Minggat 2
Lima Sekawan Minggat Bagian 2
panci yang berkelontang-kelanting di dapur jelaslah bahwa Ibu Stick mulai sibuk
menyiapkan hidangan makan malam untuk mereka. Julian nyengir sendiri
mendengarnya. Anak-anak meneruskan permainan kartu mereka.
Hidangan makan malam tak sehebat malam sebelumnya, tetapi lumayanlah. Hidangan
itu terdiri dari daging babi dingin, keju dan sepotong puding susu. Bahkan untuk
Tim juga tersedia sepiring daging rebus. George memandangnya dengan curiga.
"Singkirkan daging itu," katanya pada Ibu Stick. "Pasti telah diracuni lagi.
Bawa pergi!" "Jangan, biarkan saja di sini," bantah Julian. "Besok aku akan membawanya ke
ahli obat di desa. Aku hendak minta tolong padanya untuk meneliti daging itu.
Kalau benar dibubuhi racun seperti yang dikatakan oleh George, kurasa ahli obat
itu akan bisa banyak bercerita pada kita."
Tanpa mengatakan apa-apa, piring berisi daging itu dibawa pergi lagi oleh Ibu
Stick. "Perempuan jahat!" kata George sambil meraih Tim ke dekatnya. "Aku benci sekali
padanya. Aku takut Tim akan mengalami celaka!"
Kejadian itu merusak suasana yang semula agak nyaman. Ketika hari mulai gelap,
anak-anak merasa mengantuk.
"Pukul sepuluh," ujar Julian. Saat itu musim panas, jadi matahari baru terbenam
larut malam. "Kurasa sudah waktunya masuk tidur bagi kita semua. Kalau Anne,
sebenarnya sudah sedari tadi harus tidur. Ia masih terlalu kecil, jadi belum
boleh bergadang sampai selarut ini."
"He!" seru Anne tersinggung. "Umurku kan hampir sama dengan George" Kan bukan
salahku, aku lebih muda?"
"Ya, ya - sudahlah," kata Julian sambil tertawa geli. "Jangan khawatir, aku
takkan menyuruhmu pergi tidur sendirian. Selama keluarga Stick berkeliaran di
sini, kita harus selalu bersama-sama. Ayohlah, kita tidur saja sekarang!"
Anak-anak sudah sangat capek. Seharian mereka berenang, jalan-jalan dan
berdayung. Julian sebenarnya masih ingin belum tidur, tetapi rasa mengantuk
lebih berkuasa. Tak lama kemudian ia pun terlelap.
Tetapi tengah malam ia sekonyong-konyong terbangun. Menurut perasaannya, ia
mendengar bunyi sesuatu. Tetapi rumah itu sepi. Kalau begitu, apakah yang
didengarnya tadi" Mungkinkah salah seorang dari keluarga Stick sedang menyelinap
dekat kamar mereka" Tidak mungkin - karena pasti Tim akan sudah ribut
menggonggong. Kalau begitu apa" Pasti ada sesuatu yang membangunkannya tadi.
"Mudah-mudahan bukan George, yang sedang melakukan sesuatu yang berhubungan
dengan rencananya!" pikir Julian sekonyong-konyong. Ia duduk, lalu meraba-raba
mencari mantel kamarnya. Begitu didapat, langsung dikenakan. Tanpa membangunkan
Dick lagi, ia menyelinap ke kamar anak-anak perempuan. Sesampai di situ
dinyalakannya senter, untuk melihat apakah semuanya beres di dalam.
Anne nampak tidur nyenyak di tempat tidurnya. Tetapi tempat tidur George kosong.
Pakaian anak itu juga tak ada di tempat biasanya!
"Sialan!" gumam Julian jengkel. "Ke mana lagi anak itu" Kurasa pasti ia minggat,
hendak mencari ibunya."
Cahaya senternya menerangi sebuah sampul surat yang disematkan ke sarung bantal
George. Julian berjingkat-jingkat ke situ.
Pada sampul nampak tertulis namanya dengan huruf-huruf besar. "JULIAN". Dengan
segera Julian membuka sampul, lalu membaca surat yang terselip di dalamnya.
Julian, Jangan marah padaku, ya! Aku tak berani lebih lama lagi tinggal di Pondok
Kirrin. Aku takut, jangan-jangan Tim diracuni oleh keluarga Stick. Kau tahu aku
akan sedih sekali kalau hal itu sampai terjadi. Karenanya aku memutuskan untuk
tinggal seorang diri di pulau kita, sampai Ayah dan Ibu kembali. Dan karena aku
pergi, kalian bertiga juga harus pulang ke rumah orang tua kalian. Tapi
sebelumnya tolong tinggalkan sepucuk surat untuk ayahku. Tulis padanya agar
menyuruh Jim berlayar ke dekat Pulau Kirrin dengan bendera merah berkibar di
atas tiang, begitu orang tuaku kembali ke rumah. Dengan begitu aku tahu kapan
aku sudah bisa kembali lagi ke rumah. Benar ya! Kalian harus pulang, karena tak
ada gunanya lagi tetap tinggal di Pondok Kirrin bersama keluarga Stick.
Salam, George Julian membaca surat itu dengan seksama.
"Kenapa aku tidak sampai menduga bahwa itulah rencananya!" katanya pada diri
sendiri. "Karena itu rupanya kami tidak diikutsertakan. Ia ingin minggat
sendirian, bersama Tim. Tak boleh kubiarkan dia melaksanakan niatnya itu. Ia tak
bisa tinggal sendiri di Pulau Kirrin selama itu. Ia bisa jatuh sakit di sana.
Atau terpeleset dari sebongkah batu licin, lalu cedera! Dan tak seorang pun yang
tahu sehingga bisa menolong!"
Julian benar-benar prihatin mengingat anak perempuan yang bertekat kuat itu.
Sesaat ia bingung, tak tahu apa yang harus dikerjakan. Bunyi yang
membangunkannya tadi, mestinya disebabkan oleh George. Kalau begitu, mestinya ia
belum jauh. Kalau ia cepat-cepat mengejar ke pantai, mungkin saja George masih
belum berangkat. Jadi ia bisa mencegahnya.
Tanpa mengenakan pakaian luar lagi ia lari menyusur jalan kebun, keluar pintu
pagar lalu membelok ke jalan yang menuju ke pantai. Hujan sudah berhenti.
Bintang-bintang berkelap-kelip di langit yang gelap.
"Bagaimana George bisa menemukan jalan di antara batu-batu karang di malam
segelap ini?" keluh Julian dalam hati. "Anak itu sudah edan! Terbentur nanti
perahunya ke batu runcing, lalu karam!"
Julian berlari kencang dalam kegelapan sambil ngomong pada dirinya sendiri.
"Pantas ia menginginkan baterai baru untuk senternya, serta korek api! Kurasa
spiritus yang dibelinya adalah untuk kompor kecilnya! Kenapa ia tak mau
bercerita" Kan asyik, apabila kita pergi semua bersama-sama!"
Julian sampai di pantai. Dilihatnya cahaya senter di tempat George menaruh
perahunya. Julian lari ke situ. Langkahnya agak berat, karena saban kali kakinya
terbenam dalam pasir basah.
"George! Goblok!" seru Julian. "Kau tak boleh pergi sendiri di malam buta
seperti ini!" Saat itu George sedang sibuk mendorong perahunya ke air. Ia kaget ketika
mendengar suara Julian berseru-seru.
"Kau tak bisa menghalang-halangi aku lagi!" balasnya. "Aku sudah berada di air!"
Tetapi Julian sempat menyambar tepi perahu, walau untuk itu ia terpaksa masuk ke
air sampai pinggang. "George! Dengarlah sebentar!" katanya. "Kau tak boleh berangkat, nanti perahumu
membentur batu. Kembalilah!"
"Tidak!" jawab George ketus. "Kalian bisa pulang saja ke rumah kalian, Julian.
Aku bisa mengurus diriku sendiri! Lepaskan perahuku!"
"George! Kenapa tak kauceritakan padaku tentang rencanamu?" kata Julian lagi.
Nyaris saja ia terpental kena pukul ombak. "Wah ombak ini gawat! Aku terpaksa
naik ke perahu." Julian naik ke perahu. Ia tak bisa melihat wajah George dalam gelap. Tetapi ia
merasa pasti, anak itu menatapnya dengan mata melotot karena marah.
"Kau merusak rencanaku," ujar George dengan suara agak serak.
"Tidak, Goblok!" bantah Julian dengan suara lembut. "Dengarlah baik-baik!
Sekarang kau ikut aku, kembali ke Pondok Kirrin. Aku sungguh-sungguh berjanji
padamu - besok kita semua pergi ke Pulau. Nah, bagaimana" Kita berlima ke sana
semuanya. Kenapa tidak" Bukankah ibumu telah mengatakan bahwa kita boleh
menginap di sana seminggu! Di sana kita tidak bisa dirongrong lagi oleh keluarga
Stick yang jahat. Jadi maukah kau ikut kembali sekarang, lalu kita berangkat
bersama-sama besok?"
IX MALAM YANG MENDEBARKAN HATI
SESAAT tak terdengar jawaban. Hanya deburan ombak ke sisi perahu saja yang
kedengaran. Kemudian Julian menangkap suara George bicara dalam gelap. Nadanya
gembira! "Wah, Julian! Kau benar-benar mau ikut dengan aku" Sungguh" Aku khawatir aku
akan mengalami kerepotan nanti karena perbuatanku ini, karena Ayah mengatakan
aku harus tinggal di Pondok Kirrin sampai ia kembali. Dan kau tahu, ia tidak
senang jika perintahnya tak dipatuhi. Tapi aku tahu bahwa jika aku tetap di
Pondok Kirrin, kalian juga tak mau pergi. Aku tak mau kalian menderita sengsara
karena ulah keluarga Stick yang jahat itu. Karena itu aku memutuskan untuk
minggat saja! Tidak kusangka kalian mau ikut, karena nanti pasti akan kena
marah! Sama sekali tak terpikir olehku untuk bertanya dulu pada kalian."
"Kau ini kadang-kadang memang sangat tolol, George!" ujar Julian. "Seolah-olah
kami takut menghadapi kerepotan! Yang penting, kita bersama-sama bersatu padu!
Tentu saja kami mau ikut denganmu. Dan aku yang bertanggung jawab atas
minggatnya kita. Akan kita katakan bahwa akulah yang bersalah!"
"Tidak, tidak bisa," bantah George dengan segera. "Akan kukatakan bahwa ide ini
datang dari diriku. Kalau aku berbuat salah, aku juga tak takut mengakuinya. Itu
kan sudah kauketahui juga!"
"Sudahlah, kita jangan berdebat dulu tentang soal itu," kata Julian. "Nanti
kalau sudah di Pulau Kirrin, ada waktu paling sedikit satu minggu sampai sepuluh
hari untuk berdebat sepuas-puas kita. Yang penting sekarang, kita harus kembali
ke pantai. Sudah itu kita bangunkan Dick dan Anne, lalu berunding di tengah
malam tentang rencanamu itu. Kurasa ide ini benar-benar mengasyikkan!"
George merasa sangat gembira.
"Senang sekali rasanya aku saat ini," ujarnya. "He - mana dayung" Ah, ini dia!
Perahu kita ternyata hanyut dibawa arus."
George berdayung dengan cekatan, kembali ke pantai. Begitu sampai Julian segera
melompat ke luar, lalu menarik perahu ke atas dengan dibantu oleh George. Julian
menyorotkan cahaya senter ke dalam perahu. Ia berteriak kaget.
"Wah, lengkap betul perbekalanmu di sini," katanya. "Ada roti, daging, mentega
dan macam-macam lagi. Bagaimana caramu menyelundupkannya ke luar tadi, tanpa
ketahuan oleh Pak Stick" Kurasa kau mengambil ini semua dari sepen, ya?"
"Memang," jawab George mengakui. "Tapi di dapur tak ada orang. Mungkin malam ini
Pak Stick tidur di atas. Atau mungkin pula ia sudah kembali ke kapalnya.
Pokoknya waktu aku menyelinap turun, di dapur tak ada siapa-siapa. Bahkan si Bau
pun tak ada di situ."
"Kita tinggalkan saja semuanya di sini," kata Julian. "Masukkan ke bawah tempat
duduk itu lalu tutup kembali. Takkan ada orang menduga di situ ada barang. Masih
banyak lagi yang harus kita angkut, apabila kita hendak tinggal di Pulau. Wah,
ini benar-benar mengasyikkan!"
Anak-anak kembali ke rumah. Keduanya merasa asyik dan bergairah. Mantel kamar
Julian yang basah menampar-nampar kakinya. Karena itu dijunjungnya tinggi-
tinggi, supaya tak merintangi langkah. Tim menari-nari mengelilingi mereka.
Kelihatannya sama sekali tak heran mengalami kejadian-kejadian di malam buta
itu. Begitu sampai di tingkat atas, dengan segera mereka membangunkan Dick dan Anne.
Kedua anak itu hanya bisa tercengang-cengang saja mendengar cerita tentang
kejadian-kejadian yang baru saja lewat. Anne begitu bergairah membayangkan bahwa
mereka akan tinggal di Pulau Kirrin, sehingga ia lupa berbisik,
"Aduh, alangkah asyiknya nanti! Wah, menurut perasaanku...."
"Diam!" Terdengar tiga suara sekaligus, berbisik dengan nada marah.
"Kaubangunkan keluarga Stick dengan teriakanmu!"
"Maaf," bisik Anne. "Tapi ini memang benar-benar mengasyikkan!"
Anak-anak mulai berunding tentang rencana mereka besok.
"Apabila kita hendak pergi selama satu minggu sampai sepuluh hari, maka harus
banyak perbekalan yang kita bawa," kata Julian. "Soalnya sekarang - bisakah kita
mendapat makanan yang mencukupi untuk waktu sebegitu lama" Walau sepen kita
angkut isinya sampai kosong melompong, aku ragu-ragu apakah mencukupi untuk
makan kita selama seminggu lebih. Kita ini kan makannya banyak semua."
Tiba-tiba George teringat pada sesuatu.
"Julian!" katanya berbisik. "Aku tahu apa yang harus kita lakukan! Dalam kamar
Ibu ada sebuah lemari yang dipakainya untuk menyimpan persediaan makanan. Di
situ ada berlusin-lusin makanan dalam kaleng, sebagai cadangan kalau salju turun
terlalu lebat dan kami tak bisa turun ke desa. Rumah ini sudah pernah terkurung
salju bertumpuk-tumpuk. Dan aku tahu di mana Ibu menyimpan kuncinya! Bagaimana
kalau lemari itu di buka, dan kita ambil beberapa kaleng makanan?"
"Tentu saja!" ujar Julian bergirang hati. "Aku tahu, Bibi Fanny pasti tak
berkeberatan. Lagipula kita juga bisa menyusun daftar makanan yang kita ambil.
Jadi kalau Bibi ternyata berkeberatan, bisa kita ganti nanti. Tak lama lagi aku
akan berulang tahun, dan aku yakin saat itu aku akan menerima uang."
"Mana kuncinya?" bisik Dick.
"Kita masuk saja sekarang ke kamar Ibu," jawab George. "Akan kutunjukkan di mana
kunci itu disimpan. Mudah-mudahan saja tidak dibawa oleh Ibu."
Tetapi sewaktu pergi dari rumah, ibunya sakit keras. Jadi tak sempat lagi
mengingat kunci lemari itu. George merogoh ke sebelah belakang sebuah laci meja
hias, lalu mengeluarkan dua atau tiga anak kunci yang digabungkan dengan seutas
tali. Dicobanya anak kunci yang satu, kemudian yang berikutnya ke dalam lubang
kunci lemari yang masuk dalam dinding. Ternyata anak kunci kedua pas.
Julian menyorotkan cahaya senternya ke dalam lemari. Tempat itu penuh dengan
makanan dalam kaleng, yang tersusun rapi di atas rak-rak.
"Astaga!" ujar Dick dengan mata berkilat-kilat. "Sup - daging - buah-buahan -
susu - sarden - mentega - biskuit - sayur mayur! Segala-galanya yang kita
perlukan tersedia di sini!"
"Ya," sambut Julian senang. "Persediaan di sini benar-benar lengkap. Kita akan
membawa sebanyak kemampuan kita. George, tahukah engkau apakah di sini ada
karung?" Tak lama kemudian kaleng-kaleng makanan yang hendak mereka bawa serta telah
dimasukkan ke dalam dua buah karung. Pintu lemari ditutup, lalu dikunci kembali.
Keempat anak itu menyelinap kembali ke kamar mereka.
"Nah! Soal makanan sudah beres," kata Julian. "Itu yang terpenting. Kita juga
akan menyikat sepen, serta mengangkut semua roti yang tersimpan di situ. Begitu
pula kue-kue! Bagaimana mengenai soal air, George" Di Pulau ada air?"
"Yah - kurasa dalam sumur tua masih ada," kata George sambil berpikir-pikir.
"Tapi kita tak bisa mengambilnya, karena tak ada ember atau tempat sejenis itu
untuk menimba. Dalam perahu ada air tawar sekaleng besar. Tapi karena sekarang
kalian semua ikut, kurasa lebih baik kita isi lagi dua atau tiga kaleng. Aku
tahu di mana kita bisa mendapat kaleng-kaleng itu. Keadaannya masih baru,
lagipula bersih." Beberapa kaleng mereka isi dengan air tawar. Sudah itu mereka masukkan dalam
karung-karung, siap untuk diangkut ke perahu. Benar-benar mengasyikkan pekerjaan
itu, karena dilakukan pada malam buta! Anne harus memaksa dirinya untuk tetap
berbisik. Sangat mengherankan bahwa Tim tidak menggonggong, karena ia pun bisa
merasakan suasana tegang dan asyik saat itu.
Dalam sepen ada sebuah kaleng yang penuh berisi kue-kue yang baru saja dibuat
oleh Ibu Stick. Kaleng itu pun ditambahkan ke tumpukan yang makin lama makin
besar di kebun. Mereka juga menemukan daging segumpal besar. George membuntalnya
dalam kain, lalu ditaruhnya ke tumpukan perbekalan. Diperingatkannya dengan
suara galak pada Tim, kalau dia berani mencium saja maka tidak akan diajak ikut!
"Aku mempunyai kompor kecil untuk memasak air, atau memanaskan makanan," bisik
George. "Barangnya sudah kutaruh dalam perahu. Untuk itulah kubeli spiritus. Kau
tak mengiranya, bukan" Sedang korek api kuperlukan untuk menyalakannya. He -
apakah kita tidak perlu membawa lilin" Kita tak bisa terus-menerus memakai
senter, karena dengan begitu baterainya akan cepat habis."
Mereka menemukan sebungkus lilin dalam lemari dapur. Kecuali itu mereka juga
mengangkut sebuah ceret, sebuah panci, seperangkat pisau, garpu dan sendok yang
sudah tua serta bermacam-macam barang lagi yang menurut perasaan mereka mungkin
akan diperlukan nanti. Anak-anak juga menemukan sejumlah minuman air jahe dalam
botol-botol kecil. Rupanya disimpan oleh keluarga Stick untuk diminum sendiri!
"Semua dibeli dengan uang ibuku!" ujar George. "Minuman ini kita bawa juga.
Pasti nikmat meminumnya pada saat hari panas."
"Waktu malam kita akan tidur di mana?" tanya Julian. "Apakah dalam puri yang
runtuh, di mana tinggal satu kamar saja lagi yang utuh - jadi beratap dan
berdinding?" "Memang aku bermaksud hendak tidur di situ," kata George. "Aku berniat membuat
tempat tidur dari semak-semak kecil yang banyak tumbuh di sana, lalu ditutup
dengan beberapa lembar selimut yang sudah kutaruh dalam perahu."
"Kita akan membawa semua selimut yang bisa kita temukan," kata Julian. "Dan juga
bantal-bantal kursi untuk pengalas kepala. Wah, ini benar-benar mengasyikkan.
Aku merasa seperti seorang tawanan yang sedang mempersiapkan diri untuk lari!
Pasti keluarga Stick akan tercengang, apabila tahu-tahu kita sudah tak ada
lagi." "O ya - kita harus memikirkan, apa yang akan kita katakan pada mereka," ujar
George. "Jangan sampai nanti mereka mengirim orang ke Pulau, untuk menyuruh kita
kembali. Mereka tak boleh tahu bahwa kita ke sana."
"Soal itu kita bicarakan nanti saja," jawab Dick. "Yang penting sekarang adalah
membawa semuanya ini ke perahu, sementara hari masih gelap. Sebentar lagi fajar
akan menyingsing."
Lima Sekawan Minggat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana cara kita mengangkut segala-galanya ini ke perahu George?" tanya
Anne, sambil menyoroti tumpukan perbekalan yang tidak sedikit jumlahnya itu
dengan senternya. "Kita takkan mungkin mengangkutnya sekaligus!"
Tumpukan itu memang besar sekali. Dan seperti biasanya, kemudian Julian mendapat
gagasan. "Di gudang ada gerobak dorong?" tanyanya pada George. "Jika barang-barang ini
kita masukkan ke dalam beberapa buah gerobak, kita akan bisa mengangkut semuanya
sekali jalan. Gerobak kita sorong di sisi jalan yang berpasir, supaya tak
kedengaran bunyinya."
"Bagus idemu itu!" kata George girang. "Kenapa tak terpikir olehku sebelumnya!
Waktu aku mengangkut barang-barangku ke perahu, aku harus pulang balik sampai
lima kali. Dalam gudang ada dua gerobak dorong. Kita ambil saja sekarang juga.
Yang satu rodanya agak berdecit-decit. Tapi mudah-mudahan saja tak kedengaran."
Si Bau yang tidur di pojok kamar Ibu Stick mendengar bunyi itu. Anjing itu
menggeram pelan, sambil meruncingkan telinga ke atas. Tetapi ia tak berani
menggonggong, karena takut akan membangunkan Tim. Tetapi Ibu Stick tak mendengar
geramannya, karena tidurnya nyenyak sekali. Jadi ia sama sekali tak tahu-menahu
tentang kesibukan yang sedang berlangsung di bawah.
Barang-barang perbekalan itu dimasukkan semua ke perahu. Anak-anak enggan
meninggalkannya tanpa penjagaan. Karena itu akhirnya mereka mengambil keputusan
untuk meninggalkan Dick di situ. Ia bisa tidur di perahu dengan beralaskan
selimut, Sebelum berangkat kembali, mereka masih berpikir-pikir sebentar.
"Mudah-mudahan tak ada yang kita lupakan lagi," kata George sambil mengerutkan
kening. "Astaga! Aku tahu - kita lupa membawa alat pembuka kaleng dan botol."
"Nanti saja kita cari kalau sudah sampai di rumah, lalu kita kantongi," ujar
Julian. "Kalau tak salah, aku pernah melihat ada beberapa buah dalam laci bupet.
Nah - selamat tinggal, Dick. Pagi-pagi sekali kami akan ke mari lagi, lalu
langsung berangkat. Kita masih memerlukan roti beberapa batang lagi, karena yang
ada saat ini pasti tidak mencukupi. Nanti begitu tukang roti buka, kita
membelinya. Kecuali itu kita juga harus ke tukang daging, kalau-kalau dia punya
sepotong tulang besar untuk Tim. George juga sudah menyediakan sekantong biskuit
makanan anjing untuknya."
Ketiga anak itu kembali ke Pondok Kirrin bersama Tim. Dick ditinggal dalam
perahu. Ia berbaring di atas selimut-selimut. Enak juga kelihatannya! Tak lama
kemudian ia sudah terlelap. Mukanya menatap ke atas, ke arah bintang-bintang
yang tak lama lagi akan pudar.
George, Julian dan Anne berjalan pulang sambil merundingkan apa yang hendak
dikatakan pada Ibu Stick.
"Kurasa sebaiknya kita tidak bilang apa-apa," ujar Julian pada akhirnya. "Aku
tak mau berbohong dengan sengaja, tetapi aku pun tak ingin mengatakan yang
sebenarnya. Aku tahu apa yang bisa kita lakukan! Ada satu kereta yang berangkat
dari stasiun Kirrin pukul delapan pagi. Kereta itulah yang akan kami tumpangi
kalau pulang ke rumah orang tua kami. Sekarang kita cari buku perjalanan kereta,
lalu kita letakkan di atas meja kamar makan dalam keadaan terbuka. Jadi seolah-
olah kita sebelum sudah mencari kereta api yang akan kita tumpangi. Sudah itu
kita pergi lewat rawa-rawa di belakang rumah, seolah-olah hendak menuju ke
stasiun." "O ya! Dengan begitu keluarga Stick akan mengira bahwa kita minggat! Mereka akan
mengira bahwa kita pulang ke rumah kita sendiri," kata Anne. "Mereka takkan
menyangka bahwa sebenarnya kita berada di Pulau Kirrin."
"Ide itu bagus," kata George senang. "Tapi bagaimana cara kita bisa mengetahui
kalau ayah dan ibuku sudah kembali?"
"Tidak adakah salah seorang kenalanmu, yang bisa benar-benar kaupercayai - pada
siapa bisa dititipkan pesan?" tanya Julian,
George berpikir sebentar.
"Ah ya - Alf," katanya kemudian. "Dia seorang anak nelayan, yang dulu mengurus
Tim ketika aku tak diperbolehkan memeliharanya di rumah. Aku tahu, ia pasti
tidak membocorkan rahasia kita."
"Kalau begitu kita mampir dulu di rumah Alf sebelum berangkat," kata Julian.
"Nah, sekarang kita mencari buku jadwal perjalanan kereta api. Buku itu kita
buka pada halaman yang tepat, lalu diletakkan dalam keadaan terbuka di atas
meja." Sesudah buku berhasil mereka temukan, dicari halaman yang dimaksud. Keterangan
waktu berangkat kereta api yang pura-pura hendak mereka tumpangi, oleh anak-anak
diberi tanda berupa garis tebal di bawahnya. Biar keluarga Stick mengira mereka
minggat naik kereta itu. Sesudah itu anak-anak mencari alat pembuka kaleng dan
botol, lalu dimasukkan dalam kantong. Julian juga menemukan korek api beberapa
kotak lagi. Menurut pendapatnya, dua kotak saja pasti tidak cukup.
Sementara itu fajar sudah menyingsing. Cahaya matahari pagi menerangi rumah.
"Bagaimana ya - apakah tukang roti sudah buka?" kata Julian. "Sebaiknya kita
pergi saja melihat ke sana. Sekarang sudah sekitar pukul enam pagi."
Mereka pergi ke tukang roti. Tokonya belum buka, tetapi roti sudah siap untuk
dijual. Tukang roti itu sedang duduk-duduk sambil menjemur badan di luar. Sejak
tengah malam ia sibuk membuat roti, supaya siap untuk dijual pagi hari. Melihat
anak-anak datang, ia tersenyum.
"Nah! Pagi benar kalian bangun hari ini," sapanya. "Apa" Berapa batang roti yang
hendak kalian beli" Enam!" Astaga, untuk apa roti sebanyak itu?"
"Tentu saja untuk dimakan," jawab Julian sambil nyengir. Dibayarnya harga
pembelian enam batang roti yang panjang-panjang. Sudah itu anak-anak mendatangi
tukang daging. Tokonya juga belum buka. Tukang daging mereka jumpai sedang
menyapu trotoar di depan toko.
"Bisakah kami membeli sebongkah tulang besar, untuk dimakan oleh Tim?" minta
George. Tukang daging memberi sebongkah yang besar sekali! Tim memandang tulang
itu dengan air liur bertetesan. Wah, tulang sebesar itu pasti mencukupi untuk
beberapa hari! Anak-anak pergi ke perahu mereka.
"Barang-barang perbekalan ini kita simpan di perahu, lalu kita kembali lagi ke
rumah. Sampai di sana kita ribut-ribut, supaya keluarga Stick mengetahui bahwa
kita ada di rumah. Sudah itu kita ke luar dan berjalan lewat rawa. Mudah-mudahan
saja mereka akan menyangka bahwa kita menuju ke stasiun, dan hendak pergi dengan
kereta api." Sesampai di perahu, nampak Dick masih tidur nyenyak. Setelah anak-anak
membangunkannya, roti dan tulang dimasukkan ke dalam perahu.
"Dick, perahu ini harus kaubawa ke teluk kecil yang terdapat dekat sini," ujar
George. "Bisa, kan" Di sana kita tidak akan bisa dilihat oleh orang yang
kebetulan ada di pantai. Para nelayan sudah turun ke laut semuanya. Jadi kalau
kita berangkat satu jam lagi, tak ada orang yang akan melihat."
Anak-anak kembali ke rumah sambil menyelinap. Sesampai di atas, mereka lalu
hingar-bingar. Seolah-olah saat itu baru bangun. George bersuit keras memanggil
Tim, sedang Julian bernyanyi-nyanyi. Kemudian mereka ke luar sambil menutup
pintu keras-keras. Mereka menuju ke rawa, melalui jalan yang nampak jelas dari
jendela dapur. "Mudah-mudahan mereka tak menyadari bahwa Dick tidak bersama kita," kata Julian
sambil melirik ke arah jendela dapur. Dilihatnya Edgar memandang ke arah mereka.
"Barangkali saja mereka mengira bahwa dia sudah berjalan lebih dulu."
