Pencarian

Sang Raja Jin 4

Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar Bagian 4


kristal, dan ratusan nyala api menyembur berkobar dari
dalam lubang-lubang yang terbuka, dan gundukan itu
membentuk semacam bangunan spiral yang berbelit-belit
yang menjulang ke atas. Desain bangunan berbentuk
gunung spiral yang aneh itu dipisahkan oleh dataran
bertingkat-tingkat yang panjangnya ratusan kilometer,
membentuk level yang berbeda-beda, yang masing-masing
berbentuk pola geometris yang beragam. Semuanya membentuk sebuah bangunan simetris yang rumit, yang
tampak bervariasi jika dilihat dari sudut pandang yang
berbeda. Menggeser pandangan sedikit saja pada bentuk
yang unik itu akan membuat mata berkunang-kunang.
"Jangan menatap pada dataran itu," kata Syekh
memperingatkan. "Pesannya di luar jangkauan pandanganmu."
Pesan" Mungkin susunan geometris itu membentuk
sebuah bahasa yang hanya dapat dibaca dari atas. Aku tak
melihat adanya tangga, atau jalan yang bisa dilalui
manusia. Dataran bertingkat itu adalah sebuah arsitektur
yang tidak mungkin ditiru manusia, yang hanya dapat dimasuki oleh makhluk yang punya sayap.
Mungkin bangunan-bangunan spiral itu sendiri merupakan bagian dari bahasa tertentu. Bangunan-bangunan itu berdiri membentuk lingkaran geometris, mengingatkanku pada susunan taman kami yang ditata dengan
tujuan tertentu. Tapi, di sini tidak ada tanaman atau pohon jenis apa pun.
Tak ada yang tumbuh tanpa Tuhan! Aku merasa ngeri.
Lalu kutatap kawan-kawanku. Hanya Profesor Freeman
yang menatap secara bebas ke kota yang besar dan ganjil
ini. Ia melayangkan pandangannya ke struktur bangunan
yang mengelilingi kolam api.
Bangunan itu sama dengan desain yang menaungi
sumur di tengah gurun, meskipun bangunan di sini jauh
lebih besar. Apakah bangunan yang terlupakan dan
terkubur pasir itu mencerminkan bangunan yang ada di
sini" Wajah Profesor menunjukkan bahwa ia pun
memendam pertanyaan yang sama.
"Syekh, tempat ini... tempat apa ini?" tanyanya.
"Cerita kuno menyebut tempat ini dengan nama
Jinnistan," kata Syekh. "Raja Sulaiman sendiri yang konon
memerintahkan pembangunan tempat ini."
"Jinnistan!" Profesor berseru. "Dan reruntuhan di
gurun itu...?" "Juga dibangun oleh Raja Sulaiman. Tujuan bangunan itu saling mencari, seperti kegelapan mencari cahaya
dan api mencari air."
"Apa tujuannya, Syekh?" tanyaku.
"Pengetahuan dan harapan."
"Apa yang terjadi?" tanya Rebecca.
"Pengetahuan menghancurkan kota di gurun itu, dan
harapan menjadi putus asa di sini. Dan itulah bahaya
sesungguhnya di sini," kata Syekh sambil menghela
napas. Aku bersumpah bahwa mataku melihat jutaan api
yang berkobar hebat dan lebih terang, seolah-olah tersentuh oleh ucapan Syekh. "Tapi Allah Maha Pengasih dan
Penyayang. Kita ke sini bukan untuk mencari barang
sepele di reruntuhan Tadmor."
"Tadmor!" Profesor benar-benar kaget. "Reruntuhan di
gurun itu adalah Tadmor?"
"Ya," kata Syekh.
"Tadmor," bisik Profesor, lalu berpaling kepada
Rebecca dan Kapten Simach. "Tadmor adalah kota yang
hilang yang konon dibangun Raja Sulaiman untuk Ratu
Sheba. "Kota Sihir", begitu julukannya, dan karenanya
terkadang Sang Ratu disebut "Ratu Sihir". Kisah kuno menyebutnya sebagai tempat pertemuan ruh dan setan, di
dekat Gunung-gunung Kegelapan."
"Jadi begitu," kata Kapten Simach, yang terlihat tak
terkejut. "Makam Ratu Sheba konon juga ada di sana," lanjut
Profesor. "Legenda mengatakan, dia dimakamkan Raja
Sulaiman sendiri." Kapten Simach tak berkata apa-apa. Ia menatap
Amenukal, yang berdiri di sampingnya. Keduanya
menunjukkan ekspresi yang tak bisa dibaca.
"Tapi, di manakah jinnya?" tanya Rebecca.
Syekh meletakkan jari telunjuk di bibirnya.
"Ada di mana-mana," bisiknya.
Ucapan itu membuatku merinding. Tak ada yang bisa
dilihat kecuali puncak-puncak kota yang sangat tinggi dan
ganjil, dan gunung-gunung tinggi, serta api yang selalu
menerangi malam gelap. Kutajam-tajamkan pendengaranku, tapi yang terdengar hanya desau angin
yang berirama. "Nah, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya
Profesor Freeman. "Ke mana kita akan pergi?"
Syekh tak menjawab. Ia berdiri dengan mata tertutup.
Ada semacam aliran kedamaian memancar dari dirinya,
seperti cahaya di kegelapan. Saat kami memandangnya, ia
membuka mata, lalu berkata dengan pelan dan pasti:
"Kita menunggu, dan jalan akan dibukakan. Kita sedang ditunggu-tunggu, dan pemandu kita telah datang."
Kami memandang ke arah tatapan matanya, dan datanglah pemandu kami yang punya banyak nama. Ia
kembali berwujud manusia, berjalan di atas jalan dari
batu pualam putih berhias emas. Yang mengherankan,
ternyata kami berdiri di jalan yang sama. Jalan itu
terbentuk begitu saja di bawah kaki kami, menjulur dari
aula di belakang kami hingga ke tengah kota, membelok di
antara dua tiang yang tingginya tak terkira. Tapi
kemunculan jalan yang tiba-tiba itu tak bisa mengalihkan
perhatian kami pada Ornias, yang kali ini kembali
berwujud si faqir. Aku bertanya, "Apa ia kembali menjadi manusia,
Syekh?" "Tidak. Bentuk yang dulu didiaminya sudah terbakar
dan lenyap. Yang kalian lihat adalah ilusi yang diciptakannya untuk pikiran manusia seperti kalian."
Aku mengangguk. Mata tajam Syekh tak bisa ditipu,
tapi aku ingat kengerian yang kurasakan saat melihat ia
berubah wujud. Apakah itu alasannya kami tak bisa
melihat jin yang lain" Apakah para jin berbaik hati kepada
indra manusia dengan cara tak menampakkan diri" Aku
tak tahu. Tapi ketika Ornias sampai di depan kami, ia
bersujud di hadapan Syekh.
"Selamat datang, wahai Syekh, Qutb para manusia
dan jin," katanya, dahinya menyentuh lantai. "Akhirnya
harapan kembali datang kepada kami. Allah Maha Pengasih."
"Alhamdulillah!" Syekh berujar. "Segala puji bagi
Allah, dan berkat rahmat-Nya kami telah datang. Bangun
dan bergembiralah, wahai Iman, makhluk paling beriman
dari bangsa yang mulia."
Aku dan sahabat-sahabatku menatap takjub saat ia
berdiri di depan kami, kembali dengan wujud si faqir,
pemandu kami yang punya banyak nama. Ilusi yang diciptakannya amat sempurna. Ia kembali menjadi pemandu kami yang terpercaya. Dan walaupun aku telah melihat
bentuknya yang sesungguhnya"yang berwajah menyeramkan dengan taring besar"ketulusan dari kerendahan
hati dan kepatuhannya kepada Syekh telah menyapu ketakutanku. Jin atau bukan, ia adalah murid yang jauh lebih baik daripada aku.
"Mari bergegas," kata Syekh. "Aku ingin bertemu
darwisku lagi." "Segera, wahai Qutb," kata sang jin, sambil menunduk. Lalu ia memimpin kami di depan. Biasanya, tak ada
murid yang berani berjalan di depan Syekh, tetapi aku
memahami bahwa ia telah diperintah dan melakukannya.
Ia disebut Iman, nama yang bukan hanya menunjukkan
keteguhan keyakinannya, tapi juga kedudukannya yang
tinggi. Kukira kami sudah mengetahui semua namanya,
tapi ternyata masih ada lagi.
Hari ini penuh kejutan, jika memang ini bisa disebut
hari. Saat kami berjalan dengan diam, aku bertanya-tanya
apakah matahari pernah muncul di langit yang gelap dan
mengerikan itu. Dan aku tak melihat jin-jin, walaupun aku
membayangkan tatapan mengerikan dari mata yang tak
terhitung jumlahnya. Jika mereka benar-benar tak ingin
menakuti-nakuti kami, aku amat berterima kasih kepada
mereka. Penampakan ribuan setan secara bersamaan jelas
sulit dibayangkan. Syekh melirikku. "Apakah engkau juga membayangkan mereka tidak tahu apa yang engkau pikirkan tentang
mereka?" tanyanya lembut. "Aku beri tahu, sesungguhnya
kehadiranmu di sini amat menakutkan mereka. Berhatihatilah!"
Wajahku menjadi pucat, walaupun aku tidak
sepenuhnya memahami makna ucapannya. Semua
dongeng yang pernah kudengar tentang Jin dan Ifrit,
tentang Ghul dan Si"lat, telah membuatku takut saat aku
masih kecil. Dan Syekh jelas mengetahui rasa takutku yag
kekanakkanakan itu. Syekh menyebut pemandu kami
Jasus Al-Qulub, Mata-mata Hati, dan aku membaca zikir
diam sambil meminta maaf kepadanya dalam hati.
Tak ada lagi yang diucapkan. Kami berbelok di bawah
puncak kembar dan aku melihat ujung jalan ini.
Di tengah kota yang gelap itu berdiri bangunan manusia, sebuah istana dari kristal dan pualam putih yang
disangga oleh banyak tiang, berkilauan seperti permata
putih. "Lihatlah, istana Sang Raja," kata si faqir, lalu menyilangkan tangannya sambil menundukkan badan
kepada kami dengan gerakan resmi kerajaan, seperti
pengurus istana mempersilakan kami untuk menghadap
raja. Profesor Freeman tak perlu disuruh. Ia tak bisa menahan diri. Kapten Simach menatap istana itu tajamtajam,
seolah-olah ia berada di antara kenangan dan ketakjuban.
Rebecca berdiri di antara mereka, memegang tangan
masing-masing, menunggu apa yang akan dikatakan
Syekh. Aku tak tahu apa yang harus kupikirkan. Di tengahtengah jutaan api, istana ini tampak hanya memantulkan
cahayanya sendiri, berkilauan dalam gelap seperti cermin.
"Apa ini ilusi, Syekh?" tanyaku.
"Bukan," katanya. "Di depanmu adalah Iahar-Halibanon, Hutan Lebanon, demikian namanya, yang merupakan istana Raja Sulaiman. Panjangnya lima puluh
meter, lebarnya sekitar dua puluh lima meter, dan
tingginya sekitar lima belas meter. Tapi di sini tidak ada
atap dari kayu cedar, atau jenis kayu apa pun yang berasal
dari bumi. Bangsa jin membangunnya atas perintah Sang
Raja, dan semua kemampuan gaibnyalah yang
mewujudkan istana ini, walaupun mereka hanya bisa
menggunakan materi yang ada di alam mereka. Dan di
sana, konon tersimpan hartanya yang paling besar."
"Cincin bersegel!" seru Profesor Freeman.
"Kita akan lihat nanti," kata Syekh.
Istana ini dibangun tinggi di atas fondasinya, dan di
keempat sisinya terdapat tangga lebar untuk dilewati kaki
manusia. Kuhitung jumlah anak tangganya saat menaikinya, semuanya berjumlah 33 buah. Kami sampai ke teras yang luas dan kami berada di depan hutan pilar-pilar
yang hebat. Setiap pilar seperti tercipta dari potongan kristal yang
sama. Pilar yang berbentuk bulat lonjong sempurna ini
permukaannya diperhalus dan dikilapkan. Dan setiap
pilar memancarkan cahaya lembut. Di sini Syekh berhenti,
memiringkan kepalanya seperti sedang mendengarkan
sesuatu. Aku juga menirunya, tapi tak kudengar apa-apa.
