Abarat 2
Abarat Karya Clive Barker Bagian 2
Candy memandangi mangkuk kecil sederhana yang
bertengger di atas piramida. Kata-kata Mischief ter-ngiang-ngiang di telinganya.
Cahaya adalah permainan paling tua di dunia....
Shape ada di depan pintu, memandangi Candy melalui celahnya dengan satu mata
yang menyorotkan sinar setajam ujung jarum, rahangnya menganga lebar dan meneteskan buih, seperti mulut
seekor anjing gila. Kemudian ia mulai menyanyikan kembali lagunya yang
mengerikan, tapi kali ini dengan lebih perlahan, lebih membuai.
"Lupakan masa depan,
Lupakan masa lalu. Hidupmu usai, Embuskan napas terakhirmu."
Sambil menyanyi ia mendorong pintu perlahan-lahan, seakan-akan ini sebuah
permainan. Candy tak punya waktu untuk menghampiri piramida itu dan menaruh bola di dalam
mangkuk. Kalau ia membuang-buang waktu yang tinggal tiga atau empat detik itu,
Shape pasti sudah lebih dulu masuk dan merobek-robek tenggorokannya. Itu tak
perlu diragukan lagi. Candy tak punya pilihan: ia harus menjalani permainan ini.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melemparkan bola tersebut. Lemparannya tidak
bagus. Bola itu mengenai pinggiran mangkuk, bukan mendarat di dalamnya. Selama
beberapa detik bola itu berputar-putar di bibir mangkuk, dan bisa jatuh ke luar
setiap saat. " Ayolah" Candy berdoa dalam hati, sambil memandangi bola itu dengan tegang,
seperti penjudi memandangi roda rulet. Ia tahu ia hanya punya satu kesempatan untuk melempar;
takkan ada kesempatan kedua. Bola itu masih juga bergulir mengelilingi pinggiran mangkuk, seperti tak bisa
memutuskan hendak jatuh di mana.
" Terus," gumam Candy, berusaha tidak menghiraukan pintu yang berderit membuka
di belakangnya. Bola itu membuat satu putaran terakhir dengan malas, mengelilingi bibir mangkuk,
kemudian bergoyang-goyang maju-mundur sesaat, dan bergulir jatuh ke dalam
mangkuk. Setelah berputar-putar selama beberapa detik, akhirnya bola itu pun diam.
Shape memperdengarkan suara yang sama sekali tidak seperti manusia; suara yang
luar biasa keras, dimulai dari desisan yang lalu meningkat menjadi suara makhluk
yang disiksa hingga di ambang kegilaan. Sambil mengeluarkan suara yang
mendirikan bulu roma itu, ia mendorong pintu hingga terbuka, menepiskan Candy ke
samping, lalu mengulurkan tangan untuk meraih bola itu dari dalam mangkuk.
Tapi mercu suar itu tak mau kompromi. Setelah Candy melemparkan bola tadi,
terjadi suatu proses yang sama sekali tidak dipahami Candy. Ada suatu kekuatan
tak terlihat di udara, dan kekuatan itu mendorong Shape mundur, membawanya
keluar dari pintu. Di luar, Candy mendengar Mischief dan saudara-saudaranya
melolong seperti sekawanan anjing yang gembira. Meski tak melihat apa yang telah
dilakukan Candy, mereka tahu ia sudah berhasil. Candy sendiri tidak sulit untuk
mengerti, bagaimana mereka bisa tahu. Ada gelombang energi murni
yang terpancar dari piramida tersebut. Candy merasa rambut-rambut halus di dasar
kepalanya mulai menegang, dan di belakang matanya pola-pola pada bola itu
memancarkan cahaya biru, hijau, dan keemasan.
Candy mundur selangkah, lalu selangkah lagi, tatapannya terarah pada bola,
mangkuk, dan piramida tersebut.
Dan ia terperangah ketika piramida itu mulai bergerak pada ujungnya yang
runcing. Makin lama makin cepat, dan pada saat yang bersamaan seberkas nyala api
meletup di bagian tengahnya. Sebuah cahaya keperakan berkelap-kelip malu-malu,
lalu dengan cepat berubah menjadi cahaya terang dan kuat yang memancar melalui
pola-pola pada sisi-sisi piramida tersebut.
Ketika itu sesaat menjelang tengah hari di Minnesota; meski matahari tertutup
lapisan awan tipis, cuaca boleh dikatakan masih cerah. Tapi cahaya yang sekarang
mulai mengalir melalui pola-pola hieroglif pada piramida yang berputar itu jauh
lebih terang, memancar ke segala arah dalam pendar-pendar yang teramat
cemerlang. Terdengar suara pelan bernada sedih dari Mendelson Shape. Candy menoleh ke
arahnya. Shape sedang memandangi piramida itu. Segala kejahatan dan niat mencelakakan yang semula
terpancar di wajahnya kini lenyap sepenuhnya. Sepertinya ia sudah pasrah akan
apa pun yang bakal terjadi selanjutnya. Tidak ada yang bisa ia lakukan terhadap
fenomena ini selain menontonnya.
"Coba lihat akibat perbuatanmu itu," katanya dengan amat sangat pelan.
"Apa sebenarnya yang telah kulakukan?" tanya Candy.
"Lihat saja sendiri," sahut Shape, dan sesaat ia mengalihkan tatapannya dari
piramida yang berputar itu, lalu mengangguk ke arah pemandangan di luar bangunan
mercu suar. Sekarang Candy tidak takut lagi untuk membalikkan
badan, memunggungi Shape. Shape tampaknya jinak,
setidaknya sampai proses ajaib ini selesai.
Candy beranjak ke pintu dan melangkah ke luar,
melewati lubang yang telah dibuatnya. Ia berdiri di platform, untuk melihat
akibat yang ditimbulkan oleh permainan bola dan mangkuk tadi.
Yang pertama-tama menarik perhatiannya adalah
awan raksasa itu. Awan tersebut tidak lagi bergerak perlahan sebagai respons
atas embusan angin sepoi-sepoi.
Sekarang awan itu bergerak sangat cepat, secepat
sebuah roda raksasa, dengan menara tempat Candy berdiri sebagai sumbunya.
Candy berdiri mengagumi pemandangan itu selama
beberapa saat, terkagum-kagum melihatnya. Kemudian ia menatap John Bersaudara
yang telah mengalihkan pandang dari mercu suar, dan sekarang sama-sama
memandangi bentangan padang rumput yang luas. Apa yang mereka pandangi" pikir
Candy. Tak ada apa-apa di sana hingga bermil-mil, rumah pun tidak ada. Entah
kenapa, daerah perumahan Chickentown tidak pernah
melewati batas rumah Ibu Janda White di sebelah barat laut, padahal dari pusat
kota daerah perumahan tersebut menyebar ke segala arah. Tapi di sini yang ada
hanya tanah kosong, terbengkalai, tak diinginkan,
Namun ada sesuatu yang ingin dilihat John Mischief dan saudara-saudaranya di
sana. Ia menudungi matanya
dengan dua tangan, memandang ke kejauhan.
Candy bisa merasakan cahaya yang terpancar dari
piramida itu menekan punggungnya, seperti sebuah
kehadiran yang nyata. Perasaan ini bukannya tidak
menyenangkan. Bahkan boleh dikatakan sangat menye-
nangkan. Dibayangkannya dirinya merasakan kekuatan cahaya itu menembus tubuhnya,
meminjamkan kekuatan padanya. Ia seolah-olah merasakan cahaya tersebut
mengalir melalui pembuluh-pembuluh darahnya, memancar keluar dari pori-porinya
dan dari embusan napasnya. Ia menduga ini hanya imajinasinya belaka. Tapi
barangkali juga tidak. Hari ini segalanya terasa aneh.
Di belakangnya, Mendelson Shape menyuarakan
erangan panjang menyedihkan, dan tak lama kemudian delapan suara berteriak
bersama-sama dari bawah. "Ada apa?" Candy berseru pada mereka.
"Lihat, Lady, lihat!"
Candy mengikuti arah tatapan kedelapan bersaudara
itu, dan segala sesuatu yang telah dilihatnya hari itu - ya, malah segala sesuatu
yang telah ia lihat dalam hidupnya, sampai pada saat yang luar biasa ini - baru
merupakan permulaannya; lalu dimulailah segala keheranan itu.
Di kejauhan sana tampak gelombang air laut yang berkilau-kilau, entah muncul
dari mana, makin mendekat, menerpa batu-batu karang serta padang rumput
Minnesota. Sejak dulu Candy memiliki penglihatan bagus (di
keluarganya tidak ada yang mengenakan kacamata); ia tahu matanya tidak
menipunya. Memang ada ombak-ombak laut yang datang mendekat, berbuih dan ber-
gulung memecah. Sekarang ia tahu, apa yang telah dilakukannya di
mercu suar sana. Ia telah memanggil laut ini entah dari mana; dan air itu pan
datang, seperti anjing yang menjawab panggilan tuannya.
" Kau berhasil!'' Mischief berseru-seru sambil melompat-lompat dan berputar-
putar. " Kau berhasil, Lady! Oh, lihat!
Lihat" . Ia menoleh pada Candy, wajahnya basah oleh air mata bahagia. "Kaulihat
laut itu" " "Aku melihatnya!" Candy berseru padanya, tersenyum melihat kegembiraannya.
Kemudian dengan lebih pelan ia berkata, "Murkitt benar."
Bentangan padang rumput masih tampak di bawah
debur ombak yang kian mendekat; tapi semakin dekat laut itu, semakin khayali
dunia nyata terasa, dan semakin kuat pengaruh ombak laut yang mendatangi itu.
Bukan hanya penglihatannya yang membuat Candy
yakin akan adanya laut tersebut. Ia juga bisa mencium aroma asin air laut yang
terbawa angin; ia pun bisa mendengar debur gemuruh ombak yang datang makin
dekat, menghanyutkan dunia yang selama ini dikiranya satu-satunya dunia yang
ada, menenggelamkannya di
bawah gelombang. "Namanya Laut Izabella...," Mendelson Shape berkata di belakangnya. Candy merasa
mendengar nada penuh kerinduan dalam suaranya. Benarkah" Rasanya begitu.
"Kau berasal dari sana?"
"Bukan dari laut itu. Dari kepulauannya. Dari Abarat."
" Abarat" "
Kata itu sepenuhnya asing bagi Candy, tapi Shape
menyebutkannya dengan penuh keyakinan. Jadi, mana
mungkin Candy tak percaya bahwa kepulauan itu benar-benar ada"
Kepulauan Abarat "Tapi kau takkan pernah melihatnya," kata Shape; ekspresi wajahnya sudah tidak
menerawang lagi, melainkan sudah kembali penuh ancaman. "Abarat bukan untuk
dilihat mata rnanusia. Tempatmu di dunia Hereafter ini. Takkan kubiarkan kau
masuk ke air itu. Takkan kubiarkan. Kaudengar aku?"
Sikap lembutnya sesaat tadi sudah lenyap. Shape
kembali ke perangainya yang kejam. Ia bangkit berdiri, dan berjalan menghampiri
Candy, darah mengalir dari luka akibat tusukan Mischief di kakinya.
Candy mundur tersandung-sandung, keluar dari pintu, menuju platform yang sudah
hancur. Sekonyong-konyong embusan angin terasa lebih dingin dan kuat, dan
membawa butir-butir air yang menerpa wajahnya. Bukan
hujan, melainkan butir-butir air laut. Asinnya terasa di bibir.
" Mischief! " teriak Candy; dengan hati-hati ia mundur melangkahi lubang
menganga di platform, sambil
menyambar birai dari besi, supaya ia tidak terpeleset.
Shape merunduk melewati pintu, kedua lengannya
begitu panjang, hingga ia bisa meraih melewati lubang.
Satu tangannya mengait ikat pinggang Candy, kuku-kuku jemarinya merobek bahan
baju Candy, sementara tangan satunya menyambar ke arah tenggorokan Candy, lalu
mencekiknya. Candy berusaha memanggil Mischief untuk kedua kalinya, sekaligus mencoba menoleh
untuk melihat. Tapi ia tidak berhasil. Cengkeraman Shape pada lehernya terlalu
kuat. Sekali lagi Candy mencoba berseru. Melihat ini, Shape semakin mempererat
cekikannya, hingga Candy meneteskan air mata kesakitan, dan titik-titik putih serasa menari-nari di
sudut-sudut matanya. Dengan putus asa ia mengulurkan tangan dan men-
cengkeram tangan Shape yang besar. Dicobanya menarik tangan itu dari
tenggorokannya. Kalau ia tak bisa
mengendurkan cekikan ini, ia akan segera pingsan. Tapi ia tak punya tenaga untuk
melepaskan satu jari pun.
Sekarang titik-titik putih itu semakin menyebar, dan tak lama lagi ia akan
hilang kesadaran. Tapi masih ada satu harapan, meski sangat kecil.
Seperti telah terbukti dari insiden di tangga tadi, struktur menara yang sudah
lapuk itu tak sanggup menahan orang seberat Shape. Kalau Candy bisa menarik
Shape dari ambang pintu ke papan-papan platform yang retak oleh berat badan
Candy sendiri, barangkali ada harapan
papan-papan itu akan runtuh terinjak Shape, seperti halnya tangga tersebut.
Ia tahu ia hanya punya waktu beberapa detik untuk
berusaha menyelamatkan hidupnya. Cengkeraman Shape begitu keras, seperti tang,
dan makin lama makin erat.
Kepala Candy berdenyut-denyut dan serasa akan me-
ledak. Candy kembali mencengkeram birai, dan beringsut
ingsut menarik tubuhnya sepanjang birai itu, dengan harapan bisa ikut menarik
Shape bersamanya. Tapi percuma saja. la sudah hampir kehabisan tenaga.
Ditatapnya wajah Shape yang masih terus mempererat cekikan di lehernya. Makhluk
itu menyeringai lebar dengan ekspresi puas kedua matanya memantulkan kilau air
laut yang makin mendekat di belakang. Gigi-giginya yang kelabu tajam bagaikan
mata anak-anak panah yang kadang ditemukan Candy di antara rerumputan
ketika ia masih kanak-kanak.
Pikiran itulah yang terakhir melintas dalam kepalanya sebelum ia jatuh pingsan.
Shape dengan mulut dan gigi-gigtaya yang seruncing anak-anak panah.....
Kemudian dunia seolah-olah membelah di bawah
pijakannya, dan tangan Shape terlepas dari teng-
gorokannya ketika platform itu runtuh di bawah kaki mereka. Kayu-kayunya
berderak patah dengan suara
keras, dan Shape mengeluarkan jeritan kaget. Cekikannya di leher Candy terlepas.
Sekonyong-konyong Candy mendapati dirinya jatuh dari lubang menganga di platform
itu, terempas ke tanah disertai papan-papan yang ikut berjatuhan.
Seandainya ia dalam keadaan sadar ketika jatuh, ia pasti luka parah. Tapi
untunglah ia sudah pingsan ketika jatuh, dan otot-otot tubuhnya lemas seluruhnya
saat ia mendarat. Ia tergeletak di sana, tidak menyadari keadaan
sekelilingnya, terbaring di rerumputan, di kaki bangunan mercu suar. Sementara
itu air Laut lzabella berdebur dan bergulung-gulung untuk memenuhi panggilan
cahaya yang telah dipancarkan.
8 SEJENAK BERSAMA MELISSA EBERAPA mil dari tempat anak perempuannya
tergeletak tak sadarkan diri di rumput, Melissa
BQuackenbush tengah berada di pekarangan
belakang Followell Street 34, membersihkan alat pemanggang sepulang bekerja. Ia
benci sekali tugas ini: mengerik sisa-sisa daging ayam yang gosong dari besi
pemanggang, sementara barisan semut yang semula asyik menggerumiti daging-daging
itu tercerai-berai ke segala arah.
Selalu dirinya yang mesti mengerjakan tugas ini, bukan suaminya. Si Gendut
Lembek, itulah sebutan rahasianya terhadap suaminya. Saat ini laki-laki itu
sedang duduk di dalam, terpuruk di depan televisi, menonton pertandingan entah
apa dalam keadaan setengah mabuk. Dulu, ketika suaminya baru saja dipecat,
Melissa marah melihat kemalasannya untuk bangkit kembali dan mencari
pekerjaan baru. Tapi sekarang ia sudah pasrah, seperti halnya ia pasrah mengerik
sisa-sisa daging ayam panggang minggu lalu dari besi-besi ini. Seperti iniLah hidupnya. Bukan
kehidupan seperti ini yang ia inginkan; bermimpi pun tidak bahwa ia akan
menjalani kehidupan seperti ini - tapi hanya iniiah yang dimilikinya: si Gendut
Lembek, anak-anaknya, dan besi pemanggang yang
lengket oleh daging ayam panggang.
Saat ia sedang menyelesaikan tugasnya, terasa ada
angin berembus dari suatu tempat nun jauh di sana.
Melissa sudah basah kuyup oleh keringat, karena ke-payahan mengorek daging yang
lengket, dan embusan angin itu terasa menyegarkan, mengeringkan butir-butir keringat di dahi dan
tengkuknya, menerpa helai-helai rambut kelabu yang menempel di kulitnya.
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi bukan kesejukan angin itu yang membuat ia me-
mejamkan mata dan menikmatinya. Bukan, bukan ke-
sejukannya, melainkan aroma yang dibawanya.
Memang absurd kedengarannya, tapi ia bisa meng-
hirup aroma air laut dalam embusan angin itu. Tentu saja ini sesuatu yang
mustahil bagaimana mungkin angin bisa membawa suatu aroma dari jarak seribu mil
lebih" Sebagian otaknya mengatakan: Tak mungkin yang tercium olehku adalah aroma air
laut, tapi sebagian lagi bergumam. Memang air laut, memang air laut.
Lagi-lagi ada embusan angin menerpa wajahnya. Kali ini aroma yang dibawanya
begitu kuat, juga perasaan-perasaan yang dihangkitkan oleh aroma tersebut,
hingga mengharu-biru perasaan Melissa.
Dijatuhkannya kaleng berisi cairan pembersih serta sendok kayu yang ia
pergunakan untuk mengerik sisa-sisa daging.
Ketika kedua benda itu jatuh ke batu-batu pelapis
jalan, sebuah kenangan lama hinggap di benak Melissa; kenangan dari masa yang
sudah lama berlalu. Ia sendiri bahkan tidak yakin apakah ia ingin mengingat-
ingat kembali kenangan itu. Tapi ia tak punya pilihan. Ingatan tersebut muncul
dengan sangat kuat di benaknya, begitu jelas, hingga seperti baru kemarin
terjadi. Ia ingat waktu itu hujan lebat, butir-butir air yang turun deras menerpa atap
truk Ford tua milik ia dan suaminya, Bill, ketika mereka baru menikah. Mereka
kehabisan bensin di tengah siraman hujan badai. Bill keluar dari mobil untuk
mencari bensin supaya mobil mereka bisa berjalan lagi. Ia ditinggalkan sendirian
di tengah-tengah hujan lebat yang turun tiba-tiba. Sendirian dalam gelap dan
dinginnya udara. Tapi... tidak, itu tidak sepenuhnya benar. la tidak sepenuhnya sendirian. la
sedang mengandung waktu itu, Di dalam perut Melissa, yang duduk menunggu Bill
kembali di dalam truk yang dingin itu, ada Candy Francesca
Quackenbush yang satu jam lagi akan lahir. Waktu itu jam dua pagi, dan air
ketuban Melissa sudah pecah, seiring dengan curah hujan deras dari langit. Dan
hingga kini pun Melissa belum pernah lagi mengalami hujan badai yang begitu
mendadak dan begitu dahsyat seperti waktu itu.
Namun yang ada dalam pikirannya saat ini bukanlah
hujan deras atau cuaca dingin, atau pun tendangan bayi di perutnya ketika itu.
Ada peristiwa lain yang terjadi.
Sesuatu yang terbersit kembali dalam ingatannya akibat dipicu oleh aroma air
laut yang menyengat hidungnya.
Sayangnya ia tidak ingat, apa persisnya sesuatu itu.
la mundur menjauhi alat pemanggang itu - menjauh
dari bau daging ayam yang gosong serta cairan
pembersih - untuk menghirup udara yang lebih segar.
Dan saat ia menarik napas - menghirup udara berbau
air laut yang mustahil benar-benar udara laut - sepotong ingatan lain terbetik
jelas dalam pikirannya. la ingat, waktu itu ia duduk di dalam truk, sementara hujan lebat menerpa atap
mobil dengan bunyi berisik yang amat sangat. Sekonyong-konyong, dengan tiba-tiba
saja, ada cahaya di mana-mana, masuk membanjiri bagian dalam Ford tua itu.
Melissa tidak tahu sebabnya, tapi entah kenapa ia
merasa ingatan ini - tentang mobilnya yang dipenuhi
cahaya putih menyilaukan itu - ada kaitannya dengan bau yang tercium di udara. Ini
sangat tidak masuk akal. Jelas-jelas pikirannya telah mempermainkannya. Sudah
sintingkah ia" Sinting oleh kesedihan dan kekecewaan.
Matanya mulai terasa panas, dan sekarang air matanya mengalir di pipi, tak
terbendung lagi. Ia memarahi dirinya agar tidak bersikap konyol begini. Apa
sebenarnya yang ia tangisi"
"Aku tidak sinting," katanya seorang diri, dengan suara pelan. Tapi tetap saja
ia merasa seperti orang yang tersesat dan kehilangan pegangan.
Mesti ada penjelasan akan hal ini, di suatu sudut dalam ingatannya. Masalahnya
ia tak bisa mengorek ingatan itu.
"Ayolah...," katanya pada dirinya sendiri.
Ia merasa seperti orang yang sedang berusaha keras mengingat ingat sebuah nama -
nama yang sudah ada di ujung lidah, tinggal dilontarkan tapi tidak muncul dalam
ingatan. Ia jadi kesal pada dirinya sendiri, dan merasa agak cemas juga (barangkali ada
yang tidak beres pada dirinya. Bagaimana mungkin ia merasa mencium aroma laut di tengah-tengah
Minnesota" Mungkin ia jadi sinting gara-gara kehidupan yang dijalaninya.) Maka
ia pun mengalihkan perhatiannya dari bentangan langit luas dan kembali pada bau-
bauan masam yang sudah begitu
dikenalnya, yang menguap dari alat pemanggang.
Memang bukan bau-bauan yang menyenangkan, tapi
setidaknya bisa ia pahami. Sambil mengusap air matanya dengan punggung tangan,
ia memaksa dirinya melupakan aroma yang tadi tercium olehnya. Hidungnya pasti
salah membaui, tidak kurang tidak lebih.
Ia mengambil sendok kayunya, serta kaleng berisi
cairan pembersih yang tadi dijatuhkannya, kemudian melanjutkan pekerjaannya yang
melelahkan dan membosankan itu.
9 MACAM-MACAM PERISTIWA DI DERMAGA ANDY mendengar serentetan suara mengucapkan
satu kata yang sama serentak.
C Lady, kata suara-suara itu; Lady, Lady, Lady...
Baru beberapa saat kemudian ia menyadari bahwa
suara-suara itu memanggil-manggil dirinya.
Para pemilik suara itu adalah John Bersaudara:
Mischief, Fillet, Sallow, Moot, Drowze, Pluckitt, Serpent, dan Slop. Mereka
semua memanggil-manggilnya, mencoba menyadarkannya dari pingsan. Candy merasa
tubuhnya diguncang-guncang dengan hati-hati. Dan ia pun membuka matanya - dengan
hati-hati pula. Delapan wajah yang tampak cemas memandanginya:
satu wajah besar dan tujuh wajah yang lebih kecil.
"Ada yang patah?" tanya John Fillet.
Candy berusaha duduk dengan sangat hati-hati. Bagian belakang lehernya terasa
sakit. Tapi tidak terlalu parah, hanya seperti pegal-pegal yang biasa ia rasakan
sehabis tidur dalam posisi yang tidak nyaman. Ia menggosok-gosok kedua kaki dan
lengannya, juga menggoyang-
goyang jemarinya. "Tidak ada," sahutnya, agak terheran-heran dengan nasib baiknya, mengingat tadi
ia jatuh dari jarak cukup tinggi. "Kurasa tidak ada yang patah."
"Baguslah," kata John Sallow. "Kalau begitu, kita bisa meneruskan perjalanan."
"Tunggu dulu," cegah Mischief. "Dia kan baru saja..."
"Sallow benar," kata John Fillet. "Kita tidak punya waktu buat menunggu. Si
Shape bedebah itu akan sampai ke sini beberapa saat lagi."
Shape! Mendengar nama itu, Candy langsung meraih
lengan Mischief dan berusaha bangkit berdiri. Ia tak mau lagi merasakan dicekik
oleh tangan-tangan Mendelson Shape.
"Kita akan ke mana?" tanyanya.
"Kita pulang, Lady," sahut Mischief. "Kau pulang ke rumahmu. Kami pulang ke
rumah kami," Ia memasukkan tangannya ke saku sebelah dalam. "Tapi sebelum aku
pergi," katanya sambil merendahkan suaranya, hingga tinggal berupa bisikan,
"kira-kira maukah kau melakukan sesuatu untukku - untuk kami semua - sampai kita
bertemu lagi?" "Apa yang kaubutuhkan?" tanya Candy.
"Aku cuma minta kau menyimpankan sesuatu untuk kami.
Suatu benda yang sangat berharga."
Dari saku dalam jaketnya ia mengeluarkan sebuah
benda yang terbungkus sepotong kain kasar, diikat
dengan tali dari kulit berwarna cokelat yang dililitkan beberapa kali.
"Kau tidak perlu tahu isi bungkusan ini," katanya.
"Malah, kalau kau tidak keberatan, sebaiknya kau memang tidak tahu. Bawa saja
dan simpankan untuk kami.
Bisakah kau" Kami akan kembali, aku janji. Kalau Carrion sudah lupa tentang kami
dan kami bisa mencuri-curi kembali kemari."
"Carrion?" "Christopher Carrion," kata John Serpent, suaranya terdengar cemas. "Dia
Penguasa Tengah Malam."
"Kau bersedia menyimpankan benda ini untuk kami?"
kata John Mischief sambil mengulurkan bungkusan kecil itu.
"Begini ya..." kata Candy, "kalau aku diminta menyimpankan sesuatu, setidaknya
aku mesti tahu dulu, benda apa yang bakal kusimpan itu. Apalagi kalau benda itu
penting." "Apa kubilang," kata Serpent. "Aku sudah tahu dia tidak bakal puas diberi
jawaban bahwa sebaiknya dia tidak tahu. Anak itu terlalu besar rasa ingin
tahunya." "Lho, kalau aku diminta menjadi kurir, aku jelas berhak dong...," kata Candy
pada John Serpent. "Ya, ya, kau memang berhak," kata Mischief. "Bukalah bungkusan itu. Ayo. Buka
saja." Anehnya bungkusan kecil itu sepertinya sama sekali tidak berbobot, kecuali
kertas pembungkus dan tali pengikatnya. Candy menarik simpul yang besar.
Kelihatannya simpul itu sulit dibuka, tapi ternyata terurai dengan sendirinya
begitu Candy menyentuhnya. Ia merasa ada sesuatu yang bergerak di dalam
bungkusan tersebut. Saat berikutnya seberkas cahaya memancar keluar dari dalam bungkusan, dan
sejenak menyilaukan matanya. la melihat beberapa titik cahaya muncul di
hadapannya, diikuti oleh jalur-jalur terang berkilauan yang berpendar-pendar.
Cahaya itu mengambang sejenak, kemudian
meresap masuk ke alam bawah sadarnya, dan lenyap.
Pemandangan ini membuat Candy tertegun, tak
sanggup berbicara, padahal kejadiannya hanya makan waktu tiga detik.
"Sekarang kau telah memiliki Kunci itu," kata John Mischief padanya dengan
ekspresi serius. "Kuminta kau tidak memberitahu siapa pun bahwa Kunci itu ada
padamu. Kau mengerti" Tidak pada siapa pun."
"Terserah katamulah" sahut Candy. Ia memandangi bungkusan yang telah kosong itu
dengan terheran heran. Setelah beberapa saat, ia bertanya, "Kurasa kau tidak bakal mau memberitahu
pintu apa yang bisa dibuka
dengan kunci ini?" "Sungguh, Lady, sebaiknya tidak"
Mischief membungkuk dan mengecup tangan Candy,
lalu beranjak menjauh. "Selamat tinggal, Lady," katanya.
"Kami harus pergi"
Selama percakapan tersebut berlangsung. Candy ber-
diri menghadap ke mercu suar. Sekarang, saat Mischief hendak pergi
meninggalkannya ia baru menyadari
betapa banyak perubahan yang terjadi dalam saat-saat singkat ia tak sadarkan
diri tadi. Sebuah dermaga reyot telah muncul dari dalam tanah.
Di ujungnya tampak ombak-ombak besar berdebur
memecah, cukup dahsyat hingga dermaga itu berderik-derik dan bergoyang-goyang
kena empasannya. Di belakang ombak-ombak itu Laut Izabella terbentang luas ke arah cakrawala biru
berkabut. Minnesota - yang
selama ini dikenal Candy - tampaknya telah lenyap,
tertelan bentangan air but yang maha luas ini.
Dengan mulut ternganga takjub Candy bertanya,
"Bagaimana.. bagaimana ini bisa terjadi?"
"Kau yang memanggil laut itu, Lady. Kau ingat" Kau memanggilnya dengan mangkuk
dan bola itu." "Aku ingat," kata Candy.
"Sekarang aku harus pulang, mengarungi perairan itu,"
kata Mischief. "Kau juga mesti pulang ke Chickentown. Aku akan kembali. Aku
janji. Aku akan kembali kalau sudah aman. Dan Kunci itu akan kuminta lagi. Untuk
saat ini, kau telah sangat banyak membantu terciptanya kebebasan di seluruh
kepulauan ini dengan kesediaanmu menyimpankan Kunci itu."
Sekali lagi ia membungkuk pada Candy, lalu dengan
sopan namun tegas ia menganggukkan kepala ke arah
Chickentown. " Pulanglah, Lady?" katanya, seperti orang berusaha menyuruh pulang seekor
anjing yang tidak mau beranjak dari sisinya. "Pulanglah ke tempat yang aman
bagimu, sebelum Shape turun dari mercu suar itu. Kumohon. Benda yang ada padamu
itu sangat penting. Jangan sampai
Kunci itu jatuh ke tangan Shape. Atau, lebih tepatnya, tangan majikannya."