Mereka berjalan terus ke arah stasiun. Tetapi begitu sampai di suatu bagian yang
agak melekuk dan tak mungkin terlihat dari Pondok Kirrin, mereka menyimpang ke
arah pantai. Mereka mengambil jalan menuju teluk kecil, di mana Dick sudah
menunggu dengan perahu. "Ahoy!" seru Julian, menirukan gaya pelaut. "Petualangan kita akan segera
dimulai!" X PULAU KIRRIN! MEREKA bergegas masuk ke dalam perahu. Tim melompat dengan lincah. Dengan segera
anjing itu menuju ke haluan, tempatnya biasa berdiri. Lidahnya yang merah
terjulur ke luar. Hatinya berdebar-debar gembira. Ia sadar bahwa anak-anak akan
mengadakan petualangan - dan ia diajak serta! Jadi tidaklah mengherankan kalau
ekornya dikibaskan kian ke mari, seolah-olah pernyataan ikut bergembira.
"Kita berangkat!" seru Julian sambil meraih dayung. "Kau menggeser sedikit ke
sebelah sana, Anne! Perbekalan kita menyebabkan perahu berat sebelah. Dick - kau
duduk di samping Anne, supaya perahu lebih seimbang. Ya, betul. Sekarang kita
berangkat!" Perahu bergerak ke tengah teluk, terayun-ayun di atas ombak. Laut sebenarnya
tenang, tetapi angin laut bertiup. Terasa rambut mereka terbang dipermainkan
angin. Ombak memercik ke tepi perahu, menimbulkan bunyi bergeleguk yang enak
didengar telinga. Keempat anak itu merasa sangat berbahagia. Mulai saat itu
mereka bebas, terlepas dari gangguan keluarga Stick yang jahil. Mereka akan
berkelana di Pulau Kirrin, hidup bebas bersama kelinci, burung-burung gagak dan
camar. "Enak ya, bau roti yang masih hangat ini," kata Dick. Seperti biasa, perutnya
sudah terasa sangat lapar. "Bagaimana kalau kita makan sedikit?"
"Ayohlah," kata George. Kerak roti hangat yang berwarna kecoklatan itu direkah
oleh mereka, lalu diberikan sepotong pada Julian yang sedang sibuk berdayung.
Anak-anak mengunyah roti segar itu dengan nikmat. Tim juga kebagian. Tetapi
potongan rotinya dengan segera lenyap, begitu sampai dalam moncongnya.
"Tim ini aneh," kata Anne sambil memperhatikan. "Dia kalau makan tidak seperti
kita, mengunyah dulu baru ditelan. Ia makan seperti minum! Begitu makanan masuk
ke moncong, langsung ditelan. Seperti air saja!"
Anak-anak tertawa mendengar komentarnya yang lucu itu.
"Tapi kalau tulang, tak mungkin langsung ditelan," kata George. "Kalau dia
diberi sepotong tulang - bisa berjam-jam mengunyahnya. Bukankah begitu, Tim?"
Tim menggonggong, seolah-olah menyetujui ucapan tuannya. Matanya yang besar
melirik ke tempat tulang besar tersimpan. Rupanya ia kepingin memakannya saat
itu juga. Tentu saja anak-anak tak memberinya. Mereka khawatir tulang besar itu
akan terlempar dari perahu dan tercemplung dalam air. Kan sayang!
"Kurasa tak ada orang melihat kita pergi tadi," kata Julian. "Tentu saja kecuali
Alf! Padanya kami bercerita mengenai rencana hendak pergi ke Pulau, Dick! Tapi
cuma pada dia saja!"
Dalam perjalanan mereka dari Pondok Kirrin ke teluk kecil, mereka mampir
sebentar di rumah Alf. Anak nelayan itu sedang seorang diri di pekarangan
belakang rumah orang tuanya. Ia menganggukkan kepala ketika anak-anak selesai
menceritakan niat mereka. Ia berjanji takkan mengatakan pada siapa-siapa.
Kelihatannya bangga, karena dijadikan orang kepercayaan.
"Kau harus memberi tahu kami, jika ayah dan ibuku sudah kembali," kata George.
"Berlayarlah ke dekat Pulau Kirrin seberanimu, lalu panggil kami."
"Baiklah, aku berjanji," kata Alf. Ia merasa ingin ikut bertualang dengan ketiga
anak itu. "Jadi kalau Bibi Fanny ternyata pulang lebih dulu dari yang kita perkirakan,
maka kita akan mengetahuinya dengan segera," kata Julian pada Dick yang sedari
pagi menjaga perahu. "Dengan begitu kita bisa cepat-cepat kembali. Kurasa
perencanaan kita betul-betul matang."
"Betul," jawab Dick. Ia memalingkan tubuh, memandang Pulau Kirrin yang nampak
makin lama makin dekat. "Sebentar lagi kita akan sudah sampai. Apakah tidak
lebih baik George menggantikan berdayung, untuk mengemudikan perahu kita ini
melewati rintangan batu-batu karang?"
"Ya," kata George. "Sekarang kita sampai pada bagian yang sukar. Perahu harus
dikemudikan di sela-sela batu yang bertonjolan di air. Kemarikan dayungnya,
Julian." Sekarang George yang mendayung. Julian dan kedua adiknya memandang kagum,
sementara anak itu mengayuhkan perahu dengan cekatan di sela-sela batu yang
terbenam dalam air. Anak itu memang pintar berdayung. Mereka merasa aman
bersamanya. Perahu mereka memasuki teluk kecil yang tersembunyi. Tempat itu merupakan
pelabuhan alam. Di ujungnya terdapat sepotong pantai berpasir. Di kanan kirinya
tebing batu yang menjulang tinggi. Begitu sampai, anak-anak bergegas turun dari
perahu. Empat pasang tangan dengan cekatan dan gembira menarik perahu ke atas
pasir. "Lebih tinggi lagi," kata George dengan napas terengah-engah. "Kalian kan tahu,
di sini kadang-kadang terjadi badai dengan tiba-tiba. Kita harus menjamin
keamanan letak perahu, biar betapa tinggi ombak yang menyambar ke pantai."
Tak lama kemudian perahu sudah terbaring miring, jauh ke atas pantai. Anak-anak
terduduk. Napas mereka terengah-engah, karena habis bekerja berat.
"Kita sarapan di sini saja," kata Julian. "Saat ini aku malas menurunkan
perbekalan kita yang berat. Kita ambil seperlunya, lalu sarapan di atas pasir
yang hangat ini." Mereka mengambil roti sebatang, sedikit daging dingin, beberapa biji tomat dan
selai satu botol. Anne mengurus penyediaan tempat dan alat makan. Julian membuka
dua botol air jahe. "Sarapan kita kali ini aneh," katanya sambil menaruh kedua botol itu di atas
pasir. "Tapi bagi orang selapar kita, benar-benar nikmat!"
Semua mereka sikat habis. Hanya roti saja yang masih tersisa, sebanyak sepertiga
potong. Tim diberi tulangnya, beserta beberapa potong biskuit makanannya.
Biskuit langsung ditelan, lalu ia berbaring dengan santai untuk mengunyah-
ngunyah tulang yang sedap.
"Enak hidup seperti Timmy, kalau makan tak perlu memakai piring, atau pisau dan
garpu," kata Anne. Anak itu berbaring menengadah, menikmati sinar matahari.
Perutnya sudah kenyang, rasanya tak mungkin masih ada makanan yang bisa masuk.
"Wah, kalau kita terus-terusan makan seperti begini di sini, rasanya aku tak
kepingin pulang lagi. Siapa akan mengira bahwa daging dan selai serta air jahe
bisa enak rasanya"!"
Tim merasa haus. Ia duduk dengan lidah terjulur ke luar. Ditunggunya sampai
George memberinya minum. Tim tidak suka minum air jahe!
George memandangnya dengan malas.
"Kau haus, Tim?" katanya. "Wah, rasanya malas sekali - aku tak sanggup berdiri!
Tunggu saja sebentar. Nanti aku akan ke perahu dan menuangkan sedikit air
untukmu." Tetapi Tim tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia pergi ke batu-batu yang
letaknya agak jauh dari tepi air. Ombak saat pasang tinggi sekalipun tak mungkin
sampai ke situ. Dalam salah satu lekuk ditemukan genangan air hujan, yang dengan
segera diminumnya. Anak-anak mendengar bunyinya menjilat-jilat dengan rakus.
Mereka tertawa. "Tim memang cerdik sekali," kata Anne setengah mengantuk. "Tak terpikir olehku
bahwa di tengah batu ada air!"
Anak-anak itu sedikit sekali tidurnya malam sebelumnya. Dan perut mereka saat
itu sangat kenyang. Karenanya tidaklah mengherankan kalau mereka mengantuk. Satu
per satu terlelap di atas pasir hangat. Tim memandang mereka dengan heran. Lob,
anak-anak tidur"! Kan saat itu belum malam! Ya, ya - kalau seekor anjing, kapan
saja pasti bisa tidur! Tim merebahkan diri di samping George, lalu memejamkan
mata. Ketika keempat anak itu terbangun, tahu-tahu matahari sudah tinggi. Julian yang
pertama membuka mata, disusul oleh Dick. Mereka kepanasan, karena matahari
bersinar terik. Mereka duduk sambil menguap lebar-lebar.
"Astaga!" seru Dick sambil memandang lengannya yang merah terbakar. "Kulitku
terbakar sinar matahari. Malam ini pasti akan terasa nyeri sekali. Kita berbekal
krem atau tidak, Julian?"
"Tidak! Tak ada yang mengingatnya," kata Julian. "Tapi biarlah. Sekarang ini
belum apa-apa! Sampai nanti sore, kulit kita akan semakin hangus terbakar. Sinar
matahari pasti akan panas sekali, karena di langit tak nampak awan barang
segumpal pun!" Mereka membangunkan George dan Anne. George menggeliat sebentar, lalu berkata,
"He! Kita di Pulau! Sesaat tadi kukira aku berbaring di tempat tidurku di Pondok
Kirrin!" "Enak ya - kita tinggal sendirian di sini sampai lama sekali, dengan makanan
enak bertumpuk-tumpuk! Kita bisa berbuat semau kita!" kata Anne dengan puas.
"Kurasa keluarga Stick pasti senang, karena kita tidak ada lagi di rumah," ujar
Dick. "Dan si Jerawat bisa bersantai-santai di kamar duduk, serta membaca semua
buku-buku kita." "Sedang si Bau bisa seenaknya berkeliaran dalam rumah, tanpa perlu takut akan
ditelan habis oleh Tim," kata George. "Yah, biar sajalah! Semuanya tak
kupedulikan lagi, karena aku sudah berhasil lari dari sana."
Enak rasanya berbaring-baring sambil mengobrol begitu. Tetapi Julian tak pernah
tahan beristirahat lama-lama. Hanya kalau sedang tidur saja ia tenang. Ia
bangkit sambil meregangkan otot-otot yang kaku.
"Ayoh, Pemalas!" katanya pada saudara-saudaranya. "Kita masih harus bekerja
lagi!" "Bekerja" Apa maksudmu?" tanya George dengan heran.
"Kita kan masih harus membongkar muatan perahu, dan menaruhkan perbekalan kita
di suatu tempat yang takkan basah apabila hari hujan," kata Julian. "Dan kita
juga harus menentukan dengan tepat di mana tempat kita tidur. Sudah itu
mengumpulkan semak-semak kecil yang akan dipakai sebagai alas tidur, lalu
membentangkan selimut-selimut tebal di atasnya. Pokoknya banyak sekali yang
Lima Sekawan Minggat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih harus kita lakukan!"
"Yaah - jangan sekarang dong!" keluh Anne. Ia enggan bangkit dari pembaringannya
yang nyaman di pasir. Tetapi saudara-saudaranya tak mau membiarkannya bermalas-
malas. Mereka menariknya supaya bangkit. Kemudian mereka bekerja berdampingan,
membongkar muatan perahu.
"Sekarang kita memeriksa keadaan puri," kata Julian. "Kita ke bilik batu, di
mana kita bermaksud akan tidur. Cuma ruangan itu saja yang masih utuh dalam
puri." Mereka naik ke atas bukit yang membatasi teluk kecil itu, melewati tebing batu
lalu berjalan menuju ke puri tua yang sudah meruntuh. Yang tinggal cuma
temboknya saja lagi, menjulang di tengah-tengah pulau kecil itu. Mereka berhenti
sebentar memandangnya. "Bagus sekali puri kuno ini," kata Dick. "Kita sungguh-sungguh mujur, karena
memiliki pulau dan puri! Bayangkan, semua ini milik kita!"
Pandangan mereka tertuju ke jenjang tua yang terdapat di belakang sebuah gerbang
besar yang sudah tak utuh lagi. Dulu puri itu mempunyai dua buah menara yang
bagus. Tetapi yang satu tinggal puing-puingnya saja. Sedang yang satu lagi masih
dapat dikatakan utuh, karena hanya bagian atasnya saja yang sudah runtuh.
Burung-burung yang sejenis gagak berkumpul di situ, berkaok-kaok dengan suara
membisingkan telinga. "Aku senang pada burung-burung itu," ujar Dick. "Tidak pernahkah mereka berhenti
berkaok-kaok?" "Kurasa tidak," jawab George, "He! Lihat kelinci-kelinci itu! Jinaknya bukan
main!" Di halaman puri banyak kelinci yang besar-besar. Kedatangan anak-anak mereka
perhatikan dengan rasa ingin tahu. Rasa-rasanya seperti mudah dipegang - tetapi
semakin dekat keempat anak itu, semakin waspada pula kelinci-kelinci. Satu per
satu pergi menyingkir. Tim sangat gelisah. Ekornya tak henti-hentinya dikibaskan kian ke mari. Aduh,
kelinci-kelinci ini! Kenapa ia tak diperbolehkan memburu" Kenapa George begitu
keras sikapnya" Kan kelinci-kelinci itu akan sehat, apabila disuruh berlatih
lari-lari sebentar" Tim mencari-cari alasan agar diperbolehkan mengejar.
Tetapi George memegang kalung lehernya erat-erat. Tim ditatapnya dengan garang.
"Tim, kau jangan berani-berani mengejar kelinci-kelinci itu! Bahkan yang paling
kecil pun, tidak boleh. Binatang-binatang itu semuanya kepunyaanku!"
"Kepunyaan kita!" ujar Anne dengan segera. Ia juga ingin ikut memiliki kelinci,
kecuali puri dan pulaunya.
"Ya, betul!" kata George. "Sekarang kita pergi saja memeriksa bilik gelap, yang
akan kita pakai sebagai tempat menginap!"
Mereka berjalan menuju ke bagian puri yang belum begitu rusak. Mereka sampai ke
ambang sebuah pintu, lalu memandang ke dalam.
"Ini dia tempatnya," ujar Julian sambil mengintip ke dalam ruangan yang gelap.
"Aku terpaksa menyalakan senter, karena ruangan di sini sangat gelap. Jendela-
jendelanya hanya berupa celah-celah sempit!"
Dengan diterangi cahaya senter, anak-anak memandang ruang bilik batu yang hendak
dipakai sebagai tempat penyimpanan perbekalan dan kamar tidur. Tiba-tiba George
berseru dengan keras. "Wah, kamar ini tidak bisa kita pakai lagi! Atapnya sudah runtuh."
Ternyata memang benar. Julian mengarahkan sorotan senternya ke setumpuk batu
yang berserakan di lantai. Bilik itu tak mungkin bisa dipakai lagi. Berbahaya,
karena batu-batu yang masih ada di atas bisa jatuh sewaktu-waktu.
"Sialan!" kata Julian. "Sekarang bagaimana" Kita harus mencari tempat lain!"
XI KE KAPAL RUSAK ANAK-ANAK sangat terkejut, karena rencana mereka mengalami gangguan. Mereka tahu
bahwa dalam puri itu tak ada lagi ruangan yang cukup utuh, dan bisa dipakai
sebagai tempat berteduh. Mereka harus mencari tempat lain! Saat itu hari memang
cerah. Tetapi mungkin hari berikut hujan akan turun - atau bahkan akan ada
badai! "Badai di sekitar sini dahsyat sekali," kata Julian. "Kau masih ingat pada angin
ribut yang sampai menjunjung bangkai kapalmu dari dasar laut, George?"
"Tentu saja!" jawab George dan Anne serempak. Anne menambahkan dengan
bersemangat. "Kalau sempat, kita ke sana, yuk! Aku kepingin melihat apakah
bangkai kapal itu masih tetap kandas di atas batu seperti setahun yang lalu,
ketika kita ke sana untuk memeriksa isinya!"
"Pertama-tama kita harus mengetahui di mana kita akan tidur," kata Julian tegas.
"Aku tak tahu apakah kalian menyadari bahwa saat ini sudah sekitar pukul tiga
sore! Kita tadi tidur berjam-jam di atas pasir. Kurasa karena capek sekali,
sibuk semalaman! Kita harus mencari suatu tempat yang benar-benar aman, lalu
menaruhkan barang-barang kita di sana. Kita juga harus menyiapkan tempat kita
tidur nanti." "Baiklah! Tapi ke mana kita harus pergi?" tanya Dick. "Kecuali dalam puri, tak
ada tempat lagi." "Di bawah lantai masih ada ruangan-ruangan," kata Anne. Ia bergidik. "Tapi aku
tak mau tidur di situ, karena tempatnya gelap dan menyeramkan."
Anak-anak tak ada yang mau tidur dalam ruangan di bawah tanah itu! Dick
mengerutkan dahi. Rupanya sedang sibuk berpikir.
"Bagaimana dengan kapal rusak?" katanya kemudian. "Mungkinkah tempat itu kita
jadikan tempat tinggal?"
"Bisa kita lihat," jawab Julian. "Tapi aku kurang suka tinggal dalam bangkai
kapal yang sudah rusak dan lembab. Tapi kalau terdamparnya masih tinggi di atas
batu, mungkin sekarang sudah kering terjemur matahari. Jadi mungkin saja kita
bisa tidur dan menyimpan perbekalan di dalamnya."
"Sekarang saja kita ke sana," usul George. Dengan segera anak-anak itu menuju ke
tembok tua yang mengelilingi puri. Dari atas tembok itu mereka bisa memandang ke
arah kapal yang terdampar.
Mereka berdiri di atas tembok. Mata mereka mencari-cari bangkai kapal, tetapi
tak berhasil menemukannya di tempat yang lama.
"Sudah pindah tempatnya," ujar Julian heran. "Itu dia! Lihatlah, di atas batu-
batu itu! Letaknya sekarang sudah lebih dekat ke pantai daripada tahun yang
lalu. Kasihan! Kelihatannya banyak mengalami kerusakan selama musim dingin yang
lewat, bukan" Sekarang nampaknya lebih mirip bangkai kapal, dibandingkan dengan
musim panas yang lalu."
"Kurasa kita takkan bisa tidur di sana," kata Dick. "Kelihatannya sudah rusak
sekali. Tetapi mungkin kita bisa menyimpan perbekalan di situ. Kurasa kita bisa
mencapainya lewat batu-batu yang menjorok dari Pulau."
"Ya, rasanya memang bisa," jawab George. "Tahun lalu kita hanya bisa ke sana
dengan aman kalau naik perahu. Tapi sekarang kalau pasang sedang surut, kukira
kita bisa meniti batu-batu yang menjulur ke tengah itu, sampai ke kapal."
"Kita coba saja sejam lagi," kata Julian dengan hati berdebar-debar. "Saat itu
batu-batu pasti akan sudah muncul dari air."
"Sekarang kita memeriksa sumur tua," kata Dick. Mereka kembali ke halaman puri
tua. Di tempat itu setahun yang lalu mereka menemukan lubang masuk ke liang
sumur yang dalam sekali menembus batu cadas, melewati ruangan bawah tanah. Di
dalam liang itu ada air tawar, yang letaknya lebih rendah dari permukaan laut.
Anak-anak mencari tempat lubang sumur. Setelah berhasil ditemukan kembali, anak-
anak dengan segera menyingkirkan tutupnya yang terbuat dari kayu yang sudah
rapuh. "Itu dia injak-injakan tangga besi yang kuturuni tahun lalu," kata Dick sambil
mengintip ke dalam. "Sekarang kita mencari jalan masuk ke ruangan bawah. Letak
tangganya di sekitar sini, kalau aku tidak salah ingat."
Jalan masuk itu mereka temukan. Anak-anak heran ketika melihat ada batu-batu
besar tertumpuk di atasnya.
"Siapa yang menaruh batu-batu besar itu di sini?" ujar George sambil mengerutkan
dahi. "Yang terang, bukan kita! Jadi ada orang lain datang ke mari!"
"Kurasa pelancong," jawab Julian. "Kau ingat tidak, beberapa hari yang lalu kita
melihat seakan-akan ada asap mengepul dari arah sini" Tanggung ada pelancong
yang ke mari. Surat kabar-surat kabar penuh dengan cerita tentang Pulau Kirrin,
tentang puri dengan ruangan-ruangannya yang di bawah tanah, serta tentang harta
karun yang kita temukan di sini tahun lalu. Mungkin saja salah seorang nelayan
mencari tambahan penghasilan, dengan jalan mengantarkan pelancong-pelancong ke
pulau kita." "Lancang benar mereka!" kata George. Matanya bersinar-sinar galak. "Aku akan
memasang sebuah papan maklumat, dengan tulisan 'Daerah terlarang! Orang yang
melanggar akan dipenjarakan!'. Aku tak suka pulau kita didatangi orang lain."
"Sudahlah, kita tak perlu merepotkan batu-batu yang ditumpuk di atas jalan masuk
ke ruangan bawah tanah ini," ujar Julian. "Kurasa di antara kita tak ada yang
mau turun ke bawah. Lihat saja Tim! Kelihatannya sedih sekali caranya memandang
kelinci-kelinci itu. Dasar anjing aneh!"
Tim duduk di belakang anak-anak, sambil memandangi kelinci-kelinci yang
berkeliaran di halaman puri itu. Kelihatan ia sedih sekali! Dipandangnya
kelinci-kelinci, lalu dialihkannya pandangan ke George. Sudah itu dipandangnya
lagi kelinci-kelinci. "Percuma, Tim," kata George tegas. "Aku takkan berubah pendirian! Di pulau ini
kau tak boleh berburu kelinci."
"Kurasa kau dianggapnya tidak adil," ujar Anne. "Bagaimana juga, kau sudah
mengatakan bahwa pulau yang merupakan bagianmu akan kaubagi dengan dia. Rupanya
ia sekarang ingin menuntut kelinci yang merupakan bagiannya!"
Anak-anak tertawa mendengar lelucon Anne itu. Tim mengibas-ngibaskan ekor,
sambil memandang George dengan penuh harap. Mereka berjalan melintas halaman.
Tiba-tiba Julian tertegun.
"Lihatlah!" katanya dengan nada heran. Tangannya menunjuk ke sesuatu yang
terdapat di tanah. "Lihat! Memang ada orang ke mari. Di situ ada bekas api
unggun!" Mereka memandang ke tanah. Nampak seonggok abu, rupanya bekas kayu bakar dari
api unggun. Mereka juga melihat sepuntung rokok yang terinjak. Persoalannya
jelas! Ada orang datang ke Pulau!
"Kalau ada pelancong berani ke mari, akan kusuruh Tim mengejar!" teriak George
dengan marah. "Ini milik pribadi kita, jadi tak boleh diusik oleh orang lain.
Tim, kau tak boleh mengejar kelinci di sini. Tapi makhluk berkaki dua kecuali
kami, harus kauburu! Mengerti?"
Tim mengibas-ngibaskan ekor sambil menggonggong. Ia setuju! Ia memandang
berkeliling, seolah-olah mencari orang yang bisa langsung dikejar olehnya.
Tetapi saat itu tak ada orang lain di Pulau Kirrin.
"Kurasa pasang sudah cukup surut sekarang," kata Julian. "Ayoh, kita melihatnya
sekarang! Kalau batu-batu tak terendam laut lagi, kita akan bisa mencoba
menitinya untuk pergi ke kapal. Anne, kau lebih baik tak usah ikut! Nanti
tergelincir dan jatuh ke air. Padahal ombak cukup ganas sekitar batu-batu itu!"
"Tidak! Aku ikut!" seru Anne tersinggung. "Kalian pun bisa saja tergelincir -
jadi bukan aku saja!"
"Begini sajalah!" ujar Julian. "Kulihat dulu apakah jalan lewat batu berbahaya
atau tidak!" Mereka menuruni pulau, lalu menuju ke batu-batu yang menjorok ke tengah laut.
Sekali-sekali datang ombak menyapu batu-batu. Tetapi kelihatannya cukup aman.
"Kau boleh ikut, Anne. Asal berjalan antara aku dan Dick," kata Julian kepada
adiknya. "Tapi kau harus mau dibantu oleh kami pada bagian-bagian yang
berbahaya, dan jangan banyak cingcong. Kami tak ingin melihatmu tergelincir dan
disambar ombak." Mereka berempat mulai meniti di atas batu-batu yang runcing dan licin. Sementara
itu pasang laut semakin surut. Ketika sudah dekat ke kapal tua, hampir tak ada
lagi bahaya dihanyutkan ombak yang menyapu. Sekarang mereka bisa melakukan
sesuatu yang mustahil di musim panas yang lalu, yaitu berjalan kaki ke bangkai
kapal! "Nah, kita sudah sampai!" kata Julian, lalu meletakkan tangannya ke sisi kapal
tua itu. Dari dekat, nampaknya besar! Tepi atasnya berada jauh di atas mereka,
penuh dilapisi kerang dan rumput laut yang berbau pengap. Dasar lambungnya
tergenang dalam air; tetapi bagian atasnya tetap kering, juga di saat air pasang
setinggi-tingginya. "Selama musim dingin yang lampau kelihatannya kapal ini sering terombang-ambing
oleh ombak," kata George sambil mengamat-amati dengan teliti. "Lihatlah, di
sisinya kelihatan banyak lubang-lubang baru. Sepotong tiangnya juga lenyap,
serta sebagian dari lantai geladak. Bagaimana cara kita naik ke atas!"
"Aku mempunyai tali," kata Julian, sambil melepaskan seutas tali yang terlilit
di pinggangnya. "Tunggu sebentar - kubuat jerat dulu. Lalu kulempar ke atas!
Mudah-mudahan berhasil kusangkutkan ke tiang yang menonjol di sana!"
Dicobanya melempar dua sampai tiga kali. Tetapi tiap kali selalu gagal! George
tidak sabar lagi, lalu mengambil tali itu dari tangannya. Dengan sekali lempar
saja, jerat berhasil disangkutkannya ke tiang. George memang ahli dalam soal-
soal seperti itu! Dalam beberapa hal, ia lebih cekatan daripada anak laki-laki,
kata Anne dengan kagum dalam hati.
Dengan segera George memanjat tali. Cekatan sekali geraknya, seperti seekor
kera. Dalam sekejap mata ia sudah berdiri di lantai geladak yang miring dan
licin. Nyaris saja ia terpeleset, kalau tidak cepat-cepat berpegangan pada
sepotong papan lantai. Julian menolong Anne naik. Sudah itu barulah kedua anak
laki-laki menyusul. "Wah, busuk sekali bau di sini," kata Anne sambil mengernyitkan hidung. "Apakah
semua bangkai kapal berbau seperti begini. Kali ini aku tak mau ikut turun ke
bawah, seperti dulu. Bau di situ pasti lebih busuk lagi."
Anne ditinggal sendiri di atas geladak yang sudah setengah rusak. Sedang ketiga
anak lainnya turun memasuki bilik-bilik di bawah yang bau dan penuh dengan
rumput laut. Mereka masuk ke bilik terlapang, yaitu kamar nakhoda. Tetapi jelas
mereka takkan mungkin bisa tidur di situ. Dan mereka pun tak bisa menyimpan
perbekalan di dalamnya, karena ruangan itu sudah membusuk dan lembab keadaannya.
Julian sudah khawatir saja, jangan-jangan kakinya terperosok menembus papan
lantai yang sudah busuk. "Kita naik saja lagi ke geladak," katanya. "Di sini tidak enak - lagipula gelap
sekali!" Mereka sedang dalam perjalanan naik, ketika tiba-tiba terdengar suara Anne
memanggil, "He! Ke mari - cepat! Ada sesuatu yang kutemukan!"
Julian, George dan Dick bergegas-gegas. Kaki mereka terpeleset-peleset di atas
lantai yang miring. Anne masih tetap berada di tempatnya semula. Matanya
memandang mereka dengan bersinar-sinar. Tangannya menunjuk ke arah seberang
kapal. "Apa yang kautemukan itu?" tanya George. "Ada apa?"
"Lihatlah ke situ!" ujar Anne, sementara tangannya masih tetap menunjuk. "Barang
itu pasti belum ada di situ, sewaktu kita ke mari dulu." Anak-anak memandang ke
arah yang ditunjuknya. Mereka melihat sebuah lemari di sisi geladak sebelah
situ. Lemari itu terbuka pintunya. Dan di dalamnya terdapat sebuah koper hitam
berukuran kecil. Ular biasa!
