Pencarian

Dua Cinta 3

Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer Bagian 3


banyak tersenyum, dan itu hanya karena aku merasa ingin. Rasanya aku tak ingin
pulang. Tapi, ini Washington, dan akhirnya hujan membubarkan pertemuan kami; ruang tamu
Billy kelewat sempit untuk melanjutkan acara kumpul-kumpul kami. Charlie tadi
naik mobil Harry, jadi kami pulang naik trukku. Charlie bertanya tentang
kegiatanku hari ini, dan sebagian besar yang kuceritakan benar - bahwa aku pergi
dengan Jacob mencari onderdil kemudian menontonnya bekerja di garasi.
"Menurutmu, kau akan mengunjunginya lagi nanti?" tanya Charlie, berusaha
menunjukkan sikap biasa-biasa saja.
"Besok sepulang sekolah," aku mengakui. "Aku akan membawa PR-ku, jangan
khawatir." "Pastikan kau melakukannya," perintah Charlie, berusaha menutupi perasaan
puasnya. Aku merasa gelisah sesampai di rumah. Aku tidak ingin naik ke lantai atas.
Hangatnya kehadiran Jacob berangsur-angsur lenyap, dan sebagai gantinya,
perasaan resah semakin menjadi-jadi. Aku yakin aku tak mungkin tidur tenang dua
malam berturut-turut. Untuk menunda tidur aku mengecek e-mail; ada pesan baru dari Renee.
Ia menulis tentang kegiatannya hari itu, tentang klub buku yang mengisi waktu
luang karena ia keluar dari kelas meditasi, tentang pengalamannya minggu ini
menjadi guru pengganti di kelas dua, membuatnya merindukan murid-murid TK-nya.
Ia juga menulis tentang Phil yang menikmati pekerjaan barunya sebagai pelatih,
dan bahwa mereka berencana berbulan madu kedua ke Disney World.
Dan aku membaca semuanya seperti membaca buku harian, bukan surat yang ditujukan
untuk orang lain. Hatiku dilanda perasaan menyesal, membuat perasaanku tertusuk.
Aku ini bukan anak baik. Aku membalas e-mail-nya dengan cepat, mengomentari setiap bagian suratnya, dan
menceritakan aktivitasku juga - kuceritakan tentang pesta spageti di rumah Billy
dan apa yang kurasakan saat menonton Jacob membuat sesuatu yang berguna dari
potongan-potongan kecil logam - kagum dan sedikit iri. Aku sama sekali tidak
mengungkit tentang perubahan nyata dalam surat ini dibandingkan surat-surat lain
yang diterima ibuku dalam beberapa bulan terakhir. Aku bahkan nyaris tak ingat
apa yang kutulis seminggu yang lalu, tapi aku yakin isinya pasti sangat tidak
responsif. Semakin dipikir, semakin aku merasa bersalah; aku pasti benar-benar
membuat ibuku khawatir. Aku masih bertahan sampai jauh malam sesudah itu, menyelesaikan PR lebih banyak
daripada yang seharusnya kukerjakan. Tapi meski kurang tidur dan sudah
menghabiskan hampir seharian bersama Jacob - merasa nyaris bahagia - ternyata
itu tetap tak bisa menjauhkan mimpi buruk dari tidurku selama dua malam
berturut-turut. Saat bangun aku gemetaran, teriakanku teredam bantal. Ketika cahaya pagi yang
samar masuk melalui jendelaku, aku diam tak bergerak di tempat tidur dan mencoba
mengenyahkan mimpi buruk itu. Tapi ada sedikit perbedaan dalam mimpi tadi malam,
dan aku berkonsentrasi mengingatnya.
Semalam aku tidak sendirian di hutan. Sam Uley - lelaki yang menemukanku di
hutan pada malam yang tidak sanggup kupikirkan dalam keadaan sadar itu - ada di
sana. Perubahan yang aneh dan tak terduga-duga. Yang mengejutkan, mata gelapnya
memancarkan sorot tidak ramah, sarat rahasia yang sepertinya tak ingin ia
bagikan padaku. Kupandangi dia sesering yang bisa dilakukan mataku yang
jelalatan mencari-cari; aku jadi gelisah, selain perasaan panik yang biasa,
karena ia ada di sana. Mungkin itu karena, bila aku tidak sedang menatap
langsung ke arahnya, bentuk badannya seolah menggeletar dan berubah dalam
tatapanku. Tapi ia tidak melakukan apa-apa kecuali berdiri dan memandangiku.
Tidak seperti waktu kami bertemu di dunia nyata, ia tidak menawarkan bantuan.
Charlie memandangiku selama sarapan, dan aku berusaha mengabaikannya. Kurasa aku
pantas menerimanya. Aku tak bisa berharap ayahku tidak mengkhawatirkan aku.
Mungkin butuh berminggu-minggu baru ia akan berhenti memandangiku seolah-olah
menunggu aksi zombie-ku muncul kembali, jadi aku harus berusaha untuk tidak
membiarkan itu menggangguku. Bagaimanapun, aku sendiri juga akan mengawasi
kemunculan lagi si zombie itu. Dua hari belum cukup untuk menganggap diriku
sudah benar-benar sembuh.
Sekolah justru sebaliknya. Sekarang setelah aku memerhatikan, kentara sekali tak
ada yang memerhatikanku. Aku ingat hari pertama aku datang ke Forks High School-betapa aku sangat
berharap bisa berubah warna menjadi abu-abu dan menghilang ke balik beton
trotoar yang basah seperti bunglon raksasa. Tampaknya permohonanku terkabul,
satu tahun terlambat. Rasanya seolah-olah aku tidak di sana. Bahkan mata guru-guru melewati kursiku
seolah-olah kursi itu kosong.
Aku mendengar segalanya sepanjang pagi, sekali lagi mendengar suara-suara orang
di sekelilingku. Aku berusaha mengetahui apa yang terjadi, tapi obrolan mereka
terpotong-potong jadi akhirnya aku menyerah.
Jessica tidak mendongak waktu aku duduk di sebelahnya di kelas Kalkulus.
"Hai, Jess," sapaku sok biasa-biasa saja.
"Bagaimana sisa akhir minggumu kemarin?"
Jessica menengadah dengan sorot mata curiga.
Mungkinkah ia masih marah" Atau hanya tidak sabar menghadapi orang gila"
"Super," jawabnya, mengalihkan perhatian kembali ke bukunya.
"Bagus," gumamku.
Istilah "menganggap sepi" sangat tepat menggambarkan sikap Jessica saat itu. Aku
bisa merasakan udara hangat berhembus dari kisi-kisi di lantai, tapi tetap saja
aku kedinginan. Kuambil jaket yang tadi kusampirkan ke punggung kursi, lalu memakainya lagi.
Pelajaran keempatku berakhir terlambat, jadi meja tempatku biasa makan siang
sudah penuh waktu aku sampai di sana. Mike sudah ada di sana, begitu juga
Jessica dan Angela, Conner,
Tyler, Eric, dan Lauren. Katie Marshall, murid junior berambut merah yang
rumahnya dekat dengan rumahku, duduk bersama Eric, dan Austin Marks - kakak
cowok yang memberiku motor - duduk di sebelahnya. Aku bertanya-tanya dalam hati
sejak kapan mereka duduk di sini, tidak ingat apakah ini yang pertama kali atau
sudah menjadi kebiasaan. Aku mulai kesal pada diriku sendiri. Rasanya seolah-olah aku dimasukkan ke
kardus dan dipendam dalam biji-biji Styrofoam selama semester lalu.
Tidak ada yang mendongak waktu aku duduk di sebelah Mike, walaupun kursiku
berderit nyaring menggores lantai linoleum waktu aku menariknya.
Aku berusaha mengikuti obrolan.
Mike dan Conner asyik mengobrol tentang olahraga, jadi aku langsung menyerah,
tidak bisa mengikuti obrolan mereka.
"Ke mana Ben hari ini?" tanya Lauren pada Angela. Aku tergugah, tertarik. Aku
penasaran apakah itu berarti Angela dan Ben masih pacaran.
Aku nyaris tidak mengenali Lauren. Rambut pirangnya yang halus seperti sutra
dipotong pendek - sekarang rambutnya model pixic super pendek, sampai-sampai
bagian belakangnya dicukur habis kayak cowok. Aneh sekali. Kalau saja aku tahu
alasan di baliknya. Mungkin ada permen karet yang menempel di rambutnya" Atau
jangan-jangan ia menjual rambutnya" Apakah orang-orang yang biasa diperlakukan
tidak baik olehnya memergokinya sendirian di belakang gym dan menggundulinya"
Kuputuskan tidak adil menilainya dari pendapatku dulu. Siapa tahu sekarang ia
sudah berubah jadi baik. "Ben kena flu perut," jawab Angela dengan suara pelan dan kalem. "Mudah-mudahan
tidak lama sakitnya. Semalam sakitnya parah sekali."
Angela juga mengubah model rambutnya. Sekarang layer di rambutnya sudah
dipanjangkan. "Apa saja yang kalian lakukan akhir minggu kemarin?" tanya Jessica.
kedengarannya tidak terlalu memedulikan jawabannya. Berani bertaruh, itu pasti
hanya pancingan supaya ia bisa menceritakan ceritanya sendiri. Aku penasaran
apakah ia akan bercerita tentang Port Angeles sementara aku duduk hanya dua
kursi jauhnya dari dia" Apakah aku begitu tidak kasatmata, sehingga tidak ada
yang merasa tidak nyaman membicarakan aku padahal aku ada di sini"
"Sebenarnya kami berniat piknik hari Sabtu, tapi... berubah pikiran," cerita
Angela. Ada sedikit ketegangan dalam suaranya yang menarik perhatianku.
Kalau Jess, tetap saja tidak peduli. "Sayang sekali," katanya, bersiap
membeberkan ceritanya sendiri. Tapi ternyata bukan hanya aku yang memerhatikan.
"Apa yang terjadi?" tanya Lauren ingin tahu.
"Well," jawab Angela, terkesan lebih ragu-ragu daripada biasanya, walaupun ia
memang selalu berhati-hati. "Kami naik mobil ke utara, hampir sampai ke sumber
air panas-di sana ada tempat yang asyik untuk piknik, kira-kira satu setengah
kilometer menyusuri jalan setapak. Tapi baru separo jalan menuju ke sana... kami
melihat sesuatu." "Melihat sesuatu" Apa?" Alis Lauren yang pucat bertaut. Bahkan Jess sepertinya
mendengarkan sekarang. "Entahlah," jawab Angela. "Kami pikir itu beruang. Soalnya warnanya hitam, tapi
sepertinya... terlalu besar."
Lauren mendengus. "Oh, masa kau juga!" Sorot matanya berubah mengejek, dan
kuputuskan menarik kembali keraguanku barusan. Jelas, kepribadiannya belum
banyak berubah, tidak seperti rambutnya. "Tyler juga berusaha meyakinkanku
dengan cerita mengenai beruang minggu lalu."
"Tak mungkin ada beruang berkeliaran sedekat itu dengan pemukiman penduduk,"
kata Jessica, berpihak pada Lauren.
"Sungguh," protes Angela dengan suara rendah, menunduk memandang meja. "Kami
benar-benar melihatnya."
Lauren tertawa meremehkan. Mike masih asyik mengobrol dengan Conner, tidak
memerhatikan mereka. "Tidak, dia benar," selaku tak sabar. "Hari Sabtu kemarin ada hiker yang mengaku
melihat beruang juga, Angela. Katanya, beruang itu besar dan hitam, dan tidak
jauh di luar kota. Benar kan, Mike?"
Suasana langsung sunyi. Setiap pasang mata di meja itu berpaling dan menatapku
dengan shock. Si cewek baru, Katie, mulutnya ternganga seperti baru saja
menyaksikan ledakan. Tidak ada yang bergerak.
"Mike?" gumamku, malu. "Ingat, tidak, orang yang bercerita soal beruang itu?"
"T-tentu," jawab Mike terbata-bata sedetik kemudian. Entah mengapa ia
memandangku seaneh itu. Aku bicara dengannya di tempat kerja, kan" Benar, kan"
Kalau tidak salah sih begitu...
Mike pulih dari kagetnya. "Yeah, tempo hari ada orang bilang dia melihat beruang
hitam besar di ujung jalan setapak lebih besar daripada grizzly."
"Hmph." Lauren berpaling pada Jessica, bahunya mengejap lalu langsung mengubah
topik. "Sudah dapat kabar dari USC?" tanyanya.
Semua ikut berpaling, kecuali Mike dan Angela. Angela tersenyum ragu-ragu
padaku, dan aku buru-buru membalas senyumnya.
"Omong-omong, apa saja kegiatanmu akhir pekan kemarin, Bella?" tanya Mike ingin
tahu, tapi anehnya waswas.
Semua kecuali Lauren menoleh, menunggu jawabanku.
"Jumat malam Jessica dan aku nonton film di Port Angeles, Sabtu siang dan hampir
sepanjang hari Minggu kuhabiskan di La Push."
Beberapa pasang mata menatapku dan Jessica berganti-ganti. Jessica tampak kesal.
Aku jadi bertanya-tanya dalam hati apakah itu karena ia tak ingin orang lain
tahu ia pergi bersamaku, atau karena ingin ia yang bercerita.
"Kalian nonton film apa?" tanya Mike, mulai tersenyum.
"Dead End-yang ada zombie-nya itu lho." Aku nyengir memberi semangat. Mungkin
sebagian kerusakan yang kubuat selama bulan-bulan zombie-ku kemarin masih bisa
diperbaiki. "Dengar-dengar, filmnya seram ya. Menurutmu begitu?" Mike bersemangat meneruskan
obrolan. "Bella bahkan keluar di akhir film, saking ketakutannya," sela Jessica sambil
tersenyum licik. Aku mengangguk, berusaha menunjukkan wajah malu. "Seram abis."
Mike tak henti-hentinya menanyaiku sampai makan siang berakhir. Berangsur-
angsur, yang lain-lain bisa memulai obrolan lain, meski masih sering
memandangiku. Angela lebih sering mengobrol dengan Mike dan aku, dan, waktu aku
berdiri untuk membuang sisa-sisa makanan dari nampan, ia mengikuti.
"Trims ya," katanya pelan setelah kami jauh dari meja.
"Untuk apa?" "Untuk berbicara, membelaku tadi."
"Bukan masalah."
Angela menatapku prihatin, tapi bukan karena ia mengira aku sudah sinting. "Kau
baik-baik saja?" Inilah sebabnya aku lebih memilih Jessica daripada Angela - walaupun aku lebih
menyukai Angela - untuk menemaniku jalan bareng. Karena Angela terlalu cepat
mengerti. "Tidak sepenuhnya," aku mengakui. "Tapi sudah sedikit lebih baik."
"Aku senang," ucapnya. "Aku kehilangan kau selama ini."
Saat itulah Lauren dan Jessica melenggang melewati kami, dan aku mendengar
Lauren berbisik keras, "Aduh senangnya. Bella sudah kembali."
Angela memutar bola matanya pada mereka, dan tersenyum padaku dengan sikap
menyemangati. Aku mendesah. Rasanya seperti memulai dari awal lagi.
"Hari ini tanggal berapa?" tanyaku tiba-tiba.
"Sembilan belas Januari."
"Hmm." "Memangnya kenapa?" tanya Angela.
"Kemarin tepat satu tahun aku memulai hari pertamaku di sini," kenangku.
"Tidak banyak yang berubah," gumam Angela, memandang Lauren dan Jessica.
"Memang," sahutku sependapat. "Aku juga berpikir begitu."
7. PENGULANGAN ENTAH apa yang kulakukan di sini.
Apakah aku berusaha mendorong diriku kembali ke keadaan seperti zombie" Apakah
aku sudah berubah menjadi masokis - senang disiksa" Seharusnya aku langsung ke
La Push. Aku merasa jauh. jauh lebih sehat bila bersama Jacob, Ini bukan hal
yang sehat untuk dilakukan.
Tapi aku terus saja mengendarai trukku pelan-pelan menembus jalan yang ditumbuhi
semak-semak liar di kiri-kanan-nya, meliuk-liuk menerobos pepohonan yang
melengkung di atas kepala bagai terowongan hijau yang hidup. Kedua tanganku
gemetar, dan aku mempererat cengkeramanku pada setir.
Aku tahu sebagian alasanku melakukan ini
karena mimpi buruk itu; sekarang setelah aku benar-benar terbangun, kehampaan
mimpi itu menggerogoti saraf-sarafku, seperti anjing mengkhawatirkan di mana
tulangnya dikubur. Ada sesuatu yang harus dicari. Tak bisa diraih dan mustahil,
tidak peduli dan tidak perhatian... tapi dia ada di luar sana, di suatu tempat.
