Pencarian

Sang Raja Jin 3

Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar Bagian 3


Faqir itu menghela napas dan menutup matanya.
Anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya seolah-olah
baru terlepas dari jeratan mantra. Ia berdiri sembari
mengusap matanya, kemudian cepat-cepat berlalu tanpa
berkata apa pun. Aku juga akan menemui rombonganku
yang lain, tapi si faqir menghentikanku. Ia memberi isyarat
agar aku mendekatinya dan duduk di depannya. Aku
mematuhinya. Ia menatap buku catatanku. "Tulis kejadian ini di catatanmu bahwa kesalahan anak itu adalah kesalahan
pada caranya berbuat, bukan karena kegilaannya."
"Ya, akan kutulis," kataku. "Tapi apa aku boleh menulis tentang "Siddiq?""
Ia mengabaikan pertanyaanku. "Itu julukan yang
diberikan kepadaku oleh beberapa orang di berbagai daerah."
"Apa kau punya nama lain?"
"Ya, banyak." Aku menulis sebagaimana diperintahkan. Sebenarnya
aku ingin tahu lebih banyak, tapi aku tidak mau menekannya. Karena aku menghormati dan berempati kepada si
faqir, dan demi kesopanan, maka kuubah topik pembicaraan.
"Apa yang akan terjadi pada anak itu?"
Lelaki tua itu mengangkat bahunya. "Banyak orang iri
pada orang lain, dan rasa iri muncul karena alasan yang
buruk. Hanya Allah-lah yang berhak memberi hukuman."
Ia menggeleng. "Kebanyakan manusia tidak melihat bahwa
dalam kesadaran akan cinta tersembunyi kesadaran akan
Tuhan. Tapi mungkin ia akan menemukan jalannya. Kaki
yang pincang masih bisa berjalan, dan rasa takut sering
kali menjadi pemandu paling bagus bagi anak itu."
"Jadi, apakah setiap pencuri tidak perlu takut neraka?" tanyaku. Seketika itu juga aku menyesali pertanyaanku, tapi tak nampak kemarahan di wajahnya yang aneh. Ia
berdiri dan duduk di anjungan kapal. Matahari yang
hendak terbenam telah menyentuh kaki langit. Laut dan
langit memerah warnanya. Si faqir sepertinya merenung sebentar. Tatapannya
terarah pada riak gelombang. Wajah dan jenggotnya memerah disapu cahaya senja. Ia seperti sedang menyerap
cahaya itu. Tanpa membalikkan badan, ia berkata, "Sesungguhnya rahmat Allah mendahului murka-Nya. Dan ketahuilah, anak muda, penduduk neraka lebih gembira ketimbang saat mereka berada di dunia, sebab di neraka mereka
mengingat Allah, sementara di dunia mereka tidak ingat
sama sekali. Dan tidak ada yang lebih nikmat, baik di
dunia maupun di akhirat, selain mengingat Allah." Ia
menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya bergerak sedikit.
"Tapi, walaupun kerinduan mereka ribuan kali lebih besar
ketimbang kerinduan pada saat sama", kerinduan itu tak
akan pernah terpenuhi. Penghuni neraka itu akan
terasing. Nanti kau akan tahu."
Kau akan tahu! Kata-katanya membuatku takut.
Siapa sesungguhnya lelaki tua aneh ini" Aku
bertanya-tanya. Dan ke mana ia akan membawa kami"
Setiap manusia berjalan menuju kesempurnaan
Musyawarah Burung, Fariduddin Attar
Selepas tengah malam, si faqir baru mengizinkan
kami meninggalkan kapal. Kapten kapal dan semua
awaknya sudah turun beberapa jam yang lalu. Hanya
kami yang masih berada di kapal. Si faqir duduk diam di
dek. Kepalanya menunduk khusyuk. Kadang-kadang ia
menatap bintang, lalu kembali bertafakur. Akan tiba
saatnya bin-tang-bintang itu akan menjadi petunjuk. Ia
berdiri tanpa bicara, lalu berjalan meninggalkan kapal.
Kami mengikutinya, tak terlihat oleh penjaga kapal, dan
tanpa berpamitan kepada para awak kapal.
Kapten Saimach bilang, tak mungkin meninggalkan
pelabuhan tanpa melalui pemeriksaan di pabean. Tembok
tinggi dan pagar kawat beraliran listrik menutup semua
rute. Si faqir tidak berkomentar apa-apa atas informasi ini.
Ia malah mengajak kami langsung ke kantor pabean.
Entah mengapa, kantor itu tampak tak terawat. Seorang
wanita tua sedang menyapu lantai, sementara petugas
pabean yang seharusnya berjaga tidak ada di sana.
Tampaknya tidak ada kapal yang akan berlabuh lagi,
atau mungkin para penjaga itu sedang makan atau tidur.
Aku mengira kami akan menunggu sampai mereka
kembali, tapi faqir itu tidak menghentikan langkahnya. Ia
berjalan cepat melewati pos penjagaan dan pemeriksaan.
Kami hanya bisa membuntutinya. Tapi sekarang jalannya
cepat sekali. Kami terpaksa harus setengah berlari untuk
bisa mengikutinya. "Hei, apa yang kau lakukan?" Profesor Freeman berteriak di belakang. "Paspor dan visa kita belum diperiksa.
Bagaimana kita akan keluar dari negeri ini nanti?"
"Dengan pertolongan Tuhan," jawab si faqir tanpa
memperlambat langkahnya. "Tapi jika kita mampir..."
"Kita harus sudah sampai di gurun sebelum fajar,"
katanya. Ia mempercepat langkahnya. Tak seorang pun
berani membantah. Hanya Kapten Simach dan Rebecca
yang bisa mengimbangi langkah si faqir. Mereka berdua
berjalan berderet seperti tentara yang sedang berbaris.
Yang lainnya tertinggal, dan harus setengah berlari
dengan napas ngos-ngosan.
Setelah mencapai Casbah, si faqir baru memperlambat langkahnya. Kami sampai di depan sebuah toko yang
masih tutup dan kandang kuda yang kosong. Kami
melihatnya menyeberang jalan ke arah pasar. Rebecca dan
Kapten berada di belakangnya. Kami mengejar mereka.
Akhirnya kami sampai di depan sebuah pintu setengah
terbuka, yang menuju jalan sempit dan gelap.
Akhirnya, pikirku, sambil ngos-ngosan. Tetapi, saat
kami mendekat, si faqir sudah masuk ke dalam dan menutup pintu.
"Nah, ke mana dia sekarang?" tanya Profesor dengan
suara serak. "Dia bilang kita mesti menunggu," kata Rebecca.
Kapten hanya mengangguk. Kami lama berdiri kedinginan dalam kegelapan. Keringat menguyupkan tubuh kami.
"Apa dari sini jalan menuju gurun?" tanya Profesor,
lalu terbatuk-batuk. Rebecca memintanya diam. Profesor baru saja akan
membisikkan sesuatu ketika muncul cahaya di seberang
jalan. Sebuah pintu terbuka dan sejumlah orang muncul,
lalu pintu ditutup. Jelas mereka para pemabuk, atau
mung-kin penjudi, sebab dari pakaiannya kulihat mereka
seperti buruh. Bau alkohol menusuk-nusuk hidung
walaupun mereka masih jauh dari kami. Beberapa di
antara mereka tertawa cekakakan. Sebagian lagi
memaki-maki dengan bahasa yang ganjil. Tapi, saat
melihat kami, mereka langsung berhenti.
Selama beberapa saat kami berpandang-pandangan
di kegelapan dengan diam. Salah seorang dari mereka
maju dan mulai berbicara dengan suara yang kasar dan
keras. Mungkin itu bahasa Berber. Walau aku tak paham
maksudnya, aku pernah mendengar bahasa itu. Kapten
Simach meletakkan jarinya di bibirnya. Ia berbisik supaya
kami tidak menjawab, agar kami tidak ketahuan berasal
dari negeri lain. Namun, mereka bertambah penasaran
karena kami tetap bungkam. Mereka mulai maju, dan
orang yang maju pertama kali menjadi pemimpinnya.
Kapten Simach berjalan ke depan. Rebecca menarik
ayahnya ke belakang. Ali dan Rami juga berjalan ke sebelah Kapten Simach, menutupi jalan sempit ini. Aku
berdiri di depan Rebecca dan ayahnya.
Kurasakan ada bahaya yang mengancam. Kudengar
Rebecca agak kesulitan menenangkan ayahnya. Kulihat
Ali dan Rami menegakkan punggung dan mengepalkan
tangan. Hanya Kapten yang berdiri biasa, seolah-olah
hendak menyambut mereka dengan posisi badan sedikit
membungkuk ke depan. Tapi, aku tahu, posisi yang tampak tenang itu adalah posisi bertahan dari seseorang yang
sudah terlatih dalam pertempuran.
Gerombolan itu terus mendekat sembari memakimaki. Pemimpinnya kini berteriak dengan bahasa Arab:
"Apa kalian tuli! Kenapa kalian tak jawab?"
Ancaman fisik mulai terasa, tapi mendadak pintu di
sebelah kami terbuka. Cahaya yang muncul tiba-tiba
membuat mereka berhenti melangkah. Lalu muncullah si
faqir di depan mereka. "Berhenti ngoceh, keledai tolol!" katanya sambil
menatap pemimpin gerombolan. "Diam adalah jawaban
yang pas buat orang tolol."
Kemarahan pemimpin itu langsung sirna, dan matanya mengenali sosok lelaki tua itu. "Al-Muazzim!" bisiknya,
lalu mundur. Kata ini menyebar ke telinga-telinga gerombolan itu.
Mereka menatap kami dengan kaget dan takut. Beberapa
di antara mereka menutup matanya, yang lainnya
menu-ding-nuding kami. Mereka mundur pelan-pelan,
lalu berbalik dan berlari. "Syaithaaan!" beberapa di antara
mereka berteriak sambil berlari.
"Mari!" kata si faqir tanpa memperhatikan
orang-orang yang kabur itu. "Kemarilah."
Kami bergegas mengikutinya melalui pintu itu. Kami
memasuki sebuah halaman yang diterangi obor. Lalu kami
masuk melalui pintu yang menuju jalan yang berbeda.
Sebuah mobil Land Rover sudah menunggu. Mesinnya
menyala. "Kamu yang nyetir," perintahnya kepada Kapten Simach. "Jalan ke selatan masih sepi. Pintu gerbang akan
terbuka sebentar lagi."
Tiga jam kemudian, kami sudah berjalan ke arah
Gunung Atlas, melintasi rute ke utara melalui gurun
Sahara. Dan saat fajar, kami sudah melintasi kota kecil
Laghouat yang berada di kaki sebuah bukit di sebelah
selatan. Tak lama lagi kami akan sampai di jantung gurun
pasir. Jalannya begitu sepi. Kami hanya bertemu beberapa
kendaraan, dan tidak bertemu dengan gerbang apa pun.
Ali dan Rami duduk di atas tumpukan bekal kami.
Aku duduk di sebelah Rebecca dan ayahnya. Mereka tidur
sebentar, melepaskan ketegangan di kota tadi. Tetapi aku
tak bisa tidur. Dan faqir itu masih dalam posisi yang sama.
Ia duduk tenang sambil menatap tajam menembus
kegelapan di depan. Aku mulai merasa sangat hormat dan tertarik kepada
Qalandar yang hebat ini. Kukira yang lainnya juga mulai
mempercayainya. Syekh telah bilang bahwa ia tahu jalan,
dan tampaknya ia memang sudah akrab dengan kegelapan
dan bahaya. Paspor yang belum disahkan untuk
sementara terlupakan, dan kami belum bertanya dari
mana mobil Land Rover ini diperoleh. "Mobil ini jelas
mewakili kereta Raja Sulaiman," kata Profesor Freeman.
Kami langsung tertawa. Kami bertujuh pelan-pelan
menjadi semakin akrab. Tapi, ada catatan yang harus ditambahkan. Para pemabuk itu mengenal si faqir sebagai Al-Muazzim, dan jelas
mereka sangat takut padanya.
Al-Muazzim: Tukang Sihir! Orang yang mampu memanggil roh jahat dengan ilmu hitam.
Saat yang lainnya diam, pelan-pelan aku bertanya
dengan suara berbisik: "Itu namamu yang lain?"
"Ya, orang-orang bodoh menyebutku begitu," katanya
tanpa memalingkan kepala atau menggeser posisi.
"Karena itu, di mata mereka kalian adalah setan."
Aku lalu bersandar di jok mobil dan memejamkan
mata. Perjalanan ini mengungkapkan bayangan diri lelaki
tua itu di pantulan berbagai cermin hati, masing-masing
pantulan mencerminkan tingkat kebersihan hati: Jasus
Al-Qulub, Siddiq, Al-Muazzim.
Nama mana yang akan membawa kami menuju badai"
Aku bertanya-tanya. Untuk apa pencinta kesunyian mencari-cari sesuatu"
Karena ini jalan Sahabat Tuhan, Apalah arti gurun
membentang" Hafiz Kami terus berkendara ke selatan di bawah sinar
matahari yang terik, melewati Ghardaia, menyusuri jalur
erg di barat. Jalannya datar dan halus selama beberapa
kilometer. Jalan itu dibuat dari bebatuan yang ditata rapi.
Batu-batu itu diambil dari sungai besar yang mengalir dari
gunung. Kami makan di atas Land Rover dan gantian
menyetir. Kami berhenti hanya untuk shalat guna
menyegarkan jiwa kami. Kami selalu shalat di tempat yang
tidak dilihat orang. Tapi si faqir tidak meninggalkan mobil saat kami
shalat. Ia tetap diam, hanya memberi isyarat kapan harus
berhenti dan kapan harus berangkat lagi. Sepengetahuanku, ia tak makan dan tak tidur, dan aku
juga belum melihatnya minum. Sepertinya ia hanya butuh
sinar matahari untuk bertahan, dan mungkin ada air gaib
yang membasahi kerongkongannya.
