Pencarian

Empress Orchid 5

Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min Bagian 5


Kaisar Hsien Feng meletakkan tehnya. "Ada apa?"
"Tanggul-tanggul di sekitar Sungai Kuning jebol di dekat perbatasan provinsi
Shantung dan Kiangsu. Duapuluh desa terendam.
Empat ribu orang tewas."
"Seseorang akan dihukum!" Kaisar lebih terlihat jengkel ketimbang prihatin.
Pangeran Kung meletakkan dokumen itu dan mendesah. "Terlalu gampang untuk
memancung beberapa Wali Kota dan Gubernur.
Nyawa yang sudah hilang tak mungkin kembali lagi. Kita memerlukan Pemerintah
Daerah untuk mengorganisasi bantuan dan mengurus para pengungsi."
Hsien Feng menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Jangan suruh aku mendengar berita buruk lagi! Tinggalkan aku sendiri!"
Seolah dia tak punya waktu untuk memikirkan derita abangnya, Pangeran Kung
meneruskan. "Aku juga memerlukan dukunganmu untuk mendirikan sebuah Tsungli
Yamen." "Apa itu Tsungli Yamen?" Tanya Kaisar. "Aku belum pernah mendengarnya."
"Biro Nasional Urusan Luar Negeri."
"Ah, urusan luar negeri itu. Kenapa tak kau teruskan saja kalau kau pikir kau
memerlukannya." "Aku tak bisa."
"Siapa yang mencegahmu?"
"Su Shun, para menteri, para pejabat bangsawan senior. Aku menghadapi oposisi
yang sangat kuat. Orang-orang bilang leluhur kita tak pernah memiliki itu, jadi
mengapa kita harus."
"Setiap orang menunggu arwah Ayah membuat keajaiban."
Kaisar mengerutkan dahi. "Ya, Yang Mulia. Sementara itu, semakin banyak orang asing berdatangan. Langkah
terbaik yang mungkin kita lakukan adalah meletakkan beberapa batasan agar kita
bisa perlahan-lahan menguasai kembali keadaan. Mungkin kita bahkan akan bisa
mengusir mereka keluar, suatu saat nanti. Tetapi pertama-tama kita harus
menghadapi mereka dengan aturan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Orang-
orang asing itu menyebut aturan semacam itu 'hukum,'
yang kira-kira serupa dengan apa yang kita sebut 'asas.' Tsungli Yamen akan
bertanggung jawab membuat hukum itu."
"Kalau begitu apa yang kau kehendaki dariku?" tanya Kaisar Hsien Feng dengan
suara lesu. "Aku akan segera bertindak kalau kau memberiku dana operasional. Orang-orangku
perlu belajar bahasa asing. Dan tentu saja aku harus membayar orang asing untuk
menjadi guru. Orang-orang asing itu-"
"Aku tak tahan mendengar kata 'orang asing'!" tukas Kaisar.
"Aku tak suka mengakui keberadaan para penyerbu itu. Yang aku tahu adalah mereka
datang ke Cina untuk memaksakan cara-cara mereka padaku."
"Ada sesuatu di dalam hal ini yang berguna untuk Cina, Yang Mulia. Perdagangan
terbuka akan membantu mengembangkan ekonomi kita."
Kaisar Hsien Feng mengangkat tangan untuk menghentikan Pangeran Kung. "Aku tak
sudi memberikan hadiah kalau wajahku dilumuri tahi."
"Aku mengerti, dan setuju denganmu, abangku," kata Pangeran Kung lunak. "Tetapi
kau tak tahu penghinaan seperti apa yang telah kualami. Tekanan datang padaku
dari kedua sisi, luar dan dalam negeri. Aku disebut 'penjilat setan' oleh
pegawai dan anak buahku sendiri."
"Kau pantas menerimanya."
"Yah - mudah bagi kita untuk menutup mata, tetapi apakah dengan begitu realitas
akan pergi?" Pangeran Kung berhenti sejenak, lalu memutuskan untuk menyelesaikan
apa yang telah dimulainya.
"Kenyataannya adalah, kita diserang dan tak punya pertahanan sama sekali. Aku
khawatir keangkuhan bodoh pejabat pemerintah kita akan membuat kita kehilangan
Dinasti ini." "Aku letih," kata Hsien Feng setelah terdiam beberapa saat.
Pangeran Kung memanggil pelayan, yang masuk membawa sebuah kursi rotan
berpunggung datar. Dengan dibantu, Kaisar Hsien Feng duduk di kursi itu. Pucat
dam matanya sayu karena mengantuk, dia berkata, "Pikiranku beterbangan seperti
kupu-kupu. Tolong, jangan buat aku berpikir lagi."
"Apakah aku mendapat izinmu untuk membuka Tsungli Yamen"
Maukah kau mengeluarkan dananya?"
"Kuharap hanya itu yang kau minta." Hsien Feng menutup matanya.
Pangeran Kung menggeleng, seulas senyum pahit melintas di bibirnya. Ruangan itu
sunyi. Melalui jendela kulihat para pelayan mengejar-ngejar anak-anak yang
melompati batu-batu disebuah kolam.
"Aku butuh dekrit resmi, Yang Mulia." Pangeran Kung terdengar hampir-hampir
seperti mengemis. "Abang, kita tak bisa menunggu lebih lama lagi."
"Baik." Masih dengan mata tertutup, Hsien Feng memalingkan wajah ke dinding.
"Dalam dekritmu, Tsungli Yamen harus diberi kekuasaan penuh."
"Baiklah, tetapi sebagai balasannya kau harus berjanji," Kaisar Hsien Feng
memaksa dirinya untuk duduk tegak. "Bahwa siapa pun yang mendapat gaji harus
bekerja dengan baik, atau dia akan kehilangan kepalanya."
Pangeran Kung tampak lega. "Aku bisa menjamin bahwa kualitas orang-orangku
takkan terkalahkan oleh siapa pun. Tetapi masalahnya lebih rumit dari itu.
Masalah paling serius yang dihadapi oleh anak buahku adalah para pejabat Istana.
Aku tak mendapat respons apa pun dari mereka. Diam-diam mereka senang ketika
orang-orang di daerah menghina duta besar asing dan membunuh para misionaris.
Aku tak bisa mengatakan kepadamu betapa berbahayanya perilaku seperti itu. Ini
bisa menyulut perang. Para sesepuh klan benar-benar buta politik."
"Kalau begitu beri penjelasam pada mereka," kata Kaisar Hsien Feng, sembari
membuka matanya. Dia tampak benar-benar letih.
"Aku sudah mencoba, Yang Mulia. Aku mengundang mereka untuk rapat, tetapi tak
seorang pun muncul. Aku bahkan mengirimkan ayah mertuaku untuk secara pribadi
mengundang mereka, berharap usia Ayah akan membuat mereka hormat. Tetapi tak
berhasil. Aku menerima banyak surat yang memaki-makiku dan menyuruhku untuk
menggantung diri. Aku ingin kau hadir di rapat berikutnya, kalau bisa.
Aku ingin para pejabat Istana itu tahu bahwa kau mendukung aku sepenuhnya."
Kaisar tak menyahut. Dia tertidur.
Seraya mendesah, Pangeran Kung menyandarkan diri. Dia tampak seolah baru saja
dikalahkan. Matahari menyentuh palang atap dan ruangan itu terasa hangat.
Wangi melati dan rumpun-rumpunnya di sudut tercium manis.
Perlahan cahaya matahari mengubah bentuk bayangan tanaman-tanaman itu di lantai.
Kaisar Hsien Feng mulai mendengkur. Pangeran Kung menggosok tangannya dan
melihat berkeliling ruangan. Para pelayan datang menyingkirkan cangkir teh kami,
dan membawakan piring-piring kecil berisi buah loquat segar.
Aku sama sekali tak berselera. Pangeran Kung juga tak menyentuh buah itu. Kami
memandangi Kaisar yang tertidur.
Perlahan-lahan mata kami bertemu. Kuputuskan untuk memanfaatkan waktu.
"Aku sedang berpikir-pikir, Adik Keenam," aku memulai,"apakah kau bersedia
menceritakan kepadaku tentang pembunuhan para misionaris asing itu. Sulit sekali
bagiku untuk bisa memercayainya."
"Aku sangat mengharap Yang Mulia Kaisar punya minat untuk mendengar hal ini,"
kata Pangeran Kung. "Kautahu kata peribahasa,
'gerigi es yang panjang tak tercipta dari satu kali malam bersalju' - yah, akar
dari semua itu dapat dilacak hingga ke pemerintahan Kaisar Kang Hsi. Pada waktu
itu, Ibu Suri Hsiao Chuang mencapai masa-masa akhir dalam hidupnya, dan berteman
dengan seorang misionaris Jerman, Johann Adam Schall von Bell. Dialah yang
membuat Ibu Suri masuk Katolik."
"Bagaimana hal itu mungkin terjadi" Maksudku - perpindahan kepercayaan Ibu Suri?"
"Tidak secara tiba-tiba, tentu saja. Schall von Bell itu seorang sarjana,
ilmuwan, sekaligus pendeta. Orangnya menarik, dan diperkenalkan pada Ibu Suri
oleh ilmuwan Istana, Hsu Kuang-chi.
Schall adalah dosen anak buah Hsu di Akademi Kekaisaran Hanlin."
"Aku tahu tentang Hsu. Dia orang yang meramalkan gerhana dengan tepat itu."
"Ya." Pangeran Kung tersenyum. "Memang itu Hsu, tetapi dia tak melakukannya
sendiri. Romo Schall adalah partner sekaligus gurunya.
Kaisar menunjuknya untuk memperbaiki sistem penanggalan berdasarkan bulan.
Schall berhasil menyelesaikannya, dan Kaisar mengangkatnya menjadi penasihat
militer. Schall membantu membuat senjata yang menumpas sebuah pemberontakan
besar para petani." "Bagaimana Ibu Suri bisa mengenal Schall?"
"Yah - Schall meramalkan bahwa putra Ibu Suri, Shih Chung, akan naik takhta karena
anak itu berhasil sembuh dan sakit cacar sementara putra-putra Kaisar yang lain
tidak. Pada saat itu tentu saja tak ada yang tahu apa itu cacar air, dan tak ada
yang percaya pada Schall. Beberapa tahun kemudian saudara Shih Chung, Shih Tsu,
meninggal karena cacar. Sekarang Ibu Suri percaya bahwa Schall punya hubungan
khusus dengan alam semesta, dan dia meminta untuk berpindah kepercayaan menjadi
Katolik. Ibu Suri menjadi penganut yang sangat saleh dan menyambut kedatangan
para misionaris asing."
"Apakah kesulitan mulai timbul saat para misionaris itu membangun Gereja?"
Tanyaku. "Ya, ketika mereka memilih lokasi Gereja yang menurut penduduk setempat memiliki
feng shui terbaik. Penduduk desa percaya bahwa bayang-bayang yang akan
dilemparkan gedung gereja ke tanah makam leluhur mereka akan mengganggu para
mendiang itu. Orang-orang Katolik juga mencela agama-agama Cina, sehingga
menyinggung penduduk setempat."
"Mengapa orang-orang asing itu tak mau lebih mengerti?"
"Mereka bersikeras bahwa tuhan mereka adalah satu-satunya dewa."
"Rakyat kita takkan pernah mau menerima ini."
"Betul." Pangeran Kung mengangguk. "Perseteruan mulai timbul di antara mereka
yang baru masuk Katolik dan mereka yang mempertahankan kepercayaan lama. Orang-
orang dengan reputasi meragukan, bahkan penjahat, bergabung dengan Katolik.
Banyak sekali yang melakukan kejahatan atas nama dewa mereka."
"Aku yakin itu akan mengarah pada kekerasan."
"Sangat betul. Ketika para misionaris itu mencoba melindungi para penjahat tadi,
penduduk setempat berkumpul hingga mencapai jumlah ribuan. Mereka membakar
gereja-gereja dan membunuh para misionarisnya."
"Apakah karena itu maka traktat-traktat secara jelas mencantumkan bahwa Cina
akan didenda berat bila gagal mengendalikan pemberontakan?"
"Denda-denda itu membuat kita bangkrut."
Sunyi sejenak, dan Pangeran Kung menoleh menatap Kaisar, yang tengah bernapas
dengan dalam. "Kenapa tidak kita suruh saja para misionaris itu pergi?"
tanyaku, dalam hati berharap bahwa aku bisa menahan diri untuk tak melakukan
itu. "Menyuruh mereka untuk kembali kalau keadaan di sini sudah lebih stabil?"
"Yang Mulia melakukan itu. Beliau bahkan sudah memberi tanggal tenggat."
"Apa jawabnya?"
"Ancaman perang."
"Kenapa orang-orang asing itu memaksakan cara-cara mereka pada kita" Sebagai
bangsa Manchu, kita tak memaksakan pandangan kita pada bangsa Cina. Kita tak
menyuruh mereka untuk berhenti mengikat kaki perempuan."
Pangeran Kung tertawa sarkastik. "Bisakah seorang pengemis menuntut untuk
dihormati?" Dia berpaling padaku seakan menunggu jawaban.
Ruangan itu mulai terasa dingin. Aku memerhatikan cangkir-cangkir teh kami diisi
ulang. "Putra Surga sudah dipermainkan," kataku. "Cina dipermainkan.
Setiap orang terlalu malu untuk mengakuinya!"
Pangeran Kung memberi isyarat padaku untuk merendahkan suara.
Pipi Hsien Feng memerah dalam tidurnya. Agaknya dia mulai demam lagi. Napasnya
kini sulit, seolah tak ada cukup udara memasuki paru-parunya.
"Kakakmu percaya pada pa kua - diagram delapan - dan feng shui," kataku pada
Pangeran Kung." Dia percaya bahwa Dewa-dewa melindunginya."
Kung menghirup tehnya. "Setiap orang percaya pada apa yang ingin dipercayainya.
Tetapi kenyataan adalah bagai sebongkah batu dari dasar tumpukan pupuk kandang.
Berbau busuk!" "Bagaimana orang-orang asing itu bisa begitu berkuasa?"
Tanyaku. "Apa yang harus kita pelajari dan mereka?"
"Mengapa kau ingin tahu?" Kung tersenyum. Dia pasti berpikir bahwa ini bukan hal
yang tepat untuk dibicarakan perempuan.
Kukatakan pada Pangeran Kung bahwa Kaisar tertarik untuk mempelajarinya. Dan
bahwa aku bisa membantu. Satu tatapan saling mengerti melintas di antara kami. Agaknya itu masuk akal
baginya. "Ini bukan topik mudah. Tetapi kau bisa mengawalinya dengan membaca
surat-suratku kepada Yang Mulia.
Kita mesti menghindar dan perangkap sikap mengabaikan kenyataan dan ..."
Pangeran Kung mengangkat matanya, lalu tiba-tiba terdiam.
---oOo--- Melalui Pangeran Kung-lah aku mengenal lelaki penting ketiga, jenderal dan
pasukan Utara dan raja muda provinsi Anhwei. Namanya Tseng Kuo-fan.
Aku pertama kali mendengar namanya dari Kaisar. Konon Tseng Kuo-fan adalah
seorang Cina berusia lima puluhan yang berkepala dingin dan setia pada negara.
