Pencarian

Empress Orchid 6

Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min Bagian 6


phoenix Nuharoo mendekat ke arah gerbang dari antara barisan kasim ini.
Kaisar telah datang ke Istanaku semalam untuk minum teh. Dia membawakan hadiah
untuk Tung Chih: ikat pinggangnya sendiri, yang terbuat dari surai kuda dengan
lipatan pita-pita sutra putih. Dia berterima kasih padaku karena telah
memberinya seorang anak lelaki.
Kukumpulkan semua keberanianku, mengatakan kepadanya bahwa aku kesepian.
Walaupun aku punya Tung Chih, ucapku, aku tetap merasa kacau dan kehilangan
arah. Kumohon padanya agar tinggal di sini malam ini. "Sudah terlalu lama, Hsien
Feng." Dia mengerti - tapi tak mau menginap. Untuk beberapa bulan terakhir ini dia telah
mengisi setiap kamar yang kosong di Istana Musim Panas dengan gadis-gadis cantik
dan seluruh negeri. Katanya,
"Aku tidak sehat. Dokter menyarankan agar aku tidur sendiri supaya jiwaku tidak
bocor ke luar." Aku mulai mengerti perasaan Nuharoo, para putri Yun, Li, Kei dan Hui, serta
semua yang telah dilupakan dan tak diinginkan lagi oleh sang Putra Surga.
"Aku sudah menandatangani keputusan yang menganugerahimu sebuah gelar baru,"
kata suamiku, seraya bangkit untuk pergi. "Akan diumumkan besok, kuharap kau
akan senang. Mulai sekarang, kau akan memiliki kedudukan dan gelar yang sama
dengan Nuharoo." ---oOo--- Upacara Shih-san dimulai. Para selir langsung menyebar setelah Nuharoo memberi
izin untuk duduk. Mereka semua mengenakan gaun pesta seakan-akan hendak menonton
opera, melihat berkeliling dan mengkritik segalanya.
Nuharoo berkata kepadaku, "Silakan duduk, adik." Matanya melembut, meskipun
garis hitam tebal celak matanya tetap terlihat keras.
Aku duduk pada sebuah kursi di dekatnya. Kerumunan para tamu merasakan bahwa
Nuharoo akan mengatakan sesuatu. Mereka berkumpul mendekat dan memanjangkan
leher guna menunjukkan bahwa mereka tertarik untuk mendengarkan.
"Kasihanilah aku sebagai seorang perempuan," kata Nuharoo pada para tamu. "Aku
bersalah terhadap Yang Mulia Kaisar. Sungguh buruk nasibku tak bisa memberikan
keturunan untuk beliau. Tung Chih adalah kesempatanku untuk menunjukkan
kesetiaanku. Aku sudah merasa bahwa aku adalah ibu Tung Chih saat perut Putri
Yehonala mulai membesar." Dia tersenyum mendengar kata-katanya sendiri.
"Aku jatuh cinta kepada putraku."
Tak ada jejak ironi dalam suaranya. Kuharap aku salah duga tentang maksud-
maksudnya. Kalau yang dimilikinya untuk Tung Chih hanyalah cinta, aku akan
dengan senang hati membiarkan dia melakukan apa pun yang dia inginkan. Tetapi
naluri keibuanku lebih kuat, dan aku merasa bahwa kalau aku percaya dia maka itu
adalah suatu kesalahan. "Semuanya, kemarilah berbagi kebahagiaan denganku!" seru Nuharoo. "Lihatlah
putra surgawiku, Tung Chih!"
Para selir mencoba sekuat tenaga untuk menunjukkan minat.
Wajah mereka tertutup pulasan tata rias dan kepala mereka berat dengan hiasan.
Mereka berlutut dan mendoakan Nuharo serta aku
"umur yang panjang hingga sepuluh ribu tahun." Aku tak merasa nyaman saat
wanita-wanita itu mengelilingi ayunan bayi. Mereka mencium pipi Tung Chih. Bibir
mereka yang diwarnai merah menyala membuatku berpikir tentang serigala yang
mencabik-cabik kelinci menjadi serpihan.
Aku mencium bau tumbuhan obat yang agak tak biasa saat Putri Yun lewat. Dia
mengenakan gaun sutra kuning pucat bersulam bunga krisan. Anting-antingnya
berupa dua bola sebesar kenari yang menjuntai ke bahunya. Saat Putri Yun
tersenyum, tampaklah sepasang lesung pipi.
"Apa si bayi tidur nyenyak sepanjang malam?" tanyanya.
"Belum?" Nuharoo dan aku saling bertatapan.
"Aku mengharapkan ucapan selamat," kata Nuharoo pada Putri Yun.
"Apakah kalian memerhatikan bahwa pohon plum baru saja berbunga?" Seolah tak
mendengar kata-kata Nuharoo, Putri Yun terus berbicara. "Hal yang sungguh-
sungguh aneh terjadi pagi ini di puriku."
"Apa itu?" tanya para wanita yang lain, memanjangkan leher ke arah Putri Yun
seperti sekelompok angsa.
"Di sudut kamar tidurku" - Putri Yun merendahkan suaranya, menjadi bisikan-"aku
menemukan sebuah jamur raksasa. Sebesar kepala manusia!"
Sadar bahwa dia telah mengejutkan para pendengarnya, Putri Yun melanjutkan.
"Masih banyak peristiwa aneh yang akan terjadi.
Ahli nujumku membaca pertanda kematian pada jaring laba-laba di sebatang pohon
osmanthus manis. Tentu saja aku sendiri bukannya tak tahu tentang pertanda
serupa itu. Kaisar Hsien Feng mengatakan kepadaku berkali-kali bahwa dia berubah
menjadi secarik kain dan diterbangkan oleh angin Selatan langsung ke Surga. Yang
Mulia tak menginginkan upacara selamat tinggal. Sudah merupakan keputusannya bahwa kita semua akan menjadi janda."
Nuharoo duduk dengan punggung selurus pohon pinus. Dia mengerjapkan mata dan
memutuskan untuk mengabaikan Putri Yun.
Dia mengambil cangkir teh dan membuka tutupnya untuk menghirup.
Semua yang lain segera mengikuti. Kami semua serentak menenggelamkan hidung ke
dalam cangkir teh masing-masing.
Aku bertanya-tanya apakah Putri Yun waras, sebab ketika aku mengamatinya baik-
baik, garis batas antara kegilaan dan kewarasan kian tak jelas dalam dirinya.
Ada kebenaran dalam kata-katanya saat dia mulai menyanyi "Debu dalam Angin":
Kau bertanya kapankah aku akan datang
Apa boleh buat, tidak sekarang, tidak sekarang ...
Betapa hujan mengisi kolam pada malam pertemuan kita!
Ah, apakah kita akan bisa mencium aroma lilin lagi Dan mengingat kembali jam-jam
kebahagiaan malam berhujan itu"
Akhirnya tandu ibuku mencapai pintu samping Gerbang Kemurnian Surgawi. Pada saat
aku melihat ibu keluar, air mataku jatuh berderai. Ibu telah bertambah renta,
bersandar tanpa daya pada lengan Rong dan Kuei Hsiang. Sebelum aku sempat
menyelesaikan penyambutan resmiku, Ibu meledak: "Selamat, Anggrek. Aku tak
menyangka masih bisa hidup untuk melihat cucuku."
"Saat yang membahagiakan telah tiba!" Seruan kepala Kasim Shim terdengar dan
jalan masuk Istana. "Musik dan kembang api!"
Dituntun oleh kasim yang dilatih khusus untuk acara ini, aku bergerak di antara
kerumunan. Kutanya Kaisar apakah ibu boleh duduk di sampingku, dan dia
mengabulkan permintaanku. Keluargaku begitu gembira hingga mereka menangis.
Dengan susah payah, ibu membungkuk dan menyentuh Tung Chih untuk pertama
kalinya. "Aku siap untuk menemui Ayahmu dengan damai," kata ibu kepadaku.
Setelah kami duduk, Rong dan Kuei Hsiang melapor bahwa mereka sudah membawa ibu
ke dokter-dokter terbaik di Peking. Ibu tampak amat rapuh. Kugenggam kedua
tangan ibu dalam tanganku.
Menurut kebiasaan, keluargaku tak bisa menginap di Kota Terlarang dan kami harus
berpisah saat upacara selesai. Pikiran bahwa aku mungkin saja takkan bisa
menemui Ibu lagi amat menggangguku hingga aku mengabaikan permintaan Nuharoo
agar aku bergabung dengannya menyambut para pejabat Istana.
"Coba pikir begini, Anggrek," kata ibu, berusaha menghiburku.
"Mati akan menjadi istirahat bagiku, karena aku merasa sangat kesakitan."
Aku meletakkan kepala di bahu ibu dan tak bisa mengatakan apa pun.
"Jangan merusak saat-saat ini, Anggrek." Ibu tersenyum.
Aku berusaha agar tampak ceria. Tampak seperti mimpi saja bagiku, semua orang
ini ada di sini untuk anak lelakiku.
Kuei Hsiang sudah mulai bergabung dengan para tamu dan aku bisa mendengarnya
tertawa. Agaknya anggur beras yang disediakan sudah mulai bereaksi.
Rong tampak makin cantik tetapi lebih kurus daripada ketika aku bertemu dia
terakhir kali. "Masa depan Rong belum pasti, dan itu membuatku cemas," ujar Ibu seraya
mendesah. "Dia tidak seberuntung dirimu. Belum ada lamaran yang cukup pantas
untuknya, dan usianya sudah lebih dari dua puluh tahun."
"Ada seseorang yang ingin kuperkenalkan dengan Rong," kataku kepada Ibu.
"Aku tak sabar ingin mendengar namanya."
"Dia adik laki-laki ketujuh Hsien Feng yang baru-baru ini jadi duda, Pangeran
Ch'un." Ibu sangat gembira.
"Tetapi," aku memperingatkan, "'Duda' tidak berarti bahwa Pangeran Ch'un tak
punya istri lain, atau selir. Artinya cuma posisi istri pertama yang sedang
kosong." "Begitu." Ibu mengangguk. "Tetap saja, Pangeran Ch'un akan merupakan suatu
kesempatan yang baik sekali untuk Rong. Dia akan menjadi Nuharoonya rumah tangga
Pangeran Ch'un, begitu kan?"
"Itu betul, Ibu - kalau dia bisa menarik perhatian Pangeran Ch'un."
"Apa lagi yang bisa diminta sebuah keluarga dengan latar belakang seperti kita"
Hidup yang bebas dari kelaparan - itulah yang kuinginkan untuk anak-anakku.
Perkawinanku dengan Ayahmu adalah hasil perjodohan. Kami tak pernah bertemu
sebelum hari pernikahan. Tetapi ternyata berhasil dengan baik, bukan?"
"Lebih dari sekadar baik, Bu."
Kami terdiam beberapa saat, jari-jemari kami saling menjalin.
Lalu Ibu berkata, "Yang kupikirkan adalah, kau dan Rong bisa dekat kalau
perjodohan ini berhasil. Keinginan terakhirku di bumi nanti adalah agar kalian
bisa saling menjaga. Di samping itu, Rong bisa menjadi sepasang mata tambahan
bagimu, untuk menjaga keselamatan Tung Chih."
Aku mengangguk mendengar kebijakan Ibu.
"Sekarang pergilah menemui adikmu, Anggrek," kata Ibu, "dan biarkan aku
menghabiskan beberapa saat berdua saja bersama cucuku."
Aku mendekati Rong dan mengajaknya ke bagian belakang taman. Kami duduk di
sebuah paviliun batu kecil. Kujelaskan pikiranku dan keinginan Ibu. Rong sangat
senang karena aku menepati janjiku mencarikan dia jodoh.
"Apakah Pangeran Ch'un akan menyukaiku?" Tanyanya.
"Bagaimana aku harus mempersiapkan diri?"
"Kita lihat saja nanti apakah dia yang akan lebih dulu jatuh suka padamu.
Pertanyaanku padamu adalahdan ini penting sekali - apakah kau akan sanggup menanggung semua penderitaan ?"yang sudah kutanggung?"
"Penderitaan" Kau cuma mengolok-olokku, kan?" Segulung keraguan menyerbu
pikiranku. Rong sama sekali tak mengerti apa yang tengah kubicarakan.
"Rong, hidupku tidak seperti apa yang tampak. Kau harus mengerti ini. Aku tak
ingin menjadi penyebab penyesalanmu. Aku tak ingin menyebabkan sebuah tragedi."
Rong memerah. "Tetapi, Anggrek, aku hanya berharap bisa memperoleh kesempatan
yang sama denganmu. Aku ingin semua wanita di Cina iri kepadaku."
"Jawab pertanyaanku, Rong, tolonglah. Bisakah kamu tahan jika wanita lain
mengambil suamimu?" Rong berpikir lebih dahulu dan kemudian menyahut. "Kalau itu adalah apa yang
terjadi selama ratusan tahun, aku tak tahu mengapa aku harus berkeberatan."
Aku menghela napas panjang dan memberikan peringatan terakhirku. "Kalau kau
jatuh cinta kepada seorang pria, kau akan berubah. Kukatakan ini dan
pengalamanku sendiri - rasa sakitnya tak tertahankan. Kau akan merasakan hatimu
seolah digoreng dalam wajan panas."
"Kalau begitu lebih baik aku memastikan untuk tidak jatuh cinta."
"Kau mungkin takkan bisa mengontrolnya."
"Mengapa?" "Yah, karena mencintai adalah hidup itu sendiri - setidak-tidaknya itu benar
untukku." "Kalau begitu, apa yang harus kulakukan, Anggrek?"
Kebingungan, mata Rong melebar.
Kesedihan mengisi dadaku dan aku harus berdiam diri guna mengontrol diriku.
Rong melekatkan pipinya dengan lembut ke pipiku. "Kau pasti telah jatuh cinta
kepada Kaisar Hsien Feng."
"Aku ... memang tolol."
"Aku akan mengingat-ingat pelajaran darimu, Anggrek. Aku tahu itu pasti berat
sekali. Namun tetap saja aku iri pada kakak perempuanku. Tak pernah ada lelaki
yang layak dalam hidupku.
Membuatku berpikir bahwa aku ini tak menarik."
"Kau tahu itu sama sekali tidak benar, Rong. Sejelek apa dirimu kalau kakakmu
adalah istri Kaisar, wajahnya Cina?"
Rong tersenyum dan mengangguk.
"Itu betul, kau sudah bertambah cantik." Kulingkarkan lenganku di seputar
bahunya. "Mulai sekarang aku ingin kau menyadari kecantikanmu setiap menit."
"Apa artinya 'menit'?"
"Itu adalah jarum pada sebuah jam."
"Jam itu apa?" "Yah, nanti akan kuperlihatkan kepadamu. Jam adalah mainan Kaisar. Jam
menunjukkan waktu. Ia bersembunyi dalam kotak-kotak logam, seperti keong dalam
rumahnya. Setiap kotak memiliki jantung kecil yang berdetak di dalamnya."
"Seperti makhluk hidup?"