Orang-orang Arab menyebut gurun sebagai Taman
Allah, sebab di sana Dia merenggut semua kehidupan
yang tak penting. Sehingga, hanya ada satu tempat di
muka bumi ini di mana Dia dapat berjalan dengan tenang.
Mungkin gurun yang luas dan kosong ini telah menyelimuti kedamaian batin Sang Qalandar. Atau, mungkin
perjalanan kami telah menyalakan kembali gairah yang
lama terpendam dalam dirinya. Aku tak tahu, tetapi
matanya kini menyala sangat tajam. Aku takut dibuatnya.
Syekh menjadikan faqir itu sebagai pemandu kami.
Dan kami, para darwis, tidak mempertanyakannya. Tapi
Profesor Freeman makin gelisah.
"Ada apa dengannya" Kenapa dia tak mau bicara?" ia
bertanya saat kami berhenti untuk beristirahat sejenak.
Kupikir ia sebenarnya lebih mencemaskan Rebecca. Tapi
putrinya itu tenang-tenang saja.
"Ia tahu manfaat dari diam," kata Rebecca.
Ali dan Rami mengangguk. Kami punya pepatah,
telinga dapat memperoleh pengetahuan, dan lidah hanya
mengatakan apa-apa yang sudah diketahui.
"Dan sekarang kita sudah semakin dekat," kata
Kapten Simach. Ia berdiri melayangkan pandangannya ke
sekeliling, lalu melihat ke selatan. Ia tampak mencari-cari
suara atau gerakan, atau desau angin"yang menandakan
datangnya badai. Kaum nomaden dapat merasakan tanda-tanda datangnya badai dengan cara ini. Setelah beberapa saat, ia
mengalihkan perhatiannya, lalu kembali ke Land Rover.
Kami mengikutinya tanpa berkata apa-apa. Rebecca


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggandeng tangan ayahnya. Kata-kata Kapten yang
pemberani ini cukup berpengaruh, dan mereka berbisikbisik tentang apa yang sedang menunggu mereka di gurun
sana. Ali dan Rami memahami ketegangan kami. Mereka
berusaha menenangkan kami dengan pengetahuan mereka tentang gurun pasir. Harus kuakui, aku merasa tertarik
dengan daerah yang luas dan kosong ini. Sahara sebenarnya tidak benar-benar kosong dan sunyi. Gununggunung menjulang, dan dataran kerikil, yang disebut reg,
mengelilingi gunung-gunung itu. Dari sana mengalir sungai besar. Ada banyak bentuk kehidupan di sini,
masingmasing menyesuaikan diri dengan dunianya.
Hanya erg yang mengelilingi gunung, dan dataran itulah
yang bisa disebut gurun pasir sesungguhnya. Gurun itu
menutupi seperempat luas Sahara. Tapi, kadang-kadang
hujan turun di sini, airnya mengumpul di antara
bukit-bukit pasir. Oasis dengan rumput aristida dan
semak had menjadi tempat minum bagi kawanan antelop
dan unta-unta para pengembara yang lewat. Ali menunjuk
seekor rubah bertelinga panjang, spesies rubah terkecil di
dunia, sedang berburu jerboa, hewan yang mirip tikus,
yang mungkin sedang berjalan-jalan ke luar dari
sarangnya di semak belukar.
Ikhwan darwisku ini mengenal gurun, kehidupan dan
makhluk-makhluknya. Ia menjelaskan segala sesuatu
yang kami lihat di sepanjang perjalanan. Aku senang
mendapat pengetahuan ini dan mencatatnya dengan
cermat. Rebecca ikut-ikutan membaca catatanku. Kapten
Simach kembali mengendalikan setir saat kami
meninggalkan El Golea, tempat kami berhenti untuk
mengisi air dan membeli bensin dan perbekalan. Matahari
sudah hampir ditelan malam. Hawa panas pelan-pelan
hilang saat kami memasuki Tademait Hamada, sebuah
dataran tinggi gurun di utara Ain Saleh.
Si faqir menyuruh kami meninggalkan jalan raya yang
mengarah ke dataran tinggi. Ia memberi petunjuk Kapten
Simach dengan isyarat tangannya hingga kami tiba di
sebuah lembah batu karang yang sepertinya pernah
menjadi tempat air di masa silam. Di lereng sebuah bukit
ia menyuruh kami berhenti di bawah sebuah tebing yang
membentuk naungan, tepat saat matahari di belakang
kami hendak tenggelam. Di sana ada guelta 20 kecil, tersembunyi di tengahtengah retakan batu raksasa di lereng itu. Ali bilang, ada
ratusan guelta seperti ini di seluruh gurun. Banyak bentuk
kehidupan yang bergantung pada kolam itu, termasuk
suku-suku nomaden, selama musim kering.
Aku ingin menjelajahi banyak jalan di sekitar kolam
itu, tapi si faqir tiba-tiba muncul dari Land Rover setelah
matahari tenggelam. Ia memerintah kami dengan suara
keras untuk bermalam di dekat kolam batu itu. Kami
sangat terkejut mendengar ia berbicara lagi. Kami segera
melakukan perintahnya. Tapi, saat kami bekerja, ia sudah
menghilang lagi di balik batu.
"Nah, ke mana lagi dia pergi?" tanya Profesor Freeman, walaupun aku tahu ia sudah tak lagi mengharapkan
jawaban. Aku membantu Rebecca membongkar muatan
kami, sementara Ali dan Rami mengumpulkan batu untuk
membangun dinding penahan angin di depan gua.
Tampaknya ini akan menjadi malam panjang yang dingin.
Cahaya terakhir matahari sudah hilang saat si faqir
kembali dengan membawa seikat kayu bakar. Rami menatanya dengan hati-hati dalam bentuk kerucut besar.
Tak lama kemudian api pun menyala. Bayang-bayang
kami menari-nari di atas tanah.
Rebecca dan ayahnya menyiapkan makan malam
berupa telur goreng, roti, dan keju. Ia meletakkannya di
sufreh kecil yang diberikan oleh Syekh kepadanya. Dan,
sesuai adab, si faqir mengedarkan makanan dari kanan ke
kiri sampai semuanya memperoleh jatah. Tapi ia tak
20 Kolam luas berbatu dan berpasir, yang jamak ditemukan di kawasan
Sahara. mengambil apa-apa. Tak ada yang berkomentar mengenai
kelakuannya itu sampai kami mengucapkan syukur
kepada Allah atas nikmat makan yang diberikan-Nya.
Profesor Freeman bahkan mengucapkan doa ala Yahudi,
dan putrinya senang melihat hal ini.
"Ayah sudah bertahun-tahun tak pernah berdoa,"
katanya sambil mengecup pipinya. Ayahnya cuma menggerundel tak jelas dan kami semua menertawakan kelakuannya itu, kecuali si faqir.
"Benar," katanya. "Jika kalian tidak berterima kasih
kepada Yang Maha Memberi, makanan apa yang akan Dia
berikan kepada kalian?"
Profesor tidak menjawab. Seusai santap malam, dan doa syukur diucapkan, Ali
menjaga api tetap menyala. Suhu cepat turun dan udara
dingin mencucuki tulang kami. Si faqir membuka tutup di
atas mobil dan mengambil gulungan besar yang dibungkus kertas cokelat. Setelah membuka talinya, ia
menyerahkan kepada kami masing-masing sebuah
gandura tebal. Baju itu melindungi kami dari hantaman
angin dan udara dingin di gurun.
"Dari mana ini semua?" tanyaku.
"Qutb punya banyak kawan," katanya, lalu duduk di
dekat api dan menutup matanya.
Kami masuk ke jubah itu. Pakaian itu pas di tubuh
kami, seolah-olah sudah diukur dan dijahit untuk kami.
Ali dan Rami memuji kemampuan terawangan Syekh, dan
Rebecca mengenakan jubah itu dengan cara yang anggun.
Profesor Freeman dan aku saling bertatapan, dan aku
merasa malu karena terlalu banyak tanya dan kurang
percaya. Mobil Land Rover itu bukan tersedia secara kebetulan atau hasil curian, seperti yang diam-diam kami
berdua pikirkan, tapi disediakan oleh para sahabat Syekh
yang sudah menerima pesan. Aku mulai bertanya-tanya,
mungkinkah kantor pabean yang kosong itu juga sudah
direncanakan. Kami meringkuk di dalam gandura, sementara Profesor Freeman memain-mainkan bara api.
"Berapa lama lagi?" tanyanya. Kami semua menengok
kepada si faqir, karena tahu kepada siapa pertanyaan itu
ditujukan. "Sehari semalam lagi," jawabnya. "Dan gurun akan
mengungkapkan maknanya bagi kalian."
Kapten Simach mengernyit. "Jika ada badai yang lain,
mungkin gua itu sudah terkubur."
Si faqir membuka matanya. Kedua matanya bersinar
memantulkan cahaya api. "Ketika Allah menyempitkan,
Dia menyembunyikan apa-apa yang diungkapkan-Nya.
Dan ketika Dia melapangkan, Dia mengungkapkan apaapa
yang disembunyikan-Nya."
Kerutan di dahi Kapten semakin dalam. "Kami tiba di
daerah itu dari arah yang berbeda," katanya. "Aku tak
yakin bisa menemukannya lagi."
"Apa?" tanya Profesor sambil bangun dan duduk.
Tetapi ia dihentikan oleh isyarat tangan si faqir.
"Jangan cemas," katanya. "Bukan engkau yang menemukan saat itu. Gua itulah yang menemukanmu."
Hati yang jernih bagai sekeping kaca Misteri-misteri
terlihat langsung melaluinya
Hakim Sana"i Seusai subuh kami berangkat lagi. Sekali lagi Kapten
Simach memegang setir. Pemandu kami, seperti biasanya,
duduk diam. Kami melewati Ain Saleh, menuju
pegunungan Atakor, jantung Ahaggar.
Aku belum pernah melihat lanskap yang menggiriskan hati. Batu-batu granit dan bongkahan batu basal
berserakan, sebagian menumpuk membentuk tiang-tiang
hitam. Sama sekali tidak ada tanaman atau tanah. Batu-
batu berderet seperti gigi-gigi bumi. Profesor Freeman bilang, suku Tuareg menyebut gunung itu sebagai "Daerah
Seram", dan aku tidak meragukannya. Aku menarik napas
lega setelah melewati bukit hitam di belakang kami dan
bergerak menuju Tamanrasset.
Itu adalah kota yang cukup besar, pernah dikuasai
oleh Prancis. Kami berkendara pelan melalui jalan-jalan
sempit sampai tiba di sebuah pasar. Kami sekali lagi
mengisi bensin dan membeli makanan dan minuman.
Tanpa perlu disuruh, kami tidak jauh-jauh dari
kendaraan. Pasar itu penuh sesak dan ada banyak orang
asing bepergian. Aku mendengar orang berbicara dengan
bahasa Jerman dan Prancis yang lewat di depan kami.
Beberapa orang menatap curiga pada si faqir yang duduk
di kursi depan, tapi tak ada yang bertanya kepada kami.
Bahkan, penduduk setempat pun tidak ada yang
mendekat. Mungkin mereka mengenal si faqir dengan
sebutan lain. Setelah kami lewat, si faqir kini bertingkah lebih aneh.
Saat itu aku yang memegang setir dan ia menyuruh kami
menuju sebuah dataran rendah ke arah selatan di luar
kota. Beberapa saat kemudian, ia menyuruhku berhenti.
Kami hampir sampai di batas kota dan tidak ada yang
aneh di sekitar kami. Matahari belum tinggi, beberapa
orang berjalan pulang setelah berbelanja atau mungkin
pergi bekerja. Si faqir tiba-tiba turun dari mobil dan mendekati
seorang lelaki kumuh yang berjalan terhuyung-huyung
mendekatinya. Tampaknya ia tak menyadari kehadiran si
faqir. Jelas ia orang yang mabuk. Yang membuatku kaget
setengah mati adalah, si faqir mengambil sebuah batu dan
melemparkannya ke arah lelaki itu. Batu itu menghantam
tepat di dadanya. Hantaman batu itu mengejutkan lelaki
malang itu sehingga ia terhuyung dan berjalan ke arah
yang lain. Aku dan rombongan lainnya terheran-heran dibuatnya. Tapi, dengan tenang pemandu kami itu kembali lagi
ke mobil dan duduk seperti semula di kursi depan. Ia
menunjuk ke arah selatan tanpa berkata apa-apa. Aku
pun langsung menancap gas. Tak ada yang bicara setelah
itu walaupun dalam diri kami muncul banyak pertanyaan
dan keheranan. Dan setelah beberapa ratus kilometer di sebelah
selatan Tamanrasset, kami meninggalkan jalan utama dan
berbelok ke timur, lalu sedikit ke selatan menyusuri kaki
gunung Ahaggar. Jalan di sana lebih datar, penuh dengan
batu-batu reg. Kami berada di dekat perbatasan Nigeria,
hanya beberapa kilometer dari Tenere, sebuah erg yang
sangat luas. Matahari akan segera tenggelam, dan awan
kumulus membayang di atas kami. Ini akan menjadi
ma-lam terakhir sebelum badai tiba.
Kami berkemah di sebuah wadi21 di sebelah guelta,
tapi pemandu kami tidak pergi saat kami mempersiapkan
segala sesuatu untuk bermalam. Ia duduk di atas
sebatang pohon yang roboh. Dengan diam ia mengamati
kami yang bekerja membongkar muatan.
