Misteri Tukang Sihir 1
Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir Bagian 1
MISTERI TUKANG SIHIR Ebook by Raynold 1. Kejadian di Bioskop MALAM Minggu, pukul setengah delapan kurang tiga menit. Petra dan Sporty sedang
dalam perjalanan menuju Bioskop STAR. Walaupun hari telah menjelang malam, udara
masih terasa gerah. Sepanjang hari matahari memang bersinar terik. Dan kini
udara panas masih mengumpul di antara bangunan-bangunan. Dalam keadaan seperti
inilah, Sporty dan Petra melaju di atas sepeda masing-masing. .
Hebat, pikir Sporty sambil melirik ke arah sahabatnya, penampilan Petra tetap
sesegar bunga mawar di pagi hari. Entah bagaimana caranya-ya, barangkali memang
turunan. Rambut Petra yang pirang melambai-lambai. Rok biru yang dikenakannya
membusung karena tertiup angin. Gadis itu ketawa, lalu berseru pada Sporty,
"Hei, masih keburu, kan?"
"Sebenarnya kita sudah agak telat! " jawab Sporty sambil melihat jam tangan.
"Sekarang tepat pukul setengah delapan. Berarti pertunjukan sudah mulai."
"Mudah-mudahan saja film iklan dulu!"
Lima menit kemudian mereka tiba di depan gedung bioskop. Setelah mengunci
sepeda, kedua anak itu berlari menuju pintu masuk.
Ruang pertunjukan ternyata memang sudah gelap. Penonton-penonton lain sudah
berada di tempat masing-masing. Tapi harapan Petra terkabul yang tengah diputar
adalah iklan untuk film yang akan datang-sebuah film penuh adegan-adegan mendebarkan tentang petualangan
sejumlah pendaki gunung. Sporty langsung menunjukkan karcis mereka pada seorang wanita berseragam.
Wanita itu merobek ujung-ujung karcis, lalu mengantarkan Petra dan Sporty ke
kursi mereka. "Silakan duduk!" ia berkata sambil mengarahkan cahaya senternya ke baris paling
belakang. Petra dan Sporty mendapat kursi nomor 24 dan 25-persis di tengah-tengah.
"Uh, sampai juga, akhirnya!" Petra berbisik lega. "Semoga filmnya tidak terlalu
menyeramkan. Apa gunanya nonton film kalau aku harus tutup mata terus selama dua
jam?" "Tenang saja," balas Sporty sambil tersenyum. "Aku akan memberitahumu kalau
keadaan sudah mengizinkan untuk buka mata lagi."
Petra ketawa cekikikan. Lalu ia sibuk mengomentari berbagai iklan yang
mendahului film yang hendak mereka- tonton.
Selama beberapa saat, berbagai iklan ganti-berganti muncul di layar. Kemudian
tulisan istirahat menggantikannya.
Lampu-lampu menyala. Petugas pemeriksa
karcis tadi kembali mondar-mandir-kali ini sambil menawarkan makanan kecil dan
minuman ringan. Sporty bertanya apakah Petra ingin membeli sesuatu, tapi gadis itu menggeleng.
"Jangan samakan aku dengan Oskar, dong!" ia memprotes.
Sporty ketawa, lalu menjawab,
"Kalau aku nonton dengan Oskar, mana mungkin para penjaja makanan bisa santai
seperti sekarang. Mereka pasti keluar-masuk terus untuk mengambil persediaan
baru." Sambil menunggu film diputar, pandangan Sporty menyapu seluruh ruangan. Ternyata
ha- nya sepertiga dari jumlah kursi yang terisi.
"Hei, Petra!" Sporty tiba-tiba berkata sambil menunjuk ke depan. "Itu kan si
Helga!" Petra segera menatap ke arah yang ditunjuk sahabatnya.
"Eh, betul! Wah, ini baru kejutan! Ternyata dia mau juga nonton film seperti
ini. Apa kata rekan-rekannya kalau mereka tahu bahwa Helga nonton film horor"!
Kebanyakan guru kan gengsi! Mereka hanya mau nonton film-film 'bermutu'."
" Seperti apa, misalnya?"
"Misalnya film-film yang bisa menguras air mata, seperti kisah percintaan Romeo
dan Juliet." "Hehehe, kalau hanya mau bertangis-tangisan, mendingan nonton film India saja
sekalian!" Sporty berkomentar sambil nyengir. "Tapi-aku juga tidak menduga bahwa Helga suka
nonton film horor." Helga Ebert duduk lima baris di depan Petra dan Sporty, dan sedikit agak ke
kiri. Dia salah seorang guru favorit di sekolah-asrama, sekaligus yang paling
cantik. Dalam hal ini semua murid dan guru sependapat. Dari belakang, yang
terlihat hanya rambutnya yang panjang dan berwarna merah menyala.. Tapi satu
ciri itu saja sudah cukup untuk mengenalinya.
Helga Ebert masih muda. Oleh karena itu, murid-murid biasa menyebutnya Helga
saja kalau sedang membicarakan dia. Tapi di dalam kelas, Helga tetap dipanggil
Nona Ebert. Ia mengajar biologi, juga di kelas 9b-kelasnya Sporty, Thomas,
Oskar, dan Petra. Keempat sahabat itu akrab sekali dengan dia. Bukan hanya di
sekolah, tapi juga di luar jam pelajaran. Hari Minggu besok, Helga bahkan
mengundang mereka ke rumahnya.
Begitu melihat Helga, Petra langsung berniat memanggilnya, namun tidak sempat,
sebab lampu-lampu keburu padam lagi dan pertunjukan film utama dimulai.
Ya sudah, nanti saja! pikir gadis itu. Kemudian ia duduk dengan santai sambil
menatap layar bioskop. Yang terasa mengganggu adalah bahwa orang-orang yang terlambat masih masuk
terus. Salah seorang di antara mereka-seorang pemuda kekar berusia sekitar 16
tahun-duduk persis di hadapan Petra. Untung saja pemuda itu lalu duduk merosot
ke bawah, sehingga tidak menghalangi pandangan.
Sporty ternyata mengenali pemuda itu. Wah, si Max juga nonton! katanya dalam
hati. Tapi ini sih bukan kejutan. Dia pasti tidak pernah nonton film selain film
horor dan film perang. Max Jocher adalah kakak kelas mereka. Ia kini duduk di kelas sepuluh. Anaknya
konyol dan tidak menyenangkan. Suatu waktu, Sporty pernah memergokinya ketika
sedang menganiaya seekor anak anjing. Sporty tentu saja tidak tinggal diam.
Akibatnya, selama tiga hari berikut Max tidak masuk sekolah. Sejak peristiwa
itu, dia sangat berhati-hati kalau ketemu dengan Sporty.
Kekhawatiran Petra menjadi kenyataan. Filmnya ternyata menyeramkan sekali.
Adegan pertama langsung memperlihatkan belasan zombie alias mayat hidup yang
bangkit dari kubur masing-masing. Semuanya menyeringai secara mengerikan. Setiap
kali kamera mengambil wajah salah satunya dari dekat, Petra langsung membuang
muka dan mencari perlindungan pada bahu Sporty.
Sporty sampai tidak berani bergerak. Tapi dalam hati ia berharap agar filmnya
penuh dengan adegan-adegan serupa.
Berbeda dengan Petra, Max Jocher di hadapan mereka malah sama sekali tidak
bereaksi. Matanya pun hanya sekali-sekali terarah pada layar. Selebihnya ia
sibuk menoleh ke segala arah.
Adegan yang sedang diputar kebetulan berlangsung pada siang hari, sehingga ruang
pertunjukan pun ikut terang. Karena itu, kepala para penonton terlihat dengan
jelas. Tiba-tiba saja Max menyipitkan mata dan membungkuk ke depan. Sepertinya, ia
sedang memperhatikan seseorang.
Sambil nyengir lebar, ia lalu meraih ke dalam kantong. Sporty tidak bisa melihat
apa yang diambilnya. Tapi Max kelihatannya sibuk mengutak-atik barang itu. Ia
menegakkan badan, mengulurkan tangan kiri, menarik bahu sebelah kanan ke
belakang, dan... Tiba-tiba Sporty menyadari apa yang sedang dilakukan pemuda itu. Ia sudah sering
mendengar cerita bahwa Max selalu membawa sejumlah karet gelang dalam kantong
celana. Karet-karet itu dipakainya untuk menembakkan peluru-peluru berupa
jepitan kertas yang dibengkok-bengkokkan.
Dan sekarang pun dia sedang membidik seseorang.
Sporty bermaksud mencegahnya. Tapi pada saat yang bersamaan, Petra mendadak
meraih pergelangan tangannya. Dengan mata terbelalak gadis itu menatap layar
bioskop. Ternyata, salah satu zombie tadi sedang mengejar seorang gadis cilik di
sebuah ruang bawah tanah yang gelap-gulita.
Sebelum Sporty sempat berbuat apa-apa, Max telah melepaskan tembakan.
Terdengar pekik kaget seorang wanita. Suaranya jelas bernada kesakitan tetapi
beberapa penonton malah ketawa. Rupanya mereka menduga wanita itu memekik karena
takut melihat zombie-zombie gentayangan.
Sporty segera menengok ke arah Helga Ebert. Wanita muda itu sedang memegang
bagian belakang kepalanya dengan kedua belah tangan, lalu menoleh ke belakang.
Sasaran Max Jocher ternyata Helga!
Untuk sesaat Sporty begitu terkejut sehingga tidak bisa bergerak. Tapi
kemudian... Dengan cengkeraman sekeras baja Sporty menangkap kerah baju Max. Pemuda itu
ditariknya ke belakang, sampai melintang pada sandaran kursi. Lalu sebuah
tamparan yang luar biasa keras mendarat di wajah Max. Tapi tak seorang pun
mendengarnya. Pekikan Max tenggelam begitu saja, sebab pada saat yang sama,
sebuah tangga sedang ambruk di layar bioskop.
Sambil membungkuk di atas Max Jocher, Sporty berkata, "Aku melihat semuanya! Kau
menembak Nona Ebert. Awas, urusan ini akan berbuntut panjang."
Dengan kasar ia lalu mendorong pemuda itu kembali pada tempat duduknya.
"Astaga! Dia menembak Helga?" tanya Petra terkejut.
Sporty mengangguk. Sementara itu, Helga telah berdiri. Wanita muda itu bergegas menuju pintu
keluar, sambil menempelkan sebelah tangan ke bagian belakang kepalanya.
"Petra," Sporty segera berkata. "Aku keluar dulu, ya" Helga kelihatannya
cedera." "Tunggu," ujar Petra cepat-cepat. "Aku ikut, deh! Filmnya toh tidak terlalu
bagus." Gadis itu pun berdiri, lalu mengikuti Sporty.
Mereka menemukan Helga Ebert sedang berdiri di dekat loket karcis. Guru mereka
itu ternyata keluar lewat pintu lain. Ia sedang membelakangi cermin, memegang
saputangan, dan memutar leher untuk melihat bagian belakang kepalanya.
"Selamat malam, Nona Ebert!"
Dengan terkejut wanita itu berbalik.
"Eh, kalian!" Untuk sekilas wajahnya yang pucat nampak gembira. "Kalian mau
nonton" Saya baru dari dalam, tapi..."
"Kami juga," kata Petra. "Dan Sporty sempat melihat Max Jocher menembak Anda.
Tapi bajingan itu sudah mendapat ganjaran untuk perbuatannya. Keterlaluan!"
"Max Jocher yang melakukannya?" tanya Helga setengah berbisik. Wajahnya semakin
memucat. "Anda terluka," kata Sporty. Ia telah melihat noda-noda merah pada saputangan
Helga Ebert. "Boleh saya periksa sebentar?"
"Biar aku saja!" Petra langsung mendahuluinya. "Aku lebih terampil."
Ternyata tidak sia-sia Petra mengikuti kursus P3K. Dengan cekatan ia memeriksa
luka di kepala Nona Ebert-persis seperti jururawat berpengalaman. Kemudian ia
mengeringkan darahnya dengan saputangan.
"Tidak apa-apa, kok," ujar Nona Ebert. "Saya hanya sedikit kaget tadi. Hmm, Max
Jocher-pantas! Terima kasih atas bantuanmu, Sporty!"
"Ah, tamparan tadi belum sebanding dengan apa yang dilakukannya."
Helga Ebert mengangkat bahu, merapikan rambutnya, kemudian memasukkan saputangan
ke kantong celana. "Kali ini saya mungkin harus mengambil tindakan tegas," ia bergumam pelan-
seperti sedang berbicara pada diri sendiri. "Tapi... Ya, lihat nanti saja, deh!
Hmm, saya jadi tidak berminat nonton lagi. Kalau kalian mau masuk lagi..."
Sambil tersenyum ia menatap kedua anak itu.
"Saya juga sudah malas," ujar Sporty. "Tapi tergantung Petra, deh. Kalau dia..."
"Malas, ah!" jawab gadis itu cepat-cepat. "Filmnya ternyata tidak semenarik yang
saya sangka waktu lihat iklannya. Daripada terpaksa melihat adegan-adegan
konyol, mendingan saya jalan-jalan. Sekarang kan malam Minggu, jadi saya boleh
pulang agak lebih malam dari biasanya. Dan kebetulan ayah saya juga lagi dinas
malam. " Ayah Petra memang sering berdinas pada malam hari. Soalnya dia bekerja sebagai
komisaris polisi di bagian reserse.
Helga Ebert tersenyum. "Kalian sudah ada rencana lain" Belum ada" Kalau begitu, saya ingin mentraktir
kalian. Saya tahu sebuah restoran yang menyenangkan di dekat sini. Kita bisa
duduk-duduk di luar, di teras. Bagaimana, kalian berminat?"
"Tentu saja!" seru Sporty dengan gembira. "Seandainya semua guru seramah Anda,
maka hubungan antara murid-murid dengan para guru pasti jauh lebih akrab
daripada sekarang." Nona Ebert ketawa. Sederetan gigi yang putih bersih kelihatan dengan jelas.
Matanya yang keabu-abuan nampak bersinar-sinar. Helga memang guru paling cantik
di sekolah asrama. Tapi kalau sedang ketawa, ia bahkan lebih menarik dari
kebanyakan bintang film. "Naik apa kalian waktu datang tadi?" guru muda itu bertanya. "Kalian jalan
kaki?" "Kami naik sepeda," jawab Sporty. "Habis, naik bis terlalu lama dan harus
mengeluarkan uang lagi. Kecuali itu, kita tidak bisa berhenti persis di depan
tempat tujuan." Helga Ebert lalu mengatakan bahwa mobilnya diparkir di Taman Balai Kota-lumayan
jauh dari sini. Akhirnya mereka meninggalkan bioskop sambil berjalan kaki. Awan-awan hitam mulai
menutupi langit. Tapi cuaca masih cukup terang untuk duduk-duduk di teras
restoran. Di Eropa Barat, kalau lagi musim panas matahari memang baru tenggelam
sekitar jam sembilan malam.
Restoran yang dimaksud Helga ternyata penuh sesak. Tapi mereka beruntung. Sebuah
meja yang dinaungi sebatang pohon besar masih kosong.
Helga segera memesan Coca-Cola untuk mereka bertiga. Sebenarnya ia masih mau
mentraktir es krim, tapi Petra dan Sporty menolak dengan sopan.
"Apakah Anda sudah pernah punya urusan dengan Max Jocher?" tanya Sporty ketika
mereka menunggu pesanan dihidangkan.
Nona Ebert langsung tersentak kaget.
"Lho, kenapa kau berpikiran seperti itu?" ia kemudian balik bertanya.
"Anda tadi sempat mengatakan bahwa kali ini Anda mungkin harus mengambil
tindakan tegas. Berarti sebelumnya sudah pernah terjadi sesuatu. Dan, kalau saya
tidak salah, Anda dan Max Jocher sama-sama tinggal di desa Lerchenbach, bukan?"
Helga mengangguk. "Kalian pernah ke sana?"
"Hanya lewat saja," Petra menjawab. "Waktu itu Sporty, Thomas, Oskar, dan saya
sedang jalan-jalan naik sepeda. Anda sudah lama tinggal di sana?"
Desa Lerchenbach terletak kurang lebih 30 kilometer di sebelah selatan kota-jauh
dari jalan-jalan besar dan jalur pariwisata. Jumlah penduduk desa itu tidak
sampai 1000 jiwa. Dan sebagian besar bekerja sebagai petani. Mereka terkenal
keras kepala, tertutup, serta tidak suka pada hal-hal baru. Hanya kalau benar-
benar perlu saja mereka mau pergi ke kota. Menurut orang-orang kota yang pernah
ke sana, penduduk Lerchenbach sama sekali tidak ramah. Kabarnya, setiap orang
yang kesasar sampai ke sana akan dihadapi dengan penuh kecurigaan. Di antara
para remaja desa, cukup banyak yang rajin ke gereja, tapi banyak juga yang
terkenal sebagai tukang bikin onar. Max Jocher termasuk dalam kelompok kedua.
Sporty tahu bahwa ayah Max seorang petani kaya di Lerchenbach. Ia juga tahu
bahwa Helga Ebert - yang entah kenapa juga tinggal di desa itu -setiap pagi
datang ke sekolah-asrama dengan mengendarai mobilnya.
"Sebenarnya saya memang orang Lerchenbach," Helga menjawab pertanyaan Petra.
"Saya lahir dan dibesarkan di sana. Tapi saya tetap saja merasa terasing di desa
itu, seakan-akan saya baru seminggu yang lalu pindah ke sana. Ceritanya begini,
waktu Perang Dunia II, orangtua saya -keduanya sudah meninggal sekarang -
terpaksa mengungsi. Seusai perang, mereka terdampar di Lerchenbach, dan akhirnya
memilih untuk tetap tinggal di sana. Ayah sebenarnya bekerja di kota, tapi Ibu
ingin hidup di lingkungan pedesaan. Secara kebetulan mereka berhasil membeli
sebuah rumah dengan pekarangan yang luas sekali - bahkan lengkap dengan sebuah
danau kecil. Dengan demikian mereka resmi menjadi penduduk Lerchenbach. Tapi
orangtua saya tidak pernah bisa akrab dengan penduduk-penduduk lama." Helga
berhenti dan merenung sejenak.
"Itu terjadi 25 tahun yang lalu," ia melanjutkan ceritanya. "Kemudian saya
lahir. Masa kanak-kanak saya dihabiskan dengan bermain-main bersama anak-anak
yang lain. Setelah cukup umur, saya mulai masuk sekolah desa. Tapi setelah tamat
sekolah dasar, saya terpaksa pindah. Pada waktu itu," ia berkata sambil
tersenyum, "sekolah-asrama kita yang tercinta belum menerima murid wanita.
Sayangnya, tidak lama kemudian Ibu meninggal. Ayah mengambil satu-satunya
tindakan yang dianggapnya benar: ia menitipkan saya pada ibunya-nenek saya-yang
tinggal cukup jauh dari sini. Saya meneruskan sekolah lanjutan di sana. Lalu
saya mulai kuliah di universitas. Hanya kalau libur saja saya kembali ke
Lerchenbach, untuk mengunjungi Ayah. Dia sangat menderita karena dikucilkan oleh
para penghuni desa yang lain. Habis, Ayah sangat ramah dan suka bergaul. Ketika
ia meninggal dua tahun yang lalu, saya mewarisi sebuah rumah berikut tanah luas
sekelilingnya. Karena itu saya akhirnya kembali ke Lerchenbach-dan entah dengan
Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cara apa pun, tak seorang pun bisa mengusir saya dari sana!"
Kalimat terakhir itu diucapkannya dengan nada geram. Kedua pipi Nona Ebert
nampak memerah, dan tangannya mengepal.
"Siapa yang mau mengusir Anda?" tanya Petra dengan heran.
"Seseorang yang tidak menghendaki kehadiran saya di sana," kata Helga.
"Ah, masa sih?" tanya Sporty setengah tak percaya. "Ehm, apa alasannya" Apa ada
sebab-sebab tertentu?"
Helga minum seteguk sebelum menjawab, "Memang ada sesuatu, hanya saja saya belum
bisa membuktikannya. Sepertinya, Jocher telah menghasut semua penduduk desa
untuk memusuhi saya."
"Max Jocher?" tanya Petra terheran-heran.
"Bukan, ayahnya. Dia tokoh terpandang di Lerchenbach. Seorang petani kaya,
sekaligus kepala desa." Helga berhenti sejenak dan meraba-raba luka di
kepalanya. "Menurut ukuran orang Lerchenbach, Pak Jocher termasuk tekun dan
telaten. Tapi dia juga berpandangan sempit, keras kepala - dan benci setengah
mati pada saya. Saya pernah memberikan kesaksian di pengadilan yang memberatkan
anaknya, Harry. "Pak Jocher itu punya dua putra: Max dan Harry. Si Harry ini sudah berusia 26
tahun-tapi dia seorang pemuda bejat. Dua tahun lalu, dia membujuk seorang gadis
kecil berusia 11 tahun untuk ikut ke hutan dengannya, lalu... Pokoknya,
keterlaluan! Secara kebetulan saya memergokinya. Waktu itu saya sedang berjalan-
jalan. Harry langsung kabur, tapi saya sempat mengenalinya. Di depan pengadilan,
segala sesuatu akhirnya tergantung pada keterangan saya. Tapi sebelum sidang,
Pak Jocher datang ke rumah saya dan menawarkan sejumlah uang supaya saya tidak
muncul. Tentu saja saya menolak. Tapi dia memaksa, sehingga saya pun terpaksa
mengusirnya. Harry kemudian mendapat hukuman yang setimpal dan sampai sekarang
masih berada di penjara. Sejak itu Pak Jocher melakukan apa saja untuk membalas
dendam. Macam-macam saja ulahnya-apalagi pekarangan rumah saya kebetulan
berbatasan langsung dengan tanah milik dia. Saya baru sejak awal tahun tinggal
di sana. Tapi selama itu, tak ada satu hari pun berlalu tanpa gangguan! Dan
belakangan ini, keadaannya semakin gawat. Tapi saya tidak akan mengalah.
Seenaknya saja!" "Astaga!" Sporty berkomentar. "Padahal saya kira kehidupan di desa masih
berlangsung dalam suasana gotong-royong dan kekeluargaan. Sekarang saya baru
mengerti kenapa Max Jocher nekat menembak Anda tadi."
"Keterlaluan!" Petra berseru. Matanya yang biru nampak menyala-nyala. "Apakah
Anda sama sekali tidak punya teman di Lerchenbach?"
"Tidak ada sama sekali," jawab Helga Ebert sambil tersenyum sedih. "Sudah
terlalu lama saya meninggalkan desa itu. Teman-teman saya semasa kecil kini
sudah menganggap saya sebagai orang asing. Sebenarnya sih, saya tahu bahwa
beberapa orang berpihak pada saya. Tapi tak ada yang berani menunjukkannya
secara terang-terangan. Semuanya takut pada Pak Jocher."
"Barangkali kami sempat melihat orangnya kalau mengunjungi Anda besok," kata
Sporty. "Oh, ya! Saya hampir lupa bahwa kalian ingin membantu membereskan pekarangan.
Kalau bisa, kalian datang sepagi mungkin, ya" Jadi kita bisa sarapan dulu
sebelum mulai kerja. Saya juga sudah menyediakan coklat untuk Oskar."
"Asal jangan terlalu banyak saja," Sporty menanggapinya sambil ketawa. "Nanti
dia malah meledak!" Kemudian pembicaraan mereka beralih pada hal-hal lain: masalah-masalah sekolah,
teman-teman sekelas, serta pekan olahraga dan kesenian yang sebentar lagi akan
diadakan. Hari semakin gelap. Ketika pelayan datang untuk menyalakan lilin di meja, Nona
Ebert sekalian membayar. Lalu ia, Petra, dan Sporty berdiri.
Beberapa saat mereka berjalan bersama-sama ke arah bioskop, namun kemudian
mereka terpaksa berpisah. Helga Ebert hendak mengambil mobilnya di Taman Balai
Kota, sementara sepeda Sporty dan Petra masih berada di depan bioskop.
Anak-anak mengucapkan terima kasih, dan berjanji untuk datang pagi-pagi ke rumah
Nona Ebert. "Satu-satunya kesulitan yang bakal dihadapi adalah membangunkan Oskar," ujar
Sporty sambil ketawa. "Setiap akhir pekan, kebutuhan tidurnya mendadak berlipat
ganda." Sebelum pulang ke asrama, Sporty mengantar Petra sampai ke rumahnya-seperti
biasanya kalau mereka pulang setelah gelap. Sambil mengayuh sepeda, Petra
berkata, "Helga memang ramah sekali, terutama kalau kita sudah kenal lebih dekat
dengannya. Sikapnya seperti seorang kakak saja."
"Betul!" Sporty mengangguk. "Anak-anak tunggal seperti kau dan aku pasti
bersyukur seandainya punya kakak seperti dia."
2. Jeritan di Lorong Gelap
DI sepanjang jalan menuju Taman Balai Kota, toko-toko dan butik-butik berderet-
deret. Semua kaca etalase terang-benderang, sehingga banyak orang berhenti untuk
melihat-lihat barang-barang yang dipajang.
Helga Ebert punya banyak waktu. Tak ada yang menunggunya - kecuali binatang-
binatang piaraannya di rumah: dua ekor ular dan sejumlah labah-labah. Kebanyakan
orang takkan kepikiran untuk memelihara binatang-binatang seperti itu.
Tapi jangan lupa-Helga Ebert adalah guru biologi di sekolah-asrama! Ia mengamati
kehidupan ular dan labah-labah dalam rangka menyusun laporan ilmiah.
Namun kini, perhatian wanita muda itu lebih tertuju pada pakaian musim panas
yang terpajang di kaca etalase sebuah butik. Kecuali itu, ia juga tertarik pada
bikini berwarna hijau, sepasang sandal dari Itali dan sebuah tas kulit.
Dengan santai ia berjalan dari toko ke toko.
Sementara itu, hari semakin gelap. Awan-awan hitam telah menutupi langit. Tiupan
angin bertambah kencang, sehingga mengguncang-guncangkan dahan-dahan pohon dan
menerbangkan debu Jalanan. Hanya sedikit orang yang masih betah berjalan-jalan.
Sebagian besar sudah pulang ke rumah masing-masing.
Helga Ebert melewati sebuah bar. Entakan musik rock terdengar melalui pintu yang
terbuka lebar. Dua pemuda tanggung berdiri di depannya. Sambil mengembuskan asap
rokok, mereka memperhatikan Helga. Dan salah seorang dari mereka lalu berkata,
"Wah, baru kali ini aku lihat tukang sihir secantik ini! Halo, Manis! Bagaimana
kalau kau menemani kami minum-minum di dalam?"
Nona Ebert langsung tersentak kaget. Bukan karena ditegur secara kurang ajar,
melainkan karena disapa dengan julukan "tukang sihir". Ia tahu persis kenapa
pemuda itu menyebutnya begitu.
Helga tetap berjalan tanpa mempedulikan kedua anak muda itu. Ketika melirik jam
tangannya, ia baru menyadari bahwa sudah waktunya untuk pulang. Lagi pula,
sebentar lagi hujan akan turun. Langsung saja ia mempercepat langkahnya. Tapi
jarak ke Taman Balai Kota masih lumayan jauh.
Akhirnya Helga memutuskan untuk mengambil Jalan pintas. Ia membelok dari jalan
besar menyusuri sebuah jalan kecil, melewati jalan hijau, lalu memasuki daerah
kota-lama. Jalan-jalan di sini sempit dan berbelok-belok. Gedung-gedung
berlantai tiga atau empat, yang sudah berusia ratusan tahun, saling menempel.
Namun di tengah-tengah lingkungan kuno ini masih ada toko-toko yang cukup ramai
dikunjungi orang: toko-toko emas dan permata, sejumlah galeri seni, bengkel-
bengkel pengrajin, serta toko-toko barang antik.
Kini Nona Ebert sampai di ujung Gang Gereja. Gang ini amat sempit-dan gelap
sekali. Kedua sisinya diapit oleh dinding-dinding bangunan yang tinggi. Yang
bisa lewat di sini hanyalah pejalan kaki dan pengendara sepeda saja. Setiap
bunyi-selirih apa pun-terdengar menggema.
Siapa sangka, di tengah-tengah kota modern masih ada sisa-sisa bangunan Abad
Pertengahan, pikir Helga terkagum-kagum.
Tapi tiba-tiba pikirannya mulai tidak tenang. Sosok hantu dari film horor tadi
mendadak muncul lagi di dalam bayangannya. Beberapa kali wanita muda itu menoleh
ke belakang, karena merasa diikuti.
Pada siang hari saja, Helga sering merinding kalau melewati Gang Gereja. Apalagi
sekarang, pada malam hari - dan satu-satunya lampu penerangan yang ada malah
berkedap-kedip. Langkah Helga semakin cepat. Ia melewati sebuah portal kuno. Di baliknya ada
halaman gelap yang dikelilingi tembok-tembok bangunan di keempat sisinya. Untuk
mencapai Taman Balai Kota, Helga harus menyeberangi halaman itu, kemudian
melewati semacam terowongan yang menembus bangunan yang menghadap ke jalan.
Tiba-tiba terdengar bunyi kaca pecah. Seseorang mengumpat dengan suara tertahan.
Kemudian suasana kembali hening.
Helga berhenti. Bunyi itu berasal dari halaman di balik portal.
Eh, apa itu" Jangan-jangan pencuri, Helga berkata dalam hati. Wanita muda itu
mulai dicengkeram ketakutan. Ia merasakan detak jantungnya semakin memburu. Apa
yang harus ia lakukan" Di sekelilingnya tidak ada siapa-siapa, dan kotak telepon
umum terdekat pun masih jauh. Terus berjalan seakan-akan tidak mendengar apa-
apa" Tidak!-hati kecilnya mengatakan bahwa ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa"
Menelepon polisi" Percuma saja kalau tidak ada alasan yang kuat!
Ah, paling-paling orang buang sampah, Helga mencoba menenangkan diri. Tapi...
kenapa orang itu tidak. menyalakan lampu"
Keadaan di sekelilingnya memang gelap-gulita. Bajunya yang hijau tua seakan-akan
menyatu dengan kepekatan malam. Tapi sambil mengerahkan seluruh keberaniannya,
Helga memutuskan untuk menyelidiki sumber bunyi tadi.
Ketika berdiri di bawah portal, ia tidak bisa melihat apa-apa lagi - bahkan
ujung hidungnya pun tak terlihat. Helga mengulurkan lengan sampai menyentuh
dinding. Ia maju selangkah demi selangkah, sambil meraba-raba mencari jalan.
Tiba-tiba dindingnya berakhir. Ia telah sampai di tengah halaman.
Helga mendongakkan kepala. Jauh di atasnya terlihat awan-awan hitam berkejar-
kejaran. Semuanya hening.
Tapi kemudian ia. mendengar suara "krak" pada dinding belakang sebuah rumah
berlantai tiga atau empat. Sumber suara itu hanya beberapa langkah di
hadapannya. Ternyata benar: seorang pencuri sedang beraksi!
Helga Ebert sadar bahwa ia tidak berdaya menghadapi pencuri-apalagi kalau
orangnya lebih dari satu. Tapi skarang-setelah memperoleh kepastian-ia tahu apa
yang harus ia lakukan: cepat-cepat mencari telepon umum dan menghubungi polisi.
Dengan hati-hati wanita itu melangkah mundur, sementara si pencuri tetap
meneruskan pekerjaannya. Helga mengenakan sandal berhak tinggi. Dan inilah yang berakibat fatal ketika
kakinya tersandung. Ia masih bisa menahan diri untuk tidak berteriak, namun
tetap kehilangan keseimbangan. Sambil mencari pegangan ia mengulurkan lengan
kiri untuk bersandar pada tembok portal!
Berhasil. Tapi telapak tangannya secara tidak sengaja menekan, sakelar lampu
yang berada pada tembok itu.
Seketika dua buah lampu menyala: satu di bawah portal, satu lagi di dinding
belakang rumah tadi. Jantung Helga seakan-akan berhenti.
Halaman sempit itu menjadi terang-benderang. Tak ada apa-apa di sana, kecuali
sejumlah tong sampah-dan pencuri itu.
Orang itu berdiri di depan sebuah jendela sambil menyandang tas yang penuh
dengan peralatan. Jendela itu tadinya diamankan dengan terali besi, tapi si
pencuri telah berhasil membongkarnya. Terali itu kini bersandar pada dinding di
bawah jendela. Ketika lampu tiba-tiba menyala, dia langsung berbalik. Hanya beberapa langkah
saja yang memisahkan Helga Ebert dengan penjahat itu.
Mereka saling bertatapan.
Pencuri itu ternyata seorang pria berbadan besar. Ia berpakaian serba gelap dan
mengenakan sepatu olahraga. Wajahnya tampan, tapi tanpa ciri-ciri istimewa.
Kedua matanya menyorot garang.
Dia pun kaget, tapi hanya untuk sejenak. Wajahnya menyeringai.
Selama beberapa saat, Helga seperti lumpuh.
Dengan sikap mengancam pria tadi mendekatinya. Ia memegang sesuatu di tangan-
mungkin sebuah pisau. Helga sebenarnya ingin lari, tapi kedua kakinya tidak bisa digerakkan. Seperti
patung ia berdiri dan menatap pria di hadapannya dengan mata terbelalak.
Helga mulai panik. "Tolong!" ia berteriak. "Tolong!"
Pada detik yang sama Petra masuk ke rumahnya. Bersama Sporty, gadis itu
sebenarnya sudah agak lama berdiri di depan pintu, tapi masih asyik ngobrol.
Kini Sporty harus cepat-cepat kembali ke asrama. Agar jangan sampai terlambat,
ia terpaksa memacu sepedanya dengan kecepatan penuh. Soalnya asrama tempat
tinggal Sporty terletak agak di luar kota cukup jauh dari rumah Petra. Dengan
sepeda balapnya. Sporty melaju melalui jalan-jalan yang gelap. Hampir saja ia
mengambil jalan seperti biasa. Tapi tiba-tiba ia teringat bahwa Jalan Agustinus
untuk sementara waktu tertutup bagi lalu-lintas. Bahkan pejalan kaki pun tidak
bisa lewat. Seluruh jalan sedang dibongkar dalam rangka pembuatan terowongan
kereta bawah tanah. Karena itu, Sporty akhirnya mengambil jalan pintas. Ia melewati daerah kota-
lama, kemudian membelok ke Gang Gereja.
Keadaannya gelap-gulita, sehingga ia terpaksa mengurangi kecepatan. Lampu
sepedanya hanya mampu menyorot beberapa meter ke muka.
"Tolong!" tiba-tiba ia mendengar seorang wanita berteriak. Lalu sekali lagi:
"Tolong!" Dengan terkejut Sporty menyadari: itu suara Helga Ebert! Dia berada dalam
kesulitan! Langsung saja ia menggenjot sepedanya dengan sekuat tenaga, tanpa mempedulikan
keselamatannya sendiri. Helga Ebert pasti tidak jauh.
Sporty melihat cahaya lampu, mengarah ke sana, dan masih sempat melihat seorang
pria berpakaian gelap mengancam gurunya itu. Tapi tepat pada detik itulah
lampunya padam kembali. Belakangan baru diketahui, bahwa sakelar tadi memutuskan
aliran listrik secara otomatis setelah lampu menyala selama tiga menit.
"Nona Ebert!" SpOlty berteriak. "Di mana Anda?"
Ia melompat dari sepeda, membiarkan sepedanya terbanting, kemudian menyerbu ke
dalam kegelapan. Dengan tangan terkepal ia berlari ke tengah lapangan.
