Pencarian

Kutukan Jason 2

Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse Bagian 2


hutan. Teras itu ada di bagian luar dapur. Melalui jendela dapur, Big Red dapat
melihat paman Bud duduk di meja dapur. Dia pun dapat melihat Jessie berbicara
dengan paman Bud, tersenyum dan melambaikan tangan. Seperti nonton teve saja.
Big Red perlahan memutar kepalanya yang berat. Dia dapat melihat ruang keluarga,
juga dengan jelas. Dapat melihat Bud Junior mengunci lemari minuman keras,
menoleh ke kiri dan ke kanan dengan gugup, lalu mengantungi kunci lemari itu.
Big Red berkali-kali memindahkan beban tubuhnya dari satu kaki ke kaki lainnya
dari kaki asli ke kaki palsunya seperti orang gelisah. Dia sudah mendapat begitu
banyak kesulitan. Dia mendapat kesulitan dua kali lebih besar dari yang pertama.
Dia menghitung kematian yang terjadi dengan jarinya yang besar-besar.
Pertama Pa, lalu Ma, kemudian paman Tuck. Mengapa rasanya ada lima pembunuhan"!
Paman Bud adalah satu-satunya orang yang dia tahu bisa menolongnya. Pa selalu
berkata, jika Big Red tersesat atau mendapat kesulitan dan Pa sedang tidak ada,
maka dia harus menemui paman Tuck atau paman Bud. Kata Pa, Big Red dapat
mempercayai kedua orang tua itu sepanjang hidupnya.
Tapi bagaimana dengan......
Big Red menjejakkan kakinya yang asli dengan keras, mencoba untuk menutup
bayangan buruk. Menyakitkan, berjalan seperti itu di antara buah cemara, duri dan kerikil.
Tetapi Big Red tidak peduli. Hal yang terpenting adalah bagaimana usahanya agar
tidak memikirkan kenangan buruk itu, tidak kehilangan kesabarannya dan tidak
menjadi anak jahat lagi. Beberapa menit kemudian, ada suara mobil menderu, lalu sepasang lampu menyala
menerangi hutan, hanya beberapa meter dari tempat Big Red berdiri. Kemudian
lampu serta suara mesin melemah dan bayangan Jessie bersama Bud Junior menjauh.
Big Red masih tetap menunggu, sampai akhirnya dia sadar benar bahwa keadaan
sudah aman. Lantas dia melangkah maju melalui semak-semak dan onggokan dahan
pohon yang patah. Dia menaiki anak tangga teras dan mengintip ke dalam.
Terlihat Cassie dan James, anak berusia enam dan empat tahun, duduk di depan
teve. Mereka tampak lucu dengan piyama mereka, rambut mereka basah dan tersisir
rapi. Big Red membuka pintu dan melangkah masuk. Cassie dan James melihat ke arahnya.
Mulut mereka menganga. Mereka lalu meloncat berdiri.
"Big Red!" jerit Cassie gembira.
"Kamu pakai topeng!" seru James. Dia tertawa.
"Dia monster," kata Cassie sambil bertepuk tangan.
Big Red sudah melupakan soal topeng. Sebelum masalah buruk itu muncul, dia
senang bermain dengan anak-anak ini. "Monster" adalah nama permainan yang paling
mereka sukai. Mereka akan membuat Big Red mengejarnya mengelilingi rumah, dan
kalau mereka tertangkap, Big Red akan menggelitiki mereka habis-habisan.
Dia menyukai permainan itu. Tapi dia tak punya waktu untuk bermain dengan anak-
anak ini sekarang. Dia harus menemui paman Bud. Dia bergegas memasuki ruangan.
"Lari!" teriak Cassie sambil menarik James bersamanya. "Ada monster!"
Big Red melangkah dengan suara berat melewati ruang keluarga menuju dapur Paman
Bud tidak ada. Kedua anak itu benar benar ingin bermain.
Setiap kali dia memasuki satu kamar, Cassie dan James akan berteriak karena
merasa ditemukan, dan kemudian mereka akan berlari kembali.
Big Red menaiki tangga, anak-anak jatuh bergulingan sambil tertawa histeris saat
mencoba menaiki tangga kembali dan menjauhi dirinya.
Di mana ya, paman Bud" Di mana dia"! Big Red sekarang penuh keringat. Dia mulai
merasa putus asa. Bagaimana kalau paman Bud ternyata ikut pergi naik mobil
dengan Jessie dan Bud Junior"
Big Red mencoba mencari ke kamar utama, lalu ke kamar anak-anak. Ketika dia
menyalakan lampu kamar bayi, Billy kecil menangis di tempat tidurnya.
Aduh, jangan nangis, pikir Big Red.
Dia mengangkat bayi itu dan berusaha mendiamkannya dengan mengayun-ayunkannya
secara lembut. Bayi itu begitu mungil. Kepalanya botak persis seperti kepala Big Red.
James dan Cassie memegang tangannya yang tergantung dan mencoba membuat Big Red
mengangkat dan memutar mereka, tepat ketika.......
Big Red mendengar sesuatu dari arah gudang bawah. Suara gergaji mesin
dinyalakan. Jadi paman Bud ada di sana. Dia rupanya ada di tempat kerja anaknya.
Kadang paman Bud suka bekerja di tempat itu, membuat apa saja seperti rak, rumah
boneka dan..... Sekarang keringat membasahi tubuh Big Red. Raungan mesin gergaji terdengar
memasuki rumah dan terus memasuki kuping Big Red, lalu memasuki otaknya seperti
seekor ular. Mata belingnya mulai berputar dan kepala besarnya terasa menjulur.
Mengingatkannya kembali. Saat itu dia berumur empat belas. Pa dan paman Tuck serta paman Bud sedang
mengerjakan sesuatu. Paman Bud menggunakan mesin gergaji untuk memotong kayu.
Mereka memperbolehkan Big Red melihat. Big Red ingin mencoba mesin gergaji itu.
Tapi Ma mengatakan pada paman Bud agar tidak membiarkan Big Red menyentuh mesin
berbahaya itu. Paman Bud menurut. Tetapi kemudian Ma harus pergi ke kota.
Dan tak lama kemudian, paman Bud, paman Tuck dan Pa mulai minum-minum. Bahkan
mereka juga membiarkan Big Red ikut minum. Big Red meneguknya sampai botol
minuman keras itu habis - membuat ketiga orangtua itu tertawa terbahak-bahak.
Tetapi minuman itu membuat Big Red merasa pusing dan mual.
Dan kemudian hal yang menakjubkan itu pun terjadi. Paman Bud mengatakan, Big Red
boleh mencoba gergaji mesin itu. Tetapi dia harus mencobanya cepat-cepat sebelum
Ma pulang. Dengan kepala pusing Big Red mencoba menggergaji sepotong papan. Dia
menggergajinya begitu cepat, membelah papan itu. Dan... kakinya.
Saat ini, James dan Cassie sedang menggelantungi kaki palsunya, seakan hendak
menariknya lepas. Si bayi, Billy, masih menangis keras di pelukannya.
Tetapi Big Red kembali dipenuhi amarah. Begitu marah sampai dadanya terlihat
turun naik dengan napas memburu.
Biasanya dia sulit mengendalikan kaki palsunya. Tapi saat ini kakinya itu terasa
hangat dan bertenaga, seakan lebih kuat dari kaki aslinya. Lihat saja, bagaimana
ia mampu melakukan tendangan dengan kaki palsu itu - tendangan yang membuat
James dan Cassie terlempar membentur dinding.
James dan Cassie terduduk diam seketika, menatapnya dengan bingung dan kaget.
Mereka tadi tertawa-tawa histeris. Sekarang tawa mereka terhenti. Sebagai
gantinya tangisan mulai terdengar.
Sekarang, ada tiga anak yang menangis.
Di tengah kebingungan karena bising tangis tiga anak itu, Big Red menggulati
hatinya dengan kemauan keras agar ia tidak sampai membanting Billy ke dinding
dan mematahkannya seperti boneka.
Dengan susah payah ia memaksakan dirinya untuk menjatuhkan bayi itu kembali ke
tempat tidurnya. Derai tangis anak kian nyaring, membuat Big Red semakin kalap.
Cepat-cepat Big Red melangkah ke arah pintu dan menuruni tangga. Dia harus
membengkokkan kakinya yang besar saat menuruni tangga seperti gaya jalan
pinguin, agar dapat menginjak anak tangga yang sangat sempit.
Bunyi gergaji mesin yang mendengung keras terus berbunyi saat Big Red selangkah
demi selangkah turun ke gudang bawah.
Amarahnya tampak semakin bertambah setiap kali menuruni anak tangga.
Chapter 12 KUBURAN BOONE Kelly yang pertama keluar dari mobil. Dia berdiri, menatap nanar ke arah pondok
berwarna abu-abu yang sudah lusuh dimakan usia.
Dapat ia dengar teman-temannya juga keluar dari mobil.
Didengarnya pula pintu mobil ditutup. Dia bisa merasa teman-temannya berjalan di
sisinya. Tapi tak ada seorang pun yang berkata.
Matahari sudah terbenam, tapi belum gelap gulita. Deretan pondok berbentuk
setengah lingkaran seperti sepatu kuda tampak seram terkena sinar yang redup.
Bangunan-bangunan itu seakan-akan mengepung mereka.
Kelly menganggukkan kepalanya.
"Ini tempatnya?" tanya Doug.
Kelly tidak tahu bagaimana dia bisa mengetahui tempat ini dengan baik apakah
dari foto-foto di buku catatannya atau dari mimpi-mimpi seramnya. Tapi memang
inilah ya, inilah tempatnya. Dia mengangguk lagi perlahan, dan membekap
mulutnya. Dia merasa ingin berteriak.
Selama ini dia menziarahi kuburan Boone di Newkirk, tetapi selalu saja ia merasa
bahwa bukan itu tempat Boone dikubur. Dia benci pada bunga-bunga cantik yang
sering diletakkan di atas kuburan kakaknya itu oleh peziarah lainnya. Dia selalu
menyingkirkan bunga itu. Dia tahu Boone tidak menghendakinya.
Di sini.....di perkemahan tua yang mengerikan ini....inilah kuburan Boone yang
sebenarnya. "Hei, Jason!" teriak Miguel. Dia tertawa. "Keluar kamu, ayo keluar dari tempat
persembunyianmu!" Lelaki pendek berotot itu mengambil sebatang tongkat lalu berlari berkeliling
dengan suka cita, menggebrak-gebrak pintu-pintu dan kisi-kisi kayu teras pondok
itu. "Tampaknya tidak ada penghuninya," lapornya.
"Huh," keluh Tina.
"Aduh Mak, kita kan, takut," canda Doug sambil mengedipkan mata ke arah Tina.
"Takut kalau harus sendirian di tempat gelap."
Kelly menekan kedua tangannya ke pelipis. Dia tetap berdiri di tempatnya ketika
yang lain tertawa-tawa dan bercanda. Mereka tampak melemaskan badan, bersantai
dan melihat-lihat. Angin dingin menerpanya.
Mengapa dia harus kembali ke sini" Untuk sesaat, dia tak bisa mengingatnya.
Boone-lah yang akhirnya mengingatkan. Dia sedang duduk.... sekarang dia lihat....di
teras pondok yang pertama, mengayun-ayunkan salah satu sepatu but kulitnya.
"Kamu ke sini untuk membunuh Jason," katanya sambil melempar senyumnya yang
khas. "Tentu saja, banyak hal baik yang harus kulakukan sekarang." Dia terkekeh. "Cuma
bercanda, kok." Dia tersenyum manis. "Aku senang kamu datang."
Dia berdiri, mengelus pahanya yang berlapis celana jeans belel, lalu berbalik
dan menghilang di kegelapan pintu pondok sambil melambaikan tangan.
Dada Kelly terasa sesak. Dia ingin meneriakkan nama kakaknya, memintanya
kembali. Segera saja ia berlari ke arah pondok.
"Kelly?" panggil Doug.
"Ada ap....," kata Tina.
Pondok itu sangat gelap dan bau kayu lembab. Ada beberapa tempat tidur besi
tanpa kasur. Pondok itu kosong.
Kelly berdiri di kegelapan sambil menarik napas dalam. "Boone," bisiknya.
Dia bisa merasakan kehadiran Boone, seperti kita merasakan ada orang yang siap
menepuk pundak kita dari belakang. Tapi ternyata Boone tidak melakukannya, dan
setelah beberapa saat, Kelly akhirnya berjalan keluar kembali ke arah teras.
Ketiga temannya berdiri di luar sambil menatap nanar kepadanya.
"Ada apa?" seru Miguel.
Kelly sudah mengulang berkali-kali langkah-langkah yang harus dilakukannya malam
ini. Mengulangnya setiap malam sampai tak bisa tidur, sampai dia hapal betul
rencana itu. Dan itu sangat menguntungkan. Sekalipun dia sangat bingung, dia
tahu persis apa yang harus dilakukannya kini.
"Oke," katanya. "Kita harus bersiap-siap dan bergerak cepat."
"Bergerak cepat, Sanderson," kata Miguel. Dia merangkul Doug, mengambil sikap
mengunci kepala, dan membantingnya ke rumput.
Doug tertawa dan berteriak sambil menggeliat agar Miguel melepaskan dirinya.
Kelly sebenarnya ingin tak peduli, tapi tak ada waktu.
"Hei!" teriaknya, "Miguel! Doug!" Mereka berdua berhenti dan menatapnya seperti
ketakutan. "Teman-teman," katanya lagi sambil mencoba membuat suaranya terdengar normal,
"dengar, ya. Aku serius. Kita harus segera bekerja. Maksudku, aku ingin kalian
menyadari, seluruh kehidupan kita kini tergantung pada tombak, paham maksudku,
kan?" Miguel melepaskan Doug menyebabkan ia terjerembab ke tanah.
Tina duduk seperti putri yang sedang jemu di kap mesin mobil.
Tapi paling tidak mereka toh, mau mendengarkannya.
"Kita harus menggali lubang perangkap," kata Kelly.
Miguel segera berlari ke arah teras yang gelap gulita. Dia menggosok-gosok kedua
telapak tangannya penuh semangat. "Tiba saatnya memburu monster itu, ya?"
"Tepat," Kelly tertawa gugup. "Ayo kita ke sini."
Kelly melompat keluar dari teras dan mengajak Miguel kembali ke mobil. Dia
membuka bagasi Volvo-nya untuk mengambil dua sekop besar. Diserahkannya satu
untuk Miguel dan satu lagi untuk Doug, yang menghampirinya dengan langkah
terhuyung. "Orang ini maniak," keluhnya ke arah Miguel. "Kurasa dia mematahkan kakiku.
Tolong lihat, kakiku masih nyambung tidak?"
Kelly tak mengacuhkan, sebaliknya menyodorkan sekop tanpa menjawab apa-apa.
"Miguel, Doug galilah."
"Menggali?" tanya Tina. Dia melorot dari atas kap mesin mobil dan berdiri sambil
berkacak pinggang, dengan pandangan sebal.
"Iya," tandas Kelly ketus. Dia menyerahkan lampu senter. "Sebentar lagi
suasananya gelap sekali dan di sekitar sini tak ada lampu. Jadi, bawa terus
senter ini ke mana pun kalian pergi, paham!"
Miguel memasukkan senter itu ke dalam saku belakang celananya dengan kasar. Dia
memanggul sekopnya. "Kita mau menggali apa, sih?"
"Perangkap," jawab Kelly. "Tina, di laci mobil ada lilin. Di bagasi ada kantung
baju. Tolong nyalakan lilin-lilin itu dan letakkan di jendela ...."
Dia meneliti sekelilingnya lantas menunjuk pondok yang berada tepat di tengah-
tengah. "Pondok itu. Lalu bawa baju-baju itu ke danau, basahi, dan jemur di
kisi-kisi pondok supaya kering."
Tina memelototinya di keremangan malam. "Apa katamu?"
"Sudahlah. Kerjakan saja!" kata Kelly. Berusaha membuat suaranya terdengar
lembut, tambahnya, "Yaaa?"
"Tuh. Dia menyebutkan kata ajaibnya," Doug membisiki Tina sambil tersenyum
riang. Dia sedang bersantai sambil meletakkan kedua tangan dan dagunya di
tangkai sekop. Tina belum juga bergegas. "Kell, kamu mau kan ngasih tahu, apa sih maksud semua
ini?" "Ya," timbrung Miguel penasaran. "Apa sih, rencanamu?"
"Oke," kata Kelly. "Begini, ya. Kita akan mengesankan kita ada di dalam pondok
ini." Dia menunjuk ke pondok ke lima. "Tapi sebenarnya kita berada di pondok
sebelah-sebelahnya untuk mengawasi pondok ke lima itu. Aku dan Doug di sebelah
sana, kamu dan Tina sebelah sini."
"Kenapa sih, harus pakai berpencar segala?" tanya Tina.
