Hantu Hantu Lapar 1
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter Bagian 1
Hantu-hantu lapar (Hungry Ghost) Penovelan oleh Ellen Stelber
Berdasarkan serial TV The X-Files
Karya Chris Carter Berdasarkan skenario karya Jeff Viaming
Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 Meskipun hari sudah menjelang malam, jalan-jalan di Chinatown San Francisco
masih terang-benderang. Kebanyakan toko dan restoran buka sampai larut malam,
dan penduduk setempat beserta turis-turis masih memadati kaki lima yang sempit.
Chinatown adalah sebuah kota dalam kota di mana atap-atap rumah melengkung
seperti kelenteng kuno, lampu jalanan yang dibuat seperti naga-naga kuningan
berjejer di tepi jalan, dan neon reklame mewarnai malam dalam dua bahasa, Cina
dan Inggris. Pada malam yang istimewa ini, suara genderang dan gembrengan bertalu-talu dalam
irama yang tiada henti, dan kembang api menyala seperti bintang-bintang yang
berwarna emas putih menerangi malam.
Festival naga berhembus melalui jalan-jalan di sana. Penari terdepan mengangkat
tinggi-tinggi topeng kepala naga yang berukuran sangat besar di tangannya: mata
perak, dahi yang lebar dengan bulu-bulu putih di pinggirannya. Di belakangnya
para penari mengular dengan membawa badan naga yang panjang dan bersisik biru.
Semakin cepat irama gendang, semakin cepat kepala naga itu berputar-putar dan
meloncat-loncat seperti hendak terbang.
Ketika hampir semua orang sudah mulai terhanyut ke dalam festival itu, seorang
kelihatan sama sekali tidak peduli. Ia yang mempunyai urusan yang lebih penting
dari itu,pikirnya. Dengan tergesa-gesa ia menjauhi keramaian dan terang
benderangnya jalan itu. Malam itu adalah suatu malam September yang dingin, dan napas pemuda itu
membentuk kabut di mukanya. Meskipun cuaca dingin, ia hanya mengenakan jaket
tipis yang membaluti kemeja dan celana jeans-nya. Ia berjalan dengan cepat dan
berzigzag melalui jalan utama, melewati para penjual buah, pasar, dan restoran-
restoran. Akhirnya ia membelok ke dalam sebuah jalan kecil. Ia menahan dirinya untuk tidak
berlari. Itu akan membuatnya panik, akan membuatnya kelihatan mencolok. Tapi ia
tetap tidak dapat memperlambat langkahnya ketika ia memasuki sebuah gang sempit.
Serentetan bunyi petasan seperti suara tembakan senjata api terdengar tidak jauh
di belakangnya. Ia melompat sambil menutupi telinganya. Ia berbalik menatap ke
belakangnya, ke arah seberang gang itu. Empat remaja berdiri di sana, tertawa
histeris. Tentu saja mereka yang memasang petasan itu. Dan ia - ia kaget dengan
mudahnya seperti seekor kelinci. Ia berpikir dengan jijik. Dan lagi malam ini ia
mempunyai perjanjian besar bersama dengan binatang-binatang yang telah menjadi
mangsanya. Ia memeriksa lagi, tidak seorang pun yang membuntutinya. Tapi ia terlalu gemetar
untuk tetap bersikap tenang. Ia berbalik dan langsung lari.
Ia kembali ketakutan ketika hampir menabrak sesosok tubuh yang melangkah keluar
dari belakang tangga darurat kebakaran.
Sosok itu menjulang tinggi melebihinya, paling sedikit tujuh kaki tingginya,
dengan wajah yang panjang dan mata juling. Pria muda itu hampir berteriak
ketakutan, lalu ia menyadari itu adalah salah satu badut pada festival itu -
seseorang yang berdiri di atas sebuah jangkungan, wajahnya ditutupi sebuah
topeng. Pemuda itu berteriak marah, lalu mendorong badut yang besar itu ke samping
karena menghalangi jalannya. Kemudian ia meneruskan larinya.
Ia melintasi gang dan berlari menaiki tangga belakang bangunan batu bata merah
yang tidak terpelihara. Tangga kayu tua berderak-derak di setiap langkahnya. Ia
bernapas dengan berat. Ia merasa putus asa ketika berada di jalanan. Ia tahu, di
sana ia gampang untuk diserang.
Akhirnya ia sampai ke lantai yang ditujunya dan merasakan jantungnya mulai
berdetak normal kembali. Napasnya mulai terasa ringan. Ia sudah berada di rumah
sekarang, tidak terjadi apa-apa.
Lalu ia melihat sesuatu yang tidak beres.
Huruf-huruf Cina mencoreng pintunya dalam warna putih berkilau. Putih adalah
warna berkabung. Seperti warna huruf-huruf itu - ia tidak ingin mempercayainya,
mempercayai bahwa itu mungkin benar.
Ia menyentuh dan meraih pintu itu. Tangannya gemetar karena ketakutan. Cat itu
masih basah, meninggalkan bekas melintang di jarinya. Kesegaran cat itu
menakutkannya melebihi sebuah pesan.
Siapa pun yang mengecat itu baru saja berada di sini.
Lagi-lagi ia berbalik dan melihat ke belakangnya. Kecuali anjing yang sedang
menggonggong, gang itu kosong.
Dengan perlahan ia membuka pintu apartemennya. Di dalam masih gelap. Satu-
satunya cahaya yang ada adalah bayangan berkabut dari lampu-lampu jalan yang
menerobos melalui jendela.
Bergerak tanpa suara, ia melangkah ke dalam. Tiba-tiba sebuah lampu menyala,
dengan kasar langsung menyorot tertuju ke dalam matanya, membutakannya,
membuatnya tak mungkin untuk mengenali siapa yang memegang lampu itu.
Orang asing itu mengatakan sesuatu dalam bahasa Canton, bahasa kampung halaman
mereka. "Kau tahu aturannya, sekarang kau harus bayar."
"Aku sudah bilang padamu bahwa aku mau keluar," kata pemuda itu menjawab,
mengangkat tangannya melindungi matanya.
"Kau yang memulai, kau yang mengakhirinya," yang lain menjawab.
Pemuda itu melihat kilatan cahaya logam. Orang yang memegang lampu itu menarik
sebuah pisau. Tapi pemuda itu merasa masih mempunyai sedikit harapan.
Sebuah pisau lipat terbuka di tangannya. Dengan sabetan yang sangat cepat, ia
mengiris sosok tubuh yang berada di depannya, mencoba mengiris dada orang itu
dan membuatnya berguling ke belakang sambil melepaskan lampu itu.
Pemuda itu menarik napasnya, bertanya-tanya apakah ia sudah berhasil membunuh
penyerangnya. Jantungnya berdegup dengan keras, aliran darah dalam tubuhnya
terasa sangat cepat. Ia tidak pernah ingin berkelahi, yang diinginkannya
hanyalah melarikan diri dari sini.
Ia menarik napas lagi dengan berat lalu merasakan tubuhnya bergetar dengan
hebat. Penyerangnya tidak sendirian di dalam apartemennya ini.
Tiga sosok tubuh bertopeng berdiri dalam bayang-bayang. Mereka mengenakan jubah
panjang yang sangat hitam sehingga hampir membuat mereka seperti tak terlihat di
kegelapan apartemen. Tapi wajah mereka diterangi oleh cahaya putih yang
misterius. Pemuda itu pernah melihat wajah-wajah ini sebelumnya di buku tua ayahnya. Wajah
mereka adalah wajah setan Cina kuno dan sekarang mereka datang untuknya.
*** Penjaga malam itu duduk dengan
mesin permainan elektronik blackjack di tangannya sambil mengerutkan dahinya.
Umurnya akhir dua puluhan, tinggi dan kuat, kepalanya hampir tercukur gundul.
Ia mengenakan kemeja putih bermerek, dasi angkatan laut dan celana berstrip di
samping, seragam penjaga keamanan sewaan. Ia tidak begitu mempedulikan tempat
yang sedang dijaganya itu, rumah pemakaman Bayside.
Ia dengan sengaja tidak menghiraukan sebuah peti mati yang terbuka di depan
kapel, hanya beberapa yard dari tempatnya. Ia tidak ingin melihat mayat itu,
tidak ingin melihat pada tiga lampion kertas yang tergantung di atas peti mati
itu, atau bahkan pada bunga yang mengelilingi jenazah itu.
Ini adalah pekerjaan barunya. Pagi hari tadi adiknya menggoda bagaimana
menakutkannya bekerja di dalam sebuah rumah pemakaman.
Dalam beberapa detik penjaga itu kembali membayangkan apa yang telah diceritakan
oleh adiknya itu: salah satunya tentang mayat yang bangkit duduk di dalam peti
matinya sambil meneriakkan nama pembunuhnya; cerita lain adalah mengenai hantu
yang bergentayangan di kamar mayat.
Baiklah, ia tidak akan membiarkan dirinya ketakutan.
Tiba-tiba ia mendengar suara berisik dari bagian lain rumah pemakaman itu. Aneh
sekali, ia tahu bahwa ia berada di sana sendirian. Ia menunggu beberapa saat
sambil bertanya-tanya dalam hati apakah ia sedang berkhayal.
Tidak, itu terjadi lagi. Suara seretan - seperti suara sesuatu yang diseret di
lantai. Jantungnya berdegup kencang. Penjaga itu mematikan mainannya, lalu berdiri.
Kemudian mengambil lampu senter serba gunanya.
Dengan perlahan ia berjalan ke dalam kapel yang kosong dan gelap.
Ini adalah kali pertama sejak ia mulai bekerja di sebuah perusahaan penjaga
keamanan, terjadi sesuatu pada saat gilirannya bertugas jaga. Ia dapat merasakan
adrenalinnya bangkit, seluruh panca indranya memuncak dan waspada.
Sewaktu ia bergerak memasuki pintu masuk yang melengkung, tiba-tiba ada bunyi
lainnya yang terdengar - sesuatu yang berat sedang dipindahkan atau ditutup.
Penjaga malam itu berputar, lalu menyorotkan senternya di sepanjang dinding
salah ruang penerima tamu.
Tidak ada apa-apa. Ia terus berjalan sambil menyorotkan senternya di sepanjang
lorong dan ke dalam ruangan yang menyimpan contoh mayat yang dipajang.
Lalu ia benar-benar terhenti ketika ia mendengar gumamam pelan.
Bukan, katanya pada dirinya sendiri, tidak mungkin.
Ketika ia berjalan melewati lorong itu menuju ke arah sumber suara tadi, ia
yakin itu semua hanya khayalannya. Sampai ia membuka pintu bercat merah yang
menuju ke ruangan krematorium, perutnya langsung terasa mual ketika menyadari
bahwa suara itu bukanlah khayalannya.
"Apakah ada seseorang di sini?" teriaknya. Suaranya bergetar ketika ia
menyorotkan senternya ke arah celah oven.
Tertangkap dalam cahaya senternya, tiga sosok tubuh yang mengenakan jubah hitam.
Wajah mereka bercat putih mengenakan topeng Cina.
Begitu cahaya senter menerangi mereka secepat itu pula mereka pergi - menghilang
ke dalam kegelapan, seolah-olah mereka tidak pernah berada di sana.
Apakah ini hanya khayalanku" tanya penjaga malam itu kepada dirinya sendiri.
Ia merasakan seluruh tubuhnya menegang ketika menyadari cahaya senternya
bukanlah satu-satunya cahaya yang menerangi ruangan itu.
Ada cahaya oranye yang aneh menyala di dalam kegelapan. Dan suara yang perlahan
terdengar datang dari dalam krematorium seperti sesuatu - atau seseorang - berada di
dalamnya. Itu tidak mungkin! "Ya, Tuhan..." ia berbisik dengan perlahan sambil menatap ke arah oven. Suara
itu semakin keras. Ia berjalan dengan lebih cepat menuju ke lingkaran cahaya
oranye. Lalu ia mencondongkan badannya ke depan, mengintip ke dalam lubang kaca
pengintip pada pintu oven. Ia merasa ketakutan pada apa yang dilihatnya.
Krematorium itu diterangi oleh tarian cahaya lidah api yang berwarna oranye.
Penjaga malam itu melihat lebih dekat, memandang ke dalam cahaya api yang
menyilaukan. Dan apa yang dilihatnya membuatnya mual.
Seorang Cina muda sedang menatap balik ke arahnya.
Wajahnya bekerut-kerut karena kesakitan. Jeritan kematiannya menembus ketebalan
dinding oven dan gemuruh suara lidah api.
Chapter 2 Di dalam sebuah ruangan pembalseman mayat, Dana Scully, Agen Khusus FBI, berdiri
di bawah lampu sorot pijar, menatap sesosok wajah gosong seorang pemuda Cina.
Menurut polisi, seorang penjaga keamanan rumah kematian yang sedang berada dalam
keadaan panik telah mematikan semprotan gas secepatnya setelah ia mengetahui
cara kerja alat itu. Tapi sayang, ia tidak cukup cepat.
Meskipun tanpa autopsi penuh, sangat jelas bagi Scully bahwa api krematoriumlah
yang menjadi sebab kematiannya. Sisa pakaiannya yang hangus dan meleleh masih
menempel dengan ketat di kulit mayat yang menghitam itu.
Ia melihat ke arah si korban, lalu ia menatap pada rekannya, Fox Mulder. "Lebih
baik kita pergi saja," katanya sambil menggelengkan kepalanya.
Scully menarik sebelah sarung tangan karet dan menyodorkannya kepada Letnan
Neary, polisi San Francisco berpakaian preman, yang sedang menemani mereka.
Neary, lelaki setengah umur yang berambut botak, kelihatan seperti tidak tidur
berhari-hari. Scully mencatat bahwa Neary selalu menjaga jarak antara ia dengan
mayat itu. Ia bertanya-tanya dalam hati apakah Neary adalah termasuk orang yang
merasa takut bila berada dekat denganmayat, atau ada sesuatu yang khusus pada
mayat itu yang sangat mengganggunya.
"Apakah kau sudah melihat modus operandinya, Detektif?" tanya Scully. "Seorang
laki-laki dibakar secara hidup-hidup?"
"Iya," jawab Neary dengan susah payah. "Yang ketiga kalinya untuk tahun ini."
"Sebenarnya sudah yang kesebelas," kata Mulder. "Ada tiga di Seattle, tiga di
Los Angeles, dan dua di Boston. Semuanya orang Cina yang berusia antara dua
puluh sampai empat puluh tahun, semuanya imigran yang baru masuk."
Lalu kenapa kita berada di sini, pikir Scully.
Fox Mulder bukanlah salah seorang agen FBI yang suka melakukan penyelidikan
rutin. Mulder mempunyai daerah kepentingan yang sangat khusus, penyelidikan
terhadap apa yang disebut oleh FBI sebagai X-files, kasus-kasus yang berhubungan
dengan dunia yang aneh dan paranormal. Rentetan kematian yang disebabkan oleh
hal yang aneh dan ganjil adalah hal yang mengusik perhatian Mulder.
Letnan polisi itu memandang dengan malu pada Mulder, malu karena pengetahuan
Mulder. "Kita tidak dapat menemukan hubungannya sampai sekarang," Neary menjelaskan,
terdengar lebih bersifat sebuah permohonan maaf. "Tubuh kedua mengalami luka
bakar yang lebih parah. Kita masih untung terhadap yang satu ini."
"Untung," Mulder menirukan sambil menatap ke arah mayat itu. "Itu adalah kata-
kata yang menarik untuknya."
Scully memeriksa mayat itu secara sepintas. Autopsi akan dilakukan kemudian.
Autopsi adalah suatu hal yang rutin baginya. Ia telah dididik sebagai dokter
ahli medis dan ahli kesehatan sebelum bergabung dengan FBI. Bertahun-tahun yang
lalu di sekolah kedokteran, ia tumbuh dan terbiasa dengan lumuran darah, bahkan
dengan hal-hal yang aneh sekali pun. Darah tidak menakutkannya, tidak juga
pembusukan mayat yang alami.
Tapi apa yang dilihatnya ketika ia membuka salah satu kelopak mata korban yang
gosong itu, memusingkan kepalanya.
Tidak mungkin, katanya pada dirinya sendiri. Si korban sudah terbakar sama
sekali untuk memungkinkan hal ini secara fisik terjadi.
Salah satu bola mata si korban yang berwarna cokelat gelap tidak rusak karena
api, sedang menatapnya. Ia mengelupasi kelopak mata yang memerah dan melepuh itu lebih dalam lagi.
Menggunakan alat penjepit untuk menarik lidah, dengan sangat hati-hati ia
menyentuh bola mata itu. Ia mendesah saat menyadari apa yang dilihatnya: Mata
itu terbuat dari kaca. Mulder dan Scully mengikuti Neary menuju ke rumah pemakaman dan krematorium
untuk melihat lokasi tempat kematian.
Beberapa detektif lainnya masih berada di tempat kejadian. Salah seorang mencari
jejak sidik jari. Yang lainnya sedang mewawancarai pemilik rumah pemakaman itu.
"Penjaga malam mengatakan bahwa ia melihat tiga orang di sini tepat sebelum ia
menemukan si korban," lapor Neary. "Katanya ketiga orang itu mengenakan beberapa
macam topeng - seperti topeng Cina."
Mulder mengintip ke dalam oven yang panjang dan sempit itu. Lantainya ditutupi
oleh debu yang berwarna abu-abu.
"Apakah kamu mempunyai petunjuk-petunjuk dalam kasus ini, Detektif?" tanyanya
"Semacam pendapat ataupun ide?"
Neary mengangkat bahunya. "Beberapa tahun terakhir ini, kami menerima gelombang
masuk imigran Cina yang besar dari Hong Kong. Orang-orang yang ingin pergi dari
Hong Kong sebelum Cina mengambil alih Hong Kong."
Hal itu tidak mengagetkan Mulder. Sejak beberapa ratus tahun yang lalu, imigran
Cina mengalir masuk ke Amerika Serikat.
Gelombang yang terjadi baru-baru ini yang ditunjukkan Neary berakar dari tahun
1898. Tahun itu di Cina, pemerintahan monarkinya, menandatangani perjanjian
dengan Inggris untuk menyewakan Hong Kong kepada Inggris. Lalu pemerintahan Cina
berganti menjadi Republik Rakyat Cina. Meskipun sebagian besar negara itu diatur
di bawah pemerintahan komunis, rakyat republik mendapat kehormatan dari
perjanjian lama tersebut. Inggris memerintah Hong Kong dan menjadikannya
Pelabuhan Internasional yang berkembang dengan sangat pesat.
Mulder mengetahui bahwa pada beberapa dekade terakhir, ribuan penduduk Hong Kong
melarikan diri dari Cina, takut akan apa yang mungkin terjadi pada kehidupan
mereka nantinya setelah pemerintahan komunis mengambil alih Hong Kong pada 1
Juli 1997, tanggal di mana perjanjian tersebut berakhir. Kebanyakan imigran itu
akhirnya tiba di kota-kota pelabuhan di Amerika; New York, San Francisco,
Boston, dan Seattle.
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Banyak dari imigran Cina itu masuk secara legal," lanjut Neary. "Dan banyak
juga tidak. Dalam beberapa kasus kami mendapatkan tiga puluh ribu orang yang
dikumpulkan bersama di suatu tempat yang relatif kecil. Kebanyakan dari mereka
tidak bisa berbahasa Inggris. Oleh karena itu, mendapatkan pekerjaan adalah
suatu perjuangan yang sangat berat. Mendapatkan apartemen yang layak adalah
suatu hal yang lebih mustahil. Kalian tidak akan percaya berapa banyak milik
mereka yang diserahkan hanya untuk dapat keluar dari Cina. Artinya adalah
kemiskinan yang serius. Banyak dari orang-orang ini sangat putus asa."
"Ini jelas merupakan kondisi akibat meningkatnya aktivitas geng di dalam
berbagai masyarakat," kata Scully.
Neary mengangguk. "Chinatown tidak berbeda. Tapi sejauh ini kami tidak bisa
mengaitkan kematian ini kepada seseorang atau sesuatu apa pun."
Mulder bersandar pada oven, membungkuk untuk memeriksa atapnya. Ia tidak terlalu
berharap untuk menemukan sesuatu di sana, tapi dari dulu ia belajar untuk tidak
melupakan detail. Matanya melebar lalu ia berdiri lagi, dengan sikap mengundang rasa ingin tahu
atas apa yang telah ditemukannya. Ia menoleh ke Neary. "Bisa kau temukan
seseorang yang dapat membaca atau berbicara bahasa Cina?"
"Yeah, Glen Chao," jawab Neary. "Ia berada di sana. Kenapa?"
"Tolong panggil dia?" pinta Mulder. Ia menunjukkan pada Neary apa yang telah
dilihatnya: Goresan yang menggunakan jelaga pada langit-langit oven adalah huruf
Cina. "Aku ingin tahu apakah ia dapat membacakan ini untukku."
"Tentu," kata Neary. Ia memberikan isyarat kepada salah seorang detektif. Ia
berpostur bagus, seorang pemuda tampan, menggunakan badge polisi di seragamnya,
melangkah maju. Neary memperkenalkannya: "Glen Chao, Agen Mulder."
"Hai," kata Chao. "Apa yang kau temukan?"
Meskipun ia jelas-jelas keturunan Cina, Chao berbicara Inggris tanpa aksen Cina
sedikit pun. Mulder menyorotkan senternya ke arah huruf Cina itu lagi.
"Ada sesuatu yang tertulis di langit-langit," katanya kepada Chao. "Aku ingin
tahu apakah kau dapat membacanya."
Chao membungkuk ke dalam. "Yeah," katanya, suaranya pelan karena kaget.
"Aku ingin tahu apa maksudnya," kata Mulder kepadanya.
"Tertulis di sana, gui. Artinya 'hantu.'"
"Hantu?" ulang Mulder.
"Apakah itu ada artinya bagimu?" tanya Neary kepada agen FBI itu.
"Yah, aku tidak tahu," kata Mulder sambil berpikir. "Tapi itu aneh untuk ditulis
oleh seorang yang sedang terbakar hidup-hidup.Bagaimana menurutmu?"
"Mungkin ada hubungan dengan ketiga orang bertopeng itu?" tanya Neary.
"Mungkin," kata Mulder. Sekali lagi ia memandang ke dalam sekeliling oven itu.
Ia membungkuk lebih jauh, menatap ke sudut krematorium, tempat yang tidak secara
langsung terkena api. Pada tumpukan abu,ia menemukan sepotong kecil kertas segi
tiga. Ia mengambilnya, dan memegangnya lebih dekat untuk diamati.
"Apa ini?" tanyanya. "Adakah yang mengenali ini" Sepertinya semacam mata uang
asing." Chao menjawab. "Itu disebut uang neraka. Itu biasa digunakan sebagai sebuah
persembahan dan dikubur sewaktu Festival Hantu-hantu Lapar Cina."
Mulder memberikan potongan kertas itu. "Apakah ini ada harganya?" tanyanya,
mencoba untuk mengerti. "Ini bukan uang, secara harafiah," Chao menjelaskan. "Ini persembahan simbolik
kepada roh jahat dan hantu-hantu. Untuk keberuntungan dan untuk menjaga roh-roh
itu agar tetap tenang."
"Menenangkan?" ulang Neary.
"Kalian tahu bagaimana orang-orang Mesir kuno biasanya menguburkan orang mati
dengan segala barang berharga yang mereka butuhkan untuk kehidupan setelah
kematian?" kata Chao. "Yah, orang-orang Cina menguburkan hal yang hampir sama.
Pada dinasti-dinasti awal, para raja dan ratu membunuh pelayan untuk menemani
mereka. Lalu mereka mulai membuat model penggantinya. Kembali ke abad ketiga
sebelum masehi, Kaisar pertama dikubur bersama patung keramik tentaranya yang
berukuran sebenarnya. Uang neraka adalah hal yang dibuat setelah itu. Kalian
mengirim uang untuk orang mati supaya mereka dapat mencukupi kebutuhan mereka
pada kehidupan setelah kematian dan agar hantu-hantu yang marah itu tidak
kembali dan mengganggumu."
Mulder bertukar pandang dengan Neary. "Di mana aku bisa mendapatkan uang neraka
ini?" "Kita dapat mencetaknya sendiri di Chinatown," jawab Chao.
Mulder memberikan potongan kecil kertas itu kepada Chao.
"Mungkin kita baru menemukan jalan untuk mengindentifikasi mayat itu," katanya.
Chapter 3 "Nama korban itu adalah Johnny Lo," kata Scully pada pagi berikutnya, sambil
melihat catatan yang didapatkannya dari unit Detektif Neary.
Ia berhenti membaca sebentar, dan melihat ke sekelilingnya. Ia dan Mulder berada
di sebuah gang sempit yang dibatasi oleh bangunan batu bata yang tinggi. Hanya
beberapa blok jauhnya dari jalan utama Chinatown yang telah ramai dengan
kesibukan pagi, gang itu sepi, tertutup. Sobekan kardus-kardus karton dan sampah
kaleng-kaleng yang terbuka menumpuk di dekat tembok. Kotak kecil kembang api
yang berwarna merah bersinar di tanah.
Bangunan ini sepertinya sebuah bangunan industri, tebak Scully - gudang dan
pabrik. Tapi melihat korden yang digulung di jendela-jendela di lantai atas,
sepertinya bangunan-bangunan itu telah diubah menjadi apartemen, dengan penyewa
yang bersembunyi dari sinar, suara, dan bau dari kota di bawahnya.
Scully melihat lagi pada catatannya dan melanjutkan dengan apa yang ditemukannya
di sana. "Ia datang ke sini enam bulan yang lalu dari Canton."
"Secara legal?" tanya Mulder.
"Ya," jawab Scully. "Ia masih dalam proses permohonan INS. Ia bekerja sebagai
pencuci piring pada salah satu restoran Cina di sini."
"Berapa banyak piring yang kau pecahkan sebelum bosmu melemparkanmu ke dalam
sebuah oven." Mulder berpikir dengan keras.
"Aku rasa cukup jelas bahwa ini adalah semacam cara pemujaan yang mengerikan
atau pembunuhan balas dendam antar geng," kata Scully.
Mulder menanyakan pertanyaan yang mengganggunya sejak kemarin malam. "Yah,
kenapa si korban menuliskan huruf hantu pada bagian dalam oven krematorium itu."
"Aku tidak tahu." Scully mengakui. "Penjaga menggambarkan tiga sosok. Katanya
mereka seperti menghilang tanpa jejak."
"Lalu menurutmu sekarang kita sedang memburu hantu?" tanya Scully.
" Who ya gonna call" " canda Mulder, mengutip slogan Ghostbusters.
Ketika Scully tidak menanggapi, Mulder melanjutkan.
"Hantu atau keturunan nenek moyang roh-roh merupakan pusat kehidupan keagamaan
orang-orang Cina selama berabad-abad," katanya dengan cukup serius. "Chao benar.
Orang-orang Cina percaya bahwa jika kau tidak menghormati nenek moyangmu dengan
pantas, mereka akan menjadi hantu-hantu yang marah yang akan membayangimu.
Segala macam kemalangan dan bencana adalah hal-hal yang menyertai kemurkaan roh
para leluhur." Scully bahkan tidak mau bersusah-susah untuk menyembunyikan keragu-raguannya.
"Katamu roh para leluhur itu yang mendorong Johnny ke dalam oven dan
menghidupkan gas?" "Yah, itu memberi ide baru untuk menghormati para leluhurmu, bukan?" tanya
Mulder, mencoba untuk menggodanya lagi.
Scully menghela napas. Ia benar-benar terkejut jika Mulder mengira bahwa hantu-
hantulah yang bertanggung jawab atas kematian si korban. Mulder mungkin satu-
satunya agen dalam sejarah FBI yang mempunyai poster yang bertuliskan "Aku ingin
Percaya." Dan pada waktu mereka mulai bekerja bersama, ia memintanya untuk
mempercayai banyak teori aneh.
Mereka melangkah ke atas tangga kayu menuju apartemen Johnny Lo. Pintunya
terbuka sedikit. Glen Chao berdiri di depannya, menunggu mereka.
"Saya telah memeriksa semua bangunan tetangga," lapor Chao. "Tak seorang pun
mendengar sesuatu. Tidak mengejutkan. Festival berlangsung tadi malam. Hampir
semua orang berada di jalan, menyaksikan tarian naga. Semua orang mendengarkan
suara gendang dan petasan."
Mulder menunjuk ke arah coretan lebar berupa huruf Cina yang dicat di pintu
kamar Johnny Lo. "Apa artinya ini?" tanyanya.
"Aku tidak mengenalinya," jawab Chao. dapat saja berarti - uh - semacam
ungkapan. Semacam kode."
Scully menyentuh cat itu dengan jarinya. "Masih terasa lembab," katanya.
"Seseorang mengecat ini baru-baru ini."
Mulder menoleh ke arah Chao. "Dapatkah kau membuatkan salinannya untukku?"
pintanya. "Yeah, tentu." Chao mengambil buku catatan dan mulai membuat salinan huruf-huruf
sewaktu kedua agen itu melangkah masuk ke dalam apartemen itu.
"Omong-omong soal cat basah..." Mulder berbisik.
Johnny Lo tidak mempunyai cukup banyak uang. Apartemen ini dilengkapi dengan
perabot rumah yang murah. Mebel-mebel usang ini dapat ditemukan di toko-toko
loak. Kertas dinding yang menguning sudah mulai mengelupas dari dinding.
Selembar plastik berdebu menutupi jendela yang rusak, dan pintu lemari di dapur
sudahmelengkung karena tua dan lapuk.
Mulder berjalan menuju lemari dan membukanya. Tempat itu kosong, seperti keadaan
dalam lemari esnya. Scully memeriksa permukaan sebuah meja formika. Selapis tipis debu menutupi
garis bentuk sebuah lingkaran dan sebuah bentuk persegi yang bersih.
"Lihat ini," katanya, menunjuk ke arah meja itu. "Seseorang telah berada di
sini. Tempat ini sudah dibersihkan."
Mulder mengendus udara di situ. "Bau apa ini?"
"Mungkin itu bau karpet baru," kata Scully.
"Yeah. Sepertinya itu," Chao menyetujuinya, tidak melihat bahwa hal itu sangat
penting. Mulder melihat ke bawah, ke arah karpet yang bersih tak ternoda. Tiba-tiba ia
menyadari betapa berbedanya itu dari semua barang lain yang ada di sana. Tidak
mungkin Johnny Lo mampu mempunyai karpet bermerek yang baru.
Scully memikirkan hal yang sama.
Induk semang mana yang mau menggelar karpet mahal di tempat yang jorok, seperti
ini. Mulder berjalan menuju sudut ruangan dan menarik ujung karpet. "Lihat! Mereka
tampaknya berhemat karena tidak mau susah-susah mengganti lapisan lamanya,"
katanya. Scully meneruskan pemeriksaan apartemen itu. Ia melewati Chao, masuk ke dalam
ruangan kecil, membuka laci di sebuah meja kecil. Ia tidak menemukan apa pun di
situ sampai ia menemukan laci yang berisi beberapa paket kertas dengan huruf
Cina merah tertulis di atasnya. Ia mengangkatnya ke atas. "Apa ini?"
"Obat-obatan tradisional Cina," jawab Chao.
"Dan ini apa?" ia mengeluarkan mangkuk berisi sesuatu yang kecil dan kering,
yang berwarna cokelat. Chao membaliknya dengan bolpennya. "Itu lok kering," katanya. "Kadang-kadang
digunakan sebagai jimat. Untuk kesehatan dan kemakmuran - sebuah perlindungan."
"Kelihatannya Mr. Lo dapat menggunakan keduanya sedikit," kata Mulder dengan
nada suram. Masih berlutut di ujung karpet, ia menarik dan membalik karpet itu
dan menemukan darah yang menghitam di lapisan lama.
"Mari kita tes darah ini," katanya.
"Menurutmu apakah darah itu darah Johnny Lo?" tanya Chao.
Mulder mengangguk lalu berdiri. "Darahnya atau darah pembunuhnya."
Chapter 4 Hari kerjanya yang panjang sudah berlalu. Shuyang Hsin memasuki apartemennya dan
menaruh sebuah bungkusan putih di atas meja dapur. Seperti yang dilakukannya di
setiap sore, ia membuka jaketnya dan menggantungkannya pada cantelan di ruangan
keluarga. Lambang yang tertera di belakang jaket berbunyi AHLI KARPET BAY AREA.
Hsin berumur empat puluhan. Ia adalah seorang pria ramping dengan rambut pendek
hitam dan kelihatan ramah. Matanya awas. Dengan menggunakan ruangan itu,
gerakannya terlatih bagi seseorang yang tahu bagaimana bergerak dengan anggun di
tempat yang sempit. Ia kembali ke dapur, mengisi ceret teh logam dengan air, dan menyalakan api
kompor gas. Malam membuat apartemen itu kelihatan lebih kecil dari sebenarnya.
Ketika malam tiba, ruangan-ruangannya kelihatan mengerut dengan sendirinya,
berselubung dalam bayang-bayang di mana lampu-lampu bahkan tidak dapat
menghalaunya. Apartemen itu bukanlah tempat yang menyenangkan, tercermin pada Hsin, terutama
bagi seseorang yang tidak dapat meninggalkannya.
Ia membuka bungkusan putih, mengambil dua buah bola-bola pasta buncis goreng.
Dengan hati-hati ia memotong tiap-tiap pucuknya dengan sebilah bagian gunting,
dan menyusunnya di atas piring. Ia menaruh piring itu bersama dengan poci teh
porselen yang sering dipakai di sebuah nampan dan membawanya ke ruangan yang
paling besar di apartemen berkamar dua itu.
Putri Hsin yang berumur tujuh belas tahun, Kim, berbaring di tempat tidur.
Melalui lampu baca di tempat tidur yang bersinar redup Hsin memperhatikannya,
mencari dengan sia-sia tanda-tanda bahwa ia mulai membaik.
