Pencarian

Perempuan Suci 9

Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz Bagian 9


Khawar menegang di atas kudanya. Sebuah kesunyian yang menggelisahkan terjadi di antara mereka. Detak jantung Khawar membeku sejenak. Lalu, seraya membuang muka, ia melontarkan serangan terakhirnya.
"Aku tidak terbiasa menerima tawaran basi-dan dari pihak perempuan pula! Kami yang melamar di sini. Kini mengapa kau tak pergi saja dan menawarkan dirimu pada lelaki-lelaki kota yang mungkin akan lebih cocok dengan gaya kotamu yang baru!" Dengan itu, Khawar pergi memacu kudanya.
Firdaus tetap terdiam di tempat itu. Masih gemetar karena nada menghina dalam suara Khawar. Dia merasa direndahkan, seakan-akan bola-bola lumpur telah dilemparkan padanya dari selokan desa itu. Dia telah melamar
Khawar-dan lelaki itu menolaknya dengan hinaan! Apa yang telah menimpanya" Betapa rendah dia telah terpuruk. Pipinya merah padam karena terhina.
Saat pulang ke rumahnya dengan linglung, Firdaus merasa terluka secara mental. "Aku layak mendapatkannya!" ujarnya pada diri sendiri. Dan andai kekejaman menawarkan sebentuk penyelamatan pada harga diri Khawar, Firdaus bisa memahaminya-sepanjang Khawar mau memaafkannya pada akhirnya.
Seraya memegangi kepalanya, dia masuk ke rumah orangtuanya. Pada saat itu, dia telah memaafkan Khawar. Pikiran itu tiba-tiba terlintas di benaknya. "Inilah yang dirasakan dan dialami Chaudharani Kaniz ketika aku mengusirnya." Firdaus merasa penolakan itu adalah sebuah pil pahit yang harus ditelannya. Itu membuat harga dirinya serasa musnah.
Sepanjang sisa hari itu, Firdaus menghindari keluarganya. Dia telah melakukan sebuah tugas berat yang kini disesalinya. Dia masih punya satu tugas lagi dan dia amat tidak menyukai hal itu! Ibunya menuntut agar dia mengunjungi Kaniz dan merendahkan diri untuk meminta maaf.
58. FIRDAUS BELUM melakukan kunjungan mengerikan itu Hingga dua hari kemudian. Dia mengalami mimpi buruk tentang pertemuan itu dan apa yang harus dia kerjakan-memohon maaf d
engan berlutut. Pada hari ketiga, seraya menyisihkan rasa takut dan harga dirinya, Firdaus memutuskan untuk menghadapinya. Dari atap rumahnya, dia terus mengamati hawali Kaniz. Begitu melihat Khawar naik jipnya dan pergi ke luar desa dengan sopirnya, Firdaus memutuskan memberi kehormatan pada Chaudharani Kaniz dan hawali-nya dengan kehadirannya. Selama sepuluh tahun ini, itu akan menjadi yang pertama kalinya dia memasuki tempat itu lagi.
"Aku melakukan hal ini karena dua alasan," ujar Firdaus pada diri sendiri. "Meminta maaf pada Kaniz hanya karena dia lebih tua dan karena itu menjadi kewajibanku. Untuk Khawar, karena jika aku tidak melakukannya, ia tak akan pernah memaafkanku. Lalu tak akan ada lagi peluang berdamai di antara kami, apalagi pernikahan."
Dengan sedih, dia menerima kenyataan bahwa, melalui keangkuhannya yang bodoh, dia telah membuat kapalnya karam. Kini mata Firdaus terbuka pada lubuk hatinya yang menyingkap dengan jernih padanya bahwa dia sungguh-sungguh ingin menikah dengan Khawar-dan dalam hatinya selalu ingin-tetapi penentangan Kaniz membuatnya jual mahal. Kini dia sadar akan apa yang telah hilang darinya. Jika kunci untuk kembali memenangkan Khawar adalah dengan tiarap di kaki ibunya, dengan senang hati dia akan melakukannya. Di atas segalanya, bukankah chaudharani yang angkuh itu pun telah merendahkan diri di kakinya, demi kebahagiaan anaknya"
Komentar Khawar yang menyakitkan terhadapnya masih membekas. Firdaus mulai belajar bahwa keangkuhan adalah sebuah fenomena jahat yang tak akan menghasilkan apa pun, selain jurang di antara orang-orang yang saling mencinta.
Berpakaian hari-hari dan pantas dengan baju bergaya lembut dan rapi, Firdaus menjalin rambutnya dan dijepit di belakang kepalanya. Menyeka wajahnya dari riasan, dia memakai kerudung lebar yang dililitkan rapat di atas kepala dan bahunya, tampak seperti perempuan desa setempat dan bukan seorang kepala sekolah.
Setiap langkah menuju hawali adalah sebuah tindakan yang perlu dilakukan. "Andai saja aku bisa memutar jarum jam dan menelan kata-kataku bahwa 'Aku akan mati sebelum menginjakkan kaki di hawali-mu.'" Kini dia ada di sini, masih hidup. Tidak hanya melangkahi beranda itu, tetapi juga untuk memohon maaf di hadapan perempuan itu. Nasib memang kejam, Firdaus sadar. Nasib dengan riang melemparkan kata-kata dan perbuatan seseorang kembali pada yang bersangkutan. Bukankah Kaniz sendiri memohon-mohon padanya, padahal dia bersumpah tak akan melakukan hal seperti itu.
Fatima secara pribadi mengantarkan anaknya keluar rumah serta meyakinkannya bahwa tindakannya tak akan sia-sia. Dia bertanya pada Firdaus apakah dia ingin ditemani untuk memberinya dukungan moral. Firdaus menolak karena dia menginginkan hal itu sebagai pertemuan pribadi.
Dengan jantung berdetak kencang, Firdaus berdiri di luar gerbang besi besar. Tangannya menekan bel. Tak ada sahutan. Dia harus menghadapi musik itu-bahkan seandainya itu meminta akal waras dan harga dirinya.
* * * Kaniz sedang duduk di lantai berkarpet di ruangan luas di depan adiknya. Sabra sedang melakukan pijatan kepala minyak almond rutin ketika Neesa datang memberi tahu mereka bahwa seorang Nona Firdaus sedang menunggu di ruang tamu untuk menemui Chaudharani Kaniz.
Sebuah kesunyian mengisi ruangan itu. Sabra berhenti meneteskan minyak dari botol pada kulit kepala Kaniz. Kaniz menatap liar pada adiknya, seakan-akan bertanya, "Ada apa"" Kepanikan merajai wajahnya. Tangannya yang menggenggam chador di pangkuannya mulai bergetar.
Sabra berdiri dan berkata pada Neesa, "Bawa Nona Firdaus ke atas sini. Terima kasih."
"Mengapa dia di sini"" Kegelisahan yang tergambar di mata dan suara Kaniz membuat adiknya bergidik. "Aku tak ingin menemuinya, Sabra. Tolong." Gigi Kaniz gemeletuk karena takut. Bahkan setelah empat bulan berobat, didoakan dan kepalanya dipijat dengan minyak almond dan tweez-azimat penyembuh luka yang melingkari leher dan pergelangan kakinya-insiden itu masih membuat Kaniz panik dan histeris.
"Tak apa-apa, Kakak. Aku ada di sini," Sabra menenangkan seraya menepuk bahu Kaniz. "Ia tak akan mengatakan apa pun
yang akan membuatmu gusar, kujamin. Aku yang akan bicara padanya."
"Tidak, Sabra, tolong. Aku tak mau ada pertengkaran di depanku. Jantungku tak tahan-jantungku sudah melompat-lompat seperti mainan yoyo. Mengapa dia datang ke sini"" Kaniz kembali bertanya dan dengan gugup menarik chador-nya serta membalutkannya di sekeliling bahu dan di atas rambut lebatnya yang terbuka dan berminyak.
"Kita akan segera mengetahuinya, Sayang. Sini, biar kubetulkan kerudungmu. Duduk sajalah di sofa. Jangan cemas, aku akan menanganinya," Sabra menenangkan kakaknya.
Kaniz baru saja duduk di sofa, menghadap ke pintu, ketika pintu itu terbuka dan masuklah mula-mula Neesa, lalu diikuti Firdaus.
Sosok berkerudung rapat itu berdiri di muka pintu. Dengan wajah terangkat lurus, dia menyapa mereka, "Salam." Tanpa malu-malu, matanya bergerak menatap kakak beradik itu bergantian.
Melihat mata kakaknya tertunduk takut di hadapan Firdaus, Sabra merasakan rasa sakit mengiris batinnya. Tatapan kakaknya yang angkuh itu tak pernah tunduk di hadapan orang lain, tapi kini dia duduk di sini dengan gugup. Sepasang matanya tertunduk karena perempuan itu! Sabra menatap tamu tak diundang itu dengan penuh kebencian, dan Firdaus tersentak.
"Wa 'alaikumussalam, Nona Firdaus!" Nada suara Sabra yang nyaring dan kasar itu membuat saraf-saraf Kaniz menegang. "Untuk apakah kami berutang kunjungan ini" Apakah kau ingin menghina kakakku di rumahnya sendiri sekarang" Apakah kau belum cukup membuat kerusakan, gadis muda""
Dengan mengabaikan perkataan Sabra, Firdaus menatap tenang pada sosok diam sang chaudharani, merasa terkejut dan jatuh kasihan oleh sosoknya yang gugup. Tangannya mencengkeram pinggiran sofa. Sesuatu menyentuh hati Firdaus.
Lalu hal yang aneh terjadi. Firdaus melupakan harga dirinya. Dia melupakan dirinya. Dia bahkan melupakan Khawar-dan hanya melihat perempuan kesepian yang menderita itu dan mengingat kata-kata Khawar bahwa ibunya mencoba bunuh diri sebagai akibat peristiwa malang yang dialaminya.
Firdaus tidak harus berpura-pura; tidak perlu mencari awalan apa pun-tidak perlu ada basa-basi yang harus dilakukan. Hanya perasaan kasihan dan empati bagi sosok malang di atas sofa yang terlintas dalam hati Firdaus dan dengan sebuah dorongan dia menghambur ke samping Kaniz. Seraya berjongkok di lantai di depan perempuan yang lebih tua itu, dia meletakkan kepalanya di pangkuan Kaniz.
Kaniz membeku. Seraya terjajar ke belakang di atas sofa, dia menghunjamkan tatapan panik kepada adiknya, lalu menatap ke bawah, bingung, pada kepala Firdaus yang berkerudung di pangkuannya dan tangan Firdaus yang menyentuh kaki telanjangnya. Jemari Kaniz yang gemetar mengorek-ngorek ujung tempat duduk, mencengkeram sofa itu dengan lebih kuat.
"Maafkanlah aku. Aku mohon," Firdaus memohon. "Maafkanlah kemudaanku yang tak banyak pikir, Bibi Kaniz. Aku tak tahu apa yang kulakukan atau kukatakan. Aku tahu aku telah melukai Anda parah sekali pada hari yang buruk itu."
"Siasat apakah ini" Permainan ini mungkin akan berpengaruh pada kakakku yang malang yang sedang sakit, tapi tidak padaku, gadis muda," Sabra mengejek. Dia telah menemukan lidahnya lagi.
Seraya mengangkat kepalanya dari pangkuan Kaniz, Firdaus menatap nanar pada Sabra. Kaniz juga menatap adiknya.
Sabra balik memandang mereka berdua-bersikap menantang. Dia tidak akan jatuh pada omong kosong ini. Tampak sekali dia amat merendahkan gadis muda itu. Apakah makhluk licik ini yang dalam sedetik membaringkan diri di kaki kakaknya" Betapa sebuah drama yang luar biasa. Berani-beraninya perempuan ini!
"Aku tidak tahu apa yang Anda maksud. Siasat apakah"" Firdaus bertanya dengan tergagap.
"Tak perlu bermain-main dengan kami, atau berlagak pilon. Kau adalah gadis pendengki, kami tahu itu. Apa yang kau harap bisa kau dapat dengan sandiwara ini" Apakah kau pikir dengan membaringkan dirimu di kaki kakakku kau bisa membuat segalanya bersemi lagi" Apakah hati dan kepalamu telah terbang dari tubuhmu ketika kau menghina kakakku dengan menampiknya" Perempuan yang kau lihat di depanmu ini kini menderita tekanan mental-hasil dari berlutut memohon-moh
on di depanmu! Dan itu saja tidak cukup. Tanpa perasaan kau telah mengusirnya. Tidak hanya sekali, melainkan dua kali!"
"Aku... aku...." Firdaus tertunduk dengan malu hati.
"Kau kehilangan kata-kata" Kau, Kepala Sekolah yang pintar omong"" ledek Sabra pedas.
"Sabra, hentikan." Nada suara Kaniz yang lirih sejenak menghentikan ledakan amarah Sabra. "Bangunlah, Nak," perintah Kaniz lunak. Tangannya dengan lembut membantu Firdaus bangkit.
Sabra menatap kakaknya dengan pandangan penuh tanya. Mengapa Kaniz bertingkah seperti ini"
Firdaus bangkit dan duduk di samping Kaniz. Keseluruhan perilaku Kaniz, kata-katanya, nadanya, dan ekspresi di matanya memberi isyarat pada Firdaus bahwa Kaniz tidak mendendam padanya-setidak-tidaknya tidak pada saat itu. Dengan rendah hati, Firdaus mencium tangan Kaniz di pangkuannya. Kaniz tidak layak diperlakukan dengan buruk. Kaniz kini telah menjelma menjadi sosok yang mulia di mata Firdaus.
"Tak apa-apa, Sayang. Kau kumaafkan." Kaniz berbicara dengan lemah lembut pada Firdaus. "Kita semua melakukan hal-hal konyol di masa muda kita dan sebaiknya kita menyadarinya! Aku juga bukan perkecualian. Kita semua memiliki saat-saat malang dalam batin kita yang membuat kita malu dan mengejar-ngejar kita seumur hidup. Selamat datang di rumahku!"
Mendengar kata-kata kakaknya, mata Sabra membelalak dan bibirnya ternganga. Dia benar-benar tercengang.
"Terima kasih. Anda baik sekali." Firdaus menatap tak pasti kedua kakak beradik itu.
Suasana kini telah berubah. Setelah berhasil mencapai tujuannya, Firdaus dengan bijaksana memutuskan bahwa itu adalah saat yang tepat baginya untuk pergi. "Aku hanya datang untuk meminta maaf pada Anda. Anda sangat pemurah, Chaudharani Kaniz. Anda membuatku dan perbuatanku jadi memalukan. Selamat siang untuk Anda berdua. Hudah Hafiz!"
Dengan langkah gontai dan harga diri yang terjaga, Firdaus berjalan keluar dari ruangan itu. Tangan Kaniz teracung untuk menghentikan Firdaus, tetapi kemudian dia melihat tatapan memperingatkan dari adiknya, dan dia pun menjatuhkan tangannya ke samping tubuhnya.
Di luar gerbang hawali, Firdaus meletakkan tangannya ke dada, merasa jantungnya berdegup kencang seakan-akan dia sedang melakukan lompat tali berjam-jam di dataran desa. Dia telah memanjat sebuah gunung, tetapi anehnya dia tak merasakan kemenangan dalam pencapaiannya. Sebaliknya, dia merasa malu terhadap dirinya sendiri menghadapi kemurahan hati Chaudharani Kaniz. Perempuan itu kini telah menjadi pribadi yang berbeda. Apakah dia yang telah menjadi penyebabnya" Firdaus bergidik. Kini dia bisa membayangkan dengan jelas bagaimana Kaniz mencoba bunuh diri.
* * * Di dalam hawali, kedua kakak beradik itu saling menatap. Sabra marah sekali, tetapi dia berjuang untuk menahan diri. Dengan enggan dia membiarkan dirinya menjadi tenang dan berhasil menahan diri. Sabra tidak tega membuat gelisah kakaknya.
