Perempuan Suci 6
Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz Bagian 6
Hanya Shahzada yang mampu melihat tatapan yang membayang di mata putri sulungnya. Di luar itu, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Zarri Bano sudah setengah mati mendaki sebuah gunung yang amat tinggi dan terjal di malam hari, dan dia sudah berhasil menaklukkan gunung itu, memenangkan dirinya sendiri dan semua hasrat yang dimilikinya.
Untuk membuktikan semua ini pada dirinya sendiri, Zarri Bano meningkatkan pengabdian dirinya pada agama, lebih dari yang pernah dilakukannya. Pada saat yang sama, dia juga merasa sangat tertarik pad
a persiapan pernikahan adiknya.
Sampai saat itu Zarri Bano belum bertemu dengan Sikander. Ia tidak datang berkunjung. Suatu hari saat Sikander ditunggu kehadirannya, Zarri Bano malah melakukan ziarah singkat, menghadiri sebuah pengajian di sebuah darbar setempat.
"Suatu hari, aku akan bertemu dengannya juga, tetapi tidak sekarang, jangan dulu." Naluri perempuannya memperingatkannya bahwa dia masih terlalu terluka secara emosional untuk berhadapan langsung dengan Sikander.
* * * Kenyataannya dia memang tidak harus bertemu dengan Sikander hingga hari mehndi, pesta yang disiapkan oleh Ruby tiga hari sebelum hari pernikahan. Pesta itu ditujukan untuk perempuan dan para gadis, di dalamnya ada acara nyanyian dan tarian dengan iringan musik pop, selain lagu-lagu tradisional khas pernikahan, hingga musik tolki, sebuah genderang kecil.
Sepupu kedua gadis itu, Gulshan, sudah tiba seminggu sebelumnya untuk membantu persiapan dan terlibat dalam segala hal. Pada pagi hari acara pesta itu, Gulshan mendekati Zarri Bano dengan kedipan di matanya dan sebuah permintaan khusus. "Sayangku, aku tidak mengizinkanmu mengenakan burqa di pesta itu karena hanya akan ada perempuan dan para gadis."
"Aku harus mengenakan burqa, Gulshan," tukas Zarri Bano.
"Tolong lupakanlah dulu 'kesucian'-mu untuk malam ini saja. Aku ingin kau menari bersama adikmu di pesta ini." Bekas-bekas sarkasme pada diri Zarri Bano tidak juga hilang.
Sebuah desisan mengiringi Zarri Bano yang tercekat mendengar apa yang diusulkan oleh sepupunya.
"Aku" Menari" Itu benar-benar mustahil, Gulshan! Kapan kau melihat seorang Perempuan Suci menari""
"Aku tidak mengenal Perempuan Suci mana pun selain kau. Kau juga adalah sepupuku dan seorang perempuan seperti aku. Aku akan membuatmu menari lihat saja nanti," goda Gulshan yang juga menertawakan raut tersinggung di wajah Zarri Bano. "Tapi, pertama-tama kau harus naik ke kamar Ruby. Aku punya sebuah kejutan untukmu. Ruby dan aku sudah memilihkan beberapa pakaian untukmu. Warnanya merah dan putih. Kami sungguh-sungguh tidak menginginkanmu mengenakan warna hitam, meski itu sudah menjadi warna kesukaanmu. Hanya warna-warna cerah yang cocok untuk pernikahan adikmu."
"Aku tidak bisa melakukannya. Kau harus mengerti, Gulshan!" Zarri Bano benar-benar merasa tersinggung. Dia berusaha melepaskan cengkeraman tangan sepupunya itu saat dia menyeret Zarri menaiki tangga.
"Ayolah, Zarri Bano, hari ini kami ingin melihat sekali lagi penampilan gemerlapmu setuju" Tidak termasuk kejahatan jika kau berdandan atau menari di depan kami para perempuan, bukan" Mengapa kau bersikap seperti ini" Kau tidak boleh mengingkari kesenangan dalam menari atau berdandan dalam dirimu sendiri. Seingatku, dua-duanya pernah memberimu kesenangan yang luar biasa."
Itulah yang terjadi. Zarri Bano tidak dapat meloloskan diri. Sekitar pukul enam, dia didorong untuk memasuki kamar Ruby dan diperlihatkan pakaian-pakaian itu. Akhirnya, Gulshan membantu Zarri Bano berdandan di kamarnya sendiri. Tidak ada lagi cermin tinggi di kamar Zarri Bano, karena itu dia tidak tahu bagaimana rupanya mengenakan pakaian shahrarah yang mengembang, dengan rok panjang dari sifon merah dan tunik yang serasi berwarna putih, dihiasi kepingan berwarna emas yang dibordirkan di gaun itu. Gulshan dengan terampil mendandani wajah Zarri Bano dan menata rambutnya yang kini tampak terurai tak terurus hingga ke bahunya. Dia menambahkan beberapa ikal rambut di tepi wajah Zarri. Seuntai kalung melengkapi dandanan itu.
Gulshan memandangi sepupunya dengan pandangan puas. Betapa piciknya dia karena pernah merasa iri pada Zarri Bano. Dia tak sabar lagi untuk memamerkan Zarri Bano dan mengumumkan kehadirannya dengan teatrikal karena dia sadar betapa semua orang akan terpana dan semua kepala akan berpaling ke arahnya. Karena itu, dia segera mendahului Zarri Bano memasuki ruangan luas tempat musik sedang dimainkan dan tepukan tangan yang mengiringinya terdengar meriah, menambah lincahnya gerakan salah seorang perempuan penari.
Setelah beberapa menit, Zarri Bano melangkah keluar dari kamarnya, merasa ada seorang perempuan
lain yang sedang mengambil alih tubuhnya. Pakaian itu terasa begitu asing dan aneh. Ornamen-ornamennya menusuk-nusuk kulitnya. Keinginan untuk berbalik arah dan menghapus semua riasan wajahnya begitu kuat membuncah. Riasan wajah itu membuatnya merasa seakan-akan sedang memakai masker wajah yang sangat berat. Sensasi aneh yang dirasakannya karena rambutnya ditata ke luar dan beberapa ikal rambut di sekitar wajahnya membuatnya sangat ingin menarik semuanya ke belakang kepalanya dan menyembunyikan setiap helai rambutnya ke balik jilbab burqa-nya. Alih-alih, dia malah menjinjing burqa itu di tangannya.
Ketika mulai menuruni tangga dan mengangkat sedikit roknya dengan kikuk dari lantai dengan sebelah tangannya, Zarri Bano mendengar langkah-langkah kaki di lorong di bawahnya. Dia memandang ke bawah dan kemudian berdiri terpaku di anak tangga teratas dari tangga ulir yang panjang.
Berdiri di ujung tangga itu, Sikander yang sedang mendongak memandangnya. Ia tersenyum, mengira itu adalah Ruby Lalu matanya menyipit saat ia memusatkan pandangannya ke kain berwarna hitam di tangan gadis itu, dan ia pun tercekat. Itu Zarri Bano!
Selama beberapa detik, dunia seakan membeku bagi Sikander. Jantungnya berdegup amat lambat. Senyum di wajahnya perlahan sirna. Memandangi penampilan begitu memesona yang sedang berdiri di ujung tangga membuat rasa sakit yang telah ditekan Sikander selama setahun terakhir itu kembali muncul dalam dirinya, berbentuk sebuah letupan yang dahsyat. Sebuah isakan rindu tertahan di tenggorokannya.
Zarri Bano terus memandanginya, terpana. Setahun terakhir dalam hidupnya yang dihabiskan untuk pengabdian terbaiknya pada agama, luruh begitu saja dari benaknya. Hanya masa kinilah yang berarti. Ah, alangkah kuatnya mantra itu! Dunia seakan berhenti bergerak.
Kemudian sebuah suara dari kamar di dekatnya menyeret Zarri Bano kembali ke alam nyata. Sambil menghela napas berat, dia segera membalikkan tubuhnya dan menghilang dari penglihatan Sikander.
Sikander terpaku di tempatnya berdiri. "Kami bahkan tidak saling mengucapkan sepatah kata pun," ratapnya. Ini adalah pertama kalinya ia melihat Zarri Bano lagi sejak hari penahbisannya dulu.
Sikander masih saja berdiri terpaku di lorong besar itu, tetapi kini menjauh dari tangga ketika mendengarnya melangkah turun. Dengan penuh harap, ia menengadah dan siap untuk menyapanya.
Gadis itu kembali mengenakan burqa hitamnya. Kekontrasan penampilannya sekarang dengan penampilan sebelumnya begitu jelas terlihat. Sambil menegakkan kepalanya dan memandang lurus ke depan, dia melangkah melintasi Sikander. Satu-satunya kata sapaan yang ditujukan Zarri Bano padanya hanyalah, "Assalamu 'alaikum, Adik Sikander."
Kata-kata Zarri Bano itu terdengar menusuk baginya. Mantra itu sudah terucap. Zarri Bano sudah kembali ke dalam cangkang kesalehannya. Mulut Sikander yang berkerut kini membentuk sebuah garis, seulas senyuman pahit. Ia memang akan menjadi adik ipar Zarri Bano.
Sejenak, Sikander nyaris menyerah pada keputusasaannya. Ia terikat pada Ruby, seorang gadis yang setia dan penuh cinta.... Namun, ia masih mencintai kakaknya, cinta sejatinya. Dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk itu semua.
35. ZARRI BANO, mengapa kau masih mengenakan protes Gulshan begitu melihat penampilan sepupunya dalam jilbab hitam.
"Aku harus mengenakannya. Seorang laki-laki bisa saja masuk kemari kapan saja," ucap Zarri Bano membela diri begitu berdiri di dekat Gulshan.
"Tetapi di sini tidak ada orang asing selain anggota keluarga kita. Yang ada, tentu saja, hanyalah mempelai lelaki itu sendiri. Ia akan segera menjadi adik iparmu, karena itu ia tidak akan lagi menjadi orang asing. Kemarilah, aku bantu kau melepaskannya!" dengan cepat Gulshan menarik burqa itu hingga terlepas.
Zarri Bano berdiri dengan canggung di tengah lingkaran perempuan-perempuan yang duduk mengelilinginya. Mereka tampak menahan napas dan terpana memandanginya. Dia merasa seolah-olah sedang berada dalam sebuah pertunjukan makhluk aneh.
"Gulshan, aku akan membuat perhitungan denganmu nanti," desis Zarri Bano seraya dengan cepat menjatuhkan
dirinya dan duduk. "Aku merasa nista! Apa yang akan dipikirkan orang tentang aku" Kau pikir mereka akan menghormatiku lagi" Aku berdandan mengenakan pakaian yang tak pantas hampir seperti perempuan malam!"
"Jangan bodoh," ejek sepupunya itu. "Kau berpakaian dengan gaya busana tingkat tinggi dan kau tahu itu. Kau juga tahu, pada saat ini, di ruangan ini, kau adalah perempuan yang paling memesona."
Semburat rona merah menghilang dari pipi Zarri Bano. "Apa maksud semua ini"" tanyanya.
"Maksudnya" Untuk menikmati hidup, tentu saja. Merayakan keindahan! Merasakan kesenangan momen ini tepat pada waktunya yang merupakan mehndi adikmu. Kau tidak akan mendapatkan kesempatan seperti ini lagi, Zarri Bano."
"Gulshan, apa yang kau katakan itu benar, tapi tolong kau camkan, aku adalah seorang Perempuan Suci."
"Jadi, kau pikir pesta adikmu ini tercela"" tuduh Gulshan. "Ayolah, lupakan sekali saja kesucian dirimu. Berikan pada kami Zarri Bano yang dulu, untuk semalam saja. Ayo, bergabunglah bersama kami untuk merayakan pesta pernikahan Ruby. Ayolah!" Sambil memegang erat tangan Zarri Bano, Gulshan menyeretnya memasuki ruang kosong untuk menari di sisi kiri mereka, di tengah-tengah lingkaran tersebut. Merasa sangat malu, Zarri Bano berusaha kuat menarik tangannya dari cengkeraman sepupunya.
"Tolong, Gulshan," Zarri mengiba, merasa panik. "Jangan lakukan ini padaku ini sangat tidak nyaman."
"Baiklah, gadis-gadis, Zarri Bano dan aku akan menarikan lagu pakeeza 'Cheltah cheltah'. Tolong nyalakan musiknya, dan semua orang boleh bertepuk tangan mengiringinya!"
Dengan penuh semangat, perempuan-perempuan itu mulai bertepuk tangan. Gulshan mengayunkan tubuhnya seiring irama musik, menggerakkan tubuhnya yang gemulai dengan anggun. Rok sifonnya mengembang mengikuti gerakannya. Zarri Bano menatap kerumunan perempuan yang duduk di lantai. Dia menangkap tatapan mata adiknya, Ruby. Dia sedang duduk di atas setumpuk bantalan tinggi, menunggu tangannya dilukis dengan pacar. "Ayolah," pinta sorot matanya, memohon.
Zarri Bano menyerah dan memasuki arena untuk menari. Perlahan tangannya, lengannya, dan kakinya mulai terayun dalam gerakan gemulai yang anggun, mengelilingi ruangan. Shahzadi Ibadat itu terlupakan saat tubuhnya mengingat dengan jelas bagaimana harus menguntai keajaiban dalam gerak dan irama. Tepukan tangan berirama membahana di sekelilingnya. Dia mengimbangi nada lagu itu, tersenyum, dan mempertontonkan lesung pipitnya pada para perempuan itu. Tubuh yang terayun naik turun dengan gerakan sangat anggun akhirnya mencapai sebuah crescendo hingga ke musik yang mengalun pilu.
Akhirnya lagu itu berhenti dan tubuhnya berputar lalu terhenti. Matanya mulai terpusat pada wajah-wajah perempuan yang mengamatinya dengan terkagum-kagum. Lalu, kedua matanya sampai pada seraut wajah. Dia terkesiap kaku. Itu adalah wajah Sikander yang sedang duduk tersembunyi bayangan di ujung lorong.
Zarri Bano jatuh pingsan saat kenyataan menghinggapinya, bahwa Sikander selama ini memandanginya terus dari tempat itu. Tubuh Zarri luruh terjatuh di atas tumpukan bantal di dekat Gulshan. Dua kali dalam sehari itu Sikander melihatnya tanpa burqa. Kali ini situasinya malah semakin mendukung dia disaksikan Sikander tengah menari di sebuah ruang terbuka. Itu adalah pesta pernikahan laki-laki itu. Dan dia memberi pertunjukan tari bagaikan seorang kanjari, seorang gadis penari, di hadapannya. Warna merah menjalari pipi Zarri Bano karena malu tak seorang laki-laki pun yang pernah melihatnya dalam situasi seperti itu.
Dengan tangan bergetar, dia menarik burqa-nya hingga kembali menyelimuti seluruh tubuhnya, membenahi jilbabnya serapi mungkin menutupi rambutnya. Bahkan andai perempuan-perempuan itu mengemis dengan berlutut di depannya sekalipun, dia tidak akan bangkit dan mempermalukan dirinya sendiri lagi. Zarri Bano mengingat dengan jelas gerakan-gerakan sensual tariannya, tubuhnya menggigil lagi karena malu. Dia bahkan tidak mengenakan dupatta atau sehelai selendang pun untuk menutupi tubuh bagian depannya.
Begitu pengendalian dirinya kembali, Zarri Bano memberanikan diri memandang
ke arah kerumunan orang dan berpikir ironis: Setidak-tidaknya, aku sudah membuat Ruby, Gulshan, dan kerumunan perempuan ini senang. Dia mengenang kemampuan menarinya, di saat dia sering diseret ke lantai dansa dalam pesta-pesta mehndi yang dihadirinya dan biasanya dia tidak akan diperkenankan berhenti menari hingga dia menarikan setidaknya lima lagu yang paling populer.
Kembali ke upacara mehndi itu, Zarri Bano membiarkan Gulshan memimpin jalannya perayaan. Beberapa lama kemudian, dia memberanikan diri melihat ke sudut tempat Sikander duduk. Tempat itu kini sudah kosong. Zarri pun bernapas lebih lega. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu berusaha menghindarinya. Tentu saja, nanti akan ada masa-masa ketika dia akan terpaksa bertemu dan berbicara dengannya, tetapi dia tidak akan pernah mau menyengajakan diri bertemu dengannya. Zarri sudah siap membuat rencana untuk sepenuhnya terjun mendalami
peranannya sebagai satu upaya untuk berjarak dengan masa lalunya dan secara khusus mengambil jarak terhadap Sikander, ular berbisa yang meliuk-liuk di antara rumpun bunga di taman mawar pengabdian keagamaannya.
* * * Pada hari pernikahan, Zarri Bano, seperti juga kedua orangtuanya, sibuk dan tidak punya waktu untuk mengobrol dengan Sikander. Para tamu sudah seluruhnya berdatangan dan harus segera ditemui. Semua pengaturan acara pernikahan sudah dilaksanakan. Ruangan luas sudah didekorasi untuk resepsi dan upacara pernikahan. Pagi itu berlalu dalam serangkaian kesibukan berbagai aktivitas. Ruby dikunci di kamarnya bersama Gulshan dan para ahli rias.
Zarri Bano membantu ibunya dengan beberapa penugasan di saat-saat terakhir. Sekitar pukul sebelas, dia memutuskan memeriksa adiknya untuk melihat bagaimana kemajuan persiapan riasan pengantinnya. Menahan napas melihat penampilan Ruby, Zarri tercekat. "Oh sayangku, kau tampak memesona!"
Tepat pukul dua belas tiga puluh, mempelai laki-laki dan rombongannya tiba untuk melangsungkan upacara dari Karachi. Sebagian besar anggota keluarga Zarri Bano telah bersiap di halaman depan untuk menyambut dan menerima kedatangan mereka. Para gadis menggenggam mangkuk-mangkuk porselen kecil menunggu untuk menaburkan bunga di kepala mempelai laki-laki dan rombongannya.
Sendirian, Zarri Bano mengawasi semua itu dari jendela kamar tidurnya terlihat olehnya jajaran mobil dan iring-iringan para pemusik berjalan kaki dengan riang gembira menyuarakan nada-nada pesta pernikahan. Yang memimpin iring-iringan itu adalah sang mempelai laki-laki di atas seekor kuda putih, sesuai dengan adat istiadat yang sudah berlangsung berabad-abad.
Zarri Bano nyaris tidak bisa mengenali Sikander yang berbusana layaknya seorang mempelai laki-laki, mengenakan serban tradisional bertaburan manik-manik, atau khullah, di kepalanya dan sebuah jaket panjang putih dengan shalwar yang serasi. Mata Zarri Bano menatap lekat wajahnya. Kuda itu berderap pelan untuk kemudian berhenti tepat di depan gerbang.
"Kismet, kau sangat kejam." Zarri Bano memalingkan wajahnya dari jendela, merenung tentang berapa banyak perempuan atau laki-laki yang pernah mengalami skenario mimpi buruk seperti yang sedang dialaminya ini. "Bagaimana mereka mengatasi semua ini"" gumamnya.
"Aku seorang Shahzadi Ibadat!" dengan getir dia berseru pada dirinya sendiri. "Seorang perempuan yang sudah menampik pernikahan dan kehidupan normal. Aku adalah seorang yang sudah mencampakkannya." Itu sebabnya dia sedang membayar semua ini sekarang. Kata-kata Sikander terngiang kembali mengejeknya, "Kau akan mati untukku di hari pernikahanku."
Zarri Bano sudah memohon pada Allah agar selalu membuatnya sibuk. Hari ini, entah bagaimana, pemandangan tentang Sikander telah menunjukkan padanya bahwa di balik semua itu, dia masih seorang manusia rapuh semata-mata hanyalah korban dari penderitaan dan kemenangan dalam kehidupan.
"Aku sedang mati untukmu, Sikander. Kau berhasil membalaskan dendammu." Zarri Bano menghapus lelehan air mata dari pipinya dengan penuh amarah. Dengan gigi-gigi gemeretak, dia berjanji pada dirinya sendiri, "Zarri Bano tidak akan pernah menangisi seorang
laki-laki lagi! Aku akan mengunci diriku, mengubur sisi-sisi rapuhku, selamanya. Aku akan menunjukkan pada diriku sendiri dan pada dunia, bahwa aku memang satu-satunya yang murni, yang suci! Untuk melakukannya, pertama-tama aku harus mengeluarkan Sikander dari inti keberadaanku."
Dengan agak bimbang, dia membuka salah satu laci meja riasnya dan mengeluarkan tiga buah cangkang kerang laut yang disembunyikannya dalam sebuah kotak kecil. Seraya meletakkannya di atas telapak tangan, Zarri Bano memandangi ketiga benda itu selama beberapa saat. Perlahan-lahan, dia mengangkat jaring gorden jendelanya, lalu melemparkan kerang-kerang itu lewat jendela yang terbuka, jauh melewati dinding rumahnya. Penghubung terakhirnya dengan Sikander sudah hilang.
* * * Selama berlangsungnya upacara pernikahan, Zarri Bano tetap berada di belakang. Upacara "penyambutan susu", di mana kedua kakak beradik itu secara adat menawarkan segelas susu kepada mempelai laki-laki, diganti dengan pemberian uang. Zarri Bano sudah menguasakannya pada Gulshan. Dia tidak sanggup berdiri di depan Sikander. Ketika melihat adiknya duduk di samping Sikander di altar seusai upacara pernikahan, dan Ruby tampak tertawa-tawa di depan wajah Sikander, Zarri Bano tahu bahwa ikatan masa lalunya akan benar-benar terputus malam itu.
Dengan penasaran, Zarri mengamati sorot mata Sikander. "Sepasang mata itu pernah berkilauan dalam mataku juga!" ratapnya. Sikander tidak bisa melihat Zarri Bano, tetapi mata Zarri menikmati memandangi Sikander untuk terakhir kalinya.
Tidak sanggup lagi bertahan, Zarri Bano meninggalkan ruangan itu dan melangkah memasuki halaman belakang. Sambil duduk di sebuah kursi di beranda, dia menatap sedih rumpun mawar. Dia mendengar sebuah suara di belakangnya, segera saja dia memperbaiki topeng mimik wajahnya.
Fatima berdiri di belakangnya. "Aku juga merasa kegerahan di dalam ruangan luas itu, Sayangku," ujarnya.
"Ya, Fatima." Zarri Bano bangkit dan siap beranjak pergi.
"Beristirahatlah, Sayangku. Kau sudah sangat sibuk." Dengan lembut, Fatima mendorong tubuh Zarri Bano agar kembali duduk. Sejenak keheningan penuh arti meruap di antara mereka. "Ia tidak pantas mendapatkannya," perempuan itu berkata dengan nada sedih.
Mata Zarri Bano membelalak lebar. "Aku tidak tahu apa yang kau maksud, Fatima. Jika kau sedang membicarakan Sikander, kau tidak perlu mengkhawatirkan aku, tetapi ia memang pantas menikahi adikku. Aku sangat berbahagia untuk Ruby. Ingatlah bahwa aku adalah seorang Perempuan Suci. Bagaimana kau bisa memikirkan hal seperti itu" Sungguh-sungguh...," tawa gugup Zarri Bano membuat batinnya terasa ringan. "Ayo, kita harus memamerkan gaun pengantin Ruby ke semua perempuan yang ada di sini. Gulshan sudah melakukan segalanya. Kau dan aku akan melakukan tugas ini bersama-sama."
Bertahun-tahun kemudian, Zarri Bano menyadari bahwa momen itulah, ketika mereka berada di taman belakang, saat hambatan terbesar yang coba dia lalui pada akhirnya berhasil terlewati berkat kata-kata simpatik Fatima. Untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa semua itu tidak ada artinya lagi baginya, Zarri Bano bahkan menawarkan diri untuk menemani Ruby ke rumah Sikander.
"Aku orang yang berkemauan kuat dan aku akan membuktikan pada diriku sendiri dan pada dunia bahwa aku memang sungguh-sungguh seorang Perempuan Suci. Kuharap Sikander menemukan kebahagiaannya bersama adikku. Tidak akan ada lagi calon-calon pelamar di dalam hidupku!" Dia menyatakan doa pribadinya itu saat bersimpuh di atas sajadah di malam pengantin adiknya.
36. FATIMA MENYEWA sebuah tanga, kereta berkuda, untuk membawanya dari Chiragpur menuju rumah tempat Khawar tinggal, di desa tetangga. Setelah memberi upah di muka pada si kusir, dia meminta kusir itu menunggunya di luar karena tidak ada taksi di sekitar desa itu. Bahkan, tanga pun merupakan kendaraan langka saat itu.
Dibangun di pinggiran desa, rumah Khawar yang besar berdiri tegak sendirian di tengah-tengah ladang yang hijau. Ia mewarisi dua buah rumah semacam itu saat ayahnya meninggal dunia. Ia mempekerjakan dua orang pelayan untuk menjaganya dan Rani, s
eorang perempuan tua yang membantunya memasak dan mencuci sehari-hari. Ranilah yang mempersilakan Fatima masuk dan mengantarnya memasuki ruang tamu, memintanya menunggu Khawar kembali.
"Tidak akan ada mimpi-mimpi lagi," ujar Fatima getir pada dirinya sendiri. "Semuanya berakhir sudah."
Dia sudah mendapatkan pelajaran, dengan baik dan sungguh-sungguh. Kebahagiaan putrinya dan kesejahteraannya lebih berarti baginya daripada mimpi bodohnya melihat Firdaus sebagai kepala sekolah sekaligus calon chaudharani di desa itu. Kedudukan yang terakhir itu sudah ditampiknya sekitar tiga puluh tahun yang lalu ketika dia memutuskan untuk menikah dengan Fiaz, daripada Sarwar.
Memarahi dirinya sendiri tetap tidak membuatnya mudah menghilangkan mimpinya itu. Sekian lama, hati Fatima terus tertambat pada Khawar, sebagai calon menantu tertuanya.
Dia masih bisa mengingat sorot mata Kaniz ketika salah satu tamu perempuan berbisik dengan cukup nyaring dan tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain pada si pengantin baru, "Itu dia Fatima, perempuan yang ingin dinikahi Sarwar, tetapi dia menolaknya."
Sambil tersipu, Fatima segera saja menengadah dan melihat sorot mata tajam Kaniz ke wajahnya. Karena memahami perasaan sang pengantin baru, batin Fatima pun bersimpati padanya. Setelah itu, dia diperingatkan bahwa perempuan itu sangat ketus dan nyinyir.
Kaniz tidak bisa melupakan ataupun memaafkan Fatima karena menjadi "perempuan lain". Fatima, sebaliknya, harus mengubah pendapatnya tentang Kaniz karena chaudharani baru itu segera menampakkan sikapnya, dalam segala hal, menunjukkan bahwa Fatima sama sekali tidak diinginkan di rumahnya. Kemudian, dia menggunakan pelayannya, Neesa, untuk menyatakan dengan gamblang pada Fatima bahwa dia tidak berhak datang ke rumahnya. Saat itulah permusuhan itu dimulai, seiring dengan bertambahnya bulan dan tahun.
Ketika Fiaz mengalami kecelakaan dan Fatima bekerja sebagai pelayan di rumah Siraj Khan, Kaniz mendapat kesempatan untuk membalas dendam.
Sambil meraup setiap kesempatan yang datang padanya, Kaniz dengan terang-terangan dan tanpa ampun bersikap sinis pada "si tukang cuci" yang merupakan perempuan yang sebenarnya ingin dinikahi Sarwar. Fatima sendiri tidak pernah punya cukup waktu untuk meladeni Kaniz dan cemoohannya yang tidak penting itu. Dia menghadapi serangkaian tugas untuk mempertahankan keluarganya dan merawat suaminya yang tak berdaya. Dia bahkan menemukan kepercayaan dan seorang teman dalam diri Chaudharani Shahzada.
Fatima sedang tenggelam dalam lamunan tentang masa lalunya dengan Kaniz ketika mendengar suara kaki Khawar di luar beranda. Dia menengadahkan wajahnya, mengagumi jajaran gigi putih pemuda itu dan senyumnya yang selalu mengembang di wajahnya.
Fatima tidak membalas senyum itu.
"Assalamu 'alaikum, Bibi Fatima. Betapa ini adalah kejutan yang menyenangkan!" Sambil mengibaskan debu dari sepatu botnya dengan sehelai sapu tangan, Khawar melangkah memasuki ruangan itu. Fatima berdiri. Sorot matanya menatap sosok pemuda bertubuh tinggi dan atletis itu.
"Kemari dan duduklah di sini, Bibi Fatima, dan katakan padaku semua kabar yang kau bawa. Bagaimana kabar semuanya""
"Semuanya baik-baik saja, Khawar. Bagaimana dengan dirimu sendiri" Kau tampak sudah menetapkan diri untuk tinggal selamanya di tempat ini, Anakku."
"Ya, aku sangat bahagia di tempat ini, Bibi," balasnya sopan. Ia merasa tidak enak mendiskusikan perihal dirinya yang berpisah dari ibunya.
"Rasanya tidak benar jika kau harus ada di sini," ujar Fatima dengan hati-hati.
"Mengapa, Bibi""
"Ya, ibumu yang malang sendirian di desa sekarang. Kau adalah anaknya semata wayang, Khawar, dan kau seharusnya tinggal bersamanya." "Bagaimana kabar Firdaus""
"Dia baik-baik saja, tetapi dia akan meninggalkan desa itu untuk selamanya, Anakku." "Apa"" tanyanya kaget. Khawar sontak berdiri.
"Ya, Anakku. Dia ingin meninggalkan kita dan desa itu. Dia sudah ditawari jabatan baru sebagai wakil kepala sekolah di sekolah tinggi khusus untuk perempuan di kota. Aku tidak bisa membujuknya untuk tetap tinggal di desa. Kini semuanya telah berakhir, Anakku."
"Apa maksudmu , Bibi"" "Maksudku, dia tidak ingin memiliki keterkaitan apa pun lagi denganmu, ibumu, atau rumahmu. Dia begitu kukuh berpendapat bahwa kau adalah orang terakhir yang ingin dinikahinya." Fatima nyaris menyesali kata-katanya. Khawar adalah laki-laki kedua dalam keluarganya yang ditampik cintanya.
"Aku sangat menyesal, Khawar," ujar Fatima dengan suara yang lebih lembut. "Aku sudah berusaha sekuat tenaga, kau tahu itu. Namun, segalanya terjadi di luar kendaliku."
"Ini perbuatan ibuku, bukan"" suara tajam Khawar mengiringi kilatan dingin yang terlintas di sorot matanya.
"Menurutku, ibumu tidak membantu dalam hal ini. Beberapa saat yang lalu dia mendatangi sekolah Firdaus dan itu jelas membuat segalanya jauh lebih buruk. Dia mungkin saja memiliki serangkaian alasan untuk bersikap seperti itu. Namun, yang ingin kukatakan padamu, Khawar, hanyalah agar kau kembali pulang ke rumah ibumu: Aku tidak ingin kau terlihat asing darinya."
"Aku tidak ingin pulang!"
"Kau harus pulang, Sayang. Ibumu sangat menyayangimu. Aku datang untuk memintamu pulang ke rumah dan mengesampingkan Firdaus dan kami di luar benak dan hatimu."