Ia terlalu jujur untuk mengelabui dirinya sendiri. Hari ini sama dengan kemarin
dan kemarin dulu. Ada lingkaran hitam di bagian bawah mata Kim. Wajahnya pucat
dan lesu. Ia sangat kurus dan merana. Kelihatannya setiap hari ia sedikit demi
sedikit menuju kematiannya.
Ia duduk di sampingnya dan menuangkan segelas teh. Mata Kim terbuka. Ia
memberinya senyum yang lemah, lalu mengangkat tubuhnya dari bantal.
"Apa yang telah Ayah beli?" tanyanya sambil mengangguk ke arah nampan itu.
Meskipun Kim dapat berbahasa Cina dan Inggris, ia tahu bahasa Cina lebih mudah
bagi ayahnya dan mereka selalumenggunakannya sewaktu bercakap-cakap.
"Itu untukmu," jawab Hsin, menaruh nampan itu di pangkuannya. "Makanlah," ia
meyuruhnya. Ia menyibakkan rambut hitam panjang itu dari mukanya, menyelipkannya ke belakang
telinganya. Rupa makanan itu membuatnya muak. Sudah lebih dari satu bulan ia
kehilang selera makannya. Bagaimanapun, ia ingin menyenangkan ayahnya. Dan ia
menyadari bahwa sudah cukup lama sejak mereka benar-benar bercakap-cakap.
"Tinggallah dan temani aku minum teh," katanya.
Ayahnya menghindari pandangan matanya. "Aku harus keluar."
"Ke mana?" "Menemui seseorang."
"Selalu menemui orang-orang," gerutu Kim. "Orang-orang macam apa?"
"Aku ada urusan," kata ayahnya. "Untuk mendapatkan uang. Agar kau dapat sembuh."
"Ayah bisa pergi besok," kata Kim.
Ia tahu seharusnya tidak berdebat, dan ia tidak bermaksud untuk tidak
menghormati ayahnya. Tapi ia merasa aneh saat menyadari bahwa ayahnya selalu
pergi ke pertemuan misterius yang tidak pernah dibicarakan dengannya.
"Uang dapat untuk membayar dokter," ayahnya mengingatkannya.
"Tidak ada pertemuan yang akan memberi kita cukup banyak uang," Kim berkata
kepadanya dengan cemas. "Kata dokter prosesnya menghabiskan biaya beribu-ribu
dolar." Ayahnya berdiri. "Jangan bicara seperti itu! Jangan sekali-kali!" hardiknya.
Sebelum ia dapat meminta maaf, ayahnya telah meninggalkan ruangan, dan menutup
pintu di belakangnya. Meninggalkan Kim sendiri lagi. Itu adalah bagian terburuk dari sakitnya,
pikirnya, bahkan lebih buruk daripada sakit dan lemas ini.
Menjadi sakit berarti ia tinggal sendiri selama berjam-jam di dalam apartemen
yang sempit dan gelap ini, tidak pernah bertemu dan bercakap-cakap dengan orang
lain kecuali ayahnya. Berada sendirian lebih menakutkannya daripada penyakit itu sendiri. Itu
membuatnya merasa dikucilkan oleh semua orang, seakan-akan ia dibiarkan untuk
mati. *** Di salah satu gang Chinatown yang gelap, sebuah bola lampu tunggal menyala
menerangi reklame di sebuah pintu yang bertuliskan:
PRIBADI: RESTORAN LAYANAN ANTARAN.
Hsin menuju pintu dan mengetuk dengan keras.
Setelah beberapa waktu kemudian seorang pria tinggi membuka pintu, membukanya
dengan hanya berupa celah. Keduanya bertukar kode, percakapan yang terpotong-
potong sebelum pintu dibuka dan Hsin diterima.
Dada Hsin menegang karena ketakutan yang tidak asing lagi ketika ia berjalan
melewati restoran dan menaiki tangga yang panjang dan sempit, menuju ke lantai
atas. Langkah Hsin tampak bimbang ketika ia memasuki ruangan permainan. Berjalan masuk
selalu saja berat dan ia harus melakukan itu. Lama sebelum itu, ia berjanji pada
dirinya sendiri untuk kembali lagi dan lagi. Sampai ia menang.
Seperti biasanya, asap rokok yang tebal membubung di langit-langit yang suram,
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ruangan yang hiruk pikuk. Semua yang hadir di sana adalah laki-laki. Para pria
yang duduk di meja atau di barisan kursi lipat, semuanya berbicara dalam bahasa
Cina. Seperti Hsin, kebanyakan dari mereka adalah kelas buruh, menggunakan jaket
dan baju kerja. Dan seperti Hsin, mereka semua merasakan ketegangan di dalam
ruangan itu. Hiruk pikuk itu tiba-tiba menjadi sunyi ketika pintu yang berada di bagian depan
ruangan terbuka dan tiga orang pria yang mengenakan setelan pakaian berjahitan
rapi masuk. Orang pertama, kelihatan seperti orang terhormat dengan wajah tampan tapi keras,
dengan tangan kosong. Orang kedua, Mr. Lau, botak dan mengenakan kacamata berbingkai emas yang
gemerlap. Ia membawa dua buah jambangan batu jade berwarna hijau pucat, yang
satu berukuran kecil, yang lainnya besar.
Orang ketiga, Mr. Wong, berjenggot abu-abu dan memegang sebuah kotak kayu ukiran
tangan. Dalam arak-arakan yang khidmat, mereka berjalan melalui kerumunan, menuju meja
jati yang mengilap, yang terletak di atas panggung di bagian depan ruangan itu.
Dengan tenang dan dengan gerakan yang terlatih, Lau meletakkan jambangan yang
kecil di atas meja dan memberikan yang besar kepada orang yang memimpin arak-
arakan itu. Namanya adalah Mr. Tam, Hsin ingat itu.
Tam mulai mengedarkan jambangan besar itu ke sekeliling ruangan. Ia
memperhatikan dengan cermat ketika setiap orang memasukkan sepotong alat
permainan seperti alat permainan mahjong atau gaple ke dalamnya, lalu memberikan
jambangan itu kepada orang di sebelahnya.
Hsin memandang keping yang dipegang tangannya, berharap agar malam ini membawa
keberuntungan. Di meja jati, Wong membuka penutup kotak kayu dan memegangnya tinggi-tinggi.
Dengungan kegembiraan menjalar di dalam ruangan itu seperti kabel yang bergetar.
Kotak itu berisi tumpukan tebal uang ratusan dolar.
Orang yang berada di samping Hsin mengangguk dan menunjuk ke arah kotak itu,
tapi mata Hsin tetap pada jambangan besar.
Jambangan itu berjalan cepat menuju ke arahnya. Teriakan yang membesarkan hati
bergema ketika setiap orang memasukkan keping yang memuat namanya ke dalam
jambangan. Akhirnya jambangan batu jade itu sampai kepada Hsin. Dengan perlahan, hampir
dengan takzim, ia menjatuhkan keping permainannya ke dalam jambangan itu,
mendengarkan suara dentingnya ketika menyentuh batu jade.
Mata Hsin lalu menatap ke arah meja jati, di mana Lau menggosok keping permainan
yang berbentuk segi tiga dengan kain cokelat gelap. Satu demi satu, ia menggosok
sebuah keping lalu menjatuhkannya ke dalam jambangan yang kecil. Sebuah keping
permainan yang berwarna merah, lalu kepingan merah lainnya, setiap keping
menghilang ke dalam dinding batu jade yang transparan.
Akhirnya ia mengambil satu keping permainan yang berwarna putih, yang dilingkari
oleh kayu. Ia menggosoknya dengan kain, lalu menaruhnya ke dalam.
Tam membawa jambangan batu jade kembali ke atas meja.
Keheningan melanda ruangan ketika Lau berdiri dan tangannya meraih ke dalam
jambangan terbesar. Hsin merasakan dirinya mulai berkeringat ketika Lau mengaduk keping-keping
permainan itu dengan tangannya, lalu dengan perlahan mengambil satu potong.
Ia membaca nama yang tertera di situ dengan lantang: "Li Oi Huan!"
Keheningan ruangan itu pecah dan Hsin memejamkan matanya gelisah dan lega.
Lau mengangkat ke atas jambangan batu jade yang kecil.
Teriakan-teriakan di dalam ruangan terdengar ketika ia mengacungkan keping
permainan yang berwarna putih itu tinggi-tinggi lalu menjatuhkannya ke dalam
jambangan. Sekarang jambangan yang terkecil itu mulai berpindah dari tangan ke tangan.
Jambangan itu mencapai tujuannya ke tangan seorang kurus dan liat yang
mengenakan jaket cokelat muda. Hsin mengenalinya sebelumnya.
Li mempunyai mata seputih susu dan kelihatan ketakutan sejak dari awal mula
acara. Sekarang tangan Li gemetar ketika memegang jambangan itu di atas kepalanya lalu
mengguncang-guncangnya dua kali. Teriakan-teriakan yang menyemangati menjadi
hening tatkala Li meraih ke dalam jambangan itu dan mengangkat tangannya yang
memegang sebuah keping permainan.
Ia menarik keluar sebuah kepingan merah dan membacanya dengan cepat. Ekspresi
kesakitan melintasi wajahnya. Ia menggenggam kepingan itu dengan erat di dalam
kepalan tangannya. Mr. Tam telah berada di samping Li itu. Dengan hati-hati dibukanya kepalan
tangan lelaki kurus itu, dan mengambil keping itu dari tangannya, dan membacanya
dengan lantang. "Xin!"
Kata itu menyebabkan ruangan menjadi hiruk pikuk. Orang-orang berdiri dengan
serentak ketika Mr. Tam menggandeng tangan Li dan mengawalnya dengan ketat dari
tempat duduknya. Kedua orang yang duduk di meja jati terlihat tanpa ekspresi ketika Li dibawa
melalui pintu di ruangan depan dan pintu itu menutup di belakangnya.
Mr. Wong mengelus jenggotnya dan berdiri. Dengan khidmat ditutupnya kotak kayu
ukiran itu. Di sebelahnya Mr. Lau mengangkat kedua jambangan batu jade. Lalu
mereka juga meninggalkan ruangan, keluar melalui pintu yang sama dengan yang
dilewati Li. Hsin memandang sesaat ketika orang-orang di sekelilingnya duduk kembali ke kursi
mereka dan mengangkat gelasnya dengan lega. Lalu ia berdiri dan langsung keluar
ruangan. Permainan sudah berakhir. Paling tidak untuk malam ini.
Chapter 5 Scully menatap ke dalam kendi besar di dalam tempat gelas. Kendi itu terisi
penuh oleh cairan bening. Di dalamnya tampak mengambang sesuatu seperti akar-
akaran yang besar. Ia berpindah ke kendi berikutnya. Sama juga, berisi suatu objek organik yang
tidak dikenalinya. "Aku tidak dapat menjelaskan satu pun pada kalian apa benda-benda ini," kata
Scully kepada Mulder dan Chao.
Ketiga petugas itu melakukan kunjungan malam ke salah satu dari banyak toko obat
yang sejajar di sepanjang jalan Chinatown.
Nama yang satu ini tercetak di atas paket yang ditemukan Scully di apartemen
Johnny Lo. "Yah, itu pastilah akar-akaran," Chao menjelaskan. "Ginseng, turmeric,
astragalus, ephedra. Lalu kalian akan mendapatkan barang-barang exotis kalian.
Empedu beruang, ular, sirip hiu...sering kali para dokter menulis resep campuran
dari tumbuh-tumbuhan obat lalu pasien memasaknya menjadi teh."
"Lalu apa yang telah digunakan oleh si korban?" tanya Mulder.
Glen Chao menaruh bungkusan jamu kering yang mereka temukan di apartemen Johnny
Lo di atas meja pajangan. Si ahli obat sedang sibuk menimbang potongan halus
akar di dalam timbangan tangan dari kuningan yang sudah kuno. Sebuah sipoa
terletak di meja pajangan di sebelahnya. Setelah menimbang akar itu, ia
menghitung dengan cepat, lalu menambahkan sesuatu seperti jamur ke dalam
timbangan. Ia adalah seorang wanita setengah umur, yang menggunakan pakaian
mandarin kerah tinggi dengan kalung manik-manik merah yang cemerlang. Karena
sibuk bekerja, ia tampaknya tidak menyadari kedatangan ketiga petugas itu.
Ia melihat ketika Chao menanyainya tentang jamu. Ia membuka bungkusan itu, lalu
mengintip ke dalamnya, dan menjawab dalam bahasa Canton yang cepat.
"Ia bilang ini adalah akar tengkorak dan angelica Cina," Chao menjelaskannya
kepada kedua agen FBI itu. "Biasanya digunakan sebagai obat penghilang rasa
sakit." "Untuk sakit macam apa?" tanya Scully.
"Sakit kepala dan sakit gigi, seringkali," jawab Chao.
"Apakah ia ingat Johnny Lo?" tanya Scully. "Atau ingat menjual itu kepadanya?"
Chao menerjemahkan pertanyaan itu. Ahli obat itu mengangguk.
"Tanya ia apakah ia tahu tentang kematiannya," kata Mulder.
Chao melakukan sesuai yang diminta oleh Mulder, dan si wanita itu menggelengkan
kepalanya. "Tanya ia apakah ia tahu huruf yang dicat di pintu Lo," kata Mulder.
Chao mengambil buku catatannya dan menyodorkannya sehingga ahli obat dapat
membaca simbol yang disalinnya.
Untuk pertama kalinya wanita itu menjadi waspada. Ia menjawab pertanyaan Chao
dengan bahasa Cina yang keras dan cepat, lalu ia pergi menjauhi mereka,
menganggap wawancara mereka telah selesai.
"Ada apa?" tanya Scully bingung.
"Ia bilang rumah itu telah ditandai sebagai tsang fang - sebuah rumah hantu,"
jawab Chao. "Berhantu?" ulang Mulder. "Maksudmu oleh hantu-hantu?"
Chao mengangguk. "Susah untuk memberikan terjemahan persisnya, tapi itu adalah
seperti yang telah kukatakan padamu sebelumnya - apa yang orang Cina sebut
sebagai Yu Lan Hui. Festival ".Hantu-Hantu Lapar."
"Mereka mencetak uang neraka untuk festival yang sama," kata Mulder.
Chao melanjutkan penjelasannya. "Kalian lihat, hari ketujuh belas di bulan
ketujuh pada penanggalan Cina, dipercayai sebagai waktu terbukanya pintu gerbang
neraka, dan hantu-hantu yang rohnya tidak diterima, bergentayangan di bumi, dan
hanya kembali pada hari terakhir bulan itu.
"Dipercayai bahwa setelah kematian, orang dilahirkan kembali ke salah satu dari
enam dunia," lanjut Chao. "Yang terburuk dari dunia-dunia ini adalah neraka.
Setelah itu alam dari hantu-hantu kelaparan - roh-roh yang dikutuk untuk terus-
menerus kelaparan dan kehausan. Mereka selalu kelaparan dan sangat kehausan.
Mereka mengembara dalam kesengsaraan yang terus-menerus, dapat melihat air tapi
tidak bisa meneguknya. Resah dan tergoda dengan keinginan, mereka sering
berbalik mengganggu yang hidup."
"Selama Yu Lan Hui, penganut kepercayaan melindungi diri mereka dengan
meletakkan makanan dan uang neraka di luar rumah untuk menyenangkan hantu-hantu
itu - untuk tetap menjaga agar mereka tidak masuk ke dalam dan membuat kesulitan.
Hanya pada waktu itu saja selera para hantu-hantu lapar itu dapat dipenuhi."
"Festival itu mirip dengan yang lain," kata Mulder. "O Bon di Jepang, bangsa
Celtic dengan Samhain, Mexico dengan hari kematiannya. Semua itu merayakan suatu
waktu mana selubung antara dunia orang-orang hidup dan dunia orang-orang mati
lenyap, dan yang telah mati kembali bergentayangan di bumi. Pada masing-masing
kebiasaan, orang-orang hidup memberikan persembahan untuk yang telah mati."
"Aku tidak tahu tentang orang-orang Celtic," kata Chao,"Tapi orang-orang Jepang
dan Mexico keduanya mempunyai hubungan yang lebih bersahabat dengan orang-orang
mereka yang sudah mati daripada orang Cina. Pada festival-festival mereka,
kalian diminta untuk menari dengan orang mati. Festival hantu-hantu lapar lebih
gelap. Persembahan kami kepada orang mati tidak selalu cukup."
"Apa maksudmu?" tanya Scully.
"Pada beberapa roh, hantu lebih menakutkan rakyat kami. Mereka tidak bisa
dibeli: Preta, hantu kuno dari orang yang mati terbunuh yang bergentayangan di
muka bumi, selalu mencoba membalas dendam kepada orang yang hidup. Atau Wu Chang
Kuei, yang mengumpulkan jiwa orang-orang yang menemui ajalnya dan membawa mereka
turun ke Ti Yu,"lanjut Chao,"ke Neraka Orang Cina."
"Lalu," kata Mulder, mencoba untuk menerima penjelasan Chao pada kasus itu,
"Johnny Lo tidak mempunyai uang neraka yang cukup untuk persembahannya, lalu
hantu-hantu datang padanya. Apakah itu yang kau coba jelaskan kepada kami?"
Chao mengangkat bahu ketika mereka meninggalkan toko obat itu.
"Aku seorang polisi. Aku tidak biasa menjadikan hantu sebagai tersangka."
"Tapi menurutmu pembunuhan ini dapat saja ada hubungannya dengan Yu Lan Hui?"
Mulder mencoba memaksa. "Yah, itu rasanya akan membuatnya menjadi aneh," kata Chao. "Tahun ini festival
itu baru saja selesai."
"Bagaimana dengan kau, Detektif?" tanya Scully. "Apakah kau percaya pada Yu Lan
Hui?" Untuk pertama kalinya Chao tersenyum, meskipun senyuman itu sebuah senyum sinis.
"Aku rasa sulit untuk berdebat dengan keyakinan Cina yang sudah berumur dua ribu
tahun - hal-hal yang dipercayai oleh orang tuaku dan para kakek nenekku. Tapi
yang sebenarnya adalah," tambahnya,"aku lebih dihantui oleh besarnya pembayaran
hipotikku." *** Oi-Huan Li duduk di kursi kayu di ruangan yang gelap dan berkabut. Ia sedang
minum dari cangkir porselen. Ia memeganginya dengan kedua tangannya, mencoba
menahan dirinya dari gemetar ketika menelan cairan panas.
Rasanya agak pahit. Meskipun minuman itu hangat, ia merasakannya dingin di
dalam. Kali ini berbeda dari yang dulu. Ia tidak pernah merasa begitu ketakutan,
merasa begitu kesepian. Lalu ia merasa tidak lagi sendiri.
Sesosok manusia kuno muncul dari kegelapan. Penampilannya terlihat tembus
pandang. Jubah yang digunakannya berasal dari seabad yang lalu. Dan di
belakangnya berdiri para leluhur yang lainnya. Lebih tua, lebih lemah. Dan
bahkan lebih menyeramkan...
Li gemetar tanpa henti ketika teh itu mulai bereaksi. Sesosok hantu lainnya -
seorang wanita dalam pakaian compang-camping - muncul, diikuti oleh yang ketiga
dan keempat.... Hantu-hantu kuno itu mendekati Li, menuju ke arahnya.
Terpesona, Li menatap tangan hantu itu dengan salah satu matanya yang masih
berfungsi. Kulitnya berkerut-kerut dan sepucat kertas.
Tangan hantu itu datang mendekat dan lebih dekat. Sampai ia menyentuh dada Li
lalu menghilang. Li merasakan es di dalam dadanya. Dan tiba-tiba terasa sakit yang sangat nyeri.
Tangan leluhur itu tiba-tiba ditarik - sepertinya ia mengambil sesuatu dari
dirinya. Mata Li yang masih baik membelalak, tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Di
tangan hantu itu adalah jantung manusia. Masih berlumuran darah, jantung manusia
itu masih berdenyut. Li mencoba meraba dadanya, tapi obat itu menghalanginya. Ia tidak dapat
menggerakkan tangannya sama sekali. Matanya terpejam, tubuhnya melemah.
Seorang pria yang menggunakan sarung tangan medis memasuki ruangan dan mengambil
cangkir kosong dari tangannya.
Pria itu mengangkat dagu Li, membuka kelopak matanya, melihat pupil mata Li yang
membesar, lalu mengangguk.
Chapter 6 Tengah malam yang menakutkan, waktu sepi di Taman Pemakaman Highland Park. Kabut
datang dari teluk, membuat malam yang dingin dan lembab itu bertambah kelihatan
buram. Sebuah mobil truk patroli bergerak di sepanjang jalan masuk bagian dalam
pemakaman, lampunya menyapu melintasi batu nisan dan tanda-tanda.
Petugas patroli itu memperlambat kendaraan ketika lampu besarnya menyinari
gundukan yang tinggi di sisi sebuah kuburan yang terbuka - dan ada sesuatu yang
bergerak di dalam sinar itu.
Tunggu sebentar, batinnya, menginjak rem. Sejauh yang diketahuinya, ia hanya
satu-satunya orang yang seharusnya berada di sini pada malam ini. Penggali
kuburan dan petugas administrasi sudah pulang sebelum gelap. Bahkan pengurus pun
sudah pulang. Petugas patroli itu melihat pemandangan yang diterangi oleh sinar lampu besar.
Ia merasakan darahnya menjadi dingin. Dua sosok tubuh berdiri di samping kuburan
yang terbuka. Mereka berdiri seperti patung. Seperti patung di pemakaman itu,
yang sudah berada di sana untuk beberapa turunan. Seperti mereka sedang
menunggunya. Setiap sosok tubuh itu ditutupi oleh jubah hitam yang panjang. Wajah mereka
bercat putih, masing-masing seperti iblis yang aneh sekali.
Petugas patroli itu merasakan jantungnya berdentam ketika sosok bertopeng ketiga
bangkit perlahan dari kedalaman kuburan yang terbuka.
Mencoba melawan ketakutannya, ia mengatakan pada dirinya sendiri, ini pastilah
hanya olok-olok. Sekelompok remaja yang sedang bosan bermain di sebuah pemakaman
dengan semacam kenekatan yang menggila.
Baiklah, mereka tidak akan mengira ini adalah ide yang menarik bila ia telah
selesai dengan mereka. Dengan marah ia keluar dari truknya. "Hei!" teriaknya.
"Apa yang kalian lakukan?"
Dengan memegang lampu senter di depannya, penjaga malam itu mulai mendekati
sosok-sosok itu. Tapi tiba-tiba mereka hilang ditelan kegelapan. Seperti ilmu sihir.
*** Mulder baru saja mendengar ketukan di pintu hotelnya. Ia sedang duduk di meja,
berkonsentrasi pada layar laptopnya.
"Apa?" tanyanya.
"Mulder, apakah kau masih terjaga?"
Hampir dengan enggan, ia bangkit dan membuka pintu itu.
"Ada apa?" tanyanya.
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak tahu apakah ini bisa membantu," kata Scully, "Tapi aku telah
menelepon seorang teman lama, seorang neurolog yang belajar di Cina dan
memasukkan obat-obatan Cina ke dalam prakteknya. Tampaknya ini adalah suatu
sistem yang sangat rumit. Apa yang telah dijelaskannya padaku adalah bahwa
orang-orang Cina kuno memandang manusia sebagai ekosistem yang kecil. Mereka
percaya kesatuan itu bekerja pada bumi - seperti angin, panas, dan embun - juga
bekerja pada diri kita. Menurut pengobatan Cina, semua yang ada pada tubuh
manusia dan respon jiwa berhubungan dengan unsur-unsur alam dan energinya.
"Sebagai contoh, jika seseorang menderita bronkitis, ahli fisik Cina tidak akan
melihatnya sebagai peradangan dari tenggorokan, tapi berhubungan dengan
kesedihan, dengan kedinginan, dan dengan ketidakseimbangan dari unsur-unsur
logam. Tujuan perawatan oleh para praktisi Cina untuk mencegah penyakit adalah
dengan menyeimbangkan unsur-unsur dan energi di tubuh."
Mulder menyeringai padanya. "Apakah aku mendeteksi suatu keputus asaan?"
Scully menggeleng. "Akupunktur telah membuktikan secara efektif dalam
penanggulangan kesakitan dan kecanduan. Dan neurolog yang telah berbicara
denganku ini adalah kelas satu. Ia tidak akan menggunakan obat-obatan Cina dalam
prakteknya bila ia tidak melihat bukti empiris bahwa itu dapat bekerja. Ia
mengatakan padaku bahwa ia mengalami satu masalah dalam perawatan pasiennya yang
memegang kepercayaan tradisional pada leluhur dan roh-roh mereka."
"Apa itu?" tanya Mulder.
"Beberapa pasien Cinanya yang sudah tua menolak operasi yang diperlukan. Mereka
bilang bahwa tubuh mereka adalah pemberian dari para leluhur, dan karena itu
bila ada bagian yang dipotong atau dipindahkan maka akan tidak menghargai arwah
para leluhur." Scully memandang dinding itu, tiba-tiba ia kelihatan seperti
sangat lelah. "Tidak ada satu pun dari ini semua yang mengatakan kepada kita
secara gamblang tentang kematian Johnny Lo."
"Tidak, tapi mungkin berguna. Sebenarnya." - Mulder melepaskan kacamatanya dan
menggosok matanya - "Aku tidak tahu mana yang akan berguna pada kasus ini. Aku
hanya melakukan penelitian lebih banyak. Apakah kamu tahu, kata 'hantu' dan
'iblis' dalam bahasa Cina adalah sama. Dan hantu-hantu lapar yang digambarkan
oleh Chao pastilah yang muncul di kompleks pemakaman dan - "
Telepon genggam Scully memutus kata-kata Mulder. "Scully di sini," katanya,
setelah membukanya. Ia mendengarkan beberapa saat lalu berpaling kepada Mulder.
"Neary," katanya. "Ia meminta kita untuk menemuinya di Taman Pemakaman Highland
Park." *** Mulder dan Scully menemukan pemakaman itu diterangi oleh kilatan lampu sorot
merah dan biru dari lampu mobil-mobil polisi.
Glen Chao, yang mereka lihat, parkir beberapa kaki jauhnya dan baru saja keluar
dari mobilnya. Letnan Neary menyambut mereka dengan anggukan pendek, lalu membawa mereka
melalui batu nisan. "Petugas patroli malam menggambarkan tiga orang mengenakan topeng yang sama
dengan yang diidentifikasi di krematorium," ia menjelaskannya.
"Apa yang mereka lakukan di sini?" tanya Scully.
"Kami tidak tahu pasti," Neary mengakui "Mereka muncul di sekitar kuburan yang
terbuka di sebelah sini, tapi kami tidak bisa mengira apa persisnya yang telah
mereka lakukan di sini."
"Apakah ini baru digali?" tanya Mulder, melihat ke arah tumpukan tanah yang
masih baru. "Yeah," jawab Neary. "Mereka akan melakukan pelayanan penguburan besok siang."
"Orang-orang Cina?" tebak Mulder.
"Aku tidak tahu," kata Neary. "Kita bisa mengeceknya. Hei, Chao" - ia memberi
isyarat kepada detektif itu - "Cari tahu apakah kamu bisa mendapatkan nama
penghuni barunya." Scully mengerutkan dahinya. "Aku masih tidak melihat apa yang diinginkan orang
pada sebuah kuburan kosong," katanya.
Scully dan Chao, keduanya saling berpandangan dengan bingung ketika Mulder tanpa
peringatan, melompat ke dalam lubang itu.
"Apa yang dilakukannya?" tanya Neary, menyorotkan senternya ke dalam kuburan
itu. "Sesuatu terpikir olehku," kata Mulder, berkonsentrasi pada tanah basah di bawah
kakinya. Ia berlutut dan menggali beberapa inci, lalu berhenti ketika ia merasakan
sesuatu menyentuh jari tangannya. Sesuatu yang dingin dan halus, hampir elastis.
Ia memaksa dirinya untuk tetap menggali. Sampai ia menyapu setumpuk tanah yang
menutupi wajah seorang manusia.
"Apa yang kau temukan?" panggil Scully.
Mulder melanjutkan kerjanya sampai ia menemukan wajah dari seorang Cina yang
kurus. Kali ini, pikirnya, mereka tidak capek-capek dengan krematorium.
"Mulder?" kata Scully.
Jawaban Mulder pendek. "Sepertinya besok mereka akan membuat dua kuburan."
Chapter 7 Hampir pukul tiga siang ketika Scully dan Mulder tiba di kantor forensik di
kantor pusat Polisi. Scully sangat kelelahan. Tapi ia adalah salah satu yang
memutuskan hal ini tidak bisa ditunda lagi. Penemuan mereka di kuburan terbuka
langsung dibawa ke sini. Ia mengikat rambutnya ke belakang, mengenakan jas medis dan sarung tangan karet,
lalu masuk ke ruangan autopsi. Mereka semua mirip, pikirnya dengan letih.
Dinding logam lemari pendingin ditarik, setiap laci menyimpan sebuah mayat.
Mayat-mayat lainnya terbaring di atas kereta dorong logam, diselubungi oleh
lembaran plastik tipis. Counter logam steril, lemari kaca berisi pisau bedah, penyemprot, dan gunting
tang. Pijaran lampu-lampu, bau alkohol dan obat steril. Ruangan ini didesain
untuk memeriksa orang mati. Ia memikirkan penjelasan yang telah dikatakan oleh
Chao pada mereka. Apa, pikirnya, akankah suatu budaya yang mempercayai kehidupan setelah kematian
membuat tempat seperti ini.
Scully mulai mencatat tanpa mengeluarkan suara sebelum memulai pemeriksaan mayat
itu. Pakaian anak muda itu telah dibuka, tapi masih ada tanah dari kuburan di
tubuhnya yang tidak tertutup.
Umurnya sekitar dua puluhan, dari apa yang dapat dikatakan Scully, hidup orang
ini tidaklah mudah. Sejauh ini ia tidak suka akan apa yang dilihatnya. Di antara ratusan autopsi
yang telah dilakukan, inilah yang paling mengganggunya.
Ia menengok ketika Mulder berjalan masuk.
"Apa yang kamu temukan?" tanyanya.
"Banyak," kata Scully dengan suara yang suram. "Dan aku bahkan belum
menyelesaikan pemeriksaan pendahuluanku secara visual. Lihat ini."
Ia menarik lembaran plastik yang menutupi mayat itu. Wajah anak muda itu memar
dan di tubuhnya yang kurus terdapat bekas irisan melintang - lipatan daging pucat
berwarna merah. Sangat nyata, irisan ke bawah tulang dada tampak seperti tali,
benang operasi masih tampak menyilang.
"Tubuh orang ini tampak seperti teka-teki silang," kata Scully kepada Mulder.
"Semua ini adalah irisan pembedahan, dan meneliti warna bekas luka ini, dapat
kukatakan bahwa ini semua dibuat pada tahun lalu."
"Ada apa dengan orang ini?" tanya Mulder.
"Jika kau tanyakan padaku," jawab Scully, "tidak ada."
"Tidak ada" Apa maksudmu?"
"Apa kau tahu bahwa tubuh manusia itu berharga, Mulder?" tanyanya.
"Tergantung pada tubuh itu," canda Mulder.
Lalu ia menjadi lebih serius ketika melihat ekspresi Scully. "Aku tidak tahu...
beberapa dolar... berapa?"
"Harganya bisa membuat kaya raya," kata Scully kepadanya.
"Menurutmu, orang ini menjual bagian tubuhnya untuk uang?"
Scully menunjuk pada bermacam-macam bekas luka di mayat itu. "Sebuah ginjal,
sebagian hati, kornea, sumsum tulang... seseorang dapat kehilangan ini dan tetap
hidup untuk menguangkan cek jaminan sosialnya."
"Ia tidak akan menguangkan jaminan sosial apa pun nanti," kata Mulder.
"Tidak," Scully setuju, sambil menaruh pelindung mata plastiknya. "Tapi jika aku
benar, ia adalah satu-satunya orang yang meninggalkan hatinya di San Francisco."
Dengan tekun ia mulai membuka jahitan di sekitar bekas luka yang masih segar di
dada laki-laki itu. "Teknologi kedokteran kita telah mencapai titik di mana
organ tubuh transplantasi dapat terus hidup dalam pilihan berbagai kondisi -
jantung, hati, kerusakan ginjal, bahkan beberapa macam kebutaan. Masalahnya,
tidak banyak organ yang tersedia di seluruh dunia. Orang-orang masuk dalam
daftar antri, dan bila mereka tidak beruntung, penantian itu akan membunuh
mereka. Untuk saat ini, etika medis telah memperingatkan kita tentang
kemungkinan adanya pasar gelap bagian-bagian tubuh yang sedang berkembang di
sini. Mereka telah ada di beberapa negara lainnya."
"Scully, bahkan bila kau benar, ini tidak menjelaskan," kata Mulder. "Tidak ada
bisnis jangka panjang yang menyangkut kematian. Dan apa hubungan hal ini dengan
kematian di krematorium?"
"Aku belum tahu," jawab Scully. "Tapi sejauh ini yang dapat kukatakan adalah:
Satu-satunya yang tidak terbakar dari tubuh Johnny Lo yang kering dan rapuh itu
adalah mata kacanya."
Ingin tahu apakah teorinya benar, untuk tahu apakah jantung si korban sudah
diambil, Scully kembali pada pekerjaan sebelumnya - menggunting silang dada si
korban. Ia melangkah mundur, waspada, begitu jahitan di dada laki-laki itu mulai
terlihat naik turun. Seperti ada sesuatu yang berdenyut di dalamnya. Ia seperti
bernapas. Ini tidak mungkin, kata Scully pada dirinya sendiri.
