Pencarian

Lolita 3

Lolita Karya Vladimir Nabokov Bagian 3


dengan celana jeans biru kesayangannya yang dekil, wanginya seperti bunga
anggrek di tanah para gadis kecil yang menggairahkan; kikuk dan sedikit aneh,
tak terlalu kelihatan nakal, dengan kancing bawah kemejanya yang tak
dikancingkan. Biarkan aku mengatakan sesuatu kepadamu. Di balik kepercayaan diri
Haze kecil yang agresif dan keanggunan Haze besar, tersirat aliran kehidupan
yang malu-malu, yang rasanya sama, yang gumamannya sama. Seorang dokter Prancis
yang hebat suatu kali pernah bilang kepada ayahku bahwa dalam hubungan keluarga
yang dekat, bunyi deguk perut terkecil pun punya
"suara" yang sama.
Jadi, Charlotte melangkah masuk. Ia merasa segala sesuatunya berjalan kurang
baik di antara kami. Aku berpura-pura tidur di malam sebelumnya dan malam
sebelum malam itu segera setelah kami masuk kamar tidur, dan bangun di saat
subuh. Dengan lembut, dia bertanya apakah dia tidak "mengganggu."
"Sekarang tidak," kataku sambil membalik halaman buku C dari seri Ensiklopedia
Anak. Perempuan untuk mengamati sebuah gambar.
Charlotte berjalan ke arah meja kecil berlaci yang merupakan tiruan dari kayu
mahoni. Ia menaruh tangannya di atasnya. Meja kecil itu jelek, tak heran, tapi
tidak berpengaruh terhadap Charlotte.
"Aku selalu ingin bertanya kepadamu," katanya (dengan nada seperti sedang
berbisnis, bukan dengan nada menggoda), "kenapa sih laci ini dikunci" Kau
menginginkannya dalam ruangan ini" Meja ini jelek sekali."
"Biarkan saja," kataku.
"Ada kuncinya?"
"Tersembunyi." "Oh, Hum ..." "Surat-surat cinta yang dikunci."
Ia memberiku tatapan binatang betina terluka yang sangat membuatku kesal.
Kemudian, tidak begitu sadar bahwa aku serius, atau seraya mencoba melanjutkan
pembicaraan, dia menunggu beberapa halaman yang kubuka dengan lambat (terdapat
lema Campus, Canada, Candid Camera, Candy), lalu mengamati kisi jendela dan
bukannya memandang keluar jendela, mengetuk ngetuknya dengan kuku-kuku tajam
berwarna campuran kacang dan bunga mawar.
Sekarang (saat kubaca lema Canoeing atau Canuvsback) ia berjalan ke kursiku dan
membenamkan dirinya dengan santai di sandaran tangan, memenuhiku dengan aroma
minyak wangi yang pernah dipakai istri pertamaku. "Maukah yang mulia
menghabiskan musim gugur di sini?"
tanyanya, sambil menunjuk pemandangan musim gugur di suatu negara bagian timur
yang kuno dengan jari kecilnya. "Kenapa?" (sangat jelas dan perlahan). Ia
mengangkat bahu. (Mungkin dulu Harold senang berlibur.)
"Kurasa aku tahu itu di mana," katanya, sambil masih tetap menunjuk. "Ada sebuah
hotel yang kuingat, The Enchanted Hunters.
Unik, bukan" Makanannya luar biasa enak. Dan, tak ada yang saling mengganggu."
Ia menggosokkan pipinya di dahiku. Valeria pasti tak akan mencoba hal itu.
"Ada yang kauinginkan untuk makan malam, Sayang" John dan Jean akan datang
nanti." Aku menjawabnya dengan geraman. Ia mencium bibir bawahku dan dengan berbinar-
binar berkata bahwa ia akan memanggang kue (sebuah tradisi yang bertahan sejak
aku masih menjadi anak kosnya dan aku menyukai kuenya), lalu meninggalkanku
terdiam. Dengan berhati-hati aku menaruh buku yang terbuka di tempat tadi ia duduk
(berusaha membuat bunyi putaran gelombang, tapi pensil yang terselip
menghentikan halaman-halaman itu), lalu aku memeriksa tempat persembunyian kunci
itu: kunci itu tergeletak di bawah pisau cukur tua yang mahal, yang dulu
kugunakan sebelum dia membelikanku pisau cukur yang jauh lebih bagus dan lebih
murah. Bukankah itu tempat persembunyian yang sempurna - di sana, di bawah pisau
cukur, dalam lekukan wadahnya yang berbahan beludru" Wadah itu ada di dalam peti
kecil tempat aku menyimpan berbagai macam surat-surat bisnis. Adakah tempat yang
lebih baik" Luar biasa sulit menyembunyikan barang barang terutama apabila istri
kita selalu menggeledah perabotan.
22 KUPIKIR TEPAT seminggu setelah acara renang terakhir kami, saat kiriman pos
siang membawa balasan dari adik Nona Phalen. Perempuan itu menulis bahwa ia baru
saja kembali ke St. Algebra dari pemakaman saudara perempuannya. "Euphemia tak
pernah kembali normal setelah pinggulnya patah." Soal anak perempuan Nyonya
Humbert, ia mengabari bahwa sudah terlambat untuk mendaftarkannya tahun ini,
tapi ia yakin bahwa jika Tuan dan Nyonya Humbert membawa Dolores pada bulan
Januari, penerimaannya bisa diatur.
Keesokan harinya setelah makan siang, aku pergi menemui dokter
"kami", seorang teman yang ramah dan sempurna cara berbicaranya dengan orang
sakit. Dia bisa diandalkan dalam hal obat-obatan yang sudah dipatenkan dan itu
cukup menutupi ketidakpeduliannya dan ketidaksukaannya terhadap ilmu kesehatan.
Kenyataan bahwa Lo harus pulang ke Ramsdale sangat dinantikan.
Aku ingin persiapan penuh untuk peristiwa ini. Bahkan kenyataannya, aku memulai
persiapanku lebih dini karena Charlotte membuat keputusan kejam atas dirinya.
Aku harus yakin bahwa ketika anak manisku datang, malam itu juga, lalu malam
demi malam, sampai St. Algebra mengambilnya dariku , aku akan memiiki alat untuk
menidurkan kedua makhluk itu dengan begitu nyenyak sehingga tak ada suara atau
sentuhan apa pun yang bisa membangunkan mereka.
Sepanjang bulan Juli aku telah bereksperimen dengan beraneka bubuk tidur,
mencobakannya pada Charlotte, pelahap pil yang hebat.
Dosis terakhir yang telah kuberikan kepadanya (dia pikir itu adalah tablet
bromida ringan untuk penenang saraf-sarafnya) dan membuatnya pingsan selama
empat jam penuh. Aku sudah menyalakan radio kencang-kencang. Aku menyoroti
wajahnya dengan lampu senter. Aku mendorongnya, mencubitnya, menusuk nusuknya
dengan jariku dan tak ada yang mengganggu irama napasnya yang tenang dan
bertenaga. Namun, waktu aku melakukan hal sederhana seperti menciumnya, dia langsung
terbangun, sesegar dan sekuat gurita (aku tak sempat kabur).
Kupikir ini tak akan berguna. Aku harus mendapatkan sesuatu yang lebih aman.
Awalnya, Dr. Byron kelihatan tidak memercayaiku waktu kubilang bahwa obat
terakhirnya tidak sebanding dengan insomniaku. Ia menyarankanku mencoba lagi dan
untuk sesaat mengalihkan perhatianku dengan menunjukkan foto-foto keluarganya
kepadaku. Ia memiiki seorang anak yang sangat menarik seusia Dolly, tapi aku
menyadari akal-akalannya dan mendesaknya untuk membuat resep pil terkuat yang
pernah ada. Ia menyarankan agar aku bermain golf, tapi akhirnya setuju untuk
memberiku sesuatu yang, katanya, "akan benar-benar bekerja"
dan berjalan ke sebuah lemari.
Ia telah meracik sewadah kapsul berwarna biru keunguan yang diikat dengan warna
ungu gelap di salah satu ujungnya yang, katanya, baru saja dilepas ke pasar dan
bukan ditujukan bagi orang-orang sakit jiwa yang bisa ditenangkan dengan aliran
air kalau diminum dengan benar, tapi hanya untuk seniman hebat yang tak bisa
tidur, yang harus mati selama beberapa jam untuk bisa hidup selama berabad-abad.
Aku senang mengelabui para dokter dan, walaupun amat gembira di dalam hati, aku
mengantongi pilpil itu dengan mengangkat bahu tanda tidak yakin.
Bagaimanapun, aku harus berhati-hati terhadapnya. Sekali waktu, dalam hubungan
yang lain, keteledoran kecilku membuatku menyebut sanatorium terakhirku dan
kupikir aku melihat ujung telinganya bergerak.
Karena sama sekali tidak suka bila Charlotte atau siapa pun mengetahui periode
itu dari masa laluku, aku buru-buru menjelaskan bahwa aku pernah melakukan
semacam penelitian di antara orang-orang sakit jiwa untuk sebuah novel.
Aku pergi dengan semangat membubung. Mengemudikan mobil istriku dengan satu
tangan, aku menggelinding pulang dengan senang.
Ramsdale ujung ujungnya memiiki banyak pesona. Serangga-serangga berdengung.
Jalan raya baru saja disiram hujan. Dengan halus, hampir selembut sutra, aku
menuruni jalanan kecil kami yang curam. Segala sesuatunya entah bagaimana begitu
tepat hari itu. Begitu biru dan hijau.
Aku tahu matahari bersinar karena kunci kontakku terpantul pada kaca depan dan
aku tahu bahwa saat itu tepat pukul setengah empat karena suster yang datang
untuk memijat Nona Tua Seberang Rumah setiap sore sedang menuruni trotoar
mengenakan kaus kaki putih tipis dan sepatu.
Seperti biasa, anjing pedagang barang bekas yang histeris itu menyerangku selagi
aku bergulir menuruni bukit. Dan seperti biasa, koran lokal tergeletak di teras,
tempat Kenny melemparkannya.
Hari sebelumnya, aku telah mengakhiri masa menyendiri yang telah kuberlakukan
untuk diriku sendiri dan kini aku menyuarakan kepulanganku dengan ceria saat aku
membuka pintu ruang tengah.
Dengan bagian belakang lehernya yang putih dan gelungan rambutnya yang berwarna
seperti perunggu menghadap diriku, mengenakan blus kuning dengan rumbai-rumbai
berwarna merah tua yang dia pakai saat pertama kali aku bertemu dengannya,
Charlotte duduk di depan meja pojok sambil menulis surat. Tanganku masih di
gagang pintu. Kuulangi seruanku dengan ceria. Tangannya yang sedang menulis
berhenti. Ia duduk diam sesaat; lalu perlahan-lahan berputar di kursinya dan
menaruh sikunya di bagian belakang kursi yang melengkung. Wajahnya yang
berantakan karena emosi, bukanlah pemandangan yang indah saat ia memandang
kakiku dan berkata, "Perempuan Haze itu, pelacur gendut itu, kucing tua, ibu
yang memalukan, Haze tua yang bodoh itu bukan lagi orang yang bisa kaukelabui.
Ia punya-ia punya ..."
Penuduhku yang cantik itu berhenti, menelan racun dan air matanya. Apa pun yang
telah dikatakan Humbert Humbert-atau coba dikatakannya-tidak penting baginya.
Dia melanjutkan, "Kau memang monster. Kau tukang tipu jahat yang pantas dibenci
dan sangat menjijikkan. Kalau kau mendekat, aku akan berteriak. Mundur!"
Lagi-lagi, kupikir apa pun yang digumamkan H. H. tak akan berguna.
"Aku pergi malam ini juga. Semua ini milikmu. Hanya saja kau tak akan pernah
melihat bocah nakal yang menyedihkan itu lagi. Keluar dari ruangan ini!"
Pembaca, aku melakukannya. Aku naik ke bekas kamarku. Dengan lengan tertekuk,
aku berdiri diam sesaat dan menenangkan perasaanku, mengamati dari pintu masuk
meja kecil yang diperkosa dengan lacinya yang terbuka. Kunci bergantung dari
lubangnya, empat kunci rumah lainnya di atas meja. Aku berjalan melintasi tangga
atas ke dalam kamar tidur Humbert dan dengan perlahan memindahkan buku harianku
dari bawah bantalnya ke dalam sakuku. Lalu aku melangkah turun, tapi berhenti di
tengah tangga. Dia sedang berbicara di telepon yang dicolokkan di luar pintu
ruang tengah. Aku ingin mendengar apa yang dia katakan: dia membatalkan suatu
pesanan entah apa dan kembali ke ruang tamu. Aku menata ulang napasku, lalu
pergi ke dapur melalui pintu masuk. Di sana aku membuka sebotol Scotch. Dia
tidak pernah bisa menolak Scotch. Kemudian aku melangkah masuk ke dalam ruang
makan dari dan sana, melalui pintu yang setengah terbuka, memandangi punggung
Charlotte yang lebar. "Kau menghancurkan hidupku dan hidupmu," kataku lirih. "Marilah jadi orang yang
beradab. Itu semua hanya halusinasimu. Kau gila, Charlotte. Catatan-catatan yang
kau temukan adalah bagian dari sebuah novel. Namamu dan namanya kebetulan saja
dimasukkan. Hanya karena gampang. Pikirkan lagi. Aku akan membawakanmu minuman."
Ia tidak menjawab ataupun berpaling, tapi terus mencoret-coret dengan penuh
tenaga. Sepertinya itu surat ketiga (dua di dalam amplop yang berprangko sudah
tergeletak di atas rneja tulis). Aku kembali ke dapur. Kusiapkan dua gelas
(surat ke St. Algebra, untuk Lo") dan membuka kulkas yang meraung dengan keras
di hadapanku sewaktu aku mengeluarkan es dari dalamnya.
Tulis ulang. Biarkan ia membacanya lagi. Ia tak akan mengingat kembali
rinciannya. Ubah, palsukan. Tulis sebuah bagian dan tunjukkan kepadanya atau
biarkan tergeletak di mana-mana.
Mengapa kran air kadang-kadang berbunyi sangat mengerikan"
Sungguh, suatu situasi yang mengerikan. Bongkahan-bongkahan es berbentuk bantal
kecil bantal bantal untuk boneka beruang kutub, Lo suara-suara kasar, retak dan
menyiksa yang keluar saat air hangat mengalir di antara sel-selnya. Aku menaruh
dua gelas samping-menyamping. Kutuangkan wiski dan sedikit soda. Dengan membawa
gelas, aku berjalan melewati ruang makan dan berbicara melalui pintu ruang tamu
yang sebagian terbuka, tak cukup tempat untuk sikuku.
"Aku membuatkanmu minuman," kataku.
Ia tidak menjawab, perempuan sinting itu, dan aku menaruh gelas-gelas tadi di
meja dekat telepon yang berdering.
"Di sini Leslie. Leslie Tomson," kata Leslie Tomson. "Nyonya Humbert tergilas
mobil dan sebaiknya Anda cepat datang."
Aku menjawab, mungkin dengan sedikit tersinggung, bahwa istriku baik-baik saja
dan seraya tetap memegang gagang telepon aku membuka pintu dan berkata, "Ada
orang iseng yang bilang kaumati, Charlotte."
Namun, tidak ada Charlotte di ruang tengah.