"Kau merasa terganggu dengan sikapku, bukan, Sabra"" ujar Kaniz dengan malu-malu. "Namun, apa yang bisa kulakukan" Dia datang ke rumahku. Dia berlutut. Aku tidak tahan mendengarmu berkata seperti itu, Sabra. Aku harus menghentikanmu. Kau mengerti, bukan"" dalih Kaniz, menginginkan dukungan adiknya, tak tahan merasa terasing dari Sabra.
"Tidak, aku tak paham," ujar Sabra jujur. "Mengapa kau tidak tahan" Dia adalah putri dari perempuan yang kau benci bertahun-tahun. Orang yang telah dengan kasar menghinakanmu dan menjadi penyebab depresi serta sakitmu. Makhluk licik itu hampir saja membunuhmu!"
Seraya mendengarkan omongan adiknya dengan sabar, Kaniz memilih kata-katanya yang berikut dengan amat hati-hati karena tahu Sabra pasti akan merasa terkejut mendengarnya.
"Yang kau katakan itu memang benar, Adikku. Tetapi, alasan utama aku tidak tahan mendengarmu berkata seperti itu adalah karena Firdaus merupakan takdir putraku, Khawar."
Sabra terdiam sepenuhnya. Ketika masih tiada kata-kata yang tercetus dari mulut adiknya, Kaniz merasa terpaksa harus menjelaskan.
"Aku tahu kau terkejut, Sabra. Tetapi tolong dengarkan aku dulu dan simaklah apa yang akan kukatakan. Karena aku tahu dia menggenggam kebahagiaan anakku
di tangannya, maka aku melamarnya. Kau sendiri yang menyarankan aku melakukan hal itu-ingat""
"Tetapi tidak lagi setelah apa yang terjadi," sahut Sabra tajam, kembali bisa bersuara.
"Kita semua membuat kesalahan, Sabraku Sayang. Kesalahanku adalah memendam dendam pada ibunya selama lebih dari dua puluh tahun. Aku amat mencintai putraku. Yang kuinginkan hanyalah melihat senyum di wajahnya dan matanya berbinar-binar. Itu sudah terpendam lama, Sabra. Dan itu karena aku. Aku telah menghalangi kebahagiaannya seperti yang selalu kau katakan padaku. Aku tak peduli soal kehilangan muka. Aku tahu, dalam sumsum tulangku, bahwa hati anakku terjalin dengan perempuan ini. Siapakah aku sehingga tega memisahkan mereka berdua, Sabra" Aku pernah mencoba melakukannya, tetapi aku telah mendapat pelajaran pahit sebagai balasannya. Katakan padaku, ke mana hal itu membawaku" Seperti yang kau peringatkan padaku, aku kehilangan anakku karenanya.
"Kini aku ingin anakku kembali! Aku ingin bertemu dengan Khawar, kini, hari ini-siang ini! Detik ini juga! Sabra, sebuah beban telah terlepas dariku. Kini aku merasa enteng pikiran dan bahagia. Aku senang Firdaus datang ke sini-ingat, dia datang sendiri, aku tidak memanggilnya. Dia memohon maaf kepadaku-aku tidak menuntutnya. Kini kita bisa melamarnya dengan layak. Dia tidak akan menolak kita sekarang. Dia tidak akan berani dan pasti tak akan melakukannya. Dia mencintai anakku! Kau tahu, aku mengenalnya dengan baik!" Kaniz mengakhiri perkataannya dengan penuh kemenangan. Matanya berbinar dengan rasa senang dan kegairahan, menatap adiknya dengan bersemangat.
Sabra benar-benar tercengang, tidak tahu apa yang harus dikatakan olehnya-apakah dia harus berkata kasar, marah-marah, atau malah menertawakan kakaknya. Akhirnya, dia memilih berdiam diri, membayangkan dalam benaknya kakaknya akan kembali mekar berseri oleh kehidupan dan kebahagiaan ketika dia mulai memercayai kata-kata Kaniz.
"Sabra, ada banyak hal yang harus kita lakukan saat ini. Suruh Neesa menjemput mak comblang itu, Kulsoom. Aku harus bergerak cepat! Setiap menit amat berharga! Aku sudah tidak tahan menunggu Firdaus segera tinggal di rumah ini sebagai menantu perempuanku!"
"Kak, kukira kau benar-benar telah hilang akal. Aku tak bisa memahaminya. Kau terlalu cepat berubah bagiku. Aku cemas," ujar Sabra menghela napas dengan seulas senyum dan kehangatan di matanya yang berkilat sebagai jawaban yang diminta oleh Kaniz.
"Aku tahu aku telah mengejutkanmu," Kaniz terkekeh, "tapi ingatlah, aku ini Kaniz yang baru. Lupakan saja Kaniz yang lama. Aku telah membunuhnya pada hari saat aku memutuskan melamar Firdaus. Kini, kau akan duduk di sini seharian atau akan memanggil Neesa"" Dia menggosok-gosokkan kedua tangannya. "Aku ingin segera mengobrol dengan Kulsoom. Desa ini akan melihat sebuah pernikahan yang tak akan terlupakan! Lagi pula, ini adalah perkawinan putra tunggalku-anak kesayanganku. Akan ada baju pengantin untuk Firdaus yang bahkan anak perempuan Habib sekalipun, Ruby, tidak mendapatkannya dari konglomerat Karachi, Sikander. Aku juga ingin halvie, juru masak dendeng, dipanggil kemari segera untuk menyiapkan makanan bagi pesta pertunangan. Aku tak hanya ingin dendeng biasa, tetapi juga dendeng tradisional dengan gula putih pathasay yang dibuat khusus untuk anak-anak. Seluruh desa akan menerima cukup makanan untuk membuat mereka kekenyangan. Ada banyak hal yang harus dilakukan, Sabra Sayang, dan aku amat bersukacita. Aku amat membutuhkan bantuanmu. Kau lihat, kau benar-benar tak bisa meninggalkan kami hingga setelah usai pesta pernikahan," ujar Kaniz dengan bahagia pada adiknya.
Sabra tersenyum penuh cinta pada kakaknya. Seakan-akan masa depan akan penuh bunga bagi Kaniz. Sabra duduk dekat kakaknya dan seraya menyingkap chador dari kepala Kaniz, dia mulai memijat kulit kepalanya yang berminyak itu lagi. Tak akan diperlukan lagi pijatan dengan minyak almond. Pernikahan putranya akan mengembalikan kekuatan batin Kaniz.
Seraya duduk di lantai di depan sofa, Kaniz memiringkan kepalanya ke belakang ke arah adiknya dan memejamkan matanya. Di balik kelo
pak matanya dia masih bisa melihat Firdaus di atas lantai, dengan tangan menggenggam sebagai permohonan. Lalu, dari antah berantah sekilas adegan dirinya sendiri dalam posisi yang sama. Mata Kaniz menantikan rasa sakit yang akan menjelang, tetapi tidak terjadi. Terkekeh-kekeh dalam benaknya, Kaniz membuka matanya. Dua perempuan angkuh yang konyol telah sama-sama menunduk dan menyentuh bumi. Keduanya telah merasakan wajahnya berlumur lumpur dalam bentuk yang setara. Chaudharani Kaniz telah sehat kembali dan sungguh-sungguh bertahan.
59. KULSOOM MENYEBERANGI jalan utama desa dari hawali Kaniz ke sisi dataran yang menuju rumah Fatima. Langkah kakinya ringan dan tergesa-gesa. Dia tak bisa menunggu saat ketika dia menjatuhkan bom pada Fatima dan anak-anaknya yang tak menduga. Melihat raut wajah mereka saja sudah merupakan imbalan yang cukup.
Salma mendengar ketukan tak sabar di pintu rumahnya dan bergegas membukanya. Kulsoom berdiri di luar, bersedekap dan menatap gelang kacanya. Dia Baru saja mematahkan tiga di antaranya karena mengetuk pintu keras-keras. Salma membuka pintu lebar-lebar dan menyuruhnya masuk. "Kabarmu baik-baik saja, Bibi"" tanyanya, merasa penasaran kabar apakah yang membuat Kulsoom begitu bersemangat.
"Mana ibumu dan kakakmu Firdaus"" tanya Kulsoom, membiarkan dirinya dibawa ke ruang tamu seraya menghitung berapa banyak gelang yang masih dia miliki di lengan kurusnya.
"Silakan duduk. Aku akan memanggil mereka. Mereka sedang berjemur di atap rumah."
"Tunggu, Salma, tak perlu memanggil mereka. Biar aku saja yang ke atas," Kulsoom dengan berani menawarkan diri.
"Kau yakin, Bibi"" goda Salma. Dia tersenyum. Dia tahu Kulsoom tidak suka menaiki tangga.
Ketika Kulsoom sampai di balkon atap, napasnya terengah-engah. Namun, rasa sukacita yang berkecamuk membuat iganya seakan-akan terbelah.
Melihat Kulsoom muncul, dengan lengan kurusnya memegang erat dadanya yang sesak dan pipinya yang gelap terbakar terik matahari memerah karena kepanasan, Fatima tertawa nyaring.
"Selamat datang, Kulsoom Jee, ada apa kau hingga naik ke sini" Kau tak perlu naik tangga. Biar kami saja yang turun."
"Tak apa-apa, Fatima Jee," sahut Kulsoom bermurah hati dengan suara parau dan masih mencoba menarik napas. "Aku tak terbiasa dengan kerja fisik seperti memanjat tangga sekaligus," jelasnya.
Firdaus dengan cepat mengambil bukunya dari kursi dan menyodorkan kursi itu untuk Kulsoom. Diam-diam merasa senang, Salma lalu turun kembali. Seraya menatap wajah-wajah mereka, Kulsoom tersenyum. Matanya yang mungil berkilat-kilat di tengah kulit keriputnya.
"Aku punya kabar bagus untuk kalian berdua," ujarnya, masih terengah-engah kehabisan napas.
"Apakah itu, Kulsoom Jee" Aku tahu dari wajahmu yang merona bahwa kau punya kabar penting buat kami," goda Fatima yang merasa senang seraya menengok pada putrinya.
"Fatima Jee, rasanya seakan-akan dadaku ini hendak meledak. Jantungku yang tua ini tak pernah mengalami begitu banyak sukacita sejak pagi ini. Aku yakin aku akan mati karena serangan jantung, mungkin di sini, di atap ini."
"Tuhan melarang sesuatu yang buruk terjadi padamu, Kakak Kulsoom. Apa yang bisa kami semua lakukan tanpa dirimu"" Fatima berkata dengan ramah. "Katakan pada kami, jangan biarkan kami tegang."
Kulsoom menguatkan dirinya dan berdiri tegak. Dia ingin menimbulkan kesan yang tepat. Dia tidak mau mengorbankan jantungnya dan menaiki tangga hanya untuk sesuatu yang nihil. Dia juga tak ingin menyia-nyiakan peluang emas yang telah mengubah peruntungannya. Lagi pula, Chaudharani Kaniz telah memberinya status yang tinggi dalam kariernya sebagai seorang mak comblang yang ulung dengan memenuhi impian seumur hidup Fatima.
"Fatima, kau seorang perempuan yang amat beruntung," ujarnya sebagai pendahuluan seraya mempermainkan anting-anting di kuping kanannya yang mungil. "Bintangmu telah memberi pertanda baik untukmu."
Percakapan itu menjadi tak jelas arahnya dan Fatima mulai kesal pada Kulsoom, tetapi dia berhasil menyembunyikannya. Dia tahu betul perangai mak comblang itu dengan segala cacat dan kekurangannya, dan karena itu dia bisa memaklumi c
ara khas Kulsoom dalam menyampaikan kabar. Dengan sabar, Fatima membiarkan Kulsoom berbicara berbelit-belit semaunya.
"Aku tahu, Kulsoom Jee," sahut Fatima dengan nada suara wajar seraya menjaga agar wajahnya tetap senang, berpura-pura tak terlalu tertarik ketika Kulsoom menyenang-nyenangkan diri.
Bibir Firdaus bergerak-gerak. Baginya, sosok mak comblang tua itu sangat aneh, tetapi menyenangkan. Perempuan tua itu tak pernah berubah. Bagaimana lagi dia bisa mencari nafkah" Tentu saja dia melakukannya dengan memanfaatkan keinginan dan ketertarikan orang, dengan pintar menarik dawai yang benar di saat yang tepat, di tempat yang tepat, dan dengan orang yang tepat pula, seperti yang diketahui dengan baik oleh Firdaus.
Dengan kerudung yang terletak di atas dadanya dan liontin berhiaskan kalimat Allah diukir di atasnya menjuntai di chador-nya, perempuan tua itu berkata dengan penuh isyarat, "Aku baru saja datang dari hawali. "
Dia kini mendapatkan perhatian mereka berdua. Firdaus mengejang, menjatuhkan pandangannya ke buku di pangkuannya. Tatapan Fatima terkunci di bibir Kulsoom. Detik demi detik berlalu dan Fatima takut semua orang bisa mendengar detak jantungnya. Lalu, seraya menatap mereka, merasa pasti kini dia mendapatkan perhatian mereka semua, Kulsoom melanjutkan.
"Chaudharani Kaniz melamar Firdaus untuk anaknya, Khawar. Jika kau menyetujui lamaran ini, dia akan datang untuk mempersiapkan upacara pertunangan. Bagaimanakah"" Kulsoom menyelesaikan perkataannya dengan tawa riang seraya menatap wajah mereka dengan penuh minat.
Keheningan menyambut pengumuman dramatis Kulsoom. Suara yang bisa didengar hanyalah bunyi mesin penggiling gandum dan suara air tumpah ke ladang tebu dari pipa sumur desa, serta suara deru mesin penggiling makanan ternak. Ibu dan anak itu beradu pandang. Yang tak pernah terjadi itu kini telah terjadi. Langit telah bertemu dengan bumi. Chaudharani yang mustahil itu telah secara resmi melamar putrinya, anak si tukang cuci itu.
Dengan helaan napas kepuasan tersungging di bibirnya, Fatima menyandarkan punggungnya pada bantal panjang yang tebal. Tahun-tahun penghinaan dan pelecehan oleh perempuan itu akan segera sirna. Apakah mereka menerima lamaran itu atau tidak, chaudharani itu telah melamar sendiri Firdaus. Itu sudah dilakukan, terlepas dari pernyataannya
yang berapi-api bahwa dia lebih baik mati daripada melakukannya. Hidup ini aneh, kerap membuat orang-orang menelan kata-kata mereka sendiri dan menghinakan diri mereka, renung Fatima.
Firdaus sendiri merasa malu dan tidak enak hati. Bagaimana mungkin Kaniz melamar Firdaus lagi setelah apa yang dia lakukan" Juga ada persoalan tentang Khawar. Apakah Kaniz telah berembuk dengan anaknya" Atau itu hanya keputusannya sendiri" Walaupun bersyukur dan menjadi rendah hati oleh lamaran Kaniz, harga dirinya tak akan membiarkan Firdaus mengabulkannya hingga dia tahu perasaan Khawar padanya. Terakhir dia berjumpa dengan Khawar, lelaki itu memperlakukannya seperti kotoran. Aku tidak akan menyerahkan diri padanya, Firdaus memutuskan. Aku juga punya harga diri. Aku tak akan mengawininya hanya untuk menyenangkan kedua ibu mereka. Khawar harus melamarnya secara pribadi.
Fatimalah yang pertama memecahkan keheningan. "Terima kasih, Kakak Kulsoom, karena telah melakukan perjodohan yang baik. Bagiku, ini sulit dipercaya. Bagaimana ini bisa terjadi" Kau tahu apa pendapatnya dahulu soal ini. Di sisi lain, kurasa dia telah mengalami perubahan sikap akhir-akhir ini." Fatima melepaskan tatapan penuh arti pada putrinya, menyebabkan Firdaus merona. Ibunya tak akan pernah mengizinkannya melupakan tindakan bodohnya membiarkan Kaniz memohon-mohon padanya dengan berlutut.
