Pencarian

Menyergap Penyelundup 1

Lima Sekawan Menyergap Penyelundup Mutiara Bagian 1


LIMA SEKAWAN Menyergap Penyelundup Mutiara
"Delapan ratus!... Tiga kali!" - Tok tok tok! Juru lelang mengetukkan palu untuk
ketiga kalinya, dan kursi sandar itu pun sah terjual.
Bibi Fanny baru saja membeli kursi sandar dan meja tulis antik di pelelangan.
Seorang laki-laki ikut menawar kursi itu, dan ingin membelinya kembali dari Bibi
dengan harga yang lebih tinggi. Kelihatannya dia berminat sekali, sehingga
keesokan harinya dia mengulangi lagi tawarannya.
"Aneh," pikir LIMA SEKAWAN.
Ternyata LIMA SEKAWAN menemukan kalung mutiara yang sangat indah, yang
disembunylkan dicelah antara sandaran dan tempat duduk kursi sandar itu. Dan
surat yang ditemukan oleh LIMA SEKAWAN di laci rahasia meja tulis antik,
diketahui bahwa ahli waris kalung itu adalah Elise Cassain.
Tetapi laki-laki yang telah mencoba membeli kembali kursi itu dari Bibi Fanny
ternyata juga menginginkan kalung mutiara itu, dan berusaha mendapatkannya
dengan berbagai cara. LIMA SEKAWAN pasti tidak tinggal diam mereka akan berbuat apa saja untuk
menggagalkan niat laki-laki itu, dan menyerahkan kalung itu pada ahli warisnya
yang sah. Penerbit PT Gramedla JI. Palmerah Selatan 22 lt. IV
Jakarta 10270 Scan by tagdgn wwwdag-dgn.blogspotcom Edited & Convert: by Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
LES CINQ SE METTENT EN QIJATRE
by Claude Voiler Copyright ? Librairie Hachette, 1975
All rights reserved LIMA SEKAWAN: MENYERGAP PENYELUNDUP MUTIARA
dialihbahasakan dari edisi bahasa Jerman
DIE BERUHMTEN 5 UND DIE PERLENSCHMUGGLER
oleh Agus Setiadi GM 85.028 Hak cipta terjemahan Indonesia
PT Gramedia, Jakarta Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia. Jakarta. Februari 1985
Anggota IKAPI Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia Jakarta DAFTAR ISI Bab I Liburan Natal di Tempat Panas 7
Bab II Berangkat ke Selatan 17
Bab III Muka Bangkong 29 Bab IV Kalung Mutiara 43 Bab V Mencari Elise Cassain 55
Bab VI Pencarian Diteruskan 71
Bab VII Tamu Tak Diundang 88
Bab VIII Ke Toko Pak Pradier 101
Bab IX Perampokan! 110 Bab X Ancaman 123 Bab XI Menyusun Siasat 135
Bab XII Rencana George 146
Bab XIII Di Dalam Toko 157
Bab XIV Pengintaian 174 Bab XV Mengatur Siasat 184
Bab XVI Rahasia Pak Pradier Terbongkar 199
Bab XVII AhIi Waris yang Berbahagia 211
Bab I LIBURAN NATAL DI TEMPAT PANAS
"ADUH, George! Kenapa kau berkeliaran terus di sini," kata Bu Kirrin, memarahi
anaknya. "Aku tidak bisa berkemas-kemas dengan tenang, kalau begini terus. Kalau
tidak ada kau yang mengganggu, mungkin sejak tadi sudah beres."
"Malas rasanya ke luar," jawab George berkeluh-kesah. "Kebun becek karena hujan,
sedang kabut begitu tebal sampai laut pun tidak kelihatan dari jendela kamarku."
"Itu kan cuaca yang biasa di daerah pesisir sini, musim dingin. Sekarang kan
sudah liburan Natal."
George tersenyum senang mendengar kata 'liburan'. Anak itu tinggi, untuk gadis
seumurnya. Matanya yang coklat di wajahnya yang hidup menatap dengan pancaran
sinar cerdas. Rambutnya yang coklat ikal dipotong pendek. Nampaknya mirip anak
laki-laki. Ia memang lebih suka disapa dengan George, walau namanya yang
sebenarnya Georgina. Tapi bahkan para guru di sekolah pun tidak pernah
memanggilnya dengan nama itu.
"Ibu benar," kata George. "Tidak ada alasan bagiku untuk berkeluh-kesah. Aku
sama sekali tak menyangka bahwa Ayah akan mengajak kita semua ikut ke selatan.
Di sana setidak-tidaknya matahari bersinar cerah saat ini."
"Mudah-mudahan," kata Bu Kirrin sambil tersenyum. Ia mendorong anaknya ke pintu.
"Nah - sekarang keluar, biar aku bisa bekerja dengan tenang di sini. Dan ajak
Timmy! Kau kan tahu, Ayah tidak suka jika Ia masuk ke dalam rumah."
George memanggil Timmy, anjing kesayangannya. "Yuk, Tim!" katanya. "Kehadiran
kita tidak disukai di sini! Kita ke dapur yuk! Mungkin Joan punya sesuatu yang
enak untuk kita, sebagai penghibur!"
Joan, juru masak keluarga Kirrin, sudah bertahun-tahun bekerja di situ. Ia sudah
ada ketika George dilahirkan, dan kini sudah dianggap keluarga mereka. Wanita
itu sangat rajin. Kecuali itu Ia juga sabar dan periang. Masih ada satu lagi
kehebatannya - yaitu mengatur perbekalan piknik!
"Ah, kau rupanya, George! Dan kau juga, Timmy. Aku berani bertaruh, kalian masuk
ke dapur ini pasti karena menginginkan sesuatu. Tapi kalian harus menunggu
sampai aku selesai membuat adonan ini. Nanti sementara menunggu adonan mekar,
kalian akan kuberi sesuatu untuk mengisi perut."
Tidak lama kemudian George sudah duduk menghadapi secangkir minuman coklat
panas. Sedang Timmy asyik mengigit-gigit tulangnya.
"Senang rasanya melihat selera makanmu, George!" kata Joan sambil tersenyum.
"Nanti, bila ketiga sepupumu sudah datang, akan kubuatkan makanan kegemaran
kalian." "Anda baik hati, Joan," kata George. "Tapi dalam liburan kali ini kami takkan
sempat merepotkan Anda."
"Ya, aku tahu! Untung ayahmu sarjana termashur yang bisa mengajak kalian semua
ke kota besar di mana kongres itu diadakan."
"Anak-anak belum tahu apa-apa mengenainya." sela George dengan gembira. "Mereka
pasti sangat gembira kalau mendengar kabar itu."
Julian beserta kedua adiknya sering menikmati masa liburan mereka bersama
George, sepupu mereka. Mereka sering datang ke Kirrin, untuk tinggal selama
liburan di rumah Paman Quentin dan Bibi Fanny, orang tua George. Sudah banyak
petualangan yang mengasyikan mereka alami, bersama sepupu mereka itu. Jadi
jelaslah bahwa George sudah tidak saber lagi menunggu kedatangan saudara-
saudaranya. *** Cuaca keesokan harinya sangat indah, untuk musim dingin - sejuk, cerah, dan
kering. Itu bisa dibilang keajaiban, di daerah pesisir situ. Pukul sebelas
Julian, Dick, dan Anne meloncat turun dari kereta api di stasiun Kirrin yang
kecil. Mereka merangkul George yang datang menjemput bersama kedua orang tuanya.
"Halo Bibi Fanny! Selamat pagi, Paman! Hai, George! Asyik, kita sudah berkumpul
lagi. Lima Sekawan sudah lengkap lagi!"
Begitu sampai di rumah, Paman Quentin cepat-cepat masuk ke kamar kerjanya. Ia
tidak tahan menghadapi keributan anak-anak. Sementara itu George bercerita
tentang rencana liburan mereka.
"Ah masa! Kau tidak main-main?" seru Dick dengan gembira. "Jadi kita akan
merayakan Hari Natal di suatu tempat yang panas" Asyik!"
Dick sebaya dengan George. Bukan tampangnya saja yang mirip dengan sepupunya
itu, tapi juga kelakuannya. Keduanya sering dikira orang anak kembar, karena
George lebih suka memakai celana.