AKU BERLARI keluar. Sisi jauh jalanan kecil kami yang curam menampilkan
pemandangan tak biasa. Sebuah mobil Packard hitam besar menaiki halaman Nona Tua
Seberang Rumah yang menurun pada suatu sudut dan trotoar (di mana sebuah celemek
bermotif garis-garis dan kotak-kotak telah jatuh dan terkulai tak bergerak) dan
berdiri di sana, berkilauan di bawah cahaya matahari. Pintu-pintunya terbuka
bagaikan sayap, roda-roda depannya terpuruk di dalam semak-semak yang selalu
tumbuh hijau. Pada bagian kanan mobil ini, di rerumputan yang terpangkas rapi pada turunan di
halaman, seorang pria tua berkumis putih, berpakaian rapi jas abu-abu dengan
dasi kupu-kupu bermotif polka dotter baring telentang, kedua kaki panjangnya
rapat, seperti patung lilin.
Aku harus menuangkan dampak penglihatan sesaat itu ke dalam serangkaian kata-
kata: onggokan celemek, mobil, "boneka" pria tua, perawat Nona Tua Seberang
Rumah lari dengan membawa gelas setengah penuh, kembali ke teras di mana si nona
tua tertawan dan mungkin membayangkan dirinya menjerit, tapi tidak cukup keras
untuk meredam gonggongan anjing pedagang barang bekas yang berlari di antara
kerumunan orang yang berkumpul di trotoar, lalu berlari lagi ke kelompok lain di
halaman yang terdiri dari Leslie, dua orang polisi, dan seorang pria kekar
mengenakan kacamata berbingkai kulit kura-kura.
Di titik ini, aku harus menjelaskan kemunculan petugas patroli yang sangat
cepat, hampir tak lebih dari satu menit setelah kecelakaan itu, disebabkan
mereka sedang menilang mobil-mobil yang parkir sembarangan di perempatan dua
blok setelah turunan. Lelaki berkacamata adalah Frederick Beale, Jr., pengemudi
mobil Packard. Ayahnya berusia 79 tahun, yang baru saja diguyur si suster seorang bankir tidak
pingsan sepenuhnya, tapi mulai pulih dari serangan jantung ringan. Dan,
akhirnya, bahwa onggokan celemek di trotoar itu menyembunyikan sisa-sisa
Charlotte Humbert yang hancur, yang tertabrak dan terseret sejauh beberapa meter
oleh mobil Beale saat sedang terburu-buru menyeberang jalan untuk menaruh tiga
pucuk surat di dalam kotak pos di pojok halaman Nona Tua Seberang Rumah. Surat-
surat itu dipungut dan diserahkan kepadaku oleh seorang bocah kecil yang cantik
bergaun merah jambu yang dekil. Aku memusnahkannya dengan cara merobeknya
menjadi beberapa bagian dan menaruhnya di dalam saku celanaku.
Tiga orang dokter dan keluarga Farlow baru saja datang di lokasi dan mengambil
alih. Sang duda, seorang pria dengan kendali diri yang istimewa, tidak menangis
atau menjerit histeris. Ia sedikit terkejut, tapi ia membuka mulut hanya untuk
memberi informasi sehubungan dengan identifikasi, pemeriksaan, dan penyingkiran
seorang perempuan yang mati. Bagian atas kepalanya seolah-olah bubur yang
terbuat dari serpihan tulang, ceceran otak, rambut, dan darah.
Matahari masih memendarkan bias sinar kemerahan ketika aku dibaringkan di kamar
Dolly oleh kedua temanku, John yang lembut dan Jean yang sentimental. Keduanya
tidur di kamar Humbert malam itu.
Aku tak punya alasan untuk berlarut-larut dalam kenangan ini, dalam formalitas
menjelang pemakaman atau dalam pemakaman yang sehening perkawinan kami. Namun,
beberapa peristiwa yang berkaitan dengan empat atau lima hari setelah kematian
Charlotte perlu diperhatikan.
Malam pertama hidup mendudaku, aku begitu mabuk sehingga aku tidur dengan sangat
nyenyak seperti bocah kecil yang pernah tidur di ranjang itu. Pagi berikutnya
aku segera memeriksa bagian-bagian surat di dalam sakuku.
Mereka terlalu tercampur aduk untuk bisa disusun menjadi tiga bagian yang utuh.
Aku menduga potongan kalimat "... dan kau sebaiknya menemukannya karena aku tak
bisa membeli ..." berasal dari surat untuk Lo dan bagian-bagian lain
kelihatannya mengacu kepada niat Charlotte untuk melarikan diri dengan Lo ke
Parkington, atau bahkan kembali ke Pisky, untuk menghindari burung pemangsa
merenggut dombanya yang berharga. Sobekan-sobekan dan potongan-potongan lainnya
(aku tak pernah menyangka punya cakar sekuat itu) jelas-jelas mengenai
pendaftaran yang bukan ke St. A., melainkan ke asrama lain yang katanya keras,
kelabu, dan metode-metodenya tidak menarik sehingga mendapatkan sebutan "Lembaga
Penertiban Para Gadis".
Akhirnya, bagian ketiga dari surat yang sangat panjang jelas-jelas ditujukan
kepadaku. Aku berhasil menemukan hal-hal seperti "... setelah hidup terpisah
selama setahun kita bisa "... oh, sayangku "... lebih buruk daripada kalau kau
menyimpan perempuan lain ....", "... atau mungkin aku akan mati ..."


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun, secara keseluruhan pencarianku mulai ada artinya.
Beragam bagian tiga surat panjang yang dibuat dengan terburu-buru itu sama
berantakannya dalam telapak tanganku seperti kepala Charlotte yang malang.
Hari itu John harus menemui seorang pelanggan, Jean harus memberi makan anjing-
anjingnya, dan untuk sementara waktu aku tak didampingi teman-temanku. Orang-
orang baik itu takut aku akan bunuh diri kalau ditinggalkan sendiri dan karena
tak ada teman lain yang bisa mendampingiku (Nona Tua Seberang Rumah tidak bisa
berkomunikasi, keluarga McCoo sedang sibuk membangun rumah baru yang beberapa
kilometer jauhnya dari sini, dan keluarga Chatfield baru-baru ini dipanggil ke
Maine karena ada masalah keluarga), Leslie dan Louise diberi tanggung jawab
untuk menemaniku dengan berpura-pura membantuku memilah-milah dan mengemas
begitu banyak benda yang telah kehilangan tuannya.
Suatu saat aku menunjukkan kepada keluarga Farlow yang baik dan mudah dikelabui
(kami sedang menunggu Leslie datang untuk kencan rahasia dengan Louise),
selembar foto Charlotte yang kutemukan di antara barang-barang pribadinya. Dia
tersenyum di antara helaian rambutnya yang tertiup angin. Foto itu diambil pada
April 1934, suatu musim semi yang penuh kenangan. Saat aku melakukan kunjungan
bisnis ke Amerika Serikat, ada kesempatan untuk menghabiskan beberapa bulan di
Pisky. Kami bertemu dan menjalin hubungan asmara yang panas.
Sayangnya, saat itu aku sudah menikah dan ia bertunangan dengan Haze. Namun,
setelah aku kembali ke Eropa, kami saling berkirim surat melalui seorang teman
yang sekarang sudah meninggal.
Jean berbisik bahwa dia pernah mendengar kabar burung tentang itu, lalu
memandang foto itu. Dia masih memandanginya saat memberikannya kepada John yang
melepas pipanya, memandang Charlotte Becker yang manis, lalu mengembalikan foto
itu kepadaku. Kemudian mereka pergi selama beberapa jam. Louis yang berbahagia sedang memarahi
kekasihnya itu di lantai bawah tanah.
Belum lama keluarga Farlow pergi, seorang petugas yang berwenang menelepon dan
aku berusaha membuat wawancara itu sesingkat mungkin agar tidak menyakiti
perasaannya atau mengundang keraguannya. Ya, aku akan mengabdikan seluruh
hidupku untuk kesejahteraan anak itu. Kebetulan di sini ada salib kecil yang
Charlotte Becker berikan kepadaku waktu kami berdua masih muda. Aku punya
seorang sepupu perempuan, seorang perawan tua yang terkemuka di New York. Di
sana kami akan mencari sekolah swasta yang baik untuk Dolly. Oh, betapa lihainya
Humbert! Untuk membantu Leslie dan Louise yang mungkin (dan memang) akan melaporkannya
kepada John dan Jean, aku melakukan percakapan jarak jauh yang sangat lantang,
lalu membuat simulasi percakapan dengan Shirley Holmes.
Saat John dan Jean kembali, aku benar-benar membuat mereka percaya dengan
berkata kepada mereka, dalam gumaman yang sedikit gila dan penuh kebingungan,
bahwa Lo sedang melakukan kegiatan lintas alam selama lima hari dan tak bisa
dihubungi. "Ya, Tuhan," kata Jean, "apa yang harus kita lakukan?"
John bilang bahwa itu sangat mudah ia akan meminta tolong kepada polisi untuk
menemukan Lo dan teman temannya tak akan lebih dari satu jam. Kenyataannya, dia
tahu tempat itu dan- "Begini," lanjutnya, "bagaimana kalau aku menjemputnya naik mobil ke sana
sekarang?" Aku hilang kendali. Aku memohon kepada John agar membiarkan semuanya tetap
seperti sedia kala. Kubilang, aku tidak sanggup bila bocah kecil itu berada di
sekitarku, terisak-isak, bergelayutan pada diriku.
Dia gampang gugup dan kesal. Pengalaman seperti itu bisa memengaruhi masa
depannya dan para psikiater telah menganalisis kasus-kasus semacam itu. Mendadak
semua terdiam. "Yah, kaulah yang paling tahu," kata John blak-blakan. "Tapi, bagaimanapun juga
aku adalah teman dan penasihat Charlotte. Orang mau tahu apa yang akan
kaulakukan dengan anak itu."
"John," kata Jean, "dia adalah anaknya, bukan anak Harold Haze.
Tidakkah kau mengerti" Humbert adalah ayah Dolly yang sesungguhnya."
"Aku mengerti," kata John. "Aku minta maaf. Ya, aku mengerti. Aku tak
menyadarinya. Itu membuat segalanya lebih mudah, tentu saja. Dan apa pun yang
kaurasakan itu benar adanya."
Ayah yang galau itu mengatakan bahwa ia akan menjemput anaknya yang rapuh segera
setelah pemakaman dan akan melakukan yang terbaik untuk memberinya saat-saat
menyenangkan dalam lingkungan yang benar-benar berbeda. Mungkin liburan ke New
Mexico atau California. Aku berpura-pura berputus asa dengan penuh cita rasa seni, keheningan sebelum
ledakan yang menggila, sehingga pasangan Farlow yang baik memindahkanku ke rumah
mereka. Mereka punya gudang anggur yang bagus karena gudang anggur cocok di
negara ini. Itu sangat membantu karena aku takut akan insomnia dan hantu.
Sekarang aku harus menjelaskan alasanku menjauhkan Dolores.
Pertama, secara alamiah, setelah Charlotte tewas aku masuk ke rumah lagi sebagai
seorang ayah yang bebas dan meneguk wiski campur soda yang telah kusiapkan, lalu
pergi ke kamar mandi untuk menghindari para tetangga dan teman-teman. Hanya ada
satu hal dalam benak dan denyut nadiku, yaitu kesadaran bahwa beberapa jam lagi
Lolita menjadi milikku, milikku yang hangat dan berambut cokelat, yang akan
berada dalam pelukanku, meneteskan air mata yang akan kuhapus lebih cepat dan
yang bisa dilakukan siapa pun.
Namun, selagi aku berdiri melamun dengan mata terbuka lebar dan pipi bersemu
merah di depan kaca, John Farlow dengan lembut menepuk pundakku dan menanyakan
apakah aku baik-baik saja. Aku segera menyadari bahwa merupakan suatu kegilaan
jika aku menaruhnya di dalam sebuah rumah dengan semua orang yang suka
mencampuri urusan orang lain, yang bergerombol berputar-putar dan diam-diam
berencana merenggutnya dariku. Lo yang tak bisa ditebak itu siapa tahu" bisa
menunjukkan rasa tak percaya yang konyol kepadaku, rasa tak suka yang datang
tiba-tiba, rasa takut yang tak jelas, dan yang sejenisnya dan lenyaplah hadiah
ajaib dan kemenangan sesaat ini.
Bicara tentang orang-orang yang suka mencampuri urusan orang lain, aku ada tamu
lain kawan kita Beale, orang yang mengenyahkan istriku. Dengan serius dan tanpa
senyum, dengan gelambirnya yang seperti anjing buldog, mata hitamnya yang kecil,
kacamata berbingkai tebal dan lubang hidungnya yang tampak jelas, ia dipandu
oleh John yang kemudian meninggalkan kami dan menutup pintu dengan cara yang
paling hebat. Dengan penuh percaya diri lelaki itu bilang, ia punya sepasang anak kembar di
kelas yang sama dengan kelas anak tinku, lalu tamu anehku itu menggelar diagram
besar yang telah ia buat berdasarkan kecelakaan itu. Diagram itu terlihat
seperti apa yang akan disebut anak tiriku sebagai
"hasil karya yang sangat indah" dengan segala jenis panah dan garis yang
terbentuk dan titik-titik dalam beragam warna tinta yang menakjubkan.
Jejak-jejak Nyonya H.H. digambarkan pada beberapa titik dengan serangkaian sosok
kasar berupa perempuan kecil yang seperti boneka yang digunakan di dalam ilmu
statistik sebagai alat bantu visual. Dengan jelas dan pasti, rute ini
bersentuhan dengan sebuah garis berlekuk-lekuk yang ditebalkan, yang mewakili
dua gerakan menghindar secara mendadak yang berkelanjutan yang satu untuk
menghindari anjing si pedagang barang bekas (anjing tak digambarkan di sini) dan
yang kedua, semacam lanjutan berlebihan dari yang pertama, dimaksudkan untuk
menghindari tragedi itu. Sebuah tanda silang yang sangat hitam menandakan titik di mana sosok kecil itu
akhirnya berhenti di trotoar. Aku mencari tanda serupa yang mewakili tempat di
undakan di mana ayah tamuku yang besar dan seperti patung lilin terbaring, tapi
ternyata tak ada. Bagaimanapun, orang ini telah membuat dokumen itu dengan
saksi-saksi bertanda tangan Leslie Tomson, Nona Tua Seberang Rumah, dan beberapa
orang lain. Dengan pensilnya yang berdecit dan melayang dari satu sisi ke sisi lain secara
teliti, Frederick menunjukkan ketakbersalahannya dan kecerobohan istriku: selagi
ia menghindari anjing itu, istriku tergelincir di atas aspal yang basah dan
terjerembab ke depan, di mana seharusnya dia bukan memelantingkan dirinya ke
depan, melainkan ke belakang (Fred menunjukkan caranya dengan tarikan bahunya).
Kubilang itu benar-benar bukan salahnya dan penyelidikan itu telah mendukung
pendapatku. Dengan bernapas terengah-engah melalui lubang hidungnya yang sangat gelap, ia
menggelengkan kepalanya dan menjabat tanganku, lalu dengan santun menawarkan
diri untuk membayar biaya rumah duka. Ia berharap aku menolak tawarannya. Dengan
penuh syukur sambil terisak seperti orang mabuk, aku menerima tawarannya. Ini
mengejutkannya. Dengan perlahan dan penuh rasa tak percaya, ia mengulangi apa yang telah ia
ucapkan. Aku kembali berterima kasih kepadanya, bahkan lebih sungguh-sungguh
daripada sebelumnya. Sebagai hasil wawancara aneh itu, ketegangan jiwaku hilang sesaat. Tak heran!