"Kenapa tidak boleh" Memangnya kenapa kalau Kunci ini sampai jatuh ke
tangannya?" "Kumohon, Lady," kata Mischief, nada mendesak dalam suaranya semakin kentara.
"Kumohon jangan bertanya apa-apa lagi. Makin sedikit yang kauketahui, makin baik
bagimu. Kalau terjadi apa-apa di Abarat dan mereka datang mencarimu, kau bisa
bilang kau tidak tahu apa-apa. Nah, tidak ada waktu lagi untuk bercakap-cakap..."
Ketergesa-gesaan Mischief bisa dimaklumi. Dari mercu suar di belakang mereka
terdengar suara keras ketika Shape berusaha menuruni anak-anak tangga yang sudah
patah. Kalau mendengar suara berisik di dalam sana, sepertinya itu bukan
pekerjaan mudah. Berat badannya menyebabkan anak-anak tangga yang masih tersisa
jadi rontok. Tapi Candy tahu, tak lama lagi Shape pasti bisa melewati sisa-sisa
anak tangga itu, lalu keluar dari pintu dan mengejar mereka semua.
"Baiklah," kata Candy, mau tak mau mengakui bahwa ia harus lekas-lekas pergi.
"Aku akan pergi. Tapi, sebelum pergi, aku harus melihatnya sekali saja."
"Melihat apa?" "Laut itu!" kata Candy, menunjuk ke ujung dermaga, ke arah bentangan luas air
laut yang biru cerah. "Kita semua bisa mati gara-gara dia," Serpent menggeram.
"Tidak," kata Mischief. "Dia berhak melihat."
Mischief menyambar tangan Candy dan membantunya
naik ke dermaga. Dermaga itu berderak-derik dan
bergoyang-goyang di bawah kaki mereka. Tapi, setelah nekat naik anak-anak tangga
dan balkon reyot di mercu suar tadi, Candy sama sekali tidak merasa takut
berdiri di dermaga yang kayu-kayunya sudah agak lapuk ini.
Dermaga itu bergoyang keras setiap kali diempas ombak yang datang, tapi Candy
sudah membulatkan tekad akan berjalan ke ujungnya, untuk melihat Laut Izabella.
"Menakjubkan...," katanya sementara mereka berjalan sepanjang dermaga. Ia belum
pernah melihat laut. Segala pikiran mengenai Shape dan cakar-cakarnya
telah lenyap sepenuhnya dari benak Candy. Ia terpesona oleh pemandangan di
hadapannya. "Aku masih belum mengerti, bagaimana ini bisa terjadi,"
katanya. "Laut ini muncul begitu saja"
"Oh, ini belum apa-apa, Lady," kata Mischief, "Jauh di sana... jauh sekali dari
sini, terletak kedua puluh lima pulau Abarat."
"Dua puluh lima?"
"Setiap pulau mewakili setiap jam dalam sehari.
Ditambah Jam Kedua Puluh Lima yang disebut Odoms
Spire, yaitu Waktu di Luar Waktu."
Semua itu kedengarannya terlalu aneh dan tidak masuk akal. Tapi coba lihat...
saat ini ia sedang berdiri di dermaga yang menghadap ke laut, padahal sepuluh
menit yang lalu laut ini tidak ada. Kalau laut ini nyata (dan jelas-jelas laut
ini nyata; kalau tidak, kenapa wajahnya terasa dingin dan basah"), ada
kemungkinan kepulauan itu juga nyata, bukan" Menunggu di sana, di garis
pertemuan Laut Izabella dan langit.
Mereka sudah sampai di ujung dermaga. Candy
melayangkan pandang ke bentangan air laut. Ikan-ikan berlompatan, warnanya hijau
dan keperakan; angin membawa burung-burung laut dari jenis yang belum
pernah didengar atau dilihat Candy.
Beberapa saat lagi Mischief dan saudara-saudaranya akan mengarungi perairan
misterius ini, dan meninggalkannya. Sementara itu, ia sendiri harus kembali pada
kehidupannya yang membosankan dan menyesakkan di
Chickentown. Ya Tuhan! Chickentown! Setelah mengalami semua ini -
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segala keajaiban dan keanehan menakjubkan ini:
Chickentown! la tidak tahan membayangkannya.
"Kapan kau akan kembali?" tanyanya pada Mischief.
"Tunggu, Lady," jawab Mischief.
"Apa?" "Diamlah... jangan... bergerak."
Sambil berbicara, Mischief merogoh saku luar jaketnya, dan tanpa disangka-sangka
ia mengeluarkan sepucuk pistol model lama. Pistol kecil yang kelihatannya terbuat dari perunggu.
"Apa yang kaulakukan?" kata Candy dengan suara berbisik.
"Aku melakukan apa yang bisa kulakukan," kata Mischief perlahan, "untuk
menyelamatkan jiwa kita."
Candy melihat mata Mischief berkelebat sejenak ke
arah seseorang di dermaga di belakang Candy.
"Shape?" gumam Candy.
"Shape," sahut Mischief. "Jangan bergerak, Lady."
Sambil berkata demikian, sekonyong-konyong ia
melangkah ke sisi Candy dan menembak.
Terdengar letusan keras, dan asap ungu-kebiruan
meledak dari moncong pistol itu. Tak lama kemudian terdengar suara kedua - kali
ini jauh lebih pelan - ketika peluru tersebut mengenai sasarannya.
Candy langsung bisa menebak apa yang telah
dilakukan John Mischief. Bukan Shape yang ditembaknya, melainkan mangkuk di
puncak piramida itu, hingga bola di dalamnya melesat ke luar. Dengan segera
Candy merasakan perubahan besar terjadi di sekitar mereka.
"Tembakan bagus," kata Sallow. "Tapi aku tidak mengerti, kenapa bukan Shape yang
kautembak." "Aku tidak suka menembak makhluk hidup," sahut Mischief sambil memasukkan
kernbali pistolnya. Candy menoleh ke balik bahunya. Shape sedang
berdiri di sekitar pertengahan dermaga, sambil
memandang ke mercu suar di belakangnya. Jelas tampak bahwa ia pun tahu apa yang
telah diperbuat Mischief.
Mana mungkin ia meragukannya" Udara sekitarnya bergetar oleh perubahan yang
terjadi. "Pasang laut sudah berubah, Lady," kata Mischief. "Aku harus pergi bersamanya.
Shape akan mengikutiku, dan ini bagus, sebab dia percaya Kunci itu ada padaku."
"Tidak, tunggu!" seru Candy sambil meraih lengan Mischief. "Jangan begitu."
"Jangan begitu bagaimana?" kata John Moot.
"Aku tidak mau kembali ke Chickentown."
"Lalu kau mau ke mana?" tanya John Sallow,
"Ikut denganmu!"
" Tidak," kata John Serpent.
" Ya," balas Candy. "Ayolah. Aku ingin ikut ke laut."
"Kau sama sekali tidak tahu risikonya."
"Masa bodoh," kata Candy. "Aku benci kota tempat tinggalku. Aku benci setengah
mati." Sementara berbicara, ia merasa tiupan angin berubah arah. Sekarang perairan di
sekitar dermaga bergolak sangat dahsyat; hampir-hampir seperti kesetanan. Pasang
laut itu telah berbalik, dan dalam prosesnya arus air itu membuat papan-papan
dermaga yang sudah lapuk bergemeretak dan bergoyang-goyang. Candy tahu ia
hanya punya waktu beberapa detik untuk membujuk
Mischief dan saudara-saudaranya. Setelah itu mereka akan pergi, masuk ke air dan
lenyap terbawa arus; pergi ke Abarat, yang entah di mana letaknya.
Dan seberapa besarkah kemungkinan ia bertemu lagi
dengan mereka, kalau mereka sudah pergi" Memang,
mereka bilang akan kembali lagi, tapi apa artinya sebuah janji" Tidak banyak
artinya, berdasarkan pengalaman Candy. Sudah berapa kali ayahnya berjanji tidak
akan pernah menamparnya lagi" Sudah berapa kali ia
mendengar ayahnya bersumpah pada ibunya bahwa ia
tidak akan minum-minum lagi selamanya" Semua janji itu tak ada artinya.
Tidak, begitu John Bersaudara pergi, kemungkinan
besar ia tidak akan bertemu mereka lagi. Lalu apa yang tersisa" Hanya kenangan.
Kenangan dan kehidupan di Chickentown.
"Jangan begitu," katanya pada Mischief. "Jangan tinggal kan aku di sini, tanpa
kepastian apakah kau akan kembali lagi."
Saat ia berbicara, dermaga itu terdengar berderak di belakangnya. Ia membalikkan
badan, sudah tahu apa yang bakal dilihatnya, Mendelson Shape sedang
menapaki dermaga itu, menuju ke arah mereka. Untuk pertama kalinya Candy melihat
dengan sangat jelas. kenapa ia berjalan pincang (dan kenapa ia tidak cukup gesit untuk menangkap
Candy). Kaki kanannya tidak ada, terpotong di bagian mata kaki. Dan ia berjalan
di batangan kaki itu seolah-olah batang kaki itu sepotong kaki dari kayu.
Ekspresinya tidak menunjukkan apakah ia kesakitan atau tidak. Sambil mendekati
korban-korbannya. ia menyeringai memamerkan gigi-giginya
yang tajam, kedua lengannya terentang lebar seperti gaya seorang pendeta yang
hendak menyambut kedatangan mereka untuk bergabung dengan "domba-dombanya" yang jahat.
Candy tahu ia masih punya kesempatan untuk melarikan diri, tapi ia sama sekali
tak ingin beranjak. Kalaupun ia mesti mempertaruhkan jiwa-raganya untuk tetap berada di dermaga ini
bersama Mischief, rasanya risiko itu layak diambilnya. Ia mencengkeram lengan
Mischief erat-erat dan berkata,
" Ke mana pun kau pergi, aku ikut."
Delapan wajah memandang ke arahnya dengan
delapan ekspresi, kebingungan, Sallow mengedip-ngedip, Moot pura-pura tak acuh,
Drowze tertawa, Pluckitt mengempotkan kedua pipinya. Serpent cemberut, dan
Slop mengembuskan bibir dengan jengkel. Oh dan
Mischief" Ia tersenyum lebar pada Candy, namun jelas-jelas tampak pasrah.
"Kau serius?" tanyanya.
Shape tinggal tiga puluh meter dari mereka, dan
semakin mendekat dengan cepat.
"Ya, aku serius."
"Kalau begitu, sepertinya kita tak punya pilihan," kata Mischief. "Kita harus
mempercayakan diri pada arus pasang ini. Kau bisa berenang?"
"Tidak begitu mahir."
"Oh Lordy Lou," kata Mischief, dan kali ini kedelapan wajah itu sama-sama
menunjukkan ekspresi "aduh duh bagaimana ini?"
"Apa boleh buat, tidak begitu mahir pun jadilah."
"Lalu, kita tunggu apa lagi?" kata Candy.
Sementara percakapan singkat itu berlangsung, Shape sudah memperkecil jarak
antara dirinya dan para buruannya. "Bisa tidak kita pergi sekarang?" kata Drowze dengan suara keras yang tidak
sesuai dengan ukuran kepalanya yang kecil.
Sambil bergandengan tangan, Candy dan Mischief lari ke ujung dermaga.
" Satu...."kata Fillet.
" Dua. .,"kata Pluckitt.
" Lompat!" kata Slop.
Bersama-sama mereka melompat, menyerahkan hidup
mereka pada air Laut Izabella yang bergolak.
BAGIAN DUA SENJA MENUJU MALAM "Percayalah padaku: Ada dua kekuatan Yang menguasai jiwa. Satu: Tuhan. Satunya lagi: arus pasang."
- Anonim 10 LAUT IZABELLA LAUT IZABELLA ternyata jauh lebih dingin daripada yang diperkirakan Candy.
Dingin menggigilkan, meresap hingga ke sumsum tulang. Tapi sekarang sudah
terlambat untuk berubah pikiran. Setelah bola di mangkuk itu melesat keluar
dihantam peluru dari pistol Mischief, Laut Izabella bergerak menjauh dari
dermaga dengan kecepatan luar biasa, seperti saat pertama kali muncul. Dan
bersamanya ia membawa Candy serta John Bersaudara.
Air laut itu seperti mempunyai napas kehidupan sendiri.
Beberapa kali kekuatan empasannya nyaris menarik
Candy ke bawah. Tapi Mischief tahu trik yang tepat untuk mengatasinya.
"Jangan mencoba berenang," ia berteriak pada Candy, mengatasi gemuruh air laut
yang bergerak mundur itu.
"Percayakan saja dirimu pada Mama Izabella. Biarkan dia membawa kita ke mana pun
yang diinginkannya."
Dengan cepat Candy menyadari bahwa ia tak punya
banyak pilihan. Kekuatan air laut itu tak mungkin
dilawannya. Jadi, mengapa tidak berbaring tenang saja dan menikmati perjalanan
ini" Ia pun menerapkan cara ini, dan berhasil. Begitu Candy berhenti meronta-ronta
dan mempercayakan laut itu untuk tidak mencelakakannya, Laut Izabella
melambungkannya ke atas, ombak-ombaknya mengangkat Candy begitu
tinggi, hingga sesekali ia bisa melihat sekilas dermaga berikut mercu suar itu.
Keduanya sudah sangat jauh tertinggal di belakang, di dunia lain.
Ia melayangkan pandang di air, mencari-cari Shape, tapi tidak melihatnya.
"Kau mencari-cari Mr. Shape?" tanya John Slop.
Slop tidak perlu berteriak-teriak lagi sekarang. Kini, setelah cukup jauh dari
pantai, debur ombak tidak lagi seberisik sebelumnya.
"Ya," sahut Candy; menyemburkan air laut setiap lima atau enam kata. "Tapi aku
tidak melihatnya." "Dia punya glyph," Mischief menjelaskan.
" Glyph" Apa itu glyph?"
"Sihir, mesin terbang. Sebenarnya mantra yang berubah menjadi mesin terbang."
"Dia tidak memahami penjelasanmu, Mischief," kata John Sallow.
Sallow benar. Candy memang bingung dengan pen-
jelasan Mischief. Mantra yang berubah menjadi
kendaraan" Meski Candy tampak tak mengerti, Mischief masih terus melanjutkan
penjelasannya. "Semakin tinggi kemahiranmu dalam ilmu sihir, semakin cepat kau bisa memunculkan
mesin terbang itu. Ahli sihir yang benar-benar ahli, yang tahu mantra yang
tepat, bisa dengan segera memunculkannya. Cukup dengan dua-tiga kata jadilah
sebuah mesin terbang. Tapi Shape perlu beberapa menit untuk melakukannya. Dia
tidak terlalu cerdas. Dan kalau mantranya salah, bisa sangat
berbahaya." "Berbahaya" Kenapa?"
"Sebab mesin terbang itu kan untuk membawamu ke angkasa," kata Mischief sambil
menunjuk ke langit. "Kalau mesin terbang itu sampai tidak jalan karena suatu
sebab..." "Kita jatuh," kata Candy.
"Ya, kita jatuh," kata Mischief. "Salah satu saudara perempuanku tewas akibat
mesin terbang yang tidak jalan." "Oh, menyedihkan sekali," kata Candy.
"Dia diculik waktu itu," kata Mischief dengan nada agak sengit.
"Jahat sekali."
"Kelak kami mendapati dia sendiri yang merencanakan semua itu."
"Aku tidak mengerti. Merencanakan untuk diculik?"
"Ya. Dia jatuh cinta pada seorang laki-laki, tapi laki-laki itu tidak
mencintainya. jadi, dia mengatur supaya dirinya diculik, agar laki-laki itu
mengejar dan menyelamatkannya."
"Apa laki-laki itu menyusulnya?"
"Tidak." "Jadi, dia tewas demi cinta?"
"Yah, hal-hal seperti itu kadang terjadi," kata John Fillet.
"Kau sendiri bagaimana, Lady?" tanya John Drowze.
"Apa kau punya saudara perempuan?"
"Tidak." "Saudara laki-laki" Ibu" Ayah?"
"Ya. Ya. Dan ya "
"Kulihat kau sama sekali tidak sedih dengan
kemungkinan bahwa kau tidak bakal bertemu mereka
lagi," John Serpent berkata dengan nada agak ketus.
"Diam, John," bentak Mischief.
"Biar saja dia mendengar kebenarannya" sahut John Serpent. "Kan memang ada
kemungkinan besar dia tidak bakal melihat rumahnya lagi."
Melihat ekspresi wajahnya, Candy merasa Serpent
senang bisa menakut-nakutinya. "Kita akan pergi ke Abarat, Nona," Serpent
meneruskan. "Tempat yang tak bisa ditebak."
"Di Hereafter juga sama," sahut Candy yang tak mau diintimidasi oleh Serpent.
"Di sana belum apa-apa!" balas Serpent. "Paling-paling cuma ada beberapa
tornado. Beberapa bencana.
Itu sih keciiil. Di Abarat ada kengerian-kengerian yang bisa membuat rambutmu
jadi putih! Itu pun seandainya kita bisa mencapai kepulauan itu."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, di dalam Mama Izabella ada berbagai macam binatang yang pasti senang
bisa menjadikanmu hidangan pembuka."
" Cukup, Serpent," tegur Mischief.
"Apa yang dia maksud itu ikan hiu?" tanya Candy, la tidak mau terlalu
memperlihatkan rasa takutnya, tapi belum apa-apa ia sudah mulai memeriksa
perairan itu, kalau-kalau ada sirip hiu yang kelihatan.
"Aku tidak tahu apa itu ikan hiu," sahut Mischief, "tapi Mantizac Hijau Raksasa
pasti akan menelan kita bulat-bulat. Kita kan tidak merah."
"Merah?" "Makhluk-makhluk di dalam Izabella tidak mau mengganggu apa pun yang warnanya
merah. Itu sebabnya kapal, perahu, dan feri di Laut Izabella - semuanya -
dicat merah." Candy mendengarkan, tapi sebenarnya ia hanya
setengah mendengarkan. Berbagai peristiwa yang terjadi berurutan di dermaga
membuat ia tak sempat memikirkan baik-baik segala konsekuensi tindakan-
tindakannya. sekarang ia telah menyerahkan nasibnya pada laut itu, dan ia tak bisa mundur
lagi. Barangkali ia takkan pernah bertemu lagi dengan keluarganya.
Seperti apa suasana di rumah, saat keluarganya
menyadari ia menghilang" Mereka pasti menduga yang terburuk: bahwa ia diculik
atau melarikan diri dari rumah.
Ibunyalah yang paling dipikirkannya, sebab ibunya
pasti yang paling cemas. Mudah-mudahan ada cara untuk menyampaikan pesan pada
ibunya saat mereka sudah sampai d tempat tujuan.
"Kuharap kau tidak menyesal ikut kami?" kata Mischief; dari ekspresi ajahnya,
sepertinya ia merasa agak bersalah akan perannya dalam urusan ini.
"Tidak," Candy menjawab tegas. "Sama sekali tidak."
Baru saja kata-kata itu terucap dari mulutnya, sebuah gelombang besar mengangkat
dan memisahkannya dari John Bersaudara. Dalam sepersekian detik saja ia dan Mischief sudah saling
terpisah jauh. Ia mendengar tiga atau empat John Bersaudara berseru-seru
memanggilnya, tapi ia tak bisa menangkap ucapan mereka. Ia sempat melihat mereka
di antara ombak-ombak yang naik turun, tapi hanya sebentar sekali. Saat
berikutnya mereka sudah lenyap.
" Aku di sini!" teriaknya, berharap Mischief lebih mahir berenang daripada
dirinya, sehingga sanggup untuk
kembali ke tempat ia berada. Tapi baru saja ia
meneriakkan kata-kata itu, lagi-lagi datang ombak yang cukup besar, menyapunya
lebih jauh lagi dari tempat mereka terpisah tadi.
Sekelebat rasa takut mencengkeram perutnya.
"Jangan panik," katanya pada diri sendiri. "Apa pun yang kaulakukan jangan
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panik." Tapi sulit baginya untuk mematuhi sarannya sendiri.
Ombak-ombak itu semakin ganas, setiap sapuan melambungkannya lebih tinggi
daripada sapuan sebelumnya, lalu mengempaskannya lebih dalam pula. Betapapun
besar tekadnya untuk tidak membiarkan dirinya dikuasai rasa takut, ia toh tak
bisa melarikan diri dari kenyataan ini. Bahwa sekonyong-konyong ia hanya seorang
diri di tengah laut yang dipenuhi segala macam...
Tapi mendadak rasa paniknya terhenti, dikejutkan oleh pemandangan yang begitu
aneh, sampai-sampai segala kecemasannya terlupakan.
Di sana, di sebuah meja kecil di dasar ombak berikutnya, empat mahluk sedang
bermain kartu. Meja yang mereka gunakan kelihatannya mengambang bebas sekitar dua inci di atas permukaan
air. Para pemain kartu itu berjongkok mengelilingi meja tersebut dengan sangat
santai. Ini dia yang paling aneh. Baru saja pikiran tersebut berkelebat di benak Candy,
sebuah ombak lain menyambarnya, dan ia pun tersapu oleh gelombang air biru itu,
dibawa ke tengah-tengah para pemain kartu.
11 PARA PEMAIN KARTU KEEMPAT pemain kartu itu adalah makhluk-makhluk dari gabungan beragam spesies. Kulit mereka bersisik dan bersinar hijau
keperakan; tangan mereka, yang memegang rangkaian kartu yang sudah sangat lusuh,
tampak bersisik. Wajah mereka memiliki bagian-bagian yang sama dengan wajah
manusia, hanya saja agak berkesan seperti ikan. Mereka begitu asyik me-musatkan
perhatian pada permainan kartu yang sedang berlangsung, sebab tak satu pun dari
keempat makhluk itu memperhatikan Candy, sampai Candy meluncur terbawa ombak dan
hampir menabrak meja mereka.
"Hei! Awas!" protes salah satu dari mereka, yang rupanya makhluk perempuan.
"Jangan dekat-dekat. Tidak boleh ada yang nonton!"
Tiga pemain kartu memandangi Candy. Pemain
keempat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengintip kartu-kartu di tangan
para pemain di kiri-kanannya.
Setelah mengintip, ia pura-pura sangat menaruh minat atas kedatangan Candy,
untuk menutupi perbuatannya itu.
"Kelihatannya kau tersesat," kata si pengintip, yang merupakan makhluk laki-laki
dari gabungan berbagai spesies ini. Nada bicaranya samar-samar beraksen
Prancis. "Ya, kurasa begitulah," sahut Candy sambil meludahkan air laut yang masuk ke
mulutnya. "Sebenarnya aku tersesat banget."
"Tolong dia, Deaux-Deaux," si pengintip berkata tak acuh pada pemain di sebelah
kirinya. "Kau toh bakal kalah juga nanti."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Yang menjawab adalah pemain keempat, sesosok
makhluk perempuan. "Sebab kau selalu kalah, sayangku,"
katanya sambil menepuk-nepuk bahu Deaux-Deaux. "Nah, ayo tolong gadis itu."
Deaux-Deaux memandangi kartu-kartu di tangannya.
Menyadari bahwa ia memang akan kalah, dilemparkan-
nya kartu-kartu itu ke meja.
"Heran, kenapa sih kita tak main polo air saja, seperti yang lain-lain." Omelnya
dengan cemberut. Kemudian ia menenggak habis gelas berisi minuman
keras yang diletakkan di meja di hadapannya. Setelah itu ia melakukan sesuatu
yang sungguh tak terduga. Ia
bangkit dari depan meja; dengan kaki-kakinya yang
sangat besar, ia mengarungi air dan menghampiri Candy, lalu berjongkok lagi di
air laut, di sebelah Candy.
Napasnya berbau minuman keras, dan sepertinya ia
kesulitan memfokuskan matanya pada Candy.
Candy sudah sering melihat orang mabuk seperti ini, dan pemandangan ini
membuatnya jengkel. Tapi daripada ia hanya sendirian di tengah laut...
"Aku Deaux-Deaux," makhluk itu berkata
"Ya, aku sudah dengar tadi," sahut Candy. "Aku Candy Quackenbush."
"Kau datang dari Hereafter, kan?" kata Deaux-Deaux, sementara mereka terayun-
ayun ombak laut bersama-sama.
"Ya, benar" "Kalau kau berniat pulang, perjalananmu bakal jauh sekali"
"Tidak, tidak, aku tidak ingin pulang," kata Candy. "Aku hendak menuju Abarat."
"O ya?" Mendengar kata "Abarat", para pemain lainnya tampak menunjukkan minat. Dua di
antara tiga pemain itu melemparkan kartu-kartu mereka. Si tukang intip memprotes
keras. Tidak adil, katanya, mentang-mentang ia memiliki kartu-kartu yang bagus
di tangannya. "Itu kan karena kau curang, Pux," kata salah satu makhluk perempuan. Lalu ia
bangkit dengan gaya santai seperti Deaux-Deaux tadi, dan mengarungi air untuk
mendekati Candy. Tidak seperti Deaux Deaux, makhluk ini tidak mabuk. la
mengamati Candy dengan tatapan tajam yang aneh, yang mengingatkan Candy pada
tatapan Mischief ketika pertama kali bertemu dengannya.
"Omong-omong, kaukah yang menyebabkan terjadinya peristiwa ini?"
"Peristiwa apa, ya?" kata Candy.
"Pasti kau penyebabnya, ya " kata makhluk perempuan itu. "Omong-omong, namaku
Tropella." "Senang sekali..."
"Ya, ya." Tropella memotong tak sabar. "Kau yang memanggil Izabella, kan?"
Candy merasa tak ada alasan baginya untuk menutup-
nutupi kebenarannya. "Ya " ia mengakui, "aku yang memanggil laut ini. Mulanya
aku tidak menyadari apa yang..." Lagi-lagi kalimatnya disela dengan agak kasar. "Ya, ya. Tapi kenapa" Itu kan
dilarang." "Oh, sudahlah, jangan ganggu gadis itu," kata Deaux-Deaux.
"Aku tidak mengganggunya. Tapi masalah ini tak bisa dianggap enteng. Laut ini
kan sudah tidak boleh dipanggil lagi ke Hereafter. Kita semua tahu itu. Lalu
kenapa..." "Dengar dulu," kata Candy, menyela ucapan si penanya dengan agak kasar, seperti
yang dilakukan Tropella padanya tadi. "Bisa tidak percakapan ini kita tunda dulu" Ada seorang
temanku yang terbawa arus.
Kami terpisah." "Oh Lordy Lou," kata Deaux-Deaux. "Siapa namanya?"
"Mereka berdelapan. Saudara-saudaranya itu tinggal di..."
"Kepalanya?" kata Deaux-Deaux; ia mencondongkan tubuh lebih dekat ke arah Candy,
kedua matanya terbelalak. "Ya. Kau kenal dia?"
"Dia pasti John Mischief," kata Tropella.
"Ya, memang dia."
Mendengar bahwa John Mischief berada di dekat-
dekat situ, si pemain kartu yang masih bertahan segera meninggalkan mejanya dan
menghampiri Candy. Sekarang Candy mendapat perhatian penuh dari mereka semua.
"Kau kenal John Mischief?" tanya Tropella.
"Sedikit." "Dia itu penjahat kawakan," Pux menimpali. "Dia dicari-cari di beberapa pulau
karena kasus pencurian besar, dan entah apa lagi."
"Masa" Tapi menurutku dia tidak seperti penjahat. Dia sangat sopan malah."
"Oh, kami sih masa bodoh dia itu penjahat atau bukan,"
kata Tropella. "Hukum-hukum di darat tidak seperti hukum-hukum di laut. Kami
tidak punya pengadilan dan penjara di sini."
"Tidak banyak pencuri di sini," Pux berkata, "sebab tidak banyak yang bisa
dicuri." "Omong-omong, kami semua adalah Sea-Skipper,"
Deaux-Deaux menjelaskan. "Dan kau?" kata Tropella yang masih juga mengamati Candy dengan tatapan
menyelidik yang aneh. "Apa kau tidak dibutuhkan di sana, barangkali?"
"Apa?" "Kau tidak diinginkan di duniamu . Urusanmu adalah di Abarat. "
Tropella tampaknya tidak berniat meminta Candy
mengiyakan atau menyangkal ucapannya; ia sekadar
menyampaikan keyakinannya sendiri.
"Kira-kira bisakah kita berbuat sesuatu untuk menemukan Mischief?" tanya Candy
sambil menatap keempat makhluk itu bergantian.
"Deaux-Deaux," kata Pux, "kau yang punya suara paling lantang"
"Oh, dengan senang hati," kata Deaux-Deaux.
Dengan agak limbung ia menapakkan kakinya di
permukaan air dan menaiki ombak besar yang datang
kemudian. Tiba di puncak ombak, ia berdiri diam dan berseru. Memang benar,
suaranya lantang sekali, seperti suara penyanyi opera.
" Mister Mischief!" panggilnya. " Temanmu ada bersama kami, dan dua menit lagi
kami akan makan dia dengan campuran sayur mayur kalau kau tidak datang kemari
menyelamatkannya." Lalu ia nyengir lebar pada Candy,
"Cuma bercanda," katanya. " Bagaimana. Mister Mischief?"
ia berseru lagi. " Di mana kau berada?"
"Dia benar-benar cuma bercanda?" Candy bertanya pada Pux.
"Oh, iya, cuma bercanda," sahut Pux. "Kami tidak bakal memakan orang penting
seperti dirimu. Kadang-kadang kami suka makan pelaut, tapi..." ia angkat bahu.
"... kau juga pasti akan begitu, kalau setiap hari makananmu cuma ikan melulu.
Ikan kuning, ikan hijau, ikan biru. Ikan dengan mata kecil lucu yang meletus di
dalam mulut waktu dimakan. Lama-lama makan ikan jadi membosankan
sekali. jadi... ya, kadang-kadang kami suka makan pelaut.
Tapi kau tidak bakal kami makan. Kau akan kami antar agar tiba di tempat
tujuanmu dengan selamat. Kau boleh percaya omongan kami."
Deaux-Deaux masih terus berseru-seru, mendaki
ombak-ombak seperti orang mendaki eskalator yang
tangganya bergerak turun, supaya tetap berada di
puncaknya. " Hei, Mischief! Kami amat sangat lapar."
"Kurasa leluconmu itu..."
Candy hendak mengatakan bahwa lelucon itu tidak
mempan, tapi ia tak sempat menyelesaikan kalimatnya.