"Ya, Tuhan," bisiknya. Ketika melihat, luka merah menyala terbuka - dan seekor
katak hijau kecil mencoba keluar dari balik kulit, di dalam dada orang mati itu.
"Omong-omong tentang seekor kodok di kerongkonganmu," komentar Mulder.
*** Sekali lagi ruangan permainan yang penuh asap telah penuh sesak dan ramai.
Hiruk-pikuk timbul lebih keras ketika jambangan terbesar dari dua jambangan batu
jade melintas menuju meja di depan ruangan itu.
Seperti sebelumnya, kedua orang yang duduk di belakang meja jati itu memegang
kotak kayu ukiran yang berisi uang.
Orang yang dipanggil Tam membawa jambangan terbesar. Lau membenahi kacamatanya,
lalu berdiri. Ia meraih ke dalam jambangan terbesar dan mengeluarkan salah satu
kepingan nama. "Hsin Shuyang!" panggilnya.
Ruangan itu mendadak sunyi. Hsin menatap kotak uang itu, urat sarafnya berperang
antara kegembiraan dan ketakutan. Ia telah ikut permainan itu berbulan-bulan.
Akhirnya ia mendapatkan kesempatan itu. Kesempatan untuk memenangkan cukup uang
untuk meyelamatkan Kim. Dan jika ia tidak memenangkan uang itu... tidak, ia
tidak boleh berpikir seperti itu.
Lau mengangkat jambangan yang kecil dan kepingan yang berwarna putih - kepingan
yang dapat menyelamatkan nyawa Kim.
Hsin merasakan harapannya tumbuh ketika Lau menjatuhkan kepingan putih itu ke
dalam jambangan. Tam membawa jambangan kecil itu melalui kerumunan. Ia bergerak dengan kecepatan
yang tidak biasanya. Semua itu tiba-tiba terjadi terlalu cepat. Hsin merasa
sebutir keringat jatuh di antara tulang bahunya saat Tam meletakkan jambangan di
tangannya. Sebagian dirinya merasa tidak percaya kalau hal ini nyata. Sebagian lagi sadar
bahwa dua nyawa - nyawa Kim dan nyawanya - tergantung pada apa yang akan terjadi
pada detik berikutnya. Hsin baru saja mendengar teriakan yang memberinya semangat dari orang-orang
sekelilingnya. Ia memegang jambangan batu jade tinggi-tinggi di atas kepalanya
dan mengguncang-guncangnya tiga kali. Ada ukiran naga di sisinya. Ia menyadari,
sebuah simbol keberuntungan. Ia menghela napas sebentar, lalu memejamkan
matanya, meraih ke dalam, dan mengeluarkan sebuah kepingan.
Hsin tidak berani melihatnya. Waktu seakan-akan berhenti berdetak. Ia terus
memejamkan matanya, berharap, berdoa agar kepingan yang dipegangnya di dalam
genggamannya itu adalah kepingan putih. Di sekelilingnya ia mendengarkan yang
lainnya, tidak sabar untuk mengetahui apa yang telah diambilnya.
Hsin merasa dirinya tidak bisa bergerak. Tidak bisa bernapas. Harapan dan
ketakutan bercampur dan membentuk simpul di tengah-tengah dadanya. Dua pilihan,
kepingan itu dapat mengubah seluruh hidupnya.
Ia merasa seseorang membuka genggamannya. Semoga itu adalah kepingan yang
berwarna putih, semoga aku mendapatkan hadiah uang itu untuk Kim.
Ia membuka matanya ketika Tam memegang kepingan merah itu dan mengumumkan
nasibnya itu ke seluruh ruangan.
"Yenjing!" teriaknya.
Ruangan itu meledak karena teriakan-teriakan. Hsin merasa kakinya gemetar dengan
hebat. Ia pikir ia tidak akan dapat berjalan.
Tiba-tiba semuanya berjalan dengan cepat. Ia dibantu berdiri dari kursinya dan
dikawal melalui pintu tunggal di mana Oi-Huan Li terakhir kali terlihat.
Chapter 8 Detektif Glen Chao sedang berada di mejanya, sedang bicara di telepon, ketika
sebuah kendi kaca ditaruh di mejanya. Kendi itu berisi seekor katak hijau kecil.
Chao, bingung, menatap Scully dan Mulder yang sedang memperhatikannya.
Chao dengan cepat menyelesaikan percakapannya, lalu menaruh gagang telepon itu.
"Apa ini?" tanyanya sambil mengambil botol itu.
"Kami harap kau dapat menerangkannya kepada kami," kata
Scully dengan suara yang keras. "Ini ditemukan di dada mayat orang yang dikubur
di pemakaman." "Ini?" tanya Chao, menunjuk ke arah kodok itu.
"Katamu kodok adalah lambang keberuntungan dan kesejahteraan," Scully
mengingatkannya. "Kecuali ini adalah guyonan orang sakit, menurutku ini pasti
mempunyai arti yang lain."
Chao menggelangkan kepalanya dan meletakkan kendi itu.
"Yah, bila itu telah terjadi, aku tidak tahu apa itu. Maksudku, itu bisa saja
semacam... lambang Triad. Sesuatu yang berkaitan dengan organisasi kriminal..."
"Yah, mungkin kamu dapat mengatakannya padaku," lanjut Scully. "Pernahkan kamu
mendengar sesuatu di jalan tentang pasar gelap penjualan organ-organ tubuh?"
"Apa" Di sini, di Chinatown?" tanya detektif itu, suaranya penuh dengan ketidak
percayaan. "Orang ini dengan kodok di dalam dadanya telah kehilangan sebuah kornea dan
sebuah ginjal," kata Scully, kurang yakin ia dapat mengerti maksudnya. "Semuanya
itu telah diambil sebelum ia mati. Sebelum pengambilan terakhir jantungnya. Dan
aku menemukan sisa es steril di kulitnya di dalam dan di sekeliling irisan bedah
di dadanya. Itu adalah zat kimia yang biasa digunakan untuk menyimpan organ-
organ tubuh manusia untuk transplantasi."
Chao menggelengkan kepalanya dan tertawa dengan putus asa. Sepertinya, yang
dikatakan Scully padanya adalah sesuatu yang mustahil. "Aku tidak pernah
mendengar hal-hal seperti itu," katanya.
Mulder berdiri di jendela kantor polisi, dengan tekun diikutinya percakapan
mereka, dan melihat Chao semakin menyulitkan waktu demi waktu.
"Kami membutuhkan bantuanmu lebih banyak dari itu, Detektif," kata Mulder.
Senyum Chao memudar. "Maksudmu aku tidak mencoba membantumu?"
"Tidak," kata Mulder, melangkah menuju ke arahnya.
Scully tidak sabar menghabiskan waktu untuk diplomasi. Ia berkata dengan datar.
"Kesanku adalah kau merasa marah kepada kami karena kami berada di sini atau kau
merasa perlu melindungi masyarakat Cina."
"Lihat, kalian bahkan tidak tahu kalian berurusan dengan apa," kata Chao
perlahan, dengan suara emosi. "Ini bukanlah semacam... kotak kecil mengkilap
yang dapat dengan mudah kalian buka dan menemukan apa yang ada di dalamnya.
Kalian mungkin melihat wajah seorang Cina di sini, tapi biar kukatakan pada
kalian - orang- orang di jalan tidak melihat wajah yang sama. Mereka melihat wajah seorang
polisi. Orang Cina yang lahir di Amerika. Bagi mereka, aku sama putihnya dengan
kalian." Dengan marah ia berdiri dan meraih jaketnya, berhenti mengambil selembar kertas
dari mejanya. "Kalian pikir karena aku dapat bicara bahasa mereka, aku dapat
menjawab semua pertanyaan kalian. Katakan padaku, apa bagusnya seorang
penerjemah bila semua orang berbicara menggunakan bahasa diam?"
Chao menempelkan lembaran kertas putih di jaket Mulder ketika ia berjalan
melewatinya. "Apa ini?" tanya Mulder.
"Itu adalah nama perusahaan yang memasang karpet di apartemen Johnny Lo," jawab
Chao dengan marah. "Aku kebetulan saja mendapatkannya ketika aku duduk di sana
sambil memutar-mutar jempolku. Kalian ikut denganku tidak?"
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Chapter 9 Dua puluh menit kemudian, Chao, Mulder, dan Scully berdiri di gang yang kumuh
dan suram di sebuah bangunan apartemen Chinatown.
Chao menekan sebuah tombol. Di balik pintu itu, mereka mendengar langkah kaki
yang diseret, lalu suara kunci dibuka.
Pintu terbuka sedikit dan seseorang mengintip keluar melalui rantai pengaman.
Mereka dapat melihat sebagian wajahnya - orang itu setengah umur dengan ekspresi
siaga. "Mr. Hsin?" Chao menunjukkan tanda pengenalnya. "Saya Detektif Chao dari
Kepolisian San Francisco. Bisakah kami bercakap-cakap dengan Anda?"
"Saya sudah terlambat bekerja sekarang," jawab Hsin. Ia berbicara dengan
perlahan, bahasa Inggris yang hati-hati dari seseorang yang belum terbiasa
dengan bahasa itu. "Cuma beberapa menit," Chao meyakinkannya. "Bisakah kami masuk?"
Hsin menghela napas sebentar, lalu dengan enggan membuka pasak rantai pengaman
dan membiarkan mereka masuk.
Ketika mereka melangkah masuk ke dalam apartemen, Hsin menutup pintu dan para
agen itu akhirnya bisa melihatnya.
Ia ramping, agak bungkuk dan berumur akhir empat puluhan. Rambut hitamnya mulai
berwarna abu-abu. Ia mengenakan baju lengan pendek yang ketat dan celana
panjang. Tapi yang paling mencolok darinya adalah balutan tebal yang menutupi
salah satu matanya. Scully yang memulai bicara. "Mr. Hsin, dapatkah saya bertanya apa yang terjadi
dengan mata Anda?" "Kecelakaan waktu kerja," jawab Hsin dengan kaku. "Paku karpet."
Mulder dan Scully bertukar pandang tidak percaya.
"Sudah berapa lama Anda tinggal di negara ini, Mr. Hsin?" tanya Mulder.
"Tiga tahun," jawab Hsin.
"Apakah Anda tinggal sendiri di sini?" tanya Mulder.
Sebelum Hsin bisa menjawab, suara seorang wanita muda memanggil dari kamar
sebelah,"Apakah ada orang di sana?"
Hsin menunjuk ke arah kamar tidur. "Anak perempuan saya," ia menjelaskannya
kepada ketiga petugas itu.
Ingin tahu, Chao berjalan menuju kamar gadis itu.
Scully memulai daftar pertanyaannya. "Mr. Hsin, Anda yang memasang karpet di
tempat tinggal seseorang yang bernama Johnny Lo."
Mulder berjalan menuju ke dapur, melihat-lihat apartemen itu. Ia mencatat sebuah
jaket Ahli Karpet Bay Area tergantung di kaitan; tirai kabut putih menutupi
kerai Venesia; Tea set keramik diatur rapi.
Jelas bahwa Hsin tidaklah mempunyai banyak uang, dan ia berusaha membuat
rumahnya menjadi bagus. Hsin kelihatan bingung oleh pertanyaan Scully tentang Johnny Lo. "Saya tidak
tahu namanya," katanya perlahan. "Orang yang menyewa saya hanya memberitahukan
alamatnya." "Baik, kami akan menghubungi orang yang menyewa Anda," kata Scully. "Ia
mengatakan ini adalah pekerjaan yang harus Anda ambil. Ia tidak mempunyai
catatan pesanannya."
Mata Mulder menangkap sesuatu. Di atas lemari kayu ia melihat kotak porselen
putih biru dan di sekelilingnya ukiran kotak yang berwarna merah terang. Di
antaranya ada sebuah kepingan kecil berwarna merah.
Mulder mengambil kepingan itu dan membaliknya. Di satu sisi, sebuah huruf Cina
dicat dalam warna emas. Hsin kelihatan bingung oleh pertanyaan Scully. "Siapa nama orang yang tinggal di
apartemen itu?" tanyanya kepada Scully.
"Namanya adalah Johnny Lo," ulang Scully. Ia tidak bisa mengatakan apakah Hsin
sungguh-sungguh kesulitan memahaminya, atau ia berpura-pura.
"Ia telah mati sekarang. Terbunuh," kata Scully, ingin membuat Hsin terkesan
dengan betapa seriusnya kasus ini. "Dan kami pikir karpet itu dipasang untuk
menutupi bukti-bukti pembunuhannya."
Hsin mengangkat alis matanya, kelihatan kaget.
xxxxxxx Detektif Chao mengulurkan kepalanya ke bagian belakang kamar tidur. Ia melihat
bingkai lukisan Cina di dinding, korden kembang-kembang menutupi jendela.
Seorang wanita berbaring di tempat tidur, memejamkan matanya. Ia kelihatan demam
dan lemah. Ia merasa seperti pernah melihatnya sebelumnya - seseorang yang tidak ada di
seluruh dunia ini, seseorang yang menanti antara hidup dan mati.
Merasakan kehadiran Chao, ia membuka matanya dan bangkit duduk.
Ia berbicara dengannya dalam bahasa Canton: "Di mana ayahku?"
"Ia ada di sini," kata Chao dalam suara yang mencoba meyakinkannya.
"Siapa Anda?" tanyanya.
Ia cantik, Chao menyadarinya, dan ketakutan. "Aku di sini hanya untuk
menanyainya beberapa pertanyaan," jawabnya.
Melihat kesulitan di wajahnya, ia cepat-cepat pergi sebelum perempuan itu
menanyainya lebih banyak.
xxxxxxx Scully memegang buku catatan. Sampai sejauh ini ia tidak menulis apa pun di
atasnya. Hsin masih bingung dengan pertanyaannya atau sudah sampai di ujung
bibirnya. Kesabarannya sudah mulai menipis dan semakin habis. Tapi ia masih
mendesak. "Apakah Anda masih ingat siapa yang menelepon Anda tentang pekerjaan itu" Siapa
yang menyewa Anda untuk melakukan pekerjaan itu?"
"Saya rasa saya ingat mengenai pekerjaan ini," Hsin menjawab. "Seorang pria
datang pada saya, menawarkan sejumlah uang."
"Apakah Anda melihat bekas genangan darah ketika Anda memasang karpet itu?"
tanya Scully. "Genangan darah?" Hsin menjawab, menggeleng-gelengkan kepalanya.
Detektif Chao dan Mulder kembali dari dapur pada saat yang bersamaan. Mereka
menarik perhatian Scully, memberikan gerak isyarat ke arah pintu.
"Terima kasih, Mr. Hsin," kata Mulder, mengakhiri wawancara yang tanpa tujuan
itu. "Jika kami membutuhkan Anda, kami akan kembali kepada Anda, oke?"
Hsin tersenyum, tampak lega, dan mengangguk.
Mulder dan Scully meninggalkan apartemen itu, tapi Detektif Chao berbalik
kembali, berbicara dalam bahasa Cina pada Hsin.
"Ada apa?" Scully bertanya pada rekannya itu.
"Akan kukatakan sebentar lagi," kata Mulder. Ia melihat ke belakang melalui
pintu apartemen yang terbuka, pandangannya terfokus pada kedua laki-laki itu. Ia
memandang percakapan mereka.
Hsin sedikit membungkuk hormat kepada Chao.
Scully memandang dengan tangan terlipat. Ia tidak mempunyai petunjuk atas apa
yang diperbincangkan mereka, tapi Hsin kelihatan sama sekali berbeda dengan
Chao, menepuk-nepuk bahunya hampir seperti mencoba untuk meyakinkannya. Atau -
ada kemungkinan lain yang terjadi pada anak perempuannya - seperti ia mengenal
Hsin. Beberapa detik kemudian percakapan itu berakhir dan Chao berjalan ke dalam gang.
Hsin menutup pintu di belakangnya.
"Mengenai hal apa tadi?" tanya Mulder kepada Chao.
"Ia menutup jendela belakang," jawab Chao. "Kukatakan padanya itu mudah
terbakar." Mulder mengangguk, lalu ia mengangkat kepingan segi tiga merah yang ditemukannya
di apartemen Hsin. "Kau tahu apa ini?" tanya Mulder.
Chao mengambilnya dan mempelajarinya. "Tidak."
"Kau tahu apa yang tertulis di situ?"
"Ini huruf untuk kayu," jawab Chao.
"Kayu?" ulang Mulder.
"Iya, kenapa" Apa yang kau pikirkan?" tanya Chao.
"Pria ini bukan mengalami kecelakaan kerja," tambah Scully.
"Kupikir ia kehilangan matanya," kata Mulder. "Dan aku ingin tahu bagaimana ia
kehilangan mata itu."
"Mungkin kita harus mengawasi setiap gerakan Mr. Hsin." usul Scully.
"Yah," Mulder setuju. "Dan bagaimanapun aku berani bertaruh ia tidak akan
mengunjungi dokter mata."
Chapter 10 Hsin menghela napas ketika ia menutup pintu di belakang ketiga tamunya itu. Tapi
ia menempelkan telinganya ke pintu, mencoba mendengarkan pembicaraan mereka. Ia
bisa mendengarkan omongan si wanita. Apakah si wanita itu mempercayainya"
Ia berbalik ketika mendengar suara perlahan anak perempuannya. "Ayah?"
Ia berdiri dengan gaun malamnya di pintu yang menuju ke kamar tidur.
"Apakah Ayah mendapat kesulitan?" tanyanya dengan nada cemas.
"Apa yang kau lakukan?" Hsin menghardik, gelisah melihat ia bangun. "Kembali ke
tempat tidur - kau seharusnya berbaring di tempat tidur! Sekarang!"
Keadaannya benar-benar memburuk. Ia kelihatan sangat pucat hampir seperti mayat.
Hsin berjalan mendekati anaknya, memastikan ia kembali ke tempat tidur. Tapi
anaknya menolak mengalihkan pembicaraan.
"Apa yang terjadi pada mata Ayah?" tanyanya.
"Tidak ada, aku mengalami kecelakaan."
"Kecelakaan apa?"
"Kecelakaan kerja, itu saja."
"Tidak mungkin," kata Kim. Tubuhnya mungkin lemah, tapi pikirannya masih tajam
seperti biasanya. Ayahnya dalam bahaya, dan ia tidak akan bersikap pura-pura
tidak mengetahuinya. "Semalam ketika ayah pulang kerja, tidak ada yang tidak
beres. Ayah terluka setelah itu - "
Ia berpaling menghadapnya. "Ini bukan urusanmu. Kau mengerti?"
"Tidak, aku tidak mengerti," jawab Kim, suaranya pelan tapi pasti. Keras kepala
seperti ibunya dulu, pikir Hsin. Hsin telah melihat istrinya meninggal karena
kanker. Ia tidak mau kehilangan anaknya juga.
"Bagaimana kau bisa sembuh?" tanyanya pada anaknya, sebuah keputusasaan dalam suaranya. "Bagaimana kau bisa
sembuh jika kita tidak mempunyai uang untuk ke dokter?"
"Apa yang akan kulakukan jika sesuatu terjadi pada Ayah?" Kim membalas. Suaranya
menjadi perlahan. "Aku hanya mengkhawatirkan Ayah - "
"Aku bangun setiap hari dengan kecemasan!" Hsin berkata.
Ketakutan yang menggelutinya berbulan-bulan, yang dijaganya dengan hati-hati
dari anaknya, mengalir keluar dengan nada sedih yang mendalam. "Pernahkah aku
membuat kesalahan" Apakah aku telah berbuat bodoh" Apakah aku telah membuat
kesalahan dengan pindah ke negara ini" Apakah para leluhur telah mengutuk kita
karena meninggalkan kampung halaman" Apakah karena itu kau menjadi sakit
sekarang?" "Ayah tidak bisa disalahkan," kata Kim kepadanya.
Ia meraih tangan ayahnya sebentar, lalu memeluknya. "Siapa yang patut
disalahkan?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Jika kau tidak tertolong, lalu siapa yang patut disalahkan selain aku?"
Hsin mendekap anaknya. Air mata mengalir dari luka di matanya, mengalir merah ke
gaun malam Kim. *** Sudah lewat pukul delapan malam ketika mobil Chao sampai di depan rumahnya di
area Richmond San Francisco. Chao telah menabung lima tahun untuk membeli tempat
ini. Bahkan sekarang, setiap sen yang didapatkannya untuk ini. Ia baru saja
mengecat ulang bagian luar dan kaca atap baru dipasang di dapur dan kamar tidur.
Real estate di San Francisco sangat mahal dan rumah itu didapatkannya dengan
tidak mudah, dan itu sangat berharga baginya.
Setelah bertahun-tahun ia terkungkung di apartemen Chinatown di mana ia tumbuh,
rumah itu adalah bukti bahwa Chao telah berhasil. Ia tidak pernah menyesal. Ia
merasa terus diingatkan akan kesuksesannya setiap kali pulang ke rumah itu, ke
kamar-kamar yang berlangit-langit tinggi dengan lantai kayu Oak yang mengilap.
Sekarang ia mematikan mesin mobil dan lampu depannya. Ia melangkah keluar dan
mulai berjalan. Langkahnya dipercepat tatkala melihat sesuatu di depan pintu
depannya. Cat putih murni dioleskan dengan kasar, huruf-huruf berwarna merah terang. Tsang
fang. Rumah hantu. Huruf-huruf yang sama dengan yang ditemukannya di pintu rumah
Johnny Lo. Dengan gugup Chao menyentuh cat itu. Masih segar, basah, masih lembab. Ia
menatap sekeliling, mencari apakah si pelaku masih terlihat. Tapi tidak ada
gerakan di jalan, tidak ada tanda dari siapa pun.
Chao gagal memasukkan kunci di pintunya. Ia mengumpat tanpa suara. Tangannya
gemetar. Ia melangkahi pintu yang terbuka itu. Untuk sesaat, ia berdiri terdiam. Ia tidak
merasakan sesuatu yang tidak biasanya. Ia bisa mendengar lemari es berdengung di
dapur. Jam berdetak di ruang keluarga, di rak di atas tungku perapian.
Jantungnya berdebar. Tidak ada orang di sini, hanya ada dia.
Bergerak dengan tanpa suara, ia menutup pintu di belakangnya dan memasukkan
rantai pengaman. Ia menghidupkan lampu lorong. Pancaran sinarnya cukup untuk sampai ke dalam
ruang tamu agar Chao dapat melihat bahwa rumah itu tidaklah kosong sama sekali.
Ia mendapat tamu. Tiga setan bertopeng, wajah mereka muncul dari kegelapan,
hampir seperti tanpa wujud. Persis layaknya hantu.
Chao merasa gelombang ketakutan menyapu dirinya. Kali ini, mereka datang
padanya. Chapter 11 Chinatown di waktu malam tidak pernah benar-benar gelap. Selalu saja ada sinar
lampu neon di sana, sinar lampu sorot, sinar lampu jalan, dan sinar layar
televisi terlihat lewat jendela apartemen, sinar-sinar dari beberapa toko, dan
restoran yang buka sepanjang malam.
Di luar bangunan rumah Hsin, sebungkus petasan meledak. Para pelaku muda yang
menghidupkannya tidak peduli pada mobil sewaan yang diparkir di sana. Mobil di
mana Mulder duduk, menunggu.
Mulder memeriksa jam tangannya lalu melihat ke arah apartemen Hsin. Ia dapat
melihat lampu-lampu di dalam apartemen Hsin. Korden telah diturunkan. Sejauh
ini, mengikuti Shuyang Hsin tidak membuat mereka pergi ke mana-mana. Sejak
mereka mulai mengawasi apartemen itu, Hsin tetap tinggal di dalam.
Mulder menggosok matanya, lalu menyandarkan kepalanya ke belakang. Ia langsung
meluruskan tubuhnya dengan cepat, ketika sebuah tangan membuka pintu tempat
penumpang. "Kau kelihatan seperti baru saja melihat hantu," kata Scully, meluncur masuk ke
dalam kursi penumpang dan menutup pintu itu.
"Aku agak capek," Mulder mengakui. "Dan gelisah. Serangkaian petasan baru saja
mati, dan aku ingin keluar dari mobil ini dan menembak seseorang."
Scully melihat ke atas, ke arah jendela yang terbuka. "Ia belum meninggalkan
apartemennya, bukan?"
"Belum," jawab Mulder. "Aku senang kau sudah di sini. Aku baru saja ingin pergi
ke atas dan bertanya pada Mr. Hsin kalau-kalau boleh aku menggunakan kamar
mandinya." "Yah, kau dapat menggunakan yang ada di Rumah Sakit St. Francis," kata Scully
sambil memasang sabuk pengaman.
"Apa maksudmu?"
"Detektif Chao diserang di rumahnya malam ini. Aku baru saja berbicara dengan
Letnan Neary. Ia bilang Chao tertusuk cukup parah."
"Siapa yang menusuknya?" tanya Mulder.
"Aku tidak tahu," kata Scully. "Tapi kita seharusnya menyelidikinya."
Ketika Mulder dan Scully bersiap hendak berangkat ke Rumah Sakit, seorang pria
berjalan menuju apartemen Hsin. Seorang pria dengan rambut abu-abu dan ekspresi
keras di matanya. Orang yang sama yang mendekati Oi-Huan Li sesaat sebelum ia
kehilangan kesadarannya untuk yang terakhir kali.
Hsin duduk di meja dapur, sedang makan malam, ketika ia mendengar bel pintu
berdering. "Siapa itu?" teriaknya melalui pintu yang masih tertutup.
"Kau tahu siapa ini," suara itu menjawab. Hsin mengenali suara itu. Itu adalah
si Dokter, orang yang menyelenggarakan permainan itu.
Ia tidak pernah mucul di tempat permainan, tapi semua orang tahu ia yang
mengontrolnya. Rasa sakit terasa melanda Hsin ketika ia menyadari sesuatu yang lain. Pada malam
sebelumnya, setelah ia diberi semacam teh untuk diminum, semuanya kelihatan
seperti berkabut. Sulit untuk mengingat apa yang telah terjadi. Tapi ia hampir
pasti bahwa si dokter itulah yang memegang pisau bedah. Dokter yang mengambil
matanya. Bertahun-tahun yang lalu, Dokter itu datang ke negeri ini tanpa bisa berbahasa
Inggris. Meskipun ia telah mendapat gelar dokter medis di Cina, ia tidak bisa
mendapatkan pekerjaan. Ia mengikuti permainan itu dan memenangkan ratusan ribu
dolar. Itu yang membuatnya menjadi orang kaya.
Hsin ragu-ragu sejenak, lalu membuka pintu.
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dokter itu tidak ingin membuang-buang waktu dengan basa-basi. "Aku belum
menerima pembayaranmu," katanya.
Hsin teringat percakapan terakhirnya dengan Kim, dan ia tahu apa yang harus
dikatakannya. "Aku mau keluar."
"Kau mau keluar dari permainan itu?" Tidak percaya dengan pemberitahuan ini, si
Dokter mengeluarkan sebutir buah plum dari sakunya dan mulai memakannya.
"Aku berhenti," Hsin berkata padanya, gugup tapi tegas. "Tidak lagi."
"Kau lebih beruntung dari yang lainnya," kata si Dokter.
"Selama ini dan hanya sekali sial. Kebanyakan orang akan senang untuk bertukar
tempat denganmu. Guci itu sekarang hampir dua juta dolar. Satu tarikan, Mr.
Hsin. Satu tarikan dan mungkin kau akan memenangkan lebih dari yang pernah
kudapat." "Tapi mungkin aku tidak seberuntung itu," Hsin membantah.
"Uang itu dapat membantu menyelamatkan hidup putrimu," pria itu mengingatkannya.
"Mungkin aku tidak seberuntung itu," ulang Hsin. Akhirnya ia mengatakan
ketakutannya dengan keras. "Mungkinputriku akan mati tanpa ayah di sisinya.
Sendirian di tengah orang-orang asing."
"Kau seharusnya memikirkan ini sebelum masuk ke permainan itu, Hsin. Kau harus
tetap terus bermain. Kau tahu aturannya. Tak seorang pun yang membicarakan
tentang permainan ini.....tak seorang pun yang meninggalkan permainan ini."
Kim mendengar suara di dapur itu. Ingin tahu, ia bangkit dari tempat tidur dan
mendengarkan dari pintu. Ia tidak mengenali suara tamu itu. Itu pasti bukan pria
muda tampan yang menengoknya kemarin. Siapa orang asing yang sedang berdebat
dengan ayahnya itu" "Tapi putriku!" Hsin berkeras.
"Itu adalah aturannya," si Dokter berkata padanya dengan dingin. "Aturan itu
tidak boleh dilanggar, atau nanti api Ti Yu akan memakanmu."
Hsin sekarang memohon, kedua tangannya menutup di depannya. "Tolonglah! Aku
mohon padamu!" "Itu bukan pilihanku," kata si Dokter. Ia membuka pintu dan pergi, meninggalkan
Hsin yang menderita dalam kurungan masalahnya.
Di belakang pintu, Kim mendekap mulutnya, berjuang menahan godaan untuk
mengatakan pada ayahnya apa yang telah didengarnya.
Ia tidak tahu siapa orang asing itu, apa yang dibicarakannya, atau hal apa yang
ayahnya ingin keluar. Hanya satu yang jelas. Nyawa ayahnya dalam bahaya.
Chapter 12 Mulder dan Scully berjalan melewati sepasang pintu yang membawa mereka ke tempat
Glen Chao dirawat. Letnan Neary berdiri di ujung ruangan, sedang berbicara dengan beberapa orang
petugas yang tidak berseragam. Ia memutus percakapannya ketika melihat kedua
agen FBI itu. "Bagaimana keadaannya?" tanya Scully.
"Ia telah pergi," kata Neary dengan tegang. "Ketika aku sampai di sini untuk
menjenguknya, ia tidak berada di tempat tidurnya."
"Apakah ada yang melihatnya pergi?" tanya Mulder.
"Yah, perawat bilang setelah mereka selesai menjahit lukanya, ia bangkit dan
pergi ke kamar mandi. Itulah terakhir kali orang melihatnya."
"Mengapa ia pergi begitu saja?" kata Scully dengan keras.
Neary menggelengkan kepalanya, bingung.
"Dapatkah aku melihat catatan pengobatannya?" tanya Mulder.
"Catatan pengobatannya?" ulang Neary, terkejut. "Tentu."
Scully ingin tahu arah mana yang akan dituju Mulder dengan itu. Ketika Neary
pergi meminta catatan pengobatan Chao, ia bertanya kepada rekannya itu: "kau
ingin melihat di mana cederanya?"
"Bukan," jawab Mulder. "Aku ingin melihat golongan darahnya."
"Golongan darahnya?"
"Kenapa ia lari, Scully?" tanya Mulder.
"Kau pikir Chao terlibat?" tanggap Scully.
"Mungkin ia mencoba mengalihkan perhatian dan cerita mengenai hantu-hantu itu
adalah sebuah tipu muslihat," kata Mulder.
"Apa golongan darah yang kita temukan di lapisan karpet?"
Scully mengeluarkan buku catatannya dan membukanya ketika Neary kembali dengan
catatan pengobatan itu. "O negatif," kata Scully. Itu adalah salah satu golongan darah yang langka.
Mulder mengambil catatan medis itu dari Neary, lalu membacanya keras-keras,"
'Glen Chao. O Negatif.' "
Ia mengulurkan catatan medis itu ke Scully dan berpaling ke arah Neary, lalu
berkata,"Yah, itu adalah suatu kebetulan."
"Sekarang, tunggu sebentar," kata Neary. "Apa maksudmu?"
"Darah yang kita temukan pada lapisan karpet di apartemen si korban adalah darah
Detektif Chao. " "Dan aku ingin bertaruh bahwa ia adalah orang yang memerintahkan pemasangan
karpet baru itu," tambah Mulder.
Scully berpaling dari catatan kesehatan itu, menyadari akibat dari kata-kata
Mulder. "Mr. Hsin," katanya.
Mulder mengangguk. "Yeah, kupikir percakapan mereka itu bukan mengenai sesuatu
yang gampang terbakar."
Lima belas menit kemudian Mulder dan Scully berdiri di gang di luar apartemen
Hsin, menunggunya menjawab ketukan mereka.
Pintu terbuka dengan perlahan. Kali ini bukan Hsin, tapi putrinya yang menatap
kedua agen itu. Ia mengenakan mantel mandi berwarna putih, dan ada lingkaran
merah di sekeliling matanya.
"Ya?" kata gadis itu dengan gelisah.
"Hai," sapa Scully. "Kami mencari Mr. Hsin. Apakah ia ada di rumah?"
"Tidak, maaf." Mulder dan Scully bertukar pandang. Tak satu pun dari mereka yang
mempercayainya. Mereka telah mengawasi apartemen Hsin sepanjang hari, dan
sepanjang hari Hsin berada di dalam. Begitu mereka berhenti mengawasinya, ia
pergi. "Apakah kau putrinya?" tanya Scully, tidak bersedia menyerah.
"Ya," jawab gadis itu. "Namaku Kim."
"Boleh kami bicara denganmu?" tanya Scully.
Kim memandang mereka dengan ragu-ragu, lalu menutup pintu untuk membuka rantai
pengaman. Mulder dan Scully mengikuti wanita muda itu menuju ruang keluarga, tempat ia
duduk di sebuah kursi. Scully melihat gadis itu dengan penuh perhatian. Ia mempunyai kesan yang jelas
bahwa Kim duduk di situ karena alasan sederhana saja. Ia membutuhkan perjuangan
yang besar untuk berdiri.
"Ayahmu terlibat dalam masalah apa, Kim?" tanya Mulder.
Pada mulanya Kim tidak menjawab. "Aku tidak tahu," akhirnya ia berkata. "Kemarin
seorang asing mengunjunginya. Dan ia sering keluar. Aku tahu ia melakukannya
untukku. Karena aku."