Sesungguhnya, aku sudah melihat tangan takdir. Aku sudah meraba wujud takdir
itu. Sebuah mutasi yang menakutkan telah muncul secara tiba-tiba dan ini adalah
alatnya. Di tengah pola yang penuh intrik (istri yang sedang terburu-buru,
jalanan yang licin, anjing yang menyebalkan, turunan curam, mobil besar, dan
babon yang mengemudikannya),
aku secara samar-samar bisa mengenali sumbangsihku sendiri yang mengerikan.
Kalau saja aku tidak ceroboh dalam menyimpan catatan harian itu, arus yang
dihasilkan dari kemarahan dan rasa malu tak akan membutakan Charlotte saat lari
ke kotak surat. Namun, walaupun itu telah membutakannya, mungkin tetap saja tak
ada yang terjadi, kalau tak ada campur tangan takdir di antara deru mobil,
anjing, matahari, tempat berteduh, dan batu. Jabat tangan takdir yang gemuk
(seperti yang dilakukan Beale sebelum meninggalkan ruangan) membawaku keluar
dari kelumpuhanku dan aku menangis. Tuantuan dan nyonya-nyonya juri aku menangis
... 24 POHON-POHON elm dan poplar memalingkan bagian belakangnya yang berumbai-rumbai
saat mendadak ada angin kencang dari geledek menggelegar di atas menara gereja
putih di Ramsdale, saat aku melihat sekelilingku untuk terakhir kali. Aku
meninggalkan rumah berwarna biru keunguan itu, tempat aku menyewa sebuah kamar
sepuluh minggu sebelumnya, untuk sebuah petualangan yang tak jelas.
Tirai itu-tirai bambu yang murah dan praktis telah tertutup. Di teras-teras atau
di dalam rumah, teksturnya menghasilkan sebuah kesan modern. Rumah di surga
pasti kelihatan agak polos tanpanya.
Setetes hujan jatuh di atas kepalan tanganku. Aku kembali ke dalam rumah untuk
mengambil sesuatu selagi John menaruh tas-tasku ke dalam mobil. Lalu terjadilah
sesuatu yang lucu. Aku tidak tahu kalau dalam catatan-catatan tragis ini aku
sudah cukup menekankan kesan tak biasa yang ditimbulkan oleh penampilan penulis
yang menarik bagi perempuan dari beragam umur dan latar belakang. Tentu saja,
pernyataan semacam itu yang dinyatakan oleh orang pertama bisa terdengar
menggelikan. Namun, sesekali aku harus mengingatkan pembacaku akan penampilanku
yang lebih mirip penulis novel profesional.
Penampilanku yang sendu dan menarik harus disimpan di dalam imajinasimu agar
ceritaku bisa dipahami dengan benar. Lo yang sedang mengalami masa puber, mabuk
akan pesona Humbert seperti terhadap musik yang diulang-ulang. Lotte dewasa
mencintaiku dengan gairah yang matang dan posesif. Jean Farlow yang berusia tiga
puluh satu tahun dan tingkahnya tak masuk akal juga kelihatannya mulai suka
kepadaku. Dia terlihat menarik dengan penampilan seperti perempuan Indian yang
dipahat dalam selubung warna kulit kuning tua terbakar. Bibirnya bagaikan
tonjolan besar berwarna merah tua. Dan, ketika dia mengeluarkan tawa khasnya
yang nyaring, tampaklah gigi-gigi besar dan gusi yang pucat.
Dia bertubuh tinggi dan biasanya mengenakan celana panjang dengan sandal atau
rok balon dengan sepatu balet, menenggak minuman keras apa pun dalam jumlah
banyak, telah keguguran dua kali, menulis cerita tentang binatang-binatang,
melukis pemandangan seperti yang sudah diketahui pembaca, mengidap penyakit
kanker yang akan membunuhnya pada usia tiga puluh tiga, dan sangat tidak menarik
bagiku. Bayangkanlah perasaan takutku saat beberapa detik sebelum aku pergi (ia
dan aku berdiri di lorong rumah). Jean dengan jari-jarinya yang selalu gemetaran
menyentuh keningku dan, dengan air mata berlinang di matanya yang berwarna biru
terang, berusaha menciumku, tapi untunglah gagal.
"Jaga dirimu baik-baik," katanya, "dan berikan ciumanku kepada anakmu."
Suara geledek terdengar menggelegar berkali-kali di seluruh penjuru rumah dan
dia lalu menambahkan, "Mungkin kelak di suatu tempat, pada suatu hari, pada saat
yang tidak begitu menyedihkan, kita bisa bertemu lagi ..." (Jean, di mana pun
kau berada, dalam ruang yang tanpa waktu atau dalam waktu yang bernyawa, maafkan
aku atas semuanya.) Dan, kini aku sedang berjabatan tangan dengan keduanya di jalanan, jalan yang
menurun itu, dan semuanya berputar, beterbangan, sebelum hujan deras turun.
Sebuah truk yang membawa kasur dari Philadelphia dengan penuh percaya diri
menuju sebuah rumah kosong dan debu terbang berputar-putar tepat di atas
kepingan batu tempat Charlotte tampak meringkuk saat mereka menyingkap kain
penutupnya untukku. Sepasang matanya utuh, bulu matanya yang hitam masih tetap
basah dan kusam. Sama seperti bulu matamu, Lolita.
25 ORANG MUNGKIN menduga dengan hilangnya semua hambatan dan adanya kemungkinan
menuju kesenangan luar biasa serta tak terbatas di depan mata, aku secara mental
akan tenggelam dan menarik napas lega dengan nikmat. Eh, bien, pas du tout!25
Alih-alih berjemur di bawah sinar senyum Sang Kesempatan, aku malah terobsesi
dengan segala keraguan dan rasa takut yang sepenuhnya bersifat moral belaka.
Contohnya: apakah orang tidak akan kaget bahwa Lo terus menerus dicegah
menghadiri acara keluarga dan pemakaman anggota keluarganya yang paling dekat"
Kauingat ia tak ada saat pernikahan kami. Atau hal lain: anggap saja lengan Sang
Kebetulan yang telah menyingkirkan seorang perempuan tak berdosa, mungkinkah
Sang Kebetulan tak mengabaikan apa yang telah dilakukan oleh kembarannya dan
menyampaikan kepada Lo ucapan belasungkawa yang terlalu dini"
Benar, bahwa kecelakaan itu hanya ditulis oleh koran The Ramsdale Journal-bukan
Parkington Recorder atau Climax Herald, bahwa Perkemahan Q ada di negara bagian
lain, dan kematian di daerah setempat tidak mempunyai nilai berita federal, tapi
aku tidak bisa tidak membayangkan bahwa entah bagaimana caranya Dolly Haze sudah
diberi tahu, dan bertepatan saat aku dalam perjalanan untuk menjemputnya, dia
sedang diantarkan ke Ramsdale oleh orang-orang yang tak kukenal.
Namun, tetap saja yang lebih mengkhawatirkan dan menyedihkan daripada semua
dugaan dan kekhawatiran ini adalah kenyataan bahwa Humbert Humbert, seorang
warga negara Amerika baru yang asal usul darah Eropanya tidak jelas, tak
mengambil langkah resmi untuk menjadi wali sah anak perempuan istrinya yang
telah wafat (usianya dua belas tahun tujuh bulan).
Apakah aku berani mengambil langkah itu" Aku tak bisa mengendalikan getaran
tubuhku kapan pun aku membayangkan ketelanjanganku dikelilingi oleh hukum
tertulis yang misterius dalam pandangan bengis hukum adat.
Rencanaku adalah keajaiban seni kuno: aku akan mengebut ke Perkemahan Q, bilang
kepada Lolita bahwa ibunya akan menjalani operasi di suatu rumah sakit bohongan,
lalu terus berkelana dengan gadis kecilku yang mengantuk dari penginapan ke
penginapan selagi ibunya terus membaik hingga akhirnya meninggal.
Namun, saat aku mengemudi ke arah perkemahan, kecemasanku muncul. Aku tidak
tahan memikirkan bahwa bisa saja aku tak menemukan Lolita di sana atau sebagai
gantinya menemukan Lolita yang ketakutan, berteriak menuntut bertemu dengan
teman keluarganya: semoga bukan keluarga Farlow - ia tidak mengenal mereka tapi
mungkinkah ada orang lain yang tak kukenal" Akhirnya, aku memutuskan untuk
melakukan panggilan telepon jarak jauh yang telah kulatih dengan baik beberapa
hari sebelumnya. Hujan turun dengan derasnya ketika aku menghentikan mobil di daerah pinggiran
yang berlumpur di Parkington, tepat sebelum Fork, sebuah cabang yang melingkari
kota dan menuju jalan raya yang memotong bukit menuju Sungai Climax dan
Perkemahan Q. Aku mematikan mesin dan selama sekitar semenit duduk di dalam
mobil dan memandang hujan, trotoar yang dibanjiri air, kran pemadam kebakaran-
benar-benar sebuah benda yang buruk, yang dicat tebal dengan warna perak dan
merah, memanjangkan landasan merah lengan-lengannya untuk dilapisi air hujan,
seperti darah bohongan menetes di rantai-rantai keperakannya. Tak heran kalau
orang menganggap tabu berhenti di samping benda tak seimbang itu. Aku lalu
mengemudi ke arah pompa bensin. Sebuah kejutan menantiku ketika akhirnya koin-
koin itu jatuh berdenting dan terdengar suara yang menjawab panggilanku.
Holmes, pemimpin perkemahan, memberitahuku bahwa Dolly telah pergi pada hari
Senin (sekarang hari Rabu) untuk berkelana di perbukitan dengan kelompoknya dan
kemungkinan akan pulang agak malam. Apakah aku akan datang besok dan kapankah
tepatnya" Tanpa bertele-tele, aku mengatakan bahwa ibunya masuk rumah sakit dan
situasinya parah sehingga anak itu tidak boleh diberi tahu bahwa kondisi ibunya


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat parah dan dia harus siap untuk pulang denganku besok siang.
Kedua suara kami berpisah dalam kehangatan dan niat baik, dan karena cacat
mekanik yang aneh, semua koinku terpental kembali kepadaku dengan dentingan yang
bunyinya seperti orang menang undian, sehingga membuatku tertawa terlepas dari
rasa kecewa karena harus menunda kebahagiaan yang luar biasa. Orang mungkin
bertanya-tanya apakah pengembalian uang yang terjadi dengan tiba-tiba ini
berkaitan atau tidak dengan penemuanku atas petualangan kecil itu sebelum benar-
benar mempelajarinya seperti yang kulakukan sekarang.
Selanjutnya bagaimana" Aku meneruskan perjalanan ke pusat perbelanjaan
Parkington dan menghabiskan sepanjang siang (cuaca menjadi cerah dan kota yang
basah itu tampak bagaikan perak dan kaca indah) berbelanja benda-benda cantik
untuk Lo. Astaga, betapa pembelian gila-gilaan langsung kulakukan: katun
berwarna cerah, rumbai-rumbai, baju berlengan balon pendek, lipatan-lipatan yang
halus, atasan yang pas di tubuh, dan rok yang panjang!
Oh, Lolita, kau adalah gadisku, seperti Vee adalah gadis Poe dan Bea kekasih
Dante, dan gadis kecil macam apa yang tak akan senang berputar dengan rok yang
mengembang" Apakah ada hal tertentu yang kaumau" Suara-suara bernada merayu itu
bertanya kepadaku. Baju renang" Kami punya segala warna. Merah jambu, biru
kehijauan, ungu pucat, merah, hitam. Bagaimana dengan rok dalam" Jangan ada rok
dalam. Lo dan aku membenci rok dalam.
Salah satu panduanku dalam hal-hal semacam ini adalah catatan ukuran tubuh yang
dibuat oleh ibunya pada ulang tahun Lo yang kedua belas. Aku punya perasaan
bahwa Charlotte, digerakkan oleh motif tak jelas yang diwarnai rasa iri dan tak
suka, telah menambahkan beberapa senti di sini, beberapa ons di sana. Namun,
karena tak diragukan lagi bahwa gadis kecil itu telah tumbuh selama tujuh bulan
terakhir, kupikir aku bisa menerima sebagian besar pengukuran di bulan Januari
itu: lingkar pinggul dua puluh sembilan inci, lingkar paha tujuh belas inci,
lingkar betis dan lingkar leher sebelas inci, lingkar dada dua puluh tujuh inci,
lingkar lengan atas delapan inci, lingkar pinggang dua puluh tiga inci, tinggi
badan satu meter empat puluh tiga senti, berat badan tiga puluh sembilan
kilogram, sosok lurus, tingkat kecerdasan 121.
Terlepas dan ukuran-ukuran itu, tentu saja aku bisa membayangkan Lolita dengan
jelas. Kurasa seakan tertusuk tulang dadaku, di tempat yang tepat, di mana baju
atasannya yang halus sejajar dengan jantungku dan merasakan seolah-olah bobot
tubuhnya yang hangat di atas pangkuanku (jadi aku selalu "dengan Lolita" seperti
seorang perempuan "dengan bocah kecil"). Aku tak heran saat belakangan menemukan
bahwa perhitunganku ternyata tepat.
Setelah melihat-lihat sebuah buku diskon pertengahan musim panas, dengan gaya
seolah-olah mengerti, aku memeriksa beragam benda yang indah, sepatu olahraga,
dan barang-barang lainnya.
Perempuan menor berbaju hitam yang membantu semua kebutuhanku ini mengganti
pengetahuan orangtua dan penggambaran yang teliti menjadi bahasa halus iklan.
Yang lainnya seorang perempuan yang jauh lebih tua berbaju putih dan dengan
dandanan yang seperti topeng kelihatan terkesan, tapi heran dengan pengetahuanku
akan busana gadis kecil. Mungkin dia mengira aku punya gundik kecil. Jadi, ketika aku ditunjukkan sehelai
rok dengan dua saku yang "lucu" di bagian depan, dengan maksud tertentu aku
mengeluarkan sebuah pertanyaan pria lugu dan dihadiahi demonstrasi bagaimana
cara bekerja retsleting di bagian belakang rok dengan penuh senyum. Berikutnya
aku bersenang-senang dengan segala jenis celana pendek dan celana dalam hantu-
hantu Lolita kecil menari-nari, berjatuhan, dan bergentayangan di seluruh bagian
toko itu. Kami menyatukan semua barang itu dengan beberapa piyama katun rapi
dengan gaya tukang jagal yang terkenal. Humbert, si tukang jagal yang terkenal.
Ada sentuhan mitologis dan sihir di toko-toko besar itu, di mana menurut iklan,
seorang perempuan karier bisa mendapatkan koleksi busana lengkap yang mutakhir
dan adik kecil bisa memimpikan hari saat baju hangat wolnya akan membuat anak-
anak lelaki yang duduk di barisan belakang kelas meneteskan air liur. Patung-
patung plastik berukuran asli seperti anak-anak yang hidungnya mencuat dengan
wajah-wajah kelabu kecokelatan, kehijauan, bertitik-titik cokelat seperti dewa
hutan, melayang di sekelilingku.
Kusadari akulah satu-satunya orang yang berbelanja di tempat yang agak seram
itu, di mana aku bergerak bagaikan ikan di dalam sebuah akuarium. Aku merasakan
pikiran-pikiran aneh tumbuh di kepala perempuan perempuan gemulai yang memanduku
dari satu bagian ke bagian lain, dari tonjolan batu pipih ke rumput laut, dan
ikat pinggang serta gelang-gelang yang kupilih seakan-akan jatuh dari tangan
putri duyung ke dalam air yang jernih. Aku membeli sebuah tas pakaian yang
anggun, meminta barang-barang belanjaanku dimasukkan ke dalamnya, lalu pergi ke
hotel terdekat-merasa cukup puas dengan hariku.
