaman sekarang orang tak tahu apa-apa! Tidak tahu mana biri-biri yang berharga,
sapi jantan yang baik, anjing yang setia. Dan..."
Timmy menggerakkan kepalanya sedikit. Kakek tertegun, memandang Timmy lalu
menepuk-nepuk kepalanya. "Nah, ini baru anjing namanya," kata pak tua itu. "Anjing sejati! Anjing yang
bisa dijadikan pengiring setia. Aku jadi teringat lagi pada True, anjingku yang
sudah mati." George memandang Timmy sambil melongo. "Baru kali ini dia mau berbuat begitu
terhadap orang yang belum dikenal," katanya.
"Anjing-anjing semuanya selalu begitu terhadap Kakek," kata Bu Philpot pelan.
"Kalian tidak perlu takut kalau Kakek berteriak-teriak. Ia memang biasa begitu.
Lihatlah, sekarang Timmy malah berbaring dekat kaki Kakek. Sekarang kedua-duanya
sudah tenang. Kakek akan meminum tehnya dengan nyaman. Kalian tidak perlu
memedulikannya lagi."
Anak-anak masih tetap tercengang selama beberapa saat. Tapi itu tidak
menghalangi mereka untuk menikmati hidangan sore, sambil bertanya bermacam-macam
pada Bu Philpot mengenai pertanian itu.
"Ya, tentu saja kalian boleh naik traktor, kalau mau," kata Bu Philpot. "Kami
juga mempunyai sebuah mobil Land-Rover yang sudah tua, yang bisa kalian pakai
berkeliling pertanian ini. Tunggu saja sampai suamiku datang... nanti dia akan
mengatakan apa-apa saja yang bisa kalian lakukan di sini"
Begitu asyik mereka mengobrol sambil makan dan minum, sehingga tidak ada yang
melihat sesosok tubuh berwarna hitam masuk lalu menghampiri Kakek. Yang datang
ternyata Snippet. Setelah merasa aman, anjing itu pergi dari lumbung dan masuk
ke dapur. Ketika Bu Philpot berpaling ke jendela untuk menawarkan secangkir teh lagi pada
Kakek, barulah tampak olehnya pemandangan luar biasa di situ. Bu Philpot
menyenggol kedua anaknya, yang langsung menoleh.
Keduanya melihat Timmy berbaring dengan tenang di sela kedua kaki Kakek. Sedang
Snippet berbaring di sela kedua kaki depan Timmy.
"Sekarang Kakek pasti senang," kata Bu Philpot. "Ada dua ekor anjing berbaring
di kakinya. Dan... hei lihat, itu suamiku... Trevor! Sekarang kita semua
berkumpul!" 04. Junior! Seorang laki-laki bertubuh besar masuk ke dapur. Tampangnya mirip sekali dengan
kedua Harry kembar. Jalannya agak membungkuk. Kelihatannya dia capek sekali.
Ketika masuk, ia cuma mengangguk tanpa tersenyum sama sekali. "Trevor, ini dia
tamu-tamu kita yang kuceritakan padamu waktu itu," kata Bu Philpot. "Yang ini,
namanya Julian, dan yang itu bernama..."
"Ada tamu lagi?" kata Pak Trevor sambil mengeluh. "Aduh, rumah ini penuh dengan
anak-anak! Mana anak Amerika itu" Dia perlu kumarahi sebentar. Tadi pagi dia
mencoba menjalankan sendiri traktor kita, lalu..."
"Sudahlah, Trevor, nanti saja soal itu kauurus. Sekarang cuci tangan dulu, lalu
makan bersama kami," kata Bu Philpot. "Sudah kubuatkan kue-kue kesukaanmu."
"Aku tidak sempat makan sekarang," kata suaminya. "Belum selesai pekerjaanku!
Tolong tuangkan secangkir teh, nanti kubawa ke tempat pengolahan susu dan
kuminum di sana. Aku harus mengawasi pemerahan sapi. Bob hari ini tidak masuk!"
"Kami membantu, Yah!" kata kedua Harry serempak seperti biasa. Dan serempak pula
keduanya berdiri. "Jangan," kata ibu mereka. "Kalian sudah sibuk terus sejak pukul tujuh pagi.
Sekarang habiskan dulu makanan kalian"
"Tenaga kalian sangat berguna bagiku," kata Pak Trevor sambil berjalan menuju ke
pintu, "tapi kurasa ibu kalian saat ini lebih memerlukan bantuan, karena dia
sangat repot!" "Bu Philpot, biar saja mereka membantu Pak Trevor," kata Julian menyela. "Kami
bisa membantu di sini. Kami biasa membantu di rumah."
"Dan kami senang melakukannya," kata Anne menambahkan. "Biarlah kami membantu,
Bu, supaya kami merasa betah di sini! Bagaimana jika kami yang membereskan meja
makan serta mencuci piring, sementara kedua anak Ibu membantu di tempat
pengolahan susu?" "Biar mereka membantu!" Tiba-tiba Kakek berteriak dari tempatnya di dekat
jendela. Timmy dan Snippet terlompat karena kaget. "Begitukah anak-anak zaman
sekarang, selalu harus diladeni"! Hah!"
"Sudahlah, Kek," kata Bu Philpot. "Kakek jangan khawatir. Kami bisa
menanggulanginya." Kakek mendengus dengan keras. Dipukulkannya tinjunya ke
lengan kursinya. "Sudah selalu kukatakan..." Tapi Kakek tidak jadi berbicara, karena pada saat
itu terdengar langkah orang datang dari serambi menuju ke dapur. Salah seorang
dari mereka berbicara dengan logat Amerika. Suaranya lantang.
"Yah, aku ikut ya! Tempat ini tidak enak, tidak ada apa-apanya! Aku ikut ke
London ya, Yah?" "Itu tamu-tamu Amerika kalian, ya?" tanya Dick. Ia berpaling,
memandang kedua Harry. Tampang kedua anak itu berubah, tampak masam sekali.
Keduanya mengangguk serempak. Kemudian tampaklah seorang laki-laki bertubuh
gempal. Pakaiannya keren, gaya orang kota. Ia bersama seorang anak laki-laki gendut
bertampang pucat yang berusia sekitar sebelas tahun. Ayah dan anak itu berdiri
di ambang pintu. Ia memandang berkeliling, sambil menggosok-gosokkan telapak
tangannya. "Hiya, folks!" sapanya dengan gaya Amerika. "Kami baru saja- kembali dari desa.
Kami membeli beberapa suvenir di sana! Wah, harganya murah sekali! Kami agak
terlambat, ya" Dan, siapa anak-anak ini?" Dipandangnya Julian dan saudara-
saudaranya sambil tertawa lebar. Julian berdiri, lalu menjawab dengan sopan.
"Kami berempat ini bersaudara," katanya. ''Kami akan menjadi tamu di sini selama
dua minggu." "Tinggal di sini" Mau tidur di mana?" tanya si anak gendut, sambil menarik
sebuah kursi ke meja. "Tempat ini payah, ya... Tidak ada bak mandi, tidak
ada..." "Tutup mulutmu!" hardik kedua Harry serempak sambil melotot. Anne tercengang
melihat sikap mereka yang kasar itu.
"Boleh saja kan mengatakan pendapat," kata si anak gendut. "Ini kan negara
bebas! Wah, kalian perlu melihat Amerika sekali-sekali. Itu baru negara hebat!
Bu Philpot, aku minta kue sepotong, ya... kelihatannya enak!"
"Tidak bisa minta dengan sopan, ya!" Terdengar suara membentak dari dekat
jendela. Siapa lagi yang berbicara, kalau bukan Kakek! Tapi si gendut tidak
memedulikannya sama sekali. Ia tetap menyodorkan piringnya, sementara Bu Philpot
mengiriskan sepotong kue yang besar untuk dia.
"Aku juga minta sepotong seperti Junior, Bu Philpot," kata ayah anak itu juga
sambil menyodorkan piringnya pada Bu Philpot. "Wah, Anda perlu melihat barang-
barang yang kami beli tadi. Asyik juga kita hari ini ya, Junior?"
"Betul, Yah," kata si anak. Rupanya ia dijuluki Junior oleh ayahnya sendiri.
"He, bisakah aku minta minuman dingin" Siapa mau minum teh panas sekarang" Malah
berkeringat lagi nanti!"
"Sebentar, kuambilkan limun dengan es," kata Bu Philpot, sambil bangkit dari
kursinya. "Biar dia mengambilnya sendiri! Anak rewel!" Kakek mulai marah-marah lagi. Tapi
sementara itu kedua Harry sudah mendahului ibu mereka, pergi mengambil limun
dengan es untuk Junior. George kaget sekali melihat air muka merekatampak jelas
bahwa mereka sangat membenci anak Amerika itu!
"Kakek itu tentunya sangat merepotkan Anda, ya," kata laki-laki Amerika dengan
suara pelan pada Bu Philpot. "Selalu mencampuri urusan orang lain! Lagi pula,
sikapnya kasar." "Jangan bisik-bisik," teriak Kakek. "Aku toh bisa mendengar setiap kata."
"Sudahlah, Kek, jangan marah-marah terus," kata Bu Philpot. "Tidur saja sebentar
di situ." "Tidak! Aku mau keluar lagi," kata Kakek. Ia berdiri dari kursinya.
"Di sini ada orang-orang yang membuat aku muak!" Kemudian ia melangkah keluar
dibantu tongkatnya. "Kayak orang zaman dulu," kata Anne pada Dick. Timmy bangun, hendak mengikuti
Kakek keluar, disusul oleh Snippet.
"Wah! Besar sekali anjing itu!" kata Junior ketika melihat Timmy. "Siapa
namanya" Aku baru sekarang melihatnya di sini." la bersiul, memanggil Timmy.
"Nih, kuberi roti!"
Tapi Timmy sama sekali tak mengacuhkannya. George menoleh kearah Junior, lalu
menyapanya dengan ketus, "Itu Timmy, anjingku. Cuma aku sendiri yang boleh
memberi dia makan!" "Alaaa!" kata Junior. Diambilnya sepotong kue, lalu dilemparkannya kedekat kaki
Timmy. "Itu, untuk anjingmu!"
Timmy memandang kue itu sebentar, tapi tetap berdiri di tempatnya: Kemudian
dipandangnya George. "Sini, Tim," panggil anak itu. Dan Timmy langsung menghampiri dia. Kue yang
dilemparkan oleh Junior tetap tergeletak di lantai.
"Anjingku takkan mau memakannya," kata George. "Jadi sekarang pungut lagi,
karena mengotori lantai."
"Kau saja yang memungutnya," jawab Junior sambil meraih sepotong roti lagi.
"Galak amat sih, pakai melotot segala. Mataku jadi silau!" Tiba-tiba George
merasa rusuknya ditumbuk... si gendut! Detik berikutnya Timmy sudah ada di sisi
George, menggeram-geram, membuat Junior cepat-cepat menjauh.
"Yah, anjing ini galak!" teriaknya. "Aku nyaris saja digigitnya tadi!"
"Bohong!" kata George. "Tapi mungkin dia akan menggigit, jika kau tak mengikuti
kataku. Pungut kue itu!"
"Biar saja aku menyapunya nanti," kata Bu Philpot menengahi. Wanita itu tampak
semakin gelisah. "Anda masih mau kue lagi, Pak Henning?"
Suasana di meja makan sama sekali tidak menyenangkan. Anne sudah tidak sabar
lagi menunggu selesai. Sedang Junior menjadi lebih tenang sikapnya, karena Timmy
mengambil tempat berbaring di antara kursinya dan kursi yang diduduki George.
Pak Henning, ayah Junior, tidak henti-hentinya bercerita tentang barang-barang
yang diborongnya itu. Semua merasa bosan mendengarnya. Kemudian kedua Harry
masuk lagi kedapur. Mereka meletakkan teko berisi limun dengan dua buah gelas
keatas meja, karena siapa tahu Pak Henning juga ingin minum limun. Setelah itu
kedua anak kembar itu pergi lagi.
"Ke mana mereka?" tanya Junior. Ia minum limun dengan gaya seenaknya. "Hmm...
sedaap!" "Kurasa kedua anak itu pergi membantu memerah sapi," kata Bu Philpot. Julian
menatap wanita itu. Kelihatannya Bu Philpot capek sekali. Memang repot melayani
tamu sebanyak itu sekaligus.
