Pencarian

Gerhana 9

Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer Bagian 9


Edward tidak menyusulku sampai aku beberapa langkah memasuki bayang-bayang
hutan. Tangannya menangkap pergelangan tangan kiriku. Ia tak menggubris waktu aku
memberontak, mencoba melepaskan tanganku dari pegangannya.
"Kau tidak bisa menyusulnya. Tidak hari ini. Sekarang saatnya hampir tiba. Kau
hanya akan menyusahkan semua orang kalau tersesat."
Aku memuntir tanganku,menariknya tanpa hasil.
"Maafkan aku Bella," Bisik Edward. "Aku menyesal telah melakukan hal itu tadi."
"Kau tidak melakukan apa-apa. Itu salahku. Akulah yang melakukannya. Aku selalu
saja salah melakukan apa pun. Seharusnya aku bisa... waktu dia... seharusnya aku
tidak... aku... aku..," aku tersedu-sedu.
"Bella, Bella."
Edward memelukku, dan air mataku membasahi kemejanya. "seharusnya aku...
mengatakan padanya... aku seharusnya mengatakan... apa" Apa yang bisa kulakukan
untuk memperbaiki keadaan" Seharusnya dia tidak...mengetahuinya dengan cara
seperti ini." "Kau mau aku berusaha membawanya kembali, supaya kau bisa berbicara dengannya"
masih ada sedikit waktu,"
gumam Edward, memendam kesedihan dalam suaranya. Aku mengangguk di dadanya,
takut melihat wajahnya. "Tunggulah dekat tenda. Sebentar lagi aku kembali."
Kedua lengan Edward memelukku lenyap. Ia pergi begitu cepat, saking cepatnya
hingga waktu aku mendongak melihatnya,ia sudah tidak ada. Aku sendirian.
Tangisan baru menyeruak dari dadaku. Aku melukai hati semua orang hari ini.
Adakah yang kusentuh tidak rusak"
Entah mengapa aku baru merasa terpukul sekarang.
Padahal aku sudah tahu suatu saat ini pasti akan terjadi.
Tapi Jacob belum pernah bereaksi sehebat itu,kehilangan kepercayaan dirinya dan
menunjukkan betapa dalam kepedihan hatinya. Suara lolongan pedihnya masih
menyayat hatiku,jauh di dalam dadaku. Tepat di sisi kepedihan lain. Kepedihan
karena merasakan kesedihan Jacob. Kepedihan karena melukai hati Edward juga.
Karena tidak mampu melihat Jacob pergi dengan tegar, tahu itulah hal yang
benar,satu-satunya jalan.
Aku egois,aku suka menyakiti. Aku melukai hati orang yang kucintai.
Aku seperti Cathy, seperti Wuthering Heights, hanya saja pilihan-pilihanku jauh
lebih baik daripadanya, tak ada yang jahat,tak ada yang lemah. Tapi aku malah
menangisi, tidak melakukan hal yang produktif untuk memperbaiki keadaan. Persis
seperti Cathy. Aku tak boleh lagi membiarkan apa yang melukai hatiku mempengaruhi keputusanku
lagi. Memang sepele,dan sudah sangat terlambat, tapi aku harus melakukan hal
yang besar sekarang. Mungkin segalanya memang telah berakhir bagiku. Mungkin
Edward tidak bisa membawanya kembali. Kalau benar begitu,aku harus menerimanya
dan melanjutkan hidupku. Edward takkan pernah melihatku meneteskan air mata lagi
untuk Jacob Black. Tidak akan ada lagi air mata. Kuseka sisa- sisa air mataku
yang terakhir dengan jari-jari yang dingin.
Tapi kalau Edward benar-benar kembali bersama Jacob, inilah saatnya. Aku harus
memintanya pergi dan jangan kembali lagi.
Kenapa sulit sekali mengatakannya" Jauh lebih sulit dari pada mengucapkan
selamat tinggal kepada teman-temanku yang lain, kepada Angela, kepada Mike"
Kenapa itu terasa menyakitkan" Ini tidak benar. Seharusnya itu tidak membuatku
sedih. Aku telah memiliki apa yang kuinginkan. Aku tidak bisa memiliki kedua-
duanya, karena Jacob tidak mau hanya menjadi temanku. Sekarang saatnya berhenti
mengharapkannya. Berapa manusia bisa menjadi sangat serakah!
Aku harus bisa mengatasi perasaan tidak rasional bahwa Jacob harus ada dalam
hidupku. Ia tak mungkin menjadi milikku, tidak bisa menjadi Jacob-ku, karena aku
milik orang lain. Sambil menyeret kaki, aku berjalan lambat-lambat kembali ke lapangan kecil itu.
Begitu aku muncul di tempat terbuka, mengerjap-ngerjap menahan cahaya matahari
yangmenyilaukan, aku melirik Seth sekilas - ia belum beranjak dari tempatnya
meringkuk di gundukan daun-daun cemara - kemudian membuang muka, menghindari
matanya. Bisa kurasakan rambutku awut-awutan, berantakan tidak karuan seperti rambut ular
Medusa. Aku menyusupkan Jari-jariku ke rambut dan mencoba merapikannya, tapi
langsung menyerah. Lagi pula,siapa yang peduli bagaimana penampilanku" Aku
menyambar termos yang tergantung di samping pintu tenda dan mengguncangnya.
Terdengar bunyi air berkecipak di dalamnya, jadi aku pun membuka tutup termos
dan minum seteguk, membilas mulutku dengan air dingin. Di sekitar sini ada
makanan, tapi aku tidak terlalu lapar sehingga ingin mencarinya. Aku mulai
mondar-mandir di ruang terbuka kecil yang terang itu, merasakan mata Seth
mengikuti setiap gerakanku. Karena aku tidak mau memandanginya, dalam benakku ia
kembali menjadi anak laki-laki, bukannya serigala raksasa. Mirip sekali dengan
Jacob masih lebih muda. Aku ingin meminta Seth menggonggong atau memberi semacam isyarat apakah Jacob
akan kembali, tapi aku mengurungkan niatku itu. Tidak penting apakah Jacob
kembali. Justru lebih mudah jika ia tak kembali. Kalau saja aku bisa memanggil
Edward. Saat itulah Seth melenguh, kemudian berdiri. "Ada apa?" tanyaku bodoh
Seth mengabaikanku, berlari-lari kecil ke pinggiran hutan dan mengarahkan
hidungnya ke barat. Ia mulai mendengking-dengking.
"Apakah ini tentang yang lain-lain, Seth?" desakku. "Di lapangan?"
Seth menoleh padaku dan menggonggong pelan satu kali, kemudian kembali
mengarahkan hidungnya dengan sikap waspada ke arah barat. Telinganya terlipat ke
belakang dan ia mendengking lagi.
Kenapa aku begitu tolol" Apa sih yang merasuk pikiranku hingga aku membiarkan
Edward pergi" Bagaimana aku bisa mengetahui apa yang terjadi" aku kan tidak bisa berbahasa
serigala. Keringat dingin mulai membasahi punggungku. Bagaimana kalau ternyata mereka
kehabisan waktu" bagaimana kalau ternyata Jacob dan Edward berada terlalu dekat
dengan medan pertempuran" Bagaimana kalau Edward memutuskan bergabung"
Perasaan takut mengaduk-aduk isi perutku. Bagaimana kalau kegelisahan Seth tak
ada hubungannya dengan kejadian di lapangan, dan gonggongannya tadi merupakan
penyangkalan" Bagaimana kalau Jacob dan Edward berkelahi, nun jauh di hutan
sana" Mereka tidak mungkin berbuat, begitu"
Dengan perasaan yakin yang mendadak muncul dan membuat sekujur tubuhku dingin
karena ngeri, aku menyadari mereka mungkin saja berbuat begitu - kalau ada yang
salah bicara. Ingatanku melayang ke ketegangan di tenda pagi tadi, dan dalam
hati aku penasaran apakah aku terlalu meremehkan betapa nyarisnya peristiwa tadi
menjurus kepada perkelahian.
Mungkin aku memang pantas kehilangan mereka berdua. Es itu mencengkeram
jantungku. Sebelum aku ambruk karena perasaan takut, Seth menggeram pelan, jauh di dalam
dadanya, kemudian berpaling dari tempatnya berdiri mengawasi dan melenggang
kembali ke tempat istirahatnya. Tindakannya itu membuatku tenang, sekaligus
jengkel. Memangnya ia tidak bisa menggoreskan pesan di tanah atau semacamnya,
ya" Berjalan mondar-mandir mulai membuatku berkeringat di balik semua lapisan baju
tebal ini. Kulempar jaketku ke tenda kemudian berjalan kembali menyusuri jalan
setapak menuju celah sempit disela-sela pepohonan.
Mendadak Seth melompat berdiri, bulu-bulu ditekuknya berdiri kaku. Aku memandang
berkeliling, tapi tidak melihat apa-apa. Kalau Seth tidak berhenti bertingkah
seperti itu, bisa-bisa kulempar ia dengan buah cemara.
Seth menggeram, rendah dan bernada memperingatkan, menyelinap kembali ke arah
lingkaran barat, dan aku berpikir ulang tentang ketidaksabaranku.
"Ini hanya kami, Seth," seru Jacob dari kejauhan.
Aku mencoba menjelaskan kepada diriku sendiri kenapa jantungku mendadak berlari
kencang begitu mendengar suaranya. Karena takut memikirkan apa yang harus
kulakukan sekarang, itu saja. Aku tidak boleh membiarkan diriku lega karena ia
kembali. Itu justru tidak akan membantu.
Edward yang lebih dulu muncul, wajahnya kosong dan datar. Begitu ia melangkah
keluar dari bayang-bayang, matahari berkilauan di kulitnya bagaikan di atas
permukaan salju. Seth berlari menyongsongnya, menatap matanya lekat-lekat.
Edward mengangguk lamban, dan kekhawatiran membuat keningnya berkerut.
"Ya, hanya itu yang kita butuhkan," gumamnya pada diri sendiri sebelum berbicara
kepada serigala besar itu.
"Kurasa tidak seharusnya kita terkejut. Tapi waktunya akan sangat dekat. Tolong
suruh Sam meminta Alice agar berusaha memprediksikan waktunya dengan lebih
tepat." Seth menundukkan kepala satu kali, dan aku berharap kalau saja aku bisa
menggeram. Sekarang ia baru mengangguk. Aku memalingkan kepala, jengkel, dan
menyadari Jacob berdiri di sana.
Jacob berdiri memunggungiku, menghadap ke arah datangnya tadi. Dengan kecut aku
menunggunya berbalik. "Bella," bisik Edward, tiba-tiba berdiri di sebelahku. ia menunduk menatapku
dengan sorot prihatin terpancar dari matanya. Ia sangat berbesar hati. Aku tidak
pantas mendapatkan orang sebaik dia.
"Ada sedikit masalah," ia memberitahuku, dengan sangat hati-hati berusaha
memperdengarkan nada tenang. "Aku akan membawa Seth pergi sebentar dan berusaha
membereskannya. Aku tidak akan pergi jauh, tapi aku juga tidak akan
mendengarkan. Aku tahu kau tidak mau ada yang menonton, tak peduli jalan mana
yang ingin kau ambil."
Hanya di bagian terakhir terdengar secercah nada pedih dalam suaranya.
Aku tidak boleh melukai hatinya lagi. Itu misiku dalam hidup ini. Jangan pernah
lagi aku menjadi penyebab munculnya sorot kepedihan itu di matanya.
Aku kelewat kalut bahkan untuk bertanya, masalah baru apa yang ia maksud. Aku
tidak membutuhkan apa-apa lagi sekarang.
"Cepatlah kembali," bisikku.
Edward mengecup bibirku sekilas, kemudian lenyap di balik hutan bersama Seth di
sampingnya. Jacob masih berada di bawah bayang-bayang pepohonan,aku tidak bisa melihat
ekspresinya dengan jelas.
"Aku sedang terburu-buru, Bella," kata Jacob, suaranya muram. "Bagaimana kalau
langsung saja kau utarakan maksudmu."
Aku menelan ludah, tenggorokanku mendadak kering hingga aku tak yakin suaraku
bakal keluar. "Sampaikan saja maksudmu, dan segera tuntaskan masalah ini."
Aku menarik napas dalam-dalam.
"Aku minta maaf karena aku jahat sekali," bisikku. "Maafkan aku karena sikapku
sangat egois. Kalau saja aku tidak pernah berjumpa denganmu, sehingga aku tidak
bisa menyakiti hatimu seperti yang telah kulakukan. Aku tidak akan melakukannya
lagi,aku janji. Aku akan pergi sejauh mungkin darimu. Aku akan pindah ke luar
negara bagian. Kau tidak akan pernah melihatku lagi."
"Itu bukan permintaan maaf," sergah Jacob pahit.
Aku tak mampu membuat suaraku terdengar lebih keras daripada bisikan. "Katakan
padaku bagaimana bisa memperbaikinya."
"Bagaimana kalau aku tidak ingin kau pergi" Bagaimana kalau aku lebih suka kau
tetap di sini, egois atau tidak" apakah aku tidak berhak dimintai pendapat,
kalau kau memang berusaha memperbaiki keadaan denganku?"
"Itu tidak akan berpengaruh apa-apa Jake. Keliru kalau aku tetap bersamamu
padahal kita menginginkan hal berbeda. Keadaan tidak akan menjadi semakin baik.
Aku hanya akan terus menerus menyakitimu. Aku tidak mau
menyakitimu lagi. Aku tidak suka." Suaraku pecah.
Jacob mendesah, "Hentikan. Kau tidak perlu berkata apa-apa lagi. Aku mengerti."
Aku ingin mengatakan padanya betapa aku sangat merindukannya, tapi kuurungkan
niatku. Itu juga tidak akan berpengaruh apa-apa.
Jacob berdiri diam sesaat, memandangi tanah, dan dengan susah payah aku melawan
dorongan untuk mendekat dan memeluknya. Menghiburnya.
Kemudian Jacob mengangkat kepala.
"Well, bukan kau satu-satunya yang mampu
mengorbankan diri sendiri," katanya, suaranya lebih tegar.
"Permainan ini bisa dimainkan dua orang."
"Apa?" "Aku sendiri juga sudah bertingkah buruk. Aku membuat keadaan jadi jauh lebih
sulit daripada seharusnya. Seharusnya aku bisa menyerah dengan penuh wibawa
sejak awal. Tapi aku menyakiti hatimu juga."
"Ini salahku." "Aku tidak akan membiarkanmu menanggung semua kesalahan, Bella. Atau menerima
semua pujian. Aku tahu bagaimana caranya menebus kesalahanku sendiri."
"Apa maksudmu?" tuntutku. Kilatan matanya yang tiba-tiba berkelebat membuatku
ngeri. Jacob menengadah ke matahari kemudian tersenyum padaku. "Sebentar lagi akan
terjadi pertarungan sengit di sana. Kurasa tidak akan sulit mengenyahkan diriku
dari gambar keseluruhan."
