Perempuan Suci 10
Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz Bagian 10
Seraya membuka pintu lebar-lebar, Sikander membiarkan Zarri Bano masuk lebih dulu dan kemudian baru mengikutinya. Melihat berkeliling kamar itu dengan penuh rasa ingin tahu, ia lalu meletakkan kopernya di atas salah satu dari dua ranjang yang ada di kamar itu.
Zarri Bano terdiam tak pasti di tengah kamar, merasa kehadiran suaminya amat mengancamnya. Dia berusaha keras untuk tersenyum, tetapi yang keluar adalah sebuah seringai.
"Maafkan aku karena tak mengatakan padamu akan datang saat aku meneleponmu kemarin," ujar Sikander lembut. "Aku ingin ini menjadi sebuah kejutan. Aku ada urusan bisnis di sini. Juga aku memiliki seorang istri cantik yang sedang menungguku," goda Sikander.
Zarri Bano dengan berdiam diri terus memandang Sikander. Mulutnya kering. Lidahnya kelu.
Sikander memerhatikan kegelisahan Zarri Bano dan memutuskan untuk bertindak. "Aku lapar, Zarri Bano. Bisakah kita cari makan dulu""
"Ya, tentu," Zarri Bano akhirnya bersuara. "Aku memang akan turun untuk makan malam."
"Bagus, ayo kita pergi." Sikander mengulurkan tangannya pada Zarri Bano dan melintasi ruangan. Zarri Bano menatap tangan itu, lalu pada wajah Sikander. Sikap menantang dalam mata Sikander membuatnya terpaksa meletakkan tangannya sendiri di tangan suaminya dengan enggan.
Rengkuhan Sikander yang hangat terasa menenangkan saat ia menggandengnya keluar kamar dan turun ke ruang makan. Sikander baru melepaskan tangan Zarri Bano saat dia mendekati meja tempat teman-temannya dari kelompok Jamaah Muslim lelaki dan perempuan tengah duduk. Zarri Bano tersipu ketika dengan cepat memperkenalkan Sikander sebagai suaminya dan kemudian duduk di samping Sakina.
Sikander menatap Zarri Bano dari seberang meja dengan mata berbinar-binar ketika mereka menyantap hidangan.
* * * Beberapa saat kemudian di malam itu juga, Sikander, Zarri Bano, dan Sakina bepergian bersama-sama, berkeliling Kota Kuala Lumpur. Dari Pasar Jalan Petaling yang terkenal, mereka membeli cenderamata untuk banyak orang. Zarri Bano merasa bahagia karena Sikander membantu menawar barang-barang yang dibelinya. Anehnya, dia sendiri ternyata menikmati ditemani oleh Sikander. Merupakan hal yang baik bagi kedua perempuan itu mendapat pengawalan dari seorang lelaki di samping mereka, terutama karena para pemuda Melayu dan Cina terus-menerus memandangi mereka berdua yang mengenakan burqa hitam.
Kemudian saat mereka naik taksi dengan barang-barang belanjaan di pangkuan mereka, Sakina berkata, "Senang sekali Anda ikut dengan kami, Saudara Sikander. Kami tak bisa menawar barang sepertimu."
"Bagaimana menurut istriku"" Seraya menaikkan sebelah alisnya, Sikander menatap Zarri Bano dengan pandangan bertanya.
Zarri Bano tersenyum padanya, memerhatikan kata "istri". "Kurasa kami jadi malas karena kehadiranmu dan membiarkanmu melakukan semua pekerjaan-begitu, Ukhti Sakina""
"Hmm," Sikander menggumam seraya memijit lembut paha Zarri Bano untuk menunjukkan bahwa ia tidak puas dengan jawaban Zarri Bano.
Mereka ke pasar dalam ruangan di pusat Kota Kuala Lumpur dan ketika Sakina dan Zarri Bano asyik melihat-lihat barang kerajinan, kain batik, dan kerudung sutra, Sikander menghilang untuk melihat-lihat dan membeli hadiah. Ia kembali membawa dua buah bingkisan.
Di hotel mereka mengucapkan selamat malam pada Sakina di luar kamarnya dan kemudian pergi ke kamar mereka sendiri. Setelah menutup pintu, mereka meletakkan bingkisan di atas ranjang.
Sikander menatap bayangan istrinya dalam cermin ketika ia setengah berbaring di salah satu dari dua ranjang itu dan menatapnya melepaskan burqa serta menyisir rambutnya.
"Kau tahu apa yang ingin kulakukan di meja makan tadi" Tapi kura
sa lebih baik aku tak melakukannya agar tidak menggegerkan kelompok sucimu itu."
Seraya mengabaikan pertanyaan Sikander, Zarri Bano terkekeh pendek, merasa dirinya lebih santai. Tiba-tiba saja Zarri Bano merasa bahagia karena Sikander ada di kamar itu bersamanya. Perjalanan itu telah membukakan cara pandang baru baginya dan dengan cara yang aneh membuatnya ingin menghabiskan lebih banyak waktu lagi bersama Sikander.
Sikander bangkit untuk membuka kopernya. "Tak apa-apa kan aku tidur di kamar ini" Aku membawa tasku kemari." Ia melihat seulas senyum tersungging di wajah Zarri Bano. "Ada dua ranjang di sini. Tak masuk akal jika aku harus mencari kamar lain. Tapi, jika kau sungguh-sungguh tidak menyukainya, aku akan pergi pada resepsionis dan minta kamar lain."
Zarri Bano mempermainkan jemarinya dengan gelisah. Sikander nyaris bisa merasakan ketegangan yang terbangun dalam tubuh Zarri Bano.
"Ya, tentu saja kau boleh tinggal di kamar ini," ujar Zarri Bano lirih. Matanya tak memandang mata Sikander. Zarri Bano berdiri dan berjalan melewati Sikander, hendak ke kamar mandi. Sikander menghalangi jalannya seraya mencekal lengannya.
"Zarri Bano, kau harus belajar memercayaiku. Yang akan kita lakukan hanyalah tidur di ranjang, tidak lebih. Hal paling akrab yang kulakukan padamu hanyalah menyentuh tanganmu. Tiba-tiba saja kau menjadi siaga lagi. Semenit yang lalu kau gembira, santai, dan tersenyum. Mengapa kau tiba-tiba jadi bersikap dingin padaku" Jika kehadiranku membuatmu amat gusar, sekarang juga aku akan pergi." Seraya membiarkan lengan Zarri Bano terlepas, Sikander berpaling ke arah pintu.
"Tidak, Sikander," panggil Zarri Bano. "Kau tak perlu pergi. Kau bisa tidur di ranjang itu. Kini aku sudah terbiasa dengan kehadiranmu. Aku tak apa-apa jika kau tidur di ranjang itu. Hanya itu yang bisa kulakukan, tidak lebih."
Sikander mendengarkannya dengan memunggunginya. Tangannya masih memegang pegangan pintu. "Kita berteman saja dulu, Zarri Bano," ujar Sikander seraya berbalik menghadap Zarri Bano dengan raut tenang di wajahnya. "Soal lainnya itu nomor dua. Yang kuinginkan hanyalah pertemananmu, itu saja."
Sikander kembali membongkar barang-barangnya. Zarri Bano duduk di ranjangnya dan menatap Sikander. Dia melihat bingkisan yang dibeli Sikander.
"Apa itu, Sikander""
"Apa"" "Bingkisan yang kau beli di pasar induk."
"Oh, itu, yang satu adalah hadiah bagimu dan satu lagi untuk ibuku. Itu adalah jam yang bergambar dan aku meminta kedua jam itu diukir dengan pesan pribadi khusus. Itulah yang ingin kuberikan padamu saat makan malam. Di sini, maukah kau melihat milikmu" Aku akan mandi dulu. Apakah kau tak keberatan mencarikan piyamaku di dalam koper dan menggantungkannya di luar pintu kamar mandi" Kuharap kau menyukainya-bingkisan itu maksudku, bukan piyama." Seraya tertawa Sikander memberikan pada Zarri Bano sebuah bingkisan dan pergi ke kamar mandi.
Zarri Bano membuka bungkusan koran yang menutupi bingkisan itu dan melihat pesan yang terpahat di kaca depan jam itu. Untuk istriku tercinta yang cantik, Zarri Bano, dari suamimu, Sikander. Seraya menatap pesan itu dengan takjub, Zarri Bano merasa tersanjung oleh kata-kata itu. Kata "tercinta" itu melompat padanya. Tiba-tiba saja, entah dari mana, muncul pikiran tak diundang: apakah ia juga menulis pesan yang sama untuk Ruby"
Dengan hati-hati, Zarri Bano menaruh kembali jam itu dalam kotaknya, tak siap mengikuti perasaannya sendiri mengenai hubungan suaminya dengan adiknya yang telah meninggal. Siapakah perempuan tercinta Sikander" Mereka berdua" Salah satu di antara mereka" Dia lebih dahulu mengenal Sikander, tapi Ruby telah hidup bersamanya selama empat tahun. Dalam empat tahun, banyak hal bisa terjadi dan telah terjadi. Mereka memiliki seorang anak yang manis sebagai bukti.
Zarri Bano teringat pada permintaan Sikander untuk menyiapkan piyamanya dan membuka koper suaminya itu. Tangan Zarri Bano menyentuh sesuatu yang hitam dan lembut di dasar koper itu. Dia menarik kain sifon hitam dengan terkejut. Itu adalah pakaian hitam yang dia pakai pertama kali saat bertemu Sikander di mela. Mengapa bend
a itu ada di sini" Bagaimana Sikander bisa mendapatkannya" Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkelebat di kepalanya.
Jemarinya mengelus bahan itu. Seraya menutup matanya, Zarri Bano mencoba mengingat hari itu saat di pekan raya-dan pertemuan dengan Sikander. Dia kembali merasakan sepasang mata Sikander menjelajahi tubuhnya hari itu. Mengapa Sikander membawa benda ini" Apa pentingnya baju ini baginya" Zarri Bano tiba-tiba merasa tersentuh oleh pemujaan itu. Sikander pasti memiliki perasaan khusus terhadapku, pikir Zarri Bano. Pasti, kalau tidak, mengapa ia sampai bersusah payah mencari pakaian ini dan menyimpannya"
Ketika mendengar pancuran air di kamar mandi dimatikan, Zarri Bano dengan cepat meletakkan kembali baju itu di dalam koper dan mengeluarkan piyama Sikander. Zarri Bano lalu menggantungkan piyama itu di luar pintu kamar mandi, tak berani masuk.
Ketika Sikander kembali, Zarri Bano telah berganti baju dan naik ke ranjangnya. Sikander tersenyum pada Zarri Bano ketika ia mengeringkan rambutnya dengan sehelai handuk.
"Apakah kau menyukainya"" tanyanya, tahu bahwa Zarri Bano akan memahami apa yang dimaksudnya.
"Ya, bagus sekali. Apakah kau membawakan Ruby hadiah seperti itu dan menulisinya dengan pesan semacam itu pula"" tanyanya sebelum dia bisa tidur. Jawaban yang jujur dari Sikander amat penting baginya.
"Aku banyak memberi Ruby hadiah-sebanyak yang bisa diberikan seorang suami, tapi ini adalah kali pertama aku menuliskan pesan di atasnya." Sikander menatap balik pada Zarri Bano dengan tenang.
Zarri Bano menatap ke bawah, menyembunyikan matanya, merasa tak bahagia dengan jawaban Sikander. Sementara itu, Sikander merasa ia telah terlalu banyak mengungkap perasaannya.
"Kurasa ini saatnya kita menelepon Haris. Ia pasti amat rindu padamu," ujar Sikander, dengan cepat mengubah bahan pembicaraan. "Ia mungkin sedang menunggu telepon dari kita. Dua hari lalu ia berkata, 'Mengapa Bibi menikahi Ayah kalau dia pergi ke luar negeri.'"
Ia mencondongkan tubuh di atas tepi tempat tidur untuk memijit nomor telepon. Zarri Bano mundur. Mata Zarri Bano menatap leher telanjang Sikander yang kancingnya terbuka. Menyela tatapan Zarri Bano, Sikander menatap arah yang ditatap oleh Zarri Bano. Merasa malu, Zarri Bano memalingkan muka, merasa seakan-akan tertangkap basah melakukan sesuatu yang salah.
Dengan segera, panggilan telepon itu terhubung dan ibunya menjawab telepon. Ketika Haris berbicara, Zarri Bano datang mendekat untuk mendengarkan percakapan mereka.
"Ini ada Bibi Zarri Bano, dia ingin bicara denganmu, Haris." Sikander menyodorkan gagang telepon ke atas kepala Zarri Bano dan karenanya melingkari Zarri Bano dengan tangannya.
Ketika bicara pada Haris, Zarri Bano amat sadar bahwa lengan Sikander melingkari tubuhnya. Zarri Bano tidak menatap Sikander, tetapi mendengar napasnya saat Sikander mendengarkan percakapan itu. Bilkis lalu berbicara
dengan Zarri Bano. Ketika Sikander bergerak menjauh untuk memberi ruang pada Zarri Bano, Haris kembali berbicara di telepon, ingin berbicara pada ayahnya. Zarri Bano memberikan gagang telepon pada Sikander, tapi alih-alih menjauh, dia tetap pada posisinya semula.
Entah dari mana datangnya dorongan itu, tapi Zarri Bano ingin meletakkan tangannya pada rambut ikal Sikander yang segar dan basah. Sebelum dia tahu apa yang dilakukannya, tangannya telah merayap ke leher Sikander.
Sepasang mata Sikander menatap tajam mata istrinya dengan terkejut, tapi Zarri Bano menunduk, berpura-pura mendengarkan suara Haris. Jemarinya yang tidak patuh itu terus melanjutkan perjalanan penjelajahannya ke atas hingga mencapai kepala Sikander, dan kemudian dengan nakal mengelus rambut lebat Sikander. Sikander menggerakkan kepalanya untuk memudahkan tangan Zarri Bano.
Sikander kemudian meraih tangan Zarri Bano dan mendekatkannya ke bibirnya, lalu dengan lembut mengecupnya, seraya masih mendengarkan suara Haris. Zarri Bano dengan cepat menarik tangannya menjauh, tersadar kembali- merasa malu. Sepasang mata Sikander yang menggoda menertawakan Zarri Bano ketika ia mengakhiri percakapan dengan anaknya.
Lalu Sikander terdiam. Ba
yangan tawa lenyap dari matanya ketika ia terkejut melihat tatapan gelisah bercampur gairah di mata Zarri Bano. Perempuan itu bahkan tak bisa merasakan apa yang dia rasakan dan lakukan! kata Sikander dalam hati, tersadar dan merasa masygul.
Dengan berat hati, Sikander bangkit dan menaruh kembali gagang telepon. Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Ia tak berani membuat langkah yang salah. Zarri Bano seperti sehelai kembang sutra yang rapuh dalam tangan lelakinya yang ceroboh.
"Kurasa ini waktunya aku tidur," ujar Sikander lembut. "Aku masih merasa tak enak badan karena jet lag. Allah Hafiz, Zarri Bano."
Zarri Bano terduduk tercenung. Tubuhnya panas dingin karena malu. Kedua lengannya bersilang di dadanya sebagai perlindungan. Aku menawarkan diri padanya dan ia menolakku, batin Zarri Bano terpukul.
Di depan matanya yang gelisah, Zarri Bano melihat Sikander naik ke ranjangnya dan berbaring dengan punggung menghadap padanya. "Ia tak menginginkan aku!" teriak batin Zarri Bano. Lalu Zarri Bano pun berbaring dan mematikan lampu, merasa aneh dalam hatinya. Ini pertama kalinya seumur hidup tidur dengan seorang lelaki di kamarnya. Dia menatap belakang kepala Sikander dengan malu hati. Jemarinya telah mengelus rambut Sikander. "Apakah yang telah merasukiku"" tuduhnya pada diri sendiri, masih tak memercayai reaksinya sendiri. "Apakah ia sudah tertidur"" tanyanya dalam hati. Seraya berbalik, Zarri Bano mencoba tidur.
Sikander terbaring di ranjangnya. Ia tak bisa tidur. Didengarnya suara napas Zarri Bano. Kepalanya masih bisa merasakan sentuhan lembut jemari Zarri Bano di rambutnya. Itu adalah gerakan spontan pertama yang dibuat Zarri Bano malam ini dan tanpa dorongan darinya. Hati Sikander sangat senang. Ia telah melihat tatapan terkejut Zarri Bano saat ia berpaling dari gadis itu dan mengucap selamat tidur. Kemudian, ia melihat Zarri Bano melingkarkan tangannya di sekeliling tubuhnya sebagai perlindungan. "Kuharap Zarri memahami tindakanku," batin Sikander. "Aku melakukannya demi dirinya."
Betapa rindunya ia memeluk Zarri Bano dan mencintainya dengan cara yang sepantasnya dilakukan oleh seorang suami! Tapi ini terlalu cepat. Istrinya belum tahu pikirannya sendiri, atau apa yang dirasakannya saat ini. Pelajaran yang didapatnya hari ini adalah bahwa Zarri Bano yang dilihatnya di mela masih hidup dan baik-baik saja. Kini hanya tinggal soal waktu-dan banyak kesabaran.
Dalam kegelapan, sepasang mata Zarri Bano bercahaya. Sikander bertekad akan memberi Zarri Bano waktu yang dibutuhkannya. Yang juga akan diberikannya pada istrinya itu adalah seratus persen kehadirannya, demikian ia memutuskan, sehingga Zarri Bano tak akan mampu memisahkan lagi kehidupannya yang baru darinya. Ia tak akan membiarkan Zarri Bano mencampakkannya lagi dari hidupnya.
Sekitar dua jam kemudian, saat kembali dari kamar mandi, Sikander merasakan dorongan untuk duduk di ranjang Zarri Bano dan menatapnya saat dia tertidur. Lalu, tak tahan, ia mencondongkan tubuh ke depan dan dengan lembut mengecupkan bibirnya ke bibir Zarri Bano. Dalam tidurnya, lengan Zarri Bano menggapai ke atas, nyaris menyentuh Sikander. Sikander dengan cepat beranjak mundur. Ia ingin memeluk Zarri Bano, lalu mengecupi wajahnya, tapi dengan keteguhan yang lahir dari cinta dan pertimbangan matang, ia dengan enggan kembali ke ranjangnya sendiri dan akhirnya jatuh tertidur.
* * * Ketika Sikander bangun esok paginya, Zarri Bano telah berpakaian dan memakai burqa. Dia tengah melakukan wirid, berkonsentrasi dengan tasbihnya.
"Kau terlalu letih. Kau tahu jam berapa sekarang, Sikander" Ini sudah jam sepuluh!" Zarri Bano tertawa ketika melihat Sikander duduk dan menguap.
"Ya, aku tertidur pulas," Sikander berdusta. Ia tak akan mengatakan pada Zarri Bano bahwa ia menghabiskan waktu setidaknya satu setengah jam memandangi istrinya itu saat dia tertidur. "Apa rencanamu hari ini"" tanya Sikander.
"Kami akan menemui Malvi Bilal yang terkenal itu di rumahnya."
"Aku punya saran yang lebih baik. Kini aku di sini, tidakkah akan menyenangkan jika kita berjalan-jalan bersama""
Zarri Bano menunduk menatap tasbih di tang
annya. Lalu sejenak kemudian dia berkata, "Sikander, mungkin kita bisa melakukannya besok. Aku ingin pergi mengikuti pertemuan ini, lagi pula, itulah alasanku berada di sini, di Malaysia-bukan hanya untuk berjalan-jalan!"
"Aku yakin nanti akan ada pertemuan yang lain. Sakina bisa menghadiri pertemuan ini dan menceritakan padamu apa yang terjadi," desak Sikander seraya bangkit dari ranjangnya. Ia tidak menempuh perjalanan sejauh ini hanya untuk berjalan-jalan sendirian.
"Tidak. Aku ingin pergi ke sana. Acara jalan-jalanmu, Sikander, bisa menunggu lain waktu," sahut Zarri Bano dengan dingin seraya kembali menatap butiran tasbih di tangannya.
Sikander sedang memunggungi Zarri Bano. Jika tidak, Zarri akan melihat kilatan di mata Sikander. "Tentu saja acara jalan-jalanku bisa menunggu," ujar Sikander dengan sopan. "Acara pertemuanmu jauh lebih penting. Kau sebaiknya pergi sekarang, kalau tidak nanti kau bakal terlambat bergabung dengan teman-temanmu untuk sarapan." Sikander meninggalkan Zarri Bano yang sedang duduk bersimpuh di atas sajadah dan pergi ke kamar mandi.
* * * Beberapa saat kemudian, ketika Malvi Bilal membawa rombongan itu berkeliling Masjid Nasional di pusat Kota Kuala Lumpur, Zarri Bano tak tahan untuk memikirkan Sikander. Sedang apa ia sekarang" batin Zarri Bano.
Setelah mereka shalat di dalam ruangan masjid yang berhiaskan pilar-pilar bermozaik dan lampu-lampu kristal besar yang tergantung di langit-langit penuh hiasan, mereka duduk di bawah kipas angin di lantai yang beralaskan karpet dan beristirahat. Para lelaki duduk terpisah di bagian lain ruang utama. Sakina menoleh pada Zarri Bano ketika tuan rumah mereka, seorang perempuan Melayu berumur sekitar 55 tahun yang memakai gaun tradisional Melayu yang indah-terdiri dari rok panjang dengan tunik serasi sebatas lutut dan kerudung-pergi ke kelompok pengunjung yang lain.
"Apa yang dilakukan Sikander Sahib siang ini"" tanyanya.
"Aku tak tahu. Katanya, mungkin ia akan berjalan-jalan keliling kota."
"Mengapa kau tidak pergi bersamanya"" nada suara Sakina yang tampak terkejut segera membuat Zarri Bano merasa harus membela diri.
"Karena aku ingin bersama kalian semua dan menghadiri pertemuan di rumah Malvi Bilal." "Ya, aku tahu," sahut Sakina seraya menatap sehelai halaman Al-Quran di tangannya. "Apa yang kau tahu, Ukhti Sakina"" tanya Zarri Bano.
"Bukan apa-apa, Zarri Bano. Hanya saja kau tak memberi kesempatan pada pernikahanmu." Sakina tersenyum pada muridnya itu.
"Jangan lupa, aku menikah karena terpaksa," sahut Zarri Bano lirih.
"Mungkin memang begitu. Tapi apakah kau akan membiarkan awan itu terus menggelayut selamanya" Ada banyak hal dalam hidup ini, Saudariku. Apa yang kita lakukan pagi ini yang lebih penting daripada bepergian dengan suamimu" Kalian jarang punya waktu bersama. Setelah pernikahanmu, kau segera pergi dengan kami ke luar negeri. Aku merasa kau mencoba melarikan diri dari suamimu, Zarri Bano. Tapi ia mengikutimu kemari. Ia juga memiliki komitmen lain: anak, rumah, keluarga, dan bisnisnya. Dan ia memilih kemari menemuimu, tapi alih-alih menghabiskan waktu bersamanya dan mencoba melakukan sesuatu dengan perkawinanmu, kau malah terus bergantung pada kehidupan lamamu."
"Kehidupan lama yang mana, Ukhti"" Zarri Bano bertanya dengan suara lirih. "Kehidupanku lima tahun yang lalu""
"Tidak, kehidupan sebelum kau menikah. Itu sudah menjadi masa lalu. Kau tak bisa bergantung terus pada masa lalu itu. Kau tak bisa menjadi perempuan yang sama lagi, Saudariku, karena kini ada orang lain dalam kehidupanmu. Hidupmu oleh karenanya memiliki bentuk dan cara pandang yang baru. Itu bisa tercapai. Jangan bergulat dengan dirimu sendiri, Ukhti. Kau akan selalu menjadi seorang Perempuan Suci sepertiku, tapi beri kesempatan pula pada dirimu untuk menjadi seorang perempuan normal. Pasrahkan dirimu!"
"Kurasa aku telah melakukannya," bisik Zarri Bano, seraya mengingat naluri tiba-tibanya untuk menyentuh Sikander semalam. Lalu antiklimaks terjadi ketika Sikander berpaling darinya dan naik ke ranjangnya. Kemudian rasa malu itu. Dia tak bisa tidur separuh malam karena pikiran
yang terus menggedor kepalanya: aku menawarkan diri padanya dan ia menolakku.
"Apakah arti kepahitan di dalam nada suaramu, Zarri Bano" Aku bisa merasakannya."
"Karena aku bergulat dengan perasaanku dan kedua identitasku, Ukhti Sakina, dengan apa yang sesungguhnya terjadi dan dengan hantu masa lalu. Di tengah itu semua adalah Sikander. Ia selalu berada di sana, entah aku ingin atau tidak. Pada mulanya ia adalah jodohku, lelaki yang amat ingin kunikahi. Kemudian ia menjadi adik iparku, suami adikku tersayang, Ruby, dan ayah dari kemenakanku tercinta, anak Ruby. Kini ia adalah suamiku.
"Awalnya akulah yang ingin menikahi lelaki ini. Lalu ayahku menolaknya. Lalu aku kehilangan ia untuk adikku- dan kini akhirnya aku memilikinya. Bagaimana mungkin aku mengubah-ubah perasaanku tanpa membuatku menjadi sakit secara emosional karenanya""
"Ya, aku paham, Zarri Bano. Kau telah menjelaskannya dengan baik. Yang kukatakan hanyalah mengapa kau tak mencoba berkompromi" Kau tahu, ketika melihat kalian berdua makan malam kemarin, aku hampir saja merasa iri padamu. Kau memiliki sebuah hubungan istimewa. Hargailah itu! Tapi pagi ini aku merasa seakan-akan tak ada yang terjadi. Bahwa kau masih sesuci saat kau dilahirkan."
Zarri Bano tersipu dan menghindari tatapan mata Sakina. Percakapan itu telah melenceng. "Teman-teman lelaki kita telah ada di sini. Kita pergi sekarang"" saran Zarri Bano, merasa lega karena dia bisa mengubah bahan pembicaraan.
Dari Masjid Nasional, mereka pergi ke Museum Kota untuk melihat pameran artefak dari berbagai negeri Muslim di seluruh dunia, mulai dari Maroko hingga Malaysia. Dikumpulkan secara bersama-sama, artefak-artefak itu menandai berlangsungnya Konferensi dan Festival Muslim Internasional.
Sudah malam ketika Zarri Bano dan rombongannya pulang ke hotel mereka. Dan ketika sampai di kamarnya, ditemukannya kamar itu kosong. Tak ada tanda-tanda kehadiran Sikander, tetapi kopernya masih ada. Zarri Bano turun untuk makan malam dan bertanya-tanya apakah dia akan bertemu Sikander. Namun, suaminya tak kunjung datang.
Sudah jam sembilan malam ketika Zarri Bano kembali ke kamarnya dan bersiap untuk tidur. Dia menyalakan televisi, tapi tak bisa berkonsentrasi. Dia terus-menerus menatap jam dinding. "Di manakah Sikander" Sedang apa ia"" tanyanya kepada diri sendiri.
Tiba-tiba telepon berbunyi, membuatnya terlompat kaget. Dia mengangkat gagang telepon dan mendengar suara resepsionis. "Suami Anda meninggalkan pesan untuk Anda. Tidak perlu menunggunya pulang, ia sedang bersama teman-teman bisnisnya." Zarri Bano mengucapkan terima kasih dan menutup telepon dengan membanting gagangnya. Dia lalu mematikan televisi. Keterlaluan aku telah menunggunya, pikirnya. Setelah menata dirinya di tempat tidur, dia akhirnya tertidur, tak tahu jam berapa Sikander kembali ke kamar mereka.
* * * Ketika terbangun esok paginya, Zarri Bano meraih burqa-nya dan pergi ke kamar mandi. Sikander telah bangun dan berpakaian.
"Apakah kau menerima pesanku semalam"" seru Sikander dari ruang tidur.
"Ya. Apakah rapatmu berjalan lancar"" tanya Zarri Bano saat mendengar Sikander berjalan mengelilingi kamar. Dia merapikan lipatan burqa-nya dan membuka pintu kamar mandi.
"Aku akan pergi-sampai ketemu nanti. Kuharap kau menikmati pertemuanmu hari ini!" seru Sikander dengan riang ketika meninggalkan kamar.
Zarri Bano menyaksikan Sikander pergi, merasa kecewa karena sesuatu alasan. Dia bahkan tak punya kesempatan untuk berbicara atau mengatakan pada Sikander bahwa dia ingin berjalan-jalan dengannya hari ini. Sikander telah pergi, bahkan tanpa merasa perlu sarapan dulu bersamanya. Tampaknya seakan-akan ia ingin menyia-nyiakannya! "Pikirkanlah baik-baik," katanya pada diri sendiri. "Kau telah mengatakan padanya bahwa kau memiliki kehidupanmu sendiri. Ya, kini ia meninggalkanmu untuk itu! Tapi mengapa itu melukaimu""
Zarri Bano berkeliling di dalam kamar, merapikan tempat tidur dan melipat pakaian-pakaian Sikander ke dalam kopernya. Tangannya kembali menyentuh baju sifon hitam itu dan dia bertanya pada diri sendiri, "Mengapa ia membawanya bersamanya ke Malaysia" Ap
akah ia ingin aku memakainya"" Dia mengeluarkan baju itu dan memegangnya.
Seraya memejamkan mata, Zarri Bano membiarkan pikirannya berkelana.
65. "KALIAN BELUM siap, anak-anak" Tapi bharat akan segera tiba di sini!" Fatima mengomeli anak-anaknya, meledakkan rasa tegangnya akibat acara pernikahan Firdaus ketika melihat bahwa mereka masih merias wajah Firdaus. Tampaknya ada banyak lapisan riasan yang masih harus ditempelkan.
Ada seratus satu hal yang masih harus dilakukan sebelum pengantin pria datang dengan segala prosesi acara pernikahan. Namun, putri-putrinya tampaknya mengira bahwa mereka masih punya waktu sehari penuh. Fatima merasa heran pada nada tenang dalam suara Firdaus ketika dia menggodanya, "Ibu, masih ada banyak waktu," seraya tertawa dalam cermin padanya. Padahal dia adalah si pengantin perempuan!