"Tidak semudah yang kau katakan, Bibi. Dan mengapa aku harus pulang hanya karena kau dan ibuku mengatakannya. Bolehkah aku bertemu Firdaus""
"Aku akan mengusulkannya, Anakku, tapi tidak saat ini. Suasana hatinya sedang sangat tidak enak. Ibumu dan aku tidak mampu meredakannya. Harga dirinya sangat terluka karena kami berdua."
"Bagaimana dengan masa depan, Bibi" Aku tidak akan membiarkannya pergi tanpa berjuang untuk mempertahankannya."
"Itu terserah padamu, Anakku tetapi secara pribadi aku tidak menyarankanmu untuk melakukannya. Aku juga tidak ingin kau melakukannya. Kau tahu sendiri, Khawar, betapa aku selalu menginginkanmu sebagai menantu tertuaku. Namun, sepertinya Firdaus sudah ditakdirkan untuk orang lain. Jika kau menghargaiku, kuharap aku bisa melihatmu kembali berada di rumah keluargamu di Chiragpur bersama ibumu dalam beberapa hari ini."
Fatima berlalu, menolak tawaran untuk makan malam dan menikmati minuman penyegar. Tanga-nya dengan sabar menunggu. Si kusir masih saja sibuk mengunyah paan-nya. Fatima sudah mencapai tujuannya berbicara apa adanya pada Khawar.
37. SABTU PAGI yang cerah ceria, dengan matahari bercahaya terang di langit Chiragpur. Burung-burung desa berkicauan di pepohonan. Fatima masih saja tak menikmati siang yang menjelang dan tugas tidak menyenangkan yang menunggunya. Dia membiarkan pagi itu berlalu di atas atap rumahnya.
Akhirnya, setelah pukul dua tepat, Fatima memaksakan diri untuk meninggalkan rumahnya. Keengganannya begitu terasa di setiap langkahnya di atas jalanan berbatu, tak terhindarkan lagi, menuju arah rumah Kaniz.
"Bertahun-tahun waktu yang terbuang sia-sia," ucapnya sedih. Andai saja dia mengetahuinya! Keegoisan diri adalah sesuatu yang sangat sulit dihadapi. Sekian lama dia memimpikan perjodohan putri sulungnya dengan Khawar, dan dia sudah mulai memercayainya sebagai sebuah penyelesaian masa lalu. Dan kini, Firdaus sudah siap pergi ke kota untuk memulai pekerjaan barunya.
Hari ini Fatima berniat mengakhiri semua mimpinya bertahun-tahun dan membiarkan Kaniz menganggap dirinya sebagai pemenang, sementara dirinya sendiri menjadi si pecundang yang malang. Ini adalah hari untuknya menundukkan kepala karena malu dan menerima semua cemoohan tak beradab Kaniz sebagai kebenaran. "Bahkan andai mulut perempuan itu menyemburkan bisa sekalipun," seru Fatima pada dirinya sendiri, "hari ini aku akan dengan rela menelannya dengan segenap harga diri dan membungkuk di hadapan Chaudharani Kaniz, dengan penuh hormat untuk selamanya."
Di luar gerbang rumah Kaniz, Fatima mengangkat jemarinya di depan bel pintu belum cukup siap untuk menekannya. Ketika pada akhirnya dia menekan tombol bulat kecil itu, jantungnya mulai memalu kencang di dadanya, membuatnya terpaku dan tercenung. Neesa membuka pintu gerbang dan mempersilakan Fatima memasuki halaman tengah yang dihiasi pilar-pilar pualam hingga ke sofa berkanopi di beranda.
Terpana, Fatima menatap ke sekelilingnya, ke arah beraneka tanaman dalam pot
yang berjajar rapi di beranda, menciptakan sebuah arena yang menarik di halaman. Tempat itu sangat indah. Fatima teringat ketika para arsitek terkemuka dipanggil dari Karachi oleh ayah Khawar untuk merancang semua itu. Fatima diam-diam membayangkan putrinya, Firdaus, berjalan ke sana-kemari di tempat itu dengan riang, di antara kamar-kamar di lantai dua atau bermandi cahaya matahari di balkon-balkon atap yang berpagar teralis. Fatima menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pilu. Ini adalah saat untuknya berpisah dengan mimpi-mimpinya itu.
* * * Kaniz sedang menikmati istirahat siangnya di kamar tidur luasnya yang berpenyejuk udara ketika Neesa dengan lembut menyentuh tangannya. Dia benar-benar tidak senang dibangunkan dari sebuah mimpi yang menyenangkan. Otaknya masih setengah bermimpi, tidak segera memahami kata-kata Neesa yang menyatakan bahwa "Fatima Jee" ada di sini untuk menemuinya. Dia terduduk di atas palang-nya dan mulai membenahi chador ke sekeliling bahunya.
Begitu melihat "musuh"-nya memasuki ruangan, mata Kaniz yang berbentuk almond mula-mula mengecil menjadi segaris tipis dan kemudian membelalak lebar. Tubuhnya tegak kaku. Pikirannya menjadi buntu seketika. Mengapa perempuan yang dibencinya itu berada di sini, di kamar tidurnya" pikirnya bingung.
Fatima tetap terpaku di ambang pintu. Wajahnya lurus dan matanya menatap tajam wajah Kaniz.
"Assalamu 'alaikum!" suara penuh percaya dirinya yang dingin membahana di kamar sunyi yang temaram itu dan mengejutkan penghuninya.
"Wa 'alaikumussalam!" sahut Kaniz kaku, masih tak mampu menatap ke arah Fatima. Etiket sosial dan tata krama desa menuntutnya untuk memperlakukan Fatima layaknya seorang tamu. Yang paling mungkin dilakukannya saat ini adalah menganggukkan kepalanya pada Fatima dan memberi isyarat untuk mempersilakannya duduk. Perasaan terhina tidak juga sirna dalam diri Fatima. Itu adalah bahasa tubuh yang menyerupai sikap yang dilakukan Kaniz terhadap Neesa, pelayannya. Tampaknya Fatima tidak lebih dari pelayannya itu.
Dengan jantung berdegup kencang, Fatima segera menguatkan diri dan berusaha mengatasi keadaan. Dia tidak datang untuk bertengkar dengan sang chaudharani, melainkan untuk bersikap terkendali dan dewasa. Kemudian dengan anggun dan bersahaja, dia memutuskan untuk mengabaikan penghinaan Kaniz yang tak berguna itu.
Dia malah melangkah dua langkah ke depan di atas lantai bermozaik marmer yang dingin, menolak duduk di kursi, seakan-akan memberi isyarat pada Kaniz bahwa dia tidak berada di tempat itu untuk mengerjakan "apa yang diperintahkannya".
"Apa yang membawamu ke rumah kami, Fatima Sahiba"" Sebuah beban yang amat berat dengan penggunaan kata "Sahiba" terdengar ironis di telinga Fatima.
"Aku berpikir ada baiknya jika kita melakukan sebuah perbincangan," ujar Fatima dengan penuh harga diri.
"Mengenai apa"" Kaniz sangat membenci nada suaranya yang dingin dan karena dia cepat kehilangan kendali di depan musuhnya.
"Tentang anak-anak kita dan masa lalu kita, Kaniz Sahiba," jawab Fatima dengan suara lirih.
Kaniz memalingkan wajahnya. Sambil mengambil kipasnya, dia mulai mengipas-ngipas leher jenjangnya dan melepaskan chador Muslimnya dari kepala dan bahunya. Saat menolehkan kepalanya, dia menangkap tatapan tajam Fatima.
"Menurutku, kita tidak memiliki persamaan. Kau sangat lancang menyimpulkan demikian," sahutnya ketus. Pipinya kini terasa sangat hangat.
"Aku tidak sependapat, tetapi jika kau memaksa, baiklah, aku setuju kita tidak memiliki kesamaan apa pun. Namun, aku tidak datang kemari untuk mendengarkan hinaanmu atau bersilat lidah denganmu, Kaniz."
"Lantas untuk apa kau kemari"" tanya Kaniz. Kedua pipinya yang berwarna terang kini merona merah.
"Aku datang untuk memberitahumu bahwa putriku telah meninggalkan desa ini. Dia mendapat jabatan sebagai wakil kepala sekolah di sebuah sekolah tinggi...."
"Jadi, kau datang kemari hanya untuk menyombongkan hal itu, bukan"" tukas Kaniz ketus.
"Tidak. Bukan!" tukas Fatima. "Aku datang untuk memberitahumu bahwa putriku sudah menetapkan hati bahwa Khawar adalah orang terakhir yang akan dinikahinya. Dia sedang menguc
apkan salam perpisahan pada desa ini untuk selamanya. Aku tidak akan berpura-pura di hadapanmu. Kuakui bahwa aku sudah berharap atas dirinya dengan Khawar. Untung saja kini aku sudah tersadar. Adakah gunanya, kutanya diriku sendiri, membenamkan wajah seseorang ke dalam lumpur berkali-kali hanya untuk membuatnya berlumuran noda" Putriku pantas mendapatkan yang lebih baik. Kau dan putramu bahkan tidak pantas membersihkan sepatunya. Aku sudah bersikap bodoh, sangat bodoh, dengan menginginkan Firdausku menikah dan masuk ke dalam rumah tanggamu." Fatima menarik napas berat.
"Syukurlah, akhirnya aku tersadar, Kaniz. Aku sudah memutuskan akan melakukan apa pun yang diinginkan putriku itu. Lewat kekeraskepalaan dan keegoisanmu, kau sudah kehilangan putramu. Aku tidak akan kehilangan putriku dengan cara yang sama. Aku sudah menghabiskan bertahun-tahun hidupku bekerja untuk menyekolahkan putri-putriku dan mendapatkan sebuah kehidupan yang layak. Aku tidak akan membiarkannya terbuang percuma." Fatima menatap nanar perempuan di depannya.
"Aku tidak memiliki cukup uang untuk mengurus anak-anakku, tidak sepertimu. Aku bisa saja seperti ini jika bersedia menikah dengan Sarwar kau tahu itu, bukan" Kau tidak pernah berterima kasih padaku, bukan" Kau menjadi seorang chaudharani hanya karena aku menolak menikah dengan Sarwar. Kau seorang malika, ratu di desa ini, yang memperlakukan semua orang seperti sampah, tetapi jangan kau lupa, aku tahu siapa dirimu dan dari mana kau dibesarkan. Kau sudah melupakan akarmu rumahmu yang kumuh dengan tumpukan charpoy tumpang tindih di atasnya, dan saudara-saudaramu bertindihan karena kekurangan tempat. Kau sangat tidak bersyukur dan tidak tahu terima kasih. Kau adalah seorang perempuan yang tidak tahu bagaimana menggunakan kekayaannya. Kau harus dilahirkan di antara kekayaan itu untuk melakukannya."
Saat itu Kaniz sudah terlonjak dari palang-nya.
"Berani-beraninya kau datang kemari untuk mencaciku di rumahku sendiri!" Mulutnya ternganga dan terkatup merasa terguncang.
"Aku tidak sedang mencacimu," lanjut Fatima tenang sambil kedua matanya menatap lekat wajah Kaniz. "Hanya memberimu dosis penuh tentang apa yang selalu kau lakukan pada orang lain. Hari ini aku akan menghapus semua catatan di antara kita, untuk selamanya. Tidak akan ada jalan untuk kembali, tidak untukmu ataupun untukku, Kaniz. Memang benar, sebagaimana yang dengan puas hati kau sebarkan pada seisi desa bahwa tanganku penuh jelaga, tetapi katakan padaku, siapakah yang pertama kali pantas dan sejajar dengan Sarwar" Aku atau kau" Kau tahu bahwa keluargaku adalah keluarga pemilik lahan dan karena harga dirikulah aku tidak mau menerima bantuan mereka. Aku ingin menafkahi sendiri keluargaku. Kelemahanku, tidak sepertimu, Kaniz, adalah kebanggaan atas pencapaianku sendiri dan hasil jerih payahku. Aku tidak ingin selalu menengadahkan telapak tangan pada siapa pun.
"Tahukah kau, atau bisakah kau bayangkan, bagaimana rasanya bekerja, menafkahi sebuah keluarga" Kau tidak bisa membayangkannya, bukan" Kau yang sudah terbiasa menggonggong pada para pelayanmu. Aku menikah dengan suamiku bukan karena kekayaannya, tetapi karena cinta. Kau menikahi Sarwar karena harta. Itu perbedaan di antara kita." Suara Fatima semakin nyaring.
"Memang benar, dalam buku tata krama sosialmu, aku melakukan pekerjaan yang hina. Aku menggosok, mencuci, dan membawakan benda-benda untuk orang lain. Tetapi, itu adalah pekerjaan yang jujur dan halal. Tentu saja sangat berbeda dengan gaya hidupmu yang bermalas-malasan, di mana kau sepenuhnya bergantung pada orang lain. Aku mencukupi kebutuhan putri-putriku sendiri. Semuanya itu kuraih dengan jerih payahku sendiri. Coba katakan padaku apa yang sudah kau capai selain melahirkan seorang anak laki-laki""
"Cukup!" teriak Kaniz. Dia benar-benar tersinggung. "Aku tidak akan mendengarkan lagi caci makimu. Kau gila, perempuan pengamuk keluar! Neesa!" Sepasang matanya kini benar-benar terbeliak di dalam lubangnya.
Dengan tenang Fatima hanya tersenyum, menunjukkan sebaris giginya yang putih rata. "Jangan takut aku akan pergi. Kau tidak harus
mendengarkan apa pun lagi. Aku sudah mengatakan semuanya lebih dari yang kurencanakan, tetapi kau memang pantas mendapatkannya, Kaniz. Bab permusuhanmu terhadapku dan keluargaku akan berakhir saat ini juga. Putri-putriku dan aku menolak memiliki keterkaitan apa pun denganmu atau putramu. Kau bisa mengambil semuanya. Semua itu jauh di bawah kami. Selamat tinggal." Dengan langkah penuh harga diri, Fatima keluar dari kamar itu, meninggalkan sang chaudharani desa itu dengan mulut setengah terbuka, berdiri kaku di tengah-tengah ruangan nyaris histeris.
Fatima berpapasan dengan Neesa di halaman. Dia membawa sebuah baki berisi satu bejana jus limau dingin dan sebuah gelas.
"Kau harus minum dulu, Sahiba Fatima," pinta Neesa sopan.
"Terima kasih, Neesa. Aku rasanya tidak ingin minum setetes air pun di rumah ini saat ini dan majikanmu juga tak akan berterima kasih padamu karena menawarkannya padaku." Dia menyunggingkan sebaris senyum penuh arti pada perempuan itu sebelum melangkah keluar dari bangunan itu, lalu menutup pintu gerbang dengan mantap di belakangnya.
Di dalam hatinya, berbagai perasaan berkecamuk Fatima menang karena dia sudah mengatakan semuanya. Dengan pedih, diakuinya bahwa itu adalah kemenangan yang hampa, menyadari bahwa Khawar tidak pernah ditakdirkan untuk menikah dengan putrinya. Andai saja.... Ah, tidak boleh ada lagi angan-angan bodoh! Dengan marah Fatima membuka gerbang rumahnya sendiri.
Bagian Kedua Dalam kegelapan malamku, mereka menyampaikan padaku Kabar-kabar baik pagi hari, Memadamkan nyala pelita,
menghadapkanku Pada terbitnya matahari.
-Mirza Asadullah Khan Ghalib (1797-1869)
38. PADA IDUL Fitri, Ibrahim, Pakinaz, dan Zarri Bano melayari Sungai Nil dari Kairo ke kota kuno, Luxor, di selatan. Mereka menghabiskan dua hari pertama untuk beristirahat setelah sebuah perjalanan wisata melelahkan ke Kota Aswan dan monumen-monumen kuno kota itu. Pada hari ketiga, mereka mengunjungi Lembah para Raja. setelah menyeberangi Sungai Nil menggunakan kapal feri, mereka naik taksi ke Kuil Ramses. Zarri Bano takjub pada beranda agung yang tinggi, terpahat dalam bebatuan yang kemerahan serta lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan hieroglif yang dipahat dengan indah di dinding, pilar, dan langit-langit.
Di luar, cahaya terik matahari siang memanggang kepalanya. Merasa kepanasan dalam balutan burqa hitamnya yang panjang, dia amat senang saat kembali naik taksi berpendingin udara dan melaju ke Lembah para Raja.
Makam Raja Ramses adalah tujuan pertama mereka. Mereka bertiga dengan gembira memasuki lorong panjang yang lebar. Terpukau oleh lukisan hieroglif raksasa aneka warna yang dilukis di dinding, mereka berjalan bersama menuju ruangan luas tempat menaruh sarkofagus sang Raja seraya menyimak penuh perhatian saat pemandu wisata Mesir menceritakan sejarah makam itu.
Kembali keluar, mereka menyeberang jalan dan pergi ke makam yang jauh lebih kecil milik Raja Tutankhamen yang legendaris. Tempat itu dipenuhi para wisatawan dan Zarri Bano merasa kesulitan melihat sarkofagus raja muda itu dengan leluasa. Harta karun dan barang-barang peninggalannya tersimpan di Museum Kairo.
"Sangat mengesankan, Abang Musa," ujar Zarri Bano pada Ibrahim ketika Ibrahim berdiri menyamping agar Zarri bisa memandang makam itu dalam kamar yang agak gelap. "Mana Pakinaz""
"Pergi ke toko cenderamata untuk membeli oleh-oleh bagi kemenakan kami. Kau ingin tinggal di sini lebih lama dan menikmati waktu""
"Tidak. Kurasa sudah cukup aku melihat-lihat. Kita keluar saja"" Mereka kembali melintasi jalan yang tadi mereka lalui, membiarkan para pelancong yang tengah melihat-lihat, kebanyakan orang Eropa atau Amerika, melintas. "Kita tunggu Pakinaz di sini saja," saran Ibrahim. "Di sini teduh dan hawanya lebih sejuk."
"Terima kasih." Zarri Bano bergerak ke tempat yang ditunjukkan oleh Ibrahim di sampingnya dengan penuh rasa terima kasih.
Ketika mereka berdua memandangi para wisatawan yang baru keluar dari makam itu, keheningan yang canggung melingkupi mereka. Keheningan itu dipecahkan oleh perkataan Ibrahim dalam bahasa Arab. "Menikahlah denganku, Zarri Bano."
Merasa terkejut, sepasang mata Zarri menatap wajah Ibrahim, berpikir dia hanya mendengar perkataan Ibrahim itu dalam lamunan. Namun, seperti dirinya, Ibrahim juga mengenakan kacamata hitam yang menghalangi sepasang matanya dan ekspresi yang ditunjukkannya. Zarri menunggu denyut nadinya berdetak cepat, berharap dia hanya salah paham.
"Maafkan aku, Abang Ibrahim-apakah kau mengatakan sesuatu"" Zarri ragu-ragu bertanya untung-untungan dalam bahasa Inggris seraya menatap pegunungan berbatu yang tandus, jauh di balik bahu Ibrahim.
"Ya, Zarri Bano. Aku yakin kau mendengarku, tetapi barangkali terlalu mengejutkan untuk memercayai apa yang baru saja kukatakan. Maafkan aku. Aku akan mengulanginya dalam bahasa Inggris, kalau-kalau kau mengira hanya mendengarnya dalam lamunan. Aku melamarmu menjadi istriku, Zarri Bano. Tiada lagi yang membuatku bisa lebih bahagia."
Zarri Bano menghela napas dalam-dalam dengan cemas dan bangkit dari samping Ibrahim.
Saat Ibrahim menatapnya, semangat Ibrahim merosot. Ini bukanlah tanggapan yang ia harapkan. Merasa tidak senang, ia mengikuti Zarri Bano ke deretan pertokoan dan melihatnya menghampiri Pakinaz, lalu berdiri di dekatnya. Ia memahami isyarat itu. Zarri Bano sengaja menjauhinya secara terang-terangan. Seraya melambai pada adik perempuannya, Ibrahim berjalan dan naik ke dalam taksi yang menunggu mereka.
Pakinaz dengan gembira menunjukkan seekor kucing alabaster yang dibelinya untuk kemenakan perempuannya kepada Zarri Bano. Zarri Bano berpura-pura mengaguminya, tetapi pikirannya sesungguhnya bukan tertuju pada kucing itu, melainkan pada lelaki yang tengah menunggu di dalam taksi. Pakinaz naik ke kursi depan, membuat temannya tak punya pilihan lain kecuali duduk di belakang bersama Ibrahim. Mereka melaju, dalam diam, untuk naik kapal feri melintasi Sungai Nil dengan tujuan ke kompleks kuil di Karnak.
"Hei, kalian berdua!" panggil Pakinaz dari depan. "Kalian pendiam sekali-apakah hawa panas ini kalian rasakan juga" Aku berani bertaruh, Zarri Bano. Kau pasti merasa terpanggang dalam hijab hitammu."
"Kurasa memang begitu, Pakinaz, karena hawa panas bisa membuat kita berkata dan berbuat hal-hal yang tak masuk akal." Zarri Bano melirik penuh arti pada Ibrahim. Mulut Ibrahim mengatup, dibiarkannya waktu berlalu dan ia tak mengucapkan sepatah kata pun.
Setelah menyeberangi Sungai Nil, mereka berjalan menuju kompleks Karnak. Ketika mereka telah sampai, Ibrahim berkata pada adik perempuannya. "Aku akan mengajak Zarri Bano melihat-lihat berkeliling, Pakinaz, karena aku tahu betul sejarah tempat ini." Ia lalu beralih berbicara dari bahasa Inggris ke bahasa Arab dan Pakinaz mendengarkannya lalu mengangguk-angguk. Zarri Bano berdiri di dekat mereka, merasa tak berdaya dan terjebak. Dia tak ingin melihat-lihat kompleks bangunan kuno itu hanya berduaan dengan Ibrahim.
"Lewat sini, Zarri Bano," Ibrahim memberi isyarat seraya terus berjalan dan tak memberi waktu pada perempuan itu untuk menolak.
Zarri mencatat dengan kesal bahwa ini adalah kali ketiga Ibrahim menghilangkan sebutan "adik" ketika memanggilnya.
Dengan berdiam diri, dia mengikuti Ibrahim sepanjang jalan antara pilar-pilar kerajaan yang mencakar langit, permukaan kuno mereka ditatah oleh tulisan-tulisan yang terlupakan. Bentuk-bentuk binatang para dewa Mesir berbaris di gerbang menuju kompleks itu.
Di tengah para wisatawan dari seluruh dunia, Ibrahim berjalan perlahan-lahan, membiarkan Zarri Bano hanyut dalam kemegahan tempat itu dan merenungkan suasana peninggalan kejayaan masa lalu Mesir itu. Zarri Bano membayangkan seperti apakah keadaan pada masa hidup Ratu Hatshepsut dan Raja Ramses yang membangun kompleks raksasa ini. Semilir angin sejuk bertiup sepoi-sepoi di antara pilar-pilar tinggi, melembutkan darahnya yang menggelegak dan menggelembungkan lipatan gelap, burqa-nya di atas tubuhnya.
Ibrahim membawanya ke salah satu ruangan terpencil, menjauh dari kerumunan, dan duduk di atas sebongkah batu besar yang jatuh dari salah satu pilar.
"Apakah kau ingin beristirahat, Zarri Bano""
Seraya mendudukkan diri di atas sebongkah batu besar yang serupa b
entuknya beberapa meter jauhnya dari batu yang diduduki Ibrahim, Zarri Bano melihat berkeliling kamar batu itu, memerhatikan simbol-simbol dan patung-patung yang berbentuk setengah binatang.
"Apakah tidak sopan jika aku menanyakan apa jawabanmu atas pertanyaanku sebelumnya"" ujar Ibrahim lirih. "Kurasa kau terkejut oleh pertanyaan itu sehingga kau pergi cepat-cepat dari sampingku."
Semangat Zarri Bano lenyap. Kedamaian siang itu telah terkoyak dan ia merasa terkungkung. Ia berdebat dengan diri sendiri bagaimana sebaiknya menanggapi perkataan Ibrahim.
"Aku merasa tersanjung dengan lamaranmu," dia mengawali dengan hati-hati, "tetapi aku juga amat terkejut. Kau tahu, aku tidak mengiranya, Abang Musa."
"Tidak"" Suara Ibrahim menyentuh Zarri Bano dalam kelembutannya. "Kurasa aku sudah cukup berterus terang dalam begitu banyak cara. Keluargaku sudah mengetahuinya sejak lama, tetapi kau, perempuan yang ingin kunikahi, sayangnya justru tak menyadarinya."
Zarri Bano bergidik mendengar kata-kata "ingin kunikahi".
"Kau adalah seorang perempuan yang menarik dan sangat menyenangkan," lanjut Ibrahim dengan suara parau seraya membayangkan sosok Zarri Bano yang tengah berbaju merah. "Kau cerdas dan memiliki watak periang. Selama beberapa bulan terakhir ini aku telah mengenalmu dengan baik. Kau adalah jenis perempuan yang kukagumi, kubutuhkan, dan kuharapkan ada di sampingku sepanjang masa. Kita memiliki sangat banyak persamaan. Kita sama-sama menyukai buku dan sejarah agama, Zarri Bano," ujarnya terus terang.
"Berhentilah, Abang Ibrahim," Zarri Bano memohon padanya.
"Oh, jangan panggil aku abang, Zarri Bano, kumohon. Perasaanku padamu bukanlah perasaan seorang abang kepada adiknya-terutama, aku malu mengatakannya, sejak aku melihatmu tanpa kerudung." Kini dibiarkannya sepasang mata hitamnya mengungkapkan seluruh perasaannya pada perempuan itu.
Wajah Zarri Bano merona ketika dia menyadari betapa dirinya telah terjatuh di lautan yang dalam. Bagaimana mungkin dia mengatasi situasi ini tanpa melukai dirinya sendiri atau Ibrahim sebagai akibatnya"
"Maafkan aku, Abang Ibrahim, tetapi itulah perasaanku padamu," ujarnya dengan suara lirih dan kembali menundukkan kepalanya.
Tak percaya bahwa Zarri Bano telah menolaknya, Ibrahim bangkit. Dengan tinju mengepal dalam saku celananya, ia mendekati perempuan itu dan berusaha menatap kepalanya yang menunduk.
"Bolehkah aku bertanya mengapa kau tak bisa menganggapku bukan sebagai abang" Apakah kekuranganku, Zarri Bano" Apakah salahku"" Terdengar nada kemarahan dalam suaranya.
"Tidak!" Zarri Bano ikut bangkit. Memilih bersikap jujur, Zarri Bano menatapnya langsung pada matanya. "Tidak, Ibrahim Musa, tiada yang kurang dalam dirimu." Matanya menilai wajah dan tubuh Ibrahim, melihatnya untuk pertama kali dengan mata seorang perempuan. "Perempuan lain akan melakukan apa pun agar bisa menikah dengan lelaki sepertimu. Kau lelaki yang sangat tampan, sangat perhatian, amat cerdas, dan menyenangkan."
"Perempuan lain-tapi bukan kau!" ujar Ibrahim dengan ketus. "Persyaratan apa yang kau minta" Bolehkah aku tahu segagal apa aku memenuhinya""
"Aku tak punya persyaratan apa pun, Abang Musa. Kau memenuhi segala persyaratan yang diinginkan oleh setiap perempuan-tetapi aku tak bisa menjadi perempuan semacam itu."
"Mengapa tidak"" Dahi Ibrahim tampak berkerut. Tangannya bergerak-gerak gelisah meraba janggutnya.
"Karena aku telah meninggalkan pernikahan." Zarri Bano berkata begitu lirih sehingga Ibrahim nyaris tak mampu mendengarnya. Perbincangan mengenai status pernikahannya adalah sesuatu yang menyakitkan dan merupakan sebuah buku tertutup bagi semua orang. Perlu beberapa detik bagi Ibrahim untuk bisa memahami perkataan perempuan itu.
"Aku tak percaya, Zarri Bano. Apa yang kau katakan" Apakah kau tidak bisa menikah atau tidak mau"" Kerut-merut di wajah Ibrahim bertambah-tambah. "Keduanya."
"Apakah kau sengaja mempermainkanku, Zarri Bano"" tanya Ibrahim dengan penuh harap.
"Tidak, Ibrahim. Aku tak bisa dan tak mau mempermainkanmu soal ini." Zarri Bano mengedip. "Aku susah menjelaskannya. Aku hanya bisa mengatakan bahwa aku
telah memutuskan untuk mengabdikan hidupku secara total dengan mempelajari agama dan mengajar. Aku tak berharap akan menikah-."
"Tapi itu tak masuk akal," sergah Ibrahim. "Kau bisa menikah sekaligus mengabdikan dirimu untuk mempelajari agama. Kurasa tak ada yang lebih baik daripada memiliki seorang istri yang sama-sama mengajar di jurusan yang sama di universitas, sekaligus bersama-sama di rumah dan menempuh kehidupan. Kau sudah melakukannya, sampai batas tertentu," ujarnya.
"Tidak bisa! Percayalah padaku, Abang Musa. Aku datang ke Mesir dengan tujuan menjadi seorang perempuan terpelajar. Mungkin bila kita berjumpa di waktu berbeda dan di tempat lain atau dalam kehidupan yang lain, itu bisa
saja terjadi. Aku merasa terhormat dengan lamaranmu, tetapi bagaimana dengan Selima" Dia akan menjadi istri yang hebat bagimu. Dia orang Mesir dan kalian memiliki bahasa dan budaya yang sama. Aku bahkan tidak seperti itu."
"Itu sama sekali bukan persoalan. Kau toh telah mempelajari bahasa Arab. Kau seorang Muslimah, itu saja yang penting bagiku, dan kau adalah perempuan yang sangat ingin kunikahi."
"Ibrahim, tolong jangan bicarakan itu lagi." Zarri Bano habis kesabarannya. "Aku tak akan pernah bisa menikahimu. Bila kau ingin aku jujur, aku akan melakukannya, hanya untuk membuatmu mengerti. Bahkan jika aku tidak meninggalkan pernikahan sekalipun, aku tetap tak akan menikah denganmu karena aku akan memilih seorang lelaki yang berasal dari negeriku, dengan budaya, latar belakang, dan kelas sosial yang sama denganku. Memang benar kita sama-sama memiliki budaya Islam, tetapi aku dan keluargaku tidak siap jika aku menikahi seseorang yang tinggal ribuan kilometer jauhnya dari kampung halaman dan negeriku. Jika kau tidak keberatan aku mengatakannya, pada akhirnya kita ini tetaplah orang asing."
"Aku tidak bisa menerima alasanmu, Zarri Bano. Kau tak memberi kami kesempatan. Banyak perkawinan campuran terjadi. Kini dunia adalah sebuah tempat yang kecil. Perbedaan yang kau sebutkan bisa diatasi dengan mudah. Afinitas utama antara kita adalah keimanan kita yang seharusnya mempersatukan segala ras dan kebangsaan. Aku terkejut pada dirimu. Aku kenal banyak orang yang mengawini perempuan Barat yang berasal dari budaya yang sungguh-sungguh berbeda. Coba pikirkan kawan sebangsamu, Imran Khan, yang mengawini Jemima Goldsmith, seorang perempuan Barat yang memeluk agama berbeda, tapi mereka berbahagia. Perkawinan mereka berhasil. Penyatuan kita didukung oleh lebih banyak hal untuk bisa berhasil."