Sebab tahu-tahu John Mischief melesat keluar dari dalam air, persis di belakang
Deaux-Deaux. Ia mencengkeram pinggang Deaux-Deaux hingga Deaux-Deaux ter-
jengkang. Selama setengah menit mereka berdua ber-
gumul dengan liarnya di dalam air - John Bersaudara
meneriakkan berbagai ancaman pada Deaux-Deaux -
sampai Pux dan Tropella menghampiri mereka dan menghentikan perkelahian itu.
"Hei, hei," Deaux-Deaux berkata sambil mendaki air kembali, menjauhkan diri dari
amukan Mischief. Ia mengangkat kedua tangannya yang berselaput, telapak tangan menghadap ke luar,
untuk menahan penyerangnya.
"Aku cuma bercanda. Gurauan kecil, sekadar menarik perhatianmu. Kami sama sekali
tidak bermaksud mencelakai teman kecilmu itu. Kaupikir makhluk air macam apa
kami ini" Katakan padanya, Candy."
"Mereka semua sangat baik padaku," Candy menegaskan. "Mereka sama sekali tidak
mencelakaiku." Tapi John Bersaudara masih belum yakin. Mereka saling pandang dengan sorot mata
sangat curiga. "Kalau yang kaukatakan tadi cuma lelucon, berarti leluconmu itu sangat tidak
lucu," John Drowze berkata dengan galak.
"Aku pasti sudah tenggelam kalau bukan karena pertolongan mereka," kata Candy
yang berusaha men-dinginkan situasi. "Sumpah. Aku sudah mulai panik tadi."
"Tapi kau benar," kata Pux. "Lelucon tadi memang sinting dan konyol. Jadi,
kumohon, atas nama perdamaian, izinkan kami membawa kalian berdua ke Abarat.
Laut Izabella kadang-kadang sangat liar, dan kami tak ingin melihat dua orang
yang begitu istimewa mati tenggelam."
"Kalian bersedia membawa kami?" kata John Mischief sambil tersenyum nakal.
"Benar begitu?"
"Benar," sahut Tropella. "Setidaknya itulah yang bisa kami lakukan.
Bagi Candy, gagasan ini kedengaran bagus. Meski ia telah mempercayakan dirinya
untuk dibawa oleh ombak-ombak Mama Izabella, seperti disarankan John Mischief,
tetap saja ia merasa amat sangat letih. Baru sekarang ia merasakan pengaruh air
laut yang sedingin es, serta gerakan naik-turun ombak-ombaknya - belum lagi kejar-
mengejar yang terjadi sebelum ia menceburkan diri ke laut.
"Bagaimana menurutmu?" kata Candy pada John Bersaudara. "Kita terima atau tidak
tawaran mereka?" "Terserah kau sajalah," sahut Mischief.
"Bagus," kata Candy. "Kalau begitu, aku bilang oke,"
"Oke" " Pux bertanya pada Mischief.
"Kalau sang Lady bilang oke, berarti oke," jawab Mischief.
"Baguslah," kata pemain kartu keempat. "Omong-omong, namaku Kocono. Aku hanya
ingin mengatakan bahwa aku senang sekali bisa berkenalan dengan Mr.
Mischief. Tropella benar, kami tidak peduli dengan hukum di darat. Kalaupun
mereka bilang kau ini penjahat, lalu kenapa" Kau kan ahlinya. Itu yang penting."
John Bersaudara serentak saling menyangkal dan mencoba menjelaskan dengan suara
ramai tak keruan, begitu mendengar ucapan Kocono. Candy hanya bisa menangkap
sepotong-sepotong pembelaan diri mereka,
karena berisiknya suasana. Tapi rasanya pembelaan-
pembelaan mereka saling bertentangan, hingga Candy merasa geli.
"Benarkah?" katanya sambil tertawa, sementara suara-suara protes John Bersaudara
semakin keras. "Apa benar kalian ini penjahat ulung?"
"Begini sebenarnya...," John Slop memulai.
"Ayo, hati-hati bicara," John Moot memperingatkan saudaranya.
"Kami memang bukan orang-orang suci," kata John Slop.
"Jadi, benar?" tanya Candy.
Mischief mengangguk. "Benar," ia mengakui. "Kami berdelapan adalah pencuri-
pencuri kawakan kelas dunia,"
katanya dengan nada agak sombong. "Kami jelas bukan orang-orang suci."
"Mana ada orang suci?" kata Deaux-Deaux. Lalu ia menimbang-nimbang ucapannya
itu. "Selain orang-orang suci itu sendiri tentunya."
Setelah masalah tersebut diputuskan, Candy dan
Mischief diangkat masing-masing oleh dua Sea-Skipper, kaki-kaki mereka dinaikkan
ke makhluk yang mengarungi air di depan mereka, dan didukung oleh makhluk yang
berjalan di belakang. Tidak terlalu nyaman rasanya, menempuh perjalanan dengan
cara seperti itu, tapi cara itu jelas lebih aman daripada berenang di air laut
yang dingin, dengan kemungkinan tenggelam atau dimakan oleh Mantizac-Mantizac
Hijau Raksasa. "Pulau mana yang kalian tuju?" Pux bertanya pada Candy.
"Entah ya," sahut Candy. "Aku baru pertama kali kemari."
Para Sea-Skipper menoleh pada John Bersaudara untuk mendapatkan jawaban.
Akhirnya John Drowze yang menjawab. "Kusarankan kita pergi ke Yebba Dim Day di
Selat-Selat Senja." Saudara-saudaranya serentak menyetujui usulnya
tersebut. "Baiklah, kita ke Yebba Dim Day," kata Kocono.
"Tunggu," kata Candy. "Jangan lupakan meja kalian"
"Oh, Mizza bisa pulang sendiri" kata Kocono. "Mizza!"
Dari dalam air muncul sebuah kepala dengan bagian-
bagian wajah berukuran besar, dengan ekspresi agak sedih - tempurung kepalanya
yang berbentuk persegi hampir sama datarnya dengan kerang tempat kartu-kartu dan gelas minuman keras
para Sea-Skipper tergeletak.
"Kalian ingin aku menunggu kalian di Tazmagor?" tanya makhluk itu.
"Ya," sahut Kocono. "Tolong, ya?"
"Senang sekali main kartu di atasmu," kata Deaux-Deaux. "Seperti biasanya."
"Oh, bukan apa-apa," sahut si Meja Kartu, lalu ia pergi mengarungi air.
Candy menggeleng-gelengkan kepala. Entah kenapa,
tiba-tiba saja ia teringat Paman Fred-nya tercinta, Paman Fred adalah kakak ibu
Candy. Ia pernah bekerja di
sebuah kebun binatang di Chicago. Tugasnya membersihkan kandang. Ia pernah
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengajak Candy berkeliling
kebun binatang, sambil menunjukkan binatang-binatang kesayangannya, yang
semuanya aneh-aneh. Ada sloth berjari dua, binatang pemakan semut, keledai.
"Kalau kau ingin tahu apakah Tuhan punya rasa humor, kau tinggal melihat
binatang-binatang ini," katanya waktu itu.
Candy tersenyum sendiri membayangkan wajah bundar
Paman Fred dan kepalanya yang botak saat ia menatap Candy dengan sayang. Kalau
Paman Fred melihat Mizza, si Meja Kartu yang bisa terapung, ia pasti tertawa
terbahak-bahak sampai keluar air mata.
"Kenapa kau tersenyum-senyum, Lady?" Mischief bertanya pada Candy.
Tapi sebelum Candy sempat menjawab, para Sea-
Skipper sudah melesat maju dengan kecepatan luar biasa.
Maka dimulailah perjalanan mereka menuju Yebba Dim Day.
12 JALAN-JALAN SAMBIL MENGOBROL
PERJALANAN itu terasa aneh bagi Candy. Dan ia
menduga bagi John Mischief pun demikian halnya. Suara gemuruh laut serta
ketepak-ketepuk kaki para Sea-Skipper di air tidak memungkinkan mereka bercakap-
cakap, tapi sesekali Mischief dan saudara-saudaranya terdengar tertawa keras,
seolah-olah sedang mengenang kembali petualangan-petualangan mereka akhir-akhir
ini, dan sekonyong-konyong merasa sangat geli karena semua petualangan itu
berakhir dengan perjalanan menyenangkan yang agak aneh ini.
Candy sendiri merasa ritme perjalanan ini sangat menyenangkan setelah beberapa
waktu, dan ia begitu menikmatinya, sampai sampai ia membiarkan matanya
terpejam. Dengan cepat rasa kantuk menyerang tubuhnya yang lelah. Ketika ia
membuka mata kembali, satu jam dua puluh menit kemudian, menurut jam tangannya,
langit di atas sana sudah menggelap.
Candy sering memandangi langit, dan ia tahu nama-
nama sekian banyak bintang serta rasi-rasinya. Sejumlah bintang tampak
bertebaran di langit, seiring kegelapan yang makin pekat, tapi Candy tak bisa
mengenali satu pun susunan bintang-bintang itu. Mulanya ia mengira ini karena ia
memandang langit dari sudut yang berbeda, sehingga susunan rasi yang mestinya
mudah dikenali jadi tidak terbaca olehnya. Tapi setelah ia mengamat-amati langit
yang menggelap menjadi malam (malam yang tidak
wajar, menurut ukuran Minnesota: sebab saat itu belum lagi pukul dua siang), ia
menyadari bahwa ia tidak salah.
Memang tak satu pun susunan bintang di atas sana yang dikenalinya.
Bentangan langit di atas kepalanya ini tidak mom dengan langit di Minnesota.
Karena suatu sebab, ia merasa hal ini jauh lebih menggelisahkan daripada laut
Izabella yang muncul entah dari mana, atau kemungkinan bahwa ada kepulauan tak
dikenal yang menunggunya di depan sana.
Sebelumnya ia menyimpulkan (secara naif, barangkali) bahwa setidaknya bintang-
bintang di langit akan tetap sama. Bukankah bintang-bintang yang nama-namanya ia
kenal dengan baik itu tersebar di dunia-dunia fantastis lainnya yang pernah ada
di bumi" Di Atlantis, di El Dorado, di Avaion" Bagaimana mungkin bintang-bintang
yang begitu abadi dan tak berubah-ubah itu jadi begitu berbeda di sini"
Hal ini membuatnya cemas, dan ya... membuatnya agak takut juga akan apa yang
menantinya di depan sana.
Kelihatannya Abarat ini bukan sekadar bagian lain Planet Bumi yang dikenalnya,
yang tersembunyi dari pandangan mata biasa. Abarat ini ternyata dunia yang sama
sekali berbeda. Barangkali juga memiliki agama-agama berbeda, standar-standar
berbeda tentang kebaikan dan kejahatan, serta tentang apa yang nyata dan tidak
nyata. Tapi sudah terlambat untuk meninggalkan tempat ini.
Bagaimanapun, ada sesuatu di sini yang telah memanggilnya kemari, bukan" Itu
sebabnya ia membuat corat-coret di buku tulisnya - pola-pola yang sama dengan yang
ditemukannya pada bola di mercu suar itu: karena suatu alasan penting, bola itu
telah mengirimkan sebagian kekuatannya (kekuatan untuk memanggil lautan), dan
pikiran Candy sudah siap untuk menerimanya, bukankah begitu"
Ini dilakukannya tanpa sadar: ia membuat corat-coret itu seperti orang sedang
bermimpi. Ia bahkan melangkah menjauhi kantor kepala sekolah tanpa pikir
panjang, ia sekadar mengikuti kakinya dan insting-insting yang menuntunnya.
Meski semua itu kelihatan kebetulan pada waktu itu, barangkali sebenarnya ini
bukanlah suatu kebetulan.
Barangkali benar kata Tropella, bahwa Candy punya urusan di Abarat ini.
Mungkinkah itu" la hanya seorang anak sekolah dari Chickentown.
Urusan apa yang dimilikinya di dunia yang belum pernah dilihatnya ini"
Tapi bukankah kemungkinan itu ada, seperti kenyataan bahwa langit di atasnya ini
dipenuhi bintang-bintang dari alam semesta yang berbeda pula" Bahkan kegelapan
di antara bintang-bintang itu - kegelapan angkasa itu
sendiri - tidaklah sama dengan angkasa yang biasa dilihatnya dari jendela kamar
tidurnya. Ada warna-warni samar yang berdenyut-denyut di angkasa ini: nuansa-
nuansa ungu paling gelap dan biru megah yang bergerak bagai arus pasang
melintasi langit, siap direnangi atau dilayari.
Sementara benaknya sibuk membolak-balik berbagai
pikiran simpang-siur ini, Laut Izabella sudah jauh lebih tenang. Permukaan
airnya sekarang boleh dikatakan
sudah rata, dan langkah para Sea-Skipper jadi lebih tidak kedengaran, karena
ayunan kaki mereka lebih santai. Bahkan sekarang Candy bisa bercakap-cakap
dengan John Bersaudara, sementara para Sea-Skipper melangkah berdampingan.
"Saat ini kita sedang melewati Lingkar Kegelapan" John Drowze menjelaskan.
"Cahaya yang di depan sana itu" -
Candy tidak melihat cahaya apa pun sebelumnya, tapi sekarang, setelah
ditunjukkan, ta melihat bahwa di dekat cakrawala, langit tampak memucat samar
- "cahaya di Efreet itu..."
"... salah satu dari Kepulauan Bebas," Sallow menukas.
"Apa maksudnya itu?"
"Maksudnya, mereka punya pemerintahan sendiri," kata John Slop. "Mereka tidak
membayar pajak pada pemerintah Abarat, juga bukan bagian dari Perusahaan Commexo."
"Oh, jangan mulai sok pintar politik, Slop" John Drowze mengeluh. "Aku cuma
ingin dia memahami kompleksitas..."
"Tidak ada lagi yang bisa memahami kompleksitas pembagian pulau-pulau itu," John
Mischief berkata dengan putus asa. "Padahal dulu begitu sederhana. Pem-bagiannya
cuma antara Pulau-Pulau Malam dan Pulau-
Pulau Siang.. "Dan perang yang hampir tak ada habisnya," John Serpent menyela.
"Tapi setidaknya orang-orang tahu tempat mereka yang pasti. Kita tahu siapa-
siapa saja sekutu-sekutu kita, dan kita membela mereka mati-matian. Tapi
sekarang?" Ia memperdengarkan bunyi untuk menunjukkan rasa muak
yang amat sangat. "Sekarang siapa yang tahu?"
"Oh, sudahlah," kata John Drowze dengan jemu.
Entah masih ada lagi yang hendak dibicarakan tentang topik ini atau tidak
(rasanya masih ada), yang jelas tak ada yang sempat membuka suara, sebab pada
saat itu Pux berbisik... " Diam, semuanya."
"Ada apa?" tanya Serpent.
"Lihat ke atas."
Mereka semua menengadah ke langit. Tampak bentuk-
bentuk gelap seperti burung-burung raksasa bertubuh manusia, terbang berputar-
putar, menutupi bintang-bintang.
"Vlitter," kata Deaux-Deaux.
"Mereka tidak bakal mengapa-apakan kita," kata Sallow.
"Mungkin tidak," kata Pux. "Tapi kalau mereka melihat kita, mereka akan melapor
pada Inflixia Grueskin. Kita berada di perairannya.
Candy tidak minta dijelaskan lebih lanjut, siapakah Inflixia Grueskin itu. Nama
itu saja sudah cukup jelas.
"Kalian akan lewat di bawah Jembatan Gilholly?" bisik Mischief,
"Itu jalan yang paling cepat," sahut Tropella. "Dan kita semua sudah mulai
capek. Percayalah pada kami. Kami tahu mana yang terbaik."
Maka Mischief pun tidak berkata apa-apa lagi. Sedikit demi sedikit mereka mulai
mendekati jembatan itu, yang terbentang sekitar setengah mil di atas air
sedingin es yang memisahkan dua pulau. Di satu sisinya, cahaya yang tampak
begitu samar, hampir-hampir tak sanggup menangkap bentuk-bentuk tebing-tebing
karang serta bangunan-bangunan raksasa yang bertengger di puncaknya. Di sisi satunya, cahaya
jauh lebih terang. Candy bisa melihat semacam kuil, atau barangkali reruntuhan
kuil, dan di sebelah nya ada sederetan pilar.
Salah satu makhluk yang oleh Pux disebut Vlitter
menukik turun dan meluncur di atas air yang berkilauan, rahang bawahnya bagai
memotong pantulan langit ber-tabur bintang. Candy hanya sempat menangkap sekilas
sosoknya ketika makhluk itu menukik, meluncur, dan naik kembali. Makhluk yang
sungguh aneh; persilangan antara kelelawar dan manusia. Ia tidak melihat para
Sea-Skipper serta penumpang mereka, tapi Vlitter itu melihat sesuatu yang bisa
dimakan olehnya. Ia menyambar seekor ikan seukuran bayi. Ikan itu
memperdengarkan suara seperti dengking anjing yang marah ketika disambar, dan
terus mendengking-dengking sampai Vlitter itu memakannya, jauh di atas sana,
hingga tak terlihat oleh mereka yang di bawah.
Mereka terua bergerak, suara dengking ikan malang
itu masih menggema dari tembok-tembok kuil serta tebing-tebing karang, menjauh
dari perairan tenang di bawah jembatan. Laut Iambat Iaun jadi semakin ganas
setelah mereka keluar dari wilayah kepulauan, dan Candy
merasa bersyukur bahwa perjalanan ini sebentar lagi selesai. Ia bertanya-tanya,
bagai mana nasibnya seandainya ia tidak kebetulan bertemu dengan para pemain
kartu ini" la pasti sudah tenggelam, meski Mischief telah menyuruhnya berpasrah
pada pelukan ramah Mama Izabella. Sekarang mereka berganti haluan ke kiri, dan apa
yang dilihat Candy di depan sana membuatnya bingung kembali. Langit, yang tadi
tampak sudah lebih pucat, sekarang kembali menggelap. Tampak gumpalan kabut
raksasa berwarna biru-kelabu memenuhi panorama di
depan mereka dan semakin banyak bintang yang tampak di antara kabut itu. Tak
diragukan lagi, kilasan cahaya siang yang dilihatnya tadi memang hanya itu:
sekadar kilasan. Sekarang malam sudah kembali menyambangi.
Para Sea-Skipper tampak jelas merasa senang dengan pemandangan kabut kelam itu.
Pux begitu bahagia, sampai-sampai ia menyanyikan
sebuah lagu sambil mengarungi air. Nada lagu itu sama dengan lagu "O Pohon
Natal", tapi kata-katanya jauh berbeda.
"O malangnya daku! O malangnya daku! Dulu kupunya Pohon Kelinci!
Tapi dimakan kadal dan pohonku mati,
Kini aku tak punya peliharaan lucu lagi!
O malangnya daku! O malangnya daku! Dulu kupunya Pohon Kelinciii!
"Kau suka laguku?" tanya Pux setelah selesai menyanyi.
"Lagunya tidak seperti yang kusangka," sahut Candy,
"Tapi ya, lagumu... eh... agak tidak biasa."
"Kau kuajari, ya?" kata Pux. "Supaya kau bisa menyanyi kalau nanti berjalan-
jalan di Yebba Dim Day. Jadi, orang-orang akan menganggap, Oh, dia salah satu dari kami."
"Apakah lagu itu sangat popular?"
"Percaya atau tidak, jawabannya ya." kata John Serpent, wajahnya menunjukkan
ekspresi tak senang yang amat sangat, seperti biasanya.
"Kalau begitu, aku mesti mempelajarinya," kata Candy, diam-diam merasa senang
bisa membuat John Serpent
yang sot ini agak kesal. "Nah," kata Mischief, "mulai dari awal. Bersama-sama."
Semuanya ikut menyanyi kali ini (kecuali Serpent dan Moot), dan Candy dengan
cepat bisa menguasai lagu itu.
Saat mereka hendak menyanyikannya untuk keempat kali, Pux berkata,
"Kali ini nyanyi solo, oleh Miss Quackenbush."
"Aduh, tidak..."
"Oh ya," kata Deaux-Deaux. "Kami sudah membawamu sejauh ini. Setidaknya kau mau
dong menyanyi untuk kami."
Permintaan yang masuk akal. Maka Candy pun
menyanyikan lagu Abarat-nya yang pertama, sementara kabut di depan mulai
menipis, dan mereka mengarungi air menuju Selat-Selat Senja.
"Bagus. Bagus sekali," kata Pux setelah Candy selesai menyanyi. "Sekarang akan
kuajari lagu lainnya."
"Tidak, kurasa satu saja sudah cukup, untuk saat ini.
Mungkin lain kali" "Kurasa tidak bakal ada lain kali," kata Tropella. "Kami jarang sekali melalui
perairan yang menjadi rute-rute kapal. Tidak aman. Kalau kami sampai ketiduran
di tengah ombak, bisa-bisa kami tergilas feri. Itu sebabnya kami kembali ke Lingkar
Kegelapan. Di sana lebih aman."
"Jangan terlalu yakin kalian tidak bakal bertemu lagi dengan Lady ini," kata
Mischief pada mereka. "Aku yakin mulai sekarang dia akan berada dalam kehidupan
kalian selamanya. Dan kita dalam kehidupannya. Ada orang-orang yang
keberadaannya terlalu penting untuk dilupakan begitu saja. Dan kurasa dia salah
satu di antaranya." Candy tersenyum. Ucapan Mischief begitu manis, meski ia sendiri tidak terlalu
mempercayainya. Sepertinya semua merasa bingung mesti berkata apa
setelah Mischief selesai bicara. Jadi, selama sesaat yang ada hanya keheningan,
sementara kabut di depan mereka terus menyibak.
"Ah...," kata John Sallow. "Aku melihat Yebba Dim Day."
Serpih-serpih terakhir kabut sudah menguak, dan
tempat tujuan mereka pun tampak. Bentuk pulau itu tidak seperti pulau pada
umumnya, seperti yang dikenal Candy.
Pulau itu berupa kepala raksasa dari batu dan logam, dengan menara-menara
dibangun di puncak tempurung
kepalanya, semuanya dipenuhi jendela-jendela setipis ujung cahaya; dari situ
terpancar lajur-lajur cahaya yang menembus kabut.
"Setel arlojimu ke Jam Delapan," kata Mischief pada Candy.
"Aku tidak mengerti," kata Candy. "Tadi sepertinya masih subuh, tahu-tahu sudah
malam, dan sekarang kau menyuruhku menyetel arlojiku ke jam delapan."
"Sebab sekarang kita berada di Selat-Selat Senja,"
kata John Sallow, seolah-olah hal ini cuma masalah sepele.
"Di sini jamnya selalu Jam Delapan Malam."
Candy jadi benar-benar bingung.
"Tidak usah khawatir," kata Deaux-Deaux. "Lambat laun kau pasti mengerti. Untuk
saat ini, ikuti arus saja. Lebih mudah begitu "
Sementara Candy menyetel arlojinya menjadi jam
delapan, para Sea-Skipper membawa mereka ke bagian depan kepala raksasa Yebba
Dim Day. Sebuah tangga curam merambat naik bagaikan sulur di samping kepala itu, dan
lebih banyak lagi cahaya yang memancar dari sekumpulan jendela dan pintu.
Terdengar suara berisik riuh rendah dari kepala itu, ingar-bingar suara-suara
saling berteriak, menyanyi, menangis, dan tertawa, semuanya menggema melintasi
air. "Nah, Lady," kata Deaux-Deaux, "Kita sudah sampai."
Para Sea-Skipper membawa mereka ke sebuah pe-
labuhan yang sangat kecil, di sudut tempat dada kepala raksasa itu bertemu
dengan bagian lengannya. Ada sejumlah perahu merah kecil di pelabuhan, banyak di
antaranya sedang hendak masuk atau berangkat - ada
juga kerumunan orang yang cukup banyak di dermaga.
Kedatangan keempat Sea-Skipper - bersama para pe-
numpang mereka - menimbulkan kebingungan dan kasak-
kusuk. Dengan segera orang-orang bermunculan dari bagian
dalam Kepala Raksasa itu, untuk melihat ada ribut-ribut apa sebenarnya. Di
antara mereka tampak beberapa
orang berseragam. "Polisi!" kata John Sallow dengan tajam.
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata itu segera tersebar di antara saudara-saudaranya.
"Polisi?" "Polisi!" " Polisi! " Mischief menoleh pada Candy dan segera menangkap
lengannya. "Begitu cepat...," kata John Mischief.
"Apa maksudmu?"
"Aku mesti pergi. Begitu cepat."
"Karena ada polisi-polisi itu?"
"Jangan bicara keras-keras," kata John Serpent dengan sikap ketusnya yang biasa.
"Hus!" kata Mischief padanya. "Jangan berani-berani bicara seperti itu lagi pada
Lady-ku ini!" "Lady-mu!" Serpent mendengus sebal, seolah-olah dalam saat-saat singkat ini ia
ingin menunjukkan perasaan muaknya atas sikap Mischief yang penuh hormat pada
Candy. Tapi sudah tak ada waktu. Untuk Serpent, Mischief, bahkan untuk Candy.
Mereka hanya sempat mengucapkan
"Selamat tinggal!" dengan tergesa-gesa.
Polisi sudah melangkah mendatangi mereka di
dermaga, menyibak kerumunan orang. Candy tidak yakin mereka sudah mengenali John
Bersaudara sebagai penjahat yang dicari-cari (meskipun tanduk-tanduk di kepala Mischief membuat ia
sangat mudah dikenali); tapi polisi-polisi ini ingin tahu tentang para pendatang
baru dan Mischief tak mau keingintahuan mereka berkembang dan membuat ia
ditangkap. "Apa kalian punya izin untuk para Sea-Skipper itu?"
salah seorang polisi berseru.
"Kita berpisah di sini, Lady," kata Mischief. "Nanti kita akan bertemu lagi. Aku
yakin itu." Ia meraih tangan Candy, membalikkannya, dan
mengecup telapak tangannya dengan lembut. Lalu ia
melompat ke dalam air. " Hei, kau!" polisi kedua berteriak, menerobos kerumunan orang untuk mencapai
ujung dermaga. " Itu dia! " teriaknya.
"Aduh duh," Candy mendengar Deaux-Deaux berkata.
"Baru datang ke Yebba Dim Day, sudah begini
sambutannya." "Seharusnya kita pergi ke Speckle Frew," kata Tropella.
"Di sana tidak seramai di sini."
"Yah, sekarang sudah terlambat," kata Pux.
"Dia kabur!" polisi kedua berteriak.
"Siapa?" sahut salah seorang rekannya.
"Si... anu... siapa namanya" Yang membobol isi rumah Malleus Nyoe di Tazmagor!
Dia! Wajahnya itu lho!"
Wajahnya makin merah dan makin merah sementara rasa kesalnya kian memuncak. " Si
penjahat kawakan itu!"
Sekitar tujuh orang dalam kerumunan itu menjawab bersamaan, "John Mischief!"
"Yeah. Itu dia," si polisi menyahut pelan. " John Mischief!"
Sekarang semua mata - mata orang-orang dan mata
para polisi - tertuju pada bagian perairan yang bergolak, tempat John Mischief
terakhir kali terlihat. Salah seorang polisi - laki-laki bertubuh besar berkulit biru, dengan janggut
jingga berpotongan kotak - berusaha mengambil salah satu perahu yang tampaknya
cukup cepat di pelabuhan kecil itu. Rupanya ia berniat mengejar Mischief dengan
perahu itu. Tapi si pemilik perahu - yang tubuhnya hampir sebesar si polisi, dan
untungnya berada sekitar enam atau tujuh meter dari situ, di seberang perairan
dermaga yang kotor - pura-pura
tidak mendengar. " Kau! Bawa perahu itu kemari!" si polisi berteriak.
Tapi orang itu sengaja tidak mau memandang ke arah si polisi. Ia terus saja
menjalankan perahunya melewati deretan perahu lainnya. Jelas tampak ia ketakutan
kalau-kalau perahunya rusak gara-gara dipakai oleh polisi yang terlalu bernafsu,
tapi tidak punya insting sedikit pun tentang laut. Melihat si pemilik perahu
berusaha kabur, si polisi semakin marah.
"Kembali!" teriaknya. "Perahumu disita!"
"Sudahlah, Branx," kata salah seorang rekannya.
"Masih banyak perahu lainnya."
Tapi Officer Branx tak suka wewenangnya tidak
diacuhkan. la melepaskan jaket dan sepatu botnya, lalu melompat ke air yang
kotor, dan mulai berenang ke arah perahu yang menjauh itu, sambil berteriak-
teriak. "Bawa perahu itu kemari! Kaudengar aku! Kemari! "
Kelakuannya yang tak masuk akal itu menyebabkan
orang-orang yang menonton di dermaga bertambah tiga kali lipat. Dermaga kayu itu
berderak-derak, suatu pertanda jelas bagi mereka yang berdiri di atasnya bahwa
tidak aman untuk tetap berada di situ lebih lama lagi.
Tapi orang-orang itu tidak peduli. Semakin ribut
kerumunan itu, semakin banyak orang muncul dari Kepala Raksasa untuk melihat apa
yang terjadi. "Begini, Candy," kata Tropella, "aku tidak mau mengucapkan selamat jalan dengan
tergesa-gesa padamu..."
"Tapi kalau aku intin pergi tanpa ketahuan, maka ini saat yang tepat."
"Kau setuju, bukan?"
"Setuju sekali," kata Candy.
Perhatian orang-orang sedang tertuju pada polisi yang sedang berenang itu. Si
polisi berhasil mencapai si pemilik perahu, dan sudah menarik dirinya ke atas
perahu. Meski rekan-rekannya berseru-seru bahwa ia sebaiknya menghentikan
perbuatannya, ia masih juga memaki-maki si pemilik perahu, yang kemudian
menghantam polisi itu dengan dayung. Dayung itu patah, dan Officer Branx
terjungkal dari tepi perahu, seperti pelawak tanpa suara, dan jatuh ke dalam air
yang kotor. Gawat! Gawat! Gawat! Sekarang si pemilik perahu
yang terjun ke dalam air untuk menyeret keluar polisi yang tidak sadarkan diri
itu; ia jelas takut kena hukuman berat kalau polisi yang terlalu bernafsu
mengejarnya ini sampai tenggelam. Tapi rupanya pengaruh air itu telah
menyadarkan Officer Branx dari pingsannya, dan begitu ia muncul ke permukaan,
perkelahian antara mereka dimulai kembali. Kedua laki-laki itu bergumul dan baku
hantam di dalam air selama beberapa saat. Candy - yang dengan
tergesa-gesa telah saling mengucapkan selamat berpisah dengan para Sea-Skipper -
memanfaatkan kesempatan ini untuk menyelinap di antara kerumunan orang, dan menuju pintu Yebba Dim Day.