"Aku telah didiagnosis mengidap leukemia kelenjar getah bening yang akut enam
bulan yang lalu," kata gadis itu.
"Tapi itu adalah bentuk lain dari kanker," kata Scully.
"Biasanya pengobatan dilakukan melalui transplantasi sumsum tulang belakang."
"Tapi mereka sebelumnya harus memberiku kemoterapi," kata Kim. "Kami tidak
mempunyai uang atau asuransi. Kami tidak bisa mengusahakan perawatan itu.
Sekarang aku takut ayahku mungkin melakukan sesuatu yang ilegal. Ia telah
melakukan sesuatu yang salah dan sesuatu yang buruk telah datang."
Scully tidak mempunyai jawaban untuk itu. Ia tahu berapa besar uang muka untuk
perawatan medis di Amerika. Sering kali orang yang bisa mengusahakannya
terbatas. Perawatan rumah sakit mulai seribu empat ratus dolar sehari, dan itu
hanya untuk tempat tidurnya.
Kemoterapi; proses untuk menemukan donor yang tepat; pengambilan lalu
transplantasi sumsum tulang belakang si donor ke tubuh Kim - semuanya itu dapat
menghabiskan biaya ratusan ribu dolar. Situasinya menjadi sangat pelik oleh
fakta bahwa donor yang tepat untuk kaum minoritas sangat jarang. Alasannya
sederhana saja. Karena kelompok pendonor sangat kecil. Tanpa asuransi atau
tabungan yang cukup, perawatan medis yang dibutuhkan Kim adalah mustahil. Bahkan
bila ayahnya dapat membayar asuransi, beberapa perusahaan asuransi tidak akan
menerima seseorang yang diketahui telah mengidap leukemia kelenjar getah bening
yang akut. Dan tentu saja, jika Hsin masuk ke negeri ini secara ilegal,
keadaannya akan semakin buruk. Lalu Kim tidak akan pernah bisa masuk ke dalam
daftar penerima donor. "Siapa pria yang mengunjungi ayahmu?" tanya Mulder.
"Saya tidak mengenalnya," kata Kim. "Aku hanya mendengar bahwa ayahku ingin
keluar - ia ingin keluar. Tapi mengenai apa, aku tidak tahu."
Aku berani bertaruh ini adalah sesuatu yang menjelaskan kenapa ia mengenakan
pembalut yang menutupi matanya, pikir Scully.
Mulder meraih ke dalam sakunya dan mengeluarkan kepingan segi tiga berwarna
merah yang ditemukannya sewaktu terakhir kali berada di apartemen Hsin.
"Kau tahu ini apa, Kim?" tanya Mulder.
Kim mengambil kepingan itu dan menelitinya. "Tidak."
"Itu tadinya terletak di atas lemari. Apa kau tahu apa yang tertulis di situ?"
"Itu adalah lambang untuk kayu," kata Kim, sesuai dengan apa yang dikatakan Chao
pada mereka. "Dalam pengobatan Cina itu juga berhubungan dengan mata. Seperti
api yang berhubungan dengan jantung, dan tanah dengan daging."
Ia mengulurkan kepingan itu kepada Mulder.
Mulder menatap Scully. Ini semua adalah permulaan dari jalan yang tidak
disukainya. Scully mengambil selembar kertas dari ujung meja di sampingnya. Denyut
jantungnya menjadi cepat ketika ia mengenali singkatan-singkatan dan simbol-
simbol yang tidak asing lagi. "Ini adalah cetakan leukosit manusia," katanya,
menunjukkan kertas itu kepada Kim. "Apakah ayahmu telah ditolak sebagai pendonor
sumsum tulang?" "Ya," kata gadis itu. "Beberapa bulan yang lalu. Jika ia mendonorkan sumsumnya,
salah satu kemungkinan tubuhku akan menolaknya, atau sel tubuhnya akan menyerang
tubuhku dan menyebabkan penyakit lever."
Scully meneruskan membaca laporan itu, ingin tahu berapa banyak yang tidak
dikatakan Hsin pada putrinya. Lalu ia mengenali sesuatu yang tidak tertangkap
olehnya pertama kali tadi: tanggal di atas halaman itu. "Laporan ini dari
Organisasi Pengumpul Organ Tubuh," katanya. "Tanggalnya baru sebulan yang lalu.
Ayahmu menderita HLA (Human Leukocyte Antigen), tapi ia memeriksa ginjalnya, dan
juga hatinya..." Mulder mendengarkan, merasa sesuatu kegembiraan yang tidak asing lagi ketika
potongan-potongan kasus itu akhirnya mulai bersatu.
Hsin menemui Organisasi Pengumpul Organ Tubuh bukan untuk memberikan Kim sumsum
tulangnya. Bukan, organ-organ yang terdaftar di situ dimaksudkan untuk seseorang
- atau sesuatu - lain.
Sesuatu yang berhubungan dengan mata kaca Johnny Lo dan mayat yang mereka
temukan di kompleks pemakaman.
Mulder membalik kepingan merah yang halus itu, menambahkan apa yang telah
dikatakan Kim pada mereka. Dan akhirnya memahaminya.
Ia merinding ketika mengatakan, "Mereka menjalankan suatu permainan."
Chapter 13 Hsin merasa ketakutannya bertambah ketika ia memasuki ruangan permainan. Ia
secara sadar selalu tahu akan risikonya, tapi tidak sampai terakhir kali. Risiko
itu telah menjadi nyata. Menjadi risikonya. Belum terlalu lama, ia merasakan
harapan ketika memasuki ruangan ini. Sekarang ia merasa seperti orang yang
berjalan menuju tempat eksekusinya sendiri.
Seperti biasanya, asap memenuhi udara, dan ruangan permainan itu dipenuhi
dengungan suara. Hsin berjalan melalui kerumunan menuju ke sebuah kursi, lalu menarik napas
panjang, mencoba untuk menenangkan debaran jantungnya. Ia melihat dengan takut
pada ujung meja, tempat pria beruban membuka kunci kotak kayu ukiran.
Butir-butir keringat membasahi keningnya. Hsin menatap tumpukan lembaran ratusan
dolar, seolah bila ia menatapnya cukup lama, maka ia akan bisa memilikinya.
Permainan ini untuk mendapatkan itu, katanya kepada dirinya sendiri. Apa yang
kubutuhkan hanyalah satu tarikan keberuntungan, dan Kim akan dapat disembuhkan
dan permasalahan kami akan berakhir.
*** Tidak ada seorang pun di lorong putih dan dingin di Organisasi Pengumpul Organ
Tubuh di tengah kota San Francisco. Saat itu sudah lewat jam kerja normal, dan
sekeliling kantor itu telah gelap dan sepi.
"Kelihatannya semua sudah pulang," kata Mulder.
"Tidak," kata Scully, "Seharusnya ada seseorang yang berada di sini sepanjang
waktu, menunggui telepon dan komputer. Waktu sangat kritis untuk transplantasi.
Sebuah organisasi seperti ini haruslah dapat segera memberi tahu rumah sakit
secepatnya setelah organ tersedia."
Scully mengetuk pintu kaca. Tulisan di situ ditulis dalam bahasa Inggris dan
Cina. Akhirnya seorang petugas wanita dengan rambut cokelat panjang melangkah keluar
dari belakang kantor untuk melihat siapa yang menimbulkan keributan itu. Ia
datang menuju pintu kaca dan dengan kasar membukanya sedikit.
"Agen Mulder dan Scully," kata Scully, menunjukkan tanda pengenalnya.
"Terima kasih," kata Scully ketika ia dan Mulder melangkah masuk. "Kami
memerlukan beberapa informasi dan kami membutuhkannya secepat mungkin."
"Informasi macam apa?" tanya wanita itu.
"Kalian telah kedatangan seseorang yang bernama Shuyang Hsin. Ia memiliki
cetakan HLA dan beberapa - "
"Aku rasa aku mungkin tahu mengenai hal itu," potong wanita itu.
"Apa?" tanya Mulder.
"Yah, kami telah melihat beberapa orang Asia datang untuk menulis dan mencetak
antigen, tapi ketika kami menemukan penerima donor yang cocok dengan mereka,
dokter mereka berkata bahwa mereka telah meninggalkan tempat mereka atau
menghilang." "Apakah Anda mempunyai nama atau nomor telepon dokter tersebut?" tanya Mulder.
*** Hsin menahan napasnya ketika ia menjatuhkan kepingan yang memuat namanya ke
dalam kendi batu jade yang terbesar.
Tam, orang termuda dari ketiga orang itu, meneruskan mengedarkan kendi ke
sekeliling ruangan, meyakinkan bahwa tidak seorang pun menolak memasukkan nama.
Lalu dengan perlahan, hampir dengan khidmat, ia membawa kendi itu kembali ke
atas meja di depan ruangan.
Lau, orang yang mengenakan kacamata kawat yang mengilap, berdiri. Dengan
perlahan ia memasukkan tangannya ke dalam jambangan yang paling besar dan
mengambil sebuah kepingan. Ia mengangkatnya untuk membaca nama di situ.
Tidak mungkin terjadi lagi, kata Hsin pada dirinya sendiri. Sangat aneh bila ia
sampai terpilih dua kali.
Gelombang kesakitan menggulungnya ketika laki-laki itu membaca keras-keras,
"Hsin Shuyang!"
Tidak mungkin! Bagaimana ia bisa terpilih lagi"
Hsin menatap, membeku, ketika jambangan yang paling kecil melintas dari tangan
ke tangan, terus menuju kepadanya. Semua tergantung pada pilihannya. Ia
menajamkan matanya pada kotak uang itu. Semua.
*** Mulder telah berada di muka kemudi mobil sewaan ketika mobil itu keluar dari
area parkir Organisasi Pengumpul Organ Tubuh.
Ia berbelok ke salah satu jalan San Francisco yang sempit. Untuk pertama kali,
tidak ada rambu lalu lintas. Ia menambah kecepatan, berharap mereka belum
terlalu terlambat. Di sampingnya, Scully mendengarkan dengan tekun ponselnya.
"Ya, terima kasih," katanya pada pesawat penerima. Ia berpaling kepada Mulder.
"Perusahaan telepon memberiku alamat dari nomor telepon dokter itu," katanya
kepada Mulder. Ia kembali memperhatikan ponselnya. "Tiga satu satu Washington,"
katanya. "Baik. Terima kasih."
Mulder parkir di depan restoran dengan pagoda merah kecil di muka pintu
depannya. Tanda di depan pintu itu tertulis TUTUP.
Di dalam restoran itu gelap. Lampu neon di atas pintu menerangi bangunan itu
dalam cahaya yang merah suram. Mulder menatap bangunan itu dan tampak bingung.
Itu seharusnya bukan restoran.
"Tiga sebelas Washington, benar?" tanyanya pada Scully.
"Yeah," kata Scully, bersuara dengan sama terkejutnya. "Ini adalah tempat di
mana telepon dokter itu terdaftar."
"Seperti klinik," gumam Mulder. Matanya menyipit seperti tidak asing lagi.
Seorang bertubuh kurus dan kuat mendekat. "Hei, Scully, lihat siapa yang berada
di sini."
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Glen Chao berjalan mendekati restoran yang tertutup itu, memeriksa jalan
sekelilingnya dengan tidak peduli, lalu membuka kunci pintu dan masuk ke dalam
bangunan itu. Mulder tersenyum. "Ini pastilah tempat itu."
*** Hsin memegang jambangan jade kecil di atas kepalanya dan mencoba menahan gemetar
tangannya. Ia memandang lagi kotak ukiran naga di sisi kendi dan berharap naga
itu akan membawa keberuntungan baginya.
Kerumunan orang di sekelilingnya menjadi riuh rendah ketika ia mengocok
jambangan itu sekali, dua kali, tiga kali. Lalu mereka menjadi hening, menunggu
Hsin mengambil sebuah kepingan.
Hsin berdoa untuk keberuntungannya, lalu ia memasukkan tangannya ke dalam
jambangan. Tangannya menggenggam sebuah kepingan segi tiga kayu.
Ia tidak melihat pada kepingan yang diambilnya, tapi tetap menggenggamnya dengan
erat di dalam kepalannya.
Tam berjalan menuju ke tempat Hsin dan membuka kepalannya. Kepalannya terbuka
dan kepingan segi tiga diambil.
Hsin tetap tidak berani melihat.
Lalu ia mendengar Tam mengumumkan dengan suara yang lantang, "Xin!"
Ruangan seakan meledak karena kata itu. Hsin berbalik, mencoba lari, tapi
dinding manusia mengelilinginya. Menutupinya. Ia ditangkap seperti kelinci yang
kena perangkap para pemburu.
Tam menangkap Hsin dengan kasar dan menariknya menuju ke depan ruangan. "Kau
tahu aturannya," katanya.
Hsin memejamkan matanya yang masih normal. Ya, aku tahu aturannya, jawabnya
tanpa suara. Dan sekarang aku akan mati untuk mereka.
Semua mata mengikuti ketika Shuyang Hsin digiring menuju ke depan ruangan. Tidak
seorang pun yang mengetahui seorang Cina muda yang menyelinap di belakang. Tanpa
suara, Chao melihat ketika Hsin diseret - untuk membayar harga kesialannya.
Chapter 14 Mulder mencoba pintu yang dilalui oleh Chao tadi. "Pintu lain yang terkunci,"
gerutunya kepada Scully. "Kau tidak mengatakan padaku bahwa kau ingin menyerah sekarang, lalu pulang?"
tanyanya dengan khawatir.
"Tidak," kata Mulder, meraih ke dalam saku bagian dalam pakaiannya dan
mengeluarkan sebuah alat logam yang tipis.
Mencoba untuk terlihat seakan mereka sedang berdiri santai di jalan, Scully
menutupi Mulder dari para pejalan kaki ketika ia sedang bekerja dengan capit
itu. Beberapa menit kemudian kunci itu terbuka. Di dalam, semuanya tampak sunyi,
ruang makan gelap dan sepi. Satu-satunya cahaya datang dari neon-neon merah di
luar. Huruf-huruf Cina dilukis di jendela-jendela restoran, membentuk bayangan
merah panjang melintang di lantai.
Untuk beberapa saat Mulder berdiri terdiam, membiarkan matanya untuk
menyesuaikan dengan kegelapan. Ia dapat melihat kursi-kursi yang terbalik di
atas meja. Gelas-gelas, alat-alat makan dari perak, dan lipatan kain-kain serbet
di atas meja dorong logam.
Tidak ada tanda-tanda Glen Chao.
Setelah yakin bahwa Chao tidak berada di dalam ruangan itu lagi, kedua agen itu
menghidupkan senter mereka dan melangkah lebih jauh ke dalam ruangan yang gelap
itu. Ke mana perginya Chao" pikir Mulder. Dan mengapa seorang dokter bekerja di
sebuah restoran" Mereka berjalan tanpa suara dari ruang makan menuju ke dapur.
Sinar senter Scully memantul di meja logam. Kompor-kompor besar dan bak-bak
cuci, tumpukan panci dan panci logam Cina, serta alat-alat perabot rumah tangga
bergelantungan di kaitan.
Mulder berhenti, mencium udara. "Pastilah bukan masakan Cina yang kucium ini,"
katanya. Scully berjalan di belakangnya. Ia melihat sesuatu yang mengilap di lantai dekat
kaki mereka - dan sebuah genangan di keramik lantai yang berwarna merah.
Mulder membungkuk dan menyentuh cairan itu.
"Baunya seperti alkohol gosok," katanya.
"Atau es steril," saran Scully.
Sumber cairan itu, yang dilihat Mulder, adalah sebuah lemari es stainlees steel
yang besar. Logam itu bersinar ketika senter Mulder menyorotinya.
Berjalan dengan cepat, Mulder menuju ke lemari es. Ia mengeluarkan bungkus demi
bungkus makanan beku: telur, daging ayam, saus, sup...
Scully mulai ingin tahu apakah pencarian itu hanya sia-sia ketika Mulder
bertanya,"Scully, apa ini?"
Senternya menerangi sebuah kotak plastik bening persegi panjang yang berisi es.
Mulder mengambil kotak plastik itu dan mengeluarkannya dari lemari es, lalu
membukanya. Stoples kecil bulat terkubur di dalam es itu. Mulder menyapu es itu
sehingga ia bisa melihat ada apa di dalamnya. Rasa mual melanda dirinya ketika
ia menyadari apa yang dipegangnya. Tapi ia tahu tanpa ragu lagi, bahwa mereka
berada di tempat yang benar.
Di dalam kendi kaca, sebuah bola mata manusia beku menatapnya.
*** Hsin duduk di kursi bersandaran keras itu. Kursi yang didudukinya sebelum ia
kehilangan mata. Kursi yang diduduki Li sebelum ia kehilangan nyawanya.
Hsin meminum teh yang diberikan kepadanya. Rasa gemetarnya telah berhenti. Ia
juga sudah tidak sadar ketika dokter membuka matanya dan melihat pada kelopak
matanya yang masih tersisa.
Dokter itu memberi isyarat kepada asistennya, seorang pria yang berpakaian sama
dengannya pakaian hijau muda, topeng bedah, dan sarung tangan karet. Bersama-
sama mereka mengangkat tubuh kurus Hsin dari kursi dan membawanya ke meja
operasi... Untuk malam itu permainan telah berakhir, ruangan permainan secara berangsur-
angsur kosong. Mr. Lau membawa jambangan batu jade kecil menuju ke meja. Ia
berhenti ketika Glen Chao mendekat dengan satu tangannya memegang pergelangan
tangan Lau. Lau menaruh jambangan itu di atas meja lalu berbalik berhadapan dengan Chao.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya marah.
"Aku tidak bisa membiarkan kau melakukan ini," jawab Chao.
Lau menatap tajam tanda pengenal detektif itu. "Kau telah diperingatkan sekali,
Chao," katanya. "Tidak akan ada peringatan lagi."
Kali ini Chao tidak membiarkan dirinya menjadi takut.
"Lepaskan Hsin," katanya. "Putrinya sedang sekarat. Kalian akan membunuh dua
orang, bukan satu." "Itulah permainan, Mr. Chao. Itu adalah risiko-risikonya. Dan kau juga merupakan
bagian dari itu seperti aku. Kami membayarmu banyak untuk melindungi permainan
ini dari orang asing."
Chao mengangguk, seperti mengakui kebenaran kata-kata Lau.
"Dan permainan ini," katanya perlahan, dan tanpa disangka-sangka suaranya
meninggi menjadi sebuah teriakan, "Telah berakhir!"
Sebelum ada yang bisa mencegahnya, Chao menuju meja di mana jambangan dan kotak
uang terletak. Dengan cepat, dengan penuh kekuatan, ia memegang ujung meja dan
membaliknya, menyebabkan kotak dan jambangan batu jade melayang. Kotak uang itu
pecah berkeping-keping ketika menghantam lantai, membuat lembaran-lembaran
ratusan dolar berserakan. Kedua jambangan batu jade pecah menjadi kepingan-
kepingan bergerigi hijau.
Chao memegang kaki meja itu, melihat apa yang telah dilakukannya. Matanya
terpaku pada sisa pecahan jambangan batu jade yang kecil. Di antara pecahan batu
jade itu terdapat lusinan kepingan merah. Semua kepingan itu berwarna merah.
Tidak ada satu pun yang berwarna putih.
"Itu sama semua," kata Chao, terpesona. Untuk pertama kalinya ia baru benar-
benar mengerti bahwa undian itu sangat berbahaya. Itu adalah setan. Suaranya
meninggi menjadi sebuah teriakan.
"Permainan ini curang."
Kata-katanya menimbulkan reaksi yang cepat. Para pemain yang masih tertinggal
memaksa maju untuk melihat dan membuktikannya sendiri. Malam demi malam mereka
duduk di ruangan ini, terperangkap dalam ketakutan dan keputusasaan.
Sekarang gelombang kemarahan menyapu ruangan permainan itu, kemarahan itu
menulari setiap orang. "Itu semua bohong!" teriak seseorang.
"Permainan ini tidak ada pemenangnya!" teriak yang lain.
Kerusuhan pecah di ruangan itu ketika para pemain mulai mengambil alih.
Sekelompok orang menerjang ke meja kayu jati yang terjungkir dan menyerbu uang
yang ada di lantai. Yang lainnya tidak tertarik pada uang itu. Yang mereka
inginkan hanyalah balas dendam.
Mereka membanting meja-meja dan kursi-kursi. Pecahan-pecahannya dijadikan
senjata. Lalu mereka mendatangi Lau dan Wong.
*** Dalam kegelapan dapur Mulder dan Scully membeku. Mereka mendengar suara gaduh -
suara orang marah dan sesuatu seperti perabotan jatuh ke lantai.
"Apa itu?" tanya Scully.
"Aku tidak tahu," kata Mulder, "Tapi sepertinya itu datang dari atas."
*** Hsin berbaring terlentang di atas sebuah meja operasi darurat, tangan dan
kakinya terikat selembar kulit tebal. Kemeja dan kaos dalamnya telah dilepaskan
dari tubuhnya. Ia bernapas dengan ringan, napas lemah orang yang tidak sadar.
Scully menyorotkan senternya ke belakang dapur. "Lewat sini," katanya, melihat
sebuah pintu yang bertuliskan tanda KELUAR di atasnya.
Kedua agen itu berlari menaiki tangga yang gelap, dengan pistol di tangan. Suara
gaduh itu bertambah keras ketika mereka hampir mencapai lantai dua.
Mulder mendorong pintu merah yang menuju ke ruangan permainan, lalu mereka
berdiri terpaku. Scully dan Mulder seperti melangkah ke tengah-tengah kerusuhan -
hanya ia tidak tahu apakah mereka sedang berkelahi atau apa. Orang-orang
berteriak, dorong-mendorong. Yang lainnya mencoba melarikan dirinya secepat
mungkin. Di tengah hiruk pikuk, seorang pria berusia setengah umur dengan kacamata
bingkai kawat dan seorang dengan rambut beruban sedang gemetar di bawah serbuan
pukulan yang tiada henti.
Tanpa berkata-kata, Mulder dan Scully menonton adegan di sekeliling mereka.
Ketika matanya mengamati kerumunan itu, Mulder melihat seorang laki-laki yang
sedang berjalan keluar menuju pintu belakang. Seorang yang mereka kenali sebagai
Chao. Chapter 15 Hsin bergerak dengan perlahan di dalam air yang gelap. Ia berada bermil-mil di
bawah laut yang tak berujung. Ia mencoba berenang ke permukaan. Tapi lebih mudah
membiarkan air membawanya, hanyut ke dalam arus deras yang hangat, yang berputar
ke bawah menuju ke kedalaman. Tubuhnya terasa berat. Setiap gerakannya lambat,
tubuhnya sakit. Bagaimanapun penting baginya untuk mencapai permukaan. Ada
sesuatu di sana yang harus dilihatnya. Dan ia tahu bahwa jika ia membiarkan
dirinya terseret menuju ke kedalaman laut, ia tidak akan pernah dapat mencapai
permukaan lagi. Di ruang operasi darurat di belakang ruang permainan itu, sebuah meja berisi
sekumpulan alat perlengkapan bedah: pisau bedah, pembalut, jarum suntik, dan
sebuah kotak besar berisi es steril, menunggu organ tubuh. Di atas meja itu juga
ada sesuatu yang bukan alat standar: beberapa botol kaca, yang masing-masing
berisi kodok hidup. Hsin berbaring di meja operasi, secercah sinar terang menyorotinya. Teh itu
sudah mulai bekerja. Ia benar-benar terdiam, tidak sadar, ketika asisten dokter
itu menggunakan lap bedah untuk mengoleskan larutan betadin oranye ke atas kulit
dadanya. Dokter itu menyobek gulungan plastik bedah yang panjang. Ia tidak melihat mata
Hsin yang tersisa itu terbuka.
Hsin tidak tahu berapa lama waktu berlalu sebelum ia mencapai permukaan. Yang ia
tahu hanyalah akhirnya ia berhasil melalui air yang gelap itu. Arus air yang
hangat menjadi lebih kuat. Ia tahu tidak akan dapat mencapai permukaan untuk
waktu yang lama. Secepatnya ia akan memulai perjalanan panjang ke bawah. Tapi
sekarang ia menarik napas dari udara yang manis, udara dingin dan sadar kalau
kegelapan itu hanya di air itu. Untuk sesaat ia dapat melihat.
Apa yang dilihatnya adalah hantu anaknya, Kim. Ia berjalan menuju Hsin, matanya
penuh duka cita. Ia tidak mencoba bicara, tapi Hsin tahu pasti, Kim meratapinya.
Ia ingin menghiburnya seperti sewaktu Kim masih seorang gadis kecil. Memeluknya
dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Air mata mengalir di pipinya, tapi ia tidak mempunyai kekuatan untuk bergerak.
Kim memegang tangannya dan tersenyum, seakan ia hendak mengajak Hsin
mengikutinya. Ia tahu itu tidak mungkin. Ia tidak akan pernah mengikutinya lagi. "Maafkan
aku," bisiknya kepada khayalannya itu. "Aku mohon kepadamu untuk mengampuniku."
Lalu Hsin melihat Dokter itu melangkah menuju kegelapan. Ia mengenakan jubah dan
topeng, seperti dokter-dokter di rumah sakit di mana Kim menjalani pemeriksaan.
Hsin berjuang mencari bayangan putrinya. Ke mana ia pergi" Apakah ia
mendengarkannya" "Ampuni aku," katanya lagi.
Asisten itu mengulurkan sebuah pisau bedah stainless steel kepada Dokter itu.
Suara Dokter itu keras dan sinis ketika menjawab permohonan Hsin yang putus asa
itu, "Mereka memaafkanmu." Dengan mantap ia memegang pisau bedah itu,
menurunkannya ke atas dada Hsin dan mulai membuat irisan di atas kulit bernoda
oranye itu. Dokter itu baru saja memulai kerjanya ketika pintu terbuka dengan keras dan Chao
menyerbu ke dalam ruangan. Pistolnya digenggam dengan kedua tangannya.
"Mundur!" perintah Chao.
"Kau sudah sangat terlambat," jawab Dokter itu, meneruskan irisan itu.
"Kubilang, mundur!" teriak Chao.
"Chao, jangan bertindak bodoh," jawab Dokter itu.
Chao tidak mempedulikan peringatan itu. Ia membidik, lalu menarik picu. Peluru
mengenai kaki si Dokter, sampai terpelanting. Ia jatuh ke belakang dan mendarat
dengan keras di lantai. Tiba-tiba di belakang Chao, suara Mulder terdengar dari seberang ruangan. "Chao,
angkat tangan!" perintahnya. "Angkat tangan!"
Dengan perlahan Chao mengangkat tangannya, dan menjatuhkan senjatanya ke lantai.
Scully berjalan ke dalam ruangan itu, mengarahkan pistolnya ke arah asisten
dokter. Ia menyentuh leher Hsin dengan jarinya, mencari denyut jantung. Ujung
jarinya merasakan denyutan lemah tapi tidak terputus-putus di urat nadinya. "Ia
masih hidup," katanya.
Mulder tidak menyia-nyiakan waktu lagi. Ia mendorong Chao menghadap ke tembok
dan memborgolnya. Chao tidak memperhatikan borgol itu. Perhatiannya pada pria
yang terluka di lantai. Mulder mengikuti pandangan Chao. Meskipun ia telah tertembak di bahunya,
ketenangannya mengganggu, menatap Chao dengan pandangan mata yang dingin.
"Kau seharusnya membunuhku," katanya kepada Chao dalam bahasa Cina.
Mulder memandang dari Chao lalu ke Dokter itu,"Apa yang dikatakannya?"
Chao kelihatannya terkejut, seperti seorang yang tahu kalau ia kena kutukan.
Matanya tidak pernah beralih dari Dokter itu ketika ia menerjemahkannya kepada
Mulder, meskipun tidak secara harafiah, tapi cukup tepat: "Ia bilang bahwa
permainan itu belum selesai."
Chapter 16 Pada pukul sepuluh pagi esok harinya, Scully berdiri di salah satu ruangan
interogasi kantor polisi San Francisco. Ruangan itu bersinar suram, penghematan
dengan lampu di atas meja di tengah ruangan, di mana dokter yang bernama Yip,
duduk. Sebuah kain menahan lengannya yang terluka akibat tembakan Chao. Ia tidak merasa
terganggu karena cidera ataupun berada di dalam tahanan polisi. Dengan santai ia
merokok sebatang sigaret.
Ia bicara dengan tenang, berbunga-bunga, seperti sedang menceritakan sebuah
dokumentasi cerita rakyat Cina. "Orang-orang kami hidup bersama hantu-hantu.
Hantu-hantu ayah kami - dan hantu-hantu ayah dari ayah kami."
Scully mendengarkan, tidak terkesan.
"Mereka memanggil kami dari kenangan yang jauh," lanjutnya. "Menunjukkan kami
jalannya." Scully tidak tahan lagi dengan sandiwaranya itu. "Tidak ada hantu-hantu yang
memanggil orang-orang itu," katanya kepada Yip. "Kau yang melakukannya, dengan
memangsa mereka yang tanpa harapan dan putus asa."
"Ya, mereka telah putus asa," ia mengakuinya. "Sama seperti keputusasaanku
ketika aku pertama kali datang ke negara ini - tapi aku telah bertekad untuk
tidak melakukan kejahatan."
Suara Scully meninggi. "Kau tipu orang-orang itu dengan menjanjikan kemakmuran
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepada mereka, sedangkan satu-satunya kemungkinan hadiah hanyalah kematian."
"Dalam keyakinanku, kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti - itu hanyalah
suatu tingkatan dari suatu peralihan. Tapi hidup tanpa harapan - sekarang,
adalah hidup di neraka. Maka harapan adalah hadiahku kepada orang-orang ini." Ia
melihat ekspresi menghina dari Scully. "Aku tidak mengharapkan kau akan
mengerti." "Aku mengerti hal ini," kata Scully. "Kau akan di penjara untuk waktu yang
sangat lama." Lalu pintu di belakang Yip terbuka, dan Mulder menjulurkan kepalanya ke dalam
ruangan. "Bisakah aku berbicara denganmu sebentar?" tanyanya kepada Scully.
Scully kembali memandang Yip untuk terakhir kali, lalu ia mengikuti Mulder ke
dalam lorong. Ia melihat Letnan Neary masih bersama Mulder.
Mulder menutup pintu di belakang mereka lalu berbalik menghadap ke arah Scully.
"Aku baru saja kembali dari Rumah Sakit St. Francis," kata Mulder. "Hsin masih
dalam perawatan intensif. Ia telah diberi semacam obat yang membuatnya tidak
sadar; mereka tidak tahu apa obat itu, tapi ia sudah sadar sekarang. Mereka
hanya ingin melihat ia sebentar."
"Bagaimana dengan putrinya?" tanya Scully.
"Aku telah memeriksa Organisasi Pengumpul Organ Tubuh," kata Mulder. "Ia telah
dimasukkan ke dalam daftar penerima donor."
"Hebat," kata Scully. Lalu, merasa ada sesuatu yang belum dikatakan, ia
bertanya, "Ada apa?"
Neary dan Scully saling memandang.
"Kasus kita melawan pria ini," kata Neary, mengangguk ke arah ruangan interogasi
itu. "Kami telah menugaskan pasukan kami untuk mewancarai setiap orang yang kami
tangkap di ruangan permainan itu tadi malam."
"Dan?" tanya Scully.
"Mereka semua tutup mulut," kata Mulder. "Mereka semua mengakui bahwa mereka
adalah anggota suatu klub sosial, dan mereka tidak melihat apa pun."
"Yah, bagaimana dengan Chao?" tanya Scully, tidak sabar dengan semua pembicaraan
mengenai hantu-hantu. "Kesaksiannya sendiri akan cukup untuk menahan orang itu."
Neary menatap lantai. "Kami tidak dapat menemukannya."
"Chao harus bersaksi di depan Dewan Juri pagi ini," Mulder menjelaskan.
"Ketika ia tidak muncul, polisi pergi ke rumahnya. Ia telah menghilang."
Chapter 17 Glen Chao terbangun ketika mendengar sebuah tombol ditekan. Perlahan-lahan ia
mulai sadar. Ia berbaring terlentang datar di suatu ruangan yang sempit,
dindingnya menutupi sekelilingnya dan atapnya begitu rendah sehingga ia tidak
bisa duduk. Kepalanya sakit dan otaknya terasa kebas. Ia tidak dapat mengingat kenapa
tertidur. Ia tidak tahu di mana ia berada. Tidak ada sesuatu pun yang
dikenalinya. Kecuali setitik api biru yang kelihatan di sudut matanya.
Lalu ia mendengar suara - suara gas yang berdesis keluar terus menerus dari
lusinan lubang kecil, diikuti oleh munculnya suara yang menyakitkan ketika
pancaran gas itu mulai hidup - Dan ia tahu persis di mana ia berada. Di dalam
krematorium. Sudah panas, panas yang tak tertahankan. Ia dapat merasakan dan mencium bau
rambut dan pakaiannya yang mulai terbakar.
Chao melakukan satu-satunya hal yang dapat dilakukannya.
Ia meraih ke dalam sakunya dan mengeluarkan setumpuk kunci.
Dengan putus asa, ia menggunakan kunci itu untuk menggores permukaan atap oven -
pesan terakhir untuk ditemukan orang - nama orang yang bertanggung jawab atas
kematiannya. Hanya memerlukan waktu sebentar. Selesai, Chao menatap kerjanya dengan pandangan
puas. Lambang yang sama dengan yang telah digoreskan oleh Johnny Lo di dalam
oven yang sangat mirip. Lalu sebuah suara mendesing memenuhi ruangan itu dan tabir api yang besar
memenuhi krematorium. Dengan cepat yang tertinggal dari Detektif Chao hanyalah setumpuk abu. Dan pada
atap oven, sebuah simbol dalam huruf Cina untuk Hantu.
END Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Ratu Tanpa Tapak 2 Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang Sekutu Iblis 2
Hantu-hantu lapar (Hungry Ghost) Penovelan oleh Ellen Stelber
Berdasarkan serial TV The X-Files
Karya Chris Carter Berdasarkan skenario karya Jeff Viaming
Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 Meskipun hari sudah menjelang malam, jalan-jalan di Chinatown San Francisco
masih terang-benderang. Kebanyakan toko dan restoran buka sampai larut malam,
dan penduduk setempat beserta turis-turis masih memadati kaki lima yang sempit.
Chinatown adalah sebuah kota dalam kota di mana atap-atap rumah melengkung
seperti kelenteng kuno, lampu jalanan yang dibuat seperti naga-naga kuningan
berjejer di tepi jalan, dan neon reklame mewarnai malam dalam dua bahasa, Cina
dan Inggris. Pada malam yang istimewa ini, suara genderang dan gembrengan bertalu-talu dalam
irama yang tiada henti, dan kembang api menyala seperti bintang-bintang yang
berwarna emas putih menerangi malam.
Festival naga berhembus melalui jalan-jalan di sana. Penari terdepan mengangkat
tinggi-tinggi topeng kepala naga yang berukuran sangat besar di tangannya: mata
perak, dahi yang lebar dengan bulu-bulu putih di pinggirannya. Di belakangnya
para penari mengular dengan membawa badan naga yang panjang dan bersisik biru.
Semakin cepat irama gendang, semakin cepat kepala naga itu berputar-putar dan
meloncat-loncat seperti hendak terbang.
Ketika hampir semua orang sudah mulai terhanyut ke dalam festival itu, seorang
kelihatan sama sekali tidak peduli. Ia yang mempunyai urusan yang lebih penting
dari itu,pikirnya. Dengan tergesa-gesa ia menjauhi keramaian dan terang
benderangnya jalan itu. Malam itu adalah suatu malam September yang dingin, dan napas pemuda itu
membentuk kabut di mukanya. Meskipun cuaca dingin, ia hanya mengenakan jaket
tipis yang membaluti kemeja dan celana jeans-nya. Ia berjalan dengan cepat dan
berzigzag melalui jalan utama, melewati para penjual buah, pasar, dan restoran-
restoran. Akhirnya ia membelok ke dalam sebuah jalan kecil. Ia menahan dirinya untuk tidak
berlari. Itu akan membuatnya panik, akan membuatnya kelihatan mencolok. Tapi ia
tetap tidak dapat memperlambat langkahnya ketika ia memasuki sebuah gang sempit.
Serentetan bunyi petasan seperti suara tembakan senjata api terdengar tidak jauh
di belakangnya. Ia melompat sambil menutupi telinganya. Ia berbalik menatap ke
belakangnya, ke arah seberang gang itu. Empat remaja berdiri di sana, tertawa
histeris. Tentu saja mereka yang memasang petasan itu. Dan ia - ia kaget dengan
mudahnya seperti seekor kelinci. Ia berpikir dengan jijik. Dan lagi malam ini ia
mempunyai perjanjian besar bersama dengan binatang-binatang yang telah menjadi
mangsanya. Ia memeriksa lagi, tidak seorang pun yang membuntutinya. Tapi ia terlalu gemetar
untuk tetap bersikap tenang. Ia berbalik dan langsung lari.
Ia kembali ketakutan ketika hampir menabrak sesosok tubuh yang melangkah keluar
dari belakang tangga darurat kebakaran.
Sosok itu menjulang tinggi melebihinya, paling sedikit tujuh kaki tingginya,
dengan wajah yang panjang dan mata juling. Pria muda itu hampir berteriak
ketakutan, lalu ia menyadari itu adalah salah satu badut pada festival itu -
seseorang yang berdiri di atas sebuah jangkungan, wajahnya ditutupi sebuah
topeng. Pemuda itu berteriak marah, lalu mendorong badut yang besar itu ke samping
karena menghalangi jalannya. Kemudian ia meneruskan larinya.
Ia melintasi gang dan berlari menaiki tangga belakang bangunan batu bata merah
yang tidak terpelihara. Tangga kayu tua berderak-derak di setiap langkahnya. Ia
bernapas dengan berat. Ia merasa putus asa ketika berada di jalanan. Ia tahu, di
sana ia gampang untuk diserang.
Akhirnya ia sampai ke lantai yang ditujunya dan merasakan jantungnya mulai
berdetak normal kembali. Napasnya mulai terasa ringan. Ia sudah berada di rumah
sekarang, tidak terjadi apa-apa.
Lalu ia melihat sesuatu yang tidak beres.
Huruf-huruf Cina mencoreng pintunya dalam warna putih berkilau. Putih adalah
warna berkabung. Seperti warna huruf-huruf itu - ia tidak ingin mempercayainya,
mempercayai bahwa itu mungkin benar.
Ia menyentuh dan meraih pintu itu. Tangannya gemetar karena ketakutan. Cat itu
masih basah, meninggalkan bekas melintang di jarinya. Kesegaran cat itu
menakutkannya melebihi sebuah pesan.
Siapa pun yang mengecat itu baru saja berada di sini.
Lagi-lagi ia berbalik dan melihat ke belakangnya. Kecuali anjing yang sedang
menggonggong, gang itu kosong.
Dengan perlahan ia membuka pintu apartemennya. Di dalam masih gelap. Satu-
satunya cahaya yang ada adalah bayangan berkabut dari lampu-lampu jalan yang
menerobos melalui jendela.
Bergerak tanpa suara, ia melangkah ke dalam. Tiba-tiba sebuah lampu menyala,
dengan kasar langsung menyorot tertuju ke dalam matanya, membutakannya,
membuatnya tak mungkin untuk mengenali siapa yang memegang lampu itu.
Orang asing itu mengatakan sesuatu dalam bahasa Canton, bahasa kampung halaman
mereka. "Kau tahu aturannya, sekarang kau harus bayar."
"Aku sudah bilang padamu bahwa aku mau keluar," kata pemuda itu menjawab,
mengangkat tangannya melindungi matanya.
"Kau yang memulai, kau yang mengakhirinya," yang lain menjawab.
Pemuda itu melihat kilatan cahaya logam. Orang yang memegang lampu itu menarik
sebuah pisau. Tapi pemuda itu merasa masih mempunyai sedikit harapan.
Sebuah pisau lipat terbuka di tangannya. Dengan sabetan yang sangat cepat, ia
mengiris sosok tubuh yang berada di depannya, mencoba mengiris dada orang itu
dan membuatnya berguling ke belakang sambil melepaskan lampu itu.
Pemuda itu menarik napasnya, bertanya-tanya apakah ia sudah berhasil membunuh
penyerangnya. Jantungnya berdegup dengan keras, aliran darah dalam tubuhnya
terasa sangat cepat. Ia tidak pernah ingin berkelahi, yang diinginkannya
hanyalah melarikan diri dari sini.
Ia menarik napas lagi dengan berat lalu merasakan tubuhnya bergetar dengan
hebat. Penyerangnya tidak sendirian di dalam apartemennya ini.
Tiga sosok tubuh bertopeng berdiri dalam bayang-bayang. Mereka mengenakan jubah
panjang yang sangat hitam sehingga hampir membuat mereka seperti tak terlihat di
kegelapan apartemen. Tapi wajah mereka diterangi oleh cahaya putih yang
misterius. Pemuda itu pernah melihat wajah-wajah ini sebelumnya di buku tua ayahnya. Wajah
mereka adalah wajah setan Cina kuno dan sekarang mereka datang untuknya.
*** Penjaga malam itu duduk dengan
mesin permainan elektronik blackjack di tangannya sambil mengerutkan dahinya.
Umurnya akhir dua puluhan, tinggi dan kuat, kepalanya hampir tercukur gundul.
Ia mengenakan kemeja putih bermerek, dasi angkatan laut dan celana berstrip di
samping, seragam penjaga keamanan sewaan. Ia tidak begitu mempedulikan tempat
yang sedang dijaganya itu, rumah pemakaman Bayside.
Ia dengan sengaja tidak menghiraukan sebuah peti mati yang terbuka di depan
kapel, hanya beberapa yard dari tempatnya. Ia tidak ingin melihat mayat itu,
tidak ingin melihat pada tiga lampion kertas yang tergantung di atas peti mati
itu, atau bahkan pada bunga yang mengelilingi jenazah itu.
Ini adalah pekerjaan barunya. Pagi hari tadi adiknya menggoda bagaimana
menakutkannya bekerja di dalam sebuah rumah pemakaman.
Dalam beberapa detik penjaga itu kembali membayangkan apa yang telah diceritakan
oleh adiknya itu: salah satunya tentang mayat yang bangkit duduk di dalam peti
matinya sambil meneriakkan nama pembunuhnya; cerita lain adalah mengenai hantu
yang bergentayangan di kamar mayat.
Baiklah, ia tidak akan membiarkan dirinya ketakutan.
Tiba-tiba ia mendengar suara berisik dari bagian lain rumah pemakaman itu. Aneh
sekali, ia tahu bahwa ia berada di sana sendirian. Ia menunggu beberapa saat
sambil bertanya-tanya dalam hati apakah ia sedang berkhayal.
Tidak, itu terjadi lagi. Suara seretan - seperti suara sesuatu yang diseret di
lantai. Jantungnya berdegup kencang. Penjaga itu mematikan mainannya, lalu berdiri.
Kemudian mengambil lampu senter serba gunanya.
Dengan perlahan ia berjalan ke dalam kapel yang kosong dan gelap.
Ini adalah kali pertama sejak ia mulai bekerja di sebuah perusahaan penjaga
keamanan, terjadi sesuatu pada saat gilirannya bertugas jaga. Ia dapat merasakan
adrenalinnya bangkit, seluruh panca indranya memuncak dan waspada.
Sewaktu ia bergerak memasuki pintu masuk yang melengkung, tiba-tiba ada bunyi
lainnya yang terdengar - sesuatu yang berat sedang dipindahkan atau ditutup.
Penjaga malam itu berputar, lalu menyorotkan senternya di sepanjang dinding
salah ruang penerima tamu.
Tidak ada apa-apa. Ia terus berjalan sambil menyorotkan senternya di sepanjang
lorong dan ke dalam ruangan yang menyimpan contoh mayat yang dipajang.
Lalu ia benar-benar terhenti ketika ia mendengar gumamam pelan.
Bukan, katanya pada dirinya sendiri, tidak mungkin.
Ketika ia berjalan melewati lorong itu menuju ke arah sumber suara tadi, ia
yakin itu semua hanya khayalannya. Sampai ia membuka pintu bercat merah yang
menuju ke ruangan krematorium, perutnya langsung terasa mual ketika menyadari
bahwa suara itu bukanlah khayalannya.
"Apakah ada seseorang di sini?" teriaknya. Suaranya bergetar ketika ia
menyorotkan senternya ke arah celah oven.
Tertangkap dalam cahaya senternya, tiga sosok tubuh yang mengenakan jubah hitam.
Wajah mereka bercat putih mengenakan topeng Cina.
Begitu cahaya senter menerangi mereka secepat itu pula mereka pergi - menghilang
ke dalam kegelapan, seolah-olah mereka tidak pernah berada di sana.
Apakah ini hanya khayalanku" tanya penjaga malam itu kepada dirinya sendiri.
Ia merasakan seluruh tubuhnya menegang ketika menyadari cahaya senternya
bukanlah satu-satunya cahaya yang menerangi ruangan itu.
Ada cahaya oranye yang aneh menyala di dalam kegelapan. Dan suara yang perlahan
terdengar datang dari dalam krematorium seperti sesuatu - atau seseorang - berada di
dalamnya. Itu tidak mungkin! "Ya, Tuhan..." ia berbisik dengan perlahan sambil menatap ke arah oven. Suara
itu semakin keras. Ia berjalan dengan lebih cepat menuju ke lingkaran cahaya
oranye. Lalu ia mencondongkan badannya ke depan, mengintip ke dalam lubang kaca
pengintip pada pintu oven. Ia merasa ketakutan pada apa yang dilihatnya.
Krematorium itu diterangi oleh tarian cahaya lidah api yang berwarna oranye.
Penjaga malam itu melihat lebih dekat, memandang ke dalam cahaya api yang
menyilaukan. Dan apa yang dilihatnya membuatnya mual.
Seorang Cina muda sedang menatap balik ke arahnya.
Wajahnya bekerut-kerut karena kesakitan. Jeritan kematiannya menembus ketebalan
dinding oven dan gemuruh suara lidah api.
Chapter 2 Di dalam sebuah ruangan pembalseman mayat, Dana Scully, Agen Khusus FBI, berdiri
di bawah lampu sorot pijar, menatap sesosok wajah gosong seorang pemuda Cina.
Menurut polisi, seorang penjaga keamanan rumah kematian yang sedang berada dalam
keadaan panik telah mematikan semprotan gas secepatnya setelah ia mengetahui
cara kerja alat itu. Tapi sayang, ia tidak cukup cepat.
Meskipun tanpa autopsi penuh, sangat jelas bagi Scully bahwa api krematoriumlah
yang menjadi sebab kematiannya. Sisa pakaiannya yang hangus dan meleleh masih
menempel dengan ketat di kulit mayat yang menghitam itu.
Ia melihat ke arah si korban, lalu ia menatap pada rekannya, Fox Mulder. "Lebih
baik kita pergi saja," katanya sambil menggelengkan kepalanya.
Scully menarik sebelah sarung tangan karet dan menyodorkannya kepada Letnan
Neary, polisi San Francisco berpakaian preman, yang sedang menemani mereka.
Neary, lelaki setengah umur yang berambut botak, kelihatan seperti tidak tidur
berhari-hari. Scully mencatat bahwa Neary selalu menjaga jarak antara ia dengan
mayat itu. Ia bertanya-tanya dalam hati apakah Neary adalah termasuk orang yang
merasa takut bila berada dekat denganmayat, atau ada sesuatu yang khusus pada
mayat itu yang sangat mengganggunya.
"Apakah kau sudah melihat modus operandinya, Detektif?" tanya Scully. "Seorang
laki-laki dibakar secara hidup-hidup?"
"Iya," jawab Neary dengan susah payah. "Yang ketiga kalinya untuk tahun ini."
"Sebenarnya sudah yang kesebelas," kata Mulder. "Ada tiga di Seattle, tiga di
Los Angeles, dan dua di Boston. Semuanya orang Cina yang berusia antara dua
puluh sampai empat puluh tahun, semuanya imigran yang baru masuk."
Lalu kenapa kita berada di sini, pikir Scully.
Fox Mulder bukanlah salah seorang agen FBI yang suka melakukan penyelidikan
rutin. Mulder mempunyai daerah kepentingan yang sangat khusus, penyelidikan
terhadap apa yang disebut oleh FBI sebagai X-files, kasus-kasus yang berhubungan
dengan dunia yang aneh dan paranormal. Rentetan kematian yang disebabkan oleh
hal yang aneh dan ganjil adalah hal yang mengusik perhatian Mulder.
Letnan polisi itu memandang dengan malu pada Mulder, malu karena pengetahuan
Mulder. "Kita tidak dapat menemukan hubungannya sampai sekarang," Neary menjelaskan,
terdengar lebih bersifat sebuah permohonan maaf. "Tubuh kedua mengalami luka
bakar yang lebih parah. Kita masih untung terhadap yang satu ini."
"Untung," Mulder menirukan sambil menatap ke arah mayat itu. "Itu adalah kata-
kata yang menarik untuknya."
Scully memeriksa mayat itu secara sepintas. Autopsi akan dilakukan kemudian.
Autopsi adalah suatu hal yang rutin baginya. Ia telah dididik sebagai dokter
ahli medis dan ahli kesehatan sebelum bergabung dengan FBI. Bertahun-tahun yang
lalu di sekolah kedokteran, ia tumbuh dan terbiasa dengan lumuran darah, bahkan
dengan hal-hal yang aneh sekali pun. Darah tidak menakutkannya, tidak juga
pembusukan mayat yang alami.
Tapi apa yang dilihatnya ketika ia membuka salah satu kelopak mata korban yang
gosong itu, memusingkan kepalanya.
Tidak mungkin, katanya pada dirinya sendiri. Si korban sudah terbakar sama
sekali untuk memungkinkan hal ini secara fisik terjadi.
Salah satu bola mata si korban yang berwarna cokelat gelap tidak rusak karena
api, sedang menatapnya. Ia mengelupasi kelopak mata yang memerah dan melepuh itu lebih dalam lagi.
Menggunakan alat penjepit untuk menarik lidah, dengan sangat hati-hati ia
menyentuh bola mata itu. Ia mendesah saat menyadari apa yang dilihatnya: Mata
itu terbuat dari kaca. Mulder dan Scully mengikuti Neary menuju ke rumah pemakaman dan krematorium
untuk melihat lokasi tempat kematian.
Beberapa detektif lainnya masih berada di tempat kejadian. Salah seorang mencari
jejak sidik jari. Yang lainnya sedang mewawancarai pemilik rumah pemakaman itu.
"Penjaga malam mengatakan bahwa ia melihat tiga orang di sini tepat sebelum ia
menemukan si korban," lapor Neary. "Katanya ketiga orang itu mengenakan beberapa
macam topeng - seperti topeng Cina."
Mulder mengintip ke dalam oven yang panjang dan sempit itu. Lantainya ditutupi
oleh debu yang berwarna abu-abu.
"Apakah kamu mempunyai petunjuk-petunjuk dalam kasus ini, Detektif?" tanyanya
"Semacam pendapat ataupun ide?"
Neary mengangkat bahunya. "Beberapa tahun terakhir ini, kami menerima gelombang
masuk imigran Cina yang besar dari Hong Kong. Orang-orang yang ingin pergi dari
Hong Kong sebelum Cina mengambil alih Hong Kong."
Hal itu tidak mengagetkan Mulder. Sejak beberapa ratus tahun yang lalu, imigran
Cina mengalir masuk ke Amerika Serikat.
Gelombang yang terjadi baru-baru ini yang ditunjukkan Neary berakar dari tahun
1898. Tahun itu di Cina, pemerintahan monarkinya, menandatangani perjanjian
dengan Inggris untuk menyewakan Hong Kong kepada Inggris. Lalu pemerintahan Cina
berganti menjadi Republik Rakyat Cina. Meskipun sebagian besar negara itu diatur
di bawah pemerintahan komunis, rakyat republik mendapat kehormatan dari
perjanjian lama tersebut. Inggris memerintah Hong Kong dan menjadikannya
Pelabuhan Internasional yang berkembang dengan sangat pesat.
Mulder mengetahui bahwa pada beberapa dekade terakhir, ribuan penduduk Hong Kong
melarikan diri dari Cina, takut akan apa yang mungkin terjadi pada kehidupan
mereka nantinya setelah pemerintahan komunis mengambil alih Hong Kong pada 1
Juli 1997, tanggal di mana perjanjian tersebut berakhir. Kebanyakan imigran itu
akhirnya tiba di kota-kota pelabuhan di Amerika; New York, San Francisco,
Boston, dan Seattle.
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Banyak dari imigran Cina itu masuk secara legal," lanjut Neary. "Dan banyak
juga tidak. Dalam beberapa kasus kami mendapatkan tiga puluh ribu orang yang
dikumpulkan bersama di suatu tempat yang relatif kecil. Kebanyakan dari mereka
tidak bisa berbahasa Inggris. Oleh karena itu, mendapatkan pekerjaan adalah
suatu perjuangan yang sangat berat. Mendapatkan apartemen yang layak adalah
suatu hal yang lebih mustahil. Kalian tidak akan percaya berapa banyak milik
mereka yang diserahkan hanya untuk dapat keluar dari Cina. Artinya adalah
kemiskinan yang serius. Banyak dari orang-orang ini sangat putus asa."
"Ini jelas merupakan kondisi akibat meningkatnya aktivitas geng di dalam
berbagai masyarakat," kata Scully.
Neary mengangguk. "Chinatown tidak berbeda. Tapi sejauh ini kami tidak bisa
mengaitkan kematian ini kepada seseorang atau sesuatu apa pun."
Mulder bersandar pada oven, membungkuk untuk memeriksa atapnya. Ia tidak terlalu
berharap untuk menemukan sesuatu di sana, tapi dari dulu ia belajar untuk tidak
melupakan detail. Matanya melebar lalu ia berdiri lagi, dengan sikap mengundang rasa ingin tahu
atas apa yang telah ditemukannya. Ia menoleh ke Neary. "Bisa kau temukan
seseorang yang dapat membaca atau berbicara bahasa Cina?"
"Yeah, Glen Chao," jawab Neary. "Ia berada di sana. Kenapa?"
"Tolong panggil dia?" pinta Mulder. Ia menunjukkan pada Neary apa yang telah
dilihatnya: Goresan yang menggunakan jelaga pada langit-langit oven adalah huruf
Cina. "Aku ingin tahu apakah ia dapat membacakan ini untukku."
"Tentu," kata Neary. Ia memberikan isyarat kepada salah seorang detektif. Ia
berpostur bagus, seorang pemuda tampan, menggunakan badge polisi di seragamnya,
melangkah maju. Neary memperkenalkannya: "Glen Chao, Agen Mulder."
"Hai," kata Chao. "Apa yang kau temukan?"
Meskipun ia jelas-jelas keturunan Cina, Chao berbicara Inggris tanpa aksen Cina
sedikit pun. Mulder menyorotkan senternya ke arah huruf Cina itu lagi.
"Ada sesuatu yang tertulis di langit-langit," katanya kepada Chao. "Aku ingin
tahu apakah kau dapat membacanya."
Chao membungkuk ke dalam. "Yeah," katanya, suaranya pelan karena kaget.
"Aku ingin tahu apa maksudnya," kata Mulder kepadanya.
"Tertulis di sana, gui. Artinya 'hantu.'"
"Hantu?" ulang Mulder.
"Apakah itu ada artinya bagimu?" tanya Neary kepada agen FBI itu.
"Yah, aku tidak tahu," kata Mulder sambil berpikir. "Tapi itu aneh untuk ditulis
oleh seorang yang sedang terbakar hidup-hidup.Bagaimana menurutmu?"
"Mungkin ada hubungan dengan ketiga orang bertopeng itu?" tanya Neary.
"Mungkin," kata Mulder. Sekali lagi ia memandang ke dalam sekeliling oven itu.
Ia membungkuk lebih jauh, menatap ke sudut krematorium, tempat yang tidak secara
langsung terkena api. Pada tumpukan abu,ia menemukan sepotong kecil kertas segi
tiga. Ia mengambilnya, dan memegangnya lebih dekat untuk diamati.
"Apa ini?" tanyanya. "Adakah yang mengenali ini" Sepertinya semacam mata uang
asing." Chao menjawab. "Itu disebut uang neraka. Itu biasa digunakan sebagai sebuah
persembahan dan dikubur sewaktu Festival Hantu-hantu Lapar Cina."
Mulder memberikan potongan kertas itu. "Apakah ini ada harganya?" tanyanya,
mencoba untuk mengerti. "Ini bukan uang, secara harafiah," Chao menjelaskan. "Ini persembahan simbolik
kepada roh jahat dan hantu-hantu. Untuk keberuntungan dan untuk menjaga roh-roh
itu agar tetap tenang."
"Menenangkan?" ulang Neary.
"Kalian tahu bagaimana orang-orang Mesir kuno biasanya menguburkan orang mati
dengan segala barang berharga yang mereka butuhkan untuk kehidupan setelah
kematian?" kata Chao. "Yah, orang-orang Cina menguburkan hal yang hampir sama.
Pada dinasti-dinasti awal, para raja dan ratu membunuh pelayan untuk menemani
mereka. Lalu mereka mulai membuat model penggantinya. Kembali ke abad ketiga
sebelum masehi, Kaisar pertama dikubur bersama patung keramik tentaranya yang
berukuran sebenarnya. Uang neraka adalah hal yang dibuat setelah itu. Kalian
mengirim uang untuk orang mati supaya mereka dapat mencukupi kebutuhan mereka
pada kehidupan setelah kematian dan agar hantu-hantu yang marah itu tidak
kembali dan mengganggumu."
Mulder bertukar pandang dengan Neary. "Di mana aku bisa mendapatkan uang neraka
ini?" "Kita dapat mencetaknya sendiri di Chinatown," jawab Chao.
Mulder memberikan potongan kecil kertas itu kepada Chao.
"Mungkin kita baru menemukan jalan untuk mengindentifikasi mayat itu," katanya.
Chapter 3 "Nama korban itu adalah Johnny Lo," kata Scully pada pagi berikutnya, sambil
melihat catatan yang didapatkannya dari unit Detektif Neary.
Ia berhenti membaca sebentar, dan melihat ke sekelilingnya. Ia dan Mulder berada
di sebuah gang sempit yang dibatasi oleh bangunan batu bata yang tinggi. Hanya
beberapa blok jauhnya dari jalan utama Chinatown yang telah ramai dengan
kesibukan pagi, gang itu sepi, tertutup. Sobekan kardus-kardus karton dan sampah
kaleng-kaleng yang terbuka menumpuk di dekat tembok. Kotak kecil kembang api
yang berwarna merah bersinar di tanah.
Bangunan ini sepertinya sebuah bangunan industri, tebak Scully - gudang dan
pabrik. Tapi melihat korden yang digulung di jendela-jendela di lantai atas,
sepertinya bangunan-bangunan itu telah diubah menjadi apartemen, dengan penyewa
yang bersembunyi dari sinar, suara, dan bau dari kota di bawahnya.
Scully melihat lagi pada catatannya dan melanjutkan dengan apa yang ditemukannya
di sana. "Ia datang ke sini enam bulan yang lalu dari Canton."
"Secara legal?" tanya Mulder.
"Ya," jawab Scully. "Ia masih dalam proses permohonan INS. Ia bekerja sebagai
pencuci piring pada salah satu restoran Cina di sini."
"Berapa banyak piring yang kau pecahkan sebelum bosmu melemparkanmu ke dalam
sebuah oven." Mulder berpikir dengan keras.
"Aku rasa cukup jelas bahwa ini adalah semacam cara pemujaan yang mengerikan
atau pembunuhan balas dendam antar geng," kata Scully.
Mulder menanyakan pertanyaan yang mengganggunya sejak kemarin malam. "Yah,
kenapa si korban menuliskan huruf hantu pada bagian dalam oven krematorium itu."
"Aku tidak tahu." Scully mengakui. "Penjaga menggambarkan tiga sosok. Katanya
mereka seperti menghilang tanpa jejak."
"Lalu menurutmu sekarang kita sedang memburu hantu?" tanya Scully.
" Who ya gonna call" " canda Mulder, mengutip slogan Ghostbusters.
Ketika Scully tidak menanggapi, Mulder melanjutkan.
"Hantu atau keturunan nenek moyang roh-roh merupakan pusat kehidupan keagamaan
orang-orang Cina selama berabad-abad," katanya dengan cukup serius. "Chao benar.
Orang-orang Cina percaya bahwa jika kau tidak menghormati nenek moyangmu dengan
pantas, mereka akan menjadi hantu-hantu yang marah yang akan membayangimu.
Segala macam kemalangan dan bencana adalah hal-hal yang menyertai kemurkaan roh
para leluhur." Scully bahkan tidak mau bersusah-susah untuk menyembunyikan keragu-raguannya.
"Katamu roh para leluhur itu yang mendorong Johnny ke dalam oven dan
menghidupkan gas?" "Yah, itu memberi ide baru untuk menghormati para leluhurmu, bukan?" tanya
Mulder, mencoba untuk menggodanya lagi.
Scully menghela napas. Ia benar-benar terkejut jika Mulder mengira bahwa hantu-
hantulah yang bertanggung jawab atas kematian si korban. Mulder mungkin satu-
satunya agen dalam sejarah FBI yang mempunyai poster yang bertuliskan "Aku ingin
Percaya." Dan pada waktu mereka mulai bekerja bersama, ia memintanya untuk
mempercayai banyak teori aneh.
Mereka melangkah ke atas tangga kayu menuju apartemen Johnny Lo. Pintunya
terbuka sedikit. Glen Chao berdiri di depannya, menunggu mereka.
"Saya telah memeriksa semua bangunan tetangga," lapor Chao. "Tak seorang pun
mendengar sesuatu. Tidak mengejutkan. Festival berlangsung tadi malam. Hampir
semua orang berada di jalan, menyaksikan tarian naga. Semua orang mendengarkan
suara gendang dan petasan."
Mulder menunjuk ke arah coretan lebar berupa huruf Cina yang dicat di pintu
kamar Johnny Lo. "Apa artinya ini?" tanyanya.
"Aku tidak mengenalinya," jawab Chao. dapat saja berarti - uh - semacam
ungkapan. Semacam kode."
Scully menyentuh cat itu dengan jarinya. "Masih terasa lembab," katanya.
"Seseorang mengecat ini baru-baru ini."
Mulder menoleh ke arah Chao. "Dapatkah kau membuatkan salinannya untukku?"
pintanya. "Yeah, tentu." Chao mengambil buku catatan dan mulai membuat salinan huruf-huruf
sewaktu kedua agen itu melangkah masuk ke dalam apartemen itu.
"Omong-omong soal cat basah..." Mulder berbisik.
Johnny Lo tidak mempunyai cukup banyak uang. Apartemen ini dilengkapi dengan
perabot rumah yang murah. Mebel-mebel usang ini dapat ditemukan di toko-toko
loak. Kertas dinding yang menguning sudah mulai mengelupas dari dinding.
Selembar plastik berdebu menutupi jendela yang rusak, dan pintu lemari di dapur
sudahmelengkung karena tua dan lapuk.
Mulder berjalan menuju lemari dan membukanya. Tempat itu kosong, seperti keadaan
dalam lemari esnya. Scully memeriksa permukaan sebuah meja formika. Selapis tipis debu menutupi
garis bentuk sebuah lingkaran dan sebuah bentuk persegi yang bersih.
"Lihat ini," katanya, menunjuk ke arah meja itu. "Seseorang telah berada di
sini. Tempat ini sudah dibersihkan."
Mulder mengendus udara di situ. "Bau apa ini?"
"Mungkin itu bau karpet baru," kata Scully.
"Yeah. Sepertinya itu," Chao menyetujuinya, tidak melihat bahwa hal itu sangat
penting. Mulder melihat ke bawah, ke arah karpet yang bersih tak ternoda. Tiba-tiba ia
menyadari betapa berbedanya itu dari semua barang lain yang ada di sana. Tidak
mungkin Johnny Lo mampu mempunyai karpet bermerek yang baru.
Scully memikirkan hal yang sama.
Induk semang mana yang mau menggelar karpet mahal di tempat yang jorok, seperti
ini. Mulder berjalan menuju sudut ruangan dan menarik ujung karpet. "Lihat! Mereka
tampaknya berhemat karena tidak mau susah-susah mengganti lapisan lamanya,"
katanya. Scully meneruskan pemeriksaan apartemen itu. Ia melewati Chao, masuk ke dalam
ruangan kecil, membuka laci di sebuah meja kecil. Ia tidak menemukan apa pun di
situ sampai ia menemukan laci yang berisi beberapa paket kertas dengan huruf
Cina merah tertulis di atasnya. Ia mengangkatnya ke atas. "Apa ini?"
"Obat-obatan tradisional Cina," jawab Chao.
"Dan ini apa?" ia mengeluarkan mangkuk berisi sesuatu yang kecil dan kering,
yang berwarna cokelat. Chao membaliknya dengan bolpennya. "Itu lok kering," katanya. "Kadang-kadang
digunakan sebagai jimat. Untuk kesehatan dan kemakmuran - sebuah perlindungan."
"Kelihatannya Mr. Lo dapat menggunakan keduanya sedikit," kata Mulder dengan
nada suram. Masih berlutut di ujung karpet, ia menarik dan membalik karpet itu
dan menemukan darah yang menghitam di lapisan lama.
"Mari kita tes darah ini," katanya.
"Menurutmu apakah darah itu darah Johnny Lo?" tanya Chao.
Mulder mengangguk lalu berdiri. "Darahnya atau darah pembunuhnya."
Chapter 4 Hari kerjanya yang panjang sudah berlalu. Shuyang Hsin memasuki apartemennya dan
menaruh sebuah bungkusan putih di atas meja dapur. Seperti yang dilakukannya di
setiap sore, ia membuka jaketnya dan menggantungkannya pada cantelan di ruangan
keluarga. Lambang yang tertera di belakang jaket berbunyi AHLI KARPET BAY AREA.
Hsin berumur empat puluhan. Ia adalah seorang pria ramping dengan rambut pendek
hitam dan kelihatan ramah. Matanya awas. Dengan menggunakan ruangan itu,
gerakannya terlatih bagi seseorang yang tahu bagaimana bergerak dengan anggun di
tempat yang sempit. Ia kembali ke dapur, mengisi ceret teh logam dengan air, dan menyalakan api
kompor gas. Malam membuat apartemen itu kelihatan lebih kecil dari sebenarnya.
Ketika malam tiba, ruangan-ruangannya kelihatan mengerut dengan sendirinya,
berselubung dalam bayang-bayang di mana lampu-lampu bahkan tidak dapat
menghalaunya. Apartemen itu bukanlah tempat yang menyenangkan, tercermin pada Hsin, terutama
bagi seseorang yang tidak dapat meninggalkannya.
Ia membuka bungkusan putih, mengambil dua buah bola-bola pasta buncis goreng.
Dengan hati-hati ia memotong tiap-tiap pucuknya dengan sebilah bagian gunting,
dan menyusunnya di atas piring. Ia menaruh piring itu bersama dengan poci teh
porselen yang sering dipakai di sebuah nampan dan membawanya ke ruangan yang
paling besar di apartemen berkamar dua itu.
Putri Hsin yang berumur tujuh belas tahun, Kim, berbaring di tempat tidur.
Melalui lampu baca di tempat tidur yang bersinar redup Hsin memperhatikannya,
mencari dengan sia-sia tanda-tanda bahwa ia mulai membaik.
