Pencarian

Kisah Kisah Sufi 2

Kisah-kisah Sufi Karya Idries Shah Bagian 2


Kerumunan orang itu bertanya tentang bentuk dan ujud gajah: dan mendengarkan segala yang diberitahukan kepada mereka.
Orang yang tangannya menyentuh telinga gajah ditanya tentang bentuk gajah. Jawabnya, "Gajah itu lebar, kasar, besar, dan luas, seperti babut."
Dan orang yang meraba belalainya berkata, "Saya tahu keadaan sebenarnya. Gajah itu bagai pipa lurus dan kosong, dahsyat dan suka menghancurkan."
Orang yang menyentuh kakinya berkata, "Gajah itu perkasa kokoh, bagaikan tiang."
Masing-masing telah meraba satu bagian saja. Masing-m
asing telah keliru menangkapnya. Tidak ada pikiran yang mengetahui segala: pengetahuan bukanlah sahabat Si Buta. Semuanya membayangkan sesuatu, yang sama sekali keliru.
Makhluk tidak mengetahui perihal ketuhanan. Tak ada Jalandalam pengetahuan ini
yang bisa ditempuh dengan kemampuan
biasa. Catatan: Kisah ini terkenal dalam versi Rumi "Gajah dalam Rumah Gelap," yang dimuat dalam Matnawi. Guru Rumi, hakim Sanai, menyodorkan versi ini dalam buku pertama yang dianggap klasik di kalangan Sufi, Taman Kebenaran yang Berpagar. Ia meninggal tahun 1150.
Kedua kisah itu merupakan penyampaian cara pemikiran yang sama, yang menurut tradisi, telah dipergunakan oleh guru-guru Sufi selama berabad-abad.
Membawa Sepatu Dua orang saleh dan terhormat pergi ke masjid bersama-sama. Yang pertama melepas sepatunya, lalu meletakkannya rapi-rapi di luar pintu. Yang kedua melepaskan sepatunya, menangkupkan di kedua solnya, lalu membawanya masuk masjid.
Sekelompok orang-orang saleh lain, yang duduk di dekat pintu masjid. Terdengar pembicaraan tentang kedua orang yang baru masuk tadi; yang mana diantara keduanya yang benar. "Jika orang masuk mesjid telanjang kaki, bukankah sebaiknya meninggalkan saja sepatunya di luar"" tanya seseorang. Seorang yang lain menyambung, "Tetapi tidakkah kita harus mempertimbangkan bahwa orang yang membawa sepatunya ke masjid itu selalu ingat akan dirinya""
Ketika dua orang saleh itu selesai sembahyang, mereka ditanyai secara terpisah tentang masalah itu oleh kedua kelompok yang tadi berbeda pendapat.
Orang pertama menjawab, "Saya meninggalkan sepatu di luar masjid atas alasan biasa. Jika seandainya ada orang yang ingin mencurinya, ia akan berusaha untuk menahan dirinya agar tidak melakukan tindakan haram itu, dengan demikian iapun telah mendapatkan kebaikan bagi dirinya sendiri. "Pendengarnya sangat terkesan oleh ucapan orang yang saleh itu, yang menganggap harta miliknya tak begitu berharga, sehingga diserahkan begitu saja kepada nasib yang mungkin menimpanya.
Pada saat yang sama, orang kedua berkata, "Saya membawa sepatu saya ke masjid karena apabila saya tinggalkan di luar, mungkin akan menimbulkan dorongan untuk mencurinya. Siapa pun yang tak bisa menahan dorongan ini tentulah melibatkanku dalam dosanya." Pendengarnya sangat terkesan oleh pernyataan yang saleh itu dan memuji kedalaman pikirannya.
Namun, ada orang lain, yang juga bijaksana, yang berada diantara kerumunan itu, berteriak, "Sementara kalian berdua dan para pengikutmu terbuai dalam perasaan kecilmu, saling bicara tentang hal-hal yang diandaikan, ada hal-hal yang sesungguh-sungguh nyata baru saja terjadi."
"Apa itu"" tanya kerumunan orang itu.
"Tak ada seorangpun yang tergoda oleh sepatu itu. Tak ada orang yang tak tergoda oleh sepatu itu. Si pendosa yang diandaikan itu tak pernah lewat. Namun, seseorang yang sama sekali lain telah memasuki masjid, seseorang yang tak memiliki sepatu-- yang tak memikirkan akan meninggalkannya di luar pintu atau membawanya ke dalam. Tak ada seorangpun yang memperhatikan perilakunya. Ia tidak menyadari akibat yang di timbulkannya terhadap orang-orang yang melihatnya atau tak melihatnya. Namun, karena ketulusannya yang mendalam, doa-doanya di masjid hari ini secara langsung membantu meringankan orang-orang yang mungkin sunguh-sungguh mencuri atau tidak jadi mencuri atau memperbaiki diri sendiri karena menghadapi godaan."
Apakah belum juga kau ketahui bahwa sekedar perilaku yang sepenuhnya disadari, betapapun berharganya dalam pengertiannya sendiri, merupakan hal yang tak berarti apabila diketahui bahwa sesungguhnya ada orang-orang yang sungguh-sungguh, bijaksana"
Catatan: Kisah ini, yang berasal dari ajaran Kaum Khilwati, didirikanoleh Khilwati yang meninggal tahun 1397, sering sekali dikutip. Pokok pikirannya, yang tersebar luas di kalangandarwis, adalah keyakinan bahwa mereka yang telah mengembangkan nilai-nilai batiniyah memiliki pengaruh yang jauh lebih besar terhadap masyarakat daripada mereka yang berusaha bertindak berdasarkan alasan moral saja. Yang
pertama disebut "Manusia Tindaka
n yang Sebenar-benarnya," yang kedua "Mereka yang Tak Tahu namun seolah-olah Tahu! "
Cara Menangkap Kera Konon, ada seekor kera yang sangat suka makan buah ceri. Pada suatu hari ia melihat ceri yang menerbitkan liur. Iapun turun dari pohon untuk memetiknya. Tetapi ternyata buah itu berada dalam sebuah botol gelas yang sangat bening. Setelah beberapa kali dicoba, kera itu mengetahui bahwa ia bisa memasukkan tangannya, ia mengepalkannya untuk memegang buah ceri itu. Namun, kemudian disadarinya bahwa tangannya yang terkepal itu tidak bisa ditariknya ke luar karena ternyata lebih besar dari leher botol.
Itu semua memang disengaja; buah ceri tersebut dipasang oleh seorang pemburu kera yang mengetahui cara berpikir kera.
Si Pemburu mendengar rengekan kera, datang mendekat dan kerapun berusaha melarikan diri. Tetapi karena, menurut pikiran kera, tangannya lekat ke botol iapun tidak bisa lari kencang.
Namun, begitu pikirnya, ia masih menggenggam buah ceri itu. Si Pemburupun menangkapnya. Sesaat kemudian siku kera itupun dipukulnya sehingga genggamannya mengendor.
Kera itu bebas dari botol, tetapi ia tertangkap. Si Pemburu telah mempergunakan ceri dan botol. dan kini kedua benda itupun masih menjadi miliknya.
Catatan: Kisah ini adalah salah satu kisah-kisah dalam kumpulan yang disebut Buku Amu Daria
Sungai Amu atau Jihun di Asia Tengah dikenal dalam peta modern sebagai Oxus. Bagi mereka yang berfiikiran harafiah, agak membingungkan bahwa kata itu merupakan istilah untuk bahan-bahan tertentu seperti kisah ini, dan juga untuk
kelompok tanpa nama guru-guru keliling yang pusat kegiatannya di dekat Aubshaur, di pegunungan Hindukush, Afganistan.
Versi ini diceritakan oleh Khwaja Ali Ramitani, yang meninggal tahun 1306.
Si Lumpuh Dan Si Buta Pada suatu hari seorang lumpuh pergi ke sebuah warung dan duduk disamping seseorang yang sudah sejak tadi disana. "Saya tidak bisa datang ke pesta Sultan," keluhnya, karena kakiku yang lumpuh sebelah ini aku tak bisa berjalan cepat."
Orang disebelahnya itu mengangkat kepalanya. "Saya pun di undang," katanya, "tetapi keadaanku lebih buruk dari Saudara. Saya buta, dan tak bisa melihat jalan, meskipun saya juga diundang."
Orang ketiga, yang mendengar percakapan kedua orang itu, berkata, "Tetapi, kalau saja kalian menyadarinya, kalian berdua mempunyai sarana untuk mencapai tujuan. Yang buta bisa berjalan, yang lumpuh didukung di pungung. Kalian bisa
menggunakan kaki si Buta, dan Si Lumpuh untuk menunjukkan jalan."
Dengan cara itulah keduanya bisa mencapai tujuan, dan pesta sudah menanti.
Dalam perjalanan, keduanya sempat berhenti di sebuah warung lain. Mereka menjelaskan keadaannya kepada dua orang lain yang duduk bersedih disana. Kedua orang itu, yang seorang tuli, yang lain bisu. Keduanya juga diundang ke pesta. Yang bisu mendengar, tetapi tidak bisa menjelaskannya kepada temannya yang tuli itu. Yang tuli bisa bicara, tetapi tidak ada yang bisa dikatakannya.
Kedua orang itu tak ada yang bisa datang ke pesta; sebab kali ini tak ada orang ketiga yang bisa menjelaskan kepada mereka bahwa ada masalah, apalagi bagaimana cara mereka memecahkan masalah itu.
Catatan: Dikisahkan bahwa Abdul Kadir yang Agung meninggalkan sebuah jubah Sufi yang bertambal-tambal untuk diberikan kepada calon pemakainya yang baru akan lahir enam ratus tahun setelah kematian Sufi Agung itu.
Pada tahun 1563, Sayid Iskandar Syah, Qadiri, setelah mendapat kepercayaan ini, menunjuk Syeh Ahmad Faruk dari Sirhind sebagai pewaris mantel itu.
Guru Naqshibandi ini telah ditahbiskan menjadi anggota enam belas Kaum Sufi oleh ayahnya, yang telah mencari dan membangkitkan kembali adat dan pengetahuan Sufisme sepanjang pengembaraannya yang jauh dan berbahaya.
Orang percaya bahwa Sirhind merupakan tempat yang ditentukan munculnya Guru Agung, dan turun-temurun orang-orang suci telah menanti perwujudan itu.
Sebagai akibat dari munculnya Faruqi dan penerimaannya oleh semua Kaum pada masanya, Kaum Naqshibandi kini meresmikan pengikut-pengikutnya menjadi empat jalur utama dalam Sufisme: Chishti, Qadi
ri, Suhrawardi, dan Naqshibandi.
"Si Lumpuh dan Si Buta" dianggap sebagai ciptaan Syeh Ahmad Faruk, yang meninggal tahun 1615. Kisah ini baru bolehdibaca setelah menerima perintah untuk membacanya: atau oleh mereka yang telah mempelajari Karya Hakim Sanai, "Orang-orang Buta dan Gajah."
Semut Dan Capung Seekor semut yang pikirannya tersusun dalam rencana teratur, sedang mencari-cari madu ketika seekor capung hinggap menghisap madu dari bunga itu. Capung itu melesat pergi untuk kemudian datang kembali.