Sambil melangkah, ia menoleh ke belakang, ingin
melihat teman-temannya untuk terakhir kali; siapa tahu ucapan Mischief yang
terlalu optimis - bahwa mereka
akan bertemu lagi - ternyata tidak terbukti.
Tapi Mischief sudah lama pergi, dan keempat Sea-
Skipper juga sudah melompat ke dalam air, menyelam di bawah perahu-perahu, agar
bisa keluar tanpa ketahuan dari pelabuhan itu.
Sekonyong-konyong Candy merasakan kehilangan
yang amat sangat. la merasa begitu sendirian. Tanpa John Mischief, bagaimana
mungkin ia bisa bertahan di dunia yang aneh ini"
Bukannya ia merasa lebih baik pulang saja ke rumahnya. Tidak ada apa-apa
untuknya di Chickentown. Tak ada yang ia inginkan di kota itu. Ia benci ayahnya.
Dan ibunya.... Yah.... ibunya membuat ia merasa begitu
hampa. Tidak, tak ada apa-apa untuknya di kota itu.
Datang ke tempat ini, memasuki Dunia Baru yang aneh ini, rasanya seperti
dilahirkan kembali. Merasakan kehidupan baru, di bawah bintang-bintang yang baru.
Maka dengan perasaan harap-harap cemas bercampur
berat hati ia pun berjalan terus melawan arus kerumunan orang, melewati pintu-
pintu, dan akhirnya masuk ke kota yang berdiri di Selat-Selat Senja.
13 DI YEBBA DIM DAY CANDY selalu membanggakan diri bahwa ia memiliki
imajinasi yang sangat hidup. Ia suka membandingkan mimpi-mimpi yang ia alami
dalam tidurnya dengan mimpi-mimpi yang dialami saudara-saudara lelakinya, yang
suka mereka ceritakan saat sedang sarapan, atau dengan
mimpi-mimpi yang diobrolkan teman-teman sekolahnya saat istirahat siang. Dan ia
mendapati mimpi-mimpi malamnya itu selalu jauh lebih liar dan lebih aneh dari
pada mimpi-mimpi orang lain. Tapi entah mimpi siang hari ataupun malam hari,
rasanya belum pernah ia mendapat mimpi seaneh pemandangan yang menyambutnya di
Kepala Raksasa Yebba Dim Day.
Kepala Raksasa itu adalah sebuah kota. Kota yang
dibangun dari sampah-sampah laut. Jalanan di bawah kakinya terbuat dari kayu-
kayu yang jelas-jelas sudah lama sekali terendam air; tembok-temboknya didereti
batu-batu yang penuh remis. Ada tiga pilar penunjang langit-langitnya, terbuat
dari potongan-potongan batu koral yang disemen. Batu-batu itu mendengung riuh
oleh suara-suara kehidupan; pada tembok-tembok yang
susunannya rumit itu tampak lusinan jendela yang
memancarkan cahaya. Ada tiga jalan utama yang melingkar-lingkar hingga ke atas, mengitari rongga-
rongga batu-batu koral itu.
Semuanya dipadati oleh para penghuninya, dan bising oleh suara-suara para
penduduk Yebba Dim Day. Sejauh pengamatan Candy, banyak di antara orang-
orang yang dilihatnya di situ menyerupai orang-orang biasa yang umum dijumpainya
di jalanan-jalanan Chickentown. Paling-paling ada sedikit detail yang agak menggelikan: entah pada
topi dan mantel mereka, atau hidung mereka yang panjang dan seperti kayu. Tapi
perbandingan manusia yang tampak benar-benar normal dan yang sama kali tidak
seperti manusia adalah satu banding dua. Anak-anak hasil dari ribuan perkawinan
antara jenis manusia dan makhluk-makhluk aneh di Abarat memenuhi jalanan-jalanan
kota tersebut. Di antara makhluk-makhluk yang lalu lalang melewatinya di jalanan itu ada yang
sepertinya masih keturunan ikan, burung, anjing, kucing, singa dan kodok. Itu
baru spesies-spesies yang dikenalinya. Banyak spesies lain yang tidak
diketahuinya; bentuk-bentuk wajah yang tak pernah ia lihat dalam mimpinya
sekalipun. Candy tidak menghiraukan rasa dingin yang menye-
limuti tubuhnya. Meski ia merasa sangat lelah, hingga ke tulang sumsum, dan juga
tersesat - oh amat sangat tersesat - ia tetap tak peduli. Dunia yang ada di depan
matanya ini adalah Dunia Baru, dunia yang dipenuhi beragam makhluk hidup.
Seorang wanita cantik berjalan lewat, mengenakan topi yang bentuknya seperti
akuarium. Di dalamnya ada
seekor ikan besar dengan ekspresi sendu, mirip sekali dengan ekspresi wanita
yang memakai topi itu. Seorang laki-laki yang tubuhnya setengah ukuran tubuh
Candy berlari lewat, di kerudung mantelnya duduk laki-laki lain yang ukurannya
lebih kecil lagi, sedang melempar-lemparkan kacang ke udara. Sesosok makhluk
yang kakinya terbuat dari anak-anak tangga berwarna merah berjalan dengan langkah-
langkah panjang menerobos
keramaian, agak jauh di sana, kepalanya sangat besar, berwarna jingga cerah. Ada
segumpal asap biru melayang lewat, dan sementara ia berlalu, muncul sebuah wajah dari tengah-tengah
gumpalan asap itu, tersenyum pada Candy, lalu lenyap terburai angin.
Ke mana pun Candy memandang, ada saja peman-
dangan menakjubkan yang membuatnya terheran-heran.
Selain para penduduknya, di kota itu juga ada binatang yang tak terhitung
jumlahnya - yang liar dan yang sudah jinak. Monyet-monyet berwajah putih, yang
tampak seperti sekumpulan badut, duduk di atap-atap sambil memamerkan pantat mereka
yang merah kepada orang-orang lewat. Binatang-binatang seukuran chinchilla,
namun menyerupai singa-singa keemasan, lari bolak-balik sepanjang kabel-kabel
listrik yang membentang di antara rumah-rumah. Sementara itu, seekor ular putih
mulus, dengan mata berwarna hijau-kebiruan, melilitkan diri dengan cerdiknya di
kaki orang banyak, sambil berceloteh seperti burung betet yang cerewet. Di
sebelah kiri Candy ada sesuatu yang sepertinya merupakan keturunan lobster dan
Picasso si pelukis. Makhluk itu menempel di tembok, menggambar potret dirinya
sendiri dengan bagusnya di permukaan plaster berwarna putih, menggunakan sepotong arang. Di
sebelah kanan Candy ada seorang laki-laki yang membawa alat pemadam kebakaran;
orang itu sedang mencoba membujuk seekor sapi yang tubuhnya dilompati belalang-
belalang berwarna kuning agar keluar dari rumahnya.
Belalang-belalang itu bukan satu-satunya serangga
yang ada di kota tersebut. Sama sekali bukan. Udara di situ mendengung riuh oleh
kehidupan. Jauh di atas sana, burung-burung sibuk memakan gerombolan kutu yang
menyala seperti bara-bara api kecil. Kupu-kupu seukuran tangan Candy terbang
persis di atas kepala orang
banyak, dan sesekali hinggap di kepala tertentu, seakan-akan mereka mengganggap
kepala itu sekuntum bunga.
Ada beberapa kupu-kupu dengan sayap tembus
pandang, urat-urat darah mereka dialiri darah biru cemerlang. Ada juga kupu-kupu
yang gendut dan berdaging; jenis ini merupakan makanan seekor makhluk yang
bentuknya seperti burung merak, tubuhnya kecil, ekornya besar sekali, dengan
warna-warni yang tak bisa digambarkan oleh Candy.
Dan di segala arah - di antara pemandangan-
pemandangan yang membuat terbengong-bengong ini -
ada hal-hal yang sepenuhnya dikenali Candy. Banyak rumah mempunyai televisi,
layar mereka bisa dilihat melalui jendela-jendela yang tidak bertirai. Di salah
satu layar ada pertunjukan kartun seorang anak laki-laki sedang berdansa tap; di
layar lain ada yang sedang menyanyikan lagu sedih, dan di layar lainnya lagi ada
pertunjukan gulat: manusia melawan serangga-serangga bergaris-garis sangat
besar, yang tampaknya bosan
setengah mati dengan keseluruhan acara tersebut. Banyak lagi yang bisa dikenali
Candy. Bau daging terbakar dan bir tumpah. Suara anak-anak lelaki berkelahi.
Suara tawa, seperti tawa pada umumnya. Air mata, seperti air mata pada umumnya.
Yang lebih mengherankan, ia mendengar bahasa
Inggris dipergunakan di mana-mana, meski dialeknya bermacam-macam. Dan tentu
saja bagian-bagian mulut yang digunakan untuk mengucapkan bahasa itu juga
berpengaruh dalam membentuk jenis bahasa Inggris yang diucapkan: ada yang
nadanya tinggi dan sengau,
mengalun hampir-hampir seperti musik. Dari arah lain terdengar versi agak kasar
yang sesekali memelan menjadi geraman dan lengkingan.
Begitu banyak yang aneh di sini, padahal ia baru
berjalan sekitar lima puluh meter di Yebba Dim Day.
Rumah-rumah di ujung sebelah bawah Kepala Raksasa, tempat ia berjalan saat ini,
semuanya berwarna merah, bagian depannya melengkung. Candy segera mengerti
sebabnya. Rumah-rumah itu terbuat dari perahu, atau sisa-sisa perahu. Kalau
melihat jaring-jaring yang digantung dan berfungsi sebagai pintu, kelihatannya
para penghuni rumah-rumah ini adalah keluarga-keluarga nelayan yang telah
menetap di sini. Mereka telah menyeret perahu mereka menjauhi udara senja yang
dingin; palu dan linggis dibawa ke pondok-pondok, dermaga, dan tempat penambatan, lalu perahu-
perahu tersebut dibongkar untuk dijadikan semacam tempat tinggal di darat. Tidak
ada keteraturan di sini; sepertinya orang-orang dengan begitu saja menempati
lahan yang masih kosong. Kalau tidak, mana mungkin perahu-perahu itu saling
tumpang tindih dengan kacau, satu perahu ditumpuk di atas perahu
lainnya. Listrik tampaknya dicuri terang-terangan dari orang-orang yang tinggal di bagian
kota yang lebih tinggi (dan karenanya, kemungkinan besar, lebih kaya). Kabel-
kabel listrik terentang di tembok-tembok, masuk ke dalam rumah-rumah, lalu
keluar lagi, mengalirkan listrik ke rumah berikutnya.
Sistem tersebut sama sekali tidak aman sebenarnya.
Kapan saja, kalau kita memandang ke atas, ke ratusan, atau barangkali ribuan,
rumah yang saling tumpang tindih itu, ada saja lampu-lampu yang berkedip-kedip
di rumah seseorang, atau ada pertengkaran mengenai kabel-kabel tersebut. Belum
lagi dengan adanya monyet-monyet dan burung-burung yang menggerigiti kabel-kabel
itu, atau sekadar menggunakannya untuk berayun-ayun, membuat suasana semakin
kacau. Aneh sekali bahwa segala macam orang, binatang, dan makhluk-makhluk lain ini
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa hidup rukun bersama-sama, pikir Candy. Ia tak bisa bayangkan orang-orang di
Chickentown hidup dalam keragaman yang kacau balau demikian. Apa kira-kira
pendapat mereka tentang makhluk yang kakinya berupa tangga itu, atau si makhluk asap, atau makhluk kecil
yang melempar-lemparkan kacang ke udara" Aku mesti mengingat-ingat sebanyak mungkin detail-detail yang kulihat di sini,
supaya kalau kembali ke rumah nanti aku bisa bercerita pada orang-orang, seperti
apa rasanya, sampai hal yang sekecil-kecilnya, sampai ke kupu-kupu yang kulihat
itu. Kira-kira mereka membuat kamera tidak, ya, di sini" pikir Candy. Kalau
mereka punya televisi, tentunya mereka juga punya kamera.
Tentu saja mula-mula ia mesti mencari tahu, apakah beberapa lembaran dolar kumal
dan basah di sakunya bisa dibelanjakan di sini. Kalau bisa, dan kalau ada yang
menjual kamera di sini, ia bisa memotret apa-apa yang dilihatnya. Dengan
demikian, ia punya bukti-bukti nyata bahwa tempat ini, dengan segala
keanehannya, memang benar-benar ada.
"Apa kau kedinginan?"
Wanita yang menyapanya itu kelihatannya masih
keturun Sea-Skipper. Insang-insang kecil tampak di bagian sebelah bawah pipinya
hingga ke leher, dan kulitnya agak berbintik-bintik. Matanya juga agak
keperakan. "Ya, aku memang agak kedinginan," sahut Candy.
"Mari ikut aku. Namaku Izarith."
"Aku Candy Quackenbush. Aku masih baru di sini,"
"Ya, bisa kulihat," kata Izarith. "Hari ini udaranya dingin; air laut merambat
naik melalui bebatuan. Suatu hari nanti, tempat ini bakal membusuk dan ambruk
dengan sendirinya." "Sayang sekali," kata Candy.
"Kau toh tidak tinggal di sini," kata Izarith, nada suaranya agak getir.
Ia mengajak Candy ke salah satu rumah yang terbuat dari perahu penangkap ikan.
Ketika hendak mengikuti wanita itu masuk ke rumah, Candy merasa agak ragu.
Kenapa wanita ini dengan tiba-tiba saja mengundangnya datang, tanpa alasan
jelas, selain karena perasaan kasihan pada orang asing"
Izarith sepertinya bisa merasakan keraguan Candy.
"Jangan masuk kalau kau tidak mau," katanya. "Aku cuma pikir kau kelihatannya
perlu api untuk menghangatkan diri."
Sebelum Candy sempat menjawab, terdengar serang-
kaian suara kayu ambruk dari luar Kepala Raksasa, diikuti keributan orang
menjerit-jerit dan berteriak-teriak.
"Dermaganya!" kata Candy sambil menoleh ke arah pintu.
Rupanya dermaga itu akhirnya ambruk karena tidak
kuat menahan beban orang banyak. Orang-orang
serentak keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi.
Tentu saja ini semakin memperburuk suasana di luar sana.
Izarith tidak tampak ingin keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ia hanya
berkata, "Kau mau masuk?"
"Ya," kata Candy. Ia tersenyum sebagai tanda terima kasih, dan mengikuti wanita
itu masuk. Seperti telah dijanjikan Izarith, ada api di perapian kecil di situ. Izarith
menaburkan segenggam rumput laut untuk memperbesar nyalanya. Api itu segera
berkobar cemerlang. Rasa hangat yang nyaman menyelimuti tubuh Candy. "Oh, enak
sekali," katanya, sambil menghangatkan kedua tangannya.
Di lantai depan perapian ada anak kecil, usianya
barangkali dua tahun, wajahnya tidak terlalu menunjukkan ciri-ciri makhluk laut
seperti yang tampak pada kakek-neneknya, atau mungkin kakek-nenek buyutnya.
"Ini Maiza. Maiza, ini Candy. Bilang halo."
"Hal...O," kata Maiza.
Setelah mengucapkan halo, Maiza kembali asyik
dengan mainan-mainannya yang hanya berupa balok-
balok kayu dicat. Salah satunya berbentuk perahu, dicat merah; barangkali tiruan
kasar dari perahu yang papan-papannya digunakan untuk membangun tembok-tembok
ini. Izarith menghampiri anak satunya di ruangan itu, untuk memeriksanya. Seorang
bayi yang sedang tidur di dalam buaian.
"Itu Nazre," katanya. "Dia sakit sejak kami datang kemari. Dia dilahirkan di
laut, dan aku yakin dia ingin kembali ke sana."
la membungkuk rendah, dan berbicara dengan lembut
pada bayi itu. "Iya, kan, itu yang kauinginkan, bukan, Sayang" Kau ingin pergi jauh dari sini"
"Kau juga ingin pergi jauh?" tanya Candy.
"Ingin sekali. Sepenuh hatiku. Aku benci tempat ini."
"Apa kau tidak bisa pergi begitu saja?"
Izarith menggelengkan kepala. "Suamiku, Ruthus, punya perahu. Dulu kami suka
menangkap ikan di sekitar
Kepulauan Lingkar Luar, yang perairannya masih bagus.
Tapi perahu kami sudah mulai tua. Jadi, kami datang kemari untuk menukarnya
dengan perahu baru. Waktu itu kami masih punya sisa uang dari hasil menangkap
ikan pada musim itu, dan kami pikir kami bisa membeli perahu yang bagus dengan
uang itu. Tapi ternyata tidak ada perahu baru. Tidak ada lagi yang membuat
perahu. Sekarang kami hampir kehabisan uang. Jadi, suamiku bekerja membuat toilet untuk
orang-orang di menara-menara, dan aku terpaksa di sini saja bersama anakanak."
Sambil bercerita, ia menyibakkan tirai yang membagi ruangan kecil itu menjadi
dua bagian. Ia mencari-cari di dalam kotak pakaian, lalu mengambil sehelai gaun
sederhana, dan memberikannya pada Candy.
"Ini," katanya. "Pakai gaun ini. Kau bisa pilek kalau mengenakan pakaian basah
itu terus." Dengan senang hati Candy mengenakan gaun itu.
Diam-diara ia merasa malu akan perasaan curiganya
tadi. Izarith jelas orang baik. Ia miskin, tapi ia menawarkan apa yang
dimilikinya. "Gaun itu cocok untukmu," kata Izarith, sementara Candy mengikatkan sehelai
sabuk rami sederhana di pinggangnya. Bahan gaun itu berwarna cokelat, tapi bersinar-sinar lembut; ada
warna biru keperakan samar dalam tenunannya.
"Apa mata uang di sini?" tanya Candy.
Izarith jelas-jelas merasa terkejut dengan pertanyaan itu, dan ini bisa
dimengerti. Tapi ia toh menjawab juga.
" Zem," katanya. "Atau paterzem, yang terdiri atas seratus lembaran zem."
"Oh." ' "Kenapa kau menanyakannya?"
Candy merogoh-rogoh saku jeans-nya. "Sebab aku punya beberapa uang dolar,"
katanya. "Kau punya dolar" " sahut Izarith, ternganga heran.
"Ya. Ada beberapa."
Candy mengeluarkan lembar-lembar uang yang basah
itu, dan dengan hati-hati menaruhnya di perapian. Uang-uang kertas itu beruap
terkena hawa panas dari api.
Izarith sama sekali tidak mengalihkan pandang dari lembar-lembar uang tersebut
sejak Candy mengeluarkan-nya. Ia seperti sedang melihat sebuah keajaiban.
"Dari mana kau memperoleh itu...?" tanyanya, suaranya tercekat karena herannya.
Akhirnya ia mengalihkan tatapannya dari perapian dan memandang Candy.
"Tunggu," katanya. "Mungkinkah kau..."
"Mungkinkah aku apa?"
"Apa kau... datang dari Hereafter?"
Candy mengangguk. "Sebenarnya aku berasal dari suatu tempat bernama Amerika.
"Amerika." Izarith mengucapkan kata itu seperti mengucapkan doa. "Kau mempunyai
uang dolar, dan kau berasal dari Amerika." Ia menggeleng-gelengkan kepala dengan
rasa tak percaya. Candy berjongkok di depan perapian dan mengambil
lembar-lembar uang dolar yang sekarang sudah hampir kering. "Ini," katanya,
menawarkan uang itu pada Izarith.
"Ambillah untukmu."
Izarith menggelengkan kepala, wajahnya menunjukkan ekspresi takjub yang amat
sangat. "Tidak, aku tak bisa. Tak bisa mengambil uang dolar itu. Cuma malaikat-malaikat
yang menggunakan dolar, bukan Skizmut seperti aku."
"Ambillah dariku," kata Candy. "Aku kan bukan malaikat. Jauh sekali dari ini.
Omong-omong, Skizmut itu apa?"
"Bangsaku adalah Skizmut. Atau begitulah mereka dulunya, bergenerasi-generasi
yang lalu. Setelah sekian tahun, darah Skizmut kami semakin tipis. Kakek buyutku
yang masih merupakan Skizmut asli."
Ia tampak agak sedih; ekspresi itu cocok untuk bentuk wajahnya, melebihi
ekspresi-ekspresi lainnya.
"Kenapa kau begitu sedih."
"Kalau saja aku bisa kembali ke kedalaman, dan tinggal di sana, jauh dari semua
ini..." Izarith mengarahkan tatapan sedihnya ke jendela yang tidak mempunyai kerangka
ataupun kaca jendela. Di luar sana orang-rang berseliweran tanpa henti, seperti
parade yang tak ada habisnya. Candy bisa mengerti, betapa tidak nyamannya
tinggal di gubuk kecil ini, sementara di luar sana jalanan dipenuhi orang yang
terus berlalu lalang, siang-malam.
"Apa yang kaumaksud dengan kedalaman itu laut?"
tanya Candy. "Ya. Mama Izabella. Bangsa Skizmut mempunyai kota-kota di bawah sana. Jauh di
dalam samudra. Kota-kota yang indah, terbuat dari batu putih."
"Kau pernah melihat kota-kota itu?"
"Tentu saja tidak. Setelah dua generasi, kami tidak bisa berenang dan bernapas
seperti ikan lagi. Aku akan
tenggelam, sama seperti kau."
"Jadi, apa yang bisa kaulakukan?"
"Tinggal di perahu, sedekat mungkin dengan laut.
Tinggal bersama irama ombak Mama Izabella di bawah kami."
"Yah, barangkali uang dolar ini bisa membantu kau dan Ruthus membeli perahu,"
kata Candy. Ia mengulurkan selembar uang sepuluh dolar dan satu dolar, enam dolar sisanya ia
simpan untuk dirinya sendiri.
Izarith tertawa keras, nadanya merdu dan begitu
menyenangkan, sampai-sampai anak perempuannya,
Maiza, ikut tertawa. "Sebelas dolar" Sebelas. Uang sebanyak ini bisa untuk membeli dua perahu! Tiga
perahu! Nilainya sama dengan sebelas paterzem! Lebih malah, kurasa!" Ia
mengangkat wajahnya dari uang itu, dan sekonyong-konyong tampak cemas. "
Benarkah uang ini untukku?" tanyanya, seakan-akan takut hadiah itu akan diminta
kembali. "Ya, semuanya untukmu," kata Candy; ia merasa agak aneh, takut kalau-kalau ia
kedengaran angkuh. Padahal ia hanya memberikan uang sebelas dolar.
"Aku ingin membelanjakan uang ini sedikit," kata Izarith.
la mengambil uang satu dolar itu, dan menyimpan sisanya.
"Aku akan membeli sedikit makanan. Anak-anak belum makan hari ini. Kurasa kau
sendiri juga belum makan."
Sepasang matanya bersinar-sinar; sorot bahagia yang terpancar dari matanya
semakin kentara karena cahaya keperakan samar di dalamnya, yang merupakan
warisan keturunan Skizmut-nya. "Kau mau menjaga mereka sementara aku pergi?"
katanya. "Tentu saja," sahut Candy. Sekonyong-konyong ia merasa sangat lapar.
"Maiza?" "Ya, Muma?" "Manis-manis pada kakak dari Hereafter itu ya, sementara aku pergi membeli roti
dan susu?" "Mau kue kacang!" kata Maiza.
"Itu yang kauinginkan" Kue kacang?"
"Kue kacang! Kue kacang!"
"Aku tidak akan lama," kata Izarith.
"Kita di sini saja, ya," kata Candy sambil duduk di samping Maiza, di depan
perapian. "Tidak apa, kan, Maiza?"
Anak itu tersenyum lagi, deretan giginya yang mungil tampak semitransparan, dan
berkesan kebiruan. "Kue kacang!" katanya. "Semuanya buatku."
14 CARRION SETELAH bertahun-tahun mengabdi kepada Christopher Carrion, Mendelson Shape amat
sangat menguasai seluk-beluk Menara Kedua Belas di Pulau Gorgossium. Ia tahu
lika-Iiku jalan sekitar dapur-dapur dan ruangan-ruangan jeritangis; ia juga tahu
lorong-lorong di ruang-ruang penguburan bawah tanah, Kapel Hitam, dan melalui
Ruang-Ruang Air Mata. Tapi hari ini, ketika ia kembali ke Menara dengan
membawa berita bahwa ia telah kehilangan segalanya (Kunci itu, Mischief, dan
kaki-tangannya yang membantu pencurian tersebut, seorang gadis bernama Candy),
Shape diberitahu oleh Naw - pelayan Carrion yang berkepala kosong - bahwa ia mesti
melapor ke ruangan yang belum pernah ia masuki: Perpustakaan Besar yang letaknya
dekat puncak Menara. Dengan patuh Shape berangkat ke ruangan tersebut.
Perpustakaan itu adalah ruangan paling besar yang
pernah ia masuki dalam hidupnya: bentuknya bundar, sangat luas, dan tidak
berjendela, dengan tumpukan-tumpukan buku setinggi sekitar empat puluh kaki.
Mendelson merasa sangat tidak tenang, menunggu
kedatangan tuannya di situ. Ia mengenakan mantel
panjang lusuh dengan pinggiran wol dari bulu bayi
serigala jadi-jadian. Tapi mantel itu tak bisa melindunginya dari hawa dingin
yang meresap hingga ke tulang sumsum. Giginya serasa ingin bergemeletuk, tapi ia
menahan diri. Ia tahu, tidak baik akibatnya kalau ia sampai menunjukkan rasa
takutnya. Bisa-bisa Carrion jadi terdorong untuk berbuat kejam kalau mencium
gelagat bahwa orang yang diajaknya bicara merasa takut.
Mendelson sudah berkali-kali menyaksikan kekejaman Carrion. Kadang-kadang, kalau
ia datang ke Menara ini, ia serasa mendengar seseorang menangis, menjerit atau
memohon-mohon dikasihani di balik setiap pintu: semua itu hasil kerja Carrion.
Bahkan hari ini pun, saat menaiki tangga ke Perpustakaan Besar, ia mendengar
seseorang memanggil-manggilnya, terisak-isak minta diberi cahaya, diberi
sepotong roti, dikasihani; rupanya orang itu di-kurung salama-lamanya di sebuah
ruang sempit dan gelap di dalam dinding-dinding.
Tapi tempat ini sama sekali bukan tempat yang tepat untuk minta diberi belas
kasihan. Mendelson tahu itu.
Langit-langit lengkung Menara Keduabelas, yang diberi lukisan-lukisan dengan
adegan-adegan untuk membuat takut yang melihatnya, telah menjadi saksi begitu
banyak pemandangan mengerikan, dan tak ada satu pun yang
diberi belas kasihan. Mendelson tahu itu.
Kakinya yang tidak bertelapak terasa sakit, tapi ia tidak berani duduk, takut
kalau-kalau Carrion masuk mendadak dan mendapati ia bermalas-malasan. Maka,
untuk merintang-rintang waktu, ia menghampiri salah satu dari sekian banyak meja
di Perpustakaan itu. Meja-meja itu penuh dengan tumpukan buku yang rupanya
diambil dari rak-rak karena menarik perhatian Carrion.
Ada sebuah buku yang dikenali Shape dari masa
kecilnya; buku itu ditaruh di sebuah sandaran buku kecil, agar mudah dibaca.
Judulnya Pincoffin's Rhymes and Nonsenses. Buku itu salah satu buku kesayangan
Shape, berisi sajak-sajak dan lagu pengantar tidur yang masih diingatnya luar
kepala, sampai sekarang, termasuk lagu yang waktu itu ia nyanyikan pada si gadis
dari Hereafter. Buku itu terbuka di halaman berisi nyanyian anak-anak bernada muram yang sudah
ia lupakan. Tapi kini, setelah membacanya, ia kembali merasa tergugah.
Monster kecil, monster kecil
Hendak ke mana kau pergi"
Hendak ke pekuburan, Untuk bermain-main" Berdansa dengan kerangka - kerangka
Yang muncul dari tanah"
Menari-nari Di gundukan tanah makam"
Bibirnya bergerak-gerak saat ia membaca kata-kata
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Lagu itu membangkitkan kenangan lama terhadap ibunya, Miasma Shape. Dulu
ibunya suka duduk bersama ketiga anak lelakinya - Nizz, Naught, dan Mendelson-
sambil membacakan buku Pincoffin. Oh, Shape sangat memuja ibunya!
Ia meneruskan membaca. Monster kecil, monster kecil,
Seram bentukmu! Sayap kelelawar di punggungmu,
Wajah berbekas luka, Taring-taring tajam gigimu,
Ekor ular di belakangmu; Kaubuka mulutmu Memperdengarkan Lagu sang Iblis sendiri, Getir dan nyaring. Wahai, monster kecil, Banggakah ibumu terhadapmu"
" Lagu sang Iblis sendiri" Kalimat itulah yang paling diingatnya selama
bertahun-tahun ini, meski sampai sekarang ia tak ingat sumbernya. Berkali-kali
ia bertanya-tanya sendiri, sanggupkah ia mengarang lagu seperti itu.
Ia memperdengarkan suara dari tenggorokannya.
Geraman pelan penuh ancaman, yang menggema oleh
pantulan di langit-langit ruangan bundar itu. Ya, suara itu rasanya bisa membuat
ngeri hati musuh-musuhnya. Ya, pikirnya, suara itulah yang akan
diperdengarkannya kalau nanti dia menemukan gadis itu lagi: suara yang begitu
mengerikan, yang akan membuat gadis itu luluh lantak ketakutan.
Ia membuat suara lebih keras lagi, dan dari puncak tumpukan buku-buku, muncul
dua makhluk bersayap yang mungkin merasa terganggu oleh suara tersebut. Keduanya
turun hingga sekitar tiga kaki di atas kepala Shape, lalu berhenti dan melayang-
layang di situ. Mereka seukuran burung pemakan bangkai, dengan wajah pucat pasi
dan pipi gemuk, seperti anak kecil bertampang monster.
"Kalian mau apa?" tanya Mendelson, memelototi mereka.
Kedua makhluk itu memandanginya sejenak dengan
mata mereka yang sangat kecil dan tak ada bagian
putihnya. Setelah itu tampaknya mereka menganggap ia tidak penting, dan mereka
Siluman Hitam 1 Hardy Boys Misteri Manusia Kera Terdampar Di Pulau Asing 1
Candy memandangi mangkuk kecil sederhana yang
bertengger di atas piramida. Kata-kata Mischief ter-ngiang-ngiang di telinganya.
