Pencarian

Rahasia Harta Karun 1

Lima Sekawan 10 Rahasia Harta Karun Bagian 1


RAHASIA HARTA KARUN Sumber Ebook : Kangzusi - OCR by Raynold
1. Surat dari Julian "ANNE!" seru George, sambil lari mengejar saudara sepupunya yang sedang berjalan
ke kelasnya. "Anne! Aku baru saja dari rak tempat surat. Ada surat dari Julian
untukmu! Nih, kubawakan."
"Wah - terima kasih," kata Anne, berhenti berjalan. "Mau apa lagi abangku itu"
Aku baru saja menerima surat dari dia beberapa hari yang lalu. Bukan
kebiasaannya sering-sering menulis surat. Pasti ada urusan penting!"
"Buka saja dulu suratnya dan baca isinya," kata George tidak sabar. "Ayo cepat
sedikit - nanti aku terlambat mengikuti pelajaran matematika."
Anne membuka sampul dan mengeluarkan selembar surat dari dalamnya. Dibacanya
surat itu cepat-cepat. Kemudian ditatapnya George dengan mata bersinar gembira.
"Wah, George-Julian dan Dick mendapat libur beberapa hari, bertepatan dengan
akhir pekan panjang kita pada pertengahan semester ini! Kata Julian, ada teman
sekolah mereka yang memenangkan sesuatu - entah beasiswa atau apa, pokoknya
penghargaan yang hebat. Lalu mereka mendapat tambahan libur dua hari pada salah
satu akhir pekan, untuk merayakan hal tersebut. Kita diajak melancong jalan kaki
bersama mereka!" "Asyik!" seru George gembira. "Pasti itu ide Julian! Kubaca sebentar suratnya,
Anne." Tapi George tak sempat lagi membaca surat Julian, karena saat itu seorang ibu
guru lewat di gang tempat mereka berdiri.
"Georgina!" kata ibu guru itu. "Kau kan sudah harus masuk ke dalam kelas! Dan
kau juga, Anne." George merengut. Ia paling benci kalau disapa dengan namanya yang sebenarnya. Ia
berbalik lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Sedang Anne memasukkan surat
abangnya ke dalam kantong, lalu bergegas ke kelasnya. Ia merasa gembira karena
akan berlibur bersama kedua abangnya, Julian dan Dick, serta George dan
anjingnya yang bernama Timmy. Pada saat istirahat siang, Anne mengobrol dengan
George mengenai rencana itu.
"Kita akan libur dari hari Jumat sampai Selasa," kata George. "Dan liburan
Julian dan Dick sama seperti kita. Untung juga ya, karena biasanya dalam
semester musim dingin mereka tidak mendapat libur pertengahan semester."
"Dan mereka tidak bisa pulang, karena rumah kami saat ini sedang dicat," kata
Anne. "Karena itulah sebetulnya menurut rencana semula aku ikut pulang denganmu.
Tapi kurasa ibumu takkan berkeberatan apabila kita ikut melancong dengan Julian
dan Dick Ayahmu selalu tidak senang jika kita datang selama libur pertengahan
semester." "Memang," kata George. "Saat-saat sekarang ini ia selalu sedang sibuk dengan
ide-ide hebat, dan karenanya pasti jengkel apabila ketenangannya terganggu. Jadi
semua akan senang, jika kita pergi melancong."
"Dalam suratnya Julian menulis bahwa malam ini ia akan menelepon kemari untuk
mengatur segala-galanya," kata Anne. "Mudah-mudahan saja akhir pekan nanti
cuacanya baik Sekarang masih bulan Oktober. Musim dingin masih jauh, jadi sinar
matahari masih lumayan hangat."
"Saat ini hutan sedang bagus-bagusnya," kata . George lagi. "Kita akan berjalan
di atas daun-daun kering, menyusuri lembah dan bukit!"
Julian menepati janji. Ia menelepon malam itu. Ternyata segala-galanya sudah
direncanakan olehnya. Anne mendengarkan dengan asyik
"Kedengarannya menarik," katanya kemudian. "Ya - kita kan bertemu di tempat yang
kaurencanakan, dan akan kami usahakan untuk tiba setepat mungkin. Dan kalau
kalian ternyata belum sampai, kami bisa menunggu. Ya - kami akan membawa barang-
barang yang kaukatakan tadi. Wah, Julian - liburan kita kali ini pasti akan
sangat menyenangkan!"
"Apa saja katanya tadi?" tanya George tidak sabar, ketika Anne selesai berbicara
dengan abangnya. "Aku tadi kepingin juga bicara dengannya sebentar. Aku ingin
menceritakan Timmy padanya."
"Ia tidak mau membuang uang untuk bayar telepon, kalau cuma untuk mendengar
ocehanmu tentang Timmy," kata Anne. "Ia tadi menanyakan kabar anjingmu itu, lalu
kujawab, '.Baik!' Lalu ia tidak mengatakan apa-apa lagi tentang Timmy. Tapi
segala urusan pelancongan kita nanti sudah diurus olehnya."
Kemudian mereka mendatangi ibu asrama, untuk melaporkan bahwa mereka tidak jadi
pulang ke Pondok Kirrin. Mereka akan melancong!
"Kata abang saya, ia sudah menulis surat pada Anda," kata Anne. "Jadi besok Anda
akan mengetahui segala rencana. kami. Dan ibu George juga akan menulis surat.
Kami boleh pergi kan, Bu Peters?"
"Tentu saja!" kata ibu asrama. "Acara itu pasti akan menyenangkan! Apalagi jika
cuaca tetap cerah seperti sekarang. Kalian hendak ke mana?"
"Menyusuri padang belantara," jawab Anne. "Kata Julian, kami akan menuju ke
daerah yang paling sunyi dan terpencil di situ! Mungkin kami akan bisa bertemu
kijang, kuda kerdil yang liar - pokoknya kami akan jalan kaki sepuas-puasnya!"
"Tapi jika kalian pergi ke daerah yang sangat sepi, lalu kalian tidur di mana
nanti?" tanya Bu Peters lagi.
"Ah - itu semua sudah diatur oleh Julian," kata George. "Ia sudah meneliti letak
penginapan-penginapan dan rumah petani dalam peta. Lalu tiap kali sebelum malam
tiba, kami akan menuju salah satu tempat yang sudah dipilin olehnya. Saat ini
sudah tidak enak lagi tidur di luar. Sudah terlalu dingin!"
"Itu sudah pasti!" kata Bu Peters mengiakan. "Yah - pokoknya jangan sampai
mengalami kejadian yang aneh-aneh lagi. Aku tahu, jika kalian berlima sudah
berkumpul, selalu saja ada petualangan yang kalian alami. Tentunya Timmy akan
diajak juga, kan?" "Tentu saja!" kata George. "Kalau Timmy tidak ikut, saya takkan mau pergi. Saya
tak mau meninggalkan Timmy sendiri di sini."
Menjelang hari Jumat, Anne dan George sudah sibuk berkemas. Barang-barang
dimasukkan ke dalam ransel, tapi tiap kali dibongkar lagi. Makin lama makin
banyak barang yang mereka masukkan. Anne ingin membawa buku bacaan, sedang
menurut George mereka masing-masing perlu membawa senter dengan baterai baru.
"Lalu bagaimana dengan biskuit untuk Timmy?" katanya kemudian. "Aku harus
membawa sesuatu untuknya. Dan ia pasti juga ingin kubawakan tulang! Enaknya yang
besar, untuk dikunyah-kunyah, lalu kusimpan lagi dalam ransel sampai saat makan
berikutnya!" "Wah! Biar aku saja yang membawa bekal makanan kita - jika kau hendak memasukkan
tulang bau itu ke dalam ranselmu," kata Anne.
"Aku tak mengerti untuk apa kau repot-repot mengangkut bekal untuk Timmy! Ia kan
bisa ikut makan dengan kita?"
Akhirnya George tidak jadi memasukkan tulang ke dalam ranselnya. Padahal dia
sudah mengambil sebongkah besar dari tempat penitipan anjing. Tulang itu benar-
benar besar - dan baunya sepadan dengan ukurannya.
Timmy ikut mondar-mandir dengan George. Pergi ke kandang mengambil tulang. Lalu
kembali ke kandang, memulangkan tulang. Anjing itu agak bingung. Kenapa George
repot sekali, bolak-balik membawa tulang" Anjing itu sama sekali tidak setuju,
tulangnya dipindah-pindahkan terus.
Rasanya lama sekali menunggu hari Jumat. Tapi hari itu akhirnya tiba juga. Pagi-
pagi sekali kedua anak perempuan itu sudah bangun. Sebelum sara pan, George
sudah pergi ke kandang anjing. Timmy dibersihkan dan disisir bulunya, supaya
kelihatan rapi pada saat berjumpa dengan Julian dan Dick. Ia kelihatannya
gembira, seakan tahu hari itu mereka akan berangkat melancong.
"Sebaiknya kita sarapan sampai kenyang," kata Anne. "Kita belum tahu, jam berapa
bisa makan lagi. Lalu begitu selesai sara pan, kita langsung berangkat."
Keduanya sarapan sekenyang-kenyangnya, walau sebetulnya pagi itu mereka agak
kurang berselera. Mereka terlalu gembira! Sehabis sarapan mereka mengambil
ransel yang sudah beres dikemas malam sebelumnya. Setelah pamit pada Bu Peters,
mereka lantas pergi ke tempat penitipan anjing, untuk menjemput Timmy.
Anjing itu sudah tidak sabar lagi menunggu kedatangan George dan Anne. Ketika
keduanya muncul, Timmy ribut menggonggong-gonggong. Dalam sekejap mata ia sudah
keluar dari kandang. Ia melonjak-lonjak mengelilingi mereka, sampai-sampai kedua
anak perempuan itu agak sukar berjalan.
"Selamat jalan, Anne dan George!" seru salah seorang teman asrama mereka.
"Selamat jalan-jalan! Dan jika kalian kembali hari Selasa nanti, jangan
bercerita tentang petualangan seru yang kalian alami seperti biasa - karena kami
takkan mau percaya!"
Timmy menggonggong-gonggong. Seakan hendak berkata, ia pasti akan mengalami
petualangan asyik. Dengan kelinci!
2. Berangkat SEMENTARA itu Julian dan Dick juga sudah berangkat. Mereka senang sekali, karena
tanpa disangka-sangka libur akhir pekan mereka ditambah dua hari.
"Aku sebetulnya tidak begitu suka pada Willis dan Johnson," kata Julian ketika
berjalan keluar pekarangan sekolah bersama adiknya.
"Kedua-duanya tukang belajar! Tak pernah ada waktu untuk berolahraga atau
bermain-main. Tapi, hari ini aku salut pada mereka. Karena begitu gemar belajar,
mereka sekarang memenangkan medali, beasiswa, dan entah apa lagi, dan kita
mendapat tambahan hari libur untuk merayakannya! Hidup Willis! Hidup Johnson!"
"Ya - aku pun salut pada keduanya!" kata Dick. "Tapi aku berani taruhan, akhir
pekan ini pun mereka akan terus duduk di salah satu pojok - sambil belajar!
Mereka mana mungkin tahu apakah di luar cuaca cerah seperti sekarang, atau hujan
seperti kemarin. Anak-anak yang malang!"
"Mereka takkan senang melancong jalan kaki," kata Julian lagi. "Mereka akan
merasa menderita. Kau ingat tidak, betapa konyolnya Johnson ketika bermain
rugby! Ia sama sekali tak tahu mana gawang sendiri dan mana gawang lawan!
Larinya selalu salah arah!"
"Ya - tapi otaknya pasti luar biasa cerdasnya," kata Dick. "Eh - kenapa kita
jadi terus-terusan membicarakan Willis dan Johnson" Kan masih banyak persoalan
lain yang lebih menarik. Misalnya saja janji kita dengan Anne dan George! Dan
tentu saja dengan Timmy pula. Mudah-mudahan saja mereka berangkat pada
waktunya." Sebelum berangkat, sekali lagi Julian mempelajari peta. Peta itu berskala besar.
Yang digambarkan di situ daerah padang belantara yang terbentang di antara
sekolah Julian dan Dick dengan sekolah Anne dan George. Sebagian besar berupa
padang belukar yang sepi. Hanya di sana-sini saja ada pertanian, serta beberapa
pondok kecil dan sejumlah penginapan.
"Kita tidak lewat jalan raya," kata Julian. "Jalan kelas dua dan tiga, juga kita
hindari. Kita akan menyusuri jalan setapak! Aku ingin tahu bagaimana sikap Timmy
jika bertemu kijang. Pasti ia heran, tak tahu makhluk apa itu!"
"Ah - paling-paling perhatiannya akan tertuju pada kelinci saja," kata Dick.
Tiba-tiba Julian berseru,
"Ayo cepat sedikit - itu busnya sudah datang! Keduanya berlari-lari menyongsong
bus luar kota yang datang. Bus itu kecil. Rutenya adalah jalan-jalan desa,
mengangkut penumpang ke pasar, atau menuju desa-desa kecil yang terpencil di
tengah padang. Sopir bus melihat Julian dan Dick berlari-lari, lalu menghentikan
kendaraan. Kedua anak itu melompat masuk
"Nah! Kalian bolos ya," kata Pak Kondektur. "Awas, kulaporkan nanti."
"Haha - lucu," kata Julian. Ia sudah bosan mendengar kelakar itu, yang selalu
diucapkan kondektur setiap kali ada anak masuk ke dalam bus sambil menyandang
ransel. Julian dan Dick turun dari bus di desa berikut. Mereka harus menyeberang desa,
menuju perhentian bus yang lain. Begitu masuk ke dalam bus, mereka lantas duduk
dengan nyaman. Perjalanan mereka ke tempat pertemuan yang direncanakan akan
memakan waktu setengah jam.
"Sudah sampai," seru kondektur, ketika bus masuk ke sebuah desa. Tampak sebuah
lapangan luas, di sana berkeliaran beberapa ekor angsa yang meleter dengan
ribut. Ada pula sebuah telaga kecil tempat bebek berenang.
"Kalian kan hendak turun di desa Pippin" Rute kami cuma sampai di sini. Kami
akan berputar kembali."
"Terima kasih," kata kedua anak laki-laki itu lalu turun.
"Nah, sudah tibakah Anne dan George?" kata Julian. "Mereka harus jalan kaki dari
stasiun kereta api, yang jauhnya dua kilometer dari sini."
Ternyata kedua anak perempuan itu belum datang. Julian dan Dick pergi minum
limun di toko yang ada di desa itu. Mereka baru saja selesai minum, ketika
tampak Anne dan George berdiri di ambang pintu sambil memandang ke dalam.
"Julian! Dick! Sudah kami kira kalian sedang makan atau minum di sini," seru
Anne sambil bergegas mendatangi kedua abangnya. "Kami sudah berusaha datang
secepat-cepatnya. Kereta kami tadi mogok. Lucu sekali - penumpang turun semua,
lalu sibuk memberi nasihat pada masinis tentang bagaimana sebaiknya memperbaiki
kerusakan!" "Halo!" sapa Julian sambil merangkul Anne.
Julian sangat sayang pada adiknya itu. Kemudian disapanya George. "Halo,George!
Wah - kau gendut sekarang!"
"Mana mungkin," kata George tersinggung.
"Kau ini masih belum mengerti juga," sela Dick sambil menepuk punggung George.
"Ia kan paling senang menggoda orang! Tapi kau memang sudah tambah besar
sekarang, sebentar lagi pasti sudah menyusulku. Dan, Timmy-kau juga ikut seperti
biasa!" Timmy melonjak-lonjak sambil menggonggong. Anjing itu gembira, karena mereka
berlima berkumpul lagi. Ekornya dikibaskan kian kemari. Akibatnya, beberapa
kaleng yang semula tertumpuk rapi tersenggol dan jatuh berkelontangan ke lantai.
"He, ada apa di sini?" Wanita pemilik toko itu muncul dari sebuah kamar yang
gelap di belakang. "Bawa anjing itu keluar. Dia rupanya sudah sinting!"
"Kalian berdua tidak ingin minum dulu?" tanya Julian sambil memegang kalung
leher Timmy erat-erat. "Lebih baik minum dulu sepuas-puas kalian, supaya kita
tidak perlu repot-repot membawa botol minuman yang berat dalam ransel."
"Kita mau ke mana?" tanya George. "Ya, aku ingin minum limun jahe! Ayo duduk,
Timmy! Tingkahmu bukan main, sepertinya sudah sepuluh tahun tak bertemu dengan
Dick dan Julian!" "Mungkin untuk Timmy rasanya memang seperti sepuluh tahun," kata Anne. "He - itu
sandwich, kan?" Anne menunjuk ke belakang meja jualan. Di situ ada setumpuk sandwich, yaitu roti
biasa yang sudah diiris-iris dan diisi dengan daging, ikan, keju, telur, serta
sayuran segar. Kelihatannya sangat membangkitkan selera makan.
"Betul," kata pemilik toko sambil membuka dua botol limun jahe. "Aku
menyediakannya untuk anakku yang laki-laki. Ia bekerja di pertanian Blackbush.
Sebentar lagi ia akan datang mengambilnya."
Julian langsung minta dibuatkan beberapa potong.
"Dengan begitu pada saat makan siang nanti kami tak perlu repot-repot lagi
mencari makanan," katanya. "Bikinan Anda kelihatannya enak sekali."
"Ya, akan kubuatkan sebanyak yang kalian inginkan," kata wanita itu sambil
meletakkan dua gelas di depan Anne dan George. "Kalian ingin isinya apa" Keju,
telur, atau daging?"
"Hem - dari semuanya masing-masing berapa potong," kata Julian. "Roti Anda
kelihatannya juga enak."
"Ini bikinanku sendiri." Wanita itu kelihatan senang. "Baiklah - kubikinkan
sekarang saja. Nanti kalau ada orang datang, tolong panggil aku ya!" Setelah itu
ia masuk ke ruang belakang.
"Bagus," kata Julian. "Kalau ia membuat cukup banyak, sepanjang hari kita takkan
perlu mampir di salah satu desa. Jadi kita bisa menjelajah terus sehari penuh -
melewati tempat-tempat yang belum pernah diinjak orang!"
Tiba-tiba wanita pemilik toko muncul lagi. "Kalian masing-masing bisa makan
berapa potong?" tanyanya. "Kalau anakku, ia biasa makan enam potong sandwich -
jadi dua belas iris roti."
"Yah - bisakah Anda membuatkan kami masing-masing delapan potong sandwich?" kata
Julian. Ia melihat wanita itu tercengang menatapnya. Karena itu ia lantas buru-
buru menjelaskan, "Kami memerlukannya untuk persediaan sepanjang hari."
Wanita itu mengangguk, lalu masuk lagi.
"Lumayan juga banyaknya," kata Anne. "Delapan sandwich, jadi enam belas iris
roti - lalu semuanya dikalikan empat!"
"Mudah-mudahan saja ia memiliki mesin pengiris roti," kata Dick. "Kalau tidak,
kita akan lama menunggu di sini. Eh - siapa itu?"