Kali ini Si Semut berkata,
"Kau ini hidup tanpa usaha, dan kau tak punya rencana. Karena kau tak punya tujuan nyata ataupun kira-kira, apa pula ciri utama hidupmu dan kapan pula berakhir""
Kata Si Capung, "Aku bahagia, dan aku mencari kesenangan, ini jelas ada dan nyata. Tujuanku adalah tanpa tujuan. Kau boleh merencanakan sekehendakmu; kau tak bisa meyakinkanku bahwa ada yang lebih berharga daripada yang kulakukan ini. Kaulaksanakan saja rencanamu, dan aku rencanaku."
Semut berpikir, "Yang tampak padaku ternyata tak tampak olehnya. Ia tahu apa yang terjadi pada semut. Aku tahu apa yang terjadi pada capung. Ia laksanakan rencananya, aku laksanakan rencanaku."
Dan semutpun berlalu, sebab ia telah memberikan teguran sebaik-baiknya dalam masalah itu.
Beberapa waktu sesudah itu, mereka pun bertemu lagi.
Si Semut menemukan kedai tukang daging, dan ia berdiri di bawah meja tumpuan daging dengan bijaksana, menunggu saja apa yang mungkin datang padanya.
Si Capung, yang melihat daging merah dari atas, menukik dan hinggap diatasnya. Pada saat itu pula, parang tukang daging berayun dan membelah capung itu menjadi dua.
Separoh tubuhnya jatuh di lantai dekat kaki semut itu. Sambil menangkap bangkai itu dan mulai menyeretnya ke sarang, semut itu berkata kepada dirinya sendiri.
"Rencananya tamat sudah, dan rencanaku terus berjalan. Ia laksanakan rencananya -sudah berakhir, Aku laksanakan rencanaku -mulai berputar. Kebanggaan tampaknya penting, nyatanya hanya sementara. Hidup memakan, berakhir dengan dimakan. Ketika aku katakan hal ini, yang mungkin dipikirkannya adalah bahwa aku suka merusak kesenangan orang lain."
Catatan: Kisah yang hampir serupa ditemukan juga dalam karya Attar, Kitab Ketuhanan, meskipun
penerapannya agak berbeda. Versi ini dikisahkan oleh seorang darwis Bokhara dekat
makam Al-Syah, yakni Bahaudin Naqsibandi, enam puluh tahun yang
lalu. Sumbernya adalah buku catatan seorang Sufi yang disimpan dalam Masjid Agung di
Jalalabad. Sumpah Pada suatu hari, seorang yang kalut pikirannya bersumpah, jika semua kesulitannya terpecahkan ia akan menjual rumahnya dan semua hasil penjualan itu akan diberikannya kepada kaum miskin.
Akhirnya sampai juga saatnya, ia harus menunaikan sumpahnya. Tetapi ia tidak ingin memberikan uang yang didapatnya. Iapun mencari akal.
Ia menjual rumahnya seharga seperak saja. Namun penjualan itu harus sekalian dengan kucingnya. Harga kucing itu sepuluh ribu uang perak.
Rumah itu pun terjual. Dan bekas pemilik rumah itupun memberikan uangnya yang seperak kepada kaum miskin, yang sepuluh ribu dimasukkan ke kantong sendiri.
Banyak orang berpikiran demikian itu. Mereka berketetapan menuruti pelajaran; namun, mereka menafsirkan sedemikian rupa agar menguntungkan dirinya Sampai mereka mampu mengalahkan kecenderungan itu dengan latihan khusus, mereka sebenarnya tidak bisa menarik pelajaran apa-apa.
Catatan: Akal-akalan yang digambarkan dalam kisah ini, menurut pengisahnya (Syeh Nasir Al-Din Syah) mungkin memang disengaja --atau mungkin menggambarkan pikiran tertutup yang secara tak sadar menampilkan akal-akalan semacam itu.
Sang Syeh, yang juga dikenal sebagai "Pelita Delhi," meninggal tahun 1846. Makamnya di Delhi, India. Versi ini, yang dianggap ciptaannya, berasal dari tradisi lisan kaum Chishti. Kisah ini dipergunakan untuk memperkenalkan teknik kejiwaan yang dimaksudkan untuk menenangkan jiwa, agar tidak bisa melaksanakan tindak akal-akalan yang menipu diri sendiri.
Tiga Cincin Berlian Pada zaman dahulu, ada seorang bijaksana dan sangat ka
ya yang mempunyai seorang anak laki-laki. Katanya kepada anaknya, "Ini cincin permata. Simpanlah sebagai bukti bahwa kau ahli warisku, dan nanti wariskan kepada anak-cucumu. Harganya mahal, bentuknya indah, dan memiliki kemampuan pula untuk membuka pintu kekayaan."
Beberapa tahun kemudian, Si Kaya itu mempunyai anak laki-laki lagi. Ketika anak itu sudah dewasa, ayahnya memberi pula cincin serupa, disertai nasehat yang sama.
Hal yang sama juga terjadi atas anak laki-lakinya yang ketiga, yang terakhir.
Ketika Si Tua sudah meninggal dan anak-anaknya menjadi dewasa, masing-masing mengatakan keunggulannya sehubungan dengan cincin yang dimilikinya. Tak ada seorangpun yang bisa memastikan cincin mana yang paling berharga.
Masing-masing anak mempunyai pengikut, yang menyatakan cincinnya memiliki nilai dan keindahan lebih unggul.
Namun kenyataan yang mengherankan adalah bahwa pintu kekayaan itu selama ini masih juga tertutup bagi pemilik cincin itu, juga bagi pengikutnya terdekat. Mereka tetap saja meributkan hak yang lebih tinggi, nilai, dan keindahan sehubungan dengan cincin tersebut.
Hanya beberapa orang saja yang mencari pintu kekayaan Si Tua yang sudah meninggal itu. Tetapi cincin-cincin itu memiliki kekuatan magis juga. Meskipun disebut kunci, cincin-cincin itu tidak bisa langsung dipergunakan membuka pintu kekayaan. Sudah cukup kalau diperhatikan saja, salah satu nilai dan keindahannya tanpa rasa persaingan atau rasa sayang yang berlebihan. Kalau hal itu dilakukan, orang yang melihatnya akan bisa mengatakan tempat kekayaan itu, dan dapat membukanya dengan hanya menunjukkan lingkaran cincin itu. Harta itu pun memiliki nilai lain: tak ada habisnya.
Sementara itu para pembela ketiga cincin itu mengulang-ngulang kisah leluhurnya tentang manfaatnya, masing-masing dengan cara yang agak berbeda.
Kelompok pertama beranggapan bahwa mereka telah menemukan harta itu.
Yang kedua berpikir bahwa kisah itu hanya ibarat saja.
Yang ketiga menafsirkannya sebagai kemungkinan membuka pintu kearah masa depan yang dibayangkan sangat jauh dan terpisah.
Catatan: Kisah ini, yang oleh beberapa pihak dianggap mengacu ke tiga agama: Judaisme, Kristen, dan Islam, muncul dalam bentuk-bentuk yang berbeda dalam Gesta Romarzorum dan karya Boccacio Decameron.
Versi di atas itu konon merupakan jawaban salah seorang guru Sufi Suhrahwardi, ketika ditanya mengenai kebaikan pelbagai agama. Beberapa penanggap beranggapan ada unsur-unsur dalam kisah ini yang menjadi sumber karya Swift, Tale of a Tub 'Kisah sebuah Bak mandi.'
Ahli Bahasa Dan Darwis Pada suatu malam kelam seorang darwis berjalan melewati sebuah sumur kering ketika ia mendengar jerit minta tolong dari dasar sumur itu. "Ada apa""
"Saya seorang ahli tata bahasa; karena tak tahu jalan, saya terperosok ke sumur ini; sekarang saya tidak bisa bergerak sama sekali," jawab orang itu.
"Tenang, bung, biar saya cari tangga bersama tali," kata darwis itu.
"Tunggu dulu!" kata Si Ahli Tatabahasa. "Tatabahasa dan pilihan katamu keliru; usahakan memperbaikinya."
"Kalau hal itu memang lebih penting dari yang pokok ini,"
teriak darwis itu, "kau sebaiknya tinggal saja di dasar sumur itu sampai saya bisa benar-benar berbahasa bagus."
Dan ia pun berlalu. Catatan: Kisah ini diceritakan oleh Jalaludin Rumi dan dicatat dalam Tindakan Para Mahir karya Aflaki. Kisah ini pernah diterbitkan di Inggris tahun 1965 dengan judul Dongeng Para Sufi; kisah tentang Mevlevis dan tindakan-tindakannya ini ditulis pada abad ke empat belas.
Beberapa kisahnya sekedar berupa cerita aneh, namun yang lain mempunyai nilai sejarah: dan beberapa lagi merupakan jenis aneh yang oleh para Sufi dikenal sebagai "sejarah penjelasan," yakni serangkaian kejadian disusun untuk menunjukkan makna yang berkaitan dengan proses psikologis.
Berdasarkan hal itu, kisah-kisah itu disebut "Keterampilan Ilmuwan Darwis."
Air Sorga Haris seorang Badawi, dan istrinya Nafisa hidup berpindah-pindah tempat membawa tendanya yang tua. Dicarinya tempat-tempat yang ditumbuhi beberapa kurma, rumputan untuk untanya, atau ya
ng mengandung sumber air betapapun kotornya. Kehidupan semacam itu telah dijalani bertahun-tahun lamanya, dan Haris jarang sekali melakukan sesuatu di luar kebiasaannya. Ia biasa menjerat tikus untuk diambil kulitnya, dan memintal tali dari serat pohon kurma untuk di jual kepada kafilah yang lewat.
Namun, pada suatu hari sebuah sumber air muncul di padang pasir, dan Haris pun mencicipi air itu. Baginya air itu terasa bagaikan air sorga, sebab jauh lebih bersih dari air yang biasa diminumnya. Bagi kita, air itu akan terasa memuakkan karena sangat asin. "Air ini," katanya, "harus aku bawa keseseorang yang bisa menghargainya."
Karena itulah ia berangkat ke Bagdad, ke Istana Harun al-Rasyid; ia pun berjalan tanpa berhenti kecuali kalau makan beberapa butir kurma. Haris membawa dua kantong kulit kambing penuh berisi air: satu untuk dirinya sendiri, yang lain untuk Sang Kalifah.
Beberapa hari kemudian, ia mencapai Bagdad, dan langsung menuju istana. Para penjaga istana mendengarkan kisahnya dan hanya karena begitulah aturan di istana mereka membawa Haris ke hadapan Raja.
"Pemimpin Kaum yang Setia," kata Haris, "Hamba seorang Badawi miskin, dan mengetahui segala macam air di padang pasir, meskipun mungkin hanya mengetahui sedikit tentang hal-hal lain. Hamba baru saja menemukan Air Sorga ini, dan menyadari bahwa ini merupakan hadiah yang sesuai untuk Tuan, hamba pun segera membawanya kemari sebagai persembahan."
Harun Sang Terus terang mencicipi air itu dan, karena ia sepenuhnya memahami rakyatnya, diperintahkannya para penjaga membawa pergi Haris dan mengurungnya di suatu tempat sampai ia mengambill keputusan. Kemudian dipanggilnya kepala penjaga, katanya, "Apa yang bagi kita sama sekali tak berguna, baginya berarti segala-galanya. Oleh karena itu bawalah ia pergi dari istana pada malam hari.Jangan sampai ia melihat Sungai Tigris yang perkasa itu. Kawal orang itu sepanjang perjalanan menuju tendanya tanpa memberinya kesempatan mencicipi air segar. Kemudian berilah ia seribu mata uang emas dan terima kasihku untuk persembahannya itu. Katakan bahwa ia adalah penjaga air sorga, dan bahwa atas namaku ia boleh membagikan air itu kepada kafilah yang lalu, tanpa pungutan apapun.