Pada detik berikutnya ia menabrak seseorang. Secepat kilat Sporty pasang kuda-
kuda. Hampir saja ia melancarkan serangan maut-yang justru akan berakibat gawat,
sebab yang dihadapinya ternyata Nona Ebert.
Untung Sporty masih sempat menyadari kekeliruannya. Segera ia melepaskan
cengkeraman. "Oh,. maaf! Mana bajingan itu?"
"Saya... saya tidak tahu," jawab Helga Ebert dengan napas tersengal-sengal.
"Dia... dia Hampir memukul saya."
Sporty tetap waspada. Ia menahan napas dan berusaha menangkap suara-suara
mencurigakan. Dari bagian samping halaman terdengar bunyi benturan, tapi Sporty
tidak bisa memastikan dengan tepat dari mana arahnya.
"Mana sakelar lampu?" ia bertanya pada Nona Ebert.
"Di dinding portal. Sebelah kiri!"
Sporty meraba-raba dalam kegelapan. Detik-detik berharga terbuang percuma. Tapi
akhirnya ia berhasil menemukan sakelar lampu, dan halaman itu pun kembali
terang-benderang. Sporty langsung melihat ke sekeliling. Tapi penjahat tadi telah lenyap. ...
Kini baru kelihatan: suara benturan tadi berasal dari sebuah dinding yang
tingginya kira-kira sedada. Di balik. tembok itu terdapat halaman rumah sebelah
dan... Sporty segera berlari ke sana dan memanjat ke atas. Tapi halaman sebelah pun
sepi. Sebuah gang sempit menuju ke jalanan. Pintu gerbang ke arah Gang, Gereja
tertutup rapat. Sporty menoleh dan berkata pada Helga, "Nona Ebert, Anda tunggu di sini saja!
Saya akan mengejar bajingan tadi. Barangkali saya masih sempat menangkapnya."
Tanpa menunggu jawaban dari gurunya, ia melompat ke halaman sebelah, lalu
berlari menyusuri gang sempit tadi.
Dalam sekejap ia sudah keluar ke jalan besar dan nyaris bertabrakan dengan
sepasang remaja. Mereka sedang memperhatikan kaca etalase sebuah toko barang
antik. Sporty menoleh ke kiri-kanan. Di ujung jalan, sebuah taksi sedang menurunkan
penumpang. Tapi... di depan taksi itu, seorang pengendara sepeda motor sedang menghilang di
balik tikungan jalan. Orang itu berpakaian gelap.
"Apakah ada yang keluar dari gang ini sebelum aku?" Sporty bertanya pada kedua
remaja yang masih berdiri di depan toko.
Pemuda yang ditanya Sporty hanya menggeleng, tapi pacarnya berkata,
"Ya, seorang pria. Kelihatannya dia sedang terburu-buru! Dia langsung kabur naik
sepeda motor." "Dasar penjahat!" ujar Sporty geram.
Tanpa memperhatikan kedua remaja yang menatapnya sambil terbengong-bengong,
Sporty segera kembali ke tempat Nona Ebert.
Sementara Sporty mengejar bajingan itu, sudah tiga kali Nona Ebert menekan
sakelar lampu. Setelah apa yang dialaminya, wanita itu tidak berani berada dalam
gelap - biarpun hanya untuk satu detik saja!
Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah Helga nampak pucat-pasi.
"Sporty!" ia membisik dengan suara gemetar. "Untung kau datang tepat pada
waktunya. Pencuri itu hampir saja memukul saya."
"Sayangnya saya tidak berhasil menangkap bajingan itu. Dia keburu kabur naik
sepeda motor. Tapi dari mana Anda tahu bahwa dia seorang pencuri" Apakah... Oh,
pantas!" Baru sekarang ia melihat terali besi yang bersandar pada dinding rumah.
"Saya tadi ambil jalan pintas ini agar lebih cepat sampai ke Taman Balai Kota.
Tiba-tiba ada suara mencurigakan, dan..." Helga lalu bercerita.
"Nona Ebert, Anda telah berhasil menggagalkan sebuah pencurian!" ujar Sporty
kemudian. "Tapi Anda pun mengambil risiko yang sangat besar. Bajingan itu rupanya mau
masuk ke toko barang antik Feilberg. Tokonya berada di dalam bangunan ini. Saya
sempat membaca papan namanya waktu berdiri di pinggir jalan besar. Barang-barang
yang dipajang di kaca etalase sangat mahal. Pantas semua jendelanya diamankan
dengan terali besi."
"Saya rasa, sudah waktunya untuk menghubungi polisi," kata Helga. "Tapi
sebelumnya," ia menambahkan sambil mengulurkan tangan, "saya ingin mengucapkan
terima kasih dulu padamu, Sporty. Kau telah menyelamatkan saya."
Tapi Sporty menolak sambil tersenyum malu. "Saya kan hanya melaksanakan
kewajiban saya," katanya merendah. "Kalau saja saya tadi tidak begitu berisik,
mungkin saya berhasil menangkap bajingan itu. Tapi saya pikir, dia sudah mulai
memukul Anda. Dan itulah yang ingin saya cegah dengan berteriak-teriak."
"Dan kau berhasil! Untung saja."
Mendadak pintu belakang rumah tadi membuka, dan seorang pria berusia lanjut
muncul. Sambil bertolak pinggang ia menatap Helga dan Sporty.
"Mau apa kalian di sini?" ia bertanya dengan ketus. "Ini bukan jalan umum,
tahu"!" Sporty segera menunjuk terali besi yang telah terlepas dari jendela.
"Nona Ebert baru saja mengusir seorang pencuri. Dan dia hampir terbunuh
karenanya. Bapak seharusnya bersyukur bahwa kami ada di sini. Sebab kalau tidak,
Bapak besok pagi akan menemukan barang-barang di toko Bapak banyak yang lenyap-
dan kemungkinan besar barang-barang yang paling mahal. Bapak pemilik toko
FeHberg, bukan?" Pria itu melihat ke arah jendela. Ketika menyadari bahwa terali besinya telah
copot, ia langsung membelalakkan mata dan memegangi dadanya.
Dengan tergagap-gagap ia lalu berkata, "Ya, saya... saya Pak Feilberg. Ya,
ampun! Pencuri! Dan saya... saya tidak mendengar apa-apa. Mereka... mereka...
Saya harus menelepon polisi."
"Kalau Bapak telepon ke kantor polisi," kata Sporty, "Bapak sebaiknya minta
dihubungkan dengan Komisaris Glockner. Dialah komisaris polisi yang paling tekun
di kota ini. Dan kebetulan, dia lagi berdinas malam ini."
3. Gambar Rekaan Polisi PAK Feilberg ternyata orangnya ramah. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih
pada Helga dan Sporty. Kemudian ia mengajak mereka masuk ke dalam rumahnya yang
nyaman, untuk bersama-sama menunggu Komisaris Glockner.
"Akhir-akhir ini," Pak Feilberg mulai bercerita sambil membelai salah satu dari
ketiga kucing siam-nya, "para pedagang barang antik seakan-akan memang diincar
oleh pencuri itu. Belum lama ini, toko milik teman saya kebobolan dengan cara
yang hampir sama seperti tadi. Dan sebelumnya juga sudah ada beberapa kasus
serupa." "Saya melihatnya dengan jelas," kata Nona Ebert. Bulu kuduknya terasa berdiri
lagi. "Wajahnya takkan pernah saya lupakan. Sebenarnya, tidak ada ciri-ciri yang
istimewa. Sulit sekali untuk menjelaskan bagaimana tampang orang itu. Yang
paling menyolok adalah sorot matanya yang tajam dan sedingin es! Sepertinya dia
tidak memiliki perasaan sama sekali."
Pak Feilberg menanyakan apakah Helga dan Sporty ingin minum sesuatu, lalu
mengeluarkan sebotol air mineral dari lemari es. Ia sendiri minum segelas
anggur. "Kemudian bel pintu berdering. Mobil patroli dengan Komisaris Glockner-
ayah Petra-telah tiba. Ia ditemani oleh seorang rekannya.
"Halo, Sporty!" ia berkata setengah terkejut. "Kau sedang terlibat petualangan
baru lagi?" "Kebetulan saja saya ada di sini, Pak Glockner. Tapi perkenalkan dulu, ini Pak
Feilberg, pemilik toko barang antik Feilberg. Dan ini Helga Ebert, guru biologi
di sekolah-asrama. Nona Ebert yang melihat pencuri itu."
Komisaris Emil Glockner adalah seorang pria gagah. Sorot matanya hangat dan
selalu berkesan menyelidik. Jarang sekali ada yang lolos dari pengamatannya. Ia
merupakan pelindung tak resmi anak-anak STOP, dan sudah sering membantu mereka
jika keadaannya mulai genting. Pak Glockner sangat menyukai Sporty. Antara lain
karena anak ini sudah sering membuktikan diri sebagai pribadi yang tangguh.
Setelah acara perkenalan, Pak Glockner dan rekan yang menemaninya turun ke
halaman belakang untuk melihat tempat kejadian.
Ketika mereka kembali, Komisaris Glockner berkata, "Kemungkinan besar orang
tadilah yang telah lama kami cari-cari. Sejak dua bulan lalu, jumlah pencurian
di toko-toko barang antik telah meningkat dengan pesat. Dan ini bukan ulah
pencuri amatiran, sebab..."
"Nah, apa saya bilang tadi!" seru Pak Feilberg. "Saya juga punya dugaan seperti
itu. Apakah polisi sudah menemukan sesuatu?"
"Sayangnya kami belum berhasil memperoleh keterangan mengenai orang itu," Pak
Glockner menjawab. "Tapi berdasarkan cara kerjanya, kami menarik kesimpulan
bahwa dia bekerja sendirian. Yang menyulitkan penyidikan kami, dia tidak pernah
meninggalkan sidik jari atau jejak-jejak lain yang mungkin bisa mengungkapkan
identitas dirinya. Untung Anda melihatnya, Nona Ebert. Itu merupakan bantuan
yang tak ternilai bagi polisi. Berdasarkan keterangan Anda, kami akan membuat
gambar rekaan wajah si pencuri, yang kemudian akan disebarkan ke seluruh pos
polisi di kota dan sekitarnya. Tapi untuk itu saya berharap agar Anda bersedia
ikut ke kantor kami."
"Tentu saja," kata Helga.
"Dan bagaimana dengan saya?" tanya Sporty sambil tersenyum simpul.
Pak Glockner jadi ikut-ikutan tersenyum.
"Kau kan terlibat juga. Keteranganmu dibutuhkan untuk menyusun laporan. Tapi
sekarang sudah larut malam. Mestinya kau sudah lama kembali ke asrama, bukan"
Begini saja deh, setelah sampai di kantor nanti, saya akan segera menelepon
petugas piket dan memberitahunya bahwa kau sedang membantu penyidikan polisi."
"Wah, terima kasih banyak!" kata Sporty gembira.
"Waktu saya seusia kau," kata Pak Feilberg sambil tersenyum, "saya pun tidak
puas kalau hanya menjadi saksi saja. Tapi ini ada untungnya, setelah dewasa
nanti, kau sudah kenyang bertualang dan bisa hidup dengan tenang."
Tidak lama kemudian semuanya berangkat ke kantor polisi. Sepeda Sporty
dimasukkan ke dalam bagasi mobil patroli. Hanya Pak Feilberg saja yang tidak
ikut. Soalnya dia tidak berani meninggalkan rumahnya dalam keadaan kosong.
Kecuali itu, ia juga tidak melihat atau mendengar apa-apa.
* Lampu neon di langit-langit menyala, begitu pun lampu di meja tulis. Di ruang-
ruang sebelah, petugas-petugas berseragam sibuk mengetik. Entah di mana, sebuah
telepon berdering. Suara langkah menggema di selasar. Suasana di kantor polisi
memang tidak pernah sepi - terutama pada malam Minggu.
Komisaris Glockner duduk di balik meja tulis, mereguk kopinya, dan menunggu
sampai Helga Ebert dan Sporty selesai membaca dan menandatangani laporan yang
telah selesai diketik. "Dan sekarang," kata Pak Glockner, "kita harus mencoba membuat gambar rekaan
wajah penjahat tadi. Sebelumnya saya perlu mengingatkan Anda, Nona Ebert, bahwa
ini bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi Anda sendiri telah mengatakan bahwa
tidak ada ciri-ciri istimewa pada wajah penjahat itu. Tapi dengan sedikit
kesabaran, kita pasti akan berhasil."
Helga Ebert menutup mata dan membayangkan tampang si pencuri.
"Ya, saya masih ingat bagaimana tampangnya! Kejadiannya hanya beberapa detik
saja. Tapi wajahnya takkan bisa terhapus dari ingatan saya."
"Kebetulan, kalau begitu," ujar Komisaris Glockner. "Tapi sebelum kita mulai,
saya terangkan dulu bagaimana cara kerja yang kami pakai di sini. Untuk membuat
gambar rekaan, kami menggunakan metode Foto-fit, suatu metode baru yang
dikembangkan di Amerika. Di dalam kotak ini ada foto-foto yang menunjukkan
segala macam bentuk kepala. Kita akan memeriksa setiap foto, sampai ada yang
Anda anggap sesuai. Di dalam kotak sebelah, kami menyimpan ratusan foto yang
memperlihatkan detil-detil wajah orang. Detil-detil itu diatur secara
sistematis: potongan rambut, bentuk kening, mata, hidung, mulut, dan dagu.
Semuanya bisa dibongkar-pasang-sampai hasil akhirnya benar-benar mirip dengan
aslinya." Helga mengangguk. "Mari kita mulai!"
Helga Ebert ternyata memiliki daya ingat yang baik. Dengan cepat ia menemukan
bentuk kepala si pencuri. Tanpa ragu-ragu ia memilih potongan rambutnya: rambut
tebal yang menutupi kening dan telinga. Dagu melebar, bibir tipis, dan hidung
mancung, melengkapi ciri-ciri wajah orang itu. Satu-satunya kesulitan timbul
ketika Helga harus menentukan mata si pencuri. Untuk beberapa saat ia ragu-ragu.
Tapi akhirnya ia mengambil sepasang mata yang menyorot tajam.
"Ya, beginilah orangnya!"
Pak Glockner memperhatikan gambar rekaan itu dengan saksama, kemudian berkata,
"Saya rasa, orang ini bukan residivis. Tampangnya belum pernah saya lihat. Tapi
sama saja - kita akan menangkapnya. Sudah cukup lama dia membuat ulah. Gambar
ini akan kita sebarkan melalui koran-koran."
"Petunjuk-petunjuk dari masyarakat pasti akan berlimpah-ruah," kata Sporty.
"Saya saja paling tidak sudah melihat dua lusin orang yang mirip dengan gambar
ini." Pak Glockner mengangguk. "Ya, tampangnya memang tidak istimewa. Ini semakin
mempersulit usaha kita. Nona Ebert, suatu saat Anda mungkin akan diminta untuk
mengidentifikasi seseorang yang kami curigai. Andalah satu-satunya yang sempat
berhadapan langsung dengan pencuri itu."
"Dan sepertinya, penjahat itu juga menyadari hal itu," Sporty berkomentar.
"Karena itu dia langsung menyerang Nona Ebert."
Komisaris Glockner mengangguk.
"Betul! Kita perlu berhati-hati. Orang itu kelihatannya cukup berbahaya."
Helga membelalakkan mata.
"Maksud Bapak, orang itu memang sengaja menyerang saya" Ya, Tuhan! Saya kira dia
hanya bertindak secara refleks karena terkejut melihat saya, atau karena panik."
"Pokoknya, kita harus berhati-hati," ujar ayah Petra dengan tegas.
Malam bertambah larut. Tapi Sporty tidak perlu khawatir, sebab Pak Glockner
sudah menelepon petugas piket di asrama.
Mereka lalu mengucapkan selamat malam pada Komisaris Glockner dan meninggalkan
kantor polisi. Sepeda Sporty berdiri di antara dua mobil patroli.
"Terima kasih atas segala bantuanmu, Sporty," ujar Nona Ebert. "Sampai besok."
Ia lalu hendak mengambil mobilnya yang masih diparkir di Taman Balai Kota. Tapi
Sporty keberatan untuk membiarkan wanita muda itu berjalan sendiri, dan
menawarkan untuk mengantarkannya ke sana.
"Ah, tidak usah," Nona Ebert menolak sambil tersenyum. " Nanti kau semakin
telat!" "Begini saja, deh!" Sporty mengusulkan. "Supaya cepat, Anda yang naik sepeda.
Saya akan mengiringi Anda sambil berlari."
Helga Ebert ketawa. Tapi usul itu diterimanya. Ia segera naik sepeda Sporty.
Dalam beberapa menit saja mereka telah tiba di Taman Balai Kota.
"Sekali lagi terima kasih, Sporty. Jangan lupa, besok pagi saya tunggu kalian di
rumah! Selamat malam!"
Sporty pun mengucapkan selamat malam kemudian memperhatikan mobil Nona Ebert
menghilang ke arah Lerchenbach.
Petra benar, ia berkata dalam hati, Helga memang ramah sekali. Dan untuk ukuran
wanita keberaniannya luar biasa. Orang lain pasti sudah menyerah kalau dimusuhi
satu desa. Helga pasti keras kepala. Persis seperti Petra. Dalam hal ini
keduanya sebenarnya pantas jadi kakak-adik.
Setelah mobil Helga Ebert lenyap dari pandangan; Sporty mulai menggenjot
sepedanya dengan sekuat tenaga. Dalam waktu singkat ia telah mencapai jalan raya
yang menghubungkan kota dengan sekolah-asrama.
Setelah sampai, ia menuntun sepedanya melewati pintu gerbang. Gudang sepeda
sudah lama dikunci. Karena itu Sporty merantai sepedanya pada sebuah talang air.
Petugas piket-seorang guru muda, yang sebenarnya lebih senang pergi ke disko
daripada harus bertugas jaga malam - membukakan pintu untuk Sporty.
"Ya, ya, saya sudah tahu!" katanya ketika Sporty minta maaf atas keterlambatan
nya. "Komisaris Glockner sudah menelepon ke sini. Katanya, Helga Ebert memergoki
seorang pencuri" Astaga, ada-ada saja! Tapi sekarang segera masuk kamar. Ayo,
sudah malam, nih!" Sporty langsung bergegas naik ke lantai dua menuju SARANG RAJAWALI. Oskar, teman
sekamar Sporty, ternyata belum tidur.
Seakan-akan terpaku, Sporty berhenti di ambang ,pintu.
"Sedang apa kau?" ia bertanya sambil mengerutkan kening.
"Aku lagi membereskan kamar."
Sporty menutup pintu, sementara Oskar menggulung lengan piamanya yang berwarna
biru putih. "Sabar sedikit!" ujar si Gendut. "Sebentar lagi aku sudah selesai."
"Ya, mudah-mudahan!"
Sambil menggeleng Sporty memperhatikan keadaan kamar mereka. Lusinan keping
coklat menutupi tempat tidur Sporty dan Oskar. Seprei di bawahnya nyaris tak
terlihat lagi. Oskar telah menyusun keping-keping itu ke dalam beberapa
kelompok. Dengan gaya sok penting ia lalu menunjuk sebuah kardus besar.
"Habis, berantakan sekali, sih! Tapi mulai sekarang, semuanya akan kususun
dengan rapi - berdasarkan rasanya. Sebelah kiri coklat rasa susu, kemudian
kacang, moka, isi kismis, dan sebagainya. Hebat, bukan?"
"Apanya yang hebat" Kau kan tidak berjualan coklat! Kau hanya menghabiskan
keping-keping coklat itu!"
"Tapi sekarang, aku bisa mendapatkan mana yang kuinginkan dengan sekali ambil
saja! Habis, kardusnya di atas lemari - aku hanya bisa meraih ke dalam, tanpa
melihat apa yang kudapat. Sampai sekarang aku tergantung pada nasib. Tapi Itu,"
ia menekankan sambil mengacungkan jari, "tidak selamanya sesuai dengan
keinginanku!" "Ada-ada saja yang kaupikirkan," Sporty berkomentar sambil ketawa. "Aku sibuk
mengejar maling-bersama guru kita yang paling cantik-sementara kau menyusun
keping-keping coklatmu."
Oskar langsung terheran-heran.
"Maling" Aku tidak salah dengar, nih" Dan guru yang-paling... Oh, si Helga,
maksudmu" Tapi... aku pikir kau nonton bioskop bersama Petra?"
"Semuanya memang berawal di bioskop," jawab Sporty, lalu mulai bercerita.
Oskar mendengarkannya dengan penuh perhatian, dan sama sekali melupakan
coklatnya. Tapi setelah mendengar ulah Max Jocher, ia menjadi begitu marah,
sehingga harus menenangkan diri dengan sepotong coklat.
"Keterlaluan!" Oskar marah-marah sambil mengunyah. "Bajingan! Mulai hari ini,
aku akan menganggap dia sebagai musuh bebuyutan."
"Barangkali saja kita ketemu dengannya, kalau kita ke Lerchenbach besok."
"Ya, awas saja!"
Dengan geram Oskar menendang tempat tidurnya. Tapi ia lupa, bahwa ia tidak
mengenakan sepatu. Akibatnya, anak itu terpaksa melompat-lompat dengan satu kaki
untuk beberapa waktu, sambil mengerang-erang dengan suara tertahan -sebab
penghuni-penghuni asrama yang lain sudah tidur semua. Tapi rasa sakitnya tidak
bertahan lama. "Kita tidak bisa diam saja kalau si Helga dimusuhi satu desa," kata Sporty. "Ini
tidak adil! Kita harus membantunya."
Oskar mengangguk. "Tapi bagaimana caranya?" ia bertanya.
"Besok saja kita susun rencana. Sekarang lebih baik tidur dulu."
"Kenapa kau tidak mendatangi Jocher bersaudara itu, lalu menghajar mereka?"
Oskar mengusulkan. Namun rupanya ia sendiri tidak begitu setuju, sebab ia lalu
menambahkan, "Tapi... jangan, deh! Nanti malah tambah kacau. Sebaiknya, kita lihat keadaan di
sana dulu." "Justru itu rencanaku," kata Sporty. "Dan sekarang tolong bereskan tempat
tidurku dulu. Aku ingin tidur di atas kasur, bukan beralas keping-keping
coklat!" 4. Oskar Ketiban Sial TIDAK lama setelah matahari terbit, udara sudah terasa gerah. Dan mengingat
ramalan cuaca kemarin, kemungkinan besar nanti siang akan bertambah panas lagi.
Bukan hanya cuaca saja, suasana pun bisa panas, pikir Sporty yang sedang berdiri
Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di bawah pancuran air dingin. Sebab kalau sampai kami kepergok Max Jocher di
Lerchenbach, maka itu berarti perang terbuka.
Sporty kembali ke SARANG RAJAWALI, melemparkan Oskar dari tempat tidur, kemudian
turun ke ruang makan. Ternyata dialah orang pertama yang muncul. Anak-anak lain
mungkin masih di alam mimpi.
Meskipun baru nongol beberapa saat kemudian, Oskar ternyata belum mandi juga.
Tanpa ragu-ragu, ia segera mengambil secangkir susu coklat dan beberapa potong
roti. "Ayo, cepatan!" Sporty mendesak.
"Sabar, dong!" Oskar menggerutu. "Masa aku tidak boleh sarapan dengan tenang"
Aku kan harus mengisi tenaga dulu sebelum jalan-jalan naik sepeda!"
"Ah, kita kan hanya ke Lerchenbach - bukan ke ujung dunia! Semakin siang kita
berangkat, udara akan semakin panas. Lagi pula Petra dan Thomas sudah menunggu."
Sporty sudah berjanji untuk ketemu kedua sahabatnya di pertigaan jalan antara
kota dan sekolah-asrama. Ketika ia dan Oskar akhirnya tiba di tempat itu, Petra
dan Thomas memang sudah menunggu sambil duduk di bawah sebatang pohon besar yang
tumbuh di pinggir jalan. Udara tidak bergerak sama sekali. Langit bersih, tanpa awan sama sekali. Dan
matahari pun bersinar cerah. Cuaca yang ideal untuk jalan-jalan naik sepeda,
pikir Sporty. Hari ini Petra berpakaian serba putih. Ia mengenakan celana pendek sebatas lutut
dan sepatu olahraga. Tali pengikat Bello melingkar pada pinggangnya.
Pakaian Thomas, seperti biasanya, nampak kedodoran. Ia juga memakai celana
pendek. Untuk melindungi kepala dari sengatan matahari, anak itu mengenakan topi
pet yang nyaris menutupi matanya.
"Halo! Kami sudah datang!" seru Oskar, seakan-akan takut kalau kehadirannya
tidak diketahui oleh Petra dan Thomas.
"Ya, akhirnya!" balas Petra tanpa tersenyum. "Thomas dan aku sudah hampir
bulukan karena menunggu kalian."
Sambil berdiri, gadis itu mencoba bersiul dengan nyaring untuk memanggil Bello.
"Wah, payah!" kata Sporty sambil ketawa. Ia segera menyelipkan dua jari ke dalam
mulut, lalu bersuit keras-keras-sebuah suitan yang mungkin terdengar sampai ke
asrama. "Oke, deh! Kau memang lebih jago bersuit," Petra mengakui. "Tapi..."
"Nah, itu dia!" Sporty memotongnya sambil menunjuk ke arah ladang-ladang.
"Ternyata dia mendengar suitanku."
Yang dimaksud Sporty adalah Bello, anjing spanil kepunyaan Petra. Sambil
melompat-lompat anjing itu muncul dari tengah ladang gandum. Kedua telinganya
yang panjang nampak melambai-lambai. Lidahnya terjulur keluar. Dengan gembira
anjing itu berlari ke arah Sporty.
Sporty segera turun dari sepeda untuk menyambut anjing Petra yang setia itu.
Bello sendiri melonjak-lonjak di sekitar Sporty, sambil mengibas-ngibaskan
ekornya. "Aku tidak pernah mengerti kenapa Bello begitu tertarik padamu," ujar Petra
sambil mengerutkan kening.
"Mungkin karena Bello memang pandai menilai sifat manusia," ujar Thomas.
"Ah, masa?" Petra segera ber:komentar. "Kalau memang begitu, seharusnya hanya
aku yang diperhatikannya - kalian takkan masuk hitungan."
Oskar menghapus keringat yang membasahi wajahnya, lalu berkomentar,
"Wah, Nona Glockner sedang judes-judesnya hari ini. Bagaimana menurut kalian:
apakah kita ajak Petra ke Lerchenbach" Atau lebih baik kalau kita ikat dia ke
pohon ini" Nanti malam, kita jemput dia-sebelum mati kelaparan."
Semua ketawa. Tapi Petra segera membalas, "Coba saja kalau berani! Begitu kau mau macam-macam,
Bello takkan tinggal diam. Dia akan langsung berubah jadi serigala buas. Dan
kebetulan Bello memang paling senang menggigit orang-orang gendut yang hobinya
makan coklat." Sporty, Oskar, dan Thomas menatap Bello, lalu ketawa. Bayangan bahwa anjing yang
baik hati itu bisa berubah menjadi serigala buas sama sekali tidak masuk akal.
Petra mengangkat sepedanya dari rumput. Sebuah ransel besar terikat pada setang
sepeda, tapi isinya tidak ada.
"Untuk berjaga-jaga kalau Bello capek di jalan," Petra berkata pada Sporty.
"Kalau perlu, kau gendong dia, ya?"
"Oke, Bos! Demi Bello aku rela melakukan apa saja," Sporty mengangguk. Sambil
nyengir, ia lalu menambahkan, "Kalau kau mau masuk sekalian juga boleh!"
"Huh!" ujar Petra. "Seenaknya saja! Aku kan bukan bayi!"
Keempat sahabat itu memang selalu membawa ransel kosong kalau mengajak Bello
bepergian jauh. Kali ini, misalnya, mereka harus bersepeda sejauh 30 kilometer
untuk sampai ke desa Lerchenbach. Belum lagi jalan pulangnya. Dengan naik
sepeda, jarak segitu memang tidak terlalu jauh, tapi lain halnya bagi Bello,
yang mengiringi anak-anak STOP sambil berlari. Supaya anjing itu tetap bisa
ikut, mereka telah mencari pemecahan yang sangat praktis. Begitu Bello mulai
kelihatan capek, dia dimasukkan ke dalam ransel. Hanya kepalanya saja yang tetap
di luar. Sporty lalu menggendongnya. Bagi Sporty, si olahragawan sejati, beban
tambahan itu sama sekali tidak berpengaruh. Dan Bello pun senang kalau
digendong. Anjing itu selalu menyandarkan kepalanya pada bahu Sporty, kemudian
menikmati perjalanan selanjutnya sambil beristirahat.
"Ayo, kita berangkat lagi!" Sporty mengajak teman-temannya. Untuk sementara ia
masih merahasiakan peristiwa yang dialami Nona Ebert semalam.
Mereka naik sepeda masing-masing, lalu menyusuri jalan setapak yang berbatu-batu
dan penuh lubang-lubang. Beberapa waktu kemudian, keempat sahabat itu telah
mencapai jalan raya menuju Lerchenbach.
Matahari semakin terik. Baju Oskar sudah basah kuyup. Seperti biasa, anak itu
mengomel terus. Ada saja yang menjadi sasaran kekesalannya: suhu udara yang
menurutnya tak tertahankan, sarapan yang terlalu singkat, dan macam-macam lagi.
Tetapi walaupun begitu, ia tetap memimpin iring-iringan mereka.
Petra menyusul di tempat kedua. Kemudian Thomas. Dan Sporty-yang tak kenal
lelah-berada di urutan terakhir. Bello masih berlari di samping mereka.
Ketika mereka akan memasuki hutan lindung, Petra tiba-tiba ketawa terbahak-
bahak. "Eh, lihat tuh!" ia berseru. "Oskar mencret!"
"Hah?" tanya Thomas sambil membelalakkan mata. "Busyet! Wah, benar! Eh, Oskar,
malu sedikit dong! Kenapa bisa sampai begini?"
Oskar segera menoleh ke belakang.
"Enak saja!" ia memprotes. "Siapa yang mencret"!"
"Coba saja kauperhatikan celanamu!" ujar Thomas.
Dari belakang, Sporty mengintip melewati Petra dan Thomas. Dalam hati ia sudah
bisa membayangkan apa yang terjadi.
Benar saja! Dari belakang, Oskar nampak seperti bayi yang harus segera. ganti
popok. "Ah, dasar konyol semua!" Oskar masih menggerutu.
"Busyet! Dia belum sadar juga!" seru Thomas sambil terbahak-bahak.
"Oskar, " kata Petra kemudian, "dalam keadaan seperti ini kau tidak bisa bertamu
ke rumah Helga. Sebaiknya kau saja yang diikat ke pohon Nanti malam kami akan
menjemputmu-sebelum kau mati kelaparan."
"Ah, apaan sih"!" Oskar menampik. "Mana mungkin aku mencret"!"
Tapi kemudian, ia meraih ke kantong belakang celananya - seakan-akan mendapat
firasat buruk. Sambil membelalakkan mata, ia segera mengerem habis, lalu melompat turun dari
sepeda. Tangannya meraih semakin dalam. Ketika ditarik kembali, warna kulitnya telah
berubah menjadi coklat. "Ya, ampun!" seru Sporty sambil menggelengkan kepala. "Dia mengisi kantong
celananya dengan keping-keping coklat. Padahal panasnya minta ampun! Dan
sekarang semuanya meleleh. Pantas saja. Petra menyangkanya. Busyet, Oskar! Kapan
sih, kau mulai pakai otak" Kau bawa celana untuk ganti?"
"Tentu saja tidak!" jawab Oskar sambil menatap tangannya yang belepotan coklat.
"Tapi yang paling gawat: aku kehabisan bekal untuk perjalanan! Coklatku sudah
jadi bubur!" Petra tidak tahan lagi. Ia cekikikan terus. Begitu juga Thomas dan Sporty.
Sambil memegangi perut yang mulai kaku, Sporty lalu menunjuk ke tepi hutan,
"Eh, Oskar! Di belakang sana ada kali kecil. Kau bisa mencuci celanamu. Petra,
Thomas, dan aku tunggu di sini. Kebetulan ada yang perlu kuceritakan - mengenai
Helga." Dengan langkah kaku, Oskar berjalan menuju tepi hutan dan menghilang di balik
semak-semak. Ketiga sahabatnya duduk di rumput. Bello langsung menyandarkan kepalanya pada
paha Petra. "Apa sih, yang perlu kauceritakan?" gadis itu bertanya pada Sporty.
"Lho" Memangnya ayahmu belum cerita apa-apa tadi pagi?"
"Kau kan tahu, ayahku selalu pulang pagi setelah dinas malam. Biasanya, dia baru
saja tidur kalau aku bangun."
Sporty mengangguk. "Aku semalam sempat bertemu dengan ayahmu," katanya. "Perkaranya begini..."
Kemudian ia bercerita. Petra dan Thomas mendengarkan dengan penuh perhatian. Thomas lalu berkomentar,
ia sudah tahu dari Petra bahwa Helga dimusuhi oleh semua penduduk Lerchenbach.
"Kalau ayah Max Jocher tidak menyukai Helga-itu sih masih bisa dimaklumi. Tapi
masalahnya, penduduk-penduduk yang lain pun ikut-ikutan. Ini yang membuatku tak
habis pikir! Seperti tak punya otak saja. Begitu Bos buka mulut, mereka hanya
mengangguk-angguk saja. Mereka sama sekali tidak berani bersuara. Ih,
memuakkan!" Ia melepaskan kacamata, dan - seperti biasa kalau lagi kesal - mulai
menggosoknya. "Ya! Aku juga sependapat!" Oskar berseru dari balik semak-semak.
"Bagaimana keadaan celanamu?" tanya Petra.
"Celanaku" Oh, ya! Aku belum sempat membersihkannya. Sisa-sisa coklatnya harus
kuhabiskan! Sayang, daripada kebuang percuma. Rasanya juga masih lumayan."
"Busyet, belum pernah aku ketemu orang serakus Oskar!" ujar Sporty setengah tak
percaya. "Nah, beres! Sekarang aku mau mencuci celana!" suara Oskar terdengar kembali.
Ketika anak itu akhirnya muncul kembali dari balik semak-semak, ia seakan-akan
telah berganti celana. Celananya yang semula berwarna krem, kini telah berubah
warna menjadi coklat lumpur.
"Habis bagaimana lagi?" Oskar membela diri. "Aku kan tidak bawa sabun!"
Mereka lalu meneruskan perjalanan.
Tapi tidak lama kemudian, Bello mulai kelihatan capek. Karena itu, mereka
berhenti sekali lagi. Anjing Petra itu langsung dimasukkan ke dalam ransel. Lalu
anak-anak berangkat lagi.
4. Rex Menyerang SEBENARNYA, Sporty sudah beberapa kali bersepeda lewat Lerchenbach. Tapi baru
kali ini ia benar-benar memperhatikannya: sebuah desa kecil dengan kolam air di
tengah-tengah alun-alun yang dikelilingi oleh pohon-pohon tua.
Jalan utama di desa itu ternyata sepi, sebab sebagian besar penduduk masih di
gereja. "Kau tahu jalannya?" tanya Thomas.
"Terus sampai ke batas desa, lalu ke kanan!" ujar Sporty menirukan petunjuk yang
diberikan Helga Ebert. Tidak lama kemudian mereka telah membelok ke suatu jalan kecil, dan melewati
rumah seorang petani. Tempat tinggal petani itu terletak di pinggir jalan.