Profesor Freeman tidak begitu gelisah lagi. Ia agak
heran menemukan spesies tanaman oleander Mediterania
di ujung guelta. Padahal, tanaman itu aslinya berasal dari
ribuan kilometer dari gurun.
"Angin yang kuat pasti membawa benihnya sampai ke
sini," katanya. Tanaman itu berakar dalam pasir basah di
bawah batu dan membentuk semak-semak hijau yang
disaput bunga warna merah muda dan putih.
"Aku tak tahu pasti, tapi bunga itu menjadi salah satu
alat untuk membedakan unta kota dengan unta gurun,"
kata Ali dengan tersenyum. "Unta gurun tidak akan
memakan daun itu. Daun itu beracun. Tapi unta kota yang
tidak dibesarkan di daerah ini tidak tahu, dan karenanya
mereka akan memakannya dan membuat diri mereka
sakit." 21 Sungai atau jurang di padang pasir (berisi air jika hujan turun).
Profesor Freeman menepuk punggung Ali, "Nah, si
unta kota ini pasti akan berterima kasih kalau punya unta
gurun di sini." Si faqir mengangguk tenang mendengar canda itu.
"Benar. Kita sekarang butuh seekor unta gurun."
Matahari sudah tenggelam. Kami semua berpaling
kepada si faqir, tapi sebelum kami bertanya tentang apa
maksud perkataannya, kami terkejut ketika mendengar
lenguhan unta di kejauhan. Beberapa kafilah mulai
memasuki wadi untuk bermalam. Kami saling menatap,
tapi tak berkata apa-apa. Rami menyalakan api. Tak lama
kemudian, aku mendengar suara langkah kaki mendekat.
Mungkin ada selusin orang yang mendatangi kami
yang berdiri menunggu. Tapi si faqir tetap duduk di atas
batang pohon. Sikap tenangnya membuatku yakin bahwa
keadaan akan aman-aman saja.
"Salam bagimu, Afarnou!" kata si faqir kepada lelaki
yang memimpin rombongan yang baru datang itu.
"Dan salam juga bagimu, wahai Marabout!" kata si
pemimpin. "Dan juga kepada kalian semua."
Afarnou juga mengenakan gandura, tapi anak buahnya tidak. Dan hanya dia yang kepalanya diselubungi
kain hitam khas busana Tuareg. Hanya matanya saja yang
terlihat. Tapi ia membuka tutup kepalanya itu saat berbicara kepada si faqir.
Dan ia memanggil si faqir dengan sebutan Marabout!
Istilah Tuareg untuk menyebut orang suci! Ini salah satu
lagi dari sekian julukannya.
Afarnou tak banyak membuang waktu. Ia adalah
moudogou dari orang-orang ini. Ia menyuruh anak buahnya kembali ke perkemahan setelah memastikan bahwa
kami bersama seorang Marabout. Ia tampaknya tak terlalu
heran melihat kami, walaupun ekspresi dan nada suaranya sinis dan penuh curiga.
"Ayahku juga titip salam untukmu. Dia menyuruh
kami melayanimu, walaupun kami tidak tahu apa kebutuhanmu."
"Aku tidak butuh kalian," kata si faqir. "Aku hanya
butuh salah satu dari untamu untuk membawa perbekalan kami menuju pedalaman gurun. Mobil kami tak bisa
berjalan ke sana." "Unta" Tetapi kami... ayahku tak tahu soal ini!"
ujarnya marah. "Kami sudah berjalan berkilo-kilometer
untuk..." "Untuk membantu kami. Lakukan sekarang dan jangan marah-marah. Janji harus ditepati dan Allah akan
menerima amal baik kalian."
Aku melihatnya menerima ucapan si faqir. Ia tidak
akan membantah perintah ayahnya atau orang suci, walau
ia sangat curiga. Ia memandang Land Rover seolah-olah
mobil itu artefak kuno yang antik.
"Terserah kau," katanya dingin. "Tapi, setidaknya kau
harus naik unta. Yang lainnya bisa berbagi beban."
"Aku tidak butuh kendaraan untuk mengarungi lautan ini."
Moudogou itu diam saja. Lalu ia berpaling pada kami
dan menatap dengan saksama. Ia hanya menatap Ali dan
Rami sekilas, kemudian menatapku cukup lama. Ia
mendengus setelah melihat aku menulis di buku catatan.
Kemudian ia menatap Profesor Solomon dan Rebecca, lalu


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beralih ke Kapten Simach, yang membalas tatapannya
tanpa gentar sedikit pun.
"Pencari tulang!" katanya. Aku agak kaget.
"Apa maksudmu?" tanya Profesor hati-hati.
"Bah! Ganduramu tak bisa menyembunyikan niatmu.
Dan kalian bukan orang pertama yang kulihat. Kalian
menggali pasir dan mengganggu tulang-tulang hewan
purba. Mengapa ayahku mau membantu kalian?"
Profesor Freeman hanya menatapnya,
menarik napas lega. tapi aku Ia mengira kami pencari fosil! Paleontologis!
"Bagaimana?" tanya Afarnou. "Kalian tak mau mengatakan sesuatu?"
Karena tak ada yang bicara, ia menggelengkan kepalanya, lalu menceramahi kami seolah-olah kami ini anakanak bodoh yang tak mampu mempelajari pelajaran sederhana.
"Dataran tinggi Tassili akan sangat menarik bagi kalian. Di sana kalian akan menemukan banyak tulang dan
panah, dan lukisan gua dari zaman purba. Pakai
kendaraan kalian dan pergilah ke sana, demi keselamatan
kalian. Bekal kalian terlalu sedikit untuk masuk ke gurun
sana." "Benar, kami tidak banyak beban," jawab si faqir,
mengabaikan peringatan dari pemimpin itu. "Dan kami
tidak akan menjadi beban bagi untamu. Kalau kau mau
meninggalkan seekor unta di perkemahanmu, kami yang
akan menjemputnya esok hari, dan kami akan
melanjutkan perjalanan berkat kebaikan ayahmu. Dengan
ini ia akan tahu bantuan apa yang diberikannya pada -
kami." "Aku tak punya cukup makanan untuk dibagikan
pada kalian." "Kami tak butuh itu. Pergilah, dan pimpin anak buahmu dengan baik."
Modougou itu tampak tersinggung karena diusir. Sebab, sesuai adat di sini, sebenarnya tamu harus ditawari
makan. Ia menatap kami sekali lagi dengan ekspresi menghina, lalu berbalik dan menghilang ditelan kegelapan.
Pemandu kami tak terganggu oleh kemarahan orang
Tuareg itu. Bahkan ia tak bergerak sama sekali dari
tempat duduknya. Ia menatap nyala api. Kami diam saja.
Tampaknya Afarnou tidak mau menunggu sampai
fajar untuk memenuhi janjinya. Ia menyuruh seorang
anak buahnya membawakan unta kepada kami. Anak
buahnya menyerahkan untanya tanpa berkata-kata.
Kemudian, setelah sedikit memberi hormat, ia langsung
beranjak pergi. Rami memeriksa tunggangan baru kami dan menggeleng-gelengkan kepala. "Unta ini sudah tua dan lemah.
Aku ragu apa ia kuat membawa perbekalan kita."
Si faqir menganggukkan kepala. "Allah telah memberi
unta ini banyak istirahat untuk membantu kita."
Ia menyuruh Rami mengikatnya di dekat kolam agar
ia bisa minum dan makan rumput, walau ia tak mau makan semak oleander itu.
Rombongan kami bertambah satu dengan kehadiran
unta ini, dan kami punya banyak pertanyaan. Seusai makan malam, aku memberanikan diri untuk mengajukan
satu pertanyaan. "Maaf, Siddiq," kataku, sambil menyebutnya dengan
nama yang paling tepat untuknya. "Sebagai pemandu kami, sudilah kiranya kau menjelaskan kepada kami makna
tindakanmu di Tamanrasset tadi."
Senyum tipis tersungging di bibirnya saat mendengar
permintaanku. "Baiklah, apa yang ingin kau ketahui?"
"Mengapa kau melemparkan batu ke orang malang
itu?" tanya Rebecca.
"Ia memang malang," kata si faqir. "Dia itu pencuri
dan berandalan yang banyak membunuh orang. Namanya
sudah tertulis di Lauhul Mahfuz sebagai manusia yang
durhaka kepada Tuhan. Tapi ia sudah melakukan perbuatan baik pada hari itu. Ia membantu seorang perempuan buta yang mencari jalan menuju masjid. Seharusnya ia
juga shalat, tapi ia malah menuju warung minuman untuk
mabuk-mabukan. Setelah mabuk, ia tersesat. Aku
berusaha membalas kebaikannya. Batu yang kulemparkan kepadanya membantunya berbelok ke arah
rumahnya." Kami hanya diam dan saling pandang. Bahasa akal
terlalu lemah untuk menilai pandangan batinnya yang
luas. Tapi Profesor Freeman tidak puas.
"Jadi, kau bisa melihat masa lalu sekaligus masa
depan?" tanyanya. "Atau apakah ini semacam visi atau
wahyu?" Si faqir menggeleng. "Kau mengacaukan antara ra-
malan dengan mukasyafah, keduaduanya." 22 dan kau tidak paham "Aku ingin mengerti," kata Profesor.
"Tidak bisa, tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Jiwa menerima pengetahuan dari jiwa. Hanya Qutb yang
bisa membantumu memahaminya jika kau mau menempuh jalan kami."
Ia mengalihkan pandangannya ke nyala api dan tidak
menjawab pertanyaan lagi. Sekitar satu jam kami hanya
duduk diam dan merenung sendiri-sendiri. Aku mulai
mengantuk ketika si faqir tiba-tiba berdiri dan menatap
bintang. Matanya seperti menyala saat tangannya terangkat untuk menunjukkan suatu titik di cakrawala.
"Bangun! Waktu tidur sudah lewat!" katanya tegas.
"Sudah terlambat untuk istirahat. Gerbang Surga sudah
terbuka." Ia berpaling lalu pergi, kembali menghilang di
kegelapan malam. Kami langsung berdiri, tapi ia sudah pergi. Tak ada
suara langkah kaki apa pun.
"Apa maksudnya?" Rebecca bertanya sembari
menatap ke kegelapan. "Pintu apa yang terbuka?"
Kapten Simach pun memandang langit, tapi ia tidak
menjawab. Profesor Freeman ikut memandang langit, lalu
memutar kepalanya, menatap ke sekeliling.
"Kenapa ia menyebut-nyebut bintang dan gerbang?"
katanya, sambil menunjuk titik cahaya di kejauhan.
"Kalian lihat" Antares sudah muncul di tenggara dan Vega
di timur laut. Dan di sana kukira Regulus, atau mungkin
Capella, berada di barat laut. Dan, ya, Sirius ada di barat
daya. Pada malam seperti ini, bintang-bintang itu muncul
membentuk titik kardinal kompas. Orang menyebutnya
"Pilar Langit" dan juga "Gerbang Surga".
Profesor menepukkan tangannya saat menyadari hal
22 Pengetahuan yang sudah tak terhijab lagi.
itu. Suara tepukannya yang keras bergema, mengejutkan
kami, dan kami menertawakan rasa takut kami sendiri.
"Tak ada yang perlu ditakutkan," katanya sambil
memeluk putrinya. "Tentu tidak," kata Ali. "Semua pengembara gurun
tahu bintang-bintang itu. Posisinya membimbing kami.
Lihat di sana!" katanya menambahi, sambil menuding ke
atas. "Dengan mengikuti Unta Betina kita menemukan
Bintang Kutub, yang menjadi pemandu kita di perjalanan
malam." Profesor Freeman mengangguk. "Rasi Beruang Besar
di Ursa Mayor." "Tunggu..." kata Rami yang tampak bingung. Ia melihat ke cakrawala dan langit. Ekspresinya bertambah bingung.
"Ada apa" Ada apakah?" tanya Rebecca sambil ikut
melihat. Rami diam saja. Ia menatap Ali dan mengangguk. Mereka
duduk bersama di depan api sambil berzikir.
"Ada apa" Apa yang kau lihat?" tanya Profesor
Freeman. Kapten Simachlah yang menjawab. Ia menatap ke atas
dan menghirup udara. "Bintang itu tak bergerak. Mereka
seharusnya sudah tenggelam. Dengar! Tidak ada suara.
Tidak ada suara burung atau serangga!" Ia tampak
gembira. "Waktu kita sudah tiba, dan angin sudah menderai. Tidakkah kau rasakan" Sekarang kita berada di
am-bang badai." Negeri Jin Ketika Cinta datang, ia akan
mencampakkan hati dan jiwamu
Dihapusnya segala waktu, tempat, dan ruang dari dirimu.
Begitulah tanda-tanda kehadirannya. Kau menjadi kafir
sekaligus beriman pada saat
bersamaan, dan bertempat tinggal di dalam keduanya
selama-lamanya Tamhidat, Ayn Al-Qudat Hamadhani
Wahai jamaah jin dan manusia, jikalau kalian
mampu menembus langit dan bumi, maka lewatilah.
Tetapi kalian tiada dapat menembusnya tanpa
kekuatan (Ar-Rahman: 33) Selama berjam-jam kami menunggu dengan diam
sambil duduk membentuk lingkaran. Kami tak bisa tidur,
dan aku bahkan tidak yakin apakah fajar akan tiba lagi.
Bintangbintang tak bergerak. Berselubung gandura, kami
bersiap menghadapi badai takdir kami.
Sejujurnya, aku tidak begitu yakin badai akan datang
secepat ini. Tapi aku keliru. Pelan-pelan, dari kejauhan,
suara deru angin mencapai telinga kami. Awalnya seperti
siulan panjang yang tiada habisnya, tapi lama-kelamaan
semakin keras dan kuat. Semua angin seperti berkumpul
bersama, lalu melesat bergemuruh.