Catatan: Kisah ini juga dikenal sebagai "Kisah tentang Dua Dunia." Kisah ini disampaikan oleh Abu al-Atahiya dan suku Aniza (sezaman dengan Harun al-Rasyid dan pendiri Darwis Mashkara ('Suka Ria') yang namanya di abadikan dalam istilah Mascara dalam bahasa-bahasa Barat. Pengikutnya tersebar sampai Spanyol, Perancis. dan negen-negeri lain.
Al-Atahiya disebut sebagai "Bapak puisi suci Sastra Arab." Ia meninggal tahun 828.
Anjing Dan Keledai Seorang yang baru saja menemukan cara memahami arti suara-suara yang dikeluarkan binatang, pada suatu berjalan sepanjang lorong di desa.
Dilihatnya seekor keledai, yang baru saja meringkik dan di sampingnya ada seekor anjing, menyalak-nyalak sekeras-keras- nya.
Ketika orang itu semakin dekat, arti pertukaran suara binatang itu bisa ditangkapnya.
"Uh, bosan! Kau ngomong saja tentang rumput dan padang rumput yang kering bisa dipergunakan sebagai pengganti daging," katanya menyela.
Kedua binatang itu memandangnya sejenak. Anjing menyalak keras-keras sehingga suara orang itu tak terdengar sama sekali; dan keledai menyepak dengan kaki belakangnya tepat mengenai orang itu sampai kelenger.
Kemudian kedua binatang kembali adu mulut.
Catatan: Kisah ini, yang menyerupai kisah Rumi, adalah fabel dalam kumpulan kisah Majnun Qalandar, yang mengembara selama empat puluh tahun pada abad ketiga belas, membacakan kisah nasehat di pasar-pasar. Beberapa orang mengatakan bahwa ia benar-benar gila (seperti yang ditunjukkan oleh namanya); orang-orang lain beranggapan bahwa ia merupakan salah seorang di antara "Orang-orang yang berubah"-- yang telah mengembangkan pengertian adanya hubungan antara benda-benda, yang oleh orang-orang biasa dianggap terpisah.
Anjing, Tongkat Dan Sufi Pada suatu hari seorang yang berpakaian sebagai Sufi berjalan-jalan; ia melihat seekor anjing di jalan; ia pun memukulnya de
ngan tongkat. Si Anjing, sambil melolong kesakitan, berlari menuju Abu Said, Sang Ulama. Anjing itupun menjatuhkan dirinya dekat kaki Sang Ulama sambil memegang moncongnya yang terluka; ia mohon keadilan karena telah diperlakukan secara kejam oleh sufi itu.
Abu Said mempertemukan keduanya. Kepada Sufi dikatakannya, "O Saudara yang seenaknya, kenapa kau perlakukan binatang dungu ini sekasar itu! Lihat akibat perbuatanmu!"
Sang Sufi menjawab,"itu sama sekali bukan salahku, tapi salahnya Saya tidak memukulnya tanpa alasan, saya memukulnya karena ia mengotori jubahku."
Tetapi Si Anjing tetap menyampaikan keluhannya. Kemudian Sang Bijaksana berbicara kepada Anjing, "Dari pada menunggu Ganti Rugi Akhirat, baiklah saya berikan ganti rugi bagi rasa sakitmu itu."
Si Anjing berkata, "Sang Agung dan Bijaksana! Ketika saya melihat orang ini berpakaian sebagai Sufi, saya berfikir bahwa ia tak akan menyakiti saya. Seandainya saya melihat orang yang berpakaian biasa saja, tentunya akan saya berikan keleluasaan padanya untuk lewat. Kesalahan utama saya adalah menganggap bahwa pakaian orang suci itu menandakan keselamatan. Apabila Tuan ingin menghukumnya, rampaslah pakaian Sufinya itu. Campakkan dia dari pakaian Kaum Terpilih Pencari Kebenaran ... "
Anjing itu sendiri berada suatu Tahap dalam Jalan. Sangat keliru kalau kita beranggapan bahwa manusia harus lebih baik darinya.
Catatan: "Penciptaan keadaan" yang disini ditampilkan oleh jubah Sufi sering disalahtafsirkan oleh kaum kebatinan dan keagamaan apa saja sebagai sesuatu yang berhubungan dengan pengalaman dari kegunaan nyata.
Kisah ini, dari buku Attar Ilahi-Nama, sering diulang-ulang oleh para Sufi "Jalan Salah," dan dianggap ciptaan Hamdun Si Pemutih Kain, pada abad kesembilan.
Burung Dan Telur Zaman dahulu ada seekor burung yang tidak mempunyai tenaga untuk terbang. Seperti ayam, ia berjalan-jalan saja di tanah, meskipun ia tahu bahwa ada burung yang bisa terbang.
Karena berbagai keadaan, ada telur seekor burung yang bisa dierami oleh burung yang tak bisa terbang itu.
Setelah sampai waktunya, telur itu pun menetas.
Burung kecil itu masih memiliki kemampuan untuk terbang yang diwarisi dari ibunya, yang tersimpan dalam dirinya sejak ia masih berada dalam telur.
Ia pun berkata kepada orang tua angkatnya, "Kapan aku akan terbang"" Dan burung yang hanya bisa berjalan di tanah itu menjawab, "Cobalah terus menerus belajar terbang, seperti yang lain."
Yang tua itupun tidak tahu bagaimana mengajarkan cara terbang kepada anak angkatnya: ia bahkan tidak tahu bagaimana menjatuhkannya dari sarang agar bisa belajar terbang.
Dan aneh bahwa burung kecil itu tidak mengetahui hal tersebut. Pemahamannya terhadap keadaan terkacau oleh kenyataan bahwa ia merasa berterima kasih kepada burung yang telah mengeraminya.
"Tanpa jasa itu," katanya kepada diri sendiri, "tentu aku masih berada dalam telur."
Dania juga kadang-kadang berkata kepada dirinya sendiri, "Siapa pun bisa mengeramiku, tentu bisa juga mengajarku terbang. Tentunya hanya soal waktu saja, atau karena usahaku yang tanpa bantuan, atau karena suatu kebijaksanaan agung: ya, ini jawabnya. Tiba-tiba suatu hari aku akan terbawa ketahap berikutnya oleh-nya yang telah membawaku sejauh ini."
Catatan: Kisah ini terdapat dalam berbagai bentuk dalam versi-versi yang berbeda dari karya Suhrawardi, Awarif al-Maarof, dan mengandung pelbagai pesan. Konon, kisah ini bisa ditafsirkan secara intuitif sesuai dengan tahap kesadaran yang telah dicapai oleh orang yang belajar ilmu Sufi. Yang jelas saja kisah ini mengandung nasehat-nasehat, beberapa diantaranya menekankan dasar dasar utama peradaban modern, antara lain:
"Konyollah apabila kita beranggapan bahwa suatuhal mengikuti sesuatu yang lain; anggapan itu juga menghalangi kemajuan selanjutnya," dan "Bahwa sesuatu bisa melakukan fungsi tertentu tidaklah berarti bahwa juga ia bisa melakukan lungsi yang lain."
Burung India Seorang saudagar memelihara burung dalam sangkar. Ia akan berangkat ke India, tanah asal burung itu, dan menanyakan barangkali binatang itu m
eminta oleh-oleh dari sana. Burung itu meminta kebebasannya, tetapi ditolak. Karena itu ia minta saudagar itu pergi ke hutan di India, lalu mengabarkan tentang keadaannya yang dalam kurungan kepada burung-burung lain yang masih bebas.
Saudagar itu pun melaksanakan pesan tersebut, dan begitu ia mengucapkan kata-katanya, seekor burung serupa dengan burung piaraannya jatuh dari sebuah pohon, tak sadarkan diri di tanah.
Si Saudagar berpendapat bahwa itu tentulah saudara burung piaraannya, dan iapun merasa sedih telah menyebabkan kematiannya.
Ketika ia pulang, burungnya bertanya apakah tuannya membawa kabar gembira dari India.
"Tidak," jawab saudagar itu, "kabar buruklah yang aku bawa. Salah seekor saudaramu tak sadar diri dan jatuh dekat kakiku ketika kusiarkan kabar tentang keadaanmu."
Segera setelah kata-kata itu diucapkan, burung yang dalam sangkar itu pun tak sadarkan diri dan jatuh ke dasar sangkar.
"Kabar kematian saudaranya menyebabkannya mati juga," pikir saudagar itu. Dengan sedih diambilnya burung itu dari sangkarnya, lalu diletakkannya di ambang jendela. Segera saja burung itu hidup kembali, terbang ke pohon terdekat.
"Kini kau tahu," kata Si Burung, "bahwa yang kau kira kabar buruk itu, ternyata merupakan kabar baik bagiku. Dan pesan, yakni cara untuk membebaskan diriku, ternyata telahdisampaikan kepadaku lewat kamu, yang dulu menangkapku." Dan burung itupun terbang, bebas merdeka akhirnya.
Catatan: Fabel Rumi ini merupakan salah satu yang menekankan pentingnya pengajaran tak langsung dalam Sufisme .
Peniru dan sistem yang diatur sesuai dengan pemikiran konvensional, baik di Barat maupun di Timur, umumnya memilih penekanan pada "sistem" dan "program," dan bukan pada totalitas pengalaman yang dijalankan dalam mazhab Sufi.
Ular Dan Merak Pada suatu hari, seorang muda bernama Adi, Si Mesin Hitung-karena ia belajar matematika- memutuskan untuk meninggalkan Bhokara guna mencari ilmu yang lebih tinggi. Gurunya menasehatkan agar ia berjalan ke arah selatan, dan katanya, "Carilah makna Merak dan Ular." tentu saja anjuran itu membuat Adi berpikir keras.
Ia mengembarai Khorasan dan akhirnya sampai di Irak. Di negeri Irak, ia benar-benar menemukan tempat yang terdapat seekor merak dan seekor ular. Adipun mengajak bicara mereka. Kedua binatang itu berkata, "Kami sedang memperbincangkan keunggulan kami masing-masing."
"Nah, justru itu yang ingin kuketahui," kata Adi. "Teruskan berbincang-bincang." "Rasanya, akulah yang lebih berguna," kata Merak. "Aku
melambangkan cita-cita, perjalanan ke angit keindahan sorgawi, dan karenanya juga pengetahuan adiluhung. Adalah tugasku untuk mengingatkan manusia, dengan cara menirukan, tentang segi-segi dirinya yang tak dilihatnya."
"Sebaliknya, aku," kata Ular, sambil mendesis pelahan, "melambangkan hal itu juga. Seperti manusia, aku terikat pada bumi Kenyataan itu menyebabkan manusia menyadari dirinya. Juga seperti manusia, aku lentur, bisa berkelok-kelok menyusur tanah. Manusia sering melupakan kenyataan itu. Menurut kisah , akulah penjaga harta yang tersembunyi di bumi."
"Tetapi kau menjijikkan," teriak Merak. "Kau licik, licin, dan berbahaya."
"Kau menyebut sifat-sifat kemanusiaanku," kata Ular, "sedangkan aku lebih suka menunjukkan sifat-sifatku yang lain, yang sudah kusebut-sebut tadi. Sekarang, lihat dirimu sendiri: kau sombong, kegemukan, dan suaramu serak. Kakimuterlalu besar, bulu-bulumu berlebihan panjangnya."