Kata-katanya memasuki otakku, perlahan-lahan, satu demi satu, dan aku tak bisa
bernapas. Meskipun aku memang sudah berniat mengenyahkan Jacob sepenuhnya dari
hidupku, aku tidak menyadari hingga detik itu, berapa dalamnya pisau itu akan
menusuk untuk bisa melakukannya.
"Oh, tidak, Jake! Tidak, tidak, tidak, tidak," aku tercekat penuh kengerian.
"Tidak, Jake, tidak. Kumohon, jangan."
Lututku mulai gemetar. "Apa bedanya, Bella" Ini hanya akan membuat keadaan jadi lebih menyenangkan bagi
semua orang. Kau bahkan tidak perlu pindah."
"Tidak!" Suaraku semakin keras. "Tidak, Jacob! Aku tidak akan membiarkanmu
melakukannya!" "Bagaimana kau akan menghentikan aku?" ejeknya enteng, tersenyum untuk
memperhalus nada mengejek dalam suaranya tadi.
"Jacob, kumohon, tinggallah bersamaku," Kalau saja aku bisa bergerak, aku pasti
sudah berlutut saat itu juga.
"Selama lima belas menit sementara aku melewatkan pertempuran yang seru" supaya
kemudian kau bisa melarikan diri dariku begitu kau merasa aku sudah aman lagi"
kau pasti bercanda."
"Aku tidak akan pergi. Aku berubah pikiran. Kita akan mencari jalan lain Jacob.
Selalu ada yang bisa dikompromikan. Jangan pergi!"
"Kau bohong." "Tidak. Kau tahu aku tidak pandai berbohong. Tatap mataku. Aku akan tinggal
kalau kau juga tinggal."
Wajah Jacob mengeras. "Dan aku bisa menjadi bestman-mu saat kau menikah nanti?"
Baru beberapa saat kemudian aku bisa bicara,tapi yang bisa kuucapkan hanyalah.
"kumohon." "Sudah kukira," ucap Jacob, wajahnya tenang kembali, kecuali sorot berapi-api di
matanya. "Aku mencintaimu Bella," bisiknya.
"Aku mencintaimu Jacob," bisikku parau.
Jacob tersenyum. "Aku lebih tahu itu daripada kau."
Ia berbalik dan berjalan menjauh.
"Apa saja," seruku memanggilnya, suaraku tercekik.
"Apa pun yang kau inginkan Jacob. Tapi jangan lakukan ini!"
Jacob berhenti,perlahan-lahan berbalik.
"Aku tidak yakin kau bersungguh-sungguh dengan perkataanmu itu."
"Jangan pergi," aku memohon.
Jacob menggeleng. "Tidak aku akan tetap pergi." Ia terdiam sejenak, seolah-olah
memutuskan sesuatu. "Tapi aku bisa menyerahkan kepada takdir."
"Apa maksudmu?" tanyaku dengan suara tercekat.
"Aku tidak harus melakukannya secara sengaja, aku akan tetap melakukan yang
terbaik bagi kawananku dan membiarkan apa yang terjadi,terjadi." Jacob
mengangkat bahu. "Kalau kau bisa meyakinkan aku, kau benar-benar ingin aku
kembali, lebih daripada kau ingin melakukan hal yang tidak egois."
"Bagaimana caranya?" tanyaku.
"Kau bisa memintaku," ia mengusulkan.
"Kembalilah," bisikku. Bagaimana mungkin ia bisa meragukan bahwa aku bersungguh-
sungguh" Jacob menggeleng. kembali tersenyum. "Bukan begitu maksudku."
Baru sedetik kemudian aku menangkap maksudnya, dan selama itu Jacob menatapku
dengan ekspresi menang, begitu yakin akan reaksiku. Meski demikian, begitu
kesadaran itu menghantamku, aku langsung mengucapkan kata-kata itu tanpa sempat
memikirkan akibatnya. "Maukah kau menciumku, Jacob?"
Matanya membelalak kaget, lalu menyipit curiga. "Kau hanya menggertak."


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cium aku, Jacob. Cium aku, lalu kembalilah."
Jacob ragu-ragu di bawah bayangan, berperang dengan dirinya sendiri. Ia separo
berbalik ke arah barat, tubuhnya berbalik menjauhiku sementara kakinya tetap
terpaku di tempatnya berdiri. Sambil masih memandang ke arah lain, ia maju
selangkah dengan sikap ragu-ragu, lalu satu lagi. Ia menggerakkan wajahnya untuk
memandangku, sorot matanya ragu.
Aku balas menatapnya. Entah bagaimana ekspresi wajahku saat itu.
Jacob bertumpu pada tumitnya dan bergoyang maju mundur, lalu menerjang maju,
menghampiriku hanya dalam tiga langkah panjang-panjang.
Aku tahu ia pasti akan mengambil kesempatan dari situasi ini. Sudah kuduga. Aku
berdiam tak bergerak, mataku tertutup, jari-jariku menekuk dan membentuk kepalan
di kedua sisi tubuhku, sementara kedua tangan Jacob merengkuh wajahku dan
bibirnya menyentuh bibirku dengan semangat yang tak jauh dari kasar.
Bisa kurasakan kemarahannya saat bibirnya mendapatkan penolakan pasifku. Satu
tangannya meraih tengkukku lalu meremas rambutku. Tangan yang lain menyambar
pundakku dengan kasar, mengguncang tubuhku, lalu menarikku kepadanya. Tangannya
terus meluncur menuruni lenganku, sampai ke pinggang. Lalu melingkarkan tanganku
ke lehernya. Kubiarkan tanganku di sana, masih mengepal erat, tak yakin sampai
sejauh mana aku bisa bertindak supaya ia tetap hidup. Sementara itu bibirnya,
yang lembut dan hangat, berusaha memaksakan respons dariku.
Begitu Jacob yakin aku takkan menurunkan tanganku, ia membebaskan pergelangan
tanganku, tangannya turun ke pinggangku. Tangannya yang panas membara menyentuh
punggungku, dan ia menarikku lebih dekat.
Sejenak bibirnya berhenti menciumku, tapi aku tahu ia belum selesai. Bibirnya
menelusuri garis rahangku, kemudian kedua lengannya menjelajahi leherku. Ia
menggeraikan rambutku, meraih tanganku yang lain untuk dikalungkan ke lehernya
seperti tadi. Kemudian kedua lengannya melingkari pinggangku, dan bibirnya menempel di
telingaku. "Kau bisa melakukannya lebih baik dari ini, Bella," bisiknya parau. "Kau terlalu
banyak berpikir." Aku gemetar saat merasakan giginya menyapu daun telingaku.
"Ya, begitu." bisiknya. "Sekali ini, biarkan dirimu merasakan apa yang
sebenarnya kurasakan."
Aku menggeleng seperti robot sampai sebelah tangan Jacob kembali menyusup ke
rambutnya dan menghentikanku.
Suaranya berubah masam. "Kau yakin ingin aku kembali" atau kau benar-benar ingin
aku mati" Amarah mengguncang tubuhku seperti cambuk setelah pukulan yang dahsyat. Sungguh
keterlaluan, ia tidak bertarung dengan adil.
Karena lenganku masih melingkari lehernya,aku pun menjambak rambutnya dengan
kedua tangan, tak memedulikan nyeri hebat yang kurasakan di tangan kananku, dan
memberontak, berusaha menarik wajahku dari wajahnya.
Tapi Jacob salah mengerti.
Ia terlalu kuat menyadari kedua tanganku,yang berusaha menjambak rambutnya dari
akar-akarnya, dimaksudkan untuk menyakitinya. Alih-alih marah, ia malah mengira
itu karena aku bergairah. Dikiranya aku akhirnya memberi respon.
Sambil terkesiap Jacob mendaratkan kembali bibirnya ke bibirku, jari-jarinya
meremas pinggangku dengan ganas.
Sentakan amarah membuat pengendalian diriku yang memang rapuh jadi kehilangan
keseimbangan, respon Jacob yang kegirangan dan tidak terduga-duga membuat
kendaliku lenyap entah kemana. Seandainya ia hanya
menunjukkan respon penuh kemenangan, mungkin aku bisa menolaknya. Tapi justru
kepolosan kegembiraannya yang meluap-luaplah yang meremukkan tekadku,
melumpuhkannya. Otakku tak lagi terhubung dengan tubuhku, dan aku membalas
ciumannya. Bertentangan dengan semua akal sehat, bibirku bergerak bersama
bibirnya dengan cara-cara yang aneh dan membingungkan, yang belum pernah terjadi
sebelumnya, karena aku tak perlu berhati-hati dengan Jacob, dan ia jelas tidak
perlu berhati-hati denganku.
Jari-jariku semakin erat mencengkeram rambutnya, tapi aku justru menariknya
lebih dekat sekarang. Jacob merajalela. Cahaya matahari yang menyilaukan mengubah kelopak mataku
menjadi merah,dan warna itu cocok,benar-benar pas dengan gairah. Gairah ada di
mana-mana. Aku tidak bisa melihat, mendengar atau merasakan hal lain yang bukan
Jacob. Sebagian kecil otakku yang masih waras meneriakkan berbagai pertanyaan padaku.
Mengapa aku tidak menghentikannya" Lebih parahnya lagi, mengapa aku bahkan tidak
bisa menemukan dalam diriku keinginan untuk berhenti" Apa itu berarti aku tidak
mau dia berhenti" Bahwa saat kedua tanganku
mencengkeram bahunya, aku senang merasakan dada Jacob yang begitu bidang dan
kokoh" Bahwa saat kedua tangannya menarikku terlalu erat dengan tubuhnya, aku
tetap merasa itu belum cukup erat bagiku"
Pertanyaan-pertanyaan tolol, karena kau tahu jawabannya, selama ini aku
membohongi diriku sendiri.
Jacob benar. Ternyata selama ini dia benar. Ia lebih dari sekedar teman biasa.
Itulah sebabnya sungguh mustahil bagiku berpisah dengannya, karena ternyata aku
mencintainya juga. Aku mencintainya, jauh lebih besar daripada seharusnya, meski
masih belum mendekati cukup. Aku mencintainya, tapi itu tidak cukup mengubah apa
pun, itu hanya cukup untuk semakin melukai hati kami berdua. Melukai hatinya
lebih parah daripada yang pernah kulakukan.
Aku tidak peduli pada hal lain selain itu, selain kepedihan hati Jacob. Aku
lebih pantas menerima kepedihan apa pun yang ditimbulkan perbuatan ini. Aku
berharap, kepedihan itu dahsyat. Aku berharap aku akan benar-benar menderita.
Saat ini, rasanya seolah-olah kami satu tubuh. Kepedihan hati Jacob sejak dulu
dan akan selalu menjadi kepedihan hatiku, jadi sekarang, kebahagiannya adalah
kebahagiaanku juga. Aku juga merasa bahagia,meski kebahagiannya sekaligus juga
merupakan kepedihan. Nyaris nyata, perasaan itu membakar kulitku seperti asam, siksaan perlahan-
lahan. Selama satu detik yang singkat namun seolah tak pernah berakhir, masa depan baru
yang sepenuhnya berbeda membentang di balik kelopak mataku yang basah oleh air
mata. Seakan-akan melihat melalui saringan ke dalam pikiran-pikiran Jacob,aku
bisa melihat dengan tepat apa saja yang akan kutinggalkan, kehilangan apa yang
takkan bisa diselamatkan pengetahuan baru ini. Aku bisa melihat Charlie dan
Renee melebur dalam potongan-potongan gambar yang disusun menjadi satu bersama
Billy, Sam dan La push. Aku bisa melihat tahun-tahun berlalu dan memiliki arti
seiring dengan berlalunya waktu, mengubahku. Aku bisa melihat serigala coklat
merah besar yang kucintai, selalu menjadi perlindunganku setiap kali aku
membutuhkannya. Sekilas, dalam satu detik yang singkat itu, aku melihat kepala
dua anak kecil berambut hitam, berlari menjauhiku memasuki hutan yang familiar.
Ketika mereka lenyap, mereka membawa seluruh penglihatan itu bersama mereka.
Dan kemudian,dengan sangat jelas, aku merasakan retakan di hatiku saat sebagian
kecil darinya memaksa melepaskan diri.
Bibir Jacob sudah berhenti sebelum bibirku berhenti. Aku membuka mata dan Jacob
menatapku dengan takjub dan senang.
"Aku harus pergi."bisiknya.
"Jangan." Jacob tersenyum senang mendengar responku. "Aku tidak akan lama." janjinya.
"Tapi satu hal dulu.."
Ia membungkuk untuk menciumku lagi, dan tidak ada alasan bagiku untuk
menolaknya. Apa gunanya"
Ciuman kali ini berbeda. Tangan Jacob terasa halus di wajahku dan bibirnya yang
hangat dan lembut agak ragu-ragu. Singkat, namun sangat,sangat manis.
Kedua lengannya melingkariku, dan ia memelukku erat-erat sambil berbisik di
telingaku. "Seharusnya itu menjadi ciuman pertama kita. Lebih baik terlambat daripada tidak
sama sekali." Di dadanya, tempat ia tak bisa melihat, air mataku menggenang dan tumpah.
24. KEPUTUSAN KILAT AKU berbaring telungkup di kantong tidur, menunggu keadilan menemukanku. Mungkin
salju bakal longsor dan menimbunku di sini. Kalau saja benar begitu. Aku takkan
pernah mau memandang wajahku lagi di cermin.
Tak ada suara yang memperingatkan aku. Tiba-tiba tangan Edward yang dingin sudah
membelai-belai rambutku yang kusut. Aku bergidik penuh rasa bersalah saat ia
menyentuhku. "Kau baik-baik saja?" bisiknya, suaranya cemas.
"Tidak. Aku kepingin mati."
"Itu takkan pernah terjadi. Aku takkan mengizinkannya."
Aku mengerang dan berbisik, "Mungkin nanti kau akan berubah pikiran."
"Mana Jacob?" "Dia pergi bertempur," gumamku sambil menunduk.
Jacob meninggalkan kemah dengan riang gembira, sambil menyerukan "Sebentar lagi
aku kembali" berlari cepat menuju lapangan, sekujur tubuhnya sudah bergetar saat
ia bersiap-siap berubah wujud.
Sekarang seluruh kawanan pasti sudah mengetahui semuanya. Seth Clearwater
berjalan mondar-mandir di luar tenda, merupakan saksi intim kejatuhanku.
Edward terdiam lama sekali.
"Oh," ujarnya akhirnya
Nadanya membuatku khawatir, longsoran saljuku tidak datang cukup cepat. Aku
diam-diam meliriknya, dan benar saja, mata Edward nanar saat ia mendengarkan
sesuatu yang aku lebih suka mati saja daripada itu didengar olehnya. Aku
menundukkan wajahku kembali ke lantai.