"Kau benar, Fatima Jee, ini sangat tidak biasa. Aku tak bisa percaya ketika Neesa datang untuk memanggilku ke hawali. Ini sangat mengejutkan. Kau tahu, aku sudah tak bertegur sapa dengannya selama dua tahun, terutama sejak Khawar minggat dari rumah." Kulsoom berhenti, mengingat keheranannya pada perubahan sikap dan penampilan Kaniz. "Kini seorang perempuan yang berbeda," ujarnya pada mereka. "Kau tahu, tangannya sungg
uh-sungguh gemetar saat dia mengangkat secangkir teh, Fatima Jee! Kau belum menjumpainya baru-baru ini, bukan" Dia selalu tampil sebagai seorang perempuan cantik, tapi kini dia tampak kurus dan cekung. Sikapnya-aku tak bisa menggambarkannya." Kulsoom berpikir sejenak. "Untuk pertama kali seumur hidupnya, dia sungguh menghargaiku sebagai manusia dan bukan hanya sekadar pelayan yang melayani perintahnya. Tatapannya terasa hangat. Dia tak banyak bicara, tapi apa pun yang dia utarakan tidak mirip dengan sosok Kaniz yang lama, yang banyak menuntut. Dia sungguh menatap langsung mataku sepanjang waktu aku di sana."
Kulsoom tertawa lembut. "Adiknya, Sabra, yang tinggal bersamanya untuk waktu lama, memperingatkanku agar aku bertingkah lembut dan tidak mengatakan apa pun yang bisa membuatnya gusar. Andai saja! Aku tak pernah membuat orang gusar. Pekerjaanku adalah menyenangkan orang, bukan membuat mereka gusar. Bagaimana lagi bisnisku akan berjalan""
Dia tampak berseri-seri. "Dulu dia kerap membuatku tersinggung. Baginya, aku hanyalah seorang mak comblang, salah satu orang rendahan yang memainkan peranan kecil dalam hidupnya. Kini tahukah kau apa yang dia katakan, Fatima Jee" Dia memanggilku 'Kakak Kulsoom'! Sudah kukatakan padamu, kini dia telah berubah. Tahukah kau apa yang membuatnya berubah, Fatima Jee""
"Aku sama sekali tak tahu," sahut Fatima mengelak.
"Jadi, apa yang akan kau lakukan, Fatima Jee" Apa yang harus kukatakan pada Chaudharani Kaniz""
"Aku tak tahu. Kami jelas sangat tersanjung dan merasa terhormat. Kurasa itu bergantung pada kedua orang yang akan menikah. Kau tahu pandanganku soal ini. Aku selalu menginginkan Khawar untuk Firdaus. Ia adalah orang yang menarik. Tapi aku khawatir, Kulsoom, mengenai ketegangan yang terjadi antara kedua keluarga kami di masa lalu. Aku sungguh tak tahu harus bagaimana. Tanyalah sendiri putriku! Dia orang yang angkuh dan keras kepala. Dia pernah berikrar tak akan pernah menikah dengan anggota keluarga itu dan memilih tetap menjadi perawan tua daripada memasuki rumah itu. Benarkah begitu, Firdaus""
Suara Fatima tertuju pada putrinya dengan amarah. Firdaus yang sedari tadi mendengarkan apa yang sedang dibicarakan, hanya menatap kedua perempuan itu bergantian.
"Memang benar yang dikatakan ibuku, Bibi Jee," kata Firdaus akhirnya. "Tapi segala sesuatu berubah-kita semua berubah. Aku akan menerima lamaran Chaudharani Kaniz dengan senang hati dan aku sangat bahagia dan terhormat menerimanya, tetapi dengan satu syarat...."
"Apa"" Fatima terlompat bangkit dari kursinya, tidak percaya pada pendengarannya. "Apakah kau sudah gila, Nak"" Dia tidak peduli apakah Kulsoom mendengar omelannya atau tidak! "Kau tidak sedang dalam posisi untuk menawar! Kau ini dasar rubah betina yang angkuh!"
"Ibu, tolonglah!" Firdaus menukas. "Setidak-tidaknya biarkanlah aku selesai bicara. Aku hendak berkata bahwa aku akan menerima lamaran itu dengan syarat Khawar melamarku secara pribadi. Lagi pula, aku akan menikahinya, bukan ibunya. Baru chaudharani itu yang melamarku, bukan Khawar. Bagaimana aku tahu bahwa ia masih ingin menikahiku" Ia mungkin saja telah berubah pikiran. Aku tidak ingin menikahi seorang lelaki yang akan mengawiniku hanya untuk menyenangkan ibunya agar tidak menderita."
"Oh, kau perempuan cerdik!" Kulsoom tertawa. "Anak muda itu mengejar-ngejar dirimu selama lima belas tahun dan kau masih mengatakan bahwa ia tidak mau menikahimu""
"Orang-orang berubah, Bibi Jee. Kami baru saja mendiskusikan soal itu," jawab Firdaus kaku, terkungkung oleh kepolosan Kulsoom dan sindiran ibunya.
"Baiklah," ujar perempuan tua itu. "Jadi kukatakan saja pada Chaudharani Kaniz bahwa kau menerimanya, tetapi juga ingin agar Khawar datang sendiri melamarmu, begitu""
"Ya, Bibi Jee," bisik Firdaus.
"Kulsoom Jee, juga katakan pada Chaudharani Kaniz bahwa aku secara pribadi senang menerima lamarannya dan akan datang mengunjunginya dalam waktu dekat," tambah Fatima.
"Tentu. Kuharap kau akan membuatku bahagia, Fatima. Aku akan memenuhi mimpimu. Sepasang anting dan liontin ini sudah mulai tua sekarang." Kulsoom mengambil liontinnya
dari dadanya dan menjuntai-juntaikannya di depan Fatima.
Fatima hanya tertawa. "Jika Firdaus menikah, aku berjanji akan menghadiahimu sebuah liontin baru yang akan membuat lehermu berat. Sebuah liontin bermata rubi yang besar."
"Betapa pemurahnya kau, Fatima Jee. Aku akan berterima kasih padamu dengan menemukan seorang rishta yang cocok untuk Fazeelet, putri bungsumu, dan tentu saja untuk putramu. Katakan padanya agar segera pulang dari Dubai. Kalian semua sudah kaya sekarang. Aku akan mencarikan untuknya seorang pengantin yang cantik. Seorang perempuan bertubuh tinggi, berkulit terang-sama sepertinya."
"Jangan lupakan pendidikannya, Kulsoom Jee," goda Fatima.
"Tentu saja. Dewasa ini para lelaki tampaknya menyukai para perempuan yang berpendidikan-biarpun tanpa ijazah atas nama mereka sendiri.
"Memang ada juga sejumlah lelaki yang amat berpendidikan yang hanya menginginkan para ibu rumah tangga- para perempuan geraloo. Secara pribadi, kurasa mereka merasa terancam oleh para perempuan berpendidikan yang memiliki pekerjaan dan aktif. Mereka ingin memiliki kuasa dan kewenangan di atas istri mereka. Aku percaya pendidikan memang bagus untuk kaum perempuan, tetapi bukan untuk bekerja. Sebuah rumah membutuhkan seorang perempuan untuk mengelolanya. Jika kedua suami-istri bekerja, bagaimana rumah bisa dikelola dengan baik""
"Aku khawatir, Kulsoom Jee, kau berbicara tentang perempuan yang salah di sini. Aku ini perempuan yang bekerja. Lupakah kau, aku telah bekerja begitu lama dan tetap mengurus keluarga. Firdausku bekerja dan aku tak berharap dia berhenti bekerja jika menikah. Aku membayar ribuan rupee baginya untuk bersekolah dan tak ingin itu sia-sia hanya karena dia harus tinggal di rumah dan berpangku tangan. Tidak, seorang perempuan membutuhkan kehidupannya sendiri, perasaan merdeka, dan dihargai. Perempuan perlu mencapai sesuatu."
"Kurasa kau benar juga, Fatima Jee," sahut Kulsoom diplomatis seraya mengubah nada suaranya. Bukan taktik yang baik dalam bisnisnya jika dia membuat tidak senang kliennya. Dia selalu setuju sebisa mungkin, tanpa kehilangan muka. Lagi pula, dia sendiri seorang perempuan yang bekerja.
Setelah beristirahat dan makan siang, Kulsoom kembali ke hawali Kaniz untuk menyampaikan pesan itu. Dijalan pulang, dia bertemu dengan Siraj Din dan mengabarkan pula padanya kabar baik itu.
Siraj Din merasa ikut senang. Pikirannya yang gesit langsung bekerja. Jika Firdaus menikahi Khawar, mungkin Firdaus akan tinggal di desa dan kembali ke pekerjaannya semula di sekolah desa. Pada saat itu mereka hanya melangsungkan kontrak sementara dengan kepala sekolah yang baru. Kepala sekolah yang ini baik-baik saja, tetapi dia bukanlah seorang perempuan setempat. Terkadang ia berharap cucunya sendiri, Zarri Bano, yang akan menjadi kepala sekolah. Tapi ia tahu, ia menipu diri. Zarri Bano lebih cocok untuk kehidupan kota besar dan pergaulan internasional. Anaknya benar. Zarri Bano bukanlah seorang Bibi, seorang perempuan rumahan. Siraj Din berdoa untuk kebahagiaan dan keselarasan dalam kehidupan menantu perempuan dan cucunya itu.
60. FATIMA TELAH bertanya pada Chaudharani Kaniz, melalui Kulsoom, apakah mungkin dia datang berkunjung.
Kaniz segera memberikan jawaban. Hampir sejam kemudian Neesa datang ke rumah Fatima dengan sebuah pesan dari Chaudharani Kaniz dan adiknya, Sabra, kepada Fatima bahwa mereka ingin bertemu dengannya. Mendengar kata-kata Neesa, sebuah getaran rasa senang melanda tubuh Fatima.
"Gadis-gadis, ambilkan setelan Shanghai biruku!" perintahnya pada anak-anaknya segera setelah Neesa pergi. "Kesan baik itu penting dan aku ingin terlihat dalam keadaanku yang terbaik. Kurasa aku juga membutuhkan itu karena sejujurnya aku agak takut dengan pertemuan ini." Dia menatap anak-anak perempuannya ganti-berganti, seraya berdiri di tengah halaman.
"Mengapa Ibu takut"" tanya Salma penasaran.
"Aku tidak yakin, Sayang. Seperti kau tahu, kami berdua tidak saling berhubungan selama hampir separuh umur kami. Jadi, agak aneh rasanya membayangkannya menjadi besanku. Tapi kami berdua harus membiasakannya, kurasa," ujar Fatima dengan
penuh sesal. Fatima menatap Firdaus yang sedang menisik tali sarung bantal seraya duduk di beranda. Gadis itu menatap ibunya seraya menjaga agar ibu jarinya tetap memegang tongkat penisiknya.
"Jangan lupa sebutkan bahwa tanpa lamaran pribadi Khawar, aku tidak akan bisa menikahinya," ujar Firdaus tegas. "Dalam demam rasa senang Ibu, jangan lupakan harga diriku!"
"Harga dirimu!" Fatima nyaris berteriak. Lidahnya panas. Lalu, seraya memutari putri sulungnya, dia melanjutkan, "Harga dirimu hampir saja membuat kita mengorbankan semuanya, kau gadis tak tahu diuntung!"
Firdaus dengan tenang menentang pandangan ibunya, lalu kembali melanjutkan menisik. Merasa jengkel, Fatima membuang muka. Sejam kemudian dia meninggalkan rumahnya ke hawali. "Orang-orang muda ini tidak menghargai apa pun," Fatima menggerundel seraya menggelengkan kepalanya tak percaya. Chaudharani itu, ibunda Khawar, telah melamar putrinya, tetapi Firdaus, si nona angkuh itu, masih berharap mendengar sendiri lamaran itu dari bibir si pemuda. Dunia memang telah berubah. Fiaz tidak melamarnya sendiri. Pada masa itu, hal semacam itu dianggap tidak terhormat. Orangtualah yang melamar dan mengatur. Anak-anak hanya menyetujui atau menolak lamaran itu.
Dan lihatlah apa yang dilakukan putrinya! Mengusir seorang Chaudharani! Fatima gemetar. Di masa mudanya, jika seorang tetua desa mengatakan bahwa ia melamar putrimu untuk seorang kerabatnya atau orang lain, orang itu akan merasa berkewajiban menerimanya karena kehormatan tetua desa itu, izzat-nya, bergantung pada hal itu. Jika ia meletakkan turbannya di depanmu, penolakan benar-benar tak bisa dilakukan. Itu nyaris serupa dengan meletakkan kehormatannya di kakimu.
Saat ini, jelas sekali anak-anak muda tidak peduli pada izzat siapa pun. Tidak pada izzat keluarga mereka atau izzat mereka sendiri. Kaum perempuan kini lebih mandiri dan sombong. Mereka ingin membentuk takdir mereka sendiri. Para orangtua kini harus tunduk pada anak-anak mereka dan karena itu menjadi tawanan bagi tingkah dan kesenangan anak-anak mereka.
* * * Fatima berdiri di luar gerbang hawali dan membiarkan matanya melihat-lihat gedung bercat putih yang anggun dan tinggi itu dengan penuh harga diri. Rumah itu akan menjadi rumah putrinya. Orang bisa mengenali hawali ini satu mil dari desa itu. Hanya rumah inilah yang memiliki dua lantai. Bahkan, rumah Siraj Din hanya satu lantai.
Dia membunyikan bel, lalu gemetar, teringat kunjungan sebelumnya. Andai saja dia bisa menghapusnya dari benaknya untuk selamanya!
Neesa membiarkannya masuk. Dia dipersilakan masuk ke ruang tamu dan dipersilakan duduk. Chaudharani dan adiknya akan segera turun dari lantai atas, demikian dia diberi tahu.
Fatima menatap penuh minat ke sekeliling ruangan itu, memerhatikan bahwa perabotan di ruangan itu mencerminkan selera terbaik. Lantai ubin marmer, meja pualam serasi dengan kaki berlapis yang kokoh, tungku tinggi menopang sebuah pemanas listrik-semuanya berkilau seperti cermin. Tirai-tirai dengan temali yang indah, dengan anggun terlipat di sepanjang jendela, jatuh dengan lembut di atas lantai. Tempat itu berbau kemewahan. Bahkan, ada sebuah permadani sutra tenun mahal terhampar di atas lantai di tengah ruangan.
Untunglah aku melepaskan sepatuku di luar, pikir Fatima, seraya merasai lembutnya sutra karpet itu dengan jari jemari kakinya.
Ini adalah sebuah pengalaman yang aneh bagi Fatima. Dia melihat segalanya dari sebuah sudut yang baru. Putrinya akan segera hidup di tengah semua ini dan suatu hari nanti dia akan menjadi majikan atas semua ini. Fatima menghela napas dalam dengan senang hati.
Neesa kembali dan Fatima menatapnya dengan penuh harap. "Chaudharani kesulitan untuk turun tangga," pelayan itu berkata padanya. "Dia jatuh dari tangga kemarin malam. Dia meminta Anda bersama saya naik ke tempatnya jika Anda tidak keberatan."
"Tentu saja tidak," sahut Fatima. Jantungnya tiba-tiba mulai berdetak lebih kencang. Apakah ini semacam penghinaan yang disengaja oleh Kaniz" Apakah dia diminta naik seperti orang-orang rendahan lainnya" Lalu Fatima mengenyahkan pikiran itu. Bukankah tadi Nee
sa mengatakan Kaniz terjatuh" Dia sendiri tidak dalam posisi untuk terlalu memedulikan hal-hal sepele. Lagi pula, Kaniz mungkin masih menganggapnya sebagai si tukang cuci. Oleh karena itu, di mata Kaniz, bukan persoalan jika Fatima diminta ke atas dan bukannya Kaniz sendiri yang turun.
* * * Kaniz sedang duduk dengan gugup di kamarnya. Dia menatap adiknya yang duduk di sampingnya. Matanya menyiratkan kepanikan, dan Sabra mengelus tangan kakaknya untuk menenangkannya.