Seorang laki-laki bertubuh jangkung muncul di ambang pintu toko. Ia memegang
setang sepeda. "Bu!" serunya memanggil
Dengan segera anak-anak sudah bisa menduga siapa dia. Pasti anak pemilik toko,
yang bekerja di pertanian Blackbush. Ia datang untuk mengambil bekal makan
siangnya. "Ibu Anda sedang sibuk bekerja, memotong enam puluh empat iris roti," kata Dick.
"Perlukah dia kupanggil?"
"Tak usah, karena aku harus buru-buru," kata orang jangkung itu. Setelah
menyandarkan sepedanya di pintu, ia masuk untuk mengambil sandwich-nya, lalu
langsung keluar lagi. "Bilang saja pada ibuku bahwa aku sudah datang," katanya. "Dan tolong katakan


Lima Sekawan 10 Rahasia Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula, hari ini aku pulang agak lambat - karena harus mengantar barang ke
penjara." Sehabis itu ia langsung meloncat ke sadel sepedanya, lalu pergi. Saat itu wanita
pemilik tako masuk. Ia memegang sebongkah roti serta sebilah pisau.
"Rasanya aku seperti mendengar suara Jim," katanya. "Ya, betul-rotinya sudah
tidak ada! Kenapa kalian tidak bilang bahwa ia datang?"
"Katanya ia tergesa-gesa," kata Julian menjelaskan. "Ia juga mengatakan nanti
akan terlambat pulang karena harus mengantarkan barang ke penjara."
"Ya, ada seorang anak laki-lakiku di sana," kata pemilik toko. Julian serta
ketiga saudaranya menatap wanita itu. Mungkinkah maksud wanita itu, ada seorang
anak laki-lakinya yang menjadi narapidana" Dan apa sebabnya ia dipenjarakan"
Wanita itu rupanya menebak pikiran mereka. Ia tersenyum.
"Bukan- Tom bukan narapidana! " katanya. "Ia anak baik! Ia bekerja sebagai
penjaga di sana. Tapi itu bukan pekerjaan yang menyenangkan. Aku selalu takut
kalau mengingat para narapidana yang harus dijaga olehnya. Mereka itu jahat-
jahat dan galak!" "Ya, aku juga sudah mendengar bahwa di daerah sini ada penjara," kata Julian.
"Tempatnya juga digambarkan dalam peta kami. Tapi tentu saja kami tak berniat
pergi ke dekat-dekat situ."
"Jangan! Jangan ajak anak-anak perempuan ke sana," kata wanita itu lagi sambil
beranjak hendak pergi ke belakang. "Kalau tidak segera kulanjutkan pekerjaan
mengiris roti, ada kemungkinan baru besok pagi sandwich kalian siap!"
Hanya satu orang yang masuk ke toko ketika keempat anak itu sedang menunggu di
situ. Seorang laki-laki tua berwajah serius, dengan pipa. terselip di bibirnya.
Ia memandang berkeliling. Karena tak melihat si pemilik toko di situ, ia lantas
mengambil satu pak bubuk puding lalu menaruh sejumlah uang di atas meja
penjualan. "Katakan pada si pemilik warung jika ia keluar nanti," gumam orang tua itu
dengan pipa tetap terselip di bibir, lalu keluar lagi dengan langkah teringsut-
ingsut. Akhirnya sandwich mereka selesai juga disiapkan oleh wanita pemilik toko. Ia
mengemaskannya dalam empat bungkusan rapi. Ia bahkan menuliskan apa-apa saja
isinya. Julian membacanya, lalu mengedipkan mata pada saudara-saudaranya.
"Wah! Akan pesta besar kita nanti," katanya. "Dan yang ini apa isinya?"
"Ah, itu empat potong kue buah bikinanku sendiri!" kata wanita itu. "Itu tak
perlu kalian bayar. Aku berikan supaya kalian bisa mencicipinya!"
"Tapi kenapa banyak sekali" Sepertinya setengahnya Anda berikan pada kami," kata
Julian terharu. "Terima kasih banyak! Tapi tentu saja kami harus membayarnya.
Semuanya berapa, Bu?"
Wanita itu menyebutkan harga sandwich yang dibuatkannya. Julian membayar dengan
tambahan sedikit untuk kue buah. "Terima kasih, Bu," kata Julian sambil
menyerahkan uang. "Dan itu uang yang tadi ditinggalkan oleh seorang laki-laki
tua yang mengisap pipa. Ia mengambil satu pak bubuk puding."
"O - itu pasti Pak Tua Cupps," kata wanita pemilik toko. "Nah, selamat
melancong! Lalu kalau kalian ingin dibuatkan sandwich lagi, datang saja ke sini.
Kalau yang kubuatkan tadi, pasti cukup untuk hari ini!"
Timmy menggonggong, dengan harapan akan mendapat bagian pula. Wanita itu
mengambil sepotong tulang, lalu menyodorkannya pada Timmy.
"Terima kasih," kata Julian sekali lagi. "Yuk- kita mulai jalan!"
3. Merintis Padang KEEMPAT anak itu berangkat, didului oleh Timmy yang berlari-lari di depan
mereka. Sekolah rasanya sudah jauh sekali. Matahari musim gugur memancarkan
sinarnya yang nyaman. Daun-daun pepohonan daerah pedesaan menampakkan warna
beraneka ragam, kuning merah sampai cokelat. Warna-warna musim gugur. Beberapa
helai daun melayang-layang ditiup angin. Tetapi pepohonan masih berdaun rimbun.
Dedaunan baru akan banyak berguguran, apabila hawa sudah lebih dingin lagi -
apabila suhu pada malam hari kadang-kadang sudah turun ke bawah titik beku.
"Hari ini enak sekali," kata George. "Sayang aku memakai jaket. Badanku sudah
seperti dipanggang rasanya."
"Buka saja jaketmu, lalu sampirkan di pundak," kata Julian. "Aku juga. akan
melakukannya. Hari. ini pakai baju kaus wol lengan panjang saja sudah cukup
hangat!" Keempat anak itu membuka jaket mereka masing-masing, lalu menyampirkannya ke
pundak. Mereka menyandang ransel. Masing-masing membawa mantel hujan yang
digulung dan diikatkan ke ransel. Kini bawaan mereka bertambah dengan jaket
masing-masing. Tapi mereka tak merasakan beban tambahan itu, karena perjalanan
baru saja dimulai. "Untung kalian menuruti saranku untuk memakai sepatu yang paling tebal solnya,"
kata Julian pada. Anne dan George, sambil memandang ke sepatu mereka. "Karena
mungkin kita akan melewati tempat-tempat yang agak basah. Kalian membawa kaus
kaki ganti, kan?" "Ya - kami membawa segala-galanya yang kauinstruksikan," kata Anne. "Tapi
ranselmu kelihatannya lebih penuh dari kepunyaan kami, Ju"
"Aku harus membawa peta dan macam-macam," kata Julian. "Padang belantara ini
luas sekali! Dan namanya aneh-aneh. Lembah Buntu, Bukit Kelinci, Telaga Siluman,
Hutan Arnab!" "Bukit Kelinci" Wah, Timmy pasti akan senang," kata George, sementara kuping
anjingnya menegak dengan seketika. Kelinci" Nah, tempat begitu yang paling
disukai olehnya! "Kita saat ini menuju ke Bukit Kelinci," kata Julian. "Dan setelah itu menyusul
Hutan Arnab. Arnab adalah nama lain untuk kelinci. Jadi Timmy pasti akan asyik
nanti!" Timmy menggonggong dengan gembira, lalu lari mendului. Sedang Julian beserta
ketiga saudaranya berjalan sambil menikmati kehangatan sinar matahari pagi. Tak
lama kemudian mereka sudah meninggalkan desa, lalu mengambil jalan sempit yang
berkelok-kelok. Pagar tumbuh-tumbuhan di kanan-kiri jalan tinggi sekali,
sehingga tak tampak apa yang ada di baliknya.
"Aku merasa seperti sedang lewat dalam terowongan!" kata Dick. "Jalan ini sempit
sekali! Aku tak mau kalau disuruh menyetir lewat sini. Kalau ada mobil lain
datang dari depan, mungkin aku harus mundur sampai jauh sekali."
"Tapi kurasa kita takkan sering berpapasan dengan orang lain," kata Julian.
''Cuma di musim panas saja ada mobil lewat sini. Orang-orang yang berdarmawisata
ke daerah pedesaan! Nah - sekarang kita akan mengambil jalan yang itu! Menurut
peta, jalan itu menuju ke Bukit Kelinci."
Mereka memanjat pagar yang tinggi, lalu mengambil jalan pintas menuju sebuah
bukit kecil. Tiba-tiba Timmy menjadi gelisah. Rupanya ia mencium bau kelinci.
Bukan cuma mencium baunya-ia juga bisa melihat binatang-binatang itu. George
tercengang. "Jarang ada kelinci sampai sebegitu banyak pada siang hari, katanya. "Bukan
main, besar dan kecil asyik berlompat-lompatan!"
Ketika mereka sampai di bukit, mereka lantas duduk dengan diam-diam untuk
memperhatikan tingkah-polah kelinci-kelinci. Tapi Timmy tidak bisa disuruh diam.
Anjing itu tak tahan lagi. Dengan sekali renggut ia membebaskan diri dari
pegangan George, lalu lari mendaki lereng. Kelinci-kelinci itu lari berhamburan.
"Timmy!" seru George memanggil anjingnya. Tetapi sekali itu Timmy tak
mengacuhkan George. Ia lari ke sana kemari. Mula-mula mengejar kelinci yang
satu, lantas menubruk kelinci berikutnya, yang secepat kilat masuk ke dalam
liangnya. "Percuma saja memanggilnya," kata Dick. "Tapi ia toh takkan berhasil menangkap
mereka. Lihatlah! Kelinci-kelinci itu terlalu lincah baginya. Kurasa mereka
bahkan mempermainkan Timmy!"
Kelihatannya memang begitu. Begitu Timmy mengejar dua atau tiga kelinci yang
segera masuk ke dalam liang, dengan segera muncul beberapa ekor kelinci lain
dari liang di belakangnya. Anak-anak tertawa melihat pertunjukan kocak itu.
"Menurut rencanamu, di mana kita akan makan siang nanti?" tanya Anne. "Jika kita
kelamaan duduk-duduk di sini, aku pasti akan merasa lapar lagi. Padahal sekarang
belum saatnya makan siang. Entah kenapa - aku selalu merasa lapar jika berada di
tengah alam terbuka!"
"Kalau begitu kita berangkat saja lagi," kata Julian. "Masih cukup jauh
perjalanan kita untuk mencapai tempat makan siang kita nanti. Aku sudah mengatur
jadwal waktu pelancongan kita! Kita akan mengelilingi padang belantara ini,
sampai akhirnya kembali di tempat kita berangkat tadi. Semuanya sudah kuatur!"
"Dan kita menginap di rumah-rumah petani?" tanya George. "Aku kepingin tidur di
rumah-rumah begitu. Bagaimana - maukah mereka menerima kita" Atau kita tidur di
penginapan?" "Dua malam kita menginap di rumah-rumah petani, sedang selebihnya di
penginapan," kata Julian. "Aku sudah memilih tempat-tempatnya."
Mereka sampai di puncak Bukit Kelinci, lalu menuruni lereng di baliknya. Di situ
juga banyak kelinci. Timmy sibuk mengejar ke sana dan kemari, sampai napasnya
terengah-engah. Bunyinya seperti mesin mobil yang sedang menanjak gunung!
Lidahnya terjulur ke luar.
"Kau sudah cukup berlari-lari, Tim," kata George. "Jangan iseng lagi sekarang."
Tapi Timmy belum mau berhenti. Tak mungkin seekor anjing membiarkan kelinci
berkeliaran begitu banyak, tanpa mengejar. Karena itu anak-anak lantas
meninggalkannya sibuk sendiri, lalu menuruni bukit. Ketika mereka sampai di kaki
bukit, Timmy datang mengejar.
"Nah! Mudah-mudahan sekarang kau sudah bosan lari kian kemari, dan mau berjalan
bersama kami," kata George marah-marah. Tapi ucapannya itu ternyata keliru,
karena tak lama kemudian mereka sampai di sebuah hutan kecil. Menurut Julian,
itulah Hutan Arnab. "Tadi sudah kukatakan. Arnab adalah kata lain untuk kelinci, jadi jangan
berharap Timmy akan bisa tenang," katanya.
Dan nyaris saja Timmy hilang dalam hutan itu. Seekor kelinci lari menyusup ke
dalam sebuah liang yang sangat besar ketika dikejar oleh Timmy. Dan anjing itu
mengikutinya masuk sampai agak dalam. Tapi kemudian badannya tersangkut di situ.
Timmy mulai bingung. Ia mengais-ngais dengan kaki depannya. Tapi percuma saja.
Ia tetap tersangkut di dalam liang!
Tak lama kemudian anak-anak menyadari bahwa Timmy tak ada bersama mereka, lalu
kembali sambil memanggil-manggil. Secara kebetulan mereka. sampai di lubang
tempat Timmy tersangkut. Mereka mendengar napas terengah-engah serta bunyi
mengais-ngais. Pasir berhamburan keluar dari liang.
"Itu pasti Timmy! Goblok, ia tersangkut dalam liang," kata George. George
ketakutan, lalu memanggil-manggil, "Timmy! Timmy! Ayo cepat keluar!"
Timmy memang sudah ingin keluar. Tapi walau sudah berusaha sekuat-kuatnya, ia
tetap tersangkut. Punggungnya tertekan akar sebuah pohon. Ia tidak bisa
menggeser tubuhnya melewati akar yang menahan punggungnya itu.
Anak-anak memerlukan waktu dua puluh menit untuk membebaskan Timmy dari liang
itu. Anne bahkan terpaksa merangkak masuk ke dalam. Hanya dia yang tubuhnya
cukup kecil, sehingga bisa masuk ke situ. Anne memegang kaki belakang Timmy,
lalu menariknya kuat-kuat. Untung akar yang merintangi agak tergeser, sehingga
anjing itu bisa ditarik mundur. Timmy mendengking kesakitan.
"Anne! Kau menyakitinya!" seru George. "Cepat-lepaskan!"
"Tidak bisa!" balas Anne dari dalam lubang. "Kalau kakinya kulepaskan, ia akan
merosot lebih dalam lagi. Bisakah kalian menarik aku keluar" Dengan begitu Timmy
akan ikut tertarik - karena aku memegang kaki belakangnya!"
Anak-anak memegang kaki Anne yang tersembul ke luar, lalu menarik kuat-kuat.
Timmy ikut tertarik, sampai akhirnya keluar dari liang. Anjing itu melolong
pelan sambil mendatangi George.
"Ada bagian tubuhnya yang cedera," kata George cemas. "Aku tahu pasti! Timmy
takkan melolong seperti sekarang, apabila ia tidak kesakitan."
George meraba-raba tubuh anjingnya sambil menekan-nekan di sana-sini.
Diperiksanya tungkai dan kaki Timmy satu per satu. Lalu diamat-amatinya
kepalanya. Sedang Timmy masih terus melolong dengan suara pelan. Bagian mana
dari tubuhnya yang mengalami cedera" George semakin bingung.
"Biarkan saja," kata Julian kemudian. "Aku sama sekali tidak melihat ada bagian
tubuhnya yang sakit! Mungkin ia cuma sakit hati - tidak senang ditarik kakinya
oleh Anne. Mungkin ia tersinggung karenanya!"
Tapi George belum puas. Memang ia tak berhasil menemukan apa-apa, tapi ia tetap
yakin Timmy cedera. "Tidak perlukah ia dibawa ke dokter hewan?"
Jangan konyol, George," tukas Julian. "Di padang belantara terpencil seperti
ini, tidak gampang mencari dokter hewan! Yuk, kita lanjutkan perjalanan kita.
Lihat saja - nanti dia akan mengikuti kita, dan tak lama pasti berhenti melolong
dengan sendirinya. Percayalah, ia cuma sakit hati. Harga dirinya yang
tersinggung!" Anak-anak melanjutkan perjalanan, keluar dari Hutan Arnab. George berjalan tanpa
banyak bicara. Timmy yang berlari-lari mendampinginya, tidak banyak berbunyi.
Kelihatannya memang seperti tidak menderita apa-apa. Cuma sekali-sekali ia
mendengking dengan tiba-tiba.
"Nah, ini tempat yang kupilih di mana kita akan makan siang," kata. Julian
setelah mereka berjalan agak lama. "Bukit Terjal! Namanya cocok - karena
lerengnya terjal. Dari atas pemandangan sangat indah!"
Ternyata memang begitu! Anak-anak mendaki bukit itu, dan ternyata lereng di
baliknya berupa tebing. Mereka duduk di ujungnya.
Di depan mereka terhampar padang belantara yang sangat luas. Tampak semak
belukar di mana-mana, diterangi sinar matahari. Mungkin mereka akan bisa melihat
kijang di kejauhan-atau kuda poni liar.
"Indah sekali tempat ini," kata Anne sambil duduk di atas rumput. "Dan hawa
sehangat musim panas. Mudah-mudahan cuaca akan begini terus selama pelancongan
kita! Pasti kulit kita akan cokelat kena sinar matahari."
Anak-anak membuka bungkusan sandwich.
"Enak," kata Anne. "Kalian mau yang mana dulu?"
"Kalau aku, aku mau semuanya sekaligus! Semua akan kutumpuk menjadi satu-roti
daging, keju, dan telur-lalu kugigit," kata Dick.
Anne tertawa. "Mulutmu memang besar," katanya. "Tapi roti sebanyak itu takkan mungkin bisa
kaugigit sekaligus!"
Ternyata Dick berhasil melakukannya, meski dengan susah payah.
"Jorok," katanya sendiri, setelah berhasil menelan hasil gigitan pertama itu.
"Kurasa lebih baik jika aku memakannya satu per satu saja. Timmy! Kau mau
sepotong?" Timmy menerima roti yang disodorkan Dick padanya. Anjing itu tidak ribut seperti
biasanya pada saat makan, sehingga George tetap cemas memikirkannya. Tapi nafsu
makannya ternyata tetap besar, sehingga hanya George yang masih khawatir kalau-
kalau anjingnya itu mengalami cedera. Timmy berbaring di sisi George. Sekali-
sekali diletakkannya kakinya ke lutut anak itu, jika ia ingin mendapat sepotong
roti lagi. "Enak juga jadi Timmy," kata Dick sambil mengunyah-ngunyah roti. "Dari setiap
anak dia mendapat sepotong-sepotong. Pasti bagiannya lebih besar daripada kita
semua!" Enak sekali rasanya makan-makan sambil duduk disinari matahari, menikmati
pemandangan padang belantara yang luas. Anak-anak merasa berbahagia. Kecuali
George yang masih mengkhawatirkan anjingnya. Kalau kekhawatirannya ternyata
beralasan, bisa rusak acara pelancongan akhir pekan itu!
4. Timmy Cedera SEHABIS makan, anak-anak masih beristirahat sebentar di atas bukit.
"Rasanya aku tak mampu makan lagi sampai besok pagi," kata Anne, sambil
mengemaskan roti yang tersisa ke dalam ranselnya. "Tapi anehnya walau sekarang
perut terasa sangat kenyang, tapi tahu-tahu nanti sudah lapar lagi!"