"Ya. Tetapi jam tidak hidup. Sebagian besar benda tersebut dibuat oleh orang-
orang di negeri-negeri asing. Kau akan punya banyak jam bila menikah dengan
Pangeran Ch'un." Kukeluarkan kuas bedakku. "Dengar, Rong," kataku. "Sebagai adik dari selir
kesayangan Kaisar, kau harus tahu bahwa lelaki mati-matian ingin memilikimu,
tetapi mungkin mereka tak cukup berani untuk datang menemuimu dan mengatakan apa
yang mereka pikirkan. Aku akan bicara dengan Yang Mulia tentang perjodohanmu dengan adiknya. Kalau aku
sudah mendapatkan restunya, selebihnya akan mudah saja."
---oOo--- Saat aku dan Rong kembali pada Ibu dan Kuei Hsiang, musik dan kembang api sudah
berakhir. Kepala Kasim Shim mengumumkan bahwa bagian awal dari upacara telah
selesai, dan bagian kedua, Mandi dalam Emas, kini akan dimulai. Mengikuti aba-
aba Shim, empat orang kasim membawa keluar sebuah bak dari emas. Mereka
meletakkan bak itu di tengah pekarangan tertutup, di bawah sebatang pohon
magnolia yang tengah berbunga, dan mengisinya dengan air.
Pemanas batu bara diletakkan di sekitar bak.
Sekelompok pelayan wanita berlutut di dekat bak itu, sementara dua orang ibu-
susu membawa anakku keluar. Para pelayan membuka pakaian Tung Chih dan
meletakkannya di dalam bak. Dia memekik, tetapi protesnya diabaikan. Para
pelayan itu memegangi lengan dan kakinya yang kecil seperti akan menguliti
seekor kelinci. Semua orang sepertinya menganggap ini sebagai hiburan. Setiap
pekikan anakku menyakitiku. Sulit sekali untuk tetap duduk diam, tetapi aku tahu
aku harus bertahan. Ada harga yang harus dibayar untuk kedudukan Tung Chih.
Setiap upacara akan mendekatkannya menjadi seorang pewaris takhta yang sah.
Di bawah tatap ratusan pasang mata, Tung Chih mendapat pengalaman mandinya yang
pertama. Semakin lama dia semakin tampak terganggu.
"Lihat, ada sebuah noda hitam di bawah ketiak kanan Tung Chih!" Nuharoo bangkit
dari kursinya dan berlari ke arahku. Dia sudah berganti baju dengan gaun kedua
untuk acara ini. "Apa itu tanda yang kurang baik?"
"Itu tanda lahir," kataku kepadanya. "Aku sudah berkonsultasi dengan Dokter Sun
Pao-tien dan dia bilang tak usah khawatir."
"Aku tak mau percaya pada Sun Pao-tien," kata Nuharoo. "Aku belum pernah melihat
tanda lahir serupa ini - terlalu besar dan terlalu gelap. Aku harus berkonsultasi
pada ahli nujumku segera." Berbalik ke arah bak, dia memperingatkan para
pelayan, "Jangan coba-coba membujuk Tung Chih agar tak menangis. Biarkan saja!
Dia memang harus merasa tak enak. Memang itu maksudnya upacara ini. Makin keras
tangisannya, makin bagus kesempatannya untuk tumbuh besar dengan kuat."
Kupaksa diriku untuk berjalan menjauh supaya aku tak meninju Nuharoo di dadanya.
Angin berembus. Kelopak bunga berwarna merah jambu berguguran dan pohon-pohon
magnolia. Ada beberapa yang masuk ke dalam bak. Para pelayan mengambil kelopak
bunga ini dan memperlihatkannya kepada Tung Chih agar dia diam. Pemandangan
mandi di bawah pohon magnolia ini tentu akan tampak indah kalau saja si bayi
tidak dalam keadaan tersiksa. Aku tak tahu berapa lama Tung Chih harus duduk di
dalam air. Aku mendongak ke atas, ke arah matahari, dan berdoa semoga ia akan
terus bersinar. ---oOo--- "Pakaian!" Kepala Kasim Shim berseru dengan penuh gaya. Para pelayan dengan
cepat menghanduki dan mendandani Tung Chih, yang begitu letih hingga tertidur di
tengah-tengah kegiatan itu. Dia tampak seperti sebuah boneka kain. Tetapi
upacara ini masih jauh dari selesai.
Setelah bak tadi dikosongkan, Tung Chih yang tengah tidur itu dimasukkan
kembali. Beberapa lama yang mengenakan jubah berwarna matahari duduk melingkari
si bayi dan mulai membaca wirid.


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hadiah!" teriak Kepala Kasim Shim.
Dipimpin oleh Kaisar Hsien Feng, para tamu maju untuk memberikan hadiah.
Setiap kali sebuah kotak hadiah dibuka, Shim akan mengumumkan isinya.
"Dari Yang Mulia Kaisar, empat batang emas dan dua batang perak!"
Para kasim menyingkirkan bungkusnya, yang memperlihatkan sebuah kotak
berselempang merah. Kepala Kasim Shim melanjutkan lagi. "Dari Yang Mulia Permaisuri Nuharoo, delapan
batang emas dan satu batang perak, delapan ruyi nasib baik, empat keping uang
emas dan perak, empat jaket musim dingin, empat celana musim dingin, empat
pasang kaus kaki dan dua buah bantal!"
Para tamu yang lain mempersembahkan hadiah mereka, menurut kedudukan dan
generasi. Sumbangan hadiah itu kurang lebih sama, kecuali jumlah dan
kualitasnya. Tak ada yang boleh mengalahkan hadiah dari pasangan pertama, dan
sebenarnya takkan ada yang benar-benar menggunakan hadiah-hadiah itu. Semuanya
akan dibungkus dan dibawa ke gudang Istana atas nama Tung Chih.
Hari berikutnya, aku bangun sebelum fajar agar bisa menghabiskan waktu bersama
anakku. Kemudian ritual Shih-san dilanjutkan kembali.
Sekali lagi Tung Chih direndam di dalam bak.
Dia sudah duduk dalam air selama satu seperempat jam.
Matahari bersinar, tetapi udara bulan Mei dingin. Anakku bisa terkena flu dengan
mudah. Kelihatannya tak ada yang peduli soal ini. Setelah Tung Chih bersin
beberapa kali, aku menyuruh An-te-hai untuk memasang sebuah tenda guna
melindungi Tung Chih dari angin.
Namun Nuharoo menentang gagasan ini. Katanya tenda itu akan menghalangi nasib
baik Tung Chih. "Tujuan mandi ini adalah untuk membukakan Tung Chih pada
kekuatan gaib alam semesta."
Aku menolak untuk menyerah padanya kali ini. "Tenda itu harus tetap dipasang,"
aku bersikeras. Nuharoo tak mengatakan apa-apa. Tetapi ketika aku pergi ke kamar mandi, tenda
itu disingkirkan. Aku tahu aku gila kalau berpikir bahwa maksud Nuharoo adalah
agar anakku terjangkit penyakit, tetapi mau tak mau pikiran itu terus terlintas
di benakku. Nuharoo berkata bahwa kami tak berhak mengubah tradisi. "Dari Kaisar ke Kaisar
lainnya, semua pewaris takhta telah dimandikan dengan cara yang sama."
"Tetapi nenek moyang kita adalah manusia yang berbeda,"
bantahku. "Mereka hidup di atas punggung kuda, pergi ke mana-mana setengah
telanjang." Kuingatkan Nuharoo bahwa ayah Tung Chih adalah lelaki yang lemah
kesehatannya dan berat badan Tung Chih kurang saat lahir.
Nuharoo terdiam tetapi tak menyerah.
Tung Chih mulai bersin. Tak bisa lagi mengendalikan diri, aku berjalan ke arah bak dan mendorong para
pelayan ke tepi. Kusambar Tung Chih dan lari ke dalam.
Pelbagai upacara dan perayaan terus saja berlangsung. Di tengah-tengah itu semua
seorang tukang kebun menemukan boneka sihir dikubur di tamanku. Pada dada boneka
itu ada dua huruf hitam berbunyi "Tung Chih."
Kaisar Hsien Feng memanggil semua istri dan selirnya - dia ingin memecahkan
kejahatan ini sendiri. Aku berdandan dan pergi ke Istana Putri Yun. Aku tak tahu
mengapa kami harus bertemu di sana. Di tengah jalan aku bertemu Nuharoo. Dia
datang dari istana lain dan sama tak tahunya tentang apa yang terjadi.
Ketika kami mendekat ke arah istana Putri Yun terdengar suara-suara terisak.
Kami bergegas menuju balairung dan menemukan Kaisar tengah murka. Hsien Feng
masih mengenakan jas kamarnya, di dekatnya berdiri dua kasim membawa cambuk.
Beberapa kasim dan pelayan berlutut di lantai. Di antara mereka, di baris
terdepan, adalah Putri Yun. Dia mengenakan gaun sutra merah muda. Dialah yang
tersedu-sedu tadi. "Berhentilah menangis," kata Kaisar Hsien Feng. "Sebagai seorang perempuan
terhormat, bagaimana bisa kau merendahkan diri sendiri seperti ini?"
"Saya tidak melakukan itu, Yang Mulia!" Putri Yun mendongak untuk menatap
Kaisar. "Saya sangat gembira akan kelahiran Tung Chih. Saya tak puas-puas
merayakannya. Kalau saya harus digantung gara-gara ini saya takkan mati dengan
mata terpejam!" "Semua orang di Kota Terlarang mengenali tulisan tanganmu."
Kaisar menaikkan suaranya. "Bagaimana mungkin setiap orang bisa salah
mengenali?" "Gaya kaligrafi saya bukan rahasia," protes Putri Yun. "Saya dikenal karena
karya seni saya. Sangat mudah bagi siapa saja untuk meniru gaya saya."
"Tetapi salah satu pelayanmu memergokimu tengah membuat boneka itu."
"Itu pasti Dee. Dia mengarang semua ini karena dia membenci saya."
"Kenapa Dee membencimu?"
Putri Yun melihat berkeliling. Matanya menangkap Nuharoo.
"Dee diberikan kepada saya oleh Yang Mulia Permaisuri Nuharoo, sebagai hadiah.
Saya tak pernah menginginkan dia. Saya menghukumnya beberapa kali karena dia
'mengendus-endus' ke sana kemari-"
"Umur Dee baru tiga belas tahun," potong Nuharoo. "Menuduh seseorang yang tak
bersalah untuk menutupi kejahatanmu itu perbuatan yang amat tercela." Dia
berpaling kepadaku seakan mencari dukungan. "Dee dikenal karena sifatnya yang
manis, bukankah begitu?"
Karena sama sekali tak siap untuk menjawab, aku merunduk.
Nuharoo berbalik pada Hsien Feng. "Yang Mulia, bisakah saya mendapat izin untuk
melaksanakan kewajiban saya?"
"Ya, Permaisuriku."
Mendengar ini Putri Yun menjerit, "Baiklah, saya akan mengaku!
Saya tahu persis siapa yang mengatur semua ini. Seekor rubah jahat dalam kulit
manusia! Dikirim setan untuk menghancurkan Wangsa Ch'ing. Tetapi ada lebih dari
satu rubah di Kota Terlarang - rubah jahat itu sudah memanggil gerombolannya.
Kau," ditunjuknya Nuharoo,
"adalah salah satu dari mereka. Dan kau," dia menunjukku, "kau juga.
Yang Mulia, sekarang waktunya menganugerahi saya dengan tambang sutra putih agar
saya bisa mendapat kehormatan untuk menggantung diri sendiri."
Ini menimbulkan kegemparan di aula itu. Keributan mereda saat Putri Yun bicara
lagi. "Saya ingin mati. Hidup saya selama ini terasa seperti di neraka.
Saya sudah melahirkan seorang Putri untuk Paduka," dia menunjuk Kaisar Hsien
Feng, "dan Paduka memperlakukannya bagaikan sepotong sampah. Begitu usianya tiga
belas, Paduka akan menyingkirkannya, mengawinkannya dengan seorang kepala suku
biadab dari perbatasan untuk alasan perdamaian. Paduka akan menjual anak
sendiri..." Putri Yun mendadak berhenti. Dua lesung pipinya membentuk sebuah seringai yang
aneh. "Jangan mengira saya ini tuli. Selama ini saya mendengar Paduka dan
menteri-menteri membicarakan hal ini.
Saya tak diperbolehkan bicara tentang penderitaan saya, tetapi hari ini, suka
atau tidak, Paduka akan mendengarkan segala hal yang ingin saya katakan. Tentu
saja saya cemburu melihat cara Tung Chih diperlakukan. Tentu saja saya menangis
untuk nasib buruk putriku, Jung, dan saya bertanya pada Langit mengapa saya tak
diberi seorang anak lelaki ... Coba kutanya, Hsien Feng, tahukah Paduka kapan
hari ulang tahun anak perempuan Paduka" Sudah berapa lama sejak Paduka
mengunjunginya terakhir kali" Saya berani bertaruh Paduka tak bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan saya tadi. Hati Paduka telah dikunyah habis oleh rubah-
rubah itu!" Nuharoo mengeluarkan saputangan dan mulai menepuk wajahnya. "Saya khawatir Putri
Yun tak memberikan pilihan lain pada Yang Mulia."
"Selesaikan urusan ini untukku, Nuharoo." Kaisar Hsien Feng bangkit dan keluar
dari balairung dengan kaki telanjang.
Putri Yun menggantung diri malam itu. Berita tersebut dibawa An-te-hai kepadaku
pagi harinya saat aku tengah sarapan. Perutku langsung mual. Selama sisa hari
itu aku bisa melihat wajah Putri Yun di balik setiap pintu dan jendela. Aku
minta An-te-hai untuk terus berada dekat-dekat saat aku memeriksa dan memeriksa
lagi ayunan Tung Chih. Aku ingin tahu mengenai anak perempuan Putri Yun, Putri
Jung. Aku ingin sekali bisa mengundang gadis kecil itu untuk tinggal bersamaku
dan adik tirinya selama beberapa saat. Kata An-te-hai balita malang itu telah
diberi tahu bahwa ibunya pergi menempuh suatu perjalanan yang sangat jauh. Para
kasim dan pelayan sudah diperintahkan untuk merahasiakan kematian Putri Yun.
Gadis itu akan mengetahui kebenarannya dengan cara yang paling kejam: dia akan
mendengar gosip tentang kematian ibunya dari saingan-saingan Putri Yun, yang
ingin melihat gadis itu menderita.
Tengah malam Nuharoo datang tanpa pemberitahuan lebih dulu.
Para kasimnya mengetuk gerbangku begitu keras hingga mereka nyaris
meruntuhkannya. Begitu aku datang menyambut, Nuharoo melemparkan diri padaku,
memelukku. Wajahnya pucat dan suaranya terbata-bata. "Dia mengejarku!"
"Siapa yang mengejarmu?" tanyaku.
"Putri Yun!" "Bangun, Nuharoo. Itu pasti cuma mimpi buruk."
"Dia berdiri di dekat tempat tidurku, mengenakan gaun tembus pandang kehijauan,"
Nuharoo terisak. "Darah melumuri dadanya.
Lehernya terpotong dari depan, seperti ditebas kapak, kepalanya tergantung-
gantung di punggung, tersambung dengan lehernya hanya oleh sepotong tipis kulit.
Aku tak bisa melihat wajahnya, tetapi kudengar suaranya mengatakan, "Seharusnya
aku digantung, bukan dipancung." Dia bilang dia dikirim hakim akhirat untuk
mencari pengganti. Supaya bisa lahir kembali pada penitisan berikutnya, dia
harus membuat si pengganti mati dengan cara yang sama seperti dirinya."