Sampai disini Adi menyela, "Hanya ketidak-cocokanmulah yang telah menyebabkan aku mengetahui bahwa tak ada di antara kalian yang benar. Namun kita jelas-jelas melihat, apabila kalian sama-sama meninggalkan keasyikan diri sendiri, secara bersama-sama kalian bisa memberi pesan bagi kemanusiaan."
Dan, sementara dua pihak yang bertengkar itu mendengarkannya, Adi menjelaskan peran mereka bagi kemanusiaan: "Manusia melata di tanah bagai Si Ular. Ia bisa melayang tinggi bagai Burung. Namun, karena tamak seperti Ular, ia tetap mempertahankan kepentingan diri sendiri ketika berusaha terbang, dan mereka menjadi seperti Merak; terlampau sombong. Dalam
diri Merak, kita melihat kemungkinan manusia, namun yang tidak tercapai dengansemestinya. Pada kilauan Ular, kita menyaksikan kemungkinan keindahan. Pada Merak, kita menyaksikan keindahan itumenjadi terlalu berbunga-bunga."
Dan kemudian terdengar Suara dari dalam berbicara kepada Adi, "Itu belum lengkap. Kedua makhluk itu diberkahi kehidupan, yang merupakan faktor penentu. Mereka bertengkar karena masing-masing telah merasa aman dalam jenis kehidupannya sendiri, beranggapan bahwa hal itu merupakan perwujudan suatu kedudukan yang sebenarnya. Namun, yang seekor menjaga harta dan tidak bisa mempergunakannya. Yang lain mencerminkan keindahan, harta juga, namun tidak bisa mengubah dirinya sendiri menjadi keindahan. Di Samping ketidakmampuan keduanya untuk mengambil keuntungan dari kesempatan yang terbuka bagi mereka keduanya pun melambangkan kesempatan itu --tentu bagi mereka yang bisa melihat dan mendengarnya."
Catatan: Pemujaan Ular dan Merak di Irak didasarkan pada ajaran seorang Syeh Sufi, Adi, putra Musafir, pada abad kedua belas. Pemujaan itu dianggap suatu misteri oleh kebanyakan orientalis.
Kisah ini, yang tercatat dalam legenda, menunjukkan bagaimana guru-guru darwis membentuk "mazhab-mazhab"-nya
berdasarkan pelbagai lambang, yang dipilih untuk memberi contoh ajaran-ajarannya.
Dalam bahasa Arab, "Merak" melambangkan juga "perhiasan;" sedangkan "Ular," memiliki bentuk huruf yang sama dengan "organisme" dan "kehidupan." Oleh karena itu perlambangan Pemujaan Malaikat Merak yang tersembunyi -Kaum Yezidis-
adalah suatu cara untuk menunjukkan "Bagian Dalam dan Luar," rumus rumus Sufi tradisional.
Pemujaan itu masih ada di Timur Tengah, dan memilikipenganut (tak ada di antara mereka itu yang orang Irak) di Inggris dan Amerika Serikat.
Toko Lampu Pada suatu malam gelap, dua orang bertemu di sebuah jalan yang sunyi.
"Saya mencari sebuah toko dekat-dekat sini, namanya Toko Lampu," kata yang pertama.
"Saya kebetulan orang sini, dan bisa menunjukkannya pada saudara," kata orang kedua.
"Saya harus bisa menemukannya sendiri. Saya sudah diberi petunjuk, dan sudah saya catat pula," kata yang pertama.
"Jadi, kenapa Saudara mengatakan hal itu kepada saya"" "Iseng saja."
"Jadi Saudara ingin ditemani, tidak ditunjukkan arahnya"" "Ya, itulah maksud saya."
"Tetapi lebih mudah bagi Saudara kalau ditunjukkan arahnya oleh penduduk sini, sudah sejauh ini: apalagi mulai dari sini jalannya sulit."
"Saya percaya pada apa yang sudah dikatakan kepada saya, yang telah membawaku sejauh ini. Saya tidak yakin bisa mempercayai sesuatu atau seseorang lain lagi."
"Jadi, meskipun Saudara mempercayai pemberi keterangan yang pertama, Saudara tidak diajar cara memilih orang yang bisa Saudara percayai""
"Begitulah." "Saudara punya tujuan lain""
"Tidak, hanya mencari Toko Lampu itu."
"Boleh saya bertanya: kenapa Saudara mencari toko lampu itu""
"Sebab saya diberi tahu para ahli bahwa di tempat itulah saya bisa mendapatkan alat-alat yang memungkinkannorang membaca dalam gelap."
"Saudara benar, tetapi ada syarat, dan juga sedikit keterangan. Saya ragu apakah mereka sudah memberitahukan hal itu kepada Saudara."
"Apa itu""
"Syarat untuk bisa membaca dengan lampu adalah bahwa Saudara harus sudah bisa membaca."
"Saudara tidak bisa membuktikannya!"
"Tentu saja dalam malam gelap semacam ini saya tidak bisa membuktikannya." "Lalu, sedikit keterangan, itu apa""
"Sedikit keterangan itu adalah bahwa Toko Lampu itu masih disana, tetapi lampu-lampunya sudah dipindah ke tempat lain."
"Saya tidak tahu 'lampu' itu apa, tetapi tampaknya Toko Lampu adalah tempat menyimpan alat tersebut. Oleh karena itulah ia disebut Toko Lampu."
"Tetapi 'Toko Lampu' bisa mempunyai dua makna yang berbeda, yang bertentangan. Yang pertama, 'Tempat di mana lampu-lampu bisa didapatkan;' yang ke dua, "Tempat di mana lampu-lampu pernah bisa didapatkan, tetapi kini tidak ada lagi."
"Saudara tidak bisa membuktikannya!"
"Saudara akan dianggap tolol oleh kebanyakan orang."
"Tetapi ada banyak orang yang akan menganggap Saudara tolol. Mungkin Saudara bukan Si T
olol. Saudara mungkin mempunyai maksud tersembunyi, menyuruh saya pergi ke tempat teman Saudara yang berjualan lampu. Atau mungkin Saudara tidak menginginkan saya mempunyai lampu sama sekali."
"Saya ini lebih buruk dari yang Saudara bayangkan. Saya tidak menjanjikan audara 'Toko Lampu' dan membiarkan Saudara menganggap bahwa masalah Saudara akan terpecahkan di sana, tetapi saya pertama-tama ingin mengetahui apakah Saudara ini bisa membaca. Saya tentu bisa mengetahuinya seandainya Saudara berada dekat sebuah toko semacam itu. Atau apakah lampu bisa didapatkan bagi Saudara dengan cara lain."
Kedua orang itu saling memandang, dengan sedih, sejenak. Lalu masing-masing melanjutkan perjalanannya.
Catatan: Syeh-Per Syatari, penulis kisah ini, meninggal di India padatahun 1632. Makamnya di Meerut.
Ia dipercaya bisa melakukan hubungan telepati dengan guru-guru "masa lampau, kini, dan masa depan," dan memberi mereka kemudahan untuk menjelaskan pesan mereka lewat kepandaiannya menyusun kisah-kisah berdasarkan kehidupan sehari-hari.
Tiga Orang Darwis Konon, ada tiga orang darwis. Mereka bernama Yak, Do, dan Se. Mereka masing-masing berasal dari Utara, Barat, dan Selatan. Mereka memiliki suatu hal yang sama: berusaha mencari Kebenaran Dalam, oleh karenanya mereka mencari Jalan.
Yang pertama, Yak-Baba, duduk dan merenung sampai kepalanya pening. Yang kedua, Do-Aghas tegak dengan kepala di bawah sehingga kakinya kaku. Yang ketiga, Se-Kalandar, membaca buku-buku sampai hidungnya mengeluarkan darah.
Akhirnya mereka memutuskan untuk berusaha bersama-sama.Mereka mengundurkan diri ke tempat sunyi dan melakukan latihan bersama, mengharap agar ketiga kekuatan yang digabung akan cukup kuat untuk mendatangkan Kebenaran, yang mereka sebut Kebenaran Dalam.
Empat puluh hari empat puluh malam lamanya mereka bertahan menderita. Akhirnya, dalam pusaran asap putih muncullah kepala seorang lelaki yang sangat tua di hadapan mereka; tampaknya ia muncul dari tanah. "Apakah kau Kidir yang gaib itu, pemandu manusia"" tanya darwis pertama. "Bukan, ia Kutub, Tiang Semesta," sahut yang kedua. "Aku yakin, itu pasti tak lain salah seorang dari para Abdal. Orang-orang Yang Terubah," kata yang ketiga.
"Salah semua" teriak bayang-bayang itu keras-keras, "tetapi aku adalah apapun yang kau inginkan tentangku. Dan kini kalian menginginkan satu hal, yakni yang kausebut Kebenaran Dalam""
"Ya, O Guru," sahut mereka serentak.
"Pernahkah kalian mendengar peribahasa, ada banyak Jalan sebanyak hati manusia"" tanya kepala itu. Bagaimanapun, inilah jalanmu:
"Darwis pertama akan mengembara melalui Negeri Orang Tolol;Darwis Kedua harus menemukan Cermin Ajaib; Darwis Ketiga harus meminta pertolongan Jin Pusaran Air." Setelah berkata demikian, kepala itupun menghilang.
Mereka bertiga membicarakan masalah itu,tidak hanya karena mereka memerlukan penjelasan lebih lanjut sebelum berangkat, tetapi juga karena meskipun mereka semua telah mengadakan latihan berbagai cara, masing-masing percaya bahwa hanya adasatu cara yakni caranya sendiri, tentu saja. Dan kini, masing-masing tidak yakin benar bahwa caranya sendiri itu cukup berguna, meskipun boleh dikatakan telah mampu mendatangkan bayang-bayang yang baru saja mereka saksikan tadi, yang namanya sama sekali tidak mereka ketahui.
Yak-Babalah pertama-tama meninggalkan tempat samadinya; biasanya ia akan bertanya kepada orang yang ditemuinya, apakah ada orang bijaksana yang tinggal dekat-dekat daerah itu; tetapi kini ia bertanya apakah mereka mengetahui Negeri
Orang Tolol. Akhirnya setelah berbulan-bulan lamanya, ada juga yang tahu, dan berangkatlah ia menuju kesana. Segera setelah ia memasuki negeri itu, dilihatnya seorang wanita menggendong pintu. "Wanita," tanyanya, "mengapa kaugendong pintu itu""
"Sebab, pagi tadi, sebelum berangkat kerja, suamiku berpesan: "Istriku, dirumah kita ini tersimpan harta berharga. Jangan kauperbolehkan orang melewati pintu ini." Karena aku pergi, kubawa pintu ini agar tidak ada yang melewatinya. Kini perkenankanlah saya melewatimu."
"Apakah saya boleh menjelaskan sesuatu agar
kau tahu bahwa sebenarnya tak perlu kau bawa kemana-mana pintu itu"" tanya Darwis Yak-Baba. "Tidak usah," kata wanita itu. "Satu-satunya yang bisa menolong adalah apabila Saudara bisa menjelaskan cara memperingan bobot pintu ini."
"Wah, itu saya tidak tahu," kata Darwis. Dan mereka pun berpisah.