Aku harus memercayai hal itu.
Sebagian yang lain adalah sensasi pengulangan aneh seperti yang kurasakan di
sekolah tadi, Tanggal yang kebetulan itu. perasaan bahwa aku memulai dari awal lagi - mungkin
akan begitulah hari pertamaku jadinya bila aku sungguh-sungguh menjadi orang
yang paling tidak biasa di kafeteria siang itu.
Kata-kata itu memenuhi kepalaku, tanpa nada, seolah-olah aku membaca dan bukan
mendengarnya langsung: Nantinya akan terasa seolah-olah aku tak pernah ada.
Aku membohongi diri sendiri dengan membagi alasan kedatanganku ke sini menjadi
hanya dua bagian. Aku tak mau mengakui motivasi terbesar.
Karena secara mental itu tidak waras.
Sebenarnya, aku ingin mendengar suaranya lagi, seperti delusi aneh yang kualami
Jumat malam lalu. Untuk waktu yang singkat itu, ketika suaranya datang dari
bagian lain selain ingatan sadarku, ketika suaranya terdengar sempurna dan
semanis madu, bukan gaung lemah seperti yang biasa dimunculkan kenanganku, aku
bisa mengingatnya tanpa merasa sedih. Itu tidak bertahan lama; kepedihan itu
kembali menyerangku, sesuatu yang aku yakin pasti akan terjadi setelah aku
melakukan tindakan ceroboh ini. Tapi momen-momen berharga saat aku bisa
mendengarnya lagi bagaikan rayuan yang tak bisa ditolak. Aku harus mencari cara untuk mengulangi pengalaman itu... atau mungkin istilah yang lebih
tepat adalah episode. Aku berharap deja vu adalah kuncinya. Itu sebabnya aku akan pergi ke rumahnya,
yang tak pernah kuinjak lagi sejak pesta ulang tahunku yang sial itu, beberapa
bulan silam. Tumbuh-tumbuhan lebat dan nyaris menyerupai hutan belantara merayap lamban di
samping jendela trukku, meluncur dan meluncur terus. Kupercepat laju trukku,
mulai gelisah. Sudah berapa lama aku menyetir" Bukankah seharusnya aku sudah
sampai di rumah itu" Tetumbuhan begitu menyemak hingga jalan yang kulalui tampak
asing. Bagaimana kalau aku tak bisa menemukannya" Aku bergidik. Bagaimana kalau tidak
ada bukti nyata sama sekali"


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian kelebatan pepohonan mulai merenggang, persis seperti yang kucari, hanya
saja sekarang tidak terlalu kentara. Flora di sini tidak menunggu lama untuk
mengklaim kembali tanah yang dibiarkan tak dijaga. Pakis-pakisan tinggi sudah
menyusup ke padang rumput di sekeliling rumah, mengimpit batang-batang pohon
cedar, bahkan sampai ke teras yang lebar. Seolah-olah halaman dibanjiri-setinggi
pinggang-dengan gelombang hijau berombak-ombak.
Dan rumah itu ada di sana, tapi tidak sama. Meski tidak ada yang berubah di
bagian luar, namun kekosongan berteriak dari jendela-jendelanya yang melompong.
Mengerikan. Untuk pertama kali semenjak melihat rumah indah ini, aku merasa ini
tempat yang tepat untuk kediaman vampir.
Kuinjak rem dalam-dalam, berpaling. Aku tak berani maju lebih jauh lagi.
Tapi tak ada yang terjadi. Tidak ada suara apa-apa dalam benakku.
Aku membiarkan mesin truk tetap menyala dan melompat ke dalam lautan pakis.
Mungkin, seperti Jumat malam lalu, kalau aku melangkah maju...
Pelan-pelan aku berjalan menghampiri bagian depan rumah yang sepi dan kosong,
mesin trukku menggemuruh menenangkan di belakangku. Aku berhenti sesampainya di
tangga teras, karena tidak ada apa-apa di sini. Tidak tersisa sedikit pun kesan
bahwa mereka pernah di sini... bahwa ia pernah di sini. Rumah itu memang masih
berdiri kokoh, tapi itu tidak banyak berarti. Realita konkretnya tidak akan
mengenyahkan kehampaan mimpi burukku.
Aku tidak berjalan lebih dekat lagi. Aku tidak ingin melongok ke dalam jendela.
Entah mana yang lebih berat dilihat. Bila ruangan-ruangan di dalamnya melompong,
bergaung kosong dari lantai ke langit-langit, itu pasti akan sangat menyakitkan.
Seperti waktu nenekku meninggal, saat ibuku berkeras menyuruhku tetap di luar
sebelum beliau dimakamkan. Alasannya, aku tidak perlu melihat Gran seperti itu,
mengingatnya seperti itu, lebih baik mengingatnya seperti waktu ia masih hidup.
Tapi apakah tidak lebih buruk bila semuanya tetap sama" Bila sofa-sofa itu masih
berada di tempat aku terakhir kali melihatnya, lukisan-lukisan masih terpajang
di dinding-dan lebih parah lagi, piano itu masih bertengger di panggungnya yang
rendah" Itu hanya bisa ditandingi dengan rumah ini lenyap tanpa bekas, melihat
benda-benda itu teronggok begitu saja.
Bahwa semua masih sama, tak disentuh dan dilupakan, ditinggalkan pemiliknya.
Sama seperti aku. Aku berbalik memunggungi kekosongan yang menyayat hati itu dan bergegas kembali
ke truk. Hampir saja aku berlari. Aku ingin secepatnya pergi dari sini, kembali
ke dunia manusia. Aku merasa diriku hampa, dan aku ingin bertemu Jacob. Mungkin
ada penyakit lain yang berkembang dalam diriku, kecanduan lain, seperti
kekebasan yang kurasakan sebelumnya. Aku tak peduli. Kuinjak pedal gas dalam-
dalam, memacu trukku secepat mungkin, menggelinding menuju "obat" yang dapat
memuaskan kecanduanku. Jacob sudah menungguku. Dadaku seakan merileks begitu melihatnya, membuatku
mudah bernapas. "Hai, Bella," serunya.
Aku tersenyum lega. "Hai, Jacob"
Kulambaikan tangan pada Billy yang memandang ke luar jendela.
"Ayo kita segera bekerja," kata Jacob dengan suara pelan namun bersemangat.
Entah bagaimana aku bisa tertawa. "Kau benar-benar belum muak padaku, ya?" aku
penasaran. Ia sendiri pasti mulai bertanya-tanya, sebegitu putus asanya aku
ingin punya teman. Jacob berjalan menduluiku mengitari rumah untuk menuju garasi.
"Nggak. Belum."
"Tolong beritahu aku kapan aku mulai membuatmu kesal. Aku tidak mau menjadi
pengganggu." "Oke." Jacob tertawa, suaranya sengau. "Tapi kalau aku jadi kau, aku tidak bakal
terlalu berharap." Saat melangkah memasuki garasi, aku shock melihat motor merah itu sudah berdiri,
tampak lebih mirip motor daripada onggokan besi tua.
"Jake, hebat benar kau," desahku.
Lagi-lagi Jake tertawa. "Aku jadi obsesif bila
sedang mengerjakan proyek." Ia mengangkat bahu. "Kalau pintar sih, seharusnya
aku berlama-lama mengerjakannya."
"Kenapa?" Jacob menunduk, berdiam diri lama sekali hingga aku sempat bertanya-tanya apakah
ia mendengar pertanyaanku. Akhirnya, ia bertanya padaku, "Bella, seandainya aku
berkata tidak bisa membetulkan sepeda-sepeda motor itu, apa yang akan
kaukatakan?" Aku juga tidak langsung menjawab, dan Jacob mendongak untuk mengecek ekspresiku.
"Aku akan berkata... sayang sekali, tapi berani taruhan, kita pasti bisa mencari
kegiatan lain untuk dilakukan. Kalau kepepet sih, kita bahkan bisa mengerjakan
PR bersama." Jacob tersenyum, dan bahunya kembali rileks. Ia duduk di sebelah motor dan
memungut obeng. "Menurutmu kau masih akan datang ke sini kalau aku sudah selesai memperbaikinya,
begitu?" "Jadi maksudmu itu ya?" Aku menggeleng. "Kurasa aku memang sengaja memanfaatkan
keahlian mekanikmu yang kelewat murah itu. Tapi selama kau masih mengizinkan aku
datang ke sini, aku pasti datang."
"Berharap ketemu Quil lagi?" godanya.
"Ketahuan deh."
Jacob terkekeh. "Kau benar-benar suka menghabiskan waktu bersamaku?" tanyanya, takjub.
"Suka, suka sekali. Dan akan kubuktikan. Aku harus kerja besok, tapi Rabu-nya
kita bisa melakukan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan perbengkelan."
"Seperti apa?" "Entahlah. Kita bisa pergi ke rumahku supaya kau tidak tergoda untuk menjadi
obsesif. Kau bisa membawa tugas sekolahmu - kau pasti banyak ketinggalan
pelajaran, karena aku tahu aku pun begitu."
"Boleh juga bikin PR bareng." Jacob mengernyit dan aku bertanya-tanya dalam hati
berapa banyak PR yang sudah lalai ia kerjakan agar bisa bersamaku.
"Benar," aku sependapat. "Kita harus mulai menunjukkan sikap bertanggung jawab
sesekali, kalau tidak Billy dan Charlie tidak bakal semudah ini memberi izin,"
Aku membuat isyarat yang menggambarkan kami sebagai kesatuan. Jacob senang
melihatnya-wajahnya berseri-seri.
"Mengerjakan PR sekali seminggu?" usulnya.
"Mungkin lebih baik dua kali," aku
menyarankan, membayangkan setumpuk PR yang baru saja diberikan hari ini.
Jacob mengembuskan napas berat. Lalu ia mengulurkan tangan melewati kotak
perkakas, mengambil kantong kertas. Dari dalamnya ia mengeluarkan dua kaleng
soda, membuka satu dan menyodorkannya padaku. Lalu dibukanya kaleng kedua dan
diangkatnya dengan sikap seperti hendak bersulang.
"Ini untuk tanggung jawab," katanya. "Dua kali seminggu."
"Dan kecerobohan pada setiap hari di antaranya," aku menekankan
Jacob nyengir dan menempelkan kalengnya ke kalengku.
Aku sampai di rumah lebih malam daripada yang kurencanakan, dan mendapati
Charlie sudah memesan pizza dan bukannya menungguku pulang. Ia tidak menerima
permintaan maafku. "Tidak apa-apa," ia meyakinkan aku. "Sesekali kau pantas mendapat istirahat dari
tugas memasak." Aku tahu Charlie hanya merasa lega karena aku masih bersikap layaknya manusia
normal, dan tidak ingin merusak suasana.
Aku mengecek e-mail dulu sebelum mulai mengerjakan PR. Ternyata ada balasan dari
Renee. Ia bersemangat sekali mengomentari setiap hal yang kutulis kemarin, jadi aku pun
membalasnya dengan penjelasan panjang-lebar tentang kegiatanku hari ini. Semua
kecuali tentang sepeda motor. Bahkan Renee yang periang itu bakal jantungan
kalau kuceritakan. Suasana sekolah hari Selasa lumayan
menyenangkan - Angela dan Mike sepertinya siap menyambutku kembali dengan tangan
terbuka - dengan berbaik hati melupakan sikapku yang menyimpang beberapa bulan
terakhir ini. Sementara Jess masih menolak. Aku jadi penasaran jangan-jangan ia
membutuhkan surat permintaan maaf resmi atas insiden di Port Angeles tempo hari.
Mike riang dan cerewet sekali saat bekerja. Seolah-olah selama ini ia menyimpan
bahan obrolan selama satu semester dan menumpahkan semuanya sekarang. Aku
mendapati diriku bisa tersenyum dan tertawa bersamanya, meski tidak semudah bila
aku bersama Jacob. Kelihatannya tidak ada maksud apa-apa di baliknya, sampai
tiba waktunya untuk pulang.
Mike memasang tanda "TUTUP" di etalase
sementara aku melipat rompiku dan menjejalkannya di bawah konter.
"Menyenangkan sekali malam ini," kata Mike senang.
"Yeah," aku sependapat, meski lebih suka
menghabiskan soreku di garasi.
"Sayang kau harus keluar sebelum filmnya selesai minggu lalu."
Aku agak bingung mengikuti jalan pikirannya. Kuangkat bahuku. "Kurasa aku memang
penakut." "Maksudku, seharusnya kau nonton film yang lebih bagus, yang kau suka," ia
menjelaskan. "Oh," gumamku, masih bingung.
"Seperti misalnya Jumat ini. Bersamaku. Kita bisa pergi nonton film yang tidak
seram sama sekali." Kugigit bibirku. Aku tidak ingin merusak hubunganku dengan Mike, tidak bila dialah salah satu
dari sedikit orang yang siap memaafkanku atas sikap gilaku. Tapi ini, lagi-lagi,
terasa sangat familier. Seakan-akan peristiwa tahun lalu tak pernah terjadi.
Kalau saja kali ini aku bisa memakai Jess sebagai alasan.
"Maksudmu berkencan?" tanyaku. Bersikap
jujur mungkin langkah terbaik yang bisa diambil saat ini. Langsung ke pokok
masalah. Mike mencerna nada suaraku. "Kalau kau mau. Tapi tidak perlu begitu juga."
"Aku tidak mau berkencan," jawabku lambat-lambat, menyadari betapa benar hal
itu. Seisi dunia terasa sangat jauh denganku sekarang.
"Hanya sebagai teman?" Mike mengusulkan.
Bola matanya yang biru jernih sekarang tidak tampak terlalu bersemangat. Kuharap
ia bersungguh-sungguh waktu mengatakan kami bisa jadi teman saja.
"Pasti asyik. Tapi sayangnya aku sudah punya acara Jumat nanti, jadi bagaimana
kalau minggu depan?"
"Kau mau ngapain?" tanyanya, lebih ingin tahu daripada yang kurasa ingin ia
tunjukkan. "Bikin PR. Aku sudah... janji akan belajar bersama teman."
"Oh. Oke. Mungkin minggu depan."
Mike mengantarku ke trukku, sikapnya tidak seceria tadi. Aku jadi teringat
bulan-bulan pertamaku di Forks. Lingkaran kehidupanku
seolah kembali ke titik awal, dan sekarang
semuanya terasa bagaikan gema-gema yang kosong, tanpa ketertarikan seperti dulu.
Esok malamnya Charlie tidak kelihatan kaget sedikit pun melihat Jacob dan aku
berselonjor di lantai ruang tamu dengan buku pelajaran bertebaran di mana-mana,
jadi kurasa ia dan Billy diam-diam membicarakan kegiatan kami.
"Hai, Anak-anak," sapanya, matanya mengarah ke dapur. Aroma lasagna yang kubuat
sesorean tadi - sementara Jacob menonton dan sesekali mencicipi - menguar ke
ruang depan; aku sengaja berbuat baik, berusaha menebus dosa gara-gara
membiarkan Charlie memesan pizza terus.
Jacob ikut makan malam bersama kami, lalu pulang sambil membawa sepiring makanan
untuk Billy. Dengan enggan ia menambahkan satu tahun lagi ke umurku yang masih
bisa dinegosiasikan karena kepiawaianku memasak.
Hari Jumat kami nongkrong di garasi, dan
Sabtu-nya, usai bekerja di Newtons, kami bikin PR lagi. Charlie merasa cukup
yakin aku sudah kembali waras sehingga mau pergi memancing bersama Harry. Waktu
ia pulang, kami sudah selesai mengerjakan PR - merasa sangat bertanggung jawab
dan dewasa - dan sedang menonton Monster Garage di Discovery Channel.
"Mungkin sebaiknya aku pulang," Jacob mendesah. "Ternyata sudah malam sekali."
"Oke, baiklah," gerutuku. "Kuantar kau pulang."
Jacob tertawa melihat ekspresiku yang keberatan - sepertinya itu membuatnya
senang. "Besok kembali bekerja," kataku begitu kami sudah aman di dalam truk. "Jam
berapa kau mau aku datang?"
Ada kesan riang yang tak bisa dijelaskan terpancar dari senyumnya. "Kutelepon
kau dulu, oke?" "Tentu." Keningku berkerut, bertanya-tanya ada apa. Senyum Jacob semakin lebar.