"Hebat!" kata Julian. "Aku memang sudah mendengar kabar tentang kongres
penerbangan antariksa internasional itu. Tapi sedikit pun tak kuduga bahwa dalam
liburan musim dingin ini kita akan ke selatan, ke suatu tempat dengan sinar
matahari yang panas!"
Julian, abang Dick dan Anne, bertubuh jangkung. Rambutnya pirang. Anaknya tenang
dan bijaksana. "Aku juga senang bepergian" kata Anne, yang termuda di antara mereka berempat.
Ia menggeraikan rambutnya yang panjang dan pirang. "Tapi bagaimana dengan Timmy,
George" Ia juga ikut?"
"Harus dong!" kata George dengan sikap yakin. "Ayah kan tahu, mana mungkin aku
bisa berpisah dengan Timmy!"
"Kau ini, selalu melebih-lebihkan," kata Dick sambil tertawa. "Seolah-olah kau
tidak bisa meninggalkan anjing kampung ini!"
"Apa katamu" Anjing kampung?" tukas George. "Kau berani menghina Timmy?"
"Memang anjing kampung, mau apa?"
George menerpa Dick, diikuti oleh Timmy. Dick terjerembab. Ketiganya berguling-
guling di lantai, bergulat sambil berteriak-teriak dan menggonggong. Itu memang
permainan yang sangat mereka gemari. Sedang Anne dan Julian menonton sambil
tertawa terpingkal-pingkal.
Tiba-tiba pintu terbuka dengan cepat. Joan bergegas masuk.
"He, he - sudah gila rupanya kalian ini" Mana mungkin Pak Kirrin bisa bekerja
dengan tenang, jika kalian seribut ini" Kalian kan tahu, Ia tidak suka jika
kalian ribut-ribut di dalam rumah. Ayo - ke kebun! Aku sekarang hendak membantu
ibumu berkemas, George! Cepat, keluar!"
Sambil tertawa-tawa keempat anak itu lari ke kebun, diikuti oleh Timmy.
"Alangkah indahnya cuaca hari ini!" seru Anne. Ia melepas pandangan ke arah laut
yang terbentang luas di belakang tebing. Di kejauhan nampak Pulau Kirrin.
"Ala - ini belum apa-apa, dibandingkan dengan kecerahan sinar matahari yang
menunggu kita di selatan. Di sana kita bisa melancong sepuas hati. Ayah pasti
sibuk dengan kongres, serta rekan-rekannya dari negara-negara lain.
"Dengan perkataan lain, Ia takkan sempat memperhatikan kita!" kata Dick.
"Di mana kita tinggal di sana nanti, George?" sela Julian.
"Bukan di hotel. Itu sudah pasti. Dan itu memang tidak mungkin, karena ada
Timmy. Kebetulan Ibu punya saudara jauh yang tinggal di sana. Sekarang ini
mereka sedang berlibur di daerah pegunungan, untuk berolahraga ski. Selama
mereka pergi, kita boleh menempati tempat tinggal mereka. Mereka tinggal di
rumah susun!" "Asyik! Joan juga ikut?"
"Tidak! Ibu yang memasak selama kita di sana. Dan kita membantunya berbelanja."
Sambil berjalan-jalan di tepi laut, keempat remaja itu asyik mengobrol tentang
liburan yang akan datang. Sehabis makan siang, hujan mulai turun lagi. Anak-anak
itu sudah ingin sekali berangkat, karena rindu pada sinar matahari dan cuaca
cerah dan hangat. Bab II BERANGKAT KE SELATAN PERJALANAN dengan pesawat terbang ke selatan terasa cepat sekali. Pesawat
terbang yang mereka tumpangi rasanya baru saja tinggal landas - eh, tahu-tahu
sudah mendarat lagi. Setidak-tidaknya begitulah yang
dirasakan anak-anak. Rumah susun tempat mereka tinggal selama berlibur di kota itu terletak di tepi
jalan yang ramai dengan lalu lintas. Dan tempat tinggal itu luas, jadi sesuai
dengan jumlah mereka yang berenam. Atau bertujuh, dengan Timmy.
Seperti biasa, Paman Quentin langsung mengurung diri di dalam kamar kerja untuk
menyelesaikan catatan serta menelepon. Sementara itu Bibi Fanny mengajak anak-
anak melihat kamar-kamar yang akan mereka tempati.
George dan Anne sangat gembira. Keduanya meneliti kamar mereka yang mewah sampai
ke sudut-sudutnya. Timmy berjalan dengan hati-hati. Anjing itu cerdas, bisa
membedakan antara jalan di kebun di rumah dengan di lantai karpet dalam tempat
tinggal di kota. Dengan cepat kopor-kopor sudah dikeluarkan isinya. Anak-anak mendatang Bibi
Fanny, yang saat itu juga sudah selesai berbenah.
"Sekarang kita harus berbelanja dulu." kata Bib; Fanny. "Sambil berbelanja kita
juga bisa melihat-lihat. Karena itu bagaimana jika kita sekalian saja melancong!
Dengan begitu Paman Quentin bisa bekerja dengan tenang."
Anak-anak langsung setuju. Mereka memang sudah tidak sabar lagi, ingin berjalan-
jalan sambil melihat-lihat.
"Kota ini indah," kata Julian setelah beberapa saat melihat-lihat. "Penduduknya
begitu banyak, dan lampu lalu lintas!"
"Semuanya serba modern!" sela George.
"Dan tokohnya bagus-bagus!" kata Dick dan Anne mengomentari.
Sejak berangkat Timmy diam saja. Ia tidak menggonggong dengan gembira, seperti
biasanya. George tahu kenapa anjingnya itu begitu. Timmy kesal karena harus
memakai kalung leher dan dituntun dengan tali. Padahal biasanya Ia boleh
berkeliaran secara bebas. George mengelus-elus kepala Timmy.
"Jangan merasa terhina, Tim," katanya membujuk. "Di sini lalu lintas sangat
ramai. Bagimu lebih aman jika kutuntun dengan tali. Kau memang anjing yang biasa
berhati-hati. Tapi kau tidak biasa berada di tempat seramai ini. Lagi pula aku
tidak tahu, apakah kau bisa membedakan warna hijau dan merah pada lampu lalu
lintas!" Timmy menggonggong sekali. Ia sudah puas, karena George memperhatikan dirinya.
Bagaimana pun, baginya hanya satu yang paling penting - yaitu bisa ikut dengan
George! Setelah melihat-lihat daerah pertokoan yang terdapat di sekitar tempat tinggal
mereka dan menghapalkan nomor-nomor bis yang lewat serta tujuan masing-masing,
keempat anak itu kemudian membantu Bibi Fanny berbelanja.
Selesai berbelanja, semua kembali dengan gembira ke rumah. Sehabis makan, Paman
Quentin menjelaskan acaranya selama kongres. Ia akan sibuk terus dari pagi
sampai malam, dan baru akan pulang saat makan malam.
"Dan sementara itu aku akan melancong bersama anak-anak, melihat-lihat kota,"
kata Bibi Fanny. "Di sini banyak tempat-tempat yang sangat indah, begitu pula
museum-mquseum yang menarik. Dan mungkin pula aku nanti bisa menemukan beberapa
barang antik." Anak-anak tersenyum. Mereka mengenal kegemaran Bibi Fanny, yang suka sekali
datang ke pelelangan untuk membeli barang-barang bagus di situ. Tapi walau
begitu mereka sendiri tidak ingin selalu ditemani orang dewasa. Di Kirrin mereka
bisa dengan bebas berkeliaran sendiri, sambil menjelajah ke mana-mana. Tidak
bisakah mereka begitu pula di sini"
*** Keesokan harinya George menanyakan hal itu pada ibunya.
"Jika kota ini nanti sudah kita kenal, bolehkah kami sekali-sekali bepergian
sendiri tanpa Ibu?" tanyanya.
"Aku tidak bilang tidak boleh," jawab Bibi Fanny sambil tersenyum, karena
mengenal baik kebiasaan George bersiasat. "Tapi kalian harus berjanji akan
selalu hati-hati dan tidak berbuat yang aneh-aneh. Aku mengandalkan diri pada
Julian - karena selama ini sudah berulang kali dibuktikannya bahwa Ia sangat
berhati-hati." "Ah - masa, Bi," kata Julian malu-malu. Tidak enak rasanya mendengar pujian itu.