Beberapa langkah kemudian ia menjumpai sekelompok orang. Mereka semua gemetar ketakutan di depan sebuah semangka besar yang tumbuh di ladang. "Kami belum pernah melihat raksasa itu sebelumnya," mereka menjelaskan kepada Darwis itu, "dan tentunya ia akan tumbuh semakin besar dan membunuh kami semua. Tetapi kami takut menyentuhnya."
"Bolehkah saya mengatakan sesuatu kepada kalian tentang itu"" tanyanya kepada mereka.
"Jangan goblok!" jawab mereka. "Bunuhlah ia, dan kau akandiberi hadiah, tetapi kami tidak mau tahu apapun tentangnya." Maka Darwis itupun mengeluarkan pisau, mendekati semangka itu, memotong seiris, dan kemudian mulai memakannya
Di tengah-tengah jerit ketakutan yang hiruk-pikuk orang-orang itu memberinya uang. Ketika ia pergi, mereka berkata, "Kami mohon jangan kembali kemari, Tuan Pembunuh Raksasa. Jangan datang kemari dan memakan kami seperti tadi!"
Demikianlah, sedikit demi sedikit ia mengerti bahwa di Negeri Orang Tolol, agar bisa bertahan hidup, orang harus bisa berfikir dan berbicara seperti orang tolol. Setelah beberapa tahun lamanya, ia mencoba mengubah beberapa orang tolol menjadi waras, dan sebagai hadiahnya pada suatu hari Darwis itu mendapatkan Pengetahuan Dalam. Meskipun ia menjadi orang suci di Negeri Orang Tolol, rakyat mengingatnya hanya sebagai Orang yang Membelah Raksasa Hijau dan Meminum Darahnya. Mereka mencoba melakukan hal yang sama, untuk mendapatkan Pengetahuan Dalam --dan mereka tak pernah mendapatkannya.
Sementara itu, Do-Agha, Darwis Kedua, memulai perjalanannya mencari Pengetahuan Dalam. Kali ini ia tidak menanyakan tentang orang-orang suci atau cara-cara latihan yang baru, tetapi tentang Cermin Ajaib, Jawaban-jawaban yang menyesatkan sering didengarnya, namun akhirnya ia mengetahui tempat Cermin itu. Cermin itu tergantung di sumur pada seutas tali yang selembut rambut, dan sebenarnya hanya sebagian saja, sebab Cermin itu terbuat dari pikiran-pikiran
manusia, dan tidak ada cukup pikiran untuk bisa membuatnya sebuah Cermin yang utuh.
Setelah itu ia berhasil menipu raksasa yang menjaganya,Do-Agha menatap Cermin itu dan meminta Pengetahuan Dalam. Sekejap saja ia sudah memilikinya. Iapun tinggal di sebuah tempat dan mengajar dengan penuh kebahagiaan beberapa tahun lamanya. Tetapi pengikut-pengikutnya tidak bisa mencapai taraf pemusatan pikiran yang diperlukan untuk memperbaharui cermin itu secara teratur, cermin itu pun lenyaplah. Namun, sampai hari ini masih ada orang-orang yang menatap cermin, membayangkan bahwa Cermin Ajaib Do-Agha, Sang Darwis.
Sedangkan Darwis Ketiga, Se-Kalandar, ia pergi ke mana-mana mencari Jin Pusaran Air. Jin itu dikenal dengan pelbagai nama, namun Se-Kalandar tidak mengetahuinya; dan bertahun-tahun lamanya ia bersilang jalan dengan Jin itu, senantiasa gagal menemuinya karena Jin itu disana tidak dikenal sebagai Jin dan mungkin tidak dikait-kaitkan dengan pusaran air.
Akhirnya, setelah bertahun-tahun lamanya, ia pergi kesebuah dusun dan bertanya, "O Saudara-saudara! apakah ada diantara kalian yang pernah mendengar tentang Jin Pusaran Air""
"Saya tak pernah mendengar tentang Jin itu," kata seseorang, "tetapi desa ini disebut Pusaran Air."
Darwis merubuhkan tubuhnya ke tanah dan berteriak, "Aku tak akan meninggalkan tempat ini sampai Jin Pusaran Air muncul di hadapanku!"
Dan Jin itu, yang sedang lewat dekat tempat itu, memutar langkahnya dan berkata, "Kami tidak menyukai orang asing di desa kami, darwis. Karena itu aku datang padamu. Nah, apa yang kau cari""
Aku mencari Pengetahuan Dalam, dan aku diberi tahu bahwa dalam keadaan tertentu kau bisa mengatakan padaku bagaimana mendapatkannya.
"Tentu, aku bisa," kata Si Jin. "Kau telah mengalami banyak hal. Yang harus kau lakukan tinggal mengucapkan ungkapan ini, menyanyikan lagu itu, melakukan tindakan itu.


Kisah-kisah Sufi Karya Idries Shah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kau pun nanti akan mendapatkan Pengetahuan Dalam."
Darwis itu mengucapkan terima kasih kepada Jin, lalu memulailatihannya. Bulan-bulan berlalu, kemudian bertahun-tahun, sampai akhirnya ia berhasil melakukan pengabdian dan ketaatannya secara benar. Orang-orang datang dan menyaksikannya dan kemudian meniru-nirunya, karena semangatnya, dan karena ia dikenal sebagai orang yang taat dan saleh.
Akhirnya Darwis itu mencapai Pengetahuan Dalam; jauh meninggalkan pengikut-pengikutnya yang setia, yang meneruskan cara-caranya. Tentu saja mereka itu tidak pernah mencapai Pengetahuan Dalam, sebab mereka memulai pada akhir telaah Sang Darwis.
Setelah itu, apabila ada pengikut-pengikut ketiga Darwis itu bertemu, salah seorang berkata, "Aku memiliki kaca Tataplah, dan kau akan mencapai Pengetahuan Dalam."
Yang lain menjawab, "Korbankan semangka,ia akan menolongmu seperti yang pernah terjadi atas Yak-Baba."
Yang ketiga menyela, "Tak mungkin: Satu-satunya cara adalah tabah dalam mempelajari dan menyusun latihan tertentu, sembahyang, dan bekerja keras."
Ketika pada kenyataannya ketiga Darwis itu berhasil mencapaiPengetahuan Dalam, mereka bertiga mengetahui bahwa tak mampu menolong mereka yang telah mereka tinggalkan di belakang: seperti ketika seorang terbawa oleh air pasang dan melihat di darat ada seorang diburu singa, dan tidak bisa menolongnya.
Catatan: Petualangan-petualangan orang-orang ini nama-nama merekaberarti "satu," "dua" dan "tiga" --kadang-kadang diartikan sebagai ejekan terhadap agama yang lazim.
Kisah ini merupakan ringkasan sebuah kisah ajaran yang terkenal, "Apa yang Terjadi atas Mereka Bertiga." Kisah ini dianggap sebagai ciptaan guru Sufi, Murad Shami, kepala Kaum Muradi, yang meninggal tahun 1719. Para darwis yang
menceritakannya menyatakan bahwa kisah ini mempunyai pesan dalam yang jauh lebih penting dalam hal-hal praktis, daripada arti yang diluarnya saja.
Tiga Nasehat Pada suatu hari ada seseorang menangkap burung. Burung ituberkata kepadanya, "Aku tak berguna bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja aku, nanti kuberi kau tiga nasehat."
Si Burung berjanji akan memberikan nasehat pertama ketika masih berada dalam genggaman orang itu, yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon, dan yang ketiga ia sudah mencapai puncak bukit.
Orang itu setuju, dan meminta nasehat pertama.
Kata burung itu, "Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun kau menghargainyaseperti hidupmu sendiri, jangan menyesal."
Orang itupun melepaskannya, dan burung itu segera melompat ke dahan.
Di sampaikannya nasehat yang kedua,
"Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal,apabila tak ada bukti."
Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata,
"O manusia malang! diriku terdapat dua permata besar, kalausaja tadi kau membunuhku, kau akan memperolehnya!"
Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun katanya, "Setidaknya, katakan padaku nasehat yang ketiga
itu!" Si Burung menjawab, "Alangkah tololnya kau, meminta nasehat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kaurenungkan sama sekali! Sudah kukatakan padamu agar jangan kecewa kalau kehilangan, dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku toh tidak cukup besar untuk bisa menyimpan dua permata besar!
Kau tolol. Oleh karenanya kau harus tetap berada dalamketerbatasan yang disediakan bagi manusia."
Catatan: Dalam lingkungan darwis, kisah ini dianggap sangat penting untuk "mengakalkan" pikiran siswa Sufi, menyiapkannya menghadapi pengalaman yang tidak bisa dicapai dengan cara-cara biasa.
Di samping penggunaannya sehari-hari di kalangan Sufi, kisahini kedapatan juga dalam klasik Rumi, Mathnawi. Kisah ini ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Attar, salah seorang guru Rumi. Kedua pujangga itu hidup pada abad ke tiga belas
Tiga Kebenaran Para Sufi dikenal sebagai Pencari Kebenaran, yang berupa kenyataan obyektif. Konon, seorang tiran yang bodoh dan dengki memutuskan untuk memi
liki kebenaran ini. Namanya Rudarigh, seorang raja besar di Marsia, Spanyol. Ia menetapkan bahwa kebenaran akan bisa didengarnya kalau Umar al-Alawi dari Tarragona dipaksa untuk mengatakannya.
Umar pun di tangkap dan dibawa ke Istana. Kata Rudarigh, "Aku telah memutuskan agar kebenaran yang kau ketahui harus kaukatakan kepadaku dalam kata-kata yang bisa kumengerti, kalau tidak nyawamu harus kau pertaruhkan."
Umar menjawab, "Apakah Tuan mengetahui kebiasaan dalam istana perkasa ini, apabila seorang yang ditahan mengungkapkan kebenaran sebagai jawaban atas suatu pertanyaan dan kebenaran itu tidak membuktikannya salah, maka ia akan dibebaskan kembali""
"Memang demikian," kata Raja.
"Saya minta semua yang hadir di sini menjadi saksi," kata Umar, "dan saya tidak hanya akan mengungkapkan satu kebenaran, tetapi tiga."
"Kami juga harus yakin," kata Rudarigh, "bahwa yang kau sebut kebenaran itu memang benar-benar kebenaran. Harus ada bukti-bukti yang menyertainya."
"Bagi Raja seperti baginda," kata Umar, "yang pantas menerima tidak hanya satu kebenaran tetapi sekaligus tiga, kami juga akan bisa memberikan kebenaran yang nyata dengan sendirinya."
Rudarigh sangat puas menerima pujian itu.
"Kebenaran pertama," kata Si Sufi, "adalah, sayalah yang bernama Umar Si Sufi dari Tarragona. Yang kedua adalah bahwa Baginda akan melepaskan saya jika saya telah mengungkapkan kebenaran. Yang ketiga, Baginda ingin mendengarkan kebenaran yang bisa Baginda pahami."
Karena kesan yang ditimbulkan oleh kata-kata tersebut, Rajapun terpaksa membebaskan kembali darwis itu.
Catatan: Cerita ini menampilkan legenda lisan darwis yang biasanya disusun oleh Al-Mutanabbi. Cerita-cerita ini, menurut juru ceritanya, tidak boleh dituliskan selama 1.000 tahun.
Al-Mutanabbi, salah seorang penyair Arab terbesar, meninggal seribu tahun yang lalu.
Salah satu ciri kumpulan cerita ini adalah bahwa selalu mengalami perubahan, disebabkan oleh penceritaan kembali terus-menerus sesuai dengan "perubahan zaman."