Salma kini menempelkan sebuah untaian tiara emas dan batu rubi mungil di kepala Firdaus. Dengan berseri-seri melihat wajah bersinar putrinya, Fatima membawa ke luar ruangan beberapa gadis muda yang mengintip dan melihat sekilas sang mempelai perempuan berdandan.
Firdaus dengan cepat membaca catatan di tangannya dan setelah meremasnya, dia membuangnya ke tempat sampah. Itu Surat dari Khawar, dikirim melalui Neesa seminggu yang lalu. Dalam Surat itu, Khawar memberi perintah: Firdaus, aku ingin kau datang ke rumahku dalam sebuah dholi. Seraya terkekeh sendiri, Firdaus menulis surat balasan: Tentu saja. Apa pun yang diperintahkan oleh rajaku dan majikanku!
Firdaus secara pribadi tak memiliki keberatan harus mempersiapkan dholi, tandu kayu. Menurutnya, itu adalah salah satu tradisi desa itu yang terbaik. Firdaus lebih suka ditandu oleh empat orang lelaki, seperti di masa lalu, daripada pergi naik mobil milik Chaudharani Shahzada.
Soal itu menambah sebuah masalah bagi Fatima. Dia harus memesan dholi baru yang dirancang untuk upacara itu. "Putriku tak akan diusung dalam tandu lawas dan reyot yang pernah digunakan oleh pengantin lain," dengusnya dengan terhina pada keluarganya. Tidak boleh! Para penduduk desa akan membicarakan dholi ini hingga bertahun-tahun kemudian. Bahan dan hiasannya akan serasi dengan baju pengantin putrinya.
"Mengapa lama sekali merias pengantin perempuan sekarang ini"" canda Fatima pada Kulsoom di halaman rumahnya. Seorang juru rias telah dipanggil secara khusus dari salon kecantikan terbaik di kota. "Aku tidak tahu, di zaman kita dulu hal semacam itu hanya butuh waktu dua menit! Olesan krim di pipi, olesan lipstik di bibir, dan kita pun bisa pergi."
"Waktu kita masih muda, kehidupan ini begitu sederhana, Fatima Jee. Tak seorang pun pernah mendengar tentang ahli kecantikan atau salon kecantikan. Kita juga tak punya uang untuk memanggil juru rias dan membayarnya ribuan rupee untuk merias wajah kita. Saat itu, hal semacam itu bisa menjadi skandal. Tapi, lihatlah, semuanya sudah ditangani sekarang, Fatima Jee. Mari kita periksa tenda untuk pesta pernikahan."
Kulsoom mengajak Fatima ke halaman seraya memegang erat dupatta sifon di kepalanya dan menggoyangkan anting-antingnya yang panjang dan berat di kupingnya. Perhiasan itu baru dihadiahkan oleh Fatima padanya semalam, seperti janji Fatima sejak lama sebagai ucapan terima kasih atas jasa Kulsoom dalam perkawinan Firdaus. Fatima selalu menepati janjinya. Anting-anting itu sedap dipandang dan sangat mahal sehingga Kulsoom tak bisa begitu kurang ajar dengan mengeluh bahwa anting-anting itu terlalu berat untuk kupingnya yang mungil. Dia hanya bisa berharap andaikan dia dilahirkan dengan telinga yang lebih besar. "Dua thola emas habis untuk membuatnya!" pikir Kulsoom, tahu bahwa telinganya akan sakit setelah upacara pernikahan usai.
Dia merasa enggan melepasnya walaupun hanya sedetik. "Rasa sakit ini adalah harga yang harus kubayar," ujarnya keras kepala. Dia memaksa diri memakai anting-anting itu di kupingnya dan memamerkannya kepada para perempuan lain yang mungkin merupakan calon klien atau hendak menggunakan tenaganya dalam mencarikan pasangan yang cocok bagi anak-anak mereka. Lagi pula, jika seorang klien merasa perlu memberinya imbalan semahal itu,
dia bisa menjadikannya sebagai patokan bagi yang lain agar melakukan hal serupa. Maka, dia memutuskan untuk tidak memedulikan kupingnya yang sakit.
Kulsoom mengikuti Fatima dengan bergegas menuju tenda pernikahan yang telah didirikan di lapangan bermain sekolah putri. Chaudharani Shahzada dan Fiaz, yang duduk di kursi roda, terlihat sudah berada di tenda itu. Keduanya diminta dengan hormat untuk menerima para tetamu Fatima, termasuk sang pengantin lelaki dan seluruh anggota rombongannya.
Di pihak yang lain, Baba Siraj Din telah dipilih oleh Chaudharani Kaniz untuk mendapat kehormatan menjadi wali bagi Khawar dan buzurg untuk memimpin upacara pernikahan.
Tanggung jawab untuk mengawasi jalannya upacara nikah juga diberikan kepadanya. Ia menerima kedua peran itu.
Dengan penuh kepuasan, Fatima memeriksa kursi-kursi berlapis kain dan meja-meja yang telah disiapkan dengan indah, diletakkan dengan peralatan makan perak buatan Cina terbaik yang disewa secara khusus dari tempat penyewaan alat-alat pernikahan di kota. Sudah lama dia berjanji pada diri sendiri untuk memberikan kemewahan menjamu tamu-tamu pernikahan putrinya dengan penuh gaya, bukan hanya membiarkan mereka berkerumun mengelilingi meja seraya memegang piring dan mengulurkan tangan di atas bahu tamu lain untuk mengambil makanan secara prasmanan. Para tamunya akan duduk anggun dan menunggu dilayani oleh para pelayan. Lagi pula, tidak setiap hari anak perempuannya menikah. Selain itu, dia tak akan membiarkan Kaniz menjumput semua shan, segala pusat perhatian, dari pernikahan itu. Ini kan pernikahan putrinya!
Fatima memandang diam-diam enam koper baja baru berukuran besar, penuh dengan pakaian dan hadiah perkawinan yang datang dari hawali Kaniz pagi ini untuk Firdaus dan keluarganya. Setelah acara makan malam selesai, koper-koper itu akan dibuka secara seremonial di hadapan mata elang para tamu perempuan dan seluruh hadiah itu akan dijejerkan untuk dilihat semua orang. Fatima tahu hadiah-hadiah itu pasti akan memesona semua orang! Kabar akan menyebar di segenap penjuru desa bahwa jihaz yang disiapkan Chaudharani Kaniz untuk Firdaus
tidak tertandingi. "Mungkin," demikian desas-desus yang disebarkan oleh Kulsoom, "Benazir Bhutto sekalipun tidak menerima jihazseperti ini saat perkawinannya."
"Firdausku memang beruntung!" Fatima menghela napas bahagia. Agar tidak merasa terkalahkan, Fatima telah melengkapi tenda maskawin dengan hadiah-hadiah memesona untuk Firdaus. Lagi pula, dia tidak mengirim putranya ke Dubai hanya untuk sia-sia. Dia juga tidak bekerja di rumah orang lain hanya untuk sia-sia. Putrinya pun tidak menabung penghasilannya sebagai guru hanya untuk sesuatu yang sia-sia, jika pada akhirnya mereka tak bisa mengantarkan maskawin yang layak dengan kedudukan mereka dalam kehidupan dan sesuai dengan profesi putrinya.
Walaupun Kaniz telah mengatakan dengan amat baik hati bahwa dia tak menginginkan apa pun dari keluarga Firdaus dan bahwa mereka telah memiliki apa pun yang mereka perlukan, Fatima tidak mau ambil risiko dengan membiarkan Kaniz nantinya menghina putrinya dengan berkata, "Kau datang kemari dengan tangan hampa!" Harga diri Fatima dipertaruhkan dan tak ada yang membuatnya berkompromi. Karena itu, entah Kaniz menginginkan antaran maskawin di hawali-nya atau tidak, dia tetap akan memberikannya. Tak perlu diragukan soal itu. Apa yang bisa dilakukan oleh Kaniz juga bisa dilakukan oleh Fatima!
* * * Beranda besar berlantai marmer di hawali milik Chaudharani Kaniz kini tampak berhias untaian lampu warna-warni yang berkerlap-kerlip dan dipasang saling silang. Tidak satu meter pun lahan yang tersisa. Jajaran lampu-lampu kuningan yang tinggi dan indah tegak berdiri di jalanan di luarnya, menghiasi jalan masuk para tamu ke dalam hawali. Grup musik khusus pesta pernikahan, yang nanti akan memainkan nada-nada Skotlandia, berbaris di belakang lampu-lampu itu, dengan antusias menanti kedatangan mempelai laki-laki dan bharat untuk segera mulai memainkan musiknya.
Di dalam hawali, tamu-tamu pesta pernikahan itu berseliweran dengan bebas keluar masuk seluruh ruangan. Untuk p
ertama kali dalam hidupnya, Chaudharani Kaniz tidak mengasari siapa pun. Sebaliknya, dia menyenangkan semua orang dengan mengundang seluruh kerabat dari kedua belah pihak, baik darinya maupun dari keluarga almarhum suaminya. Untuk semua itu, tidak sedikit pun dia berhemat. Sebuah kesempatan emas yang tidak boleh dilewatkan, sebagian besar dari tetamu yang hadir dengan bersemangat menerima undangan sang Chaudharani untuk tiba seminggu sebelumnya, agar bisa menikmati dan terlibat dalam keramaian perayaan pesta itu. Lagi pula, itu adalah pesta pernikahan anak laki-laki Kaniz satu-satunya. Tidak akan ada lagi pesta serupa di hawali itu.
Kaniz tampak sibuk mondar-mandir di antara kerumunan orang dan mengatasi stres yang ditimbulkannya dengan kebersahajaan, merasakan semuanya dengan kebahagiaan. Dirinya sendiri yang mengawasi mangkuk-mangkuk penuh oleh makanan yang disiapkan tiga kali setiap harinya. Timnya terdiri atas enam orang koki yang terus-menerus sibuk sepanjang minggu itu, hampir delapan belas jam sehari. Persiapan untuk perayaan itu tampak sudah dilaksanakan dan diawasi dengan saksama oleh Sabra, putrinya, dan Neesa.
Baba Siraj Din duduk kaku di ruang tamu yang luas di sebuah sofa besar yang nyaman, di samping Khawar yang didandani dalam pakaian resmi seorang mempelai laki-laki. Siraj Din dengan tidak sabar mengetuk-ngetukkan tongkat gadingnya di atas karpet sutra sambil menunggu upacara sehrahandi dan pemberian hadiah Khawar dimulai. Mengenakan setelan yang sudah dikanji kaku, sebuah jubah hitam panjang dan sebuah turban khusus di kepalanya, Siraj Din tampak berpenampilan layaknya kepala suku di desa itu.
"Di manakah ibumu, Khawar"" tanya Siraj Din angkuh. "Semua orang sudah ada di sini dan menunggu! Upacaranya harus segera dimulai, Anakku."
"Dia pasti ada di suatu tempat di sini, Kakek, di dalam hawali. "
"Sabra, pergilah dan cari kakakmu! Aku tahu bahwa bharat j araknya hanya dua ruas jalan dari sini, tetapi tetap saja kita harus berada di sana. Para pemain musik sudah berdiri di luar lebih dari satu jam lamanya. Udaranya cukup panas di sini. Kuda untuk mempelai laki-laki mungkin bahkan sudah kelelahan, apalagi dengan semua hiasan di atas tubuhnya."
"Ya, Baba Jee, aku akan pergi dan mencari Kaniz," Sabra meyakinkannya, meninggalkan sekelompok perempuan yang sedang ramai berbincang, yang sedang dilayaninya atas nama sang kakak.
* * * Di lantai atas, di kamar tidurnya, Kaniz mengeluarkan sebuah kotak besar, yang tutupnya dicat merah dan perak, dari lemari pakaiannya. Sambil mengepit kotak itu, dia menuruni tangga menuju lantai satu dan melangkah ke arah kamar Neesa. Kamar itu bertempat di ujung terjauh hawali itu, di koridor jajaran gudang. Kaniz sangat jarang mengunjungi bagian koridor ini. Dia tidak pernah merasa harus melakukannya. Suaranya yang otoritatif bisa mengerjakan semua pekerjaan itu untuknya. Hari ini langkah itu laksana sebuah ziarah singkat.
Dia mengetuk pintu kamar Neesa-sebuah aksi yang tidak pernah terdengar dilakukan oleh Chaudharani Kaniz di dalam rumahnya sendiri. Tindakan itu terlahir dari kepekaannya, kalau-kalau pelayannya itu sedang berganti pakaian.
Kenyataannya, Neesa memang sedang bersiap-siap untuk mengenakan pakaian terbaiknya. Ketika mendengar ketukan di pintu, dia langsung mendongak dan berseru, "Masuk." Begitu pintu terbuka, wajah Neesa memucat, melihat majikannya memasuki kamarnya yang sangat sederhana.
"Apakah Anda menginginkan sesuatu untuk kulakukan, Chaudharani Sahiba"" ucap Neesa terbata sambil memandangi Kaniz dengan ragu-ragu. Sesuatu yang sangat salah pasti sudah terjadi hingga Chaudharani sendiri harus mendatangi kamarnya.
"Ya, memang," jawab sang Chaudharani sambil tersenyum dan dengan seraut tatapan aneh di wajahnya. Neesa membalas tatapannya dengan gugup. Dia tak sanggup memaknai tatapan maupun tindakan majikannya dengan mendatanginya langsung seperti itu.
Kaniz menyodorkan kotak itu ke hadapan pelayannya.
Dengan tersipu karena rasa senang, Neesa memandangi kotak itu, membayangkan bahwa nyonyanya sudah datang untuk menunjukkan padanya sebuah gaun baru untuk mempelai pere
mpuan. Menjadi sebuah kehormatan jika majikannya memikirkannya dan datang sendiri untuk menunjukkan gaun itu padanya.
"Aku ingin memberimu ini," ujar Kaniz lembut sambil memandangi wajah pelayannya itu.
Neesa menatap nanar kotak itu-tak mampu berkata-kata.
"Ini, ambillah." Sang Chaudharani perlahan mendorong kotak itu ke tangan pelayannya yang terangkat kaku. "Bukalah, Neesa. Itu untukmu. Dan itu sama seperti milikku dan milik Sabra."
Dengan jemari bergetar, Neesa membuka tutup kotak itu dengan jari-jari kurusnya yang rusak karena terlalu banyak bekerja. Kemudian dia menatap ke dalam kotak itu dengan terpana, ke arah sehelai gaun sutra berwarna biru yang sangat indah, yang diletakkan beralaskan kertas tisu putih yang halus. Mulutnya ternganga. Matanya tertuju pada bordiran yang menghiasi sekeliling garis leher gaun itu. Sehelai gaun, persis seperti yang dikenakan Chaudharani, adalah sungguh-sungguh sebuah kehormatan yang tak terbayangkan. Sesuatu yang tidak pernah dimimpikannya dalam jutaan tahun.
"Itu adalah dupatta sifon yang juga senada," lanjut Kaniz ketika Neesa menyentuh kerudung sifon yang lembut itu. Dia tampak takut merusak bahan yang begitu halus itu dengan jemari kasarnya, jemari yang menjadi kasar karena terus-menerus menggosok dan membersihkan barang-barang di dapur.
Satu bongkahan besar tertahan di tenggorokan Neesa, nyaris membuatnya tercekik. Orang yang bodoh sekalipun bisa melihat betapa gaun itu sudah disiapkan khusus dan berharga ribuan rupee. Dia terpukau.
"Sekarang, lihatlah apa yang ada di bawah gaun itu," pinta Kaniz dengan suara lembut. Dia masih saja tersenyum ke arah pelayannya, dan dengan kebahagiaan pribadi yang dirasakannya, dia terhanyut dalam sorot mata penuh kekaguman dan terguncang di wajah Neesa, saat pelayan itu meraba di balik onggokan gaun, dan menarik sebuah kotak beludru merah panjang. "Bukalah," pinta Kaniz. Semburat gairah tampak di wajahnya sendiri.
Sekali lagi jemari Neesa bergetar. Dengan gugup, dia membuka kancing kotak yang lembut itu. Dengan mata terbelalak, dia menatap sebuah kalung choker emas, dipadu dengan sepasang anting dan sebuah cincin yang sepadan, tersimpan di atas bantalan beludru hitam tebal.
Neesa menatap nanar nyonyanya. "Apakah ini untukku, Chaudharani Sahiba"" bisiknya. Dia terpukau mengamati kepala Kaniz yang dengan ajaibnya mengangguk dan kemudian menengadah kembali ke arahnya.
Itu semua terlalu berlebihan untuk Neesa yang malang! Dunianya yang kecil dan sederhana tiba-tiba saja kehilangan pembatas dalam lingkaran sosialnya. Chaudharani Sahibanya, yang selalu galak meneriakkan serangkaian perintah padanya dan selalu membelakanginya selama setengah umurnya, kini menawarkan seuntai kalung seharga enam thola emas! Sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi dan meletakkan kotak itu di ranjangnya, yang sudah berisi segunung kain sprai yang harus disetrika, dia mulai menangis terisak ke dalam kerudung Muslimnya. Kedua bahunya yang kurus berguncang-guncang.
Kaniz terpukau memandangi sosok pengurus rumah tangganya yang kurus dan rapuh, dengan rambut beruban. Sebentuk cinta membuncah dalam dadanya. "Perempuan ini sudah mempersembahkan seluruh hidupnya untukku dan anakku, dan aku sudah begitu bersikap penuh kebencian padanya selama bertahun-tahun!" Kaniz berkata pada dirinya sendiri dengan sedih. Kemudian, merasa tak mampu lagi melihat Neesa menangis, dia merengkuh pelayannya itu ke dalam pelukannya dan mendekapnya erat-erat di dadanya.
Dipeluk sedemikian erat oleh Sahibanya, sisa-sisa kekuatan terakhir pengendalian dirinya hancur, dan Neesa pun tersedu seakan dia tidak pernah menangis sebelumnya. Seakan selama bertahun-tahun dalam kesunyian yang mencekam itu, merasakan kurangnya perlakuan manusiawi di bawah tekanan Kaniz, sudah sepadan dengan yang dirasakannya sekarang ini. Bahkan sambil terisak, dia tetap memastikan bahwa dia menggunakan kerudung jeleknya dengan pas di depan wajahnya agar tidak merusak gaun pesta nyonyanya yang baru.
"Neesa, mengapa kau menangis"" tanya Kaniz. "Tidak ada yang perlu ditangisi! Kau saudariku juga, sama seperti Sabra. Hari ini aku ingin me
nunjukkan padamu dan pada seluruh dunia, lewat gaun dan kalung yang tak seberapa ini, betapa aku menyayangimu dan menghargai seluruh waktu yang kau habiskan untuk mengabdi padaku dan pada anakku.
"Kau sudah membesarkan Khawar dengan segenap kasih sayangmu seolah ia anakmu sendiri. Hari ini adalah hari pernikahannya, Sayangku. Aku sudah menghambur-hamburkan banyak hadiah untuk orang-orang asing, pada para pengemis di jalanan, pada semua perempuan dan gadis di desa ini. Jadi, tidak bolehkah aku memberikan semua ini pada seseorang yang mempersembahkan hampir tiga puluh tahun umurnya untuk kami dan yang menjadi beruban karenanya" Ambillah pemberian kecil ini sebagai penghargaanku, ayolah. Aku sudah mulai menganggapmu sebagai seorang adik yang kusayang dan kucintai...."
Suara Kaniz menguap menjadi sebuah keheningan yang aneh. Kini dia melakukan sesuatu yang tidak pernah terbayang akan dilakukan olehnya seumur hidup. Dia mendekapkan kedua tangannya ke tubuh Neesa, pelayan perempuannya. "Neesa, lihat tanganku. Kedua tanganku ini terangkat dalam mafi padamu, bermohon padamu. Maafkan aku atas semua kekejaman yang kulakukan di masa lalu padamu. Aku tahu, aku adalah seorang perempuan yang sulit dijadikan majikan. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Neesa! Rumah ini sudah menjadi rumahmu sejak kau datang ke tempat ini sebagai seorang remaja yatim piatu. Kau bahkan tidak menikah, hanya untuk bisa tetap bersama kami. Hari ini kau akan mendampingiku, berpakaian sepertiku, tidak sebagai pelayanku, tetapi sebagai adik dan ibu kedua bagi Khawar, dan kau akan menerima para tetamu di sampingku. Jadi tolonglah, Neesa, jangan menangis. Aku ingin agar kau mengganti pakaianmu memakai gaun ini dan pakailah kalung ini."
"Tidak Nyonya, aku tidak bisa melakukannya," seru Neesa sambil mundur satu langkah dan tercekat panik, sebelum akhirnya menemukan kembali lidahnya. "Aku tidak bisa mendampingi Anda." Penghormatannya terhadap majikannya tidak memperbolehkannya melintasi batasan sosial. Kaniz adalah ibu dari seorang tuan tanah terkemuka di desa ini, sementara dirinya hanyalah seorang pelayan!
"Neesa, aku memaksamu. Ini sebuah perintah-jika itu yang kau mau!" bujuk Kaniz sambil tersenyum. Dia merasa tersentuh oleh kata-kata Neesa; kini matanya sendiri sudah mulai berair.
"Aku juga akan memaksamu." Suara hangat Sabra membuat mereka berdua terkesiap. Sambil bersandar pada kusen pintu, Sabra tersenyum pada kedua perempuan itu.
"Sabra! Sejak kapan kau ada di situ"" tanya Kaniz. Dia merasa malu dengan situasi di saat dia tertangkap basah oleh adiknya itu.
"Cukup lama, Kakakku tersayang, cukup lama untuk membuatku merasa sangat bangga padamu. Aku sangat mencintaimu, Kaniz." Setelah melangkah mendekat, Sabra lalu merangkul kakaknya. Dari balik bahu Kaniz, dia tersenyum ke arah Neesa yang masih saja menatap mereka berdua dengan mata berlinangan. Neesa mulai mempertanyakan dalam hatinya, sampai kapankah mimpi yang begitu aneh dan luar biasa ini akan berakhir. Kedua kakak beradik majikannya itu kini berada di dalam kamarnya!
"Ayo, Kak Kaniz, Baba Siraj Din sudah mulai tidak sabar. Aku yakin, kini ia dengan tongkatnya sudah membuat lubang bundar di karpetmu, dari caranya terus mengetuk-ngetukkannya. Bharat-nya sudah siap. Semua laki-laki tetua desa dari desa itu telah tiba. Kau harus melihat mereka semua, Kaniz-mereka berdandan habis-habisan dan pakaian mereka yang berkanji seakan ikut membuat sikap mereka kaku juga. Mereka semua berdiri melingkar, berdiri dengan bangga bagaikan barisan burung merak yang sedang unjuk diri di halamanmu. Para istri mereka, tidak ingin kalah penampilan dari suami-suaminya, mengenakan busana berwarna cerah dan gaun-gaun murahan. Ini sangat mengejutkan karena tidak setiap hari dua anggota dari setiap keluarga, dan dari setiap kasta yang berbeda di desa ini, semuanya diundang untuk mengikuti pesta bharat. Kau sudah berhati mulia dengan tidak tega menyisakan siapa pun. Kau memang benar-benar murah hati, Kakakku, menantang kami semua untuk memutarbalikkan peraturan sosial yang ada di komunitas desa ini."
"Ini hanyalah pesta pernikahan putrak
u, Sabra. Aku ingin semua orang menikmatinya. Aku tidak akan mengadakan pesta lainnya lagi," jawab Kaniz singkat. "Aku ingin menjadikan ini sebagai satu-satunya pesta yang akan dibicarakan dan dikenang selama puluhan tahun. Selain itu, sebagai, seorang kepala sekolah, Firdausku akan memasuki rumah ini. Dia patut mendapatkan penerimaan terbaik yang bisa kita lakukan. Sekarang, cepatlah, Neesa, berpakaianlah," seru Kaniz dengan nada bangga dari balik bahunya, saat dia dan adiknya meninggalkan pemondokan Neesa.
"Apakah kau sudah mendapatkan bundelan uang kertas lima rupeean"" tanya Kaniz tiba-tiba, begitu dia mengingat anak-anak desa itu. Bundelan uang kertas itu akan dibagikan di luar jalan, mengiringi prosesi bharat. Kaniz tidak akan merendahkan derajat putranya dengan menaburkan koin-koin atau uang kertas satu rupeean. Tidak, harus lembaran uang kertas lima rupee yang masih baru; dia sudah memerintahkan agar uang-uang itu dibundel dari bank setempat, sejumlah ribuan rupee. Kaniz sendiri tersenyum lebar. Suatu perasaan yang luar biasa bisa menyenangkan orang lain. Lembaran uang-uang kertas itu melayang-layang di atas kepala putranya dan segenap iring-iringan, dan akan dipunguti atau disambar oleh jemari mungil anak-anak yang berebut penuh semangat, memasukkan uang-uang itu ke dalam saku mereka.
"Lembaran uang lima rupee! Kau kini sudah keterlaluan, Kaniz," gerutu Sabra tak sepakat ketika mereka berjalan melintasi halaman.
"Sabra, pahamilah aku." Kaniz menyorotkan tatapan memohon pada adiknya itu. "Pada acara pesta pernikahan putraku saja yang bisa menghindarkanku dari proses penghancuran diri sendiri. Apa gunanya uang jika kau tidak bisa membeli kebahagiaan dengannya"" dia mengakhiri kalimatnya secara retoris.
"Ya, ya, ya, Kakak, maafkan aku, ampuni aku," jawab Sabra dengan terpaksa. Dia tidak ingin membangkitkan penderitaan kakaknya-tidak pada hari khusus ini.
"Mengapakah Younus Raees ada di sini, di pesta pernikahan anakku" Aku tidak mengundang laki-laki itu kemari, Sabra." Tatapan gusar kini kembali menghiasi wajah Kaniz.
"Putramu yang mengundang."
"Aku tidak menginginkannya di hawali-ku!"
"Jangan bodoh, Kaniz. Kini lupakan Younus Raees dan ayo jalan! Baba Siraj sedang menunggumu."
* * * Di dalam kamarnya, Neesa memeluk gaun itu, mendekapnya erat. Matanya mengatup kuat. Kemudian, dengan tangan-tangan gemetaran, dia memegangi satu set kalung emas itu, dan terpukau oleh keindahannya. Dia tidak pernah memiliki, tidak juga sempat memimpikan bisa memiliki sesuatu semahal itu sepanjang hidupnya.
Dengan mengangkat gaun itu keluar dari kotaknya, dia sungguh-sungguh berniat untuk mengenakannya.
Segera saja, dan untuk pertama kalinya dalam hidup Neesa, dia akan membantah perintah majikannya. Dia akan mengenakan gaun itu, tetapi pada suatu kesempatan lain-tidak hari ini. Dia merasa tidak sanggup merendahkan derajat majikannya dengan menjadi sedemikian berani berpakaian seperti Kaniz. Adiknya, Sabra, bisa saja melakukannya, tetapi dia tidak bisa.
66. "DHOLI-NYA SUDAH datang, Sabra Jee!" teriak Neesa penuh semangat seraya melihat ke halaman tengah dari balkon atas hawali. Matanya mengikuti perjalanan bharat yang perlahan-lahan mengambil jalan terjauh, berputar-putar di jalan-jalan desa.
Begitu melangkah ke luar, Neesa melihat salah satu ujung dupatta sifon berbordir yang dikenakannya, yang diberikan Chaudharani Kaniz padanya pagi tadi. Matanya terbelalak ketakutan dan air matanya langsung menggenang. "Alangkah bodohnya aku melongok lewat teralis besi seperti anak kecil dalam busana seperti ini," ratap Neesa. Dia berharap seandainya saja dia tidak mengenakan pakaian itu. Meski Chaudharani Kaniz memaksanya untuk mengenakannya, dia segera kembali ke pondokannya dan berganti pakaian.
Hari yang luar biasa! Neesa tidak begitu yakin apa yang lebih menggairahkan, pesta pernikahan tuan mudanya yang dicintainya, atau dirinya, seorang pelayan separuh baya, berdandan sedemikian luar biasa mengenakan pakaian pesta yang sangat indah, dilengkapi seuntai kalung emas asli yang melingkar di lehernya yang keriput. Sepanjang siang, dia masih juga be
lum mampu memutuskan apakah dia akan merasa tersanjung atau malu dengan semua sorot mata yang melirik ke arahnya dari semua perempuan desa itu, saat dia duduk di meja makan utama di samping Sabra dan Kaniz. Satu hal yang pasti: akan ada begitu banyak desas-desus di masa yang akan datang. Neesa tahu sumber yang akan menyebarluaskan desas-desus itu-Kulsoom si mak comblang. Kulsoom sendiri tampak terganggu dengan pengaturan tempat duduk itu. Dia sudah diam-diam mengharapkan Chaudharani Kaniz akan menghadiahkan kehormatan padanya dengan memberinya tempat di meja utama. Lagi pula, bukankah dia adalah penghubung utama antara kedua keluarga itu" Entah bagaimana, tampaknya, tempatnya itu sudah digantikan semata-mata oleh seorang pelayan perempuan!
Empat orang pemuda secara khusus dipekerjakan untuk memanggul dholi di pesta pernikahan itu, sebuah tandu tradisional untuk pengantin, berisi Firdaus, di atas pundak mereka. Dengan anggun, mereka memimpin iring-iringan tamu dari pondok penerimaan, keluar melintasi jalan-jalan desa, dan kembali menuju hawali Kaniz.
Kaniz, Chaudharani Shahzada, dan kerabat perempuan lainnya berjalan di samping tandu itu, dengan riang gembira mengobrol dan menyanyikan lagu-lagu perkawinan khas daerah itu. Khawar, ditemani Baba Siraj Din, sahabat, dan relasi laki-laki lainnya, berjalan di depan dholi itu.