Kelly tahu, Tina tak suka dengan pengaturan tempat tidur seperti itu, tapi dia
tak punya waktu untuk berbantahan.
"Dengar dulu deh, aku serius." Dituturkannya kata-kata itu dengan nada biasa-
biasa saja, tapi toh Tina terdiam juga. "Doug, Miguel, aku ingin kalian menggali
...." Dia berjalan lima langkah ke arah pondok lima, berhenti dan menunjuk ke bawah.
"Di sini. Di tempat ini kita akan membuat perangkap. Lubangnya tidak perlu lebar
tapi harus cukup panjang. Aku ingin memastikan, jika si Jason berjalan ke arah
pondok itu, dia akan terperangkap."
Ia menyematkan rambut pirangnya ke belakang telinga.
"Dengar, aku rasa Jason akan mendatangi kita nanti malam. Tapi kalau kita siap
menghadapinya, aku yakin kita akan berhasil membunuhnya."
Kelly tampaknya benar-benar yakin. Dia bertepuk tangan.
"Oke, ayo mulai kerja."
"Cara yang aneh," kata Miguel. Tapi toh dia mulai menggali juga. Otot-ototnya
menggumpal dan menonjol. Sambil bekerja ia menggerutu.
Kelly mengawasi sejenak, merasa sangat bersyukur karena Doug dan Miguel ikut
bersamanya. Apalagi, menggali lubang akan lebih cepat kalau ada Miguel.
Sementara itu sambil mengeluh, Tina berjalan lunglai ke arah bagasi belakang
mobil lalu mengambil kantong baju. "Di mana danaunya?"
"Ikuti jalan setapak itu," seru Kelly. "Pasti tak akan kesasar. Tapi kalau kamu
dapat masalah, teriak saja. Walaupun cuma firasat, jangan ragu teriak. Paham
maksudku?" "Ya. Trims dikasih tahu," kata Tina.
Kelly mengamati Tina menghilang di hutan yang lebat. Doug sedang menggali
bersama-sama Miguel sekalipun tampak asal-asalan.
"Aku mau cari dahan kayu untuk dijadikan tombak," katanya pada ke arah Miguel
dan Doug. "Nanti aku bantu menggali, deh."
"Oke, Sayang," jawab Miguel sambil membuang seonggok tanah lewat atas kepalanya.


Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Doug berhenti menyekop, menyeringai, dan melambaikan tangannya.
Kelly seperti bepikir sejenak. Lalu dia mendekati Doug.
"Nih," katanya. "Barangkali lebih baik kamu memegangnya sementara aku pergi."
Doug menatap pistol yang disodorkan Kelly dengan wajah ketakutan. "Pistolnya
berisi?" "Menurutmu bagaimana?"
Doug mengambilnya dengan hati-hati.
Kelly mengambil pisau berburu yang panjang dari mobil. Bulan sudah menampakkan
diri; bulat penuh dan berwarna keperakan - mengerikan seperti wajah Jason yang
bertopeng, yang dilihatnya di kliping dalam buku catatannya. Foto yang dianggap
palsu oleh orang-orang yang skeptis. Tapi Kelly merasa lebih tahu soal yang satu
ini. Sinar bulan cukup terang dan sinarnya yang menembus pepohonan membuat pisau
Kelly yang panjangnya lima belas sentimeter berkilauan.
Kelly menggenggam pegangan pisau itu erat-erat.
"Jangan takut, Boone," katanya keras. "Dia harus membayarnya."
Lantas ia berjalan meninggalkan tempat itu ke arah hutan.
"Hei, Kell," panggil Miguel waktu baru saja ia beranjak.
"Ada apa?" "Ini betulan, kan?"
"Hah?" "Berburu monster! Kita betul-betul memburu monster, kan?"
"Iyaaa!" teriaknya sambil mencoba agar suaranya terdengar bersemangat.
Miguel benar. Ini memang sungguhan.
*** Rumah kayu itu gelap dan sunyi senyap saat Bud Junior dan istrinya meluncur
mendekat lewat jalan rerumputan.
"Tampaknya, Papa sudah menidurkan anak-anak," kata Bud Junior pada istrinya
dengan bangga. Sore tadi, Bud dan istrinya sempat bersitegang soal aman tidak membiarkan ayah
Bud menjaga anak-anak sekalipun hanya beberapa jam.
Jessie menggandeng tangan Buddy saat mereka menaiki tangga.
Tidak seperti biasanya. Semalam berada jauh dari anak-anak, tampaknya telah
membuatnya bahagia. Jessie melangkah mendahului. Buddy sedang memasang palang pintu ketika istrinya
berteriak dengan suara tersekat.
Buddy segera memutar tubuhnya. Melalui gang ke ruang keluarga ia dapat melihat
lemari minuman keras; lemari itu tampaknya dibuka paksa dan terguling.
Sesaat sepasang suami istri bertatapan mata dengan mata terkejut sampai akhirnya
Jessie bergegas lari menaiki tangga.
Buddy hanya berdiri di tempatnya. Lalu dia menghampiri lemari minuman keras yang
jatuh itu, kakinya terasa menginjak pecahan gelas saat sebuah teriakan terdengar
dari ruang atas. Teriakan itu terdengar begitu keras dan mengerikan. Seakan istrinya sedang
melolong.....sekuat tenaga.
Chapter 13 JAGA MALAM "Ngomong-ngomong, dalamnya harus seberapa sih?" tanya Miguel. Dia telah menggali
serius selama satu jam. Sekarang dia sudah basah kuyup karena keringat, tapi dia
masih menggali dengan semangat yang sama.
"Sampai cukup untuk mengubur kita," Doug menjawab sinis.
Tina sedang di teras, menjemur baju yang basah di kisi-kisi pondok. "Ini bukan
becanda," katanya. "Aku mulai takut."
"Kalau itu sih, karena kamu memang penakut," kata Miguel. "Biasa, namanya juga
perempuan." "Aku bukan takut pada monster, Monyong," ketus Tina. "Aku takut pada Kelly.
Bagaimana kalau dia berbuat yang bukan-bukan!"
Miguel dan Doug mengamati Tina dari dalam lubang. Lilin yang dipasangnya di
jendela pondok samar-samar menyinari wajahnya yang kurus dan cantik dan
memperlihatkan sinar ketakutan di mata hitamnya. Di kejauhan burung hantu
bersuara. Atau apakah suara itu justru suara dari orang yang sedang menghadapi
maut" Tina menggigil. "Serius, nih. Aku pikir dia begitu tertekan. Bisa saja dia
berencana bunuh diri ramai-ramai atau sejenisnya, kalian tahu, semacam
pengorbanan diri untuk menghormati kakak kesayangannya, Boone. Barangkali dia
menyuruh kita menggali lubang kuburan kita sendiri."
"Barangkali memang begitu," kata Kelly perlahan dari seberang teras.
Tina menjerit. "Hei!" bentaknya. "Di mobil tadi sudah kubilang, jangan menakut-
nakuti aku!" Miguel terkekeh gembira. "Kena lagi kamu!"
"Aku sungguh-sungguh, tahu," kata Tina pada Kelly, sambil mengacung-ngacungkan
jari telunjuknya seperti seorang guru. "Jangan melakukannya lagi!"
"Oke. Tapi jangan menuduhku pembunuh, dong," jawab Kelly, "baru kita bisa bikin
kesepakatan." Gadis bertubuh jangkung itu keluar dari kegelapan. Dia berjalan membungkuk. Di
punggungnya terlihat settunpuk dahan tajam. Dia miring ke samping kemudian
menghempaskan bawaannya ke tanah.
Miguel memanjat keluar dari lubang untuk membantunya.
"Ini buat tombak?" tanya Miguel.
"Iya." Kelly berlutut untuk memeriksa lubang. Rupanya Doug dan Miguel sudah
cukup dalam menggalinya, sampai lutut Kelly yang berjongkok di tepi lubang dapat
beradu muka dengan wajah Doug yang sedang berdiri di dalam lubang.
Dalam, sebab Doug terhitung jangkung.
"Bagus," puji Kelly. Mata biru ke abu-abuannya berbinar di kegelapan. "Benar-
benar bagus." "Syukur deh, kamu puas," kata Doug. "Rasanya punggungku sudah mau patah."
Kelly tersenyum. "Oh, ya" Tapi kan, ada gunanya. Sebab Jason bakal tertancap
mati di situ. Ayo ah, sekarang bantu aku."
"Ya, Tuhan. Masih ada kerjaan lain," keluh Doug, tapi dia mengambil juga batang
panjang yang disodorkan Kelly.
Kelly menemukan sebongkah batu yang kemudian dimanfaatkan Miguel sebagai palu
untuk menancapkan tombak itu di dalam lubang galian. Lalu Kelly menyerahkan
pisau kepada Doug. Miguel punya pisau lipat. Kelly menyuruh mereka memotong miring bagian atas
tombak itu agar runcing. Dia sebenarnya ingin melakukan semua penajamanan tombak
ini sendiri. Dia sudah membayangkan, setiap rautan berarti kematian bagi Jason.
Tapi kini tak ada waktu untuk itu. Sebaliknya dia mengajak Tina kembali ke hutan
untuk mengumpulkan ranting pohon muda yang panjang, untuk menutupi lubang
jebakan. Dan di atasnya, supaya benar-benar tersamar, mereka menaburkan dedaunan
dan tanah. Ketika selesai, keempatnya berdiri mengelilingi jebakan sambil mengagumi hasil
karya mereka. "Bagus juga, ya," kata Tina dengan suara terdengar sangat bangga. "Maksudku,
siapa sangka di dalamnya ada jebakan."
"Apalagi kalau gelap," dukung Doug. "Wah, aku harus benar-benar waspada kalau
malam. Kalau tidak, bisa-bisa akulah korban pertama yang kejeblos di situ."
"Tak usah kejeblos, aku bisa mendorongmu, kok," canda Miguel sambil mendorong
Doug dengan sekopnya ke arah lubang itu.
Doug berkelit mencari pegangan. "Miguel," teriaknya. "Kamu sudah gila, ya?"
"Memang," jawab Miguel sambil tertawa. "Kalau iya, kamu mau apa" Cuma gede badan
doang?" Miguel mengangkat tangannya ke atas, melakukan gerakan gaya karate. Tapi
Doug menjauh darinya. "Ayo, ayo, pekerjaan kita belum selesai, nih," kata Kelly.
Tina, Doug dan Miguel saling melempar pandang dan kemudian memelototi Kelly
dengan tatapan tidak percaya. Kelly menunjuk ke arah tumpukan tanah bekas
galian. "Tanah ini bisa menghalangi jalan ke lubang jebakan. Kita harus
menaruhnya di belakang pondok."
Doug berpura-pura nyaris pingsan. Tina mengeram. Tapi dalam waktu singkat,
mereka kembali bekerja, mengangkat tanah-tanah itu ke belakang pondok. Pekerjaan
itu memakan waktu beberapa jam.
Setelah itu, mereka tampak kehausan, letih, basah kuyup karena keringat.
"Sekarang apa lagi?" tanya Miguel pada Kelly.
"Biar kutebak," jawab Tina. "Kita harus berlari mengelilingi danau secepat-
cepatnya." Kelly menautkan jemarinya dan merasakan keringat yang membasahi telapak
tangannya. "Bukan," katanya gemas. "Sekarang kita tunggu dia."
Kelly memaksa untuk berjaga-jaga duluan. Begitu juga Miguel.
Keempat remaja itu sudah siap masuk ke kantung tidurnya di pondok di seberang
lubang jebakan. Lalu mereka berkumpul di tengah-tengah halaman terbuka untuk
mendengar instruksi terakhir dari Kelly. Saat teman-temannya mengerubungi, dia
sempat teringat pada Boone.
Semua anak kecil di sekitar tempat tinggalnya memuja kakaknya. Boone bisa
membuat suasana gembira. Dan di mana pun dia berada, dia selalu menjadi pusat
perhatian. Kadang dia mengatur mereka bermain rugby. Boone selalu menjadi
penyerang dan anak-anak paling senang ketika mereka saling berebut bola. Mereka
mengerubunginya, mencoba sedekat mungkin dengannya, dan Boone akan menyuruh
anak-anak itu melakukan hal-hal konyol yang membuat gembira. "Ya, kamu Herbie,
ayo terus loncat berdiri loncat jongkok. Letakkan tanganmu di hidung!"
Wajah teman-temannya yang sedang memperhatikan di kegelapanlah yang menyadarkan
Kelly. Setelah sepanjang perjalanan mereka lebih banyak menyepelekan masalah ini, Kelly
sekarang dapat merasakan keseriusan teman-temannya. Yah, setelah malam semakin
pekat. Mereka tampaknya ingin sekali diberi tahu, apa yang harus mereka lakukan.
"Kita akan bergantian jaga malam setiap tiga jam sekali," bisik Kelly. "Jadi,
selalu ada dua orang yang terbangun. Kalau ada satu yang ketiduran, yang satu
bisa membangunkan. Kalau Jason datang, jangan bersuara. Tunggu sampai dia masuk
ke dalam perangkap. Setelah itu baru deh, teriak sekencang-kencangnya. Tapi,
yang paling penting, harus ada yang selalu bangun. Perangkap itu mematikan.
Kalau kita tidak waspada, orang yang tak berdosa bisa celaka. Ingat itu baik-
baik, ya?" Di kegelapan malam, mereka menyatukan tangan mereka tanda penyatuan semangat.
Lalu mereka bersiap-siap di posisi masing-masing.
Sejam kemudian, lilin di jendela pondok lima masih berkedip-kedip. Sinarnya
membuat bayangan seram. Jendelanya seperti mata dan pintu yang terbuka seperti
mulut lentera labu Halloween!
Sepanjang waktu, suara dari radio transistor yang disetel Kelly berbunyi sayup;
tetap menangkap siaran lagu-lagu. ".....mencintaimu sampai ajal tiba....sampai saat
kita mati bersama.....engkau menghancurkan hatiku ...."
Memang benar apa kata syair lagu itu. Lagu di radio itu seperti menyatakan
kejadian yang memang sedang kamu alami.
Dengan pistol di tangan, Kelly duduk menyender di dinding, wajahnya hanya
beberapa senti dari jendela. Kadang dia bisa menangkap bayangan Miguel, berlalu
lalang di balik jendela pondoknya. Kelly telah memberikan pisaunya untuk
dijadikan senjata. Tina memaksa tidur di pondok sebelah, bukan di pondok yang sama dengan Miguel,
sekalipun Miguel telah memohonnya. Dan penolakan Tina sama sekali tak dianggap
melecehkan oleh Miguel. Bukan karena Tina memang tak pernah tidur sekamar dengan Miguel sebelumnya, tapi
keadaan sekarang memang bukan untuk mesra-mesraan, dan Miguel menyadari hal itu.
Miguel sering membual pada Doug bagaimana bergairahnya Tina kalau bermesraan
dengannya. Biasa bualan anak laki. Tetapi menurut Tina pada Kelly, sesunguhnya
dia dan Miguel tidak seseru itu. Melihat keseriusan Tina, Kelly lebih percaya
pada apa yang dikatakan Tina.
Terdengar gemerisik suara.
Kelly menegakkan duduknya, seluruh tubuhnya tegang dan waspada.
Tapi dia tak mendengar suara lain, maka tubuhnya kembali rileks.
Dia berbalik melihat ke arah Doug, yang sudah lelap di tempat tidurnya di bagian
tengah ruangan. Dia memanfaatkan setumpukan baju untuk bantal. Malam sangat
panas. Doug hanya memakai celana pendek, dan tidurnya pun di atas kantong tidur,
bukan di dalamnya. Dia tetap memakai sepatu dan kaos kakinya. Dia juga mendengkur, sesuatu yang
selalu dibantah Doug selama ini.
Kelly kembali merasa bersyukur karena Doug ada di dekatnya.
Kelly menatap tubuhnya yang terkulai. Tampangnya tetap keren biarpun sedang
tidur mendengkur seperti itu, membuat Kelly memaafkan sikap genitnya pada si
pelayan di rumah makan tadi. Toh, dia juga bukan pacar yang menyenangkan
sepanjang tahun ini. Misalnya saja, waktu mau tidur tadi. Doug pasti merasa sebal karena kembali
ditolak saat mau mencumbunya. Doug tak hanya marah tapi juga tampak kecewa
berat. "Nggak masuk akal kan, Boone?" tanyanya perlahan, tanpa menggerakkan bibirnya.
"Bisa jadi ketika aku asyik masyuk, Jason muncul." Dia terkekeh perlahan. "Dia
pasti berang, iya tidak" Begitu kan yang menyebabkan ia tenggelam. Konyol!"
Apakah itu angin" Atau pohon-pohon di sekeliling hutan yang bergoyang dan
berdesis "Wessss?" Kelly melirik jam tangannya dengan cara mendekatkan wajahnya
ke tangannya. Hampir jam tiga.