"Semua perkawinan yang kau bicarakan itu terjadi antara orang-orang yang saling mencintai dan siap menghadapi segala rintangan bersama-sama. Kau membicarakan situasi yang berbeda, Ibrahim."
"Kukira cinta bukanlah sesuatu yang memegang peranan penting dalam hidupmu," gumam Ibrahim.
Merasa takut dirinya akan melukai ego Ibrahim, Zarri Bano terpaksa membuka isi hatinya untuk menawarkan penyelamatan pada lelaki itu.
"Apa yang bisa kukatakan, Abang Ibrahim" Jika aku seorang perempuan di waktu yang lain, aku akan berkata ya. Ya! Namun, aku tak punya perasaan cinta terhadapmu, kecuali rasa hormat dan persahabatan. Aku juga tak memiliki perasaan cinta pada lelaki lain. Kau tahu, aku telah menjadi seorang Perempuan Suci-dan salah satu akibatnya adalah aku tak pernah bisa menikahi lelaki mana pun. Lagi pula, aku memang tak ingin menikah. Kau benar-cinta tak memegang peranan penting dalam hidupku. Karena tak memiliki rasa cinta pada lawan jenisku, aku menyimpannya untuk persahabatan." Suara Zarri Bano menyusut menjadi sebuah bisikan. "Aku pernah mencintai seseorang-tetapi aku telah melepaskannya. Itu sulit sekali, Abang Ibrahim, tetapi aku berhasil melakukannya. Kini aku menganggapnya sebagai saudara. Maka, perasaan apa yang bisa kumiliki padamu" Tak satu pun, sayangnya. Karena aku telah melatih pikiranku dan hatiku menuju sebuah kehidupan yang berupa pengabdian total-ibadah. Aku belajar memisahkan kehidupanku dari hal-hal tertentu semacam perkawinan dan lelaki. Aku sungguh minta maaf. Aku hanya tak tahu harus berkata apa lagi," dia mengakhiri perkataannya. Sepasang matan
ya memohon pada Ibrahim agar mau mengerti.
Ibrahim terdiam beberapa lama. Zarri Bano melihat sekelompok wisatawan Jepang melintas, berpikir bahwa temannya ini tak akan pernah berbicara padanya lagi.
"Kalau begitu, berarti benar-benar tak ada harapan bagiku"" kata Ibrahim pada akhirnya.
"Tidak, tak pernah. Hidupku sudah direncanakan bukan olehku, Abang Ibrahim. Aku tak bisa menjadi istri lelaki mana pun. Aku menikahi keimananku," tegas Zarri Bano. Suaranya tak menyiratkan perasaan apa pun.
Mereka berjalan bersama tanpa berbicara melintasi kompleks kuil itu. Keduanya hanyut dalam arus pikiran masing-masing. Hari itu sama-sama terasa kacau bagi mereka berdua.
"Kau akan mengerti, Ibrahim," ujar Zarri Bano seraya kembali menoleh pada Ibrahim, "mengapa aku tidak bisa lagi tinggal di rumah keluargamu setelah ini. Dengan persoalan ini di benakmu, tidak benar rasanya aku tetap berada di rumahmu-karena kau tak lagi menganggapku sebagai seorang adik."
"Itu benar, tetapi aku tak ingin kau pindah dari rumahku, Zarri Bano. Bukankah kita bisa berteman"" Ibrahim takut memikirkan kepergian perempuan itu.
"Dalam keadaan sekarang ini, itu tidak bisa terjadi karena satu-satunya persahabatan yang seharusnya kita miliki adalah antara seorang abang dan seorang adik. Karena kita tak seperti itu, menurutmu, maka salah bagiku-haram- berada seatap denganmu. Aku amat berterima kasih padamu dan keluargamu atas keramahtamahan kalian, tetapi ketika kita telah kembali ke Kairo nanti, aku akan mencari apartemen lain. Tentu saja aku masih akan tetap berhubungan denganmu berkaitan dengan mata kuliahku, jika kau tidak keberatan."
Ibrahim mencondongkan kepalanya dengan sopan. Lalu, saat melihat Pakinaz yang sedang tersenyum menghampiri mereka, ia hanya mengatakan sepatah kata, "Lay." Tidak. Wajah Pakinaz menunduk. Seraya mempercepat langkahnya, Zarri Bano berjalan di depan mereka, membiarkan Ibrahim menjelaskan pada Pakinaz mengapa Zarri Bano menampiknya.
Lelaki yang terpaku dalam pikirannya secara tiba-tiba berada ribuan kilometer jauhnya di sisi lain dunia. Rasa sakit mematikan yang dia tekan berbulan-bulan lalu pada hari pernikahan adik perempuannya kini kembali memburunya. Dunia ini memang aneh, renung Zarri Bano. Di sinilah aku, berdiri di reruntuhan kuno kejayaan masa lalu Mesir, dilamar oleh seorang lelaki Mesir ketika seseorang yang kulepaskan telah berbahagia menikah dengan adikku sendiri. Mengapa aku memikirkan lelaki itu hari ini" Apakah ia juga memikirkanku"
Zarri Bano menyeka air matanya. "Sikander, di manakah kau"" dia memanggil nama itu dalam hati dengan penuh kesedihan, seraya menatap ke bawah pada kedalaman Sungai Nil yang kehijauan ketika mereka kembali ke Karnak, tiga orang yang lebih sedih dan lebih lemah dibanding ketika mereka berangkat tadi pagi.
39. MALAM ITU begitu panas di Karachi. Lelaki dalam benak Zarri Bano tak bisa tidur. Bangkit dari ranjangnya, Sikander beranjak ke kamar mandi di depan kamarnya untuk minum air putih, lalu kembali ke kamar tidurnya, berjalan ke jendela dan menatap ke luar pada bintang-bintang yang bersinar di langit malam dan hamparan lampu-lampu kota yang tengah tertidur.
Sikander menoleh untuk menatap ranjangnya. Dalam cahaya temaram, ia melihat sosok istrinya. Rambutnya yang kelam tergerai di atas bantal. Seraya memejamkan matanya, Sikander mencoba mengenyahkan bayangan wajah perempuan lain di atas bantal sutranya.
Ia tidak memikirkannya selama dua minggu penuh ini. Nama Zarri Bano adalah tabu-tak pernah terucapkan oleh siapa pun di depannya.
Dalam beberapa bulan terakhir, ia telah memusatkan perhatian untuk membuat perkawinannya berhasil. Ruby adalah seorang perempuan yang menyenangkan, manis, dan penuh perhatian. Dia selalu memenuhi segala kebutuhannya. Pendek kata, seorang pasangan yang sempurna. Ia amat mengharapkan dua hal dalam hidupnya. Menyempurnakan hubungannya dengan istrinya dan mengubur bayangan perempuan yang telah mencuri hatinya dan dengan kejam menolak cintanya. Namun, dia masih saja terus memburunya!
Ruby bergerak. Tangannya secara otomatis meraba tempat kosong di sampingnya. Dia membuka
matanya dan menegakkan kepalanya untuk melihat dalam kegelapan, mencari-cari suaminya. Melihat Sikander menatapnya dari dekat jendela, dia tersenyum, dan tiba-tiba merasa jengah pada tatapan sepasang mata suaminya yang menelitinya lekat-lekat.
Sikander datang menghampiri Ruby dan duduk di sampingnya, di atas ranjang. Sepasang mata lelaki itu berbinar lembut di atas wajah perempuan yang telah dinikahinya, yang mulai ia cintai dan telah berbagi kehidupan dengannya selama enam bulan terakhir ini.
Ujung-ujung jemarinya dengan lembut mengelus rahang istrinya. Seulas senyum menerangi wajah Ruby. Dia pun mengulurkan tangan dan balas mengelus garis wajah suaminya tercinta dengan jari-jemarinya.
"Kuharap aku tak akan mual lagi di pagi hari. Rasanya menyebalkan!" Ruby bercerita, sedikit melucu.
"Tak akan." Ruby merasakan kehangatan dalam suara Sikander yang dalam.
"Apakah aku sebaiknya mengatakan pada Zarri Bano bila dia menelepon lagi dari Mesir"" tanya Ruby kemudian, dan langsung mengubah suasana hati suaminya. Ketika Sikander menjawabnya, kelembutan itu telah lenyap.
"Jangan dulu," ujarnya ketus. "Terlalu cepat. Kau baru hamil tiga bulan-tunggulah hingga beberapa minggu lagi."
"Oh, tapi aku senang sekali. Aku tak sabar ingin menceritakan padanya kabar ini. Lagi pula, dia kan kakakku."
"Ya, aku tahu," sahut Sikander dengan getir. Sikander naik ke atas ranjang, lalu membaringkan kepalanya di atas bantal dan berpaling ke arah lain.
Merasa tidak enak, Ruby menyelimuti dirinya dengan selimut katun. Apakah suaminya membiarkan angan-angannya melantur lagi" Dia dan Sikander menikah dengan bahagia dan tengah menantikan anak pertama mereka. Zarri Bano tak ada hubungan apa-apa dengan suaminya. Dia ada di luar negeri sekarang. Mengapa aku masih merasa cemburu pada kakakku sendiri" Ruby bertanya pada diri sendiri dengan penuh duka nestapa.
Dia mengelus bagian bawah perutnya perlahan-lahan.
"Aku akan menamainya Haris jika ia lelaki," bisiknya di bahu suaminya, mencoba menggapainya.
"Nama yang bagus. Aku menyukainya," sahut Sikander. Di balik kelopak matanya yang terpejam terdapat bayangan seorang perempuan yang tersenyum menggoda, memberi isyarat dengan sepasang matanya yang berkilau hijau seperti permata.
Bagaimana dia akan menanggapi kabar ini" Sikander bertanya-tanya dengan sedih. Apakah dia akan senang, seperti dugaan polos Ruby" Atau dia akan merasa sakit karena merindukan seorang anak dari rahimnya sendiri"
Sarannya agar tidak bercerita dulu pada Zarri Bano untuk beberapa bulan lagi berasal dari kepekaannya terhadap perasaan orang lain. Ia membenci bekas tunangannya itu karena telah mencampakkannya dan menjadi seorang Perempuan Suci, tetapi rasa cintanya masih cukup kuat terhadapnya-cukup besar untuk membuatnya menjaga perasaannya agar tidak disakiti.
Rasa cintanya pada Zarri Bano adalah sebuah siksaan yang terus-menerus dirasakannya. Ia ingin mengenyahkan diri dari bayangan Zarri Bano. Berkali-kali ia melupakannya, terserap dan merasa bahagia dengan hidup barunya. Lalu tiba-tiba, sekonyong-konyong, wajah perempuan itu akan berkilau dalam benaknya, meninggalkan rasa sakit dalam dirinya-rasa sakit atas apa yang tak bisa terjadi.
Apakah dia ingat padaku" Ia bertanya-tanya. Ataukah dia sungguh-sungguh lenyap dalam kesucian dan butir-butir tasbih" Semoga Allah mencegahnya! Sikander berteriak pada dirinya sendiri dalam benaknya. Dia adalah kakak iparku! Bagaimana mungkin aku berpikir tentang dirinya seperti ini" Rasa rindunya pada perempuan itu tak akan lenyap. Ia masih bisa merasakan ujung-ujung jari Zarri Bano merabai bibirnya di teras rumah perempuan itu....
Sikander membuka matanya dan merasakan embusan napas Ruby yang hangat di lehernya.
Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kau mencintaiku, Sikander"" Bisikan ketakutan itu memberi isyarat pada Sikander bahwa Ruby sesungguhnya mengetahui secara naluriah saat-saat dia kehilangan dirinya.
Sikander meleleh dalam api rasa bersalah. "Tentu saja, Ruby sayangku." Dengan lembut ia memeluk istrinya, membenamkan wajahnya di rambut perempuan itu.
"Sialan kau, Zarri Bano! Semoga kau membusuk di neraka yang sama dengan yang ka
u berikan padaku," kutuk Sikander dalam hati, pada kelam malam, berjam-jam setelah istrinya yang muda dan tengah hamil itu tertidur dalam pelukannya.
40. SUDAH TIGA bulan sejak Fatima mengunjungi Khawar di desa sebelah. Khawar akhirnya memutuskan kembali ke rumah ibunya di Chiragpur seperti yang disarankan oleh Fatima. Kulsoom memberitahunya bahwa Firdaus telah pergi ke kota, mengisi lowongan sebagai wakil kepala sekolah di sebuah sekolah perempuan.
Setelah menaruh barang-barangnya terlebih dulu dalam sebuah koper baja dalam jipnya, Khawar naik kuda putihnya melalui padang rumput Chiragpur. Tak ada hal menyenangkan dalam kepulangan ini. Para petani sedang sibuk membajak sawah mereka dengan menggunakan traktor. Kerbau-kerbau betina Sardara sedang menikmati siang mereka dengan berkubang di kolam desa. Gembala sapi mengawasi binatang-binatang yang punya kebiasaan kabur kembali ke pemilik sebelumnya di desa tetangga. Chiragpur terbaring dalam tidur yang hening di siang yang hangat di awal musim semi.
Di luar gerbang hawali ayahnya, wajah Khawar berubah menjadi muram. Menuju halaman belakang yang menyambung dengan istal, ia lalu mengikatkan kudanya ke sebatang pohon. Anak muda yang dibayar untuk memerah susu dan merawat kedua kerbau mereka sedang menyirami dengan berember-ember air kandang yang terbuat dari deretan bata merah, setelah menumpahkan kotoran sapi dalam sebuah ember aluminium terpisah untuk diambil dua orang perempuan yang menggunakan lempengan kotoran sapi kering sebagai bahan bakar untuk memasak. Ketika melihat Khawar, pelayan itu melompat bangkit dan menyapa majikannya, "Salam."
Dengan langkah-langkah tegas, Khawar berjalan melalui gerbang besi besar dan menuju halaman tengah hawali. Ia menemukan Neesa tengah berjongkok membersihkan lantai marmer beranda dengan sebuah selang plastik. Mendengar suara langkah sepatu, wajah Neesa yang keriput menyunggingkan seulas senyum ketika ia berdiri tegak dan menepuk bahu Khawar. Khawar sudah setahun tak pulang.
"Selamat datang, Tuan Sahib! Senang rasanya bertemu Anda lagi."
Khawar mengangguk, mencoba bersikap santai sehingga ia bisa tersenyum pada pembantu rumah tangga mereka yang telah merawatnya dengan penuh kasih sayang sejak ia masih bayi.
"Saya akan bilang pada Chaudharani Sahiba. Oh, dia akan sangat senang!" Neesa naik tangga, tak mampu menyembunyikan rasa senangnya.
Saat nama ibunya disebut, wajah Khawar kembali muram. Perlahan-lahan ia naik tangga di belakang Neesa, mengikutinya ke kamar tidur ibunya.
* * * Kaniz sedang menyisir rambut panjangnya yang tebal bergelombang dengan sikat rambut ketika Neesa masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu. "Khawar Sahib datang, Chaudharani Sahiba," ucapnya terbata-bata. "Menyenangkan, bukan""
Kaniz menengok pada cerminnya dan melihat tubuh besar putranya berdiri kaku di muka pintu. Kaniz bangkit dari kursi meja riasnya. "Anakku pulang!" Dia menangis karena senang.
Dengan langkah cepat, ia sampai di samping Khawar. Ia menarik Khawar dengan lengannya dan dipeluknya anaknya tercinta itu mendekat ke tubuhnya. Namun, Khawar tetap bergeming dalam pelukannya. Merasa bingung, Kaniz melirik wajah Khawar yang cemberut. Lengannya jatuh di samping tubuhnya, lalu dia kembali berjalan terhuyung ke meja rias. Rupanya Khawar belum memaafkannya.
Duduk di depan cermin, Kaniz mulai menata rambutnya dengan jemari gemetar menjadi untaian tebal yang panjang.
"Apakah kau hanya mampir, Anakku, atau kau pulang untuk tinggal"" tanyanya dengan gugup. Khawar tak tergerak untuk menjawabnya, tetapi malah mengeluarkan saputangannya, membungkuk, dan menyeka debu dari sepatunya.
"Kau akan tinggal atau tidak"" desak Kaniz. Dia sama sekali tak merasa senang dengan perilaku Khawar terhadapnya.
"Aku tidak yakin-karena aku tak menganggap tempat ini sebuah rumah," ujarnya dengan angkuh. "Dulu, ini rumahku, saat ayahku dan kakekku masih hidup. Kini aku menganggapnya hanya sebuah tempat luas yang kosong. Sebuah rumah, Ibu, seharusnya penuh cinta dan harmoni. Kebalikannya, tempat ini dikuasai oleh seorang perempuan tiran egois yang tak peduli pada orang lain." Sepasang
mata Khawar yang gelap berkilau oleh kebencian.
Kaniz hanya menatap nanar. Lalu hal yang aneh terjadi-tatapan mata Kaniz menunduk ditentang anaknya. Kaniz tak mampu menatap wajah anaknya atau menentang tatapan matanya.
"Ya, aku sudah pulang," ujar Khawar pada akhirnya, "tetapi hanya untuk sekadar datang dan karena ada tanah yang harus kuurus. Jangan kira aku datang karenamu. Kau tak cocok menjadi seorang ibu!"
"Kau kejam, Nak!" ujar Kaniz tercekat. Bibir bawahnya bergetar.
Memang benar. Khawar tengah dalam suasana hati bengis. Ia sama sekali tak menyesal karena telah membuat ibunya menderita. Segala cinta yang pernah dirasakannya terhadap ibunya telah musnah sejak lama.
"Coba tebak dari mana aku belajar menjadi kejam," cemoohnya. "Di haribaanmu, Ibu sayang. Karena hanya seorang perempuan egois yang sungguh tak punya hati yang akan menghalangi kebahagiaan masa depan putranya. Kau berhasil mengusir Firdaus dari desa dan tak diragukan lagi kau pasti amat senang. Karena hal itu, aku tak akan pernah memaafkanmu! Bahkan jika kau memohon padanya sekalipun, dia tak akan mau mengawiniku kini. Karena itu, kau perempuan bodoh, kau lebih baik menerima kenyataan untuk mati tanpa pernah memiliki cucu. Karena aku tak akan pernah menikah atau membawa perempuan lain sebagai mempelai ke rumah ini. Kau boleh menyanyi menghibur dirimu sendiri dan dinding-dinding kosong yang kau puja ini. Aku akan hidup di sini bukan sebagai putramu, melainkan sebagai seorang asing. Kau tak layak mendapat yang lebih baik daripada itu." Khawar terdorong untuk
menghukum ibunya. Ia tak ingin pulang, tetapi ia harus melakukannya karena itu adalah tugasnya-seperti yang ditunjukkan oleh Fatima padanya.
"Tidak, putraku, tidak!" Kaniz menangis.
Dulu, melihat ibunya yang janda itu menangis akan melukai jiwanya. Kini ia malah berpaling dengan jijik, berjalan keluar dari kamar tanpa menoleh pada perempuan yang tengah terguncang itu. Di halaman ia memerintahkan Neesa menyiapkan makan siang untuknya dan sopirnya. "Aku telah pulang sekarang," ujarnya memberi tahu Neesa dengan datar.
* * * Di dalam kamarnya, Kaniz berdiri dan merasa kehilangan. Dunia rekah di bawah kakinya. Tangis mengasihani diri menetes di pipinya ketika kata-kata kasar putranya bergema di kepalanya. Betapa teganya ia berkata seperti itu kepadaku. Aku ini ibunya! tangisnya bingung. Apakah ia begitu membenciku sehingga tega menghinaku dengan perilaku semacam itu"
Kaniz berpaling dari renungan putus asanya dalam cermin meja rias. Apakah aku orang yang seburuk itu, tanyanya ketakutan pada diri sendiri, sehingga anak tunggalku tersayang berbalik memusuhiku" Untuk pertama kalinya dalam tiga puluh tahun, Kaniz mulai meragukan kekuasaan dan pengaruh yang seharusnya ia genggam dalam tangannya dan menikmati perannya sebagai chaudharani desa itu.
Takut bertemu secara tiba-tiba dengan putranya, dia tinggal di kamarnya hingga siang hari, menyembunyikan matanya yang sembap dan merah dari Neesa ketika dia membawakannya baki berisi makanan ke kamarnya.
"Neesa, apakah Khawar sudah makan"" tanya Kaniz. "Pastikan kau memasak kedua makanan kegemarannya malam ini: matrpilau dan kheer. Dia sudah lama tak mencicipi masakanmu. Aku tak tahu apa yang telah dimasak oleh perempuan tua buruk rupa itu untuknya. Onggokan bayam dari kebun setiap hari, kurasa. Apakah kau memerhatikan putraku menyusut berat badannya"" Kaniz menyembunyikan wajahnya yang kacau balau dari pandangan pembantunya itu.
"Tidak, Nyonya. Ia tampak sehat," sahut Neesa sopan sebelum beranjak pergi dari kamar itu seraya berpikir keras. Sesuatu jelas telah terjadi antara ibu dan anak itu. Majikannya tidak keluar kamar seharian. Padahal, biasanya dia menghabiskan pagi hari di balkon atap rumah.
Setengah jam kemudian, Neesa keluar untuk memberi tahu majikannya bahwa adiknya, Sabra, datang mengunjunginya. Dengan berbinar-binar, Kaniz segera bercermin. Matanya yang merah bukan masalah. Tiada yang perlu disembunyikannya dari Sabra.
"Ada apakah"" pekik Sabra khawatir begitu melihat mata kakaknya yang sembap.
Kata-kata penuh simpati itu segera berdampak pada Kaniz, menawark
an padanya kemewahan menangis tersedu-sedu untuk kedua kalinya siang itu.
"Ada apa" Katakan padaku," kata Sabra cemas ketika tubuh Kaniz yang besar bergetar dalam pelukan tubuh rampingnya.
Sabra menenangkannya dan duduk bersamanya di atas palang.
"Katakan yang sebenarnya, Sabra!" seru Kaniz. "Apakah aku kejam dan egois" Khawar menuduhku begitu. Ia membenciku! Kata-kata kasarnya telah membunuhku. Ia pulang, tetapi kurasa aku telah kehilangannya. Sabra- katakan padaku, tolonglah, apa yang harus kulakukan."
Sunyi sejenak ketika sepasang mata Sabra memandang wajah kakaknya dengan gelisah. "Hanya ada satu hal yang bisa kau lakukan, Kakakku sayang," ujarnya dengan suara lirih.
Sepasang mata Kaniz yang berbentuk biji almond tetapi amat bengkak, membelalak. "Tak akan pernah! Tak akan pernah!" jeritnya.
Sabra dengan sopan menjauh dari tubuh gemetar kakaknya. Dia tidak bepergian dari Punjab ke Sind hanya untuk bertengkar dengan Kaniz-maka ia pun mengalihkan bahan pembicaraan.
"Apakah kau sudah mendengar kabar tentang iparku, Yusuf" Lelaki malang itu meninggal minggu lalu!"
41. ZARRI BANO berada di antara sekelompok perempuan Muslim yang tengah berkumpul di bagian jamaah putri di Masjid Regent Park, Central London. Mereka baru saja selesai shalat zuhur. Saira, kawan dan teman serumah Zarri Bano, telah mengundang teman-temannya untuk bertemu dan berkonsultasi dengan Zarri Bano tentang segala persoalan agama. Zarri Bano merasa senang bisa membantu. Hal semacam itu memberinya kesempatan berjumpa dengan para Muslimah lainnya dari berbagai penjuru dunia yang tinggal di Inggris.
"Bisakah saya memulai"" tanya seorang perempuan. Mereka duduk membentuk setengah lingkaran dekat Zarri Bano di atas karpet. "Tentu saja," sahut Zarri Bano dengan seulas senyum.
"Terima kasih, Ukhti. Nama saya Dudiya. Saya seorang pengungsi Muslim dari Bosnia. Saya ingin bertanya pada Anda: apakah yang disebut 'Muslim sejati'" Asal Anda tahu, di Bosnia, kami mengenal diri kami hanya sebagai 'Muslim'. Tak ada perbedaan dalam komunitas kami. Di sini, di Inggris, saya bertemu dan berteman dengan banyak Muslim dan kerap mereka bertanya pada saya, termasuk sekte apakah saya. Apakah saya Syi'ah, tanya mereka, atau Syafi'i, atau Hanafi, atau Ismaili" Saya menatap balik pada mereka, merasa bingung. Saya tidak tahu. Teman-teman ini terus mendorong saya, menarik saya ke dalam keyakinan dan pemikiran kelompok tertentu mereka. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, Ukhti Zarri Bano. Kelompok mana yang sebaiknya saya ikuti"" Para perempuan lainnya tersenyum mengerti-mereka paham apa yang coba dia katakan.
"Ukhti Dudiya, Anda tidak perlu mengikuti salah satu kelompok pemikiran atau sekte tertentu jika Anda memang tidak ingin. Ikuti saja firman Allah dari kitab suci kita, Al-Quran, dan hadis, perkataan Nabi Muhammad, semoga kedamaian dilimpahkan kepadanya. Islam, seperti halnya agama-agama lainnya, telah berkembang dan terpecah belah selama suatu periode tertentu. Akan bermanfaat bagi Anda apabila mempelajari perbedaan dan persamaan dari berbagai kelompok yang berbeda-beda. Dengan demikian, Anda akan bisa memutuskan kelompok mana yang ingin Anda ikuti jika memang ada-bergantung pada keyakinan pribadi Anda," ujar Zarri Bano seraya mengakhiri perkataannya dengan tersenyum lebar kepada Dudiya. Dudiya balas tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Giliran Anda, Ukhti." Zarri Bano memiringkan tubuh pada seorang perempuan muda berdarah Pakistan yang duduk di sebelah kanannya.
"Rasanya memalukan memunculkan soal ini dalam kelompok ini, tetapi suami saya mengeluh bahwa saya terlalu banyak menghabiskan waktu untuk shalat dan membaca buku-buku agama. Hal itu sering menyebabkan pertengkaran. Ia terkadang menyuruh saya berhenti membaca Al-Quran di malam hari bila ia ada di dekat saya. Saya merasa terkejut dan tertekan oleh hal ini karena saya percaya bahwa saya tidak melakukan sesuatu yang salah. Apa yang sebaiknya saya lakukan, Ukhti Zarri Bano""
Zarri Bano berhenti sejenak untuk merenung. "Ini sebuah keadaan yang rumit," dia mengawali, tersenyum hangat pada perempuan itu. "Tak dira
gukan bahwa Anda tidak berbuat salah dan suami Anda seharusnya tidak menyuruh Anda berhenti membaca Al-Quran. Di sisi lain, saya kira ia mungkin merasa diabaikan dan merasa Anda tidak memberinya cukup perhatian. Apakah Anda pernah berpikir untuk beribadah ketika ia sedang tidak ada di rumah" Allah ingin kita selalu mengingat-Nya, maka kita shalat lima kali sehari. Namun, pada saat bersamaan, Ia menyuruh kita menjalani kehidupan sehari-hari yang normal pula. Ia jelas tidak mengharapkan kita mengabaikan keluarga dan orang-orang yang kita cintai atau pekerjaan yang menjadi nafkah kita. Ia amat menyukai orang-orang yang bisa menggabungkan keduanya secara sehat dan menjalani hidup normal. Seperti yang Anda tahu, Ukhti, Islam adalah sebuah jalan hidup yang sempurna. Anda tidak bisa memisahkan sisi spiritual kehidupan Anda dari dunia material di sekeliling Anda." Zarri Bano menoleh pada perempuan lain.
"Pertanyaan saya berkaitan dengan diri saya dan barangkali mewakili generasi kedua kaum imigran yang dibesarkan dan dilahirkan di Barat. Saya melihat hidup kami penuh dengan kompromi. Contohnya, keyakinan kita menyarankan pemisahan antara kaum lelaki dan perempuan, tetapi praktiknya hal itu tidak mungkin dilakukan di sini. Kita harus berinteraksi dalam segala bidang kehidupan kita dengan kaum lelaki, terutama di tempat kerja. Anda mengerti situasi yang saya gambarkan""
Zarri Bano tersenyum dan mengangguk, lalu berhenti sejenak untuk berpikir sebelum menjawab. "Ini adalah soal penting, sebuah keprihatinan bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Tentu saja, ada tempat-tempat seperti Arab Saudi yang memungkinkan pemisahan lelaki dengan perempuan. Namun, kemewahan ini tidak bisa didapat secara luas dan pada praktiknya tidak mungkin dilakukan di banyak tempat, terutama di negara-negara yang di dalamnya Anda adalah minoritas.
"Yang bisa saya katakan adalah Anda seharusnya tahu secara naluriah parameter-parameter sosial, etik, dan moral Anda sebagai seorang Muslimah. Di tempat kerja, Anda secara alamiah harus berinteraksi dengan kaum lelaki setiap waktu. Jika hubungannya benar-benar profesional dan platonis dan Anda bisa menganggap para lelaki itu sebagai sosok abang atau ayah, itu tidak berbahaya. Apabila ada peluang hubungan itu berkembang menjadi sesuatu yang lain, Anda harus mundur. Hal-hal semacam ini bisa mengakibatkan hal-hal yang mengerikan. Naluri Anda seharusnya memberikan isyarat pada Anda tentang perbedaan antara mana yang benar dan mana yang salah. Belajarlah menganggap semua lelaki sebagai sosok saudara lelaki, paman, atau ayah dan panggillah mereka dengan sebutan semacam itu, jika mereka Muslim. Jika mereka bukan Muslim, entah itu teman atau rekan kerja, jelaskan pada mereka tentang keyakinan Anda dan kebiasaannya-sehingga mereka tidak salah paham, bahkan mungkin akan belajar menghargai kebiasaan, keyakinan, dan cara hidup Anda."
"Terima kasih," perempuan muda itu menyahut dengan seulas senyum.
"Sama-sama," timpal Zarri Bano.
* * * Beberapa saat kemudian di siang itu, Zarri Bano pergi bersama Saira ke sebuah kafe tempat salah seorang teman Saira kemudian bergabung dengan mereka.
"Ini Jane Foster," kata Saira. "Dia tertarik bertemu denganmu, terutama ketika aku menceritakan padanya bagaimana kau memutuskan untuk berjilbab."
Perempuan muda berkebangsaan Inggris itu mengulurkan tangannya kepada Zarri Bano yang kemudian menyambutnya dengan hangat. "Terima kasih sudah datang kemari, Jane."
"Aku terpesona oleh kisahmu, Zarri Bano. Saira bercerita padaku tentang masa kuliahmu dulu ketika kau kuliah di universitas yang sama dengannya. Dia menunjukkan padaku fotomu saat mengenakan celana jins Levi's dengan atasan blus lengan pendek. Kini, melihatmu terbungkus jilbab lebar, aku tak mampu menyandingkan kedua gambar itu dalam benakku. Aku ingin bertanya apakah sulit bagimu mengenakan hijab pada mulanya dan mengapa kau melakukannya" Kuharap kau tak berpikir bahwa pertanyaanku terlalu pribadi."