Di halaman hawali, Neesa dengan gemetaran menyerahkan mangkuk kristal berisi minyak dan sebuah Kitab Suci Al-Quran besar kepada Sabra. Dengan membawa sekeranjang kecil camilan tradisional, Neesa yang diikuti Sabra menempatkan diri sestrategis mungkin di pintu masuk untuk menyambut sang pengantin laki-laki dan pasangan hidupnya. Dia membuka lebar-lebar pintu gerbangnya untuk jalan masuk para tamu.
Sampai di hawali, prosesi itu pun berhenti. Tandu pengantin itu diturunkan dan diletakkan di tanah di depan gerbang. Kaniz melangkah ke depan sambil mengangkat brukat merah hati yang menutupi tandu itu dan melongok ke dalam.
"Bagaimana perjalananmu, Sayang"" tanyanya seraya tersenyum lebar pada menantunya.
Firdaus, yang duduk sendirian di dalam kotak kayu seluas empat kaki itu, dan masih saja tampak tegang dengan kedua tangannya berpegangan erat pada dua sisi tandu, menatap mertuanya dengan gugup.
"Sebaik yang diharapkan, Bibi," ujarnya santun. "Tidak setiap hari orang dihormati sedemikian rupa ditandu di atas pundak empat orang laki-laki."
"Ayo, Putriku, aku akan membantumu keluar. Kau hanya ditandu sepanjang dua ruas jalan; aku dulu ditandu bermil-mil. Aku tahu betul apa yang sedang kau rasakan. Aku terus berpikir bahwa aku akan jatuh dan leherku akan patah saat itu. Tentu saja itu tidak terjadi," Shahzada tertawa kecil. "Selamat datang ke rumah barumu, Sayangku."
Membiarkan Chaudharani Shahzada membantu Firdaus keluar dari dholi, Kaniz kemudian bergabung dengan adiknya dan berdiri di pintu masuk rumahnya untuk mempersilakan mereka semua masuk.
Firdaus meluruskan rok pengantinnya, rok sepanjang enam meter sutra tebal yang dibordir, yang sempat terjepit di bawah kakinya, sebelum dia dibantu keluar dari dholi.
"Ayolah, Sayangku. Ibu mertuamu menunggu di pintu masuk rumah barumu," bisik Shahzada di telinga Firdaus sambil membimbingnya melewati pintu gerbang. Khawar berjalan di sampingnya.
Menggenggam semangkuk porselen kecil minyak di tangannya, Kaniz menanti dengan jantung berdegup kencang, matanya menatap wajah Firdaus saat gadis itu berdiri di ambang pintu kayu walnut berukir yang menuju hawali. Dia membungkuk untuk membubuhkan beberapa tetes minyak ke dua sudut pintu masuk, mengikuti ritual tradisi Hindu lama dalam menyambut pengantin baru masuk ke rumahnya yang baru. Ketika membungkuk, kerudung lebar berbordir yang dipakainya menyentuh anak tangga, Kaniz menangkap sorot cemas di mata Firdaus.
Dunia seakan berhenti berputar bagi kedua perempuan angkuh itu, saat mereka berdua secara simultan mengingat kejadian di kantor sekolah. Firdaus tersentak oleh ingatannya tentang kata-kata penuh emosi yang dilontarkannya: "Aku lebih baik mati daripada memasuki hawali-mu." Kemudian, entah dari mana, datanglah satu pikiran
yang menakutkan: mungkinkah ini akan menjadi pembalasan Kaniz yang termanis jika ternyata dia kemudian mengusirku di ambang pintu itu"
Sementara di kepala Kaniz, kata-kata kasarnya kembali terngiang menusuk telinganya. "Aku tidak akan pernah mengizinkan anak tukang cuci memasuki hawali-ku!"
Dengan takut-takut Firdaus menundukkan matanya di depan Kaniz, merasa sangat malu. Chaudharani Kaniz kini menggenggam izzat-nya, kehormatan dirinya, di kedua tangannya. Dialah yang memegang kendali kekuasaan sekarang. Sekarang semuanya terserah padanya. Sambil menghela napas, Kaniz berdiri tegak, bangkit dengan penuh kemenangan dari kolam berlumpur masa lalunya. Seulas senyum menyeruak di wajahnya, ujung matanya berkerut saat dia mengambil Kitab Suci Al-Quran dari Sabra dan mengelilingkannya dengan takzim di atas kepala menantunya,
sesuai dengan tradisi penyambutan. "Selamat datang di rumah, Firdausku," dia menyambutnya dengan suara yang nyaring dan tegas.
Merasa lega dan penuh syukur, Firdaus melangkah masuk ke rumah barunya, untuk kemudian segera ditarik ke dalam pelukan hangat ibu mertuanya.
"Kakak, kau sudah merusak gaun pengantinnya," protes Sabra kepada Kaniz. Semua orang menyaksikan proses penerimaan Firdaus, termasuk Fatima, yang membuntuti di belakangnya bersama perempuan-perempuan lainnya. Dia sibuk menghapus air mata bahagia yang mengucur deras di pipinya. Tidak ada lagi kekhawatirannya mengenai masa depan putrinya-Kaniz sudah menampakkannya dengan jelas di depan semua orang, bahwa dia akan menjadi seorang mertua yang baik. Dia hanya bisa berharap dan berdoa bahwa putrinya sendiri akan belajar menjadi perempuan yang lembut dan baik hati, seperti Kaniz-dan menerima semua dalam kehidupannya dengan kedewasaan dan kebersahajaan yang sama.
Sambil tersenyum ke arah kamera video yang disorotkan oleh kamerawan yang dipanggil dari Karachi, Kaniz menuntun menantu perempuannya dan putranya memasuki ruang tamu, dan mendudukkan mereka di sebuah sofa kulit putih baru yang khusus diperuntukkan bagi mereka berdua. Sambil diikuti kerabat dan anggota keluarga lainnya memasuki ruangan, Fatima sejenak merasa bimbang untuk melangkah di ambang pintu. Ketika Kaniz mendongak dan melihatnya, Kaniz bangkit, lalu dengan langkah mantap menghampiri Fatima dan merangkulnya dengan hangat. Fatima sesaat terpaku di pelukan musuhnya, dan kemudian dia membalas rangkulan itu.
"Mubarak, Saudariku, selamat datang. Terima kasih telah merelakan putrimu untuk kami. Kami merasa terhormat mendapatkannya. Kau telah membuatku dan putraku sangat bahagia, Adik Fatima."
Merasa sangat tersentuh dengan kemurahhatian Kaniz, Fatima tidak mampu menahan tangisnya di balik saputangan katun merah jambunya yang lebar, saat dia duduk di dekat sahabat dan majikannya. "Lagi pula, sudah menjadi hakku sebagai ibu dari mempelai perempuan untuk menangis terisak," isaknya bahagia pada Chaudharani Shahzada.
Semua perempuan di ruangan ini tidak akan pernah mampu menerka setinggi apa hatiku membumbung ke udara. Mereka pasti akan mengira aku menangis karena sedih, pikir Fatima, saat dirinya duduk di dekat majikannya dan menatap ke sekeliling ruangan dengan perasaan bangga. Semua kini menjadi milik putriku. Jantungnya kembali membumbung tinggi membayangkan masa depan putrinya yang akan menjadi chaudharani berikutnya, dan nyonya di hawali ini, serta tentu saja menguasai berhektar-hektar tanah.
Duduk di samping Khawar, Siraj Din mengamati semuanya dan semua orang, dengan kebijakan filosofinya, dari balik alis tebalnya yang cokelat. Setiap hari terbukti ada sesuatu yang terungkap-selalu ada hal baru yang memukaunya.
"Ya, Khawar, Anakku, pernahkah kau dalam mimpimu sekalipun membayangkan ibumu memeluk musuh seumur hidupnya"" tanya Siraj Din retoris, sambil mengacungkan tongkatnya ke arah Kaniz dan Fatima yang duduk bersisian, keduanya tersenyum hangat dan saling memandang satu sama lain.
"Tidak, tapi, alhamdulillah, berkat Anda dan doa semua orang, Allah Yang Mahakuasa sudah memberkati keluarga ini. Ibuku sekarang seorang perempuan yang berbeda. Dia tidak lagi bersikap memusuhi pada siapa pun, b
ahkan pada mereka yang sudah mempermainkannya."
Firdaus tersipu, menyadari sindiran itu ditujukan padanya.
"Aku sangat senang. Aku akan meninggalkan kalian berduaan. Aku akan pergi dan duduk bersama putriku, Shahzada." Siraj Din bangkit dan dengan bantuan tongkat gadingnya, ia berjalan menghampiri sofa lainnya. Begitu ia mendekat, Fatima segera saja memberikan tempat duduknya pada laki-laki tua itu dan memutuskan pergi dan duduk di dekat suaminya, Fiaz, di halaman luar.
"Ya, aku harus bilang padamu bahwa kau tampak sangat memesona," goda Khawar sambil menoleh ke samping, memandangi pengantinnya. "Aku tidak akan pernah mengenalimu, Ibu Kepala Sekolah, saat kau keluar dari dholi. Sekarang itu adalah pemandangan yang luar biasa! Begitu juga dengan sosok yang melangkah masuk ke rumahku."
"Tolong ingatkan aku soal itu, Khawar. Kau tidak berhasil membenamkanku ke dalam sumur saat kita kanak-kanak, tetapi kau bisa saja membunuhku sekarang dengan sindiran-sindiranmu!" gerutunya. Tawa Khawar yang nyaring segera memenuhi ruangan itu. Firdaus pun salah tingkah dengan memain-mainkan tas tangannya yang berbordir emas dan berhias permata. Dia merasa semua sorot mata perempuan di ruangan itu ditujukan padanya.
"Mereka sungguh-sungguh bahagia, Shahzada," sahut Siraj Din yang mengamati sepasang mempelai itu dari seberang ruangan. "Aku berharap cucuku sendiri Zarri Bano juga bahagia, di mana pun dia berada bersama suaminya saat ini."
"Amin!" suara Shahzada antusias, sebias kecemasan muncul di kedua matanya. "Andai saja mereka memang suami-istri!" ujarnya setengah berbisik pada dirinya sendiri.
"Aba Jan, tadi malam aku bermimpi melihat seorang anak yang rupawan di pangkuan Zarri Bano-tampangnya sangat mirip dengannya. Kalau saja mimpiku itu menjadi kenyataan! Aku sedang berpikir jika kini dia mau menetap, setidaknya di Karachi, tidak ada lagi yang tersisa bagiku di khoti di kota. Fatima juga akan meninggalkan kita, kembali ke Chiragpur dan merawat Fiaz. Karena itu aku penasaran, apakah kau menginginkanku datang dan tinggal di desa ini, di hawali bersamamu" Aku senang sekali di sini, lebih dari tinggal di kota. Jika di sini, aku juga bisa sekaligus menjagamu di hari-hari terakhir hidupmu. Selain itu, Fatima, sahabatku, juga ada di sini dan aku bisa bertemu dengannya setiap hari...."
Shahzada terdiam, dia melihat mata ayah mertuanya yang hijau itu berkilauan air mata. "Aba Jan"" tanyanya cemas.
"Shahzada, menantuku yang paling kusayang. Kau sudah membuatku sangat bahagia! Tidak ada apa pun di dunia ini yang bisa lebih menyenangkanku daripada mendapatimu kembali di hawali. Tempat itu tidak pernah sama lagi rasanya sejak kau pergi meninggalkan desa ini, dan ibu mertuamu, Zulaikha, wafat. Dengan kau di sini, tempat ini akan hidup kembali. Orang-orang akan mendatangi rumahku dan menemanimu. Zarri Bano akan datang dan insya
Allah membawa serta anaknya. Dia juga akan tinggal di hawali. Lagi pula, anaknyalah yang menjadi ahli warisnya dan mewarisi sebagian besar tanah ini, Shahzada sayang.
"Jika ini semua terwujud di hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan, dan tahun-tahun terakhirku, ini akan menjadi karunia Allah yang sesungguhnya. Terima kasih, Shahzada sayangku. Kau menempati tempat seorang anak perempuan yang tidak pernah kumiliki, dalam hatiku. Kau tahu itu, bukan""
"Dengan sangat senang hati, Aba Jan. " Shahzada amat tersentuh, air matanya segera saja berlinangan. Dia mengangkat tangan ayah mertuanya dan dengan penuh hormat menciumnya, lalu menempelkannya ke pipinya.
Begitu masuk lagi ke ruangan, Fatima menyaksikan perbincangan antara Shahzada dan Siraj Din. Dia segera bergerak mendekati Shahzada dan menggenggam tangannya. "Ayolah, Chaudharani Sahiba, Anda tidak boleh menangis, tidak hari ini. Ini adalah hari perayaan. Mari kita melihat kamar tidur Firdaus."
"Ya, Chaudharani Sahiba," tambah Kulsoom bersemangat begitu mendengar kata-kata Fatima dan segera berdiri di dekatnya. "Kata orang, Chaudharani Kaniz sudah menghabiskan ber-lakh-lakh rupee untuk mendekor kamar pengantin."
Sambil menghapus air matanya menggunakan ujung chador, Shahzada meng
genggam tangan Fatima, sahabat sejatinya, dan bangkit berdiri.
Kulsoom otomatis menyentakkan anting-anting panjangnya yang berdentingan di telinganya, dia nyaris menjerit kesakitan karenanya. Dia menuntun keduanya naik ke tangga hawali di lantai dasar, sambil bertanya-tanya dalam hati, kapan Kaniz akan memberinya penghormatan dengan memberikan hadiah atas jasanya. Dia sangat berharap hadiah yang akan diterimanya dari Kaniz nanti adalah sebuah bandul emas. Kedua telinga mungilnya sudah tidak sanggup menerima lebih banyak anting-anting lagi.
Mengangkat tubuh lebarnya dengan kedua kaki kurusnya di atas anak tangga marmer itu, Kulsoom berharap pada Allah agar orang-orang penting ini tidak harus memiliki rumah berlantai banyak. Mereka baru akan tahu akibatnya jika suatu saat, mereka menemukannya mati di tangga rumah mereka. Maka, mereka pun akan terkutuk seumur hidup.
Sambil tersenyum penuh arti melihat wajah Kulsoom yang memucat dan napasnya yang tersengal, Kaniz berdiri di anak tangga teratas, lalu menuntun mereka dengan anggun menyusuri koridor. Dia mendorong sebuah pintu hingga terbuka lebar dan dengan bangga memberi jalan bagi ketiga perempuan di belakangnya untuk masuk. Mereka terpukau oleh ukuran perabotnya dan dekorasi ruangan itu.
Sejenak, Kaniz memiringkan kepalanya ke satu sisi dengan angkuh, sebuah sikap tubuh yang mencuatkan tampang Chaudharani Kaniz lama yang jahat. Ekspresi kagum dan kebersahajaan di wajah Fatima, saat dia melayangkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan itu, menyentuh dan memeriksa semuanya dengan kekaguman, membuat Kaniz merasa semua itu sepadan dengan setiap paisa yang dikeluarkannya.
67. "KHAWAR DAN bharat-nya pasti baru meninggalkan hawali, Sikander Sahib," ujar Zarri Bano kepada suaminya sambil memandangi arlojinya dan menerjemahkannya ke dalam waktu Pakistan.
"Hawali siapa"" tanya Sikander sambil mengulurkan tangannya untuk membantu Zarri keluar dari Gua Batu. Perlahan mereka menuruni jalan turun dari pintu masuk gua di pedesaan Malaysia itu.
Sambil mengangkat burqa-nya karena takut kakinya menginjak ujungnya dan menyebabkannya terjerembap, Zarri Bano berkonsentrasi pada dua ratus anak tangga sempit yang sudah ditinggalkannya, yang dipahat ke bukit, bukit yang berisi gua-gua itu. Dia melihat tungkai-tungkai kakinya dengan gamang saat dua ekor monyet melintas dan berlarian di sekitar kakinya.
"Jangan takut!" Sikander tertawa sambil menggenggam erat tangan Zarri dan bergerak ke sisinya. Monyet itu ada di mana-mana di sepanjang anak tangga. Di malam hari mereka menghilang ke dalam gua-gua, tetapi sepanjang siang, mereka melompat-lompat dan bermain-main di sekitar kaki para turis, khususnya orang Hindu yang datang untuk berziarah ke kuil Hindu, menaungi jejeran patung para dewa mereka di dalam gua besar di Gua Batu.
"Kau ingat Khawar, tuan tanah muda di desa kami"" tanya Zarri pada Sikander. "Hari ini adalah hari pernikahannya. Ia menikahi Firdaus, putri pengurus rumah tangga kami. Kakek dan ibuku pasti berada di pesta pernikahan mereka, sebagai tamu kehormatan."
"Oh, begitu," jawab Sikander sambil membimbingnya ke arah taksi yang menunggu mereka untuk segera pergi ke tujuan berikutnya, hutan Malaysia.
Sambil mengintip ke luar dari jendela mobil, Zarri Bano mengagumi pemandangan yang melenakan dari tumbuhan-tumbuhan tropis, yang menghampar indah menyelimuti lereng pegunungan, yang juga berbaris di sepanjang jalan yang mereka lewati.
"Ngomong-ngomong," tambah Zarri sambil memamerkan lesung pipitnya pada Sikander. Dia selalu memiliki kecenderungan untuk menggoda suaminya. "Khawar adalah salah satu yang melamarku dulu." "Apakah ia masih menjadi salah satu calon pelamar sampai sekarang"" balas Sikander nakal.
Kedua pipi Zarri merona merah menerima sorot matanya, segera saja dia membuat penjelasan. "Oh, tidak, Sikander Sahib, ini tidak seperti yang kau bayangkan. Khawar selalu menaksir Firdaus sejak dulu. Ini adalah ulah ibunya, Chaudharani Kaniz, yang terus mengejar-ngejar rishta-ku untuk alasan angkuh yang sangat nyata."
"Dan tentu saja, istriku yang angkuh ini menolaknya. Aku harus merasa
terhormat karena entah mengapa kau tidak menolakku seperti calon-calon pelamar yang lain," gurau Sikander, kemudian ia kembali serius. "Meski demikian, pada akhirnya kau masih saja menolakku, Zarri Bano-sama seperti yang lainnya," ujarnya lirih.
"Tidak ada yang angkuh tentang itu, Sikander," sahut Zarri Bano, wajahnya masih merona. "Aku selalu menganggap Khawar seperti kakakku sendiri. Aku bermain dengannya waktu kami masih kanak-kanak di desa. Alasan kedua adalah bahwa aku tidak sanggup membayangkan aku melangkahkan kaki ke dalam rumah Chaudharani Kaniz yang nyinyir itu. Aku tidak pernah cocok menjadi seorang chaudharani desa, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ibuku atau Kaniz. Mereka perempuan yang dibesarkan dalam zaman yang berbeda. Mematuhi serangkaian adat istiadat atau tradisi dan tujuan-tujuan hidup yang berbeda. Waktu itu, hatiku tertambat pada kota-kota besar dan kehidupan internasional. Kehidupan desa yang tenang dan damai akan melunakkanku dan karier jurnalistikku."
Zarri Bano berpikir sesaat. "Setelah mengatakan itu semua, baru-baru ini aku menikmati waktu yang kuhabiskan di desa sejak memimpin sebuah madrasah di sana. Aku sudah mendirikan dua sekolah perempuan. Firdaus lebih cocok untuk kehidupan desa daripada aku. Allah tampaknya merencanakan sesuatu yang lain untukku-ayahku yang menjadi alat-Nya. Meskipun tidak pernah membayangkan diriku menjadi seorang ulama Islam atau seorang Perempuan Suci, aku sudah berkeliling dunia seperti yang aku inginkan. Bagaimana denganmu, Sikander" Apakah kau lebih memilih kehidupan kota besar atau pedesaan"" Zarri Bano memberanikan diri untuk bertanya pada suaminya saat taksi mereka berhenti, berharap Sikander akan menoleh ke arahnya. Tetapi ia tidak menoleh lagi.
Mereka turun dari taksi dan meregangkan otot-otot kaki. Lalu mereka mengikuti si pengemudi taksi naik dan menuruni sebuah bukit menuju sebuah perkebunan karet. Sambil melihat berkeliling, mereka dibuat terpana oleh nuansa hijau susu yang indah yang seakan menyelimuti pepohonan itu. Sambil terus mendaki, mereka akhirnya sampai pada sebuah pondok kecil yang didirikan di atas sebuah dataran tinggi di tepi bukit. Di depan sebuah meja kayu kecil, seorang laki-laki Melayu sedang duduk merokok. Begitu melihat mereka mendekat, ia berdiri untuk menyambut mereka dengan sesungging senyum hangat di wajahnya.
"Assalamu 'alaikum!" sapa laki-laki itu yang ternyata penyadap karet.
Ia segera tahu dari jilbab hitam Zarri Bano bahwa mereka Muslim seperti dirinya. Sambil tersenyum lebar, ia membawa mereka ke dekat sebuah pohon karet, dan dengan sebilah pisau khusus, ia menunjukkan bagaimana karet disadap. Zarri Bano dan Sikander mengamatinya dengan kagum saat cairan kental seperti jel yang berwarna Jingga keluar dari pelepah terluar batang karet itu.
Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah berterima kasih dan memberi uang pada si laki-laki tua atas demonstrasinya, Sikander dan Zarri Bano mengikuti sopir taksi yang orang Tamil itu kembali menaiki bukit.
"Hutan ini lama-kelamaan akan menjadi rimba," ujar si sopir, sambil mengacungkan tangannya ke arah hutan nan luas dan tebal di depan mereka, yang terhampar jauh sampai ke cakrawala. "Apakah Anda ingin menjelajahinya sendiri selama satu atau dua jam" Aku akan menunggu Anda di bawah."
"Baiklah," jawab Sikander sambil mengangguk tanda setuju.
"Jangan pergi terlalu jauh agar Anda tidak tersesat," laki-laki itu memperingatkan. "Tetap di tempat yang terang dan ikuti jalurnya."
Setelah berterima kasih pada si pengemudi dan menggenggam erat tangan Zarri Bano, Sikander menuntunnya mendaki jalur dan memasuki wilayah hutan. Segera saja tetumbuhan hijau dan pohon-pohon tua yang tinggi tampak menjulang menggapai langit dan membentuk kanopi raksasa di atas mereka dan di sekeliling mereka. Suasananya terasa magis, sekeliling mereka dipenuhi suara-suara aneh binatang-binatang hutan. Di mana-mana, tampak kupu-kupu dan serangga malam, beberapa di antaranya berukuran besar sehingga mereka nyaris sulit terbang, hanya bertengger di batang-batang pohon.
"Aku ingin berada di tempatmu, Zarri Bano," bisik Sikander lembut.
Zarri Bano menghenti kan langkahnya. "Apa"" tanyanya Pada awalnya dia tidak paham. Sikander menatapnya. Matanya memancarkan sesuatu yang penuh arti. Secercah cahaya menerobos turun dari balik kanopi hijau di atas mereka, membuat Zarri Bano tampak aneh dalam burqa hitamnya.
Pada akhirnya Zarri mengerti, hawa panas segera saja menjalar hingga ke wajahnya, dan seperti biasa, dia segera berusaha melarikan diri. Perlahan dia melangkah melewati tetumbuhan kecil di bawah pohon seraya mengangkat ujung burqa-nya agar tidak menggores tunas pohon dan semak-semak.
"Jangan bersikap dingin padaku sekarang, Zarri Bano, ayolah!" desak Sikander dari arah belakang, sambil mendorong semak-semak kecil yang menghalanginya, dan segera menuju ke samping Zarri lagi. "Kita berbincang-bincang dengan hangat di mobil tadi. Kini aku bisa merasakan kau mengucilkan diri dariku-masuk lagi ke dalam dunia pribadimu. Ayolah, jangan lakukan itu."
"Dengar, Sikander," ujar Zarri Bano putus asa, "aku sedang melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan, kau tahu itu, tetapi aku merasa semuanya begitu sulit. Dalam sebulan terakhir ini, semua orang seolah menggedor-gedor pintuku. Sedikit demi sedikit mereka berhasil menyelinap ke dalam. Mengenai kau, kau tidak hanya menggedornya, tapi bahkan mendobraknya. Sekarang tidak banyak lagi pintu-pintu yang terkunci, Sikander, sebelum kau sampai ke Zarri Bano yang lama." Zarri Bano tiba-tiba merasa cemas kalau dirinya sudah mengungkapkan terlalu banyak.
Sikander tidak segera menjawabnya. Dia malah melayangkan pandangan ke sekelilingnya. Mereka sudah memasuki satu tanah lapang. Zarri Bano menengadah dengan sukacita, memandang ke arah langit biru dari celah-celah ujung pepohonan nan hijau. Keduanya terkagum-kagum melihat warna cemerlang dari burung-burung tropis dan parkit yang berseliweran dari satu batang pohon ke batang lainnya.
"Di sini seperti surga, begitu damai. Seakan-akan hanya kita berdualah manusia di muka bumi ini," ujar Zarri Bano sambil mengelap dahinya yang basah.
"Mengapa tidak kau buka saja burqa-mu"" usul Sikander dengan nada lembut. "Tidak ada siapa pun di sini, Zarri Bano. Tidak ada yang akan melihatmu-kecuali aku. Mari, kubantu kau."
Merasakan kesunyian tempat itu dan tidak akan ada mata laki-laki yang mengintai, Zarri Bano lalu merasa aman untuk membuka jubahnya. Ketika Sikander membantunya menarik burqa itu, rambutnya melorot keluar dari kerudungnya dan jatuh ke bahunya, menjuntai dalam gulungan-gulungan ikal yang tak beraturan. Di bawah sorotan cahaya matahari yang menyeruak dari balik pepohonan, rambutnya tampak menyala dengan warna api yang begitu memesona.
Sikander terkesiap memandang keindahannya. Ia berperang dengan nalurinya yang ingin menyentuhkan jemarinya ke gumpalan ikal indah itu. Kemudian ia sepenuhnya terpaku saat melihat apa yang dikenakan Zarri Bano di balik burqa-nya-baju sifon hitam yang dipakainya saat di mela, baju yang sangat disukainya dan bayangan Zarri memakai baju itu melekat di benaknya selalu. Zarri Bano langsung tahu bahwa pakaian yang dipakainya mengandung sebuah arti khusus bagi Sikander. Dia juga sangat mengingat apa yang terjadi di mela-dan tatapan mata penuh gairah di mata Sikander... tiba-tiba saja dia merasa tersadar, keinginan untuk berlari dari Sikander kembali muncul.
Zarri terus berjalan sampai mencapai satu titik di mana tergeletak satu bonggol pohon besar, akarnya mencuat ke atas menyebar ke segala arah di tanah itu. Sikander melihatnya duduk di salah satu akar-akar itu. Dia tampak memukau dengan latar belakang hutan rimba nan gelap pekat, sesosok anggun yang mengenakan pakaian yang memperindah dan menonjolkan bentuk feminin tubuhnya.
Ia membuntuti Zarri dan berdiri di sampingnya. Tak sanggup mengendalikan dirinya, tangan Sikander terjulur menyentuh rambut Zarri Bano. Ia begitu mengagumi kelembutan helaian-helaian rambut itu yang berayun di sela jemarinya.
Zarri Bano terpaku saat dirasakannya jemari Sikander menyusuri lehernya dari belakang dan menyentuh kulit kepalanya. Dia mengingat dengan perasaan aneh aksi serupa yang dilakukannya pada malam sebelumnya. "Inilah yang aku lakukan
padanya! Bagaimana aku bisa melakukannya"" jeritnya dalam hati. Dia merasa gemetar oleh rasa malu dan senang.
"Kau memiliki rambut yang sangat indah, Zarri Bano. Biarkan rambutmu panjang hingga ke pinggangmu," bisik Sikander seraya sedikit membungkukkan badannya ke dekat kepala Zarri.
"Maksudmu, seperti sebelumnya" Ketika kau pertama kali melihatku dengan pakaian ini lima tahun lalu, Sikander"" suara Zarri Bano terdengar lemah. "Rambutku bisa saja tumbuh, tetapi mengharapkan hal lain untuk kembali seperti dulu adalah tidak mungkin."
"Betulkah"" tanya Sikander seraya menegakkan tubuhnya. "Tetapi aku sedang memandanginya, dan aku berpikir dan berharap bahwa aku sudah menemukan perempuan yang pernah hilang dari hidupku."
"Kalau begitu, aku mohon maaf telah memberimu angan semu, Sikander Sahib. Kau benar-benar sedang mengejar pelangi! Apa yang kau saksikan di depanmu sangat menyesatkanmu. Aku mungkin tampak sama, tetapi lihatlah ke dalam sukmaku, dan kau akan temukan aku bukan perempuan yang sedang kau cari. Aku sudah berubah terlalu banyak, Sikander. Sangat tidak mungkin mewujudkan mimpi-mimpi menjadi sebuah kenyataan."
"Aku tidak sependapat denganmu, Zarri Bano!" tanpa disadari Sikander, jemarinya menarik rambut Zarri dengan agak kasar, memaksanya untuk mendongak ke arahnya lagi. "Mimpi sering sekali bisa diwujudkan, dengan upaya tentunya. Halangan-halangan pribadilah yang mencegah kita mewujudkannya. Dalam hal ini, dirimu sendiri sudah
menjadi halangan terbesar. Dulu ayahmu." Sikander menghentikan kalimatnya tiba-tiba. "Aku tidak pernah bisa memaafkannya atas apa yang dilakukannya padamu dan pada kita."
"Aku sudah memaafkannya sejak lama. Tahukah kau, Sikander, bahwa ayahku cemburu padamu-sangat cemburu, kenyataannya. Ibuku baru-baru ini memberitahuku betapa ia merasa terancam olehmu dan memandangmu sebagai saingannya untuk mendapatkan kasih sayangku."
"Kau tidak perlu mengatakannya padaku. Aku sudah mencurigai hal itu sejak lama. Ia membenciku, Zarri Bano. Apa lagi menurutmu alasannya mencegah pernikahan kita dan memaksamu menjadi seorang Perempuan Suci" Yang tidak kumengerti adalah, apa yang dipikirnya akan kulakukan padamu" Lagi pula, kau masih putrinya dan akan selalu menjadi putrinya selamanya."