Ia terlalu jujur untuk mengelabui dirinya sendiri. Hari ini sama dengan kemarin
dan kemarin dulu. Ada lingkaran hitam di bagian bawah mata Kim. Wajahnya pucat
dan lesu. Ia sangat kurus dan merana. Kelihatannya setiap hari ia sedikit demi
sedikit menuju kematiannya.
Ia duduk di sampingnya dan menuangkan segelas teh. Mata Kim terbuka. Ia
memberinya senyum yang lemah, lalu mengangkat tubuhnya dari bantal.
"Apa yang telah Ayah beli?" tanyanya sambil mengangguk ke arah nampan itu.
Meskipun Kim dapat berbahasa Cina dan Inggris, ia tahu bahasa Cina lebih mudah
bagi ayahnya dan mereka selalumenggunakannya sewaktu bercakap-cakap.
"Itu untukmu," jawab Hsin, menaruh nampan itu di pangkuannya. "Makanlah," ia
meyuruhnya. Ia menyibakkan rambut hitam panjang itu dari mukanya, menyelipkannya ke belakang
telinganya. Rupa makanan itu membuatnya muak. Sudah lebih dari satu bulan ia
kehilang selera makannya. Bagaimanapun, ia ingin menyenangkan ayahnya. Dan ia
menyadari bahwa sudah cukup lama sejak mereka benar-benar bercakap-cakap.
"Tinggallah dan temani aku minum teh," katanya.
Ayahnya menghindari pandangan matanya. "Aku harus keluar."
"Ke mana?" "Menemui seseorang."
"Selalu menemui orang-orang," gerutu Kim. "Orang-orang macam apa?"
"Aku ada urusan," kata ayahnya. "Untuk mendapatkan uang. Agar kau dapat sembuh."
"Ayah bisa pergi besok," kata Kim.
Ia tahu seharusnya tidak berdebat, dan ia tidak bermaksud untuk tidak
menghormati ayahnya. Tapi ia merasa aneh saat menyadari bahwa ayahnya selalu
pergi ke pertemuan misterius yang tidak pernah dibicarakan dengannya.
"Uang dapat untuk membayar dokter," ayahnya mengingatkannya.
"Tidak ada pertemuan yang akan memberi kita cukup banyak uang," Kim berkata
kepadanya dengan cemas. "Kata dokter prosesnya menghabiskan biaya beribu-ribu
dolar." Ayahnya berdiri. "Jangan bicara seperti itu! Jangan sekali-kali!" hardiknya.
Sebelum ia dapat meminta maaf, ayahnya telah meninggalkan ruangan, dan menutup
pintu di belakangnya. Meninggalkan Kim sendiri lagi. Itu adalah bagian terburuk dari sakitnya,
pikirnya, bahkan lebih buruk daripada sakit dan lemas ini.
Menjadi sakit berarti ia tinggal sendiri selama berjam-jam di dalam apartemen
yang sempit dan gelap ini, tidak pernah bertemu dan bercakap-cakap dengan orang
lain kecuali ayahnya. Berada sendirian lebih menakutkannya daripada penyakit itu sendiri. Itu
membuatnya merasa dikucilkan oleh semua orang, seakan-akan ia dibiarkan untuk
mati. *** Di salah satu gang Chinatown yang gelap, sebuah bola lampu tunggal menyala
menerangi reklame di sebuah pintu yang bertuliskan:
PRIBADI: RESTORAN LAYANAN ANTARAN.
Hsin menuju pintu dan mengetuk dengan keras.
Setelah beberapa waktu kemudian seorang pria tinggi membuka pintu, membukanya
dengan hanya berupa celah. Keduanya bertukar kode, percakapan yang terpotong-
potong sebelum pintu dibuka dan Hsin diterima.
Dada Hsin menegang karena ketakutan yang tidak asing lagi ketika ia berjalan
melewati restoran dan menaiki tangga yang panjang dan sempit, menuju ke lantai
atas. Langkah Hsin tampak bimbang ketika ia memasuki ruangan permainan. Berjalan masuk
selalu saja berat dan ia harus melakukan itu. Lama sebelum itu, ia berjanji pada
dirinya sendiri untuk kembali lagi dan lagi. Sampai ia menang.
Seperti biasanya, asap rokok yang tebal membubung di langit-langit yang suram,
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ruangan yang hiruk pikuk. Semua yang hadir di sana adalah laki-laki. Para pria
yang duduk di meja atau di barisan kursi lipat, semuanya berbicara dalam bahasa
Cina. Seperti Hsin, kebanyakan dari mereka adalah kelas buruh, menggunakan jaket
dan baju kerja. Dan seperti Hsin, mereka semua merasakan ketegangan di dalam
ruangan itu. Hiruk pikuk itu tiba-tiba menjadi sunyi ketika pintu yang berada di bagian depan
ruangan terbuka dan tiga orang pria yang mengenakan setelan pakaian berjahitan
rapi masuk. Orang pertama, kelihatan seperti orang terhormat dengan wajah tampan tapi keras,
dengan tangan kosong. Orang kedua, Mr. Lau, botak dan mengenakan kacamata berbingkai emas yang
gemerlap. Ia membawa dua buah jambangan batu jade berwarna hijau pucat, yang
satu berukuran kecil, yang lainnya besar.
Orang ketiga, Mr. Wong, berjenggot abu-abu dan memegang sebuah kotak kayu ukiran
tangan. Dalam arak-arakan yang khidmat, mereka berjalan melalui kerumunan, menuju meja
jati yang mengilap, yang terletak di atas panggung di bagian depan ruangan itu.
Dengan tenang dan dengan gerakan yang terlatih, Lau meletakkan jambangan yang
kecil di atas meja dan memberikan yang besar kepada orang yang memimpin arak-
arakan itu. Namanya adalah Mr. Tam, Hsin ingat itu.
Tam mulai mengedarkan jambangan besar itu ke sekeliling ruangan. Ia
memperhatikan dengan cermat ketika setiap orang memasukkan sepotong alat
permainan seperti alat permainan mahjong atau gaple ke dalamnya, lalu memberikan
jambangan itu kepada orang di sebelahnya.
Hsin memandang keping yang dipegang tangannya, berharap agar malam ini membawa
keberuntungan. Di meja jati, Wong membuka penutup kotak kayu dan memegangnya tinggi-tinggi.
Dengungan kegembiraan menjalar di dalam ruangan itu seperti kabel yang bergetar.
Kotak itu berisi tumpukan tebal uang ratusan dolar.
Orang yang berada di samping Hsin mengangguk dan menunjuk ke arah kotak itu,
tapi mata Hsin tetap pada jambangan besar.
Jambangan itu berjalan cepat menuju ke arahnya. Teriakan yang membesarkan hati
bergema ketika setiap orang memasukkan keping yang memuat namanya ke dalam
jambangan. Akhirnya jambangan batu jade itu sampai kepada Hsin. Dengan perlahan, hampir
dengan takzim, ia menjatuhkan keping permainannya ke dalam jambangan itu,
mendengarkan suara dentingnya ketika menyentuh batu jade.
Mata Hsin lalu menatap ke arah meja jati, di mana Lau menggosok keping permainan
yang berbentuk segi tiga dengan kain cokelat gelap. Satu demi satu, ia menggosok
sebuah keping lalu menjatuhkannya ke dalam jambangan yang kecil. Sebuah keping
permainan yang berwarna merah, lalu kepingan merah lainnya, setiap keping
menghilang ke dalam dinding batu jade yang transparan.
Akhirnya ia mengambil satu keping permainan yang berwarna putih, yang dilingkari
oleh kayu. Ia menggosoknya dengan kain, lalu menaruhnya ke dalam.
Tam membawa jambangan batu jade kembali ke atas meja.
Keheningan melanda ruangan ketika Lau berdiri dan tangannya meraih ke dalam
jambangan terbesar. Hsin merasakan dirinya mulai berkeringat ketika Lau mengaduk keping-keping
permainan itu dengan tangannya, lalu dengan perlahan mengambil satu potong.
Ia membaca nama yang tertera di situ dengan lantang: "Li Oi Huan!"
Keheningan ruangan itu pecah dan Hsin memejamkan matanya gelisah dan lega.
Lau mengangkat ke atas jambangan batu jade yang kecil.
Teriakan-teriakan di dalam ruangan terdengar ketika ia mengacungkan keping
permainan yang berwarna putih itu tinggi-tinggi lalu menjatuhkannya ke dalam
jambangan. Sekarang jambangan yang terkecil itu mulai berpindah dari tangan ke tangan.
Jambangan itu mencapai tujuannya ke tangan seorang kurus dan liat yang
mengenakan jaket cokelat muda. Hsin mengenalinya sebelumnya.
Li mempunyai mata seputih susu dan kelihatan ketakutan sejak dari awal mula
acara. Sekarang tangan Li gemetar ketika memegang jambangan itu di atas kepalanya lalu
mengguncang-guncangnya dua kali. Teriakan-teriakan yang menyemangati menjadi
hening tatkala Li meraih ke dalam jambangan itu dan mengangkat tangannya yang
memegang sebuah keping permainan.
Ia menarik keluar sebuah kepingan merah dan membacanya dengan cepat. Ekspresi
kesakitan melintasi wajahnya. Ia menggenggam kepingan itu dengan erat di dalam
kepalan tangannya. Mr. Tam telah berada di samping Li itu. Dengan hati-hati dibukanya kepalan
tangan lelaki kurus itu, dan mengambil keping itu dari tangannya, dan membacanya
dengan lantang. "Xin!"
Kata itu menyebabkan ruangan menjadi hiruk pikuk. Orang-orang berdiri dengan
serentak ketika Mr. Tam menggandeng tangan Li dan mengawalnya dengan ketat dari
tempat duduknya. Kedua orang yang duduk di meja jati terlihat tanpa ekspresi ketika Li dibawa
melalui pintu di ruangan depan dan pintu itu menutup di belakangnya.
Mr. Wong mengelus jenggotnya dan berdiri. Dengan khidmat ditutupnya kotak kayu
ukiran itu. Di sebelahnya Mr. Lau mengangkat kedua jambangan batu jade. Lalu
mereka juga meninggalkan ruangan, keluar melalui pintu yang sama dengan yang
dilewati Li. Hsin memandang sesaat ketika orang-orang di sekelilingnya duduk kembali ke kursi
mereka dan mengangkat gelasnya dengan lega. Lalu ia berdiri dan langsung keluar
ruangan. Permainan sudah berakhir. Paling tidak untuk malam ini.
Chapter 5 Scully menatap ke dalam kendi besar di dalam tempat gelas. Kendi itu terisi
penuh oleh cairan bening. Di dalamnya tampak mengambang sesuatu seperti akar-
akaran yang besar. Ia berpindah ke kendi berikutnya. Sama juga, berisi suatu objek organik yang
tidak dikenalinya. "Aku tidak dapat menjelaskan satu pun pada kalian apa benda-benda ini," kata
Scully kepada Mulder dan Chao.
Ketiga petugas itu melakukan kunjungan malam ke salah satu dari banyak toko obat
yang sejajar di sepanjang jalan Chinatown.
Nama yang satu ini tercetak di atas paket yang ditemukan Scully di apartemen
Johnny Lo. "Yah, itu pastilah akar-akaran," Chao menjelaskan. "Ginseng, turmeric,
astragalus, ephedra. Lalu kalian akan mendapatkan barang-barang exotis kalian.
Empedu beruang, ular, sirip hiu...sering kali para dokter menulis resep campuran
dari tumbuh-tumbuhan obat lalu pasien memasaknya menjadi teh."
"Lalu apa yang telah digunakan oleh si korban?" tanya Mulder.
Glen Chao menaruh bungkusan jamu kering yang mereka temukan di apartemen Johnny
Lo di atas meja pajangan. Si ahli obat sedang sibuk menimbang potongan halus
akar di dalam timbangan tangan dari kuningan yang sudah kuno. Sebuah sipoa
terletak di meja pajangan di sebelahnya. Setelah menimbang akar itu, ia
menghitung dengan cepat, lalu menambahkan sesuatu seperti jamur ke dalam
timbangan. Ia adalah seorang wanita setengah umur, yang menggunakan pakaian
mandarin kerah tinggi dengan kalung manik-manik merah yang cemerlang. Karena
sibuk bekerja, ia tampaknya tidak menyadari kedatangan ketiga petugas itu.
Ia melihat ketika Chao menanyainya tentang jamu. Ia membuka bungkusan itu, lalu
mengintip ke dalamnya, dan menjawab dalam bahasa Canton yang cepat.
"Ia bilang ini adalah akar tengkorak dan angelica Cina," Chao menjelaskannya
kepada kedua agen FBI itu. "Biasanya digunakan sebagai obat penghilang rasa
sakit." "Untuk sakit macam apa?" tanya Scully.
"Sakit kepala dan sakit gigi, seringkali," jawab Chao.
"Apakah ia ingat Johnny Lo?" tanya Scully. "Atau ingat menjual itu kepadanya?"
Chao menerjemahkan pertanyaan itu. Ahli obat itu mengangguk.
"Tanya ia apakah ia tahu tentang kematiannya," kata Mulder.
Chao melakukan sesuai yang diminta oleh Mulder, dan si wanita itu menggelengkan
kepalanya. "Tanya ia apakah ia tahu huruf yang dicat di pintu Lo," kata Mulder.
Chao mengambil buku catatannya dan menyodorkannya sehingga ahli obat dapat
membaca simbol yang disalinnya.
Untuk pertama kalinya wanita itu menjadi waspada. Ia menjawab pertanyaan Chao
dengan bahasa Cina yang keras dan cepat, lalu ia pergi menjauhi mereka,
menganggap wawancara mereka telah selesai.
"Ada apa?" tanya Scully bingung.
"Ia bilang rumah itu telah ditandai sebagai tsang fang - sebuah rumah hantu,"
jawab Chao. "Berhantu?" ulang Mulder. "Maksudmu oleh hantu-hantu?"
Chao mengangguk. "Susah untuk memberikan terjemahan persisnya, tapi itu adalah
seperti yang telah kukatakan padamu sebelumnya - apa yang orang Cina sebut
sebagai Yu Lan Hui. Festival ".Hantu-Hantu Lapar."
"Mereka mencetak uang neraka untuk festival yang sama," kata Mulder.
Chao melanjutkan penjelasannya. "Kalian lihat, hari ketujuh belas di bulan
ketujuh pada penanggalan Cina, dipercayai sebagai waktu terbukanya pintu gerbang
neraka, dan hantu-hantu yang rohnya tidak diterima, bergentayangan di bumi, dan
hanya kembali pada hari terakhir bulan itu.
"Dipercayai bahwa setelah kematian, orang dilahirkan kembali ke salah satu dari
enam dunia," lanjut Chao. "Yang terburuk dari dunia-dunia ini adalah neraka.
Setelah itu alam dari hantu-hantu kelaparan - roh-roh yang dikutuk untuk terus-
menerus kelaparan dan kehausan. Mereka selalu kelaparan dan sangat kehausan.
Mereka mengembara dalam kesengsaraan yang terus-menerus, dapat melihat air tapi
tidak bisa meneguknya. Resah dan tergoda dengan keinginan, mereka sering
berbalik mengganggu yang hidup."
"Selama Yu Lan Hui, penganut kepercayaan melindungi diri mereka dengan
meletakkan makanan dan uang neraka di luar rumah untuk menyenangkan hantu-hantu
itu - untuk tetap menjaga agar mereka tidak masuk ke dalam dan membuat kesulitan.
Hanya pada waktu itu saja selera para hantu-hantu lapar itu dapat dipenuhi."
"Festival itu mirip dengan yang lain," kata Mulder. "O Bon di Jepang, bangsa
Celtic dengan Samhain, Mexico dengan hari kematiannya. Semua itu merayakan suatu
waktu mana selubung antara dunia orang-orang hidup dan dunia orang-orang mati
lenyap, dan yang telah mati kembali bergentayangan di bumi. Pada masing-masing
kebiasaan, orang-orang hidup memberikan persembahan untuk yang telah mati."
"Aku tidak tahu tentang orang-orang Celtic," kata Chao,"Tapi orang-orang Jepang
dan Mexico keduanya mempunyai hubungan yang lebih bersahabat dengan orang-orang
mereka yang sudah mati daripada orang Cina. Pada festival-festival mereka,
kalian diminta untuk menari dengan orang mati. Festival hantu-hantu lapar lebih
gelap. Persembahan kami kepada orang mati tidak selalu cukup."
"Apa maksudmu?" tanya Scully.
"Pada beberapa roh, hantu lebih menakutkan rakyat kami. Mereka tidak bisa
dibeli: Preta, hantu kuno dari orang yang mati terbunuh yang bergentayangan di
muka bumi, selalu mencoba membalas dendam kepada orang yang hidup. Atau Wu Chang
Kuei, yang mengumpulkan jiwa orang-orang yang menemui ajalnya dan membawa mereka
turun ke Ti Yu,"lanjut Chao,"ke Neraka Orang Cina."
"Lalu," kata Mulder, mencoba untuk menerima penjelasan Chao pada kasus itu,
"Johnny Lo tidak mempunyai uang neraka yang cukup untuk persembahannya, lalu
hantu-hantu datang padanya. Apakah itu yang kau coba jelaskan kepada kami?"
Chao mengangkat bahu ketika mereka meninggalkan toko obat itu.
"Aku seorang polisi. Aku tidak biasa menjadikan hantu sebagai tersangka."
"Tapi menurutmu pembunuhan ini dapat saja ada hubungannya dengan Yu Lan Hui?"
Mulder mencoba memaksa. "Yah, itu rasanya akan membuatnya menjadi aneh," kata Chao. "Tahun ini festival
itu baru saja selesai."
"Bagaimana dengan kau, Detektif?" tanya Scully. "Apakah kau percaya pada Yu Lan
Hui?" Untuk pertama kalinya Chao tersenyum, meskipun senyuman itu sebuah senyum sinis.
"Aku rasa sulit untuk berdebat dengan keyakinan Cina yang sudah berumur dua ribu
tahun - hal-hal yang dipercayai oleh orang tuaku dan para kakek nenekku. Tapi
yang sebenarnya adalah," tambahnya,"aku lebih dihantui oleh besarnya pembayaran
hipotikku." *** Oi-Huan Li duduk di kursi kayu di ruangan yang gelap dan berkabut. Ia sedang
minum dari cangkir porselen. Ia memeganginya dengan kedua tangannya, mencoba
menahan dirinya dari gemetar ketika menelan cairan panas.
Rasanya agak pahit. Meskipun minuman itu hangat, ia merasakannya dingin di
dalam. Kali ini berbeda dari yang dulu. Ia tidak pernah merasa begitu ketakutan,
merasa begitu kesepian. Lalu ia merasa tidak lagi sendiri.
Sesosok manusia kuno muncul dari kegelapan. Penampilannya terlihat tembus
pandang. Jubah yang digunakannya berasal dari seabad yang lalu. Dan di
belakangnya berdiri para leluhur yang lainnya. Lebih tua, lebih lemah. Dan
bahkan lebih menyeramkan...
Li gemetar tanpa henti ketika teh itu mulai bereaksi. Sesosok hantu lainnya -
seorang wanita dalam pakaian compang-camping - muncul, diikuti oleh yang ketiga
dan keempat.... Hantu-hantu kuno itu mendekati Li, menuju ke arahnya.
Terpesona, Li menatap tangan hantu itu dengan salah satu matanya yang masih
berfungsi. Kulitnya berkerut-kerut dan sepucat kertas.
Tangan hantu itu datang mendekat dan lebih dekat. Sampai ia menyentuh dada Li
lalu menghilang. Li merasakan es di dalam dadanya. Dan tiba-tiba terasa sakit yang sangat nyeri.
Tangan leluhur itu tiba-tiba ditarik - sepertinya ia mengambil sesuatu dari
dirinya. Mata Li yang masih baik membelalak, tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Di
tangan hantu itu adalah jantung manusia. Masih berlumuran darah, jantung manusia
itu masih berdenyut. Li mencoba meraba dadanya, tapi obat itu menghalanginya. Ia tidak dapat
menggerakkan tangannya sama sekali. Matanya terpejam, tubuhnya melemah.
Seorang pria yang menggunakan sarung tangan medis memasuki ruangan dan mengambil
cangkir kosong dari tangannya.
Pria itu mengangkat dagu Li, membuka kelopak matanya, melihat pupil mata Li yang
membesar, lalu mengangguk.
Chapter 6 Tengah malam yang menakutkan, waktu sepi di Taman Pemakaman Highland Park. Kabut
datang dari teluk, membuat malam yang dingin dan lembab itu bertambah kelihatan
buram. Sebuah mobil truk patroli bergerak di sepanjang jalan masuk bagian dalam
pemakaman, lampunya menyapu melintasi batu nisan dan tanda-tanda.
Petugas patroli itu memperlambat kendaraan ketika lampu besarnya menyinari
gundukan yang tinggi di sisi sebuah kuburan yang terbuka - dan ada sesuatu yang
bergerak di dalam sinar itu.
Tunggu sebentar, batinnya, menginjak rem. Sejauh yang diketahuinya, ia hanya
satu-satunya orang yang seharusnya berada di sini pada malam ini. Penggali
kuburan dan petugas administrasi sudah pulang sebelum gelap. Bahkan pengurus pun
sudah pulang. Petugas patroli itu melihat pemandangan yang diterangi oleh sinar lampu besar.
Ia merasakan darahnya menjadi dingin. Dua sosok tubuh berdiri di samping kuburan
yang terbuka. Mereka berdiri seperti patung. Seperti patung di pemakaman itu,
yang sudah berada di sana untuk beberapa turunan. Seperti mereka sedang
menunggunya. Setiap sosok tubuh itu ditutupi oleh jubah hitam yang panjang. Wajah mereka
bercat putih, masing-masing seperti iblis yang aneh sekali.
Petugas patroli itu merasakan jantungnya berdentam ketika sosok bertopeng ketiga
bangkit perlahan dari kedalaman kuburan yang terbuka.
Mencoba melawan ketakutannya, ia mengatakan pada dirinya sendiri, ini pastilah
hanya olok-olok. Sekelompok remaja yang sedang bosan bermain di sebuah pemakaman
dengan semacam kenekatan yang menggila.
Baiklah, mereka tidak akan mengira ini adalah ide yang menarik bila ia telah
selesai dengan mereka. Dengan marah ia keluar dari truknya. "Hei!" teriaknya.
"Apa yang kalian lakukan?"
Dengan memegang lampu senter di depannya, penjaga malam itu mulai mendekati
sosok-sosok itu. Tapi tiba-tiba mereka hilang ditelan kegelapan. Seperti ilmu sihir.
*** Mulder baru saja mendengar ketukan di pintu hotelnya. Ia sedang duduk di meja,
berkonsentrasi pada layar laptopnya.
"Apa?" tanyanya.
"Mulder, apakah kau masih terjaga?"
Hampir dengan enggan, ia bangkit dan membuka pintu itu.
"Ada apa?" tanyanya.
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak tahu apakah ini bisa membantu," kata Scully, "Tapi aku telah
menelepon seorang teman lama, seorang neurolog yang belajar di Cina dan
memasukkan obat-obatan Cina ke dalam prakteknya. Tampaknya ini adalah suatu
sistem yang sangat rumit. Apa yang telah dijelaskannya padaku adalah bahwa
orang-orang Cina kuno memandang manusia sebagai ekosistem yang kecil. Mereka
percaya kesatuan itu bekerja pada bumi - seperti angin, panas, dan embun - juga
bekerja pada diri kita. Menurut pengobatan Cina, semua yang ada pada tubuh
manusia dan respon jiwa berhubungan dengan unsur-unsur alam dan energinya.
"Sebagai contoh, jika seseorang menderita bronkitis, ahli fisik Cina tidak akan
melihatnya sebagai peradangan dari tenggorokan, tapi berhubungan dengan
kesedihan, dengan kedinginan, dan dengan ketidakseimbangan dari unsur-unsur
logam. Tujuan perawatan oleh para praktisi Cina untuk mencegah penyakit adalah
dengan menyeimbangkan unsur-unsur dan energi di tubuh."
Mulder menyeringai padanya. "Apakah aku mendeteksi suatu keputus asaan?"
Scully menggeleng. "Akupunktur telah membuktikan secara efektif dalam
penanggulangan kesakitan dan kecanduan. Dan neurolog yang telah berbicara
denganku ini adalah kelas satu. Ia tidak akan menggunakan obat-obatan Cina dalam
prakteknya bila ia tidak melihat bukti empiris bahwa itu dapat bekerja. Ia
mengatakan padaku bahwa ia mengalami satu masalah dalam perawatan pasiennya yang
memegang kepercayaan tradisional pada leluhur dan roh-roh mereka."
"Apa itu?" tanya Mulder.
"Beberapa pasien Cinanya yang sudah tua menolak operasi yang diperlukan. Mereka
bilang bahwa tubuh mereka adalah pemberian dari para leluhur, dan karena itu
bila ada bagian yang dipotong atau dipindahkan maka akan tidak menghargai arwah
para leluhur." Scully memandang dinding itu, tiba-tiba ia kelihatan seperti
sangat lelah. "Tidak ada satu pun dari ini semua yang mengatakan kepada kita
secara gamblang tentang kematian Johnny Lo."
"Tidak, tapi mungkin berguna. Sebenarnya." - Mulder melepaskan kacamatanya dan
menggosok matanya - "Aku tidak tahu mana yang akan berguna pada kasus ini. Aku
hanya melakukan penelitian lebih banyak. Apakah kamu tahu, kata 'hantu' dan
'iblis' dalam bahasa Cina adalah sama. Dan hantu-hantu lapar yang digambarkan
oleh Chao pastilah yang muncul di kompleks pemakaman dan - "
Telepon genggam Scully memutus kata-kata Mulder. "Scully di sini," katanya,
setelah membukanya. Ia mendengarkan beberapa saat lalu berpaling kepada Mulder.
"Neary," katanya. "Ia meminta kita untuk menemuinya di Taman Pemakaman Highland
Park." *** Mulder dan Scully menemukan pemakaman itu diterangi oleh kilatan lampu sorot
merah dan biru dari lampu mobil-mobil polisi.
Glen Chao, yang mereka lihat, parkir beberapa kaki jauhnya dan baru saja keluar
dari mobilnya. Letnan Neary menyambut mereka dengan anggukan pendek, lalu membawa mereka
melalui batu nisan. "Petugas patroli malam menggambarkan tiga orang mengenakan topeng yang sama
dengan yang diidentifikasi di krematorium," ia menjelaskannya.
"Apa yang mereka lakukan di sini?" tanya Scully.
"Kami tidak tahu pasti," Neary mengakui "Mereka muncul di sekitar kuburan yang
terbuka di sebelah sini, tapi kami tidak bisa mengira apa persisnya yang telah
mereka lakukan di sini."
"Apakah ini baru digali?" tanya Mulder, melihat ke arah tumpukan tanah yang
masih baru. "Yeah," jawab Neary. "Mereka akan melakukan pelayanan penguburan besok siang."
"Orang-orang Cina?" tebak Mulder.
"Aku tidak tahu," kata Neary. "Kita bisa mengeceknya. Hei, Chao" - ia memberi
isyarat kepada detektif itu - "Cari tahu apakah kamu bisa mendapatkan nama
penghuni barunya." Scully mengerutkan dahinya. "Aku masih tidak melihat apa yang diinginkan orang
pada sebuah kuburan kosong," katanya.
Scully dan Chao, keduanya saling berpandangan dengan bingung ketika Mulder tanpa
peringatan, melompat ke dalam lubang itu.
"Apa yang dilakukannya?" tanya Neary, menyorotkan senternya ke dalam kuburan
itu. "Sesuatu terpikir olehku," kata Mulder, berkonsentrasi pada tanah basah di bawah
kakinya. Ia berlutut dan menggali beberapa inci, lalu berhenti ketika ia merasakan
sesuatu menyentuh jari tangannya. Sesuatu yang dingin dan halus, hampir elastis.
Ia memaksa dirinya untuk tetap menggali. Sampai ia menyapu setumpuk tanah yang
menutupi wajah seorang manusia.
"Apa yang kau temukan?" panggil Scully.
Mulder melanjutkan kerjanya sampai ia menemukan wajah dari seorang Cina yang
kurus. Kali ini, pikirnya, mereka tidak capek-capek dengan krematorium.
"Mulder?" kata Scully.
Jawaban Mulder pendek. "Sepertinya besok mereka akan membuat dua kuburan."
Chapter 7 Hampir pukul tiga siang ketika Scully dan Mulder tiba di kantor forensik di
kantor pusat Polisi. Scully sangat kelelahan. Tapi ia adalah salah satu yang
memutuskan hal ini tidak bisa ditunda lagi. Penemuan mereka di kuburan terbuka
langsung dibawa ke sini. Ia mengikat rambutnya ke belakang, mengenakan jas medis dan sarung tangan karet,
lalu masuk ke ruangan autopsi. Mereka semua mirip, pikirnya dengan letih.
Dinding logam lemari pendingin ditarik, setiap laci menyimpan sebuah mayat.
Mayat-mayat lainnya terbaring di atas kereta dorong logam, diselubungi oleh
lembaran plastik tipis. Counter logam steril, lemari kaca berisi pisau bedah, penyemprot, dan gunting
tang. Pijaran lampu-lampu, bau alkohol dan obat steril. Ruangan ini didesain
untuk memeriksa orang mati. Ia memikirkan penjelasan yang telah dikatakan oleh
Chao pada mereka. Apa, pikirnya, akankah suatu budaya yang mempercayai kehidupan setelah kematian
membuat tempat seperti ini.
Scully mulai mencatat tanpa mengeluarkan suara sebelum memulai pemeriksaan mayat
itu. Pakaian anak muda itu telah dibuka, tapi masih ada tanah dari kuburan di
tubuhnya yang tidak tertutup.
Umurnya sekitar dua puluhan, dari apa yang dapat dikatakan Scully, hidup orang
ini tidaklah mudah. Sejauh ini ia tidak suka akan apa yang dilihatnya. Di antara ratusan autopsi
yang telah dilakukan, inilah yang paling mengganggunya.
Ia menengok ketika Mulder berjalan masuk.
"Apa yang kamu temukan?" tanyanya.
"Banyak," kata Scully dengan suara yang suram. "Dan aku bahkan belum
menyelesaikan pemeriksaan pendahuluanku secara visual. Lihat ini."
Ia menarik lembaran plastik yang menutupi mayat itu. Wajah anak muda itu memar
dan di tubuhnya yang kurus terdapat bekas irisan melintang - lipatan daging pucat
berwarna merah. Sangat nyata, irisan ke bawah tulang dada tampak seperti tali,
benang operasi masih tampak menyilang.
"Tubuh orang ini tampak seperti teka-teki silang," kata Scully kepada Mulder.
"Semua ini adalah irisan pembedahan, dan meneliti warna bekas luka ini, dapat
kukatakan bahwa ini semua dibuat pada tahun lalu."
"Ada apa dengan orang ini?" tanya Mulder.
"Jika kau tanyakan padaku," jawab Scully, "tidak ada."
"Tidak ada" Apa maksudmu?"
"Apa kau tahu bahwa tubuh manusia itu berharga, Mulder?" tanyanya.
"Tergantung pada tubuh itu," canda Mulder.
Lalu ia menjadi lebih serius ketika melihat ekspresi Scully. "Aku tidak tahu...
beberapa dolar... berapa?"
"Harganya bisa membuat kaya raya," kata Scully kepadanya.
"Menurutmu, orang ini menjual bagian tubuhnya untuk uang?"
Scully menunjuk pada bermacam-macam bekas luka di mayat itu. "Sebuah ginjal,
sebagian hati, kornea, sumsum tulang... seseorang dapat kehilangan ini dan tetap
hidup untuk menguangkan cek jaminan sosialnya."
"Ia tidak akan menguangkan jaminan sosial apa pun nanti," kata Mulder.
"Tidak," Scully setuju, sambil menaruh pelindung mata plastiknya. "Tapi jika aku
benar, ia adalah satu-satunya orang yang meninggalkan hatinya di San Francisco."
Dengan tekun ia mulai membuka jahitan di sekitar bekas luka yang masih segar di
dada laki-laki itu. "Teknologi kedokteran kita telah mencapai titik di mana
organ tubuh transplantasi dapat terus hidup dalam pilihan berbagai kondisi -
jantung, hati, kerusakan ginjal, bahkan beberapa macam kebutaan. Masalahnya,
tidak banyak organ yang tersedia di seluruh dunia. Orang-orang masuk dalam
daftar antri, dan bila mereka tidak beruntung, penantian itu akan membunuh
mereka. Untuk saat ini, etika medis telah memperingatkan kita tentang
kemungkinan adanya pasar gelap bagian-bagian tubuh yang sedang berkembang di
sini. Mereka telah ada di beberapa negara lainnya."
"Scully, bahkan bila kau benar, ini tidak menjelaskan," kata Mulder. "Tidak ada
bisnis jangka panjang yang menyangkut kematian. Dan apa hubungan hal ini dengan
kematian di krematorium?"
"Aku belum tahu," jawab Scully. "Tapi sejauh ini yang dapat kukatakan adalah:
Satu-satunya yang tidak terbakar dari tubuh Johnny Lo yang kering dan rapuh itu
adalah mata kacanya."
Ingin tahu apakah teorinya benar, untuk tahu apakah jantung si korban sudah
diambil, Scully kembali pada pekerjaan sebelumnya - menggunting silang dada si
korban. Ia melangkah mundur, waspada, begitu jahitan di dada laki-laki itu mulai
terlihat naik turun. Seperti ada sesuatu yang berdenyut di dalamnya. Ia seperti
bernapas. Ini tidak mungkin, kata Scully pada dirinya sendiri.