Dia harus membangunkan Doug segera. Matanya sudah terasa berat.
Kelly dan Boone sedang berperahu di danau....santai sekali....tiba-tiba, Jason
muncul dari air sambil mengacungkan pisau siap menikam.....
Kelly tersentak bangun, matanya membelalak. Dia baru saja terlelap, sejenak. Dia
merasa begitu lelah sampai jatuh tertidur. Apa yang harus dilakukannya adalah
bertahan untuk tetap terjaga. Sebab setiap kali dia tidur dia merasa ditarik ke
dalam lubang hitam yang dalam. Menakutkan sekali. Agaknya, mimpi buruknya selalu
siap menantinya. Sambil mengusap-ngusap matanya dengan jari, dia mengamati hutan beberapa saat.
Lalu: "Miguel!" Dia melongokkan kepalanya keluar jendela. Miguel menjengukkan
kepalanya. Sinar rembulan memungkinkan Kelly melihat Miguel memakai ikat kepala dan mencorengi wajahnya dengan cat. Benar-benar gila
orang itu....tapi orang segila itulah yang diharapkannya ada di sisinya saat ini.
"Lihat sesuatu?"
"Tidak. Kamu?" Kelly menggelengkan kepala. "Dengar, kurasa kita harus membangunkan Doug dan
Tina untuk gantian jaga. Aku sudah ngantuk berat. Bagaimana menurutmu?"
"Apa katamulah, Boss."
"Oke, ayo bangunkan Tina."
Miguel meringis dan melambaikan tangan, lalu menghilang di kegelapan. Beberapa
saat kemudian, dia bergegas keluar dari pintu dan menuju ke pondok sebelahnya.
Kelly berdiri sambil menguap, persendian tulangnya terasa kaku dan semutan
karena duduk di lantai kayu berjam-jam. Dia berlutut di samping Doug. Dia
mengulurkan tangan berniat menggoyang-goyangkan sepatu kets Doug yang sebelah
kanan. Kaki Doug teraba tangan Kelly.
Chapter 14 AKHIRNYA SENDIRIAN Benda itu jatuh menimpa Doug, mengguncang tubuh Doug dengan keras. "Aaapa ?"
seru Doug. "Hei jauhkan sepatu itu dari mukaku!"
Sesaat kemudian Kelly baru melihat apa yang dipegangnya.
Doug telah melepas sepatu ketsnya dan mendorongnya ke ujung tempat tidur. Kaos
kakinya ditinggal di dalam sepatu. Baunya menyesak.
Kelly langsung terlelap begitu membaringkan diri di kantong tidur yang ada di
sebelah Doug. "Ya, Tuhan," keluhnya. Keluhan itu lebih menggambarkan rasa lega
karena Doug tak marah, sekaligus kecewa karena lantai di bawah kantong tidurnya
terasa keras sekali. "Kamu sekarang nggak tegang, kan?" tanya Doug. Dia berguling dan memeluknya
serta mengecupnya. "Apa kamu berhasil menangkap banyak monster selama aku
tidur?" "Doug," katanya. "Berhenti, ah."
"Berhenti apanya?"
"Tanganmu ini, lho," katanya sambil menepis tangan Doug.
"Ayo, ah," katanya lagi. "Aku ngantuk sekali, nih. Kamu sekarang harus jaga.
Tuh, pistolnya kutaruh di pinggir jendela."
"Hm, oke," kata Doug sambil mendengus. "Lagi pula, pohon-pohon di luar sana
tidak tahu caranya berdiri tegak kalau tidak ada yang mengawasi mereka sepanjang
malam." "Ayolah," gumam Kelly, memerintah. Dia mendengar Doug menggerutu, lalu berdiri.
Itulah hal terakhir yang diingatnya.
Waktu Doug duduk di depan jendela, Kelly sudah mulai mendengkur perlahan. Doug
berbalik dan tersenyum ke arah Kelly.


Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuh kan, ia selalu mengatakan Doug pendengkur. Padahal, dia sendiri" Tapi dia
tak pernah mengatakan hal itu pada Kelly. Gadis malang ini sudah terlalu banyak
beban pikirannya. Di luar, Miguel terlihat keluar dari pondok Tina. Dia melambaikan tangan ke arah
Doug, yang melambai balik. Miguel mengusap-usap matanya, menunjukkan betapa
ngantuknya dia. Lalu dia menghilang di pondoknya. Beberapa saat kemudian, Tina
muncul di jendela pondoknya. Dia juga melambaikan tangan ke arah Doug.
Doug, ayolah, katanya pada diri sendiri, jangan cari masalah.
Dia terus mengatakan hal itu selama hampir seperempat jam. Selama itu pula dia
terus memperhatikan Tina....rambutnya yang panjang, wajahnya yang mungil dan
cantik terpampang berbingkai jendela seperti pajangan foto. Doug menarik napas
dalam. Dia tahu kapan dia terangsang. Ditinggalkannya pistol dan lampu senter di
pinggiran jendela, lalu dengan berjingkat perlahan dia keluar dari pondok. Dia
memberi tanda pada Tina. Tina lalu menemuinya di tengah halaman di depan pondok
mereka. Dia memperhatikan kedatangan Tina, dan berpendapat bahwa gadis blasteran Cina-
Amerika ini mempunyai bentuk tubuh yang mengagumkan. Tak diragukan, tubuh
berwarna agak gelap yang sangat menawan.
"Ada ,apa?" tanya Tina sambil berusaha terlihat kesal tapi juga senang karena
tidak sendirian. "Bisa kau bayangkan konyolnya semua ini?" bisik Doug.
Tina menggelengkan kepalanya, membuat rambutnya yang panjang sampai sepinggang
bergoyang-goyang. "Aku tak yakin bakalan kuat melek semalaman sendirian," kata Doug lagi.
"Aku juga." Mereka saling bertatapan di kegelapan. Tina tersenyum.
Apakah dia memikirkan hal yang sama dengan apa yang kupikirkan" Doug berharap-
harap cemas. "Mau jalan-jalan?" tanyanya enteng. "Ke tempat sepi untuk ngobrol-ngobrol?"
Tina menjawab dengan seulas senyum sangat lebar.
Sialan! Dia juga pasti punya pikiran sama denganku.
Banyak jalan setapak yang menyebar dari arah pondok mereka.
Doug memilih satu jalan secara sembarangan. Hutannya sangat lebat. Banyak
tangkai dan duri pohon yang menggores ke wajah mereka.
Doug terus menerus mengembangkan tangannya untuk melindungi Tina dari tangkai
pohon-pohon itu, sekalipun kadang pohonnya tidak begitu lebat yang berarti
bantuannya sama sekali tak diperlukan Tina.
Jelas, dia memang mencari-cari kesempatan untuk tetap merangkulnya, menariknya,
menuntunnya melalui pepohonan.
Dan suatu ketika....setelah menolongnya melompati lereng kecil....dia tak melepaskan
tangan Tina. Tina juga tidak menarik tangannya.
Jantung Doug berdebar keras. Bukan karena dia tak pernah mengkhianati Kelly.
Hampir setiap kali bertualang ke hutan, Doug berhubungan kembali dengan bekas-
bekas pacarnya. Seperti Lisa, misalnya.
Tapi kini Kelly hanya beberapa meter darinya" Ini betul-betul tipuan baru.
Yah, itu salahnya sendiri. Salahnya karena telah mengabaikan dirinya belakangan
ini. Dia kan manusia biasa. Dan Tina kebetulan begitu menggairahkan.
Baru beberapa langkah menggandeng tangan Tina, tiba-tiba Doug mendorongnya ke
sebatang pohon besar. Ia sama sekali tak melihat ke arah wajah Tina, sampai
wajahnya hanya beberapa senti dari wajah Tina. Tampak mata hitamnya begitu
serius, dan juga mengharap. Dia mencium Tina dengan bersemangat. Dia terus
menciumnya sampai dia kehabisan nafas.
"Ya, ampun," akhirnya Doug berkata. "Ini nggak bener."
Tina menjawab sambil tersengal-sengal. "Kenapa?" tanyanya perlahan.
"Kenapa?" Doug tertawa. "Sebab ada Kelly," katanya. Tapi saat Tina menariknya
kembali, dia tidak menolak. Tina menciumi leher dan kupingnya.
"Jangan bilang padaku kalau kamu serius memikirkannya," kata Tina sambil terus
mencium. Doug kembali menarik tubuhnya. "Aku memang serius," katanya. Dia merasa harus
mengatakannya begitu sekalipun hatinya tidak bermaksud seperti itu.
Tina hanya tertawa. "Dengar," kata Doug, "aku belum pernah mengkhianatinya."
Tina tertawa keras. Mengejek.
"Yah, paling tidak, aku tidak bikin masalah kalau ada dia, kan?"
"Dia sekarang tak ada," kata Tina lantas ditariknya kembali tubuh Doug keras-
keras sehingga mereka bersandar di pohon kembali.
Tina ternyata sangat bergairah, bahkan agak sedikit liar. Dia mengulum bibir
Doug dengan penuh nafsu. "Wauw," kata Doug, "kamu betul-betul liar, kamu tahu itu?"
"Ah, itu kan, karena sama kamu." Tina menyusupkan tangannya ke dalam kaos Doug.
Doug merasa kuku-kuku Tina yang panjang menggores punggungnya, dan dia
mengingatkan dirinya untuk tetap mengenakan baju saat berada dekat Kelly, besok.
"Betul begitu?" tanyanya. Doug merasa tersanjung dan penasaran. "Kamu tidak
seperti ini kalau dengan Miguel?"
"Ngaco kamu. Yang pernah kulakukan dengannya hanya menghindar. Aku tak bisa
menyingkirkannya." "Aah." Doug tak bisa menahan diri lebih jauh. Dia mengangkat satu tangannya ke
atas kepala, dan meletakkannya di atas dahan pohon seakan siap menunggu ciuman
selanjutnya. Sejenak ia menyadari apa yang sedang dipegangnya. Dia menarik kembali tangannya.
"Ada apa?" tanya Tina.
"Bukan apa-apa," kata Doug. Dia melihat ke atas dan terus ke atas. "Em, rasanya
kita punya sedikit urusan."
Tina juga melihat ke atas. Tepat di atas kepalanya, Doug sedang memegang anak
tangga dari kayu yang ditancapkan ke dahan pohon.
Di atasnya ada anak tangga lain, dan anak tangga lainnya, terus sampai ke atas
ke dedaunan yang rimbun sekali. Samar-samar, di atas mereka, ada lantai papan
dari sebuah rumah "Mau naik ke atas?" tanya Doug membujuk. Tina meringis senang. "Bisa jadi. Kamu
punya minuman di atas sana?"
"Tentu, dong. Di sana ada bar milik ayahku. Juga teve lengkap dengan parabola.
Dan, hei, aku hampir lupa. Aku punya CD baru, kamu harus dengar."
"Aku tak suka musik."
"Okelah. Tapi aku yakin di atas sana pasti ada yang bakal kamu sukai." Dia
menyatukan jari-jarinya untuk membantu Tina naik ke atas. "Silakan jalan
duluan," katanya. Dia mengangkatnya, sambil menikmati pemandangan yang ada saat tubuh mungil gadis
itu memanjat, tepat di atas hidungnya. Dia juga ikut memanjat, mendekatinya dan
kemudian menepuk-nepuk pantatnya.
Rumah pohon itu cukup luas, lembab dan gelap. Tampak ada beberapa pecahan botol
minuman, dan banyak sarang laba-laba. Doug merasa yakin Tina akan mengeluh soal
bau yang menyengat. Tapi ternyata begitu mereka sampai di atas, dia langsung
merangkulnya dan menariknya hingga Doug kini dalam posisi berada di atas
tubuhnya. "Aku suka caramu mengatur rumah ini," gumamnya.
"Tunggu sampai kuperlihatkan kamar mandinya."
Di sekeliling mereka hanya ada aroma segar pohon cemara, bau kayu dan bau getah.
Pepohonan tampak berayun-ayun tertiup angin, seakan-akan berusaha mengipasi
kedua anak muda yang sedang dibakar nafsu itu. Ciuman mereka semakin menggila.
"Ya, Tuhan," kata Tina. "Rasanya aku tak enak mengatakannya, tetapi kamu membuat
Miguel seperti anak kecil."
"Oh, ya" Emangnya ciumannya kurang oke?"
"Ngaco, kamu!" Tina tertawa sinis. "Sori saja, dia nggak becus soal yang satu
itu. Dia bukannya nyium tapi adu gigi. Mana nafasnya bau asem."
"Ehem." "Jadi memang ciumanmu ini sangat...Eh, kamu dengar sesuatu?"
"Emmmm...." Tiba-tiba, Tina mendorong tubuhnya. "Aku dengar lagi," katanya.
"Dengar apa?" "Nggak jelas. Seperti langkah kaki. Seperti ada orang yang sedang manjat ke
sini." "Tina." "Apa?" "Jangan katakan kamu juga takut pada hal yang bukan-bukan seperti Kelly."
"Aku tidak seperti itu. Aku yakin aku deng ...."
"Tina, sini aku aku ingatkan. Waktu kita berduaan malam ini sangat berharga.
Sebentar lagi kita harus kembali ke pondok, kalau-kalau kedua orang yang gila
monster itu terbangun dan merasa kehilangan. Sekarang masak sih kamu mau menyia-
nyiakan waktu kita yang cuma sedikit ini untuk memeriksa ada tidak orang yang
naik ke atas sini?" "Ya, tidak juga sih, tapi ..."
"Bagus." Dia menutup mulut Tina dengan ciuman supaya tidak membantah lagi.
Akhirnya, dia berhasil membuat Tina diam sampai dia sendiri mendengar langkah
itu. "Ya, Tuhan," bisiknya.
Dia bergegas merangkak ke arah lubang terbuka yang melingkari dahan pohon. Dia
bergerak lebih tergesa setelah melihat ke bawah. Keadaannya sangat gelap, tapi
tak cukup gelap untuk bisa melihat kepala botak dari seorang lelaki besar
memanjat ke atas...ke arahnya!
Chapter 15 JANGAN KATAKAN APA PUN Sambil merintih perlahan, Big Red memanjat ke rumah pohon.
Pa bersama paman Tuck dan paman Bud telah membangun rumah pohon ini beberapa
tahun yang lalu. Mereka katakan pada Ma, rumah pohon itu untuk Big Red. Padahal,
mereka memanfaatkannya untuk tiduran kalau sedang mabuk berat. Mereka malah
melarang Big Red menggunakannya. Yah, sekarang kan, mereka tak bakal tahu kalau
dia naik ke sana. Big Red merasa mendengar suara gemerisik di bagian rumah pohon yang agak gelap.
Barangkali suara bajing atau binatang lain.
Dia duduk di sana, tangannya menutupi topeng, tersedu-sedu seperti anak kecil.
Dia merasa begitu tak enak dengan apa yang telah dilakukannya, pada Pa, Ma,
paman Tuck dan pada paman Bud....Tapi dari semuanya, dia merasa bersalah pada
anak-anak itu. Mereka adalah temannya. "Maafkan aku, ya," katanya berulang-
ulang. "Maafkan aku."
Dia tak tahu bagaimana semua ini terjadi. Setelah membunuh paman Bud, dia masih
dikuasai rasa marah. Dia naik ke ruang atas. Dan kejadian selanjutnya yang dia
tahu sepertinya kaki palsunya hidup. Kaki itu menendang dan menghentak-hentak....
Big Red memasukkan botol minuman keras yang digenggamnya ke lubang mulut yang
ada di topengnya dan menengadahkan kepalanya. Dia telah membawa tiga botol
minuman seperti ini dari rumah Buddy. Ini adalah botol terakhir.
Pada mulanya Big Red ingin menghancurkan semua botol minuman yang ada di rumah
Buddy. Membuang semua minuman keras yang membuat begitu banyak penderitaan dan
masalah baginya selama ini. Tapi kemudian dia berpikir mungkin perasaannya akan
lebih baik kalau dia minum sedikit.
Rupanya tak berhasil. Dia terus melihat pemandangan buruk yang pernah terjadi di
rumah Buddy. Seperti rumah boneka baru yang sedang dikerjakan paman Bud di rumah
anaknya itu. Tadi setelah Big Red memuncak marahnya, dia memanfaatkan mesin gergaji untuk
memotong paman Bud. Lalu dia menempatkan kepala Bud ke dalam rumah boneka.
Kelihatannya begitu menyeramkan. Mata paman Bud terus menatap ke arahnya melalui
jendela-jendela rumah boneka.
Big Red meraung keras. Dia telah meneguk minuman keras begitu banyak yang
mungkin dapat mematikan orang biasa. Tapi karena Big Red adalah orang yang
bertubuh besar, dia masih bisa bertahan. Tapi biarpun begitu dia masih merasa
rumah pohon ini berputar kencang dan perutnya mual amat sangat.