Suara langkah kaki di luar ruangan membuat mereka menatap ke arah pintu. Neesa mula-mula masuk, diikuti dari dekat oleh Fatima. Sabra berdiri menyambut Fatima, sementara Kaniz menemukan dirinya tak mampu bergerak.
Pemandangan musuh lamanya berdiri di muka pintu membawa kembali kenangan mengenai pertemuan terakhir mereka dan Kaniz mengingat kata-kata kejam Fatima dengan rasa sakit. Itu membuat otaknya berdenyut-denyut. Senyum yang ditujukannya kepada Fatima lenyap dan dia menemukan dirinya tengah menatap sepasang mata Fatima dengan penuh kebencian.
Melihat Kaniz tetap duduk dan merasakan hawa permusuhan yang meruap dari tatapan perempuan itu, kebahagiaan Fatima pun padam. Apakah Kaniz mengundangnya hanya untuk menghinakannya" Apakah semua ini hanya lelucon" Kepercayaan dirinya memudar.
Sabra segera mengakhiri pertanyaan-pertanyaan Fatima saat dia dengan hangat memeluknya dan mengucapkan kata-kata sambutan untuknya. "Bismillah, bismillah, saudariku."
"Assalamu 'alaikum," Fatima menyalami Sabra dengan bibir kering.
"Wa 'alaikumussalam. Silakan duduk di sofa. Kakakku sedang sakit dan sulit untuk banyak bergerak. Maafkan kami karena memanggilmu ke atas."
"Tidak apa-apa, Adik Sabra. Apa kabar, Kakak Kaniz"" Sepasang mata Fatima kini tertuju pada wajah Kaniz.
Bergulat dengan kebencian pribadi terhadap musuhnya, Kaniz memenangkannya dan berhasil menyunggingkan seulas senyum di bibirnya. "Aku baik-baik saja," sahutnya dengan cukup menyenangkan. "Bagaimana kabar keluargamu" Bagaimana kabar Kakak Fiaz"" Kata-kata itu terdengar asing di bibir Kaniz dan keduanya tahu itu. Sebelumnya, Kaniz tak pernah bertanya atau bahkan peduli satu paisa pun pada keluarga Fatima. ini adalah sebuah permulaan baru yang aneh bagi mereka berdua. Seutas benang rapuh ditenun dalam jalinan hidup dan hubungan mereka.
"Ia baik-baik saja dan mengirim salam pada Anda. Putri-putriku sehat dan Firdaus secara khusus bertanya tentang kesehatan Anda." Fatima berkata sopan untuk mengalihkan pembicaraan pada pokok tujuan kedatangannya. Di hadapan tatapan matanya yang terkejut, wajah Kaniz melunak dan tersenyum.
"Dia datang menemuiku dan meletakkan kepalanya di pangkuanku, seperti ini...," Kaniz menunjuk ke pangkuannya. "Dia menyentuh kakiku."
"Aku senang, Kakak Kaniz. Sudah selayaknya dia melakukannya. Dia menceritakan semuanya padaku." Tatapan Fatima ragu-ragu sejenak di depan Kaniz dan kemudian dia memutuskan untuk bersikap jujur. Lebih baik terbuka mengenai segalanya sekarang. "Aku merasa heran dan sangat terluka karena perangainya. Kurasa dia telah menjadi seorang gadis yang amat bodoh. Kuharap Anda memaafkannya karena aku sendiri sulit memaafkannya."
"Aku sendiri telah memaafkannya. Karena itulah, aku melamarnya untuk anak tunggalku."
Fatima segera menundukkan pandangan matanya, khawatir memperlihatkan rasa senang yang tiba-tiba melanda sekujur tubuhnya. Jadi, Kaniz memang sungguh menginginkan putrinya menjadi menantunya.
"Aku merasa terhormat," sahut Fatima seraya menarik napas panjang. "Seluruh keluargaku merasa terhormat, Kaniz Sahiba. Kulsoom membawa pesan Anda pada kami. Itu menjadi kejutan istimewa karena kami tak menduganya. Terutama mengingat pertemuan terakhir kita." Fatima melirik wajah Kaniz dengan cemas. "Kita sering saling berkata hal-hal yang buruk," lanjutnya dengan suara lirih. "Hal-hal yang tak selalu sungguh-sungguh kita maksudkan, Chaudharani Sahiba."
"Jika yang kau maksud adalah kata-katamu, Fatima Jee, aku harus mengingatkanmu bahwa kau sungguh-sungguh dengan setiap kata-katamu itu," sela Kaniz dengan tenang. Dia tak akan membiarkan Fatima meloloskan diri dengan komentar itu.
"K alau begitu, aku minta maaf padamu," sahut Fatima dengan pipi merona. Kembali tatapannya tertunduk di depan Kaniz.
"Tak apa-apa, aku layak mendapatkannya," timpal Kaniz dengan murah hati. "Tapi, janganlah kita membicarakan masa lalu. Aku tak mau memikirkan terlalu lama soal itu. Fatima Jee, aku sudah agak lama sakit. Selama sakit, aku memiliki kesempatan untuk merenungkan segalanya dan menghadapi sejumlah fakta menyakitkan mengenai kita dan yang lainnya. Kini aku ingin menyingkirkan masa lalu. Aku ingin menatap masa depan dan menjadikan putrimu menantuku, istri anakku, chaudharani berikutnya."
"Anda sangat pemurah, Kaniz Sahiba. Anda telah membuat kami berdua, ibu dan anak, merasa malu." Fatima terharu atas kemurahhatian Kaniz.
"Sudahlah, tak perlu dibahas lagi!" Kaniz mengangkat tangannya. "Katakan padaku, apakah dirimu ataukah putrimu yang menerima lamaranku. Karena hanya yang dikatakan oleh putrimu yang berarti bagiku. Dia seorang gadis yang angkuh, sama seperti aku dulu. Apakah dia akan memberi kami penghormatan dengan melangkahkan kaki ke rumahku sebagai menantuku" Mampukah dia menelan harga dirinya""
"Tak ada keangkuhan, Kaniz Sahiba, hanya kebodohan masa muda. Dia telah berkata...." Fatima berhenti, mengingat kembali kata-kata putrinya dengan jijik. Namun, semua itu harus dikatakan.
"Apa katanya"" tanya Kaniz, merasakan detak jantungnya makin cepat. Sabra memerhatikan kecemasan yang tersirat di mata kakaknya dan mengelus tangannya lagi untuk menenangkannya.
"Dia mengatakan bahwa dia menerimanya, tetapi hanya jika Khawar menginginkannya secara pribadi. Dia percaya Andalah yang menginginkan perjodohan itu, bukan putra Anda. Jika Khawar secara pribadi melamarnya, dia akan sangat bahagia menerimanya."
"Aku tahu." Kaniz berhenti dan sejenak terserap dalam lamunannya sebelum bicara dan menatap langsung pada Fatima lagi. "Dia benar, tentu saja. Khawar sebaiknya melamarnya secara pribadi. Itulah tata cara yang berlaku di dunia saat ini, terutama di kalangan anak-anak muda. Tapi, jika orangtua yang melamar terlebih dahulu, itu merupakan sesuatu yang terhormat."
"Ya, tentu saja. Tapi Anda tahu sendiri bagaimana anak-anak muda ini."
"Ya, pasti. Katakan pada putrimu bahwa Khawar akan melamarnya secara pribadi, lalu kita akan segera mengadakan upacara pertunangan. Apakah kau senang dengan hal itu"" "Ya. Terima kasih, Kaniz Sahiba."
Mereka bercakap-cakap lagi beberapa waktu, menjaga hanya membicarakan hal-hal yang aman, seraya minum es jeruk limau.
Dengan hati bernyanyi riang, Fatima pergi-sebagai seorang perempuan yang berbahagia. Pikirannya berdengung dengan gagasan-gagasan mengenai persiapan pesta pernikahan yang akan datang.
* * * Di ruang atas, kedua kakak beradik itu duduk dalam hening. Sabralah yang pertama angkat bicara. "Apa yang kau pikirkan, Sayang" Apakah barangkali kita memikirkan hal yang sama-bahwa kau belum mengatakan apa pun pada Khawar mengenai ini""
"Ya, Sabra Jee. Aku bertanya-tanya apakah yang akan ia katakan. Apakah ia akan marah sekali, menurutmu"" Wajah Kaniz digurati garis-garis kecemasan. Dengan gugup, dia menarik ujung kerudungnya.
"Tidak, Kakakku Sayang, mengapa ia harus marah padamu" Bagaimana mungkin ia berani" Lagi pula, kau melakukan semua ini untuknya. Jika ia berani mengomel... aku akan berurusan dengannya!"
* * * Wajah Khawar merah padam. Ia tak percaya apa yang telah dilakukan oleh ibu dan bibinya. Lama sekali ia tetap berdiam diri dengan kepala tertunduk dan tangan mendatar di atas meja makan. Sabra telah mengatakan semuanya setelah ia selesai makan malam. Kaniz sedang duduk di ruangan lain.
"Nah, kemenakanku sayang, kau pendiam sekali. Bukankah kau yang selalu menginginkannya"" desak Sabra.
"Memang aku pernah menginginkannya," ujar Khawar, mencoba menahan diri, "tapi tidak setelah apa yang terjadi baru-baru ini, tidak setelah apa yang diderita oleh ibuku. Bibi tidak punya hak untuk ikut campur! Mengapa kau tak berunding dulu denganku" Kau kira aku masih ingin berurusan dengan makhluk itu setelah dia memperlakukan Ibu seperti itu" Aku tak akan pernah memaafkannya! Dia tak layak menerimanya,
Bibi. Kau tak sungguh berpikir aku akan menikahinya kini, bukan" Tak bisa!" Khawar membelalakkan matanya pada bibinya.
Sabra bangkit dari duduknya, berdiri di belakang Khawar dan menyentuh lembut lehernya.
"Hm, gadismu itu tak akan menerima lamaran itu kecuali kau melamarnya secara pribadi."
Sebuah tawa getir terdengar dari mulut Khawar.
"Dia akan lama menunggu kalau begitu. Kalian berdua bisa saja menyusun rencana apa pun yang kalian sukai- tapi aku tak bermaksud menikahinya." Khawar bangkit untuk pergi. Tubuhnya menjulang melebihi tinggi bibinya. Sabra menahannya. Tangannya mencekal lengan Khawar dan seulas senyum tersungging di wajahnya.
"Kalian anak-anak muda sangat egois, tak pernah memikirkan orang lain. Kini dengarkan aku-dan dengarkanlah baik-baik. Khawar, kau minggat dari rumah untuk perempuan itu. Tampaknya kau amat menginginkannya. Kau telah bertengkar demi dia. Kini mungkin kau mengatakan padaku bahwa dia tak berarti apa pun bagimu! Kau masih menginginkannya, Nak. Jangan coba-coba mengingkari dirimu sendiri. Bukan hanya itu, perkawinan ini banyak artinya bagi ibumu. Dia amat bahagia. Sebelumnya aku tak pernah menyaksikannya sebahagia ini-dan dia ingin membuatmu bahagia, terutama karena Firdaus datang dan meminta maaf padanya."
"Dia datang!" seru Khawar dengan suara meninggi. "Tidak ada lagikah yang memberitahuku sesuatu" Mengapa dia datang""
"Dia datang, berlutut, dan memohon maaf pada ibumu. Oh, itu seperti sandiwara saja. Kau melewatkannya, Khawar. Kakakku memaafkannya dan kini dia siap menerimanya di rumah ini sebagai istrimu. Tahukah kau apa yang dikatakan ibumu" Dia bilang, Firdaus adalah takdirmu dan dia memegang takdirmu di tangannya."
"Aku tahu. Ibuku tampaknya telah berubah," ujar pemuda itu seraya berpikir. "Ya, jika ibuku memang amat menginginkannya, mengapa aku harus menolaknya" Jika hatinya condong pada Firdaus, tampaknya aku akan harus mulai memukul-mukul jantungku sendiri." Khawar tertawa. "Untuk membangunkannya!" Ia menepuk-nepuk dadanya dengan sebelah tangan.
"Hah. Jantungmu telah bangun sejak tadi," goda Sabra. "Apakah aku ini kau kira" Semua ini hanya pura-pura."
"Tidak, Bibi. Aku tadi tak berpura-pura. Kemarahan membuatku melupakannya. Aku masih marah padanya, tapi jika dia menginginkan lamaran, kita akan lihat apa yang bisa kita lakukan."
Ada kilatan di mata Khawar yang tak tampak sebelumnya. Ia juga tampak jauh lebih santai. Sabra merasa senang untuknya. Tepat ketika Khawar akan beranjak pergi, Sabra menarik kepalanya ke bawah dan mencium dahi serta pipinya.
"Kami tak akan membiarkanmu pergi hingga ada seorang pengantin perempuan di rumah ini, Bibi," Khawar berjanji dan mencium pipi Sabra sebagai balasan.
"Aku tak berniat pergi hingga saat itu tiba," ujar bibinya. "Tapi sebaiknya kau cepat bergerak. Aku sudah berada di sini selama lebih dari dua bulan. Keluargaku sendiri mulai gelisah kini. Oh, Khawar, aku tak tahan menunggu saat pernikahanmu. Rumah ini akan kembali berbahagia akhirnya."
"Bagaimana dengan Bibi Fatima"" tanya Khawar tiba-tiba.
"Oh, jangan cemaskan dia. Ibumu dan dia telah saling memahami. Kau tidak akan lagi punya ganjalan. Aku berjanji kepadamu, Nak," kata Sabra seraya membiarkannya pergi.
Sabra segera menemui kakaknya. Kaniz menatapnya penuh harap, merasa gugup tiba-tiba.
"Semuanya baik-baik saja-ia akan melamarnya. Kau bisa santai." Sabra tersenyum padanya, berusaha menenangkannya.
"Kau adik yang baik! Aku tak tahu apa yang bisa kulakukan tanpamu. Apa yang ia katakan"" "Tidak usah cemas, Kak. Khawar sangat bahagia dan ia ingin segera menikahi gadis itu."
"Oh, Sabra, aku amat bahagia!" Kaniz berdiri dan memeluk erat adiknya. Mereka terus saling berpelukan selama beberapa waktu lamanya. Tangis bahagia dan lega mengaliri pipi Kaniz.
"Terima kasih atas segalanya dan aku bersyukur kepada Allah karena telah memberkahiku. Apakah kau tahu apa yang akan kulakukan sebelum pesta pernikahan diadakan, Sabra" Aku akan mengadakan acara syukuran besar-besaran dan mengundang seluruh kaum perempuan di desa ini. Kita akan meminta Zarri Bano untuk memimpin doa khusus."
"Aku tak tahu apaka h dia masih tinggal di desa ini, Kakak. Kudengar dia sendiri akan segera menikah. Apakah kau belum mendengarnya" Dia akan menikahi suami almarhum adiknya. Aku tak pernah melihatnya dari dekat, tapi mereka bilang dia cantik sekali."
"Tapi, Firdausku juga sangat menarik."
"Apakah dia tidak pendek dan hitam lagi"" goda Sabra pada kakaknya seraya mengedipkan matanya.
"Jangan berani berkata begitu tentang dia! Dulu aku hanya ingin melampiaskan kekesalanku. Warna kulitnya bagus. Kulitnya nyaris seterang kulitmu atau kulitku, dan tingginya seukuran rata-rata perempuan kebanyakan. Kalau ada orang yang mengejeknya begitu, aku akan memotong lidahnya."
Mereka berdua tertawa-tawa. Lalu, Kaniz mendesak Sabra agar pergi ke ruang penyimpanan barangnya yang luas untuk melihat kotak penyimpanan uang mereka. Ada begitu banyak hal yang harus dilakukan dan dibeli. Setidak-tidaknya mereka bisa melihat apakah mereka cukup punya persediaan gulungan kain untuk hadiah pertunangan bagi Firdaus dan keluarganya.