"Sebuah koper kecil berwarna hitam!" seru Julian dengan heran. "Tidak - dulu
memang belum ada di situ. Pasti barang itu belum lama ditaruh di kapal ini,
karena nampaknya masih baru dan kering! Siapa pemiliknya" Dan kenapa ditaruh di
sini?" XII GUA DI TEBING DENGAN hati-hati anak-anak berjalan di atas lantai licin, menghampiri lemari
yang ditunjukkan oleh Anne. Nampaknya pintu lemari itu ditutupkan lagi setelah
koper dimasukkan ke dalamnya. Tetapi kemudian terbuka lagi, mungkin kena tiup
angin. Jadi koper itu kelihatan dari luar. Tidak lagi tersembunyi, seperti
rupanya diniatkan oleh orang yang menaruhnya di situ.
Julian mengeluarkan koper kecil itu. Anak-anak memandang dengan heran. Mengapa
ditaruh sebuah koper di situ"
"Barangkali penyelundup," tebak Dick dengan mata bersinar-sinar. Anak itu sangat
menggemari petualangan yang seru.
"Ya - bisa saja," kata Julian sambil merenung, sementara tangannya sibuk hendak
membuka tali kulit pengikat koper. "Tempat ini cocok sekali bagi penyelundup.
Kapal yang nakhodanya mengenal jalan bisa berlabuh di sini, lalu menurunkan
sebuah perahu ke air dan dimuat dengan barang-barang selundupan. Barang-barang
itu disembunyikan di sini. Sudah itu mereka meneruskan pelayaran, sementara
orang-orang yang sekomplotan datang untuk menjemput barang-barang selundupan."
"Jadi menurut pendapatmu, dalam koper mungkin tersimpan barang-barang
selundupan?" tanya Anne. Ia pun ikut-ikut bergairah. "Apa ya isinya" Berlian"
Kain sutra?" "Apa saja, yang seharusnya dikenai bea cukai terlebih dulu sebelum diperbolehkan
masuk ke dalam negeri," jawab Julian menerangkan. "Sialan benar tali-tali
pengikat ini! Aku tak sanggup membukanya!"
"Sini aku saja yang mencoba," kata Anne. Jari-jarinya kecil dan cekatan! Ia
mulai sibuk dengan tali-tali yang terbuat dari kulit itu. Sebentar saja sudah
berhasil dibukanya. Tetapi kekecewaan besar menyusul setelah itu. Ternyata koper
Lima Sekawan Minggat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terkunci! Sedang anak kuncinya tidak ada.
"Sialan!" kata George. "Benar-benar menjengkelkan! Bagaimana cara kita membuka
koper ini sekarang?"
"Tidak bisa," jawab Julian singkat. "Kita tidak boleh sampai merusakkannya,
karena dengan begitu pemiliknya akan tahu bahwa ada orang lain mengetahui
rahasianya. Para penyelundup tak boleh tahu bahwa rahasia mereka terbongkar.
Kita harus berusaha menangkap mereka!"
"Wah!" ujar Anne. Mukanya berubah menjadi merah karena terpengaruh perasaannya
yang bergairah. "Kita akan menancap penyelundup! Julian - menurut perasaanmu
kita mampu melakukannya?"
"Kenapa tidak?" jawab Julian dengan gagah. "Tak ada yang tahu bahwa kita ada di
sini. Kalau nampak ada kapal menghampiri Pulau Kirrin, kita harus cepat-cepat
bersembunyi. Mungkin saja akan datang sebuah perahu! Kita akan bisa mengamat-
amati gerak-gerik mereka. Kurasa pulau ini dipergunakan oleh penyelundup sebagai
tempat penimbunan barang, sebelum dijemput oleh komplotan mereka di darat. Aku
kepingin tahu, siapa yang menjemputnya nanti! Kurasa salah seorang dari desa
Kirrin, atau salah satu tempat yang berdekatan."
"Wah, ini akan benar-benar menegangkan," kata Dick. "Kelihatannya setiap kali
kita ke mari, selalu terjadi peristiwa-peristiwa yang mendebarkan hati. Di sini
banyak petualangan. Ini sudah ketiga kalinya kita berpengalaman seru."
"Lebih baik kita kembali saja sekarang lewat batu-batu," kata Julian. Selama itu
ia memandang ke air. Dilihatnya bahwa pasang sudah mulai membalik. "Ayohlah!
Jangan sampai terjebak pasang naik - nanti kita terpaksa menunggu di sini selama
berjam-jam! Aku yang turun dulu. Sudah itu kau menyusul, Anne."
Tak lama kemudian mereka sudah berjalan lagi di atas batu-batu. Hati mereka
berdebar-debar kencang. Ketika mereka sampai di bagian yang menyambung ke tebing
batu pulau itu sendiri, tiba-tiba Dick tertegun.
"Kenapa kau berhenti?" kata George sambil mendorongnya dari belakang. "Ayoh,
terus jalan!" "Lihatlah ke balik batu besar di sana itu!" ujar Dick sambil menunjuk ke tempat
yang dimaksudkan olehnya. "Bukankah itu sebuah gua" Kalau benar, tempat itu kan
cocok sekali untuk menyimpan barang-barang kita. Bahkan juga untuk tidur, kalau
tak tercapai oleh ombak laut."
"Di pulau ini tak ada gua," kata George. Tetapi detik berikutnya ia pun ikut
tertegun. Lubang yang ditunjuk oleh Dick memang seperti sebuah gua nampaknya.
Tak ada salahnya memeriksa sebentar ke sana! Bagaimanapun, George belum pernah
pergi ke daerah berbatu-batu yang saat itu sedang mereka lewati. Jadi memang
belum pernah dilihatnya bahwa di situ mungkin ada sebuah gua. Dari darat, tempat
itu tak nampak. "Kita ke sana untuk melihatnya," kata George. Mereka berpaling haluan; tidak
lagi mendaki tebing, melainkan melintasi lereng yang menghadap ke laut dan
menuju ke bagian yang menonjol agak ke luar. Di tempat itulah terletak lubang
yang dikira gua oleh Dick.
Akhirnya mereka sampai di situ. Batu-batu terjal menutup jalan masuk ke dalam,
sehingga tersembunyi dari pandangan, kecuali dari tempat Dick berdiri tadi.
"Ternyata memang gua!" seru Dick bergembira, lalu masuk ke dalam. "Wah, tempat
ini bagus sekali!" Gua yang tersembunyi itu memang bagus. Lantainya ditaburi pasir halus, sehalus
tepung dan kering sama sekali. Letaknya lebih tinggi dari kedudukan air saat
pasang setinggi-tingginya. Air mungkin hanya bisa sampai di situ kalau terjadi
badai besar. Di satu sisinya terdapat ambang batu.
"Seolah-olah rak ini sudah tersedia untuk kita!" seru Anne kegirangan. "Kita
akan bisa menaruh barang-barang di sini. Kita tinggal dan tidur saja di sini,
yuk! Lihatlah, Julian - gua ini berjendela di atasnya. Di langit-langit ada
lubang!" Anne menunjuk ke atas. Saudara-saudaranya melihat bahwa sebagian dari langit-
langit gua terbuka. Rupanya di atas tebing yang bersemak itu ada sebuah lubang yang menuju ke gua. Dan lubang itulah yang disebut 'jendela' oleh Anne.
"Kita bisa memasukkan barang-barang kita lewat lubang itu," kata Julian. Anak
itu sudah sibuk menyusun rencana. "Kalau harus lewat batu-batu yang di luar,
repot sekali! Kalau kita nanti naik lagi ke atas dan bisa menemukan lubang itu,
semua perbekalan bisa kita turunkan dengan tali. Jaraknya ke dasar gua ini tidak
terlalu jauh, karena tebing di bagian sini rendah. Kurasa kita nanti juga bisa
dengan mudah turun dengan tali. Jadi tak perlu lagi repot-repot merayap lewat
batu-batu, menuju jalan masuk tadi yang menghadap ke laut!"
Penemuan itu menggemparkan bagi anak-anak.
"Ternyata pulau ini lebih mengasyikkan daripada sangkaan kita semula," ujar Anne
dengan riang. "Sekarang kita juga mempunyai sebuah gua!"
Dengan cepat mereka keluar lagi, lalu mendaki tebing. Mereka mencari letak
lubang yang nampak dari bawah tadi. Tim juga ikut serta. Kelakuan anjing itu
kocak pada saat berjalan di atas batu-batu yang licin. Kakinya terpeleset-
peleset. Dua atau tiga kali ia tercebur ke dalam air. Tetapi dengan cekatan ia
berenang mengarungi genangan air, sampai ke tepi. Kemudian ia melanjutkan
berjalan di atas batu licin.
"Tim kelakuannya persis George!" kata Anne sambil tertawa. "Biar apa pun yang
terjadi, ia tak kenal menyerah!"
Sesampai di puncak tebing, mereka berhasil menemukan lubang yang dicari dengan
mudah. "Sebenarnya berbahaya sekali lubang ini," ujar Julian sambil menjengukkan kepala
ke bawah. "Bisa saja salah seorang di antara kita berlari-lari di sini, lalu
terperosok ke dalam. Lihatlah, lubangnya nyaris tak nampak, karena tertutup
semak berduri." Mereka sibuk menyingkirkan semak-semak itu, sampai tangan mereka tergores-gores
duri sebagai akibatnya. Begitu semak-semak sudah tersingkir, mereka bisa
memandang ke dalam gua dengan mudah.
"Jarak ke lantai tak begitu jauh," ujar Anne. "Nampaknya seolah-olah gampang
saja meloncat ke bawah, apabila kita meluncur lewat lubang ini."
"Jangan coba-coba," kata Julian melarang adiknya. "Patah kakimu nanti! Tunggu
sampai kita sudah menambatkan seutas tali di sini, yang kemudian kita jalurkan
ke dalam gua. Nanti kita akan bisa dengan mudah keluar masuk!"
Mereka kembali ke perahu, lalu mulai membongkar muatan. Semua perbekalan
diangkut ke sisi pulau yang menghadap ke laut, karena di situlah letak gua
mereka. Julian mengambil seutas tali yang kokoh, lalu membuat simpul-simpul
padanya dalam jarak tertentu.
"Simpul-simpul ini kita pakai sebagai injak-injakan sewaktu turun," katanya
menerangkan. "Kalau kita meluncur terlalu cepat, bisa sakit tangan nanti! Jadi
simpul-simpul ini akan menahan gerak meluncur ke bawah, dan membantu kita
sewaktu naik." "Biar aku dulu turun ke bawah! Sudah itu kalian bisa menurunkan barang-barang,
dan kuterima di bawah," kata George. Anak itu turun sambil memijakkan kaki pada
simpul demi simpul. Enak turun dengan cara begitu!
"Bagaimana cara kita menurunkan Timmy?" tanya Julian. Dipandangnya anjing itu
yang melolong-lolong pelan di pinggir lubang, karena tuannya tahu-tahu lenyap.
Dan detik berikutnya Tim sendiri yang menyelesaikan persoalan menyangkut
dirinya. Ia melompat ke dalam lubang, dan langsung lenyap dari pandangan. Dari bawah
terdengar suara jeritan kaget.
"Astaga! Apa ini" Ya Ampun, Timmy! Kau cedera?"
Tetapi pasir dalam gua lembut sekali, seperti bantal beludru. Jadi Tim sama
sekali tak merasa sakit ketika jatuh di situ. Ia hanya menggoyangkan badannya
sebentar untuk membersihkan pasir yang melekat, sambil menggonggong-gonggong
riang. Ia sudah berkumpul lagi dengan tuannya! Ia takkan membiarkan George
menghilang dalam lubang aneh, tanpa menyusulnya dengan segera. Timmy bukan
begitu adatnya! Ia anjing yang setia.
Kemudian menyusul pekerjaan menurunkan barang-barang. Anne dan Dick membuntalnya
dalam selimut-selimut, yang kemudian diturunkan oleh Julian dengan hati-hati.
Begitu sampai di bawah, dengan segera George membuka ikatan tali dan
mengeluarkan barang-barang yang ada dalam selimut. Sesudah itu tali ditarik lagi
ke atas, untuk diikatkan ke buntalan berikutnya.
"Ini yang terakhir!" seru Julian, setelah keempat anak itu bekerja keras selama
beberapa waktu. "Sudah itu kami ikut turun. Sebelum kita melakukan pekerjaan
berikut - seperti membuat tempat tidur dan lain-lainnya - kita akan makan
terlebih dulu. Sudah sejak berjam-jam kita tidak makan! Perutku terasa lapar
sekali!" Tak lama kemudian keempat anak itu sudah duduk di lantai gua yang berpasir
hangat dan lembut. Mereka membuka sekaleng makanan daging, mengiris-iris roti
lalu memakannya dengan nikmat. Sudah itu mereka membuka sebuah kaleng berisi
buah nenas, lalu memakannya pula. Tetapi mereka masih tetap merasa lapar! Karena
itu menyusul dua kaleng sarden, yang diambil isinya dengan biskuit sebagai
sendok. Benar-benar santapan yang nikmat. Seperti makanan raja-raja!
"Sebagai penutup hidangan, air jahe!" kata Dick. "Kenapa hidangan tidak selalu
seperti begini terus, ya" Kan nikmat!"
"Kita harus bergegas sekarang! Nanti kita tak mampu lagi mengumpulkan semak yang
kita perlukan sebagai alas tempat tidur," ujar George dengan suara mengantuk.
"Siapa yang memerlukan semak?" kata Dick. "Aku tidak! Pasir yang lembut ini saja
sudah cukup bagiku - ditambah dengan sebuah bantal serta selimut satu atau dua
lembar. Aku pasti akan lebih enak tidur di sini, daripada di tempat tidur!"
Dengan segera selimut-selimut dibentangkan di pasir lantai gua itu. Kemudian
ditaruh pula bantal-bantal. Hari sudah mulai gelap, karena itu dinyalakan
sebatang lilin. Keempat anak yang sudah sangat mengantuk itu saling
berpandangan. Tim berada dekat George. Seperti biasanya!
"Selamat tidur," kata George. "Aku sudah tak kuat lagi menahan rasa mengantuk.
Mataku sudah terpejam dengan sendirinya. Se - la - mat - ti - khrr - khrrr!" George sudah
tidur pulas. XIII SEHARIAN DI PULAU SEWAKTU anak-anak bangun keesokan harinya, mula-mula mereka tak tahu di mana
mereka berada. Matahari yang bersinar memancarkan cahayanya memasuki pintu gua.
Muka George yang paling dulu kena sinarnya. Ia terbangun. Sejenak ia masih tetap
berbaring dalam keadaan setengah tidur. Ia agak heran, mengapa alas tempat
tidurnya tak selembut biasanya.
"Eh! Aku bukan di tempat tidurku sendiri," pikirnya tiba-tiba. "Tentu saja, aku
kini di Pulau Kirrin!"
Seketika itu juga ia duduk, lalu menumbuk rusuk Anne yang baring di sebelahnya.
"Bangun, Penidur! Kita di Pulau!"
Tak lama kemudian semuanya sudah terbangun, sambil mengusap-usap mata yang masih
mengantuk. "Kurasa hari ini aku lebih baik mengumpulkan semak-semak kecil untuk kujadikan
alas tempat tidurku," kata Anne. "Pasir mula-mula memang terasa empuk, tapi
lama-lama keras juga."
Saudara-saudaranya setuju bahwa mereka semua akan mengumpulkan semak dan rumput
untuk dijadikan alas tempat tidur di atas pasir, yang kemudian dilapisi dengan
selimut. Pasti akan nikmat tidur mereka!
"Enak rasanya tinggal dalam gua," ujar Dick. "Ayoh, kita berenang dulu sebelum
sarapan. Sudah itu menyusul acara melahap daging dingin, roti, asinan dan
selai!" "Pasti sehabis berenang kita akan kedinginan," kata George. "Sebaiknya selama
kita mandi, kita juga memasak air dengan komporku. Jadi begitu keluar dari air,
kita akan bisa membuat minuman coklat yang hangat! Pasti tak gemetar lagi tubuh
kita sesudah itu." "O ya, setuju!" seru Anne dengan gembira. Ia belum pernah memasak dengan kompor
sekecil itu. "Akan kuisi ceret dengan air dari kaleng persediaan kita. Apa yang
kita pakai sebagai pengganti susu?"
"Kita membawa susu!" kata Julian. "Cari sendiri kalengnya di tumpukan itu. Mana
alat pembuka kaleng?"
Alat itu tak bisa ditemukan. Jengkel anak-anak dibuatnya. Tetapi akhirnya
ditemukan juga, dalam kantong celana pendek Julian. Jadi soal itu beres!
Kompor kecil diisi dengan spiritus, lalu dinyalakan. Air dituangkan ke dalam
ceret, yang kemudian ditaruh di atas kompor. Sudah itu barulah anak-anak pergi
berenang. "He, lihatlah! Di sebelah sana ada kolam, di tengah batu-batu!" seru Julian
sambil menunjuk. "Kita tak melihatnya selama ini. Wah! Seperti kolam renang
kecil saja kelihatannya, khusus untuk kita sendiri."
"Kolam Renang Kirrin, satu shilling untuk sekali berenang!" ujar Dick. "Tapi
pemiliknya tak dipungut bayaran! Ayohlah - kelihatannya enak berenang di situ!
Lihatlah - ombak berulang-ulang menyapu bagian atas batu, lalu masuk ke dalam
kolam. Benar-benar hebat!"
Kolam itu memang sungguh-sungguh bagus. Letaknya di tengah batu cadas. Airnya
dalam, jernih dan tak terlalu dingin. Anak-anak asyik berenang, bersiram-siram
air dan terapung-apung di dalamnya. George mencoba terjun dari salah satu batu
besar yang ada di pinggir kolam. Terjunnya indah sekali!
"Dalam air, George benar-benar sangat jago!" kata Anne mengaguminya. "Aku
kepingin bisa menyelam dan berenang seperti George. Tapi tak mungkin!"
"Dari sini kita bisa melihat bangkai kapal dengan jelas," kata Julian sambil
keluar dari air. "He! Kita lupa membawa handuk. Sialan!"
"Kita pakai saja salah satu selimut untuk mengeringkan badan," jawab Dick.
"Kuambil sebentar, yang paling tipis. Eh - kalian ingat koper yang kita lihat
kemarin di kapal" Aneh, ya?"
"Memang, sangat aneh," jawab Julian. "Aku agak bingung melihatnya. Kita harus
terus-menerus mengamat-amati bangkai kapal itu, supaya ketahuan siapa yang
datang untuk mengambil koper."
"Kurasa para penyelundup - ini kalau pemiliknya memang penyelundup -
mengambilnya nanti, mereka akan datang menyelinap ke sisi pulau sebelah sini,
lalu menurunkan sekoci yang kemudian datang ke kapal," kata George sambil
mengeringkan tubuhnya dengan selimut. "Yah, sebaiknya kita mengamat-amati dengan
seksama! Barangkali akan ada kapal laut yang kecil atau salah satu kapal lain
yang muncul di sebelah sana!"
"Ya. Tapi kita tak boleh sampai terlihat oleh mereka," sambut Dick. "Kalau hal
itu terjadi, takkan ada lagi yang bisa kita selidiki. Mereka takkan mau lagi
datang ke pulau ini. Kurasa ada baiknya jika kita bergantian menjaga. Jadi kalau
terjadi sesuatu, kita akan bisa dengan segera mengetahui dan bersembunyi."
"Ide yang bagus!" seru Julian memuji. "Nah, badanku sudah kering sekarang, tapi
rasanya agak dingin juga. Ayoh, kita berlomba adu cepat lari ke gua, lalu
membuat minuman panas. Sudah itu sarapan. Hmmm! Rasanya saat ini aku mampu
menyikat habis seekor ayam! Barangkali masih bisa ditambah lagi dengan seekor
bebek - apalagi kalkun!"
Anak-anak tertawa. Mereka pun sudah sangat lapar. Mereka berlomba-lomba menuju
ke gua, melintasi pasir dan memanjat beberapa buah batu yang menghadang. Sudah
itu melintasi pantai di depan gua, lalu menuju ke mulut gua yang masih terang
disinari matahari. Air dalam ceret sudah mendidih. Uapnya mengepul-ngepul lewat corongnya.
"Keluarkan daging dingin dan roti sebatang, dan juga botol asinan yang kita
bawa," ujar Julian mengatur. "Aku membuka kaleng susu. Kau, George, kau membuat
minuman yang banyak untuk kita semua. Isi saja dalam kendi itu!"
"Aku bahagia sekali," ujar Anne yang duduk di mulut gua sambil mengunyah
sarapannya. "Rasanya benar-benar nikmat! Enak hidup sendiri di pulau seperti
sekarang. Tinggal di pulau kepunyaan sendiri, dan bisa berbuat sekehendak hati."
Saudara-saudaranya seperasaan dengannya. Hari pun sangat indah, laut dan langit
biru cerah. Mereka duduk-duduk sambil makan dan minum, serta memandang ombak
yang datang bergulung-gulung lalu memercik di atas batu karang yang terletak
agak lebih jauh dari bangkai kapal. Pesisir di situ berbatu-batu.
"Gua ini harus kita atur sebaik-baiknya," ujar Anne. Ia paling rapi di antara
keempat anak itu, dan senangnya memang main rumah-rumahan. "Tempat ini akan kita
jadikan rumah kita, tempat kita tinggal. Kita akan membuat tempat tidur yang
baik. Dan harus pula dibuat tempat duduk bagi kita masing-masing. Sedang barang
perbekalan kita atur dengan rapi di rak batu itu. Tempat itu seolah-olah sengaja
dibikin untuk kita!"
"Kita biarkan saja Anne bermain rumah-rumahan seorang diri di sini," kata
George. Ia sudah bosan duduk diam-diam. "Sedang kita akan mengumpulkan semak dan
rumput sebagai pengalas tempat tidur. O ya! Bagaimana jika salah seorang dari
kita menjaga bangkai kapal dari sini, supaya kita segera tahu kalau ada orang
datang?" "Ya - itu penting sekali," sahut Julian dengan segera. "Aku yang paling dulu
menjaga! Tempat terbaik untuk itu adalah di tebing sebelah atas gua ini. Akan
kucari nanti sebuah semak, yang akan menyembunyikan diriku dari pandangan orang
di laut. Kalian mengumpulkan semak dan rumput. Kita menjaga berganti-ganti,
masing-masing dua jam. Kita juga boleh membaca kalau mau, asal jangan lupa
sekali-sekali mendongak dan memandang ke laut."
Dick dan George pergi mengumpulkan rumput dan semak yang akan dipakai sebagai
alas tempat tidur mereka. Sedang Julian memanjat tali bersimpul-simpul yang
masih tergantung dari lubang sebelah atas. Tali itu terikat kuat pada sebuah
Lima Sekawan Minggat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akar semak yang kokoh. Ia naik ke atas tebing, lalu berbaring di rumput dengan
napas terengah-engah. Di tengah laut tak nampak apa-apa, kecuali beberapa kapal besar yang berlayar di
ujung pandangan. Jaraknya pasti beberapa mil dari tempat mereka berada. Julian
berbaring di atas tebing, sambil menikmati kehangatan cahaya matahari yang
bersinar. Tugas menjaga merupakan pekerjaan yang enak!
Terdengar oleh Julian suara Anne bernyanyi-nyanyi dalam gua, sementara anak itu
sibuk membereskan 'rumah'-nya. Julian tersenyum. Ia tahu bahwa Anne senang
bermain-main seperti begitu.
Anne memang sedang bersenang hati. Perabot makan yang dipakai untuk sarapan
telah selesai dicucinya dalam sebuah lekuk pada batu di luar gua, yang penuh
berisi air hujan. Tim memakainya sebagai tempat minum. Tetapi ia tak
berkeberatan bahwa Anne memakai air itu untuk mencuci piring dan pisau garpu.
"Aku terpaksa memakai air minummu, Tim," ujar Anne meminta maaf, "tapi kau kan
anjing pintar! Kalau kau merasakan air di sini tidak enak lagi, tentu kau akan
mencari genangan air di tempat lain."
"Wau!" gonggong Tim, lalu lari menyongsong George yang datang bersama Dick.
Kedua anak itu membawa semak dan rumput yang akan dijadikan pengalas tempat
tidur. "Letakkan bawaan kalian di luar, George," ujar Anne. "Kalau aku sudah siap
membersihkan, baru akan kuatur tempat tidur."
"Baik!" jawab George. "Kami pergi lagi untuk mengumpulkan lebih banyak. Enak ya,
hidup begini?" "Julian naik ke tebing, lewat tangga tali," kata Anne. "Kalau ia melihat sesuatu
yang luar biasa, kita akan dipanggilnya. Mudah-mudahan saja terjadi sesuatu!"
"Memang, mengasyikkan!" ujar Dick menyetujui pendapat adiknya. Diletakkannya
semak dan rumput bawaannya di atas Tim, sehingga anjing itu nyaris terbenam di
dalamnya. "Wah, maaf, Tim! Aku tak tahu kau ada di situ!"
Anne senang sekali sepagi itu. Semua diaturnya rapi-rapi di atas rak batu. Roti
dibungkusnya semua dalam taplak meja yang juga dibawa, lalu diletakkan di bagian
belakang gua. Dipilihnya tempat yang paling sejuk. Kaleng-kaleng berisi air juga
diletakkan di situ, beserta botol-botol minuman.
Kemudian ia melanjutkan pekerjaan dengan membuat tempat tidur. Ia memutuskan
hendak membuat dua tempat pembaringan yang besar-besar, masing-masing di satu
sisi gua. "Sisi sebelah sini untukku bersama George dan Tim," katanya dalam hati, sambil
mengatur semak dan rumput di situ. "Sedang Julian dan Dick bisa di sebelah sana.
Wah, tanaman sebegini masih kurang banyak. Engkaukah itu, Dick" Kau datang tepat
pada waktunya. Aku kekurangan alas."
Tak lama kemudian telah selesai dibuat kedua tempat tidur mereka. Masing-masing
beralaskan dua selimut tua, sedang dua selimut yang agak baru ditaruh sebelah
atasnya. Bantal-bantal diatur pula sebagai pengalas kepala kalau tidur nanti.
"Sayang kita tak membawa pakaian tidur," pikir Anne. "Kalau ada, bisa kulipat
baik-baik dan kuselipkan di bawah bantal. Nah! Kelihatannya rapi sekarang. Kita
sudah mempunyai rumah yang cantik!"
Julian masuk ke dalam gua lewat tangga tali. Ia memandang berkeliling dengan
kagum. "Wah, Anne! Rapi sekali gua kita sekarang. Semua berada di tempatnya yang benar.
Benar-benar rapi! Kau gadis cilik yang cekatan."
Sebetulnya Anne tak senang disebut cilik. Tetapi walau begitu senang juga
hatinya, karena dipuji-puji.
"Ya, kelihatannya rapi, bukan?" ujarnya, "Tapi kenapa kau tidak menjaga di atas
tebing, Julian?" "Sekarang giliran Dick," kata abangnya itu. "Aku sudah menjaga selama dua jam.
Kita membawa biskuit atau tidak" Perutku takkan berkeberatan kalau diisi dengan
satu atau dua biskuit. Dan kurasa Dick dan George juga begitu. Kita naik saja ke
atas tebing, dan makan bersama-sama di sana. George dan Tim menemani Dick
menjaga." Sementara Anne mengambil sepuluh buah biskuit dari dalam kaleng tempatnya,
Julian mendului naik tali ke atas. Tak lama kemudian mereka sudah duduk-duduk
dekat semak yang lebat, sambil makan biskuit. Tim juga kebagian, tetapi langsung
ditelannya. Sehari itu anak-anak hidup enak dan agak bermalas-malasan. Mereka silih berganti
menempati pos penjagaan. Sorenya Anne kena marah Julian, karena tertidur sewaktu
gilirannya menjaga. Anak itu menangis, karena merasa malu terhadap dirinya
sendiri. "Kau sebetulnya masih terlalu kecil untuk disuruh menjaga," ujar Julian
kemudian. "Sebaiknya kami bertiga dan Tim saja yang melakukan tugas itu."
"Jangan! Aku juga ingin menjaga," kata Anne meminta-minta. "Aku berjanji takkan
pernah tertidur lagi. Tapi tadi matahari sangat panas, dan...."
"Jangan cari-cari alasan," kata Julian. "Persoalannya malah menjadi semakin
repot karenanya. Baiklah! Kau kami beri kesempatan satu kali lagi! Kita lihat
nanti, apakah kau memang sudah cukup besar untuk diserahi tugas seperti kami."
Anak-anak kembali silih berganti menjaga. Mereka menajamkan mata, melihat ke
laut kalau-kalau ada kapal asing muncul. Tetapi sehari itu tak terjadi apa-apa.
Anak-anak merasa kecewa. Mereka sangat ingin mengetahui siapa yang menaruh koper
hitam di geladak kapal rusak. Mereka juga ingin tahu alasannya, serta apa isi
koper rahasia itu. "Kita tidur saja sekarang," kata Julian ketika matahari terbenam. "Sudah pukul
sembilan malam! Ayohlah, kita tidur. Aku sudah kepingin merebahkan badan di atas
tempat tidur empuk yang diatur dengan rapi oleh Anne."
XIV GANGGUAN DI TENGAH MALAM DI dalam gua sudah gelap, tetapi belum cukup gelap sehingga perlu dinyalakan
lilin. Walau begitu Anne menyalakannya juga, karena gua kelihatan menyenangkan
jika diterangi cahaya lilin yang bergerak-gerak nyalanya. Begitu sumbunya
terbakar, seketika itu juga di dinding gua muncul bayangan-bayangan yang menari-
nari. Lain benar suasananya saat itu. Mengasyikkan dan agak misterius, lain
sekali dengan gua yang nampak sewaktu siang.