Rumahnya besar dan langsung bersebelahan dengan gudang jerami dan sejumlah
kandang. Sapi-sapi terdengar melenguh. Beberapa ekor ayam nampak berkeliaran di
pekarangan. Di antaranya ada seekor ayam jago yang besar dengan bulu yang bagus
sekali. Dengan santai keempat anak STOP melewati rumah itu. Bello sudah dikeluarkan dari
ransel dan kini berlari di samping sepeda Petra.
Tiba-tiba saja terjadi sesuatu yang sama sekali di luar dugaan.
Entah dari mana datangnya, seekor anjing besar mendadak menghadang mereka.
Kelihatannya seperti campuran antara herder dengan doberman. Anjing itu langsung
menyerang Bello. Petra memekik kaget. Thomas langsung menoleh. Akibatnya, ia menabrak sepeda
Petra di depannya. Oskar terkejut, tapi masih sempat menghindar ke samping.
Hanya Sporty yang tetap berkepala dingin.
Dengan sigap ia melompat turun dan melemparkan sepedanya ke arah anjing tadi.
Kena! Anjing itu terkaing-kaing dan mundur beberapa langkah - tapi rupanya belum kapok
juga. Sekali lagi ia mencoba menyerang Bello.
Namun Sporty lebih cepat. Ia menangkap Bello dan langsung mengangkatnya. Ketika
anjing tadi nekat melompat, Sporty segera menendang dadanya. Sambil mendekap
Bello-yang belum sadar benar apa yang sedang terjadi sambil memperhatikan anjing
tadi. Tepat pada saat itu Max Jocher melangkah keluar dari rumah. Untuk sesaat, ia
kelihatan bingung. Tapi kemudian ia memahami keadaan dan mulai nyengir
kesenangan. Pemuda itu mendekat, lalu berdiri sambil bertolak pinggang.
"Hehehe, rupanya anak STOP berkunjung ke Lerchenbach-termasuk Sporty, si Mulut
Besar! Tapi sekarang Sporty pun tak berdaya! Aku tinggal menyuruh Rex - dan
Sporty akan menyesal sekali bahwa ia semalam telah memukulku dari belakang."
"Aku hanya memberi pelajaran padamu karena kau telah menembak Nona Ebert secara
licik! Dan sekarang kau ingin membalas dendam lewat anjingmu"! Dasar pengecut!
Tapi awas! Aku tahu cara-cara menangani anjing yang paling galak sekalipun!
Mungkin saja aku sempat kena gigit. Tapi itu berarti bahwa kau telah melakukan
penganiayaan berencana. Dan asal tahu saja, hukuman untuk itu tidak ringan."
Max Jocher tetap nyengir-meskipun tidak selebar tadi.
"Kau boleh saja mengoceh macam-macam," katanya kemudian. "Tapi aku tidak
bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa. Salah kalian sendiri kalau Rex tidak
menyukai anjing kalian."
"Enak saja! Siapa lagi yang harus bertanggung jawab kalau bukan kau"! Terutama
kalau kelakuan anjingmu seperti anjing gila, yang menyerang apa saja yang
kebetulan lewat di depan hidungnya. "
Rex masih juga memelototi Bello sambil menggeram dan memperlihatkan sederetan
gigi tajam. "Untuk terakhir kali," kata Sporty, "panggil anjingmu, atau aku akan membawa
polisi ke sini!" Max nampak ragu-ragu. Ia menoleh dan memandang ke arah rumah. Tapi tak seorang
pun kelihatan. Akhirnya ia memegang ikat leher Rex, menariknya ke arah pintu, kemudian
menghilang di dalam rumah.
"Ayo, kita pergi saja dari sini!" bisik Thomas.
"Tenang saja!" jawab Sporty. "Ini kan jalan umum. Tak ada yang bisa melarang
kita untuk berada di sini. Kalau mau, kita bisa saja duduk di sini selama
berjam-jam." Ia menurunkan Bello, lalu minta tali pengikatnya pada Petra.
Wajah Petra masih pucat-pasi. Oskar-dengan celana yang masih agak basah-pasang
tampang garang, tapi tidak mengucapkan apa-apa.
Ketika mereka meneruskan perjalanan, tali pengikat Bello berada di tangan
Sporty. Anak itu berkali-kali menoleh ke belakang, untuk melihat apakah keadaan
tetap aman. Tetapi baik Max maupun anjingnya tidak memperlihatkan diri lagi.
Pagar yang kini mereka lewati merupakan batas kebun sayur kepunyaan keluarga
Jocher. Pagar itu seakan-akan tak berujung. Tak sekuntum bunga pun terlihat.
Kecuali tanaman sayuran, yang ada hanya rumput liar.
Kemudian mereka melihat pagar kawat duri yang membatasi kebun tadi dengan tanah
di sebelahnya. Pekarangan besar ini-dengan hamparan rumput, semak-semak, dan pohon-pohon rimbun
- pastilah tanah yang diwarisi Helga Ebert.
Rumahnya yang mungil berdiri di dekat jalan, di pinggir pekarangan luas yang
membentang sampai ke tepi hutan. Di balik rumah itu, Sporty melihat kolam yang
lumayan besar. Sebuah dermaga kayu menjorok ke air, dan di ujungnya ada perahu
dayung. Uih, boleh juga! Sporty berdecak kagum. Pantas saja Helga tidak mau pindah dari
sini. Kalau saja pekarangan ini dijadikan tempat camping, Helga pasti akan
kewalahan menghadapi serbuan pengunjung. Tapi - ketenangan seperti sekarang
memang lebih nyaman. Rasanya seperti di alam bebas saja. Aku juga akan mati-
matian membela hakku, kalau aku yang tinggal di sini.
Keempat sahabat itu berhenti di depan rumah tadi. Bangunannya tidak bertingkat -
kecil dan sederhana. Bahkan garasi pun tidak ada. Mobil Helga diparkir di
samping pagar. "Eh, apa itu?" seru Thomas.
Dialah yang paling dekat ke mobil itu. Tapi sekarang teman-temannya juga
melihatnya.
Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seseorang telah menuliskan kata HEXE-artinya: Tukang Sihir-dengan cat merah pada
pintu mobil. "Ini pasti ulah ayah Max Jocher," kata Sporty.
"Keterlaluan!" Petra berseru.
"Ya benar-benar kelewatan!" Oskar menambahkan. "Tapi kenapa tukang sihir" Setahu
aku, tukang sihir dalam dongeng-dongeng selalu naik sapu terbang. Padahal Nona
Ebert terang-terangan pakai mobil."
Sporty menoleh dan melihat Helga Ebert muncul di ambang pintu rumahnya. Wanita
muda itu tersenyum. Rupanya ia gembira sekali karena dikunjungi murid-muridnya.
"Halo, selamat datang!"
Langsung ia menyalami mereka-termasuk Bello.
"Kalian pasti capek setelah perjalanan jauh yang kalian tempuh. Ayo, masuk dulu,
deh! Saya sudah menyiapkan minuman dingin untuk kalian. Dan setelah itu kita
langsung makan!" "Sebentar, Nona Ebert!" ujar Sporty. "Ada orang iseng yang mengotori mobil Anda.
Dia menuliskan sesuatu pada pintu mobil yang menghadap ke jalan."
Senyum di bibir Helga mendadak lenyap. Ia melangkah ke mobil dan membaca tulisan
di pintu mobilnya. Kemudian ia kembali sambil mengangkat bahu.
"Beginilah kelakuan orang-orang di sini. Saya telah dicap sebagai tukang sihir."
Petra membelalakkan mata. "Anda hanya main-main, bukan?"
"Tidak, Petra, saya sungguh-sungguh. Mereka benar-benar menganggap saya sebagai
tukang Sihir. " "Tukang sihir sungguhan, yang bisa berbuat macam-macam hanya dengan mengucapkan
mantra-mantra?" tanya Oskar.
"Ya!" "Wah, hebat!" ujar Oskar sambil nyengir lebar. "Dari dulu saya sudah kepingin
berkenalan dengan tukang sihir."
Sporty langsung menyikut sahabatnya. "Ini bukan lelucon! Orang-orang sedesa
dihasut untuk membenci Nona Ebert. Dengan sengaja, lagi!"
Helga mengangguk lemah. "Kalian mungkin sudah tahu bahwa kehadiran saya di desa ini tidak disukai: Dan
bahwa Pak Jocher sangat benci pada saya. Hanya saja saya tidak bisa membuktikan
bahwa dia yang menghasut orang-orang. Tapi-siapa lagi kalau bukan dia" Sayangnya
penduduk-penduduk di sini mudah sekali dihasut. Desa Lerchenbach memang dekat ke
kota. Tapi sebenarnya keadaan di sini masih seperti di abad lalu. Orang-orang
masih percaya pada kekuatan setan. Dan demikian juga pada tukang sihir."
"Tapi kenapa Anda dituduh seperti itu?" tanya Petra sambil mengerutkan kening.
"Ah, macam-macam. Setiap kali ada kejadian aneh, mereka pasti menuding saya
sebagai biang keladinya. Kalau ada sapi mati mendadak, maka sayalah yang
dituduh. Musim dingin yang lalu, ketika hampir semua orang terserang flu,
sayalah yang dianggap sebagai penyebabnya - terutama karena saya sendiri tidak
kena. Setiap kali ada hujan es yang merusak panen, saya yang disalahkan. Dan
satu hal lagi: rambut saya berwarna merah. Kecuali itu, saya juga memelihara
ular dan labah-labah di dalam rumah."
Petra, Thomas, dan Oskar mendengarkannya tanpa berkedip.
Sporty pasang tampang keras.
Wah, ini lebih gawat dari yang kusangka, katanya dalam hati. Helga benar-benar
dalam bahaya. Bisa-bisa salah seorang penduduk desa membakar rumahnya, dan malah
dianggap sebagai pahlawan oleh yang lainnya.
Mereka masuk ke rumah. Helga ternyata sudah menyiapkan sarapan untuk menyambut
tamu-tamunya. Tapi anak-anak sudah kehilangan selera-kecuali Oskar.
Hanya untuk menjaga perasaan Helga, mereka ikut mencicipi roti yang dibuat
sendiri oleh wanita muda itu.
Sambil makan, mereka terus membicarakan masalah yang dihadapi Helga.
"Dari tadi saya belum juga menemukan pemecahannya," kata Sporty.
"Ya, memang tidak ada yang bisa dilakukan," ujar Helga dengan lesu. "Tapi saya
tidak akan menyerah. Lama-lama Pak Jocher pun akan menyadari hal ini. Mudah-
mudahan saja setelah dia berhenti mengganggu saya."
"Tapi sampai saat itu Anda tetap akan menjadi sasaran," Sporty menanggapinya.
"Anda tidak boleh tinggal diam!"
"Habis bagaimana" Lewat jalur hukum pun saya tidak bisa berbuat apa-apa. Takkan
ada yang bersedia menjadi saksi. Lagi pula, apa yang harus saya buktikan"
Perbuatan keji yang membawa Harry Jocher ke penjara pun sudah dimaafkan oleh
orang-orang. Kenapa, coba" Karena ayahnya menyebarkan isu, bahwa kekuatan sihir
saya yang mengakibatkan semuanya. Katanya, karena sihir saya Harry lantas
melakukan tindakan terkutuk itu."
"Masa sih, seluruh penduduk desa ini bisa dipengaruhi dengan cara seperti itu?"
tanya Petra. "Tidak semua-tapi sebagian besar," kata Helga. "Dan itu sudah cukup!"
"Tukang sihir-uh, kepercayaan seperti itu kan hanya cocok untuk Abad
Pertengahan." Helga ingin menanggapi ucapan Petra, tapi Thomas langsung mendahuluinya. Ini
adalah kesempatan emas baginya untuk membuktikan bahwa julukan 'Komputer' tidak
percuma diberikan padanya.
"Anggapanmu tidak seluruhnya benar, Petra," katanya dengan gaya yakin. "Masih
banyak orang yang percaya pada kekuatan sihir - seperti para penduduk desa ini,
misalnya. Supaya jelas, yang umum kita sebut sebagai tukang sihir adalah wanita-
wanita yang dianggap mempunyai kekuatan gaib.
"Di negara-negara Eropa, keprcayaan-atau lebih tepat: kengerian - terhadap
tukang sihir memuncak pada Abad Pertengahan. Pada saat itu, wanita yang dianggap
memiliki kekuatan, menghadapi berbagai tuduhan: bersekongkol dengan setan,
mengingkari Tuhan, menggunakan kekuatan gaib untuk mencelakakan orang lain, dan
masih banyak lagi. Pada tahun 1487, dua biarawan fanatik menerbitkan suatu
kompendium (rangkuman) mengenai sihir-menyihir. Rangkuman itulah yang
selanjutnya menjadi pegangan dalam memberantas tukang sihir-suatu perburuan
kejam yang baru berakhir pada abad kedelapan belas. Wanita-wanita malang dibakar
hidup-hidup, setelah dipaksa mengakui kesalahan masing-masing. Untuk itu, mereka
mengalami siksaan yang luar biasa. Dan itu dilakukan untuk menegakkan
'keadilan'! "Yang pertama kali menentang tindakan kejam ini adalah seorang biarawan dari
ordo Jesuit, bernama Friedrich Spee. Tapi usahanya tidak segera membuahkan
hasil. Dan jangan sangka bahwa kejahatan-kejahatan seperti itu hanya terjadi
pada Abad Pertengahan! Ingat saja kelompok pemuja setan pimpinan Charles Manson,
yang pada tahun 1969 membunuh delapan orang di California. Atau Michael Cochran,
seorang pemuda berusia 17 tahun yang menjadi kurban kebuasan suatu aliran sesat
di Deland, Florida. "Di negara kita pun ada kasus-kasus semacam itu. Pada tanggal 1 Juli 1976,
seorang mahasiswi di Klingenberg menemui ajal, karena dua pengusir setan
beranggapan bahwa wanita muda itu dikuasai oleh iblis. Kedua pengusir setan itu
bukan orang gila. Mereka adalah pendeta dan juru agama di kota itu. Mengerikan
sekali, bukan?" Untuk sejenak semuanya terdiam.
Kemudian Petra berkata, "Aku jadi merinding. Aku nyaris tidak percaya bahwa
manusia bisa begitu kejam terhadap sesamanya. Bayangkan: selama ratusan tahun,
seseorang hanya perlu menuduh seorang wanita yang tidak disukainya sebagai
tukang sihir. Dan dengan demikian nasib wanita malang itu sudah ditentukan: ia
akan dibakar hidup-hidup."
Oskar tersenyum pada Helga dan berkomentar, "Untung Anda sudah tidak menghadapi
risiko seperti itu."
Helga ketawa mendengarnya, tapi tawanya seperti dipaksakan.
Thomas cepat-cepat menelan sepotong apel, kemudian melanjutkan,
"Menurut catatan gereja, sekitar satu juta tukang sihir dibakar hidup-hidup
antara tahun 1500 dan 1700. Dan tak satu pun di antara mereka bersalah -setidak-
tidaknya dalam hal yang dituduhkan terhadap mereka: bersekongkol dengan setan.
Kini kita tahu bahwa tuduhan-tuduhan itu tanpa alasan sama sekali. Dan kita
bertanya-tanya, kenapa orang-orang yang mengadukan mereka, para hakim, para
algojo, dan juga para penonton yang menyaksikan hukuman mati, begitu yakin bahwa
wanita-wanita itu memang tukang sihir. Jawabannya: karena mereka percaya dan
ngeri pada setan. Orang-orang zaman dulu percaya bahwa ada suatu kekuatan yang
hanya mengakibatkan bencana, yaitu kekuatan iblis. Dan para tukang sihir adalah
pembantu-pembantunya. Hanya iblis yang bisa memberikan kekuatan sihir pada mereka.
"Orang-orang pada Abad Pertengahan membayangkan setan sebagai gabungan antara
manusia dengan binatang. Setan adalah lambang kejahatan dan sumber segala
kekurangan manusia. Kepercayaan akan setan sudah berusia sekitar 2500 tahun.
Sebelumnya, orang-orang belum Membedakan kebaikan dengan kejahatan. Segala
sesuatu yang terjadi dianggap sebagai suatu kebetulan. Baru 2500 tahun yang
lalu, orang-orang pandai di segala penjuru dunia mulai membayangkan bahwa semua
kejadian di dunia ini merupakan akibat dari pertarungan antara dua kekuatan:
baik dan buruk. Anehnya, pemikiran seperti ini timbul hampir bersamaan di banyak
negara -selalu dalam bentuk yang berbeda, tapi intinya tetap sama. Dalam
hubungan dengan manusia, kebaikan dan kejahatan disamakan dengan pertentangan
antara jiwa dan raga. "Pada abad pertama dan kedua lalu timbul Perjanjian Baru, yang bercerita
mengenai kehidupan dan mukjizat-mukjizat Kristus. Dalam Perjanjian Baru, setan
disebut sebagai musuh utama Tuhan. Saya hanya menyinggung soal ini, sebab
kepercayaan akan tukang sihir hanya mungkin terjadi kalau orang juga percaya
pada setan." "Aha! Sekarang ketahuan deh, dengan siapa Anda berteman, Nona Ebert," Oskar
berusaha melucu. Tapi ia langsung diplototi oleh Petra.
Sporty lalu menepuk-nepuk perutnya, dan berkata,
"Terima kasih atas jamuan Anda, Nona Ebert. Tapi sebenarnya tujuan kami datang
ke sini bukan untuk makan. Kami kan sudah berjanji membantu Anda membereskan
pekarangan." "Wah, Kelihatannya kau sudah tak sabar, ya?" tanya Helga sambil tersenyum.
"Padahal saya kira, kalian mau melihat binatang-binatang piaraan saya dulu."
Semuanya setuju dengan usul itu. Hanya Oskar yang sebenarnya masih betah di meja
makan. Helga mengajak keempat sahabat itu ke ruang sebelah, yang berisi sejumlah
terrarium (semacam akuarium berisi tanah, bukan air). Salah satunya berisi dua
ekor ular berbisa. Tapi yang paling mengerikan adalah labah-labah piaraan Nona
Ebert. Untuk sesaat, kebiasaan Helga sebagai guru biologi muncul.
"Siapa yang tahu," ia bertanya, "berapa jenis labah-labah yang ada" Semua boleh
menjawab kecuali kau, Thomas. Saya yakin bahwa kau tahu jawaban yang tepat. Nah
Oskar, bagaimana?" "Hmm, seratus kira-kira?"
"Wah, tebakanmu meleset jauh. Dan kau, Petra?"
"Pasti ada ribuan."
"Nah, ini sudah lebih mendekati kenyataan. Di dunia ini ada 25.000 jenis labah-
labah. 800 di antaranya hidup di negara kita. Yang di belakang itu," Helga
menunjuk seekor labah-labah besar, "adalah labah-labah paling berbisa di daerah
kita. Tapi jangan khawatir-gigitannya tidak berakibat fatal. Paling-paling panas
dingin, tapi tidak lebih dari itu."
"Untuk apa sih, Anda memelihara binatang-binatang ini?" tanya Oskar. "Saya tidak
mengerti di mana letak daya tariknya...."
"Saya mempelajari perilaku labah-labah dalam rangka meraih gelar Doktor."
"Oh, begitu!" ujar Oskar sambil mengangguk-angguk. "Tapi ngomong-ngomong, apakah
gigitan labah-labah tadi bisa mengakibatkan seekor anjing menjadi gila?"
"Tentu saja tidak! Kenapa kau menanyakannya?"
"Saya tiba-tiba teringat pada Rex, anjing tetangga Anda. Anjing itu hampir saja
menyerang Bello. Untung Sporty masih sempat mencegahnya."
"Oh, ya?" Helga lalu menanyakan kejadian itu, dan anak-anak bercerita. Wanita muda itu
kemudian menjelaskan bahwa anjing itu-sayangnya-memang berbahaya.
Mendadak semuanya menengok ke luar jendela. Sebuah mobil berhenti di depan rumah
Helga. 6. Wartawan Koran Sore "MAU ada tamu lagi?" tanya Sporty.
Helga menggeleng. Tapi ia berdiri dan menuju pintu. Tepat pada saat itu bel
berdering. Seorang pria berdiri di luar.
"Selamat siang, Nona! Anda pasti Helga Ebert. Perkenalkan, nama saya Loewe-Amo
Loewe, wartawan kriminal dari Koran Sore. Maaf kalau saya mengganggu pada Minggu
siang seperti ini, tapi saya ingin sekali mewawancarai Anda."
Penuh harap ia menatap Helga.
Sporty-yang semula berdiri di latar belakang bersama teman-temannya - kini agak
maju, agar dapat melihat wartawan itu dari dekat.
Amo Loewe rupanya menyukai pakaian warna-warni. Ia mengenakan setelan jas
berwarna hijau, dengan kemeja kuning dan dasi merah. Wajahnya yang lebar nyaris
tak kelihatan. Bagian bawahnya setengah tersembunyi di balik kumis lebat. Bagian
atasnya terlindung oleh kacamata hitam. Rambutnya cocok sekali dengan namanya
(Loewe dalam bahasa Jerman berarti singa): pirang, gondrong, dan awut-awutan.
"Ehm, dalam rangka apa Anda ingin mewawancarai saya?" tanya Helga.
"Sehubungan dengan kasus pencurian semalam, di toko Pak Feilberg. Dialah yang
memberitahukan nama dan alamat Anda pada saya. Anda sempat melihat pencuri itu,
bukan?" "Silakan masuk dulu," ujar Helga dengan ramah. "Lebih enak kalau kita bicara di
dalam saja." Amo Loewe langsung melangkah ke dalam. Ia nyengir lebar ketika mengangguk ke
arah anak-anak STOP. Tanpa menunggu sampai dipersilakan, wartawan itu langsung duduk di ruang tamu.
Pandangannya segera melayang ke meja makan.
"Hmmmm! Baunya seperti roti buatan sendiri," katanya sambil memejamkan mata.
"Betul," jawab Helga. "Anda mau ikut sarapan?"
"Wah, terima kasih banyak. Kalau Anda tidak keberatan. Dengan senang hati!
Kebetulan saya memang belum sempat sarapan tadi."
Langsung saja ia mengambil sepotong roti, mengolesnya dengan mentega dan selai
kacang, alu mulai mengunyah.
Helga dan anak-anak STOP memperhatikannya tanpa berkata apa-apa.
"Saya tertarik dengan kejadian semalam," ujar Loewe dengan mulut penuh roti.
"Pencuri berbahaya kepergok oleh seorang wanita muda yang cantik. Karena panik
penjahat itu mengancamnya, tapi kemudian berhasil diusir dan..."
"Anak inilah yang mengusirnya," Helga memotong sambil menunjuk Sporty.
"Oh, menarik sekali," kata Loewe. Ia lalu mengelap mulutnya. "Saya sama sekali
belum tahu apa-apa mengenai detil-detil peristiwa semalam. Tapi, kembali ke
pembicaraan tadi: hanya Anda yang sempat melihat pencuri itu, bukan?"
Helga mengangguk. "Wajahnya takkan pernah saya lupakan. Mungkin Anda sudah mendengar bahwa saya
semalam langsung menyusun gambar rekaan di kantor polisi."
Loewe membenarkannya, lalu menatap Sporty.
"Dan kau," ia bertanya, "kau juga sempat melihat orang itu?"
"Hanya secara samar-samar. Tapi wajahnya tidak kelihatan."
Loewe nyengir. "Kalau begitu, untuk sementara saya belum memerlukan keteranganmu."
Ia kembali berpaling pada Helga.
"Nona Ebert, apakah Anda bisa menjelaskan bagaimana perasaan Anda pada saat itu,
dan bagaimana Anda memergoki si pencuri?"
Helga langsung menyanggupi permintaan itu.
Penuh semangat Loewe mencatat semua keterangan wanita muda itu. Tapi tiba-tiba
bolpennya macet. "Pakai bolpen saya saja!" Helga segera menawarkan.
Ia berdiri dan menuju meja tulisnya -sebuah meja kuno yang terbuat dari kayu
berwarna gelap. Sejumlah buku berderet rapi di atasnya. Helga mengambil sebuah
bolpen emas dan memberikannya pada Loewe.
Wartawan itu mengucapkan terima kasih, dan langsung mulai menulis lagi.
Setelah selesai, ia berkata, "Sebentar, ya! Saya hanya ingin mengambil kamera
dari mobil. Foto Anda akan dimuat sekalian."
"Untuk apa?" Sporty segera bertanya.
"Untuk apa" Para pembaca tentu senang melihat sebuah wajah cantik terpampang di
halaman pertama." "Tidak bisa!" ujar Sporty dengan tegas. "Saya harap Anda mau berpikir sedikit!
Apakah Anda tak sadar bahwa tindakan itu akan membahayakan Nona Ebert" Menurut
dugaan polisi, pencuri semalam sangat berbahaya dan tidak segan-segan
menggunakan kekerasan. Kalau dia sempat membaca bahwa Nona Ebert adalah satu-
satunya orang yang bisa mengidentifikasikannya... saya tak berani membayangkan
apa yang mungkin dilakukan oleh orang itu. Bagaimana kalau orang itu berbuat
nekat" Sebuah foto Nona Ebert akan sangat membantu dia. Karena itu, Pak Loewe-
dan ini saya katakan di hadapan saksi-saksi: foto nona Ebert tidak boleh dimuat
di koran Anda! Namanya juga tidak boleh Anda sebutkan! Dan jika Anda menyingkat
namanya menjadi Nona H.E., usia 25 tahun-seperti yang lazim dilakukan-jangan
Anda tambahkan bahwa Nona H.E. Itu seorang guru yang bertempat tinggal di
Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lerchenbach. Sebab itu sama saja dengan mencantumkan nama dan alamatnya secara
lengkap. Soalnya Nona Ebert adalah satu-satunya guru yang tinggal di sini."
"Wah, banyak sekali persyaratannya!" Arno Loewe berkomentar. "Tapi-saya rasa kau
benar. Foto, nama, dan alamat Nona Ebert takkan saya masukkan ke dalam tulisan
saya. Saya hanya akan membahas situasi berbahaya yang dihadapinya semalam."
Dengan demikian wawancara telah selesai.
Tapi sebelum pergi, Loewe masih sempat mengambil sepotong roti. Ia berpamitan
sambil mengunyah, kemudian masuk ke mobilnya yang penuh debu. Dalam sekejap ia
sudah dalam perjalanan kembali ke kota.
"Mudah-mudahan saja dia tetap berpegang pada persyaratan yang disebutkan
Sporty," Helga berharap-harap cemas.
"Apakah dia mengembalikan bolpen Anda?" tanya Thomas.
"Ya Tuhan, saya lupa sama sekali! Dia juga tidak mengingatnya. Bolpen itu pasti
langsung ia masukkan ke dalam saku dan..."
"Itu dia!" ujar Sporty sambil menunjuk ke meja tulis Helga. Benar saja, bolpen
itu tergeletak di sana. "Wah, untunglah," ujar Helga sambil menarik napas panjang. "Bolpen itu terbuat
dari emas mumi. Wartawan itu ternyata jujur juga."
Anak-anak lalu membantu membereskan meja makan. Kemudian mereka keluar ke
pekarangan. Matahari masih bersinar cerah.
Sambil jalan, Helga meraba-raba bagian belakang kepala. Sporty melihatnya dan
langsung menanyakan apakah lukanya sudah sembuh.
"Sudah!" jawab Helga sambil ketawa.
Membereskan pekarangan Helga ternyata bukan pekerjaan ringan. Banyak sekali yang
harus lakukan. Thomas memilih memotong rumput.
Oskar menyapu jalan setapak yang mengelilingi kolam. Helga dan Petra menyiangi
rumpun mawar. Dan Sporty mencangkul kebun sayur kecil di belakang rumah. Setelah
itu ia akan membongkar dermaga kayu yang menjorok ke kolam.
Menjelang tengah hari, mereka beristirahat jenak. Sambil minum, Helga
menunjukkan musuh bebuyutannya pada anak-anak. Erwin Jocher, si petani kaya
merangkap kepala Desa berdiri di depan rumahnya.
Jarak antara rumah Helga dan rumah petani itu lumayan jauh. Tapi meskipun
demikian, Sporty melihat bahwa orangnya tinggi besar dan berkepala botak. Lengan
baju si petani digulung ke atas. Sebuah rompi menutupi perutnya yang bundar.
Selama beberapa menit Erwin Jocher memandang ke arah Helga dan anak-anak,
kemudian ia menghilang masuk ke dalam rumahnya.
"Apakah Anda akan mengambil tindakan terhadap Max?" tanya Sporty. "Kalau perlu,
saya bersedia menjadi saksi bahwa dia secara licik menembak Anda."
"Terima kasih, Sporty," ujar Helga sambil menggeleng. "Percuma. Tidak ada
gunanya." * Bersamaan dengan itu, Amo Loewe-si wartawan Koran Sore-mengemudikan mobilnya
melalui lalu-lintas di pusat kota.
Tetapi-dengan penampilan seperti sekarang, baik Helga maupun anak-anak STOP
takkan mengenalinya. Pakaian yang dikenakan pria itu memang masih seperti tadi,
tapi selain itu ia sudah berubah sama sekali.
Rambutnya yang pirang ternyata rambut palsu, dan kini tergeletak di laci mobil.
Kumisnya yang tebal juga ada di sana. Begitupun kacamata hitam yang tadi
dipakainya. Namanya juga bukan Amo Loewe, tapi Arnold Lamm. (Lamm dalam bahasa Jerman
berarti anak domba). Dia bukan wartawan, melainkan seorang penganggur. Dan
kamera yang tadi sempat mau diambil ternyata sama sekali tidak berisi film.
Di depan kedai minum OTTO'S BAR ada beberapa tempat parkir kosong. Wartawan
gadungan itu berhenti, menoleh ke segala arah, lalu keluar dari mobil. Setelah
menyalakan sebatang rokok, ia menuju ke kedai minum di pojok jalan. Asap rokok
dan bau bir menyambutnya. Suasana di kedai minum itu sejuk dan remang-remang.
Hampir tidak ada pengunjung, kecuali beberapa langganan lama yang berdiri di
depan meja layan. Otto, pemilik kedai minum berbadan gemuk, sedang menuangkan bir untuk para
tamunya. Arnold Lamm mengangguk ke arah Otto, kemudian menuju ke bagian belakang ruangan.
Meja-meja dipisahkan oleh dinding-dinding kayu.
Seorang pria duduk di meja paling ujung. Ia baru saja selesai membaca koran dan
kini menatap Arnold Lamm.
"Halo, Rudi!" si wartawan gadungan menegur pria itu, kemudian duduk di
hadapannya. Pria itu diam saja. Rambutnya agak keriting dan menutupi sebagian keningnya. Kedua bibirnya
membentuk garis tipis. Hidung dan dagunya nampak lancip. Tapi yang paling
menyolok adalah matanya. Pandangannya dingin dan menyorot tajam.
Orang itu bernama Rudi Kallweit alias Rudolf Kallweit.
"Dugaanmu ternyata benar," kata Arnold setengah berbisik. "Wanita itu
menggambarkanmu dengan tepat. Dia pasti bisa mengenalimu kalau kau kebetulan
berpapasan dengannya."
"Dasar sial!" "Hehehe, aku baru tahu bahwa aku berbakat sebagai wartawan, Rudi. Feilberg dan
si Cantik benar-benar percaya bahwa aku kerja untuk Koran Sore. Wanita itu
bernama Helga Ebert. Dia guru dan tinggal di Lerchenbach. Orangnya ramah, tapi
kelihatannya keras kepala. Waktu aku ke sana, dia lagi dikunjungi oleh beberapa
muridnya. Anak-anak berusia sekitar 13 tahun. Kecuali yang satu itu, yang sempat
mengusirmu semalam. Dia kelihatannya lebih tua. Anaknya tinggi dan berbadan
tegap." "Dan dia juga sempat melihatku?"
"Ya, tapi hanya samar-samar."
"Untung saja!" ujar Kallweit. "Tapi wanita itu benar-benar merupakan ancaman
bagiku." "Ya, aku juga sependapat."
Otto, si pemilik kedai minum, mendatangi meja mereka. Arnold Lamm memesan
segelas bir dan sebatang cerutu.
"Aku tambah satu lagi," kata Kallweit. Ia minum wiski-cola.
Ketika Otto pergi untuk mengambil pesanan mereka, Kallweit langsung berbisik,
"Aku harus tinggal seminggu lagi di sini. Masalahnya, barang-barang curianku
belum semua kejual."
"Ya, aku tahu. Tapi kau harus sangat hati-hati. angan sampai ada yang
mengenalimu. Polisi sudah punya gambar rekaan wajahmu. Helga Ebert yang
menyusunnya. Besok akan dimuat di koran-koran. Mudah-mudahan saja tidak terlalu
mirip denganmu." "Biar saja polisi menyebarkan gambar itu. Mereka tetap tidak bisa berbuat apa-
apa, selama kau memperkuat alibiku. Kita semalam menghabiskan waktu di rumahmu
dengan bermain kartu sampai pagi. Polisi takkan bisa membuktikan kebalikannya.
Hanya wanita itu saja yang kukhawatirkan. Kalau aku dihadapkan dengan dia, maka
tamatlah riwayatku. "
Otto kembali untuk mengantarkan pesanan mereka.
Arnold Lamm langsung mereguk bir-nya, kemudian menyalakan cerutu.
"Yang penting, Rudi, kau jangan sampai ketangkap basah," katanya sambil melirik
ke meja layan, di mana seorang pengunjung sedang marah-marah mengenai harga
bensin yang semakin melambung.
"Tenang saja," balas Rudi. "Aku akan mencari akal untuk membereskan wanita itu."
7. Pelajaran untuk Harry SPORTY menggulung celana dan masuk ke kolam. Air di tepinya tidak dalam, hanya
sebatas lutut. Hampir seluruh dermaga telah terbongkar. Kini hanya tinggal satu
tiang kayu yang tertancap di dasar kolam. Sporty sedang menggoyang-goyangnya,
supaya lebih mudah diangkat.
"Tunggu!" ujar Oskar. "Berdua pasti lebih cepat. "
Ia langsung masuk ke kolam.
"Awas!" Sporty memperingatkannya. "Dasar kolamnya licin sekali."
"Ya, aku juga tahu!"
Dengan gaya yakin Oskar melangkahkan kaki. Tapi justru di tempat yang akan
diinjaknya ada lubang di dasar kolam. Oskar kaget setengah mati ketika kakinya
tidak menemukan tempat berpijak. Ia kehilangan keseimbangan. Tangannya melambai-
lambai. Tapi tanpa daya ia tetap kecebur.
Air kolam yang keruh bercipratan ke segala arah. Untuk sesaat Oskar lenyap dari
pandangan. Tapi pada detik berikutnya ia muncul kembali sambil menyemburkan air
kolam. Seluruh badannya tertutup lumpur.
"Bah! Licik sekali!" ia berseru dengan kesal. "Siapa yang bikin lubang di dasar
kolam"!" Sporty ketawa terbahak-bahak. Ia terpaksa berpegangan pada tiang kayu tadi-
supaya tidak mengalami nasib yang sama seperti Oskar.
Petra dan Thomas terpingkal-pingkal. Helga masih berusaha menahan diri, tapi tak
berhasil. Habis, bagaimana lagi" Siapa pun akan tertawa melihat keadaan Oskar.
Sambil marah-marah, anak itu naik ke tepi. Tapi akhirnya dia sendiri ikut ketawa
bersama yang lainnya. "Kecelakaan seperti ini bisa menimpa semua orang," katanya kemudian. "Kolam ini
benar-benar penuh bahaya terselubung."