"Ia terlalu mencintaiku, Sikander. Ia takut kau lambat laun akan menggantikan tempatnya dalam mendapatkan kasih sayangku-itu adalah ketakutan terbesarnya. Ia juga berpikir bahwa kau memiliki kekuatan untuk menyakitiku secara emosional."
"Ia berhasil membuatmu hanya menjadi miliknya, bukan" Ia memilikimu di rumah yang ada menara gadingnya sehingga tidak ada laki-laki mana pun yang bisa mendekatimu. Aku tidak akan pernah memaafkannya, Zarri Bano, tidak peduli apa pun yang kau katakan. Ia mengubah semua hal dalam hidup kita." Zarri bisa merasakan kemarahan bergetar hebat dalam diri Sikander, lewat sentuhan jemarinya. Jemari Sikander mencengkeram rambutnya dan membuatnya merasa sakit.
"Kau harus ingat Sikander, andai Jafar tidak tewas, ayahku tidak bisa mencegah kita menikah. Ini memang sudah ditakdirkan terjadi. Itu sudah tertulis dalam suratan kita, Sikander. Kau harus memercayainya, itu saja." Dia membujuknya dengan tulus.
"Apa pun yang kau katakan, Zarri Bano, kenyataannya tetap saja, bahwa aku tidak bisa memaafkannya. Sebagai istriku, aku tidak ingin ada kaitan apa pun dengan warisanmu, tanahmu. Semua itu haram bagiku." Mata Sikander menyorot tajam penuh kemarahan ke arah Zarri Bano.
"Semua itu bukan milikku ataupun milikmu, Sikander. Warisan itu milik Haris. Aku juga tidak menyukainya. Kenyataannya aku sudah menjual sebagian dari tanah itu untuk membangun madrasah-madrasah dan membayar biaya operasionalnya." Zarri merasa kesal sekarang.
"Anakku tidak ada kaitannya dengan warisanmu, Zarri Bano!" desis, Sikander. Ia menarik tangannya dari rambut istrinya dan menjauh.
Zarri Bano merasakan sentakan fisik saat Sikander menarik tangannya dari kepalanya. Dia menginginkan tangan suaminya itu kembali menyelusuri rambutnya, menginginkannya tetap memberikan kehangatan fisik dan ikatan mental yang baru saja mereka rasakan.
"Baiklah! Ji ka tidak mengizinkan Harismu mewarisinya, kau tidak dapat menghentikan 'putraku' melakukannya!" Dia mengejutkan Sikander, sebelum menyadari apa yang sedang dikatakannya. "Tanah itu sangat penting bagi keluargaku. Aku harus mempertahankannya sebagai kenangan atas ayahku."
Sebuah keheningan yang ganjil memak di tengah rimba itu.
"Putramu yang mana"" tanya Sikander perlahan.
Zarri Bano bisa merasakan napasnya terganjal di leher, saat rambutnya terjatuh ke wajahnya bak sehelai gorden berat. Dia menundukkan kepalanya semakin dalam, menyembunyikan wajahnya dari Sikander lewat tirai rambutnya dan memeluk kakinya sampai ke dagunya.
"Anak laki-laki yang mungkin nanti kumiliki, Sikander," gumamnya, begitu pelan sehingga Sikander harus membungkuk mendekat ke kepala istrinya untuk bisa mendengar suaranya.
Sikander menegakkan tubuhnya. Wajahnya mengembangkan satu senyum dan matanya bersinar mengalahkan sang surya. Ia melemparkan pandangan ke sekelilingnya, segalanya baru, dan bunga-bunga anggrek keluar dari bonggol-bonggol pohon tempat Zarri Bano duduk. Bunga-bunga itu sedikit di atas kepala Zarri sehingga terlihat bagai mahkota permata. Tubuh Sikander terasa terangkat ringan karena sukacita. Dunia tiba-tiba saja menjadi sebuah tempat yang gilang-gemilang bagi Sikander.
Dengan jantung berdegup kencang, Zarri Bano mendongakkan kepalanya, menanti tanggapan suaminya. Matanya bertabrakan dengan sorot mata lembut Sikander, dan Zarri merasa begitu rapuh di bawah sorot mata yang sedang memandanginya lekat-lekat. Dia sudah tidak terkunci lagi bagi Sikander.
"Jika demikian, aku tidak dapat mencegah putramu, maksudku, anak lelaki kita, untuk mewarisi tanah itu." Bisikan suaranya yang sedikit serak terdengar hangat dan mengandung tawa.
"Aku senang, Sikander Sahib," jawab Zarri Bano malu-malu, merasa bahagia melihat cinta di mata Sikander, suaminya.
Sikander memetik setangkai bunga anggrek terindah dari pohon itu dan menyelipkannya ke rambut Zarri dengan lembut.
"Aku sangat mencintaimu, Zarri Bano," ujarnya lirih.
68. MATA ZARRI Bano tertuju pada seekor kupu-kupu Raja Brook yang terbang melayang dan hinggap di atas seonggok semak kecil di depannya. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya dan juga apa yang dirasakannya. Dia takut bersuara. Takut merasa.
Sambil melihat ke arah kepala Zarri yang tertunduk, Sikander menunggu. Lalu, "Zarri Bano, apakah kau pernah mencintaiku"" tanyanya, memecahkan keheningan memilukan yang menyelimuti mereka. "Aku sudah menelanjangi jiwaku di hadapanmu, tetapi aku tidak tahu apakah aku sempat menangkap hati perempuan yang membiusku lewat sebuah pandangan di mela dahulu. Kau memang sepakat untuk menikah denganku pada akhirnya-tetapi aku tidak tahu atas dasar apa kau menyepakatinya. Katakan padaku! Lihatlah mataku, Zarri Bano!" desak Sikander dengan suara yang bergetar karena luka dan rindu.
Akhirnya, Zarri Bano memalingkan matanya dari kupu-kupu hijau dan biru yang besar itu dan menatap nanar Sikander, membiarkannya melihat isi batinnya yang sedang bergelut dengan kekuatan-kekuatan menyakitkan dalam dirinya.
"Kau bertanya apakah aku pernah mencintaimu, Sikander"" ujarnya dengan suara bergetar. "Aku sudah mati untukmu, Sikander, ribuan kali. Kau memusnahkanku! Di hari aku mengetahui bahwa kau akan menikahi adikku, aku meratap dan memohon pada Allah Yang Mahakuasa untuk membantuku! Untuk menghilangkan dari dalam diriku kau dan rasa sakit yang kau tambatkan. Kau adalah ular berbisa yang sudah memangsa kepolosanku. Sementara aku duduk di atas sajadah memohon pada Allah agar mencekik dan mengubur perempuan yang, meski ditutup rapat oleh jubah pengabdiannya, masih saja mencintaimu dengan sepenuh hati. Masih saja mendambamu! Aku harus membunuh perempuan yang berdarah-darah untukmu itu. Jika tidak, aku akan binasa. Allah Yang Mahakuasa, yang begitu murah hati, mendengar doaku-doa-doa seorang pendosa. Di hari kau menikah, aku bersumpah pada diriku sendiri bahwa Zarri Bano tidak akan pernah mati ataupun menangis lagi untuk laki-laki mana pun. Di saat itulah aku menjadi seorang Perempuan Suci yang sesungguhnya. Allah telah
membasuh apiku untukmu, seolah-olah diriku seutuhnya terbasuh oleh air suci zamzam, air dari Makkah-aku menjadi benar-benar murni."
Dengan terbuka lebarnya semua pintu gerbang jiwanya dan tidak ada lagi yang tersisa untuk disembunyikan, tidak ada lagi tempat untuknya bersembunyi dari Sikander.
"Sebelum Jafar tewas," lanjutnya, "aku benar-benar memujamu. Kau adalah laki-laki yang kudambakan. Laki-laki asing tampan yang kutemui di mela, yang masuk begitu saja ke dalam duniaku, dan dengan satu sorotan tajam matanya, berhasil merampok hatiku. Laki-laki yang merampas kepolosanku, membenamkanku ke dalam lautan rinduku padamu. Bagaikan Sikander, sang Iskandar Agung, Raja Yunani Kuno, itulah namamu, kau menaklukkanku dan aku pun tiada berdaya selain menjadi korban penaklukanmu dan terus mengikutimu hingga ke ujung dunia. Kau mengubahku menjadi seorang perempuan penuh gairah, di luar pemahaman dan kendali diriku.
"Lalu, seperti yang sudah kau ketahui, nasib bersekongkol melawan kita. Keadaan memaksaku untuk menampik dirimu." Suara Zarri Bano melemah berbentuk kepedihan. "Kau pikir aku kejam, tetapi kau tidak akan pernah tahu betapa sulitnya mengorbankan dirimu! Tidak juga akan kau ketahui kepedihan yang menderaku ketika aku memalingkan diriku darimu dan membiarkanmu berlalu dari kehidupanku. Aku menukarmu, cintaku, dan keperempuananku dengan tugas dari orangtuaku. Aku merana dan menangisimu selama berbulan-bulan, Sikander.
"Dengan getir, hari itu di halaman belakang rumahku, kau bersumpah padaku akan membalas dendam. Nah, kau sudah melakukannya ketika kau menikahi Ruby!" Zarri Bano terdiam. Air mata mengucur deras dari sepasang matanya. Dia tidak mampu melupakan apa yang terjadi malam itu. "Mengapa kau menikahi Ruby, Sikander" Apakah itu untuk menghukumku" Karena memang itu yang kurasakan, kau tidak akan menemukan senjata yang lebih baik dari itu. Itu adalah sebuah hantaman yang sangat fatal bagiku. Aku kembali mati untukmu, Sikander. Aku tidak akan pernah melakukannya lagi!" Zarri Bano terisak pilu.
Sambil duduk di sampingnya di bonggol pohon itu, Sikander perlahan menolehkan wajah Zarri ke arahnya menggunakan ujung jarinya.
"Aku tidak pernah bermaksud menghukummu," bisiknya. "Kau harus memercayaiku, Zarri Bano. Allah menjadi saksiku, aku tidak pernah mampu melakukan itu padamu. Kau lihat, itu sama saja untukku. Tidak ada seorang perempuan pun yang mampu menyalakan apiku seperti yang kau lakukan. Dan ketika kau berkata tidak akan menikah denganku, aku merasa sekarat-aku merasa sangat dikhianati. Kupikir kau mencintaiku hingga aku tidak bisa mengerti mengapa kau mampu berpaling dariku. Aku merasa sangat pedih saat itu dan balas dendam sering terlintas dalam benakku. Pernikahan antara aku dan Ruby, entah bagaimana, tidak dilakukan untuk menghukummu. Meskipun itu adalah gagasan ibuku, jika aku harus jujur pada diriku sendiri, di dalam benakku aku hanya ingin berdekatan denganmu. Jika aku tidak bisa mendapatkanmu, setidaknya aku bisa menjadi bagian dari duniamu. Tetapi, Zarri Bano, semua itu menghantam diriku sendiri.
"Ketika kau sungguh-sungguh menjadi seorang Perempuan Suci, aku, sebaliknya, merasa ditinggalkan olehmu dan terbakar di neraka. Aku masih saja mendamba dan menginginkanmu saat aku menikah dengan adikmu. Bisakah kau bayangkan neraka yang kualami, Zarri Bano-menikahi seseorang padahal kau masih berhasrat pada orang lain"" Zarri Bano menatap mata Sikander berganti warna dengan kedalaman perasaannya, betapa kata-katanya sulit untuk diungkapkan.
"Sementara aku benar-benar mencintai istriku, adikmu, aku juga tidak pernah bisa melupakanmu, Zarri Bano. Kau selalu ada di sana. Aku mencoba sekuat tenaga menjadi seorang suami yang baik untuk Ruby, tetapi sering sekali dia seakan tahu bahwa sebagian dari diriku akan selamanya terkunci untukmu. Beberapa kali saat malam tiba, di atas ranjangku, aku merana mengatasi perasaan itu."
Sikander terdiam dan berdiri. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia melemparkan pandangan ke sekelilingnya, pada indahnya hutan rimba. Semuanya tampak begitu hening. Seolah-olah semua binat
ang liar dan burung-burung sudah berhenti bersuara dan kini mendengarkan mereka berdua, turut menyimak kisah mereka.
"Hukumanku, Zarri Bano," lanjutnya, menoleh ke arah Zarri Bano dengan wajah merana, "adalah mencintai dua perempuan-dua kakak beradik. Menyaksikanmu bersama orang Mesir berjanggut di Mina, membuat semuanya tampak jelas bagiku, bahwa masa lalu belum terkubur, seperti yang kau ingin kami percayai. Perasaanku yang meledak-ledak untukmu selalu berkilau dari balik permukaan. Aku tidak mampu menahan diri melihat laki-laki itu berdiri begitu dekat denganmu meskipun kau menganggapnya sebagai seorang abang. Kecemburuanku mendorongku mengeluarkan kebodohan diriku.
"Zarri Bano, aku harus mengetahuinya. Aku masih saja didera pikiran itu: apakah laki-laki itu sempat berarti sesuatu bagimu" Aku masih terbayang kalian berdua, berdiri dan berbincang-bincang sedemikian intim. Ia tidak berhak memandangimu seperti itu, Zarri Bano! Tidak ada seorang laki-laki pun yang berhak-kecuali aku," ia mengakhiri kalimatnya dengan penuh gejolak.
"Kau tidak adil pada kami, Sikander," balas Zarri Bano dengan nada sedih. "Ia sudah menikah sekarang. Ia menikahi Selima begitu ia kembali ke Mesir. Mungkinkah kita bisa mengunjungi mereka suatu saat""
"Mungkin," tukas Sikander. Ia tahu bahwa hal itu adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya. Ia tidak akan pernah bisa menahan diri memikirkan laki-laki mana pun menginginkan Zarri Banonya seperti dirinya.
"Tidak ada laki-laki yang berarti untukku, tidak dia, tidak juga kau, Sikander," jelas Zarri Bano.
"Dan sekarang"" desaknya, setelah hening beberapa saat dan dengan suaranya yang tersengal. Sikander ketakutan mendengar jawaban Zarri.
Mata Zarri Bano mengelana jauh dari Sikander. "Maafkan aku, Sikander. Aku begitu takut! Takut padamu-takut akan apa yang kau bangkitkan dalam diriku. Aku juga takut pada diriku sendiri, pada perempuan yang terkubur di dalam diriku. Jangan memintaku untuk jatuh cinta padamu lagi, Sikander. Aku tidak mampu menanganinya. Aku sudah menderita terlalu berat...," dia mendongak memandang suaminya, "... bahwa aku sungguh-sungguh percaya kalau aku secara emosional sekarang sudah hancur. Aku tidak tahu apakah aku mampu membuat lompatan besar yang kau mintakan padaku itu." Matanya bercahaya bak permata, sekali lagi air matanya menggenang.
Hati Sikander terlonjak mendengar luka hati istrinya dan menginginkan pemahaman. Sambil menggenggam tangan Zarri Bano dan mendekapnya di dadanya, ia berkata, "Pengantinku yang cantik, Perempuan Suciku." Suaranya yang tulus menggapai Zarri Bano. "Kau tidak hancur secara emosional. Tidak ada lagi yang harus ditakutkan, Sayangku. Kau tidak akan menderita bersamaku, kau juga tidak akan mati lagi untukku. Tidak ada seorang pun yang pantas begitu. Dengan keagungan Allah, aku akan selalu mendampingimu, selalu.
"Aku tidak memintamu melakukan lompatan besar, Zarri Bano. Yang kuminta darimu hanyalah agar kau mengizinkanku memasuki hatimu sekali lagi. Beri aku ruang di sana, tolonglah-sekecil apa pun ruang itu, Sayang. Jangan memerangiku atau perasaan-perasaanmu sendiri. Runtuhkan benteng pembatas yang kau ciptakan! Kita selalu memiliki sesuatu yang istimewa-kau tahu itu. Kau bisa duduk di atas sajadah sepanjang hidupmu, tetapi kau akan tahu bahwa di dalam hatimu tidak akan pernah berakhir apa yang terjadi di antara kita. Tidak akan pernah!
"Biarkanlah perempuan penuh gairah itu hidup kembali. Tidak ada yang harus ditakutkan, Zarri Bano. Kita tidak sedang melakukan dosa atau kejahatan. Aku berjanji padamu, kau akan selalu menjadi seorang Perempuan Suci. Kau bisa terus menjalani kehidupanmu sebagaimana yang kau pilih. Kau bisa menjalankan madrasahmu, menghadiri konvensi-konvensi, menyelenggarakan seminar-apa pun yang kau inginkan. Aku tidak akan menghentikanmu atau menjadi musuh bagi Shahzadi Ibadat. Aku tidak akan membuatmu melepaskan identitas keagamaanmu jika itu yang kau takutkan. Aku menghormati dan menerimamu apa adanya. Kenyataannya, aku merasa terhormat mendapatkan seorang perempuan pakeeza sekaligus seorang ulama sebagai seorang istri. Janganlah
kau melihatku sebagai sebuah ancaman bagimu, tetapi pandanglah aku sebagai sahabat.
"Zarri Bano, ada satu hubungan unik antara seorang suami dan istrinya, antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Yang kuminta darimu hanyalah, tolong libatkan aku ke dalam hidupmu, dan biarkan dirimu menemukan kebahagiaan menjadi perempuan dan menjadi ibu."
Matanya menyapu wajah Zarri, mencoba mengukur perasaan, pikiran, dan ekspresinya. "Zarri Bano, jangan biarkan benakmu berkata tidak saat hati dan tubuhmu berkata ya. Tolong jangan palingkan dirimu dari apa yang selalu ada di antara kita. Kau tak bisa melakukannya! Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya! Jangan perangi apa yang kita berdua tidak sanggup lakukan. Dulu kau membiarkan ayahmu mengambil keputusan atas dirimu. Kali ini, kau yang harus memutuskan, Zarri Bano."
Sikander terdiam. Wajahnya memucat begitu ia sampai di titik persimpangan dalam benak dan dalam hidupnya. Hatinya luruh karena ia tahu dengan jelas apa yang harus dilakukannya. Ia tidak memiliki pilihan lain-taruhannya sangat tinggi, tetapi ia ingin melakukannya. Karena ia tidak punya jalan lain. "Kau harus memutuskan," lanjutnya, "apakah kita akan terus melanjutkan pernikahan ini, atau...."
"Atau"" desak Zarri Bano sambil menahan napasnya.
"Atau...." Dia tidak akan pernah tahu betapa riskannya Sikander mengatakan kata-kata ini. "Atau aku melepasmu pergi! Kau mengancam akan keluar dari pernikahan ini setelah satu tahun. Aku membebaskanmu untuk keluar dari pernikahan ini sekarang juga. Kau menikahiku di bawah tekanan, demi Haris. Kau hanya boleh tetap dalam pernikahan ini atas kehendakmu sendiri. Jika menginginkannya, kau bisa kembali sepenuhnya ke dalam kehidupan ibadahmu, jika itu semua lebih berarti bagimu daripada pernikahan kita atau daripada diriku. Karena kau tahu, aku tidak akan bisa mendapatkan jalan lain, Zarri Bano."
Zarri Bano menatap nanar wajah tegang Sikander, tak bisa memercayai apa yang didengarnya. Ia membebaskan dirinya pergi! Sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, dia meletakkan kepalanya di atas kedua lututnya yang tertekuk. Lalu dia menyilangkan tangannya di depannya, menutupi mata dan wajahnya dari Sikander.
Aku membenamkannya! Sikander memarahi dirinya sendiri, sambil menunduk memandangi kepala yang tertunduk itu. Ia lalu memutuskan untuk melangkah menjauh.
Mendengar langkah kaki Sikander menjauh di atas tumbuhan semak di tanah lapang itu, kepala Zarri Bano tersentak bangkit. Gelombang kerinduan melandanya. Dia tidak mampu melakukannya. Dia tidak bisa membiarkannya keluar dari hidupnya untuk kedua kalinya.
"Jangan berani-berani kau menjauh dariku, Sikander!" pekiknya. Kedua tungkai kakinya terlonjak.
"Aku memberimu ruang yang sangat kau butuhkan dan kau inginkan!" Zarri Bano mengatakan itu ke arah Sikander, lewat bahunya, tetapi ia tetap saja meneruskan langkahnya.
Dengan langkah ringan, Zarri Bano sampai ke sisi Sikander.
Zarri menyentuh lengan Sikander, lalu dengan ragu menyelipkan tangannya di antara lengannya. Sambil menatapnya lekat-lekat, Zarri membaca wajah suaminya itu. Tidak ada seulas senyum pun, hanya mimik penerimaan yang lembut terhadapnya. Tatapan hampa itu masih ada di dalam mata Sikander. Zarri Bano tidak tahan lagi.
"Kau menang, Sikander," sahutnya. Dia membiarkan kedua matanya mengatakan semuanya. Sorot mata Zarri Bano itu berbisik padanya, "Aku membutuhkanmu! Aku menginginkanmu! Aku mencintaimu!"
"Tidak, Zarri Bano, kita yang menang. Tidak ada yang kalah," goda Sikander lembut.
Mereka berdiri berdampingan di tepi tanah lapang, memandangi hamparan hijau pucuk pohon saat hutan rimba tiba-tiba bagaikan terjatuh dan terhampar menjadi lembah hijau menggairahkan di bawah mereka. Seolah-olah selimut hijau itu tertutupi permata dari warna-warni cemerlang bebungaan, burung-burung, dan kupu-kupu. Keduanya terdiam terpana, merasakan keagungan dunia ciptaan Allah.
"Apa yang ingin kau lakukan selanjutnya"" tanya Sikander, setelah beberapa detik hening yang penuh makna itu. "Taksi sudah menunggu. Bisakah kita melanjutkan perjalanan kita sesuai rencana, atau mari kita pulang ke hotel"
" "Apa pun yang kau inginkan," jawab Zarri Bano lirih sambil mendongak menatap Sikander dengan segenap isi hati terpancar di kedua bola matanya itu.
"Tidak, Zarri Bano! Kau yang memutuskan. Bola itu ada di lapanganmu, seperti seharusnya," ujarnya pada sang istri, dengan wajah yang begitu takzim.
"Kalau begitu," ujar Zarri Bano, matanya berkilauan oleh kejujuran dan keterbukaan, Zarri Bano akhirnya berdamai dengan dirinya sendiri. "Aku lebih suka kembali ke hotel."
Tidak ada semburat kemenangan yang disembunyikan di mata Sikander yang bercahaya oleh rasa bahagia mendengar jawaban istrinya. Ia memandangi rambut Zarri Bano yang ikal mayang, di mana jemarinya menikmati mengelus-elus dan mencengkeram kelembutannya. "Aku akan mengambil burqa-mu. Kalau tidak, si tukang sadap karet Melayu itu akan bertanya-tanya apa yang sudah terjadi di dalam hutan rimba ini," guraunya.
Zarri Bano tertawa. Suara tawa yang alami dan jernih mengalun di udara di sekitar mereka.
Sikander berpaling ke arah pohon untuk mengambil burqa milik Zarri. "Lagi pula," lanjutnya nakal, "kita tidak ingin mengejutkannya, bukan""
Dalam keheningan yang damai, pasangan itu menyelusuri kembali tapak-tapak mereka melintasi hutan dan kebun karet, lalu menuruni bukit kembali ke taksi mereka yang sudah menunggu.
Dalam perjalanan pulang, Zarri Bano kembali melayangkan pandangannya menikmati panorama yang luar biasa itu, pemandangan yang diberkahi dengan keindahan alami. Dia mendekatkan tubuhnya ke arah Sikander dan meletakkan tangannya di atas tangan laki-laki itu. Jemari Sikander mencengkeram kuat, wajahnya menyeruakkan sebuah senyuman yang hanya dipersembahkan untuk istrinya itu. Zarri Bano membalas senyumannya. Tidak ada lagi yang harus disembunyikan. Tidak ada lagi yang harus ditahan. Ia sudah membuka semua pintu menuju hatinya dan juga memegang kuat setiap kuncinya-kunci pada segalanya.
"Lusa kita akan ke Singapura untuk bulan madu sebagaimana yang kujanjikan padamu lima tahun yang lalu, Zarri Bano," bisik Sikander lembut di telinga Zarri Bano.
Si penyadap karet tua keturunan Melayu itu berdiri di atas bukit, menggoresi kulit batang karet untuk mengeluarkan cairan getah karet demi menyenangkan para turis. Ia mengamati lewat ujung matanya saat dilihatnya taksi itu berlalu, dengan perempuan berjubah hitam di dalamnya.
Istilah Khusus Aba Jan, panggilan takzim kepada ayah; aba berarti ayah, sedangkan jan ditambahkan sebagai penanda ketakziman. Badmash, niat buruk, sering digunakan untuk menggambarkan laki-laki yang mempunyai niat buruk terhadap
perempuan. Baji Jan, kakak perempuan.
Burqa, jilbab panjang yang menutupi seluruh tubuh; ada yang menutupi muka, ada yang tidak. Zarri Bano
menggunakannya tanpa tutup muka. Buzurg, panggilan takzim kepada lelaki yang lebih tua.
Chador, sal yang lebar, terbuat dari pelbagai bahan; yang paling sering dipakai adalah yang terbuat dari bahan linen,
katun, dan wol. Digunakan perempuan untuk menutup kepala hingga ke bahu. Chaie, minuman yang terbuat dari campuran teh dan susu. Chapatti, roti rata-pipih khas India.
Chaprassi, tangan kanan. Seorang pegawai yang menjaga tanah dan kekayaan majikannya. Charail, tukang tenung (istilah yang berkonotasi merendahkan).
Charpoy, tempat tidur yang mudah dibawa-bawa, dapat digunakan di sembarang tempat, misalnya di halaman atau di
atap rumah rata yang terbuat dari kayu. Chaudharani, nyonya tanah (pasangan tuan tanah); sebutan untuk perempuan yang berkedudukan sosial tinggi. Darbar, makam Muslim, dengan bentuk serupa masjid. Dupatta, tutup kepala. Geraloo, urusan-urusan rumah tangga.
Gher merd, bukan muhrim; orang luar yang tidak mempunyai ikatan darah. Gher, orang asing, bukan kerabat, orang luar. Ghunagar, pendosa.
Gushty, pelacur. Istilah yang digunakan untuk penghinaan dan pelecehan.
Halwa puri, chana, makanan terkenal dan istimewa, sering dimakan pada saat sarapan {halwa adalah makanan berasa manis, terbuat dari semolina; puri adalah kue sejenis serabi; chana adalah masakan kari yang terbuat dari kacang polong putih).
Harridan, perempuan tukang tenung; sebutan untuk perempuan bejat. Hawali, r
umah besar di pedesaan; semacam vila besar.
Hijab, pakaian yang dikenakan perempuan Muslim untuk menjaga kesopanan. Hookah, pipa rokok tradisional; sudah jarang dijumpai, dan kini hanya ada di pedesaan. Hudah Hafiz, "semoga Allah melindungi"; hudah bermakna Tuhan. Izzat, kehormatan. Kala Jadoo, sihir jahat.
Kerala ghost, masakan kari khas Pakistan yang terkenal; terbuat dari daging dan bitter curd. Khoti, vila besar. Kismet, ramalan.
lengha, baju pesta yang panjang dan bergelombang (biasanya terbuat dari sutra atau sifon). Majnoon, lelaki penggial; istilah untuk lelaki yang tergila-gila dengan seorang perempuan. Malika, ratu.
Matrpilau, makanan yang terbuat dari nasi dan kacang polong.
Mela, perayaan, sejenis pesta rakyat.
Meria, satuan yang dipakai untuk mengukur tanah.
Munshi, tangan kanan tuan tanah, yang mengelola bisnis dan tanah tuannya.
Nafi, shalat sunnah (jamak: shalat nawafi); biasanya dilakukan sebagai tanda syukur atas kabar gembira yang diterima seseorang.
Nathu pethu, lelaki pada umumnya (dengan nada yang agak merendahkan). Paisa, koin; uang recehan terkecil. Pakeeza, murni.
Paratha, chapatti goreng, dibuat dari mentega. Pathasay, gula berbentuk bulat, biasanya ada di pedesaan. Perandah, sejenis wig; untuk memanjangkan rambut perempuan. Phutley, boneka yang dimainkan dalam pertunjukan drama. Pingra, sangkar burung. Ressmeh, kebiasaan atau ritual.
Rishta, orang yang menggandeng tangan mempelai perempuan dalam acara pernikahan. Sahib, istilah untuk lelaki, terutama dari kalangan sosial yang tinggi. Sath sumundarphar, tujuan lautan.
Segan, persembahan bagi mempelai perempuan/lelaki; sering berupa uang. Shabz tea, teh khas Pakistan, berwarna pink.
Shahzadi Ibadat, perempuan suci, zahidah; perempuan yang mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Tuhan; semacam biarawati. Istilah ini sendiri tidak dikenal di masyarakat yang sebenarnya. Sengaja saya ciptakan sendiri istilah ini untuk menggambarkan upaya si ayah untuk memingit putrinya.
Shalwar kameze, pakaian resmi Pakistan, terdiri dari tunik panjang dan shalwar, dengan celana baggy.
Shan, penghormatan personal, kedudukan sosial, dan kehormatan.
Skoon, damai, tenang. Tabla, drum bulat khas alat musik India/Pakistan.
Takkia, bantal besar, yang biasa digunakan di tempat tidur atau di lantai.
Tandoor, oven besar terbuat dari tanah, biasa digunakan untuk membuat chapatti di pedesaan.
Thola, ukuran gram emas di Pakistan.
Topee, topi. Zemindar, pemilik tanah, tuan tanah.
Buku Sumbangan dari: GY. Trims, Sob.