"Kau yang paling tua di antara kalian berempat, dan selalu menimbang masak-masak
sebelum melakukan sesuatu. Kalau tidak ada kau, kurasa sepupumu bisa lebih nekat
lagi. Kau kan mau berjanji agar dengan segera mencegahnya kalau hal seperti itu
nampak akan dilakukan olehnya, ya?"
George menggigit bibir, agar tertawanya tidak tersembur keluar. Anak itu biasa
berbuat semaunya - dan bahkan sering perbuatannya menulari yang lain-lain,
termasuk Julian! George memang sangat lincah. Ada-ada saja akalnya. Ia sangat
menggemari petualangan. Ia selalu mencari hal-hal yang baru baginya. Entah
bagaimana, tapi nampaknya ia selalu saja terlibat dalam kejadian yang aneh-aneh.
Rasa ingin tahu yang selalu ada dalam dirinya sudah sering menyebabkan Lima
Sekawan itu berhasil membongkar berbagai peristiwa misterius. Berulang kali
mereka mengalami petualangan seru, dan cukup sering pula mereka berjasa,
membantu polisi membongkar kasus-kasus kejahatan.
*** Tiga hari berikutnya penuh dengan acara pelancongan. George beserta ketiga
sepupunya sudah mengenal baik liku-liku kota yang baru sekali mereka kunjungi


Lima Sekawan Menyergap Penyelundup Mutiara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Tapi kota itu memang sangat menarik. Banyak sekali taman, air mancur, toko-
toko, serta kebun-kebun bunga di situ.
Pada pagi hari keempat Bibi Fanny memanggil mereka.
"Jika kalian mau, siang ini kalian boleh pergi nonton film. Aku hendak melihat-
lihat barang antik yang terdapat di perusahaan lelang. Besok akan ada pelelangan
di sana. Kalian tidak perlu ikut, jika tidak mau."
George mengernyitkan muka. Menonton berarti harus berpisah dari Timmy, karena
anjing tidak diperbolehkan masuk ke gedung bioskop. Tanpa memberi kesempatan
pada ketiga sepupunya untuk menyatakan pendapat, ia langsung membuka mulut.
"Wah, Bu." serunya. "Jika Ibu tidak berkeberatan, aku ingin menemani Ibu. Aku
kan sangat tertarik pada pelelangan!"
"Kami juga." seru Anne dan Julian serempak. "Kami boleh ikut ya, Bi?"
"Kalau kalian mau, terserah! Dan beritanya yang kubaca dalam surat kabar,
barang-barang antik yang akan dilelang itu termasuk harta warisan seseorang yang
bernama Germaine Langlois, yang meninggal dunia baru-baru ini. Ia tidak
berkeluarga - jadi tidak ada yang mewarisi hartanya. Hari ini di ruang nomor 8
dipamerkan perabot rumah tangga serta patung-patung porselen yang berharga, yang
besok akan dilelang!"
"Aku senang melihat patung-patung kecil yang biasanya indah-indah itu!" kata
Anne dengan gembira. "Ya - itu memang baik sekali untuk memperhalus perasaaan terhadap keindahan,"
kata Julian menyindir. Baginya patung-patung penari dan penggembala dari
porselen yang sangat digemari adiknya itu merupakan barang rombengan, yang
sedikit pun tidak ada nilai seninya.
Dick sebenarnya lebih suka menonton film kartun, daripada mondar-mandir melihat
barang-barang antik. Tapi ia diam saja, karena hanya ia sendiri yang berpendapat
begitu. *** Siangnya anak-anak berangkat bersama Bibi Fanny. Mereka naik taksi, karena
tempat pelelangan itu terletak di seberang kota. Ketika mereka memasuki ruangan
nomor 8, ternyata banyak juga pengunjung yang dengan penuh minat melihat-lihat
berbagai benda yang dipamerkan untuk dilelang keesokan harinya. Beberapa orang
pengawas mengamat-amati para pengunjung dengan sikap waspada, walau tidak
menyolok. Benda-benda berukuran kecil dipajang dalam lemari-lemari kaca. Patung-patung
antik dari porselen buatan Jerman, patung-patung menarik dari perunggu, serta
berbagai benda seni dan batu giok dan gading. Anne dan Bibi Fanny mengamat-amati
segala benda pajangan itu dengan penuh minat. Setelah itu mereka pindah ke
tempat mebel dipamerkan. Bibi Fanny nampaknya tidak begitu tertarik pada perabot
rumah tangga yang besar-besar dan berat itu. Tapi tiba-tiba perhatiannya
tertarik, melihat sebuah kursi sandar yang sangat manis bentuknya.
"Aduh, bagusnya!" seru Anne bergairah.
"Pasti nyaman duduk di situ," kata Dick. Anak itu memang paling suka duduk
dengan santai. "Ibu tertarik pada kursi ini?" tanya George.
Bu Kirrin mengangguk. "Kurasa cocok sekali kalau ditaruh di dalam kamar duduk kita yang kecil.
Pendapat kalian bagaimana?"
"Memang bagus sekali" kata Julian.
"Kalau begitu aku akan ikut menawarnya dalam pelelangan besok. Mudah-mudahan
saja harganya tidak akan naik sampai terlalu tinggi," kata Bibi Fanny. Ia
sebenarnya ingin memperhatikan tempat duduk itu dengan lebih seksama. Tapi ada
seorang laki-laki yang nampaknya juga berminat. Orang itu mengamat-amati perabot
itu dari berbagai sudut, sambil meraba-raba permukaannya. Akhirnya Ia pergi.
George yang dari tadi memperhatikan laki-laki itu, kemudian berkata pada ketiga
sepupunya. "Tampangnya tidak enak!" katanya sambil mengernyitkan hidung. "Jika ia besok
ikut menawar, kurasa kecil sekali kemungkinannya Ibu akan bisa memperoleh kursi
ini. Orang itu nampaknya sangat senang melihatnya!"
Bab III MUKA BANGKONG KEKHAWATIRAN George ternyata benar. Keesokan harinya Bibi Fanny datang lagi ke
tempat pelelangan itu bersama anak-anak. Begitu mereka memasuki ruang nomor 8,
dengan segera George melihat laki-laki yang kemarin.
"Nah - apa kataku!" bisiknya pada Dick. "Penggemar kursi kita sudah ada lagi di
sini!" "Wah! Mukanya mirip bangkong," kata Dick mengomentari sambil nyengir.
Pelelangan dimulai. Berbagai perabot yang ditawar dengan cepat sudah berpindah
tangan. Kemudian tiba giliran kursi sandar yang diminati Bibi Fanny. Dua orang
pekerja membawanya ke depan, lalu meletakkannya di atas semacam panggung rendah.
Juru lelang mulai beraksi lagi.
"Kursi sandar yang indah ini kita mulai pelelangannya dengan harga - seratus
franc!" serunya memancing penawaran.
"Seratus lima puluh!"
"Dua ratus!" Penawaran meningkat dengan cepat, karena kursi memang nampak bernilai tinggi.
Harga penawaran sudah mencapai enam ratus franc. Bibi Fanny masih menawar terus,
begitu pula laki-laki yang menurut Dick mukanya seperti bangkong.
"Enam ratus lima puluh!" seru orang itu.
"Tujuh ratus!" sambut Bibi Fanny.
"Tujuh ratus lima puluh!"
"Delapan ratus!"
Anak-anak yang mengikuti persaingan itu tahu bahwa itulah harga tertinggi yang
sudah ditetapkan Bibi Fanny tadi. Ia tidak bersedia menawar lebih tinggi lagi
untuk kursi itu. Tapi wajah Bibi memancarkan tekad bulat. Laki-laki yang
menyainginya dalam penawaran nampaknya juga tidak mau mundur. Namun tiba-tiba
terjadi sesuatu yang tak terduga sebelumnya. Muka laki-laki itu merah-padam.
Tahu-tahu ia bersin berulang-ulang, sementara juru lelang mengangkat palunya.
"Delapan ratus - satu kali! Delapan ratus, dua kali!" Anak-anak menunggu dengan
perasaan tegang. Mereka tahu bahwa begitu palu diketukkan untuk ketiga kalinya, kursi indah itu
akan sudah sah menjadi milik Bibi Fanny.
Aduh si Muka Bangkong nampaknya hendak mengangkat tangannya, untuk meningkatkan
penawaran. Dick yang memperhatikan dengan tegang, tahu-tahu kehilangan
keseimbangan. Ia cepat-cepat berpegang pada orang yang duduk di sebelahnya. Dan
kebetulan sekali orang itu si Muka Bangkong! Karena tangannya dipegang oleh
Dick, ia pun tidak bisa memberi isyarat untuk menaikkan penawaran. Dan sementara
itu palu juru lelang sudah diketukkan untuk ketiga kalinya.