Betapa cepatnya angin itu akan datang. Aku takjub
sekaligus ngeri. Tapi belum ada tanda-tanda badai datang,
hanya suara badai dan angin kencang yang menyapu
kami. Tapi kini suaranya makin keras bergemuruh,
seolah-olah napas dari langit turun ke bumi menghantam
kami. Badai hebat menekan jantung kami.
Aku tak tahan lagi menahan takut. Aku jatuh berlutut
dan menengadahkan wajah, lalu berseru memohon pertolongan Allah. Aku terus berseru. Semoga jiwaku diselamatkan.
Rebecca berlutut di sebelahku dan memegangku, tetapi aku tidak berhenti berseru sampai si faqir tiba-tiba
muncul dari kegelapan. "Doa yang terlalu cepat!" teriaknya mengatasi suara
angin. "Kau berseru sebelum subuh! Ayo, kita harus melakukan apa-apa yang sudah diperintahkan! Sudah waktunya berangkat!"
Suaranya membekukan lidahku, tapi Kapten Simach
melompat dan berdiri. "Ya, ya! Ayo, sudah waktunya!"
katanya, sambil buru-buru meletakkan perbekalan ke
punggung unta. Tindakannya membuat yang lainnya segera bergerak. Ali dan Rami bergegas membantunya, sedangkan Rebecca dan aku memadamkan api. Profesor
membantu memegangi unta dan meletakkan barang-barang di punggungnya.
"Ada apa denganmu?" Profesor Freeman berteriak, tak
mampu mengikuti jejak Kapten. Kapten Simach sudah melepaskan ikatan unta dan membawanya keluar dari wadi.
Si faqir tertawa. Ia berkata dengan suara yang dalam
dan keras, suara yang belum pernah kudengar
sebelumnya: "Oh, kau yang terperangkap dalam penjara
empat unsur, lima indra, dan enam arah, kita pergi
melampaui semua penjara itu. Apakah kau tak sadar
juga" Ruh Raja telah menyapu jiwa kapten itu. Ruh itu
menariknya seperti magnet, dan kau harus mengikutinya." Kami segera berbaris keluar dari wadi, mengikuti
Kapten Simach, dengan hanya dipandu oleh sedikit
cahaya di kegelapan. Aku berada di belakang, menatap
sekali lagi Land Rover yang kami tinggalkan. Kami berjalan
pelan di sepanjang lereng wadi itu, mengikuti jejak
alamiah: berbelok ke kiri dan ke kanan, mundur, lalu maju
dan naik, dan seterusnya. Pada siang hari sekalipun, jelas
tak mungkin bagiku menemukan jejak ini. Tapi aku tidak
bertanya bagaimana ia bisa menemukan jejak ini di
kegelapan malam. Perasaan aneh yang menarik dirinya tampaknya sudah mencapai puncaknya dan kami mengikutinya sedekat
mungkin. Berkali-kali kami terjerembap karena buru-buru. Hanya si faqir yang bisa mengimbangi Kapten Simach.
Ia sepertinya sudah akrab dengan jalan ini, atau mung-kin
ia bisa melihat dalam gelap. Ia mengambil alih kendali
unta dari tangan Kapten Simach dan kini mengendalikan
perjalanan dengan langkah pasti.
Setelah satu jam menjauhi wadi, kami berdiri di da-
taran reg23 yang luas. Kami hanya berhenti sejenak untuk
minum. "Bagaimana dengan rombongan di belakang itu?"
tanya Rebecca sembari menengok ke belakang. "Mereka
akan terjebak badai."
"Mereka aman," kata si faqir. "Badai ini bukan untuk
mereka." Bukan untuk mereka. Tapi hanya untuk kami!
Dan selama berjam-jam kami bergerak pelan di kegelapan tanpa makan dan istirahat, didorong oleh kebutuhan dan untuk menghindari badai yang makin mendekat. Akhirnya aku merasakan dataran kerikil menjadi
pasir. Kami telah sampai di erg yang sesungguhnya, dan di
bibir lautan pasir ini kami berhenti di bawah pohon akasia
yang berdiri sendirian, berakar di bebatuan terakhir di sisi
lautan pasir. Aku lelah dan hampir roboh di bawah pohon ini. Aku
ingin tidur saja sampai Hari Kiamat tiba. Tapi Ali dan Rami
mengangkat tubuhku. Kapten Simach dan si faqir berdiri
bersama menghadap ke timur. Aku berharap matahari
akan segera muncul di atas bukit pasir. Namun bukan
cahaya matahari yang menyapa kami.
Entah dari mana asalnya, suara dahsyat terdengar di
telinga kami. Dan akhirnya, terlihatlah angin badai yang
bergemuruh dan bergelombang hebat. Angin itu
berputarputar membentuk gumpalan hitam menjulang
dan terus bergerak, hingga bulan dan bintang tertutup
olehnya. Aku tak bisa melihat ujungnya. Ke mana pun menengok, yang ada hanya badai. Kami diliputi badai, di tengah-tengah cengkeraman pusaran topan. Kami tak bisa
berbuat apa pun selain menunggu apa yang akan terjadi
23 Gurun yang dilapisi bebatuan dan kerikil, yang mengarah menuju
Erg. kemudian. Si faqir tidak bergerak saat badai menyelubungi kami.
Kapten yang pemberani di sebelahnya juga tak bergerak.
Bahkan suara unta yang ketakutan tak membuat
mereka bergerak melindunginya. Hewan liar itu
menggeram keras, lalu bergerak liar karena amat takut


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada gemuruh badai dan terpaan angin yang seperti
mengarah kepada kami dari segala penjuru. Akhirnya,
Rami menyobek secarik kain dari ganduranya untuk
menutupi kepala dan mata unta itu. Lalu ia menendang
kaki unta itu agar duduk meringkuk. Ali mengikatnya ke
batang pohon. Aku, Profesor Freeman, dan Rebecca
dengan tubuh gemetar berlindung di balik tubuh unta
besar ini. Ribuan doa keluar dari jiwa kami saat badai akhirnya
benar-benar menghantam. Kapten Simach jatuh berlutut,
terpaku, saat angin puyuh yang berputar-putar membentuk tiang setinggi lima ribu kaki menggulung kami. Tapi si
faqir tetap tak terpengaruh. Ia berdiri sekokoh pohon.
Diangkatnya tangannya seperti menyambut badai.
"Mainkan!" teriaknya kepada Ali. Suaranya, entah
bagaimana, bisa mengatasi suara badai.
Kata-kata itu bergema di telinga kami. Ali segera melekatkan ney di bibirnya. Pada awalnya, nada yang keluar
aneh dan tak keruan, tapi lama-lama ia bisa mengatur
napasnya, dan ney yang dimainkannya saat itu menjadi
semacam instrumen gaib. Suaranya bergelombang mengiringi suara badai, nadanya naik bersama dengan angin,
bergema meninggi dan meninggi, menguat, sampai musik
itu mengisi seluruh pusaran angin di sekeliling kami dengan nada kerinduan, seolah-olah pusaran badai itu sendiri menjadi instrumen ney dan memainkan irama. Pelanpelan tubuh kami berhenti gemetar, dan pelan-pelan hati
kami didamaikan oleh nada itu.
Dan Mahasuci Allah, Tuhan kami Yang Mahatinggi.
Badai itu berputar mengelilingi pohon dan kami. Petir
besar menyambar-nyambar di atas kami, tapi kilatnya
tidak mendekati kami. Angin berputar seperti roda surga
bersumbukan doa-doa kami. Badai itu mematuhi batasbatas gaib demi suatu tujuan tertentu.
Apa tujuan angin itu, aku tak tahu. Aku pun tak tahu
kenapa kami diberi pertolongan di tengah bahaya yang
mengancam ini. Badai pasir di Sahara diketahui bisa
bergerak sampai ribuan kilometer, tapi ini bukanlah jenis
badai gurun yang pernah diperingatkan oleh Kapten
Simach kepada kami. Tiada makhluk yang bisa bertahan
dalam badai seperti ini. Pasir yang berputar amat cepat
dengan kekuatan yang dahsyat sekali ini bisa menyayat
daging-daging dan meremukkan tulang-belulang. Tetapi
anehnya, tak satu pun daun pohon yang rontok, dan tak
sehelai rambut pun yang lepas dari kepala kami.
Kami diliputi kegelapan, seperti seonggok ampas kopi
di dalam cangkir. Air mata ketakjuban dan kepasrahan
jatuh dari mata kami. Ali menangis hebat sampai tak bisa
memainkan musik lagi. Ney luruh dari tangannya, dan
kami lantas bersujud kepada Allah Yang Maha Pemurah
atas curahan rahmat-Nya. Dan kami menangis tanpa
hen-ti, tak berani mengangkat kepala sampai aku tak
sadarkan diri. Aku bertanya, "Di manakah akal ditemukan?" Ia
menjawab, "Ia bisa ditemukan di dunia halus."
Nasir Khusrow Entah berapa lama aku tertidur, atau kapan badai itu
lenyap. Tapi aku merasakan kehangatan api unggun menyapu wajahku dan membangunkanku. Aku mendengar
gumaman di sekitarku. Aku menguping pembicaraan mereka, dan tersenyum ketika Rebecca bertanya apakah ia
boleh membangunkanku. "Kau tak bisa membangunkan orang yang pura-pura
tidur," kata Kapten Simach, yang berdiri di atasku. Aku
tertawa, lalu bangun. "Apa yang terjadi?" tanyaku, sambil menatap kabut
debu yang mewarnai langit yang muram. Bintang belum
bergerak. Gerbang Surga masih terbuka.
"Kami sedang menunggumu," katanya.
"Mengapa tidak ada yang membangunkanku?"
"Karena kami tidak tahu apa yang menyebabkanmu
tidur." Aku mengangguk sambil mengingat-ingat kantuk
yang menguasaiku. Tubuhku terasa segar dan
kesadaranku menaik, tapi aku tidak bermimpi.
"Badai itu...?"
Kapten Simach menoleh dan bergeser dari pandanganku. "Badai itu telah membuka hal-hal yang tersembunyi!" katanya.
Dan ketika aku bangkit, kulihat reruntuhan kota besar, separuh terbenam dalam pasir. Reruntuhan tembok
dan bekas jalan kuno serta tiang-tiang tinggi yang rusak
membentang di hadapanku. Hanya ada bangunan yang
masih utuh, dan bangunan itu dekat sekali jaraknya. Pohon tadi ternyata berada di tengah-tengah halaman bangunan itu. Bangunan ini berbentuk bulat dengan atap
kubah, seperti kuil kuno atau makam.
"Tempat apa ini?"
Profesor mengangkat bahunya, tapi aku melihat kegembiraan di wajahnya. "Aku tak tahu pasti. Tapi ini sepertinya... kalau aku bisa..."
"Jangan sekarang!" kata Rebecca. "Kita makan dulu
saja." Tidak ada yang membantah. Dan tidak ada gua. Si
faqir itu benar. Kami dibawa ke arah yang berbeda untuk
tujuan yang berbeda. "Ke mana pemandu kita?" tanyaku.
"Pergi," kata Kapten Simach. Ia tampak tak heran.
"Tapi mari kita bersyukur, lalu makan secepatnya dan
mengeksplorasi reruntuhan ini. Apa pun itu, reruntuhan
ini sudah di depan mata kita."
Kami semua setuju. Bekal diambil dari punggung
unta. Hewan itu diberi minum dan dibiarkan merumput.
Ia tampak lapar, mungkin ia juga belum tidur. Kemudian,
setelah berdoa, Rebecca membentangkan sufreh dan menyediakan sarapan roti dan keju yang sudah dingin
beserta buah jeruk. Kami makan dengan tenang, tetapi
kami berkali-kali menatap bangunan-bangunan itu. Dan
aku kembali bersyukur kepada Allah yang telah membawa
kami sedemikian jauh untuk menggenapi lingkaran, kalau
memang di sinilah tempatnya.
Kapten Simach tidak menunjukkan rasa kecewa
meski badai itu tidak mengungkapkan gua atau kerangka
manusia. Kalaupun ia tahu apa yang membawa kami ke
sini, tidak mungkin ia diam saja.
Si faqir belum kembali. Kami tak bisa menunggu lebih
lama lagi. Gelas dan piring sudah dibersihkan dan
dikemasi. Lalu kami berangkat ke bangunan bundar itu.
Setiap reruntuhan kuno memuat barang berharga, katanya, dan kini reruntuhan itu ada di depan kami.
Bintang yang diam di atas sana, entah mengapa,
bertambah terang cahayanya, sehingga Profesor bisa meneliti struktur bangunan itu. Saat kami mendekatinya, ia
menunjukkan sisa-sisa tiang yang melingkari bangunan
dan sisa-sisa tiang serambi di bawah atap kubah. Ia mengelilingi bangunan itu dengan hati-hati. Ia mengira-ngira
tinggi dan lebarnya, mencari petunjuk usia dan kegunaannya. Sesuai perintahnya, kami mengikutinya dalam
satu barisan, mengikuti jejaknya agar kami tidak secara
sengaja merusak artefak apa pun dalam kegelapan. Ia
senang ketika mengetahui bahwa ada empat pintu terbuka
yang menghadap ke empat arah kompas. Pintu ke arah
barat tepat menghadap pohon. Cahaya juga masuk dari
atas atap. Ini mungkin karena atap itu rusak sebagian
atau memang dirancang untuk menerima cahaya.
Tapi, ia tampak terkejut ketika tidak menemukan
tanda-tanda nyata dari eksteriornya, entah itu tulisan
atau prasasti dalam bahasa apa pun.