"Bagaimana kalau kita menyalakan api unggun?" usul Anne.
"Wah, terlalu panas," jawab Julian. "Lagipula asapnya mengganggu. Dalam gua
seperti ini, kita tidak bisa membuat api unggun, karena tidak ada cerobong
asap." "Ada," bantah Anne, sambil menunjuk ke lubang yang ada di langit-langit. "Kalau
api unggun dibuat tepat di bawah lubang itu, maka asapnya kan bisa ke luar lewat
situ, bukan?" "Mungkin saja," kata Dick dengan wajah agak ragu. "Tapi kurasa tidak. Nanti gua
ini penuh dengan asap, dan kita tak bisa tidur karena terbatuk-batuk terus."
"Kalau begitu apakah kita tidak bisa menyalakan api di mulut gua?" tanya Anne
lagi. Menurut perasaannya, sebuah rumah yang sejati harus ada perapiannya di
salah satu tempat. "Supaya binatang buas tak berani mendekat! Orang jaman dulu
kan begitu, menurut buku sejarahku. Malam hari mereka menyalakan api unggun di
mulut gua, untuk menghalau binatang buas yang berkeliaran di situ."
"Menurut pendapatmu, binatang buas jenis apa yang mungkin akan mengintip ke
dalam gua ini?" tanya Julian mencemooh, sambil menghirup minuman coklat panas
sampai habis. "Singa" Harimau" Atau barangkali kau takut, jangan-jangan nanti
ada gajah yang menjenguk ke dalam?"
Anak-anak tertawa. "Tidak! Aku bukan mengira ada binatang buas yang akan datang," ujar Anne. "Cuma
- kan enak kalau pergi tidur sambil memandang nyala api unggun."
"Rupanya Anne menyangka nanti akan ada kelinci masuk, lalu menggigit jari kaki
kita," kata Dick. Begitu Tim mendengar perkataan 'kelinci', ia langsung menggonggong.
"Kurasa lebih baik kita tidak menyalakan api unggun," kata Julian. "Nanti
terlihat dari tengah laut, lalu membatalkan maksud siapa pun juga yang hendak
datang ke pulau ini untuk melakukan penyelundupan."
"Tidak mungkin, Julian," ujar George dengan segera. "Jalan masuk ke gua ini
begitu tersembunyi, sehingga aku merasa yakin takkan bisa orang di laut melihat
api yang menyala di sini. Batu-batu tinggi yang di luar itu menutupi jalan
masuk. Kurasa enak juga, apabila di sini ada api unggun. Ruangan ini akan
menjadi terang karenanya."
"Betul, George!" kata Anne dengan gembira, karena ada yang setuju dengan
usulnya. "Tapi masakan kita masih harus keluar lagi sekarang, untuk mencari ranting-
ranting," kata Dick. Ia malas pergi lagi, karena sudah bersantai-santai.
"Tak perlu," kata Anne bersemangat. "Sehari ini aku sudah sibuk mengumpulkannya.
Kusimpan di belakang, karena mungkin saja kita memerlukan api."
"Kau ini memang ibu rumah tangga yang baik," ujar Julian memuji. "Mungkin saja
dia terkantuk-kantuk pada waktu harus menjaga. Tapi kalau harus mengubah gua
menjadi tempat tinggal, Anne selalu siap siaga! Baiklah, Anne - kami akan
menyalakan api unggun untukmu."
Mereka mengambil ranting-ranting yang terkumpul di belakang gua. Ranting-ranting
itu diambil oleh Anne dari kaki menara tempat burung-burung gagak bersarang.
Setelah ranting-ranting dionggokkan di mulut gua, kemudian dinyalakan. Julian
menambahkan rumput-rumput laut yang sudah kering ke atasnya. Dengan segera
ranting-ranting menyala, dan terciptalah api unggun yang menyenangkan. Anak-anak
kembali ke pembaringan mereka, lalu berbaring di atasnya sambil memperhatikan
nyala api yang berkobar-kobar.
"Asyik," ujar Anne yang sudah setengah tidur. "Benar-benar asyik."
"Selamat tidur," kata Dick dengan suara mengantuk. "Api mulai padam, tapi aku
malas menambahkan kayu lagi ke dalamnya. Aku yakin semua singa, macan dan gajah
yang ada di sekitar sini sudah lari semuanya."
"Konyol!" kata Anne. "Kau tak perlu mengganggu aku - karena kau pun ikut
menikmatinya! Selamat tidur!"
Kelima anak itu terlelap, dan bermimpi dengan nikmat tentang bermacam-macam hal.
Tetapi tiba-tiba Julian terjaga dari tidurnya. Ada suatu bunyi aneh yang
membangunkannya. Ia berbaring diam-diam, sambil menajamkan telinga.
Tim menggeram-geram dengan suara berat, George ikut bangun, lalu bertanya dengan
suara mengantuk, "Ada apa, Tim?"
"Ada sesuatu yang didengarnya tadi, George," kata Julian setengah berbisik dari
tempatnya berbaring di seberang gua.
George bangkit dengan hati-hati. Tim masih saja menggeram.
"Ssst!" kata George. Seketika itu juga Tim terdiam. Ia duduk lurus-lurus, sedang
telinganya diruncingkan ke depan.
"Barangkali penyelundup yang datang di tengah malam," bisik George. Bulu
tengkuknya berdiri. Penyelundup yang datang siang hari rasanya mengasyikkan dan
merupakan petualangan ramai. Tetapi di malam hari" George saat itu tak kepingin
berjumpa dengan mereka! "Aku keluar sebentar - barangkali saja ada yang bisa kulihat," ujar Julian
sambil bangkit dari pembaringannya. Ia bergerak dengan hati-hati, agar Dick
jangan sampai terbangun. "Aku akan naik ke tebing lewat tangga tali. Dari atas
aku bisa melihat lebih jelas."
"Bawa senterku," kata George. Tetapi Julian tak mau membawanya.
"Terima kasih, tapi tak perlu! Aku bisa meraba-raba simpul tali dalam gelap,
tanpa perlu melihatnya," katanya.
Julian memanjat tali, naik ke atas. Badannya ikut berputar-putar dengan tali.
Sesampai di atas tebing, diarahkannya pandangan ke laut. Malam itu gelap sekali.
Tak ada kapal yang nampak olehnya. Bahkan bangkai kapal kuno pun tak kelihatan,
karena malam terlampau gelap.
"Sayang malam ini tak ada bulan," pikir Julian. "Kalau ada, barangkali saja aku
bisa melihat barang sesuatu."
Ia masih memandang ke laut selama beberapa saat lagi. Kemudian terdengar suara
George memanggil dari bawah. Suaranya terdengar aneh, lewat lubang yang menganga
di bawah kakinya. "Julian! Ada yang kelihatan" Apakah aku naik saja ke atas?"
"Aku tak bisa melihat apa-apa," jawab Julian. "Tim masih menggeram-geram terus?"
"Ya - begitu kalung lehernya kulepaskan, ia mulai lagi menggeram-geram," kata
George. "Entah apa yang menyebabkan dia begitu."
Sekonyong-konyong Julian melihat sesuatu. Ia melihat sinar cahaya, jauh di
belakang batu-batu yang menjorok ke tengah. Julian memandang dengan perasaan
tegang. Cahaya itu datang dari arah kapal kuno yang terdampar. Ya, betul! Jadi
mestinya ada orang membawa lentera di kapal rusak itu.
"George! Naiklah ke atas!" serunya sambil menjulurkan kepala ke dalam lubang
gua. George naik dengan cekatan. Ia memanjat tali, seperti seekor kera saja cepatnya.
Tim ditinggal di bawah, sambil menggeram. George menghampiri Julian di atas
tebing, lalu duduk di sampingnya.
"Kaulihat bangkai kapal tua - itu, di sana!" kata Julian. "Tentu saja kapalnya
sendiri tak nampak, karena sekarang terlalu gelap! Tapi nampak cahaya lentera
yang diletakkan orang di sana."
"Wah, betul! Ada orang di kapal kita membawa lentera!" ujar George dengan
tegang. "Apakah itu para penyelundup yang datang dengan barang-barang mereka?"
"Mungkin juga seseorang yang hendak mengambil koper," kata Julian. "Besok akan
kita ketahui dengan pasti, karena kita akan ke sana untuk memeriksa. Lihatlah!
Orang yang ada di sana rupanya sekarang pergi - nah! nah! - cahaya lentera
semakin rendah! Rupanya dia atau mereka turun ke perahu yang berada di sisi
kapal. Sekarang cahaya itu lenyap!"
Kedua anak itu menajamkan telinga, kalau-kalau bisa menangkap bunyi dayung di
air, atau suara orang bicara. Kedua-duanya mengira berhasil mendengar suara yang
bercakap-cakap. "Rupanya perahu pergi dan menuju ke sebuah kapal," kata Julian. "Rasanya aku
bisa melihat cahaya lampu samar-samar di sebelah sana - itu, lihatlah! Agak jauh
ke tengah laut! Mungkin perahu tadi menuju ke sana."
Karena setelah itu tak ada lagi yang bisa dilihat maupun didengar, mereka berdua
turun lagi ke gua melewati tangga tali. Mereka tak membangunkan Dick dan Anne
yang masih tetap tidur nyenyak. Tim melompat-lompat menyongsong mereka, sambil
mendengking-dengking pelan karena gembira. Ia tak menggeram lagi.
"Kau memang anjing hebat," kata Julian sambil menepuk-nepuk kepala Tim. "Tak ada
bunyi yang tak tertangkap oleh telingamu yang tajam pendengarannya."
Tim berbaring kembali. Jelas bunyi yang mengganggunya sudah tak ada lagi.
Rupanya Tim mendengar suara orang datang ke kapal yang kandas di batu-batu
karang. Besok mereka akan ke sana, untuk melihat apa yang dibuat orang atau
orang-orang yang tak dikenal di situ di tengah malam.
Anne dan Dick kesal sekali keesokan harinya, ketika mendengar cerita Julian.
"Kau kan bisa saja membangunkan kami," ujar Dick dengan marah.
"Kalian pasti kami bangunkan, kalau lebih banyak yang bisa dilihat," kata
George. "Tapi yang nampak tadi malam cuma cahaya lentera. Selain itu tak ada
apa-apa! Hanya kami merasa seakan-akan mendengar suara orang bercakap-cakap."
Ketika pasang surut sudah cukup rendah, anak-anak dengan disertai Tim pergi
meniti batu-batu yang menonjol di air, menuju ke bangkai kapal. Mereka memanjat
ke atas, dan kemudian berdiri di atas geladak yang miring dan licin. Mereka
memandang ke arah lemari tempat koper hitam kecil tersimpan. Ternyata pintu
lemari tertutup. Julian meluncur di atas lantai geladak ke arah lemari, lalu berusaha membukanya.
Pintu diganjel dengan sepotong kayu, supaya tidak terbuka lagi. Rupanya orang
yang datang tadi malam yang melakukannya. Julian mencabut pasak itu, dan pintu
lemari kemudian bisa dibuka dengan mudah.
"Ada barang lain di dalamnya?" tanya George, sambil melangkah dengan hati-hati
di atas lantai geladak yang licin. Dihampirinya Julian yang sedang berjongkok di
depan lemari. "Ya," jawab Julian. "Lihatlah sendiri. Makanan berkaleng-kaleng! Ada pula
mangkok dan piring serta macam-macam lagi - seakan-akan ada orang hendak tinggal
di pulau kita. Aneh! Kopernya masih ada di sini, dan tetap dalam keadaan
terkunci. Dan ini ada beberapa batang lilin - sebuah lampu kecil - dan segumpal
kain bekas. Untuk apa barang-barang ini disimpan di sini?"
Benar-benar misterius! Julian berpikir-pikir dengan kening berkerut.
"Kelihatannya ada orang yang akan datang ke Pulau dan tinggal di situ untuk
seberapa lama. Mungkin harus menunggu di situ, untuk menjemput barang-barang
yang diselundupkan ke mari. Nah, kita akan berjaga-jaga siang malam untuk
menanti kedatangan tamu itu!"
Mereka meninggalkan bangkai kapal tua dengan hati berdebar-debar. Tempat
persembunyian mereka dalam gua baik sekali! Takkan ada orang yang bisa menemukan
mereka di situ. Dan dari tempat persembunyian itu anak-anak akan bisa mengamat-
amati setiap orang yang datang dan pergi dari bangkai kapal. Begitu pula dari
bangkai kapal ke pulau. "Bagaimana dengan teluk tempat kita menaruh perahu?" kata George dengan tiba-
tiba. "Mungkin saja mereka juga akan menuju ke teluk itu, apabila datangnya
dengan perahu. Pergi ke pulau dari bangkai kapal cukup berbahaya, jika berusaha
mendarat di pantai berbatu-batu yang letaknya tak jauh dari sini."
Lima Sekawan Minggat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau ada orang masuk ke teluk kita, maka akan nampak perahu kita yang ada di
situ," kata Dick terkejut. "Sebaiknya kita sembunyikan saja cepat-cepat."
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Anne. Menurut pendapatnya, tidak mudah
menyembunyikan perahu sebesar kepunyaan mereka.
"Entahlah," jawab Julian. "Kita lihat saja nanti."
Dengan diiringi oleh Tim, mereka berempat pergi ke teluk tempat mereka turun ke
darat. Perahu mereka ditarik sampai tinggi ke atas pantai, tak terjangkau oleh
ombak. George memeriksa daerah sekitar teluk itu dengan seksama. Kemudian ia
mendapat ide. "Bagaimana - mungkinkah kita bisa menarik perahu sampai berada di balik batu
besar ini" Kurasa di sini akan sudah cukup tersembunyi. Asal saja orang itu tak
datang ke mari, karena dengan begitu tentu saja akan ketahuan!"
Saudara-saudaranya sependapat, bahwa hal itu bisa saja dicoba. Dengan napas
terengah-engah mereka menyeret perahu sampai ke balik batu besar. Hampir seluruh
perahu terlindung di belakangnya.
"Bagus!" ujar George, lalu pergi ke teluk untuk melihat apakah banyak yang masih
kelihatan. "Masih nampak sedikit! Kita tutupi saja dengan rumput laut!"
Dengan segera mereka melakukannya. Setelah itu perahu mereka tak kelihatan lagi,
kecuali jika ada orang yang dengan sengaja datang ke balik batu.
"Bagus!" ujar Julian sambil memandang ke arlojinya. "He - sudah lewat waktunya
minum teh. Dan selama kita semua sibuk menyeret-nyeret perahu ke mari, kita lupa
menempatkan seseorang di puncak tebing untuk melakukan pengawasan. Benar-benar
tolol kita ini!" "Kurasa tak ada yang terjadi sejak kita pergi meninggalkan gua," ujar Dick
sambil meletakkan setumpuk besar rumput laut di haluan perahu, untuk melengkapi
samarannya. "Kurasa para penyelundup hanya datang malam hari."
"Kurasa kau benar," kata Julian. "Sebaiknya malam hari pun kita menempatkan
penjaga di atas. Anak yang mendapat giliran menjaga bisa membawa selimut-selimut
ke atas, membungkus badan dengannya."
"Tim juga bisa diajak menemani," kata Anne. "Jadi kalau si penjaga tak sengaja
tertidur, Tim bisa menggeram kalau melihat sesuatu. Dengan begitu si penjaga
pasti akan terbangun."
"Maksudmu tadi, kalau kau tertidur," ujar Dick sambil tertawa nyengir. "Ayohlah!
Kita kembali ke gua, dan minum teh di sana."
Sekonyong-konyong Tim menggeram-geram lagi!
XV ADA SIAPA DI PULAU" "SST!" bisik Julian dengan segera. "Cepat, bersembunyi di balik semak ini!"
Sewaktu Tim menggeram itu mereka sudah pergi dari tanjung, dan sedang berjalan
menuju puri. Segera setelah diperingatkan oleh Julian, anak-anak langsung
merunduk di balik serumpun semak. Hati mereka berdebar-debar keras.
"Tim, jangan menggeram," bisik George dekat ke telinga anjingnya. Seketika itu
juga Tim terdiam. Tetapi ia berdiri dengan kaku. Otot-ototnya kelihatan
bergerak-gerak, siap untuk menerjang maju.
Julian mengintip di sela-sela ranting semak. Samar-samar dilihatnya ada orang di
halaman puri. Satu orang - mungkin dua - tetapi barangkali juga tiga.
Ditajamkannya mata untuk melihat lebih jelas. Tetapi orang-orang itu sudah
lenyap dari pandangan. "Kurasa mereka tadi menggeserkan batu-batu besar yang ditumpuk di atas jalan
masuk ke ruangan-ruangan bawah tanah," bisik Julian. "Dan sekarang mereka turun
ke bawah. Kalian menunggu di sini! Aku hendak melihat ke sana sebentar. Aku akan
berhati-hati, supaya tak terlihat oleh mereka."
Tak lama kemudian ia sudah kembali lagi. Dianggukkannya kepala.
"Betul - mereka turun ke ruangan-ruangan bawah tanah. Mungkinkah mereka itu para
penyelundup" Apakah mereka menyimpan barang-barang selundupan di bawah tanah"
Tempat itu memang cocok sekali untuknya."
"Sementara mereka sedang di bawah tanah, lebih baik kita cepat-cepat kembali ke
gua," kata George. "Aku khawatir kita akan ketahuan nanti, sebagai akibat
gonggongan Tim. Ia sudah nyaris tak bisa lagi menahan diri."
"Kalau begitu kita pergi saja sekarang," kata Julian. "Tapi jangan mengambil
jalan melintas halaman puri! Kita menuju ke pantai, lalu menyusurnya sampai ke
gua. Sudah itu salah seorang dari kita naik ke atas tebing lewat lubang gua, dan
bersembunyi di balik semak yang besar. Dari situ kita bisa mengamat-amati, siapa
sebenarnya penyelundup-penyelundup itu. Mereka tadi pasti datang naik perahu.
Mungkin dari bangkai kapal" tetapi mungkin pula dengan mengambil jalan lewat
batu-batu karang yang di depan pantai. Kalau lewat situ, hebat juga orangnya!"
Akhirnya mereka sampai juga di gua. Dengan cepat Julian naik ke atas lewat
tangga tali, dibantu oleh saudara-saudaranya yang mendorong dari bawah. Tetapi
tahu-tahu Tim menghilang! Sewaktu anak-anak sedang sibuk menolong Julian
memanjat ke atas, anjing itu lari ke luar gua! Ketika George berpaling, Tim
sudah tidak ada lagi. "Timmy!" serunya dengan suara berbisik. "Tim! Timmy! Kau ke mana?"
Tetapi tidak terdengar jawaban! Ternyata Tim pergi berkeluyuran. Bandel benar
anjing itu! Mudah-mudahan saja tak terlihat oleh para penyelundup.
Ternyata Tim mencium bau yang merangsangnya. Ia mencium bau tertentu yang
dikenalnya: bau seekor anjing! Ia segera ke luar, karena ingin mencari asal bau
itu. Kalau dijumpai, akan digigitnya telinga dan ekor anjing itu sampai putus!
Tim tidak menginginkan ada anjing lain di pulaunya.
Sementara itu Julian sudah duduk bersembunyi di balik semak besar yang terdapat
di atas tebing. Ia memandang berkeliling. Di bangkai kapal yang rusak tak nampak
apa-apa. Di laut tak ada kapal. Mungkin perahu yang dipakai oleh orang-orang tak
dikenal untuk datang ke pulau itu tersembunyi di balik batu-batu pantai di
bawahnya. Julian menoleh ke belakang, memandang ke arah puri. Saat itu juga ia
melihat sesuatu yang tak disangka-sangka olehnya!
Dilihatnya seekor anjing sedang mencium-cium di sekitar semak-semak yang
terdapat tak jauh dari tempatnya mengintip. Dan dari belakang anjing itu datang
seekor anjing lain yang bergerak menyelinap dengan bulu tengkuk berdiri! Anjing
itu Tim! Tim sedang mengintai anjing pertama, seperti kucing sedang mengintai
kelinci. Tiba-tiba anjing yang tak dikenal mendengarnya. Ia membalik, berhadapan
dengan Tim. Seketika itu Tim menerpa sambil melolong panjang, menegakkan bulu
roma! Anjing yang satu lagi mendengking ketakutan.
Julian hanya bisa memandang bagaikan terpaku di tempatnya. Ia bingung, tak tahu
apa yang harus dilakukan. Kedua anjing itu ribut sekali. Apalagi anjing yang tak
dikenal, ia terdengking-dengking ketakutan. Bunyinya menggema ke mana-mana.
"Keributan ini pasti akan menyebabkan para penyelundup naik ke atas! Mereka akan
melihat Tim, dan dengan begitu akan tahu bahwa di Pulau ada orang lagi selain
mereka," kata Julian dalam hati. "Kau benar-benar sialan, Tim! - Kenapa kau
tidak bisa diam-diam saja di sisi George?"
Tiga orang muncul dari balik tembok puri. Mereka lari mendekat, untuk melihat
kenapa anjing mereka ribut seperti itu. Julian memandang ketiga orang itu dengan
tercengang: ia melihat bahwa ketiga orang itu adalah Pak Stick, Ibu Stick serta
si Jerawat - Edgar! "Astaga!" bisik Julian dengan kaget, lalu merangkak mundur dari semak dan
bergegas menuju lubang gua. "Mereka mencari kami! Mereka menduga bahwa kami
pergi ke mari, dan sekarang mereka datang untuk mencari! Mereka hendak memaksa
kami pulang! Tapi mereka takkan berhasil menemukan kami. Sayang Tim tadi
membocorkan rahasia!"
Dari dalam gua di bawahnya terdengar bunyi suitan melengking tinggi. George yang
bersuit! Ia mendengar suara anjing berkelahi. Karena merasa khawatir, ia lalu
bersuit memanggil Tim. Suitan itu selalu dipatuhi oleh anjing itu. Begitu ia
mendengarnya, dengan segera dilepaskannya anjing yang sedang digigitnya. Lalu ia
berlari cepat-cepat ke puncak tebing. Tepat saat itu keluarga Stick tiba di
tempat perkelahian. Mereka mengangkat anjing mereka yang melolong-lolong
kesakitan. Badannya berdarah-darah.
Edgar mengejar Tim ke puncak tebing. Ketika Julian melihat anak itu muncul di
atas, dengan segera ia meluncur ke dalam gua. Tim lari ke lubang gua, lalu
meloncat ke dalam. Nyaris tertimpa Julian olehnya. Tim melonjak bangun dan lari
ke George. "Ssst, diam!" bisik George menyuruh Tim berhenti ribut-ribut. "Kau mau rahasia
tempat persembunyian kita ketahuan?"
Sementara itu Edgar sampai di puncak tebing. Napasnya terengah-engah, karena
lari cepat-cepat. Ia tercengang, karena tahu-tahu Tim lenyap. Ia berkeliaran
sebentar mencari anjing itu. Tetapi jelas, Tim tidak ada lagi di atas tebing.
Orang tuanya menyusul naik ke tebing.
"Ke mana anjing itu tadi?" seru Ibu Stick sambil datang menghampiri. "Seperti
apa rupanya?" "Mirip sekali dengan anjing galak kepunyaan anak-anak," ujar Edgar. Suaranya
terdengar jelas dalam gua tempat Julian dan saudara-saudaranya bersembunyi
dengan diam-diam. "Itu kan tak mungkin!" Terdengar suara Ibu Stick membantah. "Anak-anak itu
pulang ke rumah mereka! Kita melihat sendiri waktu mereka pergi ke stasiun,
disertai anjing mereka. Ah, kurasa itu seekor anjing yang ditinggal di sini oleh
salah seorang pelancong."
"Tapi di mana dia sekarang?" Suara serak yang bertanya itu berasal dari Pak
Stick. "Kenapa tidak kelihatan lagi?"
"Menghilang ke dalam tanah," ujar Edgar dengan suara heran.
Pak Stick mendengus, seolah-olah mencemooh.
"Kau memang pintar mendongeng," ujarnya. "Macam-macam saja, menghilang ke dalam
tanah! Kurasa anjing tadi terjatuh dari tebing ini. Kasihan si Abu! Ia luka-luka
digigit anjing itu. Sungguh, kalau kulihat anjing itu muncul lagi, pasti akan
kutembak!" "Barangkali ia bersembunyi di salah satu sudut tebing ini," kata Ibu Stick.
"Kita cari dia!"
Anak-anak dalam gua tak ada yang berani bergerak sedikit pun. George memegang
kalung leher Tim erat-erat. Dari langkah-langkah kaki di atas mereka, anak-anak
itu tahu bahwa keluarga Stick sudah dekat sekali. Julian sudah menunggu-nunggu
saat salah seorang dari ketiga orang itu terperosok ke dalam lubang gua!
Tetapi untung, mereka tak sampai menemukan lubang yang menuju ke dalam gua.
Walau begitu berdirinya sudah dekat sekali, ketika keluarga itu mempercakapkan
peristiwa yang bagi mereka aneh.
"Kalau anjing tadi memang kepunyaan anak-anak, maka tentunya mereka bukan pulang
ke rumah, melainkan pergi ke mari," kata Ibu Stick. "Rencana kita akan terganggu
karenanya. Jadi kita harus memeriksa dengan seksama. Sebelum kuketahui dengan
jelas, aku tidak bisa merasa tenang."
"Kau tak perlu khawatir," ujar Pak Stick. "Sebentar lagi kita akan berhasil
mengetahuinya dengan jelas. Kalau mereka benar ada di sini, maka pasti perahu
mereka tersimpan di salah satu tempat. Dan mereka pun akan kita temukan!
Mustahil empat orang anak, seekor anjing dan sebuah perahu tak berhasil
ditemukan di pulau sekecil ini! Clara, kau mencari sekeliling puri. Mungkin
mereka bersembunyi di balik reruntuhan. Aku akan mencari sekitar sini!"
Anak-anak meringkuk dalam gua mereka. Mudah-mudahan saja perahu mereka tak
ketahuan! Mudah-mudahan saja keluarga Stick tak bisa menemukan jejak mereka! Tim
menggeram-geram pelan. Ia sudah tak tahan lagi, ingin lari ke luar dan mencari
si Bau! Puas rasanya bisa menggigit kuping anjing itu.
Edgar mencari dengan takut-takut. Ia ngeri berjumpa dengan anak-anak, dan lebih
ngeri lagi apabila sampai berhadapan dengan Tim. Karena itu ia mencari dengan
segan-segan. Ia turun ke teluk kecil tempat perahu anak-anak disembunyikan.
Walau dilihatnya jejak bekas perahu diseret di atas pasir, yang masih nampak
sedikit meski telah disapu air pasang naik, tetapi ia tak melihat haluan perahu
yang menonjol dari balik batu. Haluan itu ditutupi dengan rumput laut.
"Tak ada apa-apa di sini!" serunya pada ibunya. Saat itu Ibu Stick sedang
berkeliaran sekitar puri, memeriksa setiap sudut dan celah yang ada. Tetapi ia
pun tak menemukan apa-apa. Pak Stick sama saja nasibnya. Ia pun tak berhasil
menemukan jejak anak-anak.
"Rupanya bukan anjing anak-anak itu," kata Pak Stick pada akhirnya. "Kalau
anjing itu kepunyaan mereka, maka anak-anak itu pun mesti ada di sini dengan
perahu mereka. Tapi kita tak berhasil menemukan apa-apa. Kurasa yang tadi itu
seekor anjing liar. Walau begitu kita harus hati-hati terhadapnya."
Setelah menunggu dengan tegang selama satu jam, akhirnya ketegangan anak-anak
mengendur. Menurut perkiraan mereka, keluarga Stick pasti tak mencari lagi.
Mereka mendidihkan air dalam ceret, lalu membuat minuman teh. Anne mempersiapkan
hidangan roti. Tim diikat, agar ia tak ke luar lagi karena ingin mencari si Bau.
Anak-anak makan dan minum dengan tenang. Kalau bicara pun, hanya berbisik-bisik.
"Rupanya keluarga Stick ke mari bukan mencari kita," bisik Julian, "Dari
percakapan mereka tadi, sudah jelas mereka mengira kita pulang ke rumah naik
kereta api. Sedang George dan Tim kita ajak serta."
"Kalau begitu untuk apa mereka ke mari?" tanya George dengan galak. "Ini pulau
kita! Mereka tak berhak ke mari. Ayoh, kita usir mereka. Ketiga-tiganya takut
pada Tim! Kita ajak dia. Kalau mereka tak mau pergi, kita suruh Tim mengejar."
"Jangan, George," kata Julian. "Pakailah otakmu! Jangan sampai mereka mengadu
pada ayahmu bahwa kita ada di sini. Nanti dia marah, lalu kembali dan menyuruh
kita pulang dengan segera. Selain itu - aku juga mempunyai dugaan lain."
"Apa?" tanya saudara-saudaranya dengan segera. Mereka melihat mata Julian
bersinar-sinar, seperti biasanya kalau sedang mendapat ide.
"Yah," ujar Julian sambil berpikir, "tidak mungkinkah keluarga Stick ada sangkut
pautnya dengan para penyelundup" Mungkin saja, bukan - mereka ke mari untuk
menjemput barang-barang selundupan, atau menyembunyikannya sambil menunggu saat
Selamat Datang Dirumah Mati 1 Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang Pusaka Jala Kawalerang 1
panci yang berkelontang-kelanting di dapur jelaslah bahwa Ibu Stick mulai sibuk
menyiapkan hidangan makan malam untuk mereka. Julian nyengir sendiri
mendengarnya. Anak-anak meneruskan permainan kartu mereka.