Cahaya adalah permainan paling tua di dunia....
Shape ada di depan pintu, memandangi Candy melalui celahnya dengan satu mata
yang menyorotkan sinar setajam ujung jarum, rahangnya menganga lebar dan meneteskan buih, seperti mulut
seekor anjing gila. Kemudian ia mulai menyanyikan kembali lagunya yang
mengerikan, tapi kali ini dengan lebih perlahan, lebih membuai.
"Lupakan masa depan,
Lupakan masa lalu. Hidupmu usai, Embuskan napas terakhirmu."
Sambil menyanyi ia mendorong pintu perlahan-lahan, seakan-akan ini sebuah
permainan. Candy tak punya waktu untuk menghampiri piramida itu dan menaruh bola di dalam
mangkuk. Kalau ia membuang-buang waktu yang tinggal tiga atau empat detik itu,
Shape pasti sudah lebih dulu masuk dan merobek-robek tenggorokannya. Itu tak
perlu diragukan lagi. Candy tak punya pilihan: ia harus menjalani permainan ini.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melemparkan bola tersebut. Lemparannya tidak
bagus. Bola itu mengenai pinggiran mangkuk, bukan mendarat di dalamnya. Selama
beberapa detik bola itu berputar-putar di bibir mangkuk, dan bisa jatuh ke luar
setiap saat. " Ayolah" Candy berdoa dalam hati, sambil memandangi bola itu dengan tegang,
seperti penjudi memandangi roda rulet. Ia tahu ia hanya punya satu kesempatan untuk melempar;
takkan ada kesempatan kedua. Bola itu masih juga bergulir mengelilingi pinggiran mangkuk, seperti tak bisa
memutuskan hendak jatuh di mana.
" Terus," gumam Candy, berusaha tidak menghiraukan pintu yang berderit membuka
di belakangnya. Bola itu membuat satu putaran terakhir dengan malas, mengelilingi bibir mangkuk,
kemudian bergoyang-goyang maju-mundur sesaat, dan bergulir jatuh ke dalam
mangkuk. Setelah berputar-putar selama beberapa detik, akhirnya bola itu pun diam.
Shape memperdengarkan suara yang sama sekali tidak seperti manusia; suara yang
luar biasa keras, dimulai dari desisan yang lalu meningkat menjadi suara makhluk
yang disiksa hingga di ambang kegilaan. Sambil mengeluarkan suara yang
mendirikan bulu roma itu, ia mendorong pintu hingga terbuka, menepiskan Candy ke
samping, lalu mengulurkan tangan untuk meraih bola itu dari dalam mangkuk.
Tapi mercu suar itu tak mau kompromi. Setelah Candy melemparkan bola tadi,
terjadi suatu proses yang sama sekali tidak dipahami Candy. Ada suatu kekuatan
tak terlihat di udara, dan kekuatan itu mendorong Shape mundur, membawanya
keluar dari pintu. Di luar, Candy mendengar Mischief dan saudara-saudaranya
melolong seperti sekawanan anjing yang gembira. Meski tak melihat apa yang telah
dilakukan Candy, mereka tahu ia sudah berhasil. Candy sendiri tidak sulit untuk
mengerti, bagaimana mereka bisa tahu. Ada gelombang energi murni
yang terpancar dari piramida tersebut. Candy merasa rambut-rambut halus di dasar
kepalanya mulai menegang, dan di belakang matanya pola-pola pada bola itu
memancarkan cahaya biru, hijau, dan keemasan.
Candy mundur selangkah, lalu selangkah lagi, tatapannya terarah pada bola,
mangkuk, dan piramida tersebut.
Dan ia terperangah ketika piramida itu mulai bergerak pada ujungnya yang
runcing. Makin lama makin cepat, dan pada saat yang bersamaan seberkas nyala api
meletup di bagian tengahnya. Sebuah cahaya keperakan berkelap-kelip malu-malu,
lalu dengan cepat berubah menjadi cahaya terang dan kuat yang memancar melalui
pola-pola pada sisi-sisi piramida tersebut.
Ketika itu sesaat menjelang tengah hari di Minnesota; meski matahari tertutup
lapisan awan tipis, cuaca boleh dikatakan masih cerah. Tapi cahaya yang sekarang
mulai mengalir melalui pola-pola hieroglif pada piramida yang berputar itu jauh
lebih terang, memancar ke segala arah dalam pendar-pendar yang teramat
cemerlang. Terdengar suara pelan bernada sedih dari Mendelson Shape. Candy menoleh ke
arahnya. Shape sedang memandangi piramida itu. Segala kejahatan dan niat mencelakakan yang semula
terpancar di wajahnya kini lenyap sepenuhnya. Sepertinya ia sudah pasrah akan
apa pun yang bakal terjadi selanjutnya. Tidak ada yang bisa ia lakukan terhadap
fenomena ini selain menontonnya.
"Coba lihat akibat perbuatanmu itu," katanya dengan amat sangat pelan.
"Apa sebenarnya yang telah kulakukan?" tanya Candy.
"Lihat saja sendiri," sahut Shape, dan sesaat ia mengalihkan tatapannya dari
piramida yang berputar itu, lalu mengangguk ke arah pemandangan di luar bangunan
mercu suar. Sekarang Candy tidak takut lagi untuk membalikkan
badan, memunggungi Shape. Shape tampaknya jinak,
setidaknya sampai proses ajaib ini selesai.
Candy beranjak ke pintu dan melangkah ke luar,
melewati lubang yang telah dibuatnya. Ia berdiri di platform, untuk melihat
akibat yang ditimbulkan oleh permainan bola dan mangkuk tadi.
Yang pertama-tama menarik perhatiannya adalah
awan raksasa itu. Awan tersebut tidak lagi bergerak perlahan sebagai respons
atas embusan angin sepoi-sepoi.
Sekarang awan itu bergerak sangat cepat, secepat
sebuah roda raksasa, dengan menara tempat Candy berdiri sebagai sumbunya.
Candy berdiri mengagumi pemandangan itu selama
beberapa saat, terkagum-kagum melihatnya. Kemudian ia menatap John Bersaudara
yang telah mengalihkan pandang dari mercu suar, dan sekarang sama-sama
memandangi bentangan padang rumput yang luas. Apa yang mereka pandangi" pikir
Candy. Tak ada apa-apa di sana hingga bermil-mil, rumah pun tidak ada. Entah
kenapa, daerah perumahan Chickentown tidak pernah
melewati batas rumah Ibu Janda White di sebelah barat laut, padahal dari pusat
kota daerah perumahan tersebut menyebar ke segala arah. Tapi di sini yang ada
hanya tanah kosong, terbengkalai, tak diinginkan,
Namun ada sesuatu yang ingin dilihat John Mischief dan saudara-saudaranya di
sana. Ia menudungi matanya
dengan dua tangan, memandang ke kejauhan.
Candy bisa merasakan cahaya yang terpancar dari
piramida itu menekan punggungnya, seperti sebuah
kehadiran yang nyata. Perasaan ini bukannya tidak
menyenangkan. Bahkan boleh dikatakan sangat menye-
nangkan. Dibayangkannya dirinya merasakan kekuatan cahaya itu menembus tubuhnya,
meminjamkan kekuatan padanya. Ia seolah-olah merasakan cahaya tersebut
mengalir melalui pembuluh-pembuluh darahnya, memancar keluar dari pori-porinya
dan dari embusan napasnya. Ia menduga ini hanya imajinasinya belaka. Tapi
barangkali juga tidak. Hari ini segalanya terasa aneh.
Di belakangnya, Mendelson Shape menyuarakan
erangan panjang menyedihkan, dan tak lama kemudian delapan suara berteriak
bersama-sama dari bawah. "Ada apa?" Candy berseru pada mereka.
"Lihat, Lady, lihat!"
Candy mengikuti arah tatapan kedelapan bersaudara
itu, dan segala sesuatu yang telah dilihatnya hari itu - ya, malah segala sesuatu
yang telah ia lihat dalam hidupnya, sampai pada saat yang luar biasa ini - baru
merupakan permulaannya; lalu dimulailah segala keheranan itu.
Di kejauhan sana tampak gelombang air laut yang berkilau-kilau, entah muncul
dari mana, makin mendekat, menerpa batu-batu karang serta padang rumput
Minnesota. Sejak dulu Candy memiliki penglihatan bagus (di
keluarganya tidak ada yang mengenakan kacamata); ia tahu matanya tidak
menipunya. Memang ada ombak-ombak laut yang datang mendekat, berbuih dan ber-
gulung memecah. Sekarang ia tahu, apa yang telah dilakukannya di
mercu suar sana. Ia telah memanggil laut ini entah dari mana; dan air itu pan
datang, seperti anjing yang menjawab panggilan tuannya.
" Kau berhasil!'' Mischief berseru-seru sambil melompat-lompat dan berputar-
putar. " Kau berhasil, Lady! Oh, lihat!
Lihat" . Ia menoleh pada Candy, wajahnya basah oleh air mata bahagia. "Kaulihat
laut itu" " "Aku melihatnya!" Candy berseru padanya, tersenyum melihat kegembiraannya.
Kemudian dengan lebih pelan ia berkata, "Murkitt benar."
Bentangan padang rumput masih tampak di bawah
debur ombak yang kian mendekat; tapi semakin dekat laut itu, semakin khayali
dunia nyata terasa, dan semakin kuat pengaruh ombak laut yang mendatangi itu.
Bukan hanya penglihatannya yang membuat Candy
yakin akan adanya laut tersebut. Ia juga bisa mencium aroma asin air laut yang
terbawa angin; ia pun bisa mendengar debur gemuruh ombak yang datang makin
dekat, menghanyutkan dunia yang selama ini dikiranya satu-satunya dunia yang
ada, menenggelamkannya di
bawah gelombang. "Namanya Laut Izabella...," Mendelson Shape berkata di belakangnya. Candy merasa
mendengar nada penuh kerinduan dalam suaranya. Benarkah" Rasanya begitu.
"Kau berasal dari sana?"
"Bukan dari laut itu. Dari kepulauannya. Dari Abarat."
" Abarat" "
Kata itu sepenuhnya asing bagi Candy, tapi Shape
menyebutkannya dengan penuh keyakinan. Jadi, mana
mungkin Candy tak percaya bahwa kepulauan itu benar-benar ada"
Kepulauan Abarat "Tapi kau takkan pernah melihatnya," kata Shape; ekspresi wajahnya sudah tidak
menerawang lagi, melainkan sudah kembali penuh ancaman. "Abarat bukan untuk
dilihat mata rnanusia. Tempatmu di dunia Hereafter ini. Takkan kubiarkan kau
masuk ke air itu. Takkan kubiarkan. Kaudengar aku?"
Sikap lembutnya sesaat tadi sudah lenyap. Shape
kembali ke perangainya yang kejam. Ia bangkit berdiri, dan berjalan menghampiri
Candy, darah mengalir dari luka akibat tusukan Mischief di kakinya.
Candy mundur tersandung-sandung, keluar dari pintu, menuju platform yang sudah
hancur. Sekonyong-konyong embusan angin terasa lebih dingin dan kuat, dan
membawa butir-butir air yang menerpa wajahnya. Bukan
hujan, melainkan butir-butir air laut. Asinnya terasa di bibir.
" Mischief! " teriak Candy; dengan hati-hati ia mundur melangkahi lubang
menganga di platform, sambil
menyambar birai dari besi, supaya ia tidak terpeleset.
Shape merunduk melewati pintu, kedua lengannya
begitu panjang, hingga ia bisa meraih melewati lubang.
Satu tangannya mengait ikat pinggang Candy, kuku-kuku jemarinya merobek bahan
baju Candy, sementara tangan satunya menyambar ke arah tenggorokan Candy, lalu
mencekiknya. Candy berusaha memanggil Mischief untuk kedua kalinya, sekaligus mencoba menoleh
untuk melihat. Tapi ia tidak berhasil. Cengkeraman Shape pada lehernya terlalu
kuat. Sekali lagi Candy mencoba berseru. Melihat ini, Shape semakin mempererat
cekikannya, hingga Candy meneteskan air mata kesakitan, dan titik-titik putih serasa menari-nari di
sudut-sudut matanya. Dengan putus asa ia mengulurkan tangan dan men-
cengkeram tangan Shape yang besar. Dicobanya menarik tangan itu dari
tenggorokannya. Kalau ia tak bisa
mengendurkan cekikan ini, ia akan segera pingsan. Tapi ia tak punya tenaga untuk
melepaskan satu jari pun.
Sekarang titik-titik putih itu semakin menyebar, dan tak lama lagi ia akan
hilang kesadaran. Tapi masih ada satu harapan, meski sangat kecil.
Seperti telah terbukti dari insiden di tangga tadi, struktur menara yang sudah
lapuk itu tak sanggup menahan orang seberat Shape. Kalau Candy bisa menarik
Shape dari ambang pintu ke papan-papan platform yang retak oleh berat badan
Candy sendiri, barangkali ada harapan
papan-papan itu akan runtuh terinjak Shape, seperti halnya tangga tersebut.
Ia tahu ia hanya punya waktu beberapa detik untuk
berusaha menyelamatkan hidupnya. Cengkeraman Shape begitu keras, seperti tang,
dan makin lama makin erat.
Kepala Candy berdenyut-denyut dan serasa akan me-
ledak. Candy kembali mencengkeram birai, dan beringsut
ingsut menarik tubuhnya sepanjang birai itu, dengan harapan bisa ikut menarik
Shape bersamanya. Tapi percuma saja. la sudah hampir kehabisan tenaga.
Ditatapnya wajah Shape yang masih terus mempererat cekikan di lehernya. Makhluk
itu menyeringai lebar dengan ekspresi puas kedua matanya memantulkan kilau air
laut yang makin mendekat di belakang. Gigi-giginya yang kelabu tajam bagaikan
mata anak-anak panah yang kadang ditemukan Candy di antara rerumputan
ketika ia masih kanak-kanak.
Pikiran itulah yang terakhir melintas dalam kepalanya sebelum ia jatuh pingsan.
Shape dengan mulut dan gigi-gigtaya yang seruncing anak-anak panah.....
Kemudian dunia seolah-olah membelah di bawah
pijakannya, dan tangan Shape terlepas dari teng-
gorokannya ketika platform itu runtuh di bawah kaki mereka. Kayu-kayunya
berderak patah dengan suara
keras, dan Shape mengeluarkan jeritan kaget. Cekikannya di leher Candy terlepas.
Sekonyong-konyong Candy mendapati dirinya jatuh dari lubang menganga di platform
itu, terempas ke tanah disertai papan-papan yang ikut berjatuhan.
Seandainya ia dalam keadaan sadar ketika jatuh, ia pasti luka parah. Tapi
untunglah ia sudah pingsan ketika jatuh, dan otot-otot tubuhnya lemas seluruhnya
saat ia mendarat. Ia tergeletak di sana, tidak menyadari keadaan
sekelilingnya, terbaring di rerumputan, di kaki bangunan mercu suar. Sementara
itu air Laut lzabella berdebur dan bergulung-gulung untuk memenuhi panggilan
cahaya yang telah dipancarkan.
8 SEJENAK BERSAMA MELISSA EBERAPA mil dari tempat anak perempuannya
tergeletak tak sadarkan diri di rumput, Melissa
BQuackenbush tengah berada di pekarangan
belakang Followell Street 34, membersihkan alat pemanggang sepulang bekerja. Ia
benci sekali tugas ini: mengerik sisa-sisa daging ayam yang gosong dari besi
pemanggang, sementara barisan semut yang semula asyik menggerumiti daging-daging
itu tercerai-berai ke segala arah.
Selalu dirinya yang mesti mengerjakan tugas ini, bukan suaminya. Si Gendut
Lembek, itulah sebutan rahasianya terhadap suaminya. Saat ini laki-laki itu
sedang duduk di dalam, terpuruk di depan televisi, menonton pertandingan entah
apa dalam keadaan setengah mabuk. Dulu, ketika suaminya baru saja dipecat,
Melissa marah melihat kemalasannya untuk bangkit kembali dan mencari
pekerjaan baru. Tapi sekarang ia sudah pasrah, seperti halnya ia pasrah mengerik
sisa-sisa daging ayam panggang minggu lalu dari besi-besi ini. Seperti iniLah hidupnya. Bukan
kehidupan seperti ini yang ia inginkan; bermimpi pun tidak bahwa ia akan
menjalani kehidupan seperti ini - tapi hanya iniiah yang dimilikinya: si Gendut
Lembek, anak-anaknya, dan besi pemanggang yang
lengket oleh daging ayam panggang.
Saat ia sedang menyelesaikan tugasnya, terasa ada
angin berembus dari suatu tempat nun jauh di sana.
Melissa sudah basah kuyup oleh keringat, karena ke-payahan mengorek daging yang
lengket, dan embusan angin itu terasa menyegarkan, mengeringkan butir-butir keringat di dahi dan
tengkuknya, menerpa helai-helai rambut kelabu yang menempel di kulitnya.
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi bukan kesejukan angin itu yang membuat ia me-
mejamkan mata dan menikmatinya. Bukan, bukan ke-
sejukannya, melainkan aroma yang dibawanya.
Memang absurd kedengarannya, tapi ia bisa meng-
hirup aroma air laut dalam embusan angin itu. Tentu saja ini sesuatu yang
mustahil bagaimana mungkin angin bisa membawa suatu aroma dari jarak seribu mil
lebih" Sebagian otaknya mengatakan: Tak mungkin yang tercium olehku adalah aroma air
laut, tapi sebagian lagi bergumam. Memang air laut, memang air laut.
Lagi-lagi ada embusan angin menerpa wajahnya. Kali ini aroma yang dibawanya
begitu kuat, juga perasaan-perasaan yang dihangkitkan oleh aroma tersebut,
hingga mengharu-biru perasaan Melissa.
Dijatuhkannya kaleng berisi cairan pembersih serta sendok kayu yang ia
pergunakan untuk mengerik sisa-sisa daging.
Ketika kedua benda itu jatuh ke batu-batu pelapis
jalan, sebuah kenangan lama hinggap di benak Melissa; kenangan dari masa yang
sudah lama berlalu. Ia sendiri bahkan tidak yakin apakah ia ingin mengingat-
ingat kembali kenangan itu. Tapi ia tak punya pilihan. Ingatan tersebut muncul
dengan sangat kuat di benaknya, begitu jelas, hingga seperti baru kemarin
terjadi. Ia ingat waktu itu hujan lebat, butir-butir air yang turun deras menerpa atap
truk Ford tua milik ia dan suaminya, Bill, ketika mereka baru menikah. Mereka
kehabisan bensin di tengah siraman hujan badai. Bill keluar dari mobil untuk
mencari bensin supaya mobil mereka bisa berjalan lagi. Ia ditinggalkan sendirian
di tengah-tengah hujan lebat yang turun tiba-tiba. Sendirian dalam gelap dan
dinginnya udara. Tapi... tidak, itu tidak sepenuhnya benar. la tidak sepenuhnya sendirian. la
sedang mengandung waktu itu, Di dalam perut Melissa, yang duduk menunggu Bill
kembali di dalam truk yang dingin itu, ada Candy Francesca
Quackenbush yang satu jam lagi akan lahir. Waktu itu jam dua pagi, dan air
ketuban Melissa sudah pecah, seiring dengan curah hujan deras dari langit. Dan
hingga kini pun Melissa belum pernah lagi mengalami hujan badai yang begitu
mendadak dan begitu dahsyat seperti waktu itu.
Namun yang ada dalam pikirannya saat ini bukanlah
hujan deras atau cuaca dingin, atau pun tendangan bayi di perutnya ketika itu.
Ada peristiwa lain yang terjadi.
Sesuatu yang terbersit kembali dalam ingatannya akibat dipicu oleh aroma air
laut yang menyengat hidungnya.
Sayangnya ia tidak ingat, apa persisnya sesuatu itu.
la mundur menjauhi alat pemanggang itu - menjauh
dari bau daging ayam yang gosong serta cairan
pembersih - untuk menghirup udara yang lebih segar.
Dan saat ia menarik napas - menghirup udara berbau
air laut yang mustahil benar-benar udara laut - sepotong ingatan lain terbetik
jelas dalam pikirannya. la ingat, waktu itu ia duduk di dalam truk, sementara hujan lebat menerpa atap
mobil dengan bunyi berisik yang amat sangat. Sekonyong-konyong, dengan tiba-tiba
saja, ada cahaya di mana-mana, masuk membanjiri bagian dalam Ford tua itu.
Melissa tidak tahu sebabnya, tapi entah kenapa ia
merasa ingatan ini - tentang mobilnya yang dipenuhi
cahaya putih menyilaukan itu - ada kaitannya dengan bau yang tercium di udara. Ini
sangat tidak masuk akal. Jelas-jelas pikirannya telah mempermainkannya. Sudah
sintingkah ia" Sinting oleh kesedihan dan kekecewaan.
Matanya mulai terasa panas, dan sekarang air matanya mengalir di pipi, tak
terbendung lagi. Ia memarahi dirinya agar tidak bersikap konyol begini. Apa
sebenarnya yang ia tangisi"
"Aku tidak sinting," katanya seorang diri, dengan suara pelan. Tapi tetap saja
ia merasa seperti orang yang tersesat dan kehilangan pegangan.
Mesti ada penjelasan akan hal ini, di suatu sudut dalam ingatannya. Masalahnya
ia tak bisa mengorek ingatan itu.
"Ayolah...," katanya pada dirinya sendiri.
Ia merasa seperti orang yang sedang berusaha keras mengingat ingat sebuah nama -
nama yang sudah ada di ujung lidah, tinggal dilontarkan tapi tidak muncul dalam
ingatan. Ia jadi kesal pada dirinya sendiri, dan merasa agak cemas juga (barangkali ada
yang tidak beres pada dirinya. Bagaimana mungkin ia merasa mencium aroma laut di tengah-tengah
Minnesota" Mungkin ia jadi sinting gara-gara kehidupan yang dijalaninya.) Maka
ia pun mengalihkan perhatiannya dari bentangan langit luas dan kembali pada bau-
bauan masam yang sudah begitu
dikenalnya, yang menguap dari alat pemanggang.
Memang bukan bau-bauan yang menyenangkan, tapi
setidaknya bisa ia pahami. Sambil mengusap air matanya dengan punggung tangan,
ia memaksa dirinya melupakan aroma yang tadi tercium olehnya. Hidungnya pasti
salah membaui, tidak kurang tidak lebih.
Ia mengambil sendok kayunya, serta kaleng berisi
cairan pembersih yang tadi dijatuhkannya, kemudian melanjutkan pekerjaannya yang
melelahkan dan membosankan itu.
9 MACAM-MACAM PERISTIWA DI DERMAGA ANDY mendengar serentetan suara mengucapkan
satu kata yang sama serentak.
C Lady, kata suara-suara itu; Lady, Lady, Lady...
Baru beberapa saat kemudian ia menyadari bahwa
suara-suara itu memanggil-manggil dirinya.
Para pemilik suara itu adalah John Bersaudara:
Mischief, Fillet, Sallow, Moot, Drowze, Pluckitt, Serpent, dan Slop. Mereka
semua memanggil-manggilnya, mencoba menyadarkannya dari pingsan. Candy merasa
tubuhnya diguncang-guncang dengan hati-hati. Dan ia pun membuka matanya - dengan
hati-hati pula. Delapan wajah yang tampak cemas memandanginya:
satu wajah besar dan tujuh wajah yang lebih kecil.
"Ada yang patah?" tanya John Fillet.
Candy berusaha duduk dengan sangat hati-hati. Bagian belakang lehernya terasa
sakit. Tapi tidak terlalu parah, hanya seperti pegal-pegal yang biasa ia rasakan
sehabis tidur dalam posisi yang tidak nyaman. Ia menggosok-gosok kedua kaki dan
lengannya, juga menggoyang-
goyang jemarinya. "Tidak ada," sahutnya, agak terheran-heran dengan nasib baiknya, mengingat tadi
ia jatuh dari jarak cukup tinggi. "Kurasa tidak ada yang patah."
"Baguslah," kata John Sallow. "Kalau begitu, kita bisa meneruskan perjalanan."
"Tunggu dulu," cegah Mischief. "Dia kan baru saja..."
"Sallow benar," kata John Fillet. "Kita tidak punya waktu buat menunggu. Si
Shape bedebah itu akan sampai ke sini beberapa saat lagi."
Shape! Mendengar nama itu, Candy langsung meraih
lengan Mischief dan berusaha bangkit berdiri. Ia tak mau lagi merasakan dicekik
oleh tangan-tangan Mendelson Shape.
"Kita akan ke mana?" tanyanya.
"Kita pulang, Lady," sahut Mischief. "Kau pulang ke rumahmu. Kami pulang ke
rumah kami," Ia memasukkan tangannya ke saku sebelah dalam. "Tapi sebelum aku
pergi," katanya sambil merendahkan suaranya, hingga tinggal berupa bisikan,
"kira-kira maukah kau melakukan sesuatu untukku - untuk kami semua - sampai kita
bertemu lagi?" "Apa yang kaubutuhkan?" tanya Candy.
"Aku cuma minta kau menyimpankan sesuatu untuk kami.
Suatu benda yang sangat berharga."
Dari saku dalam jaketnya ia mengeluarkan sebuah
benda yang terbungkus sepotong kain kasar, diikat
dengan tali dari kulit berwarna cokelat yang dililitkan beberapa kali.
"Kau tidak perlu tahu isi bungkusan ini," katanya.
"Malah, kalau kau tidak keberatan, sebaiknya kau memang tidak tahu. Bawa saja
dan simpankan untuk kami.
Bisakah kau" Kami akan kembali, aku janji. Kalau Carrion sudah lupa tentang kami
dan kami bisa mencuri-curi kembali kemari."
"Carrion?" "Christopher Carrion," kata John Serpent, suaranya terdengar cemas. "Dia
Penguasa Tengah Malam."
"Kau bersedia menyimpankan benda ini untuk kami?"
kata John Mischief sambil mengulurkan bungkusan kecil itu.
"Begini ya..." kata Candy, "kalau aku diminta menyimpankan sesuatu, setidaknya
aku mesti tahu dulu, benda apa yang bakal kusimpan itu. Apalagi kalau benda itu
penting." "Apa kubilang," kata Serpent. "Aku sudah tahu dia tidak bakal puas diberi
jawaban bahwa sebaiknya dia tidak tahu. Anak itu terlalu besar rasa ingin
tahunya." "Lho, kalau aku diminta menjadi kurir, aku jelas berhak dong...," kata Candy
pada John Serpent. "Ya, ya, kau memang berhak," kata Mischief. "Bukalah bungkusan itu. Ayo. Buka
saja." Anehnya bungkusan kecil itu sepertinya sama sekali tidak berbobot, kecuali
kertas pembungkus dan tali pengikatnya. Candy menarik simpul yang besar.
Kelihatannya simpul itu sulit dibuka, tapi ternyata terurai dengan sendirinya
begitu Candy menyentuhnya. Ia merasa ada sesuatu yang bergerak di dalam
bungkusan tersebut. Saat berikutnya seberkas cahaya memancar keluar dari dalam bungkusan, dan
sejenak menyilaukan matanya. la melihat beberapa titik cahaya muncul di
hadapannya, diikuti oleh jalur-jalur terang berkilauan yang berpendar-pendar.
Cahaya itu mengambang sejenak, kemudian
meresap masuk ke alam bawah sadarnya, dan lenyap.
Pemandangan ini membuat Candy tertegun, tak
sanggup berbicara, padahal kejadiannya hanya makan waktu tiga detik.
"Sekarang kau telah memiliki Kunci itu," kata John Mischief padanya dengan
ekspresi serius. "Kuminta kau tidak memberitahu siapa pun bahwa Kunci itu ada
padamu. Kau mengerti" Tidak pada siapa pun."
"Terserah katamulah" sahut Candy. Ia memandangi bungkusan yang telah kosong itu
dengan terheran heran. Setelah beberapa saat, ia bertanya, "Kurasa kau tidak bakal mau memberitahu
pintu apa yang bisa dibuka
dengan kunci ini?" "Sungguh, Lady, sebaiknya tidak"
Mischief membungkuk dan mengecup tangan Candy,
lalu beranjak menjauh. "Selamat tinggal, Lady," katanya.
"Kami harus pergi"
Selama percakapan tersebut berlangsung. Candy ber-
diri menghadap ke mercu suar. Sekarang, saat Mischief hendak pergi
meninggalkannya ia baru menyadari
betapa banyak perubahan yang terjadi dalam saat-saat singkat ia tak sadarkan
diri tadi. Sebuah dermaga reyot telah muncul dari dalam tanah.
Di ujungnya tampak ombak-ombak besar berdebur
memecah, cukup dahsyat hingga dermaga itu berderik-derik dan bergoyang-goyang
kena empasannya. Di belakang ombak-ombak itu Laut Izabella terbentang luas ke arah cakrawala biru
berkabut. Minnesota - yang
selama ini dikenal Candy - tampaknya telah lenyap,
tertelan bentangan air but yang maha luas ini.
Dengan mulut ternganga takjub Candy bertanya,
"Bagaimana.. bagaimana ini bisa terjadi?"
"Kau yang memanggil laut itu, Lady. Kau ingat" Kau memanggilnya dengan mangkuk
dan bola itu." "Aku ingat," kata Candy.
"Sekarang aku harus pulang, mengarungi perairan itu,"
kata Mischief. "Kau juga mesti pulang ke Chickentown. Aku akan kembali. Aku
janji. Aku akan kembali kalau sudah aman. Dan Kunci itu akan kuminta lagi. Untuk
saat ini, kau telah sangat banyak membantu terciptanya kebebasan di seluruh
kepulauan ini dengan kesediaanmu menyimpankan Kunci itu."
Sekali lagi ia membungkuk pada Candy, lalu dengan
sopan namun tegas ia menganggukkan kepala ke arah
Chickentown. " Pulanglah, Lady?" katanya, seperti orang berusaha menyuruh pulang seekor
anjing yang tidak mau beranjak dari sisinya. "Pulanglah ke tempat yang aman
bagimu, sebelum Shape turun dari mercu suar itu. Kumohon. Benda yang ada padamu
itu sangat penting. Jangan sampai
Kunci itu jatuh ke tangan Shape. Atau, lebih tepatnya, tangan majikannya."