"Sebaiknya kau mandi dulu sekarang," ujar Helga sambil tersenyum. "Pakaianmu
juga perlu dicuci dan dijemur. Untung matahari lagi terik-teriknya. Jadi baju
dan celanamu bisa cepat kering. Tapi, sementara itu kau pakai apa?"
Helga lalu teringat bahwa ia masih menyimpan pakaian almarhum ayahnya di gudang.
Sementara Oskar mandi - sambil mendendangkan lagu-lagu rakyat dengan nada
sumbang - Helga mencari pakaian untuk anak itu. Tapi hasilnya kurang memuaskan.
"Sori, Oskar," katanya sambil tersenyum simpul, "hanya ini yang ada di gudang."
Beberapa menit kemudian Oskar kembali dari kamar mandi. Dan sekali lagi ia
menjadi bahan tertawaan teman-temannya.
Almarhum ayah Helga berbadan tinggi besar. Dan satu-satunya pakaian yang masih
tersisa adalah sebuah setelan jas berwarna hitam dengan garis-garis abu-abu.
Oskar benar-benar tenggelam dalam setelan jas itu. Semuanya serba kebesaran.
Celananya dilipat beberapa kali. Ikat pinggang yang dipakai untuk mengikat
celana mengelilingi dada anak itu. Karena tidak ada kemeja, Oskar terpaksa
memakai rompi almarhum Pak Ebert. Penampilannya kocak, tapi Oskar tidak ambil
pusing. Seperti peragawan ia mondar-mandir di pekarangan.
"Inilah mode terakhir!" ia berseru dengan riang. "Setelan jas ini dalam sepuluh
tahun mendatang masih bisa dipakai."
Helga dan anak-anak STOP yang lain memperhatikan tingkah teman mereka sambil
bertepuk tangan. Tapi kemudian Sporty menyadari bahwa Oskar mengerutkan kening, dan terus-menerus
memandang ke pekarangan sebelah. Langsung saja ia ikut menoleh.
Seorang pria bersandar pada pagar. Rupanya. orang itu sejak tadi sudah
memperhatikan "peragaan busana" di halaman Nona Ebert. Tapi ia sama sekali tidak
tersenyum. Bahkan sebaliknya wajahnya nampak dingin dan menyeramkan.
Helga pun ikut-ikutan menatap ke arah pagar. Dan Sporty mendengar wanita muda
itu mendesah perlahan. "Itu... itu Harry Jocher," Helga berbisik.
Hmm, tampangnya biasa saja, ujar Sporty dalam hati. Tapi penampilan seseorang
memang tidak bisa dijadikan patokan. Harry Jocher tidak terlalu tinggi, tapi
berbadan kekar. Tampangnya lebih tua dibandingkan usianya yang baru 26 tahun. Ia
memelihara cambang lebat. Tapi rambut di atas kepala sudah tipis sekali.
Untuk ukuran Lerchenbach, pakaian yang dikenakannya sudah termasuk perlente.
Sebatang rokok terselip di sudut mulutnya. Tanpa berkedip Harry melotot ke arah
Helga. "Seharusnya dia masih di dalam penjara," Helga kembali berbisik. "Rupanya dia
mendapat keringanan hukuman. Wah, ini alamat buruk."
"Kenapa?" tanya Sporty. "Keadaan tidak mungkin bertambah parah, bukan?" .
"Mungkin saja! Pak Jocher hanya berusaha merusak nama baik saya dengan
menyebarkan bahwa saya seorang tukang sihir. Tapi Harry -dia terang-terangan
mengancam saya. Kalau sudah dibebaskan dari penjara, katanya, dia pasti akan
membalas dendam. Dan saya percaya, dia tidak main-main."
Jarak ke pagar kurang lebih 30 meter. Karena Harry Jocher tidak mendengar
percakapan sementara Helga dengan Sporty. Namun ia tetap saja berdiri di tempat
semula. Pandangannya sama sekali tidak bersahabat. Sikapnya menantang, olah-olah
ingin mencari gara-gara. Kini ia meraih ke dalam kantong celana, mengeluarkan korek api, dan menyalakan
rokok di mulut. Dengan tenang ia mengambil rokoknya, lalu menyentilnya melewati bahu. Arahnya
sudah ia perhitungkan dengan matang. Rokok itu mendarat persis di kaca depan
mobil Helga. "Sudah waktunya untuk menyiram rumput," ujar Sporty seakan-akan tidak terjadi
apa-apa. "Rumputnya sudah kering-kerontang."
Tanpa terburu-buru ia melangkah ke arah pagar. Di dekat tempat Harry Jocher
berdiri ada selang yang tersambung ke sebuah keran air.
Dengan ramah Sporty mengangguk ke arah Harry. Dari dekat, tampang pria itu
bahkan lebih memuakkan lagi. Sporty memungut ujung selang, menjepitnya dengan
dua jari, lalu membuka keran.
Sesaat kemudian air mulai mengalir. Sambil memegang ujung selang, Sporty
berpaling pada Helga. Sebuah gerakan yang kelihatannya tidak berbahaya. Tapi
Harry segera merasakan akibatnya. Dalam sekejap ia langsung basah kuyup.
"Dari mana saya harus mulai, Nona Ebert?" tanya Sporty sambil tersenyum simpul.
Harry Jocher tentu saja tidak tinggal diam. Ia segera berteriak dengan kesal.
Dan Sporty - pura-pura terkejut- berpaling ke arahnya.
"Astaga!" pemimpin kelompok STOP itu berseru. "Ada-ada saja!"
Dengan santai ia lalu mengarahkan selang ke tanah, lalu mematikan keran air.
Seluruh pakaian Harry telah basah kuyup. Air menggenang di sekelilingnya.
Wajahnya nampak merah padam.
"Wah, maaf, Bung!" ujar Sporty. "Saya benar-benar menyesal. Tapi jangan takut,
tentu saja saya akan mengganti ongkos mengeringkan pakaian Anda. Kalau Anda
menggunakan tenaga matahari, maka biayanya... Sebentar, saya harus menghitungnya
dulu! Ya, tepat..." "Delapan belas setengah sen!" Thomas mendahuluinya.
Sporty langsung berpaling. "Yang benar, dong! Ongkosnya hanya delapan belas
sepertiga sen!" Kemudian ia kembali menghadapi Harry. "Saya punya 20 Pfennig. Apakah Anda punya
uang kembalian?" Tampang Harry semakin tak keruan. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi Bello
keburu menggonggong keras-keras. Rupanya anjing itu pun sadar bahwa kehadiran
pria di seberang pagar tidak diharapkan.
Harry Jocher mengelap air yang menempel di wajahnya.
"Awas, kalian akan menyesal!" ia berteriak. "Terutama kau!" ia menambahkan
sambil menuding Sporty. "Dari tadi saya kan sudah mengatakan bahwa saya menyesal,'" jawab Sporty dengan
wajah tak berdosa. "Hati-hati kau! Urusan ini belum selesai!"
Namun kemudian ia mulai mundur. Pandangannya tetap terarah pada Sporty-seakan-
akan berjaga-jaga terhadap serangan berikutnya. Baru setelah cukup jauh, ia
membalik dan bergegas menuju rumahnya.
"Hahaha, biar tahu rasa!" ujar Petra.
Semuanya ikut ketawa. Tapi Helga nampak agak cemas.
"Terima kasih atas bantuanmu, Sporty," katanya. "Tapi masalahnya, kau telah
mempermalukan Harry di depan orang banyak. Dia pasti tidak terima. Untuk
selanjutnya dia akan memusuhimu seperti memusuhi saya. Hal ini harus kausadari.
Tapi tak apalah. Pokoknya, untuk sementara kedudukan menjadi satu sama. Biar
saja mereka menyangka bahwa ini balasan terhadap perbuatan Max."
"Dan yang terpenting, Nona Ebert," Sporty menanggapinya, "mereka sekarang tahu
bahwa Anda tidak sendirian. Anak-anak STOP selalu siap membantu Anda. Dan janji
kami bisa dipegang. Dan sekarang kita masih harus mencopot tiang ini."
Mereka kembali bekerja. Oskar berkali-kali menghilang untuk melihat apakah pakaiannya sudah kering. Tapi
setiap kali kembali, ia masih mengenakan pakaian ayah Helga.
Seperti telah disebutkan tadi, pekarangan Helga berbatasan dengan tepi hutan. Di
daerah itu, rumput liar tumbuh dengan subur, nyaris menutupi sebuah jalan
setapak yang menuju ke dalam hutan.
Menurut Sporty, itu tidak boleh dibiarkan. Langsung ia mengambil sabit dan mulai
bekerja. Sambil membabat ilalang, ia melihat sesuatu bergerak-gerak di bawah
pepohonan. Sebuah titik merah nampak berjongkok di balik semak-semak.
Sambil menundukkan kepala, Sporty mendekat. Tangannya tetap mengayunkan sabit.
Tapi diam-diam ia melirik ke arah itu dan melihat seorang gadis cilik berbaju
merah. Usianya sekitar enam tahun. Gadis itu sedang memperhatikan kesibukan di
pekarangan Helga, tapi pandangannya terutama mengarah pada wanita muda itu.
Ketika berada tepat di depan gadis itu, Sporty mendadak mengangkat kepala.
"Halo, kau ingin membantu kami, ya?"
Gadis itu menatapnya dengan mata terbelalak. Rupanya ia sama sekali tidak
Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyangka bahwa Sporty telah melihatnya.
"Oh, tidak!" katanya.
"Kau tidak mau membantu kami" Sayang sekali! Tapi kalau begitu, untuk apa kau
bersembunyi di sini?"
"Aku kepingin melihat si Tukang Sihir!"
Gadis itu berdiri dan memiringkan kepala. Wajahnya bulat dan lucu. Rambutnya
yang coklat dikepang dua.
"Tukang sihir?" Sporty berlagak heran. "Memangnya ada tukang sihir di sini?"
"Ah, kau bodoh sekali!" ujar gadis cilik itu penuh semangat. "Itu tukang
sihirnya!" ia menambahkan sambil menunjuk Helga. "Memangnya kau tidak tahu"
Tampangnya memang tidak seperti nenek-nenek sihir di cerita-cerita dongeng. Tapi
dia bisa menyihir binatang-binatang-dan mungkin juga anak-anak kecil."
"Itu tidak benar! Dari mana kau dapat cerita ini" Ibumu yang menceritakannya?"
"Bukan, anak-anak yang lain. Si Franz, si Evi, si Maria, dan juga si Paul.
Orangtua mereka yang bilang begitu."
"Kau jangan percaya begitu saja! Kau, eh... aku belum tahu siapa namamu..."
"Barbara Petermann. "
"Dengar dulu, Barbara. Tidak ada tukang sihir di sini. Orang-orang yang
mengatakan itu semuanya bohong. Entah karena bodoh dan memang tidak tahu apa-
apa, atau karena mereka jahat dan ingin mengganggu nona yang baik hati itu. Kau
tahu, dia sebenarnya guru. Semua murid menyukarnya. Aku juga. Dan juga kedua
temanku di belakang sana. Apa mungkin kami menyukainya kalau dia memang tukang
sihir?" "Ehm... tidak," jawab Barbara setelah berpikir sejenak.
"Nah, kalau begitu, tolong sampaikan pada Franz, Evi, Maria, dan Paul, agar
mereka tidak percaya begitu saja kalau orangtua mereka bicara mengenai tukang
sihir. Nona Ebert bukan tukang sihir. Tukang sihir hanya ada dalam dongeng-
dongeng." "Wah, jadi dia tidak bisa naik sapu terbang?" suaranya Barbara agak kecewa.
"Kalau dia bisa, dia pasti sudah lama tampil di sirkus," jawab Sporty. "Ayo,
kita ke sana, supaya kau bisa berkenalan dengannya. Dia punya arbei segar, lho!"
"Tidak mau, ah! Lain kali saja."
"Eh, masa takut, sih?" Sambil tersenyum Sporty mengulurkan tangan. "Aku akan
menemanimu. " Barbara masih ragu-ragu. Ia menarik-narik bajunya, tapi akhirnya memutuskan
untuk ikut. Sporty melemparkan sabitnya ke rumput, lalu meraih tangan gadis cilik itu.
Barbara masih agak ngeri. Tapi rupanya ia merasa aman di samping Sporty.. Ketika
mereka mendekati Helga, Barbara memandang wanita muda itu dengan mata
terbelalak. Langkahnya semakin pelan.
"Nona Ebert!" Sporty berseru. "Ada tamu untuk Anda. Perkenalkan, ini Peter
Barbaramann... oh, maaf! Barbara Petermann, maksud saya! Dia ingin berkenalan
dengan Anda - kecuali itu, dia juga suka makan arbei."
Barbara cekikikan karena Sporty membolak-balik namanya. Sambil tersenyum malu,
ia lalu bersalaman dengan Helga.
"Saya sudah pernah melihatmu," ujar Helga ramah. "Kau tinggal di samping toko
bahan bangunan, bukan" Dan kalau tidak salah, ibumu kerja di rumah makan."
"Ya," Barbara mengangguk. "Ibuku memang kerja di restoran. Juga pada hari
Minggu. Dia kerja sebagai pelayan."
"Menurut cerita orang-orang, ibumu sangat rajin. Tunggu sebentar ya, saya
ambilkan arbei untukmu."
Ketika kembali, Helga membawa semangkuk penuh arbei segar yang telah ditaburi
gula. Barbara mengucapkan terima kasih dan segera mencicipinya. Begitu selesai, Bello
tiba-tiba muncul di sampingnya. Gadis cilik itu langsung berdiri dan merangkul
Bello yang nampak kebingungan.
"Saya punya boneka anjing persis seperti ini!" kata Barbara riang. "Dia selalu
menjaga saya kalau saya lagi tidur. Apakah anjing ini suka gigit orang?"
"Jangan takut!" jawab Petra. "Bello takkan menggigitmu. Nah, lihat saja dia
mengajakmu bermain. "
Setengah jam berikutnya Barbara dan Bello sibuk berlari ke sana kemari. Sampai
akhirnya si Kuping Panjang tidak tahan lagi. Dengan lidah terjulur, anjing itu
berbaring di rumput. Sementara itu, Sporty sudah bercerita pada Helga kenapa Barbara datang ke sini.
"Ya, begitulah anak-anak di sini," ujar Helga lesu. "Kalian mungkin sudah
berhasil meyakinkan Barbara bahwa saya bukan tukang sihir. Tapi bagaimana dengan
anak-anak yang lain" Mereka selalu berteriak, 'Tukang Sihir!' setiap kali saya
lewat. Suatu hari nanti, mereka akan melempari saya dengan batu."
"Tapi ibu si Barbara kelihatannya belum terpengaruh oleh ulah keluarga Jocher."
Helga mengangguk. "Saya pernah melihat Bu Petermann. Orangnya ramah, tapi agak kaku. Suaminya
meninggal dua tahun yang lalu, karena tertabrak mobil. Pak Petermann tidak
meninggalkan apa-apa. Keadaan keluarganya kini agak sulit. Bu Petermann terpaksa
membanting tulang agar dapat membesarkan anaknya."
"Bagaimana kecelakaan itu terjadi?"
"Pak Petermann ditabrak orang mabuk. Polisi telah berhasil memastikan hal ini.
Orang yang menabraknya kemudian masuk penjara. Dan kalau tidak salah, dia belum
dibebaskan sampai sekarang. Si penabrak bernama Werner Schilling. Dulu dia
bekerja sebagai pembantu di tempat Pak Jocher. Waktu menabrak Pak Petermann, dia
sedang memakai mobil Pak Jocher."
"Hah?" tanya Sporty terkejut.
"Ya, begitulah kejadiannya. Jocher meminjamkan mobilnya pada Schilling. Atau
mungkin juga Schilling membawa. mobil itu tanpa sepengetahuan bos-nya. Pokoknya,
dia sedang mabuk ketika menabrak Pak Petermann. Dan kemudian dia melarikan diri.
Baru belakangan polisi menangkapnya. Sebelum meninggal, Pak Petermann masih
sempat mengatakan mobil siapa yang menabraknya. Seandainya Pak Petermann
langsung meninggal, penabraknya yang tak bertanggung jawab itu takkan pernah
tertangkap. Dan sekarang... Ya, Bu Petermann kini menghadapi masa-masa sulit.
Untung Pak Jocher lalu menunjukkan iktikad baiknya."
"Maksud Anda?" "Dia memberikan pekerjaan untuk Bu Petermann."
"Lho, saya kira dia bekerja di restoran?"
"Memang, tapi restoran itu milik Pak Jocher."
"Astaga! Rupanya memang benar bahwa dia orang paling kaya di desa ini."
"Selain restoran itu, dia juga memiliki toko bahan bangunan. Dan dia juga sudah
jadi langganan untuk menjabat sebagai kepala desa."
"Apa sih mobilnya Pak Jocher?"
"Dia sering ganti-ganti mobil, tapi pilihannya selalu Mercedes keluaran terbaru.
Istrinya punya BMW. Harry naik Porsche. Dan begitu Max berusia 18 tahun, dia
pasti akan mendapat mobil juga."
"Busyet!" ujar Sporty sambil geleng-geleng. "Kalau begitu, mereka pasti sering
tukar pakai mobil, bukan?"
"Tidak pernah! Masing-masing tidak rela kalau orang lain memakai mobilnya."
"Hmm, maksud Anda, Pak Jocher tidak mungkin meminjamkan mobilnya pada orang
lain?" tanya Sporty.
"Tidak masuk akal, memang," ujar Helga sambil mengangguk, "tapi begitulah
kenyataannya." "Untung bukan Pak Jocher yang menabrak ayah Barbara," ujar Sporty. "Kelihatannya
Pak Jocher orang yang paling saleh di desa ini."
Helga menatapnya heran. Tapi ia tidak sempat menanggapi ucapan Sporty, sebab Barbara kini datang untuk
berpamitan. "Terima kasih atas arbei-nya, Nona Ebert," ujar gadis cilik itu sambil
tersenyum. "Sekarang saya percaya bahwa Anda bukan tukang sihir. Tapi - kenapa
sih, yang lainnya bilang bahwa Anda tukang sihir?"
"Masalahnya, di desa ini ada seseorang yang tidak menyukai saya," jawab Helga
serius. "Dan orang itu menyebarkan cerita-cerita bohong mengenai saya.
Sayangnya, banyak orang yang percaya begitu saja."
"Tapi saya lebih percaya pada Anda!" Barbara berseru. "Nanti saya akan
menceritakannya pada teman-teman saya."
Setelah membelai Bello, gadis cilik itu lalu berlari ke arah jalan.
"Sekarang Anda punya teman baru di sini," kata Sporty pada Nona Ebert. "Untuk
permulaan, ini sudah lebih dari lumayan."
8. Seekor Rusa dan Lima Puluh Semut
SAMPAI abad yang lalu, rumah makan itu masih berfungsi sebagai tempat
pemberhentian kereta pos. Hal itu hingga kini masih tercermin pada namanya:
KEDAI POS. Menjelang jam makan siang, rumah makan itu nyaris kewalahan
menghadapi serbuan para pengunjung. Juru masak di dapur tak sempat menarik napas
panjang. Begitu selesai menyiapkan masakan untuk seorang tamu, pesanan lain
sudah datang lagi. Tapi kini, pada sore hari, suasana di KEDAI POS sudah mulai sepi. Apalagi
setelah pintu masuk ke ruang makan utama terhalang oleh meja yang melintang di
tengah jalan. Namun ini tidak berarti bahwa para pelayan bisa duduk santai
sambil beristirahat. Kaki Ute Petermann-ibu Barbara-sudah lecet-lecet setelah
sepanjang siang bolak-balik antara dapur dan ruang makan. Dan sekarang pun
kesibukannya belum berkurang juga, sebab teras rumah makan masih ramai oleh
pengunjung. Sebagian besar kaum pria desa Lerchenbach sedang duduk-duduk di teras KEDAI POS
sambil minum bir. Istri-istri mereka ditinggalkan di rumah. Tapi rupanya kaum
wanita tidak mau kalah. Banyak di antara mereka sedang duduk di rumah makan
sebelah yang bernama BINTANG KEJORA. Rumah makan itu menyediakan berbagai jenis
kue yang lezat, sehingga lebih menarik bagi ibu-ibu.
Dengan langkah panjang Ute Petermann kembali dari teras. Ia meletakkan sebuah
baki berisi gelas-gelas kosong pada meja layan, kemudian menyampaikan pesanan
sejumlah tamu yang baru datang.
"Lima bir dan dua gelas anggur merah," ia berkata pada petugas di balik meja
layan. Ute Petermann berpenampilan menarik. Semalam, ia bertugas sampai jam 2.00 pagi-
lalu mulai - kerja lagi pada jam 9.00. Karena terlalu lelah, ia nampak pucat.
Dan di sekeliling matanya terdapat lingkaran hitam.
"Kau sudah lihat Barbara hari ini?" ia bertanya pada rekannya yang sedang
menuangkan minuman. "Tadi dia sempat datang sebentar."
Ketika Ute membawa pesanan para tamu, ia sekalian mencari Barbara. Tapi alun-
alun desa sepi-sepi saja.
Setelah mengantarkan kelima gelas bir berikut dua gelas anggur merah, ia
mengelap dua buah meja, dan mengatur kursi-kursi.
Kemudian Ute masuk lagi. Sepintas lalu, ia masih sempat melihat seorang pria
berjalan menyusuri alun-alun. Tapi Ute tidak mengenalinya. Orang itu membawa
koper dan melangkah pelan.
Ute meletakkan baki, lalu bersandar pada meja layan. Kedua kakinya terasa
bengkak. Ia mendengar seseorang mengambil tempat pada meja di samping jendela. Orang itu
kemudian meletakkan sesuatu di lantai.
Pelayan yang bertugas menuangkan minuman baru saja masuk ke dapur untuk
menikmati makan siangnya.
Istirahat dulu, deh, pikir Ute. Habis itu mulai lagi.
"Pelayan!" seorang pria memanggil dengan ketus. Entah kenapa, Ute merasa
mengenali suara itu. "Sebentar!" Ia berbalik, lalu menuju meja tadi. Cahaya matahari di luar benar-benar
menyilaukan, sehingga Ute hanya melihat bayangan pria yang memanggilnya. Orang
itu sedang membolak-balik halaman-halaman koran, dan baru mengangkat kepala
setelah Ute berdiri di hadapannya.
Tiba-tiba saja Ute mengenalinya: Werner Schilhng, bekas pembantu Pak Jocher-
orang yang telah merenggut nyawa suaminya.
Pria itu pun mengenali Ute dan menatapnya sambil terbengong-bengong
Tangan Ute terasa sedingin es. Detak jantungnya bertambah cepat. Ia tak sanggup
berkata apa-apa. Hmm, rupanya dia sudah dibebaskan dan penjara, ujar Ute dalam hati. Aneh, selama
ini aku tidak pernah memikirkannya. Kenangan buruk itu seperti terhapus dari
ingatanku. Dan aku bahkan tidak menaruh dendam....
"Mau pesan apa?" Ute bertanya dingin.
"Saya... ehm... roti sosis. Dan... segelas bir."
Kalau saja dia dulu datang dan minta maaf padaku... Hah, sikap ksatria seperti
itu tidak ada dalam kamusnya. Di depan hakim, dia malah berlagak bodoh dan minta
keringanan hukuman. Ute membalik dan menuju ke meja layan. Tidak lama kemudian ia sudah kembali
untuk mengantarkan pesanan Werner Schilling.
Pria itu duduk lemas. Kedua sikunya bersandar pada meja. Wajahnya pucat.
Potongan rambutnya masih persis sama seperti dulu.
"Apa... apa kabar?" Werner bertanya. Ia harus mengerahkan seluruh keberaniannya
untuk mengucapkan pertanyaan singkat itu.
"Untuk apa Anda menanyakan keadaan saya?"
"Saya... saya..."
"Itu bukan urusan Anda!" Ute mendahuluinya dengan ketus.
Untuk sesaat keduanya terdiam.
"Saya... saya tidak sengaja," pria itu kembali berkata.
"Memang, Anda tidak sengaja. Anda hanya mabuk-mabukan, dan ngebut dengan mobil
milik orang lain. Padahal Anda tahu persis bahwa tindakan Anda sangat berbahaya.
Tapi untuk apa pusing-pusing" Kalau terjadi apa-apa, polisi toh hanya akan
mencabut SIM Anda, bukan" Dan membuat SIM baru tidak begitu sulit. Pokoknya,
Anda bisa ngebut dengan sepuas hati. Werner Schilling, saya sebenarnya tidak
sudi berbicara dengan Anda. Sayangnya Anda hanya dihukum selama 20 bulan.
Sedangkan suami saya pergi untuk selama-lamanya. Padahal usianya baru 31 tahun
waktu itu." Kedua tangan Werner Schilling nampak gemetar.
"Saya... saya benar-benar tidak... tidak sengaja," ujarnya tergagap-gapap.
"Ini pesanan Anda! Selamat makan!" kata Ute sambil menatapnya dingin.
Ia berjalan ke teras dan melihat Barbara yang sedang menyeberangi alun-alun
desa. "Mama!" gadis cilik itu berseru. "Aku tadi ke rumah si Tukang Sihir. Tapi
ternyata dia bukan tukang sihir. Dia guru, dan dia memberiku arbei segar. Di
rumah dia ada beberapa muridnya. Dan seekor anjing berkuping panjang. Aku tadi
bermain-main dengan anjingnya. Namanya Bello."
"Kau ke rumah Nona Ebert?" tanya Ute heran.
"Ya, namanya memang Nona Ebert. Asyik, lho! Kapan-kapan aku mau ke sana lagi,
ah. Dia juga menjelaskan kenapa orang-orang menyebut dia sebagai tukang sihir."
"Oh, ya?" "Ya! Katanya, di desa ini ada seseorang yang tidak menyukainya. Dan orang itulah
yang menyebarkan cerita-cerita bohong mengenai Nona Ebert."
Betul sekali! pikir Ute sambil mengangguk. Dan aku juga tahu siapa orangnya.
* Anak-anak STOP telah memutuskan untuk menikmati kunjungan ke rumah Helga sampai
detik-detik terakhir. Artinya, mereka masih ingin berlama-lama di rumah guru
mereka itu. "Dalam perjalanan pulang nanti, kita kebut saja," ujar Oskar. Baru kali ini si
pemalas punya usul seperti itu. Celana dan bajunya sudah kering kembali, dan
Oskar pun telah berganti pakaian. Sementara itu, tugas mereka sudah selesai.
Helga lalu mengemukakan usul baru.
"Bagaimana kalau kita pergi ke hutan dan mencari buah arbei?" ia menawarkan.
"Saya tahu suatu tempat di mana buah arbei tumbuh dengan subur."
Anak-anak STOP langsung setuju. Dalam sekejap mereka sudah siap berangkat.
Sporty dan Thomas masing-masing membawa sebuah kaleng kosong. Petra memasang
tali pengikat Bello, sebab masih banyak binatang liar yang hidup di hutan - dan
Bello adalah anjing pemburu berhidung tajam.
Helga mengunci semua pintu dan jendela.
"Lebih baik berjaga-jaga," katanya.
"Kalau begitu, sepeda-sepeda kami juga perlu diamankan," ujar Sporty. "Memang
lebih baik berhati-hati daripada menyesal kemudian."
Setelah semuanya beres, mereka menuju ke bagian belakang pekarangan Helga -
tempat Barbara Petermann bersembunyi tadi. Jalan setapak yang masuk ke dalam
hutan sudah bersih kembali. Rumput liar yang terbabat oleh sabit Sporty telah
menumpuk di pinggir jalan. Helga dan Petra yang membereskannya.
Suasana sunyi menyambut rombongan kecil itu. Cahaya matahari menembus atap
dedaunan. Helga berjalan di depan. Ia sudah hafal jalan yang harus mereka
tempuh. Bello mengikutinya sambil menjulurkan lidah. Anjing itu kadang-kadang
berhenti dan mengendus-endus sambil mengibaskan ekornya.
Setelah berjalan selama kurang lebih setengah jam, mereka tiba di suatu lapangan
terbuka.
Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, ini ladang arbei yang saya ceritakan tadi," ujar Helga sambil menunjuk ke
sekitarnya. Anak-anak tidak membuang-buang waktu. Langsung saja mereka mulai memetik buah-
buah itu. Tapi sebagian besar langsung masuk mulut. Hanya sedikit sekali yang
terkumpul di dalam kaleng-kaleng yang mereka bawa dari rumah Helga.
"Wah, lezat sekali!" Oskar mendesah sambil menepuk-nepuk perutnya. "Coba kalau
buah-buahan ini dibungkus coklat - pasti lebih nikmat lagi!"
"Coklat buatan pabrik Sauerlich memang enak kali," Petra berseru. "Tapi tanpa
bungkus coklat pun buah-buah arbei ini sudah lezat sekali. "
Berdua dengan Sporty gadis itu berusaha mengisi satu kaleng sampai penuh. Ketika
Sporty kemudian menemukan sebuah arbei yang besar dan merah sekali, ia segera
menghadiahkannya pada Petra. Tatapan mata gadis itu membuat wajah Sporty menjadi
hampir semerah hadiah yang ia berikan. Langsung saja anak itu menundukkan kepala
dan kembali mencari arbei.
"Eh, Bello ada di mana?" Petra tiba-tiba bertanya.
Semuanya memandang ke sekeliling mereka. Tapi anjing spanil itu seperti lenyap
dari muka bumi. Hanya tali pengikatnya yang nampak tergantung pada sebuah dahan.
"Ya ampun, Bello lepas lagi," ujar Petra sambil mengambil tali pengikat
anjingnya. "Wah, jangan-jangan Bello memburu binatang-binatang liar!" Thomas berkata cemas.
"Dasar tukang tipu," Oskar berkomentar. "Diam-diam melarikan diri! Wah, mudah-
mudahan dia cepat kembali. Hutan ini cukup luas. Bayangkan kalau kita harus
mencari Bello ke seluruh pelosok hutan."
"Sst!" Sporty mendesis sambil mengangkat tangan. Baru sekarang yang lain
mendengar gonggongan Bello yang semakin mendekat.
"Uuh, untung saja!" kata Petra. "Bello sudah kembali. Tapi-kenapa sih, dia"
Tidak biasanya dia menggonggong seperti ini."
Suara dahan-dahan patah terdengar dengan jelas. Gonggongan Bello semakin
menjadi-jadi. Dengan mata setengah terpejam Sporty memandang ke arah sumber bunyi-bunyi itu.
"Ia yakin bahwa Bello sedang mengejar sesuatu. Tapi ia sama sekali tidak
menyangka bahwa "sesuatu" itu adalah seekor rusa jantan.
Rusa itu bertanduk besar. Dengan mata terbelalak, binatang itu berlari menuju
lapangan - tepat ke arah Helga dan anak-anak STOP. Bello menyusul lima meter di
belakangnya. Anjing itu berlari sekuat tenaga. Rupanya ia merasa bangga karena
berhasil memamerkan binatang aneh bertanduk besar itu pada Petra dan anak-anak
yang lain. "Astaga!" Petra berseru kaget. "Awas, rusa itu mau menanduk kita!"
"Cepat, cari pohon yang bisa dipanjat!" teriak Sporty. "Ayo, sebelum rusa itu
melindas kita." Ia masih sempat melihat Helga dan Thomas naik ke sebatang pohon yang dahannya
menggantung rendah. Sementara itu, Petra berdiri di bawah sebatang pohon yang sama sekali tidak
cocok untuk dipanjat. Dengan mata terbelalak gadis itu menatap sebuah dahan yang
berada sekitar satu meter di atas kepalanya.
Kenapa justru pohon itu yang dipilihnya" tanya Sporty dalam hati. Tapi ia
langsung menyadari bahwa di sekitar Petra memang tidak ada pohon lain. Sementara
itu, rusa tadi sudah semakin mendekat.
Tanpa berpikir panjang, Sporty melesat menghampiri Petra. Sambil memegang
pinggangnya, ia mengangkat gadis itu. Dan dalam sekejap Petra sudah berada di
tempat yang aman. Sekarang Sporty yang kelabakan sendiri. Dahan yang diduduki Petra tidak cukup
kuat untuk menahan berat badan dua orang. Tapi walaupun bahaya tengah mengancam,
Sporty tetap tenang. Dengan satu lompatan panjang ia mencapai pohon terdekat.
Dahan paling bawah berada sekitar tiga meter di atas permukaan tanah. Sporty
melesat ke atas dan berhasil meraih dahan itu. Langsung saja ia menggunakan
kekuatan kedua lengannya untuk menyelamatkan diri. Tepat pada waktunya!
Sebab pada detik itu juga rusa tadi lewat di bawah Sporty. Ujung tanduknya
sempat mengenai sol sepatu Sporty.
"Tolong! Aku tidak bisa memanjat!" teriak Oskar ketakutan. "Tolong! Rusa itu
mengincarku!" Sporty segera menoleh. Helga dan Thomas berada di tempat yang aman. Petra duduk
di atas dahannya sambil berpegangan pada batang pohon. Hanya Oskar yang belum
menyelamatkan diri. Ia hanya berlari mondar-mandir di tepi hutan. Dengan wajah
pucat dan mata terbelalak ia menatap rusa yang menyerbu mendekat.
"Sembunyi di balik semak-semak!" teriak Sporty. "Rusa itu takkan bisa melihatmu
di sana!" Walaupun sedang dicekam ketakutan, Oskar segera mengikuti petunjuk sahabatnya.
Dengan sekali melompat ia menghilang di balik semak-semak. Kemudian ia
menggulingkan diri melewati gundukan tanah.
Sporty langsung meloncat turun. Rusa tadi berada sepuluh meter di depannya. Tapi
binatang itu langsung berlari ke tepi hutan.
Sementara itu, Bello telah menghentikan perburuannya. Dengan santai ia duduk di
tanah sambil menggaruk-garuk bagian belakang telinganya. Rupanya ia menganggap
bahwa tugasnya sudah selesai.
Kesempatan ini segera dimanfaatkan Sporty untuk menangkap anjing itu.
"Cukup untuk hari ini," ujar anak itu ketika meraih ikat leher Bello. "Nanti kau
malah membubarkan seluruh isi hutan!"
Rusa tadi menghilang di bawah pepohonan. Mungkin binatang itu menduga Bello
masih berniat mengejarnya.
Tapi Sporty tidak mau ambil risiko. Ia menunggu sampai rusa itu benar-benar
tidak kelihatan lagi. Kemudian baru ia berseru,
"Kalian boleh turun sekarang! Keadaan sudah aman!"
"Aku tidak bisa turun!" ujar Petra. "Aku takut kakiku terkilir kalau aku
melompat ke bawah." Tanpa berkata apa-apa, Sporty menuju ke bawah dahan yang diduduki Petra dan
melebarkan tangan. Petra melompat dan Sporty menangkapnya. Dengan selamat gadis
itu sampai di tanah. Tiba-tiba saja Oskar terdengar meraung-raung.
"Aduh! Aku dimakan hidup-hidup!" ia berteriak. "Semuanya menggigitku!"
Seperti dikejar setan Oskar muncul dari balik semak-semak. Dengan membabi-buta
ia memukul-mukul diri sendiri sambil melompat-lompat di tempat. Seluruh anggota
tubuhnya menjadi sasaran - mulai dari kepala, lengan, dan bahu sampai ke
punggung. Yang lain terheran-heran melihat tingkah Oskar. Helga dan Thomas juga sudah
turun dari pohon. Petra mulai cekikikan. "Oskar!" seru Sporty sambil bergegas mendekat untuk membantu sahabatnya itu,
Tiga Naga Sakti 15 Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen Setan Harpa 10
MISTERI TUKANG SIHIR Ebook by Raynold 1. Kejadian di Bioskop MALAM Minggu, pukul setengah delapan kurang tiga menit. Petra dan Sporty sedang
dalam perjalanan menuju Bioskop STAR. Walaupun hari telah menjelang malam, udara
masih terasa gerah. Sepanjang hari matahari memang bersinar terik. Dan kini
udara panas masih mengumpul di antara bangunan-bangunan. Dalam keadaan seperti
inilah, Sporty dan Petra melaju di atas sepeda masing-masing. .