"Aku juga mau membantu memerah," kata Junior dengan tiba-tiba. Anak itu langsung
pergi meninggalkan kursinya.
"Lebih baik jangan, Junior," kata Bu Philpot. "Waktu itu kau sudah membuat sapi-
sapi menjadi gugup."
"Alaa, itu kan cuma karena aku belum biasa," kata Junior. Julian memandang Pak
Henning. Dikiranya orang itu akan melarang anaknya. Tapi Pak Henning diam saja.
Ia menyalakan rokok, lalu melemparkan puntung korek api dengan seenaknya ke
lantai. Tampang George masam. Diperhatikannya Junior berjalan ke pintu. Seenaknya saja
anak itu, nekat hendak ikut memerah, walau sudah dilarang Bu Philpot! George
mengatakan sesuatu pada Timmy dengan suara pelan. Anjing itu segera lari ke
pintu, mencegat Junior sehingga tidak bisa lewat.
"Ayo minggir," kata Junior. Timmy menggeram. "Hei, suruh dia kembali!" kata
Junior lagi sambil berpaling.
Tapi George diam saja. Begitu pula Julian, serta kedua adiknya. Bu Philpot
bangun, lalu mulai membenahi meja. George seakan-akan melihat mata wanita itu
berkaca-kaca. Tidak mengherankan jika Bu Philpot menangis apabila setiap hari
harus menghadapi suasana seperti itu!
Timmy tetap tidak mau beranjak dari ambang pintu. Sekali-sekali ia menggeram
dengan galak. Akhirnya Junior menyerah. Ia sebetulnya ingin sekali menyepak
Timmy, tapi tidak berani. Karena itu ia lantas kembali ke ayahnya.
"Kita jalan-jalan yuk, Yah?" katanya.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, kedua orang Amerika itu meninggalkan dapur lewat
pintu yang satu lagi. Tarikan napas lega terdengar dari sekeliling meja makan.
"Sebaiknya Ibu beristirahat dulu sebentar," kata Anne. "Biar kami saja yang
mencuci piring" "Kalian baik hati," kata Bu Philpot. "Sejak pagi aku sudah sibuk terus. Jadi
enak juga bila bisa istirahat selama dua puluh menit. Kurasa sarafku tidak kuat,
kalau terus-terusan menghadapi Junior. Mudah-mudahan saja Timmy tidak akan
menggigitnya!" "Kalau anak itu bertingkah terus, ada kemungkinan dia akan digigit," jawab
George dengan sikap tak peduli.
Dikumpulkannya cangkir dan piring kotor bersama Anne. "Kalian berdua mau
mengerjakan apa sekarang" Mau pergi ke tempat pemerahan?"
"Ya, kami kan sudah sering memerah sapi," kata Dick. "Pekerjaan yang
menyenangkan! Aku senang bau sapi. Sampai nanti! Dan kalau si gendut tadi rewel
lagi, panggil saja kami. Ingin rasanya aku menjejalkan mukanya ke kue yang
dicampakkannya ke lantai itu!"
"Nanti akan kusapu," kata Anne. "Sampai ketemu makan malam!"
Dick dan Julian melangkah ke luar, sambil bersiul-siul. Bu Philpot sudah masuk
ke kamarnya. Hanya Anne, George, dan Timmy yang masih tinggal di dapur.
"Aku agak menyesal datang kemari," kata George, sambil membawa piring-piring
kotor ketempat cuci. "Banyak sekali pekerjaan Bu Philpot sekarang. Tapi, dia
juga perlu uang..." "Yah, kita kan bisa membantunya," kata Anne. "Dan kita juga sudah berniat untuk
selalu pergi seharian. Jadi tak usah sering-sering bertemu muka dengan Junior."
05. Malam di Pertanian Sehabis mencuci piring, George dan Anne menyusul ke tempat pemerahan. Di situ
tampak sapi berjejer-jejer. Pemerahan sudah hampir selesai. Kedua Harry kembar
menggiring sapi yang sudah selesai diperah, kembali ke lapangan.
"Nah, bagaimana dengan pekerjaan kalian?" tanya Anne pada kedua abangnya.
"Asyik," kata Dick. "Hasil perahanku selalu lebih banyak daripada Julian.
Soalnya sambil memerah aku bernyanyi. Dan rupanya sapi-sapi suka mendengar
nyanyianku!" "Konyol!" kata George. "Eh, kalian sempat berbicara dengan Pak Trevor?"
"Ya, katanya besok kita akan diajaknya pesiar mengelilingi pertanian dengan Land
Rover," kata Dick. "Dan kita juga boleh naik traktor! Itu jika Bill mau
mengajak. Kata Pak Trevor, biar bagaimanapun Bill tidak akan mengizinkan Junior
ikut naik traktornya. Jadi mungkin akan terjadi pertengkaran, jika anak itu
melihat kita diperbolehkan!"
"Aku sudah siap menghadapi pertengkaran, begitu pula Timmy," kata George geram.
"Aku memang sudah kepingin berterus terang pada anak itu!"
"Siapa yang tidak?" kata Julian. "Tapi lebih baik kita menahan diri dulu, sampai
tiba saatnya yang tepat! Aku tidak ingin membuat Bu Philpot repot... karena jika
kedua tamu Amerika itu sampai pergi, ia akan rugi. Pasti mereka berani membayar
mahal!" "Ya, aku juga mengerti, Ju," kata George. "Tapi Timmy tidak! Dia sudah ingin
sekali menyerang Junior."
"Sama dong kayak aku!" kata Dick. Diusap-usapnya kepala Timmy. "Hei, sudah pukul
berapa sekarang" Kita jalan-jalan yuk!"
"Jangan ah," kata Julian. "Betisku terasa pegal. Habis, sehari ini kita naik-
turun bukit terus! Atau begini saja, kita tetap jalan-jalan, tapi jangan jauh-
jauh!" Mereka pun berjalan-jalan dengan santai, melihat-lihat pertanian itu. Semua
bangunan yang ada di situ sudah sangat tua, bahkan ada beberapa yang bagiannya
sudah runtuh. Genteng atap-atapnya khas daerah Dorset, terbuat dari batu, tidak
rata, dan kasar. Lumut hijau dan merah menyelubunginya.
"Bagus sekali, ya?" kata George. Ia berhenti sebentar, memperhatikan genteng
sebuah gudang kecil. "Lihat, belum pernah kulihat lumut berwarna merah menyala
seperti itu! Sayang, banyak yang sudah dilepaskan, diganti dengan genteng
murahan!" "Mungkin sudah dijual oleh keluarga Philpot," kata Julian. "Genteng batu tua
seperti itu, yang sudah berlapis lumut merah, kalau dijual bisa mahal sekali
harganya. Apalagi jika yang membeli orang Amerika! Di Amerika, banyak lumbung
yang atapnya dilapisi dengan genteng batu yang didatangkan dari sini, lengkap
dengan lumut! Rupanya pemiliknya menginginkan suasana pedesaan Inggris."
"Kalau aku punya tempat sebagus ini, aku takkan mau menjualnya! Biar sepotong
genteng pun takkan kujual!" kata George sengit.
"Mungkin kau tidak mau," kata Dick. "Tapi ada orang yang terpaksa menjual
miliknya sebagian, supaya dengan uang hasilnya bisa merawat pertaniannya agar
tidak terbengkalai! Bagi mereka, ladang lebih penting daripada genteng tua."
"Kurasa Kakek takkan mau menjual, kalau tidak benar-benar terdesak," kata Anne.
"Aku ingin tahu, apakah tamu Amerika itu juga mencoba membeli genteng-genteng
ini. Kurasa pasti dia tertarik!"
Asyik juga mereka melihat-lihat bangunanbangunan yang ada di situ. Mereka sampai
di sebuah gudang tua, yang berisi barang usang yang sudah tidak dipakai lagi.


Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Julian mengacak-acak di situ dengan penuh minat.
"Lihatlah, besar sekali gerobak itu," katanya sambil menunjuk ke sudut yang
gelap. "Hampir setinggi kepalaku. Wah, rupanya dulu orang-orang sini biasa
membuat gerobak sendiri! Bahkan mungkin bekerjanya dalam gudang ini. Dan dengan
perkakas buatan sendiri pula. Coba lihat alat kuno ini! Untuk apa, ya?"
Anak-anak memperhatikan alat kuno itu. Bentuknya melengkung. Alat itu tidak
enteng. Julian membayangkan, pasti ia tidak mampu menggunakannya lebih dari
sepuluh menit. "Tapi kurasa Kakek mampu sehari penuh, tanpa capek," tambahnya. "Tentu saja
waktu ia masih muda! Waktu itu Kakek pasti kuat sekali."
"Kau masih ingat cerita anak perempuan pemilik toko es krim?" sela Anne.
"Katanya, Kakek dulu pernah berkelahi dengan sapi jantan dan menang! Kita mesti
minta Kakek menceritakan pengalamannya itu pada kita. Pasti dia mau!"
"Aku suka padanya, walau kerjanya mengomel dan membentak-bentak terus," kata
Julian. "Hei, hari sudah senja. Kita tadi lupa menanyakan, kapan kita harus
pulang untuk makan malam."
"Setengah delapan," kata George. "Aku sudah menanyakannya tadi. Jadi sebaiknya
kita kembali sekarang, karena masih harus mandi dan sebagainya. Kecuali itu, aku
dan Anne hendak membantu mengatur meja"
"Baiklah. Kalau begitu kita kembali sekarang," kata Julian. "Ayo, Tim, jangan
suka mengendus-endus sampah!"
Mereka kembali ke rumah. George dan Anne bergegas mandi, karena melihat Bu
Philpot sudah sibuk menyiapkan makan malam.
"Sebentar, Bu!" seru Anne. "Nanti kami saja yang mengupas kentang. Wah,
pertanian ini bagus sekali! Kami tadi melihat-lihat gudang tua."
"Ya, tempat itu perlu dibersihkan," kata Bu Philpot, la tampak agak segar
sekarang, karena sudah beristirahat biarpun cuma sebentar. "Tapi Kakek tidak mau
mengizinkan. Katanya, ia sudah berjanji pada kakeknya bahwa tak sepotong pun
dari barang-barang yang ada di situ akan dibuang olehnya. Tapi genteng batu yang
bagus itu, ada yang sudah kami jual. Tentu saja pada orang Amerika! Orang itu
kawan Pak Henning. Wah, Kakek marah sekali ketika mengetahuinya. Ia marah-marah
sampai beberapa hari. Kasihan! Siang-malam ia menjaga sambil membawa garu kalau-
kalau ada orang asing berani menginjak tanahnya. Kami sampai repot sekali
menyabarkan Kakek" Makan malam menyenangkan, karena Pak Henning serta anaknya tak muncul. Suasana
menjadi meriah. Berkelakar sambil tertawa-tawa. Tapi seperti biasa, kedua Harry
kembar tidak banyak bicara. Anne sampai heran melihat mereka. Apa sebabnya kedua
anak itu tidak suka beramah-tamah" Sekali-dua kali ia mencoba tersenyum pada
mereka. Tapi setiap kali, kedua anak itu membuang muka.
Snippet berbaring dekat kaki kedua anak itu, sedang Timmy seperti biasa
menempati posnya di bawah meja. Kakek tidak hadir. Begitu pula Pak Trevor.
"Kakek dan suamiku masih bekerja di ladang, mumpung hari masih terang," kata Bu
Philpot menjelaskan. "Saat ini memang bertumpuk-tumpuk pekerjaan yang harus
dilakukan." Sementara sedang asyik makan, tiba-tiba Anne menguap. "Aduh, maaf!" katanya,
"tapi tak bisa kutahan lagi. Entah kenapa, rasanya aku mengantuk sekali."
"Sekarang aku ketularan," kata Dick. Ia cepat-cepat menutup mulut dengan tangan,
menyembunyikan kuap yang menjadi-jadi. "Tapi aku tak heran, apa sebabnya kita
sekarang sudah mengantuk. Aku dan Julian subuh tadi sudah berangkat! Dan kalian
pun, naik bus selama itu... pasti sekarang capek."