"Nah - semuanya sudah siap?" kata Julian. "Sebentar lagi kita akan melalui
sebuah desa kecil. Kita akan mampir untuk minum. Setelah itu kita melanjutkan
perjalanan ke pertanian tempat kita akan menginap malam ini. Kita harus berusaha
tiba di sana sebelum pukul lima, karena hari akan cepat gelap."
"Apa nama pertanian itu?" tanya Anne.
"Telaga Biru," kata Julian. "Namanya bagus, ya" Mudah-mudahan saja di sana masih
ada telaga yang biru airnya."
"Tapi bagaimana jika ternyata di situ tak ada tempat untuk kita?" tanya Anne
lagi. "Ah-kurasa kalau untuk kalian berdua, selalu bisa disediakan tempat," kata
Julian. "Sedang aku dan Dick kalau perlu bisa tidur dalam lumbung. Kami bisa
tidur di mana saja!"
"Aku juga kepingin tidur dalam lumbung," kata Anne. "Lebih baik kita tidak
menanyakan kamar untuk menginap, tapi langsung saja tanya lumbung. Kita
berbaring di atas rumput jerami!"
"Jangan," kata Julian. "Kau dan George harus tidur dalam rumah. Saat ini malam
sudah dingin hawanya, sedang kita tak membawa bekal selimut. Kalau aku dan Dick,
bisa saja tidur berselimutkan mantel. Tapi kalian tidak bisa, karena kalian anak
perempuan." "Tidak enak jadi anak perempuan!" tukas George, mungkin untuk kesejuta kalinya.
"Selalu harus hati-hati sedang anak laki-laki bisa berbuat seenak mereka! Tapi
masa bodoh apa yang akan kaukatakan, Ju - malam ini aku menginap dalam lumbung!"


Lima Sekawan 10 Rahasia Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau harus mematuhi kataku," jawab Julian. "Kau sendiri tahu, jika kau berani
membantah perintah ketua - dan aku ketua rombongan ini, jika kau belum
mengetahuinya - maka kau tak boleh ikut lagi bersama kami. Tampangmu bisa saja
kayak laki-laki, tingkahmu juga, tapi kau toh tetap anak perempuan. Dan apakah
kau setuju atau tidak, tapi kenyataannya anak perempuan perlu diurus."
"Kusangka anak laki-laki tak suka disuruh mengurus anak perempuan," kata George
merajuk. "Apalagi anak perempuan seperti aku, yang tidak senang diurus."
"Yah, anak laki-laki yang baik senang mengurus adik atau saudara sepupunya yang
perempuan," kata Julian lagi. "Dan biasanya, anak perempuan yang baik senang
apabila dirinya diurus. Tapi kau takkan kuanggap anak perempuan. Kau kuanggap
anak laki-laki yang perlu diawasi. Dan akulah yang mengawasimu! Jadi kau tak
perlu memandangku dengan cemberut. Wajar sajalah - karena dalam keadaan biasa
saja pun kau sudah cukup merepotkan!"
Mau tidak mau, akhirnya George tertawa juga. Seketika itu juga mukanya tidak
cemberut lagi. Ditonjoknya bahu Julian.
"Baiklah," kata George. "Kau menang. Sikapmu keras sekali akhir-akhir ini,
sampai aku merasa takut padamu!"
"Ah - mana mungkin kau takut pada apa pun," kata Dick. "Kau anak perempuan
paling tabah yang pernah kukenal! Nah - sekarang muka George menjadi merah padam
seperti anak perempuan."
George menjadi salah tingkah. Tak tahu apakah harus marah atau tidak. Ia lantas
bangkit. Tampangnya saat itu menjadi semakin mirip anak laki-laki, dengan
rambutnya yang ikal dipotong pendek, serta mukanya, yang penuh bintik-bintik
cokelat! Saudara-saudaranya ikut bangkit, lalu menggeliat. Tak lama kemudian mereka sudah
berjalan kembali, menuruni Bukit Terjal. Timmy ikut dengan mereka. Tapi sikapnya
tidak seperti biasa. Anjing itu berjalan lambat-lambat. Berhati-hati sekali.
George berpaling, lalu memandang Timmy dengan kening berkerut.
"Kenapa si Timmy?" katanya. "Lihatlah - tidak melonjak atau berlari-lari seperti
biasanya!" Anak-anak berhenti berjalan untuk memperhatikan Timmy. Anjing itu datang
menghampiri. Tampak kaki belakangnya yang sebelah kiri agak pincang. George
berlutut di sebelahnya, lalu memeriksa kaki yang pincang itu dengan saksama.
"Kurasa kakinya terkilir - ketika terperosok dalam liang kelinci tadi," kata
George, sambil menepuk punggung Timmy. Anjing itu menggeliat kesakitan.
"Ada apa, Tim?" kata George cemas. Ia buru-buru menyibakkan bulu punggung
anjingnya untuk melihat kenapa Timmy kelihatan kesakitan ketika punggungnya
ditepuk. "Di sini ada luka memar," katanya kemudian. Ketiga saudaranya ikut membungkuk
untuk melihat. "Rupanya cedera sewaktu berada dalam lubang. Dan Anne menyebabkan
kakinya terkilir ketika menariknya keluar. Aku tadi kan sudah bilang, jangan
ditarik kakinya!" "Kalau tidak ditarik. kakinya, bagaimana aku bisa mengeluarkannya dari situ?"
tukas Anne. Tapi ia merasa agak bersalah juga. "Apakah kau lebih senang jika ia
terperangkap terus di situ selama berhari-hari?"
"Kurasa Timmy hanya cedera ringan saja," kata Julian sambil meraba-raba kaki
belakang anjing itu. "Mungkin besok sudah sembuh kembali!"
"Tapi aku ingin tahu pasti," kata George. "Kaukatakan tadi, sebentar lagi kita
akan sampai di buah desa, Ju?"
"Betul-desa Beacons," jawab Julian. "Kalau kau menginginkannya, nanti bisa kita
tanyakan apakah di daerah sini ada dokter hewan atau tidak. Kita bisa
memeriksakan kaki Timmy pada dokter itu, supaya tahu apakah cederanya parah.
Tapi rasanya tidak demikian."
"Kalau begitu kita langsung saja menuju ke desa," kata George. "Aduh - satu-
satunya saat aku lebih senang jika Timmy seekor anjing kecil adalah apabila ia
sakit atau luka - sekarang berat sekali dia kalau harus kugendong."
"Tapi sekarang kan ia belum perlu digendong," kata Dick. "Timmy masih mampu
berjalan sendiri, walau dengan tiga kaki! Keadaanmu belum begitu parah kan,
Tim?" Timmy menggonggong. Kedengarannya seperti sedang menderita. Padahal anjing itu
menikmati perhatian yang ditunjukkan anak-anak padanya. George menepuk-nepuk
kepala Timmy. "Sabarlah - nanti kakimu akan dirawat," katanya. "Yuk, Tim!"
Mereka lantas melanjutkan perjalanan sambil sekali-sekali menoleh ke belakang.
Timmy mengikuti dengan lambat-lambat. Tapi jalannya makin lama semakin pincang
kelihatannya. Akhirnya ia berjalan dengan kaki belakang sebelah kiri terangkat.
"Kasihan," kata George. "Timmy yang malang! Mudah-mudahan saja kakinya besok
sudah sembuh kembali. Kalau belum, aku rasanya tak bisa terus ikut melancong
dengan kalian." Akhirnya mereka tiba di desa Beacons. Julian segera menuju ke sebuah losmen
kecil yang terdapat di tengah desa. Seorang wanita tampak berdiri di balik
jendela, sambil mengibas-ngibaskan lap pembersih debu. Julian berseru
memanggilnya. "Maaf, ,Bu, apakah di daerah sekitar sini ada dokter hewan" Kami ingin
memeriksakan kaki anjing kami."
"Tidak, di sini tak ada dokter hewan," jawab wanita itu. "Yang terdekat
tinggalnya di Marlin, enam mil dari sini."
George merasa lesu mendengar jawaban itu. Timmy takkan sanggup berjalan sejauh
itu. "Ada bus yang ke sana?" tanyanya.
"Tidak, tidak ada bus yang menuju ke Marlin," jawab wanita itu lagi. "Tapi kalau
kalian ingin memeriksakan kaki anjing itu, kalian bisa pergi ke Wisma Spiggy,
yang letaknya di sebelah sana. Itu tempat tinggal Pak Gaston, dengan kuda-kuda
peliharaannya. Tapi ia juga tahu tentang anjing. Kalian bawa saja anjing kalian
ke sana. Pak Gaston pasti akan bisa menolong."
"Terima kasih," ucap George dengan lega. "Jauhkah tempat itu dari sini?"
"Sekitar setengah mil," kata wanita yang masih berdiri di balik- jendela.
"Kalian lihat bukit itu" Kalian ke sana, lalu belok ke kanan. Nanti akan tampak
sebuah rumah besar. Itulah Wisma Spiggy. Kalian tak mungkin keliru, karena di
sekelilingnya banyak kandang kuda. Katakan saja kalian ingin bertemu dengan Pak
Gaston. Orangnya baik hati. Tapi mungkin kalian harus menunggu di sana, kalau ia
kebetulan sedang keluar bersama kuda-kudanya!
Ada kemungkinan ia baru pulang ketika hari sudah gelap."
Keempat anak itu berembuk sebentar.
"Sebaiknya kita datangi saja Pak Gaston," kata Julian. "Tapi, Dick, kau dan Anne
langsung saja ke rumah petani tempat kita akan menginap malam ini. Kau mengurus
soal itu di sana. Jangan sampai tertunda. Sedang aku sendiri akan pergi
mengantarkan Timmy bersama George."
"Beres," kata Dick. "Aku berangkat saja sekarang bersama Anne. Sebentar lagi
hari sudah gelap. Kau membawa senter, Julian?"
"Tentu saja," jawab Julian. "Dan kau kan tahu sendiri, aku mahir mencari jalan
dalam gelap. Sehabis dari Pak Gaston, aku akan kembali ke desa ini, dan dari
sini langsung menuju ke rumah petani itu. Letaknya sekitar satu setengah mil
dari sini." "Terima kasih kau mau ikut bersamaku, Julian," kata George. "Yuk - sekarang saja
kita berangkat Nah, Dick dan Anne - sampai nanti, ya!"
Anak-anak berpisah. Julian berjalan bersama George dan Timmy mendaki bukit,
menuju Wisma Spiggy. Timmy berjalan terpincang-pincang. Dick dan Anne merasa
kasihan melihatnya. "Mudah-mudahan besok sudah sembuh kembali," kata Dick prihatin. "Kalau tidak,
maka acara pelancongan kita akhir minggu ini akan rusak karenanya. Itu sudah
pasti!" Kemudian. kedua anak itu berpaling, lalu berjalan menyusuri desa.
"Sekarang kita berangkat ke Pertanian Telaga Biru," kata. Dick. "Julian tadi
tidak sempat memberi petunjuk arahnya secara jelas. Tapi akan kutanyakan nanti
pada orang yang kebetulan lewat."
Tapi mereka tak berjumpa dengan siapa-siapa, kecuali seorang laki-laki
berkendaraan gerobak kecil yang ditarik seekor kuda. Orang itu berhenti ketika
Dick menyapanya. "Pak - betulkah ini jalan yang menuju ke Pertanian Telaga Biru?" tanya Dick
padanya. "E-eh," jawab orang itu sambil mengangguk.
"Kami harus berjalan lurus saja, atau harus belok lewat salah satu jalan kecil?"
tanya Dick lagi. "E-eh," kata orang itu sambil mengangguk sekali lagi.
"Apa yang dimaksudkannya dengan 'e-eh, e-eh' itu?" bisik Dick pada Anne.
Kemudian ia bertanya untuk ketiga kalinya.
"Kami harus lewat sana?" Dick bertanya sambil menunjuk.
"E-eh," kata orang itu. Ia mengangkat cemetinya, lalu menunjuk ke arah yang
dituju oleh Dick dan Anne. Setelah itu menunjuk ke barat.
"O-aku mengerti sekarang. Jadi nanti kami harus belok kanan," kata Dick.
"E-eh," jawab orang itu untuk kesekian kalinya sambil mengangguk. Tiba-tiba ia
mendecakkan lidah, dan gerobaknya bergerak lagi dengan mendadak. Nyaris saja
kaki Dick terlindas roda gerobak.
"Yah-setelah ' e-eh' yang beruntun-runtun itu, kita benar-benar hebat jika masih
bisa sampai di pertanian yang kita cari," kata Dick. "Yuk, kita teruskan saja
perjalanan!" . 5. Dick dan Anne TAHU-TAHU langit menjadi gelap. Matahari menghilang di balik segumpal awan
mendung. "Sebentar lagi hujan akan turun," kata Dick. "Sial! Kusangka sore ini cuaca akan
tetap cerah." "Yuk - kita bergegas," kata Anne. "Aku tak suka kalau harus berlindung di balik
pagar tanaman jika hujan nanti. Tak enak rasanya apabila tengkuk menjadi basah
kena tetesan air, sementara kaki kita tergenang!"
Keduanya lantas mempercepat langkah. Mereka menyusuri jalan yang menuju ke luar
desa. Kemudian mereka tiba di suatu belokan ke kanan. Mestinya itulah belokan
yang dimaksud orang tadi. Dick dan Anne berhenti, lalu menatap jalan yang
mengarah ke kanan itu. Di kiri-kanannya tampak pagar tanaman yang tumbuh rapat.
Pada saat yang sudah remang-remang seperti itu, jalanan tersebut tampak seperti
terowongan. "Mudah-mudahan saja ini jalan yang benar," kata Dick. "Nanti kita tanyakan pada
orang yang berpapasan."
"Kalau ada orang yang berpapasan dengan kita," kata Anne. Menurut perasaannya
ketika itu, mereka takkan berpapasan dengan seseorang di jalan segelap itu.
Keduanya lantas melangkahkan kaki, memasukinya. Jalan itu berkelok-kelok, lalu
menurun ke tempat yang sangat becek. Anne berjalan di tengah lumpur.
"Rupanya di sini ada sungai yang memotong jalan," katanya. "Hii, sepatuku
kemasukan air! Kurasa kita salah jalan, Dick. Di depan, air pasti lebih tinggi
lagi. Sekarang saja sudah sampai ke mata kaki."
Dick memandang berkeliling. Di tengah pagar semak tinggi di tepi jalan, ia
merasa seperti melihat sesuatu.
"He - bukankah itu pintu pagar?" katanya.
"Mana senterku" Hah, tentu saja ada di dasar ransel! Tolong ambilkan, Anne -
supaya, aku tak perlu melepaskan ransel dari punggung!"
Anne mengambil senter dari dalam ransel abangnya, lalu menyerahkannya pada Dick.
Dick menyalakan senter. Seketika itu juga bayangan di sekeliling mereka tampak
menjadi semakin gelap, dan lorong tempat mereka berada menjadi semakin. mirip
terowongan. Dick mengarahkan senternya ke atas, ke arah benda yang menurut dugaannya
merupakan pintu pagar. "Ya, betul! Memang pintu pagar," katanya. "Kurasa dari ml kita bisa menuju ke
pertanian yang kita cari. Mungkin semacam jalan pintas! Kurasa lorong ini biasa
dilalui gerobak-gerobak pertanian, dan menuju ke tempat yang hendak kita
datangi. Kalau lewat sini kita bisa memintas, lebih baik kita mengambil yang ini
saja. Pokoknya kita pasti akan sampai ke salah satu tempat!"
Mereka menghampiri pintu pagar. Dick menolong adiknya memanjat. Sesampainya di
seberang, ternyata di depan mereka terbentang sebidang tanah luas. Sebuah jalan
sempit tampak menyusur di tengah tanam-tanaman.
"Ya-kurasa ini jalan pintas," kata Dick gembira. "Sebentar lagi kita pasti akan
melihat cahaya lampu rumah petani."
"Atau mungkin juga tercebur ke dalam telaga biru," kata Anne dengan murung.
Hujan sudah mula! turun. Dalam hati Anne menimbang-nimbang, apakah ada gunanya
mengambil mantel hujan dari ransel dan memakainya - atau mungkinkah rumah petani
yang mereka tuju memang sudah dekat" Menurut Julian, letaknya tak begitu jauh
dari desa. Mereka melintasi lapangan, dan sampai di sebuah pintu pagar lagi. Sementara itu
hujan sudah lebat. Anne memutuskan untuk memakai mantel hujannya. Ia berdiri di
bawah semak yang lebat. Dick membantu adiknya memakai mantel hujan. Ia juga
memakai topi hujan. Untung ia membawa barang itu. Kemudian mereka meneruskan
langkah, setelah Dick juga memakai mantel hujannya.
Setelah menyeberangi pintu pagar yang kedua, mereka sampai di sebuah lapangan
yang sangat luas. Akhirnya kedua anak itu tiba di depan sebuah gerbang besar.
Mereka memanjat gerbang itu - dan sampai di suatu padang ,belukar! Mereka
berdiri di tengah tanah liar. Mereka tak melihat rumah petani. Sebetulnya
kalaupun ada rumah di situ, mereka takkan mungkin bisa melihatnya - karena hari
sudah malam. Dan hujan masih turun terus.
"Seandainya saja terlihat cahaya dari salah satu tempat - dari balik jendela
misalnya," kata Dick Ia mengarahkan senternya ke padang di depan mereka. "Aku
agak bingung, apa yang harus kita lakukan sekarang. Di sini kelihatannya sama
sekali tak ada jalan ke mana-mana. Tapi aku juga tidak mau kembali lagi, lewat
lapangan yang becek menuju lorong yang gelap tadi."
"Ah, jangan ke sana," kata Anne. Ia bergidik "Aku tak suka melalui lorong itu.
Konyol - untuk apa sih gerbang yang menghadap ke padang belukar ini!"
Kedua anak itu terpaku di dekat gerbang, sementara air hujan membasahi mereka.
Tapi kemudian mereka mendengar suatu bunyi di sela bunyi hujan.
Bunyi itu terdengar dengan tiba-tiba, sehingga mereka saling memegang karena
takut. Mereka ngeri mendengar bunyi yang begitu asing di tengah lapangan yang
sepi! Dick dan Anne mendengar bunyi lonceng. Lonceng yang berdentang ribut tanpa
berhenti. Anne memegangi lengan abangnya erat-erat.
"Apa itu", Dari mana datangnya bunyi lonceng itu" Kenapa tiba-tiba berdentang
dalam gelap?" bisiknya.
Dick juga tidak tahu. Ia juga kaget seperti Anne. Kedengarannya seperti datang
dari tempat yang agak jauh. Tapi sekali-sekali, kalau angin bertiup keras, bunyi
itu terasa dekat sekali - seakan hendak menyelubungi mereka. Anne semakin
ketakutan. Ia berdoa, agar suara dentangan itu berhenti.
"Itu bukan bunyi genta gereja," bisiknya.
"Memang bukan," jawab Dick. "Kurasa itu lonceng untuk memberi tanda. Tapi tanda
apa" Bahaya kebakaran" Kalau ada kebakaran di dekat-dekat sini, kita pasti akan
melihat kobaran apinya. Atau perang" Tidak - sudah lama tidak dipakai bunyi
lonceng dan nyala api untuk memberitahu adanya perang."