Epub: clickers http://facebook.com/epub.lover
Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Dendam Jasad Dedemit 2 Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Misteri Kapal Layar Pancawarna 19
Seraya membuka pintu lebar-lebar, Sikander membiarkan Zarri Bano masuk lebih dulu dan kemudian baru mengikutinya. Melihat berkeliling kamar itu dengan penuh rasa ingin tahu, ia lalu meletakkan kopernya di atas salah satu dari dua ranjang yang ada di kamar itu.
Zarri Bano terdiam tak pasti di tengah kamar, merasa kehadiran suaminya amat mengancamnya. Dia berusaha keras untuk tersenyum, tetapi yang keluar adalah sebuah seringai.
"Maafkan aku karena tak mengatakan padamu akan datang saat aku meneleponmu kemarin," ujar Sikander lembut. "Aku ingin ini menjadi sebuah kejutan. Aku ada urusan bisnis di sini. Juga aku memiliki seorang istri cantik yang sedang menungguku," goda Sikander.
Zarri Bano dengan berdiam diri terus memandang Sikander. Mulutnya kering. Lidahnya kelu.
Sikander memerhatikan kegelisahan Zarri Bano dan memutuskan untuk bertindak. "Aku lapar, Zarri Bano. Bisakah kita cari makan dulu""
"Ya, tentu," Zarri Bano akhirnya bersuara. "Aku memang akan turun untuk makan malam."
"Bagus, ayo kita pergi." Sikander mengulurkan tangannya pada Zarri Bano dan melintasi ruangan. Zarri Bano menatap tangan itu, lalu pada wajah Sikander. Sikap menantang dalam mata Sikander membuatnya terpaksa meletakkan tangannya sendiri di tangan suaminya dengan enggan.
Rengkuhan Sikander yang hangat terasa menenangkan saat ia menggandengnya keluar kamar dan turun ke ruang makan. Sikander baru melepaskan tangan Zarri Bano saat dia mendekati meja tempat teman-temannya dari kelompok Jamaah Muslim lelaki dan perempuan tengah duduk. Zarri Bano tersipu ketika dengan cepat memperkenalkan Sikander sebagai suaminya dan kemudian duduk di samping Sakina.
Sikander menatap Zarri Bano dari seberang meja dengan mata berbinar-binar ketika mereka menyantap hidangan.
* * * Beberapa saat kemudian di malam itu juga, Sikander, Zarri Bano, dan Sakina bepergian bersama-sama, berkeliling Kota Kuala Lumpur. Dari Pasar Jalan Petaling yang terkenal, mereka membeli cenderamata untuk banyak orang. Zarri Bano merasa bahagia karena Sikander membantu menawar barang-barang yang dibelinya. Anehnya, dia sendiri ternyata menikmati ditemani oleh Sikander. Merupakan hal yang baik bagi kedua perempuan itu mendapat pengawalan dari seorang lelaki di samping mereka, terutama karena para pemuda Melayu dan Cina terus-menerus memandangi mereka berdua yang mengenakan burqa hitam.
Kemudian saat mereka naik taksi dengan barang-barang belanjaan di pangkuan mereka, Sakina berkata, "Senang sekali Anda ikut dengan kami, Saudara Sikander. Kami tak bisa menawar barang sepertimu."
"Bagaimana menurut istriku"" Seraya menaikkan sebelah alisnya, Sikander menatap Zarri Bano dengan pandangan bertanya.
Zarri Bano tersenyum padanya, memerhatikan kata "istri". "Kurasa kami jadi malas karena kehadiranmu dan membiarkanmu melakukan semua pekerjaan-begitu, Ukhti Sakina""
"Hmm," Sikander menggumam seraya memijit lembut paha Zarri Bano untuk menunjukkan bahwa ia tidak puas dengan jawaban Zarri Bano.
Mereka ke pasar dalam ruangan di pusat Kota Kuala Lumpur dan ketika Sakina dan Zarri Bano asyik melihat-lihat barang kerajinan, kain batik, dan kerudung sutra, Sikander menghilang untuk melihat-lihat dan membeli hadiah. Ia kembali membawa dua buah bingkisan.
Di hotel mereka mengucapkan selamat malam pada Sakina di luar kamarnya dan kemudian pergi ke kamar mereka sendiri. Setelah menutup pintu, mereka meletakkan bingkisan di atas ranjang.
Sikander menatap bayangan istrinya dalam cermin ketika ia setengah berbaring di salah satu dari dua ranjang itu dan menatapnya melepaskan burqa serta menyisir rambutnya.
"Kau tahu apa yang ingin kulakukan di meja makan tadi" Tapi kura
sa lebih baik aku tak melakukannya agar tidak menggegerkan kelompok sucimu itu."
Seraya mengabaikan pertanyaan Sikander, Zarri Bano terkekeh pendek, merasa dirinya lebih santai. Tiba-tiba saja Zarri Bano merasa bahagia karena Sikander ada di kamar itu bersamanya. Perjalanan itu telah membukakan cara pandang baru baginya dan dengan cara yang aneh membuatnya ingin menghabiskan lebih banyak waktu lagi bersama Sikander.
Sikander bangkit untuk membuka kopernya. "Tak apa-apa kan aku tidur di kamar ini" Aku membawa tasku kemari." Ia melihat seulas senyum tersungging di wajah Zarri Bano. "Ada dua ranjang di sini. Tak masuk akal jika aku harus mencari kamar lain. Tapi, jika kau sungguh-sungguh tidak menyukainya, aku akan pergi pada resepsionis dan minta kamar lain."
Zarri Bano mempermainkan jemarinya dengan gelisah. Sikander nyaris bisa merasakan ketegangan yang terbangun dalam tubuh Zarri Bano.
"Ya, tentu saja kau boleh tinggal di kamar ini," ujar Zarri Bano lirih. Matanya tak memandang mata Sikander. Zarri Bano berdiri dan berjalan melewati Sikander, hendak ke kamar mandi. Sikander menghalangi jalannya seraya mencekal lengannya.
"Zarri Bano, kau harus belajar memercayaiku. Yang akan kita lakukan hanyalah tidur di ranjang, tidak lebih. Hal paling akrab yang kulakukan padamu hanyalah menyentuh tanganmu. Tiba-tiba saja kau menjadi siaga lagi. Semenit yang lalu kau gembira, santai, dan tersenyum. Mengapa kau tiba-tiba jadi bersikap dingin padaku" Jika kehadiranku membuatmu amat gusar, sekarang juga aku akan pergi." Seraya membiarkan lengan Zarri Bano terlepas, Sikander berpaling ke arah pintu.
"Tidak, Sikander," panggil Zarri Bano. "Kau tak perlu pergi. Kau bisa tidur di ranjang itu. Kini aku sudah terbiasa dengan kehadiranmu. Aku tak apa-apa jika kau tidur di ranjang itu. Hanya itu yang bisa kulakukan, tidak lebih."
Sikander mendengarkannya dengan memunggunginya. Tangannya masih memegang pegangan pintu. "Kita berteman saja dulu, Zarri Bano," ujar Sikander seraya berbalik menghadap Zarri Bano dengan raut tenang di wajahnya. "Soal lainnya itu nomor dua. Yang kuinginkan hanyalah pertemananmu, itu saja."
Sikander kembali membongkar barang-barangnya. Zarri Bano duduk di ranjangnya dan menatap Sikander. Dia melihat bingkisan yang dibeli Sikander.
"Apa itu, Sikander""
"Apa"" "Bingkisan yang kau beli di pasar induk."
"Oh, itu, yang satu adalah hadiah bagimu dan satu lagi untuk ibuku. Itu adalah jam yang bergambar dan aku meminta kedua jam itu diukir dengan pesan pribadi khusus. Itulah yang ingin kuberikan padamu saat makan malam. Di sini, maukah kau melihat milikmu" Aku akan mandi dulu. Apakah kau tak keberatan mencarikan piyamaku di dalam koper dan menggantungkannya di luar pintu kamar mandi" Kuharap kau menyukainya-bingkisan itu maksudku, bukan piyama." Seraya tertawa Sikander memberikan pada Zarri Bano sebuah bingkisan dan pergi ke kamar mandi.
Zarri Bano membuka bungkusan koran yang menutupi bingkisan itu dan melihat pesan yang terpahat di kaca depan jam itu. Untuk istriku tercinta yang cantik, Zarri Bano, dari suamimu, Sikander. Seraya menatap pesan itu dengan takjub, Zarri Bano merasa tersanjung oleh kata-kata itu. Kata "tercinta" itu melompat padanya. Tiba-tiba saja, entah dari mana, muncul pikiran tak diundang: apakah ia juga menulis pesan yang sama untuk Ruby"
Dengan hati-hati, Zarri Bano menaruh kembali jam itu dalam kotaknya, tak siap mengikuti perasaannya sendiri mengenai hubungan suaminya dengan adiknya yang telah meninggal. Siapakah perempuan tercinta Sikander" Mereka berdua" Salah satu di antara mereka" Dia lebih dahulu mengenal Sikander, tapi Ruby telah hidup bersamanya selama empat tahun. Dalam empat tahun, banyak hal bisa terjadi dan telah terjadi. Mereka memiliki seorang anak yang manis sebagai bukti.
Zarri Bano teringat pada permintaan Sikander untuk menyiapkan piyamanya dan membuka koper suaminya itu. Tangan Zarri Bano menyentuh sesuatu yang hitam dan lembut di dasar koper itu. Dia menarik kain sifon hitam dengan terkejut. Itu adalah pakaian hitam yang dia pakai pertama kali saat bertemu Sikander di mela. Mengapa bend
a itu ada di sini" Bagaimana Sikander bisa mendapatkannya" Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkelebat di kepalanya.
Jemarinya mengelus bahan itu. Seraya menutup matanya, Zarri Bano mencoba mengingat hari itu saat di pekan raya-dan pertemuan dengan Sikander. Dia kembali merasakan sepasang mata Sikander menjelajahi tubuhnya hari itu. Mengapa Sikander membawa benda ini" Apa pentingnya baju ini baginya" Zarri Bano tiba-tiba merasa tersentuh oleh pemujaan itu. Sikander pasti memiliki perasaan khusus terhadapku, pikir Zarri Bano. Pasti, kalau tidak, mengapa ia sampai bersusah payah mencari pakaian ini dan menyimpannya"
Ketika mendengar pancuran air di kamar mandi dimatikan, Zarri Bano dengan cepat meletakkan kembali baju itu di dalam koper dan mengeluarkan piyama Sikander. Zarri Bano lalu menggantungkan piyama itu di luar pintu kamar mandi, tak berani masuk.
Ketika Sikander kembali, Zarri Bano telah berganti baju dan naik ke ranjangnya. Sikander tersenyum pada Zarri Bano ketika ia mengeringkan rambutnya dengan sehelai handuk.
"Apakah kau menyukainya"" tanyanya, tahu bahwa Zarri Bano akan memahami apa yang dimaksudnya.
"Ya, bagus sekali. Apakah kau membawakan Ruby hadiah seperti itu dan menulisinya dengan pesan semacam itu pula"" tanyanya sebelum dia bisa tidur. Jawaban yang jujur dari Sikander amat penting baginya.
"Aku banyak memberi Ruby hadiah-sebanyak yang bisa diberikan seorang suami, tapi ini adalah kali pertama aku menuliskan pesan di atasnya." Sikander menatap balik pada Zarri Bano dengan tenang.
Zarri Bano menatap ke bawah, menyembunyikan matanya, merasa tak bahagia dengan jawaban Sikander. Sementara itu, Sikander merasa ia telah terlalu banyak mengungkap perasaannya.
"Kurasa ini saatnya kita menelepon Haris. Ia pasti amat rindu padamu," ujar Sikander, dengan cepat mengubah bahan pembicaraan. "Ia mungkin sedang menunggu telepon dari kita. Dua hari lalu ia berkata, 'Mengapa Bibi menikahi Ayah kalau dia pergi ke luar negeri.'"
Ia mencondongkan tubuh di atas tepi tempat tidur untuk memijit nomor telepon. Zarri Bano mundur. Mata Zarri Bano menatap leher telanjang Sikander yang kancingnya terbuka. Menyela tatapan Zarri Bano, Sikander menatap arah yang ditatap oleh Zarri Bano. Merasa malu, Zarri Bano memalingkan muka, merasa seakan-akan tertangkap basah melakukan sesuatu yang salah.
Dengan segera, panggilan telepon itu terhubung dan ibunya menjawab telepon. Ketika Haris berbicara, Zarri Bano datang mendekat untuk mendengarkan percakapan mereka.
"Ini ada Bibi Zarri Bano, dia ingin bicara denganmu, Haris." Sikander menyodorkan gagang telepon ke atas kepala Zarri Bano dan karenanya melingkari Zarri Bano dengan tangannya.
Ketika bicara pada Haris, Zarri Bano amat sadar bahwa lengan Sikander melingkari tubuhnya. Zarri Bano tidak menatap Sikander, tetapi mendengar napasnya saat Sikander mendengarkan percakapan itu. Bilkis lalu berbicara
dengan Zarri Bano. Ketika Sikander bergerak menjauh untuk memberi ruang pada Zarri Bano, Haris kembali berbicara di telepon, ingin berbicara pada ayahnya. Zarri Bano memberikan gagang telepon pada Sikander, tapi alih-alih menjauh, dia tetap pada posisinya semula.
Entah dari mana datangnya dorongan itu, tapi Zarri Bano ingin meletakkan tangannya pada rambut ikal Sikander yang segar dan basah. Sebelum dia tahu apa yang dilakukannya, tangannya telah merayap ke leher Sikander.
Sepasang mata Sikander menatap tajam mata istrinya dengan terkejut, tapi Zarri Bano menunduk, berpura-pura mendengarkan suara Haris. Jemarinya yang tidak patuh itu terus melanjutkan perjalanan penjelajahannya ke atas hingga mencapai kepala Sikander, dan kemudian dengan nakal mengelus rambut lebat Sikander. Sikander menggerakkan kepalanya untuk memudahkan tangan Zarri Bano.
Sikander kemudian meraih tangan Zarri Bano dan mendekatkannya ke bibirnya, lalu dengan lembut mengecupnya, seraya masih mendengarkan suara Haris. Zarri Bano dengan cepat menarik tangannya menjauh, tersadar kembali- merasa malu. Sepasang mata Sikander yang menggoda menertawakan Zarri Bano ketika ia mengakhiri percakapan dengan anaknya.
Lalu Sikander terdiam. Ba
yangan tawa lenyap dari matanya ketika ia terkejut melihat tatapan gelisah bercampur gairah di mata Zarri Bano. Perempuan itu bahkan tak bisa merasakan apa yang dia rasakan dan lakukan! kata Sikander dalam hati, tersadar dan merasa masygul.
Dengan berat hati, Sikander bangkit dan menaruh kembali gagang telepon. Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Ia tak berani membuat langkah yang salah. Zarri Bano seperti sehelai kembang sutra yang rapuh dalam tangan lelakinya yang ceroboh.
"Kurasa ini waktunya aku tidur," ujar Sikander lembut. "Aku masih merasa tak enak badan karena jet lag. Allah Hafiz, Zarri Bano."
Zarri Bano terduduk tercenung. Tubuhnya panas dingin karena malu. Kedua lengannya bersilang di dadanya sebagai perlindungan. Aku menawarkan diri padanya dan ia menolakku, batin Zarri Bano terpukul.
Di depan matanya yang gelisah, Zarri Bano melihat Sikander naik ke ranjangnya dan berbaring dengan punggung menghadap padanya. "Ia tak menginginkan aku!" teriak batin Zarri Bano. Lalu Zarri Bano pun berbaring dan mematikan lampu, merasa aneh dalam hatinya. Ini pertama kalinya seumur hidup tidur dengan seorang lelaki di kamarnya. Dia menatap belakang kepala Sikander dengan malu hati. Jemarinya telah mengelus rambut Sikander. "Apakah yang telah merasukiku"" tuduhnya pada diri sendiri, masih tak memercayai reaksinya sendiri. "Apakah ia sudah tertidur"" tanyanya dalam hati. Seraya berbalik, Zarri Bano mencoba tidur.
Sikander terbaring di ranjangnya. Ia tak bisa tidur. Didengarnya suara napas Zarri Bano. Kepalanya masih bisa merasakan sentuhan lembut jemari Zarri Bano di rambutnya. Itu adalah gerakan spontan pertama yang dibuat Zarri Bano malam ini dan tanpa dorongan darinya. Hati Sikander sangat senang. Ia telah melihat tatapan terkejut Zarri Bano saat ia berpaling dari gadis itu dan mengucap selamat tidur. Kemudian, ia melihat Zarri Bano melingkarkan tangannya di sekeliling tubuhnya sebagai perlindungan. "Kuharap Zarri memahami tindakanku," batin Sikander. "Aku melakukannya demi dirinya."
Betapa rindunya ia memeluk Zarri Bano dan mencintainya dengan cara yang sepantasnya dilakukan oleh seorang suami! Tapi ini terlalu cepat. Istrinya belum tahu pikirannya sendiri, atau apa yang dirasakannya saat ini. Pelajaran yang didapatnya hari ini adalah bahwa Zarri Bano yang dilihatnya di mela masih hidup dan baik-baik saja. Kini hanya tinggal soal waktu-dan banyak kesabaran.
Dalam kegelapan, sepasang mata Zarri Bano bercahaya. Sikander bertekad akan memberi Zarri Bano waktu yang dibutuhkannya. Yang juga akan diberikannya pada istrinya itu adalah seratus persen kehadirannya, demikian ia memutuskan, sehingga Zarri Bano tak akan mampu memisahkan lagi kehidupannya yang baru darinya. Ia tak akan membiarkan Zarri Bano mencampakkannya lagi dari hidupnya.
Sekitar dua jam kemudian, saat kembali dari kamar mandi, Sikander merasakan dorongan untuk duduk di ranjang Zarri Bano dan menatapnya saat dia tertidur. Lalu, tak tahan, ia mencondongkan tubuh ke depan dan dengan lembut mengecupkan bibirnya ke bibir Zarri Bano. Dalam tidurnya, lengan Zarri Bano menggapai ke atas, nyaris menyentuh Sikander. Sikander dengan cepat beranjak mundur. Ia ingin memeluk Zarri Bano, lalu mengecupi wajahnya, tapi dengan keteguhan yang lahir dari cinta dan pertimbangan matang, ia dengan enggan kembali ke ranjangnya sendiri dan akhirnya jatuh tertidur.
* * * Ketika Sikander bangun esok paginya, Zarri Bano telah berpakaian dan memakai burqa. Dia tengah melakukan wirid, berkonsentrasi dengan tasbihnya.
"Kau terlalu letih. Kau tahu jam berapa sekarang, Sikander" Ini sudah jam sepuluh!" Zarri Bano tertawa ketika melihat Sikander duduk dan menguap.
"Ya, aku tertidur pulas," Sikander berdusta. Ia tak akan mengatakan pada Zarri Bano bahwa ia menghabiskan waktu setidaknya satu setengah jam memandangi istrinya itu saat dia tertidur. "Apa rencanamu hari ini"" tanya Sikander.
"Kami akan menemui Malvi Bilal yang terkenal itu di rumahnya."
"Aku punya saran yang lebih baik. Kini aku di sini, tidakkah akan menyenangkan jika kita berjalan-jalan bersama""
Zarri Bano menunduk menatap tasbih di tang
annya. Lalu sejenak kemudian dia berkata, "Sikander, mungkin kita bisa melakukannya besok. Aku ingin pergi mengikuti pertemuan ini, lagi pula, itulah alasanku berada di sini, di Malaysia-bukan hanya untuk berjalan-jalan!"
"Aku yakin nanti akan ada pertemuan yang lain. Sakina bisa menghadiri pertemuan ini dan menceritakan padamu apa yang terjadi," desak Sikander seraya bangkit dari ranjangnya. Ia tidak menempuh perjalanan sejauh ini hanya untuk berjalan-jalan sendirian.
"Tidak. Aku ingin pergi ke sana. Acara jalan-jalanmu, Sikander, bisa menunggu lain waktu," sahut Zarri Bano dengan dingin seraya kembali menatap butiran tasbih di tangannya.
Sikander sedang memunggungi Zarri Bano. Jika tidak, Zarri akan melihat kilatan di mata Sikander. "Tentu saja acara jalan-jalanku bisa menunggu," ujar Sikander dengan sopan. "Acara pertemuanmu jauh lebih penting. Kau sebaiknya pergi sekarang, kalau tidak nanti kau bakal terlambat bergabung dengan teman-temanmu untuk sarapan." Sikander meninggalkan Zarri Bano yang sedang duduk bersimpuh di atas sajadah dan pergi ke kamar mandi.
* * * Beberapa saat kemudian, ketika Malvi Bilal membawa rombongan itu berkeliling Masjid Nasional di pusat Kota Kuala Lumpur, Zarri Bano tak tahan untuk memikirkan Sikander. Sedang apa ia sekarang" batin Zarri Bano.
Setelah mereka shalat di dalam ruangan masjid yang berhiaskan pilar-pilar bermozaik dan lampu-lampu kristal besar yang tergantung di langit-langit penuh hiasan, mereka duduk di bawah kipas angin di lantai yang beralaskan karpet dan beristirahat. Para lelaki duduk terpisah di bagian lain ruang utama. Sakina menoleh pada Zarri Bano ketika tuan rumah mereka, seorang perempuan Melayu berumur sekitar 55 tahun yang memakai gaun tradisional Melayu yang indah-terdiri dari rok panjang dengan tunik serasi sebatas lutut dan kerudung-pergi ke kelompok pengunjung yang lain.
"Apa yang dilakukan Sikander Sahib siang ini"" tanyanya.
"Aku tak tahu. Katanya, mungkin ia akan berjalan-jalan keliling kota."
"Mengapa kau tidak pergi bersamanya"" nada suara Sakina yang tampak terkejut segera membuat Zarri Bano merasa harus membela diri.
"Karena aku ingin bersama kalian semua dan menghadiri pertemuan di rumah Malvi Bilal." "Ya, aku tahu," sahut Sakina seraya menatap sehelai halaman Al-Quran di tangannya. "Apa yang kau tahu, Ukhti Sakina"" tanya Zarri Bano.
"Bukan apa-apa, Zarri Bano. Hanya saja kau tak memberi kesempatan pada pernikahanmu." Sakina tersenyum pada muridnya itu.
"Jangan lupa, aku menikah karena terpaksa," sahut Zarri Bano lirih.
"Mungkin memang begitu. Tapi apakah kau akan membiarkan awan itu terus menggelayut selamanya" Ada banyak hal dalam hidup ini, Saudariku. Apa yang kita lakukan pagi ini yang lebih penting daripada bepergian dengan suamimu" Kalian jarang punya waktu bersama. Setelah pernikahanmu, kau segera pergi dengan kami ke luar negeri. Aku merasa kau mencoba melarikan diri dari suamimu, Zarri Bano. Tapi ia mengikutimu kemari. Ia juga memiliki komitmen lain: anak, rumah, keluarga, dan bisnisnya. Dan ia memilih kemari menemuimu, tapi alih-alih menghabiskan waktu bersamanya dan mencoba melakukan sesuatu dengan perkawinanmu, kau malah terus bergantung pada kehidupan lamamu."
"Kehidupan lama yang mana, Ukhti"" Zarri Bano bertanya dengan suara lirih. "Kehidupanku lima tahun yang lalu""
"Tidak, kehidupan sebelum kau menikah. Itu sudah menjadi masa lalu. Kau tak bisa bergantung terus pada masa lalu itu. Kau tak bisa menjadi perempuan yang sama lagi, Saudariku, karena kini ada orang lain dalam kehidupanmu. Hidupmu oleh karenanya memiliki bentuk dan cara pandang yang baru. Itu bisa tercapai. Jangan bergulat dengan dirimu sendiri, Ukhti. Kau akan selalu menjadi seorang Perempuan Suci sepertiku, tapi beri kesempatan pula pada dirimu untuk menjadi seorang perempuan normal. Pasrahkan dirimu!"
"Kurasa aku telah melakukannya," bisik Zarri Bano, seraya mengingat naluri tiba-tibanya untuk menyentuh Sikander semalam. Lalu antiklimaks terjadi ketika Sikander berpaling darinya dan naik ke ranjangnya. Kemudian rasa malu itu. Dia tak bisa tidur separuh malam karena pikiran
yang terus menggedor kepalanya: aku menawarkan diri padanya dan ia menolakku.
"Apakah arti kepahitan di dalam nada suaramu, Zarri Bano" Aku bisa merasakannya."
"Karena aku bergulat dengan perasaanku dan kedua identitasku, Ukhti Sakina, dengan apa yang sesungguhnya terjadi dan dengan hantu masa lalu. Di tengah itu semua adalah Sikander. Ia selalu berada di sana, entah aku ingin atau tidak. Pada mulanya ia adalah jodohku, lelaki yang amat ingin kunikahi. Kemudian ia menjadi adik iparku, suami adikku tersayang, Ruby, dan ayah dari kemenakanku tercinta, anak Ruby. Kini ia adalah suamiku.
"Awalnya akulah yang ingin menikahi lelaki ini. Lalu ayahku menolaknya. Lalu aku kehilangan ia untuk adikku- dan kini akhirnya aku memilikinya. Bagaimana mungkin aku mengubah-ubah perasaanku tanpa membuatku menjadi sakit secara emosional karenanya""
"Ya, aku paham, Zarri Bano. Kau telah menjelaskannya dengan baik. Yang kukatakan hanyalah mengapa kau tak mencoba berkompromi" Kau tahu, ketika melihat kalian berdua makan malam kemarin, aku hampir saja merasa iri padamu. Kau memiliki sebuah hubungan istimewa. Hargailah itu! Tapi pagi ini aku merasa seakan-akan tak ada yang terjadi. Bahwa kau masih sesuci saat kau dilahirkan."
Zarri Bano tersipu dan menghindari tatapan mata Sakina. Percakapan itu telah melenceng. "Teman-teman lelaki kita telah ada di sini. Kita pergi sekarang"" saran Zarri Bano, merasa lega karena dia bisa mengubah bahan pembicaraan.
Dari Masjid Nasional, mereka pergi ke Museum Kota untuk melihat pameran artefak dari berbagai negeri Muslim di seluruh dunia, mulai dari Maroko hingga Malaysia. Dikumpulkan secara bersama-sama, artefak-artefak itu menandai berlangsungnya Konferensi dan Festival Muslim Internasional.
Sudah malam ketika Zarri Bano dan rombongannya pulang ke hotel mereka. Dan ketika sampai di kamarnya, ditemukannya kamar itu kosong. Tak ada tanda-tanda kehadiran Sikander, tetapi kopernya masih ada. Zarri Bano turun untuk makan malam dan bertanya-tanya apakah dia akan bertemu Sikander. Namun, suaminya tak kunjung datang.
Sudah jam sembilan malam ketika Zarri Bano kembali ke kamarnya dan bersiap untuk tidur. Dia menyalakan televisi, tapi tak bisa berkonsentrasi. Dia terus-menerus menatap jam dinding. "Di manakah Sikander" Sedang apa ia"" tanyanya kepada diri sendiri.
Tiba-tiba telepon berbunyi, membuatnya terlompat kaget. Dia mengangkat gagang telepon dan mendengar suara resepsionis. "Suami Anda meninggalkan pesan untuk Anda. Tidak perlu menunggunya pulang, ia sedang bersama teman-teman bisnisnya." Zarri Bano mengucapkan terima kasih dan menutup telepon dengan membanting gagangnya. Dia lalu mematikan televisi. Keterlaluan aku telah menunggunya, pikirnya. Setelah menata dirinya di tempat tidur, dia akhirnya tertidur, tak tahu jam berapa Sikander kembali ke kamar mereka.
* * * Ketika terbangun esok paginya, Zarri Bano meraih burqa-nya dan pergi ke kamar mandi. Sikander telah bangun dan berpakaian.
"Apakah kau menerima pesanku semalam"" seru Sikander dari ruang tidur.
"Ya. Apakah rapatmu berjalan lancar"" tanya Zarri Bano saat mendengar Sikander berjalan mengelilingi kamar. Dia merapikan lipatan burqa-nya dan membuka pintu kamar mandi.
"Aku akan pergi-sampai ketemu nanti. Kuharap kau menikmati pertemuanmu hari ini!" seru Sikander dengan riang ketika meninggalkan kamar.
Zarri Bano menyaksikan Sikander pergi, merasa kecewa karena sesuatu alasan. Dia bahkan tak punya kesempatan untuk berbicara atau mengatakan pada Sikander bahwa dia ingin berjalan-jalan dengannya hari ini. Sikander telah pergi, bahkan tanpa merasa perlu sarapan dulu bersamanya. Tampaknya seakan-akan ia ingin menyia-nyiakannya! "Pikirkanlah baik-baik," katanya pada diri sendiri. "Kau telah mengatakan padanya bahwa kau memiliki kehidupanmu sendiri. Ya, kini ia meninggalkanmu untuk itu! Tapi mengapa itu melukaimu""
Zarri Bano berkeliling di dalam kamar, merapikan tempat tidur dan melipat pakaian-pakaian Sikander ke dalam kopernya. Tangannya kembali menyentuh baju sifon hitam itu dan dia bertanya pada diri sendiri, "Mengapa ia membawanya bersamanya ke Malaysia" Ap
akah ia ingin aku memakainya"" Dia mengeluarkan baju itu dan memegangnya.
Seraya memejamkan mata, Zarri Bano membiarkan pikirannya berkelana.
65. "KALIAN BELUM siap, anak-anak" Tapi bharat akan segera tiba di sini!" Fatima mengomeli anak-anaknya, meledakkan rasa tegangnya akibat acara pernikahan Firdaus ketika melihat bahwa mereka masih merias wajah Firdaus. Tampaknya ada banyak lapisan riasan yang masih harus ditempelkan.
Ada seratus satu hal yang masih harus dilakukan sebelum pengantin pria datang dengan segala prosesi acara pernikahan. Namun, putri-putrinya tampaknya mengira bahwa mereka masih punya waktu sehari penuh. Fatima merasa heran pada nada tenang dalam suara Firdaus ketika dia menggodanya, "Ibu, masih ada banyak waktu," seraya tertawa dalam cermin padanya. Padahal dia adalah si pengantin perempuan!