61. SEMINGGU TELAH berlalu sejak Fatima mengunjungi Kaniz di hawali-nya. Khawar masih belum berupaya menghubungi Firdaus. Ia terus saja berjanji pada ibu dan bibinya bahwa ia akan segera melakukannya. Firdaus sendiri menunggu dengan gelisah kabar dari Khawar setiap hari. Pada hari kelima Firdaus menyerah.
"Ibu, aku sudah bilang padamu, bukan"" ujarnya dengan sinis. "Chaudharani Kaniz mungkin menginginkan perjodohan ini, tapi sang pengantin pria jelas tidak. Jika ia sungguh ingin menikahiku, ia pasti sudah menghubungiku saat ini. Menurutku, ini sebuah penghinaan. Aku sudah bilang padamu sebelumnya bahwa ia tak berniat menikahiku. Ia belum memaafkanku." Firdaus tampak menyesal.
"Aku meragukannya, Sayangku. Tapi aku sendiri agak terkejut. Jangan cemas, beri ia waktu satu dua hari lagi, nanti aku akan turun tangan."
"Tidak, Ibu. Tolong jangan ikut campur," Firdaus memohon.
"Terserah kau, Anakku." Fatima melambaikan tangannya menyerah. Rishta putri sulungnya memberinya lebih banyak sakit kepala dan sakit hati dibandingkan dengan dua putrinya yang lain. Dia yakin, dia akan mati lemas sebelum melihat tangan Firdaus dicat dengan hiasan pacar untuk pesta pernikahan.
Esok paginya, yang membuat seluruh keluarga Firdaus merasa senang, seorang pemuda pesuruh dari hawali Kaniz datang membawa sebuah pesan. "Tuan Khawar ingin berbicara secara pribadi dengan Ibu Firdaus jika diizinkan oleh Bibi Fatima dan Paman Fiaz. Dia ditunggu di sumur tua, di luar desa, sore ini. Sumur itu adalah tempat mereka biasa bermain sewaktu masih kanak-kanak," jelas pemuda itu.
Naluri pertama Firdaus adalah menolaknya. "Biarkan saja ia menunggu. Memangnya siapa ia"" ujar Firdaus dengan sebal pada ibunya.
"Lagi-lagi aku merasa berkewajiban mengingatkanmu, putriku yang keras kepala," tukas Fatima, "bahwa kau tidak dalam posisi membiarkannya menunggu, seperti yang kau katakan. Sebaliknya, ia sedang memberimu pelajaran. Membiarkanmu menunggu. Ia yang memegang kendali, Sayangku, bukan kau."
Akhirnya Firdaus pergi ke sumur tua itu.
* * * Cuaca Siang itu cerah dan burung-burung gagak dengan riang berkaok-kaok di dahan pepohonan. Firdaus telah berpakaian dengan hati-hati. Adik-adiknya dengan bersemangat membantunya memilih warna dan corak pakaiannya. Mereka juga mendesaknya agar mengeriting ujung rambut legamnya sehingga rambut itu jatuh seperti tirai menyelubungi bahunya. "Kami ingin kau membuat Khawar bertekuk lutut," goda mereka.
Seraya melingkarkan sehelai dupatta secara santai di atas rambut dan bahunya, Firdaus meninggalkan rumah. Dia berjalan melalui dataran desa yang berbatu-batu, melompati kubangan-kubangan air di mana batu-batu telah hilang dan kemudian mengikuti jalan melintasi ladang-ladang menuju sumur tua. Dia membiarkan dupatta-nya jatuh ke bahunya ketika angin mengembusnya.
Tak ada orang di sekitar ladang. Ketenteraman sekelilingnya dan permadani kuning kehijauan ladang-ladang itu membuatnya menyunggingkan senyum. Inilah yang dirindukannya di tengah Kota Hyderabad yang sibuk dan penuh polusi-kedamaian dan udara segar yang bersih.
Di bawah naungan sebatang pohon tua den
gan akarnya yang menjalar hingga ke jalan, terletak sumur tua itu. Sumur itu kini telah tak terpakai, selain untuk mengaliri sawah ladang tempat kerbau berkubang. Di masa lalu, sumur itu menjadi pusat kegiatan sosial warga desa, ketika kaum perempuan melakukan perjalanan setiap hari ke tempat itu dari rumah-rumah mereka untuk mengambil air. Setelah mengisi guci gerabah, mereka lalu menyungginya dengan rapi di atas kepala mereka, lalu kembali pulang seraya bergunjing ramai.
Setelah menggosok pinggiran sumur yang tebal dengan tinggi sekitar satu kaki itu dengan sehelai kain usang yang tergeletak di dekatnya, Firdaus duduk di atasnya dan menatap ke arah air sumur. Sudah lama sekali sejak dia terakhir kali mengunjungi tempat ini. Benaknya terbang ke masa kanak-kanaknya ketika dia, Zarri Bano, Ruby, Jafar kecil, dan Khawar biasa bertemu dan bermain kejar-kejaran di seputar pohon besar dekat sumur itu. Semilir angin sepoi-sepoi bertiup di antara reranting pohon dan meniup rambutnya ke depan wajahnya.
Firdaus menegakkan pandangannya saat didengarnya suara derap kaki kuda. Khawar dan kuda putihnya hanya beberapa meter jaraknya. Firdaus kembali menunduk menatap air sumur, tiba-tiba saja dia merasa amat malu.
"Merenung, Firdaus"" Khawar beranjak turun dari kudanya dan mengikatkannya pada sebatang pohon.
"Tidak, aku sedang menunggumu mendorongku ke dalam sumur, seperti yang nyaris kau lakukan dua belas tahun lalu!" Firdaus jengkel karena Khawar tidak tersenyum padanya atau sekadar memberi salam yang menyenangkan. Ia hanya mengucapkan dua patah kata dingin seperti seember air es dari sumur di musim dingin.
Khawar berjalan dan seraya menjemba rantai yang kokoh dengan sebelah tangan. Ia melemparkan ember perak sumur itu ke dalam air. Sumur itu dipenuhi suara berdebur saat ember memukul permukaan air yang gelap. Khawar menarik keluar ember itu, kini penuh berisi air. Dan dengan gayung plastik yang tertinggal di pinggiran sumur yang datar, ia mulai menyeka tangan dan wajahnya.
"Apakah tempat ini sekarang menjadi kamar mandimu" Apakah kau telah diusir dari rumahmu"" Firdaus bertanya padanya dengan bergurau, membiarkan matanya menatap wajah Khawar. Rambut dan lehernya terlihat dari kerah kemejanya.
"Seperti yang kau ketahui benar, aku punya banyak kamar mandi, Ibu Firdaus, tetapi tak ada yang menyerupai air sumur. Tapi kau tak akan mengetahuinya, bukan" Sumur desa dan seorang ibu kepala sekolah tidak bergandengan tangan akhir-akhir ini, bukan""
Firdaus tak luput memerhatikan sindiran pribadi Khawar dan tatapannya yang menusuk. "Tak seorang pun mengambil air dari sumur akhir-akhir ini," ujar Firdaus dengan tenang. "Aku dibesarkan di desa, seperti yang kau tahu, tapi aku tak pernah menyunggi gentong air. Itu terjadi pada masa nenekku masih hidup. Orang-orang mandi di pancuran kamar mandi dan menyalakan air panas sekarang ini, bahkan di desa sekalipun. Jadi, tolong jangan coba-coba membuatku merasa bersalah!"
"Aku hanya berkomentar." Khawar menyeka wajahnya dengan sehelai saputangan besar. Matanya memandangi wajah Firdaus, rambutnya, bajunya, memerhatikan segalanya, dan tak melewatkan satu hal pun.
"Kau harus mengakui," lanjutnya, "bahwa ini tempat yang layak untuk bertemu. Kau jelas menerima pesanku. Bukan kebetulan kau ada di sini, bukan""
"Tidak. Aku di sini karena Yang Mulia menuntut kehadiranku."
"Dan kau, Ibu Kepala Sekolah, berkenan mematuhinya. Aku amat tersanjung," ujar Khawar seraya tertawa dan duduk di lapisan bata dekat Firdaus. Mata Khawar menatap lekat raut wajah Firdaus-dagu, hidung, tulang pipinya yang tinggi.
"Kau tahu mengapa aku ingin bertemu denganmu," Khawar berkata lirih. Wajahnya kini amat dekat dan Firdaus nyaris merasakan napas Khawar di wajahnya. "Kau minta aku melamarmu secara pribadi." "Tidakjika kau tak mau!" sergah Firdaus.
"Apa yang menurutmu kuinginkan, Firdaus"" tanyanya dan menunggu Firdaus menjawab, tapi gadis itu tak menghiraukannya. "Ya"" desak Khawar, tapi tetap tak ada sahutan. "Kepala Sekolah yang pandai bicara dan dikenal memiliki lidah yang tajam-apakah ular telah mengambilnya sekarang"" Suaranya pek
at oleh derai tawa. Firdaus berpaling dan tersenyum. Matanya menyiratkan rasa malu. Khawar menatap tajam mata Firdaus dan mengerti. "Baiklah! Aku akan mengatakannya untukmu. Aku menginginkanmu, Firdaus. Sama seperti aku selalu menginginkanmu selama hampir sepuluh tahun. Aku menginginkanmu menjadi istriku. Kau ingin lamaran pribadi, maka inilah dia. Kini, apakah jawabanmu" Apakah kau akan bersikap tak tahu aturan dan menampiknya ke wajahku sebagai pembalasan"" tantangnya.
"Tentu saja tidak! Sebaliknya aku bahagia menerimanya, tapi hanya jika kau memberiku jaminan bahwa ini memang yang kau inginkan dan kau sungguh-sungguh telah memaafkanku atas apa yang telah terjadi." Pipi Firdaus merona. "Aku cemas kau akan menikahi kuningan-itukah yang kau inginkan" Barang buangan."


Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu terserah padamu, Firdaus, bagaimana kau membuktikan bahwa kau bisa mengubah kuningan menjadi emas yang dulu kumiliki," sahut Khawar. Wajahnya bersungguh-sungguh.
"Katakan padaku, Khawar, harga diri perempuanku tak membiarkanku menyerah. Apakah kau menikahiku demi ibumu atau karena kau menginginkannya secara pribadi""
"Kau gadis yang keras hati. Kukira aku telah menjelaskannya. Sekali lagi kukatakan padamu. Tidak, aku akan menunjukkannya." Seraya berkata, Khawar berpaling dan meraih tangan Firdaus. "Lihatlah aku, Firdaus. Aku ingin kau menikahiku. Aku amat berhasrat padamu karena aku mencintaimu. Kenyataannya keinginan ibuku adalah sebuah bonus tambahan. Kini, apakah semuanya jelas""
"Sangat jelas." Firdaus menarik tangannya dan bangkit. Mereka belum menikah atau bertunangan. Tidak benar jika terlalu dekat secara ragawi. Firdaus bergeser, membuat jarak di antara mereka.
"Apa yang akan kau lakukan dengan pekerjaanmu"" tanya Khawar. Ia perlu tahu. Kebahagiaannya terletak pada jawaban Firdaus.
"Aku akan meninggalkan pekerjaanku di kota," jawab Firdaus segera. Matanya menatap senang Khawar.
"Aku tak bisa membiarkanmu melakukannya. Aku tahu itu jawaban yang baik buatmu," Khawar keberatan.
"Pekerjaan bukanlah segalanya, Khawar Sahib. Lagi pula, aku senang kembali ke desa dan jika dewan pengelola sekolah desa memberiku pekerjaan mengajar di sini, aku sudah cukup senang."
Khawar tertawa. "Pekerjaan sebagai kepala sekolah masih menjadi milikmu. Yang sekarang menjabat hanya bersifat sementara. Desa ini akan senang menerimamu kembali, gadisku."
Tiba-tiba saja Firdaus melihat Baba Siraj Din menuruni jalan dari arah kawanan biri-biri miliknya. Pipi Firdaus menjadi hangat.
"Katakan pada ibumu, dia bisa mulai melakukan persiapan. Aku menerimanya dengan senang hati. Hudah Hafiz! Aku harus pergi. Baba Siraj Din ada di sini!" Firdaus dengan cepat menarik dupatta ke atas kepalanya untuk menghormati orang tua itu. Ia tak pernah melihat rambutnya terbuka dan terurai mengelilingi bahunya. Dengan pipi merah padam, Firdaus lari, mengambil jalan kembali ke arah desa.
Ketika menanti Siraj Din mendekat, Khawar melepaskan ikatan kudanya dari pohon.
"Assalamu 'alaikum, Anakku. Apa kabarmu" Itu Firdaus, bukan"" Siraj Din bertanya seraya menunjuk ke arah sosok Firdaus yang menghilang dengan tongkatnya. "Ya, itu memang dia, Baba Jee."
Siraj Din tak melewatkan apa pun. Bahkan dari kejauhan pun ia telah melihat mereka duduk dan mengobrol bersama.
"Apakah aku benar dengan berpikir bahwa kini kedua keluarga kalian rukun kembali dan kami akan segera mendengar kabar baik mengenai dirimu dan Firdaus" Ada desas-desus di sekeliling desa ini bahwa ibumu sedang mempersiapkan pesta pernikahan besar-besaran untukmu."
"Ya, Baba Jee. Insya Allah. Dengan doa dan restumu, tampaknya permusuhan antara ibuku dan Bibi Fatima telah berakhir. Firdaus dan aku akan segera menikah-alhamdulillah."
"Mubarak, Anakku! Aku amat senang untuk kalian berdua. Ibumu telah menunggu begitu lama. Dia layak mendapat pujian dan ucapan selamat. Aku akan mengunjunginya. Beri tahu kapan pesta pernikahan kalian akan berlangsung."
"Tentu saja, Baba Jee. Kami tak bisa melakukan apa pun tanpa kehadiran, bimbingan, dan pengawasanmu, dan tentu saja restu dan doamu. Kami hanya perlu menggelindingkan bola. Allah Hafiz. "
Khawar naik ke punggung kudanya dan melaju ke arah desa.
Ketika Baba Siraj Din menyaksikan Khawar pergi, pikirannya beralih pada cucunya sendiri, Zarri Bano. Ia berdoa agar cucunya itu akan hidup mapan dan bahagia bersama Sikander!
62. DUA JAM setelah upacara dan resepsi pernikahan sederhana usai, dengan baju pengantin telah dikemas, Zarri Bano pergi menuju Karachi bersama Sikander dan keluarganya.
Seraya melambaikan tangan pada mereka dari beranda, Fatima menangis di bahu Shahzada.
"Jangan menangis, Fatima. Tidakkah kau bahagia"" ujar Shahzada dengan terharu. Air matanya sendiri berlinang.
"Ya," isak Fatima. "Itulah sebabnya aku menangis. Aku akan sangat merindukannya."
"Kita harus mendoakan mereka berdua, Fatima. Kuharap pernikahan mereka berhasil. Kita berdua tahu bahwa Zarri Bano menikah dengan enggan. Tadi pagi dia mengatakan padaku bahwa dia hanya akan bertahan dalam pernikahan itu selama setahun. Raut wajahnya tampak seperti itu, kau tahulah, Fatima. Aku cemas dia bersungguh-sungguh dengan perkataannya." Shahzada menatap cemas pada teman sekaligus pembantunya itu.
"Tak perlu cemas, Shahzada Jee. Mereka akan berhasil, percayalah," Fatima mencoba menenangkan chaudharani-nya dengan lembut, dengan keyakinan yang kuat. Dia percaya pada hubungan alkemi antarmanusia. Selalu ada keajaiban dalam hubungan antara tuan putrinya dan Sikander.
* * * Zarri Bano duduk di sudut mobil. Haris duduk di antara Zarri Bano dan Sikander. Celoteh kekanak-kanakannya membantu meredakan ketegangan yang terbangun antara ayah dan bibinya. Di balik pinggiran dupatta lebar di kepalanya, Zarri Bano tercekam di bawah tatapan mata Sikander-sepasang mata itu serasa menjelajah ke mana-mana.