"Desa yang kita datangi tadi namanya kan Beacons," kata Anne yang tiba-tiba
teringat bahwa kata itu berarti 'Suar'. "Mungkinkah desa itu dinamai begitu
karena zaman dulu orang biasa menyalakan suar di atas bukit di dekatnya - untuk
memberi peringatan pada desa-desa sekitarnya mengenai kedatangan musuh" Dan
mungkin di samping menyalakan api, mereka dulu juga biasa membunyikan lonceng?"
Kini Anne semakin ketakutan. "Dick! Jangan-jangan kita mendengar bunyi lonceng
zaman dulu - karena bunyinya lain dari yang lain!"
"Astaga-mana -mungkin itu bunyi lonceng zaman dulu," jawab Dick dengan gaya tak
peduli. Padahal dalam hati, ia bingung dan takut seperti Anne pula. "Lonceng
yang kau - dengar itu dibunyikan sekarang, pada saat ini juga!"
Tiba-tiba lonceng berhenti. Dentangan ribut disusul oleh kesunyian. Anne dan
Dick masih menajamkan pendengaran selama beberapa saat. Kemudian keduanya
mengembuskan napas lega. "Hah-akhirnya berhenti juga," kata Anne. "Seram rasanya tadi! Kenapa harus
berdentang pada malam gelap gulita seperti sekarang" Yuk-kita cepat-cepat
mencari Pertanian Telaga Biru, Dick. Tak enak rasanya tersesat dalam gelap
seperti sekarang-ditambah lagi dengan lonceng yang tahu-tahu berdentang tanpa
alasan tertentu!" "Ayo," kata Dirk. "Kita berjalan menyusuri pagar tanaman. Dengan begitu kita
pasti akan tiba di salah satu tempat dan tidak tersesat di tengah belantara."
Dibimbingnya Anne, lalu berjalan menyusuri pagar. Akhirnya mereka sampai di
suatu jalan kecil. Jalan itu menuju ke lorong yang lain. Lorong itu terbuka,
tidak menyerupai terowongan seperti lorong pertama yang mereka lewati. Kedua
anak itu gembira ketika sejenak kemudian mereka melihat sinar di depan mereka.
"Mestinya sinar itu datang dari rumah Pertanian Telaga Biru," kata Dick lega.
"Yuk, Anne! Sebentar lagi kita sampai!"
Mereka menyusuri tembok batu yang rendah, dan tiba di sebuah gerbang yang sudah
rusak. Pintunya berderik ketika dibuka. Anne melangkah maju-langsung menginjak


Lima Sekawan 10 Rahasia Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

genangan air! Anak itu mengumpat.
"Semakin basah aku sekarang!" keluhnya. "Sesaat aku tadi mengira tercebur ke
dalam telaga biru!" Kedua anak itu mengitari genangan air, lalu melewati jalan yang becek menuju ke
sebuah pintu kecil yang terdapat di tengah dinding batu putih. Menurut perkiraan
Dick, pintu itu mestinya pintu belakang rumah. Dekat pintu ada jendela. Dan
cahaya yang mereka lihat tadi, bersinar dari balik jendela itu.
Searang wanita tua duduk di dekat lampu yang memancarkan cahaya itu. Ia sedang
menjahit. Dick dan Anne yang berdiri di dekat pintu, bisa melihatnya dengan
jelas. Dick mencari-cari tambal bel, tapi tak ditemukannya. Karena itu ia lantas
mengetuk pintu. Tiga kali berturut-turut. Tapi tak ada yang menjawab. Pintu
tetap tertutup. Mereka melihat ke jendela. Wanita tua itu kelihatan masih terus
menjahit. "Mungkin ia tuli," kata Dick. Diketuknya pintu sekali lagi, lebih keras dari
tadi. Tapi wanita tua tetap saja menjahit dengan tenang. Rupanya memang tuli!
"Kalau begitu terus, kita takkan bisa masuk," kata Dick. Ia sudah tidak sabar
lagi. Dicobanya membuka pintu-dan bisa!
"Kita langsung saja masuk ke dalam," katanya sambil melangkahkan kakinya ke
dalam. Ternyata ia memasuki sebuah gang sempit. Di ujungnya tampak tangga batu yang
curam dan sempit. Di sisi kanan ada sebuah pintu. Pintu itu terbuka sedikit.
Itulah pintu ruangan wanita tua yang sedang menjahit itu. Seberkas sinar lampu
di dalam masuk ke dalam gang lewat celah di ambang pintu.
Dick memberanikan diri. Dibukanya pintu, masuk ke dalam kamar, diikuti dari
belakang oleh Anne. Tapi wanita tua itu masih tetap menjahit terus.
Dick harus menghampirinya sampai dekat sekali. Saat itu barulah wanita itu tahu
bahwa ada orang lain dalam kamar. Ia terlonjak ketakutan, sampai-sampai kursinya
terguling ke lantai. "Maaf," kata Dick. Ia sendiri kaget melihat wanita tua itu
ketakutan. "Kami tadi sudah mengetuk pintu. Tapi Anda tak mendengarnya!"
Wanita itu memandang Dick, sementara sebelah tangannya ditempelkan ke dada.
Rupanya untuk menenangkan debaran jantungnya.
"Kalian mengagetkan aku," katanya. "Dari mana kalian datang, tahu-tahu muncul
pada malam segelap ini?"
Dick membetulkan letak kursi yang jatuh. Wanita tua itu duduk kembali. Napasnya
agak terengah-engah. "Kami memang hendak kemari," kata Dick menjelaskan. "Ini kan Pertanian Telaga
Biru" Kami minta izin agar boleh menginap di sini semalam bersama dua saudara
kami." Wanita itu menggeleng-geleng sambil menuding ke telinganya sendiri.
"Aku tuli," katanya. "Jadi percuma saja bicara denganku, Nak. Kalian tersesat
rupanya, ya?" Dick mengangguk. . "Yah - sayang kalian tidak bisa tinggal di sini," kata wanita tua itu lagi.
"Anak laki-laki ku tak senang jika ada orang lain di sini. Kalian harus sudah
pergi sebelum ia datang. Anakku sangat pemarah!"
Dick menggelengkan kepala. Ia menunjuk ke luar ke arah hujan. Setelah itu
beralih menunjuk sepatu dan pakaian Anne yang basah. Ternyata wanita tua itu
mengerti maksudnya. "Kalian tersesat, basah serta capek, lalu minta agar kalian boleh tinggal di
sini malam ini," katanya. "Tapi masalahnya, anakku tak suka ada orang lain di
sini." Dick menuding Anne, lalu sebuah bangku yang terdapat di pojok kamar. Setelah itu
ia menuding dirinya sendiri, lalu menunjuk ke luar. Sekali lagi wanita tua itu
bisa memahami maksudnya. "Kau minta agar adikmu diperbolehkan berteduh dalam rumah, sedang kau sendiri
akan mencari tempat di luar?" katanya dengan nada bertanya. Dick mengangguk.
Menurut perasaannya, ia sendiri dengan mudah akan bisa menemukan tempat
berlindung dalam salah satu gudang atau lumbung. Tapi Anne-adiknya itu, harus
menginap dalam rumah! "Kalian tidak boleh sampai kelihatan oleh anak laki-lakiku," kata wanita tua
itu, lalu menarik Anne ke sebuah lemari. Setidak-tidaknya, demikianlah sangkaan
Anne. Tapi ketika pintu dibuka olehnya, ternyata di belakangnya ada tangga kayu
yang sempit dan curam. Tangga itu mengarah ke atas, menuju ke 1oteng.
"Kau naik ke atas," kata wanita tua itu pada Anne. "Dan besok pagi, jangan turun
sebelum kupanggil! Jika anakku sampai tahu kau ada di sini, bisa repot aku
nanti." "Naiklah ke atas, Anne," kata Dick. Ia agak waswas. "Aku tak tahu bagaimana
keadaannya di atas. Jika terlalu payah, kau turun lagi. Dan periksa apakah di
sana ada jendela atau lubang supaya kau bisa berteriak-kalau ada apa-apa."
"Baiklah," kata Anne. Suaranya agak bergetar karena ngeri. Ia lantas naik ke
atas, lewat tangga kayu berdebu. Tangga itu menuju ke sebuah kamar loteng yang
sempit. Dalam kamar ada kasur yang lumayan bersihnya, serta sebuah kursi.
Selembar selimut tersampir pada sandaran kursi, sedang di atas sebuah rak
tersedia kendi berisi air. Kecuali barang-barang itu, tak ada apa-apa lagi di
situ. Sebuah jendela kecil menghadap ke samping rumah. Anne menghampirinya, lalu
bersetuseru ke luar, "Dick! Kau ada di situ" Dick!"
"Ya - aku di sini," jawab Dick. "Nah - bagaimana keadaannya, Anne" Lumayan" Aku
sekarang akan mencari tempat untuk tidur di dekat-dekat sini-nanti kalau kau ada
perlu, kau cukup memanggilku!"
6. Kejutan di Tengah Malam
"TEMPATNYA bolehlah," kata Anne, "Di sini ada kasur yang cukup bersih, serta
selembar selimut. Kalau untukku - sudah cukup. Tapi, Dick - bagaimana kalau
Julian dan George datang" Kau berjaga-jaga, ya! Kurasa jika mereka datang,
George terpaksa tidur di luar bersama kalian. Wanita tua itu pasti takkan
mengizinkan satu orang lagi masuk ke sini!"
"Aku akan menunggu kedatangan mereka lalu mengatur di mana kami akan tidur
nanti," kata Dick. "Roti dan kue sisa tadi kauhabiskan saja! Dan jangan lupa
mengeringkan kakimu yang basah, supaya tidak masuk angin. Di sekitar sini
tentunya ada semacam gudang, atau lumbung. Aku tak perlu kaupikirkan. Kalau ada
perlu apa-apa nanti, kau teriak saja memanggilku!"
Anne berpaling dari jendela. Ia rasanya capek sekali. Capek, lapar, dan haus.
Sisa makanan dihabiskannya. Setelah itu ia minum dari Kendi. Ia tak kuat lagi
menahan kantuknya: Karena itu ia langsung merebahkan diri di atas kasur dan
menyelubungi tubuh dengan selimut. Sebetulnya ia masih berniat menunggu
kedatangan Julian dan George. Tapi tahu-tahu ia sudah tertidur.
Sementara itu Dick berkeliaran di luar. Ia berjalan dengan waspada, karena tidak
ingin tepergok anak laki-laki wanita tua tadi. Kedengarannya orang itu galak!
Dick menjumpai sebuah lumbung kecil, lalu masuk ke dalamnya. Dengan hati-hati
disorotkannya cahaya senter ke sekeliling ruangan. Di sebuah pojok dilihatnya
jerami bertumpuk-tumpuk. .
"Ah, ini sudah cukup untukku," katanya dalam hati. "Aku bisa tidur enak di atas
jerami. Kasihan si Anne! Coba George sudah ada di sini, ia akan bisa menemaninya
di atas. Lebih baik aku berjaga-jaga menunggu kedatangan Julian dan George.
Kalau aku sekarang berbaring di atas jerami itu, pasti akan langsung tertidur
sehingga tidak tahu kalau mereka berdua datang! Saat ini baru pukul enam sore,
tapi pelancongan hari ini benar-benar melelahkan. Aku ingin tahu, bagaimana
keadaan Timmy sekarang. Coba ia, ada di sini!"
Menurut sangkaan Dick, George dan Julian tentunya akan datang lewat gerbang yang
dilaluinya bersama Anne tadi. Dick mendatangi sebuah gubuk reyot dekat gerbang
itu, lalu duduk di atas sebuah peti, menunggu kedatangan kedua saudaranya itu.
Sambil menunggu, dimakannya sisa sandwich yang masih ada dalam ranselnya. Enak
juga rasanya apabila perut sudah terisi sedikit. Dick menguap. Rasanya mengantuk
sekali. Ia merasa capek dan pegal. Dan tubuhnya basah kena hujan!
Dick menunggu terus. Tapi tak ada yang datang. Anak laki-laki wanita tua itu
juga tidak muncul. Dick memandang ke arah jendela yang terang.
Dilihatnya wanita tua itu masih sibuk menjahit. Tapi sekitar dua jam kemudian,
jadi kurang lebih pukul delapan malam, ketika Dick semakin bertambah khawatir
karena Julian dan George belum datang-datang juga, wanita tua itu berdiri dari
kursinya lalu mengemaskan jahitannya.
Wanita itu pergi menjauhi jendela, sehingga Dick tidak bisa lagi melihatnya.
Tapi lampu di dalam kamar masih menyala terus. Rupanya sengaja dibiarkan menyala
sampai anak laki-lakinya pulang, pikir Dick.
Ia lantas berjingkat-jingkat mendekati jendela. Hujan sudah berhenti. Bintang-
bintang sudah muncul lagi di langit, dan bulan menampakkan diri dari balik awan.
Perasaan Dick menjadi agak enak, karena kini sudah bisa mengenali keadaan
sekelilingnya. Dick mengintip ke dalam kamar. Dilihatnya wanita tua tadi berbaring di dipan
yang terdapat di pojok. Kelihatannya sudah tidur. Selimut menyelubungi tubuhnya
sampai ke dagu. Dick lalu kembali ke gubuk. Menurut perasaannya, takkan ada
gunanya lagi menungu-nunggu Julian dan George. Keduanya pasti sudah tersesat!
Atau kalau tidak setelah Pak Gaston merawat kaki Timmy yang cedera, lalu Julian
memutuskan untuk tidur di penginapan yang ada di desa Beacons.
Dick menguap lagi. "Aduh, rasanya ngantuk sekali," pikirnya. "Aku tak mampu menunggu mereka lebih
lama lagi. Jika aku duduk terus di atas peti ini, pasti terjatuh nanti. Lagi
pula jika mereka datang, tentu akan terdengar olehku."
Dick berjalan menuju lumbung, sambil menyorotkan senternya dengan hati-hati.
Begitu masuk, pintu ditutup lalu digerendelnya dengan jalan menyelipkan sebatang
ranting pada sangkutan yang terdapat di daun pintu. Ia sendiri tak tahu apa
sebabnya hal itu dilakukan olehnya. Mungkin karena teringat pada anak laki-laki
wanita tua itu! Ia merebahkan dirinya ke atas jerami. Seketika 'itu juga ia sudah pulas. Di
luar, malam bertambah cerah. Walau belum purnama, cahaya bulan sudah cukup
terang untuk menyinari rumah batu tua beserta bangunan-bangunan tambahannya yang
tak terawat. Dick tidur pulas di atas jerami yang empuk.
Ia mimpi tentang Timmy, tentang George dan Telaga Biru, serta lonceng yang
berdentang nyaring. Terutama tentang lonceng.
Tiba-tiba Dick terbangun. Sesaat ia bingung, tak tahu di mana ia berada. Kenapa
tubuhnya terasa gatal-gatal" Kemudian ia ingat lagi. Tentu saja, ia berbaring di
atas jerami dalam lumbung! Ia sudah hendak berbaring lagi ketika tiba-tiba
terdengar bunyi sesuatu. Bunyi itu pelan sekali. Kedengarannya seperti ada yang menggaruk-garuk dinding
lumbung yang terbuat dari kayu. Dick terduduk.
Tikuskah itu" Mudah-mudahan saja bukan. Ia menajamkan telinga. Bunyi menggaruk
itu kedengarannya seperti datang dari luar lumbung. Kemudian bunyi itu berhenti,
lalu mulai lagi setelah beberapa saat. Lalu terdengar bunyi ketukan pada jendela
yang sudah pecah kacanya, tak jauh di atas kepala Dick
Anak itu kaget setengah mati. Tikus memang biasa menggaruk dan berlari-lari di
lantai. Tapi ia belum pernah mendengar tikus yang bisa mengetuk jendela! Jadi
sudah pasti itu bukan tikus. Lalu siapakah yang mengetuk-ngetuk dengan berhati-
hati itu" Dick menahan napas sambil mendengarkan terus.
Kemudian didengarnya suara orang berbisik Kedengarannya agak serak.
"Dick! Dick!" Dick bingung. Mungkinkah itu Julian" Kalau benar, dari mana abangnya tahu bahwa
ia ada dalam lumbung" Dick tak menjawab. Ia duduk terpaku.
Terdengar lagi bunyi jendela diketuk, disusul suara memanggil. Sekali ini agak
lebih keras daripada tadi.
"Dick! Aku tahu kau ada di dalam-sebab aku melihatmu masuk tadi. Cepatlah ke
jendela! Tapi jangan berisik!"
Dick tak mengenal suara itu. Yang pasti bukan suara Julian dan juga bukan suara
George atau Anne. Tapi dari mana orang yang di luar itu tahu namanya" Benar-
benar aneh! Dick tak tahu harus berbuat apa.
"Ayo cepat sedikit!" desis orang tak dikenal itu. "Aku harus segera pergi lagi.
Ada pesan untukmu." Dick akhirnya memutuskan untuk menghampiri jendela. Satu hal sudah pasti-orang
yang di luar itu jangan sampai masuk ke dalam lumbung. Dick berlutut di atas
jerami, sedikit di bawah ambang jendela.
"Aku di sini," katanya kemudian. Suaranya diberat-beratkan, supaya kedengaran
seperti suara orang dewasa.
"Kenapa lama sekali baru datang," gerutu orang yang di luar. Dick bisa
melihatnya samar-samar dari balik jendela. Hanya kepalanya saja yang tampak,
berbentuk bulat seperti peluru dengan mata liar. Dick cepat-cepat merunduk
kembali. Ia merasa bersyukur bahwa orang itu tak bisa melihatnya dalam lumbung
yang gelap. "lni pesan dari Nailer," kata orang yang di luar. "Dua Pohon. Air Gelap. Saucy
Jane. Dan ia juga mengatakan, Maggie tahu. Ia mengirimkan ini untukmu. Maggie
juga menerima satu."
Sepotong kertas melayang ke dalam lewat jendela yang sudah pecah kacanya. Dick
memungut kertas itu. Ia merasa bingung. Apakah sebetulnya yang sedang terjadi
saat itu" Mungkinkah ia sedang bermimpi"
Tapi terdengar lagi suara orang yang di luar, berbisik dengan nada mendesak.
"Kau menangkap semua kataku tadi, Dick" Dua pohon. Air Gelap. Saucy Jane. Dan
Maggie juga tahu. Nah-aku harus pergi lagi sekarang."
Terdengar langkah orang menyelinap di luar. Setelah itu sunyi. Dick masih tetap
terduduk di tempat tadi. Ia heran bercampur bingung. Siapakah orang yang bermata
liar tadi, yang memanggil-manggil namanya di tengah malam lalu menyampaikan
pesan-pesan aneh yang sama sekali tak ada artinya bagi Dick" Dick sudah tidak
mengantuk lagi sekarang. Ia berdiri, lalu memandang ke luar lewat jendela. Tapi
di luar tak kelihatan apa-apa, kecuali rumah batu dan langit berbintang.