Salma kini menempelkan sebuah untaian tiara emas dan batu rubi mungil di kepala Firdaus. Dengan berseri-seri melihat wajah bersinar putrinya, Fatima membawa ke luar ruangan beberapa gadis muda yang mengintip dan melihat sekilas sang mempelai perempuan berdandan.
Firdaus dengan cepat membaca catatan di tangannya dan setelah meremasnya, dia membuangnya ke tempat sampah. Itu Surat dari Khawar, dikirim melalui Neesa seminggu yang lalu. Dalam Surat itu, Khawar memberi perintah: Firdaus, aku ingin kau datang ke rumahku dalam sebuah dholi. Seraya terkekeh sendiri, Firdaus menulis surat balasan: Tentu saja. Apa pun yang diperintahkan oleh rajaku dan majikanku!
Firdaus secara pribadi tak memiliki keberatan harus mempersiapkan dholi, tandu kayu. Menurutnya, itu adalah salah satu tradisi desa itu yang terbaik. Firdaus lebih suka ditandu oleh empat orang lelaki, seperti di masa lalu, daripada pergi naik mobil milik Chaudharani Shahzada.
Soal itu menambah sebuah masalah bagi Fatima. Dia harus memesan dholi baru yang dirancang untuk upacara itu. "Putriku tak akan diusung dalam tandu lawas dan reyot yang pernah digunakan oleh pengantin lain," dengusnya dengan terhina pada keluarganya. Tidak boleh! Para penduduk desa akan membicarakan dholi ini hingga bertahun-tahun kemudian. Bahan dan hiasannya akan serasi dengan baju pengantin putrinya.
"Mengapa lama sekali merias pengantin perempuan sekarang ini"" canda Fatima pada Kulsoom di halaman rumahnya. Seorang juru rias telah dipanggil secara khusus dari salon kecantikan terbaik di kota. "Aku tidak tahu, di zaman kita dulu hal semacam itu hanya butuh waktu dua menit! Olesan krim di pipi, olesan lipstik di bibir, dan kita pun bisa pergi."
"Waktu kita masih muda, kehidupan ini begitu sederhana, Fatima Jee. Tak seorang pun pernah mendengar tentang ahli kecantikan atau salon kecantikan. Kita juga tak punya uang untuk memanggil juru rias dan membayarnya ribuan rupee untuk merias wajah kita. Saat itu, hal semacam itu bisa menjadi skandal. Tapi, lihatlah, semuanya sudah ditangani sekarang, Fatima Jee. Mari kita periksa tenda untuk pesta pernikahan."
Kulsoom mengajak Fatima ke halaman seraya memegang erat dupatta sifon di kepalanya dan menggoyangkan anting-antingnya yang panjang dan berat di kupingnya. Perhiasan itu baru dihadiahkan oleh Fatima padanya semalam, seperti janji Fatima sejak lama sebagai ucapan terima kasih atas jasa Kulsoom dalam perkawinan Firdaus. Fatima selalu menepati janjinya. Anting-anting itu sedap dipandang dan sangat mahal sehingga Kulsoom tak bisa begitu kurang ajar dengan mengeluh bahwa anting-anting itu terlalu berat untuk kupingnya yang mungil. Dia hanya bisa berharap andaikan dia dilahirkan dengan telinga yang lebih besar. "Dua thola emas habis untuk membuatnya!" pikir Kulsoom, tahu bahwa telinganya akan sakit setelah upacara pernikahan usai.
Dia merasa enggan melepasnya walaupun hanya sedetik. "Rasa sakit ini adalah harga yang harus kubayar," ujarnya keras kepala. Dia memaksa diri memakai anting-anting itu di kupingnya dan memamerkannya kepada para perempuan lain yang mungkin merupakan calon klien atau hendak menggunakan tenaganya dalam mencarikan pasangan yang cocok bagi anak-anak mereka. Lagi pula, jika seorang klien merasa perlu memberinya imbalan semahal itu,
dia bisa menjadikannya sebagai patokan bagi yang lain agar melakukan hal serupa. Maka, dia memutuskan untuk tidak memedulikan kupingnya yang sakit.
Kulsoom mengikuti Fatima dengan bergegas menuju tenda pernikahan yang telah didirikan di lapangan bermain sekolah putri. Chaudharani Shahzada dan Fiaz, yang duduk di kursi roda, terlihat sudah berada di tenda itu. Keduanya diminta dengan hormat untuk menerima para tetamu Fatima, termasuk sang pengantin lelaki dan seluruh anggota rombongannya.
Di pihak yang lain, Baba Siraj Din telah dipilih oleh Chaudharani Kaniz untuk mendapat kehormatan menjadi wali bagi Khawar dan buzurg untuk memimpin upacara pernikahan.
Tanggung jawab untuk mengawasi jalannya upacara nikah juga diberikan kepadanya. Ia menerima kedua peran itu.
Dengan penuh kepuasan, Fatima memeriksa kursi-kursi berlapis kain dan meja-meja yang telah disiapkan dengan indah, diletakkan dengan peralatan makan perak buatan Cina terbaik yang disewa secara khusus dari tempat penyewaan alat-alat pernikahan di kota. Sudah lama dia berjanji pada diri sendiri untuk memberikan kemewahan menjamu tamu-tamu pernikahan putrinya dengan penuh gaya, bukan hanya membiarkan mereka berkerumun mengelilingi meja seraya memegang piring dan mengulurkan tangan di atas bahu tamu lain untuk mengambil makanan secara prasmanan. Para tamunya akan duduk anggun dan menunggu dilayani oleh para pelayan. Lagi pula, tidak setiap hari anak perempuannya menikah. Selain itu, dia tak akan membiarkan Kaniz menjumput semua shan, segala pusat perhatian, dari pernikahan itu. Ini kan pernikahan putrinya!
Fatima memandang diam-diam enam koper baja baru berukuran besar, penuh dengan pakaian dan hadiah perkawinan yang datang dari hawali Kaniz pagi ini untuk Firdaus dan keluarganya. Setelah acara makan malam selesai, koper-koper itu akan dibuka secara seremonial di hadapan mata elang para tamu perempuan dan seluruh hadiah itu akan dijejerkan untuk dilihat semua orang. Fatima tahu hadiah-hadiah itu pasti akan memesona semua orang! Kabar akan menyebar di segenap penjuru desa bahwa jihaz yang disiapkan Chaudharani Kaniz untuk Firdaus
tidak tertandingi. "Mungkin," demikian desas-desus yang disebarkan oleh Kulsoom, "Benazir Bhutto sekalipun tidak menerima jihazseperti ini saat perkawinannya."
"Firdausku memang beruntung!" Fatima menghela napas bahagia. Agar tidak merasa terkalahkan, Fatima telah melengkapi tenda maskawin dengan hadiah-hadiah memesona untuk Firdaus. Lagi pula, dia tidak mengirim putranya ke Dubai hanya untuk sia-sia. Dia juga tidak bekerja di rumah orang lain hanya untuk sia-sia. Putrinya pun tidak menabung penghasilannya sebagai guru hanya untuk sesuatu yang sia-sia, jika pada akhirnya mereka tak bisa mengantarkan maskawin yang layak dengan kedudukan mereka dalam kehidupan dan sesuai dengan profesi putrinya.
Walaupun Kaniz telah mengatakan dengan amat baik hati bahwa dia tak menginginkan apa pun dari keluarga Firdaus dan bahwa mereka telah memiliki apa pun yang mereka perlukan, Fatima tidak mau ambil risiko dengan membiarkan Kaniz nantinya menghina putrinya dengan berkata, "Kau datang kemari dengan tangan hampa!" Harga diri Fatima dipertaruhkan dan tak ada yang membuatnya berkompromi. Karena itu, entah Kaniz menginginkan antaran maskawin di hawali-nya atau tidak, dia tetap akan memberikannya. Tak perlu diragukan soal itu. Apa yang bisa dilakukan oleh Kaniz juga bisa dilakukan oleh Fatima!
* * * Beranda besar berlantai marmer di hawali milik Chaudharani Kaniz kini tampak berhias untaian lampu warna-warni yang berkerlap-kerlip dan dipasang saling silang. Tidak satu meter pun lahan yang tersisa. Jajaran lampu-lampu kuningan yang tinggi dan indah tegak berdiri di jalanan di luarnya, menghiasi jalan masuk para tamu ke dalam hawali. Grup musik khusus pesta pernikahan, yang nanti akan memainkan nada-nada Skotlandia, berbaris di belakang lampu-lampu itu, dengan antusias menanti kedatangan mempelai laki-laki dan bharat untuk segera mulai memainkan musiknya.
Di dalam hawali, tamu-tamu pesta pernikahan itu berseliweran dengan bebas keluar masuk seluruh ruangan. Untuk p
ertama kali dalam hidupnya, Chaudharani Kaniz tidak mengasari siapa pun. Sebaliknya, dia menyenangkan semua orang dengan mengundang seluruh kerabat dari kedua belah pihak, baik darinya maupun dari keluarga almarhum suaminya. Untuk semua itu, tidak sedikit pun dia berhemat. Sebuah kesempatan emas yang tidak boleh dilewatkan, sebagian besar dari tetamu yang hadir dengan bersemangat menerima undangan sang Chaudharani untuk tiba seminggu sebelumnya, agar bisa menikmati dan terlibat dalam keramaian perayaan pesta itu. Lagi pula, itu adalah pesta pernikahan anak laki-laki Kaniz satu-satunya. Tidak akan ada lagi pesta serupa di hawali itu.
Kaniz tampak sibuk mondar-mandir di antara kerumunan orang dan mengatasi stres yang ditimbulkannya dengan kebersahajaan, merasakan semuanya dengan kebahagiaan. Dirinya sendiri yang mengawasi mangkuk-mangkuk penuh oleh makanan yang disiapkan tiga kali setiap harinya. Timnya terdiri atas enam orang koki yang terus-menerus sibuk sepanjang minggu itu, hampir delapan belas jam sehari. Persiapan untuk perayaan itu tampak sudah dilaksanakan dan diawasi dengan saksama oleh Sabra, putrinya, dan Neesa.
Baba Siraj Din duduk kaku di ruang tamu yang luas di sebuah sofa besar yang nyaman, di samping Khawar yang didandani dalam pakaian resmi seorang mempelai laki-laki. Siraj Din dengan tidak sabar mengetuk-ngetukkan tongkat gadingnya di atas karpet sutra sambil menunggu upacara sehrahandi dan pemberian hadiah Khawar dimulai. Mengenakan setelan yang sudah dikanji kaku, sebuah jubah hitam panjang dan sebuah turban khusus di kepalanya, Siraj Din tampak berpenampilan layaknya kepala suku di desa itu.
"Di manakah ibumu, Khawar"" tanya Siraj Din angkuh. "Semua orang sudah ada di sini dan menunggu! Upacaranya harus segera dimulai, Anakku."
"Dia pasti ada di suatu tempat di sini, Kakek, di dalam hawali. "
"Sabra, pergilah dan cari kakakmu! Aku tahu bahwa bharat j araknya hanya dua ruas jalan dari sini, tetapi tetap saja kita harus berada di sana. Para pemain musik sudah berdiri di luar lebih dari satu jam lamanya. Udaranya cukup panas di sini. Kuda untuk mempelai laki-laki mungkin bahkan sudah kelelahan, apalagi dengan semua hiasan di atas tubuhnya."
"Ya, Baba Jee, aku akan pergi dan mencari Kaniz," Sabra meyakinkannya, meninggalkan sekelompok perempuan yang sedang ramai berbincang, yang sedang dilayaninya atas nama sang kakak.
* * * Di lantai atas, di kamar tidurnya, Kaniz mengeluarkan sebuah kotak besar, yang tutupnya dicat merah dan perak, dari lemari pakaiannya. Sambil mengepit kotak itu, dia menuruni tangga menuju lantai satu dan melangkah ke arah kamar Neesa. Kamar itu bertempat di ujung terjauh hawali itu, di koridor jajaran gudang. Kaniz sangat jarang mengunjungi bagian koridor ini. Dia tidak pernah merasa harus melakukannya. Suaranya yang otoritatif bisa mengerjakan semua pekerjaan itu untuknya. Hari ini langkah itu laksana sebuah ziarah singkat.
Dia mengetuk pintu kamar Neesa-sebuah aksi yang tidak pernah terdengar dilakukan oleh Chaudharani Kaniz di dalam rumahnya sendiri. Tindakan itu terlahir dari kepekaannya, kalau-kalau pelayannya itu sedang berganti pakaian.
Kenyataannya, Neesa memang sedang bersiap-siap untuk mengenakan pakaian terbaiknya. Ketika mendengar ketukan di pintu, dia langsung mendongak dan berseru, "Masuk." Begitu pintu terbuka, wajah Neesa memucat, melihat majikannya memasuki kamarnya yang sangat sederhana.
"Apakah Anda menginginkan sesuatu untuk kulakukan, Chaudharani Sahiba"" ucap Neesa terbata sambil memandangi Kaniz dengan ragu-ragu. Sesuatu yang sangat salah pasti sudah terjadi hingga Chaudharani sendiri harus mendatangi kamarnya.
"Ya, memang," jawab sang Chaudharani sambil tersenyum dan dengan seraut tatapan aneh di wajahnya. Neesa membalas tatapannya dengan gugup. Dia tak sanggup memaknai tatapan maupun tindakan majikannya dengan mendatanginya langsung seperti itu.
Kaniz menyodorkan kotak itu ke hadapan pelayannya.
Dengan tersipu karena rasa senang, Neesa memandangi kotak itu, membayangkan bahwa nyonyanya sudah datang untuk menunjukkan padanya sebuah gaun baru untuk mempelai pere
mpuan. Menjadi sebuah kehormatan jika majikannya memikirkannya dan datang sendiri untuk menunjukkan gaun itu padanya.
"Aku ingin memberimu ini," ujar Kaniz lembut sambil memandangi wajah pelayannya itu.
Neesa menatap nanar kotak itu-tak mampu berkata-kata.
"Ini, ambillah." Sang Chaudharani perlahan mendorong kotak itu ke tangan pelayannya yang terangkat kaku. "Bukalah, Neesa. Itu untukmu. Dan itu sama seperti milikku dan milik Sabra."
Dengan jemari bergetar, Neesa membuka tutup kotak itu dengan jari-jari kurusnya yang rusak karena terlalu banyak bekerja. Kemudian dia menatap ke dalam kotak itu dengan terpana, ke arah sehelai gaun sutra berwarna biru yang sangat indah, yang diletakkan beralaskan kertas tisu putih yang halus. Mulutnya ternganga. Matanya tertuju pada bordiran yang menghiasi sekeliling garis leher gaun itu. Sehelai gaun, persis seperti yang dikenakan Chaudharani, adalah sungguh-sungguh sebuah kehormatan yang tak terbayangkan. Sesuatu yang tidak pernah dimimpikannya dalam jutaan tahun.
"Itu adalah dupatta sifon yang juga senada," lanjut Kaniz ketika Neesa menyentuh kerudung sifon yang lembut itu. Dia tampak takut merusak bahan yang begitu halus itu dengan jemari kasarnya, jemari yang menjadi kasar karena terus-menerus menggosok dan membersihkan barang-barang di dapur.
Satu bongkahan besar tertahan di tenggorokan Neesa, nyaris membuatnya tercekik. Orang yang bodoh sekalipun bisa melihat betapa gaun itu sudah disiapkan khusus dan berharga ribuan rupee. Dia terpukau.
"Sekarang, lihatlah apa yang ada di bawah gaun itu," pinta Kaniz dengan suara lembut. Dia masih saja tersenyum ke arah pelayannya, dan dengan kebahagiaan pribadi yang dirasakannya, dia terhanyut dalam sorot mata penuh kekaguman dan terguncang di wajah Neesa, saat pelayan itu meraba di balik onggokan gaun, dan menarik sebuah kotak beludru merah panjang. "Bukalah," pinta Kaniz. Semburat gairah tampak di wajahnya sendiri.
Sekali lagi jemari Neesa bergetar. Dengan gugup, dia membuka kancing kotak yang lembut itu. Dengan mata terbelalak, dia menatap sebuah kalung choker emas, dipadu dengan sepasang anting dan sebuah cincin yang sepadan, tersimpan di atas bantalan beludru hitam tebal.
Neesa menatap nanar nyonyanya. "Apakah ini untukku, Chaudharani Sahiba"" bisiknya. Dia terpukau mengamati kepala Kaniz yang dengan ajaibnya mengangguk dan kemudian menengadah kembali ke arahnya.
Itu semua terlalu berlebihan untuk Neesa yang malang! Dunianya yang kecil dan sederhana tiba-tiba saja kehilangan pembatas dalam lingkaran sosialnya. Chaudharani Sahibanya, yang selalu galak meneriakkan serangkaian perintah padanya dan selalu membelakanginya selama setengah umurnya, kini menawarkan seuntai kalung seharga enam thola emas! Sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi dan meletakkan kotak itu di ranjangnya, yang sudah berisi segunung kain sprai yang harus disetrika, dia mulai menangis terisak ke dalam kerudung Muslimnya. Kedua bahunya yang kurus berguncang-guncang.
Kaniz terpukau memandangi sosok pengurus rumah tangganya yang kurus dan rapuh, dengan rambut beruban. Sebentuk cinta membuncah dalam dadanya. "Perempuan ini sudah mempersembahkan seluruh hidupnya untukku dan anakku, dan aku sudah begitu bersikap penuh kebencian padanya selama bertahun-tahun!" Kaniz berkata pada dirinya sendiri dengan sedih. Kemudian, merasa tak mampu lagi melihat Neesa menangis, dia merengkuh pelayannya itu ke dalam pelukannya dan mendekapnya erat-erat di dadanya.
Dipeluk sedemikian erat oleh Sahibanya, sisa-sisa kekuatan terakhir pengendalian dirinya hancur, dan Neesa pun tersedu seakan dia tidak pernah menangis sebelumnya. Seakan selama bertahun-tahun dalam kesunyian yang mencekam itu, merasakan kurangnya perlakuan manusiawi di bawah tekanan Kaniz, sudah sepadan dengan yang dirasakannya sekarang ini. Bahkan sambil terisak, dia tetap memastikan bahwa dia menggunakan kerudung jeleknya dengan pas di depan wajahnya agar tidak merusak gaun pesta nyonyanya yang baru.
"Neesa, mengapa kau menangis"" tanya Kaniz. "Tidak ada yang perlu ditangisi! Kau saudariku juga, sama seperti Sabra. Hari ini aku ingin me
nunjukkan padamu dan pada seluruh dunia, lewat gaun dan kalung yang tak seberapa ini, betapa aku menyayangimu dan menghargai seluruh waktu yang kau habiskan untuk mengabdi padaku dan pada anakku.
"Kau sudah membesarkan Khawar dengan segenap kasih sayangmu seolah ia anakmu sendiri. Hari ini adalah hari pernikahannya, Sayangku. Aku sudah menghambur-hamburkan banyak hadiah untuk orang-orang asing, pada para pengemis di jalanan, pada semua perempuan dan gadis di desa ini. Jadi, tidak bolehkah aku memberikan semua ini pada seseorang yang mempersembahkan hampir tiga puluh tahun umurnya untuk kami dan yang menjadi beruban karenanya" Ambillah pemberian kecil ini sebagai penghargaanku, ayolah. Aku sudah mulai menganggapmu sebagai seorang adik yang kusayang dan kucintai...."
Suara Kaniz menguap menjadi sebuah keheningan yang aneh. Kini dia melakukan sesuatu yang tidak pernah terbayang akan dilakukan olehnya seumur hidup. Dia mendekapkan kedua tangannya ke tubuh Neesa, pelayan perempuannya. "Neesa, lihat tanganku. Kedua tanganku ini terangkat dalam mafi padamu, bermohon padamu. Maafkan aku atas semua kekejaman yang kulakukan di masa lalu padamu. Aku tahu, aku adalah seorang perempuan yang sulit dijadikan majikan. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Neesa! Rumah ini sudah menjadi rumahmu sejak kau datang ke tempat ini sebagai seorang remaja yatim piatu. Kau bahkan tidak menikah, hanya untuk bisa tetap bersama kami. Hari ini kau akan mendampingiku, berpakaian sepertiku, tidak sebagai pelayanku, tetapi sebagai adik dan ibu kedua bagi Khawar, dan kau akan menerima para tetamu di sampingku. Jadi tolonglah, Neesa, jangan menangis. Aku ingin agar kau mengganti pakaianmu memakai gaun ini dan pakailah kalung ini."
"Tidak Nyonya, aku tidak bisa melakukannya," seru Neesa sambil mundur satu langkah dan tercekat panik, sebelum akhirnya menemukan kembali lidahnya. "Aku tidak bisa mendampingi Anda." Penghormatannya terhadap majikannya tidak memperbolehkannya melintasi batasan sosial. Kaniz adalah ibu dari seorang tuan tanah terkemuka di desa ini, sementara dirinya hanyalah seorang pelayan!
"Neesa, aku memaksamu. Ini sebuah perintah-jika itu yang kau mau!" bujuk Kaniz sambil tersenyum. Dia merasa tersentuh oleh kata-kata Neesa; kini matanya sendiri sudah mulai berair.
"Aku juga akan memaksamu." Suara hangat Sabra membuat mereka berdua terkesiap. Sambil bersandar pada kusen pintu, Sabra tersenyum pada kedua perempuan itu.
"Sabra! Sejak kapan kau ada di situ"" tanya Kaniz. Dia merasa malu dengan situasi di saat dia tertangkap basah oleh adiknya itu.
"Cukup lama, Kakakku tersayang, cukup lama untuk membuatku merasa sangat bangga padamu. Aku sangat mencintaimu, Kaniz." Setelah melangkah mendekat, Sabra lalu merangkul kakaknya. Dari balik bahu Kaniz, dia tersenyum ke arah Neesa yang masih saja menatap mereka berdua dengan mata berlinangan. Neesa mulai mempertanyakan dalam hatinya, sampai kapankah mimpi yang begitu aneh dan luar biasa ini akan berakhir. Kedua kakak beradik majikannya itu kini berada di dalam kamarnya!
"Ayo, Kak Kaniz, Baba Siraj Din sudah mulai tidak sabar. Aku yakin, kini ia dengan tongkatnya sudah membuat lubang bundar di karpetmu, dari caranya terus mengetuk-ngetukkannya. Bharat-nya sudah siap. Semua laki-laki tetua desa dari desa itu telah tiba. Kau harus melihat mereka semua, Kaniz-mereka berdandan habis-habisan dan pakaian mereka yang berkanji seakan ikut membuat sikap mereka kaku juga. Mereka semua berdiri melingkar, berdiri dengan bangga bagaikan barisan burung merak yang sedang unjuk diri di halamanmu. Para istri mereka, tidak ingin kalah penampilan dari suami-suaminya, mengenakan busana berwarna cerah dan gaun-gaun murahan. Ini sangat mengejutkan karena tidak setiap hari dua anggota dari setiap keluarga, dan dari setiap kasta yang berbeda di desa ini, semuanya diundang untuk mengikuti pesta bharat. Kau sudah berhati mulia dengan tidak tega menyisakan siapa pun. Kau memang benar-benar murah hati, Kakakku, menantang kami semua untuk memutarbalikkan peraturan sosial yang ada di komunitas desa ini."
"Ini hanyalah pesta pernikahan putrak
u, Sabra. Aku ingin semua orang menikmatinya. Aku tidak akan mengadakan pesta lainnya lagi," jawab Kaniz singkat. "Aku ingin menjadikan ini sebagai satu-satunya pesta yang akan dibicarakan dan dikenang selama puluhan tahun. Selain itu, sebagai, seorang kepala sekolah, Firdausku akan memasuki rumah ini. Dia patut mendapatkan penerimaan terbaik yang bisa kita lakukan. Sekarang, cepatlah, Neesa, berpakaianlah," seru Kaniz dengan nada bangga dari balik bahunya, saat dia dan adiknya meninggalkan pemondokan Neesa.
"Apakah kau sudah mendapatkan bundelan uang kertas lima rupeean"" tanya Kaniz tiba-tiba, begitu dia mengingat anak-anak desa itu. Bundelan uang kertas itu akan dibagikan di luar jalan, mengiringi prosesi bharat. Kaniz tidak akan merendahkan derajat putranya dengan menaburkan koin-koin atau uang kertas satu rupeean. Tidak, harus lembaran uang kertas lima rupee yang masih baru; dia sudah memerintahkan agar uang-uang itu dibundel dari bank setempat, sejumlah ribuan rupee. Kaniz sendiri tersenyum lebar. Suatu perasaan yang luar biasa bisa menyenangkan orang lain. Lembaran uang-uang kertas itu melayang-layang di atas kepala putranya dan segenap iring-iringan, dan akan dipunguti atau disambar oleh jemari mungil anak-anak yang berebut penuh semangat, memasukkan uang-uang itu ke dalam saku mereka.
"Lembaran uang lima rupee! Kau kini sudah keterlaluan, Kaniz," gerutu Sabra tak sepakat ketika mereka berjalan melintasi halaman.
"Sabra, pahamilah aku." Kaniz menyorotkan tatapan memohon pada adiknya itu. "Pada acara pesta pernikahan putraku saja yang bisa menghindarkanku dari proses penghancuran diri sendiri. Apa gunanya uang jika kau tidak bisa membeli kebahagiaan dengannya"" dia mengakhiri kalimatnya secara retoris.
"Ya, ya, ya, Kakak, maafkan aku, ampuni aku," jawab Sabra dengan terpaksa. Dia tidak ingin membangkitkan penderitaan kakaknya-tidak pada hari khusus ini.
"Mengapakah Younus Raees ada di sini, di pesta pernikahan anakku" Aku tidak mengundang laki-laki itu kemari, Sabra." Tatapan gusar kini kembali menghiasi wajah Kaniz.
"Putramu yang mengundang."
"Aku tidak menginginkannya di hawali-ku!"
"Jangan bodoh, Kaniz. Kini lupakan Younus Raees dan ayo jalan! Baba Siraj sedang menunggumu."
* * * Di dalam kamarnya, Neesa memeluk gaun itu, mendekapnya erat. Matanya mengatup kuat. Kemudian, dengan tangan-tangan gemetaran, dia memegangi satu set kalung emas itu, dan terpukau oleh keindahannya. Dia tidak pernah memiliki, tidak juga sempat memimpikan bisa memiliki sesuatu semahal itu sepanjang hidupnya.
Dengan mengangkat gaun itu keluar dari kotaknya, dia sungguh-sungguh berniat untuk mengenakannya.
Segera saja, dan untuk pertama kalinya dalam hidup Neesa, dia akan membantah perintah majikannya. Dia akan mengenakan gaun itu, tetapi pada suatu kesempatan lain-tidak hari ini. Dia merasa tidak sanggup merendahkan derajat majikannya dengan menjadi sedemikian berani berpakaian seperti Kaniz. Adiknya, Sabra, bisa saja melakukannya, tetapi dia tidak bisa.
66. "DHOLI-NYA SUDAH datang, Sabra Jee!" teriak Neesa penuh semangat seraya melihat ke halaman tengah dari balkon atas hawali. Matanya mengikuti perjalanan bharat yang perlahan-lahan mengambil jalan terjauh, berputar-putar di jalan-jalan desa.
Begitu melangkah ke luar, Neesa melihat salah satu ujung dupatta sifon berbordir yang dikenakannya, yang diberikan Chaudharani Kaniz padanya pagi tadi. Matanya terbelalak ketakutan dan air matanya langsung menggenang. "Alangkah bodohnya aku melongok lewat teralis besi seperti anak kecil dalam busana seperti ini," ratap Neesa. Dia berharap seandainya saja dia tidak mengenakan pakaian itu. Meski Chaudharani Kaniz memaksanya untuk mengenakannya, dia segera kembali ke pondokannya dan berganti pakaian.
Hari yang luar biasa! Neesa tidak begitu yakin apa yang lebih menggairahkan, pesta pernikahan tuan mudanya yang dicintainya, atau dirinya, seorang pelayan separuh baya, berdandan sedemikian luar biasa mengenakan pakaian pesta yang sangat indah, dilengkapi seuntai kalung emas asli yang melingkar di lehernya yang keriput. Sepanjang siang, dia masih juga be
lum mampu memutuskan apakah dia akan merasa tersanjung atau malu dengan semua sorot mata yang melirik ke arahnya dari semua perempuan desa itu, saat dia duduk di meja makan utama di samping Sabra dan Kaniz. Satu hal yang pasti: akan ada begitu banyak desas-desus di masa yang akan datang. Neesa tahu sumber yang akan menyebarluaskan desas-desus itu-Kulsoom si mak comblang. Kulsoom sendiri tampak terganggu dengan pengaturan tempat duduk itu. Dia sudah diam-diam mengharapkan Chaudharani Kaniz akan menghadiahkan kehormatan padanya dengan memberinya tempat di meja utama. Lagi pula, bukankah dia adalah penghubung utama antara kedua keluarga itu" Entah bagaimana, tampaknya, tempatnya itu sudah digantikan semata-mata oleh seorang pelayan perempuan!
Empat orang pemuda secara khusus dipekerjakan untuk memanggul dholi di pesta pernikahan itu, sebuah tandu tradisional untuk pengantin, berisi Firdaus, di atas pundak mereka. Dengan anggun, mereka memimpin iring-iringan tamu dari pondok penerimaan, keluar melintasi jalan-jalan desa, dan kembali menuju hawali Kaniz.
Kaniz, Chaudharani Shahzada, dan kerabat perempuan lainnya berjalan di samping tandu itu, dengan riang gembira mengobrol dan menyanyikan lagu-lagu perkawinan khas daerah itu. Khawar, ditemani Baba Siraj Din, sahabat, dan relasi laki-laki lainnya, berjalan di depan dholi itu.