Aku terperangah ketika Edward tertawa enggan.
"Padahal kupikir akulah yang bersaing secara kotor," katanya dengan enggan
menyatakan kekagumannya. "Dia membuatku terlihat seperti orang suci." Tangannya
membelai bagian pipiku yang terlihat. "Aku tidak marah padamu, sayang. Ternyata
Jacob lebih cerdik daripada yang selama ini kukira. Meskipun aku berharap kau
tidak melakukannya."
"Edward," aku berbisik ke bahan nilon yang kasar. "Aku..Aku..Aku.."
"Ssstt," Edward mendiamkan, jari-jarinya menenangkan di pipiku. "Bukan itu
maksudku. Dia toh tetap menciummu, walaupun kau tak terpedaya olehnya, dan
sekarang aku tak punya alasan untuk meremukkan wajahnya. Padahal aku pasti akan
sangat menikmatinya."
"Terpedaya?" gumamku, nyaris tak bisa dimengerti.
"Bella, apakah kau benar-benar yakin dia semulia itu" bahwa dengan berbesar hati
dia akan menyingkir untuk memberi kesempatan padaku?"
Perlahan-lahan aku mengangkat kepala untuk menatap matanya yang sabar.
Ekspresinya lembut, sorot matanya penuh pengertian, bukan jijik seperti yang
pantas kulihat. "Ya, aku benar-benar mempercayainya," bisikku, kemudian membuang muka. Tapi aku
sama sekali tidak merasa amarah kepada Jacob karena memperdaya aku. Tak ada lagi
ruang dalam diriku untuk menyimpan hal lain selain kebencian yang kurasakan
terhadap diriku sendiri. Lagi-lagi Edward tertawa lirih. "Kau benar-benar tidak pandai berbohong, jadi
kau akan mempercayai orang yang paling tidak pandai berbohong sekalipun."
"Kenapa kau tidak marah padaku?" bisikku. "Kenapa kau tidak membenci aku" Atau
mungkin kau belum mendengar seluruh ceritanya?"
"Kurasa aku sudah sangat memahaminya," jawab Edward dengan nada enteng dan
ringan. "Jacob membayangkannya dengan sangat jelas. Aku merasa tidak enak pada
teman-teman sekawanannya, nyaris seperti aku merasa tidak enak pada diriku
sendiri. Seth yang malang bahkan sampai mual. Tapi Sam menyuruh Jacob
memfokuskan diri sekarang."
Aku memejamkan mata dan menggeleng-geleng sedih. Serat-serat nilon lantai tenda
yang tajam menggesek kulitku.
"Kau hanya manusia biasa," bisik Edward, membelai rambutku lagi.
"Itu pembelaan paling menyedihkan yang pernah kudengar."
"Tapi kau memang manusia biasa, Bella. Dan, walaupun aku berharap sebaliknya,
demikian juga dia... ada lubang-lubang dalam hidupmu yang tidak bisa kuisi. Aku
mengerti itu." "Tapi itu tidak benar. Justru karena itulah ini buruk sekali. Tidak ada lubang
apa pun." "Kau mencintainya," bisik Edward lembut.
Setiap sel dalam tubuhku benar-benar ingin menyangkalnya.
"Aku lebih mencintaimu," kataku. Hanya itu yang bisa kukatakan.
"Ya, aku juga tahu itu. Tapi waktu aku
meninggalkanmu Bella, aku meninggalkanmu berdarah-darah. Jacoblah yang menjahit
lukamu dan memulihkannya. Itu pasti akan meninggalkan bekas, di diri kalian
berdua. Aku tidak yakin bekas jahitan semacam itu bisa hilang sendiri. Aku tidak
bisa menyalahkan salah satu dari kalian untuk sesuatu yang kulakukan sendiri.
Mungkin aku sudah dimaafkan, tapi aku tidak berarti aku bisa lepas dari segala
konsekuensinya. "Seharusnya aku tahu kau pasti akan menyalahkan dirimu sendiri. Kumohon,
hentikan. Aku tidak tahan mendengarnya."
"Memangnya kau ingin aku bilang apa?"
"Aku ingin kau memaki-makiku sepuas hatimu, dalam setiap bahasa yang kau tahu.
Aku ingin kau mengatakan kepadaku kau jijik padaku dan kau akan meninggalkan aku
sehingga aku bisa memohon-mohon dan menyembah-nyembah, memintamu tidak pergi."
"Maafkan aku," Edward menghela napas. "Aku tidak bisa berbuat begitu."
"Setidaknya berhentilah berusaha menghiburku. Biarkan aku menderita. Aku pantas
kok menerimanya." "Tidak," gumam Edward.
Aku mengangguk lambat-lambat. "Kau benar, teruslah bersikap kelewat pengertian.
Mungkin itu malah lebih buruk."
Edward terdiam sejenak, aku merasakan perubahan suasana, hal mendesak yang baru.
"Sudah semakin mendekat," kataku.
"Ya, tinggal beberapa menit lagi. Cukup waktu untuk menyampaikan satu hal
lagi.." Aku menunggu. Waktu akhirnya Edward berbicara lagi, ia berbisik. "Aku bisa
bersikap mulia Bella. Aku tidak akan memintamu memilih di antara kami.
Berbahagialah, dan aku bisa memiliki bagian apa saja dariku yang kau inginkan,
atau tidak sama sekali, kalau itu memang lebih baik. Jangan biarkan utang budi
apa pun yang menurutmu kau rasakan terhadapku, mempengaruhi keputusanmu."
Aku mengangkat tubuhku dari lantai, menyentakkan diriku hingga berlutut.
"Brengsek, hentikan!" teriakku.
Mata Edward membelalak kaget. "Tidak, kau tidak mengerti. Aku tidak sekadar
ingin menghibur perasaanmu, Bella. Tapi aku sungguh-sungguh."
"Aku tahu kau sungguh-sungguh," erangku. "Tapi kenapa sih kau tidak mau melawan!
Jangan sok mengorbankan diri sekarang! Lawan!"
"Bagaimana caranya?" tanya Edward, matanya sarat kesedihan.
Aku cepat-cepat naik ke pangkuannya, memeluk lehernya.
"Aku tidak peduli di sini dingin. Aku tidak peduli tubuhku bau anjing sekarang.
Buat aku lupa betapa jahatnya aku. Buat aku lupa padanya. Buat aku lupa namaku
sendiri. Lawan!" Aku tidak menunggunya memutuskan, atau memiliki kesempatan untuk mengatakan
kepadaku ia tidak tertarik pada monster keji yang tidak setia seperti aku. Aku
mendekatkan tubuhku ke tubuhnya dan melumatkan bibirku ke bibirnya yang sedingin
salju. "Hati-hati, Sayang." gumamnya saat aku menciumnya dengan ganas.
"Tidak," geramku.
Dengan lembut Edward mendorong wajahku beberapa sentimeter dari wajahnya. "Kau
tidak perlu membuktikan apa pun padaku."
"Aku tidak berusaha membuktikan apa pun. Kau tadi bilang aku bisa memiliki
bagian apa saja darimu yang kuinginkan. Bagian inilah yang kuinginkan. Aku
menginginkan semuanya."
Aku mengalungkan kedua lenganku di lehernya dan berusaha keras menjangkau
bibirnya. Edward menunduk membalas ciumanku. tapi bibirnya yang dingin ragu-ragu
sementara ketidaksabaranku semakin menjadi-jadi. Tubuhku menunjukkan maksudku
dengan jelas, membeberkan semuanya. Tak terelakkan, tangan Edward bergerak untuk
menahanku. "Mungkin ini bukan saat yang tepat untuk itu," ia menyarankan, begitu tenangnya
hingga membuatku marah. "Kenapa tidak," gerutuku. Tak ada gunanya melawan kalau Edward sudah memutuskan
bersikap rasional, jadi kujatuhkan kedua lenganku.
"Pertama-tama, karena hawa memang dingin." Edward mengulurkan tangan untuk
menarik kantong tidur dari lantai; ia menyelubungkannya ke tubuhku.
"Salah," sergahku. "Pertama, karena kau sangat bermoral untuk ukuran vampire."
Edward terkekeh. "Baiklah, terserah kalau memang begitu menurutmu. Dingin adalah
alasan kedua. Dan ketiga... well, kau memang benar-benar bau, Sayang." Edward
mengernyitkan hidung. Aku menghela napas.

Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keempat," gumamnya, menundukkan wajahnya supaya ia bisa berbisik di telingaku.
"Kita akan mencoba, Bella. Aku akan menepati janjiku. Tapi aku lebih suka kalau
itu bukan sebagai reaksi terhadap Jacob Black."
Aku mengernyit dan membenamkan wajahku di bahunya.
"dan kelima.." "Panjang sekali daftarnya." gerutuku.
Edward tertawa. "ya, tapi kau mau mendengarkan jalannya pertempuran atau tidak?"
Saat ia berbicara, Seth melolong tinggi di luar tenda.
Tubuhku serta-merta mengejang mendengarnya. Aku tidak sadar tangan kiriku
mengepal. Kuku-kuku menusuk telapak tanganku yang diperban, sampai Edward dengan
lembut meraih tanganku dan membuka jari-jariku.
"Semua akan baik-baik saja, Bella." janjinya."Pihak kita memiliki kelebihan
dalam hal keahlian, latihan dan unsur kejutan. Sebentar lagi pertempuran akan
selesai. Kalau aku benar-benar percaya, aku pasti sudah berada di sana sekarang,
dan kau akan kutinggal di sini, dirantai pohon atau semacamnya."
"Alice itu mungil sekali." erangku.
Edward terkekeh." mungkin itu akan menjadi masalah... kalau orang bisa
menangkapnya." Seth mulai mendengking-dengking.
"Ada apa?" tuturku.
"Dia hanya marah karena terjebak di sini bersama kita. Dia tahu kawanan
menyuruhnya tinggal di sini untuk melindunginya. Padahal dia ngiler ingin
bergabung dengan mereka."
Aku memberengut ke arah Seth.
"Para vampir baru sudah sampai ke ujung jejak, tipuan kita berhasil memancing
mereka, Jasper memang genius dan karena mereka juga mencium bau yang lain di
padang rumput, mereka memecah diri menjadi dua kelompok sekarang, tepat seperti
yang dikatakan Alice," bisik Edward, matanya menerawang jauh. "Sam membawa kita
berputar untuk menghadapi kelompok penyerang itu." ia begitu tekun mendengarkan
hingga menggunakan kata ganti orang ketiga jamak untuk kawanan serigala.
Tiba-tiba ia menunduk menatapku. "Bernapaslah Bella."
Susah payah aku berusaha melakukan perintahnya. Terdengar olehku napas berat
Seth tepat di luar dinding tenda dan aku berusaha memperlambat laju paru-paruku,
mengikuti tarikan napas Seth,agar tidak kehabisan napas.
"Kelompok pertama sekarang berada di lapangan. Kita bisa mendengar
pertempurannya." Gigiku terkatup rapat.
Edward tertawa. "Kita bisa mendengar Emmet, dia sangat menikmati pertarungan
ini." Aku menarik napas lagi, bersama Seth.
"Kelompok kedua sedang bersiap-siap, mereka tidak memperhatikan, mereka belum
mendengar kita." Edward menggeram. "Apa?" aku terkesiap kaget.
"Mereka membicarakanmu." Giginya terkatup rapat. "tugas mereka seharusnya adalah
memastikan kau tak bisa lolos... Bagus sekali Leah! Mmm, lumayan tangkas juga
dia," gumam Edward kagum. "Salah satu Vampire baru itu mencium bau kita, dan
Leah menerjangnya sebelum dia bahkan sempat berbalik. Sam membantu menghabisi
vampire itu. Paul dan Jacob melumpuhkan vampire lain, tapi vampire baru lainnya
sekarang bersikap defensif. Mereka tidak tahu harus bagaimana menghadapi pihak
kita. Kedua pihak ragu-ragu... Tidak, biarkan Sam memimpin. Jangan halangi."
gumamnya. "Pisahkan mereka, jangan biarkan mereka saling melindungi."
Seth mendengking. "Begitu lebih baik, desak mereka ke arah lapangan." Edward setuju. Tubuhnya
bergerak-gerak tanpa sadar sambil terus menonton, mengejang ketika melihat
gerakan-gerakan yang akan ia lakukan seandainya ia ikut dalam pertempuran itu.
Tangannya masih menggenggam tanganku, kuremas jari-jarinya setidaknya ia tidak
ada di sana. Suara yang mendadak hilang adalah satu-satunya peringatan.
Embusan napas Seth yang berat mendadak lenyap, dan karena aku menyamakan tarikan
napasku dengannya - aku langsung menyadarinya.
Aku ikut-ikutan berhenti bernapas, bahkan terlalu ngeri untuk membuat paru-
paruku bekerja begitu aku sadar Edward telah membeku bagai balok es di
sampingku. Oh. tidak. Tidak. Tidak..
Siapa yang terbunuh" Mereka atau kita" Milikku, semuanya milikku. Aku kehilangan
siapa" Begitu cepatnya hingga aku tak tahu persis bagaimana kejadiannya, tahu-tahu aku
sudah berdiri dan tenda mendadak lenyap serta tercabik-cabik di sekelilingku.
Apakah Edward merobeknya supaya kami bisa keluar" Mengapa"
Aku mengerjap-ngerjapkan mata, syok, silau karena cahaya matahari yang
cemerlang. Yang bisa kulihat hanya Seth, tepat di samping kami, wajahnya hanya
berjarak lima belas sentimeter dari wajah Edward. Mereka saling menatap dengan
konsentrasi penuh selama satu detik yang terasa lama sekali.
Sinar matahari pecah berderai begitu menerpa kulit Edward dan kilauannya
berhamburan, menari-nari di bulu Seth.
Kemudian Edward berbisik dengan nada mendesak. "Pergi Seth!"
Serigala besar itu berbalik dan lenyap memasuki bayang-bayang hutan.
Benarkah semuanya hanya berlangsung dua detik"
Rasanya seperti berjam-jam. Aku sangat ketakutan sampai perutku mual begitu
mengetahui sesuatu yang mengerikan sedang terjadi di lapangan sana. Kubuka
mulutku untuk memaksa Edward membawaku ke sana, dan melakukan sekarang. Mereka
membutuhkan dia, dan mereka membutuhkan aku. Kalau aku harus berdarah-darah
untuk menyelamatkan mereka, aku akan melakukannya. Aku rela mati untuk
melakukannya,seperti istri ketiga. Walaupun tidak memegang pisau perak di
tanganku, aku pasti bisa menemukan suatu cara...
Belum sempat melontarkan sepatah kata pun, aku merasa seolah-olah dilempar
tinggi ke udara. Tapi tangan Edward tidak pernah melepaskanku, aku hanya
dipindahkan, begitu cepatnya hingga sensasinya terasa
seperti jatuh dalam posisi menyamping.