Hebat, pikir Sporty sambil melirik ke arah sahabatnya, penampilan Petra tetap
sesegar bunga mawar di pagi hari. Entah bagaimana caranya-ya, barangkali memang
turunan. Rambut Petra yang pirang melambai-lambai. Rok biru yang dikenakannya
membusung karena tertiup angin. Gadis itu ketawa, lalu berseru pada Sporty,
"Hei, masih keburu, kan?"
"Sebenarnya kita sudah agak telat! " jawab Sporty sambil melihat jam tangan.
"Sekarang tepat pukul setengah delapan. Berarti pertunjukan sudah mulai."
"Mudah-mudahan saja film iklan dulu!"
Lima menit kemudian mereka tiba di depan gedung bioskop. Setelah mengunci
sepeda, kedua anak itu berlari menuju pintu masuk.
Ruang pertunjukan ternyata memang sudah gelap. Penonton-penonton lain sudah
berada di tempat masing-masing. Tapi harapan Petra terkabul yang tengah diputar
adalah iklan untuk film yang akan datang-sebuah film penuh adegan-adegan mendebarkan tentang petualangan
sejumlah pendaki gunung. Sporty langsung menunjukkan karcis mereka pada seorang wanita berseragam.
Wanita itu merobek ujung-ujung karcis, lalu mengantarkan Petra dan Sporty ke
kursi mereka. "Silakan duduk!" ia berkata sambil mengarahkan cahaya senternya ke baris paling
belakang. Petra dan Sporty mendapat kursi nomor 24 dan 25-persis di tengah-tengah.
"Uh, sampai juga, akhirnya!" Petra berbisik lega. "Semoga filmnya tidak terlalu
menyeramkan. Apa gunanya nonton film kalau aku harus tutup mata terus selama dua
jam?" "Tenang saja," balas Sporty sambil tersenyum. "Aku akan memberitahumu kalau
keadaan sudah mengizinkan untuk buka mata lagi."
Petra ketawa cekikikan. Lalu ia sibuk mengomentari berbagai iklan yang
mendahului film yang hendak mereka- tonton.
Selama beberapa saat, berbagai iklan ganti-berganti muncul di layar. Kemudian
tulisan istirahat menggantikannya.
Lampu-lampu menyala. Petugas pemeriksa
karcis tadi kembali mondar-mandir-kali ini sambil menawarkan makanan kecil dan
minuman ringan. Sporty bertanya apakah Petra ingin membeli sesuatu, tapi gadis itu menggeleng.
"Jangan samakan aku dengan Oskar, dong!" ia memprotes.
Sporty ketawa, lalu menjawab,
"Kalau aku nonton dengan Oskar, mana mungkin para penjaja makanan bisa santai
seperti sekarang. Mereka pasti keluar-masuk terus untuk mengambil persediaan
baru." Sambil menunggu film diputar, pandangan Sporty menyapu seluruh ruangan. Ternyata
ha- nya sepertiga dari jumlah kursi yang terisi.
"Hei, Petra!" Sporty tiba-tiba berkata sambil menunjuk ke depan. "Itu kan si
Helga!" Petra segera menatap ke arah yang ditunjuk sahabatnya.
"Eh, betul! Wah, ini baru kejutan! Ternyata dia mau juga nonton film seperti
ini. Apa kata rekan-rekannya kalau mereka tahu bahwa Helga nonton film horor"!
Kebanyakan guru kan gengsi! Mereka hanya mau nonton film-film 'bermutu'."
" Seperti apa, misalnya?"
"Misalnya film-film yang bisa menguras air mata, seperti kisah percintaan Romeo
dan Juliet." "Hehehe, kalau hanya mau bertangis-tangisan, mendingan nonton film India saja
sekalian!" Sporty berkomentar sambil nyengir. "Tapi-aku juga tidak menduga bahwa Helga suka
nonton film horor." Helga Ebert duduk lima baris di depan Petra dan Sporty, dan sedikit agak ke
kiri. Dia salah seorang guru favorit di sekolah-asrama, sekaligus yang paling
cantik. Dalam hal ini semua murid dan guru sependapat. Dari belakang, yang
terlihat hanya rambutnya yang panjang dan berwarna merah menyala.. Tapi satu
ciri itu saja sudah cukup untuk mengenalinya.
Helga Ebert masih muda. Oleh karena itu, murid-murid biasa menyebutnya Helga
saja kalau sedang membicarakan dia. Tapi di dalam kelas, Helga tetap dipanggil
Nona Ebert. Ia mengajar biologi, juga di kelas 9b-kelasnya Sporty, Thomas,
Oskar, dan Petra. Keempat sahabat itu akrab sekali dengan dia. Bukan hanya di
sekolah, tapi juga di luar jam pelajaran. Hari Minggu besok, Helga bahkan
mengundang mereka ke rumahnya.
Begitu melihat Helga, Petra langsung berniat memanggilnya, namun tidak sempat,
sebab lampu-lampu keburu padam lagi dan pertunjukan film utama dimulai.
Ya sudah, nanti saja! pikir gadis itu. Kemudian ia duduk dengan santai sambil
menatap layar bioskop. Yang terasa mengganggu adalah bahwa orang-orang yang terlambat masih masuk
terus. Salah seorang di antara mereka-seorang pemuda kekar berusia sekitar 16
tahun-duduk persis di hadapan Petra. Untung saja pemuda itu lalu duduk merosot
ke bawah, sehingga tidak menghalangi pandangan.
Sporty ternyata mengenali pemuda itu. Wah, si Max juga nonton! katanya dalam
hati. Tapi ini sih bukan kejutan. Dia pasti tidak pernah nonton film selain film
horor dan film perang. Max Jocher adalah kakak kelas mereka. Ia kini duduk di kelas sepuluh. Anaknya
konyol dan tidak menyenangkan. Suatu waktu, Sporty pernah memergokinya ketika
sedang menganiaya seekor anak anjing. Sporty tentu saja tidak tinggal diam.
Akibatnya, selama tiga hari berikut Max tidak masuk sekolah. Sejak peristiwa
itu, dia sangat berhati-hati kalau ketemu dengan Sporty.
Kekhawatiran Petra menjadi kenyataan. Filmnya ternyata menyeramkan sekali.
Adegan pertama langsung memperlihatkan belasan zombie alias mayat hidup yang
bangkit dari kubur masing-masing. Semuanya menyeringai secara mengerikan. Setiap
kali kamera mengambil wajah salah satunya dari dekat, Petra langsung membuang
muka dan mencari perlindungan pada bahu Sporty.
Sporty sampai tidak berani bergerak. Tapi dalam hati ia berharap agar filmnya
penuh dengan adegan-adegan serupa.
Berbeda dengan Petra, Max Jocher di hadapan mereka malah sama sekali tidak
bereaksi. Matanya pun hanya sekali-sekali terarah pada layar. Selebihnya ia
sibuk menoleh ke segala arah.
Adegan yang sedang diputar kebetulan berlangsung pada siang hari, sehingga ruang
pertunjukan pun ikut terang. Karena itu, kepala para penonton terlihat dengan
jelas. Tiba-tiba saja Max menyipitkan mata dan membungkuk ke depan. Sepertinya, ia
sedang memperhatikan seseorang.
Sambil nyengir lebar, ia lalu meraih ke dalam kantong. Sporty tidak bisa melihat
apa yang diambilnya. Tapi Max kelihatannya sibuk mengutak-atik barang itu. Ia
menegakkan badan, mengulurkan tangan kiri, menarik bahu sebelah kanan ke
belakang, dan... Tiba-tiba Sporty menyadari apa yang sedang dilakukan pemuda itu. Ia sudah sering
mendengar cerita bahwa Max selalu membawa sejumlah karet gelang dalam kantong
celana. Karet-karet itu dipakainya untuk menembakkan peluru-peluru berupa
jepitan kertas yang dibengkok-bengkokkan.
Dan sekarang pun dia sedang membidik seseorang.
Sporty bermaksud mencegahnya. Tapi pada saat yang bersamaan, Petra mendadak
meraih pergelangan tangannya. Dengan mata terbelalak gadis itu menatap layar
bioskop. Ternyata, salah satu zombie tadi sedang mengejar seorang gadis cilik di
sebuah ruang bawah tanah yang gelap-gulita.
Sebelum Sporty sempat berbuat apa-apa, Max telah melepaskan tembakan.
Terdengar pekik kaget seorang wanita. Suaranya jelas bernada kesakitan tetapi
beberapa penonton malah ketawa. Rupanya mereka menduga wanita itu memekik karena
takut melihat zombie-zombie gentayangan.
Sporty segera menengok ke arah Helga Ebert. Wanita muda itu sedang memegang
bagian belakang kepalanya dengan kedua belah tangan, lalu menoleh ke belakang.
Sasaran Max Jocher ternyata Helga!
Untuk sesaat Sporty begitu terkejut sehingga tidak bisa bergerak. Tapi
kemudian... Dengan cengkeraman sekeras baja Sporty menangkap kerah baju Max. Pemuda itu
ditariknya ke belakang, sampai melintang pada sandaran kursi. Lalu sebuah
tamparan yang luar biasa keras mendarat di wajah Max. Tapi tak seorang pun
mendengarnya. Pekikan Max tenggelam begitu saja, sebab pada saat yang sama,
sebuah tangga sedang ambruk di layar bioskop.
Sambil membungkuk di atas Max Jocher, Sporty berkata, "Aku melihat semuanya! Kau
menembak Nona Ebert. Awas, urusan ini akan berbuntut panjang."
Dengan kasar ia lalu mendorong pemuda itu kembali pada tempat duduknya.
"Astaga! Dia menembak Helga?" tanya Petra terkejut.
Sporty mengangguk. Sementara itu, Helga telah berdiri. Wanita muda itu bergegas menuju pintu
keluar, sambil menempelkan sebelah tangan ke bagian belakang kepalanya.
"Petra," Sporty segera berkata. "Aku keluar dulu, ya" Helga kelihatannya
cedera." "Tunggu," ujar Petra cepat-cepat. "Aku ikut, deh! Filmnya toh tidak terlalu
bagus." Gadis itu pun berdiri, lalu mengikuti Sporty.
Mereka menemukan Helga Ebert sedang berdiri di dekat loket karcis. Guru mereka
itu ternyata keluar lewat pintu lain. Ia sedang membelakangi cermin, memegang
saputangan, dan memutar leher untuk melihat bagian belakang kepalanya.
"Selamat malam, Nona Ebert!"
Dengan terkejut wanita itu berbalik.
"Eh, kalian!" Untuk sekilas wajahnya yang pucat nampak gembira. "Kalian mau
nonton" Saya baru dari dalam, tapi..."
"Kami juga," kata Petra. "Dan Sporty sempat melihat Max Jocher menembak Anda.
Tapi bajingan itu sudah mendapat ganjaran untuk perbuatannya. Keterlaluan!"
"Max Jocher yang melakukannya?" tanya Helga setengah berbisik. Wajahnya semakin
memucat. "Anda terluka," kata Sporty. Ia telah melihat noda-noda merah pada saputangan
Helga Ebert. "Boleh saya periksa sebentar?"
"Biar aku saja!" Petra langsung mendahuluinya. "Aku lebih terampil."
Ternyata tidak sia-sia Petra mengikuti kursus P3K. Dengan cekatan ia memeriksa
luka di kepala Nona Ebert-persis seperti jururawat berpengalaman. Kemudian ia
mengeringkan darahnya dengan saputangan.
"Tidak apa-apa, kok," ujar Nona Ebert. "Saya hanya sedikit kaget tadi. Hmm, Max
Jocher-pantas! Terima kasih atas bantuanmu, Sporty!"
"Ah, tamparan tadi belum sebanding dengan apa yang dilakukannya."
Helga Ebert mengangkat bahu, merapikan rambutnya, kemudian memasukkan saputangan
ke kantong celana. "Kali ini saya mungkin harus mengambil tindakan tegas," ia bergumam pelan-
seperti sedang berbicara pada diri sendiri. "Tapi... Ya, lihat nanti saja, deh!
Hmm, saya jadi tidak berminat nonton lagi. Kalau kalian mau masuk lagi..."
Sambil tersenyum ia menatap kedua anak itu.
"Saya juga sudah malas," ujar Sporty. "Tapi tergantung Petra, deh. Kalau dia..."
"Malas, ah!" jawab gadis itu cepat-cepat. "Filmnya ternyata tidak semenarik yang
saya sangka waktu lihat iklannya. Daripada terpaksa melihat adegan-adegan
konyol, mendingan saya jalan-jalan. Sekarang kan malam Minggu, jadi saya boleh
pulang agak lebih malam dari biasanya. Dan kebetulan ayah saya juga lagi dinas
malam. " Ayah Petra memang sering berdinas pada malam hari. Soalnya dia bekerja sebagai
komisaris polisi di bagian reserse.
Helga Ebert tersenyum. "Kalian sudah ada rencana lain" Belum ada" Kalau begitu, saya ingin mentraktir
kalian. Saya tahu sebuah restoran yang menyenangkan di dekat sini. Kita bisa
duduk-duduk di luar, di teras. Bagaimana, kalian berminat?"
"Tentu saja!" seru Sporty dengan gembira. "Seandainya semua guru seramah Anda,
maka hubungan antara murid-murid dengan para guru pasti jauh lebih akrab
daripada sekarang." Nona Ebert ketawa. Sederetan gigi yang putih bersih kelihatan dengan jelas.
Matanya yang keabu-abuan nampak bersinar-sinar. Helga memang guru paling cantik
di sekolah asrama. Tapi kalau sedang ketawa, ia bahkan lebih menarik dari
kebanyakan bintang film. "Naik apa kalian waktu datang tadi?" guru muda itu bertanya. "Kalian jalan
kaki?" "Kami naik sepeda," jawab Sporty. "Habis, naik bis terlalu lama dan harus
mengeluarkan uang lagi. Kecuali itu, kita tidak bisa berhenti persis di depan
tempat tujuan." Helga Ebert lalu mengatakan bahwa mobilnya diparkir di Taman Balai Kota-lumayan
jauh dari sini. Akhirnya mereka meninggalkan bioskop sambil berjalan kaki. Awan-awan hitam mulai
menutupi langit. Tapi cuaca masih cukup terang untuk duduk-duduk di teras
restoran. Di Eropa Barat, kalau lagi musim panas matahari memang baru tenggelam
sekitar jam sembilan malam.
Restoran yang dimaksud Helga ternyata penuh sesak. Tapi mereka beruntung. Sebuah
meja yang dinaungi sebatang pohon besar masih kosong.
Helga segera memesan Coca-Cola untuk mereka bertiga. Sebenarnya ia masih mau
mentraktir es krim, tapi Petra dan Sporty menolak dengan sopan.
"Apakah Anda sudah pernah punya urusan dengan Max Jocher?" tanya Sporty ketika
mereka menunggu pesanan dihidangkan.
Nona Ebert langsung tersentak kaget.
"Lho, kenapa kau berpikiran seperti itu?" ia kemudian balik bertanya.
"Anda tadi sempat mengatakan bahwa kali ini Anda mungkin harus mengambil
tindakan tegas. Berarti sebelumnya sudah pernah terjadi sesuatu. Dan, kalau saya
tidak salah, Anda dan Max Jocher sama-sama tinggal di desa Lerchenbach, bukan?"
Helga mengangguk. "Kalian pernah ke sana?"
"Hanya lewat saja," Petra menjawab. "Waktu itu Sporty, Thomas, Oskar, dan saya
sedang jalan-jalan naik sepeda. Anda sudah lama tinggal di sana?"
Desa Lerchenbach terletak kurang lebih 30 kilometer di sebelah selatan kota-jauh
dari jalan-jalan besar dan jalur pariwisata. Jumlah penduduk desa itu tidak
sampai 1000 jiwa. Dan sebagian besar bekerja sebagai petani. Mereka terkenal
keras kepala, tertutup, serta tidak suka pada hal-hal baru. Hanya kalau benar-
benar perlu saja mereka mau pergi ke kota. Menurut orang-orang kota yang pernah
ke sana, penduduk Lerchenbach sama sekali tidak ramah. Kabarnya, setiap orang
yang kesasar sampai ke sana akan dihadapi dengan penuh kecurigaan. Di antara
para remaja desa, cukup banyak yang rajin ke gereja, tapi banyak juga yang
terkenal sebagai tukang bikin onar. Max Jocher termasuk dalam kelompok kedua.
Sporty tahu bahwa ayah Max seorang petani kaya di Lerchenbach. Ia juga tahu
bahwa Helga Ebert - yang entah kenapa juga tinggal di desa itu -setiap pagi
datang ke sekolah-asrama dengan mengendarai mobilnya.
"Sebenarnya saya memang orang Lerchenbach," Helga menjawab pertanyaan Petra.
"Saya lahir dan dibesarkan di sana. Tapi saya tetap saja merasa terasing di desa
itu, seakan-akan saya baru seminggu yang lalu pindah ke sana. Ceritanya begini,
waktu Perang Dunia II, orangtua saya -keduanya sudah meninggal sekarang -
terpaksa mengungsi. Seusai perang, mereka terdampar di Lerchenbach, dan akhirnya
memilih untuk tetap tinggal di sana. Ayah sebenarnya bekerja di kota, tapi Ibu
ingin hidup di lingkungan pedesaan. Secara kebetulan mereka berhasil membeli
sebuah rumah dengan pekarangan yang luas sekali - bahkan lengkap dengan sebuah
danau kecil. Dengan demikian mereka resmi menjadi penduduk Lerchenbach. Tapi
orangtua saya tidak pernah bisa akrab dengan penduduk-penduduk lama." Helga
berhenti dan merenung sejenak.
"Itu terjadi 25 tahun yang lalu," ia melanjutkan ceritanya. "Kemudian saya
lahir. Masa kanak-kanak saya dihabiskan dengan bermain-main bersama anak-anak
yang lain. Setelah cukup umur, saya mulai masuk sekolah desa. Tapi setelah tamat
sekolah dasar, saya terpaksa pindah. Pada waktu itu," ia berkata sambil
tersenyum, "sekolah-asrama kita yang tercinta belum menerima murid wanita.
Sayangnya, tidak lama kemudian Ibu meninggal. Ayah mengambil satu-satunya
tindakan yang dianggapnya benar: ia menitipkan saya pada ibunya-nenek saya-yang
tinggal cukup jauh dari sini. Saya meneruskan sekolah lanjutan di sana. Lalu
saya mulai kuliah di universitas. Hanya kalau libur saja saya kembali ke
Lerchenbach, untuk mengunjungi Ayah. Dia sangat menderita karena dikucilkan oleh
para penghuni desa yang lain. Habis, Ayah sangat ramah dan suka bergaul. Ketika
ia meninggal dua tahun yang lalu, saya mewarisi sebuah rumah berikut tanah luas
sekelilingnya. Karena itu saya akhirnya kembali ke Lerchenbach-dan entah dengan
Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cara apa pun, tak seorang pun bisa mengusir saya dari sana!"
Kalimat terakhir itu diucapkannya dengan nada geram. Kedua pipi Nona Ebert
nampak memerah, dan tangannya mengepal.
"Siapa yang mau mengusir Anda?" tanya Petra dengan heran.
"Seseorang yang tidak menghendaki kehadiran saya di sana," kata Helga.
"Ah, masa sih?" tanya Sporty setengah tak percaya. "Ehm, apa alasannya" Apa ada
sebab-sebab tertentu?"
Helga minum seteguk sebelum menjawab, "Memang ada sesuatu, hanya saja saya belum
bisa membuktikannya. Sepertinya, Jocher telah menghasut semua penduduk desa
untuk memusuhi saya."
"Max Jocher?" tanya Petra terheran-heran.
"Bukan, ayahnya. Dia tokoh terpandang di Lerchenbach. Seorang petani kaya,
sekaligus kepala desa." Helga berhenti sejenak dan meraba-raba luka di
kepalanya. "Menurut ukuran orang Lerchenbach, Pak Jocher termasuk tekun dan
telaten. Tapi dia juga berpandangan sempit, keras kepala - dan benci setengah
mati pada saya. Saya pernah memberikan kesaksian di pengadilan yang memberatkan
anaknya, Harry. "Pak Jocher itu punya dua putra: Max dan Harry. Si Harry ini sudah berusia 26
tahun-tapi dia seorang pemuda bejat. Dua tahun lalu, dia membujuk seorang gadis
kecil berusia 11 tahun untuk ikut ke hutan dengannya, lalu... Pokoknya,
keterlaluan! Secara kebetulan saya memergokinya. Waktu itu saya sedang berjalan-
jalan. Harry langsung kabur, tapi saya sempat mengenalinya. Di depan pengadilan,
segala sesuatu akhirnya tergantung pada keterangan saya. Tapi sebelum sidang,
Pak Jocher datang ke rumah saya dan menawarkan sejumlah uang supaya saya tidak
muncul. Tentu saja saya menolak. Tapi dia memaksa, sehingga saya pun terpaksa
mengusirnya. Harry kemudian mendapat hukuman yang setimpal dan sampai sekarang
masih berada di penjara. Sejak itu Pak Jocher melakukan apa saja untuk membalas
dendam. Macam-macam saja ulahnya-apalagi pekarangan rumah saya kebetulan
berbatasan langsung dengan tanah milik dia. Saya baru sejak awal tahun tinggal
di sana. Tapi selama itu, tak ada satu hari pun berlalu tanpa gangguan! Dan
belakangan ini, keadaannya semakin gawat. Tapi saya tidak akan mengalah.
Seenaknya saja!" "Astaga!" Sporty berkomentar. "Padahal saya kira kehidupan di desa masih
berlangsung dalam suasana gotong-royong dan kekeluargaan. Sekarang saya baru
mengerti kenapa Max Jocher nekat menembak Anda tadi."
"Keterlaluan!" Petra berseru. Matanya yang biru nampak menyala-nyala. "Apakah
Anda sama sekali tidak punya teman di Lerchenbach?"
"Tidak ada sama sekali," jawab Helga Ebert sambil tersenyum sedih. "Sudah
terlalu lama saya meninggalkan desa itu. Teman-teman saya semasa kecil kini
sudah menganggap saya sebagai orang asing. Sebenarnya sih, saya tahu bahwa
beberapa orang berpihak pada saya. Tapi tak ada yang berani menunjukkannya
secara terang-terangan. Semuanya takut pada Pak Jocher."
"Barangkali kami sempat melihat orangnya kalau mengunjungi Anda besok," kata
Sporty. "Oh, ya! Saya hampir lupa bahwa kalian ingin membantu membereskan pekarangan.
Kalau bisa, kalian datang sepagi mungkin, ya" Jadi kita bisa sarapan dulu
sebelum mulai kerja. Saya juga sudah menyediakan coklat untuk Oskar."
"Asal jangan terlalu banyak saja," Sporty menanggapinya sambil ketawa. "Nanti
dia malah meledak!" Kemudian pembicaraan mereka beralih pada hal-hal lain: masalah-masalah sekolah,
teman-teman sekelas, serta pekan olahraga dan kesenian yang sebentar lagi akan
diadakan. Hari semakin gelap. Ketika pelayan datang untuk menyalakan lilin di meja, Nona
Ebert sekalian membayar. Lalu ia, Petra, dan Sporty berdiri.
Beberapa saat mereka berjalan bersama-sama ke arah bioskop, namun kemudian
mereka terpaksa berpisah. Helga Ebert hendak mengambil mobilnya di Taman Balai
Kota, sementara sepeda Sporty dan Petra masih berada di depan bioskop.
Anak-anak mengucapkan terima kasih, dan berjanji untuk datang pagi-pagi ke rumah
Nona Ebert. "Satu-satunya kesulitan yang bakal dihadapi adalah membangunkan Oskar," ujar
Sporty sambil ketawa. "Setiap akhir pekan, kebutuhan tidurnya mendadak berlipat
ganda." Sebelum pulang ke asrama, Sporty mengantar Petra sampai ke rumahnya-seperti
biasanya kalau mereka pulang setelah gelap. Sambil mengayuh sepeda, Petra
berkata, "Helga memang ramah sekali, terutama kalau kita sudah kenal lebih dekat
dengannya. Sikapnya seperti seorang kakak saja."
"Betul!" Sporty mengangguk. "Anak-anak tunggal seperti kau dan aku pasti
bersyukur seandainya punya kakak seperti dia."
2. Jeritan di Lorong Gelap
DI sepanjang jalan menuju Taman Balai Kota, toko-toko dan butik-butik berderet-
deret. Semua kaca etalase terang-benderang, sehingga banyak orang berhenti untuk
melihat-lihat barang-barang yang dipajang.
Helga Ebert punya banyak waktu. Tak ada yang menunggunya - kecuali binatang-
binatang piaraannya di rumah: dua ekor ular dan sejumlah labah-labah. Kebanyakan
orang takkan kepikiran untuk memelihara binatang-binatang seperti itu.
Tapi jangan lupa-Helga Ebert adalah guru biologi di sekolah-asrama! Ia mengamati
kehidupan ular dan labah-labah dalam rangka menyusun laporan ilmiah.
Namun kini, perhatian wanita muda itu lebih tertuju pada pakaian musim panas
yang terpajang di kaca etalase sebuah butik. Kecuali itu, ia juga tertarik pada
bikini berwarna hijau, sepasang sandal dari Itali dan sebuah tas kulit.
Dengan santai ia berjalan dari toko ke toko.
Sementara itu, hari semakin gelap. Awan-awan hitam telah menutupi langit. Tiupan
angin bertambah kencang, sehingga mengguncang-guncangkan dahan-dahan pohon dan
menerbangkan debu Jalanan. Hanya sedikit orang yang masih betah berjalan-jalan.
Sebagian besar sudah pulang ke rumah masing-masing.
Helga Ebert melewati sebuah bar. Entakan musik rock terdengar melalui pintu yang
terbuka lebar. Dua pemuda tanggung berdiri di depannya. Sambil mengembuskan asap
rokok, mereka memperhatikan Helga. Dan salah seorang dari mereka lalu berkata,
"Wah, baru kali ini aku lihat tukang sihir secantik ini! Halo, Manis! Bagaimana
kalau kau menemani kami minum-minum di dalam?"
Nona Ebert langsung tersentak kaget. Bukan karena ditegur secara kurang ajar,
melainkan karena disapa dengan julukan "tukang sihir". Ia tahu persis kenapa
pemuda itu menyebutnya begitu.
Helga tetap berjalan tanpa mempedulikan kedua anak muda itu. Ketika melirik jam
tangannya, ia baru menyadari bahwa sudah waktunya untuk pulang. Lagi pula,
sebentar lagi hujan akan turun. Langsung saja ia mempercepat langkahnya. Tapi
jarak ke Taman Balai Kota masih lumayan jauh.
Akhirnya Helga memutuskan untuk mengambil Jalan pintas. Ia membelok dari jalan
besar menyusuri sebuah jalan kecil, melewati jalan hijau, lalu memasuki daerah
kota-lama. Jalan-jalan di sini sempit dan berbelok-belok. Gedung-gedung
berlantai tiga atau empat, yang sudah berusia ratusan tahun, saling menempel.
Namun di tengah-tengah lingkungan kuno ini masih ada toko-toko yang cukup ramai
dikunjungi orang: toko-toko emas dan permata, sejumlah galeri seni, bengkel-
bengkel pengrajin, serta toko-toko barang antik.
Kini Nona Ebert sampai di ujung Gang Gereja. Gang ini amat sempit-dan gelap
sekali. Kedua sisinya diapit oleh dinding-dinding bangunan yang tinggi. Yang
bisa lewat di sini hanyalah pejalan kaki dan pengendara sepeda saja. Setiap
bunyi-selirih apa pun-terdengar menggema.
Siapa sangka, di tengah-tengah kota modern masih ada sisa-sisa bangunan Abad
Pertengahan, pikir Helga terkagum-kagum.
Tapi tiba-tiba pikirannya mulai tidak tenang. Sosok hantu dari film horor tadi
mendadak muncul lagi di dalam bayangannya. Beberapa kali wanita muda itu menoleh
ke belakang, karena merasa diikuti.
Pada siang hari saja, Helga sering merinding kalau melewati Gang Gereja. Apalagi
sekarang, pada malam hari - dan satu-satunya lampu penerangan yang ada malah
berkedap-kedip. Langkah Helga semakin cepat. Ia melewati sebuah portal kuno. Di baliknya ada
halaman gelap yang dikelilingi tembok-tembok bangunan di keempat sisinya. Untuk
mencapai Taman Balai Kota, Helga harus menyeberangi halaman itu, kemudian
melewati semacam terowongan yang menembus bangunan yang menghadap ke jalan.
Tiba-tiba terdengar bunyi kaca pecah. Seseorang mengumpat dengan suara tertahan.
Kemudian suasana kembali hening.
Helga berhenti. Bunyi itu berasal dari halaman di balik portal.
Eh, apa itu" Jangan-jangan pencuri, Helga berkata dalam hati. Wanita muda itu
mulai dicengkeram ketakutan. Ia merasakan detak jantungnya semakin memburu. Apa
yang harus ia lakukan" Di sekelilingnya tidak ada siapa-siapa, dan kotak telepon
umum terdekat pun masih jauh. Terus berjalan seakan-akan tidak mendengar apa-
apa" Tidak!-hati kecilnya mengatakan bahwa ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa"
Menelepon polisi" Percuma saja kalau tidak ada alasan yang kuat!
Ah, paling-paling orang buang sampah, Helga mencoba menenangkan diri. Tapi...
kenapa orang itu tidak. menyalakan lampu"
Keadaan di sekelilingnya memang gelap-gulita. Bajunya yang hijau tua seakan-akan
menyatu dengan kepekatan malam. Tapi sambil mengerahkan seluruh keberaniannya,
Helga memutuskan untuk menyelidiki sumber bunyi tadi.
Ketika berdiri di bawah portal, ia tidak bisa melihat apa-apa lagi - bahkan
ujung hidungnya pun tak terlihat. Helga mengulurkan lengan sampai menyentuh
dinding. Ia maju selangkah demi selangkah, sambil meraba-raba mencari jalan.
Tiba-tiba dindingnya berakhir. Ia telah sampai di tengah halaman.
Helga mendongakkan kepala. Jauh di atasnya terlihat awan-awan hitam berkejar-
kejaran. Semuanya hening.
Tapi kemudian ia. mendengar suara "krak" pada dinding belakang sebuah rumah
berlantai tiga atau empat. Sumber suara itu hanya beberapa langkah di
hadapannya. Ternyata benar: seorang pencuri sedang beraksi!
Helga Ebert sadar bahwa ia tidak berdaya menghadapi pencuri-apalagi kalau
orangnya lebih dari satu. Tapi skarang-setelah memperoleh kepastian-ia tahu apa
yang harus ia lakukan: cepat-cepat mencari telepon umum dan menghubungi polisi.
Dengan hati-hati wanita itu melangkah mundur, sementara si pencuri tetap
meneruskan pekerjaannya. Helga mengenakan sandal berhak tinggi. Dan inilah yang berakibat fatal ketika
kakinya tersandung. Ia masih bisa menahan diri untuk tidak berteriak, namun
tetap kehilangan keseimbangan. Sambil mencari pegangan ia mengulurkan lengan
kiri untuk bersandar pada tembok portal!
Berhasil. Tapi telapak tangannya secara tidak sengaja menekan, sakelar lampu
yang berada pada tembok itu.
Seketika dua buah lampu menyala: satu di bawah portal, satu lagi di dinding
belakang rumah tadi. Jantung Helga seakan-akan berhenti.
Halaman sempit itu menjadi terang-benderang. Tak ada apa-apa di sana, kecuali
sejumlah tong sampah-dan pencuri itu.
Orang itu berdiri di depan sebuah jendela sambil menyandang tas yang penuh
dengan peralatan. Jendela itu tadinya diamankan dengan terali besi, tapi si
pencuri telah berhasil membongkarnya. Terali itu kini bersandar pada dinding di
bawah jendela. Ketika lampu tiba-tiba menyala, dia langsung berbalik. Hanya beberapa langkah
saja yang memisahkan Helga Ebert dengan penjahat itu.
Mereka saling bertatapan.
Pencuri itu ternyata seorang pria berbadan besar. Ia berpakaian serba gelap dan
mengenakan sepatu olahraga. Wajahnya tampan, tapi tanpa ciri-ciri istimewa.
Kedua matanya menyorot garang.
Dia pun kaget, tapi hanya untuk sejenak. Wajahnya menyeringai.
Selama beberapa saat, Helga seperti lumpuh.
Dengan sikap mengancam pria tadi mendekatinya. Ia memegang sesuatu di tangan-
mungkin sebuah pisau. Helga sebenarnya ingin lari, tapi kedua kakinya tidak bisa digerakkan. Seperti
patung ia berdiri dan menatap pria di hadapannya dengan mata terbelalak.
Helga mulai panik. "Tolong!" ia berteriak. "Tolong!"
Pada detik yang sama Petra masuk ke rumahnya. Bersama Sporty, gadis itu
sebenarnya sudah agak lama berdiri di depan pintu, tapi masih asyik ngobrol.
Kini Sporty harus cepat-cepat kembali ke asrama. Agar jangan sampai terlambat,
ia terpaksa memacu sepedanya dengan kecepatan penuh. Soalnya asrama tempat
tinggal Sporty terletak agak di luar kota cukup jauh dari rumah Petra. Dengan
sepeda balapnya. Sporty melaju melalui jalan-jalan yang gelap. Hampir saja ia
mengambil jalan seperti biasa. Tapi tiba-tiba ia teringat bahwa Jalan Agustinus
untuk sementara waktu tertutup bagi lalu-lintas. Bahkan pejalan kaki pun tidak
bisa lewat. Seluruh jalan sedang dibongkar dalam rangka pembuatan terowongan
kereta bawah tanah. Karena itu, Sporty akhirnya mengambil jalan pintas. Ia melewati daerah kota-
lama, kemudian membelok ke Gang Gereja.
Keadaannya gelap-gulita, sehingga ia terpaksa mengurangi kecepatan. Lampu
sepedanya hanya mampu menyorot beberapa meter ke muka.
"Tolong!" tiba-tiba ia mendengar seorang wanita berteriak. Lalu sekali lagi:
"Tolong!" Dengan terkejut Sporty menyadari: itu suara Helga Ebert! Dia berada dalam
kesulitan! Langsung saja ia menggenjot sepedanya dengan sekuat tenaga, tanpa mempedulikan
keselamatannya sendiri. Helga Ebert pasti tidak jauh.
Sporty melihat cahaya lampu, mengarah ke sana, dan masih sempat melihat seorang
pria berpakaian gelap mengancam gurunya itu. Tapi tepat pada detik itulah
lampunya padam kembali. Belakangan baru diketahui, bahwa sakelar tadi memutuskan
aliran listrik secara otomatis setelah lampu menyala selama tiga menit.
"Nona Ebert!" SpOlty berteriak. "Di mana Anda?"
Ia melompat dari sepeda, membiarkan sepedanya terbanting, kemudian menyerbu ke
dalam kegelapan. Dengan tangan terkepal ia berlari ke tengah lapangan.