Tapi kemudian, aku menyadari bahwa aku hanya mendengar suara angin. Aku maju ke ambang teras dan suara
angin yang dahsyat menerpa telingaku. Ketika aku
mundur kembali, angin itu tidak ada. Aku bertanya-tanya,
kekuatan apa ini yang bisa menahan angin yang dahsyat"
Pilar yang ditata melingkar di teras ini sepertinya disusun sebagai penahan kegelapan malam dan jiwa, walaupun aku tak tahu apakah cahaya yang memancar dari
tiang itu berasal dari kristal itu sendiri atau hasil dari keterampilan dan keahlian para pemahatnya. Kutempelkan
tanganku ke salah satu pilar kristal itu. Rasanya hangat
dan bergetar saat kusentuh; seperti ada denyut halus di
dalamnya. "Wah, ini seperti hidup!" kataku, dan sahabat-sahabatku memandang kagum pada pilar-pilar itu.
Profesor sangat tertarik dengan pilar-pilar ini. Ia memeriksanya dengan kaca pembesar. Kapten Simach dan
Rebecca berjalan berdampingan, lalu meletakkan tangan
mereka pada pilar yang sama. Seketika itu juga pilar itu
menjadi lebih terang, dan wajah mereka berdua tersinari
kilauan itu. Mereka saling menatap dengan diam, seolaholah belum kenal satu sama lain.
Syekh menyuruh kami terus maju. Aku segera mengikuti di sisinya. Jantungku berdetak semakin kencang.
Hatiku merasakan kegembiraan yang aneh.
Segala puji bagi Allah, aku bisa mendengar suara ney
yang jernih, yang dimainkan Ali!
Suara ney yang terdengar syahdu pasti dimainkan Ali.
Suara itu bergema di dinding pualam putih dan beresonansi dengan pilar-pilar sampai semua istana berlimpah
suaranya. Nada-nada itu, melalui proses gaib, seperti mengumpulkan sinar kemilau dari kristal dan memancarkan
cahaya dan kerinduan di tengah-tengah pilar.
Pemandu kami memimpin kami berjalan cepat
menuju dua pintu besar yang berdiri di depan sebuah
singgasana kerajaan. Di ruangan ini Ali duduk di ujung, bersila di atas meja
pualam. Ia masih berpakaian seperti saat terakhir kali aku
melihatnya. Rami duduk di sampingnya.
Alhamdulillah, bisikku. Hatiku memanjatkan ribuan
pujian dan doa. Masih hidup! Seperti dikatakan Syekh,
mereka tak kurang suatu apa dan sedang menunggu.
Di ambang pintu kami berhenti untuk mendengarkan.
Tidak tampak tanda-tanda bahwa mereka menyadari
kehadiran kami. Mata mereka tertutup, dan Ali
memainkan nada dengan luar biasa, setiap notnya
semanis dan sejernih pantulan cahaya matahari di
permukaan air. Lalu Rami mulai bernyanyi:
Awan perpisahan telah dibersihkan
dari rembulan cinta yang menawan
Dan cahaya pagi telah bersinar
dari gelap Kegaiban Kata-kata abadi itu membuat kami terpaku tak bernapas, sementara pilar-pilar istana berdenyut mendengar
lagu purba yang mengisahkan ketiadaan dan keberadaan.
Inilah keadaan sama" yang lahir dari cahaya dan lagu,
sampai-sampai aku tak memperhatikan sebuah sosok
yang duduk dan mendengarkan.
Dalam ruangan besar ini, di atas singgasana hitam,
duduk sesosok makhluk yang amat tinggi. Ia berjubah
hi-tam, menutupi leher hingga kakinya. Ia duduk dengan
gaya seperti Firaun yang berkuasa. Ia mengenakan
mahkota yang tinggi, berhias batu akik yang dipoles
hingga berkilauan. Mahkota itu terpasang di atas
wajahnya yang memanjang dan gelap, sehingga kepalanya
tampak berbentuk seperti kerucut dengan paras paling
mengerikan yang belum pernah kusaksikan. Parasnya
yang cemberut setajam dan sekeras potongan batu.
Matanya menyala seperti gunung yang meletus.
Aku tahu ini juga ilusi, demi kepentingan tawanannya
dan kami yang baru datang ke kerajaannya. Tapi aku
masih teringat ketakutanku saat ia datang pertama kali,
meraung dan keluar dari sumur seperti pilar api yang
menjulang sampai angkasa. Wajahnya kini begitu gelap.


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku bertanya-tanya, apakah ia memilih bentuk ini agar
tawanannya takut dan tunduk kepadanya, ataukah ada
hukum simetris yang mengatur kekuatan jin"bahwa
bentuk luar harus sesuai dengan keadaan batin. Jadi,
Ornias dapat muncul sebagai seorang faqir, dan jelas ini
adalah jin yang lain: Baalzeboul, Raja Para Jin.
Tapi aku merasa takut kalau-kalau ia menatapku.
Parasnya sangat kaku dan mengerikan. Tapi ia tak
menunjukkan tanda-tanda telah menyadari kehadiran
kami. Ia duduk berpangku tangan. Sepertinya sedang
merenungkan lagu itu. Syekh kemudian menghentikan lagu itu. Ia bertepuk
tangan sekali. Suaranya bergema seperti petir di
tengah-tengah pilar. Dan saat itu juga mereka menyadari
kedatangan kami. Baalzeboul mengangkat kepalanya, mengarahkan
tatapannya yang angkuh kepada kami. Tampaknya ia
sudah menunggu-nunggu kedatangan kami. Ali dan Rami
terkejut, tapi mereka mengakhiri sama" dengan teriakan
gembira. "Syekh!" mereka berteriak bersama, dan cahaya pilar
seperti bertambah terang mengiringi kebahagiaan mereka.
Mereka segera berlari dan bersimpuh di depan Syekh. Tapi
Syekh menyuruh mereka berdiri dan memeluk keduanya.
Raja Jin itu tak terpengaruh sama sekali. Tak ada
perubahan dalam ekspresi wajahnya. Ia memandang kami
dengan diam, dan aku tak tahu apakah tatapannya itu menyiratkan rasa hormat ataukah jijik.
"Apakah engkau tidak mau menyambut Qutb, wahai
Raja Jin?" tanya Ornias. "Ia dan sahabat-sahabatnya telah
melintasi air dan api untuk datang ke sini demi memenuhi
kebutuhan kita." Baalzeboul berdiri tegak. Tapi ia hanya menatap
Syekh dengan sangat tajam.
"Aku tahu semua jalan masuk ke dunia yang tersembunyi ini," katanya, dengan suara rendah dan berat. "Dengan perintah Tuhan hijab dunia ini dipasang, dan berkat
kehendak Tuhan sajalah kalian bisa melewatinya. Tetapi
untuk apa kalian datang" Pelayanmu ini akan kukembalikan kepadamu, tapi aku tak bisa mengetahui niat dan pikiranmu. Bicaralah! Lagu apa yang akan kau nyanyikan,
wahai Qutb para manusia dan jin?"
Kata-kata yang tak sopan ini membuatku marah
walau aku masih takut, tapi Syekh menghadapi tatapan
matanya dengan berani. "Memang atas perintah Tuhan-lah hijab itu dipasang,
dan hijab itu juga dipasang karena kemurkaan-Nya, seperti yang telah kau ketahui. Tapi jika engkau tak mengetahui
pikiranku, aku tahu pikiranmu."
Lalu Syekh mulai menyanyi:
Padang pikiranku tak menumbuhkan apa pun,
selain rumput kesedihan Kebunku tak merekahkan bunga apa pun,
selain bunga kesengsaraan
Hatiku kering bagai gurun gersang
Bahkan semak keputusasaan pun tak
berkembang Senandung tentang perpisahan dan kehilangan ini
setua lagu harapan yang didendangkan Ali. Dan cahaya
pilar-pilar meredup saat ia menyanyi, menyebabkan bayang-bayang kami meredup. Tapi si faqir dan Raja Jin tak
berbayang. Jin tak punya bayangan! Aku tak tahu apa maksud Syekh di sini. Saat suaranya yang tegas bergema di ruangan yang redup, mata Sang
Raja Jin memancar seperti roda api. Kukira ia akan
membakar kami dengan matanya.
Saat gema terakhir telah hilang, aku sudah bersiap
menghindari semburan api dari matanya. Tapi Penghulu
Jin itu sepertinya tak berdaya di bawah pengaruh lagu
Syekh. Pelan-pelan ia duduk, seolah-olah kata-kata Syekh
menjadi beban yang tak sanggup ditanggungnya.
Ia bahkan terus berlutut dan matanya yang menyala
meredup. Lagu itu telah menyentuh hatinya sehingga ia
tak bisa bicara. Baalzeboul berusaha bangkit, tapi Syekh mengangkat
tangannya dan tiang-tiang istana menyala amat terang
seperti siang hari. Sang Raja Jin menutup kedua wajahnya
dan tetap berlutut. "Jangan takut," kata Syekh dengan lembut, "sebab
aku membawa kabar gembira kepadamu. Ruh Sulaiman,
Sang Raja Agung, telah mengirimkan pesan tentang
kebutuhanmu melewati ribuan tahun, dan jiwanya telah
mewakili kalian semua di hadapan Singgasana
Kebenaran." Aku mendengar suara geraman mendadak, seperti
angin yang bertiup kencang dan cepat. Jin yang ada di
mana-mana mendengar ucapan Syekh. Baalzeboul menurunkan tatapannya yang angkuh dan hilanglah semua
kepongahannya. Ia terus menunduk sampai dahinya yang
hitam dan mahkotanya yang tinggi menyentuh lantai pualam putih.
"Ketahuilah, buah penyesalan telah masak jika rantingnya telah merunduk," kata Syekh. "Sekarang bangunlah, sebab aku akan memberikan harapan rahmat Allah
kepada kalian." Baalzeboul mengangkat kepalanya, tapi tak berdiri
meskipun kakinya tampak menyimpan kekuatan yang
besar, tak seperti wujud kaki si faqir yang kecil. Raja Jin
itu mengangkat kedua tangannya dalam posisi berdoa.
"Wahai pemimpin jin dan manusia," katanya, "ucapanmu mengandung ribuan berkah. Sejak awal penciptaan,
pembangkangan kami telah membuat kami terusir, dan
hanya menjadi pelayan Raja Sulaimanlah kami masih
punya harapan diampuni. Tapi ruhnya telah lama pergi.
Racun Ifrit telah menyebar seperti hujan, dan api hampir
padam." Aku sangat tersentuh oleh kesedihan dalam kata-katanya. Ruh Raja Sulaiman telah berbicara melalui lidah
Kapten Simach, "Api padam!" Tapi jika harapan adalah api
itu, harapan macam apakah itu, dan rahmat apa yang
kami bawa yang akan membuat harapan itu tetap hidup"
"Alhamdulillah!" kata Syekh. "Sesungguhnya baik jin
maupun manusia, semuanya harus tunduk dan patuh
kepada Tuhan. Sebab jika tidak, mereka akan mengalami
penderitaan dan kegelapan. Tapi aku telah membawa
utusan dan pesan yang dibawanya. Kita akan berbicara di
hadapan Majelis bersama-sama." Dan ia memanggil Ame-
nukal dan Kapten Simach untuk berdiri di sampingnya.
Baalzeboul berdiri, lalu memandang keduanya dengan tatapan yang sangat tajam.
"Mereka sudah berkumpul," katanya.
Kini sudah hampir tiba saatnya memetik buah dari
perjuangan dan menyempurnakan lingkaran. Syekh
memandang kami dan memberi perintah agar kami tetap
tinggal ditemani Ornias. "Dia akan menjaga kalian selama
kami pergi." Lalu ia membalikkan badannya, berjalan
menuju pintu besar lainnya, diikuti Amenukal dan Kapten
Simach. Dan di urutan paling belakang adalah Baalzeboul,
Penguasa Para Jin. Aku menatap kawan-kawanku. Ali dan Rami tampaknya sudah puas disuruh menunggu. Mereka duduk
berkontemplasi di lantai pualam putih, namun Profesor
dan Rebecca tampak gelisah seperti diriku saat Syekh
pergi. Aku bergegas menuju pintu, diikuti Profesor dan
Rebecca. Ornias diam saja tak melarang kami.
Dalam waktu sebentar, kami sudah sampai di teras di
belakang istana. Saat itu juga angin kencang menerjang
kami. Namun, yang membuat kami terkejut adalah Syekh
dan rombongannya sudah berjalan jauh masuk ke lembah
gelap. Jalan mereka diterangi oleh ribuan api yang membara di gunung-gunung.
Jarak mereka yang sudah amat jauh membuat kami
sadar bahwa kami tidak diperbolehkan mengikuti mereka.
Perintah Syekh sudah terwujud.
Kami menatap mereka sampai mereka tak kelihatan
lagi. Saat kami kembali ke ruang singgasana, si faqir sedang menunggu.