Tiga Ekor Ikan Konon, di sebuah kolam tinggal tiga ekor ikan: Si Pandai, Si Agak Pandai, dan Si Bodoh. Kehidupan mereka berlangsung biasa saja seperti ikan-ikan lain, sampai pada suatu hari ketika kolam itu kedatangan-seorang manusia
Ia membawa jala; dan Si Pandai melihatnya dari dalam air. Sadar akan pengalamannya, cerita-cerita yang pernah didengarnya, dan kecerdikannya, Si Pandai memutuskan untuk melakukan sesuatu.
"Hampir tak ada tempat berlindung di kolam ini," pikirnya "Jadi saya akan pura-pura mati saja."
Ia mengumpulkan segenap tenaganya dan meloncat ke luar kolam, jatuh tepat di kaki nelayan itu. Tentu saja si Nelayan terkejut. Karena ikan tersebut menahan nafas, nelayan itu mengiranya mati: ia pun melemparkan ikan itu kembali ke kolam. Ikan itu kemudian meluncur tenang dan bersembunyi di sebuah ceruk kecil dekat pinggir kolam.
Ikan yang kedua, Si Agak-Pandai, tidak begitu memahami apa yang telah terjadi. Ia pun berenang mendekati Si Pandai dan menanyakan hal itu." Gampang saja," kata Si Pandai, "saya pura-pura mati, dan nelayan itu melemparkanku kembali ke kolam."
Si Agak-Pandai itu pun segera melompat ke darat, jatuh dekat kaki nelayan. "Aneh," pikir nelayan itu, "ikan-ikan ini berloncatan ke luar air." Namun, Si Agak Pandai ini ternyata lupa menahan nafas, dan iapun dimasukkan ke kepis.
Ia kembali mengamat-amati kolam, dan karena agak heran memikirkan ikan-ikan yang berloncatan ke darat, ia pun lupa menutup kepisnya. Menyadari hal ini, Si Agak-Pandai berusaha melepaskan diri ke luar dari kepis, membalik-balikkan badannya, dan masuk kembali ke kolam. Ia mencari-cari ikan pertama, ikut bersembunyi di dekatnya --nafasnya terengah-engah.
Dan ikan ke tiga, Si Bodoh, tidak bisa mengambil pelajaran dari segala itu, meskipun ia telah mengetahui pengalaman kedua ikan sebelumnya. Si Pandai dan Si Agak-Pandai memberi penjelasan secara terperinci, menekankan pentingnya menahan nafas agar
di "Terimakasih: saya sudah mengerti," kata Si Bodoh. Sehabis mengucapkan itu, ia pun melemparkan dirinya ke darat, jatuh tepat dekat kaki nelayan
. Sang nelayan langsung memasukkan ikan ketiga itu kedalam kepisnya tanpa memperhatikan apakah ikan itu bernafas atau tidak. Berulang kali dilemparkannya jala ke kolam, namun kedua ikan yang pertama tadi dengan aman bersembunyi dalam sebuah ceruk. Dan kepisnya sekarang tertutup rapat.
Akhirnya nelayan itu menghentikan usahanya. Ia membuka kepisnya, menyadari bahwa ternyata ikan yang di dalamnya tidak bernafas. Ikan itupun dibawanya pulang untuk makanan kucing.
Catatan: Konon, kisah ini disampaikan oleh Husein, cucu Muhammad, kepada Khajagan ('Para Pemimpin') yang pada abad ke empat belas mengubah namanya menjadi Kaum Naqsahbandi.
Kadang-kadang peristiwanya terjadi di sebuah 'dunia' yang dikenal sebagai Karatas, di Negeri Batu Hitam.
Versi ini dari Abdul 'Yang berubah' Afifi. Ia mendengarnya dari Syeh Muhammad Asghar, yang meninggal tahun 1813. Makamnya di Delhi.
Sifat Murid Diceritakan bahwa Ibrahim Khawas, ketika ia masih muda, ingin mengikuti seorang guru. Iapun mencari seorang bijak, dan mohon agar diperbolehkan menjadi pengikutnya.
Sang Bijak berkata. "Kau belum lagi siap."
Karena anak muda itu bersikeras juga, guru itu berkata, "Baiklah, aku akan mengajarimu sesuatu. Aku akan berziarah ke Mekkah. Kau ikut."
Murid itu teramat gembira.
"Karena kita mengadakan perjalanan berdua, salah seorang harus menjadi pemimpin," kata Sang Guru "Kau pilih jadi apa""
"Saya ikut saja, Bapak yang memimpin," kata Ibrahim.
"Tentu aku akan memimpin, asal kau tahu bagaimana menjadi pengikut," kata Sang Guru.
Perjalananpun dimulai. Sementara mereka beristirahat pada suatu malam di padang pasir Hejaz, hujan pun turun. Sang guru bangkit dan memegangi kain penutup, melindungi muridnya dari kebasahan.
"Tetapi seharusnya sayalah yang melakukan itu bagi Bapak," kata Ibrahim.
"Aku perintahkan agar kau memperbolehkan aku melindungimu," kata Sang Bijak.
Siang harinya, anak muda itu berkata, "Nah ini hari baru. Sekarang perkenankan saya menjadi pemimpin, dan Bapak mengikut saya." Sang gurupun setuju.
"Saya akan mengumpulkan kayu, untuk membuat api," kata pemuda itu.
"Kau tak boleh melakukan itu; aku yang akan melakukannya," kata Sang Bijak.
"Saya memerintahkan agar Bapak duduk Saja sementara saya mengumpulkan kayu!" kata pemuda itu.
"Kau tak boleh melakukan hal itu," kata orang bijaksana itu; "sebab hal itu tidak sesuai dengan syarat menjadi murid; pengikut tidak boleh membiarkan dirinya dilayani oleh pemimpinnya."
Demikianlah, setiap kali Sang Guru menunjukkan kepada murid apa yang sebenarnya makna menjadi murid dengan contoh-contoh.
Mereka berpisah di gerbang Kota Suci. Waktu kemudian bertemu dengan orang bijaksana itu, Si pemuda tidak berani menatap matanya.
"Yang kaupelajari itu," kata Sang Bijak, "adalah sesuatu yang berkaitan dengan sedikit menjadi murid."
Catatan: Ibrahim Khawas ('Si Penganyam Palem') memberi batasan jalan Sufi sebagai, "Biarkan saja apa yang dilakukan untukmu dikerjakan orang untukmu. Kerjakan sendiri apa yang harus kau kerjakan bagi dirimu sendiri." Kisah ini menggaris-bawahi dengan cara dramatik, perbedaan antara apa yang dipikirkan calon pengikut tentang bagaimana seharusnya hubunganya dengan gurunya, dan bagaimana hubungan
tersebut dalam kenyataannya.
Khawas adalah salah seorang di antara guru-guru agung zaman awal, dan perjalanan ini dikutip oleh Hujwiri dalam Pengungkapan Yang Terselubung, ikhtisar tertua yang masih ada tentang Sufisme dalam Bahasa Persia.
Si Tolol Di Kota Agung Ada pelbagai macam kebangunan. Hanya satu yang benar. Manusia tidur, tetapi ia harus bangun dengan cara yang benar. Berikut ini adalah kisah tentang Si Tolol yang bangunnya keliru.
Si Tolol ini datang ke sebuah kota besar, dan ia menjadi bingung oleh banyaknya orang di jalanan. Ia khawatir kalau nanti ia bangun dari tidurnya ia tak bisa lagi menemukan dirinya diantara begitu banyak manusia. Karena itu iapun mengikatkan seutas tali di mata kakinya agar dirinya mudah dikenali kembali.
Seorang yang suka bercanda, mengetahui apa yang dikerjakan Si Tolol itu, menanti sampai ia tidur. Di lep
askannya tali yang melingkar di kaki Si Tolol, lalu diikatkannya ke kakinya sendiri. Iapun berbaring di lantai dan tidur. Si Tolol bangun lebih dahulu; dilihatnya tali itu. Mula-mula dikiranya orang lain itulah dirinya sendiri. Kemudian ia menyerang orang itu, sambil teriaknya, "Kalau kau itu diriku, lalu siapa dan mana pula aku""
Catatan: Kisah ini, yang juga muncul dalam kumpulan lelucon Mulla Nasruddin yang dikenal luas di Asia Tengah, direkam dalam karya klasik kebatinan, Salaman dan Absal, oleh pengarang dan ahli mistik abad ke lima belas, Abdul Rahman Jami. Ia datang dari Oxus dan meninggal di Herat setelah mengukuhkan dirinya sebagai salah seorang tokoh sastra terkemuka dalam bahasa Parsi.
Jami menimbulkan banyak ketidaksenangan di kalanga ahli agama karena keterusterangannya, terutama pengakuannya bahwa ia tidak mempunyai guru kecuali ayahnya sendiri.
Pintu Sorga Jaman dahulu adalah seorang lelaki yang baik hatinya. Ia telah menjalani hidupnya dengan melakukan segala hal yang memungkinkan orang masuk sorga. Ia memberi harta kepada si miskin, ia mencintai sesamanya, dan ia mengabdi kepada mereka. Karena mengingat pentingnya kesabaran, ia senantiasa bertahan terhadap kesulitan yang besar dan tak diduga-duga, sering itu semua demi kebahagiaan orang lain. Iapun mengadakan perjalanan jauh-jauh untuk mendapatkan pengetahuan. Kerendahhatian dan perilakunya yang pantas ditiru begitu dikenal sehingga ia dipuji-puji sebagai
seorang yang bijaksana dan warga yang baik; pujian itu terdengar mulai dari Timur sampai ke Barat, Utara sampai ke Selatan.
Segala kebaikan itu memang dijalankan --selama ia ingat melakukannya. Namun ia memiliki kekurangan, yakni kurang perhatian. Kecenderungan itu memang tidak berat, dan ditimbang dengan kebaikannya yang lain, hal itu merupakan cacat kecil saja. Ada beberapa orang miskin yang tak tertolongnya, sebab selalu saja ia kurang memperhatikan kebutuhan mereka itu. Kasih sayang dan pengabdian pun kadang-kadang terlupakan apabila yang dipikirkannya sebagai kebutuhan pribadi muncul dalam dirinya.
Ia suka sekali tidur. Dan kadang-kadang kalau ia sedang tidur, kesempatan mendapatkan pengetahuan, atau memahaminya, atau melaksanakan kerendahhatian, atau menambah jumlah tindakannya yang terpuji kesempatan semacam itu lenyap begitu saja, tak akan kembali lagi.
Wataknya yang baik meninggalkan bekas pada dirinya; begitu juga halnya dengan wataknya yang buruk, yakni kurangnya perhatian itu.
Dan kemudian ia meninggal. Menyadari dirinya beradadi balik kehidupan ini, dan sedang berjalan menuju pintu-pintu Taman Berpagar, orang itu istirahat sejenak. Ia mendengarkan kata-hatinya. Dan ia merasa bahwa kesempatannya memasuki Gerbang Agung itu cukup besar.