Merasa tidak nyaman membahas masa lalunya dan burqa dengan seorang asing, pada kenyataannya Zarri Bano merasa dipojokkan oleh pertanyaan Jane. Dia b
erharap jika saja Saira tidak sedemikian berbaik hati menunjukkan foto-foto lamanya dan membahas dirinya.
"Memang benar pada mulanya terasa aneh bagiku, Jane, ketika aku mulai memakai hijab. Dua tahun yang lalu aku ingin menyisihkannya. Kini tak bisa hidup tanpanya. Jilbab memberiku rasa penghargaan terhadap diri sendiri, rasa hormat, dan martabat. Di atas segalanya, ini membebaskanku dari kesia-siaan. Aku tak menganggapnya mudah, tetapi aku bisa melepaskan diriku dari jebakan kesia-siaan kaum perempuan. Jangan salah paham, Jane. Aku tidak mengatakan bahwa semua perempuan Muslim menjalani kehidupan sederhana yang tidak bermewah-mewah-itu mungkin sebuah kesalahpahaman. Kebalikannya, di balik pintu tertutup dan di balik hijab, sebagian besar kaum perempuan di sini bisa bersaing dengan perempuan mana pun di Knightsbridge dalam hal seni kecantikan."
"Dan kau, Zarri Bano, apakah kau masih berdandan di balik jilbabmu"" tanya Jane dengan mata berkilat.
"Tidak," Zarri Bano menyahut lirih. "Tidak lagi. Aku telah melewati tahap itu dalam hidupku-sebuah tahap yang kini, dalam perenunganku, terasa remeh. Dulu seluruh hidupku hanya untuk kelihatan cantik dan menampilkan sebuah citra cerdas yang mewah di depan umum. Kini puas dengan burqa yang sederhana. Aku tidak berpakaian dengan tujuan untuk menyenangkan orang lain dan kelihatan berbeda dari mereka. Terima kasih atas pertanyaanmu, Jane. Jilbab selalu membingungkan dan menggoda dunia Barat, baik terhadap kaum lelaki maupun kaum perempuan. Itu adalah sebuah fenomena yang mengganggu bagi mereka. Orang Barat selalu salah paham terhadap alasan mengapa kaum perempuan Muslim mengenakannya. Sebagai sebuah serangan, mereka melihatnya sebagai simbol penindasan kaum lelaki-sebuah mitos stereotip yang diterima secara luas. Mereka mengira kaum perempuan dipaksa memakainya oleh kaum lelaki.
"Aku jamin, kawanku, saat ini ada lebih banyak perempuan yang mengenakan hijab atas kehendak bebas mereka sendiri dibanding sebelumnya. Telah terjadi revolusi jilbab internasional, sebuah simbol persatuan perempuan Muslim. Ayahku pernah mengkritikku karena memakainya di dalam rumah. Kini aku merasa telanjang tanpanya."
Zarri Bano berhenti meminum kopinya, memutuskan dia sudah cukup banyak berbicara mengenai persoalan kontroversial ini. Raut wajah Jane Foster berubah dari rasa tertarik yang ringan menjadi kekaguman. Itu bukanlah sebuah jawaban yang dia harapkan sebelumnya.
"Kami bukanlah orang-orang aneh," Zarri Bano tak tahan untuk menambahkan. "Kami hanyalah kaum perempuan yang suka berpakaian sederhana dan ingin menutupi diri kami dengan baik. Yang kami minta hanyalah agar orang-orang menghargai kami dan cara berpakaian kami."
"Oh, tentu saja," ujar Jane Foster dengan cepat. Rona merah menjalari kedua pipinya.
* * * "Saira, kuharap kau tidak menceritakan segala hal tentangku atau menunjukkan foto-foto memalukan itu pada seorang asing," kata Zarri Bano pada temannya ketika mereka berjalan keluar kafe. "Tolong jangan jadikan aku bahan hiburan atau sensasi."
"Maafkan aku, tadinya kukira kau tak akan keberatan," sahut Saira dengan perasaan bersalah ketika mereka melintasi Piccadilly Circus.
"Kurasa," setelah hening sejenak, "kau pun menceritakan padanya tentang upacaraku"" Zarri Bano membelalakkan matanya lekat-lekat pada temannya.
"Tidak," Saira berbohong, berpikir lebih baik tidak menceritakan sejujurnya pada Zarri Bano. Jane Foster adalah seorang wartawan dan Saira telah menceritakan semuanya padanya. "Apakah kau akan pulang bersamaku atau akan mengunjungi adikmu dulu di hotel"" Saira bertanya, bermaksud mengalihkan Zarri Bano dari pembicaraan tentang hijab. Saira sendiri tidak memakai jilbab dan itu merupakan topik pembicaraan yang tidak enak baginya.
"Aku akan pergi ke hotel dulu untuk menemui Haris lagi. Ia lucu sekali, aku tidak tahan ingin memeluknya. Aku telah berjanji pada Ruby akan ikut bersama dia dan Sikander menonton teater malam nanti. Mereka ingin menonton sebuah pertunjukan drama di West End."
"Jangan pulang terlalu larut. Ingatlah, mereka menanti kehadiranmu pukul setengah delapan pagi besok u
ntuk memberi kuliah di Manchester Metropolitan University. Sebelum itu, kita akan mampir dulu di Birmingham. Aku tak ingin kau kelelahan," Saira mengingatkan kawannya dengan penuh perhatian saat mereka sampai di stasiun bawah tanah.
"Tidak akan, Allah Hafiz!" ujar Zarri Bano seraya melambai pada Saira saat temannya itu turun ke tangga stasiun. Zarri lalu berjalan menuju lampu lalu lintas dan menyeberang jalan ke hotel tempat keluarga adiknya menginap. Ruby dan Sikander bersama putra mereka, Haris, yang baru berumur setahun sedang melakukan perjalanan ke Eropa dan memutuskan menghabiskan waktu tiga hari di London bersamaan dengan kunjungan tiga minggu Zarri Bano di Inggris.
Ketika dia memasuki serambi lewat pintu samping, dilihatnya Sikander duduk bermalas-malasan di sebuah sofa besar. Matanya menatap pintu putar. Zarri Bano berkedip, memalingkan muka. Dia menarik bagian kepala burqa-nya lebih ke depan menutupi dahinya, merasa ada beberapa jumput rambut yang terlepas. Sikander menunggunya masuk!
Sikander menyaksikan Zarri Bano melenggang sepanjang karpet menghampirinya. Masih menghindari kontak mata dengan Sikander, Zarri Bano mengagumi lukisan cat minyak karya Turner mengenai sebuah perahu di dinding di belakang Sikander.
"Assalamu 'alaikum! Mana Ruby dan Haris"" tanyanya sopan seraya duduk di sofa seberangnya dan berharap lelaki itu berhenti memandangi wajahnya.
"Mereka menunggumu di atas. Ruby ingin mengajakmu pergi ke Harrods bersamanya."
Zarri Bano tertawa, teringat pada keinginan seumur hidup adiknya berbelanja di Harrods. Wajah Sikander tampak santai dan ia pun ikut tertawa. Lalu dengan raut wajah serius, Sikander bertanya, "Apakah rencanamu, Kakak Zarri Bano" Apakah kau akan pulang ke Pakistan bersama kami atau akan tinggal lebih lama" Kami akan ke Singapura. Aku -kami bertanya-tanya apakah kau mau bergabung bersama kami." Sikander menundukkan kepalanya.
"Maafkan aku, Adik Sikander." Zarri Bano berdiri tiba-tiba. "Aku punya rencana lain. Permisi dulu, aku akan ke atas menemui Ruby dan Haris."
Sepasang mata Zarri Bano berkaca-kaca. Dia pun berjalan dengan cepat menjauh dari Sikander dan masuk ke lift. Singapura adalah tempat yang dijanjikan Sikander untuk tempat bulan madu mereka.
42. SUAMI-ISTRI itu tertawa ketika cucu mereka, Haris, melompat dari pangkuan Habib dan berlari keluar dari kamar tidur mereka, lalu turun menuju kedua orangtuanya dan bibi Zarri Bano.
"Shahzada, mintalah Zarri Bano menjumpaiku. Aku tidak bisa tenang sampai bisa melepaskan bebanku tentangnya," ujar Habib pada istrinya. "Kanker ini telah melahapku selama tiga tahun terakhir," ia menghela napas.
"Kanker apa"" tanya Shahzada cemas, menjadi waspada. Walaupun tidak lagi mencintai suaminya, dia masih peduli pada kesehatan tubuh suaminya.
"Rasa bersalahku," bisik Habib, "karena memaksa putriku menjadi seorang Shahzadi Ibadat. Seharusnya aku tidak melakukannya." Ia tidak sanggup menatap wajah istrinya.
Helaan napas Shahzada membuatnya gundah. Istrinya itu tak berkata apa pun-karena dia tak punya perasaan apa pun terhadap suaminya. Kata-kata penuh pengertian dan dukungan yang ingin didengar Habib tak keluar dari mulut Shahzada.
"Aku tahu kau tak akan pernah memaafkanku," lanjutnya. "Atau kau sudah memaafkanku""
Shahzada duduk di atas ranjang ketika suaminya bersandar di kepala ranjang dengan lengan tersilang di belakang lehernya. Shahzada turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu.
"Apakah kau sudah memaafkanku, Shahzada"" Suara Habib yang meninggi menghentikan langkah Shahzada.
"Apakah ada pengaruhnya aku memaafkanmu atau tidak"" Shahzada berbalik, tetapi tangannya mencengkeram pegangan pintu erat-erat.
"Tentu saja ada pengaruhnya! Aku kehilangan istri dan sahabat tercinta sekaligus pada saat Zarri Bano ditahbiskan menjadi seorang Perempuan Suci. Kau bertingkah seolah-olah semuanya berjalan normal, tetapi kau terus menjauhiku. Aku tidak pernah tahu Shahzadaku bisa sekeras itu. Dia adalah seorang perempuan yang lembut dan hangat. Di kuburan manakah aku telah menguburnya" Keakraban kita telah lenyap, cintamu, rasa hormatmu,... semuanya hilang
lenyap. Aku tidak tahan lagi! Maafkanlah aku, Shahzada-aku mohon!"
Apa yang terjadi selanjutnya mengagetkan mereka berdua. Habib melompat turun dari ranjang dan melompat ke arah Shahzada, berlutut di depannya di atas lantai seraya memeluk kakinya sebagai permohonan. Shahzada diam membeku, menatap ke bawah pada suaminya yang kini berlutut memohon di kakinya. Kedua tangan Habib mencengkeram tali sandal Shahzada.
Mengejutkan rasanya melihat Habib merendahkan diri seperti ini. Walaupun bersimpati atas penderitaan Habib, Shahzada tak dapat menanggapinya. Semuanya sudah terlambat.
"Habib, berdirilah," ujarnya dengan marah. "Jangan permalukan kita berdua. Tak pantas kau menyentuh kakiku seperti itu. Kau tahu kau tak bisa menghapus masa lalu. Yang telah terjadi, terjadilah. Kau telah membunuh istrimu saat kau mengancamnya dengan talak tiga-dan orang yang sudah mati tak akan kembali. Berbahagialah karena Zarri Bano telah menjadi perempuan yang ingin kau bentuk." Wajah Shahzada ditandai kerut-merut rasa sakit yang dalam.
"Andai saja aku tak pernah memaksa putriku menjadi seperti itu," jerit Habib. "Melihat Ruby menikah dengan bahagia dan mempunyai seorang putra, aku bersembunyi ke dalam diriku dengan ketakutan. 'Apa yang telah kulakukan"' tanyaku selalu pada diriku sendiri. Aku menangis getir setiap kali aku shalat dan saat tertidur. Aku telah dengan sengaja mencegah anakku menjalani hidup normal seperti Ruby. Siapakah aku-sesosok dewa" Shahzada, punya hak apa aku mengubah takdir orang lain" Aku tak bisa meneruskan perjalanan naik haji ke Makkah tanpa memohon maaf pada Zarri Bano dan kau. Allah tak akan menerima ibadah hajiku sampai aku melakukan hal ini. Nabi Muhammad, semoga kedamaian dilimpahkan padanya, pernah berkata, barang siapa akan pergi haji, harus berdamai dengan semua orang dan meminta maaf atas segala kesalahannya. Karena haji akan menjadi perjalanan spiritualku, aku harus kembali sebagai seseorang yang baru dilahirkan. Aku telah belajar menjauhi ego kelelakianku, Shahzada, dan menjadi rendah hati. Rasa hinalah yang telah menurunkanku hingga melata di kakimu. Tiada lelaki, tiada suami sepertiku yang akan mau melakukannya. Kau harus mengakuinya, kau harus menghargainya! Kau bicara tentang kematian. Habib pun telah mati ketika Sikander memasuki rumahku karena aku bukan lagi seorang lelaki yang sama seperti dulu." Sepasang mata Habib tak lepas dari wajah Shahzada.
"Maka, kau tahu, aku harus meminta maaf pada Zarri Bano dan membebaskannya dari ikrar tak akan pernah menikah. Yang tak bisa kutawar adalah aku juga kehilangan kau sebagai akibatnya. Allah tak akan pernah mengampuniku karena telah memperlakukanmu seperti yang kulakukan empat tahun lalu. Kini aku tak bisa hidup tanpa rasa hormat dan cintamu, Shahzada. Janganlah kau singkirkan aku dari pikiran dan hatimu! Aku membenci diriku dan keberpihakanku. Ketika benakku membandingkan Zarri Bano dengan bagaimana dia dulu, aku berkecil hati. Aku menginginkan seluruh dunia ini untuk putriku, tetapi kita kehilangan dirinya untuk buku-buku, kesepakatan religius, dan sehelai burqa hitam. Dia begitu jauh, tak tergapai."
Air mata penyesalan membayang di kedua matanya. Habib melanjutkan, tercekik oleh emosi saat ia bicara, "Lesung pipit di pipinya itu yang senang kulihat dan kusentuh saat dia masih kecil.... Aku tidak melihatnya selama tiga tahun. Dia bahkan jarang tertawa dan tersenyum lagi. Oh, di manakah Zarri Bano kita tersayang" Benak dan kesadaranku tidak akan tenang, Shahzada, hingga aku berterus terang kepadanya. Aku ingin putriku kembali." Habib mengakhiri perkataannya dengan penuh gairah, lalu menunggu istrinya berbicara menghiburnya. Namun, kata-kata getir Shahzada yang justru kini balik mencambuknya.
"Semua ini salahmu. Kau ingin menjaga putrimu yang cantik, milikmu tercinta, di rumah. Kau tak ingin berpisah dengannya dan dengan sawah ladangmu. Kau tidak sanggup melepaskannya pada Sikander, sainganmu dalam mendapatkan kasih sayangnya, begitu yang kau pikirkan. Kecemburuanmu itu telah melahap seluruh keluarga kita! Kau ingin penghormatan dan penghargaan dari putrimu" Baik
lah, kau kini mendapatkannya! Orang-orang datang dari tempat-tempat yang jauh di Pakistan untuk mencari panduan moral dan intelektualnya mengenai persoalan-persoalan
keagamaan. Maka, tak perlu kau menyesal, Habib." Shahzada tak merasa perlu menyembunyikan rasa jijik yang tampak dalam sepasang mata dan nada suaranya.
Cahaya harapan di mata Habib lenyap sudah. Ia pun bangkit. Shahzada memang benar. Habib sendirilah yang telah membunuh istri tercintanya di siang jahanam itu ketika ia mengancam akan menceraikan istrinya karena mempertanyakan keputusannya mengenai nasib Zarri Bano. Mengancamnya akan diberi talak tiga tanpa alasan jelas akan membunuh perempuan mana pun secara emosional, khususnya seseorang yang lembut seperti Shahzada yang sebelumnya memuja suaminya. Itu adalah sebuah hukuman yang terlalu kejam dan dialami oleh Shahzada hanya karena dia berusaha membela hak putrinya tercinta.
"Aku akan pergi membawa Zarri Bano kepadamu," ujar Shahzada dengan dingin. "Kurasa ia sedang berada di ruang santai bersama Ruby dan Sikander." Dia meninggalkan suaminya berdiri di tengah ruangan dengan tatapan mata nanar. Gembok yang mengunci hatinya tak mengizinkan Shahzada mengucapkan kata-kata yang menghibur suaminya. Ketika menutup pintu di belakangnya, Shahzada bertanya-tanya dengan sedih apakah dia akan bisa memaafkan suaminya.
* * * Secepat Zarri Bano berjalan ke dalam kamar, Habib langsung berbicara, "Putriku sayang, sesuatu telah menggangguku akhir-akhir ini. Tepatnya sejak kau menjadi seorang Perempuan Suci." "Apakah itu, Ayah" Apakah yang mencemaskanmu"" ujar Zarri Bano dengan cemas.
"Aku harus minta maaf karena aku tak bisa melakukan ibadah haji tanpa meminta maaf dulu." Suaranya menjadi parau oleh emosi. "Aku telah meminta maaf pada ibumu. Kau tahu, aku telah berdosa pada kalian berdua. Maafkanlah aku, Zarri Bano, karena telah memaksamu melepaskan Sikander, pernikahan, dan kehidupan yang tadinya kau miliki. Yang kulakukan itu salah. Aku tak tahu bagaimana harus memutar kembali waktu ke masa lalu. Putriku sayang, aku akan memberikan apa pun untuk mengembalikan Zarri Bano yang dulu."
"Ayah, tak ada yang harus dimaafkan," ujar Zarri Bano lembut. "Ayah tak perlu merasa bersalah. Aku mendapat begitu banyak hal dari kehidupanku sekarang-segala hal yang menurutmu akan kudapat."
"Betulkah itu, sayang"" sela Habib mendesak. "Atau kau berkata demikian hanya untuk menghiburku""
"Tidak, Ayah. Allah saksiku. Aku berkata benar. Dengan tindakanmu, aku membuka pintu dunia lain untukku. Aku, kuharap, telah menjadi seorang Muslim yang baik kini. Kuharap aku bisa menunaikan segala kewajibanku dengan baik. Kini aku juga memiliki pengetahuan yang tak dimiliki oleh Zarri Bano yang lama. Aku telah mengunjungi tempat-tempat yang di dalam kehidupan lamaku tak sempat kulihat. Memang benar, hidupku tak seperti hidup Ruby, tetapi hidupku telah lengkap dengan caranya sendiri. Maka, Ayah tak perlu merasa cemas," ujar Zarri Bano mengakhiri perkataannya dengan seulas senyum penuh maaf tersungging di bibirnya.
Kata-kata Zarri Bano bagaikan tetesan air yang keluar dari mulut indahnya menuju jiwa Habib yang dahaga, menawarkan obat berharga bagi kesadarannya. Dengan penuh terima kasih, ia meneguknya hingga tandas.
"Kata-katanya saja tidak cukup," saran kesadarannya. Setengah hati, Habib mencoba lagi, "Putriku, aku sudah berpikir panjang dan keras mengenai persoalan ini dan aku tahu aku telah berbuat salah. Tidak peduli apa yang kau katakan, aku ingin membuat perubahan. Jika kini atau kelak di kemudian hari kau ingin menikah, kau akan mendapatkan restuku."
"Ayah, mengapa Ayah mengatakan hal semacam ini!" Zarri Bano memekik tak percaya, bertanya-tanya apakah Habib telah menjadi gila. "Aku tak ingin menikah. Kini aku adalah seorang Perempuan Suci!"
"Barangkali kau ingin menikah nanti-mengapa tidak sekarang" Aku telah berbuat kejahatan bukan hanya padamu, melainkan juga terhadap agama kita. Aku telah membaca buku-buku tentang Islam dan kata-kata kutukan berlompatan menerjangku!"
Zarri Bano menyimak perkataan ayahnya dalam diam, kemudian menyahut tanpa ada jejak ke
pahitan dalam nada suaranya. "Aku juga telah mempelajari buku-buku dan membaca penafsiran-penafsiran hukum, dan mazhab pemikiran Imam Malik dan Imam Syafi'i mengenai persoalan ini. Pernikahan didukung dan tidak dicegah. Unit keluarga dan mengembangkan keluarga adalah inti keimanan kita. Namun, aku membebaskanmu dari rasa bersalah itu. Aku menerima restumu, izinmu, sebagai penjagaku, agar aku menikah, jika aku mau.
"Pernikahan tak berkaitan dengan hidupku sekarang, Ayah. Aku sungguh bahagia dengan segalanya. Tidak ada paksaan untuk menikah jika pernikahan justru akan merusak semua itu-itu juga tertulis, Ayah. Tak ada lelaki yang ingin kunikahi saat ini." Dia menindas bisikan batinnya, "Dulu sekali pernah ada seorang lelaki yang ingin kunikahi- tetapi Ayah mencegahku menikahinya."
"Kau yakin" Jika berubah pikiran, kau telah mendapatkan restuku, Anakku, ingatlah itu!" Habib menekankan dengan sungguh-sungguh.
"Tak akan pernah, Ayah!"
Habib menganggukkan kepalanya sebagai tanda pengertian. Seraya tersenyum, Zarri Bano bangkit hendak beranjak pergi.
"Bagaimana persiapan untuk pergi haji"" tanya Zarri Bano. "Aku baru saja membicarakan perihal haji kita dengan Ruby dan Adik Sikander di bawah. Tiket telah disiapkan. Pakaian kita telah dibereskan. Aku telah selesai membaca buku tentang ibadah haji bersama Ruby sehingga dia tahu apa yang harus dia lakukan begitu sampai di Makkah dan tahu apa yang bisa dia harapkan. Aku juga sudah membaca dua atau tiga buku tentang itu. Ukhti Sakina telah memberi beberapa saran tentang hal-hal yang tak kuketahui. Menurutnya, lebih baik pergi ke Madinah dahulu dan memanjatkan empat puluh doa wajib kita di Masjid Nabawi sebelum melakukan ibadah haji. Pada saat itu, di sana akan lebih sepi dibandingkan setelah musim haji, ketika sebagian besar jamaah haji bermaksud mengunjungi Madinah pada waktu bersamaan. Bila berangkat haji nanti, Ayah akan pergi ke Madinah sebelum atau sesudah naik haji""
"Sebelumnya. Sakina benar-agar tak terlalu banyak orang. Dengan begitu, kita punya banyak waktu untuk mengunjungi tempat-tempat suci dan lebih mudah mendapat hotel yang bagus."
"Kita telah memesan tiket sehingga kita punya waktu dua minggu sebelum melaksanakan ibadah haji dan seminggu sesudahnya. Itu memberi kita waktu sekitar enam hari di Jeddah dan Makkah serta delapan hari di Madinah sebelum kembali ke Makkah sehari sebelum pelaksanaan ibadah haji. Adik Sikander memiliki kontak di ketiga tempat itu. Ia telah memesan kamar di hotel yang bagus untuk tempat tinggal kita."
"Aku senang ia akan pergi haji bersama kita," ujar Habib. "Kita membutuhkan seorang lelaki muda untuk perjalanan semacam ini. Dengan tiga orang perempuan, tidak perlu lagi kawalan lelaki lain untuk naik haji."
"Ya, aku pun senang ia pergi bersama kita, walaupun Haris akan merindukan orangtuanya."
"Aku tahu, hanya itu masalahnya-kita semua akan merindukan Haris. Aku tak sabar menunggu hingga bulan depan, Zarri Bano," ujar Habib penuh semangat. "Itu akan menjadi ibadah haji pertama kita bersama-sama sebagai sebuah keluarga."
"Aku juga sudah tidak sabar menunggunya," timpal Zarri Bano pada ayahnya dengan hangat. "Sekarang, aku lebih baik turun dulu. Adik Sikander sedang memilih-milih dokumen untuk mengurus visa kita. Mereka akan pulang kembali ke Karachi setengah jam lagi."
"Mereka tidak menginap""
"Tidak. Selamat tidur, Ayah. Hudah Hafiz. "
Ketika Zarri Bano telah pergi, Habib berbaring di ranjangnya, merasa lebih bahagia setelah sangat lama tak merasakannya. Ia amat senang telah bercakap-cakap seperti ini dengan putrinya. Zarri Bano telah meringankan sebagian bebannya.
43. PESAWAT TERBANG itu bergema oleh alunan doa haji, talbiah, yang dilantunkan para jamaah haji dengan khusyuk.
"Inilah aku, ya Allah, di sinilah aku di hadapan-Mu! Kau yang tak memiliki sekutu, inilah aku! Hanya Kau yang berhak menerima segala puji dan syukur! Hanya Kau yang bisa memberikan pertolongan dan berkah. Kau yang berdiri sendiri dan tak memiliki sekutu," Zarri Bano dengan bahagia menerjemahkannya pada adik perempuannya ketika mereka duduk di sisi yang sama, sedangkan Si
kander, Habib, dan Shahzada duduk di sisi yang berlainan, terpisah oleh lorong pesawat.
Pemandangan itu tampak menakjubkan. Pesawat dipenuhi para jamaah haji yang berpakaian khusus jubah haji berwarna putih dan semuanya melantunkan talbiah dengan penuh semangat, "Ini aku datang, ya Allah," dan bersama-sama menuju rumah Allah, Ka'bah yang suci di Makkah, Arab Saudi. Seorang jamaah haji berdiri dekat kokpit pesawat dan menggunakan interkom untuk melantunkan talbiah.
"Apakah aku mengucapkannya dengan benar, Zarri Bano"" tanya Ruby cemas. Dia telah mempelajari talbiah dalam hati di rumah, tetapi kini dalam kegairahan perjalanan itu dia seakan-akan melupakan kata-kata itu lagi dan harus terus melihat pada buku panduan mungilnya.
"Ya, sayang, sudah benar." Zarri Bano tersenyum sabar pada adik perempuannya. Ekspresi bahagia tiba-tiba menerangi wajahnya. "Bukankah ini sangat menyenangkan" Aku tak sabar ingin sampai di Makkah. Orang-orang dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Arab Saudi. Berpakaian seperti ini, Ruby, kau pun tampak seperti seorang perempuan saleh!"
Mata Zarri Bano menjelajahi jubah putih yang menutupi seluruh tubuh adiknya dari kepala hingga kaki. Ruby merasa tidak nyaman dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuh dan kepalanya, tetapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Semua perempuan lainnya pun berpakaian dengan cara yang sama. Rambutnya, seperti rambut mereka, diikat ke belakang dan tersembunyi di balik tutup kepala karena terlarang hukumnya memperlihatkan sejumput rambut pun atau menjatuhkan sehelai rambut pun di Masjidil Haram, Ka'bah. "Sehelai rambut saja yang jatuh di Masjidil Haram akan menjadi penistaan tingkat tinggi, maka berhati-hatilah," ucap Zarri Bano pada Ruby. Awalnya Ruby merasa ketakutan, tetapi kemudian dia melihat ekspresi rasa senang di wajah kakaknya.
Ruby berharap dia bisa menyesuaikan diri dengan semua orang dalam membaca doa yang tampaknya telah dihafal semua orang dalam hari dan juga telah dia pelajari. Ruby beradu pandang dengan suaminya yang sedang menatapnya. Sikander tersenyum dan juga sedang mengalunkan talbiah sepenuh hati.
"Allah pasti sangat sibuk mendengarkan doa semua orang hari ini," Ruby terkekeh pada diri sendiri, "saat semua jamaah haji berdatangan dari seluruh penjuru dunia...."
* * * Bintang-bintang bersinar terang di langit malam di atas kota kecil Muzdalifah, beberapa kilometer dari tempat suci Arafah di Arab Saudi. Seperti jutaan jamaah haji lainnya, Zarri Bano dan keluarganya memanjatkan doa khusus pada siang hari dan telah menjadi haji. Mengikuti teladan Nabi Muhammad, semoga kedamaian dilimpahkan padanya, mereka wajib bermalam di Muzdalifah.
Berbaring di atas tikar rami yang dibelinya di Jeddah, Zarri Bano menatap langit di atas mereka dengan bintang-bintang yang mengedip pada mereka, menyambut kehadiran mereka di kota kecil itu.
"Inilah intinya haji, Ruby sayang!" Jejak kegairahan masih tersirat dalam suaranya. Ini adalah sebuah hari yang amat bermakna. Zarri Bano menoleh pada adiknya yang setengah tertidur di atas tikar lain, dekat darinya. "Pernahkah kau menghabiskan malam seperti ini dalam hidupmu" Aku belum pernah. Tulang-tulangku sakit, tetapi hatiku merasa senang dan jantungku berdegup kencang karena bergairah. Lihatlah bintang-bintang di atas sana, Ruby, mereka menyalami kita dan berkata, 'Salam. Kalian sudah haji sekarang.' Bisakah kau bayangkan bagaimana di tempat ini, selama berabad-abad, setiap tahun, ribuan jamaah haji dari berbagai penjuru dunia tidur di sini" Sehari dalam setahun, tempat ini menjadi pusat alam semesta. Apakah kau mendengarkanku, Ruby"" Zarri Bano mengangkat kepalanya dan menatap adiknya.
"Hmm, ya," sahut Ruby seraya menguap. "Kau benar, ini adalah sebuah peristiwa unik. Aku senang kita ada di sini. Aku bahkan tak peduli batu-batu kerikil menusuk-nusuk punggungku di bawah tikar. Sebaiknya kau tidur, Zarri Bano. Kita akan menghadapi hari yang sibuk besok di Mina. Lihat, aku bisa mendengar Ibu dan Ayah mendengkur walaupun Sikander Sahib masih bergerak-gerak."
"Aku bertaruh kerikil pasti sedang menusuk-nusuk tulang rusuknya!" Zarri Bano b
ergurau. "Kau ingat kita harus mengumpulkan tujuh puluh dua kerikil untuk melempari tempat 'setan'" Kerikil-kerikil di bawah tikarmu dan tikar suamimu bisa kita kumpulkan dengan mudah!"
Ketika Zarri Bano menoleh ke sampingnya, wajahnya bertatapan dengan seorang perempuan muda Nigeria bertubuh besar yang sedang melakukan shalat tahajud hanya beberapa langkah darinya. Suami perempuan itu duduk di dekatnya, membaca surah-surah dari Al-Quran dengan suara nyaring. Zarri Bano memejamkan matanya, merasa puas bisa berbagi dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Dia tahu, dia tak akan pernah melupakan malam ini.
* * * Pukul enam pagi, matahari telah terbit dan semua orang telah bangun. Antrean menuju jamban umum dan tempat wudhu makin memanjang. Keran-keran air cadangan ditempatkan di mana-mana setiap beberapa meter untuk memudahkan para jamaah haji. Tenda-tenda didirikan untuk tempat sarapan.
Pada saat Ruby bangun, kakaknya telah membaca tiga juz Al-Quran. Dia bangkit, merasa malu. Semua orang sedang shalat. Dia merasa seakan-akan sedang tidur di tengah sebuah masjid di tengah orang-orang asing. Tak lama setelah sarapan, seraya membereskan barang-barang dan tenda mereka, para jamaah haji bergerak menuju Mina.
Di depan mereka terhampar hari ketiga haji yang penting dan akan dilewatkan di dataran terbuka Mina dalam tenda-tenda mereka. Itu adalah sebuah hari yang dirayakan oleh umat Muslim di mana pun-berpuncak pada Idul Adha, hari raya kedua terpenting bagi umat Islam.