Aku mendapati diriku berdiri menempel erat di punggung tebing yang tinggi.
Edward berdiri di depanku, dalam postur siaga yang langsung kufahami artinya.
Kelegaan menyapu pikiranku namun pada saat bersamaan, perutku seperti melesak ke
telapak kaki. Ternyata aku salah mengerti.
Lega, karena tidak terjadi apa-apa di lapangan sana.
Ngeri, karena krisis itu justru terjadi di sini.
Edward berjaga-jaga dengan sikap defensif, separuh merunduk, kedua lengan
sedikit terulur, yang kukenali dengan keyakinan menakutkan. Tebing di belakang
punggungku bagaikan dinding bata kuno di lorong sempit
Italia saat ia berdiri di antara aku dan para pengawal keluarga Volturi yang
berjubah hitam. "Siapa?" bisikku.
Kata-kata itu terlontar dari sela-sela gigi Edward dalam bentuk geraman yang
lebih keras daripada yang kuharapkan. Terlalu keras. Itu berarti sekarang sudah
sangat terlambat untuk bersembunyi. Kami terperangkap, dan tidak penting lagi
siapa yang mendengar jawabannya.
"Victoria," jawab Edward, menyemburkan kata itu, membuatnya jadi kutukan. "Dia
tidak sendirian. Dia mencium bauku, mengikuti para vampir baru untuk mengamati,
dia memang tak pernah berniat bertarung bersama mereka. Dia membuat keputusan
mendadak untuk mencariku, menebak pasti kau berada di tempat yang sama denganku.
Dia benar. Kau benar. Ternyata memang Victoria."
Victoria pasti sudah berada cukup dekat sehingga Edward bisa mendengar pikiran-
pikirannya. Lagi-lagi aku merasa lega. Kalau yang datang itu keluarga Volturi, kami berdua
pasti bakal tewas. Tapi kalau Victoria, tidak harus dua-duanya. Edward pasti
bisa selamat. Ia petarung hebat, sama hebatnya seperti Jasper.
Kalau Victoria tidak membawa terlalu banyak pengikut, Edward pasti bisa
mengalahkannya, lalu kembali ke keluarganya. Edward lebih cepat dibandingkan
siapa pun. Ia pasti bisa selamat.
Aku sangat senang ia tadi menyuruh Seth pergi. Tentu saja, Seth tak bisa meminta
bantuan siapa pun. Victoria mengambil keputusan pada waktu yang sangat tepat.
Tapi setidaknya Seth aman; aku tak bisa membayangkan serigala besar berbulu
cokelat pasir saat memikirkan namanya, yang terbayang hanya sesosok remaja lima
belas tahun bertubuh besar.
Tubuh Edward bergerak, gerakan yang sangat kecil, tapi dari sana aku tahu harus
melihat ke arah mana. Kutatap bayang-bayang hutan yang hitam.
Rasanya bagaikan didatangi mimpi buruk.
Dua vampire beringsut-ingsut maju memasuki lapangan kecil tempat kami berkemah,
mata mereka menatap tajam, tak luput memerhatikan hal sekecil apa pun. Kulit
mereka berkilauan bagaikan berlian tertimpa cahaya matahari.
Aku nyaris tak bisa melihat cowok pirang itu, ya, dia memang masih kanak-kanak,
meskipun tubuhnya berotot dan tinggi, mungkin sesuai denganku waktu ia berubah.
Matanya lebih merah terang daripada yang pernah kulihat sebelumnya. Walaupun ia
berada lebih dekat dengan Edward, bahaya yang paling dekat, tapi aku bisa
memandanginya. Karena, beberapa meter agak menyamping ke belakang Victoria menatapku.
Rambut jingganya lebih cemerlang daripada yang kuingat, semakin menyerupai lidah
api. Tak ada angin di sini, tapi api yang mengelilingi wajahnya seperti
berpendar-pendar, seolah-olah hidup.
Matanya hitam oleh dahaga. Ia tidak tersenyum, seperti yang selalu terjadi bila
ia muncul dalam mimpi burukku, bibirnya terkatup rapat membentuk garis kaku.
Caranya meliukkan tubuhnya tampak begitu garang, seperti singa betina menunggu
kesempatan yang tepat untuk menerjang. Tatapannya yang liar dan berapi-api
menyapu Edward dan aku berganti-ganti. tapi tidak pernah menatap Edward lebih
dari setengah detik. Ia tak mampu mengalihkan tatapannya dariku, sama seperti
aku tak mampu mengalihkan mataku darinya.
Ketegangan terpancar darinya, nyaris terlihat di udara.
Aku bisa merasakan kegairahan dan nafsu berkobar-kobar dalam dirinya yang
membuatnya nekat. Hampir seolah-olah aku bisa mendengar pikiran-pikirannya juga.
Aku tahu apa yang ada dalam pikirannya.
Victoria sudah hampir mendapatkan apa yang ia inginkan, tujuan utama seluruh
eksistensinya selama lebih dari satu tahun sekarang sudah sangat dekat.
Kematianku. Rencananya sangat jelas dan praktis. Si cowok pirang itu akan menyerang Edward.
Begitu perhatian Edward teralihkan, Victoria akan menghabisiku.
Itu akan dilakukan dengan sangat cepat, tak ada waktu untuk main-main di sini,
tapi tuntas. Sesuatu yang tidak mungkin bisa dipulihkan. Sesuatu yang bahkan
takkan bisa diperbaiki oleh racun vampire sekalipun.
Victoria akan menghentikan jantungku. Mungkin dengan cara menyurukkan tangan ke
dadaku, meremukkan jantungku. Semacam itu.
Jantungku berdebar semakin kencang,nyaris seolah-olah membuat targetnya semakin
nyata. Nun jauh di sana,dari tengah hutan yang hitam di ujung sana, lolongan serigala
bergema di udara yang diam tak bergerak. Karena Seth sudah pergi, tak ada yang
bisa menerjemahkan arti suara itu.
Si cowok pirang memandangi Victoria dari sudut matanya, menunggu perintah.
Ia sangat muda. Dugaanku, menilik iris matanya yang merah tua, ia pasti belum
lama menjadi vampire. Ia pasti kuat, tapi masih hijau. Edward pasti bisa
menghadapinya. Edward pasti selamat.
Victoria menyentakkan dagunya ke arah Edward, tanpa suara memerintahkan cowok
pirang itu untuk maju. "Riley," kata Edward dengan suara lembut bernada memohon.
Si cowok pirang membeku, matanya yang merah membelalak.
"Dia membohongimu, Riley," kata Edward. "Dengarkan aku. Dia membohongimu seperti
dia membohongi teman-temanmu yang lain, yang sekarang sekarat di lapangan sana.
Kau tahu dia membohongi mereka. karena dia menyuruhmu membohongi mereka, bahwa
kalian berdua tidak akan membantu mereka. Tidak sulit kan untuk mempercayai dia
membohongimu juga?" Kebingungan menyapu wajah Riley.
Edward beranjak beberapa sentimeter ke samping, dan Riley otomatis menyesuaikan
diri. "Dia tidak mencintaimu, Riley," suara lembut Edward terdengar meyakinkan, nyaris
menghipnotis. "Dia tidak pernah mencintaimu. Dia mencintai seseorang bernama
James, dan kau tak lebih dari sekadar alat baginya."
Begitu Edward menyebut nama James, sudut-sudut mulut Victoria terangkat,
menyeringai memamerkan giginya. Matanya tetap terpaku padaku.
Riley melayangkan pandangan panik ke arah Victoria.
"Riley?" panggil Edward.
Pandangan Riley kembali terfokus kepada Edward.
"Dia tahu aku akan membunuhmu, Riley. Dia memang ingin kau mati supaya dia tidak
perlu berpura-pura lagi. Ya.., kau sudah melihatnya sendiri, kan" Kau sudah
membaca keengganan itu di matanya, mencurigai nada palsu dalam janjinya. Kau
benar. Dia memang tidak pernah menginginkanmu. Setiap ciuman, setiap sentuhannya
hanya dusta." Edward bergerak lagi, maju beberapa sentimeter menghampiri bocah itu, beberapa
sentimeter menjauhiku. Tatapan Victoria langsung tertuju pada celah di antara kami. Dibutuhkan waktu
kurang dari satu detik untuk membunuhku, ia hanya membutuhkan margin kesempatan
yang paling kecil. Lebih lambat kali ini, Riley mengubah kembali posisinya.
"Kau tidak perlu mati," janji Edward, matanya terus tertuju kepada pemuda itu.
"Ada cara-cara lain untuk hidup selain daripada cara yang dia tunjukkan padamu.
Tidak semuanya dusta dan darah Riley. Kau bisa meninggalkannya sekarang juga.
Kau tidak perlu mati demi dusta-dustanya."
Edward menggeser kakinya ke depan dan ke samping. Sekarang di antara kami
menganga celah selebar kurang dari setengah meter. Riley mengitari terlalu jauh,
kali ini kelewat mengulur-ulur waktu. Victoria mencondongkan tubuh ke depan
dengan bertumpu pada tumitnya.
"Kesempatan terakhir Riley," Bisik Edward. Wajah Riley begitu putus asa saat ia
memandang Victoria, meminta jawaban.
"Dialah pembohongnya Riley," tukas Victoria, dan mulutku ternganga lebar
mendengar suaranya. "Aku sudah pernah bercerita padamu tentang permainan pikiran
yang mereka lakukan. Kau tahu aku hanya mencintaimu."
Suaranya tidak seperti geraman liar dan garang seperti dugaanku bila melihat
wajah dan pembawaannya yang buas. Suaranya justru lembut, tinggi, seperti suara
anak kecil, tinggi melengking. Suara yang cocok bagi bocah berambut pirang ikal
yang mengunyah permen karet merah jambu. Sungguh tidak masuk akal suara itu
datang dari gigi yang berkilau menyeringai.
Dagu Riley mengeras, dan ia menegakkan bahunya.
Sorot matanya kosong,tak ada lagi kebingungan, tak ada lagi kecurigaan. Tak ada
pikiran sama sekali. Ia menegakkan tubuh, siap menyerang.
Tubuh Victoria sepertinya bergetar, ia sangat tegang, jari-jarinya melengkung
sepeti cakar, menunggu Edward bergerak satu sentimeter saja menjauhiku.
Geraman itu tidak berasal dari salah seorang di antara mereka.
Sosok raksasa berwarna cokelat terbang menerobos bagian tengah celah, menubruk
Riley hingga terpelanting ke tanah.
"Tidak!" pekik Victoria, suara bayinya melengking tak percaya.
Satu setengah meter di depanku, serigala raksasa itu mengoyak dan mencabik-cabik
Si vampir pirang di bawahnya. Sesuatu yang berwarna putih dan keras terlempar ke
bebatuan dekat kakiku. Aku buru-buru menyingkir menjauhi benda itu.
Victoria sama sekali tidak melirik Riley, padahal ia baru saja mengungkapkan
cintanya pada cowok itu. Matanya tetap tertuju padaku, dipenuhi sorot kecewa
yang begitu berapi-api hingga membuatnya terlihat seperti orang sakit jiwa.
"Tidak," serunya lagi, dengan rahang terkatup rapat, sementara Edward mulai
bergerak menghampirinya, menghalangi langkahnya mendekatiku.
Riley kembali berdiri, tercabik dan kepayahan, tapi masih bisa melayangkan
tendangan keras ke pundak Seth. Kudengar bunyi tulang berderak patah. Seth
mundur dan mulai mengitarinya, terpincang-pincang. Riley mengulurkan kedua
tangan, bersiap-siap, walaupun kelihatannya ia kehilangan sebagian tangannya...
Hanya beberapa meter dan perkelahian itu, Edward dan Victoria menari.
Tidak bisa dibilang berputar-putar, karena Edward tidak mengizinkan Victoria
memposisikan diri lebih dekat kepadaku.
Victoria melenggang mundur, bergerak ke kanan dan ke kiri, berusaha menemukan
celah dalam pertahanan Edward. Edward mengikuti gerakannya dengan luwes,
membuntutinya dengan konsentrasi sempurna. Ia mulai bergerak tidak sampai
sedetik sebelum Victoria bergerak, membaca maksudnya lewat pikirannya.
Seth menerjang Riley dari samping, dan sesuatu tercabik dengan bunyi robekan
mengerikan. Lagi-lagi potongan badan putih keras melayang ke hutan dan jatuh
dengan suara berdebum. Riley meraung marah, dan Seth meleset mundur,
kegesitannya sungguh menakjubkan, menilik ukuran tubuhnya yang besar, sementara
Riley menyapukan tangannya yang tercabik-cabik kepada Seth.
Victoria menyelinap-nyelinap di antara batang-batang pohon di ujung terjauh


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lapangan kecil ini. Ia menghadapi dilema, kakinya bergerak menuju tempat yang
aman namun matanya dipenuhi dahaga terhadapku. Bisa kulihat keinginan
membunuhnya berkobar-kobar, berperang dengan
insting menyelamatkan diri dalam dirinya.
Edward juga bisa melihatnya.
"Jangan pergi Victoria," gumamnya dengan nada menghipnotis seperti tadi. "Kau
tak akan pernah mendapat kesempatan seperti ini lagi."
Victoria memamerkan gigi-giginya dan mendesis kepada Edward, tapi ia sepertinya
tak sanggup menjauh dari ku.
"Kau selalu bisa kabur nanti," rayu Edward. "Masih banyak waktu untuk itu.
Memang itu kelebihanmu, bukan" Itulah sebabnya James mempertahankannya. Berguna
kalau menyukai permainan-permainan mematikan. Pasangan dengan insting melarikan
diri yang luar biasa. Seharusnya dia tidak meninggalkanmu, sebenarnya dia bisa
memanfaatkan keahlianmu ketika kami menangkapnya di Phoenix dulu."
Geraman buas terlontar dari sela-sela bibi Victoria.
"Memang hanya sampai sejauh itu arti dirimu baginya. Tolol benar, menyia-nyikan
begitu banyak energi membalaskan dendam orang yang hanya menyayangi kuda
tunggangannya. Kau hanya dimanfaatkan olehnya. Aku tahu benar itu."
Sudut-sudut bibir Edward terangkat ke satu sisi sambil tangannya mengetuk-ngetuk
pelipis. Dengan pekikan tertahan Victoria meleset keluar lagi ke balik pepohonan,
melakukan gerakan tipuan ke arah samping. Edward merespons, dan tarian itu
dimulai lagi. Saat itulah tinju RIley mengenai panggul Seth, dan pekikan pelan terlontar dari
tenggorokan Seth. Seth mundur, pundaknya berkedut-kedut sementara ia berusaha
mengenyahkan perasaan sakit itu dari tubuhnya.