Dia menyedot sisa minumannya dari botol, lalu menjatuhkan botol itu ke lantai.
Dia merasa mau muntah. Dia mendekatkan mulutnya ke lantai, mulutnya terbuka,
siap mengeluarkan isi perutnya.
Tapi ternyata dia justru terjerembab, wajahnya membentur lantai dengan keras.
Topeng putihnya melindungi dia hingga tak terluka. Big Red pingsan.
*** Doug menarik tangan Tina. Tangan Tina dingin seperti es.
Doug harus menarik berkali-kali sebelum dia mulai bergerak keluar dari tempat
persembunyiannya yang gelap dan berjingkat menuju ke tangga.
Mereka tak berani berbicara sampai mereka merasa telah cukup jauh dari pohon
itu. "Doug," kata Tina dengan mata melebar, "siapa itu tadi?"
"Pemabuk." "Ya, Tuhan, aku sangat ketakutan. Eh, tidakkah kau berpikir orang itu ada
hubungannya dengan apa yang yang Kelly ...."
Doug sudah menduga hal itu. Dia mengangkat salah satu tangannya lalu
menggerakkannnya seperti gerakan yang suka dilakukan polisi saat mengatur lalu
lintas. "Tak mungkin!"
"Yah, paling tidak kita harus menceritakan hal itu padanya. Maksudku, ya,
Tuhan ..." Doug mencengkeram bahu Tina. "Dengarkan aku, Tina. Tadi itu hanya pemabuk tua,
paham" Tak ada urusannya dengan kita. Dan kalau kita sampai menyinggung soal ini
pada Kelly, berarti kita harus menjelaskan apa yang sedang kita lakukan di sana.
Nah, apa kamu mau?" "Kamu menyakiti aku."
"Sori. Yuk." Doug mengajaknya berjalan lagi ke arah pondok mereka dengan cara
menariknya. Doug tidak bercerita pada Tina bahwa dia sempat melihat wajah lelaki besar itu,
dan tampaknya dia melihat topeng putih yang dikenakan lelaki besar itu.
Demi Tuhan, pikir Doug, mengapa mempermasalahkan hal itu"
Tetapi, dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa keadaan di rumah rumah
pohon itu sangat gelap. Topeng putih itu pasti hanya khayalannya saja.
Chapter 16 LUBANG PERSEMBUNYIAN ALA INDIAN
"Sedang apa kamu" Bikin perangkap lagi?"
Kelly menengadah ke atas. Miguel sedang berdiri di tepi lubang yang sedang
digalinya. Dia memakai rompi biru polos, model rompi para pemburu, di tubuhnya
yang telanjang. Ia mengenakan celana pendek ketat dan sepatu kets. Dia
menyilangkan kedua tangannya yang berotot.
Kelly kembali menggali. "Bukan," katanya. "Ini lubang persembunyian suku Apache
dari Indian". Senyum senang menghiasi wajah tembem Miguel. Dia tahu dia bakal menyukai lubang
yang satu ini. "Itu apa?"
"Yah," Kelly membuang setumpuk tanah melalui sepatu kets Miguel. "Aku hanya
dapat mengatakan, semua ini sesuai dengan apa yang dikatakan Boone."
"Kalau begitu, pasti tidak serius," Miguel berkata ramah.
Kelly tegang. Sejauh menyangkut Boone tak ada yang main-main. Dia senang
bercanda. Tapi dia bisa marah besar kalau ada orang yang menjelek-jelekkan
Boone. Dia berdiri kaku sambil melotot sampai Miguel berbisik padanya, "Apa yang
dikatakannya?" "Kata Boone.....dulu waktu para koboi bertempur melawan kaum Indian, mereka biasa
mengejar para Indian yang lari ke hutan dan kemudian" Kelly menjentikkan jarinya
..."orang-orang Indian itu lenyap begitu saja."
"Oya?" Miguel tertawa kecil sambil memutar-mutar kumisnya yang tipis. Jelas
sekali dia tak percaya. "Hebat, he-he-he. Bagaimana mereka melakukan hal itu?"
"Yah, para koboi itu tak pernah tahu kenapa. Tapi sebenarnya begini caranya.
Ranting-ranting di sana, akan dijadikan penutup lubang. Para prajurit akan
melempar diri mereka ke dalam lubang ini dan menarik penutupnya turun. Para
koboi bisa saja berdiri di atas lubang tanpa mengetahui kalau orang Indian yang
dikejarnya itu ada di bawahnya."
Miguel bersiul. Dan sesaat sejenak, Kelly berpikir untuk mengatakan berita yang
lebih dahsyat. Kalau Miguel menganggap lubang perlindungan Indian ini hebat,
bagaimana reaksinya kalau dia diberi tahu tahu bahwa Boone tadi pagi sudah
datang untuk mengawasi ia menggali"
Boone juga mengatakan, Jason tak akan mendatangi mereka sampai malam tiba.
Jangan, pikir Kelly. Informasi yang satu ini sebaiknya disimpannya sendiri.
"Cara yang hebat," kata Miguel sambil berlutut untuk mengamati lubang itu. Dia
lalu tersenyum. "Eh, ngomong-ngomong, selamat pagi, Non."
"Pagi juga." Kelly tersenyum padanya. Dia betul-betul menyukai Miguel pagi ini.
"Tidurmu enak?"
Miguel menguap. "Yah, begitulah. Enak."
Kelly tidak menanyainya lebih jauh. Miguel mungkin marah soal bagaimana dia
tidur tadi malam......Bayangkan, sendiriian!
"Nih," kata Kelly. "Kamu coba, deh."
Kelly keluar dari lubang persembunyian itu dan menunggu sampai Miguel berbaring
di dalam. Lalu dia menarik pintu penutup lubang yang terbuat dari ranting dan


Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dedaunan di atas Miguel. Hanya seperti itu, Miguel benar-benar lenyap ke dalam
lantai hutan yang berupa tumpukan daun.
Kelly lalu membuka pintu penutup itu. "Sempurna," katanya.
"Oke," kata Miguel. "Coba aku ingin lihat secepat apa aku bisa melakukannya."
Dia melangkah mundur masuk ke hutan, bersiap-siap untuk lari, kemudian
menghempaskan diri ke lubang dan menarik pintu penutupnya.
Lalu pintu penutup itu terbuka kembali. Miguel duduk sambil tertawa bangga,
seperti mayat yang berhasil keluar dari peti matinya. "Bagaimana tadi?"
"Sempurna." Kelly menunduk lalu mereka saling menepuk tangan.
"Dengar, ya," Kelly menasihati dengan nada suara serius. "Kalau nanti malam kamu
dapat kesulitan, atau kapan pun, jangan lupa ada lubang ini, oke" Kalau Jason
mengikutimu, coba bawa dia ke tempat ini. Kalau kamu berhasil, berarti kamu
telah menyelamatkan hidupmu."
"Oke." Miguel menyeringai. Dia berdiri dan dengan sebal membersihkan debu yang
menempel di tubuhnya. "Ada apa?" tanya Kelly.
"Tak ada apa-apa."
"Miguel ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, Kel. Hanya....kamu telah membuatku benar-benar tegang tadi
malam, tahu" Aku nyaris tak bisa tidur sepanjang malam."
Ini terlalu dilebih-lebihkan. Sebab sesungguhnya Miguel langsung terlelap satu
menit setelah Kelly. "Tapi untuk apa?"
"Jangan takut," kata Kelly. "Dia akan datang."
"Iyaa, tapi kapan?"
Seperti memberi tanda......
Terdengar pekikan nyaring dari arah perkemahan.
Chapter 17 PIKNIK "Kelly! Miguel! Doug!"
Itu suara Tina yang berteriak sekuat tenaga. Miguel dan Kelly saling bertatapan
sejenak. Lalu mereka bergegas lari.
Ketika mereka tiba di halaman yang terbuka, mereka melihat Tina. Dia dengan
hati-hati sedang membentangkan sehelai taplak putih di tanah. Dia berdiri saat
melihat Kelly datang lantas bertolak pinggang. "Muncul juga kamu," katanya. "Aku
cari ke mana-mana. Mana yang lain" Mana Doug?"
Kelly berhenti berlari. Dia berdiri sambil menyilangkan tangannya di dada
mencoba mengatur napasnya. "Dia tak ada di ...?"
Kelly menunjuk ke kabinnya.
Tina terlihat kaget. "Oh, kalian berdua tidur di pondok itu" Aku mencarinya di
pondok tujuh." Miguel mendesak maju. "Dengar, apa sih maksudmu berteriak-teriak seperti itu"
Benar-benar menakutkan ...."
Dia terlambat untuk menghentikan kata-katanya. Sudah terlanjur terucap.
"Aku membuatmu takut?" tanya Tina sambil tertawa senang. "Kelly, kau dengar apa
yang dikatakannya tadi" Aku membuat cowok kekar ini ketakutan!"
"Ah, sudahlah," kata Miguel, masam. "Apa maumu memanggil kami semua?"
"Ngajak sarapan," kata Tina. Dia menunjuk ke bungkusan keripik kentang, kotak
cereal dan makanan-makanan lain yang dibelinya di supermarket saat menuju ke
mari. "Aku memutuskan untuk berbagi makanan," dia berkata dengan bangga. "Tapi
kalau kalian bersikap begitu cepat tersinggung aku bisa berubah pikiran."
Miguel melompat dan duduk di salah satu ujung taplak.
"Bagus," katanya. "Ayo, perempuanku, kasih aku makan."
"Miguel!" damprat Tina, "aku bilang, aku tak suka kamu bercanda seperti itu."
"Doug?" Kelly memanggil sambil menghampiri pondok mereka. Dia menemukan Doug
tidur tengkurap dengan kaki terbuka lebar. "Doug?"
"Aduh, jangan ganggu aku, dong," katanya dengan mulut tetap terbenam di tumpukan
baju yang dijadikan bantal.
"Kita lagi mau sarapan."
"Aku tidak." "Bagaimana aku menerangkannya pada Miguel dan Tina?" paksa Kelly.
Doug menggerutu. "Aku menyusul sejam lagi."
Kelly tertawa, tapi lantas dia menghardik tegas, "Sekarang!" sebelum ia
beranjak. Dan benar saja, tak seberapa lama Doug pun bergabung.
*** Big Red muncul dua menit setelah itu.
Tak ada yang melihatnya. Dia berdiri di kegelapan hutan, mengamati kelompok
kecil yang sedang asyik berpiknik itu.
Kepalanya yang besar terasa berdenyut sakit. Seakan otaknya melekat pada
tengkoraknya. Dia juga merasa lapar. Dan anak-anak itu tampaknya baik-baik.
Barangkali mereka mau memberinya makanan
Di halaman terbuka, semua orang duduk di atas taplak sambil makan-makan.
Kelly berkata, "Oke, begini yang harus kita lakukan hari ini. Kita harus menebar
lebih banyak umpan."
Mereka semua memandangnya terpana.
"Aku membawa dua tape recorder," lanjut Kelly. "Aku akan membawa satu dan
menangani daerah di sebelah timur danau."
Dia mengeluarkan peta dari kantong jaketnya dan meletakkannya di paha. Dia
menunjuk ke suatu tempat. "Aku mencoba menangani daerah ini. Miguel, kamu dan
Tina bawa tape recorder yang satunya dan pergi ke arah barat. Di sana banyak
rumah peristirahatan dan banyak rumah penduduk juga."
"Ini semua soal apa, sih?" tanya Tina agak murung.
"Kita ketuk setiap pintu," kata Kelly. "Kita pura-pura jadi wartawan atau
semacamnya. Pokoknya, semacam usaha untuk mengumpulkan informasi tentang Jason
dan segala sesuatu yang berkaitan dengan legendanya. Tapi setiap kali kita
bertemu orang, pastikan kita mengatakan kalau kita tinggal di sini."
"Bagaimana dengan aku?" tanya Doug masih mengantuk.
"Kamu tinggal saja di sini."
"Aku suka rencanamu itu," kata Doug.
"Iyaa, tapi tidak boleh tidur. Kalian semua tadi malam membuat aku kecewa. Kita
butuh seseorang yang mengawasi perangkap kita setiap saat."
Mereka semua menatapnya lekat-lekat. Tak ada yang terlihat gembira atas
rencananya itu. Big Red yang justru gembira. Dia tak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakan
anak-anak itu, tapi dia ingin bergabung dengan mereka, bermain dengan mereka dan
makan dengan mereka "Ah, Kelly," kata Tina. "Aku betul-betul merasa harus segera pulang."
"Kenapa?" tanya Miguel. "Bukankah kamu tak punya urusan apa-apa di sana?"
"Kenapa" Di sini pun aku tak punya urusan."
Miguel dan Tina saling melotot hingga Kelly merasa sebentar lagi mereka pasti
perang. "Tahan sebentar," katanya. "Tina, kalau kamu mau pulang, aku tak
keberatan. Begitu juga kalau kalian mau, Miguel, dan juga kamu, Douggie. Aku
betul-betul, lho." "Trims," kata Doug. Matanya terpejam. Dia duduk bersila dan memiringkan badannya
ke belakang dengan bertumpu pada kedua tangannya. Wajahnya yang tampan
menengadah menangkap sinar matahari.
"Kalau kamu pergi," kata Miguel pada Tina, "bagaimana caranya kita pulang?"
"Mana aku tahu," jawab Tina sambil mengangkat bahu. "Naik bis" Atau kereta api?"
Dia menggoyangkan kedua tangannya dengan kesal. "Sori, ya, aku bukannya mau jadi
orang gila pesta. Tapi lihat kenyataannya, dong. Di sini sangat membosankan."
Saat Tina berkeluh kesah, Kelly mengamati wajahnya. Dia kaget juga menyadari apa
yang sedang dipikirkannya. Dia berusaha menerka, sedang berbohongkah Tina"
Big Red juga sedang mengawasi Tina dengan mimik serius. Dia wanita yang cantik
dengan rambut hitam yang panjang terurai. Tapi wajahnya itu, lho. Wajahnya tidak
menyenangkan. Malah mengingatkan dia pada sesuatu.
Agak lama Big Red mengumpulkan ingatan itu. Dia melihat dirinya sedang
berpapasan dengan sekelompok anak remaja yang sedang duduk-duduk di depan Rumah
Makan Denny. Sebenarnya Big Red sama sekali tidak mendengar apa yang sedang
dipercakapkan oleh para remaja itu. Tetapi dia melihat seorang gadis
memperlihatkan wajah tak menyenangkan seperti yang dilakukan Tina saat ini
sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya. Lalu anak-anak itu tertawa. Mereka
menertawakan Big Red. Tawa Doug meledak. "Sori," katanya. "Tina, sadarkah kamu akan tingkahmu ini"
Kamu sepertinya sedang menyalahkan Kelly karena kita tidak berhasil menangkap si
monster tadi malam."
"Ngawur!" kata Tina, tapi Doug tetap terbahak-bahak.
Dia mentertawakan aku, pikir Big Red. Tiba-tiba Tina tergagap dan menjatuhkan
kotak cereal. Seekor jangkrik melompat ke tangannya.
Sekarang Kelly yang tertawa-tawa. Dia menjulurkan tangannya secepat kodok
menjulurkan lidahnya; dan berhasil menangkap jangkrik itu dalam kepalannya. Dia
mengangkat kepalan tangannya ke arah mulut dan menggigit kepala jangkrik itu.
Terdengarlah pekikan ngeri yang nyaring dari teman-temannya.
"Sedaap," kata Kelly sambil mengunyahnya.
"Kamu betul-betul gila," Tina membelalakkan mata lebar-lebar.
Kelly tertawa lagi saat dia selesai menyantap serangga itu. Mereka ini mudah
sekali digoda. "Semua serangga adalah makanan yang baik, sangat baik," kata Kelly sambil
mengunyah. Dia menjilati bibirnya. "Aahhh."
Tina cepat-cepat berdiri. "Rasanya aku mau muntah."
Tawa Kelly semakin keras. "Serius. Coba saja kalian selidiki. Cuma semut
serangga yang rasanya pahit, soalnya mereka mengandung banyak asam formiat. Dan
semua serangga sangat bergizi. Barangkali lebih bagus untuk tubuh kalian
daripada minuman tonik. Boone dan aku pernah seminggu cuma makan cacing tanah."
Semua orang kini mendesis jijik. Kelly tertawa semakin keras.
Di hutan Big Red merasa menggigil. Sekarang si pirang jangkung itu juga
mentertawakannya. Sering sekali Big Red ini dijadikan bahan tertawaan para remaja. Remaja seperti
kelompok ini. Kenangan buruk kembali muncul.....Saat para remaja melemparinya
dengan batu. Saat mereka menceburkannya ke danau. Saat....Saat.....
Big Red tak dapat menahan lagi. Amarahmya kembali menggelegak. Anak-anak
ini....anak-anak berengsek....harus diberi pelajaran.