Kursi indah sudah berpindah tangan - menjadi milik Bibi Fanny.
"Kalau tidak ada aku tadi, Bibi pasti gagal," kata Dick berbisik-bisik sambil
nyengir. "Untung saja aku tiba-tiba merasa pusing, sehingga terpaksa bertumpu
sebentar pada orang itu!"
"Tapi kau kan tidak secara sengaja berbuat begitu?" tanya Julian dengan nada
agak curiga. "Kaukira aku ini apa?" tukas Dick. "Itu kan curang!"
"Sudahlah - pokoknya dengan begitu persoalan beres," kata George menggumam,
sementara ibunya pergi membayar.
Wajah Bibi Fanny berseri-seri. Disebutkannya alamatnya, ke mana barang yang baru
dibelinya itu harus diantarkan: Boulevard des Oranges, nomor 76. Saat itu Muka
Bangkong datang menghampirinya sambil memamerkan senyuman yang dipaksakan.
"Maaf, Nyonya - saya ingin sekali memiliki kursi sandar yang baru Anda beli itu,
karena sangat berarti bagi saya. Maukah Anda menjualnya lagi pada saya" Tentu
saja dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada yang Anda bayarkan tadi!"
Laki-laki yang tampangnya seperti kodok bangkong itu berpakaian necis. Tutur
katanya pun sangat sopan. Tapi walau begitu terasa nada mengancam dalam kata-
katanya. Ia memamerkan sikap sangat yakin pada dirinya sendiri. Dan itu tidak
disenangi Bibi Fanny. "Ah, sayang - saya sendiri juga suka pada kursi ini!"
Laki-laki itu hendak berbicara lagi, tapi cepat-cepat dipotong oleh Bibi Fanny.
Orang-orang yang berada di sekitar situ mendesis menyuruh tenang, agar mereka
bisa mengikuti pelelangan dengan jelas. Dengan wajah merah karena marah laki-
laki bertampang jelek tadi pergi meninggalkan ruangan.
Bibi Fanny masih tinggal di situ. Dengan penuh minat diikutinya acara
pelelangan. Sebuah meja tulis antik dengan laci-laci ditawarkan. Bibi Fanny
tidak melihat perabot itu kemarin. Ia langsung berminat, lalu ikut menawar.
Akhirnya perabot itu berhasil pula perolehnya dengan harga sangat rendah. Pihak
perusahaan pelelangan berjanji akan mengantar semua perabot yang dibeli keesokan
harinya ke alamat yang diberikan. Bibi Fanny akan menghubungi salah satu
perusahaan transpor untuk mengangkut barang-barang antik itu ke Kirrin.
Kemudian Bibi Fanny mengajak pergi, karena melihat Timmy sudah tidak sabar lagi.
Bibi Fanny sangat gembira berhasil memperoleh kedua barang antik yang
diingininya. Anak-anak ikut senang melihat wajah Bibi yang berseri-seri.
Hanya George yang melangkah ke luar dengan kening berkerut. Ia berpikir-pikir.
Apa sebabnya Muka Bangkong begitu ingin memiliki kursi sandar itu, sehingga mau
membelinya dengan harga yang sangat tinggi"
*** Kursi sandar dan meja tulis antik diantarkan keesokan harinya, menjelang siang.
Bibi Fanny memberi persen pada kedua pekerja yang membawa barang-barang itu,
lalu mengantar mereka sampai ke pintu. Pintu ditutup kembali ketika orang-orang
itu sudah pergi. Tapi tahu-tahu terdengar deringan bel. Bibi Fanny membukakan
pintu dengan heran. Di luar berdiri laki-laki yang kemarin, yang kelihatannya sangat ingin membeli
kursi sandar yang akhirnya diperoleh Bibi Fanny. Muka Bangkong itu membungkuk
sejauh dimungkinkan perutnya yang gendut, lalu menjelaskan maksud kedatangannya.
"Saya harap Anda bersedia mendengar sebentar, Nyonya" katanya dengan sopan. "Apa
boleh buat - saya terpaksa mengganggu, karena urusannya penting sekali"
Bibi Fanny mempersilakan orang itu masuk, walau Ia sebenarnya agak sangsi.
Ditatapnya orang itu dengan pandangan bertanya.
"Nama saya Ernest Pradier," kata Muka Bangkong memperkenalkan diri. "Saya
mempunyai sebuah toko barang antik, di Jalan Mimosa. Kursi sandar yang Anda beli
di pelelangan kemarin itu sudah lama saya incar. Barang antik itu dulu kepunyaan
seorang wanita sahabat baik saya, yang meninggal dunia baru-baru ini. Saya sudah
mengagumi kursi itu, sejak masih ada di ruang duduk almarhumah. Sekarang saya
ingin sekali memperolehnya sebagai kenang-kenangan. Dulu saya sering duduk di
situ." Kisahnya itu sebenarnya masuk akal, kalau orang itu tidak menuturkannya dengan
sikap merendah yang berlebih-lebihan, sehingga Bibi Fanny merasa curiga. Kecuali
itu nada suaranya yang sopan juga terdengar palsu.
"Sayang," jawab Bibi Fanny dengan sikap dingin, "saya sendiri pun menyukai kursi
itu. Jadi takkan saya jual lagi. Kenapa Anda tidak membeli perabot lain saja di
antara barang-barang peninggalan sahabat Anda itu, sebagai kenang-kenangan
padanya." "Memang, itu memang bisa - tapi saya justru sangat menyukai kursi sandar itu.
Begini sajalah! Saya ajukan tawaran yang baik sebagai imbalannya. Bagaimana
kalau seribu franc?"
Bibi Fanny bingung menghadapi kenekatan laki-laki itu. Karenanya Ia lantas
bersikap tandas. "Bujukan Anda takkan ada gunanya - juga bila Anda melipatduakan penawaran! Bagi
saya, ini bukan urusan harga! Saya tetap tidak mau menjual kursi itu - habis
perkara!" Saat itu George hendak mengambil sikat rambut dari kamar ibunya. Ia tertegun
mendengar kata-kata ibunya yang ketus, lalu mendengarkan di balik pintu. Ketiga
sepupunya datang menghampiri.
Lewat celah pintu yang terbuka sedikit mereka bisa melihat Bibi Fanny mengantar
tamu yang menjengkelkan itu ke pintu luar. Begitu orang itu pergi, dengan
bergegas George menyongsong ibunya di ruang depan.
"Bukan main!" katanya pada ibunya. "Orang itu benar-benar keterlaluan! Seenaknya
saja kemari tanpa diundang, dan membujuk ibu agar mau menjual kursi sandar itu
padanya!" "Mungkin Ia memperoleh alamat kita di tempat pelelangan," kata ibunya dengan
sikap tak acuh. "Lalu Ia menunggu sampai kursi dan meja tulis itu sudah diantar kemari" kata
Dick. "Luar biasa - besar sekali keinginannya memiliki kursi itu," sela Julian. "Tapi
memang bagus sekali sih!"
Ails George terangkat. "Aku sangsi, apakah hanya itu satu-satunya alasan baginya untuk bersikap begitu
nekat!" katanya. "Pasti ada udang di balik batu! Kursi sandar seperti itu kan
bukan barang langka. Masih banyak lagi yang sejenis. Dan ia tadi berbohong
ketika mengatakan bahwa minatnya terdorong hanya karena ingin memiliki kenang-
kenangan dari sahabatnya yang baru meninggal. Kalau memang begitu, Ia kan bisa
saja membeli salah satu perabot lain - seperti kata ibu tadi!"
"Hei - penyelidik kita sudah menemukan jejak misterius lagi!" kata Dick.
"Betul!" ujar George dengan tegas. "Orang tadi itu menimbulkan kecurigaanku. Dan
jika tidak timbul kecurigaan kita dalam kasus-kasus lain, maka kita takkan
mengalami sekian banyak petualangan seru yang menyebabkan Lima Sekawan begitu
termashur!" "Ini bukan sombong, ya!" sindir Dick sambil nyengir.
Dengan serta-merta George melabrak sepupunya yang suka mengejek itu, sementara
Timmy berjingkrak-jingkrak mengelilingi mereka sambil menggonggong-gonggong.