"Ya, Tuhan," bisiknya. Ketika melihat, luka merah menyala terbuka - dan seekor
katak hijau kecil mencoba keluar dari balik kulit, di dalam dada orang mati itu.
"Omong-omong tentang seekor kodok di kerongkonganmu," komentar Mulder.
*** Sekali lagi ruangan permainan yang penuh asap telah penuh sesak dan ramai.
Hiruk-pikuk timbul lebih keras ketika jambangan terbesar dari dua jambangan batu
jade melintas menuju meja di depan ruangan itu.
Seperti sebelumnya, kedua orang yang duduk di belakang meja jati itu memegang
kotak kayu ukiran yang berisi uang.
Orang yang dipanggil Tam membawa jambangan terbesar. Lau membenahi kacamatanya,
lalu berdiri. Ia meraih ke dalam jambangan terbesar dan mengeluarkan salah satu
kepingan nama. "Hsin Shuyang!" panggilnya.
Ruangan itu mendadak sunyi. Hsin menatap kotak uang itu, urat sarafnya berperang
antara kegembiraan dan ketakutan. Ia telah ikut permainan itu berbulan-bulan.
Akhirnya ia mendapatkan kesempatan itu. Kesempatan untuk memenangkan cukup uang
untuk meyelamatkan Kim. Dan jika ia tidak memenangkan uang itu... tidak, ia
tidak boleh berpikir seperti itu.
Lau mengangkat jambangan yang kecil dan kepingan yang berwarna putih - kepingan
yang dapat menyelamatkan nyawa Kim.
Hsin merasakan harapannya tumbuh ketika Lau menjatuhkan kepingan putih itu ke
dalam jambangan. Tam membawa jambangan kecil itu melalui kerumunan. Ia bergerak dengan kecepatan
yang tidak biasanya. Semua itu tiba-tiba terjadi terlalu cepat. Hsin merasa
sebutir keringat jatuh di antara tulang bahunya saat Tam meletakkan jambangan di
tangannya. Sebagian dirinya merasa tidak percaya kalau hal ini nyata. Sebagian lagi sadar
bahwa dua nyawa - nyawa Kim dan nyawanya - tergantung pada apa yang akan terjadi
pada detik berikutnya. Hsin baru saja mendengar teriakan yang memberinya semangat dari orang-orang
sekelilingnya. Ia memegang jambangan batu jade tinggi-tinggi di atas kepalanya
dan mengguncang-guncangnya tiga kali. Ada ukiran naga di sisinya. Ia menyadari,
sebuah simbol keberuntungan. Ia menghela napas sebentar, lalu memejamkan
matanya, meraih ke dalam, dan mengeluarkan sebuah kepingan.
Hsin tidak berani melihatnya. Waktu seakan-akan berhenti berdetak. Ia terus
memejamkan matanya, berharap, berdoa agar kepingan yang dipegangnya di dalam
genggamannya itu adalah kepingan putih. Di sekelilingnya ia mendengarkan yang
lainnya, tidak sabar untuk mengetahui apa yang telah diambilnya.
Hsin merasa dirinya tidak bisa bergerak. Tidak bisa bernapas. Harapan dan
ketakutan bercampur dan membentuk simpul di tengah-tengah dadanya. Dua pilihan,
kepingan itu dapat mengubah seluruh hidupnya.
Ia merasa seseorang membuka genggamannya. Semoga itu adalah kepingan yang
berwarna putih, semoga aku mendapatkan hadiah uang itu untuk Kim.
Ia membuka matanya ketika Tam memegang kepingan merah itu dan mengumumkan
nasibnya itu ke seluruh ruangan.
"Yenjing!" teriaknya.
Ruangan itu meledak karena teriakan-teriakan. Hsin merasa kakinya gemetar dengan
hebat. Ia pikir ia tidak akan dapat berjalan.
Tiba-tiba semuanya berjalan dengan cepat. Ia dibantu berdiri dari kursinya dan
dikawal melalui pintu tunggal di mana Oi-Huan Li terakhir kali terlihat.
Chapter 8 Detektif Glen Chao sedang berada di mejanya, sedang bicara di telepon, ketika
sebuah kendi kaca ditaruh di mejanya. Kendi itu berisi seekor katak hijau kecil.
Chao, bingung, menatap Scully dan Mulder yang sedang memperhatikannya.
Chao dengan cepat menyelesaikan percakapannya, lalu menaruh gagang telepon itu.
"Apa ini?" tanyanya sambil mengambil botol itu.
"Kami harap kau dapat menerangkannya kepada kami," kata
Scully dengan suara yang keras. "Ini ditemukan di dada mayat orang yang dikubur
di pemakaman." "Ini?" tanya Chao, menunjuk ke arah kodok itu.
"Katamu kodok adalah lambang keberuntungan dan kesejahteraan," Scully
mengingatkannya. "Kecuali ini adalah guyonan orang sakit, menurutku ini pasti
mempunyai arti yang lain."
Chao menggelangkan kepalanya dan meletakkan kendi itu.
"Yah, bila itu telah terjadi, aku tidak tahu apa itu. Maksudku, itu bisa saja
semacam... lambang Triad. Sesuatu yang berkaitan dengan organisasi kriminal..."
"Yah, mungkin kamu dapat mengatakannya padaku," lanjut Scully. "Pernahkan kamu
mendengar sesuatu di jalan tentang pasar gelap penjualan organ-organ tubuh?"
"Apa" Di sini, di Chinatown?" tanya detektif itu, suaranya penuh dengan ketidak
percayaan. "Orang ini dengan kodok di dalam dadanya telah kehilangan sebuah kornea dan
sebuah ginjal," kata Scully, kurang yakin ia dapat mengerti maksudnya. "Semuanya
itu telah diambil sebelum ia mati. Sebelum pengambilan terakhir jantungnya. Dan
aku menemukan sisa es steril di kulitnya di dalam dan di sekeliling irisan bedah
di dadanya. Itu adalah zat kimia yang biasa digunakan untuk menyimpan organ-
organ tubuh manusia untuk transplantasi."
Chao menggelengkan kepalanya dan tertawa dengan putus asa. Sepertinya, yang
dikatakan Scully padanya adalah sesuatu yang mustahil. "Aku tidak pernah
mendengar hal-hal seperti itu," katanya.
Mulder berdiri di jendela kantor polisi, dengan tekun diikutinya percakapan
mereka, dan melihat Chao semakin menyulitkan waktu demi waktu.
"Kami membutuhkan bantuanmu lebih banyak dari itu, Detektif," kata Mulder.
Senyum Chao memudar. "Maksudmu aku tidak mencoba membantumu?"
"Tidak," kata Mulder, melangkah menuju ke arahnya.
Scully tidak sabar menghabiskan waktu untuk diplomasi. Ia berkata dengan datar.
"Kesanku adalah kau merasa marah kepada kami karena kami berada di sini atau kau
merasa perlu melindungi masyarakat Cina."
"Lihat, kalian bahkan tidak tahu kalian berurusan dengan apa," kata Chao
perlahan, dengan suara emosi. "Ini bukanlah semacam... kotak kecil mengkilap
yang dapat dengan mudah kalian buka dan menemukan apa yang ada di dalamnya.
Kalian mungkin melihat wajah seorang Cina di sini, tapi biar kukatakan pada
kalian - orang- orang di jalan tidak melihat wajah yang sama. Mereka melihat wajah seorang
polisi. Orang Cina yang lahir di Amerika. Bagi mereka, aku sama putihnya dengan
kalian." Dengan marah ia berdiri dan meraih jaketnya, berhenti mengambil selembar kertas
dari mejanya. "Kalian pikir karena aku dapat bicara bahasa mereka, aku dapat
menjawab semua pertanyaan kalian. Katakan padaku, apa bagusnya seorang
penerjemah bila semua orang berbicara menggunakan bahasa diam?"
Chao menempelkan lembaran kertas putih di jaket Mulder ketika ia berjalan
melewatinya. "Apa ini?" tanya Mulder.
"Itu adalah nama perusahaan yang memasang karpet di apartemen Johnny Lo," jawab
Chao dengan marah. "Aku kebetulan saja mendapatkannya ketika aku duduk di sana
sambil memutar-mutar jempolku. Kalian ikut denganku tidak?"
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Chapter 9 Dua puluh menit kemudian, Chao, Mulder, dan Scully berdiri di gang yang kumuh
dan suram di sebuah bangunan apartemen Chinatown.
Chao menekan sebuah tombol. Di balik pintu itu, mereka mendengar langkah kaki
yang diseret, lalu suara kunci dibuka.
Pintu terbuka sedikit dan seseorang mengintip keluar melalui rantai pengaman.
Mereka dapat melihat sebagian wajahnya - orang itu setengah umur dengan ekspresi
siaga. "Mr. Hsin?" Chao menunjukkan tanda pengenalnya. "Saya Detektif Chao dari
Kepolisian San Francisco. Bisakah kami bercakap-cakap dengan Anda?"
"Saya sudah terlambat bekerja sekarang," jawab Hsin. Ia berbicara dengan
perlahan, bahasa Inggris yang hati-hati dari seseorang yang belum terbiasa
dengan bahasa itu. "Cuma beberapa menit," Chao meyakinkannya. "Bisakah kami masuk?"
Hsin menghela napas sebentar, lalu dengan enggan membuka pasak rantai pengaman
dan membiarkan mereka masuk.
Ketika mereka melangkah masuk ke dalam apartemen, Hsin menutup pintu dan para
agen itu akhirnya bisa melihatnya.
Ia ramping, agak bungkuk dan berumur akhir empat puluhan. Rambut hitamnya mulai
berwarna abu-abu. Ia mengenakan baju lengan pendek yang ketat dan celana
panjang. Tapi yang paling mencolok darinya adalah balutan tebal yang menutupi
salah satu matanya. Scully yang memulai bicara. "Mr. Hsin, dapatkah saya bertanya apa yang terjadi
dengan mata Anda?" "Kecelakaan waktu kerja," jawab Hsin dengan kaku. "Paku karpet."
Mulder dan Scully bertukar pandang tidak percaya.
"Sudah berapa lama Anda tinggal di negara ini, Mr. Hsin?" tanya Mulder.
"Tiga tahun," jawab Hsin.
"Apakah Anda tinggal sendiri di sini?" tanya Mulder.
Sebelum Hsin bisa menjawab, suara seorang wanita muda memanggil dari kamar
sebelah,"Apakah ada orang di sana?"
Hsin menunjuk ke arah kamar tidur. "Anak perempuan saya," ia menjelaskannya
kepada ketiga petugas itu.
Ingin tahu, Chao berjalan menuju kamar gadis itu.
Scully memulai daftar pertanyaannya. "Mr. Hsin, Anda yang memasang karpet di
tempat tinggal seseorang yang bernama Johnny Lo."
Mulder berjalan menuju ke dapur, melihat-lihat apartemen itu. Ia mencatat sebuah
jaket Ahli Karpet Bay Area tergantung di kaitan; tirai kabut putih menutupi
kerai Venesia; Tea set keramik diatur rapi.
Jelas bahwa Hsin tidaklah mempunyai banyak uang, dan ia berusaha membuat
rumahnya menjadi bagus. Hsin kelihatan bingung oleh pertanyaan Scully tentang Johnny Lo. "Saya tidak
tahu namanya," katanya perlahan. "Orang yang menyewa saya hanya memberitahukan
alamatnya." "Baik, kami akan menghubungi orang yang menyewa Anda," kata Scully. "Ia
mengatakan ini adalah pekerjaan yang harus Anda ambil. Ia tidak mempunyai
catatan pesanannya."
Mata Mulder menangkap sesuatu. Di atas lemari kayu ia melihat kotak porselen
putih biru dan di sekelilingnya ukiran kotak yang berwarna merah terang. Di
antaranya ada sebuah kepingan kecil berwarna merah.
Mulder mengambil kepingan itu dan membaliknya. Di satu sisi, sebuah huruf Cina
dicat dalam warna emas. Hsin kelihatan bingung oleh pertanyaan Scully. "Siapa nama orang yang tinggal di
apartemen itu?" tanyanya kepada Scully.
"Namanya adalah Johnny Lo," ulang Scully. Ia tidak bisa mengatakan apakah Hsin
sungguh-sungguh kesulitan memahaminya, atau ia berpura-pura.
"Ia telah mati sekarang. Terbunuh," kata Scully, ingin membuat Hsin terkesan
dengan betapa seriusnya kasus ini. "Dan kami pikir karpet itu dipasang untuk
menutupi bukti-bukti pembunuhannya."
Hsin mengangkat alis matanya, kelihatan kaget.
xxxxxxx Detektif Chao mengulurkan kepalanya ke bagian belakang kamar tidur. Ia melihat
bingkai lukisan Cina di dinding, korden kembang-kembang menutupi jendela.
Seorang wanita berbaring di tempat tidur, memejamkan matanya. Ia kelihatan demam
dan lemah. Ia merasa seperti pernah melihatnya sebelumnya - seseorang yang tidak ada di
seluruh dunia ini, seseorang yang menanti antara hidup dan mati.
Merasakan kehadiran Chao, ia membuka matanya dan bangkit duduk.
Ia berbicara dengannya dalam bahasa Canton: "Di mana ayahku?"
"Ia ada di sini," kata Chao dalam suara yang mencoba meyakinkannya.
"Siapa Anda?" tanyanya.
Ia cantik, Chao menyadarinya, dan ketakutan. "Aku di sini hanya untuk
menanyainya beberapa pertanyaan," jawabnya.
Melihat kesulitan di wajahnya, ia cepat-cepat pergi sebelum perempuan itu
menanyainya lebih banyak.
xxxxxxx Scully memegang buku catatan. Sampai sejauh ini ia tidak menulis apa pun di
atasnya. Hsin masih bingung dengan pertanyaannya atau sudah sampai di ujung
bibirnya. Kesabarannya sudah mulai menipis dan semakin habis. Tapi ia masih
mendesak. "Apakah Anda masih ingat siapa yang menelepon Anda tentang pekerjaan itu" Siapa
yang menyewa Anda untuk melakukan pekerjaan itu?"
"Saya rasa saya ingat mengenai pekerjaan ini," Hsin menjawab. "Seorang pria
datang pada saya, menawarkan sejumlah uang."
"Apakah Anda melihat bekas genangan darah ketika Anda memasang karpet itu?"
tanya Scully. "Genangan darah?" Hsin menjawab, menggeleng-gelengkan kepalanya.
Detektif Chao dan Mulder kembali dari dapur pada saat yang bersamaan. Mereka
menarik perhatian Scully, memberikan gerak isyarat ke arah pintu.
"Terima kasih, Mr. Hsin," kata Mulder, mengakhiri wawancara yang tanpa tujuan
itu. "Jika kami membutuhkan Anda, kami akan kembali kepada Anda, oke?"
Hsin tersenyum, tampak lega, dan mengangguk.
Mulder dan Scully meninggalkan apartemen itu, tapi Detektif Chao berbalik
kembali, berbicara dalam bahasa Cina pada Hsin.
"Ada apa?" Scully bertanya pada rekannya itu.
"Akan kukatakan sebentar lagi," kata Mulder. Ia melihat ke belakang melalui
pintu apartemen yang terbuka, pandangannya terfokus pada kedua laki-laki itu. Ia
memandang percakapan mereka.
Hsin sedikit membungkuk hormat kepada Chao.
Scully memandang dengan tangan terlipat. Ia tidak mempunyai petunjuk atas apa
yang diperbincangkan mereka, tapi Hsin kelihatan sama sekali berbeda dengan
Chao, menepuk-nepuk bahunya hampir seperti mencoba untuk meyakinkannya. Atau -
ada kemungkinan lain yang terjadi pada anak perempuannya - seperti ia mengenal
Hsin. Beberapa detik kemudian percakapan itu berakhir dan Chao berjalan ke dalam gang.
Hsin menutup pintu di belakangnya.
"Mengenai hal apa tadi?" tanya Mulder kepada Chao.
"Ia menutup jendela belakang," jawab Chao. "Kukatakan padanya itu mudah
terbakar." Mulder mengangguk, lalu ia mengangkat kepingan segi tiga merah yang ditemukannya
di apartemen Hsin. "Kau tahu apa ini?" tanya Mulder.
Chao mengambilnya dan mempelajarinya. "Tidak."
"Kau tahu apa yang tertulis di situ?"
"Ini huruf untuk kayu," jawab Chao.
"Kayu?" ulang Mulder.
"Iya, kenapa" Apa yang kau pikirkan?" tanya Chao.
"Pria ini bukan mengalami kecelakaan kerja," tambah Scully.
"Kupikir ia kehilangan matanya," kata Mulder. "Dan aku ingin tahu bagaimana ia
kehilangan mata itu."
"Mungkin kita harus mengawasi setiap gerakan Mr. Hsin." usul Scully.
"Yah," Mulder setuju. "Dan bagaimanapun aku berani bertaruh ia tidak akan
mengunjungi dokter mata."
Chapter 10 Hsin menghela napas ketika ia menutup pintu di belakang ketiga tamunya itu. Tapi
ia menempelkan telinganya ke pintu, mencoba mendengarkan pembicaraan mereka. Ia
bisa mendengarkan omongan si wanita. Apakah si wanita itu mempercayainya"
Ia berbalik ketika mendengar suara perlahan anak perempuannya. "Ayah?"
Ia berdiri dengan gaun malamnya di pintu yang menuju ke kamar tidur.
"Apakah Ayah mendapat kesulitan?" tanyanya dengan nada cemas.
"Apa yang kau lakukan?" Hsin menghardik, gelisah melihat ia bangun. "Kembali ke
tempat tidur - kau seharusnya berbaring di tempat tidur! Sekarang!"
Keadaannya benar-benar memburuk. Ia kelihatan sangat pucat hampir seperti mayat.
Hsin berjalan mendekati anaknya, memastikan ia kembali ke tempat tidur. Tapi
anaknya menolak mengalihkan pembicaraan.
"Apa yang terjadi pada mata Ayah?" tanyanya.
"Tidak ada, aku mengalami kecelakaan."
"Kecelakaan apa?"
"Kecelakaan kerja, itu saja."
"Tidak mungkin," kata Kim. Tubuhnya mungkin lemah, tapi pikirannya masih tajam
seperti biasanya. Ayahnya dalam bahaya, dan ia tidak akan bersikap pura-pura
tidak mengetahuinya. "Semalam ketika ayah pulang kerja, tidak ada yang tidak
beres. Ayah terluka setelah itu - "
Ia berpaling menghadapnya. "Ini bukan urusanmu. Kau mengerti?"
"Tidak, aku tidak mengerti," jawab Kim, suaranya pelan tapi pasti. Keras kepala
seperti ibunya dulu, pikir Hsin. Hsin telah melihat istrinya meninggal karena
kanker. Ia tidak mau kehilangan anaknya juga.
"Bagaimana kau bisa sembuh?" tanyanya pada anaknya, sebuah keputusasaan dalam suaranya. "Bagaimana kau bisa
sembuh jika kita tidak mempunyai uang untuk ke dokter?"
"Apa yang akan kulakukan jika sesuatu terjadi pada Ayah?" Kim membalas. Suaranya
menjadi perlahan. "Aku hanya mengkhawatirkan Ayah - "
"Aku bangun setiap hari dengan kecemasan!" Hsin berkata.
Ketakutan yang menggelutinya berbulan-bulan, yang dijaganya dengan hati-hati
dari anaknya, mengalir keluar dengan nada sedih yang mendalam. "Pernahkah aku
membuat kesalahan" Apakah aku telah berbuat bodoh" Apakah aku telah membuat
kesalahan dengan pindah ke negara ini" Apakah para leluhur telah mengutuk kita
karena meninggalkan kampung halaman" Apakah karena itu kau menjadi sakit
sekarang?" "Ayah tidak bisa disalahkan," kata Kim kepadanya.
Ia meraih tangan ayahnya sebentar, lalu memeluknya. "Siapa yang patut
disalahkan?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Jika kau tidak tertolong, lalu siapa yang patut disalahkan selain aku?"
Hsin mendekap anaknya. Air mata mengalir dari luka di matanya, mengalir merah ke
gaun malam Kim. *** Sudah lewat pukul delapan malam ketika mobil Chao sampai di depan rumahnya di
area Richmond San Francisco. Chao telah menabung lima tahun untuk membeli tempat
ini. Bahkan sekarang, setiap sen yang didapatkannya untuk ini. Ia baru saja
mengecat ulang bagian luar dan kaca atap baru dipasang di dapur dan kamar tidur.
Real estate di San Francisco sangat mahal dan rumah itu didapatkannya dengan
tidak mudah, dan itu sangat berharga baginya.
Setelah bertahun-tahun ia terkungkung di apartemen Chinatown di mana ia tumbuh,
rumah itu adalah bukti bahwa Chao telah berhasil. Ia tidak pernah menyesal. Ia
merasa terus diingatkan akan kesuksesannya setiap kali pulang ke rumah itu, ke
kamar-kamar yang berlangit-langit tinggi dengan lantai kayu Oak yang mengilap.
Sekarang ia mematikan mesin mobil dan lampu depannya. Ia melangkah keluar dan
mulai berjalan. Langkahnya dipercepat tatkala melihat sesuatu di depan pintu
depannya. Cat putih murni dioleskan dengan kasar, huruf-huruf berwarna merah terang. Tsang
fang. Rumah hantu. Huruf-huruf yang sama dengan yang ditemukannya di pintu rumah
Johnny Lo. Dengan gugup Chao menyentuh cat itu. Masih segar, basah, masih lembab. Ia
menatap sekeliling, mencari apakah si pelaku masih terlihat. Tapi tidak ada
gerakan di jalan, tidak ada tanda dari siapa pun.
Chao gagal memasukkan kunci di pintunya. Ia mengumpat tanpa suara. Tangannya
gemetar. Ia melangkahi pintu yang terbuka itu. Untuk sesaat, ia berdiri terdiam. Ia tidak
merasakan sesuatu yang tidak biasanya. Ia bisa mendengar lemari es berdengung di
dapur. Jam berdetak di ruang keluarga, di rak di atas tungku perapian.
Jantungnya berdebar. Tidak ada orang di sini, hanya ada dia.
Bergerak dengan tanpa suara, ia menutup pintu di belakangnya dan memasukkan
rantai pengaman. Ia menghidupkan lampu lorong. Pancaran sinarnya cukup untuk sampai ke dalam
ruang tamu agar Chao dapat melihat bahwa rumah itu tidaklah kosong sama sekali.
Ia mendapat tamu. Tiga setan bertopeng, wajah mereka muncul dari kegelapan,
hampir seperti tanpa wujud. Persis layaknya hantu.
Chao merasa gelombang ketakutan menyapu dirinya. Kali ini, mereka datang
padanya. Chapter 11 Chinatown di waktu malam tidak pernah benar-benar gelap. Selalu saja ada sinar
lampu neon di sana, sinar lampu sorot, sinar lampu jalan, dan sinar layar
televisi terlihat lewat jendela apartemen, sinar-sinar dari beberapa toko, dan
restoran yang buka sepanjang malam.
Di luar bangunan rumah Hsin, sebungkus petasan meledak. Para pelaku muda yang
menghidupkannya tidak peduli pada mobil sewaan yang diparkir di sana. Mobil di
mana Mulder duduk, menunggu.
Mulder memeriksa jam tangannya lalu melihat ke arah apartemen Hsin. Ia dapat
melihat lampu-lampu di dalam apartemen Hsin. Korden telah diturunkan. Sejauh
ini, mengikuti Shuyang Hsin tidak membuat mereka pergi ke mana-mana. Sejak
mereka mulai mengawasi apartemen itu, Hsin tetap tinggal di dalam.
Mulder menggosok matanya, lalu menyandarkan kepalanya ke belakang. Ia langsung
meluruskan tubuhnya dengan cepat, ketika sebuah tangan membuka pintu tempat
penumpang. "Kau kelihatan seperti baru saja melihat hantu," kata Scully, meluncur masuk ke
dalam kursi penumpang dan menutup pintu itu.
"Aku agak capek," Mulder mengakui. "Dan gelisah. Serangkaian petasan baru saja
mati, dan aku ingin keluar dari mobil ini dan menembak seseorang."
Scully melihat ke atas, ke arah jendela yang terbuka. "Ia belum meninggalkan
apartemennya, bukan?"
"Belum," jawab Mulder. "Aku senang kau sudah di sini. Aku baru saja ingin pergi
ke atas dan bertanya pada Mr. Hsin kalau-kalau boleh aku menggunakan kamar
mandinya." "Yah, kau dapat menggunakan yang ada di Rumah Sakit St. Francis," kata Scully
sambil memasang sabuk pengaman.
"Apa maksudmu?"
"Detektif Chao diserang di rumahnya malam ini. Aku baru saja berbicara dengan
Letnan Neary. Ia bilang Chao tertusuk cukup parah."
"Siapa yang menusuknya?" tanya Mulder.
"Aku tidak tahu," kata Scully. "Tapi kita seharusnya menyelidikinya."
Ketika Mulder dan Scully bersiap hendak berangkat ke Rumah Sakit, seorang pria
berjalan menuju apartemen Hsin. Seorang pria dengan rambut abu-abu dan ekspresi
keras di matanya. Orang yang sama yang mendekati Oi-Huan Li sesaat sebelum ia
kehilangan kesadarannya untuk yang terakhir kali.
Hsin duduk di meja dapur, sedang makan malam, ketika ia mendengar bel pintu
berdering. "Siapa itu?" teriaknya melalui pintu yang masih tertutup.
"Kau tahu siapa ini," suara itu menjawab. Hsin mengenali suara itu. Itu adalah
si Dokter, orang yang menyelenggarakan permainan itu.
Ia tidak pernah mucul di tempat permainan, tapi semua orang tahu ia yang
mengontrolnya. Rasa sakit terasa melanda Hsin ketika ia menyadari sesuatu yang lain. Pada malam
sebelumnya, setelah ia diberi semacam teh untuk diminum, semuanya kelihatan
seperti berkabut. Sulit untuk mengingat apa yang telah terjadi. Tapi ia hampir
pasti bahwa si dokter itulah yang memegang pisau bedah. Dokter yang mengambil
matanya. Bertahun-tahun yang lalu, Dokter itu datang ke negeri ini tanpa bisa berbahasa
Inggris. Meskipun ia telah mendapat gelar dokter medis di Cina, ia tidak bisa
mendapatkan pekerjaan. Ia mengikuti permainan itu dan memenangkan ratusan ribu
dolar. Itu yang membuatnya menjadi orang kaya.
Hsin ragu-ragu sejenak, lalu membuka pintu.
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dokter itu tidak ingin membuang-buang waktu dengan basa-basi. "Aku belum
menerima pembayaranmu," katanya.
Hsin teringat percakapan terakhirnya dengan Kim, dan ia tahu apa yang harus
dikatakannya. "Aku mau keluar."
"Kau mau keluar dari permainan itu?" Tidak percaya dengan pemberitahuan ini, si
Dokter mengeluarkan sebutir buah plum dari sakunya dan mulai memakannya.
"Aku berhenti," Hsin berkata padanya, gugup tapi tegas. "Tidak lagi."
"Kau lebih beruntung dari yang lainnya," kata si Dokter.
"Selama ini dan hanya sekali sial. Kebanyakan orang akan senang untuk bertukar
tempat denganmu. Guci itu sekarang hampir dua juta dolar. Satu tarikan, Mr.
Hsin. Satu tarikan dan mungkin kau akan memenangkan lebih dari yang pernah
kudapat." "Tapi mungkin aku tidak seberuntung itu," Hsin membantah.
"Uang itu dapat membantu menyelamatkan hidup putrimu," pria itu mengingatkannya.
"Mungkin aku tidak seberuntung itu," ulang Hsin. Akhirnya ia mengatakan
ketakutannya dengan keras. "Mungkinputriku akan mati tanpa ayah di sisinya.
Sendirian di tengah orang-orang asing."
"Kau seharusnya memikirkan ini sebelum masuk ke permainan itu, Hsin. Kau harus
tetap terus bermain. Kau tahu aturannya. Tak seorang pun yang membicarakan
tentang permainan ini.....tak seorang pun yang meninggalkan permainan ini."
Kim mendengar suara di dapur itu. Ingin tahu, ia bangkit dari tempat tidur dan
mendengarkan dari pintu. Ia tidak mengenali suara tamu itu. Itu pasti bukan pria
muda tampan yang menengoknya kemarin. Siapa orang asing yang sedang berdebat
dengan ayahnya itu" "Tapi putriku!" Hsin berkeras.
"Itu adalah aturannya," si Dokter berkata padanya dengan dingin. "Aturan itu
tidak boleh dilanggar, atau nanti api Ti Yu akan memakanmu."
Hsin sekarang memohon, kedua tangannya menutup di depannya. "Tolonglah! Aku
mohon padamu!" "Itu bukan pilihanku," kata si Dokter. Ia membuka pintu dan pergi, meninggalkan
Hsin yang menderita dalam kurungan masalahnya.
Di belakang pintu, Kim mendekap mulutnya, berjuang menahan godaan untuk
mengatakan pada ayahnya apa yang telah didengarnya.
Ia tidak tahu siapa orang asing itu, apa yang dibicarakannya, atau hal apa yang
ayahnya ingin keluar. Hanya satu yang jelas. Nyawa ayahnya dalam bahaya.
Chapter 12 Mulder dan Scully berjalan melewati sepasang pintu yang membawa mereka ke tempat
Glen Chao dirawat. Letnan Neary berdiri di ujung ruangan, sedang berbicara dengan beberapa orang
petugas yang tidak berseragam. Ia memutus percakapannya ketika melihat kedua
agen FBI itu. "Bagaimana keadaannya?" tanya Scully.
"Ia telah pergi," kata Neary dengan tegang. "Ketika aku sampai di sini untuk
menjenguknya, ia tidak berada di tempat tidurnya."
"Apakah ada yang melihatnya pergi?" tanya Mulder.
"Yah, perawat bilang setelah mereka selesai menjahit lukanya, ia bangkit dan
pergi ke kamar mandi. Itulah terakhir kali orang melihatnya."
"Mengapa ia pergi begitu saja?" kata Scully dengan keras.
Neary menggelengkan kepalanya, bingung.
"Dapatkah aku melihat catatan pengobatannya?" tanya Mulder.
"Catatan pengobatannya?" ulang Neary, terkejut. "Tentu."
Scully ingin tahu arah mana yang akan dituju Mulder dengan itu. Ketika Neary
pergi meminta catatan pengobatan Chao, ia bertanya kepada rekannya itu: "kau
ingin melihat di mana cederanya?"
"Bukan," jawab Mulder. "Aku ingin melihat golongan darahnya."
"Golongan darahnya?"
"Kenapa ia lari, Scully?" tanya Mulder.
"Kau pikir Chao terlibat?" tanggap Scully.
"Mungkin ia mencoba mengalihkan perhatian dan cerita mengenai hantu-hantu itu
adalah sebuah tipu muslihat," kata Mulder.
"Apa golongan darah yang kita temukan di lapisan karpet?"
Scully mengeluarkan buku catatannya dan membukanya ketika Neary kembali dengan
catatan pengobatan itu. "O negatif," kata Scully. Itu adalah salah satu golongan darah yang langka.
Mulder mengambil catatan medis itu dari Neary, lalu membacanya keras-keras,"
'Glen Chao. O Negatif.' "
Ia mengulurkan catatan medis itu ke Scully dan berpaling ke arah Neary, lalu
berkata,"Yah, itu adalah suatu kebetulan."
"Sekarang, tunggu sebentar," kata Neary. "Apa maksudmu?"
"Darah yang kita temukan pada lapisan karpet di apartemen si korban adalah darah
Detektif Chao. " "Dan aku ingin bertaruh bahwa ia adalah orang yang memerintahkan pemasangan
karpet baru itu," tambah Mulder.
Scully berpaling dari catatan kesehatan itu, menyadari akibat dari kata-kata
Mulder. "Mr. Hsin," katanya.
Mulder mengangguk. "Yeah, kupikir percakapan mereka itu bukan mengenai sesuatu
yang gampang terbakar."
Lima belas menit kemudian Mulder dan Scully berdiri di gang di luar apartemen
Hsin, menunggunya menjawab ketukan mereka.
Pintu terbuka dengan perlahan. Kali ini bukan Hsin, tapi putrinya yang menatap
kedua agen itu. Ia mengenakan mantel mandi berwarna putih, dan ada lingkaran
merah di sekeliling matanya.
"Ya?" kata gadis itu dengan gelisah.
"Hai," sapa Scully. "Kami mencari Mr. Hsin. Apakah ia ada di rumah?"
"Tidak, maaf." Mulder dan Scully bertukar pandang. Tak satu pun dari mereka yang
mempercayainya. Mereka telah mengawasi apartemen Hsin sepanjang hari, dan
sepanjang hari Hsin berada di dalam. Begitu mereka berhenti mengawasinya, ia
pergi. "Apakah kau putrinya?" tanya Scully, tidak bersedia menyerah.
"Ya," jawab gadis itu. "Namaku Kim."
"Boleh kami bicara denganmu?" tanya Scully.
Kim memandang mereka dengan ragu-ragu, lalu menutup pintu untuk membuka rantai
pengaman. Mulder dan Scully mengikuti wanita muda itu menuju ruang keluarga, tempat ia
duduk di sebuah kursi. Scully melihat gadis itu dengan penuh perhatian. Ia mempunyai kesan yang jelas
bahwa Kim duduk di situ karena alasan sederhana saja. Ia membutuhkan perjuangan
yang besar untuk berdiri.
"Ayahmu terlibat dalam masalah apa, Kim?" tanya Mulder.
Pada mulanya Kim tidak menjawab. "Aku tidak tahu," akhirnya ia berkata. "Kemarin
seorang asing mengunjunginya. Dan ia sering keluar. Aku tahu ia melakukannya
untukku. Karena aku."
"Aku telah didiagnosis mengidap leukemia kelenjar getah bening yang akut enam
bulan yang lalu," kata gadis itu.