Dia berasal dan keluarga petani miskin yang pada tahun 1852 ditunjuk untuk
mengomandani pasukan di daerah asalnya, Hunan. Dia terkenal karena metodenya
yang hebat dalam melatih pasukannya. Jenderal ini juga berhasil menaklukkan
benteng Taiping di sungai Yangtze, yang membuat dia mendapat pujian dari Ibu
Kota yang sudah gelisah dan tak sabar. Sang jenderal terus memperkuat anak
buahnya, yang terkenal dengan sebutan Para Pemberani Hunan. Mereka adalah
pasukan tempur yang paling efisien di seluruh Kekaisaran.
Dorongan Pangeran Kung membuat Kaisar menganugerahkan pada Tseng kesempatan
beraudiensi pribadi dengannya.
"Anggrek," panggil Kaisar seraya mengenakan jubah naganya.
"Ikutlah aku pagi ini, beritahu aku apa pendapatmu tentang Tseng."
Kuikuti suamiku ke Balairung Pemeliharaan Jiwa.
Sang jenderal bangkit dan berlutut dan menyambut Yang Mulia.
Aku menangkap bahwa dia terlalu gugup untuk mengangkat mata. Ini memang wajar
dalam setiap audiensi pertama dengan Kaisar, dan lebih sering terjadi pada orang
Cina Han. Karena teramat rendah hatinya, mereka tak percaya bahwa junjungan
mereka tengah menerima kedatangan mereka.
Sebenarnya bukan orang Cina yang kurang percaya diri, melainkan orang Manchu.
Nenek moyang kami memang mungkin saja telah merebut negeri ini dengan kekerasan
dua abad yang lalu, tetapi kami tak pernah menguasai seni memerintah. Kami tiba
tanpa azas apa pun, seperti filsafat Konfusius, yang menyatukan bangsa dengan
moralitas dan spiritualitas, dan tanpa sistem yang dapat secara efektif
memusatkan kekuasaan. Kami juga tak punya bahasa yang memungkinkan Kaisar untuk
berkomunikasi dengan rakyatnya, yang 80 persen Cina Han.
Dengan bijaksana nenek moyang kami telah mengadopsi cara hidup bangsa Cina.
Dalam pandanganku, besar kemungkinannya hal ini tak terhindarkan. Budaya Cina
begitu ramah dan luas sehingga dapat menerima sekaligus melayani kami. Azas-azas
Konfusius tetap mendominasi bangsa. Untuk diriku sendiri, bahasa ibuku adalah
Cina, cara makanku Cina, sekolahku Cina, dan jenis hiburan kesukaanku adalah
opera Peking! Aku menyadari bahwa perasaan superioritas bangsa Manchu telah mengkhianati kami.
Saat ini Manchu sudah sama busuknya dengan kayu yang diserbu rayap. Lelaki-
lelaki Manchu secara umum manja. Mereka sudah tak tahu lagi bagaimana
memenangkan perang seraya mengendarai kuda. Kebanyakan dari mereka bersikap
merugikan diri sendiri. Di balik penampilan luar mereka yang angkuh, sebenarnya
mereka malas dan tak percaya diri. Mereka menciptakan kesulitan untuk suamiku
setiap kali dia ingin menaikkan jabatan seseorang yang memang benar-benar
berbakat, hanya karena orang itu bangsa Cina.
Sedihnya mereka tetap menjadi kekuatan politik yang dominan.
Pendapat mereka memengaruhi Kaisar. Tseng Kuo-fan adalah jenderal terbaik di
seluruh Kekaisaran, tetapi tetap saja Kaisar takut untuk menaikkan jabatannya.
Ini lazim terjadi. Pejabat tinggi Cina mana pun bisa kapan saja mendapati
dirinya mendadak dipecat, dengan pemberitahuan sangat mendadak. Penjelasan tak
pernah diberikan. Pangeran Kung sudah beberapa kali menyarankan kepada Kaisar untuk menghilangkan
semua admistrasi yang diskriminatif. Maksud Kung adalah, kalau Yang Mulia belum
bisa menunjukkan keadilan sejati, dia takkan memperoleh kesetiaan sejati juga.
Jenderal yang termasyhur ini tak percaya bahwa dia dipanggil untuk dihormati.
Dia panik setengah mati saat Yang Mulia mencoba untuk bergurau:
"Apakah namamu 'Tseng Si Pemenggal Kepala'?"
Tseng Kuo-fan membantingkan dahinya ke lantai, gemetaran hebat.
Aku setengah mati mencoba untuk tak tercekikik saat kudengar perhiasan Tseng
berdenting-denting. "Hamba harus dihukum dan mati sepuluh ribu kali dulu sebelum berani mengotori
telinga Yang Mulia dengan nama itu," ujar sang jenderal.
"Tidak, aku tidak marah." Hsien Feng tersenyum." Bangunlah.


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku suka nama itu, Tseng Si Pemenggal Kepala. Maukah kau menjelaskan bagaimana
kau mendapatkannya?"
Menarik napas dalam-dalam, Tseng menjawab, "Yang Mulia, awalnya nama itu
diciptakan oleh musuh-musuh saya, kemudian anak buah saya juga ikut
menggunakannya." "Mestinya anak buahmu sangat bangga bisa bertempur di bawah komandomu."
"Ya, memang begitu, Paduka."
"Kau sudah memuliakanku, Tseng Kuo-fan. Andai aku punya lebih banyak 'pemenggal
kepala' sebagai jenderal!"
Ketika Kaisar Hsien Feng mengundang Tseng untuk makan siang, jenderal itu begitu
terharu sampai menangis. Katanya dia kini bisa mati dengan tenang dan menemui
lelehurnya dengan bangga, karena sudah memberikan kehormatan besar kepada
mereka. Setelah minum sedikit minuman keras, jenderal Tseng jadi lebih santai. Saat aku
diperkenalkan kepadanya sebagai selir kesayangan Kaisar, Tseng jatuh berlutut
dan membungkuk kepadaku. Aku sangat tersanjung. Bertahun-tahun kemudian, setelah
kematian suamiku, ketika aku dan Tseng Kuofan sudah sama-sama tua, kutanyakan
padanya apa pikirannya tentangku saat kami pertama kali bertemu.
Dia memujiku, mengatakan bahwa dia terpesona oleh kecantikanku dan tak bisa
berpikir sama sekali. Dia menanyakan apakah aku ingat bahwa saat itu dia meminum
semangkuk air kotor - air yang kami gunakan untuk mencuci jari seusai makan.
Aku gembira karena Kaisar Hsien Feng bersedia memperkenalkanku kepada teman-temannya. Di mata mereka aku memang masih tetap
hanya seorang selir, meskipun kesayangan; tetapi bagaimanapun perkenalan seperti
itu sangat penting bagi perkembangan politik serta kematanganku. Mengenal secara
pribadi seseorang seperti Tseng Kuo-fan akan sangat bermanfaat bagiku di masa
depan. Selagi aku mendengarkan percakapan di antara Kaisar Hsien Feng dan si jenderal,
aku diingatkan kepada hari-hari termanis masa kecilku, ketika Ayah menceritakan
dongeng-dongeng tentang masa silam Cina.
"Kau sendiri adalah seorang sarjana," kata Hsien Feng pada Tseng. "Kudengar kau
lebih suka merekrut perwira yang terpelajar."
"Paduka, saya percaya bahwa siapa pun yang telah belajar ajaran Konfusius punya
pemahaman yang lebih baik tentang kesetiaan dan keadilan."
"Aku juga mendengar bahwa kau tak mau merekrut mantan serdadu. Mengapa?"
"Yah - dari pengalaman, saya mendapati bahwa prajurit profesional memiliki
kebiasaan buruk. Pikiran pertama mereka ketika perang
mulai adalah menyelamatkan diri sendiri. Mereka meninggalkan pos mereka tanpa malu-malu!"
"Bagaimana kau merekrut prajurit yang bermutu?"
"Saya menghabiskan banyak uang untuk merekrut petani dari daerah miskin dan
pegunungan yang jauh. Orang-orang ini memiliki karakter yang lebih murni. Saya
sendiri yang melatih mereka. Saya mencoba menumbuhkan perasaan bersaudara."
"Kudengar banyak di antara mereka berasal dari Hunan."
"Ya. Saya sendiri orang Hunan. Mudah bagi mereka untuk merasakan pertalian
dengan saya atau dengan anggota pasukan yang lain. Kami bicara dalam dialek yang
sama. Seperti dalam satu keluarga besar."
"Dan kaulah ayah mereka, tentu saja."
Tseng Kuo-fan tersenyum, bangga sekaligus malu.
Kaisar Hsien Feng mengangguk. "Orang melaporkan kepadaku bahwa kau melengkapi
pasukanmu dengan persenjataan canggih - lebih baik daripada tentara Istana.
Benarkah begitu?" Tseng Kuo-fan bangkit dari kursinya, mengangkat jubahnya dan berlutut. "Benar.
Bagaimanapun, amatlah penting bahwa Yang Mulia memandang saya sebagai bagian
dari tentara Kekaisaran. Saya tak mungkin dipandang sebagai sesuatu selain itu."
Dia membungkuk dan tetap di lantai untuk menekankan maksudnya.
"Bangkitlah," kata Kaisar Hsien Feng. "Biarkan aku menyusun kembali kalimatku
agar tak ada kesalahpahaman. Maksudku adalah, tentara Kekaisaran, terutama
divisi yang dikomandani oleh jenderal Manchu, telah menjadi sepanci belatung
belaka. Mereka mengisap darah Wangsa ini dan tak menyumbangkan apa pun. Itulah
sebabnya aku sengaja meluangkan waktu untuk mempelajari tentang dirimu."
"Ya, Yang Mulia." Tseng Kuo-fan bangkit dan kembali ke kursinya. "Saya percaya
bahwa amat penting untuk mempersenjatai pula pikiran para prajurit itu."
"Maksudmu?" "Para petani tak dilatih untuk bertempur sebelum mereka menjadi prajurit.
Seperti orang kebanyakan, mereka tak tahan melihat darah. Hukuman takkan
mengubah sifat ini, tetapi ada cara-cara lain.
Saya tak bisa membiarkan prajurit saya terbiasa dikalahkan."
"Aku mengerti. Aku sendiri juga terbiasa dikalahkan," kata Kaisar dengan
sesungging senyum sarkastis.
Aku dan Tseng Kuo-fan tak begitu yakin apakah Kaisar hanya becanda atau benar-
benar mengungkapkan perasaannya. Sumpit Tseng membeku di depan mulutnya yang
terbuka. "Aku menanggung malu yang tak tertanggungkan itu," kata Kaisar, seakan
menjelaskan. "Bedanya adalah, aku tak mungkin desersi."
Sang jenderal terpengaruh oleh kesedihan Kaisar. Sekali lagi dia berlutut. "Saya
bersumpah demi hidup saya, akan mengembalikan kehormatan Paduka lagi, Yang
Mulia. Pasukan saya rela mati untuk Dinasti Ch'ing."
Kaisar bangkit dari kursinya dan membantu Tseng Kuo-fan berdiri.
"Seberapa besar kekuatan pasukan yang ada di bawah komandomu?"
"Saya memiliki 13 divisi angkatan darat dan 13 divisi angkatan laut, ditambah
pasukan daerah. Setiap divisi memiliki 500 orang."
Duduk mendengarkan audiensi seperti ini, aku memasuki impian Kaisar. Bekerja
bersama, kami menjadi sahabat sejati, juga kekasih, dan sesuatu yang lebih dari
itu. Berita buruk terus berdatangan, tetapi Hsien Feng sudah cukup tenang untuk
menghadapi kesulitan ini.
Depresinya belum hilang, tetapi perubahan cuaca hatinya berkurang kadar
kedramatisannya. Dia sedang berada dalam masa terbaiknya selama kurun waktu ini,
betapa pun singkatnya. Aku rindu dia saat pekerjaan menjauhkannya dariku. []
Tiga belas SAYA MENDENGAR DETAK YANG MENJANJIKAN." Suara dokter Sun Pao-tien terdengar dari
balik tirai. "Ini artinya Anda mempunyai sheemai."
"Sheemai itu apa?" Aku bertanya gugup. Tirai ini memisahkan aku dan dokter itu.
Berbaring di atas tempat tidurku, aku tak bisa menatap wajah si dokter, hanya
bayang-bayangnya yang dipantulkan lilin ke atas tirai. Aku melotot memandang
tangannya yang berada di dalam tirai, menepam pergelangan tanganku, dengan jari
tengah dan telunjuk menekan ringan. Tangan itu tampak halus, rapuh, dengan jari
jemari yang luar biasa panjang dan menebarkan aroma samar obat-obatan herbal.
Karena selain Kaisar tak seorang lelaki pun boleh melihat wanita-wanita Kota
Terlarang, dokter Istana mendasarkan diagnosisnya pada denyut nadi pasiennya.
Aku ingin tahu apa yang bisa diperiksanya kalau tirai ini menghalangi pandangan,
tetapi ternyata selama ribuan tahun denyut nadi saja sudah bisa membantu tabib-
tabib Cina untuk mendeteksi masalah dalam tubuh pasien. Dokter Sun Pao-tien
adalah tabib terbaik di seluruh negeri. Keluarganya telah menjadi dokter selama
lima generasi. Dia terkenal karena telah menemukan batu sebesar biji persik
dalam usus Ibu Suri Jin. Kesakitan luar biasa, Ibu Suri tak memercayai si
dokter, tetapi mau meminum obat-obatan herbal yang diresepkannya. Tiga bulan
kemudian seorang pelayan menemukan batu itu dalam pispot Ibu Suri.
Suara Dokter Sun Pao-tien lembut dan halus. " Shee berarti
'kebahagiaan' dan mai berarti 'denyut.' Sheemai - denyut kebahagiaan. Putri Yehonala, Anda hamil."
Sebelum otakku bisa memahami kata-katanya, Dokter Sun Pao-tien sudah menarik
tangannya. "Maaf, sebentar!" aku duduk, meraih hendak membuka tirai.
Untung saja An-te-hai sudah menjepitnya baik-baik. Aku tak begitu yakin bahwa
aku benar-benar sudah mendengar kata 'hamil.' Aku sudah berminggu-minggu mual
dan muntah di pagi hari, tetapi aku tak bisa memercayai pendengaranku.
"An-te-hai!" pekikku. "Kembalikan tangan dokter itu ke sini!"
Setelah gerakan-gerakan sibuk di sisi tirai sebelah sana, bayang-bayang dokter
itu kembali. Beberapa kasim menuntun dia ke kursi dan tangannya didorong masuk.
Jelas bahwa dia tak senang, tangannya tergeletak di sisi tempat tidurku dengan
jari-jari tertekuk ke dalam, seperti seekor laba-laba yang mau merayap. Aku tak
peduli. Aku ingin mendengar kata 'hamil' itu lagi. Kuambil tangannya dan
kuletakkan di pergelanganku. "Tolonglah, Dokter, pastikan lagi," mohonku.
"Sukses menguasai setiap tempat di tubuh Anda," suara Dokter Sun Pao-tien
tenang, setiap kata diucapkan dengan jelas. "Pembuluh darah dan arteri Anda
bercahaya. Elemen-elemen yang indah menyelimuti bukit dan lembah Anda..."