Aku membersihkan rumah keesokan paginya- sambil menunggu Jacob menelepon
sekaligus berusaha mengenyahkan mimpi burukku yang terakhir. Pemandangannya
berubah. Semalam aku berkelana di tengah lautan pakis yang diselingi pohon
hemlock raksasa di sana-sini. Tidak ada apa-apa lagi di sana, dan aku tersesat,
menggelandang tanpa tujuan dan sen dirian, tidak mencari apa-apa. Ingin rasanya
kumarahi diriku sendiri karena pergi ke sana minggu lalu. Kutepiskan mimpi itu
dari pikiran sadarku, berharap mimpi tersebut akan terkunci rapat di suatu
tempat dan tidak muncul lagi.
Charlie sedang mencuci mobil patrolinya di luar, jadi ketika telepon berdering,
aku langsung menjatuhkan sikat WC dan lari ke bawah untuk mengangkatnya.
"Halo?" jawabku terengah-engah.
"Bella." kata Jacob, nadanya aneh dan formal.
"Hai, Jake" "Aku yakin kita... ada kencan hari ini," katanya, nadanya sarat makna
terselubung. Butuh waktu sedetik bagiku untuk
mencernanya. "Sudah selesai" Aku tidak percaya!"
Waktunya benar-benar tepat. Aku membutuhkan sesuatu yang bisa mengalihkan
pikiranku dari mimpi buruk dan kehampaan.
"Yeah, dua-duanya sudah berfungsi lagi."
"Jacob, kau ini benar-benar, tidak diragukan lagi, orang paling berbakat dan
hebat yang pernah kukenal. Usiamu bertambah sepuluh tahun karena ini."
"Keren! Jadi sekarang aku sudah separo baya."
Aku tertawa. "Aku akan segera ke sana!"
Kulempar semua peralatan bersih-bersihku ke bawah konter kamar mandi, lalu
kusambar jaketku. "Mau ke rumah Jake," kata Charlie waktu aku berlari melewatinya. Itu bukan
pertanyaan. "Yep," sahutku sambil meloncat ke truk.
"Aku nanti akan ke kantor," Charlie berseru padaku.
"Oke," aku balas berteriak, memutar kunci.
Charlie mengatakan sesuatu, tapi aku tak bisa mendengarnya dengan jelas karena
terhalang raungan mesin truk. Ke dengarannya seperti, "Buru-buru amat?"
Kuparkir trukku di sisi rumah keluarga Black, dekat pepohonan, supaya kami bisa
lebih mudah menyelundupkan sepeda-sepeda motor itu keluar. Waktu aku turun,
secercah warna berkelebat menarik perhatianku-dua motor mengilap, satu merah,
satu hitam, tersembunyi di balik semak, tidak tampak dari rumah. Jacob sudah
siap. Sepotong pita biru diikat membentuk pita kecil di setiap setang motor. Aku
tertawa melihatnya sewaktu Jacob menghambur keluar rumah.
"Siap?" tanyanya pelan, matanya berbinar-binar.
Aku menengok ke belakang bahunya, tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran Billy.
"Yeah," jawabku, tapi tidak merasa terlalu bersemangat seperti sebelumnya; aku
mencoba membayangkan diriku benar-benar menunggangi sepeda motor itu.
Dengan enteng Jacob menaikkan sepeda-sepeda motor itu ke bak belakang trukku,
membaringkannya dengan hati-hati agar tidak terlihat.
"Ayo," ajaknya, suaranya lebih tinggi daripada biasanya karena bersemangat. "Aku
tahu tempat yang aman - tidak ada yang akan memergoki kita di sana."
Kami ke luar kota menuju selatan. Jalan tanah berkelok-kelok keluar-masuk hutan-
terkadang tidak tampak pemandangan lain selain pepohonan, dan sejurus kemudian
tiba-tiba tampak pemandangan indah Samudera Pasifik membentang luas, jauh hingga
ke batas cakrawala, abu-abu gelap di bawah awan-awan. Kami berada di atas
pantai, di puncak tebing-tebing yang membatasi pantai di sini, dan
pemandangannya seakan membentang luas hingga ke ujung bumi.
Aku mengendarai trukku pelan-pelan, supaya bisa dengan aman memandangi samudra
luas sesekali, sementara jalan berkelok-kelok semakin dekat ke tebing-tebing
laut. Jacob bercerita tentang keberhasilannya memperbaiki kedua sepeda motor
itu, tapi penjelasannya mulai mengarah ke hal-hal teknis, jadi aku tidak begitu
memerhatikan. Saat itulah aku melihat empat orang berdiri di tubir batu, terlalu dekat ke
pinggir tebing. Dari jauh aku tidak bisa menebak usia mereka, tapi asumsiku
mereka lelaki dewasa. Meski hari ini dingin, kelihatannya mereka hanya
mengenakan celana pendek.


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kulihat lelaki yang tubuhnya paling tinggi maju semakin dekat ke pinggir tebing.
Otomatis aku memperlambat laju truk, kakiku ragu-ragu di pedal rem.
Dan detik berikutnya, lelaki itu menjatuhkan dirinya dari pinggir tebing.
"Tidak!" teriakku, menginjak rem dalam-dalam.
"Ada apa?" Jacob balas berteriak, kaget.
"Orang itu - dia baru saja melompat dari pinggir tebing! Mengapa mereka tidak
mencegahnya" Kita harus menelepon ambulans!" Kubentangkan pintu truk lebar-lebar
dan melompat keluar, tindakan yang sama sekali tak masuk akal. Jalan tercepat ke
pesawat telepon adalah kembali ke rumah Billy. Tapi aku tidak memercayai apa
yang baru saja kulihat. Mungkin di alam bawah sadarku, aku berharap akan melihat
sesuatu yang berbeda bila tidak dihalangi kaca depan trukku.
Jacob tertawa, dan aku berbalik menatapnya dengan panik. Apakah ia begitu tidak
punya perasaan, begitu tega"
"Mereka hanya terjun dari tebing, Bella. Rekreasi. Di La Push kan tidak ada
mal," Jacob menggoda, meski ada secercah nada kesal dalam suaranya.
"Terjun dari tebing?" ulangku, bingung. Tak percaya rasanya melihat sosok kedua
melangkah ke pinggir tebing, diam sejenak, kemudian dengan sangat anggun
melompat ke udara. Ia melayang untuk waktu yang rasanya seperti berabad-abad
bagiku, sebelum akhirnya membelah ombak kelabu gelap dengan mulus, jauh di bawah
sana. "Wow. Tinggi sekali." Aku masuk kembali ke truk, sambil terus memandangi kedua
penerjun yang tersisa. "Tingginya tidak mungkin kurang dari tiga puluh meter."
"Well, yeah, kebanyakan dari kami terjun dari posisi yang agak lebih ke bawah,
dari batu yang menjorok ke luar tebing itu." Jacob menuding ke luar jendela.
Tempat yang ditunjukkannya memang tampak jauh lebih masuk akal. "Orang-orang itu
sinting. Mungkin hanya ingin pamer. Maksudku, yang benar saja, hari ini kan
dingin sekali. Airnya pasti sangat dingin."
Jacob mengernyit tak setuju, seolah-olah adegan berbahaya tadi menyinggungnya
secara pribadi. Aku agak terkejut juga melihatnya. Kukira Jacob hampir tak
pernah marah. "Kau pernah terjun dari tebing?" Kata "kami" yang diucapkannya tadi tak luput
dari pendengaranku. "Tentu, tentu," Ia mengangkat bahu dan nyengir. "Asyik kok. Agak ngeri, memacu
adrenalin." Aku menoleh kembali memandangi tebing-tebing itu, dan melihat sosok ketiga
mondar-mandir di pinggir tebing. Belum pernah aku menyaksikan sesuatu yang
senekat itu seumur hidupku. Mataku membelalak, dan aku tersenyum. "Jake, kau
harus mengajakku terjun dari tebing kapan-kapan.
Jacob menatapku dengan kening berkerut, wajahnya tidak setuju. "Bella, baru saja
kau mau memanggilkan ambulans untuk Sam," ia mengingatkanku. Kaget juga aku, ia
bisa mengenali siapa orang tadi dari kejauhan.
"Aku ingin mencoba," aku berkeras, bergerak untuk turun lagi dari truk.
Jacoh menyambar pergelangan tanganku.
"Jangan hari ini ok" Bisakah kita menunggu setidaknya sampai cuaca menghangat?"
"Oke, baik." aku setuju. Dengan pintu
terbuka,angin sedingin es membuat bulu kudukku meremang. "Tapi aku ingin
melakukannya dalam waktu dekat."
"Dalam waktu dekat." Jacob memutar bola matanya. "Terkadang kau sedikit aneh,
Bella. Kau tahu itu?"
Aku mendesah. "Ya."
"Dan kita tidak akan terjun dari puncak." Aku menonton, takjub, saat pemuda
ketiga memulai terjunnya dengan berlari lebih dulu dan melontarkan diri lebih
jauh ke udara kosong daripada kedua temannya yang lain. Pemuda itu meliuk dan
berputar-putar di angkasa saat terjun bebas, seperti penerjun payung. Ia tampak
benar-benar bebas-tanpa beban dan bersikap sesuka hati.
"Baiklah." aku setuju. "Setidaknya untuk pertama kali."
Sekarang giliran Jacob yang mendesah. "Jadi, tidak, kita menjajal motor kita?"
tuntut Jacob. "Oke, oke," jawabku, mengalihkan mata dari orang terakhir yang menunggu di
tebing. Kukenakan lagi sabuk pengamanku dan menutup pintu. Mesin masih menyala,
meraung keras bila tidak dijalankan. Kami kembali melaju.
"Jadi siapa mereka-orang-orang gila itu?" tanyaku.
Jacob mengeluarkan suara seperti kesal dari
tenggorokannya. "Mereka geng La Push."
"Kalian punya geng?" tanyaku. Sadarlah aku suaraku terdengar kagum.
Jacob langsung tertawa melihat reaksiku. "Tidak seperti itu. Sumpah, mereka itu
seperti pengawas sekolah yang melenceng dari tugasnya. Mereka tidak suka bikin
ulah, melainkan menjaga ketenteraman." Jacob mendengus. "Pernah, suatu kali ada
pemuda dari daerah Makah rez sana, badannya juga besar, pokoknya penampilannya
sangar. Well, menurut kabar burung, pemuda itu menjual sabu ke anak-anak, dan
Sam Uley serta para muridnya mengusir pemuda itu dari tanah kami. Mereka selalu
saja mendengung-dengungkan soal tanah kami dan harga diri suku... konyol juga
lama-lama. Parahnya lagi, dewan suku menganggap serius mereka. Kata Embry, dewan
suku benar-benar bertemu Sam secara teratur." Jacob menggeleng-gelengkan kepala,
wajahnya menunjukkan mimik tidak suka. "Embry juga pernah mendengar dari Leah
Clearwater bahwa geng itu menyebut diri mereka 'pelindung' atau semacam itulah."
Tangan Jacob mengepal, sepertinya gatal ingin meninju sesuatu. Belum pernah aku
melihatnya seperti itu. Kaget juga aku mendengar nama Sam Uley disebut-sebut. Aku tidak ingin nama itu
membawa kembali ingatan tentang mimpi burukku, jadi aku buru-buru menyampaikan
hasil pengamatan sekilasku untuk mengalihkan perhatian. "Kau tidak terlalu
menyukai mereka." "Kelihatan, ya?" tanyanya sarkastis.
"Well. Kedengarannya mereka tidak melakukan hal yang tidak baik" Aku berusaha
menenangkan Jacob, membuatnya riang kembali. "Hanya saja sikap mereka memang
agak terlalu sok alim untuk anak geng."
"Yeah. Sok alim itu istilah yang tepat. Mereka selalu ingin pamer - seperti
terjun tebing itu. Mereka bertingkah seperti... seperti, entahlah. Seperti
cowok-cowok macho. Dulu pernah, waktu nongkrong di toko bersama Embry dan Quil,
semester lalu, Sam datang bersama kroni-kroninya, Jared dan Paul. Quil
mengatakan sesuatu, kau kan tahu dia suka omong besar dan omongannya membuat
Paul jengkel. Matanya langsung berubah gelap, dan dia seperti tersenyum - bukan,
dia memamer kan giginya tapi tidak tersenyum - dan sepertinya dia marah sekali
sampai-sampai sekujur tubuhnya bergetar atau bagaimana. Tapi Sam meletakkan
tangannya di dada Paul dan menggeleng. Paul memandanginya sebentar dan kemudian
tenang kembali. Terus terang, seolah-olah Sam-lah yang bisa menenangkannya -
seakan-akan Paul bakal mencabik-cabik kami kalau tidak dihentikan Sam."
Jacob mengerang. "Seperti film western kacangan. Kau tahu kan, Sam itu besar
sekali, umurnya saja sudah dua puluh. Tapi Paul juga masih enam belas, lebih
pendek daripada aku dan tidak segempal Quil. Kurasa, salah satu dari kami bisa
saja mengalahkannya."
Cowok macho" aku sependapat. Aku bisa melihatnya dalam benakku ketika Jacob
menggambarkannya, dan itu mengingatkanku pada sesuatu... tiga cowok jangkung
berkulit gelap berdiri diam dan saling merapat di ruang tamu rumah ayahku.
Gambarnya miring ke satu sisi, karena kepalaku terbaring di sofa sementara dr.
Gerandy dan Charlie membungkuk di atasku... Apakah mereka itu geng Sam"
Aku cepat-cepat berbicara lagi untuk mengalihkan perhatianku dari kenangan itu.
"Apakah Sam tidak sedikit terlalu tua untuk hal semacam ini?"
"Yeah. Seharusnya dia kuliah, tapi dia tetap tinggal di sini. Sudah begitu,
tidak ada yang mempermasalahkannya pula. Padahal, dewan suku marah besar waktu
kakak perempuanku menolak tawaran beasiswa parsial dan lebih memilih menikah.
Tapi, oh tidak, Sam Uley tidak mungkin melakukan kesalahan."
Wajah Jacob mengeras oleh amarah-amarah
dan perasaan lain yang awalnya tidak kukenali.
"Kedengarannya sangat menjengkelkan dan... aneh. Tapi aku tidak mengerti mengapa
kau memasukkannya ke hati." Kulirik wajahnya, berharap aku tidak membuatnya
tersinggung. Jacob mendadak tenang, memandang ke luar jendela.
"Belokannya terlewat," katanya datar.
Aku membuat putaran berbentuk huruf U yang lebar sekali; sampai nyaris menabrak
pohon saat lingkaran yang kubuat membuat trukku terseok hingga ke setengah badan
jalan. "Terima kasih peringatannya," gerutuku sambil mulai menyusuri jalan kecil.
"Maaf, tadi aku sedang tidak memerhatikan jalan." Sejenak tidak ada yang bicara.
"Kau bisa berhenti di mana saja di sepanjang jalan ini," kata Jacob lirih.
Aku menepikan truk dan mematikan mesin. Telingaku berdenging oleh kesunyian yang
mendadak. Kami turun, lalu Jacob berjalan ke belakang untuk menurunkan sepeda
motor. Aku mencoba membaca ekspresinya. Ada hal lain yang membuatnya gundah.
Pertanyaanku tadi tepat mengenai sasaran.
Jacob tersenyum setengah hati sambil mendorong motor merah itu ke sisiku.
"Selamat ulang tahun yang terlambat. Kau siap?"
"Rasanya sudah." Tiba-tiba saja motor itu
tampak mengancam, menakutkan, waktu aku sadar sebentar lagi aku akan
mengendarainya. "Kita akan pelan-pelan saja," Jacob berjanji. Hati-hati kusandarkan motor itu ke
bemper truk sementara Jacob menurunkan motornya.
"Jake..." Aku ragu-ragu sejenak waktu ia
kembali mengitari truk. "Yeah?"
"Apa sebenarnya yang membuatmu merasa terganggu" Mengenai Sam. maksudku" Apakah
ada masalah lain?" Kupandangi wajahnya, tapi ia tidak marah. Ia menatap tanah
dan menendangkan sepatunya ke roda depan sepeda motornya berkali-kali. seperti
mengulur-ulur waktu. Jacob mendesah. "Hanya... cara mereka memperlakukan aku. Membuatku takut." Kata-
kata itu mulai berhamburan keluar dari mulutnya. "Kau tahu, dewan suku terdiri
atas para anggota yang kedudukannya setara, tapi kalaupun ada pemimpin,
pemimpinnya adalah ayahku. Aku tidak pernah bisa mengerti mengapa orang-orang
memperlakukan dia seperti itu. Mengapa opininya yang paling didengar. Pasti ada
hubungannya dengan ayahnya dan ayah dari ayahnya. Kakek buyutku, Ephraim Black,
bisa dibilang kepala suku kami yang terakhir, dan mereka masih mendengarkan
perkataan Billy, mungkin karena itu.