"Kalian tak perlu mencemaskan mereka. Kalian pun
tak usah khawatir dengan diri kalian," katanya sambil
menatapku. "Jin Ifrit tak akan bisa membahayakan
mereka, dan kejahatannya tidak akan masuk ke sini. Dan
Kapten aman bersama mereka," imbuhnya sambil
menatap Rebecca. Rebecca mengetahui arti ucapan ini dan
ia jadi malu, hidungnya memerah.
Si faqir bersila di atas meja yang tadi ditempati Ali dan
Rami. Kami duduk di depannya. Tak ada bantal atau
karpet, makanan atau minuman, tapi ia mempersilakan
kami makan dan minum dengan bekal yang kami bawa di
tas kami. Kami makan dan minum tanpa berkata-kata. Kami
hanya saling menatap. Profesor menggigit-gigit bibirnya
pertanda cemas. Si faqir"aku selalu ingin menyebutnya
dengan nama itu"menatap kepada kami dengan tersenyum.
"Syekh juga tahu pikiran kalian," katanya. "Dan dia
telah memerintahku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sepanjang aku bisa menjawabnya. Bertanyalah semau kalian."
"Apa yang terjadi?" tanya Profesor Freeman dengan
perasaan yang agak lega. "Mereka akan bertemu di Majelis Agung Jin, agar semua bangsa jin mendengar pesan dan melihat utusannya."
"Dan Aaron, maksudku Kapten Simach, adalah utusannya?" tanya Rebecca, yang kini tampak semakin gelisah
karena ditinggal Kapten. Faqir itu mengangguk.
"Tapi Rebecca. apa pesannya" Apa maksudnya?" tanya "Kalian tidak memahami kata-kata Syekh" Ia membawa kabar harapan."
"Harapan apa?" "Kesadaran akan Tuhan."
Rebecca menatapnya dengan takjub. Tapi aku ingat
apa yang dia katakan saat berada di kapal, bahwa bahkan
penghuni neraka lebih bahagia ketimbang saat di dunia,
sebab mereka menyadari Tuhannya.
"Sejak kapan harapan itu hilang?" tanya Profesor.
"Pada awal kejadian dunia."
"Bagaimana bisa?"
"Karena kami membangkang pada perintah-Nya. Jadi,
kami melakukan dosa terbesar dari orang-orang yang
mengenal Kebenaran, baik dari kalangan jin maupun manusia.
"Dosa apakah itu?"
"Kekafiran." Tiada Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk
menghamba kepada Aku (Adz-Dzariat: 56)
Kekafiran! Aku mengetahui maknanya: istilah itu berasal dari
kata kufran, yang secara harfiah berarti menolak atau
menyembunyikan. Seperti para Sufi, Ornias telah mengungkapkan makna batin kata itu untuk mengungkapkan
sikap ingkar dan kesengajaan untuk menyembunyikan
kebenaran ilahi melalui jalan penolakan dan penentangan
terhadap-Nya. Ali dan Rami juga mengerti, meskipun mereka tidak
berkomentar. Dua bersaudara itu selalu mematuhi perintah Syekh tanpa syarat, bahkan bersedia masuk ke dalam
api untuk memenuhi tugasnya. Hanya Rebecca dan ayahnya yang masih kurang paham.
"Aku kurang mengerti," kata Rebecca.
"Begitu pula aku," ujar Profesor Freeman.
"Untuk memahami penyebab keputusasaan, engkau
harus tahu kisah kami sejak awal," kata Ornias. "Untuk
mengetahui harapan kami, kalian harus memahami Raja
Sulaiman. Dulu aku pernah berani mencuri cincin yang
membuat kami menjadi budaknya. Aku ubah wujudku
menjadi wujudnya dan mengambil takhtanya. Tapi aku
bingung oleh kebijaksanaan dan kemurahan hatinya.
Pada akhirnya, aku menyamar menjadi dirinya dan
berpurapura meninggal dan dimakamkan, sehingga dia
bisa bebas pergi untuk menemui takdirnya yang
sesungguhnya. Raja Sulaiman adalah guru pertamaku,
juga guru terakhirku."
"Kisah pencurian itu tertulis di sebuah dongeng kuno," kata Profesor.
"Konon dia menguasai angin," tambah Rami.
"Dan dia paham bahasa burung," kata Ali.
Burung! Aku melupakan burung!
"Ceritakan selengkapnya," aku memohon.
"Ya, ceritakan yang sesungguhnya," Profesor Freeman
merajuk. "Dan juga tentang cincin segelnya, agar hati kami
yakin." "Ah, tapi aku tak punya hati untuk membuat kalian
yakin," kata jin itu. Terbersit nada kasih sayang dalam
ucapannya. "Apa maksudmu?"
Faqir tua itu menghela napas, dan selama beberapa
saat aku dapat melihat api abadi di balik ilusi matanya.
Api itu membuat matanya tampak abadi.
"Yang kumaksud adalah sepotong daging yang disebut hati, yang ada di dalam diri manusia jahat, orang suci, dan anak-anak. Ia hanya segumpal daging, bukan akal,
bukan ruh, bukan pengetahuan. Tapi, setiap zarah dan
setiap sel tubuh kalian sudah mengetahui kebenaran
tan-pa memahaminya, sebagaimana ruh api dalam diriku
ini. Kebenaran dipahami oleh hidup, bukan oleh akal
semata, dan itulah intinya. Tapi, kisahnya nanti saja.
Majelis Agung sudah dimulai dan Raja Baalzeboul sudah
berdiri di hadapan semua jin."
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Rebecca. Suaranya
memendam rasa ingin tahu.
"Pikiran masing-masing jin saling tercermin dalam
setiap jin, dan kesadaran kami melampaui lima indra dan
enam arah. Kami tak butuh mata manusia untuk melihat,
atau lidah untuk berbicara."
"Kau beruntung bisa begitu," kata Profesor Freeman.
"Tapi kami tak seberuntung itu. Kenapa kami tidak boleh
datang ke sana dan melihat sendiri pertemuan itu?"
"Kalian tidak diundang," kata Ornias dengan tersenyum. "Namun Syekh telah mengetahui keinginan kalian. Aku masih menjadi pemandu kalian, dan pemandu
mata kalian jika kalian mengizinkannya."
"Bagaimana caranya?" tanya Profesor.
"Jaringan indra kami sangat berbeda dengan indra
manusia. Tapi, sejak kemunculan manusia dan terusirnya
jin dan iblis, kami terpaksa harus mengubah wujud menjadi bentuk fana di hadapan manusia. Ya, bahkan dalam
wujud yang kadang amat mengerikan bagi mata manusia.
Aku akan memandu indra manusia dan kalian akan melihat pantulan dari apa yang kulihat, dan mendengar dari
apa yang kudengar. Tutup mata kalian semua, dan
tetaplah diam. Aku harus melindungi kalian dari
saudara-saudaraku sesama jin, sebab pikiran mereka bisa
membuat kalian kelimpungan."
Profesor dan Rebecca menuruti permintaannya. Ali
dan Rami juga senang, dan aku tak meragukan kata-kata
dan kekuatan si faqir. Kuletakkan pena dan kertas, dan
kami duduk bersama seraya menutup mata.
Cahaya pilar kembali normal, menimbulkan bayangbayang merah buram di mata kami. Dan kami terkejut


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika pikiran sang jin merasuk ke dalam ke pikiran kami,
dan sekali lagi dengan heran kami melihat cahaya merah
itu pelan-pelan hilang, berubah menjadi pandangan telepatik.
Segala puji bagi Allah semata. Aku melihat Syekh,
Baalzeboul, dan Amenukal. Kapten Simach di belakang
mereka, diam tak bergerak, kepalanya menunduk. Mereka
berdiri di atas batu menjulang di atas lembah yang dalam,
yang dikelilingi gunung-gunung. Daerah itu diterangi oleh
api yang menyala-nyala, dan bahkan kami melihat hujan
api dari langit seperti bintang jatuh, mendarat di tanah
hingga lembah itu penuh api. Gunung-gunung juga
menyala saat para jin memenuhi lereng-lerengnya. Dan
dalam api yang menyala-nyala itu aku melihat paras-paras
yang seram dan mengerikan. Mereka banyak sekali
jumlahnya, tapi di antara mereka ada juga yang tampak
mengesankan atau berwibawa. Di antara mereka juga ada
yang berwujud perempuan, dan jin itu tampak berbedabeda umurnya"yang lebih muda lebih pendek dan nyala
apinya kuning kemerah-merahan. Sedangkan yang lebih
tua nyalanya hampir putih tanpa asap. Mereka bergerak
dan melayang di sekitar kami, dan seluruh bangsa jin tampak di mata kami, sedang diam dan menunggu.
Dengan memindahkan kesadarannya, Ornias bisa
membuat kami melihat pemandangan itu dari sudut pandang yang berbeda. Pada mulanya kami seperti berada di
ujung lembah dan Syekh tampak kecil dan jauh. Kemudian kami mendekat, sampai di kaki gunung, lalu naik ke
puncaknya. Pergeseran ini membuat kami sedikit pusing
hingga kemudian pandangan kami mendekati Syekh.
Kulihat Baalzeboul mengangkat tangannya. Mahkotanya
berkemilau merah, memantulkan cahaya dari rakyanya,
dan ia bicara dengan bahasa yang, anehnya, bisa
kupahami. Suaranya bergema di seluruh lembah:
"Dengarkan sekarang! Wahai saudaraku Jin, Jann
dan Ifrit dan Ghul! Ruh Raja yang agung telah turun ke
Dunia Pertama, dan janjinya dipenuhi. Jiwanya berpadu
dengan Api Pertama, dan berkat kemurahan Tuhan sang
utusan telah datang dengan membawa harapan baru."
"Utusan, utusan..." Aku mendengar jutaan pikiran
berbisik bersama, terus-menerus, sampai kata-kata itu
menjadi teriakan hingga hampir membuatku berhenti
bernapas. Syekh kemudian mempersilakan Kapten
Simach maju berdiri di sebelah Baalzeboul, di tepi batu
yang menjulang itu. Ia kini mengangkat kepalanya, cahaya
api menyinari wajahnya. "Beniahhhh!" mereka berseru serempak, dan kami
sangat heran. Mereka menyebutnya sebagai salah seorang
panglima Raja Sulaiman. Dan jeritan mereka semakin
keras. Kini kapten muda ini mengangkat tangannya seolah-olah ia benar-benar wakil Raja, dan berbicara dengan
suara manusia yang jelas.
"Syekh pertamaku sudah pergi selamanya, dan Raja
yang dulu kalian layani kini telah melayani Yang Maha
Esa," katanya. "Tapi aku telah diberi amanat untuk membawa pesannya melintasi ribuan tahun untuk disampaikan kepada orang lain, yang lebih besar ketimbang raja!"
Ia menundukkan kepalanya lagi dan tidak terdengar ada
jin bersuara. Bahkan angin pun seperti berhenti untuk
ikut mendengarkan. Saat ia mengangkat kepalanya lagi,
matanya bersinar cemerlang dan suaranya penuh daya.
Suaranya bergema di atas angin dan melintasi seluruh
lembah di gunung-gunung itu.
"Inilah dia yang jejak kakinya dikenal di seluruh
lembah Cinta. Dialah yang dikenal oleh Kuil, oleh daerah
suci maupun tidak. Dia adalah putra dari hamba Allah
yang terbaik, dia adalah yang suci, murni, dan terpilih.
Dengarkanlah, wahai kalian yang beriman, sebab Qutb
telah datang." Aku menahan napas saat ia menundukkan kepalanya
lalu mundur. Dan Syekh maju ke depan, hingga ke tepi
batu. Tak ada suara, dan jutaan jiwa menunggu ucapannya. Sorot matanya tampak lembut dan berwibawa, sabar
dan berani. Wajahnya memancarkan cahaya. Jubah
putihnya seperti salju yang ditimpa cahaya rembulan. Ia
memandang ke seluruh lembah, gunung, dan angkasa.
Suaranya mengisi langit malam.
"Allahu akbar!" katanya.
"Allahu akbar," terdengar jawaban dari jutaan jin.
Meski Ornias sudah melindungiku, tapi jiwaku tetap
terguncang ketika merasakan kerinduan yang hebat ini.
Kemudian, Syekh berbalik membelakangi mereka,
lalu mengangkat kedua tangannya hingga menyentuh telinga, dan berkata lagi, "Allahu akbar!" dan shalat pun
dimulai. Seluruh jin di lembah ikut shalat dan bersujud.
Gerakan shalat mereka, dengan rukuk dan sujudnya, dari
kejauhan tampak seperti lautan api yang bergelombang,
mengikuti gerakan Syekh sebagai imam.
Allahu akbar! Gunung bergetar dan kota gemetar, dan
gemuruh takbir para jin itu menguap ke angkasa.