"Tapi itu adalah bentuk lain dari kanker," kata Scully.
"Biasanya pengobatan dilakukan melalui transplantasi sumsum tulang belakang."
"Tapi mereka sebelumnya harus memberiku kemoterapi," kata Kim. "Kami tidak
mempunyai uang atau asuransi. Kami tidak bisa mengusahakan perawatan itu.
Sekarang aku takut ayahku mungkin melakukan sesuatu yang ilegal. Ia telah
melakukan sesuatu yang salah dan sesuatu yang buruk telah datang."
Scully tidak mempunyai jawaban untuk itu. Ia tahu berapa besar uang muka untuk
perawatan medis di Amerika. Sering kali orang yang bisa mengusahakannya
terbatas. Perawatan rumah sakit mulai seribu empat ratus dolar sehari, dan itu
hanya untuk tempat tidurnya.
Kemoterapi; proses untuk menemukan donor yang tepat; pengambilan lalu
transplantasi sumsum tulang belakang si donor ke tubuh Kim - semuanya itu dapat
menghabiskan biaya ratusan ribu dolar. Situasinya menjadi sangat pelik oleh
fakta bahwa donor yang tepat untuk kaum minoritas sangat jarang. Alasannya
sederhana saja. Karena kelompok pendonor sangat kecil. Tanpa asuransi atau
tabungan yang cukup, perawatan medis yang dibutuhkan Kim adalah mustahil. Bahkan
bila ayahnya dapat membayar asuransi, beberapa perusahaan asuransi tidak akan
menerima seseorang yang diketahui telah mengidap leukemia kelenjar getah bening
yang akut. Dan tentu saja, jika Hsin masuk ke negeri ini secara ilegal,
keadaannya akan semakin buruk. Lalu Kim tidak akan pernah bisa masuk ke dalam
daftar penerima donor. "Siapa pria yang mengunjungi ayahmu?" tanya Mulder.
"Saya tidak mengenalnya," kata Kim. "Aku hanya mendengar bahwa ayahku ingin
keluar - ia ingin keluar. Tapi mengenai apa, aku tidak tahu."
Aku berani bertaruh ini adalah sesuatu yang menjelaskan kenapa ia mengenakan
pembalut yang menutupi matanya, pikir Scully.
Mulder meraih ke dalam sakunya dan mengeluarkan kepingan segi tiga berwarna
merah yang ditemukannya sewaktu terakhir kali berada di apartemen Hsin.
"Kau tahu ini apa, Kim?" tanya Mulder.
Kim mengambil kepingan itu dan menelitinya. "Tidak."
"Itu tadinya terletak di atas lemari. Apa kau tahu apa yang tertulis di situ?"
"Itu adalah lambang untuk kayu," kata Kim, sesuai dengan apa yang dikatakan Chao
pada mereka. "Dalam pengobatan Cina itu juga berhubungan dengan mata. Seperti
api yang berhubungan dengan jantung, dan tanah dengan daging."
Ia mengulurkan kepingan itu kepada Mulder.
Mulder menatap Scully. Ini semua adalah permulaan dari jalan yang tidak
disukainya. Scully mengambil selembar kertas dari ujung meja di sampingnya. Denyut
jantungnya menjadi cepat ketika ia mengenali singkatan-singkatan dan simbol-
simbol yang tidak asing lagi. "Ini adalah cetakan leukosit manusia," katanya,
menunjukkan kertas itu kepada Kim. "Apakah ayahmu telah ditolak sebagai pendonor
sumsum tulang?" "Ya," kata gadis itu. "Beberapa bulan yang lalu. Jika ia mendonorkan sumsumnya,
salah satu kemungkinan tubuhku akan menolaknya, atau sel tubuhnya akan menyerang
tubuhku dan menyebabkan penyakit lever."
Scully meneruskan membaca laporan itu, ingin tahu berapa banyak yang tidak
dikatakan Hsin pada putrinya. Lalu ia mengenali sesuatu yang tidak tertangkap
olehnya pertama kali tadi: tanggal di atas halaman itu. "Laporan ini dari
Organisasi Pengumpul Organ Tubuh," katanya. "Tanggalnya baru sebulan yang lalu.
Ayahmu menderita HLA (Human Leukocyte Antigen), tapi ia memeriksa ginjalnya, dan
juga hatinya..." Mulder mendengarkan, merasa sesuatu kegembiraan yang tidak asing lagi ketika
potongan-potongan kasus itu akhirnya mulai bersatu.
Hsin menemui Organisasi Pengumpul Organ Tubuh bukan untuk memberikan Kim sumsum
tulangnya. Bukan, organ-organ yang terdaftar di situ dimaksudkan untuk seseorang
- atau sesuatu - lain.
Sesuatu yang berhubungan dengan mata kaca Johnny Lo dan mayat yang mereka
temukan di kompleks pemakaman.
Mulder membalik kepingan merah yang halus itu, menambahkan apa yang telah
dikatakan Kim pada mereka. Dan akhirnya memahaminya.
Ia merinding ketika mengatakan, "Mereka menjalankan suatu permainan."
Chapter 13 Hsin merasa ketakutannya bertambah ketika ia memasuki ruangan permainan. Ia
secara sadar selalu tahu akan risikonya, tapi tidak sampai terakhir kali. Risiko
itu telah menjadi nyata. Menjadi risikonya. Belum terlalu lama, ia merasakan
harapan ketika memasuki ruangan ini. Sekarang ia merasa seperti orang yang
berjalan menuju tempat eksekusinya sendiri.
Seperti biasanya, asap memenuhi udara, dan ruangan permainan itu dipenuhi
dengungan suara. Hsin berjalan melalui kerumunan menuju ke sebuah kursi, lalu menarik napas
panjang, mencoba untuk menenangkan debaran jantungnya. Ia melihat dengan takut
pada ujung meja, tempat pria beruban membuka kunci kotak kayu ukiran.
Butir-butir keringat membasahi keningnya. Hsin menatap tumpukan lembaran ratusan
dolar, seolah bila ia menatapnya cukup lama, maka ia akan bisa memilikinya.
Permainan ini untuk mendapatkan itu, katanya kepada dirinya sendiri. Apa yang
kubutuhkan hanyalah satu tarikan keberuntungan, dan Kim akan dapat disembuhkan
dan permasalahan kami akan berakhir.
*** Tidak ada seorang pun di lorong putih dan dingin di Organisasi Pengumpul Organ
Tubuh di tengah kota San Francisco. Saat itu sudah lewat jam kerja normal, dan
sekeliling kantor itu telah gelap dan sepi.
"Kelihatannya semua sudah pulang," kata Mulder.
"Tidak," kata Scully, "Seharusnya ada seseorang yang berada di sini sepanjang
waktu, menunggui telepon dan komputer. Waktu sangat kritis untuk transplantasi.
Sebuah organisasi seperti ini haruslah dapat segera memberi tahu rumah sakit
secepatnya setelah organ tersedia."
Scully mengetuk pintu kaca. Tulisan di situ ditulis dalam bahasa Inggris dan
Cina. Akhirnya seorang petugas wanita dengan rambut cokelat panjang melangkah keluar
dari belakang kantor untuk melihat siapa yang menimbulkan keributan itu. Ia
datang menuju pintu kaca dan dengan kasar membukanya sedikit.
"Agen Mulder dan Scully," kata Scully, menunjukkan tanda pengenalnya.
"Terima kasih," kata Scully ketika ia dan Mulder melangkah masuk. "Kami
memerlukan beberapa informasi dan kami membutuhkannya secepat mungkin."
"Informasi macam apa?" tanya wanita itu.
"Kalian telah kedatangan seseorang yang bernama Shuyang Hsin. Ia memiliki
cetakan HLA dan beberapa - "
"Aku rasa aku mungkin tahu mengenai hal itu," potong wanita itu.
"Apa?" tanya Mulder.
"Yah, kami telah melihat beberapa orang Asia datang untuk menulis dan mencetak
antigen, tapi ketika kami menemukan penerima donor yang cocok dengan mereka,
dokter mereka berkata bahwa mereka telah meninggalkan tempat mereka atau
menghilang." "Apakah Anda mempunyai nama atau nomor telepon dokter tersebut?" tanya Mulder.
*** Hsin menahan napasnya ketika ia menjatuhkan kepingan yang memuat namanya ke
dalam kendi batu jade yang terbesar.
Tam, orang termuda dari ketiga orang itu, meneruskan mengedarkan kendi ke
sekeliling ruangan, meyakinkan bahwa tidak seorang pun menolak memasukkan nama.
Lalu dengan perlahan, hampir dengan khidmat, ia membawa kendi itu kembali ke
atas meja di depan ruangan.
Lau, orang yang mengenakan kacamata kawat yang mengilap, berdiri. Dengan
perlahan ia memasukkan tangannya ke dalam jambangan yang paling besar dan
mengambil sebuah kepingan. Ia mengangkatnya untuk membaca nama di situ.
Tidak mungkin terjadi lagi, kata Hsin pada dirinya sendiri. Sangat aneh bila ia
sampai terpilih dua kali.
Gelombang kesakitan menggulungnya ketika laki-laki itu membaca keras-keras,
"Hsin Shuyang!"
Tidak mungkin! Bagaimana ia bisa terpilih lagi"
Hsin menatap, membeku, ketika jambangan yang paling kecil melintas dari tangan
ke tangan, terus menuju kepadanya. Semua tergantung pada pilihannya. Ia
menajamkan matanya pada kotak uang itu. Semua.
*** Mulder telah berada di muka kemudi mobil sewaan ketika mobil itu keluar dari
area parkir Organisasi Pengumpul Organ Tubuh.
Ia berbelok ke salah satu jalan San Francisco yang sempit. Untuk pertama kali,
tidak ada rambu lalu lintas. Ia menambah kecepatan, berharap mereka belum
terlalu terlambat. Di sampingnya, Scully mendengarkan dengan tekun ponselnya.
"Ya, terima kasih," katanya pada pesawat penerima. Ia berpaling kepada Mulder.
"Perusahaan telepon memberiku alamat dari nomor telepon dokter itu," katanya
kepada Mulder. Ia kembali memperhatikan ponselnya. "Tiga satu satu Washington,"
katanya. "Baik. Terima kasih."
Mulder parkir di depan restoran dengan pagoda merah kecil di muka pintu
depannya. Tanda di depan pintu itu tertulis TUTUP.
Di dalam restoran itu gelap. Lampu neon di atas pintu menerangi bangunan itu
dalam cahaya yang merah suram. Mulder menatap bangunan itu dan tampak bingung.
Itu seharusnya bukan restoran.
"Tiga sebelas Washington, benar?" tanyanya pada Scully.
"Yeah," kata Scully, bersuara dengan sama terkejutnya. "Ini adalah tempat di
mana telepon dokter itu terdaftar."
"Seperti klinik," gumam Mulder. Matanya menyipit seperti tidak asing lagi.
Seorang bertubuh kurus dan kuat mendekat. "Hei, Scully, lihat siapa yang berada
di sini."
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Glen Chao berjalan mendekati restoran yang tertutup itu, memeriksa jalan
sekelilingnya dengan tidak peduli, lalu membuka kunci pintu dan masuk ke dalam
bangunan itu. Mulder tersenyum. "Ini pastilah tempat itu."
*** Hsin memegang jambangan jade kecil di atas kepalanya dan mencoba menahan gemetar
tangannya. Ia memandang lagi kotak ukiran naga di sisi kendi dan berharap naga
itu akan membawa keberuntungan baginya.
Kerumunan orang di sekelilingnya menjadi riuh rendah ketika ia mengocok
jambangan itu sekali, dua kali, tiga kali. Lalu mereka menjadi hening, menunggu
Hsin mengambil sebuah kepingan.
Hsin berdoa untuk keberuntungannya, lalu ia memasukkan tangannya ke dalam
jambangan. Tangannya menggenggam sebuah kepingan segi tiga kayu.
Ia tidak melihat pada kepingan yang diambilnya, tapi tetap menggenggamnya dengan
erat di dalam kepalannya.
Tam berjalan menuju ke tempat Hsin dan membuka kepalannya. Kepalannya terbuka
dan kepingan segi tiga diambil.
Hsin tetap tidak berani melihat.
Lalu ia mendengar Tam mengumumkan dengan suara yang lantang, "Xin!"
Ruangan seakan meledak karena kata itu. Hsin berbalik, mencoba lari, tapi
dinding manusia mengelilinginya. Menutupinya. Ia ditangkap seperti kelinci yang
kena perangkap para pemburu.
Tam menangkap Hsin dengan kasar dan menariknya menuju ke depan ruangan. "Kau
tahu aturannya," katanya.
Hsin memejamkan matanya yang masih normal. Ya, aku tahu aturannya, jawabnya
tanpa suara. Dan sekarang aku akan mati untuk mereka.
Semua mata mengikuti ketika Shuyang Hsin digiring menuju ke depan ruangan. Tidak
seorang pun yang mengetahui seorang Cina muda yang menyelinap di belakang. Tanpa
suara, Chao melihat ketika Hsin diseret - untuk membayar harga kesialannya.
Chapter 14 Mulder mencoba pintu yang dilalui oleh Chao tadi. "Pintu lain yang terkunci,"
gerutunya kepada Scully. "Kau tidak mengatakan padaku bahwa kau ingin menyerah sekarang, lalu pulang?"
tanyanya dengan khawatir.
"Tidak," kata Mulder, meraih ke dalam saku bagian dalam pakaiannya dan
mengeluarkan sebuah alat logam yang tipis.
Mencoba untuk terlihat seakan mereka sedang berdiri santai di jalan, Scully
menutupi Mulder dari para pejalan kaki ketika ia sedang bekerja dengan capit
itu. Beberapa menit kemudian kunci itu terbuka. Di dalam, semuanya tampak sunyi,
ruang makan gelap dan sepi. Satu-satunya cahaya datang dari neon-neon merah di
luar. Huruf-huruf Cina dilukis di jendela-jendela restoran, membentuk bayangan
merah panjang melintang di lantai.
Untuk beberapa saat Mulder berdiri terdiam, membiarkan matanya untuk
menyesuaikan dengan kegelapan. Ia dapat melihat kursi-kursi yang terbalik di
atas meja. Gelas-gelas, alat-alat makan dari perak, dan lipatan kain-kain serbet
di atas meja dorong logam.
Tidak ada tanda-tanda Glen Chao.
Setelah yakin bahwa Chao tidak berada di dalam ruangan itu lagi, kedua agen itu
menghidupkan senter mereka dan melangkah lebih jauh ke dalam ruangan yang gelap
itu. Ke mana perginya Chao" pikir Mulder. Dan mengapa seorang dokter bekerja di
sebuah restoran" Mereka berjalan tanpa suara dari ruang makan menuju ke dapur.
Sinar senter Scully memantul di meja logam. Kompor-kompor besar dan bak-bak
cuci, tumpukan panci dan panci logam Cina, serta alat-alat perabot rumah tangga
bergelantungan di kaitan.
Mulder berhenti, mencium udara. "Pastilah bukan masakan Cina yang kucium ini,"
katanya. Scully berjalan di belakangnya. Ia melihat sesuatu yang mengilap di lantai dekat
kaki mereka - dan sebuah genangan di keramik lantai yang berwarna merah.
Mulder membungkuk dan menyentuh cairan itu.
"Baunya seperti alkohol gosok," katanya.
"Atau es steril," saran Scully.
Sumber cairan itu, yang dilihat Mulder, adalah sebuah lemari es stainlees steel
yang besar. Logam itu bersinar ketika senter Mulder menyorotinya.
Berjalan dengan cepat, Mulder menuju ke lemari es. Ia mengeluarkan bungkus demi
bungkus makanan beku: telur, daging ayam, saus, sup...
Scully mulai ingin tahu apakah pencarian itu hanya sia-sia ketika Mulder
bertanya,"Scully, apa ini?"
Senternya menerangi sebuah kotak plastik bening persegi panjang yang berisi es.
Mulder mengambil kotak plastik itu dan mengeluarkannya dari lemari es, lalu
membukanya. Stoples kecil bulat terkubur di dalam es itu. Mulder menyapu es itu
sehingga ia bisa melihat ada apa di dalamnya. Rasa mual melanda dirinya ketika
ia menyadari apa yang dipegangnya. Tapi ia tahu tanpa ragu lagi, bahwa mereka
berada di tempat yang benar.
Di dalam kendi kaca, sebuah bola mata manusia beku menatapnya.
*** Hsin duduk di kursi bersandaran keras itu. Kursi yang didudukinya sebelum ia
kehilangan mata. Kursi yang diduduki Li sebelum ia kehilangan nyawanya.
Hsin meminum teh yang diberikan kepadanya. Rasa gemetarnya telah berhenti. Ia
juga sudah tidak sadar ketika dokter membuka matanya dan melihat pada kelopak
matanya yang masih tersisa.
Dokter itu memberi isyarat kepada asistennya, seorang pria yang berpakaian sama
dengannya pakaian hijau muda, topeng bedah, dan sarung tangan karet. Bersama-
sama mereka mengangkat tubuh kurus Hsin dari kursi dan membawanya ke meja
operasi... Untuk malam itu permainan telah berakhir, ruangan permainan secara berangsur-
angsur kosong. Mr. Lau membawa jambangan batu jade kecil menuju ke meja. Ia
berhenti ketika Glen Chao mendekat dengan satu tangannya memegang pergelangan
tangan Lau. Lau menaruh jambangan itu di atas meja lalu berbalik berhadapan dengan Chao.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya marah.
"Aku tidak bisa membiarkan kau melakukan ini," jawab Chao.
Lau menatap tajam tanda pengenal detektif itu. "Kau telah diperingatkan sekali,
Chao," katanya. "Tidak akan ada peringatan lagi."
Kali ini Chao tidak membiarkan dirinya menjadi takut.
"Lepaskan Hsin," katanya. "Putrinya sedang sekarat. Kalian akan membunuh dua
orang, bukan satu." "Itulah permainan, Mr. Chao. Itu adalah risiko-risikonya. Dan kau juga merupakan
bagian dari itu seperti aku. Kami membayarmu banyak untuk melindungi permainan
ini dari orang asing."
Chao mengangguk, seperti mengakui kebenaran kata-kata Lau.
"Dan permainan ini," katanya perlahan, dan tanpa disangka-sangka suaranya
meninggi menjadi sebuah teriakan, "Telah berakhir!"
Sebelum ada yang bisa mencegahnya, Chao menuju meja di mana jambangan dan kotak
uang terletak. Dengan cepat, dengan penuh kekuatan, ia memegang ujung meja dan
membaliknya, menyebabkan kotak dan jambangan batu jade melayang. Kotak uang itu
pecah berkeping-keping ketika menghantam lantai, membuat lembaran-lembaran
ratusan dolar berserakan. Kedua jambangan batu jade pecah menjadi kepingan-
kepingan bergerigi hijau.
Chao memegang kaki meja itu, melihat apa yang telah dilakukannya. Matanya
terpaku pada sisa pecahan jambangan batu jade yang kecil. Di antara pecahan batu
jade itu terdapat lusinan kepingan merah. Semua kepingan itu berwarna merah.
Tidak ada satu pun yang berwarna putih.
"Itu sama semua," kata Chao, terpesona. Untuk pertama kalinya ia baru benar-
benar mengerti bahwa undian itu sangat berbahaya. Itu adalah setan. Suaranya
meninggi menjadi sebuah teriakan.
"Permainan ini curang."
Kata-katanya menimbulkan reaksi yang cepat. Para pemain yang masih tertinggal
memaksa maju untuk melihat dan membuktikannya sendiri. Malam demi malam mereka
duduk di ruangan ini, terperangkap dalam ketakutan dan keputusasaan.
Sekarang gelombang kemarahan menyapu ruangan permainan itu, kemarahan itu
menulari setiap orang. "Itu semua bohong!" teriak seseorang.
"Permainan ini tidak ada pemenangnya!" teriak yang lain.
Kerusuhan pecah di ruangan itu ketika para pemain mulai mengambil alih.
Sekelompok orang menerjang ke meja kayu jati yang terjungkir dan menyerbu uang
yang ada di lantai. Yang lainnya tidak tertarik pada uang itu. Yang mereka
inginkan hanyalah balas dendam.
Mereka membanting meja-meja dan kursi-kursi. Pecahan-pecahannya dijadikan
senjata. Lalu mereka mendatangi Lau dan Wong.
*** Dalam kegelapan dapur Mulder dan Scully membeku. Mereka mendengar suara gaduh -
suara orang marah dan sesuatu seperti perabotan jatuh ke lantai.
"Apa itu?" tanya Scully.
"Aku tidak tahu," kata Mulder, "Tapi sepertinya itu datang dari atas."
*** Hsin berbaring terlentang di atas sebuah meja operasi darurat, tangan dan
kakinya terikat selembar kulit tebal. Kemeja dan kaos dalamnya telah dilepaskan
dari tubuhnya. Ia bernapas dengan ringan, napas lemah orang yang tidak sadar.
Scully menyorotkan senternya ke belakang dapur. "Lewat sini," katanya, melihat
sebuah pintu yang bertuliskan tanda KELUAR di atasnya.
Kedua agen itu berlari menaiki tangga yang gelap, dengan pistol di tangan. Suara
gaduh itu bertambah keras ketika mereka hampir mencapai lantai dua.
Mulder mendorong pintu merah yang menuju ke ruangan permainan, lalu mereka
berdiri terpaku. Scully dan Mulder seperti melangkah ke tengah-tengah kerusuhan -
hanya ia tidak tahu apakah mereka sedang berkelahi atau apa. Orang-orang
berteriak, dorong-mendorong. Yang lainnya mencoba melarikan dirinya secepat
mungkin. Di tengah hiruk pikuk, seorang pria berusia setengah umur dengan kacamata
bingkai kawat dan seorang dengan rambut beruban sedang gemetar di bawah serbuan
pukulan yang tiada henti.
Tanpa berkata-kata, Mulder dan Scully menonton adegan di sekeliling mereka.
Ketika matanya mengamati kerumunan itu, Mulder melihat seorang laki-laki yang
sedang berjalan keluar menuju pintu belakang. Seorang yang mereka kenali sebagai
Chao. Chapter 15 Hsin bergerak dengan perlahan di dalam air yang gelap. Ia berada bermil-mil di
bawah laut yang tak berujung. Ia mencoba berenang ke permukaan. Tapi lebih mudah
membiarkan air membawanya, hanyut ke dalam arus deras yang hangat, yang berputar
ke bawah menuju ke kedalaman. Tubuhnya terasa berat. Setiap gerakannya lambat,
tubuhnya sakit. Bagaimanapun penting baginya untuk mencapai permukaan. Ada
sesuatu di sana yang harus dilihatnya. Dan ia tahu bahwa jika ia membiarkan
dirinya terseret menuju ke kedalaman laut, ia tidak akan pernah dapat mencapai
permukaan lagi. Di ruang operasi darurat di belakang ruang permainan itu, sebuah meja berisi
sekumpulan alat perlengkapan bedah: pisau bedah, pembalut, jarum suntik, dan
sebuah kotak besar berisi es steril, menunggu organ tubuh. Di atas meja itu juga
ada sesuatu yang bukan alat standar: beberapa botol kaca, yang masing-masing
berisi kodok hidup. Hsin berbaring di meja operasi, secercah sinar terang menyorotinya. Teh itu
sudah mulai bekerja. Ia benar-benar terdiam, tidak sadar, ketika asisten dokter
itu menggunakan lap bedah untuk mengoleskan larutan betadin oranye ke atas kulit
dadanya. Dokter itu menyobek gulungan plastik bedah yang panjang. Ia tidak melihat mata
Hsin yang tersisa itu terbuka.
Hsin tidak tahu berapa lama waktu berlalu sebelum ia mencapai permukaan. Yang ia
tahu hanyalah akhirnya ia berhasil melalui air yang gelap itu. Arus air yang
hangat menjadi lebih kuat. Ia tahu tidak akan dapat mencapai permukaan untuk
waktu yang lama. Secepatnya ia akan memulai perjalanan panjang ke bawah. Tapi
sekarang ia menarik napas dari udara yang manis, udara dingin dan sadar kalau
kegelapan itu hanya di air itu. Untuk sesaat ia dapat melihat.
Apa yang dilihatnya adalah hantu anaknya, Kim. Ia berjalan menuju Hsin, matanya
penuh duka cita. Ia tidak mencoba bicara, tapi Hsin tahu pasti, Kim meratapinya.
Ia ingin menghiburnya seperti sewaktu Kim masih seorang gadis kecil. Memeluknya
dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Air mata mengalir di pipinya, tapi ia tidak mempunyai kekuatan untuk bergerak.
Kim memegang tangannya dan tersenyum, seakan ia hendak mengajak Hsin
mengikutinya. Ia tahu itu tidak mungkin. Ia tidak akan pernah mengikutinya lagi. "Maafkan
aku," bisiknya kepada khayalannya itu. "Aku mohon kepadamu untuk mengampuniku."
Lalu Hsin melihat Dokter itu melangkah menuju kegelapan. Ia mengenakan jubah dan
topeng, seperti dokter-dokter di rumah sakit di mana Kim menjalani pemeriksaan.
Hsin berjuang mencari bayangan putrinya. Ke mana ia pergi" Apakah ia
mendengarkannya" "Ampuni aku," katanya lagi.
Asisten itu mengulurkan sebuah pisau bedah stainless steel kepada Dokter itu.
Suara Dokter itu keras dan sinis ketika menjawab permohonan Hsin yang putus asa
itu, "Mereka memaafkanmu." Dengan mantap ia memegang pisau bedah itu,
menurunkannya ke atas dada Hsin dan mulai membuat irisan di atas kulit bernoda
oranye itu. Dokter itu baru saja memulai kerjanya ketika pintu terbuka dengan keras dan Chao
menyerbu ke dalam ruangan. Pistolnya digenggam dengan kedua tangannya.
"Mundur!" perintah Chao.
"Kau sudah sangat terlambat," jawab Dokter itu, meneruskan irisan itu.
"Kubilang, mundur!" teriak Chao.
"Chao, jangan bertindak bodoh," jawab Dokter itu.
Chao tidak mempedulikan peringatan itu. Ia membidik, lalu menarik picu. Peluru
mengenai kaki si Dokter, sampai terpelanting. Ia jatuh ke belakang dan mendarat
dengan keras di lantai. Tiba-tiba di belakang Chao, suara Mulder terdengar dari seberang ruangan. "Chao,
angkat tangan!" perintahnya. "Angkat tangan!"
Dengan perlahan Chao mengangkat tangannya, dan menjatuhkan senjatanya ke lantai.
Scully berjalan ke dalam ruangan itu, mengarahkan pistolnya ke arah asisten
dokter. Ia menyentuh leher Hsin dengan jarinya, mencari denyut jantung. Ujung
jarinya merasakan denyutan lemah tapi tidak terputus-putus di urat nadinya. "Ia
masih hidup," katanya.
Mulder tidak menyia-nyiakan waktu lagi. Ia mendorong Chao menghadap ke tembok
dan memborgolnya. Chao tidak memperhatikan borgol itu. Perhatiannya pada pria
yang terluka di lantai. Mulder mengikuti pandangan Chao. Meskipun ia telah tertembak di bahunya,
ketenangannya mengganggu, menatap Chao dengan pandangan mata yang dingin.
"Kau seharusnya membunuhku," katanya kepada Chao dalam bahasa Cina.
Mulder memandang dari Chao lalu ke Dokter itu,"Apa yang dikatakannya?"
Chao kelihatannya terkejut, seperti seorang yang tahu kalau ia kena kutukan.
Matanya tidak pernah beralih dari Dokter itu ketika ia menerjemahkannya kepada
Mulder, meskipun tidak secara harafiah, tapi cukup tepat: "Ia bilang bahwa
permainan itu belum selesai."
Chapter 16 Pada pukul sepuluh pagi esok harinya, Scully berdiri di salah satu ruangan
interogasi kantor polisi San Francisco. Ruangan itu bersinar suram, penghematan
dengan lampu di atas meja di tengah ruangan, di mana dokter yang bernama Yip,
duduk. Sebuah kain menahan lengannya yang terluka akibat tembakan Chao. Ia tidak merasa
terganggu karena cidera ataupun berada di dalam tahanan polisi. Dengan santai ia
merokok sebatang sigaret.
Ia bicara dengan tenang, berbunga-bunga, seperti sedang menceritakan sebuah
dokumentasi cerita rakyat Cina. "Orang-orang kami hidup bersama hantu-hantu.
Hantu-hantu ayah kami - dan hantu-hantu ayah dari ayah kami."
Scully mendengarkan, tidak terkesan.
"Mereka memanggil kami dari kenangan yang jauh," lanjutnya. "Menunjukkan kami
jalannya." Scully tidak tahan lagi dengan sandiwaranya itu. "Tidak ada hantu-hantu yang
memanggil orang-orang itu," katanya kepada Yip. "Kau yang melakukannya, dengan
memangsa mereka yang tanpa harapan dan putus asa."
"Ya, mereka telah putus asa," ia mengakuinya. "Sama seperti keputusasaanku
ketika aku pertama kali datang ke negara ini - tapi aku telah bertekad untuk
tidak melakukan kejahatan."
Suara Scully meninggi. "Kau tipu orang-orang itu dengan menjanjikan kemakmuran
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepada mereka, sedangkan satu-satunya kemungkinan hadiah hanyalah kematian."
"Dalam keyakinanku, kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti - itu hanyalah
suatu tingkatan dari suatu peralihan. Tapi hidup tanpa harapan - sekarang,
adalah hidup di neraka. Maka harapan adalah hadiahku kepada orang-orang ini." Ia
melihat ekspresi menghina dari Scully. "Aku tidak mengharapkan kau akan
mengerti." "Aku mengerti hal ini," kata Scully. "Kau akan di penjara untuk waktu yang
sangat lama." Lalu pintu di belakang Yip terbuka, dan Mulder menjulurkan kepalanya ke dalam
ruangan. "Bisakah aku berbicara denganmu sebentar?" tanyanya kepada Scully.
Scully kembali memandang Yip untuk terakhir kali, lalu ia mengikuti Mulder ke
dalam lorong. Ia melihat Letnan Neary masih bersama Mulder.
Mulder menutup pintu di belakang mereka lalu berbalik menghadap ke arah Scully.
"Aku baru saja kembali dari Rumah Sakit St. Francis," kata Mulder. "Hsin masih
dalam perawatan intensif. Ia telah diberi semacam obat yang membuatnya tidak
sadar; mereka tidak tahu apa obat itu, tapi ia sudah sadar sekarang. Mereka
hanya ingin melihat ia sebentar."
"Bagaimana dengan putrinya?" tanya Scully.
"Aku telah memeriksa Organisasi Pengumpul Organ Tubuh," kata Mulder. "Ia telah
dimasukkan ke dalam daftar penerima donor."
"Hebat," kata Scully. Lalu, merasa ada sesuatu yang belum dikatakan, ia
bertanya, "Ada apa?"
Neary dan Scully saling memandang.
"Kasus kita melawan pria ini," kata Neary, mengangguk ke arah ruangan interogasi
itu. "Kami telah menugaskan pasukan kami untuk mewancarai setiap orang yang kami
tangkap di ruangan permainan itu tadi malam."
"Dan?" tanya Scully.
"Mereka semua tutup mulut," kata Mulder. "Mereka semua mengakui bahwa mereka
adalah anggota suatu klub sosial, dan mereka tidak melihat apa pun."
"Yah, bagaimana dengan Chao?" tanya Scully, tidak sabar dengan semua pembicaraan
mengenai hantu-hantu. "Kesaksiannya sendiri akan cukup untuk menahan orang itu."
Neary menatap lantai. "Kami tidak dapat menemukannya."
"Chao harus bersaksi di depan Dewan Juri pagi ini," Mulder menjelaskan.
"Ketika ia tidak muncul, polisi pergi ke rumahnya. Ia telah menghilang."
Chapter 17 Glen Chao terbangun ketika mendengar sebuah tombol ditekan. Perlahan-lahan ia
mulai sadar. Ia berbaring terlentang datar di suatu ruangan yang sempit,
dindingnya menutupi sekelilingnya dan atapnya begitu rendah sehingga ia tidak
bisa duduk. Kepalanya sakit dan otaknya terasa kebas. Ia tidak dapat mengingat kenapa
tertidur. Ia tidak tahu di mana ia berada. Tidak ada sesuatu pun yang
dikenalinya. Kecuali setitik api biru yang kelihatan di sudut matanya.
Lalu ia mendengar suara - suara gas yang berdesis keluar terus menerus dari
lusinan lubang kecil, diikuti oleh munculnya suara yang menyakitkan ketika
pancaran gas itu mulai hidup - Dan ia tahu persis di mana ia berada. Di dalam
krematorium. Sudah panas, panas yang tak tertahankan. Ia dapat merasakan dan mencium bau
rambut dan pakaiannya yang mulai terbakar.
Chao melakukan satu-satunya hal yang dapat dilakukannya.
Ia meraih ke dalam sakunya dan mengeluarkan setumpuk kunci.
Dengan putus asa, ia menggunakan kunci itu untuk menggores permukaan atap oven -
pesan terakhir untuk ditemukan orang - nama orang yang bertanggung jawab atas
kematiannya. Hanya memerlukan waktu sebentar. Selesai, Chao menatap kerjanya dengan pandangan
puas. Lambang yang sama dengan yang telah digoreskan oleh Johnny Lo di dalam
oven yang sangat mirip. Lalu sebuah suara mendesing memenuhi ruangan itu dan tabir api yang besar
memenuhi krematorium. Dengan cepat yang tertinggal dari Detektif Chao hanyalah setumpuk abu. Dan pada
atap oven, sebuah simbol dalam huruf Cina untuk Hantu.
END Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Ratu Tanpa Tapak 2 Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang Sekutu Iblis 2