Pada akhirnya, Tina setuju untuk menghabiskan satu malam lagi di danau Kristal
dan mengikuti petunjuk Kelly, tak peduli betapa konyolnya petunjuk itu. Setelah
sarapan, Tina dan Miguel merencanakan pergi ke pemukiman di timur danau,
sementara Kelly ke seberangnya. Kelly mencoba memberikan pisaunya pada Miguel,
namun Miguel bersikeras tak membutuhkan senjata apa pun. Buat apa, katanya, toh
tangannya sudah termasuk alat pembunuh. Jadi Kelly membawa pisau. Sementara Doug
memegang pistol. Begitu mereka pergi, Doug menggeliat dan kemudian tidur lagi. Dia tak bangun
sampai sekitar tiga jam. Dia tidak bangun sampai ada bayangan gelap menutupi
wajahnya. Bayangan yang membuat ia langsung membuka mata dan menengadah ke atas.
Juga membuat dia tergesa-gesa bangkit. Sangat tergesa-gesa.
Chapter 18 DARLENE TERPIKAT PADA DOUG
"Darlene"!" kata Doug kaget sekaligus suka cita.
Sebagai ucapan halo, pelayan itu meniup permen karetnya. Dia tak mengenakan
seragam, tetapi celana jeans dan sweater merah. Dua-duanya ketat, membuat ia
terlihat lebih seksi. "Lagi santai, ya?" tanyanya.
"Tul," jawab Doug sambil tersenyum. "Ada apa" Kenapa ke sini"
Darlene mengerling ke arah hutan, seperti tak tertarik pada percakapan mereka;
seakan dia memang datang ke sini tanpa alasan pasti. Namun ia tak berhasil untuk
bersikap biasa, dia justru kelihatan agak gugup. "A-aku kebetulan dapat libur,"
katanya. "Kupikir ada baiknya aku datang ke sini untuk melihat keadaan kalian."
"Mereka meninggalkan aku, Darlene," kata Doug,tetap rebahan, juga masih
tersenyum lebar. "Teman-temanku meninggalkan aku di sini, sendirian."
"Kasihan," Darlene menyahut dengan menyertakan tatapan senang dan senyum
bahagia. "Oh, aku juga merasa begitu," jawab Doug.
Bagi Doug, jelas ini mukjizat, biarpun selama ini dia selalu sukses menggaet
noni-noni. Soalnya, setiap kali dia merasa ada gadis menginginkan dirinya, diri
Doug Handerson, dia merasa agak tegang.
Dan kali ini, perasaan tegang itu menyerangnya.
Tapi ketegangan kali ini bukan hanya disebabkan keinginan Darlene yang bisa
dirasakannya, tapi juga karena memikirkan Kelly.
Dan Tina. Sekarang ia merasa telah mengkhianati keduanya.
Dia duduk sejenak lalu melompat berdiri dengan gaya atlit senam. Saat berdiri,
tampak dia lebih jangkung dari Darlene. Dia menatap ke arah Darlene.
"Hai," kata Darlene sambil memejamkan matanya sesaat.
"Hai," jawab Doug, matanya menatap mata Darlene.
"Jadi apa yang sekarang mau kamu lakukan?" tanya Darlene.
"Sekarang ini?" Doug menggaruk pipinya, berlagak berpikir. "Bagaimana, ya aku
agak capai." Darlene menatapnya penuh arti. "Jadi, mau tidur saja?"
"Iya, Darlene. Aku pingin tidur, tapi bukan sekedar tidur, lho."
Jangan lakukan itu! Dia mengingatkan dirinya sendiri. Lagu lama. "Tahu apa yang
sedang kupikirkan" Mungkin lebih baik kalau aku masuk ke pondokku yang itu dan
meneruskan tidurku."
Darlene tersenyum penuh arti. "Oh, ya" Lalu apa yang sebaiknya aku lakukan waktu
kamu tidur?" "Itulah persoalannya. Aku suka susah tidur kalau tak ada orang yang mau
menyanyikan Nina Bobo."
Uh, kurang ajar benar, pikir Doug cepat, merasa kali ini agak keterlaluan.
Tapi ternyata Darlene justru tertawa keras sampai dia harus menutup mulutnya.
"Oh, aku jadi iba," katanya.
"Aku senang mendengarnya, Darlene. Benar-benar senang. Jadi, kamu bisa, kan?"
"Aku tidak bisa menyanyi."
"Ah, aku yakin kamu bisa. Sekarang aku mau memeriksa sekeliling sebentar, apakah
keadaan aman-aman saja. Kamu langsung ke pondokku saja. Aku cuma sebentar, kok."
"Pondok yang tengah?"
"Ya, pondok yang ada jemurannya dan bekas-bekas lilin terbakar."
Darlene berjalan ke arah sana. Beberapa langkah kemudian ia menoleh ke belakang
ke arah Doug. "Jangan lama-lama, ya," katanya.
"Oke." Darlene membalik dan langsung menuju pintu pondok.
Doug mengamati semua jalan setapak yang ada. Dan tiba-tiba menyadari, Darlene
menuju ke arah kematiannya di.......
Chapter 19 JEBAKAN Jebakan itu! Doug tegang. Dia berputar cepat.
"Darlene!"serunya.
Pelayan rumah makan itu berhenti dan tertegun. Doug menghambur ke arahnya.
"Jangan bergerak!" pekiknya.
Darlene berdiri mematung terkejut.
Doug meraih bahunya, lalu menariknya mundur. "Ada apa?"
Darlene ketakutan. "Ada apa?"
Doug tertawa. "Ya, ampun, sudah dekat sekali. Di sini ada jebakan, lihat" Pasti
tidak, ya. Tapi Darlene, kamu nyaris saja terjebak. Ayo sini, kamu harus
berjalan memutari tempat ini, seperti ini. Nah, betul begitu. Sori, ya! Bukan
nakut-nakuti, lho. Ha-ha-ha! Nah, sekarang tunggu di sana, ya! Aku akan segera
menyusul." Doug melompati teras dan berlari memutar untuk menghindari jebakan, dan terus ke
arah danau. Wah, hampir dapat, nih! Doug bergegas lari di jalan setapak menuju danau. Dia
begitu bersemangat memikirkan apa yang bisa dilakukannya bersama Darlene. Dan
pada saat yang sama, dia merasa tidak enak dengan apa yang sedang dipikirkannya
itu. Namun ia tak bisa menghindarinya. Ia sudah begitu bernafsu. Dia seakan-akan
sedang jatuh ke dalam perangkapnya sendiri. Tak ada jalan untuk mundur.
Doug berlari di sekitar danau. Dia ingin meyakinkan dirinya bahwa dia dan
Darlene hanya tinggal berdua saja. Dia berteriak memanggil Kelly, lalu Miguel,
kemudian Tina. Dia merasa puas hanya mendapatkan kesunyian sebagai jawaban.
Mereka mungkin sudah pergi jauh.
Doug tersenyum-senyum sendiri saat kembali ke pondok. Tangannya dimasukkan ke
kantong celana pendeknya. Tanpa sebab yang jelas, dia menyanyi, "Di sini senang,
di sana senang, di mana-mana ...."
Darlene sedang menunggunya. Satu kaki tanpa alas berjuntai dari tempat tidur
atas. Doug merasa terangsang.

Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sampai dia melihat...... Kaki mulus Darlene yang satunya lagi....
Di tempat tidur bawah! Sesaat Doug terpana. Dengan mulut kering ngeri ia menoleh ke kiri dan ke kanan,
memeriksa pondok itu. Dan itu berarti dia melihat sisa-sisa tubuh Darlene yang
lain: Potongannya tersebar di mana-mana. Tangannya di sini, kepalanya di sana.
Tetapi baru pada saat Doug menoleh betul-betul ke arah kanan dia bisa melihat...
Seorang lelaki besar dengan baju overalls dan... topeng hoki.
Big Red tampak menggenggam kapak yang penuh darah di atas kepalanya. Dan dia
siap menyerang. Doug melangkah mundur melalui pintu masuk, tapi terjengkang keras di teras.
Bayangan Big Red sudah ada di atasnya dan kampak pun sudah diayunkan lelaki itu.
Doug segera berbalik dan merangkak cepat - angin ayunan kampak terasa hanya
beberapa senti saja dari jari kakinya.
Tiba-tiba kaki palsu Big Red terangkat ke atas dan sepersekian detik sudah
berada di atas kepala Doug, siap menghantam kepala pemuda tampan itu.
Doug menggapai ujung teras. Tak ada jalan keluar.
Kecuali..... Doug berguling dan menjatuhkan diri dari teras itu sejauh mungkin. Dia
bermaksud.....sejauh yang bisa dipikirkannya begitu menjejak tanah, segera berdiri
dan berlari sekencang mungkin. Tapi dia lupa satu hal......jebakan itu!
Dengan teriakan keras histeris, Doug jatuh tepat di atas ranting dan dedaunan
penutup jebakan. Big Red melihat ke bawah dan terpana sesaat ketika menyaksikan
tubuh Doug terhujam ke bawah,...ke arah tombak-tombak yang mencuat.
Chapter 20 PUTUS Big Red berdiri di ujung lubang perangkap, mencoba berpikir: penting tidak
memotong-motong tubuh Doug yang sudah bersimbah darah itu.
Suara di kepalanya memberi jawaban: ia harus kembali ke pondok Ma dan Pa untuk
mengambil kampak milik Pa. Masih ada tiga orang yang harus diurus Big Red. Kalau
pekerjaan rumahnya ini sudah selesai, baru dia bisa bermain.
*** "Kena!" seru Miguel. Dia menancapkan tongkat di tangannya ke dalam air, lalu
menarik kembali tongkat itu. Tapi seperti biasa, dia tidak berhasil mendapatkan
apa-apa. "Hebat," komentar Tina.
Seperti juga Kelly, Tina dan Miguel telah menghabiskan hari Jumat ini dengan
merambahi hutan dan mengetuk semua rumah yang ada. Beberapa orang bersedia
menjawab pertanyaan mereka, tapi yang menghunuskan senapan karena curiga dan
takut, jauh lebih banyak.
Ketika matahari mulai condong, Tina sudah merasa kehabisan tenaga dan lapar; dan
dongkol pada dirinya sendiri karena terjebak lagi pada rencana gila Kelly.
Kembali ke perkemahan, tak nampak seorang pun. Jadi beberapa jam terakhir ini
Tina dan Miguel hanya duduk-duduk di tepi danau. Miguel sedang mencoba menangkap
kodok dengan tombak terbuat dari dahan untuk dipanggang nanti malam. Tadi dia
menyombongkan diri mampu menangkap semua kodok yang ada di danau dalam waktu tak
lebih dari sepuluh menit. Sejauh ini dia sudah sukses dua kali tercebur ke
danau. Tina berjongkok di sebelahnya. Dia merasa agak tegang, ketegangan yang sudah
seharian dipupuknya. Dia tahu dia harus mengatakan hal itu, tapi dia tetap
berusaha merahasiakannya.
Kalaupun terucap, pasti tak akan menyenangkan, bahkan menyakitkan.
"Miguel," katanya.
"Apa?" tanyanya tanpa menoleh.
Keberanian Tina langsung ciut. "Tidak apa-apa," katanya cepat-cepat.
Saat mengamati permukaan danau, seekor nyamuk terbang di dekat air dan segera
disambar ikan kecil. Entah bagaimana, pemandangan itu kembali menumbuhkan
keberanian Tina. Apa yang akan dikatakannya pada Miguel adalah lumrah. Di
sekelilingnya, semua makhluk berjuang untuk dirinya sendiri, bahkan saling
memangsa. Ayo, sekaranglah waktunya, Tina membatin. Katakan padanya.
Tapi justru bukan itu yang dilakukan Tina. Katanya, "Merekam dengan tape ini
pasti hasilnya bagus." Dengan asal-asalan dia menekan tombol record, stop,
record ...."Apa sih yang kita rekam tadi" Kebanyakan orang yang tadi kita
datangi malah mengusir kita."
"Sekarang mereka tahu kita ada di sini. Itu yang penting," kata Miguel. "Kamu
dengar kan, apa yang dikatakan Kelly."
"Ya, aku dengar."
Dia juga mendengar suara aneh dari hutan yang lebat dan gelap di belakangnya,
seperti suara binatang besar sedang mengunyah di semak belukar. Dia menoleh ke
belakang dan mengawasi kegelapan beberapa detik. Rasanya dia merasa menangkap
sekelebatan bayangan, bayangan seukuran rusa besar. Tapi dia tak mau mengatakan
hal itu pada Miguel. Sebab Miguel pasti akan mengejar makhluk itu dengan tongkat
kecil yang dipakainya memburu kodok dan itu bisa jadi mengakibatkan mereka
berdua terbunuh. Dia mengamati lagi hutan di belakangnya itu beberapa saat. Tak terdengar suara
apa-apa, tak terlihat apa-apa. "Aku benci hutan," katanya.
"Kenapa?" Tina tak menjawab. Sebaliknya dia menjatuhkan kerikil ke dalam air dan mengamati
lingkaran di air yang terbentuk. Air di danau ini sangat dalam dan berlumpur.
"Miguel," katanya setelah hening beberapa saat. "Kalau kita kembali ke Newkirk,
aku mau putus sama kamu."
Kepala Miguel menoleh kaget, demikian juga tatapannya.
"Asyik, he-he-he," Miguel tertawa sumbang dan gugup.
Putus hubungan dengan pacar ibarat naik kora-kora di Dunia Fantasi. Di titik
tertentu, kita harus menutup mata dan terjun.
Sekarang Tina merasa sedang terjun dan tak ada cara untuk menghindari benturan
keras. "Aku serius," kata Tina.
"Oke deh, coba katakan sekali lagi."
"Baik. Rupanya kamu tak percaya."
Tina menunggu reaksi Miguel. Tetapi ternyata Miguel diam saja, membuat Tina
tersinggung, merasa tak digubris. Dengan napas memburu ia berkata, "Dengar, ada
sesuatu yang harus kukatakan padamu. Tadi malam Doug dan aku bukan cuma
mengawasi jebakan konyol itu, tahu"! Puas sekarang" Perlu kugambarkan lebih
jelas?" Miguel menolehkan kepalanya perlahan ke arah Tina, matanya membara. "Kamu
ngomong apa?" "Pikir saja sendiri. Doug dan aku sekarang pacaran, paham" Pacaran! Apa kamu
perlu gambaran lebih jelas?"
Muka Miguel merah padam, seperti disemprot darah. "Aku tak percaya," katanya
menahan marah. "Sebaiknya percaya."
"Doug kan, pacar Kelly."
"He-eh. Dia juga akan memutuskan Kelly begitu kita pulang."
Miguel membuang muka. Lalu dia menghantam udara dengan dua kali gerakan tinju,
menancap-nancapkan tongkat kecilnya ke air dengan geram, lantas mengerang
seperti binatang yang kesakitan.
"Dengar," kata Tina, kali ini dengan nada lebih lembut. Dia mendekat dan
memegang lengan Miguel yang berotot.
Miguel menghindar. Pundaknya bergoyang. Dia menangis.
"Hei," Tina merasa tak enak hati. "Aku minta maaf harus berakhir seperti ini,
tapi ..." Dia tak melanjutkan kata-katanya.
Sebab, saat itu dia melihat bayangan Big Red di air...sedang menghunuskan
kampaknya yang penuh darah, tepat di atas kepalanya.
Chapter 21 MAIN PETAK UMPET Big Red mengayun kampaknya dengan maksud memenggal leher gadis itu. Dia gagal.
Sebab sesaat sebelum dia mengayunkan kampak, gadis itu melompat ke air, langsung
berenang membabi buta. Tinggallah Miguel sendiri. Big Red sekali lagi mengangkat kampaknya. Miguel
berbalik, berhadapan dengan Big Red. Pipinya basah. Seluruh tubuhnya menggigil.
Mulutnya terbuka lebar. Bagus. Bagus. Lihat, anak menjijikkan ini ketakutan, pikir Big Red. Persis
seperti waktu mereka membuatnya ketakutan.
"Miguel! Lawan dengan judo-mu!" Itu teriakan Tina dari dalam air. "Lawan dengan
judo-mu!!" Miguel nyaris tak memahami teriakannya, dan barulah setelah otaknya jalan, dia
tahu apa yang diteriakkan gadis itu. Di sanggar beladirinya, Miguel sering
bertarung dengan murid-muridnya yang bersenjatakan tongkat. Satu per satu,
Miguel membanting penyerangnya ke matras, lalu merampas tongkatnya dan
menekankan tongkat itu ke tenggorokan murid-murid tersebut.
Tapi ini bukan di sanggar dan Miguel dalam keadaan emosional, sehingga dia tidak
bisa mendengar jelas apa yang dikatakan Tina. Terasa ada air hangat membasahi
celananya, itu jelas dipahaminya sebagai air kencingnya sendiri. Sebab Big Red
saat itu sedang mengangkat kampaknya ke atas.