"Aku ingin duduk dekat jendela!" desak Haris dalam perjalanan. Semua orang menata diri untuk membiarkannya duduk di tempat yang ia mau. Saat mereka bergerak, paha Sikander secara tak sengaja menggesek paha Zarri Bano, membuatnya berputar dengan panik. Suaminya menatapnya dengan tenang ketika melihatnya menjauh beberapa inci darinya. Seraya menarik dupatta-nya yang penuh sulaman, Zarri Bano melilitkannya lebih rapat menutupi wajahnya, melindungi dirinya dari tatapan Sikander yang seakan membakar.
Tiba-tiba, Sikander meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat dalam rengkuhannya. Merasa terkejut, dan megap-megap, Zarri Bano mencoba menarik tangannya. Dengan suara yang terlalu lirih untuk bisa didengar ibunya atau sopirnya, Sikander menggeram, "Aku tidak akan memakanmu." Sikander menyentuhkan jemarinya di atas jemari Zarri Bano dan mulai mengelusnya dengan lembut. Tak berdaya, Zarri Bano membiarkan Sikander bermain dengan jemarinya sejenak. Lalu, dia menarik tangannya.
Haris beralih dari jendela mobil dan kembali duduk meringkuk di antara mereka, dengan dipeluk oleh kedua orang dewasa di sampingnya. Bocah itu tetap duduk di situ hingga akhir perjalanan.
* * * Ketika mobil itu berhenti, Zarri Bano menatap rumah Sikander di Karachi. Beranda depan vila yang luas itu dihiasi dengan karangan bunga dan diterangi cahaya warna-warni. Di dalamnya, sekelompok perempuan yang tengah berdoa dan para kerabat menunggu untuk menyambut kedatangan pengantin perempuan Sikander yang baru. Mereka maju bergiliran secara resmi begitu Zarri Bano duduk di sofa ruang tamu untuk memberinya salam penyambutan berupa hadiah salami dalam bentuk uang. Para perempuan terutama amat senang bertemu dengan mempelai baru. Mereka mendengar kabar bahwa sang mempelai adalah kakak mantan istri Sikander yang telah meninggal dunia dan tidak hanya dikatakan lebih cantik daripada Ruby, tetapi juga dia seorang perempuan yang amat saleh. Konon dia selalu memakai hijab. Beberapa orang bahkan percaya pada desas-desus bahwa mempelai ini bahkan tidur dengan mengenakan pakaian tertutup itu.
Hari ini, bagaimanapun, burqa tak terlihat di mana pun dan dia tidak tampak saleh sama sekali. Sebaliknya, gadis ini menampakkan sosok seorang mempelai yang tersipu-sipu dan hampir seperti seorang bintang film gemerlap. Mereka tak bisa membayangkan Zarri Bano mengenakan burqa. Rambutnya ditata dengan anggun. Sepasang matanya bersinar-sinar bag
aikan permata. Serasi dengan mulut yang tersenyum manis itu, Allah memberkahinya dengan lesung pipit paling menarik yang tampak mengintip setiap kali dia tersenyum.
"Seperti yang bisa kau lihat, pengantin lelaki tak mampu melepas pandangan darinya. Si lelaki berpura-pura tidak menatap padanya, tetapi apakah kau perhatikan, temanku, ia tidak melihat orang lain di ruangan ini. Tak mengejutkan karena istrinya cantik sekali. Bukankah sudah kukatakan padamu"" bisik seorang perempuan pada temannya. Dia senang melihat sosok Zarri Bano.
"Tahukah kau bahwa gadis inilah yang sesungguhnya ingin dinikahi Sikander pada mulanya," lanjut perempuan ini.
"Benarkah"" Perempuan yang satunya menatap takjub pada pasangan rupawan itu. "Oh, betapa romantisnya!" Seperti tetangga mereka, dia pasti akan menjalin persahabatan dengan istri baru Sikander.
* * * Makan malam dihidangkan khusus untuk Sikander dan Zarri Bano di meja tersendiri dengan Haris ikut bersama mereka. Mereka makan dengan diam. Selama itu Sikander kerap menatap mempelainya. Di sisi lain, Zarri Bano terus menundukkan pandangannya seakan-akan mereka sungguh-sungguh orang asing. Tuhan, dia tampak begitu rapuh, pikir Sikander. Seakan-akan dia takut padaku! Sikander tersenyum, ingin menghibur Zarri Bano, tetapi tak tahu apa yang harus dikatakannya.
Malam itu kakak perempuan Sikander, Rahat, menyarankan Zarri Bano agar beristirahat di kamarnya. Dengan canggung seraya mengangkat rok sutranya yang penuh sulaman, Zarri Bano mengikuti Rahat naik tangga ke sebuah kamar tidur yang luas. Seraya membukakan pintu lebar-lebar, Rahat menepi untuk membiarkan Zarri Bano masuk.
Mengenali kamar itu, Zarri Bano terdiam membeku. Sebuah ranjang besar berdiri di tengah kamar dengan sebuah tudung pernikahan dihiasi pita-pita di sekelilingnya. Zarri Bano memejamkan matanya, merasakan kakinya lemas.
Seraya meraih sebuah kursi, dia duduk dan menatap ranjang itu dengan kengerian tergambar di wajah dan sepasang matanya.
"Kau baik-baik saja, Dik"" tanya Rahat merasa peduli. Pada saat itulah Sikander muncul di kamar itu. Ia menatap ranjang itu dan kemudian wajah Zarri Bano yang pucat pasi.
"Rahat, tolong tinggalkan kami," desaknya. "Aku akan menjaganya."
"Baiklah, Adik Sikander." Rahat dengan cepat pergi, merasa terganggu oleh perilaku adik iparnya dan bertanya-tanya apakah yang salah.
Dalam satu gerakan yang gesit, Sikander melepas semua pita hiasan dan melemparkannya ke sudut lantai. Marah pada diri sendiri, kakaknya, dan seluruh situasi itu, ia membungkukkan tubuhnya dan berbicara pada istrinya dengan suara tersiksa. "Percayalah padaku, Zarri Bano, aku tidak tahu kalau mereka akan membawamu ke kamar ini!"
Zarri Bano menatap pada ranjang terbuka yang tampak menyedihkan di tengah ruangan.
"Ini adalah kamarnya. Itu adalah ranjangnya!" Zarri Bano berteriak pedih dengan nada suara menyalahkan. "Beginilah dulu dia diperlakukan. Aku tak bisa tidur di sini! Kau telah berjanji padaku, Sikander."
Lalu di depan mata Sikander, tubuh Zarri Bano bergidik. Sepasang mata gadis itu terpejam ketika dia sengaja berusaha mengenyahkan Sikander dan kamar itu dari benaknya.
"Kau tidak tidur di sini," ujar Sikander dengan lembut. "Kau memiliki kamarmu sendiri. Kakakku tidak mengerti keadaan kita. Mereka hanya melakukan apa yang biasanya dilakukan orang terhadap mempelai perempuan. Maafkanlah dia."
"Ruby tidur di ranjang itu, Sikander!" teriak Zarri Bano, merasa sedih dan menangis untuk adiknya yang telah tiada. Perhiasan di kepalanya berayun-ayun di depan wajahnya.
Sikander menjauh darinya, menatapnya tak berdaya. Bukan hanya Zarri Bano yang memiliki kenangan. Ruby adalah mendiang istrinya! Tidakkah dia menyadari bahwa aku pun merasa ngeri pada kenangan buruk itu" pikir Sikander dengan masygul. Ia ingin menghibur Zarri Bano, tetapi tak tahu harus berbuat apa. Jika menyentuhnya, ia yakin akan membuat Zarri Bano kehilangan kendali dirinya yang rapuh. Alih-alih, ia menggunakan suaranya untuk menggapai hati Zarri Bano.
"Zarri Bano, ini bukan kamarmu dan tak akan pernah menjadi kamarmu. Jika merasa aman dan senang, kau bisa tidur di kam
ar Haris untuk sementara. Ayolah, kita keluar dari sini."
Seraya menyeka air matanya, Zarri Bano mengikuti Sikander tanpa kata ke dalam kamar Haris. "Di sinilah kamarnya, buatlah dirimu merasa nyaman," ujar Sikander dengan riang. "Kau biasa tidur di sini dengan Haris, bukan" Aku atau Ibu akan membawakan susu untukmu nanti. Pelayan kita akan mengantarkan koper-kopermu." Zarri Bano mengangguk penuh terima kasih dan Sikander pun meninggalkannya.
Setelah berganti dengan pakaian tidur, Zarri Bano meletakkan Haris ke tempat tidur. Setelah shalat, dia berbaring di samping Haris dan mencium dahi Haris yang telah mengantuk. "Aku melakukan semua ini untukmu, kemenakanku sayang," bisiknya di atas wajah Haris yang sedang menguap.
Zarri Bano merasa tegang ketika seseorang mengetuk pintu. Sikander masuk membawa segelas susu. Zarri Bano lebih suka jika ibunda Sikander yang datang daripada Sikander sendiri. Dalam kamar yang temaram, rambut Sikander berkilat basah sehabis mandi. Ia tampak tinggi dan sangat menarik dengan jubah tidur di atas piyamanya. Zarri Bano merasa gugup.
Dengan memandang wajah Zarri Bano, Sikander maju dan meletakkan gelas susunya di atas meja kecil di samping ranjang. Sikander menyembunyikan kekecewaannya dari Zarri Bano. Zarri Bano telah melepaskan perhiasan, riasan, dan pakaian pengantinnya-merampok salah satu hak istimewa mempelai pria darinya, yakni membantunya melepaskan segala pernak-perniknya.
Sikander melangkah mundur, menjauh dari ranjang, dan tersenyum kepada Zarri Bano. Zarri Bano tersipu-sipu. Lalu, dia menarik selimut hingga sebatas leher untuk menyembunyikan diri. Memerhatikan gerakan Zarri Bano, Sikander berpaling untuk melihat putranya.
"Ia cepat tertidur pulas," bisiknya.
"Ya," sahut Zarri Bano, senang bisa mengatakan sesuatu untuk meredakan ketegangan dalam ruangan itu dan berdoa agar Sikander cepat pergi.
Sikander bergerak ke sisi tempat anaknya berbaring di ranjang dan duduk di sudut yang berlawanan. Zarri Bano bersikap santai.
"Ia akan bahagia menemukan dirimu tidur bersamanya."
"Mudah-mudahan. Lagi pula, kita menikah hanya demi Haris, bukan"" tukas Zarri Bano.
Sikander menunduk, menatap corak burung-burung dan pepohonan yang menarik di bagian luar selimut Zarri Bano. Ia tak segera menjawabnya. "Ya, Zarri Bano, kita memang menikah demi Haris, tapi aku masih berharap pada akhirnya ini akan menjadi pernikahan sungguhan. Aku tidak menikahimu hanya demi Haris, tetapi untuk diriku juga." Sikander ingin berkata lebih banyak pada Zarri Bano, membuka pintu hatinya, tetapi ia tahu secara naluriah bahwa ini bukanlah saat yang tepat. Sebuah gerakan yang salah, sebuah langkah yang keliru darinya dan Zarri Bano pun akan meledak. Ia tidak bisa mengambil risiko itu dan mengacaukan hubungannya dengan Zarri Bano. Mereka berdua tadi telah bertengkar di kamar lain.
"Zarri Bano, aku memiliki perasaan bahwa kau takut padaku," ujar Sikander seraya menatapnya dengan ekspresi tenang di matanya. "Kau takut pada kehadiranku, bukan" Jangan takut. Apa sesungguhnya yang paling kau takutkan, Zarri Bano" Bahwa aku akan menuntut hakku" Untuk menyempurnakan perkawinan kita"" Sikander melihat pipi Zarri Bano memerah.
"Itukah yang paling kau takutkan" Aku amat mengenalmu untuk kau ingkari, Zarri Bano. Kau harus belajar memercayaiku. Aku berjanji sebelum kita menikah bahwa semuanya akan seperti yang kau inginkan. Kaulah yang memegang kendali. Maka, kau tak perlu takut pada kehadiranku. Perempuan yang kukenal lima tahun lalu tidak takut padaku-pada apa pun. Aku tak meminta apa pun, Sayang, selain persahabatan dan pertemanan. Yang tak kuinginkan
adalah kau bergegas menjauh dari sentuhan kecilku. Tampaknya kau sungguh-sungguh melakukan tugasmu dengan baik, menjadi seorang perempuan pakeeza yang sempurna, sehingga kau bahkan merasa takut terhadap bayangan seorang lelaki. Namun, aku mengenalmu dan pernah melihat seorang perempuan yang sangat bergairah di dalam dirimu. Tapi cukuplah soal itu, aku tak akan berbicara tentang masa lalu."
"Apakah kau sudah menyelesaikan kuliahmu" Perempuan yang kau perbincangkan itu adalah perempuan binal
yang malu untuk kuingat-ingat," ujar Zarri Bano datar.
"Aku tidak setuju. Dia tidak binal. Dia hanyalah seorang perempuan normal, dengan naluri yang normal pula."
"Kalau begitu, kau harus tahu bahwa perempuan di depanmu ini bukanlah perempuan normal."
"Aku akan buktikan padamu, suatu hari nanti, betapa normalnya dirimu, Zarri Bano. Tapi aku tak akan berdebat denganmu malam ini. Dan ya...," ia mengakhirinya dengan tawa dan kedipan mata, "... aku sudah selesai memberikan kuliahku."
Zarri Bano akhirnya membiarkan sesungging senyum merayap di bibirnya. Untuk pertama kalinya, ia memerhatikan binar-binar di mata Sikander. Hati Sikander bengkak oleh kebanggaan dan harapan. Zarri Banonya yang lama tidaklah mati, hanya terbaring tidur. Zarri Bano hanya membutuhkan waktu dan dorongan untuk dibangunkan.
"Belajarlah memercayaiku," ia memohon. Sekali lagi ia memutari ranjang dan berdiri di dekat Zarri Bano. Ia menatap wajah Zarri Bano dan rambutnya yang tergerai di atas bantal. Bibir gadis itu separuh terbuka. Inilah bayangan yang telah menghantuinya sejak lama.
Zarri Bano melihat tatapan matanya dan merasa tegang. Sikander duduk di tepi ranjang dan tak mampu menahan diri untuk menjulurkan tangan dan meraba pipi Zarri Bano. Zarri Bano merasakan dirinya terperangkap dalam danau tak berdasar sepasang mata Sikander yang menjadi makin gelap dalam bayangan temaram. Seraya mengingat kata-kata Sikander, Zarri Bano berusaha bersikap santai, mengetahui bahwa dia harus belajar memercayai Sikander. Kini jemari Sikander membelai rambutnya. Hawa panas merasuk dalam diri Zarri Bano, tetapi dibiarkannya Sikander terus beraksi.
Tersirat rasa penasaran di wajah Sikander. "Kau adalah perempuan tercantik yang pernah kutemui," ujarnya. Suaranya membelai Zarri Bano seperti beludru.
"Bahkan lebih cantik daripada Ruby"" Zarri Bano merasa terkejut dengan pertanyaannya sendiri.
Tatapan sedih terlintas di wajah Sikander. "Tentu saja. Dia adalah bayanganmu yang lebih pucat, Zarri Bano. Kau masih terlihat cantik walaupun memakai kerudung. Inilah wajah yang telah menantang dan membayang-bayangiku selama lima tahun terakhir ini."
Zarri Bano tak menyahut. Dia takjub pada kilau hangat yang mendadak hidup dalam hatinya. Dia menyadari bahwa dia masih amat menarik bagi Sikander. Ia masih menganggapku cantik, pikir Zarri Bano senang.
Jari Sikander akhirnya mendarat di bibir Zarri Bano dan merabainya. Lalu dengan enggan Sikander menarik tangannya dan menarik selimut ke bahu Zarri Bano, menutupinya. Kemudian Sikander berdiri hendak beranjak pergi. Selangkah demi selangkah, sudah kukatakan pada diriku sendiri, dan memang begitulah seharusnya, Sikander mengingatkan dirinya dalam hati.
"Selamat malam, Zarri Bano. Dan selamat datang di rumahku. Kau akan pergi ke Timur Jauh lusa, bukan"" ujar Sikander dengan suara nyaring.