"Kenapa tidak boleh" Memangnya kenapa kalau Kunci ini sampai jatuh ke
tangannya?" "Kumohon, Lady," kata Mischief, nada mendesak dalam suaranya semakin kentara.
"Kumohon jangan bertanya apa-apa lagi. Makin sedikit yang kauketahui, makin baik
bagimu. Kalau terjadi apa-apa di Abarat dan mereka datang mencarimu, kau bisa
bilang kau tidak tahu apa-apa. Nah, tidak ada waktu lagi untuk bercakap-cakap..."
Ketergesa-gesaan Mischief bisa dimaklumi. Dari mercu suar di belakang mereka
terdengar suara keras ketika Shape berusaha menuruni anak-anak tangga yang sudah
patah. Kalau mendengar suara berisik di dalam sana, sepertinya itu bukan
pekerjaan mudah. Berat badannya menyebabkan anak-anak tangga yang masih tersisa
jadi rontok. Tapi Candy tahu, tak lama lagi Shape pasti bisa melewati sisa-sisa
anak tangga itu, lalu keluar dari pintu dan mengejar mereka semua.
"Baiklah," kata Candy, mau tak mau mengakui bahwa ia harus lekas-lekas pergi.
"Aku akan pergi. Tapi, sebelum pergi, aku harus melihatnya sekali saja."
"Melihat apa?" "Laut itu!" kata Candy, menunjuk ke ujung dermaga, ke arah bentangan luas air
laut yang biru cerah. "Kita semua bisa mati gara-gara dia," Serpent menggeram.
"Tidak," kata Mischief. "Dia berhak melihat."
Mischief menyambar tangan Candy dan membantunya
naik ke dermaga. Dermaga itu berderak-derik dan
bergoyang-goyang di bawah kaki mereka. Tapi, setelah nekat naik anak-anak tangga
dan balkon reyot di mercu suar tadi, Candy sama sekali tidak merasa takut
berdiri di dermaga yang kayu-kayunya sudah agak lapuk ini.
Dermaga itu bergoyang keras setiap kali diempas ombak yang datang, tapi Candy
sudah membulatkan tekad akan berjalan ke ujungnya, untuk melihat Laut Izabella.
"Menakjubkan...," katanya sementara mereka berjalan sepanjang dermaga. Ia belum
pernah melihat laut. Segala pikiran mengenai Shape dan cakar-cakarnya
telah lenyap sepenuhnya dari benak Candy. Ia terpesona oleh pemandangan di
hadapannya. "Aku masih belum mengerti, bagaimana ini bisa terjadi,"
katanya. "Laut ini muncul begitu saja"
"Oh, ini belum apa-apa, Lady," kata Mischief, "Jauh di sana... jauh sekali dari
sini, terletak kedua puluh lima pulau Abarat."
"Dua puluh lima?"
"Setiap pulau mewakili setiap jam dalam sehari.
Ditambah Jam Kedua Puluh Lima yang disebut Odoms
Spire, yaitu Waktu di Luar Waktu."
Semua itu kedengarannya terlalu aneh dan tidak masuk akal. Tapi coba lihat...
saat ini ia sedang berdiri di dermaga yang menghadap ke laut, padahal sepuluh
menit yang lalu laut ini tidak ada. Kalau laut ini nyata (dan jelas-jelas laut
ini nyata; kalau tidak, kenapa wajahnya terasa dingin dan basah"), ada
kemungkinan kepulauan itu juga nyata, bukan" Menunggu di sana, di garis
pertemuan Laut Izabella dan langit.
Mereka sudah sampai di ujung dermaga. Candy
melayangkan pandang ke bentangan air laut. Ikan-ikan berlompatan, warnanya hijau
dan keperakan; angin membawa burung-burung laut dari jenis yang belum
pernah didengar atau dilihat Candy.
Beberapa saat lagi Mischief dan saudara-saudaranya akan mengarungi perairan
misterius ini, dan meninggalkannya. Sementara itu, ia sendiri harus kembali pada
kehidupannya yang membosankan dan menyesakkan di
Chickentown. Ya Tuhan! Chickentown! Setelah mengalami semua ini -
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segala keajaiban dan keanehan menakjubkan ini:
Chickentown! la tidak tahan membayangkannya.
"Kapan kau akan kembali?" tanyanya pada Mischief.
"Tunggu, Lady," jawab Mischief.
"Apa?" "Diamlah... jangan... bergerak."
Sambil berbicara, Mischief merogoh saku luar jaketnya, dan tanpa disangka-sangka
ia mengeluarkan sepucuk pistol model lama. Pistol kecil yang kelihatannya terbuat dari perunggu.
"Apa yang kaulakukan?" kata Candy dengan suara berbisik.
"Aku melakukan apa yang bisa kulakukan," kata Mischief perlahan, "untuk
menyelamatkan jiwa kita."
Candy melihat mata Mischief berkelebat sejenak ke
arah seseorang di dermaga di belakang Candy.
"Shape?" gumam Candy.
"Shape," sahut Mischief. "Jangan bergerak, Lady."
Sambil berkata demikian, sekonyong-konyong ia
melangkah ke sisi Candy dan menembak.
Terdengar letusan keras, dan asap ungu-kebiruan
meledak dari moncong pistol itu. Tak lama kemudian terdengar suara kedua - kali
ini jauh lebih pelan - ketika peluru tersebut mengenai sasarannya.
Candy langsung bisa menebak apa yang telah
dilakukan John Mischief. Bukan Shape yang ditembaknya, melainkan mangkuk di
puncak piramida itu, hingga bola di dalamnya melesat ke luar. Dengan segera
Candy merasakan perubahan besar terjadi di sekitar mereka.
"Tembakan bagus," kata Sallow. "Tapi aku tidak mengerti, kenapa bukan Shape yang
kautembak." "Aku tidak suka menembak makhluk hidup," sahut Mischief sambil memasukkan
kernbali pistolnya. Candy menoleh ke balik bahunya. Shape sedang
berdiri di sekitar pertengahan dermaga, sambil
memandang ke mercu suar di belakangnya. Jelas tampak bahwa ia pun tahu apa yang
telah diperbuat Mischief.
Mana mungkin ia meragukannya" Udara sekitarnya bergetar oleh perubahan yang
terjadi. "Pasang laut sudah berubah, Lady," kata Mischief. "Aku harus pergi bersamanya.
Shape akan mengikutiku, dan ini bagus, sebab dia percaya Kunci itu ada padaku."
"Tidak, tunggu!" seru Candy sambil meraih lengan Mischief. "Jangan begitu."
"Jangan begitu bagaimana?" kata John Moot.
"Aku tidak mau kembali ke Chickentown."
"Lalu kau mau ke mana?" tanya John Sallow,
"Ikut denganmu!"
" Tidak," kata John Serpent.
" Ya," balas Candy. "Ayolah. Aku ingin ikut ke laut."
"Kau sama sekali tidak tahu risikonya."
"Masa bodoh," kata Candy. "Aku benci kota tempat tinggalku. Aku benci setengah
mati." Sementara berbicara, ia merasa tiupan angin berubah arah. Sekarang perairan di
sekitar dermaga bergolak sangat dahsyat; hampir-hampir seperti kesetanan. Pasang
laut itu telah berbalik, dan dalam prosesnya arus air itu membuat papan-papan
dermaga yang sudah lapuk bergemeretak dan bergoyang-goyang. Candy tahu ia
hanya punya waktu beberapa detik untuk membujuk
Mischief dan saudara-saudaranya. Setelah itu mereka akan pergi, masuk ke air dan
lenyap terbawa arus; pergi ke Abarat, yang entah di mana letaknya.
Dan seberapa besarkah kemungkinan ia bertemu lagi
dengan mereka, kalau mereka sudah pergi" Memang,
mereka bilang akan kembali lagi, tapi apa artinya sebuah janji" Tidak banyak
artinya, berdasarkan pengalaman Candy. Sudah berapa kali ayahnya berjanji tidak
akan pernah menamparnya lagi" Sudah berapa kali ia
mendengar ayahnya bersumpah pada ibunya bahwa ia
tidak akan minum-minum lagi selamanya" Semua janji itu tak ada artinya.
Tidak, begitu John Bersaudara pergi, kemungkinan
besar ia tidak akan bertemu mereka lagi. Lalu apa yang tersisa" Hanya kenangan.
Kenangan dan kehidupan di Chickentown.
"Jangan begitu," katanya pada Mischief. "Jangan tinggal kan aku di sini, tanpa
kepastian apakah kau akan kembali lagi."
Saat ia berbicara, dermaga itu terdengar berderak di belakangnya. Ia membalikkan
badan, sudah tahu apa yang bakal dilihatnya, Mendelson Shape sedang
menapaki dermaga itu, menuju ke arah mereka. Untuk pertama kalinya Candy melihat
dengan sangat jelas. kenapa ia berjalan pincang (dan kenapa ia tidak cukup gesit untuk menangkap
Candy). Kaki kanannya tidak ada, terpotong di bagian mata kaki. Dan ia berjalan
di batangan kaki itu seolah-olah batang kaki itu sepotong kaki dari kayu.
Ekspresinya tidak menunjukkan apakah ia kesakitan atau tidak. Sambil mendekati
korban-korbannya. ia menyeringai memamerkan gigi-giginya
yang tajam, kedua lengannya terentang lebar seperti gaya seorang pendeta yang
hendak menyambut kedatangan mereka untuk bergabung dengan "domba-dombanya" yang jahat.
Candy tahu ia masih punya kesempatan untuk melarikan diri, tapi ia sama sekali
tak ingin beranjak. Kalaupun ia mesti mempertaruhkan jiwa-raganya untuk tetap berada di dermaga ini
bersama Mischief, rasanya risiko itu layak diambilnya. Ia mencengkeram lengan
Mischief erat-erat dan berkata,
" Ke mana pun kau pergi, aku ikut."
Delapan wajah memandang ke arahnya dengan
delapan ekspresi, kebingungan, Sallow mengedip-ngedip, Moot pura-pura tak acuh,
Drowze tertawa, Pluckitt mengempotkan kedua pipinya. Serpent cemberut, dan
Slop mengembuskan bibir dengan jengkel. Oh dan
Mischief" Ia tersenyum lebar pada Candy, namun jelas-jelas tampak pasrah.
"Kau serius?" tanyanya.
Shape tinggal tiga puluh meter dari mereka, dan
semakin mendekat dengan cepat.
"Ya, aku serius."
"Kalau begitu, sepertinya kita tak punya pilihan," kata Mischief. "Kita harus
mempercayakan diri pada arus pasang ini. Kau bisa berenang?"
"Tidak begitu mahir."
"Oh Lordy Lou," kata Mischief, dan kali ini kedelapan wajah itu sama-sama
menunjukkan ekspresi "aduh duh bagaimana ini?"
"Apa boleh buat, tidak begitu mahir pun jadilah."
"Lalu, kita tunggu apa lagi?" kata Candy.
Sementara percakapan singkat itu berlangsung, Shape sudah memperkecil jarak
antara dirinya dan para buruannya. "Bisa tidak kita pergi sekarang?" kata Drowze dengan suara keras yang tidak
sesuai dengan ukuran kepalanya yang kecil.
Sambil bergandengan tangan, Candy dan Mischief lari ke ujung dermaga.
" Satu...."kata Fillet.
" Dua. .,"kata Pluckitt.
" Lompat!" kata Slop.
Bersama-sama mereka melompat, menyerahkan hidup
mereka pada air Laut Izabella yang bergolak.
BAGIAN DUA SENJA MENUJU MALAM "Percayalah padaku: Ada dua kekuatan Yang menguasai jiwa. Satu: Tuhan. Satunya lagi: arus pasang."
- Anonim 10 LAUT IZABELLA LAUT IZABELLA ternyata jauh lebih dingin daripada yang diperkirakan Candy.
Dingin menggigilkan, meresap hingga ke sumsum tulang. Tapi sekarang sudah
terlambat untuk berubah pikiran. Setelah bola di mangkuk itu melesat keluar
dihantam peluru dari pistol Mischief, Laut Izabella bergerak menjauh dari
dermaga dengan kecepatan luar biasa, seperti saat pertama kali muncul. Dan
bersamanya ia membawa Candy serta John Bersaudara.
Air laut itu seperti mempunyai napas kehidupan sendiri.
Beberapa kali kekuatan empasannya nyaris menarik
Candy ke bawah. Tapi Mischief tahu trik yang tepat untuk mengatasinya.
"Jangan mencoba berenang," ia berteriak pada Candy, mengatasi gemuruh air laut
yang bergerak mundur itu.
"Percayakan saja dirimu pada Mama Izabella. Biarkan dia membawa kita ke mana pun
yang diinginkannya."
Dengan cepat Candy menyadari bahwa ia tak punya
banyak pilihan. Kekuatan air laut itu tak mungkin
dilawannya. Jadi, mengapa tidak berbaring tenang saja dan menikmati perjalanan
ini" Ia pun menerapkan cara ini, dan berhasil. Begitu Candy berhenti meronta-ronta
dan mempercayakan laut itu untuk tidak mencelakakannya, Laut Izabella
melambungkannya ke atas, ombak-ombaknya mengangkat Candy begitu
tinggi, hingga sesekali ia bisa melihat sekilas dermaga berikut mercu suar itu.
Keduanya sudah sangat jauh tertinggal di belakang, di dunia lain.
Ia melayangkan pandang di air, mencari-cari Shape, tapi tidak melihatnya.
"Kau mencari-cari Mr. Shape?" tanya John Slop.
Slop tidak perlu berteriak-teriak lagi sekarang. Kini, setelah cukup jauh dari
pantai, debur ombak tidak lagi seberisik sebelumnya.
"Ya," sahut Candy; menyemburkan air laut setiap lima atau enam kata. "Tapi aku
tidak melihatnya." "Dia punya glyph," Mischief menjelaskan.
" Glyph" Apa itu glyph?"
"Sihir, mesin terbang. Sebenarnya mantra yang berubah menjadi mesin terbang."
"Dia tidak memahami penjelasanmu, Mischief," kata John Sallow.
Sallow benar. Candy memang bingung dengan pen-
jelasan Mischief. Mantra yang berubah menjadi
kendaraan" Meski Candy tampak tak mengerti, Mischief masih terus melanjutkan
penjelasannya. "Semakin tinggi kemahiranmu dalam ilmu sihir, semakin cepat kau bisa memunculkan
mesin terbang itu. Ahli sihir yang benar-benar ahli, yang tahu mantra yang
tepat, bisa dengan segera memunculkannya. Cukup dengan dua-tiga kata jadilah
sebuah mesin terbang. Tapi Shape perlu beberapa menit untuk melakukannya. Dia
tidak terlalu cerdas. Dan kalau mantranya salah, bisa sangat
berbahaya." "Berbahaya" Kenapa?"
"Sebab mesin terbang itu kan untuk membawamu ke angkasa," kata Mischief sambil
menunjuk ke langit. "Kalau mesin terbang itu sampai tidak jalan karena suatu
sebab..." "Kita jatuh," kata Candy.
"Ya, kita jatuh," kata Mischief. "Salah satu saudara perempuanku tewas akibat
mesin terbang yang tidak jalan." "Oh, menyedihkan sekali," kata Candy.
"Dia diculik waktu itu," kata Mischief dengan nada agak sengit.
"Jahat sekali."
"Kelak kami mendapati dia sendiri yang merencanakan semua itu."
"Aku tidak mengerti. Merencanakan untuk diculik?"
"Ya. Dia jatuh cinta pada seorang laki-laki, tapi laki-laki itu tidak
mencintainya. jadi, dia mengatur supaya dirinya diculik, agar laki-laki itu
mengejar dan menyelamatkannya."
"Apa laki-laki itu menyusulnya?"
"Tidak." "Jadi, dia tewas demi cinta?"
"Yah, hal-hal seperti itu kadang terjadi," kata John Fillet.
"Kau sendiri bagaimana, Lady?" tanya John Drowze.
"Apa kau punya saudara perempuan?"
"Tidak." "Saudara laki-laki" Ibu" Ayah?"
"Ya. Ya. Dan ya "
"Kulihat kau sama sekali tidak sedih dengan
kemungkinan bahwa kau tidak bakal bertemu mereka
lagi," John Serpent berkata dengan nada agak ketus.
"Diam, John," bentak Mischief.
"Biar saja dia mendengar kebenarannya" sahut John Serpent. "Kan memang ada
kemungkinan besar dia tidak bakal melihat rumahnya lagi."
Melihat ekspresi wajahnya, Candy merasa Serpent
senang bisa menakut-nakutinya. "Kita akan pergi ke Abarat, Nona," Serpent
meneruskan. "Tempat yang tak bisa ditebak."
"Di Hereafter juga sama," sahut Candy yang tak mau diintimidasi oleh Serpent.
"Di sana belum apa-apa!" balas Serpent. "Paling-paling cuma ada beberapa
tornado. Beberapa bencana.
Itu sih keciiil. Di Abarat ada kengerian-kengerian yang bisa membuat rambutmu
jadi putih! Itu pun seandainya kita bisa mencapai kepulauan itu."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, di dalam Mama Izabella ada berbagai macam binatang yang pasti senang
bisa menjadikanmu hidangan pembuka."
" Cukup, Serpent," tegur Mischief.
"Apa yang dia maksud itu ikan hiu?" tanya Candy, la tidak mau terlalu
memperlihatkan rasa takutnya, tapi belum apa-apa ia sudah mulai memeriksa
perairan itu, kalau-kalau ada sirip hiu yang kelihatan.
"Aku tidak tahu apa itu ikan hiu," sahut Mischief, "tapi Mantizac Hijau Raksasa
pasti akan menelan kita bulat-bulat. Kita kan tidak merah."
"Merah?" "Makhluk-makhluk di dalam Izabella tidak mau mengganggu apa pun yang warnanya
merah. Itu sebabnya kapal, perahu, dan feri di Laut Izabella - semuanya -
dicat merah." Candy mendengarkan, tapi sebenarnya ia hanya
setengah mendengarkan. Berbagai peristiwa yang terjadi berurutan di dermaga
membuat ia tak sempat memikirkan baik-baik segala konsekuensi tindakan-
tindakannya. sekarang ia telah menyerahkan nasibnya pada laut itu, dan ia tak bisa mundur
lagi. Barangkali ia takkan pernah bertemu lagi dengan keluarganya.
Seperti apa suasana di rumah, saat keluarganya
menyadari ia menghilang" Mereka pasti menduga yang terburuk: bahwa ia diculik
atau melarikan diri dari rumah.
Ibunyalah yang paling dipikirkannya, sebab ibunya
pasti yang paling cemas. Mudah-mudahan ada cara untuk menyampaikan pesan pada
ibunya saat mereka sudah sampai d tempat tujuan.
"Kuharap kau tidak menyesal ikut kami?" kata Mischief; dari ekspresi ajahnya,
sepertinya ia merasa agak bersalah akan perannya dalam urusan ini.
"Tidak," Candy menjawab tegas. "Sama sekali tidak."
Baru saja kata-kata itu terucap dari mulutnya, sebuah gelombang besar mengangkat
dan memisahkannya dari John Bersaudara. Dalam sepersekian detik saja ia dan Mischief sudah saling
terpisah jauh. Ia mendengar tiga atau empat John Bersaudara berseru-seru
memanggilnya, tapi ia tak bisa menangkap ucapan mereka. Ia sempat melihat mereka
di antara ombak-ombak yang naik turun, tapi hanya sebentar sekali. Saat
berikutnya mereka sudah lenyap.
" Aku di sini!" teriaknya, berharap Mischief lebih mahir berenang daripada
dirinya, sehingga sanggup untuk
kembali ke tempat ia berada. Tapi baru saja ia
meneriakkan kata-kata itu, lagi-lagi datang ombak yang cukup besar, menyapunya
lebih jauh lagi dari tempat mereka terpisah tadi.
Sekelebat rasa takut mencengkeram perutnya.
"Jangan panik," katanya pada diri sendiri. "Apa pun yang kaulakukan jangan
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panik." Tapi sulit baginya untuk mematuhi sarannya sendiri.
Ombak-ombak itu semakin ganas, setiap sapuan melambungkannya lebih tinggi
daripada sapuan sebelumnya, lalu mengempaskannya lebih dalam pula. Betapapun
besar tekadnya untuk tidak membiarkan dirinya dikuasai rasa takut, ia toh tak
bisa melarikan diri dari kenyataan ini. Bahwa sekonyong-konyong ia hanya seorang
diri di tengah laut yang dipenuhi segala macam...
Tapi mendadak rasa paniknya terhenti, dikejutkan oleh pemandangan yang begitu
aneh, sampai-sampai segala kecemasannya terlupakan.
Di sana, di sebuah meja kecil di dasar ombak berikutnya, empat mahluk sedang
bermain kartu. Meja yang mereka gunakan kelihatannya mengambang bebas sekitar dua inci di atas permukaan
air. Para pemain kartu itu berjongkok mengelilingi meja tersebut dengan sangat
santai. Ini dia yang paling aneh. Baru saja pikiran tersebut berkelebat di benak Candy,
sebuah ombak lain menyambarnya, dan ia pun tersapu oleh gelombang air biru itu,
dibawa ke tengah-tengah para pemain kartu.
11 PARA PEMAIN KARTU KEEMPAT pemain kartu itu adalah makhluk-makhluk dari gabungan beragam spesies. Kulit mereka bersisik dan bersinar hijau
keperakan; tangan mereka, yang memegang rangkaian kartu yang sudah sangat lusuh,
tampak bersisik. Wajah mereka memiliki bagian-bagian yang sama dengan wajah
manusia, hanya saja agak berkesan seperti ikan. Mereka begitu asyik me-musatkan
perhatian pada permainan kartu yang sedang berlangsung, sebab tak satu pun dari
keempat makhluk itu memperhatikan Candy, sampai Candy meluncur terbawa ombak dan
hampir menabrak meja mereka.
"Hei! Awas!" protes salah satu dari mereka, yang rupanya makhluk perempuan.
"Jangan dekat-dekat. Tidak boleh ada yang nonton!"
Tiga pemain kartu memandangi Candy. Pemain
keempat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengintip kartu-kartu di tangan
para pemain di kiri-kanannya.
Setelah mengintip, ia pura-pura sangat menaruh minat atas kedatangan Candy,
untuk menutupi perbuatannya itu.
"Kelihatannya kau tersesat," kata si pengintip, yang merupakan makhluk laki-laki
dari gabungan berbagai spesies ini. Nada bicaranya samar-samar beraksen
Prancis. "Ya, kurasa begitulah," sahut Candy sambil meludahkan air laut yang masuk ke
mulutnya. "Sebenarnya aku tersesat banget."
"Tolong dia, Deaux-Deaux," si pengintip berkata tak acuh pada pemain di sebelah
kirinya. "Kau toh bakal kalah juga nanti."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Yang menjawab adalah pemain keempat, sesosok
makhluk perempuan. "Sebab kau selalu kalah, sayangku,"
katanya sambil menepuk-nepuk bahu Deaux-Deaux. "Nah, ayo tolong gadis itu."
Deaux-Deaux memandangi kartu-kartu di tangannya.
Menyadari bahwa ia memang akan kalah, dilemparkan-
nya kartu-kartu itu ke meja.
"Heran, kenapa sih kita tak main polo air saja, seperti yang lain-lain." Omelnya
dengan cemberut. Kemudian ia menenggak habis gelas berisi minuman
keras yang diletakkan di meja di hadapannya. Setelah itu ia melakukan sesuatu
yang sungguh tak terduga. Ia
bangkit dari depan meja; dengan kaki-kakinya yang
sangat besar, ia mengarungi air dan menghampiri Candy, lalu berjongkok lagi di
air laut, di sebelah Candy.
Napasnya berbau minuman keras, dan sepertinya ia
kesulitan memfokuskan matanya pada Candy.
Candy sudah sering melihat orang mabuk seperti ini, dan pemandangan ini
membuatnya jengkel. Tapi daripada ia hanya sendirian di tengah laut...
"Aku Deaux-Deaux," makhluk itu berkata
"Ya, aku sudah dengar tadi," sahut Candy. "Aku Candy Quackenbush."
"Kau datang dari Hereafter, kan?" kata Deaux-Deaux, sementara mereka terayun-
ayun ombak laut bersama-sama.
"Ya, benar" "Kalau kau berniat pulang, perjalananmu bakal jauh sekali"
"Tidak, tidak, aku tidak ingin pulang," kata Candy. "Aku hendak menuju Abarat."
"O ya?" Mendengar kata "Abarat", para pemain lainnya tampak menunjukkan minat. Dua di
antara tiga pemain itu melemparkan kartu-kartu mereka. Si tukang intip memprotes
keras. Tidak adil, katanya, mentang-mentang ia memiliki kartu-kartu yang bagus
di tangannya. "Itu kan karena kau curang, Pux," kata salah satu makhluk perempuan. Lalu ia
bangkit dengan gaya santai seperti Deaux-Deaux tadi, dan mengarungi air untuk
mendekati Candy. Tidak seperti Deaux Deaux, makhluk ini tidak mabuk. la
mengamati Candy dengan tatapan tajam yang aneh, yang mengingatkan Candy pada
tatapan Mischief ketika pertama kali bertemu dengannya.
"Omong-omong, kaukah yang menyebabkan terjadinya peristiwa ini?"
"Peristiwa apa, ya?" kata Candy.
"Pasti kau penyebabnya, ya " kata makhluk perempuan itu. "Omong-omong, namaku
Tropella." "Senang sekali..."
"Ya, ya." Tropella memotong tak sabar. "Kau yang memanggil Izabella, kan?"
Candy merasa tak ada alasan baginya untuk menutup-
nutupi kebenarannya. "Ya " ia mengakui, "aku yang memanggil laut ini. Mulanya
aku tidak menyadari apa yang..." Lagi-lagi kalimatnya disela dengan agak kasar. "Ya, ya. Tapi kenapa" Itu kan
dilarang." "Oh, sudahlah, jangan ganggu gadis itu," kata Deaux-Deaux.
"Aku tidak mengganggunya. Tapi masalah ini tak bisa dianggap enteng. Laut ini
kan sudah tidak boleh dipanggil lagi ke Hereafter. Kita semua tahu itu. Lalu
kenapa..." "Dengar dulu," kata Candy, menyela ucapan si penanya dengan agak kasar, seperti
yang dilakukan Tropella padanya tadi. "Bisa tidak percakapan ini kita tunda dulu" Ada seorang
temanku yang terbawa arus.
Kami terpisah." "Oh Lordy Lou," kata Deaux-Deaux. "Siapa namanya?"
"Mereka berdelapan. Saudara-saudaranya itu tinggal di..."
"Kepalanya?" kata Deaux-Deaux; ia mencondongkan tubuh lebih dekat ke arah Candy,
kedua matanya terbelalak. "Ya. Kau kenal dia?"
"Dia pasti John Mischief," kata Tropella.
"Ya, memang dia."
Mendengar bahwa John Mischief berada di dekat-
dekat situ, si pemain kartu yang masih bertahan segera meninggalkan mejanya dan
menghampiri Candy. Sekarang Candy mendapat perhatian penuh dari mereka semua.
"Kau kenal John Mischief?" tanya Tropella.
"Sedikit." "Dia itu penjahat kawakan," Pux menimpali. "Dia dicari-cari di beberapa pulau
karena kasus pencurian besar, dan entah apa lagi."
"Masa" Tapi menurutku dia tidak seperti penjahat. Dia sangat sopan malah."
"Oh, kami sih masa bodoh dia itu penjahat atau bukan,"
kata Tropella. "Hukum-hukum di darat tidak seperti hukum-hukum di laut. Kami
tidak punya pengadilan dan penjara di sini."
"Tidak banyak pencuri di sini," Pux berkata, "sebab tidak banyak yang bisa
dicuri." "Omong-omong, kami semua adalah Sea-Skipper,"
Deaux-Deaux menjelaskan. "Dan kau?" kata Tropella yang masih juga mengamati Candy dengan tatapan
menyelidik yang aneh. "Apa kau tidak dibutuhkan di sana, barangkali?"
"Apa?" "Kau tidak diinginkan di duniamu . Urusanmu adalah di Abarat. "
Tropella tampaknya tidak berniat meminta Candy
mengiyakan atau menyangkal ucapannya; ia sekadar
menyampaikan keyakinannya sendiri.
"Kira-kira bisakah kita berbuat sesuatu untuk menemukan Mischief?" tanya Candy
sambil menatap keempat makhluk itu bergantian.
"Deaux-Deaux," kata Pux, "kau yang punya suara paling lantang"
"Oh, dengan senang hati," kata Deaux-Deaux.
Dengan agak limbung ia menapakkan kakinya di
permukaan air dan menaiki ombak besar yang datang
kemudian. Tiba di puncak ombak, ia berdiri diam dan berseru. Memang benar,
suaranya lantang sekali, seperti suara penyanyi opera.
" Mister Mischief!" panggilnya. " Temanmu ada bersama kami, dan dua menit lagi
kami akan makan dia dengan campuran sayur mayur kalau kau tidak datang kemari
menyelamatkannya." Lalu ia nyengir lebar pada Candy,
"Cuma bercanda," katanya. " Bagaimana. Mister Mischief?"
ia berseru lagi. " Di mana kau berada?"
"Dia benar-benar cuma bercanda?" Candy bertanya pada Pux.
"Oh, iya, cuma bercanda," sahut Pux. "Kami tidak bakal memakan orang penting
seperti dirimu. Kadang-kadang kami suka makan pelaut, tapi..." ia angkat bahu.
"... kau juga pasti akan begitu, kalau setiap hari makananmu cuma ikan melulu.
Ikan kuning, ikan hijau, ikan biru. Ikan dengan mata kecil lucu yang meletus di
dalam mulut waktu dimakan. Lama-lama makan ikan jadi membosankan
sekali. jadi... ya, kadang-kadang kami suka makan pelaut.
Tapi kau tidak bakal kami makan. Kau akan kami antar agar tiba di tempat
tujuanmu dengan selamat. Kau boleh percaya omongan kami."
Deaux-Deaux masih terus berseru-seru, mendaki
ombak-ombak seperti orang mendaki eskalator yang
tangganya bergerak turun, supaya tetap berada di
puncaknya. " Hei, Mischief! Kami amat sangat lapar."
"Kurasa leluconmu itu..."
Candy hendak mengatakan bahwa lelucon itu tidak
mempan, tapi ia tak sempat menyelesaikan kalimatnya.