Hidangan makan malam tak sehebat malam sebelumnya, tetapi lumayanlah. Hidangan
itu terdiri dari daging babi dingin, keju dan sepotong puding susu. Bahkan untuk
Tim juga tersedia sepiring daging rebus. George memandangnya dengan curiga.
"Singkirkan daging itu," katanya pada Ibu Stick. "Pasti telah diracuni lagi.
Bawa pergi!" "Jangan, biarkan saja di sini," bantah Julian. "Besok aku akan membawanya ke
ahli obat di desa. Aku hendak minta tolong padanya untuk meneliti daging itu.
Kalau benar dibubuhi racun seperti yang dikatakan oleh George, kurasa ahli obat
itu akan bisa banyak bercerita pada kita."
Tanpa mengatakan apa-apa, piring berisi daging itu dibawa pergi lagi oleh Ibu
Stick. "Perempuan jahat!" kata George sambil meraih Tim ke dekatnya. "Aku benci sekali
padanya. Aku takut Tim akan mengalami celaka!"
Kejadian itu merusak suasana yang semula agak nyaman. Ketika hari mulai gelap,
anak-anak merasa mengantuk.
"Pukul sepuluh," ujar Julian. Saat itu musim panas, jadi matahari baru terbenam
larut malam. "Kurasa sudah waktunya masuk tidur bagi kita semua. Kalau Anne,
sebenarnya sudah sedari tadi harus tidur. Ia masih terlalu kecil, jadi belum
boleh bergadang sampai selarut ini."
"He!" seru Anne tersinggung. "Umurku kan hampir sama dengan George" Kan bukan
salahku, aku lebih muda?"
"Ya, ya - sudahlah," kata Julian sambil tertawa geli. "Jangan khawatir, aku
takkan menyuruhmu pergi tidur sendirian. Selama keluarga Stick berkeliaran di
sini, kita harus selalu bersama-sama. Ayohlah, kita tidur saja sekarang!"
Anak-anak sudah sangat capek. Seharian mereka berenang, jalan-jalan dan
berdayung. Julian sebenarnya masih ingin belum tidur, tetapi rasa mengantuk
lebih berkuasa. Tak lama kemudian ia pun terlelap.
Tetapi tengah malam ia sekonyong-konyong terbangun. Menurut perasaannya, ia
mendengar bunyi sesuatu. Tetapi rumah itu sepi. Kalau begitu, apakah yang
didengarnya tadi" Mungkinkah salah seorang dari keluarga Stick sedang menyelinap
dekat kamar mereka" Tidak mungkin - karena pasti Tim akan sudah ribut
menggonggong. Kalau begitu apa" Pasti ada sesuatu yang membangunkannya tadi.
"Mudah-mudahan bukan George, yang sedang melakukan sesuatu yang berhubungan
dengan rencananya!" pikir Julian sekonyong-konyong. Ia duduk, lalu meraba-raba
mencari mantel kamarnya. Begitu didapat, langsung dikenakan. Tanpa membangunkan
Dick lagi, ia menyelinap ke kamar anak-anak perempuan. Sesampai di situ
dinyalakannya senter, untuk melihat apakah semuanya beres di dalam.
Anne nampak tidur nyenyak di tempat tidurnya. Tetapi tempat tidur George kosong.
Pakaian anak itu juga tak ada di tempat biasanya!
"Sialan!" gumam Julian jengkel. "Ke mana lagi anak itu" Kurasa pasti ia minggat,
hendak mencari ibunya."
Cahaya senternya menerangi sebuah sampul surat yang disematkan ke sarung bantal
George. Julian berjingkat-jingkat ke situ.
Pada sampul nampak tertulis namanya dengan huruf-huruf besar. "JULIAN". Dengan
segera Julian membuka sampul, lalu membaca surat yang terselip di dalamnya.
Julian, Jangan marah padaku, ya! Aku tak berani lebih lama lagi tinggal di Pondok
Kirrin. Aku takut, jangan-jangan Tim diracuni oleh keluarga Stick. Kau tahu aku
akan sedih sekali kalau hal itu sampai terjadi. Karenanya aku memutuskan untuk
tinggal seorang diri di pulau kita, sampai Ayah dan Ibu kembali. Dan karena aku
pergi, kalian bertiga juga harus pulang ke rumah orang tua kalian. Tapi
sebelumnya tolong tinggalkan sepucuk surat untuk ayahku. Tulis padanya agar
menyuruh Jim berlayar ke dekat Pulau Kirrin dengan bendera merah berkibar di
atas tiang, begitu orang tuaku kembali ke rumah. Dengan begitu aku tahu kapan
aku sudah bisa kembali lagi ke rumah. Benar ya! Kalian harus pulang, karena tak
ada gunanya lagi tetap tinggal di Pondok Kirrin bersama keluarga Stick.
Salam, George Julian membaca surat itu dengan seksama.
"Kenapa aku tidak sampai menduga bahwa itulah rencananya!" katanya pada diri
sendiri. "Karena itu rupanya kami tidak diikutsertakan. Ia ingin minggat
sendirian, bersama Tim. Tak boleh kubiarkan dia melaksanakan niatnya itu. Ia tak
bisa tinggal sendiri di Pulau Kirrin selama itu. Ia bisa jatuh sakit di sana.
Atau terpeleset dari sebongkah batu licin, lalu cedera! Dan tak seorang pun yang
tahu sehingga bisa menolong!"
Julian benar-benar prihatin mengingat anak perempuan yang bertekat kuat itu.
Sesaat ia bingung, tak tahu apa yang harus dikerjakan. Bunyi yang
membangunkannya tadi, mestinya disebabkan oleh George. Kalau begitu, mestinya ia
belum jauh. Kalau ia cepat-cepat mengejar ke pantai, mungkin saja George masih
belum berangkat. Jadi ia bisa mencegahnya.
Tanpa mengenakan pakaian luar lagi ia lari menyusur jalan kebun, keluar pintu
pagar lalu membelok ke jalan yang menuju ke pantai. Hujan sudah berhenti.
Bintang-bintang berkelap-kelip di langit yang gelap.
"Bagaimana George bisa menemukan jalan di antara batu-batu karang di malam
segelap ini?" keluh Julian dalam hati. "Anak itu sudah edan! Terbentur nanti
perahunya ke batu runcing, lalu karam!"
Julian berlari kencang dalam kegelapan sambil ngomong pada dirinya sendiri.
"Pantas ia menginginkan baterai baru untuk senternya, serta korek api! Kurasa
spiritus yang dibelinya adalah untuk kompor kecilnya! Kenapa ia tak mau
bercerita" Kan asyik, apabila kita pergi semua bersama-sama!"
Julian sampai di pantai. Dilihatnya cahaya senter di tempat George menaruh
perahunya. Julian lari ke situ. Langkahnya agak berat, karena saban kali kakinya
terbenam dalam pasir basah.
"George! Goblok!" seru Julian. "Kau tak boleh pergi sendiri di malam buta
seperti ini!" Saat itu George sedang sibuk mendorong perahunya ke air. Ia kaget ketika
mendengar suara Julian berseru-seru.
"Kau tak bisa menghalang-halangi aku lagi!" balasnya. "Aku sudah berada di air!"
Tetapi Julian sempat menyambar tepi perahu, walau untuk itu ia terpaksa masuk ke
air sampai pinggang. "George! Dengarlah sebentar!" katanya. "Kau tak boleh berangkat, nanti perahumu
membentur batu. Kembalilah!"
"Tidak!" jawab George ketus. "Kalian bisa pulang saja ke rumah kalian, Julian.
Aku bisa mengurus diriku sendiri! Lepaskan perahuku!"
"George! Kenapa tak kauceritakan padaku tentang rencanamu?" kata Julian lagi.
Nyaris saja ia terpental kena pukul ombak. "Wah ombak ini gawat! Aku terpaksa
naik ke perahu." Julian naik ke perahu. Ia tak bisa melihat wajah George dalam gelap. Tetapi ia
merasa pasti, anak itu menatapnya dengan mata melotot karena marah.
"Kau merusak rencanaku," ujar George dengan suara agak serak.
"Tidak, Goblok!" bantah Julian dengan suara lembut. "Dengarlah baik-baik!
Sekarang kau ikut aku, kembali ke Pondok Kirrin. Aku sungguh-sungguh berjanji
padamu - besok kita semua pergi ke Pulau. Nah, bagaimana" Kita berlima ke sana
semuanya. Kenapa tidak" Bukankah ibumu telah mengatakan bahwa kita boleh
menginap di sana seminggu! Di sana kita tidak bisa dirongrong lagi oleh keluarga
Stick yang jahat. Jadi maukah kau ikut kembali sekarang, lalu kita berangkat
bersama-sama besok?"
IX MALAM YANG MENDEBARKAN HATI
SESAAT tak terdengar jawaban. Hanya deburan ombak ke sisi perahu saja yang
kedengaran. Kemudian Julian menangkap suara George bicara dalam gelap. Nadanya
gembira! "Wah, Julian! Kau benar-benar mau ikut dengan aku" Sungguh" Aku khawatir aku
akan mengalami kerepotan nanti karena perbuatanku ini, karena Ayah mengatakan
aku harus tinggal di Pondok Kirrin sampai ia kembali. Dan kau tahu, ia tidak
senang jika perintahnya tak dipatuhi. Tapi aku tahu bahwa jika aku tetap di
Pondok Kirrin, kalian juga tak mau pergi. Aku tak mau kalian menderita sengsara
karena ulah keluarga Stick yang jahat itu. Karena itu aku memutuskan untuk
minggat saja! Tidak kusangka kalian mau ikut, karena nanti pasti akan kena
marah! Sama sekali tak terpikir olehku untuk bertanya dulu pada kalian."
"Kau ini kadang-kadang memang sangat tolol, George!" ujar Julian. "Seolah-olah
kami takut menghadapi kerepotan! Yang penting, kita bersama-sama bersatu padu!
Tentu saja kami mau ikut denganmu. Dan aku yang bertanggung jawab atas
minggatnya kita. Akan kita katakan bahwa akulah yang bersalah!"
"Tidak, tidak bisa," bantah George dengan segera. "Akan kukatakan bahwa ide ini
datang dari diriku. Kalau aku berbuat salah, aku juga tak takut mengakuinya. Itu
kan sudah kauketahui juga!"
"Sudahlah, kita jangan berdebat dulu tentang soal itu," kata Julian. "Nanti
kalau sudah di Pulau Kirrin, ada waktu paling sedikit satu minggu sampai sepuluh
hari untuk berdebat sepuas-puas kita. Yang penting sekarang, kita harus kembali
ke pantai. Sudah itu kita bangunkan Dick dan Anne, lalu berunding di tengah
malam tentang rencanamu itu. Kurasa ide ini benar-benar mengasyikkan!"
George merasa sangat gembira.
"Senang sekali rasanya aku saat ini," ujarnya. "He - mana dayung" Ah, ini dia!
Perahu kita ternyata hanyut dibawa arus."
George berdayung dengan cekatan, kembali ke pantai. Begitu sampai Julian segera
melompat ke luar, lalu menarik perahu ke atas dengan dibantu oleh George. Julian
menyorotkan cahaya senter ke dalam perahu. Ia berteriak kaget.
"Wah, lengkap betul perbekalanmu di sini," katanya. "Ada roti, daging, mentega
dan macam-macam lagi. Bagaimana caramu menyelundupkannya ke luar tadi, tanpa
ketahuan oleh Pak Stick" Kurasa kau mengambil ini semua dari sepen, ya?"
"Memang," jawab George mengakui. "Tapi di dapur tak ada orang. Mungkin malam ini
Pak Stick tidur di atas. Atau mungkin pula ia sudah kembali ke kapalnya.
Pokoknya waktu aku menyelinap turun, di dapur tak ada siapa-siapa. Bahkan si Bau
pun tak ada di situ."
"Kita tinggalkan saja semuanya di sini," kata Julian. "Masukkan ke bawah tempat
duduk itu lalu tutup kembali. Takkan ada orang menduga di situ ada barang. Masih
banyak lagi yang harus kita angkut, apabila kita hendak tinggal di Pulau. Wah,
ini benar-benar mengasyikkan!"
Anak-anak kembali ke rumah. Keduanya merasa asyik dan bergairah. Mantel kamar
Julian yang basah menampar-nampar kakinya. Karena itu dijunjungnya tinggi-
tinggi, supaya tak merintangi langkah. Tim menari-nari mengelilingi mereka.
Kelihatannya sama sekali tak heran mengalami kejadian-kejadian di malam buta
itu. Begitu sampai di tingkat atas, dengan segera mereka membangunkan Dick dan Anne.
Kedua anak itu hanya bisa tercengang-cengang saja mendengar cerita tentang
kejadian-kejadian yang baru saja lewat. Anne begitu bergairah membayangkan bahwa
mereka akan tinggal di Pulau Kirrin, sehingga ia lupa berbisik,
"Aduh, alangkah asyiknya nanti! Wah, menurut perasaanku...."
"Diam!" Terdengar tiga suara sekaligus, berbisik dengan nada marah.
"Kaubangunkan keluarga Stick dengan teriakanmu!"
"Maaf," bisik Anne. "Tapi ini memang benar-benar mengasyikkan!"
Anak-anak mulai berunding tentang rencana mereka besok.
"Apabila kita hendak pergi selama satu minggu sampai sepuluh hari, maka harus
banyak perbekalan yang kita bawa," kata Julian. "Soalnya sekarang - bisakah kita
mendapat makanan yang mencukupi untuk waktu sebegitu lama" Walau sepen kita
angkut isinya sampai kosong melompong, aku ragu-ragu apakah mencukupi untuk
makan kita selama seminggu lebih. Kita ini kan makannya banyak semua."
Tiba-tiba George teringat pada sesuatu.
"Julian!" katanya berbisik. "Aku tahu apa yang harus kita lakukan! Dalam kamar
Ibu ada sebuah lemari yang dipakainya untuk menyimpan persediaan makanan. Di
situ ada berlusin-lusin makanan dalam kaleng, sebagai cadangan kalau salju turun
terlalu lebat dan kami tak bisa turun ke desa. Rumah ini sudah pernah terkurung
salju bertumpuk-tumpuk. Dan aku tahu di mana Ibu menyimpan kuncinya! Bagaimana
kalau lemari itu di buka, dan kita ambil beberapa kaleng makanan?"
"Tentu saja!" ujar Julian bergirang hati. "Aku tahu, Bibi Fanny pasti tak
berkeberatan. Lagipula kita juga bisa menyusun daftar makanan yang kita ambil.
Jadi kalau Bibi ternyata berkeberatan, bisa kita ganti nanti. Tak lama lagi aku
akan berulang tahun, dan aku yakin saat itu aku akan menerima uang."
"Mana kuncinya?" bisik Dick.
"Kita masuk saja sekarang ke kamar Ibu," jawab George. "Akan kutunjukkan di mana
kunci itu disimpan. Mudah-mudahan saja tidak dibawa oleh Ibu."
Tetapi sewaktu pergi dari rumah, ibunya sakit keras. Jadi tak sempat lagi
mengingat kunci lemari itu. George merogoh ke sebelah belakang sebuah laci meja
hias, lalu mengeluarkan dua atau tiga anak kunci yang digabungkan dengan seutas
tali. Dicobanya anak kunci yang satu, kemudian yang berikutnya ke dalam lubang
kunci lemari yang masuk dalam dinding. Ternyata anak kunci kedua pas.
Julian menyorotkan cahaya senternya ke dalam lemari. Tempat itu penuh dengan
makanan dalam kaleng, yang tersusun rapi di atas rak-rak.
"Astaga!" ujar Dick dengan mata berkilat-kilat. "Sup - daging - buah-buahan -
susu - sarden - mentega - biskuit - sayur mayur! Segala-galanya yang kita
perlukan tersedia di sini!"
"Ya," sambut Julian senang. "Persediaan di sini benar-benar lengkap. Kita akan
membawa sebanyak kemampuan kita. George, tahukah engkau apakah di sini ada
karung?" Tak lama kemudian kaleng-kaleng makanan yang hendak mereka bawa serta telah
dimasukkan ke dalam dua buah karung. Pintu lemari ditutup, lalu dikunci kembali.
Keempat anak itu menyelinap kembali ke kamar mereka.
"Nah! Soal makanan sudah beres," kata Julian. "Itu yang terpenting. Kita juga
akan menyikat sepen, serta mengangkut semua roti yang tersimpan di situ. Begitu
pula kue-kue! Bagaimana mengenai soal air, George" Di Pulau ada air?"
"Yah - kurasa dalam sumur tua masih ada," kata George sambil berpikir-pikir.
"Tapi kita tak bisa mengambilnya, karena tak ada ember atau tempat sejenis itu
untuk menimba. Dalam perahu ada air tawar sekaleng besar. Tapi karena sekarang
kalian semua ikut, kurasa lebih baik kita isi lagi dua atau tiga kaleng. Aku
tahu di mana kita bisa mendapat kaleng-kaleng itu. Keadaannya masih baru,
lagipula bersih." Beberapa kaleng mereka isi dengan air tawar. Sudah itu mereka masukkan dalam
karung-karung, siap untuk diangkut ke perahu. Benar-benar mengasyikkan pekerjaan
itu, karena dilakukan pada malam buta! Anne harus memaksa dirinya untuk tetap
berbisik. Sangat mengherankan bahwa Tim tidak menggonggong, karena ia pun bisa
merasakan suasana tegang dan asyik saat itu.
Dalam sepen ada sebuah kaleng yang penuh berisi kue-kue yang baru saja dibuat
oleh Ibu Stick. Kaleng itu pun ditambahkan ke tumpukan yang makin lama makin
besar di kebun. Mereka juga menemukan daging segumpal besar. George membuntalnya
dalam kain, lalu ditaruhnya ke tumpukan perbekalan. Diperingatkannya dengan
suara galak pada Tim, kalau dia berani mencium saja maka tidak akan diajak ikut!
"Aku mempunyai kompor kecil untuk memasak air, atau memanaskan makanan," bisik
George. "Barangnya sudah kutaruh dalam perahu. Untuk itulah kubeli spiritus. Kau
tak mengiranya, bukan" Sedang korek api kuperlukan untuk menyalakannya. He -
apakah kita tidak perlu membawa lilin" Kita tak bisa terus-menerus memakai
senter, karena dengan begitu baterainya akan cepat habis."
Mereka menemukan sebungkus lilin dalam lemari dapur. Kecuali itu mereka juga
mengangkut sebuah ceret, sebuah panci, seperangkat pisau, garpu dan sendok yang
sudah tua serta bermacam-macam barang lagi yang menurut perasaan mereka mungkin
akan diperlukan nanti. Anak-anak juga menemukan sejumlah minuman air jahe dalam
botol-botol kecil. Rupanya disimpan oleh keluarga Stick untuk diminum sendiri!
"Semua dibeli dengan uang ibuku!" ujar George. "Minuman ini kita bawa juga.
Pasti nikmat meminumnya pada saat hari panas."
"Waktu malam kita akan tidur di mana?" tanya Julian. "Apakah dalam puri yang
runtuh, di mana tinggal satu kamar saja lagi yang utuh - jadi beratap dan
berdinding?" "Memang aku bermaksud hendak tidur di situ," kata George. "Aku berniat membuat
tempat tidur dari semak-semak kecil yang banyak tumbuh di sana, lalu ditutup
dengan beberapa lembar selimut yang sudah kutaruh dalam perahu."
"Kita akan membawa semua selimut yang bisa kita temukan," kata Julian. "Dan juga
bantal-bantal kursi untuk pengalas kepala. Wah, ini benar-benar mengasyikkan.
Aku merasa seperti seorang tawanan yang sedang mempersiapkan diri untuk lari!
Pasti keluarga Stick akan tercengang, apabila tahu-tahu kita sudah tak ada
lagi." "O ya - kita harus memikirkan, apa yang akan kita katakan pada mereka," ujar
George. "Jangan sampai nanti mereka mengirim orang ke Pulau, untuk menyuruh kita
kembali. Mereka tak boleh tahu bahwa kita ke sana."
"Soal itu kita bicarakan nanti saja," jawab Dick. "Yang penting sekarang adalah
membawa semuanya ini ke perahu, sementara hari masih gelap. Sebentar lagi fajar
akan menyingsing."
Lima Sekawan Minggat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana cara kita mengangkut segala-galanya ini ke perahu George?" tanya
Anne, sambil menyoroti tumpukan perbekalan yang tidak sedikit jumlahnya itu
dengan senternya. "Kita takkan mungkin mengangkutnya sekaligus!"
Tumpukan itu memang besar sekali. Dan seperti biasanya, kemudian Julian mendapat
gagasan. "Di gudang ada gerobak dorong?" tanyanya pada George. "Jika barang-barang ini
kita masukkan ke dalam beberapa buah gerobak, kita akan bisa mengangkut semuanya
sekali jalan. Gerobak kita sorong di sisi jalan yang berpasir, supaya tak
kedengaran bunyinya."
"Bagus idemu itu!" kata George girang. "Kenapa tak terpikir olehku sebelumnya!
Waktu aku mengangkut barang-barangku ke perahu, aku harus pulang balik sampai
lima kali. Dalam gudang ada dua gerobak dorong. Kita ambil saja sekarang juga.
Yang satu rodanya agak berdecit-decit. Tapi mudah-mudahan saja tak kedengaran."
Si Bau yang tidur di pojok kamar Ibu Stick mendengar bunyi itu. Anjing itu
menggeram pelan, sambil meruncingkan telinga ke atas. Tetapi ia tak berani
menggonggong, karena takut akan membangunkan Tim. Tetapi Ibu Stick tak mendengar
geramannya, karena tidurnya nyenyak sekali. Jadi ia sama sekali tak tahu-menahu
tentang kesibukan yang sedang berlangsung di bawah.
Barang-barang perbekalan itu dimasukkan semua ke perahu. Anak-anak enggan
meninggalkannya tanpa penjagaan. Karena itu akhirnya mereka mengambil keputusan
untuk meninggalkan Dick di situ. Ia bisa tidur di perahu dengan beralaskan
selimut, Sebelum berangkat kembali, mereka masih berpikir-pikir sebentar.
"Mudah-mudahan tak ada yang kita lupakan lagi," kata George sambil mengerutkan
kening. "Astaga! Aku tahu - kita lupa membawa alat pembuka kaleng dan botol."
"Nanti saja kita cari kalau sudah sampai di rumah, lalu kita kantongi," ujar
Julian. "Kalau tak salah, aku pernah melihat ada beberapa buah dalam laci bupet.
Nah - selamat tinggal, Dick. Pagi-pagi sekali kami akan ke mari lagi, lalu
langsung berangkat. Kita masih memerlukan roti beberapa batang lagi, karena yang
ada saat ini pasti tidak mencukupi. Nanti begitu tukang roti buka, kita
membelinya. Kecuali itu kita juga harus ke tukang daging, kalau-kalau dia punya
sepotong tulang besar untuk Tim. George juga sudah menyediakan sekantong biskuit
makanan anjing untuknya."
Ketiga anak itu kembali ke Pondok Kirrin bersama Tim. Dick ditinggal dalam
perahu. Ia berbaring di atas selimut-selimut. Enak juga kelihatannya! Tak lama
kemudian ia sudah terlelap. Mukanya menatap ke atas, ke arah bintang-bintang
yang tak lama lagi akan pudar.
George, Julian dan Anne berjalan pulang sambil merundingkan apa yang hendak
dikatakan pada Ibu Stick.
"Kurasa sebaiknya kita tidak bilang apa-apa," ujar Julian pada akhirnya. "Aku
tak mau berbohong dengan sengaja, tetapi aku pun tak ingin mengatakan yang
sebenarnya. Aku tahu apa yang bisa kita lakukan! Ada satu kereta yang berangkat
dari stasiun Kirrin pukul delapan pagi. Kereta itulah yang akan kami tumpangi
kalau pulang ke rumah orang tua kami. Sekarang kita cari buku perjalanan kereta,
lalu kita letakkan di atas meja kamar makan dalam keadaan terbuka. Jadi seolah-
olah kita sebelum sudah mencari kereta api yang akan kita tumpangi. Sudah itu
kita pergi lewat rawa-rawa di belakang rumah, seolah-olah hendak menuju ke
stasiun." "O ya! Dengan begitu keluarga Stick akan mengira bahwa kita minggat! Mereka akan
mengira bahwa kita pulang ke rumah kita sendiri," kata Anne. "Mereka takkan
menyangka bahwa sebenarnya kita berada di Pulau Kirrin."
"Ide itu bagus," kata George senang. "Tapi bagaimana cara kita bisa mengetahui
kalau ayah dan ibuku sudah kembali?"
"Tidak adakah salah seorang kenalanmu, yang bisa benar-benar kaupercayai - pada
siapa bisa dititipkan pesan?" tanya Julian,
George berpikir sebentar.
"Ah ya - Alf," katanya kemudian. "Dia seorang anak nelayan, yang dulu mengurus
Tim ketika aku tak diperbolehkan memeliharanya di rumah. Aku tahu, ia pasti
tidak membocorkan rahasia kita."
"Kalau begitu kita mampir dulu di rumah Alf sebelum berangkat," kata Julian.
"Nah, sekarang kita mencari buku jadwal perjalanan kereta api. Buku itu kita
buka pada halaman yang tepat, lalu diletakkan dalam keadaan terbuka di atas
meja." Sesudah buku berhasil mereka temukan, dicari halaman yang dimaksud. Keterangan
waktu berangkat kereta api yang pura-pura hendak mereka tumpangi, oleh anak-anak
diberi tanda berupa garis tebal di bawahnya. Biar keluarga Stick mengira mereka
minggat naik kereta itu. Sesudah itu anak-anak mencari alat pembuka kaleng dan
botol, lalu dimasukkan dalam kantong. Julian juga menemukan korek api beberapa
kotak lagi. Menurut pendapatnya, dua kotak saja pasti tidak cukup.
Sementara itu fajar sudah menyingsing. Cahaya matahari pagi menerangi rumah.
"Bagaimana ya - apakah tukang roti sudah buka?" kata Julian. "Sebaiknya kita
pergi saja melihat ke sana. Sekarang sudah sekitar pukul enam pagi."
Mereka pergi ke tukang roti. Tokonya belum buka, tetapi roti sudah siap untuk
dijual. Tukang roti itu sedang duduk-duduk sambil menjemur badan di luar. Sejak
tengah malam ia sibuk membuat roti, supaya siap untuk dijual pagi hari. Melihat
anak-anak datang, ia tersenyum.
"Nah! Pagi benar kalian bangun hari ini," sapanya. "Apa" Berapa batang roti yang
hendak kalian beli" Enam!" Astaga, untuk apa roti sebanyak itu?"
"Tentu saja untuk dimakan," jawab Julian sambil nyengir. Dibayarnya harga
pembelian enam batang roti yang panjang-panjang. Sudah itu anak-anak mendatangi
tukang daging. Tokonya juga belum buka. Tukang daging mereka jumpai sedang
menyapu trotoar di depan toko.
"Bisakah kami membeli sebongkah tulang besar, untuk dimakan oleh Tim?" minta
George. Tukang daging memberi sebongkah yang besar sekali! Tim memandang tulang
itu dengan air liur bertetesan. Wah, tulang sebesar itu pasti mencukupi untuk
beberapa hari! Anak-anak pergi ke perahu mereka.
"Barang-barang perbekalan ini kita simpan di perahu, lalu kita kembali lagi ke
rumah. Sampai di sana kita ribut-ribut, supaya keluarga Stick mengetahui bahwa
kita ada di rumah. Sudah itu kita ke luar dan berjalan lewat rawa. Mudah-mudahan
saja mereka akan menyangka bahwa kita menuju ke stasiun, dan hendak pergi dengan
kereta api." Sesampai di perahu, nampak Dick masih tidur nyenyak. Setelah anak-anak
membangunkannya, roti dan tulang dimasukkan ke dalam perahu.
"Dick, perahu ini harus kaubawa ke teluk kecil yang terdapat dekat sini," ujar
George. "Bisa, kan" Di sana kita tidak akan bisa dilihat oleh orang yang
kebetulan ada di pantai. Para nelayan sudah turun ke laut semuanya. Jadi kalau
kita berangkat satu jam lagi, tak ada orang yang akan melihat."
Anak-anak kembali ke rumah sambil menyelinap. Sesampai di atas, mereka lalu
hingar-bingar. Seolah-olah saat itu baru bangun. George bersuit keras memanggil
Tim, sedang Julian bernyanyi-nyanyi. Kemudian mereka ke luar sambil menutup
pintu keras-keras. Mereka menuju ke rawa, melalui jalan yang nampak jelas dari
jendela dapur. "Mudah-mudahan mereka tak menyadari bahwa Dick tidak bersama kita," kata Julian
sambil melirik ke arah jendela dapur. Dilihatnya Edgar memandang ke arah mereka.
"Barangkali saja mereka mengira bahwa dia sudah berjalan lebih dulu."