Aku menghibur Nuharoo, tetapi sebenarnya aku sendiri takut sekali. Nuharoo
kembali ke istananya dan melahap semua buku tentang hantu yang dimilikinya.
Beberapa hari kemudian dia mengunjungiku dan berkata bahwa dia telah menemukan
sesuatu yang sebaiknya juga kuketahui.
"Hukuman terburuk untuk hantu perempuan adalah dibuang di
'Kolam Darah Kotor.'" Nuharoo memperlihatkan sebuah buku dengan ilustrasi
menyeramkan tentang "Departemen Azab" yang tengah bekerja di akhirat. Kepala-
kepala terpenggal yang berambut panjang terapung-apung dalam sebuah kolam merah
tua - tampak seperti kue bola dalam air mendidih.
"Lihat ini" Inilah yang ingin kubicarakan denganmu," ujar Nuharoo. "Darah di
kolam ini adalah darah menstruasi dari semua wanita. Dalam kolam itu juga ada
ular berbisa, dan kalajengking, yang makan mereka yang baru saja mati. Mereka
adalah penjelmaan orang-orang yang berbuat kejahatan selama hidupnya."
"Bagaimana kalau aku tak pernah melakukan kejahatan serius selama hidupku?"
Tanyaku. "Anggrek, pengadilan di akhirat itu berlaku untuk semua perempuan. Itu sebabnya
kita membutuhkan agama. Agama Buddha membantu kita untuk bertobat dan dosa yang
kita perbuat semata-mata dengan menjadi perempuan dan menjalani kehidupan
kebendaan ini. Kita harus melepaskan segala kesenangan duniawi dan berdoa
meminta pengampunan Langit. Kita harus melakukan segala yang kita bisa untuk
mengumpulkan kebajikan. Hanya dengan cara itu kita bisa punya kesempatan untuk
terhindar dan Kolam Darah Kotor."[]
Enam belas PADA HARI ULANG TAHUNNYA yang pertama anak lelakiku akan dihadapkan pada sebuah
baki yang dipenuhi berbagai barang. Dia diharapkan untuk memungut satu barang
yang akan memberi petunjuk pada keluarga Kekaisaran tentang karakternya di masa
depan. Ini disebut Chua-tsui-p'an, Menangkap masa depan dalam sebuah Panci. Para
pejabat Istana yang penting turut diundang untuk menyaksikan.
Orang-orang kasim Tung Chih telah sibuk sepanjang pekan, mempersiapkan peristiwa
itu. Dinding-dinding, pilar, pintu-pintu, dan bingkai jendela istanaku dicat
baru warna merah terang. Palang-palang dan penyangga atap diberi aksen biru,
hijau dan emas. Atap dengan genting keemasannya berkilauan dengan latar belakang
langit Utara yang cerah, bagai sebuah mahkota emas. Teras-teras marmer putih
tampak megah dengan ukiran mereka yang indah.
Upacara dibuka di Balairung Kerahiman Jasmaniah, di sudut Timur Istana, tempat
sebuah altar telah didirikan. Di atas altar itu ada sebuah spanduk besar
menjelaskan tentang ritual tersebut. Di tengah balairung diletakkan sebuah meja
kayu merah segi empat. Sebuah baki seukuran daun lotus tua, lebih besar daripada
bak mandi anak-anak, diletakkan di atasnya. Sederetan benda-benda simbolis
diatur di situ: segel Kekaisaran, buku Konfusius Tentang Musim Gugur den Musim
Semi, kuas menulis dari bulu kambing, sebatang emas, sebatang perak, sebuah
teka-teki, pedang hiasan, botol minuman kecil, kunci emas, dadu gading, kotak
rokok perak, jam musikal, cambuk kulit, mangkuk keramik biru berhias lukisan
pemandangan, kipas antik bertuliskan sajak gubahan seorang penyair Ming
terkenal, jepit rambut kumala hijau dihiasi kupu-kupu, anting berbentuk pagoda
dan bunga peoni merah muda.
Anakku dipisahkan dariku pagi ini, untuk memastikan bahwa dia akan bertindak
atas kemauannya sendiri. Selama beberapa pekan belakangan aku berusaha keras
membimbingnya untuk mengambil
"pilihan yang benar." Kuperlihatkan sebuah peta Cina kepadanya, gambar-gambar
pemandangan berwarna-warni, dan, tentu saja, benda yang harus dipilihnya, segel
Kerajaan - hanya tiruan saja tentunya, digunakan hanya untuk latihan. An-te-hai
membuatnya dari sepotong balok kayu. Aku mencapkan "segel"nya di papan-papan
yang berbeda untuk menarik perhatian Tung Chih. Tetapi dia lebih tertarik pada
jepit-jepit di rambutku. Para tamu duduk dengan tenang di balairung, menunggu Tung Chih beraksi. Di
hadapan ratusan orang, aku berlutut di depan altar dan menyulut dupa.
Kaisar Hsien Feng dan Nuharoo duduk di kursi tengah. Kami berdoa sementara asap
dupa mulai memenuhi ruangan. Teh dan kacang-kacangan disuguhkan. Saat sinar
matahari mengenai palang-palang balairung, Tung Chih dibawa masuk oleh dua orang
kasim. Dia mengenakan jubah kuning bersulam naga, dan melihat berkeliling dengan
mata membesar. Para kasim meletakkannya di meja. Tung Chih melonjak-lonjak, tak
bisa duduk tenang. Entah bagaimana para kasim berhasil membuat si bayi
membungkuk pada ayah, kedua ibunya, serta potret para leluhur.
Aku merasa amat lemah dan sendirian, berharap seandainya Ibu, atau setidaknya
Rong, ada di sini. Dulu ritual ini tak dianggap serius, ketika orang-orang
datang hanya untuk bercanda dengan si bayi dan tertawa-tawa. Akan tetapi hari-
hari ini ahli nujumlah yang berkuasa - para bangsawan Manchu tak lagi yakin akan
diri mereka sendiri. Semuanya tergantung pada "kehendak Langit".
Bagaimana seandainya Tung Chih mengambil bunga atau jepit rambut, bukannya segel
Kekaisaran" Apakah orang-orang kelak akan menyebut anakku pesolek" Bagaimana
dengan jam itu" Tidakkah dia akan tertarik mendengar suara detaknya"
Oto Tung Chih basah oleh air liur. Ketika para kasim melepaskannya, dia
merangkak ke arah baki. Dia sedemikian terbungkus oleh pakaiannya sehingga
gerak-geriknya tampak kikuk.
Orang-orang mencondong ke depan, menonton dengan tegang. Aku menangkap kerlingan
Nuharoo ke arahku, dan kucoba untuk tampak percaya diri. Aku terkena flu malam
sebelumnya dan kepalaku terasa sakit. Aku terus-menerus minum bergelas-gelas air
untuk menenangkan diri. Tung Chih berhenti merangkak lalu menjangkau ke arah baki.
Aku merasa seolah dirikulah yang berada di meja. Mendadak saja aku merasa perlu
ke WC. Aku bergegas keluar balairung, menyingkirkan para pelayan sebelum mereka dapat
mengikutiku. Duduk di pispot, aku menarik napas panjang beberapa kali. Rasa
sakit di bagian kanan kepalaku sudah menyebar ke bagian kiri. Aku bangkit,
mencuci tangan dan wajahku dengan air dingin. Saat kembali memasuki balairung,
kulihat Tung Chih sedang menggigit-gigit otonya.
Orang-orang masih menunggu dengan sabar. Penantian mereka membuatku putus asa.
Salah sekali menimpakan seluruh beban Cina di atas pundak seorang bayi! Tetapi
aku tahu bahwa anakku akan diambil dariku kalau aku berani mengeluarkan
pernyataan semacam itu. Tung Chih sudah hendak merosot turun dari meja. Para kasim mengambilnya, lalu
memutarnya kembali. Sebuah adegan terlihat di otakku: pemburu-pemburu melepaskan
seekor kijang, hanya untuk membunuhnya kemudian dengan anak panahnya. Pesan yang
bisa ditarik tampaknya adalah: kalau kijang itu tak cukup kuat untuk kabur, dia
layak dibunuh. Kaisar Hsien Feng berjanji bahwa aku akan diberi hadiah bila Tung Chih "beraksi
dengan baik." Bagaimana mungkin aku bisa mengarahkan dia"
Semakin kubaca spanduk di atas altar, semakin takut hatiku.
... Bila sang Pangeran mengambil segel Kekaisaran, dia akan menjadi Kaisar yang
diberkati segala kebajikan Langit. Bila dia mengambil kuas untuk menulis, emas,
perak, atau pedang, dia akan memerintah dengan kecerdasan dan kekerasan hati.
Tetapi bila dia mengambil bunga, anting-anting, atau jepit rambut, maka dia akan
tumbuh menjadi pencari kesenangan. Bila dia memilih botol minuman, dia akan jadi
pemabuk; bila mengambil dadu, dia akan memperjudikan dinastinya...
Tung Chih mempelajari setiap benda tetapi tak memungut sebuah pun. Balairung itu
demikian sunyi hingga aku bisa mendengar suara air mengalir di seluas taman. Aku
berkeringat, kerah bajuku terasa ketat.
Tung Chih memasukkan sebuah jari ke mulut. Dia pasti lapar!


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemungkinan bahwa dia akan mengambil segel batu itu mulai memudar.
Dia melanjutkan merangkak. Tampaknya kali ini agak tertarik.
Para kasim meletakkan tangan-tangan mereka di sekitar tepian meja untuk mencegah
Tung Chih terjatuh. Kaisar Hsien Feng mencondongkan tubuh di singgasana naganya. Dia memegang
kepalanya dengan kedua tangan seolah kepala itu terlalu berat, memindah-
mindahkan beban dari satu siku ke siku lainnya.
Tung Chih berhenti. Dipusatkannya tatapannya pada bunga peoni merah muda itu.
Dia tersenyum, tangannya terjulur, turun dari mulut ke arah bunga.
Aku memejamkan mata. Kudengar Hsien Feng mendesah.
Kekecewaan" Kegetiran"
Saat kubuka mata, Tung Chih telah berpaling dari bunga itu.
Apakah dia teringat bahwa aku menghukumnya saat dia mengambil bunga, dalam
latihan" Aku memukulnya, lalu aku sendiri menangis. Bekas jariku terpeta merah
di bokong kecilnya dan aku membenci diriku sendiri karenanya.
Putraku mengangkat dagunya yang mungil. Apa yang dicarinya"
Akukah" Melupakan sopan santun, aku melambai dan antara kerumunan, dan berhenti
di hadapannya. Aku tersenyum, menggunakan mataku untuk menggambar sebuah garis
dari hidung Tung Chih ke segel Kekaisaran.
Si kecil langsung beraksi. Dengan satu gerakan pasti disambarnya segel itu.
"Selamat, Yang Mulia!" semua orang bersorak. Menangis karena gembira, An-te-hai
lari ke pekarangan. Roket kembang api ditembakkan ke angkasa. Ratusan ribu bunga kertas mekar
membuka di angkasa. Kaisar Hsien Feng melompat dari kursinya dan mengumumkan,
"Menurut catatan sejarah, sejak berdirinya Dinasti Ch'ing di tahun 1644, hanya
ada dua Pangeran yang mengambil segel Kekaisaran.
Mereka adalah Kaisar-kaisar paling berhasil di Cina: Kang Hsi dan Chien Lung.
Putraku, Tung Chih, agaknya akan menjadi yang berikut!"
Sehari setelah upacara, aku berlutut di hadapan altar Kuil.
Walaupun aku sangat letih, aku merasa bahwa aku tak boleh mengabaikan para Dewa
yang telah menolongku. Aku membuat persembahan untuk menunjukkan rasa terima
kasihku. An-te-hai membawa masuk seekor ikan hidup di atas piring keemasan. Ikan
itu ditangkap di danau dan diikat dengan pita merah. Terburu-buru kutuangkan
anggur ke atas batu-batu jalan setapak karena ikan itu harus dikembalikan hidup-
hidup ke danau. An-te-hai meletakkan piring dengan ikan di atasnya dengan hati-hati ke dalam
sebuah tandu, memperlakukannya seperti manusia. Di danau aku melepaskan si ikan,
yang langsung melompat ke dalam air.
Untuk mengamankan masa depan putraku dan meningkatkan berkah dari semua dewa,
An-te-hai membeli sepuluh sangkar burung berharga untuk dilepaskan olehku. Aku
menyelamatkan Burung-burung itu atas nama Tung Chih.
---oOo--- Berita baik menyambutku saat aku kembali ke Istana. Rong dan Pangeran Ch'un
bertunangan. Ibu amat bahagia.
Menurut Kaisar Hsien Feng, adiknya hanya punya sedikit bakat, begitu juga
ambisi. Dalam perkenalannya dengan Rong, Pangeran Ch'ung sendiri menggambarkan
dirinya sebagai "pemuja ajaran Konfusius," artinya dia menjalani kehidupan
pribadi yang bebas. Sementara dia menikmati keuntungan yang didapatnya dari posisi sebagai
bangsawan, dia percaya bahwa "terlalu banyak air akan tumpah dari cangkir," dan
"terlalu banyak ornamen akan membuat hiasan kepala tampak murahan".
Tak ada dari kami yang menyadari bahwa retorika Pangeran Ch'un adalah payung
yang menutupi kekurangan dalam karakternya.
Segera kutemukan bahwa "kerendahan hati" serta "pengasingan spiritual diri
sendiri" Pangeran Ch'un datang dan rasa malasnya belaka.
Sekali lagi kuperingatkan Rong untuk tidak berkhayal tentang perkawinan di
lingkungan Kerajaan. "Lihatlah aku," kataku.
"Kesehatan Yang Mulia telah menurun hingga tak bisa ditolong lagi, dan aku sudah
mempersiapkan diri untuk menjadi janda Kaisar."
Aku tak sendirian kala mengkhawatirkan kesehatan Kaisar.
Nuharoo pun memiliki perasaan yang sama. Pada kunjungannya yang terakhir kami
sudah benar-benar berkawan untuk yang pertama kalinya. Rasa takut kehilangan
Hsien Feng telah menyatukan kami.
Nuharoo mulai menerima kenyataan bahwa aku telah menjadi setara dengannya. Sikap
superiornya sudah melunak, dan dia mulai menggunakan kalimat "maukah engkau,"
bukan lagi "inilah yang diinginkan Gusti Permaisuri." Dari sejarah, kami berdua
tahu apa yang bisa terjadi terhadap istri-istri dan selir Kaisar setelah Kaisar
meninggal. Kami menyadari bahwa kami hanya bisa bergantung kepada satu sama
lain. Aku punya alasan sendiri untuk menjadikan Nuharoo sekutuku.
Aku merasa bahwa nasib putraku akan terletak di tangan menteri-menteri ambisius
seperti Penasehat Agung Su Shun. Agaknya dia mendapat kepercayaan penuh dari
Kaisar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa bahkan Pangeran Kung sekali pun takut
kepada Su Shun. Selama ini Su Shun sudah melaksanakan urusan negara dan mengadakan audiensi atas
nama Hsien Feng selama Kaisar sakit.