Sebab tahu-tahu John Mischief melesat keluar dari dalam air, persis di belakang
Deaux-Deaux. Ia mencengkeram pinggang Deaux-Deaux hingga Deaux-Deaux ter-
jengkang. Selama setengah menit mereka berdua ber-
gumul dengan liarnya di dalam air - John Bersaudara
meneriakkan berbagai ancaman pada Deaux-Deaux -
sampai Pux dan Tropella menghampiri mereka dan menghentikan perkelahian itu.
"Hei, hei," Deaux-Deaux berkata sambil mendaki air kembali, menjauhkan diri dari
amukan Mischief. Ia mengangkat kedua tangannya yang berselaput, telapak tangan menghadap ke luar,
untuk menahan penyerangnya.
"Aku cuma bercanda. Gurauan kecil, sekadar menarik perhatianmu. Kami sama sekali
tidak bermaksud mencelakai teman kecilmu itu. Kaupikir makhluk air macam apa
kami ini" Katakan padanya, Candy."
"Mereka semua sangat baik padaku," Candy menegaskan. "Mereka sama sekali tidak
mencelakaiku." Tapi John Bersaudara masih belum yakin. Mereka saling pandang dengan sorot mata
sangat curiga. "Kalau yang kaukatakan tadi cuma lelucon, berarti leluconmu itu sangat tidak
lucu," John Drowze berkata dengan galak.
"Aku pasti sudah tenggelam kalau bukan karena pertolongan mereka," kata Candy
yang berusaha men-dinginkan situasi. "Sumpah. Aku sudah mulai panik tadi."
"Tapi kau benar," kata Pux. "Lelucon tadi memang sinting dan konyol. Jadi,
kumohon, atas nama perdamaian, izinkan kami membawa kalian berdua ke Abarat.
Laut Izabella kadang-kadang sangat liar, dan kami tak ingin melihat dua orang
yang begitu istimewa mati tenggelam."
"Kalian bersedia membawa kami?" kata John Mischief sambil tersenyum nakal.
"Benar begitu?"
"Benar," sahut Tropella. "Setidaknya itulah yang bisa kami lakukan.
Bagi Candy, gagasan ini kedengaran bagus. Meski ia telah mempercayakan dirinya
untuk dibawa oleh ombak-ombak Mama Izabella, seperti disarankan John Mischief,
tetap saja ia merasa amat sangat letih. Baru sekarang ia merasakan pengaruh air
laut yang sedingin es, serta gerakan naik-turun ombak-ombaknya - belum lagi kejar-
mengejar yang terjadi sebelum ia menceburkan diri ke laut.
"Bagaimana menurutmu?" kata Candy pada John Bersaudara. "Kita terima atau tidak
tawaran mereka?" "Terserah kau sajalah," sahut Mischief.
"Bagus," kata Candy. "Kalau begitu, aku bilang oke,"
"Oke" " Pux bertanya pada Mischief.
"Kalau sang Lady bilang oke, berarti oke," jawab Mischief.
"Baguslah," kata pemain kartu keempat. "Omong-omong, namaku Kocono. Aku hanya
ingin mengatakan bahwa aku senang sekali bisa berkenalan dengan Mr.
Mischief. Tropella benar, kami tidak peduli dengan hukum di darat. Kalaupun
mereka bilang kau ini penjahat, lalu kenapa" Kau kan ahlinya. Itu yang penting."
John Bersaudara serentak saling menyangkal dan mencoba menjelaskan dengan suara
ramai tak keruan, begitu mendengar ucapan Kocono. Candy hanya bisa menangkap
sepotong-sepotong pembelaan diri mereka,
karena berisiknya suasana. Tapi rasanya pembelaan-
pembelaan mereka saling bertentangan, hingga Candy merasa geli.
"Benarkah?" katanya sambil tertawa, sementara suara-suara protes John Bersaudara
semakin keras. "Apa benar kalian ini penjahat ulung?"
"Begini sebenarnya...," John Slop memulai.
"Ayo, hati-hati bicara," John Moot memperingatkan saudaranya.
"Kami memang bukan orang-orang suci," kata John Slop.
"Jadi, benar?" tanya Candy.
Mischief mengangguk. "Benar," ia mengakui. "Kami berdelapan adalah pencuri-
pencuri kawakan kelas dunia,"
katanya dengan nada agak sombong. "Kami jelas bukan orang-orang suci."
"Mana ada orang suci?" kata Deaux-Deaux. Lalu ia menimbang-nimbang ucapannya
itu. "Selain orang-orang suci itu sendiri tentunya."
Setelah masalah tersebut diputuskan, Candy dan
Mischief diangkat masing-masing oleh dua Sea-Skipper, kaki-kaki mereka dinaikkan
ke makhluk yang mengarungi air di depan mereka, dan didukung oleh makhluk yang
berjalan di belakang. Tidak terlalu nyaman rasanya, menempuh perjalanan dengan
cara seperti itu, tapi cara itu jelas lebih aman daripada berenang di air laut
yang dingin, dengan kemungkinan tenggelam atau dimakan oleh Mantizac-Mantizac
Hijau Raksasa. "Pulau mana yang kalian tuju?" Pux bertanya pada Candy.
"Entah ya," sahut Candy. "Aku baru pertama kali kemari."
Para Sea-Skipper menoleh pada John Bersaudara untuk mendapatkan jawaban.
Akhirnya John Drowze yang menjawab. "Kusarankan kita pergi ke Yebba Dim Day di
Selat-Selat Senja." Saudara-saudaranya serentak menyetujui usulnya
tersebut. "Baiklah, kita ke Yebba Dim Day," kata Kocono.
"Tunggu," kata Candy. "Jangan lupakan meja kalian"
"Oh, Mizza bisa pulang sendiri" kata Kocono. "Mizza!"
Dari dalam air muncul sebuah kepala dengan bagian-
bagian wajah berukuran besar, dengan ekspresi agak sedih - tempurung kepalanya
yang berbentuk persegi hampir sama datarnya dengan kerang tempat kartu-kartu dan gelas minuman keras
para Sea-Skipper tergeletak.
"Kalian ingin aku menunggu kalian di Tazmagor?" tanya makhluk itu.
"Ya," sahut Kocono. "Tolong, ya?"
"Senang sekali main kartu di atasmu," kata Deaux-Deaux. "Seperti biasanya."
"Oh, bukan apa-apa," sahut si Meja Kartu, lalu ia pergi mengarungi air.
Candy menggeleng-gelengkan kepala. Entah kenapa,
tiba-tiba saja ia teringat Paman Fred-nya tercinta, Paman Fred adalah kakak ibu
Candy. Ia pernah bekerja di
sebuah kebun binatang di Chicago. Tugasnya membersihkan kandang. Ia pernah
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengajak Candy berkeliling
kebun binatang, sambil menunjukkan binatang-binatang kesayangannya, yang
semuanya aneh-aneh. Ada sloth berjari dua, binatang pemakan semut, keledai.
"Kalau kau ingin tahu apakah Tuhan punya rasa humor, kau tinggal melihat
binatang-binatang ini," katanya waktu itu.
Candy tersenyum sendiri membayangkan wajah bundar
Paman Fred dan kepalanya yang botak saat ia menatap Candy dengan sayang. Kalau
Paman Fred melihat Mizza, si Meja Kartu yang bisa terapung, ia pasti tertawa
terbahak-bahak sampai keluar air mata.
"Kenapa kau tersenyum-senyum, Lady?" Mischief bertanya pada Candy.
Tapi sebelum Candy sempat menjawab, para Sea-
Skipper sudah melesat maju dengan kecepatan luar biasa.
Maka dimulailah perjalanan mereka menuju Yebba Dim Day.
12 JALAN-JALAN SAMBIL MENGOBROL
PERJALANAN itu terasa aneh bagi Candy. Dan ia
menduga bagi John Mischief pun demikian halnya. Suara gemuruh laut serta
ketepak-ketepuk kaki para Sea-Skipper di air tidak memungkinkan mereka bercakap-
cakap, tapi sesekali Mischief dan saudara-saudaranya terdengar tertawa keras,
seolah-olah sedang mengenang kembali petualangan-petualangan mereka akhir-akhir
ini, dan sekonyong-konyong merasa sangat geli karena semua petualangan itu
berakhir dengan perjalanan menyenangkan yang agak aneh ini.
Candy sendiri merasa ritme perjalanan ini sangat menyenangkan setelah beberapa
waktu, dan ia begitu menikmatinya, sampai sampai ia membiarkan matanya
terpejam. Dengan cepat rasa kantuk menyerang tubuhnya yang lelah. Ketika ia
membuka mata kembali, satu jam dua puluh menit kemudian, menurut jam tangannya,
langit di atas sana sudah menggelap.
Candy sering memandangi langit, dan ia tahu nama-
nama sekian banyak bintang serta rasi-rasinya. Sejumlah bintang tampak
bertebaran di langit, seiring kegelapan yang makin pekat, tapi Candy tak bisa
mengenali satu pun susunan bintang-bintang itu. Mulanya ia mengira ini karena ia
memandang langit dari sudut yang berbeda, sehingga susunan rasi yang mestinya
mudah dikenali jadi tidak terbaca olehnya. Tapi setelah ia mengamat-amati langit
yang menggelap menjadi malam (malam yang tidak
wajar, menurut ukuran Minnesota: sebab saat itu belum lagi pukul dua siang), ia
menyadari bahwa ia tidak salah.
Memang tak satu pun susunan bintang di atas sana yang dikenalinya.
Bentangan langit di atas kepalanya ini tidak mom dengan langit di Minnesota.
Karena suatu sebab, ia merasa hal ini jauh lebih menggelisahkan daripada laut
Izabella yang muncul entah dari mana, atau kemungkinan bahwa ada kepulauan tak
dikenal yang menunggunya di depan sana.
Sebelumnya ia menyimpulkan (secara naif, barangkali) bahwa setidaknya bintang-
bintang di langit akan tetap sama. Bukankah bintang-bintang yang nama-namanya ia
kenal dengan baik itu tersebar di dunia-dunia fantastis lainnya yang pernah ada
di bumi" Di Atlantis, di El Dorado, di Avaion" Bagaimana mungkin bintang-bintang
yang begitu abadi dan tak berubah-ubah itu jadi begitu berbeda di sini"
Hal ini membuatnya cemas, dan ya... membuatnya agak takut juga akan apa yang
menantinya di depan sana.
Kelihatannya Abarat ini bukan sekadar bagian lain Planet Bumi yang dikenalnya,
yang tersembunyi dari pandangan mata biasa. Abarat ini ternyata dunia yang sama
sekali berbeda. Barangkali juga memiliki agama-agama berbeda, standar-standar
berbeda tentang kebaikan dan kejahatan, serta tentang apa yang nyata dan tidak
nyata. Tapi sudah terlambat untuk meninggalkan tempat ini.
Bagaimanapun, ada sesuatu di sini yang telah memanggilnya kemari, bukan" Itu
sebabnya ia membuat corat-coret di buku tulisnya - pola-pola yang sama dengan yang
ditemukannya pada bola di mercu suar itu: karena suatu alasan penting, bola itu
telah mengirimkan sebagian kekuatannya (kekuatan untuk memanggil lautan), dan
pikiran Candy sudah siap untuk menerimanya, bukankah begitu"
Ini dilakukannya tanpa sadar: ia membuat corat-coret itu seperti orang sedang
bermimpi. Ia bahkan melangkah menjauhi kantor kepala sekolah tanpa pikir
panjang, ia sekadar mengikuti kakinya dan insting-insting yang menuntunnya.
Meski semua itu kelihatan kebetulan pada waktu itu, barangkali sebenarnya ini
bukanlah suatu kebetulan.
Barangkali benar kata Tropella, bahwa Candy punya urusan di Abarat ini.
Mungkinkah itu" la hanya seorang anak sekolah dari Chickentown.
Urusan apa yang dimilikinya di dunia yang belum pernah dilihatnya ini"
Tapi bukankah kemungkinan itu ada, seperti kenyataan bahwa langit di atasnya ini
dipenuhi bintang-bintang dari alam semesta yang berbeda pula" Bahkan kegelapan
di antara bintang-bintang itu - kegelapan angkasa itu
sendiri - tidaklah sama dengan angkasa yang biasa dilihatnya dari jendela kamar
tidurnya. Ada warna-warni samar yang berdenyut-denyut di angkasa ini: nuansa-
nuansa ungu paling gelap dan biru megah yang bergerak bagai arus pasang
melintasi langit, siap direnangi atau dilayari.
Sementara benaknya sibuk membolak-balik berbagai
pikiran simpang-siur ini, Laut Izabella sudah jauh lebih tenang. Permukaan
airnya sekarang boleh dikatakan
sudah rata, dan langkah para Sea-Skipper jadi lebih tidak kedengaran, karena
ayunan kaki mereka lebih santai. Bahkan sekarang Candy bisa bercakap-cakap
dengan John Bersaudara, sementara para Sea-Skipper melangkah berdampingan.
"Saat ini kita sedang melewati Lingkar Kegelapan" John Drowze menjelaskan.
"Cahaya yang di depan sana itu" -
Candy tidak melihat cahaya apa pun sebelumnya, tapi sekarang, setelah
ditunjukkan, ta melihat bahwa di dekat cakrawala, langit tampak memucat samar
- "cahaya di Efreet itu..."
"... salah satu dari Kepulauan Bebas," Sallow menukas.
"Apa maksudnya itu?"
"Maksudnya, mereka punya pemerintahan sendiri," kata John Slop. "Mereka tidak
membayar pajak pada pemerintah Abarat, juga bukan bagian dari Perusahaan Commexo."
"Oh, jangan mulai sok pintar politik, Slop" John Drowze mengeluh. "Aku cuma
ingin dia memahami kompleksitas..."
"Tidak ada lagi yang bisa memahami kompleksitas pembagian pulau-pulau itu," John
Mischief berkata dengan putus asa. "Padahal dulu begitu sederhana. Pem-bagiannya
cuma antara Pulau-Pulau Malam dan Pulau-
Pulau Siang.. "Dan perang yang hampir tak ada habisnya," John Serpent menyela.
"Tapi setidaknya orang-orang tahu tempat mereka yang pasti. Kita tahu siapa-
siapa saja sekutu-sekutu kita, dan kita membela mereka mati-matian. Tapi
sekarang?" Ia memperdengarkan bunyi untuk menunjukkan rasa muak
yang amat sangat. "Sekarang siapa yang tahu?"
"Oh, sudahlah," kata John Drowze dengan jemu.
Entah masih ada lagi yang hendak dibicarakan tentang topik ini atau tidak
(rasanya masih ada), yang jelas tak ada yang sempat membuka suara, sebab pada
saat itu Pux berbisik... " Diam, semuanya."
"Ada apa?" tanya Serpent.
"Lihat ke atas."
Mereka semua menengadah ke langit. Tampak bentuk-
bentuk gelap seperti burung-burung raksasa bertubuh manusia, terbang berputar-
putar, menutupi bintang-bintang.
"Vlitter," kata Deaux-Deaux.
"Mereka tidak bakal mengapa-apakan kita," kata Sallow.
"Mungkin tidak," kata Pux. "Tapi kalau mereka melihat kita, mereka akan melapor
pada Inflixia Grueskin. Kita berada di perairannya.
Candy tidak minta dijelaskan lebih lanjut, siapakah Inflixia Grueskin itu. Nama
itu saja sudah cukup jelas.
"Kalian akan lewat di bawah Jembatan Gilholly?" bisik Mischief,
"Itu jalan yang paling cepat," sahut Tropella. "Dan kita semua sudah mulai
capek. Percayalah pada kami. Kami tahu mana yang terbaik."
Maka Mischief pun tidak berkata apa-apa lagi. Sedikit demi sedikit mereka mulai
mendekati jembatan itu, yang terbentang sekitar setengah mil di atas air
sedingin es yang memisahkan dua pulau. Di satu sisinya, cahaya yang tampak
begitu samar, hampir-hampir tak sanggup menangkap bentuk-bentuk tebing-tebing
karang serta bangunan-bangunan raksasa yang bertengger di puncaknya. Di sisi satunya, cahaya
jauh lebih terang. Candy bisa melihat semacam kuil, atau barangkali reruntuhan
kuil, dan di sebelah nya ada sederetan pilar.
Salah satu makhluk yang oleh Pux disebut Vlitter
menukik turun dan meluncur di atas air yang berkilauan, rahang bawahnya bagai
memotong pantulan langit ber-tabur bintang. Candy hanya sempat menangkap sekilas
sosoknya ketika makhluk itu menukik, meluncur, dan naik kembali. Makhluk yang
sungguh aneh; persilangan antara kelelawar dan manusia. Ia tidak melihat para
Sea-Skipper serta penumpang mereka, tapi Vlitter itu melihat sesuatu yang bisa
dimakan olehnya. Ia menyambar seekor ikan seukuran bayi. Ikan itu
memperdengarkan suara seperti dengking anjing yang marah ketika disambar, dan
terus mendengking-dengking sampai Vlitter itu memakannya, jauh di atas sana,
hingga tak terlihat oleh mereka yang di bawah.
Mereka terua bergerak, suara dengking ikan malang
itu masih menggema dari tembok-tembok kuil serta tebing-tebing karang, menjauh
dari perairan tenang di bawah jembatan. Laut Iambat Iaun jadi semakin ganas
setelah mereka keluar dari wilayah kepulauan, dan Candy
merasa bersyukur bahwa perjalanan ini sebentar lagi selesai. Ia bertanya-tanya,
bagai mana nasibnya seandainya ia tidak kebetulan bertemu dengan para pemain
kartu ini" la pasti sudah tenggelam, meski Mischief telah menyuruhnya berpasrah
pada pelukan ramah Mama Izabella. Sekarang mereka berganti haluan ke kiri, dan apa
yang dilihat Candy di depan sana membuatnya bingung kembali. Langit, yang tadi
tampak sudah lebih pucat, sekarang kembali menggelap. Tampak gumpalan kabut
raksasa berwarna biru-kelabu memenuhi panorama di
depan mereka dan semakin banyak bintang yang tampak di antara kabut itu. Tak
diragukan lagi, kilasan cahaya siang yang dilihatnya tadi memang hanya itu:
sekadar kilasan. Sekarang malam sudah kembali menyambangi.
Para Sea-Skipper tampak jelas merasa senang dengan pemandangan kabut kelam itu.
Pux begitu bahagia, sampai-sampai ia menyanyikan
sebuah lagu sambil mengarungi air. Nada lagu itu sama dengan lagu "O Pohon
Natal", tapi kata-katanya jauh berbeda.
"O malangnya daku! O malangnya daku! Dulu kupunya Pohon Kelinci!
Tapi dimakan kadal dan pohonku mati,
Kini aku tak punya peliharaan lucu lagi!
O malangnya daku! O malangnya daku! Dulu kupunya Pohon Kelinciii!
"Kau suka laguku?" tanya Pux setelah selesai menyanyi.
"Lagunya tidak seperti yang kusangka," sahut Candy,
"Tapi ya, lagumu... eh... agak tidak biasa."
"Kau kuajari, ya?" kata Pux. "Supaya kau bisa menyanyi kalau nanti berjalan-
jalan di Yebba Dim Day. Jadi, orang-orang akan menganggap, Oh, dia salah satu dari kami."
"Apakah lagu itu sangat popular?"
"Percaya atau tidak, jawabannya ya." kata John Serpent, wajahnya menunjukkan
ekspresi tak senang yang amat sangat, seperti biasanya.
"Kalau begitu, aku mesti mempelajarinya," kata Candy, diam-diam merasa senang
bisa membuat John Serpent
yang sot ini agak kesal. "Nah," kata Mischief, "mulai dari awal. Bersama-sama."
Semuanya ikut menyanyi kali ini (kecuali Serpent dan Moot), dan Candy dengan
cepat bisa menguasai lagu itu.
Saat mereka hendak menyanyikannya untuk keempat kali, Pux berkata,
"Kali ini nyanyi solo, oleh Miss Quackenbush."
"Aduh, tidak..."
"Oh ya," kata Deaux-Deaux. "Kami sudah membawamu sejauh ini. Setidaknya kau mau
dong menyanyi untuk kami."
Permintaan yang masuk akal. Maka Candy pun
menyanyikan lagu Abarat-nya yang pertama, sementara kabut di depan mulai
menipis, dan mereka mengarungi air menuju Selat-Selat Senja.
"Bagus. Bagus sekali," kata Pux setelah Candy selesai menyanyi. "Sekarang akan
kuajari lagu lainnya."
"Tidak, kurasa satu saja sudah cukup, untuk saat ini.
Mungkin lain kali" "Kurasa tidak bakal ada lain kali," kata Tropella. "Kami jarang sekali melalui
perairan yang menjadi rute-rute kapal. Tidak aman. Kalau kami sampai ketiduran
di tengah ombak, bisa-bisa kami tergilas feri. Itu sebabnya kami kembali ke Lingkar
Kegelapan. Di sana lebih aman."
"Jangan terlalu yakin kalian tidak bakal bertemu lagi dengan Lady ini," kata
Mischief pada mereka. "Aku yakin mulai sekarang dia akan berada dalam kehidupan
kalian selamanya. Dan kita dalam kehidupannya. Ada orang-orang yang
keberadaannya terlalu penting untuk dilupakan begitu saja. Dan kurasa dia salah
satu di antaranya." Candy tersenyum. Ucapan Mischief begitu manis, meski ia sendiri tidak terlalu
mempercayainya. Sepertinya semua merasa bingung mesti berkata apa
setelah Mischief selesai bicara. Jadi, selama sesaat yang ada hanya keheningan,
sementara kabut di depan mereka terus menyibak.
"Ah...," kata John Sallow. "Aku melihat Yebba Dim Day."
Serpih-serpih terakhir kabut sudah menguak, dan
tempat tujuan mereka pun tampak. Bentuk pulau itu tidak seperti pulau pada
umumnya, seperti yang dikenal Candy.
Pulau itu berupa kepala raksasa dari batu dan logam, dengan menara-menara
dibangun di puncak tempurung
kepalanya, semuanya dipenuhi jendela-jendela setipis ujung cahaya; dari situ
terpancar lajur-lajur cahaya yang menembus kabut.
"Setel arlojimu ke Jam Delapan," kata Mischief pada Candy.
"Aku tidak mengerti," kata Candy. "Tadi sepertinya masih subuh, tahu-tahu sudah
malam, dan sekarang kau menyuruhku menyetel arlojiku ke jam delapan."
"Sebab sekarang kita berada di Selat-Selat Senja,"
kata John Sallow, seolah-olah hal ini cuma masalah sepele.
"Di sini jamnya selalu Jam Delapan Malam."
Candy jadi benar-benar bingung.
"Tidak usah khawatir," kata Deaux-Deaux. "Lambat laun kau pasti mengerti. Untuk
saat ini, ikuti arus saja. Lebih mudah begitu "
Sementara Candy menyetel arlojinya menjadi jam
delapan, para Sea-Skipper membawa mereka ke bagian depan kepala raksasa Yebba
Dim Day. Sebuah tangga curam merambat naik bagaikan sulur di samping kepala itu, dan
lebih banyak lagi cahaya yang memancar dari sekumpulan jendela dan pintu.
Terdengar suara berisik riuh rendah dari kepala itu, ingar-bingar suara-suara
saling berteriak, menyanyi, menangis, dan tertawa, semuanya menggema melintasi
air. "Nah, Lady," kata Deaux-Deaux, "Kita sudah sampai."
Para Sea-Skipper membawa mereka ke sebuah pe-
labuhan yang sangat kecil, di sudut tempat dada kepala raksasa itu bertemu
dengan bagian lengannya. Ada sejumlah perahu merah kecil di pelabuhan, banyak di
antaranya sedang hendak masuk atau berangkat - ada
juga kerumunan orang yang cukup banyak di dermaga.
Kedatangan keempat Sea-Skipper - bersama para pe-
numpang mereka - menimbulkan kebingungan dan kasak-
kusuk. Dengan segera orang-orang bermunculan dari bagian
dalam Kepala Raksasa itu, untuk melihat ada ribut-ribut apa sebenarnya. Di
antara mereka tampak beberapa
orang berseragam. "Polisi!" kata John Sallow dengan tajam.
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata itu segera tersebar di antara saudara-saudaranya.
"Polisi?" "Polisi!" " Polisi! " Mischief menoleh pada Candy dan segera menangkap
lengannya. "Begitu cepat...," kata John Mischief.
"Apa maksudmu?"
"Aku mesti pergi. Begitu cepat."
"Karena ada polisi-polisi itu?"
"Jangan bicara keras-keras," kata John Serpent dengan sikap ketusnya yang biasa.
"Hus!" kata Mischief padanya. "Jangan berani-berani bicara seperti itu lagi pada
Lady-ku ini!" "Lady-mu!" Serpent mendengus sebal, seolah-olah dalam saat-saat singkat ini ia
ingin menunjukkan perasaan muaknya atas sikap Mischief yang penuh hormat pada
Candy. Tapi sudah tak ada waktu. Untuk Serpent, Mischief, bahkan untuk Candy.
Mereka hanya sempat mengucapkan
"Selamat tinggal!" dengan tergesa-gesa.
Polisi sudah melangkah mendatangi mereka di
dermaga, menyibak kerumunan orang. Candy tidak yakin mereka sudah mengenali John
Bersaudara sebagai penjahat yang dicari-cari (meskipun tanduk-tanduk di kepala Mischief membuat ia
sangat mudah dikenali); tapi polisi-polisi ini ingin tahu tentang para pendatang
baru dan Mischief tak mau keingintahuan mereka berkembang dan membuat ia
ditangkap. "Apa kalian punya izin untuk para Sea-Skipper itu?"
salah seorang polisi berseru.
"Kita berpisah di sini, Lady," kata Mischief. "Nanti kita akan bertemu lagi. Aku
yakin itu." Ia meraih tangan Candy, membalikkannya, dan
mengecup telapak tangannya dengan lembut. Lalu ia
melompat ke dalam air. " Hei, kau!" polisi kedua berteriak, menerobos kerumunan orang untuk mencapai
ujung dermaga. " Itu dia! " teriaknya.
"Aduh duh," Candy mendengar Deaux-Deaux berkata.
"Baru datang ke Yebba Dim Day, sudah begini
sambutannya." "Seharusnya kita pergi ke Speckle Frew," kata Tropella.
"Di sana tidak seramai di sini."
"Yah, sekarang sudah terlambat," kata Pux.
"Dia kabur!" polisi kedua berteriak.
"Siapa?" sahut salah seorang rekannya.
"Si... anu... siapa namanya" Yang membobol isi rumah Malleus Nyoe di Tazmagor!
Dia! Wajahnya itu lho!"
Wajahnya makin merah dan makin merah sementara rasa kesalnya kian memuncak. " Si
penjahat kawakan itu!"
Sekitar tujuh orang dalam kerumunan itu menjawab bersamaan, "John Mischief!"
"Yeah. Itu dia," si polisi menyahut pelan. " John Mischief!"
Sekarang semua mata - mata orang-orang dan mata
para polisi - tertuju pada bagian perairan yang bergolak, tempat John Mischief
terakhir kali terlihat. Salah seorang polisi - laki-laki bertubuh besar berkulit biru, dengan janggut
jingga berpotongan kotak - berusaha mengambil salah satu perahu yang tampaknya
cukup cepat di pelabuhan kecil itu. Rupanya ia berniat mengejar Mischief dengan
perahu itu. Tapi si pemilik perahu - yang tubuhnya hampir sebesar si polisi, dan
untungnya berada sekitar enam atau tujuh meter dari situ, di seberang perairan
dermaga yang kotor - pura-pura
tidak mendengar. " Kau! Bawa perahu itu kemari!" si polisi berteriak.
Tapi orang itu sengaja tidak mau memandang ke arah si polisi. Ia terus saja
menjalankan perahunya melewati deretan perahu lainnya. Jelas tampak ia ketakutan
kalau-kalau perahunya rusak gara-gara dipakai oleh polisi yang terlalu bernafsu,
tapi tidak punya insting sedikit pun tentang laut. Melihat si pemilik perahu
berusaha kabur, si polisi semakin marah.
"Kembali!" teriaknya. "Perahumu disita!"
"Sudahlah, Branx," kata salah seorang rekannya.
"Masih banyak perahu lainnya."
Tapi Officer Branx tak suka wewenangnya tidak
diacuhkan. la melepaskan jaket dan sepatu botnya, lalu melompat ke air yang
kotor, dan mulai berenang ke arah perahu yang menjauh itu, sambil berteriak-
teriak. "Bawa perahu itu kemari! Kaudengar aku! Kemari! "
Kelakuannya yang tak masuk akal itu menyebabkan
orang-orang yang menonton di dermaga bertambah tiga kali lipat. Dermaga kayu itu
berderak-derak, suatu pertanda jelas bagi mereka yang berdiri di atasnya bahwa
tidak aman untuk tetap berada di situ lebih lama lagi.
Tapi orang-orang itu tidak peduli. Semakin ribut
kerumunan itu, semakin banyak orang muncul dari Kepala Raksasa untuk melihat apa
yang terjadi. "Begini, Candy," kata Tropella, "aku tidak mau mengucapkan selamat jalan dengan
tergesa-gesa padamu..."
"Tapi kalau aku intin pergi tanpa ketahuan, maka ini saat yang tepat."
"Kau setuju, bukan?"
"Setuju sekali," kata Candy.
Perhatian orang-orang sedang tertuju pada polisi yang sedang berenang itu. Si
polisi berhasil mencapai si pemilik perahu, dan sudah menarik dirinya ke atas
perahu. Meski rekan-rekannya berseru-seru bahwa ia sebaiknya menghentikan
perbuatannya, ia masih juga memaki-maki si pemilik perahu, yang kemudian
menghantam polisi itu dengan dayung. Dayung itu patah, dan Officer Branx
terjungkal dari tepi perahu, seperti pelawak tanpa suara, dan jatuh ke dalam air
yang kotor. Gawat! Gawat! Gawat! Sekarang si pemilik perahu
yang terjun ke dalam air untuk menyeret keluar polisi yang tidak sadarkan diri
itu; ia jelas takut kena hukuman berat kalau polisi yang terlalu bernafsu
mengejarnya ini sampai tenggelam. Tapi rupanya pengaruh air itu telah
menyadarkan Officer Branx dari pingsannya, dan begitu ia muncul ke permukaan,
perkelahian antara mereka dimulai kembali. Kedua laki-laki itu bergumul dan baku
hantam di dalam air selama beberapa saat. Candy - yang dengan
tergesa-gesa telah saling mengucapkan selamat berpisah dengan para Sea-Skipper -
memanfaatkan kesempatan ini untuk menyelinap di antara kerumunan orang, dan menuju pintu Yebba Dim Day.