"Tapi aku sama saja seperti orang-orang lain. Tidak ada yang memperlakukan aku
secara istimewa... sampai sekarang."
Aku terperangah mendengarnya. "Sam memperlakukanmu secara istimewa?"
"Yeah," jawab Jacob, mendongak dan memandangku dengan sorot galau. "Dia
memandangiku seperti menunggu sesuatu... seperti berharap aku akan bergabung
dengan geng tololnya itu suatu saat nanti. Dia lebih memerhatikan aku daripada
pemuda-pemuda lain. Aku tidak suka."
"Kau tidak perlu bergabung dengan geng apa pun." Suaraku marah. Ini benar-benar
meresahkan hati Jacob, dan itu membuatku marah. Memangnya para "pelindung" ini
pikir siapa mereka" "Yeah." Kaki Jacob masih terus menendang-nendang roda.
"Apa?" Aku tahu pasti masih ada lagi.
Jacob mengerutkan kening, alisnya bertaut seperti kalau ia tampak sedih dan
khawatir, bukannya marah. "Ini tentang Embry. Dia selalu menghindariku
belakangan ini" Pikiran itu sepertinya tidak ada hubungannya dengan masalah tadi, tapi aku ingin
tahu apakah masalah yang dihadapinya dengan sahabatnya itu gara-gara aku.
"Kau kan bersamaku terus akhir-akhir ini," aku mengingatkan dia, merasa egois.
Ternyata selama ini aku memonopoli dia.
"Tidak, bukan gara-gara itu. Bukan hanya aku yang merasa begitu - Quil juga, dan
orang-orang lain. Embry tidak sekolah selama satu minggu, tapi tidak pernah ada
di rumah bila kami mencoba menemuinya. Dan waktu dia kembali, dia tampak... dia
tampak kalut. Ketakutan. Quil dan aku berusaha membujuknya untuk menceritakan
masalah yang dihadapinya, tapi dia tidak mau bicara pada kami berdua."
Kupandangi Jacob, menggigit bibir dengan cemas - ia benar-benar ketakutan. Tapi
Jacob tidak balas menatapku. Ia memandangi kakinya yang menendang-nendang karet
ban. Temponya makin lama makin cepat.
"Lalu minggu ini, tak ada hujan tak ada angin, Embry mulai bergabung dengan Sam
dan teman-temannya yang lain. Dia tadi juga ada di tebing."
Suaranya rendah dan tegang.
Akhirnya Jacob menatapku juga. "Bella, dulu
mereka lebih sering mengganggu Embry daripada aku. Embry bahkan tidak mau
berurusan dengan mereka. Tapi sekarang dia membuntuti Sam ke mana-mana seolah-
olah dia sudah bergabung dalam sebuah sekte.
"Dan hal yang sama juga terjadi pada Paul. Persis sama. Dia bukan teman Sam.
Lalu tahu-tahu dia tidak masuk sekolah beberapa minggu, dan ketika kembali,
mendadak Sam seperti memiliki dia. Entah apa maksudnya. Aku tidak mengerti, dan
aku merasa harus mencari tahu, karena Paul temanku dan... Sam menatapku dengan
sikap aneh... dan... " suara Jacob menghilang.
"Kau sudah membicarakan ini dengan Billy?"
tanyaku. Ketakutannya mulai menular. Bulu kuduk di sekujur tubuhku meremang.
Kini wajahnya tersaput amarah. "Sudah," dengusnya. "Benar-benar membantu."
"Apa kata ayahmu?"
Ekspresi Jacob sinis, dan saat berbicara, ia menirukan suara ayahnya yang berat.
"Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan sekarang, Jacob. Beberapa tahun lagi, kalau
kau tidak... Well, akan kujelaskan nanti." Dan kemudian suaranya biasa lagi.
"Bagaimana penjelasan seperti itu bisa membuatku mengerti" Apakah ayahku
berusaha menjelaskan bahwa ini disebabkan oleh pubertas tolol, usia akil balig
dan sebangsanya" Ini soal lain. Ada yang tidak beres."
Jacob menggigit-gigit bibir bawahnya dan meremas kedua tangannya. Kelihatannya
ia seperti mau menangis. Instingku langsung menyuruhku merangkulnya, memeluk pinggangnya dan menempelkan
wajahku ke dadanya. Ia besar sekali, aku merasa seperti anak kecil yang memeluk
orang dewasa. "Oh, Jake, semua pasti beres!" aku
meyakinkannya. "Kalau keadaan bertambah parah, kau bisa tinggal bersamaku dan
Charlie. Jangan takut, akan kita cari jalan keluarnya!"
Jacob membeku sedetik, kemudian kedua lengannya yang panjang merangkulku ragu-
ragu. "Trims, Bella." Suaranya lebih serak daripada biasa.
Sesaat kami berdiri diam sambil berpelukan, dan itu tidak membuatku kalut;
malah, aku merasa nyaman bisa bersentuhan dengannya. Berbeda sama sekali dengan
saat terakhir kali seseorang memelukku seperti ini. Ini pelukan persahabatan.
Dan Jacob orangnya sangat hangat.
Aneh juga bagiku, bisa sedekat ini - lebih secara emosional daripada fisik,
meski kedekatan fisik juga merupakan hal yang aneh bagiku - dengan sesama
manusia. Itu bukan gayaku yang biasa.
Normalnya, tidak mudah bagiku berhubungan dengan manusia, dalam tahapan yang
sangat mendasar. Tidak dengan manusia. "Kalau tahu begini reaksimu, aku akan lebih sering panik." Suara Jacob ringan,
terdengar normal lagi, dan tawanya menggemuruh di telingaku. Jari-jemarinya
menyentuh rambutku, lembut dan hati-hati.
Well, bagiku ini persahabatan.
Aku cepat-cepat melepaskan diri, tertawa bersamanya, tapi dalam hati bertekad
untuk mengembalikan keadaan ke perspektif semula.
"Sulit dipercaya aku dua tahun lebih tua darimu," tukasku, memberi penekanan
pada kata "lebih tua". "Kau membuatku merasa seperti orang kerdil." Berdiri
sedekat ini dengannya, aku benar-benar harus mendongak tinggi-tinggi untuk bisa
melihat wajahnya. "Kau selalu saja lupa umurku sudah empat puluhan."
"Oh, benar." Jacob menepuk-nepuk kepalaku. "Kau seperti boneka kecil," godanya. "Boneka
porselen." Aku memutar bola mataku, mundur lagi selangkah. "Sudahlah, jangan mulai lagi
dengan ejekanmu soal albino itu."
"Serius nih, Bella, kau yakin kau bukan albino?" Jacob mendekatkan tangannya
yang kemerahan itu ke tanganku, perbedaannya sangat mencolok. "Aku belum pernah
melihat orang yang lebih pucat daripada kau... Well. Kecuali-" Jacob tidak
meneruskan kata-katanya, dan aku membuang muka berusaha tidak memahami apa yang
hendak ia katakan. "Bagaimana, jadi naik motor atau tidak?"
"Ayolah," ajakku, lebih antusias daripada setengah menit sebelumnya. Kalimat
Jacob yang tidak selesai tadi mengingatkanku pada alasan mengapa aku datang ke
sini. 8. ADRENALIN "OKE, yang mana kopling?"
Aku menuding tuas di setang kiriku. Salah besar melepaskan pegangan. Sepeda
motor yang berat itu goyah di bawahku, terancam jatuh ke samping. Cepat-cepat
kusambar lagi setangnya, berusaha menegakkannya.
"Jacob, motornya tidak mau berdiri tegak," keluhku,
"Nanti akan stabil kalau sudah jalan," janjinya.


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang, mana rem?"
"Di belakang kaki kananku."
"Salah." Jacob menyambar tangan kananku dan menekukkan jari-jariku ke tuas di belakang
setang gas. "Tapi tadi kaubilang-"
"Ini rem yang harus kaugunakan. Jangan pakai rem belakang dulu, itu untuk nanti,
kalau kau sudah bisa mengendarainya dengan benar."
"Kedengarannya kok tidak benar," tukasku curiga. "Bukan kali kedua rem itu sama
pentingnya?" "Lupakan saja rem belakang, oke" Ini-"Jacob
menumpang, kan telapak tangannya ke telapak tanganku dan menggerakkannya untuk
meremas tuas. "Begini caranya mengerem. Jangan lupa." Ia meremas tanganku sekali
lagi. "Baiklah." aku setuju. "Gas?"
Kuputar setang kanan. "Gigi?"
Aku menyenggolnya dengan tungkai kaki kiriku.
"Bagus sekali. Kurasa kau sudah hafal nama-nama bagiannya. Sekarang tinggal
menjalankannya." "He-eh," gumamku, tidak berani mengatakan apa-apa lagi. Perutku melilit aneh dan
rasanya suaraku mau pecah. Aku takut sekali. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa
ketakutanku itu tak beralasan. Aku toh sudah pernah melewati hal terburuk yang
mungkin terjadi. Dibandingkan dengan itu, mengapa hal lain bisa membuatku takut"
Seharusnya aku bisa menghadapi maut dengan enteng dan berani.
Tapi perutku tidak percaya.
Kutatap jalan tanah yang membentang panjang di hadapanku, diapit di sisi kiri
dan kanannya dengan tetumbuhan hijau rimbun berkabut. Jalanannya berpasir dan
lembab. Lebih bagus daripada lumpur.
"Sekarang, tekan koplingnya," Jacob memerintahkan.
Kuremas kopling dengan jari-jari tanganku.
"Sekarang ini penting, Bella," Jacob menekankan. "Jangan lepas kopling itu, oke"
Aku ingin kau menganggapnya granat aktif. Pinnya sudah dilepas dan sekarang kau
menahan pemicunya." Aku meremasnya semakin kuat.
"Bagus. Kira-kira bisa tidak kau menyalakan mesin dengan mengengkol pedal
kakinya?" "Kalau aku memindahkan kakiku, aku bisa jatuh," kataku dengan rahang terkatup
rapat, jari-jariku mencengkeram erat granat aktifku.
"Oke, biar aku saja. Jangan lepaskan koplingnya."
Jacob mundur selangkah, kemudian tiba-tiba mengengkol pedal keras-keras.
Terdengar raungan pendek, dan sepeda motor tersentak ke depan saking kerasnya
Jacob mengengkol. Aku mulai goyah ke samping, tapi Jacob buru-buru memegangi
sepeda motor sebelum benda itu jatuh bersamaku ke tanah.
"Tahan," ia menyemangati. "Koplingnya masih kaupegang?"
"Ya," jawabku. "Jejakkan kakimu - akan kucoba lagi." Jacob menumpukan tangannya ke sadel
belakang, untuk berjaga-jaga.
Empat kali mengengkol baru mesinnya menyala. Bisa kurasakan motor itu bergetar
di bawahku seperti binatang yang marah. Kucengkeram kopling kuat-kuat sampai
jari-jariku sakit. "Cobalah menggas," Jacob menyarankan. "Pelan-pelan. Dan jangan lepaskan
koplingnya." Ragu-ragu, kuputar setang kanan. Meski hanya sedikit, namun sepeda motor
menggeram di bawahku. Kedengarannya marah dan lapar sekarang. Jacob tersenyum
puas. "Ingat bagaimana caranya memasukkan gigi
satu"' tanyanya. "Ya." "Well, lakukanlah."
"Oke" Jacob menunggu beberapa detik. "Kaki kiri," desaknya.
"Aku sudah tahu;' sergahku, menarik napas
dalam-dalam "Yakin kau mau melakukannya?" tanya Jacob. "Kelihatannya kau takut."
"Aku baik-baik saja," bentakku. Kupelankan gas sedikit.
"Bagus sekali," Jacob memujiku. "Sekarang,
pelan-pelan sekali lepaskan kopling."
Jacob mundur selangkah menjauhi motor.
"Kau mau aku melepaskan granat?" tanyaku tak percaya. Pantas saja ia mundur.
"Begitulah caramu menjalankan motor, Bella. Tapi lakukan sedikit demi sedikit."
Saat mulai melonggarkan cengkeraman, aku
shock bukan main saat mendengar suara yang bukan milik cowok yang berdiri di
sampingku. "Ini ceroboh, kekanak-kanakan, dan idiot, Bella," suara selembut sutra itu
menegur. "Oh!" aku terkesiap, dan tanganku terlepas dari kopling.
Sepeda motor itu memberontak di bawahku, menyentakku maju dan ambruk ke tanah,
separo bodinya menindihku. Suara mesinnya terbatuk-batuk lalu mati.
"Bella?" Jacob menyentakkan sepeda motor berat itu dengan enteng. "Kau terluka?"
Tapi aku tidak mendengarkan.
"Sudah kubilang," suara sempurna itu berbisik, sebening kristal.
"Aku tidak apa-apa," gumamku, linglung.
Lebih dari itu. Suara di kepalaku telah kembali. Masih terngiang-ngiang di
telingaku-gaung yang lembut dan sehalus beledu.
Pikiranku berputar cepat memikirkan berbagai kemungkinan. Tidak ada yang
familier di sini - di jalanan yang tidak pernah kulihat, melakukan sesuatu yang
tidak pernah kulakukan sebelumnya - tidak ada deja vu. Jadi halusinasi itu pasti
dipicu hal lain... aku merasa adrenalin menderas kembali di pembuluh darahku,
dan kurasa aku tahu jawabannya. Kombinasi adrenalin dan bahaya, atau mungkin
hanya ketololan. Jacob menarikku berdiri. "Kepalamu terbentur?" tanyanya.
"Kelihatannya tidak," Aku menganggukkan kepala ke depan dan ke belakang,
mengecek. "Motornya tidak rusak, kan?" Pikiran itu membuatku waswas. Aku sangat
ingin mencoba lagi, segera. Bertindak ceroboh ternyata lebih berhasil daripada
yang kukira. Tidak harus melakukan kecurangan. Mungkin aku sudah menemukan cara
untuk memunculkan halusinasi- itu jauh lebih penting.
"Tidak. Mesinnya hanya mati," jawab Jacob, menyela spekulasi kilatku. "Kau
terlalu cepat melepas kopling."
Aku mengangguk. "Ayo kita coba lagi"
"Kau yakin?" tanya Jacob.
"Positif." Kali ini aku mencoba mengengkol sendiri. Sulitsekali; aku harus meloncat sedikit
agar bisa menginjak pedal sekuat tenaga, dan setiap kali melakukannya, sepeda
motor itu seperti mencoba menjatuhkanku. Tangan Jacob menggelayut di atas
setang, siap menangkapku kalau aku membutuhkannya.
Setelah beberapa kali mencoba dengan benar, bahkan ditambah dengan beberapa kali
percobaan yang kurang tepat, baru mesinnya menyala dan meraung hidup di bawahku.
Ingat bahwa ibaratnya aku sedang memegang granat, aku bereksperimen dengan
memutar-mutar handel gas. Mesin langsung menggeram begitu handel gas diputar
sedikit saja. Senyumku kini sama lebarnya dengan senyum Jacob.
"Hati-hati melepas koplingnya," Jacob mengingatkanku.
"Kau ingin bunuh diri, kalau begini" Jadi itu ya tujuannya?" suara itu berbicara
lagi, nadanya galak. Aku tersenyum kaku - masih berfungsi ternyata - dan mengabaikan pertanyaan itu.
Jacob tidak akan membiarkan hal buruk menimpaku.
"Pulanglah ke Charlie," suara itu memerintahkan. Keindahannya membuatku
terpesona. Aku tak sanggup membiarkan ingatanku kehilangan suara itu, tak peduli
berapa pun harga yang harus kubayar.
"Lepaskan pelan-pelan," Jacob menyemangatiku.
"Baiklah," jawabku. Aku agak resah waktu menyadari perkataanku itu menjawab
pertanyaan mereka berdua.
Suara di kepalaku lagi-lagi menggeram mengatasi raungan mesin motor.
Berusaha fokus kali ini, tidak membiarkan suara itu mengagetkanku lagi, aku
melepaskan cengkeramanku sedikit demi sedikit. Tahu-tahu giginya masuk dan motor
menyentak maju. Dan aku pun terbang. Terpaan angin kencang yang tadi tidak ada meniup kulitku hingga melekat erat di
tengkorak dan menerbangkan rambutku ke belakang dengan kekuatan sangat besar,
seolah-olah ada yang menjambaknya. Perasaan mulas yang kurasakan tadi sebelum
melaju lenyap sudah; adrenalin menderas di sekujur tubuh, menggelitik urat-urat
nadiku. Pohon-pohon lewat cepat di sebelahku, kabur menjadi dinding hijau.