"Ha" Apa maksudnya?" kugoncangkan tangan itu.
Bayangan An-te-hai menyatu dengan bayang-bayang si dokter.
Diterjemahkannya kata-kata si dokter untukku. Kegairahan jelas mewarnai
suaranya. "Gusti Putri, benih sang naga telah berkembang!"
Kulepaskan tangan dokter Sun Pao-tien, tak sabaran menunggu An-te-hai melepaskan
jepitan tirai. Kuucapkan terima kasih pada Langit atas karunianya. Sepanjang
hari itu aku makan nyaris tanpa berhenti. An-te-hai begtu gembira hingga lupa
memberi makan burung-burungnya. Dia pergi ke kolam ikan Istana untuk meminta
seember penuh ikan. "Ayo kita rayakan, Gusti Putri," katanya ketika kembali.
Kami membawa ikan-ikan itu ke danau. Satu demi satu kubebaskan ikan itu. Ritual
ini, disebut fang sheng, adalah ungkapan rasa syukur. Setiap ekor ikan yang
kuberi kesempatan hidup menambahkan satu perbuatan baik ke dalam amalku.
Keesokan paginya aku terbangun karena suara musik di keluasan langit akhir musim
panas. Musik itu datang dari merpati-merpati An-te-hai, yang terbang melingkar
di atas atap puriku. Suara peluit itu mengingatkanku pada Wuhu, tempat dulu aku
membuat peluit-peluit serupa dan gelagah, yang kuikatkan pada burung-burungku,
juga pada layangan. Tergantung dari ketebalannya, gelagah-gelagah itu akan
mengeluarkan suara yang berbeda. Seorang penduduk desa yang sudah tua
mengikatkan dua lusin peluit pada sebuah layangan besar. Dia mengatur peluit-
peluit itu sedemikian rupa hingga mereka menghasilkan nada-nada sebuah lagu
rakyat populer. Aku bangkit, pergi ke taman dan disambut oleh burung-burung merak. An-te-hai
sedang sibuk memberi makan si nuri, Konfusius.
Burung itu sedang mencoba sebuah kalimat yang baru dipelajarinya:
"Selamat, Gusti Putri!" Aku senang sekali. Anggrek di sekitar pekarangan
tertutup masih tetap berbunga. Batang-batang panjang dan anggun dan bunga-bunga
itu melengkung sedikit, daun-daunnya seperti penari yang mengebaskan lengan baju
mereka. Kelopak putih dan biru terentang keluar seolah mencium cahaya matahari.
Bagian tengah berwarna hitam dan anggrek-anggrek itu mengingatkanku pada mata si
Salju. An-te-hai berkata bahwa Dokter Sun Pao-tien menyarankan agar aku merahasiakan
kehamilanku hingga usianya tiga bulan. Aku menuruti nasihatnya. Kapan saja
mungkin aku menyibukkan diri di taman. Saat-saat yang manis ini membuatku rindu
pada keluargaku. Aku disiksa hasrat berbagi berita ini dengan Ibu.
Walaupun aku merahasiakannya, tak lama semua istri dan selir Kaisar dan semua
Istana sudah tahu tentang kehamilanku. Aku dihujani bunga, ukiran kumala, dan
jimat nasib baik dari kertas. Setiap selir berusaha untuk mengunjungiku. Mereka
yang tengah sakit mengirimkan kasim mereka dengan lebih banyak lagi hadiah.
Di ruanganku hadiah-hadiah itu menumpuk hingga ke langit-langit. Tetapi di balik
wajah-wajah tersenyum itu tersembunyi rasa iri dan cemburu. Mata-mata yang
bengkak adalah saksi dari tangisan dan malam-malam tanpa tidur lelap. Aku tahu
persis bagaimana perasaan semua selir itu. Kuingat reaksiku sendiri terhadap
kehamilan Putri Yun. Aku dulu tak mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi terhadap Putri Yun, tetapi
aku juga tak mendoakan yang baik baginya. Diam-diam aku lega ketika Nuharoo
memberitahuku bahwa Putri Yun melahirkan anak perempuan, bukan lelaki.
Aku tak menanti-nanti apa yang akan terjadi kepadaku. Aku takut berbagai
perangkap akan dibuat untukku. Sungguh wajar jika selir-selir yang lain
membenciku. Saat perutku mulai membesar, ketakutanku bertambah.
Sekarang aku makan sedikit saja, takut diracuni. Aku bermimpi tentang si Salju,
badannya yang tak berbulu mengambang di dalam sumur. An-te-hai memperingatkanku
untuk berhati-hati setiap kali aku meminum semangkuk sup atau berjalan-jalan di
taman. Dia yakin bahwa saingan-sainganku telah menyuruh kasim-kasim mereka untuk
meletakkan batu-batu lepas atau menggali lubang di jalan setapakku untuk
membuatku tersandung jatuh. Saat kukatakan bahwa dia berlebihan, An-te-hai
menceritakan tentang seorang selir cemburu yang menyuruh kasimnya memecahkan
sebuah genting di atap istana saingannya agar genting itu merosot jatuh dan
menimpa kepala si saingan - dan persis itulah yang terjadi!
Sebelum aku masuk ke tanduku, An-te-hai selalu memeriksa lebih dahulu kalau-
kalau ada jarum yang tersembunyi di dalam bantal-bantalku. Dia yakin sekali
bahwa saingan-sainganku akan melakukan apa saja untuk mengagetkanku sampai
keguguran. Aku mengerti apa yang menimbulkan kekejaman serupa itu, tetapi aku takkan pernah
bisa memaafkan siapa pun yang mencoba untuk menghancurkan anakku. Kalau aku
melahirkan dengan selamat, statusku akan terangkat tinggi di atas yang lain.
Namaku akan masuk ke dalam Buku Catatan Kekaisaran. Kalau bayi ini lelaki, maka
aku akan naik ke kedudukan Permaisuri, berbagi gelar itu bersama Nuharoo.
Malam sudah larut, aku dan Yang Mulia Kaisar berbaring saling bersisian. Dia
sangat gembira sejak tahu bahwa aku hamil. Kami menghabiskan malam demi malam di
Istana Kecantikan Yang Tak Terlarai, di sebelah utara dari Balairung
Pemeliharaan Jiwa. Aku tidur lebih tenang di istanaku sendiri, karena tak ada
seorang pun yang datang membangunkan kami untuk membicarakan masalah mendesak.
Yang Mulia tinggal di kedua istana ini, tergantung dari berapa lama pekerjaannya
menahan dia. Peringatan-peringatan An-tehai membuatku terganggu, dan kuminta
Yang Mulia untuk menambah jumlah pengawal yang berpatroli di gerbangku. "Hanya
untuk berjaga-jaga saja," kataku. "Aku akan merasa lebih aman."
Yang Mulia mendesah. "Anggrek, kau menghancurkan sebuah impianku."
Aku kaget mendengarnya dan mendesak Yang Mulia agar menjelaskan.
"Impian-impianku untuk membangun Cina yang makmur sudah berkali-kali
dihancurkan. Makin lama aku makin tak bisa berbuat lain kecuali meragukan
kemampuanku sebagai pemimpin. Tetapi kekuasaanku tak mendapat perlawanan apa pun
di Kota Terlarang. Para selir dan kasim adalah rakyatku yang penurut. Tak ada kebingungan di sini.
Aku mengharapkan kalian untuk mencintaiku, dan saling mencintai satu sama lain.
Terutama aku mengharapkan kerukunan antara kau dan Nuharoo. Kota Terlarang
adalah puisi dalam bentuknya yang paling murni. Inilah taman spiritualku, tempat
aku bisa berbaring di antara bunga-bungaku dan beristirahat."
Tetapi apakah mungkin untuk mencintai di sini" Udara di taman ini telah sangat
lama teracuni. "Sore yang indah itu, ketika kau dan Nuharoo berjalan-jalan bersama di taman,"
ujar Yang Mulia dengan nada melamun. "Aku ingat betul hari itu. Kalian membawa
cahaya matahari terbenam, berdua mengenakan gaun musim semi yang sama, memetik
bunga-bungaan. Dengan sepelukan penuh bunga kalian berjalan menghampiriku, tersenyum dan
mengobrol seperti kakak-adik. Semua itu membuatku lupa pada kesulitan-
kesulitanku. Yang kuinginkan hanya mencium bunga-bunga di tangan kalian..."
Aku berharap bisa memberitahunya bahwa aku tak pernah menjadi bagian dari hal
itu. Khayalannya tentang keindahan dan kerukunan itu tak pernah ada. Dia sudah
menjalinkan aku dan Nuharoo ke dalam khayalannya. Nuharoo dan aku mungkin saja
bisa saling sayang serta berteman, kalau saja kelangsungan hidup kami tak
tergantung pada kasih sayang dari Yang Mulia.
"Akhir-akhir ini, kalau aku melihat sesuatu yang indah aku ingin membekukannya."
Sembari bangkit dari bantal, Yang Mulia menoleh padaku dan bertanya. "Kau dan
Nuharoo saling menyayangi sebelum ini - mengapa


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang tidak" Mengapa kalian harus menghancurkannya?" Pada usia kandunganku yang ketiga bulan, peramal Istana diperintahkan untuk
mengadakan pa kua. Tongkat kayu, logam, dan emas dilemparkan ke atas lantai
marmer. Sebuah ember berisi darah dari beberapa hewan dibawa masuk. Air dan
pasir yang diwarnai disebarkan di dinding untuk membuat lukisan. Para peramal
bersimpuh dalam jubah hitam mereka yang berpola bintang. Dengan hidung nyaris
menyentuh lantai mereka mempelajari tongkat-tongkat tadi serta bentuk-bentuk
samar di dinding. Akhirnya mereka mengatakan bahwa anak dalam rahimku memiliki
keseimbangan yang baik antara elemen emas, kayu, air, api dan tanah.
Ritual ini terus berlanjut. Tak seperti para peramal di pedesaan, para peramal
Istana menghindar untuk mengatakan dengan jelas apa yang sebenarnya mereka
lihat. Aku sadar bahwa apa pun yang dikatakan ditujukan untuk menyenangkan hati
Kaisar, yang akan memberikan hadiah. Berusaha agar tampak sibuk, para peramal
itu menari di sekitar dinding-dinding yang dilukisi sepanjang hari. Pada malam
hari mereka duduk dalam lingkaran dan memutar-mutar bola mata mereka. Aku
mencari-cari alasan, lalu pergi. Untuk menghukumku, para peramal menyampaikan
ramalan seram kepada Ibu Suri: bahwa kalau aku tak berbaring dengan benar-benar
tenang setelah matahari terbenam, dengan kedua kakiku diangkat, aku akan
kehilangan bayi ini. Aku diikat ke tempat tidurku, dan bangku-bangku pendek
diletakkan di bawah kakiku. Aku jengkel sekali tetapi tak bisa berbuat apa pun.
Ibu mertuaku amat percaya pada astrologi pa kua.
"Gusti Putri," tanya An-te-hai, sadar bahwa suasana hatiku sedang masam, "karena
Anda punya waktu lebih, maukah Anda belajar sedikit tentang pa kua" Anda akan
bisa mengetahui apakah bayi Anda termasuk tipe gunung atau lautan."
Seperti biasanya, An-te-hai selalu tahu apa yang kubutuhkan.
Dia membawakanku seorang ahli, "yang paling terkenal di Peking,"
kata kasimku. "Dia bisa melalui semua gerbang karena saya samarkan menjadi
tukang sampah." Bertiga mengunci diri dalam kamarku, orang ini - yang hanya memiliki satu mata -
membaca lukisan pasir yang dibuatnya di atas sebuah baki. Yang dikatakannya
membuatku bingung dan aku berusaha keras untuk mengerti. " Pa kua takkan
berfungsi kalau dijelaskan," katanya. "Filsafatnya ada pada apa yang dirasakan."
Ante-hai tak sabaran dan meminta si peramal untuk "langsung ke pokok persoalan."
Si ahli segera berubah menjadi peramal desa, mengatakan kepadaku bahwa ada
kemungkinan yang sangat besar bayiku laki - laki.
Setelah itu aku kehilangan minat untuk mendengarkan lebih lanjut tentang pa kua.
Ramalan tadi membuat jantungku berdetak cepat. Aku berhasil mengendalikan diri
dan duduk dengan tenang, menyuruh si peramal untuk melanjutkan.
"Saya lihat segala yang dimiliki anak ini serba sempurna, kecuali bahwa ada
terlalu banyak elemen metal, yang artinya dia akan keras kepala." Si peramal
membalik-balik batu dan tongkat yang disebarkannya di atas baki. "Kualitas
terbaik anak ini adalah besar kemungkinan dia akan mengejar angan-angannya
sampai dapat." Pada titik ini si peramal berhenti. Diangkatnya dagu ke arah langit-langit,
alisnya bergerak-gerak cepat. Dia memencet hidungnya dan mengedip. Serpihan
kekuningan rontok dan rongga sebelah matanya yang kosong. Dia berhenti bicara.
An-te-hai bergerak mendekat. "Ini hadiah untuk kejujuranmu,"
Kata kasimku itu, meletakkan sebuah kantung uang di dalam lengan baju lebar si
peramal. "Sisi gelapnya," si peramal mendadak meneruskan, "adalah bahwa kelahirannya di
dunia ini akan memberikan sebuah kutukan pada seorang anggota keluarga dekat."
"Kutukan" Kutukan apa?" tanya An-te-hai sebelum aku sempat angkat bicara. "Apa
yang akan terjadi pada anggota keluarga ini?"
"Wanita itu akan meninggal," si peramal menyahut.
Aku menghela napas dan bertanya mengapa wanita. Si peramal tak bisa menjawab dan
hanya dapat mengatakan kepadaku bahwa dia telah membaca tanda-tandanya.
Aku memohon diberi petunjuk. "Apakah wanita itu aku" Apakah aku akan mati ketika
melahirkan?" Si peramal menggeleng dan mengatakan bahwa gambaran yang dia dapat kali ini tak
jelas. Dia tak bisa mengatakan apa-apa lagi kepadaku.
---oOo--- Setelah si pria bermata satu pergi aku mencoba melupakan ramalan itu. Kukatakan
pada diriku sendiri bahwa peramal itu tak bisa membuktikan kata-katanya. Tidak
seperti Nuharoo, yang penganut Buddha taat, aku tidak religius dan tak pernah menganggap serius
takhayul. Tampaknya setiap orang di Kota Terlarang terobsesi oleh cerita-cerita
tentang hidup sesudah mati, dan menanamkan semua harapan mereka di dunia lain
ini. Para kasim mengobrol tentang lahir kembali dengan "utuh," para selir
mengidamkan memiliki suami serta anak-anak sendiri. Hidup sesudah mati adalah
bagian dari pelajaran agama Buddha yang diterima Nuharoo. Dia cukup ahli tentang
apa saja yang akan terjadi terhadap kita di akhirat nanti. Menurut Nuharoo,
setelah kita mencapai akhirat, maka setiap orang akan ditanyai dan dihakimi.