Sambil melangkah, ia menoleh ke belakang, ingin
melihat teman-temannya untuk terakhir kali; siapa tahu ucapan Mischief yang
terlalu optimis - bahwa mereka
akan bertemu lagi - ternyata tidak terbukti.
Tapi Mischief sudah lama pergi, dan keempat Sea-
Skipper juga sudah melompat ke dalam air, menyelam di bawah perahu-perahu, agar
bisa keluar tanpa ketahuan dari pelabuhan itu.
Sekonyong-konyong Candy merasakan kehilangan
yang amat sangat. la merasa begitu sendirian. Tanpa John Mischief, bagaimana
mungkin ia bisa bertahan di dunia yang aneh ini"
Bukannya ia merasa lebih baik pulang saja ke rumahnya. Tidak ada apa-apa
untuknya di Chickentown. Tak ada yang ia inginkan di kota itu. Ia benci ayahnya.
Dan ibunya.... Yah.... ibunya membuat ia merasa begitu
hampa. Tidak, tak ada apa-apa untuknya di kota itu.
Datang ke tempat ini, memasuki Dunia Baru yang aneh ini, rasanya seperti
dilahirkan kembali. Merasakan kehidupan baru, di bawah bintang-bintang yang baru.
Maka dengan perasaan harap-harap cemas bercampur
berat hati ia pun berjalan terus melawan arus kerumunan orang, melewati pintu-
pintu, dan akhirnya masuk ke kota yang berdiri di Selat-Selat Senja.
13 DI YEBBA DIM DAY CANDY selalu membanggakan diri bahwa ia memiliki
imajinasi yang sangat hidup. Ia suka membandingkan mimpi-mimpi yang ia alami
dalam tidurnya dengan mimpi-mimpi yang dialami saudara-saudara lelakinya, yang
suka mereka ceritakan saat sedang sarapan, atau dengan
mimpi-mimpi yang diobrolkan teman-teman sekolahnya saat istirahat siang. Dan ia
mendapati mimpi-mimpi malamnya itu selalu jauh lebih liar dan lebih aneh dari
pada mimpi-mimpi orang lain. Tapi entah mimpi siang hari ataupun malam hari,
rasanya belum pernah ia mendapat mimpi seaneh pemandangan yang menyambutnya di
Kepala Raksasa Yebba Dim Day.
Kepala Raksasa itu adalah sebuah kota. Kota yang
dibangun dari sampah-sampah laut. Jalanan di bawah kakinya terbuat dari kayu-
kayu yang jelas-jelas sudah lama sekali terendam air; tembok-temboknya didereti
batu-batu yang penuh remis. Ada tiga pilar penunjang langit-langitnya, terbuat
dari potongan-potongan batu koral yang disemen. Batu-batu itu mendengung riuh
oleh suara-suara kehidupan; pada tembok-tembok yang
susunannya rumit itu tampak lusinan jendela yang
memancarkan cahaya. Ada tiga jalan utama yang melingkar-lingkar hingga ke atas, mengitari rongga-
rongga batu-batu koral itu.
Semuanya dipadati oleh para penghuninya, dan bising oleh suara-suara para
penduduk Yebba Dim Day. Sejauh pengamatan Candy, banyak di antara orang-
orang yang dilihatnya di situ menyerupai orang-orang biasa yang umum dijumpainya
di jalanan-jalanan Chickentown. Paling-paling ada sedikit detail yang agak menggelikan: entah pada
topi dan mantel mereka, atau hidung mereka yang panjang dan seperti kayu. Tapi
perbandingan manusia yang tampak benar-benar normal dan yang sama kali tidak
seperti manusia adalah satu banding dua. Anak-anak hasil dari ribuan perkawinan
antara jenis manusia dan makhluk-makhluk aneh di Abarat memenuhi jalanan-jalanan
kota tersebut. Di antara makhluk-makhluk yang lalu lalang melewatinya di jalanan itu ada yang
sepertinya masih keturunan ikan, burung, anjing, kucing, singa dan kodok. Itu
baru spesies-spesies yang dikenalinya. Banyak spesies lain yang tidak
diketahuinya; bentuk-bentuk wajah yang tak pernah ia lihat dalam mimpinya
sekalipun. Candy tidak menghiraukan rasa dingin yang menye-
limuti tubuhnya. Meski ia merasa sangat lelah, hingga ke tulang sumsum, dan juga
tersesat - oh amat sangat tersesat - ia tetap tak peduli. Dunia yang ada di depan
matanya ini adalah Dunia Baru, dunia yang dipenuhi beragam makhluk hidup.
Seorang wanita cantik berjalan lewat, mengenakan topi yang bentuknya seperti
akuarium. Di dalamnya ada
seekor ikan besar dengan ekspresi sendu, mirip sekali dengan ekspresi wanita
yang memakai topi itu. Seorang laki-laki yang tubuhnya setengah ukuran tubuh
Candy berlari lewat, di kerudung mantelnya duduk laki-laki lain yang ukurannya
lebih kecil lagi, sedang melempar-lemparkan kacang ke udara. Sesosok makhluk
yang kakinya terbuat dari anak-anak tangga berwarna merah berjalan dengan langkah-
langkah panjang menerobos
keramaian, agak jauh di sana, kepalanya sangat besar, berwarna jingga cerah. Ada
segumpal asap biru melayang lewat, dan sementara ia berlalu, muncul sebuah wajah dari tengah-tengah
gumpalan asap itu, tersenyum pada Candy, lalu lenyap terburai angin.
Ke mana pun Candy memandang, ada saja peman-
dangan menakjubkan yang membuatnya terheran-heran.
Selain para penduduknya, di kota itu juga ada binatang yang tak terhitung
jumlahnya - yang liar dan yang sudah jinak. Monyet-monyet berwajah putih, yang
tampak seperti sekumpulan badut, duduk di atap-atap sambil memamerkan pantat mereka
yang merah kepada orang-orang lewat. Binatang-binatang seukuran chinchilla,
namun menyerupai singa-singa keemasan, lari bolak-balik sepanjang kabel-kabel
listrik yang membentang di antara rumah-rumah. Sementara itu, seekor ular putih
mulus, dengan mata berwarna hijau-kebiruan, melilitkan diri dengan cerdiknya di
kaki orang banyak, sambil berceloteh seperti burung betet yang cerewet. Di
sebelah kiri Candy ada sesuatu yang sepertinya merupakan keturunan lobster dan
Picasso si pelukis. Makhluk itu menempel di tembok, menggambar potret dirinya
sendiri dengan bagusnya di permukaan plaster berwarna putih, menggunakan sepotong arang. Di
sebelah kanan Candy ada seorang laki-laki yang membawa alat pemadam kebakaran;
orang itu sedang mencoba membujuk seekor sapi yang tubuhnya dilompati belalang-
belalang berwarna kuning agar keluar dari rumahnya.
Belalang-belalang itu bukan satu-satunya serangga
yang ada di kota tersebut. Sama sekali bukan. Udara di situ mendengung riuh oleh
kehidupan. Jauh di atas sana, burung-burung sibuk memakan gerombolan kutu yang
menyala seperti bara-bara api kecil. Kupu-kupu seukuran tangan Candy terbang
persis di atas kepala orang
banyak, dan sesekali hinggap di kepala tertentu, seakan-akan mereka mengganggap
kepala itu sekuntum bunga.
Ada beberapa kupu-kupu dengan sayap tembus
pandang, urat-urat darah mereka dialiri darah biru cemerlang. Ada juga kupu-kupu
yang gendut dan berdaging; jenis ini merupakan makanan seekor makhluk yang
bentuknya seperti burung merak, tubuhnya kecil, ekornya besar sekali, dengan
warna-warni yang tak bisa digambarkan oleh Candy.
Dan di segala arah - di antara pemandangan-
pemandangan yang membuat terbengong-bengong ini -
ada hal-hal yang sepenuhnya dikenali Candy. Banyak rumah mempunyai televisi,
layar mereka bisa dilihat melalui jendela-jendela yang tidak bertirai. Di salah
satu layar ada pertunjukan kartun seorang anak laki-laki sedang berdansa tap; di
layar lain ada yang sedang menyanyikan lagu sedih, dan di layar lainnya lagi ada
pertunjukan gulat: manusia melawan serangga-serangga bergaris-garis sangat
besar, yang tampaknya bosan
setengah mati dengan keseluruhan acara tersebut. Banyak lagi yang bisa dikenali
Candy. Bau daging terbakar dan bir tumpah. Suara anak-anak lelaki berkelahi.
Suara tawa, seperti tawa pada umumnya. Air mata, seperti air mata pada umumnya.
Yang lebih mengherankan, ia mendengar bahasa
Inggris dipergunakan di mana-mana, meski dialeknya bermacam-macam. Dan tentu
saja bagian-bagian mulut yang digunakan untuk mengucapkan bahasa itu juga
berpengaruh dalam membentuk jenis bahasa Inggris yang diucapkan: ada yang
nadanya tinggi dan sengau,
mengalun hampir-hampir seperti musik. Dari arah lain terdengar versi agak kasar
yang sesekali memelan menjadi geraman dan lengkingan.
Begitu banyak yang aneh di sini, padahal ia baru
berjalan sekitar lima puluh meter di Yebba Dim Day.
Rumah-rumah di ujung sebelah bawah Kepala Raksasa, tempat ia berjalan saat ini,
semuanya berwarna merah, bagian depannya melengkung. Candy segera mengerti
sebabnya. Rumah-rumah itu terbuat dari perahu, atau sisa-sisa perahu. Kalau
melihat jaring-jaring yang digantung dan berfungsi sebagai pintu, kelihatannya
para penghuni rumah-rumah ini adalah keluarga-keluarga nelayan yang telah
menetap di sini. Mereka telah menyeret perahu mereka menjauhi udara senja yang
dingin; palu dan linggis dibawa ke pondok-pondok, dermaga, dan tempat penambatan, lalu perahu-
perahu tersebut dibongkar untuk dijadikan semacam tempat tinggal di darat. Tidak
ada keteraturan di sini; sepertinya orang-orang dengan begitu saja menempati
lahan yang masih kosong. Kalau tidak, mana mungkin perahu-perahu itu saling
tumpang tindih dengan kacau, satu perahu ditumpuk di atas perahu
lainnya. Listrik tampaknya dicuri terang-terangan dari orang-orang yang tinggal di bagian
kota yang lebih tinggi (dan karenanya, kemungkinan besar, lebih kaya). Kabel-
kabel listrik terentang di tembok-tembok, masuk ke dalam rumah-rumah, lalu
keluar lagi, mengalirkan listrik ke rumah berikutnya.
Sistem tersebut sama sekali tidak aman sebenarnya.
Kapan saja, kalau kita memandang ke atas, ke ratusan, atau barangkali ribuan,
rumah yang saling tumpang tindih itu, ada saja lampu-lampu yang berkedip-kedip
di rumah seseorang, atau ada pertengkaran mengenai kabel-kabel tersebut. Belum
lagi dengan adanya monyet-monyet dan burung-burung yang menggerigiti kabel-kabel
itu, atau sekadar menggunakannya untuk berayun-ayun, membuat suasana semakin
kacau. Aneh sekali bahwa segala macam orang, binatang, dan makhluk-makhluk lain ini
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa hidup rukun bersama-sama, pikir Candy. Ia tak bisa bayangkan orang-orang di
Chickentown hidup dalam keragaman yang kacau balau demikian. Apa kira-kira
pendapat mereka tentang makhluk yang kakinya berupa tangga itu, atau si makhluk asap, atau makhluk kecil
yang melempar-lemparkan kacang ke udara" Aku mesti mengingat-ingat sebanyak mungkin detail-detail yang kulihat di sini,
supaya kalau kembali ke rumah nanti aku bisa bercerita pada orang-orang, seperti
apa rasanya, sampai hal yang sekecil-kecilnya, sampai ke kupu-kupu yang kulihat
itu. Kira-kira mereka membuat kamera tidak, ya, di sini" pikir Candy. Kalau
mereka punya televisi, tentunya mereka juga punya kamera.
Tentu saja mula-mula ia mesti mencari tahu, apakah beberapa lembaran dolar kumal
dan basah di sakunya bisa dibelanjakan di sini. Kalau bisa, dan kalau ada yang
menjual kamera di sini, ia bisa memotret apa-apa yang dilihatnya. Dengan
demikian, ia punya bukti-bukti nyata bahwa tempat ini, dengan segala
keanehannya, memang benar-benar ada.
"Apa kau kedinginan?"
Wanita yang menyapanya itu kelihatannya masih
keturun Sea-Skipper. Insang-insang kecil tampak di bagian sebelah bawah pipinya
hingga ke leher, dan kulitnya agak berbintik-bintik. Matanya juga agak
keperakan. "Ya, aku memang agak kedinginan," sahut Candy.
"Mari ikut aku. Namaku Izarith."
"Aku Candy Quackenbush. Aku masih baru di sini,"
"Ya, bisa kulihat," kata Izarith. "Hari ini udaranya dingin; air laut merambat
naik melalui bebatuan. Suatu hari nanti, tempat ini bakal membusuk dan ambruk
dengan sendirinya." "Sayang sekali," kata Candy.
"Kau toh tidak tinggal di sini," kata Izarith, nada suaranya agak getir.
Ia mengajak Candy ke salah satu rumah yang terbuat dari perahu penangkap ikan.
Ketika hendak mengikuti wanita itu masuk ke rumah, Candy merasa agak ragu.
Kenapa wanita ini dengan tiba-tiba saja mengundangnya datang, tanpa alasan
jelas, selain karena perasaan kasihan pada orang asing"
Izarith sepertinya bisa merasakan keraguan Candy.
"Jangan masuk kalau kau tidak mau," katanya. "Aku cuma pikir kau kelihatannya
perlu api untuk menghangatkan diri."
Sebelum Candy sempat menjawab, terdengar serang-
kaian suara kayu ambruk dari luar Kepala Raksasa, diikuti keributan orang
menjerit-jerit dan berteriak-teriak.
"Dermaganya!" kata Candy sambil menoleh ke arah pintu.
Rupanya dermaga itu akhirnya ambruk karena tidak
kuat menahan beban orang banyak. Orang-orang
serentak keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi.
Tentu saja ini semakin memperburuk suasana di luar sana.
Izarith tidak tampak ingin keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ia hanya
berkata, "Kau mau masuk?"
"Ya," kata Candy. Ia tersenyum sebagai tanda terima kasih, dan mengikuti wanita
itu masuk. Seperti telah dijanjikan Izarith, ada api di perapian kecil di situ. Izarith
menaburkan segenggam rumput laut untuk memperbesar nyalanya. Api itu segera
berkobar cemerlang. Rasa hangat yang nyaman menyelimuti tubuh Candy. "Oh, enak
sekali," katanya, sambil menghangatkan kedua tangannya.
Di lantai depan perapian ada anak kecil, usianya
barangkali dua tahun, wajahnya tidak terlalu menunjukkan ciri-ciri makhluk laut
seperti yang tampak pada kakek-neneknya, atau mungkin kakek-nenek buyutnya.
"Ini Maiza. Maiza, ini Candy. Bilang halo."
"Hal...O," kata Maiza.
Setelah mengucapkan halo, Maiza kembali asyik
dengan mainan-mainannya yang hanya berupa balok-
balok kayu dicat. Salah satunya berbentuk perahu, dicat merah; barangkali tiruan
kasar dari perahu yang papan-papannya digunakan untuk membangun tembok-tembok
ini. Izarith menghampiri anak satunya di ruangan itu, untuk memeriksanya. Seorang
bayi yang sedang tidur di dalam buaian.
"Itu Nazre," katanya. "Dia sakit sejak kami datang kemari. Dia dilahirkan di
laut, dan aku yakin dia ingin kembali ke sana."
la membungkuk rendah, dan berbicara dengan lembut
pada bayi itu. "Iya, kan, itu yang kauinginkan, bukan, Sayang" Kau ingin pergi jauh dari sini"
"Kau juga ingin pergi jauh?" tanya Candy.
"Ingin sekali. Sepenuh hatiku. Aku benci tempat ini."
"Apa kau tidak bisa pergi begitu saja?"
Izarith menggelengkan kepala. "Suamiku, Ruthus, punya perahu. Dulu kami suka
menangkap ikan di sekitar
Kepulauan Lingkar Luar, yang perairannya masih bagus.
Tapi perahu kami sudah mulai tua. Jadi, kami datang kemari untuk menukarnya
dengan perahu baru. Waktu itu kami masih punya sisa uang dari hasil menangkap
ikan pada musim itu, dan kami pikir kami bisa membeli perahu yang bagus dengan
uang itu. Tapi ternyata tidak ada perahu baru. Tidak ada lagi yang membuat
perahu. Sekarang kami hampir kehabisan uang. Jadi, suamiku bekerja membuat toilet untuk
orang-orang di menara-menara, dan aku terpaksa di sini saja bersama anakanak."
Sambil bercerita, ia menyibakkan tirai yang membagi ruangan kecil itu menjadi
dua bagian. Ia mencari-cari di dalam kotak pakaian, lalu mengambil sehelai gaun
sederhana, dan memberikannya pada Candy.
"Ini," katanya. "Pakai gaun ini. Kau bisa pilek kalau mengenakan pakaian basah
itu terus." Dengan senang hati Candy mengenakan gaun itu.
Diam-diara ia merasa malu akan perasaan curiganya
tadi. Izarith jelas orang baik. Ia miskin, tapi ia menawarkan apa yang
dimilikinya. "Gaun itu cocok untukmu," kata Izarith, sementara Candy mengikatkan sehelai
sabuk rami sederhana di pinggangnya. Bahan gaun itu berwarna cokelat, tapi bersinar-sinar lembut; ada
warna biru keperakan samar dalam tenunannya.
"Apa mata uang di sini?" tanya Candy.
Izarith jelas-jelas merasa terkejut dengan pertanyaan itu, dan ini bisa
dimengerti. Tapi ia toh menjawab juga.
" Zem," katanya. "Atau paterzem, yang terdiri atas seratus lembaran zem."
"Oh." ' "Kenapa kau menanyakannya?"
Candy merogoh-rogoh saku jeans-nya. "Sebab aku punya beberapa uang dolar,"
katanya. "Kau punya dolar" " sahut Izarith, ternganga heran.
"Ya. Ada beberapa."
Candy mengeluarkan lembar-lembar uang yang basah
itu, dan dengan hati-hati menaruhnya di perapian. Uang-uang kertas itu beruap
terkena hawa panas dari api.
Izarith sama sekali tidak mengalihkan pandang dari lembar-lembar uang tersebut
sejak Candy mengeluarkan-nya. Ia seperti sedang melihat sebuah keajaiban.
"Dari mana kau memperoleh itu...?" tanyanya, suaranya tercekat karena herannya.
Akhirnya ia mengalihkan tatapannya dari perapian dan memandang Candy.
"Tunggu," katanya. "Mungkinkah kau..."
"Mungkinkah aku apa?"
"Apa kau... datang dari Hereafter?"
Candy mengangguk. "Sebenarnya aku berasal dari suatu tempat bernama Amerika.
"Amerika." Izarith mengucapkan kata itu seperti mengucapkan doa. "Kau mempunyai
uang dolar, dan kau berasal dari Amerika." Ia menggeleng-gelengkan kepala dengan
rasa tak percaya. Candy berjongkok di depan perapian dan mengambil
lembar-lembar uang dolar yang sekarang sudah hampir kering. "Ini," katanya,
menawarkan uang itu pada Izarith.
"Ambillah untukmu."
Izarith menggelengkan kepala, wajahnya menunjukkan ekspresi takjub yang amat
sangat. "Tidak, aku tak bisa. Tak bisa mengambil uang dolar itu. Cuma malaikat-malaikat
yang menggunakan dolar, bukan Skizmut seperti aku."
"Ambillah dariku," kata Candy. "Aku kan bukan malaikat. Jauh sekali dari ini.
Omong-omong, Skizmut itu apa?"
"Bangsaku adalah Skizmut. Atau begitulah mereka dulunya, bergenerasi-generasi
yang lalu. Setelah sekian tahun, darah Skizmut kami semakin tipis. Kakek buyutku
yang masih merupakan Skizmut asli."
Ia tampak agak sedih; ekspresi itu cocok untuk bentuk wajahnya, melebihi
ekspresi-ekspresi lainnya.
"Kenapa kau begitu sedih."
"Kalau saja aku bisa kembali ke kedalaman, dan tinggal di sana, jauh dari semua
ini..." Izarith mengarahkan tatapan sedihnya ke jendela yang tidak mempunyai kerangka
ataupun kaca jendela. Di luar sana orang-rang berseliweran tanpa henti, seperti
parade yang tak ada habisnya. Candy bisa mengerti, betapa tidak nyamannya
tinggal di gubuk kecil ini, sementara di luar sana jalanan dipenuhi orang yang
terus berlalu lalang, siang-malam.
"Apa yang kaumaksud dengan kedalaman itu laut?"
tanya Candy. "Ya. Mama Izabella. Bangsa Skizmut mempunyai kota-kota di bawah sana. Jauh di
dalam samudra. Kota-kota yang indah, terbuat dari batu putih."
"Kau pernah melihat kota-kota itu?"
"Tentu saja tidak. Setelah dua generasi, kami tidak bisa berenang dan bernapas
seperti ikan lagi. Aku akan
tenggelam, sama seperti kau."
"Jadi, apa yang bisa kaulakukan?"
"Tinggal di perahu, sedekat mungkin dengan laut.
Tinggal bersama irama ombak Mama Izabella di bawah kami."
"Yah, barangkali uang dolar ini bisa membantu kau dan Ruthus membeli perahu,"
kata Candy. Ia mengulurkan selembar uang sepuluh dolar dan satu dolar, enam dolar sisanya ia
simpan untuk dirinya sendiri.
Izarith tertawa keras, nadanya merdu dan begitu
menyenangkan, sampai-sampai anak perempuannya,
Maiza, ikut tertawa. "Sebelas dolar" Sebelas. Uang sebanyak ini bisa untuk membeli dua perahu! Tiga
perahu! Nilainya sama dengan sebelas paterzem! Lebih malah, kurasa!" Ia
mengangkat wajahnya dari uang itu, dan sekonyong-konyong tampak cemas. "
Benarkah uang ini untukku?" tanyanya, seakan-akan takut hadiah itu akan diminta
kembali. "Ya, semuanya untukmu," kata Candy; ia merasa agak aneh, takut kalau-kalau ia
kedengaran angkuh. Padahal ia hanya memberikan uang sebelas dolar.
"Aku ingin membelanjakan uang ini sedikit," kata Izarith.
la mengambil uang satu dolar itu, dan menyimpan sisanya.
"Aku akan membeli sedikit makanan. Anak-anak belum makan hari ini. Kurasa kau
sendiri juga belum makan."
Sepasang matanya bersinar-sinar; sorot bahagia yang terpancar dari matanya
semakin kentara karena cahaya keperakan samar di dalamnya, yang merupakan
warisan keturunan Skizmut-nya. "Kau mau menjaga mereka sementara aku pergi?"
katanya. "Tentu saja," sahut Candy. Sekonyong-konyong ia merasa sangat lapar.
"Maiza?" "Ya, Muma?" "Manis-manis pada kakak dari Hereafter itu ya, sementara aku pergi membeli roti
dan susu?" "Mau kue kacang!" kata Maiza.
"Itu yang kauinginkan" Kue kacang?"
"Kue kacang! Kue kacang!"
"Aku tidak akan lama," kata Izarith.
"Kita di sini saja, ya," kata Candy sambil duduk di samping Maiza, di depan
perapian. "Tidak apa, kan, Maiza?"
Anak itu tersenyum lagi, deretan giginya yang mungil tampak semitransparan, dan
berkesan kebiruan. "Kue kacang!" katanya. "Semuanya buatku."
14 CARRION SETELAH bertahun-tahun mengabdi kepada Christopher Carrion, Mendelson Shape amat
sangat menguasai seluk-beluk Menara Kedua Belas di Pulau Gorgossium. Ia tahu
lika-Iiku jalan sekitar dapur-dapur dan ruangan-ruangan jeritangis; ia juga tahu
lorong-lorong di ruang-ruang penguburan bawah tanah, Kapel Hitam, dan melalui
Ruang-Ruang Air Mata. Tapi hari ini, ketika ia kembali ke Menara dengan
membawa berita bahwa ia telah kehilangan segalanya (Kunci itu, Mischief, dan
kaki-tangannya yang membantu pencurian tersebut, seorang gadis bernama Candy),
Shape diberitahu oleh Naw - pelayan Carrion yang berkepala kosong - bahwa ia mesti
melapor ke ruangan yang belum pernah ia masuki: Perpustakaan Besar yang letaknya
dekat puncak Menara. Dengan patuh Shape berangkat ke ruangan tersebut.
Perpustakaan itu adalah ruangan paling besar yang
pernah ia masuki dalam hidupnya: bentuknya bundar, sangat luas, dan tidak
berjendela, dengan tumpukan-tumpukan buku setinggi sekitar empat puluh kaki.
Mendelson merasa sangat tidak tenang, menunggu
kedatangan tuannya di situ. Ia mengenakan mantel
panjang lusuh dengan pinggiran wol dari bulu bayi
serigala jadi-jadian. Tapi mantel itu tak bisa melindunginya dari hawa dingin
yang meresap hingga ke tulang sumsum. Giginya serasa ingin bergemeletuk, tapi ia
menahan diri. Ia tahu, tidak baik akibatnya kalau ia sampai menunjukkan rasa
takutnya. Bisa-bisa Carrion jadi terdorong untuk berbuat kejam kalau mencium
gelagat bahwa orang yang diajaknya bicara merasa takut.
Mendelson sudah berkali-kali menyaksikan kekejaman Carrion. Kadang-kadang, kalau
ia datang ke Menara ini, ia serasa mendengar seseorang menangis, menjerit atau
memohon-mohon dikasihani di balik setiap pintu: semua itu hasil kerja Carrion.
Bahkan hari ini pun, saat menaiki tangga ke Perpustakaan Besar, ia mendengar
seseorang memanggil-manggilnya, terisak-isak minta diberi cahaya, diberi
sepotong roti, dikasihani; rupanya orang itu di-kurung salama-lamanya di sebuah
ruang sempit dan gelap di dalam dinding-dinding.
Tapi tempat ini sama sekali bukan tempat yang tepat untuk minta diberi belas
kasihan. Mendelson tahu itu.
Langit-langit lengkung Menara Keduabelas, yang diberi lukisan-lukisan dengan
adegan-adegan untuk membuat takut yang melihatnya, telah menjadi saksi begitu
banyak pemandangan mengerikan, dan tak ada satu pun yang
diberi belas kasihan. Mendelson tahu itu.
Kakinya yang tidak bertelapak terasa sakit, tapi ia tidak berani duduk, takut
kalau-kalau Carrion masuk mendadak dan mendapati ia bermalas-malasan. Maka,
untuk merintang-rintang waktu, ia menghampiri salah satu dari sekian banyak meja
di Perpustakaan itu. Meja-meja itu penuh dengan tumpukan buku yang rupanya
diambil dari rak-rak karena menarik perhatian Carrion.
Ada sebuah buku yang dikenali Shape dari masa
kecilnya; buku itu ditaruh di sebuah sandaran buku kecil, agar mudah dibaca.
Judulnya Pincoffin's Rhymes and Nonsenses. Buku itu salah satu buku kesayangan
Shape, berisi sajak-sajak dan lagu pengantar tidur yang masih diingatnya luar
kepala, sampai sekarang, termasuk lagu yang waktu itu ia nyanyikan pada si gadis
dari Hereafter. Buku itu terbuka di halaman berisi nyanyian anak-anak bernada muram yang sudah
ia lupakan. Tapi kini, setelah membacanya, ia kembali merasa tergugah.
Monster kecil, monster kecil
Hendak ke mana kau pergi"
Hendak ke pekuburan, Untuk bermain-main" Berdansa dengan kerangka - kerangka
Yang muncul dari tanah"
Menari-nari Di gundukan tanah makam"
Bibirnya bergerak-gerak saat ia membaca kata-kata
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Lagu itu membangkitkan kenangan lama terhadap ibunya, Miasma Shape. Dulu
ibunya suka duduk bersama ketiga anak lelakinya - Nizz, Naught, dan Mendelson-
sambil membacakan buku Pincoffin. Oh, Shape sangat memuja ibunya!
Ia meneruskan membaca. Monster kecil, monster kecil,
Seram bentukmu! Sayap kelelawar di punggungmu,
Wajah berbekas luka, Taring-taring tajam gigimu,
Ekor ular di belakangmu; Kaubuka mulutmu Memperdengarkan Lagu sang Iblis sendiri, Getir dan nyaring. Wahai, monster kecil, Banggakah ibumu terhadapmu"
" Lagu sang Iblis sendiri" Kalimat itulah yang paling diingatnya selama
bertahun-tahun ini, meski sampai sekarang ia tak ingat sumbernya. Berkali-kali
ia bertanya-tanya sendiri, sanggupkah ia mengarang lagu seperti itu.
Ia memperdengarkan suara dari tenggorokannya.
Geraman pelan penuh ancaman, yang menggema oleh
pantulan di langit-langit ruangan bundar itu. Ya, suara itu rasanya bisa membuat
ngeri hati musuh-musuhnya. Ya, pikirnya, suara itulah yang akan
diperdengarkannya kalau nanti dia menemukan gadis itu lagi: suara yang begitu
mengerikan, yang akan membuat gadis itu luluh lantak ketakutan.
Ia membuat suara lebih keras lagi, dan dari puncak tumpukan buku-buku, muncul
dua makhluk bersayap yang mungkin merasa terganggu oleh suara tersebut. Keduanya
turun hingga sekitar tiga kaki di atas kepala Shape, lalu berhenti dan melayang-
layang di situ. Mereka seukuran burung pemakan bangkai, dengan wajah pucat pasi
dan pipi gemuk, seperti anak kecil bertampang monster.
"Kalian mau apa?" tanya Mendelson, memelototi mereka.
Kedua makhluk itu memandanginya sejenak dengan
mata mereka yang sangat kecil dan tak ada bagian
putihnya. Setelah itu tampaknya mereka menganggap ia tidak penting, dan mereka
Siluman Hitam 1 Hardy Boys Misteri Manusia Kera Terdampar Di Pulau Asing 1