Di halaman hawali, Neesa dengan gemetaran menyerahkan mangkuk kristal berisi minyak dan sebuah Kitab Suci Al-Quran besar kepada Sabra. Dengan membawa sekeranjang kecil camilan tradisional, Neesa yang diikuti Sabra menempatkan diri sestrategis mungkin di pintu masuk untuk menyambut sang pengantin laki-laki dan pasangan hidupnya. Dia membuka lebar-lebar pintu gerbangnya untuk jalan masuk para tamu.
Sampai di hawali, prosesi itu pun berhenti. Tandu pengantin itu diturunkan dan diletakkan di tanah di depan gerbang. Kaniz melangkah ke depan sambil mengangkat brukat merah hati yang menutupi tandu itu dan melongok ke dalam.
"Bagaimana perjalananmu, Sayang"" tanyanya seraya tersenyum lebar pada menantunya.
Firdaus, yang duduk sendirian di dalam kotak kayu seluas empat kaki itu, dan masih saja tampak tegang dengan kedua tangannya berpegangan erat pada dua sisi tandu, menatap mertuanya dengan gugup.
"Sebaik yang diharapkan, Bibi," ujarnya santun. "Tidak setiap hari orang dihormati sedemikian rupa ditandu di atas pundak empat orang laki-laki."
"Ayo, Putriku, aku akan membantumu keluar. Kau hanya ditandu sepanjang dua ruas jalan; aku dulu ditandu bermil-mil. Aku tahu betul apa yang sedang kau rasakan. Aku terus berpikir bahwa aku akan jatuh dan leherku akan patah saat itu. Tentu saja itu tidak terjadi," Shahzada tertawa kecil. "Selamat datang ke rumah barumu, Sayangku."
Membiarkan Chaudharani Shahzada membantu Firdaus keluar dari dholi, Kaniz kemudian bergabung dengan adiknya dan berdiri di pintu masuk rumahnya untuk mempersilakan mereka semua masuk.
Firdaus meluruskan rok pengantinnya, rok sepanjang enam meter sutra tebal yang dibordir, yang sempat terjepit di bawah kakinya, sebelum dia dibantu keluar dari dholi.
"Ayolah, Sayangku. Ibu mertuamu menunggu di pintu masuk rumah barumu," bisik Shahzada di telinga Firdaus sambil membimbingnya melewati pintu gerbang. Khawar berjalan di sampingnya.
Menggenggam semangkuk porselen kecil minyak di tangannya, Kaniz menanti dengan jantung berdegup kencang, matanya menatap wajah Firdaus saat gadis itu berdiri di ambang pintu kayu walnut berukir yang menuju hawali. Dia membungkuk untuk membubuhkan beberapa tetes minyak ke dua sudut pintu masuk, mengikuti ritual tradisi Hindu lama dalam menyambut pengantin baru masuk ke rumahnya yang baru. Ketika membungkuk, kerudung lebar berbordir yang dipakainya menyentuh anak tangga, Kaniz menangkap sorot cemas di mata Firdaus.
Dunia seakan berhenti berputar bagi kedua perempuan angkuh itu, saat mereka berdua secara simultan mengingat kejadian di kantor sekolah. Firdaus tersentak oleh ingatannya tentang kata-kata penuh emosi yang dilontarkannya: "Aku lebih baik mati daripada memasuki hawali-mu." Kemudian, entah dari mana, datanglah satu pikiran
yang menakutkan: mungkinkah ini akan menjadi pembalasan Kaniz yang termanis jika ternyata dia kemudian mengusirku di ambang pintu itu"
Sementara di kepala Kaniz, kata-kata kasarnya kembali terngiang menusuk telinganya. "Aku tidak akan pernah mengizinkan anak tukang cuci memasuki hawali-ku!"
Dengan takut-takut Firdaus menundukkan matanya di depan Kaniz, merasa sangat malu. Chaudharani Kaniz kini menggenggam izzat-nya, kehormatan dirinya, di kedua tangannya. Dialah yang memegang kendali kekuasaan sekarang. Sekarang semuanya terserah padanya. Sambil menghela napas, Kaniz berdiri tegak, bangkit dengan penuh kemenangan dari kolam berlumpur masa lalunya. Seulas senyum menyeruak di wajahnya, ujung matanya berkerut saat dia mengambil Kitab Suci Al-Quran dari Sabra dan mengelilingkannya dengan takzim di atas kepala menantunya,
sesuai dengan tradisi penyambutan. "Selamat datang di rumah, Firdausku," dia menyambutnya dengan suara yang nyaring dan tegas.
Merasa lega dan penuh syukur, Firdaus melangkah masuk ke rumah barunya, untuk kemudian segera ditarik ke dalam pelukan hangat ibu mertuanya.
"Kakak, kau sudah merusak gaun pengantinnya," protes Sabra kepada Kaniz. Semua orang menyaksikan proses penerimaan Firdaus, termasuk Fatima, yang membuntuti di belakangnya bersama perempuan-perempuan lainnya. Dia sibuk menghapus air mata bahagia yang mengucur deras di pipinya. Tidak ada lagi kekhawatirannya mengenai masa depan putrinya-Kaniz sudah menampakkannya dengan jelas di depan semua orang, bahwa dia akan menjadi seorang mertua yang baik. Dia hanya bisa berharap dan berdoa bahwa putrinya sendiri akan belajar menjadi perempuan yang lembut dan baik hati, seperti Kaniz-dan menerima semua dalam kehidupannya dengan kedewasaan dan kebersahajaan yang sama.
Sambil tersenyum ke arah kamera video yang disorotkan oleh kamerawan yang dipanggil dari Karachi, Kaniz menuntun menantu perempuannya dan putranya memasuki ruang tamu, dan mendudukkan mereka di sebuah sofa kulit putih baru yang khusus diperuntukkan bagi mereka berdua. Sambil diikuti kerabat dan anggota keluarga lainnya memasuki ruangan, Fatima sejenak merasa bimbang untuk melangkah di ambang pintu. Ketika Kaniz mendongak dan melihatnya, Kaniz bangkit, lalu dengan langkah mantap menghampiri Fatima dan merangkulnya dengan hangat. Fatima sesaat terpaku di pelukan musuhnya, dan kemudian dia membalas rangkulan itu.
"Mubarak, Saudariku, selamat datang. Terima kasih telah merelakan putrimu untuk kami. Kami merasa terhormat mendapatkannya. Kau telah membuatku dan putraku sangat bahagia, Adik Fatima."
Merasa sangat tersentuh dengan kemurahhatian Kaniz, Fatima tidak mampu menahan tangisnya di balik saputangan katun merah jambunya yang lebar, saat dia duduk di dekat sahabat dan majikannya. "Lagi pula, sudah menjadi hakku sebagai ibu dari mempelai perempuan untuk menangis terisak," isaknya bahagia pada Chaudharani Shahzada.
Semua perempuan di ruangan ini tidak akan pernah mampu menerka setinggi apa hatiku membumbung ke udara. Mereka pasti akan mengira aku menangis karena sedih, pikir Fatima, saat dirinya duduk di dekat majikannya dan menatap ke sekeliling ruangan dengan perasaan bangga. Semua kini menjadi milik putriku. Jantungnya kembali membumbung tinggi membayangkan masa depan putrinya yang akan menjadi chaudharani berikutnya, dan nyonya di hawali ini, serta tentu saja menguasai berhektar-hektar tanah.
Duduk di samping Khawar, Siraj Din mengamati semuanya dan semua orang, dengan kebijakan filosofinya, dari balik alis tebalnya yang cokelat. Setiap hari terbukti ada sesuatu yang terungkap-selalu ada hal baru yang memukaunya.
"Ya, Khawar, Anakku, pernahkah kau dalam mimpimu sekalipun membayangkan ibumu memeluk musuh seumur hidupnya"" tanya Siraj Din retoris, sambil mengacungkan tongkatnya ke arah Kaniz dan Fatima yang duduk bersisian, keduanya tersenyum hangat dan saling memandang satu sama lain.
"Tidak, tapi, alhamdulillah, berkat Anda dan doa semua orang, Allah Yang Mahakuasa sudah memberkati keluarga ini. Ibuku sekarang seorang perempuan yang berbeda. Dia tidak lagi bersikap memusuhi pada siapa pun, b
ahkan pada mereka yang sudah mempermainkannya."
Firdaus tersipu, menyadari sindiran itu ditujukan padanya.
"Aku sangat senang. Aku akan meninggalkan kalian berduaan. Aku akan pergi dan duduk bersama putriku, Shahzada." Siraj Din bangkit dan dengan bantuan tongkat gadingnya, ia berjalan menghampiri sofa lainnya. Begitu ia mendekat, Fatima segera saja memberikan tempat duduknya pada laki-laki tua itu dan memutuskan pergi dan duduk di dekat suaminya, Fiaz, di halaman luar.
"Ya, aku harus bilang padamu bahwa kau tampak sangat memesona," goda Khawar sambil menoleh ke samping, memandangi pengantinnya. "Aku tidak akan pernah mengenalimu, Ibu Kepala Sekolah, saat kau keluar dari dholi. Sekarang itu adalah pemandangan yang luar biasa! Begitu juga dengan sosok yang melangkah masuk ke rumahku."
"Tolong ingatkan aku soal itu, Khawar. Kau tidak berhasil membenamkanku ke dalam sumur saat kita kanak-kanak, tetapi kau bisa saja membunuhku sekarang dengan sindiran-sindiranmu!" gerutunya. Tawa Khawar yang nyaring segera memenuhi ruangan itu. Firdaus pun salah tingkah dengan memain-mainkan tas tangannya yang berbordir emas dan berhias permata. Dia merasa semua sorot mata perempuan di ruangan itu ditujukan padanya.
"Mereka sungguh-sungguh bahagia, Shahzada," sahut Siraj Din yang mengamati sepasang mempelai itu dari seberang ruangan. "Aku berharap cucuku sendiri Zarri Bano juga bahagia, di mana pun dia berada bersama suaminya saat ini."
"Amin!" suara Shahzada antusias, sebias kecemasan muncul di kedua matanya. "Andai saja mereka memang suami-istri!" ujarnya setengah berbisik pada dirinya sendiri.
"Aba Jan, tadi malam aku bermimpi melihat seorang anak yang rupawan di pangkuan Zarri Bano-tampangnya sangat mirip dengannya. Kalau saja mimpiku itu menjadi kenyataan! Aku sedang berpikir jika kini dia mau menetap, setidaknya di Karachi, tidak ada lagi yang tersisa bagiku di khoti di kota. Fatima juga akan meninggalkan kita, kembali ke Chiragpur dan merawat Fiaz. Karena itu aku penasaran, apakah kau menginginkanku datang dan tinggal di desa ini, di hawali bersamamu" Aku senang sekali di sini, lebih dari tinggal di kota. Jika di sini, aku juga bisa sekaligus menjagamu di hari-hari terakhir hidupmu. Selain itu, Fatima, sahabatku, juga ada di sini dan aku bisa bertemu dengannya setiap hari...."
Shahzada terdiam, dia melihat mata ayah mertuanya yang hijau itu berkilauan air mata. "Aba Jan"" tanyanya cemas.
"Shahzada, menantuku yang paling kusayang. Kau sudah membuatku sangat bahagia! Tidak ada apa pun di dunia ini yang bisa lebih menyenangkanku daripada mendapatimu kembali di hawali. Tempat itu tidak pernah sama lagi rasanya sejak kau pergi meninggalkan desa ini, dan ibu mertuamu, Zulaikha, wafat. Dengan kau di sini, tempat ini akan hidup kembali. Orang-orang akan mendatangi rumahku dan menemanimu. Zarri Bano akan datang dan insya
Allah membawa serta anaknya. Dia juga akan tinggal di hawali. Lagi pula, anaknyalah yang menjadi ahli warisnya dan mewarisi sebagian besar tanah ini, Shahzada sayang.
"Jika ini semua terwujud di hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan, dan tahun-tahun terakhirku, ini akan menjadi karunia Allah yang sesungguhnya. Terima kasih, Shahzada sayangku. Kau menempati tempat seorang anak perempuan yang tidak pernah kumiliki, dalam hatiku. Kau tahu itu, bukan""
"Dengan sangat senang hati, Aba Jan. " Shahzada amat tersentuh, air matanya segera saja berlinangan. Dia mengangkat tangan ayah mertuanya dan dengan penuh hormat menciumnya, lalu menempelkannya ke pipinya.
Begitu masuk lagi ke ruangan, Fatima menyaksikan perbincangan antara Shahzada dan Siraj Din. Dia segera bergerak mendekati Shahzada dan menggenggam tangannya. "Ayolah, Chaudharani Sahiba, Anda tidak boleh menangis, tidak hari ini. Ini adalah hari perayaan. Mari kita melihat kamar tidur Firdaus."
"Ya, Chaudharani Sahiba," tambah Kulsoom bersemangat begitu mendengar kata-kata Fatima dan segera berdiri di dekatnya. "Kata orang, Chaudharani Kaniz sudah menghabiskan ber-lakh-lakh rupee untuk mendekor kamar pengantin."
Sambil menghapus air matanya menggunakan ujung chador, Shahzada meng
genggam tangan Fatima, sahabat sejatinya, dan bangkit berdiri.
Kulsoom otomatis menyentakkan anting-anting panjangnya yang berdentingan di telinganya, dia nyaris menjerit kesakitan karenanya. Dia menuntun keduanya naik ke tangga hawali di lantai dasar, sambil bertanya-tanya dalam hati, kapan Kaniz akan memberinya penghormatan dengan memberikan hadiah atas jasanya. Dia sangat berharap hadiah yang akan diterimanya dari Kaniz nanti adalah sebuah bandul emas. Kedua telinga mungilnya sudah tidak sanggup menerima lebih banyak anting-anting lagi.
Mengangkat tubuh lebarnya dengan kedua kaki kurusnya di atas anak tangga marmer itu, Kulsoom berharap pada Allah agar orang-orang penting ini tidak harus memiliki rumah berlantai banyak. Mereka baru akan tahu akibatnya jika suatu saat, mereka menemukannya mati di tangga rumah mereka. Maka, mereka pun akan terkutuk seumur hidup.
Sambil tersenyum penuh arti melihat wajah Kulsoom yang memucat dan napasnya yang tersengal, Kaniz berdiri di anak tangga teratas, lalu menuntun mereka dengan anggun menyusuri koridor. Dia mendorong sebuah pintu hingga terbuka lebar dan dengan bangga memberi jalan bagi ketiga perempuan di belakangnya untuk masuk. Mereka terpukau oleh ukuran perabotnya dan dekorasi ruangan itu.
Sejenak, Kaniz memiringkan kepalanya ke satu sisi dengan angkuh, sebuah sikap tubuh yang mencuatkan tampang Chaudharani Kaniz lama yang jahat. Ekspresi kagum dan kebersahajaan di wajah Fatima, saat dia melayangkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan itu, menyentuh dan memeriksa semuanya dengan kekaguman, membuat Kaniz merasa semua itu sepadan dengan setiap paisa yang dikeluarkannya.
67. "KHAWAR DAN bharat-nya pasti baru meninggalkan hawali, Sikander Sahib," ujar Zarri Bano kepada suaminya sambil memandangi arlojinya dan menerjemahkannya ke dalam waktu Pakistan.
"Hawali siapa"" tanya Sikander sambil mengulurkan tangannya untuk membantu Zarri keluar dari Gua Batu. Perlahan mereka menuruni jalan turun dari pintu masuk gua di pedesaan Malaysia itu.
Sambil mengangkat burqa-nya karena takut kakinya menginjak ujungnya dan menyebabkannya terjerembap, Zarri Bano berkonsentrasi pada dua ratus anak tangga sempit yang sudah ditinggalkannya, yang dipahat ke bukit, bukit yang berisi gua-gua itu. Dia melihat tungkai-tungkai kakinya dengan gamang saat dua ekor monyet melintas dan berlarian di sekitar kakinya.
"Jangan takut!" Sikander tertawa sambil menggenggam erat tangan Zarri dan bergerak ke sisinya. Monyet itu ada di mana-mana di sepanjang anak tangga. Di malam hari mereka menghilang ke dalam gua-gua, tetapi sepanjang siang, mereka melompat-lompat dan bermain-main di sekitar kaki para turis, khususnya orang Hindu yang datang untuk berziarah ke kuil Hindu, menaungi jejeran patung para dewa mereka di dalam gua besar di Gua Batu.
"Kau ingat Khawar, tuan tanah muda di desa kami"" tanya Zarri pada Sikander. "Hari ini adalah hari pernikahannya. Ia menikahi Firdaus, putri pengurus rumah tangga kami. Kakek dan ibuku pasti berada di pesta pernikahan mereka, sebagai tamu kehormatan."
"Oh, begitu," jawab Sikander sambil membimbingnya ke arah taksi yang menunggu mereka untuk segera pergi ke tujuan berikutnya, hutan Malaysia.
Sambil mengintip ke luar dari jendela mobil, Zarri Bano mengagumi pemandangan yang melenakan dari tumbuhan-tumbuhan tropis, yang menghampar indah menyelimuti lereng pegunungan, yang juga berbaris di sepanjang jalan yang mereka lewati.
"Ngomong-ngomong," tambah Zarri sambil memamerkan lesung pipitnya pada Sikander. Dia selalu memiliki kecenderungan untuk menggoda suaminya. "Khawar adalah salah satu yang melamarku dulu." "Apakah ia masih menjadi salah satu calon pelamar sampai sekarang"" balas Sikander nakal.
Kedua pipi Zarri merona merah menerima sorot matanya, segera saja dia membuat penjelasan. "Oh, tidak, Sikander Sahib, ini tidak seperti yang kau bayangkan. Khawar selalu menaksir Firdaus sejak dulu. Ini adalah ulah ibunya, Chaudharani Kaniz, yang terus mengejar-ngejar rishta-ku untuk alasan angkuh yang sangat nyata."
"Dan tentu saja, istriku yang angkuh ini menolaknya. Aku harus merasa
terhormat karena entah mengapa kau tidak menolakku seperti calon-calon pelamar yang lain," gurau Sikander, kemudian ia kembali serius. "Meski demikian, pada akhirnya kau masih saja menolakku, Zarri Bano-sama seperti yang lainnya," ujarnya lirih.
"Tidak ada yang angkuh tentang itu, Sikander," sahut Zarri Bano, wajahnya masih merona. "Aku selalu menganggap Khawar seperti kakakku sendiri. Aku bermain dengannya waktu kami masih kanak-kanak di desa. Alasan kedua adalah bahwa aku tidak sanggup membayangkan aku melangkahkan kaki ke dalam rumah Chaudharani Kaniz yang nyinyir itu. Aku tidak pernah cocok menjadi seorang chaudharani desa, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ibuku atau Kaniz. Mereka perempuan yang dibesarkan dalam zaman yang berbeda. Mematuhi serangkaian adat istiadat atau tradisi dan tujuan-tujuan hidup yang berbeda. Waktu itu, hatiku tertambat pada kota-kota besar dan kehidupan internasional. Kehidupan desa yang tenang dan damai akan melunakkanku dan karier jurnalistikku."
Zarri Bano berpikir sesaat. "Setelah mengatakan itu semua, baru-baru ini aku menikmati waktu yang kuhabiskan di desa sejak memimpin sebuah madrasah di sana. Aku sudah mendirikan dua sekolah perempuan. Firdaus lebih cocok untuk kehidupan desa daripada aku. Allah tampaknya merencanakan sesuatu yang lain untukku-ayahku yang menjadi alat-Nya. Meskipun tidak pernah membayangkan diriku menjadi seorang ulama Islam atau seorang Perempuan Suci, aku sudah berkeliling dunia seperti yang aku inginkan. Bagaimana denganmu, Sikander" Apakah kau lebih memilih kehidupan kota besar atau pedesaan"" Zarri Bano memberanikan diri untuk bertanya pada suaminya saat taksi mereka berhenti, berharap Sikander akan menoleh ke arahnya. Tetapi ia tidak menoleh lagi.
Mereka turun dari taksi dan meregangkan otot-otot kaki. Lalu mereka mengikuti si pengemudi taksi naik dan menuruni sebuah bukit menuju sebuah perkebunan karet. Sambil melihat berkeliling, mereka dibuat terpana oleh nuansa hijau susu yang indah yang seakan menyelimuti pepohonan itu. Sambil terus mendaki, mereka akhirnya sampai pada sebuah pondok kecil yang didirikan di atas sebuah dataran tinggi di tepi bukit. Di depan sebuah meja kayu kecil, seorang laki-laki Melayu sedang duduk merokok. Begitu melihat mereka mendekat, ia berdiri untuk menyambut mereka dengan sesungging senyum hangat di wajahnya.
"Assalamu 'alaikum!" sapa laki-laki itu yang ternyata penyadap karet.
Ia segera tahu dari jilbab hitam Zarri Bano bahwa mereka Muslim seperti dirinya. Sambil tersenyum lebar, ia membawa mereka ke dekat sebuah pohon karet, dan dengan sebilah pisau khusus, ia menunjukkan bagaimana karet disadap. Zarri Bano dan Sikander mengamatinya dengan kagum saat cairan kental seperti jel yang berwarna Jingga keluar dari pelepah terluar batang karet itu.
Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah berterima kasih dan memberi uang pada si laki-laki tua atas demonstrasinya, Sikander dan Zarri Bano mengikuti sopir taksi yang orang Tamil itu kembali menaiki bukit.
"Hutan ini lama-kelamaan akan menjadi rimba," ujar si sopir, sambil mengacungkan tangannya ke arah hutan nan luas dan tebal di depan mereka, yang terhampar jauh sampai ke cakrawala. "Apakah Anda ingin menjelajahinya sendiri selama satu atau dua jam" Aku akan menunggu Anda di bawah."
"Baiklah," jawab Sikander sambil mengangguk tanda setuju.
"Jangan pergi terlalu jauh agar Anda tidak tersesat," laki-laki itu memperingatkan. "Tetap di tempat yang terang dan ikuti jalurnya."
Setelah berterima kasih pada si pengemudi dan menggenggam erat tangan Zarri Bano, Sikander menuntunnya mendaki jalur dan memasuki wilayah hutan. Segera saja tetumbuhan hijau dan pohon-pohon tua yang tinggi tampak menjulang menggapai langit dan membentuk kanopi raksasa di atas mereka dan di sekeliling mereka. Suasananya terasa magis, sekeliling mereka dipenuhi suara-suara aneh binatang-binatang hutan. Di mana-mana, tampak kupu-kupu dan serangga malam, beberapa di antaranya berukuran besar sehingga mereka nyaris sulit terbang, hanya bertengger di batang-batang pohon.
"Aku ingin berada di tempatmu, Zarri Bano," bisik Sikander lembut.
Zarri Bano menghenti kan langkahnya. "Apa"" tanyanya Pada awalnya dia tidak paham. Sikander menatapnya. Matanya memancarkan sesuatu yang penuh arti. Secercah cahaya menerobos turun dari balik kanopi hijau di atas mereka, membuat Zarri Bano tampak aneh dalam burqa hitamnya.
Pada akhirnya Zarri mengerti, hawa panas segera saja menjalar hingga ke wajahnya, dan seperti biasa, dia segera berusaha melarikan diri. Perlahan dia melangkah melewati tetumbuhan kecil di bawah pohon seraya mengangkat ujung burqa-nya agar tidak menggores tunas pohon dan semak-semak.
"Jangan bersikap dingin padaku sekarang, Zarri Bano, ayolah!" desak Sikander dari arah belakang, sambil mendorong semak-semak kecil yang menghalanginya, dan segera menuju ke samping Zarri lagi. "Kita berbincang-bincang dengan hangat di mobil tadi. Kini aku bisa merasakan kau mengucilkan diri dariku-masuk lagi ke dalam dunia pribadimu. Ayolah, jangan lakukan itu."
"Dengar, Sikander," ujar Zarri Bano putus asa, "aku sedang melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan, kau tahu itu, tetapi aku merasa semuanya begitu sulit. Dalam sebulan terakhir ini, semua orang seolah menggedor-gedor pintuku. Sedikit demi sedikit mereka berhasil menyelinap ke dalam. Mengenai kau, kau tidak hanya menggedornya, tapi bahkan mendobraknya. Sekarang tidak banyak lagi pintu-pintu yang terkunci, Sikander, sebelum kau sampai ke Zarri Bano yang lama." Zarri Bano tiba-tiba merasa cemas kalau dirinya sudah mengungkapkan terlalu banyak.
Sikander tidak segera menjawabnya. Dia malah melayangkan pandangan ke sekelilingnya. Mereka sudah memasuki satu tanah lapang. Zarri Bano menengadah dengan sukacita, memandang ke arah langit biru dari celah-celah ujung pepohonan nan hijau. Keduanya terkagum-kagum melihat warna cemerlang dari burung-burung tropis dan parkit yang berseliweran dari satu batang pohon ke batang lainnya.
"Di sini seperti surga, begitu damai. Seakan-akan hanya kita berdualah manusia di muka bumi ini," ujar Zarri Bano sambil mengelap dahinya yang basah.
"Mengapa tidak kau buka saja burqa-mu"" usul Sikander dengan nada lembut. "Tidak ada siapa pun di sini, Zarri Bano. Tidak ada yang akan melihatmu-kecuali aku. Mari, kubantu kau."
Merasakan kesunyian tempat itu dan tidak akan ada mata laki-laki yang mengintai, Zarri Bano lalu merasa aman untuk membuka jubahnya. Ketika Sikander membantunya menarik burqa itu, rambutnya melorot keluar dari kerudungnya dan jatuh ke bahunya, menjuntai dalam gulungan-gulungan ikal yang tak beraturan. Di bawah sorotan cahaya matahari yang menyeruak dari balik pepohonan, rambutnya tampak menyala dengan warna api yang begitu memesona.
Sikander terkesiap memandang keindahannya. Ia berperang dengan nalurinya yang ingin menyentuhkan jemarinya ke gumpalan ikal indah itu. Kemudian ia sepenuhnya terpaku saat melihat apa yang dikenakan Zarri Bano di balik burqa-nya-baju sifon hitam yang dipakainya saat di mela, baju yang sangat disukainya dan bayangan Zarri memakai baju itu melekat di benaknya selalu. Zarri Bano langsung tahu bahwa pakaian yang dipakainya mengandung sebuah arti khusus bagi Sikander. Dia juga sangat mengingat apa yang terjadi di mela-dan tatapan mata penuh gairah di mata Sikander... tiba-tiba saja dia merasa tersadar, keinginan untuk berlari dari Sikander kembali muncul.
Zarri terus berjalan sampai mencapai satu titik di mana tergeletak satu bonggol pohon besar, akarnya mencuat ke atas menyebar ke segala arah di tanah itu. Sikander melihatnya duduk di salah satu akar-akar itu. Dia tampak memukau dengan latar belakang hutan rimba nan gelap pekat, sesosok anggun yang mengenakan pakaian yang memperindah dan menonjolkan bentuk feminin tubuhnya.
Ia membuntuti Zarri dan berdiri di sampingnya. Tak sanggup mengendalikan dirinya, tangan Sikander terjulur menyentuh rambut Zarri Bano. Ia begitu mengagumi kelembutan helaian-helaian rambut itu yang berayun di sela jemarinya.
Zarri Bano terpaku saat dirasakannya jemari Sikander menyusuri lehernya dari belakang dan menyentuh kulit kepalanya. Dia mengingat dengan perasaan aneh aksi serupa yang dilakukannya pada malam sebelumnya. "Inilah yang aku lakukan
padanya! Bagaimana aku bisa melakukannya"" jeritnya dalam hati. Dia merasa gemetar oleh rasa malu dan senang.
"Kau memiliki rambut yang sangat indah, Zarri Bano. Biarkan rambutmu panjang hingga ke pinggangmu," bisik Sikander seraya sedikit membungkukkan badannya ke dekat kepala Zarri.
"Maksudmu, seperti sebelumnya" Ketika kau pertama kali melihatku dengan pakaian ini lima tahun lalu, Sikander"" suara Zarri Bano terdengar lemah. "Rambutku bisa saja tumbuh, tetapi mengharapkan hal lain untuk kembali seperti dulu adalah tidak mungkin."
"Betulkah"" tanya Sikander seraya menegakkan tubuhnya. "Tetapi aku sedang memandanginya, dan aku berpikir dan berharap bahwa aku sudah menemukan perempuan yang pernah hilang dari hidupku."
"Kalau begitu, aku mohon maaf telah memberimu angan semu, Sikander Sahib. Kau benar-benar sedang mengejar pelangi! Apa yang kau saksikan di depanmu sangat menyesatkanmu. Aku mungkin tampak sama, tetapi lihatlah ke dalam sukmaku, dan kau akan temukan aku bukan perempuan yang sedang kau cari. Aku sudah berubah terlalu banyak, Sikander. Sangat tidak mungkin mewujudkan mimpi-mimpi menjadi sebuah kenyataan."
"Aku tidak sependapat denganmu, Zarri Bano!" tanpa disadari Sikander, jemarinya menarik rambut Zarri dengan agak kasar, memaksanya untuk mendongak ke arahnya lagi. "Mimpi sering sekali bisa diwujudkan, dengan upaya tentunya. Halangan-halangan pribadilah yang mencegah kita mewujudkannya. Dalam hal ini, dirimu sendiri sudah
menjadi halangan terbesar. Dulu ayahmu." Sikander menghentikan kalimatnya tiba-tiba. "Aku tidak pernah bisa memaafkannya atas apa yang dilakukannya padamu dan pada kita."
"Aku sudah memaafkannya sejak lama. Tahukah kau, Sikander, bahwa ayahku cemburu padamu-sangat cemburu, kenyataannya. Ibuku baru-baru ini memberitahuku betapa ia merasa terancam olehmu dan memandangmu sebagai saingannya untuk mendapatkan kasih sayangku."
"Kau tidak perlu mengatakannya padaku. Aku sudah mencurigai hal itu sejak lama. Ia membenciku, Zarri Bano. Apa lagi menurutmu alasannya mencegah pernikahan kita dan memaksamu menjadi seorang Perempuan Suci" Yang tidak kumengerti adalah, apa yang dipikirnya akan kulakukan padamu" Lagi pula, kau masih putrinya dan akan selalu menjadi putrinya selamanya."