Tapi ini baru gigi satu. Kakiku beringsut-ingsut maju mendekati gigi sementara
tanganku memutar setang untuk menambah gas.
"Tidak, Bella!" suara semanis madu itu
memerintahkan dengan nada marah, tepat di telingaku. "Hati-hati!"
Pikiranku sempat teralih sejenak dari kecepatan untuk menyadari bahwa jalanan
ternyata mulai menikung pelan ke kiri, tapi aku masih tetap melaju lurus. Jacob
belum mengajariku caranya membelok.
"Rem, rem," aku bergumam sendiri, dan secara naluri menginjak rem keras-keras
dengan kaki kanan, seperti yang biasa kulakukan saat menyetir mobil.
Motor mendadak goyah di bawahku, pertama bergetar ke satu sisi dan baru kemudian
ke sisi lain. Motor itu menyeretku ke arah dinding hijau, padahal kecepatanku
kelewat tinggi. Aku berusaha membelokkan setang ke arah berlawanan, dan mendadak
bobotku mendorong motor ke tanah, masih terus tergelincir ke arah pepohonan.
Sepeda motor itu kembali mendarat di atas tubuhku, meraung nyaring, menarikku
melintasi pasir basah hingga membentur sesuatu yang tidak bergerak. Aku tak bisa
melihat. Wajahku tersungkur ke dalam lumut. Aku mencoba mengangkat kepala, tapi
sesuatu menghalangiku. Aku pusing dan bingung. Kedengarannya ada
tiga hal yang menggeram - motor di atasku, suara di kepalaku, dan sesuatu yang
lain... "Bella!" Jacob berteriak, dan aku mendengar geraman motor lain berhenti.
Motor itu tak lagi mengimpitku ke tanah, dan aku berguling untuk bernapas. Semua
geraman itu diam. "Wow," gumamku. Aku merasa sangat bergairah. Beginilah pasti resep jitu untuk
halusinasi-adrenalin ditambah bahaya ditambah perbuatan tolol. Sesuatu yang
mendekati itu, paling tidak.
"Bella!" Jacob membungkuk cemas di atasku. Bella, kau masih hidup?"
"Aku baik-baik saja!" seruku antusias. Aku meregangkan otot-otot lengan dan
kakiku. Kelihatannya semua masih berfungsi dengan baik. Ayo kita lakukan lagi."
"Kurasa jangan." Jacob masih terdengar waswas. "Kurasa sebaiknya kuantar kau ke
rumah sakit dulu." "Aku baik-baik saja."
"Ehm, Bella" Di dahimu ada luka robek yang besar sekali, dan darahmu mengucur
deras." Jacob memberitahuku.
Aku meletakkan tangan di kepala. Benar saja, tanganku jadi basah dan lengket.
Aku tidak mencium bau apa-apa kecuali lumut lembab di wajahku, dan itu mencegah
datangnya mual. "Oh, maafkan aku, Jacob." Kutekan luka itu kuat-kuat, seolah-olah dengan begitu
aku bisa memaksa darah masuk kembali ke kepalaku.
"Untuk apa kau meminta maaf karena berdarah?" tanya Jacob sambil memeluk
pinggangku dan membantuku berdiri. "Ayo kita pergi. Aku yang menyetir." Ia
mengulurkan tangan, meminta kunci.
"Sepeda-sepeda motornya bagaimana?" tanyaku sambil menyerahkan kunci.
Jacob berpikir sebentar. "Tunggu di sini. Dan ambil ini." Jacob membuka kausnya
yang sudah ternoda darah, lalu melemparnya ke arahku. Kubuat kaus itu menjadi
buntalan dan kutempelkan ke dahiku. Aku mulai mencium bau darah; aku menarik
napas dalam-dalam lewat mulut dan mencoba berkonsentrasi pada hal lain.
Jacob melompat kembali menaiki sepeda motor hitam, menyalakan mesinnya dengan
hanya sekali mengengkol, lalu langsung ngebut, menghamburkan pasir dan kerikil-
kerikil kecil di belakangnya. Ia tampak atletis dan profesional saat membungkuk
ke depan di atas setang, kepala merunduk, wajah maju, rambut mengilat berkibar-
kibar menerpa kulit punggungnya yang cokelat kemerahan. Mataku menyipit iri. Aku
yakin tidak terlihat seperti itu saat mengendarai motor.
Kaget juga aku menyadari betapa jauhnya aku mengendarai motorku. Aku nyaris tak
bisa melihat Jacob di kejauhan waktu ia akhirnya sampai ke trukku. Ia
melemparkan sepeda motor ke bak truk dan berlari ke sisi kemudi.
Aku benar-benar tidak keberatan waktu Jacob memacu trukku hingga suara mesinnya
meraung memekakkan telinga. Kepalaku sedikit pusing, perutku mual, tapi lukaku
tidak serius. Darah yang keluar dari luka kepala memang cenderung lebih banyak.
Jacob sebenarnya tak perlu sepanik itu.
Jacob membiarkan mesin tetap menyala sementara ia berlari mendapatiku,
melingkarkan lengannya lagi ke pinggangku.
"Oke, ayo kunaikkan kau ke truk."
"Sungguh, aku tidak apa-apa," aku meyakinkan Jacob sementara ia membantuku naik.
"Jangan panik begitu. Darahnya hanya sedikit kok."
"Sedikit bagaimana, ini banyak sekali," kudengar Jacob menggerutu waktu ia lari
mengambil sepeda motorku.
"Sekarang, mari kita pikirkan dulu masalah ini sebentar, kataku setelah Jacob
naik lagi ke mobil. "Kalau kau membawaku ke UGD seperti ini,
Charlie pasti akan tahu nanti." Kulirik tanah dan lumpur yang mengering di
jinsku. "Bella, kurasa lukamu perlu dijahit. Aku tidak akan membiarkanmu mati kehabisan
darah." "Itu, tidak akan terjadi," aku meyakinkannya. "Kita antar saja dulu motornya,
kemudian mampir ke rumahku supaya aku bisa menghilangkan semua bukti dan baru
kemudian ke rumah sakit."
"Bagaimana dengan Charlie"
?"Katanya tadi dia harus kerja."
"Kau yakin?" "Percayalah padaku. Aku ini gampang berdarah. Ini tidak separah kelihatannya
kok." Jacob tidak senang mendengarnya-sudut-sudut mulutnya tertekuk ke bawah - tapi ia
tidak ingin menyusahkanku. Aku memandang ke luar jendela, menempelkan kaus Jacob
yang berlepotan darah ke kepala, sementara ia membawa trukku menuju Forks.
Sepeda motor itu jauh lebih baik daripada yang kubayangkan. Tujuan sesungguhnya
tercapai. Aku sudah berbuat curang - melanggar janjiku. Aku melakukan
kecerobohan yang tidak perlu. Sekarang aku tak lagi merasa terlalu merana karena
kedua pihak sudah sama-sama ingkar janji.
Dan, menemukan kunci ke halusinasi! Setidaknya, begitulah yang kuharapkan. Aku
akan menguji teori itu sesegera mungkin. Mungkin mereka bisa menanganiku dengan
cepat di UGD, jadi aku bisa mencobanya lagi nanti malam.
Ngebut di jalan seperti tadi rasanya luar biasa.
Terpaan angin menampar wajahku, cepatnya motor melaju dan kebebasan yang
kurasakan... mengingatkanku pada kehidupan masa laluku, terbang menembus hutan
lebat tanpa berjalan, menaiki punggungnya sementara ia berlari - pikiranku
berhenti sampai di situ, membiarkan ingatanku terputus begitu saja karena
mendadak hatiku miris. Aku meringis.
"Kau masih baik-baik?" tanya Jacob.
"Yeah." Aku berusaha tetap memperdengarkan nada tegar seperti sebelumnya.
"Omong-omong," imbuh Jacob. "Aku akan mencopot kabel rem kakimu malam ini."
Di rumah, yang pertama kulakukan adalah menyempatkan diri melihat keadaanku di
cermin; benar-benar mengerikan. Darah mengering dalam bentuk aliran tebal di
sepanjang pipi dan leherku, menempel di rambutku yang berlumpur. Kuamati diriku
dari sisi klinis, berpura-pura darah itu cat supaya tidak mual. Aku bernapas
lewat mulut, dan tidak merasa ingin muntah.
Aku mencuci muka sebisaku. Lalu kusembunyikan pakaian kotorku yang berlepotan
darah di bagian bawah keranjang cucian, lalu memakai jins baru dan kemeja (jadi
tidak perlu memakainya lewat kepala) sehati-hati mungkin.
Aku berhasil melakukannya dengan satu tangan dan menjaga pakaianku tidak terkena
noda darah. "Cepatlah," seru Jacob.
"Oke, oke," aku balas berteriak. Setelah memastikan tidak meninggalkan bukti-
bukti memberatkan, aku turun ke lantai bawah.
"Bagaimana kelihatannya?" tanyaku.
"Lebih baik," ia mengakui.
"Tapi apakah aku terlihat seperti tersandung di garasimu dan kepalaku membentur


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

palu?" "Ya, kurasa begitu."
"Baiklah kalau begitu, kita berangkat."
Jacob bergegas menggiringku keluar, dan bersikeras menyetir lagi. Kami sudah
setengah jalan menuju rumah sakit waktu aku sadar ia masih tidak memakai baju.
Aku mengurutkan kening dengan perasaan bersalah. "Seharusnya tadi kita mengambil
jaket untukmu." "Nanti sandiwara kita terbongkar dong," goda Jacob. "Lagi pula, udara tidak
dingin kok." "Kau bercanda, ya?" Aku gemetar, tanganku terulur untuk menyalakan pemanas.
Kupandangi Jacob untuk melihat apakah ia sengaja berlagak gagah supaya aku tidak
khawatir, tapi kelihatannya ia cukup nyaman. Sebelah tangannya bertengger di
bagian belakang kursiku, sementara aku justru meringkuk supaya tetap hangat.
Jacob benar-benar terlihat lebih tua daripada enam belas tahun - bukan empat
puluh, tapi mungkin lebih tua dariku. Quil saja masih kalah berotot dibandingkan
dia, padahal Jacob menganggap dirinya kurus seperti tengkorak. Otot-ototnya
panjang dan liat, tapi jelas kelihatan di balik kulitnya yang mulus. Warna
kulitnya cantik sekali, membuatku iri saja.
Jacob sadar sedang diamati.
"Apa?" tanyanya, mendadak canggung.
"Tidak apa-apa. Hanya saja aku tidak
menyadarinya sebelum ini. Tahukah kau bahwa kau lumayan tampan?"
Begitu kata-kata itu terlontar, aku khawatir ia akan salah menerima observasi
impulsifku itu. Tapi Jacob hanya memutar bola matanya. "Kepalamu terbentur keras sekali, ya?"
Aku mendapat tujuh jahitan untuk menutup luka di keningku. Setelah merasa perih
karena mendapat anestesi lokal, prosedurnya sendiri tidak sakit. Jacob memegangi
tanganku sementara dr. Snow menjahit, dan aku berusaha untuk tidak memikirkan
betapa ironisnya itu. Kami lama sekali di rumah sakit. Setelah selesai, aku harus mengantar Jacob ke
rumahnya dan buru-buru pulang untuk memasak makan malam untuk Charlie. Charlie
sepertinya memercayai ceritaku bahwa aku jatuh di garasi Jacob. Bagaimanapun,
bukan baru kali ini aku pergi sendiri ke UGD.
Malam itu tidak seburuk malam pertama itu, setelah aku mendengar suaranya yang
sempurna di Port Angeles. Lubang itu kembali menganga, seperti yang selalu
terjadi setiap kali aku jauh dari Jacob, tapi bagian pinggirnya tak lagi
berdenyut-denyut nyeri. Aku selalu menyusun rencana ke depan, menanti-nanti
datangnya delusi lagi, dan itu mengalihkan perhatianku. Juga, aku tahu
perasaanku akan lebih enak besok, saat bertemu lagi dengan Jacob. Itu membuat
lubang hampa dan kepedihan yang familier itu lebih mudah ditanggung; sebentar
lagi kelegaan akan kudapat. Mimpi buruk juga kehilangan sedikit potensinya.
"Aku serius." "Well, kalau begitu, trims. Kayaknya." Aku nyengir. "Sama-sama. Kayaknya."
Aku takut pada kehampaan, seperti yang selalu terjadi, tapi anehnya, aku juga
tidak sabar menunggu saat-saat yang akan membuatku menjerit dan kemudian
tersadar. Aku tahu mimpi buruk itu pasti berakhir.
Hari Rabu berikutnya, sebelum aku sampai di rumah dan UGD, dr. Gerandy menelepon
ayahku untuk mengingatkan kemungkinan aku mengalami gegar otak dan
menyarankannya untuk membangunkan aku setiap dua jam sekali sepanjang malam
untuk memastikan itu tidak serius. Mata Charlie menyipit curiga mendengar
penjelasan lemahku yang lagi-lagi mengatakan aku tersandung.
"Mungkin sebaiknya kau jangan lagi nongkrong di garasi, Bella," Charlie
menyarankan saat makan malam.
Aku panik, khawatir Charlie bakal mengeluarkan semacam dekrit yang melarangku
pergi ke La Push, dan akibatnya aku tidak akan bisa mengendarai motorku lagi.
Tapi aku tak mau menyerah - hari ini aku mengalami halusinasi paling
menakjubkan. Delusiku yang bersuara sehalus beledu itu berteriak-teriak padaku
selama hampir lima menit sebelum akhirnya aku menginjak rem kelewat mendadak dan
tubuhku terlempar membentur pohon. Untuk itu aku rela merasakan sakit yang akan
kualami malam ini tanpa mengeluh.
"Aku bukannya tersandung di garasi," aku buru-buru memprotes. "Kami sedang
hiking, dan aku tersandung batu."
"Sejak kapan kau suka hiking?" Charlie bertanya skeptis. "Kerja di Newton's
membuatku ketularan demam berpetualang," dalihku. "Setiap hari menjual berbagai
perlengkapan hiking, lama-lama
penasaran juga." Charlie menatapku tajam, tidak percaya.
"Aku akan lebih berhati-hati," janjiku, diam-diam menyilangkan jari-jariku di
bawah meja. "Aku tidak keberatan kau hiking di sekitar La Push, tapi jangan jauh-jauh dari
kota, oke?" "Kenapa"' "Well, belakangan ini aku sering mendapat laporan tentang kemunculan hewan-hewan
liar. Petugas dari departemen kehutanan akan mengecek laporan-laporan itu, tapi
untuk sementara waktu... "
"Oh, soal beruang besar itu," kataku, mendadak paham. "Yeah, beberapa hiker yang
datang ke Newton's juga mengaku melihatnya. Dad yakin ada beruang grizzly
raksasa yang bermutasi di luar sana?"
Kening ayahku berkerut. "Pokoknya ada sesuatu. Jangan jauh-jauh dari kota. oke?"
"Tentu, tentu," aku buru-buru menyahut. Kelihatannya Charlie tidak begitu puas.
"Charlie mulai curiga," keluhku pada Jacob waktu aku menjemputnya sepulang
sekolah pada hari Jumat. "Mungkin untuk sementara kita jangan naik
motor dulu." Jacob melihat ekspresi penolakan di wajahku dan menambahkan,
"Setidaknya untuk satu-dua minggu ini. Kau bisa kan menjauhi rumah sakit selama
satu minggu?" "Lantas, kita ngapain dong?" omelku.
Jacob tersenyum riang. "Terserah kau."
Aku memikirkannya sebentar-tentang apa yang kuinginkan.
Aku tidak suka membayangkan bakal kehilangan kedekatanku dengan kenangan tak
menyakitkan itu, meski hanya beberapa detik- kenangan yang datang sendiri, tanpa
aku perlu memikirkannya secara sadar. Kalau aku tidak bisa naik motor, berarti
aku harus mencari jalan lain untuk melakukan hal yang berbahaya dan memicu
adrenalin, dan untuk itu diperlukan pemikiran yang serius serta kreativitas.
Tidak melakukan apa-apa untuk sementara sepertinya tidak menarik. Bagaimana
kalau aku depresi lagi, bahkan walaupun sudah bersama Jake" Aku harus tetap
menyibukkan diri. Mungkin ada jalan lain, resep lain... tempat lain.
Keliru besar mendatangi rumahnya, jelas. Tapi kehadiranmu pasti terpatri di
suatu tempat, di tempat lain selain dalam diriku. Pasti ada tempat di mana
kehadirannya terasa lebih nyata di antara lokasi-lokasi penting yang sarat
kenangan manusia-manusia lain.