Disaksikannya gerbang itu tertutup; dan kemudian terdengar suara berkata kepadanya, "Siagalah selalu; sebab gerbang hanya terbuka sekali dalam seratus tahun." Ia pun duduk menunggu, gembira membayangkan apa yang akan terjadi. Namun, jauh dari kemungkinan untuk menunjukkan kebaikan terhadap manusia, ternyata ia menyadari bahwa kemampuannya untuk memperhatikan tidak cukup pada dirinya. Setelah siaga terus selama waktu yang rasanya sudah seabad kepalanya terkantuk-kantuk. Segera saja pelupuk matanya tertutup. Dan pada saat yang sekejap itu, gerbangpun terbuka. Sebelum mata si lelaki itu terbuka sepenuhnya kembali, gerbang itupun tertutup: dengan suara menggelegar yang cukup dahsyat untuk membangunkan orang-orang mati.
Catatan: Kisah ini merupakan bahan pelajaran darwis yang disenangi; kadang-kadang disebut "Parabel Tentang Kurangnya Perhatian," Meskipun terkenal sebagai kisah rakyat, asal-usulnya tak diketahui. Beberapa orang menganggapnya ciptaan Hadrat Ali, Kalifah Keempat. Yang lain mengatakan bahwa kisah itu begitu penting, sehingga tentunya diucapkan sendiri oleh Nabi, secara rahasia. Jelas kisah ini tidak terdapat dalam Hadits Nabi.
Bentuk sastra yang kita pilih ini berasal dari seorang darwis tak dikenal dari abad ketujuh belas, Amil Baba, yang naskah-naskahnya menekankan bahwa "pengarang sejati adalah orang yang karyanya tak
bernama (anonim), sebab dengan cara itu tak ada yang berdiri antara pelajar da yang dipelajarinya."
Pedagang Dan Darwis Kristen
Karena berada dalam kesukaran, seorang pedagang yang sangat kaya dari Tabris pergi ke Konia mencari orang yang teramat bijaksana. Setelah mencoba mendapat nasehat dari para pemuka agama, hakim, dan lain-lain, ia mendengar tentang Rumi; ia pun dibawa menghadap Sang Bijaksana itu.
Pedagang itu membawa lima puluh keping uang emas sebagai persembahan. Ketika dilihatnya Sang Maulana di ruang tamu, pedagang itu menjadi sangat terharu. Jalaludin Rumi pun berkata kepadanya,
"Lima puluh keping uang emasmu diterima. Tetapi kau telah kehilangan dua ratus, itulah alasan kedatanganmu kemari. Tuhan telah menghukummu, dan menunjukkan sesuatu kepadamu. Sekarang segalanya akan beres." Pedagang itu terheran-heran terhadap yang diketahui Sang Maulana. Rumi melanjutkan.
"Kau mendapat banyak kesulitan karena pada suatu hari nun jauh di negeri Barat sana, kau melihat seorang darwis Kristen terbaring di jalan. Dan kau meludahinya. Temui dia dan minta maaf padanya, dan sampaikan salam kami kepadanya."
Ketika pedagang itu berdiri ketakutan karena ternyata segala rahasianya telah diketahui, Sang Maulana itupun berkata, "Perlukah kami tunjukkan orang itu padamu"" Rumi menyentuh dinding ruangan itu, dan pedagang itu pun menyaksikan gambar orang suci itu di sebuah pasar di Eropa. Iapun terhuyung-huyung pergi meninggalkan Sang Bijaksana, tercengang-cengang.
Segera saja ia mengadakan perjalanan menemui ulama Kristen itu, dan ditemuinya orang suci tersebut telungkup di tanah. Ketika didekatinya, darwis Kristen itu pun berkata, "Guru kami Jalal telah menghubungi saya."
Pedagang itu melihat ke arah yang ditunjukkan darwis tersebut, dan menyaksikan -dalam gambar- Jalaludin sedang membaca kata-kata semacam ini, "Tak peduli kerikil atau permata, semua akan mendapat tempat di bukitNya, ada tempat bagi semuanya ... "
Pedagang itu pun pulang kembali, menyampaikan salam darwis Kristen itu kepada Jalal, dan sejak itu tinggal dalam masyarakat darwis di Konia.
Catatan: Luasnya pengaruh Jalaludin Rumi terhadap pikiran dan sastra Barat sekarang ini semakin jelas lewat penelitian akademis Tak disangsikan lagi bahwa ia mempunyai banyak pengikut di Barat, dan kisah-kisahnya muncul dalam cerita-cerita Hans
Anderson, dalam Gesta Romanorum tahun 1324, dan bahkan dalam karya Shakespeare.
Di Timur terdengar pendapat di kalangan luas bahwa ia mempunyai hubungan erat dengan kaum mistik dan pemikir Barat. Versi kisah ini diterjemahkan dari karya Aflaki, Munakib al-Arifin, kehidupan para darwis Mevlevi awal, yang selesai ditulis tahun 1353.
Perumpamaan Tentang Orang-Orang Rakus
Zaman dahulu ada seorang petani yang suka bekerja keras dan berbudi baik, yang mempunyai beberapa anak laki-laki yang malas dan rakus. Ketika sekarat, Si Tua mengatakan kepada anak-anaknya bahwa mereka akan menemukan harta karun kalau mau menggali tempat tertentu di kebun. Segera setelah ayah itu meninggal, anak-anaknya bergegas kekebun, menggalinya dan satu sudut ke sudut lain, dengan putus asa dan kehendak yang semakin memuncak setiap kali mereka tidak menemukan emas di tempat yang disebut ayahnya tadi.
Namun mereka sama sekali tidak menemukan emas. Karena menyadari bahwa ayah mereka itu tentunya telah membagi-bagikan emasnya semasa hidupnya, lelaki-lelaki muda itupun menanggalkan usahanya. Akhirnya, terpikir juga oleh mereka, karena tanah sudah terlanjur dikerjakan, tentunya lebih baik ditanami benih. Mereka pun menanam gandum, yang hasilnya melimpah-limpah. Mereka menjualnya, dan tahun itu mereka menjadi kaya.
Setelah musim panen, mereka-berpikir lagi tentang harta terpendam yang mungkin masih luput dari penggalian mereka; mereka pun menggali lagi ladang mereka, namun hasilnya sama saja.
Setelah bertahun-tahun amanya, merekapun menjadi terbiasa bekerja keras, disamping juga mengenal musim, hal-hal yang tidak pernah mereka pahami sebelumnya. Kini mereka memahami cara ayah mereka melatih mereka; mereka pun menjadi petani-petani yang j
ujur dan senang. Akhirnya mereka memiliki kekayaan yang cukup untuk membuat mereka sama sekali melupakan perkara harta terpendam tersebut.
Itulah juga ajaran tentang pengertian terhadap nasib manusia dan karma kehidupan. Guru, yang menghadapi ketidaksabaran, kekacauan, dan ketamakan murid murid, harus mengarahkan mereka ke suatu kegiatan yang diketahuinya akan bermanfaat dan menguntungkan mereka tetapi yang kepentingan dan tujuannya sering tidak terlihat oleh murid-mulid itu karena kebelumdewasaan mereka.
Catatan: Kisah ini, yang menggarisbawahi pernyataan bahwa seseorangbisa mengembangkan kemampuan tertentu meskipun ia sebenarnya berusaha mengembangkan kemampuannya yang lain, dikenal sangat luas. Hal ini mungkin disebabkan adanya pengantar yang berbunyi, "Mereka yang mengulangnya akan mendapatkan lebih dari yang mereka ketahui."
Kisah ini diterbitkan oleh seorang ulama Fransiskan, Roger Bacon (yang mengutip filsafat Sufi dan mengajarkannya di Oxford, dan kemudian dipecat dari universitas itu atas perintah Paus) dan oleh ahli kimia abad ketujuh belas, Boerhaave.
Versi ini berasal dari Hasan dari Basra, Sufi yang hidup hampir seribu dua ratus tahun yang
lalu. Kisah Pasir Dari mata airnya yang nun jauh di gunung sana, sebatang sungai mengalir melewati apapun di tebing dan ngarai, akhirnya mencapai padang pasir. Selama ini ia telah berhasil mengatasi halangan apapun dan sekarang berusaha menaklukkan
halangan yang satu ini. Tetapi setiap kali sungai itu cepat-cepat melintasinya, airnya segera lenyap di pasir.
Sungai itu sangat yakin, bahwa ia ditakdirkan melewati padang pasir itu, namun ia tidak bisa mengatasi masalahnya Lalu, terdengar suara tersembunyi yang berasal dari padang pasir itu, bisiknya, "Angin bisa menyeberangi pasir, Sungai pun bisa."
Sungai menolak pernyataan itu, ia sudah cepat-cepat menyeberangi padang pasir, tetapi airnya terserap: angin bisa terbang, dan oleh karena itulah ia bisa menyeberangi padang pasir.
"Dengan menyeberang seperti yang kulakukan itu jelas, kau tak akan berhasil. Kau hanya akan lenyap atau jadi paya-paya. Kau harus mempersilahkan angin membawamu menyeberangi padang pasir, ketempat tujuan."
Tetapi bagaimana caranya" "Dengan membiarkan dirimu terserap angin."
Gagasan itu tidak bisa diterima Si Sungai. Bagaimanapun, sebelumnya ia sama sekali tidak pernah terserap. Ia tidak mau kehilangan dirinya. Dan kalau dirinya itu lenyap, apakah bisa dipastikan akan didapatnya kembali"
"Angin," kata Si Pasir, "menjalankan tugas semacam itu. Ia membawa air, membawanya terbang menyeberang padang pasir, dan menjatuhkannya lagi. Jatuh ke bumi sebagai hujan, air pun menjelma sungai."
"Bagaimana aku bisa yakin bahwa itu benar""
"Memang benar, dan kalau kau tak mempercayainya, kau hanya akan menjadi paya-paya; dan menjadi paya-paya itupun memerlukan waktu bertahun-tahun berpuluh tahun. Dan paya-paya itu jelas tak sama dengan sungai, bukan""
"Tapi, tak dapatkah aku tetap berupa sungai, sama dengan keadaanku kini""
"Apapun juga yang terjadi, kau tidak akan bisa tetap berupa dirimu kini," bisik suara itu. "Bagian intimu terbawa terbang, dan membentuk sungai lagi nanti. Kau disebut sungai juga seperti kini, sebab kau tak tahu bagian dirimu yang mana inti itu."
Mendengar hal itu, dalam pikiran Si Sungai mulai muncul gema. Samar-samar, ia ingat akan keadaan ketika ia --atau bagian dirinya" --berada dalam pelukan angin. Ia juga ingat-- benar demikiankah" bahwa hal itulah yang nyatanya terjadi, bukan hal yang harus terjadi.
Dan sungai itu pun membubungkan uapnya ke tangan-tangan angin yang terbuka lebar, dan yang kemudian dengan tangkas mengangkatnya dan menerbangkannya, lalu membiarkannya merintik lembut segera setelah mencapai atap gunung --nun disana yang tak terkira jauhnya. Dan karena pernah meragukan kebenarannya, sungai itu ini bisa mengingat-ingat dan mencatat lebih tandas pengalamannya secara terperinci. Ia merenungkannya, "Ya, kini aku mengenal diriku yang sebenarnya."
Sungai itu telah mendapat pelajaran. Namun Sang Pasir berbisik, "Kami tahu sebab kami menyaksikannya har
i demi hari; dan karena kami, pasir ini, terbentang mulai dari tepi pasir sampai ke gunung."
Dan itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa cara Sungai Kehidupan melanjutkan perjalanannya tertulis di atas Pasir.
Catatan: Kisah indah ini masih beredar dalam tradisi lisan dalam pelbagai bahasa, hampir selalu terdengar di kalangan para darwis dan murid-muridnya.