"Sudahlah, jangan bercanda!" seru Julian. "Lebih baik kita urus dulu kursi dan
meja ini! Nah - itu Bibi Fanny datang."
"Ayo bekerja, Anak-anak!" kata Bibi berseri-seri, sambil menyodorkan sikat serta
alat pengisap debu. "Kupercayakan kedua hartaku yang tak ternilai ini untuk
kalian rawat, sementara aku menyiapkan makanan!"
Bab IV KALUNG MUTIARA ANAK-ANAK memawa kedua perabot antik itu ke balkon, lalu mulai membersihkan.
Julian dan Dick menangani meja tulis. Mereka bekerja dengan gembira. Setelah
meja antik itu dibersihkan sebersih-bersihnya, mereka kemudian menggosoknya
dengan semir pengilat. Sementara itu Anne membersihkan kain pelapis kursi yang sudah kusam dengan
sikat. George hanya menonton saja, karena Ia tidak begitu cekatan
menangani tugas semacam itu.
"Kursi ini tidak begitu berdebu," kata Anne memperhatikan.
"Pemiliknya dulu rupanya sering merawatnya dengan seksama," kata George menduga.
"Biasanya debu paling banyak terdapat di celah atara sandaran dan tempat duduk."
sambung Anne. Sambil berbicara diselipkannya tangannya ke celah itu.
"Eh - ada sesuatu di sini," katanya kaget. "Rupanya terselip kemari. Tidak -
tidak mungkin, barang ini terlalu besar. Pasti ada yang dengan sengaja
menaruhnya di sini."
"Barang apa?" tanya George sambil mendekatkan kepalanya. "Cepat - bisa tidak
mengeluarkannya?" Setelah beberapa saat berusaha, barulah Anne berhasil mengeluarkan benda itu.
Ternyata sebuah kotak lonjong gepeng, berwarna biru langit.
"Kelihatannya seperti tempat perhiasan" gumam George. Diraihnya kotak itu. "Coba
kemarikan!" Julian dan Dick datang mendekat.
George membuka tutup kotak itu. Seketika itu juga terdengar seruan heran.
Keempat remaja itu kaget.
"Wah - itu kan mutiara!" kata Anne, ketika sudah pulih dari kagetnya.
"Kalung -yang luar biasa indahnya!" gumam Dick.
"Ya, memang!" kata George membenarkan. "Kita harus cepat-cepat menunjukkannya
pada Ibu!" Anak-anak bergegas ke dapur, diikuti oleh Timmy.
"Bu! Ibu!" seru George bersemangat. "Lihatlah, apa yang kami temukan di kursi
tua itu. Nah, apa kata Ibu sekarang?"
Bibi Fanny berpaling. Ia kaget melihat kalung mutiara yang indah itu.
Diperhatikannya pengikat leher yang terdiri dari dua untai mutiara berwarna
merah muda itu dengan penuh minat.
"Kelihatannya kalung mutiara yang sangat indah ini berharga sekali" katanya
setelah beberapa saat. "Tapi aku tidak tahu pasti, karena bukan ahli mutiara."
"Tapi kalau ini mutiara asli, tentunya mahal sekali harganya, ya" kata George
berkeras. "Itu sudah jelas!"
"Dan sekarang jadi milik Ibu?"
"Kurasa begitulah! Aku membeli kursi antik itu, sedang pemiliknya yang lama,
Germaine Langlois, meninggal dunia - tanpa meninggalkan surat wasiat sama
sekali!" "Wah! Asyik kalau begitu, Bibi Fanny!" seru Anne dengan wajah berseri-seri.


Lima Sekawan Menyergap Penyelundup Mutiara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak-anak menandak dengan gembira.
"Kalian mau tahu pikiran apa yang baru saja timbul dalam hatiku?" seru George
tiba-tiba. "Aku berani bertaruh apa saja - orang tadi, Muka Bangkong itu, tahu
bahwa kalung mutiara inii ada di bagian belakang kursi antik itu. Karena itulah
ia nekat ingin belinya, agar bisa memperoleh perhiasan ini!"
Sekali itu Dick tidak mengejek George. Sepupunya memang sering mendapat pikiran
yang kemudian ternyata benar. Begitu pula sekarang. Bahkan Bu Kirrin tidak
menganggap pikiran itu keliru.
"Barangkali kau benar, George," katanya. "Tapi kita punya bukti!"
"Muka Bangkong tadi tampangnya memang tidak bisa dipercaya," kata Dick. "Jadi
hal seperti itu bisa saja benar!"
"Kia tidak boleh menilai orang dari tampangnya saja." kata Bu Kirrin menasihati.
"Tapi untunglah, aku tak sampai terbujuk! - Eeeh, masakanku hangus."
Bibi Fanny cepat-cepat lari ke oven. Sedang anak-anak kembali ke kesibukan
mereka semula. Tapi mereka tidak terarah pada tugas membersihkan. Kepala mereka penuh dengan kalung
mutiara. "Ide aneh - menyembunyikan kalung dalam kursi," kata Julian sambil mengelap meja
tulis. "Memang, benar-benar aneh!" kata Dick membenarkan ucapan abangnya.
George meneliti kursi antik secara cermat, dengan harapan akan menemukan lebih
banyak harta yang terselip di situ. Tapi Ia tidak menemukan apa-apa lagi.
Tapi Dick menemukan sesuatu. Anak itu tiba-tiba tertegun ketika sedang memoles
pegangan laci yang terbuat dari kuningan.
"Eh - kenop apa itu?" katanya sambil menuding sebuah tombol kecil berwarna
hitam. "Gunanya untuk apa?"
Sementara itu jarinya sudah bergerak, menekan tombol itu. Sebuah pintu kecil
terbuka dengan bunyi pelan. Mata Dick terbelalak, menatap lubang yang terdapat
di belakang pintu kecil itu.
"Laci rahasia," seru Dick bergairah. "Asyik! Barangkali di dalamnya ada dompet
berisi uang bertumpuk-tumpuk.
Anne dan George datang menghampiri.
"Ada apa" Kau menemukan sesuatu?"
Dick tidak menjawab. Tangannya merogoh-rogoh ke lubang sempit di depannya. Tapi
sayang Ia - tidak menemukan dompet uang di situ. Perhiasan juga tidak, melainkan hanya sampul
surat yang sudah kekuning-kuningan warnanya. Sampul itu tertutup.
Napas anak-anak tersentak. Apakah isi sampul itu" Siapakah yang
menyembunyikannya di situ"
George tidak sabar lagi. Dibukanya sampul surat itu, lalu dikeluarkannya secarik
kertas yang ada di dalamnya.
Kertas itu ternyata merupakan surat, yang dibuat dengan tulisan tangan yang
sangat rapi. George membacakannya.
"Dengan ini saya, Germaine Langlois, bertempat di Avenue des Armandies 28
menyatakan benikut: Saya mewariskan kalung mutiara warisan Bibi Flora pada
sahabat saya, Elise Cassain. Kalung itu berupa dua untai mutiara asli berwarna
merah jambu, yang jumlahnya 98 buah."
"Sembilan puluh delapan buah!" seru Julian. "Sama dengan jumlah mutiara pada
kalung yang ditemukan Anne!"
"Dan dua untai! Sudah pasti kalung itulah yang dimaksudkan oleh surat wasiat
ini." kata Dick. "Surat ini ditulis dua puluh tahun yang lalu, sedang Germaine Langlois meninggal
dunia baru-baru ini." ajar George, setelah sekilas melihat tanggal yang tertera
pada surat tua itu. "Jadi seorang wanita bernama Elise Cassain-lah yang mewarisi kalung itu," kata
Julian, menarik kesimpulan. "Tapi di mana tempat tinggalnya"
Mungkinkah kita bisa menemukannya?"
"Kalian tahu pasti bahwa kalung yang kutemukan terselip dalam kursi sandar itu
yang dimaksudkan dalam surat wasiat aneh ini?" tanya Anne.
"Itu pasti!" jawab George. "Kau kan tahu sendiri, sandar dan meja tulis antik
yang dibeli ibuku berasal dari barang-barang peninggalan wanita yang meninggal
dunia itu. Memang menurut kata orang, Germaine Langlois sama sekali tidak
meninggaikan surat wasiat. Tapi surat yang sudah tua ini membuktikan sebaliknya.