"Ia terlalu mencintaiku, Sikander. Ia takut kau lambat laun akan menggantikan tempatnya dalam mendapatkan kasih sayangku-itu adalah ketakutan terbesarnya. Ia juga berpikir bahwa kau memiliki kekuatan untuk menyakitiku secara emosional."
"Ia berhasil membuatmu hanya menjadi miliknya, bukan" Ia memilikimu di rumah yang ada menara gadingnya sehingga tidak ada laki-laki mana pun yang bisa mendekatimu. Aku tidak akan pernah memaafkannya, Zarri Bano, tidak peduli apa pun yang kau katakan. Ia mengubah semua hal dalam hidup kita." Zarri bisa merasakan kemarahan bergetar hebat dalam diri Sikander, lewat sentuhan jemarinya. Jemari Sikander mencengkeram rambutnya dan membuatnya merasa sakit.
"Kau harus ingat Sikander, andai Jafar tidak tewas, ayahku tidak bisa mencegah kita menikah. Ini memang sudah ditakdirkan terjadi. Itu sudah tertulis dalam suratan kita, Sikander. Kau harus memercayainya, itu saja." Dia membujuknya dengan tulus.
"Apa pun yang kau katakan, Zarri Bano, kenyataannya tetap saja, bahwa aku tidak bisa memaafkannya. Sebagai istriku, aku tidak ingin ada kaitan apa pun dengan warisanmu, tanahmu. Semua itu haram bagiku." Mata Sikander menyorot tajam penuh kemarahan ke arah Zarri Bano.
"Semua itu bukan milikku ataupun milikmu, Sikander. Warisan itu milik Haris. Aku juga tidak menyukainya. Kenyataannya aku sudah menjual sebagian dari tanah itu untuk membangun madrasah-madrasah dan membayar biaya operasionalnya." Zarri merasa kesal sekarang.
"Anakku tidak ada kaitannya dengan warisanmu, Zarri Bano!" desis, Sikander. Ia menarik tangannya dari rambut istrinya dan menjauh.
Zarri Bano merasakan sentakan fisik saat Sikander menarik tangannya dari kepalanya. Dia menginginkan tangan suaminya itu kembali menyelusuri rambutnya, menginginkannya tetap memberikan kehangatan fisik dan ikatan mental yang baru saja mereka rasakan.
"Baiklah! Ji ka tidak mengizinkan Harismu mewarisinya, kau tidak dapat menghentikan 'putraku' melakukannya!" Dia mengejutkan Sikander, sebelum menyadari apa yang sedang dikatakannya. "Tanah itu sangat penting bagi keluargaku. Aku harus mempertahankannya sebagai kenangan atas ayahku."
Sebuah keheningan yang ganjil memak di tengah rimba itu.
"Putramu yang mana"" tanya Sikander perlahan.
Zarri Bano bisa merasakan napasnya terganjal di leher, saat rambutnya terjatuh ke wajahnya bak sehelai gorden berat. Dia menundukkan kepalanya semakin dalam, menyembunyikan wajahnya dari Sikander lewat tirai rambutnya dan memeluk kakinya sampai ke dagunya.
"Anak laki-laki yang mungkin nanti kumiliki, Sikander," gumamnya, begitu pelan sehingga Sikander harus membungkuk mendekat ke kepala istrinya untuk bisa mendengar suaranya.
Sikander menegakkan tubuhnya. Wajahnya mengembangkan satu senyum dan matanya bersinar mengalahkan sang surya. Ia melemparkan pandangan ke sekelilingnya, segalanya baru, dan bunga-bunga anggrek keluar dari bonggol-bonggol pohon tempat Zarri Bano duduk. Bunga-bunga itu sedikit di atas kepala Zarri sehingga terlihat bagai mahkota permata. Tubuh Sikander terasa terangkat ringan karena sukacita. Dunia tiba-tiba saja menjadi sebuah tempat yang gilang-gemilang bagi Sikander.
Dengan jantung berdegup kencang, Zarri Bano mendongakkan kepalanya, menanti tanggapan suaminya. Matanya bertabrakan dengan sorot mata lembut Sikander, dan Zarri merasa begitu rapuh di bawah sorot mata yang sedang memandanginya lekat-lekat. Dia sudah tidak terkunci lagi bagi Sikander.
"Jika demikian, aku tidak dapat mencegah putramu, maksudku, anak lelaki kita, untuk mewarisi tanah itu." Bisikan suaranya yang sedikit serak terdengar hangat dan mengandung tawa.
"Aku senang, Sikander Sahib," jawab Zarri Bano malu-malu, merasa bahagia melihat cinta di mata Sikander, suaminya.
Sikander memetik setangkai bunga anggrek terindah dari pohon itu dan menyelipkannya ke rambut Zarri dengan lembut.
"Aku sangat mencintaimu, Zarri Bano," ujarnya lirih.
68. MATA ZARRI Bano tertuju pada seekor kupu-kupu Raja Brook yang terbang melayang dan hinggap di atas seonggok semak kecil di depannya. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya dan juga apa yang dirasakannya. Dia takut bersuara. Takut merasa.
Sambil melihat ke arah kepala Zarri yang tertunduk, Sikander menunggu. Lalu, "Zarri Bano, apakah kau pernah mencintaiku"" tanyanya, memecahkan keheningan memilukan yang menyelimuti mereka. "Aku sudah menelanjangi jiwaku di hadapanmu, tetapi aku tidak tahu apakah aku sempat menangkap hati perempuan yang membiusku lewat sebuah pandangan di mela dahulu. Kau memang sepakat untuk menikah denganku pada akhirnya-tetapi aku tidak tahu atas dasar apa kau menyepakatinya. Katakan padaku! Lihatlah mataku, Zarri Bano!" desak Sikander dengan suara yang bergetar karena luka dan rindu.
Akhirnya, Zarri Bano memalingkan matanya dari kupu-kupu hijau dan biru yang besar itu dan menatap nanar Sikander, membiarkannya melihat isi batinnya yang sedang bergelut dengan kekuatan-kekuatan menyakitkan dalam dirinya.
"Kau bertanya apakah aku pernah mencintaimu, Sikander"" ujarnya dengan suara bergetar. "Aku sudah mati untukmu, Sikander, ribuan kali. Kau memusnahkanku! Di hari aku mengetahui bahwa kau akan menikahi adikku, aku meratap dan memohon pada Allah Yang Mahakuasa untuk membantuku! Untuk menghilangkan dari dalam diriku kau dan rasa sakit yang kau tambatkan. Kau adalah ular berbisa yang sudah memangsa kepolosanku. Sementara aku duduk di atas sajadah memohon pada Allah agar mencekik dan mengubur perempuan yang, meski ditutup rapat oleh jubah pengabdiannya, masih saja mencintaimu dengan sepenuh hati. Masih saja mendambamu! Aku harus membunuh perempuan yang berdarah-darah untukmu itu. Jika tidak, aku akan binasa. Allah Yang Mahakuasa, yang begitu murah hati, mendengar doaku-doa-doa seorang pendosa. Di hari kau menikah, aku bersumpah pada diriku sendiri bahwa Zarri Bano tidak akan pernah mati ataupun menangis lagi untuk laki-laki mana pun. Di saat itulah aku menjadi seorang Perempuan Suci yang sesungguhnya. Allah telah
membasuh apiku untukmu, seolah-olah diriku seutuhnya terbasuh oleh air suci zamzam, air dari Makkah-aku menjadi benar-benar murni."
Dengan terbuka lebarnya semua pintu gerbang jiwanya dan tidak ada lagi yang tersisa untuk disembunyikan, tidak ada lagi tempat untuknya bersembunyi dari Sikander.
"Sebelum Jafar tewas," lanjutnya, "aku benar-benar memujamu. Kau adalah laki-laki yang kudambakan. Laki-laki asing tampan yang kutemui di mela, yang masuk begitu saja ke dalam duniaku, dan dengan satu sorotan tajam matanya, berhasil merampok hatiku. Laki-laki yang merampas kepolosanku, membenamkanku ke dalam lautan rinduku padamu. Bagaikan Sikander, sang Iskandar Agung, Raja Yunani Kuno, itulah namamu, kau menaklukkanku dan aku pun tiada berdaya selain menjadi korban penaklukanmu dan terus mengikutimu hingga ke ujung dunia. Kau mengubahku menjadi seorang perempuan penuh gairah, di luar pemahaman dan kendali diriku.
"Lalu, seperti yang sudah kau ketahui, nasib bersekongkol melawan kita. Keadaan memaksaku untuk menampik dirimu." Suara Zarri Bano melemah berbentuk kepedihan. "Kau pikir aku kejam, tetapi kau tidak akan pernah tahu betapa sulitnya mengorbankan dirimu! Tidak juga akan kau ketahui kepedihan yang menderaku ketika aku memalingkan diriku darimu dan membiarkanmu berlalu dari kehidupanku. Aku menukarmu, cintaku, dan keperempuananku dengan tugas dari orangtuaku. Aku merana dan menangisimu selama berbulan-bulan, Sikander.
"Dengan getir, hari itu di halaman belakang rumahku, kau bersumpah padaku akan membalas dendam. Nah, kau sudah melakukannya ketika kau menikahi Ruby!" Zarri Bano terdiam. Air mata mengucur deras dari sepasang matanya. Dia tidak mampu melupakan apa yang terjadi malam itu. "Mengapa kau menikahi Ruby, Sikander" Apakah itu untuk menghukumku" Karena memang itu yang kurasakan, kau tidak akan menemukan senjata yang lebih baik dari itu. Itu adalah sebuah hantaman yang sangat fatal bagiku. Aku kembali mati untukmu, Sikander. Aku tidak akan pernah melakukannya lagi!" Zarri Bano terisak pilu.
Sambil duduk di sampingnya di bonggol pohon itu, Sikander perlahan menolehkan wajah Zarri ke arahnya menggunakan ujung jarinya.
"Aku tidak pernah bermaksud menghukummu," bisiknya. "Kau harus memercayaiku, Zarri Bano. Allah menjadi saksiku, aku tidak pernah mampu melakukan itu padamu. Kau lihat, itu sama saja untukku. Tidak ada seorang perempuan pun yang mampu menyalakan apiku seperti yang kau lakukan. Dan ketika kau berkata tidak akan menikah denganku, aku merasa sekarat-aku merasa sangat dikhianati. Kupikir kau mencintaiku hingga aku tidak bisa mengerti mengapa kau mampu berpaling dariku. Aku merasa sangat pedih saat itu dan balas dendam sering terlintas dalam benakku. Pernikahan antara aku dan Ruby, entah bagaimana, tidak dilakukan untuk menghukummu. Meskipun itu adalah gagasan ibuku, jika aku harus jujur pada diriku sendiri, di dalam benakku aku hanya ingin berdekatan denganmu. Jika aku tidak bisa mendapatkanmu, setidaknya aku bisa menjadi bagian dari duniamu. Tetapi, Zarri Bano, semua itu menghantam diriku sendiri.
"Ketika kau sungguh-sungguh menjadi seorang Perempuan Suci, aku, sebaliknya, merasa ditinggalkan olehmu dan terbakar di neraka. Aku masih saja mendamba dan menginginkanmu saat aku menikah dengan adikmu. Bisakah kau bayangkan neraka yang kualami, Zarri Bano-menikahi seseorang padahal kau masih berhasrat pada orang lain"" Zarri Bano menatap mata Sikander berganti warna dengan kedalaman perasaannya, betapa kata-katanya sulit untuk diungkapkan.
"Sementara aku benar-benar mencintai istriku, adikmu, aku juga tidak pernah bisa melupakanmu, Zarri Bano. Kau selalu ada di sana. Aku mencoba sekuat tenaga menjadi seorang suami yang baik untuk Ruby, tetapi sering sekali dia seakan tahu bahwa sebagian dari diriku akan selamanya terkunci untukmu. Beberapa kali saat malam tiba, di atas ranjangku, aku merana mengatasi perasaan itu."
Sikander terdiam dan berdiri. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia melemparkan pandangan ke sekelilingnya, pada indahnya hutan rimba. Semuanya tampak begitu hening. Seolah-olah semua binat
ang liar dan burung-burung sudah berhenti bersuara dan kini mendengarkan mereka berdua, turut menyimak kisah mereka.
"Hukumanku, Zarri Bano," lanjutnya, menoleh ke arah Zarri Bano dengan wajah merana, "adalah mencintai dua perempuan-dua kakak beradik. Menyaksikanmu bersama orang Mesir berjanggut di Mina, membuat semuanya tampak jelas bagiku, bahwa masa lalu belum terkubur, seperti yang kau ingin kami percayai. Perasaanku yang meledak-ledak untukmu selalu berkilau dari balik permukaan. Aku tidak mampu menahan diri melihat laki-laki itu berdiri begitu dekat denganmu meskipun kau menganggapnya sebagai seorang abang. Kecemburuanku mendorongku mengeluarkan kebodohan diriku.
"Zarri Bano, aku harus mengetahuinya. Aku masih saja didera pikiran itu: apakah laki-laki itu sempat berarti sesuatu bagimu" Aku masih terbayang kalian berdua, berdiri dan berbincang-bincang sedemikian intim. Ia tidak berhak memandangimu seperti itu, Zarri Bano! Tidak ada seorang laki-laki pun yang berhak-kecuali aku," ia mengakhiri kalimatnya dengan penuh gejolak.
"Kau tidak adil pada kami, Sikander," balas Zarri Bano dengan nada sedih. "Ia sudah menikah sekarang. Ia menikahi Selima begitu ia kembali ke Mesir. Mungkinkah kita bisa mengunjungi mereka suatu saat""
"Mungkin," tukas Sikander. Ia tahu bahwa hal itu adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya. Ia tidak akan pernah bisa menahan diri memikirkan laki-laki mana pun menginginkan Zarri Banonya seperti dirinya.
"Tidak ada laki-laki yang berarti untukku, tidak dia, tidak juga kau, Sikander," jelas Zarri Bano.
"Dan sekarang"" desaknya, setelah hening beberapa saat dan dengan suaranya yang tersengal. Sikander ketakutan mendengar jawaban Zarri.
Mata Zarri Bano mengelana jauh dari Sikander. "Maafkan aku, Sikander. Aku begitu takut! Takut padamu-takut akan apa yang kau bangkitkan dalam diriku. Aku juga takut pada diriku sendiri, pada perempuan yang terkubur di dalam diriku. Jangan memintaku untuk jatuh cinta padamu lagi, Sikander. Aku tidak mampu menanganinya. Aku sudah menderita terlalu berat...," dia mendongak memandang suaminya, "... bahwa aku sungguh-sungguh percaya kalau aku secara emosional sekarang sudah hancur. Aku tidak tahu apakah aku mampu membuat lompatan besar yang kau mintakan padaku itu." Matanya bercahaya bak permata, sekali lagi air matanya menggenang.
Hati Sikander terlonjak mendengar luka hati istrinya dan menginginkan pemahaman. Sambil menggenggam tangan Zarri Bano dan mendekapnya di dadanya, ia berkata, "Pengantinku yang cantik, Perempuan Suciku." Suaranya yang tulus menggapai Zarri Bano. "Kau tidak hancur secara emosional. Tidak ada lagi yang harus ditakutkan, Sayangku. Kau tidak akan menderita bersamaku, kau juga tidak akan mati lagi untukku. Tidak ada seorang pun yang pantas begitu. Dengan keagungan Allah, aku akan selalu mendampingimu, selalu.
"Aku tidak memintamu melakukan lompatan besar, Zarri Bano. Yang kuminta darimu hanyalah agar kau mengizinkanku memasuki hatimu sekali lagi. Beri aku ruang di sana, tolonglah-sekecil apa pun ruang itu, Sayang. Jangan memerangiku atau perasaan-perasaanmu sendiri. Runtuhkan benteng pembatas yang kau ciptakan! Kita selalu memiliki sesuatu yang istimewa-kau tahu itu. Kau bisa duduk di atas sajadah sepanjang hidupmu, tetapi kau akan tahu bahwa di dalam hatimu tidak akan pernah berakhir apa yang terjadi di antara kita. Tidak akan pernah!
"Biarkanlah perempuan penuh gairah itu hidup kembali. Tidak ada yang harus ditakutkan, Zarri Bano. Kita tidak sedang melakukan dosa atau kejahatan. Aku berjanji padamu, kau akan selalu menjadi seorang Perempuan Suci. Kau bisa terus menjalani kehidupanmu sebagaimana yang kau pilih. Kau bisa menjalankan madrasahmu, menghadiri konvensi-konvensi, menyelenggarakan seminar-apa pun yang kau inginkan. Aku tidak akan menghentikanmu atau menjadi musuh bagi Shahzadi Ibadat. Aku tidak akan membuatmu melepaskan identitas keagamaanmu jika itu yang kau takutkan. Aku menghormati dan menerimamu apa adanya. Kenyataannya, aku merasa terhormat mendapatkan seorang perempuan pakeeza sekaligus seorang ulama sebagai seorang istri. Janganlah
kau melihatku sebagai sebuah ancaman bagimu, tetapi pandanglah aku sebagai sahabat.
"Zarri Bano, ada satu hubungan unik antara seorang suami dan istrinya, antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Yang kuminta darimu hanyalah, tolong libatkan aku ke dalam hidupmu, dan biarkan dirimu menemukan kebahagiaan menjadi perempuan dan menjadi ibu."
Matanya menyapu wajah Zarri, mencoba mengukur perasaan, pikiran, dan ekspresinya. "Zarri Bano, jangan biarkan benakmu berkata tidak saat hati dan tubuhmu berkata ya. Tolong jangan palingkan dirimu dari apa yang selalu ada di antara kita. Kau tak bisa melakukannya! Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya! Jangan perangi apa yang kita berdua tidak sanggup lakukan. Dulu kau membiarkan ayahmu mengambil keputusan atas dirimu. Kali ini, kau yang harus memutuskan, Zarri Bano."
Sikander terdiam. Wajahnya memucat begitu ia sampai di titik persimpangan dalam benak dan dalam hidupnya. Hatinya luruh karena ia tahu dengan jelas apa yang harus dilakukannya. Ia tidak memiliki pilihan lain-taruhannya sangat tinggi, tetapi ia ingin melakukannya. Karena ia tidak punya jalan lain. "Kau harus memutuskan," lanjutnya, "apakah kita akan terus melanjutkan pernikahan ini, atau...."
"Atau"" desak Zarri Bano sambil menahan napasnya.
"Atau...." Dia tidak akan pernah tahu betapa riskannya Sikander mengatakan kata-kata ini. "Atau aku melepasmu pergi! Kau mengancam akan keluar dari pernikahan ini setelah satu tahun. Aku membebaskanmu untuk keluar dari pernikahan ini sekarang juga. Kau menikahiku di bawah tekanan, demi Haris. Kau hanya boleh tetap dalam pernikahan ini atas kehendakmu sendiri. Jika menginginkannya, kau bisa kembali sepenuhnya ke dalam kehidupan ibadahmu, jika itu semua lebih berarti bagimu daripada pernikahan kita atau daripada diriku. Karena kau tahu, aku tidak akan bisa mendapatkan jalan lain, Zarri Bano."
Zarri Bano menatap nanar wajah tegang Sikander, tak bisa memercayai apa yang didengarnya. Ia membebaskan dirinya pergi! Sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, dia meletakkan kepalanya di atas kedua lututnya yang tertekuk. Lalu dia menyilangkan tangannya di depannya, menutupi mata dan wajahnya dari Sikander.
Aku membenamkannya! Sikander memarahi dirinya sendiri, sambil menunduk memandangi kepala yang tertunduk itu. Ia lalu memutuskan untuk melangkah menjauh.
Mendengar langkah kaki Sikander menjauh di atas tumbuhan semak di tanah lapang itu, kepala Zarri Bano tersentak bangkit. Gelombang kerinduan melandanya. Dia tidak mampu melakukannya. Dia tidak bisa membiarkannya keluar dari hidupnya untuk kedua kalinya.
"Jangan berani-berani kau menjauh dariku, Sikander!" pekiknya. Kedua tungkai kakinya terlonjak.
"Aku memberimu ruang yang sangat kau butuhkan dan kau inginkan!" Zarri Bano mengatakan itu ke arah Sikander, lewat bahunya, tetapi ia tetap saja meneruskan langkahnya.
Dengan langkah ringan, Zarri Bano sampai ke sisi Sikander.
Zarri menyentuh lengan Sikander, lalu dengan ragu menyelipkan tangannya di antara lengannya. Sambil menatapnya lekat-lekat, Zarri membaca wajah suaminya itu. Tidak ada seulas senyum pun, hanya mimik penerimaan yang lembut terhadapnya. Tatapan hampa itu masih ada di dalam mata Sikander. Zarri Bano tidak tahan lagi.
"Kau menang, Sikander," sahutnya. Dia membiarkan kedua matanya mengatakan semuanya. Sorot mata Zarri Bano itu berbisik padanya, "Aku membutuhkanmu! Aku menginginkanmu! Aku mencintaimu!"
"Tidak, Zarri Bano, kita yang menang. Tidak ada yang kalah," goda Sikander lembut.
Mereka berdiri berdampingan di tepi tanah lapang, memandangi hamparan hijau pucuk pohon saat hutan rimba tiba-tiba bagaikan terjatuh dan terhampar menjadi lembah hijau menggairahkan di bawah mereka. Seolah-olah selimut hijau itu tertutupi permata dari warna-warni cemerlang bebungaan, burung-burung, dan kupu-kupu. Keduanya terdiam terpana, merasakan keagungan dunia ciptaan Allah.
"Apa yang ingin kau lakukan selanjutnya"" tanya Sikander, setelah beberapa detik hening yang penuh makna itu. "Taksi sudah menunggu. Bisakah kita melanjutkan perjalanan kita sesuai rencana, atau mari kita pulang ke hotel"
" "Apa pun yang kau inginkan," jawab Zarri Bano lirih sambil mendongak menatap Sikander dengan segenap isi hati terpancar di kedua bola matanya itu.
"Tidak, Zarri Bano! Kau yang memutuskan. Bola itu ada di lapanganmu, seperti seharusnya," ujarnya pada sang istri, dengan wajah yang begitu takzim.
"Kalau begitu," ujar Zarri Bano, matanya berkilauan oleh kejujuran dan keterbukaan, Zarri Bano akhirnya berdamai dengan dirinya sendiri. "Aku lebih suka kembali ke hotel."
Tidak ada semburat kemenangan yang disembunyikan di mata Sikander yang bercahaya oleh rasa bahagia mendengar jawaban istrinya. Ia memandangi rambut Zarri Bano yang ikal mayang, di mana jemarinya menikmati mengelus-elus dan mencengkeram kelembutannya. "Aku akan mengambil burqa-mu. Kalau tidak, si tukang sadap karet Melayu itu akan bertanya-tanya apa yang sudah terjadi di dalam hutan rimba ini," guraunya.
Zarri Bano tertawa. Suara tawa yang alami dan jernih mengalun di udara di sekitar mereka.
Sikander berpaling ke arah pohon untuk mengambil burqa milik Zarri. "Lagi pula," lanjutnya nakal, "kita tidak ingin mengejutkannya, bukan""
Dalam keheningan yang damai, pasangan itu menyelusuri kembali tapak-tapak mereka melintasi hutan dan kebun karet, lalu menuruni bukit kembali ke taksi mereka yang sudah menunggu.
Dalam perjalanan pulang, Zarri Bano kembali melayangkan pandangannya menikmati panorama yang luar biasa itu, pemandangan yang diberkahi dengan keindahan alami. Dia mendekatkan tubuhnya ke arah Sikander dan meletakkan tangannya di atas tangan laki-laki itu. Jemari Sikander mencengkeram kuat, wajahnya menyeruakkan sebuah senyuman yang hanya dipersembahkan untuk istrinya itu. Zarri Bano membalas senyumannya. Tidak ada lagi yang harus disembunyikan. Tidak ada lagi yang harus ditahan. Ia sudah membuka semua pintu menuju hatinya dan juga memegang kuat setiap kuncinya-kunci pada segalanya.
"Lusa kita akan ke Singapura untuk bulan madu sebagaimana yang kujanjikan padamu lima tahun yang lalu, Zarri Bano," bisik Sikander lembut di telinga Zarri Bano.
Si penyadap karet tua keturunan Melayu itu berdiri di atas bukit, menggoresi kulit batang karet untuk mengeluarkan cairan getah karet demi menyenangkan para turis. Ia mengamati lewat ujung matanya saat dilihatnya taksi itu berlalu, dengan perempuan berjubah hitam di dalamnya.
Istilah Khusus Aba Jan, panggilan takzim kepada ayah; aba berarti ayah, sedangkan jan ditambahkan sebagai penanda ketakziman. Badmash, niat buruk, sering digunakan untuk menggambarkan laki-laki yang mempunyai niat buruk terhadap
perempuan. Baji Jan, kakak perempuan.
Burqa, jilbab panjang yang menutupi seluruh tubuh; ada yang menutupi muka, ada yang tidak. Zarri Bano
menggunakannya tanpa tutup muka. Buzurg, panggilan takzim kepada lelaki yang lebih tua.
Chador, sal yang lebar, terbuat dari pelbagai bahan; yang paling sering dipakai adalah yang terbuat dari bahan linen,
katun, dan wol. Digunakan perempuan untuk menutup kepala hingga ke bahu. Chaie, minuman yang terbuat dari campuran teh dan susu. Chapatti, roti rata-pipih khas India.
Chaprassi, tangan kanan. Seorang pegawai yang menjaga tanah dan kekayaan majikannya. Charail, tukang tenung (istilah yang berkonotasi merendahkan).
Charpoy, tempat tidur yang mudah dibawa-bawa, dapat digunakan di sembarang tempat, misalnya di halaman atau di
atap rumah rata yang terbuat dari kayu. Chaudharani, nyonya tanah (pasangan tuan tanah); sebutan untuk perempuan yang berkedudukan sosial tinggi. Darbar, makam Muslim, dengan bentuk serupa masjid. Dupatta, tutup kepala. Geraloo, urusan-urusan rumah tangga.
Gher merd, bukan muhrim; orang luar yang tidak mempunyai ikatan darah. Gher, orang asing, bukan kerabat, orang luar. Ghunagar, pendosa.
Gushty, pelacur. Istilah yang digunakan untuk penghinaan dan pelecehan.
Halwa puri, chana, makanan terkenal dan istimewa, sering dimakan pada saat sarapan {halwa adalah makanan berasa manis, terbuat dari semolina; puri adalah kue sejenis serabi; chana adalah masakan kari yang terbuat dari kacang polong putih).
Harridan, perempuan tukang tenung; sebutan untuk perempuan bejat. Hawali, r
umah besar di pedesaan; semacam vila besar.
Hijab, pakaian yang dikenakan perempuan Muslim untuk menjaga kesopanan. Hookah, pipa rokok tradisional; sudah jarang dijumpai, dan kini hanya ada di pedesaan. Hudah Hafiz, "semoga Allah melindungi"; hudah bermakna Tuhan. Izzat, kehormatan. Kala Jadoo, sihir jahat.
Kerala ghost, masakan kari khas Pakistan yang terkenal; terbuat dari daging dan bitter curd. Khoti, vila besar. Kismet, ramalan.
lengha, baju pesta yang panjang dan bergelombang (biasanya terbuat dari sutra atau sifon). Majnoon, lelaki penggial; istilah untuk lelaki yang tergila-gila dengan seorang perempuan. Malika, ratu.
Matrpilau, makanan yang terbuat dari nasi dan kacang polong.
Mela, perayaan, sejenis pesta rakyat.
Meria, satuan yang dipakai untuk mengukur tanah.
Munshi, tangan kanan tuan tanah, yang mengelola bisnis dan tanah tuannya.
Nafi, shalat sunnah (jamak: shalat nawafi); biasanya dilakukan sebagai tanda syukur atas kabar gembira yang diterima seseorang.
Nathu pethu, lelaki pada umumnya (dengan nada yang agak merendahkan). Paisa, koin; uang recehan terkecil. Pakeeza, murni.
Paratha, chapatti goreng, dibuat dari mentega. Pathasay, gula berbentuk bulat, biasanya ada di pedesaan. Perandah, sejenis wig; untuk memanjangkan rambut perempuan. Phutley, boneka yang dimainkan dalam pertunjukan drama. Pingra, sangkar burung. Ressmeh, kebiasaan atau ritual.
Rishta, orang yang menggandeng tangan mempelai perempuan dalam acara pernikahan. Sahib, istilah untuk lelaki, terutama dari kalangan sosial yang tinggi. Sath sumundarphar, tujuan lautan.
Segan, persembahan bagi mempelai perempuan/lelaki; sering berupa uang. Shabz tea, teh khas Pakistan, berwarna pink.
Shahzadi Ibadat, perempuan suci, zahidah; perempuan yang mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Tuhan; semacam biarawati. Istilah ini sendiri tidak dikenal di masyarakat yang sebenarnya. Sengaja saya ciptakan sendiri istilah ini untuk menggambarkan upaya si ayah untuk memingit putrinya.
Shalwar kameze, pakaian resmi Pakistan, terdiri dari tunik panjang dan shalwar, dengan celana baggy.
Shan, penghormatan personal, kedudukan sosial, dan kehormatan.
Skoon, damai, tenang. Tabla, drum bulat khas alat musik India/Pakistan.
Takkia, bantal besar, yang biasa digunakan di tempat tidur atau di lantai.
Tandoor, oven besar terbuat dari tanah, biasa digunakan untuk membuat chapatti di pedesaan.
Thola, ukuran gram emas di Pakistan.
Topee, topi. Zemindar, pemilik tanah, tuan tanah.
Buku Sumbangan dari: GY. Trims, Sob.
Epub: clickers http://facebook.com/epub.lover
Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Dendam Jasad Dedemit 2 Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Misteri Kapal Layar Pancawarna 19