Tak bisa kupaparkan ketulusan emosi yang
kurasakan dari mereka, dan aku bertanya-tanya kapan
mereka terakhir kali shalat.
Aku mendengar Ornias menjawab dalam pikiranku,
"Sejak penciptaan manusia belum ada imam yang datang
memberi kami harapan."
Dan setelah rakaat terakhir selesai, Syekh, yang masih dalam posisi duduk, mengangkat tangannya dan berdoa dengan diam. Dan setelah beberapa saat, ia berdiri
lalu berbalik menghadap ke lembah. Dan aku merasakan
jutaan harapan muncul dari pikiran miliaran jin.
Syekh mengangkat tangannya, lalu berkata dengan
suara penuh wibawa: "Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada
Tuhan dengan tobat yang sebenar-benarnya!" Ia
membacakan salah satu ayat Al-Quran. "Sebab tobat
adalah maqam pertama dari perjalanan menuju
Kebenaran, sebagaimana penyucian adalah langkah
pertama dari orang-orang yang mendamba Tuhan."
Rintihan dan teriakan menyambut ucapannya. Dan
angin berembus lebih kencang. Bahkan perlindungan
Ornias tak mampu sepenuhnya membentengi kami dari
miliaran pikiran asing yang membanjiri pikiran kami. Pada
mulanya, kami hampir tak kuat menahannya, tapi dengan
cepat pikiran pemandu kami menyaring luapan pikiran itu
sampai batas yang dapat ditanggung oleh pikiran dan
pemahaman manusia. Kami merasakan banyak bermun-
culan cahaya harapan, tapi ada yang tak sabar dan ragu,
dan ada banyak lagi yang marah dan ingkar.
Dari gunung-gunung dan lembah-lembah, ribuan jin
yang tak mau memenuhi seruan, dan telah melakukan
banyak kejahatan dalam jangka waktu yang paling lama,
mulai bangkit dan berteriak-teriak, lalu naik ke langit.
Salah satu dari golongan ini bangkit lebih tinggi dan
lebih besar di hadapan Syekh. Ia berasal dari golongan Ifrit
yang parasnya mengerikan, penuh dengan aroma
kejahatan. "Goblok!" teriaknya, suaranya meraung bak kutukan.
"Kami diciptakan untuk bebas, dan hidup kami bebas,
sebelum muncul manusia. Sulaiman putra Daud telah
memperbudak kami, kami dari golongan yang mulia ini,
dan aku tak akan pernah lagi tunduk kepada Syekh dari
manusia." "Kalau begitu, pergilah, wahai makhluk tercela!"
perintah Baalzeboul. "Engkau tak mensyukuri apa pun
yang dianugerahkan kepadamu, yakni anugerah kebebasan, dan karenanya kau menutupi ruh kebebasanmu sendiri. Karena itu kemarahan Tuhan menimpa kita. Iblis
adalah pemimpin kalian yang sesungguhnya. Dia adalah
makhluk pertama yang sombong, dan makhluk pertama
yang mengeluarkan asap keraguan yang busuk sehingga
menutupi rahmat ilahi. Pergilah sekarang! Dan laknat atas
kalian!" Sang Ifrit bertambah marah atas penghinaan ini,
sedangkan jin lain dari golongannya bangkit untuk mendukungnya. Tapi Raja Para Jin itu tak gentar secuil pun. Ia
hanya menatap mereka dengan diam. Tiba-tiba aku
merasa ada pertarungan kehendak dalam pikiranku.
Kekuatan jin ada dalam pikiran mereka, dan dengan
pikiran itulah mereka bertarung. Lalu bergabunglah jin-jin
lainnya. Ghul yang menyeramkan bergabung membantu
Ifrit, sementara Jann bergabung membantu Raja Jin.
Kutukan melesat seperti senjata-senjata, dan mantra-mantra dikeluarkan dan ditandingi. Dan aku tak
tahan lagi hingga hampir membuka mataku untuk keluar
dari pemandangan pertarungan yang sengit ini. Tapi
banyak jin masih ragu dan tidak bergerak menunggu hasil
dari pertarungan. Alhamdulillah, pertarungan cepat selesai dan tak
memburuk, meskipun mungkin pertarungan itu sudah
berlangsung selama berabad-abad di alam nirkala ini. Pada akhirnya, Ifrit dan Ghul kalah di hadapan kekuatan
pengetahuan dan api kehendak Baalzeboul. Mereka pun
lantas kabur. Meski dilindungi Ornias, aku masih terguncang oleh kekuatan di balik ilusi ini.
Syekh tak bergerak selama pertarungan ini, dan juga
tampaknya tak berusaha mencampuri pertarungan. Tapi
kini, di tengah-tengah gemuruh angin ribut, suara Syekh
bergema keras sekali: "Dengarlah kalian semua, wahai makhluk Allah Yang
Mahatinggi. Aku tidak datang melintasi batas alam kecuali
dengan kehendak-Nya dan rahmat-Nya. Allah telah
memaafkan putra Daud atas kesalahannya, dan Dia tak
lagi menghukumnya. Apakah Dia tidak akan memaafkan
kalian juga" Ya, Dia akan memaafkan kalian sebab aku
datang dengan membawa buah rahmat-Nya!" Dan ia
membungkuk kepada Amenukal, yang melangkah ke
sebelahnya. Aku hampir melupakan lelaki tua itu karena
lebih tertarik pada kejadian yang dahsyat ini. Tetapi
tampaknya, para jin telah mengenalnya walau ia tak diperkenalkan terlebih dulu.
"Naqib!" Bisikan para jin terdengar di pikiranku.
Naqib! Aku juga kenal. Akhirnya, terungkaplah bahwa Amenukal adalah
salah satu Wali yang telah disebutkan dalam Al-Quran,
"Sesungguhnya para Wali Allah itu tidak ada rasa takut
dan sedih atas mereka."
Jin-jin mengenalinya begitu ia muncul ke depan, dan
kini kami melihatnya muncul dengan muka disinari ca-
haya terang yang tak berbayang.
Buah rahmat-Nya, pikirku, dan mendadak aku tahu
siapa penjahat sesungguhnya dalam kisah Syekh dulu,
yang telah disucikan oleh air mata ampunan yang suci.
Apakah Ornias juga tahu" aku bertanya-tanya.
"Sesama pencuri tentu saja saling mengenal," jawab
Ornias dalam pikiranku. Aku tak tahu apakah Rebecca dan ayahnya memahami ini, tapi dalam tasawuf disebutkan bahwa Allah
punya sahabat atau Wali yang diistimewakan oleh-Nya,
dan dipilih untuk mewujudkan kehendak-Nya, agar ayatayat Kebenaran terus dapat dilihat jelas melalui pengaruh
spiritual mereka. Di antara para Wali itu ada em-pat ribu
Wali yang tersembunyi, tidak saling kenal, dan tidak
mengenal kedudukan masing-masing. Mereka ini
tersembunyi dari mereka sendiri dan dari manusia awam.
Tapi, ada wali yang saling kenal dan punya kekuasaan
untuk membebaskan dan mengikat. 300 Wali disebut
Akhyar, 40 Wali disebut Abdal, 7 Wali disebut Abrar, 4
Wali disebut Awtad, 3 Wali disebut Nuquba (bentuk tunggalnya adalah Naqib), dan 1 Wali disebut Qutb.
Kemudian Syekh kami, Sang Wali Qutb, berkata:
"Telah datang orang yang telah dipilih Allah sebagai
pembawa harapan bagi kalian yang merindui-Nya. Doa
terakhir Sulaiman telah terjawab, dan Allah Yang Maha
Penyayang telah memberi kalian harapan kedua, meskipun kalian pernah ingkar!"
Dan Amenukal menundukkan badannya di hadapan
para jin, lalu berkata dengan lembut dan pelan, tapi kami
masih bisa mendengarnya: "Salam atas kalian semua yang telah bergelimang dalam keputusasaan! Kalian sudah tahu cerita tentang diriku. Dengan kehendakku sendiri aku menempuh jalan
pengingkaran, sampai akhirnya aku menjadi diri yang
paling rendah di antara yang rendah. Dan saat rasa putus
asaku memuncak, dan kehilangan semua harapan, Allah
mengangkatku, bahkan sampai ke Singgasana Kasih
Sayang-Nya." Gumaman dan rintihan menyambut kata-katanya itu.
Pikiranku dipenuhi jutaan harapan dalam diri jin. Aku
dapat merasakan getarannya meski harapan itu menyala
dalam diri para jin. Sang Naqib mengangkat kedua tangannya dan menutup matanya, pikiran dan perhatiannya mengalir ke pikiran jin, dari pikiran ke pikiran.
"Sesungguhnya, aku tak lebih dari setitik debu di
bawah kaki-Nya. Namun, demi kalian, yang lama
merin-dui-Nya, aku datang atas perintah dan kasih
sayang-Nya untuk tinggal di antara kalian, sebagai
pelayan dan pemandu kalian. Kini jalan telah terbuka di
hadapan kalian. Ikutlah siapa saja yang mau!"
Pada saat inilah Ornias memutus visi yang kami saksikan. Kegelapan datang tiba-tiba sampai kami membuka
mata. Kepalaku pusing. Aku begitu terserap oleh drama
yang terpampang di hadapan mata pikiran kami.
"Apa yang terjadi?" tanya Profesor Freeman.
"Apa yang perlu kalian lihat di sini sudah kalian saksikan," kata sang jin. "Inilah Majelis Agung terakhir yang
dilakukan oleh makhluk dari golongan jin. Tidak akan ada
majelis lagi." "Apa yang dilakukan Ifrit sekarang?" tanyaku. Kejahatan mereka yang kurasakan membuatku gemetar.
Ornias tampak enggan menjawab. Ia memilih katakatanya dengan hati-hati. "Jalan mereka tersembunyi dariku," katanya pelan. "Dari golonganku, aku tak mengetahui apa-apa yang belum terjadi, tapi aku tak menyalahkan pertanyaanmu. Engkau belum mengenal mereka seperti halnya aku. Pada awalnya, mereka adalah golongan
mulia yang dipuji oleh Tuhan setelah Azazel, yang kemudian dikutuk menjadi Setan terbesar. Mereka sebenarnya
tak lebih jahat daripada orang-orang yang terhijab dari
Cahaya. Harapan selalu ada dalam diri mereka, tapi
kejahatan mereka seperti kejahatan yang kulakukan
sebelum Sulaiman menundukkan mereka. Apa saja yang
merupakan berkah bagi seseorang mungkin dianggap kutukan bagi orang lain. Mereka marah pada Sulaiman, dan
kemarahan itu makin membesar karena mereka memupuk kebencian, bersama dengan kedengkian dan kesombongan. Kini mereka kalah oleh kekuatan yang lebih besar
dan oleh serangan mantra Baalzeboul. Tapi, karena
kemurahan Tuhan, Jalan ini sebenarnya juga dibukakan
untuk mereka, meski aku khawatir mereka mungkin akan
lama sekali sebelum mau memasukinya."
"Demikianlah, jin dan manusia sama," terdengar
suara dari belakangku. Syekh telah kembali bersama Kapten Simach. Naqib
dan Baalzeboul tidak bersama mereka. Namun kami sangat senang melihat keduanya kembali dengan selamat. Ia
duduk di sampingku dan Rebecca menggeser duduknya
untuk memberi tempat bagi Kapten. Profesor Freeman kini
mengarahkan perhatiannya kepada Syekh.
"Tapi Ifrit tadi juga ikut shalat," katanya.
Syekh tak menjawab, hanya menatap si faqir. Raut
kesedihan membayang di wajah Ornias yang berwujud
manusia ini. Dialah yang menjawab, "Manusia mungkin
menyembah Tuhan dengan perbuatan dan ucapan, tapi


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka jarang melakukannya, sedangkan kami yang ingin
melakukannya, tidak bisa seperti itu. Kami telah diusir
dari surga-Nya. Kami dicampakkan. Tapi lubuk jiwa kami
masih mengingat kemegahan matahari yang tak pernah
tenggelam!" Suaranya penuh dengan kepedihan dan kerinduan
dari bangsanya, dan ucapannya itu menyentuh hatiku. Tetapi ada juga nada kepasrahan di dalamnya.
Syekh mengangguk, lalu menatap kami satu per satu.
"Semua jiwa ingat pada matahari yang tak pernah teng-
gelam," katanya. "Dan dengan kehendak-Nya, jalan ini
juga telah terbuka bagi mereka, para jin. Mereka bebas
memilih rahmat-Nya sebagaimana mereka pernah bebas
untuk memilih mendapat murka-Nya. Ifrit berpaling dari
jalan kebenaran ini, dan banyak lagi jin yang masih lama
mau mengikutinya, tapi kini telah ada yang kembali ke
jalan yang lurus, dan Naqib akan menjadi Imam yang
memimpin mereka, dan Raja Baalzeboul berada di sampingnya. Keingkaran telah membuat mereka jatuh lebih
rendah daripada manusia, tapi semua jin tahu betul apa
yang akan terjadi saat Allah akan membuat perhitungan di
Hari Perhitungan, sementara manusia tidak.