Pendekar Misterius 2 Goosebumps - Kamar Hantu Budha Pedang Penyamun Terbang 13
Hanya Shahzada yang mampu melihat tatapan yang membayang di mata putri sulungnya. Di luar itu, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Zarri Bano sudah setengah mati mendaki sebuah gunung yang amat tinggi dan terjal di malam hari, dan dia sudah berhasil menaklukkan gunung itu, memenangkan dirinya sendiri dan semua hasrat yang dimilikinya.
Untuk membuktikan semua ini pada dirinya sendiri, Zarri Bano meningkatkan pengabdian dirinya pada agama, lebih dari yang pernah dilakukannya. Pada saat yang sama, dia juga merasa sangat tertarik pad
a persiapan pernikahan adiknya.
Sampai saat itu Zarri Bano belum bertemu dengan Sikander. Ia tidak datang berkunjung. Suatu hari saat Sikander ditunggu kehadirannya, Zarri Bano malah melakukan ziarah singkat, menghadiri sebuah pengajian di sebuah darbar setempat.
"Suatu hari, aku akan bertemu dengannya juga, tetapi tidak sekarang, jangan dulu." Naluri perempuannya memperingatkannya bahwa dia masih terlalu terluka secara emosional untuk berhadapan langsung dengan Sikander.
* * * Kenyataannya dia memang tidak harus bertemu dengan Sikander hingga hari mehndi, pesta yang disiapkan oleh Ruby tiga hari sebelum hari pernikahan. Pesta itu ditujukan untuk perempuan dan para gadis, di dalamnya ada acara nyanyian dan tarian dengan iringan musik pop, selain lagu-lagu tradisional khas pernikahan, hingga musik tolki, sebuah genderang kecil.
Sepupu kedua gadis itu, Gulshan, sudah tiba seminggu sebelumnya untuk membantu persiapan dan terlibat dalam segala hal. Pada pagi hari acara pesta itu, Gulshan mendekati Zarri Bano dengan kedipan di matanya dan sebuah permintaan khusus. "Sayangku, aku tidak mengizinkanmu mengenakan burqa di pesta itu karena hanya akan ada perempuan dan para gadis."
"Aku harus mengenakan burqa, Gulshan," tukas Zarri Bano.
"Tolong lupakanlah dulu 'kesucian'-mu untuk malam ini saja. Aku ingin kau menari bersama adikmu di pesta ini." Bekas-bekas sarkasme pada diri Zarri Bano tidak juga hilang.
Sebuah desisan mengiringi Zarri Bano yang tercekat mendengar apa yang diusulkan oleh sepupunya.
"Aku" Menari" Itu benar-benar mustahil, Gulshan! Kapan kau melihat seorang Perempuan Suci menari""
"Aku tidak mengenal Perempuan Suci mana pun selain kau. Kau juga adalah sepupuku dan seorang perempuan seperti aku. Aku akan membuatmu menari lihat saja nanti," goda Gulshan yang juga menertawakan raut tersinggung di wajah Zarri Bano. "Tapi, pertama-tama kau harus naik ke kamar Ruby. Aku punya sebuah kejutan untukmu. Ruby dan aku sudah memilihkan beberapa pakaian untukmu. Warnanya merah dan putih. Kami sungguh-sungguh tidak menginginkanmu mengenakan warna hitam, meski itu sudah menjadi warna kesukaanmu. Hanya warna-warna cerah yang cocok untuk pernikahan adikmu."
"Aku tidak bisa melakukannya. Kau harus mengerti, Gulshan!" Zarri Bano benar-benar merasa tersinggung. Dia berusaha melepaskan cengkeraman tangan sepupunya itu saat dia menyeret Zarri menaiki tangga.
"Ayolah, Zarri Bano, hari ini kami ingin melihat sekali lagi penampilan gemerlapmu setuju" Tidak termasuk kejahatan jika kau berdandan atau menari di depan kami para perempuan, bukan" Mengapa kau bersikap seperti ini" Kau tidak boleh mengingkari kesenangan dalam menari atau berdandan dalam dirimu sendiri. Seingatku, dua-duanya pernah memberimu kesenangan yang luar biasa."
Itulah yang terjadi. Zarri Bano tidak dapat meloloskan diri. Sekitar pukul enam, dia didorong untuk memasuki kamar Ruby dan diperlihatkan pakaian-pakaian itu. Akhirnya, Gulshan membantu Zarri Bano berdandan di kamarnya sendiri. Tidak ada lagi cermin tinggi di kamar Zarri Bano, karena itu dia tidak tahu bagaimana rupanya mengenakan pakaian shahrarah yang mengembang, dengan rok panjang dari sifon merah dan tunik yang serasi berwarna putih, dihiasi kepingan berwarna emas yang dibordirkan di gaun itu. Gulshan dengan terampil mendandani wajah Zarri Bano dan menata rambutnya yang kini tampak terurai tak terurus hingga ke bahunya. Dia menambahkan beberapa ikal rambut di tepi wajah Zarri. Seuntai kalung melengkapi dandanan itu.
Gulshan memandangi sepupunya dengan pandangan puas. Betapa piciknya dia karena pernah merasa iri pada Zarri Bano. Dia tak sabar lagi untuk memamerkan Zarri Bano dan mengumumkan kehadirannya dengan teatrikal karena dia sadar betapa semua orang akan terpana dan semua kepala akan berpaling ke arahnya. Karena itu, dia segera mendahului Zarri Bano memasuki ruangan luas tempat musik sedang dimainkan dan tepukan tangan yang mengiringinya terdengar meriah, menambah lincahnya gerakan salah seorang perempuan penari.
Setelah beberapa menit, Zarri Bano melangkah keluar dari kamarnya, merasa ada seorang perempuan
lain yang sedang mengambil alih tubuhnya. Pakaian itu terasa begitu asing dan aneh. Ornamen-ornamennya menusuk-nusuk kulitnya. Keinginan untuk berbalik arah dan menghapus semua riasan wajahnya begitu kuat membuncah. Riasan wajah itu membuatnya merasa seakan-akan sedang memakai masker wajah yang sangat berat. Sensasi aneh yang dirasakannya karena rambutnya ditata ke luar dan beberapa ikal rambut di sekitar wajahnya membuatnya sangat ingin menarik semuanya ke belakang kepalanya dan menyembunyikan setiap helai rambutnya ke balik jilbab burqa-nya. Alih-alih, dia malah menjinjing burqa itu di tangannya.
Ketika mulai menuruni tangga dan mengangkat sedikit roknya dengan kikuk dari lantai dengan sebelah tangannya, Zarri Bano mendengar langkah-langkah kaki di lorong di bawahnya. Dia memandang ke bawah dan kemudian berdiri terpaku di anak tangga teratas dari tangga ulir yang panjang.
Berdiri di ujung tangga itu, Sikander yang sedang mendongak memandangnya. Ia tersenyum, mengira itu adalah Ruby Lalu matanya menyipit saat ia memusatkan pandangannya ke kain berwarna hitam di tangan gadis itu, dan ia pun tercekat. Itu Zarri Bano!
Selama beberapa detik, dunia seakan membeku bagi Sikander. Jantungnya berdegup amat lambat. Senyum di wajahnya perlahan sirna. Memandangi penampilan begitu memesona yang sedang berdiri di ujung tangga membuat rasa sakit yang telah ditekan Sikander selama setahun terakhir itu kembali muncul dalam dirinya, berbentuk sebuah letupan yang dahsyat. Sebuah isakan rindu tertahan di tenggorokannya.
Zarri Bano terus memandanginya, terpana. Setahun terakhir dalam hidupnya yang dihabiskan untuk pengabdian terbaiknya pada agama, luruh begitu saja dari benaknya. Hanya masa kinilah yang berarti. Ah, alangkah kuatnya mantra itu! Dunia seakan berhenti bergerak.
Kemudian sebuah suara dari kamar di dekatnya menyeret Zarri Bano kembali ke alam nyata. Sambil menghela napas berat, dia segera membalikkan tubuhnya dan menghilang dari penglihatan Sikander.
Sikander terpaku di tempatnya berdiri. "Kami bahkan tidak saling mengucapkan sepatah kata pun," ratapnya. Ini adalah pertama kalinya ia melihat Zarri Bano lagi sejak hari penahbisannya dulu.
Sikander masih saja berdiri terpaku di lorong besar itu, tetapi kini menjauh dari tangga ketika mendengarnya melangkah turun. Dengan penuh harap, ia menengadah dan siap untuk menyapanya.
Gadis itu kembali mengenakan burqa hitamnya. Kekontrasan penampilannya sekarang dengan penampilan sebelumnya begitu jelas terlihat. Sambil menegakkan kepalanya dan memandang lurus ke depan, dia melangkah melintasi Sikander. Satu-satunya kata sapaan yang ditujukan Zarri Bano padanya hanyalah, "Assalamu 'alaikum, Adik Sikander."
Kata-kata Zarri Bano itu terdengar menusuk baginya. Mantra itu sudah terucap. Zarri Bano sudah kembali ke dalam cangkang kesalehannya. Mulut Sikander yang berkerut kini membentuk sebuah garis, seulas senyuman pahit. Ia memang akan menjadi adik ipar Zarri Bano.
Sejenak, Sikander nyaris menyerah pada keputusasaannya. Ia terikat pada Ruby, seorang gadis yang setia dan penuh cinta.... Namun, ia masih mencintai kakaknya, cinta sejatinya. Dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk itu semua.
35. ZARRI BANO, mengapa kau masih mengenakan protes Gulshan begitu melihat penampilan sepupunya dalam jilbab hitam.
"Aku harus mengenakannya. Seorang laki-laki bisa saja masuk kemari kapan saja," ucap Zarri Bano membela diri begitu berdiri di dekat Gulshan.
"Tetapi di sini tidak ada orang asing selain anggota keluarga kita. Yang ada, tentu saja, hanyalah mempelai lelaki itu sendiri. Ia akan segera menjadi adik iparmu, karena itu ia tidak akan lagi menjadi orang asing. Kemarilah, aku bantu kau melepaskannya!" dengan cepat Gulshan menarik burqa itu hingga terlepas.
Zarri Bano berdiri dengan canggung di tengah lingkaran perempuan-perempuan yang duduk mengelilinginya. Mereka tampak menahan napas dan terpana memandanginya. Dia merasa seolah-olah sedang berada dalam sebuah pertunjukan makhluk aneh.
"Gulshan, aku akan membuat perhitungan denganmu nanti," desis Zarri Bano seraya dengan cepat menjatuhkan
dirinya dan duduk. "Aku merasa nista! Apa yang akan dipikirkan orang tentang aku" Kau pikir mereka akan menghormatiku lagi" Aku berdandan mengenakan pakaian yang tak pantas hampir seperti perempuan malam!"
"Jangan bodoh," ejek sepupunya itu. "Kau berpakaian dengan gaya busana tingkat tinggi dan kau tahu itu. Kau juga tahu, pada saat ini, di ruangan ini, kau adalah perempuan yang paling memesona."
Semburat rona merah menghilang dari pipi Zarri Bano. "Apa maksud semua ini"" tanyanya.
"Maksudnya" Untuk menikmati hidup, tentu saja. Merayakan keindahan! Merasakan kesenangan momen ini tepat pada waktunya yang merupakan mehndi adikmu. Kau tidak akan mendapatkan kesempatan seperti ini lagi, Zarri Bano."
"Gulshan, apa yang kau katakan itu benar, tapi tolong kau camkan, aku adalah seorang Perempuan Suci."
"Jadi, kau pikir pesta adikmu ini tercela"" tuduh Gulshan. "Ayolah, lupakan sekali saja kesucian dirimu. Berikan pada kami Zarri Bano yang dulu, untuk semalam saja. Ayo, bergabunglah bersama kami untuk merayakan pesta pernikahan Ruby. Ayolah!" Sambil memegang erat tangan Zarri Bano, Gulshan menyeretnya memasuki ruang kosong untuk menari di sisi kiri mereka, di tengah-tengah lingkaran tersebut. Merasa sangat malu, Zarri Bano berusaha kuat menarik tangannya dari cengkeraman sepupunya.
"Tolong, Gulshan," Zarri mengiba, merasa panik. "Jangan lakukan ini padaku ini sangat tidak nyaman."
"Baiklah, gadis-gadis, Zarri Bano dan aku akan menarikan lagu pakeeza 'Cheltah cheltah'. Tolong nyalakan musiknya, dan semua orang boleh bertepuk tangan mengiringinya!"
Dengan penuh semangat, perempuan-perempuan itu mulai bertepuk tangan. Gulshan mengayunkan tubuhnya seiring irama musik, menggerakkan tubuhnya yang gemulai dengan anggun. Rok sifonnya mengembang mengikuti gerakannya. Zarri Bano menatap kerumunan perempuan yang duduk di lantai. Dia menangkap tatapan mata adiknya, Ruby. Dia sedang duduk di atas setumpuk bantalan tinggi, menunggu tangannya dilukis dengan pacar. "Ayolah," pinta sorot matanya, memohon.
Zarri Bano menyerah dan memasuki arena untuk menari. Perlahan tangannya, lengannya, dan kakinya mulai terayun dalam gerakan gemulai yang anggun, mengelilingi ruangan. Shahzadi Ibadat itu terlupakan saat tubuhnya mengingat dengan jelas bagaimana harus menguntai keajaiban dalam gerak dan irama. Tepukan tangan berirama membahana di sekelilingnya. Dia mengimbangi nada lagu itu, tersenyum, dan mempertontonkan lesung pipitnya pada para perempuan itu. Tubuh yang terayun naik turun dengan gerakan sangat anggun akhirnya mencapai sebuah crescendo hingga ke musik yang mengalun pilu.
Akhirnya lagu itu berhenti dan tubuhnya berputar lalu terhenti. Matanya mulai terpusat pada wajah-wajah perempuan yang mengamatinya dengan terkagum-kagum. Lalu, kedua matanya sampai pada seraut wajah. Dia terkesiap kaku. Itu adalah wajah Sikander yang sedang duduk tersembunyi bayangan di ujung lorong.
Zarri Bano jatuh pingsan saat kenyataan menghinggapinya, bahwa Sikander selama ini memandanginya terus dari tempat itu. Tubuh Zarri luruh terjatuh di atas tumpukan bantal di dekat Gulshan. Dua kali dalam sehari itu Sikander melihatnya tanpa burqa. Kali ini situasinya malah semakin mendukung dia disaksikan Sikander tengah menari di sebuah ruang terbuka. Itu adalah pesta pernikahan laki-laki itu. Dan dia memberi pertunjukan tari bagaikan seorang kanjari, seorang gadis penari, di hadapannya. Warna merah menjalari pipi Zarri Bano karena malu tak seorang laki-laki pun yang pernah melihatnya dalam situasi seperti itu.
Dengan tangan bergetar, dia menarik burqa-nya hingga kembali menyelimuti seluruh tubuhnya, membenahi jilbabnya serapi mungkin menutupi rambutnya. Bahkan andai perempuan-perempuan itu mengemis dengan berlutut di depannya sekalipun, dia tidak akan bangkit dan mempermalukan dirinya sendiri lagi. Zarri Bano mengingat dengan jelas gerakan-gerakan sensual tariannya, tubuhnya menggigil lagi karena malu. Dia bahkan tidak mengenakan dupatta atau sehelai selendang pun untuk menutupi tubuh bagian depannya.
Begitu pengendalian dirinya kembali, Zarri Bano memberanikan diri memandang
ke arah kerumunan orang dan berpikir ironis: Setidak-tidaknya, aku sudah membuat Ruby, Gulshan, dan kerumunan perempuan ini senang. Dia mengenang kemampuan menarinya, di saat dia sering diseret ke lantai dansa dalam pesta-pesta mehndi yang dihadirinya dan biasanya dia tidak akan diperkenankan berhenti menari hingga dia menarikan setidaknya lima lagu yang paling populer.
Kembali ke upacara mehndi itu, Zarri Bano membiarkan Gulshan memimpin jalannya perayaan. Beberapa lama kemudian, dia memberanikan diri melihat ke sudut tempat Sikander duduk. Tempat itu kini sudah kosong. Zarri pun bernapas lebih lega. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu berusaha menghindarinya. Tentu saja, nanti akan ada masa-masa ketika dia akan terpaksa bertemu dan berbicara dengannya, tetapi dia tidak akan pernah mau menyengajakan diri bertemu dengannya. Zarri sudah siap membuat rencana untuk sepenuhnya terjun mendalami
peranannya sebagai satu upaya untuk berjarak dengan masa lalunya dan secara khusus mengambil jarak terhadap Sikander, ular berbisa yang meliuk-liuk di antara rumpun bunga di taman mawar pengabdian keagamaannya.
* * * Pada hari pernikahan, Zarri Bano, seperti juga kedua orangtuanya, sibuk dan tidak punya waktu untuk mengobrol dengan Sikander. Para tamu sudah seluruhnya berdatangan dan harus segera ditemui. Semua pengaturan acara pernikahan sudah dilaksanakan. Ruangan luas sudah didekorasi untuk resepsi dan upacara pernikahan. Pagi itu berlalu dalam serangkaian kesibukan berbagai aktivitas. Ruby dikunci di kamarnya bersama Gulshan dan para ahli rias.
Zarri Bano membantu ibunya dengan beberapa penugasan di saat-saat terakhir. Sekitar pukul sebelas, dia memutuskan memeriksa adiknya untuk melihat bagaimana kemajuan persiapan riasan pengantinnya. Menahan napas melihat penampilan Ruby, Zarri tercekat. "Oh sayangku, kau tampak memesona!"
Tepat pukul dua belas tiga puluh, mempelai laki-laki dan rombongannya tiba untuk melangsungkan upacara dari Karachi. Sebagian besar anggota keluarga Zarri Bano telah bersiap di halaman depan untuk menyambut dan menerima kedatangan mereka. Para gadis menggenggam mangkuk-mangkuk porselen kecil menunggu untuk menaburkan bunga di kepala mempelai laki-laki dan rombongannya.
Sendirian, Zarri Bano mengawasi semua itu dari jendela kamar tidurnya terlihat olehnya jajaran mobil dan iring-iringan para pemusik berjalan kaki dengan riang gembira menyuarakan nada-nada pesta pernikahan. Yang memimpin iring-iringan itu adalah sang mempelai laki-laki di atas seekor kuda putih, sesuai dengan adat istiadat yang sudah berlangsung berabad-abad.
Zarri Bano nyaris tidak bisa mengenali Sikander yang berbusana layaknya seorang mempelai laki-laki, mengenakan serban tradisional bertaburan manik-manik, atau khullah, di kepalanya dan sebuah jaket panjang putih dengan shalwar yang serasi. Mata Zarri Bano menatap lekat wajahnya. Kuda itu berderap pelan untuk kemudian berhenti tepat di depan gerbang.
"Kismet, kau sangat kejam." Zarri Bano memalingkan wajahnya dari jendela, merenung tentang berapa banyak perempuan atau laki-laki yang pernah mengalami skenario mimpi buruk seperti yang sedang dialaminya ini. "Bagaimana mereka mengatasi semua ini"" gumamnya.
"Aku seorang Shahzadi Ibadat!" dengan getir dia berseru pada dirinya sendiri. "Seorang perempuan yang sudah menampik pernikahan dan kehidupan normal. Aku adalah seorang yang sudah mencampakkannya." Itu sebabnya dia sedang membayar semua ini sekarang. Kata-kata Sikander terngiang kembali mengejeknya, "Kau akan mati untukku di hari pernikahanku."
Zarri Bano sudah memohon pada Allah agar selalu membuatnya sibuk. Hari ini, entah bagaimana, pemandangan tentang Sikander telah menunjukkan padanya bahwa di balik semua itu, dia masih seorang manusia rapuh semata-mata hanyalah korban dari penderitaan dan kemenangan dalam kehidupan.
"Aku sedang mati untukmu, Sikander. Kau berhasil membalaskan dendammu." Zarri Bano menghapus lelehan air mata dari pipinya dengan penuh amarah. Dengan gigi-gigi gemeretak, dia berjanji pada dirinya sendiri, "Zarri Bano tidak akan pernah menangisi seorang
laki-laki lagi! Aku akan mengunci diriku, mengubur sisi-sisi rapuhku, selamanya. Aku akan menunjukkan pada diriku sendiri dan pada dunia, bahwa aku memang satu-satunya yang murni, yang suci! Untuk melakukannya, pertama-tama aku harus mengeluarkan Sikander dari inti keberadaanku."
Dengan agak bimbang, dia membuka salah satu laci meja riasnya dan mengeluarkan tiga buah cangkang kerang laut yang disembunyikannya dalam sebuah kotak kecil. Seraya meletakkannya di atas telapak tangan, Zarri Bano memandangi ketiga benda itu selama beberapa saat. Perlahan-lahan, dia mengangkat jaring gorden jendelanya, lalu melemparkan kerang-kerang itu lewat jendela yang terbuka, jauh melewati dinding rumahnya. Penghubung terakhirnya dengan Sikander sudah hilang.
* * * Selama berlangsungnya upacara pernikahan, Zarri Bano tetap berada di belakang. Upacara "penyambutan susu", di mana kedua kakak beradik itu secara adat menawarkan segelas susu kepada mempelai laki-laki, diganti dengan pemberian uang. Zarri Bano sudah menguasakannya pada Gulshan. Dia tidak sanggup berdiri di depan Sikander. Ketika melihat adiknya duduk di samping Sikander di altar seusai upacara pernikahan, dan Ruby tampak tertawa-tawa di depan wajah Sikander, Zarri Bano tahu bahwa ikatan masa lalunya akan benar-benar terputus malam itu.
Dengan penasaran, Zarri mengamati sorot mata Sikander. "Sepasang mata itu pernah berkilauan dalam mataku juga!" ratapnya. Sikander tidak bisa melihat Zarri Bano, tetapi mata Zarri menikmati memandangi Sikander untuk terakhir kalinya.
Tidak sanggup lagi bertahan, Zarri Bano meninggalkan ruangan itu dan melangkah memasuki halaman belakang. Sambil duduk di sebuah kursi di beranda, dia menatap sedih rumpun mawar. Dia mendengar sebuah suara di belakangnya, segera saja dia memperbaiki topeng mimik wajahnya.
Fatima berdiri di belakangnya. "Aku juga merasa kegerahan di dalam ruangan luas itu, Sayangku," ujarnya.
"Ya, Fatima." Zarri Bano bangkit dan siap beranjak pergi.
"Beristirahatlah, Sayangku. Kau sudah sangat sibuk." Dengan lembut, Fatima mendorong tubuh Zarri Bano agar kembali duduk. Sejenak keheningan penuh arti meruap di antara mereka. "Ia tidak pantas mendapatkannya," perempuan itu berkata dengan nada sedih.
Mata Zarri Bano membelalak lebar. "Aku tidak tahu apa yang kau maksud, Fatima. Jika kau sedang membicarakan Sikander, kau tidak perlu mengkhawatirkan aku, tetapi ia memang pantas menikahi adikku. Aku sangat berbahagia untuk Ruby. Ingatlah bahwa aku adalah seorang Perempuan Suci. Bagaimana kau bisa memikirkan hal seperti itu" Sungguh-sungguh...," tawa gugup Zarri Bano membuat batinnya terasa ringan. "Ayo, kita harus memamerkan gaun pengantin Ruby ke semua perempuan yang ada di sini. Gulshan sudah melakukan segalanya. Kau dan aku akan melakukan tugas ini bersama-sama."
Bertahun-tahun kemudian, Zarri Bano menyadari bahwa momen itulah, ketika mereka berada di taman belakang, saat hambatan terbesar yang coba dia lalui pada akhirnya berhasil terlewati berkat kata-kata simpatik Fatima. Untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa semua itu tidak ada artinya lagi baginya, Zarri Bano bahkan menawarkan diri untuk menemani Ruby ke rumah Sikander.
"Aku orang yang berkemauan kuat dan aku akan membuktikan pada diriku sendiri dan pada dunia bahwa aku memang sungguh-sungguh seorang Perempuan Suci. Kuharap Sikander menemukan kebahagiaannya bersama adikku. Tidak akan ada lagi calon-calon pelamar di dalam hidupku!" Dia menyatakan doa pribadinya itu saat bersimpuh di atas sajadah di malam pengantin adiknya.
36. FATIMA MENYEWA sebuah tanga, kereta berkuda, untuk membawanya dari Chiragpur menuju rumah tempat Khawar tinggal, di desa tetangga. Setelah memberi upah di muka pada si kusir, dia meminta kusir itu menunggunya di luar karena tidak ada taksi di sekitar desa itu. Bahkan, tanga pun merupakan kendaraan langka saat itu.
Dibangun di pinggiran desa, rumah Khawar yang besar berdiri tegak sendirian di tengah-tengah ladang yang hijau. Ia mewarisi dua buah rumah semacam itu saat ayahnya meninggal dunia. Ia mempekerjakan dua orang pelayan untuk menjaganya dan Rani, s
eorang perempuan tua yang membantunya memasak dan mencuci sehari-hari. Ranilah yang mempersilakan Fatima masuk dan mengantarnya memasuki ruang tamu, memintanya menunggu Khawar kembali.
"Tidak akan ada mimpi-mimpi lagi," ujar Fatima getir pada dirinya sendiri. "Semuanya berakhir sudah."
Dia sudah mendapatkan pelajaran, dengan baik dan sungguh-sungguh. Kebahagiaan putrinya dan kesejahteraannya lebih berarti baginya daripada mimpi bodohnya melihat Firdaus sebagai kepala sekolah sekaligus calon chaudharani di desa itu. Kedudukan yang terakhir itu sudah ditampiknya sekitar tiga puluh tahun yang lalu ketika dia memutuskan untuk menikah dengan Fiaz, daripada Sarwar.
Memarahi dirinya sendiri tetap tidak membuatnya mudah menghilangkan mimpinya itu. Sekian lama, hati Fatima terus tertambat pada Khawar, sebagai calon menantu tertuanya.
Dia masih bisa mengingat sorot mata Kaniz ketika salah satu tamu perempuan berbisik dengan cukup nyaring dan tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain pada si pengantin baru, "Itu dia Fatima, perempuan yang ingin dinikahi Sarwar, tetapi dia menolaknya."
Sambil tersipu, Fatima segera saja menengadah dan melihat sorot mata tajam Kaniz ke wajahnya. Karena memahami perasaan sang pengantin baru, batin Fatima pun bersimpati padanya. Setelah itu, dia diperingatkan bahwa perempuan itu sangat ketus dan nyinyir.
Kaniz tidak bisa melupakan ataupun memaafkan Fatima karena menjadi "perempuan lain". Fatima, sebaliknya, harus mengubah pendapatnya tentang Kaniz karena chaudharani baru itu segera menampakkan sikapnya, dalam segala hal, menunjukkan bahwa Fatima sama sekali tidak diinginkan di rumahnya. Kemudian, dia menggunakan pelayannya, Neesa, untuk menyatakan dengan gamblang pada Fatima bahwa dia tidak berhak datang ke rumahnya. Saat itulah permusuhan itu dimulai, seiring dengan bertambahnya bulan dan tahun.
Ketika Fiaz mengalami kecelakaan dan Fatima bekerja sebagai pelayan di rumah Siraj Khan, Kaniz mendapat kesempatan untuk membalas dendam.
Sambil meraup setiap kesempatan yang datang padanya, Kaniz dengan terang-terangan dan tanpa ampun bersikap sinis pada "si tukang cuci" yang merupakan perempuan yang sebenarnya ingin dinikahi Sarwar. Fatima sendiri tidak pernah punya cukup waktu untuk meladeni Kaniz dan cemoohannya yang tidak penting itu. Dia menghadapi serangkaian tugas untuk mempertahankan keluarganya dan merawat suaminya yang tak berdaya. Dia bahkan menemukan kepercayaan dan seorang teman dalam diri Chaudharani Shahzada.
Fatima sedang tenggelam dalam lamunan tentang masa lalunya dengan Kaniz ketika mendengar suara kaki Khawar di luar beranda. Dia menengadahkan wajahnya, mengagumi jajaran gigi putih pemuda itu dan senyumnya yang selalu mengembang di wajahnya.
Fatima tidak membalas senyum itu.
"Assalamu 'alaikum, Bibi Fatima. Betapa ini adalah kejutan yang menyenangkan!" Sambil mengibaskan debu dari sepatu botnya dengan sehelai sapu tangan, Khawar melangkah memasuki ruangan itu. Fatima berdiri. Sorot matanya menatap sosok pemuda bertubuh tinggi dan atletis itu.
"Kemari dan duduklah di sini, Bibi Fatima, dan katakan padaku semua kabar yang kau bawa. Bagaimana kabar semuanya""
"Semuanya baik-baik saja, Khawar. Bagaimana dengan dirimu sendiri" Kau tampak sudah menetapkan diri untuk tinggal selamanya di tempat ini, Anakku."
"Ya, aku sangat bahagia di tempat ini, Bibi," balasnya sopan. Ia merasa tidak enak mendiskusikan perihal dirinya yang berpisah dari ibunya.
"Rasanya tidak benar jika kau harus ada di sini," ujar Fatima dengan hati-hati.
"Mengapa, Bibi""
"Ya, ibumu yang malang sendirian di desa sekarang. Kau adalah anaknya semata wayang, Khawar, dan kau seharusnya tinggal bersamanya." "Bagaimana kabar Firdaus""
"Dia baik-baik saja, tetapi dia akan meninggalkan desa itu untuk selamanya, Anakku." "Apa"" tanyanya kaget. Khawar sontak berdiri.
"Ya, Anakku. Dia ingin meninggalkan kita dan desa itu. Dia sudah ditawari jabatan baru sebagai wakil kepala sekolah di sekolah tinggi khusus untuk perempuan di kota. Aku tidak bisa membujuknya untuk tetap tinggal di desa. Kini semuanya telah berakhir, Anakku."
"Apa maksudmu , Bibi"" "Maksudku, dia tidak ingin memiliki keterkaitan apa pun lagi denganmu, ibumu, atau rumahmu. Dia begitu kukuh berpendapat bahwa kau adalah orang terakhir yang ingin dinikahinya." Fatima nyaris menyesali kata-katanya. Khawar adalah laki-laki kedua dalam keluarganya yang ditampik cintanya.
"Aku sangat menyesal, Khawar," ujar Fatima dengan suara yang lebih lembut. "Aku sudah berusaha sekuat tenaga, kau tahu itu. Namun, segalanya terjadi di luar kendaliku."
"Ini perbuatan ibuku, bukan"" suara tajam Khawar mengiringi kilatan dingin yang terlintas di sorot matanya.
"Menurutku, ibumu tidak membantu dalam hal ini. Beberapa saat yang lalu dia mendatangi sekolah Firdaus dan itu jelas membuat segalanya jauh lebih buruk. Dia mungkin saja memiliki serangkaian alasan untuk bersikap seperti itu. Namun, yang ingin kukatakan padamu, Khawar, hanyalah agar kau kembali pulang ke rumah ibumu: Aku tidak ingin kau terlihat asing darinya."
"Aku tidak ingin pulang!"
"Kau harus pulang, Sayang. Ibumu sangat menyayangimu. Aku datang untuk memintamu pulang ke rumah dan mengesampingkan Firdaus dan kami di luar benak dan hatimu."