Makin lama dia makin bebas dalam bertindak. Kekuasaan Su Shun membuatku cemas,
sebab aku menilainya sebagai orang yang sangat manipulatif dan licik. Saat
mengunjungi Kaisar, dia jarang membicarakan urusan negara. Atas nama merawat
kesehatan Kaisar, dia mengucilkan Hsien Feng dan memperkuat posisinya sendiri.
Menurut Pangeran Ch'un, Su Shun sudah membangun dasar kekuatan politiknya selama
bertahun-tahun melalui teman-teman serta kolega yang diangkat ke posisi-posisi
penting. Kuyakinkan Nuharoo bahwa kami harus bersikeras meminta agar dokumen-dokumen
penting dikirimkan kepada Kaisar Hsien Feng.
Yang Mulia mungkin memang terlalu lemah untuk memeriksa semua dokumen itu,
tetapi kami bisa membantunya untuk tetap mengikuti perkembangan situasi. Paling
tidak kami takkan terkurung dalam kegelapan dan
bisa memastikan supaya Su Shun
tidak menyalahgunakan kekuasaannya.
Nuharoo tak mau tahu. "Seorang wanita bijak harus menghabiskan hidupnya dengan
menghargai keindahan alam, memelihara
elemen yin-nya dan berusaha mencapai kedirgahayuannya sendiri."
Tetapi naluriku mengatakan bahwa kalau kami tak mau campur tangan dalam
pemerintahan, kami bisa kehilangan segala kontrol yang saat ini kami miliki.
Nuharoo setuju bahwa aku benar, tetapi tak sepenuhnya mau melaksanakan
rencanaku. Bagaimanapun juga, aku bicara dengan Yang Mulia malam itu, dan hari
berikutnya sebuah dekrit pun dikeluarkan: semua dokumen harus dikirimkan ke
kantor Kaisar Hsien Feng lebih dulu.
Aku tak terkejut saat Su Shun mengabaikan dekrit itu. Dia menyuruh kurir-kurir
yang membawa semua dokumen itu untuk
"mengikuti jalur yang biasa." Sekali lagi, alasannya adalah kesehatan Kaisar.
Kecurigaan serta rasa tak percayaku semakin dalam.
"Aku merasa jadi semakin tua melihat usahamu mengontrol ambisi Su Shun," kata
Nuharoo. Dia meminta agar diperbolehkan untuk tidak ikut-ikut. "Kerjakan apa pun
yang kauinginkan terhadap Su Shun, selama kau masih menghormati fakta bahwa
'matahari terbit di Timur dan terbenam di Barat," katanya, merujuk pada kami
berdua. Aku heran karena ternyata Nuharoo menganggap ini penting.
Aku berjanji kepadanya. Seketika itu juga dia bersikap lebih santai. "Kau sajalah yang bertindak dan
beri tahu aku sesekali" ujarnya. "Aku benci duduk satu ruangan dengan pria-pria
yang napasnya bau." Awalnya aku curiga Nuharoo tengah menguji kesetiaanku. Tetapi lama-lama aku
menyadari bahwa sebenarnya aku tengah menolongnya. Dia adalah jenis perempuan
yang takkan bisa tidur bila ada kesalahan sekecil apa pun pada sulamannya,
tetapi tidak begitu bila kami kehilangan pokok penting dalam sebuah traktat.
Cahaya matahari pada bahu Nuharoo yang tipis mengukir kontur yang indah. Dia tak
pernah gagal mempersiapkan diri, kalau-kalau Yang Mulia datang berkunjung. Untuk
menyelesaikan tata riasnya mestinya menghabiskan waktu setengah hari. Pasta
hitam dan kelopak bunga yang harum digunakan untuk memberi aksen pada bulu
matanya. Matanya tampak seperti dua buah sumur nan dalam.
Bibirnya dipulas dengan warna yang berbeda setiap hari. Hari ini merah muda
dengan sedikit sentuhan merah terang. Kemarin warna mawar, dan kemarin lusa
ungu. Dia berharap untuk dipuji, dan aku akhirnya tahu bahwa penting bagiku
untuk melakukannya guna menjaga hubungan kami.
"Aku tidak suka melihatmu menjadi tua, Yehonala." Nuharoo mengangkat kelima
jarinya. Kuku-kukunya yang sepanjang dua inci dicat emas dan perak dengan detail
halus yang diambil dari alam.
"Dengarkan nasihatku dan suruh kokimu memasak sop tang kuei setiap hari.
Masukkan ulat sutra dan kurma hitam ke dalamnya.
Rasanya memang mengerikan, tetapi kau akan terbiasa."
"Kita perlu bicara tentang Su Shun dan kabinetnya, Nuharoo,"
kataku. "Hal-hal yang tak kuketahui selalu membuatku gugup."
"Oh, kau takkan pernah mengetahui semuanya. Kekacauan ini sudah berusia seratus
tahun." Ditutupnya pandanganku dengan
'tombak jeman'-nya. "Akan kukirimkan perias kukuku ke istanamu kalau kau tak
menyuruh sendiri orang untuk mengerjakannya."
"Aku tak terbiasa memelihara kuku panjang," ujarku. "Kuku panjang itu mudah
patah." "Bukankah aku Kepala Rumahtangga Istana?" Dia mengerutkan dahi.
Aku langsung mengunci bibir, mengingatkan diriku tentang pentingnya menjaga
kerukunan di antara kami.
"Kuku panjang adalah lambang keningratan, Putri Yehonala."
Aku mengangguk, meskipun pikiranku telah kembali kepada Su Shun.
Senyum Nuharoo kembali. "Seperti wanita Cina yang mengikat kakinya, yang hidup
bukan untuk bekerja tetapi untuk dibawa berkeliling dengan tandunya. Semakin
panjang kuku kita, semakin jauh kita terpisah dan rakyat jelata. Tolong,
berhentilah bicara soal bekerja di taman dengan kedua tanganmu. Kau
mempermalukan bukan hanya dirimu sendiri tetapi juga seluruh keluarga Kerajaan."
Aku terus mengangguk-angguk, berpura-pura menerima nasihatnya.
"Hindari jeruk mandarin." Dia mencondongkan tubuh sedemikian dekat hingga aku
dapat mencium aroma melati dalam napasnya.
"Terlalu banyak elemen panas akan membuatmu berjerawat. Akan kusuruh kasimku
mengirimkan semangkuk sop kura-kura untuk mematikan api di dalam tubuhmu.
Hormati aku dengan menerimanya."
Aku yakin bahwa dia merasa sudah mencapai tujuannya saat Kaisar berhenti berbagi
ranjang denganku. Kini dia bahkan punya alasan yang jauh lebih baik untuk merasa
aman denganku: Hsien Feng takkan pernah bangkit dan berjalan kembali ke kamar
tidurku. "Kalau begitu, akan kutinggalkan kau degan segala kepusingan itu," dia
tersenyum, lalu bangkit. Untuk membuatnya merasa lebih tenang, kukatakan kepadanya bahwa aku tak punya
pengalaman berurusan dengan para pejabat Istana, dan aku juga tak punya koneksi.
"Itu sesuatu yang aku yakin aku bisa ikut membantu," kata Nuharoo. "Ulang
tahunku sebentar lagi, dan aku sudah memerintahkan agar diadakan sebuah
perayaan. Aku ingin kau mengundang siapa saja yang kau pikir akan berguna
untukmu. Jangan khawatir. Orang-orang setengah mati ingin menjalin koneksi
dengan kita." "Selain Pangeran Kung, siapa lagi yang bisa kita percayai?"
Nuharoo berpikir untuk beberapa lama, kemudian menyahut, "Kalau Yung Lu
bagaimana?" "Yung Lu?" "Komandan Pengawal Kekaisaran. Dia bekerja di bawah Su Shun. Seorang yang sangat
cakap. Aku pulang menghadiri reuni keluargaku pada saat Festival Kue Beras lalu,
dan semua orang membicarakan dia."
"Apakah kau sudah pernah bertemu dengannya?"
"Belum." "Maukah kau mengundangnya?"
"Aku mau, kalau saja aku bisa. Masalahnya adalah, kedudukan Yung Lu belum cukup
tinggi untuk bisa diundang ke sebuah pesta Kekaisaran."
---oOo--- Wangi laurel memenuhi pekarangan dan balairung resepsi. Berdandan seperti
sebatang pohon yang tengah berbunga, Nuharoo terkejut saat mengetahui Su Shun
mengirim kabar pada menit terakhir bahwa dia takkan datang. Alasannya adalah
"para wanita Yang Mulia hanyalah untuk mata Yang Mulia saja." Nuharoo jengkel
sekali. Mengenakan banyak sekali kalung dan emas tempa, batu berharga, dan brokat
menyebabkan leher Nuharoo miring ke depan.
Dia duduk di singgasana di timur Balairung Istana Kumpulan Intisari.
Dia baru saja selesai berganti baju untuk kedua kalinya hari itu dan kini
mengenakan gaun sutra kuning terang tipis yang disulami sederet lambang
Kekaisaran. Semua mata terpancang pada Nuharoo kecuali sepasang mata Kaisar Hsien Feng,
yang, walaupun dalam keadaan sangat sakit, telah berusaha untuk datang. Tetapi
lambang-lambang kekaisaran di jubahnya agak berbeda. Naga menggantikan phoenix,
pegunungan menggantikan sungai-sungai.
"Selamat ulang tahun ke dua puluh dua, Yang Mulia Permaisuri Nuharoo!" Dendang
Kepala Kasim Shim. Para tamu mengekor, dan minum untuk mendoakan Nuharoo panjang umur.
Aku menyesap anggur beras dan berpikir tentang apa yang pernah dikatakan Nuharoo
kepadaku mengenai metodenya mencapai keselarasan batin: "Berbaring di ranjang
yang dibereskan orang lain, berjalan dengan sepatu yang dibuat orang lain."
Pendapat ini tak masuk akal bagiku. Sejauh ini, hidupku adalah sehelai sulaman
yang setiap setiknya kubuat sendiri.
Hidangan pesta terus saja datang. Setelah semua orang bosan makan, mereka pindah
ke sayap barat, tempat Nuharoo dipersembahi semua hadiahnya. Dia duduk seperti
Buddha menerima umatnya. Hadiah Kaisar Hsien Feng adalah yang pertama kali diberikan, sebuah kotak
raksasa dibungkus sutra merah dan diikat pita kuning.
Kotak itu dibawa masuk ke balairung di atas sebuah meja gading yang dibawa empat
orang kasim. Sepasang mata Nuharoo bersinar seperti mata kanak-kanak yang ingin tahu.
Di bawah enam lapis bungkus, akhirnya hadiah itu menampakkan diri. Di dalam
kotak itu ada sebuah persik yang luar biasa besar, sebesar sebuah wajan, dipahat
dari kayu. "Mengapa persik?" tanya Nuharoo. "Yang Mulia sedang bercandakah?"
"Bukalah," desak Kaisar.
Nuharoo meninggalkan kursinya dan berjalan di sekitar persik itu.
"Keluarkan bijinya," kata Kaisar.
Kesunyian hinggap di seluruh ruangan.
Setelah Nuharoo beberapa kali menyentuh, mencubit, dan menggoncang-goncang,
akhirnya persik itu terbuka, membelah di bagian tengahnya. Pada bagian 'jantung'
buah itu ada satu hasil karya yang merupakan intisari keindahan, membuat yang
melihat terengah karena kagum - sepasang sepatu yang menakjubkan.
Kalaupun tak menderita di masa kecilnya, Nuharoo sudah menderita cukup lama dan
cukup berat sebagai istri yang tersia-sia hingga dia pantas mendapat hadiah ini.
Sepatu gaya Manchu berhak tinggi itu dibuat dengan selera yang terbaik, tertutup
oleh batu-batu mulia bagaikan embun pada kelopak bunga peoni musim semi.
Nuharoo menangis karena senang. Selama bulan-bulan ketika Kaisar Hsien Feng dan
aku lupa menghitung hari-hari kami, Nuharoo telah menjadi mayat hidup. Setiap
malam wajahnya pastilah sepucat cahaya bulan, dan mestinya dia mewiridkan doa-
doa Buddha agar bisa terlelap. Kecemburuannya kini bisa ditenangkan setelah aku
jatuh dari surgaku dan menjadi selir di pekarangan belakang - seperti dirinya.
Aku memuji Nuharoo atas kecantikan serta nasib baiknya, dan bertanya apakah
sepatunya pas. Jawabannya mengejutkanku. "Dalam surat wasiatnya, Yang Mulia
sudah menghadiahkan istana, pensiun, dan pelayan untuk wanita-wanita Cinanya."
Aku melihat berkeliling, takut kalau-kalau kaisar mendengar ini.
Tetapi ternyata dia telah terlelap tidur.
Nuharoo membungkus kembali sepatu tadi ke dalam persik dan menyuruh kasimnya
untuk menyimpan kotak itu. "Dengan mengabaikan kesehatannya sendiri, Yang Mulia
tak mau melepaskan wanita-wanitanya yang kakinya diikat itu, dan aku sangat
kesal."

Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, seharusnya Yang Mulia memerhatikan diri sendiri," aku membeo dengan suara
kecil. "Demi hari ulang tahunmu, Nuharoo, lupakan hal itu untuk sesaat."
"Bagaimana caranya?" air mata Nuharoo mengembang. "Dia menyembunyikan pelacur-
pelacur itu di Istana Musim Panas, menghabiskan uang untuk membangun kanal-kanal
air di sekitar 'kota Soochow mini'nya. Setiap toko di sepanjang sungai
diperlengkapi dan dihias. Rumah-rumah hiburannya menyajikan opera yang terbaik,
dan galerinya memamerkan karya artis-artis terbaik. Kaisar juga menambahkan
kios-kios untuk penghibur dan peramal, persis seperti kota sungguhan - hanya saja
di sini tak pelanggan! Yang Mulia bahkan sudah memberi nama pada pelacur-pelacur
itu! Seorang dipanggil Musim Semi, lainnya Musim Panas, lalu ada Musim Gugur,
dan Musim Dingin. 'Wanita cantik untuk segala musim,' demikian dia menjuluki
mereka. Putri Yehonala, Yang Mulia bosan kepada kita, perempuan Manchu. Suatu
hari dia akan jatuh pingsan dan mati di tengah kelakuan kacaunya itu, dan aibnya
akan terlalu besar untuk kita tanggungkan."
Kuambil saputanganku, kusodorkan kepada Nuharoo untuk menghapus air matanya.
"Kita tak boleh terlalu mengambil hati.
Menurut perasaanku Yang Mulia bukan muak pada kita, melainkan pada tanggung
jawabnya pada negeri ini. Mungkin kehadiran kita terlalu mengingatkan Yang Mulia
akan kewajibannya itu. Lagipula, kita memang terus-menerus memberitahukan
kepadanya bahwa dia mengecewakan para leluhurnya."
"Apakah kau melihat harapan bahwa Yang Mulia bisa kembali menjadi seperti
semula?" "Berita baik dari perbatasan akan memperbaiki suasana hati Yang Mulia dan
menjernihkan pikirannya," kataku. "Dalam ringkasan sidang pagi ini kubaca bahwa
jenderal Tseng Kuo-fan sudah melancarkan serangan guna menekan para pemberontak
Taiping untuk kembali ke Nanking. Mari kita berharap dia akan berhasil.