Mereka yang hidupnya dipenuhi dosa akan dikirim ke Neraka, tempat mereka
direbus, digoreng, digergaji, atau dicincang kecil-kecil. Mereka yang tak
berdosa akan memulai hidup yang baru di bumi. Akan tetapi tak setiap orang
dilahirkan kembali menjalani hidup yang mereka inginkan. Yang beruntung akan
dilahirkan kembali sebagai manusia, yang sial menjadi binatang - anjing, babi,
kutu. Para selir di Kota Terlarang, terutama yang senior, sangat percaya takhayul.
Selain mengukir yoo-hoo-loo dan membaca wirid, mereka menghabiskan waktu dengan
mempelajari ilmu sihir. Untuk mereka, mengimani hidup sesudah mati saja sudah
merupakan senjata tersendiri. Mereka memerlukan senjata ini untuk melemparkan
kutukan pada saingan mereka, dan benar-benar sangat kreatif dalam menciptakan
berbagai nasib buruk yang ingin mereka timpakan pada si saingan.
Nuharoo memperlihatkan sebuah buku berjudul Takwim Hantu-hantu Cina kepadaku,
yang ilustrasinya sangat jelas dan ganjil. Aku cukup kenal dengan materinya. Aku
sudah mendengar setiap cerita yang ada di dalamnya dan pernah melihat sebuah
buku salinan tangan serupa itu, di Wuhu.
Buku itu digunakan oleh para pendongeng di kampung. Nuharoo sangat terpesona
pada cerita Sepatu Sulam Merah, sebuah cerita tua tentang sepasang sepatu yang
dikenakan sesosok hantu. Sebagai seorang anak dulu aku kerap menyaksikan peramal memberikan ramalan salah
yang menghancurkan hidup orang.
Bagaimanapun, An-tehai tak mau mengambil risiko. Aku tahu dia takut
"wanita" yang bernasib sial itu adalah aku.
Selama beberapa hari berikutnya kekhawatirannya berkembang terus. Dia menjadi
begitu melodramatisnya sampai kelihatan tolol.
"Setiap hari bisa saja menjadi hari terakhir Anda," gumamnya suatu pagi.
Dilayaninya aku dengan hati-hati, mengamati setiap gerakanku.
Dia mengendus udara bagaikan seekor anjing, dan menolak menutup mata di malam
hari. Ketika aku tidur siang, dia meninggalkan kota terlarang dan saat kembali
dia melapor bahwa dia sudah menghabiskan waktu dengan para bujangan tua di
kampung. Dengan menawarkan uang, dia meminta para bujangan itu untuk mengadopsi
bayiku yang belum lahir ini.
Aku bertanya mengapa dia melakukan itu.
An-te-hai menjelaskan bahwa karena anakku akan membawa kutukan, tugas kamilah
untuk menyebarkan kutukan itu kepada orang lain. Menurut Buku tentang Takhayul,
apabila cukup banyak orang yang menanggungkan kutukan itu, maka kekuatannya akan
hilang. "Para bujangan itu sangat ingin mendapat pewaris untuk meneruskan nama keluarga
mereka," kata kasimku. "Jangan khawatir, Gusti Putri.
Saya tak membocorkan siapa anak itu, dan adopsi itu hanya berupa kontrak lisan
saja." Aku memuji kesetiaan An-te-hai dan menyuruhnya berhenti.
Tetapi dia tidak mau. Keesokan harinya aku melihat dia membungkuk pada seekor
anjing pincang yang melewati taman. Hari lain dia berlutut dan melakukan kowtow
pada seekor babi yang terikat macam bungkusan yang akan dikorbankan di Kuil.
"Kita harus melepaskan kutukan itu," kata An-te-hai.
"Menghormati anjing itu berarti kita mengakui bahwa dia menderita.
Seseorang telah memukuli dan mematahkan tulang-tulangnya.
Binatang seperti itu akan bisa menjadi pengganti, mengurangi kekuatan kutukan,
kalaupun tidak mengalihkannya kepada orang lain." Setelah babi itu disembelih,
An-te-hai percaya bahwa aku akan dilepaskan, karena aku, dalam bentuk si babi,
telah berubah menjadi hantu.
---oOo--- Suatu hari, pagi-pagi sekali sebuah berita pecah di rumah tangga Istana: Ibu
Suri Jin telah meninggal dunia.
An-te-hai dan aku mau tak mau berkesimpulan bahwa ini pasti ada hubungannya
dengan pa kua. Sebuah peristiwa aneh lain terjadi pagi itu. Kotak kaca jam di
Balairung Pemeliharaan Jiwa hancur berkeping-keping ketika jam itu berdentang
sembilan kali. Peramal istana mengatakan bahwa kematian Ibu Suri disebabkan oleh
semangatnya yang terlalu tinggi untuk memanjangkan usianya.
Ibu Suri sangat menyukai angka sembilan. Dirayakannya ulang tahunnya yang ke-49
dengan membungkus tempat tidurnya dengan tali merah dan seprai sutra yang
disulami 49 angka 9 dalam huruf Cina.
"Ibu Suri memang sakit, tetapi tidak diperkirakan akan meninggal, sampai beliau
terlalu diberatkan oleh semua angka 9 itu,"
kata si peramal. Saat tanduku tiba di Istana Ibu Suri, jenazahnya telah dimandikan. Dia
dipindahkan dari kamar tidurnya ke lin chuang, sebuah "ranjang arwah" berbentuk
perahu. Kaki Ibu Suri diikat dengan benang merah, dan dia didandani dengan jubah
resmi berwarna perak yang disulami berbagai jenis simbol. Roda-roda
keberuntungan, yang mewakili azas alam semesta; kerang laut, yang dengannya
orang bisa mendengar suara sang Buddha; payung kertas minyak yang melindungi
musim dari banjir dan kekeringan; botol-botol kecil yang berisi cairan sihir dan
kebijakan; lotus, melambangkan generasi demi generasi perdamaian; ikan mas untuk
keseimbangan dan keanggunan; dan akhirnya, simbol mata angin, yang mewakili
ketakterbatasan. Sehelai kain keemasan yang dipenuhi ayat-ayat agama Buddha membungkus Ibu Suri
dari dada hingga kaki. Sebuah cermin sebesar telapak tangan dengan pegangan yang panjang diketakkan di
samping Ibu Suri. Ini untuk melindungi si mati dari gangguan hantu-hantu jahat.
Cermin itu akan memantulkan bayangan wajah hantu-hantu itu sendiri. Karena
kebanyakan hantu tak tahu tampang mereka sendiri, mereka biasanya mengharap akan
melihat wajah seperti yang mereka punya semasa hidup. Padahal hal-hal buruk yang
mereka lakukan di masa silam sudah mengubah mereka menjadi jerangkong, monster
buruk rupa, atau malah lebih jelek lagi. Cermin tadi akan membuat mereka
terkejut dan mundur. Kepala Ibu Suri tampak seperti sebongkah adonan besar gara-gara semua lapisan
bedak di wajahnya. Kata An-te-hai pada hari-hari terakhirnya, bisul tumbuh di
sekujur wajah Ibu Suri. Dalam catatan mereka, para dokter menulis bahwa "kuncup"
di tubuh Ibu Suri telah "mekar" dan menghasilkan "nektar." Bisul-bisul itu berwarna hitam dan hijau,
macam kentang busuk yang mengeluarkan tunas. Seluruh Kota Terlarang berbisik-
bisik bahwa ini pastilah pekerjaan mantan saingannya dulu, Pemaisuri Chu An.
Wajah Ibu Suri dihaluskan dan ditambal dengan bedak dan mutiara yang
dihancurkan. Meski begitu, kalau seseorang melihat dari dekat, dia masih akan
bisa melihat benjolan-benjolan itu. Di samping kanan kepala Ibu Suri ada sebuah
baki berisi mangkuk keramik keemasan. Mangkuk ini berisi makanan duniawi
terakhirnya, nasi. Di sebelah kiri berdiri sebuah lampu minyak, si "cahaya
abadi." Aku pergi bersama Nuharoo dan istri Kaisar Hsien Feng lainnya untuk menengok
jenazah. Kami semua mengenakan jubah sutra putih.
Nuharoo mengenakan tata rias, tetapi titik merah di bibirnya tak hadir.
Tangisnya meledak saat melihat Ibu Suri. Nuharoo menarik sehelai renda dari
rambutnya dan menggigitnya untuk menahan emosi. Aku terharu melihat kesedihannya
dan mengulurkan tanganku. Kami berdiri berdampingan di hadapan Ibu Suri.
Sekelompok peratap tiba. Mereka menangis dalam berbagai gaya, suaranya lebih
seperti nyanyian daripada tangisan - mengingatkanku akan musik terpatah-patah
orkes kampung. Mungkin itu menggambarkan perasaanku - aku merasa baru terbebaskan
dari kutukan itu. Suasana hatiku lebih ringan kini dan aku merasa tidak terlalu
sedih. Ibu Suri tak pernah menyukaiku. Dia berkata terus terang saat tahu aku hamil,
bahwa dia berharap berita itu datang dari Nuharoo, bukan aku. Dia yakin aku
telah mencuri Kaisar Hsien Feng dari Nuharoo.
Aku ingat terakhir kali aku bertemu Ibu Suri. Kesehatannya menurun terus tetapi
dia menolak untuk mengakuinya. Mengabaikan fakta bahwa setiap orang tahu tentang
batu sebesar biji persik itu, dia mengatakan bahwa kesehatannya tak pernah
begini bagus. Dia melimpahi dokter-dokter yang berbohong kepadanya, menjamin
bahwa dia akan panjang umur, dengan hadiah-hadiah. Namun tubuhnya menunjukkan
sebaliknya. Ketika dia mengacungkan jari ke arahku dan mencoba mengatakan bahwa
aku ini jahat, tangannya gemetar. Dia tampak seperti sudah siap untuk
menyerangku. Dia berusaha melawan gemetarannya. Akhirnya dia jatuh terduduk dan
tak dapat duduk tegak tanpa bantuan para kasim. Tetapi itu tak mencegahnya untuk
mengutukku. "Dasar buta huruf!" jeritnya. Aku tak mengerti mengapa dia memilih
makian itu. Tak ada di antara istri lainnya - kecuali mungkin Nuharoo - yang lebih
mahir membaca daripada aku.
Aku mencoba menghindar menatap mata dingin dan mati Ibu Suri. Aku melihat ke
atas alisnya ketika aku harus menghadapinya.
Dahinya yang lebar dan penuh kerut mengingatkanku akan sebuah lukisan tentang
Gurun Gobi. Lipatan-lipatan kulit menggelambir dan pipinya. Giginya yang ompong
di sebelah kanan membuat wajahnya melesak seperti semangka busuk.
Ibu Suri sangat menyukai magnolia. Saat sedang sakit sekalipun, dia mengenakan
baju bersulam bunga magnolia merah jambu besar menutupi setiap inci dari gaun
itu. "Magnolia" adalah nama kecil Ibu Suri. Aku hampir tak percaya bahwa dulu
dia pernah memikat hati Kaisar Tao Kuang.
Mengerikan sekali bagaimana seorang wanita bisa beranjak tua.
Apakah ada yang bisa membayangkan bagaimana wajahku kelak saat aku mati"
Ibu Suri memekik padaku hari itu, "jangan mengkhawatirkan kecantikanmu.
Khawatirlah soal pemancungan kepalamu!" Kata-kata itu dipaksakan keluar dari
dadanya saat dia berjuang menarik napas.
"Biar kuberitahu apa yang kukhawatirkan sejak hari pertama aku menjadi selir
Kaisar! Aku akan terus khawatir sampai aku mati!"
berjuang untuk mempertahankan kendali dirinya, dia bangkit dengan dibantu para
kasim. Dengan kedua lengan teracung di udara dia tampak seperti burung hering
yang merentangkan sayap di ujung sebuah tebing.
Kami tak berani bergerak. Para menantu - Nuharoo, para putri; Yun, Li, Kei, dan
Hui, juga aku - menahankan amukannya dan menunggu saat dia akan melepaskan kami
pergi. "Pernahkah kalian mendengar cerita dari negeri nun jauh tempat mata orang tampak
seperti habis diberi pemutih dan rambutnya sewarna dengan jerami?" Ibu Suri
menyipitkan mata. Guratan di keningnya berubah, dan bukit-bukit berbaris menjadi
lembah-lembah dalam. "Seisi keluarga Raja dibantai setelah kekaisarannya
dijatuhkan. Semuanya, termasuk bayi-bayi!"
Melihat bahwa kata-katanya telah mengejutkan kami, Ibu Suri tampak puas. "Kalian
orang kampung buta huruf!" pekiknya. Tiba-tiba tenggorokannya mengeluarkan
serangkaian bunyi: " Ohhhhh, wa!
Ohhhhh, wa! Aku memerlukan waktu beberapa saat untuk menyadari bahwa dia tengah
tertawa. Ohhhhh, wa! Rasa takut menyiksa dan membuat kalian bertingkah laku
sopan. Kalian tak akan bisa mendapat keabadian tanpa itu, dan tugasku adalah
menanamkan ketakutan pada diri kalian! Ohhhh, wa! Ohhhh, wa! "
Aku masih bisa mendengar suara tawa itu. Aku penasaran apa yang akan dikatakan
Ibu Suri bila dia tahu bahwa dirinya adalah korban dari anakku, kutukan yang
dibawa cucunya. Aku merasa beruntung Ibu Suri menganggapku buta huruf. Dia pasti
akan memerintahkan agar aku dipenggal kalau dia melihat kehausanku akan
pengetahuan, atau kalau dia mau repot-repot menyusun sumber kutukan.
Memerhatikannya di ranjang arwahnya, aku merasa agak menyesal. Aku tak melihat
rasa simpati dalam diri yang lain, kecuali pada Nuharoo. Air muka yang tampak
pada yang lain seperti kayu saja. Para kasim baru saja selesai membakar kertas
jerami di balairung, dan kini semua orang diminta keluar untuk membakar lebih
banyak lagi kertas. Di pekarangan tertutup berdiri tandu, kuda-kuda, kereta,
meja, dan pispot dari kertas dalam ukuran sebenarnya, yang diisi dengan figur-
figur manusia dan hewan, juga dari kertas.
Semuanya diberi pakaian dan sutra dan linen mahal, begitu juga mebelnya.
Mengikuti tradisi penguburan Manchu yang diikutinya, Ibu Suri sendiri yang telah


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatur semua ini bertahun-tahun lalu.
Patung kertas dirinya tampak nyata, meskipun figur itu menggambarkan dirinya
saat masih muda, mengenakan gaun berpola bunga magnolia.
Sebelum upacara dimulai sebuah tiang setinggi 30 kaki didirikan.
Sehelai sutra dengan huruf tien-dalam kenangan - dipasang di atasnya. Ini adalah
pertama kalinya aku berkesempatan untuk melihat ritual tersebut. Berabad-abad
sebelumnya, bangsa Manchu tinggal di padang rumput luas. Di tempat seperti itu
amat sulit untuk memberitahu sanak saudara tentang kematian seseorang dalam
keluarga. Ketika seorang anggota keluarga meninggal, sebuah tiang dengan
perkamen merah didirikan di depan tenda keluarga si mati, agar pengendara kuda
serta gembala yang lewat akan berhenti dan memberi hormat, menggantikan sanak
saudara yang tak bisa hadir.