"Tidak semudah yang kau katakan, Bibi. Dan mengapa aku harus pulang hanya karena kau dan ibuku mengatakannya. Bolehkah aku bertemu Firdaus""
"Aku akan mengusulkannya, Anakku, tapi tidak saat ini. Suasana hatinya sedang sangat tidak enak. Ibumu dan aku tidak mampu meredakannya. Harga dirinya sangat terluka karena kami berdua."
"Bagaimana dengan masa depan, Bibi" Aku tidak akan membiarkannya pergi tanpa berjuang untuk mempertahankannya."
"Itu terserah padamu, Anakku tetapi secara pribadi aku tidak menyarankanmu untuk melakukannya. Aku juga tidak ingin kau melakukannya. Kau tahu sendiri, Khawar, betapa aku selalu menginginkanmu sebagai menantu tertuaku. Namun, sepertinya Firdaus sudah ditakdirkan untuk orang lain. Jika kau menghargaiku, kuharap aku bisa melihatmu kembali berada di rumah keluargamu di Chiragpur bersama ibumu dalam beberapa hari ini."
Fatima berlalu, menolak tawaran untuk makan malam dan menikmati minuman penyegar. Tanga-nya dengan sabar menunggu. Si kusir masih saja sibuk mengunyah paan-nya. Fatima sudah mencapai tujuannya berbicara apa adanya pada Khawar.
37. SABTU PAGI yang cerah ceria, dengan matahari bercahaya terang di langit Chiragpur. Burung-burung desa berkicauan di pepohonan. Fatima masih saja tak menikmati siang yang menjelang dan tugas tidak menyenangkan yang menunggunya. Dia membiarkan pagi itu berlalu di atas atap rumahnya.
Akhirnya, setelah pukul dua tepat, Fatima memaksakan diri untuk meninggalkan rumahnya. Keengganannya begitu terasa di setiap langkahnya di atas jalanan berbatu, tak terhindarkan lagi, menuju arah rumah Kaniz.
"Bertahun-tahun waktu yang terbuang sia-sia," ucapnya sedih. Andai saja dia mengetahuinya! Keegoisan diri adalah sesuatu yang sangat sulit dihadapi. Sekian lama dia memimpikan perjodohan putri sulungnya dengan Khawar, dan dia sudah mulai memercayainya sebagai sebuah penyelesaian masa lalu. Dan kini, Firdaus sudah siap pergi ke kota untuk memulai pekerjaan barunya.
Hari ini Fatima berniat mengakhiri semua mimpinya bertahun-tahun dan membiarkan Kaniz menganggap dirinya sebagai pemenang, sementara dirinya sendiri menjadi si pecundang yang malang. Ini adalah hari untuknya menundukkan kepala karena malu dan menerima semua cemoohan tak beradab Kaniz sebagai kebenaran. "Bahkan andai mulut perempuan itu menyemburkan bisa sekalipun," seru Fatima pada dirinya sendiri, "hari ini aku akan dengan rela menelannya dengan segenap harga diri dan membungkuk di hadapan Chaudharani Kaniz, dengan penuh hormat untuk selamanya."
Di luar gerbang rumah Kaniz, Fatima mengangkat jemarinya di depan bel pintu belum cukup siap untuk menekannya. Ketika pada akhirnya dia menekan tombol bulat kecil itu, jantungnya mulai memalu kencang di dadanya, membuatnya terpaku dan tercenung. Neesa membuka pintu gerbang dan mempersilakan Fatima memasuki halaman tengah yang dihiasi pilar-pilar pualam hingga ke sofa berkanopi di beranda.
Terpana, Fatima menatap ke sekelilingnya, ke arah beraneka tanaman dalam pot
yang berjajar rapi di beranda, menciptakan sebuah arena yang menarik di halaman. Tempat itu sangat indah. Fatima teringat ketika para arsitek terkemuka dipanggil dari Karachi oleh ayah Khawar untuk merancang semua itu. Fatima diam-diam membayangkan putrinya, Firdaus, berjalan ke sana-kemari di tempat itu dengan riang, di antara kamar-kamar di lantai dua atau bermandi cahaya matahari di balkon-balkon atap yang berpagar teralis. Fatima menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pilu. Ini adalah saat untuknya berpisah dengan mimpi-mimpinya itu.
* * * Kaniz sedang menikmati istirahat siangnya di kamar tidur luasnya yang berpenyejuk udara ketika Neesa dengan lembut menyentuh tangannya. Dia benar-benar tidak senang dibangunkan dari sebuah mimpi yang menyenangkan. Otaknya masih setengah bermimpi, tidak segera memahami kata-kata Neesa yang menyatakan bahwa "Fatima Jee" ada di sini untuk menemuinya. Dia terduduk di atas palang-nya dan mulai membenahi chador ke sekeliling bahunya.
Begitu melihat "musuh"-nya memasuki ruangan, mata Kaniz yang berbentuk almond mula-mula mengecil menjadi segaris tipis dan kemudian membelalak lebar. Tubuhnya tegak kaku. Pikirannya menjadi buntu seketika. Mengapa perempuan yang dibencinya itu berada di sini, di kamar tidurnya" pikirnya bingung.
Fatima tetap terpaku di ambang pintu. Wajahnya lurus dan matanya menatap tajam wajah Kaniz.
"Assalamu 'alaikum!" suara penuh percaya dirinya yang dingin membahana di kamar sunyi yang temaram itu dan mengejutkan penghuninya.
"Wa 'alaikumussalam!" sahut Kaniz kaku, masih tak mampu menatap ke arah Fatima. Etiket sosial dan tata krama desa menuntutnya untuk memperlakukan Fatima layaknya seorang tamu. Yang paling mungkin dilakukannya saat ini adalah menganggukkan kepalanya pada Fatima dan memberi isyarat untuk mempersilakannya duduk. Perasaan terhina tidak juga sirna dalam diri Fatima. Itu adalah bahasa tubuh yang menyerupai sikap yang dilakukan Kaniz terhadap Neesa, pelayannya. Tampaknya Fatima tidak lebih dari pelayannya itu.
Dengan jantung berdegup kencang, Fatima segera menguatkan diri dan berusaha mengatasi keadaan. Dia tidak datang untuk bertengkar dengan sang chaudharani, melainkan untuk bersikap terkendali dan dewasa. Kemudian dengan anggun dan bersahaja, dia memutuskan untuk mengabaikan penghinaan Kaniz yang tak berguna itu.
Dia malah melangkah dua langkah ke depan di atas lantai bermozaik marmer yang dingin, menolak duduk di kursi, seakan-akan memberi isyarat pada Kaniz bahwa dia tidak berada di tempat itu untuk mengerjakan "apa yang diperintahkannya".
"Apa yang membawamu ke rumah kami, Fatima Sahiba"" Sebuah beban yang amat berat dengan penggunaan kata "Sahiba" terdengar ironis di telinga Fatima.
"Aku berpikir ada baiknya jika kita melakukan sebuah perbincangan," ujar Fatima dengan penuh harga diri.
"Mengenai apa"" Kaniz sangat membenci nada suaranya yang dingin dan karena dia cepat kehilangan kendali di depan musuhnya.
"Tentang anak-anak kita dan masa lalu kita, Kaniz Sahiba," jawab Fatima dengan suara lirih.
Kaniz memalingkan wajahnya. Sambil mengambil kipasnya, dia mulai mengipas-ngipas leher jenjangnya dan melepaskan chador Muslimnya dari kepala dan bahunya. Saat menolehkan kepalanya, dia menangkap tatapan tajam Fatima.
"Menurutku, kita tidak memiliki persamaan. Kau sangat lancang menyimpulkan demikian," sahutnya ketus. Pipinya kini terasa sangat hangat.
"Aku tidak sependapat, tetapi jika kau memaksa, baiklah, aku setuju kita tidak memiliki kesamaan apa pun. Namun, aku tidak datang kemari untuk mendengarkan hinaanmu atau bersilat lidah denganmu, Kaniz."
"Lantas untuk apa kau kemari"" tanya Kaniz. Kedua pipinya yang berwarna terang kini merona merah.
"Aku datang untuk memberitahumu bahwa putriku telah meninggalkan desa ini. Dia mendapat jabatan sebagai wakil kepala sekolah di sebuah sekolah tinggi...."
"Jadi, kau datang kemari hanya untuk menyombongkan hal itu, bukan"" tukas Kaniz ketus.
"Tidak. Bukan!" tukas Fatima. "Aku datang untuk memberitahumu bahwa putriku sudah menetapkan hati bahwa Khawar adalah orang terakhir yang akan dinikahinya. Dia sedang menguc
apkan salam perpisahan pada desa ini untuk selamanya. Aku tidak akan berpura-pura di hadapanmu. Kuakui bahwa aku sudah berharap atas dirinya dengan Khawar. Untung saja kini aku sudah tersadar. Adakah gunanya, kutanya diriku sendiri, membenamkan wajah seseorang ke dalam lumpur berkali-kali hanya untuk membuatnya berlumuran noda" Putriku pantas mendapatkan yang lebih baik. Kau dan putramu bahkan tidak pantas membersihkan sepatunya. Aku sudah bersikap bodoh, sangat bodoh, dengan menginginkan Firdausku menikah dan masuk ke dalam rumah tanggamu." Fatima menarik napas berat.
"Syukurlah, akhirnya aku tersadar, Kaniz. Aku sudah memutuskan akan melakukan apa pun yang diinginkan putriku itu. Lewat kekeraskepalaan dan keegoisanmu, kau sudah kehilangan putramu. Aku tidak akan kehilangan putriku dengan cara yang sama. Aku sudah menghabiskan bertahun-tahun hidupku bekerja untuk menyekolahkan putri-putriku dan mendapatkan sebuah kehidupan yang layak. Aku tidak akan membiarkannya terbuang percuma." Fatima menatap nanar perempuan di depannya.
"Aku tidak memiliki cukup uang untuk mengurus anak-anakku, tidak sepertimu. Aku bisa saja seperti ini jika bersedia menikah dengan Sarwar kau tahu itu, bukan" Kau tidak pernah berterima kasih padaku, bukan" Kau menjadi seorang chaudharani hanya karena aku menolak menikah dengan Sarwar. Kau seorang malika, ratu di desa ini, yang memperlakukan semua orang seperti sampah, tetapi jangan kau lupa, aku tahu siapa dirimu dan dari mana kau dibesarkan. Kau sudah melupakan akarmu rumahmu yang kumuh dengan tumpukan charpoy tumpang tindih di atasnya, dan saudara-saudaramu bertindihan karena kekurangan tempat. Kau sangat tidak bersyukur dan tidak tahu terima kasih. Kau adalah seorang perempuan yang tidak tahu bagaimana menggunakan kekayaannya. Kau harus dilahirkan di antara kekayaan itu untuk melakukannya."
Saat itu Kaniz sudah terlonjak dari palang-nya.
"Berani-beraninya kau datang kemari untuk mencaciku di rumahku sendiri!" Mulutnya ternganga dan terkatup merasa terguncang.
"Aku tidak sedang mencacimu," lanjut Fatima tenang sambil kedua matanya menatap lekat wajah Kaniz. "Hanya memberimu dosis penuh tentang apa yang selalu kau lakukan pada orang lain. Hari ini aku akan menghapus semua catatan di antara kita, untuk selamanya. Tidak akan ada jalan untuk kembali, tidak untukmu ataupun untukku, Kaniz. Memang benar, sebagaimana yang dengan puas hati kau sebarkan pada seisi desa bahwa tanganku penuh jelaga, tetapi katakan padaku, siapakah yang pertama kali pantas dan sejajar dengan Sarwar" Aku atau kau" Kau tahu bahwa keluargaku adalah keluarga pemilik lahan dan karena harga dirikulah aku tidak mau menerima bantuan mereka. Aku ingin menafkahi sendiri keluargaku. Kelemahanku, tidak sepertimu, Kaniz, adalah kebanggaan atas pencapaianku sendiri dan hasil jerih payahku. Aku tidak ingin selalu menengadahkan telapak tangan pada siapa pun.
"Tahukah kau, atau bisakah kau bayangkan, bagaimana rasanya bekerja, menafkahi sebuah keluarga" Kau tidak bisa membayangkannya, bukan" Kau yang sudah terbiasa menggonggong pada para pelayanmu. Aku menikah dengan suamiku bukan karena kekayaannya, tetapi karena cinta. Kau menikahi Sarwar karena harta. Itu perbedaan di antara kita." Suara Fatima semakin nyaring.
"Memang benar, dalam buku tata krama sosialmu, aku melakukan pekerjaan yang hina. Aku menggosok, mencuci, dan membawakan benda-benda untuk orang lain. Tetapi, itu adalah pekerjaan yang jujur dan halal. Tentu saja sangat berbeda dengan gaya hidupmu yang bermalas-malasan, di mana kau sepenuhnya bergantung pada orang lain. Aku mencukupi kebutuhan putri-putriku sendiri. Semuanya itu kuraih dengan jerih payahku sendiri. Coba katakan padaku apa yang sudah kau capai selain melahirkan seorang anak laki-laki""
"Cukup!" teriak Kaniz. Dia benar-benar tersinggung. "Aku tidak akan mendengarkan lagi caci makimu. Kau gila, perempuan pengamuk keluar! Neesa!" Sepasang matanya kini benar-benar terbeliak di dalam lubangnya.
Dengan tenang Fatima hanya tersenyum, menunjukkan sebaris giginya yang putih rata. "Jangan takut aku akan pergi. Kau tidak harus
mendengarkan apa pun lagi. Aku sudah mengatakan semuanya lebih dari yang kurencanakan, tetapi kau memang pantas mendapatkannya, Kaniz. Bab permusuhanmu terhadapku dan keluargaku akan berakhir saat ini juga. Putri-putriku dan aku menolak memiliki keterkaitan apa pun denganmu atau putramu. Kau bisa mengambil semuanya. Semua itu jauh di bawah kami. Selamat tinggal." Dengan langkah penuh harga diri, Fatima keluar dari kamar itu, meninggalkan sang chaudharani desa itu dengan mulut setengah terbuka, berdiri kaku di tengah-tengah ruangan nyaris histeris.
Fatima berpapasan dengan Neesa di halaman. Dia membawa sebuah baki berisi satu bejana jus limau dingin dan sebuah gelas.
"Kau harus minum dulu, Sahiba Fatima," pinta Neesa sopan.
"Terima kasih, Neesa. Aku rasanya tidak ingin minum setetes air pun di rumah ini saat ini dan majikanmu juga tak akan berterima kasih padamu karena menawarkannya padaku." Dia menyunggingkan sebaris senyum penuh arti pada perempuan itu sebelum melangkah keluar dari bangunan itu, lalu menutup pintu gerbang dengan mantap di belakangnya.
Di dalam hatinya, berbagai perasaan berkecamuk Fatima menang karena dia sudah mengatakan semuanya. Dengan pedih, diakuinya bahwa itu adalah kemenangan yang hampa, menyadari bahwa Khawar tidak pernah ditakdirkan untuk menikah dengan putrinya. Andai saja.... Ah, tidak boleh ada lagi angan-angan bodoh! Dengan marah Fatima membuka gerbang rumahnya sendiri.
Bagian Kedua Dalam kegelapan malamku, mereka menyampaikan padaku Kabar-kabar baik pagi hari, Memadamkan nyala pelita,
menghadapkanku Pada terbitnya matahari.
-Mirza Asadullah Khan Ghalib (1797-1869)
38. PADA IDUL Fitri, Ibrahim, Pakinaz, dan Zarri Bano melayari Sungai Nil dari Kairo ke kota kuno, Luxor, di selatan. Mereka menghabiskan dua hari pertama untuk beristirahat setelah sebuah perjalanan wisata melelahkan ke Kota Aswan dan monumen-monumen kuno kota itu. Pada hari ketiga, mereka mengunjungi Lembah para Raja. setelah menyeberangi Sungai Nil menggunakan kapal feri, mereka naik taksi ke Kuil Ramses. Zarri Bano takjub pada beranda agung yang tinggi, terpahat dalam bebatuan yang kemerahan serta lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan hieroglif yang dipahat dengan indah di dinding, pilar, dan langit-langit.
Di luar, cahaya terik matahari siang memanggang kepalanya. Merasa kepanasan dalam balutan burqa hitamnya yang panjang, dia amat senang saat kembali naik taksi berpendingin udara dan melaju ke Lembah para Raja.
Makam Raja Ramses adalah tujuan pertama mereka. Mereka bertiga dengan gembira memasuki lorong panjang yang lebar. Terpukau oleh lukisan hieroglif raksasa aneka warna yang dilukis di dinding, mereka berjalan bersama menuju ruangan luas tempat menaruh sarkofagus sang Raja seraya menyimak penuh perhatian saat pemandu wisata Mesir menceritakan sejarah makam itu.
Kembali keluar, mereka menyeberang jalan dan pergi ke makam yang jauh lebih kecil milik Raja Tutankhamen yang legendaris. Tempat itu dipenuhi para wisatawan dan Zarri Bano merasa kesulitan melihat sarkofagus raja muda itu dengan leluasa. Harta karun dan barang-barang peninggalannya tersimpan di Museum Kairo.
"Sangat mengesankan, Abang Musa," ujar Zarri Bano pada Ibrahim ketika Ibrahim berdiri menyamping agar Zarri bisa memandang makam itu dalam kamar yang agak gelap. "Mana Pakinaz""
"Pergi ke toko cenderamata untuk membeli oleh-oleh bagi kemenakan kami. Kau ingin tinggal di sini lebih lama dan menikmati waktu""
"Tidak. Kurasa sudah cukup aku melihat-lihat. Kita keluar saja"" Mereka kembali melintasi jalan yang tadi mereka lalui, membiarkan para pelancong yang tengah melihat-lihat, kebanyakan orang Eropa atau Amerika, melintas. "Kita tunggu Pakinaz di sini saja," saran Ibrahim. "Di sini teduh dan hawanya lebih sejuk."
"Terima kasih." Zarri Bano bergerak ke tempat yang ditunjukkan oleh Ibrahim di sampingnya dengan penuh rasa terima kasih.
Ketika mereka berdua memandangi para wisatawan yang baru keluar dari makam itu, keheningan yang canggung melingkupi mereka. Keheningan itu dipecahkan oleh perkataan Ibrahim dalam bahasa Arab. "Menikahlah denganku, Zarri Bano."
Merasa terkejut, sepasang mata Zarri menatap wajah Ibrahim, berpikir dia hanya mendengar perkataan Ibrahim itu dalam lamunan. Namun, seperti dirinya, Ibrahim juga mengenakan kacamata hitam yang menghalangi sepasang matanya dan ekspresi yang ditunjukkannya. Zarri menunggu denyut nadinya berdetak cepat, berharap dia hanya salah paham.
"Maafkan aku, Abang Ibrahim-apakah kau mengatakan sesuatu"" Zarri ragu-ragu bertanya untung-untungan dalam bahasa Inggris seraya menatap pegunungan berbatu yang tandus, jauh di balik bahu Ibrahim.
"Ya, Zarri Bano. Aku yakin kau mendengarku, tetapi barangkali terlalu mengejutkan untuk memercayai apa yang baru saja kukatakan. Maafkan aku. Aku akan mengulanginya dalam bahasa Inggris, kalau-kalau kau mengira hanya mendengarnya dalam lamunan. Aku melamarmu menjadi istriku, Zarri Bano. Tiada lagi yang membuatku bisa lebih bahagia."
Zarri Bano menghela napas dalam-dalam dengan cemas dan bangkit dari samping Ibrahim.
Saat Ibrahim menatapnya, semangat Ibrahim merosot. Ini bukanlah tanggapan yang ia harapkan. Merasa tidak senang, ia mengikuti Zarri Bano ke deretan pertokoan dan melihatnya menghampiri Pakinaz, lalu berdiri di dekatnya. Ia memahami isyarat itu. Zarri Bano sengaja menjauhinya secara terang-terangan. Seraya melambai pada adik perempuannya, Ibrahim berjalan dan naik ke dalam taksi yang menunggu mereka.
Pakinaz dengan gembira menunjukkan seekor kucing alabaster yang dibelinya untuk kemenakan perempuannya kepada Zarri Bano. Zarri Bano berpura-pura mengaguminya, tetapi pikirannya sesungguhnya bukan tertuju pada kucing itu, melainkan pada lelaki yang tengah menunggu di dalam taksi. Pakinaz naik ke kursi depan, membuat temannya tak punya pilihan lain kecuali duduk di belakang bersama Ibrahim. Mereka melaju, dalam diam, untuk naik kapal feri melintasi Sungai Nil dengan tujuan ke kompleks kuil di Karnak.
"Hei, kalian berdua!" panggil Pakinaz dari depan. "Kalian pendiam sekali-apakah hawa panas ini kalian rasakan juga" Aku berani bertaruh, Zarri Bano. Kau pasti merasa terpanggang dalam hijab hitammu."
"Kurasa memang begitu, Pakinaz, karena hawa panas bisa membuat kita berkata dan berbuat hal-hal yang tak masuk akal." Zarri Bano melirik penuh arti pada Ibrahim. Mulut Ibrahim mengatup, dibiarkannya waktu berlalu dan ia tak mengucapkan sepatah kata pun.
Setelah menyeberangi Sungai Nil, mereka berjalan menuju kompleks Karnak. Ketika mereka telah sampai, Ibrahim berkata pada adik perempuannya. "Aku akan mengajak Zarri Bano melihat-lihat berkeliling, Pakinaz, karena aku tahu betul sejarah tempat ini." Ia lalu beralih berbicara dari bahasa Inggris ke bahasa Arab dan Pakinaz mendengarkannya lalu mengangguk-angguk. Zarri Bano berdiri di dekat mereka, merasa tak berdaya dan terjebak. Dia tak ingin melihat-lihat kompleks bangunan kuno itu hanya berduaan dengan Ibrahim.
"Lewat sini, Zarri Bano," Ibrahim memberi isyarat seraya terus berjalan dan tak memberi waktu pada perempuan itu untuk menolak.
Zarri mencatat dengan kesal bahwa ini adalah kali ketiga Ibrahim menghilangkan sebutan "adik" ketika memanggilnya.
Dengan berdiam diri, dia mengikuti Ibrahim sepanjang jalan antara pilar-pilar kerajaan yang mencakar langit, permukaan kuno mereka ditatah oleh tulisan-tulisan yang terlupakan. Bentuk-bentuk binatang para dewa Mesir berbaris di gerbang menuju kompleks itu.
Di tengah para wisatawan dari seluruh dunia, Ibrahim berjalan perlahan-lahan, membiarkan Zarri Bano hanyut dalam kemegahan tempat itu dan merenungkan suasana peninggalan kejayaan masa lalu Mesir itu. Zarri Bano membayangkan seperti apakah keadaan pada masa hidup Ratu Hatshepsut dan Raja Ramses yang membangun kompleks raksasa ini. Semilir angin sejuk bertiup sepoi-sepoi di antara pilar-pilar tinggi, melembutkan darahnya yang menggelegak dan menggelembungkan lipatan gelap, burqa-nya di atas tubuhnya.
Ibrahim membawanya ke salah satu ruangan terpencil, menjauh dari kerumunan, dan duduk di atas sebongkah batu besar yang jatuh dari salah satu pilar.
"Apakah kau ingin beristirahat, Zarri Bano""
Seraya mendudukkan diri di atas sebongkah batu besar yang serupa b
entuknya beberapa meter jauhnya dari batu yang diduduki Ibrahim, Zarri Bano melihat berkeliling kamar batu itu, memerhatikan simbol-simbol dan patung-patung yang berbentuk setengah binatang.
"Apakah tidak sopan jika aku menanyakan apa jawabanmu atas pertanyaanku sebelumnya"" ujar Ibrahim lirih. "Kurasa kau terkejut oleh pertanyaan itu sehingga kau pergi cepat-cepat dari sampingku."
Semangat Zarri Bano lenyap. Kedamaian siang itu telah terkoyak dan ia merasa terkungkung. Ia berdebat dengan diri sendiri bagaimana sebaiknya menanggapi perkataan Ibrahim.
"Aku merasa tersanjung dengan lamaranmu," dia mengawali dengan hati-hati, "tetapi aku juga amat terkejut. Kau tahu, aku tidak mengiranya, Abang Musa."
"Tidak"" Suara Ibrahim menyentuh Zarri Bano dalam kelembutannya. "Kurasa aku sudah cukup berterus terang dalam begitu banyak cara. Keluargaku sudah mengetahuinya sejak lama, tetapi kau, perempuan yang ingin kunikahi, sayangnya justru tak menyadarinya."
Zarri Bano bergidik mendengar kata-kata "ingin kunikahi".
"Kau adalah seorang perempuan yang menarik dan sangat menyenangkan," lanjut Ibrahim dengan suara parau seraya membayangkan sosok Zarri Bano yang tengah berbaju merah. "Kau cerdas dan memiliki watak periang. Selama beberapa bulan terakhir ini aku telah mengenalmu dengan baik. Kau adalah jenis perempuan yang kukagumi, kubutuhkan, dan kuharapkan ada di sampingku sepanjang masa. Kita memiliki sangat banyak persamaan. Kita sama-sama menyukai buku dan sejarah agama, Zarri Bano," ujarnya terus terang.
"Berhentilah, Abang Ibrahim," Zarri Bano memohon padanya.
"Oh, jangan panggil aku abang, Zarri Bano, kumohon. Perasaanku padamu bukanlah perasaan seorang abang kepada adiknya-terutama, aku malu mengatakannya, sejak aku melihatmu tanpa kerudung." Kini dibiarkannya sepasang mata hitamnya mengungkapkan seluruh perasaannya pada perempuan itu.
Wajah Zarri Bano merona ketika dia menyadari betapa dirinya telah terjatuh di lautan yang dalam. Bagaimana mungkin dia mengatasi situasi ini tanpa melukai dirinya sendiri atau Ibrahim sebagai akibatnya"
"Maafkan aku, Abang Ibrahim, tetapi itulah perasaanku padamu," ujarnya dengan suara lirih dan kembali menundukkan kepalanya.
Tak percaya bahwa Zarri Bano telah menolaknya, Ibrahim bangkit. Dengan tinju mengepal dalam saku celananya, ia mendekati perempuan itu dan berusaha menatap kepalanya yang menunduk.
"Bolehkah aku bertanya mengapa kau tak bisa menganggapku bukan sebagai abang" Apakah kekuranganku, Zarri Bano" Apakah salahku"" Terdengar nada kemarahan dalam suaranya.
"Tidak!" Zarri Bano ikut bangkit. Memilih bersikap jujur, Zarri Bano menatapnya langsung pada matanya. "Tidak, Ibrahim Musa, tiada yang kurang dalam dirimu." Matanya menilai wajah dan tubuh Ibrahim, melihatnya untuk pertama kali dengan mata seorang perempuan. "Perempuan lain akan melakukan apa pun agar bisa menikah dengan lelaki sepertimu. Kau lelaki yang sangat tampan, sangat perhatian, amat cerdas, dan menyenangkan."
"Perempuan lain-tapi bukan kau!" ujar Ibrahim dengan ketus. "Persyaratan apa yang kau minta" Bolehkah aku tahu segagal apa aku memenuhinya""
"Aku tak punya persyaratan apa pun, Abang Musa. Kau memenuhi segala persyaratan yang diinginkan oleh setiap perempuan-tetapi aku tak bisa menjadi perempuan semacam itu."
"Mengapa tidak"" Dahi Ibrahim tampak berkerut. Tangannya bergerak-gerak gelisah meraba janggutnya.
"Karena aku telah meninggalkan pernikahan." Zarri Bano berkata begitu lirih sehingga Ibrahim nyaris tak mampu mendengarnya. Perbincangan mengenai status pernikahannya adalah sesuatu yang menyakitkan dan merupakan sebuah buku tertutup bagi semua orang. Perlu beberapa detik bagi Ibrahim untuk bisa memahami perkataan perempuan itu.
"Aku tak percaya, Zarri Bano. Apa yang kau katakan" Apakah kau tidak bisa menikah atau tidak mau"" Kerut-merut di wajah Ibrahim bertambah-tambah. "Keduanya."
"Apakah kau sengaja mempermainkanku, Zarri Bano"" tanya Ibrahim dengan penuh harap.
"Tidak, Ibrahim. Aku tak bisa dan tak mau mempermainkanmu soal ini." Zarri Bano mengedip. "Aku susah menjelaskannya. Aku hanya bisa mengatakan bahwa aku
telah memutuskan untuk mengabdikan hidupku secara total dengan mempelajari agama dan mengajar. Aku tak berharap akan menikah-."
"Tapi itu tak masuk akal," sergah Ibrahim. "Kau bisa menikah sekaligus mengabdikan dirimu untuk mempelajari agama. Kurasa tak ada yang lebih baik daripada memiliki seorang istri yang sama-sama mengajar di jurusan yang sama di universitas, sekaligus bersama-sama di rumah dan menempuh kehidupan. Kau sudah melakukannya, sampai batas tertentu," ujarnya.
"Tidak bisa! Percayalah padaku, Abang Musa. Aku datang ke Mesir dengan tujuan menjadi seorang perempuan terpelajar. Mungkin bila kita berjumpa di waktu berbeda dan di tempat lain atau dalam kehidupan yang lain, itu bisa
saja terjadi. Aku merasa terhormat dengan lamaranmu, tetapi bagaimana dengan Selima" Dia akan menjadi istri yang hebat bagimu. Dia orang Mesir dan kalian memiliki bahasa dan budaya yang sama. Aku bahkan tidak seperti itu."
"Itu sama sekali bukan persoalan. Kau toh telah mempelajari bahasa Arab. Kau seorang Muslimah, itu saja yang penting bagiku, dan kau adalah perempuan yang sangat ingin kunikahi."
"Ibrahim, tolong jangan bicarakan itu lagi." Zarri Bano habis kesabarannya. "Aku tak akan pernah bisa menikahimu. Bila kau ingin aku jujur, aku akan melakukannya, hanya untuk membuatmu mengerti. Bahkan jika aku tidak meninggalkan pernikahan sekalipun, aku tetap tak akan menikah denganmu karena aku akan memilih seorang lelaki yang berasal dari negeriku, dengan budaya, latar belakang, dan kelas sosial yang sama denganku. Memang benar kita sama-sama memiliki budaya Islam, tetapi aku dan keluargaku tidak siap jika aku menikahi seseorang yang tinggal ribuan kilometer jauhnya dari kampung halaman dan negeriku. Jika kau tidak keberatan aku mengatakannya, pada akhirnya kita ini tetaplah orang asing."
"Aku tidak bisa menerima alasanmu, Zarri Bano. Kau tak memberi kami kesempatan. Banyak perkawinan campuran terjadi. Kini dunia adalah sebuah tempat yang kecil. Perbedaan yang kau sebutkan bisa diatasi dengan mudah. Afinitas utama antara kita adalah keimanan kita yang seharusnya mempersatukan segala ras dan kebangsaan. Aku terkejut pada dirimu. Aku kenal banyak orang yang mengawini perempuan Barat yang berasal dari budaya yang sungguh-sungguh berbeda. Coba pikirkan kawan sebangsamu, Imran Khan, yang mengawini Jemima Goldsmith, seorang perempuan Barat yang memeluk agama berbeda, tapi mereka berbahagia. Perkawinan mereka berhasil. Penyatuan kita didukung oleh lebih banyak hal untuk bisa berhasil."