Ada satu tempat yang terlintas dalam benakku. Satu tempat yang akan selalu
menjadi miliknya, bukan milik orang lain. Tempat yang magis penuh cahaya. Padang
rumput indah yang hanya pernah kulihat sekali dalam hidupku, benderang oleh
sinar matahari dan kulitnya yang berpendar-pendar gemerlap.
Ide itu berpotensi besar menjadi senjata makan tuan - bisa jadi itu malah akan
sangat menyakitkan. Bahkan memikirkannya saja sudah membuat dadaku nyeri oleh
kehampaan. Sulit rasanya menahan perasaan tetap tenang, agar tidak ketahuan.
Tapi jelas, di sanalah tempatku pasti bisa mendengar suaranya. Lagi pula. aku
sudah telanjur mengatakan pada Charlie bahwa aku pernah hiking...
"Apa yang kaupikirkan sampai serius begitu?" tanya Jacob.
"Well..." Aku mulai lambat-lambat. "Dulu aku
pernah menemukan tempat di dalam hutan-aku menemukannya waktu aku sedang, eh,
hiking. Padang rumput kecil, pokoknya indah sekali. Entah apakah aku bisa
menemukannya lagi sendiri. Mungkin bisa kalau mencoba beberapa kali... "
"Kita bisa memakai kompas dan peta," kata
Jacob penuh percaya diri. "Kau tahu dari mana memulainya?"
"Ya, tepat dari ujung jalan setapak di ujung jalan satu sepuluh berakhir. Arah
selatan, kalau tidak salah."
"Bagus, Ayo kita cari." Seperti biasa, Jacob selalu bersemangat menerima
ajakanku. Tidak peduli betapa pun anehnya ajakanku itu.
Maka, Sabtu siang aku mengikat sepatu bot hiking baruku - dibeli paginya dengan
memanfaatkan diskon dua puluh persen khusus karyawan yang kupakai untuk pertama
kali - menyambar peta topografi Semenanjung Olympic, lalu melaju ke La Push.
Kami tidak langsung mulai; pertama-tama,
Jacob tengkurap di lantai ruang tamu - panjang badannya mengisi seluruh ruangan
- dan, selama dua puluh menit penuh, menggambar jaring-jaring rumit di bagian-
bagian tertentu pada peta sementara aku bertengger di kursi dapur mengobrol
dengan Billy. Sepertinya Billy sama sekali tidak khawatir mendengar rencana kami
pergi hiking. Aku terkejut juga karena Jacob menceritakan padanya tentang
rencana kami, padahal orang-orang banyak meributkan soal beruang itu. Aku ingin
meminta Billy untuk tidak bercerita pada Charlie, tapi takut permintaan itu
justru mendorongnya berbuat sebaliknya.
"Mungkin kita akan bertemu beruang super itu," canda Jacob, matanya tertuju pada
desainnya. Aku cepat-cepat melirik Billy, takut ia bakal bereaksi seperti Charlie.
Tapi Billy hanya tertawa mendengar perkataan anaknya. "Mungkin sebaiknya kaubawa
saja satu stoples madu, untuk jaga-jaga."
Jacob terkekeh. "Mudah-mudahan sepatu bot barumu bisa berlari cepat, Bella. Satu
stoples madu tidak cukup untuk menahan beruang yang kelaparan."
"Aku hanya perlu berlari lebih cepat darimu."
"Selamat deh kalau begitu!" seru Jacob,
memutar bola matanya sambil melipat peta. "Ayo kita pergi."
"Selamat bersenang-senang," kata Billy sambil menggelinding menuju lemari es.
Charlie bukan tipe orang yang sulit, tapi sepertinya Billy jauh lebih longgar
ketimbang dia. Aku mengemudikan trukku sampai ke ujung jalan tanah, berhenti dekat papan
petunjuk yang menandai awal jalan setapak. Sudah lama sekah aku tak pernah lagi
ke sini, dan perutku bereaksi dengan gugup. Bisa jadi ini sangat gawat. Tapi
akan setimpal dengan hasilnya kalau aku bisa mendengarnya.
"Aku turun dan memandangi belukar hijau yang rapat.
"Aku pergi ke arah ini," gumamku, menuding lurus ke depan.
"Hmmm," gumam Jake.
"Apa?" Ia melihat ke arah yang kutunjuk, lalu ke jalan setapak yang sudah ditandai
dengan jelas, dan kembali lagi.
"Aku pasti mengira kau cewek penjelajah sejati."
"Enak saja." Aku tersenyum lemah. "Aku ini
pemberontak." Jacob tertawa, kemudian mengeluarkan peta kami.
"Tunggu sebentar." Ia memegang kompas dengan sikap ahli, memutar peta hingga
mengarah ke tempat yang ia inginkan.
"Oke - garis pertama pada peta. Ayo cabut."
Kentara sekali Jacob harus memperlambat langkah demi aku, tapi ia tidak
mengeluh. Aku berusaha untuk tidak memikirkan perjalanan terakhirku ke bagian
hutan ini, ditemani seseorang yang sama sekali berbeda. Kenangan-kenangan normal
masih tetap berbahaya. Kalau kubiarkan diriku tergelincir, aku akan mendapati
diriku mencengkeram dada untuk menahannya tetap utuh, megap-megap kehabisan
udara, dan bagaimana aku menjelaskan itu pada Jacob"
Ternyata tetap memfokuskan diri pada masa sekarang tidak sesulit yang kuduga.
Hutan ini sangat mirip dengan bagian lain semenanjung, dan kehadiran Jacob
membuat suasana hatiku sangat jauh berbeda.
Jacob bersiul-siul riang, lagunya tidak kukenal, sambil mengayun-ayunkan kedua
lengan dan berjalan ringan menembus semak belukar yang kasar. Bayang-bayang tak
tampak segelap biasa. Tidak dengan ditemani matahari pribadiku.
Sesekali Jacob mengecek kompas, memastikan kami tetap di jalur yang benar.
Kelihatannya ia benar-benar paham apa yang dilakukannya. Aku ingin memujinya,
tapi lalu mengurungkan niat. Tak diragukan lagi ia bakal menambahkan beberapa
tahun ke usianya yang sudah menggelembung.
Pikiranku berkelana sementara aku berjalan, dan rasa ingin tahuku muncul. Aku
masih belum melupakan pembicaraan kami waktu itu di tebing-tebing laut-selama
ini aku menunggu Jacob mengungkitnya lagi, tapi kelihatannya itu tidak bakal
terjadi. "Hei... Jake?" tanyaku ragu-ragu.
"Yeah?" "Bagaimana kabar... Embry" Dia sudah kembali normal?"
Jacob terdiam sejenak, masih terus berjalan dengan langkah-langkah panjang.
Ketika berada kira-kira tiga meter di depan, ia berhenti untuk menungguku.
"Tidak. Dia belum kembali normal," kata Jacob begitu aku sampai di dekatnya,
sudut-sudut mulutnya tertarik ke bawah. Ia belum mulai berjalan lagi. Seketika
itu juga aku langsung menyesal sudah mengungkitnya.
"Masih bersama Sam?"
"Yep." Jacob merangkul bahuku, dan ekspresinya tampak sangat galau sehingga aku tak
berani menghalaunya dengan guyonan, seperti yang sebenarnya ingin kulakukan.
"Mereka masih memandangimu dengan sikap aneh?" aku separo berbisik.
Pandangan Jacob menerawang menembus
pepohonan. "Kadang-kadang."
"Dan Billy?" "Sangat membantu, seperti yang sudah-sudah," tukas Jacob dengan nada masam
bercampur marah yang membuatku merasa tidak enak.
"Sofa kami selalu siap menampungmu," aku menawarkan.
Jacob tertawa, sikap masamnya yang tidak biasa mendadak lenyap. "Tapi coba
bayangkan betapa membingungkannya posisi Charlie - waktu Billy menelepon polisi
bahwa aku diculik." Aku tertawa, senang melihat Jacob normal lagi.
Kami berhenti waktu Jacob berkata kami sudah berjalan hampir sepuluh kilometer,
memotong ke barat sebentar, lalu kembali menyusuri jalur lurus sesuai gambar
dalam petanya. Semua tampak sama persis seperti jalan masuk tadi, dan aku punya
firasat pencarian tololku bisa dibilang gagal total. Aku terpaksa mengakuinya
waktu akhirnya hari mulai gelap, hari yang tak bermatahari meredup berganti
malam tak berbintang, tapi Jacob justru lebih percaya diri.
"Asal kau yakin kita memulainya dari tempat yang tepat..." Ia menunduk
menatapku. "Ya, aku yakin."
"Maka kita pasti akan menemukannya," ia
berjanji, menyambar tanganku dan menarikku menerobos semak pakis. Begitu keluar
dari dalam semak, kulihat trukku bertengger di pinggir jalan. Jacob melambaikan
tangannya dengan bangga. "Percayalah padaku."
"Kau hebat," aku mengakui. "Tapi lain kali, jangan lupa bawa senter."
"Mulai sekarang, hiking menjadi kegiatan tetap kita setiap hari Minggu. Aku baru
tahu ternyata jalanmu selamban itu."
Aku menyentakkan tanganku dari gandengannya dan berjalan sambil mengentak-
entakkan kaki ke mobil, sementara Jacob terkekeh melihat reaksiku.
"Bagaimana, mau mencoba lagi besok?" tanyanya, menyusup masuk ke jok penumpang.
"Tentu. Kecuali kau mau pergi tanpa aku supaya aku tidak menahanmu dengan
langkah-langkahku yang selamban siput."
"Aku tahan kok," Jacob meyakinkan aku. "Tapi kalau kita hiking lagi nanti, lebih
baik kau memakai moleskin (semacam sepatu mokasin yang terbuat dari kulit hewan berbulu).
Berani bertaruh, kakimu pasti lecet-lecet dengan sepatu bot barumu itu."
"Sedikit," aku mengakui. Rasanya kakiku memang lecet semua.
"Mudah-mudahan besok kita bisa melihat beruang. Aku agak kecewa juga soal itu."
"Ya, aku juga," sergahku sinis. "Mungkin besok kita beruntung dan akan menjadi
mangsa binatang!" "Beruang tidak suka makan manusia. Kita toh tidak enak-enak amat." Jacob nyengir
padaku di dalam truk yang gelap. "Tentu saja, bisa jadi kau merupakan
pengecualian. Berani bertaruh, kau pasti enak sekali."
"Terima kasih banyak," sahutku, membuang muka. Ia bukan orang pertama yang
mengatakan hal itu. 9. KAMBING CONGEK WAKTU mulai berjalan jauh lebih cepat dibanding sebelumnya. Sekolah, bekerja,
dan Jacob - meski tidak selalu dalam urutan itu - membentuk pola yang rapi dan
mudah diikuti. Dan keinginan Charlie terwujud: aku tidak merana lagi.
Tentu saja. aku tidak bisa sepenuhnya menipu diri sendiri. Saat berhenti untuk
menginventarisasi hidupku, sesuatu yang kuusahakan untuk tidak terlalu sering
kulakukan, aku tak bisa mengabaikan implikasinya terhadap tingkah lakuku.
Aku seperti bulan tersesat - planetku hancur dalam skenario film rentang
kepedihan hati yang menimbulkan perubahan besar-yang tetap, walau bagaimanapun,


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak dalam orbitnya yang kecil dan sempit mengitari ruang angkasa yang kini
kosong melompong, mengabaikan hukum gravitasi.
Aku semakin piawai naik motor, dan itu berarti aku tidak membuat Charlie
khawatir lagi karena terlalu sering jatuh. Tapi itu juga berarti suara di
kepalaku mulai menghilang, sampai aku tidak mendengarnya lagi sama sekali. Diam-
diam aku panik. Aku semakin kalap menari padang rumput itu. Aku memeras otak
mencari aktivitas lain yang bisa memicu idrenalin.
Aku tak lagi memerhatikan hari-hari yang berlalu - tidak ada alasan untuk itu.
karena aku berusaha sebisa mungkin hidup di masa kini, tanpa masa lalu yang
menghilang, atau masa depan yang menjelang. Karena itulah aku terkejut waktu
Jacob mengungkit tanggal berapa sekarang saat kami bertemu untuk mengerjakan PR.
Ia sudah menungguku waktu aku berhenti di depan rumahnya.
"Selamat Hari Valentine," kata Jacob, tersenyum, tapi menunduk saat menyapaku.
Ia mengulurkan kotak kecil berwarna pink, menaruhnya di telapak tangan.
"Well, aku merasa tolol sekali," gumamku. "Ini Hari Valentine?"
Jacob menggeleng dengan lagak pura-pura sedih. "Terkadang kau ini seperti tidak
ada di sini saja. Ya, sekarang tanggal 14 Februari. Nah, maukah kau menjadi
Valentineku" Berhubung kau tidak membelikan sekotak cokelat seharga lima puluh
sen, paling tidak itulah yang bisa kaulakukan."
Aku mulai merasa tidak enak. Kata-katanya bernada menyindir, tapi hanya di
permukaan. "Apa tepatnya kewajiban menjadi Valentine?" aku mengelak.
"Biasalah-menjadi budak seumur hidup,
semacam itu." "Oh, Well, kalau hanya itu..." Kuterima kotak
cokelat itu. Tapi aku berusaha memikirkan cara untuk menegaskan batas-batas itu.
Lagi. Bersama Jacob, sepertinya batas-batas itu sering kali kabur. "Jadi, apa
yang akan kita lakukan besok" Hiking, atau UGD?"
"Hiking," aku memutuskan. "Bukan hanya kau yang bisa obsesif. Aku mulai berpikir
jangan-jangan tempat itu hanya khayalanku saja... " Aku mengerutkan kening dan
menerawang. "Kita pasti bisa menemukannya," Jacob meyakinkanku. "Sepeda motor hari Jumat?"
ia menawarkan. Aku melihat kesempatan dan langsung menyambarnya tanpa meluangkan waktu untuk
memikirkannya masak-masak lebih dulu.
"Jumat nanti aku akan pergi nonton film. Sudah lama sekali aku berjanji pada
teman-teman sekafeteriaku untuk pergi bareng." Mike pasti senang.
Tapi wajah Jacob langsung berubah. Aku sempat menangkap secercah ekspresi di
matanya yang gelap sebelum ia menunduk dan memandang tanah.
"Kau ikut, kan?" aku cepat-cepat menambahkan. "Atau kau merasa bergaul dengan
serombongan murid senior itu sangat membosankan?" Ternyata aku tetap tak bisa
menjaga jarak dengannya. Aku tidak tega melukai hati Jacob; kami seperti
memiliki hubungan khusus yang aneh, dan kesedihannya menusuk hatiku juga.
Apalagi, aku senang membayangkan diriku ditemani olehnya melewati "cobaan" ini -
aku memang sudah berjanji pada Mike, tapi tidak merasa terlalu antusias
melakukannya. "Kau ingin aku ikut, bersama teman-temanmu yang lain?"
"Ya," dengan jujur aku mengakui, meski dalam hati tahu ini hanya akan membuat
masalah. "Aku akan lebih senang kalau ada kau. Ajak Quil sekalian, biar lebih
ramai." "Quil bakal kalang-kabut. Cewek-cewek senior." Jacob terkekeh dan memutar bola
matanya. Aku tidak menyebut nama Embry, begitu juga dia.
Aku ikut tertawa. "Akan kucoba memberinya pilihan yang cantik-cantik."
Aku mengutarakan maksudku pada Mike di kelas Bahasa Inggris.
"Hei, Mike," sapaku setelah kelas berakhir. "Kau tidak ada acara Jumat malam
nanti?" Mike mengangkat wajah, mata birunya langsung penuh harap. "Tidak ada. Mau pergi
bareng?" Aku menyusun kalimatku dengan hati-hati. "Aku sedang berpikir-pikir untuk pergi
beramai-ramai"- aku menekankan kata itu-"nonton Crosshairs" Sebelumnya aku sudah
melakukan penelitian lebih dulu-bahkan sampai membaca resensi film segala untuk
memastikan aku tidak bakal kecele nanti. Konon katanya film itu bergelimang
darah dari awal sampai akhir. Aku belum begitu pulih untuk tahan menyaksikan
film cinta-cintaan. "Kedengarannya asyik, kan?"
"Tentu," sahut Mike, kentara sekali kurang bersemangat.
"Asyik." Sedetik kemudian, wajahnya kembali ceria hingga hampir mendekati level
kegembiraannya tadi. "Bagaimana kalau kita ajak Angela dan Ben" Atau Eric dan
Katie?" Ia bertekad membuat acara jalan-jalan ini menjadi semacam kencan ganda rupanya.