Kumohon, aku ingin memohon kepada Riley, tapi tidak bisa menggerakkan otot-otot
mulutku, menarik udara keluar dari paru-paruku. Kumohon, dia masih kanak-kanak!
Mengapa tadi Seth tidak kabur saja. Mengapa dia tidak lari sekarang"
Riley kembali memperkecil jarak di antara mereka, mendesak Seth ke muka tebing
di sebelahku. Victoria tiba-tiba tertarik pada nasib pasangannya. Aku bisa
melihatnya, dari sudut mataku, mengira-ngira jarak antara Riley dan aku. Seth
menyerang Riley, memaksanya mundur, dan Victoria mendesis.
Seth tidak lagi terpincang-pincang. Saat berjalan mengitari musuhnya, ia hanya
beberapa sentimeter di sebelah Edward, ekornya menerpa punggung Edward, dan mata
Victoria melotot. "Tidak, dia tidak akan menyerangku," sergah Edward, menjawab pertanyaan dalam
benak Victoria. Ia memanfaatkan kelengahan Victoria untuk beringsut lebih dekat.
"Kau menjadikan dirimu musuh bersama. Karena kau, kami jadi bersekutu."
Victoria mengatupkan giginya rapat-rapat,berusaha memfokuskan diri hanya kepada
Edward. "Lihatlah lebih seksama Victoria," gumam Edward, berusaha membuyarkan
konsentrasinya. "Apakah dia benar-benar mirip monster yang dibuntuti James
melintasi Siberia?" Mata Victoria melotot lebar, kemudian mulai melirik Edward, Seth, dan aku
bergantian, bolak balik. "Tidak sama?" geramnya dengan suara melengkingnya yang mirip anak kecil.
"Mustahil!" "Tidak ada yang mustahil," gumam Edward, suara beledunya lembut sementara ia
beringsut lebih dekat kepada Victoria. "Kecuali menyangkut yang kau inginkan.
Kau takkan pernah menyentuh Bella."
Victoria menggeleng cepat dan mengentak, melawan upaya Edward mengalihkan
perhatiannya, dan berusaha menerobos pertahanan Edward, tapi Edward sudah
menghalanginya. Wajah Edward mengernyit frustrasi, kemudian ia merunduk lebih
rendah, kembali berubah menjadi singa betina, dan bergerak maju dengan langkah-
langkah mantap. Victoria bukan vampire baru yang tidak berpengalaman dan hanya digerakkan
insting. Ia mematikan. Bahkan aku pun tahu perbedaan antara dirinya dengan Riley
dan aku tahu Seth takkan bisa bertahan selama itu bila bertarung melawan vampire
ini. Edward ikut bergerak, keduanya saling menghampiri, singa melawan singa betina.
Tarian itu semakin cepat temponya.
Seperti Alice dan Jasper di padang rumput, gerakan berpusar-pusar yang kabur,
hanya saja tarian yang satu ini tidak dikoreografi sesempurna itu. Suara
berderak dan patah yang tajam memantul di permukaan tebing setiap kali ada yang
terpeleset dalam formasi. Tapi gerakan mereka terlalu cepat sehingga aku tak
bisa melihat siapa yang melakukan kesalahan...
Konsentrasi Riley terpecah tarian maut itu, matanya jelalatan cemas ingin
mengetahui nasib pasangannya. Seth menyerang, mencabik sebagian kecil lagi tubuh
si vampire. Riley meraung, lalu melayangkan backhand yang sangat keras, menghantam dada Seth
yang lebar. Tubuh besar Seth melayang setinggi tiga meter, lalu membentur
dinding batu di atas kepalaku dengan kekuatan yang seolah-olah menggetarkan
seluruh puncak tebing. Aku mendengar udara keluar dari paru-parunya, lalu
merunduk menghindarinya saat tubuh Seth terpantul dari dinding batu dan mendarat
di tanah, beberapa meter di depanku.
Dengkingan pelan terlontar dari sela-sela gigi Seth.
Kepingan-kepingan batu tajam batu kelabu menghujani kepalaku, menggores kulitku
yang terbuka. Sebongkah batu berpinggiran tajam bergulingan menuruni lengan
kananku dan secara refleks aku menangkapnya. Jari-jariku menggenggam
pinggirannya yang tajam sementara naluri menyelamatkan diri muncul dalam diriku,
karena tidak ada peluang lari menyelamatkan diri, tubuhku, tak peduli betapa pun
tidak efektifnya tindakan itu, bersiap-siap melawan.
Adrenalin menderas dalam pembuluh darahku. Aku tahu pinggiran batu yang tajam
mengiris telapak tanganku. Aku tahu buku jariku yang retak menjerit protes. Aku
tahu itu, tapi aku tidak bisa merasakan nyeri itu.
Di belakang Riley, yang bisa kulihat hanyalah jilatan lidah api yang merupakan
rambut Victoria serta sekelebat warna putih. Suara yang menyerupai bunyi logam
patah semakin terdengar, begitu juga air mata, desis terkesiap dan syok,
menunjukkan tarian itu berubah menjadi tarian mematikan bagi salah satu seorang
di antara mereka. Tapi siapa" Riley menerjang ke arahku, mata merahnya menyala-nyala oleh amarah. Ia
memelototi onggokan bulu cokelat tanah yang tergeletak lemas di antara kami, dan
tangannya- tangannya yang patah dan tercabik-cabik - melengkung membentuk cakar.
Mulutnya terbuka, melebar, giginya berkilau, saat ia bersiap-siap mengoyak-
ngoyak leher Seth. Hormon adrenalin kembali berpacu dalam pembuluh darahku
bagaikan sengatan listrik, dan tiba-tiba semuanya menjadi sangat jelas.
Kedua pertempuran itu sudah terlalu ketat. Seth nyaris kalah dan aku tidak tahu
Edward menang atau kalah. Mereka membutuhkan bantuan. Sesuatu yang bisa
mengalihkan perhatian musuh. Sesuatu yang akan membuat mereka kalang kabut.
Tanganku begitu kuat mencengkeram bongkahan batu tajam itu sampai-sampai salah
satu tali penyangga tanganku putus.
Cukup kuatkah aku" Cukup beranikah" Sekeras apa aku harus menusukkan batu tajam
itu Ke tubuhku" Bisakah tindakanku ini memberi Seth cukup waktu untuk bangkit
lagi. Mungkinkah ia bisa segera pulih hingga pengorbananku baginya tidak sia-
sia" Aku menggoreskan ujung batu yang tajam di lenganku, menyentakkan lengan sweterku
yang tebal sehingga kulitku terbuka, kemudian menekankan ujung yang tajam itu ke
lipatan sikuku. Di sana sudah ada bekas luka panjang yang kudapat pada hari
ulang tahunku yang terakhir. Malam itu darahku yang mengalir cukup menarik
perhatian setiap vampire, membuat mereka langsung membeku di tempat masing-
masing. Aku berdoa semoga kali ini darahku akan menghasilkan efek yang sama. Aku
menabahkan diri dan menghela napas dalam-dalam.
Konsentrasi Victoria buyar begitu ia mendengarku terkesiap. Matanya tajam selama
sedetik, memandangiku. Kemarahan dan keingintahuan berbaur aneh dalam ekspresinya.
Entah bagaimana aku bisa mendengar suara pelan itu padahal di sekelilingku ribut
oleh suara-suara lain yang bergema di dinding tebing dan bertalu-talu dalam
pikiranku. Bunyi debar jantungku saja seharusnya sudah cukup untuk menenggelamkannya.
Namun, pada detik yang sama saat aku menatap mata Victoria, sepertinya aku
mendengar desahan putus asa yang familier itu.
Pada detik sama yang berlangsung singkat, tarian itu mendadak bubar. Kejadiannya
begitu cepat hingga sudah berakhir sebelum aku bisa mengikuti urutan
peristiwanya. Aku berusaha mengikutinya dalam benakku.
Victoria melesat meninggalkan formasi kabur itu dan menubruk dedaunan di
sebarang pohon tinggi. Ia mendarat di rerimbunan pohon yang tinggi. Lalu ia
mendarat lagi ke tanah dalam posisi merunduk, siap menerjang.
Pada saat bersamaan, Edward, yang sama sekali tidak terlihat karena gerakannya
sangat cepat memutar ke belakang dan menyambar lengan Riley yang tidak
menduganya sama sekali. Kelihatannya Edward menumpukkan kakinya di punggung
Riley dan menarik.. Lapangan kecil itu dipenuhi jerit kesakitan Riley.
Pada waktu bersamaan Seth melompat berdiri, menghalangi sebagian besar
pandanganku. Tapi aku masih bisa melihat Victoria. Dan, walaupun ia tampak aneh, seperti
tidak bisa melihat senyumnya, seperti yang selama ini kulihat menghiasi wajah
buasnya dalam mimpiku. Ia melengkung tubuh dan menerjang.
Sesuatu yang kecil dan putih mendesing dan menabraknya di udara. Benturan yang
terjadi seperti ledakan, membuat Victoria kembali menabrak pohon, pohon yang ini
langsung patah menjadi dua. Ia kembali mendarat dalam posisi berdiri, merunduk
dan siaga, tapi Edward sudah siap menghadapinya. Kelegaan membuncah dalam dadaku
waktu melihat Edward berdiri tegak dengan sempurna.
Victoria menendang sesuatu dengan kaki telanjang, misil yang melumpuhkan
serangannya. "Benda itu berguling ke arahku, dan aku menyadari benda apa itu.
Perutku serta-merta mual.
Jari-jarinya masih bergerak, mencengkeram batang-batang rumput, lengan Riley
mulai bergerak ke sana ke mari tanpa arah.
Seth mengitari Riley lagi, dan sekarang Riley mundur. Ia mundur menjauhi
serigala yang menghampirinya, wajahnya kaku menahan sakit. Ia mengangkat sebelah
lengannya dengan sikap defensif.
Seth mempercepat gerakannya memburu Riley, dan si vampire jelas-jelas kehilangan
keseimbangan. Aku melihat Seth membenamkan giginya ke bahu Riley dan
mencabiknya, melompat turun kembali.
Diiringi jeritan melengking yang memekakkan telinga, Riley kehilangan sebelah
lengannya lagi. Seth menyentakkan kepala, melontarkan lengan itu ke hutan. Suara mendesis yang
terlontar dari sela-sela gigi Seth terdengar seperti tawa mengejek.
Riley menyerukan teriakan minta tolong yang memilukan.
"Victoria!" Victoria bahkan tak terusik sedikit pun mendengar namanya dipanggil. Matanya
sama sekali tidak melirik pasangannya.
Seth menerjang maju dengan kekuatan setara bola beton yang biasa digunakan untuk
menghancurkan gedung. Daya sodoknya melontarkan Seth dan Riley ke pepohonan,
tempat bunyi cabikan nyaring terdengar seirama dengan jeritan Riley. Jeritan-
jeritan itu mendadak terputus, sementara bunyi batu dicabik-cabik terus
terdengar. Meskipun tidak menyempatkan diri melirik Riley untuk terakhir kalinya, Victoria
sepertinya sadar ia sekarang sendirian. Ia mulai mundur menjauhi Edward, sorot
kekecewaan yang amat sangat terpancar liar dari matanya. Ia melayangkan
pandangan singkat penuh damba bercampur sakit hati, kemudian mulai mundur lebih
cepat. "Tidak." bujuk Edward, suaranya merayu. "Tinggallah sedikit lebih lama lagi."
Victoria berbalik dengan cepat dan terbang menuju tempat aman di hutan, bagai
anak panah dilepaskan dari busurnya.
Tapi Edward lebih cepat - bagai anak panah yang melesat dari busurnya.
Edward menangkap punggung Victoria yang tidak terlindung di pinggir hutan, dan
dengan satu langkah simpel terakhir, tarian pun berakhir.
Mulut Edward menyapu leher Victoria,seperti membelainya. Teriakan-teriakan
melengking yang berasal dari usaha Seth menutupi setiap suara lain, jadi tidak
ada suara yang jelas untuk menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi. Bisa saja
orang mengira Edward sedang mencium Victoria.
Kemudian rambut Jingga menyala itu tidak lagi terhubung dengan badannya.
Gelombang jingga berpendar- pendar itu terjatuh ke tanah, dan memantul satu kali
sebelum berguling ke arah pepohonan.
25. CERMIN KUPAKSA mataku yang membeku dalam keadaan membelalak saking syoknya - bergerak,
sehingga aku tak lagi bisa melihat benda oval yang terbungkus balutan
rambut berwarna terang itu menggeletar.
Edward kembali bergerak. Dengan gerakan cepat dan tenang, ia memisah-misahkan
mayat tanpa kepala itu. Aku tak sanggup mendekatinya - aku tak mampu membuat kakiku bergerak; keduanya
terpaku ke batu di bawahnya. Tapi aku mengawasi setiap tindakannya dengan
saksama, mencari bukti apakah ia terluka. Debar jantungku melambat ke irama yang
lebih normal setelah tidak menemukan tanda-tanda cedera sedikit pun. Ia tetap
setangkas dan seanggun biasanya. Aku bahkan tidak melihat robekan sedikit pun di
bajunya. Edward tidak menatapku, di tempat aku berdiri kaku di dinding tebing, ngeri,
sementara ia menumpuk potongan kaki dan badan yang masih menggeletar dan
berkedut-kedut itu, kemudian menutupinya dengan daun-daun pinus kering.
Ia masih tidak mau membalas tatapanku yang syok sementara ia berlari memasuki
hutan menyusul Seth. Aku belum pulih sepenuhnya dari keterkejutan saat ia dan Seth kembali, Edward
membawa Riley dalam dekapannya. Seth membawa potongan yang besar - badan Riley -
dengan mulut. Mereka menaruh bawaan mereka ke onggokan yang sudah ada, dan
Edward mengeluarkan benda segi empat perak dari saku bajunya. Dibukanya tutup
korek butan itu dan disulutnya sebarang ranting kering. Api
langsung menyala, lidah apinya yang berwarna jingga dengan cepat menjilat
onggokan. "Ambil semua potongan," kata Edward dengan suara pelan kepada Seth.
Bersama-sama, vampir dan werewof menyusuri kawasan perkemahan, sesekali melempar
onggokan kecil batu putih ke kobaran api. Seth membawa potongan-potongan itu
dengan moncongnya. Otakku tidak bekerja cukup baik untuk memahami mengapa ia
tidak mengubah diri untuk membawa potongan-potongan itu dengan tangannya. Edward
tetap berkonsentrasi pada pekerjaannya. Kemudian selesailah semuanya, dan api
yang berkobar mengirimkan asap ungu menyesakkan ke langit. Asap tebal bergulung-
gulung lambat, tampak lebih padat daripada seharusnya; baunya seperti dupa yang
terbakar, dan aromanya sangat tidak enak. Berat, terlalu menyengat.