"Kalau begitu pergi saja tidur sekarang," kata Bu Philpot. "Besok tentunya
kalian ingin bangun pagi-pagi sekali. Kalau kedua Harry, mereka selalu bangun
pukul enam pagi. Mereka tidak senang bermalas-malasan di tempat tidur."
"Nah, kalau Junior, pukul berapa dia bangun?" George bertanya sambil nyengir.
"Juga pukul enam?"
"Ah, biasanya pukul sembilan lewat," jawab Bu Philpot. "Sedang Pak Henning, dia
baru turun kalau sudah pukul sebelas. Keduanya biasa sarapan di tempat tidur."
"Apa" Junior juga" Jadi Anda mengantarkan sarapan ke atas, untuk anak itu?" kata
Dick tercengang. "Kenapa tidak Anda seret dia dari tempat tidur?"
"Yah, mereka kan tamu," kata Bu Philpot. "Dan mereka membayar cukup tinggi."
"Aku saja yang mengantarkan sarapan untuk Junior," kata George dengan tiba-tiba.
Ketiga saudara sepupunya memandang dengan heran. "Ya, aku dan Timmy. Kami ingin
melayani anak itu. Ya kan, Tim?"
Dari bawah meja terdengar bunyi yang aneh. "Kedengarannya kayak Timmy tertawa,"
kata Dick. "Dan aku juga tidak heran kalau dia betul-betui tertawa. Aku ingin
melihat tampang Junior saat George masuk bersama Timmy-mengantarkan sarapan
untuk dia." "Mau taruhan bahwa aku benar-benar akan melakukannya?" tanya George, yang merasa
ditantang. "Boleh saja;" balas Dick. "Aku berani mempertaruhkan pisau lipatku yang baru,
bahwa kau takkan mau!"
"Sip!" kata George. Bu Philpot bingung melihat kelakuan kedua anak itu.
"Wah, jangan," katanya. "Aku tidak setuju, jika ada tamu melayani sesama tamu.
Walau harus kuakui, kakiku capek naik-turun tangga sambil membawa baki!"
"Akan kuantarkan sarapan untuk Junior dan Pak Henning, kalau Anda setuju," kata
George, setengah ramah, setengah kesal.
"Untuk Pak Henning tidak usah," kata Julian. Ia melirik Geroge. "Jangan
berlebih-lebihan! Baki Junior saja sudah cukup."
"Ya deh, ya deh," kata George agak merajuk. "Apakah mereka berdua tidak makan?"
"Malam ini tidak," kata Bu Philpot dengan nada lega. "Kalau tidak salah, mereka
makan malam di salah satu hotel, di Dorchester. Mungkin mereka merasa bosan,
terus-terusan makan hidangan desa yang sederhana di sini. Tapi mudah-mudahan
saja mereka tidak pulang terlalu larut nanti. Kakek kebiasaan cepat mengunci
pintu." Anak-anak merasa lega ketika selesai makan dan sudah berbenah serta mencuci
piring, karena rasa kantuk sudah tidak bisa ditahan lagi. Mereka betul-betul
sudah capek, karena seharian sibuk terus.
"Selamat tidur, Bu," kata mereka. "Kami akan tidur sekarang."
"Kalian ikut?" tanya Julian pada kedua Harry. Kedua anak itu rnengangguk
serempak. Mereka kelihatannya juga sudah capek. Dalam hati Julian bertanya-
tanya, apa sebabnya Pak Trevor dan Kakek belum datang juga. Mungkin masih sibuk
bekerja di luar, pikirnya. Julian menguap. Yah, pokoknya ia hendak tidur
sekarang. Menurut perasaannya saat itu, biar disuruh menggeletak di tanah
sekalipun, ia pasti akan tidur nyenyak malam itu.
Anne dan George naik ke kamar tidur mereka di atas. Sedang Julian dan Dick
berjalan dengan kedua Harry ke lumbung. Sesampai di atas, George mengintip
sebentar ke kamar Junior yang terbuka pintunya. Kamar itu semakin acak-acakan
kelihatannya. Di lantai berserakan kulit kacang. Rupanya Junior makan kacang
dalam kamar, tapi malas membersihkan.
Tak lama kemudian semua sudah berbaring di tempat tidur masing-masing. Anne dan
George di sebuah tempat tidur luas berkasur keras. Dan Julian serta Dick di
tempat tidur lipat masing-masing, seperti kedua Harry.
Dua jam kemudian Anne dan George terbangun, karena bunyi ribut-ribut. Dengan
ketakutan mereka duduk di tempat tidur. Timmy menggonggong karena merasa
terganggu. George menyelinap ke puncak tangga. Didengarnya suara Kakek yang
lantang di bawah. George kembali ke kamar.
"Ah, cuma Pak Henning dan Junior pulang," katanya pada Anne. "Rupanya Kakek
sudah mengunci semua pintu, sehingga keduanya tidak bisa masuk. Lalu mereka
menggedor-gedor pintu. Huh, berisiknya! Nah, itu Junior datang!"
Dan benarlah, Junior naik ke tingkat atas, berjalan dengan langkah berisik
sambil bernyanyi keras-keras.
"Anak konyol!" kata George jengkel. "Tunggu saja sampai besok, saat kuantarkan
sarapan untuknya!" 06. Sarapan yang Aneh Tidur dalam lumbung ternyata mengasyikkan! Dick bertahan agar jangan terlelap
dulu. Ia ingin menikmati bau lumbung yang khas dan menatap bintang-bintang yang
bertaburan di langit, yang bisa dilihatnya lewat pintu terbuka. Angin malam
meniup sepoi-sepoi. Tapi Julian langsung tidur. Ia sama sekali tidak mendengar bunyi ribut-ribut
ketika Pak Henning dan Junior pulang. Tahu-tahu ia terjaga sekitar pukul satu
malam. Jantungnya berdebar keras. Bunyi apa yang membangunkannya tadi"
Tetapi ketika ia mendengar bunyi itu lagi ia tertawa. "Dasar goblok!" katanya
menertawakan diri sendiri. "Itu kan cuma suara burung hantu! Dan itu... jeritan
apakah itu" Tikus" Atau mungkin pula burung hantu, yang sedang mencari makanan
dalam lumbung?" Julian berbaring lagi. Tapi masih tetap memasang telinga. Tiba-tiba ia merasakan
embusan angin dingin di mukanya, tapi tidak ada suara. Pasti gerak sayap burung
hantu, karena Julian tahu, gerak sayap burung hantu tidak menimbulkan suara!
Bahkan tikus, yang pendengarannya sangat tajam, tidak bisa mendengar bunyi sayap
burung itu yang sedang menukik hendak menyambarnya!
Sesaat kemudian terdengar bunyi mencicit. "Nah, burung itu berhasil," pikir
Julian. "Lumbung ini memang tempat berburu yang baik baginya. Di sini disimpan
hasil panen. Jadi tentu saja banyak tikus mencari makanan di sini."
Setelah itu Julian terlelap lagi. Ia baru bangun ketika sinar matahari sudah
memasuki lumbung. Julian memandang arlojinya. Ia terkejut. "Wah, sudah setengah
delapan! Padahal aku hendak bangun pukul tujuh. Dick! Dick! Bangun!"
Tapi Dick nyenyak sekali tidurnya. Ketika digoncang-goncang Julian, ia cuma
memutar tubuh, lalu melanjutkan tidurnya. Julian memandang ke seberang ruangan.
Dilihatnya kedua tempat tidur yang ada di situ sudah kosong. Ternyata kedua
Harry sudah bangun. Bantal dan selimutnya tersusun rapi.
"Mereka tidak membangunkan kita," kata Julian sambil berpakaian. Kemudian
digoncang-goncangnya lagi adiknya. "Dick! Dick, bangun! Nanti tahu-tahu sudah
pukul SEPULUH!" Begitu Julian meneriakkan kata terakhir, Dick langsung bangun dan duduk di
tempat tidur. "Pukul sepuluh! Aduh, lama sekali aku tidur. Wah, terlambat
sarapan jadinya! Wah.." "Tenang... tenang!" kata Julian sambil nyengir, melihat
Dick gugup. "Aku tadi bilang, kalau kau tidur terus, tahu-tahu sudah pukul
sepuluh. Sekarang sih baru pukul setengah delapan lewat." "Aduh, kau ini
mengejutkan orang saja," kata Dick, lalu merebahkan diri kembali. "Aku masih
ingin tidur barang sepuluh menit lagi."
"Kedua Harry sudah keluar," kata Julian. "Anne dan George sudah bangun atau
belum, ya" Aduh! Apa ini?"
Julian terlonjak, karena ada sesuatu yang menusuk punggungnya. Ia berpaling
dengan cepat. Dikiranya Junior atau salah seorang dari kedua Harry hendak
mengganggunya. Tapi ternyata bukan!
"Ah, rupanya si Nosey! Gagak konyol!" kata Julian. Burung iseng itu bertengger
di atas bantalnya. Nosey berkaok-kaok, lalu hinggap di bahu Julian. Anak itu merasa senang, karena
menyangka burung gagak itu sudah mengenalnya. Tapi detik berikutnya, Nosey
mematuk telinga Julian. "Nih, kau saja yang memegang," katanya, lalu menyodorkan burung gagak itu pada
adiknya, yang tidak menyadari apa-apa. Dan dasar burung iseng, dengan cepat
Nosey menyambar arloji yang tergeletak di samping bantal Dick, lalu membawanya
terbang. Dick berteriak marah.
"Hei, kembalikan arlojiku, gagak keledai! Itu barang mahal, tahu" Ju, arlojiku
dibawa terbang! Akan disembunyikan di mana nanti!"
"Dia terbang ke bawah bubungan atap," kata Julian. "Kurasa kita perlu
memberitahu kedua Harry, mungkin mereka bisa menolongmu! He, Nosey! Kenapa bukan
arloji Junior yang kaucopet" Kalau itu kaulakukan, aku setuju. Tapi jangan
barang-barang kami!"
"Kaok, kaok, kaok," seru Nosey dari atas, seakan-akan setuju. Tapi ketika mulai
berkaok, paruhnya terbuka, dan arloji Dick terlepas. Jatuh ke bawah, menimpa
sebuah karung. Dengan cepat Nosey terbang menukik, hendak menyambarnya kembali.
Tapi Dick tidak mau kalah cepat. Ia berhasil menyambar arlojinya, sekejap
sebelum Nosey sampai. Gagak itu terbang lagi ke atas, sambil berkaok-kaok dengan marah.
"Hei, jangan suka memaki-maki," seru Dick memarahi. Segera dipakainya arlojinya,
supaya tidak bisa dicopet lagi oleh Nosey.
Setelah itu Dick dan Julian pergi ke luar, menuju ke rumah. Orang-orang sudah
sibuk bekerja. Keduanya merasa tidak enak, karena bangun begitu lambat. Hidangan
sarapan masih tersaji di meja. Tapi kelihatannya, banyak yang sudah makan pagi!
"Anne dan George juga belum sarapan," kata Dick. Dilihat nya dua piring di depan
kursi-kursi yang ditempati kedua anak perempuan itu kemarin malam, masih bersih.
"Tapi yang lain semua sudah! Ah, Bu Philpot.... Maaf, Bu, kami terlambat bangun"
"Tidak apa-apa," jawab Bu Philpot ramah. "Tamu memang tidak perlu bangun pagi-
pagi sekali. Masa liburan kan memang cocok untuk hidup santai!"
Bu Philpot meletakkan baki berisi sarapan ke meja. "Ini untuk Pak Henning! Dia
akan membunyikan bel, jika sudah ingin sarapan. Dan itu baki untuk Junior. Dan
saat bel berbunyi aku juga harus menyiapkan kopi." Setelah itu Bu Philpot keluar
lagi. Dick dan Julian memandang dengan sikap mencela, ketika Anne dan George muncul
kemudian. Mereka sendiri saat itu sedang makan dengan nikmat.
"Terlambat bangun, ya?" kata Dick pura-pura kesal. "Ayo duduk! Nanti kutuangkan
kopi untuk kalian." "Mana Junior" Belum bangun, kan?" tanya George cemas. "Tapi aku sama sekali
tidak lupa tentang taruhan kita tadi malam!"