Entah bagaimana, berkaitan dengan siang hari puitis yang dipenuhi acara belanja,
aku jadi teringat penginapan dengan nama menggoda, The Enchanted Hunters Para
Pemburu yang Tersihir, yang pernah disebut Charlotte tak lama sebelum
kebebasanku. Dengan bantuan sebuah buku panduan, aku menemukannya di sebuah kota
sepi bernama Briceland, empat jam perjalanan dari perkemahan Lo.
Aku bisa saja menelepon, tapi takut suaraku akan lepas kendali dan berubah
menjadi bahasa Inggris berantakan yang diucapkan dengan parau dan malu-malu.
Jadi, aku mengirimkan telegram untuk memesan sebuah kamar dengan dua tempat
tidur untuk malam berikutnya. Betapa diriku adalah seorang Pangeran Tampan yang
lucu, kikuk dan goyah! Betapa beberapa pembacaku akan menertawaiku saat aku mengatakan kepada mereka
kesulitan yang kutemui saat menyusun kata-kata untuk telegramku! Apa yang harus
kutulis: Humbert dan anak perempuannya"
Humberg dan anak perempuannya yang masih kecil" Homberg dan perempuan yang belum
dewasa" Homburg dan anaknya" Kesalahan yang lucu-"g" di bagian akhir yang
akhirnya muncul, mungkin adalah gaung telepati keraguanku.
Kemudian, dalam beledu malam musim panas, kurasakan kesedihanku atas ramuan
ajaib yang kumiliki! Oh Hamburg yang sengsara! Bukankah ia seorang Pemburu yang
Tersihir saat ia berhati-hati dengan sekotak penuh peluru ajaibnya" Untuk
mengalahkan monster insomnianya, haruskah ia mencoba sendiri salah satu kapsul
berwarna ungu itu" Ada empat puluh kapsul, seluruhnya empat puluh malam dengan
tukang tidur mungil lemah di sisiku yang berdebar-debar. Bisakah aku mencuri
satu malam seperti itu agar bisa tidur" Tentu saja tidak: setiap kapsul kecil
itu terlalu berharga, sebuah planetarium mikroskopis dengan serbuk bintangnya
yang hidup. Oh, biarkanlah aku menjadi sentimental! Aku lelah menjadi orang yang sinis.
26 RASA PUSING ini di dalam udara penjara yang sesak ini begitu mengganggu, tapi
aku harus maju terus. Sudah menulis lebih dari seratus halaman dan belum sampai
ke mana-mana. Kalenderku mulai membingungkan. Seharusnya, itu sekitar 15 Agustus
1947. Aku tak yakin bisa melanjutkan. Hati, kepala semuanya. Lolita, Lolita,
Lolita, Lolita, Lolita, Lolita, Lolita, Lolita, Lolita. Juru ketik, terus ulangi
kata itu sampai halamannya penuh.
27 MASIH DI Parkington. Akhirnya, aku berhasil tidur satu jam aku dibangunkan oleh
seekor serangga kecil berbulu yang benar-benar makhluk asing. Saat itu jam enam
pagi, dan tiba-tiba terlintas dalam pikiranku mungkin bagus jika sampai di
perkemahan itu lebih awal dari rencana sebelumnya.
Dari Parkington aku masih harus menempuh ratusan kilometer lagi, dan lebih jauh
lagi ke Hazy Hills dan Briceland. Kalau kubilang aku akan menjemput Dolly siang
hari, itu hanya karena keinginanku memaksa agar malam yang penuh belas kasihan
segera datang menghapus ketaksabaranku. Namun, sekarang aku menerawang segala
salah pengertian dan penundaan yang mungkin bisa memberinya kesempatan untuk
menelepon ke Ramsdale. Pada pukul 09.30 pagi aku mencoba menyalakan mobil.
Ternyata, aki mobil mati sehingga akhirnya aku baru meninggalkan Parkington saat
tengah hari. Aku mencapai tempat tujuanku sekitar pukul setengah tiga sore, lalu memarkir
mobilku di bawah sekumpulan pohon cemara, di mana seorang bocah lelaki jahil
berbaju hijau, berambut kemerahan, berdiri melemparkan sepatu kuda dalam
kesendiriannya yang sepi. Dengan hanya beberapa patah kata dia mengarahkanku ke
sebuah kantor dalam pondok yang terbuat dari dinding plesteran. Dalam keadaan
nyaris sekarat, aku harus menjalani beberapa menit penuh simpati dan rasa sangat
ingin tahu dari pengelola perkemahan, seorang perempuan yang terlihat centil
dengan rambutnya yang berwarna seperti karat. Katanya, Dolly sudah berkemas dan
siap berangkat. Ia tahu bahwa ibunya sakit tapi tidak parah. Apakah Tuan Haze,
maksudku, Tuan Humbert, mau menemui penasihat perkemahan" Atau, melihat-lihat
pondok tempat anak-anak perempuan tinggal" Setiap pondok dibuat berdasarkan
tokoh Disney. Atau, haruskah Charlie dikirim untuk menjemputnya" Anak-anak
perempuan itu baru saja selesai menata ruang makan untuk acara dansa.
(Dan, mungkin setelah itu ia akan bilang kepada seseorang, "Pria malang itu
kelihatan seperti hantu.")
Izinkan aku sejenak meneruskan adegan itu dalam semua perinciannya yang tak
terlalu penting dan yang amat penting: Holmes tua yang buruk rupa menulis tanda
terima, menggaruk-garuk kepalanya, menarik laci mejanya, menaruh uang kembalian
ke dalam telapak tanganku yang tak sabar, kemudian dengan rapi menggelar uang
kertas di atasnya dengan ucapan "... dan lima!" yang ceria; beberapa foto bocah-
bocah perempuan; beberapa ngengat atau kupu-kupu yang warnanya terlalu cerah dan
tak menarik, masih hidup, dipaku ke dinding ("studi alamiah"); sertifikat
penasihat diet perkemahan yang dibingkai; tanganku yang gemetaran; secarik kartu
yang dibuat oleh Holmes berisi laporan perilaku Dolly Haze selama bulan Juli
("rata-rata bagus; senang berenang dan naik perahu"); suara desau pepohonan dan
kicau burungburung, dan hatiku yang berdebar-debar ...
Aku berdiri dengan punggung membelakangi pintu yang terbuka, kemudian kurasakan
darah tersirap ke kepalaku saat aku mendengar napas dan suaranya di belakangku.
Dia datang dengan menyeret dan menabrakkan kopornya yang berat.
"Hai!" katanya, sambil berdiri diam, memandangku dengan sepasang mata berbinar
senang yang licik bibirnya yang lembut terbuka dalam senyum yang agak konyol,
tapi luar biasa menarik. Dia lebih kurus dan lebih tinggi dan untuk sesaat wajahnya kelihatan tak
secantik seperti yang tertanam dalam pikiranku, yang kukenang lebih dari
sebulan: pipinya kelihatan cekung dan terlalu banyak titik cokelat menyamarkan
raut wajahnya yang berwarna merah muda polos.
Kesan pertama itu membawa dampak yang jelas bahwa semua hal yang duda Humbert
harus lakukan, ingin lakukan, atau akan lakukan, adalah memberi bocah piatu
mungil yang kelihatan pucat dan lemah walaupun terbakar sinar matahari ini
pendidikan yang baik, masa kecil yang sehat dan bahagia, rumah yang bersih,
teman-teman perempuan sebaya yang baik, yang di antaranya (kalau takdir mau
berbaik hati mengganjarku) mungkin terdapat seorang bocah kecil yang cantik
untuk Herr Doktor Humbert sendiri.
Namun, "dalam sekedipan mata", seperti yang orang-orang Jerman bilang, aturan
perilaku yang bagaikan malaikat itu terhapus. Aku menyusul mangsaku (waktu
bergerak maju dalam keinginan kita!) dan dia kini Lolitaku lagi dalam kenyataan,
lebih dari yang sebelumnya.
Aku menaruh tanganku di atas kepalanya yang hangat dengan rambutnya yang merah
kecokelatan, dan mengangkat tasnya. Ia dipenuhi warna mawar dan madu, mengenakan
baju kotak-kotaknya yang paling terang dengan pola apel merah kecil-kecil.
Lengan dan kakinya berwarna cokelat gelap keemasan dengan goresan goresan
seperti garis-garis kecil bertitik-titik dan batu merah delima yang mengental,
dan pergelangan kaus kakinya yang bergaris-garis diturunkan sampai titik yang ia
hafal. Dan karena cara berjalannya yang kekanak kanakan, atau karena aku mengingatnya
selalu mengenakan sepatu tak berhak, sepatunya entah bagaimana kelihatan terlalu
besar dan haknya terlalu tinggi baginya.
Selamat tinggal Perkemahan Q yang ceria. Selamat tinggal makanan hambar yang
tidak sehat, selama tinggal Charlie.
Di dalam mobil yang panas, ia duduk di sampingku, menepuk lalat yang hinggap di
atas lututnya yang indah. Lalu, dengan mulut bekerja keras mengunyah permen
karet, dia dengan cepatnya membuka jendela di sampingnya dan duduk lagi. Kami
mengebut melewati hutan yang bergarisgaris dan bertutul-tutul.
"Apa kabarnya Mama?" tanyanya dengan hormat.
Kubilang dokter-dokter itu belum benar-benar tahu apa penyakitnya. Namun, itu
sesuatu yang berkaitan dengan perut. Kami harus menunggu di sekitar sini
sebentar. Rumah sakit itu ada di daerah pinggiran, dekat kota Lepingville yang
berwarna-warni, tempat seorang pujangga besar pernah tinggal pada awal abad
kesembilan belas dan tempat kita akan melihat semua pertunjukan. Menurutnya, itu
gagasan yang bagus dan dia penasaran apakah kami bisa sampai di Lepingville
sebelum pukul sembilan malam.
"Kita seharusnya sampai di Briceland saat makan malam," kataku,
"dan besok kita akan mengunjungi Lepingville. Bagaimana perjalanan berkelanamu"
Apakah kau mengalami saat-saat yang luar biasa di perkemahan itu?"
"Heeh." "Sedih karena harus pergi?"
"Ng ..." "Bicara, Lo jangan menggeram. Katakan sesuatu kepadaku."
"Tentang apa, Pa?" (ia memanjangkan kata terakhir itu dengan berhati-hati dan
ironis). "Apa pun yang sudah terjadi."
"Tak apa-apa kan kalau aku memanggilmu begitu?" (matanya terpicing melihat
jalan). "Tak apa." "Kapan kau mulai jatuh cinta pada ibuku?"
"Suatu hari nanti, Lo, kau akan memahami banyak emosi dan situasi, misalnya
keharmonisan dan keindahan hubungan spiritual."
"Bah!" kata gadis mungil yang sinis itu. Jeda yang panjang setelah dialog itu
diisi dengan pemandangan sekitar.
"Lo, lihat sapi-sapi di sisi bukit itu."
"Kurasa, aku akan muntah kalau aku melihat sapi lagi."
"Kautahu, aku sangat merindukanmu, Lo."
"Aku tidak. Nyatanya aku tidak setia kepadamu dengan cara yang menjijikkan.
Tapi, itu sama sekali tidak masalah, karena kau juga berhenti memerhatikanku.
Kau menyetir jauh lebih cepat daripada ibuku."
Aku menurunkan kecepatan dan tujuh puluh yang tak kusadari ke lima puluh
kilometer per jam. "Kenapa kaupikir aku berhenti memerhatikanmu, Lo?"
"Kau belum menciumku, bukan?"
Setengah sekarat, separuh mendesah, aku sekilas melihat bahu jalan yang cukup
lebar di depan, menabraknya, dan terhuyung-huyung masuk ke dalam gerumbul semak
tetumbuhan liar. Ingat, dia hanyalah seorang anak kecil, ingat dia hanyalah ....
Sebelum mobil benar-benar berhenti, Lolita masuk ke dalam pelukanku. Aku tak
berani melepaskan hasratku bahkan tak berani membiarkan diriku menyadari bahwa
ini (rasa basah yang manis dan kobaran api yang bergetar) adalah awal dari hidup
yang terlalu indah untuk diungkapkan dengan kata-kata, yang dengan dibantu
takdir akhirnya menjadi kenyataan. Aku tak berani sungguh-sungguh menciumnya.
Hanya kusentuh bibirnya yang panas dan terbuka dengan rasa segan, kecupan kecil,
bukan lumatan yang membangkitkan nafsu.
Namun, dia, dengan gerakan memutar yang tak sabaran, menekankan mulutnya ke
mulutku, begitu keras sehingga aku bisa merasakan gigi-gigi depannya yang besar
dan berbagi rasa permen dan ludahnya.
Tentu saja aku tahu, itu hanyalah permainan tak berdosa baginya.
Dan karena (seperti yang akan dikatakan psikoterapis, begitu juga pemerkosa,
kepadamu) batas dan aturan permainan bocah perempuan semacam itu amat cair atau
paling tidak, terlalu samar untuk ditangkap oleh pasangannya yang lebih tua aku
sangat takut bila aku melangkah terlalu jauh dan menyebabkannya kembali terpuruk
dalam rasa takut dan jijik. Di atas semua itu, aku begitu berhasrat sehingga
sampai pening untuk menyelundupkannya ke dalam pengasingan The Enchanted Hunters
yang sangat rapat, dan kami masih harus menempuh delapan puluh kilometer lagi.
Terpujilah intuisi yang melepaskan pelukan kami sesaat sebelumnya seorang polisi
patroli jalan raya berhenti di samping mobil kami.
Dengan wajah merah padam, pengemudinya memandangku, "Lihat sedan biru, sama
seperti punyamu, menyalipmu sebelum perempatan?"
"Kenapa" Tidak."
"Kami tidak lihat," kata Lo, dengan bersemangat dia menjulurkan tubuh
memalangiku, tangannya yang polos di atas kakiku, "tapi apakah Anda yakin
warnanya biru, karena-"
Si polisi memberi gadis kecil itu senyum terbaiknya, lalu memutar balik
mobilnya. Kami melaju lagi.
"Polisi bodoh!" komentar Lo. "Ia seharusnya menangkapmu."
"Demi Tuhan, memangnya kenapa?"
"Batas kecepatan di negara bagian ini adalah lima puluh kilometer per jam, dan
Tidak, jangan melambat! Ia sudah pergi sekarang."
"Perjalanan kita masih lumayan jauh," kataku, "dan aku ingin sampai di sana
sebelum gelap. Jadi, bersikaplah seperti anak yang manis."


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak nakal," kata Lo dengan nyaman. "Anak muda yang bersalah melakukan
kejahatan, tapi blak-blakan dan menarik. Tadi lampunya merah. Aku belum pernah
melihat cara mengemudi seperti itu."
Kami melaju tanpa suara, melalui kota kecil yang sunyi.
"Tidakkah Mama akan benar-benar marah kalau ia tahu kita ini sepasang kekasih?"
"Astaga, Lo, jangan bicara seperti itu ..."
"Tapi, kita memang sepasang kekasih, bukan?"
"Setahuku tidak. Kurasa akan turun hujan. Bukan kah kau mau menceritakan
kepadaku tentang kejahilan-kejahilan kecilmu di perkemahan?"
"Caramu bicara seperti buku, Pa."
"Kau melakukan apa saja" Aku ingin kau menceritakannya kepadaku."
"Apakah kau gampang terkejut?"
"Tidak. Teruskan."
"Ayo kita belok ke jalanan sepi dan aku akan menceritakannya kepadamu."
"Lo, aku harus memintamu dengan serius untuk tidak bermain-main yang konyol
seperti itu. Jadi, bagaimana ceritanya?"