Seth mengeluarkan suara seperti tertawa mengejek lagi, jauh di dalam dadanya.
Senyum berkelebat di wajah Edward yang tegang.
Edward mengulurkan tangan - telapak tangannya mengepal. Seth menyeringai,
memamerkan sederet gigi panjang-panjang dan tajam, lalu menyundulkan hidungnya
ke tangan Edward. "Kerja tim yang bagus," gumam Edward.
Seth menggonggong tertawa.
Kemudian Edward menghela napas dalam-dalam, dan berbalik perlahan-lahan untuk
menghadapku. Aku tidak memahami ekspresinya. Sorot matanya sinis seolah-olah aku musuh lain,
lebih dari sinis; takut. Padahal ia tadi tidak menunjukkan ketakutan sama sekali
saat menghadapi Victoria dan Riley... Pikiranku buntu, terperangah dan tak
berdaya, seperti tubuhku. Kupandangi dia, bingung.
"Bella sayang," ujarnya dengan nada paling lembut berjalan menghampiriku dengan
kelambanan dilebih-lebihkan. Kedua tangan terangkat, telapak tanganmenghadap ke
depan. Meski bingung, sikap Edward itu anehnya membuatku teringat tersangka yang
mendekati polisi, menunjukkan dirinya tidak bersenjata...
"Bella, bisa tolong jatuhkan batu itu, please" Hati-hati. Jangan lukai dirimu
sendiri." Aku sudah lupa sama sekali pada senjataku, walaupun sekarang aku sadar telah
menggenggamnya kuat sekali sampai-sampai buku jariku menjerit protes. Apakah
buku jariku patah lagi, Carlisle jelas akan menggipsku kali ini.
Beberapa meter dariku, Edward ragu-ragu, kedua tangannya masih terangkat,
matanya masih memancarkan sorot takut.
Baru beberapa detik kemudian aku ingat bagaimana caranya menggerakkan jari-
jariku. Kemudian batu itu jatuh berkeletak ke tanah, sementara tanganku tetap
membeku dalam posisi yang sama.
Edward sedikit lebih rileks setelah tanganku kosong, tapi tak juga mendekat.


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak perlu takut, Bella," bisik Edward. "Kau aman. Aku tidak akan
menyakitimu." Janji membingungkan itu malah semakin membuatku bingung. Kupandangi ia seperti
anak imbesil, berusaha memahami.
"Semua baik-baik saja Bella. Aku tahu sekarang kau ketakutan,tapi semua sudah
berakhir. Tidak ada yang akan menyakitimu. Aku takkan menyentuhmu. Aku tidak
akan menyakitimu," ucapnya lagi.
Mataku mengerjap-ngerjap hebat, dan akhirnya aku bisa bicara juga. "Kenapa kau
bicara begitu terus?"
Aku maju selangkah menghampirinya, tapi Edward malah menjauhiku.
"Ada apa?" bisikku. "Apa maksudmu?"
"Apa kau... " Mata keemasan Edward tiba-tiba sama bingungnya dengan aku. "apa
kau tidak takut padaku?"
"Takut padamu" Kenapa?"
Aku maju selangkah lagi dengan kaki goyah, kemudian tersandung sesuatu, mungkin
kakiku sendiri. Edward menangkap tubuhku, dan aku menyembunyikan wajahku di
dadanya lalu mulai tersedu.
"Bella, Bella, maafkan aku. Semua sudah berakhir, sudah berakhir."
"Aku baik-baik saja," aku terkesiap. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya. Kalut. Beri
aku waktu sebentar."
Kedua lengan Edward memelukku erat. "Aku benar-benar minta maaf," gumamnya
berkali-kali. Aku terus memeluknya sampai akhirnya bisa bernapas, kemudian aku menciumnya,
dadanya, bahunya, lehernya, setiap bagian dirinya yang bisa kuraih. Perlahan-
lahan, otakku mulai bekerja lagi.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku di sela-sela ciumanku. "Apakah dia melukaimu?"
"Aku benar-benar tidak apa-apa," Edward meyakinkanku, membenamkan wajahnya di
rambutku. "Seth?" Edward terkekeh. "Lebih dari baik-baik saja. Sangat bangga pada dirinya sendiri
bahkan." "Yang lain-lain" Alice. Esme" Serigala-serigala?"
"Semuanya baik-baik saja. Di sana juga sudah selesai.
Semua berjalan lancar seperti yang kujanjikan. Bagian terburuk justru terjadi di
sini." Sesaat aku membiarkan diriku mencerna keterangan itu, membiarkan otakku
menyerapnya hingga berdiam di kepalaku.
Keluarga dan teman-temanku aman. Victoria takkan pernah memburuku lagi. Semua
telah berakhir. Kami semua akan baik-baik saja.
Tapi aku tak sepenuhnya mampu menyerap kabar baik itu saat sedang bingung
seperti ini. "Katakan padaku kenapa," desakku. "Kenapa kau kira aku akan takut padamu!'
"Maafkan aku," kata Edward, lagi-lagi meminta maaf - untuk apa" Aku tidak
mengerti. "Maafkan aku. Aku tidak mau kau melihat itu tadi. Melihatku dalam
keadaan seperti tadi. Aku tahu aku pasti membuatmu takut."
Aku harus memikirkan perkataannya itu sebentar, bagaimana ia tadi ragu-ragu
mendekatiku, kedua tangan terangkat. Seolah-olah aku bakal lari bila ia bergerak
terlalu cepat... "Kau serius?" tanyaku akhirnya. "Kau... apa" Kaukira kau membuatku takut
sehingga aku bakal lari?" dengusku. Mendengus itu bagus; suara tidak bisa
bergetar atau pecah saat mendengus. Kedengarannya lumayan tak peduli.
Edward memegang daguku dan mengangkat kepalaku untuk membaca ekspresiku.
"Bella, aku hanya." Edward ragu-ragu, kemudian memaksakan perkataan itu keluar
dari mulutnya. "aku baru saja memenggal dan mencabik-cabik tubuh makhluk hidup
hanya dalam jarak delapan belas meter darimu. Itu tidak membuatmu merasa
terganggu?" Edward mengerutkan kening padaku.
Aku mengangkat bahu. Mengangkat bahu juga bagus. Sangat bosan kelihatannya.
"Tidak juga. Aku hanya takut kau dan Seth bakal terluka. Aku ingin membantu,
tapi tidak banyak yang bisa kulakukan.. "
Ekspresi Edward yang tiba-tiba marah membuat suaraku menghilang.
"Ya." sergahnya, nadanya ketus. "Aksimu dengan batu itu. Kau tahu kau nyaris
membuatku terkena serangan jantung" Padahal bagiku bukan perkara mudah untuk
terkena serangan jantung."
Tatapan Edward membuatku sulit menjawabnya. "Aku ingin membantu... Seth
terluka.." "Seth hanya pura-pura terluka Bella. Itu tipuan. Tapi lalu kau..!" Ia
menggeleng-gelengkan kepala, tak mampu menyelesaikan kalimatnya. "Seth tidak
bisa melihat apa yang kau lakukan. Jadi aku harus turun tangan. Seth agak kesal
karena tidak bisa mengklaim kemenangan ini sebagai usahanya sendiri."
"Jadi Seth hanya... pura-pura?"
Edward mengangguk dengan tegas. "Oh."
Kami memandangi Seth,yang mengabaikan kami dan memandangi kobaran api. Perasaan
puas terpancar dari setiap helai bulunya.
"Well, aku kan tidak tahu." tukasku,merasa kesal sekarang. "Lagi pula, tidak
mudah menjadi satu-satunya pihak yang tidak berdaya di sini. Tunggu saja sampai
aku menjadi vampire nanti! Aku tidak akan duduk-duduk bengong lagi lain kali."
Emosi campur aduk melintas di wajah Edward sebelum akhirnya menunjukkan sikap
geli. "Lain kali" memangnya kau mengantisipasi perang lagi?"
"Dengan kesialanku" Siapa tahu?"
Edward memutar bola matanya. tapi bisa kulihat ia gembira, kelegaan membuat
kepala kami ringan. Semua sudah berakhir.
Atau... benarkah begitu"
"Tunggu dulu. Bukankah kau mengatakan sesuatu sebelumnya..?" Aku tersentak.
teringat persis bagaimana kejadiannya tadi, apa yang akan kukatakan pada Jacob
nanti" Hatiku yang terpecah berdenyut-denyut sakit. Sulit dipercaya, nyaris
mustahil, tapi bagian terberat hari ini belum berakhir bagiku, kemudian aku
menguatkan diri. "Tentang masalah tadi. Dan Alice, yang harus memberikan perkiraan waktu yang
tepat kepada Sam. Katamu waktunya bakal berdekatan. Apanya yang berdekatan?"
Mata Edward kembali melirik Seth, dan mereka berpandangan.
"Well?" tanyaku.
"Tidak ada apa-apa, sungguh." Edward buru-buru menjawab. "Tapi kita benar-benar
harus segera berangkat..... "
Ia mulai menarik untuk menaikkanku ke punggungnya, tapi aku mengejang dan
menolak. "Jelaskan maksudmu."
Edward merengkuh wajahku dengan kedua tangannya. "Waktu kita sangat sedikit,
jadi jangan panik, oke" Sudah kubilang tak ada alasan untuk takut. Percayalah
padaku, please?" Aku mengangguk, berusaha menyembunyikan kengerian yang mendadak muncul, sebanyak
apa lagi yang bisa kutanggung tanpa membuat ku pingsan" "Tidak ada alasan untuk
takut. Baiklah." Edward mengerucutkan bibir sejenak, memutuskan apa yang harus disampaikan.
Kemudian ia melirik Seth sekilas, seolah-olah serigala itu memanggilnya.
"Apa yang dia lakukan?" tanya Edward.
Seth mendengking; nadanya gugup dan cemas. Membuat bulu kudukku meremang.
Semuanya sunyi selama sedetik yang terasa sangat panjang.
Kemudian Edward terkesiap.
"Tidak!"dan sebelah tangannya melayang seolah ingin menyambar sesuatu yang tidak
bisa kulihat. "Jangan...!"
Entakan mengguncang tubuh Seth, dan lolongan panjang yang memilukan mengoyak
paru-parunya. Pada saat bersamaan Edward jatuh berlutut, mencengkeram kedua sisi kepala dengan
dua tangan, wajahnya mengernyit sakit.
Aku menjerit, hatiku disergap perasaan takut,lalu jatuh berlutut di sampingnya.
Bodohnya, aku berusaha menarik tangan Edward yang menutupi wajah, telapak
tanganku yang basah oleh keringat, menggelincir di kulitnya yang licin bagaikan
marmer. "Edward! Edward!"
Mata Edward terfokus padaku, setelah mengerahkan segenap daya, akhirnya ia juga
bisa membuka mulut. "Tidak apa-apa. Kita akan baik-baik saja. Itu.." Ia terdiam dan kembali
meringis. "Apa yang terjadi?" pekikku saat Seth melolong karena penderitaan yang dalam.
"Semua beres. Kita akan baik-baik saja," sergah Edward. "Sam.. bantu dia.."
Dan detik itulah aku menyadari, ketika Edward menyebut nama Sam, bahwa bukan ia
atau Seth yang dimaksudkannya. Tak ada kekuatan tak kasat mata yang menyerang
mereka. Kali ini krisis itu tidak terjadi di sini.
Ia menggunakan kata ganti orang ketiga jamak untuk menyebut kawanan serigala
itu. Adrenalinku sudah terkuras habis. Tak ada lagi yang tersisa. Aku merosot lemas,
dan Edward menangkapku sebelum tubuhku membentur bebatuan. Ia melesat berdiri,
aku berada dalam dekapannya.
"Seth!" teriak Edward.
Seth masih membungkuk, tubuhnya masih mengejang sedih, terlihat seperti hendak
menerjang masuk ke hutan.
"Tidak!" Edward memerintahkan. "kau harus langsung pulang. Sekarang. Secepat kau
bisa!" Seth mendengking-dengking, menggelengkan kepalanya yang besar.
"Seth, percayalah padaku."
Serigala besar itu menatap mata Edward yang sedih selama satu detik yang
panjang, kemudian meluruskan tubuhnya dan melesat memasuki pepohonan, lenyap
seperti hantu. Edward mendekapku erat-erat di dadanya, kemudian kami juga meleset menembus
hutan yang dipenuhi bayang-bayang mengambil jalan yang berbeda dengan si
serigala. "Edward." Susah payah kukeluarkan suara dari tenggorokanku yang tercekat. "Apa
yang terjadi Edward" Apa yang terjadi pada Sam" Kita mau ke mana" apa yang
terjadi?" "Kita harus kembali ke lapangan," jawab Edward dengan suara pelan. "Kami sudah
tahu besar kemungkinan ini bakal terjadi. Pagi-pagi sekali tadi, Alice
melihatnya dan menyampaikannya melalui Sam kepada Seth. Keluarga Volturi
memutuskan sekaranglah waktunya untuk turun tangan."
Keluarga Volturi. Terlalu banyak. Pikiranku menolak mencerna keterangan itu,
pura-pura tidak bisa mengerti.
Pohon-pohon melesat melewati kami. Begitu cepatnya Edward berlari menuruni bukit
hingga rasanya seolah-olah
kami terjun bebas, jatuh tak terkendali.
"Jangan panik. Mereka bukan datang untuk mencari kita. Hanya kontingen normal
yang terdiri atas para pengawal yang biasa membersihkan kekacauan seperti ini.
Bukan sesuatu di luar kewajaran, mereka hanya melaksanakan tugas. Tentu saja,
sepertinya mereka begitu cermat memilih waktu kedatangan. Dan itu membuatku
yakin bahwa tak seorang pun di Italia akan berduka cita bila para vampire baru
itu berhasil mengurangi jumlah keluarga Cullen."
Kata-kata itu meluncur dari sela-sela rahang Edward yang terkatup rapat, keras
dan muram. "Aku akan mengetahui secara persis apa yang mereka pikirkan kalau
mereka sudah sampai di lapangan nanti."
"Karena itukah kita kembali?" bisikku. Sanggupkah aku menghadapi hal ini"
Bayangan jubah hitam berkibar-kibar merayap masuk ke otakku yang tak ingin
mengingat mereka, dan aku tersentak, menepis pikiran itu jauh-jauh.
Pertahanan diriku nyaris jebol.
"Itu sebagian alasannya. Kebanyakan, akan lebih aman jika kita bersatu menyambut
kedatangan mereka saat ini. Mereka tidak punya alasan untuk mengusik kita,
tapi...ada Jane bersama mereka. Kalau dia tahu kita sendirian di suatu tempat,
jauh dari yang lain, bisa-bisa itu akan membuatnya tergoda. Seperti Victoria,
Jane mungkin bisa menebak aku pasti bersamamu. Demetri, tentu saja, pasti
bersamanya. Kalau Jane memintanya."