"Bahkan, mereka kini telah mengucapkan "Allahu
akbar", yang makna sesungguhnya adalah "Kami mengorbankan diri di hadapan-Mu, wahai Allah!" Dan mereka
berbaris bershaf-shaf menunaikan shalat, sebagaimana
manusia dan jin akan berbaris bershaf-shaf di
hadapan-Nya di Hari Perhitungan. Di hari itu Allah akan
bertanya kepada jin dan manusia: "Apa yang telah kalian
lakukan untuk-Ku selama waktu luang yang Kuberikan
kepada kalian" Amal apa yang kalian bawa dalam hidup
kalian hingga ajal datang" Bicaralah dengan jujur!
Bagaimana kalian memanfaatkan indra yang telah
Kuanugerahkan pada kalian" Kalian memiliki mata,
telinga, dan akal, tapi apa yang kalian lakukan dengan
semua itu" Aku beri kalian ini semua sebagai ladang amal
saleh, sekarang tunjukkanlah pada-Ku hasil panennya!
Aku beri kalian kelimpahan rahmat, sekarang di mana
rasa syukur kalian?"
"Dan semua manusia dan jin harus mengangkat kepala dan menjawab, lalu akan terdengar ratapan hebat,
dan air mata kesedihan penyesalan yang tak pernah tumpah selama hidup mereka akan mengalir seperti sungai.
Tetapi, saat segalanya tenggelam, semuanya menyembah
Tuhan dengan tulus. Tapi Dia adalah Yang Awal dan Yang
Akhir, Yang Mahatinggi dan Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Sesungguhnya cinta-Nya, keadilan-Nya,
ama-rah-Nya, dan rahmat-Nya, adalah satu. Dan Dia tak
akan menyiksa hamba-hamba-Nya untuk selama-lamanya. Sesungguhnya Allah lebih tahu apa yang
paling benar." Kata-kata Syekh membuat kami terdiam. Aku belum
pernah mendengarnya berbicara seperti ini. Tapi aku tahu
bahwa jin yang ada di mana-mana pasti mendengar apa
yang dikatakannya. Syekh menatap mataku. Sepertinya ia menangkap
pikiranku. "Tulis juga ucapan ini, anak muda," katanya.
"Manusia dan jin tak ambil bagian dalam pertobatan, sebab tobat itu diberikan oleh Tuhan kepada makhluk-Nya,
bukan dari makhluk kepada Tuhan. Tobat adalah karunia
ilahi, dan semoga semua yang ada di sini layak mendapatkannya, sebab anugerah ini diberikan jika Dia berkehendak kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya,
seperti telah dialami oleh kedua sahabat pencuri kita ini."
"Aku telah ridha pada apa pun kehendak-Nya," kata
Ornias. "Seperti halnya Sulaiman, yang akhirnya mendapatkan kebijaksanaannya kembali, sebab ia menyesali
ketakpatuhan dan dosa-dosanya sebelum ia meninggal.
Kini lingkaran telah selesai. Utusan telah kembali
sebagaimana yang dijanjikan, dan jalan harapan telah
terbuka." "Maaf, Syekh," kataku, "tetapi apa sesungguhnya
"jalan" yang terbuka itu?"
"Jika mata dan telingamu tertutup, bukalah sekarang," kata Syekh. "Berkat rahmat Allah, istana kedua
Raja Sulaiman ini kini menjadi khaniqah Jinnistan, dengan Naqib sebagai Syekhnya. Jin yang mau, dipersilakan
datang. Sebab harapan pada Tuhan ada di sini."
Aku terkejut dan terbengong. Mata dan telingaku
telah tertutup. "Tutup mulutmu, wahai juru tulis," kata Syekh sambil
tertawa, "dan tulislah bahwa beribadah kepada Tuhan
berarti juga melayani semua makhluk-Nya, dan Jalan
Cinta adalah harapan bagi manusia dan jin."
Ketulusan kata-kata Syekh menghangatkan jiwa kami. Perhatian dan kebaikannya telah mempengaruhi hati
kami dengan cara yang mustahil untuk dijelaskan.
Bahkan, cahaya pilar-pilar di sekitar kami ikut bertambah
terang menandai terbitnya harapan baru, mendamba
cinta. Aku duduk diam dan membaca zikir, kemudian aku
teringat sebuah hadis qudsi: "Aku sebagaimana
persangkaan hamba-hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersama
dengannya setiap kali ia mengingat-Ku. Jika ia
mengingat-Ku dalam dirinya sendiri, maka Aku akan
mengingat-Nya dalam diri-Ku, dan jika ia mengingat-Ku
dalam majelis, maka Aku akan mengingatnya dalam
majelis yang jauh lebih baik..."
Profesor Freeman, yang belum menjadi darwis, hampir menangis, dan Rebecca menatap Kapten Simach dengan tatapan yang membuatku cemburu.
"Aaron," ia bertanya. "Mereka menyebutmu Beniah.
Bagaimana mungkin itu namamu?"
"Mungkin kami bersaudara," katanya sambil tersenyum.
"Benar," kata Ornias. "Darahnya mengalir dalam dirinya. Jin dapat melihatnya, meski kalian tidak. Lingkaran
takdir menghubungkan banyak kehidupan."
"Kurasa aku mulai sedikit paham," kata Profesor
Freeman. "Tertulis dalam Kitab Pertama Raja-Raja. Karena
Sulaiman memalingkan hatinya dari Tuhan, semua
kerajaan dijanjikan kepada Jeroboam setelah kematiannya, kecuali satu." Ia membuka kitab Injil kecil yang
dibawanya lalu membaca, "Dan Aku timpakan hukuman
atas tindakan Daud, tapi tidak selamanya."
Tidak selamanya. Itu adalah jeritan Raja Sulaiman
yang diucapkan melalui Kapten Simach, yang akhirnya
muncul setelah tiga ribu tahun. Lingkaran balasan Tuhan
telah selesai, dan janji-Nya kepada Sulaiman telah dipenuhi. Kini api harapan juga menyala kembali di kalangan
jin. Keajaiban ayat-Nya ini membuat hatiku pusing, dan
dalam hati aku mengucapkan syukur atas rahmat Alah kepada manusia dan jin.
"Cinta menutup semua dosa," kata Syekh, setelah
membaca pikiranku lagi. "Anda mengutip Amsal," kata Profesor Freeman, "yang
konon ditulis Raja Sulaiman saat sudah tua." Ia menatap
putrinya lalu berkata sambil menghela napas, "Ini di luar
pengetahuan ilmu manusia."
"Tidak juga," kata Syekh. "Evolusi fisik manusia dan
alam berjalan seiring dengan evolusi spiritual, dan
keduanya saling bertemu dan berkelindan seperti
anyaman tali. Yang satu bisa dijelaskan dengan sains, yang satunya
tidak bisa dipahami kecuali melalui ilmu hati."
"Apakah cincin Raja Sulaiman masih ada, karena ia
menulis dengan darahnya sendiri?" tanya Profesor.
"Ya, masih," kata Ornias.
"Boleh aku pinjam," kata Rebecca menyela. "Hanya
untuk memerintahkan angin agar tak terus-menerus berembus dan bersuara kencang. Aku bahkan bisa mendengar gemanya di pikiranku sekarang."
"Tak ada gunanya," kata Syekh. "Cincin itu sendiri
tidak punya kekuatan apa-apa. Cincin itu memancarkan
kebenaran Tuhan dalam diri pemakainya. Saat Allah
masih bersama Sulaiman dan kebijaksanaannya belum
ternoda oleh kesombongannya, ia menguasai dunia
dengan cincin itu. Namun cincin itu tak bisa mengubah
angin, bahkan dengan alif, firman Tuhan, sekalipun"
"Firman Tuhan?" tanya Rebecca. "Apa yang Anda
maksudkan?" "Angin itu tak pernah mengendur sejak awal," jawab
Ornias, "dan mungkin tidak akan berhenti sampai Hari
Kiamat. Sayap-sayap yang memenjara api kami tak pernah
tunduk kepada apa pun kecuali kepada Pencipta semua
angin." "Sayap" Apa maksudmu?" tanya Rebecca lagi.
"Apa kau tak mendengar mereka" Azza dan Azzael"
Mereka dikutuk sehingga harus berjuang melepaskan
belenggunya, dan sayap mereka yang besar berkepak-kepak hebat dalam keadaan tersiksa. Para jin
tertawan oleh kemarahan mereka, agar api kehidupan
kami tidak padam." "Azza dan Azzael?" Profesor Freeman tampak heran.
"Maksudmu malaikat yang jatuh" Legendanya ada dalam
kitab Zohar!" "Ya," kata Syekh. "Dan kebenaran legenda itu terdapat
di kaki Gunung-gunung Kegelapan. Di sanalah keduanya
terbelenggu dalam rantai besi, dan pita besi mengikat
mereka dengan erat."
"Dan mereka tak bisa membebaskan diri mereka sendiri" Para malaikat?" Rebecca bertanya, heran sekaligus
kasihan. Syekh menggeleng. "Rantai mereka dibuat dari besi
kehendak-Nya, ditempa dalam api murka-Nya. Tidak ada
kekuatan yang dapat memutusnya dan membebaskan
mereka kecuali kekuatan-Nya."
"Demikianlah, kami berbagi nasib dengan mereka,"
kata Ornias. "Dan juga harapan kalian," kata Syekh. "Siapa yang
bisa menghilangkan murka ilahi kecuali Cinta" Siapa yang
bisa membuka mata mereka selain berkat kemurahan-Nya" Sesungguhnya, "rahmat Allah mendahului murka-Nya". Demikian tertulis dalam hadis,
dan rahmat-Nya telah datang, dan semua ciptaan-Nya kini
bisa berjalan di Jalan Cinta, jika mereka mau. Ya, semua
makhluk, manusia, jin, dan malaikat yang terusir,
meskipun mereka harus mengepakkan tiga puluh enam
ribu sayap di belakang mereka."
"Allah!" Ali dan Rami berseru. "Allah!" aku berseru
bersama mereka. Rebecca menangis, dan kami menyebut
nama-nama-Nya yang indah. Penjelasan Syekh tentang
Cinta Allah yang tak ada batasnya membuat jiwa kami
bergetar oleh kebahagiaan. Jiwa kami menangis dengan
pujian dan syukur. Dan zikir dengan namanya-Nya
mengalir dari hati kami dalam setiap denyut jantung dan
setiap tarikan dan embusan napas, sampai sungai zikir
menghantar hati dan napas kami sampai ke Samudra
Tiada Akhir. Kami menangis seperti bocah kecil, penuh
rasa cinta yang tak terungkapkan. Dan kami menangis
lama sekali. Seolah-olah Abad Keemasan terbentang di
hadapan kami, di mana pengetahuan tentang keagungan
dan keindahan Allah termanifestasikan pada semua
makhluk-Nya yang bermujahadah dan mencintai dalam
naungan nama-Nya. Dan mata Profesor Freeman, yang masih sembap,
tampak heran dan bingung dengan ini semua.
Syekh menatap kawan lamanya itu. Suaranya begitu
lembut penuh pengertian saat bicara, "Ah, sang intelektual
telah gila karena Cinta, dan ia tak lagi takut pada
kegilaannya. Kau telah sampai sejauh ini, Shlomeh.
Mungkin engkau bukan muridku yang terburuk."
Profesor hanya tertawa dan menggeleng-geleng. Kami
ikut tertawa. Rebecca memeluk tangan ayahnya eraterat.
Syekh tak berkata apa-apa lagi, tapi ia menatap
Ornias. "Gerbang sudah terbuka lagi," katanya.
"Ya, dan tak akan lama," jawab jin itu.
"Ayo, semuanya. Kita harus cepat pergi sekarang."
Syekh lalu berdiri. Kami tak punya waktu untuk
mengumpulkan barang-barang karena ia sudah bergegas
melangkah keluar istana. Kami segera sampai di jalan
pualam, dan angin meraung saat kami berlari melintasi
jalan itu. Aku membayangkan diriku bisa mendengar jin
berbisik-bisik. Dan aku menatap ke belakang untuk
melihat cahaya pilarpilar istana memancar di belakang
kami, seperti memberi ucapan selamat jalan.