"Tapi jangan berbuat yang tidak-tidak, ya, George?" kata Julian. "Misalnya
melemparkan makanan ini padanya... atau hal-hal kayak begitu!"
"Yah... siapa tahu?" jawab George sambil makan sebutir telur rebus. "Pokoknya
aku menang taruhan!"
"Kalau kau nanti mengganggunya, jangan sampai keterlaluan," kata Julian
menasihati. "Jangan sampai Pak Henning marah, lalu pergi dari sini! Kan kasihan
Bu Philpot kalau penghasilannya berkurang."
"Ya deh," kata George. "Kau tidak perlu ngomel terus! Tapi sekarang aku ingin
sarapan dulu. Tolong kemarikan sebutir telur lagi, Dick! Aneh, rasanya perutku
ini tidak bisa kenyang."
Ketika Anne dan George baru saja selesai makan, tiba-tiba keempat anak itu
dikejutkan oleh bunyi bel yang berdering-dering. Dengan segera Bu Philpot masuk.
"Itu tanda dari Pak Henhing," katanya. "Aku harus menyiapkan kopi untuknya."
"Biar aku saja yang mengantarkan sarapan ke kamarnya," kata Anne, "dan George
yang membawakan sarapan untuk Junior."
"Aduh, jangan repot-repot," kata Bu Philpot. Saat itu bel berdering lagi.
Bunyinya bising sekali. "Itu Junior," kata Bu Philpot. "Rupanya dia menyangka aku ini tuli."
"Anak tak tahu adat!" tukas Dick. Bu Philpot tidak membantah ucapannya itu.
Anne menunggu sampai Bu Philpot selesai menuangkan kopi untuk Pak Henning.
Setelah itu diambilnya baki hidangan yang harus diantarkan pada orang Amerika
itu. "Aku yang akan mengantarkannya ke atas," katanya dengan tegas. Bu Philpot
tersenyum dan membiarkannya.
"Kamarnya di sebelah kiri tangga, di tingkat satu," kata Bu Philpot. "O ya, Pak
Henning juga menginginkan tirai jendela kamarnya dibukakan untuknya pada saat
sarapan dihidangkan!"
"Junior juga ingin begitu pula?" tanya George. Suaranya manis sekali, sehingga
Dick dan Julian menoleh padanya dengan perasaan curiga. Mau apa lagi anak ini
sekarang"! "Ya, biasanya aku juga membukakan tirai jendela untuknya," kata Bu Philpot,
"tapi itu tak perlu kaulakukan, jika kau tidak mau! Terima kasih, ya, kalian
memang baik hati." Anne sudah lebih dulu ke atas, membawa baki sarapan untuk Pak Henning. George
menyusul di belakangnya, dan masih sempat mengedipkan mata ke arah Dick.
"Sediakan saja pisau lipatmu," katanya sambil nyengir bandel. Timmy mengikutinya
dengan heran. Untuk apa George menenteng baki ke tingkat atas"
Pintu kamar Junior tertutup. Dengan sekali tendang, George membukanya lalu masuk
ke dalam. Ia tidak berjalan dengan pelan. Sama sekali tidak! Kakinya sengaja
dientak-entakkan ke lantai, supaya bunyinya berdebam-debam. Baki dibantingkan
dengan kasar ke atas meja, sehingga kopi tumpah. Setelah itu dihampirinya
jendela sambil bersiul-siul. Tirai ditariknya ke samping dengan sentakan keras;
menimbulkan suara menggeresek yang menyakitkan telinga.
Kepala Junior terbenam dibawah bantal. Rupanya ia tidur lagi, setelah
membunyikan bel tadi. George sengaja menabrak sebuah kursi sehingga terguling ke
lantai. Bunyi berisi yang terdengar menyebabkan Junior langsung terduduk di
tempat tidur. "Ada apa ini?" tukasnya agak ketakutan. "Tidak bisakah mengantar sarapan
tanpa..." Saat itu baru disadarinya bahwa yang masuk ke kamarnya bukan Bu
Philpot yang ramah, tapi Goerge!
"Keluar!" bentak Junior. "Seenaknya saja gedubrakan di sini! Ayo, tutup lagi
tirai itu. Silau mataku. Aduh... kau menumpahkan kopiku! Kenapa bukan Bu Philpot
yang mengantarkan" Sini, taruh baki itu di lututku, seperti yang biasa dilakukan
Bu Philpot!"

Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

George menyentakkan selimut yang menyelubungi Junior. Setelah itu diambilnya
baki sarapan dari atas meja, lalu diempaskannya ke lutut Junior. Cangkir kopi
bergetar keras. Lengan Junior tersiram sedikit. Tapi itu pun sudah cukup untuk
menyebabkan anak manja itu terpekik, karena kopinya masih panas. Tangan Junior
melayang, memukul bahu George.
Detik berikutnya Junior baru sadar bahwa perbuatannya itu keliru. Timmy yang
berdiri di ambang pintu, begitu melihat George dipukul, langsung melompat ke
atas tempat tidur sambil menggeram. Junior yang ketakutan diseretnya turun ke
lantai, lalu diinjaknya. Anak itu tidak berani berkutik, karena anjing besar itu
menggeram-geram terus dengan sikap mengancam.
George berlagak tidak tahu apa-apa. Sambil menggumamkan sebuah lagu, ia berbuat
seakan-akan sedang sibuk membenahi kamar. Sebelumnya pintu sudah ditutup
olehnya, supaya tak ada yang bisa mendengar apa yang terjadi dalam kamar itu.
"George, suruh anjingmu pergi," kata Junior mengiba-iba. "Nanti aku digigit!
Biar kuadukan perbuatanmu ini pada ayahku. Maaf deh... aku memukulmu tadi...
tapi suruh anjingmu pergi!"
Junior menangis. George memandangnya dengan sikap mencemooh. "Anak konyol!
Manja!" katanya. "Ingin rasanya meninggalkan dirimu dalam keadaan begini sampai
siang, dijaga oleh Timmy! Tapi sekali ini kau masih kuampuni. Tim, sini! Biarkan
cacing gendut itu terkapar di lantai."
Junior masih menangis terus. Ia merangkak ke tempat tidur, lalu membungkus
tubuhnya dengan selimut. "Huu, huu, aku tidak mau sarapan," tangisnya. "Huuu, nanti kau kuadukan pada
Ayah... huuu, huuu. Biar kau dihajar habis-habisan olehnya!"
"Ya, adukan sana!" kata George. Dipegangnya tepi selimut, lalu ditariknya kuat-
kuat, sehingga junior tidak bisa bergerak di dalamnya.
"Bilang pada ayahmu! Nanti kubisikkan pada Timmy, kukatakan bahwa kau jahat
terhadapku. Nah, aku tidak tahu, apa yang akan dilakukannya kemudian terhadap
dirimu!" "Kau ini anak laki-laki jahat yang pernah kujumpai," kata Junior, setelah sadar
bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. George nyengir senang. Hah! Rupanya
Junior menyangka dia anak laki-laki. Bagus!
"Mulai sekarang, Bu Philpot tidak akan mengantarkan sarapan lagi ke atas
untukmu," katanya. "Aku mengambil alih tugas itu... bersama Timmy. Mengerti" Dan
jika kau berani membunyikan bel lebih dari satu kali setiap pagi, yah, 'kau akan
menyesal nanti!" "Aku tidak mau lagi sarapanku diantar ke atas," kata Junior lirih. "Lebih baik
aku saja yang turun, untuk sarapan di bawah. Kau tidak usah mengantarkannya
lagi." "Bagus! Nanti akan kulaporkan pada Bu Philpot," kata George. "Tapi jika
pikiranmu berubah lagi, bilang saja padaku. Akan kuantarkan setiap pagi...
dengan Timmy!" Setelah itu George keluar. Pintu kamar dibantingnya keras-keras. Timmy
mendahului turun. Anjing itu kelihatannya agak bingung... tapi juga senang. Ia
memang tidak suka pada anak gendut yang berisik tadi.
George masuk lagi ke dapur. Dilihatnya Dick dan Julian masih ada di situ.
"Kau kalah taruhan, Dick!" kata George. "Berikan pisau lipatmu! Aku tadi bukan
cuma mengantarkan sarapannya ke atas dan dengan tidak sengaja menumpahkan kopi
di atas lengannya, tapi setelah itu Timmy juga menyeretnya dari tempat tidur dan
mengancamnya sambil menggeram-geram. Huh, anak itu penakut! Dan mulai sekarang
dia tidak mau lagi sarapan di tempat tidur. Dia akan sarapan di sini, setiap
pagi" "Bagus," kata Dick, sambil menggeser pisau sakunya ke dekat George. "Kuakui, kau
menang. Sekarang selesaikan sarapanmu dulu! Dan aku... aku tidak mau lagi
taruhan denganmu!" 07. Harry dan Harry Berubah Sikap
Anne sedang tertawa terpingkal-pingkal, mendengar cerita George tentang
perbuatannya terhadap Junior. Dan saudara sepupunya semakin asyik saja
bercerita. "Sayang kalian tidak melihat tampangnya tadi, sewaktu aku mengempaskan baki ke
atas lututnya, sehingga tangannya tersiram kopi!" kata George. "Dia menjerit,
sampai Timmy kaget. Lalu ketika aku dipukul olehnya, Timmy langsung melompat ke
tempat tidur dan menyeretnya turun ke lantai. Wah-mata Junior melotot
ketakutan!" "Pantas jika ia sekararig memilih lebih baik sarapan di sini saja setiap pagi,"
kata Julian. "Rupanya ia takut kau muncul membawa baki sarapan!"
Saat itu kedua anak kembar Bu Philpot baru masuk, mereka tercengang mendengar
percakapan itu, lalu berpandangan, dan mengangguk serempak. Keduanya menghampiri
meja makan. Dan sekali itu, hanya seorang saja dari mereka yang bicara. Entah
Harry yang sesungguhnya, atau Harry Yang Harriet, anak-anak tidak tahu, karena
tampang mereka begitu mirip.
"Ada apa?" tanyanya pada George. "Kenapa kau yang mengantarkan sarapan untuk
Junior?" "Soalnya, kami bosan melihat sikap Junior dan juga ayahnya terhadap
ibumu," jawab George. "Bayangkan-sok sekali anak itu, minta dilayani sarapan di
tempat tidur!" "Lantas George memutuskan untuk melakukan tugas itu," sambung Dick. "la
bermaksud hendak memberi pelajaran, supaya lain kali Junior lebih tahu aturan
terhadap ibumu. Dan aku, aku begitu tolol, menyangka George takkan berani
melakukannya. Sekarang aku kalah taruhan! George memenangkan pisau lipatku.
Lihat saja!" Dengan bangga George memamerkan pisau lipat yang baru saja berpindah tangan.
Tiba-tiba kedua Harry tertawa terbahak-bahak. Anak-anak memandang dengan mulut
ternganga. "Astaga, kalian bisa tertawa juga rupanya!" kata Dick. "Nah, sekarang mumpung
kalian sedang mau ramah, dengar baik-baik! Kami berpendapat bahwa ibu kalian
benar-benar hebat. Dan kami bukan hendak menambah kerepotannya, tapi malah ingin menolong sebisa
kami. Mengerti?" Kedua Harry tersenyum lebar. Kemudian mereka membuka mulut, tapi sekarang silih
berganti. Tidak seperti biasanya, serempak dan dengan gaya kaku. "Kami benci
pada Junior!" kata yang satu. "Dianggapnya ibu kami budaknya, yang harus
langsung datang begitu ia membunyikan bel atau berteriak."
"Ayahnya sama saja," kata kembar yang satu lagi. "Minta ini dan itu, menyuruh-
nyuruh Ibu. Kenapa mereka tidak tinggal di hotel saja?"
"Soalnya, dia ingin membeli barang-barang kuno kami," kata saudara kembarnya.
"Aku tahu, Ibu sudah menjual beberapa barang miliknya sendiri padanya, karena
Ibu perlu uang. Sekarang segala-galanya kan mahal, dan tiap kali kami selalu
memerlukan pakaian baru karena yang lama sudah terlalu sempit."