Juga sesuai kebiasaan, tiga tenda besar didirikan di Kota Terlarang. Sebuah
digunakan untuk memperlihatkan jenazah, sebuah untuk menampung para rahib, lama
dan pendeta yang datang dari jauh, dan yang terakhir untuk menerima sanak
saudara serta tamu-tamu dari kalangan terhormat. Tenda-tenda lain yang lebih
kecil juga didirikan di pekarangan tertutup untuk menerima pengunjung. Tenda-
tenda itu sekitar 10 kaki tingginya, dan tiang-tiang bambu yang menopangnya
dihiasi dengan bunga magnolia sutra putih. Sebagai menantu, kami masing-masing
diberi selusin saputangan untuk menangis. Rasanya aku terus mendengan teriakan
Ibu Suri- "buta huruf!" - dan ingin tertawa, bukannya menangis. Aku harus menutupi
wajah dengan kedua tanganku.
Melalui jari-jemariku kulihat Pangeran Kung datang, berpakaian jubah putih dan
sepatu laras tinggi yang serasi. Saat memandangi peti jenazah, dia tampak
dicengkeram rasa sedih. Para kerabat perempuan harus menghindari sepupu atau
ipar lelaki mereka, jadi kami semua mundur ke ruang sebelah. Untungnya aku bisa
melihat ke luar dari jendela. Tutup peti jenazah diangkat untuk Pangeran Kung.
Permata, emas, mutiara, zamrud, mirah delima, dan jambangan kristal yang
berkilauan ditumpukkan di atas dada Ibu Suri. Selain cermin kecil tadi, Ibu Suri
juga memegang kotak peralatan riasnya.
Pangeran Kung berdiri muram di samping ibundanya. Rasa dukanya membuat dia
tampak lebih tua. Pangeran Kung berlutut dan melakukan kowtow, dahinya tetap
menempel di tanah untuk waktu yang lama. Saat dia bangkit, seorang kasim datang
dan dengan hati-hati membuka bibir Ibu Suri. Kasim itu meletakkan sebutir
mutiara besar yang digantungkan dengan benang merah di bibir Ibu Suri.
Kemudian dia menutup mulut Ibu Suri, membiarkan ujung benang tergantung di
dagunya. Mutiara itu adalah simbol esensi kehidupan, mewakili kemurnian dan
kehormatan. Benang merah itu, yang akan diikat oleh anak lelakinya, berfungsi
sebagai simbol betapa si anak enggan berpisah dengan ibunya.
Pangeran Kung mengikat benang itu ke kancing pertama di jubah ibunya. Seorang
kasim memberinya sepasang sumpit dengan segumpal kapas basah di antaranya.
Dengan lembut Pangeran Kung menyeka kelopak mata ibunya menggunakan kapas
tersebut. Para tamu membawa kotak-kotak berisi bakpao yang dihias.
Piring-piring di depan altar harus diganti setiap menit agar dapat menampung
kotak-kotak lain. Ratusan gulungan perkamen juga dibawa masuk. Benda-benda itu
menumpuk dan membuat di Istana tampak seperti festival kaligrafi. Kuplet dan
sajak digantungkan di setiap
dinding. Benang-benang tambahan diperlukan untuk menggantungkan kuplet-kuplet lain di palang atap. Dapur harus menyajikan
prasmanan bagi lebih dari 2000 tamu.
Kelompok peratap melolong saat Pangeran Kung berlutut lagi.
Bacaan doa semakin lama semakin keras. Suara terompet membuat telinga pekak. Aku
mengira bahwa ini adalah akhir upacara, tetapi ternyata tidak: upacara baru saja
resmi dimulai. ---oOo--- Hari ketujuh adalah hari untuk membakar boneka-boneka kertas. Tiga istana kertas
dan dua gunung akan dibakar. Istana-istana itu setinggi 20 kaki, dihiasi sebuah
pagoda keemasan di puncaknya. Satu gunung dicat emas dan lainnya perak. Upacara
ini dilakukan di luar Kota Terlarang, di dekat Jembatan Utara. Khalayak yang
berkumpul mengalahkan ramainya perayaan Malam Tahun Baru. Istana-istana kertas
itu dibuat menurut gaya arsitektur Dinasti Sung. Genting-genting pada atap
tradisional yang serupa sayap itu dicat biru laut.
Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat ke dalam istana-istana itu, yang
diperlengkapi secara detail. Kain pelapis kursi dilukis dengan goresan dan pola
menyerupai sulaman. Di meja makan yang dipenuhi bunga kertas, sumpit perak dan
gelas anggur emas ditata rapi.
Gunung-gunung itu dipenuhi dengan bebatuan, anak-anak sungai, pohon magnolia,
dan rumput yang melambai, dikerjakan dengan skala yang tepat. Yang semakin
membuatku takjub adalah ada beberapa tonggeret hinggap di dahan-dahan magnolia
itu, kupu-kupu di bunga peoni, dan jangkrik di rumput. Diperlukan ratusan tahun
kekriyaan untuk menyelesaikan dunia kertas ini, dan hanya dalam beberapa menit
saja mereka akan berubah menjadi abu.
Pembacaan doa dimulai dan api dinyalakan. Ketika api membubung tinggi para
rahib, lama, dan pendeta melemparkan bakpao kukus ke atas kepala khalayak yang
bersorak. Bakpao-bakpao itu maksudnya untuk dimakan oleh hantu-hantu tunawisma,
sebagai simbol kebaikan hati Ibu Suri.
Kaisar Hsien Feng tidak hadir sejak awal hingga akhir, mengaku sakit. Aku tahu
bahwa dia benci mendiang perempuan ini, dan aku tak menyalahkannya. Putri Jin
adalah orang yang menyebabkan ibu kandungnya dipaksa bunuh diri. Dengan tidak
menghadiri pemakamannya, Kaisar sedang memberikan pernyataan.
Para tamu dan selir tak bisa menampilkan wajah orang berduka cita dengan baik.
Mereka makan minum dan mengobrol satu sama lain. Aku bahkan mendengar orang
berbincang tentang kehamilanku.
---oOo--- Aku tak bisa meyakinkan Kaisar Hsien Feng bahwa para sainganku merencanakan
sesuatu yang buruk padaku. Kukatakan pada Yang Mulia bahwa ikan-ikan di kolamku
sekarat, bahwa anggrek di tamanku layu di tengah-tengah musim berbunga yang
lebat. An-te-hai menemukan bahwa binatang pengerat yang menyukai anggrek
ternyata memakan akar tanaman-tanaman itu. Seseorang pasti telah menyelundupkan
hewan-hewan itu ke dalam.
Keluhan-keluhanku membuat jengkel suamiku. Dia menganggap Nuharoo sebagai Dewi
Belas Kasihan dan menyuruhku berhenti cemas.
Pikiranku adalah, aku akan bisa menghadapi satu Nuharoo, tetapi tidak tiga ribu.
Apa saja bisa terjadi, karena mereka menjadikan perutku sebagai sasaran. Umurku
belum mencapai duapuluh satu, namun sudah terlalu banyak pembunuhan yang
kudengar. Aku memohon pada Kaisar agar kami pindah kembali ke Yuan Ming Yuan hingga aku
melahirkan. Yang Mulia menolak. Aku tahu bahwa aku harus belajar menyembunyikan
kebahagiaanku seperti tikus menyembunyikan makanannya. Selama minggu-minggu
terakhir aku mencoba menghindar membicarakan kehamilanku ketika selir-selir yang
lain berkunjung. Tetapi sulit sekali, apalagi ketika mereka membawakan hadiah
untuk si jabang bayi. Akhir-akhir ini Kaisar sudah menaikkan tunjanganku, dan
kugunakan tael ekstra itu untuk membeli hadiah balasan yang setara nilainya. Aku
capek dan muak berpura-pura senang menerima kedatangan mereka.
An-te-hai tetap meletakkan perutku sebagai prioritas utama.
Semakin besar perutku, An-te-hai semakin melibatkan diri. Setiap hari dia sangat
senewen, gembira dan takut pada waktu yang sama. Pagi hari, bukannya menyapaku,
dia menyapa perutku. "Selamat pagi, Paduka Muda." Dia membungkuk dalam dan
serius. "Apa yang bisa saya ambilkan untuk sarapan?"
Aku mulai mempelajari naskah-naskah Buddha. Aku berdoa semoga anakku bahagia
berkembang di dalam rahimku. Aku berdoa agar mimpi-mimpi burukku takkan
mengganggu pertumbuhannya.
Kalau aku melahirkan bayi perempuan, aku tetap ingin merasa gembira dan
terberkati. Pada pagi hari aku duduk di ruangan yang dipenuhi sinar matahari dan
membaca. Siang dan sore hari aku berlatih kaligrafi, bagian dar latihan para
penganut Buddha untuk menumbuhkan keseimbangan dan keselarasan. Perlahan-lahan
aku merasakan kembalinya kedamaian. Sejak aku berhasil menawan hati Yang Mulia,
dia hanya dua kali mengunjungi Nuharoo. Sekali saat kematian Ibu Suri. Setelah
pemakaman dia mengunjungi Nuharoo untuk minum teh. Menurut mata-mata An-te-hai,
Yang Mulia hanya mengobrolkan tentang pemakaman itu dengan Nuharoo.
Kedua kalinya Yang Mulia mengunjungi Nuharoo adalah atas permintaannya. Nuharoo
sendiri yang mengatakan ini kepadaku. Dia melakukan apa yang menurutnya akan
menyenangkan hati Yang Mulia - dia meminta izin untuk membangun sayap tambahan di
makam Ibu Suri. Nuharoo melaporkan bahwa dia sudah mengumpulkan
sumbangan dari setiap orang dan juga menyumbangkan uangnya sendiri.
Kaisar Hsien Feng tidak merasa senang, tetapi dia memuji Nuharoo atas baktinya
itu. Untuk membuktikan kasih sayang dan penghargaannya, Hsien Feng mengeluarkan
keputusan untuk menambah satu gelar lagi pada nama Nuharoo: Putri Berbudi Luhur
dengan Kesalehan nan Agung. Namun bukan itu yang diinginkan Nuharoo. Aku tahu
apa yang dia inginkan. Dia ingin Hsien Feng kembali ke ranjangnya, tetapi Hsien
Feng tak tertarik. Yang Mulia tinggal di tempatku setiap malam hingga subuh, tak
memedulikan aturan. Tak jujur kalau kukatakan aku mau berbagi Hsien Feng dengan
orang lain, tetapi aku memang mengerti penderitaan Nuharoo.
Di masa depan aku akan mendapati diriku sendiri mengalami hal yang sama. Untuk
saat ini kucoba mendapatkan apa yang aku bisa. Aku menganggap hari esok sebagai
sebuah misteri, dan kubiarkan ia mengungkapkan diri sendiri. Kata "masa depan"
membuatku berpikir tentang perang melawan belalang yang dilakukan Ayah di Wuhu,
ketika ladang-ladang musim semi lenyap hanya dalam waktu semalam.
Nuharoo berhasil mempertahankan senyum memesona di hadapan publik, tetapi gosip
dan para kasim dan dayang-dayangnya membuka kenyataan bahwa dia amat tertekan.
Dia semakin dalam memeluk keyakinan Buddhanya dan mengunjungi kuil untuk berdoa
bersama gurunya tiga kali sehari.
---oOo--- Kaisar Hsien Feng menasihatiku untuk tidak "memandang orang dari lubang jarum."
Tetapi naluriku mengatakan untuk tidak menganggap enteng kecemburuan Nuharoo.
Yuan Ming Yuan, betapapun, adalah tempat yang aman. Di permukaan, aku dan
Nuharoo adalah teman. Dia terlibat dalam persiapan menyambut kedatangan si jabang bayi.
Nuharoo mengunjungi toko kain dan pakaian Kekaisaran untuk memeriksa pakaian si
jabang bayi. Dia juga mengunjungi gudang-gudang Istana untuk memastikan bahwa
buah-buahan dan kacang-kacangan selalu tersedia dan dalam keadaan segar.
Terakhir dia memeriksa peternakan ikan. Karena konon ikan bisa membuat produksi
ASI menjadi lancar, Nuharoo menjaga agar ikan tersedia dalam jumlah yang cukup
bagi para ibu susu. Pemilihan ibu susu menjadi pusat perhatian Nuharoo. Dia memeriksa sepasukan
wanita hamil yang bayinya akan lahir bersamaan dengan bayiku. Lantas dia
mengadakan perjalanan dengan kereta ke Yuan Ming Yuan untuk bicara denganku soal
ini. "Aku sudah memeriksa kesehatan mereka sampai tiga generasi ke atas," katanya.
Semakin bersemangat Nuharoo, semakin takut aku. Aku berharap dia punya anak
sendiri. Setiap orang di Kota Terlarang, kecuali Kaisar, mengerti tekanan yang
dihadapi Nuharoo setelah menikah beberapa tahun dan tak menunjukkan tanda-tanda
kesuburan. Fakta bahwa tekanan seperti itu dapat menyebabkan tingkah laku aneh
kerap ditemui pada wanita yang tak memiliki anak.
Obsesi pada yoo-hoo-loo adalah satu manifestasi; melompat masuk ke sumur adalah
manifestasi lainnya. Mengenai Nuharoo, aku masih belum bisa memastikan apa
niatnya yang sesungguhnya.
---oOo--- Ketika Dokter Sun Pao-tien selesai memeriksaku dan menyatakan bahwa aku akan
bisa mengandung bayiku sampai tiba waktunya melahirkan, Yang Mulia langsung
memanggil ahli nujumnya. Mereka berdua pergi ke Kuil Langit, tempat Hsien Feng
berdoa agar si jabang bayi adalah lelaki. Setelah itu dia mengunjungi Nuharoo
untuk memberi selamat kepadanya.
Tetapi dia bukan ibu dari anakmu! Teriakku di dalam hati.
Nuharoo memainkan peranannya dengan baik. Dia menunjukkan kebahagiaannya dengan
air mata sungguhan. Aku berpikir, Mungkinkah aku salah tentang dia" Mungkin
sudah waktunya bagiku untuk mengubah pandanganku. Mungkin Nuharoo memang telah
berubah menjadi seorang penganut ajaran Buddha sejati.
Ketika kehamilanku berusia lima bulan, Nuharoo menganjurkan kepada Kaisar agar
aku kembali pindah ke Istana Kecantikan yang Tak Terlarai.
"Putri Yehonala memerlukan ketenangan penuh," kata Nuharoo pada Yang Mulia
Kaisar. "Dia perlu dihindarkan dari segala jenis stres, termasuk berita buruk
tentang negara dan Paduka."
Aku biarkan diriku percaya bahwa Nuharoo memang memikirkan kepentinganku, dan
setuju untuk pindah. Tetapi begitu aku keluar dari ruang tidur Yang Mulia, aku
merasa bahwa aku telah membuat satu kesalahan besar. Tak lama kebenaran pun
tampak, dan aku tak pernah bisa kembali ke ruang tidur itu.