"Ya," sahut Zarri Bano, merasa bersalah karena suatu alasan.
"Aku akan mengantarmu sendiri ke bandara. Apakah semua persiapan sudah dilakukan"" "Ya."
"Allah Hafiz, Zarri Bano." Sikander berbalik hendak pergi.
"Sikander, terima kasih atas segalanya. Lelaki lain mungkin tidak akan penuh pengertian sepertimu. Aku menghargainya."
Sikander berbalik menghadap ke arah Zarri Bano. Zarri Bano kini duduk. Selimut telah jatuh dari bahunya dan bentuk tubuhnya tercetak pada baju tidurnya. Merasakan tatapan Sikander di bahunya, Zarri Bano tak membuat gerakan apa pun untuk menarik selimut agar menutupi tubuhnya.
Sikander merasa tersentuh oleh sentakan kecil ini. Zarri Bano tidak lagi menganggapnya sebagai seorang gher merd dan karenanya merasa tak perlu menutupi dirinya lagi.
"Akulah yang harus berterima kasih, Zarri Bano, karena kau mau melangsungkan pernikahan, terutama ketika kau nyaris dipaksa untuk melakukannya oleh anakku. Jika kapan pun kau merasa tidak senang atas segala sesuatu hal, yang harus kau lakukan hanyalah memberitahuku. Bagaimanapun, kita kini adalah sepasang suami-istri. Selamat tidur!"
Tak memercayai dirinya sendiri jika ia tetap tinggal di kamar itu beberapa saat lagi dengan Zarri Bano, Sikander bergegas pergi. Setelah menutup pintu di belakangnya, ia
melintasi lorong dan masuk ke kamarnya sendiri.
Di ranjang, Sikander merenungi kejadian hari itu dan hubungannya dengan Zarri Bano. Ia mengingat saat-saat Zarri Bano memasuki gedung pernikahan dengan pakaian pengantin dan ia masih bisa merasakan gelombang rasa senang yang membasuhnya. Zarri Bano tampak sangat memesona, seperti yang selalu dibayangkannya. Hati Sikander bengkak oleh rasa bangga ketika lamunan itu melintas dalam benaknya. Inilah perempuan yang kuinginkan, yang selalu kuinginkan-dan kini dia telah menjadi milikku.
Kegembiraannya, bagaimanapun, hanya berumur pendek. Setelah ia mengucapkan ikrarnya dalam upacara nikah, sang imam menoleh pada Zarri Bano. Zarri Bano menatap langsung pada Sikander. Lalu dengan para tetamu sebagai saksi, dia memanggil Haris dan berkata dengan jelas, "Haris, apakah kau ingin aku menikahi ayahmu" Aku hanya akan melakukannya jika kau menginginkannya."
"Ya, Bibi, ya!" bocah itu berkata seraya mengangguk-anggukkan kepalanya penuh semangat dan duduk mendesak di sampingnya.
Lalu Zarri Bano mengikuti kata-kata imam dan akhirnya menandatangani surat nikah. Ketika memegang pena, bersiap mencoretkan tanda tangannya, Zarri Bano kembali menatap Sikander. Kali ini matanya lebih dingin daripada
yang pernah ia lihat sebelumnya. Hati Sikander terpuruk dalam kemasygulan. Dia tak bisa lebih jelas daripada itu melakukannya. Sikander telah dihina-Zarri Bano berkata padanya dan para tetamu bahwa dia melangsungkan upacara itu hanya karena kemenakannya. Beberapa saat kemudian, ketika tangannya menyentuh tangan Zarri Bano tanpa sengaja di meja makan, perempuan itu menampiknya dengan tatapan panik. Meskipun kecewa, Sikander sadar bahwa masa-masa sulit belum usai. Ia buru-buru menyingkirkan kecemasan tiba-tiba yang terlintas di kepalanya: bagaimana jika dia tak akan pernah berubah"
Dalam satu hari, ia telah mencapai banyak hal, tetapi masih harus bersabar. "Aku harus mendapatkan rasa hormat dan kepercayaannya," gumamnya. "Hormati keinginan dan hasratnya, bahkan jika itu merupakan sebuah kutukan bagiku sekalipun. Bahkan dia sudah harus melakukan kunjungan panjang ke Timur Jauh, hanya sehari setelah pernikahan."
Di kamarnya, Zarri Bano memeluk tubuh mungil Haris ke tubuhnya. Dia senang Sikander datang dan berbicara secara terbuka padanya. Sikander telah mengusir beberapa rasa takutnya. Rasa takut terbesar yang tidak bisa dienyahkan oleh Sikander adalah ketakutannya pada dirinya sendiri. Rasa takut terhadap perempuan binal yang penuh gairah dan penuh cinta yang telah dia kubur saat mendengar pertunangan Sikander dengan Ruby. "Perempuan itu sudah mati! Aku tak akan mati lagi untukmu, Sikander," jerit Zarri Bano dalam tidurnya.
63. ESOK HARINYA merupakan hari yang ramai bagi Zarri Bano ketika dia harus menghabiskan waktu dengan para tetamu dan menyiapkan perjalanannya ke Indonesia dan Malaysia. Hanya para anggota keluarga dekat yang sadar bahwa dia akan pergi meninggalkan rumah barunya selama sebulan hanya sehari setelah pernikahan dilangsungkan. Apa yang mereka pikirkan mengenai rencana Zarri Bano merupakan tebakan semua orang. Ibunda Sikander, Bilkis, bersikap sangat sopan atas hal itu. Ayahnya, Raja Din, menerimanya dengan tenang ketika putranya mendiskusikan hal itu dengannya saat mereka menyantap makan Siang.
"Kau tahu, Ayah, Zarri Bano punya banyak komitmen. Dia tidak bisa langsung meninggalkan semuanya walaupun kini telah menikah denganku. Salah satu komitmennya adalah kunjungan kaum perempuan Jamaah Muslim ke Indonesia dan Malaysia. Zarri Bano telah membuat perencanaan mengenai hal ini sejak lama, sebelum rencana pernikahan disepakati," jelas Sikander, berharap mereka akan memahami tindakan istrinya dan tidak menghalang-halanginya.
"Tak apa-apa, Nak." Raja Din tersenyum menenangkan Zarri Bano saat dia mendengarkan dan menyaksikan percakapan mereka dengan berdiam diri. Raja Din menatap menantu barunya dengan bertanya-tanya. Takdir adalah fenomena yang aneh. Takdir telah membawa kembali perempuan yang telah membuat ia dan putranya jatuh hati. Kini dia memang seorang perempuan yang berbeda, tentu saja, t
api tetap merupakan kejutan yang menyenangkan memilikinya di sini, di sisi putranya. "Semoga Allah mengabulkan segala keinginan Sikander dan permohonanku untuk memiliki cucu lelaki lainnya," doanya. "Seorang anak seperti Haris, tapi dengan sepasang mata seperti gadis ini."
Malam itu Shahzada, Gulshan, dan Fatima datang mengunjungi Zarri Bano. Mereka terkejut melihatnya mengenakan salah satu gaun pengantin anggun dari perlengkapan pengantinnya, alih-alih mengenakan burqa hitam yang diam-diam mereka cemaskan akan masih dipakai oleh Zarri Bano.
Zarri Bano sedang menatap pakaiannya yang baru dalam koper perlengkapan pengantinnya dan bertanya-tanya baju apakah yang akan dipakainya untuk perjalanannya ketika Sikander masuk.
"Pakailah baju ini untukku." Seraya mengulurkan tangan di atas bahu Zarri Bano, Sikander memilih sebuah gaun berwarna ungu gelap. "Baju ini akan serasi jika kau kenakan," bujuk Sikander seraya mematut-matut gaun itu di depan Zarri Bano dan menatapnya dengan pandangan kagum.
"Lihatlah pada hiasan kelap-kelip di atas korset ini. Terlalu mencolok, apalagi untuk perjalanan jauh," Zarri Bano keberatan. Pipinya merona dan berharap Sikander akan pergi menjauh.
"Ah, tidak. Kau adalah pengantin baru dan ini adalah baju yang biasa digunakan oleh para pengantin baru. Omong-omong, terima kasih kau tidak mengenakan burqa di dalam rumah ini. Itu adalah peraturan yang tampaknya harus kau patuhi saat kau menjadi istriku."
"Peraturan! Bagaimana dengan para tamu lelaki lain yang bisa saja mengunjungi kita sewaktu-waktu"" tanya Zarri Bano merasa terusik.
"Sayangku, tak seorang pun mengenakan burqa di rumah. Kau bisa mengenakan kerudung lebar seperti orang lain. Pasti kerudung itu akan menutupimu lebih dari cukup, bukan" Atau kau bisa melilitkan seprai mengelilingi tubuhmu kalau kau mau. Aku ingat di masa lalu Zarri Bano hanya memakai dupatta sifon hitam yang tipis di tempat umum, di tengah para lelaki asing, tapi dia masih berpakaian cukup sopan. Kau bisa berpakaian sopan sekaligus tampil cantik. Tampil menarik bukanlah kejahatan."
"Terima kasih atas kuliahmu. Tapi kau berbicara soal masa lalu! Tak termaafkan jika kau mengingatkanku pada masa itu," ujar Zarri Bano dengan marah, berupaya menghapus ingatannya tentang peristiwa di mela itu. "Waktu itu aku seorang perempuan ceroboh yang sombong."
"Kau tidak pernah ceroboh, Zarri Bano, tetapi aku amat merindukan perempuan yang sombong itu. Aku bertanya-tanya apakah dia akan muncul ke permukaan sekali lagi"" Entah bagaimana, Sikander merasa dirinya telah memaksakan keberuntungannya terlalu jauh.
Seraya menunduk bertumpu pada lututnya di atas koper bajanya, Zarri Bano menatap Sikander lama sekali. "Sikander, mustahil kita memundurkan kembali jarum jam," ujarnya pada akhirnya. "Jangan berbicara lagi, tolong. Kau telah menjeratku di dalam jaringmu."
"Maafkan aku jika kau merasa kami telah menjeratmu." Sikander merasa tersinggung. "Kami pikir pernikahan ini yang terbaik bagi semua orang-bagiku, bagimu, dan terutama, bagi anakku." Sikander berjalan ke arah jendela dan menatap ke bawah ke arah kebun jeruk di kejauhan. Pulih dari lamunannya, ia kembali menatap Zarri Bano. "Maafkan aku, Zarri Bano. Kau bebas datang dan pergi ke mana pun dan kapan pun kau mau. Tak ada larangan dalam pernikahan ini, Zarri Bano. Ini adalah sebuah rumah, sebuah perkawinan, bukan tahanan atau penjara."
"Jangan menatapku seperti itu!" ledak Zarri Bano, tak mampu menahan dampak yang ditimbulkan oleh tatapan mata Sikander pada dirinya.
"Seperti apa"" tanya Sikander, sungguh merasa bingung.
Zarri Bano membanting tutup koper pakaiannya dan membelalakkan matanya pada Sikander. "Kemarin, di mobil, kau meremas tanganku. Semalam kau merabai wajahku. Kini kau memerkosaku dengan tatapan matamu. Akankah nanti matamu melakukan apa yang tak bisa dilakukan oleh tanganmu""
Kehabisan kata-kata dan wajahnya yang kemerahan menjadi pucat pasi, sebuah tatapan yang menyiratkan kebencian berkilat di mata Sikander. Zarri Bano melihat tatapan itu dan tahu bahwa kali ini dirinya telah kelewat batas. Jantungnya serasa hendak copot. Tiba-
tiba saja dia merasa telah kehilangan seorang kawan. Sikander menatapnya dalam sekali.
"Kau mungkin seorang perempuan cantik yang menggairahkan, Zarri Bano, tapi aku tidak seputus asa itu menuntut hakku sehingga harus memerkosa istriku sendiri!" ia membentak Zarri Bano dari ujung ruangan, melukai perempuan itu seperti perempuan itu melukainya. "Juga tidak pada perempuan lain. Kau tak paham arti kata memerkosa! Simpanlah kesucianmu yang beku itu untuk dirimu sendiri." Sikander lalu menghambur keluar kamar itu dengan membanting pintu.
Zarri Bano melemparkan gaun yang diminta Sikander dipakainya ke arah pintu. Dupatta sifon bersulam berwarna ungu yang lebar itu terhampar di lantai marmer. "Aku tak peduli jika ada orang yang melangkah di atasnya!" teriaknya. Lalu dia pun menangis tersedu-sedu.
"Ada apakah ini"" tanya Shahzada yang masuk ke kamar. "Mengapa baju itu ada di lantai" Kau baik-baik saja"" Shahzada menunduk di atas putrinya. Zarri Bano memalingkan wajahnya yang penuh air mata pada ibunya, tak merasa perlu menyembunyikan keadaannya yang berantakan.
"Ada apa, Anakku Sayang" Mengapa kau menangis""
"Ibu, aku tak tahan dengan semua ini-dengan Sikander, dengan perkawinan ini. Terutama dengan matanya.... Ibu, aku takut pada matanya, dengan yang dilakukan mata itu padaku. Aku tak tahan!" isaknya. "Ia menatapmu seperti yang dilakukan semua suami yang amat mencintai istrinya."
"Justru itu! Aku tak ingin ia menatapku seperti itu! Aku benci tatapan matanya-aku ingin lari dari pandangan matanya dan bersembunyi. Ke dalam apakah kau telah menjerumuskanku, Ibu" Aku tak mau menikah!" Zarri Bano memekik pada Shahzada, tatapan tersiksa tersirat di matanya.
"Aku tahu. Aku baru saja berpapasan dengannya di tangga. Ia juga tidak tampak bahagia. Kenyataannya, ia justru tampak amat sengit," ujar Shahzada dengan tenang seraya menarik sebuah kursi untuk duduk di samping putrinya. Dia menatap tumpukan baju warna-warni dan beragam corak yang terletak di atas kursi dekat koper baja. "Kuharap kau tahu apa yang kau lakukan, Nak. Ia adalah seorang lelaki terhormat dan penuh pengertian yang amat menginginkan dirimu. Jangan terlalu menekannya. Kau mungkin akan menyesalinya setelah semuanya terlambat." Shahzada berpikir sudah merupakan tugasnya menasihati putrinya. Perlakuannya terhadap suaminya selama lima tahun terakhir masih membekaskan rasa bersalah baginya.
Dengan mata berkilat, Zarri Bano berpaling pada ibunya. "Kalianlah yang terlalu menekanku!" Dilanda oleh amarah, kata-kata itu tersekat di tenggorokannya. "Kaulah, Ibu, yang memaksaku melakukan pernikahan ini dan mengatakan pernikahan ini hanyalah formalitas belaka. Kini setelah sehari, kau mengatakan padaku untuk berhati-hati agar tidak terlalu menekan suamiku. Kalian semua munafik! Tidakkah kalian berpikir dengan jujur bahwa begitu aku menikah, aku bisa dengan cocok menggantikan tempat Ruby" Ya, ternyata kau salah, Ibu! Aku menikahi Sikander supaya aku bisa tinggal di rumahnya, bukan untuk memberi cucu bagimu, atau menjadi teman tidurnya. Ini perkawinan formalitas belaka. Perkawinan ini akan selalu begitu sampai aku... dengarkan aku baik-baik... menginginkan yang lainnya. Aku sudah bosan dengan tirani lelaki. Pertama ayahku dan kini Sikander."
"Oh, Zarri Bano, Sayangku, maafkanlah aku jika kau merasa seperti itu. Sikander sungguh bukan seorang tiran, dalam hatimu kau tahu itu. Ayahmu dulu seorang tiran seperti yang kita berdua tahu. Kakekmu masih seorang tiran sampai batas tertentu. Mereka jenis orang yang berbeda sama sekali dengan Sikander. Suami lain, biarpun pernikahannya hanya formalitas belaka (seperti yang kau ketahui, itu tidak halal kecuali sudah menjadi pernikahan sungguhan), tak akan mengizinkanmu sebagai seorang perempuan, sebagai seorang istri, pergi sendirian ke luar negeri. Ia adalah seorang suami yang sangat toleran, tapi selalu ada batas dalam toleransi seseorang, putriku, dan jangan lupakan itu. Walaupun hari ini ia mencintaimu, besok ia bisa saja mulai membencimu dan membatalkan pernikahan kalian. Tatapan yang kulihat di matanya tadi bukanlah sebuah pertanda baik. Tidak
ada: yang abadi selamanya, Zarri Bano. Tiada yang bisa kau dapatkan tanpa timbal balik."