"Ah, senang rasanya mendengar kalian berbicara normal," kata Julian. Ditepuknya
pundak kedua anak itu. "Sekarang tolong jelaskan pada kami, bagaimana caranya
membedakan kalian berdua! Aku cuma tahu yang satu laki-laki, dan yang lainnya
perempuan, tapi tampang kalian begitu mirip. Kalau orang tidak tahu, kalian
pasti akan disangka anak laki-laki kedua-duanya!"
Kedua anak kembar itu nyengir. "Baiklah, tapi jangan ceritakan pada Junior, ya?"
kata seorang di antaranya. "Sebetulnya gampang saja! Nih, di tanganku ada bekas
luka, Sedang Harriet tidak punya. Aku Harry."
Anak-anak memperhatikan bekas luka yang tampak di tangan Harry.
"Ini bekas luka karena tersangkut pada kawat duri," kata Harry menjelaskan.
"Sekarang kalian tahu, mana yang aku dan mana yang Harriet! He... cerita lagi
dong, tentang George dengan baki sarapannya tadi. Kami tidak mendengarnya dari
awal. Kau hebat, George! Tampangmu juga kayak anak laki-laki, seperti Harriet"
Enak rasanya bisa beramah-tamah dengan kedua anak itu, setelah selalu menghadapi
muka masam selama ini. Ketika Bu Philpot masuk untuk membenahi meja, ia
tecengang melihat kedua anaknya itu mengobrol di situ sambil tertawa-tawa. Bu
Philpot tertawa senang. "Bu! Junior tidak mau lagi sarapan di tempat tidur," kata Harry, ketika melihat
ibunya masuk. "Mau tahu sebabnya?" Diulanginya cerita tadi. Muka George merah.
Ia khawatir Bu Philpol akan marah. Tapi tidak. Wanita itu tertawa geli.
"Ah, enak rasanya, bisa tertawa," katanya kemudian. "Tapi mudah-mudahan saja
anak itu tidak mengadu pada ayahnya, lalu mereka pergi cepat-cepat! Mereka
memang merepotkan, tapl kami perlu uang. Nah, sekarang aku harus membenahi
meja!" "Jangan, Bu! Itu tugas kami," kata Anne. Ia memandang Harry dan Harriet. "Betul,
kan?" "Ya!" kata keduanya serempak. "Kami sudak berkawan sekarang, Bu. Kita
anggap saja mereka termasuk keluarga!"
"Yah, kalau kalian yang berbenah di sini sebaiknya aku sekarang mengurus makanan
ayam," kata Bu Philpot.
"He-bagaimana jika hari ini kita berkeliling melihat-lihat pertanian naik Land-
Rover!" kata Harry kemudian. "Kalau tidak salah Bill pagi ini harus ke ladang.
Pasti ia mau mengajak kaliar jika aku yang meminta."
"Setuju!" kata Julian. "Pukul berapa?" "Sekitar setengah jam lagi," kata Harry.
"Sekarang kucari dulu Bill! Nanti jika terdengar bunyi tuter, keluarlah. Oya,
Bill pendiam orang nya. Tapi ramah, jika suka pada seseorang." "Baiklah," kata
Julian. "Sekarang apa yang bisa kukerjakan bersama Dick, sementara anak-anak
perempuan sibuk berbenah di sini?"
"Wah, kalau di pertanian, selalu ada saja yang bisa dikerjakan," kata Harry.
"Yuk, kita ke kandang ayam! Kami sedang menambal atap yang bocor" Dick dan
Julian ikut dengan kedua anak kembar itu, yang ternyata sangat ramah dan
periang. Lain sekali dibandingkan dengan sikap sebelumnya. Masam dan ketus!
"Untung aku tadi memberi pelajaran pada Junior," kata George sambil melipat
taplak meja. "Dengan begitu, kedua anak itu langsung berubah sikap. Sekarang
mereka ramah sekali! Nah, kurasa Junior turun sekarang!"
la bergegas menyembunyikan diri di belakang bufet, sementara Anne meneruskan
kesibukannya membetulkan letak kursi-kursi. Junior masuk dengan langkah
menyelinap. Ia memandang berkeliling ruangan, seakan-akan mencari sesuatu.
Tampaknya lega, setelah memastikan bahwa hanya Anne sendiri yang ada di situ. Ia
tidak melihat George yang bersembunyi. Seketika itu juga sikap Junior berubah.
Dianggapnya Anne anak kecil, yang tidak perlu ditakuti!
"Mana anjing itu?" tukasnya.
"Anjing yang mana?" tanya Anne, pura-pura tidak tahu. "Snippet?"
"Bukan, bukan dia, maksudku anjing besar yang jelek, kepunyaan anak laki-laki
yang jahat tadi," kata Junior.
"Ah--maksudmu George," kata Anne. Dalam hati ia geli, karena George dikira anak
laki-laki oleh Junior. "Itu dia-ada di sana!"
Junior cepat-cepat berpaling. Dilihatnya George muncul dari belakang bufet.
Junior menjerit lalu lari pontang-panting ke luar. Ia takut Timmy juga ada di
situ. Padahal anjing itu tadi ikut dengan Julian dan Dick.
George tertawa. "Dia takkan merepotkan kita lagi sekarang," katanya. "Tapi mudah-mudahan ia tak
mengadu pada ayahnya."
Beberapa saat kemudian terdengar bunyi tuter mobil di luar.
"Itu dia, Land-Rover-nya sudah datang," kata George gembira. "Kebetulan sekali,
kita juga sudah selesai mencuci piring. Gantungkan lap supaya kering Anne,
sementara aku menaruh piring-piring ini ke dalam lemari..."
Setelah selesai, keduanya pergi ke luar. Di depan rumah ada sebuah mobil tua
yang kotor dan agak miring duduknya. Itulah mobil LandRover yang akan mengantar
mereka melihat-lihat pertanian keluarga Philpot. Dick dan Julian sudah duduk di
dalamnya. Mereka berseru-seru, "Ayo, cepatlah sedikit! Tidak dengar kami menuter
tadi?" Anne dan George bergegas ke mobil. Bill, pegawai Pak Trevor, duduk di belakang
setir. Ia mengangguk sambil nyengir pada kedua anak perempuan itu.
"Mana Harry kembar?" tanya George. "Tidak ikut?"
"Tidak," jawab Bill. "Sibuk!"
Benar juga kata Harry. Bill memang pendiam.
Ketika Land-Rover hendak berangkat, dari rumah terdengar seseorang berseru-seru.
"Tunggu! Aku ikut! Tunggu, kataku!"
Timmy yang juga duduk di mobil, mulai menggeram. Tidak aneh, karena yang
berseru-seru itu Junior. Sikap anak itu sudah seperti biasa lagi, berteriak-
teriak dengan nada memerintah.
"Turun, Tim-datangi dia," kata George pelan. Tanpa menunggu sampai disuruh dua
kali, Timmy langsung melompat turun dari mobil lalu lari menghampiri Junior.
Anak itu kaget setengah mati, ketika melihat Timmy tiba-tiba muncul dan
menghampiri dirinya. Junior menjerit ketakutan, lalu lari pontang-panting.
"Nah, soal itu beres!" kata Dick puas. "Eh, lihat si Timmy. Kelihatannya sedang
tertawa!" Saat itu Timmy memang kelihatan seperti tertawa. Mulutnya ternganga
lebar, memamerkan gigi-gigi yang runcing. Lidahnya terjulur ke luar. Dengan
cekatan ia melompat, naik lagi ke mobil. "Anjing pintar," kata Bill. Setelah itu
dihidupkannya mobil. Aduh, berisiknya tidak setengah-setengah! Land-Rover itu
mulai bergerak pelan-pelan menuju ladang.
Mobil tergoncang-goncang di atas jalan tanah. Anak-anak harus berpegang kuat-
kuat, sementara kendaraan itu melintasi ladang, naik-turun bukit, terpeleset-
peleset. Suatu kali bahkan terasa seperti nyaris terbalik. Anne tidak begitu
yakin, apakah ia menyenangi perjalanan semacam itu. Tapi pendapat ketiga
saudaranya tidak perlu ditanya lagi. Wajah mereka berseri-seri!
"Nah, dari sini kalian bisa memandang seluruh tanah pertanian keluarga Philpot,"
kata Bill, ketika akhirnya mereka sampai di puncak bukit. "Lihatlah! Sebenarnya
ini merupakan daerah pertanian yang paling baik di sini. Sayang keluarga Philpot
kekurangan uang untuk merawatnya!"
08. Pak Finniston Asyik sekali mereka jalan-jalan naik Land Rover menyusuri berbagai bukit kecil
di daerah pertanian keluarga Philpot yang luas sekali. Sekali-sekali mobil
berhenti untuk memberi kesempatan pada anak-anak agar bisa menikmati
pemandangan. Bill sibuk menyebutkan nama ladang yang mereka lewati. "Ini Ladang Pohon Ek,
yang di sebelah sana Hutan Algojo, dan yang itu Ladang Tinker's Wood! Dan yang
tampak di kejauhan, Ladang Jauh, namanya pas sekali, karena letaknya paling jauh
dari rumah!" Bill bercerita dengan lancar, rupanya karena kecintaannya pada
pertanian ini. la juga bercerita tentang ternak. "Yang di sana itu sapi perahan kami yang baru,
yang menghasilkan susu berkualitas. Sapi-sapi itu menolong petani mendapatkan
penghasilan tambahan setiap minggu tak habis-habisnya. Dan yang sedang merumput
di tengah lapangan di sebelah sana, itu sapi-sapi pejantan.
Sapi-sapi itu mahal sekali harganya. Pak Philpot memang mementingkan ternak
bermutu! Lebih baik memakai mobil tua, daripada membeli ternak tidak bermutu.
Nah di lereng bukit itu, yang tampak seperti bintik-bintik, adalah biri-biri.
Sayang sekali hari ini kita tidak bisa ke sana. Kalian pasti senang berkenalan
dengan gembalanya. Ia sudah lama sekali bekerja di pertanian ini. Orangnya sudah
tua." Setelah itu Bill terdiam lagi. Mobil dibelokkannya, memasuki jalan tanah yang
menuju ke rumah lagi. Kini mereka menyusuri ladang-ladang jagung yang sudah
menguning. "Aku tahan duduk berjam-jam di tempat ini," kata Anne. "Enak rasanya menikmati
pemandangan di sini, mendengarkan tiupan angin di sela-sela tanaman jagung!"
"Kalau begitu jangan kawin dengan petani, sebab istri petani tidak sempat duduk
untuk menikmati pemandangan," kata Bill. Setelah itu ia diam lagi.
Mobil berjalan terus, terayun-ayun di jalan yang tidak rata. Tapi bagi anak-anak
mengasyikkan. "Awas, Bill!" seru Anne tiba-tiba, ketika roda mobil terpeleset sebuah lubang.
Ia berpegang erat-erat ke tiang penopang atap. Tapi Timmy tidak bisa
berpegangan, karena ia tidak punya tangan, dan ia terdorong ke belakang,
terlempar ke jalan. Perlahan-lahan anjing itu bangun. Ia bingung, kenapa tahu-
tahu sudah ada di luar mobil.
"Ayo naik, Timmy!" seru George. "Kau tidak perlu kaget, mobil tadi cuma
terperosok ke dalam lubang." Bill tidak menghentikan Land Rover. Karena itu
Timmy terpaksa mengejar, lalu melompat naik ke belakang. Bill tertawa mendengus.
Saat itu mobil bergoyang lagi, karena melalui bagian jalan yang banyak
lubangnya. "Mobil ini seperti manusia saja," kata Bill. "Kalau cuaca cerah seperti
sekarang, ingin menari-nari."
Land Rover itu melaju, menuruni bukit dan masuk ke jalan berlubang. Anne
mengerang, lalu bisiknya pada Julian, "Dia enak saja ngomong, dia kan bisa
berpegangan pada kemudi!"
Walau perjalanan tidak sehalus naik mobil sedan, tapi anak-anak menikmati
perjalanan berkeliling pertanian itu.
"Sekarang kita benar-benar tahu bagaimana pertanian ini!" kata Julian, setelah
mobil direm mendadak di dekat rumah sehingga mereka semua terlempar ke tanah.
"Pantas Kakek serta keluarga Philpot sangat sayang pada pertanian ini. Habis,
memang bagus sekali sih! Terima kasih, Bill. Kami senang sekali tadi. Aku jadi
ingin orangtuaku juga punya pertanian seperti begini!"