Kisah ini dicantumkan oleh Sir Fairfax Cartwright dalam bukunya, Mystic Rose from the Garden of the King 'Mawar Mistik dari Taman Raja' terbit tahun 1899.
Versi ini berasal dari Awad Afifi, orang Tunisia, yang meninggal tahun 1870.
Kereta Ada tiga macam ilmu dalam telaah kemanusiaan. Yang pertama adalah Ilmu tentang pengetahuan biasa; yang kedua adalah Ilmu tentang keadaan batin yang luar biasa, yang biasanya disebut puncak kenikmatan. Yang ketiga, yang penting, adalah Ilmu tentang Kenyataan yang Benar; yang ketiga ini berada di antara kedua Ilmu yang disebut sebelumnya.
Hanya pengetahuan batin yang nyata bisa menghasilkan Ilmu Kenyataan yang Benar. Ilmu yang kedua lagi hanyalah berupa cermin--dalam bentuknya masing-masing dari yang ketiga. Yang kedua itu boleh dikatakan tak ada gunanya tanpa yang ketiga.
Bayangkan seorang kusir. Ia duduk di kereta, ditarik kuda, dipimpin dirinya sendiri. Kecerdasan adalah "kendaraan" itu, suatu bentuk luar yang di dalamnya kita menyatakan di mana diri kita berada dan apa yang harus kita kerjakan. Kendaraan menyebabkan orang dan kuda bisa melakukan tugasnya. Itulah yang kita sebut tashkil, ujud luar atau perumusan.
Kuda, atau tenaga penggerak, adalah energi yang disebut "Suatu keadaaan perasaan" atau kekuatan lain. Itu diperlukan untuk menggerakkan kereta. Orang, dalam gambaran kita itu, adalah yang melihat dan memahami, dengan cara yang lebih unggul dari yang lain, maksud dan kemungkinan keadaan, dan yang memungkinkan kereta itu bergerak maju menuju tujuannya.
Salah satu di antara ketiganya itu, sendiri-sendiri, tentu saja bisa melakukan sesuatu. Namun, peran gabungan, yang kita sebut gerak kereta, tidak akan terwujud apabila ketiganya tidak dihubungkan dengan Cara yang Benar.
Hanya "manusia," Diri yang nyata mengetahui hubungan ketiga unsur itu, dan kebutuhannya satu sama lain.
Di kalangan Sufi, Karya Agung adalah pengetahuan menggabungkan ketiga unsur tersebut. Terlalu banyak orang, kuda yang tak sesuai, kereta yang terlalu berat atau terlalu ringan --hasilnya tidak akan memadai.
Catatan: Nukilan ini tercatat dalam sebuah buku catatan darwis dalam Bahasa Persia, dan berbagai bentuk kisah itu terdapat dalam mazhab-mazhab Sufi yang tersebar mulai Damaskus sampai Delhi.
Darwis Dan Putri Raja Konon, ada seorang putri raja yang keelokannya bagaikan rembulan; semua orang mengaguminya.
Pada suatu hari, seorang darwis yang sedang akan memasukkan makanan ke mulutnya, melihat putri tersebut. Makanan itu jatuh ke tanah, sebab ia begitu terpesona sehingga tidak bisa menggenggam semestinya.
Ketika darwis itu berlalu, Sang Putri tersenyum kepadanya. Tindakan putri itu sungguh-sungguh menyebabkannya sawan, makanannya di tanah, pikirannya lenyap separo. Dalam keadaan mabuk kepayang semacam itu, ia tidak berbuat apapun selama tujuh tahun. Darwis tersebut selama itu tidur di jalan, tempat anjing-anjing tidur.
Ia menjadi gangguan bagi Sang Putri, dan para pengawalnya memutuskan akan membunuh lelaki itu.
Tetapi Sang Putri memanggilnya, katanya, "Tak mungkin kita berdua hidup bersama. Dan budak-budakku akan membunuhmu; oleh karena itu menghilanglah saja,"
Lelaki yang merana itu menjawab, "Sejak kulihat Tuan, hidup ini tak ada artinya. Mereka akan membunuhku tanpa alasan. Namun, jawablah pertanyaanku yang satu ini, karena Tuanlah yang akan menjadi penyebab kematianku. Mengapa pula dulu Tuan tersenyum padaku""
"Tolol!" kata Sang Putri. "Ketika kulihat betapa tololnya kau waktu itu, aku tersenyum kasihan, bukan karena apa-apa."
Dan Putri pun pergi meninggalkannya.
Catatan: Dalam Parlemen Burung, Attar membicarakan kesalahpahaman emosi subyektif yang menyebabkan orang percaya bahwa pengalaman tertent
u ("senyum Sang Putri") meruapakan hadiah istimewa ("kekaguman"), padahal sebenarnya merupakan hal yang sebaliknya ("kasihan").
Banyak orang yang salah menafsirkan, sebab karya semacam ini memiliki konvensinya sendiri. Salah tafsir ituberanggapan bahwa karangan klasik Sufi adalah cara lain dari penggambaran teknis tentang keadaan kejiwaan.
Ketika Maut Datang Ke Bagdad
Pada suatu hari, pengikut seorang Sufi di Bagdad sedang duduk di sudut sebuah warung ketika didengarnya dua mahkluk sedang bercakap-cakap. Berdasarkan apa yang dipercakapkan itu, pengikut Sufi tersebut mengetahui bahwa salah satu diantara yang sedang berbicara itu adalah Malaikat Maut.
"Saya bertugas menemui sejumlah orang di kota ini selama tiga minggu mendatang." kata Malaikat itu kepada temannya bicara.
Karena takut, pengikut Sufi itu menyembunyikan diri sampai yang berbicara itu berlalu.Kemudian, setelah memeras otak bagaimana caranya menghindarkan diri dari maut, ia memutuskan bahwa apabila ia menjauhkan diri dari Bagdad, tentunya Maut tak akan bisa mencapainya. Berdasarkan alasan itu, iapun segera menyewa kuda yang tercepat, dan memacunya siang malam menuju Samarkand.
Sementara itu Malaikat Maut menemui guru Sufi; mereka berdua membicarakan beberapa orang. "Dan di mana gerangan pengikutmu Si Anu"" tanya Maut.
"Tentunya ia ada di kota, sedang merenungkan sesuatu, mungkin di sebuah warung minum," jawab Sang Guru.
"Aneh," kata Sang Malaikat. "Ia terdapat dalam daftarku. Ya, betul, ini dia; dan aku harus menjemputnya dalam waktu empat minggu ini di Samarkand, ya, Samarkand."
Catatan: Versi kisah ini diambil dari Hikayat -i- Naqshia 'Kisah Nasib.'
Pencipta kisah ini, kisah yang sangat digemari di Timur Tengah, adalah Sufi Agung Fudail bin Ayad, bekas perampok yang meninggal pada awal abad kesembilan.
Menurut cerita Sufi, yang dikukuhkan oleh bahan-bahan sejarah, Harun Al-Rasyid Kalifah Bagdad mencoba memusatkan segala pengetahuan di istana dalam pengayomannya, tetapi tak ada seorangpun yang menghendaki Raja Segala Raja itu meminta bantuan dalam menjalankan tugasnya.
Ahli sejarahSufi menceritakan bagaiman Harun dan Perdana Menterinya mengunjungi Mekah untuk bertemu dengan Fudail, yang mengatakan, "Sang Penguasa Kaum Setia: Tampaknya wajah Baginda yang cemerlang itu akan jatuh ke api neraka!"
Harun bertanya kepada Sang Bijak, "Pernahkah kau mengenal orang lebih mampu mengambil jarak daripada kau sendiri""
Fudail menjawab, "Pernah: Baginda lebih mampu mengambil jarak dari lingkungan dunia biasa ini; tetapi baginda telah mampu mengambil jarak yang lebih besar yakni dari keabadian!"
Fudail mengatakan kepada Kalifah bahwa kekuasaan atas diri sendiri lebih berharga daripada kekuasaan selama seribu tahun atas orang-orang lain.
Jalan Gunung Pada suatu hari, seorang yang cerdas, ahli pengetahuan yang pikirannya terlatih, datang ke sebuah desa. Sebagai latihan dan telaah ilmunya, ia ingin membandingkan pandangan yang berbeda-beda yang mungkin ada dalam desa itu.
Ia mendatangi sebuah warung dan menanyakan tentang seorang yang paling jujur dan seorang yang paling bohong di desa itu. Orang-orang di warung itu sepakat bahwa orang yang bernama Kazzab adalah pembohong terbesar; dan Rastgu yang paling jujur. Ahli pengetahuan itupun mendatangi kedua orang tersebut bergantian, mengajukan pertanyaan sederhana yang sama kepada keduanya, "jalan manakah yang terbaik menuju ke desa tetangga""
Rastgu yang jujur itu berkata, "Jalan gunung."
KazzabbSi Pembohong juga berkata, "Jalan gunung."
Tentu saja jawaban itu membingungkan Sang Pengembara cerdas tersebut .
Demikianlah, iapun bertanya kepada orang-orang lain, penduduk desa biasa.
Ada yang mengatakan, "Lewat sungai;" yang lain mengusulkan, "Lewat padang saja"
Dan ada yang juga mengatakan, "Jalan gunung."
Akhirnya diputuskannya mengambil jalan gunung. Tetapi dalam kaitannya dengan tujuan semula tadi, masalah tentang orang bohong dan orang jujur di desa itu mengganggu batinnya.
Ketika ia mencapai desa berikutnya, ia ceritakan kisahnya di sebuah rumah penginapan; di akhir kisah dikata
kannya. "Saya jelas telah membuat kekeliruan logika yang mendasar dengan menanyakan kepada orang-orang yang tidak tepat perihal Si Jujur dan Si Bohong. Nyatanya saya telah sampai disini tanpa kesulitan apapun, lewat jalan gunung."
Seorang bijaksana yang kebetulan berada di situ berkata, "Harus diakui bahwa para ahli logika cenderung takterbuka matanya, karenanya suka minta orang lain membantunya.Tetapi masalah yang menyangkut hal ini justru sebaliknya. Kenyataannya adalah sebagai berikut: Sungai sebenarnya merupakan jalan termudah, oleh karenanya Si Pembohong menunjukkan jalan gunung. Tetapi orang yang jujur itu tidak hanya jujur; ia mengetahui bahwa Anda punya keledai dan itu memudahkan perjalanan Anda. Si Pembohong kebetulan tidak mengetahui bahwa Anda tak punya perahu: seandainya ia tahu hal itu, pasti diusulkannya jalan sungai."
Catatan: "Orang-orang menganggap kemampuan dan berkah para Sufi sulit dipercaya.Tetapi orang-orang semacam itu adalah yang tidak memiliki pengetahuan tentang kepercayaan yang sebenarnya. Mereka mempercayai segala hal yang tidak benar, karena kebiasaan atau karena diberi tahu oleh penguasa.
Kepercayaan yang sebenarnya merupakan sesuatu yang berbeda.Mereka yang mampu memiliki keperccayaan yang sebenarnya adalah yang pernah mengalami sesuatu. Jika mereka sudah pernah mengalami kemampuan dan berkah, yang sekedar diceritakan tidak ada harganya bagi mereka."
Kata-kata tersebut, menurut Sayed Syah (Qadiri, meninggal tahun 1854) kadang-kadang mengawali kisah "Jalan Gunung" ini.
-End- Bukit Pemakan Manusia 4 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Nyai Tandak Kembang 2
^