Wanita itu mewariskan hartanya yang berharga - yaitu kalung mutiara merah jambu
- pada sahabatnya." " Baiklah," kata Dick. "Sekarang kita perlihatkan saja dulu surat ini pada Bibi
Fanny." Bu Kirrin membaca surat wasiat tua itu dengan mata kian membesar.
"Ternyata dugaanku tidak keliru. Mutiara itu asli semua. Nilainya pasti sangat
tinggi!" Ia sedikit pun tidak nampak kecewa karena tidak jadi memiliki kalung yang indah
itu. Ia berpikir-pikir sebentar. Kemudian Ia mengambil keputusan.
"Siang ini aku akan mendatangi seorang pengacara hukum" katanya. "Akan
kutunjukkan surat ini padanya, lalu kuserahkan kalung itu untuk disimpan dulu di
tempatnya. Elise Cassain pasti akan sangat berterima kasih pada kalian."
"Bu," sela George dengan tiba-tiba, "untuk apa sebetulnya kita menghubungi
pengacara hukum" Kami sendiri kan bisa mencari wanita itu. Dengan demikian kami
bisa berkeliling-keliling dengan tujuan tertentu. Ibu tahu kan, kami sangat
gemar melakukan hal-hal seperti itu!"
Bibi Fanny tersenyum. Kalau dipikir-pikir memang belum perlu menghubungi
pengacara hukum. Dan ia mengenal baik kesenangan Lima Sekawan. Mereka sangat
suka menyelidiki misteri. Di samping itu mereka juga sudah sepantasnya diberi
penghargaan atas penemuan mereka yang luar biasa itu.
"Ayolah, Bibi Fanny," bujuk Dick, "Izinkanlah kami mencari Elise Cassain itu!"
"Kami akan senang sekali jika dibolehkan," kata Anne.
"Ya, sungguh" ujar Julian serius. "Jika nanti kami tidak berhasil, kita kan
masih bisa menghubungi pengacara hukum atau melapor pada polisi. Hanya selama
beberapa hari saja, Bibi!"
"Kan menyenangkan, kalau bisa menyampaikan berita seperti itu" kata George
berusaha meyakinkan. Matanya bersinar-sinar.
"Ya, baiklah." kata Bibi Fanny. "Kalau kalian memang sangat ingin - aku setuju
saja! Tapi mudah-mudahan kalian lekas berhasil, karena aku tidak mau lama-lama
menyimpan perhiasan ini di sini. Tanggung jawabnya terlalu besar."
"Hore!" seru George dengan gembira. "Lima Sekawan mendapat tugas lagi. Hore!
Hore! Hore!" Bab V MENCARI ELISE CASSAIN ANAK-ANAK bergegas makan siang, lalu dengan lebih cepat lagi mencuci piring.
Setelah itu mereka berembuk sebentar. Timmy tentu saja tidak mau ketinggalan.
"Kita coba dulu mencarinya dalam buku telepon. Cassain bukan nama keluarga yang
umum!" kata Julian. Ia bergegas mengambil buku telepon kota yang tebal. "Coba kita lihat
sebentar...." Ia mencari-cari, sementara ketiga saudaranya ikut memperhatikan di belakangnya.
Julian membalik-balik halaman buku telepon dengan bersemangat. George, Dick, dan
Anne memperhatikan gerak jari telunjuk Julian yang menelusuri
nama-nama dengan huruf depan 'C'.
Cabrial... Cabrier... Cadoin... Cageol... Cassan... ..Catric... sialan! Tidak
ada Cassain di sini!"
"Coba kauteliti sekali lagi!" kata Dick.
"Kau kan melihat juga tadi - sama sekali tidak ada Cassain yang tertera!" seru
Julian tidak sabar. "Atau mungkin di tempat Elise Cassain itu tidak ada pesawat telepon!"
"Atau bisa juga sudah pindah. Itu jika ia dulunya memang tinggal di kota ini!"
"Atau sementara itu Ia sudah menikah, dan kini memakai nama keluarga suaminya"
"Atau bisa juga sudah meninggal dunia - seperti Germaine Langlois."
"Mungkin juga!"
"Bagaimana kita bisa memastikannya?"
"Wah - payah!"
Ke empat remaja itu sangat kecewa. Timmy rupanya ikut merasakan suasana itu,
karena Ia menggongong. Kedengarannya seperti ikut sedih.
"Kenapa Germaine Langlois tidak menuliskan alamat sahabatnya itu dalam surat
wasiatnya, ya!" keluh Anne kemudian.
Tiba-tiba Dick menepuk dahinya.
"Aku punya akal!" serunya. "Kita datangi saja rumah yang didiami Germaine
Langlois sebelum Ia meninggal dunia."
"Untuk apa?" tanya Anne. Ia tidak mengerti. "Siapa tahu, mungkin di situ nanti
kita menjumpai orang yang kenal dengan Germaine Langlois, dan bisa memberi
keterangan mengenai kenalan dan sahabat-sahabatnya. Mungkin dengan begitu kita
bisa menemukan jejak yang memungkinkan kita menemukan Elise Cassain."
"Bagus sekali ide itu," kata Julian. "Bagaimana pendapatmu, George?"
George diam saja. Tapi keningnya berkerut. Setelah apa saat, ia membuka mulut.
"Ya, ide itu memang bagus," katanya. "Tapi aku memikirkan cara kita pergi ke
kota." "Tentu saja naik bis!" jawab Dick. Ia heran mendengar pernyataan sepupunya. "Eh,
nanti dulu! Tidak, lebih baik naik kereta bawah tanah saja. Itu lebih cepat. Aku
sudah bosan berjalan kaki terus ke kemana-mana!"
"Aku tadi bimbang memikirkan Timmy," kata George lagi sambil mendesah. "Jika
naik kereta bawah tanah, ia terpaksa kita bawa dalam tas. Tapi yang jelas, aku
tidak mau meninggalkannya di rumah. Konyol sekali peraturan di sini - di
berbagai tempat anjing tidak boleh dibawa!"
Wajah keempat remaja itu muram lagi. Anjing memang tidak diperbolehkan masuk ke
dalam kereta bawah tanah, kecuali jika dibawa dalam tas. Padahal Timmy tidak
enteng tubuhnya. Anak-anak termenung-menung. Tapi tiba-tiba George tersenyum puas. Wajahnya
berseri kembali. "Kurasa aku sudah menemukan cara mengangkut Timmy!" katanya dengan gembira. "Ia
kita masukkan dalam tas - tapi tanpa perlu menjinjing tas itu!"
"Wah! Bagaimana caranya?"
"Nanti saja kalian lihat. Serahkan saja urusan itu padaku. Dalam waktu beberapa
menit kita sudah bisa berangkat."
George meninggalkan kamar, diikuti oleh Timmy. Beberapa saat kemudian keduanya
sudah muncul lagi. George menjinjing sebuah tas besar yang dilambai-lambaikannya
dengan gembira. Timmy masih tetap mengikutinya.
"Kita berangkat!" seru Geoge. "Langsung ke tempat tinggal Madame Langlois
almarhumah!" Dengan cepat mereka berjalan kaki, menuju stasiun bawah tanah yang terdekat.
Pemilik kalung mutiara merah jambu itu ketika masih hidup tinggal di jalan
Avenue des Amandiers. Letaknya di seberang kota.
"Nanti kita harus sekali ganti kereta," kata Julian, "dan untuk itu kita harus
menyusuri lorong yang panjang, menuju peron kereta berikutnya. Dan selama itu
Timmy harus kita jinjing."
"Tenang-tenang saja," kata George sambil nyengir. "Aku tadi kan sudah bilang
bahwa aku punya akal agar kita tidak perlu repot-repot menjinjing Timmy!"
Mereka tiba di pintu masuk ke peron. George membuka tas yang dijinjing. Dengan
segera Timmy meloncat masuk ke dalamnya. Penjaga pintu memperhatikan dengan
sikap tak acuh dari tempat penjagaannya. George meraih pegangan tas sebelah
kiri, sedang Dick memegang yang sebelah kanan. Tas itu mereka angkat, lalu semua
cepat-cepat membelok ke kiri, menjauhkan diri dari perhatian penjaga. Tapi orang
itu masih saja bersikap tak peduli. Anak-anak masuk ke lorong yang panjang,
menuju peron. "Sekarang jalan sendiri, Tim!" kata George.