Seolah untuk menambah kekacauan dalam hidupku, Kepala Kasim Shim mengatakan
kepadaku bahwa aku tak boleh membesarkan sendiri anakku ini. Aku dianggap "salah
satu Ibunda Pangeran," tetapi bukan satu-satunya. "Ini adalah tradisi Kerajaan,"
kata Shim dingin. Nuharoo juga akan bertanggung jawab atas keperluan sehari-hari
serta pendidikan anakku, dan dia akan diberi hak untuk mengambil anakku dariku
bila aku menolak untuk bekerja sama dengannya. Klan Manchu dan Kaisar Hsien Feng
keduanya percaya bahwa darah biru Nuharoo membuat dia pantas untuk menjadi ibu
utama dari sang calon pangeran. Tak ada yang pernah menudingku sebagai selir
dari kelas rendahan, tetapi latar belakangku sebagai gadis desa dan status Ayah
sebagai Gubernur berpangkat rendah adalah aib yang tak pernah dilupakan oleh
Istana, dan juga Kaisar. []
Empat belas SEBULAN SETELAH aku hilang dari pandangannya, Kaisar Hsien Feng mengambil empat
selir baru. Mereka bangsa Cina Han. Karena peraturan Kekaisaran melarang
kehadiran wanita yang bukan bangsa Manchu di istana, maka Nuharoo mengatur untuk
menyelundupkan mereka ke dalam.
Sulit bagiku untuk bicara tentang rasa sakit yang disebabkan hal ini. Rasanya
seperti tenggelam perlahan-lahan: Udara dipompa keluar dari dalam paru-paruku
tetapi maut belum juga menjemput.
"Kaki mungil mereka yang berbentuk lotus memikat Yang Mulia Kaisar," lapor An-
te-hai. "Wanita-wanita itu adalah hadiah dari Gubernur Soochow."
Kukira tak sulit bagi Nuharoo untuk memberi petunjuk kepada para Gubernur bahwa
sudah waktunya untuk menyenangkan pemimpin
mereka. An-te-hai menemukan bahwa Nuharoo menempatkan selir-selir baru itu di miniatur kota Soochow milik Kaisar, dalam
wilayah taman Istana yang paling luas di Istana Musim Panas, beberapa mil dari
Yuan Ming Yuan. Istana Musim Panas, dengan Soochow kecilnya itu, dibangun di
sekitar sebuah danau dan terdiri dari lebih 3000 bangunan di areal seluas 700
acre. Apa aku akan bertindak lain kalau aku ada pada posisi Nuharoo"
Apa yang kutangisi" Bukankah dengan tanpa malu dulu aku pergi ke rumah bordil
untuk mempelajari trik-trik memuaskan lelaki"
Sejak aku pergi, Kaisar Hsien Feng tidak pernah mengunjungiku.
Kerinduanku kepadanya mendorong pikiranku ke arah tambang sutra putih.
Tendangan-tendangan kecil di perutku menyadarkanku kembali dan menguatkan
keinginanku untuk bertahan. Aku merenungkan hidupku, berjuang mempertahankan
ketenangan hatiku. Pertama-tama, Hsien Feng tak pernah benar-benar jadi milikku.
Hanya karena keadaanlah dulu terjadi apa yang sudah terjadi. Ironinya adalah,
Kaisar diharapkan untuk tidak mabuk-mabukan dan menarik diri dari segala
kegiatan bercinta tiga bulan setelah kematian ibunya. Kaisar hanya menghormati
tradisi yang menyenangkan untuknya. Aku tak bisa membayangkan anak lelakiku
dibesarkan dengan cara seperti yang telah dialami ayahnya. Aku harus meyakinkan
Nuharoo bahwa aku bukan ancaman untuknya agar aku bisa selalu dekat dengan
anakku. Desas-desus tentang obsesi Kaisar terhadap wanita-wanita Cinanya menyebar ke
setiap sudut di Kota Terlarang. Aku mulai mendapat mimpi-mimpi buruk. Aku
bermimpi bahwa aku sedang tidur dan ada orang yang berusaha menarikku jatuh dari
ranjang. Aku melawan, tetapi gagal, dan diseret keluar dan kamar. Sementara itu
aku bisa dengan jelas melihat bahwa tubuhku masih tetap berbaring tak bergerak


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di atas tempat tidur. Aku juga melihat buah beri merah rontok dalam mimpi, bahkan mendengar suara
mereka saat jatuh- pluk, pluk, pluk. Menurut takhayul, ini adalah pertanda
keguguran. Panik, kusuruh An-te-hai untuk memeriksa pohon beri di belakang
istanaku, kalau-kalau mereka benar telah mulai menjatuhkan buahnya. An-te-hai
kembali, melapor bahwa dia tak menemukan sebutir beri pun di tanah.
Hari demi hari aku mendengar suara detak halus buah jatuh itu di dalam tidurku.
Aku menduga bahwa mungkin saja buah-buah beri itu tersangkut di antara atap.
Untuk menenangkanku, An-te-hai memanjat tangga ke atap. Dia dan para kasim lain
memeriksa di antara genting-genting, dan lagi-lagi, tak ada buah beri.
---oOo--- Tetap tak ada tanda kunjungan dari Yang Mulia hingga suatu pagi Nuharoo datang
dengan seulas senyum lebar tersungging di wajahnya.
Aku terkejut saat melihat Kaisar Hsien Feng di belakangnya.
Kekasihku itu tampak agak kikuk, tetapi segera bisa menguasai diri. Aku tak tahu
apakah dia rindu padaku. Mungkin tidak. Dia dibesarkan dalam cara yang
membuatnya takkan paham penderitaan orang lain. Baginya memang salah untuk
menghabiskan waktu dengan hanya seorang perempuan. Aku penasaran apakah dia
menikmati wanita-wanita itu. Apakah mereka berjalan-jalan bersama, "membawa
cahaya sinar matahari terbenam?" Apakah Yang Mulia ingin "mencium bunga-bungaan
di pelukan mereka?" Aku tak peduli dari mana asalnya wanita-wanita itu. Aku benci mereka.
Membayangkan bagaimana kekasihku tentu telah menyentuh mereka, air mataku
mengembang. "Aku sehat-sehat saja, terima kasih," kataku kepada Kaisar Hsien
Feng, mencoba untuk tersenyum.
Takkan pernah kubiarkan dia tahu bagaimana parah sakit yang kurasakan.
Aku tak mau mengatakan kepadanya bahwa aku menolak untuk pulang ke rumah saat
diberi cuti 10 hari sebagai hadiah karena aku hamil. Walaupun aku sangat
merindukan keluargaku, aku takkan bisa menyembunyikan perasaanku bila aku
bertemu mereka. Kesehatan Ibu yang rapuh takkan bisa menahankan rasa
frustrasiku, dan juga akan buruk bagi Rong, yang mengandalkanku untuk menemukan
jodoh baginya. Rong akan kecewa kalau kukatakan kepadanya bahwa aku bukan lagi
kesayangan Kaisar dan jalanku untuk menolongnya kini terbatas.
Untuk beberapa saat Yang Mulia tak berkata apa-apa. Ketika angkat bicara, dia
mengobrol tentang nyamuk, bagaimana mereka telah amat sangat mengganggunya. Dia
menyalahkan para kasim dan mengeluh bahwa Dokter Sun Pao-tien telah gagal
menghilangkan rasa gatal di bawah dagunya. Dia tak menanyakan apa pun tentang
aku, dan bersikap seolah perutku yang besar ini tak ada.
"Aku sedang asyik bermain bersama juru nujumku, permainan baru berjudul Istana
Yang Hilang," ujar Yang Mulia seolah berusaha memecah keheningan di antara kami.
"Permainan ini mengandung banyak jebakan yang bisa membuat kita salah menilai.
Kata sang guru, lebih baik aku tetap bertahan di tempatku dan tak berusaha
mencari jalan sampai waktunya tiba dan kunci untuk memecahkan persoalan itu
muncul dengan sendirinya."
Apakah Hsien Feng akan percaya kalau kujelaskan kepadanya apa yang telah
dilakukan Nuharoo" Takkan berhasil, putusku. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
kalau Nuharoo berjalan di taman dia tampak seperti pemabuk. Sebenarnya itu gara-
gara dia takut kalau-kalau menginjak semut. Tatkala benar-benar menginjak
seekor, dia akan meminta maaf. Para kasim telah menyaksikan ini. Nuharoo
dijuluki "makhluk paling lembut" oleh mendiang mertua kami.
Kami duduk menghirup teh sementara percakapan antara Yang Mulia dan Nuharoo
berlanjut terus. Dengan alasan ingin merawatku, Nuharoo mengusulkan untuk
mengirim empat orang pelayannya kepadaku.
"Ini untuk menunjukkan penghargaanku kepada Putri Yehonala, atas kontribusi mei-
mei ku pada dinasti ini." Sekarang Nuharoo resmi memanggilku mei-mei, "adik
perempuan". "Pelayanku Awan Kecil adalah yang terbaik di antara empat pelayan itu," kata
Nuharoo. "Aku akan kesulitan melepasnya pergi.
Tetapi engkau adalah prioritasku. Harapan dinasti ini akan kemajuan dan
kemakmuran terletak dalam rahimmu."
Kaisar Hsien Feng sangat senang. Dipujinya Nuharoo atas kebaikan hatinya itu,
lalu dia bangkit untuk pergi. Kaisar menghindar menatap mataku ketika
mengucapkan salam. "Semoga sehat,"
gumamnya singkat. Aku tak sanggup menyembunyikan kesedihanku. Hatiku tetap mencari pengakuan atas
kehangatan yang pernah kami bagi. Tetapi itu tidak ada. Seolah kami tak pernah
saling mengenal. Aku harap perutku tak ada di depan mataku, tak menonjol besar
seperti ini, tak meminta perhatian dan sentuhan. Aku berharap aku bisa menghapus
semua kenangan. Kuperhatikan Hsien Feng dan Nuharoo berjalan pergi. Aku ingin melempar diriku ke
kaki kekasihku. Aku ingin mencium kakinya, mengemis cintanya.
An-te-hai datang ke sisiku dan memegangku erat-erat. "Buah-buah beri sudah
masak, Gusti Putri," bisiknya. "Sebentar lagi mereka siap untuk dipetik."
Dahan-dahan pohon sipres terentang ke bawah layaknya kipas raksasa, menghalangi
cahaya rembulan. Malam itu badai datang.
Kudengar dahan-dahan itu berderak, menyapu tanah. Pagi berikutnya An-te-hai
mengatakan kepadaku bahwa buah beri merah ada di mana-mana. "Buah-buah itu
tampak seperti noda darah," kata si kasim.
"Mereka menutupi lantai taman Paduka, dan beberapa terselip di antara genting
atap." ---oOo--- Aku menerima Awan Kecil, gadis lima belas tahun berpipi tembam bermata kecil.
Karena aku diharapkan untuk menaati keinginan sang istri pertama, kuberi Awan
Kecil bonus yang lumayan jumlahnya, yang dikembalikan gadis itu dengan ucapan
"terima kasih" yang manis.
Kusuruh An-te-hai untuk terus mengawasinya. Beberapa hari kemudian dia ditemukan
sedang menggeratak memata-matai.
"Saya memergokinya!" An-te-hai menyeret Awan Kecil ke hadapanku.
"Budak hina ini sedang mengintip surat-surat Paduka!"
Awan Kecil menolak tuduhan itu. Saat aku mengancam akan memukulnya bila dia tak
mengaku, amukannya pecah. Matanya yang kecil terbenam di wajah gemuknya saat dia
memekik dan menyebut An-te-hai "Dasar binatang tak punya buntut!" lalu dia
menjerit menghinaku. "Majikanku masuk ke Istana melalui Gerbang Kemurnian
Langit, dan kau masuk lewat gerbang samping!"
Kusuruh An-te-hai untuk menyeret gadis itu keluar dan tak memberinya makan tiga
kali. Seakan menikmati kemarahanku, Awan Kecil terus saja ribut.
"Pikir baik-baik, budak siapa ini yang Anda tendang-tendang! Memang kenapa kalau
aku memata-matai Anda" Bukannya membuat sulaman, Anda malah membaca dokumen
kenegaraan!. Apa Anda merasa bersalah" Apa Anda merasa takut" Biar kuberi tahu,
sudah terlambat untuk menyogokku, Putri Yehonala. Aku akan melaporkan semua yang
kulihat pada majikanku. Aku akan diberi hadiah karena kesetiaanku; Anda akan
berakhir dengan tubuh tanpa lengan dan kaki, dan hidup dalam sebuah jambangan!"
"Cambuk!" kataku. "Hukum gadis ini sampai dia tutup mulut!"
Aku tak pernah bermaksud untuk menyuruh An-te-hai menafsirkan kata-kataku apa
adanya. Dia dan kasim lainnya menyeret Awan Kecil ke Balairung Hukuman. Mereka
memukul Awan Kecil dan mencoba segala cara untuk menyuruhnya diam, tetapi gadis
itu sangat keras kepala. Satu jam kemudian An-te-hai datang melaporkan bahwa Awan Kecil tewas.
"Kau ..." Aku terkejut setengah mati. "An-te-hai, aku tak memberimu perintah
untuk memukulnya sampai mati!"
"Tetapi, Gusti Putri, gadis itu tak mau diam."
---oOo--- Sebagai Kepala Rumahtangga Kekaisaran, Nuharoo memanggilku ke hadapannya.
Kuharap saja aku akan cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan terjadi. Aku
mengkhawatirkan jabang bayi dalam rahimku.
Sebelum aku selesai berganti baju, sekelompok kasim dan Balairung Hukuman
menyerbu masuk. Mereka tak mau mengatakan siapa yang telah mengirim mereka.
Mereka menangkap kasimku yang bertugas tidur di lantai dan juga pelayanku,
lantas menggeledah laci-laci dan lemariku.
"Lebih baik Paduka mengirim saya untuk memberi tahu Yang Mulia segera. "An-te-
hai membantuku mengenakan jubah resmiku.
"Mereka akan menyiksa Anda hingga 'benih naga' rontok."
Bisa kurasakan bagian dalam tubuhku berkontraksi. Ketakutan, aku menopang
perutku dan menyuruh An-te-hai untuk tak membuang-buang waktu. Dia mengambil
sebuah waskom dan keluar, pura-pura hendak mengambil air.
Aku mendengar sebuah suara di luar, menyuruhku untuk segera selesai berdandan.
"Yang Mulia Permaisuri menunggu!" Aku tak tahu apakah mereka adalah para kasimku
atau orang-orang yang telah datang untuk menghancurkan tempatku.
Aku berdandan selama mungkin, untuk memberi waktu bagi Ante-hai. Dua orang
dayangku masuk. Yang seorang memeriksa semua renda serta kancingku dan yang
seorang lagi memeriksa rambutku.
Aku berdiri di depan cermin, memeriksa penampilanku untuk terakhir kali. Aku tak
tahu apakah emosi atau tata riasku yang membuatku tampak sakit. Jubahku disulami
dengan anggrek hitam dan emas.
Dalam pikiranku, kalau ada sesuatu yang akan terjadi kepadaku, aku ingin
meninggalkan dunia ini dengan mengenakan gaun ini.
Aku bergerak ke arah pintu, dan dayang-dayangku mengangkat tirainya. Saat keluar
memasuki cahaya, kulihat Kepala Kasim Shim berdiri di pekarangan tertutup,
mengenakan jubah resmi ungu dan topi yang serasi. Dia tak menyahuti salamku.