Pasukannya mestinya sudah berada di dekat Wuchang sekarang."
Nuharoo menghentikanku. "Oh, Yehonala. Jangan buat aku harus menghadapi siksaan
macam ini. Aku tak mau tahu!"
Aku duduk di sebuah kursi samping dan mengambil teh yang disodorkan An-te-hai.
"Yah," Nuharoo menenangkan diri. "Aku Permaisuri, dan aku harus tahu, betul
bukan" Baiklah, ceritakan apa yang harus kauceritakan, tetapi buatlah
sederhana." Dengan sabar aku berusaha memberi sedikit pengertian tentang hal ini kepada
Nuharoo. Tentu saja dia sudah tahu sedikit - bahwa kaum Taiping adalah petani
pemberontak, bahwa mereka sudah menganut Kristen, dan bahwa pemimpin mereka,
Hong Hsiu-chuan, menganggap dirinya sebagai Anak Bungsu Tuhan, adik lelaki
Yesus. Akan tetapi Nuharoo tak begitu tahu tentang bagaimana mereka sangat berhasil
dalam pelbagai pertempuran. Meskipun Hsien Feng tak mau mengakui situasi ini di
depan umum, tetapi kaum Taiping telah merebut bagian Selatan, daerah pertanian
negeri ini, dan sudah mulai mendesak ke Utara.
"Apa sih yang diinginkan kaum Taiping ini?" Nuharoo mengerjapkan mata.
"Menjatuhkan dinasti kita."
"Itu mustahil!"
"Semustahil traktat-traktat yang telah dipaksakan bangsa asing kepada kita."
Air muka Nuharoo mengingatkanku pada kanak-kanak yang menemukan tikus dalam
kotak permennya. "Perdagangan bebas, ditambah agama Kristen, adalah cara bangsa asing untuk
'memperadabkan' kita."
"Itu penghinaan besar!" dengus Nuharoo.
"Aku sangat setuju. Orang-orang asing itu berkata bahwa mereka ada di sini untuk
menyelamatkan jiwa orang-orang Cina."
"Tapi perilaku mereka jadi saksi tentang siapa sebenarnya mereka!"
"Betul sekali. Orang Inggris telah menjual sebanyak sembilan juta poundsterling
di Cina, tahun ini saja, dan enam juta poundsterling di antaranya adalah hasil
penjualan candu." "Jangan bilang bahwa Istana tak berbuat apa-apa, Putri Yehonala."
"Yah, seperti yang dikatakan Pangeran Kung, Cina sudah mandul dan tak punya
pilihan selain melakukan apa yang disuruh."
Nuharoo menutupi telinganya. "Stop! Tak ada yang bisa aku lakukan tentang hal
ini!" Disambarnya tanganku. "Serahkan persoalan-persoalan ini kepada kaum lelaki
saja!" ---oOo--- Yung Lu, Komandan Pengawal Kekaisaran, dipanggil oleh Nuharoo.
Nuharoo percaya bahwa selama dia masih memiliki seseorang untuk menjaga gerbang-
gerbang Kota Terlarang dia masih akan tetap aman.
Aku tak bisa berdebat dengannya. Beberapa hari sebelumnya Nuharoo memimpin
upacara pernikahan Rong dan Pangeran Ch'un, suatu rangkaian upacara panjang yang
menandaskan tenagaku. Namun Nuharoo tetap penuh semangat dan energi. Selama
prosesi, dia berganti baju sebanyak tiga belas kali, lebih banyak daripada
mempelai wanita sendiri. Aku membuntuti Nuharoo ke sebuah kamar sunyi di sayap Barat tempat Yung Lu
tengah menanti. Saat kami masuk, kulihat seorang lelaki bertubuh kekar bangkit
dari kursi. "Yung Lu siap melayani Paduka-Paduka Yang Mulia." Sikap lelaki itu sopan dan
suaranya tegas. Dia berlutut, membungkuk dalam-dalam, yang diselesaikannya
dengan melakukan kowtow tradisional, bersujud hingga keningnya menyentuh lantai.
"Bangunlah," kata Nuharoo, dan memberi isyarat kepada para kasim agar membawakan
teh. Yung Lu kira-kira berusia akhir dua puluhan, dengan sepasang mata setajam silet
dan kulit matang oleh cuaca. Alisnya bagaikan pedang, hidungnya hidung banteng
jantan. Rahangnya lebar dan persegi, mulutnya berbentuk bagai batangan emas,
sedangkan bahunya yang lebar serta cara berdirinya mengingatkanku akan seorang
panglima perang zaman dulu.
Nuharoo mulai bercakap-cakap tentang hal kecil, berkomentar tentang cuaca,
sementara Yung Lu menanyakan tentang kesehatan Yang Mulia. Saat ditanya tentang
kaum Taiping, Yung Lu menyahut dengan sabar dan teliti.
Aku terkesan akan tingkah lakunya, yang amat menjaga diri, namun jujur. Aku
mempelajari pakaiannya. Dia mengenakan baju seragam kavaleri yang terdiri atas
tiga potong, semacam sarung yang ditutupi dengan jubah resmi tanpa lengan.
Dikancingkan dengan gesper dan kait, jubah itu diisi kapas dan dilapisi dengan
bilah-bilah tembaga. Gelombangnya yang sederhana menunjukkan pangkatnya.
"Boleh aku melihat busurmu?" Tanyaku. Yung Lu menariknya lepas dari ikat
pinggangnya dan mengangsurkannya pada Nuharoo, yang pada gilirannya
memberikannya kepadaku. Kuteliti tempat anak panahnya, yang terbuat dari satin, kulit, bulu halus angsa,
perak, dan batu nilam, dengan bulu burung nasar pada anak panahnya. "Dan
pedangmu?" Dia menyodorkan benda itu padaku.
Berat. Saat kugeserkan ujung jariku pada tepiannya, kurasakan dia mengawasiku.
Pipiku terasa panas. Aku malu akan caraku menaruh perhatian pada seorang lelaki,
meskipun aku tak tahu alasan ketertarikanku yang mendadak ini.
An-te-hai memberitahuku bahwa Yung Lu muncul ke atas panggung politik Cina atas
usahanya sendiri. Aku harus mengekang keinginanku untuk bertanya-tanya pada Yung Lu. Aku harus
amat berhati-hati akan apa yang kukatakan, meskipun aku bermaksud membuatnya
terkesan. Aku ingin tahu apakah Yung Lu tahu betapa jarangnya bagi orang semacam Nuharoo
atau aku untuk mengadakan pertemuan serupa ini. Bagaimana berharganya kesempatan
untuk bisa menghabiskan waktu dengan seseorang yang hidup di luar tembok tinggi
Kota Terlarang. "Bagian dalam Istana begitu terpencilnya hingga kami kerap merasa bahwa kami
hanya hadir sebagai nama belaka bagi negeri ini" - suaraku mengungkapkan pikiranku
dengan spontan. Aku mengerling Nuharoo, yang tersenyum dan mengangguk. Lega, aku
melanjutkan. "Hidup mewah yang kami jalani hanya menjadi alat untuk meyakinkan
diri sendiri bahwa kamilah pemilik kekuasaan, bahwa kami memang seperti apa yang
kami pikirkan, bahwa kami tak perlu takut pada apa pun. Kenyataannya adalah,
kami bukan hanya sekadar takut, tetapi juga ngeri kalau Kaisar Hsien Feng
sekarat karena tekanan jiwa. Dialah orang yang paling ketakutan."
Seolah terkejut dengan pengakuanku, Nuharoo menyambar tanganku dan menekankan
kukunya ke telapak tanganku.
Tetapi aku tak bisa dihentikan. "Tak satu hari pun berlalu tanpa aku dicemaskan
oleh putraku," aku maju terus, lantas tiba-tiba berhenti, malu setengah mati.
Aku menunduk, dan menyadari adanya pedang menakjubkan di tanganku. "Kuharap
suatu hari nanti Tung Chih akan jatuh cinta pada pedang seindah ini."
"Betul sekali." Nuharoo tampak gembira karena aku mengembalikan topik ke arah
yang pantas. Ikut bicara, dipujinya pedang itu sebagai adikarya seni kriya.
Aku mengenali lambang di gagang pedang itu, yang sebenarnya hanya digunakan oleh
Kaisar. Terkejut, aku bertanya, "Apakah pedang ini hadiah dari Yang Mulia?"
"Sebenarnya pedang ini hadiah Kaisar kepada atasan saya, Su Shun," jawab Yung
Lu, "yang kemudian memberikannya kepada saya, atas seizin Yang Mulia."
"Atas peristiwa apa?" Nuharoo dan aku bertanya pada saat yang nyaris bersamaan.
"Saya cukup beruntung dapat menyelamatkan nyawa Su Shun dalam sebuah pertempuran
dengan bandit-bandit di daerah pegunungan Hupei. Belati ini juga merupakan
hadiah saya." Yung Lu bertumpu pada lutut kirinya dan menarik keluar sebilah
belati dari dalam sepatu botnya. Diberikannya benda itu kepadaku. Gagangnya
terbuat dari kumala yang dihiasi batu berharga.
Ketika jemariku menyentuh senjata itu, kurasakan suatu sensasi kegirangan hati.
Hari makin siang dan Nuharoo berkata bahwa dia harus pergi ke ruang ibadahnya
untuk membaca wirid dan menghitung biji tasbih.
Apa yang kubicarakan dengan Yung Lu tak menarik bagi Nuharoo. Aku heran karena
dia menganggap wirid yang tanpa akhir itu menarik. Suatu kali aku pernah meminta
Nuharoo untuk menjelaskan sedikit tentang agama Buddha, dan dia berkata bahwa
inti ajaran Buddha adalah "keberadaan yang tiada," atau "kesempatan yang tak
dikejar." Ketika kudesak agar dia menjelaskan lebih jauh, dia bilang itu
mustahil. "Aku tak bisa menjelaskan hubunganku dengan Buddha dalam bahasa
duniawi." Dia menatapku dengan tajam, dan nada suaranya penuh dengan penyesalan
lembut saat berkata, "Hidup kita telah ditakdirkan sebelumnya."
Setelah Nuharoo pergi, aku meneruskan bicara dengan Yung Lu.
Rasanya seperti memulai sebuah perjalanan yang memesona, yang amat kunikmati
meskipun aku merasa bersalah. Yung Lu berdarah Manchu dan berasal dari Utara.
Sebagai cucu dari seorang jenderal, dia bergabung dengan Klan Putih pada usia
empat belas tahun dan meniti karier di situ, melalui jalur akademis Kekaisaran
sekaligus jalur pendidikan militer tingkat lanjut.
Kutanyakan hubungannya dengan Su Shun.
"Penasihat Agung menjadi penanggung jawab suatu kasus yang di dalamnya saya
bertindak sebagai penggugat," sahut Yung Lu.
"Waktu itu tahun kedelapan dari pemerintahan Yang Mulia, dan saya mengikuti
ujian pegawai negeri."
"Aku sudah membaca tentang ujian itu," kataku, "tetapi belum pernah mengenal
siapa pun yang pernah mengikutinya."
Yung Lu tersenyum dan menjilat bibirnya.
"Maaf - aku tak bermaksud memotong."
"Oh, tidak," dia meminta maaf.
"Jadi - apakah kau memperoleh jabatan melalui ujian itu?"
"Tidak," jawabnya. "Ada sesuatu yang aneh terjadi. Masyarakat mencurigai si
pemenang telah berbuat curang. Dia seorang pengangguran kaya raya. Beberapa
orang mencurigai hal ini berkaitan dengan korupsi di antara pejabat-pejabat yang
lebih tinggi. Dengan dukungan beberapa mahasiswa lain, saya menantang istana dan
menuntut penghitungan ulang hasil ujian. Permintaan saya ditolak, tetapi saya
tidak menyerah. Saya menyelidiki sendiri kasus itu.
Setelah sebulan, melalui seorang pejabat bangsawan senior, saya menyerahkan
laporan terperinci kepada Kaisar Hsien Feng, yang meneruskan kasus itu kepada Su
Shun." "Oh Ya. betul," kataku, teringat pernah mendengar tentang kasus itu.
"Tak perlu waktu lama bagi Su Shun untuk mengetahui kebenarannya," jelas Yung
Lu. "Betapapun, kasus itu tak mudah dipecahkan."
"Mengapa?" "Karena melibatkan salah seorang kerabat dekat Yang Mulia."
"Apakah Su Shun meyakinkan Yang Mulia untuk mengambil tindakan-tindakan yang
sepatutnya?" "Ya, dan hasilnya adalah Kepala Akademi Kekaisaran dihukum pancung."
"Kekuatan Su Shun terletak pada lidahnya yang lentur," potong Nuharoo. Dia telah
kembali, tanpa suara duduk memegangi tasbihnya.
Matanya terpejam saat dia bicara. "Su Shun bisa membujuk orang mati untuk
menyanyi." Yung Lu mendeham, setuju tidak, tak setuju pun tidak.
"Apa yang dikatakan Su Shun pada Kaisar Hsien Feng?" tanyaku.
"Dia memberi Yang Mulia contoh sebuah kerusuhan yang menjatuhkan Kekaisaran pada
tahun keempat belas pemerintahan Kaisar Shun Chih di tahun 1657," jawab Yung Lu.
"Kerusuhan itu digalang oleh sekelompok mahasiswa yang diperlakukan tak adil
oleh badan penyelenggara Ujian Pegawai Negeri."
Aku meraih tehku dan menghirupnya. "Dan bagaimana kau bisa jadi bekerja untuk Su
Shun?" "Saya dimasukkan penjara karena dianggap sebagai perusuh."
"Dan Su Shun menyelamatkanmu?"
"Ya, dialah yang memerintahkan pembebasan saya."
"Lalu dia menerimamu bekerja dan telah mempromosikanmu?"
"Ya, dari Letnan menjadi Komandan Kepala Pasukan Pengawal Kekaisaran."
"Dalam berapa tahun?"
"Lima tahun, Gusti Putri."
"Mengesankan." "Saya sangat berterima kasih dan akan selalu berutang kesetiaan kepada Penasihat
Agung." "Sudah seharusnya," kataku. "Tetapi ingatlah bahwa kekuasaan Su Shun ada karena
Kaisar Hsien Feng." "Ya, Gusti Putri."
Aku berpikir selama beberapa saat dan memutuskan untuk membuka sedikit informasi
yang ditemukan An-te-hai, yaitu bahwa Kepala Akademi Kekaisaran adalah musuh Su
Shun. Yung Lu terkejut. Aku mengharapkan suatu respons, atau pertanyaan, tetapi tak
ada. "Dengan cerdik Su Shun berhasil menyelesaikan sebuah pertikaian pribadi,"
tambahku. "Dia menyingkirkan saingannya dengan menggunakan tangan Kaisar Hsien
Feng, dan melakukannya atas nama memberikan keadilan pada dirimu."
Yung Lu tetap diam. Menyadari bahwa aku tengah menunggu, dia berkata, "Maafkan
saya, Gusti Putri, saya kehilangan kata-kata."
"Kau tak perlu mengatakan apa-apa." Aku meletakkan cangkir tehku. "Aku cuma
ingin tahu apakah kau tahu hal itu."
"Ya, sebetulnya ... sedikit." Dia menundukkan pandangan.