Aku tak ingin memikirkan nama itu. Aku tidak mengingat wajah polos kekanakan
yang rupawan itu dibenakku. Suara aneh keluar dan kerongkonganku.
"Ssstt, Bella. ssstt. Semua akan baik-baik saja. Alice bisa melihat kalau semua
akan baik-baik saja."
Alice bisa melihatnya" "Tapi... kalau begitu di mana serigala-serigala" Di mana
kawanan itu?" "Kawanan?" "Mereka harus buru-buru menyingkir. Keluarga Volturi tidak suka bila kita
melakukan gencatan senjata dengan werewolf."
Bisa kudengar napasku memburu semakin cepat. tapi aku tak kuasa
mengendalikannya. Aku mulai terengah-engah.
"Aku bersumpah, mereka akan baik-baik saja." Edward berjanji. "Keluarga Volturi
tidak akan mengenali baunya, mereka tidak akan menyadari tadi ada serigala di
sini, mereka tidak familier dengan spesies ini. Mereka akan baik-baik saja."
Aku tidak bisa memproses penjelasannya. Konsentrasiku tercabik-cabik perasaan
takut. Kita akan baik-baik saja. begitu katanya tadi... dan Serth, melolong
sedih... Edward menghindari pertanyaan pertamaku, mengalihkan perhatianku ke
keluarga Volturi... Aku sudah dekat sekali dengan tepian tebing, hanya mencengkeram dengan ujung-
ujung jemariku. Pohon-pohon melesat lewat begitu cepat dan kabur hingga Edward tampak seperti
dikelilingi air berwarna hijau zambrud.
"Apa yang terjadi?" Bisikku lagi. "Sebelumnya. Waktu Seth melolong" Waktu kau
kesakitan?" Edward ragu-ragu. "Edward! Ceritakan padaku!"
"Semuanya sudah berakhir," bisik Edward. Aku nyaris tak bisa mendengar suaranya
karena desir angin yang diakibatkan larinya yang begitu cepat. "serigala-
serigala itu tidak menghitung jumlah musuh mereka...mereka menyangka semua sudah dihabisi.
Tentu saja, Alice tak bisa melihat.. "
"Apa yang terjadi?"
"Salah satu vampire baru ada yang bersembunyi... Leah menemukannya.. dia
melakukan tindakan bodoh, berlagak bisa, ingin membuktikan sesuatu. Dia
menghadapi vampire itu sendirian.. "
"Leah," ulangku, dan aku kelewat lemah untuk merasa malu atas perasaan lega yang
membanjiriku. "Apakah dia akan baik-baik saja?"
"Leah tidak terluka," gumam Edward.
Kupandangi dia selama satu detik yang panjang.
Sam... bantu dia...Edward tadi terkesiap. Dia laki-laki, bukan perempuan.
"Kita sudah hampir sampai," kata Edward, matanya menatap lurus ke satu titik di
langit. Otomatis, mataku mengikutinya. Tampak gumpalan awan ungu menggelayut rendah di
atas pepohonan. Awan" Padahal, di luar kebiasaan, hari ini justru terik
sekali... Tidak, bukan awan, aku mengenali kepulan asap tebal, persis seperti
yang ada di perkemahan tadi.
"Edward," kataku, suaraku nyaris tak terdengar. "Edward, ada yang terluka."
Soalnya aku mendengar nada pilu dalam lolongan Seth, melihat kengerian yang
terpancar dari wajah Edward.
"Ya" bisiknya. "Siapa?" tanyaku walaupun tentu saja, aku sudah tahu jawabannya.
Tentu saja aku tahu. Tentu saja.
Pohon-pohon melambat di sekeliling kami ketika kami sampai ke tujuan.
Lama sekali baru Edward menjawab pertanyaanku.
"Jacob," jawabnya.
Aku masih mampu mengangguk satu kaki. "Tentu saja," bisikku.
Kemudian pegangan tanganku terlepas dari bibir tebing dalam benakku.
Semuanya berubah gelap gulita.
Pertama-tama aku sadar ada tangan-tangan dingin yang menyentuhku. Lebih dari
satu pasang. Lengan-lengan memelukku, telapak tangan merengkuh pipiku, jari-jari
membelai keningku, dan jari-jari lagi menekan pelan pergelangan tanganku.
Berikutnya aku mendengar suara-suara. Awalnya hanya berupa gumaman, kemudian
volumenya semakin keras dan jelas, seperti orang yang menyalakan radio.
"Carlisle... sudah lima menit." Suara Edward, nadanya cemas.
"Dia akan siuman kalau sudah siap, Edward." Suara Carlisle, selalu tenang dan
yakin. "Terlalu banyak yang dialaminya hari ini. Biarkan pikirannya melindungi
dirinya sendiri." Tapi pikiranku tidak terlindungi. Pikiranku terperangkap dalam pengetahuan yang
tidak meninggalkanku, bahkan dalam ketidaksadaran sekalipun... kepedihan yang
merupakan bagian dari ketidaksadaran.
Aku merasa seperti tidak terhubung dengan ragaku.
Seakan-akan terperangkap di sudut kecil dalam kepalaku,tak lagi bisa


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengendalikan apa pun. Tapi aku tak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya.
Aku tidak bisa berpikir. Kepedihan itu terlalu kuat hingga aku tidak
bisa berpikir. Aku tidak bisa meloloskan diri darinya.
Jacob. Jacob. Tidak,tidak,tidak,tidak,tidak...
"Alice, berapa lama waktu yang kita punya?" tanya Edward, suaranya masih tegang,
kata-kata Carlisle yang bernada menenangkan ternyata tidak membantu.
Dari tempat yang agak jauh, terdengar suara Alice.
Nadanya riang gembira. "Lima menit lagi. Dan Bella akan membuka matanya tiga
puluh tujuh detik lagi. Aku bahkan yakin dia bisa mendengar kita sekarang."
"Bella Sayang?" Itu suara Esme yang lembut dan menenteramkan. "Kau bisa
mendengar suaraku" Kau aman sekarang sayang."
Ya, aku memang aman. Apakah itu benar-benar berarti"
Kemudian bibir yang dingin menempel di telingaku, dan Edward mengizinkanku
keluar dari siksaan yang mengurungku dalam benakku sendiri.
"Dia akan selamat Bella, saat ini Jacob Black memulihkan diri dari luka-lukanya.
Dia akan baik-baik saja."
Ketika kepedihan dan ketakutan itu mereda, aku menemukan kembali ke tubuhku.
Kelopak mataku mengeletar.
"Oh, Bella," Edward mendesah lega, dan bibirnya menyentuh bibirku.
"Edward." bisikku. "Ya, aku di sini."
Aku membuka kelopak mataku, dan menatap sepasang bola emas yang hangat.
"Jacob tidak apa-apa?"tanyaku.
"Ya." Janjinya.
Kupandangi matanya lekat-lekat untuk mencari tanda-tanda bahwa ia hanya berusaha
menenangkanku. Tapi tak menemukan apa-apa.
"Aku sendiri yang memeriksanya." kata Carlisle kemudian, aku memalingkan kepala
mencari wajahnya, hanya beberapa meter jauhnya. Ekspresi Carlisle serius
sekaligus meyakinkan mustahil meragukannya. "Nyawanya tidak dalam bahaya. Dia
pulih dengan kecepatan luar biasa, walaupun cedera yang dialaminya cukup parah
sehingga dibutuhkan beberapa hari baru dia bisa kembali normal, walaupun
pemulihannya tetap secepat sekarang. Sam sedang berusaha membuatnya mengubah
diri lagi menjadi manusia. Dengan begitu akan lebih mudah mengobatinya."
Carlisle tersenyum kecil. "Aku kan tidak pernah masuk fakultas kedokteran
hewan." "Apa yang terjadi padanya?" bisikku. "Seberapa parah luka-lukanya?"
Wajah Carlisle kembali serius "Serigala lain menghadapi masalah.. "
"Leah...." desahku.
"Benar. Jacob berhasil menyingkirkan Leah, tapi tidak sempat membela dirinya.
Vampire baru itu memitingnya sebagian besar tulang di sisi kanan tubuhnya
remuk." "Sam dan Paul sampai di sana tepat waktu. Jacob sudah mulai pulih kembali waktu
mereka membawanya kembali ke La Push."
"Dia akan normal kembali?" tanyaku.
"Ya Bella, dia tidak akan mengalami cacat permanen."
Aku menghela napas dalam-dalam.
"Tiga menit!" seru Alice pelan.
Aku bangkit dengan susah payah, berusaha berdiri. Edward mengerti maksudku dan
membantuku berdiri. Kutatap pemandangan di depanku.
Keluarga Cullen berdiri membentuk setengah lingkaran mengelilingi api unggun.
Hampir tak ada lagi nyala api yang terlihat, hanya kepulan asap hitam keunguan
yang tebal, menggelayut seperti penyakit di rumput yang cemerlang. Jasper
berdiri paling dekat dengan asap yang terkesan padat itu, di bawah bayang-bayang
sehingga kulitnya tidak berkilau gemerlapan di bawah terik matahari seperti
anggota keluarganya yang lain. Ia berdiri memunggungiku, pundaknya tegang, kedua
lengan sedikit terulur. Terasa ada sesuatu yang tidak biasa di sana, pada
bayangannya. Ia seperti membungkuk dengan sikap waswas...
Aku terlalu kebas untuk merasakan lebih dari syok ringan waktu menyadari
masalahnya. Ternyata ada delapan vampir di lapangan itu. Gadis itu duduk meringkuk di
sebelah api unggun, kedua lengannya memeluk kaki. Ia masih sangat muda. Lebih
muda dariku - mungkin usianya lima belas tahun, berambut gelap, dan kurus.
Matanya tertuju padaku, dan iris matanya, sungguh mengagetkan, berwarna merah
cemerlang. Lebih cemerlang daripada mata Riley, nyaris berkilauan. Mata itu
jelalatan ke mana-mana, tak terkendali.
Edward melihat ekspresiku yang kebingungan.
"Dia menyerah," Edward menjelaskan dengan suara pelan. "Yang seperti itu belum
pernah kulihat sebelumnya. Hanya Carlisle yang terpikir untuk menawarinya.
Jasper sebenarnya tidak setuju."
Aku tak sanggup mengalihkan mataku dari pemandangan di sebelah api unggun.
Tampak Jasper mengusap-usap lengan kirinya dengan sikap tak peduli.
"Jasper baik-baik saja?" bisikku. "Dia tidak apa-apa. Racunnya pedih."
"Dia digigit?" tanyaku, ngeri.
"Dia berusaha menangani semuanya pada saat bersamaan. Berusaha memastikan Alice
tidak melakukan apa-apa, sebenarnya," Edward menggeleng-gelengkan kepala.
"Padahal Alice tidak butuh bantuan siapa-siapa."
Alice meringis ke arah cinta sejatinya. "Si bodoh yang kelewat protektif."
Si wanita muda itu tiba-tiba mengedikkan kepalanya. Seperti binatang dan meraung
dengan suara melengking. Jasper menggeram padanya dan ia mengkeret, tapi jari-jarinya menusuk ke dalam
tanah seperti cakar dan kepalanya bergoyang-goyang ke depan dan ke belakang
dengan sikap menderita. Jasper maju selangkah menghampirinya, membungkuk semakin
dalam. Edward maju dengan sikap sok tenang, membalikkan tubuh kami sehingga ia
sekarang berada di antara gadis itu dan aku. Aku mengintip dari balik lengan
Edward untuk melihat Jasper dan gadis yang mencakar-cakar itu.
Dalam sekejap Carlisle sudah berada di samping Jasper.
Ia meletakkan tangan di bahu putranya, menahannya.
"Kau berubah pikiran, anak muda?" tanya Carlisle, tetap setenang biasanya. "kami
tidak ingin menghabisimu, tapi kami akan melakukannya kalau kau tak bisa
mengendalikan diri."
"Bagaimana kalian bisa tahan?" erang gadis itu dengan suara jernih melengking.
"aku menginginkan dia." matanya yang merah cemerlang terfokus kepada Edward,
melewatinya, memandang ke balik tubuhnya padaku, dan kuku-kuku gadis itu kembali
mencakar-cakar tanah yang keras lagi.
"kau harus bisa tahan." tukas Carlisle, suaranya berat. "kau harus bisa
mengendalikan diri. Itu bisa dilakukan, dan
hanya itu yang bisa menyelamatkanmu sekarang."
Gadis itu mencengkeram tangannya yang berlumuran tanah ke kepalanya, melolong
pelan. "Tidakkah sebaiknya kita menjauh darinya?" aku berbisik, menarik-narik lengan
Edward. Gadis itu menyeringai, memamerkan gigi-giginya begitu mendengar suaraku,
ekspresinya tersiksa. "Kita harus tetap di sini." gumam Edward. "Mereka sudah sampai di ujung utara
lapangan sekarang." Jantungku langsung berpacu liar saat aku menyapukan pandanganku ke seantero
lapangan, tapi aku tidak bisa melihat hal lain selain kepulan asap tebal.
Sedetik setelah pencarianku yang tidak membuahkan hasil mataku kembali melirik
vampire perempuan muda itu.
Ia masih terus menatapku, matanya setengah sinting.
Kubalas tatapan gadis itu beberapa saat. Rambut gelap sedagu membingkai wajahnya
yang pucat pasi seperti mayat. Sulit menilai apakah ia cantik, karena wajahnya
berkerut-kerut menahan amarah dan dahaga. Mata merahnya yang buas mendominasi,
sulit mengalihkan pandangan darinya. Ia memelototiku dengan buas, menggeletar,
dan terus menggeliat-geliat.
Kupandangi dia, takjub. bertanya-tanya dalam hati apakah aku sedang melihat
bayangan diriku sendiri di cermin pada masa yang akan datang.
Kemudian Carlisle dan Jasper mulai mundur menghampiri kami. Emmett, Rosalie, dan
Esme buru-buru berkumpul mengelilingi tempat Edward berdiri bersama aku dan
Alice. Bersatu padu, seperti kata Edward tadi, dan berada di tengah-tengahnya,
adalah tempat teraman bagiku.
Aku mengalihkan pandangan dari gadis buas itu untuk melihat kedatangan para
monster. Tidak terlihat apa-apa. Kulirik Edward, tapi matanya terpancang lurus ke depan.
Aku mencoba mengikuti pandangannya, tapi yang ada hanya asap, kepulan asap pekat
berminyak yang meliuk-liuk rendah di tanah,
membumbung pelan, ombak-ombak di rerumputan.
Asap itu menggelembung ke depan, berwarna lebih gelap di bagian tengah.
"Hmm." sebuah suara menyeramkan bergumam dari balik kabut. Aku langsung
mengenali nada apatis dalam suara itu.
"Selamat datang, Jane." Nada Edward sopan namun dingin.