Di hadapan pintu besar dari bangunan bundar kami
berhenti untuk menatap sekali lagi alam jin yang hendak
kami tinggalkan. Semua kisah tentang Jinnistan terpampang di depan kami: puncak-puncak kota yang meninggi seperti stalagmit di tengah-tengah gerigi gununggunung, teras yang membentuk desain geometris yang di
luar pemahaman manusia, dan jutaan api yang bersinar
laksana obor. Aku bertanya-tanya tentang nasib Sang
Naqib, dan aku merindukan sekali lagi cahaya bulan dan
bintang-bintang. Dan matahari, matahari!
"Cepat, atau nasib kita akan sama saja," teriak Syekh.
Ia sudah berdiri di sebelah kolam api dengan Naqib dan
Ornias di sebelahnya, dan juga Baalzeboul, yang berdiri
lebih tinggi. Kami cepat-cepat menyusul, tetapi kolam api
yang membara membuat ciut nyaliku. Aku tak tahu bagaimana kami harus kembali.
Syekh tertawa melihat mukaku yang takut. Dari
dalam jubahnya ia mengeluarkan botol air dari kulit.
"Ini botol kulit yang diasapi," katanya. "Hadiah dari
orang Tuareg." Ornias menunduk kepada Sang Naqib. "Sungguh
mulia hadiah dan pemberi hadiahnya. Hadiahku tertinggal
di belakang." Baalzeboul mendesah. "Ah, seandainya aku punya
hadiah yang sesuai dengan amal kalian..."
"Berjuanglah menegakkan Kebenaran," jawab Syekh.
"Dan istiqamahlah. Tidak ada tindakan atau hadiah yang
lebih besar ketimbang itu." Lalu ia membuka botol itu dan
menuangkan airnya ke nyala api.
Aku tahu dari mana asal air dalam botol kulit itu. Nyala api itu tak mendesis, tapi justru menari menyambutnya,
dan api itu padam dengan rela. Ornias dan Baalzeboul
menatap lekat-lekat saat air itu memenuhi dahaga api dan
menjadikan kolam besar itu berisi air murni. Kukira kami
akan kembali terjun ke dalam kegelapan, tapi air itu
memantulkan cahayanya sendiri.


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ajaib! Mukjizat!" teriak Profesor.
Syekh tertawa. "Bukan, bukan mukjizat. Air Samudra
Cinta meluas seperti hati, tanpa batas. Mari bersihkan diri
kalian, berwudhulah. Wudhu seperti ini tak akan pernah
kalian dapatkan lagi di kehidupan dunia." Ia memerintah
kami untuk berkumpul di dekat kolam dan mencelupkan
wajah kami ke air. Ali dan Rami langsung melakukannya, Kapten Simach
dan Rebecca mengikuti kemudian. Profesor Freeman dan
aku masih menatap air itu seolah-olah kami dalam
keadaan tak sadar. Kami tak melihat ada bayangan kami
di permukaan air. Syekh tak menunggu-nunggu lagi. "Tetes, air, dan
gelembung, semuanya satu," katanya, dan mencelupkan
kepala kami ke dalam air. Air memasuki mata, telinga, dan
mulutku; keberadaannya yang hidup mengembang dalam
diriku seperti sebuah napas, meliputi setiap anggota
tubuhku, setiap sel tubuhku, sampai aku merasa kesadaranku berkembang seperti sayap cahaya dan melayang
bahagia ke matahari. Epilog Wahai, orang-orang yang bodoh, Pada saat kematian, ini
akan terbukti: Mimpi adalah apa
yang kita lihat, Dan yang kita
dengar, hanyalah dongeng Khawaja Mir Dard Kalau kau leburkan jiwamu ke dalam api Cinta,
Kau akan melihat Cinta itu menjadi kimia jiwamu
Kau akan melalui selat-selat sempit, Dan melihat
dunia tiada batasnya Yang belum pernah terdengar
telinga, akan terdengar; Yang belum pernah terlihat
mata, akan terlihat Hatif Isphahani Aku bangun di tempat tidur di kamarku sendiri, di
rumah Syekh. Sembari pelan-pelan membuka mata,
kutatap semburat cahaya fajar. Aku merasa bermimpi.
Belum pernah aku merasa sesegar ini dalam hidupku.
Sekali lagi aku mendengar ayam jago berkokok
menyambut pagi. Dan sekali lagi burung-burung berkicau
membentuk alunan nada. Aku duduk dan mendapati diriku sudah berpakaian
lengkap dengan jubah Tuareg biru yang diberikan kepadaku beberapa waktu yang lalu. Aku tertawa.
"Panjang umurlah kalian, wahai burung-burung," teriakku di balik jendela. Aku tak bisa menahan diri. Entah
mengapa, kini hatiku dibanjiri kebahagiaan.
Aku telah berwudhu dengan air Cinta paling murni.
Keraguan serta ketakutanku telah dibasuh bersih. Aku
telah melihat lingkaran tertutup sempurna, dan menyaksikan kebenaran dengan kesadaran akan hidup yang baru.
Aku tertawa lagi dengan hati jernih dan menunaikan shalat diiringi kicau burung-burung. Kupanjatkan puji syukur atas rahmat dan cinta Tuhan yang tak pernah usai.
Aku melakukan sujud syukur dan berdoa agar Syekh kami
senantiasa diberkahi oleh-Nya, dan juga semua
makhluk-Nya, dan juga berdoa agar rahmat-Nya
senantiasa tercurah kepada semua makhluk di dua alam,
dan kepada Syekh Jinnistan yang baru.
Setelah itu, aku bergegas turun dan sekali lagi menjerang air untuk menyeduh teh pagi dan mencari Syekh.
Aku tak mencemaskan sahabat-sahabatku. Aku telah
melihat air murni membasuh mereka, dan air dari laut
yang murni itu pasti juga ikut terbawa sampai ke rumah
ini. Akan tetapi, Syekh tidak berkata kapan ia akan
pulang, dan saat kuletakkan teko di atas kompor, aku
baru sadar bahwa aku sebenarnya bahkan tidak tahu
kapan aku pulang. Kami telah melakukan perjalanan ke
luar dimensi waktu, melintasi api dan air, dan aku tak
tahu itu hari apa, atau tahun berapa.
Tapi itu tak penting. Aku hanya berharap bisa berjumpa Syekh dan menjadi sahabatnya, sebab dalam
hatiku aku melihat kasih sayangnya yang memantulkan
Misteri Agung. Dan aku setidaknya memahami kata-kata
terakhir Jalaluddin Rumi saat ia berbicara dengan gurunya, Syamsuddin Tabriz:
Aku telah mati; aku hidup kembali! Aku telah
menangis; kini aku tertawa! Berkah cinta telah datang, Dan
aku menjadi berkah yang abadi!
Demikianlah Sang Qutb, Kutub Dunia, menarikku
seperti magnet yang menarik besi. Tanpa mencarinya, aku
menemukannya. Syekh tengah berada di taman bersama
burung-burung, dan mereka mendendangkan lagu kepadanya saat ia duduk di atas batu.
"Ah, kau sudah bangun," katanya. "Shlomeh akan
datang malam ini untuk dibaiat. Kita mesti membeli
per-men dan kopi untuk Rebecca."
"Syekh, kapan Syekh pulang?" aku bertanya.
"Ketika engkau melihatku," jawabnya.
"Tapi, ini hari apa?"
"Hari ini adalah hari ini. Sufi selalu hidup pada hari
ini, hidup saat ini, wahai intelektual," katanya sambil tertawa.
"Alhamdulillah!" kataku, ikut tertawa. Ia bangkit dan
aku mengikutinya pergi ke pasar.
Dan, sekali lagi, para pedagang menawarkan barang
mereka untuk mendapatkan berkahnya. Dan, sekali lagi ia
menyuruh mereka membagikannya kepada orang-orang
yang tak mampu. Akan tetapi, ia bersikeras membayar
kopi dan permen. Dan, seperti sebelumnya, kami melewati Kota Lama,
melewati Masjid Haramus Syarif, tapi si faqir tak ada di
sana. "Engkau tidak akan bertemu dengannya lagi di kehidupan ini," kata Syekh, sambil menatap lurus ke depan.
"Perbatasan dua dunia telah ditutup dan disegel dengan
air yang tak dapat ditembus oleh bangsanya, dan Gerbang
Surga tak akan terbuka lagi sampai Hari Kiamat."
Aku mengangguk, namun aku menjadi sedih. Aku
melakukan perjalanan jauh persis seperti yang diramalkan
si faqir, yang ternyata adalah jin, pemandu terpercaya dan
sahabat terbaik. Seandainya aku tahu cerita tentang dirinya selengkapnya.... Aku rasa aku akan merindukannya.
Saat kembali, kami melihat khaniqah sudah diisi
banyak orang. Sebagian mempersiapkan pesta malam
nanti. Para wanita memasak, dan para lelaki
membersihkan ruang pertemuan. Mereka senang melihat
Syekh dan ia menemui mereka sebentar, meminum teh
yang ditawarkan, lalu pamit untuk menemui putrinya.
Tentu saja mereka tak bertanya tentang kepergian kami,
dan mereka juga tak mengolok-olokku.
"Kau tampak lebih tua," kata Mojdeh, dan aku melihat
mereka saling memandang. Aku tak menjawab. Saat akhirnya aku sampai di taman, aku sangat senang berjumpa lagi dengan Ali, Rami,
Rebecca, dan Kapten Simach. Syekh telah bertemu mereka
dan mengatakan kepada mereka bahwa aku akan hadir.
Aku menarik napas lega dan memeluk saudara-saudaraku
setarekat ini. Mereka telah tiba saat kami berbelanja dan
Rebecca berkata bahwa ayahnya akan segera datang. Ia
bersikeras untuk mampir dulu ke kantornya. Kami duduk
bersama dan berbicara pelan-pelan, sebagai sahabat lama
yang merasakan pengalaman yang sama dan tak perlu
penjelasan lagi. Mereka juga bangun di tempat tidur mereka masingmasing, kata mereka. Rebecca dan Kapten Simach juga
masih memakai jubah Tuareg. Kami menggelengkan
kepala dengan takjub. Ternyata, di dunia ini, dua bulan
telah berlalu di sini sejak kami pergi. Dan kami saling
memandang, lalu tertawa. Kegembiraan kami begitu besar
dan menular. Kami tertawa dan berbicara. Dan Kapten
Simach meminta kami memanggilnya dengan nama Aaron.
Aku menengok ke sekeliling untuk mencari tahu apakah ada orang lain yang mendengar pembicaraan kami.
Tapi tak ada orang lain di taman ini selain kami. Banyak
darwis biasanya datang untuk merawat taman ini pada
jam segini, tapi tampaknya mereka sengaja memberi kami
privasi. Demikianlah rasa saling memahami yang ada di
khaniqah. Kukatakan ini pada kawan-kawanku, tapi mereka tak terkejut.
"Kita telah berubah dan mereka melihatnya," kata
Aaron. "Mereka bilang aku lebih tua," kataku.
"Kau memang tampak lebih tua," kata Rebecca.
"Sudah terlalu tua untuk bercukur," imbuh Rami.
Dan kami pun tertawa. Memang, dalam cermin hati, kami telah tumbuh
melampaui masa kanak-kanak. Saat Syekh dan Profesor
Freeman datang ke taman beberapa saat kemudian, kami
masih bercengkerama dan tertawa.
"Kalian baru pulang dari jihad kecil menuju jihad yang
lebih besar," kata Syekh, sambil memberi isyarat agar
kami tetap duduk. "Apa maksud jihad yang lebih besar, Syekh?" tanya
Rebecca setelah mereka berdua duduk bersama kami.
"Jihad melawan nafsu buruk. Itulah perang yang tia-
da pernah berakhir."
Profesor Freeman mengangguk, matanya berkilat-kilat. Ia tampak lebih muda.
Hanya Syekh yang kelihatan tetap sama, tak berubah.
"Dan kini," katanya, "sebelum Shlomeh dibaiat, ada
satu hal yang belum dilakukan."
Ia mengambil sesuatu dari balik pohon dan kemudian
menunjukkan kashkul yang dulu dibawa si faqir. Aku tak
melihatnya saat si faqir dulu hadir di taman ini.
"Ini hadiah yang tertinggal, dua di dalamnya dan satu
di luar, dan tiga hadiah sudah diberikan," kata Syekh.
"Kashkul ini ia berikan untuk khaniqah, dan tiga hadiah
sudah dia berikan, dan ia menepati janjinya."
Ia lalu mengambil dua benda dari kashkul itu dan
menyerahkan salah satunya kepadaku. Benda itu
berbentuk bujur sangkar yang diselubungi kain dan diikat
dengan benang. "Untuk sang intelektual, hadiahnya adalah kata-kata," ujarnya.
Ia kemudian menyerahkan kantong kecil dari kulit
kepada Profesor Freeman, sambil berkata, "Untuk si pencari, hadiahnya adalah sesuatu yang dicari."