"Aku mengikuti semua kegiatan yang ditawarkan." "Menyenangkan?"
"Ya, aku diajari untuk hidup dengan bahagia dan sejahtera bersama yang lainnya,
dan untuk mengembangkan kepribadian yang utuh."
"Ya. Aku membaca yang seperti itu di dalam buku panduannya."
"Sialan! Kami menyukai acara menyanyi di sekeliling perapian besar yang terbuat
dan batu, atau di bawah bintang-bintang, di mana setiap perempuan menggabungkan
jiwa kebahagiaannya sendiri dengan suara kelompok itu."
"Ingatanmu sangat bagus, Lo, tapi aku harus mengingatkanmu untuk meninggalkan
kata-kata sumpah serapah. Ada lagi yang lain?"
"Semboyan Pramuka perempuan juga kuamalkan," kata Lo dengan penuh semangat, "Aku
mengisi hidup-ku dengan perbuatan-perbuatan yang berharga, seper-ti-ah, lupakan
saja. Tugasku-untuk menjadi orang yang berguna: aku adalah teman bagi binatang-
binatang jantan. Aku mematuhi perintah. Aku riang gembira. Eh, tadi ada mobil
polisi lagi ..." "Kuharap ceritamu sudah selesai, bocah kecil yang pandai bicara."
"Ya. Sudah semuanya. Tidak-tunggu sebentar. Kami memanggang roti dalam oven
reflektor. Hebat, kan?"
"Ya, itu lebih baik."
"Kami mencuci zillion piring. Kautahu, zillion ada-lah bahasa slang ibu guru tua
yang galak untuk mengatakan amat sangat banyak sekali banget. Oh, ya, yang
terakhir, tapi bukan berarti tidak penting: kami membuat gambar wayang. Hei, itu
menyenangkan." " C'est bien tout?"26
" C'est.27 Kecuali satu hal kecil, sesuatu yang tak bisa kukatakan kepadamu
tanpa mukaku jadi tersipu."
"Maukah kau mengatakannya kepadaku nanti?"
"Kalau kita duduk dalam gelap dan kau membiarkanku membisikkannya, aku akan
mengatakannya kepadamu. Apakah kau tidur di kamarmu yang lama atau dengan Mama?"
"Kamar yang lama. Ibumu mungkin harus menjalani operasi yang sangat serius, Lo."
"Berhentilah di toko permen itu," kata Lo. Duduk di kursi tinggi, dengan segaris
cahaya matahari melewati lengan kecokelatannya yang terbuka, Lolita disajikan
campuran macam-macam es krim yang atasnya dituangi sirup buatan. Es krim itu
dibuat dan dibawakan kepadanya oleh seorang remaja lelaki jerawatan yang
mengenakan dasi kupu-kupu berminyak dan memandangi bocah kecilku yang rapuh
dalam gaun katun tipisnya dengan sedikit bernafsu. Ketaksabaranku untuk segera
sampai di Briceland dan The Enchanted Hunters menjadi lebih dari yang bisa
kutahan. Untunglah, Lo segera menghabiskan makanannya dengan penuh semangat
seperti biasa. "Berapa banyak uang yang kaupunya?" tanyaku.
"Tidak satu sen pun," katanya dengan sedih sambil mengangkat alis matanya dan
menunjukkan bagian dalam dompetnya yang kosong.
"Ini persoalan yang harus diatasi dalam waktu yang tepat,"
sahutku. "Kita pergi sekarang?"
"Aku ingin ke kamar mandi dulu."
"Kau tak boleh pergi ke sana," kataku tegas. "Pasti tempatnya kotor. Ayo kita
pergi." Ia memang gadis kecil yang patuh. Aku mencium lehernya ketika kami kembali masuk
ke dalam mobil. "Jangan lakukan itu," sergahnya sambil memandangku dengan rasa kaget sungguhan.
"Jangan ngiler di kulitku. Kau laki-laki jorok."
Ia menggosok-gosokkan bagian tubuhnya yang kucium ke bahunya yang dia angkat.
"Maaf," aku bergumam. "Aku suka padamu." Kami melaju lagi di bawah langit yang
kelabu, di atas jalanan berliku, lalu menurun lagi.
"Aku juga tampaknya suka kepadamu," kata Lolita dengan suara lembut yang
tertahan, seperti menghela napas, dan duduk mendekat kepadaku.
(Oh, Lolitaku, kita mungkin tidak akan pernah sampai ke sana!) Senja mulai
mengisi Briceland yang kecil dan indah dengan arsitekturnya yang bergaya
kolonial gadungan, toko-toko yang menjual barang-barang aneh, dan pohon-pohon
impor yang menaungi jalanan, saat kami mengemudi melewati jalan-jalan yang
remang-remang untuk mencari The Enchanted Hunters. Udaranya hangat dan segar
saat di luar rinai hujan gerimis terus menerus mewarnai kota dan antrian orang
kebanyakan anak kecil dan orang tua-tampak sudah menunggu di depan loket sebuah
bioskop yang dihiasi lampu-lampu.
"Oh, aku ingin sekali nonton film itu. Ayo kita ke sana setelah makan malam.
Ayolah!" "Boleh saja," kata Humbert berulang-ulang tahu pasti bahwa setan yang licik itu
pada pukul sembilan malam, saat pertunjukan telah mulai, akan mati dalam
pelukannya. "Pelan-pelan!" jerit Lo, tubuhnya tersentak ke depan, saat sebuah truk terkutuk
di depan kami berhenti mendadak di sebuah perempatan.
Kalau kami tidak segera sampai ke hotel itu secepatnya dengan cara yang ajaib,
kurasa persis di blok berikutnya aku akan kehilangan kendali atas mobil tua Haze
dengan pembersih kacanya yang tak bekerja dengan baik dan remnya yang antik.
Namun, orang-orang lalu lalang yang kutanyai arah, kalau bukan orang asing juga,
malah bertanya balik dengan wajah berkerut, "Enchanted apa?", seolah-olah aku
orang gila. Atau, kalau tidak, memberikan penjelasan yang rumit dengan gerakan tubuh
geometris, geografi umum, dan petunjuk-petunjuk lokal yang membingungkan (...
lalu ke selatan setelah kau menemukan gedung pengadilan ...) sehingga aku tak
berdaya dan kehilangan arah dalam liku-liku penjelasan mereka yang berbelit-
belit dan sulit dimengerti.
Lo, yang lambungnya sudah mencerna makanan manis, menunggu makan besar dan mulai
gemetar kelaparan. Bagiku walaupun aku telah sejak lama terbiasa dengan semacam
takdir kedua (katakanlah, sekretaris Tuan Takdir yang tak terampil) yang
terkadang mencampuri rencana bosnya yang murah hati menggilas jalanan Briceland
dan mencari-cari tanpa bisa melihat dengan jelas mungkin merupakan pengalaman
tak menyenangkan paling menyebalkan yang harus kuhadapi. Dalam bulan-bulan
selanjutnya aku menertawakan kurangnya pengalamanku saat mengingat bagaimana
dengan keras kepala aku memusatkan perhatian pada penginapan tertentu dengan
nama yang aneh, sedangkan di sepanjang perjalanan kami tak terhitung penginapan
yang memasang tanda dan lampu neon bahwa ada tempat kosong, siap menerima para
penjual keliling, penjahat buron, orang-orang impoten, dan pasangan pasangan tak
bermoral. Ah, pengendara-pengendara mobil yang melaju perlahan, meluncur menembus malam
musim panas yang kelam. Kegiatan menyenangkan dan jalinan nafsu macam apa yang
mungkin bisa kaulihat dari jalan raya jika pondok-pondok itu tiba-tiba menjadi
sebening kotak kaca! Keajaiban yang kuharapkan akhirnya terjadi. Seorang pria dan seorang gadis yang
tengah bersama dalam sebuah mobil berwarna gelap di bawah pohon yang meneteskan
air hujan memberi tahu kami bahwa kami sedang berada di tengah The Park, tinggal
belok kiri di lampu merah berikutnya dan sampailah di hotel itu. Kenyataannya,
kami sama sekali tidak melihat lampu merah itu. The Park, taman itu, sekelam
dosa yang disamarkannya. Namun, segera setelah tersihir jampi-jampi, para
pengembara menyadari adanya cahaya berpendar bagaikan permata menembus kabut,
kemudian muncullah pantulan air danau. Dan di situlah dia, berdiri dengan
indahnya, di bawah pohon-pohon serupa hantu, di bagian puncak jalan masuk yang
berkerikil-istana pucat The Enchanted Hunters. Barisan mobil yang parkir,
bagaikan deretan babi di bak makanan, pada pandangan pertama kelihatan seperti
menghalangi jalan masuk. Kemudian, seakan karena sihir, sebuah mobil kap terbuka
yang gagah, yang warna terangnya indah dalam hujan rintik-rintik, beranjak pergi
dengan penuh tenaga dikemudikan oleh pengemudi berbahu lebar dan kami dengan
penuh syukur menyelinap masuk ke dalam celah yang diciptakannya. Aku segera
menyesali ketergesaanku karena aku sadar kini mobil di depanku beruntung
mendapatkan naungan yang seperti garasi di dekatnya, di mana ada tempat yang
cukup luas untuk mobil lain di sampingnya. Namun, aku sudah terlalu tak sabar
untuk segera mengikuti contohnya.
"Wow! Kelihatannya mahal," komentar kekasihku sambil memicingkan mata ke arah dinding plester seraya merayap keluar mobil dan
menyerbu masuk ke dalam rintik gerimis yang terdengar jelas, dan dengan tangan
kanak-kanaknya menarik lepas lipatan gaunnya yang tersangkut di retakan berwarna
merah jambu kekuningan mengutip kata-kata Robert Browning.
Di bawah gapura tiruan pohon kastanye yang diperbesar, daun-daun bergantungan
dan bergetaran pada tiang-tiang berwarna putih. Aku membuka bagasi. Seorang
negro bungkuk yang sangat tua dan mengenakan semacam seragam, mengambil tas kami
dan membawanya pelan-pelan masuk ke dalam ruang tunggu yang penuh dengan
perempuanperempuan tua dan pendeta.
Lolita duduk berlutut untuk membelai-belai seekor anjing spanil berwajah pucat,
bertutul-tutul biru dan berkuping hitam yang seperti pingsan di atas karpet
bermotif bunga di bawah tangan Lolita siapa yang tak akan begitu, cintaku selagi
aku berdehem melintasi sekumpulan orang menuju meja penerima tamu. Di sana
seorang lelaki tua botak yang seperti babi semua orang sudah berusia lanjut di
hotel tua itu mengamati perawakanku dengan senyum sopan, kemudian dengan
santainya mengambil telegramku (yang membingungkan), bergulat dengan keragu-
raguan, lalu memalingkan kepalanya untuk melihat jam.
Akhirnya, ia berkata meminta maaf. Ia telah menahan kamar dengan tempat tidur
ganda sampai jam setengah tujuh dan kini sudah diberikan kepada tamu lain.
Katanya, sebuah pertemuan keagamaan bertabrakan jadwalnya dengan festival bunga
di Briceland, dan "Namaku,"
selaku dengan dingin, "bukan Humberg dan bukan Humbug, tapi Herbert.
Maksudku Humbert. Dan kamar apa saja tidak masalah, asal taruh saja tempat tidur
kecil untuk anak perempuanku. Umurnya sepuluh tahun dan dia sangat lelah."
Lelaki tua berkulit merah jambu itu memandang Lo dengan ramah-Lo yang masih
berjongkok, mendengarkan dari samping dengan bibir terbuka omongan pemilik
anjing itu, seorang perempuan tua dalam balutan cadar berwarna ungu yang tengah
duduk melesak pada sebuah kursi malas.
Apa pun keraguan yang ada pada lelaki tua itu, hilang karena pandangan yang
penuh percaya diri. Katanya, mungkin ia masih punya kamar ternyata ada satu
dengan tempat tidur besar. Soal tempat tidur kecil "Tuan Potts, apakah kita
masih punya tempat tidur kecil?" Potts, yang juga berkulit merah jambu dan
botak, dengan uban menyembul keluar dari telinga dan lubang-lubang lainnya,
mencoba memeriksa apa yang bisa dilakukan. Ia datang dan berbicara selagi aku
memutar-mutar penaku. Humbert yang tak sabaran!
"Tempat tidur besar kami sebenarnya sangat besar," kata Potts sembari mengajakku
dan anakku masuk. "Pada suatu malam yang penuh sesak, ada tiga perempuan dan
seorang anak kecil seperti putri Anda tidur bersama. Saya yakin salah satu dan
perempuan itu adalah pria yang menyamar. Tapi-apakah ada tempat tidur kecil
cadangan di kamar 49, Tuan Swine?"
"Rasanya sudah diberikan ke keluarga Swoon," kata Swine, badut tua yang pertama.
"Baiklah, kami akan mengaturnya," kataku. "Istriku mungkin akan menyusul
belakangan tapi walaupun begitu, kurasa, kami akan bisa mengaturnya."
Sekarang kedua babi merah jambu itu ada dalam daftar sahabatku.
Lalu, dengan tangan kejahatan yang pelan dan jelas, aku menulis di daftar tamu:
Dr. Edgar H. Humbert dan anak perempuannya, Lawn Street 342, Ramsdale. Sebuah
anak kunci (nomor 342 juga!) setengah ditunjukkan kepadaku (tukang sulap
menunjukkan benda yang akan ia munculkan dan tangannya) lalu diserahkan ke Paman
Tom. Lo bangkit dari jongkoknya, meninggalkan anjing itu seperti dia akan
meninggalkanku suatu hari nanti; setetes air hujan jatuh di atas makam
Charlotte; seorang perempuan negro muda yang cantik membuka pintu lift; dan
bocah kecil yang akan mengalami nasib buruk itu masuk, diikuti ayahnya yang
berdehem dan Paman Tom yang membungkuk seperti udang membawa tastas kami.
Parodi sebuah koridor hotel. Parodi kesunyian dan kematian.
"Ini nomor rumah kita," kata Lo yang ceria.
Di sana ada tempat tidur besar, cermin, tempat tidur besar dalam cermin, pintu
lemari dengan kaca, pintu kamar mandi yang juga seperti itu, jendela berwarna
biru gelap bayangan tempat tidur terpantul di sana, hal yang sama pada cermin
pintu lemari, dua buah kursi, meja beralas kaca, dua meja samping tempat tidur,
tempat tidur besar-tepatnya, sebuah tempat tidur besar bersandaran kepala dengan
seprai berbahan chenille bermotif mawar Tuscan, dan dua lampu tidur dengan kap
lampu berwarna merah jambu berumbai-rumbai di atas meja kiri dan kanan ranjang.
Aku tergoda untuk menaruh uang kertas lima dolar di telapak tangan berwarna
kecokelatan itu, tapi lalu berpikir kedermawanan itu bisa disalah-artikan. Jadi,
aku menaruh dua puluh lima sen. Menambahkan lagi. Ia mundur minta diri. Klik.
"Apakah kita akan tidur bersama dalam satu kamar?" kata Lo, tubuhnya bergerak-
gerak dinamis seperti biasanya jika dia ingin mengajukan sebuah pertanyaan
dengan maksud yang berbahaya.
"Aku sudah meminta mereka menaruh tempat tidur kecil yang akan kugunakan kalau
kau mau." "Kau gila," kata Lo.
"Kenapa, sayangku?"
"Karena, sayangku, kalau Mama sayang tahu, dia akan menceraikanmu dan
mencekikku." Dia tidak terlalu ambil pusing soal itu.