Sambil berpikir, Dick duduk kembali. Ia menyalakan senter dengan hati-hati, lalu
memperhatikan kertas yang dipungutnya tadi. Kertas itu kumal, berisi coretan-
coretan yang tak ada artinya sama sekali baginya. Di sana-sini tertulis kata-
kata. Tapi kata-kata itu tak bermakna bagi Dick. Ia bingung. Ia tak tahu siapa
orang tadl, dan apa arti pesan di atas kertas itu!
"Ah - pasti aku sedang mimpi," pikirnya, sambil mengantongi kertas itu. Lalu ia
berbaring meringkuk di atas jerami, karena agak kedinginan setelah beberapa saat
lamanya berada dekat jendela. Ia berbaring sambil memikirkan kejadian aneh yang
baru saja dialaminya. Tak lama kemudian dirasakannya kelopak matanya bertambah
berat. Tapi sebelum sempat terlena, Dick kembali mendengar bunyi langkah orang
menyelinap. Orang tadi itukah yang datang kembali"
Orang yang datang itu berusaha membuka pintu. Tapi gerendel darurat yang
disilangkan oleh Dick ternyata ukup kokoh. Pintu tidak bisa dibuka dari luar.
Pintu itu diguncang-guncangnya, seakan-akan orang itu mengira ada yang macet.
Akibatnya, ranting kayu terjatuh dari sangkutan, dan pintu terbuka. Orang tak
dikenal itu masuk, lalu menutup pintu kembali.
Dick semakin mengecilkan diri. Ia melihat potongan orang yang baru masuk itu
sekilas. Tidak - ini bukan orang yang tadi, karena yang ini rambutnya sangat
teba. Dick berdoa dalam hati, semoga orang itu tidak mendekati tumpukan jerami.
Ternyata memang tidak! Orang itu duduk di atas sebuah karung. Kelihatannya
seperti sedang menunggu. Setelah beberapa saat duk di situ, orang itu lantas
berbicara pada dirinya sendiri. Dick hanya bisa menangkap satu dua patah kata,
karena orang itu menggumam pelan.
"Mana dia orangnya" Masih berapa lama lagi aku harus menunggu?" gumamnya semakin
pelan, sehingga tak tertangkap lagi kata-katanya oleh Dick. Tapi setelah itu
suaranya menjadi agak nyaring.
"Kerjaku cuma menunggu-menunggu terus," katanya. Orang itu bangkit sambil
menggeliat, lalu berjalan ke pintu. Ia memandang sebentar ke luar, lalu kembali
dan duduk lagi di atas karung.
Orang itu duduk sambil berdiam diri. Mata Dick mulai terpejam kembali. Apakah
kejadian ini juga merupakan bagian dari mimpinya yang tadi" Dick tak sempat
memikirkannya, karena tahu-tahu ia sudah benar-benar bermimpi. Ia bermimpi
membunyikan lonceng sampai berdentang-dentang, sementara di sekelilingnya tampak
banyak sekali pohon yang tumbuh saling berpasangan. Di mana-mana tampak dua
pohon! Dick tidur pulas sepanjang malam yang masih tersisa. Pagi-pagi ia bangun dengan
tiba-tiba, dan langsung duduk. Ia sudah sendiri lagi dalam lumbung. Ke manakah
perginya orang yang tadi malam" Bermimpikan ia"
7. Pagi Hari DICK berdiri, lalu menggeliat. Rasanya badannya kotor dan kumal. Ia juga lapar
sekali. Ia berpikir-pikir, maukah wanita tua itu mengizinkan jika ia mengatakan
ingin membeli roti, keju, dan susu segelas.
!'Tentunya Anne saat ini juga merasa lapar," pikir Dick. "Aku ingin tahu
bagaimana keadaan adikku itu sekarang." Dick menyelinap ke luar, lalu memandang
ke arah jendela kecil di kamar loteng tempat Anne tidur tadi malam. Dengan
segera Dick melihat wajah Anne di balik jendela. Anne kelihatan gelisah -


Lima Sekawan 10 Rahasia Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rupanya sudah sedari tadi ia menunggu-nunggu Dick!
"Bagaimana keadaanmu, Anne?" seru Dick dengan suara tertahan. Anne membuka
jendela lalu memandang abangnya sambil tersenyum.
"Beres!" jawabnya. "Tapi aku tak berani turun, karena anak laki-laki wanita tua
itu sedang ada di bawah. Aku beberapa kali mendengarnya berteriak-teriak kepada
ibunya. Orang itu kurasa cepat naik darah!"
"Kalau begitu kutunggu saja dulu sampai Ia sudah pergi bekerja," kata Dick.
"Setelah itu baru akan kudatangi wanita tua itu. Aku harus memberi uang padanya
sebagai sewa tempat tidurmu tadi malam! Dan mungkin aku bisa membujuknya, agar
ia mau menjual makanan dan minuman untuk sarapan kita."
"Mudah-mudahan saja berhasil," kata Anne. "Bekal yang kubawa sudah habis. Apakah
aku harus menunggu sampai kau memanggil nanti?"
Dick mengangguk, lalu cepat-cepat menyelinap masuk lagi ke dalam lumbung. Ia
mendengar langkah orang! Seorang laki-laki muncul. Orang itu bertubuh pendek gempal, dengan rambut lebat
tapi tak terurus. Orang itulah yang dilihat oleh Dick masuk ke dalam lumbung
kemarin malam. Orang itu berbicara pada dirinya sendiri dengan suara menggumam.
Kelihatannya memang pemarah! Dick memilih untuk lebih baik tidak tepergok
olehnya. Ia mendekam dalam lumbung.
Tapi orang itu tidak masuk ke lumbung, dia hanya lewat sambil berbicara terus
pada dirinya sendiri. Dick menunggu sampai langkah orang itu tak terdengar lagi.
Didengarnya ada pintu gerbang terbuka lalu ditutup lagi dengan bantingan keras.
"Aku harus untung-untungan sekarang," pikir Dick, lalu bergegas keluar dari
lumbung dan menuju ke rumah batu. Diterangi sinar matahari pagi, rumah itu
tampak bobrok dan sama sekali tak terawat.
Dick tahu bahwa tak ada gunanya mengetuk pintu, sebab takkan terdengar oleh
wanita tua itu. Karenanya ia langsung saja masuk.
Wanita tua itu sedang mencuci piring. Ketika Dick muncul, wanita tua itu
menatapnya dengan cemas. "Aduh, aku sama sekali lupa ada kau! Dan juga anak perempuan itu! Dia masih ada
di atas" Suruh dia cepat-cepat turun sebelum anakku kembali. Kalian harus segera
pergi dari sini!" "Bisakah kami membeli sedikit roti dan keju dari Anda?" seru Dick. Tapi wanita
tua itu benar-benar tuli sama sekali. Ia tidak menjawab. Tapi Dick didorongnya
ke arah pintu. Dick mengelak sedikit, lalu menuding ke roti yang terletak di atas meja.
"Tidak, tidak - sudah kukatakan, kalian harus pergi dari sini," kata wanita tua
itu. Ia kelihatannya takut sekali kalau anak laki-lakinya muncul. dengan tiba-
tiba. "Cepat, suruh anak perempuan itu turun!"
Tapi sebelum Dick sempat berbuat sesuatu, di luar terdengar langkah orang. Tahu-
tahu laki-laki pendek gempal berambut gondrong itu sudah berdiri di ambang
pintu. Ia sudah kembali. Di tangannya tergenggam beberapa butir telur. Ia
melangkah masuk sambil memandang Dick dengan mata melotot.
"Keluar!" bentaknya keras. "Cari apa kau di sini ?"
Dalam hati Dick berpendapat, lebih baik tak . dikatakannya bahwa malam
sebelumnya ia tidur dalam lumbung. Kejadian tadi malam di situ aneh, dan bisa
saja orang itu akan sangat marah jika mengetahui bahwa saat itu Dick tidur tak
jauh dari tempatnya menunggu.
"Saya hanya ingin bertanya, apakah ibu Anda mau menjual sedikit roti untuk
kami!" katanya. Tapi begitu selesai berbicara, Dick langsung menyesal. Ia
menyebutkan kata "kami"! Sekarang orang itu pasti tahu bahwa Dick tidak
sendirian! "Kami" Siapa yang kaumaksudkan dengan 'kami'!' tanya orang }tu sambil memandang
berkeliling ruangan. Ayo panggil temanmu kemari. Akan kutunjukkan pada kalian,
apa yang akan kuperbuat pada anak-anak yang hendak mencuri telur-telurku!"
"Baiklah - kupanggil dia sebentar,'" kata Dick. Ia melihat kesempatan untuk
minggat, lalu Iari ke pintu. Orang itu masih berusaha menangkap Dick - dan
nyaris saja berhasil. Tapi Dick lebih cepat! Ia melesat ke luar, lalu bersembunyi di balik sebuah
gudang. Jantungnya berdebar-debar. Ia harus menyelamatkan Anne. Dengan cara apa
pun ia harus kembali, menjemput adiknya itu.
Orang yang pemarah itu berdiri di ambang pintu dapur, sambil berteriak memaki-
maki Dick. Tapi ia tidak mengejar, melainkan masuk lagi ke dalam rumah. Tak lama
setelah itu ia muncul lagi, menenteng sebuah ember tempat makanan hewan. Menurut
perkiraan Dick, orang itu pasti hendak memberi makan ayam-ayamnya.
Dick tahu bahwa ia harus memakai kesempatan itu untuk menjemput Anne dari dalam
rumah. Ditunggunya sebentar sampai terdengar lagi pintu pagar dibanting keras-
keras di kejauhan. Begitu bunyi itu terdengar, ia lantas bergegas menuju ke
rumah. Anne muncul di balik kaca jendela kamar loteng. Anak Itu tampaknya
ketakutan. Rupanya ia mendengar orang tadi membentak-bentak abangnya, lalu
memarahi ibunya karena membiarkan ada anak -anak masuk ke rumah.
"Anne! Cepat turun - orang itu sudah pergi lagi!" seru Dick. "Ayo cepat!"
Anne bergegas lari ke pintu kamar, menuruni tangga yang curam, dan cepat-cepat
melintasi dapur. Wanita tua itu mengibaskan selembar kain lap ke arahnya, sambil
berteriak-teriak marah. Dick lari masuk dapur, lalu meletakkan uang sebanyak dua
puluh penny di atas meja.
Disambarnya lengan Anne, lalu mereka cepat-cepat lari ke luar rumah. Mereka tiba
kembali di sisi pagar tanaman yang mereka jadikan penunjuk jalan malam
sebelumnya. Anne masih tetap ketakutan.
"Orang tadi bukan main jahatnya," katanya. "Aduh, Dick - tempat ini menyeramkan
sekali rasanya. Sungguh, aku tidak bisa mengerti apa sebabnya Julian memilih
penginapan seperti ini! Rumahnya sudah bobrok - sama sekali tak seperti rumah petani. Tak ada sapi dan hewan
peliharaan lainnya - bahkan anjing penjaga pun tidak ada!"
"Anne, kurasa tempat tadi sebetulnya bukan rumah Pertanian Telaga Biru," kata
Dick, sementara mereka berjalan di sisi pagar tanaman, mencari pintu gerbang
yang mereka lewati malam sebelumnya, "Kita salah. Tempat itu sebetulnya rumah
biasa saja. Aku yakin jika kita kemarin tidak tersesat, pasti kita akan tiba di
Pertanian Telaga Biru yang sebenarnya."
"Lalu bagaimana pikiran George dan Julian sekarang"'" kata Anne. "Tentunya
mereka sudah sangat cemas memikirkan kita. Mungkinkah saat ini mereka berada di
Pertanian Telaga Biru yang sebenarnya?"
"Itulah yang harus kita selidiki," kata Dick. "Bagaimana, Anne - tampangku pasti
kumal dan acak-acakan, ya" Tak enak rasanya begini terus."
"Memang.. Kau tidak punya sisir?" kata Anne. "Rambutmu kusut, dan mukamu kotor
sekali. Lihatlah - di sana ada sungai kecil. Yuk - kita mencuci muka dan tangan
sebentar di situ!" Mereka lantas membersihkan muka dan tangan dengan air sungai yang bersih tapi
dingin, Dick menyisir rambutnya yang kusut.
"Nah, sekarang tampangmu kelihatan lebih rapi," kata Anne. "Aduh, aku kepingin
sarapan. Aku sudah lapar sekali! Tadi malam aku tidak bisa tidur nyenyak. Kau
sendiri bagaimana, Dick" Kasurku keras sekali. Lagi pula aku ketakutan terus,
karena harus sendiri dalam kamar loteng yang aneh itu."
Dick tidak sempat menjawab, karena pada saat itu muncul seorang anak laki-laki
yang berjalan sambil bersiul-siul. Anak itu melongo ketika melihat Anne dan Dick
berdiri di tepi sungai. "Hai!" sapa anak itu. "Kalian sedang melancong?"
"Betul," jawab Dick. "Aku ingin bertanya - betulkah rumah yang di sana itu
Pertanian Telaga Biru?"
Sambil bertanya Dick menuding ke arah rumah yang baru saja ditinggalkannya
bersama adiknya. Anak laki-laki yang ditanya tertawa.
"Itu bukan rumah petani, tapi rumah Bu Taggart. Rumah itu sangat jorok. Kalian
jangan berani-berani datang ke sana, karena pasti akan diusir anak laki-lakinya.
Orangnya galak sekali! Kami menjuluki dia 'Dirty Dick'. Cocok sekali nama itu
untuknya! Kalian mencari rumah Pertanian Telaga Biru" Tempatnya di sebelah sana,
lewat Losmen Tiga Gembala lalu belok ke kiri."
'''Terima kasih," kata Dick. Dalam hati ia merasa jengkel pada laki-laki.
kemarin, yang bisanya cuma mengatakan "E-eh" terus-menerus. Karena orang itulah
mereka tersesat. Anak laki-laki yang menunjukkan jalan melambaikan tangan, lalu
meneruskan perjalanan. "Ternyata kita memang keliru kemarin malam," kata Dick. Bersama Anne, ia kembali
melalui jalan yang mereka'lewati malam sebelumnya. "Kasihan, kau harus ikut
berjalan dalam gelap dan hujan, menuju rumah yang ternyata sama sekali bukan
Pertanian Telaga Biru. Entah apa kata Julian nanti padaku!"
"Ah, itu kan salahku juga," kata Anne. "Dick! Yuk, kita pergi ke Losmen Tiga
Gembala, lalu menelepon Pertanian Telaga Biru dari situ! Itu jika ada pesawat
telepon di sana. Aku segan berjalan lagi sampai bermil-mil, siapa tahu nanti tak
berhasil menemukan Pertanian Telaga Biru lagi!"
"Ide baik," kata Dick setuju. "Losmen Tiga Gembala itu kan tempat kita kemarin
melihat wanita sedang mengibas-ngibaskan lap pembersih debu di jendela" Ya, kan"
Ia yang menunjukkan jalan ke Wisma Spiggy pada Julian. Aku ingin tahu bagaimana
keadaan Timmy sekarang. Mudah-mudahan saja sudah sembuh. Wah - pelancongan kali
ini ternyata tak menyenangkan seperti harapan kita, ya?"
"Ah - masih cukup banyak waktu, mungkin setelah ini akan menyenangkan," kata
Anne. Nada suaranya yang riang berlawanan dengan perasaannya saat itu. Perutnya
sudah lapar sekali sehingga rasanya mau marah-marah saja!
"Dari Tiga Gembala kita nanti menelepon Julian, untuk mengabarkan apa yang
terjadi dengan kita," kata Dick, ketika mereka sampai lagi di lorong berlumpur
yang mereka lewati kemarin sore. Ditolongnya Anne memanjat pintu pagar, lalu
meloncat ke jalan. "Kecuali itu kita juga akan bisa sarapan dulu di Tiga
Gembala!" Perasaan Anne menjadi bertambah riang mendengar ucapan abangnya itu. Semula ia
menyangka akan harus berjalan kaki mencari Pertanian Telaga Biru - sebelum
sarapan! "Ah - kan benar, di sini. ada bagian yang banjir," katanya. "Pantas kakiku basah
kemarin! Yuk - aku rasanya kepingin lari saja, kalau mengingat sarapan."
Mereka sampai di desa Beacons, lalu menuju ke losmen. Pada papan nama losmen itu
ada gambar tiga gembala. Tampang mereka agak suram.
"Tampang mereka persis seperti perasaanku saat. ini," kata Anne. "Tapi sebentar
lagi aku pasti berubah! Wah, Dick, sebentar lagi kita akan asyik makan bubur
disambung dengan roti berlapis daging, telur, dan juga selai!"
"Sebelumnya kita harus menelepon dulu," kata Dick tegas. Tapi tiba-tiba ia
tertegun, sewaktu hendak melangkah masuk ke dalam losmen. Ada yang memanggil-
manggil namanya: 'Dick! Dick! Anne! Lihat - keduanya ada di ini! He, Dick!
Dick!" Itu suara Julian! Dick berpaling dengan gembira melihatnya Julian, George, dan
Timmy berlari-lari sambil berseru dan melambai- lambai. Tentu saja Timmy yang
paling dulu sampai di tempat Dick dan Anne berdiri seperti terpaku. Anjing itu
tidak terpincang-pincang lagi. Timmy melonjak-lonjak sambil menggonggong dengan
ribut. "Ju! Lega rasanya melihatmu lagi!" kata Anne. Suaranya agak bergetar. "Kami
tersesat kemarin malam. Bagaimana keadaan Timmy sekarang, George?"
"Sudah beres lagi," jawab George. "Rupanya..."
"Kalian berdua sudah sarapan atau belum?" sela Julian. "Kami belum. Kami tadi
begitu cemas memikirkan keadaan kalian, sehingga kami bermaksud hendak melapor
ke kantor polisi. Tapi sekarang tidak perlu lagi! Kita bisa sarapan bersama-sama
sambil menceritakan pengalaman masing-masing kemarin malam!"
8. Bergabung Lagi SENANG rasanya bisa berkumpul seperti biasa lagi. Julian memegang lengan Anne.
"Kau baik-baik saja, Anne?" tanyanya. Julian agak waswas melihat wajah adiknya
pucat. Anne mengangguk. Anak itu langsung merasa senang lagi, karena mereka
berlima sudah berkumpul kembali.
"Cuma perutku yang lapar sekali," katanya.
"Aku akan segera minta dihidangkan sarapan," kata Julian. "Sehabis itu saja kita
mengobrol!" Wanita yang mereka lihat di jendela kemarin datang menghampiri mereka.
"Sekarang memang sudah agak siang, tapi kami belum sempat sarapan tadi," kata
Julian padanya. Ia lantas memesan berbagai hidangan yang enak-enak. Setelah itu
mereka menuju ke ruang makan yang kecil tapi menyenangkan suasananya. Mereka
duduk sambil menunggu hidangan siap. Tercium bau daging digoreng, bercampur
dengan bau kopi yang harum. Aduh, enaknya!
"Kabarmu dulu," kata Dick pada Julian sambil menepuk-nepuk Timmy. "Kalian jadi
pergi ke Spiggy" Dan Pak Gaston - adakah ia di sana ?"