"Tidakkah kecerdikan seperti itu menunjukkan sesuatu tentang siapa Su Shun
sebenarnya?" Karena tak berani mengungkapkan pikirannya terlalu bebas atau meragukan
motivasiku, Yung Lu mengangkat mata untuk menilaiku.
Kulihat seorang lelaki suku pengembara sejati dalam tatapannya.
Aku berpaling kepada Nuharoo. Tasbihnya tergeletak di pangkuan, jari jemarinya
pun telah berhenti bergerak. Aku tak tahu apakah dia tengah larut dalam meditasi
Buddha atau tertidur. Aku mendesah. Kaisar terlalu lemah, Su Shun terlalu licik, dan Pangeran Kung
terlalu jauh, sementara kami memerlukan seorang lelaki di dekat kami.
"Waktu akan menguji Su Shun," kataku. "Yang menjadi perhatian
kami adalah kesetiaanmu. Siapa yang akan mendapatkannya, Su Shun atau Yang Mulia Kaisar Hsien Feng?"
Yung Lu melempar dirinya ke lantai dan bersujud. "Yang Mulia, tentu saja. Beliau
akan menerima bakti saya selama-lamanya - tak ada pertanyaan tentang itu dalam
benak saya." "Dan kami" Istri-istri serta putra Yang Mulia?"
Yung Lu menegakkan punggung. Mata kami bertemu. Seperti ketika tinta menyentuh
kertas beras, saat itu menciptakan kesan abadi dalam kenanganku. Entah
bagaimana, Yung Lu tersingkapkan oleh air mukanya sendiri - yang memberitahuku
bahwa detik itu juga dia tengah menilai, menaksir, mempertimbangkan. Kurasakan
bahwa dia ingin tahu apakah aku pantas untuk mendapatkan komitmennya.
Menahan tatapan matanya, kusahuti dalam diam bahwa aku akan berbuat sama
untuknya sebagai ganti kejujuran serta persahabatannya. Aku takkan melakukan itu


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

andai aku tahu sedikit saja tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku
terlalu yakin bahwa diriku bisa mengontrol emosi dan kehendakku, dan bahwa aku
takkan menjadi apa pun kecuali selir setia Kaisar Hsien Feng.
Kalau kuingat kembali, saat itu aku tengah menyangkal kenyataan. Aku menolak
mengakui bahwa aku menginginkan lebih dari sekadar perlindungan fisik dari Yung
Lu, pada saat kami bertemu.
Jiwaku haus disentuh dan menyentuh. Ketika kuraba tepian pedangnya, akal sehatku
terbang melayang. Para kasim datang dengan teh baru. Yung Lu menenggak isi gelasnya seakan baru
saja menyeberangi padang pasir. Akan tetapi itu tak cukup untuk mengatasi
kegugupannya. Pada wajahnya kulihat sesuatu yang mengingatkanku pada seseorang
yang telah bulat tekadnya untuk melompat dari atas tebing. Matanya melebar dan
kegugupannya makin menjadi. Saat dia mengangkat matanya lagi, kusadari bahwa
kami berdua adalah keturunan klan pengembara Manchu yang paling tangguh. Kami
sanggup melalui pertempuran demi bertahan karena kemampuan nalar pikiran kami,
kemampuan kami hidup dengan kekecewaan guna mempertahankan nilai-nilai kami.
Kami mengenakan topeng yang tersenyum sementara di dalam sesungguhnya kami
sekarat. Terkutuklah aku saat menyadari bahwa kemampuanku bukanlah untuk memerintah,
tetapi untuk merasakan. Bakat semacam itu memperkaya hidupku tetapi pada saat
bersamaan sekaligus menghancurkan setiap keping kedamaian yang telah kuperoleh.
Aku merasa begitu tak berdaya atas apa yang telah terjadi padaku. Akulah si ikan
di atas piring keemasan, terikat dengan pita merah. Namun tak seorang pun akan
membawaku kembali ke danau tempat aku seharusnya berada.
Mencoba mempertahankan kepura-puraan sungguh meletihkan untukku.
Yung Lu merasakannya. Warna wajahnya berubah. Mengingatkanku pada warna merah mawar tembok kota.
"Audiensi sudah selesai," kataku lemah.
Yung Lu membungkuk, berbalik, dan berderap keluar. []
Tujuh belas BULAN MEI 1858, Pangeran Kung membawa berita bahwa para prajurit kami
dibombardir saat masih berada dalam barak. Pasukan Prancis dan Inggris menyerang
empat benteng Taku di mulut sungai Peiho. Kaget luar biasa mendengar kejatuhan
pertahanan laut kami, Kaisar Hsien Feng mendeklarasikan keadaan darurat perang.
Dikirimnya Kuei Liang, mertua Pangeran Kung, yang kini sudah menjadi Sekretaris
Negara dan pejabat Manchu berpangkat paling tinggi, untuk merundingkan
perdamaian. Keesokan paginya Kuei Liang mendesak memohon audiensi darurat. Dia telah
bergegas kembali dari kota Tientsin semalam. Kaisar lagi-lagi tengah sakit, dan
dikirimnya aku serta Nuharoo untuk menggantikannya. Yang Mulia berjanji bahwa
begitu dia cukup kuat dia akan segera bergabung.
Saat Nuharoo dan aku memasuki Balairung Pemeliharaan Jiwa, para pejabat telah
menunggu. Lebih dari 300 menteri dan pejabat ada di situ. Nuharoo dan aku
mengenakan gaun resmi Kekaisaran yang berwarna keemasan, lalu duduk berdampingan
di kursi kami, di belakang singgasana.
Beberapa menit kemudian Kaisar tiba. Dia setengah menyeret dirinya ke atas
panggung dan jatuh terengah-engah di atas takhta. Dia tampak demikian rapuhnya
sehingga angin sepoi-sepoi bisa membuatnya jatuh. Jubahnya dikancingkan
sembarangan. Dia tak bercukur dan janggutnya tumbuh pendek-pendek seperti
rumput. Kuei Liang dipanggil untuk maju ke depan. Penampilannya membuatku terkejut. Air
mukanya yang biasa tenang dan bijak kini terlihat amat gugup. Dia terlihat jauh
lebih tua, punggungnya bungkuk dan aku nyaris tak dapat melihat wajahnya.
Pangeran Kung menyertainya. Bayangan gelap di bawah mata kedua orang itu
memberitahuku bahwa keduanya tak tidur semalaman.
Kuei Liang mulai melapor. Seingatku, dulu roman mukanya selalu tampak cerdas.
Namun kini kata-katanya tidak jelas, kedua tangannya seolah lumpuh dan matanya
suram. Katanya dia tak diterima dengan hormat oleh para negosiator asing itu.
Mereka menggunakan insiden Arrow, kapal bajak laut Cina yang tertangkap basah
berlayar di bawah bendera Inggris, sebagai alasan untuk mengabaikannya. Tak ada
bukti yang diajukan untuk mendukung klaim mereka. Bisa saja itu hanya konspirasi
melawan Cina. Kaisar Hsien Feng mendengarkan dengan wajah muram.
"Atas nama 'memberi pelajaran' kepada kita," Kuei Liang meneruskan, "Inggris
melancarkan serangan ke Kanton, dan seluruh provinsi itu jatuh. Menggunakan dua
puluh enam kapal bermeriam, Inggris dan Prancis, disertai Amerika - 'pengamat
netral, menurut mereka - dan Rusia yang turut bergabung untuk menjarah, telah
menentang Yang Mulia."
Aku tak bisa melihat jelas wajah suamiku, tetapi aku bisa membayangkan air
mukanya. "Mereka tak boleh berlayar menuju Peking - itu bertentangan dengan butir
persetujuan pada traktat sebelumnya," kata Kaisar datar.
"Saya khawatir bahwa si pemenanglah yang menentukan, Yang Mulia." Kuei Liang
menggeleng. "Mereka tak lagi membutuhkan alasan setelah menyerang benteng-
benteng Taku. Kini mereka hanya sekitar 100 mil dari Kota Terlarang!"
Seisi istana terpaku. Emosi Kuei Liang pecah saat dia melanjutkan detail laporannya.
Seraya mendengarkan, sebuah gambaran mendesakkan diri di depan mataku. Gambaran
sewaktu aku menyaksikan seorang bocah kampung menyiksa seekor burung gereja.
Bocah itu adalah tetanggaku. Burung gereja tersebut ditemukannya di lubang
selokan. Makhluk kecil itu tampaknya baru saja bisa terbang, lalu terjatuh, dan sayapnya
patah. Saat anak lelaki itu mengangkatnya, bulu-bulunya meneteskan air kotor.
Anak itu meletakkan burung tadi di atas batu pijakan rumahnya dan memanggil kami
semua untuk menonton. Kulihat jantung kecil itu bergerak-gerak dalam tubuh burung tersebut.
Si anak lelaki terus-menerus membalik-balik burung ini, menarik-narik kaki dan
sayap-sayapnya. Dia terus saja melakukan itu sampai akhirnya si burung tak
bergerak lagi. "Kau mengecewakanku, Kuei Liang!" Teriakan Hsien Feng menyadarkanku. "Aku sudah
sangat yakin bahwa kau akan berhasil!"
"Yang Mulia, saya bahkan sudah menyajikan kenyataan bahwa saya akan dihukum mati
kepada wakil-wakil Amerika dan Rusia," pekik Kuei Liang. "Saya katakan kepada
mereka bahwa apabila saya menyerah satu poin saja lagi maka saya akan kehilangan
nyawa. Saya katakan kepada mereka bahwa pendahulu saya, Raja Muda Kanton,
diperintahkan untuk bunuh diri oleh Kaisar karena gagal dalam misinya. Saya
katakan bahwa Kaisar telah memerintahkan saya untuk membawa hasil damai yang
sama-sama menguntungkan dan masuk akal, dan bahwa saya sudah berjanji takkan
menyetujui apa pun yang akan merugikan Cina. Akan tetapi mereka mengejek dan
menertawakan saya, Yang Mulia." Lelaki tua itu terjatuh ke atas kedua lututnya,
terisak karena malu. "Saya ... saya ... pantas mati."
Menyaksikan air mata Kuei Liang yang terhormat benar-benar menghancurkan hati.
Prancis dan Inggris menuntut ganti rugi dan permintaan maaf untuk perang yang
dimulai di tanah air kami.
Menurut Pangeran Kung, mereka menyatakan bahwa peristiwa yang terjadi baru-baru
ini telah membuat semua persetujuan sebelumnya batal dan tak berlaku lagi.
Penasihat Agung Su Shun, berpakaian jubah resmi merah, memperingatkan bahwa ini
adalah dalih bagi langkah orang-orang barbar itu selanjutnya, yaitu menodongkan
senjata ke kening Kaisar Hsien Feng.
"Aku sudah mengecewakan diriku sendiri, negaraku, dan leluhurku," seru Hsien
Feng. "Karena ketidakmampuanku, orang-orang barbar itu mengeksploitasi kita ...
Cina sudah diperkosa, dan kesalahan itu terletak di atas pundak saya seorang."
Aku tahu aku harus minta izin terlebih dahulu untuk bicara, tetapi kemarahan
menguasaiku dan aku berkata, "Orang-orang asing itu tinggal di Cina atas
kemurahan hati Kaisar, tetapi mereka melukai kita dengan lebih banyak cara
daripada kata-kata yang bisa kita temukan
untuk menggambarkannya. Mereka menyebabkan pemerintahan kita kehilangan kehormatan di mata rakyat. Mereka tak memberi kita
banyak pilihan kecuali untuk membenci mereka."
Aku ingin melanjutkan tetapi tercekik air mataku sendiri. Hanya beberapa pekan
sebelumnya aku duduk di belakang Hsien Feng saat dia menggeramkan mengenai
perang serta memerintahkan "kematian untuk orang-orang barbar itu!" Apa gunanya
lagi kata-kata" Seiring berlangsungnya peristiwa demi peristiwa, Kaisar Cina tak
lama lagi akan dipaksa untuk meminta maaf atas "pengkhianatan pasukannya yang
mempertahankan benteng Taku melawan pasukan Inggris pada tahun sebelumnya."
Kemudian Cina akan dipaksa untuk setuju membayar para penyerangnya sejumlah tael
yang teramat besar sebagai kompensasi.
Kaisar perlu istirahat. Setelah rehat sejenak, Kuei Liang bicara lagi, "Orang-
orang Rusia telah bergabung dalam pencurian besar-besaran ini, Yang Mulia."
Hsien Feng menarik napas dalam-dalam, kemudian bertanya,
"Apa yang mereka kehendaki?"
"Mengubah garis perbatasan Utara, sepanjang sungai Amur dan Ussun."
"Omong kosong!" teriak Hsien Feng. Dia mulai terbatuk, dan kasim-kasimnya
bergegas menghampiri, menyeka leher serta keningnya. Hsien Feng menolakkan
mereka. "Kuei Liang, kau membiarkan ini terjadi ... kau!"
"Yang Mulia, saya tak patut diampuni lagi, dan saya tak memohon untuk diampuni.
Saya siap menggantung diri. Saya sudah mengucapkan selamat tinggal pada keluarga
saya. Istri dan anak-anak saya meyakinkan saya bahwa mereka akan memahami. Saya
hanya ingin Paduka mengetahui bahwa saya telah berusaha semampu saya dan tak
kuasa mengajak orang-orang barbar itu untuk bernegosiasi.
Mereka hanya mengancam perang. Dan ..." Kuei Liang berhenti lalu berpaling
kepada menantunya. Pangeran Kung maju dan menyelesaikan kalimat Kuei Liang.
"Orang-orang Rusia menembakkan meriam mereka kemarin. Karena takut mereka bisa
menjadi ancaman untuk Ibu Kota, Menteri Yi Shan menandatangani traktat itu dan
menerima semua syarat Rusia. Ini salinan dari traktat itu, Yang Mulia."
Dengan perlahan Kaisar Hsien Feng mengambil dokumen itu.
"Sebelah Utara sungai Amur dan sebelah Selatan pegunungan Wai-hsin-an, bukan?"
"Benar, Yang Mulia."
"Itu daerah yang sangat luas."
Banyak orang di ruangan itu yang mengetahui benar apa akibat dari kehilangan ini
untuk Cina. Beberapa mulai menangis.
"Su Shun!" panggil Kaisar Hsien Feng, merosot di tempat duduknya.
"Saya di sini, Yang Mulia." Su Shun maju ke depan.
"Penggal Yi Shin dan copot Kuei Liang dan semua jabatannya."
Hatiku ikut terbang bersama Kuei Liang saat melihatnya dikawal keluar balairung.
Pada rehat berikutnya aku berhasil bicara dengan Pangeran Kung. Kuminta dia
melakukan sesuatu untuk menghentikan dekrit itu. Pangeran Kung memberitahuku
agar tak usah khawatir. Dia membuatku mengerti bahwa Su Shun-lah yang memegang
kendali, dan dia takkan menjalankan perintah Hsien Feng. Su Shun mengiyakannya
hanya untuk menenangkan Yang Mulia. Para pejabat Istana memercayai Su Shun untuk
mengubah keputusan Kaisar; semua orang tahu bahwa mengganti Kuei Liang adalah
sesuatu yang mustahil. ---oOo--- Dalam bulan-bulan belakangan Kaisar Hsien Feng menjadi lebih tergantung kepada
Su Shun dan ketujuh Penasihat Agungnya. Aku berdoa semoga Su Shun sanggup
menopangkan langit untuk Kaisar.