"Jarang sekali ada kuil atau makam dengan arsitektur
secanggih ini," katanya, sambil berjalan melintasi jalan
menuju pintu timur. Wajahnya tampak kecewa ketika cahaya senter Kap-
ten Simach hanya menemukan sebuah konstruksi bulat
dari batu-batu hitam. Konstruksi itu tingginya sekitar satu
meter dan mungkin berdiameter sekitar tiga meter. Ia
mengira itu semacam altar. Konstruksi itu berada tepat di
tengah bangunan, di bawah atap yang terbuka. Tidak ada
benda lain di dalamnya, hanya pasir yang menutupi lantai.
Tapi, ternyata ada sesuatu yang lain. Walaupun
mendapat cahaya yang cukup terang dari bintang,
ruangan dalamnya lebih gelap dan lebih misterius
daripada makam. Ada rasa takut merayap di hatiku. Udara
menjadi terasa berat dan lembap di paru-paruku. Seperti
ada sesuatu yang mengerikan sedang menanti selama
ribuan tahun. Aku mulai berzikir dalam hati, berjalan pelan dan
tenang. Ketakutanku bertambah setiap aku melangkah,
sampai kami berkumpul di sebuah benda melingkar dari
kayu di tengah-tengahnya, yang berada di atas tumpukan
batu-batu hitam yang membentuk lingkaran.
"Tidak ada altar," kata Profesor, "Mungkin ini dulunya
sumur." "Aku tidak akan mau minum air dari situ," kata Rami.
Profesor mengangguk. "Kukira tak ada air tersisa di
sana. Ini sepertinya kayu cedar. Kayu seperti ini tahan
lama" Ia berjongkok dan mulai memeriksa batu-batu di
sekitarnya dengan kaca pembesar. Ia meneliti setiap batu
dengan senternya, memeriksa satu per satu dari lapisan
atas hingga ke bawah. Pemeriksaan itu berlangsung agak lama. Dalam kesunyian yang panjang, Ali dan Rami mulai menggigil gelisah. Mata mereka menatap kabut gelap. Mereka juga merasakan kerinduan-gelap yang terkandung dalam ether di
sekitar kami. Mereka bergerak mendekati Kapten Simach
yang berdiri di sisi sumur aneh ini. Ia sedang membersihkan pasir dari kayu itu. Rebecca memperhatikan gerakan
kedua orang itu, lalu ia mendekati ayahnya. Ketakutan
kami makin mengental. Hanya Profesor yang sepertinya
tidak takut. "Batu-batu ini dipotong dari batu hitam," katanya,
sambil berdiri setelah melakukan pemeriksaan di bagian
bawah. "Batu ini menghitam karena api. Sungguh aneh."
Rebecca bertanya apakah sisa-sisa reruntuhan ini
perlu dijelajahi lagi. Tapi Kapten Simach tidak mau pergi
dari sisi sumur itu. "Inilah tempat yang telah menarik kita ke sini," katanya. "Tulang belulang Sang Raja mungkin tak pernah
ditemukan lagi, tapi ia telah menyampaikan pesannya.
Apa pun itu, kita harus mencarinya di sini."
"Apa pun yang ada di sini?" tanya Profesor. "Tidak ada
tanda-tanda atau simbol sesuatu, bahkan sebait puisi pun
tidak. Bangsa apa yang membangun tempat ini" Lokasi
tempat ini tidak pernah disebut-sebut dalam legenda atau
mitologi apa pun. Ini sepertinya belum pernah ditemukan
orang." Ia menghela napas lalu menggeleng. "Kalau saja
Syekh Haadi ada di sini.... Pengetahuannya tentang simbolisme religius purba jauh lebih banyak daripada aku."
"Tapi di sini tidak ada simbol apa pun," kata Rebecca.
"Memang tidak ada tanda-tanda simbol, tapi arsitektur bangunan itu sendiri merupakan simbol yang punya arti, dan struktur yang mengelilinginya jelas signifikan
maknanya. Aku tak pernah melihat yang seperti ini, tapi
jelas ini didesain untuk tujuan religius. Lingkaran kayu
yang terbuka ini tampaknya sama dengan lingkaran
sumur. Mungkin ini adalah..."
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi mulai berjalan mengelilingi struktur itu dan menatap ke langit-langit.
Dua kali ia berjalan berputar, berkali-kali menggarukgaruk kepalanya. Ia mulai mengukur diameter ruangan.
Dari perkiraannya, dari pusat sumur berjarak 99 langkah
dari timur ke barat, dan juga dari utara ke selatan.
Rebecca mengikutinya dari belakang. Aku duduk di pojok
untuk mencatat di bawah cahaya bintang.
Setelah beberapa menit, Kapten Simach memanggil
Profesor. Ia telah membersihkan pasir dari tutup kayu itu
dan kini menyorotkan senternya ke suatu titik di kayu itu.
"Ya Tuhan!" seru Profesor. Napasnya diembuskan
keras-keras. "Lihat ini!"
Mulutku mulai berzikir lagi. Dalam diriku muncul
rasa takut sekaligus rasa ingin tahu. Akhirnya, aku memutuskan untuk melihatnya bersama yang lain. Profesor
mengambil sapu tangan halus dari kantongnya, lalu menetesinya dengan semacam cairan pembersih. Kapten
Simach memegang senternya, sementara ia membersihkan
tempat itu dengan sapu tangan tersebut.
"Lihat ini!" katanya, setelah cairan pembersih itu
menghapus pasir yang tersisa. Ia meletakkan kaca
pembesarnya di atas tanda kecil yang ditemukan Kapten
Simach. Bintang heksagram berujung enam, yang berada
dalam dua lingkaran konsentris.
Segel Sulaiman! Aku mendengar Rebecca mendesah. Jantungku berdegup kencang. Tulisan di tengah-tengah bintang itu sudah tak bisa dibaca, seolah-olah tulisan itu bukan untuk
kami. "Ini sepertinya dicapkan ke kayu ini!" kata Profesor.
"Aku tak mengerti, tapi ini jelas segel. Pasti! Raja Sulaiman
pasti pernah ke sini!" Ia menatap Kapten Simach. "Tetapi
mengapa ia menggunakan segel cincinnya sebagai
penutup sumur" Apa artinya?"
Kapten tak menjawab. Ia menyerahkan senter kepadaku. Lalu ia mencoba membuka tutup sumur dari kayu
itu. Profesor dan Rebecca ikut membantunya.
"Apa yang kalian lakukan?" teriakku dengan rasa
ngeri. "Pemandu kita belum kembali, dan kalian tidak tahu
apa yang..." Terlambat! Tutup kayu itu tidak terlalu berat. Dengan
dorongan kuat, tutup itu pun bergeser. Ali dan Rami
bergegas membantu mengangkat dan meletakkannya di
lantai. Kami melongok ke dalam lubang sumur yang kini
sudah terbuka. Aku tidak ingin melihatnya, tapi rasa ingin
tahuku mendorongku melihatnya. Kusorotkan senter ke
dalam sumur. Tak ada air.
"Mengapa batu-batu di dalam juga menghitam," kata
Profesor sambil menatap Kapten Simach. Kapten hanya
mengangguk. Hanya ada warna hitam dalam sorotan cahaya senter.
"Struktur bangunan ini terbuka pada empat arah
angin dan juga ke arah yang kelima, yaitu ke langit," kata
Profesor. "Sedangkan sumur ini merupakan arah keenam,
ke bawah. Ini seperti representasi tiga dimensi dari sebuah
heksagram. Mungkinkah ini..."
Profesor Freeman bergegas menurunkan tasnya, lalu
membukanya, dan mengeluarkan korek api. Ia lalu mengambil ganduranya dan melilitkannya ke sebuah potongan
kayu bekas reruntuhan. Setelah itu ia menuangkan sedikit
cairan dari botolnya. Ia menatap kami, tapi tak ada yang menghentikannya.
Ia lalu menyalakan korek apinya dan lilitan di kayu itu
menyala menjadi obor. Dilemparkannya kayu yang
menyala itu ke dalam sumur.
Kami melongok ke dalam sumur, menatap api itu
melayang turun ke dasar sampai nyalanya tak tampak lagi
di mata kami. Kami masih menatap lubang gelap itu, berharap
cemas, menunggu, dengan rasa takut yang tidak
terjelaskan. Sebab kami menyadari sumur ini luar biasa
dalam. Tak mungkin ada manusia yang bisa menggali
sumur sedalam ini. "Ini mustahil!" teriak Profesor. Gema suaranya bergaung di dalam sumur sampai tak terdengar lagi.
Hampir seketika setelah suaranya hilang, muncul ca-
haya api merayap dari bawah sumur. Nyala api tampak di
kedalaman sumur. Sepertinya obor tadi telah membakar
sesuatu. Dan nyalanya terus menaik.
Bagian dalam sumur itu kini penuh api, yang melesat
ke atas dengan cepat. "Aayyiii!" Ali berteriak dan dengan jantung berdegup


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kencang kami melompat mundur ke belakang. Dari dalam
sumur menyembur api besar sampai ke atap langit-langit
bangunan. Aku bergetar dan terduduk, penuh rasa ngeri. Kulihat
tiang cahaya besar terus menaik hingga ke langit. Dengan
mata kepalaku sendiri, aku bersumpah, kulihat api itu naik menembus lubang dari bangunan ini, melesat hingga ke
angkasa, sebelum akhirnya turun kembali. Api itu melebar
hingga ke cakrawala, membentuk seperti sayap, sembari
terus turun. Lalu api itu turun kembali ke tempat kami
berada. Dari dalam lingkaran api itu muncul jeritan mengerikan. Lalu meledaklah gumpalan-gumpalan api. Suara
ledakannya mengguncang atap dan bangunan di sekitar
kami. Aku menatap dengan rasa takut hingga ke tulang
sumsum. Kini api tanpa asap itu berkobar di atas kepala
kami, lalu mengeluarkan suara mengerikan saat bergulung-gulung dan membentuk sebuah sosok yang amat
menyeramkan. Kapten Simach adalah orang pertama yang berdiri.
Tubuh dan wajahnya diselimuti debu putih. Tapi, dengan
berani ia menatap muka sosok seram itu.
"Baalzeboul," katanya pelan.
Iblis itu menggeram mendengar namanya disebut.
Geramannya membikin batu-batu bergetar. Hatiku hampir
berhenti saat iblis itu menatap manusia di depannya.
Baalzeboul! Lindungi kami, ya Allah! Kami telah
memanggil Penghulu Para Jin!
Tapi, mata iblis yang menyala itu tidak melihat kami.
Mata itu hanya menatap Kapten Simach.
"Terlambat! Terlambat!" teriak jin itu, dan jantungku
seperti berhenti berdetak saat tangannya yang besar dan
menyala menjulur untuk mencengkeram Kapten.
Ali dan Rami segera meloncat menarik tubuh Kapten
ke belakang. Kukira keduanya akan melindunginya. Tapi
ternyata, mereka malah maju mendekati iblis itu.
"Berhenti!" teriakku, tapi tak ada gunanya.
Bahkan setan itu juga tampak terkejut melihat kedua
orang itu maju. Aku tak percaya. Makhluk menyeramkan
itu mundur dan mulai turun ke dalam sumur.
Setelah makhluk itu lenyap dari pandangan, Ali dan
Rami melompat ke bibir sumur. Sementara itu, api masih
berkobar di dalam sumur. Dan aku tak akan pernah
melupakan pemandangan mengerikan ini: dua bersaudara
itu saling menatap, lalu bergandengan tangan, berteriak
Allahu akbar, dan melompat masuk ke dalam sumur yang
masih menyala. Aku kaget dan gemetar. Aku tak bisa berdiri. Hidung
Rebecca berdarah. Tangannya pun berlumuran darah. Ia
mencoba membangunkan ayahnya. Darah mengalir dari
dahi ayahnya. Kapten Simach juga pelan-pelan bangun. Ia
memegangi kepalanya. Dan sumur itu masih membara dengan api, seolaholah juga menunggu kami untuk masuk. Aku merasa lemah tak berdaya. Air mata mengalir di pipiku saat aku
berdoa memohon pertolongan Allah. Aku begitu takut sehingga tak menyadari ada seseorang lari ke arahku.
Si faqir akhirnya kembali.
"Bodoh! Apa yang kalian lakukan?" teriaknya. Matanya menatap nyalang. Ia menatap sumur yang terbuka
dan tutup kayu di lantai, lalu memeriksa kami.
"Bodoh! Amat bodoh!" katanya, sambil bergegas
mendekati sumur. "Tutup kembali sumurnya!"
"Tunggu. Tapi..."
"Diam..." tukasnya sambil memandangku. Suaranya
mengalahkan suaraku, dan matanya yang membara
membekukan lidahku. "Lari! Lari kembali kepada Syekh.
Ceritakan kisah ini! Kini hanya dia yang bisa membantu!"
Dan ia berbalik, lalu ikut melompat ke dalam sumur
yang menyala. Seketika itu juga, api kembali berkobar dahsyat dan
menyembur sampai ke langit-langit bangunan. Tapi si
faqir tidak jatuh. Ia melayang di atas api, tanpa terluka,
seperti Ibrahim yang dibakar Namrud. Mata si faqir
tampak menyala. Aku melihat keajaiban. Tapi akhirnya
rambut dan jenggotnya menyala terbakar api, sementara
kulit dan dagingnya pelan-pelan tercabik-cabik lalu
hilang. Dan si faqir kini berubah wujud sepenuhnya.
Ia berdiri garang di depan kami, wajahnya sangat
mengerikan, di mulutnya muncul dua taring besar.