"Semua perkawinan yang kau bicarakan itu terjadi antara orang-orang yang saling mencintai dan siap menghadapi segala rintangan bersama-sama. Kau membicarakan situasi yang berbeda, Ibrahim."
"Kukira cinta bukanlah sesuatu yang memegang peranan penting dalam hidupmu," gumam Ibrahim.
Merasa takut dirinya akan melukai ego Ibrahim, Zarri Bano terpaksa membuka isi hatinya untuk menawarkan penyelamatan pada lelaki itu.
"Apa yang bisa kukatakan, Abang Ibrahim" Jika aku seorang perempuan di waktu yang lain, aku akan berkata ya. Ya! Namun, aku tak punya perasaan cinta terhadapmu, kecuali rasa hormat dan persahabatan. Aku juga tak memiliki perasaan cinta pada lelaki lain. Kau tahu, aku telah menjadi seorang Perempuan Suci-dan salah satu akibatnya adalah aku tak pernah bisa menikahi lelaki mana pun. Lagi pula, aku memang tak ingin menikah. Kau benar-cinta tak memegang peranan penting dalam hidupku. Karena tak memiliki rasa cinta pada lawan jenisku, aku menyimpannya untuk persahabatan." Suara Zarri Bano menyusut menjadi sebuah bisikan. "Aku pernah mencintai seseorang-tetapi aku telah melepaskannya. Itu sulit sekali, Abang Ibrahim, tetapi aku berhasil melakukannya. Kini aku menganggapnya sebagai saudara. Maka, perasaan apa yang bisa kumiliki padamu" Tak satu pun, sayangnya. Karena aku telah melatih pikiranku dan hatiku menuju sebuah kehidupan yang berupa pengabdian total-ibadah. Aku belajar memisahkan kehidupanku dari hal-hal tertentu semacam perkawinan dan lelaki. Aku sungguh minta maaf. Aku hanya tak tahu harus berkata apa lagi," dia mengakhiri perkataannya. Sepasang matan
ya memohon pada Ibrahim agar mau mengerti.
Ibrahim terdiam beberapa lama. Zarri Bano melihat sekelompok wisatawan Jepang melintas, berpikir bahwa temannya ini tak akan pernah berbicara padanya lagi.
"Kalau begitu, berarti benar-benar tak ada harapan bagiku"" kata Ibrahim pada akhirnya.
"Tidak, tak pernah. Hidupku sudah direncanakan bukan olehku, Abang Ibrahim. Aku tak bisa menjadi istri lelaki mana pun. Aku menikahi keimananku," tegas Zarri Bano. Suaranya tak menyiratkan perasaan apa pun.
Mereka berjalan bersama tanpa berbicara melintasi kompleks kuil itu. Keduanya hanyut dalam arus pikiran masing-masing. Hari itu sama-sama terasa kacau bagi mereka berdua.
"Kau akan mengerti, Ibrahim," ujar Zarri Bano seraya kembali menoleh pada Ibrahim, "mengapa aku tidak bisa lagi tinggal di rumah keluargamu setelah ini. Dengan persoalan ini di benakmu, tidak benar rasanya aku tetap berada di rumahmu-karena kau tak lagi menganggapku sebagai seorang adik."
"Itu benar, tetapi aku tak ingin kau pindah dari rumahku, Zarri Bano. Bukankah kita bisa berteman"" Ibrahim takut memikirkan kepergian perempuan itu.
"Dalam keadaan sekarang ini, itu tidak bisa terjadi karena satu-satunya persahabatan yang seharusnya kita miliki adalah antara seorang abang dan seorang adik. Karena kita tak seperti itu, menurutmu, maka salah bagiku-haram- berada seatap denganmu. Aku amat berterima kasih padamu dan keluargamu atas keramahtamahan kalian, tetapi ketika kita telah kembali ke Kairo nanti, aku akan mencari apartemen lain. Tentu saja aku masih akan tetap berhubungan denganmu berkaitan dengan mata kuliahku, jika kau tidak keberatan."
Ibrahim mencondongkan kepalanya dengan sopan. Lalu, saat melihat Pakinaz yang sedang tersenyum menghampiri mereka, ia hanya mengatakan sepatah kata, "Lay." Tidak. Wajah Pakinaz menunduk. Seraya mempercepat langkahnya, Zarri Bano berjalan di depan mereka, membiarkan Ibrahim menjelaskan pada Pakinaz mengapa Zarri Bano menampiknya.
Lelaki yang terpaku dalam pikirannya secara tiba-tiba berada ribuan kilometer jauhnya di sisi lain dunia. Rasa sakit mematikan yang dia tekan berbulan-bulan lalu pada hari pernikahan adik perempuannya kini kembali memburunya. Dunia ini memang aneh, renung Zarri Bano. Di sinilah aku, berdiri di reruntuhan kuno kejayaan masa lalu Mesir, dilamar oleh seorang lelaki Mesir ketika seseorang yang kulepaskan telah berbahagia menikah dengan adikku sendiri. Mengapa aku memikirkan lelaki itu hari ini" Apakah ia juga memikirkanku"
Zarri Bano menyeka air matanya. "Sikander, di manakah kau"" dia memanggil nama itu dalam hati dengan penuh kesedihan, seraya menatap ke bawah pada kedalaman Sungai Nil yang kehijauan ketika mereka kembali ke Karnak, tiga orang yang lebih sedih dan lebih lemah dibanding ketika mereka berangkat tadi pagi.
39. MALAM ITU begitu panas di Karachi. Lelaki dalam benak Zarri Bano tak bisa tidur. Bangkit dari ranjangnya, Sikander beranjak ke kamar mandi di depan kamarnya untuk minum air putih, lalu kembali ke kamar tidurnya, berjalan ke jendela dan menatap ke luar pada bintang-bintang yang bersinar di langit malam dan hamparan lampu-lampu kota yang tengah tertidur.
Sikander menoleh untuk menatap ranjangnya. Dalam cahaya temaram, ia melihat sosok istrinya. Rambutnya yang kelam tergerai di atas bantal. Seraya memejamkan matanya, Sikander mencoba mengenyahkan bayangan wajah perempuan lain di atas bantal sutranya.
Ia tidak memikirkannya selama dua minggu penuh ini. Nama Zarri Bano adalah tabu-tak pernah terucapkan oleh siapa pun di depannya.
Dalam beberapa bulan terakhir, ia telah memusatkan perhatian untuk membuat perkawinannya berhasil. Ruby adalah seorang perempuan yang menyenangkan, manis, dan penuh perhatian. Dia selalu memenuhi segala kebutuhannya. Pendek kata, seorang pasangan yang sempurna. Ia amat mengharapkan dua hal dalam hidupnya. Menyempurnakan hubungannya dengan istrinya dan mengubur bayangan perempuan yang telah mencuri hatinya dan dengan kejam menolak cintanya. Namun, dia masih saja terus memburunya!
Ruby bergerak. Tangannya secara otomatis meraba tempat kosong di sampingnya. Dia membuka
matanya dan menegakkan kepalanya untuk melihat dalam kegelapan, mencari-cari suaminya. Melihat Sikander menatapnya dari dekat jendela, dia tersenyum, dan tiba-tiba merasa jengah pada tatapan sepasang mata suaminya yang menelitinya lekat-lekat.
Sikander datang menghampiri Ruby dan duduk di sampingnya, di atas ranjang. Sepasang mata lelaki itu berbinar lembut di atas wajah perempuan yang telah dinikahinya, yang mulai ia cintai dan telah berbagi kehidupan dengannya selama enam bulan terakhir ini.
Ujung-ujung jemarinya dengan lembut mengelus rahang istrinya. Seulas senyum menerangi wajah Ruby. Dia pun mengulurkan tangan dan balas mengelus garis wajah suaminya tercinta dengan jari-jemarinya.
"Kuharap aku tak akan mual lagi di pagi hari. Rasanya menyebalkan!" Ruby bercerita, sedikit melucu.
"Tak akan." Ruby merasakan kehangatan dalam suara Sikander yang dalam.
"Apakah aku sebaiknya mengatakan pada Zarri Bano bila dia menelepon lagi dari Mesir"" tanya Ruby kemudian, dan langsung mengubah suasana hati suaminya. Ketika Sikander menjawabnya, kelembutan itu telah lenyap.
"Jangan dulu," ujarnya ketus. "Terlalu cepat. Kau baru hamil tiga bulan-tunggulah hingga beberapa minggu lagi."
"Oh, tapi aku senang sekali. Aku tak sabar ingin menceritakan padanya kabar ini. Lagi pula, dia kan kakakku."
"Ya, aku tahu," sahut Sikander dengan getir. Sikander naik ke atas ranjang, lalu membaringkan kepalanya di atas bantal dan berpaling ke arah lain.
Merasa tidak enak, Ruby menyelimuti dirinya dengan selimut katun. Apakah suaminya membiarkan angan-angannya melantur lagi" Dia dan Sikander menikah dengan bahagia dan tengah menantikan anak pertama mereka. Zarri Bano tak ada hubungan apa-apa dengan suaminya. Dia ada di luar negeri sekarang. Mengapa aku masih merasa cemburu pada kakakku sendiri" Ruby bertanya pada diri sendiri dengan penuh duka nestapa.
Dia mengelus bagian bawah perutnya perlahan-lahan.
"Aku akan menamainya Haris jika ia lelaki," bisiknya di bahu suaminya, mencoba menggapainya.
"Nama yang bagus. Aku menyukainya," sahut Sikander. Di balik kelopak matanya yang terpejam terdapat bayangan seorang perempuan yang tersenyum menggoda, memberi isyarat dengan sepasang matanya yang berkilau hijau seperti permata.
Bagaimana dia akan menanggapi kabar ini" Sikander bertanya-tanya dengan sedih. Apakah dia akan senang, seperti dugaan polos Ruby" Atau dia akan merasa sakit karena merindukan seorang anak dari rahimnya sendiri"
Sarannya agar tidak bercerita dulu pada Zarri Bano untuk beberapa bulan lagi berasal dari kepekaannya terhadap perasaan orang lain. Ia membenci bekas tunangannya itu karena telah mencampakkannya dan menjadi seorang Perempuan Suci, tetapi rasa cintanya masih cukup kuat terhadapnya-cukup besar untuk membuatnya menjaga perasaannya agar tidak disakiti.
Rasa cintanya pada Zarri Bano adalah sebuah siksaan yang terus-menerus dirasakannya. Ia ingin mengenyahkan diri dari bayangan Zarri Bano. Berkali-kali ia melupakannya, terserap dan merasa bahagia dengan hidup barunya. Lalu tiba-tiba, sekonyong-konyong, wajah perempuan itu akan berkilau dalam benaknya, meninggalkan rasa sakit dalam dirinya-rasa sakit atas apa yang tak bisa terjadi.
Apakah dia ingat padaku" Ia bertanya-tanya. Ataukah dia sungguh-sungguh lenyap dalam kesucian dan butir-butir tasbih" Semoga Allah mencegahnya! Sikander berteriak pada dirinya sendiri dalam benaknya. Dia adalah kakak iparku! Bagaimana mungkin aku berpikir tentang dirinya seperti ini" Rasa rindunya pada perempuan itu tak akan lenyap. Ia masih bisa merasakan ujung-ujung jari Zarri Bano merabai bibirnya di teras rumah perempuan itu....
Sikander membuka matanya dan merasakan embusan napas Ruby yang hangat di lehernya.
Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kau mencintaiku, Sikander"" Bisikan ketakutan itu memberi isyarat pada Sikander bahwa Ruby sesungguhnya mengetahui secara naluriah saat-saat dia kehilangan dirinya.
Sikander meleleh dalam api rasa bersalah. "Tentu saja, Ruby sayangku." Dengan lembut ia memeluk istrinya, membenamkan wajahnya di rambut perempuan itu.
"Sialan kau, Zarri Bano! Semoga kau membusuk di neraka yang sama dengan yang ka
u berikan padaku," kutuk Sikander dalam hati, pada kelam malam, berjam-jam setelah istrinya yang muda dan tengah hamil itu tertidur dalam pelukannya.
40. SUDAH TIGA bulan sejak Fatima mengunjungi Khawar di desa sebelah. Khawar akhirnya memutuskan kembali ke rumah ibunya di Chiragpur seperti yang disarankan oleh Fatima. Kulsoom memberitahunya bahwa Firdaus telah pergi ke kota, mengisi lowongan sebagai wakil kepala sekolah di sebuah sekolah perempuan.
Setelah menaruh barang-barangnya terlebih dulu dalam sebuah koper baja dalam jipnya, Khawar naik kuda putihnya melalui padang rumput Chiragpur. Tak ada hal menyenangkan dalam kepulangan ini. Para petani sedang sibuk membajak sawah mereka dengan menggunakan traktor. Kerbau-kerbau betina Sardara sedang menikmati siang mereka dengan berkubang di kolam desa. Gembala sapi mengawasi binatang-binatang yang punya kebiasaan kabur kembali ke pemilik sebelumnya di desa tetangga. Chiragpur terbaring dalam tidur yang hening di siang yang hangat di awal musim semi.
Di luar gerbang hawali ayahnya, wajah Khawar berubah menjadi muram. Menuju halaman belakang yang menyambung dengan istal, ia lalu mengikatkan kudanya ke sebatang pohon. Anak muda yang dibayar untuk memerah susu dan merawat kedua kerbau mereka sedang menyirami dengan berember-ember air kandang yang terbuat dari deretan bata merah, setelah menumpahkan kotoran sapi dalam sebuah ember aluminium terpisah untuk diambil dua orang perempuan yang menggunakan lempengan kotoran sapi kering sebagai bahan bakar untuk memasak. Ketika melihat Khawar, pelayan itu melompat bangkit dan menyapa majikannya, "Salam."
Dengan langkah-langkah tegas, Khawar berjalan melalui gerbang besi besar dan menuju halaman tengah hawali. Ia menemukan Neesa tengah berjongkok membersihkan lantai marmer beranda dengan sebuah selang plastik. Mendengar suara langkah sepatu, wajah Neesa yang keriput menyunggingkan seulas senyum ketika ia berdiri tegak dan menepuk bahu Khawar. Khawar sudah setahun tak pulang.
"Selamat datang, Tuan Sahib! Senang rasanya bertemu Anda lagi."
Khawar mengangguk, mencoba bersikap santai sehingga ia bisa tersenyum pada pembantu rumah tangga mereka yang telah merawatnya dengan penuh kasih sayang sejak ia masih bayi.
"Saya akan bilang pada Chaudharani Sahiba. Oh, dia akan sangat senang!" Neesa naik tangga, tak mampu menyembunyikan rasa senangnya.
Saat nama ibunya disebut, wajah Khawar kembali muram. Perlahan-lahan ia naik tangga di belakang Neesa, mengikutinya ke kamar tidur ibunya.
* * * Kaniz sedang menyisir rambut panjangnya yang tebal bergelombang dengan sikat rambut ketika Neesa masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu. "Khawar Sahib datang, Chaudharani Sahiba," ucapnya terbata-bata. "Menyenangkan, bukan""
Kaniz menengok pada cerminnya dan melihat tubuh besar putranya berdiri kaku di muka pintu. Kaniz bangkit dari kursi meja riasnya. "Anakku pulang!" Dia menangis karena senang.
Dengan langkah cepat, ia sampai di samping Khawar. Ia menarik Khawar dengan lengannya dan dipeluknya anaknya tercinta itu mendekat ke tubuhnya. Namun, Khawar tetap bergeming dalam pelukannya. Merasa bingung, Kaniz melirik wajah Khawar yang cemberut. Lengannya jatuh di samping tubuhnya, lalu dia kembali berjalan terhuyung ke meja rias. Rupanya Khawar belum memaafkannya.
Duduk di depan cermin, Kaniz mulai menata rambutnya dengan jemari gemetar menjadi untaian tebal yang panjang.
"Apakah kau hanya mampir, Anakku, atau kau pulang untuk tinggal"" tanyanya dengan gugup. Khawar tak tergerak untuk menjawabnya, tetapi malah mengeluarkan saputangannya, membungkuk, dan menyeka debu dari sepatunya.
"Kau akan tinggal atau tidak"" desak Kaniz. Dia sama sekali tak merasa senang dengan perilaku Khawar terhadapnya.
"Aku tidak yakin-karena aku tak menganggap tempat ini sebuah rumah," ujarnya dengan angkuh. "Dulu, ini rumahku, saat ayahku dan kakekku masih hidup. Kini aku menganggapnya hanya sebuah tempat luas yang kosong. Sebuah rumah, Ibu, seharusnya penuh cinta dan harmoni. Kebalikannya, tempat ini dikuasai oleh seorang perempuan tiran egois yang tak peduli pada orang lain." Sepasang
mata Khawar yang gelap berkilau oleh kebencian.
Kaniz hanya menatap nanar. Lalu hal yang aneh terjadi-tatapan mata Kaniz menunduk ditentang anaknya. Kaniz tak mampu menatap wajah anaknya atau menentang tatapan matanya.
"Ya, aku sudah pulang," ujar Khawar pada akhirnya, "tetapi hanya untuk sekadar datang dan karena ada tanah yang harus kuurus. Jangan kira aku datang karenamu. Kau tak cocok menjadi seorang ibu!"
"Kau kejam, Nak!" ujar Kaniz tercekat. Bibir bawahnya bergetar.
Memang benar. Khawar tengah dalam suasana hati bengis. Ia sama sekali tak menyesal karena telah membuat ibunya menderita. Segala cinta yang pernah dirasakannya terhadap ibunya telah musnah sejak lama.
"Coba tebak dari mana aku belajar menjadi kejam," cemoohnya. "Di haribaanmu, Ibu sayang. Karena hanya seorang perempuan egois yang sungguh tak punya hati yang akan menghalangi kebahagiaan masa depan putranya. Kau berhasil mengusir Firdaus dari desa dan tak diragukan lagi kau pasti amat senang. Karena hal itu, aku tak akan pernah memaafkanmu! Bahkan jika kau memohon padanya sekalipun, dia tak akan mau mengawiniku kini. Karena itu, kau perempuan bodoh, kau lebih baik menerima kenyataan untuk mati tanpa pernah memiliki cucu. Karena aku tak akan pernah menikah atau membawa perempuan lain sebagai mempelai ke rumah ini. Kau boleh menyanyi menghibur dirimu sendiri dan dinding-dinding kosong yang kau puja ini. Aku akan hidup di sini bukan sebagai putramu, melainkan sebagai seorang asing. Kau tak layak mendapat yang lebih baik daripada itu." Khawar terdorong untuk
menghukum ibunya. Ia tak ingin pulang, tetapi ia harus melakukannya karena itu adalah tugasnya-seperti yang ditunjukkan oleh Fatima padanya.
"Tidak, putraku, tidak!" Kaniz menangis.
Dulu, melihat ibunya yang janda itu menangis akan melukai jiwanya. Kini ia malah berpaling dengan jijik, berjalan keluar dari kamar tanpa menoleh pada perempuan yang tengah terguncang itu. Di halaman ia memerintahkan Neesa menyiapkan makan siang untuknya dan sopirnya. "Aku telah pulang sekarang," ujarnya memberi tahu Neesa dengan datar.
* * * Di dalam kamarnya, Kaniz berdiri dan merasa kehilangan. Dunia rekah di bawah kakinya. Tangis mengasihani diri menetes di pipinya ketika kata-kata kasar putranya bergema di kepalanya. Betapa teganya ia berkata seperti itu kepadaku. Aku ini ibunya! tangisnya bingung. Apakah ia begitu membenciku sehingga tega menghinaku dengan perilaku semacam itu"
Kaniz berpaling dari renungan putus asanya dalam cermin meja rias. Apakah aku orang yang seburuk itu, tanyanya ketakutan pada diri sendiri, sehingga anak tunggalku tersayang berbalik memusuhiku" Untuk pertama kalinya dalam tiga puluh tahun, Kaniz mulai meragukan kekuasaan dan pengaruh yang seharusnya ia genggam dalam tangannya dan menikmati perannya sebagai chaudharani desa itu.
Takut bertemu secara tiba-tiba dengan putranya, dia tinggal di kamarnya hingga siang hari, menyembunyikan matanya yang sembap dan merah dari Neesa ketika dia membawakannya baki berisi makanan ke kamarnya.
"Neesa, apakah Khawar sudah makan"" tanya Kaniz. "Pastikan kau memasak kedua makanan kegemarannya malam ini: matrpilau dan kheer. Dia sudah lama tak mencicipi masakanmu. Aku tak tahu apa yang telah dimasak oleh perempuan tua buruk rupa itu untuknya. Onggokan bayam dari kebun setiap hari, kurasa. Apakah kau memerhatikan putraku menyusut berat badannya"" Kaniz menyembunyikan wajahnya yang kacau balau dari pandangan pembantunya itu.
"Tidak, Nyonya. Ia tampak sehat," sahut Neesa sopan sebelum beranjak pergi dari kamar itu seraya berpikir keras. Sesuatu jelas telah terjadi antara ibu dan anak itu. Majikannya tidak keluar kamar seharian. Padahal, biasanya dia menghabiskan pagi hari di balkon atap rumah.
Setengah jam kemudian, Neesa keluar untuk memberi tahu majikannya bahwa adiknya, Sabra, datang mengunjunginya. Dengan berbinar-binar, Kaniz segera bercermin. Matanya yang merah bukan masalah. Tiada yang perlu disembunyikannya dari Sabra.
"Ada apakah"" pekik Sabra khawatir begitu melihat mata kakaknya yang sembap.
Kata-kata penuh simpati itu segera berdampak pada Kaniz, menawark
an padanya kemewahan menangis tersedu-sedu untuk kedua kalinya siang itu.
"Ada apa" Katakan padaku," kata Sabra cemas ketika tubuh Kaniz yang besar bergetar dalam pelukan tubuh rampingnya.
Sabra menenangkannya dan duduk bersamanya di atas palang.
"Katakan yang sebenarnya, Sabra!" seru Kaniz. "Apakah aku kejam dan egois" Khawar menuduhku begitu. Ia membenciku! Kata-kata kasarnya telah membunuhku. Ia pulang, tetapi kurasa aku telah kehilangannya. Sabra- katakan padaku, tolonglah, apa yang harus kulakukan."
Sunyi sejenak ketika sepasang mata Sabra memandang wajah kakaknya dengan gelisah. "Hanya ada satu hal yang bisa kau lakukan, Kakakku sayang," ujarnya dengan suara lirih.
Sepasang mata Kaniz yang berbentuk biji almond tetapi amat bengkak, membelalak. "Tak akan pernah! Tak akan pernah!" jeritnya.
Sabra dengan sopan menjauh dari tubuh gemetar kakaknya. Dia tidak bepergian dari Punjab ke Sind hanya untuk bertengkar dengan Kaniz-maka ia pun mengalihkan bahan pembicaraan.
"Apakah kau sudah mendengar kabar tentang iparku, Yusuf" Lelaki malang itu meninggal minggu lalu!"
41. ZARRI BANO berada di antara sekelompok perempuan Muslim yang tengah berkumpul di bagian jamaah putri di Masjid Regent Park, Central London. Mereka baru saja selesai shalat zuhur. Saira, kawan dan teman serumah Zarri Bano, telah mengundang teman-temannya untuk bertemu dan berkonsultasi dengan Zarri Bano tentang segala persoalan agama. Zarri Bano merasa senang bisa membantu. Hal semacam itu memberinya kesempatan berjumpa dengan para Muslimah lainnya dari berbagai penjuru dunia yang tinggal di Inggris.
"Bisakah saya memulai"" tanya seorang perempuan. Mereka duduk membentuk setengah lingkaran dekat Zarri Bano di atas karpet. "Tentu saja," sahut Zarri Bano dengan seulas senyum.
"Terima kasih, Ukhti. Nama saya Dudiya. Saya seorang pengungsi Muslim dari Bosnia. Saya ingin bertanya pada Anda: apakah yang disebut 'Muslim sejati'" Asal Anda tahu, di Bosnia, kami mengenal diri kami hanya sebagai 'Muslim'. Tak ada perbedaan dalam komunitas kami. Di sini, di Inggris, saya bertemu dan berteman dengan banyak Muslim dan kerap mereka bertanya pada saya, termasuk sekte apakah saya. Apakah saya Syi'ah, tanya mereka, atau Syafi'i, atau Hanafi, atau Ismaili" Saya menatap balik pada mereka, merasa bingung. Saya tidak tahu. Teman-teman ini terus mendorong saya, menarik saya ke dalam keyakinan dan pemikiran kelompok tertentu mereka. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, Ukhti Zarri Bano. Kelompok mana yang sebaiknya saya ikuti"" Para perempuan lainnya tersenyum mengerti-mereka paham apa yang coba dia katakan.
"Ukhti Dudiya, Anda tidak perlu mengikuti salah satu kelompok pemikiran atau sekte tertentu jika Anda memang tidak ingin. Ikuti saja firman Allah dari kitab suci kita, Al-Quran, dan hadis, perkataan Nabi Muhammad, semoga kedamaian dilimpahkan kepadanya. Islam, seperti halnya agama-agama lainnya, telah berkembang dan terpecah belah selama suatu periode tertentu. Akan bermanfaat bagi Anda apabila mempelajari perbedaan dan persamaan dari berbagai kelompok yang berbeda-beda. Dengan demikian, Anda akan bisa memutuskan kelompok mana yang ingin Anda ikuti jika memang ada-bergantung pada keyakinan pribadi Anda," ujar Zarri Bano seraya mengakhiri perkataannya dengan tersenyum lebar kepada Dudiya. Dudiya balas tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Giliran Anda, Ukhti." Zarri Bano memiringkan tubuh pada seorang perempuan muda berdarah Pakistan yang duduk di sebelah kanannya.
"Rasanya memalukan memunculkan soal ini dalam kelompok ini, tetapi suami saya mengeluh bahwa saya terlalu banyak menghabiskan waktu untuk shalat dan membaca buku-buku agama. Hal itu sering menyebabkan pertengkaran. Ia terkadang menyuruh saya berhenti membaca Al-Quran di malam hari bila ia ada di dekat saya. Saya merasa terkejut dan tertekan oleh hal ini karena saya percaya bahwa saya tidak melakukan sesuatu yang salah. Apa yang sebaiknya saya lakukan, Ukhti Zarri Bano""
Zarri Bano berhenti sejenak untuk merenung. "Ini sebuah keadaan yang rumit," dia mengawali, tersenyum hangat pada perempuan itu. "Tak dira
gukan bahwa Anda tidak berbuat salah dan suami Anda seharusnya tidak menyuruh Anda berhenti membaca Al-Quran. Di sisi lain, saya kira ia mungkin merasa diabaikan dan merasa Anda tidak memberinya cukup perhatian. Apakah Anda pernah berpikir untuk beribadah ketika ia sedang tidak ada di rumah" Allah ingin kita selalu mengingat-Nya, maka kita shalat lima kali sehari. Namun, pada saat bersamaan, Ia menyuruh kita menjalani kehidupan sehari-hari yang normal pula. Ia jelas tidak mengharapkan kita mengabaikan keluarga dan orang-orang yang kita cintai atau pekerjaan yang menjadi nafkah kita. Ia amat menyukai orang-orang yang bisa menggabungkan keduanya secara sehat dan menjalani hidup normal. Seperti yang Anda tahu, Ukhti, Islam adalah sebuah jalan hidup yang sempurna. Anda tidak bisa memisahkan sisi spiritual kehidupan Anda dari dunia material di sekeliling Anda." Zarri Bano menoleh pada perempuan lain.
"Pertanyaan saya berkaitan dengan diri saya dan barangkali mewakili generasi kedua kaum imigran yang dibesarkan dan dilahirkan di Barat. Saya melihat hidup kami penuh dengan kompromi. Contohnya, keyakinan kita menyarankan pemisahan antara kaum lelaki dan perempuan, tetapi praktiknya hal itu tidak mungkin dilakukan di sini. Kita harus berinteraksi dalam segala bidang kehidupan kita dengan kaum lelaki, terutama di tempat kerja. Anda mengerti situasi yang saya gambarkan""
Zarri Bano tersenyum dan mengangguk, lalu berhenti sejenak untuk berpikir sebelum menjawab. "Ini adalah soal penting, sebuah keprihatinan bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Tentu saja, ada tempat-tempat seperti Arab Saudi yang memungkinkan pemisahan lelaki dengan perempuan. Namun, kemewahan ini tidak bisa didapat secara luas dan pada praktiknya tidak mungkin dilakukan di banyak tempat, terutama di negara-negara yang di dalamnya Anda adalah minoritas.
"Yang bisa saya katakan adalah Anda seharusnya tahu secara naluriah parameter-parameter sosial, etik, dan moral Anda sebagai seorang Muslimah. Di tempat kerja, Anda secara alamiah harus berinteraksi dengan kaum lelaki setiap waktu. Jika hubungannya benar-benar profesional dan platonis dan Anda bisa menganggap para lelaki itu sebagai sosok abang atau ayah, itu tidak berbahaya. Apabila ada peluang hubungan itu berkembang menjadi sesuatu yang lain, Anda harus mundur. Hal-hal semacam ini bisa mengakibatkan hal-hal yang mengerikan. Naluri Anda seharusnya memberikan isyarat pada Anda tentang perbedaan antara mana yang benar dan mana yang salah. Belajarlah menganggap semua lelaki sebagai sosok saudara lelaki, paman, atau ayah dan panggillah mereka dengan sebutan semacam itu, jika mereka Muslim. Jika mereka bukan Muslim, entah itu teman atau rekan kerja, jelaskan pada mereka tentang keyakinan Anda dan kebiasaannya-sehingga mereka tidak salah paham, bahkan mungkin akan belajar menghargai kebiasaan, keyakinan, dan cara hidup Anda."
"Terima kasih," perempuan muda itu menyahut dengan seulas senyum.
"Sama-sama," timpal Zarri Bano.
* * * Beberapa saat kemudian di siang itu, Zarri Bano pergi bersama Saira ke sebuah kafe tempat salah seorang teman Saira kemudian bergabung dengan mereka.
"Ini Jane Foster," kata Saira. "Dia tertarik bertemu denganmu, terutama ketika aku menceritakan padanya bagaimana kau memutuskan untuk berjilbab."
Perempuan muda berkebangsaan Inggris itu mengulurkan tangannya kepada Zarri Bano yang kemudian menyambutnya dengan hangat. "Terima kasih sudah datang kemari, Jane."
"Aku terpesona oleh kisahmu, Zarri Bano. Saira bercerita padaku tentang masa kuliahmu dulu ketika kau kuliah di universitas yang sama dengannya. Dia menunjukkan padaku fotomu saat mengenakan celana jins Levi's dengan atasan blus lengan pendek. Kini, melihatmu terbungkus jilbab lebar, aku tak mampu menyandingkan kedua gambar itu dalam benakku. Aku ingin bertanya apakah sulit bagimu mengenakan hijab pada mulanya dan mengapa kau melakukannya" Kuharap kau tak berpikir bahwa pertanyaanku terlalu pribadi."