"Ia sudah membenciku, Ibu. Lihatlah tatapan matanya! Terima kasih atas nasihatmu. Kini dengarkan aku baik-baik. Pernikahan ini, terlepas dari hubungannya dengan Haris, kecil artinya bagiku. Yang penting adalah identitasku. Untuk kedua kalinya dalam hidupku, identitasku dirampok. Aku sekali lagi menjadi seorang korban. Dari seorang gadis biasa yang menyukai teman-teman dan baju-baju modis, aku menjadi seorang perempuan sederhana yang saleh, mengorbankan segala aspek dalam kehidupanku yang terdahulu. Kini perempuan saleh itu ditekan untuk memenuhi tugas-tugas seorang istri. Esensi hidupku dan keseluruhan diriku dipertaruhkan. Jika aku tak bisa jujur pada diriku sendiri dan perasaanku, atau menghormati diriku, aku adalah seorang perempuan yang sesat.
"Pada saat ini, aku berjuang untuk membuat detail kecil dan perubahan dalam gaya hidupku masuk akal. Contohnya, aku berdebat dengan diriku sendiri apakah aku sebaiknya mengenakan baju berwarna gelap, seperti yang kulakukan lima tahun terakhir, atau menukarnya dengan baju berwarna pastel dan warna-warna terang. Tapi benakku menjauh dari itu semua. Hingga kini, aku pergi ke mana pun dengan mengenakan burqa, merasa amat bahagia dan aman mengenakannya, Ibu, sehingga tanpanya aku merasa telanjang dan tak tentu arah, merasa amat sadar dengan tubuhku. Aku sudah lama tak menyentuh peralatan rias, tapi kini aku harus merias wajahku sebagai seorang pengantin baru dan untuk menyenangkan suamiku. Aku merasakan semua ini menjijikkan. Aku tak memiliki keinginan terhadap hal itu lagi. Tapi aku melakukan semua itu. Aku telah berkompromi, tapi ada batas berapa banyak tekanan dan perubahan yang bisa kutanggung, kecuali jika Ibu ingin aku berakhir di rumah sakit jiwa."
"Jangan konyol!" kini Shahzada sungguh-sungguh merasa cemas. "Kau berpikir yang terbaik menurutmu. Yang kuharapkan, sebagai seorang ibu, adalah agar kau memiliki apa yang bisa kau miliki jika Jafar tidak meninggal dunia. Kau dan Sikander menikah dengan bahagia dan hidup sejahtera. Tak ada pasangan yang lebih cocok bagimu selain Sikander, dan kau tahu itu. Ia adalah satu-satunya lelaki yang membuat matamu berbinar-binar. Jangan lupa, kau telah diberi kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan itu. Setidaknya biarlah ada hal-hal baik yang lahir dari kematian adikmu," dia memohon dengan lembut. "Jangan hancurkan sesuatu yang berharga, begitu indah. Tidak ada banyak Sikander. Ia hanyalah satu di antara sejuta!
"Dan ia tidak seperti ayahmu," ujarnya tegas. "Habib adalah tiran, tapi aku mencintainya. Aku berdamai dengan kediktatorannya dan ia juga mencintaiku. Aku tak pernah mengatakan padamu sebelumnya, tapi aku hidup dengan rasa
takut pada awal kehidupan perkawinanku. Seperti yang kau tahu, ayahmu sangat tampan dan ia menyadari ketampanannya. Dibandingkan dirinya, aku ini biasa-biasa saja. Ketampanannya membuatku takut, Zarri Bano. Aku cemburu pada perempuan mana pun yang bertemu dengannya, terutama pada para perempuan yang lebih cantik daripadaku. Aku selalu takut ia akan jatuh cinta dan membawa pulang istri kedua. Para perempuan di desa, aku malu mengatakannya, selalu mendekat padanya dengan berpura-pura atau melakukan cara lainnya-tak peduli masih lajang atau sudah menikah. Mereka tak punya malu-beberapa bahkan tak bisa melepaskan pandang darinya. Tak mengejutkan karena ia tampan sekali, muda, kaya, dan putra seorang tuan tanah kaya raya. Di atas itu semua, ia memiliki karisma yang kau warisi-dan itu tak hanya berkaitan dengan raut wajah.
"Tapi, sebagai pujian baginya, semoga ia berada di surga, ia tak pernah melirik perempuan lain. Rasa takut kehilangan dirinya baru lenyap pada tahun-tahun terakhirku ketika aku telah memiliki sebuah keluarga yang telah berkembang. Kebanggaan yang ia rasakan pada anak-anaknya, 'anak-anaknya yang cantik', sebagaimana ia menyebut kalian dengan bangga, melenyapkan perasaan tidak aman dariku.
"Pada akhirnya, tak perlu lagi ada rasa takut pada perempuan lain. Ia memusatkan seluruh cintanya padaku dan anak-anaknya, teru
tama kau, Zarri Bano-kau tahu itu, bukan" Ia memujamu karena kau mewarisi raut wajahnya, termasuk warna matanya. Kau pada gilirannya memujanya sebagai kebalikannya. Kau adalah, anak yang dilahirkan berwajah cantik. Tapi aku tidak tahu apakah kau tahu bahwa ayahmu mencegahmu menikahi Sikander karena ia cemburu padanya. Ia bahkan mengancam akan menceraikanku!"
"Ibu!" Zarri Bano tampak terkejut.
"Tidak, tidak seperti cara berpikirmu. Ia takut kehilangan dirimu karena lelaki itu. Ia memperlihatkan sesuatu yang tersirat dalam matanya bahwa ia tak pernah menemui pasangan lainnya yang cocok dan bisa mengatasi hal itu. Jika kau setuju menikahi Khawar, misalnya, ia akan dengan gembira menerima penyatuan itu karena Khawar tak memberi ancaman padanya dan cinta yang kau limpahkan padanya. Tapi dalam diri Sikander, ia melihat seorang pesaing dalam mendapatkan cintamu. Kau perlu tahu, Zarri Bano, ayahmu merasakan ketidaksukaan pribadi pada Sikander sejak pertemuan pertama. Sebagai seorang ayah yang bangga dan menyukai anak-anaknya, ia terbiasa pada para lelaki yang jatuh cinta padamu, tapi ini ada seorang lelaki yang ia percayai telah menghina anaknya. Ta bahkan tak merasa perlu menatap Zarri Bano, tapi lebih peduli pada biskuit'-itulah yang dikatakannya padaku setelah pertemuan pertama itu."
"Tapi, Ibu, Sikander telah melihatku-di mela. "
"Ayahmu tak tahu itu. Dalam kunjungan kedua mereka, ketika kau kembali dari berjalan-jalan bersama Sikander di sawah, lagi-lagi ayahmu jengkel dan gundah karena memikirkanmu. Ketika Sikander menampilkan dirinya yang dingin-'jahanam angkuh' sebut ayahmu-tersirat tatapan sayu di matamu yang bisa dibaca setiap orang bahwa kau telah terpikat oleh Sikander. Ketika aku sebagai seorang ibu merasa senang dengan sorot matamu itu, tahu bahwa putriku akhirnya bertemu jodohnya, seorang lelaki kuat yang akan membimbing, mencintai, dan menghormatimu, hal itu menakutkan ayahmu, Sayangku. Habib tak tahan memikirkan putrinya yang angkuh dan berkemauan keras menjadi rapuh dan jatuh cinta pada seorang lelaki yang memiliki kekuatan untuk mematahkan hatinya, melukainya, dan lebih penting, menempatkannya dalam kasih sayangnya. Ia juga takut Sikander mungkin akan mengecewakanmu-dan harga diri ayahmu tak bisa menerima penghinaan seperti itu. Ia bahkan tak bisa mengatasinya, Sayangku."
"Ibu, aku tak percaya, hentikanlah."
"Aku juga tak percaya, Sayangku, hingga aku terkejut melihat raut penuh kemenangan di wajahnya, langsung tertuju pada Sikander, setelah upacara pengerudunganmu. Raut wajah itu menggetarkanku, Zarri Bano." Dia bergidik. "Lelaki lain akan mengizinkanmu menikah, tetapi entah bagaimana ia tak bisa mengizinkan Sikander memilikimu. Pada akhirnya ia diyakinkan bahwa kau tak akan pernah menikah. Kelak, seperti yang kau tahu, ia menyesali tindakannya. Ia mati sebagai seorang lelaki yang bersusah hati, tak mampu memaafkan diri sendiri karena menjadikanmu seorang Shahzadi Ibadat. Dalam proses itu, ia mengasingkan aku dan aku menjadi sakit hati. Jika ia membawa perempuan lain ke rumah saat itu, aku mungkin bisa tak peduli. Ia bisa saja memelihara seorang harem dan aku tak akan peduli sekedip mata pun. Oh ya, ia berhasil mengurungmu di rumah, tapi akibatnya ia kehilangan aku. Sejak saat itu, kami hidup sebagai sepasang orang asing hingga saat terakhir. Dan aku tak bisa memaafkan diriku karena tidak bisa mengenyahkan rasa sakit akibat beban rasa bersalah dalam jiwanya. Aku gagal melakukan tugasku sebagai seorang istri.
"Kini yang kuminta darimu, Zarri Bano, hanyalah membiarkan sesuatu yang positif muncul dari musibah yang telah melanda hidup kita sejak Jafar meninggal dunia. Jangan sampai kau kehilangan suamimu dan cintanya gara-gara kekeras-kepalaanmu! Kau adalah harta paling berharga dalam hidup Sikander pada saat ini. Tapi harta yang dicintai kehilangan nilai mereka jika mereka terbukti tak layak dicintai. Jangan kehilangan kelayakanmu, Putriku. Jangan hanya belajar menerima, tetapi juga belajarlah memberi. Hubungan antarmanusia adalah soal memberi dan menerima. Ingatlah itu, sebagai sebuah pengalaman hidup dari ibum
u. Seperti yang semestinya kau tahu, dengan mempelajari agamamu lebih dalam, kalian berdua adalah pakaian bagi satu sama lain-pelengkap satu sama lain."
Shahzada membiarkan putrinya menatap cermin. "Aku bukan milik siapa pun!" Cetus Zarri Bano. "Aku tak mau menjadi pakaiannya!" Di dalam hati dia memikirkan apa yang dikatakan ibunya tentang Habib. "Aku akan selalu mencintaimu, Ayah," ratapnya. "Kau tak perlu takut kehilangan diriku. Oh, Ayah, betapa kangennya aku padamu!"
Zarri Bano menundukkan kepala ke pangkuannya dan menangis untuk kedua kalinya pada hari itu.
* * * Shahzada beranjak mencari Sikander dan akhirnya menemukan menantunya itu tengah duduk di sebuah bangku di kebun. Dia duduk di samping Sikander dan lelaki itu menolehkan wajahnya yang tanpa senyum pada mertuanya. "Bagaimana keadaanmu, Anakku"" tanya Shahzada dengan nada lembut. "Baik," sahut Sikander dengan kaku, seraya menatap ke depan pada rumpun pepohonan jeruk. "Maafkan dia, Anakku. Dia kesulitan mengatasi keadaan yang dialaminya," jelas Shahzada.
"Bibi, dia mengatakan bahwa aku...." Ia berhenti. Sepasang matanya berkilat marah, "... bahwa aku memerkosanya dengan mataku."
"Aku tahu. Kau lihat, dia begitu takut terhadapmu." "Tapi, mengapa, Bibi" Aku juga memerhatikan itu."
"Bukan karena dirimu secara pribadi, Sikander, melainkan karena perasaan yang kau bangkitkan dalam dirinya. Kau adalah ancaman baginya. Ingatlah, dia kini seorang Perempuan Suci, Sikander. Karena itu, dia bergelut untuk menerimamu sebagai seorang suami. Dia belum siap melakukannya sekarang. Beri dia waktu, Anakku."
"Sudah, Bibi, aku sudah melakukannya. Anda tahu dia menghindar dariku dan pernikahan kami dengan pergi melakukan tur besok. Aku menelepon Ukhti Sakina pagi ini. Dia memberitahuku bahwa Zarri Bano sebenarnya tak perlu bergabung dengan mereka di Malaysia, tetapi aku mengizinkannya pergi."
"Aku tahu, dan aku berterima kasih padamu, Anakku. Kau seorang lelaki yang baik dan suami yang baik pula. Suatu hari nanti Zarri Bano akan menghargainya, tetapi saat ini dia seperti sebuah perahu yang tengah melakukan muhibah, dan tak tahu ke mana hendak menuju. Dia selalu dikendalikan orang lain-kau, aku, ayahnya. Biarlah dia menemukan tujuannya sendiri, sekali dalam hidupnya."
"Seperti semua perahu, perahunya pun akhirnya nanti akan berlabuh di dermaga. Aku akan menunggunya di sana, atau," sebuah tatapan ganjil berkilat di mata Sikander, "atau aku memutuskan bergabung dengannya dalam perjalanannya dan menemukan jalan itu bersamanya."
Shahzada menghela napas. "Apa pun yang kau mau, Anakku. Aku memberi restu padamu. Yang kuat, tetapi tetaplah lembut, itu saja yang bisa kusarankan. Dia itu rapuh seperti perhiasan kaca, mudah pecah, dan kali ini tak akan mudah memperbaiki pecahannya. Dia pernah menderita dan berdarah-darah karenamu di masa lalu-berkeping-keping karenamu. Dia tak akan bersedia melakukannya lagi, Anakku."
* * * Masih berkemas di kamarnya, Zarri Bano mendengar suara derai tawa dari halaman. Dengan penuh rasa ingin tahu, dia beranjak ke jendela untuk melihat ke luar. Shahzada dan Sikander berjalan kembali ke dalam rumah seraya tertawa-tawa dan bercakap-cakap bersama.
Ketika Sikander menatap ke jendela dan melihat Zarri Bano, ia tersenyum dan melambai, membuat jantung Zarri Bano melompat. Wajah Zarri Bano menjadi santai dan dia pun balas tersenyum. Ketika dia mengangkat tangannya untuk balas melambai, entah dari mana terngiang kata-kata mengancam yang menancap di kepalanya, "Kita akan selalu menjadi sepasang kekasih!"
Seraya menjatuhkan tangannya, Zarri Bano beranjak dari tepi jendela. "Aku tak membutuhkanmu! Aku tak menginginkanmu, Sikander!" teriak Zarri Bano pada dinding kamar kemenakannya.
Seraya menghampiri kopernya, dia mengeluarkan semua pakaian pengantinnya dan mencampakkannya ke atas tempat tidur. Dia menggantinya dengan baju-baju madrasah yang kuno dan sederhana.
64. WAJAH ZARRI Bano memucat saat dia berjalan keluar dari kamar Sakina dan melihat suaminya berdiri di lorong hotel.
Bersandar santai di pintu kamarnya, Sikander menatapnya mendekat dengan hati senang. Zarri Ban
o menatap ke segala arah, kecuali ke arah Sikander. "Assalamu 'alaikum," salam Sikander dengan mata berbinar-binar.
"Sedang apa kau di sini, Sikander Sahib"" tanya Zarri Bano sesak, masih tak mampu memandang matanya.
"Aku tahu kau terkejut. Bukan cuma kau yang bisa mengunjungi Malaysia, Zarri Bano, kau tahu. Aku juga bisa pergi ke sini," godanya dengan suara penuh tawa. "Sini, biar kubantu," tawar Sikander saat melihat Zarri Bano mencari-cari anak kunci.
Telapak Emas Beracun 2 Can You See Me Karya Sonya Michibata Pulau Kera 1
^