Meskipun tak menyukai Su Shun, aku tak bermaksud untuk menjadi musuhnya. Aku tak
pernah bermimpi untuk membuat dia jengkel, tetapi suatu hari nanti terbukti
bahwa ternyata itu tak bisa dihindari.
Sudah tiga han turun salju. Di luar gerbang ada tumpukan setinggi dua kaki.
Meskipun penghangat batu bara terus menyala, tetap saja terlalu dingin untuk
bisa merasa nyaman. Jari-jariku sekaku tongkat. Terbenam dalam mantel bulunya,
Hsien Feng menggeletak di atas sebuah kursi di Balairung Pemeliharaan Jiwa.
Matanya tertutup. Aku duduk di meja, menyarikan dokumen untuknya. Selama beberapa bulan terakhir
aku sudah menjadi Sekretaris Kaisar lagi. Dia betul-betul kehabisan tenaga dan
memintaku menolongnya dengan memilih surat-surat paling penting yang harus
dijawab. Yang Mulia mengucapkan kata-katanya dan aku menyusunnya menjadi surat
balasan. Tugas itu sangat sulit, tetapi aku senang sekali bisa membantu.
Tiba-tiba saja aku bukan lagi selir yang ditelantarkan. Aku tak lagi harus
merajut derita. Aku diberi kesempatan untuk berbagi impian Yang Mulia dalam
membangkitkan kembali Cina. Ini membuatku merasa nyaman - energiku tak ada
habisnya. Untuk pertama kalinya sejak beberapa lama kulihat lagi kasih sayang
sejati dalam mata Hsien Feng. Larut malam, suatu kali, ketika Hsien Feng
terbangun di kursinya, dia mengulurkan tangannya agar kugenggam. Dia ingin aku
tahu bahwa dia sangat menghargai bantuanku. Dia tak lagi memanggil si Musim
Panas, salah satu dan selir-selir Cinanya, atau Nuharoo, meskipun ketika aku
memohon pada Hsien Feng agar berjalan-jalan dengannya.
Aku mengunjungi Nuharoo untuk menemui Tung Chih, yang tidur dengan para ibu
susunya siaga di dekatnya. Kuberi tahu Nuharoo kabar terbaru tentang apa yang
tengah kukerjakan bersama Yang Mulia, dan dia senang akan sikap rendah hatiku.
Setiap hari sebelum fajar aku berpakaian dan pergi ke Balairung Pemeliharaan
Jiwa dengan menggunakan tandu. Segera aku akan mulai memilah-milah surat-surat
resmi ke dalam beberapa kotak.
Biasanya Kaisar masih tertidur di ruang sebelah. Aku akan menyusun kotak-kotak
itu berdasarkan derajat kepentingannya. Saat matahari terbit dan Kaisar datang
kepadaku, aku sudah siap memberikan ringkasan untuknya. Dia akan berdebat dengan
dirinya sendiri, menimbang-nimbang setiap keputusan. Kadang-kadang dia akan
berdiskusi denganku, dan sesudahnya aku disuruh membuatkan draft untuk keputusan
yang akan dikeluarkan. Aku menyarankan beberapa hal yang kuharap bisa melengkapi pertimbangan Yang
Mulia. Suatu kali dia datang terlambat padahal sebuah kotak benar-benar
memerlukan perhatian segera. Untuk menghemat waktu, aku menulis draft usulan
dengan gayanya. Waktu kubacakan padanya untuk dikoreksi dan disetujui, dia tak
membuat perubahan apa pun. Keputusan itu dikirimkan dengan segel Kaisar dicapkan
di atasnya. Kepercayaan diriku semakin meningkat setelahnya. Mulai saat itu Kaisar memintaku
untuk menulis draft keputusan sendiri dan memberikan ringkasannya kepadanya
setelah itu. Awalnya aku gugup; aku ingin berkonsultasi dengan Pangeran Kung
atau Su Shun, tetapi tahu bahwa itu tak mungkin.
Suatu pagi aku selesai mengonsep tujuh dokumen dan tengah menggarap yang
kedelapan. Yang ini sulit, terkait dengan satu butir dalam traktat yang tak
kuketahui. Aku memutuskan untuk menunggu.
Saat kudengar Yang Mulia bangun, kubawa draft itu kepadanya.
Hsien Feng setengah bersandar pada kursi rotannya, matanya terkatup. Seorang
kasim sedang menyuapinya dengan semangkuk sup darah rusa. Rasanya pastilah
mengerikan, karena air muka Yang Mulia mengingatkanku pada anak kecil yang
jarinya tercucuk beling. Sup itu menetes dari mulutnya. Aku baru saja mulai
membaca draft itu ketika kudengar suara Kepala Kasim Shim. "Selamat pagi, Yang
Mulia. Su Shun ada di sini."
"Apakah Yang Mulia ada?" terdengar suara Su Shun. "Urusan ini tak bisa
menunggu." Sebelum aku sempat mundur, Su Shun sudah melangkah tepat ke hadapan Kaisar. Yang
Mulia membuka matanya separuh, dan melihat Su Shun di lututnya. Aku berdiri
dekat dinding, berharap Su Shun tak menyadari keberadaanku.
"Bangunlah," ucap Kaisar. Si kasim buru-buru mengelap tetesan sup dari dagu
Kaisar dan membantunya duduk tegak. "Apakah ini tentang Orang-orang Rusia lagi?"
"Sayangnya, ya," sahut Su Shun sembari bangkit. "Duta besar Ignatyev menolak
berunding dengan persyaratan kita, dan telah mengumumkan tanggal penyerangan."
Kaisar memiringkan tubuh ke kanan sementara tangannya menggosok sisi badannya.
"Anggrek, kau dengar Su Shun?"
dilemparkannya draft tadi kepadaku. "Sobek itu! Apa gunanya mengeluarkan
keputusan" Apa lagi yang bisa kulakukan" Darahku sudah diisap sampai kering dan
serigala-serigala itu tak juga mau meninggalkanku!"
Su Shun terkejut melihatku. Matanya menyipit. Dia terus menggerakkan kepalanya,
berpindah-pindah melihat antara aku dan Kaisar.
Aku tahu aku telah menghinanya, hanya dengan berada di sini.
Pria itu menatapku tajam, matanya berteriak, Kembali sana ke sulamanmu!
Tetapi aku wajib memberikan jawaban kepada Hsien Feng. Aku berharap Su Shun akan
menganggap bahwa Kaisar memercayaiku karena sesuatu alasan, dan bahwa bantuanku
cukup berharga.

Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu saja, kalau Su Shun bertanya, Yang Mulia akan memujiku.
Bulan lalu ada laporan tentang banjir di Provinsi Schezuan. Ratusan petani
kehilangan rumah mereka. Makanan langka. Ketika Hsien Feng mendengar bahwa
banyak keluarga memakan anak mereka yang tewas agar mampu bertahan, dia
mengeluarkan dekrit agar para Gubernur Anhwei dan Kiangsu membuka gudang
perbekalan mereka. Akan tetapi tak ada sebutir pun beras tersisa. Gudang-gudang itu telah lama
dikosongkan untuk membiayai pertempuran melawan kaum Taiping dan bangsa asing.
Aku menyarankan agar Yang Mulia memeras keluar dana dan para birokrat yang
korup. Kuusulkan agar dia menyuruh semua pejabat pemerintah di seluruh negeri
untuk melaporkan penghasilan mereka. Sementara itu Yang Mulia harus mengirimkan
pemeriksa untuk mengaudit pembukuan mereka guna mencocokan laporan dengan apa
yang sesungguhnya telah mereka dapat.
"Itu bisa memancing perlawanan," kata Yang Mulia.
"Tidak, kalau kita tambahkan satu klausul di dekrit itu, yang menyatakan bahwa
takkan ada yang dituntut atas kasus penggelapan bila oknum yang bersalah itu
menyumbangkan uang haram mereka kepada korban bencana banjir."
Dekrit itu bekerja dengan amat baik. Kaisar Hsien Feng menghadiahiku dengan izin
untuk mengunjungi keluargaku. Sejak saat itu Yang Mulia memercayakan kepadaku
untuk membuat kebanyakan dan dekrit-dekrit itu. Aku semakin percaya diri.
Menggunakan suara Kaisar aku mendorong kritik dan saran dari seluruh Gubernur.
Aku mengambil manfaat dan komentar serta usulan mereka.
Sementara aku merasa puas dan senang, aku juga dicemaskan oleh makin tak
tertariknya Hsien Feng pada pekerjaannya. Sulit untuk tak terpengaruh rasa
pesimisnya yang semakin bertambah. Saat ini dia mengalami sakit fisik yang luar
biasa dan hampir sepanjang waktu merasa tertekan. Ketika aku membawa Tung Chih,
dia tak punya tenaga untuk bermain dengannya, dan akan menyuruh bocah itu dibawa
pulang kembali hanya dalam beberapa menit. Dia tak lagi membaca putusan-putusan
yang kukonsep. Ketika laporan kenegaraan masuk, dia mengharap akulah yang akan mengurusnya. Dia bahkan tak mau aku berkonsultasi
dengannya. Ketika kuberikan kepadanya dokumen yang menurut pendapatku harus
diketahuinya, dia akan mendorong lenganku dan berkata, "Serangga-serangga dalam
kepalaku sudah membangun sarang sedemikian tebalnya sehingga aku tak dapat
berpikir." Hidup Yang Mulia sudah mendekati akhir. Demi Tung Chih aku memerlukan dia dalam
keadaan hidup. Aku bekerja tanpa istirahat.
Acara makanku telah dikurangi dari lima kali sehari menjadi dua kali.
Ada kalanya aku hanya makan sekali saja sehari. Agar yakin bahwa aku makan
dengan baik, An-te-hai mengupah seorang koki baru dari kota asalku, Wuhu, yang
masakan andalannya adalah kesukaanku saat kecil: sup tomat, bawang, dan kol. An-
te-hai menggunakan wadah khusus dari bambu untuk menjaga agar sup itu tetap
hangat. Aku kerap terbangun dan menemukan bahwa aku telah tertidur di mejaku, terkulai
pada lenganku yang terlipat. Aku tak lagi repot-repot mendandani rambutku. Aku
ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Tung Chih, tetapi aku terpaksa
memercayakannya sepenuhnya pada Nuharoo. Aku terus bekerja dengan dokumen
kenegaraan, kadang-kadang hingga fajar tiba. An-te-hai akan menunggu di
sampingku, membawa sehelai selimut kalau-kalau aku memerlukannya. Dia sering
tertidur sambil duduk di sebuah bangku pendek. Sesekali aku bisa mendengarnya
menggumam, "Tak usah bilang 'Selamat' lagi, Konfusius!"
"Apa lagi yang bisa kulakukan?"
Aku menjawab pertanyaan Yang Mulia itu - dan membuat jengkel Su Shun. "Aku tak
akan menyerah pada orang Rusia." Aku berujar lunak tetapi tegas. "Rusia
mengambil keuntungan dan kesulitan kita dengan Prancis dan Inggris. Cina tak
boleh memberi kesan bahwa kita adalah daging yang bisa dikunyah dengan mudah
oleh siapa saja." "Kuharap kau mendengarkan dengan baik," kata Hsien Feng.
"Perlihatkan ... kekuatan kita."
Su Shun mengangguk. "Ya, Yang Mulia."
"Besok kembalilah pada orang-orang Rusia itu dan jangan kembali sampai tugasmu
terpenuhi." Sembari mendesah dalam Kaisar Hsien Feng berpaling dari Su Shun.
Tak percaya, Su Shun berpamitan. Sebelum keluar ruangan dia melontarkan tatapan
yang tidak menyenangkan kepadaku. Jelas sekali bahwa dia menganggap rasa hormat
Hsien Feng kepadaku sebagai penghinaan pribadi.
Tak lama Su Shun mulai menyebarkan desas-desus tentang aku.
Diperingatkannya para pejabat istana bahwa aku berambisi untuk mengambil alih
singgasana. Dia berhasil memprovokasi para tetua klan, yang langsung datang
untuk memprotes. Mereka memaksa Yang Mulia untuk menyingkirkanku dari
kediamannya. Pangeran Kung membelaku. Dia lebih dari tahu bagaimana keadaan pikiran abangnya.
Yang Mulia bahkan tak mau datang ke Balairung Pemeliharaan Jiwa kalau aku tak
ada di sana. Dalam pandangan Pangeran Kung, Su Shun-lah yang memiliki ambisi tak
pada tempatnya. ---oOo--- Untuk kesehatan Yang Mulia, Dokter Sun Pao-tien merekomendasikan ketenangan
total, jadi kami kembali pindah ke Yuan Ming Yuan. Musim sudah semakin larut
memasuki musim dingin. Rerumputan panjang coklat dan kuning terserak seperti
ombak yang membeku. Angin terasa kasar. Anak-anak sungai yang berkelok-kelok di
seluas taman kini terlapisi es dan tampak seperti tali tambang yang kotor.
Kaisar berkata bahwa sungai-sungai beku itu mengingatkannya pada usus yang
berhamburan keluar dari perut hewan yang dijagai.
Kesunyian pecah ketika Su Shun dan Pangeran Kung datang membawa berita penting.
Mereka berdiri di samping ranjang hitam Yang Mulia yang penuh hiasan, melaporkan
bahwa Inggris dan Prancis menuntut audiensi.
Kaisar Hsien Feng terduduk tegak di tempat tidur. "Aku tak bisa terima bahwa
mereka ingin memperbaiki dan mengubah semua traktat itu. Apanya yang harus
diperbaiki dan diubah" Mereka tengah membuat alasan untuk bisa kembali
menyerang!" "Tetapi, maukah Yang Mulia tetap mempertimbangkan untuk mengabulkan permintaan
audiensi tersebut?" tanya Pangeran Kung.
"Tetap membina komunikasi itu sangat penting. Tsungli Yamen saya bisa
mengerjakan formatnya hingga Yang Mulia merasa cukup nyaman-"
"Omong kosong! Kita tak butuh penenang semacam itu," tukas Su Shun, sembari
menunjuk pada Pangeran Kung.
Hsien Feng mengangkat tangan untuk menyuruh diam Su Shun.
Dia tahu bahwa para pejabat pemerintah telah terbagi dua dalam hal cara
menangani situasi, dengan Su Shun dan Pangeran Kung memimpin kedua pihak yang
berseberangan ini. "Mereka sudah keterlaluan dengan meminta audiensi itu," sahut Hsien Feng. "Aku
tak mengizinkan orang-orang barbar itu untuk datang ke Peking."
Barisan kasim dan pelayan seperti biasa masuk membawa teh.
Setiap orang berdandan menakjubkan. Setiap kali aku berjalan-jalan di taman,
yang kurasakan adalah kekuasaan dan kemuliaan di sekelilingku. Bahkan jangkrik-
jangkrik di jalan-jalan setapak taman memiliki keagungan itu; hijau dan gemuk,
mereka jauh lebih besar dan gemuk daripada jangkrik-jangkrik yang pernah kulihat
di pedesaan. Tetapi semua ini mungkin akan segera berakhir.
"Orang-orang asing itu datang bersama pasukan tentara,"
Pangeran Kung mengingatkan abangnya setelah terdiam cukup lama.