Miguel berbalik dan lari sejadi-jadinya.
Tina berenang mengerahkan seluruh tenaga. Saat dia berbelok ke arah tengah danau
yang luas, dia melihat perahu abu-abu terapung seperti fatamorgana. Dia berenang
lagi ke arah kapal itu, meraih tangga besi berkarat yang ada di sisi kapal.
Lalu, mulai berteriak minta tolong.
Ketika dia berhenti berteriak, seketika itu pula kesunyian terasa mencekam
dirinya. Di sekelilingnya terbentang air berwarna gelap yang tak beriak dan
senyap. Danau itu dibatasi hutan yang lebat. Satu rumah pun tak kelihatan. Siapa
yang bisa mendengar teriakannya"
Tampaknya hanya si maniak dengan kampaknya itu saja.
Tina herdiam kaku. Tunggu di sini saja, ia memutuskan sambil terus bergantung di
perahu. Dia akan terus berendam di air. Dan diam bergeming. Kalau dia melihat
lelaki gila itu di tepi danau, dia bisa segera menyelam ke dalam air. Lelaki itu
pasti tak akan melihatnya.
Air danau itu terasa sejuk dan nyaman. Terasa menyentuhnya, mengisap kulitnya
sepintas. Tapi baju berkantung banyak dan sepatu ketsnya terasa berat, memberati
dirinya. Lantas ia mencoba berpegangan dengan satu tangan, sementara tangan
lainnya meraba ke bawah untuk melepaskan tali sepatunya.
*** Lari....jatuh....bangun....dengan ranting yang menoreh dada dan tangannya.....serta
pohon berduri yang menerpa wajahnya....
Tampaknya ada yang telah memutuskan syaraf macho Miguel yang sebelumnya
kelihatan luar biasa. Kini syaraf rasa takut sepertinya yang justru menguasai
diri Miguel. Begitu takutnya sampai ia tidak bisa memikirkan apa yang sebenarnya
menimpa dirinya. Yang pasti, lelaki besar itu sedang mengejarnya dengan kampak, tepat di
belakangnya, dan memburunya seperti binatang.
Kaki lelaki besar itu terdengar seperti besi saat berbenturan dengan batu.
Miguel berteriak sambil berlari ke arah halaman terbuka di depan deretan pondok
yang mereka tinggali. Dia berteriak, "Doug!" Berteriak lagi, "Toloooong!"
Sesaat kemudian lelaki besar itu muncul juga di tempat itu.
Miguel segera menyeberangi halaman itu melalui jalan setapak pertama yang
dilihatnya. Benar-benar keberuntungan jalan setapak itu membawanya menuju....
Lubang perlindungan Indian!
Miguel mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari lebih cepat. Dia harus berada
di depan lelaki besar itu. Tak lama kemudian terlihatlah halaman terbuka itu,
halaman tempat lubang persembunyiannya. Dia menjatuhkan diri ke tanah, lalu
menarik bentang pohon penuh daun yang dijadikan pintu penutup tempat
persembunyian itu. Tanpa gerak sedikit pun ia berbaring. Jantungnya berdetak keras. Detak yang luar
biasa keras sampai-sampai ia membayangkan jantungnya itu membesar dan meledak.
Sesaat kemudian dia mendengar...bahkan seolah-olah merasakan.....kaki lelaki besar
itu menginjak pintu-penutup tempat persembunyiannya. Pintu dari dahan dan
dedaunan buatan Kelly itu tampak melekuk ke dalam karena beban berat lelaki
besar itu. Satu kaki...kaki yang beratnya seperti besi...menekan pintu itu menyentuh
hidung dan pipi Miguel. Miguel berusaha keras tidak mengaduh atau bersuara apa pun.
Dia berbaring kaku. Dia bisa merasakan darah mengalir dari hidungnya. Air
matanya yang mengalir kini terasa membasahi kupingnya.
Di tengah rasa takutnya yang luar biasa itu, Miguel akhirnya mulai dapat
berpikir, dan itu juga berarti ia mulai dapat memikirkan reaksi apa yang harus
dilakukannya. Ayahnya pernah berpesan, bahwa kamu tak pernah bisa menduga apa
yang harus dilakukan dalam peperangan.
Sekarang Miguel bisa memahaminya, karena tadi ia tak bisa berbuat apa-apa. Dia
hanya tahu bahwa tadi dia berbalik dan lari.
Bukan cuma lari. Tapi juga kencing di celana. Jago karate perang yang luar
biasa. Jagoan ter..... Miguel tegang, tiba-tiba dia merasa lebih ngeri. Langkah kaki lelaki besar itu
kembali ke arah tempat persembunyiannya. Dia dapat mendengar tarikan napas orang
itu. Lelaki itu semakin mendekat. Melalui celah dedaunan dan dahan-dahan pohon,
Miguel dapat melihat lelaki besar itu berdiri hanya beberapa langkah, dan
mencari-cari dirinya Napas Miguel terasa sesak.
Akhirnya, lelaki besar itu berbalik dan berjalan terus. Miguel baru saja mau
melompat keluar dari tempat itu ketika....
Dia mendengar langkah kaki itu lagi. Langkahnya jauh lebih lembut seperti bukan
langkah seorang berpostur besar.
"Big Red," panggil sebuah suara.
Suara itu serasa tak asing, tapi Miguel tak dapat mengingat suara siapa. Dia tak
punya cukup waktu untuk memikirkan hal itu.
Sebab, sekarang lelaki besar itu kembali datang ke tempat persembunyiannya.
Suara yang dikenalnya itu kembali terdengar. "Dia ada di sini, Big Red. Bukan,
di sini." Lantas terdengar perintah, "Lihat ke bawah!"
Lelaki besar itu melihat ke bawah. Miguel menggigil ketakutan setengah mati.
Chapter 22 ANAK-ANAK BODOH Opsir polisi Donner bergegas keluar dari rumah makan Denny, menuju mobil
patrolinya. Dia adalah lelaki kekar dengan kumis kaku. Karena sangat bergegas,
kopi yang dibawanya tumpah dan menyengat pergelangan tangannya. Dia mengaduh,
tapi bukan karena kopi panas itu.
Hari ini benar-benar mengerikan. Tiga anak kecil dan kakek mereka dibunuh di
Holloway. Menyusul laporan hilangnya Tuck, hilangnya Gabe dan Ruth Gleason, dan
anak mereka yang terbelakang, Big Red.
Donner yang kelelahan mampir ke rumah makan Denny untuk mendapatkan secangkir
kopi agar dapat menenangkan pikirannya.
Tapi apa yang dikatakan koki di tempat itu" Pelayannya, Darlene Skinner, tidak
muncul hari itu. Bukan hanya itu, dua pengunjung menceritakan pada Donner bahwa
hari itu ada beberapa anak remaja mendatangi rumah mereka untuk mencari
inforinasi mengenai kisah jason. Anak-anak itu juga mengatakan bahwa mereka
tinggal di perkemahan tua dekat danau Kristal.
Donner melompat ke dalam mobil, meletakkan kopinya di kursi sebelah, lalu
menyalakan mobilnya segera.
Anak-anak, anak-anak, gumamnya saat dia menuju ke arah danau. Anak-anak bodoh!
*** Sudah cukup lama Tina berdiam diri di air sambil bergelantungan di sisi perahu.
Dia tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bertahan. Dia mulai merasa lemas dan
mengantuk, juga kedinginan.
Satu jam kemudian melihat sekelebat gerakan di hutan. Tina melepaskan
pegangannya, membiarkan dirinya tenggelam tanpa menimbulkan bunyi. Ini memang
sesuai rencananya: menempatkan perahu itu di antara dirinya dan lelaki gila itu.
Setelah menarik napas dalam-dalam, ia berenang perlahan - lagi pula tenaganya
memang sudah mulai habis - lalu menyelam ke bawah perahu. Dilewatinya rantai
jangkar, tempat ia telah mengikatkan celana dan blusnya. Kedua potong pakaiannya
itu tampak mengambang di air danau yang hijau itu seperti bendera.
Baru saja menyelam setengah perjalanan, dadanya seperti sudah mau meledak.
Ketika perjalanan tinggal seperempat, dia menyadari bahwa dia nyaris tenggelam.
Saat itulah waktu terasa begitu lama bergerak, sebelum akhirnya ia berhasil
muncul di permukaan dengan tersengal-sengal. Dia segera berpegangan pada sisi
perahu dengan... Tangannya...Lho, apa yang ada di tangannya" Entah kenapa


Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tina hanya dapat melihat dengan mata kirinya. Tetapi dia masih bisa melihat
dengan jelas binatang panjang dan hitam licin yang melekat di tangannya.
Tina membuka mulut untuk berteriak, tapi otot mulutnya kaku. Ketika menutup
mulutnya dengan tangan, tubuhnya jatuh kembali ke dalam air. Dia sekarang dapat
merasakan lintah-lintah hitam yang besar menghisap bibirnya, pipinya dan mata
kanannya. Tina berusaha keras berenang ke atas, ke arah perahu. Rasa takut yang amat
sangat memberinya kekuatan baru. Dia berhasil mendekat, tapi tak cukup kuat
untuk mengangkat dirinya ke atas perahu. Dengan panik ia kembali berenang dengan
gaya dada memutari perahu ke arah tangga besi.
Tangannya terasa begitu lemah!
Dia menarik dirinya sedikit demi sedikit dan menjatuhkan diri ke dek kapal
seperti ikan yang sekarat.
Tina sebenarnya sudah setengah telanjang, tapi ia tidak tampak seperti itu.
Lintah-lintah besar telah menutupi tubuhnya dari kaki ke atas, seperti baju
karet hitam yang biasa dipakai para menyelam. Dia mencoba menarik lintah-lintah
itu dengan kedua tangannya. Tapi mereka melekat begitu erat, seakan memang ada
perekatnya. Tina merasakan kengerian yang amat sangat. Tapi dia sama sekali tak
mampu berteriak. Dengan matanya kirinya ia memperhatikan lintah-lintah itu.
Makhluk-makhluk itu terasa licin dengan tubuh yang makin menggembung saat mereka
menghisap tetesan darah Tina yang penghabisan.
*** Kelly muncul dari hutan. Matahari yang berwarna oranye perlahan-lahan mulai
tenggelam. Tenggelam ke danau Kristal.
Pemandangannya sangat indah, terlebih pemandangan di mana bulatan merah
terpotong saat matahari tenggelam di batas horisontal air.
Pantulan warna oranye terpantul dan seakan bertebaran di air.
Yah, dia kemari bukan untuk mengagumi pemandangan yang ada. Lagipula, sekarang
sudah hampir malam dan kegelapan membuatnya kembali ketakutan. Boone telah
mengingatkan dirinya: malam ini adalah saatnya.
Dia melangkah mundur, berbalik dan tersandung sesuatu. Pergelangan kakinya
terasa sakit. Dengan terseok-seok ia menuju tepi danau, mencoba menghilangkan
rasa sakit di kakinya. Lalu dia melihat benda yang tadi membuatnya tersandung.
Tape recorder yang diberikannya pada Miguel dan Tina. Dia membungkuk untuk
mengambilnya dan segera menegakkan tubuhnya kembali. Tubuhnya tiba-tiba merasa
tegang dan khawatir. "Miguel?" panggilnya. "Tina?"
Jawaban yang dia dengar hanya bunyian khas yang keluar dari danau. Bunyi
serangga yang berterbangan di atas permukaan danau.
Kecepak air saat binatang kecil keluar masuk air, bunyi suara kodok danau yang
besar dan semacamnya. Dia melihat ke tengah danau, tapi airnya tampak tenang dan
tak beriak, sejauh mata memandang.
Lalu dia kembali memperhatikan tape recorder yang ada di tangannya. Dia menekan
tombol rewind, lalu stop, kemudian play.
Tak ada suara sejenak, kemudian:
"Dengar, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu." Suara Tina. "Tadi malam Doug
dan aku bukan cuma mengawasi jebakan konyol itu, tahu"!"
Kelly menghujamkan jarinya ke tombol stop. Ditekannya kembali tombol rewind. Dia
mengulang kembali. Kali ini dia membiarkan tape itu berbunyi terus. Dia begitu
tertegun sampai nyaris tak mendengarkan kata-kata yang ada.
"Pikir saja sendiri" Doug dan aku sekarang pacaran, paham" Pacaran...Perlu
kugambarkan lebih jelas?"
"... Dia akan memutuskan Kelly begitu kita pulang
Kelly merasa mual. Pengkhianatan! Dia menatap nanar ke arah tape player,
mengamati pita kecilnya berputar, seakan sedang menghipnotis dirinya. Lalu dia
mengangkat tape itu ke atas ke belakang kepala, siap melemparkannya ke danau.
Tepat saat itu, tape itu mengeluarkan rekaman teriakan Tina.
Teriakan ngeri. Kelly menjatuhkan tape itu dan mulai lari.
Chapter 23 LATIHAN SASARAN Kelly baru setengah jalan menuju perkemahan ketika dia mendengar bunyi klakson
mobil bunyi yang keras tanpa jeda. Dia berhenti, tak tahu apa maksud klakson
itu, tapi dia tak peduli. Ia melanjutkan larinya lebih cepat lagi, sambil
menghunus pisau berburunya yang panjang.
Ketika akhirnya dia muncul dari kegelapan hutan, sekitar halaman depan pondok
tampak terang oleh warna merah, seperti gelombang dari darah merah yang mengalir
dari tubuh raksasa. Kemudian dia melihat dari mana sinar terang itu berasal dari...oh, rupanya lampu
sirine yang ada di atas mobil patroli. Mobil polisi itu diparkir di jalan masuk
ke halaman, tepat di depan mobil Volvo-nya. Pintu mobil itu tampak terbuka
lebar. Radio di dalam mobil itu mengeluarkan suara gemerisik yang menggema di
udara malam yang berkabut. Dan ketika itulah Kelly menyadari dengan perasaan
kecewa dan sedih bahwa ia sudah terlambat. Ia telah kehilangan semua
kesempatannya untuk membalas dendam. Semua yang telah direncanakannya selama
bertahun-tahun, telah berakhir di tangan polisi.
Dia memang melihat polisi itu. Dia pasti tadi sedang membungkuk di belakang
mobil. Sekarang dia berdiri tegak.
Punggung polisi itu mengarah kepadanya, tapi dia mengenali bahu yang lebar dan
kekar itu. Sosok itu adalah sosok polisi yang dilihatnya keluar dari rumah makan
Denny, kemarin. Kelly berlari ke arah lelaki itu. Ia berusaha berteriak saat dia berlari, tapi
tenggorokannya terasa kaku sehingga dia tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
Yang bisa dilakukannya sebelum dia berhasil menggapai polisi itu adalah menyapa,
"Hei!" Polisi tinggi besar itu berbalik cepat. Kelly berhenti mendadak, kaget dan takut
luar biasa sehingga pisau yang digenggamnya terlepas.
Polisi itu memakai topeng Jason! Dia sedang memegang senjata dengan salah satu
tangannya. Di kakinya teronggok baju overall biru. Dan di sisi baju itu
tergeletak mayat sosok lelaki berkumis dan berpostur besar, dengan kampak
tertancap di perutnya. Kelly berbalik cepat sampai terpeleset dan jatuh. Dia berguling-guling, berupaya
bangun dan kembali berlari.
Dalam ketakutannya yang luar biasa, dia masih bisa berpikiran jelas. Itulah dia!
Itulah dia! Dia berlari lurus ke arah pondok yang di tengah....ke arah lubang
jebakan. Rencananya, dia akan melompati jebakan itu dan masuk ke pondok untuk
menunggu lelaki bertopeng itu mengikutinya.
Beberapa detik kemudian terdengarlah tembakan pertama.
Suaranya terdengar lebih mirip suara petasan daripada suara pistol yang biasa
didengarnya di teve. Tepat di depannya terlihat sebongkah kayu terlepas dari
teras kabin. Dia terus berlari.
Kelly tiba di tepi lubang jebakan, berjinjit dengan sebelah kaki, bersiap untuk
melompat. Saat itulah dia menyadari bahwa penutup jebakan sudah jatuh ke dalam
lubangnya. Kelly tetap melompat. Dia berhasil melewatinya dengan mudah dan mendarat di sisi
seberangnya. Ketika menjejakkan kakinyakembali di tanah itulah Kelly melihat apa
yang ada dalam lubang. Tubuh Doug. Tombak terlihat menancap di perut dan lehernya. Salah satu tangannya
terangkat ke atas seakan menggapai minta tolong. Tangan yang lainnya tertekuk di
atas tubuhnya agak aneh... seperti tangan yang patah-patah.
Kelly berbalik dan berlari ke anak tangga teras saat terdengar tembakan ke dua.