"Sekarang lihat ke sini," kataku sambil duduk selagi dia berdiri beberapa kaki
dariku, dan memandang dirinya sendiri dengan bahagia, tidak tampak terkejut
melihat penampilannya, cermin pintu lemari memantulkan sinar mataharinya yang
semu merah jambu. "Lihat ke sini, Lo. Mari kita atur untuk seterusnya. Untuk semua tujuan praktis,
aku adalah ayahmu. Aku memiliki perasaan lembut terhadapmu. Dalam ketidak
hadiran ibumu, aku bertanggung jawab atas kesejahteraanmu. Kita bukan orang
kaya. Dan selagi kita mengembara, kita harus bertanggung jawab kita harus
bersama-sama membuat kesepakatan. Dua orang yang berbagi satu kamar, secara tak
bisa dihindari, masuk ke dalam semacam-bagaimana harus kubilang semacam-"
"Semacam inses," kata Lo dan melangkah masuk ke dalam ruang pakaian, lalu
melangkah keluar lagi dengan suara cekikikan, membuka pintu penghubung, dan
setelah berhati-hati mengintip ke dalam kamar dengan sepasang matanya yang aneh
karena telah berbuat kesalahan lagi, dia kembali ke kamar mandi. Aku membuka
jendela, membuka kemejaku yang basah karena keringat, menggantinya, memeriksa
botol pil di dalam saku mantelku, membukanya-Dia melangkah perlahan keluar. Aku
berusaha memeluknya dengan santai, sedikit kelembutan yang terkendali sebelum
makan malam. Katanya, "Mari kita hentikan permainan cium-ciuman ini dan mencari sesuatu yang
bisa dimakan." Saat itu rasa kagetku tak tertahan.
Oh, betapa luar biasa! Dia melangkah menuju kopor terbuka seolah-olah
mengintainya dari jauh, semacam langkah dalam gerak pelan, mengamati kotak harta
karun dari jarak itu. (Aku heran, apa ada yang salah dengan sepasang mata
kelabunya yang luar biasa, atau kami berdua jatuh ke dalam kabut sihir yang
sama") Ia maju, mengangkat kakinya yang berhak tinggi agak lebih tinggi, dan
menekuk lututnya yang indah selagi dia berjalan menembus ruangan dengan gaya
seseorang yang berjalan di dalam air atau dalam impian yang terbang mengawang.
Lalu ia menjawil sehelai rompi berwarna tembaga yang memesona dan cukup mahal,
dengan perlahan-lahan merentangkannya di antara tangan-tangannya yang bisu
seolah-olah dia adalah pemburu burung kebingungan yang menahan napasnya saat
melihat burung langka yang direntangkan dan ujung ke ujung sayapnya. Kemudian


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(selagi aku berdiri menunggunya) ia menarik ular yang lamban dari sabuk yang
berkilau dan mencobanya. Lalu dia merayap masuk ke dalam pelukanku yang menantinya dengan bahagia,
santai, membelaiku dengan matanya yang lembut, misterius, jalang, tak peduli,
dan sayu-tepat seperti seorang pelacur paling murahan. Itulah yang ditirukan
peri-peri asmara selagi kami mendesah dan mati.
"Memangnya kenapa kalau berciuman?" gumamku tak jelas (kendali atas kata-kata
sudah hilang) ke dalam rambutnya.
"Kalau kau mau tahu," katanya, "kau melakukannya dengan cara yang salah."
"Tunjukkan yang benar."
"Semua harus dilakukan pada saatnya," sahutnya.
Seva ascendes, pulsata, brulans, kitzelans, dementissima. Elevator clatterans,
pausa, clatterans, populus in corridoro. Hanc nisi mors mihi adimet nemo! Juncea
puellula, jo pensavo fondisstme, nobserva nihil quidquam ...
Di saat lain aku mungkin melakukan kesalahan yang mengerikan.
Untungnya, ia kembali ke kotak harta karun itu.
Dan kamar mandi, aku mendengar suaranya sambil berdiri, berdebar-debar, dan
mengatur napasku: suara Lolitaku dalam kesenangan khas anak perempuan.
Ia memakai sabun hanya karena itu sabun gratisan.
"Ayo sayangku, kalau kau selapar aku."
Seraya menuju lift, bocah perempuan itu mengayun-ayunkan dompet putih tuanya,
sang ayah berjalan di depan (catatan: tidak pernah di belakangnya, gadis itu
bukanlah seorang nyonya). Selagi kami berdiri (sekarang bersebelahan) di dalam
lift, ia menengadahkan kepalanya, menguap tanpa aturan, dan menggeleng gelengkan
rambut ikalnya. "Pukul berapa mereka membangunkanmu sewaktu di perkemahan?"
"Setengah-" ia nyaris menguap lagi- "tujuh" lalu sepenuhnya menguap dengan
getaran seluruh tubuhnya.
"Setengah tujuh," ulangnya, lalu menguap lagi.
Ruang makan itu menyambut kami dengan aroma lemak goreng dan senyum yang
memudar. Tempat yang luas dan berusaha terlihat indah dengan lukisan-lukisan
timbul yang sentimental, yang menggambarkan pemburu-pemburu riang gembira dalam
beragam sikap tubuh, dikelilingi berbagai binatang, peri pohon dan pepohonan.
Beberapa perempuan tua yang duduk terpisah, dua orang pendeta, dan seorang pria
bermantel olahraga sedang menghabiskan makanan mereka tanpa suara. Ruang makan
itu tutup pada pukul sembilan, dan pelayan-pelayan perempuan berbaju hijau
beraut wajah datar dengan senang hati dan sangat terburu-buru akan mengusir
kami. "Bukankah ia kelihatan persis seperti Quilty?" kata Lo dengan suara lembut.
Sikut cokelatnya yang tajam tidak menunjuk, tapi jelas sangat mengarah ke
seorang tamu yang makan sendirian dengan suara ribut di ujung ruangan itu.
"Seperti dokter gigi Ramsdale kita yang gemuk?" Lo menelan semulut penuh air dan
menaruh gelasnya. "Tentu saja tidak," katanya dengan kegembiraan yang meledak-ledak. "Maksudku ia
si penulis yang muncul di iklan Dromes."
Oh, popularitas! Oh, kaum perempuan!
Saat pencuci mulut disajikan-sepotong besar kue ceri untuk si gadis dan es krim
vanila untuk pelindungnya yang sebagian besar dia tambahkan ke kuenya aku
mengeluarkan botol kecil berisi Pil Ungu Papa.
Seraya melihat ke belakang pada lukisan-lukisan timbul yang membuatku ingin
muntah itu, di saat yang aneh dan tak pantas itu, aku hanya bisa menjelaskan
kelakuanku dengan cara kerja mesin penyedot mimpi yang di dalamnya berputar
pikiran yang kacau. Namun, pada saat ini, semuanya kelihatan sederhana dan tak
terhindarkan bagiku. Aku melirik sekeliling, puas bahwa tamu terakhir sudah pergi, membuka tutup
botol, dan dengan sangat hati-hati mengeluarkan ramuan ajaib itu ke tanganku.
Aku sudah melatih dengan hati-hati di depan kaca, gerakan menepukkan tangan
kosongku ke mulutku yang terbuka dan menelan sebutir pil (khayalan). Seperti
yang kuharapkan, dia menyerbu botol itu dengan kapsul-kapsul bulat berwarna
indah yang diisi ramuan obat tidur.
"Biru!" teriaknya. "Biru keunguan. Mereka dibuat dari apa?"
"Langit musim panas," kataku, "buah prem dan darah biru raja-raja." "Tidak, yang
serius dong ..." "Oh, cuma vitamin X. Membuat orang jadi sekuat sapi atau kapak.
Mau coba satu?" Lolita menjulurkan tangannya sambil mengangguk-angguk dengan bersemangat.
Aku berharap obat itu akan bekerja dengan cepat. Dan benar saja.
Ia telah menjalani hari yang sangat panjang. Ia pergi mengayuh perahu di pagi
hari dengan Barbara seperti yang mulai diceritakan oleh gadis centil manis yang
bisa dikelabui ini, di antara menahan menguap hingga ke ujung tenggorokan. Qh,
betapa cepatnya kerja ramuan ajaib itu! Cerita yang memenuhi pikirannya dengan
tidak jelas tentu saja sudah terlupakan saat kami keluar dari ruang makan. Saat
kami berdiri di dalam lift, dia bersandar kepadaku, tersenyum lemah tidakkah kau
ingin aku bercerita kepadamu" setengah menutup matanya yang berkelopak gelap.
"Mengantuk, ya?" kata Paman Tom yang sedang mengantar naik seorang lelaki
Prancis lrlandia pendiam dan anak perempuannya, juga dua perempuan tua yang ahli
dalam hal bunga mawar. Mereka memandang dengan penuh simpati pada kekasihku yang
lemah, berkulit terbakar sinar matahari, sempoyongan, dan tak bisa berpikir.
Aku hampir harus mengangkatnya masuk ke dalam kamar kami. Di sana, ia duduk di
ujung tempat tidur, sedikit terhuyung-huyung, berbicara dengan nada-nada yang
kacau. "Kalau kukatakan kepadamu kalau kukatakan kepadamu, maukah kau berjanji (dia
tampak mengantuk, sangat mengantuk kepala tergantung, mata redup), janji kau
tidak akan protes?" "Nanti, Lo. Sekarang tidurlah. Aku akan meninggalkanmu di sini dan kau tidurlah.
Kuberi waktu sepuluh menit."
"Oh, aku adalah gadis yang menjijikkan," dia meneruskan, menggoyang-goyangkan
rambutnya, lalu melepas pita rambut beludru dengan jari-jarinya yang lamban.
"Biarkan aku menceritakannya kepadamu-"
"Besok, Lo. Tidurlah, tidur demi Tuhan, tidurlah." Aku mengantongi anak kunci
dan berjalan menuruni tangga.
28 PARA ANGGOTA dewan juri yang terhormat! Kumohon perhatian Anda sekalian! Izinkan
aku mengambil sedikit saja waktu Anda yang berharga!
Dan, ini memang sebuah kesempatan yang luar biasa.
Aku meninggalkan Lolitaku dalam keadaan duduk di tepi ranjang, dengan mata sayu
mengangkat sebelah kakinya, merayapi tali sepatu, lalu melakukan hal yang sama
dengan kaki satunya sehingga paha dan selangkangannya tersingkap - dia selalu
menunjukkan ekspresi kosong, atau tak tahu malu, atau keduanya, dalam hal
mempertontonkan kakinya. Pada saat itulah muncul penampakan ganjilnya yang sempat membuatku terbius -
setelah aku meyakinkan diri bahwa pintunya tak bergerendel di bagian dalam.
Kunci pintu, yang nomornya menggantung di kayu berukir, seketika menjadi kunci
yang sangat penting menuju masa depan yang hebat dan memesona. Kunci itu
milikku, bagian dari kepalan tangan berbuluku yang panas.
Dalam beberapa menit saja - katakan saja, dua puluh menit, setengah jam, sicher
ist sicher, begitu biasanya pamanku Gustave mengatakannya - aku akan membiarkan
diriku memasuki kamar "342"
dan mendapati peri asmaraku, pengantinku yang jelita, terpenjara oleh tidurnya
yang lelap. Para anggota dewan juri! Andai kebahagiaanku bisa berbicara, raungannya yang
memekakkan akan memenuhi seisi hotel yang beradab itu. Dan, rasa sesalku hari
ini hanyalah bahwa aku tak diam-diam menyimpan kunci "342" di meja resepsionis,
dan pergi meninggalkan kota itu, negeri ini, benua ini, meninggalkan belahan
bumi - dan bola dunia ini - malam itu juga.
Mari kujelaskan. Aku tidak terlalu terganggu oleh sindiran-sindirannya yang
menyalahkan diri sendiri itu. Aku sudah sepenuhnya mantap menjalankan tekadku
untuk mengoyak kesuciannya hanya di malam tertentu yang kurahasiakan, hanya pada
sesosok tubuh bugil mungil yang sudah sepenuhnya terbius. Terkendali dan
berwibawa masih menjadi semboyanku bahkan sekalipun "kesucian" itu (yang
sepenuhnya disangkal oleh ilmu pengetahuan modern) sudah sedikit tercoreng oleh
pengalaman-pengalaman eksotis di bawah umur, pastilah bersifat hubungan seksual
sejenis, yang sudah menodai keperawanannya.
Tentu saja, dalam cara pandangku yang kuno dan dunia purba yang kumiliki, aku,
Jean Jacques Humbert, telah menyepelekannya. Ketika untuk pertama kalinya aku
bertemu dengannya, saat itu dia masih seperawan "anak kecil biasa" sebagaimana
yang didengungkan sejak Zaman Purba sebelum masehi - zaman yang diratapi
kepergiannya, dan semua ritualnya yang memesona. Di dalam era baru pencerahan
kita ini, kita tidak lagi dikelilingi kembang-kembang budak belia yang bisa
dipetik begitu saja di antara waktu melakukan bisnis dan waktu mandi, seperti
yang dilakukan orang di masa kejayaan Romawi. Dan, kita juga tak bisa merasakan
hiburan menyeluruh dari bagian depan hingga bagian belakang di antara sajian
daging domba dan serbat mawar yang biasa dilakukan orang-orang timur terhormat
di zaman keemasan mereka.
Permasalahan utamanya, mata rantai kuno antara dunia orang dewasa dan dunia
kanak-kanak kini sudah sepenuhnya terpatahkan oleh budaya dan hukum yang baru.
Meski aku sudah sengaja menceburkan diri dalam dunia psikiatri dan kerja sosial,
aku sungguh-sungguh tidak tahu banyak tentang anak-anak. Lagi pula, Lolita baru
berusia dua belas tahun. Apa pun kelonggaran yang kubuat tentang waktu dan
tempat - bahkan sambil mencoba menanamkan pikiran tentang perilaku keji anak-anak
sekolah di Amerika - aku masih saja terkesan pada apa pun yang terjadi di antara
anak-anak tak tahu malu ini, pada apa yang terjadi di akhir masa remaja mereka,
dan dalam lingkungan yang berbeda-beda.
Oleh karena itu (untuk kembali pada benang merah penjelasan ini), sisi moralis
dalam diriku menjegal isu ini dengan bertahan pada dugaan-dugaan konvensional
mengenai bagaimana seharusnya gadis-gadis berusia dua belas tahun. Sang terapis
anak dalam diriku (seseorang yang palsu, seperti sebagian besar dari mereka,
tapi itu tak menjadi masalah) memuntahkan candu Neo Freudian, lalu membahas
mimpi dan membesar-besarkan Dolly dalam masa laten gadis belia. Akhirnya, sisi
sensual diriku (sesosok monster raksasa yang gila) sama sekali tidak keberatan
dengan kejahatan di dalam diri mangsanya. Namun, di suatu tempat di balik
kebahagiaan yang meluap-luap, bayangan kebingungan menyelubungi - ini tak ingin
kuperhatikan, dan inilah yang kusesalkan!
Wahai umat manusia, perhatikan! Aku seharusnya sadar, Lolita sudah membuktikan
dirinya sangat berbeda dari Annabel yang lugu dan ada iblis berwujud bidadari
kecil yang bernapas dan setiap lubang pori-pori gadis belia yang ajaib ini!
Sepatutnya aku sadar bahwa aku telah menyiapkan diri untuk kenikmatan yang
kurahasiakan sehingga kerahasiaan itu menjadi mustahil dan kenikmatan itu jadi
mematikan. Aku seharusnya sudah tahu (lewat tanda-tanda yang ditujukan padaku oleh sesuatu
dalam diri Lolita - bocah kecil sejati dalam diri Lolita, atau sosok malaikat
kurus pucat di balik bahunya) bahwa tak ada hal lain selain rasa sakit dan
ketakutan saja buah dan pesona yang diidamkan ini.