Tiga hadiah sudah diberikan"
Aku menatap dengan heran. Berapa banyak yang kulewatkan karena terus-menerus menulis" Aku membuka
ikatan dan melepas selubung kain. Ternyata benda itu
adalah sebuah buku yang berisi kata-kata"mungkin jurnal. Kubuka halaman pertama, tapi aku tak bisa memahami tulisan Hebraik yang aneh. Tampaknya tulisannya
sama dengan tulisan yang ada di papirus kuno. Aku menyerahkannya kepada Profesor Freeman.
"Ya, ya!" katanya setelah memeriksa sebentar. "Ini
bahasa Canaanitish, tak diragukan lagi. Dan ini ditulis
belum lama. Kertasnya telah menguning, tapi serat-seratnya belum hancur. Umur buku ini tak lebih dari
empat puluh atau lima puluh tahun."
Ia membuka halaman-halamannya dengan pelan, sementara aku tetap memegang bukunya. Karena satu alasan, aku tak bisa menyerahkannya, dan ia tampaknya juga tak berusaha mengambilnya dari tanganku.
"Luar biasa!" serunya. "Menurutku, ini seperti tulisan
sejarah! Aku bersedia menerjemahkannya untukmu."
Aku menutup buku itu dan menatap wajah Syekh.
"Ya," katanya. "Buku itu punya arti buat kalian berdua. Tapi, berhati-hatilah! Hadiah ini tidak diberikan begitu saja. Kisah di dalamnya bisa mengubah diri kalian."
Aku menarik napas dalam-dalam dan menyelimutinya
lagi dengan kain. Seandainya aku tahu cerita tentang
dirinya selengkapnya. Mataku berlinang-linang ketika
memikirkan si faqir dan menyadari salah satu dari namanya yang lain: Juru Tulis.
"Mari Shlomeh," kata Syekh. "Apa engkau tak mau
berbagi hadiahmu dengan kami?"
Profesor Freeman tak bisa mengalihkan tatapannya
dari buku yang sudah diselubungi kain. Perhatiannya
terserap ke dalam rahasia yang mungkin tersimpan di dalamnya. Dengan tak acuh ia membuka kantongnya, lalu
mengambil sebuah benda yang kemudian ditunjukkan di
telapak tangannya. Pelan-pelan matanya menatap benda itu, dan ia memandanginya cukup lama.
"Ya Allah," katanya berbisik.
Sebuah cincin emas kecil, sebuah batu akik berwarna
hijau yang indah menempel di sana. Permukaannya datar,
berbentuk sebuah bintang.
Anak lelaki itu duduk meringkuk dan takut saat Rabbi
berdiri di depannya seperti hantu hitam. Tangannya yang
menakutkan dan keriput pelan-pelan menyentuh dahi anak
lelaki itu dengan telunjuknya. Anak lelaki itu langsung
tenang. Sentuhan itu, entah bagaimana, melegakannya sekaligus membuatnya tegang. Anak itu duduk tegak, dengan
pikiran yang lebih jernih dan tenang.
"Kau tahu siapa Raja Sulaiman?" tanya lelaki tua itu.
Anak itu mengangguk. "Ibu pernah bercerita. Aku
diberi nama seperti namanya. Ia pintar."
Lelaki tua itu mengangguk, tampak senang, dan anak
lelaki itu jengah, dan merasa bangga atas jawabannya
sendiri. "Ya, ia pintar dan bijak, dan kau diberi nama seperti
dia. Dan kau juga sangat cerdas. Tapi kau tahu apa arti
menjadi orang bijak?"
Anak itu berpikir dan berpikir, sampai dahinya mengernyit dalam-dalam.
"Tidak," jawabnya pada akhirnya.
Lelaki tua itu tertawa lembut ketika melihat ekspresinya.
"Baiklah, menjadi bijak berarti dua hal. Yang pertama
seperti resep, seperti mencampur tepung dan air untuk
membuat kue matzos. Yang kedua adalah mengingat
Tuhan, dan kemudian bertindak berdasarkan hati yang
ingat pada Tuhan." "Ha...?" "Engkau belum paham. Aku tahu, jadi aku akan
menceritakan sebuah kisah untuk menjelaskannya.
Anak itu duduk bersandar di kursi besar dan melipat
kakinya sambil bersedekap. Ia siap mendengarkan, seperti
anak yang siap mendengarkan cerita ibunya saat hendak
tidur. Ia masih mendengar suara orangtuanya di luar, tapi
ia tak ingin memanggil mereka sekarang.
Rabbi itu menatap si anak dan tersenyum sendiri. "Ini
adalah cerita yang akan terus kau ingat," katanya.
"Apa ceritanya panjang?"
"Ya," jawab Rabbi. "Kisah yang amat panjang. Tetapi
aku hanya punya waktu untuk menceritakan bagian
pertamanya. Sisanya akan kau ketahui nanti."
"Cerita apa itu?" tanya si anak antusias.
"Tentang ini," kata Rabbi, lalu pelan-pelan menunjukkan sebuah cincin yang diambil dari kantongnya. Cincin
emas dengan batu permata hijau yang berbentuk bintang.
"Dengan cincin seperti ini Raja Sulaiman dapat memahami
bahasa burung, dan ia dapat menguasai setan. Kamu tahu
apa itu setan?" Anak itu cuma menggeleng.
"Setan itu seperti Dybbuk."
"Oh!" kata anak itu. "Monster!"


Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya," kata Rabbi mengangguk.
"Di mana Raja Sulaiman mendapatkan cincin itu?"
tanya si anak. "Tuhan yang memberikan padanya. Ini, peganglah." Ia
menjatuhkan cincin itu dengan pelan ke telapak tangan si
anak. Cincin itu terasa berat baginya, dan ia menatapnya
selama beberapa saat. Emas yang kemilau dan batu permata hijau membuatnya terpesona.
"Apa ini cincin sihir?" tanya anak itu penasaran, matanya membelalak.
"Bukan," jawab Rabbi. "Kekuatannya berasal dari
kekuatan Tuhan di dalam diri orang yang memakainya."
"Apa yang akan kau lakukan dengan benda ini?" tanya anak itu sambil menyerahkan cincin itu kembali. Ia
tampak sedikit kecewa. "Aku akan menyimpannya sampai tiba saatnya kuberikan kepada orang lain."
"Kepada siapa?"
"Kepada siapa pun yang dikehendaki Tuhan."
"Apakah Tuhan akan memberikannya kepadaku,
mungkin suatu saat nanti?"
"Mungkin, Dia akan memberikannya padamu," kata
lelaki tua itu dengan serius, "apabila hatimu sudah cukup
bijak untuk tahu apa yang mesti dilakukan dengan cincin
ini." Aku mendekat untuk melihatnya, tapi Profesor
Freeman mengatupkan genggamannya, sehingga kami tak
bisa melihatnya. Aku tak tahu apakah yang lain juga
melihatnya. Hanya Rebecca yang mengamati reaksi
ayahnya. "Dan sekarang," kata Syekh sembari menatap ke atas,
"hadiah sudah diberikan dan makan malam hampir siap.
Kau telah diundang, Shlomeh. Ishaq akan mengantarkanmu padaku saat kau sudah siap." Syekh berdiri dan
masuk ke khaniqah. Ali, Rami, dan Aaron mengikutinya.
Rebecca tetap bersama ayahnya saat aku menjelaskan tata cara upacara baiat dan makna-makna
simbolisnya. Ia tak mengangkat kepalanya, dan aku
bertanya-tanya apakah ia mendengar penjelasanku atau
tidak. Tangannya masih tertutup.
"...Dan kami punya permen. Tapi jika kau ingin
membeli sebuah..." "Panggil aku Solomon," tukasnya seraya menatap
putrinya. "Dan aku tak perlu ke mana-mana. Aku sudah
punya cincin untuk diberikan."
Tiba saatnya Profesor Freeman dibaiat sebagai darwis,
lalu dihelatlah acara makan dan musik yang
menggembirakan. Alunan ney Ali, yang juga pernah
merasakan api dan air murni, membuat hati kami
terangkat ke sebuah alam tempat api dan air menyatu,
menyanyikan pujian kepada-Nya.
Setelah baiat dan makan malam yang nikmat, kami
duduk lagi di taman mendengar Syekh berbicara.
"Ketahuilah, wahai darwis, cinta adalah dasar dan
prinsip dari jalan menuju Tuhan. Segala keadaan dan
maqam adalah tahapan-tahapan cinta, yang tak akan bisa
dihancurkan selama Jalan Cinta itu ada.
"Seperti yang ditulis Amr Ibnu Uthman Makki dalam
Kitab-i Mahabbat, Kitab Cinta, Allah menciptakan jiwa
tujuh ribu tahun sebelum tubuh, dan menempatkan jiwa
dalam maqam kedekatan. Dan Dia menciptakan ruh tujuh
ribu tahun sebelum jiwa dan menyimpannya dalam
maqam keakraban. Dan Dia menciptakan hati tujuh ribu
tahun sebelum ruh dan menyimpannya dalam maqam
persatuan. Dan Dia menyibakkan tajalli keindahan-Nya
kepada hati tiga ratus enam puluh kali dalam sehari, dan
menatapnya tiga ratus enam puluh kali setiap hari. Dan
Dia membuat ruh mendengar kata cinta sejati, dan
menampakkan tiga ratus enam puluh keakraban kepada
jiwa. "Dan demikianlah, ketika Tuhan menyuruh mereka
melihat alam semesta yang diciptakan-Nya, mereka tak
melihat hal-hal yang lebih berharga ketimbang diri mereka
sendiri, dan karenanya mereka dipenuhi kebanggaan dan
kesombongan. "Lalu Allah memberi mereka hukuman. Dia memenjarakan hati dan ruh dalam jiwa dan jiwa dalam tubuh.
Kemudian Dia mencampurkan mereka dengan akal, dan
masing-masing mulai mencari maqam asalnya. Tubuh
sujud dalam shalat, dan jiwa meraih cinta, ruh sampai ke
kedekatan dengan Tuhan, sedangkan hati mendapatkan
kedamaian dalam persatuan dengan Allah."
Syekh berhenti sejenak untuk menyalakan cangklongnya, matanya menatap wajah kami sembari
mengembuskan asap putih. "Jangan minta penjelasan.
Cinta tak bisa dijelaskan. Penjelasan tentang cinta
bukanlah cinta, karena cinta melampaui kata-kata. Jika
seluruh dunia ingin menarik cinta, itu tak akan bisa. Dan
jika mereka berusaha keras menjauhkannya, mereka juga
tak akan bisa. Sebab cinta adalah anugerah ilahi. Ia tidak
dapat direbut, juga tak bisa dilawan."
Banyak yang tersentuh kerinduan oleh kata-kata
Syekh itu. Namun, hatiku hanya merasakan kebahagiaan.
Dan saat semua darwis akan pulang pada malam itu, kami
saling berpelukan sebagai teman seperjalanan, teman
sehati, dan saudara. Aaron dan Rebecca tidak saling menatap selama
Syekh memberi ceramah, juga setelah teh dan makanan
dibersihkan. Tapi mereka saling mendekat setelah semua
orang pergi. Aku melihatnya, dan perasaan mereka tak
perlu dijelaskan lagi. Akhirnya Rebecca mencium ayahnya saat ia duduk di
sampingnya. Ia juga menghabiskan malam di khaniqah
dan memulai kontemplasi sebagai seorang darwis. Aku
berjalan di sebelah Syekh saat ia mengantar mereka
sampai ke pintu. Mereka sepertinya enggan pulang dan
berdiri bercakap-cakap beberapa saat lamanya. Tapi
akhirnya, aku mencium keduanya dan mereka berdua
membungkuk hormat kepada Syekh sambil mengucapkan
salam. Kami menatap mereka menapakkan kaki menuju jalan raya. Tanah masih basah oleh hujan, dan bulan muncul di tengah kesejukan udara. Kulihat mereka berjalan
bergandengan. Sesekali awan muncul menyaput wajah
rembulan. Setelah mereka sampai di tepi jalan, Syekh menutup
pintu dan tertawa ringan. "Hasrat untuk mencintai adalah
usapan dari surga," tuturnya.
Saat kami berjalan ke rumah, ia berhenti dan
menatap langit malam. Bulan purnama dan bintang
tampak dekat dan cemerlang. Ia mengambil sesuatu dari
kantong jubahnya. Pelan-pelan dibukanya genggaman
tangannya, dan aku melihat seekor ngengat cokelat berada
di telapaknya, seperti sudah mati. Ia menyentuhnya
dengan lembut dan meniupnya pelan. Sayap-sayapnya
mulai bergerak, lalu mengepak. Syekh mengangkat
tangannya agar ngengat itu terbang. Kulihat ngengat itu
melayang berputar-putar di kisaran angin, seperti
mengikuti irama yang hanya diketahui oleh hewan itu
sendiri. Ia terbang tinggi hingga menghilang dari
pandangan. Aku tahu ia pasti menuju lampu malam
dunia, menuju cahaya Kekasihnya.