Mereka berjalan terus ke arah stasiun. Tetapi begitu sampai di suatu bagian yang
agak melekuk dan tak mungkin terlihat dari Pondok Kirrin, mereka menyimpang ke
arah pantai. Mereka mengambil jalan menuju teluk kecil, di mana Dick sudah
menunggu dengan perahu. "Ahoy!" seru Julian, menirukan gaya pelaut. "Petualangan kita akan segera
dimulai!" X PULAU KIRRIN! MEREKA bergegas masuk ke dalam perahu. Tim melompat dengan lincah. Dengan segera
anjing itu menuju ke haluan, tempatnya biasa berdiri. Lidahnya yang merah
terjulur ke luar. Hatinya berdebar-debar gembira. Ia sadar bahwa anak-anak akan
mengadakan petualangan - dan ia diajak serta! Jadi tidaklah mengherankan kalau
ekornya dikibaskan kian ke mari, seolah-olah pernyataan ikut bergembira.
"Kita berangkat!" seru Julian sambil meraih dayung. "Kau menggeser sedikit ke
sebelah sana, Anne! Perbekalan kita menyebabkan perahu berat sebelah. Dick - kau
duduk di samping Anne, supaya perahu lebih seimbang. Ya, betul. Sekarang kita
berangkat!" Perahu bergerak ke tengah teluk, terayun-ayun di atas ombak. Laut sebenarnya
tenang, tetapi angin laut bertiup. Terasa rambut mereka terbang dipermainkan
angin. Ombak memercik ke tepi perahu, menimbulkan bunyi bergeleguk yang enak
didengar telinga. Keempat anak itu merasa sangat berbahagia. Mulai saat itu
mereka bebas, terlepas dari gangguan keluarga Stick yang jahil. Mereka akan
berkelana di Pulau Kirrin, hidup bebas bersama kelinci, burung-burung gagak dan
camar. "Enak ya, bau roti yang masih hangat ini," kata Dick. Seperti biasa, perutnya
sudah terasa sangat lapar. "Bagaimana kalau kita makan sedikit?"
"Ayohlah," kata George. Kerak roti hangat yang berwarna kecoklatan itu direkah
oleh mereka, lalu diberikan sepotong pada Julian yang sedang sibuk berdayung.
Anak-anak mengunyah roti segar itu dengan nikmat. Tim juga kebagian. Tetapi
potongan rotinya dengan segera lenyap, begitu sampai dalam moncongnya.
"Tim ini aneh," kata Anne sambil memperhatikan. "Dia kalau makan tidak seperti
kita, mengunyah dulu baru ditelan. Ia makan seperti minum! Begitu makanan masuk
ke moncong, langsung ditelan. Seperti air saja!"
Anak-anak tertawa mendengar komentarnya yang lucu itu.
"Tapi kalau tulang, tak mungkin langsung ditelan," kata George. "Kalau dia
diberi sepotong tulang - bisa berjam-jam mengunyahnya. Bukankah begitu, Tim?"
Tim menggonggong, seolah-olah menyetujui ucapan tuannya. Matanya yang besar
melirik ke tempat tulang besar tersimpan. Rupanya ia kepingin memakannya saat
itu juga. Tentu saja anak-anak tak memberinya. Mereka khawatir tulang besar itu
akan terlempar dari perahu dan tercemplung dalam air. Kan sayang!
"Kurasa tak ada orang melihat kita pergi tadi," kata Julian. "Tentu saja kecuali
Alf! Padanya kami bercerita mengenai rencana hendak pergi ke Pulau, Dick! Tapi
cuma pada dia saja!"
Dalam perjalanan mereka dari Pondok Kirrin ke teluk kecil, mereka mampir
sebentar di rumah Alf. Anak nelayan itu sedang seorang diri di pekarangan
belakang rumah orang tuanya. Ia menganggukkan kepala ketika anak-anak selesai
menceritakan niat mereka. Ia berjanji takkan mengatakan pada siapa-siapa.
Kelihatannya bangga, karena dijadikan orang kepercayaan.
"Kau harus memberi tahu kami, jika ayah dan ibuku sudah kembali," kata George.
"Berlayarlah ke dekat Pulau Kirrin seberanimu, lalu panggil kami."
"Baiklah, aku berjanji," kata Alf. Ia merasa ingin ikut bertualang dengan ketiga
anak itu. "Jadi kalau Bibi Fanny ternyata pulang lebih dulu dari yang kita perkirakan,
maka kita akan mengetahuinya dengan segera," kata Julian pada Dick yang sedari
pagi menjaga perahu. "Dengan begitu kita bisa cepat-cepat kembali. Kurasa
perencanaan kita betul-betul matang."
"Betul," jawab Dick. Ia memalingkan tubuh, memandang Pulau Kirrin yang nampak
makin lama makin dekat. "Sebentar lagi kita akan sudah sampai. Apakah tidak
lebih baik George menggantikan berdayung, untuk mengemudikan perahu kita ini
melewati rintangan batu-batu karang?"
"Ya," kata George. "Sekarang kita sampai pada bagian yang sukar. Perahu harus
dikemudikan di sela-sela batu yang bertonjolan di air. Kemarikan dayungnya,
Julian." Sekarang George yang mendayung. Julian dan kedua adiknya memandang kagum,
sementara anak itu mengayuhkan perahu dengan cekatan di sela-sela batu yang
terbenam dalam air. Anak itu memang pintar berdayung. Mereka merasa aman
bersamanya. Perahu mereka memasuki teluk kecil yang tersembunyi. Tempat itu merupakan
pelabuhan alam. Di ujungnya terdapat sepotong pantai berpasir. Di kanan kirinya
tebing batu yang menjulang tinggi. Begitu sampai, anak-anak bergegas turun dari
perahu. Empat pasang tangan dengan cekatan dan gembira menarik perahu ke atas
pasir. "Lebih tinggi lagi," kata George dengan napas terengah-engah. "Kalian kan tahu,
di sini kadang-kadang terjadi badai dengan tiba-tiba. Kita harus menjamin
keamanan letak perahu, biar betapa tinggi ombak yang menyambar ke pantai."
Tak lama kemudian perahu sudah terbaring miring, jauh ke atas pantai. Anak-anak
terduduk. Napas mereka terengah-engah, karena habis bekerja berat.
"Kita sarapan di sini saja," kata Julian. "Saat ini aku malas menurunkan
perbekalan kita yang berat. Kita ambil seperlunya, lalu sarapan di atas pasir
yang hangat ini." Mereka mengambil roti sebatang, sedikit daging dingin, beberapa biji tomat dan
selai satu botol. Anne mengurus penyediaan tempat dan alat makan. Julian membuka
dua botol air jahe. "Sarapan kita kali ini aneh," katanya sambil menaruh kedua botol itu di atas
pasir. "Tapi bagi orang selapar kita, benar-benar nikmat!"
Semua mereka sikat habis. Hanya roti saja yang masih tersisa, sebanyak sepertiga
potong. Tim diberi tulangnya, beserta beberapa potong biskuit makanannya.
Biskuit langsung ditelan, lalu ia berbaring dengan santai untuk mengunyah-
ngunyah tulang yang sedap.
"Enak hidup seperti Timmy, kalau makan tak perlu memakai piring, atau pisau dan
garpu," kata Anne. Anak itu berbaring menengadah, menikmati sinar matahari.
Perutnya sudah kenyang, rasanya tak mungkin masih ada makanan yang bisa masuk.
"Wah, kalau kita terus-terusan makan seperti begini di sini, rasanya aku tak
kepingin pulang lagi. Siapa akan mengira bahwa daging dan selai serta air jahe
bisa enak rasanya"!"
Tim merasa haus. Ia duduk dengan lidah terjulur ke luar. Ditunggunya sampai
George memberinya minum. Tim tidak suka minum air jahe!
George memandangnya dengan malas.
"Kau haus, Tim?" katanya. "Wah, rasanya malas sekali - aku tak sanggup berdiri!
Tunggu saja sebentar. Nanti aku akan ke perahu dan menuangkan sedikit air
untukmu." Tetapi Tim tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia pergi ke batu-batu yang
letaknya agak jauh dari tepi air. Ombak saat pasang tinggi sekalipun tak mungkin
sampai ke situ. Dalam salah satu lekuk ditemukan genangan air hujan, yang dengan
segera diminumnya. Anak-anak mendengar bunyinya menjilat-jilat dengan rakus.
Mereka tertawa. "Tim memang cerdik sekali," kata Anne setengah mengantuk. "Tak terpikir olehku
bahwa di tengah batu ada air!"
Anak-anak itu sedikit sekali tidurnya malam sebelumnya. Dan perut mereka saat
itu sangat kenyang. Karenanya tidaklah mengherankan kalau mereka mengantuk. Satu
per satu terlelap di atas pasir hangat. Tim memandang mereka dengan heran. Lob,
anak-anak tidur"! Kan saat itu belum malam! Ya, ya - kalau seekor anjing, kapan
saja pasti bisa tidur! Tim merebahkan diri di samping George, lalu memejamkan
mata. Ketika keempat anak itu terbangun, tahu-tahu matahari sudah tinggi. Julian yang
pertama membuka mata, disusul oleh Dick. Mereka kepanasan, karena matahari
bersinar terik. Mereka duduk sambil menguap lebar-lebar.
"Astaga!" seru Dick sambil memandang lengannya yang merah terbakar. "Kulitku
terbakar sinar matahari. Malam ini pasti akan terasa nyeri sekali. Kita berbekal
krem atau tidak, Julian?"
"Tidak! Tak ada yang mengingatnya," kata Julian. "Tapi biarlah. Sekarang ini
belum apa-apa! Sampai nanti sore, kulit kita akan semakin hangus terbakar. Sinar
matahari pasti akan panas sekali, karena di langit tak nampak awan barang
segumpal pun!" Mereka membangunkan George dan Anne. George menggeliat sebentar, lalu berkata,
"He! Kita di Pulau! Sesaat tadi kukira aku berbaring di tempat tidurku di Pondok
Kirrin!" "Enak ya - kita tinggal sendirian di sini sampai lama sekali, dengan makanan
enak bertumpuk-tumpuk! Kita bisa berbuat semau kita!" kata Anne dengan puas.
"Kurasa keluarga Stick pasti senang, karena kita tidak ada lagi di rumah," ujar
Dick. "Dan si Jerawat bisa bersantai-santai di kamar duduk, serta membaca semua
buku-buku kita." "Sedang si Bau bisa seenaknya berkeliaran dalam rumah, tanpa perlu takut akan
ditelan habis oleh Tim," kata George. "Yah, biar sajalah! Semuanya tak
kupedulikan lagi, karena aku sudah berhasil lari dari sana."
Enak rasanya berbaring-baring sambil mengobrol begitu. Tetapi Julian tak pernah
tahan beristirahat lama-lama. Hanya kalau sedang tidur saja ia tenang. Ia
bangkit sambil meregangkan otot-otot yang kaku.
"Ayoh, Pemalas!" katanya pada saudara-saudaranya. "Kita masih harus bekerja
lagi!" "Bekerja" Apa maksudmu?" tanya George dengan heran.
"Kita kan masih harus membongkar muatan perahu, dan menaruhkan perbekalan kita
di suatu tempat yang takkan basah apabila hari hujan," kata Julian. "Dan kita
juga harus menentukan dengan tepat di mana tempat kita tidur. Sudah itu
mengumpulkan semak-semak kecil yang akan dipakai sebagai alas tidur, lalu
membentangkan selimut-selimut tebal di atasnya. Pokoknya banyak sekali yang
Lima Sekawan Minggat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih harus kita lakukan!"
"Yaah - jangan sekarang dong!" keluh Anne. Ia enggan bangkit dari pembaringannya
yang nyaman di pasir. Tetapi saudara-saudaranya tak mau membiarkannya bermalas-
malas. Mereka menariknya supaya bangkit. Kemudian mereka bekerja berdampingan,
membongkar muatan perahu.
"Sekarang kita memeriksa keadaan puri," kata Julian. "Kita ke bilik batu, di
mana kita bermaksud akan tidur. Cuma ruangan itu saja yang masih utuh dalam
puri." Mereka naik ke atas bukit yang membatasi teluk kecil itu, melewati tebing batu
lalu berjalan menuju ke puri tua yang sudah meruntuh. Yang tinggal cuma
temboknya saja lagi, menjulang di tengah-tengah pulau kecil itu. Mereka berhenti
sebentar memandangnya. "Bagus sekali puri kuno ini," kata Dick. "Kita sungguh-sungguh mujur, karena
memiliki pulau dan puri! Bayangkan, semua ini milik kita!"
Pandangan mereka tertuju ke jenjang tua yang terdapat di belakang sebuah gerbang
besar yang sudah tak utuh lagi. Dulu puri itu mempunyai dua buah menara yang
bagus. Tetapi yang satu tinggal puing-puingnya saja. Sedang yang satu lagi masih
dapat dikatakan utuh, karena hanya bagian atasnya saja yang sudah runtuh.
Burung-burung yang sejenis gagak berkumpul di situ, berkaok-kaok dengan suara
membisingkan telinga. "Aku senang pada burung-burung itu," ujar Dick. "Tidak pernahkah mereka berhenti
berkaok-kaok?" "Kurasa tidak," jawab George, "He! Lihat kelinci-kelinci itu! Jinaknya bukan
main!" Di halaman puri banyak kelinci yang besar-besar. Kedatangan anak-anak mereka
perhatikan dengan rasa ingin tahu. Rasa-rasanya seperti mudah dipegang - tetapi
semakin dekat keempat anak itu, semakin waspada pula kelinci-kelinci. Satu per
satu pergi menyingkir. Tim sangat gelisah. Ekornya tak henti-hentinya dikibaskan kian ke mari. Aduh,
kelinci-kelinci ini! Kenapa ia tak diperbolehkan memburu" Kenapa George begitu
keras sikapnya" Kan kelinci-kelinci itu akan sehat, apabila disuruh berlatih
lari-lari sebentar" Tim mencari-cari alasan agar diperbolehkan mengejar.
Tetapi George memegang kalung lehernya erat-erat. Tim ditatapnya dengan garang.
"Tim, kau jangan berani-berani mengejar kelinci-kelinci itu! Bahkan yang paling
kecil pun, tidak boleh. Binatang-binatang itu semuanya kepunyaanku!"
"Kepunyaan kita!" ujar Anne dengan segera. Ia juga ingin ikut memiliki kelinci,
kecuali puri dan pulaunya.
"Ya, betul!" kata George. "Sekarang kita pergi saja memeriksa bilik gelap, yang
akan kita pakai sebagai tempat menginap!"
Mereka berjalan menuju ke bagian puri yang belum begitu rusak. Mereka sampai ke
ambang sebuah pintu, lalu memandang ke dalam.
"Ini dia tempatnya," ujar Julian sambil mengintip ke dalam ruangan yang gelap.
"Aku terpaksa menyalakan senter, karena ruangan di sini sangat gelap. Jendela-
jendelanya hanya berupa celah-celah sempit!"
Dengan diterangi cahaya senter, anak-anak memandang ruang bilik batu yang hendak
dipakai sebagai tempat penyimpanan perbekalan dan kamar tidur. Tiba-tiba George
berseru dengan keras. "Wah, kamar ini tidak bisa kita pakai lagi! Atapnya sudah runtuh."
Ternyata memang benar. Julian mengarahkan sorotan senternya ke setumpuk batu
yang berserakan di lantai. Bilik itu tak mungkin bisa dipakai lagi. Berbahaya,
karena batu-batu yang masih ada di atas bisa jatuh sewaktu-waktu.
"Sialan!" kata Julian. "Sekarang bagaimana" Kita harus mencari tempat lain!"
XI KE KAPAL RUSAK ANAK-ANAK sangat terkejut, karena rencana mereka mengalami gangguan. Mereka tahu
bahwa dalam puri itu tak ada lagi ruangan yang cukup utuh, dan bisa dipakai
sebagai tempat berteduh. Mereka harus mencari tempat lain! Saat itu hari memang
cerah. Tetapi mungkin hari berikut hujan akan turun - atau bahkan akan ada
badai! "Badai di sekitar sini dahsyat sekali," kata Julian. "Kau masih ingat pada angin
ribut yang sampai menjunjung bangkai kapalmu dari dasar laut, George?"
"Tentu saja!" jawab George dan Anne serempak. Anne menambahkan dengan
bersemangat. "Kalau sempat, kita ke sana, yuk! Aku kepingin melihat apakah
bangkai kapal itu masih tetap kandas di atas batu seperti setahun yang lalu,
ketika kita ke sana untuk memeriksa isinya!"
"Pertama-tama kita harus mengetahui di mana kita akan tidur," kata Julian tegas.
"Aku tak tahu apakah kalian menyadari bahwa saat ini sudah sekitar pukul tiga
sore! Kita tadi tidur berjam-jam di atas pasir. Kurasa karena capek sekali,
sibuk semalaman! Kita harus mencari suatu tempat yang benar-benar aman, lalu
menaruhkan barang-barang kita di sana. Kita juga harus menyiapkan tempat kita
tidur nanti." "Baiklah! Tapi ke mana kita harus pergi?" tanya Dick. "Kecuali dalam puri, tak
ada tempat lagi." "Di bawah lantai masih ada ruangan-ruangan," kata Anne. Ia bergidik. "Tapi aku
tak mau tidur di situ, karena tempatnya gelap dan menyeramkan."
Anak-anak tak ada yang mau tidur dalam ruangan di bawah tanah itu! Dick
mengerutkan dahi. Rupanya sedang sibuk berpikir.
"Bagaimana dengan kapal rusak?" katanya kemudian. "Mungkinkah tempat itu kita
jadikan tempat tinggal?"
"Bisa kita lihat," jawab Julian. "Tapi aku kurang suka tinggal dalam bangkai
kapal yang sudah rusak dan lembab. Tapi kalau terdamparnya masih tinggi di atas
batu, mungkin sekarang sudah kering terjemur matahari. Jadi mungkin saja kita
bisa tidur dan menyimpan perbekalan di dalamnya."
"Sekarang saja kita ke sana," usul George. Dengan segera anak-anak itu menuju ke
tembok tua yang mengelilingi puri. Dari atas tembok itu mereka bisa memandang ke
arah kapal yang terdampar.
Mereka berdiri di atas tembok. Mata mereka mencari-cari bangkai kapal, tetapi
tak berhasil menemukannya di tempat yang lama.
"Sudah pindah tempatnya," ujar Julian heran. "Itu dia! Lihatlah, di atas batu-
batu itu! Letaknya sekarang sudah lebih dekat ke pantai daripada tahun yang
lalu. Kasihan! Kelihatannya banyak mengalami kerusakan selama musim dingin yang
lewat, bukan" Sekarang nampaknya lebih mirip bangkai kapal, dibandingkan dengan
musim panas yang lalu."
"Kurasa kita takkan bisa tidur di sana," kata Dick. "Kelihatannya sudah rusak
sekali. Tetapi mungkin kita bisa menyimpan perbekalan di situ. Kurasa kita bisa
mencapainya lewat batu-batu yang menjorok dari Pulau."
"Ya, rasanya memang bisa," jawab George. "Tahun lalu kita hanya bisa ke sana
dengan aman kalau naik perahu. Tapi sekarang kalau pasang sedang surut, kukira
kita bisa meniti batu-batu yang menjulur ke tengah itu, sampai ke kapal."
"Kita coba saja sejam lagi," kata Julian dengan hati berdebar-debar. "Saat itu
batu-batu pasti akan sudah muncul dari air."
"Sekarang kita memeriksa sumur tua," kata Dick. Mereka kembali ke halaman puri
tua. Di tempat itu setahun yang lalu mereka menemukan lubang masuk ke liang
sumur yang dalam sekali menembus batu cadas, melewati ruangan bawah tanah. Di
dalam liang itu ada air tawar, yang letaknya lebih rendah dari permukaan laut.
Anak-anak mencari tempat lubang sumur. Setelah berhasil ditemukan kembali, anak-
anak dengan segera menyingkirkan tutupnya yang terbuat dari kayu yang sudah
rapuh. "Itu dia injak-injakan tangga besi yang kuturuni tahun lalu," kata Dick sambil
mengintip ke dalam. "Sekarang kita mencari jalan masuk ke ruangan bawah. Letak
tangganya di sekitar sini, kalau aku tidak salah ingat."
Jalan masuk itu mereka temukan. Anak-anak heran ketika melihat ada batu-batu
besar tertumpuk di atasnya.
"Siapa yang menaruh batu-batu besar itu di sini?" ujar George sambil mengerutkan
dahi. "Yang terang, bukan kita! Jadi ada orang lain datang ke mari!"
"Kurasa pelancong," jawab Julian. "Kau ingat tidak, beberapa hari yang lalu kita
melihat seakan-akan ada asap mengepul dari arah sini" Tanggung ada pelancong
yang ke mari. Surat kabar-surat kabar penuh dengan cerita tentang Pulau Kirrin,
tentang puri dengan ruangan-ruangannya yang di bawah tanah, serta tentang harta
karun yang kita temukan di sini tahun lalu. Mungkin saja salah seorang nelayan
mencari tambahan penghasilan, dengan jalan mengantarkan pelancong-pelancong ke
pulau kita." "Lancang benar mereka!" kata George. Matanya bersinar-sinar galak. "Aku akan
memasang sebuah papan maklumat, dengan tulisan 'Daerah terlarang! Orang yang
melanggar akan dipenjarakan!'. Aku tak suka pulau kita didatangi orang lain."
"Sudahlah, kita tak perlu merepotkan batu-batu yang ditumpuk di atas jalan masuk
ke ruangan bawah tanah ini," ujar Julian. "Kurasa di antara kita tak ada yang
mau turun ke bawah. Lihat saja Tim! Kelihatannya sedih sekali caranya memandang
kelinci-kelinci itu. Dasar anjing aneh!"
Tim duduk di belakang anak-anak, sambil memandangi kelinci-kelinci yang
berkeliaran di halaman puri itu. Kelihatan ia sedih sekali! Dipandangnya
kelinci-kelinci, lalu dialihkannya pandangan ke George. Sudah itu dipandangnya
lagi kelinci-kelinci. "Percuma, Tim," kata George tegas. "Aku takkan berubah pendirian! Di pulau ini
kau tak boleh berburu kelinci."
"Kurasa kau dianggapnya tidak adil," ujar Anne. "Bagaimana juga, kau sudah
mengatakan bahwa pulau yang merupakan bagianmu akan kaubagi dengan dia. Rupanya
ia sekarang ingin menuntut kelinci yang merupakan bagiannya!"
Anak-anak tertawa mendengar lelucon Anne itu. Tim mengibas-ngibaskan ekor,
sambil memandang George dengan penuh harap. Mereka berjalan melintas halaman.
Tiba-tiba Julian tertegun.
"Lihatlah!" katanya dengan nada heran. Tangannya menunjuk ke sesuatu yang
terdapat di tanah. "Lihat! Memang ada orang ke mari. Di situ ada bekas api
unggun!" Mereka memandang ke tanah. Nampak seonggok abu, rupanya bekas kayu bakar dari
api unggun. Mereka juga melihat sepuntung rokok yang terinjak. Persoalannya
jelas! Ada orang datang ke Pulau!
"Kalau ada pelancong berani ke mari, akan kusuruh Tim mengejar!" teriak George
dengan marah. "Ini milik pribadi kita, jadi tak boleh diusik oleh orang lain.
Tim, kau tak boleh mengejar kelinci di sini. Tapi makhluk berkaki dua kecuali
kami, harus kauburu! Mengerti?"
Tim mengibas-ngibaskan ekor sambil menggonggong. Ia setuju! Ia memandang
berkeliling, seolah-olah mencari orang yang bisa langsung dikejar olehnya.
Tetapi saat itu tak ada orang lain di Pulau Kirrin.
"Kurasa pasang sudah cukup surut sekarang," kata Julian. "Ayoh, kita melihatnya
sekarang! Kalau batu-batu tak terendam laut lagi, kita akan bisa mencoba
menitinya untuk pergi ke kapal. Anne, kau lebih baik tak usah ikut! Nanti
tergelincir dan jatuh ke air. Padahal ombak cukup ganas sekitar batu-batu itu!"
"Tidak! Aku ikut!" seru Anne tersinggung. "Kalian pun bisa saja tergelincir -
jadi bukan aku saja!"
"Begini sajalah!" ujar Julian. "Kulihat dulu apakah jalan lewat batu berbahaya
atau tidak!" Mereka menuruni pulau, lalu menuju ke batu-batu yang menjorok ke tengah laut.
Sekali-sekali datang ombak menyapu batu-batu. Tetapi kelihatannya cukup aman.
"Kau boleh ikut, Anne. Asal berjalan antara aku dan Dick," kata Julian kepada
adiknya. "Tapi kau harus mau dibantu oleh kami pada bagian-bagian yang
berbahaya, dan jangan banyak cingcong. Kami tak ingin melihatmu tergelincir dan
disambar ombak." Mereka berempat mulai meniti di atas batu-batu yang runcing dan licin. Sementara
itu pasang laut semakin surut. Ketika sudah dekat ke kapal tua, hampir tak ada
lagi bahaya dihanyutkan ombak yang menyapu. Sekarang mereka bisa melakukan
sesuatu yang mustahil di musim panas yang lalu, yaitu berjalan kaki ke bangkai
kapal! "Nah, kita sudah sampai!" kata Julian, lalu meletakkan tangannya ke sisi kapal
tua itu. Dari dekat, nampaknya besar! Tepi atasnya berada jauh di atas mereka,
penuh dilapisi kerang dan rumput laut yang berbau pengap. Dasar lambungnya
tergenang dalam air; tetapi bagian atasnya tetap kering, juga di saat air pasang
setinggi-tingginya. "Selama musim dingin yang lampau kelihatannya kapal ini sering terombang-ambing
oleh ombak," kata George sambil mengamat-amati dengan teliti. "Lihatlah, di
sisinya kelihatan banyak lubang-lubang baru. Sepotong tiangnya juga lenyap,
serta sebagian dari lantai geladak. Bagaimana cara kita naik ke atas!"
"Aku mempunyai tali," kata Julian, sambil melepaskan seutas tali yang terlilit
di pinggangnya. "Tunggu sebentar - kubuat jerat dulu. Lalu kulempar ke atas!
Mudah-mudahan berhasil kusangkutkan ke tiang yang menonjol di sana!"
Dicobanya melempar dua sampai tiga kali. Tetapi tiap kali selalu gagal! George
tidak sabar lagi, lalu mengambil tali itu dari tangannya. Dengan sekali lempar
saja, jerat berhasil disangkutkannya ke tiang. George memang ahli dalam soal-
soal seperti itu! Dalam beberapa hal, ia lebih cekatan daripada anak laki-laki,
kata Anne dengan kagum dalam hati.
Dengan segera George memanjat tali. Cekatan sekali geraknya, seperti seekor
kera. Dalam sekejap mata ia sudah berdiri di lantai geladak yang miring dan
licin. Nyaris saja ia terpeleset, kalau tidak cepat-cepat berpegangan pada
sepotong papan lantai. Julian menolong Anne naik. Sudah itu barulah kedua anak
laki-laki menyusul. "Wah, busuk sekali bau di sini," kata Anne sambil mengernyitkan hidung. "Apakah
semua bangkai kapal berbau seperti begini. Kali ini aku tak mau ikut turun ke
bawah, seperti dulu. Bau di situ pasti lebih busuk lagi."
Anne ditinggal sendiri di atas geladak yang sudah setengah rusak. Sedang ketiga
anak lainnya turun memasuki bilik-bilik di bawah yang bau dan penuh dengan
rumput laut. Mereka masuk ke bilik terlapang, yaitu kamar nakhoda. Tetapi jelas
mereka takkan mungkin bisa tidur di situ. Dan mereka pun tak bisa menyimpan
perbekalan di dalamnya, karena ruangan itu sudah membusuk dan lembab keadaannya.
Julian sudah khawatir saja, jangan-jangan kakinya terperosok menembus papan
lantai yang sudah busuk. "Kita naik saja lagi ke geladak," katanya. "Di sini tidak enak - lagipula gelap
sekali!" Mereka sedang dalam perjalanan naik, ketika tiba-tiba terdengar suara Anne
memanggil, "He! Ke mari - cepat! Ada sesuatu yang kutemukan!"
Julian, George dan Dick bergegas-gegas. Kaki mereka terpeleset-peleset di atas
lantai yang miring. Anne masih tetap berada di tempatnya semula. Matanya
memandang mereka dengan bersinar-sinar. Tangannya menunjuk ke arah seberang
kapal. "Apa yang kautemukan itu?" tanya George. "Ada apa?"
"Lihatlah ke situ!" ujar Anne, sementara tangannya masih tetap menunjuk. "Barang
itu pasti belum ada di situ, sewaktu kita ke mari dulu." Anak-anak memandang ke
arah yang ditunjuknya. Mereka melihat sebuah lemari di sisi geladak sebelah
situ. Lemari itu terbuka pintunya. Dan di dalamnya terdapat sebuah koper hitam
berukuran kecil. Ular biasa!
"Sebuah koper kecil berwarna hitam!" seru Julian dengan heran. "Tidak - dulu
memang belum ada di situ. Pasti barang itu belum lama ditaruh di kapal ini,
karena nampaknya masih baru dan kering! Siapa pemiliknya" Dan kenapa ditaruh di
sini?" XII GUA DI TEBING DENGAN hati-hati anak-anak berjalan di atas lantai licin, menghampiri lemari
yang ditunjukkan oleh Anne. Nampaknya pintu lemari itu ditutupkan lagi setelah
koper dimasukkan ke dalamnya. Tetapi kemudian terbuka lagi, mungkin kena tiup
angin. Jadi koper itu kelihatan dari luar. Tidak lagi tersembunyi, seperti
rupanya diniatkan oleh orang yang menaruhnya di situ.