"Seperti begini" Wah, harus dirawat berabad-abad dulu, baru bisa," kata Bill.
"Dan nama-nama yang kusebutkan tadi, itu pun usianya sudah berabad-abad. Tidak


Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada lagi yang tahu, siapa yang dulu digantung di Hutan Algojo, misalnya. Tapi
namanya akan tetap begitu, selama ladang itu masih ada!"
Anne menatap Bill dengan kagum. Rupanya orang itu sangat mencintai tempat
bekerjanya, pikirnya. Tepat pada saat itu Bill menoleh. Dilihatnya Anne
memperhatikan dirinya. Ia mengangguk.
"Kau mengerti, ya?" katanya. Anne mengangguk.
"Tetapi ada juga yang tidak bisa mengerti," kata Bill melanjutkan. "Misalnya
saja Pak Henning, orang Amerika itu. Tidak habis-habisnya ia memuji pertanian
ini. Tapi pada hakikatnya, ia tidak mengerti apa-apa. Sedang anaknya yang
gendut..." Anne kaget, karena tiba-tiba Bill meludah ke tanah. "Nah, itulah
pendapatku tentang dia!"
"Ah, kurasa ia begitu karena cara mendidiknya saja," kata Anne. "Aku sudah
sering ketemu anak-anak Amerika, dan..."
"Yang satu itu perlu dipukul pantatnya!" kata Bill geram. "Kalau Bu Philpot
tidak melarang, dia pasti sudah habis kupukuli! Sungguh! Bayangkan, siapa yang
tidak marah. Anak-anak sapi yang cepat kaget diloncatinya, katanya hendak
ditunggangi! Setelah itu menguber-uber ayam betina, sampai tidak mau bertelur
lagi. Lalu melempari bebek yang sedang berenang dalam kolam. Karung benih
dirobek! Bukan untuk apa-apa, hanya karena iseng, katanya senang melihat benih
bertaburan. Huh, ingin rasanya menggoncang-goncang anak itu!"
Anak-anak kaget mendengar kata-kata Bill. Ternyata sifat Junior lebih buruk
daripada perkiraan mereka. George merasa senang, karena sempat memberi pelajaran
pada anak itu tadi pagi. "Anda tidak perlu memikirkan anak itu lagi, Bill," kata Julian dengan geram.
"Selama kami di sini, kami akan menangani dia!"
Setelah itu mereka meminta diri pada Bill, lalu kembali ke rumah. Seluruh tubuh
mereka pegal-pegal. Tapi mereka puas.
"Aku senang pada Bill," kata Anne. "Dia begitu... begitu asli. Ia seakan-akan
menyatu dengan pertanian ini. Bill adalah pertanian dan pertanian adalah Bill!"
"Ah, sekarang Anne mengerti, apa maknanya menjadi petani," kata Dick. "Aduh,
perutku lapar sekali. Tapi tidak enak, jika minta makan lagi pada Bu Philpot.
Yuk, kita ke desa. Kita membeli roti dan susu di toko tempat kita pernah
mampir." "Ya, setuju!" kata Anne dan George serempak. Mereka lantas berangkat,
menyusuri jalan yang menuju ke desa Finniston. Tak lama kemudian mereka sudah
sampai di toko itu. Janie, anak perempuan yang gemar mengobrol itu kembali
sedang bertugas menjaga. Ia tersenyum gembira, melihat anak-anak datang.
"Nah, kalian muncul lagi," sapanya. "Kebetulan pagi ini ibuku membuat kue
makaroni. Lihatlah... masih hangat!"
"Dari mana kau tahu kami gemar makan kue itu?" kata Dick, lalu duduk di satu
dari dua meja yang ada di situ. "Kami minta satu piring!"
"Apa" Sepiring penuh?" seru Janie tercengang. "Satu piring isinya kan dua
puluh?" "Pas-pasan untuk kami," kata Dick. "Kecuali itu, kami juga minta es krim,
seorang satu. Yang besar, ya" Dan tolong berikan juga satu, untuk anjing kami."
"Ya, aku takkan melupakannya," kata Janie. "Anjing kalian itu baik, ya" Kalian
perhatikan tidak, ia memiliki mata yang indah sekaligus ramah?"
"Ya," kata Dick geli. Sedang George berseri-seri, ia merasa senang; karena Timmy
dipuji-puji. Tak lama kemudian anak-anak sudah sibuk makan, disusul dengan hidangan es krim.
Dan Timmy kembali menguber-uber es krimnya yang jatuh ke lantai. Janie sampai
terpekik-pekik karena geli melihat adegan kocak itu.
"Kalian senang tinggal di pertanian keluarga Philpot?" tanya anak itu kemudian.
"Senang sekali!" jawab anak-anak serempak. "Kami senang tinggal di pertanian,"
kata Anne menyambung. "Tadi pagi kami berkeliling melihat-lihat di situ. Naik
Land Rover." "Kalian ikut dengan Bill?" tanya Janie. "Bill itu pamanku. Tapi biasanya ia
tidak suka berbicara ` dengan orang yang belum dikenal baik."
"Oh, dia tadi banyak sekali bercerita," kata Julian. "Hei, ngomong-ngomong
pamanmu itu suka kue ini atau tidak?"
"Tentu saja suka," kata Janie agak heran. "Belum pernah ada orang yang tidak
menyukai kue buatan ibuku."
"Dia bisa makan sampai setengah lusin?" tanya Julian lagi.
"Ibuku" Oh, Bill maksudmu. Wah, kalau dia sih pasti bisa!"
"Kalau begitu, tolong bungkuskan setengah lusin," kata Julian. "Aku ingin
membawanya sebagai oleh-oleh untuk Bill, sebagai pernyataan terima kasih karena
sudah diajak melihat-lihat tadi."
"Kau baik hati," kata Janie senang. "Pamanku itu sudah seumur hidupnya bekerja
di Finniston Farm. Coba minta padanya untuk mengajak kalian berjalan-jalan ke
tempat bekas Puri Finniston, sebelum terbakar..."
"Puri Finniston!" seru George dengan heran. "Pagi tadi kami sudah berkeliling ke
mana-mana. Semua ladang kami datangi. Tapi sama sekali tak kami lihat puing-
puing reruntuhan puri."
"Ya, tentu saja kalian tidak bisa melihat apaapa sekarang," kata Janie. "Kan
sudah kukatakan, puri itu kemudian terbakar. Terbakar habis! Kejadiannya sudah
lama. Tapi Finniston Farm, dulu termasuk tanah puri itu. Aku pernah melihat
gambar-gambarnya, di toko barang antik di ujung jalan itu. Dan aku..."
Saat itu ibu anak itu muncul dari belakang. Keningnya langsung berkerut, melihat
anaknya asyik mengobrol. "Janie, Janie, sudah berapa kali kukatakan, jangan suka mengajak ngobrol
pembeli," katanya. "Kau ini memang ceriwis. Belum tentu semua orang senang
mendengar obrolanmu."
"Kami senang mengobrol dengan dia, Bu," kata Julian. "Janie banyak ceritanya.
Biar sajalah!" Tapi Janie sudah lari. Pipinya merah karena malu.
"Nah, kalian tadi makan apa saja?" kata wanita pemilik toko itu kemudian, ketika
melihat satu piring kue tidak ada lagi di tempat semula. "Astaga! Ke mana kue-
kue yang di sini tadi" Paling sedikit ada dua lusin di piring itu!"
"Anu, Bu...," kata Julian malu-malu, "kami sendiri makan hampir dua puluh,
dibantu anjing kami, tentunya... lalu Janie membungkuskan lagi enam buah untuk
kami, jadi.." "Di piring tadi ada dua puluh empat!" kata wanita itu, masih tetap tercengang.
"Dua puluh empat! Aku tahu pasti, karena sempat kuhitung."
"Dan es krim yang besar, lima," kata Julian lagi. "Jadi berapa harganya semua,
Bu" Wah, kue tadi benar-benar enak rasanya!"
Sekarang ibu Janie tersenyum. Ia geli melihat tingkah Julian yang tampak agak
kikuk karena malu. Ia menghitung-hitung sebentar, lalu menyebutkan harga yang
harus dibayar. Julian cepat-cepat menyodorkan uangnya.
"Jangan bosan mampir, ya," kata wanita itu. Kemudian anak-anak keluar. Timmy
masih terus menjilati moncongnya, seakan-akan masih merasakan enaknya kue dan es
krim tadi. Mereka menyusuri jalan desa sampai ke ujungnya. Sesampai di situ Anne
berhenti. "Aku ingin melihat-lihat di toko antik itu sebentar," katanya. "Kalian pulang
saja dulu, nanti aku menyusul."
"Aku ikut denganmu," kata George, sementara Dick dan Julian meneruskan
perjalanan pulang. "Kalau kalian mencari nanti, mungkin kami ada di salah satu
tempat di sana, membantu bekerja," seru Dick sambil berjalan. Sedang Anne dan
George belok ke arah ke toko barang antik.
Ketika Anne dan George hendak masuk ke toko itu, mereka nyaris bertubrukan
dengan dua orang yang hendak keluar. Yang satu ternyata Pak Henning, dan yang
seorang lagi mereka belum pernah melihatnya sebelum itu. "Selamat pagi," sapa
Pak Henning, lalu meneruskan langkah bersama orang asing itu. Sementara George
dan Anne masuk ke dalam toko yang agak gelap itu.
Mereka melihat seorang laki-laki tua berdiri di belakang meja penjualan. Orang
itu kelihatannya agak marah. Tangannya diketuk-ketukkan ke daun meja. Matanya
melotot, sehingga Anne dan George agak takut. "Huh, orang itu!" tukas pak tua
itu. Ia menggeleng-geleng dengan cepat, sehingga kacamatanya terlempar. Anne
buru-buru mengambilnya kembali, lalu menyerahkannya pada pemiliknya. Pak tua
menaruh kacamatanya ke batang hidungnya, lalu ditatapnya kedua anak perempuan
yang baru masuk dengan pandangan galak.
"Kalau kalian hendak membuang-buang waktuku, lebih baik cepat-cepat pergi lagi,"
kata laki-laki tua itu. "Aku sibuk! Anak-anak biasanya cuma merepotkan saja.
Melihat ini-itu, tapi tidak pernah membeli apa-apa! Sedang anak yang dari
Amerika itu, dia... ah, kalian kan tidak tahu, aku ini sedang berbicara tentang
apa! Huh, aku sedang gugup sekarang. Aku selalu gugup, jika ada orang ingin
membeli barang-barang kuno kita, untuk dibawa ke luar negeri. Kalau..."
"Ya, Pak Finniston," kata Anne menyabarkan. "Anda Pak Finniston, kan" Kami
kemari karena ingin melihat-lihat ladam kuda yang bagus itu. Kami tak lama-lama
di sini. Kami menginap di Finniston Farm, dan..."
"Di Finniston Farm, katamu?" Wajah orang tua itu seketika berubah menjadi cerah.
"Kalau begitu kalian pasti sudah berjumpa dengan teman baikku, Pak Jonathan
Philpot. Dia kawan akrabku yang paling akrab!"
"Maksud Anda Pak Philpot, ayah kedua Harry?" tanya George.
"Bukan, bukan dia. Maksudku Kakek! Kami dulu satu sekolah," kata laki-laki tua
itu bersemangat. "Wah, banyak cerita tentang keluarga Finniston yang bisa
kukisahkan pada kalian, serta mengenai puri yang dulu ada di sana. Ya, ya, aku
ini jelek-jelek masih keturunan pemilik puri itu, maksudku puri yang dulu ada di
sana. Sekarang sudah musnah. Ya, ya!"
Pada saat itulah dimulai petualangan baru bagi Lima Sekawan. Petualangan yang
takkan pernah mereka lupakan lagi!
09. Kisah Menarik Pak Finniston sudah tua, kecil, dan bungkuk. Rambutnya yang putih beruban, hanya
tinggal beberapa lembar. Mukanya yang ramah sudah penuh kerut. Kelopak matanya
layu menutupi mata, sehingga berkesan ia selalu memandang dengan mata terpicing.
Kedua anak perempuan itu tertarik ketika mendengar bahwa Pak Finniston ternyata
keturunan bangsawan Finniston, yang dulu tinggal di Puri Finniston.