Merasa tidak nyaman membahas masa lalunya dan burqa dengan seorang asing, pada kenyataannya Zarri Bano merasa dipojokkan oleh pertanyaan Jane. Dia b
erharap jika saja Saira tidak sedemikian berbaik hati menunjukkan foto-foto lamanya dan membahas dirinya.
"Memang benar pada mulanya terasa aneh bagiku, Jane, ketika aku mulai memakai hijab. Dua tahun yang lalu aku ingin menyisihkannya. Kini tak bisa hidup tanpanya. Jilbab memberiku rasa penghargaan terhadap diri sendiri, rasa hormat, dan martabat. Di atas segalanya, ini membebaskanku dari kesia-siaan. Aku tak menganggapnya mudah, tetapi aku bisa melepaskan diriku dari jebakan kesia-siaan kaum perempuan. Jangan salah paham, Jane. Aku tidak mengatakan bahwa semua perempuan Muslim menjalani kehidupan sederhana yang tidak bermewah-mewah-itu mungkin sebuah kesalahpahaman. Kebalikannya, di balik pintu tertutup dan di balik hijab, sebagian besar kaum perempuan di sini bisa bersaing dengan perempuan mana pun di Knightsbridge dalam hal seni kecantikan."
"Dan kau, Zarri Bano, apakah kau masih berdandan di balik jilbabmu"" tanya Jane dengan mata berkilat.
"Tidak," Zarri Bano menyahut lirih. "Tidak lagi. Aku telah melewati tahap itu dalam hidupku-sebuah tahap yang kini, dalam perenunganku, terasa remeh. Dulu seluruh hidupku hanya untuk kelihatan cantik dan menampilkan sebuah citra cerdas yang mewah di depan umum. Kini puas dengan burqa yang sederhana. Aku tidak berpakaian dengan tujuan untuk menyenangkan orang lain dan kelihatan berbeda dari mereka. Terima kasih atas pertanyaanmu, Jane. Jilbab selalu membingungkan dan menggoda dunia Barat, baik terhadap kaum lelaki maupun kaum perempuan. Itu adalah sebuah fenomena yang mengganggu bagi mereka. Orang Barat selalu salah paham terhadap alasan mengapa kaum perempuan Muslim mengenakannya. Sebagai sebuah serangan, mereka melihatnya sebagai simbol penindasan kaum lelaki-sebuah mitos stereotip yang diterima secara luas. Mereka mengira kaum perempuan dipaksa memakainya oleh kaum lelaki.
"Aku jamin, kawanku, saat ini ada lebih banyak perempuan yang mengenakan hijab atas kehendak bebas mereka sendiri dibanding sebelumnya. Telah terjadi revolusi jilbab internasional, sebuah simbol persatuan perempuan Muslim. Ayahku pernah mengkritikku karena memakainya di dalam rumah. Kini aku merasa telanjang tanpanya."
Zarri Bano berhenti meminum kopinya, memutuskan dia sudah cukup banyak berbicara mengenai persoalan kontroversial ini. Raut wajah Jane Foster berubah dari rasa tertarik yang ringan menjadi kekaguman. Itu bukanlah sebuah jawaban yang dia harapkan sebelumnya.
"Kami bukanlah orang-orang aneh," Zarri Bano tak tahan untuk menambahkan. "Kami hanyalah kaum perempuan yang suka berpakaian sederhana dan ingin menutupi diri kami dengan baik. Yang kami minta hanyalah agar orang-orang menghargai kami dan cara berpakaian kami."
"Oh, tentu saja," ujar Jane Foster dengan cepat. Rona merah menjalari kedua pipinya.
* * * "Saira, kuharap kau tidak menceritakan segala hal tentangku atau menunjukkan foto-foto memalukan itu pada seorang asing," kata Zarri Bano pada temannya ketika mereka berjalan keluar kafe. "Tolong jangan jadikan aku bahan hiburan atau sensasi."
"Maafkan aku, tadinya kukira kau tak akan keberatan," sahut Saira dengan perasaan bersalah ketika mereka melintasi Piccadilly Circus.
"Kurasa," setelah hening sejenak, "kau pun menceritakan padanya tentang upacaraku"" Zarri Bano membelalakkan matanya lekat-lekat pada temannya.
"Tidak," Saira berbohong, berpikir lebih baik tidak menceritakan sejujurnya pada Zarri Bano. Jane Foster adalah seorang wartawan dan Saira telah menceritakan semuanya padanya. "Apakah kau akan pulang bersamaku atau akan mengunjungi adikmu dulu di hotel"" Saira bertanya, bermaksud mengalihkan Zarri Bano dari pembicaraan tentang hijab. Saira sendiri tidak memakai jilbab dan itu merupakan topik pembicaraan yang tidak enak baginya.
"Aku akan pergi ke hotel dulu untuk menemui Haris lagi. Ia lucu sekali, aku tidak tahan ingin memeluknya. Aku telah berjanji pada Ruby akan ikut bersama dia dan Sikander menonton teater malam nanti. Mereka ingin menonton sebuah pertunjukan drama di West End."
"Jangan pulang terlalu larut. Ingatlah, mereka menanti kehadiranmu pukul setengah delapan pagi besok u
ntuk memberi kuliah di Manchester Metropolitan University. Sebelum itu, kita akan mampir dulu di Birmingham. Aku tak ingin kau kelelahan," Saira mengingatkan kawannya dengan penuh perhatian saat mereka sampai di stasiun bawah tanah.
"Tidak akan, Allah Hafiz!" ujar Zarri Bano seraya melambai pada Saira saat temannya itu turun ke tangga stasiun. Zarri lalu berjalan menuju lampu lalu lintas dan menyeberang jalan ke hotel tempat keluarga adiknya menginap. Ruby dan Sikander bersama putra mereka, Haris, yang baru berumur setahun sedang melakukan perjalanan ke Eropa dan memutuskan menghabiskan waktu tiga hari di London bersamaan dengan kunjungan tiga minggu Zarri Bano di Inggris.
Ketika dia memasuki serambi lewat pintu samping, dilihatnya Sikander duduk bermalas-malasan di sebuah sofa besar. Matanya menatap pintu putar. Zarri Bano berkedip, memalingkan muka. Dia menarik bagian kepala burqa-nya lebih ke depan menutupi dahinya, merasa ada beberapa jumput rambut yang terlepas. Sikander menunggunya masuk!
Sikander menyaksikan Zarri Bano melenggang sepanjang karpet menghampirinya. Masih menghindari kontak mata dengan Sikander, Zarri Bano mengagumi lukisan cat minyak karya Turner mengenai sebuah perahu di dinding di belakang Sikander.
"Assalamu 'alaikum! Mana Ruby dan Haris"" tanyanya sopan seraya duduk di sofa seberangnya dan berharap lelaki itu berhenti memandangi wajahnya.
"Mereka menunggumu di atas. Ruby ingin mengajakmu pergi ke Harrods bersamanya."
Zarri Bano tertawa, teringat pada keinginan seumur hidup adiknya berbelanja di Harrods. Wajah Sikander tampak santai dan ia pun ikut tertawa. Lalu dengan raut wajah serius, Sikander bertanya, "Apakah rencanamu, Kakak Zarri Bano" Apakah kau akan pulang ke Pakistan bersama kami atau akan tinggal lebih lama" Kami akan ke Singapura. Aku -kami bertanya-tanya apakah kau mau bergabung bersama kami." Sikander menundukkan kepalanya.
"Maafkan aku, Adik Sikander." Zarri Bano berdiri tiba-tiba. "Aku punya rencana lain. Permisi dulu, aku akan ke atas menemui Ruby dan Haris."
Sepasang mata Zarri Bano berkaca-kaca. Dia pun berjalan dengan cepat menjauh dari Sikander dan masuk ke lift. Singapura adalah tempat yang dijanjikan Sikander untuk tempat bulan madu mereka.
42. SUAMI-ISTRI itu tertawa ketika cucu mereka, Haris, melompat dari pangkuan Habib dan berlari keluar dari kamar tidur mereka, lalu turun menuju kedua orangtuanya dan bibi Zarri Bano.
"Shahzada, mintalah Zarri Bano menjumpaiku. Aku tidak bisa tenang sampai bisa melepaskan bebanku tentangnya," ujar Habib pada istrinya. "Kanker ini telah melahapku selama tiga tahun terakhir," ia menghela napas.
"Kanker apa"" tanya Shahzada cemas, menjadi waspada. Walaupun tidak lagi mencintai suaminya, dia masih peduli pada kesehatan tubuh suaminya.
"Rasa bersalahku," bisik Habib, "karena memaksa putriku menjadi seorang Shahzadi Ibadat. Seharusnya aku tidak melakukannya." Ia tidak sanggup menatap wajah istrinya.
Helaan napas Shahzada membuatnya gundah. Istrinya itu tak berkata apa pun-karena dia tak punya perasaan apa pun terhadap suaminya. Kata-kata penuh pengertian dan dukungan yang ingin didengar Habib tak keluar dari mulut Shahzada.
"Aku tahu kau tak akan pernah memaafkanku," lanjutnya. "Atau kau sudah memaafkanku""
Shahzada duduk di atas ranjang ketika suaminya bersandar di kepala ranjang dengan lengan tersilang di belakang lehernya. Shahzada turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu.
"Apakah kau sudah memaafkanku, Shahzada"" Suara Habib yang meninggi menghentikan langkah Shahzada.
"Apakah ada pengaruhnya aku memaafkanmu atau tidak"" Shahzada berbalik, tetapi tangannya mencengkeram pegangan pintu erat-erat.
"Tentu saja ada pengaruhnya! Aku kehilangan istri dan sahabat tercinta sekaligus pada saat Zarri Bano ditahbiskan menjadi seorang Perempuan Suci. Kau bertingkah seolah-olah semuanya berjalan normal, tetapi kau terus menjauhiku. Aku tidak pernah tahu Shahzadaku bisa sekeras itu. Dia adalah seorang perempuan yang lembut dan hangat. Di kuburan manakah aku telah menguburnya" Keakraban kita telah lenyap, cintamu, rasa hormatmu,... semuanya hilang
lenyap. Aku tidak tahan lagi! Maafkanlah aku, Shahzada-aku mohon!"
Apa yang terjadi selanjutnya mengagetkan mereka berdua. Habib melompat turun dari ranjang dan melompat ke arah Shahzada, berlutut di depannya di atas lantai seraya memeluk kakinya sebagai permohonan. Shahzada diam membeku, menatap ke bawah pada suaminya yang kini berlutut memohon di kakinya. Kedua tangan Habib mencengkeram tali sandal Shahzada.
Mengejutkan rasanya melihat Habib merendahkan diri seperti ini. Walaupun bersimpati atas penderitaan Habib, Shahzada tak dapat menanggapinya. Semuanya sudah terlambat.
"Habib, berdirilah," ujarnya dengan marah. "Jangan permalukan kita berdua. Tak pantas kau menyentuh kakiku seperti itu. Kau tahu kau tak bisa menghapus masa lalu. Yang telah terjadi, terjadilah. Kau telah membunuh istrimu saat kau mengancamnya dengan talak tiga-dan orang yang sudah mati tak akan kembali. Berbahagialah karena Zarri Bano telah menjadi perempuan yang ingin kau bentuk." Wajah Shahzada ditandai kerut-merut rasa sakit yang dalam.
"Andai saja aku tak pernah memaksa putriku menjadi seperti itu," jerit Habib. "Melihat Ruby menikah dengan bahagia dan mempunyai seorang putra, aku bersembunyi ke dalam diriku dengan ketakutan. 'Apa yang telah kulakukan"' tanyaku selalu pada diriku sendiri. Aku menangis getir setiap kali aku shalat dan saat tertidur. Aku telah dengan sengaja mencegah anakku menjalani hidup normal seperti Ruby. Siapakah aku-sesosok dewa" Shahzada, punya hak apa aku mengubah takdir orang lain" Aku tak bisa meneruskan perjalanan naik haji ke Makkah tanpa memohon maaf pada Zarri Bano dan kau. Allah tak akan menerima ibadah hajiku sampai aku melakukan hal ini. Nabi Muhammad, semoga kedamaian dilimpahkan padanya, pernah berkata, barang siapa akan pergi haji, harus berdamai dengan semua orang dan meminta maaf atas segala kesalahannya. Karena haji akan menjadi perjalanan spiritualku, aku harus kembali sebagai seseorang yang baru dilahirkan. Aku telah belajar menjauhi ego kelelakianku, Shahzada, dan menjadi rendah hati. Rasa hinalah yang telah menurunkanku hingga melata di kakimu. Tiada lelaki, tiada suami sepertiku yang akan mau melakukannya. Kau harus mengakuinya, kau harus menghargainya! Kau bicara tentang kematian. Habib pun telah mati ketika Sikander memasuki rumahku karena aku bukan lagi seorang lelaki yang sama seperti dulu." Sepasang mata Habib tak lepas dari wajah Shahzada.
"Maka, kau tahu, aku harus meminta maaf pada Zarri Bano dan membebaskannya dari ikrar tak akan pernah menikah. Yang tak bisa kutawar adalah aku juga kehilangan kau sebagai akibatnya. Allah tak akan pernah mengampuniku karena telah memperlakukanmu seperti yang kulakukan empat tahun lalu. Kini aku tak bisa hidup tanpa rasa hormat dan cintamu, Shahzada. Janganlah kau singkirkan aku dari pikiran dan hatimu! Aku membenci diriku dan keberpihakanku. Ketika benakku membandingkan Zarri Bano dengan bagaimana dia dulu, aku berkecil hati. Aku menginginkan seluruh dunia ini untuk putriku, tetapi kita kehilangan dirinya untuk buku-buku, kesepakatan religius, dan sehelai burqa hitam. Dia begitu jauh, tak tergapai."
Air mata penyesalan membayang di kedua matanya. Habib melanjutkan, tercekik oleh emosi saat ia bicara, "Lesung pipit di pipinya itu yang senang kulihat dan kusentuh saat dia masih kecil.... Aku tidak melihatnya selama tiga tahun. Dia bahkan jarang tertawa dan tersenyum lagi. Oh, di manakah Zarri Bano kita tersayang" Benak dan kesadaranku tidak akan tenang, Shahzada, hingga aku berterus terang kepadanya. Aku ingin putriku kembali." Habib mengakhiri perkataannya dengan penuh gairah, lalu menunggu istrinya berbicara menghiburnya. Namun, kata-kata getir Shahzada yang justru kini balik mencambuknya.
"Semua ini salahmu. Kau ingin menjaga putrimu yang cantik, milikmu tercinta, di rumah. Kau tak ingin berpisah dengannya dan dengan sawah ladangmu. Kau tidak sanggup melepaskannya pada Sikander, sainganmu dalam mendapatkan kasih sayangnya, begitu yang kau pikirkan. Kecemburuanmu itu telah melahap seluruh keluarga kita! Kau ingin penghormatan dan penghargaan dari putrimu" Baik
lah, kau kini mendapatkannya! Orang-orang datang dari tempat-tempat yang jauh di Pakistan untuk mencari panduan moral dan intelektualnya mengenai persoalan-persoalan
keagamaan. Maka, tak perlu kau menyesal, Habib." Shahzada tak merasa perlu menyembunyikan rasa jijik yang tampak dalam sepasang mata dan nada suaranya.
Cahaya harapan di mata Habib lenyap sudah. Ia pun bangkit. Shahzada memang benar. Habib sendirilah yang telah membunuh istri tercintanya di siang jahanam itu ketika ia mengancam akan menceraikan istrinya karena mempertanyakan keputusannya mengenai nasib Zarri Bano. Mengancamnya akan diberi talak tiga tanpa alasan jelas akan membunuh perempuan mana pun secara emosional, khususnya seseorang yang lembut seperti Shahzada yang sebelumnya memuja suaminya. Itu adalah sebuah hukuman yang terlalu kejam dan dialami oleh Shahzada hanya karena dia berusaha membela hak putrinya tercinta.
"Aku akan pergi membawa Zarri Bano kepadamu," ujar Shahzada dengan dingin. "Kurasa ia sedang berada di ruang santai bersama Ruby dan Sikander." Dia meninggalkan suaminya berdiri di tengah ruangan dengan tatapan mata nanar. Gembok yang mengunci hatinya tak mengizinkan Shahzada mengucapkan kata-kata yang menghibur suaminya. Ketika menutup pintu di belakangnya, Shahzada bertanya-tanya dengan sedih apakah dia akan bisa memaafkan suaminya.
* * * Secepat Zarri Bano berjalan ke dalam kamar, Habib langsung berbicara, "Putriku sayang, sesuatu telah menggangguku akhir-akhir ini. Tepatnya sejak kau menjadi seorang Perempuan Suci." "Apakah itu, Ayah" Apakah yang mencemaskanmu"" ujar Zarri Bano dengan cemas.
"Aku harus minta maaf karena aku tak bisa melakukan ibadah haji tanpa meminta maaf dulu." Suaranya menjadi parau oleh emosi. "Aku telah meminta maaf pada ibumu. Kau tahu, aku telah berdosa pada kalian berdua. Maafkanlah aku, Zarri Bano, karena telah memaksamu melepaskan Sikander, pernikahan, dan kehidupan yang tadinya kau miliki. Yang kulakukan itu salah. Aku tak tahu bagaimana harus memutar kembali waktu ke masa lalu. Putriku sayang, aku akan memberikan apa pun untuk mengembalikan Zarri Bano yang dulu."
"Ayah, tak ada yang harus dimaafkan," ujar Zarri Bano lembut. "Ayah tak perlu merasa bersalah. Aku mendapat begitu banyak hal dari kehidupanku sekarang-segala hal yang menurutmu akan kudapat."
"Betulkah itu, sayang"" sela Habib mendesak. "Atau kau berkata demikian hanya untuk menghiburku""
"Tidak, Ayah. Allah saksiku. Aku berkata benar. Dengan tindakanmu, aku membuka pintu dunia lain untukku. Aku, kuharap, telah menjadi seorang Muslim yang baik kini. Kuharap aku bisa menunaikan segala kewajibanku dengan baik. Kini aku juga memiliki pengetahuan yang tak dimiliki oleh Zarri Bano yang lama. Aku telah mengunjungi tempat-tempat yang di dalam kehidupan lamaku tak sempat kulihat. Memang benar, hidupku tak seperti hidup Ruby, tetapi hidupku telah lengkap dengan caranya sendiri. Maka, Ayah tak perlu merasa cemas," ujar Zarri Bano mengakhiri perkataannya dengan seulas senyum penuh maaf tersungging di bibirnya.
Kata-kata Zarri Bano bagaikan tetesan air yang keluar dari mulut indahnya menuju jiwa Habib yang dahaga, menawarkan obat berharga bagi kesadarannya. Dengan penuh terima kasih, ia meneguknya hingga tandas.
"Kata-katanya saja tidak cukup," saran kesadarannya. Setengah hati, Habib mencoba lagi, "Putriku, aku sudah berpikir panjang dan keras mengenai persoalan ini dan aku tahu aku telah berbuat salah. Tidak peduli apa yang kau katakan, aku ingin membuat perubahan. Jika kini atau kelak di kemudian hari kau ingin menikah, kau akan mendapatkan restuku."
"Ayah, mengapa Ayah mengatakan hal semacam ini!" Zarri Bano memekik tak percaya, bertanya-tanya apakah Habib telah menjadi gila. "Aku tak ingin menikah. Kini aku adalah seorang Perempuan Suci!"
"Barangkali kau ingin menikah nanti-mengapa tidak sekarang" Aku telah berbuat kejahatan bukan hanya padamu, melainkan juga terhadap agama kita. Aku telah membaca buku-buku tentang Islam dan kata-kata kutukan berlompatan menerjangku!"
Zarri Bano menyimak perkataan ayahnya dalam diam, kemudian menyahut tanpa ada jejak ke
pahitan dalam nada suaranya. "Aku juga telah mempelajari buku-buku dan membaca penafsiran-penafsiran hukum, dan mazhab pemikiran Imam Malik dan Imam Syafi'i mengenai persoalan ini. Pernikahan didukung dan tidak dicegah. Unit keluarga dan mengembangkan keluarga adalah inti keimanan kita. Namun, aku membebaskanmu dari rasa bersalah itu. Aku menerima restumu, izinmu, sebagai penjagaku, agar aku menikah, jika aku mau.
"Pernikahan tak berkaitan dengan hidupku sekarang, Ayah. Aku sungguh bahagia dengan segalanya. Tidak ada paksaan untuk menikah jika pernikahan justru akan merusak semua itu-itu juga tertulis, Ayah. Tak ada lelaki yang ingin kunikahi saat ini." Dia menindas bisikan batinnya, "Dulu sekali pernah ada seorang lelaki yang ingin kunikahi- tetapi Ayah mencegahku menikahinya."
"Kau yakin" Jika berubah pikiran, kau telah mendapatkan restuku, Anakku, ingatlah itu!" Habib menekankan dengan sungguh-sungguh.
"Tak akan pernah, Ayah!"
Habib menganggukkan kepalanya sebagai tanda pengertian. Seraya tersenyum, Zarri Bano bangkit hendak beranjak pergi.
"Bagaimana persiapan untuk pergi haji"" tanya Zarri Bano. "Aku baru saja membicarakan perihal haji kita dengan Ruby dan Adik Sikander di bawah. Tiket telah disiapkan. Pakaian kita telah dibereskan. Aku telah selesai membaca buku tentang ibadah haji bersama Ruby sehingga dia tahu apa yang harus dia lakukan begitu sampai di Makkah dan tahu apa yang bisa dia harapkan. Aku juga sudah membaca dua atau tiga buku tentang itu. Ukhti Sakina telah memberi beberapa saran tentang hal-hal yang tak kuketahui. Menurutnya, lebih baik pergi ke Madinah dahulu dan memanjatkan empat puluh doa wajib kita di Masjid Nabawi sebelum melakukan ibadah haji. Pada saat itu, di sana akan lebih sepi dibandingkan setelah musim haji, ketika sebagian besar jamaah haji bermaksud mengunjungi Madinah pada waktu bersamaan. Bila berangkat haji nanti, Ayah akan pergi ke Madinah sebelum atau sesudah naik haji""
"Sebelumnya. Sakina benar-agar tak terlalu banyak orang. Dengan begitu, kita punya banyak waktu untuk mengunjungi tempat-tempat suci dan lebih mudah mendapat hotel yang bagus."
"Kita telah memesan tiket sehingga kita punya waktu dua minggu sebelum melaksanakan ibadah haji dan seminggu sesudahnya. Itu memberi kita waktu sekitar enam hari di Jeddah dan Makkah serta delapan hari di Madinah sebelum kembali ke Makkah sehari sebelum pelaksanaan ibadah haji. Adik Sikander memiliki kontak di ketiga tempat itu. Ia telah memesan kamar di hotel yang bagus untuk tempat tinggal kita."
"Aku senang ia akan pergi haji bersama kita," ujar Habib. "Kita membutuhkan seorang lelaki muda untuk perjalanan semacam ini. Dengan tiga orang perempuan, tidak perlu lagi kawalan lelaki lain untuk naik haji."
"Ya, aku pun senang ia pergi bersama kita, walaupun Haris akan merindukan orangtuanya."
"Aku tahu, hanya itu masalahnya-kita semua akan merindukan Haris. Aku tak sabar menunggu hingga bulan depan, Zarri Bano," ujar Habib penuh semangat. "Itu akan menjadi ibadah haji pertama kita bersama-sama sebagai sebuah keluarga."
"Aku juga sudah tidak sabar menunggunya," timpal Zarri Bano pada ayahnya dengan hangat. "Sekarang, aku lebih baik turun dulu. Adik Sikander sedang memilih-milih dokumen untuk mengurus visa kita. Mereka akan pulang kembali ke Karachi setengah jam lagi."
"Mereka tidak menginap""
"Tidak. Selamat tidur, Ayah. Hudah Hafiz. "
Ketika Zarri Bano telah pergi, Habib berbaring di ranjangnya, merasa lebih bahagia setelah sangat lama tak merasakannya. Ia amat senang telah bercakap-cakap seperti ini dengan putrinya. Zarri Bano telah meringankan sebagian bebannya.
43. PESAWAT TERBANG itu bergema oleh alunan doa haji, talbiah, yang dilantunkan para jamaah haji dengan khusyuk.
"Inilah aku, ya Allah, di sinilah aku di hadapan-Mu! Kau yang tak memiliki sekutu, inilah aku! Hanya Kau yang berhak menerima segala puji dan syukur! Hanya Kau yang bisa memberikan pertolongan dan berkah. Kau yang berdiri sendiri dan tak memiliki sekutu," Zarri Bano dengan bahagia menerjemahkannya pada adik perempuannya ketika mereka duduk di sisi yang sama, sedangkan Si
kander, Habib, dan Shahzada duduk di sisi yang berlainan, terpisah oleh lorong pesawat.
Pemandangan itu tampak menakjubkan. Pesawat dipenuhi para jamaah haji yang berpakaian khusus jubah haji berwarna putih dan semuanya melantunkan talbiah dengan penuh semangat, "Ini aku datang, ya Allah," dan bersama-sama menuju rumah Allah, Ka'bah yang suci di Makkah, Arab Saudi. Seorang jamaah haji berdiri dekat kokpit pesawat dan menggunakan interkom untuk melantunkan talbiah.
"Apakah aku mengucapkannya dengan benar, Zarri Bano"" tanya Ruby cemas. Dia telah mempelajari talbiah dalam hati di rumah, tetapi kini dalam kegairahan perjalanan itu dia seakan-akan melupakan kata-kata itu lagi dan harus terus melihat pada buku panduan mungilnya.
"Ya, sayang, sudah benar." Zarri Bano tersenyum sabar pada adik perempuannya. Ekspresi bahagia tiba-tiba menerangi wajahnya. "Bukankah ini sangat menyenangkan" Aku tak sabar ingin sampai di Makkah. Orang-orang dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Arab Saudi. Berpakaian seperti ini, Ruby, kau pun tampak seperti seorang perempuan saleh!"
Mata Zarri Bano menjelajahi jubah putih yang menutupi seluruh tubuh adiknya dari kepala hingga kaki. Ruby merasa tidak nyaman dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuh dan kepalanya, tetapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Semua perempuan lainnya pun berpakaian dengan cara yang sama. Rambutnya, seperti rambut mereka, diikat ke belakang dan tersembunyi di balik tutup kepala karena terlarang hukumnya memperlihatkan sejumput rambut pun atau menjatuhkan sehelai rambut pun di Masjidil Haram, Ka'bah. "Sehelai rambut saja yang jatuh di Masjidil Haram akan menjadi penistaan tingkat tinggi, maka berhati-hatilah," ucap Zarri Bano pada Ruby. Awalnya Ruby merasa ketakutan, tetapi kemudian dia melihat ekspresi rasa senang di wajah kakaknya.
Ruby berharap dia bisa menyesuaikan diri dengan semua orang dalam membaca doa yang tampaknya telah dihafal semua orang dalam hari dan juga telah dia pelajari. Ruby beradu pandang dengan suaminya yang sedang menatapnya. Sikander tersenyum dan juga sedang mengalunkan talbiah sepenuh hati.
"Allah pasti sangat sibuk mendengarkan doa semua orang hari ini," Ruby terkekeh pada diri sendiri, "saat semua jamaah haji berdatangan dari seluruh penjuru dunia...."
* * * Bintang-bintang bersinar terang di langit malam di atas kota kecil Muzdalifah, beberapa kilometer dari tempat suci Arafah di Arab Saudi. Seperti jutaan jamaah haji lainnya, Zarri Bano dan keluarganya memanjatkan doa khusus pada siang hari dan telah menjadi haji. Mengikuti teladan Nabi Muhammad, semoga kedamaian dilimpahkan padanya, mereka wajib bermalam di Muzdalifah.
Berbaring di atas tikar rami yang dibelinya di Jeddah, Zarri Bano menatap langit di atas mereka dengan bintang-bintang yang mengedip pada mereka, menyambut kehadiran mereka di kota kecil itu.
"Inilah intinya haji, Ruby sayang!" Jejak kegairahan masih tersirat dalam suaranya. Ini adalah sebuah hari yang amat bermakna. Zarri Bano menoleh pada adiknya yang setengah tertidur di atas tikar lain, dekat darinya. "Pernahkah kau menghabiskan malam seperti ini dalam hidupmu" Aku belum pernah. Tulang-tulangku sakit, tetapi hatiku merasa senang dan jantungku berdegup kencang karena bergairah. Lihatlah bintang-bintang di atas sana, Ruby, mereka menyalami kita dan berkata, 'Salam. Kalian sudah haji sekarang.' Bisakah kau bayangkan bagaimana di tempat ini, selama berabad-abad, setiap tahun, ribuan jamaah haji dari berbagai penjuru dunia tidur di sini" Sehari dalam setahun, tempat ini menjadi pusat alam semesta. Apakah kau mendengarkanku, Ruby"" Zarri Bano mengangkat kepalanya dan menatap adiknya.
"Hmm, ya," sahut Ruby seraya menguap. "Kau benar, ini adalah sebuah peristiwa unik. Aku senang kita ada di sini. Aku bahkan tak peduli batu-batu kerikil menusuk-nusuk punggungku di bawah tikar. Sebaiknya kau tidur, Zarri Bano. Kita akan menghadapi hari yang sibuk besok di Mina. Lihat, aku bisa mendengar Ibu dan Ayah mendengkur walaupun Sikander Sahib masih bergerak-gerak."
"Aku bertaruh kerikil pasti sedang menusuk-nusuk tulang rusuknya!" Zarri Bano b
ergurau. "Kau ingat kita harus mengumpulkan tujuh puluh dua kerikil untuk melempari tempat 'setan'" Kerikil-kerikil di bawah tikarmu dan tikar suamimu bisa kita kumpulkan dengan mudah!"
Ketika Zarri Bano menoleh ke sampingnya, wajahnya bertatapan dengan seorang perempuan muda Nigeria bertubuh besar yang sedang melakukan shalat tahajud hanya beberapa langkah darinya. Suami perempuan itu duduk di dekatnya, membaca surah-surah dari Al-Quran dengan suara nyaring. Zarri Bano memejamkan matanya, merasa puas bisa berbagi dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Dia tahu, dia tak akan pernah melupakan malam ini.
* * * Pukul enam pagi, matahari telah terbit dan semua orang telah bangun. Antrean menuju jamban umum dan tempat wudhu makin memanjang. Keran-keran air cadangan ditempatkan di mana-mana setiap beberapa meter untuk memudahkan para jamaah haji. Tenda-tenda didirikan untuk tempat sarapan.
Pada saat Ruby bangun, kakaknya telah membaca tiga juz Al-Quran. Dia bangkit, merasa malu. Semua orang sedang shalat. Dia merasa seakan-akan sedang tidur di tengah sebuah masjid di tengah orang-orang asing. Tak lama setelah sarapan, seraya membereskan barang-barang dan tenda mereka, para jamaah haji bergerak menuju Mina.
Di depan mereka terhampar hari ketiga haji yang penting dan akan dilewatkan di dataran terbuka Mina dalam tenda-tenda mereka. Itu adalah sebuah hari yang dirayakan oleh umat Muslim di mana pun-berpuncak pada Idul Adha, hari raya kedua terpenting bagi umat Islam.
Pendekar Misterius 2 Goosebumps - Kamar Hantu Budha Pedang Penyamun Terbang 13