Pada detik berikutnya ia menabrak seseorang. Secepat kilat Sporty pasang kuda-
kuda. Hampir saja ia melancarkan serangan maut-yang justru akan berakibat gawat,
sebab yang dihadapinya ternyata Nona Ebert.
Untung Sporty masih sempat menyadari kekeliruannya. Segera ia melepaskan
cengkeraman. "Oh,. maaf! Mana bajingan itu?"
"Saya... saya tidak tahu," jawab Helga Ebert dengan napas tersengal-sengal.
"Dia... dia Hampir memukul saya."
Sporty tetap waspada. Ia menahan napas dan berusaha menangkap suara-suara
mencurigakan. Dari bagian samping halaman terdengar bunyi benturan, tapi Sporty
tidak bisa memastikan dengan tepat dari mana arahnya.
"Mana sakelar lampu?" ia bertanya pada Nona Ebert.
"Di dinding portal. Sebelah kiri!"
Sporty meraba-raba dalam kegelapan. Detik-detik berharga terbuang percuma. Tapi
akhirnya ia berhasil menemukan sakelar lampu, dan halaman itu pun kembali
terang-benderang. Sporty langsung melihat ke sekeliling. Tapi penjahat tadi telah lenyap. ...
Kini baru kelihatan: suara benturan tadi berasal dari sebuah dinding yang
tingginya kira-kira sedada. Di balik. tembok itu terdapat halaman rumah sebelah
dan... Sporty segera berlari ke sana dan memanjat ke atas. Tapi halaman sebelah pun
sepi. Sebuah gang sempit menuju ke jalanan. Pintu gerbang ke arah Gang, Gereja
tertutup rapat. Sporty menoleh dan berkata pada Helga, "Nona Ebert, Anda tunggu di sini saja!
Saya akan mengejar bajingan tadi. Barangkali saya masih sempat menangkapnya."
Tanpa menunggu jawaban dari gurunya, ia melompat ke halaman sebelah, lalu
berlari menyusuri gang sempit tadi.
Dalam sekejap ia sudah keluar ke jalan besar dan nyaris bertabrakan dengan
sepasang remaja. Mereka sedang memperhatikan kaca etalase sebuah toko barang
antik. Sporty menoleh ke kiri-kanan. Di ujung jalan, sebuah taksi sedang menurunkan
penumpang. Tapi... di depan taksi itu, seorang pengendara sepeda motor sedang menghilang di
balik tikungan jalan. Orang itu berpakaian gelap.
"Apakah ada yang keluar dari gang ini sebelum aku?" Sporty bertanya pada kedua
remaja yang masih berdiri di depan toko.
Pemuda yang ditanya Sporty hanya menggeleng, tapi pacarnya berkata,
"Ya, seorang pria. Kelihatannya dia sedang terburu-buru! Dia langsung kabur naik
sepeda motor." "Dasar penjahat!" ujar Sporty geram.
Tanpa memperhatikan kedua remaja yang menatapnya sambil terbengong-bengong,
Sporty segera kembali ke tempat Nona Ebert.
Sementara Sporty mengejar bajingan itu, sudah tiga kali Nona Ebert menekan
sakelar lampu. Setelah apa yang dialaminya, wanita itu tidak berani berada dalam
gelap - biarpun hanya untuk satu detik saja!
Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah Helga nampak pucat-pasi.
"Sporty!" ia membisik dengan suara gemetar. "Untung kau datang tepat pada
waktunya. Pencuri itu hampir saja memukul saya."
"Sayangnya saya tidak berhasil menangkap bajingan itu. Dia keburu kabur naik
sepeda motor. Tapi dari mana Anda tahu bahwa dia seorang pencuri" Apakah... Oh,
pantas!" Baru sekarang ia melihat terali besi yang bersandar pada dinding rumah.
"Saya tadi ambil jalan pintas ini agar lebih cepat sampai ke Taman Balai Kota.
Tiba-tiba ada suara mencurigakan, dan..." Helga lalu bercerita.
"Nona Ebert, Anda telah berhasil menggagalkan sebuah pencurian!" ujar Sporty
kemudian. "Tapi Anda pun mengambil risiko yang sangat besar. Bajingan itu rupanya mau
masuk ke toko barang antik Feilberg. Tokonya berada di dalam bangunan ini. Saya
sempat membaca papan namanya waktu berdiri di pinggir jalan besar. Barang-barang
yang dipajang di kaca etalase sangat mahal. Pantas semua jendelanya diamankan
dengan terali besi."
"Saya rasa, sudah waktunya untuk menghubungi polisi," kata Helga. "Tapi
sebelumnya," ia menambahkan sambil mengulurkan tangan, "saya ingin mengucapkan
terima kasih dulu padamu, Sporty. Kau telah menyelamatkan saya."
Tapi Sporty menolak sambil tersenyum malu. "Saya kan hanya melaksanakan
kewajiban saya," katanya merendah. "Kalau saja saya tadi tidak begitu berisik,
mungkin saya berhasil menangkap bajingan itu. Tapi saya pikir, dia sudah mulai
memukul Anda. Dan itulah yang ingin saya cegah dengan berteriak-teriak."
"Dan kau berhasil! Untung saja."
Mendadak pintu belakang rumah tadi membuka, dan seorang pria berusia lanjut
muncul. Sambil bertolak pinggang ia menatap Helga dan Sporty.
"Mau apa kalian di sini?" ia bertanya dengan ketus. "Ini bukan jalan umum,
tahu"!" Sporty segera menunjuk terali besi yang telah terlepas dari jendela.
"Nona Ebert baru saja mengusir seorang pencuri. Dan dia hampir terbunuh
karenanya. Bapak seharusnya bersyukur bahwa kami ada di sini. Sebab kalau tidak,
Bapak besok pagi akan menemukan barang-barang di toko Bapak banyak yang lenyap-
dan kemungkinan besar barang-barang yang paling mahal. Bapak pemilik toko
FeHberg, bukan?" Pria itu melihat ke arah jendela. Ketika menyadari bahwa terali besinya telah
copot, ia langsung membelalakkan mata dan memegangi dadanya.
Dengan tergagap-gagap ia lalu berkata, "Ya, saya... saya Pak Feilberg. Ya,
ampun! Pencuri! Dan saya... saya tidak mendengar apa-apa. Mereka... mereka...
Saya harus menelepon polisi."
"Kalau Bapak telepon ke kantor polisi," kata Sporty, "Bapak sebaiknya minta
dihubungkan dengan Komisaris Glockner. Dialah komisaris polisi yang paling tekun
di kota ini. Dan kebetulan, dia lagi berdinas malam ini."
3. Gambar Rekaan Polisi PAK Feilberg ternyata orangnya ramah. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih
pada Helga dan Sporty. Kemudian ia mengajak mereka masuk ke dalam rumahnya yang
nyaman, untuk bersama-sama menunggu Komisaris Glockner.
"Akhir-akhir ini," Pak Feilberg mulai bercerita sambil membelai salah satu dari
ketiga kucing siam-nya, "para pedagang barang antik seakan-akan memang diincar
oleh pencuri itu. Belum lama ini, toko milik teman saya kebobolan dengan cara
yang hampir sama seperti tadi. Dan sebelumnya juga sudah ada beberapa kasus
serupa." "Saya melihatnya dengan jelas," kata Nona Ebert. Bulu kuduknya terasa berdiri
lagi. "Wajahnya takkan pernah saya lupakan. Sebenarnya, tidak ada ciri-ciri yang
istimewa. Sulit sekali untuk menjelaskan bagaimana tampang orang itu. Yang
paling menyolok adalah sorot matanya yang tajam dan sedingin es! Sepertinya dia
tidak memiliki perasaan sama sekali."
Pak Feilberg menanyakan apakah Helga dan Sporty ingin minum sesuatu, lalu
mengeluarkan sebotol air mineral dari lemari es. Ia sendiri minum segelas
anggur. "Kemudian bel pintu berdering. Mobil patroli dengan Komisaris Glockner-
ayah Petra-telah tiba. Ia ditemani oleh seorang rekannya.
"Halo, Sporty!" ia berkata setengah terkejut. "Kau sedang terlibat petualangan
baru lagi?" "Kebetulan saja saya ada di sini, Pak Glockner. Tapi perkenalkan dulu, ini Pak
Feilberg, pemilik toko barang antik Feilberg. Dan ini Helga Ebert, guru biologi
di sekolah-asrama. Nona Ebert yang melihat pencuri itu."
Komisaris Emil Glockner adalah seorang pria gagah. Sorot matanya hangat dan
selalu berkesan menyelidik. Jarang sekali ada yang lolos dari pengamatannya. Ia
merupakan pelindung tak resmi anak-anak STOP, dan sudah sering membantu mereka
jika keadaannya mulai genting. Pak Glockner sangat menyukai Sporty. Antara lain
karena anak ini sudah sering membuktikan diri sebagai pribadi yang tangguh.
Setelah acara perkenalan, Pak Glockner dan rekan yang menemaninya turun ke
halaman belakang untuk melihat tempat kejadian.
Ketika mereka kembali, Komisaris Glockner berkata, "Kemungkinan besar orang
tadilah yang telah lama kami cari-cari. Sejak dua bulan lalu, jumlah pencurian
di toko-toko barang antik telah meningkat dengan pesat. Dan ini bukan ulah
pencuri amatiran, sebab..."
"Nah, apa saya bilang tadi!" seru Pak Feilberg. "Saya juga punya dugaan seperti
itu. Apakah polisi sudah menemukan sesuatu?"
"Sayangnya kami belum berhasil memperoleh keterangan mengenai orang itu," Pak
Glockner menjawab. "Tapi berdasarkan cara kerjanya, kami menarik kesimpulan
bahwa dia bekerja sendirian. Yang menyulitkan penyidikan kami, dia tidak pernah
meninggalkan sidik jari atau jejak-jejak lain yang mungkin bisa mengungkapkan
identitas dirinya. Untung Anda melihatnya, Nona Ebert. Itu merupakan bantuan
yang tak ternilai bagi polisi. Berdasarkan keterangan Anda, kami akan membuat
gambar rekaan wajah si pencuri, yang kemudian akan disebarkan ke seluruh pos
polisi di kota dan sekitarnya. Tapi untuk itu saya berharap agar Anda bersedia
ikut ke kantor kami."
"Tentu saja," kata Helga.
"Dan bagaimana dengan saya?" tanya Sporty sambil tersenyum simpul.
Pak Glockner jadi ikut-ikutan tersenyum.
"Kau kan terlibat juga. Keteranganmu dibutuhkan untuk menyusun laporan. Tapi
sekarang sudah larut malam. Mestinya kau sudah lama kembali ke asrama, bukan"
Begini saja deh, setelah sampai di kantor nanti, saya akan segera menelepon
petugas piket dan memberitahunya bahwa kau sedang membantu penyidikan polisi."
"Wah, terima kasih banyak!" kata Sporty gembira.
"Waktu saya seusia kau," kata Pak Feilberg sambil tersenyum, "saya pun tidak
puas kalau hanya menjadi saksi saja. Tapi ini ada untungnya, setelah dewasa
nanti, kau sudah kenyang bertualang dan bisa hidup dengan tenang."
Tidak lama kemudian semuanya berangkat ke kantor polisi. Sepeda Sporty
dimasukkan ke dalam bagasi mobil patroli. Hanya Pak Feilberg saja yang tidak
ikut. Soalnya dia tidak berani meninggalkan rumahnya dalam keadaan kosong.
Kecuali itu, ia juga tidak melihat atau mendengar apa-apa.
* Lampu neon di langit-langit menyala, begitu pun lampu di meja tulis. Di ruang-
ruang sebelah, petugas-petugas berseragam sibuk mengetik. Entah di mana, sebuah
telepon berdering. Suara langkah menggema di selasar. Suasana di kantor polisi
memang tidak pernah sepi - terutama pada malam Minggu.
Komisaris Glockner duduk di balik meja tulis, mereguk kopinya, dan menunggu
sampai Helga Ebert dan Sporty selesai membaca dan menandatangani laporan yang
telah selesai diketik. "Dan sekarang," kata Pak Glockner, "kita harus mencoba membuat gambar rekaan
wajah penjahat tadi. Sebelumnya saya perlu mengingatkan Anda, Nona Ebert, bahwa
ini bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi Anda sendiri telah mengatakan bahwa
tidak ada ciri-ciri istimewa pada wajah penjahat itu. Tapi dengan sedikit
kesabaran, kita pasti akan berhasil."
Helga Ebert menutup mata dan membayangkan tampang si pencuri.
"Ya, saya masih ingat bagaimana tampangnya! Kejadiannya hanya beberapa detik
saja. Tapi wajahnya takkan bisa terhapus dari ingatan saya."
"Kebetulan, kalau begitu," ujar Komisaris Glockner. "Tapi sebelum kita mulai,
saya terangkan dulu bagaimana cara kerja yang kami pakai di sini. Untuk membuat
gambar rekaan, kami menggunakan metode Foto-fit, suatu metode baru yang
dikembangkan di Amerika. Di dalam kotak ini ada foto-foto yang menunjukkan
segala macam bentuk kepala. Kita akan memeriksa setiap foto, sampai ada yang
Anda anggap sesuai. Di dalam kotak sebelah, kami menyimpan ratusan foto yang
memperlihatkan detil-detil wajah orang. Detil-detil itu diatur secara
sistematis: potongan rambut, bentuk kening, mata, hidung, mulut, dan dagu.
Semuanya bisa dibongkar-pasang-sampai hasil akhirnya benar-benar mirip dengan
aslinya." Helga mengangguk. "Mari kita mulai!"
Helga Ebert ternyata memiliki daya ingat yang baik. Dengan cepat ia menemukan
bentuk kepala si pencuri. Tanpa ragu-ragu ia memilih potongan rambutnya: rambut
tebal yang menutupi kening dan telinga. Dagu melebar, bibir tipis, dan hidung
mancung, melengkapi ciri-ciri wajah orang itu. Satu-satunya kesulitan timbul
ketika Helga harus menentukan mata si pencuri. Untuk beberapa saat ia ragu-ragu.
Tapi akhirnya ia mengambil sepasang mata yang menyorot tajam.
"Ya, beginilah orangnya!"
Pak Glockner memperhatikan gambar rekaan itu dengan saksama, kemudian berkata,
"Saya rasa, orang ini bukan residivis. Tampangnya belum pernah saya lihat. Tapi
sama saja - kita akan menangkapnya. Sudah cukup lama dia membuat ulah. Gambar
ini akan kita sebarkan melalui koran-koran."
"Petunjuk-petunjuk dari masyarakat pasti akan berlimpah-ruah," kata Sporty.
"Saya saja paling tidak sudah melihat dua lusin orang yang mirip dengan gambar
ini." Pak Glockner mengangguk. "Ya, tampangnya memang tidak istimewa. Ini semakin
mempersulit usaha kita. Nona Ebert, suatu saat Anda mungkin akan diminta untuk
mengidentifikasi seseorang yang kami curigai. Andalah satu-satunya yang sempat
berhadapan langsung dengan pencuri itu."
"Dan sepertinya, penjahat itu juga menyadari hal itu," Sporty berkomentar.
"Karena itu dia langsung menyerang Nona Ebert."
Komisaris Glockner mengangguk.
"Betul! Kita perlu berhati-hati. Orang itu kelihatannya cukup berbahaya."
Helga membelalakkan mata.
"Maksud Bapak, orang itu memang sengaja menyerang saya" Ya, Tuhan! Saya kira dia
hanya bertindak secara refleks karena terkejut melihat saya, atau karena panik."
"Pokoknya, kita harus berhati-hati," ujar ayah Petra dengan tegas.
Malam bertambah larut. Tapi Sporty tidak perlu khawatir, sebab Pak Glockner
sudah menelepon petugas piket di asrama.
Mereka lalu mengucapkan selamat malam pada Komisaris Glockner dan meninggalkan
kantor polisi. Sepeda Sporty berdiri di antara dua mobil patroli.
"Terima kasih atas segala bantuanmu, Sporty," ujar Nona Ebert. "Sampai besok."
Ia lalu hendak mengambil mobilnya yang masih diparkir di Taman Balai Kota. Tapi
Sporty keberatan untuk membiarkan wanita muda itu berjalan sendiri, dan
menawarkan untuk mengantarkannya ke sana.
"Ah, tidak usah," Nona Ebert menolak sambil tersenyum. " Nanti kau semakin
telat!" "Begini saja, deh!" Sporty mengusulkan. "Supaya cepat, Anda yang naik sepeda.
Saya akan mengiringi Anda sambil berlari."
Helga Ebert ketawa. Tapi usul itu diterimanya. Ia segera naik sepeda Sporty.
Dalam beberapa menit saja mereka telah tiba di Taman Balai Kota.
"Sekali lagi terima kasih, Sporty. Jangan lupa, besok pagi saya tunggu kalian di
rumah! Selamat malam!"
Sporty pun mengucapkan selamat malam kemudian memperhatikan mobil Nona Ebert
menghilang ke arah Lerchenbach.
Petra benar, ia berkata dalam hati, Helga memang ramah sekali. Dan untuk ukuran
wanita keberaniannya luar biasa. Orang lain pasti sudah menyerah kalau dimusuhi
satu desa. Helga pasti keras kepala. Persis seperti Petra. Dalam hal ini
keduanya sebenarnya pantas jadi kakak-adik.
Setelah mobil Helga Ebert lenyap dari pandangan; Sporty mulai menggenjot
sepedanya dengan sekuat tenaga. Dalam waktu singkat ia telah mencapai jalan raya
yang menghubungkan kota dengan sekolah-asrama.
Setelah sampai, ia menuntun sepedanya melewati pintu gerbang. Gudang sepeda
sudah lama dikunci. Karena itu Sporty merantai sepedanya pada sebuah talang air.
Petugas piket-seorang guru muda, yang sebenarnya lebih senang pergi ke disko
daripada harus bertugas jaga malam - membukakan pintu untuk Sporty.
"Ya, ya, saya sudah tahu!" katanya ketika Sporty minta maaf atas keterlambatan
nya. "Komisaris Glockner sudah menelepon ke sini. Katanya, Helga Ebert memergoki
seorang pencuri" Astaga, ada-ada saja! Tapi sekarang segera masuk kamar. Ayo,
sudah malam, nih!" Sporty langsung bergegas naik ke lantai dua menuju SARANG RAJAWALI. Oskar, teman
sekamar Sporty, ternyata belum tidur.
Seakan-akan terpaku, Sporty berhenti di ambang ,pintu.
"Sedang apa kau?" ia bertanya sambil mengerutkan kening.
"Aku lagi membereskan kamar."
Sporty menutup pintu, sementara Oskar menggulung lengan piamanya yang berwarna
biru putih. "Sabar sedikit!" ujar si Gendut. "Sebentar lagi aku sudah selesai."
"Ya, mudah-mudahan!"
Sambil menggeleng Sporty memperhatikan keadaan kamar mereka. Lusinan keping
coklat menutupi tempat tidur Sporty dan Oskar. Seprei di bawahnya nyaris tak
terlihat lagi. Oskar telah menyusun keping-keping itu ke dalam beberapa
kelompok. Dengan gaya sok penting ia lalu menunjuk sebuah kardus besar.
"Habis, berantakan sekali, sih! Tapi mulai sekarang, semuanya akan kususun
dengan rapi - berdasarkan rasanya. Sebelah kiri coklat rasa susu, kemudian
kacang, moka, isi kismis, dan sebagainya. Hebat, bukan?"
"Apanya yang hebat" Kau kan tidak berjualan coklat! Kau hanya menghabiskan
keping-keping coklat itu!"
"Tapi sekarang, aku bisa mendapatkan mana yang kuinginkan dengan sekali ambil
saja! Habis, kardusnya di atas lemari - aku hanya bisa meraih ke dalam, tanpa
melihat apa yang kudapat. Sampai sekarang aku tergantung pada nasib. Tapi Itu,"
ia menekankan sambil mengacungkan jari, "tidak selamanya sesuai dengan
keinginanku!" "Ada-ada saja yang kaupikirkan," Sporty berkomentar sambil ketawa. "Aku sibuk
mengejar maling-bersama guru kita yang paling cantik-sementara kau menyusun
keping-keping coklatmu."
Oskar langsung terheran-heran.
"Maling" Aku tidak salah dengar, nih" Dan guru yang-paling... Oh, si Helga,
maksudmu" Tapi... aku pikir kau nonton bioskop bersama Petra?"
"Semuanya memang berawal di bioskop," jawab Sporty, lalu mulai bercerita.
Oskar mendengarkannya dengan penuh perhatian, dan sama sekali melupakan
coklatnya. Tapi setelah mendengar ulah Max Jocher, ia menjadi begitu marah,
sehingga harus menenangkan diri dengan sepotong coklat.
"Keterlaluan!" Oskar marah-marah sambil mengunyah. "Bajingan! Mulai hari ini,
aku akan menganggap dia sebagai musuh bebuyutan."
"Barangkali saja kita ketemu dengannya, kalau kita ke Lerchenbach besok."
"Ya, awas saja!"
Dengan geram Oskar menendang tempat tidurnya. Tapi ia lupa, bahwa ia tidak
mengenakan sepatu. Akibatnya, anak itu terpaksa melompat-lompat dengan satu kaki
untuk beberapa waktu, sambil mengerang-erang dengan suara tertahan -sebab
penghuni-penghuni asrama yang lain sudah tidur semua. Tapi rasa sakitnya tidak
bertahan lama. "Kita tidak bisa diam saja kalau si Helga dimusuhi satu desa," kata Sporty. "Ini
tidak adil! Kita harus membantunya."
Oskar mengangguk. "Tapi bagaimana caranya?" ia bertanya.
"Besok saja kita susun rencana. Sekarang lebih baik tidur dulu."
"Kenapa kau tidak mendatangi Jocher bersaudara itu, lalu menghajar mereka?"
Oskar mengusulkan. Namun rupanya ia sendiri tidak begitu setuju, sebab ia lalu
menambahkan, "Tapi... jangan, deh! Nanti malah tambah kacau. Sebaiknya, kita lihat keadaan di
sana dulu." "Justru itu rencanaku," kata Sporty. "Dan sekarang tolong bereskan tempat
tidurku dulu. Aku ingin tidur di atas kasur, bukan beralas keping-keping
coklat!" 4. Oskar Ketiban Sial TIDAK lama setelah matahari terbit, udara sudah terasa gerah. Dan mengingat
ramalan cuaca kemarin, kemungkinan besar nanti siang akan bertambah panas lagi.
Bukan hanya cuaca saja, suasana pun bisa panas, pikir Sporty yang sedang berdiri
Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di bawah pancuran air dingin. Sebab kalau sampai kami kepergok Max Jocher di
Lerchenbach, maka itu berarti perang terbuka.
Sporty kembali ke SARANG RAJAWALI, melemparkan Oskar dari tempat tidur, kemudian
turun ke ruang makan. Ternyata dialah orang pertama yang muncul. Anak-anak lain
mungkin masih di alam mimpi.
Meskipun baru nongol beberapa saat kemudian, Oskar ternyata belum mandi juga.
Tanpa ragu-ragu, ia segera mengambil secangkir susu coklat dan beberapa potong
roti. "Ayo, cepatan!" Sporty mendesak.
"Sabar, dong!" Oskar menggerutu. "Masa aku tidak boleh sarapan dengan tenang"
Aku kan harus mengisi tenaga dulu sebelum jalan-jalan naik sepeda!"
"Ah, kita kan hanya ke Lerchenbach - bukan ke ujung dunia! Semakin siang kita
berangkat, udara akan semakin panas. Lagi pula Petra dan Thomas sudah menunggu."
Sporty sudah berjanji untuk ketemu kedua sahabatnya di pertigaan jalan antara
kota dan sekolah-asrama. Ketika ia dan Oskar akhirnya tiba di tempat itu, Petra
dan Thomas memang sudah menunggu sambil duduk di bawah sebatang pohon besar yang
tumbuh di pinggir jalan. Udara tidak bergerak sama sekali. Langit bersih, tanpa awan sama sekali. Dan
matahari pun bersinar cerah. Cuaca yang ideal untuk jalan-jalan naik sepeda,
pikir Sporty. Hari ini Petra berpakaian serba putih. Ia mengenakan celana pendek sebatas lutut
dan sepatu olahraga. Tali pengikat Bello melingkar pada pinggangnya.
Pakaian Thomas, seperti biasanya, nampak kedodoran. Ia juga memakai celana
pendek. Untuk melindungi kepala dari sengatan matahari, anak itu mengenakan topi
pet yang nyaris menutupi matanya.
"Halo! Kami sudah datang!" seru Oskar, seakan-akan takut kalau kehadirannya
tidak diketahui oleh Petra dan Thomas.
"Ya, akhirnya!" balas Petra tanpa tersenyum. "Thomas dan aku sudah hampir
bulukan karena menunggu kalian."
Sambil berdiri, gadis itu mencoba bersiul dengan nyaring untuk memanggil Bello.
"Wah, payah!" kata Sporty sambil ketawa. Ia segera menyelipkan dua jari ke dalam
mulut, lalu bersuit keras-keras-sebuah suitan yang mungkin terdengar sampai ke
asrama. "Oke, deh! Kau memang lebih jago bersuit," Petra mengakui. "Tapi..."
"Nah, itu dia!" Sporty memotongnya sambil menunjuk ke arah ladang-ladang.
"Ternyata dia mendengar suitanku."
Yang dimaksud Sporty adalah Bello, anjing spanil kepunyaan Petra. Sambil
melompat-lompat anjing itu muncul dari tengah ladang gandum. Kedua telinganya
yang panjang nampak melambai-lambai. Lidahnya terjulur keluar. Dengan gembira
anjing itu berlari ke arah Sporty.
Sporty segera turun dari sepeda untuk menyambut anjing Petra yang setia itu.
Bello sendiri melonjak-lonjak di sekitar Sporty, sambil mengibas-ngibaskan
ekornya. "Aku tidak pernah mengerti kenapa Bello begitu tertarik padamu," ujar Petra
sambil mengerutkan kening.
"Mungkin karena Bello memang pandai menilai sifat manusia," ujar Thomas.
"Ah, masa?" Petra segera ber:komentar. "Kalau memang begitu, seharusnya hanya
aku yang diperhatikannya - kalian takkan masuk hitungan."
Oskar menghapus keringat yang membasahi wajahnya, lalu berkomentar,
"Wah, Nona Glockner sedang judes-judesnya hari ini. Bagaimana menurut kalian:
apakah kita ajak Petra ke Lerchenbach" Atau lebih baik kalau kita ikat dia ke
pohon ini" Nanti malam, kita jemput dia-sebelum mati kelaparan."
Semua ketawa. Tapi Petra segera membalas, "Coba saja kalau berani! Begitu kau mau macam-macam,
Bello takkan tinggal diam. Dia akan langsung berubah jadi serigala buas. Dan
kebetulan Bello memang paling senang menggigit orang-orang gendut yang hobinya
makan coklat." Sporty, Oskar, dan Thomas menatap Bello, lalu ketawa. Bayangan bahwa anjing yang
baik hati itu bisa berubah menjadi serigala buas sama sekali tidak masuk akal.
Petra mengangkat sepedanya dari rumput. Sebuah ransel besar terikat pada setang
sepeda, tapi isinya tidak ada.
"Untuk berjaga-jaga kalau Bello capek di jalan," Petra berkata pada Sporty.
"Kalau perlu, kau gendong dia, ya?"
"Oke, Bos! Demi Bello aku rela melakukan apa saja," Sporty mengangguk. Sambil
nyengir, ia lalu menambahkan, "Kalau kau mau masuk sekalian juga boleh!"
"Huh!" ujar Petra. "Seenaknya saja! Aku kan bukan bayi!"
Keempat sahabat itu memang selalu membawa ransel kosong kalau mengajak Bello
bepergian jauh. Kali ini, misalnya, mereka harus bersepeda sejauh 30 kilometer
untuk sampai ke desa Lerchenbach. Belum lagi jalan pulangnya. Dengan naik
sepeda, jarak segitu memang tidak terlalu jauh, tapi lain halnya bagi Bello,
yang mengiringi anak-anak STOP sambil berlari. Supaya anjing itu tetap bisa
ikut, mereka telah mencari pemecahan yang sangat praktis. Begitu Bello mulai
kelihatan capek, dia dimasukkan ke dalam ransel. Hanya kepalanya saja yang tetap
di luar. Sporty lalu menggendongnya. Bagi Sporty, si olahragawan sejati, beban
tambahan itu sama sekali tidak berpengaruh. Dan Bello pun senang kalau
digendong. Anjing itu selalu menyandarkan kepalanya pada bahu Sporty, kemudian
menikmati perjalanan selanjutnya sambil beristirahat.
"Ayo, kita berangkat lagi!" Sporty mengajak teman-temannya. Untuk sementara ia
masih merahasiakan peristiwa yang dialami Nona Ebert semalam.
Mereka naik sepeda masing-masing, lalu menyusuri jalan setapak yang berbatu-batu
dan penuh lubang-lubang. Beberapa waktu kemudian, keempat sahabat itu telah
mencapai jalan raya menuju Lerchenbach.
Matahari semakin terik. Baju Oskar sudah basah kuyup. Seperti biasa, anak itu
mengomel terus. Ada saja yang menjadi sasaran kekesalannya: suhu udara yang
menurutnya tak tertahankan, sarapan yang terlalu singkat, dan macam-macam lagi.
Tetapi walaupun begitu, ia tetap memimpin iring-iringan mereka.
Petra menyusul di tempat kedua. Kemudian Thomas. Dan Sporty-yang tak kenal
lelah-berada di urutan terakhir. Bello masih berlari di samping mereka.
Ketika mereka akan memasuki hutan lindung, Petra tiba-tiba ketawa terbahak-
bahak. "Eh, lihat tuh!" ia berseru. "Oskar mencret!"
"Hah?" tanya Thomas sambil membelalakkan mata. "Busyet! Wah, benar! Eh, Oskar,
malu sedikit dong! Kenapa bisa sampai begini?"
Oskar segera menoleh ke belakang.
"Enak saja!" ia memprotes. "Siapa yang mencret"!"
"Coba saja kauperhatikan celanamu!" ujar Thomas.
Dari belakang, Sporty mengintip melewati Petra dan Thomas. Dalam hati ia sudah
bisa membayangkan apa yang terjadi.
Benar saja! Dari belakang, Oskar nampak seperti bayi yang harus segera. ganti
popok. "Ah, dasar konyol semua!" Oskar masih menggerutu.
"Busyet! Dia belum sadar juga!" seru Thomas sambil terbahak-bahak.
"Oskar, " kata Petra kemudian, "dalam keadaan seperti ini kau tidak bisa bertamu
ke rumah Helga. Sebaiknya kau saja yang diikat ke pohon Nanti malam kami akan
menjemputmu-sebelum kau mati kelaparan."
"Ah, apaan sih"!" Oskar menampik. "Mana mungkin aku mencret"!"
Tapi kemudian, ia meraih ke kantong belakang celananya - seakan-akan mendapat
firasat buruk. Sambil membelalakkan mata, ia segera mengerem habis, lalu melompat turun dari
sepeda. Tangannya meraih semakin dalam. Ketika ditarik kembali, warna kulitnya telah
berubah menjadi coklat. "Ya, ampun!" seru Sporty sambil menggelengkan kepala. "Dia mengisi kantong
celananya dengan keping-keping coklat. Padahal panasnya minta ampun! Dan
sekarang semuanya meleleh. Pantas saja. Petra menyangkanya. Busyet, Oskar! Kapan
sih, kau mulai pakai otak" Kau bawa celana untuk ganti?"
"Tentu saja tidak!" jawab Oskar sambil menatap tangannya yang belepotan coklat.
"Tapi yang paling gawat: aku kehabisan bekal untuk perjalanan! Coklatku sudah
jadi bubur!" Petra tidak tahan lagi. Ia cekikikan terus. Begitu juga Thomas dan Sporty.
Sambil memegangi perut yang mulai kaku, Sporty lalu menunjuk ke tepi hutan,
"Eh, Oskar! Di belakang sana ada kali kecil. Kau bisa mencuci celanamu. Petra,
Thomas, dan aku tunggu di sini. Kebetulan ada yang perlu kuceritakan - mengenai
Helga." Dengan langkah kaku, Oskar berjalan menuju tepi hutan dan menghilang di balik
semak-semak. Ketiga sahabatnya duduk di rumput. Bello langsung menyandarkan kepalanya pada
paha Petra. "Apa sih, yang perlu kauceritakan?" gadis itu bertanya pada Sporty.
"Lho" Memangnya ayahmu belum cerita apa-apa tadi pagi?"
"Kau kan tahu, ayahku selalu pulang pagi setelah dinas malam. Biasanya, dia baru
saja tidur kalau aku bangun."
Sporty mengangguk. "Aku semalam sempat bertemu dengan ayahmu," katanya. "Perkaranya begini..."
Kemudian ia bercerita. Petra dan Thomas mendengarkan dengan penuh perhatian. Thomas lalu berkomentar,
ia sudah tahu dari Petra bahwa Helga dimusuhi oleh semua penduduk Lerchenbach.
"Kalau ayah Max Jocher tidak menyukai Helga-itu sih masih bisa dimaklumi. Tapi
masalahnya, penduduk-penduduk yang lain pun ikut-ikutan. Ini yang membuatku tak
habis pikir! Seperti tak punya otak saja. Begitu Bos buka mulut, mereka hanya
mengangguk-angguk saja. Mereka sama sekali tidak berani bersuara. Ih,
memuakkan!" Ia melepaskan kacamata, dan - seperti biasa kalau lagi kesal - mulai
menggosoknya. "Ya! Aku juga sependapat!" Oskar berseru dari balik semak-semak.
"Bagaimana keadaan celanamu?" tanya Petra.
"Celanaku" Oh, ya! Aku belum sempat membersihkannya. Sisa-sisa coklatnya harus
kuhabiskan! Sayang, daripada kebuang percuma. Rasanya juga masih lumayan."
"Busyet, belum pernah aku ketemu orang serakus Oskar!" ujar Sporty setengah tak
percaya. "Nah, beres! Sekarang aku mau mencuci celana!" suara Oskar terdengar kembali.
Ketika anak itu akhirnya muncul kembali dari balik semak-semak, ia seakan-akan
telah berganti celana. Celananya yang semula berwarna krem, kini telah berubah
warna menjadi coklat lumpur.
"Habis bagaimana lagi?" Oskar membela diri. "Aku kan tidak bawa sabun!"
Mereka lalu meneruskan perjalanan.
Tapi tidak lama kemudian, Bello mulai kelihatan capek. Karena itu, mereka
berhenti sekali lagi. Anjing Petra itu langsung dimasukkan ke dalam ransel. Lalu
anak-anak berangkat lagi.
4. Rex Menyerang SEBENARNYA, Sporty sudah beberapa kali bersepeda lewat Lerchenbach. Tapi baru
kali ini ia benar-benar memperhatikannya: sebuah desa kecil dengan kolam air di
tengah-tengah alun-alun yang dikelilingi oleh pohon-pohon tua.
Jalan utama di desa itu ternyata sepi, sebab sebagian besar penduduk masih di
gereja. "Kau tahu jalannya?" tanya Thomas.
"Terus sampai ke batas desa, lalu ke kanan!" ujar Sporty menirukan petunjuk yang
diberikan Helga Ebert. Tidak lama kemudian mereka telah membelok ke suatu jalan kecil, dan melewati
rumah seorang petani. Tempat tinggal petani itu terletak di pinggir jalan.