"Ornias!" aku mendesiskan kata terakhir yang mampu
kuucapkan, "Itu nama pertamaku!" teriak jin itu, sesaat sebelum ia
tenggelam dalam kobaran api sumur. "Bukankah kau
sudah kuberi tahu, aku ini pencuri?" Lalu ia menghilang,
dan api pun lenyap. Ornias! Ornias! Kuulangi nama itu dalam hati. Perintah si faqir, yang ternyata adalah Ornias, telah
membuatku tak bisa berkata apa-apa. Walaupun aku
sedih dan takut, aku tak bisa berpikir apa-apa kecuali
mencari Syekh. Aku tak punya kekuatan lagi untuk
membangunkan orang lain. Aku hanya bisa memberi
isyarat kepada mereka untuk mengikutiku meninggalkan
tempat terkutuk ini. Kapten Simach menatap ke dalam
sumur yang gelap sambil menyorotkan senternya. Rebecca
tak mau meninggalkan ayahnya.
Karena itulah aku segera berlari di gelap malam. Aku
seperti dipaksa oleh perintah si faqir yang telah lenyap di-
telan api. Aku berlari keluar dari reruntuhan, hingga sampai ke
puncak bukit pasir. Aku terjatuh berguling-guling di atas
pasir gurun. Lalu aku terus berlari sampai tak bisa berlari
lagi. Akhirnya aku jatuh, haus dan letih. Sendirian di
bawah bintang-bintang yang tak bergerak.
O, pembimbing hati yang tersesat! Bantulah aku
dengan nama Allah Bila orang asing tersesat, Hanya
bimbinganlah yang kuasa memandunya
Hafiz Sinar matahari membangunkanku. Panasnya seperti
membakar alis mataku dan mengejutkan batinku yang
letih. Aku baru saja gemetar kedinginan di gurun dan
dibutuhkan beberapa menit sebelum aku sadar betul.
Matahari yang cerah akhirnya keluar. Kuangkat kepalaku
untuk menyambutnya. Jiwaku menyapanya setelah
melalui ma-lam yang panjang. Setelah badanku hangat,
baru aku sadar bahwa aku berlari tanpa membawa air dan
makanan. Aku berlari dengan kekuatan yang tak
membutuhkan air dan makanan. Hampir saja aku
tertawa. Aku telah berhasil bertahan dari angin badai dan iblis
yang paling perkasa. Dan dengan pertolongan Allah aku
akan memenuhi tugas yang membakar hatiku. Matahari
muncul dari arahku berlari. Sambil melupakan kesedihan,
aku berjalan ke barat, lalu ke utara melintasi erg.
Selama tiga hari tiga malam aku berjalan sebelum
akhirnya diingatkan akan shalat oleh serangga-serangga
gurun. Lalu orang-orang Tuareg menemukanku dan aku
dibawa ke Agadez. Di sini aku dirawat dengan baik, terombang-ambing antara sadar dan tidak. Aku menantinantikan kedatangan Syekh.
Seminggu, atau dua minggu, atau sebulan, aku tak
tahu, telah berlalu. Dua perempuan yang merawatku tak
mau memberi tahu. Tidak ada orang lain yang
menjengukku. Mereka masih saja berbisik-bisik di luar
pintu, tapi aku tak lagi mendengarkan. Penaku telah
menulisi kertaskertas ini. Semua sudah ditulisi,
berdasarkan ingatan yang menyedihkan. Aku telah
berhenti menangis dan tinta telah kering. Cerita telah
dikisahkan dan tugasku hampir selesai.
Selama berhari-hari aku tidur. Aku merasakan ketidakpastian. Aku selalu bermimpi bertemu Syekh, sampai
pada suatu pagi kulihat ia duduk di sisiku.
Bibirku menyebut namanya pelan-pelan, sebab aku
masih belum yakin apakah aku bermimpi atau tidak.
Akhirnya aku mencium tangannya dan menangis. Ia
menyambutku dengan ucapan yang lembut, sambil memegang kedua tanganku. Kehadiran Syekh memulihkan
semangatku. Sentuhannya meringankan hatiku, seakanakan ia menyedot semua hariku yang muram. Aku merasa
yakin bahwa ia sudah tahu semua yang terjadi. Aku berusaha mengatakan sesuatu, tapi ia cuma menggeleng.
"Jangan bicara," katanya.
Suaranya sangat tenang. Ia membuatku tegar saat
menyentuh dahiku dengan telapak tangannya dan memegang pergelangan tanganku dengan tangannya yang satunya lagi. Kucoba untuk bangun, tapi ia menggeleng lagi.
Aku pun merebahkan badan kembali.
Ia menutup matanya, aku pun mengikutinya. Tangannya yang menekan lembut pada dahiku membuat
memoriku seperti melimpahi kesadaranku. Kenangan
ten-tang perjalanan merasuk ke dalam kesadaranku, dan
aku gemetar. Rasa takut, ragu, takjub, putus asa, dan
harapan silih berganti memasuki hatiku, membasuh
luka-lukaku. Syekh seperti telah memutuskan belenggu
kesedihan yang mengikat hatiku.
"Nah, kau boleh bicara sekarang," katanya.
"Syekh..." bisikku. Tenggorokanku terasa sakit.
Ia memberiku segelas air. Lalu aku duduk. Dengan
suara yang agak serak, kuceritakan padanya tentang
badai, kota yang hilang, dan iblis dari sumur. Ia
mengangguk sembari menunjukkan catatanku di meja.
"Aku sudah membaca penjelasannya."
"Syekh... Si faqir, atau Jasus... Ia punya banyak
nama, tapi ia terbakar dalam api. Ternyata dia Ornias, jin
dalam kisah Sulaiman itu. Aku tidak..."
"Dia tidak bisa bersembunyi dariku," kata Syekh
dengan lembut. "Dia adalah pembimbing yang baik dan
berhasil membimbing kalian dengan baik, seperti yang
telah kau catat." "Tapi dia jin! Satu bangsa dengan Jin Baalzeboul!"
"Ya, sama-sama jin, tapi beda. Engkau tak tahu kisah
lengkapnya, atau kebenaran dari nama-nama yang
disandangnya. Baalzeboul sudah merasakannya dari jauh
dan ia bersembunyi, bahkan sejak Ornias menjumpai jiwa
Raja Sulaiman dalam diri Kapten Aaron. Andai kalian
bersabar menunggu kedatangan si faqir untuk membuka
penutup itu, maka bahkan Penghulu Para Jin sekalipun
tidak akan berdaya di hadapannya. Dan dia akan memberi
kabar baik, karena dia juga seorang utusan."
Utusan" Kabar baik" Aku tahu aku tak boleh bertanya
lagi, meskipun aku tak tahu apa lagi yang harus kukatakan. Aku sangat heran ketika mengetahui bahwa Syekh
sudah mengetahui identitas asli dari si faqir.
Syekh tersenyum. "Engkau telah belajar bahwa
beta-pa banyak hal yang tak engkau ketahui, anak muda.
Setidaknya perjalanan ini menyadarkanmu akan hal itu."
Di lain waktu, mungkin pengetahuan kecil ini akan
membuatku gembira. Tapi kali ini, aku hanya bisa merasakan beban pertanyaan yang tak terjawab bercampur rasa
sedih dan kehilangan. "Syekh, Ali dan Rami, mereka..."
"Mereka tidak gagal dalam tugasnya. Mereka menutup
gerbang dengan tubuh-manusia mereka, agar tidak ada jin
lain yang berani maju. Mereka ditangkap karena alasan
ini, dan kita harus mencari mereka sekarang. Ayo, kamu
sudah cukup sehat. Tugas sebagai juru tulis belumlah
tuntas." Ali dan Rami ditangkap" Denyut jantungku berdetak
lebih cepat. Dunia Jin! Semoga Allah melindungi mereka
berdua! Aku tak ragu bahwa Syekh telah mengetahuinya.
Seorang Qutb adalah kutub atau poros dua dunia: dunia
manusia dan jin. Tapi dulu, aku selalu menganggap dunia
jin adalah kiasan. Tapi kini aku yakin seyakin-yakinnya
bahwa dunia itu ada. Aku sedikit gembira karena mengetahui kedua sahabatku masih hidup, meskipun aku malu
ketika ingat diriku meninggalkan begitu saja Kapten, Profesor, dan putrinya.
Aku memohon untuk mencari mereka, namun Syekh
menggeleng saja. "Malam panjang mereka belum usai. Hanya engkau
yang diberi jalan aman sampai subuh! Tapi jangan takut,
sebentar lagi engkau akan bertemu mereka lagi."
Jalan aman" "Syekh, bisakah Ornias semestinya menyelamatkan kami dengan memperingatkan kami agar tidak membuka pintu" Ia bisa meramal masa depan, kan?"
"Ketika Gerbang Surga terbuka, tidak ada masa lalu
atau masa depan, anakku."
Pantas! "Lalu bagaimana..."
"Cukup! Kata-kata tidak akan memuaskan rasa ingin
tahu hatimu. Besok gurun pasir akan mengungkapkan kebenaran kisah ini."
Gurun pasir lagi! Aku mendesah, walau aku tidak
begitu takut lagi dengan kemungkinan yang akan terjadi.
Syekh ada di sini, pemandu yang sempurna, dan ia
memancarkan energi baru yang menyembuhkan tubuhku.
Keraguan kini telah punah, karena cinta telah
mengalahkan keangkuhan akal. Dan kini hatiku hanya
bisa berkata taslim, "Aku menerima dengan senang hati."
Aku cepat-cepat ganti baju dan berjalan mengikutinya. Aku amat gembira karena kini bisa mengikuti lagi
langkahnya. Ia mengajakku ke tempat Amenukal, yang
sedang duduk-duduk bersama putranya, Afarnou,
sembari minum teh. Mereka berdiri saat kami masuk.
"Selamat datang lagi," kata Amenukal sembari tersenyum. "Senang melihat Anda sudah sembuh."
Aku menundukkan kepala kepadanya dan putranya,
dan mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan mereka yang telah menyelamatkanku. Tapi aku kemudian
meneteskan air mata ketika mengingat teman-temanku
yang kutinggalkan di gurun. Kekerasan sering kalah oleh
cinta, juga kesedihan. Amenukal tidak berkata apa-apa, tapi Afarnou menatapku dengan muka masam. Sepertinya ia tak senang
karena kami membebaninya. Ayahnya menyuruhnya
mengambil teh dan makanan ringan untuk tamunya. Ia
menatap kami sebelum pergi menjalankan perintah
ayahnya. "Maafkan putraku," kata orang tua itu. "Ia tak tahu
soal perjalanan Anda, dan tidak memahami air mata
Anda." Syekh mengangguk, "Sejatinya, air mata adalah darah
hati. Kesedihan mengubahnya menjadi air."
"Oh!" jawab Amenukal. "Aku takut putraku mempelajarinya sebentar lagi."
Aku menatap terbengong-bengong, tak paham apa
yang mereka bicarakan. Yang kutahu adalah, Amenukal
tampaknya tahu sesuatu tentang tujuan kami. Ia lebih tua
ketimbang Syekh. Ia sangat berpengaruh dan berkuasa,
meski tampak rendah hati dan berwibawa. Walau demikian, ia sangat hormat pada Syekh. Aku merasa Amenukal
ini juga punya bagian dalam perjalanan kami.
Seusai makan malam, kami kembali duduk-duduk di
depan tenda besarnya. Amenukal menyalakan api unggun.
Afarnou kembali menghidangkan teh, dan aku dapat
mendengar ada suara perempuan berbicara di dapur. Aku
suka dengan mereka dan suka pada bisik-bisikan mereka
yang kudengar selama berminggu-minggu selama aku
menjalani masa pemulihan. Dan mereka tampaknya
senang dengan kehadiran Syekh. Tapi, tingkah Afarnou


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetap menunjukkan kegeraman.
"Apa kau percaya para pencari tulang itu masih hidup?" tanya Afarnou sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Pertanyaan itu ditujukan kepada ayahnya, tetapi
Syekh yang menjawab, "Jika Allah menghendaki, tentu
mereka masih hidup," katanya. "Aku dan Ishaq akan berangkat besok untuk mencari tahu kebenaran soal ini."
"Makanan dan minuman mereka pasti sudah lama
hilang. Aku sudah memperingatkan orang-orang bodoh itu
untuk mencari tulang di tempat lain."
"Kau memang sudah memperingatkannya, dan atas
kebaikan itu semoga Allah menghapus amal burukmu.
Tetapi keserakahan adalah naga. Ia tak bisa
disembunyikan. Kau pikir naga keserakahan itu barang
sepele dan tidak membahayakan hati. Semakin lama,
kepala dan anggota badan naga akan membesar."
Afarnou tampak gelisah mendengar jawaban itu.
"Hanya orang bodoh yang pergi ke tengah gurun mencari
tulang tua. Itu pekerjaan sia-sia."
"Bahkan emas juga tak bermanfaat bagi tulang belulang, anakku," kata Amenukal. "Dan kita semua pada
akhirnya akan menjadi tulang."
"Benar," kata Syekh. "Lebih baik mencari Tukang
Emas terbaik, yang mengolah barang mulia yang sejati dan
abadi." Afarnou tak suka dengan kata-kata itu. Sambil
menahan marah ia berdiri dan mohon pamit, lalu dengan
cepat masuk ke dalam. Reaksinya membuatku sedih. Kebijakan ayahnya dan
perhatian Syekh tetap tak bisa menembus hatinya.
"Perjalanan putramu berikutnya akan menjadi perjalanannya terakhir," kata Syekh.
Amenukal mendesah. "Demikian pula perjalananku,"
katanya, lalu berdiri dan menyusul putranya.