"Binasalah mereka!" suara Su Shun penuh emosi. "Yang Mulia, sekarang waktunya
mengeluarkan perintah untuk menahan duta besar Inggris. Dia akan terpaksa
menarik pasukannya."
"Bagaimana kalau dia menolak?" tanya Pangeran Kung.
"Pancung dia," sahut Su Shun. "Percayalah, ketika pemimpin musuh ditangkap,
selebihnya akan menyerah. Lalu kita bisa mengirim jenderal Sengko-lin-chin dan
seluruh pasukan militer untuk mengumpulkan kepala sisa-sisa pasukan mereka."
"Apa kau sudah gila?" tukas Pangeran Kung. "Duta besar Inggris itu cuma pembawa
pesan. Kita akan kehilangan dasar moral yang tinggi di mata dunia, dan akan
memberi alasan sempurna bagi musuh kita untuk melancarkan serangan."
"Dasar moral?" cibir Su Shun. "Dasar apa yang dimiliki orang-orang barbar itu
mengenai semua perilaku mereka di Cina" Mereka menuntut macam-macam pada Putra
Surga. Berani-beraninya kau memihak mereka! Kau mewakili Yang Mulia Kaisar Cina
atau Ratu Inggris?" "Su Shun!" wajah Pangeran Kung berubah merah padam, kedua tangannya terkepal.
"Kewajibankulah untuk berbakti kepada Yang Mulia dengan sepenuh hati!"
Su Shun menghampiri Kaisar Hsien Feng. "Yang Mulia, Pangeran Kung harus
dihentikan. Dia telah memperdaya istana. Selama ini dia dan ayah mertuanya
bertanggung jawab atas semua negosiasi itu.
Berdasarkan hasil semua traktat dan informasi yang diberikan para penyelidikku,
kami punya alasan untuk curiga bahwa Pangeran Kung telah mengambil untung dari
jabatannya." Su Shun berhenti, tubuhnya berputar menghadap pada Pangeran Kung
seakan hendak memojokkannya. "Bukankah kau membuat kesepakatan dengan musuh
kita" Bukankah orang-orang barbar itu menjanjikan bahwa saat mereka memasuki
Kota Terlarang kau akan panen keuntungan?"
Urat nadi di leher Pangeran Kung mulai menonjol, alisnya berkerut serupa akar
tanaman jahe. Dia melompat menyergap Su Shun, membantingnya ke lantai dan mulai
meninjunya. "Jaga sopan santun!" seru Kaisar. "Su Shun sudah kuizinkan untuk menyatakan
pendapatnya." Kata-kata Yang Mulia meremukkan Pangeran Kung. Dijatuhkannya kedua tangannya, segera berlutut. "Abangku, junjunganku; takkan
ada yang bisa dicapai dengan mencokok duta besar mereka. Kupertaruhkan kepalaku
untuk itu. Keadaan hanya akan berbalik menyerang kita. Bukannya mundur, mereka
akan mengirimkan armada mereka ke pantai kita. Aku sudah mempelajari mereka
cukup lama untuk mengetahui cara-cara mereka."
"Tentu saja." Su Shun bangkit berdiri, lengan bajunya yang panjang berkibar di
udara. "Cukup lama untuk membuat koneksi dan cukup lama untuk melupakan siapa
dirimu." "Satu kata lagi, Su Shun," Pangeran Kung mengertakkan rahang, "akan kucabut
lidahmu keluar!" Dengan mengabaikan peringatan Pangeran Kung, sebuah maklumat dikeluarkan guna
menangkap duta besar Inggris. Untuk beberapa hari berikutnya Kota Terlarang
tenang. Ketika berita ditangkapnya Dutabesar Inggris menyebar, Peking
bersukaria. Su Shun dipuja sebagai pahlawan.
Namun nyaris seketika, laporan demi laporan tentang serangan asing di sepanjang
pantai negeri memadamkan semua kegembiraan itu. Dokumen-dokumen yang dikirimkan
dari perbatasan kepada Yang Mulia berbau darah dan mesiu. Segera saja kertas-
kertas itu tertumpuk tinggi di dekat dinding. Aku sudah tak sanggup memilah-
milahkannya lagi. Situasi berubah menjadi tepat seperti yang telah diramalkan
Pangeran Kung. ---oOo--- Tanggal 1 Agustus 1860 adalah hari terburuk bagi Kaisar Hsien Feng.
Kini tak ada yang bisa menahan orang-orang barbar itu.
Pangeran Kung dipermalukan dan Tsungli Yamen-nya dibubarkan.
Menyebut diri mereka sendiri sebagai "Sekutu," Inggris datang dengan 173 kapal
perang dan 10.000 prajurit, Prancis dengan 33 kapal dan 6.000 serdadu. Rusia
turut bergabung. Bersama-sama, ketiganya mendaratkan kekuatan sekitar 13.000
orang di sepanjang pantai Teluk Chihli. Menembus benteng lumpur tebal yang
menghalangi mulut Sungai Kuning dan tepi laut, pasukan Sekutu merambah ke darat,
terbenam hingga ke lutut di dalam lumpur, dan berhasil mencapai tanah yang
kering. Kemudian mereka mulai bergerak ke arah Peking.
Jenderal Seng-ko-lin-chin, komandan Pasukan Kekaisaran, mengirim berita pada
Kaisar bahwa dia telah bersiap untuk mati - dengan kata lain, semua harapan untuk
melindungi Ibu Kota telah memudar.
Laporan-laporan lainnya menyebutkan tentang patriotisme dan keberanian yang
memenuhi dadaku dengan kesedihan. Cara-cara Cina kuno dalam berperang telah
menjadi sesuatu yang memalukan - hanya penghalang dari batang-batang bambu yang
melindungi benteng-benteng kami, ditambah deretan tanggul dan parit. Tak ada
kesempatan bagi para prajurit untuk menunjukkan kepiawaian ilmu bela diri mereka
dalam berperang. Mereka sudah ditembak mati bahkan sebelum mereka bisa melihat
musuh. Kavaleri Mongolia dikenal dengan pamor mereka sebagai yang tak terkalahkan. Tiga
ribu orang tumpas dalam sehari. Meriam dan senapan orang-orang Barat itu menyapu
mereka layaknya daun kering ditiup angin akhir musim gugur.
Kaisar Hsien Feng basah kuyup berkeringat. Demam tinggi telah menyedot tenaganya
sedemikian rupa sehingga dia tak lagi dapat makan. Istana cemas keadaannya akan
memburuk. Ketika demamnya naik, dia menyuruhku membuat draft lima putusan untuk
dikirim segera kepada jenderal Seng-ko-lin-chin. Dalam suara Kaisar
kuberitahukan kepada sang jenderal bahwa pasukan sedang dihimpun dan seluruh
negeri, dan dalam lima hari akan datang bantuan yang dipimpin oleh Jenderal
Sheng Pao yang legendaris. Hampir dua puluh ribu orang, termasuk tujuh ribu
pasukan kavaleri, akan tiba dan bergabung dalam serangan balasan.
Dalam putusan berikutnya, kutuliskan kata-kata yang diucapkan Yang Mulia kepada
seluruh negeri: Orang-orang barbar pengkhianat itu bersedia mengorbankan kepercayaan kita terhadap kemanusiaan. Mereka menyerbu
ke Tungchow. Tanpa rasa malu mereka mengumumkan maksudnya untuk memaksaku menerima mereka dalam suatu audiensi.
Mereka mengancam bahwa keuletan apa pun dari pihak kita akan merupakan
penelantaran kewajiban terhadap Kekaisaran.
Walaupun kesehatanku tengah dalam keadaan amat buruk, aku takkan berbuat lain
kecuali melawan hingga embusan napas terakhir. Aku sadar bahwa kita takkan bisa
lagi mendapatkan perdamaian serta keselarasan tanpa kekerasan.
Kini aku memerintahkan kalian, tentara serta warga negara dan berbagai ras dan
suku, untuk bergabung dalam pertempuran.
Aku akan memberi anugerah pada mereka yang menunjukkan keperwiraan. Untuk setiap
kepala orang barbar hitam (pasukan Sikh Inggris) aku akan menghadiahkan 50 tael,
dan untuk setiap kepala orang barbar putih aku akan menghadiahkan 100 tael.
Lainnya yang berada dalam keadaan menyerah tak boleh dianiaya. Dan kapan pun
Inggris dan Prancis menunjukkan penyesalan serta berhenti dari aksi setan
mereka, aku akan dengan senang hati mengizinkan mereka kembali berdagang seperti
pada waktu lalu. Semoga mereka bertobat senyampang masih ada waktu.
Balairung Kebajikan yang Bercahaya lembap gara-gara hujan lebat yang turun. Di
dalam situ terasa bagaikan berada di dalam peti mati. Sebuah singgasana darurat
dibuat di sekeliling pembaringan Kaisar Hsien Feng. Singgasana itu dinaikkan
pada sebuah panggung sementara. Makin banyak juga menteri datang meminta
audiensi darurat. Semua orang berpembawaan seolah telah kalah. Sopan santun
diabaikan, orang berdebat dan adu pendapat dengan suara keras. Beberapa pejabat
tua pingsan di tengah perdebatan. Di perbatasan, peluru senapan dan meriam turun
sederas hujan es. Berbaring di kursinya, Kaisar membaca laporan terbaru. Demamnya telah kembali.
Handuk dingin ditempatkan pada wajah dan seluruh tubuhnya. Halaman-halaman
laporan terlepas dari jemarinya yang gemetaran.
Dua hari kemudian berita kejatuhan tiba. Yang pertama adalah benteng di Utara,
jatuh setelah pertempuran sengit dan hujan tembakan dan kedua belah pihak.
Sekutu menekan terus. Seng-ko-lin-chin menyatakan bahwa peluru meriam yang
mengenai tempat mesiu di benteng-benteng Utara telah melumpuhkan pertahanannya.
Tanggal 21 Agustus, Seng-ko-lin-chin menyerah, benteng Taku jatuh. Jalan ke
Peking sekarang terbuka lebar.
---oOo--- Pasukan Sekutu dilaporkan berada hanya dua belas mil dari Ibu Kota.
Pasukan Jenderal Sheng Pao telah tiba, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Hari
sebelumnya, sang jenderal telah kehilangan divisi terakhirnya.
Orang keluar masuk balairung audisi seperti wayang kertas yang bergerak
terpatah-patah. Kalimat salam yang berisi doa agar Kaisar panjang umur terdengar
kosong. Pagi ini awan tergantung sedemikian rendah hingga dapat kurasakan
kelembapannya dengan jemariku.
Kodok melompat di seluas pekarangan, tampak setengah mati ingin bergerak-gerak.


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku sudah menyuruh para kasim untuk membuang semua kodok itu satu jam yang lalu,
tetapi rupanya mereka sudah kembali lagi.
Jenderal Seng-ko-lin-chin berlutut di hadapan Yang Mulia, memohon hukuman, yang
dikabulkan. Semua gelarnya dicabut dan dia akan diasingkan. Dia bertanya apakah
dia dapat memberikan satu bakti terakhir pada Yang Mulia.
"Dikabulkan," gumam Kaisar.
Seng-ko-lin-chin berkata, "Hampir purnama..."
"Langsung ke pokok persoalan." Kaisar mendongak ke langit-langit.
"Saya ..." meraba-raba dengan kedua tangannya, sang jenderal menarik keluar
sebuah gulungan dari kantong bagian dalam jubahnya dan memberikannya kepada
Kepala Kasim Shim. Shim membuka gulungan itu agar dapat dilihat Kaisar. Tulisan di sana berbunyi:
Pergi ke Jehol. "Apa maksudmu?" tanya Kaisar Hsien Feng.
"Berburu, Yang Mulia," sahut Seng-ko-lin-chin.
"Berburu" Pikirmu aku punya semangat untuk berburu?"
Dengan amat hati-hati Seng-ko-lin-chin menerangkan: sudah waktunya meninggalkan
Peking; waktunya untuk melupakan penampilan. Dia menyarankan agar Kaisar
menggunakan padang perburuan tradisional di Jehol sebagai alasan untuk pergi.
Dalam pandangan sang jenderal situasi benar-benar buruk - Cina kalah total.
Musuh tengah dalam perjalanan untuk menangkap dan mempermalukan Putra Surga.
"Rusukku, Anggrek." Yang Mulia berjuang untuk duduk.
"Rasanya seperti ada rerumputan dan ranting tumbuh di dalamnya.
Kalau aku bernapas, aku mendengar angin berembus di sela-selanya."
Dengan lembut kupijat dada Hsien Feng.
"Apakah ini berarti 'ya' untuk perburuan itu?" tanya Seng-ko-lin-chin.
"Kalau kau tak percaya, sentuh perutku dengan tanganmu," kata Yang Mulia padaku,
mengabaikan Seng-ko-lin-chin. "Ayo, ketuk dadaku. Kau akan mendengar suara
kosong." Aku iba kepada Hsien Feng, karena dia tak punya cukup kosa kata ataupun
pemahaman tentang perasaan yang tengah melandanya.
Kebanggaannya telah hancur, tetapi dia tak bisa berbuat lain kecuali terus
menganggap dirinya sebagai penguasa jagat. Dia hanya sekadar tak bisa hidup
dengan cara lain. "Kalau begitu saya akan segera mempersiapkan lahan berburu Jehol," kata Seng-ko-
lin-chin, dan mundur tanpa suara.
"Seekor induk tikus akan melahirkan!" Yang Mulia memekik histeris. "Dia
melahirkan di atas tumpukan gombal dalam lubang di belakang tempat tidurku.
Istanaku akan dipenuhi tikus! Apa yang kau tunggu, Putri Yehonala" Apakah kau
tak mau menemaniku berburu di Jehol?"
Pikiranku berpacu. Haruskah kami meninggalkan Ibu Kota"
Haruskah kami menyerahkan negeri kami pada orang-orang barbar itu" Kami telah
kehilangan pelabuhan, benteng, dan garis pantai, tetapi kami tak kehilangan
rakyat kami. Sepantasnyalah kami tetap tinggal di Peking, karena kalaupun Orang-
orang barbar itu datang kami akan punya kesempatan untuk melawan bila rakyat
kami mendukung kami. Kalau saja Kaisar Hsien Feng adalah seorang lelaki yang kuat, dia akan bertindak
lain. Dia akan menjadikan dirinya teladan, memimpin negerinya dalam pertempuran;
Dia akan pergi sendiri ke perbatasan. Dan kalaupun dia mati, dia akan
mempertahankan kehormatan Cina serta menyelamatkan namanya sendiri. Namun dia
adalah lelaki yang lemah.
---oOo--- Tung Chih dibawa masuk oleh Nuharoo untuk makan malam. Walau tak terlalu dingin
bocah itu tampak seperti bola salju, terbungkus dalam mantel bulu putih, dan
tengah disuapi dengan daging burung dara serta sekerat roti kukus. Dia tampak
gembira, bermain permainan tali yang disebut 'Ikat aku, lepaskan aku' bersama
An-tehai. Seraya berbaring di ranjangnya, Hsien Feng memerhatikan anak
lelakinya. Dia tersenyum, mendorong si bocah untuk menantang si kasim. Aku
Pedang Golok Yang Menggetarkan 3 Pendekar Naga Putih 34 Mustika Naga Hijau Pedang Langit Dan Golok Naga 4
^