Wahai para anggota dewan juri yang terhormat!
Dan dia adalah milikku. Saat itu dia milikku. Kuncinya ada dalam kepalan
tanganku, kepalan tanganku di dalam sakuku. Dia milikku. Aku sudah
mempersembahkan bermalam-malam insomnia demi kebangkitanku ini. Untuk ini pula, perlahan-lahan aku mengenyahkan semua
kebimbangan berlebihan dan dengan menyusuri lapis demi lapis tatapan tembus
pandang, upayaku akhirnya memunculkan sebuah gambaran nyata.
Telanjang, kecuali sebelah kaus kaki dan gelang gelangnya, mengangkang lebar di atas
ranjang tempat mantra pemikatku telah menaklukkannya - atau setidaknya begitulah
aku membayangkannya. Sehelai pita rambut beludru masih di genggaman tangannya. Tubuh moleknya yang
secokelat madu, dengan bekas putih pakaian renang yang terpola di sosok
cokelatnya. Tampil di hadapanku sepasang pucuk dada yang pucat. Diterpa cahaya
lampu merah muda, segumpal kecil bulu jembut berkilauan di atas bukit kecil yang
montok itu. Anak kunci yang dingin dengan gantungan kayunya yang hangat ada di
dalam saku bajuku. Aku berjalan-jalan memasuki beraneka ruangan; megah di bawah, kumuh di atas:
karena tatapan berahi selalu tampak kumuh; berahi tidak pernah begitu meyakinkan
- bahkan ketika si korban yang selembut beludru itu terkunci di dalam salah satu
selnya - bahwa ada setan-setan sainganku, atau dewa paling berkuasa yang masih
saja tak meloloskan kemenangan seseorang yang sudah dipersiapkan.
Aku membutuhkan segelas minuman. Tapi, tak ada bar di dalam tempat beradab yang
penuh sesak oleh orang-orang antik berkeringat dan benda-benda peninggalan
sejarah itu. Aku terseret masuk ke dalam kamar kecil laki-laki. Di sana, seseorang berpakaian
hitam pegawai kantoran menanyakan padaku sejauh apa aku menyukai pembicaraan Dr.
Boyd, dan ia tampak bingung ketika aku (Raja Sigmund II) berkata bahwa Boyd
seperti bocah laki-laki. Saat mengatakannya, diam-diam kutinggalkan kertas tisu bekas aku menangis.
Dengan ujung-ujung jariku yang peka kujejalkan ke dalam wadah penampungannya dan
membuangnya. Sambil menyandarkan kedua siku di atas meja, aku bertanya kepada Tuan Pott,
apakah ia yakin istriku tidak menelepon dan bagaimana dengan tempat tidur kecil
itu" Ia menjawab bahwa istriku tidak menelepon (dia sudah mati tentu saja) dan
tempat tidur kecil itu akan dipasang besok jika kami memutuskan untuk tetap
menginap di sana. Dan sebuah aula besar yang ramai yang disebut Aula Pemburu terdengar suara-suara
yang sedang mendiskusikan hortikultura atau tentang keabadian. Di ruangan lain,
yang disebut sebagai Ruang Raspberry, ruangan yang terang benderang bermandi
cahaya dengan meja-meja kecil terang dan sebuah meja besar yang dipenuhi "sajian
penyegar" tampak masih kosong, hanya ada seorang hostes (sejenis perempuan lusuh
dengan senyum berkilat-kilat dan gaya Charlotte Haze ketika berbicara). Dia
seperti melayang menghampiriku untuk bertanya apakah aku Tuan Braddock. Jika ya,
maka Nona Beard sedang mencari-cariku. "Nama yang hebat untuk seorang
perempuan," ujarku, lalu berlalu pergi.
Di dalam dan di luar jantungku, mengalir deras pelangi darahku.
Aku akan memberikan waktu padanya sampai pukul setengah sepuluh.
Saat berjalan kembali ke ruang penerima tamu, aku menemukan perubahan: sejumlah
orang berpakaian motif bunga-bunga dan hitam-hitam membentuk kelompok-kelompok
kecil di sana sini, dan dalam suatu kesempatan kulihat seorang gadis ceria
seumur Lolita. Dia memakai rok serupa yang dikenakan Lolita, tapi sepenuhnya
putih, dan ada sehelai pita berwarna putih di rambut hitamnya. Dia tidak cantik,
tapi dia juga seorang peri asmara. Sepasang tungkai kakinya yang seputih gading
dan leher bunga bakungnya menyiratkan kenangan dan sebuah antifoni28
yang paling menyenangkan atas gelora hasratku kepada Lolita, cokelat dan merah
muda, terbilas dan ternoda. Gadis pucat itu memerhatikan tatapan mataku (yang
sesungguhnya biasa saja) dan dia dengan tololnya tersadar, ketenangan di
wajahnya seketika lenyap. Dia menggulirkan bola matanya ke atas dan menempelkan
punggung tangannya di kedua pipinya, lalu menaikkan kerah bajunya dan
membalikkan kedua bahu kurusnya, memunggungiku seraya mengucapkan percakapan
semu dengan ibunya yang serupa lembu.
Aku meninggalkan ruang penerima tamu yang berisik itu dan berdiri di luar, di
tangga putih, memandangi ratusan serangga serupa bubuk tepung mengelilingi
lampu-lampu di tengah kelamnya malam yang basah, penuh riak dan gelombang. Yang
ingin kulakukan - yang berani kulakukan - hanyalah memperhitungkan hal-hal seremeh
itu Tiba-tiba saja aku sadar bahwa, di tengah kegelapan, di sampingku ada
seseorang yang sedang duduk di sebuah kursi di beranda berpilar itu.
Aku tidak bisa benar-benar melihatnya, tapi yang membuatnya kusadari adalah
suara serak tarikan napas, suara berdeguk pelan, lalu seembus tarikan napas
tenang. Aku baru akan bergerak menjauh ketika suaranya terlontar ke arahku, "Di
mana kau mendapatkan gadis itu?"
"Maaf?" "Kubilang: cuacanya semakin membaik."
"Sepertinya demikian."
"Siapa gadis centil itu?"
"Anakku." "Kau berdusta - dia bukan anakmu."
"Maaf?" "Kubilang: Juli memang panas. Di mana ibunya?"
"Meninggal dunia."
"Oh, begitu. Aku ikut berduka cita. Omong-omong, bagaimana jika kalian berdua
ikut makan siang denganku besok" Kerumunan menakutkan itu sudah pulang saat
itu." "Kami juga akan pulang besok. Selamat malam."


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf, aku pasti mabuk sekali. Selamat malam. Anakmu itu butuh tidur panjang.
Tidur itu laksana sekuntum mawar, begitu yang dikatakan orang-orang Persia.
Merokok?" "Tidak sekarang."
Ia menyalakan api, tapi karena ia sedang mabuk, atau karena embusan angin,
pijarannya tidak hanya menerangi dirinya, tapi juga orang lain di dekatnya,
seorang lelaki uzur, salah satu tamu tetap di hotel-hotel tua - dengan alat bantu
jalannya yang berwarna putih. Tak ada yang berkata apa pun dan kegelapan pun
berpulang ke tempat asalnya. Lalu aku mendengar lelaki uzur itu terbatuk dan
meludahkan dahak kematiannya.
Aku meninggalkan beranda itu. Setidaknya setengah jam sudah berlalu. Aku mungkin
harus minta sedikit minuman. Ketegangannya sudah mulai terasa. Andai seutas
senar biola bisa terasa sakit, maka aku adalah senar itu. Tapi, semua ini
sepertinya tidak menunjukkan ketergesaan.
Ketika aku berjalan melewati kerumunan orang berpakaian rapi di salah satu sudut
ruang penerima tamu, muncullah seberkas cahaya menyilaukan - dan menyinari Dr.
Braddock, perempuan dewasa berhias kuntum dua bunga anggrek, si gadis kecil
berbaju putih, dan Humbert Humbert yang menyelusup di antara si gadis kecil yang
bagai pengantin dan pendeta yang tersihir, seakan diabadikan - seperti gambar
dalam koran-koran di kota kecil yang tampak seperti abadi.
Sekelompok orang yang berceloteh cerewet sudah berkumpul di dekat lift. Sekali
lagi aku memilih tangga. Kamar 342 dekat dengan pintu darurat. Orang masih bisa
kabur - tapi anak kunci itu sudah masuk ke dalam
29 PINTU KAMAR mandi yang terang itu terbuka sedikit. Seberkas kilau cahaya muncul
dari balik tirai Venesia di bagian luar lampu-lampu lengkung yang terang
benderang. Cahayanya yang saling silang menembus kegelapan kamar tidur dan
menguak keadaan seperti berikut ini. Mengenakan salah satu gaun malam lawasnya,
Lolitaku terbaring memunggungiku di sisi tempat tidur bagiannya, di bagian
tengah ranjang. Tubuhnya yang terbungkus kain tipis dan tungkai-tungkai telanjangnya membentuk
huruf Z. Dia meletakkan dua bantal di bawah kepala berambut gelap kusutnya.
Selarik pita cahaya pucat melintasi punggung atasnya.
Sepertinya aku sudah melucuti seluruh pakaianku dan kemudian menyusup masuk ke
dalam piyama tidurku. Aku tiba-tiba saja telah meletakkan lututku di tepi
ranjang ketika Lolita membalikkan kepalanya dan menatapku dari balik bayang-
bayang bergaris itu. Ini adalah sesuatu yang tak diharapkan oleh seorang
pengganggu. Pil itu dikatakan sebagai benda yang bisa membuat orang tidur lebih
cepat sehingga seluruh resimen tidak akan terganggu karenanya, tapi ternyata dia
menatap tajam ke arahku, serta memanggilku "Barbara" dengan nada tegas.
Barbara yang mengenakan piyamaku, yang tampaknya terlalu ketat untuknya, ini
tetap berdiri tak bergerak di atas si kecil yang suka berbicara sambil tidur.
Perlahan, dengan desahan putus asa, Dolly memalingkan muka, kembali ke posisi
awalnya. Selama sekurangnya dua menit aku menunggu dan tegang di pinggir
ranjang, seperti si penjahit dengan parasut buatannya empat puluh tahun yang
lalu ketika ia akan melompat dari Menara Eiffel. Napas Lolita yang tersengal
menjadi irama tidurnya. Akhirnya, aku menjatuhkan diri ke tepian ranjang yang
sempit, lalu tanpa bersuara menarik benda-benda aneh dan ujung kain seprai yang
menumpuk di sisi selatan kedua tumitku yang sedingin batu-Lolita mengangkat
kepalanya dan membuka mulutnya ke arahku.
Sebagaimana isi surat yang kupelajari dan seorang apoteker budiman, pil berwarna
ungu iu bahkan bukan berasal dari keluarga besar obat tidur. Meskipun pil
tersebut bisa merangsang kantuk pada seorang penderita sakit saraf yang
meyakininya sebagai obat yang manjur, pil itu terlalu ringan sebagai obat
penenang yang harus mengatasi kecemasan, meski hanya kecemasan terhadap seorang
peri asmara. Apakah dokter di Ramsdale itu seorang tukang obat atau penjahat tua yang pintar,
benar-benar tidak penting. Yang penting, aku sudah ditipunya. Ketika Lolita
membuka kembali matanya, kusadari apa pun pengaruh obat itu, mungkin hanya akan
bekerja larut malam nanti, dan siasat yang kuandalkan hanyalah kepura-puraan.
Perlahan, kepalanya menoleh ke arah tumpukan bantalnya yang lebih banyak dari
bagianku. Aku berbaring diam di sisi ranjangku, melirik ke arah rambut kusutnya,
ke arah daging peri asmaranya yang berkilauan-daging pinggang dan setengah
bahunya saja yang terlihat samar. Mataku berusaha mengukur kepulasan tidurnya
dari irama tarikan napasnya.
Setelah beberapa saat berlalu, tak ada yang berubah, dan aku memutuskan untuk
mengambil risiko dengan bergerak sedikit lebih dekat ke arah tubuh berkilau yang
indah dan memabukkan itu. Namun, aku nyaris tak mampu bergerak ke sisi tubuhnya
yang hangat dengan desah napasnya yang tertahan. Aku juga didera perasaan
menjijikkan bahwa Dolores kecil akan terbangun dan menjerit-jerit marah jika aku
menyentuhnya dengan setiap jengkal kenistaanku.
Para pembaca sekalian, kumohon, segusar apa pun Anda karena kelembutan hati dan
kepekaan perasaan Anda yang membabi buta, tolong jangan melewatkan halaman-
halaman yang penting ini! Bayangkan aku. Aku tak akan ada jika Anda tidak
membayangkan diriku. Berusahalah mengenali sesosok hewan betina di dalam diriku, gemetar di tengah
belantara kebengisanku sendiri. Ayo tersenyumlah sedikit. Lagi pula, tak ada
salahnya tersenyum. Aku tak punya tempat untuk menyandarkan kepala dan deraan
rasa panas di dada menambah ketaknyamananku.
Dia kembali terlelap, peri asmaraku, tapi aku masih saja tak berani memulai
perjalananku yang memesona itu. Besok aku akan menjejalkan pil-pil tadi kepada
gadis ini hingga membuatnya terpaku bagaikan mumi.
Kusimpan di dalam wadah sarung tangan-atau di dalam kopor kecil"
Haruskah aku menunggu satu jam penuh untuk kemudian merayap lagi"
Ilmu tentang nimfolepsi29 adalah sebuah ilmu pasti. Kontak langsung akan segera
menunjukkan kecenderungan tersebut hanya dalam waktu satu detik saja. Jafak satu
milimeter bisa ditempuh dalam sepuluh detik.
Mari kita tunggu saja. Tak ada yang lebih berisik dari hotel orang Amerika, dan berhati-hatilah, karena
hotel ini seharusnya tenang, nyaman, antik dan terasa seperti di rumah sendiri
"tempat tinggal yang sangat ramah" dan sejenisnya.
Suara gemeretak pintu lift-sekitar satu setengah meter di timur laut kepalaku-
terdengar seakan-akan benda itu berada di dalam kening kiriku-silih berganti
dengan suara bantingan dan deru mesin yang baru berakhir jauh selepas tengah
malam. Sesekali, tiba-tiba saja di bagian timur kuping kiriku (bayangkan aku
selalu berbaring telentang, tak berani menghadap langsung ke sisi hinaku, ke
arah pinggang samar teman seranjangku), di lorong, akan dipenuhi teriakan
selamat malam yang riang, bergaung dan bersahut-sahutan. Ketika berondongan
selamat malam itu terhenti, suara toilet tiba-tiba terdengar di utara otak
besarku sebagai penggantinya. Itu adalah suara siraman deras dari lubang toilet
yang dalam dan tampaknya digunakan beberapa kali. Suara menggeluguk, semburan
dan gelontoran airnya menggetarkan dinding di belakangku. Lalu seseorang di arah
selatan sepertinya sedang sangat 29 Kecenderungan perempuan melakukan hubungan
seks dengan lebih dari satu orang laki-laki (catatan penerjemah).
sakit, dia seakan-akan melepaskan nyawanya lewat dahak dan batuk-batuknya, dan
toiletnya terdengar seperti air terjun Niagara yang seketika saja berada di
samping kamar mandi kami.