Julian mengeluarkan koper kecil itu. Anak-anak memandang dengan heran. Mengapa
ditaruh sebuah koper di situ"
"Barangkali penyelundup," tebak Dick dengan mata bersinar-sinar. Anak itu sangat
menggemari petualangan yang seru.
"Ya - bisa saja," kata Julian sambil merenung, sementara tangannya sibuk hendak
membuka tali kulit pengikat koper. "Tempat ini cocok sekali bagi penyelundup.
Kapal yang nakhodanya mengenal jalan bisa berlabuh di sini, lalu menurunkan
sebuah perahu ke air dan dimuat dengan barang-barang selundupan. Barang-barang
itu disembunyikan di sini. Sudah itu mereka meneruskan pelayaran, sementara
orang-orang yang sekomplotan datang untuk menjemput barang-barang selundupan."
"Jadi menurut pendapatmu, dalam koper mungkin tersimpan barang-barang
selundupan?" tanya Anne. Ia pun ikut-ikut bergairah. "Apa ya isinya" Berlian"
Kain sutra?" "Apa saja, yang seharusnya dikenai bea cukai terlebih dulu sebelum diperbolehkan
masuk ke dalam negeri," jawab Julian menerangkan. "Sialan benar tali-tali
pengikat ini! Aku tak sanggup membukanya!"
"Sini aku saja yang mencoba," kata Anne. Jari-jarinya kecil dan cekatan! Ia
mulai sibuk dengan tali-tali yang terbuat dari kulit itu. Sebentar saja sudah
berhasil dibukanya. Tetapi kekecewaan besar menyusul setelah itu. Ternyata koper
Lima Sekawan Minggat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terkunci! Sedang anak kuncinya tidak ada.
"Sialan!" kata George. "Benar-benar menjengkelkan! Bagaimana cara kita membuka
koper ini sekarang?"
"Tidak bisa," jawab Julian singkat. "Kita tidak boleh sampai merusakkannya,
karena dengan begitu pemiliknya akan tahu bahwa ada orang lain mengetahui
rahasianya. Para penyelundup tak boleh tahu bahwa rahasia mereka terbongkar.
Kita harus berusaha menangkap mereka!"
"Wah!" ujar Anne. Mukanya berubah menjadi merah karena terpengaruh perasaannya
yang bergairah. "Kita akan menancap penyelundup! Julian - menurut perasaanmu
kita mampu melakukannya?"
"Kenapa tidak?" jawab Julian dengan gagah. "Tak ada yang tahu bahwa kita ada di
sini. Kalau nampak ada kapal menghampiri Pulau Kirrin, kita harus cepat-cepat
bersembunyi. Mungkin saja akan datang sebuah perahu! Kita akan bisa mengamat-
amati gerak-gerik mereka. Kurasa pulau ini dipergunakan oleh penyelundup sebagai
tempat penimbunan barang, sebelum dijemput oleh komplotan mereka di darat. Aku
kepingin tahu, siapa yang menjemputnya nanti! Kurasa salah seorang dari desa
Kirrin, atau salah satu tempat yang berdekatan."
"Wah, ini akan benar-benar menegangkan," kata Dick. "Kelihatannya setiap kali
kita ke mari, selalu terjadi peristiwa-peristiwa yang mendebarkan hati. Di sini
banyak petualangan. Ini sudah ketiga kalinya kita berpengalaman seru."
"Lebih baik kita kembali saja sekarang lewat batu-batu," kata Julian. Selama itu
ia memandang ke air. Dilihatnya bahwa pasang sudah mulai membalik. "Ayohlah!
Jangan sampai terjebak pasang naik - nanti kita terpaksa menunggu di sini selama
berjam-jam! Aku yang turun dulu. Sudah itu kau menyusul, Anne."
Tak lama kemudian mereka sudah berjalan lagi di atas batu-batu. Hati mereka
berdebar-debar kencang. Ketika mereka sampai di bagian yang menyambung ke tebing
batu pulau itu sendiri, tiba-tiba Dick tertegun.
"Kenapa kau berhenti?" kata George sambil mendorongnya dari belakang. "Ayoh,
terus jalan!" "Lihatlah ke balik batu besar di sana itu!" ujar Dick sambil menunjuk ke tempat
yang dimaksudkan olehnya. "Bukankah itu sebuah gua" Kalau benar, tempat itu kan
cocok sekali untuk menyimpan barang-barang kita. Bahkan juga untuk tidur, kalau
tak tercapai oleh ombak laut."
"Di pulau ini tak ada gua," kata George. Tetapi detik berikutnya ia pun ikut
tertegun. Lubang yang ditunjuk oleh Dick memang seperti sebuah gua nampaknya.
Tak ada salahnya memeriksa sebentar ke sana! Bagaimanapun, George belum pernah
pergi ke daerah berbatu-batu yang saat itu sedang mereka lewati. Jadi memang
belum pernah dilihatnya bahwa di situ mungkin ada sebuah gua. Dari darat, tempat
itu tak nampak. "Kita ke sana untuk melihatnya," kata George. Mereka berpaling haluan; tidak
lagi mendaki tebing, melainkan melintasi lereng yang menghadap ke laut dan
menuju ke bagian yang menonjol agak ke luar. Di tempat itulah terletak lubang
yang dikira gua oleh Dick.
Akhirnya mereka sampai di situ. Batu-batu terjal menutup jalan masuk ke dalam,
sehingga tersembunyi dari pandangan, kecuali dari tempat Dick berdiri tadi.
"Ternyata memang gua!" seru Dick bergembira, lalu masuk ke dalam. "Wah, tempat
ini bagus sekali!" Gua yang tersembunyi itu memang bagus. Lantainya ditaburi pasir halus, sehalus
tepung dan kering sama sekali. Letaknya lebih tinggi dari kedudukan air saat
pasang setinggi-tingginya. Air mungkin hanya bisa sampai di situ kalau terjadi
badai besar. Di satu sisinya terdapat ambang batu.
"Seolah-olah rak ini sudah tersedia untuk kita!" seru Anne kegirangan. "Kita
akan bisa menaruh barang-barang di sini. Kita tinggal dan tidur saja di sini,
yuk! Lihatlah, Julian - gua ini berjendela di atasnya. Di langit-langit ada
lubang!" Anne menunjuk ke atas. Saudara-saudaranya melihat bahwa sebagian dari langit-
langit gua terbuka. Rupanya di atas tebing yang bersemak itu ada sebuah lubang yang menuju ke gua. Dan lubang itulah yang disebut 'jendela' oleh Anne.
"Kita bisa memasukkan barang-barang kita lewat lubang itu," kata Julian. Anak
itu sudah sibuk menyusun rencana. "Kalau harus lewat batu-batu yang di luar,
repot sekali! Kalau kita nanti naik lagi ke atas dan bisa menemukan lubang itu,
semua perbekalan bisa kita turunkan dengan tali. Jaraknya ke dasar gua ini tidak
terlalu jauh, karena tebing di bagian sini rendah. Kurasa kita nanti juga bisa
dengan mudah turun dengan tali. Jadi tak perlu lagi repot-repot merayap lewat
batu-batu, menuju jalan masuk tadi yang menghadap ke laut!"
Penemuan itu menggemparkan bagi anak-anak.
"Ternyata pulau ini lebih mengasyikkan daripada sangkaan kita semula," ujar Anne
dengan riang. "Sekarang kita juga mempunyai sebuah gua!"
Dengan cepat mereka keluar lagi, lalu mendaki tebing. Mereka mencari letak
lubang yang nampak dari bawah tadi. Tim juga ikut serta. Kelakuan anjing itu
kocak pada saat berjalan di atas batu-batu yang licin. Kakinya terpeleset-
peleset. Dua atau tiga kali ia tercebur ke dalam air. Tetapi dengan cekatan ia
berenang mengarungi genangan air, sampai ke tepi. Kemudian ia melanjutkan
berjalan di atas batu licin.
"Tim kelakuannya persis George!" kata Anne sambil tertawa. "Biar apa pun yang
terjadi, ia tak kenal menyerah!"
Sesampai di puncak tebing, mereka berhasil menemukan lubang yang dicari dengan
mudah. "Sebenarnya berbahaya sekali lubang ini," ujar Julian sambil menjengukkan kepala
ke bawah. "Bisa saja salah seorang di antara kita berlari-lari di sini, lalu
terperosok ke dalam. Lihatlah, lubangnya nyaris tak nampak, karena tertutup
semak berduri." Mereka sibuk menyingkirkan semak-semak itu, sampai tangan mereka tergores-gores
duri sebagai akibatnya. Begitu semak-semak sudah tersingkir, mereka bisa
memandang ke dalam gua dengan mudah.
"Jarak ke lantai tak begitu jauh," ujar Anne. "Nampaknya seolah-olah gampang
saja meloncat ke bawah, apabila kita meluncur lewat lubang ini."
"Jangan coba-coba," kata Julian melarang adiknya. "Patah kakimu nanti! Tunggu
sampai kita sudah menambatkan seutas tali di sini, yang kemudian kita jalurkan
ke dalam gua. Nanti kita akan bisa dengan mudah keluar masuk!"
Mereka kembali ke perahu, lalu mulai membongkar muatan. Semua perbekalan
diangkut ke sisi pulau yang menghadap ke laut, karena di situlah letak gua
mereka. Julian mengambil seutas tali yang kokoh, lalu membuat simpul-simpul
padanya dalam jarak tertentu.
"Simpul-simpul ini kita pakai sebagai injak-injakan sewaktu turun," katanya
menerangkan. "Kalau kita meluncur terlalu cepat, bisa sakit tangan nanti! Jadi
simpul-simpul ini akan menahan gerak meluncur ke bawah, dan membantu kita
sewaktu naik." "Biar aku dulu turun ke bawah! Sudah itu kalian bisa menurunkan barang-barang,
dan kuterima di bawah," kata George. Anak itu turun sambil memijakkan kaki pada
simpul demi simpul. Enak turun dengan cara begitu!
"Bagaimana cara kita menurunkan Timmy?" tanya Julian. Dipandangnya anjing itu
yang melolong-lolong pelan di pinggir lubang, karena tuannya tahu-tahu lenyap.
Dan detik berikutnya Tim sendiri yang menyelesaikan persoalan menyangkut
dirinya. Ia melompat ke dalam lubang, dan langsung lenyap dari pandangan. Dari bawah
terdengar suara jeritan kaget.
"Astaga! Apa ini" Ya Ampun, Timmy! Kau cedera?"
Tetapi pasir dalam gua lembut sekali, seperti bantal beludru. Jadi Tim sama
sekali tak merasa sakit ketika jatuh di situ. Ia hanya menggoyangkan badannya
sebentar untuk membersihkan pasir yang melekat, sambil menggonggong-gonggong
riang. Ia sudah berkumpul lagi dengan tuannya! Ia takkan membiarkan George
menghilang dalam lubang aneh, tanpa menyusulnya dengan segera. Timmy bukan
begitu adatnya! Ia anjing yang setia.
Kemudian menyusul pekerjaan menurunkan barang-barang. Anne dan Dick membuntalnya
dalam selimut-selimut, yang kemudian diturunkan oleh Julian dengan hati-hati.
Begitu sampai di bawah, dengan segera George membuka ikatan tali dan
mengeluarkan barang-barang yang ada dalam selimut. Sesudah itu tali ditarik lagi
ke atas, untuk diikatkan ke buntalan berikutnya.
"Ini yang terakhir!" seru Julian, setelah keempat anak itu bekerja keras selama
beberapa waktu. "Sudah itu kami ikut turun. Sebelum kita melakukan pekerjaan
berikut - seperti membuat tempat tidur dan lain-lainnya - kita akan makan
terlebih dulu. Sudah sejak berjam-jam kita tidak makan! Perutku terasa lapar
sekali!" Tak lama kemudian keempat anak itu sudah duduk di lantai gua yang berpasir
hangat dan lembut. Mereka membuka sekaleng makanan daging, mengiris-iris roti
lalu memakannya dengan nikmat. Sudah itu mereka membuka sebuah kaleng berisi
buah nenas, lalu memakannya pula. Tetapi mereka masih tetap merasa lapar! Karena
itu menyusul dua kaleng sarden, yang diambil isinya dengan biskuit sebagai
sendok. Benar-benar santapan yang nikmat. Seperti makanan raja-raja!
"Sebagai penutup hidangan, air jahe!" kata Dick. "Kenapa hidangan tidak selalu
seperti begini terus, ya" Kan nikmat!"
"Kita harus bergegas sekarang! Nanti kita tak mampu lagi mengumpulkan semak yang
kita perlukan sebagai alas tempat tidur," ujar George dengan suara mengantuk.
"Siapa yang memerlukan semak?" kata Dick. "Aku tidak! Pasir yang lembut ini saja
sudah cukup bagiku - ditambah dengan sebuah bantal serta selimut satu atau dua
lembar. Aku pasti akan lebih enak tidur di sini, daripada di tempat tidur!"
Dengan segera selimut-selimut dibentangkan di pasir lantai gua itu. Kemudian
ditaruh pula bantal-bantal. Hari sudah mulai gelap, karena itu dinyalakan
sebatang lilin. Keempat anak yang sudah sangat mengantuk itu saling
berpandangan. Tim berada dekat George. Seperti biasanya!
"Selamat tidur," kata George. "Aku sudah tak kuat lagi menahan rasa mengantuk.
Mataku sudah terpejam dengan sendirinya. Se - la - mat - ti - khrr - khrrr!" George sudah
tidur pulas. XIII SEHARIAN DI PULAU SEWAKTU anak-anak bangun keesokan harinya, mula-mula mereka tak tahu di mana
mereka berada. Matahari yang bersinar memancarkan cahayanya memasuki pintu gua.
Muka George yang paling dulu kena sinarnya. Ia terbangun. Sejenak ia masih tetap
berbaring dalam keadaan setengah tidur. Ia agak heran, mengapa alas tempat
tidurnya tak selembut biasanya.
"Eh! Aku bukan di tempat tidurku sendiri," pikirnya tiba-tiba. "Tentu saja, aku
kini di Pulau Kirrin!"
Seketika itu juga ia duduk, lalu menumbuk rusuk Anne yang baring di sebelahnya.
"Bangun, Penidur! Kita di Pulau!"
Tak lama kemudian semuanya sudah terbangun, sambil mengusap-usap mata yang masih
mengantuk. "Kurasa hari ini aku lebih baik mengumpulkan semak-semak kecil untuk kujadikan
alas tempat tidurku," kata Anne. "Pasir mula-mula memang terasa empuk, tapi
lama-lama keras juga."
Saudara-saudaranya setuju bahwa mereka semua akan mengumpulkan semak dan rumput
untuk dijadikan alas tempat tidur di atas pasir, yang kemudian dilapisi dengan
selimut. Pasti akan nikmat tidur mereka!
"Enak rasanya tinggal dalam gua," ujar Dick. "Ayoh, kita berenang dulu sebelum
sarapan. Sudah itu menyusul acara melahap daging dingin, roti, asinan dan
selai!" "Pasti sehabis berenang kita akan kedinginan," kata George. "Sebaiknya selama
kita mandi, kita juga memasak air dengan komporku. Jadi begitu keluar dari air,
kita akan bisa membuat minuman coklat yang hangat! Pasti tak gemetar lagi tubuh
kita sesudah itu." "O ya, setuju!" seru Anne dengan gembira. Ia belum pernah memasak dengan kompor
sekecil itu. "Akan kuisi ceret dengan air dari kaleng persediaan kita. Apa yang
kita pakai sebagai pengganti susu?"
"Kita membawa susu!" kata Julian. "Cari sendiri kalengnya di tumpukan itu. Mana
alat pembuka kaleng?"
Alat itu tak bisa ditemukan. Jengkel anak-anak dibuatnya. Tetapi akhirnya
ditemukan juga, dalam kantong celana pendek Julian. Jadi soal itu beres!
Kompor kecil diisi dengan spiritus, lalu dinyalakan. Air dituangkan ke dalam
ceret, yang kemudian ditaruh di atas kompor. Sudah itu barulah anak-anak pergi
berenang. "He, lihatlah! Di sebelah sana ada kolam, di tengah batu-batu!" seru Julian
sambil menunjuk. "Kita tak melihatnya selama ini. Wah! Seperti kolam renang
kecil saja kelihatannya, khusus untuk kita sendiri."
"Kolam Renang Kirrin, satu shilling untuk sekali berenang!" ujar Dick. "Tapi
pemiliknya tak dipungut bayaran! Ayohlah - kelihatannya enak berenang di situ!
Lihatlah - ombak berulang-ulang menyapu bagian atas batu, lalu masuk ke dalam
kolam. Benar-benar hebat!"
Kolam itu memang sungguh-sungguh bagus. Letaknya di tengah batu cadas. Airnya
dalam, jernih dan tak terlalu dingin. Anak-anak asyik berenang, bersiram-siram
air dan terapung-apung di dalamnya. George mencoba terjun dari salah satu batu
besar yang ada di pinggir kolam. Terjunnya indah sekali!
"Dalam air, George benar-benar sangat jago!" kata Anne mengaguminya. "Aku
kepingin bisa menyelam dan berenang seperti George. Tapi tak mungkin!"
"Dari sini kita bisa melihat bangkai kapal dengan jelas," kata Julian sambil
keluar dari air. "He! Kita lupa membawa handuk. Sialan!"
"Kita pakai saja salah satu selimut untuk mengeringkan badan," jawab Dick.
"Kuambil sebentar, yang paling tipis. Eh - kalian ingat koper yang kita lihat
kemarin di kapal" Aneh, ya?"
"Memang, sangat aneh," jawab Julian. "Aku agak bingung melihatnya. Kita harus
terus-menerus mengamat-amati bangkai kapal itu, supaya ketahuan siapa yang
datang untuk mengambil koper."
"Kurasa para penyelundup - ini kalau pemiliknya memang penyelundup -
mengambilnya nanti, mereka akan datang menyelinap ke sisi pulau sebelah sini,
lalu menurunkan sekoci yang kemudian datang ke kapal," kata George sambil
mengeringkan tubuhnya dengan selimut. "Yah, sebaiknya kita mengamat-amati dengan
seksama! Barangkali akan ada kapal laut yang kecil atau salah satu kapal lain
yang muncul di sebelah sana!"
"Ya. Tapi kita tak boleh sampai terlihat oleh mereka," sambut Dick. "Kalau hal
itu terjadi, takkan ada lagi yang bisa kita selidiki. Mereka takkan mau lagi
datang ke pulau ini. Kurasa ada baiknya jika kita bergantian menjaga. Jadi kalau
terjadi sesuatu, kita akan bisa dengan segera mengetahui dan bersembunyi."
"Ide yang bagus!" seru Julian memuji. "Nah, badanku sudah kering sekarang, tapi
rasanya agak dingin juga. Ayoh, kita berlomba adu cepat lari ke gua, lalu
membuat minuman panas. Sudah itu sarapan. Hmmm! Rasanya saat ini aku mampu
menyikat habis seekor ayam! Barangkali masih bisa ditambah lagi dengan seekor
bebek - apalagi kalkun!"
Anak-anak tertawa. Mereka pun sudah sangat lapar. Mereka berlomba-lomba menuju
ke gua, melintasi pasir dan memanjat beberapa buah batu yang menghadang. Sudah
itu melintasi pantai di depan gua, lalu menuju ke mulut gua yang masih terang
disinari matahari. Air dalam ceret sudah mendidih. Uapnya mengepul-ngepul lewat corongnya.
"Keluarkan daging dingin dan roti sebatang, dan juga botol asinan yang kita
bawa," ujar Julian mengatur. "Aku membuka kaleng susu. Kau, George, kau membuat
minuman yang banyak untuk kita semua. Isi saja dalam kendi itu!"
"Aku bahagia sekali," ujar Anne yang duduk di mulut gua sambil mengunyah
sarapannya. "Rasanya benar-benar nikmat! Enak hidup sendiri di pulau seperti
sekarang. Tinggal di pulau kepunyaan sendiri, dan bisa berbuat sekehendak hati."
Saudara-saudaranya seperasaan dengannya. Hari pun sangat indah, laut dan langit
biru cerah. Mereka duduk-duduk sambil makan dan minum, serta memandang ombak
yang datang bergulung-gulung lalu memercik di atas batu karang yang terletak
agak lebih jauh dari bangkai kapal. Pesisir di situ berbatu-batu.
"Gua ini harus kita atur sebaik-baiknya," ujar Anne. Ia paling rapi di antara
keempat anak itu, dan senangnya memang main rumah-rumahan. "Tempat ini akan kita
jadikan rumah kita, tempat kita tinggal. Kita akan membuat tempat tidur yang
baik. Dan harus pula dibuat tempat duduk bagi kita masing-masing. Sedang barang
perbekalan kita atur dengan rapi di rak batu itu. Tempat itu seolah-olah sengaja
dibikin untuk kita!"
"Kita biarkan saja Anne bermain rumah-rumahan seorang diri di sini," kata
George. Ia sudah bosan duduk diam-diam. "Sedang kita akan mengumpulkan semak dan
rumput sebagai pengalas tempat tidur. O ya! Bagaimana jika salah seorang dari
kita menjaga bangkai kapal dari sini, supaya kita segera tahu kalau ada orang
datang?" "Ya - itu penting sekali," sahut Julian dengan segera. "Aku yang paling dulu
menjaga! Tempat terbaik untuk itu adalah di tebing sebelah atas gua ini. Akan
kucari nanti sebuah semak, yang akan menyembunyikan diriku dari pandangan orang
di laut. Kalian mengumpulkan semak dan rumput. Kita menjaga berganti-ganti,
masing-masing dua jam. Kita juga boleh membaca kalau mau, asal jangan lupa
sekali-sekali mendongak dan memandang ke laut."
Dick dan George pergi mengumpulkan rumput dan semak yang akan dipakai sebagai
alas tempat tidur mereka. Sedang Julian memanjat tali bersimpul-simpul yang
masih tergantung dari lubang sebelah atas. Tali itu terikat kuat pada sebuah
Lima Sekawan Minggat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akar semak yang kokoh. Ia naik ke atas tebing, lalu berbaring di rumput dengan
napas terengah-engah. Di tengah laut tak nampak apa-apa, kecuali beberapa kapal besar yang berlayar di
ujung pandangan. Jaraknya pasti beberapa mil dari tempat mereka berada. Julian
berbaring di atas tebing, sambil menikmati kehangatan cahaya matahari yang
bersinar. Tugas menjaga merupakan pekerjaan yang enak!
Terdengar oleh Julian suara Anne bernyanyi-nyanyi dalam gua, sementara anak itu
sibuk membereskan 'rumah'-nya. Julian tersenyum. Ia tahu bahwa Anne senang
bermain-main seperti begitu.
Anne memang sedang bersenang hati. Perabot makan yang dipakai untuk sarapan
telah selesai dicucinya dalam sebuah lekuk pada batu di luar gua, yang penuh
berisi air hujan. Tim memakainya sebagai tempat minum. Tetapi ia tak
berkeberatan bahwa Anne memakai air itu untuk mencuci piring dan pisau garpu.
"Aku terpaksa memakai air minummu, Tim," ujar Anne meminta maaf, "tapi kau kan
anjing pintar! Kalau kau merasakan air di sini tidak enak lagi, tentu kau akan
mencari genangan air di tempat lain."
"Wau!" gonggong Tim, lalu lari menyongsong George yang datang bersama Dick.
Kedua anak itu membawa semak dan rumput yang akan dijadikan pengalas tempat
tidur. "Letakkan bawaan kalian di luar, George," ujar Anne. "Kalau aku sudah siap
membersihkan, baru akan kuatur tempat tidur."
"Baik!" jawab George. "Kami pergi lagi untuk mengumpulkan lebih banyak. Enak ya,
hidup begini?" "Julian naik ke tebing, lewat tangga tali," kata Anne. "Kalau ia melihat sesuatu
yang luar biasa, kita akan dipanggilnya. Mudah-mudahan saja terjadi sesuatu!"
"Memang, mengasyikkan!" ujar Dick menyetujui pendapat adiknya. Diletakkannya
semak dan rumput bawaannya di atas Tim, sehingga anjing itu nyaris terbenam di
dalamnya. "Wah, maaf, Tim! Aku tak tahu kau ada di situ!"
Anne senang sekali sepagi itu. Semua diaturnya rapi-rapi di atas rak batu. Roti
dibungkusnya semua dalam taplak meja yang juga dibawa, lalu diletakkan di bagian
belakang gua. Dipilihnya tempat yang paling sejuk. Kaleng-kaleng berisi air juga
diletakkan di situ, beserta botol-botol minuman.
Kemudian ia melanjutkan pekerjaan dengan membuat tempat tidur. Ia memutuskan
hendak membuat dua tempat pembaringan yang besar-besar, masing-masing di satu
sisi gua. "Sisi sebelah sini untukku bersama George dan Tim," katanya dalam hati, sambil
mengatur semak dan rumput di situ. "Sedang Julian dan Dick bisa di sebelah sana.
Wah, tanaman sebegini masih kurang banyak. Engkaukah itu, Dick" Kau datang tepat
pada waktunya. Aku kekurangan alas."
Tak lama kemudian telah selesai dibuat kedua tempat tidur mereka. Masing-masing
beralaskan dua selimut tua, sedang dua selimut yang agak baru ditaruh sebelah
atasnya. Bantal-bantal diatur pula sebagai pengalas kepala kalau tidur nanti.
"Sayang kita tak membawa pakaian tidur," pikir Anne. "Kalau ada, bisa kulipat
baik-baik dan kuselipkan di bawah bantal. Nah! Kelihatannya rapi sekarang. Kita
sudah mempunyai rumah yang cantik!"
Julian masuk ke dalam gua lewat tangga tali. Ia memandang berkeliling dengan
kagum. "Wah, Anne! Rapi sekali gua kita sekarang. Semua berada di tempatnya yang benar.
Benar-benar rapi! Kau gadis cilik yang cekatan."
Sebetulnya Anne tak senang disebut cilik. Tetapi walau begitu senang juga
hatinya, karena dipuji-puji.
"Ya, kelihatannya rapi, bukan?" ujarnya, "Tapi kenapa kau tidak menjaga di atas
tebing, Julian?" "Sekarang giliran Dick," kata abangnya itu. "Aku sudah menjaga selama dua jam.
Kita membawa biskuit atau tidak" Perutku takkan berkeberatan kalau diisi dengan
satu atau dua biskuit. Dan kurasa Dick dan George juga begitu. Kita naik saja ke
atas tebing, dan makan bersama-sama di sana. George dan Tim menemani Dick
menjaga." Sementara Anne mengambil sepuluh buah biskuit dari dalam kaleng tempatnya,
Julian mendului naik tali ke atas. Tak lama kemudian mereka sudah duduk-duduk
dekat semak yang lebat, sambil makan biskuit. Tim juga kebagian, tetapi langsung
ditelannya. Sehari itu anak-anak hidup enak dan agak bermalas-malasan. Mereka silih berganti
menempati pos penjagaan. Sorenya Anne kena marah Julian, karena tertidur sewaktu
gilirannya menjaga. Anak itu menangis, karena merasa malu terhadap dirinya
sendiri. "Kau sebetulnya masih terlalu kecil untuk disuruh menjaga," ujar Julian
kemudian. "Sebaiknya kami bertiga dan Tim saja yang melakukan tugas itu."
"Jangan! Aku juga ingin menjaga," kata Anne meminta-minta. "Aku berjanji takkan
pernah tertidur lagi. Tapi tadi matahari sangat panas, dan...."
"Jangan cari-cari alasan," kata Julian. "Persoalannya malah menjadi semakin
repot karenanya. Baiklah! Kau kami beri kesempatan satu kali lagi! Kita lihat
nanti, apakah kau memang sudah cukup besar untuk diserahi tugas seperti kami."
Anak-anak kembali silih berganti menjaga. Mereka menajamkan mata, melihat ke
laut kalau-kalau ada kapal asing muncul. Tetapi sehari itu tak terjadi apa-apa.
Anak-anak merasa kecewa. Mereka sangat ingin mengetahui siapa yang menaruh koper
hitam di geladak kapal rusak. Mereka juga ingin tahu alasannya, serta apa isi
koper rahasia itu. "Kita tidur saja sekarang," kata Julian ketika matahari terbenam. "Sudah pukul
sembilan malam! Ayohlah, kita tidur. Aku sudah kepingin merebahkan badan di atas
tempat tidur empuk yang diatur dengan rapi oleh Anne."
XIV GANGGUAN DI TENGAH MALAM DI dalam gua sudah gelap, tetapi belum cukup gelap sehingga perlu dinyalakan
lilin. Walau begitu Anne menyalakannya juga, karena gua kelihatan menyenangkan
jika diterangi cahaya lilin yang bergerak-gerak nyalanya. Begitu sumbunya
terbakar, seketika itu juga di dinding gua muncul bayangan-bayangan yang menari-
nari. Lain benar suasananya saat itu. Mengasyikkan dan agak misterius, lain
sekali dengan gua yang nampak sewaktu siang.