Ketiga sepupunya melongo, sementara Timmy yang masih ada di dalam tas benar-
benar berjalan sendiri. Ternyata keempat kakinya menembus dasar tas. Ketika
masih di rumah tadi, George yang banyak akal itu membuat empat buah lubang di
sini. Anne dan Julian tertawa melihat akal yang bagus itu.
"Tapi jangan kaulepaskan pegangannyal" kata George pada Dick "Nanti jika
berjumpa dengan petugas di sini, aku akan berseru, 'Duduk!' Dengan segera Timmy
akan menarik keempat kakinya ke dalam tas."
Sekarang Dick yang terpingkal-pingkal. Ya - memang cuma George saja yang bisa
mendapat akal bulus seperti itu!
Mereka sampai di peron dengan selamat. George memerintahkan anjingnya agar duduk
dalam tas. Dan Timmy menurut. Beberapa orang yang lewat sempat melihat siasat
itu. Mereka tersenyum geli.
Ketika kereta datang, anak-anak masuk lalu duduk di bangku yang berhadap-
hadapan. Tas yang berisi Timmy ditetakkan di samping kaki George.
"Lhatlah - Timmy tenang sekali," kata Anne.
"Ya, seakan-akan mengerti apa yang dikehendaki dari dirinya" kata Dick.
George berseri-seri mendengar anjing kesayangannya dipuji-puji.
"Ia memang patuh padaku," katanya, seolah-olah peduli. "Ia takkan berani
menyelinap pergi kalau tidak kuizinkan. Timmy memang cerdas!"
Semuanya memang benar. Tapi walau begitu anjing tetap anjing. Dan anjing
biasanya bermusuhan kucing!
Sementara George masih menyanjung-nyanjung Timmy, binatang itu sudah mengendus
bau sesuatu yang tidak disenangi. Seorang wanita masuk lewat pintuu di ujung
gerbong. Ia menjinjing keranjang kecil, yang kemudian diletakkannya di lantai.
Keranjang itu nampak bergerak-gerak. Dari dalamnya menghambur bau yang khas. Bau
kucing! "Guk!" gonggong Timmy. Sementara kata-kata pujian George masih terngiang di
telinga, anjing itu berdiri lalu melesat ke ujung gerbong!
Keadaan di situ menjadi kalang-kabut. Bermacam-macam sikap para penumpang ketika
melihat ada tas bisa lari. Sebuah tas aneh - dengan empat kaki serta berkepala
anjing! Beberapa penumpang cepat-cepat menyingkir ketakutan. Ada pula yang
mengomel. Tapi kebanyakan tertawa terbahak-bahak melihat Timmy dengan
dandanannya yang aneh itu!
Tapi Timmy sendiri tidak mempedulikan segala reaksi itu. George berseru-seru
memanggilnya. Tapi percuma! Dick bergegas mengejar. Tapi juga sia-sia, karena
sementara itu Timmy sudah sampai ke keranjang yang baunya mencurigakan itu.
Ia menggonggong-gonggong sambil mengais-ngais keranjang. Bulu tengkuknya tegak.
Dari dalam keranjang terdengar bunyi mengeong dan mendesis marah.
Pemilik kucing itu kaget. Tapi Ia ternyata berani. Dipegangnya kalung
leherTimmy. Maksudnya hendak menyentakkannya ke belakang. Tapi terlambat!
Sepotong kaki berbulu hitam dengan cakar yang runcing-runcing menerobos tutup
keranjang dengan gerak mencakar. Timmy melolong kaget.
Timmy bukan anjing yang jahat. Ia sebetulnya hanya ingin iseng saja. Anjing kan
selalu harus menakut-nakuti kucing! Tapi kucing dalam keranjang itu rupanya
tidak mengetahui maksudnya. Atau mungkin juga tidak mau tahu!
Timmy terkaing-kaing kesakitan. Hidungnya berdarah kena cakar. Nampak jelas
bahwa ia sangat kecewa, ia yang hanya main-main, dibalas dengan cakaran raut!
"Bagus!" kata wanita pemilik kucing pada binatang peliharaannya yang ada dalam
keranjang. Kucing itu masih mendesis-desis, seakan-akan menantang Timmy.
George kaget sekali melihat kelakuan Timmy. Dipegangnya kalung leher anjingnya,
dan dengan bantuan Dick diseretnya kembali ke bangku mereka, diiringi gelak tawa
para penumpang. George masih kelihatan bingung ketika mereka sampai di stasiun tujuan. Ketiga
sepupunya harus menahan diri, agar tawa mereka tidak tersembur ke luar. Timmy
juga nampak bingung Rupanya ia masih belum sepenuhnya menyadari apa sebetulnya
yang terjadi dengan dirinya di dalam kereta tadi.
Mereka keluar dari stasiun. Ketika sudah sampal di jalan raya lagi, George
menyuruh Timmy keluar dari dalam keranjang.
"Kurasa jalan lebar di depan itulah Avenue des Amandiers" kata Julian.
Dugaannya ternyata benar. Para penyelidik remaja itu menyusuri jalan yang lebar
itu, sampai ke rumah nomor 28. Rumah yang didiami Germaine Langlois semasa
hidupnya merupakan bangunan tua yang megah. Nampaknya baru dipugar. Anak-anak
membunyikan bel. Seorang wanita yang sudah tua datang membukakan pintu. Ternyata
Ia pengurus gedung tempat tinggal itu. Wajahnya sudah keriput. Pertanyaan anak-
anak dijawabnya dengan panjang-lebar. Kelihatannya ia memang senang mengobrol.
"Ya, tentu saja aku mengenal Bu Langlois almarhumah! Kasihan - ia hidup
menyendiri. Orangnya tidak banyak bicara. Jarang ada tamu yang berkunjung ke
tempatnya. Kecuali Bu Cassain, sahabat karibnya dari zaman dulu. Aku melihatnya
hadir sewaktu Bu Langlois dimakamkan."
Pengurus itu kelihatannya senang sekali bisa bercerita. Ia membumbui
keterangannya dengan berbagai hal yang sepele. Anak-anak sampai tidak sabar
mendengar obrolannya. "Apakah wanita itu nama depannya Elise" Mungkin Anda kebetulan tahu," kata
Julian menyela. "Elise" Ya, mungkin saja begitu nama depannya."
"Dan Anda tahu di mana kediaman sahabatnya itu?" tanya Dick.
"0 ya - aku pernah dimintai tolong oleh Bu Langlois untuk pergi mengambil
sesuatu ke sana!"

Lima Sekawan Menyergap Penyelundup Mutiara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu cepat katakan dimana alamatnya!" potong George. Sikapnya yang
tandas nampaknya kurang mengena di hati pengurus berwajah keriput itu, karenanya
ia langsung membisu. Kini Anne tersenyum manis padanya.
"Kami menanyakannya karena ada urusan penting, Bu!" kata Anne dengan nada ramah.
"Kami hendak menyampaikan berita penting pada wanhta itu."
"0, begitu," kata pengurus itu. Sikapnya melunak. "Tempat tinggal Bu Cassain
tidak jauh dan situ, di Jalan Kolibri. Kalau naik bis, cuma satu halte."
Anak-anak mengucapkan terima kasih, lalu bergegas meninggalkan wanita tua itu.
George mengajak berjalan kaki saja. Ia tidak ingin menghadapi risiko lagi dengan
Timmy. Mereka pun berjalan sambil bercakap-cakap.
"Bu Cassain pasti gembira kalau mengetahui bahwa sahabat lamanya ternyata ingat
padanya dan meninggalkan warisan baginya!"
"Apalagi jika nanti tahu bahwa warisan itu kalung mutiara merah jambu!" kata
Dick. "Nah - kita sudah sampai," kata Julian sambil memandang nomor bangunan. Mereka
memasuki serambi luar, lalu menuju ke pintu tempat tinggal pengurus bangunan
itu. George mengetuk pintu. Seorang wanita muda keluar, sambil menggendong bayl.
"Ada perlu apa?" tanya wanita itu dengan ramah. Julian menceritakan maksud
kedatangan mereka ke situ.
Wanita muda itu menggeleng-gelengkan kepala. Ia mendesah sedih.
"Wah, sayang - kedatangan kalian terlambat" katanya. "Bu Cassain meninggal dunia
seminggu yang lalu. Ia rupanya terserang pilek, ketika menghadiri pemakaman
sahabat lamanya - Bu Langlois!, Pileknya kemudian bertambah parah, menjadi
radang paru yang berat. Akhirnya Ia meninggal karena penyakit itu."