Akhirnya, seluruh deru air terjun itu terhenti dan para pemburu liar itu
sepertinya sudah terlelap. Namun, jalanan di bawah jendela insomniaku, arah
barat keterjagaanku-sebuah lorong yang tenang-perlahan berubah menjadi raungan
laknat truk-truk raksasa melintasi malam yang basah dan berangin.
Tak sampai enam inci dari diriku dan hidupku yang membara, terbujur Lolita yang
seperti nebula! Setelah keadaan siaga tanpa bergerak beberapa lama, tentakel-
tentakelku bergerak ke arahnya lagi. Kali ini derak ranjang tak membangunkannya.
Aku berusaha menggerakkan gumpalan tubuhku yang rakus ini menjadi sedemikian
dekat kepadanya sehingga aku bisa merasakan aura bahu telanjangnya bagaikan
embusan napas hangat di pipiku. Kemudian, dia terduduk bangun, mengembuskan
napas dan bergumam cepat tak karuan tentang kapal, lalu menarik selimutnya dan
kembali terlelap ke dalam alam bawah sadarnya yang gelap semarak.
Saat dia mengempaskan tubuhnya untuk kembali tidur yang menjadi kemerahan di
bawah cahaya bulan, tangannya terlempar ke atas wajahku. Selama satu detik aku
mendekapnya. Dia melepaskan diri dari bayangan dekapanku. Itu dilakukannya tanpa
sadar, bukan dengan serta merta atau karena tidak suka, melainkan disertai
gumaman polos seorang bocah yang menuntut beristirahat dengan wajar. Dan, sekali
lagi situasinya tetap sama: Lolita dengan lengkungan tulang belakangnya
menghadap Humbert, Humbert meletakkan kepalanya di atas tangannya, terbakar
hasrat dan sakit perutnya.
Gangguan pencernaan membutuhkan perjalanan ke kamar mandi untuk minum segelas
air tawar yang kutahu sebagai obat terbaik untuk perut mulasku, selain susu
campur lobak. Dan, ketika aku kembali memasuki benteng bergaris pucat tempat
pakaian baru dan pakaian lama Lolita tergeletak dalam beberapa posisi memesona
di atas perabot yang tampak seolah melayang, bocah perempuanku terduduk tegak
dan dengan suara tegas meminta air minum.
Dia meraih cangkir kertas dingin dan meneguk isinya dengan penuh syukur. Bulu
matanya panjang melengkung. Dengan bahasa tubuh bagai bayi, yang lebih
membangkitkan keterpukauan daripada keinginan untuk membelai, Lolita kecil
menyeka bibirnya di bahuku. Dia menjatuhkan kembali tubuhnya ke atas bantal (aku
sudah mengurangi tumpukan bantalku ketika dia minum tadi) dan dia segera
terlelap kembali. Aku tak tega memberinya obat untuk kedua kalinya dan aku belum kehilangan
harapanku bahwa obat yang pertama masih mampu membuatnya tertidur pulas. Aku
mulai bergerak ke arahnya, siap untuk kecewa dan bersedih tanpa kata. Aku tahu
aku lebih baik menunggu, tapi aku tidak tabah menunggu.
Bantalku beraroma wangi rambutnya. Aku bergerak ke arah kekasihku yang kemilau.
Setiap kali kupikir dia bergerak atau akan bergerak, aku terhenti dan mundur.
Sepoi angin dan dunia antah berantah mulai memengaruhi pikiranku dan kini
semuanya seakan-akan membungkuk miring, seolah-olah permukaan yang
memantulkannya dikerutkan oleh hantu angin sepoi-sepoi itu.
Berkali-kali kesadaranku kembali terbelokkan. Tubuh lunglaiku memasuki dunia
tidur, terkesiap lagi, dan sekali dua kali kudapati diriku terseret kantuk
hingga mendengkur sedih. Kabut kelembutan menyelimuti gunung-gunung kerinduan.
Sesekali tampak olehku mangsa yang tersihir itu nyaris bertemu dengan pemburu
yang tersihir olehnya. Lengkung pinggangnya maju ke arahku di bawah pasir lembut pantai indah nun jauh
di sana. Lalu lesung pipinya tampak samar-samar bergerak, dan aku tahu dia sudah
lebih jauh dariku. Andai aku menunda selama beberapa saat getar gemetar dan rabaan di malam larut
ini, itu hanya karena aku bertekad untuk membuktikan bahwa aku tidak akan pernah
menjadi seorang bajingan tengik. Dunia mimpi lembut yang kurayapi adalah warisan
para penyair, bukan lahan pencarian kesempatan untuk melakukan kejahatan. Jika
aku sudah mencapai sasaranku, puncak kenikmatanku adalah semua kelembutan.
Sebuah proses pembakaran abadi yang mungkin panasnya nyaris tak bakal terasa
oleh gadis itu, bahkan dalam keadaan sepenuhnya terjaga sekalipun. Namun, aku
masih berharap lambat laun dia akan tenggelam ke dalam ketaksadaran yang
sempurna sehingga memungkinkanku merasakan lebih dari sekadar kilauan tubuhnya.
Maka, di antara prasangka-prasangka sementara, dengan kebingungan tentang
perasaanku yang mengubah sosoknya menjadi setitik cahaya bulan atau sejumput
semak bunga yang lembut, aku ingin memimpikan betapa aku mendapatkan kembali
akal sehatku. Aku bermimpi sedang terbaring menunggu.
Pada jam-jam pertama fajar, terdengar nina bobo di malam yang resah di hotel
itu. Kemudian, sekitar pukul empat dini hari toilet di lorong mengucurkan air
dan pintunya dibanting keras-keras. Beberapa saat kemudian, berangsur-angsur
sebuah monolog mulai terdengar gaungnya dari beberapa bagian halaman dan tempat
parkir. Itu bukan monolog yang sesungguhnya, mengingat pengeras suara itu
terhenti setiap beberapa detik untuk mendengarkan (mungkin) suara lelaki
lainnya. Namun, suara yang lain itu tidak sampai ke telingaku dan tak ada makna apa pun
yang bisa kutangkap dari bunyi yang terdengar. Entah bagaimana, intonasinya
membantuku meraih fajar, dan kamar itu pun sudah dipenuhi aroma bunga bakung
kelabu ketika beberapa toilet mulai digunakan, satu demi satu. Suara-suara
gemeretak dan lolongan elevator mulai terdengar naik turun membawa penumpang,
sementara aku masih saja teler. Kulihat Charlotte adalah si putri duyung di
dalam akuarium hijau, dan di suatu tempat di lorong itu Dr. Boyd berkata
"Selamat pagi" dengan suara riang, dan burung-burung terdengar berkicau sibuk di atas
pepohonan, dan kemudian Lolita menguap.
Para anggota dewan juri yang frigid! Kupikir perlu waktu berbulan-bulan, mungkin
bertahun-tahun, sebelum aku berani memperlihatkan diriku kepada Dolores Haze.
Namun, pukul enam pagi dia sudah bangun, dan lima belas menit kemudian kami
adalah sepasang kekasih. Aku akan mengatakan kepada Anda sesuatu yang sangat
ganjil: dialah yang menggodaku.
Begitu mendengar dia menguap untuk pertama kalinya, aku segera membuat posisi
tidur yang tampan menawan. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Akan
terkejutkah dia mendapatiku terbaring di sisinya dan bukan di tempat tidur lain"
Akankah dia memunguti pakaiannya dan mengunci diri di kamar mandi" Apakah dia
akan menuntut untuk dipulangkan ke Ramsdale saat itu juga-ke ranjang ibundanya-
atau kembali ke perkemahan"
Kurasakan matanya menatapku, dan ketika akhirnya dia menyuarakan tawa
terbahaknya yang menggemaskan itu, aku tahu sepasang matanya juga sedang
tertawa. Dia menggulung tubuhnya ke sisiku dan rambut cokelatnya yang hangat
menyentuh selangkanganku.
Aku melakukan gerakan pura-pura baru bangun tidur yang sangat amatir.
Kami berbaring diam. Dengan lembut kubelai rambutnya, dan dengan lembut pula
kami berciuman. Ciumannya, yang amat membuatku malu, seakan-akan terlatih
sedemikian sempurna dengan denyut-denyut dan daya jelajah yang membuatku
berkesimpulan bahwa dia pernah belajar berciuman pada usia teramat dini dengan
seorang lesbian cilik. Tidak mungkin bocah lelaki Charlie bisa mengajarinya
ciuman semacam itu. Seolah-olah memeriksa apakah aku terpuaskan dan sudah mendapatkan pelajaran, dia
menarik tubuhnya menjauh dan mengamatiku. Tulang pipinya merona, bibir bawahnya
yang penuh berisi tampak berkilauan. Kematianku sudah dekat. Seketika, dengan
riang gembira (tanda-tanda terasuki peri asmara!), dia menempelkan mulutnya ke
telingaku-namun, untuk beberapa saat benakku tak mampu memaknai halilintar panas
yang dibisikkannya. Sekonyongkonyong dia tertawa dan mengibaskan rambut dan
wajahnya, lalu berusaha lagi.
Perlahan-lahan, perasaan yang amat ganjil tentang memasuki sebuah kehidupan
baru, sebuah dunia impian gila di mana semuanya seolah diperbolehkan, menderaku.
Perasaan itu berkecamuk dalam diriku saat kusadari bahwa dia sedang menawarkan
diri. Kujawab bahwa aku tidak mengetahui permainan apa yang pernah dimainkannya
dengan Charlie. "Maksudmu kau tak pernah?" Mimik mukanya berkerut membentuk
tatapan jijik karena tak percaya. "Kau tak pernah-" dia mulai lagi. Aku
mengambil waktu untuk sedikit menyundulnya. "Ayo, sana menjauh," ujarnya dengan
suara seperti lolongan sengau dan bergegas mengangkat bahu cokelatnya dan
bibirku. (Sikap ragu penuh pertimbangannya itu amat membuatku penasaran- dan dia
terus melakukannya selama beberapa lama, semua belaian kecuali ciuman bibir atau
gerakan asmara yang "abnormal".)
"Maksudmu," dia bersikeras, kini sambil berlutut di atasku, "kau tak pernah
melakukannya sewaktu kau masih kanak-kanak?"
"Tidak pernah," aku menjawab sejujurnya.
"Baiklah," ujar Lolita, "begini awalnya." Bagaimana pun, aku tak boleh membuat
penyimak ceritaku menjadi bosan dengan detail-detail tentang syak wasangka
Lolita. Cukuplah dikatakan bahwa tak ada sikap sederhana yang kurasakan dalam
diri gadis cantik yang telah dirusak oleh pendidikan modern yang mencampur
siswa-siswinya, cara bergaul remaja nakal, perbuatan sembunyi-sembunyi di
perkemahan, dan lain sebagainya ini. Dia menganggap perbuatannya semata-mata
sebagai sebagai dunia tersembunyi seorang remaja, tak pernah diketahui orang
dewasa. Apa yang dilakukan orang-orang dewasa dengan sengaja untuk bersenang-
senang sama sekali bukan masalahnya.
Hidupku berada dalam genggaman tangan Lo kecil, dengan sikapnya yang
bersemangat, seakan-akan sebuah perangkat tambahan bodoh yang tak terhubung
dengan tubuhku. Sementara dia sangat bersemangat untuk mengesankanku dengan
dunia kanak-kanak yang hebat, dia tampaknya tidak cukup siap dengan
pertentangan-pertentangan
tertentu antara kehidupan kanak-kanaknya dan kehidupanku. Hanya harga diri saja yang mencegahnya menyerah; karena, dalam
posisi sulitku yang aneh ini, aku memakai topeng kebodohan dan membiarkannya


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan caranya sendiri-setidaknya aku masih bisa menahannya.
Namun, semua ini memang hal-hal yang tak berkaitan. Aku sama sekali tak peduli
dengan apa yang disebut "seks". Siapa pun bisa mengkhayalkan semua unsur
kebinatangan seperti itu. Kenikmatan yang lebih dahsyat menderaku: mengabadikan
sihir maut para peri asmara untuk selamanya.
30 AKU HARUS bertindak hati-hati. Aku harus berbicara dengan berbisik. Ah, kau,
reporter kriminal tua, pelayan bau tanah, kau dulu seorang polisi terkenal,
sekarang kau terkucil sendirian setelah menghormat di perempatan jalan sekolah
selama bertahun-tahun, pensiunan sial yang minta dibacakan cerita oleh seorang
bocah laki-laki! Tak akan pernah terjadi, kalian mabuk kepayang terhadap
Lolitaku! Andaikan aku seorang pelukis, andaikan The Enchanted Hunters kehilangan akal
sehat pada suatu hari musim panas hingga memintaku menghias ulang ruang makan
mereka dengan mural buatanku, inilah yang terpikir olehku - aku akan menuliskan
beberapa potongannya: Pasti akan kugambar sebuah danau. Ada sebuah tempat teduh
di antara bunga-bunga berwarna menyala. Akan ada beberapa studi tentang alam -
seekor harimau sedang memburu seekor burung cendrawasih, seekor ular yang
tersedak berlumuran usus bayi babi. Dan, di sana akan ada seorang sultan,
wajahnya menampakkan keangkuhan yang luar biasa (berpura-pura seperti biasanya),
tengah membantu seorang bocah budak menaiki pijakan dari batu onyx. Akan ada
bola-bola pijar kecil berbentuk alat kelamin yang berarak naik ke sisi kotak-
kotak musik yang berkelap-kelip. Akan tampak beragam kegiatan perkemahan di
bagian tengah: berkano, menari beriringan, dan menyisir rambut di tepi danau.
Juga ada bunga-bunga tulip, pohon apel dan pemandangan hari Minggu di pinggiran
kota. Akan kulukis juga batu opal kemerahan yang berbaur di dalam lingkaran
bertepian gelombang, sebuah pulasan warna paling akhir, merah menyala, merah
yang tajam, satu desahan, seorang bocah yang meringis kesakitan.
31 AKU BERUSAHA menjelaskan semua ini bukan untuk menghidupkannya kembali ke dalam
penderitaan tak berbatasku sekarang ini, melainkan hanya untuk memilih-milih
bagian neraka dan surga dan dunia yang aneh, mengerikan dan membuatku gila - cinta
peri asmara. Sisi kecantikan dan kebinatangan menyatu dalam satu titik. Itulah
yang ingin kubenahi. Dan, aku merasa betul-betul gagal melakukannya. Mengapa"
Ketentuan hukum gereja Katolik Roma yang menyebutkan seorang gadis boleh menikah
pada usia dua belas tahun masih dilestarikan, dengan diam-diam, di beberapa
gereja di Amerika Serikat. Dan, menikah pada usia lima belas tahun dilindungi
hukum di mana-mana. Tak ada yang salah, menurut kedua kubu tersebut, saat
seorang lelaki bengis berusia empat puluh tahun, diberkahi oleh pendeta setempat
dan kembung karena minum-minum, melimpahi pengantinnya dengan perhiasan
berbentuk tetesan keringat dan menghunjamkan diri kepada pengantin belianya.
"Dalam iklim yang mendukung (sebagaimana yang ditulis pada majalah di
perpustakaan penjara) seperti di St. Louis, Chicago dan Cincinnati, para gadis
akan berangkat dewasa di ujung usia dua belas tahun mereka."
Dolores Haze dilahirkan kurang dari seratus mil dari Cincinnati yang mendukung
ketentuan itu. Aku hanya mengikuti panggilan alam. Aku adalah seorang pemburu
yang setia kepada alam. Dan jika memang demikian, mengapa kengerian ini tidak
bisa juga kuenyahkan" Apakah aku telah merampas keperawanan gadis remaja itu"
Dalam Pelukan Musuh 2 Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti Kembang Darah Setan 3
^