"Bagaimana kalau dua-duanya?" saranku. "Dan Jessica juga. tentu saja. Juga Tyler
dan Conner, dan mungkin Lauren," aku menambahkan dengan enggan. Aku kan sudah
berjanji akan membawa banyak pilihan untuk Quil.
"Oke," gumam Mike, usahanya gagal.
"Dan," lanjutku, "aku juga akan mengajak beberapa teman dari La Push. Jadi
sepertinya kita membutuhkan Suburban-mu kalau semua ikut."
Mata Mike menyipit curiga.
"Ini teman-temanmu yang selama ini sering belajar bareng kau?"
"Yep, tepat sekali," jawabku riang. "Walaupun kau bisa menganggapnya tutoring -
mereka baru kelas dua SMA"
"Oh," kata Mike terkejut. Setelah berpikir sedetik, ia tersenyum.
Namun akhirnya Suburban itu tidak diperlukan.
Jessica dan Lauren langsung bilang sibuk begitu Mike mengatakan akulah yang
merencanakan acara pergi bareng ini. Eric dan Katie sudah punya rencana sendiri
- mau merayakan tiga minggu mereka pacaran atau apa. Lauren sudah lebih dulu
menyatroni Tyler dan Conner sebelum Mike, jadi mereka juga bilang sibuk. Bahkan
Quil pun batal ikut-dihukum tidak boleh keluar rumah gara-gara berkelahi di
sekolah. Akhirnya, hanya Angela dan Ben yang bersedia, juga Jacob tentu saja.
Meski begitu, jumlah pengikut yang berkurang banyak itu tidak mengurangi
kegembiraan Mike. Yang ia ocehkan melulu tentang hari Jumat.
"Kau yakin tidak mau menonton Tomorrow and Forever saja?" tanyanya saat makan
siang, menyebut judul film komedi romantis yang sedang menduduki peringkat
teratas dalam deretan film-film box office. "Menurut resensi Rotten Tomatoes,
filmnya bagus banget lho."
"Aku ingin nonton Crosshairs" aku bersikeras. "Aku sedang mood nonton film-film
action. Yang banyak darah dan isi perutnya!''
"Oke." Mike berpaling, tapi aku masih sempat melihat ekspresinya yang
menganggapku sinting. Sesampainya di rumah sepulang sekolah, sebuah mobil yang sangat familier
terparkir di depan rumahku. Jacob berdiri bersandar di kap mesin, seringai lebar
menghiasi wajahnya. "Tidak mungkin!" teriakku sambil melompat turun dari truk. "Kau sudah selesai!
Aku tidak percaya! Kau sudah selesai memermak si Rabbit!"
Jacob berseri-seri. "Baru semalam. Ini perjalanan pertamanya."
"Luar biasa." Kuangkat tanganku untuk ber-high five.
Jacob memukulkan telapak tangannya ke telapak tanganku, tapi membiarkannya tetap
menempel di sana, memilin jari-jarinya dengan jari-jariku. "Jadi, boleh tidak
aku mengendarainya malam ini?"
"Jelas boleh," jawabku, lalu mendesah.
"Ada apa?" "Aku menyerah - aku tidak bisa mengungguli ini. Jadi kau menang. Kau yang paling
tua." Jacob mengangkat bahu, tidak terkejut melihatku menyerah. "Itu sudah jelas."
Suburban Mike muncul di tikungan, berdeguk-deguk. Kutarik tanganku dari tangan
Jacob, dan kulihat ia mengernyit.
"Aku ingat cowok ini," katanya pelan ketika Mike memarkir mobilnya di seberang
jalan. "Dia cowok yang mengira kau pacarnya. Dia masih salah sangka?"
Aku mengangkat sebelah alisku. "Sebagian orang sulit menerima penolakan."
"Bagaimanapun," kata Jacob sambil merenung, "terkadang kegigihan bisa membuahkan
hasil." "Lebih sering menjengkelkan, tapi."
Mike turun dari mobil dan menyeberang jalan.
"Hai, Bella," ia menyapaku, kemudian matanya berubah waswas pada waktu
menengadah memandangi Jacob. Kulirik Jacob sebias berusaha objektif. Ia sama
sekali tidak mirip anak kelas 2 SMA. Badannya besar sekali - kepala Mike nyaris
tidak sampai sebahu Jacob; aku bahkan tak ingin membayangkan tinggiku kalau aku
berdiri di sebelahnya dan wajahnya juga tampak lebih tua daripada biasa, bahkan
sebulan yang lalu sekalipun.
"Hai. Mike! Kau masih ingat Jacob Black?"
"Tidak juga." Mike mengulurkan tangan.
"Teman lama keluarga," Jacob memperkenalkan diri, menjabat tangan Mike. Mereka
bersalaman dengan keras. Setelah melepaskan genggamannya. Mike meregangkan jari-
jarinya. Kudengar telepon berdering dari dapur.
"Kuangkat dulu ya- siapa tahu dari Charlie," kataku pada mereka, lalu berlari
masuk. Ternyata Ben. Angela terserang flu perut, dan ia enggan pergi sendiri tanpa
Angela. Ia meminta maaf karena batal pergi dengan kami.
Aku berjalan lambat-lambat menghampiri kedua cowok yang sedang menunggu itu,
menggelengkan kepala. Aku benar-benar berharap Angela cepat sembuh, tapi harus
kuakui aku agak kesal oleh perkembangan tak terduga ini. Jadi sekarang hanya
tinggal kami bertiga, Mike, Jacob, dan aku - benar-benar menyenangkan, pikirku,
sinis bercampur muram. Keliatannya Jake dan Mike tidak berusaha mengakrabkan diri selama kepergianku.
Mereka berdiri terpisah beberapa meter, saling memunggungi sambil menungguku;
ekspresi Mike masam, meski Jacob tetap seceria biasa.
"Ang sakit," aku memberi tahu dengan muram. "Dia dan Ben tidak bisa ikut."
"Kurasa flu itu mulai menulari anak-anak lain. Austin dan Conner hari ini juga
tidak masuk. Mungkin lain kali saja kita pergi," Mike menyarankan.
Sebelum aku sempat mengiyakan, Jacob sudah angkat bicara.
"Aku sih masih tetap ingin pergi. Tapi kalau kau lebih suka tidak pergi, Mike-"
"Tidak, aku ikut," potong Mike. "Aku hanya memikirkan Angela dan Ben. Ayo kita
pergi," Ia mulai berjalan menghampiri Suburban-nya.
"Hei, kau keberatan tidak kalau Jacob yang menyetir?" tanyaku. "Aku sudah bilang
dia boleh menyetir tadi - dia baru saja selesai memperbaiki mobilnya. Dia
memermaknya dari nol lho," pamerku, bangga seperti ibu yang anaknya juara kelas.
"Terserah," bentak Mike.
"Baiklah kalau begitu," sahut Jacob, seakan-akan semua beres. Di antara kami
bertiga, dialah yang kelihatannya paling santai.
Mike naik ke kursi belakang Rabbit dengan ekspresi jijik.
Jacob, seperti biasa, bersikap riang, mengobrol ramai sampai aku sama sekali
lupa pada Mike yang merajuk tanpa suara di kursi belakang.
Kemudian Mike mengubah strategi. Ia mencondongkan tubuh, meletakkan dagunya di
bahu kursi; pipinya nyaris menyentuh pipiku. Aku bergeser sedikit, memunggungi
jendela. "Radionya rusak, ya?" tanya Mike, nadanya sedikit marah, memotong omongan Jacob.
"Tidak," jawab Jacob "Tapi Bella tidak suka musik."
Kupandangi Jacob, terkejut. Aku tidak pernah bilang begitu padanya.
"Bella?" tanya Mike, jengkel.
Dia benar gumamku, sambil masih terus memandangi profil Jacob yang tenang.
"Kok bisa kau tidak suka musik?" tuntut Mike
Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Jengkel saja mendengarnya."
"Hmph," Mike duduk bersandar.
Waktu kami sampai di bioskop, Jacob mengulurkan selembar sepuluh dolar.
"Apa ini?" tolakku.
"Aku belum cukup umur untuk nonton film ini," ia mengingatkanku.
"Aku tertawa keras-keras. "Jadi usia relatif tak ada gunanya, ya. Apakah Billy
akan membunuhku kalau aku menyelundupkanmu masuk?"
"Tidak. Aku sudah bilang padanya kau berencana mengorupsi keluguanku "
Aku terkikik, dan Mike mempercepat langkah untuk mengimbangi kami.
Aku nyaris berharap Mike memutuskan untuk tidak ikut saja. Ia masih terus
merajuk-merusak suasana saja. Tapi aku juga tak ingin berkencan sendirian dengan
Jacob. Itu tidak akan membantu apa-apa.
Filmnya tepat seperti yang diramalkan. Di bagian awalnya saja sudah empat orang
yang ditembak dan satu dipenggal kepalanya. Cewek di depanku menutup mata dan
memalingkan wajah ke dada teman kencannya. Si cowok menepuk-nepuk bahu si cewek,
sambil sesekali nyengir. Mike sepertinya tidak menonton. Wajahnya kaku sementara
matanya memelototi tirai di aras layar.
Aku menyiapkan diri untuk bertahan selama dua jam, menonton warna-warna dan
gerakan-gerakan di layar, bukannya melihat bentuk-bentuk orang, mobil, dan
rumah. Tapi kemudian Jacob mulai tertawa.
"Apa?" bisikku.
"Oh, ayolah!" Jacob balas mendesis. "Masa darah menyembur sejauh itu. Ketahuan
banget bohongnya!" Lagi-lagi ia tertawa, saat tiang bendera menombak seorang pria ke tembok beton.
Sesudah itu aku benar-benar menonton filmnya, tertawa bersamanya saat adegannya
makin lama makin konyol. Bagaimana aku bisa melawan garis batas dalam hubungan
kami yang makin lama makin kabur ini kalau aku sangat menikmati kebersamaanku
dengannya" Baik Jacob maupun Mike sama-sama menumpangkan lengannya di lengan kursiku, satu
di kiri, satu di kanan. Tangan mereka sama-sama ditumpangkan dengan sikap
santai, telapak tangan menghadap ke atas, dalam posisi yang kelihatannya tidak
natural. Seperti jebakan beruang dari baja, terbuka dan siap menjerat mangsa.
Jacob punya kebiasaan meraih tanganku setiap kali ada kesempatan, tapi di sini,
di dalam bioskop yang gelap, dengan Mike melihat, hal itu bisa diartikan berbeda
- dan aku yakin ia tahu itu. Aku tidak percaya Mike memikirkan hal yang sama,
tapi tangannya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Jacob.
Kulipat kedua tanganku erat-erat di dada dan berharap tangan mereka akan
berhenti beraksi. Mike-lah yang pertama menyerah. Ketika film sudah berjalan kira-kira
setengahnya, ia menarik lengannya dan mencondongkan tubuh ke depan, memegang
kepalanya dengan tangan. Mulanya kukira ia bereaksi pada sesuatu yang ada di
layar, tapi kemudian ia mengerang.
"Mike, kau tidak apa apa?" bisikku.
Pasangan di depan kami menoleh dan memandangi Mike waktu ia mengerang lagi.
"Tidak," jawabnya terengah. "Sepertinya aku sakit."
Aku bisa melihat kilauan keringat di wajahnya dengan bantuan cahaya dari layar.
Mike mengerang lagi, lalu bangkit dan menghambur ke pintu. Aku berdiri untuk
mengikutinya, dan Jacob langsung meniruku.
"Kau tidak perlu ikut. Jangan biarkan delapan dolarmu terbuang sia-sia," desakku
saat berjalan menyusuri gang di tengah deretan kursi bioskop.
"Tidak apa-apa. Kau benar-benar jago memilih film, Bella. Filmnya konvol
banget," Suara Jacob berubah dari berbisik menjadi normal, begitu kami keluar
dari teater. Tidak tampak tanda-tanda Mike di ruang tunggu, dan aku senang Jacob tadi
memutuskan keluar bersamaku - ia bisa menyelinap ke toilet cowok untuk mengecek
keberadaan Mike di sana. Beberapa detik kemudian, Jacob kembali.
"Oh, memang benar dia ada di sana," katanya, memutar bola matanya. "Dasar
lembek. Seharusnya kau mengajak orang yang perutnya lebih kuat. Orang yang
tertawa kalau melihat darah membuat cowok lembek muntah."
"Akan kubuka mataku lebar-lebar, kalau-kalau ada orang seperti itu."
Kami hanya berdua di ruang tunggu. Kedua teater sedang memutar film, jadi ruang
tunggu kosong melompong-cukup sunyi sehingga kami bisa mendengar bunyi berondong
jagung meletup-letup di kios makanan di lobi.
Jacob duduk di bangku berlapis beledu yang menempel di dinding, menepuk-nepuk
tempat kosong di sebelahnya.
"Kedengarannya dia bakal lama di dalam sana," katanya, menjulurkan kakinya yang
panjang, bersiap-siap menunggu.
Sambil mendesah aku ikut duduk bersamanya. Tampaknya Jacob berpikir untuk
mengaburkan garis batas di antara kami lagi. Benar saja, begitu aku duduk, ia
membuat gerakan untuk merangkul pundakku.
"Jake," protesku, berkelit. Jacob menurunkan tangannya, tidak tampak tersinggung
oleh penolakanku tadi. Ia mengulurkan tangan dan dengan mantap meraih tanganku,
menarik pinggangku waktu aku berusaha berkelit lagi. Dari mana ia memperoleh
kepercayaan dirinya itu"
"Tunggu sebentar, Bella," katanya, suaranya tenang. "Jawab dulu pertanyaanku."
Aku meringis. Aku tidak ingin melakukan ini. Tidak sekarang, tidak nanti. Tidak
ada hal lain yang tersisa dalam hidupku saat ini yang lebih penting daripada
Jacob Black. Tapi sepertinya ia bertekad ingin mengacaukan semuanya.


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa?" gerutuku masam.
"Kau suka padaku, kan?"
"Kau tahu aku suka padamu."
"Lebih daripada badut yang sedang muntah-muntah di dalam sana itu, kan?" Jacob
menuding pintu toilet. "Ya," aku mendesah.
"Lebih daripada cowok-cowok yang kaukenal?" Sikapnya kalem, tenang-seolah-olah
jawabanku tidak penting, atau ia sudah tahu jawabannya.
"Lebih daripada cewek-cewek juga," jawabku.
"Tapi hanya itu," katanya, dan itu bukan pertanyaan.
Sulit sekali menjawabnya, sulit mengucapkan kata itu. Apakah ia bakal sakit hati
dan menghindariku" Bagaimana aku bisa kuat menghadapinya"
"Ya," bisikku. Jacob nyengir. "Itu tidak apa-apa, tahu. Asalkan kau paling suka padaku. Dan kau
menganggapku ganteng - kayaknya aku siap menjadi orang yang gigih dan
menjengkelkan." "Perasaanku tidak akan berubah," kataku, dan meski berusaha agar suaraku tetap
normal, aku bisa mendengar nada sedih di dalamnya.
Ekspresinya seperti berpikir, tak lagi menggoda. "Pasti masih karena yang satu
itu, kan?" Aku meringis. Lucu juga bagaimana ia seolah tahu untuk tidak mengucapkan
namanya-seperti sebelumnya di mobil mengenai musik. Jacob menangkap banyak hal
tentang aku tanpa aku perlu menjelaskannya.
"Kau tidak perlu membicarakannya," kata Jacob.
Aku mengangguk, bersyukur.
"Tapi jangan marah padaku kalau aku mendekatimu terus, oke?" Jacob menepuk-nepuk
punggung tanganku. "Karena aku tidak mau menyerah. Aku masih punya banyak
waktu." Aku mendesah. "Seharusnya kau tidak menyia-nyiakannya untukku," kataku, meski
aku menginginkannya. Apalagi karena ia mau menerimaku dalam keadaanku yang
seperti ini- barang rusak, apa adanya.
"Aku memang ingin melakukannya, selama kau masih suka bersamaku."
"Aku tidak bisa membayangkan aku tidak suka bersamamu," ungkapku jujur.
Jacob berseri-seri. "Itu sudah cukup buatku." "Hanya saja jangan berharap
lebih," aku mengingatkan, mencoba menarik tanganku. Jacob terus memeganginya
dengan gigih. "Ini tidak membuatmu rikuh, kan?" tanyanya, meremas jari-jariku.
"Tidak," desahku. Sejujurnya, rasanya menyenangkan. Tangannya jauh lebih hangat
daripada tanganku; aku selalu merasa kedinginan belakangan ini. "Dan kau tidak
peduli pada apa yang dia pikirkan." Jacob menyentakkan ibu jarinya ke arah
toilet. "Kurasa tidak."
"Kalau begitu apa masalahnya?"