"Sayang tidak," jawab Julian. "Kebetulan sedang pergi ke salah satu tempat. Tapi
istrinya baik hati. Kami disuruhnya menunggu. Katanya, Pak Gaston pasti tak
berkeberatan untuk memeriksa Timmy jika ia sudah kembali. Jadi kami lantas
menunggu di sana." "Ya, kami menunggu sampai pukul setengah delapan," sela George. "Kami merasa
agak kurang enak, karena menurut perasaan kami saat itu sudah hampir waktunya
makan malam. Tapi akhirnya Pak Gaston datang."
"Orangnya sangat baik hati," sambung Julian lagi. "Kaki Timmy diperiksa olehnya,
lalu ia melakukan sesuatu, kurasa meluruskan persendian yang terkilir atau
semacam itu. Timmy mendengking kesakitan. Seketika itu juga George melabrak, dan
Pak Gaston tertawa terbahak-bahak melihat George mengamuk...."
"Habis, tindakannya kasar sekali terhadap kaki Timmy yang cedera," kata George
membela diri. "Tapi harus kuakui, ia tahu apa yang diperbuatnya. Sekarang Timmy
sudah pulih lagi, kecuali bekas memar di punggungnya. Tapi itu pun sudah mulai
baik. Ia sudah bisa lari seperti biasa lagi."
"Syukurlah kalau begitu," kata Anne. "Semalaman aku memikirkannya." Ditepuk-
tepuknya kepala Timmy. "Setelah itu apa yang kalian lakukan?" tanya Dick.
"Bu Gaston memaksa kami ikut makan malam bersama mereka," kata Julian. "Kami
mula-mula menolak tapi dipaksa terus olehnya. Dan memang saat itu perut kami
sudah lapar sekali. Jadi akhirnya kami ikut makan di sana! Hidangannya enak
sekali! Timmy saja sampai lupa kakinya yang sakit."
Anak-anak tertawa, termasuk George.
"Konyol," katanya. "Yah, kemudian haru pukul sembilan kami pergi dan sana. Kami
tidak mengkhawatirkan kalian, karena menurut sangkaan kami kalian pasti sudah
sampai di rumah Pertanian Telaga Biru. Kami juga berpendapat bahwa kalian pasti
sudah menduga kami akan menunggu sampai urusan dengan Timmy selesai. Tapi
kemudian, ketika kami ke sana dan ternyata. kalian belum tiba-wah, saat itu kami
benar-benar panik!" "Tapi kemudian timbul dugaan, kalian tentunya menginap di tempat lain," sambung
Julian. "Tapi kami sudah memutuskan akan pergi ke kantor polisi pagi ini jika
kalian masih belum muncul juga. Kami sudah berniat hendak melaporkan hilangnya
kalian!" "Karena itulah kami bergegas ke mari - tanpa sempat sarapan dulu!" kata George.
"Jadi bayangkan, betapa khawatir perasaan kami! Tapi tempat kami menginap di
Pertanian Telaga Biru asyik deh. Kami masing-masing mendapat satu kamar kecil.
Timmy tentu saja tidur di kamarku!"
Saat itu sarapan dihidangkan. Tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung
menyikatnya. "Uahh - sekarang enak lagi rasanya badanku," kata Anne sambil menatap hidangan
di depannya. "He! Kalian belum bercerita sama sekali tentang pengalaman kalian tadi malam!"
kata Julian. "Perut kalian sudah kenyang sekarang, jadi tentunya sudah mampu
lagi mengatakan apa sebabnya kalian tak mengacuhkan petunjukku, sehingga tidak
muncul di tempat yang harus kalian datangi!"
"Wah, wah - lagakmu kayak kepala sekolah saja," kata Dick. "Soalnya gampang
saja! Kami tersesat. Ketika kami tiba di sebuah rumah, kami sangka itulah
Pertanian Telaga Biru. Lalu, kami menginap di situ."
"O, begitu," kata. Julian. "Tapi tidakkah orang yang tinggal di situ mengatakan
bahwa kalian sebenarnya keliru" Maksudku, supaya kalian bisa memberi kabar pada
kami! Tentunya kalian bisa menduga bahwa kami cemas memikirkan keadaan kalian."
"Apa boleh buat, wanita tua penghuni rumah itu tuli!" kata Anne menjelaskan
sambil menyapu bersih sisa-sisa makanan yang masih ada di piring. "Ia tak bisa
menangkap kata-kata kami! Dan karena kami mengira tempat itu memang rumah
Pertanian Telaga Biru, kami lantas menginap saja di sana. Padahal tempatnya sama
sekali tidak enak. Dan kami khawatir, kenapa kalian tidak muncul-muncul!"
"Kekeliruan memang bisa saja terjadi," kata Julian. "Tapi pokoknya semua
berakhir dengan baik."
"Ala, aksi," kata Dick. "Keadaan kami kemarin malam sebetulnya sama sekali tidak
enak, Ju. Anne terpaksa tidur di kamar loteng yang sempit, sedang aku
menggeletak di atas jerami di lumbung. Soal itu sendiri sebetulnya tak apa
bagiku - tapi kemudian aku mengalami berbagai kejadian aneh. Setidak-tidaknya
begitulah menurut perasaanku. Soalnya, mungkin saja itu hanya mimpiku saja!"
"Apa maksudmu dengan kejadian aneh?" tanya Julian dengan segera.
"Lebih baik nanti saja kuceritakan, kalau kita sudah dalam perjalanan," jawab
Dick. "Kalau kuingat lagi sekarang, rasanya hal-hal itu hanya berupa mimpi - atau


Lima Sekawan 10 Rahasia Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti kukatakan tadi, kejadian yang sangat aneh."
"Kau tidak menceritakannya padaku tadi, Dick," kata Anne heran.
"Terus terang saja aku lupa sebagai akibat kejadian-kejadian lain yang kita
alami tadi pagi," jawab Dick. "Misalnya aku melarikan diri dari kejaran orang
laki-laki itu, lalu cemas memikirkan keadaan Julian dan George. Ditambah pula
dengan perut yang sudah lapar sekali!"
"Kedengarannya keadaan kalian tadi malam sama sekali tidak enak," kata George
menyela. "Dan pasti tidak enak rasanya mencari jalan dalam gelap. Tambahan lagi saat itu
hujan turun, kan?" "Betul," kata Anne membenarkan. "Tapi yang membuat diriku paling ketakutan,
adalah bunyi lonceng yang berdentang-dentang. Bunyi itu begitu tiba-tiba,
sehingga aku menggigil ketakutan. Aku sama sekali tak tahu dari mana bunyi itu
berasal, dan apa sebabnya berbunyi! Dentangannya sangat nyaring."
"Kalian tidak tahu kenapa ada lonceng berbunyi?" kata Julian dengan segera.
"Yang kalian dengar itu lonceng penjara. Kalian masih ingat kan, cerita wanita
pemilik toko tempat kita membeli sandwich" Lonceng itu berbunyi untuk
memberitahu pada penduduk sekitar sini bahwa ada narapidana melarikan diri!"
Anne memandang Julian dengan kaget. Karena itu rupanya lonceng berdentang-
dentang dengan ribut. Anne bergidik. .
"Untung kemarin malam aku tak mengetahuinya," katanya. "Kalau saat itu aku sudah
tahu ada narapidana melarikan diri dari penjara, aku pasti akan berkeras tidur
dalam lumbung bersama Dick. Dan bagaimana - apakah orang itu sudah tertangkap
kembali?" "Aku juga tidak tahu," jawab Julian. "Kita tanyakan saja nanti, jika wanita yang
melayani kita tadi datang."
Ketika wanita yang dimaksudkan oleh Julian muncul, anak-anak langsung menanyakan
soal itu padanya. Wanita itu menggeleng.
"Belum, sampai sekarang belum tertangkap lagi," katanya. "Tapi tak mungkin ia
bisa lolos. Semua jalan keluar dari daerah padang belantara ini dijaga ketat,
dan setiap orang sudah waspada. Narapidana yang minggat itu seorang perampok
yang berbahaya." "Julian - apakah akan kita teruskan pelancongan kita di daerah sini?" tanya Anne
cemas. "Aku merasa tak aman, karena ada bandit yang lari dari penjara."
"Kan ada Timmy," kata Julian. "Timmy cukup kuat untuk membela kita - kalau perlu
bahkan melawan tiga orang bandit sekaligus! Kau tak perlu merasa cemas."
Timmy menggonggong, seperti hendak mengatakan bahwa anak-anak memang tidak per-
lu khawatir selama ada dia di sisi mereka. Kan ada Timmy, anjing jagoan!
Setelah selesai sarapan, Julian pergi untuk membayar serta sekaligus memesan
sandwich untuk bekal dalam perjalanan. Wanita pengurus losmen berseri-seri
wajahnya mendengar pujian anak-anak mengenai hidangannya yang nikmat. Dengan
segera ia menyiapkan roti untuk bekal, sambil berkata,
"Kapan-kapan mampir lagi, ya! Pasti akan kusediakan makanan enak!"
Setelah meminta diri, anak-anak meneruskan perjalanan. Mereka mengambil jalan
yang menuju ke sebuah lembah. Lembah itu letaknya tak jauh dari desa. Di tengah-
tengahnya mengalir sebuah sungai kecil. Terdengar bunyi airnya mengalir
berdeguk-deguk. "Asyik!" seru Anne gembira. "Apakah kita akan menyusuri tepi sungai itu" Aku
kepingin!" Julian melihat ke dalam peta.
"Ya - bisa saja," katanya kemudian. "Aku sudah memberi tanda jalan yang akan
kita lewati hari ini. Dan sungai ini akan sampai di jalan itu. Kalau kau
kepingin, kita bisa saja berjalan menyusuri tepi sungai. Tapi lewat situ tidak
gampang!" Anak-anak lantas menuju ke tepi sungai.
"Nah, sekarang kau bisa bercerita tentang kejadian-kejadian aneh yang kaualami
kemarin malam, Dick," kata Julian setelah agak lama berjalan menyusuri tepi air.
"Di sini tak ada orang lain yang bisa mendengar pembicaraan kita jadi
ceritakanlah sekarang! Supaya kita semua tahu, apakah kau cuma bermimpi atau
tidak." "Baiklah," kata Dick. "Nah, kejadiannya begini! Kedengarannya memang sangat
aneh...." 9. Laporan Dick DICK mulai bercerita. Tapi anak-anak sukar mengikuti ceritanya dengan baik,
karena di tepi sungai mereka tak bisa berjalan sejajar. Di tempat itu tak ada
jalan yang biasa. Akhirnya Julian berhenti, lalu menuding ke suatu tempat yang
ditumbuhi rumput tebal. "Yuk, kita duduk saja di sana untuk mendengarkan cerita Dick," katanya. "Kalau
sambil berjalan, selalu ada saja yang tak terdengar jelas olehku. Di tempat itu
takkan ada orang lain yang bisa ikut mendengarkan."
Setelah semuanya duduk di atas rumput, Dick mengulangi ceritanya lagi dari awal.
Diceritakannya tentang wanita tua yang takut anak laki-lakinya akan marah jika
Dick dan Anne diizinkannya menginap, disambung dengan kisah tentang tidurnya di
atas jerami. "Sekarang menyusul bagian yang mungkin cuma mimpiku saja," katanya kemudian.
"Ketika aku baru saja terlelap, tiba-tiba aku terbangun lagi. Aku mendengar
bunyi seperti ada yang menggaruk-garuk dinding lumbung...."
"Mungkin tikus?" kata George menyela. Seketika itu juga Timmy bangun. Telinganya
ditegakkan lurus-lurus. Dikiranya George berbicara padanya.
"Mula-mula aku juga menyangka begitu," jawab Dick. Tapi kemudian menyusul bunyi
ketukan pelan di jendela."
" "Hihh, seram!' kata Anne sambil bergidik. "Perasaanku pasti tak enak jika aku
yang mendengarnya." "Perasaanku juga begitu," kata Dick. "Tapi yang lebih tak mengenakkan perasaan
adalah ketika namaku dipanggil-panggil! Dari luar terdengar seruan pelan, 'Dick!
Dick!' Bayangkan perasaanku saat itu!"
"Ah, pasti kau sedang bermimpi saat itu" kata Anne. "Di sana kan tak ada yang
mengenal namamu." Dick meneruskan ceritanya.
"Lalu - lalu orang yang di luar itu berkata lagi, Dick! Aku tahu kau ada di
dalam - sebab aku melihatmu masuk tadi!' Lalu aku disuruhnya menghampiri
jendela." "Lalu?" tanya Julian. Anak itu agak bingung mendengar kisah adiknya. Waktu itu
kan cuma Anne yang tahu bahwa Dick ada dalam lumbung" Dan, pasti bukan Anne yang
memanggil-manggil dari luar!
"Lalu aku pergi ke dekat jendela," sambung
Dick. "Dari situ kulihat seorang laki-laki berdiri di luar. Walau cuma samar-
samar, masih tampak juga matanya yang liar. Orang, itu tidak bisa melihatku,
karena dalam lumbung gelap. Aku mengatakan ' Aku di sini' dengan suara menggumam
dan kuberat-beratkan, supaya orang itu mengira memang akulah orang yang
dicarinya." "Lalu apa katanya?" tanya George.
"Aku tak tahu maksudnya," kata Dick. "Tapi ia mengulanginya sekali lagi. Ia
mengatakan, 'Dua Pohon. Air Gelap. Saucy Jane.' Lalu ia menyambung dengan,
'Maggie tahu.' Cuma begitu saja!"
Anak-anak terdiam sesaat. Kemudian George tertawa.
"Dua Pohon! Air Gelap! Saucy Jane-dan Maggie tahu," katanya menirukan cerita
Dick. "Ah, kau pasti mimpi saat itu, Dick! Pasti! Bagaimana pendapatmu, Julian?"
"Yah-kedengarannya memang tak masuk akal, ada orang datang di tengah malam
sambil memanggil-manggil nama Dick, lalu menyampaikan pesan aneh yang sama
sekali tak bisa dimengerti!" kata Julian. "Kedengarannya seperti mimpi. Menurut
dugaaanku, kau memang bermimpi saat itu, Dick."
Dick mulai percaya bahwa pendapat Julian dan George benar. Tapi tiba-tiba ia
teringat pada sesuatu. "Nanti dulu-aku ingat, masih ada lagi yang terjadi!" katanya. "Orang itu juga
melemparkan secarik kertas lewat jendela yang sudah pecah kacanya dan kertas itu
kupungut!" "Ah, kalau begitu lain persoalannya," kata Julian. "Sekarang jika kertas itu
tidak bisa kautemukan, maka segala-galanya ternyata hanya mimpi be1aka! Tapi
kalau kau menemukannya kembali, maka kau sungguh-sungguh mengalami segalanya.
Mungkin aneh tapi benar-benar kaualami!"
Dick cepat-cepat mencari kertas itu. Ternyata terselip dalam salah satu
kantongnya. Lalu dikeluarkannya dengan segera, Kertas itu tampak kumal. dan pada
kertas itu tertulis berapa patah kata disertai garis-garis. Tanpa mengatakan
apa-apa, Dick menyodorkan kertas itu pada saudara-saudaranya. Matanya bersinar-
sinar. "Inikah, kertas yang kaumaksudkan?" tanya Julian. "Astaga! Kalau begitu kau
memang tidak mimpi!"
Julian mengambil kertas itu lalu memperhatikannya. Anak-anak yang lain ikut
sibuk pula. Bahkan Timmy tidak mau ketinggalan, menyerudukkan kepala di antara
Julian dan Dick. "Aku tak bisa memahami maksud tanda-tanda ini," kata Julian sete1ah beberapa
saat. "Kurasa ini rencana untuk sesuatu - tapi apa, takkan bisa kita tebak!"
"Orang itu juga berkata bahwa Maggie pun menerima sepotong kertas ini," kata
Dick sambil mengingat-ingat. .
"Tapi Maggie itu siapa?" kata George bingung. "Dan apa sebabnya Maggie tau?" "
"Masih ada lagi yang perlu diceritakan?" tanya Julian, yang keingintahuannya
bertambah sekarang. "Yah - kemudian anak wanita tua yang tuh itu masuk ke dalam lumbung. Sementara
menunggu ia mengomel terus. Ketika aku bangun ia sudah tidak ada lagi di situ.
Oleh karena itu aku lantas mengira bahwa kedatangannya juga merupakan impianku
belaka, Aku sama sekali tak terlihat olehnya."
Julian berpikir-pikir. Mulutnya terkatup rapat, sedang keningnya berkerut. Tiba-
tiba Anne membuka mulut. " Dick! Ju!" serunya bersemangat. "Kurasa aku tahu apa sebabnya anak wanita tua
itu masuk ke dalam lumbung. Ialah yang sebetulnya harus menerima kabar dari
laki-laki yang bermata liar dan bukan Dick. Orang yang di luar itu sama sekali
tak bermaksud mencari Dick. Tapi karena ia melihat Dick menyelinap masuk ke
dalam lumbung, ia lantas mengira Dick adalah orang yang harus didatangi
olehnya!" "Mungkin perkiraanmu benar-tapi dari mana ia mengetahui namaku?" kata Dick
bingung. "Ia tak tahu bahwa namamu Dick! Saat itu ia sama sekali tak mengira bahwa kau
yang berada di bawah jendela," kata Anne. "Rupanya nama anak wanita tua itu juga
Dick-ya, kan" Rupanya mereka sudah berjanji akan berjumpa di situ. Maksudku
orang yang bermata liar, dengan anak wanita tua itu. Lalu ketika melihat Dick
menyelinap masuk, si mata liar itu menunggu sebentar lalu datang ke jendela dan
mengetuk-ngetuknya sambil memanggil-manggil. Sedang Dick, tentu saja mengira ia
yang dipanggil, sehingga akhirnya pesan dan kertas disampaikan padanya. Orang
yang satu lagi, yang mestinya juga bernama Dick, terlambat datang. Dick kita
sudah menduluinya!" Anne terdiam sejenak setelah berbicara sepanjang itu. Ditatapnya saudara-
saudaranya dengan tegang. Bagaimana pendapat mereka tentang dugaannya itu"
Ternyata mereka sependapat! Julian menepuk punggung Anne.
"Pendapatmu betul, Anne. Itulah yang sebenarnya telah terjadi kemarin malam."
Dick tiba-tiba teringat lagi pada anak laki-laki yang tadi pagi dijumpainya
bersama Anne, ketika keduanya sedang membersihkan muka dan tangan dengan air
sungai. Apa kata anak itu tentang wanita tua serta anak laki-lakinya"
"Anne! Apa kata anak yang berpapasan dengan kita sambil bersiul-siul tadi pagi,
ketika kita dalam perjalanan ke desa Beacons" Nanti dulu-aku ingat-katanya rumah
yang saat itu baru saja kita tinggalkan dengan tergesa-gesa adalah rumah Bu
Taggat. Dikatakannya juga kita jangan berani-berani ke sana, karena pasti akan
diusir anak laki-laki wanita itu! Lalu anak itu juga berkata,. 'Kami
menjulukinya Dirty Dick! Orangnya Jahat sekali! Dirty Dick! Jadi nama sebenarnya
pasti Dick! Kenapa hal itu tak terpikir dari tadi olehku?"
"Itu buktinya bahwa Anne benar," kata Julian senang. Anne kelihatan gembira.
Tidak sering ia mendapat pikiran yang hebat, mendului saudara-saudaranya!