Kata-kata itu membuatku ngeri pada nasib Afarnou,
walau aku tak tahu kenapa. Syekh memegang bahuku.
"Jangan bersedih melihat perilakunya," katanya.
"Allah melihat semua perbuatan. Kemurahan dan kesabaran-Nyalah yang mencegah perilaku jahatnya muncul
ke permukaan. Nasib setiap manusia pada akhirnya sama:
mati. Keangkuhan dan ketakpedulian Afarnou akan menentukan nasibnya sendiri. Kasihan, untanya sudah
kelebihan beban." Setelah beberapa saat, Syekh juga masuk ke dalam.
Aku mematikan api unggun. Aku tak perlu bertanya apa
maksud ungkapan untanya sudah kelebihan beban. Itu
istilah umum untuk menyebut para penyelundup. Syekh
dan Amenukal berusaha memperingatkan Afarnou bahwa
ia dalam bahaya, tapi ia telah kembali ke jalan Tuareg
lama. Keangkuhan dan ketamakan telah mengeraskan
hatinya. Kulemparkan segenggam pasir ke api unggun.
Saat apinya padam, aku yakin bahwa aku tak akan pernah
bertemu Afarnou lagi. Pada pagi hari Afarnou sudah pergi. Tanpa pamit, ia
pergi dengan kafilah terakhirnya, mengikuti dorongan
naga keserakahan dalam dirinya. Syekh dan Amenukal
tidak membicarakannya. Mereka sudah melihat takdir
yang tertulis di wajahnya, dan tak ada lagi cara untuk
mengubahnya. Tapi hari telah berganti, dan saat kami berkumpul
untuk sarapan, pikiranku beralih dari apa saja yang tidak
bisa dilakukan kepada apa saja yang harus dilakukan.
Saudara-saudaraku seperjalanan barangkali kini sudah
putus asa, dan aku takut jika mereka terancam kelaparan
dan kehausan. Tapi aku tidak mengatakan pikiranku. Kami makan
dalam diam. Tak seorang pun bicara. Syekh dan Amenukal
duduk berhadapan di depan sufreh. Sering kali keduanya
bertatap muka, lalu mengangguk atau mendesah, seolaholah bertukar pikiran tanpa kata-kata.
Seusai sarapan, dan setelah Amenukal membersihkan sufreh dan membawanya ke dalam, Syekh
berpaling kepadaku dan berkata, "Apa yang kau ketahui,
simpanlah. Dan maafkan kami yang kurang sopan. Ada
banyak hal yang harus dipertimbangkan, dan tidak
banyak waktu untuk itu. Kita harus bergerak cepat agar
bisa masuk ke lingkaran sebelum apinya padam sama
sekali." Apinya padam! Itu kata-kata Raja Sulaiman yang
keluar melalui mulut Kapten Simach. Tapi api apa yang
akan padam" Ia berdiri dan aku mengikutinya berjalan melalui halaman menuju jalan. Di sana sudah menunggu Amenukal.
Ia berdiri di sebelah Land Rover yang telah membawa kami
ke gurun. Aku hampir tak percaya. Mobil itu sudah dicuci
dan diisi dengan perbekalan.
"Tuan rumah kita membawanya ke sini dari wadi,"
kata Syekh. "Ini kendaraan yang amat bagus, sebagus kereta kencana yang dipakai seorang raja."
Aku senang sekali ketika Syekh duduk di kursi sopir
dan Amenukal di sebelahnya. Mesin langsung dihidupkan
setelah aku duduk di belakang. Kami berkendara melewati
jalan sempit dengan kecepatan tinggi. Bahkan di gurun
pasir kecepatan tidak melambat. Mobil seperti berjalan
mengikuti kemauan Syekh. Kami menyusuri tepian
sebuah batu besar lalu tiba-tiba berbelok tajam untuk
menghindari sesuatu yang tak bisa kulihat.
Seharian kami berkendara, hanya sedikit makan,
berhenti hanya untuk mengisi bensin dan shalat. Kami
terus berjalan, dari erg ke erg pada tengah hari, dari
lembah bukit pasir sampai ke puncak bukit pasir setinggi
seratus kaki. Dan Syekh masih terus menyetir tanpa kenal
lelah, mencari lembah di antara bukit pasir besar dan
membawa kami mendekati teman-temanku yang hilang.
Menjelang malam kami dihadapkan pada rintangan
yang tak bisa dilewati dengan mobil. Sebuah bukit pasir
amat tinggi dan besar yang panjangnya bermil-mil menghadang jalan kami. Mobil lalu melambat dan berhenti.
Syekh tak pernah sekalipun bertanya arah jalan, dan aku
heran karena tanpa petunjuk dariku ia bisa sampai ke
daerah pinggiran kota yang hilang. Bukit pasir besar ini
terbentuk oleh badai hebat kemarin. Di balik lingkaran
bukit raksasa inilah terletak kota tanpa nama yang pernah
terbenam di dalam gundukan besar pasir.
Cahaya sudah hampir hilang dan kami harus secepatnya sampai ke puncak bukit ini. Land Rover ditinggal.
Syekh memimpin kami di depan, Amenukal di belakangnya. Walau sudah tua, ia tak kelelahan saat menaiki bukit
pasir di depan kami. Yang menakjubkan, pasir itu terasa
padat di kaki kami, sehingga memudahkan kami menjejakkan kaki. Seolah pasir itu membentuk sebuah jalan
yang disediakan bagi Syekh.
Bintang-gemintang mulai terlihat saat kami melewati
puncak dan menuju kota yang hilang itu. Pada beberapa
titik kami melihat lagi Gerbang Surga, walaupun kami tidak bisa mengatakan di mana dan kapan, sebab bintang
itu tak bergerak di atas reruntuhan. Di bawah temaram
cahaya bintang bisa kulihat reruntuhan bangunan
berwarna putih yang seperti berdiri menunggu kami.
Kami masuk dari arah aku melarikan diri, dan kami
mendekati arah barat tempat pohon melindungi kami
se-lama terjadinya badai.
Ada api menyala. Kututup mulutku saat aku melihat
tiga sosok tubuh terbaring di bawah pohon.
"Syekh!" kataku. "Kita terlambat!"
"Api tidak menyala dengan sendirinya," kata Syekh
tenang. "Dan orang mati tidak butuh api. Cepat bangunkan mereka."
Aku bergegas lari ke arah mereka dan berteriak saat
sudah dekat, "Bangun! Bangun!"
Ketiga kawanku itu bangun saat aku sudah
mendekati mereka dan memeluknya. Mereka sangat lega
melihatku lagi. "Apa yang terjadi padamu?" tanya Rebecca. "Ke mana
kau pergi?" "Aku tak tahan lagi!" Aku tiba-tiba malu, dan dengan
menahan malu, aku bercerita pada mereka dengan
tergagap-gagap tentang perintah terakhir si faqir, dan bagaimana aku tersesat lalu diselamatkan.
Mereka saling pandang seolah-olah mereka sudah
gila. "Tapi kau hilang baru beberapa jam," kata Profesor.
"Apa kau tidak mendengar kami" Kami mencarimu. Kami
panggil-panggil namamu."
Aku menggeleng dengan takjub. Kulihat perban di
kepala Profesor dan tangan Kapten Simach sudah dibebat
dengan kain. "Aku sudah pergi hampir sebulan," kataku. "Dan
Syekh datang bersamaku."
Pada saat itulah Syekh dan Amenukal muncul, mengejutkan mereka.
"Ya Tuhan!" kata Profesor. "Ya Tuhan!"
"Benar!" kata Syekh sembari tersenyum. "Berkat
ke-hendak-Nyalah kalian bisa sampai sejauh ini, bahkan
ke batas terujung dunia ini."
Rebecca dan Kapten Simach menatapnya dengan
heran, menggelengkan kepala seolah-olah mereka baru
saja bangun dari mimpi. "Syekh..." mereka berbisik lalu bangkit mencium
tangannya. Syekh lalu memeluk mereka.
"Mari," katanya. "Aku membawa kawan lama yang
tahu pengobatan. Mari beristirahat dan biarkan dia memeriksa luka kalian."
Syekh kemudian memperkenalkan Amenukal, yang
tersenyum dan menyambut mereka dengan ucapan sopan,
walau hanya singkat. Suku Tuareg juga terkenal sebagai
kaum pendiam. Kami duduk di sekeliling api. Profesor
duduk di sebelahku, matanya tak pernah lepas dari Syekh.
Bahunya turun, seperti menahan beban di pundaknya. Ia
masih tidak percaya dengan semua kejadian ini.
Dengan pelan Amenukal membuka perban Profesor
dan memeriksa lukanya. "Luka kecil," katanya. "Ini telah dibersihkan dan akan
segera sembuh." Rebecca mengangguk dan berterima kasih padanya,
tapi Amenukal tidak berkata apa-apa. Luka Kapten Simach juga tak parah. Lengannya hanya sedikit keseleo,
katanya, dan ia dibalut karena Rebecca memaksanya. Ia
lalu membukanya, dan menggerak-gerakkan pergelangan
tangannya untuk memeriksa kelenturannya.
"Cukup," kata Syekh. "Tidak banyak waktu untuk
istirahat kalau kita ingin Ali dan Rami kembali selamat."
Kata-kata itu lebih mengejutkan mereka. Kapten dan
Rebecca amat lega ketika mengetahui sahabat mereka
masih hidup. Mereka tidak meragukan kata-kata Syekh.
Akan tetapi, Profesor Freeman masih syok. Ia belum bisa
percaya kalau aku sudah pergi selama sebulan.
"Tapi aku melihat mereka melompat ke dalam api
mengikuti... setan itu," kata Profesor. "Bagaimana
mung-kin mereka bisa bertahan hidup?"
Syekh mengangguk. "Mereka melaksanakan kewa-
jibannya dan tulus dalam cintanya. Karena itu api itu tak
akan membakar mereka. Penghulu Para Jin tidak akan
mencelakai mereka. Bukan mereka yang diharapkan. Aku
kini memikirkan Ornias, dan ia bersama mereka."
Profesor Freeman menatap Syekh selama beberapa
saat, dan apa yang dilihatnya tak bisa disangkalnya. Ada
air mata di pipinya. "Betapa bodoh aku selama ini," katanya. "Visi ibuku
memperingatkanku agar mencari perlindungan, dan aku
tak paham. Anda-lah pelindungku, Syekh. Aku tak meragukannya lagi. Maukah Anda menerima orang bodoh dan
keras kepala ini menjadi murid Anda, sebagai darwis?"
"Hanya Allah tempat berlindung kita, kawan," kata
Syekh. "Angin-Nya dan rahmat-Nya telah menyelamatkanmu. Dengan rahmat Allah, aku menerimamu."
Rebecca langsung menangis dan memeluk ayahnya.
Dari matanya aku melihat ia benar-benar mencintai
ayahnya, yang baru disadarinya sekarang ini. Hatiku pun
tersentuh oleh kebahagiaan mereka. Bahkan beban di
hatiku terasa lebih ringan.
"Tapi baiatmu mesti ditunda dulu," kata Syekh. "Alam
semesta ada batasnya, tapi ilmu hati tidak ada batasnya.
Hukum fisika tidak bisa memahami ribuan eksistensi dan
kehidupan di luar semesta ini. Dalam sekejap Allah bisa
mengubah bentuk-bentuk eksistensi itu, dan hanya cinta
dan rahmat-Nyalah yang membuat planet ini terhubung
dengan langit, tetap kukuh atau berputar di orbitnya
seperti sekarang ini."
Butuh beberapa saat untuk memahami kata-katanya.
Kami langsung menatap hamparan langit. Benar! Bintang
sudah berubah. Sirius dan Capella sudah muncul. Antares
dan Vega berada pada posisi lebih tinggi. Syekh telah
datang, dan beberapa rintangan yang tak kelihatan telah
dilalui. Bintang-bintang yang tak bisa bergerak di
tempatnya kini sudah mulai kembali ke orbit semula.
Gerbang Surga telah tertutup.
"Ya," kata Syekh. "Subuh hampir tiba. Subuh datang
amat lambat di ujung dunia ini."
"Memang," kata Amenukal, "pedoman kaumku sudah
muncul." "Maksudmu bintang Hugu dalam konstelasi Ophiuchus?" tanya Profesor sambil menunjuk ke langit. "Aku
tahu itu. Kafilahmu menggunakannya sebagai petunjuk."
"Kami menyebutnya Hajuj," kata lelaki tua itu, sembari menatap api. Aku merasa bahwa ia tak hanya sedang
bicara tentang bintang. Selain kami bertiga, tidak ada yang
tahu tentang kabar Afarnou.
"Bintang tak perlu lagi kita perhatikan," kata Syekh.
"Meskipun kalian sudah melihat Baalzeboul, kalian belum
mengenalnya. Hati jin adalah api, dan api adalah darahnya, api yang tak berasap dan abadi, dan ia tak suka
pada manusia." "Ya, begitulah," kata Amenukal. "Bangsa jin lebih tua
ketimbang bintang-bintang, kekuatannya sangat besar.
Mereka tak bisa dikalahkan dengan cara-cara manusia
biasa yang fana." "Tapi Ornias memilih menyelubungi dirinya dengan
daging," kata Kapten Simach.
"Ya, mengapa?" kata Profesor yang kebingungan.
"Itu bisa kau tanyakan langsung kepadanya," kata
Syekh, "saat engkau bertemu dia lagi."
Mata Profesor terbelalak mendengar ucapan Syekh.
Tapi aku lebih memperhatikan keselamatan kami.
"Apakah sentuhan si faqir akan membakar kita?" tanyaku, mengingat ia begitu berhati-hati agar tidak dekatdekat dengan kami.