"Masalahnya," ujarku, "karena ini artinya berbeda bagiku dan bagimu."
"Well," Jacob mempererat genggamannya. "Itu masalahku, kan?"
"Terserahlah," gerutuku. "Jangan lupa, tapi."
"Aku tidak akan lupa. Pin-nya sudah dilepaskan dari granatnya, sekarang, he?" Ia
menohokkan jarinya ke rusukku.
Aku memutar bola mata. Kurasa kalau ia ingin menjadikan masalah ini sebagai
lelucon, itu haknya. Jacob berdecak pelan sebentar waktu jari manisnya menelusuri bekas luka di sisi
tanganku. "Lucu juga bekas lukamu di sini ini," katanya tiba-tiba, memuntir tanganku untuk
mengamatinya. "Bagaimana kejadiannya?"
Telunjuk tangannya yang satu lagi menyusuri tepian bekas luka panjang berbentuk
bulan sabit keperakan yang nyaris tak terlihat di kulitku yang pucat.
Aku merengut. "Masa aku harus mengingat dari mana saja semua bekas lukaku
berasal?" Aku menunggu kenangan itu menghantamku- membuka lubang yang menganga. Tapi
seperti yang sudah sering kali terjadi, kehadiran Jacob menjagaku tetap utuh.
"Bekas luka ini dingin," gumamnya, menekan pelan tempat James dulu melukaiku
dengan giginya. Kemudian Mike tersaruk saruk keluar dari toilet, wajahnya kelabu dan
berkeringat. Ia tampak kepayahan.
"Oh, Mike," aku kaget.
"Keberatan tidak kalau kita pulang lebih cepat?" bisiknya.
"Tidak, tentu saja tidak." Kutarik tanganku dan berdiri untuk membantu Mike
berjalan. Ia tampak limbung.
"Filmnya terlalu sadis untukmu?" tanya Jacob tanpa perasaan.
Pelototan Mike garang sekali. "Aku bahkan tidak sempat melihatnya," gumamnya.
"Aku sudah mual sejak sebelum lampu-lampu dimatikan."
"Kenapa kau diam saja?" kumarahi dia sementara kami berjalan sempoyongan menuju
pintu keluar. "Aku berharap nanti akan hilang sendiri," jawab Mike.
"Tunggu sebentar," kata Jacob sesampainya kami di pintu. Ia cepat-cepat berjalan
kembali ke kios makanan. "Boleh minta wadah popcorn kosong?" tanyanya pada cewek penjaga kios. Cewek itu
memandang Mike satu kali, lalu langsung menyodorkan wadah kosong pada Jacob.
"Bawa dia keluar, please," pinta si penjaga kios.
Jelas, cewek itulah yang kebagian tugas mengepel.
Kuseret Mike ke udara luar yang dingin dan basah. Ia menghela napas dalam-dalam.
Jacob berjalan tepat di belakang kami. Ia membantuku menaikkan Mike ke kursi
belakang, lalu menyodorkan wadah itu padanya dengan mimik serius.
"Please," hanya itu yang Jacob katakan.
Kami membuka semua jendela, supaya udara malam yang dingin berembus masuk,
berharap itu bisa membantu Mike merasa lebih sehat. Aku memeluk kedua kakiku
dengan kedua tangan agar tetap hangat.
"Kedinginan lagi?" tanya Jacob, merangkul
pundakku sebelum aku sempat menjawab. "Kau tidak?" Jacob menggeleng.
"Kau pasti demam atau sebangsanya," gerutuku. Aku sendiri membeku kedinginan.
Kusentuh keningnya dengan jari-jariku, dan kepalanya memang panas.
"Astaga, Jake - badanmu panas sekali!"
"Aku merasa baik-baik saja." Ia mengangkat bahu. "Sehat walafiat."
Aku mengerutkan kening dan menyentuh kepalanya lagi. Kulitnya membara di bawah
jari-jariku. "Tanganmu sedingin es," protes Jacob.
"Mungkin memang aku yang kedinginan," aku mengalah.
Mike mengerang di kursi belakang, lalu muntah ke dalam wadah. Aku meringis,
berharap perutku tahan mendengar dan mencium baunya. Jacob menoleh cemas untuk
memastikan mobilnya tidak terkena muntahan.
Jarak terasa semakin panjang dalam perjalanan pulang.
Jacob diam, merenung. Ia membiarkan lengannya tetap melingkari pundakku, dan
rasanya begitu hangat hingga angin dingin terasa nyaman.
Aku memandang ke luar kaca depan, hatiku diliputi perasaan bersalah.
Seharusnya aku tidak memberi harapan pada Jacob. Itu kulakukan murni karena
egois. Tak peduli aku sudah berusaha memperjelas posisiku. Kalau ia merasa masih
ada harapan, meskipun sedikit, untuk mengubah hubungan ini menjadi lebih dari
sekadar persahabatan, itu berarti aku masih kurang jelas dalam memberinya
penjelasan. Bagaimana caraku menjelaskan supaya ia mengerti" Aku ini cangkang kosong. Ibarat
rumah tak berpenghuni - ditinggalkan - selama berbulan-bulan aku tak bisa
didiami. Sekarang aku sedikit lebih baik. Ruang depan sudah diperbaiki. Tapi
hanya itu - hanya satu ruang kecil. Padahal Jacob pantas mendapatkan lebih baik
daripada itu - lebih baik daripada sekadar satu ruangan yang sudah nyaris ambruk
dan kemudian dibetulkan. Sebanyak apa pun yang ia lakukan tidak akan bisa
membuatku berfungsi kembali.
Namun aku tahu aku takkan mau menjauhinya, bagaimanapun juga. Aku terlalu
membutuhkannya, dan aku egois. Mungkin aku bisa lebih memperjelas sisiku, supaya
ia mau meninggalkan aku. Pikiran itu membuatku bergidik, dan Jacob mempererat
rangkulannya. Aku mengantar Mike pulang dengan Suburban-nya, sementara Jacob mengikuti di
belakang untuk mengantarku pulang. Jacob lebih banyak diam sepanjang perjalanan
menuju rumahku, dan aku bertanya-tanya dalam hati apakah ia memikirkan hal-hal
yang sama seperti yang kupikirkan. Mungkin saja ia berubah pikiran.
"Sebenarnya aku ingin mampir, karena kita pulang lebih cepat," kata Jacob sambil
menghentikan mobilnya di samping trukku. "Tapi kurasa kau benar bahwa aku demam.
Aku mulai merasa sedikit... aneh."
"Oh tidak, jangan sampai kau sakit juga! Kau
mau aku mengantarmu pulang?"
"Tidak" Jacob menggeleng, alisnya bertaut. "Aku belum merasa sakit. Hanya...
tidak enak badan. Kalau terpaksa sekali, aku akan berhenti di pinggir jalan."
"Maukah kau meneleponku begitu sampai di rumah?" tanyaku cemas.
"Tentu, tentu." Jacob mengerutkan kening, memandang lurus ke kegelapan, dan
menggigit bibir. Kubuka pintu untuk turun, tapi Jacob meraih pergelangan tanganku dengan lembut
dan memeganginya. Aku kembali merasakan betapa panas kulitnya bersentuhan dengan
kulitku. "Ada apa, Jake?" tanyaku.
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu,
Bella... tapi kurasa ini akan terdengar gombal."
Aku mendesah. Ini pasti kelanjutan pembicaraan di teater tadi. "Silakan."
"Begini, aku tahu kau sering merasa tidak
bahagia. Dan mungkin ini tidak membantu apa-apa, tapi aku ingin kau tahu aku
akan selalu mendampingimu. Aku tidak akan mengecewakanmu - aku berjanji kau akan
selalu bisa mengandalkan aku. Wow, kedengarannya benar-benar gombal. Tapi kau
tahu itu, kan" Bahwa aku tidak akan pernah, tidak sekali pun, menyakitimu?"
"Yeah, Jake. Aku tahu itu. Dan aku memang
sudah mengandalkanmu, mungkin lebih daripada yang kau tahu."
Senyum merekah di wajahnya, seperti matahari terbit merekah merah di awan-awan,
dan aku ingin memotong lidahku sendiri. Semua yang kukatakan memang benar, tapi
seharusnya aku berbohong. Mengatakan hal sebenarnya adalah salah, itu hanya akan
menyakiti hatinya. Aku akan mengecewakannya.
Mimik aneh melintas di wajahnya. "Kurasa aku benar-benar harus pulang sekarang,"
katanya. Aku cepat-cepat turun. "Telepon aku!" teriakku begitu ia beranjak pergi. Kupandangi mobilnya berlalu,
dan sepertinya ia masih bisa mengemudikan mobilnya dengan baik, paling tidak.
Kupandangi jalanan yang kosong setelah mobilnya lenyap, perasaanku juga sedikit
tidak enak, tapi bukan karena alasan fisik.
Kalau saja Jacob Black terlahir sebagai saudara lelakiku, saudara laki-laki
kandung, sehingga aku memiliki hak hukum atas dirinya yang membuatku bebas dari
perasaan bersalah. Tuhan tahu aku tidak pernah berniat memanfaatkan Jacob, tapi
perasaan bersalah yang kurasakan saat ini mau tak mau membuatku berpikir bahwa
jangan-jangan memang itulah yang kulakukan.
Terlebih lagi, aku tidak pernah berniat mencintai dia. Satu hal yang kuketahui
benar-dan aku meyakininya dari lubuk hatiku yang terdalam, dari pusat tulang-
tulangku, dari puncak kepala hingga ujung kaki, dari dalam dadaku yang hampa -
cinta memberi orang kekuatan untuk menghancurkanmu. Aku hancur luluh dan tidak
bisa diperbaiki lagi. Tapi aku membutuhkan Jacob sekarang, membutuhkannya
seperti obat. Aku sudah terlalu lama memanfaatkannya sebagai kruk, dan aku
terjerumus lebih dalam daripada yang awalnya kurencanakan dengan orang lain.
Sekarang aku tak tega menyakiti hatinya, tapi aku juga tak bisa menahan diri
untuk terus-menerus menyakitinya. Ia mengira waktu dan kesabaran akan
mengubahku, dan, walaupun aku tahu ia salah besar, tapi aku juga tahu aku akan
membiarkannya mencoba. Ia sahabatku. Aku akan selalu sayang padanya, tapi itu takkan pernah cukup.
Aku masuk untuk menunggu telepon dan menggigiti kuku.
"Filmnya sudah selesai?" tanya Charlie kaget waktu aku berjalan masuk. Ia duduk
di lantai, tak sampai setengah meter dari TV. Pasti pertandingannya seru sekali.
"Mike tiba-tiba sakit," aku menjelaskan. "Semacam flu perut."
"Kau tidak apa-apa?"
"Sekarang sih aku baik-baik saja," jawabku ragu. Jelas, aku juga sudah tertular.
Aku bersandar di konter dapur, tanganku hanya beberapa sentimeter dari telepon,
berusaha menunggu dengan sabar. Aku teringat mimik aneh di wajah Jacob sebelum
pulang tadi, dan jari-jariku mengetuk-ngetuk konter. Seharusnya aku tadi
memaksanya supaya mau diantar pulang.
Kupandangi jam dinding sementara menit-menit berlalu. Sepuluh. Lima belas.
Bahkan kalau aku yang menyetir, hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai
ke sana, dan Jacob menyetir mobilnya lebih cepat daripada aku. Delapan belas
menit. Kuangkat telepon dan kuhubungi nomornya.
Teleponku berdering dan berdering. Mungkin Billy sudah tidur. Mungkin aku salah
menekan nomor. Kucoba lagi.
Pada deringan kedelapan, saat aku sudah hampir menyerah, Billy menjawab.
"Halo?" tanyanya. Suaranya waswas, seperti
mengharapkan kabar buruk.
"Billy, ini aku, Bella - Jake sudah sampai di rumah belum" Dia berangkat dari
sini dua puluh menit yang lalu."
"Dia sudah sampai," jawab Billy datar.
"Seharusnya dia meneleponku." Aku agak kesal. "Dia merasa tidak enak badan waktu
berangkat tadi, jadi aku khawatir."
"Dia... terlalu sakit sehingga tidak bisa menelepon. Dia sedang kurang sehat
sekarang." Nada suara Billy seperti berjarak. Aku sadar ia pasti ingin menemani Jacob.
"Beritahu aku bila butuh bantuan," aku menawarkan. "Aku bisa datang ke sana."
Aku teringat pada Billy, terikat pada kursi rodanya, sementara Jake mengurus
dirinya sendiri... "Tidak, tidak," tolak Billy cepat-cepat. "Kami baik-baik saja. Kau di rumah
saja." Caranya mengatakan itu nyaris kasar.
"Oke "jawabku. "Bye, Bella." Well, paling tidak ia sudah sampai di rumah.
Anehnya, kekhawatiranku tak kunjung mereda. Aku menaiki tangga dengan langkah-
langkah berat, cemas. Mungkin aku bisa ke rumahnya besok sebelum bekerja, untuk
mengecek keadaannya. Aku bisa membawakan sup-kalau tidak salah masih ada
sekaleng sup Campbells tersimpan di suatu tempat.
Aku sadar semua rencana itu buyar ketika mendadak terjaga jauh lebih awal -
jamku menunjukkan pukul setengah lima pagi - dan bergegas ke kamar mandi.
Charlie menemukanku di sana setengah jam kemudian, terbaring di lantai, pipiku
menempel di pinggir bak mandi yang dingin. Ia menatapku lama sekali.
"Flu perut," akhirnya ia berkata.
"Ya," erangku. "Kau butuh sesuatu?" tanyanya.
"Hubungi keluarga Newton, please?" pintaku dengan suara serak. "Katakan aku
ketularan Mike, jadi tidak bisa masuk hari ini. Sampaikan juga permintaan
maafku." "Tentu, bukan masalah," Charlie meyakinkanku.
Sepanjang sisa hari itu kuhabiskan di lantai kamar mandi, tidur beberapa jam
dengan kepala dibaringkan di atas handuk.
Charlie mengatakan dirinya harus bekerja, tapi aku curiga itu hanya alasan
karena ia butuh akses ke kamar mandi. Ia meninggalkan segelas air di lantai agar
aku tidak dehidrasi. Aku terbangun waktu ia datang. Kulihat hari sudah gelap di kamarku-hari sudah
malam. Charlie menaiki tangga untuk mengecek kondisiku.
"Masih hidup?" "Begitulah," jawabku.
"Kau menginginkan sesuatu?"
"Tidak, trims."
Charlie ragu-ragu sejenak, jelas bingung harus melakukan apa. "Oke, kalau
begitu," katanya, lalu turun lagi ke dapur.
Kudengar telepon berdering beberapa menit kemudian. Charlie berbicara dengan
seseorang dengan suara pelan, lalu menutup telepon.
"Mike sudah sembuh," serunya padaku.
Well, pertanda bagus. Dia jatuh sakit kurang-lebih delapan jam sebelum aku. Jadi
tinggal delapan jam lagi. Pikiran itu membuat perutku mual, dan kuangkat tubuhku
untuk membungkuk di atas toilet.
Aku ketiduran lagi di atas handuk, tapi waktu terbangun aku sudah berbaring di
tempat tidur dan di luar jendela tampak terang. Aku tidak ingat pindah; Charlie
pasti menggendongku ke kamar - ia juga meninggalkan segelas air di atas nakas.
Tenggorokanku kering kerontang. Kureguk habis isi gelasku, meski rasanya aneh.
Perlahan-lahan aku bangkit, berusaha untuk tidak memicu timbulnya rasa mual


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Aku lemah, dan mulutku tidak enak, tapi perutku baik-baik saja. Kulirik
jam. Dua puluh empat jamku sudah berlalu.
Aku tidak memaksakan diri, dan hanya makan biskuit asin untuk sarapan. Charlie
tampak lega melihatku pulih.
Begitu yakin tidak akan tergeletak lagi seharian di lantai kamar mandi,
kutelepon Jacob. Jacob sendiri yang menjawab, tapi begitu mendengar suaranya, aku tahu ia belum
sembuh. "Halo?" Suaranya serak, parau.
"Oh, Jake," aku mengerang bersimpati. "Suaramu aneh."
"Aku memang merasa aneh," bisiknya.
"Aku sangat menyesal mengajakmu pergi denganku. Ini menyebalkan."
"Aku senang kok pergi." Suaranya masih
berbisik. "Jangan salahkan dirimu. Ini bukan salahmu."
"Kau pasti sembuh sebentar lagi," aku meyakinkannya. "Waktu aku bangun tadi
Naga Beracun 2 Goosebumps - Boneka Hidup Beraksi 3 Lima Setan Dari Barat 2
^