Rumahnya besar dan langsung bersebelahan dengan gudang jerami dan sejumlah
kandang. Sapi-sapi terdengar melenguh. Beberapa ekor ayam nampak berkeliaran di
pekarangan. Di antaranya ada seekor ayam jago yang besar dengan bulu yang bagus
sekali. Dengan santai keempat anak STOP melewati rumah itu. Bello sudah dikeluarkan dari
ransel dan kini berlari di samping sepeda Petra.
Tiba-tiba saja terjadi sesuatu yang sama sekali di luar dugaan.
Entah dari mana datangnya, seekor anjing besar mendadak menghadang mereka.
Kelihatannya seperti campuran antara herder dengan doberman. Anjing itu langsung
menyerang Bello. Petra memekik kaget. Thomas langsung menoleh. Akibatnya, ia menabrak sepeda
Petra di depannya. Oskar terkejut, tapi masih sempat menghindar ke samping.
Hanya Sporty yang tetap berkepala dingin.
Dengan sigap ia melompat turun dan melemparkan sepedanya ke arah anjing tadi.
Kena! Anjing itu terkaing-kaing dan mundur beberapa langkah - tapi rupanya belum kapok
juga. Sekali lagi ia mencoba menyerang Bello.
Namun Sporty lebih cepat. Ia menangkap Bello dan langsung mengangkatnya. Ketika
anjing tadi nekat melompat, Sporty segera menendang dadanya. Sambil mendekap
Bello-yang belum sadar benar apa yang sedang terjadi sambil memperhatikan anjing
tadi. Tepat pada saat itu Max Jocher melangkah keluar dari rumah. Untuk sesaat, ia
kelihatan bingung. Tapi kemudian ia memahami keadaan dan mulai nyengir
kesenangan. Pemuda itu mendekat, lalu berdiri sambil bertolak pinggang.
"Hehehe, rupanya anak STOP berkunjung ke Lerchenbach-termasuk Sporty, si Mulut
Besar! Tapi sekarang Sporty pun tak berdaya! Aku tinggal menyuruh Rex - dan
Sporty akan menyesal sekali bahwa ia semalam telah memukulku dari belakang."
"Aku hanya memberi pelajaran padamu karena kau telah menembak Nona Ebert secara
licik! Dan sekarang kau ingin membalas dendam lewat anjingmu"! Dasar pengecut!
Tapi awas! Aku tahu cara-cara menangani anjing yang paling galak sekalipun!
Mungkin saja aku sempat kena gigit. Tapi itu berarti bahwa kau telah melakukan
penganiayaan berencana. Dan asal tahu saja, hukuman untuk itu tidak ringan."
Max Jocher tetap nyengir-meskipun tidak selebar tadi.
"Kau boleh saja mengoceh macam-macam," katanya kemudian. "Tapi aku tidak
bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa. Salah kalian sendiri kalau Rex tidak
menyukai anjing kalian."
"Enak saja! Siapa lagi yang harus bertanggung jawab kalau bukan kau"! Terutama
kalau kelakuan anjingmu seperti anjing gila, yang menyerang apa saja yang
kebetulan lewat di depan hidungnya. "
Rex masih juga memelototi Bello sambil menggeram dan memperlihatkan sederetan
gigi tajam. "Untuk terakhir kali," kata Sporty, "panggil anjingmu, atau aku akan membawa
polisi ke sini!" Max nampak ragu-ragu. Ia menoleh dan memandang ke arah rumah. Tapi tak seorang
pun kelihatan. Akhirnya ia memegang ikat leher Rex, menariknya ke arah pintu, kemudian
menghilang di dalam rumah.
"Ayo, kita pergi saja dari sini!" bisik Thomas.
"Tenang saja!" jawab Sporty. "Ini kan jalan umum. Tak ada yang bisa melarang
kita untuk berada di sini. Kalau mau, kita bisa saja duduk di sini selama
berjam-jam." Ia menurunkan Bello, lalu minta tali pengikatnya pada Petra.
Wajah Petra masih pucat-pasi. Oskar-dengan celana yang masih agak basah-pasang
tampang garang, tapi tidak mengucapkan apa-apa.
Ketika mereka meneruskan perjalanan, tali pengikat Bello berada di tangan
Sporty. Anak itu berkali-kali menoleh ke belakang, untuk melihat apakah keadaan
tetap aman. Tetapi baik Max maupun anjingnya tidak memperlihatkan diri lagi.
Pagar yang kini mereka lewati merupakan batas kebun sayur kepunyaan keluarga
Jocher. Pagar itu seakan-akan tak berujung. Tak sekuntum bunga pun terlihat.
Kecuali tanaman sayuran, yang ada hanya rumput liar.
Kemudian mereka melihat pagar kawat duri yang membatasi kebun tadi dengan tanah
di sebelahnya. Pekarangan besar ini-dengan hamparan rumput, semak-semak, dan pohon-pohon rimbun
- pastilah tanah yang diwarisi Helga Ebert.
Rumahnya yang mungil berdiri di dekat jalan, di pinggir pekarangan luas yang
membentang sampai ke tepi hutan. Di balik rumah itu, Sporty melihat kolam yang
lumayan besar. Sebuah dermaga kayu menjorok ke air, dan di ujungnya ada perahu
dayung. Uih, boleh juga! Sporty berdecak kagum. Pantas saja Helga tidak mau pindah dari
sini. Kalau saja pekarangan ini dijadikan tempat camping, Helga pasti akan
kewalahan menghadapi serbuan pengunjung. Tapi - ketenangan seperti sekarang
memang lebih nyaman. Rasanya seperti di alam bebas saja. Aku juga akan mati-
matian membela hakku, kalau aku yang tinggal di sini.
Keempat sahabat itu berhenti di depan rumah tadi. Bangunannya tidak bertingkat -
kecil dan sederhana. Bahkan garasi pun tidak ada. Mobil Helga diparkir di
samping pagar. "Eh, apa itu?" seru Thomas.
Dialah yang paling dekat ke mobil itu. Tapi sekarang teman-temannya juga
melihatnya.
Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seseorang telah menuliskan kata HEXE-artinya: Tukang Sihir-dengan cat merah pada
pintu mobil. "Ini pasti ulah ayah Max Jocher," kata Sporty.
"Keterlaluan!" Petra berseru.
"Ya benar-benar kelewatan!" Oskar menambahkan. "Tapi kenapa tukang sihir" Setahu
aku, tukang sihir dalam dongeng-dongeng selalu naik sapu terbang. Padahal Nona
Ebert terang-terangan pakai mobil."
Sporty menoleh dan melihat Helga Ebert muncul di ambang pintu rumahnya. Wanita
muda itu tersenyum. Rupanya ia gembira sekali karena dikunjungi murid-muridnya.
"Halo, selamat datang!"
Langsung ia menyalami mereka-termasuk Bello.
"Kalian pasti capek setelah perjalanan jauh yang kalian tempuh. Ayo, masuk dulu,
deh! Saya sudah menyiapkan minuman dingin untuk kalian. Dan setelah itu kita
langsung makan!" "Sebentar, Nona Ebert!" ujar Sporty. "Ada orang iseng yang mengotori mobil Anda.
Dia menuliskan sesuatu pada pintu mobil yang menghadap ke jalan."
Senyum di bibir Helga mendadak lenyap. Ia melangkah ke mobil dan membaca tulisan
di pintu mobilnya. Kemudian ia kembali sambil mengangkat bahu.
"Beginilah kelakuan orang-orang di sini. Saya telah dicap sebagai tukang sihir."
Petra membelalakkan mata. "Anda hanya main-main, bukan?"
"Tidak, Petra, saya sungguh-sungguh. Mereka benar-benar menganggap saya sebagai
tukang Sihir. " "Tukang sihir sungguhan, yang bisa berbuat macam-macam hanya dengan mengucapkan
mantra-mantra?" tanya Oskar.
"Ya!" "Wah, hebat!" ujar Oskar sambil nyengir lebar. "Dari dulu saya sudah kepingin
berkenalan dengan tukang sihir."
Sporty langsung menyikut sahabatnya. "Ini bukan lelucon! Orang-orang sedesa
dihasut untuk membenci Nona Ebert. Dengan sengaja, lagi!"
Helga mengangguk lemah. "Kalian mungkin sudah tahu bahwa kehadiran saya di desa ini tidak disukai: Dan
bahwa Pak Jocher sangat benci pada saya. Hanya saja saya tidak bisa membuktikan
bahwa dia yang menghasut orang-orang. Tapi-siapa lagi kalau bukan dia" Sayangnya
penduduk-penduduk di sini mudah sekali dihasut. Desa Lerchenbach memang dekat ke
kota. Tapi sebenarnya keadaan di sini masih seperti di abad lalu. Orang-orang
masih percaya pada kekuatan setan. Dan demikian juga pada tukang sihir."
"Tapi kenapa Anda dituduh seperti itu?" tanya Petra sambil mengerutkan kening.
"Ah, macam-macam. Setiap kali ada kejadian aneh, mereka pasti menuding saya
sebagai biang keladinya. Kalau ada sapi mati mendadak, maka sayalah yang
dituduh. Musim dingin yang lalu, ketika hampir semua orang terserang flu,
sayalah yang dianggap sebagai penyebabnya - terutama karena saya sendiri tidak
kena. Setiap kali ada hujan es yang merusak panen, saya yang disalahkan. Dan
satu hal lagi: rambut saya berwarna merah. Kecuali itu, saya juga memelihara
ular dan labah-labah di dalam rumah."
Petra, Thomas, dan Oskar mendengarkannya tanpa berkedip.
Sporty pasang tampang keras.
Wah, ini lebih gawat dari yang kusangka, katanya dalam hati. Helga benar-benar
dalam bahaya. Bisa-bisa salah seorang penduduk desa membakar rumahnya, dan malah
dianggap sebagai pahlawan oleh yang lainnya.
Mereka masuk ke rumah. Helga ternyata sudah menyiapkan sarapan untuk menyambut
tamu-tamunya. Tapi anak-anak sudah kehilangan selera-kecuali Oskar.
Hanya untuk menjaga perasaan Helga, mereka ikut mencicipi roti yang dibuat
sendiri oleh wanita muda itu.
Sambil makan, mereka terus membicarakan masalah yang dihadapi Helga.
"Dari tadi saya belum juga menemukan pemecahannya," kata Sporty.
"Ya, memang tidak ada yang bisa dilakukan," ujar Helga dengan lesu. "Tapi saya
tidak akan menyerah. Lama-lama Pak Jocher pun akan menyadari hal ini. Mudah-
mudahan saja setelah dia berhenti mengganggu saya."
"Tapi sampai saat itu Anda tetap akan menjadi sasaran," Sporty menanggapinya.
"Anda tidak boleh tinggal diam!"
"Habis bagaimana" Lewat jalur hukum pun saya tidak bisa berbuat apa-apa. Takkan
ada yang bersedia menjadi saksi. Lagi pula, apa yang harus saya buktikan"
Perbuatan keji yang membawa Harry Jocher ke penjara pun sudah dimaafkan oleh
orang-orang. Kenapa, coba" Karena ayahnya menyebarkan isu, bahwa kekuatan sihir
saya yang mengakibatkan semuanya. Katanya, karena sihir saya Harry lantas
melakukan tindakan terkutuk itu."
"Masa sih, seluruh penduduk desa ini bisa dipengaruhi dengan cara seperti itu?"
tanya Petra. "Tidak semua-tapi sebagian besar," kata Helga. "Dan itu sudah cukup!"
"Tukang sihir-uh, kepercayaan seperti itu kan hanya cocok untuk Abad
Pertengahan." Helga ingin menanggapi ucapan Petra, tapi Thomas langsung mendahuluinya. Ini
adalah kesempatan emas baginya untuk membuktikan bahwa julukan 'Komputer' tidak
percuma diberikan padanya.
"Anggapanmu tidak seluruhnya benar, Petra," katanya dengan gaya yakin. "Masih
banyak orang yang percaya pada kekuatan sihir - seperti para penduduk desa ini,
misalnya. Supaya jelas, yang umum kita sebut sebagai tukang sihir adalah wanita-
wanita yang dianggap mempunyai kekuatan gaib.
"Di negara-negara Eropa, keprcayaan-atau lebih tepat: kengerian - terhadap
tukang sihir memuncak pada Abad Pertengahan. Pada saat itu, wanita yang dianggap
memiliki kekuatan, menghadapi berbagai tuduhan: bersekongkol dengan setan,
mengingkari Tuhan, menggunakan kekuatan gaib untuk mencelakakan orang lain, dan
masih banyak lagi. Pada tahun 1487, dua biarawan fanatik menerbitkan suatu
kompendium (rangkuman) mengenai sihir-menyihir. Rangkuman itulah yang
selanjutnya menjadi pegangan dalam memberantas tukang sihir-suatu perburuan
kejam yang baru berakhir pada abad kedelapan belas. Wanita-wanita malang dibakar
hidup-hidup, setelah dipaksa mengakui kesalahan masing-masing. Untuk itu, mereka
mengalami siksaan yang luar biasa. Dan itu dilakukan untuk menegakkan
'keadilan'! "Yang pertama kali menentang tindakan kejam ini adalah seorang biarawan dari
ordo Jesuit, bernama Friedrich Spee. Tapi usahanya tidak segera membuahkan
hasil. Dan jangan sangka bahwa kejahatan-kejahatan seperti itu hanya terjadi
pada Abad Pertengahan! Ingat saja kelompok pemuja setan pimpinan Charles Manson,
yang pada tahun 1969 membunuh delapan orang di California. Atau Michael Cochran,
seorang pemuda berusia 17 tahun yang menjadi kurban kebuasan suatu aliran sesat
di Deland, Florida. "Di negara kita pun ada kasus-kasus semacam itu. Pada tanggal 1 Juli 1976,
seorang mahasiswi di Klingenberg menemui ajal, karena dua pengusir setan
beranggapan bahwa wanita muda itu dikuasai oleh iblis. Kedua pengusir setan itu
bukan orang gila. Mereka adalah pendeta dan juru agama di kota itu. Mengerikan
sekali, bukan?" Untuk sejenak semuanya terdiam.
Kemudian Petra berkata, "Aku jadi merinding. Aku nyaris tidak percaya bahwa
manusia bisa begitu kejam terhadap sesamanya. Bayangkan: selama ratusan tahun,
seseorang hanya perlu menuduh seorang wanita yang tidak disukainya sebagai
tukang sihir. Dan dengan demikian nasib wanita malang itu sudah ditentukan: ia
akan dibakar hidup-hidup."
Oskar tersenyum pada Helga dan berkomentar, "Untung Anda sudah tidak menghadapi
risiko seperti itu."
Helga ketawa mendengarnya, tapi tawanya seperti dipaksakan.
Thomas cepat-cepat menelan sepotong apel, kemudian melanjutkan,
"Menurut catatan gereja, sekitar satu juta tukang sihir dibakar hidup-hidup
antara tahun 1500 dan 1700. Dan tak satu pun di antara mereka bersalah -setidak-
tidaknya dalam hal yang dituduhkan terhadap mereka: bersekongkol dengan setan.
Kini kita tahu bahwa tuduhan-tuduhan itu tanpa alasan sama sekali. Dan kita
bertanya-tanya, kenapa orang-orang yang mengadukan mereka, para hakim, para
algojo, dan juga para penonton yang menyaksikan hukuman mati, begitu yakin bahwa
wanita-wanita itu memang tukang sihir. Jawabannya: karena mereka percaya dan
ngeri pada setan. Orang-orang zaman dulu percaya bahwa ada suatu kekuatan yang
hanya mengakibatkan bencana, yaitu kekuatan iblis. Dan para tukang sihir adalah
pembantu-pembantunya. Hanya iblis yang bisa memberikan kekuatan sihir pada mereka.
"Orang-orang pada Abad Pertengahan membayangkan setan sebagai gabungan antara
manusia dengan binatang. Setan adalah lambang kejahatan dan sumber segala
kekurangan manusia. Kepercayaan akan setan sudah berusia sekitar 2500 tahun.
Sebelumnya, orang-orang belum Membedakan kebaikan dengan kejahatan. Segala
sesuatu yang terjadi dianggap sebagai suatu kebetulan. Baru 2500 tahun yang
lalu, orang-orang pandai di segala penjuru dunia mulai membayangkan bahwa semua
kejadian di dunia ini merupakan akibat dari pertarungan antara dua kekuatan:
baik dan buruk. Anehnya, pemikiran seperti ini timbul hampir bersamaan di banyak
negara -selalu dalam bentuk yang berbeda, tapi intinya tetap sama. Dalam
hubungan dengan manusia, kebaikan dan kejahatan disamakan dengan pertentangan
antara jiwa dan raga. "Pada abad pertama dan kedua lalu timbul Perjanjian Baru, yang bercerita
mengenai kehidupan dan mukjizat-mukjizat Kristus. Dalam Perjanjian Baru, setan
disebut sebagai musuh utama Tuhan. Saya hanya menyinggung soal ini, sebab
kepercayaan akan tukang sihir hanya mungkin terjadi kalau orang juga percaya
pada setan." "Aha! Sekarang ketahuan deh, dengan siapa Anda berteman, Nona Ebert," Oskar
berusaha melucu. Tapi ia langsung diplototi oleh Petra.
Sporty lalu menepuk-nepuk perutnya, dan berkata,
"Terima kasih atas jamuan Anda, Nona Ebert. Tapi sebenarnya tujuan kami datang
ke sini bukan untuk makan. Kami kan sudah berjanji membantu Anda membereskan
pekarangan." "Wah, Kelihatannya kau sudah tak sabar, ya?" tanya Helga sambil tersenyum.
"Padahal saya kira, kalian mau melihat binatang-binatang piaraan saya dulu."
Semuanya setuju dengan usul itu. Hanya Oskar yang sebenarnya masih betah di meja
makan. Helga mengajak keempat sahabat itu ke ruang sebelah, yang berisi sejumlah
terrarium (semacam akuarium berisi tanah, bukan air). Salah satunya berisi dua
ekor ular berbisa. Tapi yang paling mengerikan adalah labah-labah piaraan Nona
Ebert. Untuk sesaat, kebiasaan Helga sebagai guru biologi muncul.
"Siapa yang tahu," ia bertanya, "berapa jenis labah-labah yang ada" Semua boleh
menjawab kecuali kau, Thomas. Saya yakin bahwa kau tahu jawaban yang tepat. Nah
Oskar, bagaimana?" "Hmm, seratus kira-kira?"
"Wah, tebakanmu meleset jauh. Dan kau, Petra?"
"Pasti ada ribuan."
"Nah, ini sudah lebih mendekati kenyataan. Di dunia ini ada 25.000 jenis labah-
labah. 800 di antaranya hidup di negara kita. Yang di belakang itu," Helga
menunjuk seekor labah-labah besar, "adalah labah-labah paling berbisa di daerah
kita. Tapi jangan khawatir-gigitannya tidak berakibat fatal. Paling-paling panas
dingin, tapi tidak lebih dari itu."
"Untuk apa sih, Anda memelihara binatang-binatang ini?" tanya Oskar. "Saya tidak
mengerti di mana letak daya tariknya...."
"Saya mempelajari perilaku labah-labah dalam rangka meraih gelar Doktor."
"Oh, begitu!" ujar Oskar sambil mengangguk-angguk. "Tapi ngomong-ngomong, apakah
gigitan labah-labah tadi bisa mengakibatkan seekor anjing menjadi gila?"
"Tentu saja tidak! Kenapa kau menanyakannya?"
"Saya tiba-tiba teringat pada Rex, anjing tetangga Anda. Anjing itu hampir saja
menyerang Bello. Untung Sporty masih sempat mencegahnya."
"Oh, ya?" Helga lalu menanyakan kejadian itu, dan anak-anak bercerita. Wanita muda itu
kemudian menjelaskan bahwa anjing itu-sayangnya-memang berbahaya.
Mendadak semuanya menengok ke luar jendela. Sebuah mobil berhenti di depan rumah
Helga. 6. Wartawan Koran Sore "MAU ada tamu lagi?" tanya Sporty.
Helga menggeleng. Tapi ia berdiri dan menuju pintu. Tepat pada saat itu bel
berdering. Seorang pria berdiri di luar.
"Selamat siang, Nona! Anda pasti Helga Ebert. Perkenalkan, nama saya Loewe-Amo
Loewe, wartawan kriminal dari Koran Sore. Maaf kalau saya mengganggu pada Minggu
siang seperti ini, tapi saya ingin sekali mewawancarai Anda."
Penuh harap ia menatap Helga.
Sporty-yang semula berdiri di latar belakang bersama teman-temannya - kini agak
maju, agar dapat melihat wartawan itu dari dekat.
Amo Loewe rupanya menyukai pakaian warna-warni. Ia mengenakan setelan jas
berwarna hijau, dengan kemeja kuning dan dasi merah. Wajahnya yang lebar nyaris
tak kelihatan. Bagian bawahnya setengah tersembunyi di balik kumis lebat. Bagian
atasnya terlindung oleh kacamata hitam. Rambutnya cocok sekali dengan namanya
(Loewe dalam bahasa Jerman berarti singa): pirang, gondrong, dan awut-awutan.
"Ehm, dalam rangka apa Anda ingin mewawancarai saya?" tanya Helga.
"Sehubungan dengan kasus pencurian semalam, di toko Pak Feilberg. Dialah yang
memberitahukan nama dan alamat Anda pada saya. Anda sempat melihat pencuri itu,
bukan?" "Silakan masuk dulu," ujar Helga dengan ramah. "Lebih enak kalau kita bicara di
dalam saja." Amo Loewe langsung melangkah ke dalam. Ia nyengir lebar ketika mengangguk ke
arah anak-anak STOP. Tanpa menunggu sampai dipersilakan, wartawan itu langsung duduk di ruang tamu.
Pandangannya segera melayang ke meja makan.
"Hmmmm! Baunya seperti roti buatan sendiri," katanya sambil memejamkan mata.
"Betul," jawab Helga. "Anda mau ikut sarapan?"
"Wah, terima kasih banyak. Kalau Anda tidak keberatan. Dengan senang hati!
Kebetulan saya memang belum sempat sarapan tadi."
Langsung saja ia mengambil sepotong roti, mengolesnya dengan mentega dan selai
kacang, alu mulai mengunyah.
Helga dan anak-anak STOP memperhatikannya tanpa berkata apa-apa.
"Saya tertarik dengan kejadian semalam," ujar Loewe dengan mulut penuh roti.
"Pencuri berbahaya kepergok oleh seorang wanita muda yang cantik. Karena panik
penjahat itu mengancamnya, tapi kemudian berhasil diusir dan..."
"Anak inilah yang mengusirnya," Helga memotong sambil menunjuk Sporty.
"Oh, menarik sekali," kata Loewe. Ia lalu mengelap mulutnya. "Saya sama sekali
belum tahu apa-apa mengenai detil-detil peristiwa semalam. Tapi, kembali ke
pembicaraan tadi: hanya Anda yang sempat melihat pencuri itu, bukan?"
Helga mengangguk. "Wajahnya takkan pernah saya lupakan. Mungkin Anda sudah mendengar bahwa saya
semalam langsung menyusun gambar rekaan di kantor polisi."
Loewe membenarkannya, lalu menatap Sporty.
"Dan kau," ia bertanya, "kau juga sempat melihat orang itu?"
"Hanya secara samar-samar. Tapi wajahnya tidak kelihatan."
Loewe nyengir. "Kalau begitu, untuk sementara saya belum memerlukan keteranganmu."
Ia kembali berpaling pada Helga.
"Nona Ebert, apakah Anda bisa menjelaskan bagaimana perasaan Anda pada saat itu,
dan bagaimana Anda memergoki si pencuri?"
Helga langsung menyanggupi permintaan itu.
Penuh semangat Loewe mencatat semua keterangan wanita muda itu. Tapi tiba-tiba
bolpennya macet. "Pakai bolpen saya saja!" Helga segera menawarkan.
Ia berdiri dan menuju meja tulisnya -sebuah meja kuno yang terbuat dari kayu
berwarna gelap. Sejumlah buku berderet rapi di atasnya. Helga mengambil sebuah
bolpen emas dan memberikannya pada Loewe.
Wartawan itu mengucapkan terima kasih, dan langsung mulai menulis lagi.
Setelah selesai, ia berkata, "Sebentar, ya! Saya hanya ingin mengambil kamera
dari mobil. Foto Anda akan dimuat sekalian."
"Untuk apa?" Sporty segera bertanya.
"Untuk apa" Para pembaca tentu senang melihat sebuah wajah cantik terpampang di
halaman pertama." "Tidak bisa!" ujar Sporty dengan tegas. "Saya harap Anda mau berpikir sedikit!
Apakah Anda tak sadar bahwa tindakan itu akan membahayakan Nona Ebert" Menurut
dugaan polisi, pencuri semalam sangat berbahaya dan tidak segan-segan
menggunakan kekerasan. Kalau dia sempat membaca bahwa Nona Ebert adalah satu-
satunya orang yang bisa mengidentifikasikannya... saya tak berani membayangkan
apa yang mungkin dilakukan oleh orang itu. Bagaimana kalau orang itu berbuat
nekat" Sebuah foto Nona Ebert akan sangat membantu dia. Karena itu, Pak Loewe-
dan ini saya katakan di hadapan saksi-saksi: foto nona Ebert tidak boleh dimuat
di koran Anda! Namanya juga tidak boleh Anda sebutkan! Dan jika Anda menyingkat
namanya menjadi Nona H.E., usia 25 tahun-seperti yang lazim dilakukan-jangan
Anda tambahkan bahwa Nona H.E. Itu seorang guru yang bertempat tinggal di
Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lerchenbach. Sebab itu sama saja dengan mencantumkan nama dan alamatnya secara
lengkap. Soalnya Nona Ebert adalah satu-satunya guru yang tinggal di sini."
"Wah, banyak sekali persyaratannya!" Arno Loewe berkomentar. "Tapi-saya rasa kau
benar. Foto, nama, dan alamat Nona Ebert takkan saya masukkan ke dalam tulisan
saya. Saya hanya akan membahas situasi berbahaya yang dihadapinya semalam."
Dengan demikian wawancara telah selesai.
Tapi sebelum pergi, Loewe masih sempat mengambil sepotong roti. Ia berpamitan
sambil mengunyah, kemudian masuk ke mobilnya yang penuh debu. Dalam sekejap ia
sudah dalam perjalanan kembali ke kota.
"Mudah-mudahan saja dia tetap berpegang pada persyaratan yang disebutkan
Sporty," Helga berharap-harap cemas.
"Apakah dia mengembalikan bolpen Anda?" tanya Thomas.
"Ya Tuhan, saya lupa sama sekali! Dia juga tidak mengingatnya. Bolpen itu pasti
langsung ia masukkan ke dalam saku dan..."
"Itu dia!" ujar Sporty sambil menunjuk ke meja tulis Helga. Benar saja, bolpen
itu tergeletak di sana. "Wah, untunglah," ujar Helga sambil menarik napas panjang. "Bolpen itu terbuat
dari emas mumi. Wartawan itu ternyata jujur juga."
Anak-anak lalu membantu membereskan meja makan. Kemudian mereka keluar ke
pekarangan. Matahari masih bersinar cerah.
Sambil jalan, Helga meraba-raba bagian belakang kepala. Sporty melihatnya dan
langsung menanyakan apakah lukanya sudah sembuh.
"Sudah!" jawab Helga sambil ketawa.
Membereskan pekarangan Helga ternyata bukan pekerjaan ringan. Banyak sekali yang
harus lakukan. Thomas memilih memotong rumput.
Oskar menyapu jalan setapak yang mengelilingi kolam. Helga dan Petra menyiangi
rumpun mawar. Dan Sporty mencangkul kebun sayur kecil di belakang rumah. Setelah
itu ia akan membongkar dermaga kayu yang menjorok ke kolam.
Menjelang tengah hari, mereka beristirahat jenak. Sambil minum, Helga
menunjukkan musuh bebuyutannya pada anak-anak. Erwin Jocher, si petani kaya
merangkap kepala Desa berdiri di depan rumahnya.
Jarak antara rumah Helga dan rumah petani itu lumayan jauh. Tapi meskipun
demikian, Sporty melihat bahwa orangnya tinggi besar dan berkepala botak. Lengan
baju si petani digulung ke atas. Sebuah rompi menutupi perutnya yang bundar.
Selama beberapa menit Erwin Jocher memandang ke arah Helga dan anak-anak,
kemudian ia menghilang masuk ke dalam rumahnya.
"Apakah Anda akan mengambil tindakan terhadap Max?" tanya Sporty. "Kalau perlu,
saya bersedia menjadi saksi bahwa dia secara licik menembak Anda."
"Terima kasih, Sporty," ujar Helga sambil menggeleng. "Percuma. Tidak ada
gunanya." * Bersamaan dengan itu, Amo Loewe-si wartawan Koran Sore-mengemudikan mobilnya
melalui lalu-lintas di pusat kota.
Tetapi-dengan penampilan seperti sekarang, baik Helga maupun anak-anak STOP
takkan mengenalinya. Pakaian yang dikenakan pria itu memang masih seperti tadi,
tapi selain itu ia sudah berubah sama sekali.
Rambutnya yang pirang ternyata rambut palsu, dan kini tergeletak di laci mobil.
Kumisnya yang tebal juga ada di sana. Begitupun kacamata hitam yang tadi
dipakainya. Namanya juga bukan Amo Loewe, tapi Arnold Lamm. (Lamm dalam bahasa Jerman
berarti anak domba). Dia bukan wartawan, melainkan seorang penganggur. Dan
kamera yang tadi sempat mau diambil ternyata sama sekali tidak berisi film.
Di depan kedai minum OTTO'S BAR ada beberapa tempat parkir kosong. Wartawan
gadungan itu berhenti, menoleh ke segala arah, lalu keluar dari mobil. Setelah
menyalakan sebatang rokok, ia menuju ke kedai minum di pojok jalan. Asap rokok
dan bau bir menyambutnya. Suasana di kedai minum itu sejuk dan remang-remang.
Hampir tidak ada pengunjung, kecuali beberapa langganan lama yang berdiri di
depan meja layan. Otto, pemilik kedai minum berbadan gemuk, sedang menuangkan bir untuk para
tamunya. Arnold Lamm mengangguk ke arah Otto, kemudian menuju ke bagian belakang ruangan.
Meja-meja dipisahkan oleh dinding-dinding kayu.
Seorang pria duduk di meja paling ujung. Ia baru saja selesai membaca koran dan
kini menatap Arnold Lamm.
"Halo, Rudi!" si wartawan gadungan menegur pria itu, kemudian duduk di
hadapannya. Pria itu diam saja. Rambutnya agak keriting dan menutupi sebagian keningnya. Kedua bibirnya
membentuk garis tipis. Hidung dan dagunya nampak lancip. Tapi yang paling
menyolok adalah matanya. Pandangannya dingin dan menyorot tajam.
Orang itu bernama Rudi Kallweit alias Rudolf Kallweit.
"Dugaanmu ternyata benar," kata Arnold setengah berbisik. "Wanita itu
menggambarkanmu dengan tepat. Dia pasti bisa mengenalimu kalau kau kebetulan
berpapasan dengannya."
"Dasar sial!" "Hehehe, aku baru tahu bahwa aku berbakat sebagai wartawan, Rudi. Feilberg dan
si Cantik benar-benar percaya bahwa aku kerja untuk Koran Sore. Wanita itu
bernama Helga Ebert. Dia guru dan tinggal di Lerchenbach. Orangnya ramah, tapi
kelihatannya keras kepala. Waktu aku ke sana, dia lagi dikunjungi oleh beberapa
muridnya. Anak-anak berusia sekitar 13 tahun. Kecuali yang satu itu, yang sempat
mengusirmu semalam. Dia kelihatannya lebih tua. Anaknya tinggi dan berbadan
tegap." "Dan dia juga sempat melihatku?"
"Ya, tapi hanya samar-samar."
"Untung saja!" ujar Kallweit. "Tapi wanita itu benar-benar merupakan ancaman
bagiku." "Ya, aku juga sependapat."
Otto, si pemilik kedai minum, mendatangi meja mereka. Arnold Lamm memesan
segelas bir dan sebatang cerutu.
"Aku tambah satu lagi," kata Kallweit. Ia minum wiski-cola.
Ketika Otto pergi untuk mengambil pesanan mereka, Kallweit langsung berbisik,
"Aku harus tinggal seminggu lagi di sini. Masalahnya, barang-barang curianku
belum semua kejual."
"Ya, aku tahu. Tapi kau harus sangat hati-hati. angan sampai ada yang
mengenalimu. Polisi sudah punya gambar rekaan wajahmu. Helga Ebert yang
menyusunnya. Besok akan dimuat di koran-koran. Mudah-mudahan saja tidak terlalu
mirip denganmu." "Biar saja polisi menyebarkan gambar itu. Mereka tetap tidak bisa berbuat apa-
apa, selama kau memperkuat alibiku. Kita semalam menghabiskan waktu di rumahmu
dengan bermain kartu sampai pagi. Polisi takkan bisa membuktikan kebalikannya.
Hanya wanita itu saja yang kukhawatirkan. Kalau aku dihadapkan dengan dia, maka
tamatlah riwayatku. "
Otto kembali untuk mengantarkan pesanan mereka.
Arnold Lamm langsung mereguk bir-nya, kemudian menyalakan cerutu.
"Yang penting, Rudi, kau jangan sampai ketangkap basah," katanya sambil melirik
ke meja layan, di mana seorang pengunjung sedang marah-marah mengenai harga
bensin yang semakin melambung.
"Tenang saja," balas Rudi. "Aku akan mencari akal untuk membereskan wanita itu."
7. Pelajaran untuk Harry SPORTY menggulung celana dan masuk ke kolam. Air di tepinya tidak dalam, hanya
sebatas lutut. Hampir seluruh dermaga telah terbongkar. Kini hanya tinggal satu
tiang kayu yang tertancap di dasar kolam. Sporty sedang menggoyang-goyangnya,
supaya lebih mudah diangkat.
"Tunggu!" ujar Oskar. "Berdua pasti lebih cepat. "
Ia langsung masuk ke kolam.
"Awas!" Sporty memperingatkannya. "Dasar kolamnya licin sekali."
"Ya, aku juga tahu!"
Dengan gaya yakin Oskar melangkahkan kaki. Tapi justru di tempat yang akan
diinjaknya ada lubang di dasar kolam. Oskar kaget setengah mati ketika kakinya
tidak menemukan tempat berpijak. Ia kehilangan keseimbangan. Tangannya melambai-
lambai. Tapi tanpa daya ia tetap kecebur.
Air kolam yang keruh bercipratan ke segala arah. Untuk sesaat Oskar lenyap dari
pandangan. Tapi pada detik berikutnya ia muncul kembali sambil menyemburkan air
kolam. Seluruh badannya tertutup lumpur.
"Bah! Licik sekali!" ia berseru dengan kesal. "Siapa yang bikin lubang di dasar
kolam"!" Sporty ketawa terbahak-bahak. Ia terpaksa berpegangan pada tiang kayu tadi-
supaya tidak mengalami nasib yang sama seperti Oskar.
Petra dan Thomas terpingkal-pingkal. Helga masih berusaha menahan diri, tapi tak
berhasil. Habis, bagaimana lagi" Siapa pun akan tertawa melihat keadaan Oskar.
Sambil marah-marah, anak itu naik ke tepi. Tapi akhirnya dia sendiri ikut ketawa
bersama yang lainnya. "Kecelakaan seperti ini bisa menimpa semua orang," katanya kemudian. "Kolam ini
benar-benar penuh bahaya terselubung."