Setelah itu anak-anak sibuk berpikir.
"Apakah segala kejadian itu ada hubungannya dengan narapidana yang minggat dan
penjara?" kata George kemudian.
"Mungkin saja," kata Julian. "Mungkin orang yang berbisik pada Dick itulah
narapidana yang lari. Ia tidak mengatakan dari siapa pesan yang disampaikannya
adamu itu?" "Ya" kata Dick sambil berusaha mengingat-ingat. "Katanya pesan itu dari Nailer.
Kurasa ia bicara sambil berbisik-bisik."
"Pesan dari Nailer," kata Julian. "Mungkin Nailer juga narapidana - teman orang
yang melarikan diri. Dan mungkin ketika ia mendengar bahwa si mata liar hendak
minggat, ia lantas menitipkan pesan untuk seseorang - yaitu anak wanita tua yang
tinggal di rumah bobrok tempat kalian menginap. Rupanya mereka sudah membuat
rencana tertentu." "Apa maksudmu?" tanya Dick bingung.
"Yah, mungkin Dirty Dick tahu bahwa begitu lonceng berdentang tanda si
narapidana telah berhasil minggat, ia akan mendatanginya untuk menyampaikan
pesan. Barangkali sudah disepakati bahwa kalau terdengar bunyi lonceng, ia harus
menunggu dalam lumbung malam itu, karena mungkin teman Nailer yang melarikan
diri mendatanginya."
"O, begitu," kata Dick. Ia mengerti sekarang. "Kurasa kau benar, Ju! Ya, betul!
Wah, untung malam tadi aku tidak tahu bahwa orang yang ada di luar sebenarnya
seorang narapidana yang lari dari penjara."
"Dan kau yang menerima pesan dari Nailer!" kata Anne. "Benar-benar luar biasa.
Hanya karena kita tersesat sehingga mendatangi tempat yang keliru, kau menerima
pesan dari seorang narapidana, disampaikan oleh temannya yang melarikan diri!
Sayang kita tidak tahu arti pesan itu - begitu pula arti tulisan dan garis-garis
yang tertera di atas kertas yang kauterima!"
"Apakah tidak lebih baik jika kita laporkan saja pada polisi?" usul George.
"Maksudku - mungkin saja urusannya penting, dan bisa membantu mereka menangkap
orang itu kembali." "Ya-kurasa memang sebaiknya kita lapor pada polisi," kata Julian. "Coba kita
lihat sebentar di peta. Mana desa yang paling dekat dari sini?"
Julian memperhatikan peta sesaat.
"Ah, kita bisa meneruskan rencana kita yang semula," katanya kemudian. "Menurut
rencanaku, pada saat makan siang nanti kita akan sudah sampai di desa Reebles
ini. Sudah kurencanakan begitu, karena mungkin saja kita tidak bisa membawa
bekal roti. Tapi bagai. manapun juga, kita toh akan mampir di sana untuk minum.
Jadi usulku, kita tetap mengikuti rencana pelancongan. Nanti jika di Reebles ada
kantor polisi, kita mampir sebentar untuk menyampaikan laporan."
Setelah itu anak-anak melanjutkan perjalanan. Timmy setuju saja, karena ia tak
suka duduk lama-lama sehabis sarapan. Anjing itu berlari-lari dengan gembira di
depan Julian beserta saudara-saudaranya.
"Kakinya sudah sembuh kembali," kata Anne senang. "Yah, mudah-mudahan ia kini
sudah jera, tidak lagi menyusup-nyusup masuk ke dalam lubang kelinci!"
Tapi bukan anjing namanya jika mengenal arti jera. Dalam waktu setengah jam
berikutnya ada sekitar enam liang yang hendak dimasukinya. Untung saja semua
terlalu sempit baginya! Hari itu anak-anak melihat kawanan kuda kerdil liar. Kuda-kuda itu berbondong-
bondong menuruni lereng sebuah bukit kecil. Tubuh mereka kerdil dan bulunya
cokelat, dengan surai dan ekor panjang terjurai. Kuda-kuda itu kelihatannya
sibuk sekali. Anak-anak berhenti berjalan, lalu memandang dengan asyik. Kuda-
kuda liar melihat mereka berdiri, lalu berpaling serempak dan lari menjauh lagi.
Timmy sudah hendak mengejar saja, tapi kalung lehernya dipegang erat-erat oleh
George. Kuda-kuda kerdil yang manis-manis itu tak boleh diganggu!
"Aduh, bagusnya mereka," kata Anne. "Senang rasanya melihatnya. Mudah-mudahan
kita akan berjumpa lagi dengan kuda-kuda liar."
Cuaca pagi itu sehangat dan secerah hari sebelumnya. Anak-anak berjalan
menyusuri tepi sungai. Pukul setengah dua belas mereka merendam kaki dalam air
sambil makan roti bekal. "Enak rasanya hidup begini," kata George sambil merebahkan diri ke rumput,
sementara kakinya masih berkecimpung dalam air. "Kakiku terendam dalam air yang
sejuk, sedang sinar matahari menghangatkan mukaku - asyik!"
Sungai yang mereka telusuri tepinya akhirnya memotong jalan yang menuju ke desa
Reebles. Anak-anak lantas mengambil jalan itu. Mereka sudah mulai teringat pada
makan siang. Mereka bermaksud makan di desa, sementara roti disimpan untuk sore.
"Tapi mula-mula kita harus mencari kantor polisi dulu," kata Julian. "Kalau di
sana ada kantor polisi, kita melapor dulu - dan setelah itu barulah kita makan!"
10. Lapor ke Polisi TERNYATA di desa Reebles ada kantor polisi. Kantornya kecil, menempel pada
sebuah rumah polisi yang berdinas di situ. Polisi itu bertugas mengawasi empat
desa sekaligus. Karena itu ia agak sombong-menganggap dirinya orang penting.
Ketika Julian beserta saudara-saudaranya mendatangi kantor polisi, petugas itu


Lima Sekawan 10 Rahasia Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebetulan sedang makan siang di rumahnya.
Anak-anak keluar lagi ketika melihat bahwa di kantor polisi tidak ada orang.
Tapi petugas yang sedang makan melihat mereka dari jendela. Ia lalu keluar,
sambil mengelap mulut. Ia agak kesal karena makan siangnya terganggu.
"Kalian mau apa?" tanyanya dengan nada curiga. Polisi itu tidak suka pada anak-
anak. Menurut perasaannya, anak-anak bisanya cuma berbuat iseng dan bersikap
kurang ajar. Dan baginya anak kecil atau besar, semuanya sama saja!
"Kami ingin melaporkan kejadian aneh, Pak," kata Julian dengan sopan. "Menurut
pendapat kami, polisi perlu mengetahuinya. Mungkin berkat laporan kami,
narapidana yang lari tadi malam bisa tertangkap kembali."
"Haj," tukas polisi itu dengan nada menghina. "Kalian rupanya hendak melaporkan
bahwa kalian juga melihatnya, ya! Kau pasti heran jika kukatakan sudah beberapa
banyak orang yang memberikan laporan seperti itu. Kalau kupercayai semuanya,
maka narapidana itu pada waktu yang bersamaan muncul di segala sudut daerah
sini. Pintar sekali orang itu - bisa berada di beberapa tempat sekaligus!"
"Yah salah satu dari kami melihatnya kemarin malam," kata Julian dengan sopan.
"Setidak-tidaknya kami berpendapat pasti dialah orang yang lari itu. Ia
menyampaikan pesan pada adikku ini." Julian berkata begitu sambil menuding Dick.
"Aah-begitu, ya?" kata si polisi sambil menatap Dick dengan sikap tak percaya.
"Jadi orang itu sempat-sempatnya menyampaikan pesan pada anak-anak" lalu kalau
aku boleh tahu, apa pesan yang disampaikannya padamu?"
Pesan itu kedengarannya sangat konyol, ketika diulangi lagi oleh Dick di depan
polisi. "Dua Pohon. Air Gelap. Saucy Jane. Dan Maggie tahu," kata Dick.
"Ah, masa," kata polisi mengejek. "Jadi Maggie juga tahu" Yah, bilang saja pada
Maggie agar ia datang kemari dan melaporkannya padaku. Aku kepingin bertemu
dengan Maggie, apalagi jika ia termasuk kawan kalian pula."
"Maggie bukan kawan kami," kata Dick jengkel "Nama itu disebutkan dalam pesan
yang kuterima. Aku tak tahu Maggie itu siapa! Dari mana aku bisa mengetahuinya"
Menurut sangkaan kami. tadi, polisi akan bisa menyelidiki maksud pesan itu. Kami
sendiri tidak sanggup. Dan orang itu juga memberikan kertas ini padaku."
Dick menyerahkan potongan kertas kumal pada polisi yang memperhatikannya sambil
tersenyum masam. "Jadi ini juga diberikannya padamu, ya?" kata polisi. "Baik hati orang itu, ya"
Dan menurutmu apa artinya coret-coretan pada kertas ini?"
"Kami tidak tahu," kata Dick. "Tapi kami menyangka laporan kami akan bisa
menolong polisi menangkap narapidana itu. Cuma itu saja."
"Orang itu sudah tertangkap kembali," kata polisi itu sambil nyengir. "Macam-
macam yang kalian ketahui - tapi justru yang itu tidak! Ya, ia sudah tertangkap-
empat jam yang lalu, dan kini sudah dimasukkan kembali ke penjara. Sekarang
kukatakan pada kalian - aku tak mungkin bisa kalian tipu! Mengerti?"
"Kami tidak bermaksud menipu Anda," kata Julian dengan gaya orang dewasa. "Anda
mestinya bisa membedakan, mana laporan yang benar dan mana yang cuma main-main!"
Polisi itu sama sekali tidak senang mendengar kecaman itu Ia berpaling menatap
Julian dengan mata melotot. Mukanya merah. "Ayo, pergi dari sini!" bentaknya.
"Aku tak mau dikurangajari kalian! Kalian ingin kucatat nama dan alamat kalian,
lalu kulaporkan ya?"
"Silakan," tukas Julian menantang. "Mana buku catatan Anda" Aku akan menyebutkan
nama-nama kami, dan aku sendiri akan melaporkan pada polisi daerah kami jika
kami sudah kembali ke sana."
Polisi itu memandang Julian. Mau tidak mau, ia terkesan juga melihat sikap
Julian. Sikapnya sendiri menjadi agak tenang karenanya.
" Ayo, pergi dari sini," katanya kemudian. Tapi nada suaranya sudah tidak
segalak tadi. "Sekali ini kalian takkan kulaporkan. Tapi jangan suka menyebarkan cerita-cerita
konyol seperti tadi kalau tidak ingin mengalami kesulitan-kesulitan besar!"
"Ah, kurasa tidak," kata Julian membalas. "Tapi kulihat Anda tidak peduli
terhadap laporan kami. Kalau begitu, bolehkah kami meminta kembali kertas itu?"
Polisi itu mengerutkan kening. Melihat gelagat tidak baik, Dick cepat-cepat
menyambar. Tapi ia kalah cepat. Kertas itu sudah disobek-sobek menjadi empat bagian, lalu
dicampakkan ke tanah! "Di sini rupanya tidak ada undang-undang yang melarang orang dengan seenaknya
membuang sampah, ya!" tukas Dick galak, lalu memungut kertas yang disobek-sobek
itu dan mengantonginya. Polisi melotot menatap Dick, lalu berpaling sambil
mendengus, menuju ke rumahnya untuk meneruskan makan.
"Mudah-mudahan makanannya sudah dingin sekarang!" tukas George jengkel.
"Orang itu jahat! Apa sebabnya ia menuduh kita bohong?"
"Laporan kita memang agak aneh kedengarannya," kata Julian. "Kita sendiri sukar
percaya ketika Dick menceritakannya tadi. Aku tak menyalahkan polisi itu kalau
ia tidak percaya. Aku cuma jengkel melihat sikapnya. Untung saja kepolisian kita
sebagian besar tidak begitu sikapnya. Kalau begitu, pasti takkan ada orang yang
mau menyampaikan laporan."
"Tapi pokoknya kita mendengar kabar baik dari dia," kata Anne: "Narapidana, yang
lari sudah tertangkap dan dikembalikan ke penjara! Lega perasaanku
mendengarnya." "Aku juga," kata Dick. "Seram rasanya melihat tampang orang itu. Nah-apa yang
akan kita lakukan sekarang, Ju" Kita lupakan saja segala urusan itu" Atau
menurut perasaanmu, adakah di antara isi pesan itu yang bisa kita jadikan
pegangan" Dan kalau ada, apa yang akan kita lakukan?"
"Aku tidak tahu," kata Julian. "Kita harus memikirkannya dulu. Yuk-kita cari
makan dulu di salah satu rumah petani. Di sekitar sini tampaknya banyak rumah
petani." Mereka bertanya pada seorang anak perempuan, apakah di dekat situ ada rumah
petani di mana mereka bisa membeli makanan. Anak kecil itu mengangguk, lalu
menuding ke sebuah rumah.
"Kalian lihat rumah petani yang di atas bukit itu" Itu rumah nenekku. Kurasa ia
mau memberikan makanan untuk kalian. Pada musim panas Nenek biasa menyediakan
makanan pada para pelancong. Jadi kurasa ia akan menyediakan bagi kalian jika
kalian meminta padanya - walau sekarang sudah bukan musim melancong lagi."
"Terima kasih," kata Julian. Anak-anak lantas menuju ke jalan yang berkelok-
kelok mendaki lereng bukit. Ketika mereka menghampiri rumah yang ditunjukkan
anak kecil tadi, terdengar bunyi anjing menggonggong dengan keras. Bulu tengkuk
Timmy langsung berdiri. Ia menggeram-geram.
"Kawan, Timmy, kawan," kata George menyabarkan. "Kita makan di sini, Timmy!
Makan, dan mungkin kau akan mendapat bagian tulang yang enak. Tulang, Timmy!"
Timmy mengerti. Bulu tengkuknya rebah lagi, dan ia berhenti menggeram. Ekornya
dikibas-kibaskan. Sementara itu dua ekor anjing berdiri dekat pintu pagar sambil
mengendus-endus dengan perasaan curiga. Padahal jarak mereka masih agak jauh.
Seorang laki-laki muncul dan menyapa anak-anak.
"Kalian mau apa" Awas, anjing-anjing ini galak!"
"Kami ingin tahu, bisakah kami memperoleh makanan di sini?" seru Julian. "Tadi
ada anak perempuan di desa yang mengatakan mungkin bisa!"
"Coba kutanyakan dulu pada ibuku," kata orang itu, lalu berseru ke dalam rumah
dengan suara nyaring, "Bu" Bu! Ini ada empat anak-anak mereka bertanya apakah
bisa makan di sini!"
Seorang wanita tua muncul di ambang pintu. Badannya gemuk sekali. Pipinya merah
segar, dan matanya berkilat-kilat jenaka. Dipandanginya keempat anak yang
berdiri dekat pagar selintas, lalu mengangguk.
"Ya, bisa," katanya. "Mereka kelihatannya anak baik-baik. -Suruh saja masuk.
Tapi anjing mereka perlu dipegang erat-erat kalungnya."
Keempat anak itu memasuki pekarangan, sementara George berjalan sambil memegang
kalung leher Timmy. Kedua anjing penjaga rumah itu datang menghampiri-. Tapi
Timmy tidak menunjukkan sikap bermusuhan, karena berharap akan mendapat tulang.
Ia diam saja ketika kedua anjing itu menggeram dengan sikap curiga. Timmy
mengibas-ngibaskan ekor sementara lidahnya terjulur ke luar.
Tak lama kemudian kedua anjing tadi ikut mengibaskan ekor. George segera tahu
bahwa ia sekarang sudah bisa melepaskan Timmy.
Timmy langsung lari menghampiri kedua anjing penjaga rumah, dan tak lama
kemudian mereka sudah asyik bermain-main. Kata George, ketiga anjing itu bermain
kejar-kejaran dan saling menggulingkan.
"Silakan masuk," kata wanita tua bertubuh gemuk itu. "Tapi kalian terpaksa makan
seadanya saja." Ia lantas menyebutkan apa-apa saja yang tersedia saat itu di
rumahnya. "Hmmm-sedap," kata Julian. "Itu kan sudah banyak sekali!"
Tapi wanita tua itu belum selesai. Ia masih menyambung dengan menyebutkan
hidangan-hidangan buah yang diawetkan, untuk dinikmati setelah makan.
"Sudah, sudah! Jangan cerita lagi," seru Dick sambil memegang perut. "Aku tak
kuat lagi menahan lapar mendengarnya. Apa sebabnya orang-orang yang tinggal di
pertanian selalu punya makanan yang paling enak" Maksudku, kan orang kota pun
sebetulnya bisa membuat makanan mereka seperti itu."
"Soalnya mereka tidak sempat, atau tidak mau, kata George. "Kalau ibuku, ia
selalu membuat semuanya itu - juga ketika kami masih tinggal di kota. Yang
jelas, aku akan melakukannya jika sudah besar nanti. Senang rasanya bisa
menghidangkan makanan buatan sendiri bila mengundang orang makan di rumah!"
Benar-benar mengherankan betapa banyak makan keempat anak itu - padahal sarapan
mereka paginya tidak bisa dibilang sedikit.
Timmy tentu saja tidak ketinggalan. Akhirnya anjing itu kenyang juga, lalu
merebahkan diri sambil mengembuskan napas puas. Ia ingin tinggal untuk
seterusnya di pertanian itu. Kedua anjing yang tinggal di situ memang bernasib
mujur, pikirnya. Ketika anak-anak sedang makan, muncul seorang anak perempuan kecil.
"Namaku Meg," kata anak itu. "Aku tinggal bersama nenekku di sini. Siapa nama
kalian." Keempat anak itu lantas memperkenalkan diri. Kemudian Julian teringat sesuatu.
"Kami saat ini sedang melancong di daerah sini," katanya. "Banyak tempat menarik
yang sudah kami datangi. Tapi ada satu yang belum. Mungkin kau mengenalnya -
tempat itu bernama Dua Pohon."
Tapi anak perempuan itu menggeleng.
"Kalau Nenek pasti tahu," katanya. Ia memanggil-manggil neneknya. "Di manakah
letak Dua Pohon?" Wanita tua yang tadi menjengukkan kepala dari balik pintu.
"Apa katamu" Dua Pohon" O - tempat itu dulu bagus, tapi sekarang tinggal
reruntuhannya saja. Letaknya di sisi sebuah danau yang gelap, di tengah padang
belantara. Nanti dulu--aku lupa nama danau itu."
"Mungkin Air Gelap?" kata Dick.
"Ya-betul, begitulah namanya. Air Gelap," kata wanita tua itu. "Kalian bermaksud
ke sana" Lebih baik berhati-hati, karena di sekitar situ banyak rawa di tempat-
tempat yang tak terduga sama sekali! Nah-masih ada yang ingin tambah?"
"Terima kasih, Bu, kami sudah kenyang," kata Julian setengah menyesal, lalu
membayar harga makanan mereka. Ternyata sangat murah. "Makanan tadi enak sekali,
Bu. Tapi kami harus melanjutkan perjalanan."