Glosarium Adab: Sopan santun dan tata krama di Jalan Sufi.
Ahaggar: Dataran tinggi yang luas atau daerah bergunung
di Sahara tengah. Akhwat: Saudara perempuan.
Amenukal: Julukan bagi ketua suku Tuareg.
Asmaul Husna: Nama-nama indah Allah.
Asmodeus: Jin yang patuh pada keyakinan Yahudi dan
menjalankan Kitab Taurat.
Azazel: Jin yang menjadi Iblis (Setan) dan diusir dari
surga ketika menolak perintah Allah untuk
bersujud kepada Adam. Azza, Azzael: Dua Malaikat yang terjatuh yang, menurut
kitab Zohar, dirantai di Gunung Kegelapan.
Baalzeboul: Nama kuno yang diberikan untuk Raja Jin.
Benaiah: Salah seorang kesatria Daud, setia pada masa
Raja Daud tua hingga Raja Sulaiman. Dan ia
berwajah tampan. Canaanitish: Bahasa Yahudi yang paling kuno.
Dafs: Kendang dari kulit kambing.
Darwis: Murid dari seorang Syekh Sufi.
Dengki: Jin yang seluruh anggota tubuhnya sama dengan
manusia, tetapi ia tidak memiliki kepala.
Dhuha: Waktu ketika matahari tingginya sepenggalah dari
arah timur; digunakan sebagai waktu untuk bersembahyang bagi kaum muslim.
Dzun Nun Al-Mishri: Syekh Sufi agung (798-856 M),
konon mampu membaca naskah-naskah berbahasa
Hieroglif dan memiliki sebuah cincin sakti.
Erg: Gurun yang sesungguhnya; kawasan luas berupa
padang pasir dan bukit-bukit pasir.
Ether: Istilah filosofis untuk substansi yang mengisi
semua ruang (space). Faqir: Secara harfiah bermakna fakir. Dalam istilah
Sufisme, faqir adalah seseorang yang hidup dalam
kebersahajaan spiritual, tak terikat kepada apa pun
selain Tuhan. Gandura: Jubah biru yang dipakai oleh suku Tuareg.
Garmi: Bahasa Persia; berarti makanan "panas", tetapi
bukan dalam arti temperaturnya, melainkan dalam
efeknya pada tubuh yang mengonsumsinya.
Ghul: Jin yang sering berubah bentuk, bertempat tinggal
di keranda atau area kuburan.
Golmos: Pena dari buluh yang keras, digunakan sebagai
alat tulis di atas papirus pada masa-masa Biblikal.
Gomeh: Tanaman yang menjadi bahan baku pembuatan
papirus. Guelta: Kolam luas berbatu dan berpasir, yang jamak
ditemukan di kawasan Sahara.
Haadi: Salah satu dari 99 nama Allah yang bermakna
"Pemberi Petunjuk".
Hadis Qudsi: Kata-kata Allah yang disampaikan kepada
Muhammad namun tidak termaktub di Al-Quran.
Iahar Halibanon: Bahasa Yahudi; secara harfiah
bermakna Hutan Lebanon; juga sebagai nama kuno
untuk istana Raja Sulaiman.
Iblis: Nama Setan di dalam Al-Quran; mungkin berasal
dari kata Arab balasa, yang berarti "yang berputus
asa"; maksudnya, berputus asa dari rahmat Allah.
Ifrit: Nama Jin jahat yang menyeramkan.
Ikhwan: Saudara laki-laki.
Istiqamah: Sikap setia dan tekun pada jalan yang dilalui.
Izrail: Malaikat Pencabut Nyawa.
Jasus Al-Qulub: Secara harfiah berarti Mata-mata Hati;
seseorang yang mempunyai kemampuan membaca
hati dan pikiran. Jeroboam: Raja Israel utara yang menguasai sepuluh dari
dua belas suku, setelah kematian Sulaiman
membuat kerajaannya terpecah belah. Rehoboam,
anak Sulaiman, memerintah dua suku sisanya.
Jin: Makhluk spiritual yang diciptakan dari api, menghuni
dunia, dan juga diwajibkan mengikuti perintah-perintah
Allah. Perbuatan mereka pun diperhitungkan. Kata "jin" dalam bahasa Arab
berarti "tersembunyi", mengindikasikan bahwa
mereka adalah makhluk tak kelihatan.
Jinnistan: Secara harfiah berarti negeri para jin.
Kafir: Bahasa Arab; secara harfiah berarti menyembunyikan atau menolak kebenaran.
Kashkul: Mangkok. Kasyaf: Pandangan yang sudah tak terhijab lagi.
Kemi"a: Jimat Biblikal, biasanya berupa doa tertulis yang
dibawa untuk menangkal setan.
Khaniqah: Bahasa Persia; berarti rumah sebuah tarekat
Sufi. Lauhul Mahfuz: Kitab Induk yang berisi segala ketentuan
atau takdir kehidupan. Luz: Kota mitis yang tak bisa disentuh oleh kematian.
Maqam: Tingkatan spiritual seorang Sufi. Dalam tradisi
Tasawuf, maqam yang terbawah adalah syariat, dilanjutkan thariqat, hakikat, dan yang tertinggi adalah makrifat.
Mazel: Bahasa Yahudi untuk nasib baik, atau ungkapan
"semoga sukses".
Modougou: Pemimpin sebuah kafilah.
Mossad: Badan intelijen Israel.
Muazin: Orang yang mengumandangkan azan.
Muhasabah: Upaya menghitung diri; di dalamnya seorang
darwis yang baru dibaiat merenungkan segala
amal annya di masa lalu. Mukasyafah: Pengetahuan yang sudah tak terhijab lagi.
Munkar, Nakir: Dua malaikat yang memberikan
pertanyaan kepada ruh yang sudah terlepas dari
jasadnya. Namrud: Raja jahat yang melemparkan Ibrahim ke dalam
kobaran api. Naqib: Bentuk tunggal dari kata Nuquba; satu dari tiga
manusia yang mendukung atau yang dapat menggantikan kedudukan Qutb.
Negev: Gurun pasir di daerah Israel selatan.
Ney: Seruling Persia yang terbuat dari tanaman buluh.
Nuquba: Lihat Naqib. Onoskelis: Jin dengan bentuk tubuh dan kulit seorang
wanita yang cantik. Ornias: Jin yang mempunyai taring seperti vampir.
Pentalpha: Bintang berujung
sebagai simbol sihir. lima

Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang digunakan Qalandar: Darwis pengembara yang penyendiri.
Qutb: Pribadi yang dianggap sebagai kutub magnetis atau
titik zenit spiritual dalam sebuah Zaman; pemimpin
rohani tertinggi dalam tradisi Islam.
Rabbi: Pendeta Yahudi. Rabdos: Jin rakus yang bentuknya
pemburu bertelinga panjang.
seperti anjing Reg: Gurun pasir yang dilapisi bebatuan dan kerikil yang
mengarah menuju Erg, atau gurun pasir yang
sesungguhnya. Ruh: Jiwa ilahi dalam tubuh manusia.
Sakinah: Kedamaian hati yang hanya bisa datang melalui
kepasrahan kepada Allah. Salam: Bahasa Arab; artinya "damai".
Salik: Pejalan atau pencari Kebenaran.
Sama": Kondisi trans yang melampaui waktu, tercipta oleh
musik dan nyanyian Sardi: Bahasa Persia; berarti makanan "dingin", tetapi
bukan dalam arti temperaturnya, melainkan dalam
efeknya pada tubuh yang mengonsumsinya.
Shamir: Batu atau permata hijau legendaris, yang konon
untuk membangun dan menjadi bagian dari Kuil
pertama di Yerusalem. Juga konon menjadi batu
atau permata yang berada dalam cincin segel Raja
Sulaiman, yang dengannya ia memerintah bangsa
jin. Siddiq: Pribadi yang visi batinnya telah tercerahkan;
seseorang yang kata-katanya adalah kebenaran.
Sufi: Seseorang yang menempuh jalan menuju kebenaran
sejati. Sufreh: Kain putih yang dibentangkan di atas lantai atau
tanah pada saat makan. Syahadat: Deklarasi keimanan dalam agama Islam.
Bunyinya: "Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah,
dan aku bersaksi Muhammad utusan Allah."
Syekh: (1) Pemimpin sebuah kota atau kampung. (2)
Kepala lembaga keagamaan di sebuah kota atau
daerah. (3) Dalam Sufisme, berarti Guru Spiritual.
Tadmor: Kota mitis yang dibangun oleh Raja Sulaiman
untuk Ratu Sheba (Bilqis).
Tafakur: Kontemplasi batin.
Tamashek: (atau Tamajeg); bahasa cakapan suku Tuareg;
tidak ada bentuk tertulisnya.
Tar: Alat musik petik yang dibentuk dari dua mangkok,
bentuknya seperti angka delapan.
Tarekat: Sebuah ordo dalam Sufisme.
Tasawuf: Sebuah jalan untuk menyatukan diri dengan
Tuhan melalui cinta dan pelampauan pikiran.
Taslim: Bahasa Arab; secara harfiah berarti "Saya
menerima pasrah." Tattala: Bahasa Yahudi untuk anak kecil.
Tephros: Jin yang dipanggil dengan sebutan Setan Debu.
Tombeck: Genderang berbentuk piala.
Tuareg: Sebuah istilah untuk mengidentifikasi kelompokkelompok beragam dari penduduk di Afrika Sahara,
yang mempunyai bahasa dan sejarah yang sama.
Wadi: Sungai atau jurang di padang pasir (berisi air jika
hujan turun). Wali: Wakil atau Sahabat Allah; bentuk jamaknya adalah
Awliya. Wazir: Penasihat utama Raja atau Sultan.
Zadok: Kepala Pendeta Kuil sepanjang pemerintahan Raja
Sulaiman. Zohar: "Kitab Kabala. Keagungan"; kumpulan ajaran-ajaran Ucapan Terimakasih Dengan rasa syukur, saya berterima kasih kepada
orang-orang yang telah memberikan saran, dukungan,
inspirasi, keramahan, dan cinta:
Tuan Hasan Koshani, Tuan Leon Tiraspolsky, Ali
Jamnia, Mojdeh Bayat, Maryann Lewis, Barbara Vaughan,
Patricia Sweeney, dan, yang tak pernah terlupa, Matthew
dan Rebecca. Juga kepada penerjemah buku ini ke dalam
Bahasa Indonesia, Saudara dalam Tarekat, Tri Wibowo BS.
Tentang Pengarang IRVING KARCMAR adalah seorang
penulis, editor, dan penyair selama
bertahun-tahun. Sejak tahun 1992 ia
menjadi seorang darwis yang berbaiat
pada Tarekat Nimatullahi.
Pada tahun 1986, ia menerbitkan buku pertamanya, It
Was Mostly You, sebuah antologi
puisi. Sang Raja Jin adalah novel
debutannya yang mengundang decak
kagum dari berbagai kalangan,
terutama para pejalan spiritual.
Diterjemahkan ke beberapa bahasa
antara lain: Jerman, Rusia, Spanyol, India, Turki, dan
Jepang. Kini menetap di dekat New York City, melanjutkan
langkah cintanya sebagai penulis karya-karya spiritual.
Tentang Penerjemah TRI WIBOWO BS lahir di Demak, Jawa Tengah, 33
tahun lampau. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas
Islam Indonesia (UII) ini kini bekerja sebagai editor,
penerjemah, dan sesekali menulis. Berbaiat Tarekat
Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah di Suryalaya. Telah
menerjemahkan lebih dari 20 buku sejak tahun 2000,
menulis beberapa cerpen dan menyelesaikan novel sufistik
pertamanya, Diari Pendaki Gunung. Juga telah
menyelesaikan buku tentang prinsip-prinsip dasar ajaran
tasawuf, Aroma Tasawuf. Buku-buku terjemahannya
antara lain: Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud: Ajaran
dan Kehidupan Spiritual Syekh Akbar Ibn "Arabi
(Hirstentein, S); Kisah-kisah dari Negeri Cina (Hsun, Lu);
Catatan Harian Mengelilingi Amerika Selatan (Che
Guevara). Sehari-harinya lebih banyak di rumah di Yogyakarta,
membaca, menerjemah, dan menulis, ditemani istri,
rokok, kopi, dan sesekali mendaki gunung atau melancong
ke Jakarta. E-mail: triwibs@yahoo.com.
5 Jagoan 5 Raja 8 Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo Dewi Mutiara Hijau 1
^