Bentuk-bentuk gelap itu semakin mendekat, memisahkan diri dan kabut asap, semaki
n memadat. Aku tahu pasti Jane yang berada paling depan, jubah yang paling
gelap, nyaris hitam, dan sosok yang paling kecil, setengah meter lebih pendek
dibanding yang lain-lain. Aku nyaris bisa melihat garis-garis wajah Jane yang
seperti malaikat di balik bayangan jubah.
Rasanya aku juga mengenali empat sosok berselubung jubah abu-abu yang melangkah
garang di belakangnya. Aku yakin aku mengenali sosok yang paling besar, dan
selagi aku menatap, berusaha mengonfirmasi kecurigaanku, Felix menengadah. Ia
membiarkan tudungnya tersingkap sedikit hingga bisa kulihat ia mengedip padaku
dan tersenyum. Edward berdiri di sampingku, berusaha keras mengendalikan diri.
Mata Jane bergerak lambat mengamati wajah-wajah anggota keluarga Cullen yang
berkilauan, kemudian tertumbuk pada si gadis vampire baru di sebelah api unggun,
si vampire baru memegang kepalanya dengan dua tangan.
"Aku tidak mengerti," suara Jane datar, tapi tak lagi terdengar tidak tertarik
sebelumnya. "Dia sudah menyerah," Edward menjelaskan, menjawab pertanyaan di benak Jane.
Bola mata Jane yang gelap berkelebat ke wajah Edward. "Menyerah?"
Felix dan bayangan yang lain bertukar pandang sekilas.
Edward mengangkat bahu. "Carlisle memberinya pilihan."
"Tidak ada pilihan bagi mereka yang melanggar aturan," sergah Jane datar.
Carlisle angkat bicara, nadanya lunak. "Itu terserah padamu. Selama dia bersedia
menghentikan serangannya terhadap kami, aku tidak merasa perlu menghabisinya.
Dia tidak pernah diajari."
"Itu tidak relevan." Jane bersikeras. "Terserah padamu."
Jane menatap Carlise dalam kengerian yang melumpuhkan. Ia menggelengkan kepala
sedikit, kemudian mengubah air mukanya.
"Aro berharap kami mampir ke kawasan barat ini untuk menemuimu, Carlisle. Dia
kirim salam." Carlisle mengangguk. "Aku akan sangat berterima kasih kalau kau menyampaikan
salamku juga kepadanya."
"Tentu saja," Jane tersenyum. Wajahnya nyaris manis bila tersenyum seperti itu.
Ia menoleh kembali ke kepulan asap. "Kelihatannya kalian sudah melakukan tugas
kami hari ini... sebagian besar di antaranya." Matanya melirik si sandera. "Demi
keingintahuan profesional saja, berapa banyak jumlah mereka tadi" Mereka cukup
membuat gempar Seattle."
"Delapan belas, termasuk yang ini," Carlisle menjawab.
Mata Jane melebar, dan ia berpaling kepada kobaran api, seperti menilai
ukurannya. Felix dan bayangan yang lain lagi-lagi bertukar pandang, kali ini
lebih lama. "Delapan belas," ulang Jane, untuk pertama kali suaranya terdengar tidak yakin.
"Semuanya baru," ungkap Carlisle dengan nada sambil lalu. "Mereka tidak
terlatih." "Semua?" suara Jane berubah tajam. "kalau begitu siapa yang menciptakan mereka?"
"Namanya Victoria," jawab Edward, tak ada emosi dalam suaranya.
"Tadinya?" tanya Jane.
Edward menelengkan kepalanya ke arah hutan di sebelah timur. Mata Jane terangkat
dan terfokus pada sesuatu nun jauh disana. Kepulan asap lain" Aku tidak menoleh
untuk mengecek. Jane memandang ke arah timur beberapa saat, kemudian kembali mengamati api
unggun yang lebih dekat dengan lebih saksama.
"Si Victoria ini, dia tidak termasuk dalam jumlah delapan belas ini?"
"Ya. Dia hanya membawa satu lagi bersamanya. Pemuda itu tidak semuda gadis ini,
tapi hanya lebih tua kira-kira setahun."
"Dua puluh." Jane menghembuskan napas. "Siapa yang membereskan penciptanya?"
"Aku," jawab Edward.
Mata Jane menyipit, lalu memalingkan wajahnya kepada gadis di sebelah api
unggun. "Hei kau." panggilnya, suaranya yang kaku terdengar lebih kasar daripada
sebelumnya. "namamu."
Si vampir baru malah melayangkan pandangan garang ke arah Jane, bibirnya
terkatup rapat. Jane tersenyum bak malaikat.
Jeritan si vampir baru memekakkan telinga; tubuhnya melengkung kaku dalam posisi
aneh yang tidak natural. Aku membuang muka, melawan dorongan untuk menutup
telinga. Kukertakkan gigiku, berharap bisa mengendalikan perutku. Jeritan itu
semakin menjadi-jadi. Aku mencoba berkonsentrasi pada wajah Edward yang tenang
dan tanpa emosi, tapi itu malah membuatku teringat saat Edward berada di bawah
ratapan Jane yang menyiksa, dan aku merasa semakin mual. Akhirnya aku memandang
Alice dan Esme di sebelahnya. Wajah mereka juga sama datarnya dengan wajah Edward.
Akhirnya, semua tenang kembali.
"Namamu." tukas Jane lagi, tak ada perubahan dalam suaranya.
"Bree," si gadis terkesiap.
Jane tersenyum, dan gadis itu menjerit lagi. Aku menahan napas sampai jerit
kesakitannya berhenti. "Dia akan menceritakan apa saja yang ingin kauketahui," sergah Edward, menahan
gemas. "Kau tak perlu berbuat begitu."
Jane mendongak, tampak sorot geli di matanya yang biasanya terkesan mati itu.
"Oh, aku tahu." katanya, nyengir kepada Edward sebelum berpaling lagi kepada si
Vampir muda, Bree. "Bree," ucap Jane, suaranya kembali dingin. "Apakah cerita itu benar" Benarkah
jumlah kalian dua puluh?"
Gadis itu terbaring dengan napas terengah-engah, Satu sisi wajahnya menempel ke
tanah. Ia berbicara dengan cepat. "Sembilan belas atau dua puluh, mungkin lebih,
aku tidak tahu!" Ia mengkeret. takut ketidaktahuannya akan mendatangkan siksaan
lagi baginya. "Sara dan si satu lagi yang aku tidak tahu namanya berkelahi dalam
perjalanan ke sini.. "
"Dan si Victoria ini.. dia yang menciptakanmu?"
"Aku tidak tahu." jawabnya, mengkeret lagi. "Riley tidak pernah menyebut
namanya. Aku tidak sempat melihatnya malam itu... soalnya gelap sekali, dan
sangat menyakitkan.. " Bree bergidik "Riley tidak mau kami bisa memikirkan
wanita itu. Kata Riley, pikiran kami tidak aman..."
Mata Jane melirik Edward, kemudian kembali pada gadis itu.
Victoria sudah merencanakan hal ini dengan matang.
Seandainya ia tidak mengikuti Edward, tidak akan ada yang tahu pasti ia
terlibat... "Ceritakan tentang Riley." kata Jane. "Kenapa dia membawamu kemari."
"Riley berkata kami harus menghabisi makhluk-makhluk aneh bermata kuning di
sini." Bree mengoceh dengan cepat dan tanpa paksaan. "Katanya, itu mudah saja
dilakukan. Katanya. kota ini milik mereka, dan mereka akan datang untuk
menghabisi kami. Katanya, kalau mereka sudah dihabisi semua darah akan jadi
milik kami. Dia member kami bau gadis itu." Bree mengangkat satu tangan dan
menudingkan jarinya ke arahku. "Menurut dia, kami akan tahu kami telah menemukan
kelompok yang tepat, karena gadis itu ada bersama mereka. Menurut Riley, siapa
pun yang pertama berhasil mendapatkan dia, bisa memilikinya."
Aku mendengar rahang Edward mengejang di sampingku.
"Kelihatannya Riley keliru soal hal yang mudah itu," Jane berkomentar.
Bree mengangguk, tampak lega karena tidak disiksa lagi. Dengan hati-hati ia
duduk. "Aku tidak tahu apa yang terjadi. kami berpencar, tapi yang lain-lain tak
pernah kembali. Riley meninggalkan kami, dan dia tidak datang membantu kami
seperti yang sudah dijanjikan. Kemudian semuanya sangat membingungkan, dan tahu-
tahu semua orang sudah bercerai berai."
Lagi-lagi ia bergidik. "Aku takut. Aku ingin kabur, orang itu,"dipandanginya
Carlisle. "bilang mereka tidak akan menyakiti aku kalau aku berhenti menyerang."
"Ah tapi bukan haknya menawarkan hal itu, anak muda," Gumam Jane, nadanya lembut
dan ganjil. "Melanggar aturan menuntut konsekuensi."
Bree menatap Jane, tidak mengerti.
Jane berpaling kepada Carlisle. "kau yakin semua sudah kau bereskan" Bagaimana
dengan sebagian yang berpencar itu?"


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah Carlisle tampak sangat tenang ketika mengangguk.
"kami juga berpencar."
Jane separuh tersenyum. "Tak bisa kusangkal aku terkesan." Bayang-bayang besar
di belakangnya menggumam setuju. "Belum pernah aku melihat ada kelompok yang
bisa selamat seluruhnya dari pelanggaran aturan dengan skala besar ini. Kalian
tahu masalah apa yang melatarbelakanginya" sepertinya ini perilaku ekstrem, bila
mengingat gaya hidup kalian di sini. Dan kenapa gadis itu yang menjadi kunci?"
Sekilas matanya menatapku tidak suka.
Aku bergidik. "Victoria mendendam kepada Bella." Edward menjawab pertanyaan Jane, suaranya
dingin. Jane tertawa, suaranya renyah, tawa ceria anak kecil yang bahagia. "Gadis satu
ini selalu memicu timbulnya berbagai reaksi kuat tapi aneh bagi jenis kita."
Komentarnya, tersenyum langsung padaku, wajahnya bak malaikat.
Edward menegang. Aku menoleh dan tepat pada saat itu ia berpaling, memandang
Jane lagi. "Kumohon, bisakah kau tidak melakukan hal itu?" tanyanya dengan suara kaku.
Lagi-lagi Jane tertawa renyah. "Hanya mengecek. Tidak menimbulkan reaksi apa
pun, ternyata." Aku bergidik, dalam hati sangat bersyukur kelainan dalam tubuhku yang
melindungiku dari pengaruh Jane saat terakhir kali kami bertemu, ternyata masih
berfungsi. Lengan Edward memegangku lebih erat.
"Well, kelihatannya tak banyak lagi yang bisa kami lakukan. Aneh," sergah Jane,
nada apatis kembali merayap memasuki suaranya. "Tidak biasanya kedatangan kami
sia-sia seperti ini. Sayang kami terlambat mengikuti pertempuran. Kedengarannya
cukup menghibur untuk disaksikan."
"Benar," Edward menyahut cepat, suaranya tajam.
"Padahal kalian sudah sangat dekat. Sayang kalian tidak datang setengah jam
lebih awal. Mungkin kalau begitu kalian bisa melaksanakan tugas kalian di sini."
Jane membalas tatapan garang Edward dengan bergeming.
"Benar. Sayang sekali pertempuran itu berakhir seperti ini bukan?"
Edward mengangguk, kecurigaannya terbukti.
Jane berpaling dan kembali memandangi Bree, wajahnya benar-benar bosan.
"Felix?" panggilnya dengan suara mengalun.
"Tunggu," sela Edward.
Jane mengangkat sebelah alis, tapi Edward menatap Carlisle sambil berbicara
dengan nada mendesak. "Kita bisa menjelaskan aturan-aturan yang ada pada gadis
muda ini. Sepertinya dia mau belajar. Dia tidak tahu kalau yang dilakukannya itu
salah." "Tentu saja," jawab Carlisle. "Kami jelas siap bertanggung jawab atas diri
Bree." Ekspresi Jane terbelah antara takjub dan tidak percaya.
"Bagi kami tidak ada pengecualian," tukasnya. "Dan kami tidak pernah memberi
kesempatan kedua. Itu tidak baik bagi reputasi kami. Dan itu membuatku
teringat.. " Tiba-tiba, matanya kembali tertuju padaku, dan wajah malaikatnya
terkuak menunjukkan lesung pipinya. "Caius pasti akan sangat tertarik mendengar
bahwa ternyata kau masih manusia, Bella. Mungkin dia akan memutuskan untuk
datang." "Tanggalnya sudah ditentukan," Alice memberitahu Jane, berbicara untuk pertama
kalinya. "Mungkin kami akan datang mengunjungi kalian beberapa bulan lagi."
Senyum Jane lenyap, dan ia mengangkat bahu dengan lagak tak peduli, tak melirik
Alice sedikit pun. Ia berpaling kepada Carlisle. "Senang bertemu denganmu,
Carlisle... kupikir Aro hanya melebih-lebihkan. Well, sampai ketemu lagi
nanti... " Carlisle mengangguk, ekspresinya terluka.
"Urus itu, Felix." kata Jane, mengangguk ke arah Bree, suaranya sarat nada
bosan. "Aku mau pulang."
"Jangan lihat." bisik Edward di telingaku.
Tanpa diminta pun aku tidak akan mau melihat. Sudah cukup banyak yang kulihat
hari ini, lebih dari cukup untuk seumur hidup. Aku memejamkan mata rapat-rapat
dan menyembunyikan wajahku ke dada Edward. Tapi aku masih bisa mendengar.
Terdengar suara geraman berat dan dalam, disusul suara jeritan tinggi melengking
yang sangat familiar. Suara itu tiba-tiba terputus, kemudian satu-satunya suara
yang terdengar hanyalah bunyi mengerikan benda patah dan remuk.
Tangan Edward mengusap-usap bahuku dengan cemas.
"Ayo," seru Jane, dan aku mengangkat wajah, masih sempat melihat jubah-jubah
kelabu itu menghilang, menuju asap yang meliuk-liuk. Bau dupa kembali tercium,
kuat. Jubah-jubah kelabu itu lenyap di balik kabut tebal.
26. ETIKA KONTER di kamar mandi Alice dipenuhi ribuan jenis produk berbeda, semuanya
mengklaim bisa mempercantik tampilan luar seseorang. Berhubung semua orang di
rumah ini sempurna dan tak mungkin berubah, aku hanya bisa berasumsi ia membeli
sebagian besar produk kecantikan ini untukku.
Dengan perasaan kelu kubaca labelnya satu per satu, terkejut saat menyadari
membeli produk-produk semacam itu hanya membuang-buang uang.
Aku berhati-hati untuk tidak pernah memandang ke cermin yang panjang.
Tiga Dara Pendekar 21 Pendekar Mabuk 037 Racun Gugah Jantan Pendekar Cengeng 6
^