"O... karena itulah Anda juga bernama Finniston," kata Anne. "Ceritakan mengenai
puri itu Pak! Baru hari ini kami mendengar sesuatu mengenainya. Tapi di mana
letaknya dulu, kami tidak tahu. Ketika kami tadi berkeliling pertanian, aku sama
sekali tidak melihat tumpukan batu!"
"Tentu saja tidak," kata Pak Finniston. "Soalnya, puri itu terbakar habis pada
zaman dulu, berabad-abad yang lalu. Kemudian batu-batunya diambil orang, untuk
dijadikan bahan bangunan. Yah, kejadiannya memang sudah lama sekali!"
"Berapa lama?" tanya Anne ingin tahu.
"Sebentar...," Pak Finniston berpikir-pikir sebentar. "Terbakarnya tahun 1192,
jadi dalam abad kedua belas. Waktu itu zaman Norman! Pernah mendengar tentang
orang-orang Norman" Aku tahu, sekolah zaman sekarang sudah tidak seperti dulu
lagi, jadi..." "Tentu saja kami pernah mendengar tentang bangsa Norman!" kata George
tersinggung. "Anak kecil pun tahu siapa mereka! Bangsa Norman yang menaklukkan Inggris. Dan
raja Norman yang pertama-tama di sini namanya William Kesatu, tahun 1066!"
"Hmm... rupanya tidak sia-sia kau bersekolah," kata Pak Finniston. "Nah, Puri
Finniston adalah sebuah puri bangsa Norman. Lihat ini...!" Pak Finniston
menunjukkan sebuah gambar yang sudah tua pada Anne dan George. Gambar itu
menunjukkan sebuah puri kuno, seluruhnya terbuat dari batu.
"Ya, ini memang Puri Norman," kata George. "Apakah Puri Finniston, persis
seperti yang di gambar ini?"
"Aku punya gambarnya, tapi entah kutaruh di mana," kata laki-laki tua itu. "Lain
kali kutunjukkan, kalau sudah ketemu lagi. Bangunannya tidak sebesar ini, tapi
bagus! Yah, kurasa kalian tentunya tidak terlalu tertarik pada detailnya. Aku
juga tidak tahu pasti, apa yang menyebabkan bangunan itu terbakar habis. Cerita
yang beredar macam-macam. Ada yang mengatakan pada suatu malam, puri itu
diserang musuh. Dan dalam puri itu ternyata ada pengkhianat. Orang itulah yang
membakarnya. Lalu sementara penghuni puri sedang sibuk memadamkan api, musuh
bisa masuk tanpa menghadapi perlawanan. Hampir seluruh penghuni tewas dibunuh."
"Dan setelah itu, puri tidak bisa lagi didiami," kata Anne. "Tapi aneh, kenapa
tidak ada tumpukan batu di tempat itu?"
"Kau keliru!" kata Pak Finniston. "Batu-batu bekasnya ada, tapi tersebar di
seluruh pertanian. Cuma aku dan Kakek saja yang tahu di mana batu-batu itu
berada! Misalnya saja ada tembok tua yang dasarnya dibangun dengan batu-batu
bekas puri, lalu ada sumur... ah, aku tidak boleh membeberkan rahasia itu! Nanti
kalian bilang pada orang Amerika itu untuk memborong benda-benda kuno di sini!"
Tidak, Pak! Sungguh, kami berjanji tidak akan menceritakannya," kata Anne dan
George serempak. Timmy memukul-mukulkan ekornya ke lantai, seakan-akan ingin
ikut berjanji. "Yah, mungkin Kakek kapan-kapan mau menunjukkan beberapa batu tua bekas puri itu
pada kalian," kata Pak Finniston. "Tapi terus terang, aku menyangsikannya! Tapi
akan kusebutkan satu benda yang dapat dilihat di rumah keluarga Philpot. Itu
bukan rahasia, karena semua mengetahui! Kalian kan pernah memperhatikan pintu
dapur yang menuju ke pekarangan?"
"Ya," jawab Anne segera. "Pintu yang dari kayu pohon ek, dan diperkuat dengan
baut-baut besi. Itu kan, yang Anda maksudkan" Pintu model itu sekarang sedang
populer, dijadikan pintu depan rumah-rumah biasa. Tapi pintu dapur di pertanian
itu pintu kuno?" Pak Finniston tidak mendengar pertanyaan itu. Ia mengerang, lalu menyembunyikan
mukanya di balik tangannya.
"Populer! Populer! Aduh, anak-anak zaman sekarang! Masa pintu kuno yang begitu
indah disamakan dengan tiruan murah yang banyak dipakai di rumah-rumah modern!
Dunia sekarang memang sudah berantakan. Masa tidak kaurasakan pintu itu asli-
sudah berabad-abad umurnya-dan dulu merupakan perlengkapan sebuah puri" Apakah
kalian tidak bisa mengenali barang-barang yang berharga, karena umurnya sudah
sangat tua?" Anne agak kelabakan. "Yah, aku melihatnya," katanya terbata-bata, "tapi tempat itu agak gelap, jadi
tak begitu jelas kelihatan."
"Ah, orang-orang anak zaman sekarang, sudah biasa memandang tanpa melihat,"
keluh Pak Finniston. "Kau harus memperhatikan pintu itu! Harus kaurasakan!
Perhatikan pengetuk besar yang tergantung di situ. Bayangkan orang-orang Norman,
yang pada zaman dulu mengetuk pintu dengan alat itu."
George mendesah, tidak seperti Anne, ia tidak tertarik obrolan macam ini. Tapi
tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikirannya. "Tapi, Pak, kalau puri itu terbuat
dari batu, bagaimana bisa sampai terbakar?" katanya. "Apa sebetulnya yang
terjadi?" "Kan sudah kukatakan, aku tidak tahu," jawak Pak Finniston dengan nada sedih.
"Semua per. pustakaan di daerah sini sudah kudatangi untuk menyimak setiap buku
yang membahas zaman itu. Catatan-catatan kuno yang ada di gereja Finniston juga
sudah kuperiksa. Aku hanya ber hasil mengetahui bahwa waktu itu Puri Finnistor
sedang dikepung musuh. Lalu ada seorang pengkhianat yang membakar dari dalam.
Kalian kan tahu, bangunan-bangunan zaman kuno memang terbuat dari batu, tapi
lantai dan tiang-tiang penopangnya dari kayu! Nah, kayu-kayu itu terbakar sampai
habis. Sebagai akibatnya, dindingdinding yang tebal ambruk dan menutupi dasar
puri. Lord Finniston, bangsawan pemilik puri itu, tewas dibunuh. Tapi istrinya,
Lady Finniston berhasil menyelamatkan anak-anak mereka. Kata orang, anak-anak
mereka itu disembunyikan dalam sebuah gereja kecil, yang letaknya dekat lumbung
pertanian yang sekarang. Mungkin mereka dibawa ke situ lewat lorong rahasia di
bawah tanah, yang menghubungkan kolong puri dengan gereja."
"Gereja tua" Masih adakah bangunan itu?" tanya Anne. "Atau ikut terbakar?"
"Tidak! Bangunan itu masih ada," jawab Pak Finniston. "Kakek pasti akan
menunjukkannya pada kalian" Pak Finniston menggeleng-geleng dengan sedih. "Tapi
sekarang dijadikan lumbung gandum! Menyedihkan. Tapi walau begitu, tempat itu
masih penuh dengan doa."
Anne dan George memandang Pak Finniston dengan heran.Mereka tidak mengerti apa
maksudnya. Keduanya mulai menyangka, jangan-jangan laki-laki tua itu sudah tidak
waras lagi pikirannya. Sementara Pak Finniston berdiri dengan kepala tertunduk.
Beberapa saat ia begitu, tanpa mengatakan apa-apa. Kemudian ia memandang kedua
anak yang berdiri di depannya.
Yah, begitulah kisahnya! Sebetulnya bukan cuma kisah, tapi sejarah yang terjadi
lebih dari tujuh ratus tahun yang lampau! Dan masih ada yang bisa kukatakan...."
Apa?" tanya Anne dan George.
Puri kuno itu mempunyai berbagai ruangan di bawah tanah!" kata Pak Finniston.
"Kebakaran hanya menjalar sampai ke tingkat dasar, yang lantainya berupa tanah
yang dipadatkan. Dan tanah tidak bisa terbakar. Jadi ruangan-ruangan di bawahnya
masih utuh! Nah, itulah yang selalu kupikirkan selama ini. Apa yang dulu ada di
dalamnya" Dan apakah masih ada sekarang?" Suara Pak Finniston begitu suram,
sehingga Anne dan George seram mendengarnya.
"Tapi apa sebabnya selama ini ruang-ruang itu tidak digali lagi?" tanya George.
"Maksudku, masa tidak ada yang memikirkannya?"
"Soalnya begini, ketika tembok puri runtuh, rupanya jalan masuk ke bawah tanah
itu tertimbun batu-batu besar," kata Pak Finniston menjelaskan. "Para petani dan
penduduk yang tinggal di sekitar situ tak sanggup menggesernya. Dan kalaupun
sanggup, mungkin tidak berani! Batu-batu besar itu tergeletak terus di situ


Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selama berabad-abad, dan akhirnya pecah berantakan karena pengaruh cuaca. Baru
kemudian diambil orang, untuk dijadikan dasar tembok dan dinding sumur. Tapi
sementara itu tidak ada lagi yang masih ingat pada ruang-ruang di bawah tanah"
Pak Finniston merenung lagi. Anne dan George menunggu sampai orang tua itu
melanjutkan ceritanya. "Ya, semua orang sudah melupakannya," kata Pak Finniston. "Kadang-kadang aku
terbangun tengah malam. Pikiranku melayang ke ruangan bawah tanah itu. Apakah
yang tersimpan di sana" Jangan-jangan tulang-belulang para tawanan yang
terkurung di situ! Atau mungkin harta berpeti-peti! Atau barang-barang Lady
Finniston yang disimpan di situ! Aku tidak bisa tidur, kalau teringat ruangan
itu!" Anne merasa tidak enak. Kasihan Pak Finniston, ia hidup dalam kungkungan masa
silam. Pikirannya penuh dengan kenang-kenangan zaman dulu. Sibuk dengan suatu
cerita yang tidak diketahui benar-tidaknya. Anne merasa kasihan pada orang tua
itu. Ingin rasanya mendatangi tempat puri kuno itu. Pasti tempat itu sekarang
sudah dipenuhi rumput dan semak! Tak ada lagi tanda-tanda yang menunjukkan bahwa
pada zaman dulu di situ menjulang sebuah puri megah, dengan menara kokoh dan
bendera-bendera berkibar sepanjang tepi tembok pertahanan! Anne seakan-akan
mendengar sorak-sorai orang-orang berperang, ditingkahi gemerincing bunyi pedang
beradu pedang. Ia bergidik, lalu meluruskan sikap berdiri.
"Huh, aku ini sama payahnya seperti dia," pikirnya. "Macam-macam saja yang
kubayangkan! Tapi kisah tadi memang mencekam. Dick dan Julian pasti senang
mendengarnya. Aku ingin tahu apakah orang-orang Amerika tadi juga sudah
mendengar kisah itu."
"Apakah Pak Henning-orang Amerika tadi tahu cerita ini?" tanyanya. Pak Finniston
langsung meluruskan sikap tubuh.
"Tidak semuanya, hanya desas-desus yang tersiar di desa saja," jawabnya. "Tapi
begitupun, ia sudah kemari merongrong aku. Ia ingin menggali di tempat itu. Aku
tahu orang seperti dia! Pasti ia tidak segan-segan membeli Finniston Farm, jika ia tahu bahwa di situ
ada sesuatu yang berharga, jauh di bawah tanah! Kalian tidak akan menceritakan
kata-kataku tadi padanya, kan" Aku sudah terlalu banyak bicara.
Aku selalu begini, kalau sudah gelisah. Ah, bayangkan, nenek moyangku dulu
penghuni Puri Finniston, tapi lihatlah aku sekarang... seorang tua dalam toko
kecil yang menjual barang-barang antik, tanpa pembeli!"