Dia merasa hantaman panas saat sesuatu menghantam bahu kirinya dan membuatnya
terhempas. Dia kena tembak.
Kelly jatuh. Namun ia tidak berdiam lama. Ia bangun dan memanjat anak tangga
sekaligus keempat-empatnya dan menyeruduk masuk lewat pintu tepat saat tembakan
ketiga membahana. Kali ini rasa sakit menyerang kaki kanannya. Sambil meraung kesakitan, dia
memaksa dirinya untuk terus berlari menjauhi pintu, menjauhi arah tembakan.
Peluru berikutnya berdesing melalui pintu, menggores tempat tidur besi
bertingkat, dan tertancap di dinding belakang pondok.
Ya, Tuhan, pikir Kelly, orang itu benar-benar jago tembak.
Sambil merunduk, Kelly menarik tubuhnya ke arah jendela yang setengah tertutup
jemuran pakaian. Dia mengintip keluar. Dia bisa melihat lelaki besar itu hampir
tiba di pondoknya. Ia tak punya banyak waktu. Tapi dia tidak punya rencana.
Segera dibuatnya satu rencana.
Jebakan itu sudah tak berguna. Tapi masih ada pistol yang ditinggalkannya pada
Doug. Kecuali pistol itu ikut terbawa masuk ke dalam lubang jebakan bersama
Doug.... Bayangan menyeramkan bagaimana pacarnya terjerumus ke dalam lubang itu kembali
muncul di kepalanya. Tangannya yang satu menggapai, tangan lainnya yang di atas
tubuh. Tak ada pistol. Kecuali kalau benda itu terjatuh lebih dulu sebelum tubuh
Doug jatuh di atasnya. Dalam kondisi seperti ini, berarti dia akan menemui
ajalnya. Ah, dia harus mencari teori di mana dia tidak mati.
Dia berbalik dan merangkak menyeberangi ruangan. Untuk pertama kalinya, dia
menyadari kehadiran radio yang masih mengeluarkan suara samar-samar, radio yang
hampir kehabisan baterai.
Ia pun memperhatikan hal yang lain. Pondok itu penuh ceceran darah. Kalau darah
itu adalah darahnya sendiri, itu berarti dia sudah hampir mati kehabisan darah,
pikirnya panik. Kelly juga melihat potongan-potongan tubuh. Potongan itu tersebar di mana-mana.
Perutnya terasa mual. Tapi dia harus berdiri dan menyelinap keluar dari pondok,
sambil terus berjalan merunduk.
Rasa sakit di kaki terasa tak tertahankan bersamaan dengan rasa sakit di
pundaknya. Ketika dia memanjat jendela belakang, Kelly dapat melihat lelaki besar bertopeng
itu menaiki tangga teras pondok. Lelaki itu berhenti saat melihatnya keluar dari
jendela. Sejenak kemudian lelaki besar itu berlari memburunya.
Kelly melompat, dan mendarat sambil kesakitan. Wajahnya terjerembab di atas
ujung ranting yang tajam. Beberapa langkah darinya ada gundukan tanah yang
mereka angkat dari lubang jebakan.
Pikiran gila muncul di kepalanya. Coba kalau mereka meletakkan tanah itu di
bawah jendela untuk alas tempat jatuhnya.
Dia bangkit dan tertatih-tatih masuk kembali ke hutan.
Sudah empat peluru diledakkan lelaki itu, katanya pada diri sendiri. Barangkali
isi pistolnya enam buah. Dia tahu karena sejumlah itulah isi pistol di
pondoknya. Dia membayangkan, kalau ia dapat memutar ke belakang pondoknya, dia
pasti bebas. Kalau! Kalau! Ya, kalau!
Dia melihat ke belakang, berharap melihat lelaki besar itu memanjat jendela dan
mengikutinya. Ternyata tidak. Tetapi saat melewati pondok yang tengah, Kelly dapat melihat
lelaki itu melalui celah-celah pohon. Lelaki itu sudah kembali ke halaman
terbuka; dan kini sedang membidikkan pistolnya tepat ke arahnya. Kelly
memaksakan dirinya menyeret kakinya yang terluka saat dia berusaha berlari lebih
cepat dan...... Dor! Suara tembakan, tapi dia masih tetap berlari, jadi tembakan itu pasti
meleset. Tapi itu tak terlalu melegakan, sebab masih ada satu peluru tersisa dan banyak
pondok yang harus dilewati sebelum....
Dor! Kali ini dia menembak lurus ke arah jendela pondok tujuh, dan dia bisa
merasakan desis panas lewat di atas kepalanya saat dia berlari melintasi jendela
itu. Tapi itu peluru yang ke enam. Enam! Enam! Kelly menyerukan kata itu berulang-
ulang pada dirinya sendiri dengan perasaan gembira saat dia mencapai pondoknya
dan menarik dirinya masuk melalui jendela yang terbuka. Dia menjulurkan satu
kakinya, kaki yang tak terluka, ke dalam kamarnya di pondok, sambil terus berdoa
agar pistolnya ada di tempat di mana tadi pagi ia tinggalkan. Ya, di situ, di
pinggiran jendela. Pistol itu tak ada. Ketika Kelly menatap pinggiran jendela dengan perasaan kecewa, peluru nomor
tujuh menghantam jendela yang terbuka, mencongkel bingkai kayu jendela, tepat di
dekat kaki Kelly. Dan sekarang Kelly tahu di mana pistolnya. Lelaki itu telah memilikinya.
Kelly menarik kakinya keluar dari jendela saat peluru ke delapan meletus.
Tangannya masih tertinggal satu di dalam pondok memegangi tepian jendela, dan di
sanalah peluru itu bersarang. Peluru itu terasa seperti memaku dirinya ke kayu
bingkai jendela. Dia merasa terjerembab ke tanah.
Kelly nyaris pingsan karena kesakitan. Tapi dia segera bangkit untuk menarik
dirinya masuk ke hutan. Tak mungkin rasanya bisa selamat selama orang gila itu mempunyai dua belas
peluru, pikirnya pahit. Benar-benar keajaiban bila dia dapat bertahan sampai
peluru ke delapan ini. Tapi sekarang dia punya rencana. Lubang perlindungan Indian!
Masalahnya, dapatkah ia melalui halaman terbuka itu dengan cepat agar ia dapat
secepatnya tiba di lubang persembunyian itu sebelum ditemukan lelaki itu"
Kelly mencoba berlari, tapi kaki kanannya terasa tak bisa digerakkan. Dia
menekan lengannya yang terluka ke perutnya saat dia berjalan sambil terhuyung-
huyung. Dia tak dapat melihat bagaimana lukanya. Dia hanya dapat melihat
tangannya lengket dan merah karena cucuran darahnya.
Kelly merasa tak perlu melihat ke belakang untuk mengetahui apakah lelaki
bertopeng itu sedang mengikutinya atau tidak. Peluru nomor sembilan yang
mengenai dahan pohon beberapa langkah di belakangnya, sudah memberitahukannya.
Akhirnya dia melihat hutan, dan kegelapan yang kini akan melindunginya.
Dia meliuk-liuk di antara pepohonan, mencoba bergerak lebih cepat.
Halaman terbuka....Nah, sekarang dia akan melakukannya! Dia menghempaskan dirinya
ke dalam lubang persembunyian itu. Tapi dia tidak jatuh di tanah, melainkan
jatuh tepat di atas sisa-sisa tubuh Miguel.
Chapter 24 MEMBUNUH KELLY. Sejak dia masih anak-anak dan melihat polisi untuk pertama kalinya, Big Red
selalu ingin memakai baju seragam polisi. Dia juga selalu ingin bermain dengan
senjata. Pa tak pernah memperbolehkannya, sekalipun di saat ia berulang tahun.
Yah, akhirnya Big Red mendapat kesempatan. Bahkan lebih menyenangkan dari apa
yang ia bayangkan sebelumnya.
Mata beling Red selalu mengisyaratkan secara tepat padanya di mana gadis jahat
itu, seakan selalu bisa meneropongnya. Mata itu sangat membantu Big Red mencapai
tujuannya. Dia melangkah berat ke halaman terbuka. Gadis jangkung itu sedang menjerit
ngeri. Dia sedang mencoba bangun dari tubuh remaja lain, remaja laki-laki yang
telah dikampaknya di dalam lubang itu.
Gadis itu menangis. Gadis itu berlutut. Persis seperti ibunya.
Nah, sekarang ia mendapatkan gadis jahat ini. Dia berjalan ke arahnya. Kelly
berdiri dan mencoba berlari lagi, tapi kakinya terseok-seok.
Jalan terseok-seok seperti itu mengingatkan Big Red pada sesuatu, pada
seseorang, tapi entah siapa.
Big Red terus menghampirinya. Kelly tersandung akar pohon dan jatuh. Sekarang
Big Red berdiri tepat di atasnya. Kaki palsu Big Red terasa sakit ingin
menendangnya kuat-kuat. Dia berupaya menahan kakinya agar tak melakukan hal itu.
Big Red ingin menghabisi gadis itu dengan tangannya sendiri.
Kelly mencoba bangkit, tetapi Big Red menekan bahu gadis itu ke bawah dengan
tangannya yang gemuk. Sedetik kemudian Big Red mengarahkan pistolnya ke sebelah
kiri kening Kelly. Kelly tak bergerak. Gadis itu hanya menatap nanar dengan
matanya yang biru ke abu-abuan. Tatapan mata yang sangat memilukan.
Cara gadis ini memandang terasa aneh bagi Big Red, menyebabkan Big Red berhenti
sejenak. Tembak! perintah suara yang ada di kepalanya.
Tetapi Big Red tetap diam. Sepertinya dia sedang mencoba mengingat sesuatu,
mencoba untuk kembali ke masa sebelum dia berubah menjadi pemberang. Rasanya
saat itu sudah lama sekali. Tapi saat itu, yang dia inginkan hanya mempunyai
seorang teman, seseorang yang bisa diajaknya bermain, seseorang yang cantik
seperti nona muda ini. Tiba-tiba juga Big Red teringat hal lain. Gadis ini pincang.
Persis seperti dia, sebelum kaki palsunya menjadi begitu kuat dan "hidup".
Big Red menurunkan pistolnya, merasa bingung.
Tanpa disadarinya, gadis itu melompat ke depan. Dia merampas pistolnya,
tangannya yang kecil dan lembut menyelusup ke tangan Big yang lentuk berlemak.
Tangan gadis itu penuh darah. Sebuah jari menekan keras jari Big Red, langsung
menekan pelatuk. Tangan itu bergeser. Pistol itu pun meledak.


Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Peluru pertama menghantam kuat ke kaki palsunya. Tapi kemudian gadis itu
membalikkan tangannya dan pistol itu mengarah ke atas. Dan sekarang dia merasa
laras pistol menekan keras perut gendutnya. Dan gadis itu menembak lagi.
Menembaknya dua kali. Dor! Dor! ... Dua peluru meledak di dalam perut Big Red.
Lalu gadis itu melepaskan pistolnya, berjuang untuk berdiri. lalu menjauhi Big
Red sambil menatapnya nanar.
Sekarang Big Red benar-benar marah. Gadis ini sama saja dengan yang lainnya.
Begitu kamu mempercayainya, dia menembakmu.
Big Red begitu marah sampai ingin menangis dan berteriak dan meraung sekaligus.
Mata belingnya membantunya mengarahkan pistol itu ke sasarannya, tepat ke arah
kepala gadis itu. Tetapi dari pistol itu hanya terdengar bunyi klik setiap kali ia menarik
pelatuknya. Big Red membuang pistol itu dengan kesal. Lalu dia jatuh berlutut. Bagian depan
baju seragam yang dipakainya basah dan lengket. Dia melihat ke bawah. Ada
lingkaran besar berwarna merah di perutnya. Merah seperti namanya, Red. Warna
merah itu menyebar. Sesaat Big Red merasa sakit, menyebabkan ia menangis. Gadis jahat itu telah
menyakitinya secara luar biasa. Dia meraung makin lama makin keras. Dia
menggoyangkan tubuhnya ke depan dan ke belakang. Di tengah derai air matanya,
Big Red dapat melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Big Red mengangkat kedua
tangannya minta dipeluk. Dia sangat membutuhkan pelukan.
Dilihatnya gadis itu memungut sebuah tongkat. Sudah terlambat untuk melakukan
sesuatu. Dia hanya menundukkan kepalanya saat gadis itu menghantamkan tongkat
itu ke arahnya sekuat tenaga.
Chapter 25 BERBURU MONSTER Setelah gadis itu menghajar Big Red puluhan kali di kepala, leher dan bahunya,
Big Red merasa kemarahannya muncul lagi.
Kemarahan yang jauh lebih besar dari yang pernah dirasakan sepanjang hidupnya,
yang memang tidak pernah dirasakannya, kecuali beberapa hari terakhir ini. Tanpa
menghiraukan rasa sakit di perutnya, Big Red bangkit. Dirampasnya tongkat itu
saat si gadis kembali menghantamnya.
Dia berhasil menangkap tongkat itu, tapi setelah gadis itu berhasil
mencolokkannya tepat ke lubang mata topeng yang dikenakan Big Red. Tak ayal Big
Red meraung kesakitan. Ketika Big Red menarik tongkat itu, terdengar bunyi 'plop'. Mata belingnya copot
bersama tongkat itu. Mata beling itu menempel di ujung tongkat, berlumuran
darah, tapi masih hidup, dan masih memancarkan sinar marah.
Big Red merasa sangat murka. Dia melempar tongkat itu ke samping. Kaki palsunya
menendang beringas saat dia mengejar gadis itu.
Gadis itu mundur beberapa langkah, berbalik lalu berlari sambil terseok-seok.
Topeng itu! Kelly mengingatnya dengan putus asa saat dia terhuyung melalui
kegelapan hutan. Topeng itu! Dia harus bisa melepaskan topeng tersebut dari
kepala lelaki besar itu. Dia hanya bisa berpikir satu cara untuk melakukannya. Dia terhuyung kembali ke
jalan setapak menuju ke area perkemahan. Dia membayangkan polisi yang mati. Dari
letak kampak yang tertancap di perut polisi itu, senjata tersebut mengesankan
menunggunya untuk dicabut.
Tapi bagaimana caranya ke sana, itu merupakan tanda tanya besar. Dengan kakinya
yang terluka parah seperti itu, dia tak akan bisa lepas dari lelaki ini. Tak
akan pernah bisa.... Dia berhenti tiba-tiba, lalu bergegas maju, tubuhnya menahan rasa sakit. Dia
sudah menemukan jawabannya, tinggal bagaimana dia harus tiba di sana tepat pada
saatnya. Dia bergegas ke dahan pohon yang besar, meraih dan menarik kayu yang
meliuk seperti anak tangga lantas memanjat.
Rumah pohon. Dia sempat melihatnya kemarin malam saat mengumpulkan kayu untuk
jebakan. Siapa pun yang membangun rumah pohon ini, dia telah memberi tempat
persembunyian ala Indian yang kedua bagi Kelly.
Dia tak punya waktu untuk memanjat setinggi mungkin. Dia naik beberapa meter
lalu menyembunyikan tubuhnya di balik dahan yang agak besar. Ia merapatkan
tangannya ke tubuh sehingga dia benar-benar tak terlihat. Dia menunggu.
Semakin jelas ia dapat mendengar suara keras hentakan kaki lelaki besar itu. Dia
menghambur langsung melewati pohon itu, bahkan sama sekali tidak melihat ke
belakang. Kelly menunggu sampai lelaki itu berada beberapa puluh langkah di depan, lalu
dia turun perlahan-lahan. Sekalipun dia merasa sakit tak tertahankan, dia tetap
masih bisa merasakan kegembiraannya.
Dia kini sudah di atas angin. Sekarang dia yang memburu lelaki itu.
Kelly mengawasi sampai lelaki besar itu tiba di halaman terbuka, menengok ke
kiri dan ke kanan. Dengan sirine yang beputar memancarkan sinar merah dan
kuning, mobil patroli menerangi sekitarnya.
Tapi Big Red berbelok dan bergegas menuju ke arah pondok yang di tengah, di mana
suara radio masih berbunyi, walaupun dengan suara lemah. Radio itu, seperti juga
setiap orang yang ada di sekitar danau Kristal, tampaknya sedang sekarat.
Si bodoh, pikir Kelly dengan perasaan senang tak terkira. Si bodoh bin dungu.
Pondok itu berhasil juga jadi perangkap. Di pondok lima memang terlihat masih
seperti ada kehidupan dibanding pondok lainnya. Dan itu rupanya telah menarik
perhatian si bodoh itu. Kelly menunggu sampai Big Red hampir tiba di pondok sebelum dia keluar dari
hutan. Tanpa bersuara, secepat mungkin Kelly melangkah terseok-seok menuju mobil
patroli polisi. Lelaki besar bertopeng itu sekarang sudah ada di dalam pondok. Kelly telah
berhasil menjebaknya! Kelly menggenggam kayu pegangan kampak yang tertancap di perut si polisi dengan
tangannya yang tidak terluka. Tapi sebelum dia sempat menariknya....