"Ada apa, Kepala Shim?" tanyaku.
"Peraturan melarang saya untuk bicara dengan Anda, Putri Yehonala." Dia mencoba
untuk terdengar rendah hati, tetapi ada nada kegembiraan yang tersembunyi dalam
suaranya. "Marilah, mari saya bantu Anda masuk ke tandu."
Suatu rasa tercekik melingkari tenggorokanku.
---oOo--- Melihat ke bawah dari singgasananya, Nuharoo tampak agung. Aku berlutut,
melakukan kowtow kepadanya. Baru beberapa minggu lewat setelah pertemuan kami
yang terakhir, dan tampaknya kecantikannya semakin bertambah menakjubkan. Dia
mengenakan jubah keemasan bersulam Burung-burung phoenix, dan tata rias yang
tebal. Setitik warna merah dicat di bibir bawahnya. Matanya yang besar,
berkelopak ganda, tampak lebih bercahaya daripada biasanya. Aku tak tahu apakah
itu karena air mata atau karena pengaruh celaknya yang sangat gelap.
"Aku tak senang karena kau membuatku harus melakukan ini,"
katanya. Tanpa memberiku izin untuk bangkit, dia melanjutkan.
"Siapa pun tahu bahwa aku paling tak tahan untuk menghadapi saat seperti ini.
Tetapi inilah ironi hidup. Sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap urusan
kerumahtanggaan, aku tak diberi pilihan lain.
Kewajibanku menuntutku untuk menegakkan keadilan. Peraturan sudah jelas bagi
setiap orang di Kota Terlarang: tak ada yang berhak untuk berlaku seenaknya pada
pelayan, apalagi sampai mencabut nyawanya."
Tiba-tiba dia menunduk. Digigitnya bibir dan mulai menangis.
Segera saja dia terisak-isak.
"Yang Mulia," Kepala Kasim Shim berujar, "cambuk sudah direndam dan para budak
sudah siap untuk melaksanakan tugas mereka."
Nuharoo mengangguk. "Putri Yehonala, silakan!" Mengambil sebuah cambuk tebal
dari tangan asistennya, Shim membungkuk dalam kepada Permaisuri, lantas keluar
ruangan. Para pengawal datang dan empat sisi dan memegangiku.
Aku melawan. "Aku sedang mengandung putra Kaisar!"
Kepala Kasim Shim kembali dan menelikung tanganku. Lututku lemas dan aku
terjatuh. Perutku terayun ke lantai.
Aku merangkak ke arah Nuharoo dan memohon. "Aku benar-benar menyesal atas apa
yang terjadi terhadap Awan Kecil, Yang Mulia, tetapi itu adalah sebuah
kecelakaan. Kalau Anda harus menghukumku, kumohon lakukan itu setelah aku
melahirkan. Aku akan menerima hukuman kurung seberapapun lamanya."
Nuharoo tersenyum. Air mukanya membuatku ngeri. Senyum itu mengatakan bahwa dia
ingin agar aku kehilangan bayi ini, bahwa dia akan bersedia memulihkan
perdamaian di antara kami berdua hanya dengan harga itu. Aku yakin dia takut
bahwa aku takkan menyerah, tahu bahwa dia harus memaksaku, tahu bahwa dia
didukung oleh semua selir. Dia ingin aku tahu bahwa kehendaknya kuat dan tak
terbantah. Kami saling tatap. Pengertian - tanpa tedeng aling-aling - hadir di antara kami.
"Aku berlaku adil, Putri Yehonala, hanya itu," kata Nuharoo, nyaris lemah
lembut. "Aku bisa jamin bahwa tak ada dendam pribadi di sini."
"Ke tiang cambuk, sekarang!" suara Kepala Kasim Shim.
Para pengawal menyambarku, seperti menyambar ayam betina.
"Yang Mulia Permaisuri Nuharoo," jeritku, berjuang membebaskan diri. "Sebagai budakmu aku tahu kejahatanku.
Walaupun aku tak pantas menerimanya, kasihanilah aku. Aku sudah mulai mengatakan
kepada jabang bayi di perutku ini bahwa kaulah ibunya yang sejati. Kaulah tujuan
hidupnya. Alasan mengapa anak ini akan datang melaluiku adalah untuk bertemu
denganmu. Kasihanilah anak ini, Permaisuri Nuharoo, karena dia akan menjadi
putramu." Kujatuhkan dahiku ke lantai. Pikiran bahwa aku akan kehilangan anakku terasa
lebih mengerikan daripada kehilangan nyawaku sendiri.
"Nuharoo, tolonglah, beri dia kesempatan untuk mencintaimu, kakak.
Aku akan kembali di penitisan yang berikut sebagai apa pun yang kau inginkan.
Kulit di genderangmu, kertas untuk cebokmu, cacing untuk mata kailmu..."
Kepala Kasim Shim membisikkan sesuatu di telinga Nuharoo. Air muka Nuharoo
berubah. Shim tentu telah mengatakan bahwa bila Nuharoo membuat para leluhur
Kerajaan tak senang, dia akan dicopot dari segala gelarnya dan disambar petir.
Seperti An-te-hai untukku, Shim ada di situ bukan hanya untuk melindungi masa
depan Nuharoo, tetapi juga masa depan dirinya sendiri.
"Dilanjutkan?" tanyanya.
Nuharoo mengangguk. " Zah!" kasim itu mengambil satu langkah mundur setelah selesai membungkuk. Dia
menyambar kerah bajuku dan memerintah anak buahnya,
"Dengan tatacara Woo Hua, sang Bunga - tambang!"
Aku diseret keluar. Tiba-tiba kurasakan cairan hangat menetes dari antara
pahaku. Aku mendekap perutku dan menangis.
Saat itulah kudengar sebuah raungan panjang dari ujung terjauh balairung.
"Berhenti dan diam semua!"
Kaisar Hsien Feng menerjang di antara Kepala Kasim Shim dan aku. Dia mengenakan
jubah sutra kuning mudanya, hidungnya kembang kempis dan matanya dipenuhi
amarah. An-te-hai yang kehabisan napas berdiri di belakangnya.
Kepala Kasim Shim memberi salam kepada Yang Mulia, tetapi tak diacuhkan.
Nuharoo bangkit dari kursinya. "Yang Mulia, terima kasih telah datang dan
membebaskan saya." Dia berlutut di kaki Kaisar. "Saya tak tahan lagi. Saya tak
bisa memaksa diri untuk menjatuhkan hukuman pada Putri Yehonala, karena saya
tahu dia tengah mengandung bayi Paduka."
Kaisar Hsien Feng berdiri membeku selama beberapa saat.
Lantas dia membungkuk, kedua lengannya merentang. "Permaisuriku," panggilnya lunak. "Bangkitlah."
Nuharoo tak mau berdiri. "Saya tak pantas menjadi Permaisuri, saya layak
dihukum," ujarnya, air mata membasahi pipinya. "Ampuni saya karena gagal
memenuhi kewajiban saya."
"Kau adalah orang yang paling penuh kasih yang pernah kukenal," sahut Kaisar.
"Anggrek sangat beruntung karena memilikimu sebagai kakak."
Aku tergeletak di lantai. An-te-hai membantuku untuk bersimpuh. Cairan hangat
yang mengalir dari sela pahaku agaknya telah berhenti. Ketika Hsien Feng
memeriksa apakah aku benar-benar terluka serius, aku merasa bahwa dia memutuskan
kalau An-te-hai telah melebih-lebihkan.
Yang Mulia mengatakan kepada Nuharoo bahwa dia tak berbuat salah. Kaisar
mengeluarkan saputangan dan memberikannya kepada Nuharoo. "Aku tak bermaksud
membebanimu dengan berbagai tanggung jawab. Betapapun, kau harus mengerti bahwa
rumahtangga Kekaisaran memerlukan seorang pemimpin, dan itu adalah kau.
Ayolah Nuharoo, kau mendapatkan rasa terima kasih serta kepercayaanku yang
terdalam." Nuharoo bangkit dan membungkuk kepada Kaisar. Diberikannya saputangan Kaisar


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali pada sang empunya, dan mengambil sehelai handuk dari tangan Kepala Kasim
Shim. Dia menepuk-nepuk pipinya dengan handuk itu dan berkata. "Saya khawatir si
jabang bayi tertekan karena hal ini. Saya takkan sanggup menghadapi leluhur kita
kalau seandainya terjadi sesuatu." Sekali lagi dia menangis. Melihat ini Kaisar
menawarkan untuk menemaninya ke taman Istana sore ini untuk membantunya tenang
kembali. Amat berat bagiku untuk menyaksikan Yang Mulia memperlihatkan kasih sayangnya kepada Nuharoo. Dan lebih berat lagi untuk
menghabiskan malam sendirian, dengan mengetahui persis bahwa Hsien Feng tengah
bersamanya. Pelbagai kemungkinan tentang apa yang terjadi, dan apa yang bisa
terjadi di masa depan, lebih membuatku ngeri daripada segala mimpi burukku.
Aku hidup di sebuah dunia kacau balau tempat siksaan adalah kejadian sehari-
hari. Aku mulai mengerti mengapa begitu banyak selir yang terobsesi pada agama.
Pilihannya hanya itu atau kegilaan total.
---oOo--- Aku mengalami musim dingin yang terburuk. Saat itu pertengahan Februari 1856.
Perutku kini sudah seukuran semangka. Bertentangan dengan nasihat An-te-hai, aku
keluar ke tanah yang membeku. Aku ingin mengunjungi tamanku dan rindu menghirup
udara segar. Keindahan paviliun dan pagoda yang dilapisi salju memberikan perasaan bahagia
dan harapan. Dalam beberapa bulan lagi bayiku akan segera lahir.
Aku mencoba menggali tanah, tetapi ternyata masih terlalu keras. An-te-hai
membawa sebuah kantung besar berisi umbi bunga musim lalu dan berkata kepadaku,
"Tanamlah sebuah harapan untuk sang jabang bayi, Gusti Putri."
Aku tahu bahwa dia baru tidur nyenyak, karena pipinya merah seperti apel.
"Tentu," ujarku.
Makan waktu seharian bagi kami untuk menanam semua umbi bunga itu. Aku
memikirkan para petani di desa dan keluarga-keluarga yang bekerja keras untuk
memecah tanah beku ini. "Kalau engkau lelaki," kataku, meletakkan sebelah tanganku di perut, "dan jika
kau akan menjadi Kaisar Cina, aku berdoa agar engkau menjadi lelaki yang baik,
dan pantas menerima semuanya."
---oOo--- "A-ko!" saat kudengar seruan An-te-hai, pikiranku menjadi tertuju pada taman
musim semi tempat bunga-bunga berkembang serentak.
Meskipun lelah setengah mati, aku merasa amat bahagia. Sebelum Hsien Feng tiba,
Nuharoo dan semua istri serta selir Yang Mulia yang lain sudah datang ke
istanaku. "Mana dia, mana bayi lelaki kami yang baru lahir?"
Semua orang memberi selamat kepada Nuharoo. Ketika dia mengangkat si bayi dari
pelukanku dan dengan bangga memperlihatkannya kepada yang lain, rasa takutku
datang kembali. Aku terus-menerus berpikir: Karena mereka sudah kehilangan kesempatan untuk,
membunuh anakku selagi dia masih di dalam kandungan, apakah mereka akan
membunuhnya di buaiannya sekarang" Apakah mereka akan meracuni pikirannya dengan
cara memanjakannya" Satu hal yang kuyakin adalah bahwa mereka takkan pernah
melepaskan keinginan untuk membalas dendam padaku.
Aku dianugerahi gelar baru oleh Kaisar Hsien Feng, " Ibunda yang Terberkati".
Hadiah-hadiah dan kotak-kotak uang dikirimkan kepada keluargaku. Tetap saja, Ibu
dan adik perempuanku tidak diizinkan untuk menjengukku. Suamiku juga tak datang.
Konon katanya keadaanku yang tengah "kotor" ini bisa membawa penyakit pada Yang
Mulia. Aku disuguhi makan sepuluh kali sehari, tetapi aku tak berselera dan sebagian
besar makanan itu terbuang sia-sia. Aku ditinggalkan sendirian untuk berkali-
kali terlelap dan terbangun lagi. Dalam mimpiku aku mengejar orang-orang yang
datang menyamar untuk menyakiti anakku.
Beberapa hari kemudian Kaisar mengunjungiku. Dia kelihatan tak sehat. Jubah yang
dikenakannya membuat dia tampak lebih kurus dan lebih rapuh daripada sebelumnya.
Dia cemas tentang ukuran tubuh anak lelakinya. Kenapa dia begitu kecil, dan
kenapa dia selalu tidur sepanjang waktu"
"Mana kutahu?" olokku. Bagaimana bisa sang Putra Surga sedemikian polosnya"
"Aku ke taman kemarin." Yang Mulia memberikan bayi kami kepada seorang pelayan
dan duduk di dekatku. Matanya beralih dan mata ke mulutku. "Aku melihat sebatang
pohon mati," dia berkata dengan suara berbisik. "Di bagian puncaknya tumbuh
sejumput rambut manusia. Sangat panjang, terurai seperti air terjun berwarna
hitam." Aku menatapnya lekat-lekat.
"Itu pertanda bagus atau buruk, Anggrek?" Sebelum aku sempat menjawab dia sudah
melanjutkan. "Itulah sebabnya aku datang menemuimu. Kalau ada sebatang pohon
mati di istanamu, cepat suruh orang menyingkirkannya, Anggrek. Maukah kau
berjanji kepadaku?" Yang Mulia dan aku menghabiskan beberapa lama di tamanku mencari pohon mati. Tak
ada satu pun, dan akhirnya kami duduk menikmati matahari tenggelam berdua. Aku
begitu bahagia hingga menangis. Yang Mulia mengatakan kepadaku bahwa menurut
tukang kebun, 'rambut' yang dilihatnya di taman itu adalah semacam lumut langka
yang tumbuh di pohon mati.
Aku tak ingin bicara soal pohon mati, maka aku bertanya tentang kegiatannya
sehari-hari, tentang audiensi-audiensinya. Dia tak mau banyak bicara, maka kami
berjalan-jalan tanpa bercakap selama beberapa saat. Dia menimang-nimang bayi
kami hingga tertidur. Itulah saat-saat termanis dalam hidupku. Kaisar Hsien Feng tidak menginap malam
itu, dan aku tak berani memintanya.
Kukatakan kepada diriku sendiri bahwa aku harus bergembira karena sudah
melahirkan dengan selamat. Aku bisa saja mati di bawah deraan cambuk Kepala
Kasim Shim, atau dengan seratus cara lain. Para selir Istana sudah kalah, dan
aku kembali mendapat perhatian Kaisar karena si kecil.
Keesokan harinya Hsien Feng datang lagi. Dia tetap tinggal setelah menggendong
si bayi. Kubuat peraturan untuk diriku sendiri, untuk tak menanyakan apa-apa
kepadanya. Dia mulai berkunjung secara teratur, selalu pada siang hari.