"Aku sebetulnya tadi bermaksud hendak membeli ladam kuda itu," kata Anne, "tapi
lain kali sajalah! Anda sekarang sedang bingung. Lebih baik istirahat saja
dulu." Setelah itu ia keluar, bersama George. Mereka berjalan pelan, hampir berjingkat-
jingkat. "Huh!" desah George, ketika sudah di luar. "Aku ingin cepat-cepat pulang
sekarang, karena ingin bercerita pada Dick dan Julian! Bukan main cerita tadi...
kedengarannya meyakinkan sekali ya, Anne" Bagaimana jika kita mencari reruntuhan
puri kuno itu. Jika sudah ketemu, kita mengadakan penyelidikan di situ, siapa
tahu ada yang bisa kita temukan. Yuk, lekas-lekas kembali ke pertanian!"
10. Bertengkar Didahului oleh Timmy, kedua anak perempuan itu bergegas pulang. Sesampai di
pertanian, mereka langsung mencari Dick dan Julian. Tapi dicari ke mana-mana,
tidak ada. Akhirnya mereka masuk ke rumah. Ketika melihat Bu Philpot sedang
sibuk mengupas kacang polong di dapur, mereka segera mengambil alih pekerjaan
itu. "Dick dan Julian sedang membantu membetulkan kandang ayam," kata Bu Philpot.
"Anak-anakku senang, karena mendapat bantuan dua orang. Yah, tampaknya ada saja
yang perlu dikerjakan di sini. Kami ingin sekali bisa membeli beberapa hal yang
sangat kami perlukan, misalnya saja, traktor baru! Tapi harganya mahal sekali!
Lumbung-lumbung juga perlu dibetulkan, sedang kandang-kandang ayam sudah hampir
ambruk!" "Mudah-mudahan saja panen kali ini banyak hasilnya," kata Anne.
"O ya, kami berdoa terus, semoga mulai sekarang cuaca akan tetap cerah," kata Bu
Philpot. "Syukur sapi-sapi perah kami susunya banyak. Kalau sekarang kami tidak
mendapat uang hasil penjualan susu, entah bagaimana jadinya! Tapi untuk apa aku
menceritakan segala kesulitan ini, kalian di sini kan sedang berlibur!"
Baru siangnya Anne dan George sempat menceritakan kisah Pak Finniston pada Dick
dan Julian. Soalnya kedua saudara mereka itu asyik membantu kedua Harry di
kandang ayam. Snippet juga ada di situ. Ia senang sekali, karena dikelilingi
anak-anak yang bekerja sambil bersiul-siul riang. Snippet ikut-ikut sibuk,
membawakan potongan-potongan kayu dari anak yang satu kepada anak yang lain.
Dengan begitu ia mengira sudah ikut bekerja!
Nosey, gagak iseng itu, juga ada di situ. Tapi ia tidak begitu disenangi.
Soalnya setiap kali ia melihat paku atau sekrup tergeletak di lantai, dengan
segera barang itu dibawanya terbang. Sama sekali tak diacuhkannya teriakan-
teriakan kesal anak yang terganggu oleh perbuatannya.
"Gagak sialan!" seru Julian, sambil mendongak dengan jengkel. "Semua paku yang
kuperlukan dibawanya terbang!"
Kedua Harry tertawa. Mereka lain sekali sekarang, menyenangkan dan senang
menolong. Dan juga bertanggung jawab. Dick dan Julian kagum pada mereka. Bagi
mereka tak ada pekerjaan yang terlalu berat dan memakan waktu lama. Pokoknya
mereka selalu siap menolong orangtua mereka!
"Dulu kami benci ketika kalian datang, karena dengan begitu Ibu semakin banyak
kerjanya," kata Harry. "Kami beranggapan, jika kami tidak ramah terhadap kalian,
pasti kalian akan jengkel lalu pergi. Tapi ternyata kalian tidak merepotkan,
malah membantu kami. Sekarang kami senang, kalian ada di sini."
"Mudah-mudahan Anne dan George sudah kembali sekarang," kata Dick. "Ibu kalian
tentu memerlukan bantuan mengupas kacang polong, karena begitu banyak orang yang
makan di sini! Yah, dengan Kakek, ada sekitar dua belas orang nanti. Jadi mudah-
mudahan kedua anak itu sudah kembali sekarang. Hei, gagak iseng itu datang lagi.
Awas, Ju, dia mau menyambar sekrup-sekrup itu! Sergap dia, Snippet!"
Anjing kecil itu dengan segera mengejar Nosey, sambil menggonggong. Snippet
senang sekali! Sedang Nosey terbang ke atap kandang ayam. Ia bertengger di situ
sambil mengepakngepakkan sayap, berkaok-kaok dengan nyaring, memaki-maki
Snippet. Saat makan siang dapur penuh sekali, karena semuanya hadir. Kakek merengut
ketika Pak Henning masuk bersama Junior. Junior melangkah dengan sikap congkak
menuju kursinya, sambil merengut ke arah George. Tentu saja George tidak mau
kalah! Pak Henning kaget sekali, ketika kebetulan memandang ke arah anak itu.
"Wah, wah, anak laki-laki tidak baik jika masam mukanya!" Pak Henning belum tahu
kalau George anak perempuan. Bu Philpot jadi geli. Ia sangat senang pada George.
Dan menurut pendapatnya, anak itu memang pantas menjadi laki-laki!
"O ya, Bu Philpot, Anda tidak berkeberatan kan, jika aku mengajak seorang teman
makan siang di sini besok?" tanya Pak Henning kemudian. "Namanya Durleston. Dia
ahli barang antik. Aku memerlukan nasihatnya. Anda ingat, kan, Anda pernah
bercerita tentang lubang di dinding salah satu kamar tidur di rumah ini, dulu
tempat menaruh arang menyala untuk memanaskan panci berisi air panas, serta bata
untuk diletakkan di sela seprai. Lantas aku berpikir-pikir, hendak..."
"Pasti hendak membelinya," bentak Kakek dengan tiba-tiba dari tempat duduknya di
kepala meja. Ia mengentakkan gagang pisaunya ke daun meja. "Nah, pokoknya harus
minta izin padaku dulu, mengerti"! Tempat ini masih tetap milikku. Aku sudah
tua, umurku hampir sembilan puluh tahun, tapi pikiranku masih selalu waras. Aku
tidak suka menjuali barang-barang yang sudah sejak zaman dulu merupakan milik
keluarga! Aku tidak suka! Dan..."
"Sudahlah, Kek, jangan marah-marah begitu," kata Bu Philpot menenangkan. "Kan
lebih baik kita menjual barang-barang tua yang tak terpakai lagi, supaya kita
bisa membeli alat-alat baru, atau kayu untuk membetulkan lumbung!"
"Kalau begitu kenapa tidak dijual pada orang kita sendiri"!" seru Kakek sambil
mengentakkan garpu dan pisau sekaligus. "Sekarang semua diangkut ke luar negeri!
Itu kan bagian dari sejarah kita! Sekarang kita menjual hak asasi kita-untuk
sesuap nasi! Itu kutipan dari kitab suci, Pak Henning, jika Anda tidak
mengetahuinya!" "Siapa bilang aku tidak tahu!" Sekarang Pak Henning mulai marah. Ia membentak-
bentak Kakek. "Aku tidak setolol perkiraan Anda. Kalian seharusnya senang bahwa
negeri miskin dan terbelakang seperti Inggris ini, masih mempunyai sesuatu yang
bisa dijual pada negara besar dan kaya, seperti Amerika! Anda..."
"Cukup, Pak Henning!" kata Bu Philpot dengan nada berwibawa. Air muka Pak
Henning merah padam. Ia buru-buru duduk kembali.
"Maaf," katanya, "tapi aku kesal mendengar ocehan Pak Tua! Kenapa dia begitu"
Aku kan cuma hendak membeli barang-barang yang Anda jual. Anda menginginkan
traktor baru! Sedang aku ingin barang rongsokan tua-dan bersedia membayar untuk
itu! Ini kan cuma soal jual-beli biasa!"
"Barang rongsokan!" bentak Kakek lagi. Sekali ini gelas yang dientakkannya ke
meja. "Gerobak kuno yang kaubeli itu, kausebut barang rongsokan" Umur barang itu
sudah lebih dari dua ratus tahun, tahu"! Ayah kakekku yang membuatnya sendiri,
dia yang menceritakannya padaku sewaktu aku masih kecil. Gerobak seperti itu
takkan bisa kautemukan duanya di seluruh Inggris! Tidak bisa! Gerobak itu dibuat
sebelum ada negara Amerika, kau tahu...!"
"Kek, sudahlah, nanti Kakek sakit lagi," kata Bu Philpot dengan lembut.
Didekatinya laki-laki tua itu, yang gemetar badannya menahan marah. "Kakek orang
dulu, dan tidak suka zaman sekarang. Aku mengerti... tapi zaman berubah, Kek.
Jadi tenanglah. Yuk... Kakek harus istirahat sebentar!"
Tak disangka-sangka, Kakek mau saja dibimbing menantunya ke luar dapur. Ketujuh
anak yang ada di situ diam semua, ketika pertengkaran sedang seru-serunya. Pak
Philpot yang biasanya diam saja, kemudian mengatakan sesuatu pada Pak Henning.
Kedua orang dewasa itu tampak sama-sama gugup.
"Soal sepele," kata Pak Philpot, "sebentar lagi pasti sudah dilupakan!"
"Hmmm," gumam Pak Henning, "jadi hilang seleraku! Orang tua dungu... cuma
mementingkan diri sendiri!"
"Kakek tidak dungu!" tukas Harry dengan suara gemetar karena marah. "Dia..."
"Sudah, Harry!" potong ayahnya. Harry terdiam. Tapi dia masih marah. Gerahamnya
gemeletuk. Junior selama itu membisu terus. Ia ngeri melihat Kakek marah-marah.
Timmy menggeram-geram di bawah meja. Sedang Snippet langsung lari meninggalkan
dapur, begitu Kakek mulai membentak-bentak!
Tak lama kemudian Bu Philpot masuk lagi. Kelihatannya sedih dan capek. Julian
mulai bercerita untuk menghilangkan suasana tidak enak. Ia bercerita tentang
Janie serta kue makaroni yang licin tandas sepiring.
Akhirnya Bu Philpot tertawa.
"Aku juga senang memakan kue itu," kata Junior. "Biasa kubeli tiga puluh dalam
seminggu. Hmm... enak!"
"Tiga puluh! Pantas mukamu tembam" Tanpa disadari, kalimat itu sudah terloncat
dari mulut George. "Ah, kau sendiri tembam," balas Junior. Ia merasa aman, karena ayahnya ada di
dekatnya. Tapi kemudian ia terdiam lagi. Dari bawah meja terdengar suara berat
menggeram-geram. Napas panas menyentuh kakinya. Astaga, nyaris saja ia lupa,
Timmy ada di bawah meja! Julian sudah bertekad menjernihkan suasana. Ia bercerita pada Bu Philpot tentang
kandang ayam yang sudah dibetulkan. Atapnya juga ditambal, sehingga air hujan
tidak bisa menetes masuk lagi. Pak Philpot ikut mendengarkan cerita itu sambil
mengangguk-angguk. Kemudian ia ikut bicara.
"Ya, kalian memang cekatan. Anak laki-laki memang harus begitu. Bagus! Aku tadi.
sempat melihatnya, ketika kebetulan lewat di situ."
"Harriet juga baik kerjanya," kata Harry dengan segera. "la menambal sudut yang
berlubang, tempat tikus-tikus biasanya masuk. Ya kan, Harry?"
"Aku tadi juga ingin membantu, Yah, tapi aku diusir mereka, kayak ayam saja,"
sela Junior dengan nada mengejek.
"Kelihatannya mereka tidak senang aku ada sini. Aku kesepian, Yah. Aku ikut ya,
nanti sore?" "Tidak boleh," jawab ayahnya singkat.
"Alaaa, aku ikut ya," rengek Junior. Ya Yah! Sekali ini saja!"
"Tidak!" tukas Pak Henning. Timmy menggeram lagi. Anjing itu tidak senang jika
ada orang marah-marah. Semua merasa lega ketika makan siang selesai. Anne, George, dan Harriet berkeras
Penyakit The Sickness 2 Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo Rahasia Kastil Bulan 1
^