"Bagaimana kalau kita menyalakan api unggun?" usul Anne.
"Wah, terlalu panas," jawab Julian. "Lagipula asapnya mengganggu. Dalam gua
seperti ini, kita tidak bisa membuat api unggun, karena tidak ada cerobong
asap." "Ada," bantah Anne, sambil menunjuk ke lubang yang ada di langit-langit. "Kalau
api unggun dibuat tepat di bawah lubang itu, maka asapnya kan bisa ke luar lewat
situ, bukan?" "Mungkin saja," kata Dick dengan wajah agak ragu. "Tapi kurasa tidak. Nanti gua
ini penuh dengan asap, dan kita tak bisa tidur karena terbatuk-batuk terus."
"Kalau begitu apakah kita tidak bisa menyalakan api di mulut gua?" tanya Anne
lagi. Menurut perasaannya, sebuah rumah yang sejati harus ada perapiannya di
salah satu tempat. "Supaya binatang buas tak berani mendekat! Orang jaman dulu
kan begitu, menurut buku sejarahku. Malam hari mereka menyalakan api unggun di
mulut gua, untuk menghalau binatang buas yang berkeliaran di situ."
"Menurut pendapatmu, binatang buas jenis apa yang mungkin akan mengintip ke
dalam gua ini?" tanya Julian mencemooh, sambil menghirup minuman coklat panas
sampai habis. "Singa" Harimau" Atau barangkali kau takut, jangan-jangan nanti
ada gajah yang menjenguk ke dalam?"
Anak-anak tertawa. "Tidak! Aku bukan mengira ada binatang buas yang akan datang," ujar Anne. "Cuma
- kan enak kalau pergi tidur sambil memandang nyala api unggun."
"Rupanya Anne menyangka nanti akan ada kelinci masuk, lalu menggigit jari kaki
kita," kata Dick. Begitu Tim mendengar perkataan 'kelinci', ia langsung menggonggong.
"Kurasa lebih baik kita tidak menyalakan api unggun," kata Julian. "Nanti
terlihat dari tengah laut, lalu membatalkan maksud siapa pun juga yang hendak
datang ke pulau ini untuk melakukan penyelundupan."
"Tidak mungkin, Julian," ujar George dengan segera. "Jalan masuk ke gua ini
begitu tersembunyi, sehingga aku merasa yakin takkan bisa orang di laut melihat
api yang menyala di sini. Batu-batu tinggi yang di luar itu menutupi jalan
masuk. Kurasa enak juga, apabila di sini ada api unggun. Ruangan ini akan
menjadi terang karenanya."
"Betul, George!" kata Anne dengan gembira, karena ada yang setuju dengan
usulnya. "Tapi masakan kita masih harus keluar lagi sekarang, untuk mencari ranting-
ranting," kata Dick. Ia malas pergi lagi, karena sudah bersantai-santai.
"Tak perlu," kata Anne bersemangat. "Sehari ini aku sudah sibuk mengumpulkannya.
Kusimpan di belakang, karena mungkin saja kita memerlukan api."
"Kau ini memang ibu rumah tangga yang baik," ujar Julian memuji. "Mungkin saja
dia terkantuk-kantuk pada waktu harus menjaga. Tapi kalau harus mengubah gua
menjadi tempat tinggal, Anne selalu siap siaga! Baiklah, Anne - kami akan
menyalakan api unggun untukmu."
Mereka mengambil ranting-ranting yang terkumpul di belakang gua. Ranting-ranting
itu diambil oleh Anne dari kaki menara tempat burung-burung gagak bersarang.
Setelah ranting-ranting dionggokkan di mulut gua, kemudian dinyalakan. Julian
menambahkan rumput-rumput laut yang sudah kering ke atasnya. Dengan segera
ranting-ranting menyala, dan terciptalah api unggun yang menyenangkan. Anak-anak
kembali ke pembaringan mereka, lalu berbaring di atasnya sambil memperhatikan
nyala api yang berkobar-kobar.
"Asyik," ujar Anne yang sudah setengah tidur. "Benar-benar asyik."
"Selamat tidur," kata Dick dengan suara mengantuk. "Api mulai padam, tapi aku
malas menambahkan kayu lagi ke dalamnya. Aku yakin semua singa, macan dan gajah
yang ada di sekitar sini sudah lari semuanya."
"Konyol!" kata Anne. "Kau tak perlu mengganggu aku - karena kau pun ikut
menikmatinya! Selamat tidur!"
Kelima anak itu terlelap, dan bermimpi dengan nikmat tentang bermacam-macam hal.
Tetapi tiba-tiba Julian terjaga dari tidurnya. Ada suatu bunyi aneh yang
membangunkannya. Ia berbaring diam-diam, sambil menajamkan telinga.
Tim menggeram-geram dengan suara berat, George ikut bangun, lalu bertanya dengan
suara mengantuk, "Ada apa, Tim?"
"Ada sesuatu yang didengarnya tadi, George," kata Julian setengah berbisik dari
tempatnya berbaring di seberang gua.
George bangkit dengan hati-hati. Tim masih saja menggeram.
"Ssst!" kata George. Seketika itu juga Tim terdiam. Ia duduk lurus-lurus, sedang
telinganya diruncingkan ke depan.
"Barangkali penyelundup yang datang di tengah malam," bisik George. Bulu
tengkuknya berdiri. Penyelundup yang datang siang hari rasanya mengasyikkan dan
merupakan petualangan ramai. Tetapi di malam hari" George saat itu tak kepingin
berjumpa dengan mereka! "Aku keluar sebentar - barangkali saja ada yang bisa kulihat," ujar Julian
sambil bangkit dari pembaringannya. Ia bergerak dengan hati-hati, agar Dick
jangan sampai terbangun. "Aku akan naik ke tebing lewat tangga tali. Dari atas
aku bisa melihat lebih jelas."
"Bawa senterku," kata George. Tetapi Julian tak mau membawanya.
"Terima kasih, tapi tak perlu! Aku bisa meraba-raba simpul tali dalam gelap,
tanpa perlu melihatnya," katanya.
Julian memanjat tali, naik ke atas. Badannya ikut berputar-putar dengan tali.
Sesampai di atas tebing, diarahkannya pandangan ke laut. Malam itu gelap sekali.
Tak ada kapal yang nampak olehnya. Bahkan bangkai kapal kuno pun tak kelihatan,
karena malam terlampau gelap.
"Sayang malam ini tak ada bulan," pikir Julian. "Kalau ada, barangkali saja aku
bisa melihat barang sesuatu."
Ia masih memandang ke laut selama beberapa saat lagi. Kemudian terdengar suara
George memanggil dari bawah. Suaranya terdengar aneh, lewat lubang yang menganga
di bawah kakinya. "Julian! Ada yang kelihatan" Apakah aku naik saja ke atas?"
"Aku tak bisa melihat apa-apa," jawab Julian. "Tim masih menggeram-geram terus?"
"Ya - begitu kalung lehernya kulepaskan, ia mulai lagi menggeram-geram," kata
George. "Entah apa yang menyebabkan dia begitu."
Sekonyong-konyong Julian melihat sesuatu. Ia melihat sinar cahaya, jauh di
belakang batu-batu yang menjorok ke tengah. Julian memandang dengan perasaan
tegang. Cahaya itu datang dari arah kapal kuno yang terdampar. Ya, betul! Jadi
mestinya ada orang membawa lentera di kapal rusak itu.
"George! Naiklah ke atas!" serunya sambil menjulurkan kepala ke dalam lubang
gua. George naik dengan cekatan. Ia memanjat tali, seperti seekor kera saja cepatnya.
Tim ditinggal di bawah, sambil menggeram. George menghampiri Julian di atas
tebing, lalu duduk di sampingnya.
"Kaulihat bangkai kapal tua - itu, di sana!" kata Julian. "Tentu saja kapalnya
sendiri tak nampak, karena sekarang terlalu gelap! Tapi nampak cahaya lentera
yang diletakkan orang di sana."
"Wah, betul! Ada orang di kapal kita membawa lentera!" ujar George dengan
tegang. "Apakah itu para penyelundup yang datang dengan barang-barang mereka?"
"Mungkin juga seseorang yang hendak mengambil koper," kata Julian. "Besok akan
kita ketahui dengan pasti, karena kita akan ke sana untuk memeriksa. Lihatlah!
Orang yang ada di sana rupanya sekarang pergi - nah! nah! - cahaya lentera
semakin rendah! Rupanya dia atau mereka turun ke perahu yang berada di sisi
kapal. Sekarang cahaya itu lenyap!"
Kedua anak itu menajamkan telinga, kalau-kalau bisa menangkap bunyi dayung di
air, atau suara orang bicara. Kedua-duanya mengira berhasil mendengar suara yang
bercakap-cakap. "Rupanya perahu pergi dan menuju ke sebuah kapal," kata Julian. "Rasanya aku
bisa melihat cahaya lampu samar-samar di sebelah sana - itu, lihatlah! Agak jauh
ke tengah laut! Mungkin perahu tadi menuju ke sana."
Karena setelah itu tak ada lagi yang bisa dilihat maupun didengar, mereka berdua
turun lagi ke gua melewati tangga tali. Mereka tak membangunkan Dick dan Anne
yang masih tetap tidur nyenyak. Tim melompat-lompat menyongsong mereka, sambil
mendengking-dengking pelan karena gembira. Ia tak menggeram lagi.
"Kau memang anjing hebat," kata Julian sambil menepuk-nepuk kepala Tim. "Tak ada
bunyi yang tak tertangkap oleh telingamu yang tajam pendengarannya."
Tim berbaring kembali. Jelas bunyi yang mengganggunya sudah tak ada lagi.
Rupanya Tim mendengar suara orang datang ke kapal yang kandas di batu-batu
karang. Besok mereka akan ke sana, untuk melihat apa yang dibuat orang atau
orang-orang yang tak dikenal di situ di tengah malam.
Anne dan Dick kesal sekali keesokan harinya, ketika mendengar cerita Julian.
"Kau kan bisa saja membangunkan kami," ujar Dick dengan marah.
"Kalian pasti kami bangunkan, kalau lebih banyak yang bisa dilihat," kata
George. "Tapi yang nampak tadi malam cuma cahaya lentera. Selain itu tak ada
apa-apa! Hanya kami merasa seakan-akan mendengar suara orang bercakap-cakap."
Ketika pasang surut sudah cukup rendah, anak-anak dengan disertai Tim pergi
meniti batu-batu yang menonjol di air, menuju ke bangkai kapal. Mereka memanjat
ke atas, dan kemudian berdiri di atas geladak yang miring dan licin. Mereka
memandang ke arah lemari tempat koper hitam kecil tersimpan. Ternyata pintu
lemari tertutup. Julian meluncur di atas lantai geladak ke arah lemari, lalu berusaha membukanya.
Pintu diganjel dengan sepotong kayu, supaya tidak terbuka lagi. Rupanya orang
yang datang tadi malam yang melakukannya. Julian mencabut pasak itu, dan pintu
lemari kemudian bisa dibuka dengan mudah.
"Ada barang lain di dalamnya?" tanya George, sambil melangkah dengan hati-hati
di atas lantai geladak yang licin. Dihampirinya Julian yang sedang berjongkok di
depan lemari. "Ya," jawab Julian. "Lihatlah sendiri. Makanan berkaleng-kaleng! Ada pula
mangkok dan piring serta macam-macam lagi - seakan-akan ada orang hendak tinggal
di pulau kita. Aneh! Kopernya masih ada di sini, dan tetap dalam keadaan
terkunci. Dan ini ada beberapa batang lilin - sebuah lampu kecil - dan segumpal
kain bekas. Untuk apa barang-barang ini disimpan di sini?"
Benar-benar misterius! Julian berpikir-pikir dengan kening berkerut.
"Kelihatannya ada orang yang akan datang ke Pulau dan tinggal di situ untuk
seberapa lama. Mungkin harus menunggu di situ, untuk menjemput barang-barang
yang diselundupkan ke mari. Nah, kita akan berjaga-jaga siang malam untuk
menanti kedatangan tamu itu!"
Mereka meninggalkan bangkai kapal tua dengan hati berdebar-debar. Tempat
persembunyian mereka dalam gua baik sekali! Takkan ada orang yang bisa menemukan
mereka di situ. Dan dari tempat persembunyian itu anak-anak akan bisa mengamat-
amati setiap orang yang datang dan pergi dari bangkai kapal. Begitu pula dari
bangkai kapal ke pulau. "Bagaimana dengan teluk tempat kita menaruh perahu?" kata George dengan tiba-
tiba. "Mungkin saja mereka juga akan menuju ke teluk itu, apabila datangnya
dengan perahu. Pergi ke pulau dari bangkai kapal cukup berbahaya, jika berusaha
mendarat di pantai berbatu-batu yang letaknya tak jauh dari sini."
Lima Sekawan Minggat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau ada orang masuk ke teluk kita, maka akan nampak perahu kita yang ada di
situ," kata Dick terkejut. "Sebaiknya kita sembunyikan saja cepat-cepat."
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Anne. Menurut pendapatnya, tidak mudah
menyembunyikan perahu sebesar kepunyaan mereka.
"Entahlah," jawab Julian. "Kita lihat saja nanti."
Dengan diiringi oleh Tim, mereka berempat pergi ke teluk tempat mereka turun ke
darat. Perahu mereka ditarik sampai tinggi ke atas pantai, tak terjangkau oleh
ombak. George memeriksa daerah sekitar teluk itu dengan seksama. Kemudian ia
mendapat ide. "Bagaimana - mungkinkah kita bisa menarik perahu sampai berada di balik batu
besar ini" Kurasa di sini akan sudah cukup tersembunyi. Asal saja orang itu tak
datang ke mari, karena dengan begitu tentu saja akan ketahuan!"
Saudara-saudaranya sependapat, bahwa hal itu bisa saja dicoba. Dengan napas
terengah-engah mereka menyeret perahu sampai ke balik batu besar. Hampir seluruh
perahu terlindung di belakangnya.
"Bagus!" ujar George, lalu pergi ke teluk untuk melihat apakah banyak yang masih
kelihatan. "Masih nampak sedikit! Kita tutupi saja dengan rumput laut!"
Dengan segera mereka melakukannya. Setelah itu perahu mereka tak kelihatan lagi,
kecuali jika ada orang yang dengan sengaja datang ke balik batu.
"Bagus!" ujar Julian sambil memandang ke arlojinya. "He - sudah lewat waktunya
minum teh. Dan selama kita semua sibuk menyeret-nyeret perahu ke mari, kita lupa
menempatkan seseorang di puncak tebing untuk melakukan pengawasan. Benar-benar
tolol kita ini!" "Kurasa tak ada yang terjadi sejak kita pergi meninggalkan gua," ujar Dick
sambil meletakkan setumpuk besar rumput laut di haluan perahu, untuk melengkapi
samarannya. "Kurasa para penyelundup hanya datang malam hari."
"Kurasa kau benar," kata Julian. "Sebaiknya malam hari pun kita menempatkan
penjaga di atas. Anak yang mendapat giliran menjaga bisa membawa selimut-selimut
ke atas, membungkus badan dengannya."
"Tim juga bisa diajak menemani," kata Anne. "Jadi kalau si penjaga tak sengaja
tertidur, Tim bisa menggeram kalau melihat sesuatu. Dengan begitu si penjaga
pasti akan terbangun."
"Maksudmu tadi, kalau kau tertidur," ujar Dick sambil tertawa nyengir. "Ayohlah!
Kita kembali ke gua, dan minum teh di sana."
Sekonyong-konyong Tim menggeram-geram lagi!
XV ADA SIAPA DI PULAU" "SST!" bisik Julian dengan segera. "Cepat, bersembunyi di balik semak ini!"
Sewaktu Tim menggeram itu mereka sudah pergi dari tanjung, dan sedang berjalan
menuju puri. Segera setelah diperingatkan oleh Julian, anak-anak langsung
merunduk di balik serumpun semak. Hati mereka berdebar-debar keras.
"Tim, jangan menggeram," bisik George dekat ke telinga anjingnya. Seketika itu
juga Tim terdiam. Tetapi ia berdiri dengan kaku. Otot-ototnya kelihatan
bergerak-gerak, siap untuk menerjang maju.
Julian mengintip di sela-sela ranting semak. Samar-samar dilihatnya ada orang di
halaman puri. Satu orang - mungkin dua - tetapi barangkali juga tiga.
Ditajamkannya mata untuk melihat lebih jelas. Tetapi orang-orang itu sudah
lenyap dari pandangan. "Kurasa mereka tadi menggeserkan batu-batu besar yang ditumpuk di atas jalan
masuk ke ruangan-ruangan bawah tanah," bisik Julian. "Dan sekarang mereka turun
ke bawah. Kalian menunggu di sini! Aku hendak melihat ke sana sebentar. Aku akan
berhati-hati, supaya tak terlihat oleh mereka."
Tak lama kemudian ia sudah kembali lagi. Dianggukkannya kepala.
"Betul - mereka turun ke ruangan-ruangan bawah tanah. Mungkinkah mereka itu para
penyelundup" Apakah mereka menyimpan barang-barang selundupan di bawah tanah"
Tempat itu memang cocok sekali untuknya."
"Sementara mereka sedang di bawah tanah, lebih baik kita cepat-cepat kembali ke
gua," kata George. "Aku khawatir kita akan ketahuan nanti, sebagai akibat
gonggongan Tim. Ia sudah nyaris tak bisa lagi menahan diri."
"Kalau begitu kita pergi saja sekarang," kata Julian. "Tapi jangan mengambil
jalan melintas halaman puri! Kita menuju ke pantai, lalu menyusurnya sampai ke
gua. Sudah itu salah seorang dari kita naik ke atas tebing lewat lubang gua, dan
bersembunyi di balik semak yang besar. Dari situ kita bisa mengamat-amati, siapa
sebenarnya penyelundup-penyelundup itu. Mereka tadi pasti datang naik perahu.
Mungkin dari bangkai kapal" tetapi mungkin pula dengan mengambil jalan lewat
batu-batu karang yang di depan pantai. Kalau lewat situ, hebat juga orangnya!"
Akhirnya mereka sampai juga di gua. Dengan cepat Julian naik ke atas lewat
tangga tali, dibantu oleh saudara-saudaranya yang mendorong dari bawah. Tetapi
tahu-tahu Tim menghilang! Sewaktu anak-anak sedang sibuk menolong Julian
memanjat ke atas, anjing itu lari ke luar gua! Ketika George berpaling, Tim
sudah tidak ada lagi. "Timmy!" serunya dengan suara berbisik. "Tim! Timmy! Kau ke mana?"
Tetapi tidak terdengar jawaban! Ternyata Tim pergi berkeluyuran. Bandel benar
anjing itu! Mudah-mudahan saja tak terlihat oleh para penyelundup.
Ternyata Tim mencium bau yang merangsangnya. Ia mencium bau tertentu yang
dikenalnya: bau seekor anjing! Ia segera ke luar, karena ingin mencari asal bau
itu. Kalau dijumpai, akan digigitnya telinga dan ekor anjing itu sampai putus!
Tim tidak menginginkan ada anjing lain di pulaunya.
Sementara itu Julian sudah duduk bersembunyi di balik semak besar yang terdapat
di atas tebing. Ia memandang berkeliling. Di bangkai kapal yang rusak tak nampak
apa-apa. Di laut tak ada kapal. Mungkin perahu yang dipakai oleh orang-orang tak
dikenal untuk datang ke pulau itu tersembunyi di balik batu-batu pantai di
bawahnya. Julian menoleh ke belakang, memandang ke arah puri. Saat itu juga ia
melihat sesuatu yang tak disangka-sangka olehnya!
Dilihatnya seekor anjing sedang mencium-cium di sekitar semak-semak yang
terdapat tak jauh dari tempatnya mengintip. Dan dari belakang anjing itu datang
seekor anjing lain yang bergerak menyelinap dengan bulu tengkuk berdiri! Anjing
itu Tim! Tim sedang mengintai anjing pertama, seperti kucing sedang mengintai
kelinci. Tiba-tiba anjing yang tak dikenal mendengarnya. Ia membalik, berhadapan
dengan Tim. Seketika itu Tim menerpa sambil melolong panjang, menegakkan bulu
roma! Anjing yang satu lagi mendengking ketakutan.
Julian hanya bisa memandang bagaikan terpaku di tempatnya. Ia bingung, tak tahu
apa yang harus dilakukan. Kedua anjing itu ribut sekali. Apalagi anjing yang tak
dikenal, ia terdengking-dengking ketakutan. Bunyinya menggema ke mana-mana.
"Keributan ini pasti akan menyebabkan para penyelundup naik ke atas! Mereka akan
melihat Tim, dan dengan begitu akan tahu bahwa di Pulau ada orang lagi selain
mereka," kata Julian dalam hati. "Kau benar-benar sialan, Tim! - Kenapa kau
tidak bisa diam-diam saja di sisi George?"
Tiga orang muncul dari balik tembok puri. Mereka lari mendekat, untuk melihat
kenapa anjing mereka ribut seperti itu. Julian memandang ketiga orang itu dengan
tercengang: ia melihat bahwa ketiga orang itu adalah Pak Stick, Ibu Stick serta
si Jerawat - Edgar! "Astaga!" bisik Julian dengan kaget, lalu merangkak mundur dari semak dan
bergegas menuju lubang gua. "Mereka mencari kami! Mereka menduga bahwa kami
pergi ke mari, dan sekarang mereka datang untuk mencari! Mereka hendak memaksa
kami pulang! Tapi mereka takkan berhasil menemukan kami. Sayang Tim tadi
membocorkan rahasia!"
Dari dalam gua di bawahnya terdengar bunyi suitan melengking tinggi. George yang
bersuit! Ia mendengar suara anjing berkelahi. Karena merasa khawatir, ia lalu
bersuit memanggil Tim. Suitan itu selalu dipatuhi oleh anjing itu. Begitu ia
mendengarnya, dengan segera dilepaskannya anjing yang sedang digigitnya. Lalu ia
berlari cepat-cepat ke puncak tebing. Tepat saat itu keluarga Stick tiba di
tempat perkelahian. Mereka mengangkat anjing mereka yang melolong-lolong
kesakitan. Badannya berdarah-darah.
Edgar mengejar Tim ke puncak tebing. Ketika Julian melihat anak itu muncul di
atas, dengan segera ia meluncur ke dalam gua. Tim lari ke lubang gua, lalu
meloncat ke dalam. Nyaris tertimpa Julian olehnya. Tim melonjak bangun dan lari
ke George. "Ssst, diam!" bisik George menyuruh Tim berhenti ribut-ribut. "Kau mau rahasia
tempat persembunyian kita ketahuan?"
Sementara itu Edgar sampai di puncak tebing. Napasnya terengah-engah, karena
lari cepat-cepat. Ia tercengang, karena tahu-tahu Tim lenyap. Ia berkeliaran
sebentar mencari anjing itu. Tetapi jelas, Tim tidak ada lagi di atas tebing.
Orang tuanya menyusul naik ke tebing.
"Ke mana anjing itu tadi?" seru Ibu Stick sambil datang menghampiri. "Seperti
apa rupanya?" "Mirip sekali dengan anjing galak kepunyaan anak-anak," ujar Edgar. Suaranya
terdengar jelas dalam gua tempat Julian dan saudara-saudaranya bersembunyi
dengan diam-diam. "Itu kan tak mungkin!" Terdengar suara Ibu Stick membantah. "Anak-anak itu
pulang ke rumah mereka! Kita melihat sendiri waktu mereka pergi ke stasiun,
disertai anjing mereka. Ah, kurasa itu seekor anjing yang ditinggal di sini oleh
salah seorang pelancong."
"Tapi di mana dia sekarang?" Suara serak yang bertanya itu berasal dari Pak
Stick. "Kenapa tidak kelihatan lagi?"
"Menghilang ke dalam tanah," ujar Edgar dengan suara heran.
Pak Stick mendengus, seolah-olah mencemooh.
"Kau memang pintar mendongeng," ujarnya. "Macam-macam saja, menghilang ke dalam
tanah! Kurasa anjing tadi terjatuh dari tebing ini. Kasihan si Abu! Ia luka-luka
digigit anjing itu. Sungguh, kalau kulihat anjing itu muncul lagi, pasti akan
kutembak!" "Barangkali ia bersembunyi di salah satu sudut tebing ini," kata Ibu Stick.
"Kita cari dia!"
Anak-anak dalam gua tak ada yang berani bergerak sedikit pun. George memegang
kalung leher Tim erat-erat. Dari langkah-langkah kaki di atas mereka, anak-anak
itu tahu bahwa keluarga Stick sudah dekat sekali. Julian sudah menunggu-nunggu
saat salah seorang dari ketiga orang itu terperosok ke dalam lubang gua!
Tetapi untung, mereka tak sampai menemukan lubang yang menuju ke dalam gua.
Walau begitu berdirinya sudah dekat sekali, ketika keluarga itu mempercakapkan
peristiwa yang bagi mereka aneh.
"Kalau anjing tadi memang kepunyaan anak-anak, maka tentunya mereka bukan pulang
ke rumah, melainkan pergi ke mari," kata Ibu Stick. "Rencana kita akan terganggu
karenanya. Jadi kita harus memeriksa dengan seksama. Sebelum kuketahui dengan
jelas, aku tidak bisa merasa tenang."
"Kau tak perlu khawatir," ujar Pak Stick. "Sebentar lagi kita akan berhasil
mengetahuinya dengan jelas. Kalau mereka benar ada di sini, maka pasti perahu
mereka tersimpan di salah satu tempat. Dan mereka pun akan kita temukan!
Mustahil empat orang anak, seekor anjing dan sebuah perahu tak berhasil
ditemukan di pulau sekecil ini! Clara, kau mencari sekeliling puri. Mungkin
mereka bersembunyi di balik reruntuhan. Aku akan mencari sekitar sini!"
Anak-anak meringkuk dalam gua mereka. Mudah-mudahan saja perahu mereka tak
ketahuan! Mudah-mudahan saja keluarga Stick tak bisa menemukan jejak mereka! Tim
menggeram-geram pelan. Ia sudah tak tahan lagi, ingin lari ke luar dan mencari
si Bau! Puas rasanya bisa menggigit kuping anjing itu.
Edgar mencari dengan takut-takut. Ia ngeri berjumpa dengan anak-anak, dan lebih
ngeri lagi apabila sampai berhadapan dengan Tim. Karena itu ia mencari dengan
segan-segan. Ia turun ke teluk kecil tempat perahu anak-anak disembunyikan.
Walau dilihatnya jejak bekas perahu diseret di atas pasir, yang masih nampak
sedikit meski telah disapu air pasang naik, tetapi ia tak melihat haluan perahu
yang menonjol dari balik batu. Haluan itu ditutupi dengan rumput laut.
"Tak ada apa-apa di sini!" serunya pada ibunya. Saat itu Ibu Stick sedang
berkeliaran sekitar puri, memeriksa setiap sudut dan celah yang ada. Tetapi ia
pun tak menemukan apa-apa. Pak Stick sama saja nasibnya. Ia pun tak berhasil
menemukan jejak anak-anak.
"Rupanya bukan anjing anak-anak itu," kata Pak Stick pada akhirnya. "Kalau
anjing itu kepunyaan mereka, maka anak-anak itu pun mesti ada di sini dengan
perahu mereka. Tapi kita tak berhasil menemukan apa-apa. Kurasa yang tadi itu
seekor anjing liar. Walau begitu kita harus hati-hati terhadapnya."
Setelah menunggu dengan tegang selama satu jam, akhirnya ketegangan anak-anak
mengendur. Menurut perkiraan mereka, keluarga Stick pasti tak mencari lagi.
Mereka mendidihkan air dalam ceret, lalu membuat minuman teh. Anne mempersiapkan
hidangan roti. Tim diikat, agar ia tak ke luar lagi karena ingin mencari si Bau.
Anak-anak makan dan minum dengan tenang. Kalau bicara pun, hanya berbisik-bisik.
"Rupanya keluarga Stick ke mari bukan mencari kita," bisik Julian, "Dari
percakapan mereka tadi, sudah jelas mereka mengira kita pulang ke rumah naik
kereta api. Sedang George dan Tim kita ajak serta."
"Kalau begitu untuk apa mereka ke mari?" tanya George dengan galak. "Ini pulau
kita! Mereka tak berhak ke mari. Ayoh, kita usir mereka. Ketiga-tiganya takut
pada Tim! Kita ajak dia. Kalau mereka tak mau pergi, kita suruh Tim mengejar."
"Jangan, George," kata Julian. "Pakailah otakmu! Jangan sampai mereka mengadu
pada ayahmu bahwa kita ada di sini. Nanti dia marah, lalu kembali dan menyuruh
kita pulang dengan segera. Selain itu - aku juga mempunyai dugaan lain."
"Apa?" tanya saudara-saudaranya dengan segera. Mereka melihat mata Julian
bersinar-sinar, seperti biasanya kalau sedang mendapat ide.
"Yah," ujar Julian sambil berpikir, "tidak mungkinkah keluarga Stick ada sangkut
pautnya dengan para penyelundup" Mungkin saja, bukan - mereka ke mari untuk
menjemput barang-barang selundupan, atau menyembunyikannya sambil menunggu saat
Selamat Datang Dirumah Mati 1 Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang Pusaka Jala Kawalerang 1