"Sebaiknya kau mandi dulu sekarang," ujar Helga sambil tersenyum. "Pakaianmu
juga perlu dicuci dan dijemur. Untung matahari lagi terik-teriknya. Jadi baju
dan celanamu bisa cepat kering. Tapi, sementara itu kau pakai apa?"
Helga lalu teringat bahwa ia masih menyimpan pakaian almarhum ayahnya di gudang.
Sementara Oskar mandi - sambil mendendangkan lagu-lagu rakyat dengan nada
sumbang - Helga mencari pakaian untuk anak itu. Tapi hasilnya kurang memuaskan.
"Sori, Oskar," katanya sambil tersenyum simpul, "hanya ini yang ada di gudang."
Beberapa menit kemudian Oskar kembali dari kamar mandi. Dan sekali lagi ia
menjadi bahan tertawaan teman-temannya.
Almarhum ayah Helga berbadan tinggi besar. Dan satu-satunya pakaian yang masih
tersisa adalah sebuah setelan jas berwarna hitam dengan garis-garis abu-abu.
Oskar benar-benar tenggelam dalam setelan jas itu. Semuanya serba kebesaran.
Celananya dilipat beberapa kali. Ikat pinggang yang dipakai untuk mengikat
celana mengelilingi dada anak itu. Karena tidak ada kemeja, Oskar terpaksa
memakai rompi almarhum Pak Ebert. Penampilannya kocak, tapi Oskar tidak ambil
pusing. Seperti peragawan ia mondar-mandir di pekarangan.
"Inilah mode terakhir!" ia berseru dengan riang. "Setelan jas ini dalam sepuluh
tahun mendatang masih bisa dipakai."
Helga dan anak-anak STOP yang lain memperhatikan tingkah teman mereka sambil
bertepuk tangan. Tapi kemudian Sporty menyadari bahwa Oskar mengerutkan kening, dan terus-menerus
memandang ke pekarangan sebelah. Langsung saja ia ikut menoleh.
Seorang pria bersandar pada pagar. Rupanya. orang itu sejak tadi sudah
memperhatikan "peragaan busana" di halaman Nona Ebert. Tapi ia sama sekali tidak
tersenyum. Bahkan sebaliknya wajahnya nampak dingin dan menyeramkan.
Helga pun ikut-ikutan menatap ke arah pagar. Dan Sporty mendengar wanita muda
itu mendesah perlahan. "Itu... itu Harry Jocher," Helga berbisik.
Hmm, tampangnya biasa saja, ujar Sporty dalam hati. Tapi penampilan seseorang
memang tidak bisa dijadikan patokan. Harry Jocher tidak terlalu tinggi, tapi
berbadan kekar. Tampangnya lebih tua dibandingkan usianya yang baru 26 tahun. Ia
memelihara cambang lebat. Tapi rambut di atas kepala sudah tipis sekali.
Untuk ukuran Lerchenbach, pakaian yang dikenakannya sudah termasuk perlente.
Sebatang rokok terselip di sudut mulutnya. Tanpa berkedip Harry melotot ke arah
Helga. "Seharusnya dia masih di dalam penjara," Helga kembali berbisik. "Rupanya dia
mendapat keringanan hukuman. Wah, ini alamat buruk."
"Kenapa?" tanya Sporty. "Keadaan tidak mungkin bertambah parah, bukan?" .
"Mungkin saja! Pak Jocher hanya berusaha merusak nama baik saya dengan
menyebarkan bahwa saya seorang tukang sihir. Tapi Harry -dia terang-terangan
mengancam saya. Kalau sudah dibebaskan dari penjara, katanya, dia pasti akan
membalas dendam. Dan saya percaya, dia tidak main-main."
Jarak ke pagar kurang lebih 30 meter. Karena Harry Jocher tidak mendengar
percakapan sementara Helga dengan Sporty. Namun ia tetap saja berdiri di tempat
semula. Pandangannya sama sekali tidak bersahabat. Sikapnya menantang, olah-olah
ingin mencari gara-gara. Kini ia meraih ke dalam kantong celana, mengeluarkan korek api, dan menyalakan
rokok di mulut. Dengan tenang ia mengambil rokoknya, lalu menyentilnya melewati bahu. Arahnya
sudah ia perhitungkan dengan matang. Rokok itu mendarat persis di kaca depan
mobil Helga. "Sudah waktunya untuk menyiram rumput," ujar Sporty seakan-akan tidak terjadi
apa-apa. "Rumputnya sudah kering-kerontang."
Tanpa terburu-buru ia melangkah ke arah pagar. Di dekat tempat Harry Jocher
berdiri ada selang yang tersambung ke sebuah keran air.
Dengan ramah Sporty mengangguk ke arah Harry. Dari dekat, tampang pria itu
bahkan lebih memuakkan lagi. Sporty memungut ujung selang, menjepitnya dengan
dua jari, lalu membuka keran.
Sesaat kemudian air mulai mengalir. Sambil memegang ujung selang, Sporty
berpaling pada Helga. Sebuah gerakan yang kelihatannya tidak berbahaya. Tapi
Harry segera merasakan akibatnya. Dalam sekejap ia langsung basah kuyup.
"Dari mana saya harus mulai, Nona Ebert?" tanya Sporty sambil tersenyum simpul.
Harry Jocher tentu saja tidak tinggal diam. Ia segera berteriak dengan kesal.
Dan Sporty - pura-pura terkejut- berpaling ke arahnya.
"Astaga!" pemimpin kelompok STOP itu berseru. "Ada-ada saja!"
Dengan santai ia lalu mengarahkan selang ke tanah, lalu mematikan keran air.
Seluruh pakaian Harry telah basah kuyup. Air menggenang di sekelilingnya.
Wajahnya nampak merah padam.
"Wah, maaf, Bung!" ujar Sporty. "Saya benar-benar menyesal. Tapi jangan takut,
tentu saja saya akan mengganti ongkos mengeringkan pakaian Anda. Kalau Anda
menggunakan tenaga matahari, maka biayanya... Sebentar, saya harus menghitungnya
dulu! Ya, tepat..." "Delapan belas setengah sen!" Thomas mendahuluinya.
Sporty langsung berpaling. "Yang benar, dong! Ongkosnya hanya delapan belas
sepertiga sen!" Kemudian ia kembali menghadapi Harry. "Saya punya 20 Pfennig. Apakah Anda punya
uang kembalian?" Tampang Harry semakin tak keruan. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi Bello
keburu menggonggong keras-keras. Rupanya anjing itu pun sadar bahwa kehadiran
pria di seberang pagar tidak diharapkan.
Harry Jocher mengelap air yang menempel di wajahnya.
"Awas, kalian akan menyesal!" ia berteriak. "Terutama kau!" ia menambahkan
sambil menuding Sporty. "Dari tadi saya kan sudah mengatakan bahwa saya menyesal,'" jawab Sporty dengan
wajah tak berdosa. "Hati-hati kau! Urusan ini belum selesai!"
Namun kemudian ia mulai mundur. Pandangannya tetap terarah pada Sporty-seakan-
akan berjaga-jaga terhadap serangan berikutnya. Baru setelah cukup jauh, ia
membalik dan bergegas menuju rumahnya.
"Hahaha, biar tahu rasa!" ujar Petra.
Semuanya ikut ketawa. Tapi Helga nampak agak cemas.
"Terima kasih atas bantuanmu, Sporty," katanya. "Tapi masalahnya, kau telah
mempermalukan Harry di depan orang banyak. Dia pasti tidak terima. Untuk
selanjutnya dia akan memusuhimu seperti memusuhi saya. Hal ini harus kausadari.
Tapi tak apalah. Pokoknya, untuk sementara kedudukan menjadi satu sama. Biar
saja mereka menyangka bahwa ini balasan terhadap perbuatan Max."
"Dan yang terpenting, Nona Ebert," Sporty menanggapinya, "mereka sekarang tahu
bahwa Anda tidak sendirian. Anak-anak STOP selalu siap membantu Anda. Dan janji
kami bisa dipegang. Dan sekarang kita masih harus mencopot tiang ini."
Mereka kembali bekerja. Oskar berkali-kali menghilang untuk melihat apakah pakaiannya sudah kering. Tapi
setiap kali kembali, ia masih mengenakan pakaian ayah Helga.
Seperti telah disebutkan tadi, pekarangan Helga berbatasan dengan tepi hutan. Di
daerah itu, rumput liar tumbuh dengan subur, nyaris menutupi sebuah jalan
setapak yang menuju ke dalam hutan.
Menurut Sporty, itu tidak boleh dibiarkan. Langsung ia mengambil sabit dan mulai
bekerja. Sambil membabat ilalang, ia melihat sesuatu bergerak-gerak di bawah
pepohonan. Sebuah titik merah nampak berjongkok di balik semak-semak.
Sambil menundukkan kepala, Sporty mendekat. Tangannya tetap mengayunkan sabit.
Tapi diam-diam ia melirik ke arah itu dan melihat seorang gadis cilik berbaju
merah. Usianya sekitar enam tahun. Gadis itu sedang memperhatikan kesibukan di
pekarangan Helga, tapi pandangannya terutama mengarah pada wanita muda itu.
Ketika berada tepat di depan gadis itu, Sporty mendadak mengangkat kepala.
"Halo, kau ingin membantu kami, ya?"
Gadis itu menatapnya dengan mata terbelalak. Rupanya ia sama sekali tidak
Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyangka bahwa Sporty telah melihatnya.
"Oh, tidak!" katanya.
"Kau tidak mau membantu kami" Sayang sekali! Tapi kalau begitu, untuk apa kau
bersembunyi di sini?"
"Aku kepingin melihat si Tukang Sihir!"
Gadis itu berdiri dan memiringkan kepala. Wajahnya bulat dan lucu. Rambutnya
yang coklat dikepang dua.
"Tukang sihir?" Sporty berlagak heran. "Memangnya ada tukang sihir di sini?"
"Ah, kau bodoh sekali!" ujar gadis cilik itu penuh semangat. "Itu tukang
sihirnya!" ia menambahkan sambil menunjuk Helga. "Memangnya kau tidak tahu"
Tampangnya memang tidak seperti nenek-nenek sihir di cerita-cerita dongeng. Tapi
dia bisa menyihir binatang-binatang-dan mungkin juga anak-anak kecil."
"Itu tidak benar! Dari mana kau dapat cerita ini" Ibumu yang menceritakannya?"
"Bukan, anak-anak yang lain. Si Franz, si Evi, si Maria, dan juga si Paul.
Orangtua mereka yang bilang begitu."
"Kau jangan percaya begitu saja! Kau, eh... aku belum tahu siapa namamu..."
"Barbara Petermann. "
"Dengar dulu, Barbara. Tidak ada tukang sihir di sini. Orang-orang yang
mengatakan itu semuanya bohong. Entah karena bodoh dan memang tidak tahu apa-
apa, atau karena mereka jahat dan ingin mengganggu nona yang baik hati itu. Kau
tahu, dia sebenarnya guru. Semua murid menyukarnya. Aku juga. Dan juga kedua
temanku di belakang sana. Apa mungkin kami menyukainya kalau dia memang tukang
sihir?" "Ehm... tidak," jawab Barbara setelah berpikir sejenak.
"Nah, kalau begitu, tolong sampaikan pada Franz, Evi, Maria, dan Paul, agar
mereka tidak percaya begitu saja kalau orangtua mereka bicara mengenai tukang
sihir. Nona Ebert bukan tukang sihir. Tukang sihir hanya ada dalam dongeng-
dongeng." "Wah, jadi dia tidak bisa naik sapu terbang?" suaranya Barbara agak kecewa.
"Kalau dia bisa, dia pasti sudah lama tampil di sirkus," jawab Sporty. "Ayo,
kita ke sana, supaya kau bisa berkenalan dengannya. Dia punya arbei segar, lho!"
"Tidak mau, ah! Lain kali saja."
"Eh, masa takut, sih?" Sambil tersenyum Sporty mengulurkan tangan. "Aku akan
menemanimu. " Barbara masih ragu-ragu. Ia menarik-narik bajunya, tapi akhirnya memutuskan
untuk ikut. Sporty melemparkan sabitnya ke rumput, lalu meraih tangan gadis cilik itu.
Barbara masih agak ngeri. Tapi rupanya ia merasa aman di samping Sporty.. Ketika
mereka mendekati Helga, Barbara memandang wanita muda itu dengan mata
terbelalak. Langkahnya semakin pelan.
"Nona Ebert!" Sporty berseru. "Ada tamu untuk Anda. Perkenalkan, ini Peter
Barbaramann... oh, maaf! Barbara Petermann, maksud saya! Dia ingin berkenalan
dengan Anda - kecuali itu, dia juga suka makan arbei."
Barbara cekikikan karena Sporty membolak-balik namanya. Sambil tersenyum malu,
ia lalu bersalaman dengan Helga.
"Saya sudah pernah melihatmu," ujar Helga ramah. "Kau tinggal di samping toko
bahan bangunan, bukan" Dan kalau tidak salah, ibumu kerja di rumah makan."
"Ya," Barbara mengangguk. "Ibuku memang kerja di restoran. Juga pada hari
Minggu. Dia kerja sebagai pelayan."
"Menurut cerita orang-orang, ibumu sangat rajin. Tunggu sebentar ya, saya
ambilkan arbei untukmu."
Ketika kembali, Helga membawa semangkuk penuh arbei segar yang telah ditaburi
gula. Barbara mengucapkan terima kasih dan segera mencicipinya. Begitu selesai, Bello
tiba-tiba muncul di sampingnya. Gadis cilik itu langsung berdiri dan merangkul
Bello yang nampak kebingungan.
"Saya punya boneka anjing persis seperti ini!" kata Barbara riang. "Dia selalu
menjaga saya kalau saya lagi tidur. Apakah anjing ini suka gigit orang?"
"Jangan takut!" jawab Petra. "Bello takkan menggigitmu. Nah, lihat saja dia
mengajakmu bermain. "
Setengah jam berikutnya Barbara dan Bello sibuk berlari ke sana kemari. Sampai
akhirnya si Kuping Panjang tidak tahan lagi. Dengan lidah terjulur, anjing itu
berbaring di rumput. Sementara itu, Sporty sudah bercerita pada Helga kenapa Barbara datang ke sini.
"Ya, begitulah anak-anak di sini," ujar Helga lesu. "Kalian mungkin sudah
berhasil meyakinkan Barbara bahwa saya bukan tukang sihir. Tapi bagaimana dengan
anak-anak yang lain" Mereka selalu berteriak, 'Tukang Sihir!' setiap kali saya
lewat. Suatu hari nanti, mereka akan melempari saya dengan batu."
"Tapi ibu si Barbara kelihatannya belum terpengaruh oleh ulah keluarga Jocher."
Helga mengangguk. "Saya pernah melihat Bu Petermann. Orangnya ramah, tapi agak kaku. Suaminya
meninggal dua tahun yang lalu, karena tertabrak mobil. Pak Petermann tidak
meninggalkan apa-apa. Keadaan keluarganya kini agak sulit. Bu Petermann terpaksa
membanting tulang agar dapat membesarkan anaknya."
"Bagaimana kecelakaan itu terjadi?"
"Pak Petermann ditabrak orang mabuk. Polisi telah berhasil memastikan hal ini.
Orang yang menabraknya kemudian masuk penjara. Dan kalau tidak salah, dia belum
dibebaskan sampai sekarang. Si penabrak bernama Werner Schilling. Dulu dia
bekerja sebagai pembantu di tempat Pak Jocher. Waktu menabrak Pak Petermann, dia
sedang memakai mobil Pak Jocher."
"Hah?" tanya Sporty terkejut.
"Ya, begitulah kejadiannya. Jocher meminjamkan mobilnya pada Schilling. Atau
mungkin juga Schilling membawa. mobil itu tanpa sepengetahuan bos-nya. Pokoknya,
dia sedang mabuk ketika menabrak Pak Petermann. Dan kemudian dia melarikan diri.
Baru belakangan polisi menangkapnya. Sebelum meninggal, Pak Petermann masih
sempat mengatakan mobil siapa yang menabraknya. Seandainya Pak Petermann
langsung meninggal, penabraknya yang tak bertanggung jawab itu takkan pernah
tertangkap. Dan sekarang... Ya, Bu Petermann kini menghadapi masa-masa sulit.
Untung Pak Jocher lalu menunjukkan iktikad baiknya."
"Maksud Anda?" "Dia memberikan pekerjaan untuk Bu Petermann."
"Lho, saya kira dia bekerja di restoran?"
"Memang, tapi restoran itu milik Pak Jocher."
"Astaga! Rupanya memang benar bahwa dia orang paling kaya di desa ini."
"Selain restoran itu, dia juga memiliki toko bahan bangunan. Dan dia juga sudah
jadi langganan untuk menjabat sebagai kepala desa."
"Apa sih mobilnya Pak Jocher?"
"Dia sering ganti-ganti mobil, tapi pilihannya selalu Mercedes keluaran terbaru.
Istrinya punya BMW. Harry naik Porsche. Dan begitu Max berusia 18 tahun, dia
pasti akan mendapat mobil juga."
"Busyet!" ujar Sporty sambil geleng-geleng. "Kalau begitu, mereka pasti sering
tukar pakai mobil, bukan?"
"Tidak pernah! Masing-masing tidak rela kalau orang lain memakai mobilnya."
"Hmm, maksud Anda, Pak Jocher tidak mungkin meminjamkan mobilnya pada orang
lain?" tanya Sporty.
"Tidak masuk akal, memang," ujar Helga sambil mengangguk, "tapi begitulah
kenyataannya." "Untung bukan Pak Jocher yang menabrak ayah Barbara," ujar Sporty. "Kelihatannya
Pak Jocher orang yang paling saleh di desa ini."
Helga menatapnya heran. Tapi ia tidak sempat menanggapi ucapan Sporty, sebab Barbara kini datang untuk
berpamitan. "Terima kasih atas arbei-nya, Nona Ebert," ujar gadis cilik itu sambil
tersenyum. "Sekarang saya percaya bahwa Anda bukan tukang sihir. Tapi - kenapa
sih, yang lainnya bilang bahwa Anda tukang sihir?"
"Masalahnya, di desa ini ada seseorang yang tidak menyukai saya," jawab Helga
serius. "Dan orang itu menyebarkan cerita-cerita bohong mengenai saya.
Sayangnya, banyak orang yang percaya begitu saja."
"Tapi saya lebih percaya pada Anda!" Barbara berseru. "Nanti saya akan
menceritakannya pada teman-teman saya."
Setelah membelai Bello, gadis cilik itu lalu berlari ke arah jalan.
"Sekarang Anda punya teman baru di sini," kata Sporty pada Nona Ebert. "Untuk
permulaan, ini sudah lebih dari lumayan."
8. Seekor Rusa dan Lima Puluh Semut
SAMPAI abad yang lalu, rumah makan itu masih berfungsi sebagai tempat
pemberhentian kereta pos. Hal itu hingga kini masih tercermin pada namanya:
KEDAI POS. Menjelang jam makan siang, rumah makan itu nyaris kewalahan
menghadapi serbuan para pengunjung. Juru masak di dapur tak sempat menarik napas
panjang. Begitu selesai menyiapkan masakan untuk seorang tamu, pesanan lain
sudah datang lagi. Tapi kini, pada sore hari, suasana di KEDAI POS sudah mulai sepi. Apalagi
setelah pintu masuk ke ruang makan utama terhalang oleh meja yang melintang di
tengah jalan. Namun ini tidak berarti bahwa para pelayan bisa duduk santai
sambil beristirahat. Kaki Ute Petermann-ibu Barbara-sudah lecet-lecet setelah
sepanjang siang bolak-balik antara dapur dan ruang makan. Dan sekarang pun
kesibukannya belum berkurang juga, sebab teras rumah makan masih ramai oleh
pengunjung. Sebagian besar kaum pria desa Lerchenbach sedang duduk-duduk di teras KEDAI POS
sambil minum bir. Istri-istri mereka ditinggalkan di rumah. Tapi rupanya kaum
wanita tidak mau kalah. Banyak di antara mereka sedang duduk di rumah makan
sebelah yang bernama BINTANG KEJORA. Rumah makan itu menyediakan berbagai jenis
kue yang lezat, sehingga lebih menarik bagi ibu-ibu.
Dengan langkah panjang Ute Petermann kembali dari teras. Ia meletakkan sebuah
baki berisi gelas-gelas kosong pada meja layan, kemudian menyampaikan pesanan
sejumlah tamu yang baru datang.
"Lima bir dan dua gelas anggur merah," ia berkata pada petugas di balik meja
layan. Ute Petermann berpenampilan menarik. Semalam, ia bertugas sampai jam 2.00 pagi-
lalu mulai - kerja lagi pada jam 9.00. Karena terlalu lelah, ia nampak pucat.
Dan di sekeliling matanya terdapat lingkaran hitam.
"Kau sudah lihat Barbara hari ini?" ia bertanya pada rekannya yang sedang
menuangkan minuman. "Tadi dia sempat datang sebentar."
Ketika Ute membawa pesanan para tamu, ia sekalian mencari Barbara. Tapi alun-
alun desa sepi-sepi saja.
Setelah mengantarkan kelima gelas bir berikut dua gelas anggur merah, ia
mengelap dua buah meja, dan mengatur kursi-kursi.
Kemudian Ute masuk lagi. Sepintas lalu, ia masih sempat melihat seorang pria
berjalan menyusuri alun-alun. Tapi Ute tidak mengenalinya. Orang itu membawa
koper dan melangkah pelan.
Ute meletakkan baki, lalu bersandar pada meja layan. Kedua kakinya terasa
bengkak. Ia mendengar seseorang mengambil tempat pada meja di samping jendela. Orang itu
kemudian meletakkan sesuatu di lantai.
Pelayan yang bertugas menuangkan minuman baru saja masuk ke dapur untuk
menikmati makan siangnya.
Istirahat dulu, deh, pikir Ute. Habis itu mulai lagi.
"Pelayan!" seorang pria memanggil dengan ketus. Entah kenapa, Ute merasa
mengenali suara itu. "Sebentar!" Ia berbalik, lalu menuju meja tadi. Cahaya matahari di luar benar-benar
menyilaukan, sehingga Ute hanya melihat bayangan pria yang memanggilnya. Orang
itu sedang membolak-balik halaman-halaman koran, dan baru mengangkat kepala
setelah Ute berdiri di hadapannya.
Tiba-tiba saja Ute mengenalinya: Werner Schilhng, bekas pembantu Pak Jocher-
orang yang telah merenggut nyawa suaminya.
Pria itu pun mengenali Ute dan menatapnya sambil terbengong-bengong
Tangan Ute terasa sedingin es. Detak jantungnya bertambah cepat. Ia tak sanggup
berkata apa-apa. Hmm, rupanya dia sudah dibebaskan dan penjara, ujar Ute dalam hati. Aneh, selama
ini aku tidak pernah memikirkannya. Kenangan buruk itu seperti terhapus dari
ingatanku. Dan aku bahkan tidak menaruh dendam....
"Mau pesan apa?" Ute bertanya dingin.
"Saya... ehm... roti sosis. Dan... segelas bir."
Kalau saja dia dulu datang dan minta maaf padaku... Hah, sikap ksatria seperti
itu tidak ada dalam kamusnya. Di depan hakim, dia malah berlagak bodoh dan minta
keringanan hukuman. Ute membalik dan menuju ke meja layan. Tidak lama kemudian ia sudah kembali
untuk mengantarkan pesanan Werner Schilling.
Pria itu duduk lemas. Kedua sikunya bersandar pada meja. Wajahnya pucat.
Potongan rambutnya masih persis sama seperti dulu.
"Apa... apa kabar?" Werner bertanya. Ia harus mengerahkan seluruh keberaniannya
untuk mengucapkan pertanyaan singkat itu.
"Untuk apa Anda menanyakan keadaan saya?"
"Saya... saya..."
"Itu bukan urusan Anda!" Ute mendahuluinya dengan ketus.
Untuk sesaat keduanya terdiam.
"Saya... saya tidak sengaja," pria itu kembali berkata.
"Memang, Anda tidak sengaja. Anda hanya mabuk-mabukan, dan ngebut dengan mobil
milik orang lain. Padahal Anda tahu persis bahwa tindakan Anda sangat berbahaya.
Tapi untuk apa pusing-pusing" Kalau terjadi apa-apa, polisi toh hanya akan
mencabut SIM Anda, bukan" Dan membuat SIM baru tidak begitu sulit. Pokoknya,
Anda bisa ngebut dengan sepuas hati. Werner Schilling, saya sebenarnya tidak
sudi berbicara dengan Anda. Sayangnya Anda hanya dihukum selama 20 bulan.
Sedangkan suami saya pergi untuk selama-lamanya. Padahal usianya baru 31 tahun
waktu itu." Kedua tangan Werner Schilling nampak gemetar.
"Saya... saya benar-benar tidak... tidak sengaja," ujarnya tergagap-gapap.
"Ini pesanan Anda! Selamat makan!" kata Ute sambil menatapnya dingin.
Ia berjalan ke teras dan melihat Barbara yang sedang menyeberangi alun-alun
desa. "Mama!" gadis cilik itu berseru. "Aku tadi ke rumah si Tukang Sihir. Tapi
ternyata dia bukan tukang sihir. Dia guru, dan dia memberiku arbei segar. Di
rumah dia ada beberapa muridnya. Dan seekor anjing berkuping panjang. Aku tadi
bermain-main dengan anjingnya. Namanya Bello."
"Kau ke rumah Nona Ebert?" tanya Ute heran.
"Ya, namanya memang Nona Ebert. Asyik, lho! Kapan-kapan aku mau ke sana lagi,
ah. Dia juga menjelaskan kenapa orang-orang menyebut dia sebagai tukang sihir."
"Oh, ya?" "Ya! Katanya, di desa ini ada seseorang yang tidak menyukainya. Dan orang itulah
yang menyebarkan cerita-cerita bohong mengenai Nona Ebert."
Betul sekali! pikir Ute sambil mengangguk. Dan aku juga tahu siapa orangnya.
* Anak-anak STOP telah memutuskan untuk menikmati kunjungan ke rumah Helga sampai
detik-detik terakhir. Artinya, mereka masih ingin berlama-lama di rumah guru
mereka itu. "Dalam perjalanan pulang nanti, kita kebut saja," ujar Oskar. Baru kali ini si
pemalas punya usul seperti itu. Celana dan bajunya sudah kering kembali, dan
Oskar pun telah berganti pakaian. Sementara itu, tugas mereka sudah selesai.
Helga lalu mengemukakan usul baru.
"Bagaimana kalau kita pergi ke hutan dan mencari buah arbei?" ia menawarkan.
"Saya tahu suatu tempat di mana buah arbei tumbuh dengan subur."
Anak-anak STOP langsung setuju. Dalam sekejap mereka sudah siap berangkat.
Sporty dan Thomas masing-masing membawa sebuah kaleng kosong. Petra memasang
tali pengikat Bello, sebab masih banyak binatang liar yang hidup di hutan - dan
Bello adalah anjing pemburu berhidung tajam.
Helga mengunci semua pintu dan jendela.
"Lebih baik berjaga-jaga," katanya.
"Kalau begitu, sepeda-sepeda kami juga perlu diamankan," ujar Sporty. "Memang
lebih baik berhati-hati daripada menyesal kemudian."
Setelah semuanya beres, mereka menuju ke bagian belakang pekarangan Helga -
tempat Barbara Petermann bersembunyi tadi. Jalan setapak yang masuk ke dalam
hutan sudah bersih kembali. Rumput liar yang terbabat oleh sabit Sporty telah
menumpuk di pinggir jalan. Helga dan Petra yang membereskannya.
Suasana sunyi menyambut rombongan kecil itu. Cahaya matahari menembus atap
dedaunan. Helga berjalan di depan. Ia sudah hafal jalan yang harus mereka
tempuh. Bello mengikutinya sambil menjulurkan lidah. Anjing itu kadang-kadang
berhenti dan mengendus-endus sambil mengibaskan ekornya.
Setelah berjalan selama kurang lebih setengah jam, mereka tiba di suatu lapangan
terbuka.
Detektif Stop - Misteri Tukang Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, ini ladang arbei yang saya ceritakan tadi," ujar Helga sambil menunjuk ke
sekitarnya. Anak-anak tidak membuang-buang waktu. Langsung saja mereka mulai memetik buah-
buah itu. Tapi sebagian besar langsung masuk mulut. Hanya sedikit sekali yang
terkumpul di dalam kaleng-kaleng yang mereka bawa dari rumah Helga.
"Wah, lezat sekali!" Oskar mendesah sambil menepuk-nepuk perutnya. "Coba kalau
buah-buahan ini dibungkus coklat - pasti lebih nikmat lagi!"
"Coklat buatan pabrik Sauerlich memang enak kali," Petra berseru. "Tapi tanpa
bungkus coklat pun buah-buah arbei ini sudah lezat sekali. "
Berdua dengan Sporty gadis itu berusaha mengisi satu kaleng sampai penuh. Ketika
Sporty kemudian menemukan sebuah arbei yang besar dan merah sekali, ia segera
menghadiahkannya pada Petra. Tatapan mata gadis itu membuat wajah Sporty menjadi
hampir semerah hadiah yang ia berikan. Langsung saja anak itu menundukkan kepala
dan kembali mencari arbei.
"Eh, Bello ada di mana?" Petra tiba-tiba bertanya.
Semuanya memandang ke sekeliling mereka. Tapi anjing spanil itu seperti lenyap
dari muka bumi. Hanya tali pengikatnya yang nampak tergantung pada sebuah dahan.
"Ya ampun, Bello lepas lagi," ujar Petra sambil mengambil tali pengikat
anjingnya. "Wah, jangan-jangan Bello memburu binatang-binatang liar!" Thomas berkata cemas.
"Dasar tukang tipu," Oskar berkomentar. "Diam-diam melarikan diri! Wah, mudah-
mudahan dia cepat kembali. Hutan ini cukup luas. Bayangkan kalau kita harus
mencari Bello ke seluruh pelosok hutan."
"Sst!" Sporty mendesis sambil mengangkat tangan. Baru sekarang yang lain
mendengar gonggongan Bello yang semakin mendekat.
"Uuh, untung saja!" kata Petra. "Bello sudah kembali. Tapi-kenapa sih, dia"
Tidak biasanya dia menggonggong seperti ini."
Suara dahan-dahan patah terdengar dengan jelas. Gonggongan Bello semakin
menjadi-jadi. Dengan mata setengah terpejam Sporty memandang ke arah sumber bunyi-bunyi itu.
"Ia yakin bahwa Bello sedang mengejar sesuatu. Tapi ia sama sekali tidak
menyangka bahwa "sesuatu" itu adalah seekor rusa jantan.
Rusa itu bertanduk besar. Dengan mata terbelalak, binatang itu berlari menuju
lapangan - tepat ke arah Helga dan anak-anak STOP. Bello menyusul lima meter di
belakangnya. Anjing itu berlari sekuat tenaga. Rupanya ia merasa bangga karena
berhasil memamerkan binatang aneh bertanduk besar itu pada Petra dan anak-anak
yang lain. "Astaga!" Petra berseru kaget. "Awas, rusa itu mau menanduk kita!"
"Cepat, cari pohon yang bisa dipanjat!" teriak Sporty. "Ayo, sebelum rusa itu
melindas kita." Ia masih sempat melihat Helga dan Thomas naik ke sebatang pohon yang dahannya
menggantung rendah. Sementara itu, Petra berdiri di bawah sebatang pohon yang sama sekali tidak
cocok untuk dipanjat. Dengan mata terbelalak gadis itu menatap sebuah dahan yang
berada sekitar satu meter di atas kepalanya.
Kenapa justru pohon itu yang dipilihnya" tanya Sporty dalam hati. Tapi ia
langsung menyadari bahwa di sekitar Petra memang tidak ada pohon lain. Sementara
itu, rusa tadi sudah semakin mendekat.
Tanpa berpikir panjang, Sporty melesat menghampiri Petra. Sambil memegang
pinggangnya, ia mengangkat gadis itu. Dan dalam sekejap Petra sudah berada di
tempat yang aman. Sekarang Sporty yang kelabakan sendiri. Dahan yang diduduki Petra tidak cukup
kuat untuk menahan berat badan dua orang. Tapi walaupun bahaya tengah mengancam,
Sporty tetap tenang. Dengan satu lompatan panjang ia mencapai pohon terdekat.
Dahan paling bawah berada sekitar tiga meter di atas permukaan tanah. Sporty
melesat ke atas dan berhasil meraih dahan itu. Langsung saja ia menggunakan
kekuatan kedua lengannya untuk menyelamatkan diri. Tepat pada waktunya!
Sebab pada detik itu juga rusa tadi lewat di bawah Sporty. Ujung tanduknya
sempat mengenai sol sepatu Sporty.
"Tolong! Aku tidak bisa memanjat!" teriak Oskar ketakutan. "Tolong! Rusa itu
mengincarku!" Sporty segera menoleh. Helga dan Thomas berada di tempat yang aman. Petra duduk
di atas dahannya sambil berpegangan pada batang pohon. Hanya Oskar yang belum
menyelamatkan diri. Ia hanya berlari mondar-mandir di tepi hutan. Dengan wajah
pucat dan mata terbelalak ia menatap rusa yang menyerbu mendekat.
"Sembunyi di balik semak-semak!" teriak Sporty. "Rusa itu takkan bisa melihatmu
di sana!" Walaupun sedang dicekam ketakutan, Oskar segera mengikuti petunjuk sahabatnya.
Dengan sekali melompat ia menghilang di balik semak-semak. Kemudian ia
menggulingkan diri melewati gundukan tanah.
Sporty langsung meloncat turun. Rusa tadi berada sepuluh meter di depannya. Tapi
binatang itu langsung berlari ke tepi hutan.
Sementara itu, Bello telah menghentikan perburuannya. Dengan santai ia duduk di
tanah sambil menggaruk-garuk bagian belakang telinganya. Rupanya ia menganggap
bahwa tugasnya sudah selesai.
Kesempatan ini segera dimanfaatkan Sporty untuk menangkap anjing itu.
"Cukup untuk hari ini," ujar anak itu ketika meraih ikat leher Bello. "Nanti kau
malah membubarkan seluruh isi hutan!"
Rusa tadi menghilang di bawah pepohonan. Mungkin binatang itu menduga Bello
masih berniat mengejarnya.
Tapi Sporty tidak mau ambil risiko. Ia menunggu sampai rusa itu benar-benar
tidak kelihatan lagi. Kemudian baru ia berseru,
"Kalian boleh turun sekarang! Keadaan sudah aman!"
"Aku tidak bisa turun!" ujar Petra. "Aku takut kakiku terkilir kalau aku
melompat ke bawah." Tanpa berkata apa-apa, Sporty menuju ke bawah dahan yang diduduki Petra dan
melebarkan tangan. Petra melompat dan Sporty menangkapnya. Dengan selamat gadis
itu sampai di tanah. Tiba-tiba saja Oskar terdengar meraung-raung.
"Aduh! Aku dimakan hidup-hidup!" ia berteriak. "Semuanya menggigitku!"
Seperti dikejar setan Oskar muncul dari balik semak-semak. Dengan membabi-buta
ia memukul-mukul diri sendiri sambil melompat-lompat di tempat. Seluruh anggota
tubuhnya menjadi sasaran - mulai dari kepala, lengan, dan bahu sampai ke
punggung. Yang lain terheran-heran melihat tingkah Oskar. Helga dan Thomas juga sudah
turun dari pohon. Petra mulai cekikikan. "Oskar!" seru Sporty sambil bergegas mendekat untuk membantu sahabatnya itu,
Tiga Naga Sakti 15 Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen Setan Harpa 10