Bab VI PENCARIAN DITERUSKAN ANAK-ANAK kaget sekali mendengar berita itu. Mereka berpandang-pandangan.
Sedikit pun mereka tidak mengira bahwa penyelidikan mereka akan selesai sampai
di situ saja. George yang paling dulu pulih akalnya.
"Barangkali Anda mengenal keluarga Bu Cassain?" tayanya. "Mungkin suami - atau
anaknya?" "Sepanjang pengetahuanku. suaminya sudah lama ninggal dunia. Tapi kalau tidak
salah, Ia mempunyai seorang anak perempuan."
"Tahukah Anda tempat tinggal anaknya itu?" tanya Julian.
"Aduh - sayang tidak! Aku baru dua bulan bekerja sini. Tapi para penghuni di sini
mestinya ada yang lebih tahu. Wanita tua itu akrab sekali dengan para
tetangganya. Mungkin seorang dari mereka bisa membantu kalian."
Anak-anak lantas memutuskan untuk mendatangi semua penghuni gedung itu, yang
tinggal di lantai yang sama dengan Bu Cassain, dengan harapan akan lebih banyak
memperoleh keterangan tentang almarhumah. Tapi hanya seorang wanita tua saja
yang mau membuka pintu. Ia menyilakan anak-anak masuk ke kediamannya.
Didengarkannya penjelasan serta pertanyaan mereka dengan penuh perhatian.
"Ya - Elise mempunyai seorang anak perempuan. Namanya Denise," kata wanita tua
itu kemudian. "Gadis itu menikah ketika masih sangat muda. Sudah Lama sekali!
Waktu itu aku dikirimi kartu dengan alamatnya yang baru. Ia menempati kediaman
mertuanya, yang pindah ke tempat lain." Wanita itu pergi ke sebuah lemari.
"Aku belum pernah mengunjungi Denise, tapi Ia sering mendatangi ibunya" kata
wanita tua itu lagi. "Aku tahu pasti bahwa aku pernah mencatat alamatnya."
Ia membuka lemari, lalu mencari-cari di antara tumpukan kertas. Kemudian ia
berseru dengan gembira, "Nah, ini dia! Denise menikah dengan seseorang ternama Luc Landreux. Alamat
mereka, Avenue du Parc nomor 7. Tapi apakah mereka masih tinggal di sana" Ia
sudah lama tidak kemari lagi, sejak bertengkar dengan ibunya. Yah - kurasa
kejadian seperti itu bisa terjadi dalam keluarga mana pun juga. Tapi sayang,
sebetulnya!" Dengan cepat George mencatat alamat yang disebutkan. Denise Landreux, Avenue du
Parc 7. Setelah mengucapkan terima kasih pada wanita tua itu, anak-anak pergi
dari situ. George menghembuskan napas panjang, ketika sudah kembali berada di jalan.
"Dengan begitu anak Bu Cassain yang kini akan mewarisi kalung mutiara itu"
katanya. "Di manakah letak Avenue du Parc, Ju" Jauh tidak dari sini?"
Julian mengambil peta kota yang selalu dibawanya dalam saku.
"Wah - sialan!" katanya setelah meneliti peta selama beberapa waktu. "Letaknya
dekat Kebun Raya! Itu di bagian lain dari kota ini. Kita harus naik bis ke
sana." George dan Timmy langsung memandang ke arah tas besar yang tergantung di bahu
Dick. "Ayolah" kata Dick sambil tertawa. "Tapi jangan macam-macam lagi ya, Tim! Cepat
- masuk ke dalam tas!"
*** Dua puluh menit kemudian anak-anak turun dari bis yang mereka tumpangi. Bis itu
berhenti tepat di depan sebuah bangunan tempat tinggal. Mudah-mudahan saja
Denise masih tinggal di sini, kata anak-anak dalam hati.
Timmy dikeluarkan dari dalam tas. Anjing itu melompat-lompat dengan gembira
mengelilingi tuannya. "Ya, ya - sudahlah, Tim! Kita tidak sempat bermain-main karena masih ada tugas
penting yang harus diselesaikan dulu."
"Guk!" Timmy menggonggOng seakan-akan mengerti. Anak-anak bergegas memasuki
bangunan itu. Mereka hendak mendatangi orang yang menjadi pengurus di situ. Di serambi masuk
mereka melihat seorang laki-laki yang sedang menyapu lantai. Orang itu mencegat
mereka. "Mau apa kalian?" tukas orang itu dengan sikap tidak ramah.
"Kami ingin bertemu dengan orang yang mengurus kompleks ml," jawab Julian dengan
sopan. "Akulah orangnya," kata orang tadi.
"Kalau begitu Anda mungkin bisa mengatakan apakah Denise Landreux masih tinggal
di sini" kata Julian.
"Keluarga Landreux" Hahh - sudah lama tidak ada lagi di sini. Mereka meninggal
dunia, karena kecelakaan mobil. Itu tidak aneh, karena saat itu yang mengemudi
menantu mereka. Orang muda zaman sekarang memang sangat sembrono. GiIa-gilaan!
Jika aku punya mobil..."
Anak-anak tidak bisa berbuat lain, sementara laki-laki pengomel itu menumpahkan
segala kekesalannya terhadap para pengemudi mobil yang tidak berhati-hati. Dalam
hati, anak-anak mulai bingung. Setiap kali mereka mengira akan berhasil dengan
pelacakan mereka, ternyata kemudian mereka menghadapi jalan buntu. Para ahli
waris kalung mutiara berharga itu sudah meninggal semua.
Tapi nanti dulu! Kata pengomel itu, Denise Landreux meninggal dunia dalam mobil
yang dikemudikan menantunya. Besar kemungkinannya menantunya itu laki-laki.
Dengan begitu, Denise Landreux mestinya punya anak perempuan! Meninggal dunia
jugakah anaknya itu dalam kecelakaan yang merenggut nyawa keduaorang tuanya"
Atau mungkin masih hidup"
"Apakah anak perempuan keluarga Landreux waktu itu tinggal bersama orang
tuanya?" tanya George memotong ocehan laki-laki pengomel itu. "Jika tidak
bisakah kami mendapat alamatnya, serta nama almarhum suaminya?"
"Cuma itu saja" Kalian kira aku ini apa" Aku bukan kantor penerangan," kata
laki-laki itu mengomel. "Ayo, pergi sekarang! Kalian tidak lihat, ya" Kotor lagi
lantaiku karena anjing jorok itu!"
George langsung hendak mendamprat. Tapi Julian cepat-cepat mendului berbicara.
"Jika Anda tidak mau memberi keterangan, kami akan mencoba pada bekas tetangga
keluarga Landreux. Mungkin kami bisa memperoleh keterangan dan mereka."
Muka pengurus gedung yang pemarah itu merah padam.
"Kalian tidak bisa ke atas! Baru saja aku selesai mengepel tangga!" bentaknya.
"Kami akan membersihkan sol sepatu kami baik-baik," kata Anne sambil menatap
laki-laki itu dengan ramah.
"Dan anjing ini kami gendong," kata Dick menambahkan.
"Aku tetap mengatakan tidak boleh! Sekarang pergi dari sini, dan bawa anjing
jorok kalian itu! Jangan kalian ganggu aku lagi - aku tidak punya waktu!"
"Pengurus bangunan memang terkenal selalu ramah-tamah," sindir George dengan
kesal. Laki-laki pengomel itu mendengar ucapan George. Ia langsung mengangkat sapu,
untuk mengusir anak-anak dengannya. Tapi Ia tidak memperhitungkan Timmy. Anjing
itu maju sambil menggeram, karena menduga bahwa laki-laki itu hendak memukul
George. Laki-laki itu kaget. Sapu yang sudah terangkat diturunkannya lagi, sementara
matanya menatap Timmy dengan perasaan cemas. Untung saja George masih sempat
cepat-cepat memegang kalung leher anjingnya. Setelah itu Ia menoleh ke arah
pengurus gedung yang pemarah itu.
"Anda sama sekali tidak berhak melarang kami ke atas!" tukasnya. "Anda juga
tidak berhak mengancam kami. Kami tidak melakukan kesalahan apa pun, hanya
Playboy Dari Nanking 10 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam Kisah Para Pendekar Pulau Es 20
^