"Mudah-mudahan ke Dua Pohon di tepi Air Gelap," bisik George pada Dick. "Aku
kepingin melihat tempat itu."
11. Gagasan Julian BEGITU mereka berada di luar lagi, Julian berkata pada saudara-saudaranya,
"Kita lihat dulu seberapa jauh letak Dua Pohon dari sini, dan apakah ada waktu
bagi kita untuk mendatangi tempat itu. Kalau ternyata masih cukup waktu, kita
akan melihat-lihat ke sana sebentar. Tapi kalau tidak, baru besok kita ke sana."
"Bagaimana kita bisa mengetahui seberapa jauh tempat itu?" tanya Dick
bersemangat. "Apakah tertera pada petamu?"
"Ya-kalau danau itu cukup luas," kata Julian. Kemudian mereka menuruni bukit,
menempuh jalan yang membawa mereka kembali ke padang belantara. Ketika mereka
sudah cukup jauh dari pertanian, Julian berhenti lalu mengeluarkan petanya. Ia
membeberkannya di atas rumput, dan keempat anak itu berjongkok mengelilinginya.
"Kata wanita tua yang baik hati tadi letaknya di tengah padang," kata Julian.
"Kita juga tahu bahwa di sana ada danau atau setidak-tidaknya semacam telaga."
Sambil bicara jari Julian bergerak-gerak menyusuri peta. Tiba-tiba George
berseru sambil menuding tempat yang letaknya sedikit di sebelah bawah bagian
tengah. "Ini dia - lihatlah! Letaknya tidak tepat di tengah-tengah. Ini tertulis-Air
Gelap! Mestinya inilah tempatnya. Apakah di situ juga ditandai tempat yang
bernama Dua Pohon?" "Tidak," jawab Julian. "Kurasa memang tidak mungkin apabila tempat itu tinggal
reruntuhannya saja. Reruntuhan tidak biasa digambarkan letaknya dalam peta,
kecuali apabila ada arti penting tertentu. Sedang tempat itu tak mungkin
penting. Yah, yang pasti di sini ditunjukkan di mana letak Air Gelap. Bagaimana
jika kita mencoba-coba pergi ke sana sore ini juga" Aku ingin tahu, seberapa
jauh tempat itu dari sini!"
"Kita bisa menanyakannya di kantor pos," kata George. "Mungkin ada tukang pos
yang dulu pernah mengantarkan surat ke sana. Orang itu pasti tahu tempatnya, dan
bisa mengatakan jalan mana yang harus kita lalui."
Anak-anak lalu kembali ke desa dan mendatangi kantor pos di sana. Kantor pos di
desa itu berada dalam toko yang menjual barang keperluan sehari-hari. Pemilik
toko yang merangkap pegawai kantor pos memandang keempat anak itu.
"Air Gelap! Wah, untuk apa kalian menanyakan tempat itu" Tempatnya menyeramkan,
padahal dulu menyenangkan!" .
"Apa yang terjadi dengan tempat itu?" tanya Dick.
"Habis terbakar," jawab orang tua itu. "Pemiliknya saat itu kebetulan sedang
pergi, hanya ada pembantu-pembantunya saja di rumah. Terjadinya pada malam hari,
dan tak ada yang tahu apa yang menyebabkan kebakaran itu. Tempat itu terbakar
habis, tinggal kerangkanya saja yang masih tegak. Dan mobil pemadam kebakaran
tidak bisa dikerahkan ke sana, sebab jalan yang menuju ke sana hanya berupa
Jalan setapak saja."
"Sejak itu tak pernah dibangun lagi?" tanya Julian. Pak tua pemilik toko
menggelengkan kepala. "Tidak, percuma saja! Pemiliknya membiarkan rumah itu runtuh dengan sendirinya.
Sekarang yang tinggal di sana cuma burung hantu dan jalak saja, serta binatang
liar lainnya. Tempat itu aneh rasanya. Aku pernah ke sana, karena sering
mendengar cerita orang yang mengatakan ada cahaya di situ. Tapi aku tak melihat
apa-apa kecuali kerangka rumah yang hangus, serta air danau yang biru gelap. Ya
- nama Air Gelap memang cocok untuk danau itu!"
"Bisakah Anda menunjukkan jalan ke sana" Dan berapa lama kami harus berjalan?"
tanya Julian. "Untuk apa kalian melihat reruntuhan rumah tua itu?" tanya pak tua itu dengan
heran. "Atau kalian mungkin hendak mandi-mandi dalam danau" Lebih baik jangan-
airnya dingin sekali!"
"Tidak, kami cuma ingin mendatangi tempat yang bernama Air Gelap itu," kata
Julian. "Namanya aneh! Kata Anda tadi kami harus lewat jalan mana?"
"Aku tadi belum mengatakannya," kata pak tua. "Tapi kalau kalian tetap ingin ke
sana, bisa saja kutunjukkan. Coba lihat peta yang kaupegang itu!"
Julian membeberkan petanya. Pemilik toko mengambil pena dari kantong rompinya,
lalu menggoreskannya pada permukaan peta. Di sana-sini ia membuat tanda silang.
"Kalian lihat silang-silang ini" Ini tanda bahwa daerah itu merupakan rawa.
Kalian jangan melalui daerah itu, karena pasti akan terbenam dalam lumpur nanti!
Kalau kalian ikuti arah yang sudah kugambarkan di peta milik kalian akan aman.
Sambil berjalan kalian bisa melihat-lihat rusa yang banyak berkeliaran di situ.
Binatang itu bagus-bagus."
"Terima kasih, Pak," kata Julian sambil melipat petanya kembali. "Menurut Anda
berapa lama waktu yang kami perlukan untuk berjalan ke sana?"
"Yah - sekitar dua jam," kata pak tua. "Kalian jangan berangkat sore ini. Sebab
kalau kalian kembali nanti, hari sudah gelap. Itu berbahaya sekali, mengingat
rawa yang bertebaran di mana-mana!"
"Betul, Pak," kata Julian lagi. "Terima kasih atas peringatan Anda. Anu - kami
sebetulnya hendak berkemah, karena hari ini cuaca baik. Bisakah kami menyewa
alas baring serta selimut beberapa lembar?"
Ketiga saudaranya menatap Julian dengan tercengang. Berkemah" Berkemah di mana"
Dan kenapa harus berkemah" Pasti Julian mendapat gagasan lagi!
Julian mengedipkan mata pada mereka. Sementara itu pak tua sibuk mencari-cari
dalam sebuah lemari. Dikeluarkannya dua lembar alas dari karet serta empat buah
selimut tua. "Sudah kusangka aku masih memilikinya," katanya sambil menyerahkan barang-barang
itu pada Julian. "Kalau kalian ingin berkemah pada bulan Oktober yang sudah
dingin ini, silakan! Kalau aku sendiri, lebih baik tidak. Kalian hati-hati saja,
jangan sampai masuk angin!"
"Terima kasih, Pak, memang inilah yang kami inginkan," kata Julian senang.
Disuruhnya saudara-saudaranya mengemasi perlengkapan berkemah itu, sementara ia
mengurus pembayarannya. Dick, Anne, dan George melipat alas serta selimut sambil terheran-heran. Rupanya


Lima Sekawan 10 Rahasia Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Julian bermaksud berkemah di tepi Air Gelap! Jadi ia menganggap pesan yang
diterima Dick itu penting artinya. Begitu mereka keluar, Dick langsung
menanyakan soal itu. "Ada apa, Ju" Ini semua untuk apa?" Julian kelihatan agak malu.
"Yah-aku tiba-tiba saja mendapat gagasan ini," katanya. "Sekanyong-konyong aku
merasa kita harus mendatangi Air Gelap dan mengadakan penyelidikan di sana.
Entah kenapa, tapi aku merasa tertarik. Dan karena liburan kali ini cuma
singkat, aku lantas berpendapat jika kita berkemah di reruntuhan itu maka
mungkin acara liburan kita akan jadi lebih menarik."
"Ada-ada saja!" kata George. "Jadi maksudmu, kita tidak melanjutkan pelancongan
kita?" "Yah - jika kita tidak menemukan apa-apa di, sana, kita masih bisa meneruskan
acara semula. Tapi jika ternyata ada perkara yang menarik, maka tugas kitalah
untuk membongkarnya. Aku yakin, ada sesuatu di Dua Pohon!"
"Mungkin kita akan berjumpa dengan Maggie di sana!" kata Anne sambil cekikikan.
"Mungkin. saja!" jawab Julian. "Aku merasa bahwa kita bebas untuk melakukan
penyelidikan sendiri, karena kita sudah melaporkannya pada polisi - dan
hasilnya, kita bahkan diejek. Pesan itu harus diusut oleh orang lain - di
samping Maggie." "Aku ingin tahu, siapa dia sebenarnya," kata Dick.
"Pokoknya perlu diawasi, jika ia teman para narapidana," kata Julian serius.
"Begini rencanaku - kita harus membeli bekal makanan, lalu sore ini juga
berangkat ke Air gelap! Kita harus sudah tiba di sana sebelum gelap. Di sana
kita mencari tempat yang cocok untuk menginap. Tentunya ada dalam rumah yang
sudah runtuh itu. Kita mengumpulkan, rumput atau tanaman pakis untuk alas kita
berbaring. Lalu besok kita bangun pagi-pagi, dan memeriksa keadaan di sana."
"Ya, setuju!" kata Dick gembira. "Hal-hal begitu yang memang kita sukai."
"Tapi jika tak ada hal menarik yang kita temukan di sana - yah, kita bisa saja
kembali lagi ke sini untuk memulangkan barang-barang yang kita pinjam, dan
setelah itu melanjutkan pelancongan," kata Julian lagi. "Tapi malam ini kita
harus tidur di sana, karena untuk kembali ke sini, pasti akan sudah terlalu
malam." Keempat anak itu membeli bekal makanan, dan Julian menambahnya dengan limun satu
botol. "Di sana tentunya ada sumur," katanya, "Atau setidak-tidaknya mata air atau
semacam itu. Kita encerkan limun ini, untuk diminum pada saat haus nanti. Kurasa
kita sudah siap sekarang. Yuk, kita berangkat!"
Mereka tidak bisa berjalan secepat biasanya, karena bawaan mereka bertambah
banyak. Cuma Timmy yang bisa bergerak selincah biasanya, karena anjing itu hanya
membawa dirinya sendiri! Perjalanan mereka merintis daerah padang sangat menyenangkan. Daerah yang
dilalui semakin meninggi ke tengah. Di sekeliling mereka tampak pemandangan
indah musim gugur. Mereka juga melihat kawanan kuda kerdil di kejauhan, yang
langsung lari begitu melihat anak-anak datang.
Julian sangat berhati-hati memilih jalan. Ia mengikuti petunjuk pak tua yang
digambarkan pada petanya.
"Kurasa ia mengenal baik daerah ini karena ia dulu tukang pos yang biasa
mengantarkan surat ke Dua Pohon," kata Dick sambil mengamat-amati peta. "Kita
sudah setengah jalan ke sana, Ju!"
Matahari mulai merendah di sebelah barat. Anak-anak mempercepat langkah
sebisanya, karena mereka tahu bahwa apabila matahari terbenam, sekeliling mereka
pasti akan gelap. Tapi untung langit saat itu cerah, sehingga agak lama juga
keadaan tetap remang-remang. Pokoknya agak lebih lama daripada kemarin sore!
"Menurut peta, sebentar lagi kita akan tiba di daerah hutan," kata Julian. "Jadi
kita harus melihat kalau-kalau tampak pepohonan di depan kita."
Setelah berjalan seberapa lamanya, Julian menunjuk ke sebelah kanan.
"Lihatlah," katanya. "Di sana ada pohon! Banyak juga kelihatannya - rupanya
semacam hutan kecil."
"Dan bukankah yang di sana itu air?" kata Anne menyambung. Anak-anak berhenti
melangkah dan menatap ke arah yang ditunjuk olehnya. Itukah yang dinamakan Air
Gelap" Kelihatannya memang begitu, karena warnanya biru gelap. Mereka lantas bergegas
ke sana. Kelihatannya tidak jauh lagi. Timmy mendahului ambil berlari, sementara
ekornya mengibas kian kemari!
Mereka menuruni sebuah jalan kecil yang berkelok-kelok! Tak lama kemudian mereka
tiba di jalan gerobak yang penuh ditumbuhi semak, sehingga tidak kelihatan
seperti jalan lagi. "Lewat sini kita pasti akan sampai di Dua Pohon," kata Julian. "Sayang matahari
sebentar lagi sudah terbenam. Jadi kita tak punya waktu untuk memeriksa keadaan
di sekitar sini." Anak-anak masuk ke dalam hutan. Jalan berkelok-kelok terus di sela-sela pohon.
Dan kemudian dengan tiba-tiba mereka sudah sampai di reruntuhan yang dulunya
merupakan rumah indah yang bernama Dua Pohon.
Reruntuhan itu kelihatannya menyedihkan, hitam dan hangus terbakar. Jendela-
jendelanya sudah tak berkaca lagi, sedang atapnya sebagian besar ikut terbakar.
Reruntuhan rumah itu letaknya di tepi danau. Nama Air Gelap ternyata cocok. Air
danau itu tenang dan gelap. Sama sekali tak ada ombak yang menepuk-nepuk
tepinya. Tampaknya seakan-akan air danau itu beku
"Aku tak suka pada tempat ini," kata Anne. "Aku menyesal datang kemari!"
12. Persembunyian di Dua Pohon
TIDAK seorang pun dari kelimanya yang menyenangi tempat itu. Mereka memandang
berkeliling sambil membisu. Kemudian Julian menunjuk sesuatu. Pada kedua sisi
rumah tampak tanggul pohon besar yang habis dimakan api.
"Mestinya itulah kedua pohon yang menjadi nama tempat ini," kata Julian.
"Sekarang kelihatannya menyeramkan-hangus kehitaman! Dua Pohon dan Air Gelap -
kini begitu sunyi dan murung tampaknya."
Matahari menghilang di balik hutan. Tiba-tiba hawa teras a dingin. Seketika itu
juga Julian menjadi sibuk.
"Yuk!" katanya mengajak. "Kita harus mencari tempat berteduh dalam reruntuhan
ini." Mereka pun masuk ke dalam reruntuhan itu. Lantai atas rumah ternyata terbakar
habis. Lantai dasar juga sama parahnya. Tapi menurut Julian, mungkin mereka
masih bisa menemukan satu sudut rumah yang masih agak lumayan.
"Ini bisa kita pakai," katanya kemudian sambil keluar dari sebuah kamar yang
dindingnya hitam terbakar. Digamitnya saudara-saudaranya supaya datang mendekat.
"Di lantai bahkan masih ada karpet-meski sudah berlumut. Dan itu-ada meja besar.
Kalau hujan, kita bisa berteduh di bawahnya! Tapi menurut perasaanku, hujan
takkan turun malam ini."
"Hih-kamar ini menakutkan!'" kata Anne sambil memandang berkeliling. "Baunya
juga tidak enak. Aku tak mau tidur di sini."
"Kalau begitu cari saja tempat lain," tukas Julian, "Tapi cepat, karena sebentar
lagi gelap. Sementara itu aku akan mengumpulkan rumput dan pakis. George! Dick!
Kalian berdua ikut aku."
Mereka bertiga keluar. Beberapa saat kemudian mereka masuk lagi membawa rumput
dan pakis. Anne menyongsong mereka. "Aku sudah menemukan tempat lain. Jauh lebih
baik dari kamar menakutkan ini," katanya bergairah. '''Yuk - lihat saja
sendiri!" Diajaknya saudara-saudaranya ke tempat yang dulunya dapur. Di ujung ruangan itu
ada sebuah pintu di lantai dan sebuah tangga batu yang menuju ke bawah.
"Lewat situ kita bisa masuk ke ruang bawah tanah," kata Anne. Rumah-rumah di
Eropa-termasuk Inggris-pada umumnya dilengkapi dengar ruangan bawah tanah, yang
dipakai sebagai gudang, "Ketika aku masuk kemari, langsung terlihat olehku pintu
itu," kata Anne selanjutnya. "Tapi aku tak bisa membukanya, karena terkunci. Aku
menarik-tarik terus, tahu-tahu engselnya patah karena sudah berkarat! Nyaris
saja aku tertimpa daun pintu! Setelah itu kulihat di belakangnya ada tangga
menuju ke bawah." Anne menatap Julian dengan pandangan memohon.
"Ruangan bawah tanah pasti kering, Julian tidak hangus terbakar seperti kamar-
kamar lainnya. Kita bisa berteduh dengan aman di situ. Tidak bisakah kita tidur
di bawah" Aku tak senang berada dalam kamar yang habis terbakar!"
"Kita lihat sajalah," jawab Julian. Ia menyala, kan senternya, lalu
menyorotkannya ke ruangan yang tampak di bawah tangga. Kelihatannya lapang, dan
baunya juga tidak hangus. Setelah itu ia menuruni tangga, didului oleh Timmy.
Kemudian terdengar suara Julian berseru heran.
"Kecuali beberapa ruangan biasa, di sini juga ada kamar seperti di atas. Mungkin
dulunya ruang duduk bagi para pembantu. Kulihat ada kabel listrik di sini -
rupanya rumah ini dulunya memiliki generator sendiri. Ya-kita bisa menginap di
bawah sini." Kamar yang dimaksud Julian ukurannya tidak besar. Di lantai terhampar karpet
yang sudah dimakan ngengat, begitu pula halnya dengan bangku-bangku. Semuanya
tampak dilapisi debu tebal. Di mana-mana bergelantungan jaring labah-labah.
George sibuk menarik-narik, menyingkirkannya.
"Di rak ini masih ada lilin," kata Dick heran. "Kita bisa menyalakannya, supaya
ruangan ini agak terang apabila sudah gelap nanti. Jadi lumayanlah! Aku
sependapat dengan Anne - kamar-kamar hangus di atas memang agak menyeramkan
rasanya." Mereka menumpuk rumput dan tanaman pakis di lantai, di pojok kamar bawah tanah.
Bangku-bangku sudah tua dan rapuh, sehingga tidak bisa dipakai untuk duduk lagi
karena pasti ambruk. Tapi meja yang juga ada di situ, ternyata masih kokoh.
Anak-anak meletakkan bekal makanan di atasnya, setelah debu yang menempel
dibersihkan oleh George. Ia menepuk-nepuk dengan bersemangat, sehingga anak-anak
terbatuk-batuk dibuatnya. Mereka lari ke dapur, menunggu sampai debu mengendap
kembali. Sementara itu di luar sudah gelap. Tapi bulan belum muncul. Daun-daun kering
yang belum gugur gemeresik bunyinya ditiup angin lalu. Tapi dari arah danau tak
terdengar bunyi air berkecipak. Danau tetap tenang. Permukaannya tetap selicin
cermin. Dalam kamar bawah tanah ada sebuah lemari. Julian membuka lemari itu untuk
memeriksa isinya. "E-ada lilin lagi di sini. Bagus!" katanya sambil mengambil sebungkus. "Dan ada
pula mangkuk dan cangkir. Kalian tadi ada yang melihat sumur di luar" Sebab
Penguasa Gua Barong 2 Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Naga Sasra Dan Sabuk Inten 29
^