Sebuah tangan muncul dan ikut menggenggam di atas tangannya.
Chapter 26 BOONE "Sori," kata Boone sambil menyeringai usil, seringaian khasnya. "Kampak ini
milikku." Kelly melepaskan kampak itu, sambil terperangah menatap kakaknya dengan tatapan
ngeri. Tangan kakaknya itu, sekarang dia melihatnya, terdiri dari tulang
belulang saja. Boone menggenggam kampak itu dengan tangan tulangnya dan menariknya. Ada bunyi
menjijikkan waktu kampak itu tertarik dari perut si polisi.
Kelly limbung; dia harus menyender ke mobil untuk menahan tubuhnya. Boone
melambaikan tangan tulangnya ke atas. "Hei, dia ada di sini, bodoh!"
Big Red keluar dari pondok dan menatap heran ke arah halaman rumput tempat Boone
dan Kelly berdiri. "Ya, di sini," ulang Boone. "Ya, ampun, bodoh sekali kamu ini. Apa aku harus
terus-menerus memberimu petunjuk?"
Kepada Kelly, Boone berkata, "Aku tahu, kamu pasti bisa membereskan dia, Kell.
Itu sebabnya, dia kupanggil ke sini."
Kelly menatap wajah kakaknya dengan heran bercampur takut. Ada cacing putih
kecil keluar masuk di pipinya yang membusuk.
Boone tersenyum. "Kamu berhasil membuat lubang perlindung yang hebat, Non. Kamu
betul-betul memahami apa yang kuajarkan. Kalau aku tidak memaksa Big Red melihat
ke dalam lubang, dia sama sekali tak akan tahu ada Miguel di situ."
Mulut Kelly terbuka tapi tak ada suara. Sepertinya semua rasa marah dan rasa
dendam dan harapan bercampur aduk dalam dirinya.
Rasanya semangat hidupnya menghembus keluar seperti udara yang keluar saat ban
kempes. "Boone," katanya perlahan. "Mengapa kamu lakukan hal ini padaku?"
Boone menatapnya sambil berpikir sejenak, lalu sambil mengusap wajahnya yang
membusuk dengan lengan bajunya dia menjawab, "Kenapa tidak?" Dia terkekeh, lalu
melambai ke arah Big Red. "Ayo! Lama amat"!"
Akhirnya Blg Red maju ke arah mereka dan....
Jatuh ke dalam lubang jebakan.
Terdengar suara teriakan Big Red, Boone menepuk-nepuk pahanya. "Aih, Kelly, kamu
akhirnya berhasil menjebaknya. Hebat!"
Tapi tak lama kemudian, sebuah tangan besar muncul di pinggiran lubang jebakan.
Big Red tampak berusaha menarik tubuhnya keluar dari lubang itu. Di kakinya yang
asli tampak sebuah tombak tertancap. Dia berhenti dan menarik tombak itu sambil
meraung kesakitan. "Ehem," kata Boone pada Kelly, "rupanya lubang jebakan sama sekali bukan ide
yang bagus. Soalnya dia tetap bangkit, tuh. Dan sekarang, tampaknya dia lebih
beringas." Boone tertawa-tawa kembali.
Kelly menangis. Dia bisa merasakan air matanya mengalir ke sudut mulutnya. Air
mata itu bercampur dengan darahnya. Dia merasakan sesuatu yang sangat aneh lebih
dari apa yang telah dilihatnya malam ini. Rasa benci yang amat sangat.
"Kamu bangsat!" serunya.
Boone tertegun. "Ada apa?"
"Katamu, dia tak akan muncul sampai malam tiba!"
"Oh, ya" Wah, maksudku, dia memang tidak muncul mencarimu sampai malam tiba.
Hanya saja, siangnya dia muncul untuk membunuh teman-temanmu. Sori. Apa aku lupa
bilang soal itu?" Kelly menatap nanar wajah Boone yang sedang menyeringai dengan rasa tak percaya.
"Aku datang ke sini untukmu!" teriaknya.
"Aku tahu," kata Boone. "Kamu memang sangat baik." Dia terkekeh. "Tapi
menurutku, kemunculanmu terlalu lama."
Kesabaran Kelly habis sudah. Kelly melompat ke depan, mencoba menghajarnya
dengan tangan luka yang mengepal.
Tapi Boone menangkapnya dan mendorongnya tanpa tenaga. Boone terlihat hanya
mendorong perlahan, tapi Kelly terlempar ke atas mobil patroli polisi, kepalanya
menghantam keras atap mobil itu.
"Jangan membuatku berang," ancam Boone. "Kalau tidak, semuanya akan bertambah buruk bagimu." Lalu dia tertawa. "Lucu, nggak" Aku bahkan tak
melihat bagaimana segalanya menjadi semakin buruk bagimu. Kamu lihat?"
Kelly memelototi Boone. Dadanya terasa mau meledak karena rasa marah dan rasa
benci yang luar biasa. Kemarahan pada kakaknya, yang telah membiarkan dirinya
sendiri terbunuh. Boone selalu menyerempet-nyerempet bahaya. Dia kakaknya yang paling besar. Dia
seharusnya melindungi dirinya, mengurus dirinya. Tapi yang dilakukan justru dia
pergi dan membuat dirinya sediri ter.....
"Aku benci kamu!!!!" Dia kaget mendengar suaranya sendiri.
Mata Boone dingin. "Aku juga benci kamu. Itu sebabnya aku membantu Big Red untuk
membunuhmu." "Membunuh aku" Kamu tak bisa membunuhku!" teriaknya.
"Oh, nggak bisa, ya?" Boone tersenyum.
"Kamu tak bisa bisa membunuhku sebab kamu sudah melakukannya! Kamu membunuhku
bulan Mei tahun lalu, bangsat! Kamu membunuhku saat kamu pergi ke sini dan
membiarkan dirimu sendiri ter ..."
Dia tak bisa menyelesaikan kata-katanya. Dia tersedak karena emosi yang meluap-
luap. Boone tetap tersenyum. "Aih, Kell. Kamu kelihatannya betul-betul marah, ya" Itu
ya, rahasia yang kamu pendam selama ini" Kamu sama sekali tak peduli hal itu
membuat dirimu begitu tertekan." Boone tertawa lagi, tapi sesaat kemudian wajah
busuknya berubah terlihat bersalah.
"Dengar," katanya. "Jangan menyalahkan aku untuk semua ini, ya" Aku sudah mati,
Kell. Kamu tak tahu bagaimana rasanya mati, kan" Rasanya seperti ...." Dia
berhenti dan melambaikan tulang tangannya dengan sebal. "Ah, tunggu saja. Kamu
juga akan merasakannya, segera."
Sudah jelas, sebab saat itu pula terdengar hentakan langkah kaki Big Red di
dekat mobil patroli polisi, lampu sirine membuat topengnya terlihat berwarna
merah, putih, dan kemudian merah lagi.
Big Red tampak berlumuran darah. Terlihat beberapa lubang hitam mengoyak
seragamnya, lubang bekas tombak yang tadi sempat menancap di tubuhnya.
"Ini Big Red, " kata Boone sambil menyodorkan kampak. "Silakan bekerja sobat.
Potong dia yang rapi, ya?"
Boone menyodorkan kampak berlumuran darah itu pada Big Red, yang mengambilnya
dengan kedua tangan. Untuk sesaat, Big Red hanya berdiri sambil melihat ke arah Boone dengan
tatatapan lugu dan dungu. Lalu kepala bertopeng itu berbalik dan melihat
langsung ke arah Kelly. Kelly berbalik dan melihat ke bawah ke tanah. Dia segera menemukan apa yang
dicarinya. Pisaunya yang tadi terjatuh. Dia menunduk dan mengambilnya tepat saat
kampak terayun ke arahnya.
Chapter 27 HANYA UNTUK MENENDANG Dia menarik tangan beserta pisaunya ke belakang secepat kilat.
Ujung kampak yang tajam menghujam ke tanah, ke tempat di mana tangannya tadi
meraih pisau. Dia menggerakkan tangannya kembali, diangkat untuk mengibas ke dua tangan Big
Red yang sedang menggenggam kayu pegangan kampak.
Big Red memekik keras. Kampak itu terlepas jatuh. Kelly merebutnya. Sekarang dia
mempunyai dua senjata. Big Red mempermudah masalah. Sambil menangis dia berlutut dan menundukkan
kepalanya seakan bersandar pada papan tempat pemenggalan kepala.
Kelly menyelipkan pisaunya ke dalam kantong. Lalu tanpa mempedulikan rasa sakit
di tangan dan pundaknya, dia mengangkat kampak itu ke atas kepala dengan kedua
tangannya. Dia mengayunkannya ke bawah. Kepala Big Red dan topengnya langsung
putus. Kelly tak berhenti sampai di situ. Dia terus memotong-motong dengan histeris ke
tubuh yang telah terjerembab jatuh itu dengan seluruh perasaan dendamnya
pada .... Pada Boone. Kelly menegakkan badan. Kakaknya tepat di belakangnya. Dia sedang bersandar pada
mobil patroli polisi dengan tangan menyilang.
Asyik menonton. Wajah busuknya hanya beberapa senti jaraknya dari wajah Kelly.
Kelly mencium bau busuk seperti bau sampah yang dicampur asam dan kotoran
manusia. Boone menggelengkan kepalanya. "Aku tahu kamu terlalu tangguh untuknya, Kell."
Boone menarik napas. "Aku sudah menghawatirkan hal ini. Sekarang aku terpaksa
menyelesaikan sendiri pekerjaan ini."
Sesaat kemudian, Kelly mendengar bunyi gemerisik besi. Dia memutar tubuhnya. Di
dekat kakinya, lelaki besar itu terbaring dengan tubuh bertebaran seperti boneka
yang hancur berantakan. Satu dari bagian tubuh itu adalah sebuah kaki palsu.
Kaki palsu itu tiba-tiba berdiri dan menekuk lalu menendang tepat ke arah Kelly.
Secara reflek, Kelly mengelak ke samping. Akibatnya, kaki palsu itu mengenai
sasaran lain, menghantam tulang kering kaki Boone. Dia meraung tertahan. Kaki
itu terus menendang, menendang dan mendorong dan menginjak-nginjak dengan liar.
Boone mencoba menangkap bagian atas kaki itu, mencoba menjauhkan kaki itu
darinya. Tapi hal itu justru membuat si kaki palsu lebih mudah untuk menendang
dan menendang lagi. Kelly menutup matanya, tapi dia masih bisa melihat melalui tangannya yang
berlumuran darah kaki palsu itu menendangi bagian dalam tubuh Boone. Sampai
akhirnya suara mengaduh berubah menjadi suara teriakan kesakitan, Boone berhasil
mengoyak-ngoyak kaki palsu itu.
Tapi sudah terlambat. Perut Boone sekarang hancur dan berlumuran darah. Dia
meraih pintu mobil yang berbuka untuk menahan dirinya. Pintu itu tertutup dan
menjepit serta mematahkan tiga jari Boone yang hanya berupa tulang itu. Jari itu
tetap di pintu saat tubuh Boone melorot ke tanah.
Kepalanya terputar ke arah Kelly, matanya melihat ke arah Kelly dengan tatapan
ngeri. Mulutnya tertarik ke atas mencoba tersenyum untuk terakhir kalinya.
Boone menjulurkan tangan tulangnya ke arah Kelly di dalam kegelapan. Ada bunyi
desis yang mencekam. Perlahan-lahan tubuh Boone mengkerut dan terbakar tepat di
depan mata Kelly. Cacing-cacing yang ada keluar dari seluruh celah tubuhnya dan
merayap menyelamatkan diri ke tanah yang basah oleh darah.
Tak berapa lama tak ada yang tertinggal dari tubuh Boone kecuali debu berwarna
abu-abu yang membentuk sebuah tanda tanya besar.
Saat itulah..... Dalam waktu sangat sekejap.....
Debu itu tiba-tiba dengan sendirinya membentuk gambar yang tak asing bagi Kelly.
Kelly telah mempelajari foto-foto dari kliping yang ada di buku catatannya cukup
lama, untuk bisa mengenalnya begitu melihatnya. Itu adalah bentuk tubuh Jason.
Anak lelaki dengan topeng hoki putih. Dan sebuah kampak di tangannya.
Gambaran dari debu itu mengangkat kampak tersebut, seakan hendak mengayunkannya
ke arah Kelly, tapi hembusan angin meniup debu itu bayangan tubuh itu pun
...lenyap.

Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Chapter 28 KUBURAN DI HUTAN Kelly menyadari kalau dia bisa memakai radio di mobil polisi untuk minta
pertolongan. Tapi tidak sekarang. Dia masih harus melakukan sesuatu.
Dia menggunakan kampak untuk mencongkel topeng putih dari wajah lelaki besar
itu. Wajah dibalik topeng tampak lucu dan dungu, wajah lelaki setengah tua yang
masih kelihatan kekanak-kanakan.
Kelly tak berlama-lama melihat wajah itu. Dia mengambil topeng itu kemudian
mengampak dahan yang ada di dekatnya, meletakkan topeng di atas dahan itu lalu
menghujamkan kampak ke topeng sekuat tenaganya.
Hembusan yang membuat merinding terasa di lengannya - seperti hembusan tatkala
pukulan baseball kita meleset. Hembusan itu terasa hingga sekian ratus kali.
Tapi, tanpa merusak topeng. Topeng itu tampak masih utuh, masih berkilat putih
dan jahat di bawah sinar rembulan.
Kelly melihat ke arah halaman terbuka. Dia menatap lubang perangkap yang ada di
tengah pondok. Dia berdiri berpikir, rencana lain muncul. Ini adalah rencana
yang melelahkan, tapi yang terbaik.
Sepertinya memang itulah yang harus dilakukannya. Ia mengamati luka di kakinya.
Dia telah kehilangan dua jari dan tak tahu berapa banyak darah.
Dia melepaskan jaket tentara dan kaosnya; merobek kaos itu mencabik-cabiknya dan
mengikatnya jadi perban. Dia membuat perban darurat yang lain untuk telapak
tangannya yang berlubang dan berusaha sebaik mungkin membebat bahunya yang
terluka. Lalu dia mengenakan kembali jaketnya. Sekalipun malam itu udara cukup
panas, dia merasa kedinginan.
Dia berlutut di tepi lubang, melihat ke bawah ke arah tubuh Doug. Dia terisak
sedikit. Boone, Doug, Miguel. Dia tak sempat mencari tubuh Tina. Dia tahu Tina
juga pasti sudah mati. Jason telah memakan sejumlah korban baru.
Kelly tak punya sisa air mata lagi. Dia duduk di tepi lubang perangkap, merogoh
kantong jaketnya yang penuh darah untuk mencari rokok. Ada sebatang rokok Camel.
Tinggal sebatang yang tersisa.
Ketika rokoknya tinggal puntung, dia melemparkannya ke dalam lubang. Dia merasa
ringan seperti kapas. Dia telah kehilangan begitu banyak darah.
Dia turun ke dalam lubang, menarik tombak yang tetancap pada tubuh Doug. Perlu
perjuangan keras, tapi akhirnya dia berhasil juga menarik tubuh Doug ke luar.
Kemudian ia melemparkan topeng ke dalam lubang.
Dia berjalan ke belakang pondok, mengambil sekop dan membawa setumpuk tanah ke
arah lubang itu. Di kuburan Boone, menjatuhkan segenggam tanah di atas peti jenasahnya adalah
bagian dari upacara pemakaman. Kelly tak sempat melakukannya waktu itu. Sekarang
dia lakukan hal itu. Perlahan dia membalikkan sekopnya dan membiarkan tanah
jatuh ke dalam lubang. "Selamat tinggal, Boone," katanya.
Kelly menyeringai sejenak, lalu wajahnya berubah menjadi kaku. Dia bergegas ke
belakang pondok untuk mengambil tanah kembali.
*** Polisi menemukan mayat Kelly dan Doug terbaring berdampingan tepat di depan
pondok yang di tengah. Kedua mayat itu saling berpegangan tangan.
Polisi tidak menemukan lubang jebakan. Dedaunan dan sampah yang ditaburkan Kelly
di atasnya dapat mengelabui mereka. Lagipula, banyak hal lain yang harus diurus
para polisi itu. Kelly meninggal selang satu jam sebelum polisi tiba. Paling tidak dia mati
dengan perasaan puas yang tergambar di bibirnya.
Topeng itu sudah terkubur aman, katanya pada dirinya sendiri.
Tak akan ada yang bisa menyentuhnya karena terpendam di dalam sana.
Di dalam sana...Di alam sana....
Dia merasa yakin sekali akan hal itu....
END Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Undangan Maut 1 Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara Lembah Nirmala 14
^