Syekh menggeleng. "Indra sentuhan tidak dikenal oleh
bangsa jin, kecuali engkau juga berkomunikasi dengan
mereka pada level yang lain. Karena mengambil wujud
manusia, ia juga dibatasi oleh kemanusiaannya, tetapi
sifat dasarnya tidak berubah. Bahkan di antara bangsanya
ia memiliki kedudukan amat tinggi, sebab hanya yang


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkedudukan tinggilah yang diberi anugerah kemampuan
mengambil wujud manusia. Tapi ini soal lain."
"Apa dia bisa dipercaya?" tanya Profesor.
"Aku percaya padanya."
Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Profesor mengangguk.
"Namun, saat kita melintasi batas alam jin, kalianlah
yang harus menjaga jarak," kata Syekh. "Di alam mereka,
kekuatan mereka bisa menghancurkan kalian jika mereka
mau. Waspadalah terhadap Baalzeboul."
Ya, waspada! Aku ingat betul, ketika masih kanakkanak ibuku pernah memperingatkan tentang Raja Jin
yang mengerikan yang menghukum anak-anak nakal.
Mukaku menjadi muram dan Syekh tertawa melihatku.
"Kau tak perlu takut, Ishaq," katanya sambil tertawa.
"Tidak ada setan yang bisa tahan dengan ucapan intelektual." Aku dan yang lainnya tertawa mendengar lelucon
ini, kalau ini memang lelucon. Orang tak pernah merasa
pasti dengan apa yang sebenarnya dikatakan Syekh.
"Nah, untuk semuanya, tegarkan hati kalian," katanya. "Ketahuilah, Allah tidak menciptakan di muka bumi
dan langit ini makhluk yang lebih tinggi ketimbang ruh
manusia." Kami bersemangat mendengar kata-katanya, dan aku
tak ragu bahwa ia adalah Qutb dari semua makhluk yang
ada di kolong langit, baik manusia maupun jin. Namun,
perhatianku beralih ke cahaya pertama yang muncul di
atas bukit di sekeliling kami. Satu jam sebelumnya, aku
belum melihat matahari. Tapi kini fajar sudah
menyingsing. "Ayo cepat," kata Syekh. "Selama tiga ribu tahun,
cahaya tak menyentuh daerah ini, dan itu tak akan lama."
Tanpa berucap lagi ia bangkit dan berjalan ke arah ba-
ngunan yang menaungi sumur. Kami cepat-cepat mengikutinya.
Tak lama kemudian, kami sampai di sumur itu.
Matahari sudah kelihatan, dan sekarang waktu dhuha,
seolaholah matahari buru-buru ingin mencapai posisi
puncaknya, untuk segera kembali tenggelam. Syekh
tampaknya tidak memedulikan hal itu, dan langkahnya
begitu tegap. Ia memasuki bangunan dari arah timur dan
tanpa melihatlihat bangunan ia langsung menuju sumur
dan tutup dari kayu itu. "Hati-hati!" kata Profesor Freeman cemas. "Sumur ini
dalam sekali, seperti pintu gerbang ke neraka Jahanam.
Sumur ini bisa menyala secepat kilat."
"Benar, ini pintu gerbang," kata Syekh. "Engkau mengingat pelajaran kemarin dengan baik, murid lamaku.
Tapi itu hanyalah salah satu bentuk dari kata itu." Ia lalu
berdiri di atas sumur yang bertutup kayu itu. Ia berkontemplasi.
Tiada yang berani bicara. Jahanam bagi umat Islam
adalah nama neraka. Dan bagi kaum muslim, tak ada yang
lebih buruk ketimbang neraka Jahanam. Syekh pasti telah
melihat sesuatu yang lain, sebab ia kemudian menyentuhkan dua jari tangan kanannya ke bibirnya, lalu
menempelkan jarinya itu ke segel yang ada di tengah tutup
sumur. Sikapnya itu mengejutkanku. Dan entah bagaimana,
tindakannya itu mengubah ether di sekitar kami. Kesiagaan semakin besar, tapi tak lagi ada perasaan terancam,
seolah-olah setiap gerakan dan niat kami terjaga. Syekh
tak ragu-ragu lagi. "Buka tutupnya!" perintahnya. Kami berempat segera
mengangkat tutup kayu itu dan meletakkannya dengan
pelan di lantai. Amenukal adalah orang pertama yang melongok ke
dalam sumur dan terlihat bayangan air di wajah dan
matanya. Sumur yang gelap dan dalam itu kini, entah
bagaimana, penuh dengan air yang amat bening, seperti
cermin, bersinar memantulkan cahaya. Aku tak percaya.
Aku bergegas mendekati sumur yang berair bening itu.
"Jangan sentuh airnya!" kata Syekh saat melihat kepalaku hendak bergerak.
"Air apa ini?" bisik Profesor. "Dari mana asalnya?"
"Semua siksaan berakhir di Samudra, sumber dari
segala kelimpahan mengalir," kata Syekh. "Bahkan, semua
berkah di dunia ini adalah pantulan dari Yang Maha
Segalanya. Seandainya kalian waktu itu mau menunggu si
faqir untuk membuka tutup sumur ini, maka kalian akan
melihat air ini. Api Baalzeboul akan tetap tersimpan dan si
faqir tak perlu membakar tubuh manusianya. Lihatlah!
Inilah perbatasan di mana jin tidak akan berani
melintasinya. Ini adalah pertemuan dari Pishon, Gihon,
Prath, dan Hiddekel."
"Itu nama empat sungai yang mengalir dari surga!"
teriak Profesor Freeman terheran-heran.
Syekh tidak menjawab. Dicelupkannya tangannya ke
dalam air bening itu sambil membaca sesuatu yang tak
bisa kudengar. Seketika itu juga, saat kami melongok ke
dalam, pantulan air itu telah berubah menjadi semacam
jendela terbuka. Dari jendela ini kami hanya bisa melihat kegelapan di
bawah sana, dan dari dasar sumur muncul angin dingin.
Angin itu bergemuruh, dan bahkan lebih dahsyat dari
badai yang pernah menerpa kami di gurun. Sepertinya
angin itu hidup, berirama, seperti didorong oleh rasa putus asa.
Ya Allah, lindungilah kami! Ini bukan pemandangan
biasa, tapi pantulan yang menggetarkan, sebab dari sana
muncul serangkaian puncak-hitam besar yang lebih tinggi
dari rembulan. Aku melihatnya dengan jelas di permukaan
air bening itu. Puncak hitam meninggi dengan cepat dan
sangat mengerikan, seperti menjulang di selasela
lingkaran harapan dan cahaya. Ia seperti gunung yang
terbakar oleh api keputusasaan yang tiada akhir.
Gunung-gunung Kegelapan! Tak kuasa diriku melihat visi ini. Mungkin aku akan
pingsan jika Syekh tidak memegangi tanganku. Kubuka
mataku lagi, pemandangan itu telah hilang. Yang lainnya
juga telah terbebas dari pemandangan yang mengerikan
itu, tapi mata mereka masih memantulkan kengerian atas
apa yang mereka saksikan.
Aku tak tahan lagi! pikirku. Jantungku berdebar tak
keruan. Tangan Syekh yang memegangi lengankulah yang
membuatku tak jatuh ke lantai.
Lalu muncul cahaya yang mengakhiri kegelapan, dan
mengusir bayang kengerian dari hati kami. Matahari telah
muncul di atas kami. Sebuah kolom cahaya memancar
dari titik zenit melalui atap yang bolong di atas kami.
Cahaya itu seperti mencari-cari sumbernya dari air yang
bening itu. Dan air itu menyerap cahaya yang kemudian
memantul dan menari-nari di permukaan air yang bening,
seperti cermin hati yang telah dibersihkan.
Tapi kini tinggi air itu menurun, seolah-olah disedot
oleh cahaya. Air yang barangkali paling murni ini, yang
hanya berisi Cinta, surut ke bawah.
"Sekarang!" kata Syekh kepada Kapten Simach, dan ia
dengan gesit naik ke bibir sumur. Kapten segera memahami maksudnya dan ia membantu Amenukal naik ke
bibir sumur. Rebecca segera melompat bergabung sambil
menarik ayahnya. Aku berdiri menatap mereka, masih terombang-ambing antara melihat pemandangan keputusasaan yang
hitam dan pantulan Cinta yang teringat oleh jiwaku. Syekh
segera menarik kerah bajuku, mengangkatku ke atas, dan
menempatkanku di sebelahnya. Syekh memegang
tanganku dan tangan Amenukal. Secara naluriah
kupegang tangan Rebecca. Ia juga memegang tangan
ayahnya, dan ayahnya memegang tangan Kapten Simach.
Setelah Amenukal menggenggam tangan Kapten,
lingkaran telah sempurna.
"Allahu akbar!" kata Syekh. "Tanpa Allah, air kehidupan adalah api." Lalu ia melangkah masuk ke dalam
sumur. Saat ia jatuh, kami pun ikut jatuh, tapi kami tetap
berpegangan tangan membentuk lingkaran. Kami jatuh di
bawah siraman cahaya matahari. Dan batu-batu hitam
sumur kelihatan seperti meleleh saat kami meluncur ke
bawah, seperti mengejar air yang terus surut. Jantungku
seperti mau copot saat melihat ke bawah dan menyadari
bahwa kami kini terjun bebas, melayang seperti debu.
Syekh tertawa ketika jubah kami berkibar-kibar dan
menutupi kami. Kami terus turun dan turun, mendekati
air itu. Permukaan air begitu luas, seluas dunia,
berkilauan, dan kami seperti enam tetes air ilusi yang
jatuh ke Samudra Kesejatian. Hanya itu yang bisa kuingat
saat itu. Air dari lautan ini adalah api; Muncul gelombang
sehingga orang akan mengira Air itu adalah
gunung-gunung kegelapan Hakim Sana"i Konon misteri terungkap kepada ruh saat tubuh
terlelap, dan bahwa dalam mimpi jiwa-jiwa mengingat
apa-apa yang senantiasa dikenalnya.
Tapi saat itu aku tak ingat apa-apa ketika Syekh memanggilku pelan, tangannya di dahiku, untuk membangunkanku dari kesadaran tentang sesuatu yang jauh dan
lebih terang ketimbang cahaya Betelgeuse. Sesaat kemudian, aku pikir aku sudah berada di dalam khaniqah dan
ketiduran, tapi ternyata aku bangun di sebuah tempat
yang sama sekali berbeda dengan tempat di bumi.
Kami berada di sebuah aula yang amat besar di sisi
sebuah kolam raksasa yang berisi api menyala-nyala. Panasnya tak terkira, cahaya merahnya menyakitkan mata.
Syekh membantuku berdiri dan aku melihat langit malam
yang gelap tanpa bintang.
"Syekh, di mana kita?" aku bertanya, menggigil dan
gemetar. Suaraku bergema di ruangan yang amat besar.
"Tempat di mana Allah telah membimbing kita,"
katanya lembut, dan mengajakku ke sebuah lorong besar
yang terbuka. Semakin jauh dari kolam api itu, keberanianku bertambah, dan ketegaran Syekh mengalir melalui tangannya
ke lenganku, memperbesar keberanianku. Aku terkejut
ketika menyadari pakaianku kering. Aku yakin bahwa kami baru saja mencebur ke dalam air. Mungkinkah panas
api ini telah mengeringkannya dengan cepat" Aku tak
ingat. Aku menengok ke belakang pada kolam api itu, dan
kata-kata terakhir Syekh sebelum kami melompat ke
sumur kembali terngiang dalam ingatanku:
Tanpa Tuhan, air kehidupan adalah api!
Aku takut ketika mengingat itu. Kurasakan
genggaman Syekh di lenganku semakin erat. Kubaca zikir
dalam hati, sambil bertanya-tanya apa yang akan terjadi
pada kami. Aku tahu kami tak bisa kembali ke tempat
kami semula. Kami telah melompat dari terang menuju
kegelapan, dan hanya berkat pertolongan Tuhan sajalah
Syekh akan dapat membawa kami pulang ke rumah. Ia
mempercepat langkahnya, aku mengikutinya.
Pintu lorong yang berada di tengah ruangan sangat
jauh dari kolam api, dan saat kami mendekatinya, aku
senang melihat sahabat-sahabatku berdiri menanti. Kuucapkan salam pada mereka. Tapi mereka tidak menjawab.
Dan saat kami berhenti di sisi mereka, aku tahu sebabnya.
Kami masuk ke tengah kota yang besar dan gelap, dan
kami menatap dengan takjub sekaligus ngeri pada sesuatu
yang belum pernah dilihat oleh mata manusia: Alam Jin.
Gunung-gunung Kegelapan yang tinggi mengepung
kami, menjulang hingga kami tak melihat puncaknya.
Gunung-gunung itu sehitam batu bara, tapi juga tampak
seperti kristal yang luar biasa. Gunung-gunung itu terbakar oleh api tanpa asap yang menyembur-nyembur dari
jutaan retakan gunung, hingga terangnya menyinari langit
tak berbintang. Aku kehilangan waktu, seolah-olah kami muncul di
awal penciptaan dunia. Anehnya, angin dingin, yang entah
dari mana asalnya, berembus kencang tanpa henti
mengelilingi seluruh dataran.
Dan, oh, Tuhan, kota besar yang terbentang di hadapan kami jauh lebih aneh ketimbang kota-kota yang
pernah kubayangkan. Bentangan kota itu terdiri dari
pucuk-pucuk hitam aneh, dan banyak di antaranya lebih
tinggi daripada puncak-puncak gunung di bumi. Puncakpuncak ada di segala arah.
Setiap gundukan tinggi itu tampak terbuat dari batu
Naga Beracun 7 Goosebumps - Jeritan Kucing Setan Dendam Sembilan Iblis Tua 1
^