Perlahan-lahan kami mulai bisa bercakap-cakap lagi. Kami bicara tentang anak
lelaki kami, dan dia menggambarkan apa saja yang terjadi di Istana. Dia mengeluh
tentang betapa lambatnya segala sesuatunya dan tentang ketidakmampuan para
menterinya. Aku lebih sering hanya mendengarkan. Tampaknya Hsien Feng menikmati diskusi kami
dan mulai datang lebih pagi. Kami tak pernah intim, tetapi cukup dekat.
Aku mencoba untuk berpuas dengan apa yang kumiliki sekarang. Akan tetapi
sebagian dari diriku menginginkan lebih.
Setelah Yang Mulia pergi menjelang malam, tak bisa tidak aku membayangkan dia
dengan wanita-wanita Cinanya - pastilah mereka punya trik yang lebih baik daripada
tari kipasku. Aku menjadi sengsara dalam upaya untuk memahami mengapa dia tak
tertarik lagi kepadaku. Apakah karena perubahan tubuhku" Mataku yang merah"
Payudaraku yang membengkak karena ASI" Mengapa dia menghindar mendekat ke
ranjangku" An-te-hai mencoba meyakinkanku bahwa ketidaktertankan Yang Mulia tak ada
kaitannya denganku. "Beliau memang punya kebiasaan untuk tak kembali pada
wanita-wanita yang sudah pernah ditidurinya.
Tak masalah betapa dia memuji kecantikan mereka atau betapapun puasnya dia di
tempat tidur." ---oOo--- Dari surat-surat Pangeran Kung aku tahu bahwa Kaisar sudah berkali-kali
menghindari audiensi setelah menandatangani sebuah traktat baru dengan orang-
orang asing, yang mengakui kekalahan Cina. Merasa malu dan terhina, Yang Mulia
menghabiskan hari sendirian di Taman Istana. Pada malam hari, kesenangan
jasmaniah menjadi pelariannya.
Meskipun sakit, dia menuntut hiburan 24 jam penuh. An-te-hai memperoleh
detailnya dari seorang teman baru, pelayan kamar Yang Mulia, seorang kasim
bernama Chow Tee, yang berasal dari kota yang sama dengan An-te-hai.
"Yang Mulia hampir selalu mabuk, dan tak mampu menjalankan fungsi
kelelakiannya," kata Ante-hai. "Beliau senang menonton wanita-wanitanya,
menyuruh mereka menyentuh diri sendiri sambil menari.
Pesta-pesta ini berlangsung terus semalaman sementara Yang Mulia tidur."
Aku teringat kunjungan terakhir kami. Hsien Feng tak bisa berhenti bicara
tentang kejatuhannya. "Aku yakin aku akan dicincang menjadi ribuan potong oleh
leluhurku ketika aku bertemu mereka."
Dia tertawa gugup, lalu terbatuk. Dadanya terdengar seperti kotak angin1.
"Dokter Sun Pao-tien meresepkan candu untuk sakitku,"
ujarnya. "Aku sebenarnya tak berkeberatan sekarat, karena aku ingin terbebas
dari semua kesulitanku."
Sudah bukan rahasia lagi untuk seluruh negeri bahwa kesehatan Kaisar sekali lagi
mulai memburuk. Wajahnya yang pucat dan matanya yang kosong membuat prihatin
semua orang. Karena kami sudah kembali pindah ke Kota Terlarang, para menteri
kerajaan diperintahkan untuk melapor tentang segala sesuatu di kamarnya.
1 Kotak angin (wind box) wadah padat udara yang digunakan unluk meniupkan angin
pada pembakaran lungku, kompor, dan sebagainya Patah hatiku melihat Hsien Feng
menyerah. Sebelum meninggalkan istanaku dia berkata, "Maafkan aku." Mengangkat
kepala dari ayunan putranya, dia tersenyum sedih kepadaku. "Semua sudah bukan
aku yang memutuskan."
Aku menatap ayah dari anakku mengenakan jubah naganya. Dia tak punya tenaga
bahkan untuk mengangkat lengan bajunya sendiri.
Dia butuh waktu tiga tarikan napas yang panjang untuk mengenakan sepatunya.
Sebelum terlambat aku harus meminta kepadanya untuk memberiku hak membesarkan
sendiri putra kami! . Pikiran ini datang kepadaku ketika aku memeluk bayiku dan
memerhatikan Hsien Feng naik ke tandu. Aku sudah pernah menyampaikan keinginanku
ini sebelumnya, tetapi tak ditanggapi. Menurut An-te-hai, Kaisar takkan mau
menyakiti Nuharoo dengan merenggut haknya untuk menjadi Ibu pertama.
Anakku, yang lahir pada 1 Mei 1856, resminya diberi nama Tung Chih. Tung berarti
"bersama-sama," dan Chih "memerintah" - dengan demikian artinya "memerintah
bersama-sama." Kalau aku percaya takhayul, aku akan sadar bahwa nama itu sendiri
merupakan pertanda. Perayaan dimulai sehari setelah dia lahir dan berlangsung sebulan penuh. Dalam
waktu semalam Kota Terlarang diubah menjadi festival. Lampion merah digantungkan
di semua pohon. Setiap orang berpakaian merah dan hijau. Lima grup opera
diundang ke Istana untuk mengadakan pertunjukan. Suara musik dan gendang
memenuhi udara. Pertunjukan berlangsung siang malam. Banyak sekali yang mabuk,
baik lelaki maupun perempuan, dari segala usia. Pertanyaan yang paling sering
terdengar adalah,"Kamar kecil di mana ya?"
Sayangnya, semua keriaan ini tidak menghentikan kabar buruk.
Tak peduli berapa banyaknya simbol nasib baik dan kemenangan yang kami kenakan,
di meja perundingan kami selalu kalah dan orang-orang barbar itu. Menteri Chi
Ying dan Sekretaris Agung Kuei Liang, mertua Pangeran Kung, dikirim guna
mewakili Cina. Mereka kembali dengan traktat yang lagi-lagi mempermalukan kami:
tiga belas negara, termasuk Inggris, Prancis, Jepang, dan Rusia telah membentuk
persekutuan melawan Cina. Mereka memaksa kami membuka lebih banyak pelabuhan
untuk candu dan perdagangan.
Aku mengirim seorang kurir kepada Pangeran Kung, mengundangnya untuk bertemu
dengan keponakannya yang baru lahir, namun diam-diam dalam hati aku juga
berharap bahwa dia akan bisa membujuk Hsien Feng menghadiri audiensi.
Pangeran Kung segera datang, dan dia kelihatan kacau.
Kusuguhi dia buah ceri segar serta teh Lung Ching dari Hangchow.
Diminumnya teh itu dalam tegukan-tegukan besar seakan-akan cuma air biasa. Aku
merasa bahwa aku telah memilih saat yang salah untuk mengundangnya datang.
Tetapi saat Pangeran Kung melihat Tung Chih, digendongnya anak itu. Si bayi
tersenyum dan menghanyutkan si paman. Aku tahu Kung berniat bermain dengan Tung
Chih lebih lama, tetapi seorang kurir datang membawa dokumen yang harus
ditandatanganinya, jadi dia harus melepaskan Tung Chih dari gendongannya.
Kuhirup teh sembari menggoyang-goyang tempat tidur Tung Chih. Setelah si kurir
pergi, Pangeran Kung tampak letih. Aku bertanya apakah traktat baru itu yang
membebaninya. Dia mengangguk, tersenyum. "Yang pasti, aku tak merasa seperti baru berumur dua
puluh tiga." Aku tanya apakah dia mau bercerita sedikit tentang traktat itu.
"Apakah memang semengerikan yang kudengar?"
"Kau tak mau tahu soal itu," sahutnya.
"Aku sudah tahu sedikit tentangnya," kataku berterus terang.
"Selama ini aku membantu Yang Mulia mengurus dokumen-dokumen istana."
Pangeran Kung mengangkat mata dan melihat kepadaku.
"Maaf sudah mengagetkan," ujarku.
"Tidak juga," katanya. "Aku hanya berharap bahwa Yang Mulia mau lebih peduli."
"Mengapa kau tak bicara saja lagi dengannya?"
"Kupingnya disumbat dengan kapas." Kung mendesah. "Aku tak bisa
mengoncangkannya." "Aku mungkin bisa memengaruhi Yang Mulia kalau kau bisa memberitahuku soal ini
sedikit," kataku. "Lagipula, aku memang perlu tahu demi Tung Chih."
Kata-kata itu tampaknya masuk akal bagi Pangeran Kung, dan dia mulai berbicara.
Aku terkejut karena ternyata traktat itu mengizinkan bangsa asing untuk membuka
konsulat di Peking. "Masing-masing negara sudah memilih lokasinya sendiri, tak jauh dari Kota
Terlarang," ujarnya.
"Traktat itu mengizinkan kapal dagang asing untuk berlayar di sepanjang pantai
Cina, dan para misionaris akan diberi perlindungan dari Pemerintah."
Tung Chih menangis di gendonganku. Mungkin popoknya perlu diganti. Perlahan aku
mengayunkannya, dan dia pun terdiam.
"Kita juga diharuskan setuju mempekerjakan pengawas asing untuk menjalankan
pabean kita, dan yang paling buruk" - Pangeran Kung berhenti sejenak, lantas
melanjutkan- "kita tak diberi pilihan apa pun selain melegalkan perdagangan
opium." "Yang Mulia takkan mengizinkan hal itu," kataku, membayangkan Pangeran Kung datang untuk meminta tanda tangan abangnya.
"Andai dialah yang berhak memutuskan semua ini. Kenyataannya sekarang adalah, para pedagang asing itu didukung oleh kekuatan
militer negaranya masing-masing."
Kami duduk, memandang ke luar jendela.
Tung Chih mulai menangis lagi. Suaranya tidak keras, juga tidak kuat. Bunyinya
seperti anak kucing. Seorang pelayan datang untuk mengganti popoknya. Setelah
itu aku meninabobokkannya hingga tidur.
Aku memikirkan kesehatan Hsien Feng dan kemungkinan bahwa anakku akan tumbuh
tanpa seorang ayah. "Beginilah jadinya sebuah peradaban berusia lima ribu tahun,"
keluh Pangeran Kung seraya bangkit dari kursinya.
"Aku juga sudah agak lama tak bertemu Yang Mulia," kataku, meletakkan Tung Chih
kembali ke ayunannya. "Apa kalian saling menghubungi?"
"Dia tidak bersedia bertemu denganku. Ketika bersedia, dia menyebut aku dan para
menteri sebagai segerombolan idiot. Dia mengancam akan memenggal Chi Ying dan
ayah mertuaku, mencurigai mereka sebagai pengkhianat. Sebelum Chi Ying dan Kuei
Liang pergi untuk bernegosiasi dengan Orang-orang barbar itu, mereka mengadakan
upacara selamat tinggal dengan keluarga mereka. Mereka yakin akan dipancung
karena melihat bahwa kecil sekali kemungkinannya Yang Mulia akan mendapatkan apa
yang dia inginkan. Keluarga kami minum-minum dan membaca puisi untuk melepas
mereka pergi. Istriku sangat

Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebingungan. Dia menyalahkanku karena telah melibatkan ayahnya. Dia mengancam akan gantung diri
bila sesuatu terjadi atas diri ayahnya."
"Apa yang akan terjadi bila Hsien Feng menolak untuk menandatangani traktat
itu?" "Yang Mulia tak punya pilihan. Pasukan-pasukan asing sudah ditempatkan di
Tientsin. Targetnya adalah Peking. Bayonet mereka sudah ada di tenggorokan
kita." Sambil menatap Tung Chih, Pangeran Kung berkata, "Rasanya aku harus
kembali bekerja sekarang."
Saat kuawasi dia berjalan di sepanjang koridor, aku merasa beruntung karena
setidaknya Tung Chih memiliki orang ini sebagai paman.[]
Lima belas DALAM BEBERAPA PEKAN setelah kelahirannya, Tung Chih siap untuk upacara
pertamanya. Upacara itu disebut Shih-san, atau Tiga Mandi.
Menurut kitab leluhur kami, ritual ini akan menetapkan tempat Tung Chih di
jagatraya. Malam sebelum upacara, istanaku dihias lagi oleh para kasim, yang
membungkus semua tiang dan lis atap dengan kain yang dicelup merah dan hijau.
Pukul sembilan keesokan harinya semua sudah siap. Lampion merah berbentuk labu
digantungkan di depan gerbang-gerbang dari jalan masuk.
Aku gembira sekali karena Ibu, Rong, dan Kuei Hsiang sudah mendapat izin untuk
bergabung denganku. Kunjungan mereka akan menjadi yang pertama sejak aku
memasuki Kota Terlarang. Kubayangkan Ibu akan senang sekali saat kuberikan Tung Chih padanya untuk
dipangku. Kuharap Tung Chih akan tersenyum. Aku ingin tahu bagaimana kabar Rong.
Ada seorang pemuda yang ingin kuperkenalkan kepadanya.
Baru-baru ini Kuei Hsiang mendapat kehormatan dianugerahi gelar Ayahku. Sekarang
dia punya pilihan, apakah tetap tinggal di Peking dan hidup mengandalkan
penghasilan tahunannya, atau mengikuti jejak Ayah, meniti karier di Istana. Kuei
Hsiang memilih yang pertama - bukan kejutan untukku, karena dia memang tak
memiliki kekuatan karakter seperti Ayah. Betapapun, akan menyenangkan bagi Ibu
bila anak lelakinya berada di dekatnya.
Ketika matahari sudah menghangati taman dan wangi bunga mengisi udara, para tamu
mulai berdatangan. Di antara mereka ada selir-selir senior kakek Tung Chih,
Kaisar Tao Kuang. Aku ingat betul wanita-wanita gaek dari Istana Ketenteraman
Kebajikan itu. "Anda harus menganggap kehadiran mereka sebagai suatu kehormatan, Gusti Putri,"
kata An-te-hai. "Mereka jarang keluar ke depan khalayak; penganut Buddha
diharapkan hidup menyendiri."
Para wanita itu tiba berkelompok, mengenakan jubah tipis berwarna tanah. Kotak-
kotak hadiah mereka bukan berwarna merah melainkan kuning, dengan bungkus dibuat
dari daun kering. Belakangan aku tahu bahwa semua kotak itu berisi barang yang sama, arca Buddha
yang tengah duduk, diukir dari sepotong kayu atau batu giok.
Aku berdiri di gerbang menyambut para tamu, mengenakan jubah cantik berwarna
persik. Digendong seorang dayang, Tung Chih terbungkus dalam kain keemasan. Dia
baru saja membuka mata dan tampaknya sedang senang hati, menatap para tamu
dengan wajah bijak. Saat matahari mencapai atas atap, sanak saudara Istana yang
tinggal di luar Kota Terlarang sudah tiba, di antaranya Pangeran Kung, Pangeran
Ts'eng, Pangeran Ch'un beserta fujin-fujin dan anak-anak mereka.
Kaisar Hsien Feng dan Nuharoo muncul di tengah hari.
Kedatangan mereka ditandai dengan dua baris kasim berpakaian warna-warni yang
merentang hingga setengah mil panjangnya. Kursi naga Hsien Feng dan kursi
Pedang Tetesan Air Mata 7 Pendekar Rajawali Sakti 63 Prahara Darah Biru Pendekar Baju Putih 6
^